BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Perkembangan dunia ke arah globalisasi di segala bidang kehidupan, yang
meliputi bidang politik, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya telah membawa banyak dampak, baik positif maupun negatif. Globalisasi dapat memacu kemajuan yang sangat pesat terhadap perkembangan suatu negara. Sebaliknya, globalisasi akan dirasa memberikan dampak buruk bagi negara yang tidak memiliki kesiapan dalam proses globalisasi. Globalisasi membawa konsekuensi yang cukup rumit bagi setiap negara, terutama negara-negara berkembang, globalisasi menyebabkan dunia menjadi tanpa batas, dan penyebab utama globalisasi saat ini adalah kemajuan teknologi informasi, dan komunikasi (Latief, 2000;32). Globalisasi ekonomi adalah salah satu proses yang dapat dilihat secara nyata dan membawa dampak terhadap bidang kehidupan yang lain. Di bidang ekonomi globalisasi sangat membutuhkan kesiapan suatu negara untuk menerimanya, terlebih dukungan sumber daya manusia sebagai pelaku ekonomi, terutama kemampuan untuk menerapkan teknologi. Globalisasi ekonomi dimaksudkan sebagai proses terintegrasinya perekonomian negara-negara ke arah masyarakat ekonomi dunia yang saling terkait, saling tergantung, dan saling pengaruh mempengaruhi (Latief, 2000;48). Bertitik tolak dari fenomena diatas, globalisasi ekonomi dapat melahirkan pasar global. Di samping melahirkan pasar
1
2
bebas, globalisasi ekonomi juga melahirkan kapitalisme, di mana menurut Pilliang (2004;101) kecepatan komodifikasi kapitalisme, tak lain dari kecepatan mengaitkan segala aspek kehidupan dengan perputaran uang. Waktu, ruang, uang, dan kecepatan merupakan empat unsur yang tidak bisa dipisahkan dari wacana kapitalisme global. Secara singkat kapitalisme adalah bagaimana modal dan kapital dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan. Sejalan dengan perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era demokratisasi serta perubahan tatanan dunia yang mengarah pada gobalisasi, maka pembangunan sektor pertanian tetap dianggap terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi, apalagi semenjak sektor pertanian ini menjadi penyelamat perekonomian nasional,
karena justru pertumbuhannya
meningkat. Sementara sektor lain pertumbuhannya negatif. Beberapa alasan yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia ; 1) potensi sumberdayanya yang besar dan beragam, 2) besarnya penduduk yang mengantungkan hidupnya pada sektor ini dan 4) menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Potensi pertanian yang besar namun sebagian besar dari petani banyak yang termasuk golongan miskin adalah sangat ironis terjadi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah bukan saja kurang memberdayakan petani tetapi sektor pertanian keseluruhan. Apalagi Indonesia yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Merauke merupakan “Negara Kepulauan”. Di samping mempunyai kekayaan laut yang melimpah, hasil tambang, dan juga memiliki tanah subur untuk pertanian dan perkebunan. Tidak salah grup penyanyi Koesplus menciptakan lagu dengan
3
syair yang menyanjung kekakayaan alam dan kesuburan bumi pertiwi yang dimiliki bangsa Indonesia. Seperti terdapat pada syair “ orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Dari syair tongkat kayu dan batu jadi tanaman menandakan betapa suburnya tanah air Indonesia. Berbagai hasil bumi dari bercocok tanam, baik pada lahan basah (sawah) maupun lahan kering (perkebunan) telah menghidupi rakyatnya, bahkan telah menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Selain beras sebagai makanan pokok yang dihasilkan dari bercocok tanam padi juga ada palawija seperti jagung, kacang tanah dan kedelai. Komoditi lainnya yang dibudidayakan di tanah persada Indonesia, dalam hal ini diperkebunan lahan kering, adalah kopi, vanili, coklat, dan cengkeh. Hasil pertanian dan perkebunan yang disebutkan tidak lepas dari peran para petani, baik yang menggarap lahan basah maupun lahan kering. Akan tetapi, keberadaan petani di Indonesia masih terpinggirkan. Kenyataan empiris sering tidak sejalan dengan tataran teoretis, yaitu petani sangat berperan sebagai aset bangsa yang menghidupi hajat hidup orang banyak, terutama dengan produksi hasil pertanian baik beras, palawija, kopi, cengkeh, dan hasil pertanian lainnya. Jasa yang begitu besar disumbangkan oleh petani tidaklah seimbang dengan imbalan yang diterima oleh petani tersebut. Banyak petani yang terjepit karena harga pupuk yang melambung, harga hasil panen yang anjlok tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk biaya produksi. Dalam rangka melindungi petani, khususnya petani cengkeh, pemerintah melalui Inpres No.50 Tahun 1976 menetapkan kebijakan Tata Niaga Cengkeh. Disusul kemudian Keppres No.8 Tahun 1980 yang menetapkan kebijakan harga
4
dasar dan pelaksanaan kegiatan penyanggaan cengkeh oleh PT Kerta Niaga. Konon maksudnya, disamping melindungi petani petani juga untuk meningkatkan peranan koperasi (KUD), serta menjamin tersedianya cengkeh bagi konsumen yakni pabrik rokok kretek. Anjloknya harga cengkeh ini, juga melahirkan apa yang dinamai Konsorsium Cengkeh Nasional (KCN) dan disusul Badan Penyangga Pemasaran Cenkeh (BPPC) pada Desember 1990. Namun kebijakan pemerintah menampung semua cengkeh yang diproduksi petani sejak tahun 1991 melalui BPPC, telah menimbulkan stok cengkeh nasional yang berlebihan secara akumulatif. Stok cengkeh per 1 Januari 1995 misalnya mencapai 65.000 ton setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah membentuk KCN dan BPPC itu, telah membuahkan kritikan karena kemelut harga cengkeh terus berlanjut. Apalagi, dalam lembaga itu ditenggarai jelas-jelas mengandung unsur monopoli. Buntutnya, KCN dan BPPC pun dibubarkan dan tata niaga cengkeh dihapus. Perdagangan cengkeh dikembaliakn ke pasar bebes sejalan dengan tuntutan dari Negara-negara anggota WTO, seperti Mandagaskar dan Tanzania, agar Indonesia membuka impor cengkehnya. Dihapusnya tata niaga (yang sebenarnya lebih cocok disebut monopoli) cengkeh itu, langsung mendongkrak harga cengkeh. Secara pelan dan pasti harga cengkeh terus meroket. Penyebab terus meroketnya harga cengkeh ini, tidak lain karena berkurangnya pasokan dari petani secara signifikan. Sudah menjadi rahasia umum, saat harga cengkeh anjlok (ditangani BPPC) banyak petani cengkeh yang membabat habis tanaman cengkehnya.
5
Hal yang sama juga menimpa para petani cengkeh, khususnya di Bali pada daerah-daerah sentra penghasil cengkeh, salah satunya adalah Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng. Para petani sering mengalami kesulitan ketika memasarkan hasil panen cengkehnya, karena harga sering berfluktuasi. Dulu peran BPPC yang dimotori oleh pengusaha nasional Tomi Soeharto dengan menunjuk Nurdin Halid sebagai Ketua Induk Koperasi Unit Desa (INKUD), yang memonopoli harga cengkeh yang dipasarkan petani (Bali Post, Selasa 16 Juni 2005). Secara konsep badan ini bertujuan membantu petani, namun kenyataan mencekik leher petani cengkeh, harga cengkeh kering turun sampai Rp. 3000/kg. Tentu saja harga ini sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi panen. Keuntungan yang dirasakan petani cengkeh terusik kembali, oleh ulah para tengkulak dan broker yang kerap kali menentukan harga beli cengkeh lebih rendah dari harga pasar.
Dengan beragam alasan yang dikemukakan, pada
akhirnya pihak tengkulaklah yang memiliki posisi daya tawar yang lebih kuat dibandingkan dengan para petani cengkeh. Pada prinsipnya tawar-menawar dalam dunia perdagangan adalah hal yang biasa, namun untuk beberapa komoditi dan pada wilayah tertentu, seringkali proses tawar-menawar terjadi tidak secara seimbang. Maksudnya, para petani selalu menjadi pihak yang lebih dirugikan, bahkan seringkali penetapan harga jual, terlalu jauh dari harga pasar. Tidak menutup kemungkinan para petani lebih banyak menanggung rugi, sebab harga jual lebih rendah daripada modal kerja yang dibutuhkan, sehingga tidak mampu
6
menutupi seluruh modal kerja yang telah dikeluarkan dalam pemeliharaan komoditas cengkeh. Desa Bengkel, yang dikenal sebagai desa penghasil cengkeh di Kabupaten Buleleng, merupakan wilayah pertanian yang cukup dikenal mampu menghasilkan bunga cengkeh kualitas baik. Secara geografi dan klimatologi, lokasi desa Bengkel merupakan wilayah yang subur dan mudah diakses melalui darat dan laut. Sehingga kepopuleran cengkeh asal desa Bengkel telah melewati batas kabupaten dan propinsi Bali. Logikanya, para petani cengkeh di Desa Bengkel dapat menikmati hasil perkebunan mereka secara layak sebagaimana hal yang sama dinikmati oleh para petani cengkeh di daerah lainnya di wilayah Republik Indonesia. Pertanian cengkeh merupakan warisan yang diturunkan dari para petani terdahulu. Kehidupan pertanian yang telah lama dilakukan oleh para leluhur, tetap dipelihara sampai sekarang. Demikian halnya dengan para pedagang/ saudagar cengkeh, umumnya kegiatan usaha berdagang komoditas cengkeh, merupakan pekerjaan atau usaha keluarga. Tidak jauh berbeda dengan regenerasi para petani cengkeh, para saudagar cengkeh juga mewarisi segala usahanya kepada anak dan cucu mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan-perubahan juga mewarnai sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Desa Bengkel. Kekuatan pasar bebas telah merambah ke segala penjuru arah, tidak terkecuali di Bali, fenomena ini tidak mampu memberikan peluang yang lebih baik bagi para petani cengkeh
7
dalam meningkatkan kualitas hidup mereka melalui harga jual cengkeh yang sesuai dengan harga pasar dunia. Tidak jauh berbeda, pewarisan tanah pertanian kepada generasi yang lebih muda, tidak mampu membuat kualitas kehidupan petani cengkeh berubah secara perlahan. Kualitas pendidikan yang lebih baik, selayaknya memberikan peluang yang lebih besar guna menaikkan derajat kehidupan petani cengkeh. Namun, pada saat yang bersamaan, regenerasi saudagar cengkeh juga dilakukan pada kurun waktu yang bersamaan, sehingga proses yang berkesinambungan dari waktu ke waktu dalam suatu lingkungan yang sama, pada akhirnya membuat nasib para petani, anak-anak mereka dan bahkan para cucu mereka tidak berubah secara drastis. Hegemoni saudagar cengkeh terhadap para petani cengkeh, secara nyata tidak dapat diputuskan, sebagaimana diharapkan dari kalangan petani cengkeh. Ketergantungan yang terjadi, antara petani cengkeh kepada para saudagar cengkeh, tidak dapat dengan mudah dihilangkan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bahwa ketergantungan dalam banyak dimensi, dianggap merupakan suatu fenomena yang lumrah atau natural. Orang kaya/ memiliki modal yang lebih menentukan segalanya, dibandingkan dengan orang yang tidak mampu/ tidak memiliki modal. Pada akhirnya semua merasakan sudah berjalan sebagaimana mestinya, tidak perlu mengkritisi kondisi yang sudah berjalan sebagaimana mestinya. Apalagi sampai mempertanyakan harga jual yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasaran.
8
1.2
Rumusan masalah Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian ini
sebagai berikut, a. Bagaimanakah bentuk hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng ? b. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng.? c Apakah dampak dan makna hegemoni tengkulak terhadap kehidupan petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perihal hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh dan dampaknya terhadap kehidupan petani tersebut.
1.3.2
Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut, a. Untuk mengetahui bentuk hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di DesaBengkel, Kecamatan Busung Biu, Bulelelng.
9
b. Untuk memahami faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya
tengkulak melakukan hegemoni terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng. c. Untuk menginterpretasi dampak dan makna hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng.
1.3
Manfaat Penelitian
1.3.1
Manfaat Teoretis a. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan khususnya kajian budaya tentang pemecahan masalah hegemoni tengkulak terhadap para petani cengkeh. b. Dapat menambah referensi yang dapat dijadikan titik tolak studi lebih lanjut bagi mereka yang tertarik terhadap masalah pertanian, khususnya petani cengkeh.
1.3.2
Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pemerintah khususnya dalam penetapan dan kebijakan di bidang
pertanian dengan senantiasa memberikan
keberpihakan kepada para petani, dalam hal ini petani tidak selalu tergantung kepada para tengkulak.
10
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan atau informasi tentang penyusunan kebijakan pada bidang-bidang umum yang terkait lainnya seperti, bidang hukum ekonomi, sosial dan budaya. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan praktis dan pengalaman kepada para petani dalam pemanfaatan modal dan pengelolaan tanah pertaniannya, sehingga dapat mengantisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Kajian pustaka yang dimaksudkan adalah kajian terhadap beberapa hasil
penelitian yang relevan dengan masalah yang dikaji. Ada beberapa pandangan yang dapat digunakan sebagai bahan bandingan yang terkait dengan kerangka teori dan metode penelian yang diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Widhiasthini (2007), yang berjudul
“ Hegemoni
Iklan Oli Top One pada Media Elektronik di Kota
Denpasar: Sebuah Kajian Budaya”, Dalam penelitian yang dilakukan Widhiastini ini salah satu menyebutkan bagaimana konsumerisme dapat dikatakan satu bentuk kekuasaan yang melatarbelakangi produksi dan konsumsi di dalam masyarakat consumer (Pilliang,2003:152). Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan
prestise
yang
melekat
pada
barang
tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hegemoni dan wacana kekuasaan pengetahuan. Penelitian Widhiasthini ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, karena dalam penelitian ini juga terjadi hegemoni akan tetapi perbedaannya bentuk hegemoni disini dilakukan oleh suatu produk yang menyebabkan konsumen menjadi tidak kuasa untuk tidak
11
12
memakainya, sementara dalam penelitian ini terjadinya hegemoni dilakukan oleh tengkulak dalam pembelian hasil cengkeh di Desa Bengkel. Dalam hal ini terjadi bentuk penguasaan terhadap seseorang, kalau dalam pengertian Widhiasthini bentuk penguasaan konsumen terhadap produk oli, sedangkan dalam penelitian ini bentuk penguasaanya terhadap petani yang menjual cengkehnya. Di samping perbedaan tersebut juga terdapat pada lokasi. Dalam penelitian yang dilakukan Widhiasthini dapat memberikan gambaran bahwa hegemoni sebenarnya bisa dilakukan karena ada persetujuan dari konsumen, begitu juga dalam penelitian ini hegemoni muncul karena petani cengkeh menyetujui menjual cengkehnya kepada para tengkulak, sementara mereka tahu bahwa harga yang diperoleh lebih murah dibandingkan kalau menjual langsung ke pabrik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
mempergunakan teori hegemoni yaitu sebagai analisis dalam
membahas semua permasalahan baik bentuk, faktor-faktor penyebab, dan dampak hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh. Hasil penelitian yang dilakukan Ida bagus Ketut Astina (2002) yang berjudul “Resistensi Petani Susuan terhadap Pemerintah (Studi kasus tentang gerakan petani di subak susuan kabupaten karangasem 1976)”. Dalam penelitian yang dilakukan Astina ini dijelaskan bagaimana hegemoni pemerintah terhadap petani semakin terasa, terlihat pada awal tahun 1970-an pemerintah mengeluarkan program pembangunan pertanian dikenal dengan revolusi hijau dan masyarakat petani lebih mengenal dengan program Bimas. Revolusi hijau tidak hanya sebagai program pertanian semata melainkan sebuah strategi perubahan perlawanan terhadap paradigma tradisional.
13
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kabupaten Karangasem yang mengeluarkan instruksi untuk mewajibkan petani melakukan pola tanam padi baru tidak memperoleh respon dari petani dan tetap menanam padi lokal. Akibatnya pemerintah lewat petugas dilapangan melakukan tindakan represif dengan menginjak dan mencabut beberapa bibit padi petani. Tindakan petugas pemerintah menjadi faktor pemicu terjadinya resistensi petani Susuan menggunakan wahana subak sebagai upaya memobilisasi massa petani. Fungsi resistensi petani Susuan sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah dalam kebijakan yang cendrung merugikan petani. Makna resistensi disini sebagai upaya mengungkapkan ketidakadilan, protes terhadap tindakan represif, dan sebagai embrio munculnya penguatan cinta masyarakat sipil.
Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Astina juga dijelaskan bagaimana hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah tetapi di sini lebih cenderung bagaimana petani itu melakukan perlawanannya. Penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam membahas makna hegemoni tengkulak terhadap petani. Di samping itu, ditemukan dalam jurnal dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian (2007) yang berjudul Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis; Cengkeh. Dipaparkan di sini bagaimana cengkeh adalah merupakan tanaman asli Indonesia yang pada awalnya merupakan komoditas ekspor, berubah posisi menjadi komoditas yang harus diimpor karena pesatnya perkembangnya industri rokok kretek. Pada dasarnya agribisnis cengkeh sangat menguntugkan, apalagi dengan adanya peluang pengembangan industri untuk keperluan makanan, farmasi dan pestisida termasuk ekspor. Dalam hal ini
14
dukungan
kebijakan pemerintah
yang
diperlukan
adalah pemberdayaan
penyuluhan dan organisasi kelompok tani untuk memprioritaskan pengembangan cengkeh. Dukungan juga diperlukan untuk akses pembiayaan bagi UKM, stabilitas harga dan kemudahan swasta untuk ikut berinvestasi. Fungsi jurnal ini terhadap penelitian ini menunjukkan bahwa secara geografis cengkeh adalah merupakan tanaman yang yang memiliki daya jual yang sangat bagus, itu dilihat dari pesatnya perkembangan industri rokok yang ada di Indonesia. Itu semua tidak terlepas dari peran petani cengkeh yang ada.
2.2
Konsep Menurut Tan (dalam Koentjaraningrat, 1994:21), konsep atau pengertian
merupakan unsur pokok suatu penelitian, sebagai definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah beberapa pengertian dasar yang secara langsung terkait dengan topik penelitian seperti yang dijelaskan di bawah ini.
2.2.1
Hegemoni Tengkulak Hegemoni adalah tentang kelas yang berkuasa mampu mensubordinasi
kelompok sosial supaya menyetujui hubungan yang ada, dan ia akan melakukannya dengan menawarkan harga kepada kelompok subordinan, dengan begitu apa yang disetujui sebenarnya adalah hasil negosiasi dari ideologi dan budaya kelas yang berkuasa (Bennet, dalam tester, 2003: 29). Konsep hegemoni di atas sangat jelas menunjukkan bahwa ada paling sedikit dua pihak yang terlibat
15
dalam suatu masalah, sebagai pihak yang menghegemoni dan pihak yang terhegemoni tanpa memberi batasan dalam konteks apa hegemoni tersebut berlangsung, sehingga hegemoni dapat terjadi dalam bidang apapun. Berkaitan dengan penelitian ini juga terdapat pihak yang terhegemoni dan pihak yang menghegemoni, pihak yang terhegemoni adalah petani dan pihak yang menghegemoni adalah tengkulak. Kekuasaan yang tergolong hegemoni tersebut tanpa disadari dan dirasakan oleh petani. Dengan demikian konsep hegemoni yang dimaksud adalah kemampuan tengkulak untuk menguasai petani melalui serangkaian negosiasi dan tindakan tanpa menggunakan kekerasan, hingga akhirnyaterjadikesepakatan. Hegemoni tengkulak dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki oleh tengkulak untuk mempertahankan kekuasaan ekonomi khususnya dalam transaksi cengkeh terhadap petani. Menurut Marx, ekonomi sebagai faktor mekanisme terjadinya kekuasaan, sedangkan Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa.
16
Demikian halnya yang terjadi pada kondisi petani cengkeh di Desa Bengkel, secara turun-temurun petani cengkeh adalah pihak yang terhegemoni oleh para tengkulak. Tengkulak kebanyakan merupakan salah satu jenis pekerjaan yang diteruskan secara turun-temurun. Sehingga hubungan timbal-balik sudah berlangsung lama ini, semakin mengukuhkan hegemoni tengkulak terhadap kelompok petani cengkeh. Keberadaan/eksistensi para tengkulak didorong oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Bengkel yang dari waktu ke waktu selalu membutuhkan modal, untuk berbagai keperluan, dengan akses dan prosedur yang mudah. Salah satu alternatif sumber dana cepat dan mudah adalah para tengkulak. Dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan/diberikan oleh para tengkulak, lama-kelamaan para petani cengkeh merasa berhutang-budi kepada para tengkulak. Perlahan tetapi pasti, segala ide-ide dan nilai-nilai yang berkembang, khususnya yang datang dari kelompok tengkulak, menjadi nilai-nilai/normanorma yang alamiah dan diterima oleh kedua belah pihak tanpa ada rasa dirugikan atau merugikan. Bilamana interaksi sosial yang menjurus kepada transaksitransaksi ekonomi, secara sadar kedua belah pihak, petani cengkeh dan tengkulak, menyakini bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dibuat adalah bermanfaat secara seimbang bagi kedua belah pihak. Para petani cengkeh biasanya tidak dapat bernegosiasi lebih dari apa yang telah ditetapkan/diputuskan oleh para tengkulak. Pada kondisi inilah para tengkulak telah menghegemoni para petani cengkeh.
17
Konsep ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana petani cengkeh bisa merasa rela saat tengkulak membeli hasil panen dengan harga yang sangat rendah, dan petani merasa lumrah mengatakan: “Ya wajarlah dia yang punya duit”.
2.2.2
Petani Cengkeh Petani adalah orang atau kelompok orang yang melakukan aktivitas
mengolah
tanah,
kemudian
menanaminya
dengan tanaman,
selanjutnya
memeliharanya dan akhirnya memanen hasilnya (Sahidu ,1986 :2) Cengkeh adalah tangkai bunga kering beraroma dari keluarga pohon Myrtaceae. Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia, banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Pekerjaan sebagai petani merupakan warisan yang dilanjutkan dari para orang tua pendahulu, sebagai pekerjaan, petani amat sangat jarang dijadikan salah satu pilihan oleh generasi muda/penerus sebagai tujuan akhir dari hasil pendidikan mereka. Rata-rata kualitas petani dan pertanian di Indonesia, kurang dapat memberikan dampak yang sangat berarti dalam meningkatkan kualitas hidup petani ditinjau dari dimensi sosial budaya dan sosial ekonomi, maka tidak jarang petani menjadi objek yang selalu dalam keadaan kurang berdaya. Dalam kajian ini, petani merupakan objek yang terhegemoni oleh para tengkulak.
18
2.2.3
Desa Bengkel Desa Bengkel adalah desa yang letaknya di Desa/Kelurahan Bengkel,
Kecamatan Busung Biu, Kabupaten Bulelelng. Desa Bengkel yang dituju sebagai lokasi penelitian, yaitu wilayah di mana terdapat tengkulak yang menguasai petani dalam transaksi perdagangan cengkeh.
2.3
Landasan Teori
2.3.1
Teori Hegemoni Menurut Gramsci dalam (Sardar dan Van Loon, 2002:49) hegemoni
adalah hal yang mengikat masyarakat tanpa menggunakan kekerasan. Lebih lanjut Gamsci menyatakan negosiasi maupun kesepakatan adalah istilah esensial untuk memahami hegemoni. Gagasan, nilai, dan kepercayaan tidak dipaksakan dari atas, tidak juga berkembang dalam cara yang dan tak sengaja, tetapi dinegosiasikan melalui serangkaian perjumpaan dan bentrokan antara kelas-kelas. Hegemoni terjadi dalam satu kurun waktu tertentu yang terjadi melalui serangkaian pertemuan dan proses, dalam hal ini seseorang atau kelompok orang terlibat di dalam melakukan interaksi melalui penyampaian ide, gagasan atau pandangan umum. Mengacu pada hal tersebut di atas, dapat dinyatakan ciri khas hegemoni menurut Ratna (2005:60) adalah bentuk kekuasaan kelas terhadap kelas yang lain, yang didasarkan atas kepemimpinan sehingga kelas yang dikuasai menerimanya secara suka rela, sebagai suatu yang benar dan alamiah. Hegemoni jauh lebih kuat
19
dan dahsyat dibandingkan dengan bentuk kekuatan yang lain, sebab tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sehubungan dengan hegemoni, Barker (2005:13) menyatakan bahwa proses pembuatan, mempertahankan dan reproduksi makna dan praktik-praktik kekuasaan disebut hegemoni. Hegemoni berkait dengan situasi dimana blok historis suatu kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara memenangi kesadaran. Berkaitan dengan unsur-unsur lapisan masyarakat yang terlibat di dalam hegemoni, Foucoult (dalam Piliang, 2003: 13) menyatakan bahwa masyarakat tidak lagi dikuasai oleh kelas sosial tunggal tetapi oleh kelompok atau fagmen-fragmen sosial budaya yang heterogen, plural, dan saling bersaing untuk memperoleh hegemoni. Pendapat Foucoult di atas memberikan pandangan bahwa terlibat dua kelas masyarakat dalam hegemoni, bila dikaitkan dengan penelitian tesis ini maka unsur yang terlibat adalah tengkulak sebagai pihak penghegemoni dan petani sebagai pihak yang terhegemoni. Berkaitan dengan bidang ekonomi, Gramsci dalam (Srinati, 2004: 191) memberikan pernyataan bahwasanya konsensi-konsensi yang melatarbelakangi hegemoni itu pada dasarnya bersifat ekonomi; hegemoni muncul dari berbagai aktivitas institusi-institusi maupun kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat kapitalis. Mengacu pada pendapat tersebut di atas, bahwa usaha ekonomi yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas untuk mengejar keuntungan sangat memungkinkan terjadinya praktik hegemoni. Seperti halnya aksi, maka akan timbul reaksi yang merupakan timbal balik atas aksi, demikian pula
20
hegemoni akan menimbulkan kontar-hegemoni. Semakin kuat hegemoni dirasakan maka semakin kuat pula kontra hegemoni yang dapat ditimbulkan. Teori Hegemoni menyatakan bahwa; hal yang mengikat masyarakat tanpa menggunakan kekerasan, dengan kesepakatan dan negosiasi sebagai esensialnya. Teori hegemoni dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisa rumusan masalah baik bentuk, faktor maupun dampak dan makna hegemoni yang terjadi terhadap petani cengkeh yang terdapat di Desa Bengkel,
2.3.2
Teori Tindakan Komunikatif
Habermas bertolak dari Teori Kritis Masyarakat Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Ia hendak mengembangkan gagasan teori masyarakat yang dicetuskan dengan maksud yang praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh kedua punggawa mazhab Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi untuk menganalisa keadaan masyarakat. Bagi Habermas, ketika seseorang berhubungan dengan dunia kehidupan, maka dia mengalami salah satu dari tiga relasi pragmatis. Pertama, dengan sesuatu di dunia objektif (sebagai totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang benar. Kedua, dengan sesuatu di dunia sosial (sebagai totalitas hubungan antar pribadi yang diatur secara legitim/sah). Ketiga, dengan sesuatu di dunia subjektif (sebagai totalitas pengalaman yang akses ke dalamnya hanya dimiliki si pembicara dan yang dapat dia ungkapkan di hadapan orang banyak). Ucapan komunikatif selalu melekat pada berbagai hubungan dengan dunia. Tindakan komunikatif bersandar pada proses kooperatif interpretasi tempat
21
partisipan berhubungan bersamaan dengan sesuatu di dunia objektif, sosial, dan subjektif. Pembicara dan pendengar menggunakan sistem acuan ketiga dunia tersebut sebagai kerangka kerja interpretatif tempat mereka memahami definisi situasi bersama. Mereka tidak secara langsung mengaitkan diri dengan sesuatu di dunia namun merelatifkan ucapan mereka berdasarkan kesempatan aktor lain untuk menguji validitas ucapan tersebut. Kesepahaman terjadi ketika ada pengakuan intersubjektif atas klaim validitas yang dikemukakan pembicara. Konsensus tidak akan tercipta manakala pendengar menerima kebenaran pernyataan namun pada saat yang sama juga meragukan kejujuran pembicara atau kesesuaian ucapannya dengan norma. Proses yang terjadi dalam ucapan komunikasi adalah konfirmasi (pembuktian), pengubahan, penundaan sebagian, atau dipertanyakan secara keseluruhan. Proses definisi dan redefinisi ini yang terus berlangsung ini meliputi korelasi isi dengan dunia (ditafsirkan secara konsensual dari dunia objektif, sebagai elemen privat dunia subjektif yang hanya bisa diakses oleh orang yang bersangkutan. Jadi komunikasi terbentuk dalam situasi intersubjektif, dimana “situasi” tidak didefinisikan secara kaku, tapi diselami konteks-konteks relevansinya, Tindakan komunikatif memiliki dua aspek, aspek teleologis yang terdapat pada perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasi dan
tercapainya
kesepakatan.
Dalam
tindakan
komunikatif,
partisipan
menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama.
22
Jika definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika upaya untuk sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri., karena konsensus adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun, keberhasilan yang dicapai oleh tindakan teleologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan ditanggulangi dengan baik atau belum. Oleh karen itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi tindakan yang didefiniskan bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya pemahaman (ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan secara salah (resiko kegagalan). Pandangan baru ini hendak menjelaskan makna reproduksi simbolis duniakehidupan ketika tindakan komunikatif digantikan oleh interaksi yang dikendalikan media, ketika bahasa (dalam fungsi koordinasinya) digantikan oleh media-media seperti uang dan kekuasaan. Konversi ini menimbulkan proses deformasi infrastruktur komunikatif dunia-kehidupan yang mengakibatkan patologis dalam masyarakat. Salah satunya adalah dominasi para kapitalis. Dunia-kehidupan bisa berjalan harmoni, ketika tidak ada pemaksaan sesuka hati dari beberapa atau kelompok orang. Pemahaman awal pengetahuan manusia mula-mula memang diterima sebagai dunianya sendiri. Tetapi ketika berhadapan dengan dunia sosial, dimana manusia hidup, bertindak, dan berbicara satu sama lain serta berhadapan satu dengan yang lain dengan pengetahuan
23
eksplisit sesuatu membawanya praktik komunikatif. Sering kali hanya sebagian kecil dari pengetahuan valid. Ketika memasuki ruang sosial makan timbul persoalan-persoalan. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi intersubjektif yang membawa setiap orang menjadi otonom dengan ikatan fungsional kebaikan bersama. Teori tindakan komunikatif disini dipergunakan dalam kaitannya untuk membahas rumusan masalah nomor tiga yaitu dampak dan makna hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng.
2.3.3
Teori Praktik Teori praktik dikembangkan oleh Pierre Bourdieu (Fashri, 2007: 42)
seorang ilmuwan yang lahir di Denguin Barat daya Perancis. Bourdieu merupakan ahli sosiologi yang menghubungkan ide teoritisnya dengan penelitian empiris dan didasarkan pada kehidupan sehari-hari (sosiology cultural) (Harker dkk.,ed.,1990 dan Jenkins, 2004). Teori praktik merupakan gagasan pemikiran Bourdieu (Fashri, 2007 : 82-100) sebagai perpaduan konseptual tentang habitus, ranah (field), dan modal (capital). Menurut Bourdieu harker dkk., ed., ., 1990: xv-vxi, Fashri, 2007:74-75) dalam pemikirannya mengritik pemikiran dari sejumlah Marxists yang mengatakan bahwa masyarakat dapat dianalisis secara sederhana melalui kelas-kelas dan ideologinya. Sebagai kritik dari pemikiran ini Bourdieu (Fashri, 2007:94-95) menggunakan konsep field, yakni arena sosial dimana orang berstrategi dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya atau modal yang diinginkan. Lebih lanjut Fashri menyatakan bahwa field disebut juga sebagai sistem dari kedudukan sosial yang terstruktur secara internal dalam hubungan
24
kekuasaan. Field mempunyai otonomi, dan semakin kompleks suatu masyarakat, maka semakin banyak field yang terdapat didalamnya. Kemudian Bourdieu (Fashri, 2007:83-94) memperkenalkan konsep habitus yang berarti kebiasaan (habitual) yang merupakan skema kognitif pilihan individu sebagai sesuatu yang terpola, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yang bertahan dalam jangka panjang. Bourdieu melihat habitus sebagai kunci reproduksi, karena ia membangkitkan praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial. Konsep tentang modal dapat didefinisikan oleh Bourdieu (Wirawan, 2008: 4) sebagai hubungan sosial, artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di mana ia memproduksi dan mereproduksi. Bourdieu (dalam Fashri, 2007:98) mengelompokkan modal ke dalam empat jenis: pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk, modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal sosial menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa.
Dan,
keempat, segala bentuk prestise, status, otoritas dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik.
25
Dari ketiga konsep tentang ranah, habitus, dan modal tersebut akan melahirkan teori praktik dari Bourdieu. Praktik yang dimaksud disini adalah prilaku atau tindakan sosial yang terstruktur dari tiga konseptual gagasan Bourdieu tentang ranah, habitus dan modal. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Bourdieu, 1984: 101 dalam Harker dkk., ed. (1990), ‘pertarungan’ sosial selalu terjadi. Mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memilki modal. Agar dapat dipandang sebagai seseorang atau kelas yang berstatus dan mempunyai prestise, berarti ia harus diterima sebagai sesuatu yang legitimit dan, terkadang, sebagai otoritas yang juga legitimit. Hal ini menciptakan sejenis konsensus yang didasarkan pada relasi-relasi kekuasaan yang berada di antara dua sistem persyratan yang berbeda (sistem seorang amatir dan seorang ahli) dan yang dihasilkan dari struktur dan pemfungsian ranah itu.
Teori ini akan digunakan
untuk membahas rumusan masalah nomor dua yaitu faktor-faktor penyebab terjadinya hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Buleleng.
26
2.4
Model Penelitian
Untuk menganalisa masalah hubungan antara tengkulak dan petani dalam upaya mereka memperebutkan modal ekonomi, ideologi dapat di diuraikan dalam model penelitian di bawah ini.
Model Penelitian Tengkulak (pemodal)
Kapitalis - Budaya Modern
Bentuk Hegemoni
Petani
pemerintah
Hegemoni Tengkulak terhadap Petani Cengkeh di Desa Bengkel, Kec. Busung Biu, Kab. Bulelelng
Faktor-faktor penyebab terjadinya Hegemoni
Ekonomi Kerakyatan - Budaya Tradisional
Dampak dan Makna Hegemoni
Keterangan ; menyatakan hubungan langsung satu arah ; menyatakan hubungan timbal balik Bagan 2.1 Model Penelitian
27
Keterangan Model Penelitian; Model penelitian diatas menunjukkan peran pemerintah sebagai penentu kebijakan publik. Pemerintah wajib menjadi wasit yang adil bagi rakytanya, sehingga keberpihakan pemerintah dalam berbagai bidang, harus mampu menciptakan kehidupan yang dinamis dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Dalam kehidupan perekonomian, pemerintah wajib melindungi usaha rakyatnya, baik yang skala kecil maupun besar, walaupun sangat tidak mudah memegang amanah ini. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah juga memiliki tujuan-tujuan jangka pendek, menengah sampai pada tujuan jangka panjang. Sehingga kadangkala, pada proses pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan, seringkali pemerintah tanpa menyadari telah menghegemoni rakyatnya demi tujuan-tujuan yang ditetapkan, meskipun kadang kala tujuan dimaksud tidak terlalu bermanfaat bagi rakyat yang dipimpinnya. Pada sisi yang lain, para kapitalis, selalu berupaya memperoleh kesempatan dan keuntungan yang lebih banyak dari waktu ke waktu. Budaya kapitalisme modern, bukan semata dimiliki oleh para kapitalis dari negara-negara maju, namun juga dari negera-negara yang belum berkembang. Keuntungan yang berlipat, penguasaan sumberdaya-sumberdaya secara berkelanjutan merupakan hal utama yang selalu diupayakan oleh kapitalisme. Kondisi ini merupakan dasar utama mengapa penguasaan pihak yang memiliki modal terhadap pihak yang tidak atau sedikit memiliki modal terus berlanjut. Petani di Indonesia, yang secara turun-temurun merupakan pihak yang selalu merugi dalam kehidupan sosial ekonomi dibandingkan dengan para pihak
28
lainnya. Seringkali petani hanya menjadi objek penderita bagi; kebijakan pemerintah para pengusaha/konglomerat. Kondisi yang sama juga terjadi di desa Bengkel, Kabupaten Buleleng, kekuasaan para tengkulak yang seringkali memanfaatkan kebijakan dan peran pemerintah pemerintah, telah memberntuk hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh. Hegemoni yang telah lama berlangsung tentunya jika dibiarkan akan membawa dampak buruk bagi para petani cengkeh, baik masa sekarang dan yang akan datang. Perlu diupayakan untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi petani dalam menentukan harga jual cengkeh hasil panen. Dengan harga jual cengkeh yang lebih baik atau lebih berkeadilan (sesuai harga pasar), diharapkan petani cengkeh dapat hidup lebih sejahtera. Kondisi yang paling mendasar agar kualitas kehidupan petani dapat meningkat adalah tidak adanya hegemoni petani cengkeh oleh para tengkulak cengkeh. Untuk itu perlu dikaji; bentuk-bentuk hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh, faktor-faktor yang mendorong terjadinya hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh dan dampak dan makna hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh di desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Bulelelng.
29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu metode yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah di mana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna (Sugiyono, 2008:1). Penelitian ini akan mengumpulkan berbagai data terkait dengan realitas hegemoni tengkulak pada petani cengkeh.
3.2
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Bengkel, Kecamatan Busung Biu, Kab.
Buleleng. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan, di antaranya 1) penduduknya sebagian besar
bertani cengkeh, 2) peran dan kekuasaan
tengkulak terhadap petani cengkeh sangat dominan dalam proses produksi dan distribusi cengkah, 3) para petani kesulitan dalam pemasaran cengkeh,
3.3
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan jenis data kualitatif dan
ditunjang data
kuantitatif sebagai data sekunder, sedangkan sumber data terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Yang dimaksud dengan data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diperoleh
29
30
dengan cara observasi dan wawancara dengan informan (Bogdan dan Taylor, 1992). Data kuantitatif adalah data yang berwujud angka-angka seperti jumlah penduduk, jumlah pendapatan penduduk yang dapat digunakan sebagai sebagian indikator tentang tingkat kesejahteraan petani. Sumber data adalah tempat dimana penulis memperoleh data. Sumber data dalam penelitian ini dibedakan dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah informan dan objek yang diobservasi, sedangkan sumber data sekunder adalah pelbagai jenis dokumen, literatur, atau catatan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
3.4
Teknik Penentuan Informan Dasar penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan
menerapkan teknik purposif, yang merupakan teknik penentuan informan berdasarkan pertimbangan peneliti yang kriterianya disesuaikan dengan maksud dan tujian penelitian. Pemilihan informan berdasarkan pertimbangan pokok bahwa mereka memiliki kemampuan memberikan informasi tentang permasalahan yang berkaitan dengan topik penelitian. Penentuan informan dengan teknik purposif yaitu dengan menentukan dan mengambil orang-orang yang terpilih betul oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik, hingga relevan dengan desain penelitian (Nasution, 1992 : 98). Selain menentukan informan secara purposif, penentuan informan dalam penelitian ini juga dilakukan dengan menerapkan teknik snowball sampling.
31
Teknik ini dipergunakan memilih informan yang mengetahui tentang masalah yang diteliti, dengan cara menghubungi pemerintah setempat dan dari petunjuk pejabat pemerintah tersebut kemudian ditunjuk orang yang dianggap tahu tentang masalah yang sedang dikaji untuk dijadikan informan. Begitu seterusnya, dan pencarian diakhiri ketika informasi yang dibutuhkan sudah dianggap cukup memadai sebagai bahan analisa.
3.5
Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (diri sendiri),
Arikunto (1993:121) memberikan definisi instrumen penelitian adalah alat pada waktu peneliti melakukan wawancara. Oleh karena peneliti sebagai intrumen juga harus “ divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi meliputi pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian. Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori serta wawasan terhadap bidang yang diteliti (Sugiyono, 2008:59). Disamping itu instrumen penelitian yang dipakai dalam penelitian ini berbentuk pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan topik penelitian. Sarana yang diperlukan dalam wawancara ini diperlukan tape recorder, alat pencatat serta kamera untuk merekam segala bentuk kegiatan yang ada di lapangan.
32
3.6
Teknik Pengumpulan Data Dalam
pengumpulan data
diperlukan teknik
yang
tepat
dalam
pengumpulannya agar hasil yang di dapat sesuai dengan yang diinginkan. Dalam penelitian ini digunakan serangkaian teknik pengumpulan data antara lain; observasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan.
3.6.1
Teknik Observasi Wibisono (2003: 98) mendefinisikan observasi adalah suatu proses
pencatatan yang sistematis terhadap pola perilaku orang, objek, dan kejadiankejadian tanpa bertanya atau berkomunikasi dengan orang, objek atau kejadian tersebut. Pengamatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah secara langsung oleh peneliti dengan mengamati perilaku objek penelitian petani dan tengkulak, yang menyebabkan adanya hegemoni tengkulak terhadap petani cengkeh. Dengan teknik observasi tersebut, peneliti secara langsung berhadapan dengan objek yang diteliti untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai fenomena-fenomena yang ada sangkut pautnya dengan objek tadi dan akan lebih memungkinkan terjadinya integrasi sosial antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti.
3.6.2
Teknik Wawancara Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data, pelaksanaannya dapat
dilakukan secara langsung berhadapan dengan yang diwawancarai, dapat juga
33
secara tidak langsung (Umar, 2003:169). Sudikan (2001:90) menyatakan tujuan wawancara adalah untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendiriannya. Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia yang merupakan suatu bantuan utama dari teknik observasi (Koentjaraningrat, 1990). Data primer diperoleh melalui wawancara yang diarahkan kepada informan yang mengetahui tentang masalah yang diteliti. Wawancara secara bebas dan mendalam dilakukan di sekitar daerah penelitian dengan tujuan untuk memperoleh data atau gambaran secara detail dan menyeluruh mengenai lokasi penelitian, baik menyangkut kondisi geografis, demografis, sosial budaya, dan sebagainya yang diperlukan, agar dapat menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan.
3.6.3
Studi Dokumen Studi dokumen menjadi salah satu cara dalam pengumpulan data pada
penelitian ini, dokumen tersebut ada yang berupa buku, majalah dan foto, yang dapat memberikan tambahan informasi dan data yang dibutuhkan. Selain data yang diperoleh dari observasi dan wawancara, dalam penelitian ini juga digunakan studi dokumen yakni cara mengumpulkan data melalui bahan tertulis berupa arsip-arsip dan kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Cara ini dilaksanakan dengan mencari, memahami, dan kemudian mencatat data yang relevan.
34
Studi dokumen ini digunakan untuk menggali data sekunder sebagai penompang data primer. Selain itu, untuk menggali teori-teori dasar, dan konsepkonsep yang digunakan dalam penelitian serta sebagai dasar untuk tinjauan pustaka sebagai usaha untuk menghindari duplikasi penelitian.
3.7
Teknik Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dan interpretatif serta dilakukan
secara simultan dengan pengumpulan data. Miles dan Huberman (1992:15-19) menyatakan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisis data penelitian kualitatif adalah sebagai berikut, a.
Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan di lapangan.
b.
Penyajian data, yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang member kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan atau penyederhanaan informasi yang kompleks ke dalam satuan bentuk yang sederhana dan mudah dipahami.
c.
Penarikan kesimpulan, yaitu kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang terhadap catatan-catatan dilapangan. Tujuannya adalah untuk menguji kebenaran, kecocokan, dan validitas dari makna-makna yang muncul di lokasi penelitian.
35
3.8
Teknik Penyajian Hasil Penelitian Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara formal
maupun informal. Teknik informal dilakukan secara naratif. Pada bagian-bagian tertentu hasil analisis data juga disajikan secara formal, yaitu berupa tabel, bagan, foto dan peta. Keseluruhan sajian hasil penelitian dituangkan dalam delapan bab yang disusun secara sistematis.
36
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Letak Geografis Desa Desa Bengkel termasuk wilayah Kecamatan Busung Biu Kabupaten
Buleleng dengan luas wilayah 640.000 hektar yang terdiri atas wilayah dataran tinggi (perbukitan) sebagai daerah perkebunan. Desa Bengkel termasuk wilayah beriklim tropis dengan suhu rata-rata 23 derajat Celsius sampai 28 derajat Celsius. Angin berembus dari arah selatan yang merupakan daerah perbukitan dari gugusan gunung Batu Karu dan Danau Tamblingan, dari arah utara yang merupakan angin dari Laut Jawa. Hal ini menyebabkan tanah di wilayah ini sangat subur dan cocok untuk tanaman hortikultura seperti kopi dan cengkeh. Secara administrasi Desa Bengkel memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebagai berikut. 1. Sebelah utara Desa Pelapuan 2. Sebelah timur Desa Banyuatis 3. Sebelah selatan Desa Umejero 4. Sebelah barat Desa Kedis Desa Bengkel memiliki luas sekitar 640.000 hektar, 114.500 hektar merupakan tanah persawahan, 305.000 hektar tanah tegalan, dan 30.000 hektar merupakan tanah pekarangan, tanah lapangan 835 are, tanah perkantoran pemerintah 450 are dan tanah lainnnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1.
36
37
Tabel 4.1 Luas wilayah Desa Bengkel Menurut Penggunaannya No Jenis Penggunaan Tanah 1 Tanah Sawah
Luas/ha 114.500
% 17.89
2
Tanah tegalan dan perkebunan
305.000
47.66
3
Tanah pekarangan dan perumahan
30.000
4.69
4
Tanah lapangan
8,35
1.30
5
Tanah perkantoran pemerintah
4,50
0.70
6
Tanah lainnya
177,65
27.76
Jumlah 640.000 Sumber: Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010
100’00
Berdasarkan Tabel 4.1 Desa Bengkel memiliki lahan pertanian khususnya tegalan dan perkebunan yang cukup luas. Dari 305.000 hektar tanah tegalan dan perkebunan, sekitar 230.000 hektar adalah perkebunan cengkeh. Tanah tegalan dan perkebunan selain dimiliki secara perorangan, ada pula yang merupakan laba pura serta milik desa. Wilayah Desa Bengkel terletak di bagian Utara pulau Bali, sebelah Barat kota Singaraja yaitu di Kecamatan Busung Biu. Seperti terlihat di peta Bali pada gambar di bawah ini.
38
Desa Bengkel
Gambar 4.1 ( Peta Pulau Bali )
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang keadaan wilayah Desa Bengkel dapat dilihat dalam Peta Desa Bengkel pada gambar 4.2.
39
Gambar 4.2 ( Peta Desa Bengkel) Kompleks perumahan merupakan areal terkecil di Desa Bengkel yang dipergunakan sebagai tempat warga masyarakat melakukan aktivitas sehari-hari, berfungsi sebagai rumah tinggal. Pola dasar dan pola rumah tinggal penduduk di
40
Desa Bengkel dilandasi pola keseimbangan yang disesuaikan dengan konsep Tri Hita Karana yakni tiga sumber yang menyebabkan manusia mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian yaitu Kahyangan (parhyangan), sebagai unsur jiwa atau atman, warga masyarakat desa (pawongan) sebagai unsur tenaga atau prana, wilayah desa (palemahan) sebagai unsur badan (buwana). Tri Hita Karana dalam pola rumah tinggal, yakni memiliki bangunan suci (sanggah/merajan),
anggota
keluarga,
dan
pekarangan
rumah
beserta
bangunannya.
4.2
Sejarah Desa Bengkel Sejarah Desa Bengkel tidak terlepas dari sejarah Buleleng. Berdasarkan
babad Buleleng, diceritakan perjalanan Ki Gusti Panji, setelah beliau pergi dari kota Gelgel, mampir di Jarantik, , selanjutnya pergi menuju arah utara, ke barat, memasuki daerah Samprangan. Dari barat memasuki Kawisunya, dicapailah wilayah Bandana. Setelah empat hari perjalanan dari danau Pabaratan, Ki Gusti Panji, menginap ketika matahari sudah condong ke barat. Memasuki bukit Watu Saga, wilayah Den Bukit, Ki Gusti panji beristirahat seraya makan bekal berupa ketupat, beliau tersedak-sedak waktu makan (kilen-kilen), Ki Dumpyung disuruh melihat air di bawah, dan senjata Ki Pangkajatatwa, diterima oleh Si Luh Pasek Panji, lalu pangkal tangkainya ditancapkan di tanah, maksudnya untuk menaruhnya, Hyang Widi murah hati lalu memancar keluar air suci dari dalam tanah, kira-kira sebesar bejana, akan tetapi tidak ada yang mengalir ke luar dari lubang itu, hanya tetap berada seperti semula, sangat luar biasa kesucian air itu,
41
tak terkira senang hati mereka semua, terutama Ki Gusti Panji, lalu beliau minum air itu, demikian cerita air dahulu, selanjutnya diberi nama Banyu Anaman, Toya Katipat nama lainnya, hingga sampai sekarang. Setelah istirahat selanjutnya kembali
melanjutkan perjalanan,
dalam
perjalanannya Ki Gusti Panji, di Danau Bubuyan, tiba-tiba datang kelihatan berupa manusia bernama Ki Panji Landung, langsung dicegat Ki Gusti Panji. Diusung ke atas, tak terkira tingginya Ki Panji Landung terasa sampai dilangit, Ki Gusti Panji disuruh melihat ke timur, kelihatan oleh beliau Ki Gusti Panji gunung Toya Anyar. Ki Panji Landung, memberi anugerah Ki Gusti Panji. Perjalanan Ki Gusti Panji ini dari daerah Suweca Pura bersama beberapa pasukan dan beberapa orang dari pasukan tersebut telah menjadi bagian dari penduduk desa Bengkel. Di antara mereka adalah orang-orang yang bekerja keras dalam merabas hutan untuk menjadikan lahan pertanian dan tempat tinggal. Berdasarkan informasi para tetua dan tokoh desa Bengkel menyebutkan bahwa sebelum tanggal 6 Juli 1962, Desa Bengkel masuk wilayah Desa Banyuatis yang bernama banjar/kelurahan Bengkel.
Pada tanggal tersebut di atas dibawah
perjuangan kelian banjar dan masyarakatnya membentuk Desa Bengkel yang dulunya bernama desa Djabon Pahit ( Pohon Bengkel).
42
4.3
Demografi Desa
4.3.1
Kependudukan Penduduk sebagai salah satu sumber daya merupakan modal dasar dalam
pembangunan. Menurut Ndraha (1991: 22) demografi menyangkut penduduk suatu desa yang terdaftar sebagai penduduk atau bertempat kedudukan di wilayah desa bersangkutan, tidak soal di mana ia mencari nafkahnya. Demografi juga berarti susunan atau perkembangan tentang penduduk (Badudu-Zain, 1996: 327). Keadaan demografi Desa Bengkel berfokus pada jumlah, ditribusi, struktur, dan perubahan penduduk menurut umur dan jenis kelamin. Jumlah mengarah pada banyaknya penduduk, distribusi menunjukkan penempatan penduduk dalam suatu ruang pada kurun waktu tertentu, struktur mencakup distribusi penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur, dan perubahan penduduk mencakup pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk (Asnawati, 2002: 3). Dalam penelitian desa Bengkel hanya dibatasi pada struktur penduduk menurut umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian, serta menurut agama yang dipeluknya. Berdasarkan data dasar dari Desa Bengkel tahun 2009, jumlah penduduk Desa Bengkel secara keseluruhan adalah 3.227 jiwa atau 704 Kepala Keluarga (KK), yang terdiri atas 1.652 laki-laki dan 1.575 perempuan. Komposisi jumlah penduduk Desa Bengkel menurut umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada tabel 4.2.
43
Tabel 4.2 Penduduk Desa Bengkel Menurut Umur dan Jenis Kelamin No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Umur (tahun) 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – ke atas
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 21 42 144 149 123 115 143 142 152 136 147 154 143 141 110 120 125 127 162 129 120 114 351 208
Jumlah 1.652 1.575 Sumber Data: dari Kantor Kepala Desa Bengkel Tahun 2010
Jumlah (jiwa) 63 293 238 285 288 321 284 230 252 291 234 559 3. 227
Berdasrkan tabel 4.2 penduduk usia remaja dan produktif (15 – 54 tahun) berjumlah 2.284 orang, sedangkan kelompok yang ketergantungan sekitar 933 orang. Hal ini menunjukkan kelompok ketergantungan lebih kecil jumlahnya daripada kelompok produktif. Suratiyah dan Hartadi (1990) menyatakan bahwa umur sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi kerja. Umur yang lebih tua, lebih tinggi partisipasinya, dan tingkat partisipasi akan menurun secara bertahap pada umur 55 tahun. Desa Bengkel yang berprnduduk 3.227 orang, jika dilihat dari jenis kelamin, penduduk lak-laki berjumlah sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan ini sangat penting artinya untuk mengetahui perkembangan pola ekonomi di desa tersebut. Perkembangan aktivitas
44
prekonomian suatu masyarakat terkait erat dengan kualitas penduduknya yang ditentukan oleh tingkat pendidikan yang dimiliki. Pendidikan tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi dapat juga meningkatkan keterampilan tenaga kerja yang nantinya dapat meningkatkan produktivitas (Effendi, 1993: 17).
4.3.2
Pendidikan Untuk mengetahui kualitas penduduk Desa Bengkel dapat dilihat dari
tingkat pendidikan masyarakatnya, seperti terlihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Penduduk Desa Bengkel Menurut Tingkat Pendidikan No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
373
11.56
1500
46.48
1
Belum tamat SD / Sederajat
2
SD/Sederajat
3
SLTP
750
23.24
4
SLTA
325
10.07
5
D1/D2
100
3.10
6
Perguruan Tinggi
55
1.70
7
Tidak Sekolah/Belum Sekolah
124
3.84
3.227
100’00
Jumlah
Sumber: Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010 Tabel 4.3 memberikan gambaran bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Bengkel masih tergolong relatif rendah jika dibandingkan jumlah penduduk produktif secara keseluruhan. Kesadaran masyarakat terhadap nilai pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat tersebut sangat menentukan dalam
45
meningkatkan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan sering dipergunakan sebagai indikator dalam mengukur pendapatan maupun status sosial seseorang.
4.3.3
Mata Pencaharian Penduduk Selain itu tingkat pendidikan masyarakat akan berdampak pula pada mata
pencaharian penduduk yang cenderung heterogen. Mata pencaharian penduduk Desa Bengkel dapat terlihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Penduduk Desa Bengkel Menurut Mata Pencaharian No 1 Petani
Mata Pencaharian
Jumlah 571
% 17.69
2
Pelajar / Mahasiswa
153
4.74
3
Ibu Rumah Tangga
306
9.48
4
Pedagang
34
1.05
5
Pegawai Swasta
183
5.67
6
Pensiunan
15
0.46
7
Guru/ Dosen
23
0.71
8
Wiraswasta
26
0.81
9
TNI
2
0.06
10
Buruh Tani/ Buruh Harian Lepas
779
24.14
11
Bidan / tenaga medis lain
1
0.03
12
Pegawai Negeri
7
0.22
13
Belum Kerja / Tidak Bekerja
902
27.95
14
Lainnya
225
6.97
Jumlah 3.227 Sumber: Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010
100,00
Tabel 4.4 menyiratkan bahwa masyarakat Desa Bengkel sebagian besar menekuni pekerjaan di bidang pertanian dan buruh tani atau buruh harian lepas.
46
Buruh tani ini sangat diperlukan pada saat musim panen cengkeh tiba di mana mereka bekerja sebagai pemetik bunga cengkeh.
4.3.4
Agama dan Kepercayaan Kepercayaan atau agama memberikan warna tertentu bagi kehidupan
sosial masyarakat sesuai dengan keyakinan agama yang dianut. Horton (1991: 305) menyatakan bahwa agama berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya lebih dari perilaku moral. Berdasarkan daftar data dasar profil desa Bengkel Tahun 2010, mayoritas masyarakat Desa Bengkel adalah beragama Hindu. Hal itu bisa dilihat dari bangunan suci yang sebagian banyak adalah Pura. Selain pemeluk agama Hidu di Desa Bengkel juga ada masyarakat yang menganut agama Islam dan Kristen. Jumlah penduduk menurut aga dan kepercayaan di Desa Bengkel dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut. Tabel 4.5 Penduduk Desa Bengkel Menurut Agama yang Dianut No
Agama
Jumlah
%
1
Islam
6
0,19
2
Katolik
7
0.22
3
Hindu
3.214
99,60
Jumlah
3.227
100,00
Sumber: Diolah dari Data Dasar Profil Desa Bengkel, Tahun 2010
47
4.4
Sistem Pemerintahan Pada umumnya desa di Bali memiliki dua kelembagaan pemerintahan,
yaitu sebagai kesatuan sosial kultural yang disebut dengan desa adat dan sebagai kesatuan administrasi disebut desa dinas. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Geertz (1992) yang memaparkan bahwa orang Bali selalu terikat pada pengelompokan sosial tertentu, di antaranya adalah kesatuan sosial yang didasarkan pada tempat tinggal dan ikatan sosio religius yang melahirkan desa adat dan kesatuan sosial atas dasar administrasi yang melahirkan konsep desa dinas. Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 1986, desa adat dirumuskan sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan kahyangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Melalui desa adat-lah masyarakat Bali mempertahankan identitas kebalian mereka yang dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana, yaitu (1) parhyangan (tempat pemujaan kepada Tuhan), (2) pawongan (warga desa), dan (3) palemahan (wilayah tanah desa). Desa adat lebih berfungsi dalam segi-segi kehidupan beragama, spiritual, kultural dan rohani. Sedangkan desa dinas sebagai satu kesatuan wilayah di bawah kecamatan, melakukan fungsinya pada segi-segi kehidupan formal. Desa Adat Bengkel terdiri atas dua banjar dinas, yaitu Banjar Dinas Bengkel dan Bukit Telu. Dalam dua banjar dinas tersebut terdapat sembilan banjar adat yaitu, (1) Banjar Adat Teben, (2) Banjar Adat Asem, (3) Banjar Adat
48
Kalibondan, (4) Banjar Adat Pengadengan, (5) Banjar Adat Bukit Telu, (6) Banjar Adat Umabasa, (7) Banjar Adat Betelan, (8) Banjar Adat Atuh, dan (9) Banjar Adat Salia. Dalam melaksanakan tugasnya, Desa Adat Bengkel dipimpin oleh seorang klian desa pakraman dan dibantu oleh wakil ketua, panyarikan (skretaris), juru raksa (bendahara), dan lima orang klian banjar adat yang membawahi sembilan banjar adat. Saba desa merupakan lembaga kerjasama yang terdiri atas para tokoh dan sesepuh desa. Setiap warga desa adat wajib untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang patut dipelihara atau dilaksanakan. Mekanisme kehidupan desa adat adalah setiap warga desa adat mempunyai hak memilih kepala desa adat, ikut serta dalam sangkepan (rapat) desa adat, berhak dipilih sebagai prajuru dan lain-lainnya. Perangkat desa adat disebut prajuru desa adat. Berikut adalah bagan struktur Desa Adat Bengkel.
49
Bagan 4.1 Struktur Organisasi Desa Adat Bengkel Klian Desa Pakraman
Saba Desa
Wakil Ketua Klian Desa Pakraman
Bendahara
Skretaris
Klian Banjar Adat
Teben dan Asem
Kalibondan dan Pengadengan
Bukit Telu dan Umabasa
Betelan
Atuh dan Salia
Sumber: Kantor Kepala Desa Bengkel, Tahun 2010.
Desa Bengkel memiliki pemerintahan desa dinas yang dikepalai oleh seorang kepala desa atau perbekel. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Desa dibantu oleh seorang sekretaris desa, lima orang kepala urusan (kaur), yaitu (1) kaur pemerintahan, (2) kaur pembangunan, (3) kaur bagian umum, (4) kaur kesejahteraan, dan (5) kaur keuangan, serta dua orang kepala dusun (banjar dinas) yakni kepala dusun (banjar dinas) Bengkel dan Bukit Telu. Kedua banjar dinas tersebut terdiri atas sembilan banjar adat. Banjar dinas Bengkel meliputi empat
50
banjar adat, yaitu banjar adat Teben, Asem, Kalibondan, dan Pengadengan. Sedangkan banjar dinas Bukit Telu meliputi lima banjar adat, yaitu banjar adat Bukit Telu, Umabasa, Betelan, Atuh dan Salia. Di samping itu kepala desa dinas didampingi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). Untuk lebih jelasnya struktur pemerintahan Desa Bengkel dapat dilihat pada bagan 4.2 Bagan 4.2 Struktur Organisasi Desa Bengkel Kepala Desa Bengkel
Badan Perwakilan Desa (BPD)
Sekretaris Desa
Kaur Pemerintahan
Kepala Banjar Dinas Bengkel
Kaur Pembangunan
Kepala Banjar Dinas Bukit Telu Kaur Keuangan
Br. Adat Teben dan Asem
Kaur Kesejahteraan Rakyat
Br. Adat Kalibondan dan Pengadengan
Br. Adat Bukit Telu dan Umabasa
Kaur Umum
Banjar Adat Betelan
Br. Adat Atuh dan Salia
Sumber: Kantor Kepala Desa Bengkel, Tahun 2010.
51
4.5
Profil Petani Cengkeh di Desa Bengkel Desa Bengkel terletak di dataran tinggi dengan iklim yang sejuk, karena
wilayah desa ini terletak di balik perbukitan gunung Batukaru. Kondisi geografis tersebut membuat Desa Bengkel sangat cocok untuk pengembangan tanaman hortikultura, seperti kopi, cengkeh, coklat, dan vanili. Desa Bengkel yang terdiri atas sembilan banjar adat sejak dahulu terkenal sebagai sentra penghasil kopi. Sekitar tahun 1980-an terjadi penurunan harga kopi yang sangat drastis di pasaran. Anjloknya harga kopi tersebut membuat para petani di desa tersebut memikirkan untuk menanam tanaman komoditi lainnya yang lebih menjanjikan. Di satu sisi kalau mereka menanam tanaman lain belum tahu juga apakah hasilnya akan lebih baik, karena mereka tahu bahwa tanaman cengkeh adalah merupakan tanaman yang paling subur tumbuh di daerahnya. Akan tetapi petani malas untuk memetik bunga cengkehnya itu disebabkan karena kekawatiran setelah bersusah-susah memanjat pohot dan membayar ongkos petik, setelah dijual harganya tak sebanding dengan ongkos produksinya. Tanaman cengkeh sebenarnya telah berkembang di Desa Asah Duren Kabupaten Jembrana dan telah menjadi pilihan untuk dikembangkan di Desa Bengkel. Hal ini disebabkan harga komoditi ini sangat menjanjikan. Banyak para petani yang mencari bibit tanaman cengkeh ke Desa Asah Duren. Pada tahun 1981 sampai dengan 1985 terjadi perabasan pohon kopi secara besar-besaran dan diganti dengan tanaman cengkeh. Sepuluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1991 petani cengkeh di Desa Bengkel menikmati jerih payahnya sekitar tujuh sampai sepuluh tahun telah bercocok tanam cengkeh. Akan tetapi, kegembiraan
52
yang dialami oleh petani cengkeh di desa tersebut tidak berlangsung lama, oleh karena terjadi penurunan harga jual yang sangat drastis seiring dengan kebijakan Badan Penyangga Penjualan Cengkeh (BPPC) memonopoli pembelian cengkeh petani. Harga jual cengkeh menjadi sangat murah, yaitu dari harga jual rata-rata Rp 15.000,- sampai dengan Rp 25.000,- anjlok sampai Rp 3000,- per kilo gramnya. Anjloknya harga cengkeh tersebut membuat petani menjadi frustrasi. Mereka membiarkan pohon cengkehnya tanpa perawatan, seperti pembersihan ladang, pemupukan, dan penyiraman. Hal ini terjadi oleh karena harga cengkeh yang sangat rendah dan tidak sepadan dengan biaya produksinya. Tanaman cengkeh tumbuh dengan tanpa perawatan dari petani menyebabkan tanaman cengkeh menjadi tidak subur. Setelah bergulirnya reformasi dan sampai pada pembubaran BPPC harga jual cengkeh di pasaran berangsur-angsur menjadi baik kembali. Petani cengkeh kembali bergairah untuk merawat tanaman cengkehnya yang sebelumnya ditinggalkan begitu saja. Para petani tersebut rata-rata memiliki lahan seluas 15 sampai dengan 30 are dengan jumlah tanaman cengkeh sebanyak 25 sampai dengan 50 buah pohon cengkeh. Dari jumlah ini para petani rata-rata pertahunnya memanen cengkeh sebanyak 250 kg sampai dengan 500 kg cengkeh kering. Sampai dengan bulan Agustus 2010 harga cengkeh kering per kilogramnya adalah rata-rata Rp 50.000,-
53
Gambar 4.3 Seorang petani menjemur cengkeh (Dokumen Mareni, 2010) 4.6
Profil Tengkulak Kehidupan masyarakat Desa Bengkel yang heteregen, yaitu selain
sebagian besar yang bermatapencaharian sebagai petani juga ada yang sebagai pegawai baik negeri maupun swasta, tukang, bekerja pada jasa angkutan, dan pedagang atau saudagar. Masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang dapat dikelompokkan ke dalam yang berskala kecil dan menegah berdasarkan modal yang dimiliki. Profesi saudagar dituntut untuk memiliki jumlah modal yang besar, oleh karena saudagar ini yang akan membeli hasil panen cengkeh dari para petani di desa Bengkel. Saudagar ini mendapatkan modalnya dari luas lahan kebun cengkeh yang di atas rata-rata dimiliki petani pada umumnya. Di samping memiliki modal yang besar saudagar ini juga memiliki akses dengan para pengepul yang ada di kota Singaraja.
54
Saudagar ini kemudian disebut tengkulak dalam penelitian ini, oleh karena mereka tidak hanya membeli hasil panen cengkeh dari petani juga berperan sebagai rentenir. Masa panen cengkeh yang cukup lama, yaitu sekali dalam setahun menyebabkan para petani kekurangan modal untuk biaya pemeliharaan cengkeh seperti membeli pupuk dan obat-obatan untuk hama pohon cengkeh, biaya buruh pemetik dan mikpik (memisahkan bunga dari tangkai), serta untuk kebutuhan keluarga baik konsumsi, pendidikan, maupun upacara adat. Di sinilah tengkulak berperan untuk meminjamkan uang kepada petani dengan bunga yang tinggi. Pada saat petani menjual hasil panen cengkehnya, maka harga akan dipermainkan oleh tengkulak tersebut di samping terjadi pemotongan harga dari akumulasi bunga pinjaman. Para saudagar juga tidak mau rugi, walaupun tahu pada saat panen rugi petani cengkeh tidak harus membayar hutang, akan tetapi tengkulak berpikirnya apabila tidak dibayarkan hutangnya akan kembali bertambah. Pihak petani juga berpikir kalau tidak dibayar pada saat menghasilkan panen, akan tidak bisa membayar kembali karena kesempatan untuk membayar hutang adalah pada saat panen cengkeh. Petani cengkeh juga merasa sangat kesulitan untuk menutupi hutang yang sudah berulang-ulang dilakukan, akan tetapi mereka tidak punya penghasilan lain selain berkebun cengkeh. Mau tidak mau petani cengkeh harus membayar hutangnya walaupun penghasilannya tidak cukup untuk membayar hutang. Karena saudagar tidak mau memberikan keringanan untuk menunda pembayaran hutangnya, di samping hutang akan semakin banyak juga kemungkinan hutang tidak dibayar. Karena bagaimanapun juga petani masih mengharapkan pinjaman lagi kalau biaya untuk produksi
55
cengkehnya kurang. Dan tempat untuk memperoleh pinjaman itu adalah pada tengkulak. Keberadaan tengkulak sedikitnya dapat meringankan beban petani yang membutuhkan modal cepat dan mudah karena tanpa membutuhkan waktu yang lama, walaupun petani sadar dengan meminjam uang kepada tengkulak sudah pasti bunganya juga tinggi.
Gambar 4.4 Profil saudagar cengkeh (Dokumen Mareni, 2010)