PROSIDING SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA INDONESIA – MALAYSIA 2015 (SKIM XIV 2015)
“Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmonian dan Kelestarian Berteraskan Ilmu”
PENERBIT Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia Bangi 2015
PROSIDING SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA INDONESIA – MALAYSIA 2015 (SKIM XIV 2015) © Sekretariat SKIM XIV 2015, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia MALAYSIA. 2015
Hak Cipta Terpelihara Tidak dibenarkan mengeluar ulang mana-mana bahagian artikel, ilustrasi dan isi kandungan buku ini dalam apa jua bentuk dan dengan cara apa pun sama ada secara elektronik, fotokopi, mekanik, rakaman atau cara lain sebelum mendapat keizinan bertulis daripada Sekretariat SKIM XIV 2015, Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600 UKM Bangi, Selangor, Malaysia.
Perpustakaan Negara Malaysia Cataloguing-in-Publication Data
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA INDONESIA – MALAYSIA 2015 (SKIM XIV 2015) Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia. MALAYSIA. 25 - 27 November 2015 / Noraini et.al.
ISBN: 978-983-2795-33-9 1. Kemakmuran 2. Keharmonian 3. Kelestarian 4. Komuniti ASEAN
Type Setting: Mansor Ab. Samad Text Type: Times New Roman Font Size: 11pt, 10pt, 9pt
SIMPOSIUM KEBUDAYAAN DAN KERJASAMA INDONESIA – MALAYSIA 2015 (SKIM XIV 2015)
“Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmonian dan Kelestarian Berteraskan Ilmu”
Anjuran:
Universiti Kebangsaan Malaysia Dengan Kerjasma: Kementerian Pembangunan Wanita, Keluarga dan Masyarakat, MALAYSIA. Institut Sosial Malaysia (ISM), MALAYSIA Universitas Padjadjaran, INDONESIA
25- 27 November 2015 The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA.
PENERBIT Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia Bangi 2015
EDITOR Noraini Md Yusof Esmaeil Zeiny Jelodar Khazriyati Salehuddin Mohd. Nazlie Syahzeer Salleh Amirul Asyraf Johar
Transformasi Wacana Pembangunan Manusia di Indonesia dan Perubahan Cara Kerja Birokrasi dalam Pembangunan Caroline Paskarina Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung, INDONESIA
[email protected] ABSTRACT Human development discourse begun from the idea to put human as focus in welfare creation. In a further development, the practice of human development even further highlight the achievement of the Human Development Index (HDI) as a measure of success. Efforts to improve the performance of HDI requires mastery of the knowledge and ability to manage a variety of information systematically as a basis for development planning. This condition is a basic argument for encouraging changes in the bureaucracy as an institution that is authorized to allocate the resources to be able to work in an innovative way to manage data and information for decision making. The entry of knowledge management regimes in human development practices produce various standards that must be adhered to bureaucracy in the management of development, which includes the standardization mechanisms of program planning, budgeting management standardization, and standardization of documentation and archiving. These standardizations become technology of power that are reshaping the work mechanism in bureaucracy, disciplining bureaucracy to adhere to the new technocratic regime that requires practice and objectively measured development. On the other hand, this practice is also trapped bureaucracy in rigidity of knowledge management procedures, that ignore the essential meaning of human development as welfare creation, not just a score achievement. Key words: human development, knowledge management, bureaucracy subjection
PENDAHULUAN Diskursus pembangunan bukan hal baru, baik di dunia maupun di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, hasrat untuk membangun sudah mulai tumbuh meskipun lebih banyak mengarah pada dimensi politik (Philpott, 2003). Pembangunan pada masa itu merupakan proses untuk menciptakan identitas baru Indonesia sebagai negara merdeka, terbebas dari bentukan identitas masa kolonial sebagai bangsa yang terbelakang, malas, dan miskin. Karena itu, modernisasi menjadi kata kunci dari praktik pembangunan di awal kemerdekaan. Dalam konteks global, modernisasi memperoleh pembenaran melalui produksi pengetahuan tentang industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, yang bahkan didukung oleh jargon tentang misi kemanusiaan untuk mengatasi ‘keterbelakangan’ di negara-negara yang baru merdeka (Escobar, 1995).
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan Kelestarian Berteraskan Ilmu
522
Modernisasi menjadi teks hegemonik selama rentang waktu yang sangat panjang karena didukung oleh produksi pengetahuan secara berkelanjutan oleh para pendukungnya, bukan hanya melalui hasil-hasil penelitian dan pengajaran yang dilakukan oleh jejaring ilmuwan yang bergabung dalam komunitas epistemik, tapi juga oleh lembaga-lembaga internasional di mana para ilmuwan tersebut juga menduduki posisi strategi dalam struktur organisasinya (Mas’oed, 2001). Produksi pengetahuan tidak hanya menciptakan klaim kebenaran tapi juga menentukan arah kebijakan pembangunan di negara-negara yang menjadi mitra dari lembaga-lembaga tersebut. Dalam konteks ini, modernisasi tidak hanya menciptakan pemilahan ke dalam kategori negara maju dan negara berkembang, tapi juga memposisikan kondisi kehidupan di negara maju sebagai normalitas yang harus ditiru oleh negaranegara berkembang. Konstruksi kekuasaan tersebut berulang kembali dalam diskursus neoliberalisme yang berkembang pada dekade 1980-an. Perbedaannya terletak pada peran negara, yang perlu semakin diminimalkan untuk memberi akses yang lebih luas bagi bekerjanya pasar bebas (Peet, Richard dan Elaine Hartwick, 2009). Asumsi ini diperkuat melalui kesepakatan global antara lembaga-lembaga internasional dengan negara-negara yang mengikuti skema penyesuaian struktural tersebut. Kesepakatan yang tertuang dalam Konsensus Washington menjadi teks kuasa yang melegitimasi intervensi lembaga-lembaga internasional (World Bank, International Monetary Fund, dan World Trade Organization) ke dalam penyusunan kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut. Selain penyesuaian pada kebijakan ekonomi makro, diskursus neoliberalisme juga membawa serta pengetahuan tentang tata kepemerintahan yang baik (good governance) yang ditujukan untuk merombak struktur dan cara kerja institusi politik di negara-negara yang menjalankan kesepakatan tersebut. Good governance memberikan pembenaran bagi pembentukan tata kepemerintahan yang berpihak pada kepentingan pasar (Abrahamsen, 2000). Meskipun demikian, proses diskursif tidak pernah berlangsung linear. Selalu ada upaya perlawanan yang muncul dari kondisi paradoks yang menciptakan peluang bagi diskursus tandingan. Seiring meluasnya diskursus good governance, iklim demokratisasi membuka peluang bagi munculnya berbagai gagasan tentang pembangunan, salahsatunya adalah gagasan pembangunan manusia (human development) yang juga bersumber dari lembaga internasional, yakni United Nations Development Programme (UNDP) bersama agensi-agensi lain dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kementerian pembangunan di negara-negara sedang berkembang, dan lembaga-lembaga kerjasama pembangunan. Gagasan pembangunan manusia mengkritik pembangunan yang terlampau bertumpu pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, dan menawarkan konsep kapabilitas sebagai prasyarat bagi manusia untuk dapat mencapai kesejahteraan dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya (Sen, 1999). Pertarungan di antara kedua gagasan yang berbeda orientasi ini menarik dianalisis bukan hanya karena masing-masing diwacanakan oleh lembaga internasional yang berpengaruh, tapi juga karena keduanya didukung oleh klaim kebenaran yang terus-menerus diproduksi oleh sistem pengetahuan tertentu. Produksi pengetahuan yang dihasilkan oleh kedua gagasan pembangunan tersebut
523
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015) 25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
merupakan upaya sistemik karena dilakukan melalui dukungan berbagai komunitas, baik komunitas epistemik (jaringan ilmuwan), birokrat di negara-negara yang bersangkutan, maupun lembaga-lembaga internasional yang berperan sebagai donor maupun konsultan. Interaksi di antara aktor-aktor berpengetahuan ini menjadikan produksi pengetahuan semakin kompleks, sehingga memahami alasan di balik pilihan suatu kebijakan pembangunan perlu mengungkap pula proses diskursus di balik interaksi konteks, subjek, dan teks tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak pernah menjadi proses yang mengandung makna tunggal, sebaliknya, ia menjadi arena pertarungan diskursus untuk menentukan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ manusia harus diatur untuk mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik. Dalam perspektif tersebut, pembangunan ditempatkan sebagai arena pertarungan kekuasaan untuk membentuk realitas. Pembangunan bukan proses ekonomi semata, apalagi proses yang bebas nilai. Sebaliknya, pembangunan senantiasa terkait dengan kekuasaan, baik relasi kekuasaan, operasi kekuasaan maupun teknologi kekuasaan. Sebagai praktik kekuasaan, kesejahteraan menjadi arena tempat kekuasaan dipertarungkan, merefleksikan wujud kekuasaan, dan memiliki keterkaitan dengan wujud kekuasaan yang lainnya. Dengan menggunakan perspektif ini, para aktor ditempatkan sebagai subjek kuasa, pembangunan sebagai teks kekuasaan, dan konteks sosial-politik yang melatarbelakangi gagasan-gagasan pembangunan menjadi konteks kekuasaan. Keterkaitan di antara ketiganya membentuk diskursus tentang pembangunan. Diskursus atau sistem pernyataan tentang pembangunan tidak terlepas dari pengetahuan-pengetahuan yang membentuk klaim kebenaran tentang realitas pembangunan. Sepanjang sejarah pembangunan, manusia ditempatkan sebagai sasaran yang terus-menerus dibentuk untuk menghasilkan sosok yang dikehendaki oleh diskursus pembangunan. Dalam konsep pembangunan yang berbasis negara, misalnya, manusia dibentuk sebagai individu yang patuh pada kewenangan institusi negara untuk menjamin distribusi kesejahteraan secara merata. Dalam konsep pembangunan yang berbasis pada pasar, manusia dibentuk sebagai individu yang otonom, mampu mengambil keputusan sendiri, dan memiliki produktivitas tinggi untuk mengelola sumber-sumber daya dalam rangka akumulasi kapital. Di antara kedua konsep mainstream tersebut, juga ada gagasan alternatif yang mencoba memadukan peran negara dan mekanisme pasar dalam penciptaan kesejahteraan. Di sini, manusia dibentuk sebagai individu yang kreatif dan inovatif agar mampu mengatasi persoalan-persoalan akibat kegagalan bekerjanya negara dan pasar. Pada setiap sistem pengetahuan tersebut, manusia dibentuk untuk memenuhi kriteria tertentu, sehingga pembangunan menjadi teknologi kekuasaan untuk membentuk pola pikir dan perilaku manusia. Berangkat dari cara berpikir seperti di atas, tulisan ini ingin menganalisis pembangunan sebagai praktik kekuasaan. Untuk itu, konsepsi Foucault tentang kekuasaan produktif akan digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk membangun argumentasi dalam tulisan ini. Foucault (dalam Burcell, Graham, Colin Gordon, dan Peter Miller, 1991) menawarkan cara pandang alternatif terhadap kekuasaan. Dalam konsepsinya, kekuasaan berkait erat dengan pengetahuan. Tidak ada pengetahuan
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan Kelestarian Berteraskan Ilmu
524
tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Kekuasaan produktif bertujuan mengungkapkan praktik-praktik diskursif di balik pembentukan batasan tentang normalitas melalui kategori-kategori yang menentukan bagaimana subjek diperlakukan. Dalam praktik ini, identitas dan kepatuhan subjek dibentuk atas dasar rezim kebenaran yang berlaku dalam suatu sistem pengetahuan. Dengan menggunakan konsepsi Foucault, tulisan ini ingin mengungkapkan bagaimana pilihan terhadap suatu konsep pembangunan mengarah pada pendisiplinan, pembentukan, dan penundukan manusia terhadap tata aturan yang berlaku dalam cara itu. Fokus analisis dari tulisan ini adalah konsep pembangunan manusia yang saat ini menjadi basis pembangunan di Indonesia. Masuknya gagasan pembangunan manusia ke dalam agenda kebijakan pembangunan di Indonesia merupakan bagian dari proses diskursus pembangunan global yang mempengaruhi praktik pembangunan di tingkat lokal. Menariknya, penerapan gagasan pembangunan manusia di Indonesia cenderung memprioritaskan pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran keberhasilan pembangunan. Kecenderungan ini tampak sejak Human Development Report (HDR) tahun 1996 mempublikasikan peringkat Indonesia di posisi ke-102 dari 174 negara. Meskipun termasuk dalam kategori negara dengan capaian IPM menengah, tapi peringkat ini memicu perhatian Pemerintah Republik Indonesia untuk mulai memperhatikan capaian pembangunan manusia dan tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya ukuran-ukuran pertumbuhan ekonomi yang membentuk kemapanan capaian kesejahteraan, IPM juga memainkan peran yang sama. Tulisan ini ingin mengungkapkan bagaimana IPM mendekonstruksi cara kerja birokrasi sebagai pelaksana pembangunan, bahkan menjadikan tubuh-tubuh aparat birokrasi sebagai lokus kekuasaan dengan membentuk ulang perilakunya mengacu pada normalitas versi pembangunan manusia. Pembangunan Manusia sebagai Sistem Pengetahuan Gagasan Foucault (1991) tentang kekuasaan produktif menjadi kerangka konseptual dalam menganalisis perubahan birokrasi karena menawarkan pendekatan alternatif untuk mengungkapkan perubahan bukan sebagai proses yang alamiah, tapi proses yang diarahkan oleh sistem pengetahuan tertentu. Sistem pengetahuan ini bukan semata produk bahasa, tapi produk kekuasaan yang lahir dari proses diskursif. Dalam kaitan dengan pembangunan manusia sebagai suatu sistem pengetahuan, maka pembangunan manusia ini lahir melalui proses diskursif yang menentukan batasan tentang realitas pembangunan yang harus ditangani, siapa yang menjadi sasarannya, dan dengan teknologi apa subjek dibentuk untuk memenuhi kategori normal tersebut. Untuk memahami bekerjanya pembangunan manusia sebagai sistem pengetahuan, penting untuk mengungkap perkembangan pemikiran di balik gagasan ini, tidak secara historis tapi sebagai praktik kekuasaan yang ditandai oleh interaksi antara konteks, subjek, dan teks. Konsep pembangunan manusia yang sekarang berkembang merupakan hasil pemikiran Amartya Sen dan Mahbub ul Haq. Sen mengembangkan kerangka konseptual pembangunan manusia yang berbasis pada pendekatan kapabilitas,
525
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015) 25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
sedangkan Ul Haq mengembangkan lebih lanjut pemikiran Sen ke dalam kerangka kebijakan global yang disebarkan melalui UNDP. Sen (1999) menggagas pembangunan sebagai the expansion of the 'capabilities' of people to lead the kind of lives they value - and have reason to value. Perluasan kapabilitas bergantung pada penghapusan berbagai bentuk penindasan dan penyediaan fasilitas dasar sebagai prakondisi untuk mencapai kualitas hidup yang diinginkan (Sen, 1999). Dalam konsep ini, kebebasan menjadi hal penting bagi kesejahteraan karena kebebasan adalah tujuan sekaligus alat untuk mencapai lingkungan yang kondusif tersebut. Kebebasan menjadi tujuan karena pembangunan hakikatnya adalah membebaskan manusia dari berbagai kondisi keterbatasan dan penindasan, sedangkan kebebasan sebagai alat karena kebebasan dipakai untuk menciptakan berbagai fasilitas bagi peningkatan kesejahteraan. Kerangka konseptual ini selanjutnya dikembangkan oleh UNDP dengan merumuskan ulang pembangunan manusia sebagai a process of enlarging people’s choice (Human Development Report, 1990). Perluasan pilihan-pilihan ini dilakukan melalui penciptaan lingkungan yang kondusif bagi manusia untuk hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih kreatif, termasuk juga penciptaan kebebasan politik, jaminan hak asasi manusia, dan pengakuan akan identitas manusia. Ketika konsep pembangunan manusia diterjemahkan sebagai kerangka kebijakan, maka diperlukan ukuran-ukuran untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan gagasan tersebut. Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kemudian menjadi alat ukur yang dikembangkan UNDP untuk merefleksikan peningkatan kualitas hidup manusia dari sisi pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Dalam proses diskursif, pelembagaan gagasan pembangunan manusia didukung oleh Human Development Report (HDR) dan HDI yang berperan penting sebagai teknologi kekuasaan i untuk meluaskan penyebaran wacana pembangunan manusia. HDR yang diterbitkan sejak tahun 1990 berperan sebagai media strategis untuk memproduksi berbagai pengetahuan tentang pembangunan manusia, bahkan cukup berpengaruh untuk membentuk realitas tentang permasalahan pembangunanii. Tema-tema yang diusung dalam setiap terbitan tahunan HDR memunculkan isu baru dalam penyelenggaraan pembangunan, memancing perhatian global terhadap hal-hal yang dianggap penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia, sekaligus menumbuhkan kepekaan terhadap persoalan-persoalan yang semula terabaikan. Penerbitan HDR memunculkan problematisasi baru terhadap hal-hal yang semula dipandang sebagai suatu normalitas. Dengan mengkritisi praktik pembangunan yang semula dianggap normal, pembangunan manusia menawarkan cara pandang baru dalam mengelola sumber-sumber daya, yakni yang berbasis pada pendekatan kapabilitasiii. Inti dari pendekatan kapabilitas berfokus pada apa yang secara efektif dapat dilakukan atau diwujudkan oleh individu berdasarkan kapabilitasnya. Dengan demikian, pendekatan ini tidak berfokus pada pencapaian hasil atau kondisi, seperti kebahagiaan, pendapatan, pengeluaran, atau konsumsi tapi pada proses untuk mencapai kondisi tersebut. Tema-tema yang dibahas dalam HDR mencerminkan hal-hal yang dianggap penting untuk mendukung proses peningkatan kapabilitas, karena itu, HDR sebenarnya bagian dari teknologi kekuasaan untuk
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan Kelestarian Berteraskan Ilmu
526
mereproduksi pengetahuan-pengetahuan yang memperluas khazanah teorisasi pembangunan manusia. Selain HDR, UNDP juga menerbitkan laporan-laporan khusus yang membahas isu-isu penting di level nasional, regional, dan global iv . Penerbitan publikasi ini berperan untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru tentang praktik pembangunan yang memungkinkan berlangsunya pembelajaran horisontal antarnegara. Pemilahan isu-isu tersebut ke dalam lingkup kawasan juga menjadi teks hegemonik yang dipakai sebagai patokan perumusan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang seragam bagi negara-negara di kawasan tersebut. Dengan demikian, terjadi pembesaran skala pembangunan (scalling up) sekaligus memperbesar jangkauan diskursus pembangunan manusia. Pembesaran diskursus menambah kekuatan hegemonik pembangunan, sehingga klaim bahwa pembangunan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan kemasyarakatan memperoleh pembenaran yang semakin kuat. Penyelesaian masalah-masalah sosial dan ekonomi di luar pembangunan menjadi abnormalitas yang harus didisiplinkan. Pembangunan dalam praktik ini tidak hanya menjadi cara untuk mencapai kesejahteraan, tapi juga instrumen utama untuk memerintah. Teknologi kekuasaan yang lain adalah HDI atau IPM, yang awalnya dirumuskan untuk mengukur tingkat pencapaian kapabilitas dasar yang diperlukan bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Kapabilitas dasar yang dimaksud terdiri dari 3 (tiga) dimensi, yakni usia harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup (Human Development Report, 1990). Ketiga dimensi ini selanjutnya dioperasionalisasikan ke dalam 4 (empat) indikator, yakni usia harapan hidup (life expectancy at birth), angka melek huruf (adult literacy rate), angka partisipasi sekolah (gross enrolment for primary, secondary, and tertiary education), dan daya beli (purchasing power parity). Penggunaan keempat indikator ini menuai kritik karena dianggap terlampau menyederhanakan kompleksitas pembangunan manusia (Murray, 1993, Srinivasan, 1994). Sebagai respon, UNDP kemudian mengembangkan alat ukur pelengkap, yakni Gender-related Development Index (GDI), Gender Empowerment Measure (GEM), dan Human Poverty Indices (HPI) yang masing-masing dipakai untuk mengukur kemiskinan di negara-negara berkembang. Meskipun demikian, alat ukur yang hingga sekarang lebih banyak dipakai tetap indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan indeks daya beli yang sejak awal dikembangkan UNDP. Pilihan terhadap alat ukur yang dipakai memang mengundang perdebatan tersendiri, terutama karena alat ukur ini menentukan batasan-batasan dimensi yang diukur dan cara yang dipakai untuk mengukurnya. Tapi, peran sebagai teknologi kekuasaan lebih kuat ketika IPM dimaknai sebagai pemeringkatan negara-negara. Pemeringkatan ini tidak hanya menciptakan situasi kompetisi di antara negaranegara di dunia, tapi yang jauh lebih penting, pemeringkatan ini menghasilkan sistem kategorisasi baru yang memilah-milah negara berdasarkan kemampuan pencapaian IPM-nyav. Sistem ini selanjutnya mempengaruhi strategi kebijakan yang diambil suatu negara untuk memperbaiki penyelenggaraan pembangunan, sekaligus juga menentukan bentuk-bentuk intervensi dunia terhadap negara-negara yang termasuk kategori IPM menengah dan rendah.
527
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015) 25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
Di dalam berbagai ukuran tersebut terkandung informasi yang dibentuk atas dasar sistem pengetahuan bahkan ideologi tertentu. Bagi para pembuat kebijakan, ukuran kesejahteraan yang bersifat statistikal tidak hanya membantu dalam proses perencanaan program, tapi juga menjadi alat untuk menjustifikasi pilihan kebijakan yang dibuatnya dan memperkuat legitimasi kinerja pemerintahan manakala berhasil mencapai target yang telah ditetapkan (Stiglitz, Sen, dan Fitoussi, 2011). Manfaat politis dari ukuran kesejahteraan inilah yang membuat IPM jauh lebih populer ketimbang gagasan pembangunan sebagai kebebasan yang sesungguhnya menjadi rasionalitas di balik pembangunan manusia. Penundukkan Birokrasi melalui Standarisasi Proses diskursif untuk melembagakan pembangunan manusia tidak dapat dilepaskan dari dukungan sistem pengetahuan yang dibentuk melalui ketersediaan data yang memadai. Dalam konteks ini, gagasan pembangunan manusia bertemu dengan gagasan knowledge management yang berfokus pada pengelolaan pengetahuan untuk memperkuat keunggulan kompetitif (Blacker, Frank, Norman Crump, dan Seonaidh McDonald, 1998). Gagasan knowledge management telah lama dipakai di sektor swasta untuk mengembangkan nilai-nilai penting bagi keberlanjutan organisasinya (Villela dan Muniz, 2010). Tapi, praktik ini baru mulai dikembangkan di lingkup pemerintahan pada awal tahun 2000-an seiring berkembangnya kajiankajian tentang pembaharuan tata kelola pemerintahan, inovasi dalam penyelenggaraan urusan publik, dan sejenisnya yang salahsatunya menempatkan manajemen pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi kinerja administrasi melalui penyediaan informasi yang lebih akurat (Sarabia, et.al., 2012). Pengetahuan menjadi sumber daya untuk membentuk pemahaman baru tentang berbagai hal dan menerapkannya pada teknologi, produk, atau proses tertentu. Kapabilitas intelektural dan keterampilan mental menjadi semakin penting bagi penciptaan kesejahteraan, menggantikan keterampilan-keterampilan fisik dan kontrol birokratis atas sumber-sumber daya. Intelektualitas juga menjadi prasyarat penting untuk merespon secara kreatif berbagai kondisi ketidakpastian. Kreativitas ini dihasilkan melalui manajemen pengetahuan, yang pada dasarnya mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan, penyebaran, dan pemanfaatan pengetahuan (Wikstrom dan Norman dalam Blacker, et.al., 1998: 70). Karena itu, sumber daya manusia yang dapat melakukan fungsi ini adalah mereka yang mampu menggunakan semaksimal mungkin keunggulan kompetitif dari pengetahuan yang dimilikinya untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau berbeda dari yang sudah ada sebelumnya vi. Dengan demikian, manajemen pengetahuan tidak hanya mencakup aktivitas pengelolaan data, tapi juga pembentukan subjek yang dapat melakukan aktivitasaktivitas tersebut. Masuknya knowledge management dalam konteks pembangunan manusia menjadikan pembangunan manusia sebagai bentuk performativitas, di mana tubuh subjek dilatih untuk melakukan aktivitas-aktivitas pengelolaan data dan melalui proses inilah sesungguhnya subjektivasi atau penundukan sebagai operasi kekuasaan berlangsung. Ketika gagasan pembangunan manusia masuk dengan membawa kerangka demokratisasi pembangunan, peran negara diubah dengan melibatkan
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan Kelestarian Berteraskan Ilmu
528
aktor-aktor lain dalam pembangunan, sehingga melalui proses ini, masuk pula pengetahuan-pengetahuan dari luar negara. Kendati demikian, institusi birokrasi masih menjadi aktor strategis dalam penerapan pembangunan manusia di Indonesia karena kewenangan yang dimilikinya untuk merencanakan pembangunan. Pembangunan manusia masuk ke Indonesia sebagai alat advokasi untuk mengubah praktik pembangunan ke arah yang lebih demokratis. Jadi ada kepentingan politik yang sangat kuat di balik masuknya gagasan ini, yakni untuk mengaitkan demokrasi dengan kesejahteraan. Tapi, ketika kepentingan ini masuk ke ranah birokrasi sebagai pelaksana kebijakan, terjadi pergeseran pemahaman. Birokrasi yang bekerja dengan logika instrumental lebih berfokus pada pencapaian IPM sebagai indikator pelaksanaan pembangunan manusia. Di sisi lain, publikasi capaian IPM turut berpengaruh untuk meningkatkan legitimasi pemerintah di mata publik dan dunia internasional, sehingga memberikan manfaat politik yang lebih langsung bagi pemerintah. Ketika pembangunan manusia dimaknai sekedar pencapaian target IPM untuk memperbaiki peringkat Indonesia, maka proses yang ditempuh menjadi proses yang bersifat teknis. Tapi, di balik proses teknis ini ada pembentukan ulang cara kerja birokrasi. Perubahan cara kerja birokrasi ini dilakukan melalui pembentukan standarstandar baru dalam pengelolaan pembangunan. Penundukkan birokrasi dilakukan melalui penciptaan standarisasi pengelolaan program, yang meliputi: pertama, standarisasi mekanisme perencanaan program. Standar baru dirumuskan untuk mendekonstruksi mekanisme perencanaan lama yang mengalokasikan anggaran berdasarkan rutinitas, sehingga program-program yang dibuat cenderung mengulang program-program yang ada sebelumnya. Inovasi tidak akan muncul jika perencanaan berbasis rutinitas karena rutinitas inilah yang menolak munculnya perubahan yang dianggap dapat mengganggu normalitas. Model perencanaan semacam ini menekankan pada pentingnya peran data sebagai bahan dasar bagi penyusunan program, termasuk kemampuan untuk menganalisis dan memaknai data sebagai informasi bagi pengambilan keputusan. Dalam praktik perencanaan yang berbasis rutinitas, data tidak menjadi kebutuhan penting, yang diutamakan adalah kesinambungan dari perencanaan pada masa sebelumnya. Praktik ini rentan dengan pengulangan yang selanjutnya mengarah pada pemapanan suatu cara kerja. Karena terbiasa dengan rutinitas, pilihan terhadap program didasarkan kebiasaan, bukan pada pengolahan data sebagai bagian dari manajemen pengetahuan. Konsep pembangunan manusia berfokus pada identifikasi ketersediaan kapabilitas-kapabilitas dasar bagi peningkatan kualitas hidup manusia, yang tercermin dari tolok ukur IPM. Untuk memenuhi tolok ukur ini, basis data pembangunan mengalami perubahan, tidak sekedar mencakup tolok ukur ekonomi makro, seperti laju pertumbuhan ekonomi, tingkat investasi, tingkat pengangguran, dan sejenisnya, tapi juga mencakup angka usia harapan hidup, angka partisipasi sekolah, angka kematian ibu, daya beli, bahkan data yang terkait gender untuk menghitung GDI dan GEM. Pengumpulan jenis data yang telah distandarisasikan ini menjadi dasar bagi pembentukan klaim kebenaran untuk membuktikan bahwa konsep pembangunan manusia dapat mengarah pada penciptaan kesejahteraan yang lebih substantif.
529
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015) 25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
Kedua, standarisasi pengelolaan penganggaran. Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) tahun 2004, pembiayaan pembangunan menjadi isu penting yang perlu segera dibenahi untuk mengoptimalkan pembangunan manusia. Pencapaian IPM dengan demikian, juga bergantung pada sistem pengelolaan anggaran yang berlaku. Dekonstruksi ini dilakukan dengan menerapkan pengaturan secara ketat proporsi anggaran untuk setiap komponen pembiayaan serta pengukuran kinerja program sebagai prasyarat pencairan dana. Mekanisme ini mengubah hubungan antara sistem penganggaran dan sistem pengendalian program yang sebelumnya berorientasi pada pertanggungjawaban administratif, menjadi berorientasi pada kinerja. Melalui standarisasi ini, birokrasi didorong untuk mengubah dirinya menjadi organisasi yang lebih berorientasi pada pencapaian hasil (output) dan luaran (outcome) dengan mengelola berbagai masukan (input), termasuk mempertimbangkan manfaat (benefit) dan dampak (impact) yang dapat diperoleh melalui proses tersebut. Paradigma new public management mengadopsi model organisasi privat, yang bekerja atas dasar biaya dan manfaat dari setiap kegiatan. Model ini lebih banyak berorientasi pada pencapaian manfaat seoptimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin, seperti pada rasionalitas ekonomi, sehingga instrumen-instrumen yang dikembangkan dari sistem pengetahuan tersebut mengarah pada pencapaian efisiensi dan efektivitas. Instrumen-instrumen tersebut misalnya, penyederhanaan prosedur, pemotongan rantai komando melalui pelimpahan kewenangan, pengenalan pola organisasi jejaring, pengembangan kapasitas sumber daya manusia untuk kepentingan pengambilan keputusan secara partisipatif, dan sistem pengawasan yang memungkinkan bekerjanya organisasi secara akuntabel. Keseluruhan instrumen tersebut mengarah pada kepentingan untuk menciptakan organisasi yang dikelola dengan seminimal mungkin intervensi secara langsung. Prinsip tersebut serupa dengan yang digunakan dalam sistem pertukaran atau sistem pasar, sehingga paradigma new public management selalu dikaitkan dengan gagasan liberalisme yang masuk ke dalam organisasi publik (Mok dan Forrest, 2009). Ketiga, standarisasi dokumentasi dan pengarsipan sebagai bagian dari pengelolaan data. Dokumentasi dan pengarsipan merupakan upaya penting untuk menjamin keberlanjutan dari pengaturan baru. Aparat birokrasi pelaksana program diwajibkan menyerahkan laporan database dinamis program/kegiatan, juga rekapitulasi fisik dan keuangan, serta laporan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan format yang telah ditentukan. Penyeragaman format laporan ini tidak semata bertujuan demi efektivitas dan efisiensi monitoring dan evaluasi, tapi juga untuk menjamin kepatuhan birokrasi terhadap batasan-batasan kategori yang telah ditentukan. Aktivitas pengumpulan data diarahkan untuk menjamin keberlanjutan penciptaan pengetahuan (knowledge creation). Pengetahuan diciptakan melalui konstruksi realitas dan untuk dapat melakukan hal ini, perlu ada pasokan data untuk diinterpretasikan sebagai realitas dan perlu keahlian tertentu untuk mengubah data menjadi pengetahuan. Kemampuan intelektual menggantikan kontrol birokrasi yang berbasis kewenangan dalam menentukan pengelolaan sumber-sumber daya (Blacker, et.al., 1998: 69). Kemampuan intelektual dalam mengelola data dibentuk melalui proses pembelajaran horisontal yang berlangsung di antara para aparat birokrasi
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan Kelestarian Berteraskan Ilmu
530
pelaksana program maupun melalui kegiatan ekspos atau paparan yang dilaksanakan secara bergiliran pada rapat-rapat koordinasi pelaksana program. Pemaparan pengetahuan-pengetahuan teknis tersebut penting untuk menyelaraskan cara kerja rezim manajemen pengetahuan dengan cara kerja yang biasa dipakai dalam pelaksanaan program rutin. Jadi, kendati rezim manajemen pengetahuan menjadi hal yang baru tapi cara kerja ini ternyata masih perlu menyesuaikan dengan mekanisme rutin yang biasa berlangsung dalam birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan aspek normatif dari suatu kegiatan. Ketersediaan dasar hukum serta petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) sebagai instrumen kerja yang lazim dipakai oleh birokrasi masih tetap penting bagi keberlanjutan program. Rezim manajemen pengetahuan tidak berarti sangat bebas karena pada kenyataannya, rezim ini kemudian melahirkan banyak standar yang harus dipenuhi agar proses produksi dan reproduksi pengetahuan dapat dimanfaatkan dengan optimal. Penetapan standar data yang diwajibkan memunculkan kompleksitas yang berbeda bagi cara kerja birokrasi yang mendorongnya untuk mulai memikirkan soal data sebagai basis dalam perencanaan, pelaksanaan, penganggaran, monitoring dan evaluasi program. Di sinilah dekonstruksi identitas menjadi praktik kekuasaan karena dalam proses ini ada upaya untuk mengontrol pola pikir dan perilaku subjek dengan mengacu pada rezim tertentu. PENUTUP Diskursus pembangunan manusia sebagai paradigma baru dalam pembangunan di Indonesia ternyata tetap memunculkan praktik pembangunan yang teknokratis meskipun teknokratisme ini muncul dengan wajah baru. Dengan menggunakan rezim manajemen pengetahuan, pengelolaan pembangunan diarahkan sebagai proses pengelolaan data untuk menghasilkan informasi bagi perencanaan pembangunan. Birokrasi menjadi institusi yang tersubjektivasi oleh rezim manajemen pengetahuan ini karena terjadi perubahan dalam cara kerja birokrasi. Basis kewenangan yang semula mendasari cara kerja birokrasi dalam mengelola pembangunan, tergantikan oleh berbagai standar, yang tidak hanya menentukan target yang harus dicapai tapi juga kualitas proses pembangunan. Standar-standar ini menjadi teknologi kekuasaan yang membentuk ulang cara kerja birokrasi, mendisiplin birokrasi untuk patuh pada rezim teknokratis baru yang mensyaratkan praktik pembangunan secara obyektif dan serba terukur. Penundukan birokrasi ini menyingkapkan wajah hegemonik dari wacana pembangunan manusia. Tapi di sisi lain, juga menunjukkan terjadinya pembajakan makna pembangunan manusia yang berpotensi memunculkan dampak yang bertentangan dengan yang diharapkan. Ketika pembangunan manusia direduksi sekedar pencapaian IPM dan seluruh agenda kebijakan diarahkan untuk memperbaiki peringkat negara dalam Laporan Pembangunan Manusia, maka praktik pembangunan manusia kembali terjebak dalam formalisme pembangunan. Karena itu, penting untuk tetap memelihara keberlanjutan proses diskursif dalam memaknai ulang gagasan pembangunan manusia. Instrumentasi terhadap gagasan pembangunan manusia tidak cukup dilakukan melalui penerbitan laporan
531
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015) 25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
pembangunan manusia dan pengukuran IPM setiap tahun. Perlu ada perluasan arena diskursif di luar birokrasi pemerintahan, sehingga kendati birokrasi tersubjektivasi oleh cara kerja yang instrumentalis dan teknokratis, tapi pelibatan aktor-aktor lain memungkinkan munculnya pengetahuan-pengetahuan baru yang dapat menerjemahkan gagasan pembangunan manusia sesuai dengan konteksnya. Kontekstualisasi pembangunan manusia tetap diperlukan agar pembakuan standar tersebut tidak menjebak pembangunan manusia ke dalam penyeragaman praktik pembangunan. DAFTAR PUSTAKA Abrahamsen, R. (2000). Disciplining Democracy: Development Discourse and Good Governance in Africa. New York: Zed Books. Burcell, Graham, Colin Gordon, dan Peter Miller. (1991). The Foucault Effect: Studies in Governmentality. Chicago: The University of Chicago Press. BPS, Bappenas, dan UNDP. (2004). Laporan pembangunan manusia Indonesia: Hitungan sebuah demokrasi: Pembiayaan pembangunan manusia di Indonesia. Blacker, Frank, Norman Crump, dan Seonaidh McDonald. (1998). Knowledge, organizations, and competition. Dalam J. R. Georg vo Krogh, Knowing in Firms: Understanding, Managing, and Measuring Knowledge (hal. 67-86). London: Sage Publications Ltd. Chaniago, A. (2001). Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia. Jakarta: LP3ES. Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of the Third World. Princeton: Princeton University Press. Foucault, M. (1982). The Subject and Power. Dalam H. L. (eds.), Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics. 2nd edition. Chicago: University of Chicago. Foucault, M. (2002). Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan. (Y. Santosa, Penerj.) Yogyakarta: Bentang Budaya. Kompas. (1996, Juli 23). Peringkat HDR belum memuaskan. Kompas. Dipetik Oktober 15, 2013, dari http://www.kompas.com/967/23/EKONOMI/peri.htm Mas’oed, M. (2001). Resep itu Bernama Washington Consensus. Dalam A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia. Jakarta: LP3ES. Murray, J.L. (1993). Development data constraints and the Human Development Index. Dalam D.G. Westerndorff dan D. Ghai (eds.). Monitoring social progress in the 1990s, hal. 40-64. Mok, Ka-Ho dan Ray Forrest. (2009). Changing governance and public policy in East Asia: Comparative development and policy in Asia Series. London dan New York: Taylor and Francis Routledge. Nussbaum, Martha C. (1988). Women and human development: The capabilities approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Universiti untuk Komuniti ASEAN : Kemakmuran, Keharmoniandan Kelestarian Berteraskan Ilmu
532
Peet, Richard dan Elaine Hartwick. (2009). Theories of Development: Contentions, Arguments, Alternatives (Second ed.). New York: The Guilford Press. Philpott, S. (2003). Meruntuhkan Indonesia: Politik postkolonial dan otoritarianisme. Yogyakarta: LkiS. Sarabia, Maria, Maria Obeso, Marta Guijarro, dan Carmen Trueba. (2012). Human development and knowledge management: A fresh look. African Journal of Business Management. Vol. 6 (11), hal. 4255-4266. Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Alfred A. Knopf. Srinivasan, T.N. (1994). Human development: A new paradigm or reinvention of the wheel?. The American Economic Review. Vol. 84, No. 2, hal. 238-243. Stiglitz, Joseph E., Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi. (2011). Mengukur kesejahteraan. Jakarta: Marjin Kiri. Villela, Dantas dan Farias Muniz. (2010). Conceptual navigation in knowledge management environments using NavCon. Information Process Management, 46: hal. 413-425.
i
ii
iii
iv
Foucault (dalam Philpott, 2003) menjelaskan teknologi kekuasaan sebagai teknologi yang memungkinkan semua individu, dengan kemampuan mereka sendiri atau bantuan orang lain, menjalankan operasi kekuasaan atas tubuh, jiwa, pikiran, dan perilaku mereka sendiri serta mentransformasikan mereka agar mencapai tingkat kebahagiaan tertentu, kemurnian, kebijaksanaan, kesempurnaan, atau keabadian. Istilah teknologi kekuasaan dipakai untuk merefleksikan karakter kekuasaan sebagai suatu modalitas, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat-tingkat penerapan, dan sasaran-sasaran yang dipakai untuk memproduksi kebenaran. Sejak tahun 1990, HDR telah terbit dengan sejumlah tema yang menandai isu-isu penting bagi pembangunan, antara lain tentang konsep pembangunan manusia; pembiayaan sosial bagi pembangunan; partisipasi politik; keamanan manusia; kesetaraan gender; pertumbuhan ekonomi; kemiskinan; konsumsi; globalisasi dan glokalisasi; hak asasi manusia; teknologi; demokrasi; Millenium Development Goals; kebebasan kultural; donor dalam pembangunan; perdagangan dan keamanan; sumber daya air; dan berbagai isu lain. Pendekatan kapabilitas yang dikembangkan Sen (1999) menekankan agar evaluasi dan kebijakan pembangunan berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan diwujudkan individu untuk mencapai kualitas hidup yang mereka inginkan serta mengatasi hambatan-hambatan yang mereka hadapi agar dapat memiliki kebebasan untuk menjalani kehidupan sebagaimana mereka cita-citakan. Konsepsi ini kemudian dikembangkan lagi oleh Martha Nussbaum (1988) yang menggunakan pendekatan kapabilitas sebagai landasan untuk membangun teorisasi keadilan. Selain HDR, UNDP juga menerbitkan Annual Report, Featured Reports, dan Newletters yang memuat tema-tema penting sebagai prioritas pembangunan manusia. Tema-tema ini kemudian disusun sebagai kluster isu yang menjadi wilayah aktivitas UNDP, yakni mencakup: pengentasan kemiskinan (poverty reduction), tata kepemerintahan yang demokratis (democratic governance), pencegahan dan pemulihan krisis (crisis prevention and recovery), lingkungan dan energi (environment and energy), penanganan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan (women’s empowerment), dan pengembangan kapasitas (capacity development). Pada tahun
533
v
vi
Simposium Kebudayaan Dan Kerjasama Indonesia–Malaysia 2015 (SKIM XIV 2015) 25 - 27 November 2015, The Everly Hotel, Putrajaya, MALAYSIA
2000, isu-isu pembangunan tersebut diwadahi dalam kesepakatan global bertajuk Millenium Development Goals (MDGs) yang berpusat pada 8 (delapan) sasaran, yakni pengentasan kemiskinan dan kelaparan, akses pendidikan dasar bagi semua warga, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian bayi, peningkatan kualitas kesehatan ibu, penanganan HIV/AIDS, malaria dan penyakitpenyakit lainnya, keberlanjutan kelestarian lingkungan hidup, serta pengembangan kemitraan global bagi pembangunan. Kendati mengusung tema yang sejalan dengan pembangunan manusia, MDGs lebih merupakan bentuk kesepakatan global untuk mengatasi problem-problem pembangunan secara berjejaring. Terdapat 3 (tiga) kategori yang dipakai HDR untuk mengklasifikasi negara-negara di dunia, yakni: 1) negara-negara dengan status pembangunan manusia tinggi adalah negara-negara yang berhasil mencapai nilai IPM lebih besar dari atau sama dengan 80; 2) negara-negara dengan status pembangunan manusia menengah adalah negaranegara yang nilai IPM-nya berada antara 50 sampai dengan 80; dan 3) negara-negara dengan status pembangunan manusia rendah adalah yang nilai IPM-nya di bawah 50 (HDR, 1990). Drucker (1993) menjelaskan bahwa dinamika ekonomi di negara-negara Barat pada masa sekarang telah bergeser dari ketergantungan pada keterampilan teknis menjadi kemampuan kreatif dari para knowledge workers, yakni people who are able to exploit the competitive advantage that their specialized insights provide (dalam Blacker, et.al., 1998: 69).