ii
________________________________Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
PROSIDING SEMINAR NASIONAL TEMA:
PEMANFAATAN TEKNOLOGI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENGHADAPI MEA (MASYARAKAT EKONOMI ASEAN) 2015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISBN: 978-602-97671-8-6
ii
________________________________Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
EDITOR Dr. M. Ikhsan, M.Pd. Dr. Rahmah Johar, M.Pd. Dra. Suryawati, M.Pd. Cut Khairunnisak, S.Pd., M.Si.
PENATA LETAK Dra. Bintang Zaura, M.Pd.
DESAIN COVER Iwannitona, S.Pd.
TEBAL BUKU 284 + x
PENERBIT Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah Darussalam – Banda Aceh Laman: http://matematika.fkip.unsyiah.ac.id/ © FKIP Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala Cetakan Pertama ISBN: 978-602-97671-8-6
iii
________________________________Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
LAPORAN KETUA PANITIA
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Tiada ucapan yang lebih pantas disampaikan kecuali puji dan syukur kepada Allah S.W.T, karena hanya atas ridha-Nya kegiatan “Seminar Nasional Pendidikan” sesuai dengan waktu yang direncanakan. Seminar ini akan menjadi kegiatan rutin dimasa yang akan datang (setiap tahun) di FKIP Unsyiah. Seminar Nasional Pendidikan yang berlangsung di Auditoruim FKIP Unsyiah lantai 3 Darussalam Banda Aceh pada tanggal 14 November 2015, diselenggarakan dengan dana BOPT. Tema Seminar Nasional Pendidikan adalah “Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)”. Dalam acara seminar tersebut panitia menghadirkan 2 orang keynote speaker yaitu; (1) Dra. Ida Karnasih,M.Sc.Ed.Ph.D (Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Medan - Indonesia) dan (2) Dr. Cut Morina Zubainur, S.Pd., M.Pd. (Dosen Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala - Indonesia) Pada kesempatan yang baik ini, kami sampaikan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Rektor Unsyiah, Dekan FKIP Unsyiah, tamu undangan, Ketua Program Studi Pendidikan Matematika, dan seluruh peserta seminar, atas segala partisipasi dan bantuannya. Rasa bangga dan terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh anggota panitia yang telah bekerja keras, bahu membahu untuk menyukseskan acara ini. Akhirnya kami mengucapkan selamat mengikuti seluruh rangkaian seminar, semoga bermanfaat.
Penanggung Jawab Seminar
Ketua Pelaksana
Ttd
Ttd
Dra. Suryawati, M.Pd.
Dr. M. Ikhsan, M.Pd.
iv
________________________________Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Yang paling utama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya kita dapat bertemu di forum "Seminar Nasional Pendidikan Matematika" dalam kondisi sehat jiwa dan raga. Tema seminar ini adalah “Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)”. Tema tersebut sangatlah urgen dan up to date saat ini dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya di Provinsi Aceh dan umumnya di Indonesia. Saya selaku Ketua Program Studi begitu gembira melihat antusias para panitia, dan para praktisi matematika, para alumni dan sarjanawan matematika dari berbagai instansi beserta partisipasi dari himpunan mahasiswa pendidikan matematika yang ikut ambil bagian dalam mensukseskan acara Seminar Nasional Pendidikan Matematika. Penelitian dan pengembangan yang terkait dengan dunia pendidikan harus terus digalakkan dan dikomunikasikan kepada semua stakeholder. Karenanya, upaya mengundang keynotespeaker, baik dari tingkat lokal dan nasional pun kami tempuh untuk menyemarakkan Seminar Nasional ini. Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada; Rektor Unsyiah yang telah memberikan arahan dan berkenan membuka seminar ini Bapak Dr. Djufri, M.Si. selaku Dekan FKIP Unsyiah, Ibu Dra. Ida Karnasih, M.Sc.Ed.Ph.D dan Ibu Dr. Cut Morina Zubainur, S.Pd., M.Pd. sebagai keynote speaker pada seminar ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada penyelenggara dan seluruh panitia yang terlibat dalam merancang kegiatan tersebut, atas upaya kreatif yang cukup mendasar sehingga pelaksanaannya cukup mengesankan. Kepada para Mahasiswa Pendidikan Matematika yang telah ikut hadir, yang nantinya menjadi pengalaman berharga dalam meneliti kehidupan terkait dalam pembelajaran matematika. Demikianlah sambutan saya, mudah-mudahan Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini berjalan dengan baik dan lancar serta memberikan pemikiran-pemikaran segar bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di Aceh. Wassalammu’alaikum Wr. Wb. Ketua Program Studi Matematika FKIP Unsyiah Ttd Dra. Suryawati, M. Pd. v
________________________________Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
DAFTAR ISI LAPORAN KETUA PANITIA .............................................................................. SAMBUTAN KETUA PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA ....................... DAFTAR ISI ............................................................................................................
iv v vi HAL
PEMBICARA UTAMA PEMANFAATAN TEKNOLOGI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENGHADAPI MEA (MASYARAKAT EKONOMI ASEAN) Ida Karnasih PEMANFAATAN VIDEO PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU MATEMATIKA DALAM MENGHADAPI MEA Cut Morina Zubainur, Dr. Rahmah Johar, M.Pd.
1
12
BIDANG PENDIDIKAN MATEMATIKA AKTIVITAS SISWA PADA MATERI BARISAN DAN DERET ARITMATIKA MELALUI MODEL PROBLEM BASED LEARNING DI KELAS X SMK KESEHATAN ASSIFA SCHOOL BANDA ACEH Annisa Suryamanda
20
INVESTIGASI POLA KONTINGENSI SCAFFOLDING GURU PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA Anwar Ramli
27
PENGARUH PENDEKATAN SAINTIFIK TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR BARISAN DAN DERET SISWA KELAS X SMAN 10 FAJAR HARAPAN BANDA ACEH Bainuddin Yani, R M Bambang S, Nurul Husna
41
HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI INTEGRAL DENGAN MENGGUNAKAN GEOGEBRA DI KELAS XII SMA LAB SCHOOL UNSYIAH TAHUN PELAJARAN 2014/2015 Bintang Zaura, Fahrul Annas
53
PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK DENGAN MENGGUNAKAN MATH PROJECT IN DAILY LIFE (MPID LIFE) PADA SISWA KELAS X MIA1 SMAN 1 MEUREUDU Cut Laila Kulsum
62
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TEAM QUIZ PADA MATERI STATISTIKA DI KELAS VII SMP NEGERI 7 BANDA ACEH Eka Junita, Tuti Zubaidah
70
vi
________________________________Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
PRESTASI MAHASISWA PENERIMA BEASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ellianti, Khairul Umam, Rizki
82
PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DALAM MATERI RELASI DAN FUNGSI BAGI SISWA KELAS X MAN MODEL BANDA ACEH Erni Maidiyah, Bintang Zaura, Decy Pramita Sari Yusna
93
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA PURBAKALA DAN PERKEMBANGAN: PARTISIPASI DAN RESPON MAHASISWA M, Hasbi, RM Bambang, Usman
101
SIKAP SISWA TERHADAP PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING PADA MATERI LINGKARAN DI MTsN 2 LEUNG BATA BANDA ACEH Indah Suryawati
107
RESPON SISWA TERHADAP PENGGUNAAN SOFTWARE AUTOGRAPH DENGAN GAME ANGRY BIRDS DALAM PEMBELAJARAN FUNGSI KUADRAT DI KELAS X SMA Suhartati, Iwannitona
114
PENGGUNAAN SOFTWARE CABRI 3D PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR KELAS VIII SMPN 6 BANDA ACEH Johan Yunus, M. Ikhsan, Onas Rahman
122
PENGARUH TASK COMMITMENT TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS XI MAN DARUSSALAM ACEH BESAR TAHUN PELAJARAN 2014/2015 Khairul Umam, Yuhasriati, Maghfirah
132
PENGEMBANGAN APLIKASI ZAKAT BERBASIS MATLAB Mukhlis Hidayat, Lidya Marissa
140
VALIDITAS PERANGKAT PEMBELAJARAN PROGRAM LINIER METODE GARIS SELIDIK BERBANTUAN SOFTWARE AUTOGRAPH Mirna, Cut Morina Zubainur
146
MENIGKATKAN KEMAMPUAN GURU MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN TIPE INSIDE – OUTSIDE- CIRCLE PADA MATERI PEMBAGAIN PECAHAN DI SDN 1 LAMBHEU ACEH BESAR Monawati, Sarah Ramadhayani
154
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN MENGIKUT KONTEKS DI SEKOLAH MENENGAH TEKNOLOGI INDUSTRI BANDA ACEH Murni
162
vii
________________________________Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING PADA MATERI KELILING LINGKARAN DI KELAS VIII SMP NEGERI 3 DARUL HIKMAH Radhiati
174
RESPON SISWA TERHADAP PENERAPAN MODEL PROJECT BASED LEARNING (PJBL) PADA MATERI STATISTIKA DI KELAS VII SMP MEHODIST BANDA ACEH Rahmi Maulina
183
HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) PADA MATERI SEGIEMPAT DI KELAS VII MTSN MODEL BANDA ACEH Rizka, Tuti Zubaidah
191
KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL SBMPTN BIDANG MATEMATIKA OLEH SISWA KELAS XII DI SMA NEGERI 1 BANDA ACEH TAHUN 2015 RM Bambang S, Budiman, Srimawarni
206
AKTIFITAS SISWA TERHADAP MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING PADA MATERI TRANSFORMASI GEOMETRI DI KELAS XI SMAN 1 SABANG Rosyi Kurniawati
214
HUBUNGAN MOTIVASI BELAJAR SISWA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 8 BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2014/2015 Salasi R, Suryawati, Kartika Sarah
222
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PISA UNTUK SISWA SMP Somakim
231
PENERAPAN PROJECT BASED LEARNING (MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK) PADA MATERI HIMPUNAN DI KELAS VII SMP NEGERI 7 BANDA ACEH TAHUN AJARAN 2014/2015 Suhartati
242
KENDALA GURU MATEMATIKA DALAM MENYUSUN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN DI SMP NEGERI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2014 Suryawati, Erni Maidiyah, Risa Handayani
249
KONSEPSI: PEMAHAMAN MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA TENTANG LIMIT FUNGSI Usman
260
viii
________________________________Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika untuk Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
SIKAP KERJASAMA PADA PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING UNTUK MATERI OPERASI HITUNG ALJABAR DI KELAS VIII MTS INSAN QURANI Wahyu N
269
COMMUNICATION SKILL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Yuhasriati, M. Ridhwan
277
ix
INVESTIGASI POLA KONTINGENSI SCAFFOLDING GURU PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA Anwar Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Email:
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan menginvestigasi pola kontingensi scaffolding pada pembelajaran matematika yang dilakukan oleh tiga guru. Pola kontingensi diperoleh melalui pemeriksaan strategi diagnostik, strategi intervensi, dan pengecekan diagnosis berdasarkan fragmen percakapan guru-siswa selama scaffolding. Fragmen tersebut ditranskripsikan dari rekaman pembelajaran menggunakan video. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga guru memperlihatkan pola kontingensi interaksi pembelajaran yang berbeda ketika scaffolding, yaitu dominan kontingen, dominan nonkontingen, dan kontingen semu. Selain itu, interaksi pembelajaran oleh guru yang lebih berpengalaman cenderung dominan kontingen dibandingkan dengan guru pemula. Kata Kunci: Scaffolding, kontingensi, strategi diagnostik, strategi intervensi, dan pengecekan diagnosis PENDAHULUAN Scaffolding merupakan bagian dari strategi pembelajaran yang memenuhi tuntutan peran guru dalam memfasilitasi belajar siswa (Lin dkk., 2012) dan menghasilkan pembelajaran yang efektif (Van de Pol, 2012: 6). Para guru seringkali memberikan scaffolding kepada siswa yang tidak mampu menyelesaikan tugas-tugasnya secara mandiri (Alibali & Nathan, 2005). Melalui scaffolding, siswa diharapkan memiliki kemandirian mempelajari materi yang difasilitasi guru (Anghileri, 2006). Untuk mencapai hal tersebut sangat bergantung dari pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman guru tentang pemberian scaffolding (Holton & Clarke, 2004). Menurut Holton & Clarke (2004), ada guru yang mampu memberikan scaffolding dengan cara tertentu tetapi ia tak mampu memberikan dengan cara lain. Bagi guru yang mempunyai pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman memfasilitasi pelajaran secara baik maka ia akan mampu membimbing siswa ke arah pemahaman yang mendalam. Tentu saja, hal itu berbeda dari guru yang mempunyai pengetahuan yang kurang baik karena ia akan mengalami kesukaran dalam membantu para siswa. Oleh karena itu, cara guru memfasilitasi scaffolding pada pembelajaran matematika penting untuk dikaji lebih jauh. Meskipun scaffolding dipertimbangkan sebagai metode pembelajaran yang efektif (Anghileri, 2006; Danilenko, 2010; Ferguson & McDonough, 2010; Koedinger, 2005; Thompson, 2013; Ünal, 2012; Zambrano & Noriega,
27 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
2011), namun scaffolding masih agak langka dikaji oleh para peneliti (Van de Pol, Volman & Beishuizen, 2011: 57). Hasil metaanalisis Van de Pol (2010: 273) sebanyak 66 jurnal penelitian dari tahun 1989 sampai 2009 terkait scaffolding menunjukkan bahwa penelitian tentang scaffolding lebih banyak dikaji pada bidang literasi, sedikit sekali pada bidang sains dan matematika. Dari sebanyak penelitian tersebut, sangat sedikit pula yang mempertimbangkan efektivitas scaffolding (Van de Pol, 2010: 274). Oleh karena itu, Van de Pol (2010: 275) dan Van de Pol (2012: 32) menyarankan pentingnya memeriksa contingency (diagnosis dan kesesuaian bantuan guru dengan pemahaman siswa) sebagai salah satu karakteristik utama pemberian scaffolding, selain fading (pengurangan bantuan secara berangsur) dan transfer of responsibility (penyerahan tanggung jawab guru kepada siswa). Alasannya adalah jika seorang guru memberikan scaffolding kepada siswa secara kontingen, bantuan guru tersebut pastilah lambat laun dikurangi dan tanggung jawab guru harus ditransfer kepada siswa. Oleh karena itu, kontingensi (contingency) merupakan prasyarat dan karakteristik utama bagi pemberian scaffolding. Inilah yang menjadi fokus penelitian ini, yakni melakukan investigasi terhadap fragmen percakapan guru-siswa saat pemberian scaffolding, yang selanjutnya disebut fragmen interaksi pembelajaran. Van de Pol (2012: 98) telah melakukan investigasi kontingensi interaksi pembelajaran pada materi ilmu pengetahuan sosial ketika memberikan scaffolding dalam kelompok kecil. Hasil penelitian Van de Pol (2012) menunjukkan bahwa ada dua pola kontingensi interaksi yang dilakukan guru ketika memberikan scaffolding kepada siswa, yaitu kontingen dan nonkontingen. Temuan Van de Pol tersebut boleh jadi berbeda bila dilakukan untuk mata pelajaran lain seperti matematika. Karena itu, penelitian ini fokus pada interaksi guru-siswa secara perorangan ketika pemberian scaffolding pada pembelajaran matematika. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan hasil observasi peneliti sebelumnya (Anwar dkk., 2014) bahwa ketika guru memberikan scaffolding kepada sekelompok siswa, guru cenderung mengarahkan bantuan kepada siswa yang bertanya atau yang meminta bantuan, bukan kelompoknya. Fragmen interaksi yang kontingen dalam suatu pembelajaran boleh jadi lebih banyak terjadi dari fragmen interaksi yang nonkontingen, atau sebaliknya. Bila fragmen interaksi kontingen lebih banyak terjadi, peneliti menyebutnya sebagai dominan kontingen. Bila fragmen interaksi lebih banyak terjadi yang nonkontingen, peneliti menyebutnya sebagai dominan nonkontingen. Boleh jadi pula, suatu fragmen interaksi mengarah kepada dominan kontingen tetapi guru salah atau ragu-ragu dalam menyampaikan konsep. Fragmen interaksi seperti itu disebut kontingen semu.
28 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
Penelitian ini bertujuan menginvestigasi pola kontingensi interaksi pembelajaran yang dilakukan guru matematika saat pemberian scaffolding kepada siswa. Dengan diketahuinya pola kontingensi interaksi pembelajaran, nantinya dapat ditelusuri proses berpikir guru ketika memberikan scaffolding pada pembelajaran matematika. Penelitian ini dapat juga dijadikan dasar pemetaan pembelajaran guru matematika dalam membentuk keprofesionalannya ditinjau dari kontingensi interaksi pembelajaran yang dilakukan guru. METODE Penelitian ini dilaksanakan di MTs dan SMA Suryabuana Malang dari tanggal 9 hingga 14 Oktober 2014. Ketiga subjek penelitian ini, yaitu DN, HY dan LD telah menyatakan kesediannya untuk diobservasi. DN adalah seorang calon guru perempuan yang memfasilitasi materi kalimat tertutup dan kalimat terbuka di kelas VII MTs sebanyak 25 siswa. HY adalah seorang guru laki-laki berpengalaman kurang dari satu tahun yang memfasilitasi materi komposisi fungsi di kelas X SMA sebanyak 13 siswa, dan LD adalah seorang guru perempuan berpengalaman kurang dari empat tahun yang memfasilitasi materi persamaan garis lurus di kelas VIII MTsN sebanyak 28 siswa. Ketiga subjek diminta melaksanakan pembelajaran seperti yang biasa mereka laksanakan. Peneliti merekam pembelajaran ketiga subjek tersebut menggunakan video. Fokus utama kegiatan adalah merekam percakapan guru-siswa saat scaffolding. Penggunaan video tidak begitu mempengaruhi para siswa karena mereka sudah terbiasa dengan suasana seperti itu. Wawancara semi-struktur dilakukan terhadap guru dan beberapa siswa untuk mengetahui manfaat scaffolding yang dilakukan guru dan melacak pemahaman siswa. Wawancara semi-struktur adalah wawancara yang dimulai dari pertanyaan spesifik dan diikuti oleh pikiran responden berkaitan dengan pertanyaan wawancara. Selanjutnya, fragmen interaksi ditranskripsikan sambil memutar rekaman video, yang bertujuan untuk membantu peneliti melihat konteks yang terjadi selama pembelajaran. Untuk mengetahui pola kontingensi setiap fragmen interaksi pemberian scaffolding diperiksa menggunakan tiga strategi yaitu strategi diagnostik (D), strategi intervensi (I), pengecekan diagnosis (C). Selanjutnya, peneliti menguantifikasi banyaknya strategi D, C atau I yang terjadi untuk menentukan dominasi pola kontingensi interaksi pembelajaran yang dilakukan guru berdasarkan scaffolding yang diberikan.
29 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
HASIL Informasi umum tentang fragmen interaksi pembelajaran ketiga subjek dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Rangkuman Pemberian Scaffolding Dalam Pembelajaran Matematika Berdasarkan Materi, Durasi Waktu, dan Fragmen Interaksi per Guru
Kode Guru
Materi
Lama dalam menit pemberian scaffolding (banyak fragmen)
LD
Persamaan linear dan grafiknya
20(22)
HY
Fungsi komposisi
12(19)
38 (26,6%)
DN
Kalimat Terbuka dan Kalimat tertutup
29(34)
61
Jml
Rerata scaffolding per fragmen interaksi (detik)
Perbandingan Strategi Kontingensi Yang digunakan Banyak Strategi Intenvensi (I)
Banyak Strategi Cheking (C)
67 (33,8%)
41 (45,6%)
8 (9,1%)
39 (19,7%)
13 (14,4%)
51 (35,7%)
38 (43,7%)
92 (46,5%)
36 (40%)
143
87
198
90
54 (37,8%)
Banyak Strategi Diagnostik (D) 41 (47,1%)
Ketiga subjek memperlihatkan perbedaan banyaknya fragmen interaksi, rata-rata durasi waktu yang digunakan dalam satu fragmen interaksi, serta kontingensi interaksi pembelajaran yang dilakukan saat scaffolding. Deskripsi Interaksi Pembelajaran oleh DN Berikut adalah suatu fragmen interaksi pembelajaran yang dilakukan DN ketika memfasilitasi materi kalimat terbuka dan kalimat tertutup. Fragmen 1 Siswa: Kalimat terbuka adalah kalimat yang dapat atau tidak dapat bu? Dapat dinyatakan benar maupun salah atau tidak dapat dinyatakan benar atau salah bu? Guru: Contohnya ini…[menunjuk kalimat “Ibukota RI adalah x”] Dia dapat ndak dinyatakan benar atau salah?[D] Siswa: Lha dapat Guru : Dapat dari mananya? [D] Siswa: Dapat dari x Guru : Bisa dinyatakan benar? [D] Siswa: Bisa Surabaya … bisa Jakarta Guru : Kalau Ibu buat Jakarta? [I] Siswa: Benar. Guru : Kalau ibu buat Surabaya? I] Siswa: Salah Guru : Kalau tidak Ibu ubah tetap x [I]
30 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
Simpulan
Dominan Kontingen Dominan nonkontingen Kontingen Palsu (semu)
Siswa: Tidak bisa dinyatakan benar maupun salah…oh tidak bisa dinyatakan … Guru : [meninggalkan anak] Memperhatikan fragmen 1, sebenarnya scaffolding yang diberikan DN sudah mengarah kepada interaksi pembelajaran yang kontingen. DN telah memunculkan pertanyaan diagnostik dan intervensi, tetapi DN tidak memberi pembenaran atas jawaban siswa dan meninggalkan siswa begitu saja. Akibatnya, pemahaman siswa masih kurang jelas. Juga, DN tidak melakukan strategi checking. Bahkan, pada beberapa fragmen lain, DN salah menyebutkan definisi yang difasilitasinya (dapat diamati dalam fragmen 2 dan 3). Fragmen 2 Siswa: Bu kalimat terbuka.. Guru : Kalau kalimat terbuka tadi kan kalimat yang dapat dinyatakan benar atau salah atau tidak kedua-duanya. Nah kalau tertutup berarati ia …. apa? [I] Siswa : Oh… Fragmen 3 Guru: Jadi kesimpulannya … kalimat tertutup itu apa? Kalimat tertutup itu kan contohnya tadi ini … ini… sampai sini…Terus dikelompokkan jadi kelompok ini… kelompok ini… kelompok ini…Berarti kalimat tertutup ini apa? [D] Siswa: [terdiam] Guru: Kalimat yang… yang tidak dapat … Siswa: Dinyatakan benar Guru : Atau..? [I] Siswa: Dinyatakan salah Guru: Silahkan tulis pakai kata-kata sendiri Memperhatikan interaksi yang dilakukan DN seperti fragmen 1, 2 dan 3, dapat disimpulkan bahwa fragmen interaksi yang diberikan DN dikodekan sebagai kontingensi semu. Dikatakan semu karena pola kontingensi scaffolding yang diperlihatkan DN tidak memberikan pemahaman siswa secara benar akibat guru salah atau ragu-ragu menyampaikan definisi suatu konsep secara benar. Sebenarnya, interaksi pembelajaran yang dilakukan DN sudah mengarah kepada dominan kontingen (55,8%), tetapi 32,3% termasuk kontingen semu. Akibatnya, penerapan strategi kontingensi yang dilakukan DN terlihat kurang bermakna bagi pemahaman siswa. Hingga akhir sesi pengerjaan lembar kegiatan siswa (LKS), para siswa masih sukar memahami materi
31 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
yang diberikan. Hasil analisis rekaman video menunjukkan bahwa DN kerapkali salah dalam menyampaikan materi kalimat terbuka dan kalimat tertutup serta terkesan ragu-ragu. Di antara definisi yang salah disampaikan DN antara lain: “Kalimat tertutup ialah kalimat yang tidak dapat dinyatakan benar maupun salah atau keduanya. Kalimat terbuka adalah kalimat yang tidak dapat dinyatakan dengan benar maupun salah atau keduanya”. Pernyataan-pernyataan seperti itu tepat sama dengan yang diungkap DN ketika peneliti mewawancarai DN setelah pembelajaran. Deskripsi Interaksi Pembelajaran oleh HY Berikut adalah fragmen interaksi yang dilakukan HY untuk membangun kontingensi interaksi ketika membelajarkan materi fungsi komposisi. Fragmen 4 Guru : Sudah? Siswa : Nih pak... Guru : Domainnya dari yang paling awal ini [sambil menunjukkan himpunan tertentu] [I] Siswa : Jadi f(a) = 3 gitu domainnya ya? Guru : Domainnya yang ini a… b…c…Kodomainnya p, q, r, s [I] Siswa : Rangenya pak? Guru : Yang ditunjuk ini… ya… sama aja..[I] Siswa : Ya ya… Guru : [Guru meninggalkan siswa] Fragmen 5 Guru : x pangkat tiga dikuadratkan bagaimana? [D] Siswa : x pangkat lima kan ditambahkan… Guru : x kuadrat dikuadratkan …x pangkat lima? [C] Siswa : Oh..x pangkat sembilan Guru : x pangkat enam. Ia kan?… x pangkat tiga dipangkatkan kan sama saja perkalian…tambahan-tambahan ini kan …x perkalian … x pangkat tiga dikali x pangkat dua baru x pangkat lima. … [menjelaskan (x3-1)2] [I] Siswa : Berarti nih sudah benar pak ya? Guru : Ya Siswa : Pak… kalau g bundaran f ini bener, punya saya? Guru : x kuadrat.. pangkat tiga …[sambil menunjuk (x2)3 ] [I] Siswa : Oh enam…ya. ya sebentar… Meskipun pada fragmen 5 (baris pertama), HY mencoba melakukan strategi diagnostik, namun pada baris-baris berikutnya HY lebih dominan melakukan strategi intervensi dengan memberikan jawaban langsung. Hal ini sesuai dengan temuan Elbers dkk. (2008) para guru jarang mengeksplorasi masalah siswa secara tepat dan alami, melainkan guru
32 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
memberikan penjelasan langsung. Interaksi seperti itu kerapkali dilakukan HY dalam pembelajarannya. Dalam penelitian ini, fragmen interaksi pemberian scaffolding yang diberikan HY dinyatakan sebagai dominan nonkontingen. Hasil observasi menunjukkan bahwa ada 19 fragmen interaksi yang dilakukan HY dengan para siswa, 6 di antaranya sebagai fragmen interaksi umum (seluruh kelas). Ini sesuai dengan pendekatan pembelajaran langsung yang dilakukan HY. Lamanya pemberian scaffolding oleh HY rata–rata adalah 38 detik untuk setiap fragmen interaksi. Menurut peneliti, HY termasuk guru yang menguasai materi, tetapi HY lebih dominan menggunakan scaffolding yang bersifat direktif atau strategi intervensi. Bila ada siswa yang membutuhkan bantuan, HY langsung mengarahkan jawabannya dengan cara memberi tahu jawabannya atau HY sendiri yang menuliskan jawabannya. Hampir setiap persoalan yang ditanyakan siswa umumnya dibantu HY dengan dikerjakan oleh HY sendiri. HY sangat dominan (60%) menggunakan strategi intervensi dalam memberi bantuan kepada siswa. Peneliti juga menyebut hal ini sebagai strategi direktif. Penerapan strategi-strategi tersebut terlihat kurang bermakna bagi siswa. Apalagi, hasil pemeriksaan peneliti menunjukkan bahwa waktu yang diberikan HY untuk membantu siswa tergolong singkat bahkan sangat singkat untuk beberapa siswa. Akibatnya, siswa tidak mengonstruksi berpikir sendiri selama belajar sehingga dimungkinkan apa yang dipahami siswa tidak bertahan lama di pikiran siswa. Inilah mengapa interaksi pembelajaran yang dilakukan HY dinyakan sebagai dominan nonkontingen. Deskripsi Interaksi Pembelajaran oleh LD Berikut adalah fragmen yang dilakukan LD sebagai upaya melakukan interaksi berpola kontingen ketika membelajarkan materi persamaan garis lurus y = mx +c. Fragmen 6
Siswa: Bu LD…[Siswa memanggil guru terkait dengan tulisan yang ada di bagian awal LKS tentang tulisan y = mx + c ketika guru masih berada agak jauh dari siswa] Guru : Kalau ada x nya … m nya itu namanya apa? [D] Siswa: Bukan konstanta kan ya… Guru : Namanya apa? [D] Siswa: Koefisien… Guru : Em… Siswa: Habis itu ..bagaimana? Guru : Kan diberikan bentuk umum seperti itu…? [D] Siswa : Ya…
33 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
Guru : Persamaan garis lurus …sekarang kamu disuruh menuliskan contohnya, berarti kayak yang bagaimana sih yang namanya garis lurus itu? [C] Siswa : Enggak paham… Guru : Kayak kemarin, kemarin kan Ibu memberikan ee.. fungsi linear bentuk umumnya f(x) = ax+b [I] Siswa : e e.. Guru : Terus bu Linda menuliskan contohnya … berarti f(x) sama dengan… 2x ples lima.... [I] Siswa : Oh jadi…ini..ini Guru : aa.. kamu tinggal memberikan contohnya… [I] Siswa : angka..pakai angka… Guru : aa… Siswa : Tapi terserah kita kayak apa kan ya…? Guru : aa.. Siswa : mx plus c itu hasilnya itu y gitu toh? Guru : y itu .. persamaannya itu y sama dengan mx ples c..[I] Siswa : Oo e e.. Terima kasih bu. Fragmen 7 Siswa : [Siswa menunjuk ke arah bagian awal LKS yang belum dipahaminya] Guru : Kalau kemarin persamaan… e…fungsi linear itu kan f(x) = ax + b toh... Yang bisa digonta ganti, apanya? [D] Siswa : Huruf a Guru : Harusnya sama jawabannya [I] Siswa : Oh berarti kan x nya itu kan kita enggak …enggak tahu berapa… Guru : ya.. Siswa : Tadi gini tadi misalnya f(x) = 4x + 2… Guru : y itu sama dengan apa kemarin sudah dijelaskan? [D] Siswa : y … [siswa masih bingung] Guru : Kalau menggambar koordinat kartesius… harus ada y nya enggak di situ? [D] Siswa : e e.. ya Guru : Di situ persamaan umumnya harus ada y nya ndak di situ? [D] Siswa : Ya… Guru : Jadi bagaimana? [C] Siswa : Jadi f(y) … di situ harus ada y? Guru : em em ya…Kalau f(x) harus ada x. Sekarang, bentuk umumnya itu y = mx + c…[I] Siswa : ee… Guru : Nah berarti yang boleh diubah-ubah apanya? [C] Siswa : m sama c…
34 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
Guru : Berarti x sama y nya….? [C] Siswa : Ya tetap gitu? Guru : Sudah? Siswa : Oh, ya tau ..ya Bu… Fragmen 6 dan 7 merupakan dua fragmen interaksi yang kontingen dilakukan LD. Interaksi seperti itu kerapkali dilakukan LD selama pembelajarannya. Dalam penelitian ini fragmen interaksi pemberian scaffolding yang diberikan LD dinyatakan sebagai dominan kontingen. LD hampir berimbang menerapkan ketiga strategi dalam memberikan scaffolding (dapat dilihat dalam tabel 1). Meskipun srategi intervensi lebih dominan dari dua strategi lainnya, tetapi strategi intervensi yang dilakukan LD bukan bersifat direktif dalam arti memberi tahu jawaban melainkan mengintervensi siswa untuk memikirkan masalah yang sedang dihadapi siswa. Hasil penelitian menunjukkan ada sebanyak 22 fragmen interaksi yang dilakukan LD, dua di antaranya sebagai fragmen interaksi umum. Pengaturan kelas dilakukan dengan cara siswa duduk berjajar satu bangku berdua dengan lamanya pemberian scaffolding rata–rata adalah 54 detik. Dalam hal ini, LD telah menggunakan strategi seperti yang dituliskan Van de Pol (2012), yaitu strategi diagnostik, checking dan intervensi. Hal ini membuat siswa terdorong untuk memahami materi yang difasilitasi LD. PEMBAHASAN Meskipun tidak menggeneralisasi temuan, penelitian ini telah memperlihatkan fakta empiris perbedaan fragmen interaksi pembelajaran yang dilakukan oleh tiga guru saat pemberian scaffolding ditinjau dari pola kontingensi interaksi pembelajarannya, yaitu dominan kontingen, kontingen semu, dan dominan nonkontingen. Temuan ini memberikan beberapa kontribusi tentang pembelajaran matematika dan scaffolding yang diberikan guru. Temuan ini berbeda dengan temuan Van de Pol (2012) yang menemukan dua pola kontingensi interaksi pembelajaran oleh guru yang berbeda dengan materi yang sama yaitu: kontingen dan nonkontingen. Penelitian ini tentu memiliki keterbatasan. Perbedaan interaksi ketiga subjek dalam penelitian ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pengalaman subjek dalam memfasilitasi materi ajar, karakteristik mata pelajaran, dan pendekatan pembelajaran yang diakukan (Corey, 2010), termasuk penggunaan LKS (lembar kerja siswa). Pertama, secara umum, ketiga subjek tersebut tergolong dalam usia yang relatif muda. Faktor ini tentu berdampak pada kurangnya pengalaman mengajar dan berdampak pula kepada interaksi pembelajaran guru yang cenderung
35 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
nonkontingen atau kontingen semu. Sebagai guru pemula, kemungkinan tingkat stres ketika mengajar jauh lebih besar. Ini terlihat pada DN sebagai calon guru (praktikan) dan HY sebagai guru yang baru mengajar selama dua bulan. Sebagaimana dikatakan Travers & Cooper (1996) bahwa mengajar adalah salah satu yang paling stres dari pekerjaan pelayanan manusia. Borko & Putnam (1996) mengatakan bahwa guru pemula mungkin terlalu stres mengajar secara efisien dari pengalaman mengajar mereka. Yang menarik dalam penelitian ini adalah meskipun guru dengan pengalaman mengajar kurang dari empat tahun seperti LD yang pengalamannya sedikit lebih lama dari DN dan HY, namun LD mampu memperlihatkan pembelajaran dengan pola interaksi yang dominan kontingen. Hal ini didukung oleh temuan Unal (2012) bahwa semakin guru lebih berpengalaman maka ia semakin dapat mengontrol pengaturan tingkah laku dan pembelajarannnya. Oleh karena itu, sebagai guru muda atau boleh dikatakan guru baru (HY atau DN), adalah wajar jika mereka menampilkan interaksi pembelajaran yang dominan nonkontingen dan bahkan memiliki kekontingenan semu (palsu). Temuan ini juga hampir serupa dengan temuan Van de Pol (2012) yang mengkondisikan guru mengajar pada jenjang yang sama tetapi interaksi pembelajaran yang kontingen masih sukar terjadi. Kedua, karakteristik materi yang diamati dalam penelitian ini juga berbeda jenjangnya. Penelitian ini dilakukan pada lingkungan sekolah yang sama dengan jenjang pendidikan yang berbeda, yaitu: sekolah menengah tingkat pertama dan sekolah menengah tingkat atas. Perbedaan ini tentu berpengaruh pada perbedaan tingkat kesukaran penyajian materi, dan kesiapan guru dalam menyampaikan materi. Evans (2011) menemukan bahwa guru sekolah menengah atas secara signifikan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dari para guru sekolah menengah pertama dan guru yang memiliki latar belakang matematika yang kuat secara signifikan memiliki pengetahuan materi yang lebih tinggi dari para guru yang tidak memiliki latar belakang matematika yang kuat. Feldon (2007) menyebutkan: “teachers might suffer from cognitive overload when both having to deal with complex subject matter and with another person’s understanding of that complex subject matter at the same time. This makes diagnosing students’ understanding and deciding which support a student needs at the same time difficult”. Dapat dipahami bahwa materi komposisi fungsi yang difasilitasi HY di jenjang sekolah menengah atas lebih sulit dari materi yang difasilitasi oleh DN dan LD pada tingkat sekolah menengah pertama. Merujuk kepada Gresalfi & Cobb (2007), HY bukanlah guru yang efektif. Guru yang efektif adalah guru yang terlibat dalam kegiatan yang fokus pada
36 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
diskusi, bekerjasama dan memperbaiki visinya. Guru yang efektif mampu menangani kesukaran siswa (Sowder, 2007). Guru tahu bagaimana memberikan scaffolding yang mendorong siswa mengembangkan pemahamannya. Guru tahu pengetahuan apa yang perlu diberikan untuk memahami materi baru. Sementera dua guru lainnya, DN dan LD, meskipun telah mengggunakan LKS yang terencana, mereka tetap memperlihatkan pola kontingensi yang berbeda pula. LD dapat dikatakan memahami materi yang difasilitasinya sementara DN masih kurang memahami. Sebagai penelitian awal dan sifatnya alami, peneliti tidak begitu mengetahui kekuatan dan kelemahan subjek sebelumnya. Kondisi ini akan menjadi pertimbangan ke depan untuk mengambil beberapa subjek dengan sekolah yang berbeda, jenjang kelas yang sama, dan materi yang sama agar diperoleh temuan yang lebih baik. Ketiga, subjek dalam penelitian ini belum pernah mendapat pelatihan tentang bagaimana melakukan interaksi pembelajaran secara kontingen. Tambahan lagi, pembelajaran yang difasilitasi HY menggunakan pendekatan pembelajaran langsung (hanya menggunakan buku paket, tanpa worksheet), terkesan kurang terencana dengan baik. Kesalahan pun terjadi ketika HY memberikan contoh fungsi komposisi yang tidak selalu dapat dicari fungsi inversnya. Akibatnya, guru tidak selalu tahu bagaimana mendiagnosis pemahaman siswa (Morrison & Lederman, 2003). Kondisi ini tentu berpengaruh pada kesulitan pelaksanakan pembelajaran yang kontingen di kelas. Meskipun terlihat sulit, menjadikan pembelajaran yang kontingen merupakan kebutuhan vital dalam setiap pembelajaran. Menurut Corey dkk (2011:464), mempertimbangkan proses pengembangan gurusiswa, khususnya interaksi yang kontingen, biasanya membutuhkan latihan. Oleh karena itu, tindakan guru yang membelajarkan siswa dengan konsep yang salah, langsung memberi jawaban dari pertanyaan siswa tanpa menggali lebih mendalam maksud pertanyaan tersebut, wajar terjadi dalam penelitian ini. Menurut peneliti, semua strategi yang ingin dibangun subjek seperti strategi diagnostik, strategi intervensi, dan pengecekan diagnosis memerlukan bimbingan dan pengalaman, termasuk masalah bahasa atau keterampilan bertanya. Sebagaimana dikatakan Mercer & Littleton (2007) bahwa jika pembelajaran terjadi dalam interaksi sosial, bahasa atau ucapan merupakan alat yang penting untuk berkomunikasi dan membimbing belajar. Melalui penggunaan bahasa, guru dapat lebih mahir menjelaskan, menginstruksikan, dan menanyakan ketika membimbing siswa belajar. Melalui bahasa, seorang pelajar dapat mengeksperesikan pemahamannya, memberi alasan, mengajukan masalah, dan belajar. Melalui bahasa, guru dan siswa dapat saling membangun pengetahuan bersama dalam interaksinya, yakni mereka saling berpikir. Oleh karena itu guru perlu memiliki keterampilan bertanya.
37 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
Krulik (2003: 61) mengatakan bahwa bertanya mempunyai tiga tujuan menurut sifatnya: 1) Menyelidiki perhatian siswa, 2) Mengetahui jika siswa mempelajari apa yang didiskusikan, 3) Mengetahui apakah siswa tertarik pada matematika. Sementara menurut levelnya, bertanya mempunyai dua level: 1) Level rendah yaitu menanyakan keterampilannya, dan 2) Level tinggi yaitu menanyakan atau mendorong berpikir seperti meminta menjelaskan proses dari apa yang ditemukan. Perlunya beberapa keterampilan bertanya ini merupakan modal dasar bagi guru untuk menjadikan pembelajaran yang kontingen yang kurang terjadi dalam penelitian ini. Apalagi, waktu pemberian scaffolding yang terbatas kurang lebih 50 menit. Di samping itu, struktur kelas dapat mempersulit guru memberikan scaffolding ketika individu berinteraksi (Meyer, 2002). Pola kontingensi yang diperoleh dalam temuan ini dapat digunakan sebagai pertimbangan profesional guru pada masa mendatang. Misalnya, dalam menyusun materi ajar yang akan disiapkan guru, termasuk mengonstruksi LKS, guru yang kontingen diharapkan mampu mengonstruki LKS dengan baik. Pertimbangan ini hendaknya menjadi tuntutan kepada guru dalam melaksanakan kurikulum. Keputusan guru yang kurang eksplisit dapat menyebabkan kebingungan pada siswa. Seperti dalam temuan ini, DN terlihat kurang matang dalam menyiapkan LKS sehingga kurang jelas apa yang harus dikerjakan oleh siswa. Bahkan DN kurang matang dalam memahami konsep yang disampaikan sehingga menyebabkan kebingungan bagi siswa. Hal lain yang dilakukan DN, misalnya ketika DN mengaplikasikan teknologi dalam pembelajarannya tidaklah begitu membantu karena DN hanya menggunakan laptop untuk menampilkan judul materi saja. Wilson, dkk. (2011) mengatakan bahwa penggunanan teknologi bisa membantu atau menghambat pembelajaran begantung dari keputusan guru dalam menggunakan teknologi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ke depan perlu menggali proses berpikir guru dalam mempertimbangkan, menilai dan memutuskan bantuan pembelajaran terkait materi yang akan disampaikan di kelas, seperti pemberian lembar kerja siswa (LKS). SIMPULAN Penelitian ini telah menemukan tiga pola kontingensi interaksi pembelajaran guru-siswa selama pemberian scaffolding pada pembelajaran matematika yaitu dominan kontingen, dominan nonkontingen, dan kontingen semu yang diperoleh secara alami. Bila dalam suatu pembelajaran lebih banyak terjadi fragmen interaksi yang kontingen daripada fragmen interaksi yang nonkontingen maka interaksi pembelajaran tersebut disebut interaksi pembelajaran yang dominan kontingen, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, meskipun fragmen interaksi yang terjadi dalam suatu pembelajaran lebih banyak yang kontingen, namun guru salah
38 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
atau ragu-ragu dalam memfasilitasi pemahaman konsep maka interaksi pembelajaran yang demikian disebut interaksi pembelajaran yang kontingen semu (palsu). Hasil penelitian ini telah menunjukkan pula bahwa guru yang lebih berpengalaman cenderung menunjukkan interaksi pembelajaran yang dominan kontingen dibandingkan dengan guru pemula. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai interaksi pembelajaran yang kontingen, para guru matematika perlu dibekali dengan pelatihan memraktikkan strategi diagnostik, strategi intervensi, dan pengecekan diagnosis ketika scaffolding. DAFTAR RUJUKAN Alibali, M. W., & Nathan, M. J. (2007). Teachers’ Gestures as a Means of Scaffolding Students’ Understanding: Evidence from an Early Algebra Lesson. In press in R. Goldman, R. Pea, B. Barron, & S. J. Derry (Eds.), Video Research in the Learning Sciences. Mahwah, NJ: Erlbaum. Anghileri, J. (2006). Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education (2006) 9: 33–52. Anwar, Yuwono, I., Irawan, E. B., As’ari, A. (2014). Identifikasi Scaffolding Guru Matematika Menuju Pelaksanaan Kurikulum 2013, Hasil Observasi Penelitian di SDI dan STsI Surya Buana Malang 7 April 2014. Malang. Borko, H., & Putnam, R. (1996). Learning to teach. In R. Calfee & D. Berliner (Eds.), Handbook of educational psychology (pp. 673-708). New York: Simon and Schuster Macmillan. Corey, D. K., Peterson, B. E., Lewis, B. M., & Bukarau, J. (2010). Are There Any Places That Students Use Their Heads? Principles of HighQuality Japanese Mathematics Instruction. JRME. Vol. 41. No. 5. 438-478. Danilenko, E. P. (2010). The Relationship of Scaffolding on Cognitive Load in an Online Self-Regulated Learning Environment. A Dissertation Submitted to the Faculty of the Graduate school of the University of Minnesota. Elbers, E., Hajer, M., Jonkers, M., Koole, T., & Prenger, J. (2008). Instructional dialogues: Participation in dyadic interactions in multicultural classrooms. In J. Deen, M. Hajer, & T. Koole (Eds.), Interaction in two multicultural mathematics classrooms: Mechanisms of inclusion and exclusion (pp. 141-172). Amsterdam: Aksant. Evans, B. R. (2011).Secondary Mathematics Teacher Differences: Teacher Qualityand Preparation in a New York City Alternative CertificationProgram. The Mathematics Educator. Vol. 20, No. 2, 24–3. Feldon, D. F. (2007). Cognitive load in the classroom: The double-edged sword of automaticity. Educational Psychologist, 42, 123–137. Ferguson, S., & McDonough, A. (2010). The Impact of Two Teachers' Use of Specific Scaffolding Practices on Low-Attaining Upper Primary Students. Mathematics Education Research Group of Australasia. Gresalfi, M. S., & Cobb, P. (2011). Negotiating Identities For mathematics Teaching in the Context of Profesional Development, Journal for Research in Mathematics Education. 42, 270-304.
39 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015
Holton, D., & Clarke D. (2006). Scaffolding and metacognition. International Journal of Mathematical Education in Science & Technology, 37(2), 127-143. doi: 10.1080/00207390500285818. Koedinger, K. R. & Johnson, B. R. & (2005). Designing Knowledge Scaffolds to Support Mathematical Problem Solving. Cognition and Instruction, 23(3), 313–349. Krulik, S., Rudnick, J., & Milou, E. (2003). Teaching mathematics in Middle School, America: Pearsons Education Inc. Lin, T., Hsu, Y., Lin, S., Changlai, M., Yang, K., & Lai, T. (2012). A review of empirical evidence on scaffolding for science education. International Journal of Science and Mathematics Education, 10, 437455. doi: :10.1007/s10763-011-9322-z. Mercer, N., & Littleton, K. (2007). Dialogue and the development of children’s thinking. A sociocultural approach. New York: Routledge Meyer, D. K., & Turner, C. J. (2002). Using Instructional Discourse Analysis to Study the Scaffolding of Student Self-Regulation. Educational Psychologist, 37(1), 17–25. Morrison, J. A., & Lederman, N. G. (2003). Science teachers’ diagnosis and understanding of students’ preconceptions. Science & Education, 87, 849–867. doi: 10.1002/sce.10092. Ruiz-Primo, M. A., & Furtak E. M. (2007). Exploring Teachers’ Informal Formative Assessment Practices and Students’ Understanding in the Context of Scientific Inquiry. Journal of Research in Science Teaching, vol. 44, no. 1, pp. 57–84 (2007) Sowder, J. T. (2007). The Mathematics Education and Development of Teachers. Second handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp. 157-223). America: Information Age Publishing Inc. Thompson, I. (2013). The Mediation of Learning in the Zone of Proximal Development Through a Co-constructed Writing Activity. Research in the Teaching of English Volume 47, Number 3, February 2013 Travers, C., & Cooper, C. (1996). Teachers under pressure. New York: Routledge. Ünal, Z., & Ünal, A. (2012). The impact of Years of Teaching Experience on the Classroom Management Approaches of Elementary School Teachers. International Journal of Instruction, July 2012 vol.5, no.2, e-ISSN: 1308-1470. www.e-iji.net p-ISSN: 1694-609x. Van de Pol, J., Volman, M., & Beishuizen, J. (2010). Scaffolding in Teacher-Student Interaction: A Decade of Research. Educational Psychology Rev (2010) 22:271-296. Van de Pol, J. (2012). Scaffolding in teacher-student interaction: exploring, measuring, promoting and evaluating scaffolding. Faculty FMG: Research Institute Child Development and Education (CDE). Wilson, P. H., Lee, H. S., & Hollebrands, F. H. (2011). Understanding Prospective Mathematics Teachers’ Processes for Making Sense of Students’ Work With Technology. JRME. Vol. 42. Number 1. pp. 3964.
40 | Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2015