PROSIDING SEMINAR NASIONAL Ke-4 Tahun 2009 Environment Resources And Technology for Better Life
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SUSUNAN PANITIA Penanggungjawab
: Ketua STTNAS Yogyakarta ( Ir. H.R. Soekrisno, MSME, Ph.D. )
Pengarah
: Pembantu Ketua I STTNAS Yogyakarta ( Ir. Harianto, M.T. ) Pembantu Ketua II STTNAS Yogyakarta ( Ir. H. Ircham, M.T. ) Pembantu Ketua III STTNAS Yogyakarta ( Ir. Rr. Amara Nugrahini, M.T.)
Ketua Pelaksana
: Joko Prasojo, S.T., M.T.
Sekretaris Pelaksana Anggota
: Muhammad Arsyad, S.T. : Trie Handayani, S.T.
Bendahara Pelaksana Anggota
: Titin Nur’ani, S.T., M.T. : Ir. Hj. Oni Yuliani, M.Kom.
Seksi Makalah a. Teknik Sipil b. Teknik Planologi c. Teknik Mesin d. Teknik Elektro e. Teknik Geologi f. Teknik Pertambangan
: 1. 2. : 1. 2. : 1. 2. : 1. 2. : 1. 2. : 1. 2.
Retnowati Setioningsih, S.T., M.T. Lilis Zulaicha, S.T., M.T. Drs. Achmad Wismoro, S.T., M.T. Solikhah Retno Hidayati, S.T. Ir. Muhammad Abdulkadir, M.T. Ratna Kartikasari, S.T., M.T. Suyanta, S.T. Ir. Budi Utama, M.T. Ir. Sukartono, M.T. Th. Listyani Retno Astuti, S.T., M.T. Ir. agustinus isjudarto, M.T. R. Andy Erwin Wijaya, S.T., M.T.
Seksi Redaksional dan Proseding Koordinator : Ir. H. Sugiarto, M.t. Anggota : Arif Basuki, S.T., M.T. Djoko Purwanto, S.T. Seksi Acara Koordinator Anggota
: Janny F. Abidin, S.T., M.T. : Indra Gunawan, S.T., M.T.
Seksi Publikasi dan dokumentasi Koordinator : Tugino, S.T., M.T. Anggota : Fathie Kumalasari, S.T. Ferry Okto Satriya, S.T. Seksi Perlengkapan Koordinator Anggota
: Suharyanto, S.T., M.T : Dra. Hj. Aminah, M.Ag. Diah Suwarti Widyastuti, S.T. Saldiono
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
iii
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sambutan Ketua STTNAS dalam rangka Pembukaan Seminar Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi STTNAS Hari Sabtu Tanggal 19 Desember 2009
Assamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua Yang saya hormati Bapak Gubernur DIY Yang saya hormati Bapak-bapak Bupati Kepala Daerah Yang saya hormati Bapak Koordinator Kopertis Wilayah V Yogyakarta Yang saya hormati Bapak Ketua YPTN dan staf Yang saya hormati Bapak Prof. Dr. H. Sukendar Asikin Yang saya hormati Bapak Pimpinan, staf dan dosen STTNAS termasuk Panitia Yang saya hormati Bapak dan ibu Tamu Undangan Yang saya hormati seluruh peserta Seminar Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur yang tulus kehadirat Allah SWT. karena hanya oleh ridhoNya kita bisa berkumpul di sini dalam rangka temu ilmiah, yaitu Seminar ReTII, tanpa halangan suatu apa, di pagi yang cerah ini. Mudah-mudahan Allah SWT juga memudahkan panitia dalam menyelenggarakan seminar ini, dan memudahkan serta meringankan peserta dalam mengikuti acara demi acara. Pertemuan ilmiah yang berupa Seminar ini dimaksudkan, agar ada kesempatan bagi para pakar untuk bertukar pengalaman, memperkaya atau memperluas wawasan, berdiskusi untuk mengatasi kesulitan yang hampir sama, memaksimalkan kemampuan peralatan yang ada, sekaligus meningkatkan keberanian para pakar menghadapi masalah. Selain itu ada harapan juga kemungkinan terjadi kerjasama atau sinergi antar pakar yang dapat membuahkan penelitian bersama multi years, yang pada gilirannya akan mampu mendongkrak kemandirian bangsa yang sudah terlanjur jauh terpuruk, Ada 3 unsur pokok untuk memajukan bangsa ini, yaitu: (1). Ilmu yang cukup, (2) Keberanian berdasar pengalaman, dan (3) Wewenang/ kesempatan/ kepercayaan pemerintah terhadap pakar domestic (government policy). Saya yaqin bila ketiga unsur ini ada, Kemandirian Bangsa akan segera terwujud. Semoga Seminar ini bisa terselenggara dengan baik, lancar, memenuhi keinginan para peserta, bemanfaat dan berakhir sukses. Untuk itu kami memohon kerjasama yang baik, bantu membantu, saling mengingatkan, dan berlomba dalam kebaikan Kami sudah mengusahakan yang terbaik, namun seandainya masih banyak kekurangan yang terasakan selama penyelenggaraan Seminar ini, nanti, kami panitia mohon maaf yang sebesarbesarnya.
Yogyakarta, 19 Desember 2009 ttd.
Ketua STTNAS
iv
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SAMBUTAN RETII 2009
Alhamdulillah, berkat rahmat Tuhan YME, panitia seminar nasional telah berhasil menyelesaikan tahapan-tahapan seminar hingga dapat terlaksananya Seminar Nasional Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi (ReTII),yang dilaksanakan di Kampus STTNAS Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 2009. Temak yang diangkat dalam seminar ini adalah “Environment and resources for better life”. Seminar ini terlaksana atas kerjasama Jurusan Teknik Sipil, Teknik Mesin, Teknik Elektro dan Teknik Geologi. Seminar ReTII pada tahun 2009 merupakan seminar Rutin tahunan yang disellenggarakan oleh STTNAS Yogyakarta. Seminar ini diselenggarakan sebagai sarana untuk mempublikasikan artikel ilmiah yang berkualitas dalam prosiding seminar yang sekaligus untuk mengembangkan ilmu melalui penelitian maupun pengembangan bidang teknologi dan membangun forum diskusi antar instansi terkait yang bersifat berkelanjutan. Dalam kesempatan ini, panitia seminar Nasional juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai fihakyang telah membantu terselenggaranya kegiatan seminar ini. Semoga kegiatan ini dapat diambil manfaat yang sebaik-baiknya. Selamat berseminar Yogyakarta, 19 Desember 2009 Ketua Panitia Joko Prasojo, ST, MT.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
v
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
vi
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR ISI SUSUNAN PANITIA ............................................................................................................ SAMBUTAN KETUA STTNAS ............................................................................................ KATA PENGANTAR ........................................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................................................
iii iv v vi
TEKNOLOGI INDUSTRI 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
PENGARUH HEAT INPUT TERHADAP KEKUATAN TARIK PENGELASAN SMAW POSISI VERTIKAL BAJA St 60 Sigit Edy Purwanto ................................................................................................. STUDI PENGARUH MEDIA KARBURISER TERHADAP KETAHANAN AUS SPROKET SEPEDA MOTOR BEBEK Djoko Suprijanto .......................................................................................................... PENGARUH TEKANAN VAKUM TERHADAP EFISIENSI PADA EJECTOR VACUUM PUMP YANG DIGUNAKAN PADA VACUUM FRYING Joko Pitoyo & Fabianus Dodik Daru Wibowo ......................................................... SISTEM IDENTIFIKASI UAP ALKOHOL MENGGUNAKAN DERET SENSOR QUARTZ CRYSTAL MICROBALANCE DAN JARINGAN SARAF TIRUAN Mulyadi .................................................................................................................. DESAIN SISTEM PENGATURAN ENGINE TORQUE PADA SPARK IGNITION ENGINE DENGAN MENGGUNAKAN FUZZY GAIN SCHEDULLING Aris Triwiyatno & Ismit Mado ……………………………………………………… PENINGKATAN KINERJA ADAPTIVE CODED MODULATION DENGAN SELECTION DIVERSITY UNTUK MITIGASI PENGARUH REDAMAN HUJAN DAN INTERFERENSI PADA SISTEM LMDS DI SURABAYA Syahfrizal Tahcfulloh ............................................................................................... IMPLEMENTATION OF VISION SYSTEM IN CONTROLING A MODELLED GANTRY CRANE Adelhard Beni Rehiara ………………………………………………………………... REKAYASA DAN ANALISIS PENGATURAN KECEPATAN MOTOR INDUKSI DENGAN MENGUBAH FREKUENSI Suyamto & Yadi Yunus ............................................................................................... APLIKASI SPEKTROFOTOMETER UNTUK PENGUKURAN KONSENTRASI CAFFEINE DAN PARACETAMOL B. Wuri Harini, Antonius Tri Priantoro & Agung Bambang Setyo Utomo ………... PEMANCAR MODULASI FREKUENSI DENGAN EMPAT FREQUENCY HOPPING Nova Budi Prasetyo & Damar Widjaja ……………………………………………. MODEL SELEKSI PENERIMAAN BEASISWA SANATA DHARMA MENGGUNAKAN HIMPUNAN KABUR Eko Hari Parmadi .................................................................................................... SINKRONISASI ANTARA PEMANCAR DAN PENERIMA MODULASI FREKUENSI DENGAN EMPAT FREQUENCY HOPPING Damar Widjaja & Tulus Setiadi …………………………………………………. PENERIMA MODULASI FREKUENSI DENGAN EMPAT FREQUENCY HOPPING Yanuarius Vendy Purnomo & Damar Widjaja …………………………………. REKAYASA ROBOT CERDAS PEMADAM API PADA AREA EMPAT RUANGAN ..................................................................... Joko Prasojo, Tugino & Dian Figana ANALISIS STABILITAS TRANSIENT DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENYELESAIAN NUMERIK PERSAMAAN AYUNAN PADA JARINGAN TEGANGAN 150 Kv M. Arsyad, & Furqonul Fahmi ……………………………………………………. PERAMALAN PEMBEBANAN TRANSFORMATOR GARDU INDUK 150 KV WIROBRAJAN YOGYAKARTA Diah Suwarti W, Elias K. Bawan, Fitrizawati & Risanuri Hidayat .............................
1
7
14
17
22
28
35
40
46
52
58
63
70
76
82
89
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
vii
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
17
18
19
20
21
22 23
24
25
26
27
28
PENGURANGAN RUGI-RUGI DAYA LISTRIK AKIBAT BEBAN TAK LINIER MENGGUNAKAN TAPIS DI PT. BRANITA SANDHINI KLATEN Suharyanto ……………………………………………………………………… EVALUATION OF TRANSMISSION SYSTEM LOSSES TO UNBALANCED LOAD: THE CASE OF JAVA 500 KV INTERCONNECTION LINES Sugiarto …………………………………………………………………………… PENENTUAN LETAK DAN UKURAN KAPASITOR PADA SISTEM DISTRIBUSI DENGAN ADAPTIVE GENETIC ALGORITHM Patria Julianto ............................................................................................................... STUDI PERENCANAAN JARINGAN BERGERAK SELULER DENGAN METODE PENDEKATAN TERINTEGRASI Mytha Arena ............................................................................................................. IMPLEMENTASI PARTIAL INDEK UNTUK MENINGKATKAN UNJUK KERJA QUERY PADA TIPE DATA KARAKTER VARCHAR JB Budi Darmawan ………………………………………………………………... VOLT-AMPERE METER BERBASIS MIKROKONTROLER AT89S52 Martanto, A. Bayu Primawan, Frederik Erik, & Lucia Santi Palupi Darmakusuma …... PENYUSUNAN PETA RENTAN BENCANA ALAM LONGSOR DENGAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MELALUI INTERPRETASI CITRA SATELIT DI PROPINSI DIY Anggun Fitrian Isnawati, Sulistyaningsih, Rintania Elliyati Nuryaningsih, Iis Hamsir Wahab & Risanuri Hidayat ....................................................................................... PENGOLAHAN AIR LIMBAH LAUNDRY DENGAN MENGGUNAKAN ELEKTROKOAGULASI Hudori & P. Soewondo …………………………………………………………….. OPTIMASI HIDROLISA ASAM PADA PROSES SAKARIFIKASI BONGGOL JAGUNG SEBAGAI TAHAPAN PREREATMENT DALAM PEMBUATAN BIOETHANOL Kurniawan Yuniarto, Sukmawaty & Sirajuddin ……………………………… PENGARUH PERBANDINGAN BERAT BAHAN DAN WAKTU EKSTRAKSI TERHADAP MINYAK BIJI PEPAYA TERAMBIL Sri Rahayu Gusmarwani …………………………………………………………... PENGARUH WAKTU PROSES, UKURAN BAHAN DAN VOLUME AIR PADA PENGAMBILAN MINYAK KAPULAGA DENGAN DISTILASI UAP M.Sri Prasetyo Budi ................................................................................................ PENGARUH UKURAN BAHAN DAN WAKTU EKSTRAKSI RIMPANG KUNYIT SEBAGAI INDIKATOR KEASAMAN ALAMI Oni Yuliani .............................................................................................................
BUMI, LINGKUNGAN DAN TEKNIK SIPIL 1 Hidrokimia dan Geologi Air Panas daerah Parangwedang, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, T. Listyani R.A. ……………………………………………………………………….. 2 STUDI SIFAT PENGEMBANGAN (SWEALLING) LEMPUNG SEBAGAI DASAR PONDASI JALAN WATES DI KM 22 DAN SEKITARNYA KABUPATEN KULONPROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Sukartono …………………………………………………………………………. 3 PALEOEKOLOGI FORMASI PUCANGAN DI DAERAH KABUH DITINJAU DARI KANDUNGAN FOSIL MOLUSKA Hita Pandita, &Yahdi Zaim ...................................................................................... 4 STUDI INDUCED POLARIZATION (IP) UNTUK EKSPLORASI MINERAL MANGAN DI DAERAH SRATI, KECAMATAN AYAH, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH Winarti, Chusni Ansori ……………………………………………………………. 5 PENELITIAN AWAL GUNUNG API PURBA DI DAERAH MANGGARAI BARAT, FLORES, NUSA TENGGARA BARAT, INDONESIA Hill. Gendoet Hartono, Partama Misdiyanta, Djoko Purwanto, Faidzil Chabib, dan Ones Kambu ………………………………………………………………………..…...
viii SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
94
101
108
113
118 122
129
134
139
147
152
155
161
178
172
181
188
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
6
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
KAJIAN MINERAL LEMPUNG SEBAGAI BAHAN GALIAN INDUSTRI DI DAERAH SIWARENG KECAMATAN SEYEGAN KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA Ev.Budiadi ……………………………………………………………………………… HUBUNGAN TEKTONIK PEMBENTUKAN KUBAH KULON PROGO DENGAN TERDAPATNYA ENDAPAN MINERAL LOGAM DI DAERAH KOKAP, KULON PROGO A. Isjudarto ...................................................................................................................... PROFIL PENDAPATAN ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN DI YOGYAKARTA (STUDI KASUS : BUS TRANS JOGJA) Ircham …………………………………………………………………………………. PENGARUH PERAWATAN BETON YANG MENGGUNAKAN BATU PUTIH GUNUNG KIDUL SEBAGAI AGREGAT KASAR TERHADAP KUAT DESAK BETON Retnowati Setioningsi ………………………………….………………………………. PEMAKAIAN LIMBAH SERUTAN BAJA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA BETON Marwanto .......................................................................................................................... PENGARUH PEMAKAIAN SERAT BAJA HAREX SF TERHADAP KEKUATAN TEKAN BETON Lilis Zulaicha .................................................................................................................... TINJAUAN YURIDIS-EKONOMIS TERHADAP PENGGUNAAN METODE NEGOSIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG KONSTRUKSI Lilik Karnaen …………………………………………………………………………… HUBUNGAN ANTARA OPERASI PENERBANGAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN DALAM PEKERJAAN MEMPERPANJANG LANDAS PACU BANDAR UDARA STUDI KASUS LAPANGAN TERBANG GADING WONOSARI Otto Santjoko, Ircham ....................................................................................................... PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR DI DESA SERUT, KECAMATAN GEDANGSARI, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA Sujendro ….…................................................................................................................... REALISASI SISTEM PENGUPAHAN TENAGA KERJA PEREMPUAN PADA PERUSAHAAN PEMBORONG BANGUNAN DI YOGYAKARTA Ridayati ............................................................................................................................. INVASI LAHAN “WEDI KENGSER KALI CODE” STUDI KASUS DI DUSUN BLUYAH GEDE, DESA SINDUADI, KECAMATAN MLATI, KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Achmad Wismoro..............................................................................................................
200
205
212
216
228
234
241
247
254
260
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
ix
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
x
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
xi
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGARUH HEAT INPUT TERHADAP KEKUATAN TARIK PENGELASAN SMAW POSISI VERTIKAL BAJA St 60 Sigit Edy Purwanto Jurusan Teknik Mesin, STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari, Depok, Yogyakarta e-mail :
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi pengaruh heat input pengelasan SMAW pada baja St 60 terhadap kekerasan dan kekuatan tarik. Penelitian dilakukan terhadap pengelasan SMAW baja St 60 dengan heat input yang berbeda yaitu 18480 J/mm, 21120 J/mm, 26400 J/mm, 29040 J/mm dan 31680 J/mm. Pada hasil uji kekerasan diperoleh nilai kekerasan tertinggi terjadi di daerah HAZ pada spesimen dengan heat input terendah 18480 J/mm yaitu sebesar 254,4 kg/mm2, sedang nilai kekerasan terendah terjadi pada spesimen dengan heat input tertinggi 31680 J/mm yaitu sebesar 236,5 kg/mm2. Pada hasil uji tarik diperoleh kekuatan tarik tertinggi terjadi pada spesimen dengan heat input tertinggi yaitu sebesar 67,61 kg/mm2 dengan regangan 21,97 %, sedang kekuatan tarik terendah terjadi pada spesimen dengan heat input terendah yaitu sebesar 48,84 kg/mm2 dengan regangan 2,96 %. Kata kunci: Pengelasan SMAW, Heat Input, Uji Kekerasan dan Uji Tarik. PENDAHULUAN Saat ini las telah dipergunakan secara luas dalam penyambungan batang-batang pada konstruksi bangunan baja dan konstruksi mesin. Luasnya penggunaan teknologi ini disebabkan karena konstruksi–konstruksi khususnya mesin yang menggunakan teknik penyambungan ini menjadi lebih ringan dan proses penyambungannya akan lebih sederhana sehingga biaya keseluruhannya akan lebih murah. Lingkup penggunaan teknik pengelasan dalam konstruksi sangat luas meliputi; perkapalan, jembatan, rangka baja, bejana tekan, perpipaan, kendaraan rel dan lain sebagainya. Pengelasan adalah proses penyambungan dua logam atau paduan dalam keadaan lumer atau cair, dengan menggunakan energi panas. Akibat proses ini maka logam disekitar pengelasan mengalami siklus thermal yang menyebabkan terjadinya perubahan secara metalurgi, deformasi dan tegangan-tegangan thermal. Sehingga bahan mengalami perubahan sifat-sifat mekanik (Wiryosumarto H., 1986). Penelitian ini mempelajari pengaruh heat input terhadap struktur Baja St 60 setelah dilas. LANDASAN TEORI Las merupakan salah satu cara penyambungan yang bersifat permanen dari bagian logam, sehingga menjadi satu kesatuan. Dari definisi diatas maka dapat diketahui bahwa, pengelasan adalah proses penyambungan antara dua bagian logam atau lebih dengan menggunakan panas (B.H. Amstead, 1993).
Las busur dengan elektroda terbungkus (Shielded Metal Arc Welding/SMAW) adalah las busur listrik terlindung dimana panas dihasilkan dari busur listrik antara ujung elektroda dengan logam yang dilas (Suharno, 2008). Kecepatan Pengelasan Kecepatan pengelasan tergantung dari jenis elektroda, diameter inti elektroda, bahan yang dilas, geometri sambungan, ketelitian sambungan Dalam hal hubungan arus dan tegangan las, dapat dikatakan bahwa kecepatan las ampere tidak ada hubungan dengan tegangan las tetapi berbanding lurus dengan arus las. Karena pengelasan yang cepat memerlukan arus las yang tinggi. Bila tegangan dan arus dibuat tetap, sedangkan kecepatan las dinaikkan maka jumlah deposit persatuan panjang las jadi turun. Tetapi pada kecepatan tertentu kenaikan kecepatan akan memperbesar penembusan
v
L t
(1)
Sumber Energi / Panas. Besar energi (Q) yang tergantung dalam sumber panas dinamakan tinggi energi (energy level) atau kapasitas energi (energy capasity). Pada las busur litrik (Messler, Robert. W., 1999) : Q (W ) E I (2) Masukan Panas (Heat Input) Masukan panas adalah besarnya energi panas tiap satuan panjang las ketika sumber panas (yang berupa nyala api, busur listrik, plasma atau cahaya energi tinggi) bergerak. SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
1
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Masukan panas (Messler, Robert. W., 1999) : EI P H v v Metalurgi Las
METODE PENELITIAN (3)
Diagram Alir Penelitian Bahan
Pada proses pengelasan hal-hal yang terjadi adalah memanaskan logam sampai temperatur puncak, dan logam tersebut dingin dikarenakan sumber-sumber panas bergerak ke arah benda kerja lain, logam dan elektroda mencair akibat pemanasan itu akan terjadi suatu reaksi yang akan membentuk elemen tertentu atau elemen baru dari logam las sehingga terjadi kristal baru yang berbeda dengan struktur sebelum dilas. Daerah batas adalah daerah yang membatasi daerah logam las dan daerah HAZ (Heat Affected Zones / struktur logam pada daerah pengaruh panas), ditunjukkan pada Gambar 1.
Baja St 60 Uji Komposisi Proses Pengelasan SMAW
H1 18480 J/mm
H2 21120 J/mm
H3 26400 J/mm
H4 29040 J/mm
H5 31680 J/mm
Logam lasan Pembuatan Logam induk
Pengujian Daerah dipengaruhi panas (HAZ)
Uji Tarik
Uji Kekerasan Analisa Data
Gambar 1.
: Daerah pengelasan (Harsono Wiryasumarto, 2004)
Kesimpulan Selesai Gambar 2. : Diagram Alir Penelitian Heat Input Perhitungan Heat Input dihitung dengan rumus : E .I E . I .t H v L Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa. 1. Baja St 60 dalam bentuk pelat. 2. Kawat elektroda E 6013 dengan ukuran diameter 4.0 mm 3. Bahan-bahan pendukung lainnya : - Amplas dengan grid 80 sampai 1500 mesh - Autosol - Kain bludru dan kain katun - Bahan etsa : HNO3 (Nitrat) dengan kadar 5% dan Alkohol 95%
2
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa. 1. Gergaji mesin, dan Mesin Frais milik Bengkel ARMATECH Solo. Pengamplas, milik Laboratorium 2. Mesin Teknologi Bahan STTNAS dengan spesifikasi : Penggerak : Motor DC 8 Watt / 24 Volt / 0,4 A 3. Mesin las AC, milik Bengkel PT. Anindya PuroSani Yogyakarta. - Merek : SIP 200 4. Alat uji Kekerasan : - Merek : Karl Frank Gmbh Weinheim – Birkenau Type : 38505 5. Alat uji tarik milik laboratorium pengujian bahan AKPRIND dengan spesifikasi : - Merk : GOTECH , Buatan : Jepang Persiapan Bentuk dan Ukuran Spesimen
Persiapan Sampel Uji Kekerasan Spesimen untuk uji kekerasan dibuat dengan ukuran seperti pada Gambar 4. 60 mm
10 mm
20 mm
°°°°° 3 mm
Gambar 4. : Sampel pemotongan bahan uji kekerasan setelah proses las. Persiapan Sampel Uji tarik Spesimen untuk uji tarik dibuat dengan ukuran seperti pada gambar 5.
Persiapan Bentuk Spesimen Benda berupa plat baja St 60 dengan ukuran 200 x 60 mm dengan tebal 10 mm sebanyak 15 buah, dilas dengan 1 jenis elektroda dengan variasi arus masuk yang berbeda. Persiapan Sampel untuk Pengujian Benda uji berupa plat baja St 60 yang telah dilas, langkah persiapan benda uji adalah : 1. Memotong Plat baja St 60 dengan ukuran 200 x 60 mm dengan tebal 10 mm yang telah dilas dibuat spesimen untuk uji tarik menurut standar ASTM yaitu dengan ukuran 150 x 40 mm dan tebal 10 mm sebanyak 15 spesimen, kemudian dipotong sepanjang 20 mm, digunakan untuk sampel uji kekerasan. 2. Pengamplasan Pada penelitian ini amplas yang digunakan jenis amplas tahan air yang terdiri dari nomor amplas 80, 100, 200, 400, 800, 1000, dan 1500 mest 3. Memoles Pemolesan dilakukan dengan memberikan autosol pada permukaan benda uji.
Gambar 5. : Ukuran bahan untuk uji tarik menurut tabel 13 B JIS HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Kekerasan Tabel 1. No
Posisi Titik
1 2 3
Acak Acak Acak
3
30
2
2 30
30
1 2
Posisi titik dari sumbu las (mm) 0 3
3 4 5
6 9 12
No
200
60
D1 (mm)
D2 (mm)
0.64 0.65 0.64 0.66 0.63 0.65 Nilai rata-rata
Tabel 2.
Persiapan Sampel Pengelasan
Hasil Pengujian Kekerasan RAW Material Baja St 60 Dratarata (mm) 0.645 0.65 0.64
Kekerasan VHN (kg/mm2) 178.3 175.6 181.1 178.3
Hasil Pengujian Kekerasan Heat Input 18480 J/mm D1 (mm)
D2 (mm)
Dratarata (mm)
Kekerasan VHN (kg/mm2)
0.67 0.65
0.66 0.65
0.665 0.650
167.7 175.6
0.54 0.57 0.62
0.54 0.58 0.62
0.540 0.575 0.620
254.4 224.4 193.0
Gambar 3. :Ukuran bahan dan bentuk kampuh VTunggal SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
3
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 3.
No
1 2 3 4 5
Posisi titik dari sumbu las (mm) 0 3 6 9 12
Tabel 4.
No
1 2 3 4 5
Posisi titik dari sumbu las (mm) 0 3 6 9 12
Tabel 5.
No
1 2 3 4 5
Posisi titik dari sumbu las (mm) 0 3 6 9 12
Tabel 6.
No
1 2 3 4 5
Posisi titik dari sumbu las (mm) 0 3 6 9 12
Hasil Pengujian Kekerasan Heat Input 21120 J/mm D1 (mm)
D2 (mm)
Dratarata (mm)
Kekerasan VHN (kg/mm2)
0.71 0.71 0.58 0.58 0.62
0.71 0.70 0.59 0.60 0.61
0.710 0.705 0.585 0.590 0.615
147.1 149.2 216.7 213.1 196.1
Hasil Pengujian Kekerasan Heat Input 26400 J/mm D1 (mm)
D2 (mm)
Dratarata (mm)
Kekerasan VHN (kg/mm2)
0.67 0.67 0.55 0.60 0.64
0.67 0.67 0.55 0.59 0.64
0.670 0.670 0.550 0.595 0.640
165.2 165.2 245.2 209.5 181.1
Hasil Pengujian Kekerasan Heat Input 29040 J/mm D1 (mm)
D2 (mm)
Dratarata (mm)
Kekerasan VHN (kg/mm2)
0.68 0.68 0.55 0.59 0.63
0.69 0.69 0.56 0.59 0.63
0.685 0.685 0.550 0.590 0.640
158.1 158.1 245.2 213.1 181.1
Hasil Pengujian Kekerasan Heat Input 31680 J/mm
D1 (mm)
D2 (mm)
Dratarata (mm)
Kekerasan VHN (kg/mm2)
0.68 0.68 0.56 0.58 0.64
0.69 0.68 0.56 0.59 0.63
0.685 0.680 0.560 0.585 0.635
158.1 160.4 236.5 216.7 184.0
Keterangan : Posisi titik pengujian 3 mm dari permukaan las dengan beban 40 kg
4
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Pembahasan Hasil Uji Kekerasan Pada hasil uji kekerasan ini besarnya panas yang masuk pada setiap titik yang diuji berpengaruh juga pada terbentuknya butir-butir sehingga berpengaruh pada nilai kekerasan. Hasil pengujian kekerasan Vickers diatas diketehui bahwa raw material baja St60 tanpa proses pengelasan memiliki nilai kekerasan ratarata 178,3 kg/mm2. Pada heat input 18480 J/mm diperoleh nilai kekerasan tertinggi terjadi di daerah HAZ pada titik 6 mm dari sumbu las yaitu 254,4 kg/mm2. Nilai kekerasan terendah terjadi di daerah logam las pada titik 0 mm yaitu 167,7 kg/mm2. Pada heat input 21120 J/mm diperoleh nilai kekerasan tertinggi terjadi di daerah HAZ pada titik 6 mm dari sumbu las yaitu 216,7 kg/mm2. Nilai kekerasan terendah terjadi di daerah logam las pada titik 0 mm yaitu 147,1 kg/mm2. Pada heat input 26400 J/mm diperoleh nilai kekerasan tertinggi terjadi di daerah HAZ pada titik 6 mm dari sumbu las yaitu 245,2 kg/mm2. Nilai kekerasan terendah terjadi di daerah logam las pada titik 0 mm yaitu 165,2 kg/mm2. Pada heat input 29040 J/mm diperoleh nilai kekerasan tertinggi terjadi di daerah HAZ pada titik 6 mm dari sumbu las yaitu 245,2 kg/mm2. Dan nilai kekerasan terendah terjadi di daerah logam las pada titik 0 mm yaitu 158,1 kg/mm2. Pada heat input 31680 J/mm diperoleh nilai kekerasan tertinggi terjadi di daerah HAZ pada titik 6 mm dari sumbu las yaitu 236,5 kg/mm2. Dan nilai kekerasan terendah terjadi di daerah logam las pada titik 0 mm yaitu 158,1 kg/mm2. Pada umumnya nilai kekerasan tertinggi terjadi pada daerah HAZ yang berjarak 6 mm dari sumbu las, hal ini sangat dipengaruhi oleh laju pendinginan yang lambat sehingga terbentuk butirbutir halus. Sedangkan nilai kekerasan terendah terjadi di daerah logam las pada titik 0 mm, hal ini sangat dipengaruhi oleh laju pendinginan yang sangat lambat. Semakin rendah masukan panas maka semakin tinggi nilai kekerasannya, hal ini disebabkan karena laju pendinginan yang cepat membuat baja menjadi keras tetapi tangguh. Kecuali untuk heat input 21120 J/mm yang kemungkinan terjadi cacat las sehingga nilai kekerasannya turun.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 11.
Hasil Uji Tarik Hasil Uji Tarik dengan Heat Input 18480 J/mm 1
2
3
F (kg/mm2) W (mm) T (mm) Ao (mm) Lo (mm) L (mm) σ (kg/mm2) ε (%)
5978 12,5 10 125 50 50,45 47,824 0,9
6166 12,5 10 125 50 51,1 49,328 2,2
6171 12,5 10 125 50 52,9 49,368 5,8
Tabel 8.
1
2
3
F (kg/mm2) W (mm) T (mm) Ao (mm) Lo (mm) L (mm) σ (kg/mm2) ε (%)
6343 12,5 10 125 50 51,3 50,744 2,6
6541 12,5 10 125 50 53,15 52,328 6,3
6995 12,5 10 125 50 52,95 55,960 5,9
2
3
F (kg/mm2) W (mm) T (mm) Ao (mm) Lo (mm) L (mm) σ (kg/mm2) ε (%)
8329 12,5 10 125 50 62,3 66,632 24,6
8435 12,5 10 125 50 61,6 67,480 23,2
8589 12,5 10 125 50 63,9 68,712 27,8
1
2
3
F (kg/mm2) W (mm) T (mm) Ao (mm) Lo (mm) L (mm) σ (kg/mm2) ε (%)
7377 12,5 10 125 50 57,75 59,016 15,5
7663 12,5 10 125 50 57,25 61,304 14,5
7910 12,5 10 125 50 53,55 63,280 7,1
67,61 21,97
Nilai ratarata
80 70
61.2
60 48.84
50
65.05
67.61
53.01
40 30 20 10 0 18480
21120
26400
29040
31680
Heat Input (J/mm)
53,01 4,93
Gambar 4.18. Histogram antara kekuatan tarik dengan heat input yang masuk
Hasil Uji Tarik dengan Heat Input 26400 J/mm
No
Nilai ratarata
48,84 2,96
Hasil Uji Tarik dengan Heat Input 21120 J/mm
No
Tabel 9.
Nilai ratarata
1
Kekutan Tarik (Kg/mm 2)
No
No
Nilai ratarata
25
21.97
20 Regangan (%)
Tabel 7.
Hasil Uji Tarik dengan Heat Input 31680 J/mm
15.73 15
12.36
10 4.93 5
2.96
0
61,20 12,36
18480
21120
26400
29040
31680
Heat Input (J/mm)
Gambar 4.19. Histogram antara regangan dengan heat input yang masuk Tabel 10. No 2
F (kg/mm ) W (mm) T (mm) Ao (mm) Lo (mm) L (mm) σ (kg/mm2) ε (%)
Hasil Uji Tarik dengan Heat Input 29040 J/mm 1
2
3
7969 12,5 10 125 50 56,75 63,752 13,5
8165 12,5 10 125 50 61,6 65,320 23,2
8261 12,5 10 125 50 55,25 66,088 10,5
Nilai ratarata
65,05 15,73
Pembahasan Hasil Uji Tarik Pada pengujian tarik ini kekuatan tarik sangat dipengaruhi oleh besarnya panas yang masuk pada saat pengelasan berlangsung, semakin tinggi panas yang masuk maka akan memperlambat laju pendinginan sehingga hasil pengelasan menjadi semakin ulet. Pada heat input 18480 J/mm kekuatan tarik rata-rata dari tiga spesimen adalah 48,84 kg/mm2, hal ini disebabkan karena laju pendinginan cepat sehingga membuat baja menjadi keras. Pada heat input 21120 J/mm kekutan tarik rata-rata dari tiga spesimen adalah 53,01 kg/mm2, hal ini disebabkan karena laju pendinginan cepat sehingga membuat baja menjadi keras. Pada heat input 26400 J/mm kekuatan tarik rata-rata dari tiga spesimen adalah 61,2 kg/mm2, pada heat input ini kekuatan tarik mulai mengalami kenaikan, hal ini dipicu karena laju SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
5
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pendinginan lambat sehingga membuat baja menjadi sedikit ulet. Pada heat input 29040 J/mm kekuatan tarik rata-rata dari tiga spesimen adalah 65,05 kg/mm2, pada heat input ini kekuatan tarik mengalami kenaikan, hal ini dipicu karena laju pendinginan yang lebih lambat sehingga membuat baja jadi lebih ulet. Pada heat input 31680 J/mm kekuatan tarik rata-rata dari tiga spesimen adalah 67,61 kg/mm2, pada heat input ini kekuatan tarik mengalami kenaikan, hal ini dipicu karena laju pendinginan yang semakin lambat sehingga membuat baja menjadi semakin ulet. Pada pengujian tarik ini semua spesimen mengalami patah ulet, hal ini terlihat dengan mengecilnya penampang lintang dan muka patahannya berwarna keabu-abuan. Semakin tinggi masukan panasnya maka semakin tinggi tingkat keuletannya, hal ini ditunjukkan pula dengan semakin meningkatnya nilai regangannya. Sebaliknya dengan masukan panas yang rendah membuat tingkat keuletannya semakin rendah pula, hal ini disebabkan karena laju pendinginan yang cepat menjadikan baja semakin keras. KESIMPULAN Setelah dilakukan pengujian kekerasan dan kekuatan tarik maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dari hasil uji kekerasan diperoleh nilai kekerasan tertinggi terjadi di daerah HAZ pada spesimen dengan heat input terendah yaitu sebesar 254,4 Kg/mm2, sedangkan nilai kekerasan terendah pada daerah HAZ terjadi pada spesimen dengan heat input 21120 J/mm yaitu 216,7 Kg/mm2. Sedangkan pada daerah las nilai kekerasan tertinggi terjadi pada heat input 18480 J/mm yaitu sebesar 167,7 Kg/mm2 dan nilai kekerasn terendah pada daerah las terjadi pada heat input 21120 J/mm yaitu sebesar 147,1 Kg/mm2, hal ini dikarenakan terjadinya cacat las, sehingga nilai kekerasannya turun. 2. Dari hasil uji tarik diperoleh kekuatan tarik tertinggi didapat pada spesimen dengan heat input yang paling tinggi yaitu sebesar 67,61 Kg/mm2. Sedangkan kekuatan tarik terendah didapat pada spesimen dengan heat input paling rendah yaitu sebesar 48,84 Kg/mm2, hal ini disebabkan laju pendinginan yang cepat membuat baja semakin keras sehingga tingkat keuletannya rendah. DAFTAR PUSTAKA Amstead., B. H., 1986, “Teknologi Mekanik” Erlangga, Jakarta.
6
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Messler,
Robert. W., 1999, ”Principles Of Welding”, John Willey & Son Inc, New York Suharno, 2008, “Prinsip-prinsip Teknologi dan Metalurgi Pengelasan Logam”, UNS Press, Surakarta. Wiryosumarto, H., Okumura, T., 2004,“Teknik Pengelasan Logam”, Pradnya Paramita, Jakarta. Daftar Lambang E = Tegangan las (Volt) H = Masukan panas (J/mm) I = Arus las (Ampere) L = Panjang bahan (mm) P = Tenaga input (watt) t = Waktu pengelasan (detik V = Laju las (mm/detik) v = Kecepatan pengelasan (mm/detik) μ = Efisiensi perpindahan
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
STUDI PENGARUH MEDIA KARBURISER TERHADAP KETAHANAN AUS SPROKET SEPEDA MOTOR BEBEK Djoko Suprijanto Staf Dosen Jurusan Teknik Mesin, STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari, Depok ,Sleman, 55281
[email protected]
Abstrak Komponen sepeda motor seperti sproket memerlukan ketahanan aus yang tinggi karena dalam operasinya selalu bergesekan dengan rantai. Apabila ketahanan aus rendah maka umur komponen mejadi lebih pendek. Untuk meningkatkan ketahanan aus sproket dilakukan pengerasan permukaan melalui proses pack karburizing. Dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat cuplikan sproket Honda Supra X 125 dikarburising dengan beberapa media karburizer arang sirep, kokas, briket batu bara dan arang tempurung kelapa dengan tambahan 3,5 % Ba CO 3 sebagai energizer pada suhu 9000 C selama 120 menit, kemudian dilanjutkan dengan quenching pada oli SAE 20. Struktur mula-mula adalah perlit diantara matrik ferit yang dominan dengan sifat yang lunak, setelah treatment akan berubah menjadi martensit pada pemukaan yang sangat keras. Dalamnya penetrasi karbon yang menjadi martensit pada permukaan tergantung pada kadar karbon yang dikandung pada media karburisernya. Untuk media arang tempurung kelapa dengan 76,84% C, mencapai 145 µm , kokas yang berkadar 61,25 % C penetrasi mencapai 165 µm, briket batubara dengan 78,75% C mencapai 180 µm, sedangkan arang sirep dengan kadar 92,54 % C mencapai 190 µm. Kepadatan butiran karbon menentukan kekerasan permukaan yang dicapai. Raw material dengan kadar 0,3 % C merupakan baja karbon medium mempunyai kekerasan 179,87 kg/mm2, untuk media karburiser arang tempurung kelapa 550,6 kg//mm2 , briket batu bara 579 kg/mm2, kokas 598kg/mm2 sedangkan arang sirep dengan kepadatan dan kedalaman penetrasi tertinggi mempunyai kekerasan 629 kg/mm2 .Terlihat terjadi peningkatan kekerasan tertinggi sebesar 350 % pada media arang sirep. Keausan specifik yang terjadi bisa turun 594 % pada media karburiser arang sirep yaitu sebesar 1,265 x 10 -7 mm2/kg dibanding bahan mula-mula 7,525x10-7 mm2/kg. Sementara media kokas 1,590x10-7 mm2/kg, media briket batu bara 1,643 x 10-7 mm2/kg dan media arang tempurung kelapa 1,867 x 10-7 mm2 /kg Kata-kata kunci : pack carburizing, keausan, sproket, kekerasan, penetrasi karbon PENDAHULUAN Banyak ditemui kerusakan yang terjadi pada pemakaian sproket sepeda motor yang cepat aus sehingga harus sering menggantikan komponen sebelum waktunya. Sistem transmisi pada motor bebek dengan transmisi sentrifugal mengakibatkan beban yang berat yang diteruskan pada sproket dan rantai. Keausan bahan sproket sering terjadi secara berlebihan lebih-lebih pada pemakaian sistem pelumasan kering saat motor beroperasi. Bahan sproket yang terbuat dari bahan baja karbon medium biasanya mempuyai kekerasan yang rendah sehingga secara relatif akan mempunyai keausan yang besar dibanding dengan bahan-bahan yang keras. Dengan sendirinya ketahanan ausnya bernilai rendah. Untuk meningkatkan ketahanan aus dapat dilakukan dengan meningkatkan kekerasan permukaan bahan yang bersinggungan dengan bahan lain pada saat operasinya. Cara karburising dipilih karena prosesnya sederhana. BAJA KARBON Baja karbon merupakan logam ferro yang merupakan paduan besi dan karbon. Baja ini adalah jenis baja yang paling banyak dipakai dalam konstruksi teknik karena mudah dan murah
pembuatannya. Kandungan karbon akan mempengaruhi sifat fisis dan mekanik baja, semakin tinggi kadar karbon maka kekerasan dan kekuatan baja akan semakin meningkat. Dari kandungan karbonnya baja dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu : a.
Baja Karbon rendah (low carbon steel) dengan kadar karbon 0,01 – 0,30 % C. Baja ini bersifat lunak tetapi keuletannya tinggi, mudah ditempa dan dikerjakan dengan mesin. Banyak dipakai pada konstruksi. b. Baja karbon medium (medium carbon steel) dengan kadar karbon 0,3 – 0,6 % mempunyai sifat lebih kuat dan lebih keras dan dapat dikeraskan. Banyak dipakai pada komponen mesin. c. Baja karbon tinggi (high carbon steel) dengan kandungan karbon 0,7 – 1,7 % bersifat lebih keras dan lebih kuat dibanding dengan baja karbon medium. Mempunyai sifat ketahanan aus yang baik tetapi sukar dikerjakan dengan mesin. Banyak dipakai sebagai alat perkakas/alat iris dan bantalan peluru Melalui perlakuan panas yang tepat, tegangan dalam dapat dihilangkan, butiran dapat diperbesar atau diperkecil, permukaan dapat diisi unsur lain
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
7
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
sehingga lebih keras disekeliling inti yang ulet. Untuk memberi perlakuan panas yang tepat maka komposisi kimia bahan harus diketahui lebih dulu, karena perubahan unsur kimia terutama karbida akan merubah sifat-sifat fisis logam tersebut (Amstead, BH,1985). Dasar dari perlakuan panas adalah transformasi atau dekomposisi austenit. Untuk dapat tercapai proses perubahan (tranformasi) perlu waktu (time) dan tenaga (temperatur). Prinsip perlakuan panas adalah : Logam dipanaskan sampai suhu tertentu (temperatur) , dengan jangka waktu tertentu (holding time ) dan dengan laju pendinginan tertentu ( cooling rate) Proses perlakuan panas baja dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : A. Secara mekanik : anealing, normalizing , hardening dan tempering B. Secara kimia : Carburizing, nitriding, carbo nitriding dan diffusion coating PENGERASAN (HARDENING) Tujuan pengerasan bahan baja adalah : 1. Membentuk struktur martensit yang sempurna sehingga meningkatkan kekerasan 2. Memperbaiki sifat mekanis 3. Mempertahankan keuletan Proses pengerasan menghasilkan baja dengan kekerasan lebih tinggi dengan struktur mikro martensit yang merupakan larutan padat lewat jenuh, dimana atom karbon terperangkap tetragonal dalam pemusatan ruang. Proses pengerasan dilakukan dengan memanaskan sampai suhu tertentu (austenit) ditahan beberapa waktu kemudian didinginkan dengan cepat (quench). Sebagai media quench dipakai air, oli, air garam dan lain-lain. Jenis media pendingin (cooling media) disesuaikan dengan jenis baja yang akan dikeraskan, semakin encer media pendinginnya , maka laju pendinginan semakin cepat sehingga kekerasannya semakin besar peningkatannya. Laju pendinginan yang cepat akan membentuk martensit yang sempurna.
Gambar 1. Kurva pendinginan dalam diagram T-T-T ( Avner, 1982) Jika austenit diberi waktu yang cukup pada pendinginan lambat maka akan terbentuk ferit dan karbida, Karbida dan ferit terbentuk bersama menjadi perlit. Jika austenit didinginkan secara cepat maka akan membentuk martensit. Martensit merupakan perubahan fase austenit dengan pergeseran secara serentak yang membentuk kisi tetragonal pusat ruang yang bersifat keras dan rapuh. Martensit ini tidak stabil, jika diberi waktu dn tenaga yang cukup akan kembali berubah menjadi perlit dan ferit. (Van Valk, 1993). Semakin besar angka dalam grafik, laju pendingnan semakin besar sehingga pembentukan martensit semakin sempurna, bahan akan semakin keras. KARBURIZING Karburising adalah proses penambahan unsur karbon ( C ) kedalam permukaan baja ( baja karbon rendah ) untuk meningkatkan kekerasannya. Kadar karbon pada permukaan dapat mencapai 0,75 % sehingga dapat meningkatkan kekerasan bahan secara signifikan. Pemanasan dilakukan sampai suhu 8500 C – 9000 C Kedalaman penetrasi unsur C dapat mencapai 0,5 – 1,2 μm. dari permukaan luar. Dalamnya penetrasi karbon dirumuskan oleh Smith, 1982 sebagai berikut : (Cs –Cx (/(Cs – Co ) = erf X/2(Dt)0,5 ……..(1) Dimana : Cs = konsentrasi akhir difusi Co = konsentrai awal difusi Cx = konsentrasi pada jarak X t = waktu D = difusifitas bahan X = jarak
Gambar 2. Proses Pack Karburizing KEAUSAN ABRASIF TEORITIS Keausan abrasif adalah keausan dimana salah satu bahan mengabrasi yang lain dalam hal ini kekerasan bahan yang satu jauh lebih tinggi dari yang lain. Keausan abrasif teoritis adalah keausan abrasif yang tergantung pada sifat-sifat fisis/mekanis bahan seperti tegangan tarik, tegangan geser, kekerasan.
8
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Keausan teoritis Hamrock, 1999.
dinyatakan
sebagai
Rumus
V abr =( W.L/H). k 1 .k2 ( mm3) ......... (2) Dimana W : beban – Newton L : Jarak luncur ( mm) K 1 ,k 2 : konstanta keausan bahan Keausan Adhesif teorits Keausan adhesif adalah keausan yang timbul antara kedua bahan yang selalu saling menempel dan bergesekan dimana sifat kedua bahan hampir sama V ads = (W.L/3H) k 1 ................(3) Dimana W L K H
: beban – Newton : Jarak luncur ( mm) : konstanta keausan adhesif : kekerasan bahan (N/mm2)
Gambar 4. Hasil proses karburasi (Van Valk, 1991)
Keausan specifik Keausan specifik adalah keausan yang tidak tergantung pada sifat bahan. Dalam hal ini keuasan abrasif spesifik dirumuskan sebagai : Ws=
…… (4)
Dimana: W s = keausan specifik (mm2/kg) B = lebar piringan pengaus (mm) B o = lebar keausan spesimen uji (mm) R = Jari-jari pengaus (mm) P o = gaya tekan pada poros keausan (Kg) L o = jarak tempuh pada poros pengaus(mm) Kedalaman penetrasi karbon tergantung pada suhu dan lama waktu tahan pemanasan serta jenis media karburisernya (Anner, 1982). Hal ini dinyatakan dalam gambar dibawah :
Dari gambar terlihat semakin tinggi suhu maka semakin dalam penetrasi yang dapat diperoleh pada proses pack karburising PENGUJIAN KEKERASAN Pengujian kekerasan yang dilakukan memakai metode pengujian kekerasan Vickers. Disini bahan cuplikan diuji kekerasan permukaannya dengan indentor piramida intan dengan sudut diagonal 1360. Bekas injakan penetrator berupa bujur sangkar.
Gambar. 5. Metode pengujian kekerasan Vickers (Van Valk, 1991) Rumus harga kekerasan Vickers sebagai: HV = 1,857 P/D2 ... kg/mm2……..(5)
Gambar 3: Hubungan dalamnya penetrasi dengan suhu dan waktu ( Avner, 1982 )
Dimana : P = besarnya beban - kg D = diagonal bekas injakan rata-rata - mm
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
9
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
HIPOTESIS:
DIAGRAM ALIR PENELITIAN
1. Semakin tinggi kadar karbon, semakin tinggi kekerasan yang diperoleh 2. Semakin keras bahan , angka keausan yang diperoleh semakin rendah. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan terhadap cuplikan sproket Honda Supra X 125 cc asli yang dipotong seperti gambar dibawah. Pemeriksaan yang dilakukan adalah a. Pemeriksaan komposisi kimia b. Pemeriksaan struktur mikro c. Pemeriksaan kekerasan d. Pemeriksaan keausan Cuplikan diambil dari bahan sproket yang belum ditreatment sebagai raw material dan bahan sproket yang sudah ditreatment dengan pack karburising dengan media : arang tempurung kelapa, kokas, briket dan arang sirep pada suhu 900 0 C selama 120 menit, kemudian diteruskan dengan quenching pada oli SAE 20. Masing-masing diambil 3 buah cuplikan kemudian diambil harga rata-ratanya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebelum penelitian proses karburising , dilakukan dulu pemeriksaan kadar karbon bahan media karburasi yang dilakukan dengan metode grafimeti di Laboratorium Analisa Kimia dan Fisika di UGM dengan hasil seperti pada tabel dibawah : Tabel 3: Kadar karbon media karburiser No Bahan Kadar karbon (%) 1 Kokas 61,25 2 tempurung kelapa 76,84 3 Briket batu bara 78,75 4 Arang sirep 92,54 Dari hasil diatas terlihat arang sirep mengandung karbon paling tinggi. Pemeriksaan komposisi kimia bahan sproket dengan spektrograf menghasilkan data seperti dibawah.
Gambar 6. Cuplikan bahan uji
10
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Tabel komposisi kimia bahan sproket
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dari hasil uji komposisi kimia terlihat bahwa bahan sproket adalah baja karbon medium dengan kadar karbon 0,347 %. Agar dapat dikeraskan maka bahan sproket harus dinaikkan dulu kadar karbonnya mendekati 0,50 % dengan salah satu cara. Disini dipilih pack karburising karena prosesnya sederhana. HASIL PENGUJIAN STRUKTUR MIKRO Pengujian strutur mikro dilakukan dengan mikroskop logam dengan perbesaran 200x setelah bahan dihaluskan secara bertahap melalui pengamplasan, dan dipoles kemudian dietsa dengan asam HNO 3 kadar 5% selama 5-10 menit dan dikeringkan. Komposisi struktur mikro bahan seperti disajikan pada gambar-gambar dibawah.
Gambar 7. Struktur mikro raw material tanpa treatment perbesaran 200 x, daerah tepi
Gambar 8. Struktur mikro bahan dikarburasi kokas bagian tepi, perbesaran 200 x
Gambar 9. Struktur mikro bahan dikarburasi arang tempurung kelapa bagian tepi, perbesaran 200 x
Gambar 10. Struktur mikro bahan dikarburasi Briket batu bara bagian tepi, perbesaran 200 x
Gambar 11. Struktur mikro bahan dikarburasi Arang sirep bagian tepi, perbesaran 200 x
Gambar 12. Histogram penetrasi karbon media Karburiser dalam bahan sproket Pada struktur mikro raw material komposisi struktur mikro terdiri dari unsur halus seragam dengan butir yang teratur disemua bagian sehingga sifatnya agak lunak. Sementara pada bahan terkarburasi terlihat adanya lapisan yang berbeda dipinggir. Ini memperlihatkan terjadinya penetrasi unsur karbon kedalam baja yang berubah menjadi martensit saat laju pendinginan cepat (diquench dengan oli). Terlihat bahwa semakin tinggi kadar karbon penetrasi karbon relatif semakin besar. Pada media karburiser arang sirep terjadi lapisan martensit 190 µ m, sementara pada media karburiser arang tempurung kelapa lapisan martensit 145 µ m. Lihat gambar 7 sampai gambar 11. Penyimpangan pada media karburiser kokas karena butirannya lebih keras sehingga unsur karbon tidak mudah terbakar dan masuknya lebih SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
11
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
efektif . Penomena yang sama muncul juga pada pengamatan terhadap bahan sproket Shogun 125 cc. PENGUJIAN KEKERASAN Pengujian kekerasan dilakukan dengan Mikro Vickers Hardness Tester terhadap cuplikan masing-masing 3 buah kemudian diambil rataratanya. Hasilnya dapat ditampilkan pada histogram dibawah
Gambar 14. Histogram keausan sproket x 10 -7
Gambar 13. Histogram kekerasan Vickers bahan Sproket Hasil pengujian kekerasan bahan sproket tanpa treatment (raw material) sebesar 179,87m kg/mm2, Pada pengujian kekerasan terlihat bahwa terjadi peningkatan kekerasan yang signifikan pada bahan terkarburasi dibanding raw material, seiring dengan ketebalan penetrasi dan kandungan karbon pada media karburiser. Semakin besar kadar karbon dan semakin tebal penetrasi, semakin tinggi kekerasan yang dapat dicapai. Pada media karburiser arang tempurung kelapa yang paling kecil peningkatan kekerasannya mencapai 550,333 kg/mm2 atau terjadi peningkatan sebesar 306% , sementara pada media karburiser arang sirep mencapai 629 kg/mm2 atau peningkatan sebesar 350 % dibanding kekerasan raw material.
specifik bahan
Terlihat dari gambar bahwa semakin keras bahan maka keausan spesifik semakin kecil, sehingga bahan lebih tahan aus. Disini bahan terkarburasi arang sirep menjadi bahan paling tahan aus dibanding dengan yang lain. Pengujian yang dilakukan pada bahan sproket Shogun 125 cc asli dengan kondisi dan metode yang sama dapat ditampilkan seperti gambar 15, gambar 16 dan gambar 17.
Gambar 15. Kedalaman penetrasi karbon pada bahan sproket Shogun 125 cc
PENGUJIAN KEAUSAN Pengujian keausan menggunakan Ogoshi High Speed Universal Wear Tester milik Lab Bahan UGM dengan rumus sebagai berikut: Ws= Dengan B = lebar piringan pengaus 3 mm, r = jarijari pengaus 14,4 mm , beban pengaus Po =2, 12 kg serta panjang pengaus L 0 = 100 m = 100000 mm Dengan mengukur lebar keausan yang didapat maka dapat ditampilkan harga keausan specifik yang terjadi sebagai histogram dibawah:
12
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Gambar 16. Kekerasan permukaan bahan uji sproket Shogun 125 cc
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SARAN 1. Untuk pengerasan permukaan dengan karburasi sebaiknya menggunakan arang sirep dengan energiser BaCO 3 sebesar 3,5 % 2. Perlu dilakukan penelitian keausan bahan terkarburasi arang sirep dengan variasi suhu dan variasi waktu treatment
Gambar 17. Keausan spesifik bahan sproket Shogun 125 cc x 10 -7 KESIMPULAN 1. Penetrasi makin besar jika kadar karbon media makin besar, penetrasi maksimum terjadi pada media arang sirep dengan 92,78 % C sebesar 190 µm pada Honda Supra X 125 cc, dan 195 µ m pada Shogun 125 cc 2 Semakin tinggi kadar karbon pada media karburiser, kekerasan permukaannya makin tiggi. Kenaikan tertinggi pada media arang sirep yaitu 629 kg/mm2 atau naik 350% dari raw material yang berharga 179,87 kg/mm2 Honda Supra X 125 cc sementara pada Shogun 125 cc menjadi 661,67 kg/mm2, atau meningkat sebesar 356% dari raw material yang berharga 185,67 kg/mm2 3. Keausan semakin rendah seiring dengan naiknya kekerasan permukaan bahan, dengan sendirinya ketahanan ausnya meningkat. Penurunan keausan maksimum terjadi pada media arang sirep. . Untuk Honda Supra X 125 cc berharga sebesar 1,265 x 10-7mm2/kg atau turun 594% dari mula-mula 7,525x10 -7 mm2 /kg, sementara untuk Shogun berharga 0,925 mm2/g atau turun 761% dari mula-mula 7,034 mm2/kg.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada Sdr Priswantoro Nugroho dan Sdr. Mohd. Helmy Alawy serta staf Laboratorium Bahan Teknik S1 dan D3 UGM yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Amstead BH, terj .Sriati Japrie, 1985, ”Teknologi Mekanik jilid ” , Certakan 7, Erlangga, Jakarta. Avner, Sidney H, 1992, ”Introduction to Phisichal Metallurgy”2nd edition, McGraw Hill, Tokyo,Japan. Beumer,BJM, trj, BS Anwir, 1994,”Ilmu Bahan Logam”, Jilid III, Bharata, Jakarta. Dieter, trj . Sriati Japrie, 1996, Metalurgy mekanik ”, edisi 3 , Erlangga, Jakarta. Hamrock, BJ, 1999, ”Fundamental of Machine Elemen” Mc Graw Hill Edition, Singapura I.M. Hutching, 1992, ”TRIBOLOGY,Friction Wear of Enginering Material”, Member Holding Headline Group, London Kenneth C Lugema , 1985, ASM International, ” Wear friction and Lubrication”, Mc Graw Hill International Edition, Singapura. Smalman RE, trj Sriati Japri , 2000, Metalurgi Phisik Modern dan Rekayasa Material, Edisi 6, Erlangga, Jakarta.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
13
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGARUH TEKANAN VAKUM TERHADAP EFISIENSI PADA EJECTOR VACUUM PUMP YANG DIGUNAKAN PADA VACUUM FRYING Joko Pitoyo, Fabianus Dodik Daru Wibowo Jurusan Teknik Mesin STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari no. 1 Depok, Sleman, Yogyakarta, Telp. (0274) 485390 Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menemukan efisiensi sebuah ejector yang difungsikan sebagai pompa hampa atau vakum pada vacuum frying. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mekanika Fluida Jurusan Teknik Mesin STTNAS Yogyakarta. Sebagai fluida primer digunakan air dan fluida sekunder adalah udara, parameter yang di teliti adalah hubungan debit udara (Qs) terhadap efisiensi ejector (η) dan tekanan vacum (Ps) terhadap debit udara (Qs). Pada penelitian dilakukan berbagai variasi terhadap pengaturan valve pada aliran udara sehingga didapatkan variasi data pada debit udara (Qs) yang berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan hubungan efisiensi () terhadap debit udara (Qs), Efisiensi maksimum terjadi pada Pi = 1,25 bar, tekanan vakum (Ps) mencapai 69 cmHg, debit udara sebesar 8 liter/menit yaitu sebesar 0,064 atau 6,4 % PENDAHULUAN Ejector adalah sebuah alat yang mampu memberikan beda tekanan fluida sehingga mampu mengalir tanpa menggunakan bagian yang bergerak. Keunggulan dari ejector ini menjadikan alat ini digunakan untuk mengalirkan fluida dalam berbagai fase. Komponen utama ejector terdiri dari nosel, throat, difuser dan ruang pencampur berfungsi juga sebagai rumah, seperti terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Skema Ejector Kinerja ejector dipengaruhi oleh konfigurasi dari komponen utama tersebut. Untuk menyatakan unjuk kerja dari sebuah ejector dinyatakan dengan parameter efisiensi. Pengujian beberapa konfigurasi ejector akan memberikan karakteristik ejector yang berbeda. Ejector sebagai pompa vakum adalah ejector yang digunakan sebagai alat untuk memvakumkan (memberikan tekanan di bawah tekanan atmosfir) melalui sisi sekunder ejector. Penelitian yang dilakukan telah memberikan gambaran bahwa efisiensi ejector dipengaruhi oleh beberapa parameter. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan tidak menggunakan udara sebagai fluida pada sisi sekunder, tapi pada
14
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
penelitian ini dilakukan pengujian dengan menggunakan udara sebagai fluida pada sisi sekundernya. Teori ejector dikembangkan dari teori Bernoulli, tekanan statis pada saluran masuk nosel dikonversikan menjadi energi kinetik dengan membiarkan cairan mengalir secara bebas melalui sebuah nosel tipe kovergen. Aliran yang berkecepatan tinggi mengangkut fluida masuk ke daerah percampuran sehingga menghasilkan fluida campuran pada kecepatan menengah. Sisi difuser kemudian mengkonversikan head dinamik kembali menjadi tekanan statis pada ujung ejector. Indikator yang dipakai untuk menyatakan unjuk kerja adalah efisiensi ejector terhadap beberapa besaran lain. Besaran-besaran nondimensional yang dipakai pada pengujian ejector adalah : 1. Rasio kapasitas aliran sekunder dan primer, s = Q 2 /Q 1 2. Rasio tekanan, N = P s ln(P d /P s )/P i -P d 3. Efisiensi, = {P s s ln (P d /P s ) + M(P d – P s )} / (P i – P d ) = G + L Pengukuran laju aliran atau debit air melalui bak peluap segitiga (V-notch). Gambar 2 menunjukkan peluap segitiga, di mana mengalir melalui peluap tersebut. Tinggi muka limpahan air adalah H dan sudut puncak peluap segitiga adalah φ
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 2. Peluap segitiga (V-notch) Bila sudut puncak celah segitiga adalah 90o, maka laju atau debit limpahan yang melalui celah segitiga dapat dinyatakan : Q = 1.38 (H)2.5 Dengan,
Q : laju aliran atau debit air (m3/s) H : tinggi muka limpahan air (m)
Dimana perhitungan pada peluap segitiga (V-notch) digunakan untuk menghitung rasio debit udara dengan deib air ( s ) yang ada dalam efisiensi. METODE PENELITIAN Penelitian ejector ini merupakan penelitian eksperimen dengan instalasi pengujian, seperti tampak pada gambar 3. 5
Variasi pengujian yang dipakai adalah perubahan nosel, proses penelitian mengikuti prosedur atau urutan seperti di bawah ini : 1. Pasang semua alat seperti pada gambar alat uji. 2. Pastikan volume air pada reservoir (bak penampungan) dan V-notch cukup. 3. Buka by pass yang ada pada alat uji. 4. Gunakan nosel mulai dari 7 sampai 1 nosel. 5. Nyalakan pompa, biarkan air mengalir menuju ejector lalu ke V-notch dan kembali ke reservoir. Tunggu beberapa saat hingga aliran stabil. 6. Percobaan dilakukan dengan menutup by pass pada aliran sekunder yang menuju reservoir, penutupan by pass dikakukan ± 30o dimuali dari 0o – 90o. 7. Tunggu beberapa saat hingga aliran stabil. 8. Pada V-notch, catat ketinggian airnya juga catat tekanan yang dihasilkan pada manometer vacum dan manometer tekanan air. 9. Buka valve pada aliran udara masuk (vakum) sedikit demi sedikit, catat tekanan vacum pada manometer vakum dan aliran udara pada flow meter di setiap pembukaan. 10. Ulangi percobaan, mulai dari angka 5 di atas. Tapi dengan mengurangi jumlah nosel yang digunakan mulai 7 sampai 1 nosel. HASIL PEMBAHASAN Gambar 4 dan gambar 5 menyajikan grafik-grafik yang bersumber dari data-data hasil pengukuran pada eksperimen.
6 7 8 9
Efisiensi vs debit udara (Qs) 7 4 3
6
10
2 P-2
1
Efisiensi
5 4 1 nosel 3 2 1
E-1
0 0
Gambar 3. Skema Instalasi Penelitian 1. 2. 3. 4. 5.
Keterangan : Pompa sentrifugal 6. Valve Reservoir (bak penampungan) 7. Flow meter V-notch 8. Manometer tekanan By pass 9. Ejector Manometer vakum 10. Bak penampung an
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Qs (liter/menit)
Gambar 4. Efisiensi () terhadap debit udara (Qs) Dari hasil penelitian menunjukkan kenaikan efisiensi (η) terhadap debit udara di mana efisiensi tertinggi mencapai 6 % pada debit udara menunjukkan angka 6 liter/menit, dengan menggunakan 1 nosel. Tekanan air yang terjadi pada ejector mencapai 1,25 bar, perubahan tekanan air sangat berpengaruh pada perhitungan efisiensi, sehingga didapatkan hasil sefisiensi seperti terlihat pada gambar 4.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
15
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tekanan vakum (Ps) vs Debit udara (Qs) 80 70
P s (cm Hg)
60 50 1 nosel
40 30 20 10 0 0
2
4 6 Qs (liter/menit)
8
10
Gambar 5. Tekanan vakum (Ps) terhadap debit udara (Qs) Pada Gambar 5 menunjukkan perubahan yang cukup signifikan pada tekanan vakum (Ps), kenaikan pada debit udara (Qs) sebesar 8 liter/menit menyebabkan tekanan vakum mengalami penurunan sampai sebesar 20,5 cmHg dan nosel yang digunakan pada ejector adalah 1 nosel. Menurut gambar 5 penurunan tekanan vakum sangat besar di mana setiap 1 liter/menit terjadi penurunan sebesar 15 cmHg. Gambar 4 terlihat efisiensi yang terus naik tetapi efisiensi belum mencapai batas maksimum, hal ini disebabkan keterbatasan alat yang digunanakan. Maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut sehingga didapatkan data yang lebih lengkap dan sempurna KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Efisiensi maksimum ejector vacuum pump pada vacuum frying terdapat di penggunaan 1 nosel dengan daya fluida (H) sebesar 81.94048 kW di mana kevakumannya mencapai -69 cmHg dan tekanan airnya sampai 1,25 bar. 2. Perubahan pada efisiensi sangat dipengaruhi oleh perubahan nosel, ini terlihat pada gambargambar pada pembahasan. Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan alat yang lebih lengkap dan bak penampungan yang digunakan lebih besar, karena pompa yang digunakan mempunyai debit yang sangat besar yang membutuhkan air yang cukup banyak.
16
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
DAFTAR PUSTAKA Karassik. J.I, Krutzsch. W.C., Fraser. W.H., 1976., Pump Hand Book, p.4.1-4.25., McGrawhillBook Company, New York. Stepanoff,A.J,1957, Centrifugal and Axial Flow Pump, 2nd ed, p 402-424, John Wiley & Sons, Inc, New York Streeter, 1981, Fluids Mechanic, cetakan 7, Mc Graw-Hill International Book Company, Michigan
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SISTEM IDENTIFIKASI UAP ALKOHOL MENGGUNAKAN DERET SENSOR QUARTZ CRYSTAL MICROBALANCE DAN JARINGAN SARAF TIRUAN Mulyadi Jurusan Teknik Elektro – Fakultas Teknik, Universitas Borneo Kampus Jl. Amal Lama No. 1 Tarakan, 77123 E-mail:
[email protected] Abstract An identification odour sensor system consisting of four sensors based on Quartz Crystal Microbalance (QCM) and its response patterns to volatile organic compounds (VOCs) such as Alcohol, Benzene, Chloroform, Ethanol and Methanol was built. Microcomputer-controlled measurement of the frequency of four differently-coated quartz piezoelectric crystals and subsequent data processing permits the immediate correction of instrumental response for fluctuations in water vapour concentration and the display of the corrected VOCs concentration in air. Crystal pairs with coatings of OV-101, OV-17, PEG-6000 and PEG-1540 were used to illustrate the performance of the instrument. VOCs can be detected over the range 0.1--15 ppm in atmospheres with relative humidities ranging from 30 to 60% without significant interference from changes in odour concentration with error rate 8,33%. Keywords - quartz crystal microbalance, odour sensor array, I. PENDAHULUAN Indra penciuman manusia dapat dibuat tiruannya dengan menggunakan beberapa sensor. Alat deteksi uap organik ini sangat luas aplikasinya, antara lain memonitor kondisi lingkungan, menentukan kualitas makanan dan minuman, mendeteksi gas-gas yang mudah terbakar dan menentukan bau parfum yang akan dibuat. Beberapa uap organik memiliki karakteristik yang khas. Dengan memanfaatkan deret sensor Quartz Crystal Microbalance (QCM) sangat memungkinkan untuk dibuat alat pengidentifikasi jenis odor Sistem pengidentifikasian uap organik yang mudah menguap ini terdiri dari kombinasi 4 buah sensor yang dilapisi polimer berbeda, meliputi OV-101, OV-17, PEG-6000 dan PEG-1540. Kombinasi dari 4 sensor tersebut menghasilkan pola yang berbeda terhadap setiap jenis uap. Pola inilah yang dimanfaatkan sebagai data untuk diolah. Neural network digunakan untuk mengolah data. Data akan dilatih dengan metode jaringan saraf tiruan backpropagation hingga dapat mengidentifikasi setiap jenis odor yang diinginkan. II. METODOLOGI A. Sensor Quartz Crystal Microbalance (QCM) Quartz Crystal Microbalance (QCM) adalah sebuah sistem untuk mengukur perubahan massa di tingkat nanogram. QCM merupakan fenomena molekul-molekul pada massa kristal bergerak-gerak sehingga terjadi perubahan ambang 3.
frekuensi pada kuarsa kristal. Prinsip kerja QCM ini didasari oleh efek Piezoelektrik. Piezoelektrik adalah suatu kemampuan yang dimiliki sebagian kristal maupun bahan-bahan tertentu lainnya yang dapat menghasilkan suatu arus listrik jika mendapatkan perlakuan tekanan. Sensor QCM terbuat dari bahan kristal yang terdapat lapisan SiO 2 yang diapit oleh dua elektrode sehingga dapat menghasilkan potensial listrik sebagai respon terhadap tekanan mekanik yang diberikan[1].
Gambar 1. Sensor QCM Menurut Sauerbrey. Fenomena yang terjadi ini didasari dari pengaruh piezoelektrik, yaitu perubahan di permukaan elektroda QCM. Berdasarkan penemuan tersebut dihasilkan sebuah persamaan Sauerbrey yang berhubungan dengan perubahan massa per unit area di elektroda QCM[2]. Permukaan kristal perubahan frekuensi goyangan kristal di udara : SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
17
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
f
2 f0
2
A q q
m
(1)
hidden layer dan output layer. `Setiap layer terdiri dari satu atau lebih neuron. Nama umum dari arsitektur ini
dengan, f - perubahan frekuensi (Hz) f 0 - resonan frekuensi dasar dari kristal (Hz)
A - daerah piezoelektrik kristal (m2)
q
- densitas dari kristal (= 2,684 g/cm3)
q
- modulus dari kuarsa (=2.947x1011 g/cm.s2)
Karaketristik sensor QCM dapat dilihat dari pergeseran frekuensi yang telah dinormalisasi ketika mendapat sebuah respon sampel sehingga dapat dihasilkan grafik respon sensor seperti pada gambar 2. dibawah ini:
Gambar 2. Respon normalisasi sensor terhadap beberapa sampel gas
Gambar 3. Skematika Sistem Sensor
B. Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation Model JST yang digunakan dalam paper ini adalah arsitektur feedforward (umpan maju). Sedangkan konsep belajar yaitu algoritma belajar backpropagation[4]. Backpropagation adalah salah satu pengembangan dari arsitektur Single Layer Neural Network. Arsitektur ini terdiri dari input layer, 2.
18
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Gambar 4. Arsitektur backpropagation adalah Multilayer neural network. Backpropagation merupakan sebuah metode sistematik untuk pelatihan multilayer jaringan syaraf tiruan. Metode ini memiliki dasar matematis yang kuat, obyektif dan algoritma ini mendapatkan bentuk persamaan dan nilai koefisien dalam formula dengan meminimalkan jumlah kuadrat galat melalui model yang dikembangkan (training set). Pada paper ini arsitektur backpropagation menggunakan 4 buah sensor untuk layer inputnya, sebuah hidden layer yang terdiri dari 64 neuron dan 4 buah neuron pada layer outputnya seperti gambar 4. Selanjutnya data pengukuran, yaitu Δf dan rasio rata-rata normalisasi akan di latih dalam jaringan syaraf tiruan lapis banyak menggunakan algoritma backpropagtion. Jaringan perceptron lapis jamak atau Multi Layer Perceptron (MLP) adalah jaringan syaraf tiruan yang merupakan pengembangan dari perceptron lapis tunggal. Jaringan saraf tiruan dengan lapis tunggal memiliki keterbatasan dalam pengenalan pola. Kelemahan ini diatasi dengan menambahkan satu atau lebih lapis tersembunyi diantara lapis masukan dan keluaran. Arsitektur jaringan perceptron lapis banyak seperti terlihat pada Gambar 4 terdiri dari lapisan masukan (input layer) yang ditambah dengan bias, lapisan tersembunyi (hidden layer) ditambah dengan bias, dan lapisan keluaran (output layer). Vij merupakan bobot dari unit masukan Xi ke unit lapis tersembunyi Zj, dan Wjk adalah bobot dari unit lapis tersembunyi Zj ke unit keluaran Yk. Pembelajaran menggunakan algoritma delta yang disebut error backpropagation training algoritm. Argumen masukan diumpankan secara arah maju sedangkan proses pembelajaran selain memanfaatkan perambatan arah maju juga memanfaatkan perambatan arah balik, bila hasil tidak sesuai dengan target maka bobot diperbaharui selama proses siklus pembelajaran hingga diperoleh nilai error yang diharapkan atau keluaran sama dengan target.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pelatihan Algoritma backpropagation meliputi 3 tahap. Tahap pertama adalah tahap maju. Pola masukan dihitung maju mulai dari lapis masukan hingga lapis keluaran menggunakan fungsi aktivasi yang ditentukan. Tahap kedua adalah tahap mundur. Selisih antara keluaran jaring dengan target yang diinginkan merupakan kesalahan yang terjadi. Kesalahan tersebut dipropagasikan mundur, dimulai dari garis yang berhubungan langsung dengan unitunit di lapis keluaran.
-
Alur mundur (Backward) Langkah-langkah dalam alur mundur adalah: 3. Menghitung output error ( k ) Output error = Output layer3 – desire output
...
d k Yk '
. .. . . (8)
1 ' d k Yk 2
Err k ( MSE )
2
(7)
k
dErrk dYk
'
Menghitung hidden error (
4.
O
)
dErrk dErrk dYk dZ j O dZ j dYk dZ j ' dZ j
Tahap ketiga adalah perubahan (updating) bobot untuk menurunkan kesalahan yang terjadi. Proses pelatihan algoritma backporpagation ditujukkan dalam Gambar 5. Algoritma backpropagtion adalah sebagai berikut: untuk proses learning dalam JST 3 layer secara garis besar terdiri dari dua alur, yaitu: - Alur maju (Forward) Langkah-langkah dalam alur maju adalah: 2. normalisasi input dan nilai desire output (menjadi dalam range 0 – 1). 3. memberi nilai weight secara acak/random pada nilai -1 s/d +1 4. memberi inisialisasi nilai bias = 1 5. mencari nilai sum dan sigmoid untuk Hidden layer dan Ouput layer a). Hidden Layer Nilai sum:
Zj
N
X i0
i
'
5.
1 1 e M
i0
k Z j W
6.
dengan M = jumlah synapse layer3 Nilai Sigmoid:
Yk '
1 e Yk bias
jk
W
W
jk
'
. . . .. . . . . . 10)
jk
Updating nilai bias pada output layer '
dErrk dErrk dYk biask ' dbiask dYk dbiask k 1 bias k bias k bias 7.
k
. . . . . . . (11)
Updating weight untuk weight pada Input – Hidden layer
V ij
dErr j dV ij
dErr j daZ j ' dZ j ' dV ij
O X i V ij V ij V ij
8.
Z j '. W j k . . . . .. . . . (5)
1
dErrk dErrk dY k dW jk dYk dW jk
. . . . .. . . . . . . (12)
. . . . . . . . (4)
b). Output Layer Nilai sum:
Yk
Updating Weight untuk weight pada Hidden – Output layer
W jk
.V i j . . . . .(3)
Zj bias
'
O Err j Z j (1 Z j ) . . . . (9)
dengan N = jumlah synapse layer2 (hidden layer) Nilai Sigmoid:
Z j '
L dErrk dYk k W jk dYk dZ j ' k 1
Err j
Gambar 5. Bagan alur algoritma backpropagation
'
Updating bias pada hidden layer
bias j
dErr j dbias j
dErr j
dZ j '
dZ j ' dbias j
O 1 bias
j
bias
j
bias
j
. .. . . . . . . (13)
. . . . .. . . (6)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
19
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Proses learning dilakukan sampai dicapai nilai kesalahan (error) tertentu, misalnya sampai nilai Mean Square Error (MSE) < 10-3 atau bila telah mencapai epoch maksimum Jenis bahan bakar yang diuji antara lain alkohol, benzena, solar, dengan pembanding air mineral. Untuk mengakuisisi data hasil pengukuran, pembelajaran JST, dan aplikasi identifikasi dalam unit komputer menggunakan program yang dibuat dengan bantuan software Visual Basic 6.0. Tahap terakhir setelah diperoleh hasil learning adalah aplikasi sistem identifikasi alkohol yang dilakukan pada proses forward dari algoritma
backpropagation Gambar 4.
seperti
ditunjukkan
dalam
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengukuran Pengujian ini dilakukan pada keempat sensor dengan memberi respon dari empat jenis odor yaitu benzena, alkohol, minyak kayu putih dan solar. Data yang diambil setiap sensor adalah ratarata setiap 20 detik. Berikut ini adalah gambargambar pola yang dibentuk oleh deret sensor ketika diberi 4 sampel odor.
Gambar 6. Pola yang dihasilkan dari 4 sensor Hasil perhitungan rata-rata tiap sensor ketika diberi 4 sampel gas
Tabel 1. Data Pelatihan keempat sensor QCM
70 60 50
OV-101
40
OV-17
30
PEG-6000
20
PEG-1540
10 0 Bensin
Alkohol
K. Putih
Solar
Gambar 7. Pola respon sensor terhadap 4 jenis sample uap B. Pelatihan Data Pada proses ini data yang diambil untuk dilatih adalah data pergeseran frekuensi resonansi sensor dalam satuan Hertz dari pelatihan 1, pelatihan 2 dan pelatihan 3. Data pada Tabel 1. adalah data yang akan dilatih.
20
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Pada proses pelatihan ini menggunakan 4 input sensor dengan polimer meliputi OV-101, OV17, PEG-6000 dan PEG-1540. Dengan lapis tersembunyi (hidden layer) sebanyak satu buah yang berjumlah 64 neuron. Pelatihan ini menghasilkan bobot antara lapis input-hidden dan lapis hidden-output. Hasil yang diinginkan (target) ada 4 buah yaitu bensin (1000), alkohol (0100), minyak kayu putih (0010) dan solar (0001). C. Pengujian Data Data yang digunakan untuk proses pengujian adalah data pada detik ke-60,80 dan 100 seperti tabel 2. dengan satuan Hertz.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 2. Pengujian data
REFERENSI 1. 2.
3. 4.
Untuk data hasil pengujian data dengan algoritma backpropagation dapat dilihat dalam tabel 3 di bawah ini : Tabel 3. Hasil Pengujian
5.
6.
Nakamoto,T., dan Moriizini, T. 1998. ”Odor sensor using quartz-resonator array and neural-network pattern recognition”, Proceeding Ultrason. Smith L., Shirazi M., 2004. “Principles of Quartz Crystal Microbalance/Heat Conduction Calorymetry: Measurement of the Sorption Enthalpy of Hydrogen in Palladium”, Chemistry Department, Drexel University. Kumar Ashok, 2000. “Biosensors Based on Piezoelectric Crystal Detectors”, Jom-e. Subiyanto, 2000. “Aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan sebagai Metode Alternatif Prakiraan Beban Jangka Pendek ”, elektro indonesia. Nakamura M. and Sugimoto Iwao, 1999. ”A Neural Network Model for an Electronic Nose Based on Quartz-Crystal Microbalance Sensors”, IEEE Proceeding on Artificial Neural Network. No. 470. Jie Han, 2006. “Technical background, applications and implementation of quartz crystal microbalance systems”, University of Jyvaskyla Department of Physics.
IV. KESIMPULAN Implementasi 4 sensor QCM dengan lapisan polimer OV-101, OV-17, PEG-6000 dan PEG-1540 mampu menghasilkan perubahan nilai pergeseran frekuensi yang terukur sesuai dengan perubahan paparan odor yang diberikan dan memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap temperatur dan faktor kelembapan sehingga frekuensi
yang dihasilkan memiliki nilai getar kurang lebih 3 Hz. Algoritma Back-Propagation dapat mengenali pola sesuai data sensor yang diberikan dengan tingkat kesalahan sebesar 7,33%. Kesalahan identifikasi
terjadi karena pola perubahan tanggapan deret sensor terhadap paparan suatu uap pelarut organik memiliki kemiripan dengan pola perubahan frekuensi uap pelarut organik lain dan jika deret sensor dipapar dengan uap yang pola tanggapannya tidak dimasukkan dalam pelatihan jaringan, maka sistem akan mengidentifikasi uap tersebut sebagai salah satu dari uap pelarut organik yang pola perubahan tanggapannya digunakan dalam proses pelatihan.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
21
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Desain Sistem Pengaturan Engine Torque Pada Spark Ignition Engine Dengan Menggunakan Fuzzy Gain Schedulling Aris Triwiyatno1), Ismit Mado2) 1)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro FT-Undip Semarang e-mail:
[email protected] 2) Staf Pengajar Program Studi Teknik Elektro Universitas Borneo Tarakan e-mail:
[email protected] Abstrak Pada mesin injeksi berbahan bakar bensin, atau yang lebih dikenal dengan nama spark ignition engine, pengaturan engine torque merupakan upaya untuk menaikkan performansi mesin sekaligus untuk meminimalis konsumsi bahan bakar. Namun untuk mencapai keduanya, adalah permasalahan yang cukup sulit, sehingga penyelesaiaannya hanya dapat dilakukan dengan kompromi dari kedua arah. Solusi yang ditawarkan untuk permasalahan tersebut pada penelitian ini adalah dengan memanfaatkan fuzzy logic inference mechanism dalam menentukan feedback gain untuk memperbaiki pembukaan throttle plate yang diberikan pengemudi sehingga menghasilkan engine torque sedekat mungkin dengan desired engine torque. Penggunaan metode kontrol tersebut terbukti mampu memperbaiki engine torque absolute error sebesar 33.98 % dan melakukan pengurangan penggunaan bahan bakar sebesar 12.81 %. Kata kunci: spark ignition engine, engine torque, fuzzy logic inference mechanism, feedback gain.
1. Pendahuluan Di dalam perkembangan dunia otomotif tak akan lepas dari permasalahan sistem spark ignition engine, yaitu mesin bakar yang dipicu oleh busi. Sumber tenaga yang digunakan untuk mesin ini biasanya adalah pembakaran gas yang dilakukan di dalam ruang bakar. Dengan mengkombinasikan kerja dinamik silinder (cylinder) dan torak engkol (crank) akibat adanya kompresi bahan bakar yang tersulut api oleh busi, maka akan dihasilkan tenaga putaran mesin yang dikehendaki. Jika tenaga putaran ini diproses lebih lanjut, akan menghasilkan tenaga yang bisa menggerakkan kendaraan sesuai dengan keinginan pengendara. Permasalahannya adalah mengatur tenaga tersebut, yang identik dengan torsi mesin, sesuai dengan keinginan pengendara, secepat – senyaman – seaman mungkin dengan konsumsi bahan bakar seirit mungkin, adalah permasalahan dilematis karena kenaikan performansi mesin hampir selalu identik dengan kenaikan konsumsi bahan bakar. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem kontrol yang mampu melakukan pendekatan dari dua arah, disatu sisi mampu menaikkan performansi mesin, di sisi lain mempertahankan kenaikan konsumsi bahan bakar tidak terlalu boros. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk upaya ini, beberapa di antaranya memfokuskan pada pengaturan kecepatan putar mesin dan manifold pressure[3][4][11]. Permasalahannya adalah pengaturan kecepatan putar mesin dan manifold pressure belum bisa memberikan solusi terhadap
22
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
kebutuhan torsi besar yang sewaktu-waktu muncul secara lebih responsif. Pendekatan lain yang terbukti lebih efektif adalah dengan melakukan pengaturan engine torque[13][14][15]. Dengan melakukan pengaturan engine torque, maka secara otomatis akan menaikkan performansi kendaraan dan juga pengiritan bahan bakar. Hal ini terjadi karena engine torque maksimal bisa dicapai hanya dengan adanya pembakaran bahan bakar yang sempurna, artinya dengan menjaga pembakaran yang sempurna penggunaan bahan bakar menjadi efektif dan efisien. Pada penelitian ini dilakukan pengaturan engine torque dengan pendekatan metode kontrol fuzzy gain schedulling. Fungsi utama dari fuzzy gain schedulling yang didesain adalah untuk menentukan pembobot bagi feedback gain yang digunakan untuk mengoreksi masukan throttle plate angel yang diberikan pengemudi, sehingga menghasilkan engine torque sesuai dengan desired engine torque.
2. Spark Ignition Engine dengan Automatic Transmisson Secara umum blok diagram dari spark ignition engine lengkap dengan transmission control unitnya digambarkan oleh Gambar 1. Pada riset ini, model tersebut menggunakan 4 step transmisi gigi[1]. Engine menerima masukan berupa throttle opening yang diberikan oleh pengemudi. Putaran mesin yang dihasilkan dikoneksikan dengan
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
impeller pada torque converter yang dikopel juga dengan transmission control unit.
(4) Gambar 1. Blok diagram model spark ignition engine dengan transmission control unit
Load torque mencakup road load dan brake torque. Road load adalah penjumlahan dari frictional and aerodynamic losses.
(1) Karakteristik input-output dari torque converter dapat dinyatakan dengan fungsi-fungsi engine speed dan turbine speed.
(5) Gambar 2 memberikan ilustrasi skedul pergeseran gear ratio. Transmisi gear ratio-nya diberikan pada Tabel 1. Tabel 1. Gear Ratios
(2) Model transmission dinyatakan sebagai static gear ratios, diasumsikan hanya memiliki waktu pergeseran yang kecil, sehingga bisa diabaikan (dalam kenyataannya masalah waktu pergeseran ini akan menyebabkan permasalahan robustness).
Gambar 2. Gear Shift Schedule (3) Dinamika kendaraan pada model ini dipengaruhi oleh final drive, inertia, dan dynamically varying load.
3. Strategi Engine Torque Management Pada dasarnya strategi manajemen engine torque menggunakan fungsi kontrol throttle, air to fuel ratio (AFR), dan ignition timing secara bersamaan untuk menghasilkan engine torque sesuai dengan harapan. Dalam kenyataan praktis, desired engine torque ini tidak pernah ada, karena masukan yang diberikan pengemudi pada sistem adalah posisi pedal gas (pedal position). Untuk itu, SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
23
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dalam strategi kontrol engine torque dikenal adanya mapping antara Posisi Pedal Gas (pedal position) dan Kecepatan Putar Mesin (engine speed) dengan Engine Torque Command (Heintz dkk, 2001). Gambar 3 menunjukkan mapping untuk sporty vehicle feel dan Gambar 4 menunjukkan mapping untuk economical vehicle feel.
digunakan Takagi-Sugeno fuzzy inference mechanism dengan input engine torque error dan derivative engine torque error serta output pembobot terhadap absolute feedback gain yang digunakan untuk menentukan koreksi terhadap throttle plate angle yang diberikan pengemudi. Gambar 5, 6 dan 7 masing-masing menyatakan membership functions dari input dan output kontroler logika fuzzy yang akan digunakan.
Gambar 5. Membership Functions dari input engine torque error
Gambar 3. Pemetaan Pedal Position dan Engine Speed terhadap Desired Engine Torque untuk Sporty Vehicle Feel (Heintz dkk, 2001) Gambar 6. Membership Functions dari input derifative engine torque error
Gambar 7. Membership Functions dari gain schedule (mf1 = 0, mf2 = 0.25, mf3 = 0.5, mf4 = 0.75, mf5 = 1) Gambar 4. Pemetaan Pedal Position dan Engine Speed terhadap Desired Engine Torque untuk Economical Vehicle Feel (Heintz dkk, 2001) Pada penelitian ini dilakukan mekanisme pengaturan engine torque dengan melakukan perubahan hanya pada throttle plate angel saja. AFR dan ignition time dibiarkan standar pada setelan engine torque maksimal, yaitu pada AFR 14.7 dan spark advance degree pada MBT 15o. 4. Kontroler Logika Fuzzy Kontroler logika fuzzy adalah salah satu kontroler berbasis if-then rules sehingga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan sebagaimana pola pikir manusia. Pada riset ini akan
24
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Basis aturan yang digunakan diberikan adalah sebagai berikut:
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
5. Simulasi dan Analisa Simulasi dilakukan dengan Matlab Simulink sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 8. Hasil simulasi tanpa kontroler ditunjukkan pada Gambar
9, 10, 11, dan 12. Gambar 13, 14, 15, dan 16 menunjukkan hasil setelah diberi kontroler fuzzy gain schedulling dengan menggunakan engine torque mapping untuk Economical Vehicle Feel.
Gambar 8. Model Simulasi dengan menggunakan Matlab Simulink Toolbox 80
40 desired engine torque engine torque
70
30 Throttle Opening (deg)
Engine Torque (Nm)
60 50 40 30
25 20 15
20
10
10
5
0
throttle input throttle actual
35
0
50
100
150 Time (s)
200
250
300
Gambar 9. Operasi tanpa kontroler: desired engine torque vs engine torque
0
0
Gambar 10.
50
100
150 Time (s)
200
250
300
Operasi tanpa kontroler: throttle input vs throttle actual
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
25
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2400
40
2200
35 30 Throttle Opening (deg)
Engine Speed (rpm)
2000 1800 1600 1400 1200
25 20 15 10
1000
5
800 600
throttle input throttle actual
0
50
100
150 Time (s)
200
250
0
300
Gambar 11. Operasi tanpa kontroler: engine Speed 60
0
50
100
150 Time (s)
200
250
300
Gambar 14. Operasi dengan fuzzy gain shedulling: throttle input vs throttle actual 2200 2000 1800
40 Engine Speed (rpm)
Vehicle Speed (mph)
50
30
20
1600 1400 1200 1000
10 800
0
0
50
100
150 Time (s)
200
250
300
Gambar 12. Operasi tanpa kontroler: vehicle Speed 80
600
0
50
150 Time (s)
200
250
300
Gambar 15. Operasi dengan fuzzy gain shedulling: engine Speed
desired engine torque engine torque
70
100
60
50
Vehicle Speed (mph)
Engine Torque (Nm)
60 50 40 30
40
30
20
20
10
10
0
0
0
50
100
150 Time (s)
200
250
300
Gambar 13. Operasi dengan fuzzy gain shedulling: desired engine torque vs engine torque
0
50
100
150 Time (s)
200
250
300
Gambar 16. Operasi dengan fuzzy gain shedulling: vehicle Speed Hasil lain simulasi menunjukkan : integral torque absolute error menunjukkan pada operasi tanpa kontroler sebesar 407.3 dan pada aplikasi kontroler fuzzy gain schedulling sebesar 268.9 atau ada perbaikan sebesar 33.98 %. Penggunaan bahan bakar pada operasi tanpa kontroler sebanyak 3.896 gram sedangkan pada aplikasi fuzzy gain schedulling sebanyak 3.397 atau ada pengiritan sebesar 12.81 %.
6. Kesimpulan Dari riset ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi sistem kontrol berbasis knowledge akan sangat menguntungkan untuk
26
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
mengatasi permasalahan kontrol dengan indeks performansi yang kontradiktif sebagaimana pengaturan torsi pada spark ignition engine. Hanya saja untuk menyempurnakan riset ini perlu dilakukan klarifikasi basis aturan sesuai standar pabrikan dan drive action yang diberikan tidak hanya opening throttle valve saja, tetapi juga meliputi pengaturan air to fuel ratio dan time ignition. Dengan demikian fuzzy rule punya keleluasaan untuk meredam penggunaan bahan bakar berlebih untuk mendapatkan engine torque sedekat mungkin dengan desired engine torque. 7. Referensi Abate, M, et.al, “Using Simulink and Stateflow in Automotive Applications”, The MathWorks Inc. __________, “Application of Some New Tools to Robust Stability Analysis of Spark Ignition Engines: A Case Study”, IEEE Transactions on Control Systems Technology, Vol. 2, No. 1, March, 1994. Agung Nugroho, Desain Kompensator Sistem Pengaturan Kecepatan pada Spark Ignition Engine dengan Menggunakan QFT, Tugas Akhir, ITS, Surabaya, 2004. Agus Salim, Desain Kompensator sebagai Kontrol Robust pada Sistem Pengapian Spark Ignition Engine, Tesis, ITS, Surabaya, 2004. Bosch, Automotive Electric/Electronic System, Robert Bosch GmbH, Postfach 30 02 20 D70442 Stutgart, 1995. Blaich B., Schwarz H., Spark Ignition Engine, Engine Design and Operating Conditions, Fuel for SI Engine, Bosch, USA, 1995.
Braae, M and Rutherford D A, “Theoritical and Linguistic Aspects of the Fuzzy Logic Controller”, Automatica, Vol. 15, 1979. Denton T, Automobile Electrical and Electronic System, Colchester Institute, Colchester, Essex, 1995. Fukami, S, Mizumoto M, and Tanaka K, “Some Considerations of Fuzzy Conditional Inference”, Fuzzy Sets Systems, Vol. 4, 1980, pp. 243-273. Harris, C.J., Moore C.G., and Brown M, “Intelligent Control: Aspect of Fuzzy Logic and Neural Nets”, World Scientific Series in Robotics and Automated Systems, Vol. 6, 1993. Irianto, Analisis Sistem Pengaturan Kecepatan Spark Ignition Engine Menggunakan Kontrol Robust MIMO, Tesis, ITS, Surabaya, 2005. Shahian, B, Hassul, M, Control System Design Using Matlab, Prentice-Hall Int. Inc. Heintz, N., Mews, M., Stier, G., Beaumont, A.J., dan Noble, A.D. (2001), "An Approach to Torque-Based Engine Management Systems", SAE 2001-01-0269. Kolmanovsky, I., Druzhinina, M., dan Sun, J. (2000), Nonlinear Torque and Air-to-Fuel Ratio Controller for Direct Injection Stratified Charge Gasoline Engines, Proceeding of AVEC 2000, 5th Int'l Symposium on Advanced Vehicle Control, Michigan. Lamberson, D.M. (2003), Torque Management of Gasoline Engine, Tesis Master, Mechanical Engineering, University of California at Berkeley.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
27
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENINGKATAN KINERJA ADAPTIVE CODED MODULATION DENGAN SELECTION DIVERSITY UNTUK MITIGASI PENGARUH REDAMAN HUJAN DAN INTERFERENSI PADA SISTEM LMDS DI SURABAYA Syahfrizal Tahcfulloh Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Borneo Kampus Jl. Amal Lama No. 1 Tarakan, 77123, INDONESIA E-mail:
[email protected] ABSTRACT Local Multipoint Distribution Service (LMDS) is used to broadband communication with bandwidth and highspeed data. The system uses millimeter wave frequency that has very high rain fading and also intercell interference especially in tropical region like as Indonesia can decrease performance of the system. In this implementation more significant to investigate the mitigation technique. In this paper is presented the improvment of performance mitigation technique of ACM with Selection Diversity. In ACM system is guaranteed to have maximum BER 10-6 and 10-11 in 4 km length between terminal station and base station have link availability 99.9368% and 99.9356%, and channel capacities are 1.5847 bps/Hz and 0.7726 bps/Hz respectively. The ACM with SD is better than ACM that are effective to improve the link availability about 0.004% and 0.003% and also channel capacities about 0.022% and 0.04% for BER maximum 10-6 and 10-11 respectively. Keywords—Adaptive coded modulation (ACM), selection diversity (SD), intercell interference, millimeter wave. 1. PENDAHULUAN Sistem LMDS beroperasi pada frekuensi antara 20–40 GHz yang menggunakan sistem akses seluler untuk arsitektur jaringannya serta receiver-nya yang tetap (fixed). Sistem ini dapat mengirimkan sinyal dengan cepat pada bit rate 1,5 GBps saat downstream dan 200 MBps saat upstream serta sistem ini mendapati gangguan minimal. Sistem komunikasi pada pita frekuensi tinggi seperti sistem LMDS sangat peka terhadap fade (pelemahan) yang disebabkan oleh hujan, sehingga bisa memberikan efek yang signifikan pada keandalan sistem komunikasi di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi. Oleh karena itu, penerapan sistem LMDS di Indonesia akan menjadi permasalahan yang rumit mengingat besarnya redaman hujan yang terjadi. Dimana, semakin tinggi curah hujan rata-rata maka akan semakin besar pula redaman hujan yang terjadi. Beberapa teknik mitigasi pengaruh redaman hujan sudah diteliti dibeberapa negara non tropis, diantaranya teknik penggunaan kendali daya untuk kompensasi redaman karena hujan pada sistem seluler LMDS/LMCS [2]. Sistem ini dirancang untuk bekerja pada daerah non-tropis dengan redaman hujan yang tidak terlalu besar. Akibatnya jika diterapkan di daerah tropis untuk sstem komunikasi nirkabel seluler pada gelombang milimeter akan terjadi nilai BER yang terlalu besar. Penelitian [1] hanya menerapkan kendali daya yang berbasis AGC (automatic gain control) untuk mengatasi efek redaman hujan. Sistem mereka membedakan pelanggan dekat dan jauh dengan tujuan untuk membagi rentang dinamis AGC ke dalam dua segmen yang lebih sempit. Sistem ini
28
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
tidak memanfaatkan modulasi adaptif maupun pengodean adaptif sehingga tidak dapat mencapai penggunaan sumber daya yang efisien. Teknik cellsite diversity juga telah terbukti sangat efektif untuk melawan pengaruh redaman yang diakibatkan oleh hujan di daerah non tropis [7]. Sistem transmisi adaptif menggunakan variasi laju data dan variasi daya pada sistem M-QAM telah diterapkan untuk mengatasi Rayleigh fading untuk mendapatkan efisiensi spektrum serta unjuk kerja yang optimum [4]. Teknik modulasi MQAM adaptif pada kanal komunikasi gelombang milimeter telah digunakan untuk mengoptimalkan efisiensi spektrum atau kapasitas kanal dibawah pengaruh hujan di Indonesia [10]. Pada penelitian ini dilakukan peningkatan kinerja terhadap teknik ACM dengan menggunakan kode rangkap Reed-Solomon (RS) dan Convolotional Code (CC) dengan SD yang implementasinya pada sistem komunikasi nirkabel pita lebar gelombang milimeter dibawah pengaruh redaman hujan dan interferensi di Indonesia, kususnya dilakukan pengukuran curah hujan di Surabaya. 2. ASUMSI SISTEM LMDS -
Sistem Nirkabel Pita Lebar Umumnya sistem LMDS menggunakan arsitektur seluler heksagonal, namun bentuk persegilah yang populer dijadikan pertimbangan dalam perancangan sistem komunikasi bergerak. Suatu sel terdiri atas satu BS dan beberapa TS. Satu sel tersektorisasi menjadi 4 sektor sebesar 90o. Gambar 1 memperlihatkan sekenario plan frekuensi untuk layanan LMDS. “A” dan “B” menyatakan polarisasi vertikal, sedangkan “a” dan “b” berarti
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
polarisasi horizontal. Garis tebal menandakan batas sel. TS mendapatkan sinyal dari BS bernotasi nomor 1 atau disebut BS target dan BS-BS lain yang bernotasi 2, 3, dan 4 sebagai BS penginterferensi serta BS bernotasi 5, 6, 7, 8, dan 9 sebagai BS untuk konfigurasi SD. Antena BS adalah antena sektor dengan beamwidth 90o dengan gain hampir uniform yang berada di pusat sel dan beamwidth dari antena TS berjenis Cassegrain sangat sempit sekitar 3o [3]. Parameter–parameter sistem LMDS yang digunakan untuk perhitungan harga SNR pada jarak L km adalah dengan menggunakan perhitungan yang bersumber dari Chu Y.C yang dinamakan SNR clear sky (SNR CS ). Dalam penelitiannya Chu menggunakan parameter LMDS yang diproduksi oleh New Bridge Corporation Canada [3].
informasi r[k] sebelum dimodulasi dilakukan proses pengkodean rangkap yaitu pengkodean RS dan dilanjutkan dengan proses pengkodean CC. Setelah proses pengkodean rangkap, bit informasi dipetakan sesuai dengan level modulasi yang digunakan x[k]. Level modulasi tergantung pada kondisi kanal yang dipengaruhi hujan yang ditentukan oleh harga SNR (signal to nosie ratio) pada sisi penerima. Estimasi kanal diasumsikan ideal dan waktu tunda (delay) pada umpan balik diasumsikan mendekati nol. -
Redaman Hujan di Indonesia Pengukuran curah hujan dilakukan di lingkungan kampus ITS Surabaya menggunakan alat ukur disdrometer optik. Dari hasil pengukuran diperoleh data curah hujan selama 2 tahun dari tahun 2007 dan 2008 dengan waktu sampling T=10 detik. Metode synthetic storm technique (SST) [5][8] merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi redaman hujan berdasarkan kecepatan dan arah angin. Hasil pengukuran curah hujan di Surabaya menunjukan bahwa probabilitas curah hujan 0,01% untuk curah hujan lebih dari 140,1 mm/jam. Hal ini menunjukkan curah hujan di Surabaya, Indonesia sangat tinggi. Salah satu hasil perhitungan redaman hujan dengan SST yang berupa grafik complementary cumulative distribution function (CCDF) redaman hujan untuk jarak TS ke BS target sejauh 4 km dengan polarisasi horizontal tampak pada Gambar 3. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terjadi redaman hujan di Surabaya (Indonesia) dengan probabilitas 0,01% sebesar 283.6 dB di lintasan TS ke BS nomor 3.
Gambar 1. Skenario plan frekuensi pada layanan LMDS, H = polarisasi horizontal, V = polarisasi vertikal, TS = terminal station dan o = base station (BS).
1
10
TS-BS1 TS-BS2 TS-BS3 TS-BS4 TS-BS5 TS-BS6 TS-BS7 TS-BS8 TS-BS9
0
Pemancar Mod & Coding Adaptif
x[k]
1/
n[k]
Demodulasi Adaptif y[k]
Estimasi Kanal
^
r[k]
Prob.[Redaman > absis] (%)
Penerima Kanal (redaman hujan)
10
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
Delay 0
100
200
300
400 500 Redaman (dB)
600
700
800
900
Gambar 2. Model sistem transmisi adaptif -
Sistem MQAM Adaptif dan ACM Sistem nirkabel pita lebar gelombang milimeter yang dievaluasi bekerja pada frekuensi 30 GHz. Penggunaan metode ACM yang memvariasikan rate pengkodean dan modulasi M-QAM merupakan dasar pemodelan sistem transmisi adaptif pada penelitian ini, dimana sistem adaptif ini dicirikan dengan adanya feedback di dalam blok diagram sistem yang disajikan seperti pada Gambar 2. Bit
Gambar 3. Distribusi kumulatif komplemen ter redaman hujan untuk jarak TS ke BS target 4 Km berorientasi TS ke BS1, BS2, BS3, BS4, BS5, BS6, BS7, BS8, dan BS9. -
Skenario Adaptive Coded Modulation Sistem adaptive coded modulation (ACM) menggunakan skenario bahwa level modulasi yang digunakan 4-QAM, 16-QAM, dan 64-QAM berturut-turut sesuai dengan harga SNR yang SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
29
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dipengaruhi redaman hujan saat itu. Apabila selama periode tertentu nilai redaman rendah, maka nilai SNR akan naik dan memungkinkan tingkat modulasi yang tinggi diterapkan dengan BER rendah. Sedangkan, apabila nilai redaman selama periode tertentu tinggi, maka nilai SNR akan menurun dan memaksa untuk menggunakan tingkat modulasi yang rendah agar BER terjaga. Perhitungan teoritis dari BER untuk masingmasing skema modulasi dilakukan menggunakan persamaan: [9] m m 1 2 1 j 2m 1Pe j 1 Pe 2 1 j log M P cc 2 cc B m 2 1 j t 1 j
(1)
dimana: m adalah banyaknya bit dalam satu simbol, M adalah nilai dari orde modulasi, dan Pe cc adalah probabilitas kesalahan simbol setelah pengkodean CC. Persamaan Pe cc untuk 4-QAM, 16-QAM, dan 64-QAM berturut-turut yaitu: CC
C
1 1.06 k
d
free
d free rSNR A d free exp 2
l (2)
1 d free rSNR d log2 M 0.92 free Ad free exp 5 k
d rSNR 1 0.81 d free A d free exp free k 14
Tabel 2. Skenario ACM BER 10-11 ACM menjamin BER maksimal 10-11 Jenis Modulasi Interval SNR (dB) No Transmisi SNR< 1.79 4 1.79<SNR<12.62 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 12.62<SNR<23.53 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 SNR>23.53 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) -
Selection Diversity (SD) SD merupakan teknik diversity combining yang paling sederhana. Pada teknik ini, penerima memilih sinyal yang paling baik, dalam hal ini sinyal dengan SNR terbesar. Blok diagram dari metode ini ditunjukkan pada Gambar 4, ada M cabang diversitas untuk sinyal yang masuk ke rangkaian pemilih, SNR g merupakan sinyal terkuat yang dipilih dan merupakan output dari rangkaian ini.
(3)
1
log 2 M (4)
G1
2
G2
M Antena
dimana; k adalah jumlah input enkoder, A dfree adalah nilai koefisien deret pertama turunan fungsi alih enkoder, r adalah laju pengkodean, dan d free adalah free distance. Menggunakan persamaan (1), dilakukan perhitungan teoritis BER untuk masing-masing skema modulasi, maka didapatkan nilai operasi untuk BER 10-6 dan 10-11 seperti terlihat pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Skenario ACM BER 10-6 ACM menjamin BER maksimal 10-6 Jenis Modulasi Interval SNR (dB) No Transmisi SNR< 1.18 4 1.18< SNR<11.45 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 11.45< SNR <21.63 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 SNR >21.63 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Output
GM Variabel Gain
Gambar 4. Selection diversity atau selection combining [13] Nilai SNR dari SD dapat dituliskan sebagai berikut: (5) max ,..., d
1
M
Persamaan (5) digunakan untuk mengevaluasi peningkatan SNR rata-rata yang diberikan oleh SD. Teknik ini menawarkan perbaikan pada link margin tanpa membutuhkan tambahan daya pada pengirim. Metode ini sangat mudah diimplementasikan. -
Kapasitas Kanal Kapasitas kanal atau effisiensi bandwidth merupakan laju transmisi informasi per Hz dari bandwidth yang digunakan, yang bertujuan untuk mengirimkan sinyal informasi yang maksimum dengan bandwidth minimum. Satuan yang tepat untuk effisiensi bandwidth adalah bit/s/Hz. Pada sistem modulasi adaptif, effisiensi bandwitdh dapat dinyatakan sebagai berikut [4]:
R B
30
Rangkaian Pemilih
N
log i 0
2
k ( M i ) P ( M i ). RSi nRSi
kCCi nCCi
(6)
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
R menyatakan effisiensi bandwidth B (bps/Hz), N adalah jumlah data, M i adalah level modulasi, dan P ( M i ) adalah probabilitas
1
dimana:
10
Prob.[SNRk > absis] %
10
kemungkinan masing-masing modulasi, k RSi adalah jumlah bit data pada pengkodean RS pada
n RSi adalah jumlah bit dalam codeword mode ke-i, k CCi adalah jumlah bit data pada pengkodean CC pada mode ke-i, dan n CCi , mode
SNRk1 SNRk2 SNRk3 SNRk4 SNRk5 SNRk6 SNRk7 SNRk8 SNRk9
0
ke-i,
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
adalah jumlah bit dalam codeword mode ke-i. -900
3.
ANALISA DAN PEMBAHASAN
-200
-100
0
1
SINR4k9L nonSD 0
Prob.[SINR => absis] (%)
10
-1
10
-2
10
-3
10
-4
10
-5
10
-160
-140
-120
-100
-80
-60 -40 SINR (dB)
-20
0
20
40
Gambar 6. CCDF SINRk sistem ACM jarak TS ke BS target 4 km.
(7)
Untuk menentukan signal to interference plus noise ratio sesaat (SINRk) jika telah diketahui SNRk 1 dan SIR Total yaitu:
1 1 1 SIR Total SNR k1
-500 -400 -300 SNRk (dB)
10
Signal to Interferensi plus Noise Ratio Sesaat Setelah mendapatkan SNRk untuk tiap-tiap jarak TS ke BS1 hingga BS9, maka langkah selanjutnya adalah menentukan signal to interference ratio sesaat (SIRk) yang merupakan selisih dari SNRk 1 dengan SNRk 2 hingga SNRk 9 . SIRk 12 adalah selisih SNRk 1 dengan SNRk 2 , begitu seterusnya. SIR Total secara linear dinyatakan dengan
S I Total N
-600
Tampak pada Gambar 6 merupakan CCDF dari SINRk untuk masukan bagi sistem ACM yang merupakan penerapan persamaan (8) untuk SIRk dan SNRk 1 tanpa SD untuk jarak TS ke BS target 4 km. Untuk jarak TS ke BS target 1 km, 2 km, dan 3 km akan diperoleh SINRk dengan cara yang sama guna memperoleh SINRk 4 km. Dari hasil SINRk, maka diterapkan pada persamaan (1) untuk memperoleh link availability dan persamaan (6) untuk memperoleh kapasitas kanal pada kondisi BER 10-6 dan BER 10-11.
6.
SINR
-700
Gambar 5. CCDF SNR sesaat untuk jarak TS ke BS target 4 Km berorientasi TS ke BS1, BS2, BS3, BS4, BS5, BS6, BS7, BS8, dan BS9 berturut-turut SNRk 1 , SNRk 2 , SNRk 3 , SNRk 4 , SNRk 5 , SNRk 6 , SNRk 7 , SNRk 8 , dan SNRk 9.
1. Signal to Noise Ratio Sesaat Setelah mendapatkan nilai redaman hujan A k seperti tampak pada Gambar 3 di tiap link, maka langkah selanjutnya adalah mendapatkan nilai dari signal to noise ratio sesaat SNRk. Nilai SNR sesaat sebelum proses ACM dihitung untuk masingmasing jarak TS ke BS target dari 1 km, 2 km, 3 km dan 4 km untuk TS ke BS1 sampai BS9 yang berurutan diberi nama SNRk 1 , SNRk 2 , SNRk 3 , SNRk 4 , SNRk 5 , SNRk 6 , SNRk 7 , SNRk 8 , dan SNRk 9 . Grafik SNRk yang diperoleh direpresentasikan dalam bentuk CCDF untuk semua event terjadinya hujan dalam interval rentang waktu 2 tahun seperti pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 di atas dapat diketahui bahwa semakin besar jarak lintasan komunikasi, semakin kecil nilai SNR sesaat. Secara detail dapat dilihat bahwa harga SNR sesaat pada penerima yang mempunyai probabilitas 0,01% sebesar -354.9 dB pada SNRk 2 hal ini menandakan bahwa redaman hujan pada TS ke BS2 sangat besar karena melebihi nilai SNR clear sky-nya.
1 1 1 1 SIR Total SIRk 12 SIRk 13 SIRk 14
-800
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 untuk link availability dan Tabel 4 untuk kapasitas kanal sistem ACM.
(8)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
31
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
7.
-2
Kinerja Sistem Adaptive Coded Modulation Kinerja sistem ACM untuk jarak TS ke BS target 1km, 2km, 3km dan 4 km dievaluasi pada pengamatan untuk BER maksimum 10-6 dan 10-11. Nilai link availability merupakan suatu syarat esensial dalam perencanaan sistem komunikasi radio.
-3
Tabel 3. Nilai Link Avalability Sistem ACM
1
10
SD(SNRk1,SNRK5) SD(SNRk1,SNRK6) SD(SNRk1,SNRK8)
0
Prob.[SNR > absis] %
10
-1
10
10
10
BER maks 10-6
-4
10
-5
10 -140
-120
-100
-80
-60
-40 -20 SNR (dB)
0
20
40
60
Jarak TS ke BS Target
Gambar 7. CCDF SNRk SD untuk beberapa kombinasi BS target dengan BS SD untuk jarak TS ke BS target 4 km. 1
10
10 Prob.[SINR-SD => absis] (%)
1 km
SINR SD15 SINR SD16 SINR SD18
0
-1
10
-2
10
-3
10
2 km
-4
10
-5
10
-160
-140
-120
-100
-80
-60 -40 SINR-SD (dB)
-20
0
20
40
Gambar 8. CCDF SINRk sistem ACM dengan SD untuk beberapa BS target dengan BS SD jarak TS ke BS target 4 km. Pada Gambar 7 merupakan CCDF dari SINRk untuk masukan hasil SD berbagai kombinasi konfigurasi SD ada tiga macam yaitu: SD untuk SNRk 1 dan SNRk 5 , SD untuk SNRk 1 dan SNRk 6 , dan SD untuk SNRk 1 dan SNRk 8 . Ketiga kombinasi ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sudut diversity dan jarak link pada SD. Dari hasil pengamatan ketiga konfigurasi SD diputuskan diambil SD untuk SNRk 1 dan SNRk 6 karena memberikan nilai SINRk yang terbaik yaitu yang paling rendah nilai dB-nya seperti tampak pada Gambar 8. Setelah diperoleh SINRk SD maka hasil ini diterapkan ke persamaan (8) untuk menjadi SINRk sistem ACM dengan SD untuk jarak TS ke BS target dari 1 km sampai 4 km. Dari hasil SINRk sistem ACM dengan SD, maka diterapkan pada persamaan (1) untuk memperoleh link availability dan persamaan (6) untuk memperoleh kapasitas kanal pada kondisi BER 10-6 dan BER 10-11. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 untuk link availability dan Tabel 6 untuk kapasitas kanal sistem ACM dengan SD.
32
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
3 km
4 km
BER maks 10-11
Mode Transmisi
ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/ 3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/ 2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/ 3) ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/ 3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/ 2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/ 3) ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/ 3) 16 QAM+RS(63 51)+CC(1/ 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/ 3) ACM 4 QAM RS(63 31) CC(1/ 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/ 2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/ 3)
Link Availabilit y (%) 99.9995
Link Availabilit y (%) 99.9995
99.9995
99.9995
99.9991
99.9990
96.7799
96.7376
99.9880
99.9874
99.9880
99.9874
99.9789
99.9756
96.7621
96.7358
99.9619
99.9612
99.9619
99.9612
99.9416
98.1186
96.7480
96.7318
99.9368 99.9368
99.9356 99.9356
99.8970
97.8175
96.7742
96.7571
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa sistem ACM gelombang milimeter pada BER maksimal 10-6 pada jarak TS ke BS target sejauh 4 km mempunyai link availability 99.9368%, sedangkan untuk BER maksimal 10-11 mempunyai link availability 99.9356%. Dari Tabel 3 akan didapati nilai link avalability sistem ACM akan selalu sama dengan nilai link avalability pada sistem 4QAM+RS(63,31)+CC(1/3). Hal ini disebabkan pada sistem ACM hanya menggunakan 3 mode sistem transmisi yaitu 4QAM, 16QAM dan 64QAM, sehingga sistem adaptif itu akan menggunakan mode transmisi 4QAM untuk kondisi
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SNR yang terburuk dari data SNR yang memenuhi syarat untuk dilakukan transmisi gelombang. Disamping itu pada subbahasan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin jauh jarak link komunikasi maka akan didapati nilai outage yang semakin besar sehingga akan menurunkan nilai link avalability sistem. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa nilai link availability akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya level modulasi dan semakin menurun seiring dengan bertambahnya panjang lintasan pada penggunaan mode transmisi yang sama. Hasil simulasi efisiensi bandwidth dilakukan pada sistem ACM maupun sistem non-adaptif pada berbagai jarak TS ke BS target dari 1-4 km seperti yang disajikan pada Tabel 4. Nilai efisiensi bandwidth sistem ACM pada jarak TS ke BS target 4 km untuk BER 10-6 mencapai 1.5847 bps/Hz dan untuk BER 10-11 mencapai 0.7726 bps/Hz. Hal ini dapat disimpulkan bahwa efisiensi bandwidth sistem ACM mempunyai nilai yang lebih besar daripada nilai efisiensi bandwidth untuk modulasi non adaptif. Tampak dari Tabel 3 dan 4 juga bahwa nilai effisiensi bandwidth akan sangat berkaitan dengan nilai link avalability. Nilai effisiensi bandwidth juga dipengaruhi jenis pengkodean rangkapnya seperti kode rate pada kode konvolusionalnya serta ukuran (n,k) dari kode RS-nya. Sistem 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) lebih tinggi effisiensi bandwidthnya ketimbang jenis lain tapi masih dibawah sistem ACM.
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa sistem ACM dengan SD pada BER maksimal 10-6 pada jarak TS ke BS target sejauh 4 km mempunyai link availability 99.9404% naik sebesar 0.004% dari sistem ACM saja, sedangkan untuk BER maksimal 10-11 mempunyai link availability 99.9389% naik sebesar 0.003%. Hasil simulasi efisiensi bandwidth untuk sistem ACM dengan SD pada berbagai jarak TS ke BS target dari 1-4 km seperti yang disajikan pada Tabel 6. Nilai efisiensi bandwidth sistem ACM dengan SD untuk BER 10-6 mencapai 1.5850 bps/Hz naik sekitar 0.022% dari sistem ACM saja dan untuk BER 10-11 mencapai 0.7729 bps/Hz naik sebesar 0.04% dari sistem ACM saja. Tabel 5. Nilai Link Avalability Sistem ACM dengan SD Jarak TS ke BS Targe t
1 km
Jarak TS ke BS Target
1 km
2 km
3 km
4 km
Mode Transmisi ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) ACM 4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3) 16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2) 64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
BER maks 10-11 1.6450 0.3280 1.6184 0.0467 1.6195 0.3268 1.6044 0.0236 0.9022 0.3242 0.7152 0.0136 0.7726 0.3217 0.5588 0.0095
Kinerja Sistem ACM dengan Selection Diversity Kinerja sistem ACM dengan SD untuk jarak TS ke BS target 1km sampai 4 km dievaluasi pada pengamatan untuk BER maksimum 10-6 dan 10-11.
Mode Transmisi
2 km
Link Availability (%)
ACM + SD
99.9995
99.9995
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9995
99.9995
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9991
99.9990
96.7799
96.7376
99.9880
99.9874
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9880
99.9874
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9789
99.9756
96.7621
96.7358
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) ACM + SD
3 km
99.9630
99.9623
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9630
99.9623
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.9422
98.1191
96.7472
96.7310
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) ACM + SD
4 km
BER maks 10-11
Link Availability (%)
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) ACM + SD
Tabel 4. Perbandingan Efisiensi bandwidth Sistem ACM Efisiensi BER maks 10-6 1.6726 0.3280 1.6184 0.0952 1.6396 0.3268 1.6060 0.0566 1.6081 0.3243 1.5875 0.0317 1.5847 0.3218 1.5634 0.0287
BER maks 10-6
99.9404
99.9389
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
99.9404
99.9389
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
99.8996
97.8202
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
96.7718
96.7547
8.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem ACM dengan SD efektif meningkatkan kinerja sistem ACM dalam memitigasi pengaruh redaman hujan dan interferensi. SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
33
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Secara umum setelah dibandingkan antara nilai efisiensi bandwitdh sistem ACM dengan dan tanpa SD untuk BER maksimum 10-6 dan BER maksimum 10-11, maka dapat dianalisa bahwa semakin kecil nilai BER maka akan semakin kecil nilai efisiensi bandwidth yang diperoleh.
untuk BER 10-11. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem ACM dengan SD efektif meningkatkan kinerja sistem ACM dalam memitigasi pengaruh redaman hujan dan interferensi.
Tabel 6. Perbandingan Efisiensi bandwidth Sistem ACM dengan SD
1.
Jarak TS ke BS Target
1 km
2 km
ACM + SD
Efisiensi Bandwidth (bps/Hz) BER BER maks maks -6 10 10-11 1.6726 1.6450
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3280
0.3280
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.6184
1.6184
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0952
0.0467
ACM + SD
1.6396
1.6195
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3268
0.3268
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.6060
1.6044
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) ACM + SD
0.0566 1.6082
0.0236 0.9023
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3244
0.3243
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.5875
0.7152
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3) ACM + SD
0.0317 1.5850
0.0136 0.7729
4 QAM+RS(63,31)+CC(1/3)
0.3221
0.3220
16 QAM+RS(63,51)+CC(1/2)
1.5634
0.5588
64 QAM+RS(63,59)+CC(2/3)
0.0287
0.0095
Mode Transmisi
REFERENSI
2. 3.
4.
5.
6. 7.
3 km
4 km
8.
9. KESIMPULAN Dapat dinyatakan bahwa kinerja sistem LMDS dipengaruhi oleh redaman hujan dan interferensi sebagai fungsi panjang lintasan TS ke BS, sudut antara TS ke BS target dan arah kecepatan angin maupun BS penginterferensi, serta jenis modulasi koding rangkapnya. Teknik sistem ACM dengan SD mampu meningkatkan link availability sistem ACM sebesar 0.004% pada BER maksimal 10-6 untuk jarak TS ke BS target sejauh 4 km dan meningkatkan link availability sebesar 0.003% untuk BER maksimal 10-11. Sedangkan pada efisiensi bandwidth, sistem ACM dengan SD mampu meningkatkan efisiensi bandwidth sistem ACM sebesar 0.022% untuk BER 10-6 dan 0.04%
34
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
10.
11. 12. 13.
Abbiati Fausto, Gaspare L., Santacesaria C, “Reception And Transmission Power Gains Control in a Point-to-Multipoint System”, EP 1427117A1, 1994. Boch,Yee, Ployer, “Power Control of LMDS/LMCS Base Station to Provide Rain Fade Compensation”, EP 0987832A2, 2000. Chu, C. Y., Chen, K. S. “Effects of Rain Fading on the Efficiency of the Ka-Band LMDS System in the Taiwan Area”, IEEE Transactions on Vehicular Technology, vol. 54, no. 1, Januari 2005. Goldsmith, A.J. dan Chua, S.G. “Variable-Rate Variable Power MQAM for fading Channels”, IEEE transactions of communication, vol. 45, no. 10, October 1997 Haniah Mahmudah, Achmad Mauludiyanto dan Gamantyo Hendrantoro “Prediksi Redaman Hujan Menggnakan Synthetic Storm Technique (SST)”, Tesis, Jurusan Teknik Elektro, ITS, Surabaya, 2006. Haykin, S. “Digital Communication System”, Jhon Wiley & Sons, 2004 Hendrantoro, G. R.J.C. Bultitude and D.D Falconer, “ Use of Cell-Site Diversity in Millimeter –Wave Fixed Cellular Systems to Combat the Effects of Rain Attenuation”, IEEE Journal on Selected Areas in Communications, Vol. 20, No. 3, Page 602, April 2002 Kanellopoulos, J. D. and P. Kafetzis, ”Comparison of the Synthetic Storm Technique with a Conventional Rain Attenuation Prediction Model”, IEEE transactions on Antennas and Propagation, Vol. AP-34, No. 5 hal: 714, May 1986. Sklar, B. “Digital Communication”, Prentice Hall, New Jersey, 1994 Suwadi, Hendrantoro, G. dan Kurniawati, T. “ Evaluasi Kinerja Modulasi Adaptif Untuk Mitigasi Pengaruh Redaman Hujan di Daerah Tropis Pada kanal komunikasi gelombang Milimeter” Seminar EECCIS, Juni 2008. ITU-R P.530, “Propagation Data and Prediction Methods Required for Design of Terrestrial Line-Of-Sight Systems”, 2005. ITU-R P.838-3, “Specific attenuation model for rain for use in prediction”, 2005. Rappaport, T.S., “Wireless Communications Principles and Practice”, Prentice Hall, hal 386, 2002.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
IMPLEMENTATION OF VISION SYSTEM IN CONTROLING A MODELLED GANTRY CRANE 1)
Adelhard Beni Rehiara 1
Engineering Department, Papua University Jl. Gunung Salju, Manokwari 98312 Email :
[email protected] ABSTRACT Gantry cranes are useful for helping the human works especially in industrial sector. In operation of a crane, two primary factors which need to be paid in attention are safety and productivity. To increase these factors, good controllers are needed to deal with swaying phenomenon of the crane movement. A vision system was applied in this project as a distance detector to detect the distance along the journey of the crane trolley. Fuzzy controller as a type of intelligent controller was chosen to solve the nonlinearity introduced by both vision and angle sensor. Implementation was done in LabView with Vision and Fuzzy Control Toolkits. This project is success to bring vision system together with fuzzy control in controlling a modelled gantry crane Keywords: Gantry crane, vision system, fuzzy control, LabView.
Abstrak Mesin derek sangat bermanfaat dalam membantu pekerjaan manusia. Dalam pengoperasian mesin derek, dua faktor utama yang perlu diperhatikan adalah keselamatan kerja dan produktivitas. Untuk meningkatkan kedua faktor tersebut, dibutuhkan alat pengontrol yang baik untuk mengantisipasi fenomena ayunan yang timbul akibat pergerakan mesin. Vision system telah diaplikasikan dalam proyek ini sebagai detektor jarak untuk mendeteksi jarak sepanjang pergerakan troli mesin derek. Pengontrol fuzzy merupakan jenis pengontrol cerdas yang dipilih untuk memecahkan ketidaklinearan yang ditimbulkan oleh vision system dan sensor sudut. Pengimplementasian dilakukan menggunakan software Labview dengan Vision dan Fuzzy Control toolkit. Proyek ini berhasil menerapkan vision system dan pengontrol fuzzy dalam mengendalikan sebuah model mesin derek. Kata kunci: Mesin derek, vision system, pengontrol fuzzy, Labview.
1. INTRODUCTION Cranes as one of the major equipments in industries, exists in most places – from domestic industries to naval yards to warehouses. In these places the productivity of the activities depends on how efficiently the cranes are managed. One of the challenging in the control of the cranes is to deal with swaying phenomenon introduced by the trolley motion. This swaying not only reduces the efficiency of the cranes, but also can cause safety problem in the complicated working environment. A gantry crane can be modelled as a pendulum in laboratory level (Ziyad and Daqaq., 2007). Therefore a pendulum will be a modelled gantry crane as the object of this project. Trolley of the crane is powered by an electromotor, the length of the cable is fixed as the
weight of the container and the angle of the cable is equipped with a sensor. The other sensor is needed to detect the trolley journey and it will be solved using a camera. Many control strategies based on the classic or modern control techniques have been proposed and tested in laboratory level for controlling crane systems, such as PID control, adaptive control, optimal control, and nonlinear control etc. However, from the practical point of view, real-time control requires some simplification of the experimental model, and human intervention is always necessary for this type of control. In general, a controller based on the experience of the human operator is desired for the practical purpose. Within this project the fuzzy control will be used to be implemented simultaneously with vision feedback system in controlling a modelled gantry crane. SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
35
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2. CONTROLLER DESIGN
Therefore the rule base only consists of six rules as simplified in table 1.
The goals for designing the controller are stable, no steady state error (container exactly on truck), no overshoot (no bump in the cabin of the truck), and the settling time is as fast as possible.
Table 1. Rule base UTILS RULE 1 2 3 4 5 6
A fuzzy control was chosen for controlling the crane and it was done with LabView Fuzzy Control Toolkit. LabView is a graphical programming language that is produced by National Instrument. Its features are simple, user friendly and easy to be learned. The aim of fuzzy control is normally to substitute a fuzzy rule-based system with a skilled human operator. A fuzzy controller is comprised of three basic components: the fuzzifier, the rule base, and the defuzzifier as seen in the figure below (Anonymous, 2009).
IF DISTANCE FN MN NN NP MP FP
THEN VOLT FastN MedN Slow Slow MedP FastP
As the result of defuzzification, some amount of voltage will be applied to the gantry crane.
3.
IMPLEMENTATION
3.1. Block Diagram Input
Output Fuzzifier
Rulebase
De-fuzzifier
Figure 1. Basic of fuzzy components The process of converting crisp values into membership functions is called fuzzification. The rule base, together with the formulation of the fuzzy sets, forms the knowledge base of the fuzzy system. By weighting, fine-tuning of the consequents of the rules is possible, without changing the reference fuzzy sets. This process is called defuzzification (Brian and Ben, 2006). The membership functions of the controller are separated into one input and one output member and the input member is distance and the output is voltage as follows.
Block diagram of the overall system can be figured in following figure. Position + -
Fuzzy Control
Trolley
Vision System
Sway
Angle Sensor
Current Position + -
Figure 4. Block diagram of the system Trolley, sway and angle sensor represent the real crane system. The system will be connected to a computer using an interface coded NI cDAQ-9172 produced by National Instrument. The angle sensor and vision system will give the current position of the trolley and the pendulum. The difference between current position and desired position will be processed inside fuzzy controller. Finally the controller will apply voltages to the crane system.
Figure 2. Input membership
3.2. Programming LabView 8.2 is a new version of LabView that comes with Vision Toolkit. It gives possibility to programme software based on vision system in LabView 8.2.
Figure 3. Output membership Because the crane system is very simple with one input and one output, the input and output memberships are connected with simple IF..THEN conditions.
36
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Implementation of the controller was done in LabView 8.2 and it was implemented into five parts as shown on figure 5. These parts can be explained as follows:
Vision part This part includes unit for connecting a camera, finding edge coordinates, and also setting and drawing line. To start the vision part, a camera should be detected. If the
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
camera is not connected, software can not be run. The idea of vision part in this software is to find some edges by setting values of contrast, filter width and steepness. Contrast parameter specifies the threshold for the edge contrast. Only edges with a contrast greater than this value are used in the detection process. Contrast is defined as the difference between the average pixel intensity before the edge and the average pixel intensity after the edge. Filter width specifies the number of pixels and steepness specifies the slope of the edge. This value represents the number of pixels that correspond to the transition area of the edge (Anonymous, 2009).
IO part This part will connect a computer with the crane system. Output of this interface is voltage which is read from fuzzy control and its input is data from angle sensor of the system.
Fuzzy part Fuzzy part in this software is just a simple part with a VI (virtual instrument) to open and read a file which is containing information about membership, rule base and surface of the fuzzy control.
Soft start part The soft start will give ramp voltage signal to the system until the voltage matches with voltage from fuzzy control. This unit can reduce the sway of starting but it will increase the consumption time.
Conversion part The edge coordinates will be found in a matrix and it is hard to take matrices calculation in LabView. Therefore the matrix value should be separated into vector values and this unit is built to handle it.
Figure 5. Block diagram Result of the implementation is software that can be run under LabView 8.2 or higher version.
3.3. Software Outline After running the software, a dialog box will open to select a fuzzy control file and then a camera should be selected to run the software. A Logitech QuickCam Pro 5000 camera was used with this software. In default, manual control is selected to give a chance for an operator to select the coordinate for vision system. For controlling the crane, at least 3 edges should be found by vision part. Two of them will be used for defining the length of block and the other for defining the position of the crane trolley.
Figure 6. Front panel of software
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
37
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4.
RESULTS AND DISCUSSION
To test the software, some experiments were done. As the result, the software is success to control the crane with very small overshoot at the end of every test although some problems happen along the testing.
S w a y ( d e g .)
Curves of sway, voltage and distace for right movement
The problems introduced in the experiments are probably because of the lamp using for lighting inside the room. The lamp is near to the right side of the crane block and because the block is made from bright material, the light is easy to be reflected. Therefore the light distribution along the crane block is not same. The problem is not appeared when the trolley moves to the left because the controller can detect not more than 4 edges and the distance is calculated correctly. When the trolley moves to the right side, any edges are found. The edges which are detected by the camera are more than 4 and it made errors in calculating the resolution. Finally it will introduce errors for calculating the distance. Data recorded from the experiment was used to produce both two graphs below. Time consumption is fixed to 1/10 second of the curves time.
S w ay ( de g .)
Curves of sway, voltage and distace for left movement
D is tan ce ( cm )
V o lta g e (v o lt)
0 -20 -40 -60 0 4
20
40
60
80
100
120
140
160
180
20
40
60
80
100
120
140
160
180
20
40
60
80
100 Time
120
140
160
180
0 -20 -40 -60 0
V o lta g e ( v o lt) D is t a n c e ( c m )
Front panel of the software is shown in figure 6. In this figure, the program finds 3 edges and the controller was run with soft start. The camera can detect the length of the crane block about 247.6 pixels. The distance about 149.5 cm and so the intensity is about 0.652 cm/pixels. The voltage control box will show the voltage applied to the crane motor and the direction button is used to select direction of the crane (left or right).
20
40
60
80
100
120
140
160
180
20
40
60
80
100
120
140
160
180
20
40
60
80
100 Time
120
140
160
180
0 -1 -2 -3 0 0 -50
-100 -150 0
Figure 8. Graph of the right movement On figure 8, the voltage input was increased by the soft start action and after it reaches the controller voltage then the voltage was fully controlled by the controller. Controller will drive the voltage down proportionally with decreasing of the distance. Because of the errors after soft start released the voltage to controller, the voltage is directly going to zero and it makes more swaying. Actually before the voltage is given to the controller, the errors were introduced. It is not affecting the soft start because it can only give the voltage to the controller if it has voltage lower then or equal to the controller voltage. The experiments data of swaying at starting and ending of the trolley are given in the table 2. Table 2. Sway data Experi ment 1st 2nd 3rd 4th 5th Average pOS (%)
Right Start End 1.47098 1.97573 1.11536 1.43656 1.20713 2.07898 2.58373 2.36577 1.78071 0.84004 1.63158 1.73942 0.45322 0.48317
Left Start End 1.34479 0.89740 0.65649 0.75974 2.10192 2.73286 1.02358 2.72139 -13.2242 2.33135 -1.61948 1.88855 -0.44986 0.52460
2 0
0 150
100 50 0 0
The data on table 2 shows that the overshoot percentages (pOS) are very small about less than 1%. According to the data, it can be assumed that the crane exactly reaches its position and the controlling objectives are fulfilled.
Figure 7. Curves of the left movement From figure 7, when the controller is switched to work, voltage is going to maximum for a while. After the condition, voltage is going down proportionally by decreasing of the distance. Because the system is started without soft start, the sway is appeared along the process but finally there is no sway and the crane reaches its position faster. Spikes of voltage are caused by errors which are introduced in edges detection of the camera and the voltage will be applied incorrectly. The other spikes in sway are caused by interference inside the angle sensor.
38
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
5.
CONCLUSIONS A vision system was used in this project to solve the gantry crane needs of a distance sensor. Using a Logitech camera, the vision device detected the distance in pixel unit about 247.6 pixels. For controlling the crane, a fuzzy controller was chosen with distance as input member and voltage as output member. A simple IF..THEN condition to connect both memberships is offering 6 rules for the controller. Implementation is fully done in LabView 8.2. Both LabView toolkits, Vision and Fuzzy Control
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Toolkit, are additional toolkit using in this project. The computer vision was done with LabView Vision Toolkit and Fuzzy Control Toolkit is used to design software of the controller. Effect of lighting and characteristic of the material which is measured can make some influence in vision measurement. Therefore it will give errors in finding an object based on edge detection. Result of the experiments show that the implemented software is success to drive the crane with fulfilling all of the controller requirements. REFERENCES Brian Roffel, Ben Betlem, 2006. Process Dynamics and Control: Modeling for Control and Prediction, John Willey & Sons Ltd. David Frakes, Karen Grosser, Joel Fortgang, William Singhose, 2000. “Simulating Motion of an Operatorcontrolled Gantry Crane in a Cluttered Work Environment”, Proceedings of the IMECE 2000 Conference, Orlando. Fetah Kolonic, Alen Poljugan, Ivan Petrovic, 2006. “Tensor Product Model Transformation-based Controller Design for Gantry Crane Control System – An Application Approach”, Acta Polytechnica Hungarica, Vol. 3, No. 4, pp 95112. Linda G. Saphiro, George C. Stockman, 2001. Computer Vision, Prectice Hall, New Jersey.
Michael C Reynolds, Peter H. Meckl, Bin Yao, 2002. “The Educational Impact of a Gantry Crane Project in an Undergraduate Controls Class”, Proceedings of International Mechanical Engineering Congress & Exposition, New Orleans, Louisiana, pp 1-6. Ziyad N. Masoud, Mohammed F. Daqaq, 2007. “A Graphical Design of an Input-Shaping Controller for Quay-Side Container Cranes with Large Hoisting: Theory and Experiments”, Jordan Journal of Mechanical and Industrial Engineering, Vol.1, No. 1, pp 57 – 67. Ziyad N. Masoud, Ali H. Nayfeh, 2002. “Sway Reduction on Container Cranes Using Delayed Feedback Controller”, Procedings of 43rd AIAA/ASME/ASCE/ AHS/ASC Structures, Structural Dynamics, and Materials Conference, Denver, Colorado, pp 1-3. Anonymous, Using Edge Detection in Machine Vision Gauging Applications, Retrieved from http://zone.ni.com/devzone/cda/tut/p/id/4536, on 02/01/2009 11:05:12. Anonymous, Fuzzy Control of Compound Pendulum Angle, Retrieved from http://www.pages.drexel.edu/ ~weg22/fuzzyTutorial.html, on 02/01/2009 11:08:32.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
39
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
REKAYASA DAN ANALISIS PENGATURAN KECEPATAN MOTOR INDUKSI DENGAN MENGUBAH FREKUENSI Suyamto, Yadi Yunus Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional Jl. Babarsari Kotak Pos 6101YKBB Yogyakarta 55281. Tilp : 0274-489116, E-mail :
[email protected] ABSTRAK REKAYASA DAN ANALISIS PENGATURAN KECEPATAN MOTOR INDUKSI DENGAN MENGUBAH FREKUENSI. Telah dilakukan rekayasa dan analisis pengaturan kecepatan motor induksi dengan mengubah frekuensi. Motor induksi mempunyai kecepatan yang hampir konstan, banyak digunakan di dalam industri yang sering memerlukan perubahan kecepatan putar yang halus dengan daerah pengaturan yang luas. Hal tersebut dapat dilakukan bila digunakan motor induksi jenis rotor lilit, namun konstruksinya sulit dan harganya mahal. Untuk itu motor induksi yang paling banyak dipakai adalah jenis sangkar tupai dimana cara pengaturan kecepatan yang paling sesuai adalah dengan mengubah frekuensi catu dayanya. Rekayasa dilakukan dengan membuat catu daya dengan daya yang cukup besar dan dapat diatur frekuensinya karena tidak mungkin digunakan function generator yang dayanya terbatas. Peralatan terdiri dari penyearah, penapis, inverter, osilator dan transformator, dimana sumber tegangan sumber 220 VAC, 50 Hz disearahkan, lalu diubah menjadi tegangan bolak-balik kembali dengan frekuensi yang dapat diatur. Motor induksi yang dipakai jenis runing capacitor dengan daya 120 watt, tegangan 220 VAC, arus 0,7 A, frekuensi 50 Hz dan putaran 2900 rpm. Dari pengujian diketahui bahwa peralatan dapat berfungsi cukup baik walaupun ditemukan beberapa kesulitan namun arus arus ke motor cukup stabil meskipun kecepatan putar diubah-ubah. Jangkau putaran motor yang diperoleh adalah dari 133 rpm dengan frekuensi 12 Hz sampai dengan 2.200 rpm pada frekuensi 70 Hz saat tanpa beban, sedangkan kehalusan perubahan kecepatan putar motor adalah 40,233 rpm/Hz. Kata kunci : Motor induksi, pengaturan kecepatan, frekuensi ABSTRACT ENGINEERING AND ANALYSIS OF INDUCTION MOTOR SPEED REGULATOR BY FREQUENCY CHANGE. Engineering and analysis of induction motor speed regulator by frequency change has been carried out. Almost of induction motor have constant speed and majority is used in industry which often desired the speed changeable in the width range and soft or smooth. By using wound rotor motor it can be conducted, but the construction is difficult and the price is too expensive. So that almost industry used the squirrel cage induction motor type, where the best suitable speed regulation is done by the changing of the power supply frequency. The design was done by perform the power supply which has enough power capacity and its frequency can be adjusted, while by application of function generator is impossible correspond to its limited power capacity. The power supply which has been constructed consist of main components i.e : rectifier, filter, inverter, oscillator and transformer. Here the 220 VAC, 50 Hz power supply was rectified, then converted to the alternating current again with adjustable frequency, and finally supplied to the induction motor of running capacitor type, 120 watt, 220 VAC, 0.7 A, 50 Hz and 2900 rpm. From the functional test which has been carried out shows the device in good condition although found many difficulties, but the current input to the motor enough stable when the motor speed changed. The motor speed can be controlled well in the range of from 133 rpm with frequency of 12 Hz until 2200 rpm with frequency of 70 Hz at the no load condition, while the soft change of motor speed is 40.233 rpm/Hz. Key words : Induction motor, speed control, frequency *Dipresentasikan pada Seminar di Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta 19 Desember 2009. I. PENDAHULUAN Di bidang industri banyak dipakai motor listrik jenis induksi sangkar tupai (squrrel cage induction motor) sebagai penggerak mula (primeover) karena mempunyai banyak keuntungan. Kelebihannya dibanding dengan motor jenis lain di antaranya adalah mempunyai torsi start yang besar, konstruksinya sederhana dan pengoperasiannya. Lebih mudah Kekurangannya adalah pada saat start dibutuhkan arus yang besar
40
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
sekitar 3 sampai 5 kali dari arus nominal dan putarannya relatif konstan sehingga sulit diatur. Pada hal dalam pemakaian motor listrik kadangkadang diinginkan putaran yang dapat diubah-ubah sesuai dengan putaran beban. Di samping itu pengaturan putaran yang lebar dan halus sering diperlukan oleh mesin-mesin tertentu terutama yang berukuran besar (>50 HP). Misalnya pada pompa pengendali banjir, pompa-pompa primer dan skunder pada reaktor nuklir, blower atau exhaust
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
fan pada laboratorium gedung kimia dan lain-lain. Hal tersebut diperlukan dengan tujuan antara lain untuk mengurangi besarnya arus start, meredam getaran dan hentakan mekanis saat starting. Karena manfaatnya sangat besar maka banyak dilakukan usaha bagaimana cara mengubah putaran motor induksi yang salah satunya adalah dengan cara mengubah frekuensi catu daya yang masuk ke motor. Jadi tujuan dari rekayasa dan analisis pengatur kecepatan motor induksi dengan mengubah frekuensi ini adalah untuk menghasilkan peralatan yang dapat dipakai untuk mengatur kecepatan putar motor dengan jangkau (range) putaran yang luas dan dengan perubahan putaran yang halus. Pengubahan frekuensi dengan jangkau yang luas adalah tidak sederhana, sehingga jarang dilakukan karena sulit dan diperlukan biaya yang relatif besar. [1, 2, 3] II. DASAR TEORI Seperti diketahui bahwa sebagai penggerak mula, motor induksi mempunyai banyak kelebihan dibanding dengan motor jenis lain khususnya bila dibadingkan dengan motor DC. Ditinjau dari jenis rotornya, motor induksi dibagi 2 yaitu motor induksi sangkar tupai dan motor induksi rotor lilit (wound rotor induction motor). Motor induksi sangkar tupai mempunyai kecepatan putar yang hampir konstan, sedangkan motor induksi rotor lilit mempunyai kecepatan putar dan torsi yang dapat diatur (adjustable). Sebetulnya dengan motor induksi rotor lilit, kebutuhan teradap pengturan kecepatan putar motor induksi dapat dipenuhi, tetapi motor induksi rotor lilit mempunyai konstruksi yang tidak sederhana, pengoperasiannya cukup sulit dan perlu peralatan tambahan serta harganya mahal. Rumus kecepatan putar motor induksi adalah sebagai berikut.
n m (1 s ) n s 60 f p (1 s ) 60 f ......................(1) p
ns nm
Dengan : n m : kecepatan putar motor (rpm) n s : kecepatan putar medan sinkron (rpm) s : slip f : frekuensi sumber atau catu daya (Hz) p : jumlah pasang kutub Besarnya slip tergantung dari beban motor dan untuk beban yang konstan besar slip dari motor akan berharga tetap. Maka dari rumus 1 tersebut di atas dapat diketahui bahwa kecepatan putar motor n m dapat diatur dengan cara mengubah frekuensi maupun jumlah kutub. [1, 2, 3, 4] Mengatur kecepatan dengan cara mengatur jumlah kutub sudah banyak dilakukan namun daerah pengaturan putaran yang diperoleh sangat terbatas dan
perubahannya sangat kasar. Sehingga satu-satunya cara pengaturan putaran dengan jangkau yang lebar dan halus hanya dapat dilakukan dengan mengatur frekuensi. Penyediaan catu daya dengan frekuensi yang dapat diatur salah satunya dapat dilakukan dengan mengubah catu daya AC, 50 Hz menjadi DC menggunakan penyearah, kemudian diubah lagi menjadi sumber listrik AC dengan frekuensi yang dapat diatur menggunakan inverter dan osilator . Blok diagram pengaturan kecepatan motor dengan mengubah frekuensi ditunjukkan pada Gambar 1.[5] Kontrol tegangan Sum ber AC
Penye arah
Kontrol frekuensi
Filter
Inver ter
M
Gambar 1. Blok diagram pengaturan kecepatan motor induksi dengan mengubah frekuensi A. Penyearah Penyearah adalah alat pengubah sumber listrik dari AC menjadi DC. Pada catu daya DC dengan penyearah kebanyakan digunakan jenis gelombang penuh dengan memakai empat buah diode yang tersusun secara jembatan. Dengan cara tersebut akan diperoleh keluaran yang lebih baik bila dibandingkan dengan penyearah setengah gelombang. [6,7] B. Osilator Osilator merupakan pembangkit gelombang yang berdasarkan cara kerjanya terdapat beberapa jenis yang salah satu di antaranya adalah multivibrator tak stabil (Astable Multivibrator) . Pada osilator jenis ini digunakan transistor yang bekerja berdasar pada sifat kejenuhannya dan kondensator yang bekerja berdasarkan sifat menyimpan dan melepas muatan. Kejenuhan transistor terjadi pada saat nilai arus basis (I B ) cukup besar dimana daerah jenuh tersebut berada pada garis kurva mulai melengkung dari karakteristrik transistor. Bila I B sama dengan nol atau turun dengan drastis, arus kolektor I C juga langsung menjadi nol sehingga transistor dalam keadaan tersumbat (cut-off) atau tidak konduksi. Dengan rangkaian transistor dan kondensator dapat dibangkitkan gelombang yang diinginkan. Pada Gambar 2 ditunjukkan sebuah rangkaian osilator sebagai pembangkit sinyal dari jenis multivibrator tak stabil.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
41
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
R L1
R b1
R b2
Rv
Rv C1
Persamaan untuk T 2 pada Q 2 sama seperti di atas, hanya besarnya tahanan dan kondensator rangkaian basis adalah R B2 dan C 2 . Jadi :T 1 + T 2 = T = 0,69 x (R B1 x C 1 + R B2 x C 2 ). Jika ditentukan R B1 = R B2 = R B dan C 1 = C 2 = C, maka diperoleh T = 0,69 x 2 x R B x C = 1,38 x R B x C. Karena frekuensi merupakan kebalikan dari periode maka frekuensi osilasi dari osilator adalah :
+Vc R L2
C2
Q1
Q2 -
+
+
-
f Gambar 2 Osilator astable multivibrator. Transistor Q 1 dan Q 2 bekerja atau ON (saturasi) dan OFF (cut off) secara bergantian. Misalnya Q 1 sedang ON dan Q 2 OFF, maka kolektor Q 1 terhubung ke ground, sehingga tegangan sama dengan tegangan ground (nol) sedangkan kolektor Q 2 sama dengan V cc . Sebelum Q 1 ON kondensator C 2 telah terisi sehingga terdapat beda tegangan dengan polaritas seperti pada Gambar 2. Ujung positifnya terdapat pada tegangan ground, sebab kolektor Q 1 yang sedang konduksi terhubung dengan ground hingga menyebabkan ujung negatif kondensator menjadi lebih negatif dari pada ground yang menyebabkan Q 2 menjadi OFF. Pada saat itu kondensator C 1 dalam proses mengisi melalui jalur basis Q 1 dan RL 2 menuju tegangan V cc . Sedangkan C 2 dalam proses pengosongan muatan melalui tahanan R b2 dan Rv. Proses tersebut berlansung terus sampai dicapai tegangan kondensator C 1 yang dapat mengakibatkan basis Q 1 cukup negatif untuk mendorong Q 1 mulai OFF. Sebaliknya pengosongan C 2 menjadikan tegangan basis Q 2 naik hingga transistor ini menjadi ON. terisi, C 1 mengosongkan Selanjutnya C 2 muatan menjadikan Q 2 mulai OFF kembali dan Q 1 juga ON kembali. Proses tersebut terjadi terus menerus secara bergantian hingga terbentuk suatu sinyal tegangan denyut pada kolektor pada ke dua transistor tersebut. Selang waktu pergantian antar ON dan OFF dari ke dua transistor disebut sebagai konstanta waktu dari osilator yang besarnya adalah: [7, 8] T 1 = 0,69 x R B1 x C 1
……………….(2)
dimana : T 1 : waktu ½ dari periode ON ke OFF kembali ke ON lagi dari transistor Q 1 (dt) R B1 = R b1 + Rv : adalah tahanan rangkaian basis transistor (Ω) C 1 : kapasitansi kondensator rangkaian basis (F)
42
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
1 1, 38 xR B xC
(3)
Dari rumus 3 di atas terlihat bahwa besarnya frekuensi osilasi dapat diubah dengan cara mengubah R B dan atau C, dimana secara teknis lebih mudah dilakukan dengan mengubah tahanan R B [8, 9]. C. Inverter Rangkaian elektronika yang dapat digunakan untuk mengubah tegangan DC menjadi AC disebut inverter. Inverter dapat dibuat dengan menggunakan komponen transistor maupun thyristor SCR (Silicon Controlled Rectifier) sebagai komponen utama. Bila digunakan transistor dayanya terbatas namun dapat dihasilkan frekuensui yang tinggi dan tidak diperlukan komutasi. Sedangkan bila dibuat dari SCR dayanya dapat besar pada frekuensi rendah dan diperlukan rangkaian komutasi sebagai pemutus SCR. Gambar 3 adalah contoh rangkaian inverter dengan SCR . Output tr
+ P1 Input
d
SCR 1
R1 A
--
D1
C
P2
SCR 2 L
R2
B D2
Gambar 3 Rangkaian inverter dengan SCR SCR juga disebut thyristor mempunyai tiga terminal yakni gate (gerbang), anoda dan katoda. Konduksi antara anoda dan katoda terjadi bila diberikan pulsa arus kecil pada gerbangnya. Konduksi tersebut akan terus berlangsung selama masih ada arus minimal antara anoda ke katoda meskipun arus gerbang sudah hilang dan baru akan berhenti atau OFF bila arus anoda ke katoda mendekati nol.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pada Gambar 3, SCR 1 dan SCR 2 disulut secara bergantian melalui titik A dan titik B (oleh sinyal yang dihasilkan osilator astable multivibrator pada Gambar 2). Sedangkan pemutusan SCR dilakukan oleh rangkaian komutator berupa kapasitor C yang dipasang pada lilitan primer dari transformator. Dengan SCR ON dan OFF saling bergantian maka arus dari sumber + (positif) melewati tap tengah (center tap) trafo ke lilitan primer P 1 dan P 2 saling bergantian. Arus yang mengalir pada sisi primer transformator selalu bergantian atau bolak-balik sehingga dihasilkan tegangan induksi bolak-balik (AC) pada sisi sekunder. Frekuensi dari tegangan induksi tersebut dapat dikontrol dan diatur oleh osilator sebagai penyulut dua SCR tersebut. [4, 8, 9] III. PERANCANGAN PERALATAN Perancangan meliputi perencanaan penyearah, osilator, inverter, transformator, sampai dengan pembuatan casing untuk pengendalian kecepatan putar motor induksi Berdasarkan teori di atas, perancangan dilaksanakan sebagai berikut. A. Perancangan penyearah. Penyearah direncanakan memakai satu buah dioda bridge yang di dalamnya terdiri dari 4 buah dioda, sehingga tidak perlu adanya centertap trafo. Keluaran dari penyearah dipakai untuk input ke ke inverter dan osilator seperti yang ditujnjukkan pada Gambar 4.
220 Vac
33K 3.3 F, 450 V
300 Vdc
220K
Osi lator
menahan tegangan balik induksi dari SCR agar transistor terhindar dari kerusakan. Pemilihan kondensator C 1 dan C 2 disesuaikan dengan tahanan R B1 dan R B3 untuk memperoleh frekuensi yang diinginkan. Tahanan R B terdiri dari tahanan tetap R b sebesar 1,2 K dan tahanan variabel 0 – 10 K sebagi pengubah frekuensi, sedangkan kapasitor dipilih 10 F. Dengan mengacu pada persamaan 3 maka diperoleh jangkau frekuensi osilator dari 6 sampai dengan 60 Hz. C. Perancangan Inveter. Rangkaian inverter yang dibuat adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, dimana komponen utamanya adalah SCR 5P4M yang mempunyai rating arus 5 Ampere, tegangan 400 V. Sedangkan untuk transformator diambil kawat email 0,25 mm berdasarkan luas jendela inti trafo yang tersedia dengan luas penampang inti 20 cm2, frekuensi terendah 15 Hz sehingga jumlah lilitan kumparan primer 2 X 2000. Untuk keperluan komutasi dipasang kondensator non polar 4 F/400V agar 2 SCR beroperasi ON dan OFF secara bergantian sebagai inverter dengan penyulutan di titik A dan B seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. IV. HASIL, PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN Hasil rancangan peralatan secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6.
ke Inver ter
Gambar 4. Penyearah dengan 4 dioda lengkap dengan filter dan pembagi tegangan Sesuai dengan beban yang akan dicatu, maka dipilih dioda bridge MDA 3504 dengan kapasitas arus 5 A dan tegangan 400 V, sedangkan sebagai filter dipilih kondensator 33 F, 450 V. Pemasangan tahanan 220 dan 33 K dimaksudkan untuk memperoleh tegangan keluaran sebesar 50 V yang akan diumpankan ke rangkaian osilator. B.. Perancangan Osilator Rangkaian osilator yang dibuat adalah seperti pada Gambar 2, yaitu merupakan rangkaian astable multivibrator. Dalam hal ini digunakan transistor PNP A1015 dan diharapkan mampu menyulut SCR yang memerlukan tegangan 2 V dengan arus kecil beberapa mikro amper. Pada titik yang akan diambil untuk penyulutan SCR dipasang dioda D 1 dan D 2 dengan rating 1 A yang berfungsi untuk
Gambar 5. Alat pengatur kecepatan putar motor induksi Pengujian peralatan yang telah dibuat dilakukan terhadap motor induksi satu fase jenis runing capacitor dengan daya 120 watt , tegangan 220 VAC, arus 0,7 A, frekuensi 50 Hz dan putaran 2900 rpm
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
43
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
R1
R3 Q1
C2
C1
220 Vac MDA 3504
C3
A
R5
R2
SCR 1
tr
R
R8 Q2 B
Vo
C4
R 10
R6
R4
D1 R7
D 2 SCR 2 80
Gambar 6. Rangkaian lengkap alat pengatur kecepatan motor induksi
f (Hz)
F
S
dapat ditentukan persamaan linear antara n dan f dengan regresi, hasilnya adalah n = 40,233 f 505,57 dengan koefisisien korelasi r2 = 0,97 sehingga dapat dikatakan bahwa linearitasnya baik. Sedangkan dari slope persamaan tersebut dapat diartikan bahwa kehalusan perubahan kecepatan putar motor adalah baik yaitu sebesar 40,233 rpm/Hz. Di samping itu kenaikan frekuensi ternyata juga diikuti pula oleh tegangan output seperti yang terjadi dalam sistem komutasi.sedangkan tegangan input- nya konstan.
Keterangan :
60 40 20
R 1 =33 k R 2 = 220 k
R 5 = R 6 = 1,2 k R 7 = R 8 = 23
0 0
5
k R 9 =R 10 = 1,2 k (var) R 3 = R 4 = 10 k C 1 = 3,3 F/ 450V C 4 = 4 F/400V C 2 = C3 =10 F/50V Tr 1 = Tr 2 : A1015 SCR 1 = SCR 2 : 5P4M
Tabel 1. Data hasil uji coba alat pengendali kecepatan motor induksi R B1 = R B2 No (k)
Io (mA)
Vo (volt)
f (Hz)
n (rpm)
1
10,00
200
40
12
133
2
8,00
200
45
20
256
3
6,50
250
50
25
405
4
4,70
250
55
35
655
5
2,00
405
100
47
1.600
6
1,61
480
115
61
2.075
7
1,54
500
125
70
2.200
Dari data pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa semakin kecil tahanan basis (R B1 atau R B2 ), frekuensi keluaran (f) semakin besar. Hal ini sesuai dengan persamaan 3, bahwa frekuensi yang dihasilkan berbanding terbalik terhadap tahanan basis, lihat Gambar 6. Begitu juga putaran motor yang dihasilkan sebanding secara linear terhadap frekuensi sesuai dengan persamaan 1. Dari Tabel 1
44
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
10
15
Gambar 6. Kurva R B versus f 2500 2000 n (rpm)
Pengamatan dilakukan untuk mengetahui besaran-besaran tegangan, arus dan frekuensi keluaran serta putaran dari motor. Hal ini dilakukan dengan mengubah-ubah tahanan variabel R 9 .dan R 10 .sebagai pengubah frekuensi dari osilator pada Gambar 5. Hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 1
RB (k Ohm)
1500 1000 500 0 0
20
40
60
80
f (Hz)
Gambar 7. Kurva f versus n V. KESIMPULAN Dari rancang bangun dan pengujian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. - Peralatan yang dibuat dapat berfungsi cukup baik walaupun ditemukan beberapa kendala misalnya trafonya panas - Putaran motor bisa diatur dengan mengubah frekuensi atau secara tidak langsung dengan mengubah tahanan basis R B pada osilator - Motor induksi dapat diatur putarannya dengan jangkau yang luas dari 133 rpm dengan frekuensi 12 Hz sampai dengan 2200 rpm pada frekuensi 70 Hz pada keadaan tanpa beban. - Pengaturan putaran motor dapat halus dengat tingkat kehalusan sebesar 40,233 rpm/Hz.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5.
SUMANTO, Motor listrik arus bolak-balik, Andi offset Yogyakarta, Edisi pertama , 1993. ZUHAL, Dasar Tenaga Listrik, Penerbit ITB, Bandung ,1986 A.E. FITZGERALD, DJOKO ACHYANTO, Mesin –mesin listrik, Erlangga, Edisi ke empat, Jakarta, 1992. WASITO S., Elektronika dalam industri, Karya utama, Jakarta, cetakan kedua, 1986. GR SLEMON, A STRAUGHEN, Electric Machine, Addison Wesley Publishing, Copyright @1980
6.
GEORGE M.CHUTE, ROBERT D. CHUTE , Electronics in industry, McGrawHill Kogakusha, Ltd ,fith edition, 1981. 7. BARRY G. WOOLLARD , H .KRISTIONO, Elektronika praktis, Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan kelima, 2003. 8. A.E. FITZGERALD, PANTUR SILABAN, Dasar-dasar elektro teknik, Erlangga, Edisi ke lima, Jakarta, 1984. 9. EDWIN C.LOWENBERG, SUTISNA, Rangkaian Elektronik, Erlangga, Edisi SI (Metric), Jakarta, 1995. 10. ICHWAN HARYADI, Televisi transistor, Bina ilmu, Surabaya, cetakan pertama, 1985. 11. G.LOVEDAY, Pengujian elektronik dan diagnosa kesalahan, Elex Media komputindo, Jakarta, 1994.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
45
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
APLIKASI SPEKTROFOTOMETER UNTUK PENGUKURAN KONSENTRASI CAFFEINE DAN PARACETAMOL B. Wuri Harini1, Antonius Tri Priantoro2, Agung Bambang Setyo Utomo3 1 Teknik Elektro, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2 Pendidikan Biologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 3 MIPA Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Abstract This research has two aspects. They are spectrophotometer design and it’s application. In this research, we design spectrophotometer that can be used to measure caffeine and paracetamol manually. Spectrophotometer system consists of polychromatic light source, monochromator, sample, and detector. Microcontroller is used to get data of absorbance and to determine wavelength. Then, the concentration of caffeine and paracetamol are calculated manually. The result of this system is the system can detect caffeine and paracetamol absorbances, with linearity degree of caffeine is 0.991 and paracetamol is 0.992. However, this system needs some improvements, so it has better performance.
1. Latar Belakang Pengukuran konsentrasi senyawa di dalam suatu sampel, banyak dilakukan di berbagai bidang seperti fisika, kimia, farmasi, kedokteran, biologi, pertanian, teknik dan lingkungan. Untuk keperluan tersebut diperlukan instrumen yang sesuai, seperti spektrofotometer. Banyak penelitian yang memanfaatkan spektrofotometer ini. Di antaranya adalah Diawati, C. dalam penelitian berjudul ”Penentuan logam besi dan seng dalam alga coklat sorgasum duplicatum di perairan pantai gading secara spektrofotometer serapan atom” dan “Studi penentuan logam berat Pb (II) dan Cu (II) dalam alga merah eucheuma Sp di perairan pantai gading secara spektrofotometer atom”, dan Supriyanto, R. dalam penelitian berjudul “Studi analisis spesial fe(II) dan (III) menggunakan (Asam Tanat) ekstrak getah gambir dengan spektrofotometer ultra ungutampak” [1]. Pengoperasian spektrofotometer berdasar pada proses penyerapan cahaya oleh senyawa dalam sampel [2][3]. Pada sistim ini, cahaya dilewatkan pada sampel selanjutnya sebagian cahaya akan diserap dan bagian yang lain akan diteruskan. Penyerapan cahaya tergantung pada beberapa parameter antara lain koefisien serapan dan konsentrasi. Pada umumnya sampel mengandung banyak komponen, karena itu penyerapan yang terukur merupakan penyerapan total dari masing-masing komponennya. Untuk dapat mengetahui konsentrasi masing-masing komponen, salah satu cara yang biasa dilakukan adalah dengan memisahkan satu komponen dari komponen yang lain. Pemisahan komponen dapat dilakukan secara fisika maupun kimia, untuk itu diperlukan tambahan instrumen yang cukup kompleks. Selain itu dapat pula dilakukan pengukuran multi komponen secara serempak seperti pada Atomic Absorption
46
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Spectrophotometer [4], UV/Visible diode-array spectrophotometer [5] dan detektor fotoakustik [6]. Pada metode semacam ini komponen komponen yang ada di dalam sampel tidak dipisahkan. Untuk pengukuran multikomponen diperlukan sejumlah nilai serapan pada panjang gelombang yang berbeda. Selanjutnya nilai konsentrasi dapat dihitung dari satu sistim persamaan linear [3]. Pada pengukuran semacam ini perlu diperhatikan masalah selektivitas selain sensitivitasnya [7]. Selain itu pada kebanyakan alat yang tersedia, pengesetan panjang gelombang dilakukan secara manual. Mengingat hal-hal tersebut, spektrofotometer banyak dioperasikan untuk pengukuran satu komponen saja. Pada penelitian ini akan dibuat sistem spektrofotometer dengan peralatan standard yang bisa didapatkan di pasaran. Sistem ini akan diaplikasikan untuk mengukur caffeine dan paracetamol secara simultan. Pengukuran kedua senyawa ini banyak dilakukan untuk kepentingan dalam bidang farmasi. Salah satu pengukuran caffeine dan paracetamol sebelumnya menggunakan metoda flow injection analysis (FIA) [5]. Metoda FIA ini memerlukan peralatan yang cukup kompleks dan metoda analisanya juga termasuk rumit. Pada penelitian tahun pertama ini penentuan konsentrasi caffeine dan paracetamol dilakukan secara manual terlebih dahulu. 2. Metode Penelitian 2.1. Variabel penelitian Variabel terikat adalah variabel yang menjadi titik pusat penelitian. Variabel bebas adalah variabel yang diselidiki pengaruhnya terhadap variabel terikat. Variabel terikat pada penelitian ini adalah sistem spektrofotometer dan bagianbagiannya, sedangkan variable bebas yang digunakan adalah caffeine dan paracetamol
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.2. Prosedur Penelitian 2.2.1. Pembuatan alat Penelitian ini akan mencakup pembuatan sistem spektrofotometer yang dapat bekerja secara manual serta menerapkannya untuk mengukur konsentrasi caffeine dan paracetamol. Sistem spektrofotometer mempunyai susunan seperti yang ditunjukkan pada Gambar.1. Gambar 2. Rangkaian detector
Gambar 1. Susunan Spektrofotometer pengukur konsentrasi molekul Bagian utama dari spektrofotometer ini adalah sumber cahaya polikromatis, monokromator, tempat sampel molekul penyerap, fotodetektor serta mikrokontroler dan penampil. Cahaya polikromatis yang berasal dari sumbernya dilewatkan pada monokromator. Monokromator digunakan untuk memilih panjang gelombang yang sesuai dengan proses serapan oleh molekul penyerap yang diteliti. Pemilihan panjang gelombang yang keluar dari monokromator dilakukan dengan memutar kedudukan kisi yang dapat dilakukan secara manual maupun dikendalikan oleh mikrokonroler. Selanjutnya cahaya monokromatis dengan panjang gelombang dan intensitas I o akan melewati sampel yang mengandung molekul sepanjang b seperti yang telah dijelaskan dalam bab 3. Karena itu sebagian cahaya tersebut akan diserap oleh molekul. Hal ini mengakibatkan intensitasnya turun menjadi I. Perancangan sistem spektrofotometer meliputi: a. Perancangan perangkat keras Perancangan perangkat keras meliputi: - Perancangan detektor dengan rangkaian seperti gambar 2. - Perancangan sensor posisi dengan rangkaian seperti gambar 3. - Perancangan sistem mikrokontroler dan penampil yang ditunjukkan dalam gambar 4 dan 5. - Perancangan dudukan b. Perancangan perangkat lunak dengan mikrokontroler Flow chart program utama sistem ini ditunjukkan dalam gambar 6
Gambar 3. Rangkaian detector posisi
Gambar 4. Rangkaian mikrokontroler
Gambar 5. Rangkaian LCD
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
47
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
(lambda maks), pembuatan kurva baku parasetamol dan kafein, dan pengukuran contoh bahan (sampel).
Gambar 6. (lanjutan) Flow chart program utama 1. Gambar 6. Flow chart program utama ma 2.2.2. Pengujian alat Pengujian alat meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Penentuan panjang gelombang spektrofotometer duplikasi dengan gelas dydinium 2. Pengujian dengan sampel caffeine dan paracetamol 2.2.3. Pengambilan data Aplikasi penggunaan alat dilakukan dengan mengukur konsentrasi campuran parasetamol dan kafein. Kedua bahan ini sebenarnya tidak berwarna, sehingga pengukuran secara langsung hanya bisa dilakukan dengan mempergunakan spektroskopi Ultra Violet (UV), sedangkan spektroskopi visible hanya bisa mengukr senyawa-senyawa berwarna. Untuk bisa diukur dengan spektroskopi yang mempergunakan sumber cahaya visible kedua bahan tersebut harus direaksikan dengan bahan lain sehingga bahan yang bersangkutan menjadi berwarna. Pengukuran ini meliputi 4 tahap, yaitu persiapan bahan, scanning parasetamol dan kafein untuk memperoleh panjang gelombang maksimum
48
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Penyiapan Bahan
Penyiapan bahan meliputi penimbangan baku parasetamol dan kafein untuk membuat larutan baku. Dari larutan baku kemudian dibuat seri larutan untuk dipergunakan dalam pembuatan kurva baku, masing-masing dengan 5 seri. Ditimbang 10 mg baku parasetamol, dilarutkan dalam 100 ml aquades. Dari larutan induk ini dipipet 5 ml, 7.5 ml, 10 ml, 12.5 ml, dan 15 ml yang masing-masing dimasukkan dalam labu 50 ml. Ke dalam masingmasing labu ukur ditambahkan 2,0 ml HCl 6N dan 5,0 ml larutan Natrium Nitrit 10 %, campur dan biarkan selama 15 menit. Setelah itu ditambahkan 5,0 ml larutan asam sulfamat 15% dan 15,0 ml larutan NaOH 10%, dinginkan dan encerkan dengan aquadest sampai tanda. Kemudian degasing ± 5 menit. Ditimbang 10 mg baku kafein, dilarutkan dalam 100 ml aquades. Dari larutan induk ini dipipet 5 ml, 7.5 ml, 10 ml, 12.5 ml, dan 15 ml yang masingmasing dimasukkan dalam labu 50 ml. Ke dalam masing-masing labu ukur ditambahkan 6 tetes larutan bromida, 1 tetes asam hidroklorik (1:9), dipanaskan, kemudian ditambahkan 5% mercuri asetat, dan 2% asam asetat, didinginkan dan diencerkan dengan aquadest sampai tanda.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dibuat sampel campuran 5 ml larutan parasetamol dan 5 ml larutan kafein dalam dua labu 50 ml. Kedalam labu I ditambahkan perekasi untuk parasetamol dengan prosedur yang sama, dan kedalam labu II ditambahkan perekasi untuk kafein dengan prosedur yang sama. 2. Scanning Scanning dilakukan untuk mencari panjang gelombang (lambda) yang akan memberikan penyerapan paling tinggi (maksimum). Scanning dilakukan mulai dari panjang gelombang 380-700 nm yang merupakan rentang cahaya tampak 3. Pembuatan Kurva Baku Pembuatan kurva baku merupakan hal pokok yang akan dipakai untuk menentukan konsentrasi larutan sampel berdasarkan perbandingan penyerapan sinar oleh larutan sampel. Kurva baku yang baik akan mempunyai tingkat linearitas yang tinggi yang ditunjukkan oleh harga koefisien determinasi (R2). Harga R2 yang dianggap mempunyai daya prediksi yang baik adalah 0.999. 4. Pengukuran Sampel Pengukuran sampel campuran parasetamol dan kafein dilakukan dua kali pada panjang gelombang maksimum masing senyawa. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perancangan sistem spektrofotometer secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar 7. Sistem mikrokontroler, keypad dan penampil LCD ditunjukkan dalam gambar 8.
3.2.1.
Penentuan panjang gelombang spektrofotometer Panjang gelombang spektrofotometer ditentukan dengan cara menguji penyerapan gelas dydinium. Hasil dari pengujian ini kemudian dibandingkan dengan spektrum penyerapan gelas dydinium pada alat yang standard. Hasil pengukuran ditunjukkan dalam gambar 9. Dari hasil perbandingan kedua grafik diperoleh bahwa 1 lambda sama dengan 11 langkah motor stepper. 700 600 500 400 Series1
300 200 100 0 -100
1
39 77 115 153 191 229 267 305 343
Gambar 9. Spektrum gelas dydinium pada sistem spektrofotometer yang dibuat 3.2.2.
Pengujian dengan sampel caffeine dan paracetamol 3.2.2.1. Hasil Scanning Scanning dilakukan untuk mencari panjang gelombang (lambda) yang akan memberikan penyerapan paling tinggi (maksimum). Hal ini akan memberikan hasil yang paling sensitif dimana perubahan penyerapan akan memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat. Dalam pelaksanaan Scanning dilakukan mulai dari panjang gelombang 380-700 nm yang merupakan rentang cahaya tampak. Hasil scanning menunjukkan bahwa lambda maks untuk parasetamol adalah 520 nm, sedangkan untuk kafein adalah 580 nm seperti yang ditunjukkan dalam gambar 10 dan 11.
Gambar 7. Sistem Spektrofotometer
Gambar 10. Hasil Scanning larutan Parasetamol
Gambar 8. Mikrokontroler, keypad dan penampil Gambar 11. Hasil Scanning larutan Kafein
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
49
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2.2.2. Pembuatan Kurva Baku Pembuatan kurva baku merupakan hal pokok yang akan dipakai untuk menentukan konsentrasi larutan sampel berdasarkan perbandingan penyerapan sinar oleh larutan sampel. Kurva baku yang baik akan mempunyai tingkat linearitas yang tinggi yang ditunjukkan oleh harga koefisien determinasi (R2). Harga R2 yang dianggap mempunyai daya prediksi yang baik adalah 0.999. Pada pengukuran serapan cahaya tampak oleh seri larutan baku parasetamol pada panjang gelombang 520nm yang kemudian diplotkan pada grafik konsentrasi vs serapan, diperoleh garis linear dengan persamaan y=9.191x dengan harga R2 = 0.992, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 5.12. Y merupakan fungsi serapan sedangkan x mewakili konsentrasi. Pada pengukuran serapan cahaya tampak oleh seri larutan baku parasetamol pada panjang gelombang 580nm yang kemudian diplotkan pada grafik konsentrasi vs serapan, diperoleh garis linear dengan persamaan y=10.12x dengan harga R2 = 0.991, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 5.13.
Gambar 12. Kurva baku Parasetamol
Gambar 13. Kurva baku Kafein Harga R2 untuk kedua larutan tersebut lebih rendah dari pada harga ideal. Keadaan ini dapat ditinjau dari beberapa sisi. Jika dianggap alatnya sudah baik maka yang menjadi masalah adalah kualitas larutan bakunya, dalam hal ini penyiapan larutan, termasuk penimbangan dan pengenceran “belum cukup baik” sehingga mengakibatkan harga konsentrasi tidak sama dengan nilai yang seharusnya. Sebaliknya jika harga konsentrasi sudah sesuai dengan nilai yang seharusnya, maka harga R2 sangat ditentukan oleh alat ukur pengukur yang dipergunakan, dalam hal ini spektrofotometer visibel yang sedang dalam tahap penyempurnaan. Hal ini tampak dari pembacaan serapan yang kurang stabil, pengulangan pembacaan serapan untuk larutan yang
50
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
sama memberikan hasil yang berbeda. Beberapa hal yang memungkinkan terjadinya kesalahan dalam pengukuran ini antara lain belum adanya penutup (chasing) sehingga cahaya yang ditangkap oleh detektor tidak hanya dari cahaya yang telah melewati kuvet. Cahaya dari sekitar masih bisa masuk kedalam sistem yang akan mempengaruhi pembacaan serapan oleh detektor. Selain kedua hal tersebut di atas, kuvet yang dipergunakan tampaknya juga mempengaruhi harga R2 yang diperoleh. Pada waktu pembuatan dudukan untuk kuvet, contoh kuvet yang ditunjukkan adalah kuvet disposible bentuk Y yang bagian bawahnya terdapat lekukan sehingga hanya kuvet model tersebut yang bisa dipergunakan. Kuvet model penuh tidak bisa bisa dimasukkan kedalam dudukan kuvet karena ukuran luarnya lebih besar. Hal ini menjadi masalah karena stok kuvet yang ada adalah model penuh, sedang kuvet model Y yang baru tidak tersedia dan pembelian masih harus indent. Pada waktu pengukuran terpaksa memakai kuvet disposible yang telah dipakai ulang yang beberapa diantaranya terdapat goresan terkena tepi dudukan kuvet yang masih tajam. Dari ketiga keterangan diatas, hal terakhir inilah yang tampaknya menjadi faktor paling dominan. 3.2.2.3. Pengukuran Sampel Pengukuran sampel campuran parasetamol dan kafein dilakukan dua kali pada panjang gelombang maksimum masing-masing senyawa. Yang pertama campuran diukur pada panjang gelombang 520nm dan yang kedua pada panjang gelombang 580 nm. Kedua senyawa tersebut dicampur dengan pereaksi 1 (pereaksi untuk paracetamol) dan pereaksi 2 (pereaksi untuk kafein). Hasil pengukuran ditunjukkan dalam gambar 5.14 dan 5.15. Dari perhitungan secara manual diperoleh harga konsentrasi parasetamol 20,45 mg/l dan kafein 16,9 mg/l. Harga tersebut jauh diatas harga sesungguhnya yaitu parasetamol 10 mg/l dan kafein 10 mg/l. Hal ini berarti nilai recovery adalah lebih dari 200% untuk parasetamol dan lebih dari 160% untuk kafein. Harga recovery yang dianggap baik adalah 98-102%. Dengan demikian alat ukur ini bisa dikatakan relatif kurang baik atau kurang sensitif sehingga masih perlu diperbaiki.
Gambar 14. Serapan campuran parasetamol dan kafein dalam pereaksi 1
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
using a Levenberg-Marquardt fitting algorithm. Appl. Phys.B 67: 449-458. [7]. Olivieri, A.C. 2005. Computing Sensitivity and Selectivity in ParallelFactor Analysis and Related Multiway Techniques: The Need for Further Developments in Net Analyte Signal Theory .Anal. Chem. 77: 4936-4946
Gambar 15. Serapan campuran parasetamol dan kafein dalam pereaksi 2 6.1. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa: a. Spektrofotometer mampu mengukur sampel paracetamol dengan tingkat linieritas sebesar 0,992 b. Spektrofotometer mampu mengukur sampel kafein dengan tingkat linieritas sebesar 0,991 c. Hasil pengukuran campuran paracetamol dan kafein menunjukkan sistem spektrofotometer masih perlu perbaikan, terutama dalam hal sumber cahaya, penutup alat dan tempat kuvet. DAFTAR PUSTAKA [1]. http://lemlit.unila.ac.id, diakses tanggal 18 November 2009 [2]. Skoog, D.A., Leary, J.L. 1992. Principles of Instrumental Analysis. Fort Worth: Saunders College Publishing. [3]. Harris, D.C. 1999. Quantitative Chemical Analysis. New York: W.H. Freeman and Company. [4]. Lewis, S.A., O’Haver, T.C., Harnly, J.M. 1984. Simultaneous Multielement Analysis of Microliter Quantities of Serum for Copper, Iron, and Zinc by Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrometry. Anal. Chem. 56: 1651-1654. [5]. Dunkerley, S., Adams, M.J. 1997. The simultaneous determination of caffeine, aspirin and paracetamol by principal components regression using automatic dilution and calibration. Laboratory Automation and Information Management 33: 107-l 17. [6]. Moeckli, M.A., Hilbes, C., Sigrist, M.W. 1998. Photoacoustic multicomponent gas analysis
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
51
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PEMANCAR MODULASI FREKUENSI DENGAN EMPAT FREQUENCY HOPPING 1, 2
Nova Budi Prasetyo1, Damar Widjaja2 Jurusan Teknik Elektro, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 1
[email protected],
[email protected]
Abstrak Faktor keamanan dan kualitas layanan pada komunikasi radio dapat ditingkatkan dengan teknik frequency hopping (FH). Frequency hopping (FH) adalah perpindahan atau lompatan dari satu frekuensi ke frekuensi yang lain secara acak, semi acak, atau berurutan. Dengan teknik frequency hopping, gangguangangguan yang sering terjadi pada komunikasi radio seperti jamming, multipath fading, dan derau dapat dikurangi. Pemancar FM dengan frequency hopping ini disusun menggunakan komponen utama berupa phase locked loop. Phase locked loop terdiri dari phase detector, low pass filter, dan voltage controlled oscillator yang berfungsi sebagai pembangkit sinyal carrier yang digunakan sebagai sinyal modulasi. Phase locked loop yang digunakan pada penelitian ini untuk menghasilkan pemancar FM dengan 4 frequency hopping. Pemancar bekerja secara sinkron dengan frekuensi carrier yang bergantian pada empat frekuensi yang berbeda yaitu 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz, dan 103 MHz dengan periode hopping 0,25 detik. Kata kunci : frequency hopping, frequency modulation, phase locked loop. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, sumber daya frekuensi khususnya pada frekuensi radio yang tersedia sangat terbatas. Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat banyak bermunculan stasiun-stasiun radio broadcast baru yang menggunakan kanal-kanal frekuensi yang masih tersedia. Jumlah kanal FM (Modulation Frequency, Frekuensi Modulasi) yang tersedia untuk radio broadcast berada dalam alokasi frekuensi 87,5 MHz hingga 108 MHz sebanyak 204 kanal. Jarak kanal-kanal frekuensi yang digunakan sangat dekat dan terkadang terjadi interferensi antar sinyal carrier [1]. Pemancar FM menggunakan gelombang radio untuk mengirimkan sinyal termodulasi menuju ke penerima FM. Pada saat pengiriman sinyal termodulasi ke penerima FM, terdapat beberapa gangguan seperti noise (derau), distorsi delay (tunda waktu) karena multipath fading dan jamming. [2]. Pada komunikasi digital dikenal teknik modulasi akses jamak FHSS (Frequency Hopping Spread Spectrum). Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan di atas [2]. Implementasi dari teknik modulasi FHSS dapat digunakan pada perangkat komunikasi radio yang membutuhkan keamanan seperti HT (Handy Talkie) yang digunakan oleh pihak militer [1]. Penulis akan, melakukan peningkatan keamanan di dalam komunikasi radio dengan membuat pemancar FM dengan 4 FH (Frequency Hopping) yang akan ditransmisikan secara sinkron ke penerima FM dengan 4 FH . Periode FH adalah 0,25 detik. I.2. Tujuan Penelitian
52
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan pemancar FM yang mampu mengirimkan sinyal informasi dengan menggunakan empat frekuensi carrier yaitu 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz, dan 103 MHz secara berurutan yang telah diatur sebelumnya dengan menggunakan teknik FH. I.3. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Teknik FH yang diaplikasikan pada perangkat pemancar FM dapat digunakan untuk mengurangi efek gangguan pada sistem komunikasi FM dan menghasilkan kualitas layanan yang lebih baik. 2.Pengembangan dari teknik FH dapat dimanfaatkan sebagai rujukan untuk pengembangan sistem komunikasi radio khususnya pada perangkat pemancar FM. II. DASAR TEORI Perangkat Pemancar FM FH menggunakan teknik modulasi akses jamak yang menggunakan FHSS (Frequency Hopping Spread Spectrum). Perangkat pemancar FM FH menggunakan Phase locked loop (PLL) sebagai komponen utama. PLL berfungsi untuk mengatur frekuensi yang memanfaatkan sensitivitas deteksi fasa antara sinyal input dan output dari sebuah rangkaian osilasi yang telah diatur. PLL mempunyai beberapa komponen penyusun yaitu Voltage Controlled Oscillator (VCO), Phase Detector (PD), dan Low Pass Filter (LPF) [3]. II.1. Phase Locked Loop (PLL) Phase locked loop (PLL) merupakan rangkaian yang bekerja dengan menggunakan frekuensi f in sebagai sinyal input dan mempunyai sinyal output dengan frekuensi yang sama dengan
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
f in . Diagram blok PLL ditunjukkan seperti pada Gambar 2.1. Tegangan v 3 menjadi input VCO agar output tetap pada frekuensi ω FR yang sama dengan ω i , sehingga loop terjaga atau yang sering disebut equilibrium loop. Apabila ω i berubah naik, maka θ i semakin besar, sehingga θ i sama dengan θ o . Pada saat terjadi beda fasa (∆θ), maka muncul tegangan v 1 dan setelah itu, ditapis dan dikuatkan sehingga tegangan v 3 semakin tinggi. Kecepatan sudut ω o akan naik mencapai ω o yang sama dengan ω i sehingga kedua vektor berotasi pada kecepatan yang sama. Saat kondisi lock tercapai, tegangan v 3 proposional terhadap frekuensi VCO (Voltage Controlled Oscillator).
V o (t). Sinyal output V 1 (t) akan berada pada keadaan yang sama jika antara sinyal V i (t) dan V o (t) tidak terjadi perbedaan fasa. II.2. Low Pass Filter (LPF) dan Amplifier Filter merupakan rangkaian yang bekerja melewatkan sinyal dengan range frekuensi tertentu dan menekan atau menghilangkan range frekuensi yang lain. Low pass filter (LPF) pada dasarnya digunakan untuk melewatkan sinyal frekuensi rendah dan meredam sinyal berfrekuensi tinggi [6].
Gambar 2.4. Kurva tanggapan LPF [6].
Gambar 2.1. Diagram Blok PLL [4]. PD (Phase Detector) adalah rangkaian pendeteksi perbedaan sudut fasa dan beda frekuensi antara dua gelombang, serta membangkitkan suatu keluaran berupa tegangan dari perbedaan fasa yang terjadi [4]. Vo(t)
2 1 3
Sinyal yang dilewatkan dan diredam dapat berupa sinyal listrik seperti perubahan tegangan dan data-data digital visual dan audio. Tanggapan frekuensi untuk LPF ditunjukkan seperti pada Gambar 2.4. Batas frekuensi antara sinyal yang dapat dilewatkan dan yang diredam disebut dengan frekuensi cutoff. Amplifier pada PLL digunakan sebagai penguat tegangan yang digunakan untuk mengatur frekuensi osilasi VCO. Pada penerapannya, Amplifier dapat digunakan atau tidak.
V1(t)
Vi(t)
Gambar 2.2. Gerbang logika XOR [5]. Gambar 2.2 merupakan bentuk gerbang logika XOR yang merupakan acuan dari karakteristik PD (Phase Detector). Gambar 2.3 menunjukkan sinyal output yang terjadi pada saat PD menedeteksi perbedaan fasa.
Gambar 2.3. Sinyal input dan output PD [5]. Berdasarkan Gambar 2.3, sinyal output V 1 (t) akan menghasilkan tegangan koreksi jika terjadi beda fasa antara sinyal V i (t) dengan sinyal
II.3. VCO (Voltage Controlled Oscillator) VCO banyak terdapat dibeberapa aplikasi, seperti pada pengendali frekuensi otomatis, tuning radio, dan PLL [4]. VCO dirancang untuk menghasilkan frekuensi osilasi yang berbeda-beda dengan pengaturan tegangan. Tegangan yang masuk ke dalam VCO bernilai positif, frekuensi VCO akan lebih besar dari pada frekuensi free runing, jika Tegangan yang masuk ke dalam VCO bernilai negatif maka frekuensi VCO akan bernilai lebih kecil daripada frekuensi free runing. II.4. Frequency Hopping FH (Frequency Hopping) adalah perpindahan atau lompatan dari satu frekuensi yang satu ke frekuensi yang lain secara acak ataupun yang telah ditentukan sebelumnya secara otomatis dengan menggunakan algoritma per satuan detik. Pada FH, proses penyebaran spektral dilakukan dengan mengubah-ubah frekuensi gelombang pembawa secara periodik [7]. Lompatan dari satu frekuensi ke frekuensi yang lain diatur secara berurutan atau secara acak dengan menggunakan kode pseudonoise (PN) [8]. Proses FH ditunjukkan pada Gambar 2.5. Pemancar FH hanya dapat mengirimkan data pada setiap frekuensi dalam jumlah yang SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
53
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
sangat terbatas, karena perioda antar lompatan frekuensi sangat singkat (400μs – 577 μs). Sandi pseudonoise merupakan sandi acak yang mempunyai deretan sandi yang akan terulang secara periodis dalam perioda yang cukup lama [8].
Gambar 2.5. Penebaran sinyal pada frequency hopping [8].
Generator), sedangkan pembangkit frekuensi referensi menggunakan osilator Kristal. Sinyal referensi akan dibandingkan dengan sinyal output pembagi terprogram yang masuk ke PD. Output blok PD merupakan sinyal dengan tegangan ratarata sesuai karakteristik. Tegangan rata-rata akan mengontrol VCO sehingga menghasilkan frekuensi carrier yang diinginkan. Pada blok VCO, terintegrasi modulator yang digunakan untuk memodulasi sinyal carrier dan sinyal informasi. LPF berfungsi untuk meredam / menghilangkan ripple tegangan output dari PD. Prescaler digunakan sebagai pembagi awal frekuensi sinyal output VCO. Electronic switch menggunakan shift register untuk menggeser data input yang berguna sebagai pencacah untuk mengontrol clock.
Gambar 2.5 memperlihatkan sinyal informasi yang telah dimodulasi dan disebar pada daerah spektral antara f 1 s/d f 4 . Dengan mengacak pola lompatan, sinyal pengganggu (interfering signal) diharapkan dapat dihindari. Jika interferensi muncul dan mengganggu salah satu kanal berfrekuensi, misal f 2 , maka sinyal pembawa akan selalu mengalami gangguan tetapi hanya saat berada pada frekuensi f 2 . III. ALUR PERANCANGAN Sistem komunikasi radio FM FH mempunyai blok-blok utama penyusun sistem seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Pada bagian pemancar (Transmitter, Tx) terdapat sub blok tone generator yang berfungsi untuk membangkitkan sinyal sinkronisasi dari empat frekuensi carrier. Keempat frekuensi carrier yang telah disinkronisasi tersebut kemudian diterima oleh penerima FM (Receiver, Rx) secara bergantian sesuai waktu yang telah ditentukan.
Gambar 3.2. Diagram blok pemancar FM dengan 4 FH. III.1. Perancangan Rangkaian Phase Detector Perancangan PD menggunakan IC PLL model 74HC/HCT4046A. IC ini digunakan karena mempunyai konsumsi daya yang rendah, input sensitivity 400 mVp-p, mampu menghasilkan frekuensi maksimal 17 MHz pada catu tegangan (VCC) 4,5Volt, dan stabil karena pergeseran frekuensi yang terjadi sangat minim. Gambar 3.3 adalah skema rangkaian PD menggunakan IC 74HC/HCT4046A [9]. input dari TC 9122P input Frekuensi Ref erensi
Gambar 3.1. Blok diagram umum sistem komunikasi radio FM FH. Sistem perangkat pemancar FM FH terdiri dari beberapa blok komponen-komponen dasar dari PLL. Pemancar FM dengan 4 FH menggunakan rangkaian PLL yang terdiri dari pembangkit frekuensi referensi, PD, LPF, VCO, Prescaler, pembagi terprogram, dan komponen-komponen pendukung lainnya. Diagram blok dari sistem perangkat pemancar FM dengan 4 FH yang akan dirancang ditunjukkan pada Gambar 3.2. Perancangan pemancar FM ini bekerja pada empat frekuensi carrier yaitu 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz, 103 MHz. Sinyal informasi yang digunakan berasal dari AFG (Audio Frequncy
54
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
3 4 CIN VCOUT 14 6
SIN
1 PP 2 P1 P2
13
Output Phase Detector
CX
7 5 CX 11 INH 12 R1 R2
VCOIN
9
10 DEMO 15 ZEN
74HC4046
Gambar 3.3. Rangkaian PD [9]. III.2. Perancangan rangkaian LPF Perancangan LPF menggunakan komponen pasif yang terdiri dari tesistor dan kapasitor. Rangkaian LPF pada komponen PLL berfungsi untuk meredam / menghilangkan ripple tegangan output dari PD yang berupa tegangan DC agar lebih stabil. Gambar 3.4 merupakan skema
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
rangkaian LPF. R1 PD
VCO 212.2 C1 0.1u
Gambar 3.4. Rangkaian LPF [6]. III.3. Perancangan rangkaian VCO Perancangan VCO menggunakan komponen diode varactor D1 dan D2 sebagai kapasitor variabel yang dikendalikan oleh tegangan LPF. Nilai kapasitansi D1 dan D2 akan berubah – ubah sesuai dengan besarnya tegangan dari LPF. Frekuensi modulasi 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz, dan 103 MHz didapat dengan cara mengubah nilai kapasitansi komponen D1 dan D2 [10].
IV.1. Pengujian Transmisi Pemancar Pemancar juga diuji dengan modulasi frekuensi antara sinyal informasi dan sinyal DTMF dengan beberapa sinyal carrier, sehingga didapatkan bentuk sinyal FM seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Sinyal sinkronisasi berupa sinyal DTMF (Dual Tone Multi Frequency) yang berasal dari sub blok tone generator. Sinyal-sinyal yang dipancarkan diterima oleh satu perangkat keras penerima FM FH yang ditala secara berurutan pada frekuensi carrier 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz dan 103 MHz.
(a) Gambar 3.5. Rangkaian VCO [10]. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perangkat keras yang dirancang terdiri dari satu bagian perangkat keras pemancar FM broadcast. Gambar 4.1 merupakan perangkat pemancar FM FH yang telah dibuat.
(b)
(a)
(b) Gambar 4.1. (a) Pemancar FM tampak sisi depan (b) Pemancar FM tampak sisi atas.
(c) Gambar 4.2. Sinyal termodulasi. (a) Frekuensi 97 MHz, (b) Frekuensi 99 MHz, (c) Frekuensi 101 MHz, (d) Frekuensi 103 MHz. SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
55
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa tunda waktu sebesar 0,25 detik mampu dicapai.
(d) Gambar 4.2. (lanjutan) Sinyal termodulasi. (a) Frekuensi 97 MHz, (b) Frekuensi 99 MHz, (c) Frekuensi 101 MHz, (d) Frekuensi 103 MHz. Sinyal informasi yang digunakan sebagai sinyal pemodulasi ditunjukkan seperti pada Gambar 4.3. Sinyal informasi yang digunakan berasal dari AFG (Audio Frequency Generator). Sinyal DTMF yang termasuk sebagai sinyal pemodulasi, ditunjukkan seperti pada Gambar 4.4.
Gambar 4.5. Tunda waktu sebesar 0,25 detik. IV.3. Pengujian Kestabilan Frekuensi Carrier Saat Proses Hopping Pemancar diuji dengan mengamati proses hopping yang berlangsung. Pengamatan terhadap proses hopping dilakukan dengan menggunakan tunda waktu (delay) sebesar 0,25 detik. Pengambilan data dilakukan sebanyak 10 kali dengan kelipatan waktu tiap 20 detik. Galat kestabilan frekuensi dapat dicari dengan menggunakan persamaan 4.1
(4.1) merupakan rata – rata jumlah frekuensi yang diamati (∑ frekuensi) dibagi dengan banyak data yang diambil (N). dapat dicari dengan menggunakan persamaan 4.2. Gambar 4.3. Sinyal informasi 5 KHz.
(4.2) Tabel 4.3. Data pengamatan kestabilan frekuensi hopping.
Gambar 4.4. Sinyal DTMF. IV.2. Pengujian Tunda Waktu Proses Hopping Tunda waktu sebesar 0,25 detik pada proses hopping ditunjukkan seperti pada Gambar 4.5. Pengamatan tunda waktu dilakukan dengan mengamati periode sinyal yang dihasilkan oleh counter (pencacah) pada blok tone generator. Persamaan yang dapat digunakan untuk mendapatkan tunda waktu adalah
56
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
V. Penutup V.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan, maka penelitian yang dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Alat yang dibuat bekerja dengan baik sesuai perancangan. 2. Pemancar yang dibuat dapat melakukan proses hopping dan dapat bekerja dengan modulasi FM pada frekuensi 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz, dan 103 MHz. 3. Pemancar mampu bekerja dengan tunda waktu FH sebesar 0,25 detik. V.2. Saran Penelitian ini dapat lebih disempurnakan dengan memperhatikan hal, yaitu, Grounding pada rangkaian PLL harus diperhatikan, karena sangat berpengaruh terhadap kestabilan proses hopping perangkat keras yang dibuat. DAFTAR PUSTAKA [1] http://www2.kompas.com/kompascetak/0311/14/muda/685510.htm [2] Hioki, Warren., Telecommunication, 3rd edition. Prentice Hall, 1998. [3] Stanley.D, William, Operational Amplifier with Linear Integrated Circuit, 3rd edition. Maxmillan College Publishing Company, New York, 1994. [4] Malvino, Albert Paul, Prinsip-Prinsip Elektronika, Mc Graw Hill Education, Salemba Teknika, 1995. [5] Shrader, R.L, Komunikasi Elektronika, Erlangga, Jakarta, 1989. [6] Malik.R, Norbert, Electronic Circuits Analysis, Simulation and Design, PrenticeHall international Inc, 1995. [7] Rustamaji dan Elan, Djaelani., Pemancar Frequency Hooping Spread Spectrum untuk pengamanan sinyal informasi. IT jurnal, 2002. [8] Wijaya, Damar, “Peningkatan Kapasitas Sistem dan Kualitas Sinyal Pada Jaringan GSM dengan Frekuensi Hopping”, Majalah SIGMA., vol 5. No 2, hal. 171-183, Juli 2002. [9] _____, ________, 74HC4046 Phase Locked Loop with VCO, www.TOSHIBA.com. [10] The Norwegian Radio Pirate League, The Veronica PLL.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
57
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
MODEL SELEKSI PENERIMAAN BEASISWA SANATA DHARMA MENGGUNAKAN HIMPUNAN KABUR Eko Hari Parmadi Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Sains & Teknologi Univ. Sanata Dharma Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Telp. 0274 883037 Email:
[email protected] Abstract The Schoolarship selection process in Sanata Dharma involves Wakaprodi and WR III. This selection process based on quota and criteria, namely: Great Point Average (IPK), Parent’s Salary (PHOT), Total Family Members (TOT) and Student Activities (GIAT). In, this paper we proposed a new selection system based on fuzzy multicriteria decision making. Final decision depends on fuzzy criteria and reciprocal matrix. In this system , final score of each applicant is different for others. It makes easy to make ranking for all applicant. The system result are final decision and membership function of final decision. Keyword: fuzzy criteria, reciprocal matrix, final decision, membership function of final decision 1. PENDAHULUAN Selama ini, proses seleksi penerimaan beasiswa di Univeritas Sanata Dharma didasarkan pada beberapa kriteria menggunakan model skoring. Kriteria-kriteria tersebut yaitu: Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), penghasilan orang tua (POT), tanggungan orang tua (TOT) dan banyaknya kegiatan (GIAT) yang diikuti oleh mahasiswa pelamar beasiswa. Banyaknya mahasiswa yang mendapatkan beasiswa untuk masing-masing program studi berbeda-beda dan ditentukan berdasarkan kuota dari Wakil Rektor III. Namun model skoring ini mempunyai kelemahan yaitu selisih nilai yang tidak terlalu besar untuk tiap kriteria mengakibatkan skor akhir yang sangat berbeda. Kelemahan lain dari model skoring adalah banyaknya skor akhir bernilai sama yang mengakibatkan kesulitan dalam proses seleksi terutama jika kuota yang diberikan lebih sedikit dari jumlah pelamar. Melalui pendekatan himpunan kabur ini, kelemahan proses seleksi beasiswa menggunakan model skoring dicoba diatasi. Hasilnya adalah keputusan pelamar beasiswa layak menerima beasiswa atau tidak layak menerima beasiswa dilengkapi dengan derajat keputusannya. 2.
58
TINJAUAN PUSTAKA Sistem Pengambilan Keputusan merupakan sebuah sistem komputer yang mampu membantu pengguna dalam mengambil keputusan terutama untuk masalah-masalah yang tidak terstruktur maupun yang semi terstruktur. Masalah tidak terstruktur ini muncul karena banyaknya variabel yang turut menentukan suatu keputusan, adanya ketidakpastian, ketidaktegasan nilai variabel yang terlibat ataupun terjadinya pertentangan nilai antara satu variabel dengan variabel lain [1]. Berdasarkan penelusuran informasi melalui website, model banyak kriteria dipakai dalam berbagai bidang seperti untuk SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
pengambilan keputusan pemakaian teknologi batubara [2], menentukan tingkat pemasaran berbagai produk di West Virginia [3], menangani masalah asesibilitas buruh berpendapatan rendah terhadap sarana transportasi [4], serta sistem pendukung pengambilan keputusan pemilihan presiden Indonesia tahun 2004 [5]. Namun kriteriakriteria yang digunakan dalam semua sistem pendukung pengambilan keputusan tersebut masih menggunakan kriteria yang tegas atau tidak kabur. 2.1 Himpunan Kabur Tidak semua hal yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dapat didefinisikan secara tegas. Hal ini disebabkan oleh batasan yang kabur atau tidak dapat ditentukan secara tegas. Banyak kata-kata, kriteria atau istilah dalam kehidupan sehari-hari yang mengandung ketidaktegasan, seperti: tinggi, mahal, kaya, cantik, menarik, hemat dan sebagainya. Untuk mengatasi permasalahan himpunan dengan batas yang tidak tegas ini, Zadeh mengaitkan himpunan semacam itu dengan suatu fungsi yang menyatakan derajat kesesuaian unsurunsur dalam semestanya dengan syarat konsep yang merupakan syarat himpunan tersebut. Fungsi ini disebut fungsi keanggotaan dan nilai fungsi itu disebut derajat keanggotaan suatu unsur dalam himpunan itu, yang selanjutnya disebut himpunan kabur[6]. Derajat keanggotaan dinyatakan dengan suatu bilangan real dalam selang tertutup [0,1]. Dengan kata lain, fungsi keanggotaan dari suatu himpunan kabur à dalam semesta X adalah pemetaan µ à dari X ke selang [0,1]. Misalkan diberikan himpunan semesta X, maka suatu himpunan kabur sebagai:
~ A didefinisikan
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
~ A {( x, A~ ( x)) | x X }
................... (1)
A~ ( x) : X [ 0 ,1 ]
A~
disebut fungsi keanggotaan dari suatu
~
himpunan kabur A dan nilai fungsi menyatakan
derajat
A~ ( x)
keanggotaan
~ unsur x X dalam himpunan kabur A [7].
2.2 Pengambilan Keputusan Kabur Banyak Kriteria Pada dasarnya pengambilan keputusan banyak kriteria terdiri dari dua tahap, yaitu: evaluasi menyeluruh terhadap keputusan yang diambil terkait dengan semua tujuan dan setiap alternatif keputusan serta pembuatan peringkat untuk menentukan keputusan terbaik berdasarkan hasil pada tahap sebelumnya. Pengambilan keputusan dengan kriteria tegas biasanya diasumsikan bahwa penilaian akhir terhadap alternatif-alternatif keputusan memakai bilangan nyata. Sedangkan model dengan kriteria kabur biasanya dilakukan dengan alasan bahwa tujuan g j atau hasil pencapaian untuk alternatif x i tidak dapat dievaluasi secara tegas tetapi hanya melalui himpunan kabur. Penilaian finalpun dinyatakan dengan himpunan kabur yang harus diurutkan untuk menentukan penyelesaian optimalnya. Saaty, menyarankan untuk menyelesaikan masalah pengambilan keputusan kabur menggunakan dasar prioritas, melalui penggunaan bobot tegas [8]. Yager mengasumsikan himpunan dari dari alternatif sebagai X {x i }, i 1,2,3, , n dan himpunan berhingga kriteria sebagai G {g~ j }, j 1,2,3, , m . Masing-masing ~ g ( x , ~ ( x )) merupakan himpunan j
i
gj
i
g~ j
kabur.
derajat pencapaian alternatif x i untuk kriteria g~ j . ( xi )
menyatakan
Karena pengambilan keputusan harus memenuhi semua kriteria g~ j , maka derajat ~ keanggotaan pengambilan keputusan kabur D adalah: D~ ( xi ) min g~ j (xi ) , i 1,2,3, n. j 1,2,3, , m j 1
.................... (2) dan x i adalah keputusan optimum apabila memenuhi : D~ (xi ) maxming~j (xi ) , i 1,2,3,n. j 1,2,3,, m xi
j1
.................... (3)
Yager juga mengijinkan adanya perbedaan kepentingan di setiap tujuan kriteria yang dinyatakan dalam bobot terhadap fungsi keanggotaan tujuan g~ j , yaitu:
g~ j ( x i ) ( g~ j ( x i ))
wj
.
............ (4)
Nilai w j dihitung berdasarkan perbandingan kepentingan relatif antara dua pasangan kriteria yang dinyatakan dengan matriks resiprok W (a ij ), i 1,2,3, , n j 1,2,3, , n Matriks W (a ij ) disebut matriks resiprok jika dan hanya jika: 1 , i j a ij 1 , i j a ij
.................... (5)
Nilai bobot w j diperoleh dari vektor eigen w ( w j ) j 1,2,3, , n maupun nilai eigen yang bersesuaian serta banyaknya kriteria yang ada atau dengan kata lain:
n
wj
n [8].
j 1
3.
METODE PENELITIAN Secara garis besar, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data penelitian, perancangan model, implementasi model dan simulasi model.
3.1 Pengumpulan Data Penelitian Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara pencarian informasi melalui internet, wawancara dengan staff wakil rektor III yang bertugas melayani beasiswa, beberapa mahasiswa pelamar beasiswa, para wakaprodi dan wakil rektor III selaku penyeleksi para pelamar beasiswa serta studi literatur. Data yang dikumpulkan adalah data nama beasiswa, persyaratan untuk melamar beasiswa serta kriteria-kriteria untuk seleksi beasiswa. Data lain yang dikumpulkan adalah proses seleksi beasiswa menggunakan model skoring, cara menentukan skor, data mahasiswa penerima beasiswa berdasarkan hasil seleksi serta data skor dan nilai untuk masing-masing kriteria dari semua pelamar beasiswa Sanata Dharma. Sedangkan studi literatur dimaksudkan sebagai landasan teori maupun untuk mendukung perancangan model yang akan dibuat. 3.2 Perancangan Model Sebelum melakukan perancangan model seleksi penerimaan beasiswa, terlebih dahulu dianalisis model seleksi penerimaan beasiswa dengan model skoring. Mahasiswa yang ingin mendapatkan beasiswa Sanata SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
59
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dharma harus mengisi dan melengkapi persyaratan kemudian berkas dikumpulkan ke sekretariat Wakil Rektor III. Staff sekretariat WR III menyeleksi kelengkapan berkas dan melakukan rekapitulasi. Tim seleksi (WR III dan Wakaprodi) melakukan seleksi berdasarkan data skor total maupun kuota tiap
program studi. Apabila terdapat skor yang sama, biasanya wakaprodi melihat kembali IPK, penghasilan orang tua atau kriteriakriteria yang lain.Berikut ini cuplikan tabel rekapitulasi pelamar beasiswa Sanata Dharma yang dinyatakan lolos seleksi dan berhak mendapatkan beasiswa Sanata Dharma.
Tabel 1. Rekapitulasi Pelamar Beasiswa Sanata Dharma
Tabel 2.Tabel Skor IPK dan Penghasilan Orang Tua (PHOT)
Tabel 3. Tabel Skor TOTdan GIAT
Berdasarkan data tersebut di atas dapat diperoleh informasi bahwa secara umum pelamar yang layak menerima beasiswa adalah pelamar yang mempunyai kriteria-kriteria: IPK tinggi, kegiatan banyak, penghasilan orang tua
60
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
rendah, tanggungan orang tua banyak. Langkah berikutnya adalah menentukan hasil keputusan akhir (alternatif). Kriteria inilah yang akan digunakan untuk membuat model seleksi penerimaan beasiswa Sanata Dharma. Masukan dari model ini berupa nilai IPK, PHOT, TOT dan GIAT. Setiap nilai tersebut dipakai untuk menentukan derajat keanggotaan keputusan untuk masing-masing kriteria. Masukan lainnya adalah perbandingan kepentingan relatif antara dua pasangan kriteria yang akan dipakai untuk menentukan matriks resiprok menggunakan persamaan (5). Hasil perhitungan vektor eigen dan nilai eigen dari matriks resiprok ini, dipakai untuk menentukan bobot. Keluaran dari sistem ini adalah keputusan akhir (layak menerima beasiswa, tidak layak menerima beasiswa) dan derajat keputusannya yang diperoleh dari perhitungan menggunakan persamaan (4). 3.3 Implementasi Model Model yang telah dibuat diimplementasikan menggunakan Matlab 7. Data masukan dan keluaran dibandingkan kembali apakah sudah sesuai dengan rancangan model. Selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap sistem yang telah dibangun.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1. Tampilan Masukan Sistem
Bersadarkan ujicoba yang dilakukan maka untuk setiap pelamar dengan nilai kriteria yang berbeda tetapi memiliki total skor sama akan mempunyai derajat keputusan yang berbeda. Hal tersebut akan mempermudah pengambil keputusan (wakaprodi atau WR III) dalam menentukan rangking / urutan para pelamar untuk setiap program studi. Berikut ini hasil perhitungan derajat keputusan menggunakan 3 5 7 1 0,33 1 2 4 matrik resiprok: 0,2 0,5 1 5 0,14 0,25 0,2 1
Gambar 2. Tampilan Keluaran Sistem Tabel 4. Keputusan Akhir & Derajat Keputusan Pelamar Beasiswa Sanata Dharma
3.4 Simulasi Model Pada tahap ini sistem diberi masukan perbandingan kepentingan antar kriteria secara berulang untuk sebuah data IPK, PHOT, GIAT dan TOT. Hal ini dilakukan unutk melihat pengaruh perubahan matrik resiprok terhadap keputusan akhir. Hal serupa juga dilakukan untuk masukan matriks resiprok yang sama namun diberikan data IPK, PHOT, GIAT dan TOT pelamar beasiswa yang berbeda. Berdasarkan simulasi model tersebut dapat
diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan akhir. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil dan analisis pada saat simulasi model dapat diperoleh hasil bahwa perubahan nilai IPK, PHOT, GIAT dan TOT sangat mempengaruhi hasil keputusan. Apabila matriks resiprok dipilih sama atau tetap untuk nilai IPK, PHOT, GIAT dan TOT pelamar yang berbeda maka akan memperoleh
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
61
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
keputusan akhir yang berbeda. Demikian pula dengan derajat keputusan akhirnya juga berbeda. Apabila suatu nilai IPK, PHOT, GIAT dan TOT dikenai matrik resiprok yang berbeda juga akan menghasilkan keputusan yang berbeda. Agar proses seleksi berjalan dengan baik dan tidak terjadi persepsi yang berbeda maka harus disepakati terlebih dahulu matriks resiprok yang akan digunakan. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Keputusan akhir sangat bergantung pada matriks resiprok yang digunakan dan nilai IPK, PHOT, GIAT dan TOT 2. Keputusan akhir akan memberikan derajat keputusan yang berbeda untuk setiap pelamar beasiswa sehingga akan memudahkan pengambil keputusan (Wakaprodi atau Wakil Rektor III) dalam menentukan urutan penerima beasiswa. 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Turban Efraim, 1995, Decision Support and Expert Systems, Prentice –Hall International. Inc, Englewood Cliffs [2] Streimikiene Dalia ,2001, Applying Multi_Criteria Aid for Decision Making in Favor of Clean Coal Technologies, Environmental Research, Engineering and Management, No. 4 (18). P.11-18. [3] Moldovanyi Aurora , 2003, GIS and Multi-Criteria Decision Making to Determine Marketability of Pay Pond Bussinesses in West Virginia. [4] Ortega Juan F., 2002 , Multi-Criteria Decision Making for Low Income and Labor-Market: A Literature Review, http://www.utc.uic.edu. [5] Priyatma J.E., Gede S., Windyawan F.N., Kusuma P.H.,2005, Laporan Penelitian Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan Pemilihan Presiden Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma [6] Susilo Frans.,2003, Pengantar Himpunan dan Logika Kabur serta Aplikasinya. Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. [7] Wang, Li Xin, 1997, A Course in Fuzzy System and Control, Prentice Hall, New Jersey. [8] Zimmermann, H.J., 1991, Fuzzy Set, Decision Making, and Expert Systems, Kluwer Academic Publishers, Boston.
62
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SINKRONISASI ANTARA PEMANCAR DAN PENERIMA MODULASI FREKUENSI DENGAN EMPAT FREQUENCY HOPPING 1,2
Damar Widjaja1, Tulus Setiadi 2 Jurusan Teknik Elektro, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 1
[email protected],
[email protected]
Abstract Frequency hopping technique is one of data transmission method in telecommunication. Frequency hopping can minimize the effect of the telecommunication disturbances such as jamming and noise. This research goal aim is to produce synchonization subsystem that can synchronize between frequency hopping FM transmitter and frequency hopping FM receiver. Synchonization subsystem on transmitter and frequency hopping FM receiver consists of two main section. There are tone generator and tone decoder. DTMF signal is used for synchonization between transmitter and frequency hopping FM receiver. The result of the research are synchonization subsystem that can be synchronize between frequency hopping FM transmitter and frequency hopping FM receiver in transmitting data. DTMF signal that have been resulted synchonization subsystem equipment operates with modulation four carrier frequency, 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz and 103 MHz with 0.25 second hopping period.
Keyword : frequency hopping, tone generator, tone decoder, synchronization, FM, DTMF, subsystem. I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Sumber daya komunikasi, khususnya pada frekuensi radio tersedia sangat terbatas. Di DIY, banyak bermunculan stasiun-stasiun radio broadcast baru pada kanal frekuensi yang masih tersedia. Jumlah kanal FM yang disiapkan untuk radio broadcast dalam alokasi frekuensi 87,5 MHz hingga 108 MHz sebanyak 204 kanal. Jarak antar kanal yang digunakan sangat dekat dan terkadang terjadi interferensi antar sinyal carrier [1]. Dalam bidang elektronika telekomunikasi, khususnya komunikasai digital, teknik modulasi spread spectrum secara umum terbagi menjadi dua teknik yaitu DSSS (Direct Sequence Spread Spectrum) dan FHSS (Frequency Hopping Spread Spectrum) atau secara singkat disebut FH. FH dapat digunakan pada perangkat komunikasi radio yang membutuhkan keamanan seperti HT (Handy Talkie) yang digunakan oleh pihak militer. Penelitian sebelumnya telah mencoba membuat sistem komunikasi radio FM FH dengan dua frequency carrier [2]. Pemancar dan penerima tersebut tidak dapat melakukan sinkronisasi. Pada penelitian ini, penulis akan membuat sebuah perangkat subsistem sinkronisasi antara pemancar dan penerima FM (frequency modulation) FH dengan empat frequency carrier. Pemancar dan penerima dalam sistem komunikasi radio FM FH harus menggunakan spesifikasi frekuensi dan delay yang sama. Perangkat subsistem sinkronisasi dirancang menggunakan metode tone generator dan tone decoder.
b.
Tujuan Penelitian Menghasilkan perangkat subsistem sinkronisasi pada pemancar dan penerima FM dengan metode
FH. Pengiriman sinyal informasi dari pemancar FM menggunakan empat frekuensi carrier secara berurutan dengan metode FH diharapkan dapat diterima oleh pemerima FM sesuai kanal frekuensi masing-masing secara tepat dengan bantuan perangkat subsistem sinkronisasi. II. DASAR TEORI II.1. Modulasi Frekuensi Pengertian modulasi secara umum adalah proses penumpangan sinyal informasi pada sinyal carrier yang berupa gelombang sinusoidal yang berfrekuensi tinggi. Sinyal carrier merupakan sinyal radio yang mempunyai frekuensi jauh lebih tinggi dari frekuensi sinyal informasi. Modulasi frekuensi adalah proses penumpangan sinyal yang berisi informasi ke sinyal carrier dengan frekuensi sinyal carrier yang akan berubah seiring dengan perubahan frekuensi sinyal informasi tetapi amplitudo gelombang carrier relatif tetap [3]. Persamaan dari sinyal carrier dapat dituliskan :
U c = A c sin (ω c + θ c )
(2.1)
dengan Ac adalah amplitudo sinyal carrier, ω c adalah besar frekuensi sinyal carrier, dan θc adalah besar sudut fasa sinyal carrier. Pada teknik modulasi frekuensi, komponen ω c pada persamaan (2.1) diubah – ubah untuk menentukan besarnya frekuensi sinyal carrier. Jika sinyal carrier pada persamaan (2.1) diubah oleh sinyal pemodulasi menjadi persamaan 2.2. e m (t) = A m maks Sin ω m t
(2.2)
maka frekuensi carrier sesaat dapat dituliskan sebagai f i (t) = f C (t) + k A m maks Sin ω m t (2.3) SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
63
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 2.1. Modulasi Frekuensi [3].(a) Sinyal informasi. (b) Sinyal carrier. (c) Gelombang termodulasi frekuensi dengan amplitudo sebagai fungsi waktu. (d) Gelombang termodulasi frekuensi dengan frekuensi sebagai fungsi waktu.
Besarnya amplitudo dari sinyal informasi bernilai positif, frekuensi carrier disimpangkan sebesar ±Δf. Sehingga bernilai f 1 pada saat amplitudo sinyal informasi positif, dan akan bernilai –f 1 saat amplitudo sinyal informasi negatif. Deviasi frekuensi (Δf) adalah simpangan yang dialami oleh frekuensi pembawa (fc) karena amplitudo informasi (Am) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. II.4. Frequency Hopping FH (Frequency Hopping) adalah perpindahan atau lompatan dari satu frekuensi yang satu ke frekuensi yang lain secara acak ataupun yang telah ditentukan sebelumnya secara otomatis dengan menggunakan algoritma per satuan detik. Pada FH, proses penyebaran spektral dilakukan dengan mengubah-ubah frekuensi gelombang pembawa secara periodik [4]. Lompatan dari satu frekuensi ke frekensi yang lain diatur secara berurutan atau secara acak dengan menggunakan kode pseudonoise (PN) [5] Pemancar FH hanya dapat mengirimkan data pada setiap frekuensi dalam jumlah yang sangat terbatas, karena perioda antar lompatan frekuensi sangat singkat (400μs–577 μs). Sandi pseudonoise merupakan sandi acak yang mempunyai deretan sandi yang akan terulang secara periodis dalam perioda yang cukup lama [5].
Gambar 2.2. Penebaran sinyal pada frequency hopping [5].
64
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Gambar 2.2 memperlihatkan sinyal informasi yang telah dimodulasi dan disebar pada daerah spektral antara f 1 s/d f 4 [6]. Dengan mengacak pola lompatan, sinyal pengganggu (interfering signal) diharapkan dapat dihindari. Jika interferensi muncul dan mengganggu salah satu kanal berfrekuensi, misal f 2 , maka sinyal pembawa akan selalu mengalami gangguan tetapi hanya saat berada pada frekuensi f 2 . Sinkronisasi merupakan hal yang sangat penting dalam FH karena waktu dan frekuensi harus terdeteksi secara benar pada penerima. Pemancar harus selalu melakukan sinkronisasi dengan penerima. Untuk sinkronisasi awal, pemancar akan berada pada frekuensi tertentu (parking frequency) sebelum komunikasi dimulai. Jika interferensi muncul pada frekuensi ini, maka pemancar akan kesulitan dalam melakukan FH dan melakukan sinkronisasi dengan penerima [5]. II.5. Sinkronisasi Setiap proses telekomunikasi memerlukan sinkronisasi antara pengirim dan penerima, sehingga penerima dapat mengetahui kapan mulai dan kapan berakhirnya sebuah komunikasi [7]. Sinkronisasi dilakukan untuk membuat transmisi data atau informasi dapat dilakukan dalam waktu bersama-sama. Sinkronisasi merupakan kebutuhan yang paling penting dalam konteks sistem komunikasi digital. Ada dua macam sinkronisasi, yaitu sinkronisasi carrier dan sinkronisasi waktu. Sedangkan sinkronisasi carrier ada dua jenis, yaitu sinkronisasi frekuensi dan sinkronisasi fasa. Sinkronisasi frekuensi Sistem kerja sinkronisasi frekuensi secara umum adalah mendeteksi perbedaan frekuensi masukan dan frekuensi keluaran dari controlled oscillator (CO) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3 [7]. Sinyal keluaran dari CO kemudian diumpan balik untuk mengurangi atau menghilangkan perbedaan frekuensi yang terjadi. Mekanisme ini ekuivalen dengan sebuah PLL (Phase Locked Loop), namun dalam sinkronisasi frekuensi, hanya frekuensi saja yang diatur. Selain itu, saat sinkronisasi berada pada keadaan seimbang frekuensi keluaran yang dihasilkan dari CO sama dengan sinyal referensi pada masukan. Kontrol yang sempurna akan menghasilkan frekuensi yang tepat. Jika keluaran CO terjadi error, maka keluaran akan diumpan balikkan menuju frekuensi comparator sampai keluaran CO tidak terdapat error frekuensi.
-
Gambar 2.3. Contoh sistem sinkronisasi frekuensi [7].
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
III. ALUR PERANCANGAN III.1. Model Sistem Sistem komunikasi radio FM FH mempunyai blok-blok utama penyusun sistem seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Pada bagian pemancar (Transmitter, Tx) terdapat sub blok tone generator yang berfungsi untuk membangkitkan sinyal sinkronisasi dari empat frekuensi carrier. Keempat frekuensi carrier yang telah disinkronisasi tersebut kemudian diterima oleh penerima FM (Receiver, Rx) secara bergantian sesuai waktu yang telah ditentukan.
Gambar 3.1. Model Sistem.
Sistem perangkat subsistem sinkronisasi FM FH terdiri dari beberapa dua blok. Kedua blok tersebut yaitu blok pada pemencar dan blok pada penerima. Subsistem sinkronisasi bagian pemancar FM dengan FH terdiri dari rangkaian keypad, mikrokontroler, generator tone dan mixer audio. Diagram blok untuk rangkaian subsistem singkronisasi bagian pemancar dapat dilihat pada Gambar 3.2. Rangkaian mikrokontroler ATTINY2313 merupakan rangkaian pengendali rangkaian tone generator. Rangkaian mikrokontroler mendapat masukan dari rangkaian keypad. Rangkaian keypad berfungsi sebagai pengatur waktu tunda dan untuk memilih mode manual atau otomatis dalam membangkitkan sinyal DTMF (Dual Tone Multi Frequency) pada rangkaian tone generator. Keluaran dari rangkaian mikrokontroler ATTINY2313 dihubungkan ketiga blok yaitu blok tone generator, blok penampil dan blok pengontrol. Blok penampil terdiri dari dekoder BCD ke seven segment dan seven segment. Blok pengontrol terdiri dari dekoder 4-bit ke 16 line dan rangkaian transistor sebagai saklar. Fungsi dari blok pengontrol adalah untuk mengontrol rangkaian pembagi terprogram untuk menjalankan subsistem pemancar FM FH Sinyal DTMF yang dihasilkan berupa kombinasi dari kelompok frekuensi rendah dan kelompok frekuensi tinggi yang kemudian digabungkan dengan sinyal informasi dalam rangkaian mixer audio. Sinyal keluaran dari rangkaian mixer audio akan memodulasi sinyal carrier dalam rangkaian VCO yang terdapat pada subsistem pemancar FM FH. Sinyal hasil modulasi tersebut kemudian ditransmisiskan ke bagian pemancar untuk dipancarkan dan diterima oleh TD pada penerima FM.
Gambar 3.2. Diagram blok lengkap subsistem sinkronisasi pada pemancar FM FH.
Perancangan subsistem sinkronisasi bagian penerima FM dengan FH terdiri dari beberapa blokblok. Blok-blok tersebut, yaitu detektor sinyal DTMF dan transistor sebagai saklar. Sinyal yang diterima dari pemancar oleh penerima akan dikuatkan oleh penguat RF. Rangkaian penguat RF menerima sinyal radio, tetapi keluaran penguat RF penerima merupakan penguatan frekuensi yang diinginan saja. Keluaran dari penguat RF penerima masuk ke mixer untuk mendapatkan sinyal IF. Setelah diperoleh sinyal IF, maka sinyal IF tersebut dikuatkan oleh penguat IF penerima. Keluaran dari penguat IF berupa sinyal audio. Sinyal audio tersebut berisi gabungan sinyal DTMF dan sinyal informasi. Sinyal audio kemudian ditransmisikan ke tone detector untuk dideteksi sinyal DTMF yang ada dalam sinyal audio. Tone detector berfungsi untuk mengartikan sinyal-sinyal DTMF yang dihasilkan oleh tone generator dan memberikan data keluaran yang sesuai dengan sinyal DTMF yang diterima. Fungsi transistor sebagai saklar pada perancangan ini adalah untuk mengatur rangkaian pembagi terprogram agar dapat aktif. Transistor sebagai saklar merupakan sebuah transistor yang digunakan sebagai saklar elektrik dengan masukannya berupa keluaran tegangan dari tone detector. Saklar elektrik dipengaruhi oleh perubahan tegangan yang berasal dari rangkaian IC CD4514. Gambar 3.3 merupakan diagram blok dari radio penerima FM frequency hopping yang dapat melakukan sinkronisasi.
Gambar 3.3. Diagram blok lengkap subsistem sinkronisasi pada penerima FM FH.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
65
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
III.2. Perancangan Perangkat Lunak Rancangan penelitian subsistem sinkronisasi untuk pemancar dan penerima FM FH menggunakan dua mikrokontroler ATTINY23131. Satu mikrokontroler ATTINY23131 berada pada rangkaian tone generator yang berfungsi untuk membangkitkan tone pada IC MT8888 dan mengatur waktu tunda dalam membangkitkan tone. Mikrokontroler ATTINY23131 yang lain berada pada rangkaian tone decoder yang berfungsi untuk memberikan input pada pembagi terprogram agar dapat mengeset frekuensi carrier awal yaitu 97 MHz. Pengesetan frekuensi carrier awal dilakukan agar sinyal sinkronisasi, sinyal informasi dan frekuensi carrier 97 MHz yang dikirim oleh pemancar FM FH dapat diterima oleh penerima FM FH. III.2.1. Program Utama Pada perancangan program utama digunakan beberapa subrutin yang masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Program subrutin dan program inisialisasi Port yang akan dijalankan ketika subsistem sinkronisasi pada pemancar FM FH dinyalakan. Subrutin ini mempermudah dalam pengecekan program saat program dijalankan dan juga mudah untuk dipanggil kembali saat diperlukan. Sub routine tersebut antara lain timer, awal, cek_pin, pin1, pin2, manual_otomatis dan proses. Diagram alir utama perancangan program untuk membangkitkan rangkaian tone generator dapat dilihat pada Gambar 3.4.
FH dan penerima FM FH dinyalakan. Diagram alir program utama tone decoder untuk mengatur dekoder 4 bit ke 16 jalur dan switch transistor dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Diagram alir program utama tone decoder. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Perangkat Keras Hasil Perancangan Perangkat keras hasil perancangan terdiri dari dua bagian alat subsistem sinkronisasi, yaitu blok subsitem sinkronisai pada pemancar dan penerima. Pengambilan data transmisi menggunakan satu pemancar FM FH, satu penerima FM FH dan dua blok subsistem sinkronisasi. Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.b menampilkan alat subsistem sinkronisasi pada pemancar dan penerima FM FH yang telah dibuat.
a) b) Gambar 4.1. Blok tone generator. (a) Tone generator tampak sisi depan. (b) Tone decoder tampak sisi depan.
Gambar 3.4. Diagram alir program utama untuk tone generator.
Program utama tone decoder terdiri dari program inisialisasi Port yang akan dijalankan ketika subsistem sinkronisasi pada penerima FM
66
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
IV.2. Pengujian saat Terjadi Sinkronisasi Pengujian saat terjadi sinkronisasi antara pemancar dan penerima FM FH dapat dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran mixer audio pada pemancar dan hasil keluaran mixer pada penerima dalam kanal frekuensi yang sama. Hasil yang keluar pada mixer audio merupakan campuran dari sinyal DTMF atau tone dengan sinyal informasi. Sinyal informasi yang digunakan berasal dari AFG (Audio Function Generator), sedangkan sinyal DTMF yang digunakan berasal dari tone generator.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pengujian sinkronisasi dilakukan saat pemancar menghasilkan frekuensi carrier 97 MHz yang akan dimodulasi dengan sinyal sinkronisasi. sinyal sinkronisasi yang memodulasi frekuensi carrier 97 MHz tersusun oleh tone 1 dan sinyal informasi sebesar 5 kHz. Tone 1 tersusun oleh dua frekuensi yaitu frekuensi rendah dan frekuensi tinggi. Kedua frekuensi yang menyusun tone 1 adalah 700 Hz dan 1.240 kHz. Bentuk gelombang frekuensi carrier 97 MHz yang telah termodulasi dapat dilihat pada Gambar 4.2. Spektrum dari sinyal informasi sebesar 5 kHZ dan tone 1 yang digunakan sebagai sinyal pemodulasi ditunjukkan oleh Gambar 4.3. Hasil keluaran mixer saat penerima menala 97 MHz dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.2. Modulasi frekuensi dengan sinyal carrier 97 MHz.
Hasil pengujian pada Gambar 4.2, Gambar 4.3, dan Gambar 4.4 diambil saat terjadi sinkronisasi antara pemancar dan penerima dengan kanal frekuensi carrier sebesar 97 MHz. Hasil pengujian mixer pada penerima dalam Gambar 4.18 sesuai dengan sinyal hasil keluaran mixer audio pada tone generator yang ditransmisikan menggunakan pemancar FM FH. Gambar 4.2 dan Gambar 4.4 tersusun dari tone 1 dan sinyal informasi sebesar 5 kHz. Perbandingan antara hasil keluaran mixer audio pada pemancar dengan hasil keluaran mixer pada penerima dapat diketahui bahwa amplitudo berbeda. Amplitudo hasil keluaran mixer audio pada pemancar lebih besar daripada amplitudo hasil keluaran mixer pada penerima. IV.3. Pengujian saat Tidak Terjadi Sinkronisasi Pengujian saat tidak terjadi sinkronisasi antara pemancar dan penerima FM FH dapat dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran mixer audio pada pemancar dan hasil keluaran mixer pada penerima dalam kanal frekuensi yang berbeda. Pengujian untuk sistem yang tidak sinkron dilakukan saat pemancar menghasilkan frekuensi carrier sebesar 97 MHz. Frekuensi carrier 97 MHz yang dihasilkan akan dimodulasi dengan sinyal sinkronisasi sebelum dipancarkan. Sinyal sinkronisasi sendiri terdiri dari tone 1 dan sinyal informasi sebesar 5 kHz. Tone 1 tersusun oleh dua frekuensi yaitu frekuensi rendah dan frekuensi tinggi. Kedua frekuensi yang menyusun tone 1 adalah 700 Hz dan 1.240 kHz. Bentuk gelombang frekuensi carrier 97 MHz yang telah termodulasi dapat dilihat pada Gambar 4.5. Spektrum dari sinyal informasi sebesar 5 kHZ dan tone 1 yang digunakan sebagai sinyal pemodulasi ditunjukkan oleh Gambar 4.6. Hasil keluaran mixer saat penerima menala 99 MHz dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.3. Sinyal informasi 5 kHz dan tone 1.
Gambar 4.5. Modulasi frekuensi dengan sinyal carrier 97 MHz. Gambar 4.4. Sinyal ouput mixer saat penerima menala frekuensi 97 MHz.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
67
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 4.6. Sinyal informasi 5 kHz dan tone 1.
Hasil pengujian pada Gambar 4.5, Gambar 4.6, dan Gambar 4.7 diambil saat tidak terjadi sinkronisasi antara pemancar dengan kanal frekuensi carrier sebesar 97 MHz dan penerima dengan kanal frekuensi carrier sebesar 99 MHz. Pengamatan pada percobaan ini dilakukan dengan mengamati hasil keluaran mixer pada penerima dan hasil keluaran pada pemancar dalam waktu yang bersamaan. Gambar 4.6 dan Gambar 4.7 menunjukkan bahwa pemancar dan penerima tidak sinkron, sehingga informasi yang dikirim pemancar tidak dapat diterima penerima.
Gambar 4.8. Tunda waktu selama 0.25 detik.
Hasil pengamatan pada Gambar 4.8 menunjukkan tunda waktu yang dihasilkan sebesar 256 ms. Persen error dari tunda waktu yang diukur dengan tunda waktu dalam perancangan adalah . Dengan persen error 2,4% tunda waktu masih dapat bekerja dengan baik. Berdasarkan hasil persen error antara pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa tunda waktu sebesar 0,25 detik mampu dicapai. V. KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 4.7. Sinyal ouput mixer saat penerima menala frekuensi 99 MHz. IV.5. Tunda Waktu Tunda waktu sebesar 0,25 detik pada proses hopping ditunjukkan seperti pada Gambar 4.8. Tunda waktu pada percobaan ini dihasilkan oleh program dari mikrokontroler ATTINY1323. Pengamatan tunda waktu dilakukan dengan mengamati periode sinyal yang dihasilkan oleh counter (pencacah) pada blok tone generator. Persamaan yang dapat digunakan untuk mendapatkan tunda waktu adalah
68
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
V.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan, maka penelitian yang dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Alat subsistem sinkronisasi yang dibuat bekerja dengan baik sesuai perancangan. 2. Perangkat subsistem sinkronisasi pada pemancar dapat menghasilkan sinyal DTMF yang dicampur dengan sinyal informasi. 3. Perangkat subsistem sinkronisasi pada penerima dapat mendeteksi sinyal DTMF yang diterima oleh perangkat penerima radio. 4. Perangkat subsistem sinkronisasi dapat melakukan sinkronisasi antara perangkat pemancar dan penerima FM FH. V.2. Saran Penelitian ini dapat lebih disempurnakan dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu : 1. Perangkat pemancar dan penerima radio yang akan digunakan untuk komunikasi yang sinkron harus mempunyai kriteria yang sama, pada pemancar tidak menggandung banyak noise dan harmonisanya tidak besar. 2. Perangkat subsistem sinkronisasi dapat dikembangkan lagi dengan menambahkan beberapa program pada mikrokontroler ATTINY2314.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3. 4.
Pengembangan penelitian ini dapat dilakukan dengan menambah jumlah frekuensi hopping berbasis mikrokontroler. Perangkat penampil dapat menggunakan indikator lain selain seven segment, antara lain dengan menggunakan LCD.
VI. DAFTAR PUSTAKA [1] http://www2.kompas.com/kompascetak/0311/14/muda/685510.htm. [2] Rustamaji dan Elan, Djaelani., Pemancar Frequency Hooping Spread Spectrum untuk pengamanan sinyal informasi. IT jurnal, 2002. [3] Kennedy, George, Electronic Communication System 3rd edition, Mcgraw Hill Book Company, 1984. [4] Malik.R, Norbert, Electronic Circuits Analysis, Simulation and Design, Prentice –Hall international Inc, 1995. [5] Wijaya, Damar, “Peningkatan Kapasitas Sistem dan Kualitas Sinyal Pada Jaringan GSM dengan Frekuensi Hopping”, Majalah SIGMA., vol 5. No 2, hal. 171-183, Juli 2002. [6]http://www.informatika.lipi.go.id/pemancarfrequency-hopping-spread-spectrum-untukpengamanan-sinyal-informasi. [7]Kihara Masaki, Sadayasu Ono, Pekka Eskelinen, Digital Clock For Synchronization and Communications, Artech House Boston, London, 2003.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
69
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENERIMA MODULASI FREKUENSI DENGAN EMPAT FREQUENCY HOPPING 1,2
Yanuarius Vendy Purnomo1, Damar Widjaja2 Jurusan Teknik Elektro, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 1
[email protected],
[email protected],
Abstrak
Teknik frequency hopping (FH) merupakan salah satu metode transmisi data dalam bidang telekomunikasi. Dengan frequency hopping, gangguan-gangguan pada telekomunikasi seperti jamming dan noise dapat dikurangi. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan penerima FM dengan frequency hopping yang tersinkronisasi dengan pemancar FM FH. Radio penerima FM dengan frequency hopping ini terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian pengolahan sinyal radio dan bagian pengaturan frequency hopping. Bagian pengolahan sinyal radio terdiri dari penguat RF, mixer, penguat IF, dan penguat audio. Sedangkan untuk pengaturan FH terdiri dari osilator referensi, PLL, VCO, presclaer dan pembagi terprogram. Hasil dari penelitian ini adalah radio penerima FM dengan frequency hopping yang dapat bekerja dengan baik, sinkron dengan pemancar. Radio penerima ini bekerja dengan frekuensi carrier yang bergantian pada empat frekuensi yang berbeda yaitu 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz dan 100 MHz dengan periode hopping 0,25 detik. Kata Kunci: frequency hopping, frequency modulation, phase locked loop. Abstrac
Frequency hopping technique is one of data transmission method in telecommunication. Frequency hopping can minimize the effect of the telecommunication disturbances such as jamming and noise. This research is aimed to bulid the FM receiver with synchronized frequency hopping. The FM receiver with frequency hopping is consists of two part. First, radio signal processing. This part is consists of RF amplifier, mixer, IF amplifier and Audio amplifier. The second is frequency hopping control. This part is consists of PLL (Phase Locked Loop), VCO (Voltage Controlled Oscillator), prescaler and programmable counter. The result of this research is a FM receiver radio with the frequency which is able to work well synchronize with the transmitter. The receiver operates in four carrier frequency, 97 MHz, 99 MHz, 101 MHZ and 103 MHz with 0.25 second hopping period. Keyword : frequency hopping, frequency modulation, phase locked loop. I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam perambatan gelombang radio dari pemancar ke penerima terdapat beberapa gangguan seperti derau (noise), distorsi tunda waktu (delay) karena multipath fading dan jamming [1]. Multipath fading merupakan gangguan terhadap perambatan gelombang di udara karena perubahan kondisi atmosfer secara tiba-tiba [2]. Sedangkan jamming adalah pemancaran satu sinyal interferensi dengan sengaja pada kanal yang sama, dirancang untuk merusak kanal pelayanan yang diganggu. Perkembangan aplikasi sistem komunikasi berbasis spread spectrum saat ini semakin luas. Pada komunikasi digital, teknik modulasi spread spectrum secara umum terbagi menjadi dua teknik, yaitu DSSS (Direct Sequence Spread Spectrum) dan FHSS (Frequency Hopping Spread Spectrum) [3]. FH (Frequency Hopping) merupakan salah satu teknik spread spectrum yang saat ini perkembangannya semakin luas di aplikasi sistem komunikasi. Implementasi dari teknik modulasi FHSS dapat digunakan pada perangkat komunikasi radio yang membutuhkan keamanan dalam berkomunikasi. Dari permasalahan yang telah diuraikan, penulis akan mengembangkan penerima FM
70
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
dengan menggunakan teknik modulasi FH yang sinkron dengan pemancar FM untuk meningkatkan tingkat keamanan komunikasi radio. Periode FH adalah 0,25 detik. Penambahan 4 FH bertujuan untuk meningkatkan keamanan, sehingga dapat mengantisipasi adanya penyadapan. Pada sistem komunikasi radio FH menggunakan pemancar dan penerima dengan spesifikasi frekuensi, delay dan sistem yang sama. Sehingga pancaran dari pemancar dapat diterima oleh penerima. I.2.Tujuan Penelitian Menghasilkan perangkat penerima FM FH yang mampu menerima empat sinyal carrier yang tersinkronisasi dengan pemancar FM FH . I.3.Manfaat Penelitian Tugas akhir ini juga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bagaimana cara menghindari gangguan-gangguan seperti inteferensi sinyal lain, jamming frekuensi, dan lain-lain pada sistem komunikasi FM. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan untuk pengembangan sistem komunikasi radio dengan FH.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
II. DASAR TEORI II.1. Modulasi Frekuensi Modulasi adalah pengaturan parameter suatu sinyal pembawa (carrier) berfrekuensi tinggi oleh sinyal informasi berfrekuensi rendah [4]. FM (Frequency Modulation) merupakan salah satu jenis modulasi dimana sinyal modulasi digunakan untuk merubah frekuensi frekuensi sinyal pembawa. Amplitudo relatif sama. FM menjadi teknik modulasi yang sering digunakan karena mempunyai kelebihan dibanding AM (Amplitude Modulation) antara lain : 1. Perbandingan daya sinyal terhadap daya derau S/N (signal to noise ratio) pada FM dapat ditingkatkan tanpa harus meningkatkan daya yang dipancarkan tetapi dengan pelebaran bandwidth. 2. Lebih tahan terhadap noise. Alokasi frekuensi untuk FM antara 88 MHz – 108 MHz yang terletak dalam pita VHF (Very High Frequency) relatif lebih bebas dari gangguan akibat atmosfer maupun interferensi. 3. Bandwidth yang lebih lebar. FM terletak pada bagian VHF dari spektrum frekuensi yang mempunyai bandwidth lebih lebar daripada gelombang pada bagian MF (Medium Frequency) . II.2. Penerima FM Pesawat penerima harus melaksanakan sejumlah fungsi [4]. Pertama, penerima harus dapat memilih sinyal radio FM yaitu dari 88 MHz sampai 108 MHz dan menolak sinyal lain yang tidak diinginkan. Selanjutnya, penerima harus dapat menguatkan sinyal yang diterima tersebut agar dapat digunakan pada proses selanjutnya. Akhirnya, penerima harus dapat memisahkan sinyal informasi dari sinyal pembawa dan menyampaikan kepada pemakai. Gambar 2.1 menunjukkan diagram blok penerima FM secara umum.
Gambar 2.1. Diagram blok penerima FM [4].
Penguat-penguat RF tertala (tuned RF amplifier) digunakan untuk memberikan penguatan dan selektivitas ujung depan (front end) untuk memisahkan sinyal masuk dari antena, sehingga didapatkan penyaringan (filtering) bandpass yang tepat yang diperlukan penguat IF (Intermediate Frequency) [4]. Mixer digunakan untuk mengubah
sinyal dari satu frekuensi ke frekuensi lain. Bagian mixer berfungsi untuk mengurangi frekuensi penerimaan menjadi frekuensi intermediate. Penguat IF mempunyai dua fungsi utama, yang pertama adalah sebagai bandpass untuk memungkinkan hanya sinyal yang dikehendaki saja yang diteruskan ke detektor. Yang kedua adalah sebagai penguat sinyal yang diterima dari mixer. Setelah dikonversi ke frekuensi intermediate, sinyal keluaran mixer dikuatkan oleh beberapa penguat IF. II.3. Frequency Hopping Frequency hopping atau lompatan frekuensi adalah perubahan frekuensi sinyal pembawa secara periodis dari suatu transmisi sinyal yang diatur oleh algoritma tertentu [5]. Frekuensi ini akan membawa informasi selama perioda tertentu dan berpindah ke frekuensi yang lain, begitu seterusnya, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Teknik frequency hopping [5].
Anak panah pada Gambar 2.21 menunjukkan urutan lompatan (hop) frekuensi dari frekuensi demikian berulang-ulang. Perpindahan frekuensi terjadi beberapa ratus sampai beberapa ribu kali dalam satu detik. Stasiun penerima juga harus melakukan perpindahan frekuensi dengan lompatan yang sama supaya informasi yang dikirimkan dapat diterima kembali. III. PERANCANGAN ALAT III.1.Model Sistem Sistem komunikasi radio FM FH mempunyai blok-blok utama penyusun sistem yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Untuk mendukung sinkronisasi, pemancar dan penerima FM FH menggunakan spesifikasi frekuensi, delay dan sistem yang sama. Sinkronisasi antara pemancar dan penerima ditunjukkan saat penerima mampu menerima sinyal FH sesuai kanal yang dipancarkan oleh pemancar. Bagian pemancar (Tx, Transmitter) mempunyai Tone Generator yang berfungsi untuk membangkitkan sinyal sinkronisasi dari empat frekuensi carrier. Keempat frekuensi carrier yang
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
71
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
telah tersinkronisasi tersebut kemudian diterima oleh penerima FM (Rx, Receiver) secara bergantian sesuai waktu yang telah ditentukan. TD (Tone Detector) pada Rx berfungsi untuk mendeteksi sinyal yang sesuai dengan sinyal yang transmisikan dari TG (Tone Generator).
termodulasi. Keluaran dari mixer belum sepenuhnya berupa sinyal informasi tetapi masih berupa sinyal frekuensi intermediate. Rangkaian mixer pada radio penerima FM FH mendapat masukan dari sinyal VCO dan penguat RF. Kedua sinyal ini akan dicampur untuk mendapatkan sinyal IF, agar sesuai dengan sinyal yang dikehendaki oleh penguat IF. Rangkaian mixer menggunakan IC CXA1538. Gambar 3.3 adalah gambar hasil perancangan mixer. C1 0.01u
R2 7.5k masukan tone control
III.2. Penerima Radio FM FH Gambar 3.2. menunjukkan blok diagram radio penerima FM FH. Pada awalnya, sinyal radio ditangkap oleh antena penerima. Karena antena akan menangkap semua sinyal yang ada, maka penguat RF akan memilih sinyal FM dan kemudian dikuatkan.
1 J1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
5V
CXA1538
Gambar 3.1. Model Sistem.
C2 100u
R1
3k
30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16
keluaran VCO
keluaran RF 10.7MHz 2 3 1
ANTENA
Penguat RF
Mixer
Local oscilator
PLL
Pembagi Terprogram
Penguat IF
Penguat audio
VCO
Prescaler
Sub sistem Sinkronisasi
Gambar 3.3. Rangkaian mixer [6]. III.4. Osilator Referensi Osilator kristal yang terpasang pada masukan PLL akan digunakan sebagai frekuensi step untuk mengatur kenaikan dari frekuensi yang dihasilkan VCO. Frekuensi step yang digunakan adalah 6.25kHz. Gambar 3.4 adalah gambar hasil perancangan osilator referensi. U1 11 12
PI RST
Gambar 3.2. Diagram blok radio penerima FM FH.
Setelah sinyal tersebut dikuatkan oleh penguat RF, kemudian sinyal FM tersebut dicampur menggunakan mixer dengan sinyal dari osilator lokal yang berupa rangkaian PLL dan VCO yang telah diatur oleh pencacah 10 tingkat serta pembagi terprogram. Hasil keluaran dari mixer adalah sinyal IF. Sinyal IF ini akan dikuatkan oleh penguat IF. Karena penguat IF juga berfungsi sebagai filter bandpass, maka keluaran dari penguat IF berupa sinyal audio. Setelah didapat sinyal audio, sinyal tersebut dikuatkan oleh penguat audio agar daya dari sinyal tersebut dapat membunyikan speaker. III.3. Mixer Mixer pada penerima FM berfungsi untuk mendapatkan sinyal informasi dari sinyal
72
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q12 Q13 Q14 PO PO
7 5 4 6 14 13 15 1 2 3
out 6.25kHz
9 10
C3
4060 37pF R1 100k
Y1 6.4Meg
C2
100pF
Gambar 3.4. Rangkaian pembangkit frekuensi step 6,25 kHz [6]. III.4. PLL PLL ini dirancang agar berfungsi sebagai penghasil sinyal osilasi. IC PLL pada rancangan ini tidak termasuk VCO, sehingga diperlukan VCO dari luar. IC PLL yang digunakan adalah HCT4046. Gambar rangkaian PLL ditunjukkan Gambar 3.5.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
III.4. Perancangan Pembagi Terprogram Skema rangkaian pembagi terprogram dengan IC TC9122P dapat dilihat pada Gambar 3.8. Pembagi terpogram dibangun dari sebuah IC TC9122. IC ini merupakan IC pembagi yang memiliki masukan 14 bit. Pembagi ini bekerja dengan prinsip BCD (Binary Code Decimal).
out VCO U1 3 4 14
out kristal 40p
6
CIN VCOUT
PP P1
SIN
P2
1 2 13
in VCO
CX
C1 7 5 11 12
R2 R1 R
VCOIN
CX INH R1 R2
DEMO ZEN
9 10 15
4046 3k
Gambar 3.5. Rangkaian PLL [6]. III.4. VCO Perancangan VCO mengacu pada Gambar 3.6 yang didapat dari salah satu referensi VCO PLL [7]. Dioda varactor D1 dan D2 sebagai kapasitor variabel dikendalikan oleh tegangan LPF (Low Pass Filter), sehingga memiliki nilai kapasitansi tertentu pada saat tegangan LPF tertentu. R3 330
R5 150
Q1 BF494 2 1
R7 150 12 V
IV. PENGUJIAN Hasil perancangan perangkat keras yang tergabung dalam blok penerima FH ditunjukkan pada Gambar 4.1.
C5 1 nF
R6 15k 3
R4 22k
Gambar 3.8. Rangkaian Pembagi Terprogram [6]
C6
C18
22 pF
C7
15 pF
Siny al Inf ormasi L1 C1 68 pF
R1 330
R9 68k
R8 120 3
4700 uF
L2
2 L3
C9 1 nF
MV2107 C4 5 pF
2
2
R10 120 L4
MV2107
FB1
1
C10 15 pF
out
R11 68k
3
C3 22 pF
dari LPF
C15 1 nF C13 C14 220 uF 0,01 uF
BF494 Q2 Q3 BF494 2 1
1 D1
L7
C8 1 nF
(b)
D2 L5 1
C11 22 pF R2 330
15k C12 1 nF
L6 R12 22k 3
C2 68 pF
R15
R13
330
R14
150 2
1
BF494 Q4
(a)
Gambar 3.6. Rangkaian VCO [7]. III.4. Prescaler Prescaler LB3500 dirancang sebagai pembagi delapan. Perancangan Prescaler LB3500 mengacu pada rancangan yang terdapat pada referensi datasheet. Frekuensi carrier harus dibagi karena komponen pembagi terprogram mempunyai range frekuensi operasi maksimal sebesar 15 MHz, yang mengacu pada referensi datasheet. Gambar 3.7 adalah gambar hasil perancangan prescaler.
Gambar 4.1. (a) Penerima FM tampak sisi atas (b) Pemancar FM tampak sisi depan.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
LB3500 5V
(b)
C6 out
C7 10 nF C1 100 pF
1 nF C3 47 pF
C2 100 pF
C4 10 nF
C5 10 nF
in
Gambar 3.7. Rangkaian Prescaler [6].
IV.1. Hasil Pengujian Penerimaan Proses pengujian dilakukan dengan model sistem yang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Pada bagian pemancar disusun oleh gabungan pemancar radio FM FH dan tone generator, sedang pada blok penerima disusun oleh gabungan penerima radio FM FH dengan tone detector.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
73
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sinyal termodulasi 97MHZ, 99MHZ, 101MHz, 103MHz Sinyal DTMF
Sinyal informasi
Tone detector Tone generator Penerima radio FM FH Pemancar radio FM FH
Gambar 4.2. Pengujian Penerimaan
(a) (d) Gambar 4.3. Sinyal termodulasi. (a) Frekuensi 97 MHz, (b) Frekuensi 99 MHz, (c) Frekuensi 101 MHz, (d) Frekuensi 103 MHz.
(b)
(c)
74
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Blok penerima hopping menerima sinyal sinkronisasi dan sinyal informasi. Sinyal informasi dihasilkan oleh pemancar hopping sedangkan sinyal sinkronisasi berupa sinyal DTMF yang berasal dari sub blok tone generator. Sinyal FM terdiri dari empat frekuensi carrier yaitu 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz dan 103 MHz. Sinyal FM yang diterima oleh radio penerima FM FH ditunjukkan pada Gambar 4.3. V. KESIMPULAN Berdasarkan pengamatan dan pembahasan pada rangkaian Radio Penerima FM Frequency Hopping, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Alat yang telah dibuat dapat bekerja dengan baik sesuai dengan perancangan. 2. Radio penerima dapat menala dengan baik pemancar dengan frekuensi carrier 97 MHz, 99 MHz, 101 MHz dan 103 MHz secara bergantian. 3. Periode hopping untuk satu frekuensi adalah 0,25 detik. Dengan mendeteksi sinyal DTMF sebagai sinyal tersinkronisasi yang dipakai pada tone detector.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR PUSTAKA [1] Hioki, Warren., Telecommunication, 3rd edition. Prentice Hall, 1998. [2] www.answer.com [3] Ulrici Rohde, Jerry Whitaker., Communications Receiver.Third edition, McGrawHill,2002 [4] Dennis Roddy, Kamal Idris, Jhon Coolen., rd
Electronic Communication. 3 edition, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1995. [5] Wijaya, Damar, “Peningkatan Kapasitas Sistem dan Kualitas Sinyal Pada Jaringan GSM dengan Frekuensi Hopping”, Majalah SIGMA., vol 5. No 2, hal. 171-183, Juli 2002.. [6] www.alldatasheet.com [7] www.irational.org/veronica
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
75
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
REKAYASA ROBOT CERDAS PEMADAM API PADA AREA EMPAT RUANGAN 1,2)
Joko Prasojo1, Tugino2, Dian Figana3 Pengajar di Jurusan Teknik Elektro, STTNAS Yogyakarta 3) Mahasiswa Teknik Elektro STTNAS, Yogyakarta E-mail :
[email protected]
ABSTRAK
Setiap ada peristiwa kebakaran, pasti akan merugikan berbagai fihak. Kebakaran adalah peristiwa yang sangat merugikan, untuk itu diperlukan suatu operator pemadam kebakaran yang sigap dan cekatan untuk mengatasinya, termasuk harus mampu menjangkau daerah yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia sekalipun, sehingga kerugian materi dan non materi dapat diminimalisir. Robot pemadam api berbasis mikrokontroler menawarkan sebuah alternatif pemecahan. Untuk melakukan hal tersebut dirancang sebuah model robot cerdas pemadam api dengan pengendali mikrokontroler AT89S51 sebagai prosesor utama. Sistem penggerak roda utama menggunakan motor DC 12 Volt, detektor dinding menggunakan sensor ultrasonik ping parallax, sensor api menggunakan UVTRON, dan alat pemadam api menggunakan kipas yang diputar oleh motor DC. Api disini dimodelkan dengan api lilin. Panas api lilin akan dideteksi oleh sensor panas UVTRON, sensor ini mendeteksi besarnya radiasi yang dipancarkan oleh api lilin . Saat dijalankan, robot akan memasuki ruangan, yang mana pendeteksian ruangan menggunakan sensor dinding, jika di ruangan tersebut terdapat api, maka robot akan memadamkan api lilin tersebut. Setelah itu robot akan memeriksa apakah api sudah padam atau belum. Hasil percobaan robot pemadam telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu berawal dari home kemudian berjalan menyusuri ruangan 4 (empat), kemudian robot memasuki ruang 3 (tiga) ,selanjutnya ruangan 2 (dua) dan ruangan 1 (satu). Apabila di salah satu ruangan tersebut terdapat api lilin, maka robot akan mendekati api lilin tersebut dan memadamkannya dengan alat pemadam yang sudah disiapkan yaitu berupa kipas. Durasi waktu rata-rata yang diperlukan robot mulai saat bergerak hingga selesai memadamkan api berkisar 1 menit. Kata Kunci : Kebakaran, robot, mikrokontroler I. PENDAHULUAN
Robot cerdas pemadam api adalah suatu manipulator yang dapat diprogram multifungsi dan dirancang untuk memadamkan api serta dapat mendeteksi keadaan lingkungan di sekitarnya. Robot ini tersusun atas tiga bagian utama. Bagian pertama yakni struktur fisik robot yang dilengkapi dengan mekanisme 4 (empat) buah roda, bagian kedua adalah sensor pengindera sebagai deteksi keadaan sekitar dan deteksi keberadaan sumber nyala api dan bagian ketiga adalah sebuah mikrokontroler yang berfungsi sebagai pemroses utama yang bertugas menganalisa semua data masukan, menentukan keputusan yang akan dilakukan, serta mengendalikan keseluruhan sistem yang ada pada robot. Rancangan Robot ini diharapkan mampu mendeteksi dan bergerak mencari sumber nyala api disalah satu dari empat ruangan yang berbeda dan selanjutnya mampu memadamkan nyala api tersebut dengan perlengkapan pemadam api yang dibawa oleh robot. II. LANDASAN TEORI
Robot menurut The Robot Institute of American (RIA), adalah suatu manipulator yang dapat diprogram multifungsi dan dirancang untuk memindahkan materi, benda atau alat tertentu
76
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
melalui gerakan-gerakan yang terprogram untuk berbagai tugas.(Groover, M P, dkk, 1986). Robotika merupakan sebuah teknologi yang merupakan gabungan dari penerapan bermacam disiplin ilmu. Untuk mengetahui kekomplekan dan aplikasi teknologi robotika diperlukan pengetahuan bermacam disiplin ilmu, diantaranya : teknik mesin yang akan berhubungan dengan mekanik dan teknik elektro yang akan berhubungan dengan teknik pengendaliannya. 2.1. Robot Kata “robot” pertama kali diperkenalkan oleh seorang penulis dari Czech yang bernama Karel pada tahun 1921. Kata Robot berasal dari kata ‘robota’ yang artinya gerak. Suatu prototip dapat diklasifikasikan sebagai robot, jika mampu melakukan hal-hal sebagai berikut. 1. Penginderaan untuk mendapatkan informasi dari keadaan lokasi sekitarnya. 2. Dapat melakukan tugas yang berbeda-beda seperti melakukan sesuatu yang berupa fisik bisa berupa memindahkan atau memanipulasi objek. 3. Dapat di program ulang, dapat melakukan fungsi yang berbeda. 4. Berfungsi secara otomatis dan/atau dapat berinteraksi dengan manusia.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.2. Op-amp (operational amplifier)
Penguat operasional yang disingkat dengan op-amp merupakan piranti elektronika yang dirancang dan di desain dengan berbagai macam komponen baik aktif maupun pasif menjadi suatu rangkaian khusus, dan dikemas dalam bentuk IC, sehingga hanya menambahkan beberapa komponen saja menjadi rangkaian tertutup. 2.3.Transistor
Perancangan robot ini menggunakan transistor sebagai driver motor DC, yakni rangkaian untuk menggerakkan motor DC dengan luaran arus yang lebih besar. Penguat Common-Emiter ( CE ) digunakan dalam penelitian ini sebagai rangkaian driver motor DC dengan prinsip kerja pensaklaran ON-OFF. 2.4. Ligthing Emitor Diode (LED)
LED yaitu suatu komponen dioda semikonduktor yang jika diberikan tegangan bias maju maka dapat memancarkan cahaya. Prinsip kerja LED sama dengan prinsip kerja dioda. 2.5. Fototransistor
Fototransistor merupakan sensor peka cahaya yang dapat digunakan untuk mentransformasikan perubahan intensitas cahaya menjadi perubahan arus listrik. Fototransistor memiliki dua rangkaian yaitu rangkaian common collector dan rangkaian common emitter. 2.6. Optocoupler
Optocoupler merupakan komponen elektronika yang dapat mentransfer isyarat elektrik atau tegangan dari rangkaian satu dengan rangkaian yang lain tanpa menghubungkan isyarat elektrik pada masing-masing rangkaian. Dalam satu chip, optocoupler terdiri dari Infrared LED dan komponen photodetector. 2.7. Motor DC
Motor DC ( Direct Current ) adalah mesin listrik yang berfungsi mengubah tenaga listrik arus searah menjadi tenaga mekanik berupa putaran. Konstruksi dasar motor DC sama seperti generator, dan sebenarnya suatu mesin listrik DC dapat difungsikan sebagai motor dan juga sebagai generator. 2.8.Liquid Chrystal Display ( LCD )
Liquid Chrystal Display (LCD) atau tampilan kristal cair merupakan sebuah modul
penampil kristal cair matrik. LCD sepenuhnya dikendalikan oleh perintah-perintah yang telah diprogram, sehingga tampilan dapat terlihat dan dimengerti. Rancangan robot ini menggunakan LCD tipe M1632 buatan Hitachi Corp. 2.9 .Sensor jarak (distance sensor)
Sensor jarak digunakan untuk mengetahui posisi robot terhadap dinding kanan, dinding kiri, dan dinding depan. Dengan diketahuinya posisi ini maka robot dapat memberikan keputusan gerakan apa yang akan dilakukan. Pada rancangan robot ini menggunakan sensor jarak buatan PING parallax. 2.10. Sensor api (flame detector)
Sensor api yang digunakan pada penelitian ini adalah hamamatsu UVTRON flame detektor yang dapat mendeteksi api dari lilin dalam jarak 5 meter. Biasanya digunakan sebagai alat untuk mendeteksi sumber api seperti lilin, yang beroperasi pada panjang spektral 185-160 nm. 2.11. Motor servo
Motor servo adalah motor yang mampu bekerja dua arah (CW dan CCW) dimana arah dan sudut pergerakan rotornya dapat dikendalikan hanya dengan memberikan pengaturan duty cycle isyarat PWM pada bagian pin kontrolnya. 2.12. Mikrokontroller AT89S51
Mikrokontroller AT89S51 merupakan salah satu seri dari keluarga mikrokontroller AT89S. Mikrokontroller AT89S51 mempunyai 32 jalur I/O, 4Kbyte ISP Flash, 256 x 8 bit RAM internal, 3 buah 16-bit pewaktu (timer)/ pencacah (counter), 2 buah data pointer, 8 buah sumber interupsi (Atmel, 2003). III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 bagian yakni Bagian konstruksi robot, bagian perangkat lunak (software) dan bagian rangkaian elektronis. Perangkat lunak yang digunakan adalah; ISP programmer sebagai editor program, TS Control Emulator 8051 buatan Tarvydas-Stanford Controls Inc. Skema rangkaian menggunakan Electronic Workbench dan EAGLE Layout Editor 4.02r2 buatan CadSoft Computer GmbH. Desain layout PCB menggunakan Protel15 PCB Untuk bagian elektronois adalah komponen-komponen elektonika dan bahan baku yang dipergunakan pada rancangan robot. Sedangkan alat yang digunakan terdiri dari peralatan elektrik dan peralatan mekanik.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
77
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2. Jalan Penelitian Penelitian tentang perancangan dan pembuatan robot pemadam api dengan konfigurasi empat ruangan yang berbeda ini dilakukan dalam beberapa tahap penelitian. Tahapan penelitian tersebut antara lain adalah; pengumpulan bahan, perancangan sistem kerja robot, perangkat lunak,
perangkat keras, pembuatan robot, percobaan, dan analisa. 3.2.1. Perancangan sisitem elektrik robot Gambar 1 adalah diagram sistem elektrik robot.
Gambar 1. Diagram sistem elektrik robot 3.2.2. Sensor jarak Sensor jarak digunakan untuk mengetahui posisi robot terhadap dinding. Dengan diketahuinya posisi ini maka robot dapat memberikan keputusan gerakan selanjutnya yang akan dilakukan. 3.2.3. Sensor api Hamamatsu UVTRON flame detektor dapat mendeteksi api dari lilin dalam jarak 5 meter. Biasanya digunakan sebagai alat untuk mendeteksi sumber api seperti lilin, yang beroperasi pada panjang spektral 185-160 nm. Sensor ini akan mengeluarkan logika high atau logika low jika ada api yang terdeteksi.
3.2.6. LCD Desain robot dilengkapi dengan modul LCD untuk menampilkan huruf dan angka yang berhubungan dengan langkah kerja robot. LCD tidak dapat bekerja sendiri, sehingga harus dihubungkan dengan mikrokontroler AT89S51. Hubungan ini menggunakan interface data 8-bit.
3.2.7. Motor servo Motor servo adalah motor yang mampu bekerja dua arah (CW dan CCW) dimana arah dan sudut pergerakan rotornya dapat dikendalikan hanya dengan memberikan pengaturan duty cycle sinyal PWM pada bagian pin kontrolnya.
3.2.4. Rangkaian sensor garis putih Sensor garis putih digunakan untuk mendeteksi adanya lintasan garis dengan warna dasar yang berbeda. Prinsip kerja sensor memanfaatkan pancaran cahaya LED ke arah garis, kemudian phototransistor akan menerima sinar pantulan.
3.2.8. Rangkaian optocoupler Dalam berbagai aplikasi, optocoupler dihubung seri dengan resistor pada input dan output nya. Hal ini dilakukan agar dapat menahan arus yang diterima oleh komponen input dan output pada optocoupler, sehingga tidak terjadi kerusakan akibat arus yang besar.
3.2.5. Rangkaian driver motor DC Driver yang digunakan pada rancangan robot pemadam api adalah driver motor yang dapat mengendalikan kecepatan motor DC menggunakan prinsip PWM yaitu dengan pengaturan lebar pulsa yang dikontrol oleh mikrokontroller.
3.2.9. Power suplai Rangkaian power suplai digunakan untuk memberikan suplai tegangan yang stabil dan terproteksi jika ada kelebihan tegangan maupun hubung singkat.
78
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2.10. Rangkaian pemrogram (downloader) Untuk bekerja secara otomatis, robot harus terlebih dahulu dilakukan pemrograman. Pemrograman dilakukan dengan menggunakan rangkaian pemrogram yang terhubung dengan komputer yang telah terinstal software ISP progammer. 3.3. Pembuatan program Pembuatan program dilakukan berdasar atas kebutuhan pergerakan robot yang akan dibuat. Sehingga dapat dipastikan listing program yang akan dibuat guna menunjang pergerakan robot. Diagram alir (flowchart) program untuk mengendalikan robot yang dibuat adalah seperti pada gambar 2.
diruangan tersebut. Hasil dari pengujian dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil pengujian sensor api INDIKATOR SENSOR API JARAK (meter) 1 2 3 4 5 6
nyala nyala nyala nyala nyala mati
Pengujian dilakukan untuk mengamati seberapa jauh dan akurat sensor api, UVTRON flame detector dapat dipergunakan untuk mendeteksi sumber api sampai dengan jarak 5 meter. 4.3. Pengujian Sensor Garis Pada pengujian sensor garis ini ada beberapa parameter yang ditentukan yaitu: tegangan input (V in ), tegangan referensi (V ref ), tegangan output komparator (V out komparator). V ref adalah tegangan yang terukur pada VR (variable resistor) merupakan tegangan input noninverting.
Pengujian rangkaian sensor garis dilakukan dalam 2 kondisi, yaitu kondisi phototransistor “0” dan “1”. Kondisi “0” adalah kondisi dimana phototransistor tidak menerima cahaya infra merah hasil pantulan suatu bidang datar berwarna hitam atau hijau dari LED super bright. Kondisi ini bisa dikatakan kondisi dimana phototransistor tidak menerima cahaya infra merah. Sedangkan phototransistor mempunyai kondisi “1” adalah kondisi dimana phototransistor menerima cahaya infra merah hasil pantulan dari bidang datar berwarna putih yang dipancarkan oleh LED super bright.
Gambar 2. Flowchart program pengendali robot IV. HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Sensor Jarak (distance detector) Pengujian dimaksudkan untuk mendapat-kan besaran jarak yang dideteksi oleh sensor jarak. Pada pengujian ini, digunakan alat bantu berupa LCD untuk mengukur jarak yang dideteksi oleh sensor tersebut. Sensor jarak ini mampu bekerja dengan baik dan akurat, sensor jarak ini memiliki kemampuan pengukuran minimal 2 cm dan maksimal 254 cm. 4.2. Pengujian Sensor Api (flame detector) Pengujian pada bagian sensor api ini dimaksudkan untuk mendapatkan besaran jarak yang mampu dideteksi oleh sensor api yaitu UVTRON flame detector dari robot ini. Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa sensor api dapat mendeteksi keberadaan api dengan melihat indikator berupa led, yaitu jika led indikator menyala berarti sensor telah mendeteksi adanya api
4.4. Pengujian Rangkaian Driver Motor DC Pengujian rangkaian driver motor DC hanya satu parameter yang ditentukan yaitu V out motor. V out motor merupakan tegangan yang terukur pada motor. Sumber tegangan yang diperlukan dalam pengujian ini ada 2 yaitu tegangan 5,2 volt dan 11,18 volt. Tegangan 5,2 volt digunakan sebagai tegangan input, sedangkan tegangan 11,18 volt digunakan untuk memberikan tegangan pada motor. Pengujian ini dilakukan dalam 6 kondisi seperti terlihat pada Tabel 4.4. Enam kondisi tersebut adalah kondisi ketika input A dan input B bernilai “0” dan “0”; “1” dan “0”; serta “0” dan “1” serta kondisi PWM bernilai “1” dan”0”. Input bernilai “0” jika input tersebut diberikan tegangan sebesar 0 volt atau sama seperti tidak diberikan tegangan. Sedangkan input bernilai “1” jika input tersebut diberikan tegangan sebesar 5,2 volt.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
79
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4.5. Pengamatan LCD M1632 Perancangan robot menggunakan LCD tipe M1632 untuk menampilkan tulisan berupa jarak dari sensor jarak terhadap objek, strategi dan alur program.
Tabel 3. Hasil pengujian kerja robot pemadam Percob
Msk R1
Msk R2
Msk R3
Msk R4
BD (kali)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tdk Tdk Tdk Tdk Tdk Tdk Tdk Tdk Ya Ya
Tdk Tdk Tdk Tdk Tdk Tdk Ya Ya Ya Ya
Tdk Tdk Tdk Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya
2 3 3 3 3 3 4 3 5 5
4.6. Pengujian Motor Servo Pengujian ini bermaksud untuk mendapatkan besar sudut yang mampu dilakukan oleh motor servo. Seperti yang telah dibahas pada bab 3 bahwa motor servo mampu bekerja dua arah ( Clockwise (CW) dan Counter Clockwise (CCW)) dimana arah dan sudut pergerakan rotornya dapat dikendalikan hanya dengan memberikan pengaturan duty cycle sinyal PWM. Hasil dari pengujian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. hasil pengujian jarak motor servo Vcc=5,2 volt FK (%) NO. gerakan gerakan (derajat) (derajat) 1 20 10 33,33 2 30 32 3,22 3 60 74 10,44 4 90 106 8,16 5 120 137 6,61 6 180 217 9,31 4.7. Pengujian Robot Dilapangan Dalam percobaan ini, lilin akan diletakkan secara acak di salah satu ruangan. Robot tidak harus mengetahui pasti keberadaan dari posisi lilin, dan yang terpenting adalah keakuratan dan kecepatan robot dalam memeriksa masing-masing ruangan. Hasil pengujian menunjukkan robot mampu berjalan sesuai dengan yang diharapkan, tetapi hasil-hasil pengujian kerja robot pemadam ditinjau dari pergerakan yang terjadi dan waktu tempuh yang diperlukan bersifat tidak sama. Durasi waktu rata-rata yang diperlukan robot saat mulai bergerak hingga selesai berkisar 1 menit 30 detik. Dengan melihat hasil percobaan mulai dari robot sampai memadamkan api sudah sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, namun masih ada beberapa hal yang perlu perbaikan yaitu mengenai motor dc-nya. Karena motor yang digunakan adalah motor bekas dengan tegangan 24 volt, sehingga performa tidak dapat maksimal. Secara rinci hasil pengujian kinerja robot dapat dilihat seperti pada table 3 .
80
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Pmdm Waktu nyala mn, api dt Ya 22 Ya 36 Ya 33 Ya 1:20 Ya 1:30 Ya 1:21 Ya 1:40 Ya 1:38 Ya 2:28 Ya 2:30
Keterangan : BD : Bentur Dinding Pmdm : Pemadaman
V. PENUTUP 5.1. Simpulan Dari hasil pengamatan dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil beberapa simpulan, sebagai berikut. 1. Dalam pegujian fungsi kerja robot pemadam api, robot sudah dapat bekerja sesuai dengan yang diharapkan yaitu robot dapat bergerak menyusuri ruang kerja dan mencari sumber nyala api, memadamkan nyala api tersebut. 2. Sensor-sensor yang digunakan sudah berfungsi sesuai dengan yang diinginkan. 5.2. Saran Untuk pengembangan robot pemadam api ini, maka ada beberapa saran yang diharapkan dapat membantu menyempurnakan robot ini yaitu: 1. Agar dapat bernavigasi dengan baik maka diperlukan counter putaran roda. 2. Modifikasi motor dc penggerak roda dengan cara melilit ulang lilitan motor dc. 3. Mengganti aki kering robot dengan aki kering yang lebih ringan. 4. Karena sensor api tidak bisa mengetahui jarak api dengan robot, maka diperlukan tambahan sensor yang bisa mengetahui jarak api dengan robot.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR PUSTAKA Coughlin, Robert,F, dan Driscoll, Frederick,F, 1994, Penguat Operasional dan Rangkaian Terpadu Linier, Erlangga, Jakarta. Horn. Delton.T, 1988, Teknik Merancang Rangkaian Dengan Transistor, Elex Media Komputindo, Jakarta. Malik. Moh.ibnu, 2003, Belajar Mikrokontroler Atmel AT89S8252, Gava Media, Yogyakarta. Putra. Agfianto. Eko., 2003, Belajar Mikrokontroler Edisi 2, Gava Media, Yogyakarta. Sustrino, 1986, Elektronika teori dan Penerapannya Edisi 1, ITB,Bandung. Sustrino, 1987, Elektronika teori dan Penerapannya Edisi 2, ITB,Bandung. www.atmel.com www.parallax.com www.hamamatsu.com www.ee.ccny.cuny.edu/www/web
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
81
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
ANALISIS STABILITAS TRANSIENT DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENYELESAIAN NUMERIK PERSAMAAN AYUNAN PADA JARINGAN TEGANGAN 150 kV M. Arsyad1), Furqonul Fahmi2) Staf Pengajar Teknik Elektro STTNAS Yogyakarta 2) Mahasiswa Teknik Elektro STTNAS Yogyakarta 1)
[email protected]
1)
Abstrak
Kestabilan berhubungan langsung dengan kualitas dan kontinyuitas layanan. Kestabilan sistem tenaga ditentukan oleh perilaku dinamis unit - unit pembangkit. Penelitian membahas perilaku dinamis pengoperasian beberapa generator sinkron dan untuk menyelidiki berbagai faktor yang mempengaruhi kestabilan sistem tenaga listrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu metode analisis kestabilan yang praktis, informatif, dan cukup akurat. Analisis dilakukan dengan metode penyelesaian numerik persamaan ayunan. Pengamatan dilakukan terhadap osilasi antar rotor, keserempakan generator, kemampuan dan kecepatan sistem mencapai keadaan steady state yang baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gangguan dapat menyebabkan osilasi antar generator yang mengurangi kemampuan dan kecepatan sistem dalam mencapai kondisi steady state. Osilasi ini mengakibatkan perubahan tegangan dan frekuensi untuk waktu yang lama. Tingkat kestabilan dapat ditingkatkan dengan mengatur pembebanan untuk setiap unit pembangkit sesuai dengan karakteristik dan kemampuan masing – masing pembangkit, konfigurasi jaringan, serta beban beroperasi. Simulasi dari beberapa kasus menunjukkan bahwa respon generator terhadap gangguan sangat dipengaruhi oleh kondisi pengoperasian, lama waktu gangguan, lokasi gangguan, dan perubahan konfigurasi jaringan. Kata kunci: integrasi numerik, stabilitas transien, sistem multi machine, swing equation. I.
PENDAHULUAN Stabilitas suatu sistem tenaga listrik adalah kemampuan dari sistem itu untuk kembali bekerja secara normal setelah mengalami gangguan. Suatu sistem dikatakan stabil, jika osilasi yang terjadi makin mengecil. Secara umum stabilitas pada suatu sistem tenaga diklasifikasikan menjadi 2, yaitu stabilitas steady state, dan stabilitas transient. Kestabilan sistem tenaga sangat dipengaruhi oleh perilaku dinamis generator sinkron dalam merespon berbagai macam perubahan yang mungkin terjadi. Ketika sistem multi machine memasuki kondisi transien, terjadi osilasi inter mesin melalui saluran transmisi yang menghubungkan mesin-mesin tersebut. Osilasi ini mempengaruhi frekuensi, tegangan, sudut daya, dan aliran daya pada sistem. Apabila sistem yang yang sedang beroperasi dalam kondisi steady state diganggu, maka ada penyesuaian kembali dari sudut daya generator sinkron. Ketidakseimbangan antara pembangkitan dan beban menciptakan kondisi steady state baru dengan penyesuaian sudut daya. Gangguan seperti : pelepasan generator, hubung singkat, pelepasan saluran, pelepasan beban, ataupun perubahan kecil pada beban saat kondisi normal akan menyebabkan perubahan kondisi pengoperasian. Perilaku sistem selama masa ini disebut unjuk kerja dinamis.
82
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Studi mengenai transient stability dibutuhkan untuk menjamin bahwa sistem dapat bertahan dalam keadaan transien. Beberapa metode untuk analisis kestabilan sudah tersedia dan masih dikembangkan hingga saat ini. Untuk sistem multi machine, metode yang memberikan hasil akurat dan memuaskan adalah metode metode penyelesaian numerik persamaan ayunan, serta dapat memberi informasi tentang perubahan berbagai parameter sistem. II. METODE PENELITIAN
Secara umum analisis terdiri dari: a. Menghitung aliran daya steady state b. Mencari nilai mula dan parameter konstanMenyusun persamaan sistem c. Merepresentasi gangguan dan perubahan jaringan dengan modifikasi matrik admitansi jaringan d. Simulasi 1.
Data Sistem yang diuji adalah sistem 150 KV dengan tujuh generator sinkron di Pusat Pembangkit Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tambaklorok.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
b. Data generator dalam satuan per unit (pu) Gen. G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7
Xd' 0,4745 0,4833 0,4221 0,5623 0,4442 0,4368 0,4413
H 0,8376 0,8223 0,9415 0,7068 0,8946 0,9098 0,9005
e. Data Beban dalam satuan per unit (pu)
D 0,0716 0,0730 0,0637 0,0849 0,0671 0,0659 0,0666
Beban L1 L2 L3 L4 L5 L6 L7 L8
c. Data saluran dalam satuan per unit (pu) Cab.
R
X
1
0.0443
0.1325
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
0.0443 0.1907 0.1907 0.0963 0.1037 0.0963 0.0220 0.0220 0.0881 0.0881 0.0479 0.0479 0.0479 0.0331 0.0358 0.1321 0.1321 0.0718 0.0718 0.0718 0.1541 0.1541
0.1325 0.5964 0.5964 0.2875 0.3096 0.2875 0.0371 0.0371 0.1480 0.1480 0.0805 0.0805 0.0805 0.0556 0.0602 0.2220 0.2220 0.1207 0.1207 0.1207 0.2590 0.2590
d. Data Trafo dalam satuan per unit (pu) Trafo T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7
R 0.0030 0.0030 0.0002 0.0002 0.0024 0.0024 0.0024
X 0.1021 0.1021 0.1021 0.1021 0.1021 0.1021 0.1021
2.
PL 0.6375 0.6375 0.5950 0.5950 0.5525 0.5100 0.5865 0.5865
QL 0.3951 0.3951 0.3687 0.3687 0.3424 0.3161 0.3635 0.3635
Persamaan sistem Dinamika sistem direpresentasikan oleh: a. Persamaan diferensial
d i i S dt d i S dt
Hi
P
m ,i
(1)
Pe ,i Di i S (2)
Persamaan ayunan ditranformasikan ke dalam bentuk pernyataan variabel sebagai berikut :
d dt 2
(3)
d f 0 Pa H dt 2
(4)
Dengan menggunakan metode euler, harga untuk dan ( t1 t 0 t ) adalah seperti persama-an berikut :
i p1 i
d dt
ip1 i
i
d dt
t
i
(5)
t
Dengan
menggunakan
p i 1 dan
p i 1 yang
(6) pendekatan
harga
diturunkan pada akhir
interval maka dapat ditentukan :
d dt d dt
ip1
ip1
ip1
f 0 H
(7)
Pa
ip1
(8)
Sehingga harga rata-rata dan untuk yang lebih baik adalah sebagai berikut :
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
83
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
ie1
e i 1
d 1 dt
d 1 dt
i
i
d dt
ip 1
2 2
d dt
i p 1
t
II. HASIL PENELITIAN
(9)
(10) t
b. Persamaan aljabar 5 1 E i' sin n Vk sin k YinVn cos( in n ) 0 ' X d ,i n 1
5 1 ' E cos V cos YinVn sin( in n ) 0 i i i i X d' ,i n 1
i = 1, ..., 5 3.
n = 1, ... 5
Metode penyelesaian Karena solusi analitik dari persamaan diferensial–aljabar diatas tidak ada, maka penyelesaian dilakukan menggunakan metode numerik yakni integrasi step by step domain waktu yang diimplementasikan dengan Matlab. Langkah pertama adalah mencari aliran daya kondisi steady state. Nilai mula dan parameter konstan untuk analisis kestabilan dicari berdasarkan hasil perhitungan aliran daya steady state. Langkah selanjutnya adalah menjalankan program simulasi yang telah dibuat dengan interval integrasi (step size) 0.005 detik. Diagram alir penelitian adalah sebagai berikut:
1. Kondisi Steady State Persamaan aliran daya yang diselesaikan dengan metode Nwton Raphson menggunakan bantuan program matlab diperoleh hasil sebagai berikut : bus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 24 24 24 25 25 25 25
V 1.0500 1.0500 1.0500 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000 0.9420 0.9397 0.9383 0.9905 0.9878 0.9876 0.9878 1.2065 1.2008 1.2633 1.2494 1.2418 1.2418 1.2418 0.9388 0.9786 1.2634 1.2634 1.2634 1.2634 1.2321 1.2321 1.2321 1.2321
δv 0 -1.3089 -2.4355 43.0288 40.8579 41,0700 40.8579 14.0866 13.7702 13.7769 38.7212 38.3719 38.3789 38.3719 -7.1518 -7.3598 -12.7440 -13.4707 -14.0839 -14.0839 -14.0839 19.1180 37.8054 -12.7411 -12.7411 -12.7411 -12.7411 -14.8457 -14.8457 -14.8457 -14.8457
P 0,1898 - 0,1453 - 0,3516 0,1489 0.1712 0.1712 0.1712 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.6375 0.6375 0.5950 0.5950 0.5525 0.5100 0.5865 0.5865
Q - 0,0386 0.0806 0,3925 - 0.0199 - 0.0038 - 0.0060 - 0.0038 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.3951 0.3951 0.3687 0.3687 0.3424 0.3161 0.3635 0.3635
2. Nilai mula dan Parameter konstan Nilai mula untuk kondisi sebelum gangguan Gen 1 2 3 4 5 6 7
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
84
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
δ0 0 -1.308 -2.435 43.028 40.579 41.070 40.857
ωo 18.000 18.000 18.000 18.000 18.000 18.000 18.000
V G0 1.0500 1.0500 1.0500 1.0000 1.0000 1.0000 1.0000
P e0 0,1898 - 0,1453 - 0,3516 0,1489 0.1712 0.1712 0.1712
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
A. Matrik admitansi a. Periode gangguan Pada saat terjadi hubung singkat berarti elemen diagonal Y 22,22 dari Y TL nilainya menjadi sangat besar (short circuit). Sedangkan elemen off - diagonal nilainya sangat kecil (open). Keadaan jaringan periode ini diwakili oleh matrik admitansi Y F . Pada saat progaram simulasi dijalankan menggunakan matlab, setelah dilakukan eliminasi melalui reduksi kron diperoleh matrik admitansi periode gangguan Y F,red sebagai berikut :
Parameter konstan selama periode transien : Gen. E' d Pm 1 1,0708 0,1898 2 1,0890 - 0,1453 3 1,228 - 0,3516 4 1,0145 0,1489 5 1,0044 0.1712 6 1,0052 0.1712 7 1,0044 0.1712 3. Simulasi Gangguan hubung singkat dekat bus 22 dan clearing melalui trip saluran 22
8,601 71,1
0 0 0
0 0 0
0 0 0
00 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
8,5953 88,8
0 0 0
0 0 0
00 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
00 0
0 0 0
0 0 0
00 0
00 0
00 0
1,163 68,3
0,264 72,2
0,250 72,4
0,265 72,2
00 0
00 0
00 0
0,265 72,2
2,014 67,7
0,488 72,2
0,516 74,2
00 0
00 0
00 0
0,250 72,4
0,482 72,2
1,929 67,9
0,488 72,2
00 0
00 0
00 0
0,265 72,2
0,516 72,1
0,488 72,2
2,014 67,7
1,299 68,762
Dari matrik admitansi terlihat bahwa gangguan di bus 22 menyebabkan bus 1, 2, dan 3 terpisah dari bus - bus lain selama gangguan berlangsung. Hal ini ditunjukkan oleh elemen diagonal yang sama dengan nol. Pertambahan nilai elemen diagonal dari
nilai admitansi awal menunjukkan kedekatan bus ini ke reference yang disebabkan oleh gangguan short circuit bus 22. Selama periode ini G 1 , G 2, dan G 3 tidak mentransfer daya ke jaringan.
b. Periode gangguan Matrik admitansi Y PF periode pasca gangguan : 6,149 72,10
5,402 73,90
0,581 68,7 0
000
000
000
000
5,402 73,90
6,143 72,10
0,581 68,7 0
000
000
000
000
0,581 68,7 0
0,581 68,7 0
1,162 68,7 0
000
000
000
000
000
000
000
1,1137 68,50
0,3616 70,10
0,3591 70,20
0,3616 70,10
000
000
000
0,3616 70,10
1,826 68.10
0,6651 70,10
0,7043 69,90
000
000
000
0,3591 70,20
0,6651 70,10
1,761 68,20
0,6651 70,10
000
000
000
0,3616 70,10
0,7043 69,90
0,6651 70,10
1,826 71,50
Matrik admitansi Y PF menunjukkan bahwa trip saluran 22 mengakibatkan keserempakan antara generator kelompok 1 (G 1 , G 2 , G 3 ) dengan kelompok 2 (G 4 , G 5, G 6, G 7 ) berkurang. Hal ini dicerminkan oleh elemen diagonal kelompok 1 dan kelompok 2 yang berkurang nilainya dari nilai admitansi pra gangguan.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
85
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
B. Hasil Simulasi a. Untuk Tcr = 0,19 detik
Hasil simulasi menunjukkan bahwa sistem stabil, ditunjukkan oleh osilasi semua generator yang semakin kecil dan kembali ke daerah kestabilan b. Untuk Tcr = 0,20 detik
86
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sistem tidak stabil. Dari aspek keserempakan antar generator, terlihat kehilangan keserempakan. Grafik Pm menunjukkan bahwa tidak ada damping bagi semua generator. Dilihat dari tegangan terminal, (V 1 , V 2 , V 3 ) terus berosilasi tidak teredam antara 0,6 pu sampai 1,15 pu. Sedangkan (V 4 , V 5, V 6 , V 7 ) naik dan terjadi osilasi namun tidak terlalu ekstrim. Terlihat bahwa ketidakstabilan sudut rotor mengakibatkan semua parameter penting seperti tegangan, output daya aktif, dan frekuensi tidak stabil. Untuk T cr = 0.20 detik, titik kesetimbangan atau kondisi operasi stabil yang baru tidak dapat tercapai. IV. KESIMPULAN 1. Hasil simulasi pada lokasi gangguan hubung singkat di bus 22 dan saluran 22 menunjukkan untuk lama waktu gangguan 0,19 detik sistem stabil ditunjukkan oleh osilasi yang semakin kecil dan stabil, sedangkan untuk lama waktu gangguan 0,20 detik sistem tidak stabil dtunjukkan oleh osilasi yang terjadi naik turun tidak teredam, dapat disimpulkan kestabilan suatu sistem tenaga listrik pada saat terjadi gangguan simetris sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu gangguan (T cr ) 2. Hasil simulasi pada lokasi gangguan hubung singkat di bus 22 dan saluran 22 untuk lama waktu ganguan 0,20 detik menunjukkan osilasi yang tidak teredam atau terus terjadi mengakibatkan kondisi kesetimbangan atau steady state tidak tercapai 3. Lokasi gangguan hubung singkat di bus 8 dan saluran 1 yang bearada dekat unit pembangkit dengan lama waktu gangguan maksimal (Tcr) 0,12 detik menunjukkan gangguan hubung singkat harus cepat diatasi karena mempengaruhi kestabilan sistem, maka sebaiknya ganguan dapat diatasi sebelum 0,12 detik 4. Lokasi gangguan di bus 24 dan saluran 15 yang berada jauh dari unit pembangkit dengan lama waktu gangguan maksimal (Tcr) 0,20 detik menunjukkan gangguan hubung singkat kurang mempengaruhi kestabilan sistem. V. DAFTAR PUSTAKA SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
87
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Away, Abdia, Gunaidi., 2006, Matlab Programing, Informatika, Bandung. Cekdin, Cekmas., 2007, Sistem Tenaga Listrik Contoh Soal Dan Penyelesaian Menggunakan Matlab, Andi Offset, Yogyakarta. Chapra, S. C., 1991, Metode Numerik, Penerbit Erlangga, Jakarta. Grainger, J. J., 1994, Power System Analysis, McGraw-Hill, New York. Nagrath, I. J., Kothari, D. P., 1980, Modern Power System Analysis, Tata McGraw - Hill Publishing Company Limited, New Delhi. Padiyar, K. R., Power System Dynamics Stability And Control, John Wiley & Sons. Saadat, Hadi., 1999, Power System Analysis, McGraw-Hill, Singapore Mahendro, Yoga., 2007, Analisis Kestabilan Pada Sistem Kelistrikan Industri (Studi di PT Conoco Indonesia, Belanak, Bangka), Skripsi Jurusan Teknik Elektro STTNAS Yogyakarta.
88
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PERAMALAN PEMBEBANAN TRANSFORMATOR GARDU INDUK 150 KV WIROBRAJAN YOGYAKARTA Diah Suwarti W1, Elias K. Bawan1, Fitrizawati1, Risanuri Hidayat 2) 1)
Mahasiswa Magister Jurusan Teknik Elektro FT UGM Dosen Pembimbing Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM Jln. Grafika 2 Yogyakarta 55281 INDONESIA
[email protected],
[email protected],
[email protected] 2)
INTISARI
Percepatan pembangunan suatu daerah seperti halnya daerah Yogyakarta dapat tergambar dari peningkatan pemakaian energy listrik pada daerah tersebut. Transformator pada gardu induk 150KV Wirobrajan dengan kapasitas 60 MVA merupakan salah satu peralatan utama pada sistem tenaga listrik. Peramalan beban pada penelitian ini mengambil data beban puncak rata-rata harian selama lima tahun mulai tahun 2003 sampai 2008. Berdasarkan hasil analisa dengan metode pendekatan non linear model exponensial diperoleh persamaan Y = 5.29e0.04057X. Peramalan pertumbuhan beban rata-rata transformator pada tahun 2009 sampai dengan 2025 masih layak atau mampu melayani kebutuhan beban berdasarkan standar toleransi kelayakannya yaitu pembebanan 85% sebesar 50.89 MVA dan arus pembebanan pada tahun 2025 sebesar 230.72 A atau 84.82% dari beban maksimum. Keywords : Power Demand, Transformer Capasity, Exponential Trend PENDAHULUAN Tenaga listrik merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan manusia, hal ini disebabkan karena hampir semua peralatan kebutuhan manusia menggunakan listrik. Sistem tenaga listrik dirancang untuk dapat mengirim tenaga listrik dengan cara efisien dan aman sampai pada pelanggaan atau konsumen. Kebutuhan tenaga listrik dihasilkan dan disalurkan oleh sistem pembangkit tenaga listrik melalui suatu media transmisi dan distribusi. Tenaga listrik yang dihasilkan oleh pusat pembangkit tenaga listrik disalurkan ke saluran Transmisi Tegangan Tinggi (STT) dengan tegangan antara 150 KV sampai 500 KV yang kemudian diturunkan oleh transformator penurun tegangan menjadi 20 KV, selanjutnya diturunkan lagi oleh transformator distribusi menjadi tegangan rendah 220 /380 V. Salah satu unsur pendukung keandalan pelayanan sistem tenaga listrik yaitu dengan adanya gardu induk. Transformator sebagai media perantara dalam menyalurkan tenaga listrik mempunyai batas kemampuan maksimal. Batas kemampuan maksimal pembebanan pada transformator didasarkan atas nilai pengenal (rating) yang merupakan harga dalam keadaan operasi normal yang tidak boleh dilampaui. Transformator akan melayani beban yang berubah-ubah dan tentu saja perubahan pembebanan ini sangat berpengaruh terhadap kinerja transformator yaitu terjadinya perubahan arus, tegangan, efisiensi, faktor daya maupun rugirugi daya yang hilang pada transformator. Apalagi
jika perubahan beban melampaui kapasitas dari transformator maka bisa menimbulkan kerusakan. Disamping itu perubahan beban akan mempengaruhi tegangan keluaran pada terminal sekunder transformator tersebut, padahal tegangan yang dibutuhkan konsumen relatif stabil. Tingkat keandalan yang tinggi suatu sistem tenaga listrik merupakan salah satu persyaratan yang penting dalam mencatu dan menyalurkan tenaga listrik ke konsumen. Peningkatan keandalan dan kualitas penyediaan tenaga listrik pada Gardu Induk 150 kV Wirobrajan Yogyakarta dilakukan dengan memilih dan memasang peralatan tenaga listrik termasuk transformator distribusi dengan kapasitas yang sesuai sehingga dapat mengikuti pertumbuhan beban didaerah pelayanannya
METODE PENELITIAN Peralatan Peralatan yang digunakan dalam peneltiian adalah satu unit notebook dengan Pentium (R) Dual Core 2.1 GHz, 2.86 GB, printer, camera dan bukubuku referensi. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di kampus Universitas Gadjah Mada selama empat (4) bulan terhitung tanggal 9 September sampai 9 Desember 2009.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
89
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Prosedur Penelitian 1. Teknik Pengumpulan Data Data untuk penelitian ini diambil secara langsung di PT. PLN (Persero) UBD Jawa Tengah Unit Pelayanan Jaringan II Sub Area Yogyakarta di GI 150 KV Wirobrajan. Data yang diambil mulai tahun 2003 sampai 2008. Jenis data yang diambil adalah : 1. Data beban puncak harian tahun 2003 – 2008 2. Pemakaian Beban tahun 2003 – 2008 data pada WBP (19.00) dan LWBP (10.00) 3. Kapasitas trafo 60 MVA Analisa Data Pertumbuhan daya listrik pada suatu daerah tidak selalu berbentuk linear. Pertambahan tahun belum tentu diikuti oleh pertambahan pemakaian daya secara linear. Penggunaan energi pada suatu daerah cenderung mengalami peningkatan dan tidak pernah berkurang selama daerah tersebut masih dalam keadaan normal. Dengan latarbelakang tersebut maka peneliti memilih metode pendekatan non linear sehingga metode yang digunakan adalah regresi linear model exponensial. Model eksponensial didekati dengan persamaan: (1) Y = aebx
2.
Dengan harga-harga:
b
m Xi ln Yi Xi ln Yi 2 m Xi 2 Xi 1 a em
r
ln Yi b Xi
(2)
2
2 12
(4) Faktor pengali atau pertumbuhan beban (α) diperoleh dengan membagi hasil persamaan pendekatan peramalan beban puncak dengan konstanta persamaan a. (5) a dimana, α : faktor pengali (pertumbuhan beban) Y: hasil persamaan pendekatan a : konstanta a Peramalan beban adalah suatu cara memperkirakan atau mengambarkan beban dimasa yang akan datang, model pendekatan peramalan
Y St So
90
% Pembebanan
St
K transformator
100%
dimana, St : pemakaian beban pada diramalkan) K transformator : Kapasitas trafo (data)
tahun
(yang
Beban puncak merupakan beban tertinggi yang dipikul oleh transformator pada selang waktu tertentu selama transformator beroperasi. Mencari daya rata-rata puncak pertahun digunakan persamaan : S
P2 Q2
(8) Pembebanan transformator menyebabkan arus beban akan mengalami perubahan sesuai pemakaian beban. Persamaan untuk menghitung arus beban adalah : S ( MVA ) I pembebanan (9) KV .Cos . 3 III. HASIL DAN PEMBAHASAN
mXi Xi mlnYi lnYi 2
Pembebanan transformator didapat dari hasil peramalan beban dibagi dengan kapasitas transformator, kapasitas transformator didapat dari data transformator yang dipakai. (7)
(3)
m XilnYi XilnYi 2
dimana, St : Pemakaian beban pada tahun t (yang diramalkan) So: Pemakaian beban tenaga listrik (MVA) dasar pada tahun perhitungan tahun pertama α : Pertumbuhan beban rata-rata yang diamati (faktor pengali) Y : Hasil persamaan pendekatan.
(6)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Menghitung data beban puncak harian menjadi data beban puncak rata-rata bulanan setiap tahunan untuk setiap daya aktif (P) dan daya reaktif (Q). Dengan menggunakan persamaan 8 kita mendapatkan beban puncak rata-rata tahun 2003 sampai 2008 GI Wirobrajan. Tabel 1. Daya rata-rata tahun 2003 sampai 2008 Tahun 2003 2004 2005
MVA 20.644 21.162 22.660
2006
22.819
2007
23.830
2008
25.531
Berdasarkan data beban puncak rata – rata dan beban rendah rata – rata transformator dari tahun 200 3 sampai 2008 dapat dilihat pada tabel berikut.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 3. Beban puncak minimum (pukul 19.00)
Tabel 2. Beban puncak minimum (pukul 10.00) Beban Puncak Minimum
Beban Puncak Maksimum
MW
MVAR
MVA
Cos
Arus beban (A)
2003 2004 2005 2006 2007
14.12 15.27 19.57 18.23 18.56
6.70 7.16 9.32 8.20 9.03
15.39 16.87 21.67 19.99 20.04
0.91 0.91 0.90 0.91 0.92
65.08 71.81 92.59 84.48 84.38
2008
20.03
9.78
22.36
0.90
95.30
Tahun
MW
MVAR
MVA
Cos
Arus beban (A)
2003 2004 2005 2006 2007
18.08 18.57 22.61 20.61 21.23
10.08 10.15 12.13 9.80 10.07
20.64 21.16 22.66 22.82 23.83
0.87 0.88 0.88 0.90 0.90
91.02 92.99 98.89 97.38 101.92
2008
23.53
14.66
25.53
0.90
109.80
Tahun
Prediksi jumlah beban dilakukan dengan menggunakan koefisien a dan b dengan menggunakan persamaan 2 dan 3. Variabel-variable yang diperlukan untuk koefisien a dan b terangkum dalam tabel berikut ini. Tabel 4. Varibel Perhitungan Tahun
2003
Xi Yi X i .Y i Xi 2 Yi 2 LnY i X i .LnY i (Ln Y i )2
1 20.6 20.6 1 426.2 3.0 3.0 9.2
2004 2 21.2 42.3 4 447.8 3.1 6.1 9.3
2005 3 22.7 68.0 9 513.5 3.1 9.4 9.7
Dari data-data yang ada kita menghitung koefisien – koefisien berikut : Harga b: b=
m Xi ln Yi m Xi
2
Xi ln Yi Xi 2
b
6 66 . 30 21 . 00 18 . 74 2 6 91 21
b=
397.8 393.54 546 441
4 . 26 105 b 0 .04057
2006 4 22.8 91.3 16 520.7 3.1 12.5 9.8
2007 5 23.8 119.2 25 567.9 3.2 15.9 10.1
a e
1 ln Yi b Xi m ae 1 18 . 74 0 . 416 x 21 a e6 1 18 . 74 8 . 736 a e6 1 a e6
10 . 004
1 . 667
21.0 136.6 494.6 91.0 3127.9 18.7 66.3 58.6
a 5 . 296
Dari hasil perhitungan diatas diperoleh persamaan pendekatan peramalan beban untuk beban puncak adalah: Y = 5.296e 0.04057x Dengan menggunakan persamaan 5, kita menghitung faktor pengali. Faktor pengali pada tahun 2009 adalah: α
5 . 5152 5 . 296
α 1 . 0414
b
Harga a:
2008 6 25.5 153.2 36 651.8 3.2 19.4 10.5
Tabel 5. Faktor Pengali Tahun Ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Faktor Pengali (α) 1.0414 1.0845 1.1294 1.1762 1.2249 1.2755 1.3284 1.3835 1.4406
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
91
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 20009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028
Perubahan Arus Terhadap Pembebanan Transformator
1.5003 1.5625 1.6271 1.6945 1.7647 1.8378 1.9138 1.9931 2.0757 2.1615 2.251
Akibat adanya beban yang berubah-ubah maka besarnya arus beban juga akan mengalami perubahan berupa kenaikan atau penurunan. Tabel 7. Perubahan Arus Akibat Pembebanan Tahun
Peramalan beban transformator GI Wirobrajan tahun 2009 : S (t) = (S o ) x Faktor pengali (α) S (2009) = 25.531 x 1.0414 S (2007) = 26.5879 MVA
%Pembebanan
26.5879 100% 44.31% 60
Dengan metode yang sama kita dapat menghitung peramalan beban untuk 20 tahun kedepan, dengan hasil sebagai berikut: Tabel 6. Hasil perhitungan pembebanan transformator GI Wirobrajan Tahun Ke
Tahun
Pembebanan pada Tahun
Pembebanan (%)
1
2009
26.59
44.31
2
2010
27.69
46.15
3
2011
28.84
48.06
4
2012
30.03
50.05
5
2013
31.27
52.12
6
2014
32.57
54.28
7
2015
33.92
56.53
8
2016
35.32
58.87
9
2017
36.78
61.3
10
2018
38.31
63.84
11
2019
39.89
66.49
12
2020
41.54
69.24
13
2021
43.26
72.11
14
2022
45.06
75.09
15
2023
46.92
78.2
16
2024
48.86
81.44
17
2025
50.89
84.81
18
2026
53
88.33
19
2027
91.98
20
2028
55.19 57.47
92
95.79
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Pembebanan Pada Tahun
% Pembebanan
Arus Pembebanan (A)
2009
26.59
44.31
120.55
2010
27.69
46.15
125.54
2011
28.84
48.06
130.75
2012
30.03
50.05
136.14
2013
31.27
52.12
141.77
2014
32.57
54.28
147.66
2015
33.92
56.53
153.78
2016
35.32
58.87
160.13
2017
36.78
61.30
166.75
2018
38.31
63.84
173.68
2019
39.89
66.49
180.85
2020
41.54
69.24
188.33
2021
43.26
72.11
196.12
2022
45.06
75.09
204.28
2023
46.92
78.20
212.72
2024
48.86
81.44
221.51
2025
50.89
84.81
230.72
2026
53.00
88.33
240.28
2027
55.19
91.98
250.21
2028
57.47
95.79
260.55
Berdasarkan peramalan beban rata-rata pada transformator gardu induk Wirobrajan Yogyakarta dapat dievaluasi kelayakan kapasitas transformator tersebut dalam melayani kebutuhan beban tenaga listrik. Kapasitas transformator pada gardu induk Wirobrajan adalah sebesar 60 MVA sedangkan untuk standar toleransi kelayakan kapasitas transformator gardu induk wirobrajan adalah sebesar 85 % dari total kapasitas terpasang yaitu sebesar 50.89 MVA. Berdasarkan peramalan beban rata-rata transformator pada tahun 2009 sampai dengan 2025 masih layak atau mampu melayani kebutuhan beban berdasarkan dari standar toleransi kelayakannya, sedangkan untuk tahun 2028 sudah tidak mampu lagi berdasarkan dari standar toleransi kelayakan.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Untuk mengatasi persolaan ini maka pihak PLN Gardu Induk 150 kV Wirobrajan Yogyakarta harus segera melaksanakan evaluasi dan perencanaan penggantian atau penambahan trafo gardu induk pada tahun 2025.
IV. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil : 1. Persamaan garis beban untuk pertumbuhan beban gardu induk 150 kV Wirobrajan Yogyakarta adalah Y = 5.29e0.04057X 2. Hasil prediksi menunjukkan bahwa pada tahun 2025 trafo gardu induk 150 kV Wirobrajan Yogyakarta sudah mencapai pembebanan 85% sebesar 50.89 MVA. 3. Arus pembebanan pada tahun 2025 sebesar 230.72 A atau 84.82% Saran - Pemakaian beban harus memperhatikan ketentuan yang diizinkan yaitu tidak melebihi dari 85 % dari kapasitas daya terpasang. harus - Pemeliharaan dari transformator mengikuti aturan yang sudah ditentukan, yaitu secara rutin dan berkala. - Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimum maka sebaiknya menggunakan data yang lebih banyak REFERENSI Abdul Kadir, 1979, Transformator, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Abdul Kadir, 1988, Transmisi Tenaga Listrik, Universitas Indonesia, Jakarta Anto Dajan, 1986, Pengantar Metoda Statistik Jilid 1, LP3ES, Jakarta. A.S. Pabla, Abdul hadi, 1992, Sistem Distribusi Daya Listrik. Erlangga, Jakarta Indonesia. Pamungkas, . 2005, Trik Pemrograman Microsoft Excel, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
93
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGURANGAN RUGI-RUGI DAYA LISTRIK AKIBAT BEBAN TAK LINIER MENGGUNAKAN TAPIS DI PT. BRANITA SANDHINI KLATEN Suharyanto Jurusan Teknik Elektro Sekolah Teknologi Nasional Yogyakarta
[email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian pengurangan rugi-rugi daya listrik akibat beban tak linier menggunakan tapis di PT BRANITA SANDHINI Klaten, untuk menganalisa rugi daya listrik akibat harmonik dan bagaimana cara mereduksi rugi-rugi akibat harmonik tersebut. Penelitian dilakukan dengan cara pengambilan data jaringan dan data-data peralatan listrik yang dimiliki oleh perusahaan tersebut , kemudian dilakukan simulasi menggunakan bantuan perangkat lunak ETAP 4.0 dan selanjutnya mendisain filter untuk mereduksi rugi-rugi akibat harmonik tersebut.Hasil penelitian meujukkan bahwa Pemasangan filter bypass untuk harmonik ke-11 dan ke-13 pada Bus Panel Utama beban tanpa menggunakan kapasitor bank terbukti dapat mengurangi THD (Total Harmonic Distortion), untuk tegangan dari 23,36 % menjadi 4,66 % dengan persentase penurunan 18,70 % dan untuk arus dari 15,21 % menjadi 6,00 % dengan persen penurunan 9,21 %. Komponen-komponen filter bypass yang dibutuhkan untuk mereduksi nilai harmonik pada jaringan distribusi di PT. BRANITA = 2,070 Ω SANDHINI Klaten adalah sebesar X c = 10,86 Ω ; X L11 = 0,089 Ω; X L13 = 0,064 Ω ; R sedangkan Pemasangan filter bypass disamping mengurangi THD juga menyumbang KVAR dalam frekuensi dasar, sehingga dapat memperbaiki faktor daya beban tak linier dan kualitas daya yang disalurkan akan semakin baik faktor daya beban dapat meningkat dari 0.869 lagging menjadi 0.992 lagging. Kata Kunci :rugi daya listrik, harmonik, filter harmonik, dan faktor daya. Pendahuluan. Perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat akhir-akhir ini membutuhkan sarana dan prasarana yang handal untuk kelancaran tukar-menukar informasi dan komunikasi, untuk itu diperlukannya penyediaan dan penyaluran pelayanan jasa telekomunikasi yang lebih baik untuk kenyamanan pelanggan.
1.
Sumber daya listrik merupakan salah satu kebutuhan yang sangat diperlukan oleh suatu perusahaan, khususnya yang bergerak di bidang jasa telekomunikasi. Daya listrik digunakan untuk mengoperasikan berbagai macam peralatan telekomunikasi yang terdapat di suatu perusahaan tersebut. Harmonik disebabkan oleh beban tak linier seperti konverter daya statis atau elektronika daya terkendali. Beban tak linier seperti penyearah inverter, penggerak kecepatan variabel yang menggunakan thyristor dan catu daya kontinyu (Uninteruptible Power Systems), merupakan beban yang paling banyak digunakan pada jaringan tenaga listrik dalam suatu industri telekomunikasi yang menimbulkan efek samping pada sistem tenaga listrik yaitu timbulnya arus harmonik sebagai akibat pengubahan energi listrik.
94
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rugi-rugi daya yang diakibatkan arus harmonik dan mengetahui jenis filter yang sesuai digunakan untuk mereduksi nilai harmonik dan kemudian mendesain suatu filter yang dapat mereduksi nilai harmonik serta dapat mengurangi tingkat distorsi dari arus dan tegangan yang terjadi pada jaringan distribusi di PT. BRANITA SANDHINI Klaten 2.
Landasan Teori Harmonik dapat didefinisikan sebagai komponen sinusoidal dari periodik atau besaran yang frekuensinya merupakan kelipatan bulat dari frekuensi fundamental. Apabila komponen frekuensinya dua kali frekuensi fundamental, maka disebut harmonik ke-2 (IEEE std 100-1992 [B-14]). Hal ini dapat dilihat pada gambar (3.1) berikut : 3.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 3.3 Bentuk Gelombang Arus dan Tegangan yang Linier Gambar 3.1 Gelombang total yang dibentuk oleh gelombang dasar dan beberapa harmonik, digambarkan dalam kawasan frekuensi Harmonik merupakan gangguan yang terjadi pada sistem distribusi tenaga listrik akibat terjadinya distorsi gelombang arus dan tegangan. Pada dasarnya, harmonik adalah gejala pembentukan gelombang-gelombang dengan frekuensi berbeda yang merupakan perkalian bilangan bulat dengan frekuensi dasarnya. Hal ini disebut frekuensi harmonik yang timbul pada bentuk gelombang aslinya sedangkan bilangan bulat pengali frekuensi dasar disebut angka urutan harmonik. Jadi pada sistem daya 50 Hz, komponen harmonik, h, yang berbentuk sinusoidal mempunyai frekuensi: h = n 50 Hz................................................(3.1)
Gambar 3.2 Spektrum harmonik tanpa komponen fundamental, disajikan dalam kawasan frekuensi Dalam sistem tenaga listrik dikenal dua jenis beban yaitu beban linier dan beban tak linier. Beban linier adalah beban yang memberikan bentuk gelombang keluaran yang linier artinya arus yang mengalir sebanding dengan impedansi dan perubahan tegangan.
Sedangkan beban tak linier adalah bentuk gelombang keluarannya tidak sebanding dengan tegangan dalam setiap setengah siklus sehingga bentuk gelombang arus maupun tegangan keluarannya tidak sama dengan gelombang masukannya (mengalami distorsi).
Gambar 3.4 Bentuk Gelombang Arus dan Tegangan untuk Beban Tidak Linier Beban tak linier yang umumnya merupakan peralatan elektronik yang didalamnya terdapat komponen semi konduktor, dalam proses kerjanya berlaku sebagai saklar yang bekerja pada setiap siklus gelombang dari sumber tegangan. Proses kerja ini akan menghasilkan gangguan atau distorsi gelombang arus yang tidak sinusoidal. Bentuk gelombang ini tidak menentu dan dapat berubah menurut pengaturan pada parameter komponen semi konduktor dalam peralatan elektronik. Perubahan bentuk gelombang ini tidak terkait dengan sumber tegangannya. Distorsi tegangan pada sistem tenaga disebabkan oleh interaksi antara arus beban yang terdistorsi dan impedansi linier sistem. Dimisalkan bahwa sumber pada gambar (3.5) adalah ideal sehingga tidak ada distorsi pada titik A. Sumber tersebut mengalirkan daya ke beban tak linier pada bus B melalui jaringan distorsi linier. Impedansi linier Z pada jaringan tersebut terdiri dari elemen induktif L dan elemen resistif R.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
95
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dimana V 1 dan I 1 merupakan fundamental sedangkan V h dan I h komponen harmonik. Ukuran dari distorsi individual untuk tegangan dan arus harmonik ke-h, masing-masing didefinisikan sebagai V h /V 1 dan I h /I 1 Tegangan dan arus yang mengandung komponen harmonik mempunyai nilai RMS sebagai berikut: V rms = 2
V 1 1 THD V ....................................(3.7) 100
dan Gambar 3.5 Hubungan antara distorsi arus dan distorsi tegangan Arus yang mengalir karena beban tak linier akan menentukan distorsi tegangan pada bus B dapat dicari dengan: V B = V S – (I d x Z) ...............................(3.2) Bagian dari ”I d Z” adalah tak sinusoidal karena I d adalah tak sinusoidal. Jumlah distorsi tegangan pada bus B akan tergantung dari besarnya bagian ”I d Z”. Jika sistem tidak mempunyai impedansi (Z = 0, tidak ada rugi-rugi) maka tidak ada distorsi yang terjadi pada bus B. Selisih drop tegangan ”I d Z” adalah sebagai berikut :
I rms = Imrs I 1 = I 1 2
THD I .......................(3.8) 1 100
sehingga total faktor daya menjadi:
P
Pf tot =
...(3.9) 2
THDV V1I1 1 100
2
THD1 1 100
Sebagian besar kasus hanya sedikit porsi daya rata-rata yang disumbangkan oleh komponen harmonik dan total distorsi tegangan kurang dari 10 % sehingga:
n
Id Z =
I R jX .......................(3.3) n 1
h
h
Pf tot
X h = 2f o hL ........................(3.4) Dengan: = Arus beban tak linier Id = Arus harmonik ke-h Ih = Reaktansi sistem untuk harmonik ke-n Xh = Frekuensi dasar (fundamental) fo h = Orde harmonik L = Induktansi sistem R = Resistansi sistem
V THD V =
h 2
V1
2 h
.........................(3.5)
I THD I =
96
h 2
I1
2 h
1 2
...................... (3.10)
THDI 1 100
Pf tot cos ( 1 - 1 ) . Pf dist .................(3.11) Dimana cos ( 1 - 1 ) dikenal sebagai Displacement Power Factor dan Pf dist disebut Distortion Power Factor. Cara Penelitian Tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi: 1. Membuat gambar sistem tenaga listrik pada lembar kerja program aplikasi ETAP (Electrical Transient Analyser Program) powerstation versi 4.0.0 2. Meng-input semua data yang diperlukan dalam simulasi yaitu data parameter sumber, saluran dan beban sistem. 3. Memulai langkah pertama yaitu melakukan simulasi pada saat filter belum terpasang, kemudian simulasi dilakukan dengan memasang filter. 4.
Faktor distorsi menggambarkan tingkat gangguan harmonik pada jaringan listrik, Ada beberapa pengukuran yang umum digunakan, salah satu yang paling umum adalah distorsi harmonik total (THD) yang akan digunakan dalam penelitian ini, untuk tegangan ataupun arusnya.
P1 V1I1
...................(3.6)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 4.1 Diagram alur penelitian 5.
Hasil Penelitian Tanpa filter tanpa pemasangan kapasitor bank Tabel 5.1 Total Data Daya, Tegangan, Arus dan Faktor Daya keseluruhansebelum filter tanpa pemasangan Kapasitor Bank Bus
Bus A PLN Bus B PLN Bus Panel PSGP Bus Kapasitor Bank Bus Panel Utama Panel Daya Mekanikal Panel Utility Building
Teg V (volt) 20.000 20.000 380 380 380 380 380
Arus I (Amp) 4 4 198 198 198 183 14
(Kw) 112 112 112 112 107 100 7,67
Aliran Daya Total (Kva) 130 130 130 130 123 115 9
(Kvar) 66,6 66,6 66,5 66,5 60,9 56,7 4,7
Faktor Daya Total (%) 85,90 85,90 86,00 86,00 86,90 87,00 85.20
Table 5.2 Total Harmonic Distortion Voltage (THD V ) dan Total Harmonic Distortion Current (THD I ) pada masing-masing Bus sebelum filter tanpa pemasangan Kapasitor Bank Bus
Bus A PLN Bus B PLN Bus Panel PSGP Bus Kapasitor Bank Bus Panel Utama Panel Daya Mekanikal Panel Utility Building
THD V (%)
THD I (%)
9,29 9,29 11,93 11,93 23,36 23,36 23,36
18,00 17,13 14,95 14,95 15,21 15,21 15,21
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
97
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 5.1 Gelombang Harmonik pada Bus A PLN, Bus B PLN, Bus Panel PSGP danBus Panel Utama Beban sebelum filter tanpapemasangan Kapasitor Bank
Gambar 5.2 Spektrum Harmonik pada Bus A PLN, Bus B PLN, Bus Panel PSGP dan Bus Panel Utama Beban sebelum filter tanpa pemasangan Kapasitor Bank
Setelah pemasangan kapasitor bank Tabel 5.3 Data Daya, Tegangan, Arus dan Faktor Daya keseluruhan sebelum filter dengan pemasangan Kapasitor Bank Bus
Bus A PLN Bus B PLN Bus Panel PSGP Bus Kapasitor Bank Bus Panel Utama Panel Daya Mekanikal Panel Utility Bulding
Teg V (volt)
Arus I (Amp)
20.000 20.000 380 380 380
3 3 174,03 198,60 198,56
KW 112 112 112 112 107
380 380
184,43 14
100 7,67
Aliran Daya Total KVA KVAR 114 22,1 114 22,1 114 21,5 130 66,3 124 63,3 115 9
56,7 4,7
Faktor daya Total (%) 98,10 98,10 98,20 86,00 86,00 87,00 85,20
Tabel 5.4 Total Harmonic Distortion Voltage (THD V ) dan Total Harmonic Distortion Current (THD I ) pada masing-masing Bus sebelum filter dengan pemasangan Kapasitor Bank
Bus Bus A PLN Bus B PLN Bus Panel PSGP Bus Kapasitor Bank Bus Panel Utama Panel Daya Mekanikal Panel Utility Building
98
THD V (%) 8,86 8,86 11,34 11,34 11,29 11,29 11,29
THD I (%) 35,02 35,02 35,02 15,18 15,18 15,18 15,18
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Gambar 5.3 Gelombang Harmonik pada Bus A PLN, Bus B PLN, Bus Panel PSGP dan Bus Panel Utama Beban sebelum filter dengan pemasangan Kapasitor Bank
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 5.4 Spektrum Harmonik pada Bus A PLN, Bus B PLN, Bus Panel PSGP dan Bus Panel Utama Beban sebelum filter dengan pemasangan Kapasitor Bank
Gambar 5.5 Gelombang Harmonik pada Bus A PLN, Bus B PLN, Bus Panel PSGP dan Bus Panel Utama Beban setelah pemasangan Filter Bypass tanpa Kapasitor Bank
Setelah pemasangan filter bypass tanpa kapasitor bank. Tabel 5.5 Total Data Daya, Tegangan, Arus dan Faktor Daya keseluruhan setelah pemasangan filter bypass tanpa Kapasitor Bank Bus
Bus A PLN Bus B PLN Bus Panel PSGP Bus Kapasitor Bank Bus Panel Utama Panel Daya Mekanikal Panel Utility Building
Teg V (volt)
Arus I (Amp)
Aliran Daya Total (Kw)
(Kva)
(Kvar)
Faktor daya Total (%)
20.000
3
124
125
15,8
99,2
20.000
3
124
125
15,8
99,2
380
190
124
125
15,8
99,2
380
190
124
125
15,8
99,2
380
214
140
141
17,8
99,2
380
186
103
118
58,2
87,0
380
14
7,67
9
4,7
85,2
Tabel 5.6 Total Harmonic Distortion Voltage (THD V ) dan Total Harmonic Distortion Current (THD I ) pada masing-masing Bus setelah pemasangan filter bypass tanpa Kapasitor Bank Bus THD V (%) THD I (%) Bus A PLN 1,62 4,63 Bus B PLN 1,62 4,63 Bus Panel PSGP 2,08 6,00 Bus Kapasitor Bank 2,08 6,00 Bus Panel Utama 4,66 6,00 Panel Daya Mekanikal 4,66 6,00 Panel Utility Building 4,66 6,00
Gambar 5.6 Spektrum Harmonik pada Bus A PLN, Bus B PLN, Bus Panel PSGP dan Bus Panel Utama beban setelah pemasangan Filter Bypass tanpa Kapasitor Bank 6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya mengenai reduksi nilai harmonik pada jaringan distribusi di PT. BRANITA SANDHINI Klaten, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Pemasangan filter bypass untuk harmonik ke11 dan ke-13 pada Bus Panel Utama beban tanpa menggunakan kapasitor bank terbukti dapat mengurangi THD (Total Harmonic Distortion), untuk tegangan dari 23,36 % menjadi 4,66 % dengan persentase penurunan 18,70 % dan untuk arus dari 15,21 % menjadi 6,00 % dengan persen penurunan 9,21 %. b. Komponen-komponen filter bypass yang dibutuhkan untuk mereduksi nilai harmonik
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
99
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
c.
d.
pada jaringan distribusi di PT. BRANITA SANDHINI Klaten = 39,9 KVAR Qc = 10,86 Ω Xc X L11 = 0,089 Ω X L13 = 0,064 Ω R = 2,070 Ω Pemasangan filter bypass disamping mengurangi THD juga menyumbang KVAR dalam frekuensi dasar, sehingga dapat memperbaiki faktor daya beban tak linier dan kualitas daya yang disalurkan akan semakin baik. Perbaikan faktor daya beban dari 0.869 lagging menjadi 0.992 lagging.
7. Daftar Pustaka
Arrillaga, J, D.A Bradley & P.S Bodger. “Power System Harmonics “, John Wiley & Sons, Interscience Publication, ISBN 0-47190640-9 Fassbinder, Stefan, 2004 “Capacitor in harmonics rich environment”, Deutsches Kupferinstitut, www.lpqi.org. Germany. Grady, Prof. Mack, 2006,“Understanding Power System Harmonics” Department. Of Electrical & Computer Engineering, www.ece.utexas.edu/~grady University of Texas at Austin, USA. “Harmonic Analysis and Power Factor Correction Evaluation” www.electrotek.com, Electrotek Concepts, Inc. Knoxville, TN IEEE Std. 519-1992., 1994, “IEEE Guide for Harmonic Control and Reactive Compensation of Static Power Converter”. www.IEEE.com Pabla, A.S., Ir. Abdul Hadi. 1986. “Sistem Distribusi Daya Listrik”, Erlangga, Jakarta Peng, Fang Z. Akagi, H and Nabase, A. 1993. "Compensation Characteristics of the Combined System of Shunt Passive and Series Active Filters", IEEE Trans. on Industry Applications, Vol IA- 29, pp. 144-152. Syafrudin, Pekik A Dahono, Sukisno, T.M Soelaiman. 1999. “Analisa penggunaan autotrafo penggeser fase sebagai minimisator harmonisa arus di system distribusi tenaga listrik”. Lab. Penelitian Konversi Energi Listrik, ITB, Bandung. Syafrudin, “Disain Filter Pasif Untuk Mengeliminasi Harmonisa ke-5 dan ke-7 Pada System Tenaga Listrik”, Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Kalimantan Barat. Email:
[email protected].
100
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
EVALUATION OF TRANSMISSION SYSTEM LESSES TO UNBALANCED LOAD : THE CASE OF JAVA 500KV INTERCONNECTION LINES Sugiarto Electrical Engineering Department, Sekolah Tinggi Tenologi Nasional, Yogyakarta Email:
[email protected] ABSTRACT
The load unbalance can make vary significantly an impact into the losses of transmission network. Here, an analysis of transmission system losses is presented that considers unbalanced load. A general power flow algorithm for three-phases radial distribution based on the fast decoupled algorithm is applied. Loss analysis results obtained from three-phase 500kV Java interconnection with unbalanced load scenarios are presented and discussed considering varied loads. Keywords: Transmission networks, losses, unbalanced load, fast decoupled power flow, 1. INTRODUCTION
The most complicated tasks in the restructuring of electric power system that accompanied by redefinition of the rules and practices observed by the traditional industrial sector is the creation of open acces transmission grid [1]. System loss has become a bigger issue and represents a considerable cost for utilities, its reduction have been recognized as of interest by researchers. There are many transmission network devices responsible for energy losses, due mainly to unbalanced loads. [2]. Unbalance is a common occurance in three-phase tranmission system. The unequal distribution loads between the three-phases of supply system appears supplementary negative/or zero sequence currents and determines the flow of unbalanced currents that produce unbalanced voltage drops on the electric lines; as a result, the voltage system within the supply network becomes also unbalanced. However, it can be harmful to the operation of the network such as its realibility and its safety. Furthermore, measurements show that real power losses increase due to unbalanced loads [3][4]. In EHV transmission networks in Java, unbalance is due to the presence of inconsitent loads or hourly electricity loads. Furthermore, although the EHV transmission system is developed as a three-wire or four-wire, unbalanced load problem also arise. Therefore, considering the importance of loss analysis, the objective of this work is to evaluate losses due to unbalanced load. A fast decoupled power flow algorithm for threephase radial distribution networks is applied [5][6]. The paper (I) summarizes some theoritical aspects regarding unbalanced distortion in threephase distribution networks; In section (II) the loss
evaluation is reviewed and (III) describes the test network that is validated with Java 500 kV 68buses interconnection lines. Section (IV) presents a simulation results of the test network using by EDSA 2000 [7]. In the end, conclusion about the analyzed phenomenon are derived. 2. LOSS EVALUATION
Fig. 1 shows the circuit model of a transmission line. The resistance of the transmission line is relatively small compared with the inductive reactance. In calculating power flows, bus voltages, and branch currents, the resistances have a minor effect compared with the inductive reactances. However, the resistance is more important when performing these operating type calculations under three-phase load unbalance. The real power loss can be calculated using basic circuit theory.
Figure 1. An example of three-phase transmission lines To analize the unbalanced operation of a power system, the symmetrical components theory is used. According to Fortescue theorem, every three-phase asymmetrical system of phasors can be decomposed into three symmetrical systems of positive, negative and zero sequence, respectively [8] . This aspect can be seen in figure (2) where
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
101
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
every sequence system contains three phasors characterized by equal magnitudes;
Figure 2. Decomposition of a unsymmetrical phasors system in three symmetrical phasors systems in the case of positive and negative sequences, components are rotated between them with 120 electrical degrees in counter-clockwise direction and negative clockwise direction,respectively. In the case of zero sequence components, there is no rotation between phasors. If an asymmetrical system of line currents is taken into account, the relationship between the initial and the symmetrical sequence systems can be written as follows : (10)
where , and are the line current phasors; , and are the positive, negative and zero symmetrical systems, respectively; is the rotation operator. The reverse relationship is : (11)
on EHV transmission networks. In this paper the following networks are used: Java 500 kV interconnection lines: 68-bus four-wire threephase EHV transmission lines can be seen at figure 3 [11]. The total demand is 7,786 kW, and the loads are distributed into 4-zonal transmission system. = 289 volt. The bus, Line-to-line base voltage is load, and branch data for the test network is given in appendix B, C and D, respectively. 4. APPLICATIONS
In this work, the three-phase fastdecoupled power flow algorithm is applied on the EHV transmission networks presented previously. The presentation is focused in the discrepancy of loss calculation when original phase are used in the formula. The load are modelled as constant power. The following type of unbalance is considered: Firstly the overall network load is balanced for three phases. Afterward, a percetage of the b-phase load is decreased, while the same value is increased in phase c. In this way, the total network load remains constant under each unbalance scenario. 4.1 Analysis of Real Power losses Figure 3 presents real power losses for the Java 500 kV interconnection lines. It shows the results of losses analysis when the unbalance load (constant demand) was applied. It noticed that despite demand being maintained, total calculated by the explicit four-wire approach increased by 10.5% for 15% unbalance as compared to a fully balanced system (EQ.).
These sequence systems are the reality: the positive sequence components are created by the generators while the negative and zero sequence components appear at the place of unbalance. In general, after solving the threephase fast-decoupled power flow of a given transmission network, line section loss calculation can be performed utilizing resistances of the wires formula. Thus, losses on phase a, b and c in the
Real Power Losses (kW) 440 430 420 410 400 390 380 370
losses can be computed. System losses are calculated under various scenarios, from balanced loads to the highest balance allowed the analyzed system. In that way, the impact of load unbalance on system losses can be clearly visualized. 3. TEST NETWORKS
The proposed methodology for evaluation of power losses due to load unbalance is inspired by the work of L.F. Ochoa , et al [10] and is applied
102
EQ. 2.5% 7.5% 10.0% 15.0%
Figure 3. Real Power Losses for Java 500 kV interconnection lines with unbalanced load 4.2 Analysis of Phase and Neutral Wire losses Figure 4 shows a, b and c phases and neutral wire losses for Java 500 kV interconnection lines considering unbalanced load. This decomposition of total power losses (Figure 3) is
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
useful to evidance how neutral wire losses affect the value of losses in unbalanced load scenarios. Neutral losses account for 0.025% at balanced load scenario and 3.47% at the last unbalanced scenario.
Phase and Neutral Wire Losses (kW) 200 150 100 50 0 EQ.
2.5%
7.5%
10%
Neutral Wire
Phase a
Phase b
Phase c
15%
Figure 4. Phase and Neutral Wire Losses for Java 500 kV interconnection lines with unbalanced load 5. CONCLUDING REMAKS
This paper presented a loss analysis in transmission system cnsidering different load unbalance scenarios. A general power flow algorithm for four-wire three phase transmission network, based on fast-decoupled technique was applied. The simulation can be done by EDSA 2000. High levels of load unbalance produced greater losses while the same demand is maintained at each unbalance scenario. A neutral wire losses affect indeed the overall value of losses in unbalanced load system. This means that network reconfiguration considering load balancing is highly recomend in order to diminish overall losses.
Applications, Vol. 1A-14, No. 5, September/October 1978, pp. 373-387. 4. L. S. Czarnecki, “Power Related Phenomena in Three-phase Unbalanced System”, IEEE Trans. on Power Delivery, vol. 10, no. 3, pp. 11681176, July 1995. 5. B. Stott and O. Alsac, “ Fast Decoupled Power Flow”, IEEE Trans. on Power Apparatus System, vol. PAS-93, pp. 859-869, May/June 1974. 6. B. Stott, “Review of Load-Flow Calculation Methods”, Proceeding of the IEEE, vol. 62, no. 7, July 1974. 7. G. Gates, D.D Shipp, and W.S Vilcheck, “Electrical Distribution System Analysis for Off-Shore Oil Production Facilities”, IEEE Trans. on Industry Applications, vol. 36, no. 1, January/February 2000 8. C. L Forteque,” Method of Symmetrical CoOrdinates Applied to The Solutions of Polyphase Networks”, presented at the 34th Annual Convention AIEE, Atlantic City, N.J, June 28, 1918 9. T. H. Chen, “Evaluation of Line Loss Under Load Unbalance Using the Complex Unbalance Factor”, IEE Proc. On Generation, Transmission and Distribution, vol. 142, no. 2, March 1995. 10. L. F. Ochoa, R. M. Ciric, A. Padilha-Feltrin, G. P. Harrison, “Evaluation of Distribution System Losses Due to Load Unbalance”, presented at the 15th PSCC, Liege, 22-26 August 2005. 11. “Target Kelistrikan Nasional di Tahun 2009”, available from: http://dunialistrik.blogspot.com/2009/.../target-kelistrikannasional-di-tahun.html [accessed: 17/11/09].
REFERENCES
1. J.M Zolezzi and H. Rudnick, “Transmission Cost Allocation by Cooperative Games and Coalition Formation”, IEEE Trans. Power System, vol. 17, no. 4, pp. 1008-1015, Nov. 2002. 2. A. J. Conejo, J. M. Arroyyo, N. Alguacil, and A. L. Guijarro, “Transmission Loss Allocation: A Comparison of Different Practical Algorithms”, IEEE Trans. Power System, vol. 17, no. 4, pp. 571-576, Nov. 2002. 3. H.N Hickok, “Electrical Energy Losses in Power System”, IEEE Trans. on Industry
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
103
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Appendix A. The One-line Diagram of a Java 500 kV Interconnection Lines G8_TJ T-B
G9_GR SI K
G G3_P RI OK
G
G2_S RLYA
TJATI_B
G
G
G
G6_S GLN
G G1_S RLYA
BE KAS I
SB YBA RT
GRE SK
SA GULIN G
IB T_GR SK
BD GSLTAN
SU R ALAYA
IB T_BKS 1
IB T_SBT1
IB T_SBT2
IB T_BKS 2 C AWANG G10_GR TI
G
G7_C R ATA
G IB T_SLY1
IB T_BDG1
IB T_BDG2
IB T_SLY2
CILEGON
UNGARN
C IRATA
IB T_CWG1 IB T_CWG2
GRA TI
G4_M KR NG
G
G_PAI TON
IB T_CLG1
IB T_CLG2
IB T_CR T1
IB T_CRT2
IB T_UGN1
G
IB T_UGN 2
IB T_GRTI
GAN DU L
C IBNONG
PA ITON
MD RN C AN G
IB T_GD L1
IB T_GD L2 IB T_MDR C
G5_M TWA R IB T_CBG1 KE MBN GAN
D EPOK
IB T_CBG2
G
TAS IK
C IBA TU
IB T_PTN 1
PE DA N
KE DI RI
M. TAW AR
IB T_KBG1
IB T_KBG2
IB T_DPOK
IB T_CBT 1
IB T_CBT 2
IB T_TSIK
IB T_KDR I IB T_PDN 1
104
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
IB T_PDN 2
IB T_PTN 2
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Appendix B. The Bus Data of a Java 500 kV Interconnection Lines BUS BDGSLTAN BEKASI CAWANG CIBATU CIBNONG CILEGON CIRATA DEPOK G10_GRTI G1_SRLYA G2_SRLYA G3_PRIOK G4_MKRNG G5_MTWAR G6_SGLN G7_CRATA G8_TJT-B G9_GRSIK GANDUL GRATI GRESK G_PAITON IBT_BDG1 IBT_BDG2 IBT_BKS1 IBT_BKS2 IBT_CBG1 IBT_CBG2 IBT_CBT1 IBT_CBT2 IBT_CLG1 IBT_CLG2 IBT_CRT1 IBT_CRT2 IBT_CWG2 IBT_DPOK IBT_GDL1 IBT_GDL2 IBT_GRSK IBT_GRTI IBT_KBG1 IBT_KBG2 IBT_KDRI IBT_MDRC IBT_PDN1 IBT_PDN2 IBT_PTN1 IBT_PTN2 IBT_SBT1 IBT_SBT2 IBT_SLY1 IBT_SLY2 IBT_TSIK IBT_UGN1 IBT_UGN2 KEDIRI KEMBNGAN M.TAWAR MDRNCANG PAITON PEDAN SAGULING SBYBART SURALAYA TASIK TJATI_B UNGARN
TYPE N N N N N N N N GPV GPV GPV GPV GPV GPV GPV GPV GPV GPV N N N S L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L
Mag(V) Ang(DEG) 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0 500000 0
P(W) -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 +192000000 +1847000000 +1000000000 +694000000 +732000000 +1169000000 +95000000 +49000000 +630000000 +1378000000 -0 -0 -0 0 -265000000 -265000000 -325000000 -325000000 -290000000 -295000000 -344000000 -344000000 -320000000 -320000000 -174000000 -168000000 -330000000 -263000000 -320000000 -320000000 -180000000 -260000000 -355000000 -355000000 -215000000 -290000000 -216000000 -230000000 218000000 -230000000 -375000000 -375000000 -55000000 -40000000 -0 -91000000 -95000000 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0
Q(VAR) -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 0 -140000000 -140000000 -65000000 -65000000 -110000000 -115000000 -150000000 -150000000 -60000000 -60000000 -48000000 -44000000 -95000000 -37000000 -15000000 -15000000 +40000000 -120000000 -75000000 -80000000 -59000000 -50000000 -23000000 -19000000 -60000000 -60000000 -185000000 -185000000 +25000000 -35000000 -0 -77000000 -80000000 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0 -0
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
105
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Appendix C. The Load Data of a Java 500 kV Interconnection Lines BUS IBT_BDG1 IBT_BDG2 IBT_BKS1 IBT_BKS2 IBT_CBG1 IBT_CBG2 IBT_CBT1 IBT_CBT2 IBT_CLG1 IBT_CLG2 IBT_CRT1 IBT_CRT2 IBT_CWG1 IBT_CWG2 IBT_DPOK IBT_GDL1 IBT_GDL2 IBT_GRSK IBT_GRTI IBT_KBG1 IBT_KBG2 IBT_KDRI IBT_MDRC IBT_PDN1 IBT_PDN2 IBT_PTN1 IBT_PTN2 IBT_SBT1 IBT_SBT2 IBT_SLY1 IBT_SLY2 IBT_TSIK IBT_UGN1 IBT_UGN2
TYPE L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L
P(a) 88245000 88245000 108225000 108225000 96570000 98235000 114552000 114552000 106560000 106560000 57942000 55944000 109890000 109890000 87579000 106560000 106560000 59940000 86580000 118215000 118215000 71595000 96570000 71928000 72594000 76590000 76590000 124875000 124875000 18315000 13320000 0 30303000 31635000
Q(a) 46620000 46620000 21645000 21645000 36630000 38295000 49950000 49950000 19980000 19980000 15984000 14652000 31635000 31635000 12321000 4995000 4995000 13320000 39960000 24975000 26640000 19647000 16650000 7659000 6327000 19980000 19980000 61605000 61605000 -8325000 11655000 0 25641000 26640000
P(b) Q(b) 88195313 46593750 88195313 46593750 108164062 21632813 108164062 21632813 96515625 36609375 98179688 38273438 114487500 49921875 114487500 49921875 106500000 19968750 106500000 19968750 57909375 15975000 55912500 14643750 109828125 31617188 109828125 31617188 87529688 12314063 106500000 4992188 106500000 4992188 59906250 -13312500 86531250 39937500 118148437 24960938 118148437 26625000 71554688 19635938 96515625 16640625 71887500 7654688 72553125 6323438 76546875 19968750 76546875 19968750 124804688 61570313 124804688 61570313 18304688 -8320313 13312500 11648438 0 0 30285938 25626563 31617188 26625000
P(c) 88559688 88559688 108610938 108610938 96914375 98585313 114960500 114960500 106940000 106940000 58148625 56143500 110281875 110281875 87891313 106940000 106940000 60153750 86888750 118636563 118636563 71850313 96914375 72184500 72852875 76863125 76863125 125320313 125320313 18380313 13367500 0 30411063 31747813
Appendix D. The Branch Data of a Java 500 kV Interconnection Lines
106
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Q(c) 46786250 46786250 21722188 21722188 36760625 38431563 50128125 50128125 20051250 20051250 16041000 14704250 31747813 31747813 12364938 5012813 5012813 -13367500 40102500 25064063 26735000 19717063 16709375 7686313 6349563 20051250 20051250 61824688 61824688 -8354688 11696563 0 25732438 26735000
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
# From
To Type R0 X0 R X (Ohms) (Ohms) (Ohms) (Ohms) (Mhos) (PU) 1 BDGSLTAN IBT_BDG1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 2 BDGSLTAN IBT_BDG2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 3 BDGSLTAN MDRNCANG F 36.44 181.90 14.33 37.13 4 BEKASI CAWANG F 5.14 25.67 2.02 5.24 5 BEKASI CIBNONG F 6.94 32.68 1.13 10.89 6 BEKASI IBT_BKS1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 7 BEKASI IBT_BKS2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 8 CAWANG CIBNONG F 9.97 46.95 1.63 15.65 9 CAWANG IBT_CWG1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 10 CAWANG IBT_CWG2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 11 CAWANG M.TAWAR F 14.66 73.16 5.76 14.94 12 CIBATU IBT_CBT1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 13 CIBATU IBT_CBT2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 14 CIBNONG DEPOK F 4.75 23.73 1.87 4.84 15 CIBNONG IBT_CBG1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 16 CIBNONG IBT_CBG2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 17 CIBNONG M.TAWAR F 16.19 80.79 6.36 16.49 18 CILEGON CIBNONG F 23.45 110.46 3.83 36.82 19 CILEGON IBT_CLG1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 20 CILEGON IBT_CLG2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 21 CIRATA CIBATU F 14.28 71.27 5.61 14.55 22 CIRATA IBT_CRT1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 23 CIRATA IBT_CRT2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 24 DEPOK IBT_DPOK F 0.00 0.01 0.00 0.00 25 DEPOK TASIK F 85.36 426.03 33.56 86.97 26 G10_GRTI GRATI F 0.02 0.08 0.01 0.02 27 G1_SRLYA SURALAYA F 0.02 0.08 0.01 0.02 28 G2_SRLYA SURALAYA F 0.02 0.08 0.01 0.02 29 G3_PRIOK BEKASI F 0.02 0.08 0.01 0.02 30 G4_MKRNG GANDUL F 0.02 0.08 0.01 0.02 31 G5_MTWAR M.TAWAR F 0.02 0.08 0.01 0.02 32 G6_SGLN SAGULING F 0.02 0.08 0.01 0.02 33 G7_CRATA CIRATA F 0.02 0.08 0.01 0.02 34 G8_TJT-B TJATI_B F 0.02 0.08 0.01 0.02 35 G9_GRSIK GRESK F 0.02 0.08 0.01 0.02 36 GANDUL DEPOK F 6.72 33.53 2.64 6.85 37 GANDUL IBT_GDL1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 38 GANDUL IBT_GDL2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 39 GANDUL KEMBNGAN F 2.64 12.69 3.78 4.23 40 GRATI IBT_GRTI F 0.00 0.01 0.00 0.00 41 GRATI PAITON F 27.04 134.94 10.63 27.55 42 GRESK IBT_GRSK F 0.00 0.01 0.00 0.00 43 GRESK SBYBART F 72.99 364.30 28.69 74.37 44 G_PAITON PAITON F 0.02 0.08 0.01 0.02 45 KEDIRI IBT_KDRI F 0.00 0.01 0.00 0.00 46 KEMBNGAN IBT_KBG1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 47 KEMBNGAN IBT_KBG2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 48 M.TAWAR CIBATU F 14.71 73.41 5.78 14.99 49 MDRNCANG IBT_MDRC F 0.00 0.01 0.00 0.00 50 PAITON IBT_PTN1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 51 PAITON IBT_PTN2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 52 PAITON KEDIRI F 27.04 134.94 10.63 27.55 53 PEDAN IBT_PDN1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 54 PEDAN IBT_PDN2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 55 PEDAN KEDIRI F 61.93 309.09 24.35 63.10 56 SAGULING BDGSLTAN F 11.46 57.17 4.50 11.67 57 SAGULING CIBNONG F 25.59 127.72 10.06 26.07 58 SAGULING CIRATA F 7.69 38.37 3.02 7.83 59 SBYBART GRATI F 24.25 121.04 9.53 24.71 60 SBYBART IBT_SBT1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 61 SBYBART IBT_SBT2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 62 SBYBART UNGARN F 77.08 307.78 30.30 62.83 63 SURALAYA CILEGON F 1.20 5.77 0.17 1.92 64 SURALAYA GANDUL F 10.18 47.97 1.66 15.99 65 SURALAYA IBT_SLY1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 66 SURALAYA IBT_SLY2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 67 TASIK IBT_TSIK F 0.00 0.01 0.00 0.00 68 TASIK PEDAN F 92.84 463.37 36.50 94.59 69 TJATI_B SBYBART F 97.72 487.76 38.42 99.57 70 TJATI_B UNGARN F 41.23 205.77 16.21 42.01 71 UNGARN IBT_UGN1 F 0.00 0.01 0.00 0.00 72 UNGARN IBT_UGN2 F 0.00 0.01 0.00 0.00 73 UNGARN MDRNCANG F 68.69 342.86 27.01 69.99 74 UNGARN PEDAN F 23.01 114.87 9.05 23.45
B/2
Tap
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
107
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENENTUAN LETAK DAN UKURAN KAPASITOR PADA SISTEM DISTRIBUSI DENGAN ADAPTIVE GENETIC ALGORITHM Patria Julianto Jurusan Teknik Elektro, Universitas Borneo Jl. Amal Lama No.1, Tarakan, Kalimantan Timur, 77123. e-mail :
[email protected]
Abstract —In distribution systems, capacitor gene-rally are used to provide reactive power compen-sation, to correction power factor, to reduce real power losses and to improve voltage profiles. The main problem of capacitor placement is to determine of the location and size of the capacitor to be placed in the system. In this research, adaptive genetic algorithm (AGA) is used to determine of the location and size of the capacitor. In the AGA, searching performance is improved by adaptively changing crossover and mutation probability to prevent premature convergence. The solution algorithm has been implemented into a Matlab 7.1 and tested on the 20 kV distribution system, Tanjung Sari feeder, Sanur substation. Numerical results are presented and compared with results of other approaches. Keywords : Capacitor placement, losses reduction, adaptive genetic algorithms. PENDAHULUAN
Kualitas suatu sistem tenaga listrik ditentukan dari besarnya variasi frekuensi dan tegangan. Untuk frekuensi sistem, pengontrolan keseimbangannya diatur dengan mengatur keseimbangan daya aktif antara daya aktif yang dibangkitkan sistem dengan daya aktif beban ditambah rugi-rugi. Sedangkan kontrol tegangan dipengaruhi oleh pengaturan daya reaktif sistem. Sumber daya reaktif pada sistem tenaga listrik bisa dihasilkan oleh eksitasi generator sinkron, pengaturan tap transformator dan kompensator daya reaktif. Kompensator daya reaktif yang ada sangat bervariasi, kapasitor merupakan salah satu dari kompensator daya reaktif pada sistem tenaga listrik, yang digunakan untuk mengontrol tegangan dan daya reaktif pada terminalnya secara cepat di dalam sistem. Pengaturan kapasitor merupakan salah satu teknik optimisasi yang umum dipakai pada sistem distribusi. Kapasitor pada sistem tenaga listrik digunakan untuk mengkompensasi daya reaktif, memperbaiki faktor daya, meningkatkan profil tegangan, dan untuk mereduksi rugi-rugi daya aktif. Permasalahan utama peletakan kapasitor yaitu menentukan lokasi dan ukuran kapasitor untuk dialokasikan pada sistem distribusi. Penelitian untuk peletakan kapasitor telah banyak dilakukan, Baran dan Wu [1,2] menyelesaikan masalah penempatan kapasitor menggunakan mixed integer programming. Haque [3] menentukan lokasi kapasitor dengan cara menempatkannya satu per satu, dan menentukan ukuran optimal dari kapasitor dengan minimisasi persamaan rugi-rugi dengan mempertimbangkan arus kapasitor. Algoritma simulated annealing [4-5], genetic algorithm [67], fuzzy logic [8] dan tabu search [9] digunakan untuk mengoptimisasi penempatan kapasitor.
108
Pada metode genetic algortihm (GA) ada dua masalah yang sering ditemui dalam proses pencarian yaitu efisiensi pencarian lokal yang rendah dan konvergensi prematur. Secara umum pada GA, proses crossover dan mutasi secara acak ditentukan di dalam panjang kromosom suatu individu. Hasilnya, semua individu baik itu individu dengan nilai fitness tinggi maupun individu dengan nilai fitnes rendah berpeluang sama untuk berubah. Untuk menyelesaikan optimisasi penentuan lokasi dan ukuran kapasitor digunakan metode Adaptive Genetic Algorithm (AGA). Pada AGA, untuk mencegah konvergensi prematur maka perlu diciptakan keanekaragaman individu pada setiap populasi dalam satu generasi, dengan cara mengadaptasi proses crossover dan mutasi sesuai dengan nilai fitness masing-masing individu. Panjang langkah pencarian berubah secara adaptif sesuai dengan nilai fitness, hasil dengan nilai fitness tinggi hanya melakukan pencarian lokal untuk meningkatkan efisiensi pencarian lokal dan hasil dengan nilai fitness rendah melakukan pencarian global untuk mencegah konvergensi prematur. Operasi mutasi aritmetika juga diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan hamming distance pada pengkodean biner. 2. FORMULASI MASALAH
Tujuan dari optimisasi penentuan letak dan ukuran kapasitor pada sistem distribusi adalah untuk mereduksi rugi-rugi daya aktif pada sistem distribusi tersebut. Dari tujuan tersebut maka dapat dirumus-kan formulasi untuk minimisasi rugi-rugi daya aktif untuk optimisasi penentuan letak dan ukuran kapasitor, yang dinyatakan sebagai berikut :
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
min Ploss
Nb
Pi
i 1
Subject to : g(x) 0
V min V i V max S i S i max
(1) Keterangan : : jumlah total dari saluran. Nb P loss : rugi-rugi daya aktif sistem. ΔP i : rugi-rugi daya aktif pada saluran i. x : vektor tegangan bus. g(x) : persamaan aliran daya. : magnitude tegangan dari bus i. Vi V min : batas minimum dari tegangan bus. V max : batas maksimum dari tegangan bus. S imax : batas kapasitas maksimum dari saluran i. Fungsi objektif untuk mereduksi rugi-rugi daya aktif sebagai berikut :
min F obj
Nb
P
i
k1 f v k 2 f c
i 1
(2)
Keterangan : fv : fungsi penalti untuk pelanggaran batasan tegangan bus. : fungsi penalti untuk pelanggaran batasan fc kapasitas saluran. k 1 , k 2 : koefisien penalti. 3. PENENTUAN LETAK DAN UKURAN KAPASITOR DENGAN AGA
3.1. Genetic Algorithm (GA) GA bekerja dengan populasi string dan melakukan proses pencarian nilai optimal secara paralel dengan menggunakan operator genetika. GA akan melakukan rekombinasi antar individu. Elemen dasar yang diproses GA adalah string (kromosom) dengan panjang tertentu yang tersusun dari rangkaian substring (gen), dan biasanya merupakan kode biner (0,1). GA merupakan prosedur iteratif, bekerja dengan suatu kumpulan string sebagai kandidat solusi dengan jumlah konstan. Populasi ini kemudian berkembang dari generasi ke generasi melalui operator genetika. Setiap langkah iterasi disebut generasi, individu dalam populasi saat itu akan dievaluasi dan diseleksi untuk menentukan populasi pada generasi selanjutnya. Selama proses evolusi genetika, kromosom yang lebih sehat memiliki kecenderungan menghasilkan keturunan yang sehat pula, dan dari kromosom yang sehat diharapkan menghasilkan keturunan yang lebih banyak serta mungkin dapat bertahan pada generasi selanjutnya. Terdapat tiga operator dasar pada GA yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :
1) Seleksi orang tua Seleksi orang tua merupakan prosedur sederhana dengan dua kromosom dipilih dari populasi orang tua berdasarkan pada nilai fitness masing-masing. Solusi dengan nilai fitness tinggi memiliki peluang yang besar untuk memberikan keturunan baru pada generasi berikutnya. Aturan seleksi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan seleksi roulette-wheel sederhana. Schema H Encoding String : {
1
0
1 Td
}
Hd Gambar 1 Ilustrasi Konsep Pengkodean pada AGA 2) Crossover Crossover memiliki tanggung jawab untuk rekombinasi struktur dan menentukan kecepatan konvergen dari GA, biasanya digunakan dengan probabilitas yang tinggi (0,6-0,9). Kromosomkromosom dari dua orang tua yang terpilih dikombinasikan untuk membentuk kromosom baru yang mewariskan segmen dari penyimpanan informasi dalam kromosom orang tua. 3) Mutasi Mutasi adalah operator yang bertanggung jawab untuk menginjeksikan informasi baru. Dengan probabilitas yang kecil, bit-bit yang diacak dari kromosom keturunan diubah dari 0 ke 1 dan sebaliknya dan memberikan karakteristik baru yang tidak terdapat pada populasi orang tua. Pada penelitian ini, operator mutasi diaplikasikan dengan probabilitas yang relatif kecil (0,0001-0,001). 3.2. Pengkodean Pada GA, pengkodean string biner digunakan untuk merepresentasikan parameter-parameter pengaturan dari suatu permasalahan optimisasi diskrit, dalam penelitian ini optimisasi tersebut adalah penentuan kapasitor dan kapasitor dikodekan dengan dua parameter, yaitu : lokasi dan ukuran. Untuk pendekodean kromosom sebagai berikut : X
i
A
B A 2l
l
b 1 j 1
ij
2
j 1
(3)
Keterangan : A,B : batas terbawah dan teratas variabel. l : panjang pengkodean. : nilai (0 atau 1) dari gen j pada hasil i. b ij 2 j-1 : koefisien decoding dari gen j. : variabel yang bersesuaian dengan hasil i. Xi
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
109
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Beberapa konsep yang digunakan pada AGA diilustrasikan pada Gambar 1, dan didefinisikan sebagai berikut : 1) Panjang langkah pencarian dari gen j didefinisikan sebagai jarak dari posisi gen j ke bit terakhir dalam string pengkodean. 2) T d didefinisikan sebagai jarak dari bit terakhir yang sudah ditentukan dalam skema ke bit terakhir dari string pengkodean sebagai panjang ekor dari skema H. Pada gambar 1, T d = 2. 3) H d didefinisikan sebagai jarak dari bit yang ditentukan pertama dalam skema ke bit terakhir dari string pengkodean sebagai panjang kepala dari skema H. Pada gambar 1, H d = 7. 3.3. Adaptive Genetic Algorithm (AGA) [10], [11] Pada AGA, panjang langkah pencarian berubah secara adaptif sesuai dengan nilai fitness dari untuk menjamin bahwa hasil genetika dengan nilai fitnes yang tinggi atau hasil yang baik hanya melakukan pencarian lokal untuk meningkatkan efisiensi pencarian lokal dan hasil dengan nilai fitnes yang rendah atau hasil tidak baik melakukan pencarian global untuk mencegah konvergensi prematur. Sebagai tambahan strategi mutasi aritmetika digunakan untuk menyelesaikan permasalahan Hamming distance pada pengkodean biner GA. Pada AGA, untuk mencapai tujuan hasil baik hanya melakukan pencarian lokal dan hasil tidak baik melakukan pencarian global, panjang langkah dari crossover N c dan mutasi N m berubah secara adaptif menurut nilai fitnes dari hasil genetika. Untuk masing-masing nilai crossover dan mutasi diberikan sebagai berikut :
f f ' c1. max i c2 .(l 1) fi' fave Nc f max fave fi' f ave l 1
(4)
f f m1. max i m2 l f1 fave Nm fmax fave l 1 fi fave
(5)
110
Generate probabilitas mutasi T
? Y
?
T
Y
Hitung M p
Hitung N m dan M p
Operasi mutasi konvensional
Operasi mutasi aritmetika
Selesai
Gambar 2 Flowchart Operasi Mutasi
Titik crossover yang bersesuaian, C p , dan posisi mutasi, M p , ditentukan sebagai berikut : (6)
Mulai
Hitung nilai fitnes
Keterangan : c 1 , c 2 : koefisien dari panjang langkah crossover. m 1 , m 2 : koefisien dari panjang langkah mutasi. : nilai fitness maksimum dari populasi. f max fi’ : nilai fitness tertinggi dari dua kromosom untuk disilangkan. : nilai fitness kromosom untuk dimutasi. fi : nilai fitness rata-rata dari populasi. f ave
C p rand N c M rand N m p
dengan rand adalah angka acak seragam pada (0,1). Untuk pengkodean secara biner, Hamming distance merupakan masalah yang besar yang mempengaruhi performansi pencarian. String pengkodean biner yang diberikan, misalnya L i = 01111111, sangat sulit untuk mengubah dari L i menjadi L i ’ = 10000000 jika operasi crossover dan mutasi konvensional digunakan. Walaupun perbedaan dari nilai variabel antara L i dan L i ’ hanya satu, dari 8 bit string berbeda. Pada optimisasi pengaturan kapasitor dengan AGA, kapasitor bank dikodekan ke dalam string biner. Untuk mengubah probabilitas crossover dan mutasi secara adaptif, skema titik tunggal crossover dan mutasi diterapkan pada operasi crossover dan mutasi.
3.4. Fungsi Fitness Pada GA, nilai fitness digunakan untuk menunjukkan performance dari hasil genetika. Fungsi fitness pada optimisasi penentuan lokasi dan ukuran kapasitor diberikan sebagai berikut :
F ( x)
Cm F obj ( g )
(7)
dengan C m 5 Po _ loss , P o_loss adalah rugi-rugi daya aktif dari sistem distribusi original, g adalah hasil genetika dan F obj adalah nilai dari fungsi objektif (2). Nilai fungsi fitness tidak dapat langsung dihubungkan dengan nilai tujuannya melainkan harus dirangking terlebih dahulu nilai tujuannya. Dengan cara ini, dapat ditentukan kromosomkromosom yang layak digunakan dalam proses selanjutnya sehingga konvergensi awal dapat
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dihindari dan akan mempercepat proses pencarian ketika populasi mendekati konvergen. Dari persamaan (7) didapatkan bahwa rugi-rugi daya terbesar adalah kromosom dengan nilai fitness terendah. Hal tersebut berarti sudah sesuai dengan tujuan optimisasi penentuan letak dan ukuran kapasitor yaitu untuk mereduksi rugi-rugi daya.
Evolutionary Algorithm (VEA) [12] menjadi 27,51 kW dan menggunakan AGA menjadi 26,14 kW.Untuk hasil simulasi lebih lengkap dan hasil simulasi menggunakan metode lain dapat dilihat pada tabel I. 5. KESIMPULAN
4. HASIL SIMULASI
Pada penelitian ini simulasi penentuan lokasi dan ukuran kapasitor dengan AGA dilakukan dengan menggunakan komputer dengan spesifikasi proses-sor AMD Turion 64 X2 1,61 GHz, RAM 896 MB. Dengan software Matlab 7.1. Data yang digunakan adalah sistem distribusi 20 kV penyulang Tanjung Sari, Gardu Induk Sanur, Bali [12]. Sistem distribusi 20 kV penyulang Tanjung Sari, Gardu Induk Sanur, Bali terdiri dari 15 bus, 1 slack bus dan 14 bus beban. Tabel I Hasil Simulasi Sistem Distribusi 20 kV Penyulang Tanjung Sari, GI Sanur, Bali Metode Optimisasi
Optimisasi GA Q1 = 000 Q2 = 900 Q3 = 000 Q4 = 000 Q5 = 000 Q6 = 450 Lokasi dan Q7 = 000 Ukuran Q8 = 000 Kapasitor Q9 = 000 Q10 = 000 Q11 = 000 Q12 = 150 Q13 = 000 Q14 = 150 Q15 = 300 Total QT = 1950 kapasitor (kVAr) Tegangan 20,2768 min. (kV) Tegangan 20,5000 maks. (kV) Faktor daya 0,7894 min. Faktor daya 0,9955 maks. Rugi-rugi 27,9450 (MW)
Optimisasi Optimisasi VEA AGA Q1 = 000 Q1 = 000 Q2 = 600 Q2 = 000 Q3 = 000 Q3 = 000 Q4 = 000 Q4 = 000 Q5 = 000 Q5 = 000 Q6 = 300 Q6 = 000 Q7 = 150 Q7 = 600 Q8 = 000 Q8 = 600 Q9 = 150 Q9 = 300 Q10 = 000 Q10 = 000 Q11 = 150 Q11 = 000 Q12 = 450 Q12 = 000 Q13 = 000 Q13 = 150 Q14 = 150 Q14 = 000 Q15 = 150 Q15 = 000 QT = 2100 QT = 1650 20,2851
20,2792
20,5000
20,5000
0,7474
0,7915
0,9987
0,9972
27,5100
26,1427
Dari hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa metode AGA dapat mengkompensasi daya reaktif, memperbaiki faktor daya dan tegangan, sehingga dengan penentuan posisi dan ukuran kapasitor dapat meminimalkan rugi-rugi daya pada sistem distribusi. Pada simulasi menggunakan data sistem distribusi 20 kV penyulang Tanjung Sari, GI Sanur, Bali, didapatkan bahwa AG menempatkan kapasitor di 5 bus dengan total ukuran kapasitor sebesar 1950 kVAr, VEA menempatkan kapasitor di 8 bus dengan total ukuran kapasitor sebesar 2100 kVAr. Sedangkan AGA menempatkan kapasitor di 4 bus dengan total ukuran kapasitor sebesar 1650 kVAr. Setelah optimisasi, GA mampu menurunkan rugirugi menjadi 27,95 kW (21,96 %), VEA mampu menurunkan rugi-rugi menjadi 27,51 kW (23,19 %), sedangkan AGA mampu menurunkan rugi-rugi menjadi 26,14 kW (27 %). REFERENSI
[1]
[2]
[3]
[4]
Parameter-parameter pada GA ditentukan sebagai berikut : ukuran populasi sebesar 80, generasi maksimum 200, probabilitas crossover terdiri dari batas bawah dan batas atas masingmasing sebesar 0,5 dan 0,9, dan probabilitas mutasi terdiri dari batas bawah dan batas atas masingmasing sebesar 0,001 dan 0,3. Dari hasil simulasi, pada kondisi sebelum optimisasi rugi-rugi yang dihasilkan sebesar 35,82 kW. Setelah dilakukan optimisasi menggunakan GA [12] menjadi 27,95 kW, menggunakan Virus
[5]
[6]
M. E. Baran and F. F.Wu, “Optimal capacitor placement on radial distribution systems,” IEEE Trans. Power Del., vol. 4, no. 1, pp. 725–734, Jan. 1989. M. E. Baran and F. F. Wu, “Optimal sizing of capacitors placed on a radial distribution system,” IEEE Trans. Power Del., vol. 4, no. 1, pp.735–743, Jan. 1989. M. H. Haque, “Capacitor placement in radial distribution systems for loss reduction,”Proc. Inst. Elect. Eng., Gen., Transm., Distrib., vol.146, no. 3, pp.501– 505, Apr. 1999. H. D. Chiang, et.al.,“Optimal capacitor placement in distribution systems-Part I: A new formulation and the overall problem,” IEEE Trans. Power Del., vol. 5, no. 2, pp.634–642, Apr. 1990. H.D. Chiang, J. C. Wang, O. Cockings, and H. D. Shin, “Optimal capacitor placement in distribution systems-Part II: Solution algorithms and numerical results,” IEEE Trans. Power Del., vol. 5, no. 2, pp.643–649, Apr. 1990. S. Srinivasan and P. Anil, “Optimal selection of capacitors for radial distribution systems using a genetic
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
111
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
112
algorithm,” IEEE Trans. Power Syst., vol. 9, no. 3, pp. 1499–1507, Aug. 1994. M.S. Masoum, et.al., “ Optimal Placement, Replacement and Sizing Capacitor Banks in by Genetic Algorithm,” IEEE Trans. On Power Delivery, Vol. 19, No. 4, Oct. 2004. H.C. Chin and W.M. Lin, “Capacitor Placements for Distribution Systems with Fuzzy Algorithm,” in Proc. IEEE Region 10’s 9th Annu. Int. Conf., Theme, Frontiers of Computer Technology, vol.2, pp.10251029, 1994. Y. C. Huang, H. T. Yang, and C. L. Huang, “Solving the capacitor placement problem in a radial distribution system using tabu search approach,” IEEE Trans. Power Syst., vol. 11, no. 4, pp. 1868–1873, Nov. 1996. M. Srinivas and L. M. Patnaik, “Adaptive probabilities of crossover and mutation in genetic algorithms,” IEEE Trans. Syst., Man, Cybern., vol. 24, no.4, pp. 656–666, Apr. 1994. D. Zhang, Zhengcai Fu, L. Zhang, “Joint optimization for power loss reduction in distribution systems,” IEEE Trans. Power Syst., vol.23, no.1, pp. 161-169, February 2008. A.A. Ngurah Amrita, “Penentuan Posisi dan Kapasitas Optimal Bank Kapasitor Pada Sistem Distribusi Menggunakan Virus Evolutionary Algorithm (VEA),” Tesis, ITS Surabaya, 2007.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
STUDI PERENCANAAN JARINGAN BERGERAK SELULER DENGAN METODE PENDEKATAN TERINTEGRASI Mytha Arena Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro STTNAS Yogyakarta
[email protected] ABSTRAK Perencanaan jaringan bergerak seluler dengan metode konvensional yang lebih mengutamakan area cakupan dengan penekanan pada pemodelan perambatan gelombang radio dan analisis interferensi menjadi tidak efisien saat berhadapan dengan fakta yaitu (1) meningkatnya jumlah permintaan layanan komunikasi bergerak; (2)cepatnya perkembangan teknologi komunikasi seluler yang lebih membutuhkan perencanaan berdasarkan permintaan layanan dan (3)ketatnya persaingan antar operator. Salah satu pembaruan metode yang dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut adalah perencanaan dengan pendekatan terintegrasi. Dalam metode ini, tiga aspek perencanaan jaringan seluler: area cakupan, kapasitas dan permintaan trafik yang diimplementasikan dengan konsep demand node, serta aspek ekonomis dipadukan dan disusun menjadi empat modul yaitu karakteristik pelanggan bergerak, transmisi radio, alokasi sumber daya, dan arsitektur sistem.
Kata kunci: demand node, pelanggan bergerak, transmisi radio, alokasi sumber daya, arsitektur sistem ABSTRACT Conventional mobile network planning is focusing in coverage with radio wave propagation model and interference analysis and that is not efficient when it faces three challenges: first, tremendous increase in the demand for mobile communication services; second, new technologies mobile cellular network require demand based planning methods; and third, competition between the mobile service operators is increased. Therefore new planning method, integrated approach to cellular network planning is proposed. In this method, three aspects like coverage area, capacity and traffic demand, that be implemented in demand node concept with economic are integrated and constructed to four modules, mobile subscriber, radio transmission, resource allocation and system architecture. PENDAHULUAN Pada dasarnya, perancangan sistem seluler mempunyai tujuan utama untuk men set-up jaringan radio secara optimal, dengan memberikan cakupan terbaik dari area yang ditentukan. Akan tetapi, dengan perkembangan jumlah pengguna yang semakin besar, faktor biaya untuk penyediaan layanan menjadi aspek penting dalam perancangan sistem. Oleh karena itu, dasar perencanaan jaringan juga harus diubah, dari parameter-parameter frekuensi radio menjadi perencanaan berdasarkan analisis permintaan trafik. PERENCANAAN JARINGAN SELULER KONVENSIONAL Selama ini, perencanaan jaringan seluler komersial yang ada, yang lebih dikenal dengan perencanaan secara konvensional, lebih menekankan pada pendekatan analitis dan lebih fokus pada aspek perencanaan radio (Gamst dkk, 1986) seperti pemilihan tempat untuk base station, perencanaan frekuensi dan perancangan antena. Pada prinsipnya, pendekatan konvensional ini terdiri atas empat fase, yaitu: 1. definisi jaringan radio dengan input peta geografis dan output estimasi lokasi pemancar base station,
2. 3.
4.
analisis propagasi dengan input morfografi dan model perambatan gelombang radio serta output area cakupan, alokasi frekuensi, didasarkan pada estimasi kasar dari pengelompokan land use dan ketentuan besar interferensi maksimum serta memberikan output jumlah kanal untuk setiap sel, dan analisis jaringan radio, dengan input karakteristik kanal stokastik dan output nilai kualitas layanan jaringan seperti probabilitas blocking dan dropping hand-over.
Pada fase definisi jaringan radio, keahlian dan pengalaman seseorang dalam memilih lokasi pemancar base station sangat dibutuhkan dan konsep yang biasa digunakan adalah mendistribusikan pemancar di setiap grid sel hexagonal. Konfigurasi pemancar-pemancar ini digunakan untuk melakukan analisis propagasi pada area cakupan dengan mengukur kekuatan sinyal yang ada. Jika level sinyal tidak cukup kuat, maka perlu dicari posisi pemancar yang baru dan dillakukan lagi analisis propagasi hingga level sinyal cukup tinggi (diatas nilai ambang yang ditentukan). Pada tahap alokasi frekuensi, banyaknya kanal trafik dan frekuensi di sebuah sel dihitung dengan menggunakan teknik perencanaan kapasitas
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
113
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
seperti rumus Erlang B (Mouly dan Pautet, 1992). Jika dengan pola frequency reuse yang digunakan dan batasan interferensi yang diberikan sudah memenuhi ketentuan, maka proses perancangan dapat dilanjutkan ke analisis jaringan radio, dan jika belum memenuhi, maka proses harus diulang dari awal. Demikian juga dengan perhitungan kualitas layanan. Jika Grade of Service (GoS) yang dihitung berdasarkan probabilitas blocking dan dropping hand-over telah memenuhi kriteria yang ditentukan, maka proses perancangan dapat diakhiri dan jika tidak proses harus diulangi lagi. PERENCANAAN TERINTEGRASI
JARINGAN
Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. Pelanggan bergerak
Perancangan jaringan Otomatis Evaluasi kinerja dan Optimisasi Alokasi sumber daya
Arsitektur Sistem
Gambar 1. Konsep perencanaan jaringan terintegrasi
Secara paralel, aspek-aspek tersebut berlaku sebagai input dan memberikan kontribusi pada komponen integrasi yang lebih tinggi, yaitu perancangan jaringan otomatis yang juga bertanggungjawab dalam mengatur perbedaanperbedaan tujuan dari masing-masing aspek, disamping melakukan evaluasi dan optimisasi jaringan. Karena sifat keempat aspek tersebut yang saling berinteraksi dan saling bergantung, maka aspek-aspek tersebut dibentuk secara modular dan diimplementasikan dalam konsep Demand Node. Konsep Demand Node Demand Node merupakan inti dari perancangan dengan pendekatan terintegrasi, yang akan dipakai untuk menyatakan distribusi spasial dari permintaan trafik titik-titik (Nodes) yang berlainan. Terdapat dua definisi dari konsep demand node, yaitu:
114
2.
SELULER
Konsep perencanaan jaringan bergerak seluler terintegrasi terdiri atas empat aspek utama dari sistem komunikasi bergerak seluler, yaitu: 1. Transmisi Radio 2. Pelanggan bergerak 3. Alokasi sumber daya 4. Arsitektur sistem
Transmisi Radio
1.
Demand node merupakan representasi pusat dari sebuah area yang menyatakan permintaan trafik, yang ditentukan berdasarkan banyaknya permintaan panggilan per satuan waktu. Dari banyaknya permintaan trafik yang ada, akan dilakukan diskretisasi dalam ruang dan demand, sehingga didapatkan titik-titik(nodes) dengan permintaan trafik tinggi dan rendah. Supplying area dari transmitter (TRX) adalah sekumpulan demand nodes yang mempunyai rugi lintasan (path loss) pada arah maju (forward link) dan arah balik (reverse link) lebih tinggi daripada nilai ambang yang didefinisikan oleh parameter link budget atau dengan kata lain area cakupan demand nodes.
Dengan meletakkan demand nodes sebagai dasar semua aspek, maka demand nodes berperan sebagai link penghubung antara aspek-aspek tersebut dan memfasilitasi integrasi antara keempat aspek tersebut. Pelanggan bergerak Karakteristik pelanggan bergerak pada sistem seluler dapat digambarkan dalam dua level, yaitu statis dan dinamis. Karakteristik statis terdiri atas distribusi spasial pengguna pada area layanan jaringan dan model populasi merupakan model yang tepat untuk menggambarkan tingkah laku pelanggan. Sementara karakteristik dinamis lebih menggambarkan tingkah laku pelanggan yang tergantung pada waktu, seperti pola mobilitas dari pengguna. Transmisi radio Dalam merancang jaringan seluler, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah memastikan bahwa kehandalan transmisi radio dalam area layanan adalah optimal dalam batasan-batasan kondisi yang disyaratkan. Tujuan ini dapat tercapai dengan menempatkan transmiter sedemikian rupa sehingga kuat sinyal yang diterima pada titik-titik layanan adalah maksimal dan interferensi karena sumber-sumber radio lain dapat diminimalisir. Demand nodes dalam hal ini berlaku seperti sensor kuat medan listrik yang dihitung dengan menggunakan model-model perambatan gelombang radio yang telah dikenal selama ini. Sebuah node dikatakan mendapatkan layanan jika node tersebut menerima kuat medan minimum yang dibutuhkan dari sedikitnya sebuah base station. Oleh karena itu, transmiter harus diposisikan sedemikian rupa sehingga jumlah demand nodes yang terlayani menjadi maksimal. Alokasi Sumber Daya Sumber daya yang dimaksud disini adalah frekuensi dan kanal yang tersedia, dimana keduanya merupakan sumber daya yang terbatas dan tidak dapat ditingkatkan secara sembarangan.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Jarak penggunaan kembali frekuensi (frequency reuse) sangat berperan dalam menentukan jumlah kanal maksimum di setiap sel, yang selanjutnya akan membatasi besarnya trafik yang dapat ditangani oleh sel tersebut. Pada pendekatan terintegrasi ini, trafik direpresentasikan dalam konsep Demand Nodes, maka permasalahan pada alokasi sumber daya adalah bagaimana merencanakan sel sehingga jumlah demand nodes dalam sebuah sel tidak melebihi ambang batas maksimum atau dengan kata lain pola frequency reuse akan digunakan sebagai parameter yang membatasi banyaknya demand nodes dalam sebuah sel. Dengan demikian, hanya sel-sel yang memenuhi ketentuan yang akan diperhitungkan dalam perancangan jaringan. Arsitektur Sistem Secara umum, arsitektur sistem jaringan komunikasi bergerak terdiri atas dua bagian utama, yaitu subsistem transmisi radio dan jaringan transport. Dalam pendekatan jaringan terintegrasi, kedua bagian tersebut mempunyai interkoneksi sangat erat dan dengan konfigurasi yang tepat dapat memberikan kinerja sistem yang bagus, selain mengefisiensikan kerja jaringan secara keseluruhan. Arsitektur sistem pada pendekatan terintegrasi memperhitungkan besarnya trafik yang ditawarkan pada jaringan bergerak dan pengaruhnya pada subsistem jaringan transport. Hal ini sesuai dengan sasaran metode pendekatan ini yaitu mendistribusikan dengan cermat beban trafik dari subsistem transmisi radio ke subsistem jaringan transport. Misalnya base station dihubungkan dengan mobile switching center dengan cara sedemikian rupa sehingga trafik pensinyalan yang terjadi minimal dan sesuai dengan beban switch tersebut. Perancangan jaringan otomatis Perancangan jaringan otomatis merupakan tool perencanaan jaringan bergerak seluler yang awalnya diimplementasikan di Universitas Würzburg, Jerman dan dikenal sebagai ICEPT (Integrated Cellular Network Planning Tool) Komponen inti dari perancangan ini adalah algoritma SCBPA (Set Cover Base Station Positioning Algorithm) dan prosedur karakterisasi trafik. Adapun urutan langkah-langkah dalam perencanaan jaringan seluler terintegrasi ditunjukkan pada Gambar 2.
start Membangkitkan Demand Node Men set-up areaarea cakupan Memverifikasi ketentuan/ batasan TRX Optimisasi BTS Menentukan batasan pemisahan frekuensi perencanaan frekuensi
modifikasi ketentuan/ batasan pemisahan
pemecahan sel
Apakah perencanaan frekuensi sudah valid ?
Memverifikasi C/I
Apakah verifikasi C/I sudah valid?
stop
Gambar 2 Urutan perancangan jaringan terintegrasi
Algoritma SCBPA terdiri atas 4 fase, yaitu: Fase 0, melakukan perhitungan semua himpunan area cakupan yang mungkin, Pj, termasuk level daya semua pemancar dan semua tipe antena yang digunakan dalam konfigurasi area layanan. 2. Fase 1, melakukan verifikasi trafik dan batasan-batasan hardware untuk semua Pj 3. Fase 2, menghitung cakupan dengan menggunakan heuristic greedy untuk MCLP (Maximal Coverage Location Problem). Dengan dapat dipilih posisi base station optimal yang memaksimalkan proporsi trafik yang tercakup (covered), misalnya rasio demand node dalam kaitannya dengan nilai ambang batas rugirugi lintasan arah maju/balik (forward/reverse link) yang harus dipenuhi. 4. Melakukan optimasi cakupan, dengan pengubahan posisi pemancar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. 1.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
115
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dengan mengasumsikan hubungan non linear dan untuk memodelkan karakteristik trafik ini digunakan fungsi eksponensial yang didefinisikan sebagai: a i = c . bxi ......................................(2)
Gambar 3. Penarikan pemancar
dengan c adalah konstanta dan b adalah basis fungsi eksponensial. Untuk mengurangi kerumitan determinasi parameter trafik dilakukan proses normalisasi, yaitu:
(3) dengan: S service area : ukuran area layanan, S elemen unit : ukuran unit elemen area, A total : trafik total pada area yang bersangkutan.
Gambar 4. Penarikan kembali transmiter dari multiple covered nodes
Karakterisasi trafik dilakukan dengan menghitung intensitas trafik spasial dan merepresentasikan demand node diskret dari datadata yang ada. Berikut adalah tahapan proses dari karakterisasi trafik: 1.Definisi model trafik Pada tahap ini, dilakukan identifikasi faktor dan parameter trafik dalam model trafik geografis. Pada model trafik jaringan secara geografis, didefinisikan besaran trafik yang ditawarkan, yang (t ) dinyatakan dengan Ageo ( x, y ) , yang merupakan agregat trafik asal dari berbagai faktor dan dinyatakan dengan persamaan:
...(1) dengan a i = i . E[B i ] adalah trafik yang dibangkitkan oleh faktor i pada unit area yang diukur dalam Erlang/unit area, (x,y) : bilangan bernilai integer yang menyatakan permintaan panggilan oleh elemen jaringan tetap di unit lokasi area, i : jumlah call attempt per satuan waktu dan satuan ruang, E[B i ] : durasi panggilan rata-rata faktor tipe i, i(t ) : bernilai 0, jika faktor trafik i pada lokasi (x,y) tidak benar, dan bernilai 1, jika faktor trafik i pada lokasi (x,y) bernilai benar. Pada parameter trafik, nilai a i , yang merupakan nilai trafik asal dari faktor i di tiap elemen area diperoleh dari pengukuran jaringan mobile existing dan koneksi-koneksi kausal antara trafik dan asal trafik. Pendekatan pertama adalah
116
2. Pra pengolahan data Pra pengolahan data merupakan pengolahan informasi dalam basis data geografis dan demografis. Proses ini dilaksanakan selama data dalam sistem informasi geografis tidak dapat terkumpul selama perencanaan jaringan bergerak. 3. Estimasi trafik Pada tahap ini, dilakukan perhitungan matriks intensitas trafik spasial dari daerah layanan yang ditentukan untuk memperkirakan permintaan trafik per unit elemen area. Besarnya permintaan trafik ditentukan dengan menentukan faktor-faktor trafik yang sesuai untuk unit elemen tersebut dan dihitung dengan persamaan 1. Nilai-nilai trafik yang didapatkan disimpan dalam suatu matriks trafik. 4. Pembangkitan demand node Tahap ini dilaksanakan melalui pembuatan distribusi demand node diskret dengan menggunakan metode clustering. Ada dua jenis algoritma clustering yaitu: partitional clustering dan hierarchical clustering. Pada partitional clustering, suatu area dibagi menjadi bagian-bagian kecil hingga nilai trafiknya dibawah ambang batas nilai kuantisasi trafik, , dari demand node tunggal. Sementara itu, pada hierarchical clustering, pengelompokan data masih dibagi 2, yaitu agglomerative dan divisive. Pada agglomerative, deretan partisi data tunggal dikelompokkan, sedangkan pada divisive, sekelompok data dipecahpecah menjadi partisi-partisi yang lebih kecil hingga akhirnya terdapat beberapa partisi tunggal. SIMPULAN Perencanaan jaringan bergerak seluler dengan pendekatan terintegrasi merupakan perencanaan jaringan yang berdasarkan pada permintaan layanan, yang diawali dengan melakukan perkiraan trafik yang dibangkitkan pada area layanan tertentu. Besarnya permintaan trafik
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
tersebut direpresentasikan dengan demand node yang menjadi link penghubung antara empat aspek yang ada dalam sistem bergerak seluler, yaitu transmisi radio, pelanggan bergerak, alokasi sumber daya, dan arsitektur sistem.
DAFTAR PUSTAKA Fritsch, Th., Tutschku, K., Leibnitz, K., 1995, Field strength prediction by ray tracing for adaptive base station positioning in mobile communication networks, ITG Conference on Mobile Communication. Gamst, A., E.G. Zinn, R Beck, and R. Simon, 1986, Cellular Radio Network Planning, IEEE Aerospace and Electronic Systems Magazine. Mouly, M., Pautet, M.B., 1992, The GSM System for Mobile Communications, France. Tutschku, K., 1997, Demand based Radio Network Planning of Cellular Mobile Communication Systems, Research Report Series. Tutschku, K., Gia, P.T,, 1998, Spatial Traffic Estimation and Characterization for Mobile Communication Network Design, IEEE Journal on Selected Areas in Communication
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
117
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
IMPLEMENTASI PARTIAL INDEK UNTUK MENINGKATKAN UNJUK KERJA QUERY PADA TIPE DATA KARAKTER VARCHAR JB Budi Darmawan Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma Kampus III Paingan Maguwohardjo Depok Sleman Yogyakarta
[email protected],
[email protected] Abstraksi Indek memungkinkan basisdata melakukan proses pencarian dari jutaan bahkan milyaran data dengan cepat. Indek menyeimbangkan antara penyimpan dan waktu akses. Dengan menggunakan indek bisa membuat query SELECT lebih cepat, tetapi membuat beberapa tambahan penyimpan disk. Dalam paper ini akan diuji pengunaan partial indek pada data ukuran besar dalam basisdata MySQL 5.1 untuk beberapa variasi ukuran panjang partial indek dalam tipe data karakter varchar dan variasi posisi record. Sebuah generator data digunakan untuk membangkitkan data satu juta record. Penggunaan partial indek dapat meningkatkan unjuk kerja query select dengan menyeimbangkan kebutuhan waktu akses dan kapasitas tambahan penyimpan disk pada basisdata MySQL. Ukuran panjang partial indek yang terlalu kecil akan memperlama waktu akses sedangkan peningkatan ukuran panjang indek yang dibayar dengan tambahan kapasitas penyimpan tidak menjamin peningkatan unjuk kerja yang lebih baik. Pemilihan panjang partial indek yang tepat akan menghasilkan unjuk kerja optimal yang diharapkan disesuaikan dengan kebutuhan kecepatan akses yang dapat diterima dan kapasitas pengingat yang tersedia
Kata Kunci : basisdata, partial indek, unjuk kerja 1.
PENDAHULUAN
Saat ini berbagai macam data banyak tersedia dalam bentuk elektronik baik berupa data teks maupun data multimedia. Perkembangan data ini sangat pesat dapat dilihat dari perkembangan kapasitas penyimpan yang tersedia di pasar. Kebutuhuan akan sistem yang dapat menyediakan informasi yang akurat dan cepat dari data yang sangat besar sangat dibutuhkan di era informasi ini. Perkembangan ukuran data yang besar ini harus diimbangi dengan kemampuan pengolahan data yang lebih cepat. Indek dapat diterapkan pada basisdata untuk melakukan proses pencarian dari jutaan bahkan milyaran data dengan cepat [1]. Indek primer akan mempercepat pencarian data berdasarkan atribut yang berperan sebagai key. Untuk menspesifikasikan key tambahan pada relasi yang dapat digunakan untuk mengambil data dengan lebih efisien digunakan indek sekunder. [2] Indek menyeimbangkan antara penyimpan dan waktu akses. Dengan menggunakan indek bisa membuat query SELECT lebih cepat, tetapi membuat beberapa tambahan penyimpan disk dan tambahan penggunaan CPU yang digunakan untuk setiap operasi query INSERT, UPDATE dan DELETE [2]. Indek memerlukan tambahan penyimpan untuk meningkatkan unjuk kerja. Tetapi tambahan
118
penyimpan ini kadang-kadang tidak sesuai peningkatan unjuk kerja yang diharapkan. MySQL menyediakan kendali seberapa banyak memori penyimpan yang akan digunakan dengan menggunakan partial indek. Full indek menggunakan seluruh panjang suatu kolom untuk membuat indek [1]. Penggunaan full indek dapat digunakan untuk mempercepat akses data tetapi dibayar mahal dengan meningkatnya kapasistas penyimpan[3]. Dalam paper ini akan diuji pengunaan partial indek sekunder pada data ukuran besar dalam database dengan beberapa variasi ukuran partial indek tipe data karakter varchar, untuk mengetahui peningkatan unjuk kerja query SELECT yang didapatkan. 2.
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam percobaan ini akan diteliti pengaruh partial indek pada unjuk kerja basisdata untuk query SELECT menggunakan sebuah tabel berisi satu juta record. Penelitian query SELECT dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Membandingkan kecepatan query pada data dengan tipe data karakter dengan tipe data varchar dengan panjang data 255 yang tidak menggunakan indek. Kecepatan query diukur dengan tiga variasi posisi record, yaitu awal, tengah dan akhir.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
b. Membandingkan kecepatan query pada data dengan tipe data karakter varchar dengan panjang data 255 dengan variasi panjang partial indek 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128. Kecepatan query diukur dengan tiga variasi posisi record, yaitu awal, tengah dan akhir. c. Membandingkan kecepatan query pada data dengan tipe data karakter varchar dengan panjang data 255 dengan full indek. Kecepatan query diukur dengan tiga variasi posisi record, yaitu awal, tengah dan akhir. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan sebuah komputer dengan spesifikasi sebagai berikut: a. Perangkat lunak 1. Sistem operasi, Microsoft Windows XP SP2 2. DBMS, MySQL versi 5.1.40. [4] 3. Program interfase MySQL Query Browser. [4] 4. Program interfase MySQL, SQLYog versi 5.22a. [5] 5. Program data generator, Dbmonster v.1.0.3. [6] b. Perangkat keras 1. Prosesor Intel Core 2 Quad 6600 2. Memori RAM 2 GB/5300 DDR2 3. Hardisk 160 GB SATA 2 4. Motherboard chipset Intel DP35DP Struktur tabel yang digunakan pada percobaan ini disajikan pada gambar 1. Kolom nomor bertipe int 11 bersifat auto increment berguna untuk membantu mencari record awal, tengah dan akhir.
Gambar 1. Struktur tabel yang digunakan menggunakan SQLYog File konfigurasi my.ini yang digunakan dipilih dari konfigurasi yang disediakan MySQL 5.1 yang sesuai dengan ukuran memori RAM (2GB) yang digunakan yaitu untuk large database (mylarge.ini).
# Example MySQL config file for very large systems. # # This is for a large system with memory of 1G-2G where the system runs mainly # MySQL. # # You can copy this file to # /etc/my.cnf to set global options, # mysql-data-dir/my.cnf to set server-specific options (in this # installation this directory is C:\mysql\data) or # ~/.my.cnf to set user-specific options. # # In this file, you can use all long options that a program supports. # If you want to know which options a program supports, run the program # with the "--help" option. # The following options will be passed to all MySQL clients [client] #password = your_password port = 3306 socket = /tmp/mysql.sock # Here follows entries for some specific programs # The MySQL server [mysqld] port = 3306 socket = /tmp/mysql.sock skip-locking key_buffer_size = 384M max_allowed_packet = 1M table_open_cache = 512 sort_buffer_size = 2M read_buffer_size = 2M read_rnd_buffer_size = 8M myisam_sort_buffer_size = 64M thread_cache_size = 8 query_cache_size = 32M # Try number of CPU's*2 for thread_concurrency thread_concurrency = 8
Gambar 2. File konfigurasi basisdata MySQL (my.ini) yang digunakan Isi file konfigurasi yang digunakan pada percobaan ini disajikan pada gambar 2. Percobaan ini menggunakan data yang dibangkitkan oleh sebuah program data generator dbmonster. Dbmonster adalah sebuah tool yang dapat digunakan untuk membangkitkan data random test dan meletakkannya dalam basisdata SQL dengan ukuran yang besar [6]. DbMonster masih terus dikembangkan dan sampai sejauh ini dbmonster dapat mengisi basisdata dengan data random dan dengan data dari kamus yang disediakan. Secara ideal data yang dimasukkan dalam basisdata seharusnya dengan data yang nyata seperti (nama, nama perusahan, judul dll) [6]. Percobaan ini menggunakan kamus data yang telah disediakan oleh dbmonster. Waktu eksekusi pembangkitan data untuk kedua tabel ini tersaji pada gambar 3.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
119
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 4. Informasi tambahan memori untuk implementasi index dari information_schema. TABLE menggunakan MySQL Query Browser.
Gambar 3. Waktu eksekusi pembangkitan data 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil percobaan yang telah dilakukan disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Hasil percobaan Operasi Select data
Waktu Akses (dalam detik)
bertipe varchar(255)
Posisi Record
Tabel 1.000.000 record Awal
No Panjang Ukuran partial
Tengah
Akhir
Ratarata
indek
indek (karakter)(Byte) 1
0
0
9,9566
9,9559
9,9623
9,9583
2
1
14172160
16,9522
12,5339
13,0723
14,1861
3
2
18366464
11,4192
15,1883
10,3855
12,3310
4
4
24690688
2,4880
2,2099
1,0600
1,9193
5
8
37306368
0,6364
0,1354
0,1532
0,3083
6
16
40484864
0,3872
0,0460
0,0264
0,1532
7
32
75251712
0,0684
0,0321
0,0082
0,0362
8
64
128974848
0,0383
0,0341
0,0123
0,0282
9
128
238026752
0,0424
0,0452
0,0186
0,0354
10 Full
460324864
0,0253
0,0184
0,0210
0,0216
Dalam percobaan menggunakan data dengan panjang satu record 586 sejumlah 1.000.000 record menghasilkan hasil seperti tersaji pada tabel 1. Dari tabel ini, peningkatan kecepatan akses terlihat mulai penggunaan partial indek dengan panjang 4, kemudian terus mengalami kenaikan peningkatan akses sampai penggunaan partial indek dengan panjang 64. Pada penggunaan partial indek dengan panjang 128 terjadi penurunan akses dari kecepatan akses sebelumnya. Kecepatan akses maksimal memang didapat dari penggunaan panjang data keseluruhan sebagai indek (full indek). Dari hasil pengamatan ini dapat dilihat bahwa pemilihah panjang partial indek yang terlalu kecil (panjang partial indek 1 dan 2) tidak meningkatkan kecepatan akses dibandingkan dengan tidak menggunakan indek. Peningkatan panjang partial indek (panjang partial indek 128) juga tidak menjamin peningkatan kecepatan akses yang lebih baik dibandingkan dengan panjang partial indek yang lebih pendek (panjang partial indek 64) Tetapi dari tabel 1, seiring peningkatan penggunaan panjang partial indek dibayar dengan peningkatan penggunaan media penyimpan yang digunakan untuk menyimpan indek seperti terlihat pada kolom ukuran indek. Untuk data dengan panjang sekitar 586.000.000 dengan kolom yang diindek penuh (full indek) bertipe varchar 255 sebanyak 1.000.000 record diperlukan tambahan penyimpanan indek sebesar 460.324.864. Dari hasil pengamatan, untuk panjang satu record 586 dengan jumlah record 1.000.000 untuk data dari kamus data dbmonster menawarkan keseimbangan antara kecepatan akses dan kapasitas penyimpan tambahan pada panjang partial indek 32 karakter. Tentu saja pemilihan ini harus disesuaikan lagi dengan menyeimbangan kebutuhan kecepatan akses yang dapat diterima dan kapasitas pengingat yang tersedia.
120
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dari hasil pengamatan pada data di atas, terlihat bahwa penentuan panjang partial indek harus disesuaikan dengan kebutuhan kecepatan akses yang dapat diterima dan kapasitas pengingat yang tersedia. 4.
PENUTUP
Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Penggunaan partial indek dapat menjadi alternatif strategi pemilihan indek untuk meningkatkan unjuk kerja query select pada basisdata MySQL dengan menggunakan tipe data varchar. 2. Pemilihah panjang partial indek yang terlalu kecil (panjang partial indek 1 dan 2) tidak meningkatkan kecepatan akses dibandingkan dengan tidak menggunakan indek. 3. Peningkatan panjang partial indek tidak menjamin peningkatan kecepatan akses yang lebih baik dibandingkan dengan panjang partial indek yang lebih pendek. 4. Peningkatan penggunaan panjang partial indek dibayar dengan peningkatan penggunaan media penyimpan yang digunakan untuk menyimpan indek. 5. Penentuan panjang partial indek harus disesuaikan dengan kebutuhan kecepatan akses yang dapat diterima dan kapasitas pengingat yang tersedia, untuk panjang satu record 586 dengan jumlah record 1.000.000 dengan data dari kamus data dbmonster pemilihan panjang partial indek 32 karakter dapat menjadi pertimbangan. 5.
DAFTAR PUSTAKA
[1].Derek J. Balling, Jeremy Zawodny, High Performance MySQL, O'Reilly Media, Inc, Canada, 2004.
[2].Thomas Connoly & Carolyn Begg, Database Systems : A Practical Approach to Design, Implementation, and Management, 4th edition, Pearson Education Limited, England, 2005. [3].Darmawan J.B.B. Implementasi Full Indek Untuk Meningkatkan Unjuk Kerja Query Pada Tipe Data Karakter. Proceeding Seminar Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi ke III, Sekolah Tinggi Teknologi National, Yogyakarta, 2008.
[4]. “MySQL“, http://www.mysql.com, 2009. diakses 18 Nopember 2009. [5]. “SQLYog”, http://www.webyog.com/en/downloads.php, 2007. diakses 15 Februari 2007. [6].“Welcome to dbMonster's cave!”, http://dbmonster.kernelpanic.pl/ , 19 Juni 2008.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
121
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
VOLT-AMPERE METER BERBASIS MIKROKONTROLER AT89S52 Martanto 1, A. Bayu Primawan2 , Frederik Erik3 Lucia Santi Palupi Darmakusuma4 1
,2Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Sains dan Teknolog,Universitas Sanata Dharma Paingan Maguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta Telp. (0274) 883037 E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAKS Tulisan ini menunjukkan implementasi alat ukur daya nyata (apparent power) dengan satuan Volt- Amper berbasis mikrokontroler AT89S52. Daya beban diukur melalui pengukuran tegangan dan arus beban. Tegangan beban disensor menggunakan hambatan pembagi tegangan, kemudian disesuaikan level tegangan dan diambil nilai mutlaknya menggunakan penyearah presisi. Besaran arus beban diubah menjadi besaran tegangan melalui hambatan, kemudian disesuaikan level tegangan melalui pengondisi sinyal dengan tiga skala pemilih, dan kemudian diambil nilai mutlaknya. Keluaran penyearah presisi diubah menjadi sinyal digital oleh ADC. AT89S52 kemudian menerima data tegangan dan arus dari ADC dan mencari nilai rms serta melakukan mencari nilai rms daya nyata. Hasil pengukuran tegangan, arus dan daya ditampilkan pada LCD. Pengujian tegangan mulai dari 195Vrms hingga 240 Vrms dengan galat sebesar 2%. Pengukuran arus cukup baik untuk skala 5A.Tampilan daya nyata telah sesuai dengan perkalian arus dan tegangan tertampil.
Kata Kunci: alat ukur, beban, daya nyata, mikrokontroler 1. PENDAHULUAN Kemajuan bidang elektronika membawa perkembangan dalam hal peralatan listrik dan peralatan elektronika. Peralatan listrik baik dalam dunia industri maupun peralatan rumah tangga mengarah pada aplikasi elektronika. Banyak kemudahan yang telah disumbangkan oleh teknologi bagi kehidupan manusia, namun tidak menutup kemungkinan untuk terus berkembang dan diciptakan berbagai temuan baru yang bisa menunjang kelancaran kehidupan manusia. Penggunaan beban peralatan listrik yang non linier, mengakibatkan bentuk gelombang arus tidak sama dengan bentuk gelombang tegangan pada komponen elektronika daya pada peralatan listrik. Bentuk gelombang yang tidak sinus akan menimbulkan adanya komponen harmonisa selain frekuensi fundamental. Komponen harmonisa dapat menimbulkan banyak implikasi pada jala-jala daya listrik. Hal ini menyebabkan timbulnya rugi-rugi daya listrik, selain itu dapat menginteferensi saluran komunikasi. Dalam keseharian sering dilakukan pengukuran nilai rms (root-mean-square) tegangan dan arus AC dengan menggunakan alat pengukur tegangan dan arus, namun sebagian besar voltmeter yang ada hanya akurat jika digunakan untuk mengukur nilai rms tegangan AC yang berbentuk sinusoidal. Oleh karena itu, akan lebih baik jika ada alat ukur yang akurat untuk mengukur nilai rms tegangan dan arus AC yang mempunyai bentuk selain sinusoidal, sekaligus mengukur daya rms.
122
2. DASAR TEORI 2.1 Daya AC Nilai daya sesaat p dalam kawasan tunak sinusoida merupakan perkalian antara tegangan sesaat v dan arus sesaat i, atau p= v i. Jika tegangan terpasang v = V m cos ωt menghasilkan arus sebesar i = I m cos(ωt–θ), dengan nilai θ d a positif ataupun d an e sesuai dengan impedansi pengganti induktif atau kapasitif, maka nilai daya sesaat dinyatakan oleh pesamaan 1 (Edminister, 2006)
p = Vm Im
1 2 [cos θ + cos (2ωt – θ)]
(1) untuk gelombang sinusoidal V m = V rms .√2, dan I m =I rms √2 maka besar daya rata-rata (true power) ditunjukkan oleh persamaan 2. (2)
P = V rms I rms cos θ
Perkalian V rms I rms disebut daya nyata (apparent power) dengan satuan Volt-amper (VA). Nilai cos θ disebut dengan d an daya (power factor, PF). Hubungan antara p, v, d an θ ditunjukkan pada Gambar 1.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
harus dikurangi dengan tegangan pada ampermeter. Voltmeter dihubungkan langsung diantara ujungujung hambatan seperti dalam Gambar 2b, sehingga voltmeter mengukur tegangan beban yang sebenarnya, tetapi ampermeter menghasilkan kesalahan sebanding dengan arus yang melalui voltmeter. Cara yang tepat untuk menghubungkan voltmeter bergantung pada nilai Rx berserta hambatan voltmeter dan ampermeter, umumnya hambatan ampermeter adalah rendah sedangkan hambatan voltmeter adalah tinggi(Wasito,1998). Gambar 1. Hubungan (Edminister,2006).
p,
v,
i,
dan
θ
2.2. Nilai RMS (root-mean-square) Nilai rms digunakan untuk mengukur efektifitas sebuah sumber dalam memberikan daya pada sebuah beban dan menentukan keakuratan penghantaran suatu alat dan tingkat arus suatu alat. Nilai rms suatu gelombang dinyatakan dalam persaaman 3 (Rashid, 2003).
(a)
(b)
I rms
1 T
T
I
2
Gambar 2. Penempatan voltmeter dan ampere meter pada pengukuran.
. dt
0
(3)
2
2
2
I dc I rms (1 ) I rms ( 2 ) ... I rms ( n )
2
(4) dengan I dc adalah arus komponen dc, I rms ( 1 ) dan I rms ( n ) adalah nilai rms dari frekuensi fundamental dan komponen harmonis ke-n. Pengukuran nilai rms berguna dalam perhitungan daya nyata, seperti dalam rumus 5.
Pac V rms I rms
(5)
PENGONDISI SINYAL I
PENYEARAH PRESISI
ADC
SENSOR ARUS
PENGONDISI SINYAL II
PENYEARAH PRESISI
ADC
U N IT P E N A M P IL (L C D )
SENSOR TEGANGAN
U N IT P E N G O L A H M IK R O K O N T R O L E R
dengan P ac adalah daya ac, V rms adalah rms tegangan, dan I rms adalah arus rms, yang didapat melalui perhitungan yang serupa untuk mendapatkan nilai I rms . (Rashid,2003)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
123
2.3 Pengukuran Tegangan dan Pengukuran Arus Pengukuran tegangan dan arus beban ditunjukkan oleh Gambar 2. Gambar 2a, arus sebenarnya (true current) yang disalurkan ke beban diukur oleh ampermeter, voltmeter lebih tepat mengukur tegangan sumber dari pada tegangan beban. Untuk mendapatkan tegangan yang sebenarnya pada beban, penunjukan voltmeter
BEBAN
I rms
3. Perancangan 3.1 Diagram blok sistem Diagram blok ias m ditunjukkan oleh Gambar 3. Sensor tegangan mendeteksi tegangan beban, kemudian dikondisikan agar level tegangan yang diukur sesuai dengan level tegangan masukan ADC. Sebelum masuk ke ADC sinyal tegangan diambil nilai mutlaknya menggunakan penyarah presisi. Arus beban disensor menggunakan sensor arus. Keluaran sensor arus menjadi besaran tegangan. Tegangan keluaran sensor arus dikondisikan oleh pengondisi sinyal kedua, dengan penguatan yang ias diatur. Mikrokontroler mengambil data keluaran dari ADC sebanyak 8 bit dengan 256 kali pencuplikan dengan kecepatan pengambilan data yang konstan. Nilai tegangan rms hasil pencuplikan akan dicari oleh mikrokontroler. Nilai rms sebanyak 8 bit akan diteruskan mikrokontroler menuju LCD sebagai penampil setelah disesuaikan dengan pemilihan jangkauan level tegangan.
SUMBER AC
dengan T adalah perioda dan I adalah arus dari gelombang. Nilai rms merupakan akar kuadrat ratarata suatu gelombang. Nilai rms dapat dicari dengan kombinasi nilai rms setiap harmonisanya, seperti ditunjukkan pada persamaan 4.
PEMILIH SKALA
Gambar 3. Diagram blok sistem
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.2. Rangkaian sensor tegangan dan arus Rangkaian sensor tegangan terdiri dari resistor R 1 dan R 2 sebagai pembagi tegangan, ditunjukkan oleh Gambar 4a. Tegangan maksimum dari beban sebesar 240 x 2 (peak) dan keluaran sensor yang dinginkan adalah sebesar 5v(peak). Dengan menentukan R 2 =10kΩ maka diperoleh R 1 = 668,82kΩ.
(b)
Besaran arus beban diambil oleh sebuah resistor yang resistansinya 1Ω/220W, ditunjukkan oleh Gambar 4b. Skala arus yang dibuat ada 3, yaitu skala 5A(peak), 0,5 A(peak), dan 0,05 A(peak). Tegangan masukan beban listrik akan berkurang sebesar 5(peak) dari tegangan puncak masukan jala-jala 220 2 (peak) pada saat arus yang mengalir sebesar 5A(peak). Untuk arus sinusoidal penurunan tegangan pada beban dihitung sebesar 3,53V(rms), atau penurunan tegangan sebesar 1,59%. Untuk skala arus 500mA, penurunan tegangan pada beban maksimum sebesar 0,5V(peak), dan untuk skala arus 50mA, penurunan maksimum tegangan pada beban sebesar 50mV(peak).
Gambar 6. Rangkaian pengondisi sinyal arus 3.4. Rangkaian Penyearah Presisi Rangkaian penyearah presisi digunakan sebagai penyearah tegangan keluaran pengondisi sinyal, untuk memperoleh harga mutlak. Rangkaian yang digunakan ditunjukkan oleh Gambar 7(Stanley, 1994). Nilai R sebesar 20kΩ dan resistor R/2 sebesar 10kΩ. Dioda yang digunakan adalah 1N4148. R2 pp 20K D1 pp 1N4148
tegangan keluaran pembalik R1 pp
LF356 2
20K
3
D2 pp
R pp/2
Rf pp
10K
20K
6
+
Gambar 4. Rangkaian sensor tegangan (a) dan sensor arus (b)
-
(a)
pengondisi adalah satu sehingga nilai Ri inv diperoleh sebesar 100kΩ. Untuk skala arus 500mA, penguatan sebesar 10, diperoleh nilai Ri inv sebesar 10kΩ. Untuk skala arus 50mA, penguatan sebesar 100, sehingga diperoleh nilai Ri inv sebesar 1kΩ. Pemilihan skala arus menggunakan relay yang dikendalikan menggunakan tegangan IN_1 untuk skala 5A peak , tegangan IN_2 untuk skala 500mA peak , dan tegangan IN_3 untuk skala 50mA peak .
1N4148 U2
R3 pp
Pengondisi sinyal kedua untuk mengondisikan sinyal tegangan dari sensor arus, ditunjukkan oleh Gambar 6. Nilai Rf inv ditentukan sebesar 100kΩ. Untuk skala arus 5A peak penguatan tegangan
124
3
6
+
Gambar 5. Rangkaian penguat inverting
LF356 2
20K
-
3.3. Rangkaian pengondisi sinyal Tegangan masukan maksimum ADC yang digunakan adalah 5V peak . Keluaran dari rangkaian pembagi tegangan sebagai sensor tegangan 5Vpeak Rangkaian pengondisi sinyal menggunakan penguat inverting (Stanley, 1994), ditunjukkan oleh Gambar 5. Nilai penguatan rangkaian pengondisi sinyal sama dengan 1, sehingga Rf inv ditentukan sebesar 100 kΩ maka nilai R inv sama dengan 100 kΩ.
tegangan keluaran peny earah presisi U3
Gambar 7. Rangkaian penyearah presisi 3.5. Pengubah tegangan analog menjadi digital ADC yang digunakan adalah ADC0804. Pin start conversion ADC ( C S ) dihubungkan ke ground agar ADC selalu melakukan konversi data. Pin R D pada juga dihubungkan ke ground. Pin WR dihubungkan dengan P0.0 mikrokontroler AT89s52 yang bertujuan agar penulisan data dari ADC0804 menuju mikrokontroler dapat dikendalikan oleh mikrokontroler. Berdasarkan datasheet (), untuk mencapai waktu konversi ADC0804 sebesar 100 µs, dibutuhkan resistor 10kΩ dan kapasitor 150pF. Dioda zener 5,1 Volt dipasang pada masukan ADC sebagai pembatas tegangan masukan ADC. Hubungan sinyal terkondisi dengan ADC0804 ditunjukkan pada Gambar 8.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
U4
tegangan keluaran peny earah presisi D5 5,1V
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
CS RD WR CLKIN INTR +IN -IN A GND VREF/2 D GND
VCC CLKR DB0 DB1 DB2 DB3 DB4 DB5 DB6 DB7
20 19 18 17 16 15 14 13 12 11
5 Volt 10k
150pf
R ADC
CAP ADC
ADC0804
Gambar 8. ADC0804 3.6. Penampil LCD Penampil LCD menggunakan HD44780. Antarmuka antara AT89S52 dengan HD44780 ditunjukkan oleh Gambar 9. Jalur data HD44780 pada pin 7 sampai 14 dihubungkan dengan pin P2.0 sampai P2.7 pada AT89S52. Pin E (enable clock) pada HD44780 dihubungkan dengan pin P0.7 pada AT89S52. Pin RS pada HD44780 dihubungkan dengan pin P0.6 AT89S52. Pin RW dihubungkan dengan ground supaya HD44780 selalu melakukan proses menulis.
Gambar 9. Antarmuka AT89S52 dengan HD44780
3.7. Perancangan Perangkat lunak Kerangka utama program mikrokontroler tampak pada Gambar 10. Program dimulai dengan inisialisasi LCD. Lalu mengambil nilai tegangan dan arus sebanyak 256 kali pencuplikan dengan kecepatan pengambilan data konstan. Nilai tegangan dan arus digunakan untuk mencari nilai rms dengan cara menghitung kuadrat nilai tegangan dan arus, kemudian mencari reratanya dan akhirnya mencari akar kuadrat. Proses mencari nilai rms dilakukan sebanyak 16 kali. Mikrokontroler akan mencari rerata dari 16 nilai rms yang telah didapatkan. Hasil rerata diolah kembali untuk menghasilkan keluaran berupa informasi yang akan ditampilkan pada LCD. Selanjutnya program kembali melakukan pencuplikan nilai tegangan.
Gambar 10. Diagram alir Subrutin inisialisasi LCD digunakan untuk mengatur operasi LCD. Data yang dikirimkan untuk mengatur operasi LCD merupakan data-data instruksi LCD. LCD memerlukan waktu untuk menunggu VCC naik mencapai 4,5Volt sebesar 15mS, maka untuk mengatasi LCD yang tidak ideal, digunakan tunda waktu sebesar 20mS. Pin R/W LCD dihubungkan ke ground, yang berarti selalu menulis ke LCD. Subrutin kirim perintah digunakan untuk memberi logika rendah pada pin RS, mengirim data instruksi ke LCD, dan digunakan untuk membuat perubahan pada masukkan enable clock LCD. Subrutin ‘ambil nilai tegangan, arus, kuadratkan, dan jumlahkan’ berfungsi untuk mengambil pencuplikan amplitudo tegangan dan arus masukkan dalam bentuk digital sebanyak 256 kali, mengkuadratkan tiap data, dan menjumlahkan setiap kuadrat data. Waktu konversi ADC0804 berdasarkan datasheet sebesar 100μS, digunakan waktu konversi sebesar 114 μS. Pengambilan data dilakukan dengan memberi logika rendah pin WR dan menunggu selama 114μS sebelum data dapat diambil oleh mikrokontroler. Setelah data diambil, pin WR ADC diberi logika tinggi agar ADC berhenti menulis. Data yang diambil langsung dikuadratkan dan dijumlahkan dengan kuadrat data sebelumnya. Proses pengambilan data, mengkuadratkan data dan menjumlahkan data akan diulang sampai 256 kali. Berdasarkan waktu konversi sebesar 114μS dan waktu tunggu sebelum data dapat diambil oleh mikrokontroler sebesar 114μS, didapatkan laju pencuplikan sebesar 228μS (4385Hz). Dengan frekuensi tegangan masukan sebesar 50Hz, maka laju pencuplikan yang digunakan telah memenuhi syarat cukup supaya tegangan masukan bisa didapatkan kembali dari sinyal diskret tercuplik. Subrutin ‘hitung rerata dan akar’ berfungsi untuk menghitung nilai rerata hasil subrutin ‘ambil nilai tegangan, arus, kuadratkan dan jumlahkan’ dan menghitung akar dari nilai rerata tersebut. Proses pertama adalah menghitung nilai rata-rata, yaitu dengan menggunakan 256 sebagai pembagi data hasil subrutin ‘ambil nilai tegangan dan arus, kuadratkan, dan jumlahkan’. Proses kedua adalah menghitung akar. Proses menghitung akar diawali
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
125
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4.2.
Pengukuran arus Pengukuran arus dilakukan dengan mengubah-ubah beban pada tegangan tertentu. Multimeter referensi dipakai untuk mengukur arus masukan yang kemudian dibandingkan dengan hasil tampilan LCD. Percobaan dilakukan untuk ketiga skala arus. Hasil pengujian ditampilkan pada Gambar 12, Gambar 12a untuk skala 5A, Gambar 12b untuk skala 500mA, dan Gambar 12c untuk skala 50mA. Untuk skala 5A, diperoleh kesalahan rerata sebesar 2,33%. Untuk skala 500mA, diperoleh kesalahan rerata sebesar 27%, dan terlihat terdapat arus offset sebesar 10,37mA, merupakan nilai yang cukup signifikan untuk skala 500mA. Untuk skala 50mA, diperoleh kesalahan rerata sebesar 57%, dan terlihat terdapat arus offset yang signifikan dan konstanta kemiringan sebesar 1,54, sangat jauh dari yang seharusnya yaitu sebesar 1 kali. Dari data ini diperoleh kesimpulan bahwa untuk skala 500mA dan 50mA, alat belum sesuai dengan rancangan 4
3 Irms Alat [A]
dengan menentukan alamat tempat menyimpan data hasil akar. Selanjutnya memberi logika tinggi pada MSB tempat menyimpan data hasil akar. Setelah itu, data hasil akar dikuadratkan dan kemudian dibandingkan dengan dengan hasil rerata dari subrutin ‘ambil nilai tegangan, arus, kuadratkan, dan jumlahkan’. Bila hasil rata-rata dari subrutin ‘ambil nilai tegangan dan arus, kuadratkan, dan jumlahkan’ lebih kecil atau sama besar dengan data hasil akar, maka nilai MSB dari alamat tempat menyimpan data hasil akar adalah 0. Apabila hasil perbandingan lebih besar, maka nilai MSB dari alamat tempat menyimpan data hasil akar adalah 1. Setelah nilai MSB dari alamat tempat menyimpan data hasil akar diketahui, kemudian bit 6 dari alamat tempat menyimpan data hasil akar diberi logika tinggi. Data hasil akar dikuadratkan kemudian dibandingkan dengan dengan hasil rerata dari subrutin ambil nilai tegangan dan arus, kuadratkan, dan jumlahkan. Proses dilanjutkan seperti sebelumnya. Setelah MSB, dan bit 6 dari alamat tempat menyimpan data hasil akar sudah diketahui maka bit 5, bit 4, bit 3, bit 2, bit 1, dan bit 0 dari alamat tempat menyimpan data hasil akar kemudian dicari nilainya dengan cara yang sama. Subrutin hitung hasil akhir berfungsi untuk mencari nilai rerata dari 16 nilai akar dan yang dihasilkan oleh proses sebelumnya. Hasil nilai rerata dari V rms dan I rms akan dikalikan sehingga menghasilkan nilai P rms yang nantinya akan ditampilkan pada LCD.
y = 0.9767x + 0.0333 R2 = 0.9963
2
1
0 0
1
2
3
4
Irms Ref [A]
(a) 250
Irms Alat [mA]
200
100
0 0
50
100
150
200
250
Irms ref [mA]
(b) 25 20
240 Vrms Alat [V]
y = 1.1169x + 10.379 R2 = 0.9953
150
50
Irms Alat [mA]
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengukuran Tegangan Tegangan beban untuk pengujian diperoleh dengan memberikan tegangan AC didapatkan dari keluaran trafo yang divariasi tegangannya. Multimeter referensi dipakai untuk mengukur tegangan masukan yang kemudain dibandingkan dengan hasil tampilan LCD. Percobaan dilakukan untuk jangkauan tegangan 195 ~ 240 Vrms. Hasil pengujian ditampilkan pada Gambar 11, dengan tingkat kesalahan rerata sebesar 2%, yang membuktikan bahwa telah sesuai dengan rancangan.
15
y = 1.5419x + 1.8261 R2 = 0.9924
10 5
y = 1.0048x R2 = 0.9896
0
220
0
5
10
15
Irms Ref [mA] 200
© 180 180
200
220
240
Vrms Ref. [V]
Gambar 11. Kurva hasil pengkuran tegangan
126
Gambar 12. Kurva hasil pengukuran arus. (a) skala 5A, (b) skala 500mA, dan (c) skala 50mA
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
4.3. Pengukuran daya rms (ac) Pengukuran ay arms atau daya ac dilakukan untuk tegangan sumber tertentu, dan untuk setiap skala arus dilakukan pengujian untuk beberapa beban. Gambar 13 menujukkan tampilan LCD pengukuran tegangan (V), arus (I), dan daya (P), pada saat tegangan 218V, arus 2,9A, diperoleh daya sebesar 0632,2W. Hasil pengujian untuk skala arus 5A ditunjukkan pada Tabel 1, untuk skala arus 500mA ditunjukkan pada Tabel 2, dan untuk skala arus 50mA ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 2. Data pengamatan daya ac, untuk skala arus 500mA peak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Vrms [V] 218 218 218 218 218 218 218 218 218
Irms [mA] 10 30 40 50 70 80 90 100 110
P [W] 2.18 6.54 8.72 10.90 15.26 17.44 19.62 21.80 23.98
Tabel 3. Data pengamatan daya ac, untuk skala arus 50mA peak )
Gambar 13. Tampilan LCD pengukuran tegangan, arus dan daya Berdasar data Tabel 1 sampai Tabel 3, ditunjukkan bahwa hasil perhitungan daya telah sesuai dengan perancangan, yaitu bahwa daya P merupakan perkalian antara Vrms dengan Irms. Tetapi oleh karena pengukuran arus untuk skala 500mA, dan 50mA memiliki kesalahan yang besar, maka pengukuran daya masih belum sesuai dengan perancangan, sedangkan yang sesuai dengan perancangan adalah untuk skala arus 5A. Tabel 1. Data pengamatan daya ac, untuk skala arus 5A peak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Vrms [V] 218 218 218 218 218 218 218 218 218 218
Ims [A] 0.4 0.4 1.0 1.3 1.6 1.8 1.9 2.1 2.3 2.9
P [W] 87.20 152.60 218.00 283.40 348.80 392.40 414.20 457.80 501.40 632.20
No 1 2 3 4 5 6
Vrms [V] 218 218 218 218 218 218
Ims [mA] 2 5 9 13 17 19
P [W] 0.436 1.090 1.962 2.834 3.706 4.142
5. KESIMPULAN 1. Alat dapat mengukur nilai V rms dengan baik pada jangkauan 195~240 Vrms dengan tingkat rerata kesalahan 2%. 2. Pengukuran arus dapat berkerja dengan baik untuk skala 5A peak , sedangkan untuk skala 0,5A dan 0,05 A memiliki kesalahan yang cukup besar. 3. Perhitungan daya nyata (rms) pada LCD sudah sesuai dengan perkalian antara nilai arus dan tegangan yang ditampilkan pada LCD. PUSTAKA
Atmel Corporation, Data Sheet, http://www.atmel.com, diakses Januari 2006. Boylestad, Robert L., Electronic Devices and Circuit Theory, 7th edition, New Jersey: Pretince Hall, 1999 Craig, P., Interfacing the Parallel Port to a 16 Character x 2 Line LCD, http://www.beyondlogic.com, diakses Mei 2006. Edminister, Joseph A., Rangkaian Listrik, Edisi Keempat, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006 Floyd, Thomas L., Principles of Electric Circuits, New York: Macmillan College Publishing Company, 1991. Jogiyanto, HM., Pengenalan Komputer: Dasar Ilmu Komputer, Pemrograman, Sistem Informasi, dan Intelegensi Buatan, Yogyakarta: Andi Offset, 1989. Rashid, Muhammad H., Power Electronic Circuits, Devices, and Applications, 3nd edition, New Jersey: Prentice Hall, 2003. SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
127
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Perla, H., Interfacing the LCD Module to Parallel Port, http://www.electrosofts.com, diakses Mei 2006. Stanley, William D., Operational Amplifiers with Linear Integrated Circuits, 3rd ed, New York: Macmillan College Publishing Company, 1994. Steven C. Chapra, Raymond P.Canale, Metode Numerik jilid 1, Edisi Kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga , 1996. Wasito S., Teknik Ukur dan Peranti Ukur Elektronik, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1998.
128
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENYUSUNAN PETA RENTAN BENCANA ALAM LONGSOR DENGAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MELALUI INTERPRETASI CITRA SATELIT DI PROPINSI DIY Anggun Fitrian Isnawati 1) Sulistyaningsih 2) Rintania Elliyati Nuryaningsih 3) Iis Hamsir Wahab4) Risanuri Hidayat 5) 1)2)3) Mahasiswa Magister Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM 4) Mahasiswa Doktor Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM 5) Dosen Pembimbing Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UGM 2)
[email protected] 3)
[email protected]
ABSTRAK
Adanya proses alam yang mengalami perubahan untuk mencari keseimbangan baru, dapat disebabkan karena terganggunya keseimbangan oleh aktivitas manusia maupun oleh proses morfodinamika sehingga timbul bencana alam seperti longsor, banjir, gempa, dan sebagainya. Kawasan yang terkena bencana alam di tanah air tampaknya cenderung meningkat dan kondisi ini tidak dapat diabaikan. Salah satu faktor yang menyebabkan bencana alam senantiasa menelan banyak korban adalah lemahnya informasi kepada penduduk tentang deskripsi daerah yang mereka tempati. Dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (inderaja) dan Sistem Informasi Geografis untuk interpretasi citra satelit, diharapkan penyusunan peta rentan bencana alam longsor mampu memberikan informasi potensi daerah rawan bencana alam longsor di Propinsi DIY sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait dalam mengantisipasi bencana dan mengurangi resiko akibat bencana alam longsor. Kata kunci : Longsor, Inderaja, Sistem Informasi Geografis dan citra satelit I. 1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Bencana alam selalu menelan korban harta maupun jiwa yang tidak sedikit. Ironisnya bencana alam tersebut senantiasa terjadi pada saat penduduk sedang tidak sadar, sehingga tidak terantisipasi oleh penduduk. Keadaan ini menunjukkan lemahnya informasi kepada penduduk terhadap deskripsi tentang daerah yang mereka tempati, apakah daerah rawan bencana atau tidak. Bertolak dari permasalahan di atas dan untuk mengantisipasi bencana alam yang mungkin akan terjadi di masa mendatang, maka penerapan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) sangat perlu dikembangkan. Keadaan ini ditunjang semakin pesatnya teknologi penginderaan jauh dan SIG dalam mewarnai proses-proses perencanaan dalam pembangunan diberbagai daerah di Indonesia. Propinsi DIY merupakan salah propinsi yang mempunyai kondisi potensi bencana baik banjir, tanah longsor dan gempa
tektonik yang cukup tinggi. Keadaan ini ditunjang sebagian wilayah yang berbentuk daerah pegunungan, dataran rendah, dan kawasan pantai. Daerah-daerah tersebut pada umumnya telah dihuni oleh masyarakat yang tanpa memperhitungkan tingkat kerentanan terhadap bahaya bencana alam. Untuk itu perlu kiranya disusun peta potensi daerah yang rentan terhadap bencana alam. 2.
Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dipecahkan ditentukan berdasar permasalahan yang ada di lapangan dalam mengantisipasi secara dini terhadap resiko bencana alam longsor. Perumusan masalah yang akan dipecahkan adalah bagaimana proses pemetaan daerahdaerah rawan bencana longsor di propinsi DIY dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh melalui interpretasi citra satelit?
3.
Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini antara lain:
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
129
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
eksternal yang dapat mempercepat dan memicu terjadinya gerakan tanah terdiri dari berbagai sebab yang komplek seperti sudut kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah/batuan karena masuknya air hujan, tutupan lahan dan pola pengolahan lahan, pengikisan oleh aliran air, ulah manusia seperti penggalian dan sebagainya.
a. Penyusunan peta-peta rentan bencana alam longsor di Propinsi DIY. b. Untuk memperoleh informasi potensi daerah rawan bencana alam longsor di Propinsi DIY. c. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait dalam mengantisipasi bencana untuk mengurangi resiko akibat bencana alam longsor. 4.
Metodologi Penelitian Metode penelitian yang dilakukan meliputi materi serta alat yang digunakan, dan tahapan penelitian secara ringkas akan dijelaskan sebagai berikut : a. Studi literatur melalui buku-buku dan jurnal. Studi literatur ini dilakukan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi peneliti sehingga penerapan ilmu dan teori dapat dilaksanakan dengan update teknologi dan current research yang meliputi teknologi remote sensing dan image processing dalam pembuatan peta daerah-daerah rawan bencana alam. b. Metode yang dipakai adalah teknik penginderaan jauh melalui interpretasi digital/visual untuk citra Landsat TM (Thematic Mapper - USA), dan ERS-1 (First European Remote Sensing Satellite) SAR (Synthetic Aperture Radar). c. Hasil Interpretasi citra di ploting ke dalam peta kerja, kemudian di digitasi untuk menghasilkan coverage atau layer input yang diperlukan.
II. 1.
STUDI PUSTAKA Definisi Longsor Peristiwa tanah longsor (landslides) atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Faktor internal yang dapat menyebabkan terjadinya gerakan tanah adalah daya ikat (kohesi) tanah/batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah/batuan dapat terlepas dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah/batuan dapat disebabkan oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air (permeabilitas) tanah/batuan maupun rekahan yang intensif dari masa tanah/batuan tersebut. Sedangkan faktor
130
2.
Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) Penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu metoda untuk mengenal dan menentukan obyek dipermukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan obyek tersebut. Dalam teknologi penginderaan jauh dikenal dua sistem yaitu penginderaan jauh dengan sistem pasif (passive sensing) dan sistem aktif (active sensing). Penginderaan dengan sistem pasif adalah suatu sistem yang memanfaatkan energi almiah, khususnya energi (baca: cahaya) matahari, sedangkan sistem aktif menggunakan energi buatan yang dibangkitkan untuk berinteraksi dengan benda/obyek. Sebagian besar data penginderaan jauh didasarkan pada energi matahari. Sistem pasif antara lain diterapkan pada Landsat (USA) dan SPOT (France). Selain sistem pasif penginderaan dengan sistem aktif menggunakan sumber energi buatan yang dipancarkan ke permukaan bumi dan direkam nilai pantulnya oleh sensor. Sistem aktif ini biasanya menggunakan gelombang mikro (microwave) yang mempunyai panjang gelombang lebih panjang dan dikenal dengan pencitraan radar (radar imaging). Sistem aktif pada umumnya berupa saluran tunggal (single channel). Ia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sistem optik dalam hal mampu menembus awan dan dapat dioperasikan pada malam hari karena tidak tergantung pada sinar matahari. Sistem aktif antara lain diterapkan pada Radarsat (Kanada), ERS-1 (Eropa) dan JERS (Jepang).
3.
Pemrosesan Data Citra Satelit (Image Processing) Karena data penginderaan jauh berupa data digital maka penggunaan data memerlukan suatu perangkat keras dan lunak khusus untuk pemrosesannya. Komputer PC dan berbagai software seperti ERMapper, ILWIS, IDRISI, ERDAS, PCI, ENVI, dll dapat dipergunakan sebagai pilihan. Untuk keperluan analisis dan interpretasi dapat dilakukan dengan dua cara : (1). Pemrosesan dan analisis digital dan (2). Analisis dan interpretasi visual. Kedua metoda ini mempunyai keunggulan dan kekurangan, seyogyanya kedua metode
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dipergunakan bersama-sama untuk saling melengkapi. Pemrosesan digital berfungsi untuk membaca data, menampilkan data, memodifikasi dan memproses, ekstraksi data secara otomatik, menyimpan, mendesain format peta dan mencetak. Sedangkan analisis dan interpretasi visual dipergunakan apabila pemrosesan data secara digital tidak dapat dilakukan dan kurang berfungsi baik. 4.
Sistem Informasi Geografis SIG diartikan sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau dat geospasial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan penolahan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umun lainnya. Analisis data spasial dalam SIG berdasarkan tahapan yang dimulai dari desain basisdata sampai pada tahap iuran yang menghasilkan suatu informasi baru hasil pengukuran teknik manipulasi dan analisis SIG bedasarkan variable-variabel masukan sesuai dengan metode yang telah ditentukan dan penelusuran kembali untuk memperoleh informasi baru dari proses pengolahan data dan penyusunan basisdata SIG.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh peta yang meliputi peta kemiringan lereng, curah hujan, tanah dan penggunaan lahan di digitasi dan kemudian diberi skor berdasarkan masing-masing parameter. Skor masing-masing parameter disajikan pada tabel 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Setelah semua peta tematik yang terdigitasi diberi skor kemudian di overlay menggunakan operasi intersect. Setelah semua peta tergabung menjadi satu kemudian skor masing-masing parameter dikalikan dengan faktor pembobot yang disajikan pada tabel 7.
Tabel 1. Skor Untuk Parameter Kemiringan Lereng No Kemiringan Lereng Skor 1 0 - 8% 1 2 8 - 15% 2 3 15 - 25% 3 4 25 - 45% 4 5 > 45% 5
Tabel 2. Skor Untuk Parameter Curah Hujan No Curah Hujan (mm/tahun) Skor 1 < 1000 1 2 1000 – 1500 2 3 1500 – 2000 3 4 2000 – 2500 4 5 >2500 5 Tabel 3. Skor Untuk Penggunaan Lahan No Penggunaan Lahan Skor 1 Water body 0 2 Grass 1 3 Bush, open space 2 4 Forest, mix garden 3 5 Settlement, dry land 4 6 Paddy field 5 Tabel 4. Skor Untuk Permeabilitas Tanah No Permeabilitas Tanah Skor 1 Excessive 1 2 Moderate, Poor 2 3 Well 5 Tabel 5. Skor Untuk Tekstur Tanah No Tekstur Skor Tanah 1 Sandy 1 2 Silt 2 3 Clay 5 Tabel 6. Skor Untuk Kedalaman Tanah No Kedalaman Tanah Skor 1 > 120 1 2 90 – 120 2 3 60 – 90 3 4 30 – 60 4 Tabel 7. Faktor Bobot (Weighting factor) untuk masing-masing parameter No Variabel Faktor Bobot 1 Kemiringan 3 Lereng 2 Curah Hujan 2 3 Penggunaan 2 Lahan 4 Tanah 2 Setelah masing-masing parameter dikalikan dengan faktor pengali kemudian dilakukan skor total menggunakan operasi field calculator, sehingga hasil akhirnya adalah kolom (field) baru yang berisi hasil penjumlahan masigmasing faktor berdasarkan faktor bobot. Angka yang tertera pada skor total ini kemudian diklasifikasikan menggunakan operasi query
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
131
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dengan pembagian kelas disajikan pada tabel 8 di bawah.
lereng yang cukup terjal yang dihasilkan dari kekar dan sesar merupakan faktor dasar terjadinya longsor. Sedangkan berdasarkan kecepatan kejadian longsor faktor yang sangat mempengaruhi adalah intensitas hujan, pembuatan jalan, dan pembabatan hutan. Selain itu tingkat kejadian longsor pada daerah hutan dengan kemiringan lereng yang tinggi dan dieksploitasi menunjukkan nilai 9 kali lebih tinggi daripada daerah hutan pada lerengan yang sama dan tidak dieksploitasi (Jakob, 2000). Penutupan lahan berupa vegetasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi kekuatan curah hujan sehingga memicu adanya longsor. Sedangkan perubahan tutupan lahan berupa vegetasi pada akhirnya merubah pola kejadian longsor (Glade, 2003).
Tabel 8. Potensi tingkat kelongsoran tanah No Tingkat Skor Kelongsoran Tanah 1 Sangat rendah < 19 2 Rendah 19 – 27,9 3 Sedang 28 – 38.9 4 Tinggi 39 – 47.9 5 Sangat Tinggi ≥ 48 Pada laporan ini pemetaan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif dengan metode scoring. Hasil pemetaan dengan metode scoring ini disajikan pada gambar 1.
Gambar 1 Hasil Pemetaan dengan metode Scoring Warna-warna pada peta menunjukkan potensi gempa: kuning : sangat tinggi hijau : tinggi biru muda : sedang merah muda : rendah ungu : sangat rendah Berdasarkan pengali faktor pembobot berdasarkan analisa maka secara berurutan faktor yang paling utama mempengaruhi suatu kejadian longsor adalah kelerengan (3), curah hujan, penggunaan lahan (2), dan yang lainnya geologi, kedalaman tanah, tekstur tanah, dan permeabilitas tanah. Hal ini sejalan dengan Penelitian Chang dan Slaymaker (2002) di daerah Ho She (Taiwan) menyebutkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor pada daerah tersebut. Jumlah rekahan batuan yang banyak dengan tingkat kemiringan
132
IV. PENUTUP 1. KESIMPULAN a. Dari hasil pengolahan data citra diperoleh peta rawan bencana longsor untuk Propinsi DIY. b. Sistem Informasi Geografis dapat dimanfaatkan untuk memetakan resiko kerawanan longsor dengan cepat. c. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat longsor suatu lahan adalah tingkat kemiringan lereng, tanah, penggunaan lahan dan curah hujan. d. Peta rawan bencana longsor tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait, baik pemerintah, akademisi, maupun LSM dalam mengantisipasi bencana untuk mengurangi resiko akibat bencana alam. 2.
SARAN a. Penyusunan peta rawan bencana longsor ini akan lebih optimal jika dipadukan dengan sistem prediksi longsor dan sistem alarm. b. Pembuatan Sistem Informasi Online mengenai kondisi di daerah rawan bencana alam longsor akan lebih bermanfaat bagi penduduk setempat untuk antisipasi dini.
DAFTAR PUSTAKA Chang, J. and O. Slaymaker. 2002. Frequency and spatial distribution of landslides in a mountainous drainage basin: Western Foothills, Taiwan. Catena 46 (285–307). Glade, T. 2003. Landslide occurrence as a response to land use change: a review of evidence
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
from New Zealand. Catena 51 ( 297– 314). Jakob, M. 2000. The impacts of logging on landslide activity at Clayoquot Sound, British Columbia. Catena 38.(279–300). Kartasapoetra, A.G. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Untuk Merehabilitasinya. Bina Aksara. Jakarta. Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra, M.M. Sutedjo. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Bina Aksara. Jakarta. Notohadinegoro, T. 1999. Diagnosis Fisik, Kimia dan Hayati Kerusakan Lahan (dalam : Prosiding Seminar Penyusunan Kriteria Kerusakan Tanah). Direktorat Kerusakan Lahan Bapedal dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM. Yogyakarta. Puntodewo, A. Dewi, S. dan Tarigan, J. 2003. Sistem Informasi Geografis Untuk pengelolaan sumberdaya alam. Center for International Forestry Research. Bogor, Indonesia. Sarief, S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana. Bandung.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
133
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGOLAHAN AIR LIMBAH LAUNDRY DENGAN MENGGUNAKAN ELEKTROKOAGULASI Hudori1 & P. Soewondo2 Jurusan Teknik Lingkungan UII, Jl. Kaliurang km 14.4 Yogyakarta, 55584 2 Departemen Teknik Lingkungan ITB, Jl. Ganesha 10 Bandung, 40132 email1:
[email protected] email2:
[email protected]
1
Abstrak Air limbah laundry memiliki kandungan surfaktan dan bahan organik yang cukup tinggi. Berbagai sistem pengolahan digunakan untuk mengolah air limbah tersebut, salah satunya adalah elektrokoagulasi. Terdapat dua jenis konfigurasi elektroda pada reaktor elektrokoagulasi yaitu monopolar dan bipolar. Penelitian ini membandingkan antara kedua konfigurasi tersebut di dalam mengolah air limbah laundry. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mengetahui laju pelepasan ion aluminium pada kedua konfigurasi beserta distribusi spesies senyawa aluminium. Reaktor elektrokoagulasi dioperasikan secara batch dan kontinyu dengan menggunakan limbah asli. Elektroda yang digunakan adalah aluminium dengan variasi kerapatan arus 50, 75 dan 100 A/m2. Parameter yang diukur adalah surfaktan, COD, fosfat, kekeruhan, konduktivitas, pH dan suhu. Semua percobaan dilakukan pada suhu ruangan, yaitu sekitar 25° C. Penentuan distribusi spesies senyawa aluminium pada proses elektrokoagulasi menggunakan metode Ferron. Hasil percobaan menunjukkan bahwa untuk waktu detensi 30 menit tingkat penyisihan surfaktan sebesar 74.25% untuk monopolar dan 72.31% untuk bipolar. Tingkat penyisihan COD sebesar 85.80% untuk monopolar dan 79.11% untuk bipolar. Penyisihan fosfat sebesar 83.02% untuk monopolar dan 81.26% untuk bipolar. Sedangkan penyisihan kekeruhan sebesar 98.99% untuk monopolar dan 98.54% untuk bipolar. Dari penelitian ini diperoleh bahwa konfigurasi monopolar mempunyai tingkat penyisihan yang sama dengan konfigurasi bipolar. Kata kunci : elektrokoagulasi, air limbah laundry, monopolar, bipolar Abstract : Laundry wastewater contain high surfaktan and organic matter. Various of processing systems are used to treat laundry wastewater, one of them is electrocoagulation. There is two type of electrode configuratons at reactor electrocoagulation that is monopolar and bipolar. This research compare between the two configuraton in laundry wastewater treatment. In other hand this research also to know rate dissolution of aluminum ion on the two configuraton and distribution of aluminum compound species. Reactor electrocoagulation is operated in batch and continuous by using real wastewater. Electrode that used is aluminum with current density variation 50, 75 and 100 A/m2. Parameter that measured is surfaktan, COD, phosphate, turbidity, conductivity, pH and temperature. All experiments are conducted at room temperature, which is about 25° C. Determination of compound species distribution aluminum at process elektrokoagulasi used Ferron method. Test result indicates that for time detensi 30 minute removal efficiency of surfaktan was 74.25% for monopolar and 72.31% for bipolar. Removal efficiency of COD was 85.80% for monopolar and 79.11% for bipolar. Removal efficiency of phosphate was 83.02% for monopolar and 81.26% for bipolar. Whereas removal efficiency of turbidity was 98.99% for monopolar and 98.54% for bipolar. From this research obtained that configuraton monopolar have same removal rate with configuraton bipolar. Keywords : electrocoagulation, laundry wastewater, monopolar, bipolar PENDAHULUAN Pada saat ini jasa pencucian pakaian atau laundry berkembang dimana-mana terutama di daerah pemukiman. Sebagian besar usaha laundry tersebut tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah. Air limbah yang dihasilkan langsung disalurkan ke saluran drainase yang pada akhirnya akan mengalir ke badan air. Padahal kandungan bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah laundry sangat tinggi seperti surfaktan dan COD. Dengan tingginya kandungan surfaktan dan bahan organik di dalam air limbah laundry, maka
134
diperlukan suatu sistem pengolahan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu teknologi yang dapat menghasilkan kualitas hasil pengolahan yang baik adalah elektrokoagulasi. Elektrokoagulasi adalah teknologi pengolahan air dengan menggunakan proses elektrokimia dimana anoda akan melepaskan koagulan aktif berupa ion Al atau Fe ke dalam larutan. Secara umum penelitian ini terutama bertujuan untuk membandingkan kemampuan reaktor elektrokoagulasi yang menggunakan konfigurasi monopolar dan bipolar dalam
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
melakukan pengolahan air limbah laundry. Untuk membandingkan kedua konfigurasi tersebut parameter yang perlu dilihat adalah efisiensi penyisihan, kinetika laju penyisihan dan mekanisme penyisihannya. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Teknik Lingkungan ITB ini menggunakan limbah asli yang berasal dari jasa laundry di daerah perumahan Antapani Bandung. Reaktor elektrokoagulasi pada penelitian ini dioperasikan secara batch dan kontinyu. -
A
+
V
DC Power Supply
-
A
+
Gambar 2. Skema reaktor elektrokoagulasi dengan pengoperasian kontinyu
V
0.00
-
+
0.00
-
- +
Elektroda
Parameter yang diukur pada percobaan ini adalah surfaktan, COD, fosfat, kekeruhan, konduktivitas, pH dan suhu. Semua percobaan dilakukan pada suhu ruangan, yaitu sekitar 25° C. Laju perubahan konsentrasi pada reaktor elektrokoagulasi dinyatakan dengan model kinetika reaksi orde satu (Emamjomeh, 2006) yaitu :
Digital Multimeter
+
Elektroda Reaktor Elektrokoagulasi Magnetic Stirrer
...........................Pers. 1
(a) (b) Gambar 1. Skema reaktor elektrokoagulasi dengan pengoperasian batch (a) monopolar (b) bipolar
Untuk pengoperasian secara batch, reaktor elektrokoagulasi yang digunakan berkapasitas 0.5 L yang dilengkapi dengan peralatan stirrer untuk mengaduk air limbah supaya konsentrasi koagulan menjadi homogen (Gambar 1). Elektroda yang digunakan adalah plat Aluminium dengan ukuran 5x10 cm sebanyak 4 buah. Kerapatan arus yang digunakan pada penelitian ini adalah 50, 75 dan 100 A/m2. Nilai ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Novikora et al. (1982) dalam Holt (2002) yaitu 100 A/m2 dan Sleptsov et al. (1988) dalam Holt (2002) yaitu 50-100 A/m2. Pada percobaan secara kontinyu, reaktor elektrokoagulasi menggunakan model reaktor baffle channel. Reaktor pada percobaan kontinyu berukuran 20x7x15 cm dengan kapasitas sebesar 1.68 L. Elektroda aluminium yang digunakan sebanyak 14 buah dengan ukuran 5x15 cm dengan bagian yang terendam air sedalam 10 cm sehingga total luas elektroda anodanya ini adalah 0.084 m2. Untuk pengaliran air limbah digunakan sistem gravitasi dengan pengatur debit di bagian inlet. Susunan peralatan pada percobaan secara kontinyu dapat dilihat pada Gambar 2.
dimana C t adalah konsentrasi pada waktu t, C o adalah konsentrasi di awal percobaan (t=0) dan k adalah nilai kinetika perubahan konsentrasi. Salah satu fenomena yang terjadi pada larutan surfaktan adalah terbentuknya suatu struktur molekul berbentuk agregat yang dikenal sebagai Micelle. Struktur ini sangat berperan dalam proses penyisihan surfaktan dari air limbah. Untuk mengetahui terbentuknya struktur ini maka dilakukan percobaan untuk mencari nilai Critical Micelle Concentration (CMC). Pada penelitian digunakan salah satu metode penentuan CMC yakni dengan mengukur konduktivitas dari konsentrasi surfaktan. Metode ini dipilih karena merupakan metode yang sering dipakai untuk penentuan CMC (Holmberg, 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi air limbah laundry yang digunakan pada penelitian ini berfluktuasi tergantung pada air limbah yang dihasilkan oleh jasa laundry. Adapun karakteristik air limbah laundry yang diperoleh adalah sebagai berikut :
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
135
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tabel 2. Karakteristik air limbah laundry Parameter Konsentrasi Satuan Surfaktan 256.87 – 363.72 mg/L COD 599.44 – 754.35 mg/L Fosfat 7.357 – 7.843 mg/L Kekeruhan 144 – 759 NTU pH 8.67 – 10.53 Konduktivitas 1073 – 1678 µS/cm o Suhu 23.6 – 26.0 C
(b)
Percobaan Batch Dari hasil pengukuran pada percobaan secara batch diperoleh tingkat penyisihan surfaktan, COD, fosfat dan kekeruhan. Pada gambar dibawah ini disajikan hasil percobaan untuk proses elektrokoagulasi.
Gambar 4. Penyisihan COD pada konfigurasi (a) monopolar (b) bipolar untuk kerapatan arus 100 A/m2
(a)
(b)
Gambar 3. Penyisihan surfaktan pada konfigurasi (a) monopolar (b) bipolar untuk kerapatan arus 100 A/m2 (a)
136
Penurunan kandungan surfaktan dan COD pada percobaan elektrokoagulasi ini disebabkan terjadinya suatu proses yang disebut Adsortive Micelle Flocculation (AMF) (Aboulhassan, 2006). Proses ini terjadi ketika struktur surfaktan yang berbentuk micelle beradsorbsi dengan ion Al yang akan mengikat bahan organik dari air limbah dan membentuk flok yang dapat dipisahkan dengan mudah (Talens-Alesson, 2004). Dari hasil pengukuran diperoleh nilai Critical Micelle Concentration (CMC) sebesar 0.008 mol/L atau 2,307 mg/L. Air limbah laundry yang digunakan pada penelitian ini memiliki konsentrasi surfaktan antara 256,87 – 363,72 mg/L yang berarti bahwa struktur micelle sudah terbentuk. Sehingga proses AMF dapat terjadi pada pengolahan air limbah laundry ini. Menurut Ge (2004) penyisihan surfaktan dalam proses elektrokoagulasi disebabkan karena terjadi adsorbsi surfaktan pada permukaan partikel sehingga terbentuk permukaan yang hydropobic yang menyebabkan partikel dalam air limbah akan naik ke permukaan dengan bantuan gelembung gas yang terbentuk. Sedangkan penurunan COD disebabkan oleh proses elektrokoagulasi, elektroflotasi, dan oksidasi langsung di anoda (Ge, 2004). Sedangkan untuk penyisihan fosfat, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut :
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dari gambar diatas terlihat bahwa tingkat penyisihan yang paling baik terjadi pada rentang pH 4 – 10. Hal ini disebabkan pada rentang pH tersebut terjadi proses hidrolisis ion Al yang menghasilkan senyawa Al(OH)2+, Al2(OH)24+, Al(OH)3 dan senyawa polimer Al 13 (OH) 32 7+ yang efektif dalam proses koagulasi (Ge, 2004). Sedangkan pada pH dibawah 4 senyawa yang terbentuk adalah ion AL3+ dan pada pH diatas 10 senyawa yang terbentuk adalah Al(OH) 4 - . Keduanya memiliki sifat kurang efektif dalam proses koagulasi. Percobaan Kontinyu Hasil percobaan pada percobaan kontinyu untuk waktu detensi 10 dan 30 menit dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 5. Profil penurunan fosfat pada konfigurasi monopolar dengan variasi kerapatan arus Dari gambar diatas diperoleh bahwa kerapatan arus 100 A/m2 memberikan hasil yang paling baik. Hal ini disebabkan jumlah ion aluminium yang terbentuk berbanding lurus dengan kuat arus yang mengalir sesuai denga hukum Faraday. Dan kerapatan arus 100 A/m2 menggunakan kuat arus yang lebih tinggi dibandingkan kerapatan arus yang lain. Sehingga proses koagulasi yang terjadi menghasilkan efisiensi yang paling baik. Penyisihan fosfat pada percobaan elektrokoagulasi ini terjadi karena ion Al3+ bereaksi dengan PO 4 3- membentuk AlPO4 yang sukar larut sehingga mudah dipisahkan (Bektas, 2004; İrdemez, 2006). Nilai pH dari air limbah yang diolah melalui proses elektrokoagulasi sangat menentukan dalam proses pengolahannya (Ge, 2004). Dari percobaan untuk variasi pH diperoleh hasil sebagai berikut :
Gambar 6. Tingkat penyisihan pada variasi pH untuk konfigurasi monopolar (kerapatan arus 100 A/m2, td=30 menit)
Gambar 7. Tingkat penyisihan pada percobaan kontinyu Dari gambar tersebut terlihat bahwa tingkat penyisihan pada konfigurasi monopolar dan bipolar hampir sama, terutama pada penyisihan fosfat dan kekeruhan. Sedangkan untuk surfaktan dan COD, konfigurasi monopolar memiliki tingkat penyisihan yang lebih tinggi. Tidak adanya perbedaan hasil antara konfigurasi monopolar dan bipolar disebabkan arus listrik yang dialirkan jumlahnya sama sehingga menghasilkan agen koagulan yang sama. Walaupun pada konfigurasi bipolar terdapat elektroda yang tidak dialiri arus secara langsung, namun akibat arus yang melalui larutan membuat elektroda tersebut menjadi bermuatan positif dan negatif sekaligus. Jadi dari luasan anoda dan katoda, konfigurasi monopolar dan bipolar menghasilkan luasan yang sama. Sehingga dengan demikian ion aluminium yang terlepas juga hampir sama. Walaupun demikian, konfigurasi monopolar masih lebih baik dibandingkan bipolar dari segi penyisihan dan jumlah ion aluminium yang terlepas. Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah arus yang mengalir pada elektroda netral yang menjadi bipolar tidak bisa 100% disebabkan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
137
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
hambatan pada larutan. Kondisi ini berlainan dengan aliran arus listrik pada konfigurasi monopolar yang hanya terhambat oleh hambatan dari logam dan kabel penghubung. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konfigurasi monopolar mempunyai tingkat penyisihan yang sama dengan konfigurasi bipolar. Untuk waktu detensi 30 menit tingkat penyisihan surfaktan sebesar 74.25% untuk monopolar dan 72.31% untuk bipolar. Tingkat penyisihan COD sebesar 85.80% untuk monopolar dan 79.11% untuk bipolar. Penyisihan fosfat sebesar 83.02% untuk monopolar dan 81.26% untuk bipolar. Sedangkan penyisihan kekeruhan sebesar 98.99% untuk monopolar dan 98.54% untuk bipolar. Sehingga untuk mengolah air limbah laundry proses elektrokoagulasi dapat dipergunakan dan menghasilkan efisiensi yang cukup tinggi. DAFTAR PUSTAKA Aboulhassan, M. A., Souabi, S., Yaacoubi, A., dan Baudu, M., (2006), Removal of surfactant from industrial wastewaters by coagulation flocculation process, Int. J. Environ. Sci. Tech., 3 (4), 327-332 Arkendita, N., & Soewondo, P., (2004), Evaluasi dan Pengembangan Kinerja Pengolahan Air Buangan Domestik dengan Sistem Pemisah”Black Water” dan “Grey Water”: Studi Kasus Biogas Digester dan Anaerobic Baffled Septic Tank di Tangerang Banten, Tugas Akhir ITB Bektas, N., Akbulut, H., Inan, H., dan Dimoglo, A., (2004), Removal of phosphate from aqueous solutions by electro-coagulation, Journal of Hazardous Materials, 106B, 101–105 Dieu, L.Q., (2006), Determination of the critical micelle concentration of an amphiphile by conductivity measurements, Praktikum Pharmazie, PCI Emamjomeh, M.M., dan Sivakumar, M., (2006), An empirical model for defluoridation by batch monopolar electrocoagulation/flotation (ECF) process, Journal of Hazardous Materials, B131, 118–125 Ge, J., Qu, J., Lei, P., dan Liu, H., (2004), New bipolar electrocoagulation– electroflotation process for the treatment of laundry wastewater, Separation and Purification Technology, 36, 33–39 Holmberg K., et al. (2002) Handbook of applied surface and colloid chemistry Vol.2, John Wiley & Sons, 239-248
138
Holt, P., (2002), Electrocoagulation : Unravelling and Synthesising the Mechanisms Behind a Water Treatment Process, Department of Chemical Engineering, University of Sydney İrdemez, S., Yildiz, Y.S., dan Tosunoğlu, V., (2006), Optimization of phosphate removal from wastewater by electrocoagulation with aluminum plate electrodes, Separation and Purification Technology, 52, 394–401 Mollah, M.Y.A., Morkovsky, P., Gomes, J. A. G., Kesmez, M., Parga, J., and Cocke, D. L. (2004), Fundamentals, Present and Future Perspectives of Electrocoagulation, Journal of Hazardous Materials, B114, 199 – 210. Pakalns, P., dan Farrar, Y.J., (1977), Effect of surfactants on the determination of aluminium in waters, Water Research, 11, 387-392 Parker, D.R., dan Bertsch, P.M., (1992), Identification and quantification of the “Al 13 ” tridecameric polycation using Ferron, Environ. Sci. Technol. 26 (5), 908–914. Sostar-Turka, S., Petrini, I., dan Simoni, M., (2005), Laundry wastewater treatment using coagulation and membrane filtration, Resources, Conservation and Recycling, 44, 185–196 Talens-Alesson, F.I., Anthony,S., dan Bryce, M., (2004), Complexation of organic compounds in the presence of Al3+ during micellar flocculation, Water Research, 38, 1477–1483
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
OPTIMASI HIDROLISA ASAM PADA PROSES SAKARIFIKASI BONGGOL JAGUNG SEBAGAI TAHAPAN PREREATMENT DALAM PEMBUATAN BIOETHANOL
Oleh : Kurniawan Yuniarto1, Sukmawaty1, Sirajuddin1 Staf Pengajar, Program Studi teknik Pertanian, Fakultas Pertanian UNRAM. email :
[email protected] ABSTRAK
Hidrolisa serbuk bonggol jagung yang merupakan bahan berlignoselulosa dipelajari dengan menggunakan variabel suhu hidrolisa dan konsentrasi H 2 SO 4 . Suhu hidrolisa yang digunakan 150oC, 170oC dan 190oC, sedangkan konsentrasi H 2 SO 4 0,75%, 1.0% dan 1.5%. Lama hidrolisa 30 menit dengan perbandingan serbuk bonggol jagung terhadap larutan hidrolisa 200/1000 (gram/liter). Tangki hidrolisa yang dihasilkan dalam penelitian tahun I memiliki kemampuan beroperasi sampai dengan tekanan 15 atm. Dinamika perubahan suhu dan tekanan hidrolisa bonggol jagung memiliki pola yang sama dengan steam table. Nilai keasaman hidrolisat semakin rendah dengan suhu hidrolisa semakin tinggi dan konsentrasi yang semakin tinggi dengan kisaran nilai pH antara 2.8 – 3.7. Kadar gula reduksi meningkat selama proses hidrolisa dengan nilai peningkatan terhadap serbuk bonggol jagung kasar sebesar 8.03 (150oC), sebesar 5.77 (170oC) dan 1.26 (190oC). Konversi celulosa dari serbuk bonggol jagung dengan perlakuan konsentrasi asam 0.75% menghasilkan nilai konversi sebesar 0.74, konsentrasi asam 1% sebesar 1.04 dan konsentrasi asam 1.5% sebesar 1.22. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi celulosa sebesar 0.99, suhu hidrolisa 170oC sebesar 0.97 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 1.04. Konversi hemiselulosa dari serbuk bonggol jagung dengan perlakuan konsentrasi asam 0.75% menghasilkan nilai konversi sebesar 1.15, konsentrasi asam 1% sebesar 1.00 dan konsentrasi asam 1.5% sebesar 0.94. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi hemiselulosa sebesar 1.26, suhu hidrolisa 170oC sebesar 1.09 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 0.74. Hidrolisa lignin pada serbuk bonggol jagung menghasilkan nilai konversi lignin pada konsentrasi H 2 SO 4 0.75% adalah 1.36, konsentrasi H 2 SO 4 1.00% adalah 0.90, konsentrasi H 2 SO 4 1.50% adalah 0.74. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi lignin sebesar 1.5, suhu hidrolisa 170oC sebesar 0.95 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 0.51. Suhu hidrolisa optimal serbuk bonggol jagung adalah 170oC dan konsentrasi H 2 SO 4 1.0%. Kata kunci
: Serbuk bonggol jagung, hidrolisa, suhu, konsentrasi asam, lignoselulosa
PENDAHULUAN
Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel) memunculkan ancaman serius terhadap faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang yang akan terbentur dengan masalah suplai, harga, dan fluktuasinya (Indartono, 2005). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan program pemerintah yang dituangkan dalam INPRES No 1/ 2006 yang ditandatangani pada tanggal 25 Januari 2006 tentang penyedian dan pemanfaatan bahan bakar alternatif (Anonymous, 2006). Bonggol jagung sebagai limbah hasil produksi jagung pipilan yang selama ini belum dimanfaatkan potensinya secara optimal sehingga dapat dikaji lebih sistematis sebagai bahan pembuatan ethanol. Salah satu komponen dari bonggol jagung yaitu lignosellulosa dapat dimanfaatkan sebagai agen
dalam produksi ethanol. Aden et al (2002) menerangkan bahwa komponen lignoselulosa akhir-akhir ini dikembangkan di Amerika sebagai bahan pembuatan ethanol untuk tujuan pengembangan energi alternatif terbarukan. Pengembangan kegiatan produksi bioethanol dengan memanfaatkan limbah jagung berupa bonggol jagung merupakan bentuk inovasi dalam mengembangkan sumber energi terbarukan biomassa berbasis jagung. Tiap tongkol jagung memiliki fraksi berat bonggol berkisar 60 %, sedangkan jagung pipilan berkisar 40 %, sehingga tiap produksi jagung pipilan sebanyak 1 ton akan menghasilkan bonggol jagung sebanyak 0.6 ton yang belum termanfaatkan lebih ekonomis. Susunan kimiawi utama bonggol jagung adalah lignoselulosa yang merupakan jenis gula komplek, menjadi kendala dalam menciptakan rangkaian unit operasi. Dalam kajian pangan maupun energy, rangkaian unit proses yang dapat dikembangkan dalam pemanfaatan bonggol jagung adalah: hidrolisis dan fermentasi dimana lignoselulosa dapat dirubah menjadi gula dan tahap akhir dapat menjadi bioethanol.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
139
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Lignoselulosa tersusun atas 3 (tiga) komponen utama meliputi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa adalah bagian yang paling besar dan mencapai 50% dari total berat kering (Eriksson et al., 2002). Hidrolisa lanjutan dari selulosa dan hemiselulosa akan menghasilkan gula baik melalui tahapan kimiawi maupun mikrobiologi dan akan menghasilkan ethanol sebagai sumber energy melalui proses lanjutan (Wyman, 2002). Pemecahan lignoselulosa menjadi selulosa akan menghasilkan glukosa yang terikat melalui gugus β-glukosida. Selulosa berbentuk Kristal sedangkan dalam hidrolisa lanjut dari selulosa dapat melalui enzim selulase dilanjutkan enzim selubiase maupun menggunakan panas dan asam (Tjokroadikoesoemo, 1995). Sasaran penelitian ini menentukan kondisi proses optimal dalam hidrolisa bonggol jagung dengan menggunakan variabel termanipulasi suhu hidrolisa dan konsentrasi asam sulfat. Tujuan penelitian adalah : 1)Mendapatkan kondisi pretreatment, hidrolisa dan sakarifikasi optimal dengan mengukur laju pemecahan lignocellulosa bonggol jagung menjadi lignin, selulosa dan hemicelulosa; 2) Mengukur kandungan gula reduksi pemecahan lignoselulosa setelah mengalami kondisi pretreatmen secara asam; 3) Mengukur nilai keasaman filtrat hasil hidrolisa; 4)Mengukur kandungan gula reduksi pemecahan lignoselulosa substrat yang telah diberikan perlakuan asam untuk hidrolisa lanjutan dengan enzimatis; 5)Menjelaskan dinamika suhu dan tekanan selama hidrolisa serbuk bonggol jagung.
1.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli – September tahun 2009. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Mekanisasi Pertaian, Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian UNRAM.
2.
Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam usulan penelitian ini adalah : tangki hidrolisa (Lintang Tama Teknik, Malang), pemarut bonggol jagung (Lintang Tama Teknik, Malang), thermocontrol omron E5CSZ (buatan Jepang), kompor gas (Rinnai), tabung lpg, oven listrik, shaker, spektrofotometer, alat gelas, pH meter. Bahan-bahan yang digunakan meliputi: bonggol jagung, H2SO4, larutan fehling, larutan benedict, HCl, aquadest, kertas saring Whitmann.
3.
Pelaksanaan Penelitian Variabel penelitian yang digunakan adalah suhu hidrolisa dengan 3 (tiga) tingkat yaitu 150oC, 170oC dan 190oC. Variabel penelitian II adalah konsentrasi H2SO4 (0.75%, 1.0% dan 1.5 %). Tiap-tiap variabel penelitian dikombinasikan dengan lama hidrolisa 30 menit.
asam
Bonggol
Pemarut
BAHAN DAN METODE
Serbuk
Ayaka
Hidrolisa
Solid
Filtrat
keasaman, gula reduksi
Lignin, hemiselulosa, selulosa, gula reduksi
Gambar 1. Proses hidrolisa bonggol jagung secara asam. Bonggol jagung diparut menggunakan pemarut mekanis, serbuk diayak menggunakan ayakan 60 mesh. Sebanyak 200 gram serbuk bonggol jagung dianalisa (lignin, selulosa, hemiselulosa, gula reduksi dan kadar air). Selanjutnya serbuk bonggol jagung sebanyak 200 gram dilarutkan didalam larutan asam sesuai variabel percobaan. Hasil
140
hidrolisa selama 30 menit akan didapatkan hidrolisat (analisa gula reduksi dan keasaman), padatan (lignin, selulosa, hemiselulosa).
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Dinamika Tekanan dan Suhu Selama Hidrolisa Kondisi hidrolisa dengan perlakuan panas akan terjadi proses perubahan tekanan uap air yang disebabkan oleh adanya perubahan fase akibat adanya sumber panas. Perubahan tekanan dengan suhu memiliki hubungan sebanding tetapi tidak menunjukkan angka yang linier. Hubungan antara perubahan suhu dengan tekanan pada proses hidrolisa ditunjukkan pada gambar 2.
(a)
Gambar 2. Hubungan suhu dengan Tekanan pada proses hidrolisa
(b)
Tekanan pada ruang hidrolisa terjadi pada kondisi ruangan tertutup sehingga adanya panas yang disuplai secara kontinyu akan menghasilkan uap yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan nilai tekanan di dalam ruangan atau vessel. Perubahan tekanan akibat dari kondisi perubahan suhu secara umum menunjukkan pola yang bersifat eksponensial. Perilaku suhu 190oC dengan 150oC tidak menunjukkan perbedaan adanya perubahan nilai tekanan ruang hidrolisa. Perilaku untuk perubahan tekanan terhadap nilai suhu pada suhu hidrolisa 150oC dan 190oC memiliki perilaku yang sama dengan tabel uap acuan stándar internasional (Cengel, 2002). Pegeseran perilaku perubahan suhu terhadap tekanan yang terjadi pada suhu 170oC terutama pada waktu hidrolisa mulai suhu 135oC 170oC dimungkinkan terjadinya efek akumulasi panas yang terbaca lebih lambat pada thermocontrol dibandingkan dengan analog dari manometer. Sedangkan untuk perilaku perubahan suhu antara digital dan analog yang terbaca sat hidrolisa pada berbagai suhu hidrolisa disajkan pada gambar 3.
(c) Gambar 3. Hubungan suhu dengan Tekanan pada proses hidrolisa. Grafik perubahan suhu di dalam ruang hidrolisa yang dicatat dengan manometer berbeda yaitu digital (OMRON E5CSZ) dengan manometer analog (air raksa) menunjukkan tidak adanya perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa efek sensor elektrik dengan sensor hantaran panas konveksi yang dialirkan uap ke air raksa seimbang/selaras. Terjadinya kondisi yang sinkron baik aspek nilai maupun aspek model plotting grafik menunjukkan bahwa tangki hidrolisa yang dibuat telah memenuhi standar fungsinya dalam menggambarkan perilaku suhu selama hidrolisa.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
141
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2.
Komposisi Kimia Serbuk Bonggol Jagung Lignoselulosa didalam bahan pertanian terukur dalam bentuk lignin, selulosa dan hemiselulosa. Bonggol jagung yang dibuat serbuk untuk penelitian sebagian besar komponennya
diambil pada bagian luar dari bonggol, sedangkan bagian inti sulit untuk diambil meskipun melalui proses pemarutan. Hasil analisa bahan baku bonggol jagung disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1. Analisa Lignoselulosa, Kadar Air, Gula Reduksi Serbuk Bonggol Jagung Sampel
Lignin
Hemiselulosa
Selulosa
Air
Gula Reduksi
A
2.0230
2.1203
4.1488
4.1063
10.4405
10.8705
9.0074
9.0627
0.4531
0.454
B
4.0789
3.9173
6.1846
5.8903
15.5941
15.5914
9.5657
9.4437
0.4868
0.4876
C
4.4226
4.3392
7.1966
6.9186
15.8536
15.3846
9.2521
9.2096
0.5059
0.5074
D
1.0224
1.5160
3.754
3.6355
9.3777
9.2434
9.0746
9.4066
0.539
0.5401
E
4.3972
5.1239
6.8124
6.7509
14.7232
14.0273
9.0342
8.6206
0.5076
0.5033
F
10.1885
10.7602
9.8459
4.5255
19.8508
19.8387
8.9766
9.037
0.5493
0.5505
G
5.9203
5.6150
8.0741
7.6755
15.9926
15.8334
9.2609
8.8982
0.5458
0.5421
H
3.2036
3.8014
6.7968
6.9344
11.4559
11.0788
9.329
9.2562
0.5412
0.5419
I
4.7661
4.2436
6.7566
7.1489
13.3474
13.9127
9.2015
9.1165
0.5388
0.542
Rerata
4.4470
4.6041
6.6189
5.9540
14.0706
13.9756
9.1891
9.1168
0.5186
0.5188
Rerata Total
4.5255
6.2864
14.0231
Hasil analisa kimia terhadap serbuk bonggol jagung dari 9 sampel secara acak menghasilkan angka untuk parameter lignin 4.5255%, hemiselulosa 6.2864%, selulosa 14.0231%, kadar air 9.1530% dan gula reduksi 0.54187%. Jumlah lignin dan hemiselulosa pada serbuk bonggol jagung secara umum sangat kecil dibandingkan dengan kandungan selulosa karena pada bonggol jagung yang dikategorikan dengan softwood memiliki componen utama adalah celulosa.
9.1530
0.5187
Keasaman Filtrat 4.0000
K easaman
3.5000 3.0000 2.5000
150 C
2.0000
170 C
1.5000
190 C
1.0000 0.5000 0.0000 0.75%
1.00%
1.50%
Konsentrasi Asam
3.
Keasaman Filtrat Hidrolisa serbuk bonggol jagung akan dihasilkan filtrat sebagai hasil utama dengan componen yang terlarut dapat berupa asam sulfat dan gugusan gula. Nilai keasaman filtrat estela proses hidrolisa diukur sengan menggunakan pH meter. Adapun nilai keasaman filtrat dalam berbagai konsentrasi asam dan suhu hidrolisa disajikan pada gambar 4.
142
Gambar 4. Hubungan suhu dengan Tekanan pada proses hidrolisa. Nilai keasaman filtrate akan semakin kecil dengan konsentrasi larutan pengencer (H 2 SO 4 ) yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan pada konsentrasi larutan pengencer yang semakin tinggi akan menyebabkan tingkat keasaman dari bubur bonggol jagung semakin tinggi. Pengukuran keasaman filtrat dengan nilai yang semakin rendah menunjukkan bahwa di dalam filtrat dikandung asam dalam jumlah yang besar. Rincian nilai keasaman filtrate dari perlakuan suhu dan konsentrasi ditunjukkan pada table.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 2. Keasaman Filtrat pada Berbagai Suhu dan Konsentrasi Asam
Kandungan Gula Reduksi Hidrolisat
Suhu
Konsentrasi Asam Sulfat (%)
(oC)
0.75%
1.0%
Gula R edu ksi (% )
7.0000
1.5%
150
3.7
3.1
3.1
170
3.5
3.1
3
190
3.4
3.0
2.8
6.0000 5.0000 4.0000
150 C
3.0000
170 C 190 C
2.0000 1.0000 0.0000 0.75%
1.00%
1.50%
Konsentrasi Asam
Hasil analisa terhadap nilai keasaman filtrate didapatka bahwa kisaran nilai keasaman filtrate untuk hidrolisa pada larutan penghidrolisa H 2 SO 4 kemurnian 98% antara 2.8 – 3.7. Nilai keasaman paling rendah yang menunjuk kepada keasaman filtrate yang semakn besar ditunjukkan pada konsentrasi larutan pengencer atau katalisator 1.5% dengan suhu hidrolisa 190oC. Nilai keasaman filtrate hasil hidrolisa diduga erat kaitannya dengan pembentukan asam asetat selama proses hidrolisa. Adanya akumulasi asam asetat pada proses hidrolisa yang disebabkan oleh dekomposisi lignoselulosa terutama hemiselulosa sebagai salah satu komponen yang terlibat didalam proses hidrolisa. Hal ini dapat dirujuk dengan hasil penelitian dari Aden et al (2002) yang mengembangkan model stokiometri hemiselulosa selama hidrolisa asam bahwa terjadi liberasi asam asetat selama proses hidrolisa kulit jagung. Dampak dari suhu hidrolisa terhadap peningkatan keasaman fltrat juga erat kaitannya dengan efektivitas dari panas dalam memutus ikatan kimia hemiselulosa menjadi sebyawa asam asetat. Suhu yang semakin tinggi akan dapat mengurangi kestabilan struktur hemiselulosa Hasil korelasi antara hemiselulosa terhadap nilai keasaman didapatkan angka 0.87 dimana dengan angka korelasi tersebut menunjukkan bahwa peranan hemiselulosa terhadap peningkatan keasaman filtrate sangat tinggi. 4.
Gula Reduksi Gugus gula reduksi menjadi salah satu tolok ukur dalam proses hidrolisa karena diharapkan dengan adanya hidrolisa akan terjadi pembentukan gula reduksi yang akan digunakan sebagai bahan fermentasi yeast untuk menghasilkan bioethanol. Hasil pembentukan gula reduksi selama hidrolisa serbuk bonggol jagung disajikan pada gambar 5.
Gambar 5. Hubungan suhu dengan Tekanan pada proses hidrolisa. Kandungan gula reduksi pada perlakuan suhu hidrolisa 150oC dan konsentrasi asam 0.75% menunjukkan hasil konsentrasi gula reduksi filtrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan suu hidrolisa dan konsentrasi asam sulfat sebagai katalisator yang lebih tinggi. Hasil rerata gula reduksi pada perlakuan suhu hidrolisa 150oC dan konsentrasi asam sulfat 0.75% adalah 5.8281%. Rincian kadar gula reduksi filtrat dalam berbagai perlakuan suhu dan konsentrasi asam sulfat disajikan pada tabel berikut. Tabel 3. Kandungan gula reduksi fiktrat dalam berbagai suhu dan konsentrasi asam sulfat. Suhu
Konsentrasi H2SO4 (%)
(oC)
0.75
1.00
1.50
150
5.828114
4.2323
2.4383
170
3.792086
4.2323
0.9470
190
0.89744
0.6557
0.4022
Gula reduksi serbuk bonggol jagung yang digunakan dalam penelitian adalah 0.5187%, sedangkan dengan perlakuan hidrolisa suhu 150oC meningkat sebanyak 8.03 kali menjadi 4.1662%, perlakuan hidrolisa suhu 170oC meningkat sebanyak 5.77 kali menjadi 2.9904% dan perlakuan hidrolisa suhu 190oC meningkat sebanyak 1.26 kali menjadi 0.6518%. Peningkatan gula reduksi selama hidrolisa disebabkan adanya konversi celulosa dari serbuk bonggol jagung menjadi glucosa akibat adanya asam dan panas. Hal ini diperkuat oleh Wooley (1999) yang meneliti konversi celulosa menjadi glucosa dan selobiosa selama proses hidrolisa bahan-bahan berlignoselulosa dengan perlakuan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
143
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
asam dengan konsentrasi 0.5% pada tekanan 13 atm. 5.
Selulosa Celulosa serbuk bonggol jagung dianalisa menggunakan metode Rathin Datta (1981) dengan nilai kandungan celulosa serbuk bonggol jagung rata-rata dari 9 sampel yang dianalisa adalah 14.0231%. Hasil analisa celulosa pada operasi hidrolisa serbuk bonggol jagung dalam berbagai suhu dan konsentrasi asam sulfat disajikan pada gambar 6. Kandungan Selulosa Residu Bonggol Jagung
akibat perlakuan asam dengan konsentrasi asam sulfat yang lebih tinggi dan suhu hidrolisa yang lebih tinggi karena berhubungan dengan penetrasi panas dalam suasana asam akan menimbulkan efek ganda terhadap perusakan jaringan kuat dari celulosa. Konversi celulosa dari serbuk bonggol jagung dengan perlakuan konsentrasi asam 0.75% menghasilkan nilai konversi sebesar 0.74, konsentrasi asam 1% sebesar 1.04 dan konsentrasi asam 1.5% sebesar 1.22. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi celulosa sebesar 0.99, suhu hidrolisa 170oC sebesar 0.97 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 1.04.
Selulosa (%)
25.0000 20.0000 150 C
15.0000
170 C 10.0000
190 C
5.0000 0.0000 0.75%
1.00%
1.50%
Konsentrasi Asam
Gambar 6. Kandungan celulosa padatan serbuk bonggol jagung pasca hidrolisa.
6.
Hemiselulosa Hemiselulosa serbuk bonggol jagung dianalisa menggunakan metode Rathin Datta (1981) dengan nilai kandungan hemiselulosa serbuk bonggol jagung rata-rata dari 9 sampel yang dianalisa adalah 6.2864 %. Hasil analisa hemiselulosa pada operasi hidrolisa serbuk bonggol jagung dalam berbagai suhu dan konsentrasi asam sulfat disajikan pada gambar 7. Kandungan Hemiselulosa Residu Bonggol Jagung
Peran asam sulfat (H 2 SO 4 ) suhu dalam membentuk celulosa dari serbuk bonggol jagung lebih tinggi dibanfingkan dengan paeran suhu hidrolisa, hasil penghitungan rata-rata celulosa serbuk bonggol jagung perlakuan konsentrasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) 1.50% adalah 17.1256% sedangkan perlakuan suhu hidrolisa 190oC adalah 14.5102%. Rincian kandungan celulosa serbuk bonggol jagung pada proses hidrolisa asam disajikan pada tabel berikut. Tabel 4. Kandungan celulosa serrbuk bonggol jagung setelah hidrolisa. Suhu
Konsentrasi H 2 SO 4 (%)
(oC)
0.75
1.00
1.50
150
10.6555
15.5928
15.6191
170
11.2674
13.6301
15.9130
190
9.3106
14.3753
19.8448
Kandungan celulosa paling tinggi didapatkan pada perlakuan suhu hidrolisa 190oC dan konsentrasi H 2 SO 4 sebesar 1.5%. Sedangkan konsentrasi paling rendah dihasilkan pada perlakuan suhu hidrolisa 190oC dan konsentrasi H 2 SO 4 sebesar 0.75%. Celulosa didalam jaringan serbuk bonggol jagung dapat terpecah ikatan selnya
144
Hemiselulosa (%)
10.0000 8.0000 150 C
6.0000
170 C 4.0000
190 C
2.0000 0.0000 0.75%
1.00%
1.50%
Konsentrasi Asam
Gambar 7. Kandungan hemiselulosa padatan serbuk bonggol jagung pasca hidrolisa. Hasil analisa terhadap kandungan hemiselulosa sebagai fungís dari suhu dan konsentrasi katalisator (H 2 SO 4 ) menunjukkan pola meningkat terhadap kenaikan suhu hidrolisa dan konsentrasi H 2 SO 4 . Panas tinggi dan konsentrasi asam yang semakin besar pada serbuk bonggol jagung akan menyebabkan hemiselulosa terdekomposisi membentuk xylosa. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Lee and Elander (2002), bahwa konsentrasi xylosa akan meningkat pada perlakuan asam antara 0.2%-1.0% pada suhu hidrolisa antara 160-180oC. Penghitungan rata-rata hemiselulosa serbuk bonggol jagung perlakuan konsentrasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) 0.75% adalah 7.21%, konsentrasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) 1.00% adalah 6.29%, konsentrasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) 1.50% adalah 5.90%. Sedangkan perlakuan suhu hidrolisa 150oC adalah 7.91%, suhu hidrolisa 170oC adalah 6.87% dan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
suhu hidrolisa 190oC adalah 0.74%. Rincian kandungan hemiselulosa serbuk bonggol jagung pada proses hidrolisa asam disajikan pada tabel berikut. Tabel 5. Kandungan hemiselulosa serrbuk bonggol jagung setelah hidrolisa. Suhu
Konsentrasi H 2 SO 4
(oC)
0.75
1.00
1.50
150
8.8019
7.8748
7.0576
170
6.7817
6.8656
6.9528
190
6.0375
4.1276
3.6948
Kandungan hemiselulosa paling tinggi didapatkan pada perlakuan suhu hidrolisa 150oC dan konsentrasi H 2 SO 4 sebesar 0.75%. Sedangkan konsentrasi paling rendah dihasilkan pada perlakuan suhu hidrolisa 190oC dan konsentrasi H 2 SO 4 sebesar 1.50%. Konversi hemiselulosa dari serbuk bonggol jagung dengan perlakuan konsentrasi asam 0.75% menghasilkan nilai konversi sebesar 1.15, konsentrasi asam 1% sebesar 1.00 dan konsentrasi asam 1.5% sebesar 0.94. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi hemiselulosa sebesar 1.26, suhu hidrolisa 170oC sebesar 1.09 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 0.74. 7.
Lignin Lignin serbuk bonggol jagung dianalisa menggunakan metode Rathin Datta (1981) dengan nilai kandungan lignin serbuk bonggol jagung ratarata dari 9 sampel yang dianalisa adalah 4.5255 %. Hasil analisa lignin pada operasi hidrolisa serbuk bonggol jagung dalam berbagai suhu dan konsentrasi asam sulfat disajikan pada gambar 8.
berlangsung, karena hasil analisa terhadap filtrat terjadi kenaikan angka keasaman dengan perlakuan suhu dan konsentrasi asam yang semakin tinggi. Selama hidrolisa lignin dapat berubah menjadi turunan seperti asam format, metanol, asam asetat, aseton, vanilin dan lain-lain, sedangkan bagian lainnya mengalami kondensasi (Judoamidjojo et al., 1989). Penghitungan rata-rata lignin serbuk bonggol jagung perlakuan konsentrasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) 0.75% adalah 6.16%, konsentrasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) 1.00% adalah 4.09%, konsentrasi asam sulfat (H 2 SO 4 ) 1.50% adalah 3.34%. Sedangkan perlakuan suhu hidrolisa 150oC adalah 7.00%, suhu hidrolisa 170oC adalah 4.31% dan suhu hidrolisa 190oC adalah 2.28%. Rincian kandungan hemiselulosa serbuk bonggol jagung pada proses hidrolisa asam disajikan pada tabel berikut. Tabel 6. Kandungan celulosa serrbuk bonggol jagung setelah hidrolisa. Suhu
1.00
1.50
150
10.4744
5.7677
4.7606
170
4.5049
4.4283
3.9981
1.
Model fisik tangki hidrolisa memiliki perilaku tekanan dan suhu yang sama dengan steam table.
2.
Keasaman filtrat semakin tinggi dengan perlakuan suhu dan konsentrasi asam yang semakin tinggi.
3.
Kadar gula reduksi meningkat selama proses hidrolisa dengan nilai peningkatan terhadap serbuk bonggol jagung kasar sebesar 8.03 (150oC), sebesar 5.77 (170oC) dan 1.26 (190oC).
4.
Konversi celulosa dari serbuk bonggol jagung dengan perlakuan konsentrasi asam 0.75% menghasilkan nilai konversi sebesar 0.74, konsentrasi asam 1% sebesar 1.04 dan konsentrasi asam 1.5% sebesar 1.22. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi
10.0000 Lignin (%)
0.75
190 3.5025 2.0716 1.2692 Hidrolisa lignin pada serbuk bonggol jagung menghasilkan nilai konversi lignin pada konsentrasi H 2 SO 4 0.75% adalah 1.36, konsentrasi H 2 SO 4 1.00% adalah 0.90, konsentrasi H 2 SO 4 1.50% adalah 0.74. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi lignin sebesar 1.5, suhu hidrolisa 170oC sebesar 0.95 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 0.51.
12.0000
8.0000
150 C
6.0000
170 C
4.0000
190 C
2.0000 0.0000 1.00%
(oC)
KESIMPULAN
Kandungan Lignin Residu Bonggol Jagung
0.75%
Konsentrasi H 2 SO 4
1.50%
Konsentrasi Asam
Gambar 8. Kandungan lignin padatan serbuk bonggol jagung pasca hidrolisa. Hasil analisa terhadap kandungan lignin sebagai fungsi dari suhu dan konsentrasi katalisator (H 2 SO 4 ) menunjukkan pola menurun terhadap kenaikan suhu hidrolisa dan konsentrasi H 2 SO 4 . Hal ini terjadi ada kemungkinan terhadap pembentukan turunan lignin selama hidrolisa
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
145
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
celulosa sebesar 0.99, suhu hidrolisa 170oC sebesar 0.97 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 1.04. 5.
Konversi hemiselulosa dari serbuk bonggol jagung dengan perlakuan konsentrasi asam 0.75% menghasilkan nilai konversi sebesar 1.15, konsentrasi asam 1% sebesar 1.00 dan konsentrasi asam 1.5% sebesar 0.94. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi hemiselulosa sebesar 1.26, suhu hidrolisa 170oC sebesar 1.09 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 0.74.
6.
Hidrolisa lignin pada serbuk bonggol jagung menghasilkan nilai konversi lignin pada konsentrasi H 2 SO 4 0.75% adalah 1.36, konsentrasi H 2 SO 4 1.00% adalah 0.90, konsentrasi H 2 SO 4 1.50% adalah 0.74. Perlakuan suhu hidrolisa 150oC menghasilkan konversi lignin sebesar 1.5, suhu hidrolisa 170oC sebesar 0.95 dan suhu hidrolisa 190oC sebesar 0.51.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada DP2M Dikti Depdiknas atas dukungan dalam pembiayaan Penelitian Hibah Pekerti tahun 2009, Teknisi dan staf pengajar Program Studi Teknik Pertanian, UNRAM. DAFTAR PUSTAKA
1.
Aden, A.,M.Ruth., K.Ibsen., J.Jechura, K.Neeves, J. Sheehan and B. Wallace. 2002. Lignocellulosic Biomass to Ethanol Process Design and Economics Utilizing Co-Current Dilute Acid Prehydrolysis and Enzimatic Hydrolysis for Corn Stover. National Renewable Energy Laboratory, Colorado 80401-3393.
2.
Anonymous. 2006. www.bfi.org.id
3.
Dewan Riset Nasional. 2006. Agenda Riset Nasional. Jakarta.
4.
Erikkson T, Karlsson J, Tjerneld F. 2002. A model explaining declining rate in hydrolysis of lignocelluloses substrats with cellobiohidrolase. J. Appl. Biochem .Biotech.101. pp 41-60.
5.
Tjokroeadikoesoemo,P.S.1995. HFS dan industri ubi kayu lainnya. PT Gramedia. Jakarta.
6.
Wyman, C.E., Taylor,F., and Bristol. 1996. Ethanol production from
146
Bioethanol
Indonesia.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
lignocellulosic biomass. J. Appl. Biochem .Biotech.63. pp 75-80.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGARUH PERBANDINGAN BERAT BAHAN DAN WAKTU EKSTRAKSI TERHADAP MINYAK BIJI PEPAYA TERAMBIL Sri Rahayu Gusmarwani Teknik Planologi jurusan Teknik Sipil Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Jl. Babarsari Depok Sleman Yogyakarta
[email protected] ABSTRAK
Salah satu jenis tanaman yang telah lama berkembang di wilayah nusantara adalah pepaya. Diantara susunan buah pepaya yang diduga memiliki potensi yang cukup besar dan belum banyak dikembangkan adalah pada bijinya yaitu terdapat kandungan minyak dan protein yang cukup tinggi. Dalam berat kering, biji pepaya mengandung minyak 32,97%. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengambil minyak dari biji pepaya adalah ekstraksi. Metode ini sangat mudah karena dapat dilakukan pada tekanan atmosferis dan suhu didih pelarutnya. Salah satu pelarut yang dapat digunakan adalah alkohol karena lebih murah, pemisahannya dari minyak cukup mudah, tidak bersifat racun, bersifat inert (tidak reaktif) sehingga tidak bereaksi dengan komponen minyak biji pepaya dan kelarutan minyak dalam alkohol yang cukup tinggi. Sebelum diekstraksi, biji pepaya dibersihkan, dikeringkan dibawah sinar matahari, digiling dan diayak halus (tepung biji pepaya). Tepung biji pepaya selanjutnya ditimbang dengan berat tertentu (variabel) dimasukkan dalam alat ekstraksi, dan ditambahkan pelarut alkohol 95%. Hasil yang didapat selanjutnya disaring untuk dipisahkan padatan dan cairannya. Filtrat yang didapat selanjutnya dimasukkan kedalam alat distilasi untuk dipisahkan antara minyak dengan alkohol. Minyak yang didapat selanjutnya dipanaskan sampai didapat berat konstan dengan asumsi alkohol yang terdapat dalam minyak sudah teruapkan seluruhnya. Minyak biji pepaya yang diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut alkohol dengan kadar 95%, kondisi opeasi terbaik adalah pada waktu ekstraksi 120 menit, perbandingan berat bahan dengan volum 1 : 5 pada suhu ekstraksi 780C. Pada kondisi tersebut didapatkan hasil minyak biji papaya sebesar 3,1 gram. Kata kunci : pepaya, ekstraksi, minyak biji papaya 1. PENDAHULUAN Tanaman pepaya termasuk komoditas utama dari kelompok buah-buahan yang mendapat prioritas penelitian dan pengembangan di lingkungan Puslitbang holtikultura. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan budidaya pepaya secara intensif dan komersial mempunyai prospek yang baik dan cerah. Hampir seluruh susunan tubuh tanaman pepaya memiliki daya dan hasil guna bagi kehidupan manusia. Tanaman ini layak disebut multiguna yakni antara lain sebagai bahan makanan dan minuman, obat tradisional, pakan ternak, industri penyamakan kulit, pelunak daging, juga bahan kecantikan (kosmetika). Bagian tumbuhan yang sering dimanfaatkan dari pepaya adalah buahnya. Diantara susunan buah pepaya yang diduga memiliki potensi yang cukup besar dan belum banyak dikembangkan adalah pada bijinya yaitu terdapat kandungan minyak dan protein yang cukup tinggi. Dalam berat kering, biji pepaya mengandung minyak 32,97%. Jika dibandingkan dengan kedelai 19,63%, biji bunga matahari 2223% dan kelapa 54,7% maka kandungan minyak dalam biji pepaya relatif besar sehingga sangat prospek untuk dikembangkan metode pengambilan minyak dari biji pepaya.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengambil minyak dari biji pepaya adalah ekstraksi. Metode ini sangat mudah karena dapat dilakukan pada tekanan atmosferis dan suhu didih pelarutnya. Salah satu pelarut yang dapat digunakan adalah alkohol karena lebih murah, pemisahannya dari minyak cukup mudah, tidak bersifat racun, bersifat inert (tidak reaktif) sehingga tidak bereaksi dengan komponen minyak biji pepaya dan yang paling penting adalah kelarutan minyak dalam alkohol yang cukup tinggi. Minyak biji pepaya merupakan minyak nabati yang dapat digunakan untuk minyak goreng ataupun minyak pangan yang berkadar kolesterol rendah. Dengan tingginya harga minyak goreng di pasaran akhir-akhir ini, keberadaan minyak goreng dari biji pepaya diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan. Selain dapat digunakan untuk minyak pangan, minyak dari biji pepaya dapat juga digunakan untuk bahan baku biodiesel yang merupakan bahan bakar alternatif pengganti solar. Melihat hal-hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian pengaruh berbagai jenis pelarut alkohol terhadap rendemen minyak biji pepaya.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
147
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2. TEORI DASAR
Dalam kehidupan sehari-hari, pepaya sangat dikenal semua lapisan masyarakat. Tanaman pepaya merupakan salah satu sumber protein nabati (Hadiwiyoto, 1977). Pepaya mengandung enzim papain, semacam protease yang dapat digunakan untuk melunakkan daging dan protein lainnya (www.wikipedia.org.id, 2009). Daftar 1 menunjukkan komposisi yang terkandung dalam minyak biji pepaya. Daftar 1. Komposisi asam lemak minyak biji papaya dan komposisi biji papaya Komposisi asam lemak minyak biji pepaya Asam Lemak Nilai (%) Asam linoleat 71,60 Asam palmiat 15,13 Asam linolenat 7,68 Asam stearat 3,60
Komposisi biji pepaya Kandungan Jumlah (%) Minyak 9,5 Protein 8,4 Abu 1,47 Karbohidrat 9,44 Cairan 71,89 (Chan, dkk., 1978
Menurut Rukmana, (1994), biji pepaya dapat diolah lebih lanjut menjadi minyak dan tepung. Menurut Winarno, (1986), ada 3 (tiga) cara yang dapat digunakan untuk pengambilan minyak dari bahan yang diduga mengandung minyak, yaitu dengan rendering (pemanasan), pengepresan dan ekstraksi. 1. Rendering adalah proses pemanasan yang dapat dilakukan dengan menggunakan air panas (wet rendering). Minyak akan mengapung dipermukaan sehingga dapat dipisahkan. Alat yang digunakan biasanya dengan menggunakan ketel vakum. 2. Pengepresan atau penekanan mekanis merupakan suatu cara pengambilan minyak terutama untuk bahan yang berasal dari biji-bijian. Biasanya mengalami perlakuan pendahuluan, misalnya dipotong-potong atau dihancurkan kemudian dipres dengan tekanan tinggi menggunakan tekanan hidrolik atau screw press dan sisa minyak yang masih terdapat dalam bahan kemudian dipres lagi dengan filter press. 3. Ekstraksi adalah operasi memindahkan zat padat atau cairan ke cairan lain (pelarut). Ekstraksi padat-cair adalah mempertemukan pelarut dengan zat padat yang diekstraksi (solute) pindah ke pelarut (solvent). Proses tersebut akan menjadi sempurna jika solute ini dipisahkan dari pelarutnya misalnya dengan cara distilasi atau penguapan.
148
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut adalah suatu cara pemisahan dimana komponen dari padatan atau cairan dipindahkan ke cairan yang lain yang berfungsi sebagai pelarut (Brown, 1958). Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses ekstraksi (Sudarmaji, 1976) yaitu : 1. Jenis pelarut, semakin baik mutu pelarutnya, maka semakin baik pula mutu minyak biji pepaya. 2. Perbandingan berat bahan dengan volume pelarut akan mempengaruhi tegangan permukaan dari butir-butir bahan dan berpengaruh terhadap proses keluarnya minyak dari biji pepaya. 3. Suhu semakin tinggi akan memperbesar daya larut minyak ke dalam pelarutnya, namun semakin tinggi suhu akan menyebabkan komponen minyak yang volatil banyak yang menguap. 4. Kecepatan pengadukan, turbulensi dalam larutan akan meningkat dengan adanya kenaikan kecepatan pengaduk-an, tetapi bila terlalu cepat akan menimbulkan forteks yang akan menurun-kan turbulensi dalam larutan, turbulensi yang semakin besar akan memperbe-sar koefisien trnsfer massa. 5. Waktu ekstraksi. Semakin besar waktu yang digunakan maka kesempatan untuk bertumbukan semakin besar, se-hingga semakin besar pula jumlah mi-nyak yang larut sampai dicapai kese-imbangan. Minyak biji pepaya berwarna kuning dan merupakan salah satu sumber minyak nabati yang kaya akan asam-asam lemak esensial bagi tubuh, seperti oleat, palmitat, linoleat serta asam lemak lainnya dalam jumlah yang relatif sedikit (Rukmana, 1986). Pengujian pada minyak biji pepaya diperlukan untuk mengidentifikasi minyak ini sehingga dapat ditentukan sifat-sifat dan karakteristiknya yang nantinya berguna untuk pemanfaatan minyak biji pepaya itu sendiri sebagai minyak pangan atau penggunaan lainnya (Chan, dkk., 1978). 3. METODE PENELITIAN
Proses pengambilan minyak dari biji pepaya dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut alkohol dengan kadar 95% pada tekanan atmosferis dan suhu didih larutan. Kondisi yang relatif baik (optimal) dalam proses ekstraksi dibatasi untuk pengaruh waktu ekstraksi terhadap minyak biji pepaya yang terambil serta pengaruh perbandingan berat bahan dengan volum pelarut terhadap minyak biji pepaya yang terambil. Biji pepaya sebelum dieksraksi dikeringkan dan dihaluskan sehingga didapatkan tepung biji pepaya. Selanjutnya tepung biji pepaya dengan berat tertentu (variabel) diekstraksi selama waktu tertentu (variabel). Hasil yang didapat disaring untuk dipisahkan padatan dan cairannya.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Filtrat yang didapat selanjutnya dimasukkan kedalam alat distilasi untuk dipisahkan antara minyak dengan alkohol. Minyak yang didapat perbandingan berat minyak biji berat solid No pepaya terambil dengan volum (gram) alkohol 1 1/40 1.9504 2 1/33.33 2.2550 3 1/28.57 2.5741 4 1/25 2.5866 5 1/22.22 2.8620 6 1/20 3.2160 7 1/18.18 3.1002 selanjutnya dipanaskan sampai didapat berat konstan dengan asumsi alkohol yang terdapat dalam minyak sudah teruapkan seluruhnya. Waktu ekstraksi (menit) 90 105 120 135 150 180
No 1 2 3 4 5 6
berat minyak biji pepaya terambil (gram) 2.6524 2.7848 3.1013 3.1010 3.1011 3.1011
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh waktu ekstraksi terhadap berat minyak terambil dapat dilihat pada daftar 2 dan gambar 1. Pengambilan minyak dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut alkohol dengan konsentrasi 95%, pada suhu operasi 780C, berat tepung biji papaya 10 gram.
Gambar 1. Hubungan antara waktu ekstraksi (menit) dengan berat minyak terambil (gram). Dari daftar 2 dan gambar 1 dapat dilihat semakin lama waktu ekstraksi maka semakin besar pula jumlah minyak biji papaya yang dapat terambil. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu ekstraksi berarti semakin lama terjadi kontak antara bahan padat dan pelarut selama proses ekstraksi. Hal ini berpengaruh pada hasil minyak yang terambil. Tetapi pada saat tertentu waktu ekstraksi yang semakin lama tidak mempengaruhi berat minyak yang terambil. Hal ini terjadi karena didalam pelarut sudah terjenuhkan oleh minyak yang terambil, sehingga waktu ekstraksi yang lama tidak berpengaruh lagi pada hasil minyak yang terambil. Didalam penelitian ini hal tersebut terjadi pada waktu ekstraksi 90 menit sampai dengan 180 menit. Kondisi terbaik pengambilan minyak terjadi pada menit ke-120 dengan berat minyak terambil sebanyak 3.1013 gram. Pada gambar 1 terlihat, trend grafik menunjukkan persamaan Y = -0,0001 X2 + 0,037 X + 0,2767. Jika persamaan ini digunakan untuk menghitung kembali berat minyak terambil dengan data waktu reaksi 90 – 180 menit, maka diperoleh ralat ratarata sebesar 11.11%. Pengaruh perbandingan berat bahan dengan volum pelarut terhadap berat minyak terambil dapat dilihat pada daftar 3 dan gambar 2. Pengambilan minyak dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut alkohol dengan konsentrasi 95%, pada suhu operasi 780C, waktu ekstraksi 120 menit.
Daftar 2. Hubungan antara waktu ekstraksi terhadap berat minyak terambil Dari data pada daftar 2 selanjutnya dibuat grafik hubungan antara waktu ekstraksi (X) dengan berat minyak terambil (Y). Hasil grafik dapat dilihat pada gambar 1.
Daftar 3. Hubungan antara perbandingan berat solid dengan volum alcohol terhadap berat minyak terambil
Dari data pada daftar 3 selanjutnya dibuat grafik hubungan antara perbandingan berat solid dengan volum alkohol(X) terhadap berat minyak terambil (Y). Hasil grafik dapat dilihat pada gambar 2.
grafik hubungan antara w aktu ekstraksi VS Berat m inyak teram bil 3.2 y =- 0.0001x 2 + 0.037x + 0.2767
3.1
R2 =0.9185 3.0 2.9 2.8 2.7 2.6 80
100
120
140
160
180
200
wa k t u e k st r a k si ( m e n i t )
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
149
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
grafik hubungan antara perbandingan berat solid dengan volum alkohol terhadap berat m inyak terambil 3.5000
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Kopertis Wil.V melalui program bantuan penelitian tahun anggaran 2009 nomor 0.169.0/023-04.2/XIV/2009 yang telah membiayai penelitian ini.
2
y =-0.0167x + 0.3356x + 1.6405 R2 =0.9542
3.0000 2.5000 2.0000 1.5000 1.0000 0.5000
7. DAFTAR PUSTAKA
0.0000 0
1
2
3
4
5
6
7
8
p e r b a n di ng a n be r a t so l i d d e n ga n v ol um a l k o ho l
Gambar 2. Grafik hubungan antara perbandingan berat solid dengan volum alkohol terhadap berat minyak terambil Dari daftar 3 dan gambar 2 dapat dilihat semakin banyak jumlah solid yang ditujukkan dengan semakin kecil angka perbandingan, semakin besar jumlah minyak yang dapat terambil. Hal ini disebabkan karena semakin besar jumlah bahan baku yang berarti ketersediaan minyak semakin banyak. Hal ini berpengaruh pada hasil minyak yang terambil. Tetapi pada saat tertentu berat solid yang semakin besar tidak mempengaruhi berat minyak yang terambil. Hal ini terjadi karena semakin banyak jumlah solid kontak antara pelarut dengan bahan padat menjadi kurang sempurna, sehingga jumlah minyak yang terambil tidak optimal. Didalam penelitian ini hal tersebut terjadi pada perbandingan solid dengan volum alkhol sebesar 1/18.18 atau 11 gram bahan padat dalam 200 mL alcohol. Kondisi terbaik pengambilan minyak terjadi pada perbandingan solid dengan alcohol 1/20 atau 10 gram bahan padat dalam 200 mL alcohol dengan berat minyak terambil sebanyak 3.2160 gram. Pada gambar 2 terlihat, trend grafik menunjukkan persamaan Y =-0.0167 X2 + 0,3398 X + 1.6405 Jika persamaan ini digunakan untuk menghitung kembali berat minyak terambil dengan data perbandingan berat solid, maka diperoleh ralat ratarata sebesar 1.77%. 5. SIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan : 1. Minyak biji pepaya dapat diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut alkohol dengan kadar 95%. 2. Kondisi opeasi terbaik adalah pada waktu ekstraksi 120 menit, perbandingan berat bahan dengan volum 1 : 5 pada suhu ekstraksi 780C. 3. Pada kondisi tersebut didapatkan hasil minyak biji papaya sebesar 3,1 gram.
150
Budiani, S. E., 22 januari 2009, Pemodelan ekstraksi pada cair dalam kolom unggun tetap berdasarkan teori , perkolasi, http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=brows e&op=read&id=itb-s2-tk-2000ShantyEga-cair&q=Operasi, Brown, G.G., 1958, “Unit Operations”, Modern Asia Edition, pp. 277, John Willey and Sons, Inc., New York Chan, Ir., Hev R.A., Thang, C.S., Okazaki, E.N. and Ishizaki, S.M., 1978, “Compotition of Papaya Seed”, J. Food Sci 43, pp. 225256, IFT Scientific Editor, West Lafayet, USA Hadiwityato, S., 1992, “Pemanfaatan Biji Pepaya Carica Papaya L Untuk Bahan Makanan”, Penelititan Tanaman Obat di Beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia edisi ke-4, Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi BadanPenelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Herawati, D.A. dan Setyowati, T., 2006, “Penurunan Angka Asam Lemak Bebas (FFA) dan Angka Peroksida Minyak Goreng Bekas dengan Buah Mengkudu”, Jurnal Ilmiah Kimia dan Teknologi, Vol.1, No.2, Januari 2006, hlm.112-116 (http://balittro.litbang.deptan.go.id/index.php?optio n=com_content&task=view&id=67&Itemi d=44) Kirk, R.E., and Othmer, D.F., 1949, “Encyclopedia of Chemical Technology”, 3 rd ed., pp. 808, John Willey and Sons Inc., New York Rukmana, R., 1994, “Pepaya Budidaya dan Pasca Panen”, Kanisius, Jakarta Sudarmaji, S., Haryono, B. dan Suhardi, 1996, “Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian”, Edisi kedua, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta Sulistyo, H., 1998, “Analisa Kimia Bahan Organik”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Susantyo, Solent, 22 Januari 2009, http://www.geocities.com/heri_susyanto/S olvent.htm Susinggih, W., Hidayat, N. dan Hidayat A., 2005, “Mengolah Minyak Goreng Bekas”, Trubus Agrisarana, Surabaya Tjandrawati, Y.M.M, 2003, Analisis Butil Hidroksianisol (BHA) dalam minyak goreng, Sigma, Vol.6., No.1, Januari, 2003, http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/sgm/article/v iewFile/2549/2536
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
151
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGARUH WAKTU PROSES, UKURAN BAHAN DAN VOLUME AIR PADA PENGAMBILAN MINYAK KAPULAGA DENGAN DISTILASI UAP M.Sri Prasetyo Budi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Jl. Babarsari Depok Sleman Yogyakarta, Telp. (0274) 485390 Email :
[email protected] Abstrak Kegunaan minyak atsiri sangat luas dan spesifik, selain untuk obat-obatan, bahan pangan maupun juga digunakan sebagai bahan aroma. Indonesia mempunyai potensi dan peluang yang sangat besar sebagai penghasil minyak atsiri termasuk minyak atsiri dari biji kapulaga. Perkembangan berbagai industri dalam negeri membuat kebutuhan minyak atsiri dan turunannya semakin meningkat baik dari segi jenis maupun jumlahnya. Penelitian ini mempelajari pengaruh waktu distilasi, dan ukuran bahan serta volume air distilasi dalam pengambilan miyak atsiri dari bahan kapulaga. Penelitian ini menggunakan bahan kapulaga yang berasal dari biji dan kulit kapulaga yang telah dikeringkan. Berat kapulaga yang digunakan 80 gram yang telah dihaluskan dengan ukuran 60 mesh, 80 mesh dan 100 mesh dengan volume air bervariasi mulai 1 liter sampai 5 liter dengan waktu reaksi 1 jam sampai 4 jam. Pengambilan minyak atsiri dilakukan dengan metoda distilasi uap pada suhu 1000C. Hasil penelitian didapatkan kondisi yang relatif baik yaitu waktu distilasi 4 jam, ukuran bahan 100 mesh, volume air 4 liter dengan minyak yang terambil 2,9786 gram.
Kata kunci: minyak atsiri, kapulaga, distilasi uap Pendahuluan 1. Kapulaga Kapulaga (Amomum cardamomum) selama ini dikenal sebagai rempah untuk masakan dan juga lebih banyak digunakan untuk campuran jamu. Di beberapa daerah kapulaga dikenal dengan nama kapol, palago, karkolaka, garidimong dan lain-lain. Kapulaga merupakan tanaman asli Indonesia, sedangkan kapulaga sabrang merupakan hasil introduksi dari India pada medio abad ke-18 ( Santoso, 1988). Ada dua jenis kapulaga yang dikembangkan di Indonesia, yaitu kapulaga sabrang (Elettaria cardamonum) dan kapulaga lokal (Amomum cardamonum). Kapulaga sabrang memiliki 2 kultivar yaitu Malabar dan Mysore. Sebagian besar yang diusahakan petani Indonesia ialah kapulaga lokal. Di dunia perdagangan internasional, kapulaga sabrang dikenal sebagai kapulaga asli (true cardamom) karena kandungan minyak atsirinya tinggi (5-8%) dan baunya aromatik, sedangkan kapulaga lokal dikenal sebagai kapulaga palsu (false cardamom) yang memiliki kadar minyak atsiri hanya (2-3,5%) serta baunya kurang aromatik. Kapulaga lokal adalah tanaman dataran rendah. Kapulaga hanya bisa tumbuh baik dan berproduksi optimal pada lahan dengan ketinggian mulai dari 0 sampai dengan 700 meter di atas permukaan laut. Sebaliknya, kapulaga sabrang justru hanya mau tumbuh baik di dataran tinggi mulai dari 700 sampai dengan 1.500 m. dpl. Kapulaga lokal sudah mampu berproduksi pada umur 1,5 tahun setelah tanam dengan bibit anakan yang baik. Sementara kapulaga sabrang, baik yang malabar maupun mysore baru mulai
152
berbuah pada umur 2 tahun. Harga kapulaga lokal selalu lebih murah dibanding kapulaga sabrang. Biasanya harga kapulaga sabrang tiga kali lipat dibanding kapulaga lokal. Pemanfaatan kapulaga lokal sebagian untuk industri farmasi dan sebagian lagi sebagai bahan kuliner. Selain untuk kuliner dan industri farmasi, kapulaga juga merupakan bahan minyak atsiri dan oleoresin. Kandungan True Cardamon Oil adalah terpen, terpeneol dan sineol. Sementara False Cardamon Oil selain mengandung tiga bahan tadi juga masih ada kandungan berneol dan kamfernya. Buah kapulaga kering mengandung minyak atsiri, minyak lemak, pigmen, protein, selulosa, pentosa, berbagai jenis gula, pati, silika dan berbagai jenis mineral. Rata-ta 1 biji mengandung 20 gr air, 10 gr protein, 2 gr lemak, 42 gr karbohidrat, 20 gr serat dan 6 gr abu. Kadar minyak atsiri pada buah 3,5 – 7%, kira-kira 59-79% terdapat pada biji (Anonim, 2009). Indonesia mempunyai peluang dan potensi yang sangat besar dalam mengembangkan keanekaragaman minyak atsiri Indonesia, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk kebutuhan dalam negeri. Diperkirakan ada 160-200 jenis tanaman aromatik yang berpotensi untuk dibuat minyak atsiri. Perkembangan berbagai industri dalam negeri membuat kebutuhan minyak atsiri dan turunannya semakin meningkat,baik dari segi jenis maupun jumlahnya. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian untuk mendapatkan minyak atsiri salah satunya dari biji kapulaga. 2. Distilasi
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Mempelajari pengaruh waktu proses, ukuran bahan dan volume air pada pengambilan minyak kapulaga dengan metode distilasi uap. 2. Mencari kondisi optimum pada distilasi uap pada variabel yang ditelliti.
menguap dan bersama-sama uap air naik ke arah pendingin lurus. Tetesan pertama dari pendingin dianggap sebagai waktu awal distilasi dan setelah waktu tertentu distilasi dihentikan. Distilat yang dihasilkan ditampung dalam penampung distilat yang dilengkapi dengan corong pemisah. Pemisahan terjadi berdasarkan perbedaab berat jenisnya. Minyak akan berada di bagian atas karena berat jenisnya lebih kecil dari berat jenis air. Percobaan diulangi dengan variasi waktu dan volume air yang berbeda. Hasil minyak yang diperoleh ditampung dalam botol lalu ditimbang serta dianalisa hasil minyaknya. Hasil dan Pembahasan Pengaruh waktu distilasi dan ukuran bahan terhadap minyak atsiri yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.
Tabel 1. Pengaruh waktu distilasi dan ukuran bahan terhadap minyak atsiri yang dihasilkan ( Berat bahan 80 gram, suhu 1000C )
No
Waktu (jam)
1
1
1,2132
1,3568
1,4164
2
2
1,5852
1,6426
1,9306
3
3
1,9902
2,1743
2,5972
4
4
2,5561
2,7100
2,9786
Ukuran Bahan (mesh) 60 80 100
3.5
3
2.5 M ny a k A ts iri (Gr)
Distilasi merupakan proses pemisahan komponen yang berupa cairan dari dua macam campuran atau lebih, berdasarkan titik didihnya. Armando (2009), Dalam industri pengolahan minyak atsiri dikenal 3 macam sistim yaitu penyulingan dengan air (water distillation), penyulinagn dengan air dan uap (water and steam distillation), dan penyulingan uap (steam distillation). Distilasi/Penyulingan dengan air merupa-kan metode paling sederhana dibanding dua metode lainnya. Pada metode ini, bahan yang disuling dicampur dengan air dalam ketel. Metode ini cocok untuk penyulingan bahan berbentuk tepung dan bunga-bungaan yang mudah membentuk gumpalan jika terkena panas yang tinggi. Namun karena dicampur menjadi satu, selain waktu untuk distilasi lama juga jumlah dan mutu minyak yang dihasilkan rendah. Pada metoda water and steam distillation (sistem kukus) bahan diletakkan di atas piringan berlubang yang terletak beberapa sentimeter di atas permukaan air yang masih berada dalam satu ketel. Kelebihan metoda ini uap dapat masuk merata ke bahan, suhu dapat dipertahankan sampai 1000C, lama waktu distilasi relatif lebih singkat, rendemen minyak lebih besar dan mutunya lebih baik dibanding dengan minyak hasil sistem distilasi air. Metode Distilasi Uap, air sebagai sumber uap panas terdapat pada ketel yang letaknya terpisah dengan bahan yang akan didistilasi. Uap yang dihasilkan mempunyai tekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar. Metoda ini baik jika digunakan untuk mendistilasi bahan baku minyak atsiri berupa kayu, kulit batang, maupun biji-bijian yang relatif keras.
60 Mesh
2
80 Mesh 100 Mesh
1.5
1
0.5
0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Waktu Distilasi (Jam)
Metode Penelitian Biji kapulaga mula-mula dibersihkan, dikeringkan lalu diblender menjadi ukuran kecil kemudian diayak hingga didapat ukuran yang diinginkan. Selanjutnya kapulaga dimasukkan ke kolom distilasi. Air dimasukkan ke dalam ketel dipanaskan sampai mendidih. Kemudian uap air dialirkan ke dalam kolom distilasi, sehingga uap air akan menembus dan melewati saringan yang berisi kapulaga. Uap air akan membawa minyak yang
Gambar 1. Pengaruh waktu distilasi dan ukuran bahan terhadap minyak atsiri yang dihasilkan Dari tabel I dan grafik 1 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu reaksi jumlah minyak yang dihasilkan juga makin bertambah. Hal ini disebabkan makin lama waktu kontak uap air dengan bahan maka minyak atsiri yang diperoleh semakin banyak. Demikian juga semakin besar ukuran mesh maka minyak yang dihasilkan juga makin bertambah. Hal ini disebabkan makin kecil ukuran
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
153
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bahan maka luas permukaan kontak bahan dengan uap air makin besar. Kondisi yang relatif baik didapat pada wktu 4 jam, ukuran bahan 100 mesh dengan minyak yang dihasilkan sebanyak 2,9786 gram.
3.
Pengaruh waktu distilasi dan Volume Air terhadap minyak atsiri yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2.
Daftar Pustaka Anonim, 1982, ” Minyak Kapulaga (Oil Cardamonum)”, Proceeding Minyak Atsiri III, Balai Penelitian Kimia Departemen Perindustrian RI, Bogor Anonim, 2009, ”Minyak Atsiri ”, Trubus, vol .07, Niaga Swadaya, Jakarta Armando,R., 2009, ”Memproduksi 15 Minyak Atsiri Berkualitas” Penebar Swadaya, Jakarta Guenter, 1987, “Minyak Atsiri”, Vol I,Penerbit UI, Jakarta. Indo,A.M.,, 1987, “Kapulaga : Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran ”, Swadaya, Jakarta Santoso,H.B., 1988, “Kapulaga”, Kanisius, Yogyakarta. Sudarmadji, S., Haryono,B., dan Suhardi, 1984, “Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian”, Liberty, Yogyakarta Thorpe.,J.F.,Whiteley, 1941, “Thorpe Dictionery of Applied Chemistry”, Vol III, Loogman and Co, London
Tabel 2. Pengaruh waktu distilasi dan Volume Air terhadap minyak atsiri yang dihasilkan (Berat bahan 80 gram, ukuran 100 mesh, suhu 1000C)
No
Volume Air (Liter)
1
2
3
4
1
2
0,7082
0.9511
1,1760
1,4230
2
3
0,9643
1,3220
1,5743
1,9968
3
4
1,4164
1,9306
2,5972
2,9786
4
5
1,4200
1,9252
2,5980
2,9792
Waktu(Jam)
3.5 3.0
M inyak Atsiri (Gr)
2.5 Volume 2 Lt Volume 3 Lt
2.0
Volume 4 Lt Volume 5 Lt
1.5 1.0 0.5 0.0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Waktu Distilasi ( Jam )
Gambar 2. Pengaruh waktu distilasi dan Volume Air terhadap minyak atsiri yang dihasilkan Pada Tabel 2 dan Gambar 2 dapat dilihat bahwa semakin banyak volume air yang digunakan semakin besar minyak atsiri yang diperoleh. Hal ini dikarenakan semakin banyak volume air yang digunakan semakin banyak uap yang keluar dari ketel untuk memisahkan minyak atsiri dari biji kapulaga tersebut. Pada volume air 5 liter hasil minyak yang didapakan hampir sama dengan volume air 4 liter.Kondisi yang relatif baik didapat pada volum air 4 liter dan waktu 4 jam dengan minyak yang didapat sebesar 2,9786. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 2. Minyak atsiri dari biji kapulaga dapat diambil dengan metode distilasi uap.
154
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Kondisi yang relatif baik yaitu pada waktu distilasi 4 jam, ukuran bahan 100 mesh, volume air 4 liter dengan minyak yang terambil 2,9786 gram.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGARUH UKURAN BAHAN DAN WAKTU EKSTRAKSI RIMPANG KUNYIT SEBAGAI INDIKATOR KEASAMAN ALAMI Oni Yuliani Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Jl. Babarsari Depok Sleman Yogyakarta
[email protected] Salah satu tanaman rempah dan obat-obatan yang merupakan produk pertanian dan banyak terdapat di Indonesia adalah kunyit. Bahan yang dimanfaatkan dari kunyit adalah akar tinggal (rhizome). Akar tinggal ini mempunyai sifat spesifik, warnanya akan berubah sesuai dengan pH lingkungannya. Zat warna (kurkumin) yang terdapat pada tanaman kunyit ini dapat diambil dengan cara ekstraksi dan larutan ekstraknya dapat dijadikan sebagai indikator keasaman alami karena dapat berubah warna Sebelum diekstraksi kunyit dikupas, dicuci, diiris tipis, dan dikering kan. lalu diblender menjadi ukuran kecil kemudian diayak hingga didapat ukuran yang diinginkan. Hasil ekstraksi kemudian di uapkan (didistilasi) untuk memisahkan kurkumin dari pelarutnya. Larutan kurkumin lalu di gunakan sebagai indikator titrasi. Dari hasil yang terbaik kemudian dibuat larutan indicator kurkumin dengan konsentrasi tertentu untuk menitrasi NaOH 0,1 N dan HCL 0,1 N Kata kunci : kunyit, ekstraksi, indikasi keasaman PENDAHULUAN Alam Indonesia memang penuh berisi hal-hal yang menakjubkan. Hampir semua elemen di alam memiliki manfaat yang besar terhadap kehidupan. Salah satunya adalah obat-obatan yang berasal dari alam seperti kunyit Kunir atau kunyit (Curcuma longa Linn. syn. Curcuma domestica Val.) termasuk salah satu tanaman rempah dan obat asli dari wilayah Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian mengalami persebaran ke daerah Indo-Malaysia, Indonesia, Australia bahkan Afrika. Hampir setiap orang Indonesia dan India serta bangsa Asia umumnya pernah mengkonsumsi tanaman rempah ini, baik sebagai pelengkap bumbu masakan, jamu atau untuk menjaga kesehatan dan kecantikan . kunyit adalah rempah-rempah yang biasa digunakan dalam masakan di negara-negara Asia. Susunan kunyit terdiri atas akar, rimpang, batang semu, pelepah daun, daun, tangkai bunga dan kuntum bunga. Akar tinggal (rimpang/rhizoma) kunyit kuning (Curcuma longa Linn) merupakan salah satu tanaman obat tradisional Indonesia yang kaya akan kandungan senyawa-senyawa bahan alam. Senyawa utama yang terkandung dalam tanaman kunyit kuning adalah kurkuminoid yang memberi warna kuning pada kunyit. Zat warna ini mempunyai sifat yang spesifik, warnanya akan berubah (sesuai dengan pH) dari suasana asam sampai suasana basa., sehingga dapat dimanfaatkan sebagai indikator titrasi asam – basa. Jika dibandingkan dengan indikator produk pabrik, maka indikator kurkumin ini lebih murah. Indikator kurkumin ini dapat disimpan dalam fase cair (terlarut dalam alkohol) ataupun dalam fase padat (bentuk kristal) Salah satu metode yang digunakan dalam pengambilan kurkumin adalah dengan cara
ekstraksi, proses ini cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala kecil. Ekstraksi merupakan salah satu metode pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan. Secara umum ekstraksi dapat didefinisikan sebagai proses pemisahan atau isolasi zat dari suatu zat dengan penambahan pelarut tertentu untuk mengeluarkan komponen campuran dari zat padat atau zat cair. Dalam hal ini fraksi padat yang diinginkan bersifat larut dalam pelarut (solvent), sedangkan fraksi padat lainnya tidak dapat larut. Proses tersebut akan menjadi sempurna jika solute dipisahkan dari pelarutnya, misalnya dengan cara distilasi/penguapan. Salah satu pelarut yang dapat digunakan adalah alkohol karena lebih murah. TEORI
Tanaman kunyit sudah lama dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai keperluan dapur (pewarna dan menyedap masakan), obatobatan dan bahan pewarna. Komponen utama dari rimpang kunyit adalah zat warna kurkumin dan minyak atsirinya. Zat warna kurkumin merupakan kristal kuning oranye yang tidak larut dalam eter tetapi larut dalam alkohol, asam asetat, minyak dan alkali. Dalam alkali warna kunyit adalah merah kecoklatan, sedangkan dalam asam berwarna kuning muda (Rukmana, 1990) Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya. Kurkumin merupakan kurkumioid dari rempah-rempah Indian, dan dua yang lainnya adalah demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin. Kurkuminoid adalah
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
155
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
poli-fenol dan menjadikan warna kuning pada turmeric. Kurkumin ada dalam bentuk paling sedikit dua bentuk tautomerik, keto dan enol. Bentuk enol lebih stabil energinya pada fase padat dan fase larutan. Kurkumin dikenal karena sifat antitumor dan antioksidan yang dimilikinya (http://id.wikipedia.org/ wiki/ Kunyit ). Senyawa utama yang terkandung dalam tanaman kunyit kuning adalah kurkuminoid yang memberi warna kuning pada kunyit. Zat warna ini mempunyai sifat yang spesifik, warnanya akan berubah (sesuai dengan pH) dari suasana asam sampai suasana basa, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai indikator titrasi asam – basa alami karena dapat berubah warna jika terjadi perubahan pH. Setiap indikator asam-basa mempunyai trayek perubahan warna sendiri-sendiri. Beberapa contoh indikator dapat dilihat pada Tabel 1 (Harjadi, 1993)
pelarut aseton, heksana atau etilen khlorida (Djubaedah, 1989) METODE PENELITIAN Kunyit kuning yang dipergunakan pada penelitian ini berupa rimpang kunyit kuning basah , yang sudah dikupas, dicuci, diiris tipis, dan dikering kan. lalu diblender menjadi ukuran kecil kemudian diayak hingga didapat ukuran yang diinginkan. Isolasi kurkuminoid yang terkandung dalam rimpang kunyit kuning kering menggunakan metode ekstraksi dengan pelarut etanol. Sejumlah kunyit kering di ekstraksi dengan waktu tertentu, hasil ekstrak didistilasi (diuapkan) untuk memisahkan kurkumin dari pelarutnyak hingga diperoleh suatu residu berupa kurkumin. Larutan kurkumin yang dihasilkan digunakan untuk menitrasi NaOH, HCl, sampai terlihat ada perubahan warna.
Tabel 1. Trayek pH beberapa indikator Nama Indikator
Metil Jingga Metil Merah Bromotimol Biru Fenolftalein
Trayek pH 3,0 - 4,4 4,2 - 6,2 6,0 - 7,8 8,0 - 9,2
Warna
Merah - jingga Merah - kuning Kuning – biru Tidak berwarna - merah
Tabel 2. adalah perubahan warna dari zat warna kurkumin (Kusumopradono, 1990)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ukuran bahan dan waktu ekstraksi terhadap kemampuan indikasi ekstrak kunyit dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar. 1. Pengambilan kurkumin dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut alkohol dengan konsentrasi 96%, pada suhu operasi 780C, berat serbuk kunyit 40 gram Tabel 3. Pengaruh ukuran bahan serbuk kunyit. Dan waktu ekstraksi terhadap kemampuan indikasi ekstrak kunyit
Tabel 2. Perubahan warna dari zat warna Kurkumin pH Larutan 4,5 6,7 7,2 7,5 8.0 8,3 8,5 9,7 9,9
Warna Kuning muda pucat Kuning Kuning merah Kuning merah coklat Kuning coklat Kuning coklat Kuning coklat Coklat kemerahan coklat
Metode yang digunakan dalam pengambilan kurkumin adalah dengan cara ekstraksi, Menurut Guenther, 1952, dalam ekstraksi pemilihan pelarut harus tepat atau mendekati sifat pelarut ideal antara lain, dapat melarutkan semua senyawa yang diinginkan dengan cepat dan sempurna, titik didih rendah (agar mudah diuapkan), bersifat inert, tidak mudah terbakar. Dalam ekstraksi peranan pelarut, lama ekstraksi, temperatur ekstraksi, dan ukuran partikel sangat penting, karena pengambilan oleoresin dari rempah-rempah diperoleh hasil yang optimum jika digunakan pelarut alkohol dibandingkan dengan
156
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Waktu Ekstraksi (menit)
25 50 75 100 125
Kemampuan Indikasi (ml)
50 Mesh 9.66 9.12 8.60 7.77 6.90
100 Mesh 8.96 8.37 7.80 6.85 6.18
150 Mesh 7.80 7.52 7.09 6.10 5.45
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel.4. Pengaruh konsentrasi kurkumin dan jumlah tetes terhadap kemampuan indikasi keasaman
12 11
Kemampuan Indikasi (ml)
10
Konsentrasi kurkumin
9 8
1% 2% 3% 4% 5%
7 6 5 4
Jumlah larutan indicator (tetes) 1 2 3 # # # ## ## ## ## ### ### ### ####
3 2 1 0 0
25
50
75
100
125
150
Waktu Ekstraksi (menit)
50 Mesh
100 Mesh
Keterangan : - = tidak terjadi perubahan warna # = terjadi perubahan warna (tidak jelas) ## = terjadi perubahan warna (cukup jelas) ### = terjadi perubahan warna (jelas) #### = terjadi perubahan warna (sangat jelas) Dari tabel.4, terlihat bahwa larutan indikator kurkumin serbuk kunyit dengan konsentrasi 5 % sebanyak 3 tetes memberikan perubahan warna yang sangat jelas.
150 Mesh
Gambar 1. Pengaruh waktu ekstraksi dan ukuran bahan terhadap kemampuan indikasi kurkumin Dari tabel 3 dan gambar 1 terlihat bahwa semakin lama waktu ekstraksi dan semakin besar ukuran mesh bahan (semakin kecil ukuran bahan) akan semakin baik kemampuan indikasinya karena ukuran bahan yang semakin kecil menyebabkan luas permukaan bahan semakin besar sehingga mempermudah pelarut untuk larut dan mengambil zat warna kurkumin dari serbuk kunyit. Kondisi yang baik diperoleh pada waktu ekstraksi 125 menit dan ukuran bahan 150 mesh dengan kemampuan indikasi 5,45 ml sudah dapat menunjukkan perubahan warna. Dari kondisi yang terbaik dibuat larutan indikator kurkumin dengan kondisi yang berbeda yaitu 1%, 2 %, 3%, 4%, 5% , larutan tersebut kemudian digunakan untuk titrasi NaOH 0,1 N dan HCL 0,1 N sebanyak 10 ml. Larutan indikator kurkumin diteteskan pada NaOH dan HCL sampai terjadi perubahan warna
KESIMPULAN Dari hasil penelitian diambil kesimpulan sebagai berikut 1. Zat warna kurkumin dapat diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut etanol 96% pada suhu operasi 78oC 2. Indikasi keasaman yang relatif baik yaitu pada kondisi waktu ekstraksi 125 menit dan ukuran bahan 150 mesh dengan kemampuan indikasi keasaman yang menunjukkan perubahan warna pada volime 5,45 ml dan konsentrasi kurkumin 5 %. DAFTAR PUSTAKA Anomim, 14 Desember 2009, Kunir http://id.wikipedia.org/wiki/Kunir, Djubaedah, E, 1989, “ Ekstraksi Obat Tradisional Indonesia “, Vol.II, hal. 10-19, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan, Bandung. Guenther, E, 1952, “Ekstraksi Oleoresin Dari D. Van Jahe“ , Vol.V, pp. 106-120, Nostrand Company Inc, New York. Harjadi, W, 1993, “ Ilmu Kimia Analit Dasar “ , hal.121-146, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Indrayanti,S, 2002, Pengembangan Zat Warna Kunyit Sebagai Indikator Keasaman, Jurusan Teknik Kimia, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
157
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Kusumapradono, M, 1990, Penggunaan Kurkumin Sebagai Indikator, Universitas Diponegoro, Semarang Prangdimurti,E,Ir, Msi, Tjwee, 15 Desember 2009. Laporan Praktikum kimia dan Biokimia Pangan Pigmen Alami, http://www.scribd.com/doc/6549706/Pigmen -Mania, Rukmana, R, 1994, “ Kunyit “ , hal.9-16, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Underwood, A,L, Day, R,A, 1984, Analisa Kimia Kuantitatif, ed-4, hal 90-91, Erlangga, Jakarta. Wahyuni, Harjono.A,Paskalina, 2004, Ekastraksi kurkumin dari kunyit, Prosiding seminar nasional rekayasa kimia dan proses, jurusan teknik kimia fakultas teknik universitas diponegoro,semarang
158
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
159
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
160
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
HIDROKIMIA DAN GEOLOGI AIR PANAS DAERAH PARANGWEDANG, KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA T. Listyani R.A. Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta E-mail :
[email protected] ABSTRAK Keberadaan air panas di Parangwedang merupakan salah satu manifestasi gejala panas bumi yang mungkin berasosiasi dengan keberadaan intrusi batuan beku yang terjadi pada Jaman Tersier atau Miosen Bawah. Hidrokimia air panas tersebut ditentukan oleh imbuhan serta proses-proses yang terjadi di dalamnya. Batuan samping yang diterobos magma yang berfungsi sebagai akifer di daerah penelitian adalah Formasi Nglanggran. Oleh karenanya, batuan dari Formasi Nglanggran yang dilalui airtanah akan berpengaruh pada komposisi kimia air panas ini. Hubungan antara komposisi kimiawi / mineralogi batuan samping dengan hidrokimia mataair panas tersebut perlu dikaji untuk mengetahui geologi air panas ini. Metode penelitian diawali dengan melakukan analisis terhadap data sekunder yang berupa hasil penelitian geologi di daerah Parangwedang dan sekitarnya. Data primer diambil langsung di lapangan dengan melakukan survai hidrogeologi disertai dengan pengambilan contoh batuan dan air panas di Parangwedang. Analisis kimia terhadap contoh air panas dikompilasikan dengan analisis petrografi batuan diharapkan akan memberikan gambaran komposisi kimiawi batuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mataair panas yang muncul di Parangwedang dikontrol oleh porositas antar butir dan rekahan / kekar. Batuan samping yang merupakan Formasi Nglanggran memiliki pengaruh terhadap keberadaan beberapa unsur kimia pada air panas yang diteliti. Komposisi dominan yang berupa ion klorida dapat dipasok dari hornblende dan gelas vulkanik yang terdapat cukup melimpah pada satuan breksi, lava dan intrusi andesit Formasi Nglanggran. Namun, air panas dengan tingkat keasinan yang merupakan air asin dan tipe kimia berupa kalsium natrium klorida menunjukkan bahwa proses hidrokimia seperti evolusi, percampuran / mixing dan intrusi air laut sangat dominan dalam mempengaruhi hidrokimia air panas tersebut.
PENDAHULUAN Keberadaan air panas merupakan salah satu manifestasi gejala panas bumi yang tersingkap di permukaan. Salah satu sumber air panas yang ada di daerah Bantul terdapat di Parangwedang. Air panas ini merupakan manifestasi panas bumi yang dapat berasosiasi dengan keberadaan intrusi batuan beku yang terjadi pada Jaman Tersier atau Miosen Bawah. Panas bumi di daerah ini juga berkaitan dengan tektonik lempeng yang mengakibatkan magma menerobos batuan yang sudah ada sebelumnya sebagai intrusi dan memanaskan air pada batuan akifer. Proses pemanasan oleh magma tersebut mengakibatkan terbentuknya air panas. Hidrokimia mataair panas ditentukan oleh recharge serta proses-proses yang terjadi di dalamnya. Batuan samping yang diterobos magma yang berfungsi sebagai akifer di daerah penelitian adalah Formasi Nglanggran. Penelitian kali ini ingin mengungkapkan hubungan antara komposisi kimiawi/mineralogi batuan samping dengan hidrokimia mataair panas tersebut. Daerah Parangwedang dan sekitarnya merupakan bagian dari fisiografi Pegunungan Selatan bagian barat yang melampar di daerah Kabupaten Gunung Kidul sampai bagian timur Kabupaten Bantul. Lokasi penelitian ini berdekatan
dengan Pantai Parangtritis yang terletak di ujung selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adanya air panas di daerah ini mungkin berkaitan dengan panas bumi yang diakibatkan oleh proses intrusi pada Jaman Tersier di daerah penelitian. Intrusi batuan beku yang berupa dyke ini di Parangkusumo menunjukkan umur yang berkisar antara 26,40 – 26,55 Ma berdasarkan penanggalan K – Ar (Soeria Atmadja dkk., 1994). Aktifitas magma yang bersifat plutonis maupun vulkanis merupakan sumber panas bumi. Batuan pemanas bisa berupa gunungapi, tubuh intrusi atau batuan yang dipengaruhi oleh pergeseran sesar aktif. Sementara itu, batuan tudung berfungsi sebagai penutup akumulasi airtanah. Batuan tudung ini memiliki permeabilitas rendah, misalnya batuan alterasi, abu vulkanik atau batulempung. Maksud dari penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai sifat fisik dan kimiawi dari batuan serta airtanah di daerah Parangwedang, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan antara geokimia batuan dengan hidrokimia air panas di daerah penelitian. Karakteristik hidrokimia airtanah yang berdekatan dengan mataair panas Parangwedang diteliti untuk mendapatkan gambaran pengaruh batuan samping
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
161
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
terhadap komposisi kimiawi airtanah di daerah tersebut. Geologi Daerah Parangwedang Daerah Parangwedang dan sekitarnya terdapat di perbatasan zona fisiografi Pegunungan Selatan dengan dataran rendah Yogya – Bantul. Air panas Parangwedang dijumpai di ujung barat laut dari Zona Pegunungan Selatan ini. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta–Surakarta di sebelah barat–utara, sedang di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat antara Dataran Yogyakarta dengan Pegunungan Selatan dibatasi oleh Sungai Opak, sedangkan di bagian utara berupa Gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini membujur dengan dimensi melengkung sepanjang barat hingga timur. Zona Pegunungan Selatan ini dapat dibagi menjadi tiga Subzona (Harsolumakso dkk., 1997, dalam Bronto dan Hartono, 2001), yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu. Soladopo (2007) telah melakukan pemetaan geologi di daerah Parangwedang dan sekitarnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa daerah penelitian tersusun atas endapan vulkaniklastik Merapi, endapan hasil rombakan batuan (endapan talus) dan endapan gumuk pasir pantai yang berumur Kuarter serta batuan yang berumur Tersier. Selanjutnya, peneliti tersebut mengatakan bahwa daerah penelitian terbagi menjadi 4 satuan batuan Tersier dan 6 satuan endapan Kuarter. Beberapa satuan batuan yang diinterpretasikan berhubungan erat dengan kemunculan air panas di Parangwedang antara lain satuan breksi andesit Nglanggran, satuan lava andesit Nglanggran serta satuan intrusi andesit Nglanggran (Tabel 1). Pengaruh Batuan terhadap Hidrokimia Airtanah Matthess (1982) mengatakan bahwa kualitas airtanah dipengaruhi oleh material akifer karena perubahan diagenetik yang terjadi selama airtanah melewati akifer tersebut, misalnya karena berbagai proses hidrokimia. Proses-proses itu antara lain adalah disolusi – hidrolisis – presipitasi, adsorpsi, pertukaran ion, reduksi –oksidasi, percampuran/mixing, membran filtrasi maupun metabolisme mikrobiologi. Komposisi kimia airtanah tergantung pada komposisi kimia air di daerah imbuhan serta reaksi-reaksi yang terjadi pada sistem aliran tersebut. Kualitas airtanah merupakan suatu sistem bersama dengan komponen-komponen sistem lain yang saling berinteraksi sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan-perbedaan kualitas airtanah di setiap tempat (Suharyadi, 1984). Walaupun demikian, secara umum kualitas airtanah mempunyai sifat yang khas di setiap jenis batuan.
162
Airtanah pada batuan endapan mempunyai kualitas yang beragam mulai dari air yang asin sampai air yang kandungan jumlah garam terlarutnya kurang dari 100 ppm. Airtanah yang letaknya jauh di bawah permukaan bumi mempunyai kadar yang semakin jelek. Kualitas airtanah pada batupasir umumnya beragam tergantung pada komposisi mineral, kedalaman akifer, jauh dekatnya pengaliran dan sebagainya tetapi pada umumnya berupa airtanah yang kualitasnya baik (Suharyadi, 1984). Matthess (1982) mengatakan bahwa karakteristik airtanah pada batupasir umumnya memiliki TDS yang tergantung dari material batupasir. TDS yang rendah bisa diakibatkan oleh air hujan. Hidrokimia airtanah dapat dilihat dari komposisi kimia yang terkandung dalam airtanah. Komposisi kimia ini mempengaruhi kualitas airtanah. Kualitas airtanah dipengaruhi oleh material batuan yang dilaluinya. Davis dan De Wiest (1966) mengatakan bahwa perkembangan ion pada airtanah tergantung pada mineral availability dan mineral solubility-nya. Peneliti tersebut juga mengungkapkan hubungan antara ion-ion penyusun airtanah dengan mineral batuan. Tabel 2 secara ringkas menjelaskan beberapa komposisi kimia airtanah dan kemungkinan sumber mineral / batuan yang mempengaruhinya. Domenico & Schwartz (1990) mengatakan bahwa beberapa padatan inorganik dan organik, cairan organik dan gas-gas dijumpai dalam airtanah. Keragaman zat terlarut dalam airtanah dapat terjadi. Kandungan inorganik terlarut diklasifikasikan sebagai komponen utama dengan konsentrasi >5 mg/l, kandungan minor dengan konsentrasi < 0,01 mg/l (Davis & De Wiest, 1966). Analisis terhadap airtanah umumnya dilakukan untuk mengetahui komponen mayor dan minor. Komposisi airtanah bervariasi dalam proses alirannya. Kandungan kimia ini juga mengalami perubahan / evolusi selama airtanah bergerak di bawah permukaan. Dari sudut pandang geokimia, urutan evolusi anion sangat ditentukan oleh ketersediaan dan kelarutan mineral. Kandungan HCO 3 - dalam airtanah umumnya berasal dari CO 2 zone tanah dan dari disolusi kalsit / dolomit. Karena kalsit dan dolomit terdapat dalam jumlah cukup besar pada hampir semua cekungan sedimen dan karena mineral ini cepat larut, HCO 3 - hampir selalu merupakan anion dominan pada daerah imbuhan (Freeze & Cherry, 1979). Parameter pH yang berhasil diukur di lapangan terhadap mataair panas di pemandian air panas Parangwedang adalah sebesar 7,28, sedangkan dari hasil uji laboratorium sebesar 6 – 7 (BTKL, 1998; Tabel 3). Sementara itu pH air panas dari sumur gali diketahui sebesar 7,3 dari hasil uji di BTKL (2008; Tabel 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa air panas yang diteliti
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
merupakan air yang netral. Dengan melihat nilai DHL dan besarnya kandungan Cl-nya maka air panas yang diteliti merupakan air asin. Unsur-unsur yang didapatkan dalam jumlah sedikit dalam air panas yang diteliti, seperti K, Mg, SO 4 , B, Al, Fe tidak mudah dikorelasikan dengan komposisi kimia / mineralogi batuan samping. Kebasaan CaCO 3 yang rendah juga menunjukkan tidak ada / sedikitnya batuan karbonat yang berpengaruh dalam menentukan komposisi kimia air panas yang diteliti. Walaupun proses hidrokimia sangat dominan menentukan kaakteristik kimiawi air panas di Parangwedang, namun dalam penelitian ini ingin dikaji pengaruh litologi batuan samping terhadap hidrokimia air panas ini. Air panas ini sangat mungkin berasal dari imbuhan air hujan masa kini, berada pada akifer dangkal, kemudian terpanasi oleh gas volkanik yang terkait dengan keberadaan intrusi pada Formasi Nglanggran. Namun demikian, asal-usul (origin) air panas ini perlu diteliti lebih lanjut. Untuk mendukung hal itu, maka perlu dilakukan penanggalan (dating) dari umur air panas ini. Dengan menganggap bahwa air panas ini merupakan air meteorik yang keluar melalui celahcelah, baik pori maupun retakan pada batuan dari Formasi Nglanggran, maka berikut ini akan diuraikan kajian komposisi kimia batuan formasi ini dalam kaitannya dengan komposisi kimiawi air panas yang diteliti. 1.
Satuan Breksi Andesit Nglanggran Satuan ini disusun oleh breksi, dengan fragmen berupa andesit dan matriksnya adalah batupasir tuf (Gambar 2). Fragmen andesit memiliki komposisi mineral yang terdiri dari plagioklas, mineral opak dan gelas vulkanik : - Mineral plagioklas merupakan termasuk dalam keluarga mineral feldspar dan dapat menjadi sumber silika bagi airtanah yang melarutkannya. Dengan komposisi plagioklas berupa andesin, maka mineral ini dapat juga berfungsi sebagai sumber natrium / sodium. Selain itu, magnesium, besi, dan kalium juga dapat dihasilkan dari pelarutan mineral ini. - Mineral opak dapat berfungsi sebagai sumber silika, besi, dan magnesium, kalsium, natrium dan kalium. - Gelas vulkanik merupakan mineral yang dapat memberikan komponen kimiawi seperti : silika, besi, magnesium, kalsium, natrium, kalium, serta sebagian kecil klorida. Matriks breksi andesit berupa batupasir tuf, dengam komposisi mineral tersusun oleh feldspar, fragmen batuan, piroksen, mineral opak dan gelas vulkanik. - Mineral plagioklas yang didominasi oleh andesin dalam batuan ini juga berfungsi sebagai
-
-
sumber silika, natrium, magnesium, besi dan kalium seperti pada fragmen andesit. Fragmen batuan yang berupa pecahan batuan beku berfungsi sebagai pemasok unsur silika, besi, magnesium, kalsium, natrium, serta kalium. Piroksen dapat menambah unsur besi, magnesium, kalsium, natrium maupun kalium. Mineral opak dan gelas vulkanik dapat bertindak sebagai pemasok beberapa unsur sama seperti yang telah dijelaskan pada fragmen andesit di atas.
2. Satuan Lava Andesit Nglanggran Satuan lava andesit memiliki komposisi batuan andesit, dengan komposisi mineral tersusun oleh plagioklas, hornblende, piroksen, kuarsa, mineral opak dan gelas vulkanik. - Plagioklas, piroksen, mineral opak dapat berfungsi sebagai pemasok beberapa unsur kimia seperti telah diterangkan pada fragmen andesit pada satuan breksi andesit. - Kuarsa merupakan sumber unsur silika yang potensial karena mineral ini umumnya hanya mengandung silika, kecuali jika ada mineralmineral pengotornya. - Hornblende juga dapat menambah unsur silika, besi, magnesium, kalsium, natrium ataupun kalium serta klorida. 3. Satuan Intrusi Andesit Nglanggran Satuan ini terdiri dari andesit, dengan komposisi mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas vulkanik. Berbagai macam mineral tersebut dapat bertindak sebagai sumber silika, besi, magnesium, kalsium, natrium, kalium, sulfat, maupun klorida. Namun perlu dicatat dalam tulisan ini, walaupun Formasi Nglanggran didominasi oleh batuan beku yang dapat memasok begitu banyak unsur silika, ternyata unsur ini tidaklah terlalu dominan pada airtanah yang diteliti. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dengan melihat kapasitas kelarutan unsur ini. Silika merupakan mineral yang sulit larut, apalagi pada suhu normal. Mineral dengan unsur dominan silika juga merupakan mineral yang resisten dan sulit lapuk (ingat Deret Bowen dalam urut-urutan pelapukan batuan). Unsur klorida yang sangat mendominasi komposisi kimia air panas yang diteliti sangat mungkin dihasilkan terutama oleh penyusupan air laut. Namun, pelapukan hornblende dan gelas vulkanik dapat menyumbang sebagian unsur ini sehingga klorida dalam air panas yang diteliti semakin berlimpah. Selain itu, kehadiran beberapa ion mayor yang dominan juga membuktikan adanya proses evolusi hidrokimia maupun percampuran / mixing dalam sistem aliran airtanah di daerah penelitian.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
163
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
KESIMPULAN Mataair panas di Parangwedang muncul melalui porositas antar butir dan rekahan / kekar batuan. Batuan samping yang sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia air panas yang diteliti adalah Formasi Nglanggran. Formasi ini tersusun oleh breksi andesit, lava dan intrusi andesit. Air panas yang diteliti merupakan air asin, ditandai dengan DHL dan kandungan Cl yang tinggi. Komposisi kimia yang dominan pada air panas ini adalah Cl, Ca dan Na, dengan tipe kimia kalisum natrium klorida (CaNaCl 2 ). Sementara itu, komposisi mineral yang dominan pada batuan samping yang diteliti adalah plagioklas. Mineral ini menjadi pemasok unsur silika, Ca, Na dan sebagian kecil Cl. Dengan melihat komposisi kimia dominan pada air panas yang diteliti, maka mineral pada batuan dari Formasi Nganggran tidak sepenuhnya bertanggung jawab terhadap komposisi kimia air panas tersebut. Proses hidrokimia seperti evolusi kimia serta pertukaran kation pada saat terjadinya intrusi air laut justru sangat berpengaruh terhadap pengayaan unsur Cl pada air panas di daerah Parangwedang. Satuan breksi dan lava andesit Nglanggran, dengan komposisi mineral berupa plagioklas, mineral opak, gelas vulkanik, fragmen batuan beku dan piroksen. berfungsi sebagai sumber silika, besi, natrium, kalium, magnesium, kalsium dan mungkin juga klorida. Mineral kuarsa pada batuan ini dapat menambah mineral silika terlarut dalam air panas. Hornblende dapat berfungsi sebagai penambah silika, besi, magnesium, kalsium, natrium, kalium serta klorida. Satuan intrusi andesit Nglanggran memiliki komposisi mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas vulkanik yang merupakan sumber silika, besi, magnesium, kalsium, natrium, kalium, sulfat, maupun klorida. Kandungan silika yang tidak terlalu besar pada airtanah sangat tergantung dari kelarutan mineral-mineral pada batuan dari Formasi Nglanggran. Banyaknya unsur-unsur mayor (terutama klorida) pada air panas yang diteliti sangat dipengaruhi oleh proses evolusi hidrokimia, percampuran / mixing dan penyusupan air laut, namun mungkin juga dibantu oleh adanya pelarutan mineral pada batuan dari Formasi Nglanggran ini.
164
DAFTAR PUSTAKA Bronto, S., dan Hartono, H.G, 2001, Panduan Ekskursi Geologi Kuliah Lapangan 2, STTNAS, Yogyakarta. Davis, S.N. & De Wiest, R.J.M., 1966, Hydrogeology, Edisi ke-1, John Wiley and Sons, Inc., New York. Domenico P.A. dan Schwartz, F.W., 1990, Physical and Chemical Hydrogeology, John Wiley & Sons, New York. Freeze, R.A. dan Cherry, J.A., 1979, Groundwater, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Nasruli, E., 2005, Aspek Geologi Mataair Panas di Daerah Parangwedang – Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Seminar Industri, Jurusan Teknik Geologi, STTNAS Yogyakarta, tidak dipublikasikan. Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Skala 1 : 100.000, Edisi Kedua, P3G, Bandung. Soeria Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polves, M., Priadi, B., 1994, Tertiary Magmatic Belts in Java, dalam Noeradi, D. dan Koesoemadinata, R.P., 2003, Indonesian Island Arcs : Magmatism, Mineralization, and Tectonic Setting, ITB, Bandung. Soladopo, F.V., 2007, Geologi Daerah Kretek dan Sekitarnya serta Kajian Dampak Kerusakan Akibat Gempa di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Tugas Akhir Tipe I, Jurusan Teknik Geologi, STTNAS, Yogyakarta, tidak dipublikasikan. Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrology, 2nd Edition, John Wiley & Sons, New York.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1.
Lokasi terdapatnya air panas di Parangwedang, Kabupaten Bantul, kurang lebih 500 m dari Pantai Parangtritis. Gambar 2. Salah satu kenampakan breksi volkanik Formasi Nglanggran, tersingkap di utara pemandian Parangwedang.
500
Tabel 1. Kolom litologi satuan breksi andesit Nglanggran (tidak dalam skala sebenarnya; Soladopo, 2007).
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
165
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 2. Asosiasi mineral batuan dengan unsur kimia airtanah (modifikasi dari Davis & De Wiest, 1966 dan Bowen, 1986). No. 1.
Unsur terlarut Silika
2.
Besi
3.
Magnesiu m
4.
Kalsium
5.
Sodium / natrium
6.
Potasium / kalium
7.
Karbonat dan bikarbonat
8.
Sulfat
9.
Klorida
10.
Total zat padat
Sumber / asosiasi mineral dan batuan
Keterangan
Feldspar, kuarsa, mineral lempung, batuan volkanik, batuan granitik, dan mineral-mineral ferromagnesian silikat, silika seperti rijang dan opal. Mineral penyusun batuan beku seperti amfibol, mika, mineral ferromagnesian, piroksen, pirit, magnesit, Fe 2 O 3 ; mineral lempung, biotit, garnet, batupasir, mineral bijih besi, oksida / sulfida besi. Berasal dari tanah dan sedimen, batuan sedimen / dolomit, mineral penyusun batuan beku (olivin, biotit, hornblende, augit), batuan metamorf (serpentin, talk, diopsid, tremolit). Terutama dari mineral dalam batuan sedimen asal laut (kalsit, aragonit, dolomit, anhidrit, gypsum), hasil pelapukan batuan beku / metamorf (apatit, wolastonit, fluorit, feldspar, amfibol, kelompok piroksen, olivin), mineral lempung. Feldspar (albit), mineral lempung, hasil evaporasi / halit, hasil pelapukan batuan beku / metamorf (nefelin, sodalit, stilbit, natrolit, jadeit, glaukofan, aegirit). Mineral lempung, mineral penyusun batuan beku / metamorf (ortoklas, mikroklin, mika, biotit, feldspatoid, leusit, nefelin), evaporit (silvit, niter). CO 2 dari atmosfer dan tanah, pelarutan batuan karbonat (batugamping dan dolomit), presipitasi CaCO 3 .
Berkisar 1-30 mg/l tetapi bisa mencapai 100 mg/l; dalam air asin bisa mencapai 4.000 mg/l. Biasanya pada air yang jenuh gas / zona aerasi di bawah 0,5 mg/l. Airtanah yang pH-nya <8 dapat mangandung 10-50 mg/l.
Hasil oksidasi mineral sulfida pada batuan beku / volkanik, presipitasi atmosferik, organic shales, endapan evaporasi, pirit, markasit, gas-gas di daerah volkanik. Air laut purba Endapan evaporasi (halit) Hasil evaporasi hujan / salju Pelarutan atmosferik di daerah arid. Penyusupan air laut Batuan sedimen, sebagian kecil dari batuan beku / metamorf. Mineral terlarut dalam air.
Biasanya berkisar 0,2–10 mg/l.
Biasanya di bawah 100 mg/l; pada air asin bisa mencapai >75.000 mg/l.
Pada umumnya di bawah 200 mg/l, 10.000 mg/l di air laut sampai 25.000 mg/l di air asin. Biasanya di bawah 10 mg/l; pada mata air panas di atas 100 mg/l dan mencapai 25.000 mg/l pada air asin. Kandungan karbonat biasanya di bawah 20 mg/l tetapi dapat > 50 mg/l pada air bersodium. Kandungan bikarbonat biasanya < 500 mg/l tapi dapat melebihi 1000 mg/l pada air yang banyak mengandung CO 2 . Biasanya di bawah 300 mg/l kecuali pada mata air yang bersifat asam; di beberapa air asin mencapai 20.000 mg/l. Biasanya di bawah 10 mg/l di daerah pemukiman, di atas 1.000 mg/l di beberapa daerah kering.
Biasanya di bawah 5.000 mg/l tetapi pada air asin dapat mencapai 300.000 mg/l.
Tabel 3. Hasil analisis kimia mataair panas Parangwedang (BTKL DIY, 1998, dalam Nasruli, 2005). Parameter
166
%
pH
Hasil Uji 6-7
Cl (mg/l)
6528,6
75
SO 4 (mg/l)
1122
20
HCO 3 (mg/l)
204,05
5
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 4. Hasil uji kimiawi air panas dari sumur gali di timur pemandian Parangwedang. Parameter
Hasil Uji
pH K (mg/l) Na (mg/l) Cl (mg/l) Ca (mg/l) Mg (mg/l) SO 4 (mg/l) Kebasaan / CaCO 3 (mg/l) B (mg/l) Al (mg/l) Fe (mg/l) SiO 2 (mg/l) Kekeruhan DHL
7,3 17 1960 7498,0 2296,80 132,31 616 40,61 12,0215 Tak terdeteksi < 0,0258 39,910 1 17500
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
167
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
STUDI SIFAT PENGEMBANGAN (SWEALLING) LEMPUNG SEBAGAI DASAR PONDASI JALAN WATES DI KM 22 DAN SEKITARNYA KABUPATEN KULONPROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Sukartono Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta
ABSTRAK Jalan Wates km 22 dan sekitarnya adalah salah satu jalan di daerah Kabupaten Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang selalu bergelombang, retak-retak, terjadi amblesan dan cepat rusak bila dibanding dengan jalan di daerah lain. Tujuan studi sifat pengembangan (Swealling) lempung sebagai dasar pondasi ini adalah untuk mengetahui penyebab jalan menjadi cepat rusak, sehingga dapat membantu mengatasi masalah perbaikan kondisi jalan dan merekomendasi cara-cara perbaikannya. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan analisis mekanika tanah lempung untuk mengetahui sifatsifat keteknikannya. Daerah penelitian secara fisiografi termasuk Zona Solo, yang terendapkan material hasil pelapukan yang sebagian besar batuan vulkanik. Secara geomorfologi termasuk dataran alluvial dengan kelerengan 0 - 2 %. Jenis batuan yang tersingkap adalah endapan lempung. Hasil analisis laboratorium mekanika tanah tersebut diketahui bahwa dasar pondasi jalan wates mempunyai keaktifan tidak aktif tetapi mempunyai pengengembangan tingkat tinggi, dari jenis mineral lempung ilit. Berdasarkan hasil tersebut penulis merekomendasikan beberapa alternatif cara perbaikannya, yaitu: lempung abu-abu kehitaman sebagai dasar pondasi jalan di buat stabil dengan campuran kapur 7,5% untuk menurunankan nilai sifat pengembangan dan diusahakan air hujan atau saluran irigasi tidak dapat masuk ke dalam lempung sebagai dasar pondasi jalan, dengan cara saluran irigasi dibuat beton dan sawah disekitar jalan dibuat ladang.
Kata kunci : pondasi jalan, pengembangan lempung, sifat keteknikan.
PENDAHULUAN Secara geologi daerah lokasi penelitian yang terletak di jalan wates km 22 dan sekitarnya mempunyai masalah yang sampai sekarang belum ada penyelesaian yang pasti, karena secara geologi daerah tersebut adalah di dominasi endapan lempung sebagai dasar pondasi jalan. Secara regional daerah penelitian tersebut termasuk Formasi Sentolo bagian dari Kubah Kulonprogo, dengan satuan batuan batugamping dengan sisipan napal dan lempung. Dasar pondasi jalan terletak pada satuan endapan lempung berwarna abu-abu kehitaman dari endapan kwarter yang mempunyai sifat kenyal sampai sangat kenyal dan tidak stabil, sehingga perlu di cari penyebabnya dengan beberapa analisis lempung dengan mekanika tanah, secara geologi teknik dapat diketahui tingkat sifat pengengembangan, keaktifian dan jenis mineral lempungya.
52’ 20” LS dan 110° 12’ 15” BT, lembar peta Sentolo nomor 1508-III, di cetak dan diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Bogor.
TUJUAN DAN MASALAH PENELITIAN Lokasi penelitian adalah terletak di Jalan Wates Km 22 dan sekitarnya, Desa Demangrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Wates, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1). Secara geografis daerah tersebut terletak pada koordinat 7°
1. Studi pustaka, pengumpulan data-data meliputi : data sekunder, peta geologi, peta geohidrologi, curah hujan, pemanfaatan lahan.
168
Lokasi
Gambar 1. Peta lokasi penelitian METODE PENELITIAN Cara penelitiannya adalah diawali studi pustaka, mencari data primer dan pengambilan contoh dilanjutkan analisis laboratorium. Secara rinci adalah sebagai berikut:
2.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Penelitian lapangan,
lapangan meliputi pengamatan pencatatan, pemotretan dan
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
pengambilan contoh tanah untuk analisis mekanika tanah 3. Penelitian laboratorium meliputi : analisis sudut lereng, beda tinggi, batuan dan analisis mekanika tanah yaitu, konsistensi, analisis ukuran butir, berat jenis, potensi pengembangan, dan keaktifan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil studi sifat pengembangan (swealling) lempung sebagai dasar pondasi di Jalan Wates Km 22 dan sekitarnya, secara fisiografi daerah penelitian termasuk Zona Solo, berupa dataran dengan kelerengan sekitar 0-2 %. Material endapan daerah dataran tersebut berupa tanah lempung, berwarna abu-abu kenyal sampai sangat kenyal. Mempunyai sifat agak sukar digali, penggalian vertical harus dengan penyangga dan pemadatan sukar dilaksanakan (Gambar 2).
Gambar 2. Peta geologi Teknik Data kondisi jalan di sekitar daerah penelitian tersebut dijumpai beberapa tempat terdapat retakretak (Gambar 3), ambles (Gambar 4) nampak beberapa lapisan aspal yang telah ditimbun kembali akibat ambles (Gambar 5) dan bergelombang (Gambar 6). Hasil analisis laboratorium mekanika tanah tersebut mempunyai kadar air 81,2 %, batas cair 80,7 %, plastis limit 45 %, indek plastis 35,70 %, Flow Index 21, berat jenis 2,567 dan batas susut 10,650 dan analisis saringan menunjukkan 63,46% yang lolos saringan 200.
Gambar 3. Foto jalan retak-retak
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
169
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Garis U Montmorilonit
60
Garis A
Indek plastis
50 40
Ilite
30
Kaolinit
20
Haloisit
10
Klorit
0
Gambar 4. Foto jalan ambles
0 10
20 30 40 50
60 70 80 90 100
Batas cair
Gambar 7. Kurva Casagrande. 3. Jika dimasukan diagram potensi pengembangan (Seed, 1962) yang mempunyai hubungan Aktifitas(0,50) dan % lempung (63,4%) adalah termasuk mempunyai potensi mengembang tinggi (Gambar 8). 5
4
Sangat Tinggi
3
Gambar 5. Foto lapisan-lapisan aspal Aktifitas
Tinggi 2
Rendah
1
Sedang 0 0
10
20 30 40 50 Persentase lempung ( < 0,002 mm)
60
70
Gambar 8. Diagram Seed 1962
Gambar 6. Jalan bergelombang Sifat keteknikan dasar pondasi Jl. Wates km 22 dan sekitarnya adalah : 1. Kalau dimasukkan dalam tabel korelasi keaktifan dengan jenis mineral, termasuk antara 0,5-1,3 adalah termasuk jenis mineral lempung ilit. 2. Jenis mineral lempung pada kurva keplastikan Casagrande (Gambar 7) dari indek plastis = 35,70 % dan batas cair = 80,7 %, menunjukkan jenis mineral lempung ilit.
170
4. Keaktifan jenis lempung dengan melihat hubungan antara indek plastas dan % fraksi lempung adalah A = 0,5 adalah termasuk jenis lempung yang mempunyai keaktifan tidak aktif. Kondisi lokasi sekitar daerah penelitian juga tidak menguntungkan antara lain : 1. Aliran air bawah permukaan secara umum ke arah selatan, lempung abu-abu kehitaman dari mineral ilit, yang mempunyai potensi mengembang tinggi. 2. Pemanfaatan lahan sekitar jalur jalan kurang mendukung untuk stabil, karena sebagian besar berupa lahan pertanian sawah yang banyak membutuhkan air (Gambar 9), sedangkan dasar pondasi jalan rawan terhadap air.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
2. Geomorfologi daerah penelitian terletak pada dataran rendah yang berpotensi banjir, maka di usahakan air hujan dan saluran irigasi tidak mengalir di tepi jalan. 3. Irigasi di bawah jalan dibuat dengan saluran beton dan sawah ditepi jalan tersebut di jadikan ladang.
Gambar 9. Foto sawah di timur jalan Wates 3. Geomorfologi jalur jalan dan sekitarnya terletak pada dataran rendah dengan kelerengan 0 – 2 %, sehingga sering terjadi banjir.
KESIMPULAN Lokasi penelitian di Jalan Wates km 22 dan sekitarnya, Desa Demangrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Wates, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara fisiografi daerah penelitian termasuk Zona Solo, yang terendapkan material hasil pelapukan sebagian besar batuan vulkanik. Morfologi jalur jalan dan sekitarnya terletak pada dataran rendah dengan kelerengan 0 – 2 %, sehingga sering terjadi banjir. Geohidrologi secara umum mempunyai aliran air bawah permukaan ke arah utara, jenis batuan yang tersingkap adalah endapan lempung. Hasil analisis laboratorium mekanika tanah lempung tersebut mempunyai kadar air 81,2 %, batas cair 80,7 %, plastis limit 45 %, indek plastis 35,70 %, Flow Index 21, berat jenis 2,567, batas susut 10,650 dan analisis saringan menunjukkan 63,46% yang lolos saringan 200, keaktifan lempung termasuk tidak aktif, dan mempunyai sifat pengembangan tinkat tinggi dari jenis mineral ilit. Penyebab rusaknya jalan di interpretasikan dari lempung abu-abu kehitaman dari mineral ilit telah terjadi kontak dengan air sehingga mengembang dan mendesak keatas jalan beraspal, maka akan terjadi jalan retak-retak, bergelombang dan ambles.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta, Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta dan CV. Geoteknika Indonesia yang telah memfasilitasi untuk dapat di presentasikan di seminar RETII ke 4 di STTNAS Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, H. Z, Suyono, S.E., Pujono, 1994. Studi Geoteknik Mengenai Kemantapan Jalan Raya di Daerah Purwodadi, Proseding hasil-hasil penelitian Puslitbang Geoteknologi LIPI, Bandung, Vol I:349-357 Anwar, H.Z, Djakamihardja, A.S., 1995, Penyebaran dan Karakteristik Teknik Lempung Ekspansif di Daerah Purwodadi Jawa Tengah, Proseding Kongres Ahli Ilmu Kebumian (KAIKNAS), Yogyakarta 6-7 Desember, P: 495-498. Bemmelen, R.W. Van., 1970. The Geologi of Indonesia; General of Indonesia and Adjacent Arhipelagoes. Vol. IA. Ed.II. The Netherlands: the Government Printing Office, The Hague. Bowles, 1991,Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah , Erlangga Jakarta Bjerrum, L. and Skempton, A. M., (1960), From Theory to practice in Soil Mechanic, John Wiley and Son, Inc., New York. Djakamihardja, A. S., dan Anwar, H. Z, 1995. Studi Geologi Teknik di Daerah Lempung Ekspansif Purwodadi, Proseding seminar sehari, Geoteknologi dalam indutrialisasi, Puslitbang Geoteknologi LIPI: 457 - 466 Dun.I,S., Anderson, L.R. Kiefer, F.W., 1980, Dasar-dasar Analisis Geoteknik, Terjemahan IKIP Semarang Press, Cetakan I, 1992 ISBN, 979-8107-79-9 Holtz, R.D., and Kovacs, W. D., 1981, An Introduction to Geotechnical Engineering, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New York.
SARAN Cara mengatasi kondisi jalan Wates km 22 dan sekitarnya adalah sebagai berikut : 1. Litologi lempung abu-abu kehitaman dari mineral ilit sebagai dasar pondasi jalan di buat stabil dengan campuran kapur 7,5 %, untuk penurunan nilai pengembangan . SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
171
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PALEOEKOLOGI FORMASI PUCANGAN DI DAERAH KABUH DITINJAU DARI KANDUNGAN FOSIL MOLUSKA Oleh: Hita Pandita *, Yahdi Zaim** *Program Studi T. Geologi, STTNAS Yogyakarta, Jl. Babarsari, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55281, email:
[email protected] *Mahasiswa S.3, Program Studi T. Geologi, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha no. 10, Bandung, 40132 **Program Studi T. Geologi, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha no. 10, Bandung, 40132, e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kajian paleoekologi sangat menarik untuk dilakukan, karena dapat memberikan gambaran hubungan antara fosil dengan lingkungan pengendapannya. Pemahaman terhadap paleoekologi akan dapat membantu mengetahui sejarah geologi suatu daerah dengan lebih akurat. Fosil Moluska merupakan salah satu parameter yang baik untuk dipergunakan dalam penentuan paleoekologi dari suatu batuan. Formasi Pucangan di Zona Kendeng merupakan formasi yang kaya akan kandungan fosil Moluska. Fosil Moluska tersebut terdapat pada tiga perlapisan batuan yang dikenal dengan tiga Horison Moluska. Salah satu horison dapat dijumpai di daerah Kabuh, Kabupaten Jombang. Namun belum ada yang menggunakan kandungan fosil moluska tersebut untuk penentuan paleoekologinya. Untuk itulah maka paleoekologi dari moluska di daerah tersebut menarik untuk dijadikan obyek penelitian. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana paleoekologi Formasi Pucangan dengan menggunakan data fosil moluska. Kajian ini diharapkan memberikan gambaran perkembangan sedimentasi dari Formasi Pucangan. Metode yang dipergunakan adalah pembuatan penampang stratigrafi terukur, analisa kandungan fosil moluska dan analisa sedimentologi. Hasil kajian memberikan gambaran bahwa terdapat dua asosiasi moluska yang berkembang di derah penelitian, yaitu: Corbula-Ostrea, dan Arca-Ostrea. Dari asosiasi tersebut dikombinasikan dengan data sedimentologi dijumpai dua paleoekologi, yaitu: Brackish-marine lower deltaic plain dan Marine lower deltaic plain. Kata Kunci: Moluska, Paleoekologi, Pucangan, Lingkungan pengendapan
ABSTRACT Study of paleoecology is interesting, because it will give some information about connectivity of fossil and their environment. The understanding of paleoecology will be help for knowing historical geology to some area. Mollusk fossil is ones parameter for interpretation of paleoecology. Pucangan Formation where find in Kendeng Zone is a formation contained mollusk fossils. The Mollusk fossils are finding at three layers which known as three Mollusk Horizons. Ones of horizon is finding at Kabuh area, Jombang Region. Jombang and Mojokerto are area where we can find the out crops of Mollusk Horizons. Unfortunately, it was very little who taken attention in the study of paleoecology and sedimentary environments based on the mollusk faunas. So paleoecology of Mollusk is interesting to become as object of research. The aim of this study is to understanding paleoecology of Pucangan Formation based of mollusk fossil. This study would be some reasonable of sedimentation succession of Pucangan Formation. The methods are stratigraphic measurement, mollusk’s contain analyze, and sedimentology analyze. The result is two mollusk associations have developed at this area, they were: Corbula-Ostrea and ArcaOstrea. Based of two association it could be reconstruct two paleoecology, there are: Brackish-marine lower deltaic plain and Marine lower deltaic plain. Key words: Mollusk, Paleoecology, Pucangan, Paleoenvironment.
172
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
LATAR BELAKANG Paleoekologi sudah cukup lama berkembang sebagaimana yang diuraikan antara lain oleh Ager (1956), Imbrie dan Newell (1964), Stanley (1970), dan beberapa peneliti lainnya. Berkembangnya penelitian mengenai paleoekologi dalam kaitannya dengan ilmu geologi antara lain untuk mengetahui hubungan antara fosil dengan lingkungannya (Imbrie dan Newell, 1964). yang nantinya berguna untuk mengetahui sejarah pengendapan dan lingkungan pengendapan pada saat itu (Ager, 1963). Pada akhirnya paleoekologi diharapkan dapat mengungkapkan sejarah geologi dengan lebih baik. Untuk dapat mengetahui paleoekologi suatu formasi dibutuhkan beberapa parameter. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk penentuan paleoekologi adalah menggunakan data-data paleontologi. Fosil moluska merupakan salah satu data paleontologi yang dapat digunakan. Peneltian paleoekologi berdasarkan moluska sudah sangat berkembang terutama di luar negeri. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian dari Nakagawa (1998), Matsuoka (1985), dan masih banyak lagi. Bahkan Stanley (1970) memberikan gambaran tentang keterkaitan antara bentuk shell pelecypoda dengan habitatnya. Di Indonesia banyak sekali dijumpai lapisan batuan yang mengandung fosil moluska. Salah satu diantaranya terdapat di jalur Pegunungan Kendeng Jawa Timur dimana terdapat lapisan-lapisan moluska pada Formasi Pucangan yang berumur Pleistosen. Fosil – fosil moluska tersebut dapat dijumpai pada tiga lapisan, yang dikenal dengan Tiga Horison Moluska (Duyfjes, 1938). Ketiga horison tersebut digunakan oleh Duyfjes sebagai datum untuk korelasi regional pada Formasi Pucangan. Namun kandungan fosil moluska tersebut belum dikaji lebih jauh mengenai paleoekologinya, sehingga penggunaan horison tersebut sebagai datum perlu dicermati lagi. Salah satu lokasi adalah di daerah Kabuh yang merupakan Horison Moluska II (van Altena, 1938). MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kandungan fosil moluska pada Horison Mouska II didaerah Kabuh. Tujuan untuk mengetahui paleoekologi dari Horison Moluska II tersebut. METODE PENELITIAN Metode penelitian diawali dengan pembuatan penampang stratigrafi terukur di lapangan. Empat buah bulk sample yang mengandung fosil moluska di ambil. Keempat sampel tersebut kemudian di analisa kandungan fosil moluskanya. Hasil analisa stratigrafi dan kandungan fosil moluska digabungkan untuk menghasilkan kesimpulan
paleoekologi dari pengambilan sampel.
masing-masing
lokasi
LOKASI PENELITIAN Daerah penelitian terdapat di daerah Jombang Propinsi Jawa Timur. Berada ditepi jalan raya antara Jombang dengan Babat, di utara desa Kabuh, terletak pada 112O05’ – 112O10’BT dan 7O20’ – 7O25’LS (Gambar 1). GEOLOGI UMUM Fisiografi Secara fisiografi regional daerah penelitian oleh Bemmelen (1949) termasuk dalam zona Kendeng bagian timur (Gambar 1). Terletak di sebelah utara dari sungai Brantas. Penyebaran Zona Kendeng sendiri dibatasi oleh depresi Randublatung di bagian utara, menyebar ke timur sampai selat Madura, ke barat sampai Ungaran dan ke selatan di batasi gunungapi kuarter. Morfologi daerah penelitian sendiri merupakan suatu perbukitan yang dikontrol pembentukannya oleh struktur lipatan. Di daerah Kabuh geomorfologinya berupa suatu perbukitan homoklin dengan kemiringan lapisan ke arah selatan.
Tektonik Dipandang dari sudut tektonik lempeng, zona Kendeng termasuk dalam zona Lipatan anjakan (Pandita, 2003)). Di bagian selatannya dibatasi oleh Busur Volkanik Kwarter (Bemmelen, 1949) dan di utaranya dibatasi oleh Cekungan retroarch (Pandita, 2003). Perkembangan posisi tektonik zona Kendeng sendiri selama Kenozoikum tidak mengalami perubahan, namun pergerakan strukturnya memiliki intensitas yang tinggi, yang menghasilkan sedimentasi-sedimantasi yang tebal (Darmoyo, 2001). Hal ini terlihat dengan adanya endapan-endapan laut dalam yang luas dan tebal berumur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir yang diwakili oleh oleh Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng. Barulah pada Pliosen sampai Pleistosen intensitas tektonik menurun sehingga cekungan secara keseluruhan berubah ke arah darat. Hal ini terlihat dengan terbentuknya sedimentasi dari Formasi Pucangan yang berupa fasies laut dan fasies volkanik berubah menjadi fasies darat atau fluvial pada Formasi Kabuh. Intensitas tektonik kembali menguat pada Pleistosen Atas yang membentuk struktur perlipatan pada zona Kendeng (Bemmelen, 1949). Hal ini terbukti dengan ikut terlipatanya batuan yang berumur Pleistosen Tengah yaitu Formasi Kabuh dan Formasi Jombang.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
173
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
LAUT JAWA
U
Mur ia
0
Rembang
ZONA REMBANG
Pekalongan
SERAYU UTARA
ZONABOGOR
Semarang Ungar an
Sindor o
ZONA
ZONA
Sumbing
Slamet
200 km
100
Mer babu
SERAYU SELATAN
Lawu Mer api
PROGO BARAT
MADURA
RANDUBE LATUNG
KENDENG Sr agen Ngawi
Madiun
ZONA P EGUNUN GAN SEL ATAN
Depresi Jawa dan Zona Randubelatung
Arjuno
Wilis
Yogyakar ta
Gunungapi Kuarter Dataran Aluvial Pantai jawa bagian Utara Antiklinorium Rembang - Madura Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng Pematang dan Dome Pada Pusat Depresi
SELAT MADURA
Pandan
Bromo
Anjasmoro Butak
Semeru
Argopuro Lamongan
Balur an Raung Ijen
BALI
SAMUDRAINDIA
Gambar 1. Fisiografi (atas) dan Lokasi Penelitian (bawah) Stratigrafi Perkembangan stratigrafi zona Kendeng sudah banyak dibahas oleh para ahli geologi/stratigrafi. Duyfjes (1938) yang pertama kali menghasilkan peta geologi daerah Kendeng serta tataan stratigrafi. Sartono, dkk (1981, dalam Pandita, 2003) yang membahas tentang umur dari Homo modjokertensis yang ditemukan di zona Kendeng, serta Zaim (1981, dalam Pandita, 2003) yang mencoba memberikan revisi stratigrafi zona Kendeng, khususnya pada Formasi Pucangan dan Formasi Kabuh. Pringgoprawiro (1983) memberikan ulasan biostratigrafi dari Cekungan Jawa Timur Utara termasuk di dalamnya Zona Kendeng. Dari hasil penelitian mereka tersebut, terdapat beberapa perbedaan terutama di dalam penentuan umur dari tiap-tiap formasi (Tabel 1).
A 0
UMUR
Duyfjes (1938) KABUH
N 22 BAWAH
PLIOSEN ATAS
PUCANGAN
PLEISTOSEN
TENGAH
ZONASI BLOW N 23
Skala 1 km
N 21
FASIES VOLKA NIK FASIES MARIN
KALIBENG
Bemmelen (1949) FASIES FLUVIA TIL
KABUH
U
Sartono, dkk (1981) KABUH
Zaim (1981) KABUH
FASIES MARIN
PUCANGAN
PUCANGAN PUCANGAN
KALIBENG
PUCANGAN KALIBENG
Tabel 1. Stratigrafi Regional Zona Kendeng dari beberapa peneliti (Pandita, 2003)
174
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Pringgoprawiro (1983) KABUH
LIDAH
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Stratigrafi daerah penelitian tersusun oleh dua formasi yaitu Formasi Pucangan yang tertua kemudian di atasnya diendapkan Formasi Kabuh. Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih terkonsentrasi pada Formasi Pucangan yang berdasarkan hasil dari beberapa penelitian didapatkan umur Pliosen Atas - Pleistosen Bawah (Duyfjes, 1938, dan Bemmelen, 1949,). Urut-urutan stratigrafi di daerah penelitian dari tua kemuda adalah sebagai berikut. Perkembangan Formasi Pucangan di bagian barat dan di bagian timur daerah penelitian memperlihatkan variasi litologi yang agak berbeda. Di bagian barat daerah penelitian, Formasi Pucangan yang dijumpai berupa fasies volkanik dengan sisipan tipis fasies marin. Pada bagian bawah berupa perselingan antara batupasir dengan batulempung yang masuk dalam fasies marin. Batupasirnya berwarna abu-abu kebiruan dengan ukuran butir halus, mempunyai kandungan karbonat kaya akan fosil moluska. Batulempung yang dijumpai berwarna abu-abu kebiruan, mengandung karbonat. Sedangkan di bagian atasnya berupa breksi vokanik yang merupakan fasies volkanik. Pada breksi volkanik ini tersusun oleh fragmen berupa batuapung, batuan beku, batulempung dan batupasir. Struktur sedimen yang dijumpai adalah masif. Formasi Kabuh dijumpai selaras di atas Formasi Pucangan. Formasi Kabuh diendapkan secara bergradasi di atas Formasi Pucangan. Dicirikan oleh batupasir abu-abu, dengan struktur masif di bagian bawahnya dan berkembang menjadi struktur silang-siur di bagian atasnya. Lingkungan pengendapannya diperkirakan terbentuk pada fluvialtil. DATA Data Sedimentologi Lokasi berada di utara Desa Kabuh. Dua formasi di jumpai disini, yaitu Formasi Pucangan di bagian bawahnya, serta Formasi Kabuh di bagian atasnya. Kontak keduanya dijumpai selaras. Formasi Pucangan yang dijumpai disini secara stratigrafi termasuk dalam fasies perselingan batulempung-batupasir dan fasies volkanik. Duyfjes (1938) memasukkan satuan ini kedalam fasies lempungan dan fasies volkanik dari Formasi
Pucangan, dengan lapisan moluska yang dijumpai termasuk dalam horison moluska II (van Altena, 1938). Ketebalan Formasi Pucangan yang dijumpai di lapangan mencapai 11,5 meter. Pada bagian bawah yang merupakan fasies lempungan (Duyfjes, 1938) terdiri atas perselingan batulempung dengan batupasir. Ketebalan terukur di lapangan mencapai 6 meter. Batulempung yang dijumpai berwarna abu-abu, masif, dengan lensalensa batupasir. Batupasir yang dijumpai berwarna abu-abu, berukuran butir halus dengan struktur sedimen bioturbasi. Di atas fasies perselingan batulempung dengan batupasir diendapkan secara selaras breksi batuapung dengan ketebalan sekitar 5,5 m. Breksi ini dicirikan oleh warna coklat kemerahan, struktur sedimen masif, dengan fragmen berukuran butir kerikil sampai bongkah, dengan matrik berukuran pasir sedang, serta kemas terbuka. Komposisi fragmen tersusun oleh batuapung, batulempung, dan batuan beku. Duyfjes (1936, dalam van Altena, 1938) dan Noya, dkk. (1992) memasukkan satuan batuan ini ke dalam Formasi Pucangan fasies volkanik. Berdasarkan analisa umur dari beberapa penelitian terdahulu, Formasi Pucangan di daerah penelitian berumur Pliosen – Pleistosen. Pada penelitian ini keempat sampel tidak menunjukkan kandungan foraminifera plangtonik. Data Paleontologi Moluska Di daerah penelitian dari 7 lokasi pengamatan hanya 4 lokasi yang dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisa kandungan fosil moluskanya. Ke 3 lokasi yang lainnya secara pengamatan di lapangan tidak menunjukkan adanya kandungan fosil moluska. Pada bagian bawah yaitu sampel KM0101 secara stratigrafi dapat dikorelasikan dengan bagian bawah Horison Moluska II pada Formasi Pucangan (van Altena, 1938). Kandungan fosil moluska yang dijumpai pada sampel ini baik dari jumlah spesiesnya, maupun kelimpahan dari masingmasing spesies tidak banyak (Gambar 2). Corbula socialis merupakan spesies terbanyak pada sampel ini dengan tingkat kelimpahan sedang. Spesies lain yang dijumpai berada dalam tingkat kelimpahan jarang antara lain Ostrea spp, Nuculana bantamensis, dan Pecten sp.2.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
175
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sampel no. KM0101
40
Jumlah kelimpahan
35 30 25 20 15 10 5
12 9 6
5
4 1
2
1
21
2
2
4
3 1
0
Spesies
Gambar 2. Grafik kelimpahan fosil moluska pada sample KM0101 Di atasnya pada sampel KM0102, jumlah taksa yang dijumpai tidak banyak berbeda dengan sampel KM0101. Namun sedikit terjadi perubahan pada jenis taksa-taksa yang muncul. Ostrea spp tingkat kelimpahannya meningkat menjadi sedang. Sample no. KM0102 25
Jumlah Kelim pahan
20 16 15 10
9
10
5
3 1
2
10
2
3
4 22
1
1
0
Spesies
Gambar 3. Grafik kelimpahan fosil moluska pada sample KM0102 Peningkatan tingkat kelimpahan pada Ostrea spp. ini diikuti dengan kemunculan dari Ostrea lingula. Pada sampel ini Corbula socialis mengalami penurunan tingkat kelimpahan menjadi jarang, dan Nuculana bantamensis sudah tidak dijumpai lagi (Gambar 3).
176
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sample no. KM 0202
Jumlah Kelimpahan
35
31
30
30 24
25
24
20 15
15 10
88 5
5
5
5
3 1
4
4 2
1
1
3
2
3 1
0
Spesies
Gambar 4. Grafik kelimpahan fosil moluska pada sample KM0202 Peningkatan jumlah taksa moluska yang muncul baru terjadi pada sampel KM0202, yang secara stratigrafi berada 1,2 m di atas sampel KM0102. Lebih dari 20 spesies muncul pada sampel ini. Sampel ini ditandai dengan 4 spesies mencapai tingkat melimpah yaitu, Ostrea spp., Ostrea lingula, Corbula socialis, dan Laevidentalium eburneum. Nuculana bantamensis yang tidak muncul pada KM0102 kembali muncul pada sampel ini dengan tingkat kelimpahan sedang. Sedangkan spesies-spesies lainnya kemunculannya hanya pada tingkat jarang (Gambar 4). Perubahan yang cukup banyak juga terjadi pada sampel KM0203, yang secara stratigrafi terletak 1 m di atas sampel KM0202. Jumlah taksa yang muncul relatif tidak berubah, namun ditandai dengan kelimpahan dari taksa-taksa tertentu yang berbeda dari KM0202. Pada sampel ini terdapat 5 spesies yang dijumpai melimpah, yaitu Arca nodosa, Arca (Barbatia) cf. bistrigata, Ostrea spp., Venus (Cryptogamma) squamosa, dan Laevidentalium eburneum (Gambar 5). Satu spesies yaitu Arca (Barbatia) sp. 1 dijumpai dengan kelimpahan sedang. Untuk spesies lainnya kemunculannya jarang. ANALISIS Analisa yang dilakukan berdasarkan atas hasil dari data yang didapat, berupa data fosil moluska, makro fosil yang lain, foraminifera, dan data sedimentologi. Ketiga data tersebut dirangkai untuk menghasilkan berbagai assosiasi yang ada.
Penamaan assosiasi didasarkan pada kelimpahan dari kandungan fosil moluska. Setelah diketahui assossiasi moluska yang ada, kemudian ditentukan paleoekologi dari masingmasing assosiasi tersebut. Penentuan paleoekologi lebih didasarkan pada metode paleosynecology dari assossiasi moluska yang ada ditunjang dengan data sedimentologi serta paleontologi selain moluska. Assosiasi Corbula-Ostrea Assosiasi ini dapat dijumpai pada sampel KM0101, KM0102, dan KM0202. Assosiasi ini ditandai dengan kemunculan yang dominan dari Ostrea, Corbula socialis, dan Laevidentalium eburneum (Gambar 6). Secara litologi hanya pada sampel KM0102 saja yang menunjukkan satuan batupasir, sedangkan pada kedua sampel yang lainnya menunjukkan satuan batuan batulempung. Adanya kemunculan dengan kelimpahan jarang dari Tarebia sp.1, menunjukkan bahwa assosiasi ini hidup pada lingkungan yang tidak jauh dari freshbrackish water. Namun Ostrea dan Corbula sendiri banyak dijumpai pada marine water (Parker, 1956). Berdasarkan data tersebut, assosiasi ini diperkirakan hidup pada lingkungan dengan intensitas arus yang rendah, dengan kadar salinitas brackish-marine. Dalam fasies delta, maka lingkungan pengendapannya adalah interdistributary bay (Coleman, 1981, dalam Boggs, 1995) atau lower delta plain.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
177
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sampel no. KM0203 40 35
Jumlah kelimpahan
35 30
27 26
25
25
22
20 15
12 10
10
8 5
5
8 5
4 2
2
4
2
1
1
1
0
Spesies
Gambar 5. Grafik kelimpahan fosil moluska pada sample KM0203
Gambar 6. Perekembangan paleoekologi dari Formasi Pucangan. Assosiasi Arca - Corbula Assosiasi ini berkembang pada bagian atas dari Horison Moluska II Formasi Pucangan. Hanya satu sampel yang menunujukkan assosiasi ini, yaitu KM0203 (Gambar 6). Assosiasi ini didominasi dengan kemunculan genus Arca, Ostrea, Venus, dan spesies Laevidentalium eburneum. Keempat taksa yang dominan tersebut kesemuanya mempunyai
178
lingkungan hidup marine water. Masih dijumpainya Tarebia sp.1 sebagai penciri freshbrackish water menunjukkan bahwa lingkungan hidupnya tidak jauh dari brackish water, atau masih terpengaruh oleh proses sedimentasi dari brackish water. Lingkungan sedimentasinya terbentuk pada zona dengan intensitas arus yang lemah atau suspensi, yang dicirikan dengan terbentuknya
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
batulempung (Bogs, 1995). Masih adanya kandungan karbonat pada batulempung menunjukkan bahwa lingkungan sedimennya berada pada lingkungan laut. Berdasarkan pengamatan data paleontologi dan sedimentologi, maka assosiasi Arca-Ostrea ini hidup pada lingkungan interdistributary bay (Coleman, 1981, dalam Boggs, 1995), dengan kondisi marine water. PALEOEKOLOGI Dari data dan analisis yang telah dilakukan, didapatkan 2 assosiasi moluska. Kedua assosiasi moluska tersebut mencerminkan 2 paleoekologi yang berbeda. Kedua paleoekologi tersebut adalah brackish-marine lower deltaic plain dan marine lower deltaic plain. Brackish-marine Lower Deltaic Plain Paleoekologi ini hanya dijumpai sekali didalam perkembangan sedimentasi pada Formasi Pucangan. Assosiasi moluska yang hidup pada ekologi ini adalah Corbula-Ostrea. Ekologi ini dicirikan oleh kadar salinitas air berkisar antara 0,5 – 30,00/00 (Ager, 1963). Sedangkan intensitas arus cenderung lemah atau suspensi, dengan litofasies berupa batulempung-batupasir halus. Proses sedimentasi sangat dipengaruhi oleh gelombang pasang-surut. Marine Lower Deltaic Plain Pada Formasi Pucangan paleoekologi ini dijumpai pada assosiasi moluska Arca-Corbula. Assosiasi Arca-Corbula dijumpai pada Horison Moluska II. Ekologi ini dicirikan oleh kadar salinitas air lebih dari 300/00. Sedangkan intensitas arus yang terjadi adalah suspensi, dengan litofasies berupa batulempung. SEJARAH SEDIMENTASI Formasi Pucangan di daerah penelitian di awali pada Kala Plio-Pleistosen dengan terbentuk di daerah pasang surut dengan paleoekologi berupa brackish-marine lower deltaic, dengan lingkungan pengendapannya berupa delta. Lingkungan pengendapan delta tetap terbentuk pada bagian tengah, namun paleoekologi berubah menjadi marine lower deltaic plain. Proses ini menandai adanya proses transgresi kecil. Di bagian atas data moluska tidak dketemukan, namun berdasarkan kajian struktur sedimen dan batuan, maka diperkirakan terbentuk pada paleoekologi sungai. Proses ini menunjukkan adanya regresi kecil.
KESIMPULAN Kumpulan fosil moluska dalam suatu perlapisan batuan bermanfaat sekali untuk dipelajari. Hal ini akan dapat meMberikan gambaran paleoekologinya. Pemahaman paleoekologi dapat membantu dalam menginterpretasi terjadinya perubahan lingkungan pengendapan masa lampau. Dua asosiasi moluska hadir dalam perlapisanperlapisan batuan di Formasi Pucangan yang tersingkap di daerah Gunung Dowo Kabuh. Kedua aosiasi tersebut adalah Corbula – Ostrea di bagian bawah dan Arca – Corbula di bagian atas. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pengurus Jurusan Teknik Geologi dan CV. Geoteknika Indonesia dalam memberikan bantuan akomodasi.
DAFTAR PUSTAKA Ager, D.V., 1963, Principles of Paleoecology, McGraw-Hill Book Company, London. Altena, C. O., van R., 1938, The Marine Mollusc of the Kendeng Beds (East Java) Gastropods, Part I (Families FissurellidaeVermetidae inclusive), Overdr. Uit Leidsche Geologische Mededeelingen, Dool X, Leiden. Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia. The Hague, Martinus Nijhoff, vol. IA. Boggs, Sam, 1995, Principles of Sedimentology And Stratigraphy, 2nd, Prentice Hall, New Jersey. Darmoyo, dkk., 2001, The Sedimentology Pleistocene Volcaniclastic in The Lapindo Brantas Block, East Java, Majalah Geologi Indonesia, Vol. 16 no. 1, hal 15, IAGI, Jakarta Duyfjes, J., 1938, Geologische Kaart van Java, Dients van den Mijnbouw in NederlandschIndie. Imbrie, J. & Newell, N., 1964, Approaches to Paleoecology, John Wiley and Sons, Inc., New York. Matsuoka, K., 1988, Pliocene freshwater bivalves (Lamprotula and Cuneopsis : Unionidae) from the Iga Formation, Mie Prefecture, Central Japan, Trans. Proc. Palaent. Soc. Japan. Nakagawa, T., 1998, Miocene molluscan fauna and paleoenvironment in the Niu Mountains, Fukui Prefecture, Central Japan, Science reports, vol. 19, section B, The Institute of Geoscience University of Tsukuba, Japan. Noya, Y. dkk., 1992, Geologi Lembar Mojokerto, Jawa, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi, Dirjen Geologi Dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
179
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pandita, H., 2003, Paleoekologi Pleistosen Zona Kendeng Jawa Timur di Daerah Jombang dan Mojokerto di Tinjau Dari Kandungan Fosil Moluska, Thesis Magister, Dept. Teknik Geologi Prog. Pasca Sarjana, ITB, Bandung. Parker, R. H., 1956, Macro-Inverebrate Assemblages As Indicators of Sedimentary Environments in East Mississippi Delta Region, Bulletin of The AAPG Vol. 40, No. 2. California Pringgoprawiro, H., 1983, Biostratigrafi dan Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara, suatu pendekatan baru, Disertasi Doktor ITB, Tidak dipublikasi, Institut Teknologi Bandung. Stanley, S.M., 1970, Relation of Shell Form to Life habits of the Bivalvia (Mollusca), The Geological Society Of America, Inc, Colorado.
180
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
STUDI INDUCED POLARIZATION (IP) UNTUK EKSPLORASI MINERAL MANGAN DI DAERAH SRATI, KECAMATAN AYAH, KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH Oleh : Winarti 1), Chusni Ansori 2) 1) Program Studi Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta, Jl. Babarsari, Depok, Sleman, e-mail:
[email protected], Tlp.: 081328533330 2) Balai Informasi & Konservasi Kebumian-LIPI, Karangsambung, Kebumen, email :
[email protected]
Sari Mangan merupakan salah satu mineral dari 12 unsur yang cukup banyak terdapat di kerak bumi ini. Daerah Srati, Kecamatan Ayah, Kebumen, merupakan salah satu daerah yang berpotensi terdapat mangan. Mangan di daerah ini dijumpai berupa nodul-nodul yang tersebar di dalam fragmen breksi volkanik yang berukuran bolder hingga bongkah dan berasosiasi dengan rijang. Keberadaan mangan ini berada pada Formasi Gabon. Metode IP (Induced Polarization) konfigurasi dipole-dipole dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi bawah permukaan berdasarkan pada sifat kelistrikan material atau batuan di dalam tanah. Keberadaan mangan dapat diketahui berdasarkan pada perbedaan nilai resistivitas dan chargebilitas batuan. Pengukuran di daerah penelitian dilakukan sebanyak 4 lintasan, dengan panjang masing-masing lintasan 600 meter. Penentuan arah lintasan berdasarkan pada data singkapan, yaitu berarah timur laut – barat daya dan tenggara – barat laut. Mangan mempunyai karakteristik nilai resistivitas dari kecil sampai sedang dan nilai chargeabilitas yang cukup tinggi. Pada survei ini, nilai resistivitas mangan berkisar antara 0 - 40 ohm meter, dan nilai chargeabilitas antara 135 – 250 msec. Hasil pengukuran metode IP dari ke-4 lintasan mengindikasikan bahwa mangan tersebar luas, menempati morfologi bukit maupun lembah. Sebagian besar mangan terdapat dikedalaman 5 – 40 meter. Keberadaan mangan berbentuk spot kecil sampai besar, nodul, dan bolder serta dijumpai tidak menerus baik lateral maupun vertikal. Berdasarkan hasil perhitungan cadangan, maka diperkirakan cadangan yang terukur sebesar 7,9824 m3. Kata Kunci : mangan, induksi polarisasi, resistivitas, chargeabilitas Abstrac Manganese is one of mineral from 12 elements that has considerable quantities in this earth crust. Srati area, sub district Ayah, Kebumen, is one of area that potentially has manganese. Manganese founded in this area is nodes spreading in volcanic brecciate fragments that have size of bolder and it is associated with chert. The existence of this manganese is in Gabon Formation. Configuration of IP (Induced Polarization) method in the poles is conducted with the aim to know the under surface condition based on electrical characteristics of material or rocks in the ground. The existence of manganese can be known by the differences of resistivity and chargeability value of rocks. The measurement in the research area is conducted in 4 tracks, with each length is 600 metres. The determination of tracks direction is based on exposure data, that is direction of northeastsouthwest and souteast-northwest. The manganese has characteristic of resistivity value from small until médium and quide high chargeability value. In this survey, resistivity value of manganese is in the range of 0-40 ohm metres, and chargeability value between 135-250 msec. The measurement results of IP method of the four tracks indicated that the manganese is spreading widely, occupying morphology of hills and valleys. Most of manganese is in the depth of 5-40 metres. The existence of manganese in the form of little until big spot, node and bolder and founded discontinuously both laterally and vertically. Based on the reserve measurement results, the it is expected that the measured reserves is 7,9824 m.3 Key words : manganese, induced polarization, resistivity and chargeability PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan mineral logam dari waktu ke waktu selalu meningkat dikarenakan kemajuan industri logam yang sangat pesat. Salah satunya adalah mangan. Cadangan mangan di Indonesia cukup besar. Cadangan yang telah diketahui sekitar 5,35 juta ton, sedangkan cadangan yang sedang ditambang berjumlah 490 ribu ton. Cadangan tersebut umumnya tersebar di banyak lokasi yang
secara individu umumnya berbentuk lensa berukuran kecil dengan kadar yang bervariasi. Mangan merupakan salah satu mineral dari 12 unsur yang cukup banyak terdapat di kerak bumi ini. Berdasarkan hasil penyelidikan oleh USBM, diketahui bahwa zona kadar mangan terdapat dalam cekungan sedimen pasifik bagian timur yang terletak pada jarak 2200 km sebelah tenggara Los Angeles, California. Di zona ini nodul mangan terjadi dalam lapisan tunggal dan tidak teratur. Di Indonesia mangan banyak dijumpai dalam bentuk
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
181
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
cebakan bijih sedimenter umumnya berkomposisi oksida serta berasosiasi dengan kegiatan vulkanik dan batuan yang bersifat basa. Mangan dijumpai dalam bentuk mineral Pirolusit dan Psilomelan, kadang-kadang dijumpai pula Rhodokrosit, Rhodonit, Manganit, Brausit, dan Nsutit. Kegunaan mangan salah satunya untuk tujuan nonmetalurgi seperti produksi baterai, kimia, keramik, gelas, glasir dan frit. 2. Maksud Dan Tujuan Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang potensi bijih mangan di daerah Srati, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Tujuannya adalah untuk mengetahui cadangan bijih mangan secara kwantitatif. Dengan metode IP (Induced Polarization) konfigurasi dipole-dipole ini maka dapat mengetahui kondisi bawah permukaan yang didasari oleh sifat-sifat kelistrikan material atau batuan di dalam tanah. Dengan demikian keberadaan biji mangan dapat diketahui keberadaannya berdasarkan perbedaan nilai resistivitas dan chargebilitas batuan di daerah tersebut. 3. Lokasi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Srati, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, (Gambar 1). Daerah penelitian dapat dicapai melalui jalan darat dari Yogyakarta melewati Kebumen, Petanahan, Ayah dan terakhir daerah Srati, dengan lama perjalanan + 3,5 jam.
GEOLOGI UMUM 1. Fisiografi Secara fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi 7 zone dari utara hingga selatan (Gambar 2) yaitu : 1. Gunung Api Kwarter, 2. Dataran Alluvial Jawa Utara, 3. Antiklinorium Rembang – Madura, 4. Antiklinorium Kendeng – Serayu Utara – Zone Kendeng, 5. Kubah dan Punggungan Zona Depresi Tengah, 6. Zona Depresi Tengah Jawa Tengah dan Zone Randublatung dan 7. Pegunungan Selatan. Berdasarkan pada fisiografi (Gambar 2) tersebut, maka daerah penelitian termasuk dalam Zone Pegunungan Selatan. Rangkaian Pegunungan Selatan di Jawa Tengah muncul membentuk Pegunungan Karangbolong di daerah Kebumen serta rangkaian Pegunungan Seribu dari Gunung Kidul hingga Wonosari yang membentuk morfologi karst. Morfologi di sekitar daerah penelitian sebagian besar merupakan perbukitan yang mempunyai kelerengan sedang hingga terjal dengan bentuk bukit membulat hingga kerucut. Di beberapa tempat dijumpai tebing yang cukup terjal (slope 80o). Sebagian besar perbukitan tersebut tersusun oleh litologi breksi dan batuan beku. 2. Stratigrafi Stratigrafi merupakan urut-urutan batuan yang ada pada suatu daerah mulai dari yang paling tua hingga muda. Urutan batuan daerah Kebumen (Asikin, S., 1994) dari tertua hingga termuda adalah : Komplek Melange , Formasi Karangsambng, Formasi Totogan, Formasi Gabon, Formasi Waturanda dan Anggota Tuf, Formasi Panosogan, Formasi Kalipucang, Formasi Halang, Formasi Peniron, Batuan Terobosan dan Endapan Alluvial.
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian dan distribusi lintasan pengukuran IP
182
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 2. Fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Van Bemmelen, 1949) Dari urutan batuan tersebut, daerah penelitian menempati 1 (satu) formasi yaitu Formasi Gabon yang berumur Miosen Awal. Formasi ini sebagian besar tersusun oleh breksi volkanik dengan sisipan lava andesit, tuf, tuf-lapili dan breksi laharik. Formasi Gabon tersebar disekitar Karangbolong. Pada beberapa tempat, matrik breksi sudah mengalami pelapukan membentuk tras dan sebagian tuf juga telah terubah membentuk bentonit. Sebagian besar breksi yang
ada di Formasi Gabon diterobos oleh intrusi andesit. Dari hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa mangan berada di antara breksi andesit berukuran bolder hingga bongkah, dan berasosiasi dengan rijang berbentuk nodul (Gambar 3). Hal ini mengindikasikan bahwa mangan tersebut terbentuk bersamaan dengan terbentuknya rijang yang dimungkinkan terbentuk pada lingkungan laut.
Gambar 3. Mangan yang keberadaannya berasosiasi dengan rijang MINERALOGI MANGAN Mangan di seluruh dunia terdapat dengan jumlah 0,1 % dari kandungan kerak bumi, termasuk dalam 12 unsur terbesar yang terdapat di kerak bumi. Bijih utama mangan adalah Pirolusit dan Psilomelan, selain itu bisa berupa Manganit, Braunit, dan Rhodokrosit. Pirolusit (MnO 2 ) merupakan mineral oksida berwarna abu-abu kilap metalik, kekerasan 2 - 2,5, BD 4,4 - 4,8 gr/cc. Sistem kristal tetragonal, belahan prismatik, merupakan mineral hasil oksidasi. Umumnya Pirolusit merupakan hasil oksidasi sekunder atau vein. Pirolusit yang
terbentuk sebagai pseudomorf dari manganit biasanya bersifat masif ataupun renoform kadang berstruktur fibrous dan radial. Sedangkan Psilomelan (Ba, H 2 O) 4 Mn 10 O 20 merupakan deposit mineral sekunder berwarna abu-abu, kekerasan 5 6, kilap submetalik, sebagai mineral amorf Psilomelan bersifat massif, reniform botroidal atau stalak. Sehingga lebih umum dijumpai dalam jebakan sekunder, berat jenis 3,3 - 4,7 gr/cc, pecahan britle. Sistem kristal ortorombik. Manganit MnO(OH), meruapakn mangan berkomposisi oksida, dan merupakan mineral terhidrasi yang berwarna hitam besi atau abu-abu
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
183
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
baja, Monoklin, prismatic, sedangkan kekerasan 4, berat jenis 4,2 - 4,4 gr/cc, belahan sempurna, pecahan britle. Basic manganese ixide, umumnya dijumpai dalam bentuk urat atau vein yang terbentuk pada temperatur cukup tinggi pada batuan basa. Braunit (3Mn 2 O 3 .MnSiO 3 ), merupakan mangan berkomposisi oksida berwama coklat kehitaman sering mengandung silika sebanyak 10 %. Berat jenis 4 - 4,2 gr/cc, fibrous atau kolumnar, mineral ini umumnya dijumpai dalam urat vein atau cebakan sekunder. Umumnya berasosiasi dengan bixbyite (Mn,Fe) 2 O 3 dan hausmanie (MnMn 2 O 4 ). Sedangkan Rhodokrosit (MnCO 3 ) mempunyai ciri, warna merah muda hingga coklat, hexagonal, kilat kaca, pecahan choncoidal, belahan sempurna, kekerasan 3,5 - 4 skala mosh, berat jenis 3,4 - 3,6 gr/cc. Mineral ini banyak dijumpai pada vein bersama kuarsa karena proses metamorfisme yang bersentuhan dengan batuan berkomposisi karbonat membentuk replacement pada batuan kapur. Menurut Park and Mac Diarmid, (1964) mineral mangan dapat terbentuk karena proses sbb : 1. Proses hydrotermal dan metamorfosa. Proses ini mempunyai ciri khas banyak mengisi vein bersama kwarsa. 2. Proses sedimentasi, baik bersama maupun tanpa proses volkanik. Mn kadang dijumpai bersama dengan lempung yan menunjukkan pengurangan oksida dalam lingkungan pengendapannya.
3. 4.
Proses yang berasosiasi dengan aliran lava bawah laut. Cebakan sedimen laut mempunyai ciri khusus berbentuk perlapisan dan lensa. Cebakan laterit serta akumulasi residual. Merupakan endapan oksida umumnya berasosiasi dengan batuan klastik kasar.
Sumber mangan yang komersial umumnya berasal dari cebakan sedimenter yang terpisah dari aktivitas volkanik dan cebakan akumulasi residual. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metode geofisika berupa metode Induced Polarization (IP) dengan aturan dipole-dipole. Pengukuran ini dilakukan untuk mendapatkan data primer berupa harga resistivitas dan chargebilitas. Pengukuran IP dilakukan pada lintasan sebanyak 4 buah (Gambar 1), dengan panjang masing-masing lintasan 600 meter dan jarak spasi elektroda 15 meter.
PERALATAN Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat Resistivity-meter SCIENTREX TSQ-3, dan SCIENTREX IPR–12, yang didukung oleh peralatan lainya berupa GPS, genset, kabel, elektroda, multimeter, porospot, kompas geologi, HT, palu dan perlengkapan tulis menulis (Gambar 4).
Gambar 4. Peralatan utama yang digunakan dalam survei IP
184
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bersama-sama, sehingga diperoleh harga tahanan jenis semu secara lateral (horizontal). Spasi elektroda yang digunakan adalah 15 meter. Konfigurasi elektroda dipole-dipole memiliki faktor geometri K= x a x n(n+1)x(n+2).
PROSEDUR PENGAMBILAN DATA 1. Konfigurasi Elektroda Pengukuran metode IP dilakukan dengan metode mapping menggunakan konfigurasi dipoledipole (Gambar 5). Konfigurasi ini menempatkan elektroda arus dan elektroda potensial bergerak
v
I
c2
a
c1
v
P1
P
v
a
v
a
a
N1 N2 N3 N4
Gambar 5. Konfigurasi elektroda dipole dipole Data–data resistivitas yang terukur diplot pada titik–titik yang sesuai dengan harga n (n=1,2,3,...) dengan kedalaman yang ditunjukkan adalah tingkat kedalaman semu, sehingga dapat dibuat kontur pseudodepth section variasi resistivitas ke arah lateral dan ke arah kedalaman semu. Hasil pengukuran dengan mengunakan spasi antar elektroda arus dan elektroda potensial yang semakin lebar akan memberikan informasi struktur bawah permukaan yang lebih dalam. Dengan demikian, konfigurasi dipole-dipole ini dapat dianggap efektif untuk dipergunakan dalam pemetaan, baik kearah lateral maupun vertikal. 2. Tegangan Primer (Vp) Tegangan primer diukur pada saat arus diinjeksikan ke medium bumi. Hal ini dilakukan untuk mengkompensasikan deformasi tegangan primer pada beberapa medium yang memiliki efek IP cukup besar, ketidakstabilan transmisi dan noise. Harga tegangan primer akan terus dirata-ratakan
selama durasi pengukuran untuk meningkatkan kualitas sinyal. 3. Chargeability (Mx) Parameter IP kawasan waktu ini akan diukur selama arus tidak ditransmisikan ke medium bumi. IPR-12 akan membagi peluruhan tegangan dalam kawasan waktu menjadi bagian-bagian menurut rentang waktu tertentu (preset) maupun dalam selang waktu yang ditentukan oleh pengguna. Pemilihan selang waktu yang digunakan dalam pengukuran tergantung kebutuhan dan kondisi medium pada daerah penelitian. Chargeability dihitung dengan persamaan sebagai berikut : t 1 2 M Vs (t ) dt ……………………1) V t1 dimana : t 1 = waktu awal bagian peluruhan t 2 = waktu akhir bagian peluruhan V s = tegangan terukur selama peluruhan V p = tegangan terukur saat arus diinjeksikan
LINE 1
4. Faktor Geometri (K)
180 Perhitungan harga geometri didasarkan60 pada rumusan distribusi potensial pada dipole arus. 105 120 180 75 90 135 150 165
1 1 1 1 ...2) V 140 2 C1 P1 C1 P2 C2 P1 C2 P2 160I -210
-195
45
-180
-150 -135 -120 -105 -90 -165
-75 -60 -15 -45 -30
0
15
30
195
210 225 240
330 345 360 375 390 405 255 270 285 300 315
420 435 450
120 100
Low Resistivity (0-40 Ohm.m) High Chargeability (135-250 msec) SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
185
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
a
5. Resistivitas semu
secara jelas adanya singkapan baik berupa bongkah besar maupun kecil (dengan ukuran antara 50 cm hingga 2 meter). Untuk lintasan yang memotong singkapan dapat digunakan sebagai acuan nilai resistivitas dan chargeabilitasnya untuk menentukan keberadaan mangan yang tidak tersingkap. Mangan diketahui berdasarkan pada karakteristiknya yaitu mempunyai nilai resistivitas dari kecil sampai sedang (0 - 40 ohm meter) dan nilai chargeabilitas yang cukup tinggi (135 – 250 msec). Indikasi mangan pada setiap lintasan pengukuran IP ditunjukkan pada gambar (6 sampai 9).
Besarnya harga resistivitas semu dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Vp
a K
……………..3)
I
INTERPRETASI DAN PERHITUNGAN CADANGAN 1. Interpretasi Keberadaan mangan dapat dilokalisir berdasarkan pengamatan singkapan di lapangan yang dipadukan dengan hasil pengolahan data pengukuran IP. Pada beberapa tempat terlihat
Gambar 6. Kompilasi nilai tahanan jenis dengan chargeabilitas pada lintasan 1, yang mengindikasikan mangan LINE 2 180 255
160
360
345
270
285
300
315
375
330
390 405
600
420
240
585
435 225
140
105 75
90
120
150
165 180
135
450
210
465
195
480
510
495
525
540
555
570
120 100 80
Low Resistivity (0-40 Ohm.m) High Chargeability (135-250 msec)
Gambar 7. Kompilasi nilai tahanan jenis dengan chargeabilitas pada lintasan 2, yang mengindikasikan mangan LINE 3 180
345 330
160
315
140
375
585 390
600
570 405
555
420
540
435 450
270
525 465 480
255
120
495
510
240 210
225
195
100
150 105
120
135
165
180
90
80 60
360
300 285
75 60
0
15
30
45
40 20 Low Resistivity (0-40 Ohm.m) High Chargeability (135-250 msec)
Gambar 8. Kompilasi nilai tahanan jenis dengan chargeabilitas pada lintasan 3, yang mengindikasikan mangan LINE 4 180 160 140 120 100 80
570 555 540 150 165 180 135
525 195 210
225
270 285 240 255
480 495 450 465 300 315 330 345
510
435 420 360 375 390 405
585 600 615 630 645 660 675 690 705 720 735 750
Low Resistivity (0-40 Ohm.m) High Chargeability (135-250 msec)
Gambar 9. Kompilasi nilai tahanan jenis dengan chargeabilitas pada lintasan 4, yang mengindikasikan mangan
186
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Berdasarkan pada hasil kompilasi data di atas, maka dapat terbaca bahwa bahwa pada lintasan 1 mangan dijumpai dalam bentuk nodul-nodul yang tersebar hampir di sepanjang lintasan terutama pada bagian tenggara sampai tengah lintasan, dengan ukuran bervariasi dari kecil hingga besar dengan kedalaman yang bervariasi juga antara 5 sampai 40 meter. Sedangkan pada lintasan 2, mangan diperkirakan berada di sekitar permukaan yaitu pada kedalaman 5 sampai 30 meter, terutama banyak tersebar pada bagian timur laut dan cenderung menempati morfologi berupa lembah. Pada bagian barat daya keberadaannya relatif lebih dalam (> 40 meter). Pada lintasan 3, mangan diprediksi berada relatif lebih dangkal yaitu pada kedalaman 5 sampai 20 meter dan menempati morfologi berupa lereng. Pada meter ke 30 s/d 160, juga dimungkinkan adanya mangan yang diperkirakan berupa runtuhan. Sedangkan pada lintasan 4 mangan dijumpai hampir di sepanjang lintasan, berada pada kedalaman 5 s/d 40 m, umumnya menampati morfologi lereng. 2. Perhitungan Cadangan Perhitungan besarnya cadangan dengan menggunakan rumus empiris yaitu rumus pendekatan yang dibuat untuk mempermu-dah cara perhitungan secara kasar saja. Hal ini dikarenakan pada kondisi lapangan keberadaan mangan sangat tidak beraturan. Perhitungan dilakukan pada setiap lintasan. Rumusan yang digunakan dalam perhitungan cadangan dalah sebagai berikut : Besar Cadangan Metal = Luas area nodul x Ketebalan nodul x Faktor resiko dimana : Luas area nodul (m2) : panjang dan lebar dari nodul yang ada di setiap lintasan. Ketebalan nodul : ketebalan bolder yang tersingkap di permukaan (rata-rata terukur 2 meter). Faktor resiko : mendasarkan pada bentuk singkapan di permukaan yang berupa nodul-nodul (0,4). Besarnya cadangan yang terukur ini masih merupakan cadangan yang diperkirakan. atau
Inferred resource, sedangkan cadangan mineral mangan pastinya perlu dilakukan pemboran eksplorasi. Hasil akhir perhitungan cadangan yang didapatkan adalah mewakili tiap-tiap lintasan pengukuran, dan setelah dijumlah-kan menjadi jumlah cadangan total dari mangan dan mineral logam lainnya yang terkandung dalam batuan yaitu sebesar yaitu sebesar7,9824 m3. KESIMPULAN Berdasarkan pada data pengukuran IP yang didukung oleh data geologi permukaan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Daerah Srati berpotensi dijumpai adanya mangan. 2. Dari hasil pengukuran dengan meng-gunakan IP, dapat diketahui bahwa penyebaran mangan cukup luas, menempati morfologi bukit maupun lembah, berbentuk nodul berukuran antara 0,5 meter sampai 2 meter. 3. Harga resistivitas mangan di daerah penelitian berkisar anatar antara 0 - 40 ohm meter, dengan nilai chargeabilitas antara 135 – 250 msec. 4. Keberadaan mangan sebagian besar tersingkap di permukaan dan sebagian berada pada kedalaman antara 5-40 meter. Dibeberapa tempat diduga terdapat potensi mangan yang lebih dalam, tetapi tidak terlalu banyak. 5. Dari ke-4 lintasan pengukuran IP dapat ketahui besarnya cadangan sebesar 7,9824 m3. DAFTAR PUSTAKA Asikin, S., 1994, Peta Geologi Lembar Kebumen Skala 1:10.000, Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi Bandung Dobrin, B.M., and Savit, C.H., 1988, Introduction to Geophysical Prospecting, 4th ed., McGraw Hill International, Singapore. Park, Jr.C.F. and Mac Diarmid, (1964), Ore Deposits, W.H. Freeman and Company, San Fransisco, USA. Sulistijo, B, 2003, Geofisika Cebakan Mineral I, ITB, Bandung. Telford., W.M., 1990, Applied Geophysics, Cambridge University Press, Cambridge, London, New York, Melbboune. Van Bemmelen (1949), The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff, The Hague, Holland
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
187
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENELITIAN AWAL GUNUNG API PURBA DI DAERAH MANGGARAI BARAT, FLORES, NUSA TENGGARA BARAT, INDONESIA Hill. Gendoet Hartono1), Partama Misdiyanta1), Djoko Purwanto2), Faidzil Chabib3), dan Ones Kambu3) 1) Pengajar di Jurusan Teknik Geologi, STTNAS, Yogyakarta 2) Staf LP3M STTNAS, Yogyakarta 3) Mahasiswa Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta E-mail:
[email protected]
Abstrak Pulau Flores terletak di antara busur Sunda di bagian barat dan busur Banda di bagian timur serta di perbatasan antara cekungan Flores di utara dan cekungan Savu di selatan. Secara umum tataan geologi Pulau Flores bagian utara sangat rumit, tersusun oleh batuan berumur Tersier seperti batuan beku, klastika gunung api dan batuan sedimen, sedangkan bagian selatan terdapat gunung api aktif. Daerah penelitian terletak di Gololajang, Manggarai Barat tersusun sebagian besar oleh batuan gunung api yang membentuk bentang alam berelief kasar dan beberapa diantaranya memperlihatkan bentuk bulan sabit dengan batuan intrusi di bagian dalamnya. Genesis yang meliputi proses, umur, sumber material dan lingkungan pengendapan hingga saat ini masih diperdebatkan dan diteliti oleh para ahli kebumian. Stratigrafi yang ada mencerminkan kerumitan tersebut terlebih bila dikaitkan dengan pentarikhan umur absolut terhadap batuan beku dan batuan gunung api yang terletak berdekatan dengan batuan sedimen yang menjadi dasar penyatuan. Metode pendekatan yang dilakukan adalah pembelajaran geologi gunung api. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Formasi Kiro, Formasi Nangapanda dan Formasi Bari sebagai penyusun utama. Formasi Kiro dan Nangapanda umumnya disusun oleh material asal gunung api yang terdiri atas batuan intrusi, batuan gunung api produk lelehan dan letusan dengan berbagai variasi komposisinya. Berdasarkan analisis bentang alam dan stratigrafi gunung api maka daerah Gololajang dan sekitarnya disusun oleh satuan gunung api Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng, Khuluk Mawe, yang berkembang di dalam Bregada Ruteng. Kata kunci: Pulau Flores, gunung api, khuluk, bregada.
PENDAHULUAN Pulau Flores terletak di antara busur Sunda di bagian barat dan busur Banda di bagian timur serta di perbatasan antara cekungan Flores di utara dan cekungan Savu di selatan (Gambar 1). Busur Banda terbentang dari Bali ke arah timur melalui Sumbawa, Flores dan pulau-pulau kecil timur
188
Flores serta melengkung ke arah utara menyerupai bentuk sendok (Katili, 1975; Hamilton, 1978). Keberadaan Pulau Flores khususnya dan kepulauan Indonesia bagian timur tidak terlepas dari peran gerak-gerak tektonik lempeng samudera dan lempeng benua yang menyertainya.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1. Peta yang memperlihatkan Pulau Flores yang terletak diantara busur Sunda di bagian barat dan busur Banda di bagian timur (Wensink dan van Bergen, 1995). Penelitian geologi telah banyak dilakukan, sebagai contoh Abbot dan Chamalaun (1981); Katili dan Sudradjat (1989); Abdullah et al. (2000); dan Soeria-Atmadja et al. (2001), namun penelitian tentang keberadaan gunung api purba yang dikaitkan dengan genesis, lokasi sumber erupsinya belum banyak dilakukan, terlebih bila dihubungkan dengan keberadaan mineralisasi primer. Tujuan penelitian awal ini adalah untuk mengungkap keberadaan tubuh gunung api purba dan suksesi pembentukan batuan gunung api di Daerah Manggarai Barat, Flores berdasar litostratigrafi yang dilandasi pemahaman volkanologi dan citra Landsat. Metode pendekatan yang dilakukan adalah penelitian geologi permukaan, sedangkan untuk mengetahui
keberadaan gunung api purba dengan menerapkan prinsip geologi ”The present is the key to the past” serta pemerian berbagai jenis batuan gunung api yang tersingkap di permukaan bumi, dan kompilasi data sekunder yang terkait dengan topik bahasan. Lokasi daerah yang menjadi fokus pembahasan adalah Desa Gololajang, Desa Goloriwu, Kecamatan Macang Pacar dan sekitarnya, lebih kurang 30 km sebelah baratlaut dari kota Ruteng, Manggarai Barat (Gambar 2). Lokasi ini dipilih karena terkait dengan pekerjaan pemetaan mineral ekonomi mangan (Mn) yang diberikan oleh pihak PT. GEORE bekerja sama dengan Jurusan Teknik Geologi STTNAS. Pekerjaan lapangan berlangsung selama satu bulan pada bulan Nopember tahun 2008.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
189
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
oleh perselingan berbagai jenis batuan gunung api (koheren lava dan piroklastika) membentuk suatu keteraturan-keteraturan sesuai jarak pengendapan dari pusat erupsinya. Peneliti sebelumnya seperti Williams dan MacBirney (1979) membagi sebuah kerucut gunung api komposit menjadi tiga zona (Gambar 3), yakni Zona Pusat (Central Zone; di dalam sekitar 0,5 hingga 2 km dari zona pusat), Zona Proksi (Proximal Zone; di atas 5 hingga 15 km dari zona pusat), dan Zona Distal (Distal Zone; lebih daripada 5 hingga 15 dari zona pusat). (1) Zona Pusat disusun oleh batuan intrusi dan kubah lava; (2) Zona Proksi disusun oleh aliran lava dan bahan piroklastika, serta perselingan antara lava dan bahan piroklastika; (3) Zona Distal disusun oleh
material hasil pengerjaan ulang bahan asal gunung api. TATAAN GEOLOGI Indonesia merupakan tempat pertemuan, interaksi dan tumbukan tiga lempeng kerak tektonik. Ketiga lempeng tektonik yang terlibat tersebut meliputi Lempeng Pasifik, Lempeng Hindia-Australia, dan Lempeng Eropa-Asia serta ketiganya bergerak dengan kecepatan yang tidak sama. Pergerakan lempeng-lempeng itulah yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap kehadiran ratusan gunung api aktif dan tidak aktif di wilayah Indonesia (Katili, 1975).
Gambar 3. Penampang variasi fasies dasar batuan gunung api yang berkaitan dengan pusat gunung api (modifikasi dari Williams dan MacBirney, 1979). Pulau Flores sedikitnya terdapat 13 gunung api aktif yang berjajar di bagian selatan berarah barat – timur dan terdapat sekurangnya 5 gunung api yang merupakan lapangan panas bumi, sedangkan gunung api yang kegiatannya terjadi pada masa prasejarah lebih kurang sejumlah 4 buah (van Padang, 1951). Di pihak lain, Soeria-Atmadja et al. (2001) menyebutkan bahwa terdapat dua jalur magmatik sejajar yang menyusun busur Sunda – Banda yaitu jalur magmatik berumur Tersier Awal dan Tersier Akhir – Kuarter (Gambar 4). Hendaryono et al. (2001) memperkirakan bahwa di Pulau Flores, Indonesia Timur mengalami dua siklus kegiatan magmatisme yang didasarkan pada sistesa penampang stratigrafi yang didukung pentharikan umur radiometri 40K-40Ar. Volkanisme pertama berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Atas. Kegiatan volkanisme tertua menunjukkan umur 27,7 – 25 juta tahun lalu dan periode yang lebih muda menunjukkan umur 16 – 8,4 juta tahun lalu. Volkanisme kedua terjadi pada akhir Miosen hingga Plio-Kuarter yang menunjuk pada angka 6,7 hingga 1,2 juta tahun lalu. Selain hal tersebut, peneliti ini juga memperlihatkan analisis unsure oksida utama dengan kisaran kandungan silika
antara 50 – 70 % berat dan kandungan K 2 O umumnya kurang dari 1 % berat yang menunjuk pada tipe magma tholeiit hingga kapur alkali normal. Selain pernyataan yang disebutkan sebelumnya, Katili (1975) juga menyatakan bahwa terdapat perbedaan tataan geologi antara sistem palung busur Jawa dengan sistem palung busur Timor. Pada Gambar 5 memperlihatkan adanya dua fase perkembangan busur Banda. Di dalam fase awal, lempeng samudera Hindia-Australia menunjam di bawah lempeng samudera Banda, dan dalam fase akhir diikuti oleh subduksi kerak benua Australia ke dalam zona subduksi busur Banda sebagai pengapungan Australia yang menerus ke arah utara. Genrich et al. (1996) menyebutkan bahwa pengukuran geodetik sistem informasi geografis pada 30 lokasi di Indonesia (termasuk di Ruteng) dan 4 lokasi di Australia menunjukkan bahwa daerah pinggir benua Australia tumbuh di busur kepulauan Banda. Peristiwa ini memberikan gambaran adanya persentuhan kerak benua Australia dengan kerak benua Eurasia, yang memberikan pengaruh perkembangan struktur geologi, stratigrafi, geokimia, magmatisme dan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
191
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
volkanisme pada wilayah Indonesia bagian timur (Carter et al. 1976; Elburg et al. ?; McCaffrey dan
Abers,
1991;
Macpherson
dan
Hall,
1999).
Gambar 4. Jalur gunung api Oligosen-Miosen dan Pliosen-Kuarter dalam Busur Sunda-Banda (Sumatra-Flores) menurut Soeria-Atmadja et al. (2001). Bacharudin (1988; dalam Katili dan Sudradjat, 1989) melakukan analisis berdasarkan citra Landsat daerah Flores Barat. Hasil analisis memperlihatkan adanya dominasi litologi berupa batuan sedimen berumur Miosen di bagian utara dan batuan gunung api berumur Kuarter di bagian selatan, yang kedua batuan tersebut memperlihatkan penyebaran barat – timur (Gambar 6). Namun, di pihak lain (Koesoemadinata et al. 1994) menyatakan bahwa bagian utara terutama
192
disusun oleh batuan gunung api yang dimasukkan ke dalam kelompok Formasi Kiro (Tmk) berumur Miosen Awal. Formasi Kiro merupakan batuan tertua di Flores Barat terdiri dari breksi, lava, tuf dengan sisipan batupasir tuf yang mempunyai kedudukan jurus tenggara hingga timurlaut dan kemiringan antara 10 o – 20o. Breksi dengan komponen pecahan andesit dan basal, dan di beberapa tempat telah mengalami alterasi dan mineralisasi membentuk magnetit dan mangan.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 5. Penampang utara-selatan yang memotong Timor-Flores (Katili, 1975), memperlihatkan konfigurasi lempeng bawah permukaan dan perkiraan genesis Pulau Timor dan Pulau Flores.
Gambar 6. Hasil interpretasi geologi Flores Barat dari citra Landsat (Bacharudin, 1988; dalam Katili dan Sudradjat, 1989). Stratigrafi atau urut-urutan litologi yang menyusun Pulau Flores secara umum dari tua ke muda (Gambar 7) menurut Koesoemadinata et al. (1994) adalah Formasi Kiro (Tmk) berumur Miosen Awal, kemudian menumpang menjari di atasnya Formasi Nangapanda (Tmn), Formasi Bari (Tmb), Formasi Tanahau (Tmt) berumur Miosen Tengah, selanjutnya diterobos batuan granit (Tmg) dan batuan diorit (Tmd) berumur Miosen Akhir. Setelah itu berkembang di atasnya Formasi Waihekang
(Tmpw) yang menjari dengan Formasi Laka (Tmpl) berumur Pliosen, dan kemudian ditutupi oleh produk kegiatan gunung api tua (QTv) berumur Pleistosen. Secara tidak selaras di atasnya diendapkan kelompok batuan dan endapan paling muda atau sekarang masih berlangsung pembentukannya yang diwakili oleh batuan gunung api muda (Qhv), undak pantai (Qct), batugamping koral (Ql), dan aluvium (Qal).
Gambar 7. Stratigrafi Pulau Flores, Nusa Tenggara pada lembar Ruteng (Koesoemadinata et al. 1994). SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
193
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
HASIL PENELITIAN Kegiatan pemetaan lapangan geologi menghasilkan 202 lokasi pengamatan geologi terpilih yang tersebar di daerah penelitian (Gambar 8). Dari hasil pengamatan litologi dan pemerian megaskopis dapat dibagi ke dalam 4 kelompok batuan segar yaitu batuan beku masif, batuan gunung api breksi piroklastik, batuan gunung api tuf, dan batuan sedimen karbonat yaitu batugamping, sedangkan kelompok yang lain terdiri dari 2 kelompok batuan terubah yaitu batuan ubahan yang mengandung mangan dan tubuh bijih mangan (Mn). Hampir setengah dari daerah
penelitian terdapat batuan yang mengandung unsur mangan (walaupun diperkirakan dalam kadar kecil) dan hanya sebagian kecil di daerah tenggara yaitu di daerah Tueng kurang lebih satu kilometer persegi disusun oleh tubuh bijih mangan (manganese ore body). Ciri fisik bijih mangan yaitu warna hitam arang-mengkilat, dapat berupa abu hitam dan padat, berat, kenampakan permukaan sering memperlihatkan bentuk membulat. Hasil analisis laboratorium berupa petrografi, geokimia (AAS), dan analisis kadar mangan terhadap sampel terpilih menjadi milik PT. GEORE dan tidak diperbolehkan untuk dipublikasi.
Gambar 8. Lokasi pengamatan geologi dan pengambilan contoh setangan batuan segar dan batuan yang diperkirakan mengandung mineral bijih mangan (Mn) di daerah penelitian. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis citra Landsat yang dipandu oleh peta topografi, daerah penelitian berbentuk perbukitan bergelombang kuat yang berelief kasar – sangat kasar berarah relatir barat – timur, dan terdapat tonjolan-tonjolan bukit yang membentuk bentang alam anomali yaitu relatif melingkar dan membuka ke suatu arah tertentu (Gambar 9). Pada Gambar 9B memperlihatkan adanya perbedaan pola kontur daerah penelitian bagian barat dan bagian timur. Bentang alam bagian barat membentuk perbukitan bergelombang lemah, berelief relatif landai dengan beda tinggi antara + 825 m dpl. hingga + 625 m dpl. Bentang alam ini diwakili oleh Desa Gololajang dan melandai ke arah bagian barat dan utara, sedangkan bentang alam bagian timur bergelombang kasar – sangat kasar, berelief kuat
194
dengan beda tinggi antara + 1000 m dpl. hingga + 275 m dpl. Bentang alam bagian timur diwakili oleh Desa Goloriwu dan Desa Tueng. Kedua bentang alam utama tersebut dibatasi oleh aliran sungai utama Wae Songkang yang arah alirannya ke utara hingga bermuara di Teluk Reo (lihat Gambar 9A). Pada Gambar 9C terdapat bentukan – bentukan yang relatif melingkar – setengah melingkar menyerupai bulan sabit (half moon) atau menyerupai bentuk tapal kuda (horseshoe shape). Daerah penelitian sedikitnya disusun oleh tiga bentuk – bentuk bentang alam melingkar – setengah melingkar yaitu di bagian timur diwakili oleh Desa Gololajang dan Desa Tueng, sedangkan di bagian barat diwakili oleh Desa Golomawe. Tampak bagian dalam pada ketiga tinggian yang membentuk
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bentang alam anomali ini terdapat bentuk tonjolan dan rendahan. Bentuk tonjolan tersebut disusun oleh batuan terobosan (Gambar 10), sedangkan bentuk rendahan disusun oleh batuan yang telah
mengalami alterasi dan tererosi sehingga membentuk cekungan. Bentuk lengkungan bagian luar yang lebih besar disusun oleh perselingan breksi gunung api dan lava membentuk gawir terjal.
Gambar 9. Lokasi penelitian bagian dari wilayah Flores Barat: A) Tampak dari citra Landsat; B) Tampak pola kontur dan pola aliran sungai, dan C) Tampak hasil olahan tiga dimensi yang menunjukkan relief kasar melingkar-setengah melingkar menyerupai bentuk bulan sabit.
Gambar 10. Batuan intrusi andesit yang memperlihatkan bentuk kerucut simetri di Desa Gololajang. A) Tampak dekat, dan B) tampak jauh dengan latarbelakang gawir terjal yang melingkupinya. Tampak juga pada Gambar 9C bahwa daerah bukaan dikuasai oleh aliran lava dan material gunung api lainnya, kecuali pada daerah bukaan yang menempati bagian timurlaut. Pada daerah yang terakhir ini bentuk lengkungannya paling besar dan mempunyai relief lebih rendah dibanding dua bentukan lainnya. Pola pengaliran daerah penelitian dibangun oleh tiga sungai utama yaitu Wai Songkang, Wai Pou – Wai Kodal, dan Wae Raeng. Ketiga sungai utama di daerah penelitian ini kemudian menyatu di
sebelah utara yaitu di Desa Kombo pada aliran sungai utama Wai Ncuring yang arah alirannya ke timurlaut dan membelok ke utara menuju Teluk Reo. Cabang – cabang sungai mengalir mengikuti bentuk bentang alamnya yaitu berpola memusat dan kemudian menyatu di daerah bukaan bilamana aliran tersebut di dalam daerah kawah, sedangkan berpola menyebar menjauhi daerah sumber/ kawahnya. Secara umum batuan yang menyusun daerah penelitian berupa batuan beku, breksi andesit,
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
195
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
breksi pumis tuf, dan batugamping (Gambar 11). Menurut Koesoemadinata et al. (1994) batuan – batuan tersebut dikelompokkan ke dalam Formasi Kiro, Formasi Nangapanda, dan Formasi Bari. Daerah penelitian dikuasai oleh batuan beku, dan batuan gunung api (Gambar 12). Batuan beku di sini terdiri dari batuan beku intrusi dalam (diorit), dan batuan beku intrusi dangkal (andesit) atau koheren lava. Batuan intrusi ini dilingkupi perselingan breksi andesit, lava, dan tuf. Di bagian barat laut daerah penelitian dijumpai breksi pumis yang berselingan dengan tuf yang mempunyai kemiringan 15o ke arah baratlaut.
Batuan beku intrusi yang tersingkap di Desa Gololajang berkomposisi dari diorit dan andesit porfiri – andesit, sedangkan di Desa Tueng dan Desa Golomawe berkomposisi andesit porfiri – andesit afanit. Breksi andesit disusun oleh komponen bom dan blok gunung api, umumnya berkomposisi andesit. Singkapan breksi andesit ini sering dijumpai berselingan dengan lava andesit dan batutuf. Lava andesit sering memperlihatkan struktur permukaan kasar dan menyudut (breksi autoklastika). Kelompok ini membentuk bentang alam tinggian berelief kasar dan mempunyai kemiringan melandai menjauhi bentang alam intrusi.
Gambar 11. Berbagai ragam jenis batuan di daerah penelitian: A) batuan beku andesit; B) breksi andesit; C) batutuf; D) batugamping; E) intrusi sill basal diantara tuf; dan F) batuan beku andesit porfiri dengan struktur kolumnar. Batugamping berkembang baik di bagian utara dan bagian timur daerah penelitian, umumnya berlapis dan di beberapa lokasi dijumpai batugamping koral atau reef dalam bentuk bongkah. Batugamping yang tersingkap di utara menempati daerah dataran, sedangkan di timurlaut dan timur menempati daerah dengan lereng terjal menempel di atas breksi gunung api.
196
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa kekar dan sesar mendatar (diperkirakan) mengkiri memotong diagonal berarah baratlaut – tenggara daerah penelitian. Struktur geologi yang lain berupa intrusi, perlapisan batuan (radier), struktur melingkar, dan kekar pendinginan pada batuan beku.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 12. Peta geologi daerah penelitian yang didominasi batuan beku dan batuan gunung api, dan sedikit batuan sedimen. DISKUSI Berdasarkan hasil penelitian sebelum-nya, genesis daerah penelitian dapat disimpulkan berasosiasi dengan peran gerak-gerak lempeng tektonik, dan magmatisme – volkanisme (misal: Katili, 1975 dan Soeria-Atmadja et al., 2001). Namun demikian, penelitian awal ini menunjukkan bahwa distribusi produk kegiatan gunung api mempunyai keteraturan-keteraturan yang signifikan, seperti misalnya bentuk struktur setengah melingkar membuka ke suatu arah berasosiasi dengan letusan gunung api sektoral; batuan intrusi dikungkungi atau dilingkupi oleh perselingan batuan beku luar dan piroklastika artinya perselingan batuan ini merupakan produk primer gunung api yang berasosiasi dengan endapan di sekitar lubang kawah; kemiringan batuan gunung api fragmental berupa tuf dan lapili hingga breksi halus berbentuk radier mengikuti bentuk kerucut gunung api, kemiringan perlapisan batuan tersebut berasosiasi dengan kemiringan awal (initial dip) yang dibangun oleh batuan hasil kegiatan erupsi gunung api. Bentang alam perbukitan bergelombang kuat dan berelief kasar bukan semata-mata merupakan produk akhir dari suatu kegiatan tektonik rejim kompresif dan pelapukan batuan, melainkan
kemungkinan berhubungan dengan sisa tubuh gunung api (volcanic edifice) in situ dan resistensi batuan penyusun. Artinya suatu gunung api membangun tubuhnya sendiri terkait dengan perilaku magmanya. Misalkan magma dengan komposisi menengah hingga asam mempunyai kecenderungan untuk membangun tubuhnya setinggi dan sebesar mungkin, tetapi berbeda dengan magma berkomposisi basa hanya mampu membangun tubuhnya kecil dan landai. Berdasarkan pentharikan umur absolut (K-Ar) yang dilakukan oleh Hendaryono et al. (2001) bahwa batuan intrusi tertua berumur 16 – 13 juta tahun lalu (jtl.); 12 – 8 jtl., dan kemudian disusul intrusi yang menunjukkan umur 6,7 jtl. - 3,9 jtl. dan menerus hingga sekarang. Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa batuan intrusi tersebut menerobos seluruh batuan sedimen dan batuan gunung api klastik yang ada. Pernyataan umur batuan intrusi ini menunjukkan bahwa telah terjadi erupsi gunung api secara menerus di daerah Flores, NTT. Hal tersebut dapat diinterpretasikan dengan terjadinya proses pengkayaan unsur di dalam batuan yang mempunyai sifat ekonomi, karena batuan yang diterobos berulang-ulang akan mengalami alterasi dan mungkin juga terjadi mineralisasi. Selain hal tersebut, pentharikan umur
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
197
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
juga mendukung terhadap pemahaman terjadinya suksesi gunung api secara umum di daerah penelitian. Menurut hemat penulis berdasarkan hasil analisis awal stratigrafi gunung api bahwa daerah penelitian berkembang secara normal, artinya fase pembangunan membangun gunung api komposit (Ruteng) hingga mencapai ketinggian maksimum, kemudian mengalami fase penghancuran berupa letusan kuat yang diikuti pembentukan bregada (kaldera), terbukti dengan adanya produk letusan berupa breksi pumis tuf dan tersingkapnya batuan beku dalam berkomposisi diorit. Suksesi berikutnya terbentuklah beberapa gunung api komposit (Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng, dan Khuluk Golomawe) di dalam kaldera. Suksesi gunung api berlanjut namun kegiatannya terletak di sebelah selatan gunung api purbanya (misal: G. Anak Ranakah, G. Mawe Sano, dan G. Todo). Hal ini berbeda dengan perkembangan suksesi gunung api yang terjadi di Pulau Jawa yaitu terbalik, artinya gunung api komposit Kuarter berkembang atau terjadi di sebelah utara gunung api purbanya. Permasalahan ini kemungkinan berhubungan dengan penunjaman, yaitu di Pulau Flores lempeng yang menunjam menjadi pendek dan terjal, sedangkan di Pulau Jawa panjang dan sudut tunjamannya landai. Berdasarkan kenampakan geomorfologi gunung api (Gambar 9C) Khuluk Gololajang yang terletak di timurlaut memperlihatkan bentang alam berelief kasar dan sudah rusak, bentuk kawah melebar sebagai akibat peran erosi lanjut. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh bentuk gunung api komposit Tueng dan Golomawe yang masih cukup jelas yaitu struktur bukaan relatif masih sempit dan bentuk aliran lava yang mengalir ke arah selatan menjauhi daerah sumber dan mengisi daerah bukaan masih dapat diamati. Batuan intrusi dalam pada kedua khuluk yang disebut terakhir ini tidak dijumpai. Oleh sebab itu, kenampakan bentang alam di daerah penelitian dibangun oleh bentang alam gunung api berupa produk erupsi lelehan dan produk erupsi letusan serta batuan intrusi, namun kedudukan gunung apinya dikendalikan oleh keberadaan tataan tektoniknya. Sehubungan dengan proses pelapukan lanjut dan erosi yang cukup intensif di daerah penelitian terutama di bagian utara dan tengah, kemungkinan hal inilah yang menjadi penyebab kenapa produk alterasi dan mineralisasi tidak dijumpai secara ekonomis. Kemungkinan yang pertama adalah produk akhir alterasi dan mineralisasi telah tererosi dan tertransport secara alami dalam waktu yang panjang ke tempat lain melalui sungai-sungai utama dan mengendap di daerah muara Reo, sedangkan kemungkinan kedua yaitu proses magmatisme – volkanisme tidak menghasilkan atau tidak terjadi pengkayaan bijih primer.
198
KESIMPULAN Dari hasil analisis bentang alam, pemerian rinci batuan, dan hasil diskusi dapat disimpulkan bahwa : Bentuk bentang alam daerah penelitian dibangun oleh kegiatan gunung api purba yaitu kegiatan intrusi, erupsi meleleh, dan erupsi letusan, serta proses eksogenik yang sekarang masih berlangsung. Daerah penelitian yang umumnya disusun oleh stratigrafi batuan beku plutonik dan koheren lava (intrusi dangkal dan batuan gunung api) yang tergabung dalam Formasi Kiro, Formasi Nangapanda dan Formasi Bari membentuk Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng, Khuluk Mawe, dan merupakan bagian dari Bregada Ruteng. Daerah penelitian merupakan bagian suksesi gunung api Bregada (Kaldera) dan gunung api Khuluk.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada panitia penyelenggara seminar ReTII ke 4, STTNAS sehingga makalah ini dapat dipresentasikan dan dipublikasikan, dan kepada pimpinan PT. GEORE yang telah memfasilitasi selama observasi di lapangan serta Bapak Benny Padjo, kepala Dinas Kamar Dagang dan Industri Labuan Bajo, Manggarai Barat atas kerjasamanya yang baik selama kerja lapangan. DAFTAR PUSTAKA Abbot M.J, dan Chamalaun F.H. 1981. Geochronology of Some Banda Arc Volcanics. The Geology and Tectonics of Eastern Indonesia, Geological Research and Development Centre, Eds: Barber A.J. dan Wiryosujono. Spec. Publ. No. 2. hal. 253268. Abdullah C.I., Rampnoux J.P., Bellon H., Maury R.C., dan Soeria-Atmadja R. 2000. The Evolution On Sumba Island (Indonesia) Revisited in The Light of New Data On The Geochronology and Geochemistry of The Magmatic Rocks. J. Asian Earth Sci., 18, hal. 533-546. Carter D.J., Audley-Charles M.G., dan Barber A.J. 1976. Stratigraphical analysis of island arc— continental margin collision in eastern Indonesia. Journal of the Geological Society. Vol. 132. issue 2. hal. 179-198. Condie, K.C., 1982. Plate Tectonics & Crustal Evolution, Pergamon Press. 2nd Ed. 310 hal. Elburg M.A., van Bergen M.J., dan Foden J.D. Subducted Upper and Lower Continental Crust Contributes to Magmatism in The Collision Sector of The Sunda-BandaArc, Indonesia.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
www.geophysics.rice.Edu/sota/papers/Elbur g, MarlinaElburgSOTA.pdf Genrich J.F., Bock Y., McCaffrey R., Calais E., Stevens C.W., dan Subarya C. 1996. Accretion of The Southern Banda Arc to The Australian Plate Margin Determined by Global Positioning System Meauserement, Tectonics, Vol. 2, No. 15. hal. 288-295. Grove T.L. 2000. Origin of Magma, in Sigurdsson, H., Houghton, B., McNutt, S.R., Rymer, H., Stix, J., (Ed.), Encyclopedia of Volcanoes, Academic Press., San Diego, hal. 133-147. Hamilton W. 1979. Tectonics of The Indonesian Region, Geol. Surv. Prof. Pap. 1078. 345 hal. Hartono, G., 2009. Petrologi Batuan Beku dan Gunung Api, UNPAD Press., 105 hal. In press. Hendaryono, Rampnoux J.P., Bellon H., Maury R.C., Abdullah C.I., dan Soeria-Atmadja R. 2001. New Data on The Geology and Geodynamic of Flores Island, Eastern Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke 30 IAGI dan ke 10 GEOSEA: Dedicating Geoscience to Regional Prosperity and Conservation, IAGI, Yogyakarta, hal. 195-199. Katili J.A. 1975. Volcanism and Plate Tectonics in The Indonesian Island Arcs. Tectonophysics, 26. in Geotectonics of Indonesia: A Modern View. hal. 200-224. Katili J.A., dan Sudradjat A. 1989. A Short Note on The Birth of a Volcano in Flores Island. Geologi Indonesia. Majalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Volume Khusus 60 Tahun Prof. Dr. J.A. Katili. IAGI. Eds: Sudradjat A., Tjia H.D., Asikin S., dan Katili, A.N. Jakarta. hal.397-411. Koesoemadinata S., Noya Y., dan Kadarisman, D. 1994. Peta Geologi Lembar Ruteng, Nusa Tenggara, Skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Macdonald, A.G., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, 510h. Macpherson C.G., dan Hall R. 1999. Tectonic Control of Geochemical Evolution in Arc Magmatism of SE Asia. Proceeding 4th PACRIM Congress, Australian Institute of Mining and Metallurgy. hal. 359-368. McCaffrey R., dan Abers G.A. 1991. Orogeny in Arc-Continent Collision: The Banda Arc and Western New Guinea. Geology. Vol. 19. hal. 563-566.
Neumann van Padang M., 1951. Catalogue of The Active Volcanoes of The World Including Solfatara Fields: Indonesia, Part 1. International Volcanological Association. 271 hal. Soeria-Atmadja R., Sunarya Y., Sutanto, dan Hendaryono, 2001. Epithermal Gold-Copper Mineralization, Late Neogene Calc-Alkaline to Potassic Calc-Alcaline Magmatism and Cristal Extensión in The Sunda-Banda Arc. Indonesian Island Arcs: Magmatism. Mineralization, and Tectonic Setting. Eds: R.P. Koesoemadinata dan D. Noeradi. Penerbit ITB. hal. 100-111. Wensink H., dan van Bergen M.J. 1995. The Tectonic Emplacement of Sumba in The Sunda – Banda Arc: Paleomagnetic and Geochemical Evidence From The Early Miocene Jawila Volcanics, Tectonophysics, 250. hal. 15-30. Williams dan Mac Birney. 1979. Volcanology, Freeman, Cooper & Co., San Francisco. 397 hal.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
199
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
KAJIAN MINERAL LEMPUNG SEBAGAI BAHAN GALIAN INDUSTRI DI DAERAH SIWARENG KECAMATAN SEYEGAN KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA
Ev.Budiadi Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta
SARI Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mineral lempung di daerah telitian. Untuk lingkungan pengendapan di daerah telitian dibedakan menjadi dua yaitu untuk lempung Nanggulan diendapakan pada Lagoon dan untuk lempung kuarter diendapkan lingkungan darat pola pengaliran teranyam. Untuk mengkaji kajian mineral lempung daerah telitian dilakukan dengan menggunakan analisa X-RD batulempung didapatkan mineral lempung jenis halloysite dimana halloysite ini merupakan mineral yang termasuk dalam golongan kaolin yang jenuh air dan secara fisik plastis, dengan rumus kimia Al 2 Si 2 O 5 (OH) 4 2H 2 O, dari analisis XRF didapatkan kandungan SiO 2 = 58,25%, Al 2 O 3 = 20,38%, Fe 2 O 3= 5,10%, T i O 2 = 0,25%, CaO = 1,49%, MgO = 0,40%, Na 2 O=1,02%, K 2 O = 1,07%, dan hilang pijar 12,04%. Untuk mineral lempung jenis halloysite ini dapat digunakan untuk keramik dengan cara mencampur lapukan dari batu beku andesit. Kata Kunci : analisis Petrografi, analisis X-RD, analisis XRF ABSTRACT The research to aims of clay mineral in the research area. For the sedimentary environment in the research area, it this divided into two, namely for the Nanggulan clay, it must be sedimented in lagoon and for kuarter clay it must be sedimented in a land environment, on which braid drainage. To study the learning of clay mineral in research area it this conducted the procces X-RD analysis of clay, it will then produce halloysite typed clay mineral, which this halloysite constitutes the mineral belongs to caolin class, which is saturate and physically plastic, with the chemistry basis Al 2 Si 2 O 5 (OH) 4 2H 2 O, by XRF analysis it will produce the composition SiO 2 = 58,25%, Al 2 O 3 = 20,38%, Fe 2 O 3 = 5,10%, TiO 2 = 0,25%, CaO = 1,49%, MgO = 0,40%, Na2O = 1,02%, K2O = 1,07% & hilang pijar 12,04%. For the clay mineral with it belong to this halloysite type, it can be use for ceramic by mixing weathered of andesite igneous rock. Key words : Petrography analysis, X-RD analysis, XRF analysis PENDAHULUAN Lempung merupakan salah satu jenis bahan galian golongan C yang memiliki banyak manfaat. Contoh pemanfaatannya sebagai bahan bangunan dan keramik. Latar Belakang Penulis melakukan penelitian di daerah telitian ini adalah untuk mengetahui apakah litologi penyusun di daerah telitian mempunyai kemenerusan dengan litologi penyusun di daerah Kulonprogo, dan melihat cadangan lempung di daerah Kasongan yang mulai menipis dan kecenderungan akhir-akhir ini banyak dicari oleh masyarakat sebagai bahan keramik. Tujuan Untuk mengkaji kajian mineral lempung dengan menggunakan analisis XRD, analisis XRF, dan analisis kuat lentur yang berharap dapat mengetahui apakah lempung di daerah telitian berkualitas baik apa tidak.
200
GEOMORFOLOGI DAERAH TELITIAN Pembagian topografi didaerah telitian berdasarkan klasifikasi Van Zuidam 1979; 1. Topografi dengan kemiringan lereng landai ini dengan kemiringan lereng 3% hingga 7%, dengan ketinggian 125 meter sampai 131,25 meter. 2. Topografi dengan kemiringan lereng miring Topografi dengan kemiringan lereng miring ini dengan kemiringan lereng 8% hingga 13%, dengan ketinggian 125 meter sampai 140,63 meter. 3.
Topografi dengan kemiringan lereng sedang Topografi dengan kemiringan lereng landai ini dengan kemiringan lereng 14% hingga 20%, dengan ketinggian 125 meter sampai 150 meter.
4.
Topografi dengan kemiringan lereng terjal Topografi dengan kemiringan lereng landai ini dengan kemiringan lereng 21% hingga 55%,
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dengan ketinggian 137,5 meter sampai 193,75 meter. STRATIGRAFI DAERAH PENELITIAN
berumur kuarter. Sedangkan lempung yang diteliti berupa lempung resedual hasil pelapukan dari batuan-batuan yang termasuk endapan volkanik muda Merapi (batuan beku, breksi andesit yang sebagian besar dalam keadaan lapuk) (Tabel 1).
Stratigrafi daerah penelitian menurut Rahardjo, dkk. (1977) termasuk endapan yang peling muda yaitu : endapan volkanik Merapi muda yang Tabel 1. STRATIGRAFI DAERAH TELITIAN
PEMBAHASAN Hasil Analisis Kimia Hasil analisis kimia dari conto batu-lempung yang diambil di Gunung Siwareng Desa Margodadi Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Jogjakarta.
TiO 2
0.25
CaO
1.49
MgO
0.40
Na 2 O
1.02
Dari analisa ini didapatkan prosentase kandungan CaO (1,49%), MgO (0,40%), Na 2 O (1,02%), dan K2O (1,07%) adalah unsur-unsur yang kehadirannya berperan proses suhu pembakaran sehingga semakin besar kandungannya semakin rendah suhu unsur. Seperti juga adanya mineral-mineral yang dijumpai SiO 2 , Al 2 O 3 , K 2 O dsb, akan sangat menguntungkan. Dari kandungan SiO dan Al 2 O 3 cukup tinggi yaitu jika dijumlahkan mencapai 78,63% dimana kedua unsur ini bermanfaat sebagai penguat rangka body keramik.
K2O
1.07
Hilang Pijar
12.04
Tabel 2. Hasil analisis kimia lempung Kadar % berat
Komponen
Lempung
SiO 2
58.25
Al 2 O 3
20.38
Fe 2 O 3
5.10
HASIL ANALISIS PETROGRAFI Hasil analisis petrografi dari lempung menunjukkan kandungan mineral yang dijumpai adalah feldspar, mineral opaq, lithic, fosil, lempung, dan gelas.
HASIL ANALISIS X-RD Analisis X-RD ini dilakukan untuk mengetahui atau mencari mineral dalam batuan yang berukuran sangat halus seperti mineral lempung yang tidak bisa diamati dengan analisis petrografi ataupun analisis X-RF, dengan cara ini mineral berukuran kecil akan teridentifikasi berdasarkan peak yang muncul. Untuk analisis X-RD ini penulis melakukan dua analisis yaitu analisis X-RD pada lempung dan analisis pada lapukan batu beku andesitnya. SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
201
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Dari analisis X-RD pada lempung didapatkan mineral-mineral seperti halloysite, feldspar dan kuarsa. Sedangkan untuk lapukan batu beku
andesitnya didapatkan mineral-mineral sebagai berikut montmorillonite, halloysite, feldspar, kuarsa, dan hematite.
Gambar 1. Diagram X-RD untuk lempung murni
Gambar 2. Diagram X-RD untuk lapukan batu beku andesit
202
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Hasil Analisis Kuat Lentur Tabel 3. Hasil Analisis Kuat Lentur Dibakar pada suhu
MENTAH AP %
SK %
46.34 10.34
KL kg/cm 2
Ket
55.76
-Warna coklat tua
SJ% 12.45
900 C PA % KLkg/cm 2 18.26
Ket -Warna coklat bata
207.07
SJ% 14.58
1000 C PA % KLkg/cm 2 13.84
256.96
Ket -Warna coklat bata
Keterangan: AP= Air Pembentuk PA = Penyerapan Air
SK= Susut Kering KL = Kuat Lentur
SJ = Susut Jumlah
0
100
Kehilangan berat
- 1.57 - 1.56 - 1.55 - 1.54
Indeks
Indeks pembiasan min
Persen kehilangan berat
10
Halloisit
-
22 20 18 16 14 12 24
- - - - - - - -
Dari hasil analisis ini didapatkan pada suhu pembakaran 900oC dengan kuat lentur 207,07 kg/cm2 dan pada suhu pembakaran 1000oC
didapatkan kuat lentur 256,96 kg/cm2. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin besar suhu pembakaran maka kuat lenturnya semakin tinggi dan akan berkualitas baik.
200
300
400
500 Suhu ¡C
600
70 0
1.53
Grafik 1. Hubungan indeks bias pembiasan min dengan persen kehilangan berat pada suhu 900oC dan 1000oC (men Mehmel). KESIMPULAN DAN SARAN Sebagai kesimpulan dari hasil penelitian baik di lapangan maupun di laboratorium, ada beberapa hal yang perlu di kaji, antara lain : 1. Berdasarkan analisis X-RD untuk batulempung murni di dapatkan mineral lempung jenis halloysite, sedangkan dari analisis X-RF didapatkan kandungan SiO 2 = 58,25%, Al 2 O 3 = 20,38%, Fe 2 O 3= 5,10%, T i O 2 = 0,25%, CaO = 1,49%, MgO = 0,40%, Na 2 O=1,02%, dan K 2 O = 1,07%. 2. Lingkungan pengendapan daerah telitian adalah lingkungan darat (pola pengaliran teranyam) yang dicirikan oleh litologi yang belum terlitifikasi, dan didapatkan reworked fosil. 3. Untuk kajian mineral lempung yang didapat dari hasil analisa X-RD, berupa mineral lempung jenis halloysite, berdasarkan grafik
Mehmel3 pada pembakaran 900oC dengan persen kehilangan berat 12,45% maka nilai indeks biasnya kecil. Sedangkan untuk dengan persen pembakaran 1000oC kehilangan 14.58% maka nilai indeks biasnya semakin kecil. 4. Saran penulis dengan sifat kejenuhan air dari halloysite tersebut untuk pembuatan keramik dapat mencampur dari lapukan batu beku andesit yang berfungsi mengurangi keplastisan, sehingga dapat membentuk kerangka atau bodi keramik. DAFTAR PUSTAKA Bemmelen,R.W. Van, 1949, The Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, vol. IA, Government printing office, Martinus Nijhoff, The Hague, p.732.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
203
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Grim, Ralph E., (1972), “Applied Clay Mineralogy”’ McGraw- Hill Book Company, New York. Hal 291 - 294 Humbarsono. A. Y., 1996,”Kajian Mineralogi Dan Pemanfaatan Lempung Serap Dengok Sebagai Bahan Pencampur Keramik Di Kasongan, Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta”, tesis program pasca sarjana ITB, Bandung. (130 hal). Kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman Dinas Pertambanga dengan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, 1996, “Pemetaan Bahan Galian Golongan C Di Kecamatan Seyegan Kabupaten Dati II Sleman Daerah Istimewa Jogjakarta”. (101 hal). Koesoemadinata, R.P., 1985, “prinsip-prinsip sedimentasi” Jurusan Geologi Institut Teknologi Bandung. Murwanto, Helmy., 1999, “Lingkungan Danau Purba Daerah Borobudur Dan Sekitarnya Propinsi Jawa Tengah”, Fakultas Teknik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jogjakarta.Pettijohn, F.J., 1975, “Sedimentary Rocks”, Harper and Bothers, New York. (371 hal). Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidim H.M.D. 1977. Peta Geologi Lembar Yogyakarta Direktorat Geologi (P3G), Bandung. Sukandarrumidi, 1999, “Bahan Galian Industri”, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal 185 – 186. Sam Boggs.J.R. “Principles of sedimentatology and Stratigraphy” Second Edition, University of orogen. Hal 307 – 313. Sujanto, Fx., dan Roskamil, 1975, The Geology and Hydrocarbon Aspect of South Central Jawa, 4 th Annual Meeting of Indonesian Association of Geologist, Bandung.
204
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
HUBUNGAN TEKTONIK PEMBENTUKAN KUBAH KULON PROGO DENGAN TERDAPATNYA ENDAPAN MINERAL LOGAM DI DAERAH KOKAP, KULON PROGO A. Isjudarto Teknik Pertambangan STTNAS Abtrak Daerah Kokap, Kabupaten Kulon Progo ini menarik dipilih untuk obyek penelitian geologi-mineralisasi karena daerah ini merupakan daerah bekas gunungapi purba yang telah tererosi kuat. Di daerah ini banyak dijmpai kekar-kekar. Kekar-kekar tersebut sebagian terisi urat-urat kuarsa disertai oleh mineralisasi sulfida, sebagian hanya terdiri urat kuarsa tanpa mineralisasi sulfida. Sesar di daerah penelitian umumnya berupa sesar turun dengan dua arah kelurusan yang utama yaitu barat laut – tenggara (NW – SE) serta timur laut – barat daya (NE – SW). Arah umum kekar yang terisi oleh urat kuarsa di daerah Hargorejo arah dominan urat kuarsa adalah N 350o-360o E, sedang urat kuarsa di daerah Plampang arah dominan adalah N 40o-50o E dan arah dominan urat kuarsa di daerah Sangon adalah N 280o-290o E. Analisis terhadap kekar-kekar yang terisi oleh urat kuarsa di daerah Kokap menunjukkan adanya dua kali fase pembentukan kekar. Fase pertama menyebabkan terbentuknya kekar-kekar yang berarah timur laut-barat daya serta barat laut – tenggara. Kekar-kekar ini umumnya terisi oleh urat-urat kuarsa, dan beberapa mengandung bahan galian logam berharga. Fase kedua menghasilkan kekar-kekar yang berarah barat – timur. Kekar-kekar yang berarah barat timur umumnya tidak terisi oleh urat kuarsa.
Abstract Kokap area, Kulon Progo District, interesting to choose as an geological-mineralogical research, because this area is an old volcanic that eroded very strong. In this area founded many joints. Some joints filled by quartz vein with sulfide mineralization, but the others are empty. Joints in this area generally normal with dominant trend Northwest-Southeast and Northeast – Southwest. General trend joints with quartz filled in Hargorejo is N 350o-360o E, in Plampang area is N 40o-50o E and Sangon area is N 280o-290o E. Analysis about joints with filled by quartz in Kokap area shown there are twice phase to formed joints. First, formed of joints with trend Northeast-soutwest and Northwest-Southeast. These joint commonly filled with quartz vein and sometimes contained precious metals. Second phase formed joints with trend East – West and commonly no filled by quartz vein.
Latar Belakang Di Daerah Sangon dan sekitarnya, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo dijumpai endapan logam berharga terutama Au yang secara genetis merupakan endapan hidrotermal. Untuk daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia, tingkat pelapukan batuan relatif tinggi, sehingga endapan bahan galian seringkali
tertimbun oleh material hasil pelapukan. Daerah Kokap, Kabupaten Kulon Progo ini menarik dipilih untuk obyek penelitian geologi-mineralisasi karena daerah ini merupakan daerah bekas gunungapi purba yang telah tererosi kuat, sehingga proses pembentukan endapan mineral hidrotermal yang pada awalnya terbentuk jauh di dalam bumi dapat muncul ke permukaan.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
205
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1. Lokasi daerah penelitian Hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan banyak dijumpai unsur-unsur struktur seperti kekar maupun sesar. Kekar-kekar tersebut sebagian terisi urat-urat kuarsa disertai oleh mineralisasi sulfida, sebagian hanya terdiri urat kuarsa tanpa mineralisasi sulfida. Hal ini menjadi hal yang menarik untuk dijadikan obyek penelitian karena tidak semua kekar atau rekahan terisi oleh urat-urat kuarsa yang mengandung mineral logam.
Metode Penelitian Metoda yang digunakan dalam penelitian berupa kajian pustaka, kajian dari citra inderaja baik berupa foto udara maupun citra satelit, pengamatan lapangan geologi seperti pengamatan morfologi, litologi, arah-arah struktur, serta mineralisasi-alterasi. Diharapkan dari kajian pustaka, kajian lapangan serta kajian laboratorium dapat diperkirakan pola-pola urat kuarsa pembawa emas serta kemungkinan bahan galian lain di lokasi penelitian serta hubungan antara terdapatnya endapan bahan galian logam dengan pembentukan Kubah Kulon Progo.
Menurut van Bemmelen (1949) di daerah penelitian pada masa lampau terdapat gunungapi yang disebut Gunungapi Ijo, berumur Tersier atau sekitar 37 hingga 22 juta tahun yang lalu (SoeriaAtmadja dkk., 1991). Gununungapi-gunungapi purba yang ada di daerah ini membentuk morfologi tertentu yang menyerupai bentuk kubah dan oleh Bemmelen (1949) disebut sebagai West Progo Dome Complex. Pada saat ini gunungapi purba tersebut sudah tererosi lanjut dan membentuk beberapa puncak gunung antara lain G. Ijo dan G. Kukusan. Pegunungan Kulon Progo merupakan suatu tinggian yang berbentuk kubah dengan panjang arah utara - selatan, timurlaut - baratdaya adalah sekitar 32 km, sedang arah barat – timur serta baratlaut – tenggara adalah 15 – 20 km. Terdapat empat kegiatan gunung api yang teramati di daerah ini yaitu :
Geologi Daerah Kokap dan sekitarnya Kabupaten Kulon Progo khususnya daerah sekitar G. Ijo, G. Gajah, G. Menoreh secara litologi di dominasi oleh endapan piroklastik berupa tufa, batuan beku lava, breksi, retas-retas dan sebagainya yang merupakan satuan-satuan batuan dari Formasi Andesit Tua. Litologi ini mencerminkan adanya kegiatan vulkanisme yang cukup besar.
206
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Pembentukan Formasi Andesit Tua Eosen Atas Oligosen Bawah Pembentukan Formasi Andesit Tua OligoMiosen Erupsi dan intrusi Andesit dan Dasit Pliosen Pembentukan Gunung api Kuarter dimulai dengan intrusi basalt-andesit
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 2. Struktur kubah pada kompleks Pegunungan Kulon Progo (Bemmelen, 1949) Dari segi tektonik jalur pegunungan Kulon Progo telah mengalami siklus orogenesa Tersier yang menggambarkan tiga evolusi tektonik utama yaitu pada akhir Paleogen, Miosen Tengah dan akhir Pliosen. Secara regional daerah kubah Kulonprogo (Kulonprogo Dome) berdasarkan kondisi litologi, fisiografi terbagi atas tiga jalur (Bemmelen, 1949) yaitu : 1. Jalur sedimen sebelah selatan. Jalur ini terdiri dari sedimen-sedimen Paleogen yang ditutup secara diskordan oleh lapisan yang berumur lebih muda. Lapisan Paleogen ini umumnya terlipat dan tersesarkan (thrusted). Sedangkan lipatan-lipatan umumnya mempunyai sumbu berarah barat-barat laut. 2. Jalur Eruptiva bagian tengah. Jalur ini sebagian besar terdiri dari Formasi Andesit Tua dengan
sedimen-sedimen yang berumur Paleogen. Jalur ini paling potensial dalam pembentukan emas. 3. Jalur sedimen sebelah utara. Jalur ini terdiri dari endapan-endapan geosinklinal seperti lipatanlipatan dari Formasi Kerek, Formasi Tuban dan lain-lain dan ditutupi secara diskordan oleh lapisan volkanik berumur Pliosen. Menurut Bemmelen, 1949, penyebaran ketiga jalur tersebut diatas disebabkan adanya subduksi yang membentuk kubah. Stratigrafi regional daerah Kulon Progo telah diteliti oleh beberapa ahli dengan berbagai pendekatan, diantaranya Bemmelen (1949), Marks (1957), Suyanto dan Roskamil (1977), Raharjo dkk (1977), Harsono dan Riyanto (1981) dan SoeriaAtmadja dkk (1991).
: Lokasi Penelitian
Gambar 3. Peta Geologi Daerah Penelitian Secara garis besar stratigrafi regional Kulon Progo dari tua ke muda sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Formasi Nanggulan Formasi Andesit Tua Formasi Jonggrangan Formasi Sentolo Endapan Gunungapi Kuarter Muda.
Pada umumnya keberadaan urat-urat kuarsa pembawa logam terdapat di dalam Formasi Andesit Tua (OAF). Formasi Andesit Tua tersusun dari breksi andesit, tufa, lapili, aglomerat dan sisipan lava andesit serta terobosan dasit, andesit porfir dan diorit porfir. Menurut Raharjo dkk (1977) batuan beku terobosan yang berupa dasit, andesit porfir dan diorit porfir ini menerobos hingga Formasi Nanggulan. Terobosan ini sering disebut sebagai inti kubah SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
207
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
gunungapi Pegunungan Kulon Progo yang berbentuk kubah segiempat (elongated dome). Formasi ini dapat dibagi dua bagian yaitu : 1. Sekuen bagian bawah dari OAF (Low Old Andesit, LOA) berhubungan dengan aktifitas subduksi jaman Kapur Akhir sampai Tersier Awal. LOA interfingering dengan anggota Cipager Formasi Bayah (Eosen) sedang UOA interfingering dengan Formasi Cijengkol bagian Atas dan Formasi Citarate (Oligosen Akhir – Miosen Awal). Sedang bagian atas (Upper Old Andesit, UOA) berhubungan dengan aktifitas subduksi Oligosen-Miosen. Mineralisasi Terbentuknya gunungapi serta naiknya fluida hidrotermal ke permukaan akan menghasilkan mineral bijih maupun mineral ubahan (mineral alterasi). Naiknya magma ke permukaan ini sering dipicu oleh kegiatan tektonik pada litosfera yang menyebabkan terjadinya rekahan-rekahan tektonik. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya rekahan-rekahan radier menuju pusat erupsi pada tubuh gunungapi.` Larutan sisa magma membawa unsur-unsur logam berharga dan terbentuk belakangan akan melewati dan mengisi sistem rekahan volkanik yang ada. Apabila larutan sisa magma ini menjadi dingin maka akan mengendap menjadi mineral bijih dalam bentuk endapan hidrotermal. Larutan sisa magma yang suhunya masih cukup tinggi (500oC) dalam perjalanannya naik ke atas, juga akan mempengaruhi dan mengubah batuan samping yang dilaluinya menjadi batuan teralterasi. Jenis dan intensitas alterasi akan sangat dipengaruhi oleh temperatur serta kimia fluida hidrotermal. Jenis alterasi akan dicirikan oleh himpunan mineral tertentu yang mencerminkan temperatur alterasi. Alterasi ini akan membentuk zona-zona alterasi yang berkaitan dengan jaraknya terhadap sumber panas (heat source). Zona alterasi yang terdekat dengan
sumber panas umumnya berupa zona silisik atau serisitik, sedang yang terjauh berupa zona potasik (Corbett and Leach, 1996). Lindgren, 1933 vide Bateman (1950) mengemukakan ada beberapa faktor yang memegang peran penting dalam pembentukan deposit hidrotermal antara lain :
Tersedianya larutan mineralisasi Adanya pori-pori atau rekahan-rekahan batuan yang berhubungan dengan larutan sehingga larutan bisa bergerak naik ke permukaan bumi Adanya reaksi dan perubahan kimia yang menyebabkan terbentuknya deposit bijih Tekanan dan temperatur yang cukup untuk terjadinya reaksi Konsentrasi unsur yang cukup untuk menghasilkan endapan yang ekonomis. Lindgren, 1933, mengelompokkan pembentukan deposit bijih hidrotermal atas dasar temperatur, tekanan dan kedalamannya sbb : Deposit hipotermal, terbentuk pada temperatur 300o – 500oC pada kedalaman lebih dari 12.000 kaki dan tekanan cukup tinggi. Deposit yang umum dijumpai pada proses hipotermal antara lain emas, wolfram, skeelit, pirhotit, pentlandit, pirit, arsenopirit, kalkopirit, sfalerit, galena, stanit, kasiterit, uranit, kobalt, bismutinit dan nikel arsenit. Deposit mesotermal, terbentuk pada suhu sekitar 200o – 300oC pada kedalaman antara 4.000 – 12.000 kaki. Deposit yang umum dijumpai pada proses mesotermal adalah kalkopirit, enargit, kalaverit, bornit, tetrahedrit, tennantit, kalkosit, tembaga, perak, seng, molibdenum dan emas. Deposit epitermal, sebagian besar merupakan deposit yang dihasilkan oleh proses pengisian celah yang terbentuk pada suhu antara 100o – 200oC, letaknya dekat dengan permukaan sampai kedalaman 4000 kaki Endapan mineral bijih yang terbentuk adalah emas dan perak, disamping itu juga pirit, kalkopirit, sinnabar, galena dan sfalerit.
Tabel 2.1. Klasifikasi endapan hidrotermal (After Lindgren, 1933) Hipotermal Deposit 1. Kedalaman/Temperatur - 3.000-15.000 m/300o-600oC 2. Pembentukan - Batuan plutonik asam, Precambrian 3. Logam berharga - Au, Sn, Mo, W, Cu, Pb, Zn, As 4. Mineral bijih - Magnetit, pirotit, kasiterit, arsenopirit, molibdenit, bornit, kalkopirit, elektrum, wolframit, scheelit, pirit, galena 5. Mineral pengotor - Garnet, plagioklas, biotit, muskovit, topas, turmalin, epidot, klorit 6. Tekstur dan struktur - Sangat kasar, banded Mesotermal Deposit Kedalaman/Temperatur 1.200-4.500 m/200o-300oC Pembentukan Pada/dekat batuan intrusif Logam berharga Au, Ag, Cu, As, Pb, Zn, Ni, Co, W, Mo, U Mineral bijih Native Au, kalkopirit, bornit, pirit, sfalerit, galena,
208
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Mineral pengotor Tekstur dan struktur Epitermal Deposit Kedalaman/Temperatur Pembentukan Logam berharga Mineral bijih
Mineral pengotor
Tekstur dan struktur
enargit, kalkosit, argentit, pitchblende, nocolit, cobaltit, tetrahedrit Albit, kuarsa, serisit, klorit, karbonat, siderit, epidot Tidak begitu kasar, kadang banded Dekat permukaan-1.500 m/50o-200oC Berkaitan dengan batuan intrusif dangkal Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U Native Au, Ag, Cu, Bi, pirit, markasit, sfalerit, galena, kalkopirit, sinabar, stibnit, realgar, orpiment, argentit 5. Chert, kalsedon, klorit, epidot, karbonat, flourit, barit, adularia, serisit, dickit, rodokrosit, zeolit 6. Crustiform, banded, cockade, vuggy 1. 2. 3. 4.
Data dan Analisis Di daerah Kulon Progo (West Progo Dome Complex) dijumpai beberapa batuan beku, batuan sedimen yang dominasi oleh batupasir, breksi andesit, batugamping serta napal. Kedudukan batuan sedimen Tersier ini diterobos oleh batuan beku berupa andesit porfir serta dasit di beberapa tempat. Batuan beku diperkirakan merupakan batuan terobosan hasil aktifitas gunungapi Tersier. Di daerah G. Kukusan, G. Rego, G. Ijo dan G. Jatisawit dijumpai batuan andesit berwarna abu-abu, masif, dijumpai beberapa lubang gas (vesikuler), tekstur porfiro afanitik, dengan mineral dominan terdiri dari plagioklas serta piroksen. Sesar di daerah penelitian umumnya berupa sesar turun dengan dua arah kelurusan yang utama yaitu barat laut – tenggara (NW – SE) serta timur laut – barat daya (NE – SW). Sesar yang berarah barat laut – tenggara (NW – SE) dijumpai di daerah aliran S. Progo, Sudu serta
Sribit. Sesar-sesar ini nampaknya memotong sesarsesar yang berarah timur laut – barat daya. Dapat ditafsirkan bahwa sesar yang berarah timur laut – barat daya ini berumur lebih tua dibanding sesar yang berarah barat laut – tenggara. Pengukuran semi detil di Sungai Sangon terdapat bidang-bidang sesar yang mempunyai arah N65oE/ 80o, N100oE/80o serta N155oE/85o. Kekar-kekar yang terisi oleh urat kuarsa di daerah Sangon agak melengkung di bagian barat pada umumnya berarah barat laut - tenggara (NW – SE), semakin ke timur arahnya menjadi timur laut – barat daya (NE-SW). Sedang arah umum kekar yang terisi oleh urat-urat kuarsa di daerah Plampang cenderung mengarah ke timur laut – barat daya (NE-SW). Pengukuran kekar-kekar di Hargorejo relatif berarah utara – selatan. (N –S). Mineral bijih yang hadir pada urat-urat kuarsa selain emas (elektrum) juga dijumpai mineral logam lain seperti magnetit, hematit, kovelit, pirit, kalkopirit, sfalerit dan galena.
Gambar 4. Arah umum urat kuarsa di Ds. Hargorejo
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
209
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 5. Arah umum urat kuarsa di Ds. Plampang dan Ds Sangon
Kesimpulan Daerah Kulon Progo merupakan hasil gerak-gerak pengangkatan dan penurunan yang menerus sejak Eosen sampai Plio-Plistosen. Gerak-gerak tersebut didahului oleh periode pembentukan cekungan, regresi intrusi dan pengkubahan (doming up) disertai oleh periode perlipatan, pematahan serta mineralisasi dan pembentukan pegunungan. Urat-urat kuarsa yang dijumpai di daerah telitian terutama berupa veinlet dengan tebal antara 1 – 40 mm. Arah urat kuarsa di daerah Ds. Hargorejo secara umum mengarah N 350º-360º E, di daerah Ds. Plampang mengarah N 40º -50º E, sedang di Ds. Sangon mengarah 280º -290º E. Analisis terhadap kekar-kekar yang terisi oleh urat kuarsa di daerah Kokap menunjukkan adanya dua kali fase pembentukan kekar yang menghasilkan kekar-kekar yang terisi urat kuarsa dan kekar yang tidak terisi urat kuarsa. Fase pertama menyebabkan terbentuknya kekar-kekar yang berarah timur laut-barat daya serta barat laut – tenggara. Kekar-kekar ini umumnya telah terisi oleh urat-urat kuarsa, dan beberapa mengandung bahan galian logam berharga, seperti emas, perak. Fase kedua menghasilkan kekar-kekar yang berarah barat – timur. Kekar-kekar yang berarah barat timur umumnya tidak terisi oleh urat kuarsa.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada DP2M, Dirjen Dikti, Depdiknas yang telah membiayai kegiatan penelitian ini dan
210
kepada semua yang telah membantu terselesaikannya tulisan ini
DAFTAR PUSTAKA Bateman, A.M., 1950, Economic Mineral Deposits, John Willey & Sons, New York Bemmelen, Van, R.,W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol I dan II, Martinus Nishoff The Haque, Netherlands. Budiadi E., 2008, Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi Daerah Pegunungan Kulon Progo, Yogyakarta, Disertasi Program Pascasarjana,Universitas Padjadjaran, Bandung, tidak diterbitkan Carlile, J.C., and Mitchell, A.H.G., 1994, Magmatic Arcs and associated gold and copper mineralisation in Indonesia, Journal of Geochemical Exploration 50, Elsevier Science, Amsterdam Corbett, G.J. and Leach, T.M., 1996, Southwest Pasific Rim Gold-Copper System; Structure, Alteration and Mineralization, Manual for Exploration Workshop presented at Jakarta. Harsono, P., dan Riyanto, B., 1981, Stratigraphic and Planktonic Foraminifera, Bandung Institute of Technology, Bandung Katili, J.A., 1975b, Geological Environment of The Indonesian Mineral Deposit, A Plate Tectonic Approch in Economic and Social Commision for Asia and Pacific Committee For Coorganisation of Joint Prospecting for Mineral Resources in Asia Offshore Area (CCOP), Technical Bulletin V-9
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Katili, J.A., 1980, Geotectonic of Indonesia, a Modern View, Directorate General of Mines, Jakarta. Rahardjo, W., Sukadarrumidi & Rosisi, H. M. D., 1977, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Direktorat Geologi Bandung Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, Pringgoprawiro, H., Polve, M. & Priadi,
Foto 1. Material sisa hasil pengolahan bijih emas berupa batuan yang berkadar rendah (barren rocks)
B., 1991, The Tertiary magmatic belt in Jawa, Proc. Sympos. In the Dynamic of Subduction and Its Products, p. 96-121, Yogyakarta, Puslitbang Geoteknologi-LIPI, Bandung. Suyanto FX dan Roskamil, 1977, The Geology and Hydrocarbon Aspect of South Central Java, Presented at 4th Annual Meeting Indonesian Association of Geologist, Bandung
Foto 2. Batuan yang mengandung veinlet – veinlet kuarsa dengan ketebalan 1-4 mm, lokasi desa Hargorejo
Foto 3. Alterasi Argilik, dijumpai setempatsetempat di daerah Plampang
Foto 4. Proses pengolahan batuan menjadi emas, lokasi di Desa Hargorejo
Foto 5. Kemunculan mineral sekunder kuarsa dan serisit yang mengindikasikan adanya alterasi phylitisasi di daerah penelitian
Foto 6. Lubang tambang horisontal dengan panjang sekitar 200 meter di Ds Plampang
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
211
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PROFIL PENDAPATAN ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN DI YOGYAKARTA (STUDI KASUS : BUS TRANS JOGJA) Ircham Staf Pengajar Jurusan / Prodi Teknik Sipil, STTNAS Yogyakarta Jalan Babarsari Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta
[email protected]
ABSTRAK Angkutan umum perkotaan sebagai salah satu sarana transportasi di Yogyakarta, tingkat pelayanannya kurang baik sehingga mengurangi minat penumpang, bahkan rata-rata load factor (tingkat keterisiannya) hanya 27%. Hal ini membuat jalan raya makin padat dengan kendaraan pribadi, kemacetan tinggi terutama pada jam sibuk (peak hours) baik pagi, siang maupun sore serta peningkatan polusi udara. Untuk meningkatkan citra angkutan umum, Pemerintah Daerah dalam ini Departemen Perhubungan (Dephub) meluncurkan program angkutan umum perkotaan yang baru (bus Trans Jogja) dengan tingkat pelayanan yang lebih baik, yaitu dengan sistem buy the service. Program ini telah berjalan lebih dari satu tahun, sehingga perlu dievaluasi apakah masyarakat merespon baik sistem ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menganalisa pendapatan bus Trans Jogja ini sejak diluncurkanyaitu Februari 2008 sampai Desember 2008. Dari data pendapatan yang ada di departemen perhubungan DIY, terlihat bahwa respon / minat masyarakat untuk menggunakan bus Trans Jogja cukup baik. Walau diawal peluncuran masyarakat masih ragu, tetapi setelah bulan kelima minat masyarakat mulai meningkat. Ini terlihat dari pendapatan rata-rata tiap bulannya setelah bulan kelima diatas 1 milyar, bahkan mencapai 1,2 sampai 1,3 milyar. Kata kunci: load factor, buy the service, peak hours. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogyakarta sebagai kota dengan bermacam predikat, antara lain; kota pelajar, kota tujuan wisata, kota budaya dan pernah dikenal juga sebagai kota sepeda mempunyai aktifitas yang padat, kota yang tidak pernah tidur. Pergerakan orang dan barang ini di fasilitasi dengan berbagai moda mulai dari sepeda sampai pesawat udara, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Perkembangan kendaraan pribadi (sepeda motor) sangat cepat yaitu 7000 – 8000 sepeda motor tiap bulan (Dephub, 2007), belum lagi moda yang lain yang juga bertambah. Perkembangan kendaraan pribadi yang cepat ini mulai menimbulkan dampak antara lain, mulai macetnya ruas ruas jalan utama, terutama pada saat jam sibuk (peak hours), demikian juga polusi udara pada tempat-tempat tertentu (khususnya di persimpangan) sudah diatas ambang batas. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang 8,34% pertahun sangat tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan jalan yang hanya 2,31% pertahun (Agus Budiono, 2007). Munculnya pusat-pusat kegiatan baru juga andil dalam meningkatkan bangkitan lalulintas disekitar pusat kegiatan sehingga kemacetan makin parah. Hal ini diperparah dengan kurang baiknya pelayanan angkutan umum (bus kota) antara lain ; panas (tidak ber ‘ac’), berdesakan, jadwal tidak menentu, waktu tunggu yang lama, kurang nyaman dan kurang aman. Sehingga tidak menarik bagi pengguna kecuali yang terpaksa
212
(captive user). Minat menggunakan angkutan umum (bus kota) terus menurun, load factor rata-rata hanya 27% (Dephub, 2007). Rasio penggunaan kendaraan pribadi dibanding kendaraan umum di DIY sebesar 84,6% : 15,4% (Agus Budiono, 2007). Oleh karena itu beberapa langkah diambil oleh Pemerintah Daerah / Departemen Perhubungan untuk meningkatkan citra angkutan umum, yaitu diluncurkankannya program angkutan umum perkotaan yang baru (Trans Jogja) mulai tahun 2008. Berbeda dengan bus kota yang sudah beroperasi, bus kota yang baru ini ber’ac’ , jadwal yang relatif tepat (headway sekitar 15 menit), tidak berhenti di sembarang tempat, hanya berhenti pada halte yang sudah ditentukan dan beroperasi sampai malam yaitu jam 21.00 WIB sehingga dapat diandalkan waktunya. Jumlah armada bus baru masih terbatas, tetapi secara bertahap jumlah dan rutenya akan ditambah, supaya dapat melayani / menjangkau seluruh wilayah perkotaan. Dengan penerapan sistem buy the service pada angkutan umum yang baru ini, diharapkan akan menarik minat masyarakat untuk berpindah dari angkutan pribadi ke angkutan umum. Dengan jumlah bus baru yang masih terbatas yaitu 54 buah dan tarif yang relatif lebih mahal dibanding bus lama yang berjumlah 571 buah, masih perlu dikaji sejauh manakah pengaruh bus baru terhadap minat pengguna angkutan umum.
B. Tinjauan Pustaka Menurut Morlok (1991), transportasi manusia dan barang biasanya bukan merupakan tujuan akhir, tetapi hal itu dilakukan untuk mencapai tujuan akhir,
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
oleh karena itu permintaan akan jasa transportasi / angkutan disebut sebagai permintaan turunan (derived demand) yang timbul akibat adanya permintaan akan komoditi atau jasa lain. Alasan orang untuk melakukan perjalanan antara lain untuk bekerja, sekolah, belanja, rekreasi dan lainlain, ini semua membutuhkan jasa transportasi. Secara umum angkutan / kendaraan dibedakan menjadi dua : 1. Kendaraan pribadi adalah kendaraan yang dimiliki secara pribadi dan dioperasikan pemiliknya untuk keperluan pemiliknya. Termasuk dalam hal ini adalah mobil penumpang, sepeda motor dan sepeda. 2. Kendaraan umum (public transport) adalah kendaraan yang disewakan untuk umum dengan membayar tarif tertentu yang sudah ditetapkan. Angkutan / kendaraan umum ini juga dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Masstransit, angkutan umum dengan jadwal dan rutenya sudah tetap, termasuk dalam hal ini adalah bus kota, angkutan kota, kopata dan lain-lain 2. Paratransit, angkutan umum dengan jadwal dan rute tidak tetap tergantung permintaan pengguna, jadi bersifat demand responsive. Termasuk dalam kategori ini adalah taksi dan beberapa kendaraan sewa lainnya. Karena sifatnya yang demand responsive dan siap 24 jam, maka tarifnya lebih mahal dari angkutan umum lainnya. Menurut Heru Sutomo (1996), faktor yang berpengaruh pada angkutan umum dikelompokkan menjadi 6 faktor yang disingkat SCARCE yaitu : 1. Safety, meliputi keselamatan dalam kendaraan dan hentian (halte), aman dari kecelakaan dan dari pencopetan maupun kekerasan fisik lainnya. 2. Comfort, meliputi kenyamanan penumpang dalan kendaraan dan hentian, termasuk penataan kursi, pegangan tangan, kemudahan keluar masuk dan pembayaran ongkos, kebersihan, juga tempat barang bawaan seperlunya serta awak bus yang menyenangkan. 3. Accessibility, meliputi distribusi rute, kapasitas kendaraan, frekuensi dan jam operasi, skedul dan penempatan halte dan terminal yang tepat. 4. Reliability, mencerminkan tingkat gangguan yang rendah, armada yang selalu siap, ketepatan terhadap jadual, informasi yang memadai jika ada perubahan layanan serta jaminan perjalanan sambungan di titik transfer.
5.
Cost, berarti ongkos yang wajar, ongkos yang pasti dan ada kemungkinan pengurangan untuk yang berlangganan atau kelompok tertentu (pelajar, anak-anak, manula). Biaya ini harus dirasakan menguntungkan jika dibanding menggunakan kendaraan lain. 6. Efficiency, meliputi kecepatan rata-rata yang tinggi dan waktu henti minimum, bebas dari tundaan, jumlah hentian yang memadai untuk berjalan minimum, fasilitas memadai, manajemen yang efisien serta jumlah awak terbatas. Dengan kata lain untuk menarik minat masyarakat menggunakan angkutan umum perlu diupayakan supaya citra angkutan umum menjadi baik dulu.
C. Permasalahan Tarif yang relatif lebih tinggi yaitu Rp.3000 sekali jalan dibanding tarif bus lama yaitu Rp.2000 untuk umum dan Rp. 1500 untuk pelajar, membuat beberapa pengguna angkutan masih memilih menggunakan angkutan kota yang lama. D. PEMBAHASAN Untuk melayani pergerakan penduduk DIY yang berjumlah lebih kurang 3,5 juta jiwa dengan luas wilayah 3.185,80 km2 (Dephub, 2007) selain angkutan umum yang lain, tersedia angkutan perkotaan yang berupa bus (lama) dengan jumlah seperti dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Jumlah Bus Kota Jml Sesuai No Perusahaan SK Gubernur 1 Kop. KOPATA 202 2 Kop. KOBUTRI 122 3 Kop. PUSKOPKAR 111 4 Kop. ASPADA 126 5 Kop. DAMRI 30 JUMLAH 591 Sumber : Dephub DIY, 2007
Jml Yang Beroperasi 200 117 111 124 19 571
Armada bus perkotaan ini merupakan bus yang pertama dengan manajemen yang masih sederhana dan dikelola oleh beberapa koperasi, selain rute yang sudah ditentukan, kondisi bus yang kurang baik (tidak ber’ac’) dan jadwal yang tidak teratur, bus ini sering berhenti di sembarang tempat sepanjang rutenya, sehingga dari segi waktu tidak dapat diandalkan. Untuk menaikkan citra angkutan umum, pemerintah mulai Februari 2008 meluncurkan angkutan perkotaan baru dengan sistem buy the service, bekerjasama dengan pihak swasta yaitu PT. Jogja Tugu Trans sebagai pengelola. Secara fisik bus ini lebih baik karena ber’ac’, berhenti hanya pada halte, jarak kedatangan antar bus (headway) sekitar 15 menit, pembayaran ongkos / tiket dilakukan di halte, jadi kondektur maupun sopir tidak menerima pembayaran langsung. Dengan demikian angkutan SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
213
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
perkotaan yang baru ini (Trans Jogja) tingkat pelayanan lebih baik dari yang dulu serta dari segi waktu dapat diandalkan. Jumlah bus Trans Jogja seperti pada Tabel 2.2 (Sigith, 2008). Tabel 2.2 Jumlah Dan Komposisi Bus Trans Jogja Jumlah No Jalur Cadangan Bus 1 IA 8 1 2 IB 8 1 3 IIA 8 1 4 IIB 8 1 5 IIIA 8 1 6 IIIB 8 1 Jumlah 48 6 Sumber : Dephub DIY, 2009 Dengan jumlah yang hanya 54 bus, maka rute / jalur yang dapat dilayani masih sangat terbatas yaitu I, II dan III, sedangkan huruf A dan B menunjukkan arah sebaliknya. Sejak diluncurkan 18 Februari 2008 sampai dengan Desember 2008, bus Trans Jogja telah mengangkut penumpang sebanyak 3.860.271 penumpang. Lebih detail jumlah tiap bulannya dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Jumlah Penumpang Tahun 2008 Jumlah No Bulan Komulatif Penumpang 1 Februari 162.849 162.849 2 Maret 288.105 450.954 3 April 264.562 715.516 4 Mei 306.687 1.022.204 5 Juni 350.360 1.372.563 6 Juli 433.426 1.805.989 7 Agustus 430.320 2.236.309 8 September 373.656 2.609.966 9 Oktober 430.242 3.040.208 10 Nopember 388.345 3.428.553 11 Desember 431.718 3.860.271 Sumber : Dephub, 2009 Dengan jumlah penumpang yang diangkut selama tahun 2008 tersebut, pendapatan yang diperoleh dari tiket sebesar Rp.11.357.892.500 yang selengkapnya ada pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Pendapatan Trans Jogja Tahun 2008 Pendapatan Kumulatif No Bulan (Rp.) (Rp.) 1 Februari 265.627.000 265.627.000 2 Maret 864.314.500 1.129.941.500 3 April 793.687.000 1.923.628.500 4 Mei 920.062.000 2.843.690.500 5 Juni 1.051.079.000 3.894.769.500 6 Juli 1.300.278.000 5.195.047.000 7 Agustus 1.290.960.000 6.486.007.500 8 September 1.290.969.000 7.606.976.500 9 Oktober 1.290.727.000 8.897.703.500 10 Nopember 1.165.034.000 10.062.737.500 11 Desember 1.295.155.000 11.357.892.500 Sumber : Dephub DIY, 2009 Dari Tabel 2.3 di atas terlihat bahwa pendapatan pada bulan Februari hanya sedikit, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain : peluncuran bus Trans Jogja dimulai pada pertengahan bulan yaitu tanggal 18, tarif promosi selama 1 minggu Rp. 1000, warga belum ‘familiar’ atau belum terbiasa dengan bus Trans Jogja termasuk jalurnya, sehingga masih banyak yang ragu untuk menggunakannya. Hal inilah antara lain yang menyebabkan pendapatan bulan Februari masih sedikit. Selanjutnya dari Tabel 2.3 terlihat mulai bulan Maret jumlah penumpang meningkat terus sampai bulan Juni dan mulai bulan Juli sampai Desember 2008 jumlah penumpang relative stabil. Dengan demikian jumlah pendapatanpun meningkat dan stabil di sekitar 1,2 sampai 1,3 juta rupiah tiap bulan. E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Pada awalnya (4 bulan pertama) pendapatan masih dibawah 1 milyar perbulan. Mulai bulan kelima pengoperasian bus Trans Jogja pendapatan sudah stabil antara 1,2 sampai 1,3 juta perbulan. Belum terlihat adanya lonjakan penumpang / pendapatan sampai akhir tahun (Desember 2008). 2. Saran Perlu diteliti lebih lanjut terkait faktor yang mempengaruhi angkutan umum, khususnya bus Trans Jogja ; rute, halte, pelayanan (di dalam dan di luar bus) Perlu juga ditinjau tentang load factor Perlu diupayakan adanya kenaikan jumlah penumpang supaya pendapatan meningkat.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007, Tataran Transportasi Wilayah dan legalitasnya, Dephub, DIY. Agus Budiono, 2007, Jaringan Transportasi Jalan Menuju Tataran Transportasi Kota Yogyakarta, makalah Dephub.
214
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Heru Sutomo, 1996, Perencanaan Angkutan Umum, bahan kuliah MSTT-UGM. Sigith, 2008, Reformasi Angkutan Umum di DIY, Dephub. Prop. DIY. Morlok, 1991, Pengantar Teknik Dan Perencanaan Transportasi
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
215
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGARUH PERAWATAN BETON YANG MENGGUNAKAN BATU PUTIH GUNUNG KIDUL SEBAGAI AGREGAT KASAR TERHADAP KUAT DESAK BETON Retnowati Setioningsih Staf Pengajar Jurusan / Prodi Teknik Sipil, STTNAS Yogyakarta Jalan Babarsari Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta
[email protected] ABSTRAK Bahan penyusun beton terdiri dari pasir, kerikil, semen dan air. Kekuatan, keawetan dan sifat beton juga tergantung pada sifat-sifat bahan dasar penyusunnya, nilai perbandingan bahan-bahannya, cara pengadukan maupun cara pengerjaan selama penuangan adukan beton, cara pemadatan dan cara perawatan selama proses pengerasan. Penelitian ini mengetahui kuat desak antara adukan beton yang dirawat dan tidak beton normal dan beton yang menggunakan agregat kasar batu putih Gunung Kidul. Perhitungan campuran pada penelitian ini berdasarkan SK SNI T-15-1990-03. Dalam penelitian ini dibuat 40 buah benda uji, dengan masing-masing jumlah benda uji 5, masing-masing variasi tersebut diuji pada umur 14 hari dan 28 hari. Dalam penelitian ini didapat kesimpulan, kuat desak beton rata-rata : (a) beton normal dengan perawatan 23,171 MPa; (b) beton normal tanpa perawatan 16,210 MPa; (c) beton batu putih dengan perawatan 9,254 MPa dan (d) beton batu putih tanpa perawatan 12,205 MPa. Kata Kunci : Beton, Kuat Desak, Batu Putih
PENDAHULUAN Beton masih banyak digunakan, hal ini dikarenakan beton merupakan salah satu bahan konstruksi yang mempunyai kelebihan dalam mutu, ekonomis dan keawetan. Bahan penyusun beton terdiri dari agregat halus, agregat kasar, semen sebagai bahan pengikat dan air sebagai bahan untuk membuat semen bersifat plastis pada pencampuran bahan adukan beton. Kekuatan, keawetan dan sifat beton juga tergantung pada sifat-sifat bahan dasar penyusunnya, nilai perbandingan bahanbahannya, cara pengadukan maupun cara pengerjaan selama penuangan adukan beton, cara pemadatan dan cara perawatan selama proses pengerasan. Untuk menjaga agar permukaan beton segar selalu lembab sejak adukan beton dipadatkan sampai beton dianggap cukup keras adalah dengan melakukan perawatan. Kelembaban permukaan beton itu harus dijaga untuk menjamin proses hidrasi semen (reaksi semen dan pasir) berlangsung dengan sempurna. Bila hal ini tidak dilakukan, akan terjadi beton yang kurang kuat, dan juga timbul retak-retak. Selain itu, kelembaban permukaan tadi juga menambah beton lebih tahan cuaca, dan lebih kedap air. Luasnya pemakaian beton disebabkan oleh karena terbuat dari bahan-bahan yang umumnya mudah diperoleh serta mudah diolah sehingga menjadikan beton mempunyai sifat yang dituntut sesuai dengan keadaan situasi pemakaian tertentu. Kemajuan pengetahuan tentang teknologi beton
216
telah dapat memenuhi berbagai tuntutan tertentu, misalnya pemakaian bahan lokal yang dapat diperoleh di suatu daerah tertentu dengan mengubah bahan dasar yang sesuai maupun cara pengerjaan yang cocok dengan kemampuan pekerja. Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang sedang berkembang terutama dalam hal pembangunan, yang tentunya tidak terlepas dari pembangunan fisik berupa infrastruktur-infrastruktur yang akan menunjang daerah tersebut. Dari kenyataan tersebut dapat dilihat adanya keterkaitan antara pembangunan infrastruktur dengan ketersedian bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembangunan. Topografi daerah Gunung Kidul merupakan perbukitan yang banyak mengandung batuan-batuan gamping, salah satunya batu putih. Selama ini pemanfaatan batu putih belum dioptimalkan, sebagian besar pemanfaatannya hanya sebatas sebagai bahan kerajinan dan bahkan hanya ditumpuk dan dibuang begitu saja. Batu putih dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pengganti material dalam pembuatan beton. TINJAUAN PUSTAKA Menurut penelitian Dinas Pertambangan DIY (1995), batu putih Gunung Kidul digolongkan dalam jenis batuan gamping dengan nama ‘Kalkarenit Halus’. Singkapan dilapangan bahan galian Kalkarenit Halus berwarna putih agak kelabu, tekstur klastik, berlapis dengan ketebalan lapisan 10 – 125 cm, umumnya 50 cm, ukuran butir pasir halus-sedang dominan halus. Komposisi kandungan mineral-
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
mineral karbonat dan berfosil mempunyai sifat lunak dan kompak Kalkarenit Halus mempunyai sisipan Kalkarenit halus keras, Kalkarenit Kasar, Batu Pasir Tufan, Batu Pasir dan lereng terumbu. Kuat desak beton ditentukan oleh pengaturan dari perbandingan semen, agregat kasar, agregat halus, air dan berbagai jenis campuran. Semakin rendah perbandingan air semen, semakin tinggi kuat desaknya, menurut Wang and Salmon (1985). Menurut Tjokrodimuljo, K. (1996), cara perawatan di lapangan harus ditingkatkan apabila kuat desak benda uji yang dirawat di lapangan kurang dari 85% dari pada kuat desak benda uji yang dirawat di laboratorium, kecuali jika kuat desak benda uji yang dirawat di lapangan masih tinggi dari f c 4 (MPa). '
Menurut Tjokrodimuljo, K. (1996), sifat beton pada umumnya lebih baik jika kuat desaknya lebih tinggi, dengan demikian untuk meninjau mutu beton biasanya secara kasar hanya ditinjau kuat desaknya saja. Agregat merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan beton, sifat agregat yang paling berpengaruh terhadap kekuatan beton ialah kekasaran permukaan dan ukuran maksimumnya. Pada beton kuat desak tinggi dianjurkan memakai agregat dengan ukuran besar butir maksimum 20 mm. A. Agregat Agregat dalam SNI T-15-1991-03 didefinisikan sebagai material granular misalnya : (pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak tungku besi) yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat untuk membentuk beton semen hidrolik atau adukan. Berdasarkan ukurannya agregat dibedakan menjadi : 1. Batu, untuk besar butiran lebih dari 40 mm. 2. Kerikil (aggregat kasar), untuk butiran antara 5 mm dan 40 mm. 3. Pasir (aggregat halus), untuk butiran antara 0,15 mm dan 5 mm. Tingkat kekuatan beton tidak lebih tinggi dari pada kekuatan agregatnya, oleh sebab itu sepanjang kuat desak agregat lebih tinggi dari pada beton yang dihasilkan dari agregat tersebut, maka agregat tersebut masih dianggap cukup kuat. Ada dua sebab yang dapat membuat butirbutir agregat bisa bersifat kurang kuat yaitu, karena terdiri dari bahan yang lemah atau terdiri dari partikel-partikel yang kuat tetapi tidak terikat dengan kuat, jadi bahan ikatannya yang kurang kuat, menurut Tjokrodimuljo, K. (1996). B. Batu Putih Batu putih Gunung Kidul termasuk batu kalsit, yang umumnya juga dijumpai berasosiasi dengan batu gamping khususnya batu gamping non klastik dan terbentuk karena beberapa faktor yaitu :
1.
Karena penghabluran kembali larutan batu gamping akibat air tanah / hujan. 2. Karena batu gamping non klastik mengalami proses perlipatan / tektonik sehingga terbentuk rekahan dimana endapan kalsit berada. 3. Karena proses metamorphose kontak atau regional pada batu gamping yang diterobos oleh batuan beku. 4. Akibat proses hidrotermal temperature rendah dan berasosiasi dengan senyawa sulfida. Batu putih digolongkan dalam jenis batuan gamping dengan nama Kalkarenit Halus berwarna putih cerah, tekstur klastik, terdukung butiran, tersusun oleh fosil 20% -70%, lumpur karbonat 20% - 70%, semen 10% - 30%, hornblende 0% - 1% dan pori 5% - 35%. Hasil analisis kimia menunjukan bahwa kandungan unsur-unsur penyusun batu kalkarenit halus mempunyai komposisi yang tersusun sebagai berikut; CaCo 3 , SiO 2, MgO, Al 2 O 3, Fe 2 O 3 dan TiO 2. C. Semen Semen Portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker yang terutama terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat hidrolis dengan gibs sebagai bahan tambahan dalam PUBI (1982) klinker semen Portland dibuat dari batu kapur (CaCo 3 ), tanah liat dan bahan dasar berkadar besi. Semen Portland terdiri dari 4 unsur yang paling penting yaitu : 1. Trikalsium Silikat (C 3 S) atau 3CaO.SiO 2 2. Dikalsium Silikat (C 2 S) atau 2CaO.SiO 2 3. Trikalsium Aluminat (C 3 A) atau 3CaO.Al 2 O 3 4. Tetra Kalsium Alumino Ferrite (CaAF) atau 4CaOAl 2 O 3 Fe 2 O 3 D. Air Air diperlukan sebagai bahan dasar pembuat beton karena air diperlukan untuk bereaksi dengan semen dan juga membuat semen menjadi pasta sehingga adukan menjadi mudah dikerjakan. Air juga diperlukan dalam proses hidrasi semen, sehingga antara semen dengan agregat ada lekatan. Air yang terlalu banyak unsur kimia yang melemahkan seperti : asam, gula, sulfat dan klorida tentu saja tidak digunakan. Dalam hal khusus, air laut juga dapat digunakan. E. Perawatan Beton Perawatan beton ialah suatu pekerjaan menjaga agar permukaan beton segar selalu lembab, sejak adukan beton dipadatkan sampai beton dianggap cukup keras. Kelembaban permukaan beton itu harus dijaga untuk menjamin proses hidrasi semen (reaksi semen dan pasir) berlangsung dengan sempurna. Bila hal ini tidak dilakukan, akan terjadi beton yang kurang kuat, dan juga timbul retak-retak. Selain itu, kelembaban permukaan tadi juga menambah beton lebih tahan cuaca, dan lebih kedap air, menurut Tjokrodimuljo, K. (1996). Cara perawatan beton yang biasa dilakukan terhadap contoh beton yang berbentuk kubus atau SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
217
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
silinder adalah : menaruh beton segar di dalam ruangan yang lembab, menaruh beton segar diatas genangan air dan menaruh beton segar di dalam air. Dan cara perawatan beton yang biasa dilakukan untuk beton segar dilapangan / di proyek adalah : menyelimuti permukaan beton dengan karung basah, menggenangi permukaan beton dengan air dan menyirami permukaan beton setiap saat secara terus-menerus. Untuk memeriksa mutu pelaksanaan perawatan dan perlindungan dari beton yang dibuat di lapangan, dilakukan dengan membuat benda uji silinder beton yang dirawat dilapangan yang dicetak pada saat yang sama dan diambil dari contoh yang sama dengan benda uji yang dirawat di laboratorium. Perawatan benda uji di lapangan harus sama dengan kondisi perawatan beton yang sebenarnya di lapangan. F. Pengujian Kuat Desak Pada umumnya bahwa sifat beton akan lebih baik apabila kuat desaknya tinggi. Maka untuk meninjau mutu beton, biasanya secara kasar ditinjau dari kuat desaknya saja. Dalam menyatakan nilai kuat desak beton dilakukan dengan tata cara pengujian standar, menggunakan mesin uji dengan cara memberikan beban desak bertingkat dengan kecepatan peningkatan beban tertentu atas benda uji silinder beton (diameter 150 mm dan tinggi 300 mm) sampai hancur. G. Metode Perencanaan Campuran Beton Perencanaan campuran beton adalah untuk menentukan jumlah masing-masing bahan yang akan digunakan dalam adukan beton. Perencanan adukan beton dalam penelitian ini menggunakan cara Inggris (The British Mix Design Method) yang tercantum dalam Design of Normal Concrete Mixes, yang di Indonesia cara ini dikenal dengan cara DOE (Departement of Environment). Cara DOE ini dipakai sebagai standar perencanaan oleh Departemen Pekerjaan Umum di Indonesia, dan dimuat dalam buku standar No. SK-SNI-T-15-1990-03 tentang Tata Cara Pembuatan Rencana Beton Normal (Tjokrodimuljo, K. (1996)).
beton, agar dapat langsung diterapkan dalam praktek – praktek pelaksanaan pembangunan. 2. Mendapatkan bahan susun beton yang baru yaitu menggunakan bahan yang tersedia di sekitar proyek terutama di daerah – daerah pegunungan yang banyak mengandung batu putih. Penggunaan material lokal diharapkan mampu mengatasi keterbatasan bahan susun beton di daerah tertentu sehingga mampu menekan biaya ongkos transportasi dan untuk menggali potensi material lokal sehingga bisa diterima masyarakat umum. Perawatan beton harus dilakukan sejak beton dipadatkan sampai beton dianggap cukup keras, perawatan tersebut dilakukan untuk menjaga agar permukaan beton segar selalu lembab. Untuk menghasilkan kekuatan beton yang baik, kelembaban permukaan beton harus selalu dijaga agar proses hidrasi semen berlangsung dengan sempurna, mengurangi retak-retak pada permukaan beton, dan beton menjadi lebih tahan cuaca serta lebih kedap air. Kekuatan dari beton antara lain tergantung dari jenis bahan susun yang digunakan dan perawatan beton, maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk melihat : “sejauh mana fungsi perawatan beton yang menggunakan material pengganti agregat kasar dengan batu putih di dalam peningkatan kuat desak beton”. METODE PENELITIAN Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat antara satu sama lain dan membandingkan hasilnya. Pada penelitian ini dipakai percobaan langsung di Laboratorium. Metode penelitian yang digunakan disesuaikan dengan prosedur, alat serta jenis penelitian sehingga penelitian dapat berjalan dengan sistimatis dan lancar. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. 2.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan dari hasil uji desak beton terhadap benda uji yang dilakukan perawatan dan benda uji yang tidak dilakukan perawatan. Dari hasil pengujian ini diharapkan dapat diketahui seberapa besar fungsi perawatan dan dapat diketahui kelayakan penggunaan batu putih sebagai bahan campuran dalam adukan beton. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan diperoleh beberapa manfaat yaitu : 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Teknik Sipil khususnya teknologi
218
3.
4.
5.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Tahap perumusan masalah, tahap ini meliputi perumusan topik penelitian termasuk perumusan serta pembatasan masalah. Tahap perumusan teori, pada tahap ini dilakukan pengkajian pustaka terhadap teori yang melandasi penelitian serta ketentuanketentuan yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan penelitian. Tahap perancangan dan pelaksanaan, perancangan dalam penelitian ini menggunakan metode The British Standart yang juga dipakai di Indonesia saat ini (SK SNI-T-15-1990-03). Tahap analisa dan pembahasan, analisa dilakukan terhadap hasil uji laboratorium. Hasil uji laboratorium tersebut dicatat dan pembahasan dilakukan berdasarkan teori yang melandasi. Kesimpulan, dari hasil uji percobaan dapat diambil kesimpulan berdasarkan teori yang digunakan dan untuk menjawab pemecahan terhadap permasalahan.
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Jumlah benda uji yang digunakan sebanyak 40 buah dengan variasi 0% dan 100% dari berat agregat kasar dalam adukan beton. Pengujian kuat desak beton dilakukan pada beton berumur 14 hari dan 28 hari dengan masing-masing variasi
sebanyak 5 buah benda uji yang dilakukan perawatan (direndam didalam air) dan 5 benda uji tanpa perawatan. Untuk lebih jelasnya rincian benda uji yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Persentase Penggunaan Material dan Jumlah Benda Uji Keadaan Benda Uji Kode Benda Uji
Kerikil Pasir (KR)
Batu Putih
Semen
Air
Dengan Perawatan
Tanpa Perawatan
(BP)
Jumlah Benda Uji
14 hr 28 hr 14 hr 28 hr KR100 – BP0
100%
100%
0%
100%
100%
5
5
5
5
20
KR0 – BP100
100%
0%
100%
100%
100%
5
5
5
5
20
Adapun garis besar pelaksanaan penelitian berbagai cara perawatan beton terhadap kuat desak beton dengan menggunakan batu putih Gunung Kidul sebagai material pengganti agregat kasar dapat dilihat pada flowchart Gambar 1.
Gambar 1. Flowchart Tahapan Penelitian 50 kg. Kemasan dalam keadaan tertutup rapat, A. Bahan-bahan penelitian tidak ada kerusakan, bahan butiran semen halus Dalam penelitian ini menggunakan bahantidak terdapat penggumpalan. bahan sebagai berikut : b. Agregat halus (pasir) a. Semen, Agregat yang digunakan adalah pasir yang Semen yang digunakan adalah semen berasal dari kali Krasak, Yogyakarta. Untuk Portland jenis I merk Gresik dalam kemasan mendapatkan kondisi kering jenuh permukaan SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
219
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
c.
d.
e.
maka pasir dibasahi sebelumnya kemudian diangin-anginkan. Agregat kasar (split) Agregat kasar yang digunakan adalah agregat alami yang dipecahkan (split), berasal dari Clereng, Yogyakarta. Pada penelitian ini digunakan split dengan diameter maksimum 20 mm. Sebelum dicampur dalam adukan beton, split disiram dengan air dan diangin-anginkan sehingga tercapai kondisi kering jenuh permukaan. Batu Putih Batu putih yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pecahan–pecahan batu putih sisa kerajinan batu putih. Batu putih yang digunakan berdiameter maksimum 20 mm. Air Air yang digunakan dalam penelitian ini adalah air yang diambil dari Laboratorium Bahan Bangunan STTNAS Yogyakarta. Secara visual dapat diamati kondisi air dalam keadaan jernih dan tidak berbau.
B. Perawatan Setelah 24 jam cetakan silinder dibuka, kemudian dilakukan perawatan beton. Perawatan beton dilakukan untuk menjamin berlangsungnya proses hidrasi semen dengan sempurna, hal ini dapat dilakukan dengan menjaga kelembaban permukaan beton. Bila hal ini tidak dilakukan beton kurang kuat dan timbul retak-retak. Pada penelitian ini dilakukan perawatan dengan merendam benda uji silinder beton ke dalam kolam berisi air selama 13 hari untuk pengujian umur 14 hari dan 27 hari untuk pengujian umur 28 hari. C. Pengujian Setelah perendaman selesai lalu benda uji dikeluarkan dari kolam air dan diletakkan di tempat yang teduh selama 1 hari untuk selanjutnya dilakukan pengujian. Pengujian pada penelitian ini menggunakan mesin uji merk ELE berkapasitas 100 ton. Pengujian dilakukan sebagai berikut : a. Pemeriksaan berat dan dimensi Benda uji diukur dimensinya yaitu tinggi dan diameternya. Untuk memperkecil kesalahan dalam pengukuran, sisi silinder beton diukur 3 kali dengan tempat pengukuran yang berbeda, kemudian diambil rata-ratanya. Benda uji ditimbang untuk mengetahui beratnya. b. Pengujian kuat desak beton Pertama-tama letakkan benda uji silinder beton pada mesin uji desak, kemudiam mesin uji desak dijalankan dengan besar pembebanan secara bertahap mulai dengan nol sampai beban maksimum (benda uji
220
hancur), Beban maksimum tersebut dicatat. Kuat desak beton dihitung menurut rumus :
f c'
P A (1)
Keterangan :
f c' = kuat desak beton (kg / cm2) P = Beban maksimum (kg) A = Luas penampang (cm2) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemeriksaan Gradasi Analisis gradasi dilakukan terhadap agregat halus (pasir) dan agregat kasar (split). Agregat halus yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kali Krasak dan agregat kasar yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Clereng. Nilai modulus halus butir pasir Krasak 2,9054 masih memenuhi syarat modulus halus butir pasir yang ditentukan yaitu antara 1,5 – 3,8 dan nilai modulus halus butir split Clereng 6,5374 masih memenuhi syarat modulus halus butir yang ditentukan yaitu antara 5 – 8 (Tjokrodimuljo, K. (1996)). Analisis gradasi pasir menunjukkan pasir Krasak yang digunakan sebagai benda uji masuk pada gradasi daerah 2, bahwa garis grafik pasir Krasak masuk dalam batas-batas gradasi daerah 2 yaitu tergolong pada pasir agak kasar. Analisis gradasi split menunjukkan split Clereng yang digunakan sebagai benda uji masuk dalam syarat gradasi 20 mm, bahwa garis grafik split Clereng masuk dalam batas-batas gradasi 20 mm. B. Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan Air Hasil analisis berat jenis pasir Krasar sebesar 2,6665 gram/cm3 dan kerikil Clereng 2,5148 gram/cm3, kedua jenis agregat tersebut termasuk agregat normal karena berat jenisnya masih dalam batas 2,5 – 2,7 (Tjokrodimuljo, K. (1996)). Kemampuan menyerap air untuk pasir Krasak sebesar 2,1367 % dan split Clereng 3,0141 %. C. Pengujian Desak Beton
Untuk hasil pengujian kuat desak beton dapat diperoleh dengan menggunakan Rumus (1). Pengujian kuat desak beton dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3 berikut. Tabel 2. Hasil Uji Desak Beton Umur 14 Hari Terawat Tak Terawat Keterangan BP BP Normal Normal 100% 100% Kode BU
NRt 1
BPt 1
NRtt 1
Dia. (cm)
15.10
14.95
15.00
15.10
Tinggi (cm)
30.30
29.60
30.00
30.20
Berat (kg)
12.70
10.65
12.20
9.90
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
BPtt 1
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pmaks. (kN)
254.30
160.60
385.10
142.00
f c (MPa)
14.19
9.15
21.78
7.93
Kode BU
NRt 2
BPt 2
NRtt 2
BPtt 2
Dia. (cm)
15.10
15.05
15.00
15.10
Tinggi (cm)
30.20
30.30
30.00
30.10
Dia. (cm)
14.00
14.90
15.00
15.20
Berat (kg)
12.60
10.70
12.40
10.30
Tinggi (cm)
32.00
30.40
31.00
30.50
Pmaks. (kN)
384.30
180.90
322.20
211.90
Berat (kg)
12.60
9.98
12.60
10.30
f c (MPa)
21.45
10.16
18.23
11.83
Pmaks. (kN)
390.50
187.60
395.40
251.20
Kode BU
NRt 3
BPt 3
NRtt 3
BPtt 3
f c (MPa)
25.36
10.75
22.37
13.84
15.00
15.00
14.90
15.10
Tinggi (cm)
30.15
29.90
30.10
30.30
Berat (kg)
12.90
10.50
12.60
9.90
Pmaks. (kN)
400.60
221.40
339.30
190.70
f c (MPa)
22.66
12.52
19.45
10.64
Kode BU
NRt 4
BPt 4
NRtt 4
BPtt 4
Dia. (cm)
15.10
15.00
15.00
15.20
Tinggi (cm)
30.15
30.00
30.00
30.10
Berat (kg)
12.60
10.50
12.50
10.10
Pmaks. (kN)
358.80
189.00
331.40
200.10
f c (MPa)
20.03
10.69
18.75
11.02
Kode BU
NRt 5
BPt 5
NRtt 5
BPtt 5
Dia. (cm)
15.00
15.20
15.20
15.30
Tinggi (cm)
30.20
31.30
30.10
30.10
Berat (kg)
12.80
10.20
12.60
10.40
Pmaks. (kN)
399.10
185.40
389.60
198.60
f c (MPa)
22.58
10.21
21.46
10.80
12.70
10.20
12.50
9.90
Pmaks. (kN)
420.70
200.10
325.80
231.50
f c (MPa)
23.80
11.17
17.26
12.92
Kode BU
NRt 10
BPt 10
NRtt 10
BPtt 10
Dari nilai yang tertera pada Tabel 2, 3 dan Gambar 2, dapat dilihat bahwa untuk beton normal kuat desak beton yang dirawat diperoleh hasil 23,17 MPa dan yang tidak dirawat diperoleh hasil 16,21 MPa; hal ini menunjukkan besarnya pengaruh perawatan pada beton. Untuk beton dengan ”Batu Putih” menunjukkan hal yang sebaliknya, untuk beton dengan ”Batu Putih” yang dirawat besarnya kuat desak 9,25 MPa dan yang tidak dirawat sebesar 12,20 MPa; hal ini menunjukkan bahwa untuk beton dengan menggunakan material ”Batu Putih” tidak memerlukan perawatan. 30
Kuat Desak (MPa)
Dia. (cm)
Berat (kg)
25
23,17
20
16,21 12,20
15
9,25 10 5 0
Tabel 3. Hasil Uji Desak Beton Umur 28 Hari Terawat Tak Terawat Keterangan BP BP Normal Normal 100% 100% Kode BU
NRt 6
BPt 6
NRtt 6
BPtt 6
Dia. (cm)
14.50
14.80
15.00
15.00
Tinggi (cm)
33.00
32.00
31.00
31.00
Berat (kg)
12.30
10.70
12.50
9.80
Pmaks. (kN)
332.20
125.20
431.30
181.70
f c (MPa)
20.11
7.27
24.40
10.28
Kode BU
NRt 7
BPt 7
NRtt 7
BPtt 7
Dia. (cm)
15.00
15.00
15.00
14.80
Tinggi (cm)
31.00
29.00
30.50
30.00
Berat (kg)
12.80
10.70
12.50
10.20
Pmaks. (kN)
428.00
181.60
435.20
230.70
f c (MPa)
24.21
10.27
24.62
13.40
Kode BU
NRt 8
BPt 8
NRtt 8
BPtt 8
Dia. (cm)
15.00
15.00
15.00
15.00
Tinggi (cm)
32.00
30.00
29.00
30.50
Berat (kg)
12.80
10.10
12.40
10.00
Pmaks. (kN)
447.10
190.30
407.20
233.00
f c (MPa)
25.29
10.76
23.03
13.18
Kode BU
NRt 9
BPt 9
NRtt 9
BPtt 9
Dia. (cm)
15.00
15.10
15.50
15.10
Tinggi (cm)
31.00
31.00
31.00
31.00
NRt
BPt
NRtt
BPtt
Nam a Benda Uji
Gambar 2. Kuat Desak Rerata Beton Keterangan : NRt : Beton normal yang terawat BPt : Beton ”Batu Putih” yang terawat NRtt : Beton normal yang tak terawat BPtt : Beton ”Batu Putih” yang tak terawat Untuk beton normal, pengaruh dari perawatan adalah untuk menjaga permukaan beton selalu lembab sejak beton dipadatkan sampai beton dianggap cukup keras. Kelembaban permukaan betonnya harus dijaga untuk menjamin proses hidrasi semen (reaksi semen dan pasir) berlangsung dengan sempurna. Karena pada beton normal material yang terkandung adalah kerikil, pasir, semen dan air tanpa ada tambahan bahan yang lain; maka adukan beton ini memerlukan perawatan. Untuk Beton ”Batu Putih” yang tak terawat, dengan melihat kuat desak yang dihasilkan tersebut menunjukkan fenomena bahwa unsur-unsur yang terkandung didalam batu putih seperti CaCo 3 , SiO 2, MgO, Al 2 O 3, Fe 2 O 3 dan TiO 2 mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kuat desak beton. Untuk beton dengan ”Batu Putih” yang dirawat kuat
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
221
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
desaknya lebih kecil, hal ini dimungkinkan karena adanya pengaruh perendaman dapat meningkatkan kandungan air yang terdapat pada adukan beton, sehingga kuat desaknya mengalami penurunan. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh perawatan pada beton normal dan beton “Batu Putih” terhadap kuat desak beton dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Beton normal dengan perawatan mempunyai kuat desak 23,17 MPa dan kuat desak beton normal tanpa perawatan sebesar 16,21 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perawatan pada beton normal menunjukkan hal yang sangat signifikan, karena dapat meningkatkan kuat desak beton sebesar 30,05 %. 2. Beton ”Batu Putih” dengan perawatan mempunyai kuat desak 9,25 MPa dan kuat desak beton normal tanpa perawatan sebesar 12,20 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh perawatan pada beton ”Batu Putih” mengakibatkan kandungan air di dalam beton meningkat sehingga menurunkan kuat desak beton, dan penurunannya sebesar 24,18%. 3. Kuat desak beton dengan menggunakan agregat kasar dari split Clereng menghasilkan kuat desaknya yang lebih tinggi dibandingkan beton yang menggunakan agregat dari Batu Putih. 4. Untuk beton normal dan beton ”Batu Putih” yang dirawat kuat desaknya mengalami penurunan sebesar 39,94%. Untuk beton normal dan beton ”Batu Putih” yang tidak dirawat kuat desaknya mengalami penurunan sebesar 24,71%.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1985, Peraturan Umum Untuk Bahan Bangunan di Indonesia (PUBI-1982), Departemen Pekerjaan Umum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Bandung. Anonim, 1991, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (Standar SK SNI T-15-1991-03), Yayasan LPMB, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Anonim, 1995, Laporan Akhir Pekerjaan Pemetaan Semi Mikro Bahan Galian Golongan C Kabupaten Dati II Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Pertambangan, Yogyakarta. Tjokrodimuljo, K., 1996, Teknologi Beton, Pusat Antar Universitas, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wang and Salmon, 1985, Desain Beton Bertulang, alih bahasa Hariandja, B., Erlangga, Jakarta.
B. Saran Beberapa saran-saran yang dapat diberikan dan perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut : 1. Apabila ingin melakukan penelitian yang sejenis maka perlu juga dilakukan analisis kelayakan batu putih sebagai pengganti agregat diantaranya pengujian keausan dan dimungkinkan juga sifat kimia batu putih. 2. Dengan melihat nilai kuat desak yang tidak dirawat untuk adukan beton normal 16,21 MPa dan beton ”Batu Putih” 12,20 dikarenakan wilayah Gunung Kidul merupakan wilayah yang keberadaan airnya terbatas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang besarnya persentase penambahan Batu Putih pada adukan beton.
222
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PEMAKAIAN LIMBAH SERUTAN BAJA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA BETON
Marwanto Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta
[email protected]
ABSTRAK Beton dapat memanfaatkan bahan-bahan lokal berupa pasir dan batu pecah, yang dicampur dengan semen dan air dalam proporsi campuran tertentu. Kelemahan yang ada pada beton tersebut telah dapat diatasi dengan memberikan baja tulangan yang ditempatkan pada elemen struktur pada posisi yang benar. Dengan menambahkan serat dapat memperbaiki kinerja beton yaitu mengurangi terjadinya retak yang disebabkan oleh panas hidrasi saat pencampuran bahan susun beton maupun akibat pembebanan. Dalam penelitian ini limbah mesin bubut dimaksudkan sebagai serat dalam beton yang berbentuk gumpalan serat seperti kawat baja yang tidak teratur dengan penampang rata-rata 0,18 mm x 1,9 mm dan panjang serat tersebut dipotong dengan panjang yang bervariasi antara 60 sampai 150 mm. Dalam penelitian ini serat diasumsikan sebagai pengganti sebagian agregat kasar yang bentuknya sangat tidak bulat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan memsubstitusikan limbah serutan baja kedalam adukan beton ternyata dapat meningkatkan kinerja beton yaitu dapat menaikkan nilai kuat desak beton dan kuat tarik beton masing-masing mencapai 14,16 % dan 53,53 %. Kata kunci : beton, serutan baja
PENDAHULUAN Latar belakang Beton dalam dunia konstruksi telah banyak kita kenal dan mempunyai banyak kelebihan dan salah satunya dalam hal kuat desaknya yang tinggi, tetapi lemah dalam hal menerima gaya tarik sehingga beton sering disebut bersifat getas dan inilah yang menjadi kekurangan dari beton. Kelebihan lainnya beton dapat memanfaatkan bahan-bahan lokal yang mudah diperoleh seperti pasir dan krikil/batu pecah, sehingga biaya pembuatannya menjadi relatif murah. Kelemahan yang ada pada beton tersebut telah dapat diatasi dengan memberikan baja tulangan yang ditempatkan pada elemen struktur pada posisi yang benar, namun hal ini masih terjadi kendala munculnya retak-retak kecil pada beton. Sekarang ini telah dilakukan usaha perbaikan kinerja beton dengan cara menambahkan serat kedalam adukan beton, agar dapat mencegah terjadi-nya retak-retak yang terlalu dini.
(sebagai pengganti seba-gian batu pecah) secara acak terhadap kuat tekan dan kuat tarik beton. METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan pokok yang dipakai dalam penelitian ini seperti Semen Portland (Gresik), pasir, batu pecah/split, air, limbah serutan baja dan bahan viscocrete. Peralatan Peralatan pokok yang dipakai selama penelitian berlangsung adalah alat pencampur beton (beton mollen), timbangan, cetakan silinder beton, alat uji desak/tarik beton dan alat bantu. Pelaksanaan Penelitian Jalannya penelitian ditunjukkan dalam rangkuman berupa bagan alir seperti Gambar 1 berikut ini.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemakaian limbah serutan baja yang ditambahkan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
223
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Persiapan
Semen
Agreg
Air
Baja
kasar/halu
Viscocret
serutan
pengujian bahan - berat jenis - berat satuan - gradasi butiran
pengujian bahan
Perencanaan campuran: - beton normal - beton serat
Pembuatan benda uji silinder beton
Perawatan benda uji Pengujian benda uji Analisis dan pembahasan Selesai
Gambar 1. Bagan Alir Pelaksanaan Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian agregat Hasil pengujian agregat halus (pasir) dan juga agregat kasar (batu pecah/split) meliputi pengujian berat jenis, berat satuan dan distribusi ukuran butir agregat yang telah dilakukan dan hasilnya dirangkum seperti ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Hasil pengujian agregat halus dan agregat kasar No.
224
Jenis pengujian
1.
Berat jenis
2.
Berat satuan, kondisi : gembur (shoveled) padat (rodded)
Hasil pengujian agregat agregat halus kasar 2,809
2,661
1,427 1,681
1,363 1,510
3.
Gradasi butiran/mhb
2,695
6,015
Agregat sebagai bahan susun beton harus memiliki nilai modulus halus butir antara 1,5 sampai 3,8 untuk agregat halus dan 6,0 sampai 7,1 untuk agregat kasar serta berat jenis agregat dalam keadaan jenuh kering muka bernilai 2,5 – 2,7 (SK SNI S-04-1989-F) sehingga material agregat penyusun beton dalam penelitian ini telah memenuhi persyaratan. Pengujian limbah serutan baja Serutan baja dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai serat yang ditambahkan secara acak kedalam adukan beton serta dimaksudkan pula sebagai pengganti sebagian agregat kasar, dan hasil pengujian limbah serutan baja tersebut ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 2. Hasil pengujian limbah serutan baja. No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis pengujian
Hasil pengujian
Kuat tarik, MPa Volume rongga, % Berat jenis SSD Berat satuan, kg/m3 Penyerapan air, %
297,515 88,777 6,828 216,7 0,092
Menurut Suhendro (2000), bahwa kuat tarik bahan serat lokal dari kawat baja, kawat bendrat dan kawat biasa berturut-turut adalah 230 MPa; 38,5 MPa dan 25 MPa. Jadi apabila dilihat dari nilai kuat tarik limbah serutan baja yang cukup tinggi tersebut diatas, nilai ini jauh melebihi nilai kuat tarik kawat bendrat 38,5 MPa dan kawat biasa 25 MPa, maka limbah serutan baja ini layak dipertimbangan sebagai bahan serat untuk struktur beton serat.
Pengujian silinder beton Setelah benda uji berupa silinder beton selesai dibuat, dirawan dan dalam umur sesuai aturan pengujian, maka dilakukan pengujian kuat desak dan kuat tarik belah beton. Hasil pengujian kuat desak silinder beton ditunjukkan pada Tabel 3 atau pada Gambar 2 sedangkan pengujian kuat tarik beton seperti ditunjukkan pada Tabel 4 atau pada Gambar 3.
Tabel 3. Hasil pengujian kuat desak beton. Kode BN-1 BN-2 BN-3 BF-1 BF-2 BF-3
Luas tampang
Beban maks.
mm2 17820,213 17725,695 17979,093 17536,239 18068,327 17979,093
kN 392,00 440,00 408,00 475,00 470,00 472,00
Tegangan desak MPa 21,99749 24,82272 22,69302 27,08677 26,01237 26,25271
Tegangan desak rata-rata 23,171
26,451
Gambar 2. Kurva hasil pengujian kuat desak beton
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
225
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 4 : Hasil pengujian kuat tarik beton. Kode BN-4 BN-5 BN-6 BN-7 BN-8 BF-4 BF-5 BF-6 BF-7 BF-8
Tinggi, L mm 296,83 302,26 301,13 296,10 303,50 300,15 291,30 300,00 302,60 292,73
Diameter, D mm 150,27 150,67 150,57 151,68 150,60 150,25 150,03 150,10 150,03 150,28
Beban maks x 1000 N 205,00 165,00 210,00 250,00 195,00 290,00 320,00 325,00 345,00 275,00
Teg. tarik
Teg. Tarik
f tc =2P/(πLD)
rata-rata
2,92586 2,30652 2,94854 3,54379 2,71601 4,09379 4,66150 4,59475 4,83801 3,97985
2,888
4,434
Gambar 3. Kurva hasil pengujian kuat tarik beton Dari data-data diatas terlihat bahwa dengan mengganti agregat kasar dengan limbah serutan baja dapat menaikkan nilai tegangan desak beton mencapai 14,16 % sedangkan kuat tarik beton meningkat cukup tajam mencapai 53,53 %. Naiknya kuat tarik beton diindikasikan dapat mereduksi terjadinya retak-retak pada beton. KESIMPULAN Berdasarkan hasil percobaan pengujian kuat desak dan kuat taril beton yang telah dilakukan pada penelitian ini, baik untuk beton normal maupun beton serat serutan baja diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1). Pemakaian serat serutan baja sebagai pengganti agregat kasar ini dapat meningkatkan kinerja beton yaitu meningkatnya kuat desak mencapai 14,16 %,
226
2). 3).
dan meningkatnya kuat tarik beton mencapai 53,53 %. Penggunaan beton serat serutan baja ini dapat memanfaatkan limbah mesin bubut yang kurang bernilai ekonomis. Jika dilihat dari hasil pengujian desak maupun tarik beton, bekas silinder yang pecah ternyata serat serutan baja tidak terlepas tapi putus, hal ini meng-indikasikan serat telah bekerja dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standardisasi Nasional, SK SNI 03-xxx2002 Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung. Purwanto, E 1996, Pengaruh Pemakaian Fiber Lokal pada Kuat Torsi Balok Beton
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Bertulang, Tesis Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Soroushian P, Bayashi Z, 1987, Concep of Fiber Reinforced Concrete, Proceding of Inter. Seminar on Fiber Reinforced Concrete, Michigan State University, Michigan, USA. Suhendro, B, 1991, Pengaruh Pemakaian Fiber Secara Parsial pada Balok Beton Bertulang, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian UGM, Yogyakarta. Tjokrodimuljo, K, 1996, Teknologi Beton, Buku Ajar Jurusan Teknik Sipil UGM, Nafiri, Jogjakarta. Vis, WC and Kusuma, G, 1997, Dasar Dasar Perencanaan Beton Bertulang (Berdasarkan SKSNI T-15-1991-03), Edisi Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta. Yayasan LPMB Departemen PU, 1991, Standart SK SNI T.15-1991-03 Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung, Bandung
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
227
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PENGARUH PEMAKAIAN SERAT BAJA HAREX SF TERHADAP KEKUATAN TEKAN BETON Lilis Zulaicha Jurusan Teknik Sipil, STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari no. 1, Depok-Sleman, Yogyakarta E-mail :
[email protected] ABSTRAK Ada beberapa serat yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat beton. Penelitian ini memanfaatkan jenis serat baja Harex SF yang sebelumnya hanya terbatas pemakaiannya yaitu hanya pada struktur lantai. Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa pemakaian serat baja HAREX SF dapat meningkatkan kuat tekan. Serat baja yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan prosentase 1% - 4% dari berat campuran beton dan melakukan kontrol kualitas untuk kuat tekan beton pada umur 28 hari. Dari penelitian ini diperoleh nilai 3% sebagai nilai optimum dan nilai ini dipakai untuk penelitian kuat tekan selanjutnya serta membandingkan hasilnya dengan beton normal. Dari pengujian yang telah dilakukan diperoleh hasil: Kuat tekan beton serat 3% mengalami peningkatan sebesar 12,35% dari kuat tekan beton normal. Kata kunci : HAREX SF, kadar optimum, kuat tekan ABSTRACT There are some fiber that can be used to repair concrete characters. this examination makes use steel fiber kind Harex SF previous only limited the use that is only in floor structure. The aim from this examination be meant to prove that steel fiber use Harex SF can increase tension strength of concrete all at once detect distribution and orientation from steel fiber. Steel fiber that worn in this examination uses prosentase 1% - 4% from heavy concrete mixture and do quality control to compression strength of concrete in age 28 days. From this examination is got value 3% as optimum value and this value is worn for compression strength of concrete examination, with compare the result with normal concrete. From testing that done got result: compression strength of fiber concrete 3% experience enhanced as big as 12,35% compared compression strength of normal concrete keyword: Harex SF, optimum value, compression strength PENDAHULUAN Fiber reinforced concrete didefinisikan sebagai beton yang dibuat dari campuran semen, agregat halus, atau agregat halus dan agregat kasar dan air serta sejumlah fiber yang disebarkan secara random (Ezeldin, A.S. dkk,1992). Serat sebagai salah satu bahan tambah beton dengan maksud untuk menambah kuat tarik beton, mengingat kuat tarik beton sangat rendah yang berakibat beton mudah retak, yang pada akhirnya akan mempercepat hilangnya regangan lekat. Jenis serat yang dapat dipakai untuk memperbaiki sifat kurang baik dari beton telah dilaporkan oleh ACI Committee 544, 1982. Bahan yang dimaksud adalah baja (steel), plastic (polypropylene), kaca (glass), karbon (carbon). Untuk keperluan non structural serat alamiah (natural fiber) seperti ijuk dan serat tumbuhan lainnya juga bisa dipakai. Bahan-bahan serat tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam memperbaiki sifat-sifat beton. Dengan demikian pemilihan jenis bahan serat perlu disesuaikan dengan sifat yang akan diperbaiki.
228
Beberapa sifat tambahan yang dimiliki serat, seperti kemudahan waktu pencampuran, ketahanan terhadap korosi dan sebagainya merupkan bahan petimbangan dalam penentuan pemakaian serat. Serat baja dan serat kaca lebih banyak dipakai untuk keperluan struktur, karena serat tersebut mempunyai faktor-faktor prinsip penguat beton, yaitu kekuatan leleh, daktilitas dan lekatan yang cukup. Serat baja memliki kekuatan serta modulus elastisitas yang relatif tinggi. Selain itu serat baja tidak mengalami perubahan bentuk terhadap pengaruh alkali dalam semen. Pembebanan dalam jangka waktu yang lama tidak berpengaruh terhadap sifat mekanikal dari serat baja. Ikatan dalam komposisi campuran dapat meningkat karena pengangkeran secara mekanikal. Kelemahan yang dimiliki dari serat baja ini adalah terjadinya korosi apabila serat tidak dalam posisi terlindung dalam beton. Selain itu serat baja akan menambah berat beton. Dasar pemakaian serat baja ke dalam adukan beton adalah memberikan tulangan secara random, sehingga dapat mencegah terjadinya retakan-
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
retakan beton di daerah tarik yang terlalu dini akibat pembebanan (Soroushian & Bayasi 1987). Dengan penambahan serat ini ternyata menjadikan beton menjadi tahan retak dan tahan benturan serta dapat memperbaiki sifat-sifat sebagai berikut : - Beton akan menjadi lebih daktail - Ketahanan terhadap kejut - Peningkatan kuat tarik dan atau lentur - Daya tahan lelah (fatique) - Susut - Tahan terhadap aus Penambahan serat pada akhir pengadukan spesi menghasilkan adukan beton dengan penyebaran serat yang merata berorientasi random, asal kadar serat tidak melebihi kadar maksimumnya. Pada kadar yang terlalu tinggi akan menyebabkan penggumpalan/pengelompokan pada serat-serat seperti bola-bola serat. Keadaan ini akan banyak mempengaruhi mutu beton yang dihasilkan. Penambahan serat dengan orientasi random akan meningkatkan kuat lentur beton serat dibandingkan beton non- serat. Sifat getas dari beton dapat diatasi oleh fiber sehingga beton fiber menjadi liat (Swamy dan Al-Noori, 1975). Selain itu serat pada adukan menambah kekakuan dan mengurangi lendutan atau defleksi (Swamy dkk, 1979). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pencampuran serat dalam beton yaitu : 2. Tipe serat 3. Rasio kelangsingan, l/d dari serat 4. Fiber volume fraction, vf Tipe serat berbeda dari jenis bahan yang dipakai, juga bisa berbeda pada bentuknya. Serat atau fiber dari bahan yang sama, tetapi bentuknya berbeda mempunyai efek yang berlainan apabila dicampurkan pada beton. Ada berbagai macam bentuk serat dan ukuran penampang serat. Untuk penampang bujur sangkar, empat persegi panjang mempunyai panjang rata-rata dari 6-60 mm, lebar 0,5 x 0,5 mm sampai dengan 1 x 1 mm dan untuk penampang bulat mempunyai diameter ekivalen dari 0,5 mm sampai dengan 1 mm. Rasio kelangsingan, l/d dari serat adalah perbandingan antara panjang serat dengan diameter serat. Semakin kecil diameter semakin besar rasio kelangsingannya. Hal ini berarti serat-serat tersebut semakin halus. Rasio kelangsingan yang semakin besar (diameter tidak terlalu kecil) akan banyak mempengaruhi workability beton. Workability beton akan menurun dan kemungkinan beton akan keropos semakin besar. Namun bila workability bisa dipertahankan baik, semakin besar kehalusan serat, lebar retak dan jarak retak akan berkurang
walau jumlah retak bertambah. Jumlah retak banyak dengan lebar retak yang kecil tidak membahayakan suatu struktur karena dengan lebar halus kedalaman retak sepanjang tinggi struktur akan berkurang. Perbandingan antara l (panjang) dan d (lebar serat) akan berpengaruh pada system pelaksanaannya. Untuk l/d < 45, pencampuran serat ke dalam beton tidak memerlukan teknik tertentu. Apabila 45 < l/d < 100, pencampuran memerlukan teknik tertentu agar dapat homogen. Untuk l/d > 100, hampir tidak mungkin dilaksanakan agar homogen, jalan keluarnya dengan membuat kelompok. l/d di atas hanya untuk serat dengan penampang bulat. Untuk penampang persegi atau ½ lonjong l/d < 45 (pada umumnya) maka tidak memerlukan teknis pencampuran yang khusus agar homogen. Fiber Volume Fraction,vf adalah prosentase/konsentrasi bagian serat dalam satuan volume beton.
Vf =
dengan
= Jumlah luasan serat = Luas penampang serat = Sudut antara sumbu serat dengan garis sumbu spesimen Makin besar volume fraction dari serat yang ditambahkan pada campuran beton, semakin meningkat kekuatan beton serat yang dihasilkan. Namun prosentase peningkatan mutu berkurang bila vf melebihi vf maksimum dari berat tersebut. Salah satu serat yang saat ini banyak dipakai adalah Merk HAREX SF yang pada awal di produksi pemakaiannya masih terbatas untuk kekuatan lantai. Serat HAREX SF ini mempunyai keuntungan-keuntungan antara lain : Meningkatkan kekuatan lentur Meningkatkan tahanan kejut Efektif untuk kekuatan pada tepi dan sudutsudut beton (joint) Tidak ada balling effect pada beton Tidak ada kegagalan pada kekuatan beton Tidak berpengaruh terhadap workability Memberikan reduksi terhadap retak yang diakibatkan oleh susut Selain itu HAREX SF memberikan keuntungan dalam segi ekonomi, yaitu : Aman untuk beton Lapisan beton diatas sub base dapat dihilangkan khusus untuk keperluan lantai Meningkatkan beban retak
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
229
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Gambar 1 . Peningkatan beban retak
Gambar 2. Reduksi terhadap retak yang diakibatkan oleh susut
Untuk serat baja HAREX SF ini belum pernah dilakukan pengujian tekan, hal ini dikarenakan keterbatasan pemakaiannya yang hanya untuk kebutuhan kekuatan lantai. Kekuatan tekan beton tergantung pada air semen, selain itu juga tergantung dari pemadatan saat pelaksanaan. Kekuatan tekan beton fc ditentukan dari hasil percobaan pada silinder standar berukuran 15 cm x 30 cm yang dirawat di bawah kondisi standar laboratorium pada kecepatan pembebanan tertentu (sebesar 6 ± 4 kg/cm2 tiap detik) pada umur 28 hari. Kekuatan beton pada specimen yang berbeda adalah tidak sama. Kekuatan pada benda uji kubus adalah 0,85 dari kekuatan silinder 150 mm x 300 mm atau dengan rumus :
f c’ ={0,75 + 0,2 f c’ = kuat tekan beton yang disarankan (MPa) dengan bentuk silinder = kuat tekan beton (MPa) yang didapat dari benda uji kubus dengan sisi 150 mm
METODE PENELITIAN Metodologi penelitian adalah angkah-langkah atau cara-cara penelitian suatu masalah, gejala, fenomena dengan jalan ilmiah untuk menghasilkan jawaban yang rasional. Dalam penelitian ini dipakai metode eksperimental dengan tahapan-tahapan seperti dibawah ini :
Persiapan alat dan penyediaan bahan Tahap I
Semen
Kerikil
Pasir
1.
2.
Uji kandungan bahan organic
1.
Uji berat jenis
Uji gradasi dan kadar
2.
Uji berat satuan
A
230
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
HAREX SF
Air
Tahap II
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
A Perencanaan proporsi adukan beton Perbaikan
Pembuatan adukan beton
Tidak Baik Tes slump Baik Pembuatan benda uji
Perawatan
Tahap III
Pengujian kuat tekan beton
Tahap IV
Analisa hasil dan pembahasan
Kesimpulan
Tahap V
Pada tahap yang ke IV dilakukan dua langkah pengujian seperti pada skema di bawah ini : Tahap 1V ( Uji Kadar Optimum Pemakaian Harex SF di Tinjau dari Workability) :
BETON 25 MPa
Kuat Beton Silinder 10 x 20
cm
SF 1 %
28 hari
3 sample
SF 2 %
28 hari
3 sample
SF 3 %
28 hari
3 sample
SF 4 %
28 hari
3 sample
Tahap IV (Berdasarkan Hasil Pemakaian Optimum Harex SF) :
BETON 25 MPa
Kuat Tekan Beton 10x20 cm
normal
3,7,14,21,28 hari
3 sample
SF 3 %
3,7,14,21,28 hari
3 sample
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
231
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
A. Hasil Percobaan Kuat Tekan Beton Serat dengan Kadar Optimum (Umur 28 Hari) Tabel.1. Uji Kuat Tekan Optimum
Beton Serat Kadar
Kadar serat (%)
Benda uji
Luas (A) (cm2)
Beban (P) (kg)
1
I II III I II III I II III I II III
78,54 78,54 78,54 78,54 78,54 78,54 78,54 78,54 78,54 78,54 78,54 78,54
19700 19400 20200 19800 19400 19950 19800 19950 19800 19600 19850 19700
2 3 4
250,828 247,008 257,194 252,101 247,008 254,011 252,101 254,011 252,101 249,554 252,737 250,828
Gambar 3. Grafik Hubungan Kuat Tekan Beton Normal dengan Umur Beton
Pada pelaksanaan menunjukkan bahwa pemakaian HAREX SF kadar serat 3 % memenuhi syarat workability beton, sehingga dipakai untuk pengujian kuat tekan lebih lanjut.
C. Hasil Percobaan Kuat Tekan Beton Serat 3 %
B. Hasil Percobaan Kuat Tekan Beton Normal
Tabel.4.
Tabel.2. Uji Kuat Tekan Beton Normal No .
Umur (hari)
Berat (kg)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
3 3 3 7 7 7 14 14 14 21 21 21 28 28 28
3,85 3,87 3,85 3,83 3,87 3,85 3,88 3,85 3,81 3,84 3,83 3,85 3,83 3,83 3,85
Tekanan Hancur (kg) 10550 8950 8750 13000 12850 13150 18750 17850 18850 19750 20600 20500 21600 22150 21050
Tekanan Rata-rata 9417 13000 18484 20284 21600
Tegangan Hancur (kg/cm2) 134,327 113,955 111,408 165,521 163,611 167,431 238,732 227,273 240,005 251,464 262,287 261,014 275,019 282,022 268,016
Tabel.3. Uji Kuat Tekan Rata-rata Beton Normal Umur (hari) 3 7 14 21 28
232
Kuat Tekan 1 (kg/cm2) 134,327 165,521 238,732 251,464 275,019
Kuat Tekan 2 (kg/cm2) 113,955 163,611 227,273 262,287 282,022
Uji Kuat Tekan Serat 3 %
No.
Umur (hari)
Berat (kg)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
3 3 3 7 7 7 14 14 14 21 21 21 28 28 28
3,92 3,91 3,90 3,91 3,93 3,91 3,93 3,89 3,89 3,87 3,89 3,91 3,91 3,89 3,89
Beton dengan Kadar
Tekanan Hancur (kg) 9600 10750 9700 15800 13700 14800 20050 19850 20050 20350 23800 21750 25700 22500 24600
Tekanan Rata-rata 10017 14767 19984 21967 24267
Tegangan Hancur (kg/cm2) 122,231 136,873 123,504 201,171 174,433 188,439 255,284 252,738 255,284 259,104 303,03 276,929 327,222 286,478 313,216
Tabel.5. Uji Kuat Tekan Rata-rata Beton dengan Kadar Serat 3 %
Kuat Tekan 3 (kg/cm2) 111,408 167,431 240,005 261,014 268,016
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Umur (hari)
Kuat Tekan 1 (kg/cm2)
3 7 14 21 28
122,231 201,171 255,284 259,104 327,222
Kuat Tekan 2 (kg/cm2) 136,873 174,433 252,738 303,029 286,478
Kuat Tekan 3 (kg/cm2) 123,504 188,439 255,284 276,929 313,216
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
KESIMPULAN
Gambar 4. Grafik Hubungan Kuat Tekan Beton Serat 3% dengan Umur Beton D. Perbandingan Hasil Kuat Tekan Beton Serat Dengan Beton Normal
1. Penggunaan serat HAREX SF pada beton ditinjau dari workabilitasnya yaitu pada pemakaian serat 3 % dari berat campuran beton. Hal ini dikarenakan penggunaan serat pada campuran yang lebih besar dari 3% sangat sulit dilaksanakan dan kurang dapat menyatu dengan campuran beton. 2. Pada hasil tes beton yang menggunakan serat 3 % menunjukkan bahwa kuat tekan beton meningkat 12,35% dibanding beton normal. 3. Dari hasil di atas yang menunjukkan bahwa adanya peningkatan kuat tekan beton dengan penggunaan HAREX SF maka dapat direkomendasi pemakaian HAREX SF tersebut tidak hanya terbatas untuk kekuatan lantai, akan tetapi untuk struktur-struktur yang berhubungan langsung dengan beban seperti balok, kolom dsb.
Tabel.6. Uji Kuat Tekan Rata-rataBeton Normal dengan Beton Kadar Serat 3 % Umur Beton ( hari) 3 7 14 21 28
Beton Normal (kg/cm2) 119,897
Beton serat 3% (kg/cm2) 127,536
165,521
188,014
235,337
254,435
258,255
279,688
275,019
308,972
DAFTAR PUSTAKA 1. ACI
Committee 544 1 R-82, 1982 “State of The Report on Fiber Reinforced Concrete” American Concrete Institut, Detroit, Michigan, P16 2. ASTM C 1116 – 1991,” Standart Specification for Fiber Reinforced Concrete and Shortcrete. 3. I ll Ston, JM “Contruction Materials Their Nature And behavior” Consultant & Professor Emeritus, University of Hert Ford Shire 4. Naaman, A.E and Reinhardt, H.W, 1995 “ High Performance Fiber Reinforced Cement Composites 2 (HPFRCC 2) “Proccedings of The Second International RILEM Workshop, Ann Arbor, USA. 5. Neville, AM, 1981 “Property of Concrete” 3rd Edition, Longman Publishing Essex, England
Gambar 5. Grafik Perbandingan Kuat Tekan Beton Normal dengan Beton Serat 3%
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
233
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
TINJAUAN YURIDIS-EKONOMIS TERHADAP PENGGUNAAN METODE NEGOSIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG KONSTRUKSI Lilik Karnaen Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta
Abstrak Pembangunan sarana fisik di Indonesia umumnya dikerjakan oleh pihak swasta dimana pemerintah bertindak sebagai pemilik proyek. Kerja sama pemilik dan pelaksana pembangunan pada kenyataannya sering mengalami hambatan-hambatan dan menimbulkan perselisihan. Jalur penyelesaian perselisihan bidang konstruksi ini ada 2 macam yaitu jalur non-litigas yang terdiri dari negosiasi, meditasi dan arbitrasi, serta jalur litigasi atau melalui pengadilan negeri. Dalam prakteknya jalur yang sering digunakan oleh para pelaku bisnis konstruksi untuk penyelesaian perselisihan adalah jalur non-litigasi khususnya metode negosiasi. Studi ini mengkaji pendapat-pendapat dari para pemilik proyek maupun kontraktor tentang metode penyelesaian sengketa negosiasi, faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga metode tersebut lebih disukai, dan efektifitas keputusan yang diambil. Data untuk penelitian diperoleh melalui penyebaran kuesioner dan didukung dengan wawancara terstruktur kepada responden di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang dan Jakarta. Data tersebut dianalisis menggunakan Program Statistik SPSS 6,0 for Windows, metode Kendall Concordance Analysis, untuk menentukan prioritas ranking pilihan para responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa penyelesaian perselisihan dengan metode negosiasi memang menjadi pilihan utama para pelaku bisnis konstruksi. Keputusan akhir hasil metode tersebut mempunyai kekuatan hukum karena dituangkan dalam suatu berita acara bermeterai yang ditanda tangani para pihak yang bersengketa. Prosesnya cepat karena prosedurnya tidak berbelit-belit dan biaya yang dibutuhkan relatif murah. Karena proses negosiasi dilakukan secara tertutup. Privacy para pihak yang bersengketa dapat dijamin. Keputusan akhirnya dapat dilaksanakan karena pelaksanaannya dipantau bersama oleh pihak-pihak yang terkait. Arbitrasi merupakan jalan penyelesaian terbaik bila metode negosiasi tidak dapat mencapai kesepakatan. Studi ini menemukan bahwa arbitrasi kurang disukai karena lamanya waktu penyelesaian, besarnya biaya yang harus dikeluarkan para pihak serta tidak ada jaminan privacy. Kata kunci : konstruksi, perselisihan, kontraktor, negosiasi
PENDAHULUAN Perkembangan industri konstruksi di Indonesia berkembang demikian pesatnya. Keberhasilan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I telah membawa dampak positif bagi pertumbuhan industri jasa konstruksi nasional. Sebelum terjadinya krisis moneter, pada masa pemerintahan kabinet pembangunan VI telah terjadi boom atau peningkatan besar-besaran bagi dunia industri jasa konstruksi dan properti. Pada masa itu pemerintah meningkatkan jumlah sarana fisik sebagai penunjang laju pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia, terutama sarana fisik dalam bentuk bangunan yang akan menunjang aspek ekonomi, sosial, pendidikan serta lainnya. Pelaksanaan pembangunan sarana fisik ini sudah tentu tidak dikerjakan sendiri oleh pihak pemerintah tetapi ditawarkan juga kepada pihak swasta. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai pemilik yang dalam tugas sehari-harinya diwakili oleh departemen yang terkait dan konsultan pengawas biasanya juga pihak swasta yang kualifikasinya memenuhi syarat.
234
Kerja sama antara pemilik dan pelaksana pembangunan tersebut diatas diwujudkan dalam bentuk perjanjian yang disebut perjanjian pemborongan pekerjaan dimana pemiliki disebut prinsipal (Bouwheer, Owner, Pemimpin Proyek) dan pelaksana disebut kontraktor (pemborong, rekanan). Perjanjian pemborongan secara tertulis yang dirangkum dalam suatu dokumen kontrak tersebut dalam prateknya di lapangan sering mengalami perubahan-perubahan tidak resmi dan hanya dalam bentuk lisan, tidak tertulis, hanya berdasarkan rasa saling percaya dan hubungan baik antara prinsipal dan kontraktor terkait. Dalam kenyataannya di lapangan sering muncul masalah baik yang bersifat teknis maupun non-teknis dan kontraktor sebagai pelaksana diharapkan dapat menyelesaikan sendiri dengan tidak menyalahi apa yang sudah ditetapkan dalam perjanjian yang ada. Hal inilah yang seringkali menjadi hambatan kontraktor dimana penyelesaiannya tidak sesuai dengan perjanjian yang ada.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Perselisihan akibat masalah teknis antara lain disebabkan oleh : hambatan atau gangguan dari alam, hasil pekerjaan tidak sesuai spesifikasi, adanya perubahan disain dari owner sehingga pekerjaan berikutnya tertunda. Sedangkan penyebab perselisihan masalah non teknis antara lain : kenaikan harga material yang terlalu besar dan keterlambatan pembayaran dari owner. Sesungguhnya perselisihan yang terjadi dapat diselesaikan melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi dengan menggunakan arbitrasi, mediasi atau negosiasi tetapi di Indonesia pada umumnya perselisihan dalam bidang konstruksi diselesaikan melalui jalur non-litigas yaitu menggunakan metode negosiasi. PERMASALAHAN Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada pendahuluan maka permasalahan yang timbul dan perlu ditinjau dalam sengketa bidang konstruksi adalah : Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga para pihak yang bersengketa lebih suka atau tidak suka menggunakan metode negosiasi sebagai pilihan penyelesaian perselisihan di bidang konstruksi ditinjau dari segi yuridisekonomis. Apabila mereka lebih suka menggunakan metode negosiasi, perlu ditinjau bahwa metode yang digunakan tersebut benar-benar efektif dari segi waktu, ekonomis dalam biaya, menguntungkan semua pihak, dan berkekuatan hukum. BATASAN MASALAH Dalam penelitian ini diberikan batasan pada masalah agar penulisan ini tidak menyimpang dari tujuan yang hendak dicapai. Responden yang dituju pada penelitian ini adalah pimpinan kontraktor atau yang mewakili perusahaannya, dan para prinsipal atau yang mewakili pemilik proyek, untuk memperoleh data tentang apa saja yang mereka tempuh dalam menyelesaikan perselisihan dalam proyek yang mereka kerjakan serta pertimbanganpertimbangan pilihan cara penyelesaian tersebut. Proyek yang ditinjau adalah proyek pemerintah dan swasta murni. Kontraktor yang dituju sebagai responden adalah kontraktor kelas M 1 dan M 2 yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, Semarang dan Jakarta. TUJUAN PENELITIAN Mengidentifikasikan metode penyelesaian perselisihan yang digunakan dalam bisnis konstruksi oleh para prinsipal maupun kontraktor. Mengidentifikasikan faktor-faktor yang membuat mereka lebih suka memilih metode negosiasi dalam penyelesaian perselisihan bisnis konstruksi.
Mengidentifikasikan metode negosiasi yang dilakukan mempunyai kekuatan hukum, dapat dilaksanakan secara efektif serta menguntungkan para pihak yang berselisih. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan penelitian lapangan yang didukung oleh kepustakaan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan diteliti, sehingga hasil yang didapatkan merupakan gabungan dari teori dan kenyataan di lapangan. Sasaran responden dalam penelitian ini adalah para kontraktor dan pemilik proyek yang pernah mengalami sengketa dalam kontrak konstruksinya. Responden yang dipilih adalah para kontraktor dan pemilik proyek dari beberapa kota antara lain : a. Jakarta dan Surabaya yang perkembangan industri konstruksinya maju demikian pesatnya. b. Semarang dan Yogyakarta yang perkembangan industri konstruksinya juga cukup pesat. Dipilihnya dua tipe responden karena ingin diketahui perbedaan persepsi terhadap penyelesaian masalah perselisihan bidang konstruksi ini antara pihak pemilik proyek dan kontraktor karena biasanya dua grup responden tersebutlah yang terlibat, dan keduanya biasanya berhadapan sebagai lawan. Cara pemilihan dan penggolongan responden tersebut dilakukan dengan purposive random sampling, untuk menentukan daftar para responden yang pernah bersengketa dalam kontrak konstruksinya serta menyelesaikannya dengan metode negosiasi. Adapun tolok ukur yang akan dipakai secara kualitatif dan kuantitatif dalam menentukan ratting adalah : Alasan dari para pihak untuk lebih suka menggunakan metode negosiasi sebagai sarana penyelesaian sengketa. Efektifitas metode negosiasi ini dari segi waktu, biaya, keputusan, serta bagaimana kekuatan hukumnya. Penyebaran kuesioner dilakukan pada tanggal 21 September 2009 sampai dengan 29 September 2009, dengan menggunakan jasa pos untuk kotakota Semarang, Surabaya dan Malang, sedangkan untuk kota Yogyakarta dan Jakarta dilakukan dengan mendatangi langsung para responden dibantu oleh beberapa orang yang bersedia mewakili pengumpulan data sesuai kuesioner yang disebarkan. Kuesioner dirancang dengan sistem pilihan berganda (multiple choice) dan pertanyaan bersifat semi terbuka dengan tujuan memberikan keleluasaan bagi para responden untuk menjawab Pertanyaan yang tepat dan sesuai dengan pilihan mereka. Kuesioner dibedakan menjadi 2 macam yaitu kuesioner untuk para kontraktor dan kuesioner
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
235
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
untuk para pemilik proyek. Perbedaan kedua jenis kuesioner ini hanyalah pada data responden, dan pertanyaan mengenai profil perusahaan tidak terdapat pada kuesioner untuk para pemilik proyek. Setelah seluruh data terkumpul kemudian dilakukan teknik analisis. Teknik analisis data merupakan suatu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Untuk memperoleh data yang sederhana dan mudah dipahami diperlukan media berupa statistik dan pengoperasian paket program SPSS. Proses analisis data dalam penelitian ini adalah mencari prioritas pilihan responden atas cara penyelesaian perselisihan yang ditempuh sekaligus prioritas tentang faktor-faktor yang menyebabkan para responden memilih cara tersebut dan efektifitas dari cara atau metode yang dipilih. Metode statistik yang dipakai pada penelitian ini ialah Kendall Concordance Analysis, yang merupakan metode nonparametrik untuk mengidentifikasikan urutan prioritas dengan melihat nilai hasil mean rank. Dalam penelitian ini Kendall Concordance Analysis digunakan untuk mengidentifikasikan ranking yang menjadi urutan prioritas pada : a. Proses terjadinya perjanjian pemborongan b. Peraturan yang dipakai untuk perjanjian pemborongan c. Jenis kontrak yang biasa ditangani d. Standar atau acuan kontrak yang sering dipakai e. Jenis kontrak yang sering menimbulkan klaim f. Penanggung jawab kesalahan pelaksanaan akibat salah perencanaan g. Penanggung jawab kerusakan akibat force majeure a.
236
Metode penyelesaian perselisihan yang paling diminati i. Waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing metode penyelesaian perselisihan j. Biaya yang dibutuhkan untuk masing-masing metode penyelesaian perselisihan k. Sifat keputusan akhir dari masing-masing metode penyelesaian yang ditawarkan l. Kekuatan hukum dari masing-masing metode penyelesaian yang ditawarkan m. Prosedur untuk masing-masing metode penyelesaian yang ditawarkan n. Privacy para pihak yang diakibatkan metode penyelesaian yang ditawarkan o. Ketersediaan tenaga ahli dari masing-masing metode penyelesaian yang ditawarkan p. Hubungan para pihak setelah sesudahnya sesuai metode penyelesaian yang ditawarkan. Selanjutnya dilakukan interpretasi hasil analisis dan studi banding dimana dalam tahapan ini hasil dari tabel, grafik, maupun diagram yang memberikan pengaruh terhadap kesimpulan penelitian diterangkan dalam bentuk teks sehingga jawaban terhadap permasalahan yang dikemukakan terlihat dengan jelas. Setelah dilakukan penjelasan terhadap hasil dari tabel, grafik maupun diagram, kemudian dilakukan studi banding dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya atau dengan dasar teori yang ada sehingga hasil dari penelitian ini akan menjadi lebih bermanfaat. HASIL ANALISIS Analisis hasil kuesioner responden dengan metode Kendall Concordance Analysis sebagai berikut :
Proses terjadinya perjanjian pemborongan Ranking 1 2 3.5 3.5
Kontraktor Mean Rank Ranking 3.93 1 2.33 2 1.87 3.5 1.87 3.5
Dasar peraturan yang dipakai untuk perjanjian pemborongan (kontrak) Owner Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Peraturan standar pemerintah 5.00 1 Peraturan yang dibuat principal 2.50 3.50 Kesepakatan kontraktor & owner 2.50 3.50 Prt. Berdasarkan hkm yg berlaku 2.50 3.50 Lainnya 2.50 3.50
Kontraktor Mean Rank Ranking 4.97 1 2.77 2 2.59 3 2.41 4 2.27 5
Variabel pilihan responden Melalui proses pelelangan Penunjukan langsung Perundingan dengan principal Lainnya b.
h.
Owner Mean Rank 3.98 2.14 1.94 1.94
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
c.
d.
Standar perjanjian atau kontrak yang sering digunakan Owner Variabel pilihan responden Mean Rank FIDIC 2.31 AV41 1.98 PU BINA MARGA 3.09 Lainnya 2.61
Ranking 3 4 1 2
Kontraktor Mean Rank Ranking 2.17 4 2.84 1 2.78 2 2.21 3
Jenis perjanjian kontrak yang paling sering menimbulkan klaim Owner Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Lump Sum 2.70 2 Unit Price 3.39 1 Cost plus Fee 1.95 3.50 Lainnya 1.95 3.50
Kontraktor Mean Rank Ranking 2.52 2 3.64 1 1.92 3.50 1.92 3.50
e.
Penanggung jawab kerugian bila terjadi kesalahan pelaksanaan yang diakibatkan salah perencanaan : Owner Kontraktor Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Mean Rank Ranking Pemberi tugas 3.00 1 2.92 1 Kontraktor 1.42 3 1.35 3 Pemberi tugas dan kontraktor 1.58 2 1.73 2
f.
Penanggung jawab kerusakan bila terjadi Force majeure : Owner Variabel pilihan responden Mean Rank Pemberi tugas 3.00 Kontraktor 1.50 Pemberi tugas dan kontraktor 1.50
g.
Ranking 1 2.50 2.50
Metode yang dipilih sebagai penyelesaian bila terjadi perselisihan ialah : Owner Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Negosiasi 4.00 1 Mediasi 1.94 3.50 Arbitrasi 2.13 2 Litigasi 1.94 3.50
Kontraktor Mean Rank Ranking 1.50 2.50 3.00 1 1.50 2.50 Kontraktor Mean Rank Ranking 3.97 1 1.84 3.50 2.36 2 1.84 3.50
Prosentase dari seluruh responden yang berpartisipasi : 57 responden (76%) selalu memilih negosiasi untuk menyelesaikan perselisihan mereka sedangkan 18 responden (28%) mengatakan sering memakai metode tersebut disamping metode lainnya. h.
Waktu yang dipergunakan untuk penyelesaian perselisihan bidang konstruksi Pilihan jawaban : 1: tidak pernah terselesaikan, 2 : terlalu lama (> 3 bulan) 3 : lama ( 1 – 3 bulan), 4 : cepat (< 1 bulan) Owner Kontraktor Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Mean Rank Ranking Negosiasi 4.00 1 4.00 1 Mediasi 2.20 2 2.37 3 Arbitrasi 2.11 3 2.41 2 Litigasi 1.69 4 1.22 4
i. Biaya yang dikeluarkan untuk penyelesaian perselisihan bidang konstruksi Pilihan jawaban : 1 : terlalu mahal ( >1% nilai kontrak) 2 : mahal (3 – 5% nilai kontrak) 3 : wajar ( 1 – 3% nilai kontrak) 4 : murah ( < 1% nilai kontrak)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
237
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Variabel pilihan responden Negosiasi Mediasi Arbitrasi Litigasi j.
Owner Mean Rank 3.61 1.42 1.58 3.39
Ranking 1 4 3 2
Keputusan akhir penyelesaian perselisihan bidang konstruksi : Pilihan jawaban : 1 : tidak memuaskan, formalitas saja 2 : hanya menguntungkan pihak pemilik proyek 3 : hanya menguntungkan pihak kontraktor 4 : adil dan memuaskan semua pihak yang bersengketa Owner Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Negosiasi 2.64 1 Mediasi 2.08 2 Arbitrasi 2.64 1 Litigasi 2.64 1
Kontraktor Mean Rank Ranking 3.78 1 1.47 4 1.81 3 2.94 2
Kontraktor Mean Rank Ranking 2.62 1 2.62 1 2.62 1 2.15 2
k.
Kekuatan hukum serta pelaksanaan keputusan akhir persilisihan bidang konstruksi Pilihan jawaban : 1 : tidak berkekuatan hukum, tidak dapat dilaksanakan 2 : berkekuatan hukum tapi tidak dapat dilaksanakan 3 : tidak berkekuatan hukum tapi dapat dilaksanakan 4 : berkekuatan hukum dan dapat dilaksanakan Owner Kontraktor Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Mean Rank Ranking Negosiasi 2.64 1 2.59 1 Mediasi 2.08 2 2.22 2 Arbitrasi 2.64 1 2.59 1 Litigasi 2.64 1 2.59 1
l.
Prosedur yang ditempuh untuk penyelesaian perselisihan : Pilihan jawaban : 1 : terlalu rumit dan berbelit-belit 2 : cukup rumit 3 : praktis dan tidak rumit Owner Variabel pilihan responden Mean Rank Negosiasi 3.86 Mediasi 2.94 Arbitrasi 1.66 Litigasi 1.55
Ranking 1 2 3 4
Kontraktor Mean Rank Ranking 3.94 1 2.38 2 2.08 3 1.59 4
m. Privacy para pihak setelah penyelesaian perselisihan Pilihan jawaban : 1 : tidak tahu 2 : penyelesaian diketahui umum, nama baik sering dirugikan 3 : privacy pihak yang bersengketa tetap terjaga baik Owner Kontraktor Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Mean Rank Ranking Negosiasi 3.00 1 3.76 1 Mediasi 2.38 3 2.27 2 Arbitrasi 2.44 2 2.08 3 Litigasi 2.19 4 1.90 4 n.
Tenaga ahli yang menangani perselisihan bidang konstruksi Pilihan jawaban : 1 : tidak ada tenaga ahli dalam bidang ini 2 : ada, tapi jumlahnya amat terbatas 3 : banyak tenaga ahli dalam bidang ini
238
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Variabel pilihan responden Negosiasi Mediasi Arbitrasi Litigasi o.
Owner Mean Rank 3.84 2.14 2.31 1.70
Ranking 1 3 2 4
Hubungan antar pihak setelah penyelesaian perselisihan Pilihan jawaban : 1 : tidak tahu 2 : hubungan menjadi renggang atau rusak sama sekali 3 : hubungan tetap terjaga baik Owner Variabel pilihan responden Mean Rank Ranking Negosiasi 2.98 1 Mediasi 2.42 2.50 Arbitrasi 2.42 2.50 Litigasi 2.17 4
Kontraktor Mean Rank Ranking 3.79 1 2.23 3 2.48 2 1.50 4
Kontraktor Mean Rank Ranking 3.77 1 2.28 2 2.05 3 1.91 4
as DISKUSI Studi yang dilakukan oleh S.Melanovi (1995), yang ditulisnya dalam majalah Konstruksi edisi Nopember 1995 mempunyai perbedaan dengan hasil studi ini yaitu : a. Negara-negara maju misalnya Inggris, telah mempunyai peraturan perundang-undangan dalam bidang konstruksi yang disebut Official Referees (disahkan dan diumumkan pada tahun 1982) dan sejak tahun 1988 memiliki registrasi sendiri. Badan ini banyak menyelesaikan berbagai persengketaan dalam bidang konstruksi menggantikan cara atau metode negosiasi. b. Jepang dan Korea sudah memberlakukan undang-undang yang mengatur industri konstruksinya yang disebut Construction Business Law yang diumumkan pada tahun 1985. Undang-undang ini mengatur cara penyelesaian perselisihan bidang konstruksi dan metode negosiasi sudah jarang, bahkan hampir tidak pernah dipergunakan.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan perbandingan yang dilakukan dapat disimpilkan sebagai berikut : 1. Perjanjian pemborongan yang lebih besar frekuensinya menimbulkan klaim adalah perjanjian pemborongan dengan harga satuan atau unit price. Dari 75 orang responden hanya 23 % yang tidak pernah mengalami klaim dalam perjanjian pemborongan dengan harga satuan (unit price). 2. Seluruh responden yang berpartisipasi baik pemilik proyek maupun kontraktor lebih suka menggunakan metode negosiasi untuk menyelesaikan perselisihan bidang konstruksi yang mereka alami.
3.
4.
Penelitian ini dilakukan di Indonesia khusus terhadap pemilik proyek pemerintah dan kontraktor BUMN atau swasta murni, tidak termasuk kontraktor yang joint operation dengan asing, sehingga belum didapatkan data bagaimana kontraktor dengan penanaman modal asing menyelesaikan perselisihannya dengan owner di Indonesia, mengingat di negara-negara maju sudah berlaku undangundang jasa konstruksi yang mengatur tentang perselisihan ini. Faktor-faktor yang membuat mereka lebih suka menggunakan metode negosiasi adalah : a. Proses metode ini cepat dan prosedurnya praktis serta tidak rumit dengan demikian proyek yang mereka kerjakan dapat segera diselesaikan. b. Biaya untuk penyelesaian perselisihan dengan metode negosiasi dikategorikan murah (<1 % nilai kontrak). c. Keputusan akhir penyelesaian perselisihan dengan metode negosiasi adil dan memuaskan para pihak yang berselisih. d. Karena dibuat dalam suatu berita acara yang bermeterai dan ditanda tangani oleh para pihak yang berselisih maka keputusan akhir yang diterbitkan mempunyai kekuatan hukum serta dapat dilaksanakan. Mekanisme pelaksanaannya dipantau oleh para pihak yang menanda tangani berita acara tersebut. e. Dengan menggunakan metode negosiasi privacy para pihak yang bersengketa tetap terjaga baik sehingga hubungan mereka yang semula baik akan tetap baik. Metode arbitrasi kurang disukai karena selain biayanya mahal, waktu yang dibutuhkan lama, privacy tidak terjamin. f. Jalur Litigasi paling dihindari oleh para pelaku bisnis konstruksi karena selain
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
239
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
prosedurnya yang terlalu lama yang diakibatkan tenaga ahli yang menangani amat terbatas, proses penyelesaiannya juga seringkali diketahui umum sehingga nama baik sering dirugikan. SARAN-SARAN Permasalahan yang timbul kemudian ialah apabila metode negosiasi ternyata tidak mampu menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang terjadi. Penggunaan jalur litigasi kecil sekali kemungkinannya sedangkan penggunaan mediasi atau arbitrasi kurang disukai. Berdasarkan data-data dan keteranganketerangan yang disampaikan para responden dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut : a. Bila jalur Litigasi akan dijadikan sarana untuk penyelesaian sengketa bidang konstruksi, seharusnyalah Undang-undang Jasa Konstruksi yang sudah ada didukung pakar bidang ini dalam jumlah yang memadai, sehingga jalur ini dapat dijadikan jaminan bagi para pelaku bisnis konstruksi untuk menyelesaikan perselisihan mereka. b. Jalur arbitrasi akan merupakan alternatif penyelesaian yang baik, seharusnya ditangani secara profesional, prosesnya tidak terlalu berbelit-belit dan yang utama kerahasiaan konsumen harus dijaga baik. Penyelesaian melalui arbiter yang memang tertutup untuk umum harus benar-benar dijaga kerahasiaannya sehingga para pihak yang bersengketa akan merasa aman privacy-nya, dan tidak ragu-ragu lagi memilih jalur ini sebagai sarana penyelesaian perselisihan bidang konstruksi. c. Mediasi juga merupakan alternatif yang efektif kalau saja si mediator yang bersangkutan tidak merasa dirinya amat penting dan memasang tarif seenaknya, atau merasa dirinya paling tahu dan para pihak yang bersengketa harus mau mengikuti saran dan pendapatnya yang dianggapnya paling benar. Seorang mediator seharusnya profesional dan dapat menempatkan diri bebar-benar sebagai penengah yang obyektif, terbuka dan netral, tanpa motivasi untuk keuntungan diri sendiri atau kelompok tertentu.
Gunning, J.G., (1995), Negotiating Practice in Construction Management, 11th Conference Proceeding ARCOM, volume II McKenna, E. & Beech, N., (1995), The Essence of Human Resource Management, Prentice hall International Inc. London. Melanovi, S., (1995), Majalah Konstruksi, bulan Nopember, Jakarta Pongoh, T., (1998), Seminar Kontrak Dalam Bidang Konstruksi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta Rifai, M.A., (1997), Pegangan Gaya Penulisan Penyuntingan dan Penerbitan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Shahab, H., (1996), Aspek Hukum Dalam Sengketa Bidang Konstruksi, Penerbit Djambatan, Jakarta Sherman, M., Bohlander, G. & Snell, S., (1996), Managing Human Resources, South Western College Publishing, Cincinnati, Ohio Siegel, S. & Castellan, N. Jr., (1988), Nonparametric Statistics for The Behavioral sciences, Mc Graw Hill, New York. Singarimbun, M., & Effendi, S., (1995) Metode Penelitian Survai, LP3S, Jakarta Soeharto, B., (1989), Menyiapkan penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, Penerbit Tarsito, Bandung . Subekti(1987), Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta Verma, V. K., (1995), Human Resource Skills for The Project Manager, Project Management Institute, USA.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, (1996), Syarat-syarat Kontrak, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga, Jakarta. Djumialdji, (1995), Perjanjian Pemborongan, PT Rineka Cipta, Jakarta Fisher, R., Brown, S., (1988), Getting Together, Penguin Books, USA Greenberg, J. & Baron, R.A. (1995) Behavior in Organizations, Prentice Hall International Inc, London.
240
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
HUBUNGAN ANTARA OPERASI PENERBANGAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN DALAM PEKERJAAN MEMPERPANJANG LANDAS PACU BANDAR UDARA : STUDI KASUS LAPANGAN TERBANG GADING WONOSARI
Otto Santjoko, Ircham Staf Pengajar Jurusan teknik Sipil Jl Babarsari CT, Depok, Sleman, Yogyakarta. Telp. 0274-486986 Fax: 0274-487429
ABSTRAK Lapangan Terbang Militer Gading Yogyakarta, dibangun untuk menampung beberapa pesawat latih dalam latihan penerbangan calon penerbang TNI AU. Tetapi lapangan terbang tersebut juga harus mampu menerima operasi lepas landas dan pendaratan pesawat terbang jenis F-27 sekali dalam sebulan. Memperpanjang landas pacu lapangan terbang bukan sekedar memenuhi panjang landas pacu yang diperlukan, tetapi harus menjamin keselamatan operasi penerbangan diatasnya. Alinemen memanjang landas pacu lapangan terbang (militer) Gading Yogyakarta, yang dibangun pada pembangunan tahap pertama tahun 2004 - 2005 ternyata meninggalkan masalah yang harus dapat diatasi pada pembangunan tahap kedua yang harus selesai pada tahun 2005 – 2006. Alinemen memanjang landas pacu lapangan terbang mititer Gading dapat diperpanjang 200 m dengan slope memanjang 0% atau slope memanjang -0,75%. Keduanya memenuhi persyaratan ICAO, tentang jarak minimum antara 2 titik terjadinya perubahan slope, untuk pesawat terbang latih. Tetapi untuk pesawat Fokker 27, perpanjangan landas pacu dengan kemiringan -0,75% saja yang memenuhi persyaratan. Hanya dengan perpanjangan ini, ujung landas pacu 28 akan berada 1,5 meter dibawah muka tanah asli. Drainase dengan gravitasi tidak dapat dilaksanakan, dan untuk operasi F-27 perlu pemotongan tanah dengan volume yang cukup besar, baik kearah samping maupun kearah perpanjangan landas pacu. Hasilnya harus dibuat kompromi, perpanjangan 200 m dilakukan dengan dengan slope 0%, operasi penerbangan pesawat latih dapat dilakukan dengan aman dari kedua arah (arah 10 maupun 28), hanya operasi lepas landas dan pendaratan F-27 hanya bisa dilakukan dari arah ujung landas pacu 10. Drainase pada ujung landas pacu 28 dapat dilakukan dengan cara gravitasi. Kata-kata kunci : runway arah 10 (28), alinemen memanjang, pesawat latih, drainase dengan gravitasi.
1.
PENDAHULUAN Bandar Udara Adisutjipto adalah milik TNI AU, namun digunakan bersama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebagai bandar udara komersial dengan penerbangan terjadwal. Sebagai pangkalan udara, Adisutjipto hanya digunakan untuk melatih calon penerbang TNI AU dengan beberapa pesawat latih seperti Beechcraft T34C Mentor (pesawat Charlie, USA), AS202/T18A (pesawat Bravo, Swiss) dan KT-1 (psawat buatan Korea Selatan). Latihan terbang calon penerbang TNI AU ini lebih banyak dilakukan pada malam hari, dengan jadwal yang dibuat sesuai dengan kebutuhan akademi. Cukup lama kondisi penggunaan bersama ini. Namun penerbangan komersial tumbuh jauh lebih cepat dari pertumbuhan Adisutjipto sebagai pangkalan udara. Untuk menjaga keselamatan penerbangan maka ruang udara
(airspace) harus dibagi, sebagian untuk keperluan penerbangan pesawat latih dan untuk penerbangan komersial dibuat gerbang diarah perpanjangan landas pacu. Penerbangan untuk pesawat terbang datang maupun berangkat diatur dari ATC Tower yang dikelola TNI AU dan ATC penerbangan sipil. Penerbangan komersial berkembang terus, yang pada 4 – 5 tahun yang lalu hanya ada 13 pesawat terbang yang beroperasi, pada saat ini ada 40 penerbangan pesawat komersial. Bahkan pada tahun yang lalu bandar udara Adisutjipto dinyatakan sebagai bandar udara internasional, karena dibukanya penerbangan ke negara Asean. Perubahan ini menimbulkan ide untuk mengalihkan latihan penerbang TNI AU ke lapangan terbang Gading yang sejak semula adalah milik TNI AU. Dengan demikian Lapangan Terbang Gading perlu dibenahi dan dkembangkan agar mampu mendukung latihan terbang para calon
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
241
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
penerbang TNI AU dengan menggunakan ketiga jenis pesawat terbang latih yang ada. Dan untuk menunjang kebutuhan logistik Gading juga harus mampu menerima lepas landas (takeoff) dan pendaratan (landing) pesawat terbang F-27 sebagai pemasok kebutuhan logistik. Maka dibuatlah rencana pengembangan Lapangan Terbang Gading oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara bersama Mabes TNI AU. Hasilnya adalah lapang terbang dengan reference code 2 atau 3 (menurut Aerodrome Reference Code dari International Civil Aviation Organization) ( Pengkelasan lapangan terbang Gading dengan menggunakan Aerodrome Reference Code ICAO, karena tidak adanya referensi kelas lapangan terbang untuk militer), dengan catatan harus mampu menerima operasi penerbangan F-27 meskipun hanya satu kali dalam sebulan.
2.
Pembebasan lahan telah dilakukan sebelum tahun 2004, dan tahun anggaran 2004-2005 dibangun lapangan terbang tersebut oleh Direktorat Teknik Bandar Udara, Jakarta. Pada waktu itu dibangun landas pacu dengan lebar 45 m dan panjang yang telah diselesaikan 1200 m. Pada tahun itu juga dilanjutkan pembangunan landas pacu menjadi 1400 m, taxiway dan apron serta bangunan bangunan operasi dan administrasi yang diperlukan, oleh Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta. Makalah ini akan menganalisis hubungan perpanjang landas pacu dengan keselamatan penerbangan bagi pesawat terbang yang beroperasi diatasnya, khususnya yang berkaitan dengan dengan alinemen vertikal memanjang as landas pacu pada peranjangan landas pacu ini.
DATA DAN TEORI. 1200 m
200 m
As landas pacu Landas pacu yang telah jadi
Rencana perpanjangan landas pacu
Gambar 2-1 Ujung landas pacu 28 dan rencana perpanjangannya. Data yang dikumpulkan dari Proyek Pengembangan Bandar Udara Gading, Dinas Perhubungan DIT, sesuai batasan masalah yang telah ditetapkan, adalah data alinemen vertikal memanjang as landas pacu yang telah dibangun. Data yang ditampilkan hanya data beda tinggi titik-titik pada as landas pacu Elevasi +0,587%
+209,01 Slope
dimana perubahan slope (kemiringan) terjadi. Serta hanya kira kira 500 meter pada ujung landas pacu 28 yang direncanakan. Data beda tinggi titik titik perubahan slope (kemiringan) pada as landas pacu yang didata adalah sebagai berikut ini.
+207,34 +205,34
-0,117%
0,00%
-1,40% -0,75%
150 m 165 m Dengan datum = + 200,00 m
140 m
200 m
Gambar 2-2 Elevasi titik perubahan slope dengan slope-nya. Kaitan keselamatan penerbangan pada saat pesawat terbang lepas landas dan mendarat pada landas pacu adalah jarak antara dua titik perubahan slope
242
(kemiringan) harus memenuhi peraturan pada Aerodrome Annex 14, 1999, pada bab 3.1.17.,
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
15 000 m where the code number is 3; and 5 000 m where the code number is 1 or 2; or b. 45 m whichever the greater.
distance between slope changes, halaman 16, tertulis sebagai berikut ini : Undulations or appreciable changes in slopes located close together along a runway should be avoided. The distance between the points of intersection of two successive curves should not be less than : a. The sum of the absolute numerical values of the corresponding slope changes muliplied by the appropriate value sa vollows : 30 000 m where the code number is 4
Dan bila digambarkan menjadi sebagai berikut ini :
x slope
y slope
Point of intersection
z slope
D Point of intersection Gambar 2-3 Profil as landas pacu (Annex 14)
Sedang rumusnya (untuk code number 3) adalah sebagai berikut :
D 15000 x y y z m dengan notasi : |x-y| being the absolute numerical value of x – y |y-z| being the absolute numerical value of y – z Lapangan terbang Gading dirancang untuk melayani pesawat latih, sehingga code number akan terletak pada code number 1 atau 2. Ini
terbukti runway strip (runway safety area) yang disediakan hanya 2 x 75 m, diukur dari as landas pacu. Meskipun begitu dalam perancangan ditambahkan bahwa panjang runway harus menerima operasi lepas landas dan pendaratan pesawat jenis F-27 (pesawat terbang yang ARFL-nya masuk code number 3), yang terjadi hanya sebulan sekali. Sehingga kelas lapangan terbang bukan code number 3, tetapi code number 1 atau 2. Lihat tabel dibawah ini :
Tabel 2-1 Aerodrome Reference Code Code element 1 Code element 2 Coce Aerodrome reference Code Wing span Outer main gear wheel number field length letter span * (1) (2) (3) (4) (5) 1 Less than 800 m A Up to but not Up to but not including 15 m including 4.5 m 2
800 m up to but not including 1 200 m
B
15 m up to but not including 24 m
4.5 m up to but not including 6 m
3
1 200 m up to but not including 1800 m
C
24 m up to but not including 36 m
6 m up to but not including 9 m
4
1 800 m and over
D
36 m up to but not including 52 m
9 m up to but not including 14 m
E
52 m up to but not including 65 m
9 m up to but not including 14 m
65 m up to but not including 80 m * Distance between the outside edge of the main gear wheel.
14 m up to but not including 16 m
F
Sumber : Aerodrome Annex 14, 1999.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
243
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.
pada ujung lapis keras yang telah ada (-1,40 % juga -.0,117%) harus memenuhi syarat.
OLAH DATA DAN PEMBAHASAN Slope perpanjangan landas pacu bisa dibuat dengan banyak kemungkinan, tetapi dengan pertimbangan ekonomi pasti harus dicari perpanjangan yang menggunakan biaya yang paling murah, tetapi jarak titik perubahan slope
Elevasi +0,587%
+209,01 Slope
A. Alternatif I : Dianggap hanya melayani pesawat latih saja (code number 2) :
+207,34 +205,34
-0,117%
0,00%
-1,40%
150 m
165 m
140 m
D1
D2
D 1 = 5000 (|x-y|+|y-z|) = 5000 (|0,00587+0,00117| + |-0,00117+0,0140|) nilai |x-y| dan |y-z| adalah absolut (+) = 5000 (0,01704 + 0,00283) = 5000 x 0,01987 = 99,35 m < 165,00 m memenuhi syarat Dengan cara yang sama (slope perpanjangan runway = 0,00%): D 2 = 5000 (|x-y|+|y-z|) = 5000 (|-0,1117+0,014| + |-0,0140-0,00|) = 5000 (0,00283 + 0,0140) = 5000 x 0,01683 = 84,15 m < 140,00 m memenuhi syarat Bila dianggap code number 3 (untuk melayani F-27) : D 1 = 15000 (|x-y|+|y-z|) = 15000 (|0,00587+0,00117| + |-0,00117+0,0140|) = 15000 (0,01704 + 0,00283) = 15000 x 0,01987 = 298,05 m > 165,00 m tidak memenuhi syarat Dengan cara yang sama (slope perpanjangan runway = 0,00%): D 2 = 15000 (|x-y|+|y-z|) = 15000 (|-0,1117+0,014| + |-0,0140-0,00|) = 15000 (0,00283 + 0,0140) = 15000 x 0,01683 = 252,42 m > 140,00 m tidak memenuhi syarat
244
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
200 m
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
B. Alternatif II Dicari slope perpanjangan landas pacu agar D2 = 140 m memenuhi syarat Elevasi
+209,01
+0,587%
Slope
+207,34 +205,34
-0,117% -1,40%
-0,75%
150 m
165 m
140 m
D1
D2
200 m
D 1 tetap tidak memenuhi syarat D 2 = 140 = 15000 (|x-y|+|y-z|) = 15000 (|-0,1117+0,014| + |-0,0140-z|) = 15000 (0,00283 + 0,0140 + z) = 42,45 + 210,00 + 15000 z = 252,45 + 15000 z - 15000 z = 252,45 - 140 = 112,45 z = - 0,75 % Agar D 2 = 140 m memenuhi syarat, perpanjangan landas pacu menggunakan slope – 0,75%
C. Alternatif 3
Elevasi +0,587%
+209,01 Slope
+207,34 -0,117%
-0,117%
-0,75%
-1,40%
150 m
165 m
140 m
200 m
D1
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
245
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pada alternatif ini landas pacu diperpanjang dengan slope – 0,117% (mengabaikan ujung landas pacu sepanjang 140 m dengan slope – 1,40%) dari titik elevasi +207,34 dan kemudian dilanjutkan dengan perpanjangan dengan slope 0,00% sampai mencapai panjang keseluruhan 1400 m.
landas pacu dan kearah kiri dan kanan ujung landas pacu harus dilakukan pemotongan tanah. Pekerjaan ini juga mahal biayanya. c.
Alternatif ini tanpa dihitungpun dapat dipastikan akan memenuhi syarat untuk operasi F-27, dan pesawat latih. 4.
Dari alternatif c, perpanjang dimulai dari awal slope -1,4%, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : a.
Dari alternatif a,perpanjangan landas pacu dengan slope 0,00%, dapat disimpulkan sebagai berikut ini. 1). 2). 3).
4).
b.
2).
3).
246
Perpanjangan landas pacu dengan slope 0,00% dapat dilakukan dengan biaya murah. Drainase air permukaan dapat dibuat dengan mengandalkan aliran air dengan gravitasi bumi. Tidak perlu melakukan pemotongan tanah, hanya stripping harus dilakukan dan perataan tanah bila diperlukan. Pemotongan tanah dilakukan bila mutu tanah dasar tidak memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Pada sambungan, antara landas pacu lama dan baru, harus diberi tappering agar sambungan tidak bersudut tetapi merupakan permukaan lengkung.
Dari alternatif b, perpanjangan landas pacu dengan slope -0,75 %, dapat disimpulkan sebagai berikut ini. 1).
2).
3).
Dilihat dari segi teknik, perpanjangan landas pacu (dengan mengabaikan lapis keras sepanjang 140 m dengan lebar 45 m) dengan meneruskan slope -0,0117% sangat ideal dan dapat memenuhi syarat keselamatan penerbangan dengan sangat baik. Kesulitan pertama adalah menghindari terjadinya konstruksi lapis keras sandwich (sandwich pavement), yang dapat merusak lapis keras yang dibangun. Tidak dimanfaatkannya lapis keras sepanjang 140 m lebar 45 m dengan slope -1,40% akan berarti membuang banyak dana yang telah dikeluarkan pada pembangunan sebelumnya. Pembangunan sendiri mahal dan dana yang dibuang juga besar.
Saran : a. b.
5.
Perpanjang landas pacu dengan slope -0,75% akan membuat ujung landas pacu 28 berada 1,5 m dibawah muka tanah asli. Ujung landas pacu ini akan tergenang pada saat hujan, sedang drainase dengan gravitasi tidak mungkin dilaksanakan karena muka dasar selokan drainase yang ada elevasinya lebih dari satu meter diatas muka ujung landas pacu. Drainase harus menggunakan pompa. Mahal dalam konstruksi dan operasinya. Untuk keamanan operasi penerbangan, pada perpanjangan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Pembangunan disarankan untuk memilih alternatif pertama (paling murah). Hanya perlu disarankan operasi lepas landas dan pendaratan pesawat terbang F27, tidak dilakukan dari arah runway 28, tetapi dari arah runway 10. Operasi penerbangan ini hanya terjadi satu kali dalam satu bulan.
DAFTAR PUSTAKA Aerodromes Annex 14, Volume I, third edition, July 1999, International Civil Aviation Organization, Montreal, Canada. Airport Design, AC : 150/5300-13, 1989, Federal Aviation Administration, Washington DC, U. S. A. Perencanaan Lapangan Terbang Gading Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D. I. Yogyakarta, Final report, 2004, Dinas Perhubungan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR DI DESA SERUT, KECAMATAN GEDANGSARI, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA Sujendro Staf Pengajar Jurusan / Prodi Teknik Sipil, STTNAS Yogyakarta Jalan Babarsari Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta
Abstrak Kekeringan secara rutin masih sering terjadidi beberapa tempat, seperti halnya di wilayah Desa Serut, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Namun sebenarnya tempat ini memiliki potensi sumber daya air yang belum dikembangkan. Wilayah Desa Serut memiliki sebuah sungai (Kalinongko), dengan cekungan yang terletak di sebelah hulu jembatan. Luas DAS sungai ini sebesar 48 ha, bagian cekungan sebelah hulu jembtan sangat memungkinkan untuk pembuatan embung. Jika lokasi ini dibuat engbung maka volume air yang dapat ditampung oleh embung sebesar 31.000 m3, volume air yang sangat didambakan oleh masyarakat Desa Serut dan sekitanya Abstract In some places, dryness occurs in routine, like in Serut Village, Gedangsari Subdistrict, Gunung Kidul Regency. However, this place actually has potential water resources which has not been developed yet. Serut Village Area has a river (Kalinongko) with a slope which is located in the beginning of the bridge. The size of the DAS (Daerah Aliran Sungai-River Watercourse Area) of this river is 48 ha, the slope part in the side of the bridge is possibly to be made ‘embung’. If there is embung which is made in this location, water volume which can be accomodated by the embung is 31.000 m3, water volume which is longed by Serut Village society and its surrounding. berarah timur sedikit sekitar 20 km.
I. PENDAHULUAN
tenggara
dan
berjarak
Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam (SDA) terbarukan, sesuai dengan kondisi di egara kita yang memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau, maka air tersedia melimpah di musim hujan namum di banyak tempat kekurangan air pada musim kemarau. Oleh karena itu perlu pengaturan SDA dengan cara menampung pada waktu musim penghujan dan memanfatakannya pada waktu musim kemarau. Pada beberapa tahun belakang-an ini Desa Serut, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, merupa-kan salah satu wilayah/daerah yang selalu kekurangan air setiap tahunnya pada musim kemarau. Sementara itu wilayah ini sebenarnya mempunyai potensi untuk pengembangan SDA yaitu dengan cara membuat tampungan (retensi) embung yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebuthan air di musim kemarau. Tampungan embung dibuat pada Sungai Kalinongka yang berupa tampungan memanjang (long storage). 1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian ini mempunyai maksud dan tujuan mengoptimalkan sumber daya alam yang kita miliki untuk mensejahterakan masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat Desa Serut, Kecamatan Gedangsari dan sekitarnya. 1.3. Lokasi Desa Serut ini terletak di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, arah dari kota Yogyakarta
Gambar 1. : Lokasi Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Analisis hidrologi untuk tampungan embung, meliputi tiga hal yaitu aliran masuk (inflow) yang mengisi embung, tampungan (daya tampung) embung berhubungan dengan tofografi rencana lokasi embung dan banjir desain untuk menentukan kapasitas & dimensi bangunan pelimpah (Puslitbang Pengairan, 1994). Debit banjir rancangan dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan rangkaian data debit, jika catatan data debit tersebut tersedia tetapi jika catatan data debit tidak ada, namum catatan data hujan tersedia cukup banyak/panjang, maka debit rancangan dapat dilakukan dengan pengalihragaman hujan rancangan menjadi debit rancangan (Sri Harto, 1990).
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
247
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
III. LANDASAN TEORI 3.1. Umum Volume Desain Embung Volume desain embung ditentukan berdasarkan 3 kriteria, yaitu volume tampungan berdasarkan kebutuhan air, volume tampungan berdasarkan ketersediaan air dan volume tampungan berdasarkan kondisi topografi. Volume tampungan yang dipakai diantara 3 (tiga) volume tersebut adalah yang nilainya terkecil. 3.1.a. Volume Berdasarkan Kebutuhan Air (Vn) Kolam embung direncanakan dapat menampung penuh air di musim hujan dan kemudian dioperasikan selama musim kemarau untuk melayani berbagai kebutuhan, oleh karena itu volume tampung embung yang akan dibangun harus dapat memenuhi kebutuhan pada saat musim kemarau. Selain itu juga harus mempertimbangkan kehilangan air oleh penguapan di kolam dan resapan di dasar dan di dinding kolam, serta menyediakan ruangan untuk sedimen. Jadi Volume tampung yang diperlukan (Vn) untuk embung adalah : Vn = Vu + Ve + Vi + Vs . . . . .. . . . . . .(3.1.) dengan : Vn = Volume tampungan berdasarkan kebutuhan air (m3) Vu = volume tampungan hidup untuk melayani berbagai kebutuhan (m3) Ve = jumlah penguapan dari kolam selama musim kering (m3) Vi = jumlah resapan melalui dasar dinding dan tubuh embung selama musim kemarau (m3) Vs = ruangan yang disediakan untuk sedimen (m3) a). Volume tampungan hidup untuk pelayanan berbagai kebutuhan (Vu) Kebutuhan air yang harus dilayani embung (Vu) diperhitungkan dari macam penggunaan air oleh penduduk di daerah pelayanan. Persamaan berikut dipakai untuk menghitung kebutuhan air tersebut. Vu = Jh x JKK x Qu . . . . .. . . . . . . . . . (3.2) dengan : Jh = Jumlah hari selama musim kemarau, = 6 bulan x 30 hari =180 hari. JKK = Jumlah KK yang dilayani Qu = Kebutuhan air penduduk, ternak dan kebun (l/hari/KK) Satuan kebutuhan air untuk penduduk, ternak dan kebun diambil dari buku Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering di Indonesia oleh Puslitbang Pengairan PU 1994 (Tabel 3.1). Kebutuhan air dihitung berdasarkan jumlah KK, dengan anggapan setiap KK mempunyai ternak dan kebun
248
Tabel 3.1. : Satuan Kebutuhan Air (SKA) Uraian Kebutuhan Air (l/hari/KK) 150 Penduduk Ternak 200 Kebun 450 Jumlah 800
b).
Jumlah penguapan dari kolam selama musim kering (Ve)
Penguapan selama musim kemarau perlu diperhitungkan dalam penentuan volume embung. Penguapan di permukaan kolam embung dihitung secara sederhana seperti berikut ini. Ve = 10 x Akt x Σ Ekj. . . . . . . . . . . . . . (3.3) dengan : Ve = jumlah penguapan dari kolam embung selama musim kemarau (m3) Akt = luas permukaan kolam embung pada setengah tinggi/kedalaman (ha) Ekj = penguapan bulanan di musim kemarau pada bulan j (mm/bulan ) c). Jumlah resapan melalui dasar dinding dan tubuh embung (Vi) Air tampungan di kolam embung sebagian mengalami infiltrasi yang nilainya cukup signifikan sehingga harus dihitung jumlah kehilangan air tersebut. Besarnya resapan ini tergantung dari sifat lulus air tanah dasar dan dinding embung. Secara teoritis analisis resapan air cukup rumit, namun pada pekerjaan ini analisis resapan memakai pendekatan praktis yang diberikan oleh Puslitbang Pengairan seperti berikut ini. Vi = K x Vu . . . . . . . . . . . . . . . . (3.4) dengan : Vi = jumlah resapan tahunan (m3). K = factor yang nilainya tergantung dari sifat lulus air material dasar dan dinding kolam embung. Vu = Jumlah air untuk berbagai kebutuhan (m3) Nilai K = 10 % bila dasar dan dinding kolam embung rapat air (k=10-5cm/dt ) Nilai K = 25 % bila dasar dan dinding kolam embung bersifat semi lulus air (k = – 10-4 cm/dt ). d). Ruangan yang disediakan untuk sedimen (Vs) Untuk memperpanjang umur suatu embung perlu ruang untuk sedimen. Secara praktis ruang sedimen dianggap setinggi 1,0 m dari dasar kolam embung atau kurang lebih 5 % dari Vu. Vs = 0,05 x Vu . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.5)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.1.b.
Volume Berdasarkan Ketersediaan Air (Vh)
Air yang mengalir ke dalam embung terdiri atas dua kelompok, yaitu air permukaandariseluruh daerah tadah hujan (tangkapan) dan air hujan yang langsung jatuh diatas permukaan kolam. Dengan demikian jumlah air yang masuk ke dalam embung dapat dinyatakan sebagai berikut : Vh = Vj + 10.Akt.Rj . . . . . . . . . .. . . . (3.6) dengan : V h = volume air yang dapat mengisi kolam embung \ selama musim hujan (m3) Vj = aliran bulanan pada bulan j (m3/bulan) Vj = jumlah aliran total selama musim hujan (m3) Rj = curah hujan bulanan pada bulan j (mm/bulan) Rj = curah hujan total selama musim hujan (mm), curah hujan musim kemarau diabaikan Akt = luas permukaan kolam embung (ha)
tertentu, yaitu menunjukkan kemungkinan besarnya curah hujan akan tersamai atau terlampaui selama periode waktu tertentu. Beberapa sebaran (distribusi) yang akan digunakan dalam melakukan analisis frekwensi antara lain sebaran normal, log normal, log pearson III dan sebaran Gumbel. Pemilihan jenis sebaran terhadap suatu seri data tertentu ditentukan oleh sifat-sifat parameter statistiknya, adapun parameter-parameternya tersebut adalah sebagai tersebut di bawah : Yr =
Yi
. . . . . . . . . . . . . . . . . . .(3.9.a)
N N
S=
(X i 1
i
X )2
N 1 S . . . . . . . . . . . . . . . .. (3.9.c)
Cv = Y r
N Cs = ( N 1)( N 2 ) S 3
a). Aliran Masuk Kolam Embung (Inflow = Vj)
. . . . .. . . . . . (3.9.b)
(Y Y ) i
r
3
.(3.9.d)
N2 4 Ck = 4 (Yi Yr ) .(3.9.e) ( N 1)( N 2)( N 3)S
Aliran masuk kolam embung Vj adalah : Vj = 10 x Cj x Rj x A . . . . . . . . . . . . . . (3.7.a) V = Σ Vj . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (3.7.b) dengan : Vj = aliran bulanan dari seluruh DPS pada bulan j (m3/bl) Rj = hujan bulanan pada bulan j (mm/bl) Cj = koefisien pengaliran pada bulan j A =luas daerah tadah hujan DPS efektif (ha) V = Aliran masuk ke kolam embung (m3)
dengan : Yi = data hujan R.24 maksimum pada tahun ke – i, Yr = rata-rata dari suatu seri data hujan, N = jumlah data hujan, S = standar deviasi, Cv = koefisien variasi, Cs = koefisien asimeteri, Ck = koefisien kurtosis. 3.3 Pemilihan Distribusi Secara teoritis masing-masing distribusi akan dicirikan oleh nilai-nilai koefisien statistik, yang meliputi harga rata-rata, standar deviasi, koefisien variasi, koefisien kemencengan, dan koefisien kurtosis. Secara lengkap Tabel 3.2., menampilkan nilai-nilai koefisien yang mencirikan untuk setiap jenis distribusi tersebut.
b). Hujan Efektif Hujan efektif dimaksudkan sebagai hujan yang jatuh langsung di kolam embung, yang besarnya dapat dihitung sebagai persamaan berikut ; Vhe = 10 x Akt x Σ Rj . . . . . . . . . . . . . . (3.8) dengan : Akt = luas permukaan embung Rj = curah hujan total selama musim hujan (mm)
Tabel 3.2. : Persyaratan Distribusi Data
3.1.c. Volume Berdasar Kondisi Topografi (Vp) Volume tampungan embung diperoleh dengan cara membuat tanggul/bendung tegak lurus sungai dengan ketinggian tertentu. Volume tampungan dihitung dengan cara menghitung luasan kontur dikalikan dengan kedalaman rerata rencana genangan. Berdasarkan hasil hitungan dibandingkan antara Vn, Vh & Vp dipilih nilai yang terkecil.
3.2. Analisis Frekwensi Hujan. Analisis frekwensi hujan dilakukan untuk menentukan hujan rencana dengan periode ulang
Sebaran Normal
Syarat Cs = 0 Ck = 3 Log Normal Cs/Cv = 3 Log Pearson III Cs = (+)/ (-) Gumbel Cs = 1.1396 Ck = 5.4002 Sumber : Sri Harto, 2000 Penelitian jenis sebaran dilakukan dengan mencocokan nilai parameter-parameter statistik tersebut dengan syarat-syarat dari masing-masing jenis sebaran. Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
249
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
3.4. Penetapan Banjir Rancangan Analisis banjir rancangan dimaksudkan untuk memperoleh hidrograf banjir rancangan sesuai dengan kala ulang tertentu, yaitu 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun. Sungai Kalinongko/tidak memiliki alat pencatat debit, oleh karena itu untuk menghitung debit banjir rancangan harus digunakan pengarihragaman hujan menjadi debit. Apabila data debit yang tersedia cukup panjang, maka analisis hidrologi untuk menghitung debit banjir rencana dapat dilakukan dengan mudah tanpa harus memahami secara mendalam proses pengalihragaman hujan menjadi banjir. Namun jika debit yang tersedia tidak tersedia cukup, tetapi data hujan cukup panjang maka debit banjir rencana dapat dihitung dengan mengalihragamkan besar hujan rencana menjadi besar debit banjir rencana (Sri Harto,2000). 3.5. Penetapan Hujan rancangan Data hujan untuk DAS sungai Kalinongko diambil dari tigastasiun yaitu Kedungkeris, Prambanan dan Wanagama. Data-data tersebut akan dianalisis dengan cara statistik probabilitas. Hasil analisis akan menentukan jenis sebaran (distribusi), selanjutnya akan ditentukan hujan rancangannya.
W
. . . . . . . . . . . .(3.10.c)
IV. PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA Pengumpulan data dibedakan untuk pengumpulan data sekunder dan data primer, data sekunder dimaksukan sebagai data yang diperoleh dari instansi lain sedangkan data primer sebagai data yang diperoleh langsung dari lapangan. 4.1. Data Sekunder a). Data Hidrologi, berupa data hujan dari Setasiun hujan Kedungkeris, Wonogomo dan Prambanan dari tahun 1987 sd 2007
Q = 0,278 x C x I x A . . . .. . . . . . . . . . . (3.10) dengan : Q = debit puncak banjir (m3/det) C = koefisien aliran I = intensitas hujan selama waktu tiba banjir (mm/jam) A = luas DPS (km2), diukur dari peta topografi Koefisien aliran C diperkirakan dengan menggunakan tabel mononobe. Apabila tersedia data aliran koefisien aliran dapat ditentukan dengan membandingkan antara aliran langsung yang diakibatkan oleh hujan pada suatu periode banjir dengan jumlah curah hujan rata-rata pada DAS yang bersangkutan. Koefisien aliran menurut mononobe dapat diperiksa pada tabel 3.1. Intensitas hujan selama waktu tiba banjir dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
250
0,6
dengan : T = Waktu tiba banjir (jam), L = panjang segmen sungai dari titik terjauh dalam DAS s.d. titik yang ditinjau (m), W = kecepatan banjir (km/jam), l = Intensitas hujan rencana..
3.6. Cara hitungan banjir rancangan Analisis ini dilakukan berdasarkan asumsi hujan dengan kala ulang tertentu akan menghasilkan debit dengan kala ulang tertentu (kala ulang yang sama). Pemilihan cara analisis banjir tergantung luas DPS yang bersangkutan, karena luasnya kurang dari 10 km2, maka dipakai cara rasional :
R 24 I = 24 T L T = W
H L
= 72
0 , 67
. . . . . . .. . . . . . . . (3.10.a) . . . . . . . . . . . . . . . . (3.10.b)
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
Tabel 4.1. : Jumlah hujan bulanan ketiga setasiun Bulan Kedungkeris Wonogomo Prambanan Januari 285.000 Pebruari 296.728 Maret 255.515 April 142.632 Mei 56.918 Juni 62.489 Juli 14.494 Agustus 6.733 September 24.835 Oktober 70.250 Nopember 173.800 Desember 200.047 Sumber : Balai Besar POO
304.620 230.687 174.685 130.550 58.650 25.273 15.729 8.279 8.460 75.433 166.664 285.864
320.130 343.087 298.957 169.478 61.739 3.797 17.253 14.955 16.182 71.818 168.545 281.409
Tabel 4.2. : Prakiraan Inflow masuk Embung Bulan Rerata 80 % jml hjn Koef. Inflow kolam Pengaliran Embung (m3/bl) Januari 303.250 242.60 0.75 88136.622 Pebruari 290.167 232.13 0.72 80960.809 Maret 243.052 194.44 0.69 64989.395 April 147.553 118.04 0.66 37738.699 Mei 59.102 47.28 0 0.000 Juni 30.520 24.42 0 0.000 Juli 15.825 12.66 0 0.000 Agustus 9.989 7.99 0 0.000 September 16.492 13.19 0 0.000 Oktober 72.501 58.00 0 0.000 Nopember 169.670 135.74 0.72 47340.349 Desember 255.773 204.62 0.81 80285.044 Jumlah 399450.918 Sumber : Analisis Peneliti
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
a). Data pengukuran rencana embung skala 1 : 400 Hasil pengukuran terlampir. b). Data geologi dan mekanika tanah Berdasarkan pengamatan terdapat sesar patahan tetapi sudah tidak aktif dan hasil uji kebocoran aman artinya tidak bocor dan pemeriksaan pengeboran sampai 1,60 m mencapai batuan tuf asam yang sangat keras dan hasil pemeriksaan laboratorium tanah mempunyai batas cair 48 %, batas plastic 28 % atau indeks plastisitas 20 %, artinya tanah dapat dipakai untuk timbunan (Puslitbang Pengairan, 1994).
Tabel 4.3. : Hujan harian maksimum tahunan Nomor
Hujan Harian Maksimum Rereta H (mm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
39.50 41.40 44.67 45.00 51.33 51.67 53.50 55.97 60.00 62.53 63.67 63.90 70.00 71.75 72.50 73.30 75.00 78.00 83.00 93.35 125.00 144.97 150.00
V. ANALISIS PERHITUNGAN
Sumber Analisis Peneliti b). Data peta dari Bakosurtanal, berupa peta rupa bumi skala 1 : 25.000 c). Data jumlah penduduk dari dua Kabupaten Data jumlah penduduk di sekitar lokasi Embung Serut diperlukan untuk menentukan jumlah kebutuhan air. Data Jumlah penduduk tersebut diperoleh dari survey dilapangan, dengan hasil sebagai berikut ini. Tabel 4.3. : Jumlah KK Daerah Embung Serut No Dusun Jumlah KK 1 Kalinongko Lor 171 2 Kalinongko Kidul 165 3 Kayoman 253 Jumlah 599 Sumber : RT Dusun Kayoman & KalinongkoLor
Jumlah kebutuhan air yang dibutuhkan masyarakat sebesar jumlah KK dikalikan satuan kebutuhan air sesuai tabel 3.1. sebagai tabel 4.4. berikut :
Kapasitas tampungan embung didasarkan pada kebutuhan air didasarkan pada : 5.1. Kebutuhan (Vn = Vu + Ve + Vi + Vs) a). Kebutuhan pelayanan dalam satu tahun (Vu) Vu = 86.256 m3 (sudah dihitung tabel 4.4) b). Kebutuhan air untuk penguapan (Ve) Besar penguapan merupakan faktor dari penyinaran/panas matahari, kecepatan angin, vegetasi penutup, besarnya penguapan diambil sebesar 3,5 mm/hari (berdasarkan pengukuran penguapan di tempat terbuka sebesar 3,5 - 4 mm/hari). Jika luas genangan diambil 1 ha ( 10.000 m2), maka air yang hilang selama satu tahun ( enam bulan) Ve = 180 x 10.000 x 0,0004 = 6.300 m3 c). Kebutuhan air untuk rembesan (Vi) Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium besarnya permiabilikats tanah k = 2 x 10 -6 cm/dt, maka menurut persamaan 3.4. nilai K = 0,10 dan Vi = 0,10 x Vu = 8.325 m3/th d). Kebutuhan air untuk ruang sedimen (Vs) Untuk memperpanjang umur suatu embung perlu ruang untuk sedimen. Secara praktis ruang sedimen dianggap setinggi 1,0 m dari dasar kolam embung atau kurang lebih 5 % dari Vu. Vs = 0,05 x Vu = 0,05 * 86.256 = 4.312 m3 Volume kolam embung berdasarkan kebutuhan air (Vn) adalah sebesar : Vn = Vu + Ve + Vi + Vs = 105.193 m3 5.2. Ketersediaan Air (Vh) Vj = 399.450 m3/th Vhe = 10 x 1 x 1291 =12.910 m3 Vh = Vj + Vhe = 412.360 m3/tahun
Tabel 4.4. : Kebutuhan Air Untuk Satu Tahun No
Jumlah SKA KK (lt/hr/KK)
1 599 800 Sumber Analisis Peneliti
Kebutuhan/ Kebutuhan hari (m3) (m3)
479,200
4.2. Pengumpulan Data Primer
86.256
-
Kondisi Topografi (Vp)
Volume tampungan embung diperoleh dengan cara membuat tanggul/bendung tegak lurus sungai dengan ketinggian tertentu. Volume dihitung dengan cara menghitung luasan kontur dikalikan dengan kedalaman rerata rencana genangan. SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
251
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Berdasarkan hasil trial error dari peta hasil pengukuran didapat volume sebesar 31.000 m3, yaitu volume pada elevasi mercu pelimpah +235.00 m, tinggi badan embung 14,00 m dan genangan l seluas 7894 m2.
-
Dimensi Saluran Pelimpah
Tabel 5.1. : Pemilihan Volume Tampungan Embung No 1 2 3
Berdasarkan Kebutuhan air Ketersediaan air Kondisi Tofografis
Volume (m3) 105.193 412.360 31.000
Volume menentukan dipilih terkeci 31.000 m3
Gambar 5.1. : Tampang memanjang Spillway
- Perhitungan Hujan Rancangan Analisis Frekuensi dilakukan pada data hujan maksimal untuk menghasilkan hujan rancangan dan selanjutnya dihitung debit rancangan dengan cara rasional yang hasilnya sebagai tabel berikut :
Saluran Pelimpah (Spillway) dibuat selebar b = 4,30 m, dibuat sama dengan lebar jembatan dimaksudkan agar tidak terjadi perubahan sifat aliran sebelum dan sesudah dibuat embung
Tabel 5.2. : Hujan rancangan Wilayah Desa Serut Tr (th) 2 5 10 25 50 100 200
PT (%) 50 20 10 4 2 1 0.5
G
G*S
-0.124 0.785 1.335 1.980 2.430 2.857 3.268
-0.0196 0.1242 0.2112 0.3133 0.3845 0.4521 0.5170
Log H H rancangan mm 1.812 64.799 1.955 90.241 2.042 110.264 2.144 139.475 2.216 164.325 2.283 191.986 2.348 222.959
Sumber Analisis Peneliti
Tabel 5.3. : Debit banjir rancangan S. Kalinongko Kala Ulang
Tinggi Hujan
Intensitas
Debit (m3/dt)
2 5 10 25 50 100
64.7993 90.2415 110.2645 139.4753 164.3249 191.9862
34.6155 50.1396 66.3778 88.4155 110.6147 132.4079
3.2630 4.7264 6.7040 9.5251 11.9166 14.2644
Sumber Analisis Peneliti
252
2 hkr = 3 (12 / 4 , 3 ) / 9 , 80 = 0,9262 m
kedalaman aliran di atas mercu pelimpah : h = 3/2 hkr = 1,39 m Elevasi tanggul banjir = 235 + 1,40 + 0,50 = + 236,90 m
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis pemanfaatan potensi sumber daya air di Desa Serut dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut : a). Volume tampungan embung direncanakan 31.000 m3, dengan tinggi badan embung 14 m < 15 m persyaratan tinggi maksimal embung. b). Lebar saluran pelimpah diambil sama dengan lebar jembatan yang ada b = 4,30 m, dimaksudkan akan tidak terjadi perubahan sifat aliran di hulu jembatan, c) Diharapkan sebagian masyarakat tercukupi kebutuhan airnya, d). Adanya embung akan menyangga keberadaan air tanah di dekat lokasi, sehingga sumur penduduk airnya dapat diambil lagi. e). Guna menjaga keberadaan air agar vegetasi DAS di daerah hulu diperbaiki, dengan tanaman yang dapat menambah hasil bagi masyarakat, f). Perlu dicermati lagi tinggi embung yang paling ekonomis
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR PUSTAKA DPU, 1994, Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering di Indonesia, Puslitbang Pengairan, DPU, Bandung Sri Harto, 2000, Analisis Hidrologi, PT. Gramedia, Jakarta. Sudjarwadi, 1987, Teknik Sumber Daya Air, KMTS UGM, Yogyakarta.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
253
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
REALISASI SISTEM PENGUPAHAN TENAGA KERJA PEREMPUAN PADA PERUSAHAAN PEMBORONG BANGUNAN DI YOGYAKARTA Ridayati Dosen Teknik Sipil STTNAS
[email protected] ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui realisasi pelaksanaan sistem pengupahan terhadap tenaga kerja perempuan pada perusahaan pemborong bangunan di Yogyakarta. Jika ditinjau dari tingkat nasional perempuan merupakan aset negara yang cukup potensial karena jumlah wanita lebih banyak dibanding laki-laki, dengan demikian kurang tepat jika wanita hanya diposisikan dalam pekerja di sektor domestik. Dalam tahun tahun terakhir ini sudah banyak perempuan yang bekerja di perkantoran seperti misalnya Pegawai negeri, Polisi, karyawan hotel, buruh bangunan, dll. Berdasarkan data yang diperoleh dari tiga kegiatan proyek konstuksi yaitu di Proyek pembangunan rumah dinas Kantor Imigrasi dan Beacukai, Proyek Pembangunan kantor Pengadilan Tinggi Yogyakarta, PPPG Matematika Catur Tunggal Depok Sleman dapat di ketahui bahwa tidak terjadi diskriminasi dalam pengupahan pekerja (antara laki-laki dan perempuan). Sebagai contoh untuk proyek pembangunan rumah dinas Kantor Imigrasi dan Beacukai upah pekerja berkisar antara Rp 28.000,00 – Rp 35.000,00 sesuai dengan jenis pekerjaannya, dan tidak ada perbedaaan upah antara laki-laki dan perempuan. Umumnya para pekerja yang bekerja pada perusahaan pemborong bangunan gedung rata rata berumur sekitar 20 sampai dengan 45 tahun yang kebanyakan tidak lulus SD, tamatan SD dan beberapa tamatan SMP. Rata rata mereka bekerja 7 jam sehari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya perlakuan diskriminatif terhadap para tenaga kerja dalam sistem pengupahan oleh pengusaha pada jenis pekerjaan yang sama nilainya. Faktor faktor yang mendukung tidak dilakukannya tindakan diskriminatif dikarenakan para pengusaha memahami betul tentang peraturan perundang undangan yang berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap tenaga kerja pada perusahaan pemborong bangunan di Yogyakarta. Kata kunci: Sistem pengupahan, tenaga kerja, perusahaan pemborong bangunan.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kondisi sosial ekonomi di Yogyakarta, khususnya pedesaan yang cenderung lambat disebabkan beberapa faktor, diantaranya kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai. Salah satu faktor yang mempengaruhi kurangnya kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan yang rendah, terutama di kalangan kaum perempuan. Rendahnya tingkat pendidikan dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial. Rendahnya tingkat ekonomi menyebabkan pendidikan, terutama untuk kaum perempuan, cenderung dinomorduakan. Sedangkan ditinjau dari aspek sosial, pandangan masyarakat bahwa kaum perempuan tidak harus menempuh pen-didikan hingga tingkat lanjut masih berkembang di masyarakat. Akibatnya, kualitas sosial dan tingkat pengetahuan kaum perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki. Kaum perempuan pun cenderung menghadapi kendala yang lebih banyak ketika hendak bekerja untuk sekedar membantu meningkatkan keadaan perekonomian keluarganya, sebab menurut anggapan sebagian orang, perempuan hanya cocok bekerja pada sektor domestik seperti mengasuh anak, memasak, dan mengerjakan pekerjaan rumah
254
tangga lainnya sedangkan kaum laki-laki tugasnya adalah bekerja di sektor publik seperti menjadi pegawai negeri, karyawan swasta, pengusaha, politikus, sampai buruh bangunan. Anggapan sebagian orang yang seperti tersebut diatas di jaman sekarang yang berada dalam suasana hidup global adalah kurang tepat sebab apa yang dikerjakan lakilaki adalah dapat juga dikerjakan oleh kaum perempuan. Jika ditinjau dari tingkat nasional perempuan merupakan aset negara yang cukup potensial karena jumlah wanita lebih banyak dibanding laki-laki, dengan demikian kurang tepat jika wanita hanya diposisikan dalam pekerja di sektor domestik. Dalam tahun tahun terakhir ini sudah banyak perempuan yang bekerja di perkantoran seperti misalnya Pegawai negeri, Polisi, karyawan hotel, dll. Namun pekerjaan seperti itu dituntut pendidikan yang tinggi, bagaimana dengan perempuan pedesaan yang tidak berpendidikan tinggi? Khusus bagi pekerja garment dan pekerja bangunan tidak menuntut pendidikan yang tinggi, sebab memang lapangan pekerjaan seperti tersebut tidak menuntut pendidikan yang tinggi. Pada perusahaan seperti disebut tadi banyak menampung para pekerja perempuan. Bagi perempuan yang
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
bekerja pada sektor publik seperti tersebut tadi tidak melupakan pekerjaan domestiknya oleh karena itu adalah tepat apabila perempuan dikatakan mempunyai peran ganda. B. Batasan Masalah Dalam tulisan ini difokuskan pada pekerja perempuan yang bekerja pada perusahaan pemborong bangunan gedung. Dalam pengamatan sementara, pada sistem pengupahannya terutama dalam hal besarnya upah yang diterima kiranya relatif berbeda atau terjadi diskriminasi bila dibandingkan dengan pekerja laki-laki dalam jenis pekerjaan yang sama nilainya. Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah proyek bangunan gedung, diantaranya adalah Proyek pembangunan rumah dinas Kantor Imigrasi dan Beacukai yang berlokasi di Kalitirto, Berbah, Sleman. Proyek Pembangunan kantor Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang berlokasi di Jalan Ringroad Selatan, Wojo, Bantul, Yogya. PPPG Matematika Catur Tunggal Depok Sleman. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Realisasi pelaksanaan sistem pengupahan terhadap tenaga kerja perempuan pada perusahaan pemborong bangunan di Yogyakarta. DASAR TEORI Para pendiri negeri ini sungguh sangatlah arif dan bijaksana dalam menyusun UUD 45 menghargai peran perempuan pada masa silam dan mengantisipasi pada masa yang akan datang dengan tidak ada satu kata pun yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Konstitusi ini dengan tegas menyatakan persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan. Menurut kondisi normatif, laki-laki dan perempuan mempunyai status atau kedudukan dan peranan (Hak dan kewajibannya) yang sama, akan tetapi menurut kondisi obyektif, perempuan mengalami ketertinggalan yang lebih besar dari pada pria dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi obyektif ini tidak lain disebabkan oleh norma sosial dan nilai sosial budaya yang masih berlaku di masyarakat. Norma sosial dan nilai sosial budaya tersebut, diantaranya disatu pihak, menciptakan status dan peranan perempuan di sektor domestik yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan dilain pihak, menciptakan status dan peranan laki-laki di sektor publik yakni sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Dalam sistem kekerabatan patrilinear, menurut White dan Hastuti (1980) ada adat dalam perkawinan yang biasanya perempuan
mengikuti laki-laki atau tinggal di pihak kerabat suami, merupakan salah satu faktor yang secara relatif cenderung mempengaruhi status dan peranan perempuan yakni status dan peranan perempuan menjadi lebih rendah dari pada laki-laki. Selain itu perempuan tidak bisa menjadi pemilik tanah dan kekayaan yang lain melalui hak waris, sehingga status dan peranan perempuan menjadi lebih lemah dari pada laki-laki. Hal ini juga menyebabkan sumber daya pribadi (Khususnya yang menyangkut tanah, uang atau material) yang dapat disumbangkan oleh wanita kedalam perkawinan atau rumah tangga mereka menjadi sangat terbatas, akibatnya status dan peranan perempuan menjadi lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Blood dan Walfe (1960) sumber daya pribadi bisa berupa pendidikan, keterampilan, uang atau material, tanah, dll. Akibat masih berlakunya berbagai norma sosial dan nilai sosial budaya tersebut di masyarakat maka akses wanita terhadap sumber daya dibidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan menjadi terbatas. Untuk memperkecil keadaan yang merugikan wanita itu perlu pemahaman dan penghayatan yang baik tentang peranan wanita dalam pembangunan. Dalam kapasitas sebagai pekerja, para pekerja perempuan mempunyai hak yang sama dengan pekerja laki-laki dan hal tersebut diatur dalam pasal 2 ayat 1 Pernyataan umum hak asasi manusia sedunia yang menyatakan ”Setiap orang berhak atas segala hak dan kebebasan diuraikan dalam pernyataan ini, tanpa perbedaan macam apapun, seperti ras, warna, kelamin, bahasa, agama, pendapat, politik apapun, asal nasional atau sosial, harta, kelahiran, atau status sosialnya”. Di Indonesia tentang Hak Asasi Manusia (HAM) diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 (UU No.39 Th. 1999) pasal 3 ayat 1 yang menyatakan ”Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan”. Dalam hubungannya perempuan sebagai pekerja pada perusahaan bangunan gedung, seharusnya tidak ada perlakuan diskriminasi pada sistem pengupahan khususnya dalam besaran upah pada jenis pekerjaan yang sama, yaitu laki-laki diberikan upah lebih tinggi dibandingkan perempuan pada jenis pekerjaan yang sama dan juga pada jumlah jam yang diberlakukan yaitu perempuan diberikan jumlah jam yang lebih panjang dibanding laki-laki mengingat perempuan tidak segesit dan sekuat laki-laki dalam bekerja. Hal tersebut diatur dalam pasal 113 ayat 2 UU no 25 Tahun 1997 dan pasal 1 ayat 3 serta pasal 3 ayat 1 UU no.39 Tahun 1999 dan memang UU yang dibuat untuk kaum buruh Indonesia dimaksudkan untuk melindungi mereka. Mengapa? Kaum buruh
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
255
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
(yang hanya memiliki tenaga) berada dalam posisi yang rentan dibandingkan dengan kaum pengusaha (yang memiliki modal) dan penguasa (yang memiliki kuasa politik). Oleh karena itu, niat untuk merevisi UU Ketenagakerjaan (yang dianggap memihak kaum buruh) adalah a-historis. Upaya revisi UU Ketenagakerjaan hanya bisa dilakukan untuk makin melindungi kaum buruh, dan bukan sebaliknya (Imam Soepomo, 1975). Indonesia pernah punya kisah menarik untuk pembatalan UU Ketenagakerjaan yang tidak pro buruh. Pada masa akhir pemerintahannya, rezim Soeharto, melalui DPR-nya, mengesahkan UU No 25/1997 mengenai Ketenagakerjaan. Dalam proses pembahasan RUU ini juga berlangsung penentangan yang meluas dari kaum buruh dan aktivis pembelanya. UU ini akhirnya disahkan tanpa pernah berlaku, karena pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, UU ini dibatalkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1/1999 dan kembali ke UU No 14/1969 mengenai Pokok-pokok Ketenagakerjaan yang lebih mengakomodasi kepentingan kaum buruh. (http://groups.yahoo.com/group/nasionallist/message/32799) HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum tentang Perusahaan Pemborong Bangunan di Yogyakarta Yogyakarta merupakan wilayah yang cukup luas dan padat penduduknya, sudah barang tentu dalam mencari pekerjaan dalam berbagai sektor sangat selektif baik disektor formal maupun non formal, jelas mereka yang tidak berpendidikan tinggi akan terisolir, sehingga banyak dari mereka khususnya yang tidak berpendidikan tinggi baik laki-laki maupun perempuan asal bekerja saja yaitu termasuk mencari pekerjaan sebagai pekerja bangunan gedung, apakah bangunan gedung itu milik pemerintah, swasta maupun milik pribadi sekalipun. Kita ketahui bahwa pekerjaan bangunan gedung milik pemerintah maupun swasta belakangan ini tidak sebanyak sepuluh tahun yang lalu. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti misalnya adanya krisis moneter yang melanda negara kita (Indonesia) yang cukup berkepanjangan dan adanya Gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006 yang menambah panjang keadaan yang tidak menguntungkan bagi Negara Indonesia umumnya
256
dan khususnya bagi Yogyakarta. Hal tersebut sangat berpengaruh bagi kelangsungan jalannya proyek proyek bangunan gedung yang ada di Yogyakarta. Akibatnya tidak sedikit para pengusaha pemborong bangunan gedung tutup atau bangkrut dan merumahkan karyawannya. Walaupun demikian tidak menyurutkan niat orang orang baik laki-laki maupun perempuan desa untuk datang ke kota untuk mencari pekerjaan sekalipun hanya sebagai pekerja bangunan (Pekerja kasar). Dalam proses pembangunan gedung banyak terserap tenaga kerja, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagai pekerja bangunan dituntut keuletan, ketrampilan dalam melakukan pekerjaan disamping juga memperhitungkan masalah fisik para pekerja yang bersangkutan. Penelitian ini khusus menekankan pada pekerja wanita yang bekerja pada perusahaan pemborong bangunan gedung di Yogyakarta dan tidak membahas pekerja wanita yang bekerja pada proyek jalan , proyek jembatan dan lain lainnya. Umumnya para pekerja yang bekerja pada perusahaan pemborong bangunan gedung rata rata berumur sekitar 20 sampai dengan 45 tahun. Dilihat dari sudut pendidikannya sebagian besar tidak lulus SD, tamatan SD dan beberapa tamatan SMP, namun sebaliknya dipihak pengusaha rata rata pendidikannya S1 dan S2. Sistem Pengupahan Terhadap Tenaga Kerja Berdasarkan data yang diperoleh dari tiga kegiatan proyek konstuksi yaitu di Proyek pembangunan rumah dinas Kantor Imigrasi dan Beacukai, Proyek Pembangunan kantor Pengadilan Tinggi Yogyakarta, PPPG Matematika Catur Tunggal Depok Sleman dapat di ketahui bahwa tidak terjadi diskriminasi dalam pengupahan pekerja (antara laki-laki dan perempuan). Sebagai contoh untuk proyek pembangunan rumah dinas Kantor Imigrasi dan Beacukai upah pekerja berkisar antara Rp 28.000,00 – Rp 35.000,00 sesuai dengan jenis pekerjaannya, dan tidak ada perbedaaan upah antara laki-laki dan perempuan. Meskipun dalam sistem pengupahan tidak ada perbedaan tetapi dalam komposisi jumlah pekerja antara laki-laki dan perempuan masih terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan perbandingan rata-rata 1:3. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel berikut :
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Tabel 1. Proyek pembangunan rumah dinas kantor Imigrasi dan Beacukai
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah pekerja
Laki laki Upah/ pekerja/hari (Rp)
Total upah/ hari (Rp)
Jumlah pekerja
Perempuan Upah/ pekerja/hari Total upah/ (Rp) hari (Rp)
1
Tukang
30
35000
1050000
0
35000
0
2
Laden Tukang
60
28000
1680000
30
28000
840000
3
Kepala Tukang
6
37500
225000
0
37500
0
4
Mandor
2
40000
80000
0
40000
0
Jumlah
98
140500
3035000
30
140500
840000
Tabel 2. Proyek Pembangunan Kantor Pengadilan Tinggi Yogya
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah pekerja
Laki laki Upah/ pekerja/hari (Rp)
Total upah/ hari (Rp)
Perempuan Upah/ pekerja/hari (Rp)
Jumlah pekerja
Total upah/ hari (Rp)
1
Tukang
35
35000
1225000
0
35000
0
2
Laden Tukang
65
27500
1787500
20
27500
550000
3
Kepala Tukang
6
37500
225000
0
37500
0
4
Mandor
2
40000
80000
0
40000
0
Jumlah
108
140000
3317500
20
140000
550000
Tabel 3. Proyek PPPG Matematika No
1
Jenis Pekerjaan
Jumlah pekerja
Laki laki Upah/ pekerja/ Hari (Rp)
Total upah/ hari (Rp)
Jumlah pekerja
Perempuan Upah/ Total pekerja/ upah/ Hari (Rp) hari (Rp)
25
35000
875000
0
35000
0
65
27500
1787500
10
27500
275000
3
Tukang Laden Tukang Kepala Tukang
6
37500
225000
0
37500
0
4
Mandor
2
40000
80000
0
40000
0
Jumlah
98
140000
2967500
10
140000
275000
2
Dilihat dari lamanya bekerja dalam satu hari baik laki-laki maupun perempuan hasil penelitian menunjukkan rata rata bekerja adalah 7 (tujuh) jam kerja yaitu mulai pukul 08.00-16.00 WIB dengan waktu istirahat 1 (satu) jam yaitu dari pukul 12.00-13.00 WIB. Bila para pekerja melakukan pekerjaan melebihi 7 jam dalam satu hari maka kelebihannya dihitung lembur dengan kelipatan yang tidak sama antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya. Pekerjaan lembur ini
memang sering dijalani oleh para pekerja baik lakilaki maupun perempuan karena ada beberapa pekerjaan yang menargetkan harus segera selesai pada waktu tertentu. Namun pekerjaan lembur tidak dapat dipastikan lamanya bekerja apakah beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan tergantung kondisi fisik dan juga lamanya proyek gedung tersebut. Dalam melakukan pekerjaan seperti itu tidak ada istilah cuti atau hari libur seperti misalnya cuti mingguan, cuti bulanan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
257
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
apalagi cuti melahirkan. Para pekerja bekerja setiap hari kecuali hari hari besar seperti hari ulang tahun kemerdekaan RI, dan pada hari hari seperti itu pekerja juga tidak mendapatkan upah karena memang tidak bekerja. Tetapi sebenarnya tidak dibenarkan oleh undang undang ketenaga-kerjaan jika dalam satu minggu tidak ada hari istirahat bagi pekerja apapun termasuk pekerja bangunan gedung. Larangan mempekerjakan pekerja tanpa istirahat mingguan diatur dalam pasal 102 UU No.25 Tahun 1997. Ketentuan itu berlaku bagi semua pekerja baik laki-laki maupun perempuan dan hal itu tidak ada diskriminasi atas dasar apapun. Dilihat dari sistem pengupahannya, hasil penelitian menunjukkan bahwa para pengusaha pemborong bangunan sudah berlaku adil artinya bahwa baik terhadap para pekerja perempuan maupun pekerja laki-laki tidak ada diskriminasi pada jenis jenis pekerjaan yang nilainya sama. Bahkan pada pekerjaan pekerjaan tertentu seperti plester, aci, labur, memasang keramik banyak dilakukan oleh para pekerja perempuan, karena mereka lebih hati hati dan telaten. Dengan tidak dilakukannya diskriminasi dalam sistem pengupahan terhadap para tenaga kerja perempuan oleh beberapa pengusaha ini dalam pekerjaan yang sama nilainya menunjukkan bahwa pelak-sanaan ketentuan pasal 113 ayat 2 UU No.25 Tahun 1997 sudah berlaku secara efektif. Disamping sudah tidak dilakukan diskriminasi oleh para pengusaha terhadap para pekerja wanita dalam sistem pengupahannya, namun masih perlu di ketahui tentang waktu pengupahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengupahan dihitung harian dan ditambah upah lembur atau kelebihan jam kerja bagi para pekerja yang melakukan jam lembur, sebab ada kalanya pekerja tidak bisa melakukan pekerjaan lembur secara bersama sama. Pelaksanaan pengupahan atau besarnya upah bervariasi atau tidak ada keseragaman antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain yang peneliti jadikan obyek penelitian. Dalam pengupahan ada yang di bayar satu minggu sekali, ada yang dibayar dua minggu sekali, namun belum ditemukan yang dibayar bulanan. Upah itu langsung dibayar oleh mandor karena mandorlah yang berhubungan langsung dengan pekerja (buruh kasar) dan apabila ada pekerja yang tidak bekerja dalam satu hari atau beberapa hari maka terhadap pekerja tersebut tidak akan menerima upah selama tidak bekerja dengan alasan apapun termasuk sakit. Para pekerja harian ini juga tidak mengenal istilah istirahat mingguan atau hari libur resmi, jadi jika mereka ingin libur pada hari hari tertentu langsung saja tidak berangkat dan tidak perlu menggunakan surat ijin dengan konsekwensi tidak mendapatkan upah.
258
Faktor faktor yang mempengaruhi tidak adanya diskriminasi sistem pengupahan. Dilihat dari tingkat pendidikan baik pendidikan para pengusaha yang rata rata S1 dan S2, sedangkan mandor yang sebagai penghubung langsung dengan pekerjanya tingkat pendidikannya paling tinggi SMA, namun para pekerjanya kebanyakan lulusan SD, SMP, bahkan ada yang tidak lulus SD. Bagi para pengusaha dengan tingkat pendidikan yang tinggi memahami betul akan perlindungan hukum terhadap para pekerja yang diatur dalam peraturan perundang undangan yang berlaku baik yang mengatur tentang ketenagakerjaan maupun yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini dapat diketahui dari penelitian yang peneliti lakukan dilokasi penelitian yang menunjukkan bahwa tidak adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap para pekerja perempuan dalam hal pengupahan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pasal 113 ayat 2 UU No.25 Tahun 1997 dan pasal 3 ayat 1 UU No.39 Tahun 1999 sudah berlaku secara efektif. Terlaksananya kedua pasal tersebut tidak terlepas dari tingkat pemahaman tentang peraturan perundang- undangan yang berlaku oleh para pengusaha pemborong bangunan gedung. Faktor pendukung lainnya adalah bahwa para pengusaha ada yang lebih suka mempekerjakan tenaga kerja perempuan dalam jenis pekerjaan tertentu, walaupun fisiknya tidak sekuat laki-laki namun tenaga kerja perempuan dalam hal tertentu mempunyai kelebihan seperti dalam pekerjaan acian atau memasang keramik misalnya, tenaga kerja perempuan lebih hati hati dan lebih sabar dalam bekerja sehingga hasilnya lebih rapi. Tenaga kerja perempuan juga bisa digunakan untuk memacu tenaga kerja laki-laki agar lebih giat dalam bekerja karena jika perempuan saja kerjanya cepat dan giat, maka laki-laki harusnya malu. KESIMPULAN Berdasarkan tujuan penelitian ini dapat diketahui bahwa Realisasi pelaksanaan sistem pengupahan terhadap tenaga kerja pada perusahaan pemborong bangunan di Yogyakarta, adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya perlakuan diskriminatif terhadap para tenaga kerja (baik laki-laki maupun perempuan) dalam sistem pengupahan oleh pengusaha pada jenis pekerjaan yang sama nilainya. 2. Faktor faktor yang mendukung tidak dilakukannya tindakan yang diskriminatif terhadap para tenaga kerja dalam pekerjaan yang sama nilainya, dikarenakan para pengusaha memahami betul tentang per-aturan perundang undangan yang berlaku.
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
DAFTAR PUSTAKA Blood, RO.Jr. and Wolfe, D.M. 1960; Husband and Wives. The Dinamics of Married Living. The Free Press, New York. Imam Soepomo, 1975; Hukum Perburuhan bidang kesehatan kerja (Perlindungan buruh), PT Pradnya paramita, Jakarta. Imam Syahputra Tunggal dan Amin Wijaya Tunggal, 1999; Peraturan perundang undangan ketenagakerjaan baru di Indonesia, Harvarindo. UU No.7 Tahun 1984; Tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita serta penjelasannya. UU No.39 Tahun1999; Tentang Hak Asasi Manusia. White, B. Dan Hastuti, E.L. 1980. Pola pengambilan keputusan ditingkat rumah Tangga dan Masyarakat (Studi Kasus di dua desa di Jawa Barat) Kerjasama antar menteri urusan peranan wanita, Studi Dinamika pedesaan SAE. Bogor, Lembaga Penelitian sosiologi perdesaan IPB dan UUKEF Bogor. http://groups.yahoo.com/group/nasionallist/message/32799
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
259
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
INVASI LAHAN “WEDI KENGSER KALI CODE” STUDI KASUS DI DUSUN BLUYAH GEDE, DESA SINDUADI, KECAMATAN MLATI, KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Achmad Wismoro Staf Pengajar Prodi Teknik Planologi, Jurusan Teknik Sipil STTNAS YOGYAKARTA
Abstrak Fenomena lazimnya perkembangan kota, yaitu terjadinya perkembangan lahan terutama ke arah pinggiran kota atau di dalam kota pada lahan sempadan sungai / ”wedi kengser”, dimana lahan tersebut merupakan kawasan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai, karena pada umumnya melihat adanya peluang lahan yang kepemilikannya kurang diketahui atau dimengerti oleh sebagian besar masyarakat sehingga terjadi invasi/pemanfaatan pada lahan tersebut. Untuk mengetahui faktor yang mendorong proses pemanfaatan / invasi lahan ”wedi kengser kali code”, dilakukan pencaian data dengan memberikan kuesioner kepada warga masyarakat yang bertempat tinggal pada lahan ”wedi kengser kali Code” yaitu RT.05. RT.06, RW.32 dan RT.07, RT.08, RT.09, RW.33 Dusun Blunyah Gede, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Data yang diperoleh dianalisa dengan metoda deskriptif serta menggunakan bantuan komputer program SPSS ver 9,91 for windows 98 untuk mencari nilai mean dan meranking dari tanggapan responden mengenai faktor yang mendorong proses pemanfaatan lahan ”wedi kengser kali Code” Hasil penelitian faktor yang mendorong proses pemanfaatan lahan ”wedi kengser kali Code” yang sangat domoinan dan sangat dibutuhkan untuk mengurangi atau memperkecil terjadinya faktor pendorong proses pemanfaatan lahan ”wedi kengser kali Code” dibuat ranking sebagai berikut : ranking 1. Lama bertempat tinggal dilahan ”wedi kengser kali Code” tanpa adanya peringatan atau teguran dari yang bertanggung jawab (Pemerintah Desa), di lain pihak prasarana dan sarana publik diusahakan dan tersedia melayani masyarakat, yang mengakibatkan merasa tentram dalam hidup sehariannya, dan untuk ranking 2. Ketegasan melaksanakan peraturan hukum dalam menangani lahan sempadan sungai ”wedi kengser kali Code” merupakan salah satu usaha memperlambat proses pemanfaatan lahan ”wedi kengser kali Code”, sedangkan ranking 3. Dengan pendekatan Sosial, Buadaya dan Ekonomi, mengarah kepada kesadaran bahwa lahan sempadan sungai/”wedi kengser” merupakan lahan/kawasan yang harus dilindungi dari segala kegiatan yang akan merusak ekosistem lingkungan sungai. Kata Kunci : Invasi / pemanfaatan, sempadan/wedi kengser
Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota pada hakekatnya disebabkan oleh pertambahan penduduk baik secara alamiah maupun migrasi serta perubahan dan perkembangan kegiatan usahanya yang disebabkan oleh perubahan pola sosial budaya dan sosial ekonomi penduduk tersebut sebagai masyarakat kota (Djoko Sujarto ,1992). Sejalan dengan pertambahan penduduk daerah perkotaan, menurut Panudju (1999) mengakibatkan peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana perkotaan terutama kebutuhan peruma han. Salah satu permasalahan yang sampai sekarang belum bisa diselesaikan adalah penyedia an akan kebutuhan perumahan.Padahal rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi setiap manusia selain sandang, papan dan keamanan. Di dalam masyarakat Indonesia, menurut Yudohusodo (1991), perumahan merupakan
260
pencerminan dan pengejawantahan dari diri pribadi manusia baik secara perorangan maupun dalam suatu kesatuan dan persamaan dengan lingkungan nya. Bahkan di masyarakat ada suatu ungkapan yang berbunyi : Rumahmu, Wajahmu dan Jiwamu. Keadaan perumahan disuatu tempat mencerminkan taraf hidup, kesejahteraan, kepribadian dan peradaban manusia penghuninya dari suatu masyarakat atau suatu bangsa. Begitu pula menurut Parwati (1988) dalam Eko Budiharjo (1991), rumah disamping menjadi tempat berlindung juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai tempat berlansungnya proses sosiali sasi, proses dimana seseorang individu diperkenalkan kepada nilai adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat, juga tempat membina, memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengadaan perumahan daerah perkotaan sangat terbatas, sehingga menurut Panudju (1999), masalah pemenuhan kebutuhan perumahan sampai
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
saat ini masih sulit dipecahkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di lain pihak kebutuhan perumahan di daerah perkotaan selalu meningkat dengan pesat. Akibatnya sebagian penduduk yang kurang mampu mencari tempat tinggal pada kawasan yang tidak teratur, lingkungan kurang baik, kawas an slum,kawasan squarter, atau pada kawasan marginal seperti pada lahan wedi kengser atau pada bantaran sungai yang pada akhirnya muncul pemukiman-pemukiman liar dalam usaha menda patkan tempat untuk berlindung yang dekat dengan tempat kerjanya. Menurut Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (1994), Sempadan sungai merupakan wilayah tepian sungai yang dahulunya merupakan daerah aliran sungai, dimana aliran material tersebut berupa pasir atau wedi, maka oleh sebagian orang Jawa,wilayah tepian sungai yang dahulunya merupakan daerah aliran sungai tersebut dinamakan ”Wedi Kengser” atau lahan sempadan sungai. Dalam hal ini perlindungan terhadap sempa dan sungai atau ”wedi kengser” dilakukan untuk melin dungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai. Adapun kriteria penetapan sempadan sungai menurut Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (1994) adalah sebagai berikut : 1. Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-kanan sungai besar dan 50 meter di kiri-kanan untuk anak sungai yang berada di luar permukiman 2. Untuk sungai di kawasan permukiman, lahan berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 meter. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 80 Tahun 1999, Tentang Kawas an siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri. Adapun kawasan Permukiman adalah Kawasan budidaya yang ditetapkan dalam rencana tataruang dengan fungsi utama untuk permukiman, dimana permuki man adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan, dimana tersedia sarana dan prasarana dasar fisik lingkungan yang memungkinkan permukiman dapat berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya Kabupaten Sleman bagian selatan, tepatnya di wilayah RT.05, RT.06, RW.32 dan RT.07, RT.08, RT.09, RW.33 Dusun Blunyah Gede, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, telah terjadi pemanfaatan lahan (invasi) ”Wedi Kengser kali
Code” oleh sekelompok masyarakat yang diperguna kan untuk pemukiman. Hal ini terjadi karena dari pihak Pemerintah Desa Sinduadi kurang begitu ada perhatian terhadap lahan ”wedi kengser kali Code yang berada di Dusun Blunyah Gede, dilain pihak kelompok masyarakat beranggapan lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede adalah lahan/tanah semak belukar yang tadinya tidak terurus dan terawat, yang kepemilikannya dari awal kurang diketahui atau dimengerti oleh sebagian besar masyarakat, kemudian dipergunakan oleh masyara kat untuk pemukiman. Meskipun sampai saat ini status wedi kengser masih diberlakukan, namun penghuni yang ada di pemukiman lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede diwajibkan membayar sewa tanah/lahan atas nama tanah Kas Desa Sinduadi dan membayar PBB. Penelitian ini ingin mengungkap kebenaran status tanah/lahan yang dipergunakan untuk pemukiman secara hukum yang berlaku, sehingga memberikan perlindungan hukum dan rasa aman kepada penghuni pemukiman dari tindakan penggusuran dimasa yang akan datang. Landasan Teori Proses pengembangan lahan untuk perumahan mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk formal dan informal. Proses formal adalah pengembangan yang dilakukan secara teratur dan formal oleh pemerintah. Proses pengembangan lahan secara formal ini diharapkan dapat mengarah kepada pembangunan fisik yang terencana dan terkendali (planned and controlled land develop ment) Pengembangan lahan formal (legal) biasanya mengikuti pola SPBO (Servicing, Planning, Building, and Oucuption). Di Negara-negara dengan sistem campuran (gabungan sistem Kapitalis dan Sosialis) seperti juga di Indonesia, proporsi pengembangan lahan dengan bentuk formal ini dapat dikatakan lebih sedikit dari proses informal (ilegal). Hal ini disebabkan karena status pemilikan tanah sebagian besar adalah hak pribadi atau individu. Dalam pandangan masyarakat setiap orang memiliki hak yang luas untuk menggunakan tanah bagi kepen tingan apapun tanpa harus meminta izin dari pemerin tah, sebaliknya pemerintah tidak mampu mengontrol dalam pelaksana an hukum (law inforce ment), terhadap individu-individu yang melakukan pengem bangan lahan. Pengembangan lahan dengan bentuk informal (ilegal) ini biasanya mengikuti formula OBSP (Oucuption, Building, Servicing, and Planning). Dampak negatif dari pengembangan lahan informal (ilegal) ini adalah terjadinya perkembangan fisik kota atau kawasan yang tidak teratur, dan mahalnya biaya pengembangan infras truktur, karena tanah-tanah yang ada telah dimili ki dan dikembangkan oleh individu atau pihak swasta sesuai dengan motif individunya, tanpa
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
261
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
memperhatikan kepentingan public (umum). Dampak pada level yang lebih besar adalah pola perkembangan fisik menyerupai pita (ribbon development) pada kawasan yang memiliki aksesibilitas, dan sporadic pada kawasan pinggiran kota. Konfigurasi sistem pengembangan lahan memfokuskan pada proses konversi atau rekonversi ruang untuk kebutuhan manusia. Menggambarkan bahwa aktor atau agen pengembangan lahan meliputi : a. Pemilik lahan (land owner) b. Pengembang (developer) c. Konsumen d. Lembaga Keuangan (financial intermedieries) e. Instansi Pemerintah Mengklasifikasikan proses pengembangan lahan terutama untuk perumahan ke dalam bentuk formal dan informal serta diklasifikasikan menjadi komersial dan non komersial. Proses formal komersial yaitu penyediaan tanah yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atau peru sahaan dalam bentuk penyediaan tanah, pembangunan perumah an dan penyewaan. Sedangkan secara formal non komersial prosesnya dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk bantuan penyediaan tanah, pengatu ran pemanfaatan tanah, dan mengenai hibah serta hadiah. Proses informal komersial dilakukan dalam bentuk penjualan, baik legal maupun ilegal dari tanah yang di miliki masyarakat (kasus pemecahan lahan/sub divisi) yang dimiliki dalam 1 (satu) perkampungan dan tanah yang tidak memenuhi standar. Secara informal non komersial berupa pengadaan lahan dalam perkam pungan di atas tanah adat, penghuni liar di atas tanah negara, serta penghu ni liar sementara. Proses memperoleh akses tanah untuk kotakota di indonesia diklasifikasikan dalam 3 (tiga) bentuk transfer tanah (Struyk, 1960) adalah sebagai berikut : 1.Kelompok pengadaan tanah yang langsung diperoleh dari transfer pemilik tanah atau pemilik asli, kemudian dijual kepada keluarga yang membutuh kan. 2.Kelompok pengkapling informal dan investor spekulan tanah 3.Kelompok pengembang spekulan yang memper oleh dari hasil transfer pertama, kemudian di jual kembali pada keluarga yang membutuhkan atau keluarga yang membeli tanah pada transfer kedua, termasuk dalam pembelian transfer ketiga. Persoalan yang kompleks dari status kepastian kepemilikan tanah itu sendiri tidak bisa dilihat hanya dari sisi formal legal saja. Di negara barat atau negara lain, dengan adanya sertifikat tanah sudah menjadi kepastian hukum kepemili kan tanah dari seseorang, sedangkan di Indonesia yang diukur
262
dari kepastian hukum pemilikan tanah tidak hanya mempunyai sertifikat tanah saja, akan tetapi meski pun tidak selalu mempunyai kepastian hukum kepemi likan tanah, namun ada perasaan aman bagi pemilik nya dari penggusuran. Rasa kepastian hukum atau rasa aman dalam kepemilikan tanah ini, di dapat dari sistem sosial yang ada, dimana tokoh masyarakat atau pimpinan komunitas masyarakat memberi jamin an keamanan dan kepemilikan tanah tersebut. Mereka ini bisa dari pimpinan komunitas formal (Kepala Dusun, RW, dan RT), pimpinan komunitas adat atau ulama. Situasi seperti ini menjelaskan mengapa banyak kasus penjarahan tanah atau invasi tanah legal (seperti wedi kengser), yang kemudian diikuti dengan proses pembangunan rumah tempat tinggal,? Metodelogi Penelitian Metodologi penelitian merupakan tahap penelitian yang dilakukan dalam menyelesaikan suatu masalah, sehingga penelitian yang dilakukan menjadi terarah dan membantu dalam proses pemecahan masalah. Tinjauan pustaka dalam penelitian tidak mampu menjawab pertanyaan pertanyaan penelitian secara umum, tetapi menurut penulis telah berhasil menyiapkan teori-teori yang dapat dijadikan dasar untuk mencari jawaban di lapangan. Dalam keadaan demikian, menurut Djunaedi.A (2002) lebih lanjut, teori teori tersebut perlu disusun sebagai landasan teori. Berbekal teori tersebut dapat dikembangkan daftar pertanyaan atau daftar hal-hal yang akan di survei. Sejalan dengan metode berfikir induktif yang digunakan dalam penelitian ini, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Locke, Spridouso, dan Silverman dalam Cresswell (1994), penelitian kualitatif merupa kan penelitian interpretatif. Dalam kaitan ini bias atau prasangka, penilaian, dan pendapat dari peneliti tertuang secara eksplisit di dalam laporan penelitian. Keterbukaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sangat berguna dan positif (tidak diasingkan). Sejalan dengan hal tersebut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1997), mengartikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan, gambar dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati..Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan para digma phenomenologi. Menurut Muhadjir (2000), Ontologik penelitian kualitatif berdasarkan pheno menologi menurut pendekatan holostik. Mendu dukkan obyek penelitian dalam suatu konstruksi ganda, melihat obyeknya dalam satu konteks natural, bukan parsial. Dari sisi epistimo logik, penelitian kualitatif berlandaskan paradigma phenomenologi menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah persiapan penelitian, karena
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
hal itu akan menjadikan hasil penelitian menjadi produk artifisial, jauh dari sifat naturalnya. Obyek dilihat dalam konteksnya dan menggunakan tata pikir logik lebih dari sekedar linier kausal. Ilmu yang dibangun adalah ilmu idiografik. Sedangkan dari sisi aksiologik phenomenologik mengakui ada 4 (empat) kebenaran empirik yaitu : 1). Empirik sensual, 2). Empirik logik, 3). Empirik etik dan 4). Empirik transendental. Berdasarkan tujuan peneliti an yang ingin dicapai, maka penelitian ini bersifat deskriptif yang berarti pencarian fakta dengan interprestasi yang tepat dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Whitney dalam Nasir, 1999). Lebih lanjut dikemukakan oleh Triastuti (2001), bahwa penelitian deskriptif adalah menyajikan gambaran yang lengkap mengenai setting sosial dan hubungan yang terdapat dalam penelitian. a. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian terapan , yang dilakukan dengan memberikan kuisioner kepada kepala keluarga yang bertempat tinggal di wilayah RT.05, RT.06 ; RW.32 dan RT.07, RT,08, RT.09; RW.33 pada lahan wedi kengser kali Code Dusun Blunyah Gede, Desa Sinduasi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. b. Subyek Penelitian Subyek penelitian ini adalah terjadinya penggunaan/invasi lahan sempadan sungai atau Wedi kengser kali Code diwilayah dusun
Blunyah Gede, desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, berdasarkan kriteria penetap an sempa dan sungai, menurut Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (1994) yaitu : 1. Sekurang-kurangnya 100 meter di kanan-kiri sungai besar dan 50 meter di kanan-kiri untuk anak sungai yang berada di luar permukiman. 2. Untuk sungai di kawasan permukiman, lahan berupa sempa dan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan ins peksi selebar antara 10 – 15 meter Serta Peraturan Penerintah Republik Indonesia Nomor. 80 Tahun.1999, tentang Kawasan siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan siap Bangun (Lisiba) c. Obyek Penelitian Penggunaan/pemanfaatan/invasi lahan sem padan sungai atau Wedi kengser kali Code yang bertentangan dengan kriteria penetapan sempadan sungai menurut Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (1994) dan Peraturan Penerintah Republik Indonesia Nomor. 80 Tahun.1999, tentang Kawasan siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan siap Bangun (Lisiba) d. Wilayah Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Dusun Blunyah Gede,RT.05, RT.06 ; RW.32 dan RT.07, RT,08, RT.09; RW.33, desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk fisualisasi lihat Peta Dusun Blunyah Gede, Sinduadi, Mlati, Sleman pada Gambar 1,
Gambar. 1 Peta Dusun Blunyah Gede, Sinduadi, Mlati, Sleman SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
263
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
e.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuisioner kepada setiap kepala keluarga yang bertempat tinggal di wilayah RT.05, RT.06 ; RW.32 dan RT.07, RT,08, RT.09; RW.33, Dusun Blunyah Gede, Sinduadi, Mlati, Sleman. Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berhubungan dengan masalah penelitian
f.
Teknik Analisis Data Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini, adalah menggunakan Program Microsoft Exel, dan di analisis dengan metode diskriptif dari Program SPSS 9,01 for windows 98 yang merupakan salah satu program komputer khusus untuk menguji data statistik. Jawaban dari setiap variabel pertanyaan diratarata menjadi nilai mean dari setiap item faktor yang mendorong dan proses pemanfaatan/invasi lahan . Selanjutnya nilai mean tersebut di ranking berdasarkan item faktor yang mendorong atau proses pemanfaatan/invasi dan ranking secara keseluruhan, sehingga didapatkan variabel yang memiliki nilai mean tertinggi dan dianggap sebagai faktor yang mendorong terjadinya proses pemanfaatan/invasi lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede, desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Dalam kesempatan ini responden diberi kesempatan untuk menjawab (memberi tanggapan) terhadap pertanyaan mengenai faktor yang mendo rong proses pemanfaatan/invasi lahan wedi keng
ser kali Code di Dusun Blunyah Gede, desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Tiap variabel pertanyaan tersedia 5 (lima) jawaban, sebagai berikut : 1). Sangat tidak membutuhkan lahan wedi keng ser kali Code 2). Tidak membutuhkan lahan wedi keng ser kali Code 3). Ragu-ragu untuk memanfaatkan lahan wedi kengser kali Code 4). Membutuhkan lahan wedi kengser kali Code 5). Sangat membutuhkan lahan wedi keng ser kali Code Jawaban responden tersebut meru pakan data yang di analisis, data yang terkumpul di bagi dalam beberapa kelas yang dinamakan dengan interval kelas. Penentuan interval kelas ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : Interval kelas tidak tumpang tindih dengan yang lain, artinya suatu observasi tidak dapat masuk dalam dua interval kelas atau lebih. Antar interval kelas jangan sampai ada gap (celah) yang terlalu besar, sehingga kemungkinan data masuk dalam celah tersebut. Interval kelas yang digunakan mempunyai lebar yang sama. Untuk menentukan interval kelas dalam analisis ini menggunakan rentang, yaitu selisih antara harga tertinggi dan harga terendah, kemudian di bagi dengan jumlah interval yang diinginkan. Dalam penelitian ini, interval kelas yang diinginkan terdiri dari lima interval kelas yang dapat dilihat pada Tabel. 3
Tabel. 3 Interval Kelas dari setiap Pilihan Jawaban No 1. 2. 3. 4. 5.
Interval Kelas 1,00 – 1,80 1,81 – 2,60 2,61 – 3,40 3,41 – 4,20 4,21 – 5,00
Keterangan Sangat tidak membutuhkan lahan wedi kengser kali Code Tidak membutuhkan lahan wedi kengser kali Code Ragu-ragu untuk memanfaatkan lahan wedi kengser kali Code Membutuhkan lahan wedi kengser kali Code Sangat membutuhkan lahan wedi kengser kali Code
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan angket penelitian ini diberi kan kepada respoden (kepala keluarga) yang bertempat tinggal di wilayah Dusun Blunyah Gede RT.05, RT.06 ; RW.32 dan RT.07, RT,08, RT.09; RW.33, Desa Sinduadi, Mlati,Sleman. Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu warga masyarakat yang memanfaatkan wedi kengser kali Code di wila yah tersebut Kuisioner penelitian yang disebarkan sebanyak 75 angket, tetapi yang dikembalikan sebanyak 61 angket yang terdiri dari wilayah RT.05 sebanyak 3 angket, RT.06 sebanyak 18 angket, RT.07 sebanyak
264
12 angket, RT.08 sebanyak 15 angket, RT.09 sebanyak 13 angket a. Data Penelitian Jawaban dari setiap responden mempunyai nilai yang disesuaikan dengan bobot kepentingan nya. Perhitungan nilai dengan menggunakan metode deskriptif dengan bantuan program SPSS ( Statistical Product and Service Solution ) for Windows 98 ver 9,01 yang merupakan salah satu program komputer khusus untuk menguji data statistik. Nilai dari setiap bobot kepentingan tersebut diuraikan sebagai berikut :
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Pilihan (1), yang menyatakan bahwa pernyata an tersebut sangat tidak membutuhkan lahan wedi kengser kali Code, mendapatankan nilai = 1 Pilihan (2), yang menyatakan bahwa pernyata an tersebut tidak membu tuhkan lahan wedi kengser kali Code, mendapatankan nilai = 2 Pilihan (3), yang menyatakan bahwa pernyata an tersebut ragu-ragu untuk memanfaatkan lahan wedi kengser kali Code, mendapatankan nilai = 3 Pilihan (4), yang menyatakan bahwa pernyataan tersebut membutuh kan lahan wedi kengser kali Code, mendapatankan nilai = 4 Pilihan (5), yang menyatakan bahwa pernyata an tersebut sangat membutuh kan lahan wedi kengser kali Code, mendapatankan nilai = 5 Nilai nilai dari setiap variabel pernyataan terse but dijumlahkan dan di rata-rata, sehingga didapatkan data dalam bentuk tabel yang menyusun setiap variabel tersebut menurut ranking, yaitu mulai dari nilai tertinggi sampai nilai yang terendah. Berdasar pada penelitian yang dilakukan, diperoleh sebanyak 61 responden (dari wilayah Dusun Blunyah Gede RT.05, RT.06 ; RW.32 dan RT.07, RT,08, RT.09; RW.33, Sinduadi, Mlati, Sleman. Daerah Istimewa Yogyakarta), dengan hasil sebagai berikut : b. Nilai Mean Hasil Penelitian berdasarkan tiap item Faktor yang Mendorong Proses Invasi Lahan wedi kengser kali Code Nilai mean didapatkan dari mem bagi jumlah bobot kepentingan (Tabel. 4) dengan jumlah responden (61 responden) yang ada, sedangkan jumlah bobot kepentingan didapat dari penjumlah an seluruh nilai jawaban responden, yang masingmasing jawaban responden tersebut telah dikalikan dengan nilai bobot pilihan yang ada. Setelah mean tiap variabel pertanyaan didapat kan, maka variabel tersebut di ranking menurut item faktor yang mendorong proses pemanfaatan/invasi lahan wedi kengser kali Code. Maka hasil keseluruhan penelitian ini adalah sebagai berikut : Berdasarkan tiap variabel pertanyaan didapat kan ranking menurut item, faktor budaya, hukum, sosial dan ekonomi yang mendorong terjadinya proses pemanfaatan/invasi lahan wedi kengser kali Code menurut responden secara keseluruhan dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Budaya salah satupendorong untuk memperta hankan kepemilikan tanah warisan untuk disewa atau di kontrakkan, bahkan dijual belikan, meskipun lahan wedi kengser kali Code merupakan lahan informal. Sedangkan lingku ngan yang semakin tertata dan terbebas dari bahaya banjir merupakan faktor yang mendorong proses pemanfaatan lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Makin padatnya hunian, bagi pemilik lahan wedi kengser kali Code berhasrat membangun rumah untuk disewakan atau di kontrakkan, membuka usaha kost – kossan, warung makan, ruko dan usaha wartel yang mereka lakukan adalah usaha untuk meningkatkan kesejahtera an hidupnya. Kurangnya pengetahuan masalah hukum dan tidak ada larangan/teguran dari pihak pengu asa/pemerintah selama menempati lahan wedi kengser kali Code, meskipun sesekali ada sosialisa si hukum mengenai status keberadaan lahan wedi kengser kali Code. Persoalan hukum menempati lahan wedi kengser bagi nya tidak perlu dipahami atau dimengerti, larangan/ teguran dari pihak penguasa/ Peme rintah jarang di sosialisasikan, tawaran lahan wedi kengser kali Code relatif murah dan menjanjikan, dari sinilah awal terjadinya faktor yang mendorong proses pemanfaatan lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede Kurun waktu yang cukup lama kurang lebih 55 tahunan keberadaan hunian di lahan wedi kengser kali Code menyebabkan dari para penghuni mengungkapkan masalah hukum sebagai berikut : Saya serahkan sepenuhnya lahan wedi kengser ini kepada Pemerintah tanpa ganti rugi. Saya serahkan sepenuhnya lahan wedi kengser ini kepada Pemerintah dengan ganti rugi. Saya pertahankan menem pati lahan wedi kengser ini, karena warisan pemberian dari orang tua. Saya pertahankan menempati lahan wedi kengser ini, karena membeli dengan penuh perjuangan. Saya pertahankan menempati lahan wedi kengser ini, dengan memohon bantuan hukum. Dari perkembangan lama bertempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code, pada tahun 1980 dan tahun 2000 menunjukan peningkatan hunian yang dominan. Kondisi kehidupan perekonomian yang seim bang, kompak dan tenggang rasa yang tinggi dalam kehidupan keluarga, dicerminkan dengan saling gotong royong, guyub rukun serta lahan hunian yang bebas dari banjir. Kehidupan sosial yang di dasari dengan kekompakkan dan tenggang rasa yang tinggi, saling gotong royong, guyub rukun, menyebab kan ketentraman dalam hidup sehariannya Tersedianya fasilitas sarana dan prasa rana penerangan listrik untuk kebutuhan hunian dan lingkungan menjadikan kehidupan sosial pada hunian di lahan wedi kengser kali Code makin menjanjikan Tersedianya fasilitas sarana dan prasarana air bersih untuk kebutuhan hunian dan lingkungan menjadikan kehidupan sosial pada hunian di lahan wedi kengser kali Code makin menjanji
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
265
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
10.
11.
12.
13.
14.
15.
kan, meskipun sebagian kecil dari masyarakat masih menggunakan air sumur. Dari sudut pandang ekonomi lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede merupakan lahan yang murah, menjanjikan dan dekat dengan tempat kerja. Dengan terbentuknya Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di lahan hunian wedi kengser kali Code, Dusun Blunyah Gede, dan adanya kewajiban membayar sewa lahan wedi kengser dan PBB bagi penghuni lahan wedi kengser kali Code dijadikan jaminan keamanan bertempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code Keakraban warga penghuni lahan wedi kengser kali Code Blunyah Gede dalam menjaga keamanan lingkungan menimbulkan ketentraman hidup bermasyarakat. Warga masyarakat penghuni lahan wedi kengser kali Code Dusun Blunyah Gede sangat mendukung program pemerintah dalam pengem bangan obyek pariwisata di sepanjang kali Code, karena prospek yang menjanjikan kesejahteraan masyarakat yang bertempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code Dusun Blunyah Gede. Bila dengan terpaksa lahan wedi kengser kali Code di dusun Blunyah Gede harus di bebaskan dari hunian, komentar responden sebagai berikut : Ikhlas tidak minta ganti rugi tanah. Ikhlas tidak minta ganti rugi tanah, tapi minta ganti rugi fisik bangunan. Menentang tidak mau digusur Minta ganti rugi tanah dan bangunan. Dan minta dipindahkan Jaminan keamanan yang masyarakat andalkan adalah : Tanah warisan dan tidak mungkin ada penggusuran. Merasa tentram dan aman . Adanya kesamaan dalam usaha kehidupan. Dekat dengan tempat kerja dan aman lingkungan nya. Masyarakatnya Guyub Rukun dan peduli lingkungan, faktor-faktor semacam inilah yang menyebabkan mendorong proses Invasi lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede.
c.
Ranking Mean Hasil Penelitian secara keselu ruhan Dari kelima belas item faktor yang mendo rong proses pemanfaatan lahan wedi kengser kali Code yang dibutuhkan untuk mencagah atau tidak terulangnya kembali faktor yang mendorong proses pemanfaatan lahan wedi kengser kali Code di tempat lain, yaitu dalam Pendekatan budaya dan lingkungan. Pendekatan Latar Belakang hukum yang di ketahui. Lama bertempat tinggal di lahan wedi kengser. Kesan-kesan bertempat tinggal di lahan wedi kengser. Pendekatan sosial, Pendekatan Ekonomi, dan Pendekatan Keamanan beserta variabelnya akan diurutkan rankingnya secara
266
bersama sama berdasarkan mean yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai mean tertinggi ke nilai mean terendah, maka akan ditinjau 5 (lima) ranking teratas faktor yang mendorong proses pemanfaatan lahan wedi kengser kali Code di wilayah dusun Blunyah Gede RT.05, RT.06 ; RW.32 dan RT.07, RT,08, RT.09; RW.33, Desa Sinduadi, Mlati,Sleman. Daerah Istimewa Yogyakarta masing-masing adalah sebagai berikut : 1. Ranking I adalah variabel Jaminan keama nan dan Lama bertempat tinggal di lahan wedi kengser, mempunyai nilai mean sebesar 4,6196. Nilai mean tersebut terletak pada interval kelas 4,21–5,00, untuk pertanyaan sangat membutuh kan lahan wedi kengser kali Code dan menun jang bahwa lama bertempat tinggal serta adanya media keakraban warga merupakan faktor yang mendorong proses pemanfaatan lahan wedi kengser kali Code (Faktor timbulnya invasi) 2. Ranking II adalah variabel Latar belakang Hukum yang diketahui, Pendekatan Sosial, Ekonomi dan Jaminan Keamanan, sama-sama mempunyai nilai mean sebesar 4,5082. Nilai mean tersebut tersebut terletak pada interval kelas 4,21–5,00, untuk pertanyaan sangat membu tuhkan lahan wedi kengser kali Code dan menunjang 3 (tiga) hal yang sangat serta adanya kesamaan dalam usaha kehidupan (dukungan yang kuat terjadinya invasi pada lahan wedi kengser kali Code ) 3. Ranking III adalah variabel Pendekatan Bu daya dan Lingkungan, mempunyai nilai mean sebesar 4,4918. Nllai mean tersebut terlrtak pada interval kelas 4,21–5,00, untuk pertanyaan sangat dibutuhkan dan menunjang bahwa hunian atau tempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code yang padat hunian menjanjikan untuk membuka usaha perdaga ngan (dukungan yang kuat bertempat tinggal untuk usaha perdagangan di lahan wedi kengser kali Code) 4. Ranking IV adalah variabel Pendekatan Latar belakang Hukum yang diketahui dan Sosial , mempunyai nilai mean sebesar 4,4754. Nilai mean tersebut terletak pada interval kelas 4,21– 5,00, untuk pertanyaan sangat dibutuhkan dan menun jang bahwa selama bertempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code , tidak ada teguran/larangan, masyarakat saling gotong royong, Guyub Rukun dan berkehidupan sosial yang seimbang (warna kehidupan masyarakat yang menyebabkan krasan / betah bertempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code ) 5. Ranking V adalah variabel Lamanya bertempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code Dusun Blunyah Gede, Pendekatan Sosial dan Ekonomi , sama-sama mempunyai nilai mean 4,3278. Nilai mean tersebut terletak pada interval kelas 4,21–5,00, untuk pertanyaan sangat dibutuhkan
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
dan menunjang bahwa selama 5 tahun bertempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code, dengan kehidupan masyarakat yang Guyub Rukun, meski pun disebagian tempat penerangan (PLN) lingku ngan belum terjangkau dan sayang lahan Warisan tidak dimanfaatkan (adanya suasana Guyub Rukun di lingkungan masyarakat yang bertempat tinggal di lahan wedi kengser kali Code Dusun Blunyah Gede menyebabkan invasi lahan wedi kengser kali Code terus dipertahan kan) Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat diketahui bahwa Faktor yang mendorong proses pemanfaatan lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dikarenakan kurang gencarnya sosialisasi hukum dalam masalah pengertian sempadan sungai/wedi kengser (1, 3 dan 4), budaya dan lingkungan yang mendukung meman faatkan lahan wedi kengser digunakan ditanami atau didirikan rumah tempat tinggal (2 dan 5). Dilain pihak Pemerintah belum menjangkau untuk mengu rus kondisi lahan wedi kengser tersebut secara tegas dan profesional sudah keburu di invasi oleh masyarakat yang dikarenakan faktor ekonomi dan sosial yang sangat mendasar (6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 17). KESIMPULAN Berdasar hasil penelitian dan pembahasan tentang Faktor yang Mendorong Proses Peman faatan Lahan wedi kengser kali Code di Dusun Blunyah Gede Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kuisioner yang disampaikan kepada 75 responden, yang di kembalikan sebanyak 61 responden, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Kurang gencarnya sosialisasi hukum dalam masa lah pengertian sempadan sungai/wedi kengser merupakan faktor yang mendorong proses peman faatan lahan sempadan sungai /wedi kengser 2. Budaya yang menganggap lahan sempadan sungai /wedi kengser merupakan lahan tak bertuan dan sayang apabila tidak dimanfaatkan 3. Pemerintah Desa harus pro aktif mensosialisa si hukum dalam masalah pengertian sempadan sungai/wedi kengser dan berperan aktif dalam penataan kawasan lahan wedi kengser 4. Masyarakat harus menyadari bahwa lahan sem padan sungai/wedi kengser merupakan lahan /kawasan yang harus dilindungi dari segala kegia tan yang akan merusak ekosistem lingkungan sungai.
SARAN Terbengkelainya lahan sempadan sungai /wedi kengser, dimana lahan tersebut sangat strategis untuk hunian karena relatif dekat dengan tempat kerja, tempat sekolah dan keramaian kota, dimana sarana publik telah tersedia yang cukup memadai dan nyaman. Berbagai faktor yang mendorong pemanfaatan /invasi lahan wedi kengser kali Code dan memberi kan motivasi sekaligus menjadi unit yang menyu sun proses tersebut, memiliki peranan yang saling mempengaruhi. Mengabaikan terhadap salah satu faktor atau motivasi yang membangkitkan, akan dapat memutus rantai proses terjadinya pemanfaat an / invasi lahan sempadan sungai/wedi kengser kali Code. Hasil penelitian ini menunjukkan kepada para penentu kebijakan (Perencana), bahwa berbagai macam proses dan motivasi sampai terjadinya pemanfaatan/invasi lahan sempadan sungai/ wedi kengser kali Code di wilayah RT.05, RT.06 ; RW.32 dan RT.07, RT,08, RT.09; RW.33, Dusun Blunyah Gede, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Daerah Istimewa Yogyakarta di lokasi penelitian merupakan kecenderu ngan yang ada pemanfaatan/invasi terjadi pada wilayah yang strategis untuk hunian karena relatif dekat dengan tempat kerja, tempat sekolah dan keramaian kota dimana sarana publik telah tersedia yang cukup memadai dan nyaman. Atas dasar penelitian ini maka perlu dilakukan penelitian lanjutan pada komunitas warga masyarakat yang bertempat tinggal berdekatan dengan lahan sempa dan sungai/wedi kengser kali Code lain di sekitar wilayah penelitian atau wilayah lain yang menjangkau populasi lebih luas, sehingga dapat di komparasikan dengan hasil penelitian ini yang selanjutnya dapat ditarik konsep atau teori yang lebih umum tentang faktor yang mendorong proses pemanfa-atan/invasi lahan wedi kengser kali Code di daerah padat permukiman. DAFTAR PUSTAKA Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, 1994 Tentang : Kreteria dan Pola Pengelolaan Kawasan : Lindung, Budidaya, Tertentu. Branch, MC dalam Hari Wibisono, Djunaedi, 1996. Perencanaan Kota Komprehensip (Pengantar dan Penjelasan) Gadjah Mada University Press Bintarto, 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasa lahannya, Penerbit Ghalia Indonesia Cresswell, (1994) Metode Penelitian Kualitatif yang merupakan Penelitian Interpretatif. Penerbit Alumni Bandung Djoko,Sujarto, 1992, Perencanaan Fisik, Bhatara, Bandung Daldjoeni, N, 1997. Geografi Kota dan Desa Penerbit Alumni Bandung
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009
267
SEMINAR NASIONAL ke 4 Tahun 2009: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Djunaedi,A, (2002), Berfikir Induktif (Membangun teori dari falta Lapangan / empiris, , Jurusan Teknik Arsitektur, UGM, Yogyakarta Evers, Hans-Dieter, 1979. Sosiologi Perkotaan, Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, LP3ES, Jakarta Eko, Budiharjo, 1991, Pemusatan Urbanisasi di kota-kota besar, Penerbit Ghalia Indonesia Heilbrun dalam Kawik Sugiyana, 2000. Perkembang-an Kota-Kota, Ekonomi Perkotaan, Jurusan Teknik Arsitektur, UGM, Yogyakarta Ismail, HP., 1991. Pokok-Pokok Sosiologi Perkotaan. PPII-UNIBRAW, Malang Muhadjir, Noeng, 2000. Metodologi Penelitian Kuali tatif, Rake Sarasin, Yogyakarta Nurmandi (1999). Pengembangan lahan dengan bentuk informal, Penerbit Alumni Bandung Peraturan Pemerintah R.I , Nomor. 80 Tahun 1999 Tentang. Kawasan siap Bangun dan Lingkungan siap Bangun yang berdiri sendiri Panuju, B. 1996, 1999, Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Yayasan Adikarya, IKAPI, dengan The For Fuondatioan, Bandung Undang-Undang RI Nomor. 4, Tahun 1992. Tentang Perumahan dan Permukiman Undang-Undang RI Nomor. 5, Tahun 1960. Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang RI Nomor. 5, Tahun 1974. Tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah Undang-Undang RI Nomor. 5, Tahun 1979. Tentang Pemerintah Desa Undang-Undang RI Nomor. 4, Tahun 1982. Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Setiawan, B. 2002. Desertasi, Local Dinamics in Informal settlement Developmen : A Case Study of Yogyakarta, Indonesia Soetrisno, L,.1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius Yogyakarta Struyk (1960) Proses memperoleh akses Tanah, untuk Kota-Kota di Indonesia, Bhatara, Bandung Yudohusodo, 1991. Perumahan Pencerminan dan Penge jawantahan dari Diri Pribadi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Yakarta
268
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL, 19 Desember 2009