Prosiding SEMINAR NASIONAL SIMBIOSIS I “Inovasi dan Aplikasi Bioteknologi, Sains dan Pendidikan untuk Meningkatkan Daya Saing Indonesia dalam Menghadapi MEA”
Graha Cendekia IKIP PGRI MADIUN Sabtu, 12 Maret 2016
Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI MADIUN
Supported by: ampibi, USSEC, Forum tempe Indonesia
KATA PENGANTAR Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kami telah dapat menyelesaikan buku Kumpulan Makalah (Proceeding) SIMBIOSIS I, Seminar Biologi dan Sistem Pembelajaran. Seminar ini menjadi agenda rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IKIP PGRI MADIUN. Tema seminar kali ini adalah “Inovasi dan aplikasi bioteknologi, sains dan pendidikan untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam menghadapi MEA”. Adapun tujuan dari seminar ini adalah: 1. Menjadi salah satu wujud sarana penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi. 2. Menggali potensi hasil-hasil riset di bidang bioteknologi, ilmu hayati dan pendidikan sebagai salah satu sumbangsih bagi kemajuan bangsa dan negara. 3. Menggali potensi dan hasil pengabdian masyarakat secara riil sebagai wujud aplikasi pelaksanaan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. 4. Sarana diseminasi hasil penelitian, pengabdian masyarakat, kajian ilmiah di bidang bioteknologi, sains, ilmu hayati dan pendidikan. Buku Kumpulan Makalah SIMBIOSIS I ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama adalah makalah utama dan bagian kedua terdiri dari makalah peserta seminar. Pada seminar ini disampaikan tiga makalah utama yaitu yang pertama ditulis oleh Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS (Guru Besar di Bidang Pangan, Gizi dan Kesehatan dari Fakultas Teknologi Pertanian, IPB), yang kedua oleh Bapak Dr. Dadi Hidayat Maskar, S.T., M.Sc. (Soyfood Program Manager USSEC Indonesia), dan yang ketiga oleh Dr. Marheny Lukitasari, S.P., M.Pd. (Prodi Pendidikan Biologi IKIP PGRI MADIUN). Kami haturkan terima kasih kepada pihak Rektorat, Dekan Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, para pembicara utama, serta seluruh panitia, baik dosen, karyawan, maupun mahasiswa yang telah memberikan dukungan sepenuhnya dalam penyelenggaraan seminar ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak dan Ibu dosen, peneliti, mahasiswa yang telah berkontribusi aktif dalam mengikuti kegiatan SIMBIOSIS I. Tak lupa juga kami sampaikan terima kasih kepada Forum Tempe Indonesia dan USSEC-U.S. Soybean Export Council yang telah mendukung kegiatan seminar ini. Kami berharap semoga buku Kumpulan Makalah ini bermanfaat sebagai bahan rujukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya maupun sebagai bahan pertimbangan usulan kebijakan dalam bidang bioteknologi, sains dan pendidikan di Indonesia. Madiun, 12 Maret 2016
Panitia SIMBIOSIS I
ii
TIM PENYUSUN
Penanggungjawab: Dr. drh. Cicilia Novi Primiani, M.Pd
Ketua Editor Nasrul Rofiah Hidayati, M.Pd
Editor Pelaksana Pujiati, S.Si.,M.Si. Nurul Kusuma Dewi, M.Sc. Wachidatul Linda Yuhanna, S.Pd.,M.Si. Raras Setyo Retno, S.P, M.Pd
Staf Administrasi Sulistyowati, S.E
Sekreatriat Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Madiun Jl. Setiabudi No. 85 Madiun 63118 Telp. 462986 (140) Fax. 459400
Website: biologi.ikippgrimadiun.ac.id
email:
[email protected]
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………
II
TIM PENYUSUN…………………………………………………………………
iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...
v
MAKALAH UTAMA…………………………………………………………….
vi
Makalah Utama I Makalah Utama II Makalah Utama III Profil Pemahaman Konsep Struktur Sel Dan Kerja Gen Pada Guru MGMP Biologi Sma Kota Kediri Agus Muji Santoso , Poppy Rahmatika Primandiri
1
Penerapan Pendekatan Saintifik Pada Mata Pelajaran Biologi Di Kelas Xi Iis 3 Sman Jayaloka Tahun Pelajaran 2014/2015 Idha Rakhmawati
9
Analisis Filogeni Kerbau Lokal Pulau Jawa Dan Pulau Sumatra Dengan Gen Cytochrome B Mohamad Amin Dan Chitra Dewi Yulia Christie
15
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Pembuatan Abon Jambu Mete Sebagai Upaya Peningkatan Potensi Lokal Dan Wisata Desa Kepel Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Muh. Waskito Ardhi, Wachidatul Linda Yuhanna, Nurul Kusuma Dewi
24
Optimalisasi Produktifitas Lahan Dan Peningkatan Ekonomi Masyarakat Melalui Budidaya Pepaya Callina Secara Organik Di Desa Setono Kecamatan Ngrambe Wachidatul Linda Yuhanna, Nurul Kusuma Dewi, M. Soeprijadi Djoko Laksana
31
Implementasi Keterampilan Berpikir Kritis Oleh Guru-Guru Biologi Sekolah Menengah Atas Di Kota Banjarmasin Siti Ramdiah
38
Uji Kualitatif Penggunaan Tinta Batik Dari Getah Pohon Pisang (Gepopis) Yang Ramah Lingkungan Dinana Nur Hayati, Rista Yuliasari, Luluth Lutfiani
44
iv
Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Mede (Annacardium Occidentalle L.) Terhadap Pertumbuhan Jamur Tricophyton Mentagrophytes Secara In Vitro Fitri Nadifah, Nurlaili Farida Muhajir, Eka Riani Preliminary Of Anuran Diversity And Their Habitat Preference For Bio Indicator In Ironggolo Waterfall Ecotourism Area, Besuki, Mojo, Kediri Mochammad Yordan Adi Pratama, Mohammad Ilham Pahlevi, Mohammad Anwar Jamaluddin, Berry Fakhry Hanifa, Budhi Utami
51
56
Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami Pada Uji Organoleptik Bakso Cicilia Novi Primiani, Marheny Lukitasari
64
Implementasi Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing ( Guided Inquiry ) Dan Metode Pembelajaran Inkuiri Bebas Termodifikasi ( Modified Free Inquiry ) Terhadap Prestasi Belajar Biologi Ditinjau Dari Kemampuan Awal Siswa Anik Rofaida Lestari
74
Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Di Kota Madiun Joko Widiyanto, Ani Sulistyarsi, Septiana Dwi Retno Mayangsari
80
Uji Antibakteri Dan Organoleptik Yoghurt Kacang-Kacangan (Hijau, Merah, Tanah) Nasrul Rofiah Hidayati, Pujiati , Ella Agustina Rahayu
89
Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus) Terhadap Uji Organoleptik Dan Kadar Vitamin C Selai Buah Sirsak (Annona Muricata L.) Sebagai Bahan Petunjuk Praktikum Biologi Pokok Bahasan Uji Vitamin Sma Kelas Xi R. Bekti Kiswardianta, Pujiati , Nourma Azizah
95
Ibm Industri Kecil Olahan Suweg Di Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Umi Fatmawati, Dewi Puspita Sari, Suciati
107
Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik Cair Urine Sapi (Poc Ursa) Di Desa Pulosari Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Nurul Kusuma Dewi , Anggit Sasmito
119
Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Berbasis Lesson Study(Ls) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif Mahasiswa Semester III Pendidikan Biologi ,Universitas Negeri Malang Farida Nurlaila Zunaidah
123
v
Inventarisasi Tanaman Peneduh Di Jalan Protokol Kota Kediri: Kajian Awal Studi Kelayakan Dari Perspektif Ekologi Tata Ruang Kota Nadya Ismi Putri Triesita*, Bella Nanda Pamela, Asep Satria Kurniawan, Agus Muji Santoso
131
Membangun Ekonomi Keluarga Dengan Bantuan Probiotik Anip Dwi Saputro
138
Implementasi Media Pembelajaran Koteka Sains Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Ditinjau Dari Kemampuan Awal Siswa Mts Wali Songo Tahun Pelajaran 2015/2016 Ali Mahfud
152
Uji Kandungan Protein Dan Uji Organoleptik Terahadap Kualitas Tempe Berbahan Dasar Kacang-Kacangan Ani Sulistyarsi, Pujiati Dan Desy Erviyanti
160
Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung Terhadap Pertumbuhan Caisim (Brassica Chinensis) Sebagai Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan Muh. Waskito Ardhi, Risza Risanty, Ani Sulistyarsi
166
Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains (Komik Tempel Kartun Sains) Pada Materi Ekosistem Terhadap Prestasi Dan Keaktifan Belajar Siswa Mts Al Mujaddadiyyah Kota Madiun Sri Utami, Riyan Yuniarga
176
Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong (Camelia Sinensis) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Eschericia Coli Dan Salmonella Thyposa Devita Yudhayanti, Etik Puspitasari
187
Preliminary Of Reptile And Amphibian Diversity In Roro Kuning Ecotourism Area, Bajulan, Loceret, Nganjuk Indra Fauzi, Amirrul Fikri Anna, Harianto ,Budhi Utami, Berry Fakhry Hanifa
200
Pemberdayaan Masyarakat Desa Crabak Kabupaten Ponorogo Melalui Pelatihan Pembuatan Yoghurt Dan Produk Olahannya Pujiati
207
Keanekaragaman Serangga Parasitoid Pada Tumbuhan Liar Synedrella Nodiflora (L.) Gaertn Di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari, Singosari Kabupaten Malang Raras Setyo Retno
213
Profil Penggunaan Media Ajar Ipa Di Beberapa Sd Gugus 2 Ringinrejo Kabupaten Kediri Poppy Rahmatika Primandiri, Kaliyatin, Agus Muji Santoso
218
vi
MAKALAH UTAMA
MAKALAH I
MAKALAH II
MAKALAH III
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI UNTUK MENGHADAPI TANTANGAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) DI ABAD 21
OLEH:
Dr. Marheny Lukitasari, M.Pd.
Disampaikan dalam Seminar Nasional, Program Studi Pendidikan Biologi IKIP PGRI Madiun Sabtu, 12 Maret 2016
SEMINAR NASIONAL PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI-IKIP PGRI MADIUN
1
Tantangan Pendidikan Tinggi Di Era MEA Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau pasar ekonomi ASEAN tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi saja, tetapi juga sektor lain termasuk pendidikan. Mengapa pendidikan dan terutama pendidikan tinggi? Tentu saja karena pendidikan memiliki peran strategis untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidangnya. Arthur C Clarke menyampaikan melalui kutipan yang cukup terkenal bahwa ‘Kita membutuhkan pendidikan untuk anak-anak kita sebagai bekal di masa depan, dan bukan unttuk masa lalu’. Kutipan tersebut menyiratkan pentingnya mempersiapkan generasi saat ini untuk menghadapi tantangan masa depan, seperti yang kita hadapi dengan bentuk MEA serta kemajuan abad 21. Dengan demikian maka dibutuhkan strategi serta kemampuan untuk menghadapi tantangan ‘liberalisasi pendidikan’ tersebut. Bagaimana kondisi nyata yang ada di negara kita? Kondisi sumber daya manusia di Indonesia menurut laporan United Development Programme (UNDP) mencatat bahwa nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2013 masih berada di peringkat 108 dari 287 negara yang disurvey. Padahal negara tetangga kita, Brunei Darussalam berada di peringkat 30 dan Singapura di peringkat 9. Di bidang pendidikan berdasarkan data Education for AII (EFA) Global Monitoring Report, UNESCO tahun 2012 Indonesia menempati posisi 69 dari 120 negara di dunia. Sedangkan menurut laporan UNDP (United Nations Development Program) menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau kualitas SDM Indonesia pada tahun 2010 berada pada urutan ke-109 setelah Vietnam dari 169 Negara, pada tahun 2011 ranking 124 dengan jumlah negara 187 dan pada tahun 2012 ranking Indonesia 121 dari jumlah negara 186. Data terakhir UNDP dalam Human Development Report tahun 2015 Indonesia berada pada peringkat 110 dari 173 negara yang terbagi atas very high human development, high human development, medium human development, low human development. Di sisi lain saat ini permasalahan yang muncul terkait mulai diterapkannya MEA di tahun 2015, antara lain yang juga banyak beredar di media sosial: a. 1000 warga Filipina sejak Oktober 2015 mengikuti kursus bahasa Indonesia, penggunaan GPRS dan kebudayaan Indonesia untuk menjadi sopir taksi. b. Ratusan pebisnis Thailand mengikuti kursus kilat Bahasa Jawa untuk bisa berbisnis di Jawa tanpa perantara. c. Ribuan warga Myanmar mulai Februari 2016 (saat ini) mengikuti pelatihan montir & service HP untuk ditempatkan di Indonesia d. Ribuan guru Vietnam melaksanakan kursus Bahasa Indonesia untuk bisa membuka les privat Bahasa Inggris dan mandarin di Indonesia. e. Ratusan konsultan keuangan dan akuntan di Singapura yang tidak terserap di negaranya belajar budaya Jawa, Bali dan NTB untuk bisa membuka konsultan keuangan di wilayah tersebut. Permasalahan yang disampaikan menunjukkan bahwa tantangan pendidikan membutuhkan lembaga pendidikan khususnya pendidikan tinggi untuk mempersiapkan generasi yang mampu membekali diri untuk masa depannya. Bagaimana dengan guru dan calon guru? Sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang memberikan pendampingan untuk guru sekaligus menghasilkan calon guru, maka LPTK perlu bertransformasi dan bekerja keras dalam mewujudkan visi dan misinya. Gambaran berupa data seperti disampaikan menunjukkan bahwa secara keseluruhan sumber daya manusia (SDM) negara kita terutama generasi muda masih sangat butuh untuk terus dikembangkan dan dibekali dengan banyak keterampilan. Investasi utama dan sangat penting untuk diperhatikan tentu saja melalui pendidikan. Peran pendidikan terutama pendidikan tinggi menjadi sangat strategis untuk berperan serta memajukan SDM bangsa. Adapun fungsi Pendidikan Tinggi sesuai dengan amanat UU No. 12 tahun 2012 adalah, Kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yg bermartabat untuk rangka mencerdaskan bangsa Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora Landasan operasional pelaksanaan pendidikan adalah Higher Education Long Term Strategy (HELTS) dengan tiga kebijakan dasarnya yaitu 1) daya saing bangsa, otonomi dan desentralisasi serta kesehatan organisasi. Oleh karena itu peran pendidikan tinggi sangatlah strategis untuk 1) meningkatkan sumberdaya manusia, 2) peningkatan daya saing bangsa, 3) mengubah pola pikir SEMINAR NASIONAL PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI-IKIP PGRI MADIUN
2
masyarakat, 4) sebagai kekuatan moral yang mampu berfungsi sebagai penggerak dalam rangka mencapai tujuan, serta 5) menghasilkan lulusan yang kreatif dan inovatif dan mampu beradaptasi dengan baik. Integrasi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) dalam Kegiatan Pembelajaran Biologi Saat ini kemajuan teknologi informasi, dan komunikasi (TIK) membawa dampak yang luar biasa dalam sendi-sendi kehidupan. Pengaruh keberadaan teknologi tidak hanya membawa dampak dalam kehidupan sehari-hari akan tetapi juga berdampak dalam dunia pendidikan khususnya kegiatan pembelajaran. Dengan demikian mau tidak mau integrasi TIK menjadi suatu kebutuhan dan keharusan untuk diterapkan dalam system pendidikan di negara kita. Mengapa TIK menjadi komponen yang penting? Di era digital saat ini, anak-anak kita, generasi masa depan bangsa akan menghadapi tantangan yang luar biasa. Generasi abad 21 ini membutuhkan kebaharuan-kebaharuan yang mampu membekali mereka untuk menghadapi tantangan kemajuan jaman. Pheerapan (2013) menyatakan bahwa generasi muda saat ini membutuhkan keterampilan spesifik untuk dapat menjadi sukses di abad 21, yang dalam hal ini terutama dalam memecahkan permasalahan di kehidupan, tempat kerja, juga dalam hal informasi, penggunaan media dan keterampilan teknologi, komunikasi dan keterampilan berkolaborasi. Keterampilan dalam mempergunakan serta mengoptimalkan TIK merupakan salah satu keterampilan penting yang sangat perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Penggunaan TIK yang terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran menjadi poin penting sekaligus variasi menarik untuk menunjang kesuksesan dalam belajar. Dalam pelaksanaannya desain penggunaan TIK dapat memuat komponen keterampilan abad 21 seperti; keterampilan bekerjasama, keterampilan berkomunikasi, kecepatan mendapatkan informasi, kecepatan penggunaan media pendukung serta kecepatan mempergunakan teknologi dalam bentuk TIK itu sendiri. Dengan demikian pengintegrasian TIK dalam pembelajaran berpeluang membuka luas akses pengetahuan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan menyenangkan, terutama dalam penerapan high tech dan high touch approach (Lukitasari,et al, 2014). Penggunaan teknologi merupakan salah satu bentuk komponen yang dianggap efektif, praktis, berdaya guna tinggi dan banyak membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi termasuk di dunia pendidikan. Pada awal penggunaan teknologi seperti disampaikan, Sari & Mahmutoglu (2013) pengguna (dosen dan mahasiswa) pasti akan mengalami kesulitan. Kondisi tersebut wajar dirasakan karena di beberapa tempat atau sekolah dan bahkan perguruan tinggi penggunaan teknologi (TIK) merupakan pengetahuan dan pemahaman baru yang membutuhkan waktu untuk mempelajarinya. Dalam proses peningkatan pemahaman terhadap implikasi teknologi tersebut bahkan Pheeraphan (2013) menyampaikan seringkali pengguna (guru, dosen, mahasiswa, dan siswa) akan mengalami tingkat stress yang cukup tinggi karena merasa kesulitan dalam aplikasinya untuk mendukung proses pembelajaran. Sejarah penerapan serta penggunaan TIK sebagai pendukung pembelajaran di Indonesia seperti disampaikan Perbawaningsih (2013) tampak bahwa pemerintah sangat mendukung penggunaan TIK dalam aplikasinya melalui komitmen yang positif. Perkembangan infrastruktur pendukung diawali dengan penjelasan sebagai berikut: Tabel 1. Perkembangan Infrastruktur pendukung TIK di Indonesia (Perbawaningsih, 2013)
TAHUN 1999-2000 2000-2001 2002-2003 2004-2005 2006-2007 2007-sekarang 2008-sekarang
PROGRAM Network Internet (Jarnet) Network Internasional School (JIS) Cite Wide Area Network (WAN Cities) Information and Communication Technology Center (ICT Center) Indonesia Higher Education Network (Inherent) National Education Network (Jardiknas) Southeast Asian Education Network (SEA EduNet)
Selain dukungan pemerintah seperti disampaikan maka secara mandiri banyak perguruan tinggi di Indonesia yang sudah mengembangkan insfrastrukturnya secara mandiri untuk mendukung penerapan TIK dalam pembelajaran di perguruan tinggi. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa TIK merupakan komponen yang sangat penting untuk terus dikembangkan sebagai pendukung dalam kegiatan pembelajaran. SEMINAR NASIONAL PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI-IKIP PGRI MADIUN
3
Meskipun pemerintah sangat mendukung TIK dalam banyak segi kehidupan masyarakat, tetapi tampaknya belum maksimal dimanfaatkan. Terbukti penduduk Indonesia masih minoritas yang memanfaatkan TIK untuk meningkatkan kualitas hidup sehari-hari. Juga masih banyak guru yang minimal memanfaat TIK khususnya dalam penggunaan email, kreatifitas blog, bahkan transaksi via online. Hingga tahun 2012, data menunjukkan hanya 10% saja penduduk Indonesia yang sudah memanfaatkan dukungan TIK tersebut. Bagaimana dengan yang lain? 80 juta penduduk Indonesia yang menggunakan TIK ternyata terbesar adalah untuk media social; facebook, twitter, Instagram dan media sosial lainnya. Bagian penting yang mendasar adalah bagaimana mengkombinasikan teknologi dengan pendidikan, terutama di pendidikan tinggi. Di negara maju seperti Amerika, Jerman, Inggris, Swedia dan Jepang, penggunaan teknologi untuk mendukung proses pembelajaran sudah merupakan bagian penting yang wajib untuk dipelajari dan merupakan komponen penting yang terus menerus dikembangkan. Penggunaan teknologi dalam pendidikan (educational technology) menurut banyak peneliti memiliki kemiripan dalam definisi dan proses penerapannya. Istilah educational technology tersebut menggambarkan pentingnya teknologi yang dipergunakan sebagai pendukung dalam proses pembelajaran atau dalam pendidikan dalam skala luas. Dalam penerapannya maka dibutuhkan sebuah perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi dalam proses pembelajaran sehingga sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Contoh penggunaan TIK dalam pembelajaran Biologi antara lain adalah sebagai berikut. 1. Dalam pembelajaran Biologi, penggunaan TIK sudah mulai terintegrasi dan banyak dipergunakan untuk memudahkan peneliti dan pebelajar khususnya mahasiswa dalam melakukan analisa di bidang Biologi. Penggunaan elektronik portofolio (e-portofolio) yang mengubah bentuk asesmen portofolio menjadi elektronik sehingga lebih berdaya guna mendukung proses pembelajaran (Lukitasari, 2014). Tujuan penggunaan e-portofolio ini tidak hanya sekedar paperless saja (Amaya et al, 2013) akan tetapi jauh lebih bermanfaat khususnya dalam melakukan asesmen terhadap proses pembelajaran. E-portofolio ini akan bermanfaat baik untuk mahasiswa dalam melakukan mengembangkan kemampuan metakognitif melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan sekaligus evaluasi kegiatan belajarnya dengan penggunaan eportofolio pribadinya. Kondisi dimaksud seperti disampaikan oleh Alexiou & Paraskeva (2010) yang menunjukkan bahwa penggunaan e-portofolio mampu meningkatkan keterampilan mahasiswa khususnya dalam hal mengatur mekanisme belajar secara mandiri sehingga meningkatkan kemampuan akademik mahasiswa. 2. Melakukan analisa genetik untuk mengetahui keragaman gen dalam suatu populasi maka dikenal software Genetika Populasi. Gambaran hasil analisa tampak sebagai berikut
Gambar 1. Hasil analisis genetika populasi Gambar 1 tersebut menunjukkan hasil analisis genetika populasi dengan dihitungnya keragaman alel pada populasi yang berbeda. Dimana semakin banyak atau beragam jenis alel nya maka individu dalam populasi tersebut semakin tinggi heterosigositasnya. 3. Analisa dengan bantuan TIK yang lain dalam bidang Biologi adalah adanya teknik SDS-PAGE (sodium dodecylsulfate polyacrylamide gel electrophoresis) untuk analisis jenis protein berdasarkan berat molekulnya. Kegiatan diawali dengan diambilnya bagian tertentu sampel tubuh individu dalam populasi (darah, daging, hormon dll) untuk dianalisis proteinnya. Dengan teknik SDS tersebut protein yang ada akan terseparasi berdasarkan berat molekulnya di dalam gel melalui mekanisme elektroforesis, untuk kemudian dibandingkan dengan berat protein standart (marker). Hasil separasi tersebut akan dihasilkan profil protein berdasarkan berat molekulnya yang kemudian dibandingkan dengan marker (berat molekul protein standart). Hasil SDS seperti Gambar 2 kemudian ditransformasikan menjadi bentuk zimogram untuk mengetahui ketebalan serta ukuran pita protein yang dihasilkan menggunakan Corel Draw untuk kemudian dihitung persamaannya. Hasil separasi protein tersebut tampak seperti pada Gambar 2 berikut. SEMINAR NASIONAL PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI-IKIP PGRI MADIUN
4
Gambar 2. Hasil separasi protein menggunakan teknik SDS PAGE
Gambar 3. Zimogram hasil Transformasi separasi protein dengan menggunakan Corel Draw (Lukitasari, 2011)
4. Hasil teknis seperti tahapan di nomer 3, dapat dianalisis hubungan kekerabatannya berdasarkan data biner profil protein dengan analisis multivariate statistical package (MVSP). Analisis program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan kekerabatan individu dalam suatu populasi atau antar populasi pada wilayah yang berbeda. Hasil separasi protein dengan langkah SDS ditransformasi menjadi bentuk zimogram kemudian diubah menjadi data biner dan dianalisis menggunakanan program MVSP. Hasil analisis akan dihasilkan dendogram seperti tampak pada Gambar 3 untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar populasi atau antar individu. Gambar 3. Tansformasi data binner hasil zimogram yang kemudian dianalisis menggunakan MPSV untuk mengetahui hubungan kekerabatannya dan didapatkan gambaran Dendogram. (Lukitasari, 2011)
5. Penggunaan salah satu portal web untuk memudahkan kegiatan eksperimen dengan meminimalkan kegiatan secara langsung di laboratorium. Mekanisme yang relative baru ini disebut sebagai ‘In Silico’ yang memiliki kelebihan sebagai model pelaksanaan eksperimen dengan hasil yang cenderung mirip seperti harapan. Artinya, apabila diterapkan eksperimen tertentu kemudian dimodelkan dengan In Silico, maka akan meminimalkan kemungkinan adanya kesalahan, sehingga saat benar-benar diterapkan dalam laboratorium proses yang direncanakan akan menjadi lebih efektif dan efisien. Salah satu alamat web yang menyedian permodelan dengan metode In silico misalnya pada alamat web berikut https://chaste.cs.ox.ac.uk/ActionPotential yang berfungsi untuk mendapatkan gambaran atau prediksi detail kegiatan eksperimen secara simulasi. Williams & Mirams (2015) melaporkan hasil penggunaan simulasi pada web tersebut dengan menggambarkan pola pompa jantung yang merupakan ekspresi gen dan diberi perlakuan berbeda secara simulasi. Hasil prediksi eksperimen dimaksud tampak seperti tergambarkan di Gambar 4 berikut.
SEMINAR NASIONAL PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI-IKIP PGRI MADIUN
5
Gambar 4. Hasil screen shot portal web untuk mempresentasikan hasil simulasi suatu eksperimen. Bagian gambar di sebelah kiri menunjukkan input data untuk simulasi yaitu harga pIC (perbedaan jenis ion) dan kisaran konsentrasi perlakuan yang diberikan.
6. Yang paling banyak dipergunakan untuk mengetahui signifikasi perlakuan suatu eksperimen dalam bidang Biologi adalah analisis keragaman (ANOVA) one way atau two way dan juga ANACOVA melalui program statistika SPSS dengan banyak versi dan perkembangan. Gambaran hasil analisis kegiatan pembelajaran yang dianalisis dengan ANACOVA tampak seperti Gambar 5 sebagai berikut.
Gambar 5. Hasil analisa dengan SPSS versi 16 menggunakan ANACOVA untuk mengetahui pengaruh penggunaan e-portofolio terhadap kemampuan metakognitif mahasiswa (Lukitasari, 2014).
Jika kita mengamati dan mengikuti perkembangan TIK, kemudian mencoba dan melaksanakannya secara bersamaan maka bisa dipastikan kualitas pendidikan khususnya bidang Biologi di negara kita akan maju dengan pesat. Dengan calon guru dan guru-guru yang memiliki semangat tinggi untuk belajar, maka perubahan menuju kemajuan akan semakin cepat kita dapatkan. Dalam proses pelaksanaan penggunaan TIK sebagai pendukung pelaksanaan pembelajaran pasti akan banyak hambatan yang ditemui, seperti kendala fasilitas, kemauan belajar yang rendah atau masalah klasik yaitu kesibukan yang terus menerus ada dan juga banyak hambatan lain yang ada atau sengaja diadakan. Akan tetapi dengan kemauan dan motivasi untuk pengabdian maka bukanlah hal yang mustahil bagi kita semua untuk terus belajar dan belajar sebagai bagian dari bentuk pengembangan profesionalisme diri.
SEMINAR NASIONAL PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI-IKIP PGRI MADIUN
6
Penutup Permasalahan pendidikan di Indonesia yang kompleks menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua khususnya pendidikan tinggi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dibutuhkan keterampilan khusus sehingga sumber daya manusia yang ada akan memiliki keunggulan di bidangnya. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi poin penting untuk mendukung upaya pendidikan sehingga menjadi lebih berkualitas dan bermanfaat. Dalam bidang Biologi dan Pendidikan Biologi sudah sangat banyak berkembang teknik serta analisa yang dipergunakan untuk membuktikan suatu hipotesis, seperti penggunaan salah sastu sarana asesmen yaitu elektronik portofolio dalam proses pembelajaran. Di sisi lain penggunaan banyak jenis analisa antara analisis GenPop, SDS page, Zimogram, MPSV, In Silico dan SPSS juga merupakan bentuk TIK yang sangat membantu pembuktian hipotesis di bidang Biologi. Dengan demikian penggunaan TIK menjadi salah satu komponen penting untuk membekali mahasiswa lebih kompeten serta terampil menghadapi masa MEA. Pustaka Pendukung Alexiou, A. and Paraskeva, F. 2010. Enhancing Self Regulated Learning Skills Through The Implementation of An E-portfolio Tool. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 2; 30483054. Amaya, P., Agudo, J. E., Sanchez, H. Rico, M, and Linares, R. H.,. 2013. Educational E-Portfolios: Uses and Tools. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 93; 1169-1173. Garret, J., Alman, M., Gardner, S., PharmD, EdD., and Born, C. 2007. Assesing Students’ Metacognitive Skills. American Journal of Pharmaceutical Education. 71 (1); Article 14. Lukitasari, M. 2011. Variasi Genetik Kerbau Lokal (Bubalus Bubalis) Di Wilayah Madiun Dan Malang Berdasarkan Profil Dan Polimorfisme Protein Darah Sebagai Bahan Untuk Pengembangan Bahan Ajar Teknik Analisis Biologi Molekuler. Tesis. Universitas Negeri Malang. Lukitasari, M., Corebima, D., Susilo, H., and Ibrohim. 2014. Lesson Study in Improving the Role of E-Portfolio on the Metacognitive Skill and Concept Comprehention: A Study on Cell Biology Subject in IKIP PGRI Madiun, Indonesia. American Journal of Educational Research. 2(10); 919-924. Hanten, G., Dennis, M., Zhang, L., Barnes, M., Roberson, G., Archibald, J., Song, J., dan Levin, H. S.,. 2004. Childhood Head Injury and Metacognitive Processes in Language and Memory. Developmental Neuropsychology, 25(1&2);85-105. Pheeraphan, N. 2013. Enhancement of the 21st Century Skills for Thai Higher Education by Integration of ICT in Classroom. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 103; 365-373. Sari, A. and Mahmutoglu, H. 2013. Potential Issues and Impact of ICT Applications Through Learning Process in Higher Education. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 89; 585592. Williams, G. and Mirams, G., R. 2015. A Web Portal for in-silico Action Potential Predictions. Journal of Pharmacological and Taxicological Methods. 75; 10-16.
SEMINAR NASIONAL PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI-IKIP PGRI MADIUN
7
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PROFIL PEMAHAMAN KONSEP STRUKTUR SEL DAN KERJA GEN PADA GURU MGMP BIOLOGI SMA KOTA KEDIRI Agus Muji Santoso dan Poppy Rahmatika Primandiri Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Nusantara PGRI Kediri email:
[email protected]
ABSTRAK Guru Biologi seharusnya memiliki pemahaman yang benar tentang prinsip struktur sel dan kerja gen. Konsep tersebut merupakan konsep fundamental untuk memahami sistem Biologi yang utuh. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil pemahaman yang kurang tepat yang dimiliki oleh guru Biologi SMA tentang konsep struktur sel dan kerja gen yang ditemukan selama program pendampingan MGMP selama Desember 2015 sampai Februari 2016. Data profil pemahaman konsep diperoleh dengan instrumen pemahaman konsep dan dilanjutkan dengan wawancara tidak terstruktur dengan guru responden. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pemahaman yang kurang tepat tentang konsep: endomembran, struktur kromosom dan gen, sifat membran sel, pergerakan organel di dalam sel, sekuen promotor dan gen, perubahan nukleotida, dan konsep arah transkripsi serta faktor transkripsi. Selain itu, makalah ini juga mendeskripsikan faktor yang menyebabkan pemahaman konsep yang kurang tepat tersebut. Penyedian akses on line data base dapat digunakan untuk mengatasi masalah terbatasnya referensi bagi guru. Kata kunci: guru Biologi, kerja gen, pemahaman konsep, struktur sel.
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu dan teknologi mendorong semakin cepatnya produktivitas penelitian baik dasar maupun terapan ilmu hayati. Khususnya eksplorasi genom organisme. Misalnya, perkembangan ilmu matematika dan komputer yang terus menyediakan fasilitas terbaru untuk menyimpan informasi-informasi untuk kepentingan apa pun. Salah satunya untuk menyimpan informasi data genom organisme yang terus berhasil diungkap. Data base tersebut dapat diakses secara luas dan gratis oleh semua kalangan secara on line dengan sumber kontribusi data base yang jelas dan dapat dipertangungjawabkan. Pengelolaan informasi data base tersebut berbasis komputasi matematika. Data yang dihasilkanpun benar berdasarkan perhitungan komputasi. Fasilitas tersebut sangat membantu dalam menyediakan infromasi data base genom organisme yang jumlahnya terus bertambah setiap harinya. Pada satu sisi, guru merupakan profesi yang memiliki empat jenis kompetensi. Salah satunya adalah kompetensi profesional yang mengharuskan guru menguasai bidang kajian yang dibelajarkan kepada peserta didiknya (Hendayana, 2009 dan Santoso et al., 2011). Guru sebaiknya mengikuti perkembangann dinamika ilmu bidang kajiannya dengan baik. Salah satu indikitornya adalah guru memiliki pemahaman yang baik tentang konsep-konsep fundamental atau mendasar dari sebuah bidnag kajian. Pada umumnya konsep fundamental bidang kajian lebih cepat mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan sains dan teknologi untuk mengamati dinimika molekuler. Termasuk guru Biologi SMA yang juga harus mengikuti perkembangan konsep fundamental yang 1
Santoso dan Primandiri, Profil Pemahaman Konsep Struktur Sel dan Kerja Gen pada Guru Biologi
tentang struktur sel dan kerja gen. Hal ini didasarkan pada dua hal. Semakin modernnya sarana analisis mikroskopis dan molekuler yang berakibat pada semakin banyaknya hasil temuan konsep struktur sel dan kerja gen. Kondisi demikian menyebabkan tingginya hasil publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh pakar. Namun, pada sisi lain beban tugas guru pada jenjang SMA cukup tinggi yaitu minimal 24 jam tatap muka per minggu (Permendiknas Nomor 30 Tahun 2011). Pada kondisi demikian, guru memiliki kesempatan pengembangan diri yang terbatas. Alokasi waktu yang tersedia untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan sangat terbatas. Misalnya alokasi waktu untuk mencari referensi baru dan mempelajari referensi tersebut menjadi sangat terbatas. Pada kondisi tertentu, tersedianya referensi baru tersebut juga belum tentu menjadi pendorong bagi guru untuk menambah pengetahuan dan wawasan guru. Hal ini disebabkan mempelajari referensi baru dalam bentuk bahasa asing dan istilah baru dapat memerlukan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Telah dilakukan observasi selama melaksanakan program pendampingan bagi guru peserta Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Biologi di Kota Kediri pada topik Bioteknologi. Hasil pengamatana tersebut menunjukkan bahwa guru mengalami kendala untuk mengikuti topik tersebut. Kendala tersebut muncul karena adanya pemahaman yang yang kurang sesuai yang dimiliki oleh guru Biologi SMA. Hal ini diperkuat dengan hasil respondensi dengan beberapa guru. Oleh karena itu, diperlukan studi lebih lanjut untuk mengetahui kondisi riil pemahaman guru Biologi SMA terhadap beberapa konsep fundamental yang menjadi dasar topik Bioteknologi Modern. Profil pemahaman konsep struktur sel dan kerja gen yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi dasar bahan pertimbangan untuk menentukan program pendampingan selanjutnya. Terutama untuk memacu agar guru Biologi mampu mengembangan diri dengan baik dengan menambah pengetahuan dan wawasan pada konsep fundamental. METODE PENELITIAN Penelitian ini berjenis studi kasus yang dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Februari 2016 pada kelompok MGMP Guru Biologi SMA/ MA Kota Kediri. Data profil pemahaman konsep diperoleh dengan menggunakan instrumen pemahaman konsep berupa tes prakonsepsi yang meliputi konsep struktur sel, jenis dan bagian sel, pergerakan organel di dalam sel, dinamika molekul di dalam sel, materi genetik di dalam sel, gen dan prinsip kerjanya, perubahan nukleotida, konsep araah transkripsi serta faktor transkripsi. Jawaban pembanding diperoleh dengan menacu pada beberapa refensi utama berupa buku teks seperti Koolman dan Roehm (2005). Selain itu juga dilakukan wawancara tidak terstruktur kepada beberapa responden yang diketahui memiliki pemahaman yang belum tepat. Wawancara tersebut bertujuan untuk mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan responden memiliki pemahaman demikian. Data berupa temuan pemahaman konsep yang belum tepat diinvenarisasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui profil pemahaman guru pada konsep struktur sel dan kerja gen. Diperoleh beberapa termuan pemahaman guru yang kurang 2
Santoso dan Primandiri, Profil Pemahaman Konsep Struktur Sel dan Kerja Gen pada Guru Biologi
tepat beserta faktor penyebabnya yang tersaji pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Ragam Temuan Pemahaman Konsep Biologi Sel dan Kerja Gen No.
Temuan
1.
Endomembran: - Endomembran merupakan kumpulan beberapa memban organel yang menjadi satu untuk mendukung fungsi kerja tertentu Sifat membran sel: - Membran sel berstruktur rapat dan bersifat selektif sehingga tidak semua molekul dapat keluar masuk dari dalam keluar sel maupun sebaliknya. Pergerakan organel dalam sel: - Organel-organel sel bergerak mengikuti aliran sitoplasma, misalnya dalam gerak siklosis Struktur kromosom dan gen: - Gen-gen dapat dipetakan pada lengan-lengan kromosom
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sekuen promotor dan gen: - Sekuen promotor berada di depan sekuen gen
Perubahan nukleotida: - Susunan nukleotida berifat tetap agar menghasilkan enzim yang sesuai Konsep arah transkripsi dan faktor transkripsi: - pada satu rantai template, arah transkripsi tidak hanya berjalan dari arah 5’ 3’ - Transkripsi memerlukan faktor trankripsi berupa enzim tertentu dan dalam jumlah tertentu
Penyebab -
Ketidakcermatan membaca
-
Minim referensi
-
Minim referensi
-
Minim referensi dan minimnya contoh riil
-
Ketidakcermantan membaca dan minimnya contoh riil
-
Minimnya referensi
-
Minimnya referensi dan visualisasi kerja faktor transkripsi
Konsep endomembran merupakan konsep pertama yang belum tepat yang ditemukan pada guru. Guru memiliki pemahamna bahwa endomembran merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa membran. Namun, berdasarkan Tabel 1, konsep endromembran tidak dapat diartikan sebagai kumpulan beberapa membran organel sel. Hal tersebut berarti sistem endomembran tidak melibatkan membran inti sel (nukleus) karena hanya didefinisikan sebagai kumpulan beberapa membran organel sel. Konsep endomembran yang sesuai adalah merupakan kumpulan membran dari beberapa membran di dalam sel yang membentuk unit fungsional dan perkembangan sel baik yang terhubung langsung secara struktural maupun secara fungsional melalui transfer vesikel antar membran satu ke lainnya. Profil pemahaman demikian disebabkan adanya ketidakcermatan dalam membaca buku yang digunakan oleh guru. Guru tidak memiliki wakatu yang cukup untuk membaca buku dengan baik. Responden mengungkapkan bahwa beban mengajar yang tinggi mendorong guru memiliki waktu terbatas untuk belajar. Profil konsep berikutnya adalah tentang strutkur membran sel. Diperoleh pemahaman konsep bahwa membran sel berstruktur rapat dan bersifat selektif sehingga tidak semua molekul dapat keluar masuk dari dalam keluar sel atau sebaliknya. Pemahaman tersebut menyatakan bahwa membran sel berstruktur rapat. Hal tersebut memberikan kesan bahwa membran sel cenderung kaku dan tidak dinamis. 3
Santoso dan Primandiri, Profil Pemahaman Konsep Struktur Sel dan Kerja Gen pada Guru Biologi
Gambar 1. Salah satu contoh bentuk visulisasi struktur membran sel. Hasil respondensi mengungkapkan bahwa membran sel berbentuk tetap agar mampu bersifat selektif sehingga tidak semua molekul dari keluar masuk dari dalam maupun keluar sel atau sebaliknya. Pemahaman demikian belum sesuai. Secara struktural, membran sel tersusun dari molekul fosfolipid ganda. Setiap molekul fosfolipid terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian kepala dengan molekul kolin dengan gugus fosfat yang bersifat hidrofilik dan bagian ekor yang berupa molekul lipid (asam lemak) yang berbentuk dua rantai. Salah satu rantai dari asam lemak tersebut memiliki ikatan rnagkap sehingga menyebabkan konformasi strukturnya bengkok. Selanjutnya, struktur membran sel juga disusun oleh beberapa jenis molekul lipid dan protein dengan komposisi yang berbeda-beda. Konsep membran sel yang bersifat fluid menjadi acuan karena komposisi kolestrol dalam memran sel. Hasil respondensi mengungkapkan bahwa pemahaman tersebut diperoleh karena minimnya refensi yang digunakan oleh guru SMA. Temuan berikutnya tentang pemahaman guru terhadap konsep pergerakan organel di dalam sel. Responden masih memiliki pemahaman bahwa semua organel di dalam sel bergerak mengikuti aliran gerak sitoplasma. Pemahaman tersebut kurang sesuai. Berdasarkan sumber rujukan yang tersedia, beberapa organel dapat bergerak mengikuti gerak siklosis protoplasma sel, misalnya gerak klorofil pada tanaman Chara sp. yang dapat diamati dengan mudah menggunakan mikroskop cahaya. Namun, organel lainnya dapat bergerak karena adanya kerja protein lokomosi. Contohnya mitokondria dapat bergerak secara pasif karena beberapa sisi mitokondria terdapat protein lokomosi dan protein tersebut berinteraksi dengan mikrotubula maupun mikrofilamen di dalam sel. Akibatnya gerakan organel mitokondria cenderung memiliki pola yang sejajar dengan arah mikrotubula di dalam sel. Pemahaman konsep tersebut disebabkan minimnya referensi yang dimiliki oleh guru. Pemahaman konsep yang kurang sesuai berikutnya adalah pada konsep struktur gen dan kormosom. Pemahaman yang dimaksud yaitu guru berargumentasi bahwa gen-gen dapat dipetakan dari lengan-lengan kromosom. Berdasarkan respondensi diperoleh informasi bahwa pemetaan gen dapat dilakukan dari lengan kromosom. Pemahaman ini kurang sesuai. Berdasarkan referensi rujukan, pemetaan gen sebenarnya berupa adanya informasi berupa sekuen gen target yang menyandi protein fungsional. Terungkapnya sekuen gen target tersebut secara langsung dapat ditelusur lokasi sekuen tersebut pada 4
Santoso dan Primandiri, Profil Pemahaman Konsep Struktur Sel dan Kerja Gen pada Guru Biologi
urutan posisi berapa dari whole genom. Munculnya pemahaman demikian disebabkan minimnya referensi yang dimiliki oleh guru termasuk minimnya contoh riil hasil penelitian yang berkaitan dnegan hal tersebut. Pemahaman konsep yang kurang tepat berikutnya yang dimilik oleh guru SMA adalah sekuen promotor gen berlokasi di depan sekuen gen target. Berdasarkan argumentasi tersebut, dengan mempertimbangkan arah proses transkripsi sekuen gen, diketahui bahwa guru memiliki konsep sekuen promotor terletak setelah sekuen gen target. Jika konstruksikan maka pemahaman konsep guru tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut
Gambar 2. Visualisasi konsep guru tetang posisi sekuen promotor (panah merah) dan gen target (panah hitam), arah panahh menunjukkan arah transkripsi. Pemahaman konsep tersebut kurang sesuai dengan rujukan referensi yang ada yaitu sekuen promotor terletak diawal sekuen gen target. Hal ini disebabkan sekuen promotor memiliki kendali untuk menentukan apakah sekuen gen target dapat ditranskripsi atau tidak. Pada sekuen promotor terdapat sekuen spesifik yang dapat dikenali oleh protein faktor transkripsi. Oleh karena itu, sekuen promotor harus berada sebelum sekuen gen target. Pemahaman yang kurang sesuai tersebut dapat dimiliki oleh guru karena guru tidak membaca referensi buku yang tersedia secara cermat dan minimnya contoh riil berbasis hasil penelitian yang dimiliki oleh guru. Temuan berikutnya tentang pemahaman konsep guru Biologi SMA yang krang sesuai adalah susunan basa nukleotida bersifat tetap agar dapat mensintesis protein yang tepat. Berdasarkan argumentasi tersebut dapat diketahui bahwa urutan basa nukleotida sebuah gen bersifat tetap, tidak berubah susunannya. Konsep tidak sepenuhnya sesuai sebab susunan basa nukleotida dapat berubah apabila terjadi perubahan sekuen tersebut. Perubahan tersebut dapat berjenis subtitusi tranversi maupun transisi sesuai dengan konsep mutasi gen. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan walaupun terjadi perubahan susuan basa nukleotida ada sekuen gen target namun tidak sampai merubah sekuen asam amino yang ditranslasikan. Sebagai contoh adalah perubahan basa nukleotida yang terjadai pada sekuen gen CpTI pada beberapa sampel tanaman Fabaceae sebagaimana Gambar 3. Pemahaman konsep tersebut dapat dimiliki oleh guru Biologi SMA disebabkan minimnya referensi yang dimiliki oleh guru, sehingga pemahaman yang diperoleh banyak berasal dari bahan ajar yang dimilikinya, seperti LKS dan buku pegangan guru saja. Pemahaman guru Biologi SMA yang kurang sesuai juga diketahui pada konsep arah transkripsi dan faktor transkipsi. Pertama, responden berpendapat bahwa pada satu rantai DNA template arah transkripsi dapat berlangsung tidak hanya dari arah 5’ 3’. Berdasarkan argumentasi tersebut arah transkripsi sebuah gen (target) pada sebuah rantai DNA template dapat terjadi dalam arah 5’ 3’ maupun 3’ 5’. Pemahaman tersebut tidak sesuai dengan sumber rujuakan yang tersedia yaitu bahwa arah transkripsi sebuah gen hanya dapat terjadi dalam satu arah saja dalam satu rantai DNA template.
5
Santoso dan Primandiri, Profil Pemahaman Konsep Struktur Sel dan Kerja Gen pada Guru Biologi
Gambar 3. Contoh situs perubahan nukleotida dari 9 sekuen gen CpTI dari data base pada sekuen 206 pada sampel ke 5, sekuen 228 pada sampel ke 4, dan 225 pada sampel ke 1 sampai 8 Kedua, adanya pemahaman guru Biologi bahwa faktor transkripsi berupa protein berjenis enzim. Responden menyatakan demikian karena proses transkripsi merupakan peristiwa reaksi kimia seperti halnya reaksi kimia yang terjadi di dalam mitokondra, kloroplas, maupun sitoplasma sel. Pemahaman konsep tersebut sangat tidak sesuai dengan referensi rujukan yang ada. Faktor transkripsi merupakan protein yang bermotif. Artinya, faktor transkripsi memiliki bagian atau domain-domain khusus, seperti domain yang dapat berinteraksi dengan sekuen DNA promotor, domain yang dapat berinteraksi atau berikatan dengan Calmodulin (CaM), dan domain penting lainnya. Salah satu contoh bentuk motif yang dimiliki oleh faktor trankripsi berjenis GATA dapat diamati pada Gambar 4 dengan motif atau domain Zn finger. Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat diketahui bahwa protein faktor transkripsi memiliki pola kerja yang berbeda dengan enzim walaupun termasuk protein. Faktor transkripsi bertindak sebagai inisiator terjadinya proses transkripsi dengan berinteraksi dengan molekul lainnya, misal CaM agar dapat berinteraksi dengan sekuen promotor. Pemahaman tersebut dapat dimiliki oleh guru Biologi SMA karena minimnya referensi yang dimiliki oleh guru dan belum adanya media yang dapat memberikan visualisasi penjelas tentang struktur dan kerja faktor transkripsi dengan baik.
Gambar 4. Contoh hasil analisis profil motif protein GATA (Santoso et al., 2016) Berdasarkan deskripsi temuan di atas dapat diketahui bahwa pemahaman konsep yang kurang sesuai lebih banyak disebabkan terbatasnya referensi yang dimiliki oleh guru Biologi. Pada umumnya guru hanya mampu mengakses informasi dari LKS dan buku pengangan guru yang diterbitkan oleh penerbit nasional. Berdasarkan hasil observasi terhadap LKS dan buku pengangan guru, diperoleh informasi bahwa LKS dan buku
6
Santoso dan Primandiri, Profil Pemahaman Konsep Struktur Sel dan Kerja Gen pada Guru Biologi
pengangan tersebut masih berlum diperkaya dengan hasil-hasil penelitian pada pokok bahasan struktur sel dan kerja gen. Selain itu, LKS dan buku pengangan juga belum diperkaya dengan data base yang telah ada. Informasi data base tersebut dapat diakses secara terbuka oleh siapa pun secara gratis. Fatchiyah (2015) mengungkapkan bahwa informasi data base dapat diunduh secara gratis sesuai dengan kebutuhan kita. Hal sejalan dengan Santoso et al. (2016) yang menyatakan bahwa data base yang tersedia secara on line memiliki peluang untuk dieksplorasi untuk kepentingan penelitian-penelitian sebidang. Penyediaan informasi hasil-hasil penelitian dapat menyita waktu, tenaga, dan pikiran guru Biologi SMA yang memiliki beban kerja yang cukup tinggi. Penyediaan referensi dalam bentuk naskah memiliki ketidak efektifan dan efisiensi yang rendah. Guru memiliki waktu, tenaga, dan pikiran yang terbatas untuk membaca banyak referensi tentang perkembangan struktur sel dan kejra gen berbasis hasil pelitiian. Berdasarkan hal tersebut, dapat direkomendasikan bahwa keterbatasan referensi dapat diatasi dengan penyediaan akses terhadap data base. Data base genomik, proteomik, dan transkriptomik yang dapat secara mudah diakses dan digunakan siapa saja. Misalnya dengan membuka laman on line NCBI, KEGG Pathways, UniProt, dan beberapa laman lainnya sesuai kebutuhan. Tidak hanya untuk kepentingan penelitian bidang hayati namun juga untuk menunjang pengembangan diri guru Biologi SMA secara lebih cepat tentang konsep-konsep fundamental tersebut agar proses pembelajaran Biologi yang lebih bermutu. KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pemahaman yang kurang tepat tentang konsep: endomembran, struktur kromosom dan gen, sifat membran sel, pergerakan organel di dalam sel, sekuen promotor dan gen, perubahan nukleotida, dan konsep arah transkripsi serta faktor transkripsi. Selain itu, makalah ini juga mendeskripsikan faktor yang menyebabkan pemahaman konsep yang kurang tepat tersebut. Penyedian akses on line data base dapat digunakan untuk mengatasi masalah terbatasnya referensi bagi guru. DAFTAR PUSTAKA Fatchiyah. 2014. Prinsip Dasar Bioinformatika. Malang: Brawiaya University Press. Hendayana S. 2010. Perkembangan Lesson Study di Indonesia: Prospek dan Tantangannya dalam Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam Konteks Indonesia, editor: Hidayat et al.: Bandung: Fakultas Pendidikan MIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Juwono dan Juniarto, A. Z. 2014. Biologi Sel. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC). Irawan, B. 2012. Genetika Molekuler. Surabaya: Airlangga University Press. Santoso, AM, Amin M, Sumitro SB., Lukiaty B. 2016. Identifikasi Ragam Faktor Transkripsi Gen β-AS yang Terlibat pada Biosintesis Saponin. Prosiding Seminar
7
Santoso dan Primandiri, Profil Pemahaman Konsep Struktur Sel dan Kerja Gen pada Guru Biologi
Nasional Biologi dan Pembelajaran. Universitas Negeri Surabaya tanggal 20 Februari 2016. Santoso AM, Setyowati E, Nurmilawati M, dan Sulistiono. 2011. Enhancing of Student Science Literact at Protist Topic by Enhancing Inquiry Approach based Lesson Study. Prosiding International Seminar on Science Education di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, tanggal 12 Nopember 2011. Solomon EP, Berg LR, dan Martin DW. 2008. Biology, Eighth Edition. Belmont: Thomson Higher Education.
8
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI DI KELAS XI IIS 3 SMAN JAYALOKA TAHUN PELAJARAN 2014/2015 Idha Rakhmawati SMA Negeri Jayaloka Dinas Pendidikan Kabupaten Musi Rawas Email :
[email protected]
ABSTRAK Pembelajaran Biologi di kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada XI IIS 3 sebagai mata pelajaran peminatan belum sepenuhnya menerapkan pendekatan saintfik, sehingga siswa kurang aktif, motivasi dan minat siswa terhadap pembelajaran, dan menyebabkan rendahnya kemampuan mengamati, menanya, mencoba, mengumpulkan informasi dan mengkomunikasikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui motivasi dan minat terhadap pembelajaran setelah diterapkan pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IIS 3 SMAN Jayaloka tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 26 siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, angket dan tes. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. `Dari data siklus terakhir didapatkan hasil bahwa secara umum proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik sudah terlaksana dengan baik. Respon motivasi siswa terhadap pembelajarn tergolong baik yaitu aspek attention (perhatian), relevance (relevansi), convidence (percaya diri), dan satisfaction (kepuasan) berturut turut yaitu 3,72; 3.72; 3.60 dan 3.92. Respon minat siswa terhadap pembelajaran tergolong baik yaitu aspek attention (perhatian), relevance (relevansi), convidence (percaya diri), dan satisfaction (kepuasan) berturut-turut adalah 3,86; 3,77; 3,93 dan 4,01. Perolehan tes hasil belajar menunjukkan bahwa ketuntasan siswa mencapai ketuntasan96,15%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran biologi yang menerapkan pendekatan saintifik pada kelas XI IIS 3 dapat dilaksanakan dengan baik dan mampu meningkatkan minat, memotivasi dan hasil belajar. Kata kunci: Pendekatan saintifik, minat, motivasi, hasil belajar
PENDAHULUAN Kurikulum 2013 menganut pandangan dasar bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru ke peserta didik. Peserta didik adalah subjek yang memiliki kemampuan untuk secara aktif mencari, mengolah, mengkonstruksi, dan menggunakan pengetahuan. Untuk itu pembelajaran harus berkenaan dengan kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses kognitifnya. Agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, peserta didik perlu didorong untuk bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berupaya keras mewujudkan ide-idenya. Dari hasil observasi siswa XI IIS 3 belum aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu peneliti mencoba menggunaksan pendekatan saintifik untuk memotivasi siswa dalam belajar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:740) Pendekatan adalah cara teratur diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, disisi siswa hasil belajar merupakan puncak proses belajar.” Menurut Sudjana dalam Adang Heriawan dkk (2012:73) Pendekatan 9
Rakhmawati, Pendekatan Saintifik pada Mata Pelajaran Biologi
mengajar adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran, peranan Pendekatan mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses mengajar dan belajar. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan adalah cara yang digunakan oleh seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Dalam hal ini adalah cara-cara dilakukan oleh guru dan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah pembelajaran yang terdiri atas kegiatan mengamati ( untuk mengidentifikasi hal – hal yang ingin diketahui, merumuskan pertanyaan, mencoba / mengumpulkan data (informasi) dengan bebagai teknik, mengasosiasi / manganalisis / mengolah data dan menarik keKESIMPULAN serta mengkomunikasikan hasil yang terdiri dari keKESIMPULAN untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap (www.dadangjsn.blogspot.com/2014/06). Berdasarkan Permendikbud No.81A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013, langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut; a. b. c. d. e.
Mengamati; Menanya; Mengumpulkan Informasi; Mengasosiasi; Mengkomunikasikan.
Motivasi merupakan suatu proses internal yang mengaktifkan, membimbing, dan mempertahankan perilaku dalam rentang waktu tertentu (Nur, 1998). Peserrta didik akan belajar sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi yang tinggi. Dengan kata lain, seorang peserta didik akan belajar apabila ada factor pendorongnya (motivasi). Menurut Soeparman (2003) agar dapat memotivasi siswa untuk belajar ada 4 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: Perhatian (Attention) Syarat pertama adalah memperoleh dan mempertahankan perhatian siswa. Dalam proses belajar mengajar, perhatian siswa harus diarahkan pada pokok pembicaraan, misalnya dengan melkaukan suatu demonstrasi yang menarik yang berhubungan pada topic bahasan atau dengan suatu cerita atau pertanyaan yang berhubungan dengan topik yang kita ajarkan dan mengarahkan pada sesuatu yang menarik pada saat itu atau dengan memanfaatkan humor secara efektif disela-sela pembelajaran untuk menarik perhatian siswa. Pemberian perhatian yang cukup dari guru kepada peserta didik akan membawa dampak psikologi yang baik bagi anak. Menurut Nur (1998) menjelaskan bahwa elemen pembelajaran berdasarkan pengamatan terdiri atas perhatian, pengulangan, produksi dan motivasi serta penguatan. Dimana agar siswa dapat melakukan pengulangan maupun produksi dari suatu perilaku, siswa harus memiliki perhatian terhadap perilaku tersebut. Sehingga di sini guru harus dapat menjamin agar siswa memberikan perhatian kepada bagian-bagian penting dari materi pelajaran tersebut. Keterkaitan (Relevance)
10
Rakhmawati, Pendekatan Saintifik pada Mata Pelajaran Biologi
Seorang guru harus dapat meyakinkan siswa, bahwa pelajaran yang diikutinya berkaitan dengan tujuan atau motif pribadi mereka, misalnya membantu siswa untuk sampai pada tujuan, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek dengan mencoba menghubungkan manfaat pelajaran yang dipelajarinya dengan penerimaan ke jenjng studi yang lebih itnggi ataupun untuk mendapat nilai yang bagus. Kesesuaian dalam pemberian materi pelajaran akan mebuat peserta didik lebih berminat dan bersemangat dalam mengikuti proses belajar. Keterkaitan juga merupakan aspek yang sangat openting untuk terfus dikembangkan, sebab relevansi merupakan dasar bagi siswa untuk dapat menemukan dan membangun pengetahuan dalam diir siswa. Hal tersebut sesuai dengan pandangan teori konstruktivis yang menyatakan bahwa guru harus dapat membantu siswa untuk menemukan dan membangun pengetahuan dalam diri siswa dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi bermmakna dan relevan bagi siswa (Nur; 1998) Kepercayaan (Confidence) Seorang guru perlu mendasari materi dan situasi, termasuk tingkah laku guru. Untuk menciptakan tingkatan rasa percaya diri sendiri yang cocok dengan harapan siswa agar sukses belajarnya. Misalkan memberitahukan siswa tentang apa yang harus mereka kuasai dan memberikan tugas yang mennatang bagi siswa, tetapi pasti dapat dikerjakan dengan berhasil, serta menerima ujmpan balik yang bersifat kolektif yang membuat siswa mengetahui dimana letak kesalahannya dan bagaimana membetulkannya, merupakan upaya yang baik untuk mengontrol diri sendiri. Kepercayaan diri juga merupakan aspek penting yang harus juga dicapai dalam pembelajaran. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam komptensi yang dikembangkan dalam pendekatan saintifik yaitu Mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu dimulai untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. Kepuasan (Satisfaction) Agar keinginan belajar dapat berlanjut siswa perlu memiliki rasa puas terhadap proses dan hasil belajarnya. Kepuasan dapat tumbuh dari faktor luar maupun dalam. Faktor luar seperti hadiah, penghargaan, dan nilai ijazah dapat menimbulkan kepuasan. Faktor dalam seperti rasa puas berprestasi, berhasil dengan pekerjaan dan berinteraksi dengan orang lain sangat mempengaruhi kepuasan batiniah (Soeparman, 2003). Hasil belajar diperoleh pada akhir proses pembelajaran dan berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami suatu bahan yang telah diajarkan. Seperti yang dikemukakan Dimyati dan Mujiono (2000: 3) bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindakan belajar dan mengajar. Disisi guru, tindakan mengajar siswa bahkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan demikian, prestasi atau hasil belajar adalah tingkat keberhasilan yang diperoleh seseorang dari kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dilaksanakan sebanyak 11
Rakhmawati, Pendekatan Saintifik pada Mata Pelajaran Biologi
2 siklus dan tiap siklusnya meliputi keigatan perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IIS 3 SMAN Jayaloka tahun pelajaran 2014/2015 yang berjumlah 26 siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, angket dan tes. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Motivasi siswa terhadap pembelajaran 4.03
4.2 4
3.76
3.8
3.68
3.54
3.6
siklus 1
3.8
3.69 3.75
3.66 siklus 2
3.4 3.2 Attention
Relevance
Convidence
Satisfaction
Gambar 1. Grafik motivasi siswa terhadap pembelajaran
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap proses pemebelajaran menggunakan pendekatan saintifik, pada pertemuan pertama guru belum memancing siswa untuk bertanya apa, mengapa dan bagaimana. Hal ini bisa disebabkan karena subyek yang diamati adalah kelas XI IIS 3, yang notabene selama ini belum pernah diajarkan materi Biologi sehingga nampak belum terbiasa untuk membuat pertanyaan. Pada pertemuan kedua juga terjadi hal yang sama. Kemudian pada pertemuan ketiga dan keempat sudah terjadi peningkatan. Aspek keterlaksanaan pendekatan saintifik sudah dapat berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan isian lembar pengamatan Guru terhadap proses pemebelajaran sudah diceklis terlaksana. Dalam penelitian ini data motivasi siswa terhadap pembelajaran dengan menerapkan pendekatan saintifik diperoleh dari angket ARCS (attention, Relevance, Convidence dan Satisfaction) atau dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan perhatian, keterkaitan, percaya diri dan kepuasan yang hasilnya dapat diuraikan pada Tabel 1. Tabel 1. Motivasi siswa terhadap pembelajaran Aspek
12
Siklus 1
Siklus 2
Rata-rata
Kategori
Perhatian
3.76
3.68
3.72
Baik
Keterkaitan
3.69
3.75
3.72
Baik
Percaya diri
3.54
3.66
3.60
Baik
kepuasan
4.03
3.80
3.92
baik
Rakhmawati, Pendekatan Saintifik pada Mata Pelajaran Biologi
Perbandingan motivasi siswa pada siklus 1 dan 2 terhadap pembelajaran dengan pendekatan saintifik hasilnya dapat disajikan pada Grafik 1 Secara umum motivasi siswa terhadap pemeblajaran dengan pendekatan saintifik. Pada aspek perhatian, keterkaitan, keyakinan dan kepuasan dari siklus 1 sampai siklus 2 mengalami peningkatan walaupun tidak melonjak. Rata-rata masing-masing aspek dari siklus pertama sampai siklus kedua berturut-turut yaitu 3,72; 3.72; 3.60 dan 3.92 Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa motivasi siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah baik pada aspek perhatian, keyakinan dan kepuasan. Namun cukup baik pada aspek keterkaitan. Hasil analisis minat siswa terhadap pembelajaran yang menerapkan pendekatan saintifik disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Minat siswa terhadap pembelajaran Aspek
Siklus 1 Siklus 2
Rata-rata
Kategori
Perhatian
3.81
3.92
3.86
Baik
Keterkaitan
3.73
3.81
3.77
Baik
Percaya diri
3.88
3.98
3.93
Baik
kepuasan
3.96
4.07
4.01
baik
Perbandingan minat siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan saintifik pada siklus 1 dan 2 dapat disajikan dalam Grafik 2. minat siswa terhadap pembelajaran 4.07
4.1
3.98
4 3.9
3.92
3.96
3.88
3.81
3.81
siklus 1
3.73
3.8
siklus 2
3.7 3.6 3.5 Attention
Relevance
Convidence
Satisfaction
Gambar 2. Grafik minat siswa tergadap pembelajaran
Secara umum minat siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan saintifik baik. Pada aspek keterkaitan dan keyakinan mengalami peningkatan sedangkan pada aspek kepuasaan tidak mengalami peningkatan. Namun demikian dari semua aspek mengalami peningkatan dari siklus satu dan dua. Rata-rata masing-masing aspek dari siklus pertama sampai siklus kedua berturut-turut, yaitu 3,86; 3,77; 3,93 dan 4,01. Dengan demikian
13
Rakhmawati, Pendekatan Saintifik pada Mata Pelajaran Biologi
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang dirancang guru dapat meningkatkan minat siswa untuk belajar. Berdasarkan hasil tes belajar siswa, pada pertemuan pertama terdapat 3 siswa tidak mencapai KKM dan pada siklus kedua terdapat 1 siswa yang tidak mencapai KKM. Dengan demikian jika dipresentase, siswa yang tuntas pada siklus pertama mencapai 88,46 % dan pada siklus kedua mencapai 96,15 %. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran biologi yang menerapkan pendekatan saintifik pada kelas XI IIS 3 dapat dilaksanakan dengan baik dan mampu meningkatkan minat, memotivasi dan hasil belajar..
DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Dimyati, Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Kardi, Soeparman.2003.Strategi Motivasi Model ARCS. Surabaya: Program Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya Nur Mohamad.200.Keterampilan Proses. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya Nur M dan Masitoh.1999.Perkembangan Peserta Didik. Unipres: Universitas Negeri Surabaya Nur Mohamad.1998. Pemotivasian Siswa untuk Belajar. Surabaya: IKIP Surabaya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 81 A tentang Implementasi kurikulum 2013. Suradi.2002.Prestasi dan Belajar. Jakarta: Pustaka Widyamara Tim. 2002. Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan. Surabaya: Giri Surya Tim. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Jakarta: Balai Pustaka Usman. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung : Rosda. www.dadangjsn.blogspot.com [diakses 10 November 2014]
14
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
ANALISIS FILOGENI KERBAU LOKAL PULAU JAWA DAN PULAU SUMATRA DENGAN GEN CYTOCHROME B Mohamad Amin dan Chitra Dewi Yulia Christie Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected] ABSTRAK Populasi kerbau lokal terutama di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera mengalami penurunan. Penyebab utama penurunan populasi ini adalah adanya proses inbbreeding. Upaya konservasi mutlak diperlukan melalui identifikasi variasi genetik dalam skala molekular untuk analisis filogeni dengan gen cytochrome b. Tujuan penelitian ini adalah merekonstruksi pohon filogeni kerbau lokal Pulau Jawa dan Pulau Sumatera dengan gen cytochrome b. Sampel diambil dari empat wilayah berbeda yaitu Jawa Timur (Tuban), Jawa Tengah (Kudus), Jawa Barat (Cirebon), dan Sumatra Selatan (Lubuk Linggau). Isolasi DNA, PCR dilakukan dengan metode standar. Sekuen dari setiap wilayah sampel digunakan untuk rekonstruksi pohon filogeni dan haplotipe network. Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) terdapat variasi sekuen gen cyt b kerbau (Bubalus bubalis) Jawa dan Sumatra yang meliputi analisis filogeni, jarak genetik, similaritas dan varian, serta haplotype network; b) analisis filogeni individu kerbau dari daerah yang sama dan yang berdekatan memiliki hubungan kekerabatan yang relatif tinggi; c) nilai jarak genetik Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra pada penelitian ini berkisar antara 0,000 sampai 0,031; d) nilai similaritas Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra yang diperoleh berkisar antara 96,86% sampai 100%; e) analisis haplotype network yang diperoleh bahwa haplotype kerbau Jawa dan Sumatra dengan Bison bison terbagi ke dalam enam haplotype yang membentuk dua haplogroup, sehingga letak geografis berpengaruh terhadap tingkat kekerabatan kerbau Jawa dan Sumatra Kata kunci: analisis filogeni, gen cyt b, haplotipe
PENDAHULUAN Di Indonesia, kerbau memiliki potensi yang meliputi sumber protein hewani, tenaga kerja, berperan dalam adat-istiadat dan kepercayaan berbagai suku bangsa di Indonesia. Kerbau memiliki keunggulan yaitu mempunyai daya adaptasi yang luas pada dataran rendah, dataran tinggi, hutan dan rawa serta kawasan yang sangat kering. Adaptasi yang dilakukan kerbau tersebut digunakan untuk melanjutkan hidup dan bereproduksi demi melanjutkan keturunan. Selain itu, kerbau juga mampu beradaptasi dengan memiliki kemampuan produktivitas yang baik sebagai penghasil daging, susu, kulit dan tenaga kerja bagi peternak atau petani. Kerbau juga lebih efisien dalam menggunakan pakan kualitas rendah dibandingkan dengan sapi. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan mikroorganisme yang berbeda yaitu pada kerbau lebih didominasi oleh mikroorganisme pemecah serat menjadi sumber energi yang lebih efektif dan efisien. Hal inilah yang menyebabkan kerbau memiliki daya adaptasi yang luas dan hampir dapat menyesuaikan diri dalam setiap kondisi lingkungan spesifik (PERMETAN, 2008). Dua tipe kerbau yang paling banyak ditemukan di Indonesia yaitu kerbau sungai dengan 50 pasang kromosom yang merupakan tipe penghasil susu dan kerbau lumpur atau rawa dengan 48 pasang kromosom yang digunakan sebagai ternak kerja dan
15
Amien dan Christie, Analisis Filogeni Kerbau Lokal
penghasil daging. Indonesia mayoritas memiliki kerbau dengan jenis kerbau rawa atau lumpur (Bubalus bubalis) dan hanya beberapa ratus ekor jenis kerbau sungai. Pulau Jawa dan Sumatra memiliki komoditas kerbau lebih banyak dibandingkan pulau-pulau lainnya dan kebanyakan memiliki jenis kerbau rawa atau lumpur. Kerbau lumpur mempunyai variasi yang cukup besar, yaitu pada bobot badan dan warna kulit. Kerbau lumpur ditandai dengan sifatnya yang senang berkubang dalam lumpur. Umumnya kerbau lumpur merupakan tipe pekerja, baik sebagai pengolah (membajak) sawah maupun penarik gerobak (pedati) dan juga penghasil daging (Tappa, 2007). Populasi kerbau di Indonesia berdasarkan Direktorat Jenderal Peternakan cenderung mengalami penurunan dari tahun 2009-2013. Pada tahun 2009 jumlah populasi kerbau di Indonesia sejumlah 1.932.927 sedangkan pada tahun 2013 populasi kerbau sekitar 1.483.992 (Dirjen Peternakan, 2013). Kondisi serupa terjadi di populasi pada wilayah di Jawa dan Sumatera. Menurunnya populasi kerbau disebabkan oleh keterbatasan bibit unggul, mutu pakan ternak yang rendah akibat pengurangan tanah pertanian dan pangan terus menerus, perkawinan antar individu yang mempunyai keluarga dekat (inbreeding) serta kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak. Selain itu yang menyebabkan perkembangan ternak kerbau lambat karena pola pemeliharaan tradisional, berkurangnya lahan penggembalaan, tingginya pemotongan pejantan yang berdampak pada kekurangan pejantan, pemotongan ternak betina produktif, rendahnya produktivitas, serta pengembangan sistem pemeliharaan semi intensif yang masih terbatas (PERMENTAN, 2008). Sejumlah penelitian terkait identifikasi variasi genetik kerbau dengan mikrosatelit sebagai penanda molekuler telah dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Universitas Negeri Malang. Data yang didapatkan dari penelitian-penelitian tersebut adalah heterozigositas, nilai PIC (Polymorphism Information Contents), dan frekuensi alel. Heterozigositas merupakan jumlah individu dalam satu populasi yang memiliki alel berbeda dalam satu lokus dan dapat dijadikan sebagai parameter yang bagus untuk menggambarkan variabilitas genetik pada individu (Ellegren, 2004). PIC merupakan sebuah parameter yang mengindikasikan derajat keinformatifan dari sebuah marker, lokus dengan banyak alel dan nilai PIC mendekati 1 merupakan lokus yang sangat diinginkan (Aminafshar, 2008). Data tersebut belum dapat menggambarkan filogeni kerbau dari wilayah Indonesia bagian barat, untuk melengkapi data tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan kekerabatan kerbau dari daerah Sumatera Selatan dan seluruh wilayah Jawa dengan gen cyt b sebagai penanda molekuler. Alasan digunakannya gen cyt b sebagai penanda molekuler karena gen ini diturunkan melalui model maternal inheritance, sehingga baik digunakan untuk kajian filogeni dalam mengetahui hubungan genetik diantara keturunan (Pakedorft, 2005). Arnason (1996) yang menyatakan bahwa gen cyt b merupakan sampel terbaik dari DNA mitokondria untuk mamalia. Lebih lanjut Hsieh (2003) menyatakan bahwa fragmen dari gen cyt b cukup dapat membedakan spesies yang berhubungan dekat. Salah satu upaya untuk mengkonservasi populasi kerbau yaitu dengan melakukan analisis filogeni kerbau khususnya untuk melihat kekerabatan antara kerbau di Jawa dan Sumatra. Tujuan dari penelitian adalah mendeskripsikan variasi genetik DNA kerbau (Bubalus bubalis) dari Jawa dan Sumatera bagian Selatan dengan gen cyt b meliputi pohon filogeni, similaritas, jarak genetik, dan varian.
16
Amien dan Christie, Analisis Filogeni Kerbau Lokal
Analisis filogeni menguraikan hubungan kekerabatan di antara organisme satu dengan yang lainnya dan dengan lingkungan habitatnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyimpulkan klasifikasi dan untuk menelusuri sejarah evolusi organisme tertentu. Pohon filogeni merupakan diagram yang menggambarkan hipotesis silsilah kekerabatan dan pengurutan peristiwa evolusi yang menghubungkan suatu organisme, populasi, atau taksa dari seluruh organisme atau kelompok-kelompok dari seluruh organisme. Sekuensing DNA merupakan cara yang dilakukan untuk menentukan filogeni atau kekerabatan genetik antar spesies dalam suatu populasi (Dharyamanti, 2011). METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif komparatif dengan pendekatan observasi laboratorium berupa analisis filogeni kerbau dengan gen cyt b. Analisis filogeni dikaji melalui rekonstruksi pohon filogeni, jarak genetik, similaritas dan varian serta haplotype network kerbau berdasarkan variasi sekuen gen cyt b di propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatra Selatan. Objek penelitian ini adalah delapan sampel darah kerbau yang berasal dari dua kerbau lokal yang ada di Jawa Timur (Tuban), dua ekor kerbau Jawa Tengah (Kudus), dua ekor kerbau Jawa Barat (Cirebon), dan dua ekor kerbau Sumatra Selatan (Lubuk Linggau). Prosedur penelitian ini meliputi tahap isolasi, purifikasi, separasi hasil isolasi dan purifikasi, PCR, elektroforesis, sekuensing DNA, dan analisis filogeni menggunakan beberapa aplikasi komputer yaitu ClustalX, BioEdit, MEGA, dan DNASP serta Haplotype Network. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian meliputi analisis filogeni dan variasi genetik kerbau Jawa dan Sumatra dengan gen cyt b yang meliputi rekonstruksi pohon filogeni, nilai jarak genetik, similaritas dan varian, serta haplotype network. Pohon filogeni merupakan diagram yang menggambarkan hipotesis silsilah kekerabatan dan pengurutan peristiwa evolusi yang menghubungkan suatu organisme, populasi, atau taksa dari seluruh organisme atau kelompok-kelompok dari seluruh organisme. Dalam analisis filogenetik kelompok outgroup sangat dibutuhkan dan menyebabkan polarisasi karakter atau ciri, yaitu karakter apomorfik dan plesiomorfik. Karakter apomorfik adalah karakter yang berubah dan diturunkan dan terdapat pada ingroup, sedangkan karakter plesiomorfik merupakan karakter primitive yang terdapat pada outgroup. (Sutrisno, 2009). Sebelum dilakukan analisis filogeni, delapan sampel Bubalus bubalis yang terdiri dari dua sampel Bubalus bubalis dari Jawa Timur (Tuban) dengan kode TB8 dan TB 12, dua sampel Bubalus bubalis dari Jawa Tengah (Kudus) dengan kode JT4 dan KW15, dua sampel Bubalus bubalis dari Jawa Barat (Cirebon) dengan kode B10 dan S11, serta dua sampel Bubalus bubalis dari Sumatra Selatan dengan kode A7 dan C2, disejajarkan (alignment) dengan sekuen gen cyt b acuan yaitu sekuen gen cyt b Bison bison dengan genus Bison yang berbeda tetapi famili Bovidae yang sama dengan Bubalus bubalis, yang diperoleh dari gen bank NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov) dengan no aksesi AY840096.1 menggunakan program ClustalX. ClustalX yaitu program komputer offline yang dijadikan sebagai rujukan untuk pensejajaran sekuen atau untuk multiple sequence alignment yaitu pensejajaran tiga sekuen atau lebih yang mempunyai panjang yang sama dari sekuen DNA atau protein. Rekonstruksi pohon filogeni dibuat berdasarkan hasil 17
Amien dan Christie, Analisis Filogeni Kerbau Lokal
pensejajaran sekuen gen cyt b antara sampel kerbau Jawa dan Sumatra dengan menggunakan gen cyt b acuan dari spesies Bison bison. Rekonstruksi pohon filogeni tersebut digunakan untuk melihat posisi taksonomi delapan sampel kerbau Jawa dan Sumatra yang diambil dari daerah Tuban, Kudus, Cirebon, dan Sumatra Selatan. Rekonstruksi pohon filogeni dibuat berdasarkan metode Neighbour Joining (NJ) yang ditunjukkan pada Gambar 1 dan Minimum Evolution (ME) yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 1. Konstruksi Topologi Filogeni Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra Berdasarkan Sekuen Gen cyt b Menggunakan Metode Neighbour Joining (NJ) dengan Nilai Bootstrap 1000
Gambar 2. Konstruksi Topologi Filogeni Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra Berdasarkan Sekuen Gen cyt b Menggunakan Metode Minimum Evolution (ME) dengan Nilai Bootstrap 1000
Hasil rekonstruksi pohon filogeni Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra serta spesies acuan Bison bison menggunakan metode neighbour joining (Gambar 2), menunjukkan adanya pengelompokkan individu kerbau baik berdasarkan daerah yang sama maupun dengan daerah yang berdekatan. Terdapat dua cluster yaitu cluster pertama terdiri dari kerbau JATIM2 (TB12), kerbau JATENG1 (JT4), kerbau JATENG2 (KW15), kerbau JABAR1 (B10), dan kerbau SUMSEL2 (C2). Cluster kedua terdiri dari kerbau JATIM1 (TB8), kerbau JABAR2 (S11), dan kerbau SUMSEL1 (A7). Pengelompokan kerbau Jawa dan Sumatra ini menjadi dua grup besar menunjukkan bahwa secara keseluruhan kerbau dari daerah Jawa dan Sumatra memiliki kekerabatan yang dekat baik dalam kluster pertama maupun kluster kedua. Pada cluster pertama yang terdiri dari kerbau JATIM2 (TB12), JATENG1 (JT4), JATENG2 (KW15), dan JABAR1 (B10), dan SUMSEL2 (C2) terlihat hal tersebut mengindikasikan bahwa kerbau dari Jawa baik dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat berkerabat dekat dengan kerbau Sumatra. Pengelompokan 18
Amien dan Christie, Analisis Filogeni Kerbau Lokal
tersebut diduga karena adanya pendistribusian kerbau-kerbau dari daerah-daerah yang berdekatan maupun dari daerah yang memiliki populasi kerbau tinggi yang didistribusikan ke daerah yang jumlah populasi kerbaunya masih sedikit. (Amin, 2015; Sukri, 2014). Nilai jarak genetik bertujuan untuk mendukung hasil konstruksi pohon filogeni. Jarak genetik menunjukkan hubungan kekerabatan antar sampel. Jarak genetik yang tinggi mengindikasikan terjadinya mutasi. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya perbedaan basa nukleotida antar sampel. Semakin besar nilai jarak genetik antar sampel, maka kesamaan basa nukleotidanya semakin kecil sehingga hubungan kekerabatannya semakin jauh. Nilai jarak genetik sampel kerbau Jawa dan Sumatra beserta Bison bison dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil nilai jarak antar sampel kerbau Jawa dan Sumatra menunjukkan jarak genetik yang kecil sehingga kesamaan basa nukleotidannya semakin besar dan terdapat hubungan kekerabatan yang dekat. Sebaliknya, jarak genetik antaran kerbau Jawa dan Sumatra yang dibandingkan dengan Bison bison sebagai acuan atau outgroup diperoleh jarak genetik yang semakin besar sehingga kesamaan basa nukleotidanya kecil dan hubungan kekerabatannya semakin jauh. Tabel 1. Nilai Jarak Genetik (Genetic Distance) antar Sampel Kerbau Jawa dan Sumatra dengan Spesies Acuan Bison bison Berdasarkan Kimura 2-parameter
Hasil nilai jarak antar sampel kerbau Jawa dan Sumatra menunjukkan jarak genetik yang kecil sehingga kesamaan basa nukleotidanya semakin besar dan terdapat hubungan kekerabatan yang dekat. Jarak genetik individu kerbau yang berasal dari daerah yang sama maupun yang berdekatan memiliki nilai yang lebih rendah. Jarak genetik Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra pada penelitian ini berkisar antara 0,000 sampai 0,031. Sebaliknya, jarak genetik antaran kerbau Jawa dan Sumatra yang dibandingkan dengan Bison bison sebagai acuan atau outgroup diperoleh jarak genetik yang semakin besar sehingga kesamaan basa nukleotidanya kecil dan hubungan kekerabatannya semakin jauh. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan kekerabatan yang tinggi antara individu kerbau dari daerah Jawa Timur (Tuban), Jawa Tengah (Kudus), Jawa Barat (Cirebon), dan Sumatra Selatan (Lubuk Linggau). Semakin besar nilai similaritas dan semakin kecil nilai varian menunjukkan bahwa semakin dekat hubungan kekerabatan antar spesies. Dari hasil penelitian terhadap delapan sampel kerbau Jawa dan Sumatra beserta Bison bison diperoleh hasil bahwa rata-rata nilai similaritas antar kerbau Jawa dan Sumatra memperoleh nilai yang besar dan varian yang 19
Amien dan Christie, Analisis Filogeni Kerbau Lokal
kecil sehingga hubungan kekerabatan antar spesies kerbau Jawa baik dari Jawa Timur, Jawa tengah, dan Jawa Barat serta Sumatra Selatan semakin dekat. Sebaliknya apabila dibandingkan sampel kerbau Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatra Selatan dengan Bison bison menunjukkan rata-rata nilai similaritas yang kecil dan varian yang besar sehingga hubungan kekerabatan kerbau Jawa dan Sumatra semakin jauh dengan Bison bison. Nilai similaritas dan varian antar sampel kerbau Jawa dan Sumatra serta Bison bison tersebut ditampilkan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 . Nilai Similaritas dan Varian Sekuens gen cyt b antar Sampel Kerbau Jawa dan Sumatra dan Spesies Acuan Berdasarkan Kimura 2-parameter Spesies 1
Spesies 2
Kerbau_JATIM1(TB_8) Kerbau_JATIM1(TB_8) Kerbau_JATIM2(TB_12) Kerbau_JATIM1(TB_8) Kerbau_JATIM2(TB_12) Kerbau_JATENG1(JT_4) Kerbau_JATIM1(TB_8) Kerbau_JATIM2(TB_12) Kerbau_JATENG1(JT_4) Kerbau_JATENG2(KW_15) Kerbau_JATIM1(TB_8) Kerbau_JATIM2(TB_12) Kerbau_JATENG1(JT_4) Kerbau_JATENG2(KW_15) Kerbau_JABAR1(B_10) Kerbau_JATIM1(TB_8) Kerbau_JATIM2(TB_12) Kerbau_JATENG1(JT_4) Kerbau_JATENG2(KW_15) Kerbau_JABAR1(B_10) Kerbau_JABAR2(S_11) Kerbau_JATIM1(TB_8) Kerbau_JATIM2(TB_12) Kerbau_JATENG1(JT_4) Kerbau_JATENG2(KW_15) Kerbau_JABAR1(B_10) Kerbau_JABAR2(S_11) Kerbau_SUMSEL1(A_7) Kerbau_JATIM1(TB_8) Kerbau_JATIM2(TB_12) Kerbau_JATENG1(JT_4) Kerbau_JATENG2(KW_15) Kerbau_JABAR1(B_10) Kerbau_JABAR2(S_11) Kerbau_SUMSEL1(A_7) Kerbau_SUMSEL2(C_2)
Kerbau_JATIM2(TB_12) Kerbau_JATENG1(JT_4) Kerbau_JATENG1(JT_4) Kerbau_JATENG2(KW_15) Kerbau_JATENG2(KW_15) Kerbau_JATENG2(KW_15) Kerbau_JABAR1(B_10) Kerbau_JABAR1(B_10) Kerbau_JABAR1(B_10) Kerbau_JABAR1(B_10) Kerbau_JABAR2(S_11) Kerbau_JABAR2(S_11) Kerbau_JABAR2(S_11) Kerbau_JABAR2(S_11) Kerbau_JABAR2(S_11) Kerbau_SUMSEL1(A_7) Kerbau_SUMSEL1(A_7) Kerbau_SUMSEL1(A_7) Kerbau_SUMSEL1(A_7) Kerbau_SUMSEL1(A_7) Kerbau_SUMSEL1(A_7) Kerbau_SUMSEL2(C_2) Kerbau_SUMSEL2(C_2) Kerbau_SUMSEL2(C_2) Kerbau_SUMSEL2(C_2) Kerbau_SUMSEL2(C_2) Kerbau_SUMSEL2(C_2) Kerbau_SUMSEL2(C_2) Bison_bison Bison_bison Bison_bison Bison_bison Bison_bison Bison_bison Bison_bison Bison_bison
Jarak Genetik 0,031 0,031 0,000 0,031 0,000 0,000 0,031 0,000 0,000 0,000 0,022 0,009 0,009 0,009 0,009 0,003 0,028 0,028 0,028 0,028 0,025 0,031 0,000 0,000 0,000 0,000 0,009 0,028 0,144 0,114 0,114 0,114 0,114 0,125 0,140 0,114
Similaritas (%) 96,86 96,86 100,00 96,86 100,00 100,00 96,86 100,00 100,00 100,00 97,82 99,08 99,08 99,08 99,08 99,69 97,18 97,18 97,18 97,18 97,50 96,86 100,00 100,00 100,00 100,00 99,08 97,18 85,59 88,61 88,61 88,61 88,61 87,50 85,99 88,61
Varian (%) 3,14 3,14 0,00 3,14 0,00 0,00 3,14 0,00 0,00 0,00 2,18 0,92 0,92 0,92 0,92 0,31 2,82 2,82 2,82 2,82 2,50 3,14 0,00 0,00 0,00 0,00 0,92 2,82 14,41 11,39 11,39 11,39 11,39 12,50 14,01 11,39
Nilai similaritas dan varian juga mendukung dalam menganalisis hubungan kekerabatan antar individu kerbau Jawa dan Sumatra. Nilai similaritas yang diperoleh berkisar antara 96,86% sampai 100% yang ditunjukkan pada Tabel 3. Semakin besar nilai similaritas dan semakin kecil nilai varian menunjukkan bahwa semakin dekat hubungan kekerabatan antar spesies. Nilai similaritas terkecil diperoleh antara kerbau JATIM1 20
Amien dan Christie, Analisis Filogeni Kerbau Lokal
(TB8) dengan kerbau JATIM2 (TB12), kerbau JATENG1 (JT4), kerbau JATENG2 (KW15), kerbau JABAR1 (B10), dan kerbau SUMSEL2 (C2). Dari hasil penelitian terhadap delapan sampel kerbau Jawa dan Sumatra diperoleh hasil bahwa rata-rata nilai similaritas antar kerbau Jawa dan Sumatra memperoleh nilai yang besar dan varian yang kecil sehingga hubungan kekerabatan antar spesies kerbau Jawa baik dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat serta Sumatra Selatan semakin dekat. Pada penelitian ini, dilakukan analisis Median Joining Network untuk mengetahui bahwa setiap sampel kerbau yang dianalisis yaitu daerah Tuban, Kudus, Cirebon, dan Sumatra Selatan, mengelompok ke dalam satu haplotype berdasarkan biogeografinya atau tidak. Pembuatan haplotype network masing-masing sampel kerbau Jawa dan Sumatra dan spesies acuan yaitu Bison bison ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi program komputer DNA SP (DNA Sequence Polymorphism) 5.10 dan Network 4.6.1.3. Program DNA SP 5.10 digunakan untuk analisis haplotype yang bertujuan mengetahui variasi basa nukleotida kerbau Jawa dan Sumatra seperti ditunjukkan pada Tabel 4 dan Gambar 3, sedangkan untuk menggambarkan haplotype Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra ini menggunakan program Network 4.6.1.3. Hasil analisis median joining network atau haplotype network dan sebaran geografinya ditampilkan pada Gambar 3. Tabel 3 Variasi Basa Nukleotida Kerbau Jawa dan Sumatra beserta Bison bison
Gambar 3 Analisis Haplotype dari Variasi Basa Nukleotida Kerbau Jawa dan Sumatra pada DNA SP
Gambar 4 berikut ini menggambarkan Haplotype Network dari delapan spesies Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra serta spesies acuannya yaitu Bison bison, yang 21
Amien dan Christie, Analisis Filogeni Kerbau Lokal
menghasilkan sebanyak enam haplotype (H). H1 terdiri dari kerbau JATIM1 (TB8); H2 terdapat tiga spesies yang terdiri dari kerbau JATIM2 (TB12), kerbau JATENG1 (JT4), dan kerbau JABAR1 (B10); H3 terdiri dari dua spesies yaitu kerbau JATENG2 (KW15) dan kerbau SUMSEL2 (C2); H4 terdiri dari kerbau JABAR2 (S11); H5 terdiri dari kerbau SUMSEL1 (A7); dan H6 terdiri dari spesies acuan yaitu Bison bison.
Gambar 4. Haplotype Network dari 8 Spesies Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra serta Spesies Acuan Bison bison Berdasarkan Sekuen Gen cyt b. Semakin Panjang Garis maka Semakin Besar Variasi Basa Nukleotida
Sebagian besar variasi basa nukleotida diantara sampel kerbau berdasarkan biogeografinya dari daerah yang sama maupun daerah yang masih berdekatan lebih kecil, sehingga mengindikasikan bahwa kerbau dari daerah yang sama atau berdekatan memiliki tingkat kekerabatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu kerbau dari daerah yang berbeda. Sebaliknya apabila jumlah variasi basa nukleotida antar daerah semakin besar maka tingkat kekerabatannya juga akan semakin jauh. Hasil haplotype tersebut juga sesuai dengan analisis pohon filogeni yang telah dilakukan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian dapat disimpulkan terdapat variasi sekuen gen cyt b kerbau (Bubalus bubalis) Jawa dan Sumatra yang meliputi analisis filogeni, jarak genetik, similaritas dan varian, serta haplotype network. (a) analisis filogeni individu kerbau dari daerah yang sama dan yang berdekatan memiliki hubungan kekerabatan yang relatif tinggi. (b) nilai jarak genetik Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra pada penelitian ini berkisar antara 0,000 sampai 0,031. (c) nilai similaritas Bubalus bubalis Jawa dan Sumatra yang diperoleh berkisar antara 96,86% sampai 100%. (d) analisis haplotype network yang diperoleh bahwa haplotype kerbau Jawa dan Sumatra dengan Bison bison terbagi ke dalam enam haplotype yang membentuk dua haplogroup, sehingga letak geografis berpengaruh terhadap tingkat kekerabatan kerbau Jawa dan Sumatra.
22
Amien dan Christie, Analisis Filogeni Kerbau Lokal
DAFTAR PUSTAKA Amin, M.; Lestari, U. dan Gofur, A. 2015. Pemetaan Keragaman Genetik Berbasis Mikrosatellite dan Diversitas Geografis Habitat Kerbau Lokal Indonesia Dengan Gen Cytochomre B sebagai Model Pengembangan Konservasi Kerbau secara Ex Situ dan Upaya Pembibitan Unggul. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Universitas Negeri Malang. Aminafshar, M. 2008. Genetic Deversity in Buffalo Population of Guilan Using Microsatellite Markers. Journal Of animal and veterinary Advances. Vol 7 (11) : 1499-1502. (Online), (http://www.researchgate.net/profile/Cyrus_ Amirinia/ publication/26590381_Genetic_Diversity_in_Buffalo_Population_of_Guilan_Usi ng_Microsatellite_Markers/links/02e7e537049075d06c000000.pdf,) diakses pada tanggal 19 september 2014. Ellegren. 2004. Microsatellites Simple Sequences With Complex Evolution Genetics. (Online), (http://www. as. wvu. edu/~s difazio/ molececol/ Sep13b. pdf.), diakes pada tanggal 20 September 2014. Hsieh, H, Tsai, K, Meng, Linacre, L. 2003. Species Identification Of Rhinoceros Horns Using the Cytochrome b. Forensic science International 2003 Sep 9;136(1-3):1-11. Pakedorf, and Stoneking. 2005. Mitochondrial DNA and human evolution, Annu. Rev. Genom. Human. Genet Vol 6: 165-183. Dharyamanti, N. L. P. 2011. Filogenetika Molekuler: Metode Taksonomi Organisme Berdasarkan Sejarah Evolusi. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner Direktorat Jendral Peternakan. Departemen Pertanian. 2013. Populasi Kerbau Indonesia.(Online),(http://www.pertanian.go.id/pdf.eisNAK2013/Pop_Kerbau_Pr op_2013, diakses September 2014). PERMENTAN. 2008. Pedoman Pembibitan Kerbau Yang Baik. Jakarta: Departemen Kementerian Pertanian. Sukri, A. 2014. Analisis Fiologeni Kerbau Lokal Indoonesia (Bubalus bubalis) dengan Gen cyt b Berbasis Biogeografi sebagai bahan ajar Matakuliah Bioinformatika. Disertasi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang Pascasarjana Program Studi Pendidikan Biologi juni 2014 Sutrisno, H dan Rosichon U. 2009. Pengantar BIOSISTEMATIK: Teori dan Praktek. Bogor: LIPI Press Tappa, Baharuddin. 2007. Bioteknologi Reproduksi Untuk Pengembangan Kerbau Belang (“Tedong Bonga”). Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Bogor: Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
23
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PELATIHAN PEMBUATAN ABON JAMBU METE SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN POTENSI LOKAL DAN WISATA DESA KEPEL KECAMATAN KARE, KABUPATEN MADIUN. Muh. Waskito Ardhi, Wachidatul Linda Yuhanna, Nurul Kusuma Dewi Pendidikan Biologi IKIP PGRI Madiun Email:
[email protected] ABSTRAK Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan tanaman yang banyak dijumpai di sekitar air terjun Krecekan Denu, Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Tanaman ini merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan mudah dikembangkan di berbagai tipe lahan. Total produksi jambu mete hanya 10% saja yang dimanfaatkan untuk produk pangan, sisanya terbuang dengan percuma sebagi limbah. Kondisi yang sama juga terjadi di Desa Kepel. Buah semu mete yang hingga kini belum banyak dimanfaatkan sehingga pengolahan tanaman mete belum dilakukan secara optimal. Metode program ini adalah 1) Analisis potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya alam (SDM) 2) Pelatihan pembuatan abon jambu mete 3) Produksi abon jambu mete dilakukan oleh ibu-ibu PKK desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun dengan pendampingan dari tim pelaksana. 4) Pelatihan manajemen dan pemasaran dalam pengembangan produk. Hasil dari program pengabdian masyarakat ini adalah: 1) Pengolah jambu mete menjadi produk makanan yang mempunyai nilai manfaat lebih tinggi berupa abon jambu mete dapat terlaksana dengan baik dan kondusif. 2) Pemberdayaan masyarakat desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun untuk mengolah jambu mete menjadi abon jambu mete dapat dilaksanakan dengan baik dan masyarakat menerima dengan antusias. 3) Produk abon jambu mete dapat meningkatkan daya tarik wisata dan berpotensi sebagai produk unggulan desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun. Kata kunci: Abon, Jambu Mete, Kepel, Wisata
PENDAHULUAN Jambu mete (Anacardium occidentale L.) adalah tanaman yang unik dengan berbagai manfaatnya. Jambu mete tersebar di seluruh Nusantara dengan nama berbedabeda (di Sumatera Barat: jambu erang/jambu monye, di Lampung dijuluki gayu, di daerah Jawa Barat dijuluki jambu mede, di Jawa Tengah dan Jawa Timur diberi nama jambu monyet, di Bali jambu jipang atau jambu dwipa, dan di Sulawesi Utara disebut buah yaki (Saragih, 1994). Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) yang tergolong dalam famili Anacardiceae merupakan tanaman yang banyak dijumpai di sekitar air terjun Krecekan Denu, Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Tanaman ini merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan mudah dikembangkan di berbagai tipe lahan. Tanaman jambu mete memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Oleh karena itu tanaman jambu mete dapat dimanfaatkan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis sebagai tanaman penghijauan dan tanaman konservasi. Tanaman jambu mete merupakan komoditi yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun, dan buahnya. Selain itu biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi dan bernilai ekonomi tinggi. Buah mete semu dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete, 24
Ardhi, dkk., Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Pembuatan Abon Jambu Mete
dan buah kalengan. Kulit kayu jambu mete mengandung cairan berwarna coklat. Apabila terkena udara, cairan tersebut berubah menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan untuk bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna. Selain itu, kulit batang pohon jambu mete juga berkhasiat sebagai obat kumur atau obat sariawan. Batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum juga berfungsi sebagai anti gengat yang sering menggerogoti buku. Penelitian Gowthamarajan (2011) menunjukkan gum dapat digunakan sebagai pengikat pada formulasi tablet parasetamol. Ekstrak batang jambu mete diketahui merupakan sumber alami antioksidan (Razali et al., 2008). Akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut. Daun jambu mete yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, terutama di daerah Jawa Barat. Daun yang tua dapat digunakan untuk obat luka bakar (Liptan, 1990). Tanaman jambu mete relatif mudah dibudidayakan. Tanaman ini sangat menyukai sinar matahari. Apabila tanaman jambu mete kekurangan sinar matahari, maka produktivitasnya akan menurun atau tidak akan berbuah bila dinaungi tanaman lain. Suhu harian di sentra penghasil jambu mete minimum antara 15-25o C dan maksimun antara 25-35o C. Tanaman ini akan tumbuh baik dan produktif bila ditanam pada suhu harian rata-rata 27o C. Jambu mete paling cocok dibudidayakan di daerah-daerah dengan kelembaban nisbi antara 70-80%. Akan tetapi tanaman jambu mete masih dapat bertoleransi pada tingkat kelembaban 60-70%. Angin kurang berperan dalam proses penyerbukan putik tanaman jambu mete. Proses penyerbukan bunga jambu mete, yang lebih berperan adalah serangga karena serbuk sari jambu mete pekat dan berbau sangat harum. Daerah yang paling sesuai untuk budi daya jambu mete ialah di daerah yang mempunyai jumlah curah hujan antara 1.000-2.000 mm/tahun dengan 4-6 bulan kering (<60 mm). Jenis tanah paling cocok untuk pertanaman jambu mete adalah tanah berpasir, tanah lempung berpasir, dan tanah ringan berpasir. Jambu mete paling cocok ditanam pada tanah dengan pH antara 6,3 - 7,3, tetapi masih sesuai pada pH antara 5,5 - 6,3. Di Indonesia tanaman jambu mete dapat tumbuh di ketinggian tempat 1-1.200 m dpl. Batas optimum ketinggian tempat hanya sampai 700 m dpl, kecuali untuk tujuan rehabilitasi tanah kritis (Liptan,1990). Kondisi geografis Desa Kepel sangat sesuai untuk budidaya tanaman jambu mete. Tanaman jambu mete dapat dipanen untuk pertama kali pada umur 3-4 tahun. Buah mete biasanya telah dapat dipetik pada umur 60-70 hari sejak munculnya bunga. Masa panen berlangsung selama 4 bulan. Sampai saat ini ada dua cara panen yang lazim dilakukan di berbagai sentra jambu mete di dunia, yaitu cara lelesan dan cara selektif. Cara lelesan dilakukan dengan membiarkan buah jambu mete yang telah tua tetap di pohon dan jatuh sendiri atau para petani menggoyang-goyangkan pohon agar buah yang tua berjatuhan. Cara selektif dilakukan secara selektif (buah langsung dipilih dan dipetik dari pohon). Apabila buah tidak memungkinkan dipetik secara langsung, pemanenan dapat dibantu dengan galah dan tangga berkaki tiga. Banyaknya hasil panen tergantung dari umur tanam. Jambu mete yang berumur 3-4 tahun dapat menghasilkan gelondong kering 2-3 kg/pohon. Hasil ini meningkat menjadi 15-20 kg/pohon pada umur 20-30 tahun. Tanaman jambu mete sebenarnya masih dapat berproduksi sampai umur 50 tahun, tetapi masa paling produktifnya adalah pada umur 25-30 tahun (BAPPENAS, 2000). Buah semu jambu mete (cashew apple) sebenarnya merupakan tangkai buah (peduncle) yang membesar yang beratnya 5-15 kali berat gelondong mete tergantung tipe tanaman jambu metenya ( Nair et al., 1979). Buah semu jambu mete dapat memiliki warna 25
Ardhi, dkk., Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Pembuatan Abon Jambu Mete
kulit yang berbeda, yaitu merah, kuning dan jingga (campuran merah dan kuning). Secara botanis buah bewarna kuning umumnya lebih besar dari yang merah, mempunyai aroma dan rasa yang lebih manis dan harum serta kurang terasa kelat (sepet) dan gatal dari pada buah berwarna merah atau jingga. Namun demikian pada kenyataannya, sari buah yang dibuat dari ketiga jenis buah tersebut tidak terlalu berbeda dalam cita rasanya. Buah semu dapat dimakan dalam keadaan segar karena rasanya yang manis keasaman dengan aroma yang khas dan sangat kaya vitamin C (lima kali lebih besar dibanding jeruk manis). Selain itu dapat diolah rnenjadi produk pangan seperti selai, manisan buah, sirup buah, jelly, sari buah dsb. Sari buahnya dapat dimanfaatkan lebih lanjut menjadi minuman dan bila difermentasi akan menghasilkan minuman beralkohol dan cuka makan (vinegar). Pengolahan mete, disamping menghasilkan biji juga menghasilkan limbah berupa buah semu. Total produksi jambu mete hanya 10% saja yang dimanfaatkan untuk produk pangan, sisanya terbuang dengan percuma sebagi limbah. Kondisi yang sama juga terjadi di Desa Kepel. Buah semu mete yang hingga kini belum banyak dimanfaatkan sehingga pengolahan tanaman mete belum dilakukan secara optimal. Waktu panen jambu mete hanya berlangsung sekitar 3 bulan dalam setahun, sehingga pada saat panen akan terjadi penumpukan limbah buah semu jambu mete yang melimpah. Oleh karena itu, sebagai upaya meningkatkan nilai jual jambu mete dan mengoptimalkan potensi wisata di wilayah tersebut maka dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan pembuatan abon jambu mete. Produk ini diharapkan dapat menjadi oleh-oleh khas daerah sehingga menunjang potensi wisata air terjun Krecekan Denu maupun wisata lain di sekitar Desa Kepel (wana wisata Grape dan monumen Kresek). Abon buah mete diolah dengan menggunakan bahan baku buah semu yang telah masak penuh atau telah lewat masak. Proses pengolahannya dapat bersamaan dengan pengolahan sari buah mete. Ampas sisa pengempaan dapat digunakan sebagai bahan baku abon mete. Cara mengurangi rasa kelat adalah ampas tersebut dapat direndam dalam larutan gararn dapur 2% selama 12 jam dan setelah ditiriskan, dikukus seiama 30 menit. Setelah seratnya diurai kemudian dimasak dalam. santan kelapa yang diberi bumbubumbu (garam, gula, asam, ketumbar dll.) sampai kering. Untuk dapat disimpan lama, abon mete harus dikeringkan kembali dengan cara dijemur atau dikeringkan di oven. Proses pengemasan dapat digunakan kantung plastik transparan atau alumunium foil agar bertahan lama. Cara mengurangi rasa sepet dan gatal pada produk olahan buah semu yaitu dengan pemanasan dengan uap dan bIanching (5-15 menit), perendaman dalam larutan garam, pendinginan p,ada suhu 4°C selama 24 jam serta penambahan fining ugent (albumen, casein, gelatin). Dengan berbagai teknologi inovatif pengolahan dari buah setnil jambit mete dikarapkan dapat meningkatkan nilai tambah buah semu jarnbu mete sehingga dapat meningkatkan kegiatan agroindutri. Adapun tujuan dari program ini adalah 1) Mengolah jambu mete menjadi produk makanan yang mempunyai nilai manfaat lebih tinggi berupa abon jambu mete. 2) Memberdayakan masyarakat desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun untuk mengolah jambu mete menjadi abon jambu mete. 3) Adanya produk abon jambu mete dapat meningkatkan daya tarik wisata dan berpotensi sebagai produk unggulan desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun.
26
Ardhi, dkk., Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Pembuatan Abon Jambu Mete
METODE PELAKSANAAN Analisis potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya alam (SDM) Sebelum melaksanakan program, maka perlu adanya analisis sumber daya alam, sumber daya manusia dan instrumen pendukung lainnya. Pelatihan pembuatan abon dari jambu mete. Pelatihan pembuatan abon ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan instruktur berasal dari tim pengusul program. Alat yang digunakan adalah mangkok, baskom, pisau, dandang, wajan, saringan, kompor, dan pengaduk. Bahan yang digunakan adalah daging buah jambu mete (20-30 biji), air (1 liter), garam (1 sendok), santan (100 cc), air kaldu (100 cc), Gula pasir (1 sendok), bawang merah (5 siung), bawang putih (7 siung), merica (1 sendok), ketumbar (1 sendok), jahe, asam jawa (5 mata), daun jeruk purut (5 lembar), daun salam (5 lembar) dan lengkuas. Cara pembuatan adalah 1) Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan. 2) Merendam buah jambu mete dengan larutan garam selama 1 malam. 3) Mengukus jambu mete dan memeras airnya. 4) Mencuci hasil perasan jambu mete dan menyuir menggunakan garpu atau pisau. 5) Menggoreng sampai berwarna kuning. 6) Menghaluskan bumbu. 7) Menumis bumbu, kemudian memasukkan santan dan air kaldu serta daging buah jambu mete yang sudah digoreng diaduk sampai kering. 8) Setelah kering, diangkat dan ditiriskan. Produksi abon dari jambu mete Produksi abon jambu mete dilakukan oleh ibu-ibu PKK desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun dengan pendampingan dari tim pelaksana. Produksi abon jambu mete ini meliputi pembuatan dan pengemasan secara modern. Produksi ini merupakan bentuk nyata output pelatihan secara aplikatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan aspek pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat meningkatkan income dan taraf hidup sehingga menjadi masyarakat yang mandiri secara finansial dalam mengolah sumber daya alam yang ada. Pelatihan manajemen dan pemasaran Pelatihan manajemen dan pemasaran ini merupakan materi pelatihan tambahan yang berguna bagi masyarakat dalam pengembangan produk. Pemasaran dan manajemen seringkali menjadi kendala dalam suatu proses produksi. Oleh karena itu, materi ini diberikan sebagai bekal untuk kesiapan masyarakat sekitar untuk benar- benar memproduksi abon dari dari jambu mete ini. pemasaran ini juga terkait dengan potensi pangsa pasar yang terletak pada daerah wisata lokal. Selain itu, pemasaran abon jambu mete ini dapat meningkatkan potensi wisata sekitar desa kepel seperti air terjun Krecekan Denu, Wana wisata Grape dan monument Kresek. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis potensi SDA dan SDM Data hasil observasi menunjukkan bahwa daerah desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun merupakan daerah penghasil jambu mete yang potensial yang dapat 27
Ardhi, dkk., Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Pembuatan Abon Jambu Mete
digunakan sebagai bahan baku pembuatan abon. Jambu mete di desa kepel merupakan jambu mete dengan kualitas baik. Sumber daya manusia juga menunjukkan potensi yang besar. Anggota PKK desa Kepel merupakan PKK yang kreatif dan potensial dalam program pemberdayaan masyarakat yang belum pernah ada kegiatan sejenis sebelumnya. Instrumen pendukung lainnya adalah peralatan. Peralatan yang digunakan cukup sederhana dan mudah didapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Pelatihan pembuatan abon jambu mete. Pelatihan pembuatan abon jambu mete dilakukan sebanyak 2 kali. Pada pelatihan pertama anggota PKK terlihat antusias mengikuti pelatihan. Selain pemberian materi, anggota PKK juga mempraktekkan secara langsung cara pembuatan abon jambu mete.
Gambar 1. Pelatihan pembuatan abon jambu mete di desa Kepel
Pelatihan pertama berjalan lancar dan kondusif. Aspek keterserapan materi oleh anggota PKK desa Kepel tergolong baik dan semua menerima materi dengan baik. Selain itu praktek pembuatan juga berjalan kondusif dan banyak yang memberikan pertanyaan dan tanggapan. Kendala yang dihadapi pada pelatihan pertama adalah abon jambu mete belum sepenuhnya kering seperti yang diharapkan, tekstur masih lembek dan ukuran belum merata. Hal ini menjadi bahan kajian evaluasi untuk pelatihan yang kedua. Pelatihan yang kedua anggota PKK desa kepel di bagi menjadi kelompok yang lebih kecil, sekitar 4-5 orang. Masing-masing kelompok langsung membuat abon jambu mete dengan pendampingan dari tim. Kelompok secara mandiri mempraktekkan langsung pembuatan jambu mete. Adanya pembagian kelompok yang lebih kecil mempermudah mengamati penyerapan materi abon jambu mete baik secara konsep maupun praktek langsung. Selain itu jika ada kesulitan maka tim akan langsung memberikan solusi dan pembimbingan. Produk yang dihasilkan semakin meningkat kualitasnya dibandingkan pelatihan tahap I. Tekstur sudah terlihat lebih halus dan merata, rasa sudah sesuai, dan 28
Ardhi, dkk., Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Pembuatan Abon Jambu Mete
abon tidak lembek. Selain itu anggota PKK juga mampu melakukan praktek secara mandiri. Setelah kegiatan pelatihan berakhir, semua peralatan diberikan kepada kelompok PKK Desa kepel untuk memotivasi dan membantu proses pembuatan selanjutnya. Produksi abon dari jambu mete Hasil kegiatan selanjutnya adalah produksi abon dari jambu mete secara mandiri skala rumahan. Ibu-ibu anggota PKK setelah mendapatkan pelatihan, membuat abon skala rumahan dan mencoba untuk dipasarkan di warung-warung dan sekitar objek wisata air terjun Krecekan Denu Desa Kepel. Namun secara kemasan masih sederhana dan perlu peningkatan, sehingga tim memberikan pelatihan dan batuan peralatan mesin press modern dan dengan pengemasan yang baik. Pelatihan manajemen dan pemasaran Pelatihan selanjutnya adalah manajemen dan pemasaran. Manajemen dan pemasaran ini diberikan agar ibu-ibu anggota PKK termotivasi untuk mengarah ke arah industri kreatif yang dapat meningkatkan income keluarga. Ibu-ibu peserta diberikan materi tentang bagaimana mengelola keuangan dan strategi pemasaran mulai skala kecil sampai skala besar. pemasaran juga difokuskan di sekitar air terjun Krecekan Denu untuk para pengunjung. Selain untuk memasarkan produk abon jambu mete, juga untuk mengenalkan wisata lokal baru air terjun Keceka Denu.
KESIMPULAN KESIMPULAN dari program pengabdian masyarakat ini adalah: 1) Pengolah jambu mete menjadi produk makanan yang mempunyai nilai manfaat lebih tinggi berupa abon jambu mete dapat terlaksana dengan baik dan kondusif. 2) Pemberdayaan masyarakat desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun untuk mengolah jambu mete menjadi abon jambu mete dapat dilaksanakan dengan baik dan masyarakat menerima dengan antusias. 3) Produk abon jambu mete dapat meningkatkan daya tarik wisata dan berpotensi sebagai produk unggulan desa Kepel kecamatan Kare kabupaten Madiun. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kami ucapkan kepada LPPM IKIP PGRI Madiun yang telah memberikan pendanaan untuk mendukung program pengabdian masyarakat ini, Kepala Desa Kepel dan Ketua PKK desa Kepel yang telah memberikan ijin dan mendukung kegiatan ini serta segenap anggota PKK dan masyarakat Desa Kepel yang berkenan berpartisipasi dalam program ini. DAFTAR PUSTAKA Bappenas. 2000. Sistem Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan. Jakarta. Gowthamarajan, K., G. K. Kumar, N. B. Gaikwad, B. Suresh. 2011. Preliminary study of Anacardium occidentale gum as binder in formulation of paracetamol tablets. Carbohydrate Polymers 83: 506-511. 29
Ardhi, dkk., Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Pembuatan Abon Jambu Mete
Liptan. 1990. Jambu Mete sebagai Tanaman Penghijauan. Balai Informasi Pertanian Banjarbaru.. Nair, M.K., E.V.V.B. Rao, K.K.N. Nambiar dan M.C. Nambiar. 1979. Casiiew (Anacardiun? occidentale L.), Monograph on Plantation Crops, CPCRI, Kerala. India. Razali, N., R. Razab, S.M. Junit, A. Abdul Aziz. 2008. Radical scavenging and reducing properties of extracts of cashew shoots (Anacardium occidentale). Food Chemistry 111: 38-44. Saragih, Yan Pieter; Haryadi, Yadi. 1994. Budidaya Jambu Mete. Pengupasan Gelondong. Bogor, Penebar Swadaya.
30
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
OPTIMALISASI PRODUKTIFITAS LAHAN DAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI BUDIDAYA PEPAYA CALLINA SECARA ORGANIK DI DESA SETONO KECAMATAN NGRAMBE Wachidatul Linda Yuhanna, Nurul Kusuma Dewi, M. Soeprijadi Djoko Laksana Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Madiun Email:
[email protected] ABSTRACT Papaya cultivation of community empowerment in Callina this is one form of capacity utilization plantations and grounds that have high economic value. For this compound only planted cassava and vegetables for daily consumption needs. Callina Papaya is one of the crops that have the potential to sell high, long harvest time, treatment is easy and simple. Village community land use district Setono Ngrambe Callina papaya cultivation is a creative solution for the development of natural resources and human resources to increase the income of society. This community service program carried out over 4 months which includes observation, training, mentoring and evaluation. Training and socialization goes well and get a good response. Enthusiastic community following the training and socialization callina organic papaya. Materials include the introduction of papaya Callina, potential, how the cultivation and organic farming. Tim devotion rural communities with tools to make the Memorandum of Understanding that contains the citizen willingness to lend his yard land for planting papaya Callina under construction IKIP PGRI Madiun. Callina papaya cultivation potentially make Setono Village be excellent products and suppliers Papaya Callina in East Java area. Keywords: Productivity, Callina Papaya, Organic
PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat adalah aspek penting dalam upaya pengembangan suatu daerah. Masyarakat pedesaan mempunyai kecenderungan bekerja sebagai petani dan pekebun dengan mengandalkan pada hasil panen. Desa Setono adalah desa yang terletak di Kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Masyarakat sebagian besar mempunyai lahan berupa sawah dan kebun. Petani lebih fokus pada penggarapan sawah dan hanya memanfaatkan kebun untuk ditanami ketela pohon, ketela, dan kacang tanah. Pemanfaatan kebun yang kurang optimal disebabkan oleh asumsi petani bahwa hasil yang didapatkan dengan menanam ketela pohon tidak sebanding dengan biaya produksinya, sehingga lahan pekarangan dan kebun sering diabaikan. Ketela pohon mempunyai nilai jual yang rendah dan terkadang hanya digunakan sebagai makanan ternak saja. Pemanfaatan lahan untuk bertanam kacang tanah juga mengalami kendala pada mahalnya harga pupuk, bibit kacang tanah dan biaya operasionalnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya pengoptimasisasian lahan pekarangan dan kebun masyarakat Desa Setono kecamatan Ngrambe dengan menanam tanaman yang mempunyai nilai jual tinggi. Kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) di Desa Setono Kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi sebagian besar adalah usia produktif. Organisasi kemasyarakatan juga berkembang dengan baik. Fokus dari program pengabdian ini adalah pemberdayaan ibu31
Yuhanna, dkk., Optimalisasi Lahan Melalui Budidaya Pepaya Callina Organik
ibu PKK dengan menanam pepaya Callina di pekarangan dan lahan perkebunannya sehingga mendatangkan income tambahan. Ibu-ibu PKK sebagian besar hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga di rumah, sehingga perlu upaya pemberdayaan kualitas SDM agar lebih produktif dan mampu mengolah lahan menjadi lahan yang menghasilkan income. Pepaya Callina adalah salah satu tanaman buah budidaya yang saat ini marak dikembangkan dengan modifikasi beberapa varietas. Pepaya Callina adalah salah satu komoditas vital yang layak untuk dikembangkan. Kebutuhan pasar dan sebaran penjualan pepaya semakin banyak yang membutuhkan pasikan yang tinggi. pepaya Callina mempunyai beberapa keunggulan dan belum banyak dibudidayakan d Kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi. Tahun 2013 hanya terdapat sekitar 3 pembudidaya pepaya Callina, namun juga mengalami beberapa kendala. Oleh karena itu, dalam upaya pemberdayaan masyarakat tim pengusul program Pengabdian Masyarakat IKIP PGRI Madiun bermaksud untuk memberikan materi, pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat Desa Setono untuk mengoptimalisasikan fungsi lahan dengan budidaya tanaman pepaya Callina. Pepaya (Carica pepaya L) merupakan tanaman buah, berupa herba dari famili Caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat, bahkan kawasan sekitar Meksiko dan Costa Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam baik di daerah tropis maupun subtropis, di daerah basah dan kering, atau di daerah dataran rendah dan pegunungan (Soedarya, 2009). Daerah pusat penyebaran tanaman pepaya diantaranya adalah Florida, Hawai, India, Afrika Selatan dan Australia. Budidaya tanaman pepaya telah menyebar luas di negara-negara yang telah dikenal daerah pertaniannya, baik negara yang beriklim tropis, maupun negara subtropics (Rukmana, 1995). Di Indonesia khususnya Jawa Timur sentra Pepaya Callina terletak di Malang (BPPT, 2005). Kebutuhan pasar semakin hari semakin meningkat, membuka peluang yang positif bagi pengembangan potensi Desa Setono Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi. Pohon Pepaya Callina lebih pendek dibanding jenis pepaya lain, paling tinggi lebih kurang 2 meter. Daunnya berjari banyak dan memiliki kuncung di permukaan pangkalnya. Buahnya berkulit tebal dan permukaannya rata, dagingnya kenyal, tebal, dan manis rasanya. Bobotnya berkisar antara 600 g sampai dengan 2 kg 1 (Agro Kates Mandiri,2010). Pepaya Callina tergolong komoditas yang populer serta memiliki manfaat yang cukup beragam. Buah pepaya masak yang mudah rusak dapat diolah menjadi sari pepaya atau dodol pepaya. Buah pepaya pada industri makanan sering dijadikan bahan baku pembuatan saus tomat atau cabai, yaitu untuk menambah cita rasa, warna dan kadar vitamin. Batang dapat dijadikan bahan campuran pada pakan ternak melalui proses pengeringan dan pengirisan. Selain itu, produk sampingan pepaya dalam bentuk enzim papain dari getah pepaya juga sering dimanfaatkan untuk kebutuhan industry pengolahan daging kalengan, bir, permen karet serta industry farmasi sebagai bahan pemecah protein (Rahardi, 2004). Saat ini tingkat kecerdasan masyarakat yang semakin meningkat, permintaan akan buah organik juga semakin meningkat. Masyarakat modern makin menyadari pentingnya buah-buahan yang bersifat alami, bebas bahan kimia berbahaya dan asupan buahan lainnya. Buah-buahan yang memenuhi syarat tersebut adalah buah organik yang 32
Yuhanna, dkk., Optimalisasi Lahan Melalui Budidaya Pepaya Callina Organik
dihasilkan dari lahan pertanian organik. Buah organik adalah produk pangan yang dihasilkan dari suatu sistim pertanian organic yang menerapkan keseimbangan ekosistem secara terpadu, yakni dengan meminimalisasi penggunaan zat kimia sintetis atau penggunaan pupuk nonorganik, hingga bahan-bahan kimia lainnya seperti pestisida, insektisida, dan lainlain Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), sistem pangan organik adalah sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan gizi pangan organic memang lebih tinggi daripada pangan nonorganik. Penelitian di Australia menunjukkan bahwa buah-buahan organik yang biasa dijual di supermarket mempunyai kandungan mineral 10x lebih tinggi daripada buah-buahan non-organik (konvensional) sejenis (Melilea, 2010). Upaya pemecahan masalah budidaya pada lahan dapat ditempuh dengan menyediakan varietas tanaman yang adaptif atau toleran pada kondisi lingkungan tersebut maupun penyediaan teknologi perbaikan kesuburan lahan. Upaya dengan menggabungkan kedua cara tersebut dianggap lebih efektif untuk mencapai tingkat produktivitas yang menguntungkan. Varietas unggul yang adaptif pada kondisi lahan suboptimal merupakan teknologi yang mudah diadopsi petani (Arsyad, 2003) Setiawan (1996) mengungkapkan bahwa pengaruh pemberian pupuk organik terhadap sifat tanah antara lain dapat memudahkan penyerapan air tanah, memperbaiki tanah dalam mengikat air tanah, mengurangi erosi memberikan lingkungan tumbuh yang baik bagi bibit dimana akar akan tumbuh sehat dan menjadi sumber unsur hara bagi tanaman. Warisno (2003) dan Kalie (2007) menyatakan bahwa, pupuk organik yang dianjurkan untuk tanaman pepaya adalah 40 ton sampai 60 ton hektar-1 tahun-1 atau sekitar 20 kg sampai 40 kg tanaman-1. Menurut Soedarya (2009), pada saat ini banyak lahan pertanian yang kebutuhan haranya bergantung pada bahan kimia. Pupuk hingga insektisida, semua dibuat dari bahan kimia, sehingga lama-kelamaan lahan pertanian tersebut akan menjadi jenuh dan tingkat kesuburannya menjadi rendah. Hal tersebut terjadi karena berkurangnya kandungan bahan organik di dalam tanah. Optimalisasi lahan pekarangan dan kebun dengan budidaya pepaya Callina secara organik memberikan paradigma baru dalam peningkatan nilai ekonomi hasil perkebunan. Budidaya pepaya Callina merupakan terobosan baru hasil perkebunan yang memberikan nilai ekonomi tinggi dan berpotensi dalam hal pemasaran. Pertanian secara organik dengan menggunakan pupuk dan bahan hayati semakin meningkatkan harga jual karena tidak menggunakan pupuk kimia dengan harga yang mahal, memanfaatkan bahan yang ada di sekitar lingkungan dan lebih menarik minat pasar. Peningkatan SDM juga dapat dilakukan dengan memberdayakan ibu-ibu PKK agar lebih produktif. Adanya budidaya pepaya Callina ini diharapkan kedepannya dapat menjadi produk unggulan Desa Setono Kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi sebagai pemasok pepaya Callina di Jawa Timur. METODE PELAKSANAAN Metode pelaksanaan program pengabdian masyarakat ini adalah: Tahap observasi
33
Yuhanna, dkk., Optimalisasi Lahan Melalui Budidaya Pepaya Callina Organik
Tahap observasi adalah tahap awal untuk program pemberdayaan masyarakat ini. observasi meliputi studi kondisi tanah, sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya pendukung lainnya. Hasil observasi digunakan untuk dasar proses selanjutnya. Tahap pelatihan Tahap pelatihan dilakukan untuk memberikan informasi dan tatacara budidaya pepaya Callina secara organik. Sasaran pelatihan adalah ibu-ibu PKK Desa Setono. Masyarakat diberikan penjelasan tahapan dalam pembudidayaan pepaya Callina. Tahap evaluasi Evaluasi pemahaman masyarakat tentang materi pelatihan pembudidayaan pepaya Callina, pelaksanaan budidaya pepaya Callina secara organik mulai dari proses pembibitan sampai pasca panen. Evaluasi pembuatan buku petunjuk budidaya pepaya Callina secara organik. Evaluasi peningkatan pendapatan masyarakat melalui pembudidayaan pepaya Callina. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelatihan dan Sosialisasi Budidaya Pepaya Callina secara Organik Pelatihan dan sosialisasi budidaya pepaya Callina secara organik dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 20 April 2014 di balai desa Setono. Sasaran dari pelatihan ini adalah ibu-ibu PKK dan perangkat desa desa Setono. Pelatihan dan sosialisasi berjalan lancar dan mendapatkan sambutan yang baik. Masyarakat antusias mengikuti pelatihan dan sosialisasi pepaya callina secara organik. Materi meliputi pengenalan pepaya Callina, potensinya, cara pembudidayaan dan pertanian secara organik. Selain pemberian materi, peserta pelatihan juga diberikan sampel bibit pepaya Callina, polibag dan tempat penyemaian benih untuk praktek di pekarangan sekitar rumah.
Gambar 1. Pelatihan dan Sosialisasi Budidaya Pepaya Callina secara Organik
34
Yuhanna, dkk., Optimalisasi Lahan Melalui Budidaya Pepaya Callina Organik
Penguasaan daya serap materi oleh masyarakat dinilai dengan menggunakan lembar soal uraian singkat tentang materi yang telah disampaikan. Sehingga diperoleh data pemahaman masyarakat secara kognitif. Hasil menunjukkan bahwa 90% masyarakat memahami cara pembudidayaan pepaya Callina secara organik. Berawal dari evaluasi ini maka dapat dipastikan masyarakat mampu secara teori dalam pembudidayaan pepaya Callina secara organik. Minat masyarakat Desa setono dalam pembudidayaan Pepaya Callina di ukur dengan menggunakan angket minat. Data angket minat menunjukkan bahwa 95% masyarakat setuju dengan pembudidayaan pepaya Callina di lahan pekarangan rumah penduduk dan tertatrik untuk pengembangan lebih lanjut. Adanya pemahaman materi yang baik dan minat yang tinggi merupakan modal awal untuk pengembangan budidaya pepaya Callina, yang kemudian harus di follow up dengan praktek pembudidayaan disertai pendampingan dari tim pengabdian masyarakat. Pembudidayaan pepaya Callina di Desa Setono Berdasarkan analisis situasi di Desa Setono Kecamatan Ngrambe memang hampir setiap kepala keluarga mempunyai lahan kosong di sekitar pekarangan mauun di lokasi lainnya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Tahapan ini dilakukan bersama-sama dengan perangkat desa setempat. Tim pengabdian masyarakat bersama perangkat desa membuat nota kesepahaman yang berisi kesediaan warga untuk meminjamkan lahan pekarangan miliknya untuk ditanami pepaya Callina di bawah binaan IKIP PGRI Madiun. Lahan ini akan ditanami pepaya Callina dan dipantau oleh tim pengabdian masysrakat IKIP PGRI Madiun dan perawatannya dibantu oleh warga masyarakat.
Gambar 2. Pembibitan Pepaya Callina
Gambar 3. Budidaya Pepaya Callina
35
Yuhanna, dkk., Optimalisasi Lahan Melalui Budidaya Pepaya Callina Organik
Selain itu, dengan adanya pemberian benih, polibag, dan tempat penyemaian kepada ibu-ibu PKK diharapkan juga memberikan dukungan dan modal awal untuk pembudidayaan pepaya Callina dalam skala rumahan. Tim pengabdian masyarakat juga senantiasa memantau perkembangan dan melayani konsultasi warga tentang tata cara dan permasalahan pembudidayaan pepaya Callina. Peningkatan ekonomi masyarakat Desa Setono Peningkatan aspek ekonomi juga merupakan target luaran yang diharapkan dari program ini. Pemanfaatan lahan kosong untuk dijadikan lahan budidaya pepaya Callina diharapkan mampu menjadi sumber income baru bagi masyarakat disamping pemenuhan kebutuhan buah harian. Tim pengabdian masyarakat juga menyampaikan potensi pepaya callina dan harga jualnya di pasaran yang mencapai Rp 1.700/kg. Pasar yang dibidik adalah pasar, toko buah dan supermarket yang memungkinkan penjualan pepaya Callina. Tim pengabdian masyarakat juga menyediakan jaringan pemasok dan pengepul pepaya Callina yang siap membeli produk dari warga desa Setono. Namun, yang menjadi kendala pada program ini adalah belum mencakup waktu panen ketika program pengabdian masyarakat ini berakahir. Pepaya Callina sampai panen membutuhkan waktu sekitar 6-7 bulan. Sedangkan program ini berakhir setelah 4 bulan. Sehingga analisis peningkatan aspek ekonomi warga masyarakat desa setono belum terukur secara pasti berdasarkan kondisi riil. Meskipun demikian, hal ini dapat diatasi dengan terus adanya pendampingan dan pemantauan setelah jadwal program pengabdian masyarakat ini berakhir. Aspek keberlanjutan sampai panen dan pasca panen tetap menjadi fokus dari tim pengabdian masyarakat. Buku petunjuk pembudidayaan Pepaya Callina secara Organik Target luaran yang juga harus diselesaikan adalah adanya buku petunjuk pembudidayaan pepaya Callina secara Organik. Buku ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mempelajari tatacara pembudidayaan pepaya Callina. Buku petunjuk pembudidayaan pepaya Callina dibuat dengan menarik dan komunikatif sehingga memudahkan segala kalangan untuk mempelajarinya. Buku petunjuk pembudidayaan pepaya Callina disistribusikan secara lokal di kalangan masyarakat Desa setono dan lingkungan kampus IKIP PGRI Madiun. Mendasar pada praktek dan pengalaman lapangan disertai sumber yang kredibel, tim akan terus menyempurnakan buku petunjuk tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan 1) Budidaya pepaya Callina secara organik dapat dilakukan sebagai upaya optimalisasi lahan pertania desa Setono agar bernilai ekonomis dan bernilai guna lebih baik. 2) Pemberdayaan ibu-ibu PKK desa setono dalam budidaya pepaya Callina berguna untuk meningkatkan produktifitas SDM dan peningkatan income keluarga. 3) Budidaya pepaya Callina berpotensi menjadikan Desa Setono Kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi menjadi produk unggulan dan pemasok Pepaya Callina di area Jawa Timur.
36
Yuhanna, dkk., Optimalisasi Lahan Melalui Budidaya Pepaya Callina Organik
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kami ucapkan kepada LPPM IKIP PGRI Madiun yang telah memberikan pendanaan untuk mendukung program pengabdian masyarakat ini, Kepala Desa Setono dan Ketua PKK desa Setono yang telah memberikan ijin dan mendukung kegiatan ini serta segenap anggota PKK dan masyarakat Desa Setono yang berkenan berpartisipasi dalam program ini. DAFTAR PUSTAKA Agro Kates Mandiri. 2010. Budidaya Pepaya California. Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Soedarya, A.P. 2009. Agribisnis Pepaya. Pustaka Grafika.Bandung Rukmana, R. 1995. Pepaya Budidaya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Melilea. 2010. Buah Organik (Organic Fruit). Jakarta. Kalie, M, B. 2007. Bertanam Pepaya. Penebar Swadaya. Jakarta.
37
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
IMPLEMENTASI KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS OLEH GURU-GURU BIOLOGI SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA BANJARMASIN Siti Ramdiah STKIP-PGRI Banjarmasin, Jl. Sultan Adam Kompleks H. Iyus No.18 Rt. 23 Kode Pos 70121 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian mengenai impelemtasi keterampilan berpikir kritis siswa oleh guru-guru Biologi SMA di Banjarmasin telah dilakukan sebagai gambaran pemahaman, rancangan, dan pelaksanaan pembelajaran yang diberikan dalam memberdayakan keterampilan berpikir kritis siswa. Jenis penelitian yang dilakukan yaitu penelitian survei dengan sampel 22 SMA di Banjarmasin, datadata didapatkan melalui instrumen berupa angket yang kemudian di analisis secara diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar guru-guru Biologi SMA di Banjarmasin telah melakukan proses pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Guru-guru juga memahami dan melatihkan keterampilan berpikir kritis kepada siswa dalam proses pembelajaran. Namun hasil temuan juga memberikan informasi bahwa masih ada guru-guru yang belum maksimal menerapkan keterampilan berpikir kritis tersebut dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu perlunya pelatihan-pelatihan tentang pemberdayaan keterampilan berpikir tersebut bagi guruguru SMA di lingkungan Kota Banjarmasin.
PENDAHULUAN Kualitas sumber daya manusia terkait dengan keterampilan berpikir saat ini semakin ditingkatkan melalui berbagai usaha yang dianjurkan oleh pemerintah. Hal ini dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan kehidupan yang semakin kompleks. Oleh sebab itu pula tujuan utama pendidikan yang salah satunya yaitu meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dengan membuat keputusan rasional tentang apa yang diperbuat atau apa yang diyakini. Berpikir kritis merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi yang seharusnya dikembangkan terus sehingga siswa dapat memiliki keterampilan intelektual dan perlu dievaluasi untuk selalu dikembangkan. Lebih lanjut Moon (2008) mengatakan berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menentukan berbagai macam informasi dari sumber-sumber yang berbeda, untuk memproses informasi ini dalam perilaku yang kreatif dan logis, menolaknya, menganalisanya dan mengambil keKESIMPULAN-keKESIMPULAN yang ditentukan agar dapat dipertahankan. Senada dengan hal tersebut Sousa (2012) mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses kompleks yang berdasarkan pada konsistensi dan standar-standar objektif. Termasuk didalamnya adalah membuat penilaian menggunakan kriteria-kriteria objektif dan menyatakan pendapat berdasarkan alasan-alasan logis. Berdasarkan uraian tersebut guru sebagai fasilitator merupakan bagian penting dalam meningkatkan keterampilan berpikir siswa terutama dalam menjaga kualitas dan mutu pembelajaran. Pemberdayaan keterampilan berpikir yang terencana dengan baik pada rancangan yang disusun oleh guru tentunya akan memberi dampak positif terhadap prestasi akademik siswa. Pendekatan belajar yang diperlukan dalam meningkatkan
38
Ramdiah, Implementasi Keterampilan Berpikir Kritis Oleh Guru-Guru Biologi
keterampilan berpikir kritis siswa terhadap materi yang dipelajari dipengaruhi oleh perkembangan proses mental yang digunakan dalam berpikir (perkembangan kognitif) dan konsep yang digunakan dalam belajar. Perkembangan merupakan proses perubahan yang terjadi sepanjang waktu ke arah positif. Dengan demikian maka perkembangan kognitif dalam pendidikan merupakan proses yang harus difasilitasi dan dievaluasi pada diri siswa sepanjang waktu mereka menempuh pendidikan termasuk kemampuan berpikir kritis. Menurut Sousa (2012) guru mencoba mengenali hambatan-hambatan yang ada di sekolah, merancang ulang perangkat pembelajaran, sehingga mampu mendorong siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir yang ada di dalam dirinya hingga tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Oleh karena itu sangat diperlukan data terkait dengan upaya guru dalam pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. METODE PENELITIAN Penelitian survei ini dilakukan sebagai informasi dan gambaran berbagai upaya guru-guru biologi SMA di Banjarmasin terkait dengan pemberdayaan keterampilan berpikir kritis siswa dalam proses pembelajaran. Sampel penelitian terdiri atas 22 sekolah dari 29 sekolah (populasi). Instrumen yang digunakan yaitu angket yang diisi oleh guruguru biolgi SMA di Banjarmasin. Data-data yang dikumpulkan berupa data tentang upaya guru-guru biologi SMA dalam memberdayakan keterampilan berpikir kritis siswa. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif untuk mendeskripsikan data-data yang diperoleh dari hasil angket yang telah diisi oleh para guru Biologi SMA di Banjarmasin. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran, Pemahaman guru-guru tentang keterampilan berpikir kritis, indikator berpikir kritis yang dilatihkan oleh guru-guru biologi SMA di kota Banjarmasin memberikan informasi bahwa sebagian besar guru-guru biologi telah melatihkan keterampilan berpikir kritis kepada siswa selama proses pembelajaran. Selanjutnya, hasil persentasi masing-masing aspek yang diamati tersebut dapat di lihat pada Gambar maupun Tabel 1 dan 2. Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa aktivitas siswa selama proses pembelajaran menunjukkan pembelajaran aktif oleh siswa (student centered). Hal ini dapat dilihat bahwa sebesar 63,63% pada proses pembelajaran terdapat interaksi antara guru dan siswa, selanjutnya untuk aktivitas bertanya sebesar 72,72% guru menyatakan sering dilakukan oleh siswa. Terkait dengan mengemukakan pendapat hasil menunjukkan sebesar 77,27% guru menyatakan siswa sering melakukannya terutama dalam diskusi kelompok. Disamping hasil analisis tersebut ditemukan juga dalam skala yang kecil, bahwa masih ada pembelajaran yang bersifat bersifat teacher centered. Berdasarkan Gambar 1 tersebut presentasi pemahaman guru menunjukkan bahwa 81,18% menyatakan memahami tentang keterampilan berpikir kritis dan sebesar 72,72% para guru Biologi SMA menyatakan bahwa keterampilan tersebut perlu dilatihkan kepada siswa dalam proses pembelajaran. Selanjutnya terkait dengan hal tersebut pada Tabel 2 dan Gambar 2, dapat diketahui secara rinci persentasi indikator-indikator keterampilan yang telah dilatihkan oleh para guru biologi SMA di kota Banjarmasin.
39
Ramdiah, Implementasi Keterampilan Berpikir Kritis Oleh Guru-Guru Biologi
Tabel 1. Persentasi Aktivitas Siswa pada Proses Pembelajaran Biologi Aktivitas Siswa
Pilihan
Persentasi
Guru dan Siswa
63.63
Guru
22.72
Siswa
13.63
Sangat sering
22.72
Sering
72.72
kadang-kadang
4.54
Tidak Pernah
-
Sangat sering
9.09
Sering
77.27
kadang-kadang Tidak Pernah
4.54 9.09
Interaksi /aktif bertanya
Bertanya
Mengemukakan Pendapat
100 80 60 40 20 0
81.18
72.72 13.63
Paham
Sangat Paham
Pemahaman
13.63
4.54 Perlu
Sangat Perlu Tidak Perlu Melatihkan
Gambar 1. Persentasi terkait dengan aspek pemahaman guru dan melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa
Tabel 2. Persentasi Indikator-Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Siswa yang Dilatihkan oleh Guru-Guru Biologi SMA Di Kota Banjarmasin No
Indikator Keterampilan Berpikir Kritis
1
Merumuskan masalah/pertanyaan yang mengarah penyelidikan memberi argumen merumuskan hipotesisi menganalisis data mengevaluasi data mengevaluasi berdasarkan fakta mencari alternatif pemecahan masalah menarik keKESIMPULAN
2 3 4 5 6 7 8
Sangat sering 4,54 13,63 4,54 4,54 4,54
Sering 68,18
Kadangkadang 4,54
72,72 72,72 72,72 68,18 72,72 63,63 86,36
4,54 0 4,54 4,54 13,63 27,27 9,09
Tidak pernah 13,63 9,09 22,72 22,72 22,72 9,09 -
Tabel 2 dan Gambar 2 tersebut memberikan informasi bahwa semua indikator sebagian besar guru menyatakan pernah melatihkannya dalam proses pembelajaran. Secara umum guru-guru menanggapi hal ini dengan menyatakan bahwa semua indikator tersebut sering dirancang dan dilatihkan kepada siswa, hal ini terlihat dari persentasi yang tinggi pada semua indikator. Pada Tabel 2 tersebut juga dapat diketahui bahwa sebesar 13,63% para guru menyatakan sangat sering untuk indikator siswa memberikan argument. Namun, untuk indikator merumuskan masalah, menganalisis dan mengevaluasi data sebagian guru menyatakan tidak pernah melatihkannya (22,72%). 40
Ramdiah, Implementasi Keterampilan Berpikir Kritis Oleh Guru-Guru Biologi
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menunjukkan masih ada guru-guru yang menyatakan kadang-kadang maupun tidak pernah melatihkan keterampilan berpikir kritis tersebut dalam persentasi yang lebih kecil dibandingkan dengan yang menyatakan sering maupun sangat sering. 100 80 60
Sangat sering
40
Sering
20
Kadang-kadang
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Tidak pernah
Indikator Keterampilan Berpikir Kritis yang Dilatihkan Gambar 2. Grafik Persentasi Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Siswa yang Dilatihkan oleh GuruGuru Biologi SMA Di Kota Banjarmasin Keterangan: 1 2 3 4 5 6 7 8
Merumuskan masalah/pertanyaan yang mengarah penyelidikan memberi argumen merumuskan hipotesisi menganalisis data mengevaluasi data mengevaluasi berdasarkan fakta mencari alternatif pemecahan masalah menarik kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif tersebut ditemukan bahwa aktivitas siswa-siswa dalam proses pembelajaran yang telah dirancang oleh guru-guru Biologi SMA di kota Banjarmasin merupakan pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student centered). Selanjutnya, hasil analisis juga menunjukkan bahwa guru-guru biologi SMA di kota Banjarmasin telah mengetahui, memahami dan melatihkan keterampilan berpikir kritis kepada siswa dalam proses pembelajaran biologi di SMA. Menurut Zubaidah (2010) kemampuan berpikir kritis seyogyanya dikembangkan sejak dini melalui pembelajaran terutama sains. Lebih lanjut dijelaskan agar proses berpikir kritis terjadi dalam pembelajaran diperlukan adanya perencanaan yang spesifik pada materi, konstruk, dan kondisi. Materi dalam kurikulum hendaknya disusun secara sistematis agar dapat dengan mudah diasimilasi. Konstruk bertujuan agar siswa dapat membangun struktur kognitifnya. Selanjutnya, kondisi dimaksudkan agar siswa belajar sesuai dengan urutan untuk mengembangkan struktur kognitifnya dan menggunakannya dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masyarakat. Ditambahkan oleh Paul dan Linda (2008) dengan berpikir kritis siswa mampu meningkatkan kualitas pikirannya. Terkait dengan aktivitas siswa selama proses pembelajaran data hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terbangun pembelajaran yang aktif dan bermakna. Proses pembelajaran yang telah dilakukan juga menunjukkan aktivitas saling interaksi antara guru dan siswa yang membangun proses perkembangan berpikir siswa. Menurut Kuswana (2013) dengan berinteraksi siswa akan memperoleh sekama berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterprestasikan, memahami, dan menggambarkan tindakan. Lebih lanjut Suyono dan Hariyanto (2012) hasil akhir dari 41
Ramdiah, Implementasi Keterampilan Berpikir Kritis Oleh Guru-Guru Biologi
proses pembelajaran adalah kemampuan peserta didik yang tinggi untuk dapat belajar dengan mudah dan efektif. Pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan untuk membantu siswa mencapai kemajuan seoptimal mungkin sesuai dengan tingkat perkembangan potensi kognitif, afektif, maupun psikomotornya. Menurut Sousa (2012) guru mencoba mengenali hambatan-hambatan yang ada di sekolah, merancang ulang perangkat pembelajaran, sehingga mampu mendorong siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir yang ada di dalam dirinya hingga tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Lebih lanjut dijelakan oleh Sudaryanto (2008) dalam meningkatkan pemahaman terhadap materi yang dipelajari dipengaruhi oleh perkembangan proses mental yang digunakan dalam berpikir (perkembangan kognitif) dan konsep yang digunakan dalam belajar. Perkembangan kognitif dalam pendidikan merupakan proses yang harus difasilitasi dan dievaluasi pada diri siswa sepanjang waktu mereka menempuh pendidikan termasuk kemampuan berpikir kritis. Oleh sebab itu tugas guru dalam mengajarkan berpikir kritis kepada siswa adalah membantu siswa belajar. Menurut Berkant (2009) Guru dapat membantu siswa dalam proses berpikir dengan menghubungkan pengetahuan yang baru saja diperoleh untuk pengetahuan yang ada dan menghubungkan konsep-konsep ke kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, membuat keKESIMPULAN-keKESIMPULAN dengan menghubungkan skema-skema kognisi yang ada. Pada hasil analisis juga ditemukan bahwa sebagian guru masih belum melatihkan keterampilan berpikir kritis tersebut kepada siswa, hal ini diduga karena beberapa guruguru biologi SMA di kota Banjarmasin, belum secara maksimal mengetahui dan memahami manfaat memberdayakan potensi yang ada pada siswa, sehingga dalam proses pembelajaran masih ada beberapa indikator keterampilan berpikir kritis yang belum maksimal digunakan dalam rancangan pembelajaran. Oleh sebab itu sangat diperlukan pelatihan-pelatihan yang maksimal tentang pemberdayaan keterampilan berpikir. Kember (1997) dalam Sudaryanto (2008) menyatakan bahwa kurangnya pemahaman pengajar tentang berpikir kritis menyebabkan adanya kecenderungan untuk tidak mengajarkan atau melakukan penilaian ketrampilan berpikir pada siswa. Seringkali pengajaran berpikir kritis diartikan sebagai problem solving, meskipun kemampuan memecahkan masalah merupakan sebagian dari kemampuan berpikir kritis (Pithers RT, Soden R., 2000 dalam Sudaryanto 2008). Menurut Sanjaya (2012) salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia yaitu lemahnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran di dalam kelas lebih diarahkan kepada pencapaian menghapal informasi, dan menerima saja apa yang telah diajarkan oleh guru. Siswa dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya untuk menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini berakibat pada lulusan sekolah, siswa pintar secara teoritis tetapi miskin aplikasi. Berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan potensi dirinya. Ini berarti bahwa proses pembelajaran itu harus berorientasi kepada siswa atau yang dikenal dengan istilah Student center. Selain itu proses pendidikan juga diarahkan kepada kemampuan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Hal ini berarti proses tersebut berujung kepada pembentukan sikap, 42
Ramdiah, Implementasi Keterampilan Berpikir Kritis Oleh Guru-Guru Biologi
intelektual serta pengembangan keterampilan siswa. Guru hendaknya dalam pelaksanaan pembelajaran melakukannya dengan sungguh-sungguh melalui perencanaan yang matang dengan memanfaatkan keseluruhan sumber daya yang ada dan memerhatikan taraf perkembangan intelektual dan perkembangan psikologi siswa (Sanjaya, 2012).
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas dapat digambarkan bahwa sebagian besar guru-guru biologi SMA di kota Banjarmasin telah melaksanakan proses pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Guru-guru biologi SMA di kota Banjarmasin telah memahami dan melatihkan keterampilan berpikir kritis siswa dalam proses pembelajaran. Namun masih ditemukan informasi bahwa masih ada guru-guru biologi SMA di kota Banjarmasin yang belum melatihkan keterampilan berpikir kritis secara maksimal dan terencana dalam proses pembelajaran. SARAN Perlu dilakukan pelatihan-pelatihan untuk memperkaya wawasan tentang pemberdayaan keterampilan berpikir bagi guru-guru, terutama di lingkungan pendidikan di Banjarmasin. DAFTAR PUSTAKA Berkant, H.G. 2009. An Investigation of Students’Meaningful Causal Thinking Abilities in Terms of Academic Achievement, Reading Comprehension and Gender. Educational Sciences: Theory & Practice. 9 (3) 1149-1165, (Online), (files.eric.ed.gov/fulltext/EJ858922.pdf). Kuswana W.S. 2013. Taksonomi Berpikir. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Moon, J. 2008. Critical Thinking: An Exploration of Theory and Practice. London, Routledge, (Online), (http://books.google.co.id) Paul, R. & Linda, E. 2008. The Miniature Guide to Critical Thinking Concepts and Tools. Foundation for Critical Thinking Press, (Online), (http://www.criticalthinking.org), Sanjaya, W. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sousa, D.A. 2012. Bagaimana Otak Belajar. Edisi Keempat. Jakarta: Indeks. Sudaryanto. 2008. Kajian Kritis tentang Permasalahan Sekitar Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis. Jakarta: Ilmu Pendidikan kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suyono & Hariyanto. 2012. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Zubaidah, S. 2010. Berpikir Kritis Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi yang Dapat Dikembangkan Melalui Pembelajaran Sains. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Sains di Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, 16 Januari
43
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
UJI KUALITATIF PENGGUNAAN TINTA BATIK DARI GETAH POHON PISANG (GEPOPIS) YANG RAMAH LINGKUNGAN Dinana Nur Hayati, Rista Yuliasari, Luluth Lutfiani IKIP PGRI Madiun Email:
[email protected], telepon : 085655712321
ABSTRACT Batik is the ancestral heritage of Indonesia. Batik which originally only available in Java, especially Central Java, then expand to other regions in Indonesia. In general, batik patterns are created using primary materials textiles for more effective and efficient. The use of ink batik textiles in large quantities have a negative effect because it can damage the environment. Therefore the use of latex ink batik Banana Tree (GEPOPIS) can be an alternative environmentally friendly ink batik. Although a banana tree sap is more complicated, but GEPOPIS reproduce colors more natural and soft. The research method is experimental batik manufacture of latex ink Banana Tree (GEPOPIS) and qualitative test application GEPOPIS as batik ink. Respondents to the beauty of the color of the ink GEPOPIS between the two types of ink batik used are as follows 62% of respondents provide value 2 (medium), 25% give 3 (good), 9% gives a value of 4 (very good) and the 4% value 1 (ugly), while the results of an assessment of the textile ink that is 49% gives a value of 4 (excellent), 40% give 3 (good), 9% provide value 2 (medium) and 2% gives a value of 1 (bad). Keyword: ink batik, banana tree sap, the level of preference
PENDAHULUAN Batik merupakan salah satu wujud dari peninggalan budaya bangsa Indonesia yang arus dilestarikan, karena merupakan hasil dari seni budaya tradisional masa lalu bangsa Indonesia. Batik menjadi bertambah populer ketika UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia (World Heritage) pada tanggal 2 Oktober 2009. Hasil karya-karya batik yang dibuat mempunyai latar belakang budaya, kepercayaan, adat istiadat, , lingkungan alam, cita rasa, sifat dan tata kehidupan, serta tingkat keahlian membatik dalam masyarakat. Sehingga batik mempunyai motif ragam hias tertentu (Rizki Umi, 2010). Batik merupakan warisan budaya dari nenek moyang kita sebagai salah satu kesenian Indonesia. Selain dikenal dan diminati masyarakat Indonesia sendiri, batik juga banyak diminati oleh masyarakat mancanegara (Yustin. 2012). Seiring dengan meningkatnya penggemar batik, maka penggunaan tinta tekstil dalam pembuatan batik juga semakin meningkat. Disisi lain Industri tekstil menghasilkan air limbah dengan parameter BOD, COD, padatan tersuspensi dan warna yang relatif tinggi. Limbah cair ini dapat pula mengandung logam berat yang berasal dari zat warna yang digunakan. Hampir sebagian besar zat warna tekstil bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan penyakit kanker (Arifin, 2009). Penggunaan Zat Pewarna Sintetis (ZPS) walau mempunyai keunggulan dengan tersedianya variasi warna, akan tetapi penggunaan zat warna sintetis dapat memberikan 44
Hayati,dkk., Uji Kualitatif Penggunaan Tinta Batik dari Getah Pohon Pisang
dampak yang buruk baik pada lingkungan maupun dalam tubuh manusia. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari limbah penggunaan zat pewarna sintesis memberikan dampak pada ekosistem yang ada di dalam air. Disisi lain menggunakan bahan pewarna sintesis dapat membahayakan kesehatan manusia kanker dan juga penyakit kulit lainnya (Tocharahman, 2009). Selain itu terdapat efek lain yaitu air limbah industri tekstil yang menggunakan zat warna sintetis jika pengolahan kurang optimal dan dibuang ke sungai maka air sungai akan tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Pemanfaatan zat pewarna alami tekstil menjadi salah satu alternatif pengganti zat pewarna sintetis. Salah satu alternatif pengganti tinta tekstil sintetis yaitu Getah Pohon Pisang atau GEPOPIS yang ramah lingkungan. Walaupun cara mendapatkan dan menggunakanya lebih rumit diibandingkan tinta tekstil. Namun penggunaan GEPOPIS dalam jumlah besar tetap ramah lingkungan dan memiliki warna yang khas. Penggunaan GEPOPIS membutuhkan uji kualitatif untuk menunjang penggunaannya sebagai alternatif tinta batik yang potensial dan sebagai alternatif tinta batik yang sudah dipergunakan selama ini. Serta untuk mendapatkan data perbandingan tingkat kesukaan terhadap tinta tekstil dan GEEPOPIS. Orientasi jangka panjangnya yaitu aplikasi tinta batik dari GEGOPIS bisa mengurangi pengunaan tinta tekstil dan pencemaran lingkungan. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah. Mahasiswa, sebagai salah satu bentuk pemikiran mahasiswa untuk menerapkan teori dalam menghasilkan data hasil penelitian tentang uji kualitatif GEPOPIS yang akan digunakan. Masyarakat, memberikan gambaran umum kepada masyarakat khususnya produsen batik agar memiliki alternatif tinta batik yang berkualitas baik sekaligus ramah lingkungan. Pemerintah, memberikan gambaran kepada pemerintah tentang adanya alternatif tinta batik baru dari Getah Pohon Pisang (GEPOPIS) yang murah dan ramah lingkungan. Batik adalah ekspresi budaya dengan simbolis unik dan nilai estetika yang tinggi bagi masyarakat Indonesia, sehingga menjadi salah satu karakter bangsa Indonesia yang membedakan dengan bangsa dan dapat menjadi identitas. Batik merupakan kain yang memiliki ragam hias atau corak yang dapat dibuat dengan berbagai macam tinta menggunakan canting. Tinta adalah bahan berwarna yang mengandung pigmen warna yang digunakan untuk mewarnai suatu permukaan. Tinta bersama pena dan pensil digunakan untuk menulis dan menggambar. Tinta merupakan sebuah media yang sangat kompleks, berisikan pelarut, pigmen, celupan, resin dan pelumas, sollubilizer (semacam senyawa yang membentuk ion-ion polimer polar dengan resin tahan air) (Helmut, 2001). Getah pohon pisang memiliki karakteristik unik, yaitu susah dihilangkan ketika menempel pada pakaian, bahkan dengan pencucian dengan detergen kualitas unggul sekalipun, tidak akan hilang apalagi jika terlanjur kering. Zat-zat kimia dalam getah pisang adalah, flavonoid, tanin, polifenol dan flavono. Sedangkan kandungan saponin, antrakuinon, dan kuinon berfungsi sebagai antibiotik karena memiliki antiseptik. Getah pohon pisang mengandung tanin yang merupakan pigmen pewarna alami berupa zat pewarna coklat.
45
Hayati,dkk., Uji Kualitatif Penggunaan Tinta Batik dari Getah Pohon Pisang
Tanin disebut juga asam tanah, C14H10O9 merupakan kelompok senyawa nabati yang bersifat asam, aromatik dan memberi rasa kesat. Tanin mengendapkan lkaloid, merkuri klorida dan logam berat. Membentuk larutan biru tua atau hitam dengan larutan ferri, larutannya dalam basa menyerap (bereaksi) dengan oksigen (Yuniar Ikawati, 2015). Saponin adalah glikosida, yaitu metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Saponin berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, mempunyai sifat anti eksudatif, mempunyai sifat anti inflamatori. Senyawa flavonoida adalah suatu senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna ungu, merah, dan biru. Lektin merupakan kelompok protein yang secara spesifik dapat berikatan dengan bagian karbohidrat tertentu dari molekul glikolipid atau glikoprotein. Fungsi lektin antara lain sebagai molekul penanda pada sel (cellcell- recognition). Sehingga apabila senyawa ini menempel pada benda lain maka akan memberikan warna yang berbeda dari warna yang tidak terkena senyawa lektin. Kuinon adalah senyawa yang memiliki struktur dionesiklik terkonjugasi penuh, seperti struktur dalam benzokuinon. Senyawa antrakuinon dan turunannya seringkali berwarna kuning sampai merah sindur (oranye). Senyawa ini larut dalam air panas atau alkohol encer (Hyderabad et all, 2010). Tanin merupakan senyawa polifenol yang sangat kompleks. Oleh karena adanya gugus fenol, maka tanin dapat bereaksi dengan formaldehid (polimerasi kondensasi) membentuk produk thermosetting yang dapat digunakan sebagai bahan perekat maupun pembuatan pewarna alami dan juga bahan pewarna untuk cat (Jansen, dkk, 2005). Senyawa tannin yang melekat pada suatu benda akan sulit untuk dihilangkan. Senyawa inilah yang menyebabkan getah pisang yang menempel pada kain, sulit menghilangkan nodanya walalupun sudah dicuci dengan detergen. Tabel 1. Hubungan Karakteristik Fitokimia Getah Batang Pisang dengan Daya Ikat Getah pada Kain. No 1 2 3
Kandungan Fitokimia Saponin Flavonoid Lektin
Karakteristik Yang Mendukung Daya Ikat Pada Kain
Interaksi serbuk sari dengan kepala putik dan interaksi simbiosis antara Rhizobium dengan tumbuhan inangnya 4 Kuinon Antrakuinon 5 Senyawa yang digunakan sebagai bahan perekat 6 Tannin tipe eksterior dan dan cepat mengikat molekul protein dan makromolekul lainnya Keterangan: √√√ (besar), √√ (sedang), √ (kecil), dan – (tidak ada)
46
Hubungan Dengan Daya Ikat
Hayati,dkk., Uji Kualitatif Penggunaan Tinta Batik dari Getah Pohon Pisang
Tabel 2. Perbedaan pewarna alami dan buatan (Santosa, 2002) Pewarna alami Lebih aman dikonsumsi. Warna yang dihasilkan kurang stabil, sudah berubah oleh pengaruh tingkat keasaman tertentu.
Keanekaragaman warnanya terbatas Tingkat keseragaman warna kurang baik Kadang-kadang memberi rasa dan aroma yang agak mengganggu. Teknik pembuatan rumit
Pewarna buatan Kadang-kadang memiliki efek negatif tertentu. Dapat mengembalikan warna asli, kestabilan warna lebih tinggi, tahan lama, dan dapat melindungi vitamin atau zat-zat makanan lain yang peka terhadap cahaya selama penyimpanan. Warna yang dihasilkan lebih beraneka ragam. Keseragaman warna lebih baik. Biasanya tidak menghasilkan rasa dan aroma yang mengganggu. Teknik pembuatannya sederhana
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah eksperimen zpembuatan tinta batik dari Getah Pohon Pisang (GEPOPIS) dan uji kualitatif penerapan Gepopis sebagai tinta batik. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi FPMIPA IKIP PGRI Madiun yang dilakukan selama 4 bulan. Alat dan Bahan Penelitian 1. Eksperimen pembuatan tinta GEPOPIS Alat yang diperlukan (Pisau, Canting tulis, Meteran kain, Botol, Canting cap, Kuas kecil, Pensil, Wajan, Ember, Penggaris, Clurit, Kertas karbon, Pengaduk, Gas LPG, Kertas Gambar, Panci besar, Kompor gas, Penjepit jemuran. Sedangkan bahan-bahan yg dipakai adalah kain, getah pohon pisang, pewarna tekstil, garam bahan, tinta sintetik Prosedur kerja sebagai berikut - Menyiapkan alat dan bahan. - Membuat 2 pola batik pada kain polos. - Menyiapkan 100 ml GEPOPIS dan 110 ml tinta tekstil, lalu menambahkan 10 ml tinta tekstil yang berbeda-beda untuk memperkaya jenis warna. - Mengaplikasikan tinta GEPOPIS pada kain 1 dan tinta tekstil pada kain 2 sesuai dengan motif. - Proses pencelupan, dengan memasukkan kain batik 1 dan 2 pada panci (air panas dan garam), dengan panci yang berbeda. - Mengangkat kain batik, dicuci dengan air bersih, diperas dan dianginanginkan. - Mengujikan pada panelis yang terdiri dari pengusaha batik dan masyarakat umum dengan menggunakan lembar observasi.
47
Hayati,dkk., Uji Kualitatif Penggunaan Tinta Batik dari Getah Pohon Pisang
2. Uji Kualitatif (keindahan dan ketahanan) a. Alat - Bak - Alat penyemprot b. Bahan - Larutan CH3COOH - Air c. Prosedur kerja - Uji keindahan dan ketahanan warna - Membandingkan batik tinta GEPOPIS dengan batik tinta - tekstil. - Analisis data eksperimen perbandingan hasil antara tinta batik sintetis dan tinta batik GEPOPIS. - Kualitatif presentase hasil menggunakan lembar Observasi HASIL DAN PEMBAHASAN Tinta sintetis dan GEPOPIS diaplikasikan pada kain putih. Getah pohon pisang yang digunakan berasal dari pangkal tangkai daun dan pelepah. Sedangkan tinta sintetis yang digunakan yaitu cat kain meries warna coklat tua. Berikut perbedaan hasil pewarnaan kedua tinta.
Gambar 1. Tinta GEPOPIS
Tinta GEPOPIS menghasikan warna lebih kalem dibandingkan tinta sintetis. Kesan warna kuat dari tinta sintetis juga sebanding dengan ketahananya terhadap keasaman. Hal ini ditunjukkan dengan kejernihan air hasil perendaman batik pada larutan CH3COOH. Setelah dilakukan pengamatan terhadap keindahan warna, daya lekat, kestabian warna dan tingkat kesulitan pada berbagai perlakuan. Berikut hasil perbandingan batik tinta GEPOPIS dengan batik tinta sintetis
48
Hayati,dkk., Uji Kualitatif Penggunaan Tinta Batik dari Getah Pohon Pisang
Gambar 2. Tinta Sintetis
Tabel 3. Hasil perbandingan batik tinta GEPOPIS dengan batik tinta sintetis Batik GEPOPIS Batik tekstil Batik GEPOPIS
4 Keindahan warna Daya lekat Kesetabilan warna terhadap keasaman Tingkat kesulitan
3
2
1
Batik tekstil
4
3
2
1
Keterangan : 4 (sangat baik), 3 (baik), 2 (sedang), dan 1 (jelek)
Gambar 1. Diagram uji keindahan warna tinta batik
Berdasarkan tingkat kesukaan responden terhadap keindahan warna antara kedua jenis tinta batik yang digunakan yaitu sebagai berikut 62% responden memberikan nilai 2 (sedang), 25% memberikan nilai 3 (baik), 9% memberikan nilai 4 (sangat baik) dan 4% memberikan nilai 1 (jelek) terhadap tinta GEPOPIS, sedangkan hasil penilaian terhadap tinta tekstil yaitu 49% memberikan nilai 4 (sangat baik), 40% memberikan nilai 3 (baik), 9% memberikan nilai 2 (sedang) dan 2% memberikan nilai 1 (jelek).
49
Hayati,dkk., Uji Kualitatif Penggunaan Tinta Batik dari Getah Pohon Pisang
KESIMPULAN Tinta GEPOPIS menghasikan warna lebih kalem dibandingkan tinta sintetis. Kesan warna kuat dari tinta sintetis sebanding dengan ketahananya terhadap keasaman. Hal ini ditunjukkan dengan kejernihan larutan hasil perendaman batik pada larutan CH3COOH. Perbedaan tingkat kejernihan larutan hasil perendaman kedua tinta tidak berbeda signifikan. Hal ini membuktikan bahwa kedua tinta tersebut mempunyai daya lekat yang kuat. Sehingga tinta GEPOPIS bisa digunakan sebagai alternatif pengganti tinta sintetis karena tidak menghasilkan limbah yang berdampak pada pencemaran lingkungan. Sehingga aman digunakan dalam jumlah besar. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M., 2009,”Mengenal Zat Warna Procion)”.www.smknegeri3kimia madiun
Tekstil
(Zat
Warna
Aktif
Hyderabad et all.2010.Thermodynamic analysis of porphyrin binding to Momordica charantia (bitter gourd)lectin.
Diunduh 20 Februari 2012 Ikawati, Yuniar. 2015. Pembuatan Zat Warna Alami Tekstil dari Tanaman Pacar Air (Impatiens Balsamina Linn) dengan Penambahan Getah Pohon Pisang: Sriwijaya. Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya Jansen, P. C. M. Dkk. 2005. Prota 3 : Dyes and tannins. Netherland: Wageningen Kipphan, Helmut (2001), Handbook of print media: technologies and production methods (Illustrated ed.), Springer, pp. 130–144, ISBN 3-540-67326-1 Sagita D.C. Yustin. 2012. Studi Tentang Motif Batik Tulis pada Paguyuban Pembatik Ikat (PPI) Bulan Asri di Desa Randuagung Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Skripsi Jurusan Tata Busana - Fakultas Teknik UM Santosa, Doellah. 2002. Batik : Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Katalog Batik Nusantara. Balai Besar Penelitian & Pengembangan Industri Kerajinan & Batik. Tocharahman, Maman. 2009. Eksperimen pewarna alami dari bahan tumbuhan yang ramah lingkungan sebagai alternatif untuk pewarnaan kain batik. Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia. Umi Amalia, Rizki. 2010. Motif Batik Pekalongan: Studi Dokumen Koleksi Museum Batik Pekalongan. Semarang. Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Semarang. Vol. VI No. 2
50
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PENGARUH EKSTRAK DAUN JAMBU MEDE (ANNACARDIUM OCCIDENTALLE L.) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR TRICOPHYTON MENTAGROPHYTES SECARA IN VITRO Fitri Nadifah, Nurlaili Farida Muhajir, Eka Riani
STIKES Guna Bangsa Yogyakarta, Jln. Ring Road Utara Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta, Indonesia Email: [email protected]
ABSTRAK
Salah satu bahan tradisional yang mempunyai khasiat sebagai anti jamur adalah daun jambu mede (Anacardium occidentale L.). Tanaman ini memiliki efek anti jamur karena mengandung senyawa kimia antara lain tannin-galat, flavonol, asam anakardiol, asam eleganat, senyawa fenol, kardol dan metil kardol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun jambu mede dalam menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes secara in vitro. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Quasi experimental dengan desain Post test cara non random dan mempunyai kelompok kontrol. Pengaruh ekstrak daun jambu mede terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes menunjukkan perbedaan zona hambat pada setiap konsentrasi dengan tiga kali pengulangan, dimana hasil rerata diameter zona hambat untuk konsentrasi 12,5%, 25%, 50% dan 100% masing-masing adalah 0,00 mm, 21,67 mm, 26,67 mm dan 30,00 mm. Hasil uji statistik menunjukkan nilai signifikansi < 0,05 yang berarti ada pengaruh daya hambat ekstrak daun jambu mede dalam menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi tersebut dalam mengatasi penyakit infeksi jamur Trichophyton mentagrophytes secara in vivo. Kata Kunci : Trichophyton mentagrophytes, jambu mede,
PENDAHULUAN Infeksi jamur superfisialis pada kulit termasuk penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia. Kondisi geografis Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya jamur, sehingga infeksi karena jamur di Indonesia banyak ditemukan (Harahap, 2005. Dermatofites merupakan salah satu jenis mikosis superfisial yaitu penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk (keratin), misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita (Ariyani dkk., 2008). Salah satu golongan jamur dermatofita adalah Trichophyton mentagrophytes. Trichophyton mentagrophytes adalah jamur yang memiliki dua bentuk konidia yaitu dalam bentuk mikrokonidia dan bentuk makrokonidia. Bentuk mikrokonidia adalah spora yang paling banyak sedangkan dalam bentuk makrokonidia yang berdinding halus, berbentuk pensil dengan ujung tumpul dan jarang terdapat. Biakan koloni Trichophyton mentagrophytes berkisar dari granuler sampai seperti serbuk dan biasanya menunjukkan banyak gugus mikrokonidia (Budimulja, 2010). Obat antifungi atau anti jamur mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur dengan diikuti kecepatan pengelupasan kulit. Akan tetapi pemakaian 51
Nadifah, dkk., Pengaruh ekstrak daun jambu mede (annacardium occidentalle l.)
obat anti jamur sintetik masih banyak kendalanya, diantaranya biaya obat yang mahal dan tidak semua daerah tersedia, serta resistensi terhadap obat akibat pemakaian yang tidak adekuat seperti pengobatan dosis tinggi waktu singkat, intermitten dan dosis rendah jangka lama. Pemilihan obat alternatif anti jamur dari herbal karena ada beberapa alasan. Obat-obat herbal lebih aman dan diyakini kurang memberikan efek samping jika dibanding obat-obat sintetik, kalaupun ada efek samping munculnya lama, juga untuk mengatasi jamur yang telah resisten terhadap beberapa obat sintetik. Pemanfaatan bahan tumbuh-tumbuhan untuk tujuan pengobatan penyakit kulit akibat jamur dikenal sejak lama, umumnya pemakaian berdasarkan pengalaman. Oleh karena itu, penilaian dan pengkajian khasiatnya secara ilmiah perlu dilakukan (Tjay dan Raharja, 2002). Salah satu tanaman tradisional yang diharapkan dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis adalah daun jambu mede (Annacardium occidentalle L.). Daun jambu mede mengandung dua kandungan utama, yaitu tanin dan senyawa fenol. Selain itu, kandungan kimia lain yang terdapat pada daun jambu mede yaitu flavonoid, asam anakardiol, asam elagat, kardol dan metal kardol (Sulistyawati, 2009). Kandungan kimia daun jambu mede seperti minyak atsiri, tanin-galat, flavonoid, asam anakardiol, asam elagat,fenol, kardol dan metil kardiol bekerja dengan mendenaturasi protein. Zat-zat tersebut akan berdifusi pada membran sel jamur, kemudian diteruskan pada ribosom yang menghasilkan protein sehingga mengganggu pada proses sintesa protein. Hal ini mengakibatkan protein berubah sifat, kerja enzim menjadi rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya dan metabolisme terganggu. Metabolisme merupakan kunci utama dari pertumbuhan jamur (Anshori, 2012). METODE PENELITIAN Daun jambu mede yang tua dicuci bersih dengan air mengalir dan dikeringkan di udara terbuka y a n g terlindung dari cahaya matahari langsung. Daun kering kemudian digiling sampai menjadi serbuk. Daun jambu mede diekstraksi secara maserasi dengan menggunakan etanol 96% kemudian didiamkan selama 24 jam. Etanol yang terdapat dalam filtrat dihilangkan dengan cara diuapkan menggunakan rotapavor vakum pada suhu 40oC. Filtrat yang diperoleh disaring dan didapat ekstrak kental sebagai ekstrak 100%. Untuk membuat berbagai konsentrasi ekstrak, maka perlu disiapkan tabung reaksi, pipet ukur 1 ml, aquades, dan ekstrak daun jambu mede 100%. Tabung pertama diisi 1 ml ekstrak daun jambu mede 100% (sebagai konsentrasi 100%); Tabung kedua diisi 0,5 ml ekstrak daun jambu mede dari tabung pertama ditambah aquades hingga volume 1 ml kemudian dihomogenkan (sebagai konsentrasi 50%). Tabung ketiga diisi 0,25 ml ekstrak daun jambu mede 100% kemudian ditambah aquades hingga 1 ml (sebagai konsentrasi 25%). Tabung keempat diisi 0,125 ml ekstrak daun jambu mede 100% kemudian ditambah aquades hingga volume 1 ml (sebagai konsentrasi 12,5%). Penelitian ini merupakan penelitian Quasi experimental dengan desain Post test cara non random dan mempunyai kelompok kontrol. Biakan jamur Trichophyton mentagrophytes diinokulasikan pada media Sabouraud Dextrose Agar (SDA). Pada 52
Nadifah, dkk., Pengaruh ekstrak daun jambu mede (annacardium occidentalle l.)
setiap medium pada petri dibuat sumuran dengan menggunakan perforator untuk tempat setiap konsentrasi ekstrak. Masing-masing ekstrak, yaitu konsentrasi 12,5%, 25%, 50% dan 100%, dimasukkan ke dalam sumuran. Setelah itu medium tersebut diinkubasikan selama 24 jam dengan suhu 370C. Pembacaan hasil dilakukan dengan mengukur diameter zona hambat, yaitu zona bening dimana tidak terjadi pertumbuhan bakteri . HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dengan metode difusi agar pada media SDA dengan 3 pengulangan. Zona hambat yang diukur merupakan daerah di sekitar lubang sumuran yang ditemukan pertumbuhan jamur uji berkurang jika dibandingkan dengan pertumbuhan jamur uji pada kontrol negatif yang tidak terbentuk zona hambatnya. Zona hambat yang terbentuk kemudian diukur diameternya untuk mengetahui ukuran kekuatan hambat dari ekstrak daun jambu mede. Zona hambat yang terbentuk pada penelitian ini adalah zona irradikal yaitu daerah di sekitar sumuran yang berisi ekstrak daun jambu mede yang menunjukkan pertumbuhan jamur terhambat tetapi tidak dimatikan. Pada daerah tersebut terlihat adanya pertumbuhan jamur yang kurang subur atau lebih jarang. Jadi ekstrak daun jambu mede termasuk fungistatik terhadap Trichophyton mentagrophytes. Penelitian ini menggunakan flukonazol sebagai kontrol positif, sedangkan kontrol negatif adalah akuades steril. Flukonazol adalah zat aktif yang ada dalam berbagai merek obat anti jamur. Sedangkan akuades steril digunakan untuk mengetahui perannya dalam menghasilkan zona hambat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akuades dan konsenstrasi ekstrak terendah, yaitu 12,5% tidak menghasilkan zona hambat. Zona hambat mulai terbentuk pada pemberian konsentrasi ekstrak 25%, yaitu sebesar 21,67 mm. Zona hambat ini lebih tinggi dibandingkan dengan zona hambat dengan pemberian flukonazol yaitu 15,00 mm (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat Pertumbuhan Jamur Trichophyton mentagrophytes (mm). Diameter zona hambat (mm) Akuades Flukonazol Rata-rata
0
15,00
12,5%
25%
50%
100%
0
21,67
26,67
30,00
Terbentuknya zona hambat diakibatkan karena adanya zat aktif yang terkandung dalam ekstrak daun jambu mede yaitu flavonoid, tanin-galat, asam anakardat, asam elegat dan senyawa fenol. Senyawa fenol dan flavonoid dapat mendenaturasi protein dinding sel dan merusak membran sel (David, 2008). Senyawa tanin juga berperan sebagai antimikroba yang dapat mengerutkan dinding sel mikroba sehingga mengganggu permeabilitas sel tersebut. Hal tersebut dapat mengakibatkan jamur tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya akan terhambat. Asam anakardat yang terdapat dalam ekstrak daun jambu mede memiliki mekanisme sebagai surfaktan yang merusak dinding sel jamur. Senyawa ini menghambat sintesis lipid pada dinding sel jamur dengan cara menghambat kerja enzim (David, 2008). 53
Nadifah, dkk., Pengaruh ekstrak daun jambu mede (annacardium occidentalle l.)
Data hasil penelitian kemudian dianalisis dengan uji statistik deskriptif menggunakan program SPSS 17.0 for windows. Sebelum dilakukan analisis dengan uji Anova satu jalan, perlu dilakukan uji distribusi data. Hasil uji distribusi menunjukkan bahwa nilai signifikan dari data variabel terikat zona hambat pertumbuhan jamur uji diperoleh hasil 0,37 (p>0,05). Sehingga dapat disimpulkan data berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji Anova satu jalan, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,00. Dari nilai signifikan tersebut maka Ho ditolak dan Ha diterima karena nilai signifikansi 0,000 <0,05, dengan keKESIMPULAN ada pengaruh ekstrak daun jambu mede dalam menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes. Tabel 2. Hasil Uji Deskriptif Data Daya Hambat Antijamur Ekstrak Daun Jambu Mede terhadap jamur Trichophyton mentagrophytes. Konsentrasi 12,5% 25% 50% 100%
N 3 3 3 3
Mean 0,00 21,67 26,67 30,00
Nilai minimum 0,00 20,00 26,00 29,00
Nilai maksimum 0,00 23,00 27,00 31,00
Dari hasil uji statistik deskriptif ini dapat diketahui bahwa daun jambu mede memiliki pengaruh berupa daya hambat terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes dan secara pemeriksaan in vitro dapat diamati berdasarkan zona hambat. Nilai minimum zona hambat dihasilkan pada pemberian konsentrasi ekstrak 12,5%, yaitu 20,00 mm, sedangkan nilai maksimum adalah pada pemberian konsentrasi ekstrak 100%, yaitu sebesar 31,00 mm (Tabel 2).
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat dibuat keKESIMPULAN sebagai berikut: 1. Konsentrasi minimum ekstrak daun jambu mede (Annacardium occidentale L.) yang dapat menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes adalah 25% dengan rerata diameter zona hambat 21,67 mm. 2. Konsentrasi maksimum ekstrak daun jambu mede (Annacardium occidentale L.) yang dapat menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes adalah 100% dengan rerata diameter zona hambat 30,00 mm. 3. Ekstrak daun jambu mede (Annacardium occidentale L.) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap dalam menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes, yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun jambu mede yang digunakan, maka semakin besar pula daya anti jamur yang dihasilkan karena semakin banyak pula kandungan zat aktif yang dimiliki.
54
Nadifah, dkk., Pengaruh ekstrak daun jambu mede (annacardium occidentalle l.)
Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun jambu mede memiliki pengaruh signifikan dalam menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophyte. Hal ini menunjukkan bahwa daun jambu mede memiliki potensi dalam mengatasi penyakit yang disebabkan oleh jamur Trichophyton mentagrophyte Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan atau menentukan metode yang paling efektif untuk mengolah daun jambu mede agar zat aktif yang terkandung di dalamnya dapat terambil. DAFTAR PUSTAKA Anshori, I. I. 2012. Daya Antifungi Perasan Jeruk nipis (Citrus aurantifolia swingle) terhadap Trichophyton mentagrophytes secara In Vitro. Karya Tulis Ilmiah. Analis Kesehatan Kemenkes RI Poltekkes Yogyakarta Ariyani, M., Kusumaningsih T. dan Rahardjo, M. B. 2007. Daya Hambat Ekstrak Daun Jambu Mete (Anacardium occidentale, L) Terhadap Pertumbuhan Streptococcus sanguis. Jurnal PDGI Vol 57 (02):45-51. Surabaya: FKG Universitas Airlangga. Budimulja, U. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 5. David, E. 2008. Trichophyton mentagrophytes: http://www.mycology.adelaide.edu.au diambil pada tanggal 25 Februari 2014. Yogyakarta Sulistyawati, D. 2009. Uji Aktivitas Antijamur Infusa Daun Jambu Mete terhadap Candida albicans. Biomedika, Vol.2 No.1, Edisi Maret 2009. Tjay dan Raharja. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya, Edisi V. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta
55
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PRELIMINARY OF ANURAN DIVERSITY AND THEIR HABITAT PREFERENCE FOR BIO INDICATOR IN IRONGGOLO WATERFALL ECOTOURISM AREA, BESUKI, MOJO, KEDIRI Mochammad Yordan Adi Pratama1, Mohammad Ilham Pahlevi1, Mohammad Anwar Jamaluddin1, Berry Fakhry Hanifa2, Budhi Utami2 1 2
Undergraduate student of Biology Education Universitas Nusantara PGRI Kediri Laboratory of Zoology of Biology Education Universitas Nusantara PGRI Kediri Correspondence email: [email protected] ABSTRACT
Ironggolo Waterfall Ecotourism Area (IWEA) located in Besuki, Mojo, Kediri, East Java,1200 meters above of sea level (masl) at 70 53’ 0” LS - 1110 51’ 0” BT. IWEA located in slope of Mount Wilis forest area which potential for its herpetofauna diversity. This research aimed to explore habitat preference and diversity of Amphibian, Anuran Order in IWEA as a potential bio indicator. Data collected from April 2015 to February 2016 by Visual Encounter Method with 250 meters transect each applied in 3 surveys plot. We have found at least nine species of Anurans from six different families, they were Bufonidae, Dicroglossidae,Magophryidae, Microhylidae, Rhacophoridae and Ranidae, they are Duttaphrynus melanostictus, Limnonectes sp, Leptobrachium hasseltii, Microhyla achatina, Rhacophorus reinwardtii, Polypedates leucomystax, Fejervarya sp.,Hylarana chalconata,and Odorrana hosii. Above all species obtained, Leptobrachium hasseltii is the only species collected far enough from water sources. Some of Hylarana chalconota and Odorrana hosii collected on the ground, some other collected from 1-2 meters altitude. Potentiallyenvironment bio-indicator species are Hylarana chalconata, Leptobrachium hasseltii dan Odorrana hosii.Ironggolo Waterfall Ecotourism Area have a temperature and humidity are relatively constant and thus the right to habitat Order Anura Keywords:Biodiversity, Amphibian, Bio indicator, Ironggolo waterfall, Kediri.
PENDAHULUAN Kawasanekowisata air terjun Ironggolo(IWEA) terletak di70 53’ 0” LS - 1110 51’ 0” BT.Air terjun Ironggolo terletak dikaki Gunung Wilis yang berada pada desaBesuki, Mojo, KabupatenKediri, ProvinsiJawa Timur. Air terjun Ironggolo memiliki ketinggi 1200 mdpl di gugusan lereng Gunung Wilis (1950 m). Suhu lingkungan ekowisata air terjun Ironggolo berkisar 21ᵒC yang menjadikaan kawasan ini memiliki biodiversitas cukup tinggi di Jawa Timur.Kawasan ekowisatainitelah dikenaldengan lingkunganalam danmenjadi salah satudaya tarikekowisatabagi wisatawan domestik.Potensialamdaerah inibelum diketahui secara menyeluruhdan belumadapenelitian yang berkaitan dengankeanekaragaman hewan yangtelah dilakukandi daerahini, oleh karena itu penelitian ini dilakukan untukmengungkapkankeanekaragaman hewandi daerah initerutamaordo anurasebagaidatabaseuntukmenambah informasi yang berkaian tentang keragaman jenis amfibi yang terdapat pada kawasan wisata air terjun Ironggolo, kabupaten Kediri. Anura merupakan Ordo dalam kelas Amfibi yang terdiri atas katak dan kodok. Anura sangat berperan penting dalam ekosistem terutama peranannya sebagai bagian rantai makanan. Mayoritas Ordo Anura memakan berbagai jenis serangga dan larva
56
Pratama, dkk., Preliminary Of Anuran Diversity And Their Habitat Preference For Bio Indicator
serangga untuk menjaga ekosistem agar tetap seimbang. Ordo anura juga berguna bagi manusia karena membantu memakan jenis serangga yang dapat merusak perkebunan dan pertanian atau jenis serangga yang bisa menjadi vektor penyakit (Stebbins dan Cohen, 1997). Sedangkan, peran Ordo Anura secara langsung adalah dimanfaatkan oleh sebagian manusia untuk sumber makanan dan komoditas ekspor (Kusrin, 2003). Peran utama anura adalah menjaga keseimbangan ekosistem dan sebagai agen bio indikator perubahan kondsi lingkungan seperti pencemaran air, perusakan habitat asli, introduksi spesies eksotik, penyakit dan parasit (Carrey et., 2001; Corn 2005; Cushman, 2006; Kusrini et al., 2008), serta perubahan iklim (Blaustein et al. Dalam Semlitsch, 2003). Permasalah terebut menjadikan Ordo Anura rentan mengalami kepunahan. Dari uraian permasalah diatas mendorong peneliti melakukan pengamatan yang bertujuan untuk mengetahui jenis anura yang dapat ditemukan pada kawasan wisata air terjun Ironggolo kabupaten Kediri, mengetahui karakter habitatnya, serta mengetahui jenis anura yang berpotensi sebagai bioindikator. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan terkait keragaman Ordo Anura, status serta distribusi jenis katak dan kodok yang terdapat di kawasan ekowisata air terjun Ironggolo. Dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu upaya untuk mendukung pelestarian Ordo anura dan menjadikan tambahan data keragaman Ordo Anura untuk pihak pengelola ekowisata air terjun Ironggolo kabupaten Kediri METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dari bulan April 2015-Februari 2016, total pengamatan sebanyak 7 kali survei dengan menggunakan metode (VES)Visual Encounter Survey(Heyer dkk., 2004) yang dimodifikasi dengan teknik purposive sampling (Hamidy dkk., 2007)dengan250meteryang diterapkandi3survey plot. Selain menggunakan metode VES, penelitian ini juga melakukan metode wawancara terhadap penduduk setempat mengenai keragaman ordo anura yang terdapat pada kawasan air terjun Ironggolo. Data hasil wawancara digunakan sebagai data skunder untuk melengkapi data primer hasil melakukan survei.Kami membagi lokasi penelitian menjadi 3 daerah. Daerah A yang terletak di area parkir, masjid, taman. Area B berada di jalan menuju kawasan air terjun. Area C berada di aliran sungai terusan air terjun. Survei meliputi beberapa daerah di sekitaran kawasan wisata air terjun Iroggolo yang mewakili dua ekosistem yaitu terestrial dan akuatik. Pada lokasi ekosistem terestrial terdapat pada daerah area parkir, masjid, dan taman. Pada lokasi ekosistem akuatik terdapat pada aliran sungai terusan air terjun Ironggolo. Survei pengamatan dilakukan pada malam hari anatara pukul 19.00-23.00 WIB untukmendapatkan data Ordo Anura nokturnal. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: senter untuk survei di malam hari, Hygrometer untuk mengukur kelembaban dan suhu udara. Termometer raksa untuk mengukur suhu air, kamera untuk dokumentasi, kantong plastik dan botol selai untuk penyimpanan spesimen. Bahan yang digunakan untuk pembuatan spesimen menggunakan metode awetan basah anatar lain alkohol 70%, formaldehid 4% dan aquades. Ordo Anura pada lokasi penelitian ditangkap dan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi menggunakan kunci identifikasi. Identifikasi dan penamaan jenis menggunakan panduan identifikasi Iskandar (1998). Data yang diperoleh dianalisis 57
Pratama, dkk., Preliminary Of Anuran Diversity And Their Habitat Preference For Bio Indicator
menggunakan indeks keanekaragaman berdasarkan Shanon-Wiener (Krebs, 1978 dan Kusrini, 2009) yang mempunyai rumus: H’= -𝞢 Pi Ln Pi Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon- Wiener Pi = Proporsi jenis ke-i. Menurut Browner dan Zarr (1997), keanekaragaman dikatakan sangat rendah dan dikatakan sedang jika nilainya <1, jika nilainya berkisar antara 1-1,5 maka dikatakan rendah dan dikatakan sedang jika nilainya berkisar antara 1,5-2,0. Adapun dikatakan tinggi jika nilainya >2,0. Untuk menegtahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian digunakan indeks kemerataan berdasarkan Simpson sebagai berikut:
E=
𝐻′ 𝐿𝑛𝑆
Keterangan: E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks Keanekaragaman Sannon- Wiener S = Jumlah jenis yang ditemuka. Jika nilai E mendekati 1 maka menunjukkan jumlah individu antar jenis relatif sama. Namun, jika lebih dari 1 ataupun kurang maka kemungkinan besar terdapat jenis dominan di komunitas tersebut. Derajat kemelimpahan relatif jenis herpetofauna yang dijumpai selama penelitian dikategorikan dala 4 kelompok mengkuti Buden (2000), yaitu: dapat dikatakan banyak dijumpai jika minimal tercatat 30 perjumpaan/hari, diatakan cukup banyak dijumpai jika 10-30 pejumpaan/hari, jarang dijumpai jika hanya 10 perjumpaan/hari, sulit dijumpai jika hanya 5 perjumpaan/hari dan dikatakan langka jika perjumpaannya di bawah 5 perjumpaan/hari pada sebagian besar waktu survei. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian telah teridentifikasi9jenis anura di ekowisata air terjun Ironggolo yaituDuttaphrynus melanostictus, Limnonectes sp, Leptobrachium hasseltii, Microhyla achatina, Rhacophorus reinwardtii, Polypedates leucomystax, Fejervarya sp., Hylarana chalconata,and Odorrana hosiiyang terdiri dari 6famili yang berbeda yaitu Bufonidae, Dicroglossidae,Magophryidae, Microhylidae, Rhacophoridae and Ranidae.Terdapat dua jenis amfibi endemik Jawa yaitu Limnonectes sp dan Microhyla achatina (Iskandar, 1998). Dua jenis amfibi ini ditemukan di sekitar aliran sungai terusan
58
Pratama, dkk., Preliminary Of Anuran Diversity And Their Habitat Preference For Bio Indicator
air terjun Ironggolo yang umumnya memiliki arus aliran lambat. Hasil penelitian lebih rinci dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis ordo anura yang dapat ditemukan pada kawasan ekowisata air terjun Ironggolo. No.
Famili
Spesies
Perilaku
Duttaphrynus melanostictus Limnonectes sp* Leptobrachium hasseltii Microhyla achatina* Rhacophorus reinwardtii Polypedates leucomystax Ranidae Fejervarya sp. 6 Hylarana chalconata Odorrana hosii *= Spesies endemik Jawa (endemic species of Java) LC = Least Concern NT = Near Threatened 1 2 3 4 5
Bufonidae Dicroglossidae Magophryidae Microhylidae Rhacophoridae
Status Konservasi LC LC LC LC NT LC LC LC LC
Nokturnal Nokturnal Nokturnal Nokturnal Nokturnal Nokturnal Nokturnal Nokturnal Nokturnal
Tabel 2. Komposisi dan presentase jumlah tiap jenis ordo anura yang ditemukan selama penelitian di kawasan ekowisata air terjun Ironggolo. (H’)
(E’)
2
0,3154
1 15
Taksa No.
Famili
1
Bufonidae
2 3
Dicroglossidae Magophryidae
4
Microhylidae
5
Rhacophoridae
6
Ranidae
Total
Persen tase
0,1435
* Derajat Kemelim pahan La
3%
Terestrial
0,3154 0,2616
0,1435 0,1190
La Cu
1% 19%
Akuatik Terestrial
1
0,3660
0,1666
La
1%
Semi Akuatik
10
0,0930
0,0423
Cu
13%
Arboreal
2
0,0553
0,0251
La
3%
Arboreal
1 32
0,0553 0,0930
0,0251 0,0423
La Ba
1% 40%
Semi Akuatik Semi Akuatik
15 79
0,0553 1,6103
0,0251 0,7325
Cu
19% 100%
Semi Akuatik
Spesies
Jumlah
Duttaphrynus melanostictus Limnonectes sp* Leptobrachium hasseltii Microhyla achatina* Rhacophorus reinwardtii Polypedates leucomystax Fejervarya sp. Hylarana chalconata Odorrana hosii
Habitat
*Derajat Kemelimpahan: Ba = banyak dijumpai jika minimal tercatat 30 perjumpaan/hari, Cu = cukup banyak dijumpai jika 10-30 pejumpaan/hari, Ja = jarang dijumpai jika hanya 10 perjumpaan/hari, Su = sulit dijumpai jika hanya 5 perjumpaan/hari danLa = langka jika perjumpaannya di bawah 5 perjumpaan/hari pada sebagian besar waktu survei
Hasil analisis menggunakan indeks Shanon-Weiner menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis ordo anura pada kawasan ekowisata air terjun Ironggolo tergolong sedang dengan nilai sebesar 1,6130 dengan kemerataan 0,7325 (Kurang dari 1) yang mengindikatorkan bahwa ada dominasi jenis ordo anura tertentu.Menurut perhitungan 59
Pratama, dkk., Preliminary Of Anuran Diversity And Their Habitat Preference For Bio Indicator
persentase kehadiran individu tiap jenis anura dari pelaksanaan survei di ekowisata air terjun Ironggolo kabupaten Kediri diketahui bahwa paling banyak ditemukan yaitu Hylarana chalconata(40%), Leptobrachium hasseltii(19%), Odorrana hosii(19%), Rhacophorus reinwardtii(13%). Dari keempat jenis tersebut sangat mudah dijumpai karena diduga menempati relung yang lebih luas dan mekanisme pertahanan diri terhadaap predator dan daya adaptasi terhadap lingkungan lebih tinggi. Sedangkan Duttaphrynus melanostictus(3%), Polypedates leucomystax(3%), Fejervarya sp.(1%), Limnonectes sp(1%), Microhyla achatina(1%). Hal ini disebabkan karena jenis ini menempati relung yang relatif sempit, sehingga sangat bergantung terhadap lingkungan sekitarnya dan mekanisme pertahanan diri terhadapa predator dan daya adaptasi terhadap lingkungan rendah. Berdasarkan IUCN Red List, sebagian besar anura yang teridentifikasi di daerah ekowisata air terjun Ironggolo termasuk kedalam kategori Least Concern (LC) dan hanya satu jenis ordo anura yang berstatus Near Threatened (NT). Dari informasi tersebut dapat diperoleh informasi bahwa ordo anura yang terdapat di kawasan ekowisata air terjun Ironggolo kabupaten Kediri tidak ada yang tergolong kritis. Namun, ada jenis ordo anura yaitu Rhacophorus reinwardtiiyang berstatus mendekati kepunahan. Tabel 3. Parameter lingkungan Lokasi Daerah A yang terletak di area parkir, masjid, taman. Jalan menuju kawasan air terjun Aliran sungai terusan air terjun
Suhu Udara (̊C) 25 ̊C
Suhu Air (̊C) -
Kelembaban 80-100%
22 ̊C 21 ̊C
20 ̊C
80-100% 80-100%
Berdasarkan tabel 3. Dapat diketahui bahwa kawasan ekowisata air terjun Ironggolo memiliki suhu yang relatif konstan dan memiliki kisaran kelembaban antara 80-100%. Pengukuran suhu udara dan suhu air memiliki kisaran antar 20-25̊C. Suhu yang relatif konstan serta tingkat kelembaban tersebut disebabkan oleh kondisi disekitar kawasan ekowisata air terjun Ironggolo masih terdapat vegetasi yang tinggi, yang berfungsi sebagai penyerap panas yang berlebihan serta memberikan kelembaban yang cukup untuk habitat ordo anura. Duttaphrynus melanostictusditemukan pada permukaan tanah (Terestrial) aliran sungai air terjun Ironggolo terkadang sering bersembunyi di bebatuan. Limnonectes sp ditemukan pada aliran sungai air terjun Ironggolo yang dangkal dan tenang termasuk kedalam habitat terestrial. Leptobrachium hasseltiisangat mudah dijumpai karena amfibi jenis ini tersebar merata dari daerah taman, jalan menuju air terjun dan aliran sungai air terjun Ironggolo. Spesies ini termasuk memiliki habitat terestrial. Microhyla achatina merupakan katak yang memiliki habitat semi akuatik yang dapat dijumpai pada taman yang ada di sekitar air terjun Ironggolo. Rhacophorus reinwardtiimerupakan jenis katak yang sering ditemukan pada peohonan dan memiliki tipe habitat (Arboreal), katak jenis ini di kawasan wisata air Terjun Ironggolo dapat ditemukan pada taman di kawasan wisata air terjun Ironggolo. Polypedates leucomystaxditemukan pada taman dan jalan menuju kawasan ekowisata air terjun. Katak pohon ini memiliki tipe habitat arboreal karna sering di jumpai pada lingkungan yang memiliki kawasan yang mempunyai vegetasi yang lebat. Fejervarya 60
Pratama, dkk., Preliminary Of Anuran Diversity And Their Habitat Preference For Bio Indicator
spditemukan pada jalan menuju air terjun Ironggolo memiliki tipe habitat semi akuatik. Hylarana chalconatamerupakan katak famili ranidae yang memiliki tipe habitat semi akuatik, katak jenis ini sering ditemukan pada kawasan jalan menuju air terjun dan aliran sungai air terjun ironggolo. Sementara Odorrana hosiiditemukan pada jalan menuju air terjun dan aliran sungai air terjun ironggolo dan memiliki tipe habitat semi akuatik. Anura khususnya amfibi dikenal sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan tempat hidup. Ordo anura dapat digunakan sebagai bioindikator lingkungan. Indikator yang bisa teramati jika lingkungan mengalami perubahan adalah mulai turunnya populasi dan keanekaragamn jenis (Kurniati dkk, 2008). Bioindikator itu disebut indikator secara kualitatif. Berdasarkan beberapa persyaratan organisme bio indikator yakni memiliki kisaran sempit terhadap perubahan lingkungan, memiliki habitat tertentu, organisme mudah diambil, dan umumnya dijumpai dilokasi pengamatan. Spesies yang berpotensi sebagai bio indikator lingkunganadalahHylarana chalconata, Leptobrachium hasseltii dan Odorrana hosii. Jenis-jenis Odro Anura tersebut berstatus Least Concern (LC). Namun, pada hasil pengamatan ordo anura kawasan ekowisata air terjun Ironggolo yang ditinjau dari aspek derajat kemelimpahan menunjukkan banyak untuk Hylarana chalconata dan cukup banyak untuk Leptobrachium hasseltii dan Odorrana hosii. Dari hasil pengelompokan spesies yang berpotensi sebagai bio indikator tersebut dapat diketahui bahwa kawasan ekowisata air terjun Ironggolo memiliki rentangan suhu antar 20-25 ̊Cdan memiliki kisaran kelembaban antara 80-100%. Suhu yang relatif konstan serta tingkat kelembaban tersebut disebabkan oleh kondisi disekitar kawasan ekowisata air terjun Ironggolo yang masih terdapat vegetasi yang tinggiyang berfungsi sebagai penyerap panas berlebih serta memberikan kelembaban yang cukup untuk habitat Ordo Anura. KESIMPULAN Ekplorasi Ordo Anura kawasan ekowisata air terjun Ironggolomenguak 9 jenis yaitu Duttaphrynus melanostictus, Limnonectes sp, Leptobrachium hasseltii, Microhyla achatina, Rhacophorus reinwardtii, Polypedates leucomystax, Fejervarya sp.,Hylarana chalconata,dan Odorrana hosiiyang terdiri dari 6 famili yang berbeda yaitu Bufonidae, Dicroglossidae,Magophryidae, Microhylidae, Rhacophoridae and Ranidae.Duttaphrynus melanostictus, Leptobrachium hasseltii memiliki tipe habitat terestrial.Limnonectes sp memiliki tipe habitat terestrial akuatik. Microhyla achatina, Fejervarya sp., Hylarana chalconata,dan Odorrana hosii memiliki tipe habitat semi akuatik. Rhacophorus reinwardtii dan Polypedates leucomystax memiliki tipe habitat arboreal. Spesies berpotensi bio indikator lingkungan adalah Hylarana chalconata, Leptobrachium hasseltii dan Odorrana hosi. Kawasan ekowisata air terjun Ironggolo memiliki suhu dan kelembaban relatif konstan sehingga tepat untuk habitat Ordo Anura UCAPANTERIMAKASIH Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada kepala Laboratorium Zoologi, Universitas Nusantara PGRI Kediri yang telah memberikan izin kepada kami untuk menggunakan semua fasilitas. Kami juga ingin berterimakasih kepada Agus Muji Santoso, M.Si.yang telah memberikan informasi dan memberikan gagasan kepada kami untuk melakukan penelitian keragaman jenis fauna pada kawasan ekowisata air terjun 61
Pratama, dkk., Preliminary Of Anuran Diversity And Their Habitat Preference For Bio Indicator
Ironggolo, Kabupaten Kediri. Serta kami juga mengucapkan terimakasih kepada Mochammad Farich, Mbah Jan, dan teman-teman tim SCAR yang telah membantu kami dalam proses pengambilan data primer di kawasan ekowisata air terjun Ironggolo, Kabupaten Kediri. DAFTAR PUSTAKA Ario, Anton. 2010. Mengenal Satwa Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jakarta: Conservation International (CI) Indonesia. Blaustein, A. R., Hatch, A. C., Belden, L. K., Scheessele, E., and Kiesecker, J.M., 2003. Global change: Challenges facing amphibians. In: Amphibian conservation: 187198 (R. D. Semlitsch, Ed.). Smithsonian Books, Washington, D.C. Bude, D.W. 200. The Reptiles of Pohnpei, Federated Stated of Micronesia. Micronesia, 32 (2): 155-180. Careey, C., Heyer, and Rand A.S. 2001. Amphibian decline and Environmental changes: Use of remote-sensing data to identify environmental correlates. Conservation Biology 15(4): 903-913. Corn, P. S. 2005. Climate change and amphibians. Animal Biodiversity and Conservation 28(1): 59-67. Cushman, S.A. 2006. Effects of habitat loss and fragmentation on amphibians: A review and prospectus. Biological Conservation 128:231-240. Kusrini, M.D., and Endarwin, W. 2008. Chytridiomycosis in frog Mount Gede Pangrango, Indonesia. Disease of Aquatic Organisms 87: 187-194. Kusrini, M.D. 2003. Predicting the Impact of the Frog Leg Traden in Indonesia: An Ecological View of the Indonesia Frog Leg Trade, Emphasizing Javanes Edible Frog Species. In Kusrini, M.D., Mardiastuti, A., and Harvey, T. (Eds). 2003. Prosiding Seminar Hasil Penelitian: Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor: IRATA dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 181 p. Stebbins, R.C. and Cohen, N. W. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey: Princenton University Press. 316 p. Hamidy, A., Mulyadi dan Isman. 2007. Herpetofauna di Pulau Waigeo (in press). Pp:4. Heyer, W.R., Donnely, M.A., Mc Diarmind, R. W., Hayek, L.C. dan Foster, M.S. 1994 Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standart Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington. Iskandar, D. T. (1998) Amphibia of Java and Bali. Research and development Center for Biology-LIPI, Bogor. Krebs, C.J. 1978. Ecologycal Methodology. Harper and Row Publisher. New York.
62
Pratama, dkk., Preliminary Of Anuran Diversity And Their Habitat Preference For Bio Indicator
Kurniati, Hellen. 2008. Jenis-Jenis Kodok Berukuran Besar yang Dapat Dikonsumsi dan Mampu Berdaptasi Dengan Habitat Persawahaan Di Sumatera. Jurnal Fauna Indonesia. Vol 8 (1): 6-9. Kusrini, D.M. 2009. Pedoman penelitian dan Survei Amphibia di Lapangan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
63
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PENGGUNAAN KITOSAN SEBAGAI PENGAWET ALAMI PADA UJI ORGANOLEPTIK BAKSO Cicilia Novi Primiani 1) Marheny Lukitasari 2) FP MIPA IKIP PGRI MADIUN Email: [email protected]
ABSTRAK Kitosan merupakan produk turunan Polysacharida yaitu Aminopolysacharida, yang merupakan hasil deasitilasi yaitu dengan penghilangan gugus asetilnya dari kitin. Senyawa kitosan merupakan Polysacharida alam terbesar kedua setelah selulosa dengan komposisi kimia β-(1-4)-D-glucosamine (unit asetil) dan N-acetyl-D-glucosamine. Kitosan merupakan hasil ekstrak kerak hewan berkulit keras seperti udang, kepiting, dan serangga. Proses pembuatan kitosan merupakan proses yang sederhana, yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengawet makanan alami. Tujuan penelitian adalah untuk menguji penggunaan kitosan sebagai pengawet alami pada bakso. Pendekatan penelitian secara eksperimen, dengan membuat kitosan dari bahan limbah cangkang udang dan kepiting, kemudian dicampurkan pada bakso, dan diuji secara organoleptik keawetan baksonya. Analisis data dilakukan secara diskriptif, dengan menganalisis hasil uji organoleptik kepada responden tentang warna, bau, rasa, dan tekstur bakso. Hasil penelitian menunjukkan 1kg adonan bakso membutuhkan larutan kitosan sebanyak 1,5% – 2% kitosan dilarutkan dalam asam cuka, kemudian bakso dicelupkan selama 5 (lima) menit, kemudian bakso dicuci bersih di bawah air mengalir sampai bau asamnya hilang, sehingga keawetan bakso dapat dipertahankan. Kata kunci: pengawet alami, kitosan, organoleptik, bakso
PENDAHULUAN Penggunaan pengawet makanan sampai saat ini sudah menjadi hal biasa dilakukan. Pengawetan makanan dilakukan dengan tujuan agar makanan mempunyai daya simpan lebih lama, tetapi tetap layak untuk dikonsumsi. Pengawet makanan digunakan untuk makanan segar seperti sayur dan buah, atau produk makanan olahan seperti mi, tahu, bakso, ikan, dan masih banyak lagi produk-produk yang disimpan dengan bahan pengawet. Sebagian besar penggunaan bahan pengawet merupakan bahan pengawet sintetis, dengan alasan mudah, praktis, dan murah. Beberapa bahan pengawet yang biasa digunakan oleh masyarakat antara lain adalah boraks, formalin, lilin, dan bleng. Masyarakat tidak pernah menyadari efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan pengawet sintetis yang membahayakan tubuh. Sebagian besar makanan diawetkan dengan menggunakan formalin yang sering disebut sebagai pengawet mayat. Formalin merupakan larutan kimiawi formaldehyda dalam air dengan konsentrasi sekitar 37%. Artinya dalam 100 ml air terdapat 37 gram formaldehyda. Biasanya larutan tersebut ditambah metanol sekitar 15% sebagai stabilizer. Formaldehyda dalam bentuk gas sangat berbahaya karena mudah meledak, dan dalam konsentrasi 0,1% saja dapat menyebabkan mata berair. Sebaliknya efek penggunaan formalin dalam jangka waktu panjang (10-20 tahun) akan dapat menimbulkan kanker.
64
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
Secara alami, formaldehyda dapat dijumpai pada pembakaran bahan bakar organik, terutama minyak tanah, bensin, asap kendaraan bermotor, dan rokok. Berdasarkan hasil penelitian di Kanada, menunjukkan bahwa dalam satu hari manusia sudah terpapar formaldehyda sebesar 8 mg melalui proses pernafasan. Sementara melalui 20 batang rokok yang dihisap sehari, seseorang dapat terpapar 2mg formaldehyda. Formaldehyda dalam plasma darah dapat hilang dalam waktu 1,5 menit. Artinya apabila di dalam darah terdapat 10 mg formaldehyda, maka 1,5 menit kemudian formaldehyda yang tersisa Masyarakat belum memanfaatkan bahan alam di Indonesia yang dapat dijadikan bahan pengawet makanan pengganti formalin, diantaranya rumput laut, kunyit, larutan garam, dan lain-lain. Keterbatasan informasi dan teknologi pengolahan bahan makanan hingga kini masih sedikit yang memanfatkan bahan-bahan alami tersebut sebagai pengawet makanan. Salah satu bahan limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami adalah kitosan. Kitosan merupakan salah satu senyawa kompleks yang terdapat pada kitin, yaitu eksoskeleton arthropoda, misalnya vangkang udang, kepiting, dan rajungan. Kitosan merupakan produk turunan Polysacharida yaitu Aminopolysacharida, yang merupakan hasil deasitilasi yaitu dengan penghilangan gugus asetilnya dari kitin. Karakteristik fisiko kimia kitosan adalah berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik. Senyawa kitosan merupakan polysacharida alam terbesar kedua setelah selulosa dengan komposisi kimia β-(1-4)-D-glucosamine (unit asetil) dan N- acetyl-D-glucosamine (unit acetyl). Kitosan merupakan hasil ekstrak kerak hewan berkulit keras seperti udang, kepiting, dan serangga. Kitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin, bahkan untuk limbah udang dapat mencapai 30-40 persen dari total berat udang itu sendiri. Kitosan menunjukkan sifat-sifat polimer biomedis seperti non toksik, biokompatibel biodegradabel, juga bersifat polikationik sehingga dapat membentuk gel dalam suasana asam,seperti dalam lambung. Berdasarkan struktur yang mirip dengan selulosa dan kemampuannya membentuk gel dalam suasana asam maka diduga kitosan memiliki sifat-sifat sebagai matriks dalam sistem penghantaran obat. Pelarut kitosan yang baik adalah asam asetat. Kitosan sedikit mudah larut dalam air dan mempunyai muatan positif yang kuat yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalai degradasi secara biologis dan tidak beracun. Sebagai alternatif bahan pengawet alami, maka kitosan merupakan bahan yang menjanjikan karena bahannya murah, mudah didapat dan tidak membutuhkan cara yang rumit dalam pembuatannya. Kitosan merupakan limbah udang maupun kepiting yang terdapat terutama di bagian cangkang dan kulit udang serta kepiting tersebut. Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin, yakni produk samping (limbah) dari industri perikanan khususnya udang dan rajungan. Bahkan untuk limbah udang dapat mencapai 30-40 persen dari total berat udang itu sendiri. Selama ini kitosan sebagai bahan pengawet makanan sudah diujicobakan pada beberapa produk ikan asin seperti jambal roti, teri serta cumi. Pengawetan dilakukan dengan cara kitin dilarutkan dalam asam asetat, dan pada berbagai konsentrasi ikan asin yang akan diawetkan dicelupkan selama beberapa saat dan kemudian ditiriskan. Kitosan dapat diaplikasikan sebagai pengawet makanan dengan cara melarutkan kitosan dalam larutan asam asetat. Pemakaian kitosan dengan konsentrasi 0,5% dan 1% dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan asin 65
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
yang dikeringkan. Kitosan dengan konsentrasi yang sama yaitu 0,5% dan 1 % dapat menghambat pertumbuhan jamur dan ragi pada keju (Killay, 2013). Dimulai dengan tahap pencucian cangkang udang atau rajungan, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari untuk selanjutnya ditumbuk sampai halus kemudian diberi larutan alkali encer untuk menghilangkan proteinnya (deproteinasi). Selanjutnya bahan dicuci dengan larutan asam hidroklorik encer untuk menghilangkan kerak kapur (demineralisasi). Setelah proses deproteinasi dan demineralisasi maka zat yang tersisa disebut sebagai zat kerak (crust). Di dalam crust tersebut terdapat unsur butylosar yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Unsur butylosar mempunyai fungsi sabagai pembunuh sel kanker, karena butylosar ini dapat menekan terhadap penyebaran sel tumor sekaligus merangsang kemampuan kekebalan tubuh serta mendorong tumbuhnya sel T limpa dari pankreas. Butylosar juga mempunyai kemampuan menempel pada molekul sel di permukaan bagian dalam pembuluh darah. Hal ini mencegah sel tumor menempel pada sel permukaan pembuluh darah sehingga akan menghalangi perembesan jaringan kanker ke daerah sekitarnya (menghalangi metastase). Kitosan sangat efektif sebagai bahan homeostasis, mempercepat penutupan luka, penurun kolesterol, obat osteoporosis, media transport obat ke sistem organ, dalam tubuh tidak berefek racun dan tidak bermutagen. Dalam industri kosmetika, kitosan dapat dipergunakan sebagai pelembab kulit dan sebagai anti bakteri. Sedngkan dalam dunia pertanian, kitosan dimanfaatkan sebagai food aditif dan sebagai pengawet buah-buahan. Industri pengolahan pangan, karena sifat kitosan dapat meningkatkan air dan lemak, maka dapat digunakan sebagai media pewarnaan makanan. Mikrokristalin kitosan jika ditambahkan pada adonan makanan akan dapat meningkatkan pengembangan volume. Selain itu juga sebagai pengental dan pembentuk emulsi yang lebih baik daripada seluosa. Pada pemanasan yang tinggi kitosan akan menghasilkan pyrazine yang sangat potensial sebagai penambah cita rasa. Keefektifan kitosan dapat menghambat pertumbuhan bakteri perlakuan pelapisan kitosan masih sesuai dengan SNI. Indikasinya adalah lalat yang hinggap pada bahan yang diberi chitosan lebih sedikit serta penampakan bentuk fisik yang lebih baik daripada ikan asin kontrol (tanpa formalin dan kitosan). METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan: Gelas kimia, pipet volume, pipet ukur Mohr, labu ukur, gelas ukur, seperangkat buret (statif dan clam), dan labu erlenmeyer berbagai volume, labu Kjedahl beserta seperangkat destilator micro Parnass-Wagner, pipet tetes Pasteur, tabung reaksi makro dan mikro beserta rak, pengaduk gelas, desikator serta wadah gelas, neraca dapur, grinder listrik, oven listrik, neraca analitik, pH meter, minisentrifus, hot plate, tube shake, tanur listrik, watebath, mantel pemanas, power suply, wadah pencucian, wadah pengering aluminium, saringan diameter 60, termometer, lempeng kaca, gunting, krus berpenutup, penjepit logam, cawan porselen, spui, spatula logam, inkubator, lemari asam, botol cuci. Bahan yang digunakan: cangkang udang, HCl, NaOH, CuSO4, H2O, H2SO4, CH3COOH, Aseton, Aquades, kertas saring, kertas Ph. 66
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
Proses pembuatan tepung kitosan yang nantinya dapat dipergunakan sebagai bahan pengawet alami pada makanan, kesehatan, dan lain sebagainya harus dilakukan proses isolasi dan deasetilasi kitin. Adapun proses pembuatan tepung kitosan meliputi demineralisasi, deproteinasi, dekolorisasi dan deasetilasi. Adapun penjelasan keempat proses adalah sebagai berikut. a. Demineralisasi Tahap demineralisasi dilakukan terhadap serbuk cangkang udang yang sudah dihaluskan, dengan menambahkan larutan HCl 1,0 N (rasio serbuk cangkang udang : HCl = 1:15 b/v). Campuran tersebut kemudian dipanaskan sambil diaduk pada temperatur 90ºC selama 1 jam. Setelah dingin campuran kemudian dipisahkan dan residu yang diperoleh selanjutnya dinetralkan dengan aquades. Selanjutnya dilakukan pengeringan pada temperatur 80ºC selama 24 jam. b. Deproteinasi Deproteinasi dilakukan berdasarkan metode yang sama dengan demineralisasi, produk demineralisasi untuk selanjutnya ditambahkan NaOH 0,875 N (rasio serbuk cangkang udang hasil demineralisasi : NaOH 0,875 ; N = 1 : 10 b/v) dan dipanaskan pada temperatur 80ºC selama 24 jam. Hasil deproteinasi selanjutnya disebut kitin. c. Dekolorisasi Proses dekolorisasi bertujuan penghilangan warna kitin yaitu dengan melarutkan kitin dalam aseton dengan perbandingan serbuk kitin : aseton = 1 : 10 sambil diaduk selama 10 menit dan dikeringkan selama 120 menit pada temperatur ruang. d. Deasetilasi Poses deasetilasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan menambahkan NaOH 12,5 N pada residu kitin (rasio residu kitin : NaOH 12,5 N = 1: 10 b/v). Penambahan tersebut dilakukan pada variasi temperatur 120ºC selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan penyaringan dan residunya didinginkan. Residu dinetralkan dan dikeringkan pada temperatur 70ºC selama 24 jam. Hasil deasetilasi selanjutnya disebut kitosan. Kitosan yang telah diperoleh ini berupa serbuk, dan siap digunakan sesuai kebutuhan manusia. Serbuk kitosan dapat dicampurkan dalam makanan, kosmetika, ataupun dibuat obat kesehatan. Serbuk kitosan yang akan dibuat campuran untuk pengawet makanan perlu dibuat larutan, karena penggunaannya sangat sedikit. Untuk 1kg adonan bakso membutuhkan larutan kitosan sebanyak 1,5% – 2% kitosan dilarutkan dalam asam cuka, kemudian bakso dicelupkan selama 5 menit, kemudian bakso dicuci bersih di bawah air mengalir sampai bau asamnya hilang (Primiani dan Lukitasari, 2007). Proses pembuatan tepung kitosan dapat diringkas dalam sebuah bagan seperti pada Gambar 1.
67
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
Cangkang Udang dicuci, dikeringkan dan dihaluskan Serbuk Cangkang Udang
Demineralisasi, Deproteinasi Kitin
Dekolorisasi, Deasetilasi Kitosan
Sumber: Primiani dan Lukitasari (2007). Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Chitosan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi serta persentase untuk menunjukkan hasil uji tester. Tabel 1 menunjukkan rata-rata responden (95%) menyatakan bahwa warna bakso pada hari pertama seperti warna bakso kebanyakan yaitu abu-abu cenderung putih. Hari kedua dan ketiga sebanyak 92 orang (92%) menyatakan bahwa warna bakso keabu-abuan. Sedangkan hari ketiga sebanyak 84 orang menyatakan bahwa warna bakso mulai terlalu putih dibanding hari sebelumnya, dan 12 orang menyatakan warna bakso tetap keabu-abuan. Pengamatan tekstur bakso pada hari pertama sebanyak 65 orang menyatakan empuk dan 25 orang menyatakan empuk agak kenyal. Pada hari kedua responden yang menyatakan tekstur bakso empuk hanya 22 orang, sedangkan yang menyatakan empuk agak kenyal meningkat menjadi 71 orang. Hari ketiga responden untuk tekstur bakso empuk agak kenyal meningkat menjadi 86, sedangkan pada hari terakhir 84 orang menyatakan kondisi tekstur tetap empuk agak kenyal dan 16 orang menyatakan terlalu kenyal. Uji organoleptik bau bakso, pada hari pertama 98 orang menyatakan gurih (berbau bakso). Hari kedua kondisi tersebut menurun menjadi 82 untuk gurih dan 8 orang menyatakan tak berbau. Pada hari ketiga bau bakso tetap gurih untuk 58 responden dan 26 responden lain menyatakan ada sedikit bau tengik. Sedangkan pada hari ke empat dominan responden, yaitu sebanyak 74 orang menyatakan bahwa bau bakso sudah tengik. Uji organoleptik rasa pada bakso, pengamatan hari pertama menunjukkan bahwa 86 orang menyatakan rasa gurih dan enak, 14 orang menyatakan cukup gurih. Pada hari 68
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
kedua, responden yang menyatakan rasa bakso gurih dan enak menurun menjadi 81 dan pada hari ketiga menjadi 54 orang. Rasa bakso pada hari keempat hanya 8 orang yang menyatakan gurih dan enak, 15 orang cukup gurih, 22 orang tak berasa dan 55 orang menyatakan rasa bakso menjadi tak enak. Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik Bakso Hari Ke 1 1
Warna Kondisi 2 Keabu-abuan Terlalu putih Agak kemerahan
% 3 4 1 95
2
Abu-abu cenderung putih Keabu-abuan Terlalu putih Agak kemerahan
5
3
Abu-abu cenderung putih Keabu-abuan Terlalu putih Agak kemerahan
8
4
Abu-abu cenderung putih Keabu-abuan Terlalu putih Agak kemerahan Abu-abu cenderung putih
4
92 3 -
92 -
12 84 -
Tekstur Kondisi 4 Lembek Empuk Empuk agak kenyal Terlalu kenyal
% 5 15 65 25 -
Bau Kondisi 6 Gurih Tak berbau Bau obat
% 7 98 2 -
Tengik
-
Rasa Kondisi 8 Gurih & enak Cukup gurih Tak berasa Tak enak
-
Lembek Empuk Empuk agak kenyal Terlalu kenyal
8 22 71
Gurih Tak berbau Bau obat
82 8 3
Gurih & enak Cukup gurih Tak berasa
81 12 5
7
Tengik
7
Tak enak
2
Lembek Empuk Empuk agak kenyal Terlalu kenyal
8 86
Gurih Tak berbau Bau obat
58 14 2
Gurih & enak Cukup gurih Tak berasa
54 24 12
6
Tengik
26
Tak enak
10
Lembek Empuk Empuk agak kenyal Terlalu kenyal
84
Gurih Tak berbau Bau obat
18 8
Gurih & enak Cukup gurih Tak berasa
8 15 22
16
Tengik
74
Tak enak
55
Berdasarkan tabel dan keterangan tersebut di atas, maka dapat diinterpretasikan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 2. Warna Bakso grafik warna
prosentase
a.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
keabu-abuan terlalu putih agak kemerahan abu cenderung putih
1
% 9 86 14 -
2
3
4
hari ke
Gambar 2. Grafik Warna Bakso
69
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
Gambar 2 menunjukkan bahwa warna dominan Bakso menurut 90 % responden adalah abu cenderung putih pada hari pertama pengamatan. Sedangkan hari kedua dan ketiga warna dominan adalah keabu-abuan. b. Tekstur Bakso grafik tekstur bakso 100
prosentase
80 60 lembek
40
empuk
20
empuk agak kenyal terlalu kenyal
0 1
2
3
4
hari ke
Gambar 3. Grafik Tekstur Bakso
Gambar 3 menunjukkan bahwa tekstur bakso yang dominan adalah empuk agak kenyal, dimana tingkat kekenyalan meningkat dari hari pertama 25 %, hari kedua 71 %, hari ketiga 86 % dan sedikit menurun pada hari keempat 84 %. c. Bau Bakso Grafik Bau Bakso 120 100 Gurih
Prosentase
80
Tak Berbau
60
Bau obat
40
Tengik
20 0 1
2
3
4
Hari Ke
Gambar 4. Grafik Bau Bakso
Gambar 4 menunjukkan bahwa bau bakso dominan adalah gurih. Aroma gurih tersebut mengalami penurunan seiring dengan hari pengamatan.
70
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
d. Rasa Bakso
Grafik Rasa Bakso 100
Prosentase
80
Gurih dan enak
60
Cukup gurih
40
Tak berasa Tak enak
20 0 1
2
3
4
Hari ke
Gambar 5. Grafik Rasa Bakso
Gambar 5 menunjukkan bahwa rasa dominan bakso pada hari pertama dan kedua adalah gurih dan enak. Penurunan rasa terjadi pada uji organoleptik hari ketiga dan bahkan hari keempat responden sepakat menyatakan bahwa rasa bakso menjadi tidak enak. Uji organoleptik bakso pada hari pertama hampir keseluruhan responden menyatakan bahwa warna, bau dan rasa bakso hasil penelitian sama seperti bakso pada umumnya. Perbedaan adalah tekstur bakso buatan sendiri tersebut sedikit lebih lembek dan empuk dibanding bakso yang dijual pada umumnya. Selain tekstur yang lebih lembek dibanding bakso yang dijual di pasaran, rasa bakso setelah direndam dalam kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat menjadi agak masam, meskipun setelah proses perendaman pencucian bakso sudah dilakukan berulangkali dengan menggunakan air bersih. Hal ini dimungkinkan karena proses pencucian setelah perendaman masih kurang. Sehingga untuk mengurangi rasa masam bakso tersebut perlu dicuci lebih bersih lagi. Kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat ini memang bertujuan untuk mendapatkan bahan pengawet berupa cairan sehingga lebih fleksibel dalam penggunaan serta lebih efisien. Kitosan dapat dilarutkan dalam berbagai konsentrasi dalam asam asetat, kemudian bahan yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan. Bentuk larutan kitosan yang tersuspensi dalam asam asetat seperti cairan yang mengental serta berasa masam karena kandungan asam asetatnya. Uji organoleptik hari kedua 92 responden menyatakan bahwa warna bakso menjadi lebih bagus, yaitu keabu-abuan dibanding hari pertama yang menyatakan abu-abu cenderung putih. Selain itu tekstur bakso juga menjadi lebih kenyal dengan 71 responden menyatakan bahwa tekstur bakso empuk dan agak kenyal. Penggunaan bahan pengawet maupun pengenyal memang masih sering digunakan oleh pedagang bakso dengan tujuan untuk memperlama daya simpan bakso. Menurut Takahashi et al., (1986) menyatakan bahwa saat ini masih banyak digunakan formalin dalam makanan seperti untuk mengenyalkan tahu, mengawetkan susu kedelai, mempercepat pengeringan ikan asin dan lain-lain. Kondisi pengawetan dengan bahan sintetis sangat merugikan konsumen karena bahan tersebut merupakan zat karsinogen (penyebab kanker) pada akumulasi bahan pada kurun waktu yang lama. 71
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
Kitosan yang digunakan sebagai bahan alternatif pengawet menunjukkan hasil yang positif pada hari kedua pengamatan, dimana tekstur bakso justru menjadi lebih kenyal apabila dibandingkan dengan hari pertama. Penonjolan tekstur terutama terlihat pada pengamatan hari kedua ini, tekstur bakso menjadi lebih kenyal dibanding hari pertama. Kondisi tekstur bakso hari kedua karena kitosan dengan sifat polikationiknya, sehingga dapat berperanan sebagai mediasi penggumpalan (Krisetiana, 2004). Selain itu juga dimungkinkan karena kitosan mengandung mikrokristalin kitin yang mampu meningkatkan volume pengembangan bakso, sehingga teksturnya menjadi lebih kenyal tanpa terjadi perubahan rasa yang berarti. Selain itu tidak ada perubahan berarti dari segi rasa, karena 93 responden menyatakan bahwa rasa bakso tetap gurih meski 5 responden menyatakan tak berasa dan 2 orang menyatakan terdapat sedikit rasa aneh (kemungkinan mulai muncul sedikit rasa tengik) pada bakso tersebut. Rasa bakso masih cenderung tetap bertahan, dikarenakan pada pembuatan kitosan ada perlakuan dengan oven (pemanasan pada suhu tinggi) yang akan mengakibatkan kitin menghasilkan pyrazine yaitu suatu molekul yang potensial sebagai zat penambah cita rasa (Laceta et al., 2013). Pengamatan hari ketiga menunjukkan banyak penurunan dari segi bau dan rasa. Warna bakso, sebagian responden masih menyatakan bahwa warna bakso masih tetap seperti semula. Peningkatan terjadi pada segi tekstur bakso yang pada hari ketiga bertahan pada kondisi empuk dan agak kenyal. Saat diuji, kekenyalan bakso masih bertahan pada posisi yang bagus, hanya rasa mengalami penurunan karena rasa tengi mulai mendominan. Hal ini dikarenakan bakso yang disimpan pada suhu kamar sudah mulai ditumbuhi oleh jamur, yang karena proses oksidasinya sehingga mengakibatkan rasa tengik pada bakso. Kondisi bakso juga mulai mengalami sedikit (sekitar 10%) kondisi berlendir. Penampakan secara visual, lendir tidak terlalu terlihat. Lendir baru terasa pada saat dilakukan pengecekan dengan cara diraba dan disentuh. Ketika dicoba untuk dibersihkan dengan air yang mengalir, tidak dibutuhkan waktu yang lama lendir sudah hilang dan bau tengik juga berkurang. Semua aspek yang diamati mengalami penurunan pada hari keempat. warna, bau dan rasa menurun drastis. Sedangkan tektur tetap pada kondisi yang kenyal meskipun bentuk fisik bakso sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Ini dikarenakan hampir seluruh permukaan bakso ditumbuhi oleh jamur yang mengakibatkan terdapat bercak warna hijau. Selain itu lendir juga mendominasi bakso, dimana lendir ini karena volumenya mengalami peningkatan menjadikan agal sulit ketika dicoba untuk dibersihkan dengan menggunakan air yang mengalir. Kondisi banyaknya jamur yang tumbuh dan berlendir, mengakibatkan rasa bakso sudah tidak enak untuk dikonsumsi. KESIMPULAN Kitosan sebagai senyawa kompleks yang diperoleh dari kitin insekta dan arthropoda dapat digunakan sebagai pengawet alami. Hasil uji organoleptik bakso menjukkan bahwa lama simpan bakso yang diberi kitosan adalah 3 hari dapat dikonsumsi baik.
72
Primiani dan Lukitasari, Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami pada Uji Organoleptik Bakso
DAFTAR PUSTAKA Killay, A. (2009). Kitosan sebagai Anti Bakteri pada Bahan Pangan yang Aman dan Tidak Berbahaya (Review). Prosiding FMIPA Universitas Pattimura 2013. ISBN: 978-602-97522-0-5. Krissentiana, H. 2004. Kitin dan kitosan http://www.suaramerdeka.com (16 Februari 2009).
dari
limbah
udang.
Leceta, I., Guerrero, P., Ibarburu, I., Duenas, M.T., de la Caba, K. (2013). Characterization and Antimicrobial Analysis af Chitosan-Based Films. Journal of Food Engineering, 116 (2013): 889-899. Neith Pacheco, Mónica Garnica-Gonzalez, Miquel Gimeno, Eduardo Bárzana, Stéphane Trombotto, Laurent David, dan Keiko Shirai. (2011). Structural Characterization of Chitin and Chitosan Obtained by Biological and Chemical Methods. Biomacromolecules, 12 (9): 3285-3290. Primiani, C.N., dan Lukitasari, M. (2007). Penggunaan Tepung Kitosan Sebagai Pengawt Alami pada Uji Organoleptik Bakso. Penelitian Dosen Muda Dikti. 2007. Takahashi, M., R. Hasegawa, F. Furukawa, K. Toyoda, H. Sato and Y. Hayashi. (1986). Effects of Ethanol, Potassium Metabisulfite, Formaldehyde and Hydrogen Peroxide on Gastric Carcinogenesis in Rats After Initiation with N-methyl- N’nitroN’nitrosoguanidine. Jap. J. Cancer Res. 77: 118-124.
73
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
IMPLEMENTASI METODE PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING ( GUIDED INQUIRY ) DAN METODE PEMBELAJARAN INKUIRI BEBAS TERMODIFIKASI ( MODIFIED FREE INQUIRY ) TERHADAP PRESTASI BELAJAR BIOLOGI DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL SISWA Anik Rofaida Lestari SMP Negeri 2 Takeran Email : Rofaida [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk:1).mengetahui apakah terdapat perbedaan pengaruh antara metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dan metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) terhadap prestasi belajar biologi pada materi pokok ekosistem, 2).mengetahui apakah terdapat perbedaan pengaruh antara kemampuan awal tinggi, sedang dan kemampuan awal rendah terhadap prestasi belajar biologi pada materi pokok ekosistem, 3).mengetahui apakah ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap prestasi belajar biologi pada materi pokok ekosistem. Lokasi penelitian di SMP Negeri 2 Takeran Magetan. Populasi adalah keseluruhan siswa kelas VII SMP Negeri 2 Takeran Magetan tahun pelajaran 2006/2007, sedangkan sampel yaitu siswa kelas VII A dan kelas VII B yang sedang belajar materi Ekosistem. Sampel diambil dengan tehnik cluster random sampling. Tehnik pengumpulan data diambil dengan cara tes (untuk kemampuan awal siswa) dan tes (untuk nilai prestasi hasil belajar materi ekosistem). Jenis soal yang digunakan pada tes kemampuan awal siswa dan tes prestasi sebelumnya diujicobakan di SMP lain yang relevan. Instrumen di uji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda, setelah itu diuji asumsi dengan normalitas dan homogenitas. Uji Hipotesis menggunakan Analisis Varians Dua Jalur. Hasil uji sebagai berikut: 1) terdapat perbedaan pengaruh antara metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dan metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) terhadap prestasi belajar biologi pada materi pokok ekosistem2). terdapat perbedaan pengaruh antara kemampuan awal tinggi, sedang dan kemampuan awal rendah terhadap prestasi belajar biologi pada materi pokok ekosistem,.3).terdapat interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap prestasi belajar biologi pada materi pokok ekosistem
.Kata kunci : Prestasi belajar, inkuiri terbimbing, inkuiri bebas termodifikasi , kemampuan awal. PENDAHULUAN Pembelajaran SainsBiologi di Sekolah Menengah Pertama umumnya masih kurang melibatkan keaktifan siswa. Siswa cenderung pasif dan kurang motivasi dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga mengakibatkan kreativitas dan kemampuan berpikir siswa tidak berkembang. Hal ini salah satunya disebabkan oleh penyelenggaraan pembelajaran biologi masih menggunakan metode yang konvensional. Contoh pembelajaran konvensional yang digunakan guru adalah metode ceramah klasikal. Pembelajaran biologi di kelas pada kenyataannya masih berpusat pada guru (teacher center) sehingga siswa cenderung pasif.Hal tersebut ditunjukkan dengan perhatian siswa yang kurang, biasanya siswa akan ramai atau melakuakan hal – hal yang 74
Lestari, Implementasi Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
menurutnya mengasikkan, misalnya bermain alat tulis atau bahkan menggoda temannya, karena kurang dilibatkan dalam proses belajar mengajar. Keberhasilan dalam proses pembelajaran biologi selain dipengaruhi oleh metode yang digunakan guru di kelas, juga dipengaruhi oleh kemampuan awal siswa. Kemampuan awal siswa merupakan salah satu faktor internal yang sangat berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Dalam pandangan tentang belajar dikatakan bahwa siswa membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitifnya berdasarkan pengalaman. Menurut Novak (1991) dalam Materi Pelatihan Terintegrasi (2005 : 23) menyatakan bahwa : “Siswa harus menyusun pengetahuan baru mengenai sesuatu dengan landasan pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya”. Dalam proses belajar mengajar siswa yang kemampuan awalnya tinggi akan lebih mudah menerima pelajaran berikutnya, sehingga prestasi belajarnya akan lebih baik dari pada siswa dengan kemampuan awal yang rendah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, agar pembelajaran lebih efektif dan melibatkan keaktifan siswa serta prestasi belajar siswa mengalami peningkatan diperlukan metode pembelajaran yang tepat. Oleh karena itu metode inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dan inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) merupakan salah satu strategi solusi, dengan harapan siswa lebih aktif, kreatif dan keterampilan berpikirnya lebih berkembang. Materi ekosistem yang diberikan pada siswa kelas VII semester satu perlu disajikan dengan menggunakan suatu metode yang menarik dan sesuai. Karena materi ekosistem menuntut siswa untuk mengetahui berbagai hal tentang ekosistem, diantaranya adalah komponen – komponen penyusun ekosistem baik komponen biotok maupun abiotik. Kemudian peranan masing – masing komponen tersebut dan interaksi antar keduanya. Kendalanya adalah terkadang siswa kurang bisa memahami dalam menentukan komponen penyusun dari berbagai ekosistem. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan mengambil dua kelompok secara acak, normal dan homogen. Kedua kelompok tersebut diberi perlakuan yang berbeda dalam hal metode pembelajaran. Kelompok yang satu diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dan kelompok yang lain menggunakan metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry). Materi pelajaran yang diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen adalah sama, yaitu materi pokok ekosistem. Masing-masing kelompok ditinjau dari kemampuan awal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan desain faktor 2 x 3. Adapun rancangan penelitiannya sebagai berikut:
75
Lestari, Implementasi Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Tabel 2. Rancangan Penelitian Metode (Guided Inquiry) (A1)
(Modified Free Inquiry) (A2)
Tinggi (B1)
A1B1
A2B1
Sedang(B2)
A1B2
A2B2
Rendah (B3)
A1B3
A2B3
Kemampuan Awal
Keterangan: A1 A2 B1 B2 B3 A1B1
= = = = = =
A1B2 = A1B3 = A2B1 = A2B2 = A2B3 =
Metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) Metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) Kemampuan Awal tinggi Kemampuan Awal sedang Kemampuan Awal rendah Kelompok siswa yang diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry)yang memiliki kemampuan awal tinggi Kelompok siswa yang diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry)yang memiliki kemampuan awal sedang Kelompok siswa yang diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) yang memiliki kemampuan awal rendah Kelompok siswa yang diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) yang memiliki kemampuan awal tinggi Kelompok siswa yang diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) yang memiliki kemampuan awal sedang Kelompok siswa yang diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) yang memiliki kemampuan awal rendah.
HASIL DAN PEMBAHASAN 60.6667 61 60
Frekuensi
59 58 57
54.8333
56 55 54 53 52 51 1 Eksperimen
Kontrol2
Gambar 3.1. Diagram batang perbandingan prestasi belajar biologi kelas eksperimen dan kelas kontrol.
76
Lestari, Implementasi Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Berdasarkan diagram batang di atas dapat diketahui bahwa prestasi belajar siswa pada mata pelajaran biologi khususnya pada materi ekosistem untuk kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata prestasi belajar biologi (ranah kognitif) untuk kelas eksperimen yang diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) yaitu sebesar 60,6667 lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kelas kontrol yang diajarkan dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) yaitu sebesar 54,8333. Prestasi belajar biologi siswa kelompok eksperimen yang lebih tinggi ini dimungkin karena keaktifan, kreativitas dan keterampilan berpikir siswa lebih berkembang. Metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) melibatkan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dengan metode inkuiri bebas termodifikasi memberikan kemudahan bagi siswa dalam memperoleh dan memahami materi yang diajarkan dengan serangkaian kegiatan ilmiah. Pembahasan hipotesis penelitian kelompok eksperimen (Modified Free Inquiry) dan kelompok kontrol (Guided Inquiry) : Hipotesis Pertama Hasil perhitungan statistik anava dua jalan kelompok eksperimen (Modified Free Inquiry) dan kelompok kontrol (Guided Inquiry) diperoleh F hitung 5,338 dan F tabel = 4,02, harga F hitung> F tabel ini berarti ada perbedaan pengaruh antara metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) dan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry). Hasil perhitungan komparasi ganda dengan metode scheffe diperoleh F hitung 5,061 dan F tabel = 4,02 harga F hitung> F tabel, ini berarti ada beda rerata signifikan antara siswa yang belajar melalui metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi dengan siswa yang belajar dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing. Metode inkuiri mempunyai ciri atau karakteristik bahwa guru menyajikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk jadi, tetapi siswalah yang diberi peluang untuk mengadakan penelaahan penyelidikan dan menemukan sendiri jawabannya melalui teknik pemecahan masalah. Implementasi metode ini lebih menekankan pada pencarian (search) pengetahuan daripada perolehan (acquisition) pengetahuan, sehingga dengan metode ini kemampuan berpikir siswa lebih berkembang. Hal ini senada dengan pendapat Barlow (1985) dalam Muhibin Syah (1999 : 191), bahwa : “inquiry merupakan proses penggunaan intelek siswa dalam memperoleh pengetahuan dengan cara menemukan dan mengorganisasikan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ke dalam sebuah tatanan yang penting menurut siswa”. Oleh sebab itu implementasi metode inkuiri berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Dari hasil perhitungan dengan statistik anava dua jalan menunjukkan bahwa F hitung 5,338 > F tabel = 4,02. Hal ini berarti ada perbedaan pengaruh antara metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) dan metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry). Setelah dilakukan uji komparasi ganda dengan metode scheffe diperoleh hasil bahwa F hitung 5,061 > F tabel = 4, ini berarti ada beda rerata signifikan antara siswa yang belajar melalui metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi dengan siswa yang belajar dengan metode pembelajaran inkuiri terbimbing. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan faktor metode pembelajaran terhadap prestasi belajar biologi siswa.
77
Lestari, Implementasi Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi (Modified Free Inquiry) lebih efektif dari pada metode pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry). Hal ini dapat dilihat dari perbedaan rata-rata antara kelas eksperimen (Modified Free Inquiry) dan kelas kontrol (Guided Inquiry). Nilai rata-rata biologi untuk kelas eksperimen adalah 60,6667 sedangkan untuk kelas kontrol adalah 54,8333. Siswa yang belajar dengan metode inkuiri bebas termodifikasi memperoleh prestasi belajar yang lebih tinggi dibanding dengan siswa yang belajar dengan metode inkuiri terbimbing. Hal ini dimungkinkan melalui metode pembelajaran inkuiri bebas termodifikasi kemampuan berpikir dan kreativitas siswa lebih berkembang. . Hipotesis Kedua Hasil perhitungan statistik anava dua jalan kelompok eksperimen (Modified Free Inquiry) dan kelompok kontrol (Guided Inquiry) diperoleh F hitung 10,034 dan F tabel = 3,17, harga F hitung> F tabel ini berarti ada perbedaan pengaruh antara kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah terhadap prestasi belajar biologi pada materi pokok ekosistem. Hasil perhitungan komparasi ganda dengan metode scheffe diperoleh F hitung (B12) adalah 3,539 dan F tabel = 6,34 harga F hitung> F tabel, ini berarti ada perbedaan rerata yang signifikan antara kemampuan awal siswa tinggi dan kemampuan awal siswa sedang. Hasil perhitungan komparasi ganda dengan metode scheffe diperoleh F hitung (B13) adalah 20,464 dan F tabel = 6,34 harga F hitung> F tabel, ini berarti ada perbedaan rerata yang signifikan antara kemampuan awal siswa tinggi dan kemampuan awal siswa rendah. Dan hasil perhitungan komparasi ganda dengan metode scheffe diperoleh F hitung (B23) adalah 18,407 dan F tabel= 6,34 harga F hitung> F tabel, ini berarti ada perbedaan rerata yang signifikan antara kemampuan awal siswa sedang dan kemampuan awal siswa rendah. Siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi cenderung memperoleh prestasi belajar biologi lebih tinggi dibanding dengan siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang maupun rendah. Kemampuan awal atau prior knowledge merupakan kemampuan yang telah dimiliki siswa sebelum memperoleh kemampuan (pengetahuan) baru yang lebih tinggi. Data kemampuan awal siswa dalam penelitian ini diperoleh dari hasil tes kemampuan awal. Dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung, siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi lebih mudah memahami materi ekosistem. Oleh sebab itu prestasi belajar biologi siswa dipengaruhi oleh kemampuan awal siswa tentang materi sebelumnya. Pernyataan tersebut senada dengan hasil penelitian Kurotu A’yun (2007 : 99), bahwa ”kemampuan awal dari siswa tentang materi sebelumnya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa”. Siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi akan lebih mudah memahami dan mengorganisasikan materi, sehingga kemampuan kognitifnya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang kemampuan awalnya sedang maupun rendah. Hipotesis Ketiga Hasil perhitungan statistik anava dua jalan kelompok eksperimen (Modified Free Inquiry) dan kelompok kontrol (Guided Inquiry) diperoleh F hitung 4,167 dan F tabel = 3,17, harga F hitung> F tabel ini berarti ada interaksi antara metode pembelajaran dengan kemampuan awal siswa terhadap prestasi belajar biologi pada materi pokok ekosistem.
78
Lestari, Implementasi Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
DAFTAR PUSTAKA Margaret, Bell. E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT. Raja Gredler Grafindo Persada. Masidjo. I. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius. Nurhadi dan Agus Geread Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang Press. Paul, Burden M & David, Byrd M. 1999. Methods of Effective Teaching. Massachusset: Allyn & Bacon. Roestiyah, N. K. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta
79
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
IDENTIFIKASI JENIS-JENIS LICHENES SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA DI KOTA MADIUN Joko Widiyanto1), Ani Sulistyarsi2), Septiana Dwi Retno Mayangsari3) Program Studi Pendidikan Biologi, FPMIPA IKIP PGRI Madiun E-mail : [email protected]), [email protected])
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis-jenis Lichenes yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara di kota Madiun. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juli 2015, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data diperoleh dari pengamatan jenis-jenis Lichenes yang berada di sekitar jalan yang ada di kota Madiun pada kategori kepadatan lalu lintas ramai, sedang dan sepi. Identifikasi didasarkan pada ciri morfologi meliputi bentuk, jenis warna dan ukuran dari lichenes. Hasil penelitian diperoleh pada kawasan ramai lalu lintas, kawasan sedang lalu lintas dan kawasan sepi lalu lintas ditemukan 3 jenis lichen berdasarkan jenis dari tipe thallus ditemukan yaitu crustose, squamulose dan foliose. Sedangkan berdasarkan jenisnya ditemukan 28 jenis yang telah teridentifikasi. Lichen yang memiliki potensi sebagai bioindikator sensitive yang dapat ditemukan pada daerah dengan tingkat pencemaran udara ringan atau rendah adalah Parmotrema sp. Pannaria hookeri, Punctelia reddenda, Physcia aipolia, Lecanora carpinea, Lecanora carpinea, dan Psora rubiforrrmis. Jenis lichen tersebut hanya dijumpai pada lokasi dengan kepadatan lalu lintas yang rendah atau sepi. Tingkat kepadatan lalu lintas dapat menentukan keanekaragaman lichen yang ditemukan. Semakin rendah tingkat kepadatan lalu lintas, maka akan semakin tinggi keanekaragaman jenis lichen yang ditemukan di suatu lokasi. Kata Kunci : Identifikasi, Lichenes, Bioindikator, Pencemaran Udara.
PENDAHULUAN Permasalahan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan terutama di kota-kota besar. Dan hal ini terjadi, salah satunya disebabkan tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar di Indonesia (Wahyu, 2009). Menurut Pohan (dalam Andika, 2011: 6) pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Bila keadaan itu terjadi maka di udara dikatakan telah tercemar. Menurut Sastrawijaya (2009) Disamping karbon monoksida, juga dikeluarkan nitrogen oksida, belerang oksida, partikel padatan dan senyawa-senyawa fosfor timbal. Pembakaran bensin yang tidak sempurna akan menghasilkan banyak bahan yang tidak diinginkan dan meningkatkan pencemaran. Pencemar kendaraan bermotor di kota-kota semakin terasa, aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara. Di daerah
80
Widiyanto, dkk., Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
perkotaan seperti halnya kota kecil kota Madiun dengan arus lalu lintas cukup padat terutama pada jam-jam tertentu yaitu jam masuk kerja, masuk sekolah, pulang kerja dan pulang sekolah. Banyaknya lalu lintas kendaraan bermotor merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran udara. Misalnya di jalan Soekarno Hatta dengan jumlah kendaraan kurang lebih 5.028/jam merupakan kawasan padat lalu lintas. Sedangkan di jalan Ciliwung dengan jumlah kendaraan kurang lebih 718/jam yang masuk dalam kawasan sedang lalu lintas. Lalu di jalan Sarutomo dengan jumlah kendaraan kurang lebih 67/jam yang termasuk dalam kawasan sepi lalu lintas data tersebut diambil pada jam 12.00-13.00 WIB. Memperhatikan kondisi di atas maka perlu dilakukan program pengelolaan dan pengendalian pencemaran udara di daerah tersebut. Sebagai langkah awal dapat dilakukan kegiatan monitoring untuk mengetahui sejauh mana tingkat pencemaran udara di kota Madiun sehingga dapat menentukan prioritas apakah sudah mengalami pencemaran udara dengam menggunakan bioindikator. Lumut kerak atau Lichenes adalah salah satu organisme yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara. Kematian lichenes yang sensitif dan peningkatan dalam jumlah spesies yang lebih tahan dalam suatu daerah dapat dijadikan peringatan dini akan kualitas udara yang memburuk menurut Cambell dalam (Nurjanah dkk, 2014). Sensitifitas lichen terhadap pencemaran udara dapat dilihat memlalui perubahan keanekaragamannya dan akumulasi polutan pada tallusnya (Panjaitan dkk, 2014). Lichen dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas udara sebab peka terhadap pencemaran udara, termasuk logam berat, radiasi dan ozon. Diantara kelompok lichen yang paling toleran terhadap pencemaran adalah crustose yang diikuti oleh foliose dan fruticose (Jamhari, 2013) Pemanfaatan Lichenes sebagai bioindikator alami untuk mendeteksi pencemaran udara, erat hubungannya dengan ilmu biologi tentang materi pencemaran lingkungan dalam mata kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di daerah Madiun dilakukan di 9 jalan di kota Madiun yaitu: kawasan ramai lalu lintas (Jalan Sukarno Hatta, Jalan Diponegoro, Jalan MT Haryono), kawasan sedang lalu lintas (Jalan Ciliwung, Jalan Suhud Nosingo, Jalan Rimba Dharma), dan kawasan sepi lalu lintas (Jalan Sarutomo, Jalan Adi Sucipto, Jalan Rimba Mulya). Pengamatan secara mikroskop dilakukan di laboratorium Prodi Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IKIP PGRI Madiun. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menggambarkan mengenai jenis-jenis Lichenes yang berada di kota Madiun yang diambil datanya sebagai bioindikator pencemaran udara. Data diperoleh dari pengamatan jenis-jenis Lichenes yang berada di sekitar jalan yang ada di kota Madiun dengan kepadatan lalu lintas ramai, sedang dan sepi. Data yang diperoleh kemudian diidentifikasi di Laborartoroium Biologi IKIP PGRI Madiun. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan analisis teori, melakukan observasi dan dokumentasi. Prosedur penelitian dengan langkah pertama adalah melakukan observasi, observasi awal dilakukan untuk mencari lokasi yang tepat untuk pengambilan sampel di kawasan ramai lalu lintas (Jalan Sukarno Hatta, Jalan Diponegoro, Jalan MT Haryono), kawasan sedang lalu lintas (Jalan Ciliwung, Jalan Suhud Nosingo, Jalan Rimba Dharma), 81
Widiyanto, dkk., Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
dan kawasan sepi lalu lintas (Jalan Sarutomo, Jalan Adi Sucipto, Jalan Rimba Mulya) dengan pengukuran kepadatan lalu lintas menghitung total kendaraan bermotor yang menggunakan alat hand tally counter. Langkah kedua, Pengambilan sampel dilakukan dengan metode reconassance (jelajah). Sampel Lichenes diambil dari 3 pohon yang berbeda-beda yang tumbuh di sepanjang jalan yang telah ditentukan dengan pengambilan lichenes dimulai dari permukaan bawah, tengah dan atas dengan rentang jarak setengah meter. Penggambilan lichenes menggunakan pisau kecil, lop, dan plastik untuk wadah sampel yang diambil dengan cara dikerik dari permukaan kulit pohon. Ketiga, pengamatan sampel dilakukan setelah pengambilan sampel dengan mengamati bentuk, warna dan ukuran dari sampel lichenes yang didapat lalu melakukan pengidentifikasian. Identifikasi lichenes dilakukan dengan menggunakan panduan kunci identifikasi yang terdapat pada buku A Key to Common lichens on trees in England (Pier, 2009), The Lichens Of British Colombia (Goward, 1994) dan Identifiying Lichens of Nova Scotia (Irwin, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang berhasil dikumpulkan adalah data morfologi digunakan untuk mengetahui jenis-jenis lichens yang ada di Kota Madiun yang berada dikawasan ramai lalu lintas (Jalan Sukarno Hatta, Jalan Diponegoro, Jalan MT Haryono), kawasan sedang lalu lintas (Jalan Ciliwung, Jalan Suhud Nosingo, Jalan Rimba Dharma) dan kawasan sepi lalu lintas (Jalan Sarutomo, Jalan Adi Sucipto, Jalan Rimba Mulya). Morfologi yang dilihat berupa warna, dan bentuk dari jenis lichen tersebut. Temuan dari data yang diambil dapat dilihat pada tabel di bawah yang sudah dikelompokkan dalam kawasan Ramai,Sedang dan sepi lalu lintas. Pada Kawasan Ramai Lalu Lintas Jenis-jenis lichen yang di temukan pada kawasan ramai lalu lintas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 1. Jumlah Jenis Lichen yang ditemukan di kawasan Ramai Lalu Lintas Lokasi Kode
Jenis
Tipe
Sp. 4 Sp.11 Sp.16 Sp.18 Sp.19 Sp.20 Sp. 23 Sp. 24
Dirinaria picata Lecanora sp. Phaeophscia orbicularis Parmeliopsis sp. Parmelia soredians Parmelia flaventior Parmelia caperata Parmelia sp.
Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose
Keterangan : (
82
). Ditemukan, ( - ). Tidak ditemukan
Soekarno MT Diponegoro hatta Haryono -
Widiyanto, dkk., Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pada kawasan ramai lalu lintas ditemukan 8 spesies jenis lichens dan yang paling banyak ditemukan yaitu lichen jenis Phaeophscia orbicularis, Parmelia flaventior dan Parmelia caperata. Pada Kawasan Sedang Lalu Lintas Temuan Jenis-jenis lichen yang terdapat di kawasan sedang lalu lintas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 2. Jumlah Jenis Lichen yang ditemukan di kawasan Sedang Lalu Lintas Kode
Jenis
Tipe
Sp. 1 Sp. 3 Sp. 4 Sp. 5 Sp. 6 Sp. 7 Sp. 8 Sp. 9 Sp.11 Sp.13 Sp.15 Sp.16 Sp.18 Sp.19 Sp.20 Sp. 21 Sp. 22 Sp.25
Arthonia radiata Candelariella sp. Dirinaria picata Dirinaria aplanata Fuscidea sp. Graphina mendax Graphis sp.1 Hyperphyscia adglutina Lecanora sp. Lecidella laeocroma Phaeographis sp. Phaeophscia orbicularis Parmeliopsis sp. Parmelia soredians Parmelia flaventior Parmelia Borreri Parmelia acetabulum Phlyctis argena
Crustose Crustose Foliose Foliose Crustose Crustose Crustose Crustose Crustose Crustose Crustose Crustose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Crustose
Keterangan : (
Rimba dharma -
Lokasi Suhud Ciliwung Nosingo -
). Ditemukan, ( - ). Tidak ditemukan
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kawasan sedang lalu lintas ditemukan 18 spesies jenis lichens dan yang paling banyak ditemukan yaitu lichen jenis Candelariella sp., Fuscidea sp.dan Parmelia soredians. Pada Kawasan Sepi Lalu Lintas Jenis-jenis lichen yang terdapat di kawasan sepi lalu lintas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
83
Widiyanto, dkk., Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
Tabel 3. Jumlah Jenis Lichen yang ditemukan di kawasan Sepi Lalu Lintas Lokasi Kode Sp. 1 Sp. 2 Sp. 3 Sp. 4 Sp. 5 Sp. 7 Sp. 9 Sp.10 Sp.11 Sp.12 Sp.14 Sp.15 Sp.16 Sp.17 Sp.18 Sp.19 Sp.20 Sp. 21 Sp.22 Sp.26 Sp.27 Sp.28
Jenis Arthonia radiata Buellia subalbula Candelariella sp. Dirinaria picata Dirinaria aplanata Graphina mendax Hyperphyscia adglutina Lecanora chlarotera Lecanora sp. Lecanora carpinea Psora rubiforrrmis Phaeographis sp. Phaeophscia orbicularis Parmotrema sp. Parmeliopsis sp. Parmelia soredians Parmelia flaventior Parmelia Borreri Parmelia acetabulum Pannaria hookeri Punctelia reddenda Physcia aipolia
Keterangan : (
Tipe Crustose Crustose Crustose Foliose Foliose Crustose Crustose Crustose Crustose Crustose Foliose Crustose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Foliose Crustose
Adi sucipto -
Sarutomo
Rimba Mulya -
). Ditemukan, ( - ). Tidak ditemukan
Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kawasan sedang lalu lintas ditemukan 22 spesies jenis lichens dan yang paling banyak ditemukan yaitu lichen jenis Candelariella sp., Dirinaria picata, Parmeliopsis sp.dan Parmelia soredians. Terlihat dari semua jenis lichen yang ditemukan berada pada kawasan sepi, sedang dan ramai merupakan lichens jenis foliose dan crustose. Jenis lichenes yang ditemukan di Kota Madiun ada 28 spesies. Lichen yang memiliki potensi sebagai bioindikator sensitive yang dapat ditemukan pada daerah dengan tingkat pencemaran udara ringan atau rendah adalah Parmotrema sp. Pannaria hookeri, Punctelia reddenda, Physcia aipolia, Lecanora carpinea, Lecanora carpinea, dan Psora rubiforrrmis. Jenis lichen tersebut hanya dijumpai pada lokasi dengan kepadatan lalu lintas yang rendah atau sepi lalu lintas. Lichen yang memiliki potensi sebagai bioindikator sensitive yang dapat ditemukan pada daerah dengan tingkat pencemaran udara ringan atau rendah adalah Parmotrema sp. Pannaria hookeri, Punctelia reddenda, Physcia aipolia, Lecanora carpinea, dan Psora 84
Widiyanto, dkk., Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
rubiforrrmis. Jenis lichen tersebut hanya dijumpai pada lokasi dengan kepadatan lalu lintas yang rendah atau sepi lalu lintas. Tingkat kepadatan lalu lintas dapat menentukan keanekaragaman lichen yang ditemukan di kulit pohon peneduh jalan di setiap lokasi pengamatan. Semakin rendah tingkat kepadatan lalu lintas, maka akan semakin tinggi keanekaragaman jenis lichen yang ditemukan di suatu lokasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya keanekaragaman yang terjadi di daerah kota Madiun dipengaruhi beberapa faktor diataranya jenis pohon, jenis kulit pohon, suhu dan kelembapan. Pada kawasan ramai lalu lintas memiliki suhu dan kelembapan yang relatif tinggi karena adanya aktivitas kendaraan bermotor yang padat dibandingkan kawasan sedang maupun sepi lalu lintas. Lichens sangat sensitive terhadap pencemaran udara dan cepat menghilang pada daerah yang mempunyai kadar polusi udara yang berat. Salah satu yang menyebabkan ini terjadi Lichen dapat menyerap dan mengendapkan mineral dari air hujan dan udara dan tidak dapat mengeluarkannya sehingga konsentrasi senyawa yang mematikan seperti SO2 dan Pb sangat mudah masuk. Lichen melalui perannya sebagai tumbuhan perintis menjadikan dirinya mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi. Dalam artian Lichen bisa tumbuh kembali apabila kondisi udara di ekosistem tempatnya tumbuh sudah mulai pulih (Winda dkk, 2014).Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan Hardini (2010: 791) Pada daerah dimana pencemaran udara telah terjadi jumlah jenis yang ada akan sedikit dan jenis yang peka sekali akan hilang. Menurut Richardson (dalam Andika, 2011: 12) lichen sangat berguna dalam menunjukkan beban polusi yang terjadi dalam waktu yang lama. Komunitas lichen yang tumbuh di kulit pohon (spesies corticolous), dinding dan batuan (spesies saxicolous) menunjukkan perubahan yang signifikan dalam menanggapi polusi udara, khususnya sulfur dioksida (SO2), senyawa fluoro-(F), deposisi senyawa nitrogen dan ozon (O3).Selama proses pertumbuhan Lichenes cenderung menyerap dan menyimpan ion logam dalam talus. Hal ini mengindikasikan bahwa Lichenes dapat bertahan pada konsentrasi logam yang lebih tinggi dibandingkan tumbuhan dan jamur lainnya. Lichenes juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap radioaktif dan dapat menjadi makhluk hidup pertama yang berkoloni atau dapat bertahan lebih lama pada daerah yang terkontaminasi radioaktif yang tinggi. Lichenes merupakan bioindikator yang dapat memberi peringatan awal terhadap perubahan ekosistem akibat kegiatan yang dilakukan manusia, perubahan lingkungan dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada lichen, yang mencakup variasi, keanekaragaman, morfologi, fisiologi, genetik dan kemampuan untuk mengakumulasi bahan pencemar. Kepadatan lalu lintas sangat berpengaruh terhadap populasi Lichenes. Endang dan Solikhatun (2007) menyatakan bahwa semakin dekat jarak dengan sumber kadar gas buang kendaraan bermotor, klorofil yang mengalami degradasi semakin besar, sehingga kadarnya menjadi semakin rendah. Sama halnya pada penelitian Panjaitan dkk (2014) menunjukkan tingkat kepadatan lalu lintas berpengaruh terhadap keanekaragaman lichen yang ditemukan di kulit pohon peneduh jalan disetiap lokasi pengamatan. Semakin rendah tingkat kepadatan lalu lintas, maka akan semakin tinggi keanekaragaman jenis lichen yang ditemukan di suatu lokasi.
85
Widiyanto, dkk., Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
KESIMPULAN Lichenes merupakan simbiosis antara alga dan jamur tertentu, dan memiliki morfologi dan klasifikasi yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok tersendiri. Dari lokasi yang telah ditentukan pada kawasan ramai lalu lintas, kawasan sedang lalu lintas dan kawasan sepi lalu lintas ditemukan jenis lichen berdasarkan jenis dari tipe thallus ditemukan 3 jenis yaitu crustose, squamulose dan foliose. Sedangkan berdasarkan jenisnya ditemukan 28 jenis yang telah teridentifikasi. Selain itu faktor yang mempengaruhi keberanekaragaman jenis lichen dapat disebabkan oleh suhu, dan kelebaban udara, jenis kulit pohon serta jenis pohon atau tepat hidup lichen. Berdasarkan penelitian lichen dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran udara. Tingkat kepadatan lalu lintas dapat menentukan keanekaragaman lichen yang ditemukan di kulit pohon peneduh jalan di setiap lokasi pengamatan. Semakin rendah tingkat kepadatan lalu lintas, maka akan semakin tinggi keanekaragaman jenis lichen yang ditemukan di suatu lokasi. DAFTAR PUSTAKA Andika Wijaya K.(2011). Penggunaan Tumbuhan Sebagai Bioindikator Dalam Pemantauan Pencemaran Udara.(Online), Vol 1: 1-37 (http://digilib.its.ac. id/penggunaan-tumbuhan-sebagai-bioindikator-dalam-pemantauan-pencema ranuda ra-17195.html. diunduh tanggal 5 Maret 2015) Bahtiar, Ayi.(2007). Polusi Air Tanah Akibat Limbah Industri Dan Rumah Tangga Serta Pemecahannya. Universitas Padjajaran(online). (http://pustaka.unpad .ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/polusi_air_tanah_akibat_limbah _industri.pdf. diunduh tanggal 5 Maret 2015) Dinda Mahariesti. 2011. Mari Mengenal Jenis-jenis Jamur. Banten: Talenta Pustaka Indonesia. Endang Anggarwulan. Solichatun.(2007). Kajian Klorofil dan Karotenoid Plantago major L. dan Phaseolus vulgaris L. sebagai Bioindikator Kualitas Udara. Volume 8. Nomor 4. Halaman 279-282 ISSN : 1412-033x. Surakarta. Universitas Sebelas Maret Hardini, Yunita.(2010). Keanekaragaman Lichen Di Denpasar Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara. Seminar Nasional Biologi. (online), (http://limnologi.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/47 6/73_Keanekaragman_Lichen_Di_Denpasar_Sebagai_Bioindikator_Pencemaran_ Udara.pdf. diunduh tanggal 5 Maret 2015) Jamhari, Mohammad.(2014). Hubungan Kandungan Timbal (Pb) Di Udara Dengan Pb Dalam Talus Lichen Xanthoparmelia Xanthofarinosa. Seminar Nasional VIII Pendidikan Biologi. (online), (http://fkip.untad.ac.id/index.php/repo-fkip/ catego ry/5-ruang-a?download=16:a-12-mohammad-jamhari&start=7. diunduh tanggal 5 Maret 2015) Maskoeri, J.1989. Biologi Umum. Surabaya : Bina Pustaka Tama
86
Widiyanto, dkk., Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
Menteri KLH. (1998). Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. (online).(https://weiekae.files.wordpress.com/2009/09/kep_mlh_02_1988_ind.pdf. diunduh tanggal 5 Maret 2015) Nana Sudjana, 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nur Afifah Amalia. 2014. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Biji Teh (Camelia sintesis L) Terhadap Mortalitas Keong Emas Sebagai Petunjuk Praktikum Pokok Bahasan Hama dan Penyakit Pada Tumbuhan SMP Kelas VIII. Skripsi. Madiun. IKIP PGRI Madiun. Nurjanah, Siti., Anitasari, Yousep, Mubaidullah, Shofa dan Bashri, Ahmad (2014). Keragaman Dan Kemampuan Lichen Menyerap Air Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Di Kediri. Universitas Nusantara PGRI, Kediri. (online), (http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/article/view/ 3085, diunduh tanggal 5 Maret 2015) Panjaitan, Desi Maria., Fitmawati dan Martina, Atria.(2014). Keanekaragaman Lichen Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Keanekaragaman Lichen Sebagai Bioindikator Pencemaran, Volume 01: Hal 0117. (online). (http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/ handle/123456789/173/Artikel%20ilmiah%20Desi%20M.P.pdf?sequence=1. Diunduh tanggal 5 Maret 2015) Pier Luigi Nimis, Pat Wolseley & Stefano Martellos.(2009). A key to common lichens on trees in England. Natural History Museum. (online). (http://www. recordlrc.co.uk/Downloads/A%20Key%20to%20Common%20Lichens %20 on%20Trees%20in%20England[07052011].pdf. Diunduh tanggal 5 Maret 2015) Rahmawaty.(2002). Dampak Pencemaran Udara Terhadap Tumbuhan. Universitas Sumatera Utara. (online). (http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 857/1/hutan-rahmawaty2.pdf. diunduh tanggal 5 Maret 2015) Sastrawijaya,Tresna.2009.Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta Sharnoff, S. D. (2002). Lichens and Oak A Deep Partnership. http://www.lichen.com. (diunduh tanggal 5 Maret 2015) Siti, S.(2014). Makalah Bioindikator. FKIP Unram. (online). (https://sitisyifa. wordpress. com/2014/03/22/bioindikator. diunduh tanggal 15 Maret 2015) Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tochirun.(2013). Identifikasi dan Determinasi Hewan (Avertebrata dan Vertebrata. Universitas Jendral Soedirman. (online) Vol 1 : 10. (http://chyrun.blogspot. com/2013/12/800x600-identifikasi-dandeterminasi. html, diunduh tanggal 6 Maret 2015) Winda, M. I, Nadia Amanah, M. Arie Ikhwan Saputra.(2014). Paper Biomonitoring Lichens Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara.ITS: Surabaya.(online). (http://www.academia.edu/9543604/PAPER_BIOMONIORING_LICHENSSEB 87
Widiyanto, dkk., Identifikasi Jenis-Jenis Lichenes Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara
AGAI_BIOINDIKATOR_PENCEMARAN_UDARA. diunduh tanggal 5 Maret 2015) Wahyu, P. 2009. Apakah Udara?. Bandung:Sarana Ilmu Pustaka Yurnaliza,(2002). Lichenes (karakteristik, klasifikasi dan kegunaan). digitized by USU digital library. (online). (http://repository.usu.ac.id/bitstream / 123456 789/822/1/ Biologi-Yurnaliza.pdf. diunduh tanggal 5 Maret 2015)
88
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
UJI ANTIBAKTERI DAN ORGANOLEPTIK YOGHURT KACANGKACANGAN (HIJAU, MERAH, TANAH) Nasrul Rofiah Hidayati1), Pujiati 2), Ella Agustina Rahayu 3) 1,2,3
Prodi Biologi IKIP PGRI Madiun Email : [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui uji antibakteri yoghurt kacang-kacangan dengan menggunakan spesies Escherichia coli dan mengetahui uji organoleptiknya. Yoghurt nabati adalah yoghurt yang berasal dari kacang-kacangan yang kaya akan protein. Salah satu yoghurt nabati dibuat dengan bahan dasar kacang hijau, merah dan tanah. Pembuatan yoghurt kacangkacangan pada prinsipnya sama dengan pembuatan yoghurt pada susu hewani. Metode penelitian yang digunakan yaitu eksperimen dengan uji antibakteri menggunakan spesies Escherichia coli dan uji organoleptik. Yoghurt kacang-kacangan yang terdiri dari 3 level (kacang hjau, kacang merah dan kacang tanah) dan 3 level konsentrasi starter meliputi (20%, 40% dan 60%). Perlakuam lama waktu fermentasi 18 jam dan lama inkubasi selama 24 jam. Pengumpulan data didapatkan dari uji antibakteri menggunakan metode kertas cakram dan uji organoleptik menggunakan beberapa panelis. Analisis data menggunakan anava dua jalur, uji lanjut LSD. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan konsentrasi starter 60% menghasilkan zona hambat tertinggi sebesar 2,3 cm, dan perlakuan konsentrasi 40% menghasilkan zona hambat terendah sebesar 1,66 cm. Kata kunci: Kacang-kacangan (Hijau, Merah, Tanah), Uji Antibakteri, Indeks Zona Hambat Uji Organoleptik
PENDAHULUAN Pola hidup masyarakat yang cenderung menyadari akan pentingnya kesehatan menyebabkan kebutuhan pangan tidak sebatas pada pemenuhan kebutuhan gizi konvensional bagi tubuh serta penikmat mulut dengan cita rasa yang enak melainkan pangan diharapkan mampu berfungsi menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Produk pangan seperti ini biasanya disebut sebagai pangan fungsional (Agustina dan Andriana, 2010 : 1) Produk pangan yang banyak dikembangkan sebagai pangan fungsional antara lain adalah produk-produk probiotik.Salah satu produk probiotik yang mengandung bakteri asam laktat yaitu yoghurt. Yoghurt adalah produk koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat dengan spesies misalnya, Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan. Banyak produk yoghurt yang dikembangkan dari susu hewani namun hanya sedikit yoghurt yang dibuat dari produk susu nabati. Produk yoghurt dari susu nabati sebenarnya sangat berpotensi untuk dikembangkan karena selain kandungan gizi yang tinggi harga produk yoghurt nabati relatif lebih murah jika dibandingkan dengan yoghurt susu hewani sehingga dengan adanya produk yoghurt susu nabati diharapkan akan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk probiotik yang selama ini relatif mahal (Agustina dan Andriana, 2010 : 1) Yoghurt nabati adalah yoghurt yang berasal dari kacang-kacangan yang kaya akan protein. Salah satu yoghurt nabati dibuat dengan bahan dasar kacang hijau, kacang merah 89
Hidayati, dkk, Uji Antibakteri Dan Organoleptik Yoghurt Kacang-Kacangan (Hijau, Merah, Tanah)
dan kacang tanah (Darmajana, 2011 : 1). Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) di Indonesia berpotensi dikembangkan menjadi produk pangan fungsional. Sangat tepat jika kacang hijau dikembangkan menjadi produk yoghurt.Pembuatan yoghurt kacangkacangan pada prinsipnya sama dengan pembuatan yoghurt pada susu hewani, yaitu dengan menginokulasikan bakteri asam laktat Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus pada susu nabati kacang-kacangan.Lactobacillus bulgaricus lebih beperan dalam pembentukan aroma, sedangkan Streptococcus thermophilus lebih berperan dalam pembentukan cita rasa. Perbedaan keasaman yoghurt dapat disebabkan oleh penggunaan jenis starter yang berbeda (Agustina dan Andriana, 2010:2).Starter yang digunakan dalam pembuatan yoghurt mempunyai karakteristik sendiri dalam memecah laktosa susu yang kemudian akan diperoleh keasaman dan flavor yang berbeda. Sifat susu yang perlu diketahui adalah bahwa susu merupakan media yang baik sekali bagi pertumbuhan mikroba, sehingga apabila penanganannya tidak baik akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya. Susu yang baik apabila mengandung jumlah bakteri sedikit, tidak mengandung spora mikrobia patogen (Prasetyo, H, 2010 : 15).Daya hambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor sepertisuhu, penurunan pH, ketersediaan oksigen, adanya bakteriosin dan jumlah serta jenis probiotik. pH merupakan salah satu faktor yang dominan. Bakteri patogen tidak tahan terhadap kondisi asam, bakteri Escherichia coli tidak dapat bertahan hidup pada dibawah pH 4. Hal ini terlihat pada besarnya diameter zona bening sebagai parameter daya hambat pertumbuhan Escherichia coli yang berbanding terbalik dengan nilai pH yoghurt, semakin rendah pH yoghurt maka semakin besar daya hambat pada pertumbuhan bakteri Escherichia coli(Wardani, Rustanti,2013 : 299). Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukam dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ektrak. Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL. Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas (Suhartanti dan Iqbal, 2014 : 3) Aktivitas antibiotika dapat ditentukan dengan melihat kemampuan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri isolat terhadap pertumbuhan mikroorganisme uji dengan metode difusi agar. Media yang digunakan untuk penentuan daya hambat adalah medium NA sebanyak 10 ml dari masing-masing suspensi mikroorganisme uji diinokulasi pada cawan petri dan ditambah dengan medium yang sesuai hingga volume mencapai ± 15 ml. Supernatan sebanyak 2 ml diteteskan pada kertas cakram dan di kering-anginkan lalu diletakkan diatas medium yang telah mengandung mikroorganisme uji. Cawan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Prosedur yang sama dilakukan untuk uji aktivitas antibakteri pada residu. Pada setiap medium uji terdapat kontrol positif yaitu larutan ampisilin baku 30 ppm pada cawan petri yang berisi inokulum Staphylococcus aureus, sedangkan larutan Griseofulvin 30 ppm untuk Escherichia coli. Adanya aktivitas antibiotika ditandai dengan terbentuknya zona bening disekitar kertas cakram setelah masa inkubasi dan diukur diameter zona hambatannya dengan menggunakan jangka sorong (Naid, Kasim, marzuki dan Sumarheni, 2013: 63).
90
Hidayati, dkk, Uji Antibakteri Dan Organoleptik Yoghurt Kacang-Kacangan (Hijau, Merah, Tanah)
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biologi IKIP PGRI Madiun. Metode yang digunakan adalah eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap. Variabel yang pertama adalah Konsentrasi starter (20% (P1), 40% (P2), dan 60% (P3) dan jenis kacangkacangan (kacang hijau, kacang merah dan kacang tanah). Variabel yang kedua adalah Uji antibakteri dan uji organoleptik pada yoghurt kacang-kacangan.Variabel yang ketiga adalah Suhu (37ºC) dan waktu fermentasi (18 jam). Data yang diperoleh dari masingmasing perlakuan dianalisis dengan anava dua jalur, apabila perlakuan berpengaruh nyata (signifikan) terhadap uji antibakteri yang diteliti maka dilanjutkan dengan uji LSD. Proses uji antibakteri yoghurt kacang-kacangan melalui tahap-tahap berikut: 1. Pembuatan yoghurt kacang-kacangan. 2. Fermentasi menggunakan starter biokul 3. Uji antibakteri menggunakan bakteri dengan spesies Escherichia coli 4. Mengukur zona hambat menggunakan jangka sorong. Alat dan bahan yang digunakan antara lain: Alat penelitian: panci, blander, pisau, baskom, sendok, gelas, pengaduk, kompor, plastik es lilin, lemari es, gelas, Cawan petri, Autoklaf, Jarum ose, Erlemeyer, Kompor listrik, Pengaduk, Kertas Cakram, Inkubator, Sendok, Tabung reaksi, Bunsen, Pipet volume dan Gelas beaker. Bahan penelitian: Kacang hijau, kacang merah dan kacang tanah, aquades, 150 ml starter (Biokul), susu skim (Dancow), Gula pasir, Susu skim, Starter, Griseofulvin, Media nutrien agar, Bakteri Escherichia coli,Kapas, Cling wrap, Alkohol 70%, Alumunim foil dan Aquades.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis dengan anava dua jalur diperoleh hasil bahwa uji antibakteri yoghurt kacang-kacangan memiliki nilai signifikansi ≤ 0,05 yang berarti ada pengaruh konsentrasi starter dan jenis kacang terhadap uji antibakteri yoghurt kacangkacangan. Hasil rata-rata indeks zona hambat perhitungan uji antibakteri menunjukkan zona tertinggi yaitu 2,3 cm pada perlakuan P3 yaitu konsentrasi starter 60%. Dan zona hambat terendah yaitu terdapat pada perlakuan P0 yaitu konsentrasi 0%. Adapaun gambar ratarata konsentrasi pada yoghurt kacang-kacangan dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini:
91
Hidayati, dkk, Uji Antibakteri Dan Organoleptik Yoghurt Kacang-Kacangan (Hijau, Merah, Tanah)
Rata-rata Antibakteri Yoghurt Kacang
Rata-rata Konsentrasi Starter Yoghurt Kacang 2.5 2 Kacang Tanah
1.5 1 0.5
Kacang Merah
0
Kacang Hijau
P0 = Aquades
P1 = 20 % P2 = 40 % P3 = 60 % Perlakuan
Gambar 1. Rata-rata konsentrasi pada yoghurt kacang-kacangan
Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan anava dua jalur menunjukkan bahwa zona hambat terluas pada perlakuan P2K3 yaitu kacang tanah dengan konsentrasi starter 40% dan zona hambat terkecil P0K0 yaitu dengan Aquades. Adapun keterangan gambar zona hambat pertumbuhan bakteri pada yogurt kacang-kacangan pada kacang hijau dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
a
b
c
Gambar 2. : a. Kacang hijau (20%), b. Kacang hijau (40%), c. Kacang hijau (60% )
Gambar 2. menunjukkan pada perlakuan P1K1zona hambat sebesar 1,19 cm, pada perlakuan P2K1 zona hambat sebesar 1,53 cm, sedangkan pada P3K1 hambat sebesar 1,64 cm yang merupakan zona hambat terbesar pada yoghurt kacang hijau, karena pada kandungan dalam kacang hijau memiliki protein sebesar 24,1g, air 11,7%, dan karbohidrat 60,3g yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Adapun keterangan gambar zona hambat pertumbuhan bakteri pada yogurt kacangkacangan pada kacang merah dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
a
b
c
Gambar 3. a. Kacang merah (20%), b. Kacang merah (40%), c. Kacang merah (60%)
92
Hidayati, dkk, Uji Antibakteri Dan Organoleptik Yoghurt Kacang-Kacangan (Hijau, Merah, Tanah)
Gambar 3. Menunjukkan pada perlakuan P1K2 zona hambat sebesar 1,65 cm yang merupakan zona hambat terbesar pada yoghurt kacang merah , pada perlakuan P2K2 zona hambat sebesar 1,26 cm, sedangkan pada P3K2 zona hambat sebesar 1,21 cm. Hal ini membuktikan semakin tingginya konsentrasi tidak mempengaruhi zona hambat pada yoghurt kacang merah karena kacang merah mengandung protein sebesar 22,5g, air 10,4% dan karbohidrat 61,9g yang tinggi sehingga pertumbuhan bakteri Lactobacillus dan Streptococcus pada perlakuan P1K2 dapat maksimal. Bakteri Lactobacillus dan Streptococcus pada yohurt mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Adapun keterangan gambar zona hambat pertumbuhan bakteri pada yogurt kacangkacangan pada kacang tanah dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
a
b
c
Gambar 4 : a. Kacang tanah (20%), b. Kacang tanah (40%), c. Kacang tanah (60%)
Gambar 4. Menunjukkan pada perlakuan P1K3 zona hambat sebesar 1,02 cm , pada perlakuan P2K3 zona hambat sebesar 1,95 cm yang merupakan zona hambat terbesar pada yoghurt kacang tanah, sedangkan pada P3K3 zona hambat sebesar 1,36 cm karena pada kandungan dalam kacang tanah memiliki protein sebesar 26g, air 5,6%, dan karbohidrat 18,6g yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Pada data yang diamati terdapat data yang naik turun diantaranya P3K2 dan P2K3 seharusnya memiliki zona hambat terbesar karena mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dari pada P1 tetapi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa P3K1 dikarenakan faktor suhu, pH dan kelembaban yang mempengaruhi zona hambat pertumbuhan bakteri. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Terdapat pengaruh penambahan konsentrasi starter yoghurt kacang-kacangan terhadap uji antibakteri dan uji organoleptik dalam yoghurt kacang-kacangan yang meliputi rasa, aroma, dan tekstur. a. Uji antibakteri tertinggi adalah pada perlakuan P2 (konsentrasi starter 40%). b. Data hasil uji organoleptik menunjukkan perlakuan P3 (konsentrasi starter 60%) memiliki bobot tertinggi.
SARAN Peneliti selanjutnya, dalam menerapkan uji antibakteri dengan metode lain seperti metode sumur dan menggunakan bakteri lain. Bagi masyarakat, hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi mengenai uji antibakteri yoghurt kacang-kacangan dan uji organoleptik sehingga masyarakat dapat mempertimbangkan dalam memilih jenis. Bahan pangan untuk dikonsumsi yang dapat memberikan efek positif bagi tubuh. Bagi dosen, 93
Hidayati, dkk, Uji Antibakteri Dan Organoleptik Yoghurt Kacang-Kacangan (Hijau, Merah, Tanah)
diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada mahasiswa/i tentang uji antibakteri yoghurt kacang-kacangan dengan metode Kertas Cakram. DAFTAR PUSTAKA Agustina dan Adriana. (2010). Karakteristik Produk Yoghurt Susu Nabati Kacang Hijau. JurnalBalai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna. Darmajana, D.A. (2011). Pengaruh Konsentrasi Starter dan Konsentrasi Karagenan Terhadap Mutu Yoghurt Nabati Kacang Hijau. Prosiding Sains, Teknologi dan Kesehatan. Naid, Kasim, Marzuki dan Sumarheni. (2013). Produksi Antibiotika Secara Fermenrtasi dari Biakan Mikroorganisme Simbion Rumput Laut Eucheuma cottonii. Majalah Farmasi dan Farmokologi. Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi, Universitas Hasannudin Makasar. Prasetyo, H. (2010). Pengaruh Penggunaan Starter Yoghurt pada Level Tertentu Terhadap Karkteristik Yoghurt yang dihasilkan. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta : Fakultas Pertanian Program Studi Universitas Sebelas Maret. Suhartanti dan Iqbal. (2014). Perbandingan Aktivitas Antibakteri Kefir susu sapi dan Kefir Susu Kambing Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal EkoSAINS. Wardani dan Rustanti. (2013). Daya Hambat Pertumbuhan Escherichia coli dan Uji Hidronik Yoghurt dengan Subtitusi Tepung Mocaf. Jurnal of Nutrision College.
94
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PENGARUH PENAMBAHAN PEWARNA ALAMI KULIT BUAH NAGA MERAH (HYLOCEREUS POLYRHIZUS) TERHADAP UJI ORGANOLEPTIK DAN KADAR VITAMIN C SELAI BUAH SIRSAK (ANNONA MURICATA L.) SEBAGAI BAHAN PETUNJUK PRAKTIKUM BIOLOGI POKOK BAHASAN UJI VITAMIN SMA KELAS XI. R. Bekti Kiswardianta1), Pujiati 2), Nourma Azizah 1,2,3) Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP PGRI MADIUN
Email: [email protected] ABSTRACT The use of additional materials in the form of synthetic dyes are often used by the public is increasing. The use of synthetic dyes will have a negative effect on health. The use of synthetic dyes can be replaced with natural dyes derived from plants or fruits. One of the fruits that can be used is the red dragon fruit peel containing dye anthosianin. The aim of research to determine the effect of natural dyes leather red dragon fruit (Hylocereus polyrhizus) against Organoleptic Test and Levels of Vitamin C Jam Fruit Soursop (Annona muricata L). The design used in this study is the RAL (completely randomized design) with a factorial ie concentration addition of natural dyes leather red dragon fruit (Hylocereus polyrhizus) in order to obtain treatment that is P0 (Control / concentration 0%), P1 (Concentration 40%), P2 (Concentration 60%), and P3 (concentration 80%). Parameters measured were the levels of vitamin C with iodimetri titration method were analyzed using analysis of variance Analysis of Variance (ANOVA) with a further test using the method of BNT and organoleptic (taste, color and texture) with the enclosed questionnaire and analyzed descriptively. The results showed that the addition of the skin's natural dye concentration of the red dragon fruit (Hylocereus polyrhizus) with data analysis SPSS version 16 for levels of vitamin C with the level of significance 0.00<0.05 at P0 treatment had an average vitamin C content of 0.0616 %, amounting to 0.4414% P1, P2 and P3 at 0.4796% at 0.6512%, while the organoleptic values were analyzed descriptively yield amounted to 55.8 value for P0, P1 was 66.6, equal to 80 P2, and P3 amounting to 91.14. Based on the results of this study concluded that the highest levels of vitamin C in the treatment P3 (concentration of natural dyes red dragon fruit peel 80%) of 0.6512%. This means that the concentration of natural dyes leather red dragon fruit (Hylocereus polyrhizus) significantly affected the levels of vitamin C soursop fruit jam. Organoleptic (taste, color and texture) most desirable is in treatment P3 (concentration of natural dyes red dragon fruit peel 80%) with the organoleptic value of 91.14. This shows that the concentration of natural dyes red dragon fruit peel significant effect on organoleptic value. Based on the results of lab manual validation by the validator 1 amounted to 96.25% said to be very decent, while the validator 2 87.5 is feasible so that it can be used in the learning process of high school students of class XI. Keywords: Dragon Fruit Natural Dyes skin, Vitamin C, Organoleptic Test, Practical Guidelines.
PENDAHULUAN Penentuan mutu bahan makanan di Indonesia pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, tekstur, nilai gizi dan sifat biologisnya, sehingga perlu dipertimbangkan faktor warna makanan agar lebih menarik untuk dikonsumsi. Keamanan pangan berkaitan erat dengan penggunaan bahan tambahan makanan seperti pengawet, pemanis, perasa makanan serta pewarnanya. Pada 95
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
kenyataannya penggunaan bahan tambahan makanan (food additive) yang kurang terpantau dengan baik dalam ketepatan bahan yang digunakan akan memberikan efek negatif bagi konsumen. Penggunaan bahan tambahan makanan khususnya pewarna masih menjadi faktor penting dalam dunia bisnis kuliner. Makanan yang mempunyai warna akan lebih disukai dibandingkan dengan yang tidak berwarna. Produsen makanan pada umumnya menggunakan pewarna sintetis bahkan ada juga yang dengan sengaja menggunakan pewarna tekstil agar menghasilkan warna yang cerah untuk menghasilkan warna yang menarik. Zat warna sintetis khususnya pewarna tekstil sangat berbahaya terhadap kesehatan apabila digunakan sebagai pewarna makanan karena zat warna sintetis yang berasal dari pewarna tekstil mengandung logam berat. Menurut Jenie (dalam Hidayah, 2004: 1), penggunaan pewarna sintetis untuk makanan atau minuman dapat menyebabkan toksik dan karsinogenik. Efek-efek negatif dari penggunaan pewarna sintetis dapat berkurang karena digantikan pewarna alami dari tumbuhan. Salah satu cara untuk mengurangi penggunakan zat aditif makanan sintesis adalah penggunaan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan yang berpotensi dapat digunakan sebagai zat pewarna sehingga efek-efek negatif dari penggunaan zat warna sintesis dapat berkurang. Zat warna alami yang banyak dipakai berasal dari berbagai bagian dari tumbuhtumbuhan. Namun demikian pemakaian zat warna alami di masa sekarang masih belum dikenal oleh masyarakat karena proses untuk memperoleh zat warna tersebut lebih sukar dibandingkan pembuatan zat warna sintetis. Pemakaian zat warna alami lebih aman karena sisa pemakaiannya mudah diuraikan oleh bakteri dibandingkan zat warna sintetis (Mahayana dalam Hidayah, 2013: 2). Zat pewarna alami yang sering digunakan dalam pembuatan bahan makanan salah satunya adalah kulit buah naga (Hylocereus polyrhizus). Kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) mengandung senyawa-senyawa aktif diantaranya alkaloid, teroenoid, flavonoid, niasin, piridoksin, kobalamin, fenolik, karoten, vitamin C, dan fitoalbumin (Jaafar dalam Fajriani, 2013 : 1). Kulit buah naga merah mengandung zat warna alami antosianin cukup tinggi yang dapat mengikat radikal bebas dan sumber antioksidan. Antosianin merupakan zat warna yang berperan memberikan warna merah dan merupakan golongan betalanin yang berpotensi menjadi pewarna alami untuk pangan dan dapat dijadikan alternatif pengganti pewarna sintetik. Buah sirsak memiliki kandungan vitamin A, vitamin B1, vitamin C, karbohidrat, natrium, kalium, dan serat. Rasa asam pada sirsak berasal dari asam organik non folagen terutama asam malat, asam sitrat, dan asam isositrat. Vitamin yang paling dominan pada buah sirsak adalah vitamin C, yaitu sekitar 20 mg per 100 g daging buah. Kebutuhan vitamin C per orang per hari yaitu 600 mg, telah dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi 300 g daging buah sirsak. Kandungan vitamin C yang tinggi pada buah sirsak merupakan antioksidan. Penambahan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga yang berbeda-beda pada pembuatan selai buah sirsak diharapkan dapat meningkatkan nilai gizi, khususnya kadar vitamin C dan dapat digunakan sebagai acuan bahan petunjuk praktikum uji vitamin C di SMA kelas XI setelah diolah menjadi selai sirsak. Kompetensi dasar yang akan dicapai siswa yaitu mampu mendeskripsikan kadar vitamin C pada selai buah sirsak. Penelitian
96
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
ini diharapkan menjadikan siswa memahami kadar vitamin C pada olahan makanan selai buah sirsak dengan penambahan pewarna alami kulit buah naga di SMA kelas XI. METODE PENELITIAN Penelitian uji vitamin C dilaksanakan di Laboratorium Biologi 2 IKIP PGRI Madiun. Penelitian dilakukan selama skripsi yaitu bulan Maret sampai Juli tahun 2015. Penelitian ini menggunakan desain rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari satu faktorial yaitu penambahan pewarna alami kulit buah naga merah dengan 6 kali ulangan. Populasi dalam penelitian ini adalah 24 sampel dari 4 perlakuan dengan 6 kali ulangan. Perlakuan penambahan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah yaitu: P0 (kontrol), P1 (Perlakuan pewarna alami kulit buah naga merah dengan menggunakan konsentrasi 40%), P2 (Perlakuan pewarna alami kulit buah naga merah dengan menggunakan konsentrasi 60%), dan P3 (Perlakuan pewarna alami kulit buah naga merah dengan menggunakan konsentrasi 80%). Perolehan data kadar vitamin C menggunakan uji laboratorium dengan metode Titrasi Iodimetri dan data uji organoleptik dengan metode Hedonic Scale Scaring (uji kesukaan) dengan penyebaran angket tertutup untuk 20 orang panelis yaitu 20 mahasiswa IKIP PGRI Madiun. Instrumen penelitian meliputi: tahap pengekstrakan, tahap pembuatan selai dan uji vitamin C. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah saringan, baskom, blender, pisau, panci, kompor, timbangan, gelas ukur, pengaduk, sendok, pengaduk, toples, erlemeyer, pipet ukur, gelas piala, petridish, batang pengaduk, buret, timbangan analitik, pipet volumetri, corong, gelas ukur, statif dan klem, pemanas, stopwatch, cawan gooch, botol semprot dan labu takar. Bahan yang digunakan adalah kulit buah naga merah, 3 buah sirsak, gula pasir, garam, pewarna alami kulit buah naga merah dengan konsentrasi 40%, 60% dan 80%, larutan Iodium 0,01 N, amilum 1 %, selai buah sirsak, roti dan air suling. Prosedur kerja dalam penelitian ini meliputi 4 tahap yaitu tahap pertama pengekstrakan dengan cara mengupas kulit buah naga merah serta mencuci hingga bersih dengan menggunakan air setelah itu potong kecil-kecil. Menghaluskan kulit buah naga merah menggunakan blender. Membuat larutan blangko (larutan utama) dengan menimbang 3 kg kulit buah naga merah. Memasak air 1000 ml sampai mendidih kemudian dimasukkan kulit buah naga merah 3 kg yang sudah dihaluskan kemudian menyaring dengan saringan yang rapat. Mengambil larutan blangko kulit buah naga merah berdasarkan perlakuan penelitian. Tahap kedua adalah tahap pembuatan selai dengan cara memilih buah sirsak yang sudah masak kemudian potong atau belah menjadi 2 bagian. Memisahkan buah sirsak dengan biji dan menimbang sirsak sebanyak 450 g. Menghaluskan buah sirsak menggunakan blender dan menambahkan air sebanyak 50 ml menggunakan panik sambil diaduk-aduk diatas api hingga kental. Memasukkan gula pasir 250 g kemudian masak kembali hingga gula larut. Menambahkan pewarna alami kulit buah naga merah berdasarkan konsentrasi perlakuan. Menuang selai buah sirsak kedalam botol yang sudah steril dan simpan ditempat yang sejuk. Tahap ketiga adalah tahap uji vitamin C menggunakan metode Titrasi Iodietri dengan cara menimbang 10 g selai sirsak dan memasukkan ke dalam labu takar dengan menambahkan air suling 100 ml. Menyaring dengan cawan Krus Gooch untuk memisahkan filtratnya. Mengambil 10 ml 97
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
filtrat yang telah diperoleh dan memasukkan ke dalam Erlenmeyer. Menambahkan 2 ml larutan amilum 1%, dan menambahkan 20 ml air suling. Mentitrasi dengan 0,01 N standar Iodin. Tahap keempat adalah tahap uji organoleptik dengan metode hedonic scale scaring dengan cara membuat angket dengan metode rating scale. Menyebar angket kepada 20 Mahasiswa IKIP PGRI Madiun. Memberikan pengarahan kepada panelis dan memberikan skor pada lembar angket uji organoleptik. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji varian (ANAVA) satu jalur untuk uji vitamin C dengan menggunakan SPSS versi 16.0 dan uji lanjut yang digunakan adalah BNJ (Beda Nyata Jujur). Rumus uji vitamin C adalah sebagai berikut: 𝑋 𝑚𝑔 = 𝐻𝑇 ×
𝑁𝐼2 × 0,88 × 𝑓𝑝 0,01
Analisis deskriptif kualitatif untuk uji organoleptik. Uji organoleptik memiliki 3 aspek yaitu rasa, warna dan tekstur. Bobot penilaian dari masing-masing aspek penilaian yaitu: Rasa 40%, warna 20%, dan tekstur 20%. Pemberian skor pada uji organoleptik adalah sebagai berikut: Total Skor =
∑ Skor yang diperoleh x 100% ∑ Skor maksimal
Untuk mengetahui nilai dari masing-masing aspek organoleptik digunakan rumus sebagai berikut: Nilai =
∑ Skor total x Bobot Penilaian ∑ Skor maksimal
Analisis validasi petunjuk praktikum dilakukan setelah teknik analisis data. Validasi dilakukan oleh dua validator ahli yaitu dosen pembimbing dan guru mata pelajaran biologi. Skor yang diberikan jika 4 (sangat baik), 3 (baik), 2 (cukup), dan 1 (kurang). Kelayakan petunjuk praktikum ditinjau dari aspek yaitu tata bahasa dan isi petunjuk praktikum. Rumus perhitungan kriteria validasi petunjuk praktikum adalah sebagai berikut: Prosentase nilai (%) =
∑ skor yang diperoleh x 100% ∑ Skor maksimal
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data a. Deskripsi Data Uji Organoleptik Selai Buah Sirsak Berdasarkan hasil isian angket 20 panelis mahasiswa IKIP PGRI Madiun diperoleh nilai uji organoleptik sebagai berikut:
98
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
Tabel 1. Nilai Organoleptik Selai Buah Sirsak Bobot Rasa Nilai N (N) (40)
Bobot Warna Nilai N (N) (30)
Bobot Tekstur Nilai N (N) (30)
0% (P0)
48,3
19,32
33,3
9,99
88,3
26,5
55,8
40% (P1)
66,6
26,64
66,6
19,98
66,6
19,98
66,6
60% (P2)
80
32
75
22,5
85
25,5
80
80% (P3)
96,6
38,64
95
28,5
80
24
91,14
Perlakuan
Jumlah Nilai Organoleptik
Tabel 1. menunjukkan bahwa perlakuan uji organoleptik tertinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 80% (P3) memiliki rata-rata 1,45 dengan rincian nilai organoleptik rasa sebesar 38,64, nilai organoleptik warna sebesar 28,5 dan nilai organoleptik tekstur sebesar 24 jumlah nilai organoleptik dalam 3 aspek (rasa, warna, dan tekstur) sebesar 91,14, sedangkan perlakuan uji organoleptik terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 0% (P0) memiliki rata-rata 1,45 dengan rincian nilai organoleptik rasa sebesar 19,32, nilai organoleptik warna sebesar 99,9, nilai organoleptik tekstur sebesar 26,5 dan jumlah nilai organoleptik dalam 3 aspek (rasa, warna, dan tekstur) sebesar 55,8. b. Deskripsi Data Uji Kadar Vitamin C Selai Buah Sirsak Berdasarkan uji vitamin C menggunakan titrasi iodimetri dapat diperoleh data rata-rata kadar vitamin C selai buah sirsak sebagai berikut: Tabel 2. Rata-Rata Uji Kadar Vitamin C pada Selai Sirsak Vitamin C/10g (%)
Perlakuan
Rata-rata
U1
U2
U3
U4
U5 0,0528
U6 0,0528
0% (P0)
0,0616
0,0616
0,0704
0,0616
0,0616
40% (P1)
0,4048
0,4312
0,4576
0,4576
0,4576
0,44
0,4414
60% (P2)
0,4664
0,4928
0,4752
0,4752
0,484
0,484
0,4796
80% (P3)
0,6072
0,6424
0,6424
0,66
0,6776
0,6776
0,6512
Tabel 2. menunjukkan kadar vitamin C pada selai buah sirsak dengan rata-rata tertinggi pada perlakuan P3atau konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah sebanyak 80% dengan rata-rata 0,6512%, sedangkan kandungan vitamin C terendah pada perlakuan P0(Kontrol) atau konsentrasi pewarna alami kulit buah naga sebanyak 0% dengan rata-rata 0,0616%.
99
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
c. Deskripsi Data Hubungan Antara Kadar Vitamin C dan Uji Organoleptik Selai Buah Sirsak Berdasarkan hasil pengamatan uji kadar vitamin C dan uji organoleptik diperoleh hubungan antara hasil kadar vitamin C dan uji organoleptik selai buah sirsak sebagai berikut: Tabel 3. Hubungan Kadar Vitamin C dan Nilai Organoleptik No
Perlakuan P0
Kadar VitaminC/10g(%) 0,0616
Nilai Organoleptik 55,8
1 2
P1
0,4414
66,6
3
P2
0,4796
80
4
P3
0,6512
91,14
Tabel 3. menunjukkan bahwa kadar vitamin C tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 (Konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 80%) yaitu 0,6512% dan nilai organoleptik sebesar 91,14, sedangkan kadar vitamin C terendah diperoleh pada perlakuan P0 (Kontrol) yaitu 0,0616% dan nilai organoleptik 55,8. d. Hasil Validasi Petunjuk Praktikum Uji Vitamin C Berdasarkan hasil validasi buku petunjuk praktikum yang dilakukan oleh 2 validator yaitu Guru Mata Pelajaran Biologi SMA 1 Wungu Madiun Kelas XI Ibu Sri Utami, S.Pd dan Dosen Mata Kuliah Biokimia Ibu Nasrul Rofiah H, ST., M.Pd. Data analisis validasi buku petunjuk praktikum sebagai berikut: Tabel 4. Data Analisis Validasi Buku Petunjuk Praktikum Skor No 1.
2.
100
Skor yang Diharapkan
Aspek yang dinilai Bahasa a. Penggunaan bahasa sesuai EYD b. Kesederhanaan struktur kalimat c. Bahasa yang digunakan komunikatif d. Kalimat yang digunakan jelas dan mudah dimengerti e. Kejelasan petunjuk atau arahan Isi a. Petunjuk praktikum yang disajikan sistematis b. Kebenaran isi/materi c. Setiap kegiatan mempunyai tujuan yang jelas d. Kelayakan sebagai perangkat pembelajaran e. Penyajian petunjuk praktikum dilengkapi ilustrasi dan gambar
V1
V2
4 4 4 4
4 4 3 3
4 4 4 4
4
4
4
4
4
4
4 4
3 3
4 4
4 4
3 4
4 4
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
3.
4.
5.
Pendekatan SETS (Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat) a. Hubungan konsep dengan kehidupan sehari-hari b. Penekanan keterampilan proses c. Keaktifan peserta didik dalam kegiatan praktikum d. Kesesuaian penggunaan informasi baru yang mencakup tentang sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat e. Kemampuan menekankan sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat Tingkat Keterlaksanaan Kegiatan Praktikum a. Keamanan pelaksanaan praktikum b. Kemampuan praktikum dalam memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik c. Kemudahan pelaksanaan praktikum Penilaian Hasil Belajar a. Kejelasan petunjuk praktikum b. Kesesuaian tujuan dengan jenis pembelajaran Jumlah Skor Nilai (%) Kriteria
4
3
4
4 4
3 3
4 4
3
4
4
3
4
4
4 4
3 3
4 4
3
4
4
4 4
4 4
4 4
77 96,25 Sangat Layak
70 87,5 Layak
80
Berdasarkan data analisis validasi buku petunjuk praktikum tabel 4.4. lembar validasi petunjuk praktikum setiap poin pernyataan dibagi ke dalam kategori (Sangat Baik) bernilai 4, (Baik) bernilai 3, (Cukup) bernilai 2, dan (Kurang) bernilai 1. hasil prosentase oleh validator 1 diperoleh hasil sebesar 96,25% dengan catatan petunjuk praktikum dapat dikembangkan guna memberi pengalaman kepada peserta didik. Hasil prosentase validasi oleh validator 2 diperoleh sebesar 87,5% tanpa catatan. Buku petunjuk praktikum uji vitamin C layak digunakan dalam proses pembelajaran, karena penulis memberikan skor 3 dan 4 yang paling mendominasi pilihan dari validator 1 dan 2. Hasil Pengujian Hipotesis a. Uji Organoleptik Selai Buah Sirsak Berdasarkan hasil angket uji organoleptik 20 panelis data uji organoleptik berupa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa, warna, dan tekstur selai buah sirsak. Perhitungan organoleptik menunjukkan bahwa perlakuan P3 (konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 80%) memiliki nilai organoleptik tertinggi 91,14, sedangkan pada nilai organoleptik terendah terdapat pada perlakuan P0. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan P3 banyak diminati oleh panelis dan P0 kurang diminati oleh panelis. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah mempengaruhi uji organoleptik selai buah sirsak. b. Kadar Vitamin C Selai Buah Sirsak Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan metode bantuan SPSS versi 16.0. Hasil analisis kandungan kadar vitamin C selai buah sirsak sebagai berikut: 101
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
Tabel 5. Sidik Ragam Kadar Vitamin C Selai Buah Sirsak Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df 1.118 3 .006 20 1.125 23
Mean Square F .373 1.1583 .000
Sig. .000
Berdasarkan tabel 5. dapat dilihat bahwa sumber keragaman dapat dilihat bahwa nilai F hitung= 1.158 dengan probabilitas 0,000. Oleh karena probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan H1 diterima artinya perbedaan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah mempengaruhi kadar vitamin C pada selai buah sirsak atau berbeda signifikan. Hasil uji lanjut uji kadar vitamin C menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) sebagai berikut: Tabel 6. Hasil Uji BNJ (Beda Nyata Jujur) Selai Buah Sirsak Konsentrasi Pewarna Alami
Mean 95% Confidence Interval Difference Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound (I-J) * 40% -.3813333 .0103605 .000 -.402945 -.359722 0% 60% -.4194667* .0103605 .000 -.441078 -.397855 80% -.5910667* .0103605 .000 -.612678 -.569455 * 0% .3813333 .0103605 .000 .359722 .402945 * 40% 60% -.0381333 .0103605 .001 -.059745 -.016522 * 80% -.2097333 .0103605 .000 -.231345 -.188122 * 0% .4194667 .0103605 .000 .397855 .441078 * 60% 40% .0381333 .0103605 .001 .016522 .059745 * 80% -.1716000 .0103605 .000 -.193212 -.149988 * 0% .5910667 .0103605 .000 .569455 .612678 * 80% 40% .2097333 .0103605 .000 .188122 .231345 * 60% .1716000 .0103605 .000 .149988 .193212 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Tabel 6. menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah yang ditandai dengan tanda bintang (*). Uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata. Perlakuan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 0% (P0) berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 40% (P1), 60% (P2), dan 80% (P3). Hal ini menunjukkan bahwa kadar vitamin C antara pasangan yang berbeda secara signifikan tersebut berbeda nyata. Konsentrasi pewarna alami kulit buah berpengaruh nyata terhadap sifat organoleptik selai buah sirsak. Dari hasil perhitungan anava satu jalur kadar vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan 80% (P3) dan kandungan protein terendah pada perlakuan kontrol 0% (P0).
102
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
Hasil analisis uji organoleptik didapatkan bahwa konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah berpengaruh terhadap sifat organoleptik selai buah sirsak. Pada umumnya rasa, warna, dan tekstur disukai karena dari hasil uji organoleptik rata-rata mendapat respon baik. a. Uji organoleptik Selai Buah Sirsak Hasil Penelitian uji organoleptik didapatkan hasil bahwa konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah mempengaruhi uji organoleptik selai buah sirsak sebagai berikut: Nilai Organoleptik Selai Buah Sirsak
100 90 80 70 60
Nilai Organoleptik Selai Buah Sirsak
50 40 30 20 10 0 P0
P1
P2
P3
Gambar 1. Nilai Organoleptik Selai Buah Sirsak
Gambar 1 menunjukan bahwa nilai organoleptik tertinggi pada perlakuan P 3 atau konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 80% dengan kandungan vitamin C sebesar 91,14, sedangkan kandungan vitamin C terendah yaitu pada perlakuan P0 (kontrol) atau konsentrasi pewarna alami kulit buah naga 0% dengan nilai organoleptik sebesar 55,8. Hal ini menunjukkan pewarna alami kulit buah naga merah mempengaruhi nilai organoleptik selai buah sirsak karena kulit buah naga merah mempunyai kandungan asam askorbat (vitamin C). b. Kadar Vitamin C Selai Buah Sirsak Berdasarkan deskripsi data tabel 2 dapat dimunculkan histogram rata-rata kadar vitamin C pada selai buah sirsak sebagai berikut: Rata-Rata Kadar Vitamin C pada Selai Buah Sirsak 0.7
Kadar Vitamin C
0.6
17,16% 3,82%
0.5 0.4 0.3
Rata-Rata Kandungan Vitamin C pada Selai Sirsak (%)
37,98%
0.2 0.1 0 P0
P1
P2
P3
Perlakuan
Gambar 2. Rata-rata Kadar Vitamin C pada Selai Buah Sirsak
103
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
Gambar 2. menunjukan bahwa kandungan vitamin C tertinggi pada perlakuan P3 atau konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 80% dengan kandungan vitamin C sebesar 0,6512%. Sedangkan kandungan vitamin C terendah yaitu pada perlakuan P0 (kontrol) atau konsentrasi pewarna alami kulit buah naga 0% dengan kandungan vitamin C sebesar 0,0616%. Menurut (Nurhasanah dalam Wahyuni, 2011), hal ini menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah mempengaruhi kadar vitamin C pada selai buah sirsak karena kulit buah naga merah mengandung vitamin C yang cukup tinggi karena kulit buah naga merah mengandung vitamin C yaitu sebagai sumber antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas. c. Hubungan Antara Kadar Vitamin C dan Nilai Organoleptik Selai Buah Sirsak. Tabel 3. menunjukkan hubungan kadar vitamin C dan nilai organoleptik. Adapun gambar hubungan kadar vitamin C dan nilai organoleptik sebagai berikut: 100 90 80 70 60
Kadar Vitamin C
50 40 30
Nilai Organoleptik
20 10 0 P0
P1
P2
P3
Gambar 3. Hubungan Kadar Vitamin C dengan Nilai Organoleptik
Gambar 3. menunjukkan bahwa nilai organoleptik tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 80%) memiliki kadar vitamin C sebesar 0,6512% dan nilai organoleptik sebesar 91,14. Hal ini menunjukkan bahwa kadar asam askorbat (vitamin C) pada selai buah sirsak dapat mempengaruhi penilaian organoleptik berupa aspek rasa dengan nilai organoleptik sebesar 91,14. Kandungan gizi lainnya ialah vitamin C dan vitamin B1. Kandungan vitamin C pada buah sirsak 20 mg/100g (Burhan dkk, 2012: 73). d. Petunjuk Praktikum Uji Vitamin C. Hasil penelitian tentang pengaruh pewarna alami kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap kadar vitamin C dan uji organoleptik selai buah sirsak menghasilkan perbedaan pengaruh tiap konsentrasi terhadap kadar vitamin C dan uji organoleptik. Hasil penelitian tersebut dapat disusun sebagai bahan penyusun petunjuk praktikum siswa SMA kelas XI. Petunjuk praktikum merupakan salah satu sarana untuk membantu dan mempermudah dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga akan terbentuk interaksi yang efektif antara siswa dengan guru, sehingga dapat meningkatkan aktifitas siswa dalam peningkatan prestasi belajar. Dengan demikian guru bertanggung jawab penuh dalam memantau siswa dalam proses belajar mengajar.
104
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan terdapat pengaruh pewarna alami kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap kadar vitamin C dan uji organoleptik dalam selai buah sirsak yang meliputi rasa, warna, dan tekstur. a. Ada pengaruh konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap kadar vitamin C pada selai buah sirsak. Kadar vitamin C tertinggi adalah perlakuan P3 (konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 80%) memilik rata-rata sebesar 0,6512%. b. Ada pengaruh konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap uji organoleptik. Data hasil penilaian uji organoleptik menunjukkan perlakuan P3 (konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah 80%) memiliki nilai organoleptik tertinggi sebesar 91,14. c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan penyusun petunjuk praktikum SMA kelas XI pokok bahasan uji vitamin C dan sistem pencernaan pada manusia dikatakan LAYAK digunakan dalam proses pembelajaran.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka beberapa hal yang dapat disarankan yaitu: 1.
2.
3.
4.
Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan konsentrasi pewarna alami kulit buah naga merah yang digunakan lebih beragam dan pewarna alami kulit buah naga merah diganti dengan pewarna alami alternatif lain. Penelitian selanjutnya, dalam menerapkan kadar vitamin C suatu bahan pangan diharapkan menggunakan metode lain seperti Spektofotometri agar hasil penelitian lebih nyata. Bagi masyarakat, hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi mengenai pengaruh pewarna alami kulit buah naga merah terhadap kadar vitamin C dan uji organoleptik sehingga masyarakat dapat mempertimbangkan dalam memilih jenis bahan pangan untuk dikonsumsi yang dapat memberikan efek positif bagi tubuh. Bagi guru, diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada siswa tentang pengaruh pewarna alami kulit buah naga terhadap uji kadar vitamin C dengan metode Titrasi Iodimeti.
DAFTAR PUSTAKA Fajriani, Q.H. 2013. Penentuan Aktivitas Antioksidan Kulit buah Naga Super Merah (Hylocereus costaricensis) dan Produk Olahannya Berupa Permen Jelly. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Pendidikan Indonesia. Hidayah, Tri. 2013. Uji Stabilitas Pigmen dan Antioksidan Hasil Ekstraksi Zat Warna Alami dari Kulit Buah Naga (Hylocereus undatus). Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Wahyuni, Rekna. 2011. Pemanfaatan Kulit Buah Naga Super Merah (Hylicereus costaricensis) sebagai Sumber Antioksidan dan Pewarna Alami pada Pembuatan 105
Kiswardianta, dkk., Pengaruh Penambahan Pewarna Alami Kulit Buah Naga Merah
Jelly. Jurnal Teknologi Pangan Universitas Yudharta Pasuruhan (Online), Vol. 2, No. 1, (http://jurnal.yudharta.ac.id, Diunduh 25 Pebruari 2015).
106
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
IbM INDUSTRI KECIL OLAHAN SUWEG DI KECAMATAN TENGARAN KABUPATEN SEMARANG Umi Fatmawati*, Dewi Puspita Sari, Suciati
Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami No 36 A, Surakarta, 57126, Indonesia *e-mail: [email protected]
ABSTRAK Suweg (Ammorphophallus campanulatus) yang masuk dalam familia araceae atau talastalasan telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan pangan, namun masih sebatas alternatif ketika beras atau tepung tidak tersedia atau kurang terjangkau harganya. Kondisi ini sangat disayangkan, karena sebenarnya suweg memiliki keunggulan tertentu sebagai sumber pangn antara lain adalah memiliki kadar serat yang tinggi, kandungan karbohidrat dapat mencapai 80 persen, serta cita rasa yang netral sehingga mudah dipadu padankan dengan beragam bahan sebagai bahan baku kue tradisional dan modern. Beberapa kalangan masyarakat mengaku tanaman ini jarang diolah dan dikonsumsi karena jika salah mengolah bisa menimbulkan gatalgatal di lidah. Permasalahan yang dihadapi mitra terdeteksi dari indikator semakin tingginya harga bahan baku untuk pengolahan makanan, serta perlunya variasi makanan sehat dan murah yang bebahan baku komoditas lokal sehingga mengurangi kebosanan konsumen. Solusi terhadap permasalahan diharapkan mampu menarik minat dan jumlah konsumen yang pada akhirnya akan meningkatkan penadapatan usaha. Melalui program pengabdian kepada masyarakat, tim pengabdi menawarkan kepada kedua mitra (Snack “Mbak Rini” dan PKK Karangduren) untuk mengembangkan usaha divesifikasi produk makanan berbahan dasar suweg, di mana suweg merupakan sumber daya lokal yang tersedia melimpah dan murah di wilayah Tengaran. Pengolahan pasca panen yang tepat memungkinkan tepung suweg bisa menjadi beberapa produk makanan seperti cake, brownis, kue kering, dodol dengan menggunakan teknologi sederhana tepat guna dan diimbangi tingkat sumberdaya manusia yang sarat dengan keterampilan dan pengalaman. Keywords: suweg, snack, diversifikasi pangan
PENDAHULUAN Ditinjau dari kondisi agroekologi, Indonesia memiliki potensi dalam pengembangan pangan pokok non-beras, akan tetapi kebanyakan pangan sumber karbohidrat tersebut selama ini masih tersisih sebagai pangan inferior. Potensi lokal suatu daerah tercermin pada kekayaan flora yang belum banyak tereksplorasi secara optimal. Tanaman suweg (Ammorphophallus campanulatus) termasuk ke dalam tanaman liar dan tumbuh baik pada areal yang lembab dan ternaungi tanaman yang tinggi. Suweg banyak dijumpai di daerah hutan, perkebunan dengan tanaman homogen seperti jati, pekarangan atau tegalan tanpa perawatan kontinu, serta relatif tahan terhadap serangan penyakit. (Turisyawati, 2011) Morfologi umum dari umbi yang dihasilkan diantaranya adalah bentuk bundar pipih, ukuran umbi yang mampu mencapai 40 cm, diameter tinggi umbi bisa mencapai 30 cm, dan umbinya memiliki bobot kurang lebih mencapai 5 kg (Lingga, 1997). Kelebihan umbi suweg adalah kandungan serat pangan, protein dan 107
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
karbohidratnya yang cukup tinggi dengan kadar lemak yang rendah. Nilai Indeks Glikemik (IG) tepung umbi suweg tergolong rendah yaitu 42 sehingga dapat menekan kadar gula darah, dapat digunakan untuk terapi penderita diabetes mellitus (Farida, 2011). Konsumsi serat pangan dalam jumlah tinggi akan memberi pertahanan pada manusia terhadap timbulnya berbagai penyakit seperti kanker usus besar, divertikular, kardiovaskular, kegemukan, kolesterol tinggi dalam darah dan kencing manis. Masyarakat telah memanfaatkan tepung umbi suweg sebagai bahan pembuat roti. Selain dibuat menjadi tepung, umbi suweg dapat dimakan sebagai sayur, kolak, dikukus, dibuat menjadi bubur, nasi ” tiwul ” suweg. Tidak menutup kemungkinan suweg diolah menjadi tepung yang dapat menggantikan kedudukan tepung terigu sebagai bahan baku roti. Tepung suweg merupakan hasil olahan dari gaplek suweg (Yuniati, 2011) Selama ini umbi suweg minim dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan pangan dan masih sebatas alternatif ketika beras atau tepung tidak tersedia atau kurang terjangkau harganya. Komposisi kandungan gizi suweg dalam 100 gram bahan diantaranya adalah air 4,74 gram; abu 4,60 gram; lemak 0,28 gram; protein 7,20 gram; dan karbohidrat 83,18 gram. Komposisi menunjukkan suweg sangat potensial sebagai bahan pangan sumber karbohidrat (Faridah, 2005 dalam Soleh 2011). Upaya penganekaragaman ini harus terus ditingkatkan dengan semaksimal mungkin memanfaatkan sumberdaya lokal dan menekan ketergantungan pada pihak/negara lain, harus berbasis kemandirian dan memberikan dampak yang positif terhadap kesejaheraan petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam negeri dengan tujuan akhir terjadinya keragaman pola konsumsi pangan masyarakat dengan parameter Pola Pangan Harapan (Jamrianti dan Rinrin, 2008). Jasa catering dan snack milik Mbak Rini yang dikelola oleh Ibu Rini Setyani di wilayah Kecamatan Tengaran melayani pesanan dan produksi berbagai jenis makanan ringan serta snack yang sudah dipasarkan dibeberapa wilayah seperti di Salatiga, Ampel, Suruh dan sekitarnya. Catering dan Snack Mbak Rini berlokasi di dusun Kaligandu Desa Klero kecamatan Tengaran. Usaha ini sudah berdiri selama kurang lebih 3 tahun. Saat ini, usaha snack Mbak Rini telah memiliki 3 orang pekerja, dengan upah sekitar Rp. 25.000,- per orang per hari. Berbagai jenis roti, kue dan makanan riangan juga diproduksi tiap harinya dan disetorkan ke warung maupun toko makanan. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pemilik usaha ini diantaranya adalah: semakin banyak pesaing jenis usaha sejenis di sekitar Tengaran sehingga berdampak pada pengurangan jumlah pelanggan, beberapa konsumen lebih tertarik mengkonsumsi produk makanan olahan pabrik dari pada olahan rumah, semakin tingginya harga bahan baku pembuatan kue, misal: terigu, gula, telur sehingga mengurangi jumlah pendapatan. Sedangkan keuntungan per minggu tidak selalu konstan, bahkan jika pada musim sepi hajatan, usaha ini tidak memperoleh omset sama sekali. Selain itu, konsumen lebih tertarik untuk mencoba varian makanan baru yang lebih murah dan sehat, sedangkan usaha makanan Mbak Rini masih kesulitan dalam memenuhi permintaan konsumen tersebut. Melalui program pengabdian, tim menawarkan kepada kedua mitra untuk mengembangkan usaha diversifikasi produk makanan berbahan dasar suweg , dimana bahan suweg tersedia melimpah dan murah di wilayah Tengaran. Pengolahan pasca panen yang tepat memungkinkan olahan suweg yang lebih variatif seperti tiwul, brownies, biskuit serta snack/ camilan ringan menggunakan teknologi sederhana tepat guna dan diimbangi tingkat sumberdaya manusia yang sarat dengan ketrampilan dan pengalaman.
108
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
PEMECAHAN MASALAH Salah satu cara memanfaatkan umbi suweg yang ada di pekarangan warga adalah dengan mengolahnya menjadi aneka produk makanan kecil yang memiliki potensi untuk dipasarkan, misal: stik suweg, cake suweg, muffin suweg, dan dodol suweg. Tujuan dibuat produk kering suweg adalah supaya lebih produk lebih tahan lama karena disimpan dalam kondisi tepung kering, praktis, serta prospek pemasaran yang lebih luas, dan yang paling penting adalah tidak mengurangi kandungan nutrisi dalam suweg. Dengan pengemasan dan promosi pemasaran yang menarik, diharapkan produk snack suweg mampu menjadi produk unggulan di masyarakat Desa Klero dan sekitarnya serta mampu meningkatkan pendapatan warga. Terdapat beberapa pelatihan yang diajarkan kepada mitra mengenai budidaya suweg serta pengolahannya menjadi berbagai macam produk makanan yang bernilai jual tinggi serta memiliki kandungan gizi yang baik bagi penderita kolesterol dan diabetes mellitus. Pelatihan produk yang akan diajarkan ke mitra diantaranya: pembuatan cake suweg, dodol suweg, stik suweg, muffin suweg KHALAYAK SASARAN Sasaran kegiatan ini adalah industri kecil snack serta warga dan anggota kelompok tani di desa Karangduren Kecamatan Tengaran yaitu: kelompok tani “Gemah Ripah” Desa Karangduren dimana sebagian besar anggota kelompok tani tersebut banyak membudidayakan tanaman suweg di pekarangannya. Peserta yang mengikuti kegiatan pelatihan pembutan produk makanan berbahan dasar suweg di Desa Karangduren sebanyak 25 orang, sedangkan jumlah tenant yang berhasil memfollow up kegaiatan sejumlah 2 orang. Mitra UKM pada kegiatan ini adalah industri kecil Snack “Mbak Rini” yang beralamat di Desa Klero Kecamatan Tengaran. METODE PELAKSANAAN Metode kegiatan yang dilakukan dengan mengacu pada pendekatan PALM (Participatory Learning Method) yaitu metode belajar partisipatif masyarakat pedesaan untuk mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan pemecahan masalah secara bersama (Prawoto, 2012). Kegiatan ini dilaksanakan dalam tiga tahap yang meliputi: persiapan, kegiatan inti yaitu sosialisasi dan praktik bersama mitra, dan follow up kegiatan yaitu membina dan memonitoring mitra yang berminat untuk mengembangkan usaha produksi snack berbahan dasar waluh. Berdasarkan hasil wawancara dari kedua mitra diperoleh masukan yang berkolerasi. Mitra pertama memberikan informasi semakin tingginya harga bahan baku untuk pengolahan makanan dan minimnya variasi makanan yang sehat dan murah sehingga perlu adanya inovasi. Mitra kedua adalah ibu-ibu kelompok PKK desa Karangduren yang memiliki kemauan untuk mengembangkan potensi lokal setempat menjadi produk yang bernilai ekonomi.
109
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
HASIL KEGIATAN A. Persiapan dan Koordinasi Mitra Tahap awal yang tim pengabdi lakukan dalam kegiatan ini adalah melakukan koordinasi dengan mitra, yaitu: Ibu Jujuk Pamujo (Desa Karangduren) dan Ibu Rini Setyani (Desa Klero, Kecamatan Tengaran). Adapun hasil koodinasi yang telah kami sepakati seperti tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil Koordinasi Awal Tim Pengabdi dan Mitra No Hal yang dikoordinasikan Hasil kesepakatan kedua belah pihak Mitra I : Industri Kecil Snack “Mbak Rini” Desa Klero 1 Alat yang diperlukan Mitra Disepakati untuk introduksi oven gas beserta membutuhkan alat yang digunakan loyang, serta mesin penepung untuk proses pembuatan produk makanan bahan dasar suweg 2 Penyediaan bahan dan tempat Bahan-bahan untuk praktik mandiri disediakan kegiatan oleh mitra, seperti: suweg, tepung terigu, mentega, telur, coklat dll.. 3 Jenis produk makanan Jenis produk makanan dipilih yang mudah cara pengolahannya, bahan baku mudah ditemui, bernutrisi, aman dikonsumsi, serta menarik konsumen, akhirnya disepakati macam produk makanan, yaitu: brownies suweg, dodol suweg, cake dan muffin suweg serta jajanan tradisional suweg 4 Teknik pengemasan produk Tim bersama pengabdi merancang kemasan produk yang menarik dan menambah nilai jual produk 5 Managemen pemasaran Tim memberikan pelatihan mengenai pembukuan keuangan usaha, penghitungan laba rugi dan strategi pemasaran produk 6 Standar kualitas produk Tim mengarahkan Mitra untuk mendaftarkan produk makanannya ke Dinas Kesehatan setempat untuk mendapatkan sertifikat P-IRT Mitra II: Kelompok Tani Ibu Desa Karangduren 1 Tema Sosialisasi Kegiatan Sosialisasi mengenai budidaya suweg agar menjadi tanaman produktif Sosialisasi mengenai manfaat konsumsi buah suweg Penyuluhan mengenai aneka resep snack olahan suweg Penyuluhan mengenai strategi memulai bisnis makanan berbahan suweg 2 Bentuk Kegiatan Sosialisasi dan penyuluhan - Demo dan Praktik pengolahan suweg - Praktik mandiri oleh mitra dan pengembangan resep - Produksi dan pemasaran produk - Pemantauan hasil kegiatan
110
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
3
Waktu pelaksanaan kegiatan
Kegiatan dilaksanakan selama (Agustus, September, Oktober)
3
bulan
Penyediaan alat yag berupa oven gas serta mesin penepung disk mill yang akan digunakan untuk memanggang cake atau roti dari bahan waluh serta membuat tepung waluh dilakukan oleh tim pengabdi. Adapun spesifikasi alat yang telah diintroduksikan seperti tercantum pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Spesifikasi Alat No 1 2
Spesifikasi Kapsitas Bahan
3 4 5
Bahan bakar Fungsi Gambar
Oven Gas 10 loyang (7 x 14 cm) Stainless steel (loyang) alumunium gas Memanggang
dan
Mesin Disk Mill 55 kg/jam Besi dan stainless steel (hopper) Bensin Penghalus atau pembuat tepung
B. Pengembangan Produk Makanan Kecil berbahan baku Suweg pada mitra Industri Kecil Snack di Desa Klero Pemanfaatan umbi suweg sebagai bahan baku makanan kecil merupakan salah satu bentuk diversifikasi pangan. Beberapa tujuan diversifikasi pangan, diantaranya: (1) mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras; (2) menghindari kebosanan dan memperluas pilihan masyarakat dalam konsumsi dan selera; (3) mengankat bahan baku lokal menjadi produk unggulan (Hanafie, 2010). Di antara bahan pangan sumber karbohidrat, umbi-umbian memiliki keunggulan dan keuntungan yang sangat tinggi bagi masyarakat di Indonesia, karena: (1) mudah diproduksi di berbagai lahan; (2) cara penghidangan umbi-umbian yang relatif mudah, praktis dan murah; (3) produk olahan mudah diperoleh di pasar lokal; (4) dapat dijadikan sebagai subtitusi dan suplemntasi makanan sumber karbohidrat tradisional seperti beras; (5) sudah dikenal turun-temurun oleh masyarakat Indonesia; (6) Rasa dan tekstur sangat beragam dan dapat dipilih sesuai selera konsumen; (7) Mengandung vitamin dan mineral yang cukup tinggi sehingga dapat digolonggkan sebagai makanan sehat (Zuraida dan Suprapti, 2001). Selain kelebihan di atas, ada beberapa kelamahan yang dikemukakan, misalnya: rasa yang kurang nyaman di perut, bentuk penyajian yang membosankan, serta anggapan bahwa umbi-umbian identik dengan makanan masyarakat kelas bawah. Untuk menepis kekurangan tersebut, maka salah satu upaya untuk mengangkat umbi-umbian menjadi produk unggulan adalah dengan memanfaatkannya sebagai bahan campuran untuk pengolahan produk makanan. Introduksi bahan baku suweg pada industri kecil snack “Mbak Rini” di Desa Klero bertujuan untuk mengurangi ketergantungan penggunaan terigu, sehingga dapat 111
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
mengurangi ongkos produksi sekitar 40%. Misalnya dalam pembuatan cake atau brownies, biasanya diperlukan tepung terigu sekitar 250 g, namun dapat digunakan tambahan umbi suweg sebanyak 100 g, sehingga cukup menyediakan 150 g terigu untuk per resepnya. Selain itu, kandungan karbohidrat suweg lebih tinggi sekitar 80-85% dibanding jenis tepung lain. Suweg juga termasuk dalam karbohidrat dengan Indeks Glikemik (IG) yang rendah yaitu jika dikonsumsi tidak menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah yang tinggi, sehingga aman bagi penderita diabetes. Untuk menyeimbangkan kemelimpahan produksi suweg terkadang perlu diimbangi dengan pemanfaatan untuk konsumsi sebagai alternatif bahan pangan yang sehat. Tujuan lain dari kegiatan pemanfaatan umbi suweg untuk produk makanan kecil, karena umbi suweg memiliki cita rasa netral (tidak terlalu manis) dan tekstur yang lembut (tidak banyak serat) sehingga fleksibel untuk digunakan sebagai bahan baku aneka kue dan roti. Beberapa produk makanan kecil yang dikembangkan dan diproduksi pada kegiatan ini, diantaranya: brownies suweg, cup ake suweg, dodol suweg, kue ku (jajanan tradisional). Adapun uraian resep dan cara pengolahan adalah sebagai berikut: 1. Brownies suweg Pembuatan brownies suweg memerlukan bahan-bahan berupa: 150 g Suweg Kukus, 150 g Terigu, 200 g margarin, 250 g gula pasir, 6 butir telur, Coklat bubuk 50 g, Coklat batang 100 g, dan 1/2 sdm SP/ovalet. Cara pengolahan adalah sebagai berikut: Suweg yang telah dikupas, dipotong-potong, dicuci dan direndam dengan air garam 1% selama 5 menit. Potongan Suweg dicuci dan ditiriskan, kemudian dikukus hingga lunak, kemudian dihaluskan. Kocok telur, gula dan SP dengan mixer sampai mengembang dan berbuih kurang lebih 15 menit. Masukkan mentega cair yang sudah dingin, aduk rata dengan mixer dengan kecepatan rendah. Tambahkan tepung terigu dan coklat bubuk, sambil diayak dan diaduk rata. Masukkan suweg dan lelehan coklat dengan spatula, aduk dengan merata. Tuang adonan ke dalam cetakan yang dioles margarin. Oven selama 20 menit dengan suhu 160 ⁰C.
a
Gambar 1. Proses Persiapan (a), Produk Brownies Suweg (b) 2. Cup Cake Suweg Bahan yang diperlukan diantaranya: 150 g suweg yang telah dikukus dan dihaluskan, 250 g terigu, 125 g gula pasir, 100 g margarin, 50 ml susu kental manis, 2 butir telur, ½ sdm SP/pengembang, Chocolate chips untuk topping. Komposisi ini akan menghasilkan 112
b
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
sebanyak 50 buah cup cake. Cara pengolahan kue cup cake adalah sebagai berikut: Kocok telur, gula pasir, dan SP sampai mengembang. Masukkan tepung terigu sambil diayak dan diaduk rata. Masukkan umbi suweg yang telah dikukus. Masukkan campuran susu cair, selai, dan margarine leleh sedikit-sedikit sambil diaduk rata. Tuang di cetakan muffin pendek lebar yang dialas cup kertas
a
b
Gambar 2. Suweg yang dikukus dan dihaluskan (a) , Produk Cup Cake (b) 3. Kue Kering Suweg Bahan yang diperlukan diantaranya: 200 g suweg kukus, 500 g tepung terigu, 300 g gula halus, 20 g Susu bubuk, 2 butir kuning telur, 1 butir telur, garam secukupnya. Komposisi ini akan menghasilkan 2 toples kue kering. Cara pembuatan adalah sebagai berikut: Kocok margarin, gula halus sampai lembut, masukkan kuning telur dan kocok rata. Masukkan tepung terigu, susu bubuk dan suweg kukus yang telah dihaluskan, campur rata. Cetak adonan bentuk bunga pada loyang yang telah diolesi margarin tipis-tipis. Tambahkan coklat atau selai untuk hisan toppingnya. Oven pada api 160˚C selama 20 menit
b
a
Gambar 3. Campuran adonan kue kering (a), Cetakan adonan sebelum dimasukkan ke dalam oven (b) 4. Dodol Suweg Bahan yang dibutuhkan antara lain: 500 g suweg kukus yang dihaluskan, 100 g tepung ketan, 100 g gula pasir, 200 g gula jawa, 3 gelas santan. Tahapan cara pengolahan yaitu: Potong-potong umbi suweg kemudian kukus hingga empuk atau matang, dan haluskan.Kemudian campurkan dengan tepung ketan dan aduk rata. Campur dengan bahan-bahan lain (gula pasir, gula jawa dan santan_ kemudian masak sambil diaduk hingga adonan matang dan mengental. Tuangkan ke dalam cetakan dan didinginkan, 113
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
tunggu hingga bagian luar mengeras. Jika sudah bisa dipotong- potong sesuai selera dan dikemas dalam potongan plastik bersih.
a
b
Gambar 4. Bahan baku pembuatan dodol suweg (a), pengolahan dodol (b) Selain pengembangan produk suweg, tim pengabdi juga mengintroduksikan beberapa peralatan kepada mitra seperti: oven panggang, loyang, mesin penggiling, dan plastik sealer.
Gambar 5. Introduksi alat kepada mitra
C. Sosialisasi dan praktik pengolahan aneka makanan kepada mitra di kelompok tani ibu di desa Karangduren Sosialisasi dan penyuluhan ditujukan untuk ibu-ibu anggota kelompok tani yang terdapat di Karangduren Kecamatan Tengaran. Tujuan dari pelaksanaan sosialisasi ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan pengolahan produk makanan dengan bahan dasar suweg sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani melalui pemasaran produk yang dihasilkan. Kegiatan ini dilakukan dengan presentasi dan demontrasi mengenai cara pembuatan cup cake suweg, brownies dan kue kering suweg. Selain itu, mereka juga dibekali dengan pengetahuan cara pengemasan produk, promosi dan pemasaran. Target pemasaran adalah: toko, warung hingga minimarket. Kemudian juga diajarkan cara menganalisa seberapa besar keuntungan yang diperoleh jika diproduksi dalam skala besar. Tim pengabdi juga memberikan beragam motivasi agar peserta berminat mendirikan usaha sehingga menjadi wirausaha mandiri yang sukses. 114
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
1. Sosialisasi dan praktik di kelompok tani suweg di Desa Karangduren dilaksanakan pada tanggal 14 Mei 2015 di Balai Desa Karangduren. Dalam pertemuan ini dihadiri oleh sebanyak 25 orang peserta. Materi yang disampaikan dalam pertemuan tersebut antara lain: a. b. c. d. e.
Budidaya tanaman suweg agar menjadi tanaman produktif. Khasiat dan manfaat mengkonsumsi buah suweg bagi kesehatan. Praktik aneka resep snack olahan suweg. Strategi memulai bisnis makanan bahan dasar suweg. Memberikan motivasi agar peserta menjadi wirausaha mandiri.
Setelah mengikuti kegiatan ini, ibu-ibu anggota kelompok tani diharapkan mampu menciptakan berbagai jenis produk makanan berbahan dasar suweg dengan menggunakan peralatan sederhana, serta dapat mengembangkan keterampilannya dalam mengolah produk olahan suweg. Yang paling penting adalah dapat tercipta rintisan usaha industri rumah tangga yang memproduksi berbagai jenis makanan yang berbahan dasar suweg sehingga dapat meningkatkan pendapatan warga.
Gambar 6. Kegiatan Sosialisasi dan Praktik di Desa Karangduren Desa Karangduren, dimana wilayah tersebut juga merupakan sentra penghasil suweg. Hampir 50% warga di desa ini memiliki kebun dan pekarangan yang ditumbuhi tanaman suweg. Sebagian besar warga menjual hasil panennya ke pasar dan sebagian lagi 115
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
dibiarkan saja tanpa diolah atau dijadikan campuran pakan ternak. Suweg yang sudah tua akan dipetik dan bila dijual di pasar harganya hanya Rp. 2.000 – Rp. 3.000/kg. Sebagian besar ibu-ibu mmengolah suweg pada bulan puasa sebagai kolak, tanpa ada varian resep baru. Setelah mengikuti kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan oleh Tim Pengabdi IbM dari UNS. Hampir 90 % dari peserta yang hadir tertarik dengan penyajian materi dan demonstrasi pengolahan produk makanan berbahan dasar suweg yang disampaikan oleh Tim Pengabdi dan mereka tertarik untuk mengembangkan makanan tesebut menjadi usaha industri rumah tangga. Namun menurut mereka, masih banyak kendala yang dihadapi ketika meritis usaha makanan dari bahan dasar suweg, diantaranya adalah: pemasaran kurangnya modal dan kurangnya keterampilan pengolahan. C. Pengkaderan dan Pendampingan Mitra Kegiatan pengkaderan bertujuan untuk membimbing mitra yang memiliki minat untuk mengembangkan keterampilannya menjadi usaha bisnis pengolahan snack suweg. Adapun keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan dalam pengolahan berbagai jenis produk makanan berbahan dasar suweg dengan memanfaatkan peralatan yang sudah disediakan oleh tim pengabdi. Dalam kegiatan ini mitra didampingi oleh tim memproduksi aneka snack suweg kemudian dipasarkan melalui even-even tertentu dan menerima pesanan snack.
a
b
Gambar 7. Launching Produk Suweg dalam even Seminar Nasional di FKIP UNS (a), Produk olahan dengan Packaging baru (b) Satu dari tenant yang telah berhasil dibina bahkan menjual sendiri produk makanan yang dibuatnya. Sebelum dipasarkan, produk dikemas semenarik mungkin agar dapat menarik minat konsumen untuk membeli. Mereka juga menganalisis seberapa besar biaya produksi serta berapa banyak keuntungan yang akan diperoleh jika dipasarkan dalam skala yang lebih besar. Tentu saja, keuntungan yang diperoleh lebih besar dari pada hanya menjual berupa suweg mentah yaitu hanya Rp 2.000,- hingga Rp. 3.000,- per kilonya. Berikut analisis perubahan setelah dilaksanakan program pengabdian ini.
116
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
Tabel 4. Gambaran Analisis Perubahan Pelaksanaan Kegiatan IbM Bagi Mitra No Aspek Sebelum Mitra I: Industri Kecil Snack “ Mbak Rini” 1 Jenis Produk Jajanan mengandalkan terigu 2
Sesudah tradisional Aneka produk cake, kue bahan baku dengan memanfaatkan bahan baku umbi waluh
Peralatan
Hanya memiliki satu unit oven Memiliki dua unit oven yang dapat memenuhi peningkatan produksi 3 Kemasan Kemasan Kardus Polos Kemasan yang lebih menarik 4 Standarisasi produk Belum memiliki standar ijin Memiliki standar ijin produksi produksi P-IRT P-IRT 5 Management Belum terpisahkan antara Sudah termanagemen dengan keuangan pengeluaran dan pemasukan baik melalui pembukuan untuk serta penghitungan laba dan memperkirakan laba dan rugi rugi 6 Penggunaan bahan Ketegantungan 100% terhadap Lebih hemat 40% dengan baku tepung terigu dan tepung lain penambahan campuran umbi suweg Mitra II: Kelompok Ibu PKK desa Karangduren 1 Pengetahuan Kurang tau cara budidaya dan Mengetahui cara budidaya dan budidaya suweg manfaat konsumsi umbi manfaat konsumsi umbi suweg suweg 2 Keterampilan Belum memiliki keterampilan memiliki keterampilan dalam pengolahan dalam mengolah aneka mengolah aneka makanan makanan berbahan baku berbahan baku suweg suweg 3 Motivasi peluang Belum ada Ada 2 orang tenant yang bisnis berminat untuk memfollow up kegiatan bisnis makanan berbahan suweg
KESIMPULAN Hasil kegiatan dapat disimpulkan: Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan dan praktik mengenai Pembuatan Aneka Snack Suweg, sebagian besar ibu-ibu tertarik untuk mengambangkan dan memproduksi makanan olahan suweg. Produk makanan yang dikembangkan oleh Mitra industri snack di Desa Klero Tengaran adalah: cake suweg, dodol suweg, kue kering dan tiwul instant suweg. Produk makanan yang dihasilkan oleh mitra dipasarkan ke toko, warung maupun ke minimarket. Dengan hasil penjualan tesebut dapat meningkatkan pendapatan mitra. UCAPAN TERIMA KASIH Tim pengabdian mengucapkan terima kasih kepada: pengelola industri kecil serta koordinator beserta segenap warga Kelompok Tani Karangduren Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang yang telah berpartisipasi dalam kegiatan ini serta berperan dalam 117
Fatmawati, dkk., IbM Industri Kecil Olahan Suweg
menyediakan fasilitas, bahan baku, sarana dan prasarana dalam kegiatan ini. Pengabdi juga mengucapkan terima kasih kepada DIKTI dan LPPM UNS yang telah mendukung dan memfasilitasi kegiatan ini melalui program Hibah Iptek bagi Masyarakat (IbM) tahun 2015. DAFTAR PUSTAKA Farida, D. N. 2011. Temukan tepung suweg sebagai ganti oatmeal bagi penderita kolesterol tinggi, Retrived from www. indonesiaproud.wordpress.com. Hanafie, R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Yogyakarta: ANDI offset Lingga, P. (1997). Bertanam Umbi – umbian. Penebar Swadaya. Jakarta. Soleh, B. (2011). Pemanfaatan Tepung Suweg (Amorphopallus campanulatus) Sebagai Substitusi Tepung Terigu Pada Pembuatan Mi Kering. Unpublished Sarjana Thesis Jurusan Teknologi Hasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebela Maret. Surakarta Turisyawati, R. (2011). Pemanfaatan Tepung Suweg (Amorphopallus campanulatus) Sebagai Substitusi Tepung Terigu Pada Pembuatan Cookies. Unpublished Sarjana Thesis Jurusan Teknologi Hasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebela Maret. Surakarta Yuniati, R. (2011). SUWEG, umbi- umbian Berpotensi yang Belum Populer. Retrived from http://staff.ui.ac.id/ SUWEG, umbi- umbian Berpotensi yang Belum Populer 2011.01.01. Zuraida, N & Supriati, Y. 2001. Pangan alternatif dan diversifikasi sumber karbohidrat. Buletin Agrobio 4(1): 13-23
118
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PELATIHAN PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR URINE SAPI (POC URSA) DI DESA PULOSARI KECAMATAN JAMBON KABUPATEN PONOROGO Nurul Kusuma Dewi1) Anggit Sasmito2) 1
IKIP PGRI MADIUN, 2Alumnus IKIP PGRI MADIUN
Email : [email protected]) [email protected])
ABSTRAK Desa Pulosari Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu desa yang penduduknya mayoritas petani dan berternak sapi karena dianggap mampu menyokong perekonomian dan di sisi lain mendapat keuntungan dari berternak sapi berupa kotoran sapi. Permasalahan yang kemudian berkembang di kalangan peternak sapi adalah sisa kotoran sapi yang berbentuk cair atau urine sapi yang belum termanfaatkan dan hanya dibuang ke lingkungan. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Pulosari dalam mengelola urine sapi mendorong tim mencari solusi untuk permasalahan tersebut dengan memberikan pelatihan kepada peternak untuk mengolah urine sapi dengan fermentasi menjadi pupuk organik cair urine sapi (POC ursa). Solusi ini menjawab permasalahan dalam mengelola urine sapi yang delum termanfaatkan dan hanya dibuang ke lingkungan, terutama pada musim penghujan, dimana pada saat musim penghujan urine sapi mencemari lingkungan dan membuat polusi udara yang mengganggu lingkungan. Solusi ini akan memberikan keuntungan ganda bagi peternak, karena selain tidak mencemari lingkungan dan menyebabkan polusi, tetapi limbah urine sapi juga bisa diolah dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair untuk pertanian masyarakat Desa Pulosari. Kegiatan pelatihan dilakukan kepada kelompok ternak dan kelompok tani Desa Pulosari yang meliputi pelatihan pembuatan dan cara pemanfaatan pupuk organik cair. Masyarakat kelompok peternak dan kelompok tani sangat antusias dengan adanya pelatihan ini. Kata Kunci : limbah urine sapi, fermentasi, pupuk organik cair
PENDAHULUAN Desa Pulosari Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu wilayah yang berada di bagian barat dari Kabupaten Ponorogo dengan luas wilayah 2,55 km2 yang masyarakatnya sebagian besar adalah petani dan peternak sapi. Pekerjaan sebagai petani dan peternak sapi merupakan pilihan bagi masyarakat Desa Pulosari untuk mengurangi biaya dalam pembelian pupuk dan dianggap mampu meningkatkan perekonomian keluarga karena di wilayah Kabupaten Ponorogo sapi termasuk hewan ternak yang memiliki nilai jual yang tinggi dan secara tidak langsung membantu pertanian masyarakat. Desa Pulosari mempunyai potensi untuk menjadi kategori desa mandiri dalam pertanian dan peternakan karena tidak hanya untuk meningkatkan perekonomian keluarga tetapi juga para petani maupun peternak akan mendapatkan pupuk secara organik dalam bentuk padat maupun bentuk cair dari limbah kotoran ternaknya. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo Tahun 2014 mencatat bahwa desa Pulosari memberikan sumbangsih yang besar dalam peternakan khususnya sapi dimana angka total sapi di Kecamatan Jambon adalah 4.642 ekor sapi dan diantaranya dari desa
120
Dewi dan Sasmito, Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik Cair Urine Sapi (Poc Ursa)
Pulosari. Sedangkan di bidang pertanian yang dominan dilakukan adalah penanaman padi dan palawija. Banyaknya masyarakat yang memiliki ternak sapi membuat masyarakat bingung membuang limbah kotoran terutama yang cair karena dianggap mencemari lingkungan dengan bau yang kurang sedap terutama saat musim penghujan tiba. Masyarakat hanya bisa memanfaatkan kotoran padatnya saja, itupun dengan membuangnya langsung ke sawah tanpa pengolahan secara terlebih dahulu. Erat kaitannya dengan pertanian dimana produksi atau hasil pertanian yang kurang maksimal dan tidak stabil karena mahalnya biaya operasional untuk perawatan terutama dalam membeli pupuk. Hal inilah yang mendorong tim mencari solusi untuk kedua permasalahan tersebut, baik limbah cair urine sapi maupun produksi hasil pertanian yang kurang maksimal. Urine sapi sebenarnya mengandung zat kimia yang diperlukan oleh tumbuhan apabila diolah dengan baik melalui fermentasi. Hasil pupuk dari urine sapi baik untuk pertumbuhan tanaman dan baik untuk kualitas hasil panen. Bagi masyarakat Desa Pulosari Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo pembuatan pupuk organik cair ini mudah dalam proses pembuatannya dan juga tidak membutuhkan biaya yang banyak. Selain itu, solusi ini memiliki keuntungan ganda dimana selain masalah limbah urine sapi teratasi dan menjadi produk yang bermanfaat tetapi juga mampu membantu sektor pertanian untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman maupun meningkatkan kualitas hasil panen.
METODE PELAKSANAAN Dalam pembuatan pupuk organik cair dari urine sapi dengan metode fermentasi diperlukan sarana dan prasarana sebagai berikut : a. Drum plastik atau ember plastik berpenutup ukuran 50 atau 100 liter yang digunakan untuk tempat fermentasi urine sapi, dengan penutup rapat agar tidak terkena udara langsung. b. Sprayer (plastik) ukuran 1 liter atau ukuran 15 liter untuk tempat menyemprot atau aplikasi dari pupuk organik cair c. Saringan untuk menyaring bahan-bahan yang digunakan d. Pisau untuk memotong bahan-bahan untuk menjadi ukuran lebih kecil e. Alat penumbuk atau blender untuk menghaluskan semua bahan yang digunakan untuk membuat pupuk f. Kayu pengaduk untuk meratakan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat pupuk organik cair g. Ember sebagai wadah untuk mencampur bahan. Persiapan selanjutnya adalah persiapan bahan dan mencampur bahan-bahan yang digunakan untuk membuat POC. Bahan-bahan yang diperlukan dan dipersiapkan adalah 10 ml EM-4, empon-empon (kunyit, kencur, jahe, temu ireng) masing-masing 0,5 kg yang dihaluskan dan diambil ekstraknya kemudian di rebus dan didinginkan, 10 liter urine sapi, 1 kg gula atau 1 liter tetes tebu sebagai bahan makanan dan sumber energi bagi bakteri, dan 2 liter air. Bahan dan alat yang digunakan tidak sulit untuk mendapatkannya dan cenderung harganya terjangkau. Setelah semua bahan disiapkan maka langkah selanjutnya adalah fermentasi. Perlu diingat dalam proses fermentasi tong harus tertutup rapat agar udara bebas tidak masuk dalam tempat fermentasi. Fermentasi dilakukan untuk 120
Dewi dan Sasmito, Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik Cair Urine Sapi (Poc Ursa)
meningkatkan kandungan N, P, dan K dalam urine sapi. Aktivator dalam fermentasi didapatkan dari EM-4 untuk meningkatkan zat kimia tersebut. Dalam proses fermentasi, wadah boleh dibuka untuk diaduk setiap hari agar bahan-bahan tercampur rata. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan pelatihan kepada peternak dan petani Desa Pulosari dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada tanggal 23 April dan 17 Mei 2014 dengan peserta dari kelompok tani dan ternak. Ada dua lokasi yang digunakan untuk pelatihan yaitu balai desa Pulosari dan bapak Kasdi selaku ketua kelompok tani. Pada tanggal 23 April 2014 kelompok tani dan ternak desa Pulosari mendapatkan pelatihan pembuatan pupuk organik cair. Peserta sangat antusias mengikuti pelatihan tersebut. Pelatihan diawali dengan penyampaian teori dalam pembuatan pupuk organik cair dilanjutkan dengan praktek pembuatannya. Pada praktek pembuatannya ini, peserta dilatih cara membuat yang benar dan juga fermentasi yang tepat. Fermentasi yang tepat akan membantu peningkatan kandungan unsur kimia di dalam pupuk organik cair. Dalam penelitian disebutkan bahwa kualitas yang baik dan fermentasi yang berhasil dan dianggap memiliki keuntungan bagi pertanian ketika merujuk pada penelitian kandungan hara sebelum fermentasi N sebesar 0,50 %, P sebesar 1,00%, dan K sebesar 1,50% dan setelah fermantasi mengalami peningkatan yaitu N sebesar 0,362 %, P sebesar 1,08 %, dan K sebesar 0,127 % (Huda, 2013). Dalam proses pembuatannya fermentasi yang berhasil ketika tempat ditutup dan dibiarkan selama 3 minggu karena pada masa itu terjadi proses fermentasi dan degredasi urine sehingga bau urine akan hilang. Urine diaduk setiap 1 minggu sekali untuk meratakan bahan-bahan dalam tempat fermentasi dan fermentasi rata-rata dilukukan selama 3 minggu. Fermentasi yang berhasil akan memberikan dampak pada pemanfaatannya ketika diaplikasikan ke tanaman. Hasil penelitian membuktikan bahwa urine sapi berpengaruh nyata terhadap umur berbunga, jumlah bunga betina, umur panen dan jumlah cabang produktif dan lama fermentasi akan berpengaruh nyata terhadap jumlah bunga jantan dan jumlah cabang tidak produktif (Mardalena, 2007). Selain itu aplikasi yang benar juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang baik. Hariadi (2011) dalam penelitiannya menyebutkan pemberian beberapa dosis urine sapi memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, umur mulai berbunga, jumlah bunga dan tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah cabang primer sebelum pemangkasan, jumlah cabang primer dan sekunder. Aturan dalam aplikasi pemanfaatan pupuk organik cair juga diberikan pada pelatihan yang kedua. Proses aplikasi yang benar dilaksanakan pada pelatihan berikutnya pada tanggal 17 Mei 2014 dimana peserta mendapatkan pelatihan pemanfaatan pupuk organik cair yang benar dengan metode penyemprotan. Penyemprotan dilakukan ketika awal penanaman dan ketika akan berbunga. Penyemprotan yang benar akan memberikan dampak yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dengan pemanfaatan metode ini diharapkan akan mendapatkan hasil yang maksimal dan hasil panen yang meningkat. Aplikasi pupuk organik cair dapat dilakukan dengan aturan sebagai berikut: ambil 1 liter POC Bio Ursa dari ember atau tong kemudian campurkan pada 10 liter air, kemudian masukkan ke dalam sprayer atau tabung semprot, selanjutnya disemprotkan merata pada tanaman padi milik warga desa Pulosari dengan aturan yang telah disampaikan dalam pelatihan aplikasi pupuk organik cair. Adanya pembuatan pupuk organik cair ini dan aplikasinya akan memberikan banyak keuntungan yang didapat, diantaranya mengurangi 121
Dewi dan Sasmito, Pelatihan Pembuatan Pupuk Organik Cair Urine Sapi (Poc Ursa)
biaya pembelian pupuk untuk pertanian, mengurangi limbah dan bau yang tidak sedap dari urine sapi, hasil panen yang meningkat dan cenderung stabil, dan akan membentuk Desa Pulosari sebagai desa mandiri di Kabupaten Ponorogo. Hal inilah yang membuat peserta antusias dalam mengikuti pelatihan dalam membuat pupuk organik cair. KESIMPULAN Pelatihan ini berupa cara pembuatan pupuk organik cair dan aplikasinya. Proses pembuatan pupuk organik cair ini dimulai dengan persiapan alat dan bahan. Bahan-bahan yang telah disiapkan dan diaduk rata, difermentasi selama 3 minggu. Untuk aplikasinya langsung dilaksanakan pada tanaman padi milik warga dengan aturan yang sebelumnya telah diberitahukan. Pelatihan dapat mengurangi urine sapi yang menimbulkan bau dan membantu penyediaan pupuk bagi para petani sehingga mengurangi biaya dan memaksimalkan hasil produksi atau hasil panen. SARAN Pembuatan pupuk organik cair sangat membantu para peternak dan petani. Untuk proses fermentasinya lebih baik diletakkan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung dan yang sangat perlu hati-hati ketika mengaduk karena berhubungan langsung dengan udara sekitar yang bisa membuat gagal membuat pupuk organik cair. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Daerah Kecamatan Jambon 2015. Ponorogo: Badan Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo Hariadi, Surya Adhe. 2011. Pengaruh Pemberian Beberapa Dosis Urine Sapi terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Rosella. Padang: Universitas Andalas Huda, Khoirul Muhammad. 2013. Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Urine Sapi dengan Aditif Tetes Tebu (Molesses) Metode Fermentasi. Semarang: Universitas Negeri Semarang Mardalena. 2007. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Mentimun terhadap Urine Sapi yang Telah Mengalami Perbedaan Lama Fermentasi. Medan: Universitas Sumatra Utara Susetyo, Adi Noor. 2013. Pemanfaatan Urine Sapi sebagai POC (Pupuk Organik Cair) dengan Penambahan Akar Bambu melalui Proses Fermentasi dengan Waktu yang Berbeda. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
122
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) BERBASIS LESSON STUDY(LS) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR KOGNITIF MAHASISWA SEMESTER III PENDIDIKAN BIOLOGI UNIVERSITAS NEGERI MALANG Farida Nurlaila Zunaidah Universitas Nusantara PGRI Kediri, Jln. KH. Ahmad Dahlan no 76 Kediri
[email protected] ABSTRAK Pembelajaran berbasis student center kini mulai digalakkan. Penggunaan berbagai macam model pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar kognitif sudah mulai dipilih sebagai alternatif untuk menghidupkan kembali aktifitas student center tersebut. Salah satu model pembelajaran yang dipakai adalah Think Pair Share (TPS) berbasis Lesson Study (LS). Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa melalui model pembelajaran TPS berbasis Lesson Study (LS). Penelitian ini termasuk dalam penelitian tindakan kelas (PTK) berbasis Lesson Study (LS) dengan menggunakan dua siklus dan masing-masing siklus terdiri atas tahap Plan, Do dan See. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dalam penelitian ini diketahuai adanya peningkatan hasil belajar kognitif dengan membandingkan hasil belajar kognitif dari siklus pertama dengan hasil belajar kognitif siklus kedua. Kata kunci: Think Pair Share (TPS), Lesson Study (LS), Hasil belajar Kognitif
PENDAHULUAN Pembelajaran student center kini semakin dioptimalkan implementasinya. Pengoptimalan ini bertujuan untuk menghidupkan aktifitas mahasiswa dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Sering kali suasana pembelajaran yang membosankan dan kurang memberdayakan mahasiswa membuat suasana perkuliahan menjadi monoton dan akhirnya menimbulkan pembelajran satu arah saja, yakni hanya memperhatikan penjelasan dari dosen saja. Pembelajaran yang demikian akhirnya akan menimbulkan aktifitas teacher center bukan student center. Matakuliah Metode Penelitian merupakan salah satu matakuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa semester III pada prodi Pendidikan Biologi di Universitas Negeri Malang. Inti materi dalam perkuliahan Metode Penelitian ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang nantinya ingin mengembangkan kreatifitas keilmuannya dalam sebuah kegiatan ilmiah. Namun seringkali penyampaian materi dalam perkulihan tersebut hanya menggunakan metode ceramah, diskusi dan tanya jawab. Model pembelajaran yang monoton akan menurunkan semangat mahasiswa dalam mengikuti perkulihan dan akan mempengaruhi hasil belajar dari mahasiswa tersebut. Salah satu model pembelajaran yang memberdayakan student center adalah model pembelajaran Think Pair Share (TPS) berbasis Lesson Study (LS). TPS Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan Koleganya di universitas Maryland sesuai yang dikutip Arends (1997),menyatakan bahwa think pair share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Prosedur yang digunakan dalam 124
Zunaidah, Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Berbasis Lesson Study(Ls)
think pair share dapat memberi mahasiswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu, sedangkan dosen hanya memberikan stimulus pada awal kegiatan perkuliahan dengan memberikan suatu masalah dan membantu jalannya diskusi antar kelompok mahasiswa serta membantu antar kelompok untuk menyimpulkan hasil diskusinya. Lesson Study (LS) dipergunakan untuk membantu merencanakan pelaksanaan model TPS, memantau jalannya pelaksanaan model TPS dan mengevaluasi hasil pembelajaran dengan menggunakan model TPS. METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong Penelitian Tindakan Kelas (PTK) berbasis Lesson Study (LS).Penelitian terdiri atas dua siklus, dan masing-masing siklus terdiri atas tahap Plan, Do, dan See.Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Keterlibatan peneliti yaitu sebagai penyusun rencana pembelajaran sekaligus sebagai guru model, pengumpul data, dan penganalisis data. Observer berjumlah 6 orang yang terdiri atas 5 orang tim peneliti dan satu orang Dosen Pengampu Matakuliah yang bertugas untuk mengamati proses pembelajaran berdasarkan pedoman yang telah disusun oleh peneliti. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester III program studi Pendidikan Biologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Negeri Malang yang berjumlah 24 orang, terdiri atas 23 mahasiswi dan seorang mahasiswa. Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang pada matakuliah Metode Penelitian.Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2013—2014, pada bulan Oktober 2013. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan dalam uraian berikut. a. Catatan Lapangan Catatan lapangan merupakan catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif. b. Tes Hasil Belajar Kognitif Tes hasil belajar kognitifmerupakan tes yang diberikan untuk mengukur hasil belajar kognitif. Tes yang akan diberikan berupa tes uraian. Tes hasil belajar kognitif diberikan pada akhir siklus. c. Lembar Monitoring Keterlaksanaan Plan, Do, dan See Lembar monitoring keterlaksanaan Plan, Do, dan See digunakan untuk memonitor keterlaksanaan tahapan Lesson Study. Lembar tersebut diisi oleh anggota timLesson Study selama pelaksanaan LS berlangsung. Tahap-tahap atau prosedur dalam penelitian PTK berbasis LS ini meliputi. a. Tahap Planning (Perencanaan) Pada tahap ini, dosen model menyiapkan perangkat sebagai berikut. 1. 124
Menyusun RPP
Zunaidah, Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Berbasis Lesson Study(Ls)
2. 3. 4. 5.
Menyusun soal tes kognitif Menyiapkan lembar monitoring keterlaksanaan Plan, Do, dan See Menyiapkan Lembar Petunjuk Kerja Mahasiswa tentang “Cara Membuat Prosedur Penelitian” Menyiapkan media pembelajaran (power point)
Selanjutnya, dosen model bersama-sama dengan anggota tim LS, mendiskusikan perangkat yang telah disusun untuk memberikan masukan, kritik, maupun saran untuk perbaikan perangkat pembelajaran. b. Tahap Implementing Dosen model melaksanakan pembelajaran yang mengacu pada sintaks TPS yang telah dimodifikasi sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
menjelaskan tujuan pembelajaran menggali pengetahuan awal (think) orientasi mahasiswa pada masalah (think) Pemecahan masalah melalui diskusi kelompok berpasangan (pair) Membimbing mahasiswa menyusun prosedur penelitian secara tertulis dan power point Mempresentasikan hasil diskusi (Share) refleksi dan evaluasi (penilaian penampilan, dan tes tertulis)
Pada tiap pertemuan, dilaksanakan tahap-tahap LS antara lain Plan, Do, dan See. Plan berisi agenda diskusi perangkat pembelajaran yang telah disusun. Do berisi penerapan perangkat pembelajaran oleh seorang dosen model. See berisi agenda refleksi pada tiap pertemuan. c. Tahap Reflecting Pada tahap ini, dilakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilaksanakan.Hasil refleksi ditanggapi oleh dosen model, dan digunakan untuk bahan perbaikan kualitas pembelajaran.
Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan untuk mengetahui keterlaksanaan Lesson Study, peningkatan keterampilan sosial/interpersonal, dan hasil belajar kognitif melalui penerapan model pembelajaran TPS. Teknik analisis data untuk masing-masing variabel akan dijelaskan sebagai berikut. a. Keterlaksanaan Lesson Study Data keterlaksanaan Lesson Study dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui keterlaksanaan tahap Plan, Do, dan See yang telah direkam melalui lembar observasi. b. Hasil Belajar Kognitif Data hasil belajar kognitif diperoleh dari nilai tes akhir siklus I dan II.Rentangan penilaian dapat dilihat pada Tabel 3.5. Ketercapaian belajar mahasiswa dapat dihitung dengan rumus berikut Ketercapaian mahasiswa =
𝛴 skor yang dicapai 𝛴 skor maksimum
× 100 % 125
Zunaidah, Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Berbasis Lesson Study(Ls)
Tabel 1 Indikator Keberhasilan Tindakan Rentangan Angka (%) 89—100 76—88 51—75 41—50 0—40
Keterangan Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Pembelajaran Siklus I Planning (Perencanaan) Pada tahap ini, dosen model bersama observer merancang perangkat pembelajaran yang digunakan selama siklus 1. Perangkat yang disusun antara lain Rencana Pelaksanaan Perkuliahan untuk pertemuan ke 1 dan 2, Petunjuk Kerja Mahasiswa, rambu-rambu jawaban, media power point, dan rubrik penilaian hasil belajar kognitif. Perangkat lain yang disiapkan antara lain lembar monitoring Plan, Do, dan See, Lembar Observasi Pembelajaran selama Lesson Study (LS), daftar hadir peserta LS, serta angket balikan untuk Mahasiswa. Model pembelajaran yang digunakan adalah Think Pair Share (TPS).Materi yang diajarkan pada siklus I adalah membuat ide eksperimen dan mengembangkannya. Implementing dan Observing Pada tahap implementing dan observing, dilakukan implementasi perangkat pembelajaran.Tahap ini terdiri atas dua kali siklus Plan-Do-See. Masing-masing tahapan akan dijelaskan sebagai berikut. a. Plan I (9 dan 10 September 2013) Tahap Plan 1 dilaksanakan selama dua hari, bertempat di gedung RR UM pukul 19.00 sampai 21.00 WIB.Pada tahap ini, dosen model mendiskusikan perangkat pembelajaran yang telah disusun bersama observer. Kegiatan ini diikuti oleh lima orang observer. Pada tahap plan, dihasilkan saran-saran dan perbaikan untuk penyempurnaan perangkat pembelajaran dan kegiatan pembelajaran. b. Do I (17 September 2013) Tahap Do 1 dilaksanakan di Gedung Kuliah Bersama FMIPA UM jam ke 1-2.Pada tahap ini melaksanakan proses perkuliahan sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya. c. See I (17 September 2013) See atau refleksi pertemuan ke 1 dilaksanakan setelah kegiatan Do 1 pada tanggal 17 September 2013 bertempat di Lobi GKB lantai 2 pada pukul 08.40—09.30 WIB. Kegiatan see diikuti oleh 7 orang peserta yaitu Dosen model dan 5 orang observer beserta dosen pengampu matakuliah Metode Penelitian. Pada tahap See, observer dan 126
Zunaidah, Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Berbasis Lesson Study(Ls)
dosen pengampu menyampaikan beberapa saran dan masukan yang akan digunakan dosen model untuk memperbaiki pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Kesempatan refleksi pertama diberikan kepada dosen model selanjutnya dilakukan oleh tiap-tiap observer. d. Plan II (17 Oktober 2013) Plan II dilaksanakan di Gedung RR tanggal 17 Oktober 2013 pukul 18.30 sampai dengan 21.00 WIB.Peserta yang hadir adalah dosen model dan 5 orang observer. Agenda plan II ini adalah menyempurnakan perencanakan pembelajaran pada pertemuan ke-2 berdasarkan hasil refleksi pada pertemuan ke-1. Perangkat pembelajaran berupa RPP, media power point, dan petunjuk kerja sudah disusun oleh dosen model. Dalam kegiatan plan, tahap pertama adalah memberi saran dan masukan untuk penyempurnaan perangkat pembelajaran. Untuk petunjuk kerja dan media, tidak terlalu banyak diperbaiki karena keduanya menggunakan media yang sama dan dirasa cukup lengkap dan siap untuk diterapkan kembali. Untuk RPP, saransaran yang diberikan terkait dengan pengelolalan waktu dan kegiatan pembelajaran. Untuk kegiatan apersepsi, mahasiswa akan diorientasikan pada permasalahan melalui serangkaian pertanyaan. Pertemuan ke-2 merupakan lanjutan dari pertemuan sebelumnya, sehingga disepakati bahwa pada kegiatan apersepsi, mahasiswa akan diingatkan kembali tentang pertemuan yang lalu, yaitu mengenai mencari ide penelitian. Pada pertemuan ini, tidak dilakukan postes untuk siklus I, untuk hasil belajar diperoleh dari hasil tes tulis diakhir siklus I. Berdasarkan hasil refleksi, pada kegiatan penutup, mahasiswa yang menyampaikan refleksi diusahakan lebih dari satu orang, kemudian dosen memberikan penguatan setelah mahasiswa menyampaikan hasil refleksi. Berdasarkan hasil tabulasi lembar monitoring Plan, didapatkan bahwa hampir keseluruhan tahapan plan telah dilaksanakan. Dalam kegiatan plan telah didiskusikan RPP, media, alat evaluasi, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan penentuan dosen model. e. Do II (18 September 2013) Kegiatan Do II dilaksanakan pada tanggal 18 September 2013, jam ke 7-8, bertempat di ruang GKB 205 dan melaksanakan semua kegiatan yang telah dirancang pada tahap plan. f. Refleksi II (18 Oktober 2013) Kegiatan refleksi II dilaksanakan setelah kegiatan Do, bertempat di ruang GKB 205 pada jam ke-9. Kegiatan refleksi II dihadiri oleh 5 orang observer dan satu orang dosen pengampu matakuliah Metode Penelitian.Pada kegiatan refleksi, dosen model, observer, dan dosen pengampu secara bergantian menyampaikan hasil refleksi pembelajaran yang telah dilaksanakan. Reflecting Pada tahap reflecting, dilakukan refleksi terhadap keseluruhan pembelajaran selama siklus I, yaitu pada pertemuan ke-1 dan 2.Refleksi dirangkum dari refleksi pada pertemuan ke-1 dan 2.
127
Zunaidah, Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Berbasis Lesson Study(Ls)
Deskripsi Pembelajaran Siklus II Planning Berdasarkan hasil refleksi siklus I, dosen model merancang perangkat pembelajaran untuk siklus II. Model yang digunakan tetap Think Pair Share berbasis Lesson Study (LS). Perangkat pembelajaran yang disiapkan oleh dosen moden diantaranya Rencana Pelaksanaan Perkuliahan untuk pertemuan ke 3 dan 4, Petunjuk Kerja Mahasiswa, ramburambu jawaban untuk petunjuk kerja, media power point, soal postes siklus II, ramburambu jawaban untuk soal postes dan rubrik penilaian hasil belajar kognitif. Perangkat lain yang disiapkan antara lain lembar monitoring Plan, Do, dan See, Lembar Observasi Pembelajaran selama Lesson Study (LS), daftar hadir peserta LS, serta angket balikan untuk Mahasiswa. Materi yang akan diajarkan pada siklus II adalah Menyusun Prosedur Eksperimen Implementing dan Observing Pada tahap ini, dilakukan implementasi dari perangkat pembelajaran yang telah disusun pada tahap Planning.Tahap implementing dan observing terdiri atas dua kali pertemuan atau dua kali tahap Plan-Do-See. Masing-masing tahap akan dijelaskan sebagai berikut. a. Plan I (20September 2013) Tahap plan I pada siklus II diisi dengan diskusi perangkat pembelajaran yang telah disusun oleh dosen model. Tahap Plan I untuk siklus II dilaksanakan pada tanggal 20 September 2013 pukul 16.00—17.30 di gedung RR. Anggota tim LS yang hadir diantaranya dosen model dan 5 orang observer b. Do I (24 September 2013) Pelaksanaan Do untuk pertemuan I siklus II dilaksanakan pada hari Rabu, 24 September 2013 di ruang GKB 204 pada jam ke 1—2. Kegiatan Do dihadiri oleh satu orang dosen pengampu matakuliah Metode Penelitian, dan lima orang observer. c. See I (9 Oktober 2013) Kegiatan refleksi I untuk siklus II dilaksanakan setelah kegiatan Do, bertempat di ruang GKB 203 pada jam ke-3. Kegiatan refleksi II dihadiri oleh lima orang observer dan satu orang dosen pengampu matakuliah Metode Penelitian. Pada kegiatan refleksi, dosen model, observer, dan dosen pengampu secara bergantian menyampaikan hasil refleksi pembelajaran yang telah dilaksanakan. d. Plan II (24 Oktober 2013) Kegiatan Plan II untuk siklus II dilaksanakan di RR pukul 19.00—21.00 WIB. Kegiatan plan dihadiri oleh 6 orang anggota LS yang terdiri dari 1 dosen model dan 5 orang observer. Kegiatan plan II diagendakan untuk mendiskusikan pembelajaran pada pertemuan ke-4. Perangkat pembelajaran yang berupa RPP, LKM, lembar monitoring LS, dan soal postes siklus II beserta kunci jawaban telah diselesaikan dan siap untuk didiskusikan.
128
Zunaidah, Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Berbasis Lesson Study(Ls)
e. Do II (25 Oktober 2013) Kegiatan Do II dilaksanakan di luar jadwal yang telah ditentukan.Perkuliahan dilaksanakan di ruang GKB 103 pada jam ke-7—8. Kegiatan do dihadiri oleh satu orang dosen pengampu matakuliah dan lima orang observer. f. See II (17 Oktober 2013) See II untuk siklus II dilaksanakan pada pukul 19.00 di RR. Kegiatan see diikuti oleh lima orang observer. Kegiatan see pada tahap pertama diisi oleh refleksi dosen model setelah melaksanakan perkuliahan dilanjutkan dengan refleksi dari tiap-tiap observer Reflecting Pada tahap ini dilakukan refleksi terhadap keseluruhan pembelajaran pada siklus II.Kegiatan diawal perkuliahan, selama proses perkuliahan dan diakhir proses perkulihan pada pertemuan 3 dan 4. Berdasarkan hasil analisis data pada siklus I, diperoleh rerata hasil belajar kognitif sebesar 76,70, sedangkan rerata hasil belajar kognitif untuk siklus II sebesar 82,9. Jika dua rerata tersebut dibandingkan terjadi peningkatan hasil belajar kognitif. Bruner dan Shulman (1991) menyatakan bahwa Pemahaman akan muncul dari interaksi antara skenario masalah dan lingkungan belajar. Berdasarkan pernyataan tersebut, proses perkuliahan dengan menggunakan model think pair share (TPS) cukup efektif dalam membantu mahasiswa untuk meningkatkan hasil belajar secara kognitif. Dalam model TPS ini mahasiswa dituntut untuk memecahkan suatu masalah yang diberikan oleh dosen secara berpasangan. Diskusi secara berpasangan dirasa lebih efektif dan lebih fokus dalam memecahkan permasalahan yang ada. Forum diskusi untuk tiap-tiap pasangan berguna untuk mempublikasikan hasil diskusi tiap-tiap pasangan, bertukar pikiran, bertukar pendapat dan memberikan saran antar pasangan. Dengan demikian akan diperoleh keKESIMPULAN yang fokus pada pemecahan masalah yang sama.
KESIMPULAN Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) berbasis Lesson Study (LS) mampu meningkatkan hasil belajar kognitif mahasiswa. Saran 1. 2.
Dilakukan kajian lebih lanjut mengenai metode pembelajaran lain yang mampu meningkatkan kemampuan hasil belajar kognitif. Sebaiknya diukur juga keterlaksanaan sintaks dari TPS untuk memonitor konsistensi guru/dosen dalam menerapkan sintaks TPS
129
Zunaidah, Penerapan Model Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Berbasis Lesson Study(Ls)
DAFTAR PUSTAKA _________.2012. Model Pembelajaran Tink Pair Share (TPS). (online) http://www.asikbelajar.com/2012/11/model-pembelajaran-think-pair-sharetps.html diakses pada tanggal 5 Oktober 2013 Kajian Pustaka. 2013. Pengertian Strategi Think Pair Share. (online) http://www.kajianpustaka.com/2013/04/strategi-belajar-think-pair-share.html diakses tanggal 5 Oktober 2013 Mastuti. 2009. Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Dengan Model Pembelajaran Kooperatif TPS (Think Pair Share) Pada Siswa Kelas IIID SMP Negeri 2 Gondang Sragen Tahub Ajaran 2008/2009. Skripsi tidak diterbitkan. FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta Arikunto, Suharsimi. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Idrus, Muhammad. 2007. Hubungan Antar Teman Sebaya dengan Kompetensi Interpersonal Mahasiswa. FIAI UII Yogyakarta. Susilo, Herawati, Chotimah, Husnul, dan Sari, Yuyun Dwita. 2009. Penelitian Tindakan Kelas sebagai Sarana Pengembangan Keprofesionalan Guru dan Calon Guru. Malang: Bayumedia. Susilo, Herawati, Chotimah, Husnul, Sulistyowati, Kabut, Kartini, Ikhsan Mohammad, dan Heriningsih, Dwi Puspa. 2010. Lesson Study Berbasis MGMP sebagai Sarana Pengembangan Keprofesionalan Guru. Malang: Surya Pena Gemilang. Susilo, Herawati. 2013. Rencana Perkuliahan Semester Metode Penelitian
130
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
INVENTARISASI TANAMAN PENEDUH DI JALAN PROTOKOL KOTA KEDIRI: KAJIAN AWAL STUDI KELAYAKAN DARI PERSPEKTIF EKOLOGI TATA RUANG KOTA Nadya Ismi Putri Triesita1), Bella Nanda Pamela, Asep Satria Kurniawan, Agus Muji Santoso Progam Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusantara PGRI Kediri 1) koresponden penulis: [email protected]
ABSTRAK Pohon peneduh memiliki fungsi yang vital sebagai penyangga ekosistem di jalan, khususnya jalan protokol yang memiliki beban polusi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengiventarisasi jenis tanaman peneduh yang terdapat di jalan protokol Kota Kediri sebagai dasar kajian selanjutnya untuk menentukan kelayakan jenis pohon peneduh berdasarkan arsitektur percabangan dan ekologinya. Penelitian ini berjenis survei lapangan dengan teknik observasi langsung, mulai Januari hingga Maret 2015 pada delapan jalan protokol. Hasil yang diperoleh terdapat 54 jenis tanaman pada keseluruhan jalan. Jalan Dr. Sahardjo memiliki jumlah tanaman peneduh terbanyak (34 jenis) dan Jalan Panjaitan memiliki jumlah jenis tanaman peneduh terendah (8 jenis). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, profil jumlah tiap jenis pohon, arsitektur percabangan dan kajian ekologinya, serta analisis kelayakannya sesuai peraturan perundangan. Kata kunci: jalan protokol, Kota Kediri, tanaman peneduh.
PENDAHULUAN Kota merupakan suatu tempat dimana terdapat konsentrasi penduduk dengan pusat aktivitasnya seperti industri, perdagangan, pendidikan dan jasa. Jumlah penduduk yang relatif besar menuntut tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Kebutuhan akan sarana dan prasarana dapat terpenuhi dengan pembangunan, baik fisik maupun non fisik, yang intensitasnya akan terus meningkat (Rusdianto, 2008). Jalan kota merupakan elemen yang penting bagi kota sebagai akses untuk masuk, penghubung antar kawasan, dan jalur pergerakan orang dan barang. Jalan pada kawasan perkotaan umumnya ditandai dengan lalu lintas yang padat dan tingkat polusi yang tinggi. Jalur hijau jalan dapat berperan untuk mengurangi polusi akibat emisi dari kendaraan, yang antara lain berbentuk gas pencemar dan partikel padat (Desianti, 2011). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2004, jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, dan/atau air serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Pada sisi lain, pada kawasan perkotaan ruang terbuka hijau disediakan dalam bentuk taman kota, hujan kota, sabuk hijau, jalur hijau jalan, RTH ruang pejalan kaki, RTH di bawah jalan layang, dan RTH fungsi tertentu seperti RTH sempadan kereta api dan RTH pemakaman (Desianti, 2011).
132
Prosiding Seminar Simbiosis I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN :
Jalur hijau adalah dominasi elemen lansekapnya adalah tanaman (Menteri Pekerjaan Umum, 2012). Menurut Syahindra (2014) Jalur hijau jalan adalah area memanjang yang ditanami pepohonan, rerumputan, dan tanaman, jalur hijau ini terdapat di pinggir jalur pergerakan dan/atau median jalan. Ruang terbuka hijau dapat berupa jalur pengaman jalan untuk pejalan kaki, taman pulau yang biasanya terletak di tengah persimpangan jalan, dan taman sudut jalan yang berada di sisi persimpangan jalan. Menurut Santoso dkk (2012) tanaman peneduh adalah tanamana yang berada di pinggir jalan. Tanaman peneduh adalah jenis tanaman berbentuk pohon dengan percabangan yang tingginya lebih dari 2 meter dan dapat memberikan keteduhan dan penahan silau cahaya matahari bagi pengguna jalan (Menteri Pekerjaan Umum, 2012). Beberapa fungsi jalur hijau jalan yaitu sebagai penyegar udara, peredam kebisingan, mengurangi pencemaran polusikendaraan, perlindungan bagi pejalan kaki dari hujan dan sengatan matahari, pembentuk citra kota, dan mengurangi peningkatan suhu udara. Selain itu, akarpepohonan dapat menyerap air hujan sebagai cadangan air tanah dan dapat menetralkan limbah yang dihasilkan dari aktivitas perkotaan (Syahindra, 2014). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis tanaman peneduh yang ada di jalan protokol Kota Kediri yang fungsinya sangat vital bagi pengguna jalan yaitu sebagai kontrol polusi udara, media resapan air hujan, perlindungan dari sengatan matahari dan hujan, serta meningkatkan estetika Kota yang berupa ruang terbuka hijau dalam bentuk jalur hijau di sepanjang jalan protokol Kota Kediri. Serta untuk menambah kajian mengenai inventarisasi tanaman peneduh jalan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini berjenis survei langsung di lapangan dan data berupa jenis pohon peneduh diidentifikasi, dicatat, dan ditabulasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2015 di sembilan jalan protokol Kota Kediri yang meliputi Jalan Dr. Sahardjo, Jalan KH. Ahmad Dahlan, Jalan Gatot Subroto, Jalan Semeru, Jalan KH. Agus Salim, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Super Semar, Jalan Letjend DI. Panjaitan, dan Jalan Suparjan MW. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman yang berada di sepanjang jalan protokol Kota Kediri. Tanaman yang diamati adalah tanaman yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasa pemerintah Kota Kediri. Alat yang digunakan antara lain kamera yang digunakan untuk dokumentasi, alat tulis, dan buku pegangan identifikasi karya Tjitrosoepomo (2007) dan van Steenis (2008). Jalan yang dipilih sebagai lokasi pengambilan data adalah jalan protokol di Kota Kediri yang merupakan jalan utama penghubung antar kota sehingga ramai dilalui oleh angkutan umum dan berbagai jenis kendaraan pribadi yang lalu lintasnya cenderung macet hingga padat merayap pada pagi dan sore hari dan ramai di lalui oleh pejalan kaki.
132
Triesita, dkk., Inventarisasi Tanaman Peneduh Di Jalan Protokol Kota Kediri
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap awal dilakukan identifikasi ruas jalan protokol di Kota Kediri. Informasi nama-nama jalan protokol yang terdapat di Kota Kediri diperoleh dari Dinas Perhubungan dan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kediri. Terdapat delapan jalan protokol di Kota Kediri yaitu Jalan Dr. Sahardjo, Jalan K.H. Ahmad Dahlan, Jalan Semeru, Jalan K.H. Agus Salim, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Super Semar, Jalan Letjend DI. Panjaitan, dan Jalan Suparjan MW. Inventarisasi jenis tanaman peneduh yang terdapat di jalan portokol Kota Kediri telah dilakukan dan diperoleh 54 jenis tanaman tersebar di delapan jalan protokol. Adapun ke 54 jenis tanaman tersebut tertabulasi pada Tabel 1 sebagai berikut Tabel 1. jenis tanaman peneduh yang ada di jalan protokol Kota Kediri No.
Jenis Tanaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Flamboyan (Delonix regia) Angsana (Pterocarpus indicus) Ketapang (Terminaria cattapa) Kupu-Kupu (Bauhinia purpurea) Kirai Payung (Filicium decipiens) Johar (Cassia multiyoga) Tanjung (Mimusops elengi) Mahoni (Swietenia mahagoni) Damar (Agathis alba) Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Asem Kranji (Pithecelobium dulce) Cemara (Cupresus papuana) Pinus (Pinus merkusii) Beringin (Ficus benjamina) Lamtoro (Leucaena leucocephala) Nangka (Artocarpus integra) Jati (Tectona grandis) Trembesi (Samanea saman) Dadap (Erythrina variegata) Waru (Hibiscus tiliaceus) Biola Cantik (Ficus pandurata) Damar Kaca (Shorea javanica) Jambu Darsana (Eugenia malaccensis) Mangga (Mangifera indica) Sawo Kecik (Manilkara kauki) Pulai (Alstonia scholaris) Randu (Ceiba pentandra) Jambon (Anthocephalus chinensis) Jambu Mente (Anacardium occidentale) Wareng (Gmelia arborea) Kersem (Muntingia calabura) Sirsak (Annona muricata) Sukun (Artocarpus altilis) Salam (Syzygium polyanthum) Glogok Tiang (Polyalthia longifolia) Manggis (Garcinia mangostana)
DS √ √ √
AH √ √
Kode Nama Jalan Sm AS PK SS √
√ √
√ √ √ √ √ √
√ √
√ √
Sp
√
√ √
√ √
√ √ √ √
√
Pj
√ √
√ √
√
√
√ √
√
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√ √ √
√
√ √
√ √ √
√
√ √
√
√
√ √ √
√
√
√
√ √ √ √
√
√
√ √ √
√
√
√ √ √
√ √
√ √ √ √
√ √
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
√ √
√ √ √ √ √ √
√
√ √
√ √ √
√ √
√ √ √
√ √
√
133
Triesita, dkk., Inventarisasi Tanaman Peneduh Di Jalan Protokol Kota Kediri
37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54.
Palem Putri (Veitchia merillii) Jambu Biji (Psidium guajava) Ketela Pohon (Manihot esculenta) Bilmbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Alpukat (Persea americana) Pete (Parkia speciosa) Kenanga (Cananga odorata) Matoa (Pometia pinnata) Srikaya (Annona squamosa) Jarak Pagar (Jatropha curcas) Murbei (Morus alba) Mangkokan (Polyscias scutellaria) Rambutan (Nephelium lappaceum) Merak (Caesalpinia pulcherrima) Melinjo (Gnetum gnemon) Ketela Karet (Manihot glaziovii) Mengkudu (Morinda citrifolia) Sawo Hijau (Chrysophyllum cainito) Total
√ √
√
√ √
√ √ √ √
√
√
√ √
√
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √
34
√ √ √
√
√
√
√ √ 28
√ 17
14
20
13
8
Keterangan: DS = Jl. Dr. Sahardjo; AH = Jl. KH. Achmad Dahlan, Sm = Jl. Semeru, AS = Jl. Agus Salim, PK = Jl. Perintis Kemerdekaan, SS = Jl. Super Semar, Pj = Jl. Letjend DI. Panjaitan, Sp = Jl. Suparjan MW
Berdasarkan Tabel 1, tersebut berhasil dientifikasi sejumlah 54 jenis tanaman peneduh jalan yaitu Flamboyan (D. regia), Angsana (P. indicus), Ketapang (T. cattapa), Kupu-Kupu (B. purpurea), Kirai Payung (F. decipiens), Johar (C. multiyoga), Tanjung (M. elengi), Mahoni (S. mahagoni), Damar (A. alba), Nyamplung (C. inophyllum), Asem Kranji (P. dulce), Cemara (C. papuana), Pinus (P. merkusii), Beringin (F. benjamina), Lamtoro (L. leucocephala), Nangka (A. integra), Jati (T. grandis), Trembesi (S. saman), Dadap (E. variegata), Waru (H. tiliaceus), Biola Cantik (F. pandurata), Damar Kaca (S. javanica), Jambu Darsana (E. malaccensis), Mangga (M. indica), Sawo Kecik (M. kauki), Pulai (A. scholaris), Randu (C. pentandra), Jambon (A. chinensis), Jambu Mente (A. occidentale), Wareng (G. arborea), Kersen (M. calabura), Sirsak (A.muricata), Sukun (A. altilis), Salam (S. polyanthum), Glogok Tiang (P. longifolia), Manggis (G. mangostana), Palem Putri (V. merillii), Jambu Biji (P. guajava), Ketela Pohon (M. esculenta), Bilmbing Wuluh (A. bilimbi), Alpukat (P. americana), Pete (P. speciosa), Kenanga (C. odorata), Matoa (P. pinnata), Srikaya (A. squamosa), Jarak Pagar (J. curcas), Murbei (M. alba), Mangkokan (P. scutellaria), Rambutan (N. lappaceum), Merak (C. pulcherrima), Melinjo (G. gnemon), Ketela Karet (M. glaziovii), Mengkudu (M. citrifolia), dan Sawo Hijau (C. cainito). Berdasarkan Tabel 1 tersebut, jalan yang memiliki jumlah jenis tanaman peneduh jalan yang terbesar adalah Jalan Dr. Sahardjo dengan 34 jenis tanaman yang berbeda meliputi Flamboyan (Delonix regia), Angsana (Pterocarpus indicus), Ketapang (Terminaria cattapa), Kirai Payung (Filicium decipiens), Johar (Cassia multiyoga), Tanjung (Mimusops elengi), Mahoni (Swietenia mahagoni), Damar (Agathis alba), Asem Kranji (Pithecelobium dulce), Beringin (Ficus benjamina), Lamtoro (Leucaena leucocephala), Nangka (Artocarpus integra), Jati (Tectona grandis), Trembesi (Samanea saman), Waru (Hibiscus tiliaceus), Damar Kaca (Shorea javanica), Mangga (Mangifera indica), Sawo Kecik (Manilkara kauki), Randu (Ceiba pentandra), Jambon (Anthocephalus chinensis), Kersem (Muntingia calabura), Glogok Tiang (Polyalthia longifolia), Palem Putri (Veitchia merillii), Jambu Biji (Psidium guajava), Bilmbing 134
25
Triesita, dkk., Inventarisasi Tanaman Peneduh Di Jalan Protokol Kota Kediri
Wuluh (Averrhoa bilimbi), Alpukat (Persea americana), Matoa (Pometia pinnata), Jarak Pagar (Jatropha curcas), Murbei (Morus alba), Mangkokan (Polyscias scutellaria), Rambutan (Nephelium lappaceum), Merak (Caesalpinia pulcherrima), Melinjo (Gnetum gnemon), dan Ketela Karet (Manihot glaziovii). Adapun jalan protokol di Kota Kediri yang memiliki jumlah jenis tanaman peneduh pohon yang paling rendah adalah Jalan Letjend DI. Panjaitan. Jalan Letjend DI. Panjaitan hanya ditumbuhi sejumlah delapan jenis tanaman. Delapan jenis tanaman peneduh jalan tersebut meliputi Angsana (P. indicus), Tanjung (M. elengi), Nangka (A. integra), Waru (H. tiliaceus), Jambu Darsana (E. malaccensis), Kersem (M. calabura), Sirsak (A. muricata), dan Sukun (A. altilis). Jalan dengan jumlah jenis berbesar kedua adalah Jalan KH. Ahmad Dahlan dengan 28 jenis tanaman peneduh yang meliputi Flamboyan (Delonix regia), Angsana (Pterocarpus indicus), Kupu-Kupu (Bauhinia purpurea), Johar (Cassia multiyoga), Tanjung (Mimusops elengi), Mahoni (Swietenia mahagoni), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Pinus (Pinus merkusii), Beringin (Ficus benjamina), Nangka (Artocarpus integra), Dadap (Erythrina variegata), Waru (Hibiscus tiliaceus), Biola Cantik (Ficus pandurata), Jambu Darsana (Eugenia malaccensis), Mangga (Mangifera indica), Sawo Kecik (Manilkara kauki), Randu (Ceiba pentandra), Jambon (Anthocephalus chinensis), Kersem (Muntingia calabura), Sirsak (Annona muricata), Glogok Tiang (Polyalthia longifolia), Palem Putri (Veitchia merillii), Pete (Parkia speciosa), Srikaya (Annona squamosa), Jarak Pagar (Jatropha curcas), Melinjo (Gnetum gnemon), Mengkudu (Morinda citrifolia), dan Sawo Hijau (Chrysophyllum cainito). Berbeda dengan Jalan Suparjan MW yang memiliki 25 jenis tanaman peneduh yang meliputi Angsana (Pterocarpus indicus), Ketapang (Terminaria cattapa), Kirai Payung (Filicium decipiens), Tanjung (Mimusops elengi), Cemara (Cupresus papuana), Beringin (Ficus benjamina), Lamtoro (Leucaena leucocephala), Nangka (Artocarpus integra), Waru (Hibiscus tiliaceus), Jambu Darsana (Eugenia malaccensis), Mangga (Mangifera indica), Sawo Kecik (Manilkara kauki), Pulai (Alstonia scholaris), Jambon (Anthocephalus chinensis), Wareng (Gmelia arborea), Kersem (Muntingia calabura), Glogok Tiang (Polyalthia longifolia), Palem Putri (Veitchia merillii), Jambu Biji (Psidium guajava), Bilmbing Wuluh (Averrhoa bilimbi), Alpukat (Persea americana), Pete (Parkia speciosa), Kenanga (Cananga odorata), Matoa (Pometia pinnata), dan Srikaya (Annona squamosa). Jalan Suparjan MW merupakan jalan yang memilki tingkat jenis tanaman peneduh tertinggi ke-3 diantara ke-8 jalan protokol. Berikut merupakan jenis tanaman peneduh di Jalan Perintis Kemerdekaan dengan 20 jenis tanaman peneduh jalan meliputi Angsana (Pterocarpus indicus), Kupu-Kupu (Bauhinia purpurea), Kirai Payung (Filicium decipiens), Tanjung (Mimusops elengi), Mahoni (Swietenia mahagoni), Asem Kranji (Pithecelobium dulce), Beringin (Ficus benjamina), Lamtoro (Leucaena leucocephala), Nangka (Artocarpus integra), Waru (Hibiscus tiliaceus), Biola Cantik (Ficus pandurata), Jambu Darsana (Eugenia malaccensis), Mangga (Mangifera indica), Sawo Kecik (Manilkara kauki), Jambon (Anthocephalus chinensis), Sirsak (Annona muricata), Salam (Syzygium polyanthum), Palem Putri (Veitchia merillii), Srikaya (Annona squamosa), dan Melinjo (Gnetum gnemon). Jalan Perintis Kemerdekaan memiliki jenis tanaman peneduh tertinggi ke-4. Jalan Semeru memiliki 17 jenis tanaman peneduh meliputi Angsana (Pterocarpus indicus), Kirai Payung (Filicium decipiens), Tanjung (Mimusops elengi), Mahoni 135
Triesita, dkk., Inventarisasi Tanaman Peneduh Di Jalan Protokol Kota Kediri
(Swietenia mahagoni), Cemara (Cupresus papuana), Nangka (Artocarpus integra), Trembesi (Samanea saman), Waru (Hibiscus tiliaceus), Mangga (Mangifera indica), Jambon (Anthocephalus chinensis), Kersem (Muntingia calabura), Glogok Tiang (Polyalthia longifolia), Manggis (Garcinia mangostana), Palem Putri (Veitchia merillii), Jambu Biji (Psidium guajava), Ketela Pohon (Manihot esculenta), dan Bilmbing Wuluh (Averrhoa bilimbi). Merupan jalan ke-5 tertinggi jenis tanaman peneduh di jalan protokol Kota Kediri. Jenis tanaman peneduh pada Jalan Agus Salim dan Jalan Super Semar hampir sama dengan selisih satu jenis tanaman yaitu 14 jenis pada Jalan Agus Salim meliputi Angsana (Pterocarpus indicus), Ketapang (Terminaria cattapa), Tanjung (Mimusops elengi), Asem Kranji (Pithecelobium dulce), Nangka (Artocarpus integra), Jati (Tectona grandis), Waru (Hibiscus tiliaceus), Mangga (Mangifera indica), Jambon (Anthocephalus chinensis), Kersem (Muntingia calabura), Salam (Syzygium polyanthum), dan Glogok Tiang (Polyalthia longifolia). Sedangkan pada Jalan Super Semar memiliki 13 jenis tanaman peneduh meliputi Angsana (Pterocarpus indicus), Ketapang (Terminaria cattapa), Mahoni (Swietenia mahagoni), Beringin (Ficus benjamina), Waru (Hibiscus tiliaceus), Mangga (Mangifera indica), Sawo Kecik (Manilkara kauki), Jambon (Anthocephalus chinensis), Kersem (Muntingia calabura), Glogok Tiang (Polyalthia longifolia), Palem Putri (Veitchia merillii), Bilmbing Wuluh (Averrhoa bilimbi), Matoa (Pometia pinnata), dan Mengkudu (Morinda citrifolia). Berdasarkan hasil pengamatan, ada beberapa jenis tanaman peneduh jalan yang dapat ditemukan pada seluruh jalan protokol di Kota Kediri. Jenis pohon tersebut adalah Angsana (P. indicus) dan Waru (H. tiliaceus). Menurut Martuti, 2013 peningkatan jumlah kendaraan bermotor berpotensi meningkatkan pencemaran udara terutama di jalan-jalan protokol. Bahan pencemar (polutan) yang berasal dari gas kendaraan bermotor umumnya berupa gas hasil sisa pembakaran dan partikel logam berat, seperti timah hitam/timbal/plumbum (Pb) (Fergusson dalam Sulistiana 2015). Pohon Angsana (Pterocarpus indicus) merupakan salah satu vegetasi yang mampu mengurangi pencemaran udara dan mengakumulasi logam berat seperti Pb (Widowati et.al., 2008 dalam Inayah, 2010). Selain Angsana, Waru (Hisbiscus tiliaceus) merupakan tanaman yang ditemui di seluruh Jalan Protokol Kota Kediri. Waru disukai karena akarnya tidak dalam sehingga tidak merusak jalan dan bangunan di sekitarnya, selain itu bunganya yang kuning mencolok indah dipandang mata. Jenis ini telah lama dikenal sebagai pohon peneduh baik di tepi jalan atau di tepi sungai dan pematang serta di tepi pantai menurut Menteri Kehutanan tahun 2014.
KESIMPULAN Disimpulkan bahwa terdapat 54 jenis tanaman peneduh yang tersebar di delapan jalan protokol Kota Kediri yaitu Jalan Dr. Sahardjo, Jalan KH. Ahmad Dahlan, Jalan Semeru, Jalan KH. Agus Salim, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Super Semar, Jalan Letjend DI. Panjaitan, dan Jalan Suparjan MW. Jalan protokol yang memiliki jumlah jenis tanaman peneduh tertinggi adalah Jalan Dr. Sahardjo dengan 34 jenis sedangkan yang terendah terdapat di Jalan Letjend DI. Panjaitan dengan 8 jenis tanaman. 136
Triesita, dkk., Inventarisasi Tanaman Peneduh Di Jalan Protokol Kota Kediri
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada kepala Laboratorium Botani, Universitas Nusantara PGRI Kediri yang telah memberikan izin kepada kami untuk menggunakan semua fasilitas. Kami juga ingin berterimakasih kepada Agus Muji Santoso, M.Si. yang telah memberikan informasi dan memberikan gagasan kepada kami untuk melakukan penelitian Inventarisasi tanaman peneduh di jalan protokol Kota Kediri dan selaku dosen pembimbing. Serta kami juga mengucapkan terimakasih kepada Auliya Grandis, Mochammad Yordan Adi Pratama, Indra Fauzi yang telah membantu kami dalam proses pengambilan data.
DAFTAR PUSTAKA Tjitrosoepomo Gembong. 2007. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Steenis Van. 2008. Flora. Jakarta: Pradnya Paramita Rusdianto, Y. 2008. Sistem Infoermasi Pohon Pada Jalur Hijau Jalan di Kota Bogor (Studi Kasus Jalan Pajajaran). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Desianti, A. 2011. Evaluasi Fungsi Ekologis Jalur Hijau Jalan Affandi, Jalan Laksda Adisucipto, Jalan Babarsari, Jalan Perumnas Serutan, dan Jalan Ring Road Utara (ALABSeRi), Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 3 (4): 1 dan 6. Kirmanto, D. 2015 Pedoman Tanaman Pohon Pada Sistem Jaringan Jalan. Jakarta: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Santoso, S., Lestari, S., Samiyarsih, S,. 2012. Inventarisasi Tanaman Peneduh Jalan Penjerap Timbal di Purwokerto. Artikel. Purwokerto: Universitas Jendral Sudirman. Suwandi, Hendrati, R. 2014. Perbanyakan Vegetatif dan Penanaman Waru (Hisbiscus tiliaceus) untuk Kerajinan dan Obat. Jakarta: IPB Press: 3. Inayah, S.N., Las, T., Yunita, Etyn,. 2010. Kandungan Pb Pada Daun Angsana (Pterocarpus indicus) dan Rumput Gajah Mini (Axonopus.Sp) di Jalan Protokol Kota Tangerang. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2 (1). Martuti, N.K.T., 2013. Peran Tanaman terhadap Pencemaran Udara di Jalan Protokol Kota Semarang. Semarang: Universitas Negeri Semarang. 5 (1).
137
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
MEMBANGUN EKONOMI KELUARGA DENGAN BANTUAN PROBIOTIK Anip Dwi Saputro (Staff Pengajar Fakultas Agama Islam Unmuh Ponorogo Prodi PGMI) [email protected] ABSTRAK Ekonomi dalam sebuah keluarga merupakan masalah pokok dan vital yang harus kuat dan tercukupi. Kekuatan ekonomi dalam sebuah keluarga menjadi gambaran akan kesuksesan sebuah keluarga. Bahkan ekonomi dalam sebuah keluarga akan sangat berpengaruh pada programprogram pemerintah dalam menekan meningkatnya angka kemiskinan di sebuah negara. Di Indonesia angka kemiskinan masih sangat besar dan bahkan relatif naik, sehingga diperlukan sebuah terobosan dalam penguatan ekonomi pada setiap keluarga di masyarakat secara umum. Salah satu terobosan yang bisa dilakukan dalam meningkatkan ekonomi keluarga adalah dengan memanfaatkan lahan disekitar rumah kita untuk digunakan sebagai lahan berbudidaya ikan lele dan sayur organik yang hasilnya diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan keluarga sehingga akan didapatkan ekonomi keluarga yang terus meningkat. Dengan memanfaatkan pengembangan probiotik buatan dalam perlakuan budidaya ikan lele dan sayur organik dapat dihasilkan lele dan sayur organik yang berkualitas tinggi dan kaya nutrisi. Hasil budidaya ikan lele dan sayur organik dengan perlakuan menggunakan probiotik buatan mampu menambah jumlah dan hasil pada saat panen. Ikan lele dan sayur organik berdasarkan hasil survei pasar yang dilakukan beberapa waktu terakhir ini dapat disimpulkan bahwa lele dan sayur organik sudah menjadi kebutuhan pokok bagi semua keluarga yang sadar akan pola hidup sehat. Sehingga kita tidak boleh melewatkan peluang yang ada sebagai salah satu usaha kita mengembangkan ekonomi keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dalam pengembangan probiotik buatan yang digunakan dalam budidaya ikan lele dan sayur organik sudah bisa dibuktikan pada kolam ikan lele dan lahan tanaman sayur yang ada disekitar rumah dan hasilnya sudah bisa kita nikmati. Kata kunci: ekonomi keluarga, probiotik, tanaman sayur, ikan lele.
PENDAHULUAN Akibat berbagai kegagalan dari sistem perekonomian global yang selama ini mewarnai kegiatan perekonomiannya, terutama sekali sejak krisis finansial di Amerika terakhir ini (2008/2009), maka pemikiran untuk melakukan koreksi menjadi tuntutan dari berbagai Negara. Dalam skala internasional ataupun di dalam negerinya masing-masing. Gerakan ini masih berproses, terutama berkenaan dengan konsep globalisasi melalui kebijakan liberalisasi perdagangan yang dirasakan merugikan sebagian besar Negaranegara, terutama yang sedang berkembang. (Saputro, 2015: 35) Menurut Ciputra, Pemimpin Group Ciputra, saat ini Indonesia baru memiliki 0,18 persen dari jumlah penduduknya yang menjadi wirausahawan, dimana sebetulnya dibutuhkan minimal 2 persen untuk membangun perekonomian negeri ini mencapai sebuah kesejahteraan bersama. Artinya ada kebutuhan sejumlah angka yang besar dari Warga Negara Indonesia yang harus diciptakan memasuki peran sebagai wirausahawan nasional. Ini belum lagi kalau kita bandingkan dengan Negara Singapura yang mencapai 7 persen dari penduduknya, atau Amerika Serikat ada 11 persen yang menopang kegiatan
139
Saputro, Membangun Ekonomi Keluarga dengan Bantuan Probiotik
perekonomiannya, yang sementara ini diakui telah mencapai level kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi. (Saputro, 2015: 38) Masalah lingkungan hidup, pencemaran dan pengurasan sumber dayanya telah lama mengakibatkan hilangnya keseimbangan pada alam, sehingga permasalahan ini selalu menjadi perbincangan hangat para ilmuwan, ekonom, budayawan dan seluruh pemikir di seluruh dunia. Di lain sisi, masalah ini telah melahirkan kecemasankecemasan, karena rusaknya lingkungan dan pengurasan sumber daya alamnya, akan mengancam seluruh umat manusia. Ancaman ini menegaskan pernyataan menarik dari sebagian peneliti, “seandainya lingkungan mempunyai pendengaran dan mulut untuk berbicara, akan terdengarlah teriakan-teriakan histeris dari terbakarnya ozon, yang diiringi dengan rintihan air di sepanjang sungai dan lautan karena terisi oleh percikanpercikan minyak, dan sekaratnya udara yang tercekik oleh gas-gas mati, dari industriindustri, peluru-peluru, di seluruh belahan bumi ini.” Pada hakekatnya, lingkungan dan permasalahannya telah mempunyai spesialisasi ilmu tersendiri, yang mencoba menerangkan pokok-pokok bahasannya dan berusaha memberikan solusi terhadap problematikanya. Maka tidak heran, dalam rangka pemeliharaan terhadap lingkungan dan pemetaan bidang garapannya, di tiap-tiap Negara telah dibentuk lembaga-lembaga resmi pemerintah maupun sipil, serta lembaga-lembaga nasional dan internasional lainnya yang wilayah gerakannya berkisar dalam tataran teoritis sekaligus praktis. Selanjutnya ia juga menjadi bahasan menarik di forum-forum ilmiah, seminar terbuka dan pertemuan para pakar. Istilah lingkungan jarang sekali digunakan dalam kerangka etimologi dan terminologi. Lingkungan adalah sebuah lingkup dimana manusia hidup, ia tinggal didalamnya, baik ketika bepergian ataupun mengasingkan diri. Sebagai tempat ia kembali, baik dalam keadaan rela maupun terpaksa. (Qaradhawi, 2002: 2) Lingkungan ini meliputi yang dinamis (hidup) dan yang statis (mati). Lingkungan mati meliputi alam (thabi’ah) yang diciptakan Allah, dan industry (shina’iyah) yang diciptakan manusia. Alam yang diciptakan Allah tadi, meliputi lingkungan di bumi, luar angkasa dan langit, yaitu matahari, bulan dan bintang. Sedangkan industri ciptaan manusia, meliputi segala apa yang digali mereka dari sungai-sungai, pohon-pohon yang ditanam, binatang ternak, rumah-rumah yang dibangun, dan seluruh peralatan yang dibuat. Lingkungan yang dinamis tadi meliputi wilayah manusia, hewan dan tumbuhan. Sedangkan lingkungan statis dapat dibedakan dalam dua kategori pokok, pertama; bahwa seluruh alam ini diciptakan untuk kemaslahatan manusia, membantu dan memenuhi semua kebutuhan mereka. Untuk memenuhi jaminan-Nya terhadap manusia, maka sejak Allah menciptakan bumi dan menjadikannya tempat tinggal mereka, sekaligus Ia telah membuatnya tunduk padanya; “Dia memberikanyya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuninya) dalam empat masa.” Semenjak diciptakannya “dalam empat masa”. Selanjutnya Allah berfirman; “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya”. (Al-Hijr: 19-20) 139
Saputro, Membangun ekonomi keluarga dengan bantuan probiotik
Dalam surat lain Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian dimuka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. (Al-A’raf: 10) Jadi, satu hal yang amat penting dalam melihat lingkungan ini adalah telah ditetapkannya unsur-unsur dasar hingga terbesar dalam kerangka hubungan yang saling melengkapi dan menyempurnakan, dan tiap-tiap bagian dari komponen tadi melaksanakan perannya, tanpa melampaui batas peran yang lain, saling memberi dan menerima serta saling melaksanakan kewajiban dan mengambil haknya. Berdasarkan hasil survey lapangan dan analisa diatas maka dilakukan sebuah penelitian mini dengan judul “MEMBANGUN EKONOMI KELUARGA DENGAN BANTUAN PROBIOTIK (Dalam Budidaya Ikan Lele dan Sayur Organik). HASIL DAN PEMBAHASAN Hakekat Dan Tujuan Membangun Ekonomi Keluarga yang Mandiri. Perdebatan sistem ekonomi Indonesia menjadi “komoditi” terutama dalam kampanye baru-baru ini (2014), membawa pemikiran pro-kontra antara neo-liberalism dan system ekonomi kerakyatan. Polemik semacam ini sering terjadi dan terakhir di tahun 1980-an, saat Alm. Prof. Mubyarto menyampaikan gagasannya dengan Sistem Ekonomi Pancasila. Dalam konteks ini yang menjadi perhatian adalah fakta yang terjadi di lapangan yaitu semakin subur dan berkembangnya kapitalisme di dalam negeri yang dianggap gagal dan menyimpang, diukur dengan amanat kemerdekaan yang dituangkan dalam Pembukaan dan Batang-Tubuh UUD 1945 yang sepenuhnya mewajibkan Negara taat melaksanakan termasuk di sektor kegiatan ekonominya. (Saputro, 2015: 36) Sistem Ekonomi Indonesia merupakan penjabaran dari Ideologi Pancasila dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Landasan formalnya adalah pasal 33 UUD 1945, dilengkapi pasal 23, 27 ayat 2, pasal 34 dan penjelasan pasal 2 UUD 1945. Kesemuanya dijiwai oleh Pembukaan UUD 1945 dimana salah satu babnya meletakkan keberadaan Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia. Artinya kegiatan kehidupan bangsa termasuk di sektor ekonomi harus mengacu pada pelaksanaan sila-sila dari Pancasila itu sendiri. (Saputro, 2015: 36) Sementara itu, saat ini paling tidak ada dua tantangan penting yang menjadi acuan strategi kebijakan ekonomi ditingkat global dan nasional, yaitu; pertama, yang berkaitan dengan semakin besarnya angka kemiskinan, yang kedua, kerusakan alam semesta (Global Warming) yang sangat mengkuatirkan kelangsungan kehidupan manusia. Oleh karenanya, dalam dekade terakhir ini terjadi tekanan yang sangat kuat dari konsumen global terhadap pemasok jasa-jasa dan produk (pengusaha) untuk melakukan tindakantindakan operasional usahanya yang memperhatikan kepentingan untuk mengurangi kemiskinan dan keperdulian kepada persoalan lingkungan hidup. Proses menciptakan angkatan baru pelaku ekonomi nasional yang dibutuhkan memenuhi standar yang memadahi, yang jumlahnya jauh lebih besar dari pelaku ekonomi yang eksis, sekaligus menjadi momen melakukan koreksi dinamika ekonomi-bisnis nasional yang selama ini bergerak dengan mesin ekonomi yang lebih bersifat
140
Saputro, Membangun Ekonomi Keluarga dengan Bantuan Probiotik
individujalistis yang menciptakan kepincangan sosial secara mengglobal yang gapnya semakin membesar dari waktu ke waktu. Gerakan membentuk wirausahawan baru Indonesia yang syarat dengan landasan nilai-nilai ke-Indonesia-an, semestinya dimulai dengan meletakkan Pancasila sebagai koridor utamanya. Untuk keperluan ini jalur pendidikan menjadi strategis sebagai awal meletakkan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman para calon wirausahawan nasional. Sejak pendidikan dini, nilai-nilai moral yang terkandung mulai ditanamkan sehingga dalam masanya berpraktek di kegiatan ekonomi-bisnis secara otomatis menjadi acuan kebijakan yang dilakukan. Ke-Indonesia-an ekonomi tidak cukup hanya mengatur di tingkat filsafati, diperlukan juga mempertimbangkan berbagai aspek potensi ekonomi yang dimiliki, dari sumber daya alam, sumber daya manusia, sampai pemanfaatan teknologi, dan yang tak kalah pentingnya perlunya segera adanya reformasi perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan ekonomi-bisnis nasional. Saat ini yang ada masih besar nuansa kepentingan kolonial, sisa masa penjajahan dulu, seperti kalau dicermati dalam Hukum Perdata dan Bisnis yang ada saat ini. Ketika ekonomi Indonesia, yang berporos pada Pancasila juga terbuka dengan pemikiran luar yang mampu terintegrasi dengan nilai-nilai pokoknya, maka harus juga dipertimbangkan atau dimaknai perlunya menggali nilai-nilai atau tata-niaga lokal yang masih hidup di kelompok masyarakat tradisional tertentu yang juga kinerjanya menciptakan kemakmuran bersama. Internasionalisasi ekonomi (ke-Indonesia-an), ditandai dengan meluasnya perhatian dari masyarakat ekonomi dunia khususnya di pusat-pusat intelektual dan kebijakan dunia, tentunya harus melalui bukti nyata kesuksesan dikerjakan di negeri sendiri. Negeri yang harus kita perjuangkan bersama kesejahteraan masyarakatnya. Menjaga/Melestarikan Lingkungan Hidup. Kata ‘lestari/pelihara/menjaga’ dapat diartikan sebagai tetap seperti keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. (Sony, 2002: 14) Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan. Ali Yafie, (2006: 231) Kita harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang artinya: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (an-Nahl :112) Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang 141
Saputro, Membangun ekonomi keluarga dengan bantuan probiotik
hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu sendiri. "Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar". (QS. ar-Rum: 41). Dalam ayat-ayat tersebut diatas Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia yang mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional melalui butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka panjang. Menanam Sayur Organik dengan Media Tanam. Penetapan Media tanam merupakan salah satu faktor penting yang sangat menentukan dalam kegiatan bercocok tanam. Media tanam akan menentukan baik buruknya pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya mempengaruhi hasil produksi. Jenisjenis media tanam sangat banyak dan beragam. Apalagi dengan berkembangnya berbagai metode bercocok tanam, seperti hidroponik dan aeroponik. Hampir setiap jenis tanaman membutuhkan sifat dan karakteristik media tanam yang berbeda. Misalnya, tanaman buah membutuhkan karakter media tanam yang berbeda dengan tanaman sayuran. Tanaman buah memerlukan media tanam yang solid agar bisa menopang pertumbuhan tanaman yang relatif lebih besar, sementara jenis tanaman sayuran daun lebih memerlukan media tanam yang gembur dan mudah ditembus akar. Media tanam memiliki fungsi untuk menopang tanaman, memberikan nutrisi dan menyediakan tempat bagi akar tanaman untuk tumbuh dan berkembang. Lewat media tanam tumbuh-tumbuhan mendapatkan sebagian besar nutrisinya. Untuk budidaya tanaman dalam wadah pot atau polybag, media tanam dibuat sebagai pengganti tanah. Oleh karena itu, harus bisa menggantikan fungsi tanah untuk tumbuh dan berkembang tanaman. Media tanam yang baik harus memiliki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Secara umum, media tanam yang baik harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: a. Mampu menyediakan ruang tumbuh bagi akar tanaman, sekaligus juga sanggup menopang tanaman. Artinya, media tanam harus gembur sehingga akar tanaman bisa tumbuh baik dan sempurna, akan tetapi masih cukup solid memegang akar dan menopang batang agar tidak roboh. Apabila media terlalu gembur, pertumbuhan akar akan leluasa namun tanaman akan terlalu mudah tercerabut atau tumbang. Sebaliknya apabila terlalu padat, akar akan kesulitan untuk tumbuh dan berkembang.
142
Saputro, Membangun Ekonomi Keluarga dengan Bantuan Probiotik
b. Memiliki porositas yang baik, artinya bisa menyimpan air sekaligus juga mempunyai drainase (kemampuan mengalirkan air) dan aerasi (kemampuan mengalirkan oksigen) yang baik. Media tanam harus bisa mempertahankan kelembaban tanah namun harus bisa membuang kelebihan air. Media tanam yang porous mempunyai rongga kosong antar materialnya. Media tersebut tersebut isa ditembus air, sehingga air tidak tergenang dalam pot atau polybag. Namun disisi lain ronga-rongga tersebut harus bisa menyerap air (higroskopis) untuk disimpan sebagai cadangan dan mempertahankan kelembaban. c. Menyediakan unsur hara yang cukup baik makro maupun mikro. Unsur hara sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Unsur hara ini bisa disediakan dari pupuk atau aktivitas mikroorganisme yang terdapat dalam media tanam dengan diberikan perlakuan menggunakan probiotik. d. Tidak mengandung bibit penyakit, media tanam harus bersih dari hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang terkandung dalam media tanam dapat menyerang tanaman dan menyebabkan kematian pada tanaman. Media tanam tidak harus steril karena banyak mikrooganisme tanah yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi tanaman, namun harus higienis dari bibit penyakit. Bahan-bahan media tanam organik Ada banyak ragam material yang bisa dimanfaatkan untuk membuat media tanam mulai dari yang alami hingga yang sintetis. Namun dalam kesempatan kali ini kami hanya akan membatasi pada beberapa bahan organik yang banyak tersedia di alam, murah dan gampang pembuatannya. a. Tanah (bahan utama) Tanah yang baik untuk media tanam sebaiknya diambil dari lapisan bagian (top soil). Secara umum terdapat dua tipe tanah yaitu yang harus diperhatikan yakni tanah pasir dan tanah lempung. Tanah yang berpasir memiliki kemampuan drainase yang baik, cepat mengalirkan air namun kelemahannya tanah tersebut buruk dalam menyimpan air sebagai cadangan. Sedangkan tanah lempung lebih sulit ditembus oleh air sehingga akan membuat air tergenang dalam media tanam. Tanah yang baik untuk media tanaman tidak terlalu berpasir dan tidak terlalu lempung, melainkan harus gembur. b. Kompos atau humus Kompos merupakan bahan organik yang berfungsi sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Kompos yang digunakan untuk media tanam adalah kompos padat, silahkan baca jenis dan karakteristik pupuk kompos. Hampir semua jenis kompos padat bisa digunakan sebagai bahan baku media tanam. Penambahan bahan-bahan organik seperti kompos atau humus pada media tanam bisa memperbaiki struktur fisik tanah dan meningkatkan kapasitas tukar kation. Kompos yang ditambahkan sebaiknya berupa kompos yang telah matang. Kompos yang belum matang berpotensi mendatangkan hama dan penyakit. Selain itu unsur haranya sulit diserap tanaman karena belum terurai secara penuh. Selain kompos, bisa juga memanfaatkan humus yang didapatkan dari hutan. Tanah humus memiliki kandungan unsur hara yang tinggi. Bila lokasi anda dekat dengan hutan, tanah humus bisa dicari dengan mudah. Tempat-tempat terbaik adalah disekitar tanaman pakis-pakisan. 143
Saputro, Membangun ekonomi keluarga dengan bantuan probiotik
Unsur bahan organik lain juga bisa digunakan sebagai pengganti kompos atau humus seperti pupuk kandang atau pupuk hijau. Hanya saja perlu digarisbawahi, sebaiknya gunakan pupuk kandang atau hijau yang telah matang benar dan teksturnya sudah berbentuk granul seperti tanah. Penggunaan pupuk kandang yang belum matang beresiko membawa hama dan panyakit pada tanaman. c. Arang sekam atau sabut kelapa Arang sekam merupakan hasil pembakaran tak sempurna dari sekam padi. Arang sekam berguna untuk meningkatkan kapasitas porositas tanah. Penambahan arang sekam pada media tanam akan memperbaiki struktur media tanam karena mempunyai partikel-partikel yang berpengaruh pada pergerakan air, udara dan menjaga kelembaban. Manfaat arang sekam adalah bisa menetralisir keasaman tanah, menetralisir racun, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, merangsang pertumbuhan mikroba yang menguntungkan bagi tanaman, menjadikan tanah gembur sehingga memperbaiki drainase dan aerasi tanah. Arang sekam lebih baik dibanding sekam padi, karena arang sekam sudah mengalami pembakaran yang bisa menghilangkan bibit penyakit atau hama yang mungkin saja terikut. Selain arang sekam, bisa juga digunakan sisa-sisa sabut kelapa (coco peat). Sabut kelapa mempunyai sifat seperti arang sekam. Media tanam sabut kelapa cocok digunakan di daerah yang kering dengan curah hujan rendah. Sabut diambil dari bagian kulit kelapa yang sudah tua. d. Cairan probiotik limbah kolam lele. Dalam percobaan yang telah dilakukan dalam mengembangkan budidaya sayuran, dengan memanfaatkan air limbah dari kolam budidaya lele konsumsi. Dapat dihasilkan manfaat yang sangat besar dalam pertumbuhan tanaman sayur yang diberikan perlakuan tambahan dengan menggunakan air limbah kolam lele yang mengandung banyak sekali probiotik. Tanaman sayur-sayuran tumbuh dengan baik dan sehat tanpa diberikan pupuk kimia tambahan. Hasil yang didapatkan juga sangat melebihi dari harapan yang sudah kita perkirakan. Disini bisa dihasilkan produk sayuran organic yang pada saat ini sudah menjadi pilihan utama dari beberapa kalangan dan keluarga. Cara membuat media tanam organik Berikut ini cara-cara membuat media tanam polybag atau pot dengan menggunakan bahan baku yang telah diterangkan di atas. Untuk membuat media tanam yang baik diperlukan unsur tanah, bahan pengikat atau penyimpan air dan penyedia unsur hara. Bahan baku yang akan digunakan dalam tutorial berikut adalah tanah top soil, kompos dan arang sekam. Berikut langkah-langkahnya: (http://alamtani.com/media-tanamsayuran-polybag.html) Siapkan tanah yang terlihat gembur dan subur, lebih baik diambil dari bagian paling atas. Kemudian ayak tanah tersebut hingga menjadi butiran-butiran halus. Usahakan tanah dalam keadaan kering sehingga tidak menggumpal. Tanah yang menggumpal akan menyebabkan bahan-bahan tidak tercampur dengan merata.
144
Saputro, Membangun Ekonomi Keluarga dengan Bantuan Probiotik
a. Siapkan kompos yang telah matang, bisa dari jenis kompos biasa, bokashi atau kompos takakura. Ayak kompos atau humus tersebut sehingga menjadi butiran halus. b. Siapkan arang sekam, silahkan baca cara membuat arang sekam. c. Campurkan tanah, kompos, dan arang sekam dalam sebuah wadah. Komposisi campuran adalah 2 bagian tanah, 1 bagian kompos dan 1 bagian arang sekam (2:1:1). Aduk hingga merata. d. Siapkan pot atau polybag, masukkan campuran tersebut kedalamnya. Media tanam sudah siap digunakan. e. Siram tanaman dengan air probiotik dari limbah budidaya lele secukupnya dengan rutinitas sesuai jenis tanamannya. Budidaya Lele Organik dengan Probiotik. Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan yang sanggup hidup dalam tingkat kepadatan tinggi. Ikan ini memiliki tingkat konversi pakan menjadi bobot tubuh yang baik. Dengan sifat seperti ini, budidaya ikan lele akan sangat menguntungkan bila dilakukan secara intensif dan tepat (http://alamtani.com/budidaya-ikan-lele.html). Dalam budidaya ikan lele kali ini akan diberikan perlakuan dengan menggunakan probiotik pada ikan dan air kolam. Terdapat dua segmen usaha budidaya ikan lele, yaitu segmen pembenihan dan segmen pembesaran. Segmen pembenihan bertujuan untuk menghasilkan benih ikan lele, sedangkan segmen pembesaran bertujuan untuk menghasilkan ikan lele siap konsumsi. Pada kesempatan kali ini akan membahas tahap-tahap persiapan budidaya ikan lele segmen pembesaran dengan bantuan probiotik. Penyiapan kolam tempat budidaya ikan lele Dalam penyiapan kolam, ada berbagai macam tipe kolam yang bisa digunakan untuk tempat budidaya ikan lele. Setiap tipe kolam memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing bila ditinjau dari segi usaha budidaya. Untuk memutuskan kolam apa yang cocok, harap pertimbangkan kondisi lingkungan, ketersediaan tenaga kerja dan sumber dana ada. Tipe-tipe kolam yang umum digunakan dalam budidaya ikan lele adalah kolam tanah, kolam semen, kolam terpal, jaring apung dan keramba. Namun dalam artikel ini kita akan membahas kolam terpal, mengingat jenis kolam ini paling banyak digunakan oleh para peternak ikan lele pada saat ini dan telah kami ujicobakan pada kelompok peternak lele di desa kami. Sebagai pengetahuan tambahan, silahkan baca cara membuat kolam ikan lele. Tahapan yang harus dilakukan dalam menyiapkan kolam terpal adalah sebagai berikut: Penyiapan lahan yang akan digunakan. Pada prinsipnya persiapan kolam terpal bisa dilakukan dengan dua tahap; (1) dengan menggali tanah lalu diberi terpal, atau dengan membuat media kerangka batu bata keatas lalu juga dilapisi dengan terpal. Sebelum benih ikan lele ditebarkan, kolam terpal harus dicuci telebih dahulu. Kemudian dikeringkan selama 1 hari atau bergantung pada teriknya sinar matahari. Sebagai patokan,
145
Saputro, Membangun ekonomi keluarga dengan bantuan probiotik
apabila terpal bisa dianggap sudah cukup kering untuk menghilangkan bakteri penyakit dan jamur. Pengeringan kolam bertujuan untuk memutus keberadaan mikroorganisme jahat yang menyebabkan bibit penyakit. Mikroorganisme tersebut bisa bekembang dari periode budidaya ikan lele sebelumnya. Dengan pengeringan dan penjemuran, sebagian besar mikroorganisme patogen akan mati. Setelah dikeringkan, kolam diisi air dengan kedalamam kurang lebih 90 cm. hal ini dilakukan untuk menjaga kondisi suhu air agar lebih stabil dan aman. Karena suhu air yang berubah-ubah bisa menyebabkan kematian pada ikan, serta mudah berkembangnya bakteri penyakit dan jamur. Pemberian Kapur Dolomit. Pengapuran berfungsi untuk menyeimbangkan keasaman kolam dan membantu memberantas mikroorganisme patogen. Jenis kapur yang digunakan adalah dolomit atau kapur tohor. Pengapuran dilakukan dengan cara mencampurkan kapur dolomite dengan air pada sebuah timba, kemudian ditebar secara merata di permukaan air kolam. Setelah ditebari kapur, biarkan air kolam selam 3 hari biar sehat. Dosis yang diperlukan untuk pengapuran adalah 250-750 gram per meter persegi, atau tergantung pada derajat keasaman air. Semakin asam air semakin banyak kapur yang dibutuhkan. Pengaturan air kolam Ketinggian air yang ideal untuk budidaya ikan lele adalah 90-120 cm. Pengisian kolam dilakukan secara bertahap. Hal ini bermanfaat untuk menjaga kesetabilan air dan terpal agar tidak mudah rusak. Pada prinsipnya terpal yang terendam air akan lebih tahan lama dibandingkan dengan yang tidak terendam air dan terkena panas. Dengan kedalaman seperti itu, sinar matahari masih bisa tembus hingga dasar kolam dan memungkinkan biota dasar kolam seperti fitoplankton tumbuh dengan baik. Air kolam yang sudah ditumbuhi fitoplankton berwarna kehijauan. Pemberian Probiotik Hasil Fermentasi. Probiotik yang sudah di fermentasi dan mengandung banyak mikroorganisme dicampurkan dengan air ke dalam timba, diaduk secara merata dan kemudian ditebarkan secara merata ke seluruh permukaan air kolam. Kemudian didiamkan selama sekitar 3-5 hari sampai air kolam berwarna hijau mengandung fitoplankton dan sudah muncul jentikjentik mikroorganisme di dalam air. Hal ini menandakan bahwa air sudah jadi dan siap. Setelah itu, benih ikan lele siap ditebar. Selanjutnya, air kolam ditambah secara berkala sesuai dengan pertumbuhan ikan lele sampai pada ketinggian ideal. Pemilihan benih ikan lele Tingkat kesuksesan budidaya ikan lele sangat ditentukan oleh kualitas benih yang ditebar. Ada beberapa jenis ikan lele yang biasa dibudidayakan di Indonesia. Silahkan baca lebih lanjut mengenai jenis-jenis ikan lele budidaya. Kami merekomendasikan jenis ikan lele Sangkuriang, dumbo, masamo dan phyton yang dikembangkan oleh Balai benih ikan nasional dan beberapa perusahaan pakan ikan 146
Saputro, Membangun Ekonomi Keluarga dengan Bantuan Probiotik
yang juga melakukan pengembangan variates benih ikan lele. Ikan lele sangkuriang merupakan hasil perbaikan dari lele dumbo. Balai Benih Ikan Nasional mengembangkan ikan lele sangkuriang karena kualitas lele dumbo yang saat ini beredar di masyarakat semakin menurun dari waktu ke waktu. Sedangkan beberapa perusahaan pakan mengembangkan beberapa variates ikan lele yang disesuaikan dengan produk pakan pellet apung yang mereka buat. Benih ikan lele bisa kita dapatkan dengan cara membeli atau melakukan pembenihan ikan lele sendiri. Untuk membuat pembenihan sendiri silahkan baca cara pembenihan ikan lele dan teknik pemijahan ikan lele. Syarat benih unggul Benih yang ditebar harus benih yang benar-benar sehat. Ciri-ciri benih yang sehat gerakannya lincah, tidak terdapat cacat atau luka dipermukaan tubuhnya, bebas dari bibit penyakit dan gerakan renangnya normal. Untuk menguji gerakannya, tempatkan ikan pada arus air. Jika ikan tersebut menantang arah arus air dan bisa bertahan berarti gerakan renangnya baik. Ukuran benih untuk budidaya ikan lele biasanya memiliki panjang sekitar 4-7 cm. Usahakan ukurannya rata agar ikan bisa tumbuh dan berkembang serempak. Dari benih sebesar itu, dalam jangka waktu pemeliharaan 2,5-3,5 bulan akan didapatkan lele ukuran konsumsi sebesar 6-12 ekor per kilogram. Cara menebar benih Sebelum benih ditebar, lakukan penyesuaian iklim terlebih dahulu. Caranya, masukan benih dengan wadahnya (ember/jeriken) ke dalam kolam. Biarkan selama 15 menit agar terjadi penyesuaian suhu tempat benih dengan suhu kolam sebagai lingkungan barunya. Miringkan wadah dan biarkan benih keluar dengan sendirinya. Metode ini bermanfaat mencegah stres pada benih. Tebarkan benih ikan lele ke dalam kolam dengan kepadatan 200-500 ekor per meter persegi. Semakin baik kualitas air kolam, semakin tinggi jumlah benih yang bisa ditampung. Hendaknya tinggi air tidak kurang dari 60 cm saat benih ditebar. Hal ini menjaga agar benih ikan bisa menjangkau permukaan air untuk mengambil pakan atau bernapas. Pengisian kolam berikutnya disesuaikan dengan ukuran tubuh ikan sampai mencapai ketinggian air yang ideal. Pakan untuk budidaya ikan lele Pakan merupakan komponen biaya terbesar dalam budidaya ikan lele. Ada banyak sekali merek dan ragam pakan di pasaran. Pakan ikan lele yang baik adalah pakan yang menawarkan Food Convertion Ratio (FCR) lebih kecil dari satu. FCR adalah rasio jumlah pakan berbanding pertumbuhan daging. Semakin kecil nilai FCR, semakin baik kualitas pakan. Untuk mencapai hasil maksimal dengan biaya yang minimal, terapkan pemberian pakan utama, pakan tambahan secara berimbang dan tentunya dengan menambahkan probiotik hasil fermentasi beberapa bahan ke pakan yang dibibis dulu sebelum di berikan ke ikan lele.
147
Saputro, Membangun ekonomi keluarga dengan bantuan probiotik
Pemberian pakan utama (pabrik) Sebagai ikan karnivora, pakan ikan lele harus banyak mengandung protein hewani. Secara umum kandungan nutrisi yang dibutuhkan ikan lele adalah protein (minimal 30%), lemak (4-16%), karbohidrat (15-20%), vitamin dan mineral. Berbagai pelet yang dijual dipasaran rata-rata sudah dilengkapi dengan keterangan kandungan nutrisi. Tinggal kita pandai-pandai memilih mana yang bisa dipercaya. Ingat, jangan sampai membeli pakan kadaluarsa. Pakan harus diberikan sesuai dengan kebutuhan. Secara umum setiap harinya ikan lele memerlukan pakan 3-6% dari bobot tubuhnya. Misalnya, ikan lele dengan bobot 50 gram memerlukan pakan sebanyak 2,5 gram (5% bobot tubuh) per ekor. Kemudian setiap 10 hari ambil samplingnya, lalu timbang dan sesuaikan lagi jumlah pakan yang diberikan. Dua minggu menjelang panen, persentase pemberian pakan dikurangi menjadi 3% dari bobot tubuh. Pembuatan Probiotk hasil fermentasi dari beberapa bahan. Probiotik hasil fermentasi menjadi hal yang sangat penting bagi kami dalam beternak lele, sehingga dihasilkan bobot atau daging yang melebihi target. Prbiotik tambahan ini juga akan menghemat pakan yang akan kita gunakan sehingga bisa menekan biaya operasional dalam beternak lele. Dengan tambahan probiotik ini dihasilkan daging lele organic yang kesat, gurih dan sehat. Karena dalam budidayanya tidak menggunakan bahan kimia buatan. Sehingga aman untuk di konsumsi dan menjadi salah satu sumber protein hewani bagi kebutuhan pangan masyarakat. Jadwal pemberian pakan sebaiknya disesuaikan dengan nafsu makan ikan. Frekuensinya 1-2 kali sehari. Frekuensi pemberian pakan pada ikan yang masih kecil harus lebih sering. Waktu pemberian pakan bisa pagi dan sore hari. Ikan lele merupakan hewan nokturnal, aktif pada malam hari. Pertimbangkan pemberian pakan lebih banyak pada sore dan malam hari. Si pemberi pakan harus jeli melihat reaksi ikan. Berikan pakan saat ikan lele agresif menyantap pakan dan berhenti apabila ikan sudah terlihat malas untuk menyantapnya. Pemberian pakan tambahan Selain pakan utama, bisa dipertimbangkan juga untuk memberi pakan tambahan. Pemberian pakan tambahan sangat menolong menghemat biaya pengeluaran pakan yang menguras kantong. Satu hal yang harus diperhatikan dalam memberikan pakan ikan lele, jangan sampai telat atau kurang. Karena ikan lele mempunyai sifat kanibal, yakni suka memangsa sejenisnya. Apabila kekurangan pakan, ikan-ikan yang lebih besar ukurannya akan memangsa ikan yang lebih kecil. Pakan tambahan yang kami gunakan dalam budidaya ikan lele ini adalah dengan memanfaatkan daun tanaman papaya yang ada di lingkungan sekitar. Daun papaya selain sebagai makanan tambahan juga dapat menjadi obat kesehatan bagi ikan.
148
Saputro, Membangun Ekonomi Keluarga dengan Bantuan Probiotik
Pengelolaan air Hal penting lain dalam budidaya ikan lele adalah pengelolaan air kolam. Untuk mendapatkan hasil maksimal kualitas dan kuantitas air harus tetap terjaga. Awasi kualitas air dari timbunan sisa pakan yang tidak habis di dasar kolam. Timbunan tersebut akan menimbulkan gas amonia atau hidrogen sulfida yang dicirikan dengan adanya bau busuk. Apabila sudah muncul bau busuk, buang sepertiga air bagian bawah. Kemudian isi lagi dengan air bar uterus tebarkan kembali probiotik yang buat kolam. Frekuensi pembuangan air sangat tergantung pada kebiasaan pemberian pakan. Jangan memberikan pakan secara berlebihan, untuk amannya berikan pakan 1-2 kali saja dalam sehari dengan takaran yang tepat. Pengendalian hama dan penyakit Hama yang paling umum dalam budidaya ikan lele antara lain hama predator seperti linsang, ular, sero, musang air dan burung. Penyakit pada budidaya ikan lele bisa datang dari protozoa, bakteri dan virus. Ketiga mikroorganisme ini menyebabkan berbagai penyakit yang mematikan. Beberapa diantaranya adalah bintik putih, kembung perut dan luka di kepala dan ekor. Untuk mencegah timbulnya penyakit infeksi adalah dengan menjaga kualitas air, mengontrol kelebihan pakan, menjaga kebersihan kolam, dan mempertahankan suhu kolam pada kisaran 28oC. Selain penyakit infeksi, ikan lele juga bisa terserang penyakit non-infeksi seperti kuning, kekurangan vitamin dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang pengendalian penyakit silahkan baca pengendalian hama dan penyakit ikan lele. Panen budidaya ikan lele Ikan lele bisa dipanen setelah mencapai ukuran 7-12 ekor per kg. Ukuran sebesar itu bisa dicapai dalam tempo 2,5-3,5 bulan dari benih berukuran 4-7 cm. Berbeda dengan konsumsi domestik, ikan lele untuk tujuan ekspor biasanya mencapai ukuran 500 gram per ekor. Satu hari (24 jam) sebelum panen, sebaiknya ikan lele dipuasakan/tidak diberi pakan agar tidak buang kotoran saat diangkut. Pada saat ikan lele dipanen lakukan sortasi untuk misahkan lele berdasarkan ukurannya. Pemisahan ukuran berdampak pada harga. Ikan lele yang sudah disortasi berdasarkan ukuran akan meningkatkan pendapatan bagi peternak. Membangun Ekonomi Keluarga yang Mandiri dengan Menjaga Lingkungan Hidup, Menanam Sayur dan Budidaya Ikan Lele. Ekonomi Keluarga adalah sistem ekonomi yang mengedepankan pada kebebasan, tetapi kebebasan tersebut diungkapkan lebih pada bentuk kerja sama dibandingkan dalam bentuk persaingan. Tentu saja kerja sama merupakan tema umum dari organisasi sosial kemasyarakatan. Individu dan kesadaran sosial tidak lepas dari jalinan yang bekerja bagi terwujudnya kesejahteraan yang lainnya. Inilah ajaran semua agama kepada umatnya 149
Saputro, Membangun ekonomi keluarga dengan bantuan probiotik
yang dituangkan dalam masing-masing Kitab Sucinya, yang diekspresikan oleh Nabinya. Prinsip persaudaraan sangat ditegaskan dalam setiap kitab suci agama, utamanya dalam hal pembagian kepemilikan pribadi kepada saudara. KEKESIMPULAN Sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, Indonesia harus berhadapan pada dualisme keadaan: antara pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan kekayaan sumber daya alam, dan keadaan lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga menimbulkan krisis dan kekhawatiran yang akan menimpa. Sayangnya seperti disadari oleh para cendekiawan muslim ternyata selama ini pendekatan yang dilakukan untuk menggalang kesadaran lingkungan di negara-negara Muslim justru kebanyakan diadopsi berdasarkan pengetahuan dari Barat. Padahal untuk seharusnya masalah lingkungan hidup sifatnya inheren sebagai bagian dari kepribadian. Namun kenyataannya banyak yang secara tidak sengaja memisahkan masalah lingkungan hidup dengan urusan yang lain. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan mereka bahwa ternyata ajaran agama Islam banyak membahas soal pelestarian alam termasuk merawat lingkungan dan mencegah penebangan huta atau kurangnya sosialisasi sehingga sukar dimengerti oleh masyarakat bahwa perawatan terhadap lingkungan adalah merupakan salah satu kewajiban keluarga dan setiap individu. Dengan memanfaatkan lahan disekitar rumah kita untuk dimnfaatkan sebagai lahan untuk bercocok tanam dan beternak lele organik akan dihasilkan pertambahan pendapatan secara financial dan ketahanan pangan yang sehat dan memadai. Hal ini akan berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga yang selama ini dianggap lemah, serta mampu membangun kemandiriian ekonomi keluarga secara nyata pada masyarakat. Berdasarkan survei yang kami lakukan di masyarakat secara umum, kebutuhan sayuran organik dan lele organik sudah terasa sekali peningkatan permintaan dari masyarakat saat ini. Dengan semakin meratanya informasi yang berkembang, masyarakat sekarang dihadapkan dengan kebutuhan pokok pangan yang baik dan sehat bagi keluarga mereka. Masyarakat mulai berpikir dan bertindak secara nyata untuk meninggalkan penggunaan bahan-bahan kimia yang masuk pada asupan makanan yang mereka konsumsi setiap hari. DAFTAR PUSTAKA Adiwarman, Karim. 2007. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Chapra, Umer, 2000 Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani hal 7 Departemen Agama RI, 2005, Al-Quran dan Terjemahannya, Jumanatul Ali-Art, Bandung. Qardhawi, Yusuf al-, Islam Agama Ramah Lingkungan. Abdullah Hakam Shah, dkk. (terj.)., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.
150
Saputro, Membangun Ekonomi Keluarga dengan Bantuan Probiotik
Saputro, Anip Dwi, 2015, Segera Ubah Konsep Pendidikan Sekarang Juga, Ponorogo; Wade Group. Sonny, Keraf A, Sonny, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni 1973. Yafie, Ali, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Amanah, 2006. http://alamtani.com/media-tanam-sayuran-polybag.html. Diakses 20 Januari 2016 http://alamtani.com/budidaya-ikan-lele.html. Diakses 18 Januari 2016
151
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
IMPLEMENTASI MEDIA PEMBELAJARAN KOTEKA SAINS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL SISWA MTs WALI SONGO TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Ali Mahfud MTs Wali Songo Email : [email protected]
ABSTRAK Penelitian tindakan kelas ini berdasarkan bahwa siswa akan belajar lebih baik apabila menggunakan media pembelajaran yang menarik dan inovatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasi media pembelajaran KOTEKA Sains pada materi ekosistem guna meningkatkan prestasi belajar ditinjau dari kemampuan awal siswa kelas VII A MTs Wali Songo tahun pelajran 2015/2016. Data yang diperoleh berupa deskriptif kuantitatif. Data tersebut adalah kemampuan kognitif yang berupa tes akhir proses belajar, kemampuan afektif siswa dan kualitas pelaksanaan pembelajaran. Hasil penelitian menunjukan implementasi penggunaan media pembelajaran KOTEKA Sains pada siklus I masih terdapat kelemahan sehingga hasil penelitian kurang memuaskan. Kemudian penelitian dilanjutkan pada siklus II dengan harapan proses penelitian akan berjalan maksimal. Hal ini dibuktikan pada kemampuan kognitif siswa secara klasikal lulus sebesar 65% sedangkan pada siklu II sebesar 90%. Media pembelajaran KOTEKA Sains dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VII MTs Wali Songo Tahun Pelajaran 2015/2016. Data keaktifan siswa dari siklus I nilai rata-rata 70,8%, pada siklus II nilai rata-rata 82%. Dari siklus I ke siklus II terdapat peningkatan sebesar 4,2%.
PENDAHULUAN Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Hampir semua negara menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara. Begitu juga Indonesia, menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama. Kenyataannya, sekarang ini sebagian pendidikan yang ada masih belum seperti yang diharapkan. Paradigma yang memusatkan guru sebagai sumber informasi hendaknya mulai digantikan menjadi guru sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, guru berperan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Siswa membina sendiri pengetahuan secara aktif berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang ada dalam proses pembelajaran. Pendidikan, khususnya pada bidang studi IPA masih mengalami kesulitan untuk meningkatkan hasilnya. Oleh karena itu, diperlukan upayaupaya yang mampu memberikan solusi terhadap siswa agar tidak mengalami kesulitan dalam belajar IPA. Senada dengan hal di atas, juga dilakukan upaya peningkatan proses pembelajaran melalui penggunaan variasi media pembelajaran sains dan penerapkan media pembelajaran sains yang menarik, yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan kepada siswa. Diharapkan siswa dapat menerima dan memahami pelajaran dengan baik.
153
Mahfud, Implementasi Media Pembelajaran Koteka Sains Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
Media pembelajaran sains sangat perlu karena untuk mempermudah proses pembelajaran sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. Penggunaan media pembelajaran sains mampu meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak habishabisnya. Sains membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu anak didik sejak dini secara alamiah. Hal ini akan membantu mereka mengembangkan kemampuan bertanya dan mencari jawaban berdasarkan bukti serta mengembangkan cara berpikir yang ilmiah. Pembelajaran di SMP/MTs pada materi pelajaran Sains sebagian besar sudah menggunakan media pembelajaran. Penggunaan media yang diterapkan cenderung monoton dan menjenuhkan karena guru kurang mampu memberikan inovasi terhadap penggunaan media, sehingga mengakibatkan siswa kurang antusias dan tidak mampu memenuhi KKM dalam materi pelajaran khususnya pelajaran IPA. Hal tersebut terjadi pada proses pembelajaran di MTs Wali Songo. Pembelajaran di MTs Wali Songo, sebagian guru belum masih menjadi fasilitator bagi siswa. Dalam proses pembelajaran guru sebagai sumber belajar atau Teacher Center . Siswa sebagian besar biasanya hanya mendengar, mencatat, dan menghafal apa yang diajarkan oleh gurunya di depan kelas. Akibat dari hal tersebut siswa merasa jenuh, siswa akan lebih banyak tidak ingat, dan bahkan tidak mengerti konsep, manfaat, kegunaan, dan tujuan dari materi yang telah disampaikan oleh guru walaupun tanpa disadari sebenarnya siswa tersebut dalam kehidupan sehari-harinya sering berhubungan dengan sains. Pembelajaran yang tidak menyenangkan, kurang menarik akan mengakibatkan prestasi belajar siswa rendah/ tidak mencapai KKM. Mata pelajaran IPA diajarkan dengan presentase jam pelajaran lebih banyak tetapi hasil belajar siswa dalam bidang IPA relatif rendah bila dibandingkan dengan pelajaran yang lain. KKM yang diterapkan di MTs Wali Songo untuk mata pelajaran IPA 7.50, sementara ini hanya mencapai 6.00. Peningkatan prestasi belajar sangat diharapkan untuk melihat mutu atau kualitas belajar siswa di MTs Wali Songo. Prestasi belajar merupakan hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan instruksional yang menyangkut isi pelajaran dan perilaku yang diharapkan dari siswa. Prestasi belajar dapat diklasifikasikan mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif bersangkutan dengan daya pikir, pengetahuan, atau penalaran, ranah afektif bersangkutan dengan perasaan/ kesadaran, dan ranah psikomotorik bersangkutan dengan keterampilan fisik, keterampilan motorik, atau keterampilan tangan. Peningkatan prestasi belajar yang dimaksud dalam penelitian ini ditekankan pada kenaikan nilai pada ranah kognitif. Berdasarkan uraian di atas peneliti berinovasi untuk membuat sebuah media pembelajaran sains yang mengkombinasikan antara imajinasi dengan teori yaitu Komik Tempel Kartun Sains yang disingkat KOTEKA Sains. KOTEKA Sains ini merupakan inovasi materi Sains yang dibuat dalam bentuk komik. Kelebihan dari KOTEKA Sains ini adalah penyampaian materi dalam bentuk cerita bergambar dengan tokoh kartun lucu yang menyenangkan. Hal ini sesuai karakteristik siswa SMP/MTs yang masih suka terhadap kartun dan memiliki rasa ingin tahu yang besar dengan hal-hal yang lucu dan menyenangkan. KOTEKA Sains tidak hanya menyajikan cerita tentang materi pelajaran saja, tetapi juga disisipkan nilai-nilai moral sebagai upaya menanamkan pendidikan karakter sejak usia dini. Sasaran dari model ini adalah siswa kelas VII SMP/MTs, yang memiliki usia rata-rata 13 tahun dan sudah terbentuk keabstrakan berfikir, sehingga 153
Mahfud, Implementasi Media Pembelajaran Koteka Sains Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
mereka sudah mempunyai kemampuan awal untuk menangkap alur cerita komik yang disajikan. Proses pembelajaran di dalam kelas sering kali dijumpai siswa dengan kemampuan awal yang tinggi, sedang, dan rendah. Kemampuan awal merupakan hasil belajar yang didapat sebelum mendapat kemampuan yang lebih tinggi. Kemampuan awal siswa adalah persyaratan untuk mengikuti pembelajaran sehingga dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan baik. Jadi seorang siswa yang mempunyai kemampuan awal yang baik akan lebih cepat memahami materi dibandingkan dengan siswa yang tidak mempunyai kemampuan awal dalam proses pembelajaran. Kemampuan awal merupakan langkah penting di dalam proses belajar, dengan demikian setiap guru perlu mengetahui tingkat pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa. Dengan mengetahui hal tersebut, guru dapat merancang pembelajaran dengan lebih baik. Kegiatan proses pembelajaran dengan penerapan media sains yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan serta kemampuan awal siswa yang tinggi akan dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka peneliti ingin meningkatkan prestasi belajar siswa MTs Wali Songo Tahun Pelajaran 2015/2016 melalui implementasi media pembelajaran KOTEKA Sains (Komik Tempel Kartun Sains).
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Yaitu penelitian praktis yang dilaksanakan untuk memecahkan masalah faktual yang dihadapi oleh guru sebagai suatu pencermatan terhadap kegiatan pengelola pembelajaran. Tujuannya untuk melakukan perubahan pada semua peserta didik sebagai subjek penelitian dan perubahan situasi tempat penelitian dilakukan guna mencapai perbaikan praktek secara berkelanjutan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A MTs Wali Songo Pucanganom Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun. Kelas tersebut berjumlah 40 siswa dan keseluruhannya adalah anak perempuan. Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan atau ketercapaian implementasi media pembelajaran KOTEKA Sains (Komik Tempel Bergambar Kartun Sains) adalah sekurang kurangnya 75% siswa mendapat nilai diatas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah di tentukan. Sedangkan indikator untuk aktifitas guru dan keaktifan siswa adalah ≥ 81% dengan kategori sangat memuaskan atau sangat aktif. Data yang sudah dikumpulkan akan diolah dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif dalam bentuk table, grafik ataupun diagram dengan maksud untuk mengetahui presentase hasil belajar siswa lebih baik dari sebelumnya atau tidak. Teknik analisis menggunakan presentase keberhasilan atau ketercapaian peserta didik dalam menguasai materi secara berkelanjutan pada setiap siklus dari hasil tes akhir. Perhitungan yang dilakukan bahwa satu peserta didik dikatakan tuntas atau meningkat pemahamannya apabila telah mencapai KKM yang ditetapkan yaitu sebesar 75%. Pecapaian ini dapat dinyatakan dengan rumus (Gau,2005) :
154
Mahfud, Implementasi Media Pembelajaran Koteka Sains Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
Nilai Belajar Siswa =
Jumlahskor yang diperoleh Total skor
× 100%
Perhitungan yang menyatakan bahwa suatu kelas telah tuntas atau meningkat pemahamannya apabila ≥ 85% siswa sudah mencapai KKM. Perhitungan dinyatakan dengan rumus (Gau,2005) Jumlah siswa yang tuntas
Ketuntasan Klasikal =Jumlah keseluruhan siswa × 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan indikator yang ditetapkan tingkat pemahaman siswa dikatakan berhasil bila siswa mencapai nilai ≥ 75 dengan kategori pemahaman tinggi, sedangkan secara klasikal dikatakan berhasil bila ≥ 85% siswa mencapai kategori pemahaman tinggi. Hasil tes prestasi belajar siswa dari data sebagai berikut. Kemampuan awal siswa Data kemampuan awal yang di peroleh dari 40 siswa yang mengikuti tes, menunjukkan baru 19 siswa yang mencapai kategori tingkat pemahaman tinggi dengan prosentase 48%. Sedangkan 21 siswa yang lain masih dalam kategori tingkat pemahaman rendah dengan prosentase klasikal mencapai 52%. Tabel 1. Hasil Pre Tes Siklus I Nilai Jumlah siswa Prosentase Keterangan ≥ 75 19 48% Pemahaman tinggi <75 20 52% Pemahaman rendah Jumlah 40 Indikator ketercapaian secara klasikal: bila ≥ 85 % siswa mencapai nilai ≥ 75.
Dari tabel Pre Test diatas dapat menunjukan kemampuan awal siswa sebelum mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media KOTEKA Sains. Tabel 2. Hasil Post Tes Siklus I Nilai Jumlah siswa Prosentase Keterangan ≥ 75 26 65% Pemahaman tinggi <75 14 35% Pemahaman rendah Jumlah 40 Indikator ketercapaian secara klasikal: bila ≥ 85 % siswa mencapai nilai ≥ 75.
Dari tabel post tes diatas dapat dikatakan tingkat pemahaman siswa belum mencapai indikator yang ditetapkan. Dari 40 siswa yang mengikuti tes, baru 26 siswa yang mencapai tingkat pemahaman tinggi, sedangkan 14 siswa masih berada pada tingkat pemahaman rendah. 155
Mahfud, Implementasi Media Pembelajaran Koteka Sains Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
Refleksi Siklus I Hasil refleksi siklus I sebagai berikut : a. Aktifitas guru dalam kegiatan pembelajaran belum optimal. - Dalam memotivasi siswa dan memberi apersepsi masih kurang, menarik perhatian siswa secara maksimal.
belum dapat
- Dalam menjelaskan materi pembelajaran dengan menggunakan media KOTEKA Sainsguru kurang maksimal, sehinggasiswa terlihat kebingungan dengan proses pembelajaran yang diharapkan oleh guru. - Dalam membimbing diskusi belum terlaksana dengan baik, gurubanyak memberikan penjelasan konsep yang kurang memusatkan perhatian pada siswa. - Suasana kelas berpusat pada guru yang cenderung mengendalikan kegiatan kelas, dans siwa kurang fokus menggunakan media yang di sediakan. - Pengaturan waktu kurang sesuai pembelajaran yang tidak tepat waktu.
dengan
perencanaan,
banyakkegiatan
Disamping kekurangan-kekurangan yang masih perlu diperbaiki, guru sudah melaksanakan beberapa kegiatan dengan baik, antara lain yaitu guru membimbing siswa membuat keKESIMPULAN yang dilaksanakan dengan baik dan guru juga memberi umpan balik berupa post tes. b. Keaktifan siswa juga belum optimal. - Dalam mengikuti pembelajaran sebagian besar siswa kurang bersemangat dan pasif. - Dalam kegiatan diskusi kelompok siswa kurang aktif tidak berpartisipasi dan terkesan masa bodoh. - Penyebaran anggota kelompok yang berkemampuan akademis tinggi tidak merata sehingga diskusi kelompok tidak berjalan. - Siswa kurang berani dalam menyampaikan pendapat atau menanggapi pendapat temannya, bila diberi kesempatan sangat sedikit yang melaksanakan. c. Post tes, dari hasil post tes tingkat pemahaman siswa juga masih rendah, penguasaan konsep masih kurang, belum mencapai indikator yang ditetapkan dan baru mencapai 65%. Berdasarkan hasil refleksi diatas maka kegiatan pembelajaran dilajutkan pada sklus berikutnya (siklus II). Hasil Belajar siklus II Tabel 2. Hasil Post Tes Siklus II Nilai Jumlah siswa Prosentase Keterangan ≥ 75 36 90% Pemahaman tinggi <75 4 10% Pemahaman rendah Jumlah 40 Indikator ketercapaian secara klasikal: bila ≥ 85 % siswa mencapai nilai ≥ 75.
156
Mahfud, Implementasi Media Pembelajaran Koteka Sains Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
Dari tabel diatas dapat dilihat dari 40 siswa yang mengikuti tes, 36 siswa mencapai tingkat pemahaman tinggi atau sudah mencapai KKM dan 4 siswa tingkat pemahaman rendah atau belum mencapai KKM, sehinga prosentase tingkat pemahaman secara klasikal adalah 90% .Sesuai dengan indikator yang ditetapkan maka tingkat pemahaman siswa pada siklus II sudah tercapai. Refleksi Siklus II Guru mengevaluasi hasil tindakan dan pengamatan yang sudah dilaksanakan. Hasil evaluasi sebagai berikut. a. Aktifitas guru. - Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran guru sudah optimal pemberian motivasi dan apersepsi dilaksanakan dengan baik dapat menarik perhatian siswa. - Dalam meyampaikan konsep dijelaskan poin-poin mengembangkan sendiri, guru tidak memaksakan pada siswa.
saja,
siswa
- Dalam menjelaskan cara-cara pembelajaran dengan menggunakan media KOTEKA Sains sangat jelas dan terinci mudah dipahami siswa. - Suasana kelas sudah terpusat pada siswa. - Dalam membimbing siswa dalam diskusi kelompok sudah maksimal, - Guru tidak mendominasi dengan memberikan ceramah. - Pengaturan waktu sudah sesuai dengan perencanaan, seluruh kegiatan pembelajaran terlaksana dengan baik. b. Keaktifan siswa. - Siswa nampak bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. - Siswa sudah lebih berani menyampaikan pendapatnya dan menanggapi pendapat siswa lain. - Dalam kerja kelompok dan diskusi semua anggota berperan aktif. c. Post tes. Dapat diamati bahwa hasil post tes siswa menunjukkan peningkatan pada siklus II jika di bandingkan dengan pelaksanaan siklus I yang mana siswa sudah mencapai tingkat pemahaman tinggi atau sudah mencapai KKM. Berdasarkan hasil refleksi diatas maka kegiatan pembelajaran pada siklus II meningkat dan sudah dikatakan berhasil, sehingga tidak perlu dilanjutkan ke siklus berikutnya. Dari data hasil belajar IPA materi ekosistem antara sebelum dan sesudah penggunaan media pembelajaran KOTEKA sains diketahui bahwa nilai siswa kelas VII A mengalami peningkatan yang signifikan setelah siswa mendapatkan materi pelajaran menggunakan media pembelajaran tersebut. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan ratarata nilai siswa setelah menggunakan media pembelajaran dan sebelum menggunakan media pembelajaran.
157
Mahfud, Implementasi Media Pembelajaran Koteka Sains Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
Gambar 4.1.Histogram Hasil Post Tes
Pada awal penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran IPA ada sesuatu canggung dari siswa, mungkin hal ini karena pembelajaran yang mereka terima tidak seperti biasanya, namun peneliti memberikan berbagai bimbingan agar siswa merasa nyaman dan dapat menikmati proses pembelajaran yang berlangsung dengan media pembelajaranKOTEKA sains. Pembelajaran diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran. Guru melakukan apersepsi dengan menggali kemampuan siswa melalui berbagai pertanyaan untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Setelah mengetahui sejauh mana kemampuan siswa mengenai materi yang akan dibahas, guru memberikan sedikit informasi mengenai materi yang akan dipelajari. Kemudian guru menjelaskan dan membimbingtentang penggunaan media pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran. Setelah siswa memahami, kemudian siswa menjalankan apa yang sudah dijelaskan oleh guru untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan media tersebut. Guru melakukan pengamatan, bimbingan serta penilaian darikegiatan siswa, guru memberikan tanggapan dan pujian kepada siswa yang dapat ikut serta aktif dalam pembelajaran. Guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari. Diakhir pertemuan siswa diberikan semacam ulangan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa data penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapkan media pembelajaran KOTEKA sains dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA di MTs Wali Songo Pucanganom KebonsariMadiun. Dari hasil penelitian yang sudah dilaksanakan maka disampaikan saran-saran sebagai berikut : 1. Penerapan media pembelajaran KOTEKA sains dapat digunakan pada mata pelajaran lain. 2. Dalam menerapkan media pembelajaran KOTEKA sains akan lebih baik jika guru menggunakan beberapa karakter kartun ternama sehingga siswa merasa antusias dan lebih tertarik untuk mengikuti pembelajaran.
158
Mahfud, Implementasi Media Pembelajaran Koteka Sains Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar
3. Hasil penelitian ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, jika ada penelitian yang sejenis hendaknya dilakukan dengan memfasilitasi setiap anak dengan satu buah media KOTEKA, agar siswa lebih efektif mempelajari materi yang di siapkan. DAFTAR PUSTAKA Agus Suprijono. 2012. Cooperatve Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media. Dewi Indrianti.2013. Kontribusi kreatifitas , kemampuan awal dan gaya belajar terhadap prestasi belajar.(Online) (http:eprint.uny.ac.id/10277/JURNAL,pdf, diunduh 05 Desember 2015. Hamzah B. Uno.2007. Perencanaan Pembelajaran.Jakarta: Bumi Aksar. Muhibbin Syah. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nana Sudjana, Ahmad Rivai. 2001. Media Pengajaran. Bandung: PT Sinar Baru Algesindo. Nana Sudjana. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Suharsimi Arikunto.2010. Prosedur Penelitian. Jakarta. Rineka Cipta.
159
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
UJI KANDUNGAN PROTEIN DAN UJI ORGANOLEPTIK TERAHADAP KUALITAS TEMPE BERBAHAN DASAR KACANG-KACANGAN Ani Sulistyarsi, Pujiati dan Desy Erviyanti FPMIPA IKIP PGRI Madiun Email:[email protected]
ABSTRAK Tempe adalah salah satu makanan tradisional khas Indonesia. Tempe merupakan sumber protein yang baik. Masyarakat Indonesia mengkonsumsi tempe sebagai panganan pendamping nasi. Umumnya tempe dibuat dari kacang kedelai. Dalam beberapa tahun terakhir produksi kedelai di Indonesia terus berkurang dan tidak mampu memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif bahan baku dalam pembuatan tempe yang bersifat dapat mensubstitusi produk yang berbahan dasar kedelai. Alternatif bahan baku untuk mengoptimalkan potensi kacang-kacangan lokal yang ada, untuk itu perlu dilakukan uji protein tempe dengan bahan dasar kacang-kacangan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kandungan protein dan uji organoleptik terhadap kualitas tempe berbahan dasar kacang-kacangan. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 kelompok perlakuan dan 6 kali ulangan. Perlakuan dalam penelitian adalah tempe dengan bahan dasar yang bervariasi yaitu, kacang kedelai, kacang tunggak, kacang gude dan kacang hijau. Pengambilan data dengan menghitung kadar protein melalui metode titrasi formol. Analisis data menggunakan analisis varian (anava) satu jalur melalui SPSS versi 19.0 yang menunjukkan perbedaan kadar protein terhadap kualitas tempe dengan taraf signifikan 0,00 < 0,05 yang berarti tempe berbahan dasar kacang-kacangan berpengaruh pada kadar protein. Kadar protein tempe tertinggi pada perlakuan P0 yaitu tempe kacang kedelai sebesar 1,28 %, sedangkan kadar protein terendah yaitu tempe kacang hijau pada perlakuan P3 sebesar 0,03 %. Uji organoleptik terhadap rasa, warna dan bau yang disukai para panelis pada perlakuan P0 dan P3 yaitu tempe kacang kedelai dan tempe kacang hijau sebesar 3,2. Sedang yang paling tidak disukai tempe dari kacang tunggak sebesar 2,5. Jadi penggunaan kacang-kacangan berpengaruh pada kadar protein tempe Key word : Uji Protein, Uji Organoleptik, Tempe, kacang-kacangan.
PENDAHULUAN Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat akan menyebabkan kebutuhan produksi bahan pangan semakin tinggi. Pangan menyediakan zat gizi untuk tenaga bagi tubuh. Masalah kecukupan gizi saat ini merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian cukup serius tertutama bagi negara-negara sedang berkembang, Upaya perbaikan gizi dan mengatasi krisis kekurangan pangan antara lain dengan digalakkannya usaha penganekaragaman jenis bahan pangan. Salah satu usaha mengurangi masalah kekurangan gizi adalah memperkenalkan makanan bergizi tinggi yang terjangkau daya beli masyarakat dan dapat diterima oleh konsumen. Salah satunya adalah tempe, yaitu makanan yang dihasillkan dari proses fermentasi kapang. Kandungan gizi tempe yang cukup tinggi mampu bersaing dengan bahan pangan nabati lain seperti tahu dan kecap dalam kandungan gizinya. Dalam beberapa tahun terakhir produksi kedelai di Indonesia terus berkurang dan tidak mampu memenuhi kebutuhan. Pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas dan menggali sumber pertumbuhan baru serta melakukan 161
Sulistyarsi, dkk., Uji Kandungan Protein Dan Uji Organoleptik Tempe Kacang-Kacangan
impor kedelai. . Kebijakan lain yang ditetapkan adalah mengoptimalkan potensi kacangkacangan lokal yang ada. Cara ini dirasa sangat rasional mengingat beragam jenis kacang banyak tumbuh di Indonesia (Winda, dkk, 2007). Pemanfaatan kacang-kacangan sebagai bahan dasar pembuatan tempe merupakan suatu terobosan baru diharapkan dapat mengurangi penggunaan kedelai yang cukup besar di Indonesia. Alternatif bahan dasar pembuatan tempe yang dapat digunakan adalah kacang tunggak, kacang gude dan kacang hijau. Kualitas tempe dari bahan dasar kacang-kacangan perlu dianalisis kandungan protein serta sifat organoleptiknya karena tempe akan sering digunakan masyarakat sebagai makanan. Dengan uji kandungan protein tempe dari bahan dasar kacangkacangan diharapkan masayarakat lebih mengenal dan memanfaatkan alternatif ini. Hasil uji kandungan protein tempe yang dilakukan bisa diaplikasikan di dunia pendidikan yaitu sebagai petunjuk praktikum pada mata kuliah Biokimia. Konsep pembelajaran biologi yang diajarkan mahasiswa diperguruan tinggi khususnya pada uji makanan diharapkan mahasiswa mampu untuk menerapkanya serta dapat memanfaatkan bahan-bahan alam sebagai alternatif dalam makanan sehari-hari dan mampu menguji kandungan bahan alam tersebut.
METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan untuk penelitian dalam pembuatan tempe adalah ragi, kacang kedelai sebagai kontrol, kacang tunggak, kacang gude dan kacang hijau, pembungkus (daun pisang dan kertas). Kemudian NaOH 0,1 N, Formaldehin 40%, Kalium oksalat jenuh, dan Phenotalin (PP) digunakan untuk uji protein menggunakan uji titrasi formol, serta sabun cuci dan tissue. Cara Penelitian Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan eksperimen dan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 kelompok perlakuan dan 6 kali ulangan. Variabel bebas (Independen) Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian adalah Tempe bahan dasar kacang kedelai (Glycine max) sebagai P0 (kontrol), kacang tunggak (Vigna unguiculata) sebagai P1, kacang gude (Cajanus cajan) sebagai P2 dan kacang hijau (Phaseolus radiatus) sebagai P3. Variabel terikat yang digunakan dalam peneltian adalah kandungan protein dan uji organoleptik tempe berbahan dasar kacang-kacangan. Prosedur penelitian meliputi cara pembuatan tempe, pengujian kandungan protein dan uji organoleptik. Hasil Penelitian utama menggunakan uji kandungan protein dan uji organoleptik terhadap tempe berbahan dasar kacang-kacangan yang telah diaplikasikan untuk mengetahui analisis fisik yang menggunakan uji organoleptik berupa rasa, warna, dan bau serta besar kandungan protein pada tempe yang telah di perlakukan sebanyak 4 perlakuan.
161
Sulistyarsi, dkk., Uji Kandungan Protein Dan Uji Organoleptik Tempe Kacang-Kacangan
Tabel 1 Data Perhitungan Kandungan Protein (%) Pengulangan U3 U4 1,22 1,44 0,87 0,91 0,61 0,70 0,04 0,04
Perlakuan
U1 U2 P0 1,05 1,05 P1 1,00 0,91 P2 0,52 0,61 P3 0,03 0,04 Keterangan : P0 : Tempe bahan dasar kacang kedelai P1 : Tempe bahan dasar kacang tunggak P2 : Tempe bahan dasar kacang gude P3 : Tempe bahan dasar kacang hijau U1, U2, U3, U4, U5, U6 : Banyaknya pengulangan
U5 1,30 0,87 0,70 0,02
U6 1,61 0,91 0,70 0,03
Kandungan Protein 1,28 0,91 0,64 0,03
Tabel 1 menunjukan bahwa rata-rata kandungan protein tempe berbahan dasar kacang-kacangan tertinggi pada perlakuan P0 yaitu tempe bahan dasar kacang kedelai sebesar 1,28%, sedangkan kandungan protein paling rendah adalah 0,03% pada perlakuan P3 yaitu tempe bahan dasar kacang hijau. Tabel 2 Data Organoleptik pada Tempe Perlakuan P0
Rasa (40) Skor Nilai 3,3 1,3
Warna (35) Skor Nilai 3,1 1,1
Bau (25) Skor Nilai 3,1 0,8
Σ Nilai 3,2
P1
2,3
1,0
2,3
0,9
2,5
0,6
2,5
P2
2,2
0,9
3,2
1,1
3,0
0,8
2,8
P3
3,2
1,3
3,1
1,1
3,1
0,8
3,2
Tabel 2. menunjukkan hasil uji organoleptik rasa, warna dan bau tempe berbahan dasar kacang kedelai, tunggak, gude dan kacang hijau dengan 20 orang panelis diperoleh data bahwa tempe yang paling disukai adalah tempe pada perlakuan P0 dan P3 yaitu tempe dari kacang kedelai dan tempe dari kacang hijau dengan nilai 3,2, sedangkan yang tidak disukai oleh panelis adalah tempe dengan bahan dasar kacang tunggak yaitu pada perlakuan P1 dengan nilai 2,5. Analisis data menggunakan statistik analisa varian (anova) satu jalan menunjukkan bahwa perbedaan kandungan protein terhadap kualitas tempe dengan taraf signifikan 0,00 < 0,05 yang berarti tempe berbahan dasar kacang-kacangan berpengaruh pada kandungan protein. Perlakuan P0 (tempe berbahan dasar kacang kedelai) memiliki rerata kandungan protein paling maksimal yaitu 1,28 ± 0,221035. Sedangkan P3 (tempe berbahan dasar kacang hijau) memiliki rerata kandungan protein paling rendah yaitu 0,03 ± 0,008165. Salah satu faktor penyebab kacang hijau memiliki kandungan protein terendah adalah saat proses perebusan yang terlalu lama membuat kandungan protein pada biji kacang hijau menurun. Menurut Hasnah dan Norfasihah (2014: 3) menyatakan bahwa kacang mentah memiliki kandungan protein sebesar 43,65%, dan kacang mengalami penurunan kandungan protein ketika proses perendaman dan perebusan pada saat proses pembuatan 162
Sulistyarsi, dkk., Uji Kandungan Protein Dan Uji Organoleptik Tempe Kacang-Kacangan
tempe, sehingga protein pada tempe sebesar 17,34 %. Pernyataan ini juga didukung oleh Iljas, et.,al (1973: 18) menjelaskan bahwa proses mencuci, perendaman dan memasak menyebabkan beberapa kerugian dalam protein, semakin lama waktu perendaman menunjukkan peningkatan hilangnya kandungan protein. Tingginya kandungan protein tempe kacang kedelai dibandingkan dengan tempe kacang tunggak, tempe kacang gude dan tempe kacang hijau dikarenakan kandungan protein biji kedelai mentah lebih tinggi dibandingkan kacang yang lain yaitu sebesar 34,9% sedangkan kandungan protein biji mentah kacang tunggak, kacang gude dan kacang hijau sebesar 22,90%, 22,3 % dan 22,2%, walaupun pada saat proses pembuatan tempe kandungan protein mengalami penurunan dibandingkan kandungan protein biji mentah. Berdasarkan data dari tabel 4.1 dan tabel 4.2 selanjutnya dibuat grafik sebagaimana gambar 4.1 sebagai berikut: Kandungan Protein dan Organoleptik
jumlah kadar dan nilai
3.5 3 Kandungan Protein
2.5 2
1.5 Organoleptik
1
0.5 0 P0: kedelai P1: tunggak P2: gude perlakuan
P3: hijau
Gambar 4.1: Grafik Kandungan Protein dan Organoleptik
Gambar 4.1 menunjukkan perlakuan tempe berbahan dasar kacang-kacangan dengan uji kandungan protein dan uji organoleptik diketahui bahwa semakin tinggi kandungan protein tidak menjamin semakin tinggi juga nilai uji organoleptiknya. Hal ini dapat dilihat bahwa perlakuan P3 yaitu tempe berbahan dasar kacang hijau memiliki prosentase kandungan protein terendah yaitu 0,03 tetapi memilki nilai organoleptik tertinggi dengan nilai 3,2, maka dapat diketahui bahwa konsumen menyukai tempe dengan variasi-variasi yang baru, yang memiliki cita rasa berbeda dan menarik.
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dapat diambil keKESIMPULAN: 1. 2.
Ada perbedaan kandungan protein terhadap kualitas tempe berbahan dasar kacangkacangan. Hasil uji organoleptik menujukkan bahwa perlakuan yang paling disukai dari segi rasa, warna dan bau adalah tempe kacang kedelai dan tempe kacang hijau.
163
Sulistyarsi, dkk., Uji Kandungan Protein Dan Uji Organoleptik Tempe Kacang-Kacangan
3.
Hasil penelitian berupa uji kandungan protein dan uji organoleptik pada tempe berbahan dasar kacang-kacangan dapat digunakan sebagai bahan penyusun petunjuk praktikum mata kuliah Biokimia.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid. 2012. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standart Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Agung Feryanto. 2007. Aneka Olahan Dari Kacang. Klaten: Saka Mitra Kompetensi. Astuti et al. 2000. Tempe, A Nutritious And Healthy Food From Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. Vol.9 No.4. (Online), (www.apjcn.org.update.pdf, Diunduh 23 Juni 2015) Badan Standardisasi Nasional. 2012. Tempe Persembahan Untuk Indonesia. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. Baedhowie dan Sri Pranggonowati. 1983. Petunjuk Praktek Pengawasan Mutu Hasil Pertanian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Departemen Gizi Dan Kesehatan Mayarakat. 2007. Gizi Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Dieta Nurrika .2007. Mengenal Gizi Untuk Pemula. Bandung : PT. Pribumi Mekar. Erna. 2010. Karakteristik Kimia Dan Sensori Tempe Dengan Variasi Bahan Baku Kedelai/Beras Dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama Fermentasi. Skripsi. Surakarta: Fakultas Pertania. Universitas Sebelas Maret. (Online), (http://core.ac.uk.pdf Diunduh tanggal 20 April 2015) Hasnah Haron dan Norfasihah Raob 2014. Changes in Macronutrient, Total Phenolic and Anti-Nutrient Contents during Preparation of Tempeh. Nutrition and Food. (Online), (http://malysia.bipublication.com, Diunduh 18 Juni 2015) Iljas et al. 1973. Tempeh An Indonesian Fermented Soybean Food. Department Of Horticulture . No. 394 (Online ), (https://kb.osu.edu, Diunduh 23 Juni 2015). Intan. (2010). Karakteristik Sensoris, Nilai Gizi Dan Aktivitas Antioksidan Tempe Kacang Gude (Cajanus Cajan (L.) Millsp.) Dan Tempe Kacang Tunggak (Vigna Unguiculata (L.) Walp.) Dengan Berbagai Variasi Waktu Fermentasi. Skripsi. Surakarta : Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Sebelas Maret. (Online), (www.uns.ac.id, Diunduh tanggal 10 Maret 2015) Jejen Sudrajat. 2001. Rataan Kadar Protein Susu Periode Awal Laktasi dan Perbandingan Hasil Pengukuran Uji Protein Susu. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. (Online), (http://jos.unsoed.ac.id, Diunduh 11 Maret 2015) Lisdiana Fachruddin. 2000. Budidaya Kacang-Kacangan. Yogyakarta: Kanisius
164
Sulistyarsi, dkk., Uji Kandungan Protein Dan Uji Organoleptik Tempe Kacang-Kacangan
Marta, dkk. 2012. Ilmu Teknologi Pangan. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi. Semarang: Universitas Diponegoro. (Online), (www.scribd.jurnal.organoleptik.com, Diunduh 9 Maret 2015) Mocha Bartelsi. 2013. Manfaat Kedelai Dan Pengolahannya. Klaten : CV. Sahabat Nana Sudjana, 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar . Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rahmat Rukmana dan Yuyun Yuniarsih. 2000. Kacang Tunggak Budidaya dan Prospek Usaha Tani. Yogyakarta: Kanisius Soejoeti Tarwotjo. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: PT. Gramedia. Suhardjo dan Clara M. Kusnanto. 1992. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Kanisius Susi. 2013. Komposisi Kimia Dan Asam Amino Pada Tempe Kacang Nagara (Vigna Unguiculata Ssp. Cylindrica). Jurnal Agroscientiae Vol. 19 No. 1 (Online), (http://journal.IPB.ac.id, Diunduh 9 Maret 2015) Susiwi. 2012. Penilaian Organoleptik. Progam Studi Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia. (Online), (http://edu.jurnal.pdf, Diunduh 10 Maret 2015) Testi, dkk. 2009. Teknologi Legum dan Serealia. Surakarta: Program Studi Tekonologi Hasil Pertanian. Universitas Sebelas Maret. (Online), (www.scribd.kacang.gude.kinanti.com, Diunduh 9 Maret 2015) Winda H, dkk. 2007. Pemanfaatan Kacang-Kacangan Lokal Sebagai Substitusi Bahan Baku Tempe Dan Tahu. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol. 3 (Online), (http://pascapanen.libang.go.id, Diunduh 9 Maret 2015)
165
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS BERBAHAN DASAR TONGKOL JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN CAISIM (BRASSICA CHINENSIS) SEBAGAI PETUNJUK PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN Muh. Waskito Ardhi1), Risza Risanty2), Ani Sulistyarsi3) Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP PGRI MADIUN,
email : 1) [email protected], 2) [email protected] 3) [email protected] ABSTRAK Meningkatnya jumlah produksi caisim di Indonesia dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas tanah yang sudah mulai menurun kesuburannya. Salah satu unsur pembentuk kesuburan tanah adalah kompos, pemaksimalan produksi caisim (Brassica chinensis) melalui pemanfaatan limbah tongkol jagung dalam bentuk kompos dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi tanaman. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh kompos tongkol jagung terhadap pertumbuhan caisim (Brassica chinensis) dan sebagai petunjuk praktikum mata kuliah Ekologi Tumbuhan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Purwosari Ponorogo dan analisis kandungan kompos dilakukan di Universitas Sebelas Maret (UNS). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan dan 5 kali ulangan. Perlakuan P0 = kontrol, P1 = kompos tongkol jagung 750 gr, P2 = kompos tongkol jagung 900 gr, P3 = kompos tongkol jagung 1050 gr, dan P4 kompos tongkol jagung 1200 gr. Parameter yang diukur adalah tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai), dan berat basah tanaman caisim (Brassica chinensis) (gr). Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan statistik ANOVA satu jalur dan jika ada beda akan dilanjut dengan Uji LSD. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan SPSS Versi 16 data tinggi tanaman, jumlah daun, dan berat basah tanaman caisim menunjukkan taraf signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Nilai ini menolak H0 dan menerima H1, sehingga ada pengaruh pemberian dosis kompos tongkol jagung terhadap pertumbuhan tinggi, jumlah daun, dan berat basah tanaman caisim (Brassica chinensis). Hasil validasi petunjuk praktikum dari validator 1 dan 2 menunjukkan nilai rata-rata 81,25 masuk dalam kriteria layak. Hasil penelitian ini digunakan sebagai bahan petunjuk praktikum ekologi tumbuhan pada bab peranan unsur hara bagi tanaman. Kata Kunci : Caisim (Brassica chinensis), Kompos Tongkol Jagung, Pertumbuhan.
PENDAHULAN Peningkatan populasi manusia menyebabkan permintaan pangan selalu bertambah, di samping itu kompleksnya kebutuhan dan peningkatan pola hidup masyarakat memacu perkembangan berbagai industri, termasuk pertanian. Namun, seiring pertumbuhan dan pengelolaan industri pertanian yang dilakukan secara intensif, efek yang dihasilkan juga semakin mengkhawatirkan, salah satunya adalah limbah. Pemanfaatan limbah pertanian sangat perlu dilakukan agar tidak terjadi pencemaran lingkungan. Menurut Djaja (2008: 2) limbah adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu aktivitas manusia atau proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis, tetapi justru memiliki dampak negatif.
167
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
Salah satu limbah pertanian yang berasal dari tanaman jagung yang tidak ditangani adalah tongkol jagung atau biasa disebut janggel jagung. Limbah tongkol jagung yang melimpah perlu ditangani karena akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu desa penghasil limbah tongkol jagung yaitu Dusun Trenceng Desa Mrican Kecamatan Jenangan Ponorogo. Hampir setiap tahun desa ini panen jagung dalam jumlah yang berlimpah, namun yang disayangkan yaitu limbah yang dihasilkan dari jagung ini kurang termanfaatkan. Pemanfaatan tongkol jagung masih sangat terbatas, kebanyakan limbah tongkol jagung hanya digunakan untuk bahan tambahan makanan ternak atau digunakan sebagai bahan bakar setelah melalui proses pengeringan bahkan hanya dibuang sia-sia, hal tersebut membuat pemandangan menjadi tidak nyaman karena banyak limbah tongkol jagung berserakan di depan rumah. Terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa limbah pertanian sangat banyak jumlahnya dan memiliki nilai yang lebih bermanfaat seperti dijadikan kompos daripada dibakar hanya menghasilkan polutan bagi udara. Pemanfaatan dan pengolahan limbah atau bahan samping dari jagung yang tepat dapat meningkatkan nilai jual yang tinggi terhadap limbah tersebut. Adanya pemanfaatan limbah tersebut maka ada gejala peradaban sehat kembali ke alam. Tanaman jagung sebenarnya sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia ataupun hewan. Jagung di Indonesia merupakan makanan pokok kedua setelah padi, sedangkan di dunia jagung menduduki urutan ketiga setelah gandum dan padi (Aak, 1993: 11). Produksi utama usaha tanaman jagung adalah biji sedangkan produksi sampingan berupa batang, daun, dan kelobot dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ataupun pupuk kompos (Rukmana, 1997: 15). Tongkol jagung mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, seperti nitrogen, fosfor, dan kalium (Ruskandi, 2005 dalam Marviana dan Utami, 2014: 161). Kondisi saat ini ketergantungan petani akan pupuk anorganik semakin besar, sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah. Penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dapat berdampak negatif, namun masyarakat telah menyadari bahwa menggunakan bahan-bahan kimia non alami seperti pupuk anorganik dalam memproduksi hasil pertanian dapat menimbulkan efek buruk terhadap tanah, kesehatan manusia dan lingkungan. Dampak negatif tersebut sudah sepantasnya dihentikan atau setidaknya dikurangi. Salah satu cara untuk mengurangi pemakaian pupuk anorganik dengan mengolah limbah tongkol jagung menjadi kompos. Kompos sebagai bagian pupuk organik mempunyai masa depan yang cerah. Penggunaan berbagai pupuk organik di lahan pertanian terbukti telah dapat meningkatkan produksi sehingga pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Dengan demikian penggunaan pupuk organik di samping dapat menekan penggunaan pupuk kimia yang ketersediaannya semakin langka, juga dapat menekan terjadinya pencemaran lingkungan. Penambahan kompos ke dalam tanah dapat memperbaiki struktur, tekstur, dan lapisan tanah, sehingga akan memperbaiki keadaan aerasi, drainase (tata udara tanah), absirbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air, serta mengendalikan erosi tanah. Kompos juga dapat menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh tanaman ketika dipanen atau terbawa aliran air permukaan (erosi) (Samekto, 2006: 14). Kandungan unsur hara dalam pupuk organik lebih sedikit daripada pupuk anorganik, namun penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik dibandingkan dengan hanya 167
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
penggunaan pupuk anorganik. Pemakaian pupuk organik (kompos) tidak menimbulkan residu pada hasil panen sehingga tidak membahayakan manusia dan lingkungan, sehingga tepat jika diaplikasikan pada tanaman hortikultura. Haryanto, Suhartini, dan Rahayu (1999: 1-2) menyampaikan bahwa keadaan alam Indonesia memungkinkan dilakukannya pembudidayaan berbagai jenis tanaman sayur, baik yang lokal maupun yang berasal dari luar negeri. Hal tersebut menyebabkan Indonesia ditinjau dari aspek klimatologis sangat potensial dalam usaha bisnis sayursayuran. Di antara bermacam-macam jenis sayuran yang dapat dibudidayakan tersebut yaitu sawi yang memiliki nilai komersial dan prospek yang lumayan. Selain ditinjau dari aspek klimatologis; aspek teknis, ekonomis, serta sosialnya juga sangat mendukung, sehingga memiliki kelayakan untuk diusahakan di Indonesia. Masakan atau panganan di Indonesia banyak sekali yang menggunakan daun sawi baik sebagai bahan pokok maupun sebagai bahan pelengkapnya. Bakso, gado-gado, oseng-oseng, tumis dan lain-lainnya membuktikan bahwa sawi merupakan sayuran yang cukup populer di masyarakat. Adapun sawi dapat diolah menjadi bermacam-macam masakan cina yang lezat cita rasanya. Hal tersebut menunjukkan dari aspek sosial bahwa masyarakat mudah menerima kehadiran sawi untuk konsumsi sehari-hari. Uraian di atas menjadi dasar perlunya diadakan penelitian terhadap pertumbuhan caisim (Brassica chinensis) yang dipengaruhi oleh kompos tongkol jagung. Hasil pengaruh pemberian kompos tongkol jagung terhadap pertumbuhan caisim (Brassica chinensis) tersebut akan dijadikan sebagai salah satu petunjuk praktikum mata kuliah Ekologi Tumbuhan serta alternatif dalam pembudidayaan tanaman caisim (Brassica chinensis).
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Purwosari Ponorogo pada bulan April-Mei 2015. Analisis kandungan kompos berbahan dasar tongkol jagung dilaksanakan di Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah polybag ukuran 40 x 45 cm, kertas label, penggaris 50 cm, cangkul, cetok, golok, terpal, ember, pengaduk, timbangan digital, kalkulator, kamera digital, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah limbah tongkol jagung 25 kg, aktivator EM-4 75 ml, air 7 liter, molase 75 ml, dedak 9 kg, sekam 6 kg, kotoran ternak 5 kg, benih caisim (Brassica chinensis) 25 gram, media tanam tanah dan arang sekam. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 1 faktor, yaitu pemberian kompos tongkol jagung dengan perlakuan sebagai berikut: P0 = Kontrol P1 = 750 gr kompos P2 = 900 gr kompos P3 = 1050 gr kompos 168
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
P4 = 1200 gr kompos Semua perlakuan diulang 5 kali. Bibit tanaman caisim berasal dari sawi varietas Tosakan. Pelaksanaan Penelitian Kegiatan penelitian antara lain: pembuatan kompos, persiapan media, pembuatan dosis kompos, penyemaian benih, pembibitan, pemeliharaan tanaman meliputi: penyulaman, penyiangan, penyiraman serta penanggulangan hama dan penyakit. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah: a. Tinggi tanaman (cm) Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh tanaman. Tanaman diukur seminggu sekali pada saat tanaman berumur 1 hingga 6 MST. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris. b. Jumlah daun tanaman (helai) Jumlah daun dihitung dengan menghitung daun tanaman yang sudah terbuka sempurna. Jumlah daun tanaman caisim dihitung secara manual tanpa bantuan alat. Penghitungan dilakukan seminggu sekali pada saat tanaman berumur 1 hingga 6 MST. c. Berat segar tanaman (gr) Pengamatan dilakukan terhadap berat segar caisim (Brassica chinensis) pada saat panen yaitu pada umur 42 hari dengan mengguakan timbangan digital. Teknik data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis menggunakan statistik ANOVA satu jalur untuk melihat pengaruh pemberian kompos tongkol jagung terhadap pertumbuhan caisim (Brassica chinensis). Jika ada beda akan dilanjut dengan Uji LSD. Sedangkan untuk petunjuk praktikum ekologi tumbuhan dilakukan validasi yaitu dengan mengisi lembar validasi oleh validator yaitu dosen pengampu mata kuliah ekologi tumbuhan dan dosen pembimbing.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman Caisim (Brassica chinensis) Menurut uji Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Surakarta, kompos berbahan dasart tongkol jagung mengandung 1,19% nitrogen (N); 2,01% fosfor (P); 1,09% kalium (K); C/N ratio sebesar 15,07; pH 6,56; C.Organik 17,93%; serta bahan organik 30,92%. Gambar 1. menunjukkan bahwa tanaman kontrol cenderung lebih rendah dibandingkan tanaman yang diberi perlakuan dosis kompos tongkol jagung. Hasil analisis menunjukan pertumbuhan tinggi tanaman caisim pada 1 hingga 6 MST berpengaruh nyata, yaitu reratatinggi tanaman paling tinggi pada perlakuan P4 (kompos 1200 gr) yaitu 7,38 cm, sedangkan rerata tinggi tanaman paling rendah pada perlakuan P0 (kontrol) yaitu 5,98 cm. Hasil analisa anava satu jalur tinggi tanaman menunjukkan taraf signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Nilai ini menolak H0 dan menerima H1, sehingga ada pengaruh 169
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
pemberian dosis kompos tongkol jagung terhadap pertumbuhan tinggi tanaman caisim (Brassica chinensis). Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan dosis kompos tongkol jagung sangat baik digunakan untuk menambah unsur hara tanah dalam membantu pertumbuhan tinggi tanaman. Selain itu, Samekto (2006: 14) menjelaskan bahwa penambahan dosis kompos ke dalam tanah dapat menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh tanaman ketika dipanen atau terbawa aliran air permukaan. 1.
Tinggi tanaman Caisim (Brassica chinensis) 8
Tinggi Tanaman (cm)
7 6 P0
5
P1 4
P2
3
P3
2
P4
1 0 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
Gambar 1. Rerata Tinggi Tanaman Caisim Keterangan: P0 = Kontrol, P1 = 750 gr kompos, P2 = 900 gr kompos, P3 = 1050 gr kompos, P4 = 1200 gr kompos
Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa pemberian dosis kontrol terhadap tinggi tanaman caisim berbeda nyata dengan semua dosis. Pemberian kompos dengan dosis kontrol berarti tidak ada pasokan unsur hara yang diberikan pada tanaman caisim ini. Pada perlakuan kontrol atau perlakuan tanpa kompos tongkol jagung memiliki rerata tinggi tanaman yang paling rendah (berbeda nyata) dibandingkan dengan tinggi tanaman caisim yang diberi perlakuan kompos, diduga terjadi karena media tanamnya kekurangan unsur hara sehingga dapat menghambat pertumbuhan caisim (Brassica chinensis). Hal tersebut didukung dengan pernyataan Marviana dan Utami (2014: 164) bahwa pemberian dosis kompos yang terlalu sedikit atau tidak diberi kompos, maka tanaman tidak mampu menyerap unsur hara secara optimal sehingga pertumbuhannya dapat terhambat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Rahmah, Izzati, dan Parman (2014: 69) menyatakan bahwa peningkatan tinggi tanaman terjadi karena nitrogen memacu pertumbuhan meristem apikal sehingga tanaman bertambah panjang. Selanjutnya Fatimah dan Handarto (2009: 139) menambahkan bahwa kadar N (nitrogen) yang rendah pada media tanam sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan fase vegetatif, yang dicirikan oleh penambahan volume sel tanaman (tinggi dan panjang tanaman) dan organ tanaman lainnya, berupa daun dan cabang baru. Saat fase tersebut, peran unsur N sangat penting, khususnya pada saat pembelahan sel yang termasuk bagian dari proses metabolisme bagi tanaman. Dengan demikian, kekurangan unsur hara menyebabkan 170
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
pertumbuhan tanaman caisim (Brassica chinensis) pada perlakuan kontrol terhambat dibandingkan dengan tanaman caisim (Brassica chinensis) yang diberi perlakuan kompos tongkol jagung. Hal ini juga didukung penelitian yang telah dilakukan oleh Perwitasari, dkk (2012: 21), bahwa tanaman yang kurang unsur hara nitrogen (N) pertumbuhannya akan terhambat seperti pada perlakuan media tanpa pemberian nutrisi, selain terhambatnya pertumbuhan pucuk, juga menurunkan daya tahan terhadap serangan penyakit. Sedangkan pemberian dosis kompos yang tepat akan memberikan hasil pertumbuhan tanaman yang optimal. Perlakuan kompos dosis 1200 gr memiliki tinggi yang paling optimal yaitu 7,38 cm karena nutrisi atau unsur N, P, dan K yan dibutuhkan terpenuhi secara maksimal. Tampaknya unsur hara yang terkandung dalam perlakuan ini dapat diserap tanaman secara optimal. Tersedianya unsur hara dalam jumlah yang cukup dan seimbang untuk pertumbuhan tanaman menyebabkan proses pembelahan, pembesaran, dan pemanjangan sel akan berlangsung cepat yang mengakibatkan beberapa organ tanaman tumbuh cepat (Setiyati, 1979 dalam Prasetya, B, Kurniawan, S, dan M. Febrianingsih, 2009: 1027). 2.
Jumlah Daun Caisim (Brassica chinensis) 14
Jumlah Daun (Helai)
12 10 P0 8
P1 P2
6
P3 4
P4
2 0 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
Gambar 2. Rerata Jumlah Daun Caisim Keterangan: P0 = Kontrol, P1 = 750 gr kompos, P2 = 900 gr kompos, P3 = 1050 gr kompos, P4 = 1200 gr kompos
Berdasarkan Gambar 2. dapat diketahui bahwa rerata jumlah daun paling tinggi terdapat pada perlakuan P4 (kompos 1200 gr) yaitu sebesar 13 helai, sedangkan rerata jumlah daun paling rendah terdapat pada perlakuan P0 (kontrol) yaitu 9 helai. Hasil analisa anava satu jalur jumlah daun menunjukkan taraf signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Nilai ini menolak H0 dan menerima H1, sehingga ada pengaruh pemberian dosis kompos tongkol jagung terhadap jumlah daun tanaman caisim (Brassica chinensis). Pemberian dosis kompos tongkol jagung memberi respon yang positif terhadap pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah daun, di mana semakin tinggi konsentrasi pemberian kompos akan diikuti oleh peningkatan jumlah daun 171
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
tanaman. Peningkatan jumlah daun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman caisim (Brassica chinensis). Perlakuan P0 atau tanpa pemberian kompos memiliki jumlah daun yang lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan P1, P2, P3, dan P4. Hal tersebut terjadi karena pada P0 atau tanpa pemberian kompos tidak ada pasokan unsur hara, sedangkan pada perlakuan dengan kompos terdapat pasokan unsur hara yang cukup sehingga terjadi peningkatan jumlah daun. Peningkatan ini terjadi akibat kandungan unsur hara pada kompos tongkol jagung cukup baik yang mampu memperbaiki tinggi tanaman caisim, yaitu nitrogen (N) 1,19 %, fosfor (P) 2,01 %, dan kalium (K) 1,09 %. Marviana dan Utami (2014: 163) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bertambahnya jumlah daun yang paling optimal dan warna daun yang hijau pada perlakuan P3 (1050 gr) disebabkan oleh ketersediaan unsur hara yang terkandung di dalam kompos yaitu N, P, dan K. Unsur tersebut dapat merangsang pembelahan sel dan menyebabkan semakin bertambahnya tinggi batang tanaman, maka semakin banyak pula tangkai daun yang tumbuh. Lakitan, 1996 (dalam Fatimah dan Handarto, 2008: 143) menjelaskan bahwa unsur hara yang paling berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan daun adalah nitrogen, konsentrasi nitrogen yang tinggi umumnya menghasilkan jumlah daun yang lebih besar. Lingga, 2005 (dalam Perwitasari dkk, 2012: 21) mendukung pernyataan tersebut bahwa nitrogen berfungsi untuk memacu pertumbuhan pada fase vegetatif terutama daun dan batang. Susilo (1991) dalam Fatimah dan Handarto (2008: 143) menambahkan bahwa dengan adanya nitrogen yang cukup dalam tanah dapat meningkatkan sintesis protein untuk pembelahan dan pembesaran sel yang menyebabkan bertambahnya jumlah dan peningkatan ukuran sel sehingga pertumbuhan tanaman dan jumlah daun meningkat. Selanjutnya, Lukitasari (2012: 56) juga menambahkan bahwa nitrogen (N) merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari molekul khlorofil dan pemberian N dalam jumlah cukup akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang vigor dan menjadikan daun berwarna hijau segar. 3.
Berat Basah Caisim (Brassica chinensis) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 P0
P1
P2
P3
P4
Gambar 3. Rerata Berat Basah Tanaman Caisim Keterangan: P0 = Kontrol, P1 = 750 gr kompos, P2 = 900 gr kompos, P3 = 1050 gr kompos, P4 = 1200 gr kompos
172
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
Berdasarkan Gambar 3. dapat diketahui bahwa perlakuan P4 mempunyai rata-rata berat basah paling optimal. Rerata berat basah paling tinggi terdapat pada perlakuan P 4 (kompos 1200 gr) yaitu sebesar 78 gram, sedangkan rerata berat basah paling rendah pada perlakuan P0 (kontrol) yaitu 54 gram. Tanaman menunjukkan respon terhadap penambahan kompos karena unsur hara N, P dan K merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tanaman dalam proses pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasil analisa anava satu jalur berat basah menunjukkan taraf signifikansi sebesar 0,000 < 0,05. Nilai ini menolak H0 dan menerima H1, sehingga ada pengaruh pemberian dosis kompos tongkol jagung yang digunakan terhadap berat basah tanaman caisim (Brassica chinensis). Produksi tanaman caisim pada perlakuan P4 diperoleh pertumbuhan dan produksi tertinggi karena pada dosis tersebut terjadi keseimbangan unsur hara yang diperoleh tanaman sehingga mendukung metabolisme dalam tanaman sehingga pertumbuhan dan produksi meningkat. Sebaliknya pada dosis yang lebih rendah (P0) tidak terjadi keseimbangan maka akan ada kekurangan dan produksi menjadi menurun. Hal ini didukung Simamora dan Salundik (2006: 6), bahwa produksi tanaman dapat terhalang jika unsur hara yang terkandung di dalam tanah kurang atau tidak seimbang. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa pemberian dosis 1200 gr kompos tongkol jagung terhadap berat basah tanaman caisim berbeda nyata dengan semua dosis. Sedangkan pada dosis kontrol tidak berbeda nyata dengan dosis 750 gr, dosis 750 gr tidak berbeda nyata dengan kontrol dan 900 gr, dan dosis 900 gr tidak berbeda nyata dengan dosis 1050 gr. Berat basah tanaman caisim pada perlakuan P4 (dosis kompos 1200 gr) memiliki berat yang paling optimal, karena unsur hara yang dibutuhkan tanaman sudah terpenuhi, selain itu berat basah tanaman dipengaruhi oleh tinggi tanaman dan jumlah daun, semakin tinggi tanaman dan semakin banyak jumlah daunnya sehingga berat basah tanaman caisim akan semakin tinggi atau optimal. Rinsema (1986) dalam Permana (2013: 139) menyatakan bahwa dengan pemberian pupuk yang tepat dalam hal macam, dosis, waktu pemupukan, dan cara pemberiannya akan dapat mendorong pertumbuhan dan peningkatan hasil tanaman baik kualitas maupun kuantitas. Rismunandar (1990) dalam Sittadewi (2007: 232) menambahkan bahwa pertumbuhan tanaman sawi hibrida yang segar dan berbobot didukung oleh kecukupan hara C, P, dan K. Selanjutnya, besarnya berat basah tanaman caisim yang dihasilkan pada perlakuan kompos tongkol jagung dengan dosis 1200 gr berhubungan erat dengan peningkatan serapan nitrogen. Serapan nitrogen yang meningkat menyebabkan kebutuhan nitrogen pada fase vegetatif tanaman tercukupi, sehingga meningkatkan biomassa tanaman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fatimah dan Handarto (2008: 144), semakin baik hara yang terserap oleh tanaman, maka ketersediaan bahan dasar bagi proses fotosintesis akan semakin bak pula. Proses fotosintesis yang berlangsung dengan baik, akan memacu penimbunan karbohidrat dan protein pada organ tubuh tanaman sambiloto. Penimbunan karbohidrat dan protein sebagai akumulasi hasil proses fotosintesis akan berpengaruh pada berat basah tanaman. Ohorella (2012: 47) dalam penelitiannya menerangkan bahwa unsur hara nitrogen, fosfor dan kalium serta unsur mikro yang terkandung dalam pupuk organik cair akan meningkatkan aktivitas fotosintesis tanaman sawi sehingga meningkatkan karbohidrat yang dihasilkan sebagai cadangan makanan. Berdasarkan kedua penelitian tersebut maka dapat disimpulkan 173
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
bahwa semakin banyak dosis kompos yang diberikan maka berat basah tanaman semakin meningkat dan dibuktikan pada perlakuan P4. Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan Hasil penelitian pengaruh pemberian kompos tongkol jagung terhadap pertumbuhan caisim (Brassica chinensis) dijadikan sebagai buku petunjuk praktikum mata kuliah ekologi tumbuhan. Petunjuk praktikum diharapkan dapat membantu mahasiswa menjalankan kegiatan praktikum dengan baik dan benar sehingga dapat meningkatkan prestasi akademik. Hasil validasi petunjuk praktikum dari validator 1 dan 2 menunjukkan nilai rata-rata 81,25. Menurut Sudjana, 2010: 118 kriteria nilai konvensi pada tabel nilai B masuk dalam kriteria layak. Petunjuk praktikum ini dikategorikan layak karena materi tentang peran unsur hara bagi tanaman yang terdapat pada buku petunjuk praktikum sudah sesuai dengan buku acuan Ekologi Tumbuhan. Buku praktikum ini dimaksudkan untuk memperlancar dan memberikan bantuan informasi atau materi pembelajaran sebagai pegangan bagi mahasiswa dalam melakukan kegiatan praktikum. Selain itu, buku petunjuk praktikum tentang “Peran Unsur Hara bagi Tanaman” ini berfungsi sebagai bahan ajar yang bisa meminimalkan peran dosen, menjadikan mahasiswa semakin aktif, dan memperoleh pengetahuan yang bermakna.
KESIMPULAN Pemberian kompos berbahan dasar tongkol jagung mempengaruhi parameter pertumbuhan tanaman caisim yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, dan berat basah tanaman caisim (Brassica chinensis). Dosis kompos tongkol jagung 1200 gr merupakan dosis yang sesuai untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman caisim (Brassica chinensis). Peningkatan pertumbuhan caisim terjadi karena kandungan hara pada kompos tongkol jagung memenuhi kebutuhan tanaman caisim untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini mendukung tujuan penulis dalam penyusunan petunjuk praktikum mata kuliah ekologi tumbuhan, dimana hasil validasi petunjuk praktikum dari validator 1 dan 2 menunjukkan nilai rata-rata 81,25 masuk dalam kriteria layak. Hasil penelitian ini digunakan sebagai bahan petunjuk praktikum ekologi tumbuhan pada bab peranan unsur hara bagi tanaman.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ir. Ani Sulistyarsi, S.Pd., M.M. M.Si., Bapak Muh. Waskito Ardhi, S.Pd., M.Pd., dan semua pihak yang telah membantu hingga terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Aak. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Yogyakarta: Kanisius. Djaja, W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak & Sampah. Jakarta: Agro Media Pustaka.
174
Ardhi, dkk., Pengaruh Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung
Fatimah, S dan Handarto, BM. 2008. Pengaruh Komposisi Media Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata, Ness). Embryo. 5 (2): 133-148. Haryanto, E., Suhartini, T, dan Rahayu, E. 1999. Sawi dan Selada. Jakarta: Penebar Swadaya. Lukitasari, M. 2012. Ekologi Tumbuhan. Bogor: Langgar ALIT Press. Marviana, D dan Utami, L. 2014. Respon Petumbuhan Tanaman Terung (Solanum melongena L.) terhadap Pemberian Kompos Berbahan Dasar Tongkol Jagung dan Kotoran Kambing sebagai Materi Pembelajaran Biologi Versi Kurikulum 2013. JUPEMASI-PBIO. 1 (1): 161-166. Ohorella, Z. 2012. Pengaruh Dosis Pupuk Organik Cair (POC) Kotoran Sapi terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi Hijau (Brassica sinensis L.). Jurnal Agroforestri. 7 (1): 43-49. Permana, MD, Sumarno, dan Sudadi. 2013. Pengaruh Dosis Kompos Azolla dan Pupuk Fosfat Alam terhadap Ketersediaan Fosfor dan Hasil Kacang Tanah pada Alfisols. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. 10 (2): 133-142. Perwitasari, B, Tripatmasari, dan Wasonowati, C. 2012. Pengaruh Media Tanam dan Nutrisi terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Pakchoi (Brassica juncea L.) dengan Sistem Hidroponik. Agrovigor. 5 (1): 14-25. Prasetya, B, Kurniawan, S, dan M. Febrianingsih. 2009. Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pupuk Cair terhadap Serapan N dan Pertumbuhan Sawi (Brassica juncea L.) pada Entisol. Agritek. 17 (5): 1022-1029. Rahmah, A, Izzati, M, dan Parman, S. 2014. Pengaruh Pupuk Organik Cair Berbahan Dasar Limbah Sawi Putih (Brassica chinensis L.) terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung Manis (Zea mays L. Var Saccharata). Buletin Anatomi dan Fisiologi. 22 (1): 65-71. Rukmana, R. 1997. Usaha Tani Jagung. Yogyakarta: Kanisius. Samekto, R. 2006. Pupuk Kompos. Yogyakarta: Citra Aji Parama. Simamora, S dan Salundik. 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Jakarta: Agro Media Pustaka. Singla, A, Shashi Paroda, Sunder S. Dhamija, Sneh Goyal, Kirti Shekhawat, Seigo Amachi, Kazuyuki Inubushi. 2012. Bioethanol Production from Xylose: Problems and Possibilities. Journal of Biofuels. 3 (1): 39-49. Sittadewi, EH. 2007. Pengolahan Bahan Organik Eceng Gondok menjadi Media Tumbuh untuk Mendukung Peranian Organik. Jurnal Teknik Lingkungan. 8 (3): 229-234. Sudjana, N. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
175
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PEMBELAJARAN SAINS MENGGUNAKAN MEDIAKOTEKA SAINS (KOMIK TEMPEL KARTUN SAINS) PADA MATERI EKOSISTEM TERHADAP PRESTASI DAN KEAKTIFAN BELAJAR SISWA MTs AL MUJADDADIYYAH KOTA MADIUN Sri Utami, Riyan Yuniarga. Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP PGRI MADIUN Email:[email protected]
ABSTRACT The research aims to create a learning media Koteka Science ( Science Cartoons Comics Paste ) on the material terms of the ecosystem and the achievement of student learning MTs Al Mujaddadiyyah Madiun. The study was conducted in May-June 2013. Study uses quantitative data analysis techniques, namely the feasibility of data media Koteka Science from the validator, the data teacher activity , student activity data, the data student achievement data and teacher student questionnaire responses to the penis gourds. Science. Products validated by 3 validator and obtain tested 20 types of data, which is included in the criteria for 2 very worthy, worthy 6,7 pretty decent, 1 less feasible, and 4 are not feasible. The data indicate that overall for Science Koteka media worthy and well as learning media. Based on the pretest results of 22 students in the criteria either 10, 10 is good enough, and not good 2, whereas the posttest results of 22 students who fall into the criteria of an excellent 7, both 14, and a pretty good one. Data indicate that the Science koteka using instructional media can improve student achievement scores. Based on students' responses to the questionnaire Science Koteka media of 22 students, who fall into the category of very good 7 students , both 9 students , and quite 6 students. It shows that students' response to the media either Koteka Science. In response to the teacher questionnaire data showed that 80 % feasibility study. Student activities gained 67.9 % before treatment and after treatment gained 80 %. The observation of teacher activity obtained before treatment and after treatment 85.4 % 90.4 %. It shows that learning by using media Koteka Science and decent so as to improve the performance and activity of students' learning. Keywords : Koteka Science, Ecosystems, Student Achievement and learning activeness.
PENDAHULUAN Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam merupakan(natural science), merupakan Ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini. IPA (Sains) berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak habis-habisnya. Sains membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu anak didik sejak dini secara alamiah. Hal ini akan membantu mereka mengembangkan kemampuan bertanya dan mencari jawaban berdasarkan bukti serta mengembangkan cara berpikir yang ilmiah. Pembelajaran Sains di sebagian SMP/MTs dengan menggunakan metode hafalan dan membuat sebagian besar siswa merasa bosan. Proses belajar Sains menjadi kurang menarik, karena proses pembelajaran yang menggunakan buku diktat, LKS maupun penjelasan dari guru dilakukan berulang-ulang dengan kurang adanya inovasi yang membuat siswa kurang tertarik belajar pelajaran Sains. Hal tersebut, terjadi pada proses pembelajaran yang ada di MTs Al Mujaddadiyyah. Masih minimnya inovasi pembelajaran, khususnya dalam penggunaan media pembelajaran. 178
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
Karakteristik perkembangan anak perlu mendapat perhatian. Siswa SMP/MTs yang masih suka bermain, memiliki rasa ingin tahu yang besar dan mudah terpengaruh oleh lingkungan perlu terciptanya lingkungan belajar yang menyenangkan, antara lain prinsip belajar sambil bekerja dan prinsip bermain sambil belajar. Karakteristik ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan media belajar yang unik dan menarik sehingga dapat meningkatkan semangat siswa SMP/MTs dalam belajar Sains. Berdasarkan uraian di atas kami berinovasi untuk membuat sebuah media pembelajaran yang mengkombinasikan antara imajinasi dengan teori yaitu Komik Tempel Kartun Sains yang disingkat KOTEKA Sains. KOTEKA Sains ini merupakan inovasi materi Sains yang dibuat dalam bentuk komik. Kelebihan dari KOTEKA Sains ini adalah penyampaian materi dalam bentuk cerita bergambar dengan tokoh kartun lucu yang menyenangkan. Hal ini sesuai karakteristik siswa SMP/MTs yang masih suka terhadap kartun dan memiliki rasa ingin tahu yang besar dengan hal-hal yang lucu dan menyenangkan. KOTEKA Sains tidak hanya menyajikan cerita tentang materi pelajaran saja, tetapi juga disisipkan nilai-nilai moral sebagai upaya menanamkan pendidikan karakter sejak usia dini. Sasaran dari model ini adalah siswa kelas VII SMP/MTs, yang memiliki usia rata-rata 13 tahun dan sudah terbentuk keabstrakan berfikir, sehingga mereka sudah mampu menangkap alur cerita komik yang disajikan. Hakikat Belajar dan Pembelajaran Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami oleh siawa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri (Muhibbin Syah, 2011: 87). Menurut Ernest R. Hilgard dalam (Sumardi Suryabrata, 1984:252) belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya. Menurut Zainal Arifin (2011: 10) bahwa kata dasar dari “pembelajaran” adalah belajar. Dalam arti sempit pembelajaran dan apat diartikan sebagai suatu proses atau cara yang dilakukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan belajar. Istilah “pembelajaran” berbeda dengan istilah “pengajaran”. Kata “pengajaran” lebih bersifat formal dan hanya ada dalam konteks guru dengan peserta didik di kelas atau sekolah, sedangkan kata “pembelajaran” tidak hanya ada dalam konteks guru dengan peserta didik di kelas secara formal, akan tetapi juga meliputi kegiata – kegiatan belajar peserta didik di luar kelas yang mungkin saja yang tidak dihadiri guru secara fisik. Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin yang adalah bentuk jamak dari medium batasan mengenai pengertian media sangat luas, namun kita membatasi pada media pendidikan saja yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan kegiatan pembelajaran (Daryanto, 2010: 5). Media dalam proses pembelajaran memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari sumber (guru) menuju penerima (siswa). Sedangkan metode adalah prosedur untuk membantu siswa dalam menerima dan mengolah informasi guna mencapai tujuan pembelajaran. Dalam kegiatan interaksi antara siswa dengan lingkungan, fungsi media
177
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
dapat diketahui berdasarkan adanya kelebihan media dan hambatan yang mungkin timbul dalam proses pembelajaran (Daryanto, 2010: 9). Komik Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002: 64) mendefinisikan komik sebagai bentuk kartun yang mengungkapkan karakter dan menerapkan suatu cerita dalam urutan cerita yang erat hubungannya dengan gambar dan dirancang untuk memberikan hiburan kepada para pembaca. Pada awalnya komik diciptakan bukan untuk kegiatan pembelajaran, namun untuk kepentingan hiburan semata. Menurut Nana Sudjana (2002: 65) berpendapat luasnya popularitas komik telah mendorong banyak guru bereksperimen dengan media ini untuk maksud pengajaran. Banyak percobaan telah dibuat di dalam seni bahasa pada tingkat SMP dan SMA. Penggunaan komik dalam pengajaran sebaiknya dipadukan dengan metode mengajar, sehingga komik akan dapat menjadi alat pengajaran yang efektif. Kelebihan komik yang lainnya adalah penyajiannya yang mengandung unsur visual dan cerita kuat. Ekspresi yang divisualisasikan membuat pembaca terlibat secara emosional sehingga ingin terus membacanya hingga selesai. Hal inilah yang juga menginspirasi komik yang isinya materi-materi pelajaran (Daryanto, 2010: 128). Kartun Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002: 58) menyebutkan media lainnya yang cukup unik untuk mengkomunikasikan gagasan–gagasan adalah kartun. Kartun adalah penggambaran dalam bentuk lukisan atau karikatur tentang orang, gagasan atau situasi yang ada didesain untuk mempengaruhi opini masyarakat. Walaupun terdapat sejumlah kartun yang berfungsi untuk membuat orang tersenyum, seperti halnya kartunkartun yang dimuat dalam surat kabar. Kartun sebagai alat bantu mempunyai manfaat penting dalam pengajaran, terutama dalam menjelskan rangkaian isi bahan dalam satu urutan logis atau mengandung makna. Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2002: 58) berpendapat kartun yang baik hanya mengandung satu gagasan saja. Ciri khas kartun memakai karikatur, sindiran yang diebihlebihkan, perlambang, dan humor pilihan. Humor sering dan biasa membuat tertawa, terutama dalam kartun-kartun yang berisi pertentangan politik bagi para pembaca suratsurat kabar. Sains Menurut Bagod Sudjadi dan Siti Laila (2005: 3) kata sains berasal dari bahasa Latin (scienta) yang berarti memiliki pengetahuan atau mengetahui. Sains adalah suatu proses atau cara untuk menemukan solusi terhadap suatu masalah atau memahami suatu fenomena (kajadian) di alam ini. Proses pemecahan masalah tersebut biasanya melibatkan langkah-langkah yang sistematis dan objektif yang lebih dikenal dengan metode ilmiah. Prestasi Belajar Menurut Zainal Arifin (2011: 12) mengemukakan kata “prestasi” berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti “hasil usaha”. Istilah “prestasi belajar” (achievment) berbeda dengan “hasil belajar” (learning outcome). Prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak peserta didik. 178
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
Kata prestasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan antara lain dalam kesenian, olahraga, dan pendidikan, khususnya pembelajaran. Miranda, Winkel, dan Santrock (dalam Reni Akbar dan Hawadi, 2006: 168) menyatakan bahwa prestasi belajar siswa ditentukan oleh faktor-faktor berikut: (1). Faktor-faktor yang ada pada siswa, yaitu: a) Taraf inlelegensi; b) Bakat khusus; c) Taraf pengetahuan yang dimiliki; d) Taraf kemampuan berbahasa; e) Taraf organisasi kognitif; f) Motivasi; g) Kepribadian; h) Perasaan; i) Sikap; j) Minat; k) Konsep diri; l) Kondisi fisik dan psikis (termasuk cacat fisik dan kelainan psikologis). (2). Faktor-faktor yang ada pada lingkungan keluarga, yaitu: a) Hubungan antar orang tua; b) Hubungan orang tua anak; c) Jenis pola asuh; d) Keadaan siswa ekonomi keluarga. (3). Faktor-faktor yang ada di lingkungan sekolah, yaitu: a) Guru: kepribadian guru, sikap guru terhadap siswa, ketrampilan didaktif, dan gaya mengajar; b) Kurikulum; c) Organisasi sekolah; d) Sistem sosial di sekolah; e) Keadan fisik sekolah dan fasilitas pendidikan; e) Hubungan sekolah dengan orang tua; f) Lokasi sekolah. (4). Faktor-faktor pada lingkungan sosial yang lebih luas, yaitu: a) Keadaan sosial, politik, dan ekonomi; b) Keadaan cuaca dan iklim. Keaktifan Belajar Siswa Sardiman (2001: 98) berpendapat bahwa aktivitas belajar adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berpikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Sedangkan Hermawan (2007: 83) berpendapat bahwa keaktifan siswa dalam kegiatan belajar tidak lain adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas persoalan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam kegiatan pembelajaran. Zainal Arifin (2011: 14) mengemukakan pada dasarnya peserta didik adalah manusia aktif yang mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar hanya mungkin terjadi apabila peserta didik aktif mengalami sendiri. Guru sekedar pembimbing dan pengarah. Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekedar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi.
METODE PENELITIAN Model pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan media pembelajaran KOTEKA Sains (Komik Tempel Kartun Sains) di MTs Al Mujaddadiyyah Kota Madiun adalah modifikasi dari model pengembangan prosedural menurut Sugiyono dan model pengembangan 4-D menurut Tiagarajan, Semmel dan Semmel sebagai berikut: a.Tahap Pendefinisian. b.Tahap desain produk. c. Tahap pengembangan produk. Uji Coba Produk Desain Uji Coba yang digunakan dalam penelitian pengembangan disesuaikan dengan modifikasi prosedur penelitian pengembangan yang digambarkan sesuai diagram alir di bawah ini:
179
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
Validator
Validator
Validator
Media Memenuhi Kriteria Baik
Siswa
guru
Revisi
Produk Akhir Gambar 3.1 Alur Desain Uji Coba Media KOTEKA Sains
Berdasarkan hasil validasi dari validator, kemudian dilakukan revisi kembali sampai validator menyatakan media yang dibuat memiliki kriteria (baik). Selanjutnya media dapat diuji cobakan kepada siswa sebagai user. Pada tahap ini siswa dimintai tanggapan dan respon tentang produk yang telah dibuat. Selain siswa, guru bidang studi juga memberikan tanggapan tentang penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran kepada peneliti. Masukan yang diperoleh digunakan sebagai bahan untuk revisi, setelah revisi dilakukan maka KOTEKA Sains diujikan lagi kepada siswa dan siswa juga memberikan respon mengenai KOTEKA Sains. Uji coba dilakukan sampai diperoleh KOTEKA Sains yang memiliki kualitas baik. Subjek uji coba dalam penelitian pengembangan ini adalah siswa kelas VII A MTs Al Mujaddadiyyah Kota Madiun tahun pelajaran 20012/2013. Jumlah subyek uji coba dalam penelitian pengembangan ini adalah 22 siswa yang terdiri 9 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan. Karakteristik subyek uji coba sebagai berikut: 1) siswa kelas VII (usia sekitar 13-14 tahun); 2) laki-laki dan perempuan; 3) siswa masih membutuhkan bimbingan dalam belajar; 4) membutuhkan media yang sederhana dan menarik untuk memudahkan belajar; 5) membutuhkan hal yang baru untuk menarik minat belajar. Jenis data yang akan diambil dalam penelitian pengembangan ini adalah data kelayakan media KOTEKA Sains yang berasal dari validator, data aktivitas guru, data aktivitas siswa, data prestasi belajar siswa, data angket respon siswa dan guru terhadap KOTEKA Sains. Instrumen penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: Lembar Kelayakan Penilaian KOTEKA Sains, Lembar Aktivitas Guru, Lembar Aktivitas Siswa, Lembar Tes Prestasi Belajar, Angket Respon Guru, Angket Respon Siswa. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini adalah analisis data kuantitatif. Data-data yang di kuantitatifkan adalah 1) analisis lembar kelayakan; 2) analisis data lembar observasi siswa dan guru; 3) prestasi belajar siswa; dan 4) analisis angket respon siswa dan guru.
180
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian diperoleh saat melakukan uji coba sebelum dan sesudah menggunakan media pembelajaran pada siswa kelas VII A MTs Al Mujaddadiyyah. Data hasil lembar kelayakan media Lembar kelayakan produk yang berupa media KOTEKA Sains diberikan kepada 3 validator yaitu 1 dosen umum biologi, 1 guru pelajaran biologi, dan 1 guru umum di sekolah tersebut. Diperoleh hasil validasi oleh 3 validator mendapatkan data dari 20 komponen yang diujikan, yang masuk dalam kriteria 2 sangat layak, 6 layak, 7 cukup layak, 1 kurang layak, dan 4 tidak layak. Dengan hasil data tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan untuk media KOTEKA Sains layak dan baik sebagai media pembelajaran. Data hasil pengamatan aktivitas guru Peneliti melaksanakan pembelajaran dan diamati oleh observer menggunakan lembar pengamatan aktivitas guru, baik aktivitas sebelum dan sesudah menggunakan media pembelajaran KOTEKA Sains. Data hasil pengamatan disajikan dalam tabel 4.1 sebagai berikut: Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Aktivitas Guru Sebelum dan Sesudah Perlakuan No
Kegiatan pembelajaran pada-
Keterlaksanaan
Keterangan
1
Sebelum perlakuan
85,4%
Baik
2
Sesudah perlakuan
90,4%
Sangat Baik
Indikator pencapaian ≥ 80% dengan kategori baik dan ≥ 90% sangat baik.
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada uji sebelum perlakuan aktivitas guru dalam pembelajaran 85,4%, karena indikator pencapaiannya ≥ 80% maka dikategorikan baik. Pada uji sesudah perlakuan keterlaksanaan aktivitas guru dalam pembelajaran mencapai 90,4%, karena indikatornya ≥ 90% maka aktivitas guru dalam pembelajaran menggunakan media KOTEKA Sains termasuk kategori sangat baik. Jadi, dengan menggunakan media KOTEKA Sains dalam pembelajaran aktivitas guru mengalami peningkatan. Data hasil pengamatan aktivitas siswa Peneliti mengamati bagaimana aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran sebelum dan sesudah menggunakan media pembelajaran KOTEKA Sains. Materi pembelajaran yang digunakan sebelum perlakuan adalah klasifikasi makhluk hidup, sedangkan pada saat perlakuan menggunakan media KOTEKA Sains adalah ekosistem. Data hasil pengamatan disajikan dalam tabel 4.2 sebagai berikut: Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Sebelum dan Sesudah Perlakuan No
Kegiatan pembelajaran pada-
Keterlaksanaan
Keterangan
1
Sebelum perlakuan
67,9%
Kurang
2
Sesudah perlakuan
80%
Baik
Indikator pencapaian ≥ 80% dengan kategori baik 181
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada uji sebelum perlakuan pelaksanaan pembelajaran 67,9%, maka dikategorikan kurang baik. Pada uji sesudah perlakuan keterlaksanaan pembelajaran mencapai 80%, maka dikategorikan baik. Jadi, dari hasil data tersebut dengan menggunakan media KOTEKA Sains dalam pembelajaran aktivitas siswa mengalami peningkatan. Data hasil prestasi siswa Data prestasi siswa diperoleh dari hasil posttest. Posttest diberikan diakhir pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh siswa mamahami materi yang disampaikan oleh guru. Posttest ini dilaksanakan pada akhir pembelajaran sebelum dan sesudah perlakuan. Jumlah soal pada posttest sebanyak 10 soal. Daftar hasil nilai posttest sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada tabel 4.3 dan 4.4. Tabel 4.3. Daftar Nilai Posttest Sebelum Perlakuan Interval 81,00-100 61,00-80,99 41,00-60,99 21,00-40,99 00,00-20,00 Jumlah
Jumlah Siswa 10 10 2 22
Keterangan Sangat baik Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik
Prosentase 0% 45,4 % 45,4 % 9,02 % 0% 100 %
Berdasarkan tabel 4.3 nilai posttest sebelum perlakuan memperoleh hasil dari 22 siswa yang masuk dalam kriteria baik 10, cukup baik 10, dan kurang baik 2. Tabel 4.4. Daftar Nilai Posttest Sesudah Perlakuan Interval 81,00-100 61,00-80,99 41,00-60,99 21,00-40,99 00,00-20,00 Jumlah
Jumlah Siswa 7 14 1 22
Keterangan Sangat baik Baik Cukup baik Kurang baik Tidak baik
Prosentase 31,8 % 63,6 % 4,6 % 0% 0% 100 %
Berdasarkan tabel 4.4 nilai posttest sesudah perlakuan memperoleh hasil dari 22 siswa yang masuk dalam kriteria sangat baik 7, baik 14, dan cukup baik 1. Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan media pembelajaran KOTEKA Sains dapat meningkatkan nilai prestasi siswa. Data hasil angket respon siswa Angket respon siswa digunakan untuk mengumpulkan data respon siswa terhadap media pembelajaran yang dikembangkan, angket diberikan diakhir penelitian. Setelah uji coba selesai siswa diberi angket yang berisi 10 item pertanyaan berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Penilaian siswa terhadap media KOTEKA Sains dapat dilihat pada tabel 4.5 Tabel 4.5. Daftar Nilai Angket Respon Siswa Prosentase Jawaban (%) 182
Jumlah Siswa
Nilai Konversi Huruf
Prosentase
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
90-99 80-89 70-79 60-69 Kurang dari 60 Jumlah
7 9 6 22
A B C D E
31,8 % 40,9 % 27,3 % 0% 0% 100 %
Keterangan: A: Sangat baik, B: Baik, C: Cukup baik, D: Kurang baik, E: Tidak baik.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat respon siswa masuk dalam kategori sangat baik 7 siswa, baik 9 siswa, dan cukup 6 siswa. Hasil tersebut menunjukkan bahwa respon siswa terhadap KOTEKA Sains baik sebagai media pembelajaran. Data hasil angket respon guru Angket respon guru digunakan untuk mengetahui bagaimana respon guru biologi terhadap media pembelajaran yang dikembangkan, angket diberikan setelah penelitian. Setelah uji coba selesai guru diberi angket yang berisi 10 item pertanyaan berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Dari hasil jawaban angket guru, diperoleh tanggapan guru terhadap media dapat dilihat pada tabel 4.6. Tabel 4.6. Angket Respon Guru Nama Guru 1 4
2 4
Skor untuk item nomor 3 4 5 6 7 8 9 5 4 4 4 4 4 3
Siti Ruhaniah Skor maksimal Prosentase angket respon guru
Jumlah skor 10 4
40 50 80%
Indikator pencapaian ≥ 80% dikategorikan baik
Berdasarkan data angket respon guru tersebut dapat dilihat bahwa jumlah skor total adalah 40 dan prosentase yang didapatkan adalah 80%, menunjukkan bahwa respon guru biologi terhadap media pembelajaran KOTEKA Sains baik. KOTEKA Sains merupakan media pembelajaran yang dihasilkan dalam penelitian yang berbeda dengan buku atau komik pada umumnya. KOTEKA Sains merupakan media yang didesain menjadi sebuah komik tempel dengan menggunakan objek kartun yang di dalamnya adalah membahas mengenai materi pelajaran biologi pada pokok bahasan satuan dan komponen penyusun ekosistem, sehingga menghasilkan media pembelajaran yang inovatif, menarik dan menyenangkan. Materi yang dimasukkan sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan buku-buku materi pelajaran IPA Biologi yang relevan. Materi yang disampaikan dalam KOTEKA Sains adalah materi ekosistem pokok bahasan satuan dan komponen penyusun ekosistem. Media pembelajaran di uji kelayakannya oleh 3 orang validator yang terdiri atas 1 dosen umum biologi, 1 guru mata pelajaran biologi dan 1 guru umum. Hasil dari validator menyatakan bahwa media KOTEKA Sains sudah baik dan siap diujikan pada siswa. Karena pada media KOTEKA Sains sudah memenuhi kriteria ditentukan pada lembar kelayakan yang sudah dibuat diantaranya kesesuaian, kelayakan, kejelasan, ketepatan, dan kemudahan menggunakan media dalam pembelajaran. Peneliti mengadakan posttest dan lembar penilaian aktivitas siswa oleh observer pada sebelum dan sesudah perlakuan dengan menggunakan media KOTEKA Sains, pada posttest sebelum perlakuan diperoleh hasil dari 22 siswa yang masuk dalam kriteria baik 10, cukup baik 10, dan kurang baik 2. 183
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
Setelah itu peneliti melaksanakan uji dengan perlakuan menggunakan media KOTEKA Sains, yang sebelum pembelajaran juga dijelaskan sedikit mengenai materi ekosistem, di akhir pembelajaran diadakan posttest, diperoleh hasil dari 22 siswa yang memperoleh kriteria sangat baik 7, baik 14, dan cukup baik 1. Mengalami peningkatan karena media KOTEKA Sains materi di dalamnya sudah sesuai dengan standart kompetensi dan kompetensi dasar dengan buku yang relevan, serta soal pada posttest sesuai dengan materi yang disajikan pada media KOTEKA Sains. Menggunakan media KOTEKA Sains pada proses pembelajaran membuat siswa aktif dalam pembuatannya, karena siswa yang akan menempelkan gambar-gambar dalam Komik, sehingga siswa lebih bisa menerima dan mengingat materi yang disampaikan. Melalui penggunaan media KOTEKA Sains aktivitas siswa bisa lebih fokus dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas siswa dan guru terciptanya suasana yang komunikatif dan interaktif sehingga mengalami peningkatan yang sebelum perlakuan memperoleh 67,9% dan 80% sedangkan sesudah perlakuan memperoleh 85,4% dan 90,4%. Hal tersebut menunjukan bahwa media KOTEKA Sains berpengaruh terhadap prestasi dan keaktifan belajar siswa. Selanjutnya di akhir penelitian, peneliti memberikan angket respon siswa dan guru terhadap media KOTEKA Sains diperoleh prosentase yang baik dari nilai angket respon siswa dan prosentase kelayakan dari guru diperoleh 80%, hal tersebut menunjukkan bahwa respon siswa dan guru terhadap media KOTEKA Sains baik. Karena KOTEKA Sains ini didesain menjadi media pembelajaran yang di dalamnya terdapat materi biologi dengan disajikan dengan tokoh kartun yang lucu, sehingga bisa menjadi media pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan menarik. Hal tersebut dapat memudahkan siswa dalam menerima serta memahami materi yang diajarkan oleh guru. Berdasarkan hasil uji kelayakan dari validator, hasil pengamatan keterlaksanaan aktivitas siswa dan guru, hasil nilai prestasi siswa, respon siswa dan guru terhadap media KOTEKA Sains menyatakan bahwa media KOTEKA Sains sudah layak dan baik untuk digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah.
KESIMPULAN Penelitian pengembangan menghasilkan produk yang berupa media pembelajaran yaitu KOTEKA Sains (Komik Tempel Kartun Sains) pada materi ekosistem di kelas VII A MTs Al Mujaddadiyyah kota Madiun. Hasil data kelayakan produk yang diperoleh dari 3 validator menunjukkan bahwa media KOTEKA Sains termasuk kategori baik dan layak digunakan sebagai media pembelajaran. Media pembelajaran KOTEKA Sains yang sudah diterapkan di kelas VII A MTs Al Mujaddadiyyah kota Madiun menunjukkan dapat meningkatkan prestasi dan keaktifan belajar siswa. SARAN Peneliti selanjutnya, hendaknya dapat mengembangkan media pembelajaran dengan desain yang lebih baik lagi pada desain KOTEKA Sains karena media ini masih memiliki kekurangan diantaranya dari segi desain, isi, dll. 184
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
DAFTAR PUSTAKA Agus Suprijono. 2012. Cooperatve Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bagod Sudjadi, Siti Laila. 2005. Biologi Sains dalam Kehidupan. Surabaya: Ghalia. Briggs. 1977. Pengertian Media Pembelajaran. (Online) (http://belajarpsikologi.com/pengertian-media-pembelajaran/, 2013).
diunduh
25
Februari
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media. Dimyati, Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Elis Mediawati. 2011. Pembelajaran Akuntansi Keuangan Melalui Media Komik Untuk Meningkatkan Prestasi Mahasiswa. (Online), Vol. 12 No. 1, (http://www.getbookee.org/get_book.php?u=aHR0cDovL2p1cm5hbC51cGkuZW R1L2ZpbGUvNi1FbGlzX01lZGlhd2F0aS5wZGYKUEVNQkVMQUpBUkFOIE FLVU5UQU5TSSBLRVVBTkdBTiBNRUxBTFVJIE1FRElBIEtPTUlLIFVOVF VLIC4uLg==, diunduh 28 Februari 2013 ). Hermawan. 2007. Pengertian Keaktifan Belajar Siswa. (Online) (http://www.jurnalskripsi.net/pengertian-keaktifan-belajar-siswa/2011/136/, diunduh 25 Februari 2013). Muhibbin Syah. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nana Sudjana, Ahmad Rivai. 2001. Media Pengajaran. Bandung: PT Sinar Baru Algesindo. Nana Sudjana. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Reni Akbar, Hawadi. 2004. Akselerasi Jakarta: PT Grasindo. Riska Dwi Novianti, M. Syaichudin. 2011. Pengembangan Media Komik Matematika Untuk Meningkatkan Pemahaman Bentuk Soal Cerita Bab Pecahan Pada Siswa Kelas V Sdn Ngembung. (Online), (http://blog.tp.ac.id/pengembangan-mediakomik-pembelajaran-matematika-untuk-meningkatkan-pemahaman-bentuk-soalcerita-bab-pecahan-pada-siswa-kelas-v-sdn-ngembung, diunduh 28 Februari 2013). Saifuddin Azwar. 2011. Tes Prestasi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sardiman. 2001. Pengertian Keaktifan Belajar Siswa. (Online) (http://www.jurnalskripsi.net/pengertian-keaktifan-belajar-siswa/2011/136/, diunduh 25 Februari 2013). Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sugandi. 2004. Pengertian Pembelajaran. (Online) 185
Utami dan Yuniarga, Pembelajaran Sains Menggunakan Mediakoteka Sains
(http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-pembelajaran-menurut-para.html, diunduh 25 Februari 2013). Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sumardi Suryabrata. 1984. Pengertian Prestasi Belajar. (Online) (http://belajarpsikologi.com/pengertian-belajar-menurut-ahli/, 2013).
diunduh
25
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara. Zainal Arifin. 2011. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
.
186
Februari
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
EFEKTIFITAS DAYA HAMBAT EKSTRAK TEH OOLONG (Camelia sinensis) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Eschericia coli DAN Salmonella thyposa Devita Yudhayanti, Etik Puspitasari Akademi Analis Farmasi Dan Makanan Sunan Giri Ponorogo
ABSTRAK Teh Oolong merupakan tanaman yang mempunyai banyak khasiat dalam bidang kesehatan. Hal tersebut dapat kita ketahui dari kandungan kimianya yang sangat kompleks. Teh Oolong banyak dimanfaatkan masyarakat pada umumnya hanya sebagai minuman dan pelangsing, tetapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak dilakukan penelitian sebagai bahan obat. Masalahnya (1) apakah ekstrak teh Oolong dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thyposa ? (2) apakah ekstrak teh Oolong dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli ? (3) berapakah besarnya daya hambat ekstrak teh Oolong dengan berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli? (4) berapakah besarnya daya hambat ekstrak teh Oolong dengan berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella thyposa ? Penelitian dikumpulkan dengan tehnik sampel yang diambil dari salah satu toko di kabupaten ponorogo, selanjutnya data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode kirbybauer. Hasil penelitian dari masing-masing konsentrasi untuk bakteri Escherichia coli sebagai berikut : sampel A 50% = 33,20 mm, sampel B 60% = 45,08 mm, dan sampel C 100% = 53,76 mm. Sementara untuk bakteri Salmonella thyposayaitu sampel A 50% = 33,74 mm, sampel B 60% = 41,35 mm, dan sampel C 100% = 51,96 mm, pada perlakuan ketiga konsentrasi memiliki respon hambatan pertumbuhan terhadap Escherichia coli dan Salmonella thyposayang bersifat sangat kuat. Kata Kunci : Daya hambat, Ekstrak Teh Oolong (Camellia Sinensis)
PENDAHULUAN Teh (Camellia Sinensis) merupakan salah satu bahan minuman alami yang populer di masyarakat. Khasiat yang terkandung didalam teh dapat meningkatkan kesehatan tubuh. Teh juga merupakan minuman berkafein yang diolah dengan cara menyeduh bagian pucuk atau tangkai daun yang telah dikeringkan. beberapa jenis teh yang beredar di masyarakat adalah teh hitam, teh hijau, teh oolong, dan teh putih. Tanaman ini dipercaya dapat mengobati sakit kepala, diare, penyubur dan penghitam rambut, mengurangi pembentukan karang gigi, infeksi saluran cerna, kanker, menghilangkan bau mulut, sebagai pelangsing, serta meningkatkan kekebalan tubuh. Teh pada umumnya mengandung berbagai senyawa organik dan sedikit senyawa anorganik. Teh juga mengandung senyawa-senyawa nitrogen, karbohidrat, pigmen, enzim, polifenol, dan vitamin serta sedikit senyawa mineral anorganik. flavonoid yang ditemukan pada teh terutama berupa flavonol dan flavanol. flavonol utama pada teh adalah quersetin, sedangkan katekin merupakan flavonoid yang termasuk kelas flavanol. Tanaman teh selama ini dipercaya berkhasiat sebagai obat disebabkan senyawa katekin yang dikandungnya (Dalimartha, 2003:152 dan Sava, 2001).
188
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Sebagaian besar masyarakat pedesaan dan sebagaian kecil perkotaan, seduhan teh hitam yang kental digunakan dalam usaha pertolongan awal pada penyakit diare. Mengingat dari banyaknya orang yang mengkomsumsi teh untuk minuman atau sebagai pengobatan diare. Maka diperlukan jaminan keamanan kualitas teh. Untuk mengetahui kualitas tersebut maka diperlukan beberapa penelitian. Diare akut pada orang dewasa merupakan tanda dan gejala, penyakit yang umum dijumpai dan bila terjadi tanpa komplikasi, secara umum dapat di obati sendiri oleh penderita, Namun bila terjadi komplikasi akibat dehidrasi atau toksik menyebabkan kesakitan dan kematian. Gejala yang biasanya terjadi antara lain mual, muntah, demam, nyeri perut dan dehidrasi. Epidimologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah geografis baik negara yang telah maju ataupun di negara berkembang seperti di Indonesia. Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan sosial ekonomi yang tinggi tetapi insiden penyakit diare tetap tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan. Tingginya insidensi (angka kesakitan) diare di negara maju disebabkan karena foodborne infection dan waterborn infection yang disebabkan karena bakteri Shigella sp, Staphylococcus aureus, Basillus cereus, Salmonella Thyposa, Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC). (Setiawan, 2006; Suzanna, 1993). Di dalam pencernaan, teh mampu melawan keracunan makanan dan penyakit seperti diare, kolera, tifus, dan disentri. Dengan kemampuan anti bakterinya, teh mampu menghambat terjadinya infeksi. Teh juga mengandung asam-asam amino, terutama tanin yang dapat meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. (Soraya, Noni :2007). Berdasarkan uraian diatas penulis terdorong untuk mewujudkan sebuah karya tulis ilmiah dengan judul “Uji daya hambat ekstrak teh oolong terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa “ dengan melihat zona hambatan dari berbagai konsentrasi. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “ Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong (Camelia sinensis) terhadap Pertumbuhan Bakteri Eschericia coli dan Salmonella thyposa
METODE PENELITIAN Penelitian serta pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2015. Pemeriksaan sampel dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Akafarma Sunan Giri Ponorogo. Studi pustaka dari literatur yang tersedia di Perpustakaan Sunan Giri Ponorogo dan Jurnal Online.
188
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Desain Penelitian Populasi
Sampel / Pengambilan sampel
Escherichia coli
Daya Hambat
Salmonella Thyposa
Prosedur Kerja
Dengan Metode Cakram Kirby-Bauer
Data Hasil Pengamatan
Escherichia coli & Salmonella Thyposa
Konsentrasi 100%
Konsentrasi 60%
Analisis Data
Konsentrasi 50%
Data diolah dengan cara menghitung rata-rata diameter hambatan
Gambar 1. Desain Penelitian
Data dan Sumber data Data penelitian ini diperoleh dari eksperimen laboratorium uji daya hambat ekstrak teh Oolong (Camellia Sinensis) terhadap bakteri Escherichia colidan Salmonella thyposa dengan metode Kirby-Bauer. Data yang diperoleh berupa pertumbuhan bakteri dan zona hambat bakteri. Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi 189
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Populasi adalah sejumlah besar sabyek yang mempunyai karakterisrik tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah teh Oolong, yang ada di salah satu toko di kecamatan ponorogo (Sugiono, 2008). 2. Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu sehingga mewakili populasi. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini di ambil sebanyak 3 kemasan dengan nomor batch yang samadari salah satu toko di kabupaten Ponorogo. (Sugiono, 2008). 3. Tehnik Sampel yang digunakan dalam penelitian ini di ambil sebanyak 3 kemasan dengan nomor batch yang sama dari salah satu toko di kecamatan ponorogo kabupaten Ponorogo. Pada penelitian ini penulis menggunakan tehnik purposif sampling (disengaja) yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. (Sugiono, 2008). Instrumen Penelitian Alat meliputi ( Neraca analitik, Cawan petri steril, Beaker glass, Pinset steril, Transpipet, Silinder steril, Kapas lidi steril, Batang pengaduk, Lampu spiritus, Inkubator, Autoklaf, Tabung reaksi steril) Bahan meliputi ( Sampel (Teh Oolong), Medium NA (Nutrien Agar), Aquadest, Alkohol 70%, Bakteri (Escheriichia coli ), Bakteri (Salmonella thyposa) Prosedur Kerja a. Sterilisasi kerja Peralatan yang akan digunakan semua dicuci hingga bersih, setelah dicuci dibungkus dengan kertas layang-layang dan disterilkan dengan oven pada suhu 160⁰-170⁰C selama 1-2 jam (Pratiwi, 2008). b. Pembuatan Media Nutrient Agar Komposisi: Beef Exstract 3 gram, Pepton 5 gram, Agar 15 gram, NaCl 5 gram, dan Air suling sampai 1 Liter. Cara pembuatan: Sebanyak 28 gr serbuk NA dilarutkan dalam air suling hingga 1 liter dengan bantuan pemanasan sampai semua bahan larut sempurna. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121⁰C selama 15 menit (Difco Laboratories, 1977). c. Pembuatan Biakan Beberapa koloni isolat bekteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa diambil dengan menggunakan jarum ose steril lalu dikultur ke dalam 10 ml pepton 10%, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37⁰C selama 24 jam (Rina et al, 2011).
190
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
d. Preparasi Sampel - Timbang sampel (Teh Oolong) masing-masing 3 gram, sebanyak 9x lalu masukkan kedalam beaker glass steril. Tambahkan aquadest panas kedalam masing-masing beaker glass sebanyak 100 ml. - Aduk dan diamkan ± 1 minggu, kemudian tutup rapat. - Pengenceran 100%, 60% dan 50% 1. Konsentrasi 100%
3 𝑔𝑟 3 𝑚𝑙
× 100 = 100%
Timbang sampel (Teh Oolong) 3 gram kemudian larutkan dengan aquadest panas sampai 100 ml. Pipet 3 ml, dan masukkan labu takar 100 ml. 2. Konsentrasi 60%
3 𝑔𝑟 5 𝑚𝑙
× 100 = 60%
Timbang sampel (Teh Oolong) 3 gram kemudian larutkan dengan aquadest panas sampai 100 ml. Pipet 5 ml, dan masukkan labu takar 100 ml. 3. Konsentrasi 50%
3 𝑔𝑟 6 𝑚𝑙
× 100 = 50%
Timbang sampel (Teh Oolong) 3 gram kemudian larutkan dengan aquadest panas sampai 100 ml. Pipet 6 ml, dan masukkan labu takar 100 ml. 4. Uji Daya Hambat a. Tuangkan media nutrient agar dalam cawan petri steril, biarkan memadat. b. Tandai satu lempengan agar dengan nama, tanggal dan mikroorganisme yang akan diuji. c. Celupkan tangkai kapas dalam biakan mikroorganisme, kemudian putar bagian kapas ke sisi tabung agar cairan tidak menetes dari bagian kapas tersebut. d. Sebar mikroorganisme pada seluruh permukaan lempengan agar. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang merata, gores secara mendatar, kemudian putar lempengan 90⁰ dan but goresan kedua, putar lempengan 45⁰ dan buat goresan ketiga. e. Biarkan lempengan mengering selama 5 menit, kemudian tempatkan silinder yang berisi larutan sampel sesuai seri konsentrasi pada permukaan lempengan. f. Tandai masing-masing silinder sesuai seri perlakuan larutan ekstrak Teh Oolong (100%, 60% dan 50%) jarak antara silinder harus cukup luas, sehingga daerah jernih tidak berhimpitan. 191
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
g. Silinder ditekan dengan menggunakan pinset pada permukaan lempengan, sehingga terdapat kontak baik antara cakram dan lempengan agar. h. Inkubasi pada suhu 37⁰C selama 24 jam (Bibiana, 1996). 5. Uji Blanko a. Media nutrient agar Media NA dituang kedalam cawan petri kemudian di inkubasi pada suhu 37⁰C selama 24 jam. b. Aquadest steril Silinder yang diberi aquadest steril dimasukkan kedalam cawan petri yang berisi masing-masing konsentrasi kemudian di inkubasi pada suhu 37⁰C selama 24 jam. Teknik Analisa Data Analisa data pada penelitian ini, data yang digunakan adalah dat perhitungan diameter hambatan zona jernih disekeliling silinder, yang selanjutnya data tersebut akan diolah menggunakan statistik yaitu deviasi rata-rata (AD) dan deviasi standar (SD). Deviasi rata-rata atau Average deviation (AD) merupakan jumlah harga mutlak dari tiap-tiap skor dibagi dengan banyaknya skor itu sendiri, yang jika dituliskan dalam sebuah rumus adalah sebagai berikut : ∑𝑋
AD = 𝑁 dimana AD merupakan deviasi rata-rata, ∑x merupakan jumlah harga mutlak deviasi tia-tiap skor atau interval dan N merupakan Number of cases, (Anas, 2008). Deviasi standar atau standard deviation (SD) merupakan suatu perhitungan salah satu ukuran variabilitas data yang ditilik dari segi matematika dan distandarisasi lebih mantap dari pada deviasi rata-rata, di analisis dengan rumus : ∑(𝑋−𝑋)2
SD = √
𝑁−1
dimana SD merupakan deviasi standar ∑x2merupakan jumlah
semua deviasi setelah mengalami proses penguadratan terlebih dahulu, dan N merupakan number of cases (Anas, 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data Penelitian ini menggunakan sampel ekstrak teh Oolong (Camellia Sinensis) merk “X” terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa. Organoleptis : Bentuk = Bundar kasar Warna = Setengah hijau dan hitam. Bau
= Seperti bunga teh
Rasa
= Pahit
192
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Tabel 4.1 hasil diameter zona hambat ektrak teh Oolong dengan uji bakteri Escherichia coli. Sampel
X (mm)
A 50%
34,5 32 31,5 42,5 46,5 50 51 52,5 55,5
B 60%
C 100%
̅ (mm) 𝑿 32,6
46,3
53
Hasil pengamatan sampel diperoleh data yang tertera pada tabel tersebut, didapatkan rata-rata pada masing-masing sampel A 50% = 32,6 mm, sampel B 60% = 46,3 mm dan sampel C 100% = 53 mm. Tabel 4.2 hasil diameter zona hambat ektrak teh Oolong dengan uji bakteri Salmonella thyposa. Sampel
X (mm)
𝑋̅ (mm)
A 50%
34,5 36 32,5 44,5 43,5 39 50 53,5 50,5
34,3
B 60%
C 100%
42,3
51,3
Hasil pengamatan sampel diperoleh data yang tertera pada tabel tersebut, didapatkan rata-rata pada masing-masing sampel A 50% = 34,3 mm, sampel B 60% = 42,3 mm dan sampel C 100% = 51,3 mm. Berdasarkan klasifikasi respon hambatan pertumbuhan bakteri menurut Davis dan Stout (1971). Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan bakteri sebagai berikut Diameter Zona Hambat
Hambatan pertumbuhan
Lebih dari 20 mm
Sangat kuat
10 – 20 mm
Kuat sedang
5 – 10 mm
Sedang
Kurang dari 5 mm
Lemah
193
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Hasil penelitian yang menggunakan berbagai konsentrasi menunjukkan respon hambatan yang sama karena dari perlakuan 50%, 60%, dan 100%. memiliki respon hambatan pertumbuhan sangat kuat karena zona hambatnya lebih dari 20 mm. Analis Data Hasil yang diperoleh selanjutnya sampel dianalisa menggunakan standart deviasi untuk mengetahui adanya penyimpangan data antara ketiga sampel. Pada bahan uji dilakukan 3 pengenceran setiap cawan petri berisi 4 silinder yaitu 3 sampel dan 1 larutan blanko aquadest steril. Hasil data sebagai berikut : Tabel 4. 3 pengujian standart deviasi daya hambat pada bakteri Escherichia coli. Sampel
X (mm)
𝑥̅ (mm)
d (x-𝑥̅ )
d (x-𝑥̅ )2
A 50%
34,5 32 31,5 42,5 46,5 50 51 52,5 55,5
32,6
1,9 0,6 1,1 3,8 0,2 3,7 2 0,5 2,5
3,61 0,36 1,21 14,44 0,04 13,69 4 0,25 6,25
B 60%
C 100%
46,3
53
∑d2 5,18
28,17
10,5
Hasil pengamatan ketiga sampel diperoleh data yang tertera pada tabel. Ketiga hasil tersebut didapatkan rata-rata masing-masing sampel A 50% = 32,6 mm, sampel B 60% = 46,3 mm, dan sampel C 100% = 53 mm. Kemudian dari hasil rata-rata tersebut dilakukan uji analisa standar deviasi agar diketahui data yang menyimpang atau data diterima. Tabel 4.4 Hasil Standart Deviasi Bakteri Escherichia coli Sampel
Range (x±SD)
Kadar SD
A 50%
31 – 34,2
32,9 33,6 33,1 46,25 42,75 46,25 53,29 54,79 53,21
B 60%
C 100%
42,55 – 50,05 50,71 – 55,29
Keterangan diterima (√) ditolak (×) √ √ √ √ √ √ √ √ √
KeKESIMPULAN Rata-rata SD
33,2
45,08
53,76
Hasil perhitungan standar deviasi didapatkan range atau rentang diameter daya hambat, untuk menentukan data diterima atau ditolak. Kemudian dari range standar deviasi didapatkan hasil rata-rata standar deviasi, sedangkan standar deviasi itu sendiri berfungsi untuk memastikan data yang diperoleh dapat diterima dan tidak ada penyimpangan dalam pengambilan sampel. 194
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Tabel 4.5 pengujian standart deviasi daya hambat pada bakteri Salmonella thyposa. Sampel
X (mm)
𝑋̅ (mm)
d (x-𝑥̅ )
d (x-𝑥̅ )2
A 50%
34,5 36 32,5 44,5 43,5 39 50 53,5 50,5
34,3
0,2 1,5 2 2,2 1,2 3,3 1,3 2,2 0,8
0,04 2,25 4 4,84 1,44 10,89 1,69 4,84 0,64
B 60%
C 100%
42,3
51,3
∑d2 6,29
17,17
7,17
Hasil pengamatan ketiga sampel diperoleh data yang tertera pada tabel. Ketiga hasil tersebut didapatkan rata-rata masing-masing sampel A 50% = 34,3 mm, sampel B 60% = 42,3 mm, dan sampel C 100% = 51,3 mm. Kemudian dari hasil rata-rata tersebut dilakukan uji analisa standar deviasi agar diketahui data yang menyimpang atau data diterima. Tabel 4.6 Hasil Standart Deviasi Bakteri Salmonella thyposa Sampel
Range (x±SD)
Kadar SD
Keterangan diterima (√) ditolak (×)
A 50%
32,53 – 36,07
32,53 34,23 34,27 41,57 40,57 41,93 51,89 51,61 52,39
√ √ √ √ √ √ √ √ √
B 60%
C 100%
39,37 – 45,23 49,41 – 53,19
KeKESIMP ULAN Rata-rata SD 33,74
41,35
51,96
Hasil perhitungan standar deviasi didapatkan range atau rentang diameter daya hambat, untuk menentukan data diterima atau ditolak. Kemudian dari range standar deviasi didapatkan hasil rata-rata standar deviasi, sedangkan standar deviasi itu sendiri berfungsi untuk memastikan data yang diperoleh dapat diterima dan tidak ada penyimpangan dalam pengambilan sampel. Tabel 4.7 Hasil perhitungan dari rata-rata standar deviasi oleh bakteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa. Data 𝑥̅ daya hambat
Sampel A (50%)
Sampel B (60%)
Sampel C (100%)
Escherichia coli
33,20
45,08
53,76
Salmonella thyposa
33,74
41,35
51,96 195
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Diameter rata-rata hambatan ekstrak teh Oolong terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada sampel A 50% = 33,20 mm, sampel B 60% = 45,08 mm, dan sampel C 100% = 53,76 mm, sedangkan untuk bakteri Salmonella thyposa dari sampel A 50% = 33,74 mm, sampel B 60% = 41,35 mm, dan sampel C 100% = 51,96 mm.Hal ini menunjukkan bahwa zona hambat akan bertambah dengan adanya penambahan konsentrasi. Uji daya hambat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya kemampuan menghambat dari suatu zat antimikroba terhadap bakteri uji. Dalam penelitian ini digunakan sampel berupa ekstrak teh Oolong. Teh Oolong selain dikonsumsi sebagai minuman, ternyata mempunyai banyak khasiat. Hal ini diketahui dengan adanya berbagai macam riset yang menyebutkan bahwa teh Oolong dapat digunakan sebagai antikanker, obat diare, membakar lemak dan antibakteri. Tahap pertama yang dilakukan dalam pengujian daya hambat yaitu melakukan sterilisasi. Peralatan yang akan digunakan semua dicuci hingga bersih, setelah dicuci dibungkus dengan kertas layang-layang dan disterilkan dengan oven pada suhu 160⁰170⁰C selama 1-2 jam. Sterilisasi ini dengan tujuan untuk mematikan semua organisme yang terdapat dalam suatu benda. Selanjutnya pembuatan Media Nutrient Agar dengan Komposisi: Beef Exstract 3 gram, Pepton 5 gram, Agar 15 gram, NaCl 5 gram, dan Air suling sampai 1 Liter. Cara pembuatan : Sebanyak 28 gr serbuk NA dilarutkan dalam air suling hingga 1 liter dengan bantuan pemanasan sampai semua bahan larut sempurna. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121⁰C selama 15 menit. Pembuatan Biakan Beberapa koloni isolat bekteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa diambil dengan menggunakan jarum ose steril lalu dikultur ke dalam 10 ml pepton 10%, kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37⁰C selama 24 jam. Preparasi sampel langkah pertama yang dilakukan yaitu timbang sampel (teh Oolong) 3 gram sebanyak 9x kemudian masukkan kedalam botol, kemudian larutkan dengan aquadest (panas) sampai 100 ml. Aduk dan diamkan selama ± 1 minggu. Kemudian tuang media Na kedalam cawan petri sambil digoyang-goyang biar media merata biarkan sampai memadat agar media tidak pecah dan rusak, lalu Inokulasi bakteri dengan cara menggunakan kapas lidi steril pada medium Na yang telah memadat.Letakkan silinder steril pada medium yang sudah terdapat bakteri dengan menggunakan pinset dan atur jarak antar silinder. Pipet 0,1 μl sampel dari masing-masing pengenceran dan masukkan silinder.Inkubasi pada suhu 37⁰C selama ± 24 jam.Amati zona hambat.Ukur dan catat daerah jernih yang tidak terdapat pertumbuhan bakteri dengan mengukur diameternya. Pemberian aquadest steril sebagai blanko tidak membentuk daya hambat, hal ini ditunjukkan dengan warna keruh disekitar silinder aquadest steril pada media, sehingga dapat disimpulkan bahwa aquadest tidak memiliki daya hambat. Hal ini memperkuat penelitian bahwa zona jernih yang terbentuk berasal dari larutan sampel ekstrak teh Oolong, selain itu blanko yang hanya berisi media menunjukkan hasil yang jernih sehingga mengindikasikan bahwa media yang digunakan dalam keadaan steril.
196
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kirby-bauer,cara yang mudah untuk menetapkan kerentanan organisme terhadap antimikroba adalah dengan menginokulasi pelat agar dengan biakan dan membiarkan terdifusi ke media agar, cakram yang telah mengandung antimikroba diletakkan dipermukaan pelat agar yang mengandung organisme yang diuji. Efektifitas antimikroba ditujukkan oleh zona hambatan. Zona hambatan ini tampak sebagai area jernih/bersih yang mengelilingi silinder, dimana zat dengan aktivitas antimikroba terdifusi. Daya hambat yang terjadi disebabkan oleh : Kandungan kimia yang terdapat dalam sampel teh Oolong yang dapat menghambat bakteri uji (Escherichia coli dan Salmonella thyposa). Kemampuan larutan uji untuk merusak organisme.Konsentrasi larutan uji yang diberikan menyebabkan penghambatan populasi mikroba. Berdasarkan dari manfaat Teh Oolong sebagain antibakteri, disini dilakukan pengujian daya hambat terhadap bakteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa. Dengan mengukur daerah jernih yang mengelilingi silinder atau zona hambat. Mengingat kedua jenis bakteri tersebut biasa ditemukan dalam tubuh manusia. Bakteri Escherichia coli banyak ditemukan dalam usus besar dapat menyebabkan diare sementara untuk Salmonella thyposa dapat menyebabkan demam typoid.Adanya kemampuan menghambat mikroba pada teh Oolong karena adanya kandungan polifenol. Polifenol merupakan senyawa kimia dalam golongan flavonoid yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Hasil klasifikasi respon hambatan dari ekstrak teh Oolong dari ketiga perlakuan yaitu pada sampel (a,b,c) dengan uji bakteri Escherichia coli dari konsentrasi 50% diperoleh hasil rata-rata 33,20 mm, 60% = 45,08 mm dan 100% = 53,76 mm, sedangkan untuk Salmonella thyposa dari konsentrasi 50% didapat rata-rata33,74 mm, 60% = 41,35 mm, dan 100% = 51,96 mm, jadi semakin tinggi konsentrasi maka daya hambatanya semakin tinggi. Perbandingan besarnya nilai daya hambat antara bakteri Escherichia colidan Salmonella thyposakeduanya sama-sama memiliki respon hambatan yang sangat kuat, tetapi dilihat dari ketiga konsentrasi tersebut angkanya yang lebih besar terdapat pada konsentrasi 100% = 53,76 dan 51,96 mm. Pengujian Hipotesis Dari hasil penelitian “Uji Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong (Camellia Sinensis) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa” dengan metode Kirby-Bauer, sehingga hipotesis peneliti bahwa ekstrak teh Oolong (Camellia Sinensis) diduga dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa, hipotesis tersebut diterima. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : a.
Ekstrak teh Oolong tenyata mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia colidengan berbagai konsentrasi yaitu 50%, 60% dan 100%
b.
Ekstrak teh Oolong tenyata mampu menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thyposa dengan berbagai konsentrasi yaitu 50%, 60% dan 100% 197
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
c.
Hasil yang diperoleh dari rata-rata uji daya hambat ekstrak teh Oolong dengan uji bakteri Escherichia coli dari berbagai konsentrasi yaitu : sampel A 50% = 33,20 mm, sampel B 60% = 45,08 mm, dan sampel C 100% = 53,76 mm.
d.
Hasil yang diperoleh dari rata-rata uji daya hambat ekstrak teh Oolong dengan uji bakteri Salmonella thyposa yaitu sampel A 50% = 33,74 mm, sampel B 60% = 41,35 mm, dan sampel C 100% = 51,96 mm. jadi rata-rata diameter hambatan ekstrak teh Oolong terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella thyposa bertambah dengan adanya penambahan konsentrasi.Pada perlakuan ketiga konsentrasi tersebut memiliki respon hambatan pertumbuhan terhadap Escherichia coli dan Salmonella thyposa yang bersifat sangat kuat.
DAFTAR PUSTAKA Anas, Sudiyono. (2008). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ardina Arinta Muharyanti, Daya Hambat Ekstrak Kelopak Rosella Merah (Hibiscus sabdariffa L) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Fakultas Farmasi Ponorogo. Brannon, C.2007. Green tea :New Benefits from an Old Favorite USA. Nutrition Dimension, Inc. Bimbi Ardila, Uji Daya Hambat Getah Bunga Kamboja (Plumeria acuminata) Terhadap Pertumbuhan Shingella Dysentri Secara In Vitro. Jurnal Analis Kesehatan Klinikal Sains. Lay, Bibiana W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Dalimartha, S. 1999 . Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Edisi Kesatu. Jakarta : Trubus Agriwidya. Departemen Kesehatan R I. 2000. Acuan Sediaan Herbal. Jakarta : Diktorat Jendral POM - Depkes RI. Entjang, 2003. Mikrobiologi dan Parasit. Citra Aditya Bakti : Bandung. Harmita dan Maksum Radji. 2005. Buku Ajar Analisis Hayati edisi 2. Jakarta : FM IPA Universitas Indonesia. Hartoyo, A. 2003. Teh Dan Khasiatnya Bagi Kesehatan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. http://awesomealexs.wikispaces.com/Cells https://infobidannia.wordpress.com Irianto. (2006) Mikrobiologi menguak Dunia Mikroorganisme.Jilid Satu. Bandung Penerbit Yrama Widya. Jawetz, Ernest dan Aldelberg. 2004. Mikrobiologi Kedokteran edisi 23. Jakarta : EGC 198
:
Yudhayanti dan Puspitasari, Efektifitas Daya Hambat Ekstrak Teh Oolong
Jawetz, Ernest dan Melnick L. Joseph.1986. Mikrobiologi untuk Profesi edisi 16, Jakarta :EGC
Kesehatan
Kadek Ariyanti, (2012).Daya Hambat Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya (Aloe barbadensis Miller) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus dan Esherichia coli.Universitas Udayana : Fakultas Ilmu Pengetahuan. Pratiwi. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta : Erlangga. Qolifah Endah, dkk, Daya Hambat Ekstrak Sirih Merah (piper crocatum) terhadap Streptoccocus mutans. Fakultas Kesehatan Gigi. Universitas Jember. Rika Muniarti, 2013. Budidaya Teh. Bandung : Sarana Ilmu Pustaka. Setyamidjaja, Djohan. 2000. Budidaya Dan Pengolahan Paskapanen. Kanisius.
Yogyakarta;
Setiawan. Alwi, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi IV. Jakarta. Soraya Noni, 2007. Sehat dan Cantik Berkat Teh Hijau. Jakarta : Penebar Plus. Suzanna. Park and Ralph A. Giannela Approach to the adult patient with acute diarrhea In: Gastroenterology Clinis of North America. XXII (3). Philadelphia. WB Saunders. 1993. Sugiono, 2008. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Jl Gegerkalong Hilir. Syamsulbahri, 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan.
199
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PRELIMINARY OF REPTILE AND AMPHIBIAN DIVERSITY IN RORO KUNING ECOTOURISM AREA, BAJULAN, LOCERET, NGANJUK Indra Fauzi1), Amirrul Fikri Anna1) Harianto 1)Budhi Utami2) Berry Fakhry Hanifa2) 1 2
Undergraduate student of Biology Education Universitas Nusantara PGRI Kediri Laboratory of Zoology of Biology Education Universitas Nusantara PGRI Kediri Correspondence email: [email protected]
ABSTRACT Ecosystem change and environmental condition take a very big role in Herpetofauna existence. Roro Kuning ecotourism area was known for its natural habitat that support ecosystem suitable for herpetofauna. Unfortunately there was not any study conducted up to date regarding diversity and population of herpetofauna in Roro kuning ecotourism area. This research aims to find out and expose herpetofauna diversity in Roro kuning ecotourism area as a cornerstone for further conservation effort. Data collected from January-February 2016 using Visual Encounter Survey Method with 200 meters transect applied for nocturnal and diurnal activity. We have found at least 5 species of Amphibian Polypedates leucomystax, Phrynoidis aspera, Hylarana chalconota, Odorrana hosii, Leptobrachium hasseltii, and 9 species of Reptillian Bronchocela jubata, Bronchocela cristatella, Xenochrophis trianguligerus, Ahaetulla prasina, Ptychozoon kuhlii (forest gekko), Cyrtodactylus marmorantus (rock gekko), some of common house gekko (Gehyra mutilata, Cosymbotus platyurus, and Hemidactylus frenatus. The diversity of herpetofauna in Roro kuning waterfall ecotourism area is high according to diversities index of Shannon-wiener. While there were some dominant population in that area, they were Phrynoidis aspera and Leptobrachium hasseltii. The rarest spesies found were Xenochrophis trianguligerus and Ahaetulla prasina.
Keywords: Diversity, Reptile, Amphibian, Roro Kuning, Nganjuk.
PENDAHULUAN Kawasan Wisata Air Terjun Roro Kuning terletak di Desa Bajulan Kecamata Loceret, berjarak Sekitar 23 km ke arah selatan pusat Kabupaten Nganjuk. Secara Umum Kawasan ini merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 675 m di atas permukaan laut (Mahardika et al., 2012). Lokasi air terjun yang berada diketinggian diatas 600 meter dpl menyebabkan kelembaban udara di lingkungan tersebut sesuai dengan habitat jenis fauna khususnya herpetofauna. Kondisi ekosistem di kawasan pariwisata air terjun Rorokuning yang masih alami dan asri, memungkinkan kawasan ini menyimpan potensi hayati yang besar sehingga perlu digali dan dikaji lebih dalam lagi. Salah satu potensi hayati fauna yang perlu dikaji tersebut adalah keanekaragaman reptil dan amfibi. Herpetofauna yang terdiri dari reptil dan amfibi merupakan salah satu potensi keanekaragaman hayati hewani yang kurang dikenal dan jarang diketahui oleh masyarakat Nganjuk.Hal ini karena penelitian mengenai keanekaragaman jenis herpetofauna di Jawa Timur khususnya kabupaten Ngajuk masih sangat minim, salah satunya seperti di kawasan pariwisata air terjun Rorokuning Kecamatan Bajulan Kabupaten Nganjuk. Studi mengenai keanekaragaman jenis herpetofauna di kawasan
201
Fauzi, dkk, Preliminary Of Reptile And Amphibian Diversity
pariwisata ini belum dilakukan. Padahal, sangatlah penting bagi suatu kawasan pariwisata untuk memiliki database tentang keanekaragaman fauna, karena masing–masing fauna, termasuk herpetofauna memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan keberlangsungan ekosistem kawasan ekowisata tersebut. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam jangka waktu beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan populasi herpetofauna secara global mulai tahun 1980-an seiring dengan meningkatnya pencemaranlingkungan dan berkurangnya habitat-habitat asli (hutan). Jika hal ini berlanjut menyebabkan kepunahan herpetofauna di dunia sebelum sempat diteliti dan didata dengan baik (Kusrini, dalam Qurniawan, 2012). Selain itu adanya faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan populasi reptil dan amfibi dikawasan tersebut yaitu pembangunan objek wisata dan kejadian longsor skala cukup besar di tahun 2011 yang bisa mengakibatkan keanekaragaman jenis herpetofauna di dalamnya menurun. Kenyataan inilah, yang mendorong dilakukannya penelitian untuk mendapatkan informasi jenis dan data awal keanekaragaman herpetofauna (reptile dan amfibi) di kawasan pariwisata air terjun roro kuning. Selain itu, juga sebagai rujukan untuk tahap awal melestarikan dan penelitian selanjutnya mengenai hipertofauna.
METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu penelitian Pengambilan data dilaksanankan pada bulan Januari-Februari 2016 dan masih akan berlanjut sampai bulan Juni 2016. Daerah yang diteliti meliputi semua jenis habitat yang ada di sekitar kawasan pariwisata air terjun roro kuning yaitu disekitar taman, air terjun, aliran sungai air terjun, pendopo dan bagian bawah yaitu di sungai besar. Penelitiandilakukan pada malam hari antara pukul 19.00−23.00 WIB untuk mendapatkan data jenis herpetofauna nokturnal. Alat dan bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: senter dan baterai untuk survei di malam hari, pH meter untuk mengetahui pH air, termometer raksa untuk mengukur suhu air dan udara, kamera untuk dokumentasi dan identifikasi, kantong plastikdan botol selai untuk penyimpanan spesimen, jam tangan untuk mengukur waktu penelitian, buku panduan turun lapangan untuk mengidentifikaasi spesies, timbangan digital untuk mengukur berat spesies (g), kaliper/penggaris untuk mengukur panjang sampel (mm/cm), spidol permanen untuk penandaan spesies yang ditentukan, meteran untuk mengukur jarak plot, jarring penangkap, suntik untuk menyutik spesimen yang mau di awetkan dan kapas untuk alat membius spesimen. Bahan yang digunakan untuk pembuatan spesimen menggunakan metode awetan basah antara lain ethanol 70%, formaldehid 4% dan akuades. Pengambilan data Metode aktif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VES (Visual Encounter Survei) (Heyer dkk., 2004) yang dimodifikasi dengan teknik puposive sampling (Hamidy dkk., 2007), yaitu teknik pencarian dan pengambilan (capture and remove) herpetofauna di semua mikrohabitat suatu area sesuai dengan plot 201
Fauzi, dkk., Preliminary Of Reptile And Amphibian Diversity in Roro Kuning Ecotourism Area
yang sudah di tentukan dan mencatat jenis-jenis herpetofauna yang ditemui baik yang tertangkap maupun yang tidak tertangkap. Dari tiap-tiap lokasi di lakukan pendataan meliputi: waktu penjumpaan, kolektor, plot, ketinggian (cm/m), suhu (⁰C), kelembaban (%), jenis spesies dan aktivitas ketika dijumpai. Herpetofauna di lokasi penelitian ditangkap dan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi menggunakan kunci identifikasi yang tersedia. Identifikasi dan penamaan jenis menggunakan panduan identifikasi Iskandar (1998), Anton ario (2012). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman berdasarkan Shanon-Wiener (Krebs, 1978 dan Kusrini, 2009) yang mempunyai formula: H’= -Σ Pi Ln Pi
Keterangan: H’= Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Pi = Proporsi jenis ke-i. Menurut Brower dan Zarr (1997), keanekaragaman dikatakan sangat rendah jika nilainya <1, jika nilainya berkisar antara 1−1,5 maka dikatakan rendah dan dikatakan sedang jika nilainya berkisar antara 1,5-2,0. Adapun dikatakan tinggi jika nilainya >2,0. Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian digunakan indeks kemerataan berdasarkan Simpson sebagai berikut: E=
H’ Ln S
Keterangan : E = Indeks kemerataan jenis H’= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis yang ditemukan. Jika nilai E mendekati 1 maka menunjukkan jumlah individu antar jenis relatif sama. Namun, jika lebih dari 1 ataupun kurang maka kemungkinan besar terdapat jenis dominan di komunitas tersebut. Derajat kemelimpahan relatif jenis herpetofauna yang dijumpai selama penelitian dikategorikan dalam 4 kelompok mengikuti Buden (2000), yaitu: dapat dikatakan banyak dijumpai jika minimal tercatat 30 perjumpaan/hari, dikatakan cukup banyak dijumpai jika 10-30 perjumpaan/hari, jarang dijumpai jika hanya 10 perjumpaan/hari, sulit dijumpai jika hanya 5 perjumpaan/hari dan dikatakan langka jika penjumpaannya di bawah 5 perjumpaan/hari pada sebagian besar waktu survei. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian yang telah dilaksanakan di kawasaan wisata air terjun roro kuning tanggal 29 januari 2016 dan 25 Februari 2016 berhasil didapatkan 14 spesies herpetofauna dari kelas Amfibia meliputi Polypedates leucomystax, Phrynoidis aspera, Hylarana chalconota, Odorrana hosii, Leptobrachium hasseltii. Pada kelas Reptil meliputi Bronchocela jubata, Bronchocela cristatella, Xenochrophis trianguligerus, Ahaetulla prasina, Ptychozoon kuhlii (cicak hutan), Cyrtodactylus marmorantus (cicak batu),
202
Fauzi, dkk, Preliminary Of Reptile And Amphibian Diversity
beberapa jenis cicak rumah (Gehyra mutilata, Cosymbotus platyurus, and Hemidactylus frenatus. Keseluruhan jenis herpetofauna ini didapatkan di lokasi atas sekitar taman, air terjun, aliran sungai air terjun, pendopo dan bagian bawah yaitu di sungai besar. Hasil penelitian lebih rinci dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis Amfibi dan reptil yang dapat ditemukan pada kawasan pariwisata air terjun rorokuning. No.
Famili
Spesies
1 Bufonidae 2 Magophryidae 3 Rhacophoridae 4 Ranidae 5 6 Gekkoidae 7 8 9 10 11 Agamidae 12 13 Colubridae 14 LC = Least Concern NT = Near Threatened
Phrynoidis aspera Leptobrachium hasseltii Polypedates leucomystax Hylarana chalconata Odorrana hosii Cyrtodactylus marmoratus Cossymbotus platyurus Hemidactylus frenatus Ptychozoon kuhlii Gehyra mutilata Bronchocela jubata Bronchocela cristatella Ahaetulla prasina Xenochrophis trianguligerus
Status Konservasi LC LC LC LC LC LC LC LC NT LC LC LC LC LC
Tabel 2. Komposisi dan presentase jumlah tiap jenis Amfibi dan reptil yang ditemukan selama penelitian di kawasan ekowisata air terjun rorokuning. No.
Famili
Taksa Spesies
1
Bufonidae
Phrynoidis aspera
26
0.18224
0.12091
* Derajat Kemelimpa han Cu
2
Magophryidae
23
0.30347
0.11499
Cu
17%
3
0.08553
0.03241
La
2%
3
Rhacophorida e Ranidae
Leptobrachiumhassel tii Polypedates leucomystax Hylarana chalconata
11
0.20614
0.07811
Cu
8%
Odorrana hosii
9
0.18224
0.06906
Ja
7%
4
Gekkoidae
Cyrtodactylus marmoratus Cossymbotus platyurus Hemidactylus frenatus Ptychozoon kuhlii
14
0.23698
0.0898
Cu
10%
4
0.10539
0.0393
La
3%
3
0.03241
0.3241
La
2%
22
0.29763
0.11278
Cu
16%
Gehyra mutilata
6
0.13979
0.05297
Ja
5%
Agamidae
Bronchocela jubata
3
0.08553
0.03241
La
2%
Colubridae
Bronchocela cristatella Ahaetulla prasina
5
6
Jumlah
(H’)
(E’)
Persen tase 19%
7
0.15497
0.05872
Ja
5%
1
0.03677
0.01393
La
2%
203
Fauzi, dkk., Preliminary Of Reptile And Amphibian Diversity in Roro Kuning Ecotourism Area
Xenochrophis trianguliferus Total
1
0.03677
0.01393
133
2.27581
0.86236
La
2% 100%
*Derajat Kemelimpahan: Ba = banyak dijumpai jika minimal tercatat 30 perjumpaan/hari, Cu = cukup banyak dijumpai jika 10-30 pejumpaan/hari, Ja = jarang dijumpai jika hanya 10 perjumpaan/hari, Su = sulit dijumpai jika hanya 5 perjumpaan/hari dan La= langka jika perjumpaannya di bawah 5 perjumpaan/hari pada sebagian besar waktu survei.
Penelitian yang telah dilaksanakan di kawasaan wisata air terjun roro kuning tanggal 29 januari 2016 dan 25 Februari 2016 berhasil didapatkan 133 jenis herpetofauna dari amfibi, kadal, ular. Analisis menggunakan indeks Shanon-Weiner menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis herpetofauna dikawasan wisata air terjun roro kuning tergolong tinggi dengan nilai sebesar 2.27581 karena >2. Untuk indeks kemerataan dari tabel 1, dihasilkan 0.86236 (Kurang dari 1) yang mengindikatorkan bahwa ada dominasi jenis herpetofauna diwilayah tersebut.Menurut perhitungan persentase kehadiran individu tiap jenis amfibi dan reptil dari pelaksanaan survei di pariwisata air terjun rorokuning kabupaten Nganjuk diketahui bahwa paling banyak ditemukan yaitu Phrynoidis aspera sebesar 19%, Leptobrachium hasseltii sebesar 17%. Dari kedua jenis tersebut sangat mudah dijumpai karena diduga menempati habitat yang lebih luas dan mekanisme pertahanan diri terhadaap predator dan daya adaptasi terhadap lingkungan lebih tinggi. Selain itu salah satu jenis yang ditemukan yaitu Ptychozoon kuhlii (tokek purba) berjumlah 22 ekor. Adapun yang sangat jarang ditemukan adalah Xenochrophis trianguligerus dan Ahaetulla prasinayang berjumlah 1 ekor berdasarkan data dari survei. Hal ini disebabkan karena jenis ini menempati relung yang relatif sempit, sehingga sangat bergantung terhadap lingkungan sekitarnya dan mekanisme pertahanan diri terhadapa predator dan daya adaptasi terhadap lingkungan rendah. Berdasarkan IUCN Red List, sebagian besar hepertofauna yang teridentifikasi di daerah pariwisata air terjun Rorokuning termasuk kedalam kategori Least Concern (LC) dan hanya satu jenis reptil yang berstatus Near Threatened (NT). Dari informasi tersebut dapat diperoleh informasi bahwa herpetofauna yang terdapat di kawasan pariwisata air terjun Rorokuning kabupaten Nganjuk tidak ada yang tergolong kritis. Namun, ada jenis hepertofauna yaitu Ptychozoon kuhlii jenis ini sangat jarang di jumpai di beberapa tempat (Anton Ario, 2010). Tabel 3. Parameter lingkungan Lokasi Lokasi atas dari air terjun, aliran sungai air terjun, pendopo dan taman Lokasi bagian bawah sungai besar
Suhu Udara (̊C) 25̊C
Suhu Air (̊C) 230C
Kelembaban 80-100%
22 ̊C
230C
80-100%
Berdasarkan tabel 3. diketahui bahwa kawasan wisata air terjun roro kuning memiliki suhu yang relatif konstan dari suhu awal penelitian dan suhu akhir penelitian suhu kelembaban berkisar antara 80-100%. Sedangkan suhu udara dan suhu air menunjukkan kisaran antara 20-250C kondisi lingkungan menyebabkan kawasan disekitar wisata air terjun roro kuning menjadi lebih dingin dan sejuk dikarenakan masih terjaganya hutan bagian atas di kawasan wisata roro kuning hal ini harus tetap dijaga dan 204
Fauzi, dkk, Preliminary Of Reptile And Amphibian Diversity
dipertahankan jangan sampai bencana alam seperti tanah longsor yang pernah terjadi tahun 2011 yang dapat mengakibatkan menurunnya keanekaragaman jenis-jenis herpetofauna di kawasan wisata air terjun roro kuning. KESIMPULAN Dari hasil penelitian berhasil ditemukan 14 jenis herpetofaua yang terdiri atas 5 jenis amfibia dan 9 jenis reptile. Keanekaragaman jenis herpetofauna di kawasan pariwisata air terjun roro kuning tergolong tinggi dengan indeks Shanon-Weiner sebesar 2,02. Sedangkan untuk indeks kemerataan dihasilkan 0.86236 (Kurang dari 1) yang mengindikatorkan bahwa ada dominasi jenis herpetofauna diwilayah tersebut. Persentase jumlah individu tiap jenis yang paling banyak ditemukan adalah Phrynoidis aspera sebesar 19 %, Leptobrachium hasseltii sebesar 17 %.Adapun yang sangat jarang ditemukan adalah Xenochrophis trianguligerus dan Ahaetulla prasina yang berjumlah 1 ekor berdasarkan data dari survei. SARAN Diharapkan untuk penelitian selanjutnya bisa memperluas pembahasan mengenai habitat, berat, panjang masing-masing spesies, dan untuk pengambilan sampel diharapkan bisa mengambil waktu siang hari sehingga bisa mengetahui tingkah laku spesies UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada dinas pariwisata dan kepada keluarga besar SCAR (Study Club of Amfibi and Reptil) Pendidikan Biologi, Universitas Nusantara PGRI Kediri atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan. Khususnya terima kasih disampaikan kepada Mbah Ran yang selaku penjaga malam daerah wisata roro kuning yang telah membantu dalam hal penunjukkan lokasi dan situasi di daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ario, Anton. 2010. Mengenal Satwa Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jakarta: Conservation International (CI) Indonesia. Buden, D.W. 2000. The Reptiles of Pohnpei, Federated Stated of Micronesia. Micronesia, 32 (2): 155-180. Brower, J.E. dan Zarr, J.H. 1997. Field and Laboratory for General Ecology, W.M.C Brown Company Publishing, Portugue, IOWA. Hamidy, A., Mulyadi dan Isman. 2007. Herpetofauna di Pulau Waigeo (in press). Pp:4. Heyer, W.R., Donnely, M.A., Mc Diarmind, R. W., Hayek, L.C. dan Foster, M.S. 1994 Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standart Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press, Washington. Iskandar, D.T. 1998. The Amphibian of Java and Bali. Research and Development Centre for Biology-LIPI-GEF-Biodiversity Collection Project. Bogor. 205
Fauzi, dkk., Preliminary Of Reptile And Amphibian Diversity in Roro Kuning Ecotourism Area
Kusrini, D.M. 2009. Pedoman Penelitian dan Survei Amphibia Di lapangan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Krebs, C.J. 1978. Ecologycal Methodology. Harper and Row Publisher. New York. Mahardika, D. P., Sari, N., Wardhani., 2012. Studi Kasus Destinasi Pariwisata Air Terjun Sedudo dan Air Terjun Roro Kuning.Planning for Urban Region and Environment Vol. 1, No. 1, Desember 2012 Qurniawan T. F., dan Eprilurahman R. 2012. Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di Kawasan Ekowisata Goa Kiskendo, Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Biota Vol. 17 (2): 78−
206
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA CRABAK KABUPATEN PONOROGO MELALUI PELATIHAN PEMBUATAN YOGHURT dan PRODUK OLAHANNYA Pujiati, S.Si, M.Si Prodi Pendidikan Biologi, IKIP PGRI MADIUN Email:[email protected]
Yoghurt merupakan salah satu biokonversi susu murni menjadi melalui proses fermentasi oleh bakteri asam laktat. Pembuatan Yoghurt dilakukan sebagai usaha diversifikasi pangan, peningkatan nilai nutrisi dan umur simpan dari bahan asal. Produk olahan ini termasuk dalam kategori makanan (kesehatan therapeutic food) karena dapat menetralisir kelainan pencernaan dan mencegah penumpukan kolesterol dalam darah. Pelatihan pembuatan yoghurt dan olahannya ini direalisasikan dalam bentuk pelatihan untuk ibu-ibu rumah tangga di Desa Crabak Kabupaten Ponorogo, dikarenakan sebagian besar ibu-ibu rumah tangga di desa tersebut adalah pengannguran da nada beberapa kelompok peternak sapi perah. Adapun tujuan dari program ini adalah:1) Sosialisasi tentang manfaat yoghurt untuk kesehatan, 2) Melatih masyarakat untuk mengolah susu menjadi yoghurt. 3) Melatih masyarakat membuat produk olahan berbahan yoghurt, Program ini dilakukan secara menyeluruh dan komprehensif meliputi kegiatan sosialisasi/pengenalan, pelatihan, pendampingan produksi, pengemasan dan pendampingan pemasaran. Pengabdian kepada masyarakat merupakan pelaksanaan pengamalan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni budaya langsung pada masyarakat secara kelembagaan melalui metodologi ilmiah sebagai penyebaran TRI DHARMA IKIP PGRI Madiun. Hasil yang diperoleh dari program pengabdian kepada masyarakat ini adalah peningkatan kualitas hidup dan sumber daya manusia ibu-ibu rumah tangga di desa Crabak, Ponorogo meliputi soft skill maupun hard skill, peningkatan sadar gizi dan pola hidup sehat di masyarakat setempat , serta potensi perluasan lapangan pekerjaan.
Kata Kunci : sosialisasi, yoghurt, olahan yoghurt, desa crabak
PENDAHULUAN Yoghurt merupakan salah satu minuman produk bioteknologi yang memanfaatkan susu sebagai substrat utama dan sangat berguna bagi kesehatan. Yoghurt memiliki pH yang rendah sehingga rasanya asam dan memiliki sensasi segar. Dewasa ini komersialisasi produk yoghurt sudah terlihat di Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya produk yoghurt yang beredar di masyarakat, hal ini berarti perkembangan yoghurt di Indonesia sudah sangat pesat, dan ini juga menunjukkan bahwa yoghurt ini disukai banyak orang baik kalangan dewasa maupun anak-anak. Produk olahan susu ini termasuk dalam kategori makanan (kesehatan therapeutic food) karena dapat menetralisir kelainan pencernaan akibat konsumsi laktosa (lactose intolerance) dan mencegah penumpukan kolesterol dalam darah (Herawati, 2009). Yoghurt mengandung kultur starter berupa bakteri asam laktat S. thermophilus dan L. bulgaricus, yang menghasilkan flavor khas, tekstur semi padat dan halus, kompak serta rasa asam yang segar(Herawati, 2009). Selain cita rasanya yang nikmat, sebenarnya yoghurt memiliki manfaat yang sangat baik bagi kesehatan tubuh. Manfaat ini pertama kali diperkenalkan oleh Elie Metchnikoff, ilmuwan Rusia penerima Nobel biologi/fisiologi kedokteran tahun 1908, yang mengungkapkan bahwa yoghurt 201
Pujiati, Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Pelatihan Pembuatan Yoghurt
dapat memperpanjang usia. Menurut Metchnikoff, tingginya usia hidup rata-rata warga suku-suku pegunungan di Bulgaria, yakni 87 tahun, berkaitan dengan kebiasaan mereka mengkonsumsi yoghurt. Bakteri akan masuk dan tinggal di usus, lalu memberi pengaruh positif terhadap keseimbangan mikroflora usus. Mekanismenya dengan cara menurunkan efek racun dari bakteri yang merugikan di usus. Riset yang bekembang telah mengungkapkan begitu banyaknya potensi dan manfaat yang dimiliki yoghurt. Konsumsi yoghurt akan meningkatkan jumlah bakteri yang menguntungkan di usus. Yoghurt yang belum dipanaskan, mengandung bakteri yang menguntungkan yang akan menekan pertumbuhan bakteri yang merugikan di usus. Yang termasuk bakteri menguntungkan adalah Bifidobacterium, Eubacterium, dan Lactobacillus. Sebagai gambaran, diperkirakan ada 100-400 jenis bakteri dalam usus manusia yang membentuk flora usus. Masyarakat yang sudah sadar akan gizi dan manfaat yoghurt ini memanfaatkan yoghurt sebagai pengganti susu, dan ada juga yang meminumnya ketika berdiet. Salah satu yang terpenting – khususnya untuk balita, adalah anjuran para ahli kesehatan untuk minum yoghurt ketika bayi dan balita terkena diare. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya penemuan peptide antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri sejenis Lactobacillus yang bersifat sebagai antibakteri alami yang menyerang bakteri yang merugikan. Tingginya riset tentang potensi yoghurt ini belum diimbangi dengan aplikasinya ke masyarakat. Banyak masyarakat belum familiar terhadap yoghurt ini sehingga dengan adanya pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi serta pelatihan pembuatan yoghurt dan olahannya diharapkan mampu menanamkan asumsi positif sehingga produk ini dapat diterima masyarakat dengan baik. Skill yang telah diberikan kepada masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat melalui pembuatan yoghurt ini diharapkan akan membuka lapangan perkerjaan baru bagi masyarakat terutama masyarakat Desa Crabak, Ponorogo. Objek adalah ibu-ibu rumah tangga, remaja dan ibu-ibu PKK masyarakat Desa Crabak, Ponorogo. Keadaan profil masyarakat disana sangat heterogen baik ditinjau dari segi ekonomi, sumber daya manusia, dan kesejahteraannya. Yang menjadi fokus dalam kegiatan ini, berusaha menjaring masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk dapat memberdayakan dirinya melalui peningkatan kesehatan dan ekonominya. Tujuan Kegiatan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan pemahaman /pengetahuan banyaknya manfaat yang dikandung yoghurt sebagai minuman kesehatan serta peningkatan ketrampilan masyarakat melalui pembekalan cara pembuatan yoghurt dengan metode sederhana sehingga tidak memerlukan biaya mahal serta pengolahan yoghurt menjadi produk pangan lainnya. Manfaat kegiatan ini adalah masyarakat dalam lingkup keluarga dapat meningkatkan derajat kesehatannnya melalui pengetahuan tentang asupan yoghurt sebagai nutrisi yang mengandung nilai gizi yang tinggi. Masyarakat memiliki ketrampilan dalam cara pembuatan yoghurt sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. METODE PELAKSANAAN Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan pada bulan difokuskan untuk mengatasi dua masalah utama yaitu: 1) Masalah pola hidup sehat, 2) Masalah pengangguran 3) masalah belum optimalnya pemanfaatan hasil peternakan di desa Crabak. Pembuatan yoghurt tidak begitu sulit sehingga dapat dilakukan oleh semua warga. Prosesnya yang mudah diharapkan dapat mensugesti munculnya jiwa 208
Pujiati, Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Pelatihan Pembuatan Yoghurt
kewirausahaan di kalangan masyarakat desa Crabak, Ponorogo. Proses abdimas ini tidak hanya pelatihan pembuatan yoghurt saja akan tetapi masyarakat juga dibekali pembuatan starter yoghurt serta olahan olahan pangan berbasis yoghurt. Sedangkan tahapan dalam pelaksanaan pengabdian masyarakat ini adalah Survey lokasi yang dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan, ekonomi masyarakat, ketersediaan substrat sebagai bahan utama dalam pembuatan media, dsb sehingga kita dapat menentukan sasaran yang tepat. Pelatihan yaitu kegiatan untuk praktek langsung di masyarakat. Pada tahap ini masyarakat akan di ajak berkumpul untuk dilakukan sosialisasi dan pelatihan tentang jamur tiram dan bagaimana cara pembudidayaannya. Pendampingan dimana masyarakat yang ingin melakukan budidaya jamur mandiri di rumahnya maka akan dilakukan pendampingan secara intensif untuk menunjang keberhasilan Prosedur kerja yang dilakukan pada kegiatan ini meliputi proses pembuatan yoghurt, dan proses pembuatan olahan yoghurt. Proses pembuatan yoghurt membutuhkan bahanbahan seperti susu, gula, esense dan starter. Sebelum membuat yoghurt hal-hal yang perlu dipersiapkan terdahulu Sterilisasi tempat penyimpanan, pembuatan starter dan terakhir pembuatan yoghurt. a. Sterilisasi kemasan dilakukan dengan memanaskan/mengukus wadah yang akan digunakan untuk penyimpanan yoghurt. Lebih baik jika menggunakan wadah yang tertutup dari bahan gelas. b. Pembuatan starter dapat dibuat melalui biang yang sudah ada di pasaran , gunakan produk yang natural/plain. Pada kegiatan pengabdian ini dipakai starter “Biokul” untuk starter. Starter ini bersifat generative, perbanyakan starter dapat dilakukan dengan memasukkan 20 ml yoghurt ke dalam 20 ml susu murni steril. c. Pembuatan yoghurt Inti proses pembuatan yoghurt meliputi pasteurisasi susu murni, setelah dingin kemudian memasukkan starter yang telah disiapkan sebanyak 10% (100 ml dalam 1L), ssu yang telah diinokulasikan starter tersebut kemudian diinkubasi selama 16 jam. Yoghurt berhasil diproduksi jikalau teksturnya sudah menyerupai krim dan rasanya asam. Prosedur yang dilakukan selanjutnya adalah pelatihan tentang pengolahan yoghurt menjadi bentuk olahan pangan. Seperti dibuat cake yoghurt dan pudding yoghurt. Adapun prosedur pembuatannya adalah: a. Cake Yoghurt Menyiapkan bahan-bahan seperti 1 cup terigu serbaguna, 1/2 cup+2sdm gula kastrol, 1/2 sdt baking powder, 1/8 tsp baking soda, Sedikit garam, 1/2 cup yogurt plain, saya pakai 125ml, 1/4 cup minyak sayur, 1 sdt parutan kulit jeruk, 1 sdt orange juice, 1 butir telur ukuran besar, 1/2 sdt vanilla extract, Gula halus untuk taburan, irisan jeruk. Cara membuat yaitu dengan memanaskan oven. Olesi loyang bulat 18cm dengan mentega, alasi kertas roti lalu oles lagi dengan mentega. Mencampur terigu, baking powder, baking soda dan garam yang sudah diayak tambahkan gula aduk rata. Masukan yogurt, minyak sayur, telur aduk sampai semua bahan tercampur. Tambahkan parutan kulit jeruk, juice dan vanilla extract aduk rata. Menuang dalam loyang, panggang sampai matang dan permukaannya kering selama 25-30 menit setelah dingin kemudian di taburan gula halus di atasnya. b. Puding yoghurt
209
Pujiati, Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Pelatihan Pembuatan Yoghurt
Menyiapkan bahan-bahan yaitu 250 ml yoghurt, 250 ml susu, 1 bungkus agaragar bubuk, 75 gr gula pasir, 4 sendok makan selai stroberi, 1 putih telur, 35 gram gula pasir (utk campuran putih telur). Cara membuat pudding yoghurt ini yaitu dengan menCampur susu, agar-agar bubuk, gula pasir dan selai stroberi, aduk rata dan dimasak hingga mendidih, Menambahkan yoghurt, diaduk kemudian didihkan kembali. mengocok putih telur sampai setengah mengembang dan menambahkan gula lalu kocok hingga mengembang, Masukkan rebusan agar-agar sedikit demi sedikit kedalam kocokan putih telur homogenisasi, terakhir menuangkan adonan ke dalam loyang/cetakan sesuai keinginan dan di simpan dalam kulkas. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelatihan dan sosialissi pembuatan yoghurt dilaksanakan pada hari Jumat, 4 Juni 2015 2014 di balai desa Crabak, Ponorogo. Sasaran dan pelatiahn ini adalah ibu-ibu PKK, anak muda dan ibu-ibu rumah tangga. Pelatihan dan sosialisasi ini berjalan dengan baik dan disambut dengan baik pula oleh warga desa. Hal ini dibuktikan dengan adanya antusiame masyarakat terutama ibu-ibu PKK yang hadir dalam acara sosialisai tersebut selain itu juga dihadiri oleh perangkat desa. Sosialisasi dan Pelatihan ini dimulai dengan sambutan oleh bapak dan ibu kepala desa, dilanjutkan sosialisasi tentang yoghurt serta manfaatnya, praktek pembuatan yoghurt oleh dan dibantu oleh tim pengabdian masyarakat IKIP PGRI Madiun Hasil survey atau observasi di peroleh data yaitu dari 50 responden ibu-ibu rumah tangga di desa tersebut, 80% sudah mengetahui tentang yoghurt, hanya 40% yang mengetahui cara pembuatannya dan 5 % yang mengetahui cara pembuatannya. Hal ini mendorong tim kami untuk melakukan pengabdian mengenai pengabdian tentang sosialisai manfaat yoghurt, cara pembuatan yghurt dan potensi komersialisasi nya di desa Crabak kabupatan Ponorogo ini apalagi desa ii juga didukung oleh potensi desa yang mana beberapa dari masyarakat merupakan peternak sapi perah. Berdasarkan data yang didapat susu perahan mereka setiap harinya hanya di jual dalam bentuk susu murni pasteurisasi yang di kemas dalam plastic. Kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat ini bertujuan untuk meningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan pemahaman /pengetahuan banyaknya manfaat yang dikandung yoghurt sebagai minuman kesehatan serta peningkatan ketrampilan masyarakat melalui pelatihan pembuatan yoghurt dengan metode sederhana dan biaya yang relatif terjangkau dan olahan-olahan pangan berbahan yoghurt. Melalui kegiatan ini masyarakat dalam lingkup keluarga dapat meningkatkan derajat kesehatannnya melalui pengetahuan tentang asupan yoghurt sebagai nutrisi yang mengandung nilai gizi yang tinggi. Ketrampilan dalam cara pembuatan yoghurt ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam kegiatan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga karena sasaran kaum-kaum ibu rumah tangga Proses sosialisasi dan pelatihan ini berjalan selama 3 hari. Pada hari pertama dilakukan sosialisasi terlebih dahulu dan pelatihan awal untuk pembuatan yoghurt di hari ke 2. Sosialisai dengaan materi pengertian yoghurt, manfaat serta produk-produk olahan berbahan yoghurt sedangkan preparasi awal pembuatan yoghurt meliputi pelatihan tentang teknik sterilisasi sederhana kemasan, dan pembuatan starter yoghurt. Sterilitas bahan dan alat penting karena proses pembuatan yoghurt merupakan fermentasi dengan menggunakan peranan bakteri asam laktat (BAL) sebagai satu-satunya pelaku fermentasi. Jadi dengan menjaga sterilitas bahan dan alat, tidak ada bakteri ataupun kontaminan lain 210
Pujiati, Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Pelatihan Pembuatan Yoghurt
yang hidup dalam susu sebagai media pertumbuhan BAL. Dengan demikian rasa dan khasiat yang terbentuk dari produk yoghurt dapat dikontrol. Proses sterilisasi bahan digunakan dengan cara memanaskan susu pada suhu sekitar 80 0C atau suhu sebelum medidih. Pengaturan susu sterilisasi susu perlu dilakukan agar protein-protein bermanfaat yang terkandung dalam susu tidak terdenaturasi atau rusak. Alat yang digunakan pun harus benar – benar steril. Cara penanganan terhadap susu yang telah disterilkan pun diberikan yaitu dengan sellau menutup panci ketika mendinginkan susu tersebut. BAL dimasukkan ke dalam susu steril yang telah hangat atau tidak panas, sekitar 45 0C. Hal ini untuk menjamin bahwa BAL tidak mati karena panas. Inkubasi BAL dalam susu tersebut pun dilakukan menggunakan bahan dan alat yang sederhana. Pelatihan yang pertama ini ada sekitar 30 orang yang menghadiri. Pada hari kedua kegiataan yang dilakukan adalah praktek langsung pembuatan yoghurt menggunakan starter yang telah di buat pada hari pertama. Para peserta pelatihan dibuat menjadi 5 kelompok dan masing-masing membuat yoghurt sebanyak 2 liter. Yoghurt yang diproduksi ini adalah yoghurt dalan bentuk natural bentuk krim dan yoghurt dengan variasi rasa atau penambahan essence. Pada hari ketiga, yoghurt yang telah diproduksi pada hari sebelumnya di jadikan sebagai bahan untuk membuat produkproduk olahannya dan produk pangan berbasis yoghurt yang kami pilih adalah pudding yoghurt dan cake yoghurt. Dokumentasi pelaksanaan kegiatan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Ppeserta yang hadir
sosialisasi
Pelatihan
Antusiasme masyarakat
Dengan adanya sosialisasi tentang manfaat dan kandungan yoghurt, masyarakat dapat mengetahui betapa pentingnya mengkonsumsi yoghurt sebagai asupan sehari-hari. Bahkan setelah mengetahui kandungan yoghurt, masyarakat memiliki beberapa ide tehadap penggunaan yoghurt. Tidak hanya digunakan sebagai minuman kesehatan maupun produk olahan pangan, yoghurt juga dapat digunakan sebagai produk kosmetika karena kandungan vitamin B yang tinggi dalam yoghurt. Bakteri asam laktat dalam yoghurt yang dapat menghasilkan sejumlah asam organik seperti asam propionat, dan asam orotat berperan dalam penurunan kadar kolesterol. Kedua hal tersebut menjadi perhatian dan daya tarik utama ibu-ibu tersebut untuk mengkonsumsi yoghurt. Diskusi 211
Pujiati, Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Pelatihan Pembuatan Yoghurt
seputar masalah konsumsi yoghurt pada balita pun dibahas. Mengingat respon tubuh orang dewasa terhadap konsumsi yoghurt pun berbeda-beda.
KESIMPULAN Respon masyarakat desa Crabak, kabupatan Ponorogo terhadap penyuluhan ini cukup tinggi, ditunjukkan dengan angka kehadiran 90 % dari jumlah undangan. Pemahaman masyarakat terhadap manfaat dan kandungan yoghurt serta cara pembuatan yoghurt yang benar menggunakan metode sederhana dan murah ini ditanggapai dengan sangat antusias oleh para ibu-ibu rumah tangga, remaja dan ibuibu PKK. Hal ini ditunjukkan dengan dijadikannya pelatihan pembuatan yoghurt dan produk olahannya ini untuk merintis rumah yoghurt dengan tujuan jangka panjang realisasi sentra bisnis yoghurt.
DAFTAR PUSTAKA Bakar, A dan M. Ilyas. 2005. Mutu Susu Karamel Asal Susu Pecah Selama Penyimpanan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Bogor. Jurusan Peternakan Universitas Djuanda. Buckle, dkk. 1987. Ilmu Pangan, diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia: Jakarta Budiyanto.K.A. 2002. Mikrobiologi Terapan. Universitas Muhamadyah Malang Press. Malang. Fardiaz, D.,dkk. 1989. Analisa Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Tinggi Pusat Antar Universitas dan Gizi : Bogor. Herawati, 2009. Pengaruh Konsentrasi Susu Skim Dan Waktu Fermentasi Terhadap Hasil Pembuatan Soyghurt. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 No. 2. Fakultas MIPA, Universitas Setia Budi. Jay, J.M., 1992. Modern Food Microbiology, Fourts Edition. New York : Chapman and Hall. Halaman : 268-277, 371-403. Marshall, S.H., 2003. Antimicrobial Peptides : As Natural Alternative to Chemical Antibiotics And a Potential for Applied Biotechnology. Electron. J. Biotech., 3 : 6. Pujiati, 2013. Buku Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Malang: Universitas Negeri Malang. Tidak Diterbitkan. Pujiati, 2014. Hand Out Mikrobiologi. Malang: Universitas Negeri Malang. Tidak Diterbitkan.
212
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
KEANEKARAGAMAN SERANGGA PARASITOID PADA TUMBUHAN LIAR Synedrella nodiflora (L.) GAERTN DI AREA KEBUN TEH AFDELING WONOSARI, SINGOSARI KABUPATEN MALANG Raras Setyo Retno IKIP PGRI MADIUN
Email:[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi, kepadatan populasi, dan keanekaragaman spesies, mengetahui perbedaan keanekaragaman spesies serangga parasitoid pada waktu pagi, siang, dan sore serta mengetahui faktor abiotik yang paling menentukan keanekaragaman spesies serangga parasitoid. Penentuan titik cuplikan dengan cara jelajah, hal ini berarti pengambilan sampel didasarkan adanya tumbuhan Synedrella nodiflora (L.) Gaertn yang berada di dalam petak kebun Teh Afdeling Wonosari, Singosari dengan menggunakan jaring ayun serangga berukuran mata jaring 0,5 mm. Faktor abiotik yang paling memberikan sumbangan terbesar dalam menentukan keanekaragaman serangga parasitoid dilakukan dengan analisis regresi ganda bertahap. Secara umum spesies serangga parasitoid yang mendominasi pada tumbuhan Synedrella nodiflora (L.) Gaertn adalah Siphona sp. Hasil uji statistik dengan regresi ganda bertahap terhadap faktor abiotik menunjukkan bahwa pagi hari faktor abiotik yang sangat menentukan terhadap keanekaragaman spesies serangga parasitoid adalah intensitas cahaya (r2 = 53,59%) dan suhu udara (r2 = 13,7 %). Faktor abiotik yang sangat menentukan pada siang hari adalah kelembaban udara (r2 = 46,2 %) dan suhu udara (r2= 28,1 %) sedangkan pada sore hari faktor abiotik yang sangat menentukan adalah kelembapan udara (r2 = 61,9%).
PENDAHULUAN Kebun teh merupakan salah satu bentuk agroekosistem yang dikelola oleh manusia. Struktur ekosistem kebun teh meliputi faktor abiotik dan biotik. Kondisi kedua faktor tersebut dapat menentukan tingkat kuantitas dan kualitas produksi teh. Komponen biotik di kebun teh terdiri atas keanekaragaman flora dan fauna. Keberadaan biota di muka bumi pada dasarnya berinteraksi dan bermanfaat, namun kemanfaatannya dari sudut kepentingan manusia sebagian ada yang telah ditemukan dan sebagian belum. Tumbuhan liar (tumbuhan belum termanfaatkan) yang berada pada suatu ekosistem juga belum termanfaatkan (Rohman, 2008:32). Kuantitas dan Kualitas tanaman teh juga dipengaruhi oleh adanya hama atau penyakit yang perlu dikendalikan misalnya hama Empoasca sp. Pengendalian dengan menggunakan pestisida sintetik menimbulkan dampak negatif bagi agroekosistem kebun teh. Beberapa dampak tersebut antara lain pencemaran lingkungan, munculnya hamahama yang resisten, menurunnya musuh alami, biaya yang mahal serta menurunnya kualitas dan kuantitas teh yang dihasilkan. Serangga merupakan kelompok mahluk hidup yang paling beranekaragam spesiesnya dan memiliki fungsi dan peran yang beragam. Pengelompokan hewan dapat beragam sesuai dengan tingkat daur hidup masing-masing. Organisme tertentu dapat menjadi berlimpah pada musim tertentu dan menjadi jarang pada musim yang lain dalam satu tahun. Keanekaragaman spesies ini juga akan berbeda antara ekosistem satu dengan yang lainnya. Peranan serangga parasitoid dalam kehidupan manusia juga dapat 214
Retno, Keanekaragaman Serangga Parasitoid Pada Tumbuhan Liar
mempengaruhi kuantitas dan kualitas hasil pertanian. Serangga hama yang merupakan jenis serangga yang secara rutin atau terkadang menyebabkan kerusakan kualitas pertanian. Sejumlah serangga ada yang berperan sebagai predator dan parasitoid dari beberapa jenis hama tanaman, khususnya pada tumbuhan liar (Jumar, 2000:4). Adanya beberapa jenis parasitoid sebagai musuh alami hama di lahan pertanian merupakan keuntungan tersendiri bagi petani. Dengan mengetahui keberadaan dan fungsi parasitoid di lapangan, maka akan lebih mudah mengontrol jenis hama tertentu yang ada di lahan pertanian. Keberadaan tumbuhan liar selain merugikan juga menguntungkan. Tumbuhan liar biasanya tumbuh secara alami di tempat-tempat yang tidak mengalami gangguan. Jenisjenis ini mendominasi di segala tempat dengan cepat dan jika tidak mengalami gangguan akan bermunculan silih berganti sehingga tercapainya populasi yang stabil dan dalam keadaan setimbang (Sastroutomo, 1990:19). Pengelolaan tumbuhan dan hama merupakan usaha tersendiri yang efisien dan rasional berdasarkan pertimbangan ilmiah yang teruji. Dari hasil pengamatan di lapangan, tumbuhan Synedrella nodiflora (L.) Gaertn berpotensi sebagai tempat refugia bagi serangga parasitoid pengendali hama tanaman teh. Hal ini dapat dikembangkan sebagai tempat istirahat, tempat berlindung, tempat berkembang biak, dan tempat sumber makanan. Nentwig (1998) menyatakan tumbuhan liar terbukti sangat penting untuk meningkatkan keanekaragaman serangga di ekosistem pertanian. Tujuan dari peneliotian ini adalah 1. Mengetahui komposisi dan kepadatan serangga parasitoid pada tumbuhan liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari, Singosari Kabupaten Malang. 2. Mengetahui keanekaragaman serangga parasitoid pada tumbuhan liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari, Singosari Kabupaten Malang. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan kuantitatif. Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan maka dideskripsikan tentang komposisi, keanekaragaman, kelimpahan serta faktor abiotik yang menentukan keanekaragaman dan kelimpahan serangga parasitoid pada tumbuhan Synedrella nodiflora (L.) Gaertn yang ditemukan di area Kebun Teh Afdeling Wonosari, Singosari Kabupaten Malang. Nilai keanekaragaman spesies serangga parasitoid ditentukan berdasarkan indeks keanekaragaman spesies Shanon-Wiener dan untuk membandingkan keanekaragaman antar waktu dilakukan Uji t (0,05). Dominansi spesies serangga parasitoid dianalisis berdasarkan indeks dominansi (Di). HASIL DAN PEMBAHASAN a. Komposisi dan Kepadatan Serangga Parasitoid pada Tumbuhan Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari, Singosari, Kabupaten Malang Komposisi serangga parasitoid yang menyusun suatu komunitas yang ditemukan di Kebun Teh Afdeling Wonosari selama pengambilan data meliputi 2 ordo dan 8 taksa. Ordo diptera yang ditemukan yaitu Siphona sp., Tricopthalma sp., Carcelia sp., Compsilura concinata, Musca sp., dan Exorista sorbilan. Sedangkan ordo Hymenoptera yaitu Callitula sp. dan Gorypus mesoxantus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa komposisi serangga parasitoid yang 214
Retno, Keanekaragaman Serangga Parasitoid Pada Tumbuhan Liar
mengunjungi tumbuhan liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn berbeda secara mewaktu. Adapun perbedaan jumlah dan jenis taksa yang ditemukan berhubungan dengan ketertarikan serangga parasitoid terhadap tanaman tersebut, kemampuan berkembang biak, sifat mempertahankan diri dan daur hidupnya. Tabel 1
Komposisi dan Kepadatan ( individu/jaring) Serangga Parasitoid pada Tumbuhan Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari Singosari Kabupaten Malang
Serangga parasitoid yang ditemukan jenisnya paling banyak di pagi hari. Hal ini dikarenakan spesies-spesies tersebut merupakan spesies serangga parasitoid yang mempunyai daya kelangsungan hidup (survive) baik, hanya satu atau sedikit individu inang diperlukan untuk melengkapi siklus hidupnya. Parasitoid dapat tetap bertahan meskipun dalam kondisi yang rendah. Parasitoid umumnya monofag (hanya makan satu jenis makanan) atau poligofag (makan banyak jenis makanan) sehingga untuk melengkapi perkembangannya sangat ditentukan oleh ketersediaan fase inang yang tepat. Ketersediaan inang bergantung pada kondisi lingkungan yang sesuai. b. Keanekaragaman Taksa Serangga Parasitoid pada Tumbuhan Liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari, Indeks keanekargaman spesies (H’) dapat diketahui dengan menggunakan indeks keanekaragaman spesies menurut Shannon-Wiener. Indeks keanekaragaman spesies serangga parasitoid secara mewaktu pada Tumbuhan Liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari Singosari Kabupaten Malang dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman spesies serangga parasitoid pada tumbuhan liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn secara mewaktu cenderung menurun. Pada waktu pagi hari nilai H’sebesar 1,5462; siang hari nilai H’ sebesar 0,7319; dan sore hari nilai H’ sebesar 0,6002. Maguran (1988) menyatakan nilai H’ berkisar antara 1 – 3, yaitu < 1: keanekaragaman rendah, 2-3: keanekaragaman sedang, dan >3. keanekaragaman tinggi. Indeks keanekaragaman spesies serangga parasitoid pada tumbuhan liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di area kebun Teh Afdeling Wonosari Singosari Kabupaten Malang tergolong dalam keanekaragaman rendah. Hal ini diduga karena pada waktu pengambilan data bertepatan 215
Retno, Keanekaragaman Serangga Parasitoid Pada Tumbuhan Liar
pada musim penghujan yang pada saat itu suhu udara di kebun Teh Afdeling Wonosari Singosari rendah dan kelembapan udara tinggiTabel 2 Indeks Keanekaragaman Spesies Serangga Parasitoid (H’) pada Tumbuhan Liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari Singosari Kabupaten Malang
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan perbedaan yang nyata bahwa keanekaragaman taksa serangga parasitoid cenderung tinggi pada waktu pagi hari. Penurunan nilai keanekaragaman spesies Serangga Parasitoid menunjukkan bahwa keadaan lingkungan sudah mengalami penurunan karena aktivitas manusia dengan pengendalian lingkungan secara kimiawi. Aktivitas tersebut misalnya berupa penyemprotan insektisida dan penyemprotan herbisida pada gulma yang hidup diantara tanaman teh. Penurunan keanekaragaman spesies Serangga Parasitoid pada tanaman gulma sebagaimana dijelaskan oleh Odum (1993:186) dan Darmawan (2005:122), bahwa keanekaragaman cenderung akan rendah pada ekosistem yang secara fisik terkendali, atau mendapatkan tekanan lingkungan. Tabel 3 Kemerataan Spesies Serangga Parasitoid pada Tumbuhan Liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari Singosari Kabupaten Malang
Pada Tabel 3 nilai kemerataan spesies serangga parasitoid pada tumbuhan liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari Singosari Kabupaten Malang menunjukkan adanya perbedaan. Perbedaan nilai kemerataan pada waktu pagi, siang, dan sore cenderung mengalami penurunan, waktu pagi hari sebesar 0,79459; siang hari sebesar 0,45476; dan sore hari sebesar 0,43295. Penurunan nilai kemerataan menunjukkan adanya spesies predominan yang mampu bertahan menghadapi perubahan faktor lingkungan baik biotik dan abiotik. Penyebaran jenis suatu organisme
216
Retno, Keanekaragaman Serangga Parasitoid Pada Tumbuhan Liar
berkaitan erat dengan dominasi, dimana bila nilai kemerataan kecil mengindikasikan terjadinya dominasi dari jenis-jenis tertentu.KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian keanekaragaman dan kelimpahan serangga parasitoid pada tumbuhan Synedrella nodiflora (L.) Gaertn maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1.
2.
Komposisi taksa serangga parasitoid pada tumbuhan liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn yang ditemukan di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari meliputi 2 Ordo dan 8 Taksa. Sedangkan Kepadatan populasi rata-rata dapat diperoleh secara mewaktu sebanyak 0-1 individu/jaring. Keanekaragaman serangga parasitoid di Area Kebun Teh Afdeling Wonosari tertinggi diperoleh pada waktu pagi hari sebesar 1,5462. Selain itu kemerataan populasi diperoleh sebesar 0.79459. Terdapat perbedaan jumlah keanekaragaman spesies serangga parasitoid pada tumbuhan liar Synedrella nodiflora (L.) Gaertn di area Kebun Teh Afdeling Wonosari Singosari Kabupaten Malang.
DAFTAR PUSTAKA Borror. 1993. Pengenalan Pelajaran Serangga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 387-423. Darmawan, A. Tuarita, H., Ibrohim, 2005. Ekologi Hewan. Malang: Universitas Negeri Malang. Cronquist, A. 1981. An Intergrated System of Classification of Flowering Plant, New York: Columbia University Press. Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika Membicarakan Alam Tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan Dunia Baru. Terjemahan oleh Tanuwidjaja Usman. Bandung: Penerbit ITB Huffaker & Messenger. 1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Kalshoven. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Hal 558-575. Kastono, D. 2004. Arti, Peran, Sifat, Dan Klasifikasi Gulma, (online), (http://www.kastono-ugm.ac, diakses tanggal 3 Februari 2009). Kramadibrata, I. 1990. Pengantar Ekologi Hewan. Bandung: Jurusan Biologi FMIPA ITB. Krebs, C. J. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance, Harper and Row Publisher. New York. Nentwig, and W. 1998. Weedy control, habitat management to promote natural enemies of agricultural pests. University of California Press.Berkeley. Los Angeles, London. Hal 49-71. Odum, EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi: Edisi Ketiga. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan. Yogyakarta: Gajah Mada University press. Sutarno N., Suhara, dan Sanjaya Y. 2004. Dasar-Dasar Entomologi. Malang: JICA. 217
Prosiding Seminar Nasional SIMBIOSIS I, Madiun 12 Maret 2016 ISBN : 978-602-74758-0-9
PROFIL PENGGUNAAN MEDIA AJAR IPA DI BEBERAPA SD GUGUS 2 RINGINREJO KABUPATEN KEDIRI Poppy Rahmatika Primandiri1), Kaliyatin2), Agus Muji Santoso1) 1)
Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Nusantara PGRI Kediri 2) SDN Batuaji II, Kabupaten Kediri 1)
email : [email protected] ABSTRAK
Kompleksitas pembelajaran IPA pada jenjang SD menuntut guru untuk semakin terampil dalam membuat media ajar yang menarik dan aplikatif agar pembelajaran IPA menyenangkan dan bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan media ajar IPA di beberapa sekolah dasar. Penelitian ini berjenis survei dengan melakukan respondensi langsung dengan guru-guru SD (tujuh SD) yang tergabung pada KKG Gugus 2 Ringinrejo Kabupaten Kediri, pada Desember 2015. Penelitian ini menunjukkan bahwa guru masih bergantung pada media KIT IPA dari dinas pendidikan, media KIT IPA hanya terdapat di SD inti, sejumlah 94% media KIT IPA mengalami kerusakan, belum adanya program pengembangan kompetensi penyusunan media ajar pada kegiatan KKG, sejumlah 82,4% guru tidak pernah menggunakan media ajar dalam pembelajaran IPA, dan sejumlah 90% guru tidak pernah membuat media ajar IPA untuk mendukung mutu pembelajaran di kelas. Diharapkan data profil tersebut dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam menenentukan pembinaan bagi guru SD khususnya pengembangan media ajar. Kata kunci: media ajar, pembelajaran IPA, Kediri
PENDAHULUAN Membelajarkan IPA di SD harus menekankan pada penguasaan kemampuan dasar daripada hanya penguasaan konsep saja. Oleh karena itu, pemberian pengalaman belajar secara langsung penting dilakukan guru. Tanpa pengalaman-pengalaman, siswa tidak akan belajar IPA dengan baik. Hal ini dikarenakan, belajar IPA membutuhkan latar belakang pengetahuan yang memadai. Belajar IPA harus dilaksanakan melalui kegiatan mengamati, menemukan, dan memecahkan masalah-masalah yang ada di alam (Payu & Zainuri, 2015). Menurut Depdiknas (2003) keterampilan proses dalam IPA yang harus dikuasai siswa antara lain mengamati, menggolongkan, mengukur, menggunakan alat, mengkomunikasikan hasil, menafsirkan, memprediksi, dan melakukan percobaan. Membelajarkan IPA yang kompleks membutuhkan strategi dan media ajar yang tepat. Berdasarkan hasil observasi awal di beberapa SD yang tergabung dalam gugus 2 Ringinrejo Kediri. Sejumlah 4 SD gugus tidak memiliki ruang dan sarana laboratorium IPA yang memadai. Hal inilah yang menyebabkan banyak guru SD tersebut hanya menyampaikan IPA pada ranah kognitif saja dengan ceramah. Hal tersebut menyebabkan siswa cenderung hanya menghafal konsep dan istilah IPA, sehingga pengetahuan IPA akan tidak bermakna. Kesalahan memaknai konsep IPA yang abstrak akan menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Menurut Payu & Zainuri (2015) untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep IPA yang bersifat abstrak yaitu mengubahnya menjadi konsep-konsep konkret melalui demonstrasi dan eksperimen sehingga konsep abstrak
219
Primandiri, dkk, Profil Penggunaan Media Ajar IPA
yang semula hanya dapat dibayangkan menjadi konsep yang konkret karena dapat dilihat dan diukur. Dengan demikian, guru dituntut lebih terampil dalam membuat media ajar yang yang menarik dan aplikatif agar pembelajaran IPA menyenangkan dan bermakna. Media ajar berupa alat peraga sangat diperlukan untuk membantu guru dalam menjelaskan fenomena dan fakta di alam, apalagi dapat menangkap gejala alam yang tidak dapat diamati secara langsung (Surachman, 2006). Alat peraga juga dapat membantu siswa untuk berpikir logis dan sistematis sehingga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Surachman (2006) dalam belajar IPA diperlukan keterlibatan siswa secara individu dari awal hingga akhir eksperimen, sehingga memerlukam keterlibatan guru dalam menggunakan kemampuan dan keterampilan IPA yang dimilikinya. Berdasarkan uraian di atas, penting untuk mendeskripsikan temuan tentang profil penggunaan media ajar IPA di SD khususnya di gugus 2 Kecamatan Ringinrejo. Dengan terampil mengembangkan media ajar yang menarik diharapkan guru akan lebih mudah menjelaskan konsep IPA dan siswa lebih mudah menerima konsep dan tertarik untuk belajar IPA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan media ajar IPA di beberapa sekolah dasar.
METODE Penelitian ini berjenis survei dengan melakukan respondensi langsung dengan guru-guru SD. Subyek penelitian adalah guru kelas 3, 4, 5, dan 6 di SD yang tergabung pada KKG Gugus 2 Ringinrejo Kabupaten Kediri sejumlah 28 guru. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2015.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil respondensi dengan 28 orang guru gugus 2 Ringinrejo menunjukkan bahwa guru di gugus 2 Ringinrejo masih bergantung pada media KIT IPA dari dinas pendidikan. KIT IPA dari dinas antara lain KIT air, udara, bunyi, cahaya dan penglihatan, gaya, pesawat sederhana, panas, magnet dan listrik. KIT IPA diberikan di SD bertujuan untuk menghadirkan gejala alam di dalam kelas yang dapat diamati berulang-ulang. KIT IPA hanya terdapat di SD inti, sehingga guru di luar SD inti harus meminjam KIT IPA tersebut ke SD inti. Guru SD inti yaitu SDN Batuaji 2 lebih sering menggunakan KIT IPA dibandingkan SD lainnya. Meskipun demikian, tidak semua guru kelas 3, 4, 5, dan 6 menggunakan KIT IPA karena guru belum mengenal KIT IPA, guru belum terampil menggunakan KIT IPA, guru tidak berani mencoba karena takut rusak, memerlukan waktu yang lebih panjang, dan sejumlah 94% media KIT IPA mengalami kerusakan. Hal ini dikarenakan tidak adanya pelatihan menggunakan KIT IPA dari dinas. KIT IPA hanya disimpan di almari sebagai pajangan di ruang guru. Hanya guru-guru tertentu saja yang menguasai penggunaan KIT IPA yang berani menggunakannya. Tetapi, demonstrasi guru tersebut dilakukan di akhir penyampaikan konsep IPA sehingga KIT IPA tidak digunakan untuk menemukan konsep tetapi untuk membuktikan konsep. Untuk membelajarkan IPA tidak harus hanya menggunakan KIT IPA. Guru harus terampil membuat alat peraga IPA yang menarik dan aplikatif. Tetapi belum ada program 219
Primandiri, dkk., Profil Penggunaan Media Ajar IPA
pengembangan kompetensi penyusunan media ajar pada kegiatan KKG. Hal ini menyebabkan sejumlah 82,4% guru tidak pernah menggunakan media ajar dalam pembelajaran IPA dan sejumlah 90% guru tidak pernah membuat media ajar IPA untuk mendukung mutu pembelajaran di kelas. Guru tidak pernah membuat media ajar IPA karena bingung media ajar yang akan dibuat layak atau tidak. Menurut Yuliati (2008) pertimbangan yang dapat dipakai guru IPA dalam memilih media yang baik adalah ketersediaan media pembelajaran di lingkungan belajar, ketersediaan waktu untuk mempersiapkan media, ketersediaan sarana dan fasilitas, mudah dibawa kemana-mana, relevan dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, dan biaya yang dikeluarkan seimbang dengan manfaat yang diperoleh. Dari uraian di atas, guru bisa menggunakan barang bekas untuk media ajar. Misalnya menggunakan balok kayu bekas yang sisi sisinya diberi tambahan yaitu karet bekas, sisi yang lain roda bekas, amplas, dan tanpa tambahan apapun untuk menjelaskan terjadinya gaya gesek. Meskipun dari barang bekas, media ajar tersebut layak untuk digunakan menjelaskan proses gaya gesek. Dengan barang bekas ini, guru tidak perlu mengeluarkan banyak uang dan konsep dapat dijelaskan dengan baik ke siswa. Dengan melaksanakan eksperimen sendiri, siswa belajar harus berpartisipasi secara aktif agar memperoleh pengalaman sehingga memungkinkan siswa menemukan konsep sendiri. Hal tersebut menyebabkan siswa mendapatkan (1) pengetahuan akan bertahan lama bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara lain, (2) hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil belajar yang lainnya, dan (3) secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa serta kemampuan berpikir secara bebas (Hendarto, 2009). Menurut Nur & Prima (2000) secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
KESIMPULAN Simpulan penelitian ini adalah guru masih bergantung pada media KIT IPA dari dinas pendidikan, media KIT IPA hanya terdapat di SD inti, sejumlah 94% media KIT IPA mengalami kerusakan, belum adanya program pengembangan kompetensi penyusunan media ajar pada kegiatan KKG, sejumlah 82,4% guru tidak pernah menggunakan media ajar dalam pembelajaran IPA, dan sejumlah 90% guru tidak pernah membuat media ajar IPA untuk mendukung mutu pembelajaran di kelas. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Pusat Kurikulum. Balitbang, Diknas. Hendarto, N. 2009. Dampak Pelatihan Guru Pemandu Bidang Studi IPA Terhadap Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, 10 (2): 190-195. Nur, M. dan Prima, R.W. 2000. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Kontruktivisme dalam Pengajaran. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah Universitas Negeri Surabaya.
220
Primandiri, dkk, Profil Penggunaan Media Ajar IPA
Payu, C dan Zainuri, A. 2015. Pelatihan KIT IPA Bagi Guru-Guru Sekolah Dasar di Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Laporan Pengabdian Masyarakat Program Studi Pendidikan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Gorontalo. Surachman. 2006. Kemampuan Melakukan Proses IPA Guru-Guru SD Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional MIPA 2006. Fakultas FMIPA UNY. Yuliati, L. 2008. Pengembangan Pembelajaran IPA SD. Malang: LP3
221