PROSIDING SEMINAR NASIONAL KESEHATAN REPRODUKSI MENUJU GENERASI EMAS Ungaran, 6 Mei 2017
Diselenggarakan Oleh: PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
PROSIDING SEMINAR NASIONAL “KESEHATAN REPRODUKSI MENUJU GENERASI EMAS” Editor Penyunting
: Heni Setyowati, S.Si.T., M.Kes. : drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH, PhD (UNDIP) Widya Hary Cahyati, S.KM, M.Kes.(Epid) (UNNES) Desain Sampul : Aris Wahyudi Tata Letak : Ani Nur Khabibah Penerbit: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Jl. Gedongsongo, Candirejo Ungaran Kabupaten Semarang Telp. & Fax (024) 6925408 Email:
[email protected] Cetakan pertama, Juli 2017 Copyright © 2017, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo yang dilaksanakan pada tanggal 6 Mei 2017 ISBN 978-602-61970-0-9 Semua tulisan yang ada dalam prosiding bukan merupakan cerminan sikap dan atau pendapat Dewan Penyunting. Tanggung jawab terhadap isi atau akibat dari tulisan tetap terletak pada penulis
ii
DEWAN REDAKSI PROSIDING SEMINAR NASIONAL “KESEHATAN REPRODUKSI MENUJU GENERASI EMAS”
Ketua: Heni Setyowati, S.Si.T., M.Kes.
Redaktur : Yuliaji Siswanto, S.KM, M.Kes.(Epid)
Penelaah : drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH, PhD (UNDIP) Widya Hary Cahyati, S.KM, M.Kes.(Epid) (UNNES)
Distribusi : Alfan Afandi, SKM, M.Kes.Epid
iii
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat petunjuk dan karuniaNya telah dapat diterbirkan Prosiding Seminar Nasonal “Kesehatan Reproduksi Menuju Generasi Emas”. Prosiding ini berisi kumpulan karya ilmiah para peneliti yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Kesehatan yang diselenggarakan oleh Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Ungaran pada hari Sabtu, 6 Mei 2017. Selain itu, diharapkan prosiding ini dapat memberikan wawasan tentang fenomena permasalahan yang terkait dengan kesehatan reproduksi dan upaya-upaya yang terus dilakukan untuk meningkatkan kesehatan reproduksi demi terlahirnya generasi emas. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Rektor Universitas Ngudi Waluyo, pembicara seminar, pemakalah oral dan poster, serta seluruh peserta yang telah berpartisipasi dalam acara Seminar Nasional “Kesehatan Reproduksi Menuju Generasi Emas” ini. Terima kasih pula kepada penyunting serta redaksi pelaksana yang telah
bekerja keras sehingga prosiding ini dapat diterbitkan. Mudah-mudahan prosiding ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, utamanya bagi pengambil kebijakan dalam hal peningkatan kesehatan reproduksi.
Ungaran, 6 Mei 2017 Ketua Panitia
Sri Wahyuni, S.KM, M.Kes.
v
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ………………………………………………………………..
i
DEWAN REDAKSI …………………………………………………………………
iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….
v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… vii MATERI NARASUMBER I
: Pernikahan Dini dan Perilaku Beresiko HIV-AIDS (drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH, PhD)………………...
NARASUMBER II
: Program Pencegahan Perkawinan Anak (Elisabet S.A Widyastuti, S.KM, M.Kes) ……..…….
NARASUMBER III
1
15
Epidemiologi HIV-AIDS (Auly Tarmali, SKM, M.Kes) ………………………...
31
DAFTAR ARTIKEL Topik
1.
: Program Kesehatan Ibu dan Anak, Program Keluarga Berencana, Program Kesehatan Reproduksi Remaja, Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, dan Program Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut.
PENGARUH STIMULASI ALAT PERMAINAN EDUKATIF TERHADAP ASPEK PERKEMBANGAN ANAK PRASEKOLAH DI TK PERTIWI BOYOLALI Dyah Ayu Wulandari, Indri Yuana.......................................................................
37
2.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA DENGAN PERILAKU TENTANG SEKSUAL PRANIKAH Dewi Mayangsari, Meriyanti Herina Negara …………………………………… 44
3.
KEPATUHAN HOMOSEKSUAL (GAY) DALAM PEMERIKSAAN VCT DI PUSKESMAS HALMAHERA KOTA SEMARANG TAHUN 2017 Siti Nur Umariyah Febriyanti, Ayu Wulandari …………………………………. 54 PERSEPSI KADER TENTANG INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT (IVA) TES DALAM UPAYA DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ROWOSARI Dita Wasthu Prasida, Alida Nihayah,Poppy Fransiska,Yeni Oktavia, Nduhri Qurani …………………………………………………………………… 60
4.
vii
5.
FAKTOR MATERNAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN BBLR Isy Royhanaty, Dwi Indah Iswanti, Linda Saraswati …………………………… 67
6.
INDEKS MASSA TUBUH DENGAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)PADAMAHASISWAJURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES KEMENKES KENDARI Nasrawati ……………………………………………………………………
72
7.
PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUALITAS PADA IBU DAN ANAK DIDIK TK LABSCHOOL UNNES DENGAN MENGGUNAKAN BONEKA GENDER Sri Wiji Handayani ................................................................................................ 82
8.
PREMARITAL SEXUAL REMAJA PENGGUNA JASA CYBERSEX DI KOTA SEMARANG Adi Saputro, Priyadi Nugraha Prabamurti, Bagoes Widjanarko ……………..
89
PENGARUH TEKNIK MARMET TERHADAP PENGELUARAN ASI PADA IBU POST PARTUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA SEMARANG Lestari Puji Astuti, Ambar Sari …………………………………………………
95
9.
10. FENOMENA VAGINA PRACTICE TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI WANITA USIA SUBUR DI PURWODADI Rose Nurhudhariani, Lilian Hardiyaningsih …………………………………….
101
11. MENGUBAH SIKAP SUPIR TRUK DALAM PENCEGAHAN PENULARAN IMS DAN HIV/AIDS MELALUI PEMBERIAN LEAFLET DAN DISKUSI Heni Hirawati Pranoto …………………………………………………………
108
12. TAKSIRAN VISUAL COMSTOCK UNTUK MENILAI ASUPAN MP ASI IKAN MUJAIR PADA BADUTA Lilik Hidayanti, Sri Maywati ……………………………………………………
116
13. PERBEDAAN PENGETAHUAN WANITA USIA SUBUR TENTANG PRAKTIK SADARI TERKAIT KEJADIAN KANKER PAYUDARA SEBELUM DAN SESUDAH PENYULUHAN DI RW 03 KELURAHAN BULUSTALAN SEMARANG Novita Nining Anggraini, Ratih Sari Wardani, Wahyu Umiyati ……………….. 123
viii
14. PENGARUH PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN PADA REMAJA PUTRI TENTANG IMUNISASI VAKSIN HPV DI PONPES KH. SAHLAN ROSJIDI SEMARANG Lia Mulyanti, Rikinatul Sholechana, Ali Rosidi ................................................... 128 15. HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN MINAT IBU TENTANG HYPNOBIRTHING DALAM MENGURANGI NYERI PERSALINAN Siti Choiriyah , Kartika Sari, Ari Andayani ......................................................... 132 16. KETERAMPILAN MENGGUNAKAN KONDOM DENGAN ALAT PERAGA PADA WANITA PEKERJA SEKSUAL Kurnian Nina Istiarini, Yuliaji Siswanto, Sri Wahyuni …………………………
140
17. EFEKTIVITAS PUSAT INFORMASI DAN KONSELING KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (PIK-KRR) UNTUK MENCEGAH TERJADINYA PERNIKAHAN DINI BAGI REMAJA Sri Wahyuni, Alfan Afandi, Sigit Ambar Widiawati …………………………… 146 18. GAMBARAN PERILAKU LESBIAN PADA MAHASISWI DI UNGARAN Alfan Afandi, Sri Wahyuni ……………………………………………………..
156
19. DUKUNGAN MUCIKARI PADA WPS DENGAN KUNJUNGAN VCT DI RESOSIALISASI TEGAL REJO BERGAS, KABUPATEN SEMARANG PujiPranowowati, AulyTarmali, Nurul Azizah………………………………….
161
20. GAMBARAN PERILAKU KEKERASAN DALAM PACARAN PADA MAHASISWA DI UNGARAN Ita Puji Lestari, Sri Wahyuni ……………………………………………………
165
21. PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN PREMARITAL SEKS BERDASARKAN LAYANAN PIK-KRR PADA SISWA SMK SWASTA Sigit Ambar Widyawati, Ita Puji Lestari, Najib ………………………………...
ix
171
x
NARASUMBER I Pernikahan Dini dan Perilaku Beresiko HIV-AIDS drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH, PhD Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
PERNIKAHAN DINI DAN PERILAKU BERESIKO HIV-AIDS drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH, PhD Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
PENDAHULUAN Pernikahan dini merupakan salah satu fenomena sosial yang dapat membawa dampak negatif bagi remaja muda di Indonesia. Resiko yang dapat timbul akibat pernikahan di usia muda antara lain adalah hubungan seksual pada usia dini, kehamilan usia dini dan resiko infeksi penyakit menular seksual. Berdasarkan laporan Rutgers WPF Indonesia, daritotal populasi perempuan usia 15-19 tahun,11,3% diantaranya telah menikah dini. Pernikahan dini yang dilakukan oleh remaja yang belum siap dapat berdampak negatif dari segi fisik, sosial ekonomi dan mental/psikologi.(1) Pernikahan usia dini banyak terjadi di Indonesia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan pada berbagai strata ekonomi dengan beragam latarbelakang. Bahkan di sejumlah daerah, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapatkan haid pertama. Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan adalah 19 tahun. A. Situasi Pernikahan Dini di Indonesia Di Indonesia, definisi anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk dalam anak yang masih berada dalam kandungan. Sesuai dengan data hasil sensus penduduk tahun 2010, mencatat bahwa penduduk Indonesia yang tergolong anak muda usia 10-24 tahun adalah sekitar 64 juta jiwa atau 27,6% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237,6 juta jiwa.Berdasarkan UU Perkawinan No.1 Tahun
Pernikahan dini di Indonesia mayoritas dilakukan oleh remaja yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Sumatera.(2) Pada tahun 2012, angka perempuanIndonesia yang telah menikah di usia 10-14 tahun adalah sebesar 4,2%, sementara perempuan yang menikah usia 15-19 tahun adalah sebesar 41,8%. Rasio pernikahan muda pada daerah perkotaan dan pedesaan juga meningkat setiap tahunnya, dengan rasio angka pernikahan dini di daerah pedesaan cenderung lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Berdasarkan data dari Susenas tahun 2010, terdapat 34% wanita usia 25-29 tahun telah menikah sebelum usia 18 tahun. Implikasi secara umum adalah pernikahan dini berdampak pada kaum perempuan dan anak dalam berbagai aspek, berkaitan dengan pernikahan yang terlalu muda, hubungan seksual yang dipaksakan, kehamilan di usia muda, selain juga meningkatkan resiko penularan infeksi HIV, penyakit menular seksual dan dampak kesehatan lainnya.(1)
1974 menjelaskan batas usia minimal menikah bagi anak perempuan adalah 16 tahun dan lakilaki 19 tahun. Berdasarkan pengertian dari UNICEF, pernikahan anak (child marriage) didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, psikologis untuk bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.(2,3)
Prosiding|1
Menurut Duvall dan Miller pernikahan dapat dilihat sebagai suatu hubungan dan cara berkomunikasi dalam bentuk interaksi antara pria dan wanita yang sifatnya intim. Banyak remaja berpandangan bahwa menikah muda merupakan pilihan agar mereka terhindar dari perbuatan dosa, seperti hubungan seks sebelum menikah.Sebagian besar masyarakat memandang pernikahan muda merupakan pernikahan yang belum menunjukkan adanya kematangan atau kedewasaan dan secara ekonomi masih tergantung pada orang tua karena belum mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya.(3) Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan yg terdata dilakukan oleh pasangan usia dibawah 16 tahun. Secara umum, pernikahan anak lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak lakilaki, dimana jumlah perempuan tiga kali lebih banyak menikah dini dibandingkan lakilaki.(2)Adapun jumlah rasio kenaikan pernikahan dini di daerah perkotaan menunjukkan bahwa pada tahun 2012 adalah 26 dari 1.000 perkawinan, rasio itu naik pada tahun 2013 menjadi 32 per 1.000 pernikahan. Sedangkan pada daerah pedesaan pernikahan dini cenderung menurun dari 72 per 1000 pernikahan menjadi 67 per 1000 pernikahan pada tahun 2013. Meskipun terjadi peningkatan jumlah rasio pernikahan di perkotaan, tetapi rasio angka pernikahan dini di daerah pedesaan masih lebih tinggi daripada perkotaan. Angka pernikahan di kota oleh remaja kelompok umur 15-19 tahun adalah 5,28%, sedangkan di daerah pedesaan angkanya mencapai 11,88%.(2,4) Pernikahan dini banyak terjadi pada masa pubertas, salah satunya disebabkan oleh usiaremaja yang rentan terhadap perilaku seksual bebas. Pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berfikir
2 | Prosiding
telah saling mencintai dan siap untuk menikah. Selain itu faktor penyebab terjadinya pernikahan dini adalah perjodohan orang tua, yang terjadi akibat putus sekolah dan karena faktor ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh IPADI (Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia) melalui lembaga kependudukan dan BKKBN tahun 2003 menunjukkan jumlah usia remaja (12-24 tahun) di Indonesia adalah sebanyak 42 juta (sekitar 20% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 213 juta jiwa). Dari angka tersebut, 35% sudah menikah, dan 52% remaja tersebut adalah perempuan. Penduduk usia 25-29 tahun yang telah menikah pada usia 15 tahun adalah sebesar 11%, sedangkan yang telah menikah pada usia 18 tahun adalah 18% dan menikah pada usia 20 tahun adalah sebesar 51% dari total penduduk usia 25-29 tahun. Dengan adanya undang-undang perkawinan, yaitu Pasal 7 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang akan ada batasan usia, pernikahan baru dapat dilakukan bila usia seorang remaja sudah sesuai undang-undang pernikahan yang berlaku, yaitu 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.Selain itu, tedapat gerakan pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) untuk meningkatkan ratarata usia kawin pertama (UKP) dimana perempuan secara ideal menikah pada usia minimal 20 tahun dan laki-laki pada usia 25 tahun.Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor dapat menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga seringkali sulit untuk mengubahnya.(2,4) Pernikahan dini dapat menyebabkan terputusnya pendidikan pada remaja. Pada perempuan yang telah menikah, 44,3% diantaranya tidak memiliki akses ke sekolah lagi, sedangkan pada remaja perempuan yang belum menikah, hanya 8,95% yang tidak memiliki akses ke pendidikan. Berdasarkan data
Susenas, terdapat 34% wanita usia 25-29 tahun yang telah menikah sebelum usia 18 tahun. Sebaran berdasarkan tempat tinggal menunjukkan bahwasejumlah 96 juta perempuan yang melakukan pernikahan mayoritas hidup di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Di Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jambi dan Jawa Barat, angka kejadian pernikahan dini berturut-turut adalah 39,4%, 35,5%, 30,6% dan 36%.(1,2)Remaja yang tidak melanjutkan pendidikan dan berhenti sekolah akan membuat mereka kesulitan mendapat pekerjaan dan tidak ada kegiatan lain yang dapat dilakukan. Harapan hidup remaja yang telah berhenti sekolah menjadi semakin sederhana karena kurangnya wawasan pandangan hidup, seperti menikah dan punya anak. Wanita yang kurang berpendidikandan tidak siap menjalankan perannya sebagai ibu akan kurang mampu untukmendidik anaknya, sehingga anak akan bertumbuh kembang secara kurangbaik, yang dapat merugikan masa depan anak. Hal ini dapat merupakandampak pernikahan usia dini di Indonesia.(2) Penyebab utama pernikahan dini dibagi menjadi 3 penyebab utama, yaitu : 1. Kemiskinan Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Menurut sebagian orang, menikahkan anaknya sedini mungkin dianggap sebagai salah satu strategi bertahan hidup, karena lebih sedikit makanan, pakaian dan pendidikan yang dikeluarkan oleh orangtua. 2. Keterbatasan Ekonomi dan Ketimpangan Gender Karena ketidakterjangkauan biaya pendidikan, beberapa masyarakat di Indonesia berpendapat bahwa lebih baik menyekolahkan anak laki-laki
terlebih dahuludibandingkan anak perempuan karena tugas utama perempuan adalah menikah dan mengurus anak.Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai (2) seorangremaja. 3. Tradisi dan agama Untuk meghindari anak dari perilaku seks pra nikah, banyak orangtua memutuskan untuk menikahkan anaknya agar menjaga anak gadisnya dari perzinahan atau perbuatan seks diluar nikah. (5) Berdasarkan beberapa penelitian, terdapat beberapa faktor yang mendukung dan menghambat pernikahan dini, diantaranya adalah: 1. Faktor yang mendukung pernikahan dini Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pernikahan dini diantaranya adalah : a. Usia Pertama Pacaran Pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai dengan keintiman. Keintiman tidak hanya terbatas pada kedekatan fisik saja. Adanya kedekatan secara emosional dan rasa kepemilikan terhadap pasangan juga merupakan bagian dari keintiman. Rasa kepemilikan mendorong remaja untuk melakukan pernikahan di usia muda karena dorongan rasa ingin memiliki yang tinggi di antara pasangan.(5) b. Hamil sebelum menikah (Kehamilan Tidak Diinginkan) Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa
Prosiding|3
kejadian pernikahan diusia muda terjadi sebagai solusi dalam menghadapi kehamilan yang terjadi diluar nikah. Pernikahan diusia muda banyak terjadi pada masa pubertas, hal ini terjadi karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual yang membuat mereka melakukan aktiivitas seksual sebelum menikah. Hal ini juga terjadi karena adanya kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja.Terdapat dua faktor yang menyebabkan remaja mengalami kehamilan sebelum menikah, yaitu : 1) Internal, yang disebabkan oleh : - Ketidakmampuan menahan nafsu seksual pada usia remaja yang memasuki masa pacaran dan kurangnya pemahaman mengontrol nafsu (cinta monyet). Hal ini terjadi ketika remaja tertarik pada perubahan fisik dan memiliki ketertarikan secara seksual dengan lawan jenis, sampaikepada dorongan untuk melakukan hubungan seksual. - Kurangnyapengetahuan tentang seksualitas dan keterampilan hidup 2) Eksternal, yang disebabkan oleh : - Paparan pornografi melalui media massa seperti TV dan internet - Kondisi sosialmasyarakat yang cenderung permisif seksualitas
4 | Prosiding
- Aturan hukum pidana yang lemah di Indonesia untuk dapat menimbulkan efek jera. c. Role Model dari Keluarga Orangtua sebagai role model untuk anaknya membawa pengaruh kepada pernikahan dini karena anak melihat orang tuanya menikah dini. Pada budaya patriarkhi, anak wanita biasa menjadikan ibunya sebagai role modelnya, termasuk dalam hal ini menikah di usia dini. Orangtua sebagai role model bagi anaknya, dapat menjadi penyebab pernikahan dini bagi mereka karena : - Melihat orangtua menikah dini dan kehidupan rumahtangga berlangsung baik - Anak-anak korban perceraian, biasanya akan mencari perlindungan atau kasih sayang dengan menikah. d. Jumlah Anak Dalam Keluarga Menurut beberapa penelitian, keluarga dengan jumlah anak yang banyak, cenderung lebih banyak yang melakukan pernikahan dini. Jumlah anak yang banyak akan menuntut orangtua memiliki beban ekonomi yang tinggi untuk biaya hidup, pendidikan dan kesehatan, sehingga menikah dini merupakan salah satu cara untuk mengurangi beban ekonomi keluarga orangtua. e. Menjaga Nama Baik Orang tua Orang tua kerap kali khawatir terkena aib terutama bila anak perempuannya berpacaran, sehingga memutuskan untuk segera menikahkan anaknya. Pada kenyataanya, ini menyebabkan 80% wanita yang memutuskan
untuk menikah sebelum usia 18 tahun beralasan untuk menjaga nama baik keluarganya. f. Pengaruh Media Media sosial berhubungan dengan perilaku seks pra-nikah pada remaja. Paparan informasi seksualitas dari media sosial yang bersifat pornoaksi dan pornografi dapat mempengaruhi remaja untuk meniru apa yang dilihat dan didengar. Berdasarkan penelitian pada siswa di Semarang, 45,9% remaja cenderung permisif terhadap seks, hal ini salah satunya dikarenakan oleh paparan internet yang semakin mudah diakses dengan kecanggihan teknologi. Selain itu, pergaulan dengan teman sebaya yang permisif seks juga dapat mendorong berperilaku seksual bebas.(6) g. Perjodohan Di Indonesial, banyak orangtua menjodohkan anaknya dengan keluarga yang sama kelas sosioekonominya. Perjodohan biasanya terjadi pada anak yang sudah saling mengenal karena kedekatan hubungan orangtuanya. Pernikahan dini banyak terjadi pada orangtua yang menjodohkan anaknya untuk menjaga status sosio-ekonomi keluarga. h. Pandangan Sosial terhadap Usia Pernikahan Di beberapa daerah di Indonesia, terdapat pandangan bahwa mereka yang pada usia tertentu belum menikah akan mendapatkan label tertentu. Pada perempuan maka akan dianggap “nilai” nya rendah, sedangkan pada laki-laki kejantanan diragukan.
i.
Toleransi Risiko Menikah Dini Seseorang mungkin mengetahui risiko yang akan dihadapi ketika menikah pada usia muda, akan tetapi memiliki sikap toleran yang lebih besar sehingga memberanikan diri untuk tetap menikah.
2. Faktor yang Menghambat Pernikahan Dini a. Hukum dan regulasi Di Indonesia, tidak ada hukum pidana di KUHP untuk perbuatan seks pra-nikah dan pernikahan dini, sehingga tidak membuat remaja takut untuk melakukan seks pranikah. b. Kemandirian Ekonomi Beberapa pekerjaan mengharuskan seseorang untuk tidak menikah pada jangka waktu tertentu, hal ini berpengaruh pada penundaan usia pernikahan seseorang. Selain itu perempuan yang bekerja cenderung menunda pernikahannya, karena lebih memilih berkarier dahulu. c. Pendidikan Perempuan Sistem pendidikan di Indonesia tidak mengijinkan murid untuk menikah ketika masih di usia sekolah. Berdasarkan data, perempuan yang memiliki pendidikan lebih tinggi (lebih dari SMA) cenderung menghindari pernikahan dini dibanding yang berpendidikan rendah (SD dan SMP) d. Mobilitas Orang yang bepergian akan sering berhadapan dengan lingkungan baru, memiliki banyak ide dan norma-norma baru, berpandangan lebih terbuka dan menunda usia pernikahan.
Prosiding|5
e. Pendidikan Suami Laki-laki dengan pendidikan tinggi, akan menikahi perempuan yang juga memiliki level pendidikan tinggi, serta sebaliknya. Berdasarkan data, 77% pernikahan dini terjadi pada perempuan dengan pasangan yang tidak berpendidikan tinggi.
f. Stabilitas Ekonomi Keluarga Stabilitas ekonomi menentukan keharmonisan keluarga. Keluarga yang keuangannya stabil mampu menyediakan pilihan lain selain menikahkan anaknya di usia dini. Perempuan dari keluarga yang keuangannya tidak stabil cenderung akan menikah di usia dini. Perempuan dari keluarga yang keuangannya stabil lebih cenderung menunda pernikahan karena memiliki lebih banyak pilihan selain menikah, misalnya bekerja atau bersekolah. g. Tingkat Pendidikan Orang tua Orangtua dengan tingkat pendidikan tinggi akan menjadi role model untuk anaknya untuk dapat mencapai pendidikan tinggi seperti orangtuanya. Orangtua dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki pemahaman lebih baik tentang kehidupan berumahtangga. h. Tradisi Uang Mahar Pada masyarakat Indonesia, beberapa tradisi mewajibkan untuk memberikan l mahar pernikahan sebagai syarat dalam pernikahan. Ketidakmampuan memberikan uang mahar ini dapat menunda usia pernikahan anak. i. Program pemerintah
6 | Prosiding
Keluarga yang memilki pengetahuan terkait program pemerintah tentang KB lebih memahami pentingnya menunda usia pernikahan dan bahaya dari pernikahan dini. Program pemerintah terkait Penundaan Usia pernikahan juga terbukti mengurangi jumlah pernikahan dini di Indonesia.(5)Kebijakan dan hukum yang berlaku di Indonesia terkait pernikahan adalah : 1. UUD 1945 pasal 28B ayat 1 , pasal 28J ayat 1 2. UU No 7 tahun 1984, Ratifikasi Konvensi Eliminasi Diskriminasi Pada Perempuan 3. UU No 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia 4. UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 5. UU No 10 tahun 2012 tentang Pilihan Ratifikasi Sebagai Protokol untuk Konvensi Hak Asasi Anak 6. UU No 1 tahun 1974 tentang pernikahan, menurut UU ini, pernikahan yang legal adalah: - Tanpa persetujuan orang tua : Laki (21 tahun), Perempuan (18 tahun), - Dengan persetujuan orang tua : Laki (19 tahun), Perempuan(16 tahun)(1) Pernikahan dini di lingkungan remaja cenderung berdampak negatif jika dipandang dari segi fisik, sosial ekonomi dan mental/psikologis, terutama bagi kesehatan reproduksi remaja tersebut. Dampak dari pernikahan usia dini kesehatan reproduksi salah satunya adalah perempuan usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar
meninggal saat melahirkan dibandingkan yang berusia 20-25 tahun, sedangkan usia di bawah 15 tahun kemungkinan meninggal bisa mencapai lima kali lipat. Perempuan muda yang sedang hamil, berdasarkan penelitian dapat beresiko mengalami beberapa hal yang membahayakan kesehatan seperti mengalami pendarahan, keguguran, dan persalinan yang lama atau sulit. Oleh karena itu, pernikahan dini memiliki banyak dampak negatif yang sangat penting untuk diketahui baik oleh remaja maupun orang tua.(5)
Dampak Pernikahan Dini diantaranya adalah : 1. Dampak Biologis Berdasarkan beberapa penelitian, kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun dapat meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Hal ini berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan Ibu.Perempuan muda yang menikah di bawah umur 20 tahun lebih beresiko terkena kanker serviks, karena sel-sel leher rahim remaja perempuan yang belum matang. Berdasarkan studi epidemiologi kanker serviks, menunjukan resiko terjadinya kanker serviks dapat meningkat lebih dari 10 kali bila jumlah mitra seks lebih dari 6 orang atau bila berhubungan seks pertama dibawah usia 15 tahun. Semakin muda usiawanita saat memilikianak pertama, semakin perempuan tersebut rentan terkena kanker serviks. Resiko langsung dari pernikahan dini adalah kehamilan dini dan kurang terpenuhinya gizi bagi dirinya sendiri demikian juga anaknya. Selain itu, anemia dan angka kejadian depresi juga cenderung lebih besar pada perempuan yang menikah di usia dini.(7)
Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Infeksi HIV terbesar didapatkan sebagai penularan langsung dari partner seks yang telah terinfeksi sebelumnya. Lebih jauh lagi, perbedaan usia yang terlampau jauh menyebabkan remaja perempuan hampir tidak mungkin bernegosiasi hubungan seks yang aman akibat dominasi pasangan. Keterbatasan gerak sebagai istri dan kurangnya dukungan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena terbentur kondisi ijin suami, keterbatasan ekonomi, berkontribusi terhadap meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada remaja yang hamil.(2) 2. Dampak Psikologis Pada beberapa kasus pernikahan dini, secara psikis anak belum siap dan belum mengerti tentang hubungan seks, sehingga dapat menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hakhak lainnya yang melekat dalam diri anak. Dampak pernikahan dini juga menimbulkan penyesalan dalam diri perempuan, seringnya pertengkaran dan percekcokan dalam rumah tangga membuat perempuan yang menikah dini menjadi takut dalam menjalani rumah tangganya ke depan.Dampak negatif sosial jangka panjang yang tak terhindarkan akibat pernikahan dini antara lain ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan dan mengalami krisis
Prosiding|7
percaya diri.Remaja perempuan yang menikah dini secara psikologis belum siap untuk bertanggungjawab dan berperan sebagai istri, partner seks dan ibu di usia muda, sehingga pernikahan dapat menyebabkan dampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis serta perkembangan kepribadian mereka (5) Depresi berat atau neuritis depresi akibat pernikahan dini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Perempuan yang mengalami kejadian ini akan menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizophrenia. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, remaja terdorong melakukan halhal aneh untuk melampiaskan amarahnya seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya. Dalam pernikahan dini, sulit memperkirakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya sulit mengendalikan emosi.(5) 3. Dampak Sosial-Ekonomi Seseorang yang menikah di usia dini dapat kehilangan interaksi dengan lingkungan teman sebayanya. Remaja yang telah menikah akanmemasuki lingkungan orang dewasa dan keluargayang baru, dan asing bagi mereka. Bila remaja kurang dapat menyesuaikandiri, makaakan timbul berbagai perselisihan dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Ketidaksetaraan gender merupakan salah satu konsekuensi dalam pernikahan dini. Mempelai anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk
8 | Prosiding
menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak.Dominasi pasangan seringkali menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.Selain itu, pernikahan dengan pasangan terpaut jauh usianya meningkatkan risiko keluarga menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan meninggal dunia.(2) Terdapat hubungan kuat antara pernikahan dini dengan kasus perceraian di Indonesia yang diakibatkanoleh: a. Disharmoni 31% (84.423 kasus) b. Kurang tanggung jawab 24% (66.735 kasus) c. Faktor Ekonomi 22% (61.687 kasus)(1)
Pencegahan Pernikahan Dini dapat dilakukan dengan cara : 1. Menunda Usia Menikah 2. Menunda Kehamilan Sebelum 20 tahun 3. Meningkatkan penggunaan kontrasepsi pada remaja berisiko untuk menghindari KTD 4. Mengupayakan pengurangan pemaksaan seks diantara remaja 5. Mengurangi aborsi tidak aman 6. Meningkatkan kemampuan antenatal, persalinan dan postnatal(5) Strategi untuk menghentikan pernikahan dini antara lain : 1. Menegakan hukum dan kebijakan terkait Pernikahan Dini secara Lebih Intensif 2. Menyediakan Dana Insentif untuk Program Penundaan Pernikahan
3. Mengimplementasikan Program Community-Based Mobilization 4. Menciptakan Ruang Aman dan Nyaman untuk Pemberdayaan Perempuan 5. Mendukung Pendidikan Tinggi khususnya Bagi Perempuan 6. Menciptakan Lingkungan yang Aman dan Non-eksploitatif di Luar Rumah(5) B. Kehamilan Tidak Diinginkan Pada Remaja (KTD) Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah sebanyak 237,6 juta jiwa, dan 26,67% diantaranya adalah remaja. Besarnya penduduk remaja akan berpengaruh pada pembangunan dari aspek sosial, ekonomi maupun demografi untuk masa kini atau di masa depan. Penduduk remaja (10-24 tahun) perlu mendapat perhatian serius karena remaja termasuk dalam usia sekolah dan usia kerja, mereka sangat berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan reproduksi yaitu perilaku seksual pranikah, Napza dan HIV/AIDS.(8) Banyak remaja mengalami maturitygap yaitu perbedaan kematangan secara fisik dan mental. Perbedaan kematangan ini dapat mendorong remaja untuk melakukan hal-hal yang beresiko. Remaja dianggap sebagai kelompok yang mempunyai risiko secara seksual maupun kesehatan reproduksi, karena rasa keingintahuannya yang besar dan ingin mencoba sesuatu yang baru yang tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup. Kematangan seks yang lebih cepat dan makin lamanya usia untuk menikah menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah remaja yang melakukan hubungan seks pranikah.(9) Kejadian KTD pada remaja dapat mengarah dilakukannyatindakan aborsi. Walaupun aborsi dianggap sebagai tindakan ilegal di Indonesi, namun angka kejadian aborsi mencapai 750.000 sampai 1.000.000kejadian per tahun. Angka tersebut berkisar antara 40
sampai 50% (sebagian besaradalah aborsi yang tidak aman) dilakukan oleh remaja perempuan. Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu di antaranyaterjadi di kalangan remaja.Kehamilan pada usia remaja berdampak pada pertumbuhan yang kurang optimal karena kebutuhan zat gizi pada masa tumbuh kembang remaja sangat dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri, selain itu perkembangan fisik belum sempurna termasuk organ reproduksi. Secara psikologis dan biologis, seseorang matang bereproduksi dan bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga antara usia 20 sampai 30 tahun.Data kehamilan pranikah yang diperoleh dari PILAR PKBI Jawa Tengah sejak tahun 2010 hingga 2013 mengalami penurunan dari tahun 2010 – 2012 dan peningkatan yang tidak signifikan pada tahun 2013. Pada tahun 2010 terdapat 85 kasus KTD, 79 kasus KTD tahun 2011, 61 kasus KTD tahun 2012, dan 64 kasus KTD pada tahun 2013. Sesuai dengan budaya dan pandangan masyarakat timur, kejadian KTD merupakan hal yang memalukan. Terdapat hukuman secara sosial yang diberikan kepada pelaku. Hal ini mengakibatkan banyak kasus KTD yang tidak terlaporkan. Data ini diperoleh dari mereka yang mengunjungi atau menghubungi PKBI. Dari sumber data yang sama, terdapat kejadian aborsi yang terlaporkan pada tahun 2010 yaitu sebanyak 78 kasus aborsi.(10) Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas remaja yang mengalami KTD tinggal serumah dengan keluarganya, dimana 63% hidup bersama keluarga inti dan 27% hidup bersama keluarga yang orangtua tunggal dan 10% lainnya hidup bersama keluarga besar. Sebagian besar responden tidak faham tentang organ reproduksi seperti ovarium, tuba fallopi pada perempuan, dan testis, prostat, serta skrotum pada laki-laki. Untuk mitos dalam berhubungan seksual, masih banyak yang mengaggap bahwa
Prosiding|9
kehamilan dapat dicegah jika melakukan loncat-loncat segera setelah berhubungan seks dan kehamilan tidak akan terjadi saat hubungan seks pertama kali. Remaja yang mengalami KTD rata-rata berpacaran pada usia 10-15 tahun dengan alasan utama adalah perasaan cinta karena pacaran.Sebanyak 69% remaja KTD mulai pacaran pada usia 10-15tahun dan 1-6 kali berpacaran hingga usia 19 tahun. Remaja yang mengalami KTD rata-rata berpacaran di rumah dan di tempat umum seperti di taman bermain. Sebagian besar (82%) respon orangtua terhadap KTD adalah menerima sedangkan 18% lainnya menolak dan meminta untuk dilakukan aborsi. Sebanyak 63% remaja KTD mengakui pernah mengakses pronografi yang dapat meningkatkan dorongan seksual mereka. Hal tersebut menunjukan pengetahuan remaja terkait KTD dan perilaku seksual yang kurang tepat.(11) Sebanyak 75% remaja yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan melakukan hubungan seksual pertama pada usia15-19 tahun. Alasan utama remaja melakukan seks pranikah adalah bukti saling cinta yang berupa aktivitas seksual. Hubungan seks pertama remaja karena mengalami pubertas, kontrol sosial yang terlalu ketat atau terlalu longgar, frekuensi pertemuan dengan pacar, kondisi keluarga yang tidak harmonis, status ekonomi, tekanan teman sebaya, kehilangan kontrol moral dan manifestasi cinta pada pacar.Private disclosure yang dilakukan remaja KTD terhadap kehamilannya dilakukan pada pasangan dan ibunya. Perempuan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)akan segera memberitahukan kehamilannya pada pasangannya akan tetapi membutuhkan waktu 4-5 bulan untuk menceritakan kehamilan pada orangtuanya. Sebagian besar respon orang tua mengetahui kehamilan anaknya adalah marah dan kecewa yang dilampiaskan dengan melakukan kekerasan fisik dan pengusiran dari rumah.
10 | Prosiding
Sebagian kecil orangtua yang anaknya mengalami KTD akan meminta aborsi. Akan tetapi, baik pada orang tua yang menerima maupun menolak, akhirnya bersedia menikahkan putrinya. (11,12) Kehamilan di luar nikah secara budaya dan norma masyarakat Indonesia dinilai sebagai keburukan dan diberikan label sebagai orang yang amoral. Hasil wawancara mendalam diketahui bahwa hal pertama yang dilakukan responden ketika mengetahui dirinya hamil adalah menutupi kehamilannya. Responden tidak mengetahui secara pasti penilaian masyarakat terhadap dirinya, karena responden lebih banyak berada didalam rumah. Hal ini memperlihatkan bahwa responden memiliki rasa ketakutan dan malu untuk berinteraksi dengan masyarakat. Setelah masyarakat mengetahui kehamilan seseorang, biasanya mereka memiliki sikap menerima kehamilan remaja. sanksi sosial yang diberikan oleh masyarakat hanya sebatas pergunjingan diawal saja dan tidak berlangsung lama. Masyarakat tidak mau terlalu banyak ikut campur dalam kehamilan remaja karena menganggap kehamilan tidak diinginkan tersebut merupakan permasalahan keluarga.(12) C. Perilaku Seksual Pada Remaja Seks pranikah bagi masyarakat Indonesia masih dipandang sebagai perbuatan yang tidak bisa diterima, baik secara social maupun budaya. Meskipun saat ini kaum muda cenderung lebih toleran terhadap hal ini. Perilaku seks merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk tingkah laku seksual bisa bermacammacam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Hubungan seksual sebaiknya dilakukan dalam ikatan perkawinan, ini berarti bahwa setelah pasangan resmi menjadi suami istri barulah diadakan hubungan seksual.(13)
Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa remaja, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Masa remaja terdiri dari masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18- 21 tahun.Berdasarkan survei yang dilakukan BKKBN pada tahun 2011 terkait dengan perilaku seksual remaja, 71% remaja mengaku pernah berpacaran. Perilakuseks selama berpacaran yaitu berpegangan tangan 88%, ciuman bibir 32%, meraba/merangsang 11%. Pengalaman melakukan hubungan seksual dilakukanoleh 2% remaja putri dan 5% remaja putra. Tempat melakukan hubungan seksual adalah 34% di rumah. Umur melakukan pertama kali yaitu 17.7 tahununtuk putri dan 18.2 tahun putra. Remaja yang melakukan hubungan seksual tanpakontrasepsi sebanyak 49%, menggunakan kondom 34%, senggama terputus 15% dansisanya menggunakan kontrasepsi lain termasuk kalender. Sebanyak 90% hubungan seksualdilakukan bersama pacar, 6% dengan teman dan 3% dilakukan dengan pelacur.(8) Penelitian di Jawa Tengah menyebutkan bahwa lingkungan di masyarakat Jawa Tengah sekarang ini semakin permisif terhadap seks salah satunya adalah karena faktor paparan internet.(14)Berdasarkan penelitian tentang perilaku seksual remaja di Jawa Tengah diketahui bahwa 48% mahasiswa di Semarang pernah menyentuh organ intimnya, 28% pernah melakukan aktifitas petting, dan 20% pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Terdapat 18% remaja laki-laki dan 6% perempuan di Jawa Tengah yang telah berhubungan seksual. (15) Usia remaja ketika pertama kali mengadakan hubungan seksual aktif bervariasi antara usia 14-23 tahun dan usia terbanyak adalah antara 17-18 tahun. Perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari
perasaan tertarik, berkencan, berpegangan tangan, mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada diatas baju, memegang buah dada dibalik baju, memegang alat kelamin diatas baju, memegang alat kelamin dibawah baju, dan melakukan senggama. Penelitian-penelitian mengenai kaum remaja di Indonesia pada umumnya menyimpulkan bahwa nilai-nilai hidup kaum remaja sedang dalam proses perubahan. Remaja Indonesia dewasa ini nampak lebih bertoleransi terhadap gaya hidup seksual pranikah. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi di Indonesia selama kurun waktu tahun 1993-2012, menemukan bahwa lima sampai sepuluh persen wanita dan delapan belas sampai tiga puluh delapan persen pria muda berusia 16-24 tahun telah melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan yang seusia mereka. (14) Penelitian-penelitian lain di Indonesia juga memperkuat gambaran adanya peningkatan risiko pada perilaku seksual kaum remaja. Temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa 5%-10% pria muda usia 15-24 tahun yang tidak/belum menikah, telah melakukan aktifitas seksual yang berisiko. Selanjutnya hasil dari penelitian mengenai kebutuhan akan layanan kesehatan reproduksi di 12 kota di Indonesia pada tahun 2004, menunjukkan bahwa pemahaman mereka akan seksualitas sangat terbatas. Temuan dari berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa peningkatan aktifitas seksual dikalangan kaum remaja, tidak diiringi dengan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi termasuk HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS) dan alat-alat kontrasepsi.(14) Berdasarkan data dari Infodatin 2012, remaja laki-laki dan perempuan sebagian besar (57%) berdiskusi dengan teman sebaya dan gurunya mengenai pemaslaahan kesehatan reproduksi. Diskusi dengan ibu juga besar
Prosiding|11
proporsinya pada remaja perempuan (42%), akan tetapi kecil pada remaja laki-laki (8%). Sedangkan sumber informasi mengenai kesehatan reproduksi yang disukai oleh remaja laki-laki adalah teman sebaya (33%) dan guru (30%), sedangkan pada remaja perempuan adalah dengan ibu (40%), petugas kesehatan (35%) dan guru (31%). (16) D. Infeksi Menular Seksual dan HIV Secara global, rata-rata hanya 5% lakilaki menikah di usia muda dimana 1 dari 7 perempuan menikah sebelum usia 15 tahun. AIDS merupakan penyebab kematian tertinggi pada anak remaja (10-19 th) di beberapa negara berkembang, dan pembunuh kedua pada anak remaja secara global. Sebanyak 15 juta anak perempuan per tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Tanpa usaha pengurangan, 1,2 milyar perempuan di tahun 2050 telah menikah sejak usia muda setara dengan penduduk total India.(5) Kasus HIV kumulatif di Indonesia pada tahun 2014 berjumlah 150.000 dan kasus AIDS sejumlah 55.799. Berdasarkan kelompok umur, yang paling banyak terkena HIV-AIDS adalah usia 25-49 tahun, khususnya usia 20-24 tahun dan kelompok ibu Rumah Tangga menjadi urutan pertama beresiko HIV. Jumlah kasus HIV pada remaja 15-24 tahun adalah sejumlah 28.060, yang merupakan 3% dari kasus HIV secara total di Indonesia. Penyebab utama HIV pada remaja adalah hubungan seks tidak aman dan penggunaan jarum tidak steril pada pengguna narkoba suntik. (17) Efek HIV pada remaja perempuan dan wanita dewasa : - Pada 2015, lebih dari 7.500 wanita muda (15-24 tahun) menderita HIV per minggu - Kasus HIV baru pada remaja wanita dan wanita muda mencapai 19% dari keseluruhan kasus HIV baru secara global
12 | Prosiding
-
Dari keseluruhan kasus HIV baru pada usia remaja (10-24 tahun), dua per tiga kasus terjadi pada perempuan. Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia adalah masih tingginya stigmadan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).Stigma berasal dari pikiran seorang individuatau masyarakat yang mempercayai bahwa penyakit AIDS merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapatditerima oleh masyarakat. Stigma terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, menolak, perasaan ketakutan yangberlebihan, dan perasaan negatif terhadap ODHA.Banyak yang beranggapan bahwa orang yang terinfeksiHIV/AIDS layak mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penularan HIV/AIDS.(18) Dalam kasus HIV/AIDS, mayoritas perempuan akan lebih rentan terkena dan berdampak lebih besar adalah karena : 1. Perempuan secara biologis lebih rentan karena struktur vagina yang lebih luas dan bila belum matang secara fisik dapat mudah ditularkan 2. Ketidakseimbangan gender menyebabkan ketidakmampuan bernegosiasi untuk melakukan seks aman 3. Perempuan yang menikah dini biasanya suaminya lebih tua dan berpengalaman seks aktif yang rentan HIV 4. Kekerasan berdasarkan gender, termasuk kekerasan seksual 5. Keterbatasan akses pelayanan (14) kesehatan dan pendidikan
Kesimpulan Angka pernikahan di bawah usia 18 tahun di Indonesia masih tinggi dikarenakan
oleh beberapa faktor diantaranya adalah kemiskinan, keterbatasan ekonomi dan ketimpangan gender serta agama dan tradisi. Pernikahan di usiamuda banyak terjadi pada masa pubertas, sehinggamenyebabkan remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual yang tidak sehat. Pernikahan dini di lingkungan remaja cenderung berdampak negatif untuk kesehatan fisik dan psikis, sosial ekonomi, dan mental/psikologis, terutama bagi kesehatan reproduksi remaja tersebut. Dampak pernikahan dini bagi remaja lebih banyak diderita oleh remaja perempuan. Dampak pernikahan dini antara lain adalah kehamilan dini, infeksi menular seksual dan HIV/AIDS serta gangguan selama kehamilan yang dapat meningkatkan angka kematian dan kesakitan ibu. Kehamilan Tidak Diinginkan dapat merupakan salah satu faktor penyebab pernikahan dini dan sebagai salah satu resiko dari pernikahan di usia dini dan kecenderungannya mengalami kenaikan. Kehamilan Tidak Diinginkan dapat terjadi pada pasangan yang menikah dini sementara pasangan tersebut belum siap mempunyai anak, atau pada remaja yang belum menikah tapi telah melakukan hubungan seksual pra-nikah. Perilaku seksual pada remaja saat pacaran cenderung juga semakin banyak yang melakukan seksual intercourse yang dapat menjadikan terjadinya kehamilan. Penelitianpenelitian terbaru mengenai kaum remaja di Indonesia pada umumnya menyimpulkan bahwa remaja Indonesia dewasa ini nampak lebih bertoleransi terhadap gaya hidup seksual pranikah. Tingginya kejadian pernikahan dini pada remaja akibat KTD, rentan terhadap penyakit infeksi menular seksual dan HIV/AIDS menjadi tantangan untuk ditanggulangi. HIV/AIDS dapat terjadi karena faktor usia pernikahan, faktor akses kesehatan dan faktor sosial dimana perempuan cenderung lebih beresiko dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan bagi
para remaja sebagai generasi penerus yang sehat dan kuat dalam mencegah kejadian yang dapat mempengaruhi penurunan kesehatan mereka.
KEPUSTAKAAN 1.
2.
3. 4. 5.
6.
7. 8. 9. 10. 11.
12.
WPF Indonesia R. Advocacy Toolkit for Family Planning Issues in Indonesia. 2015. Fadhayana E, Larasaty S. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Sari Pediatri. 2009;Vol 11 No. 2 UNICEF. Child Marriage. 2014. KemenkesRI. Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas. 2013 Irne Desiyanti. Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado. JIKMU. 2015;Vol 5 No 2. Widyasari DA, Shaluhiyah Z, Widjanarko B. Adolescents in Peril : Internet and Other Factors Influencing Adolescent’s Sexual Attitudes. Jurnal Kesehatan Reproduksi. 2008 Burhani. Nikah Usia Muda Penyebab Kanker Serviks. 2013; BKKBN. Kajian Profil Penduduk Remaja 10-24 tahun. 2011. Jackson S. Handbook of adolescent development. 2006; PKBI. Laporan Info Kasus Tahun 20102013. 2013. Novelira A. Karakteristik Personal dan Lingkungan Pada Remaja yang Mengalami Kehamilan Pranikah di Kabupaten Demak. Jurnal Promosi Kesehatan. 2016; Aprianti. Respon Remaja dan Orang Tua Pada Remaja KTD Di Kabupaten Pati. Jurnal Promosi Kesehatan. 2017;
Prosiding|13
13.
14.
15.
Mustofa SB, Winarti P. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Mahasiswa di Pekalongan Tahun 20092010. Jurnal Kesehatan Reproduksi. 2010;33–41. Suryoputro A, Ford NJ, Shaluhiyah Z. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah : Implikasinya terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Jurnal Makara Kesehatan. 2006;Vol 10 No.1 Shaluhiyah Z. Sexual Lifestyle and Interpersonal Relationship of University
14 | Prosiding
16. 17.
18.
Student in Central Java and their implication for Sexual and Reproductive Health. Doctor of Philosophy Universitas Exeter. 2006; Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2012. Kemenkes. Laporan Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan III. 2014. Shaluhiyah Z. Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2015;Vol 9 No 4.
NARASUMBER II Program Pencegahan Perkawinan Anak Elisabet S.A. Widyastuti, S.KM, M.Kes PKBI Daerah Jawa Tengah
Prosiding|15
16 | Prosiding
Prosiding|17
18 | Prosiding
Prosiding|19
20 | Prosiding
Prosiding|21
22 | Prosiding
Prosiding|23
24 | Prosiding
Prosiding|25
26 | Prosiding
Prosiding|27
28 | Prosiding
Prosiding|29
30 | Prosiding
NARASUMBER III Epidemiologi HIV - AIDS Auly Tarmali, SKM, M.Kes Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo
Prosiding|31
32 | Prosiding
Prosiding|33
34 | Prosiding
Prosiding|35
36 | Prosiding
PENGARUH STIMULASI ALAT PERMAINAN EDUKATIF TERHADAP ASPEK PERKEMBANGAN ANAK PRASEKOLAH DI TK PERTIWI BOYOLALI Dyah Ayu Wulandari1), Indri Yuana2) DIV Bidan Pendidik, STIKes Karya Husada Semarang email:
[email protected] 2 DIV Bidan Pendidik, STIKes Karya Husada Semarang email:
[email protected]
1
Abstrak Latar belakang : Penurunan angka mortalitas pada balita rata-rata masih rendah, hal ini terlihat dari data statistik kegiatan tahunan UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund), angka mortalitas rata-rata balita hanya mengalami penurunan sebesar 1,1 % dengan jumlah balita tinggi. Sebaliknya di negara dengan jumlah balita rendah mengalami penurunan angka mortalitas sebesar 4,7 %. Diperkirakan lebih dari 200 juta anak balita di negara berkembang gagal mencapai potensi perkembangan optimalnya karena masalah kemiskinan, malnutrisi, atau lingkungan yang tidak mendukung, sehingga mempengaruhi perkembangan kognitif, motorik, emosi, dan sosial anak. Tujuan penelitian : Mengetahui pengaruh pemberian stimulasi Alat Permainan Edukatif (APE) terhadap aspek pekembangan anak Prasekolah (Usia 3-5 Tahun) di Taman Kanak-kanak Pertiwi Dusun Banaran Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali. Metode penelitian : Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif yang menggunakan metode quasi eksperiment dengan menggunakan rancangan one group pretest posttest terdiri dari 2 variabel. Hasil Penelitian : di dapatkan p-Value= 0,000 < a (0.05), maka Ho ditolak dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan stimulasi alat permainan edukatif. Simpulan : Ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberian Stimulasi Alat Permainan Edukatif Terhadap Aspek Perkembangan Anak Prasekolah Saran : Bagi orang tua yang memiliki anak prasekolah usia 3-5 tahun agar dapat memantau aspek perkembangan dan dapat memberikan stimulasi anak secara dini dengan bermain atau memberikan permainan edukatif pada anaknya agar tidak terjadi keterlambatan dalam perkembangan. Kata kunci: Stimulasi, Alat Permainan Edukatif, Aspek perkembangan Anak prasekolah.
1. PENDAHULUAN Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Upaya pembangunan manusia seutuhnya harus di mulai sedini mungkin, yaitu sejak manusia itu masih berada dalam kandungan dan semasa balita (Depkes RI, 2010). Setiap anak adalah individu yang unik, karena faktor bawaan dan lingkungan yang berbeda, maka pertumbuhan dan pencapaian kemampuan perkembangannya juga berbeda tetapi tetap akan menuruti patokan umum. Diperkirakan lebih dari 200 juta anak balita di negara berkembang gagal mencapai potensi perkembangan optimalnya karena masalah kemiskinan, malnutrisi, atau lingkungan yang tidak mendukung, sehingga mempengaruhi
perkembangan kognitif, motorik, emosi, dan sosial anak. Menurut Soetdjiningsih (2012), perkembangan merupakan periode penting dalam kehidupan anak khususnya setelah melewati masa perkembangan sangat pesat pada usia tiga tahun. Usia tiga tahun merupakan batas telah melewati perkembangan sangat cepat atau sering disebut masa kritis perkembangan. Setelah masa ini perkembangan akan berlangsung secara kontinyu, maka perlu dilakukan deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan seorang anak usia tiga tahun agar cepat terdeteksi gangguan perkembangannya untuk landasan perkembangan selanjutnya. Anak prasekolah merupakan anak yang berumur 36-72 bulan, pada masa ini anak akan
Prosiding |37
mempersiapkan untuk sekolah, di mana panca indra dan sistim reseptor penerima rangsangan serta proses memori harus sudah siap sehingga anak mampu belajar dengan baik, proses belajar pada masa kini adalah dengan cara bermain. Ahli neurologi menyatakan bahwa pada saat lahir otak bayi mengandung 100 sampai 200 milyar neuron yang siap di lakukan sambungan antar sel. Sekitar 80% kapasitas kecerdasan terjadi ketika usia 4 tahun dan 50% tejadi ketika usia 8 tahun. Apabila pada periode tesebut otak tidak mendapatkan rangsangan maksimal, maka potensi otak anak tidak akan berkembang secara optimal (Soetdjingsih, 2012). Penurunan angka mortalitas pada balita ratarata masih rendah, hal ini terlihat dari data statistik kegiatan tahunan UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund), angka mortalitas rata-rata balita hanya mengalami penurunan sebesar 1,1 % dengan jumlah balita tinggi. Sebaliknya di negara dengan jumlah balita rendah mengalami penurunan angka mortalitas sebesar 4,7 %. Kecenderungan dalam indeks kesehatan merupakan penyebab timbulnya optimisme dan pesimisme (Soetjiningsih, 2012). Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2013 mengatakanSecara garis besar, ranah perkembangan anak terdiri atas motor kasar, motor halus, bahasa / bicara, dan personal sosial / kemandirian. Sekitar 5 hingga 10% anak diperkirakan mengalami keterlambatan perkembangan. Data angka kejadian keterlambatan perkembangan umum belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar 1-3% anak di bawah usia 6 tahun mengalami keterlambatan perkembangan umum. Pada tahun 2010 sekitar 35,4% anak balita di Indonesia menderita penyimpangan perkembangan seperti penyimpangan dalam motorik kasar, motorik halus, serta penyimpangan mental emosional. Pada tahun 2011 berdasarkan pemantauan status tumbuh kembang balita, prevalensi tumbuh kembang turun menjadi 23,1%. Hal ini disebabkan karena Indonesia mengalami kemajuan dalam program edukasi (UNICEF, 2011). Kecerdasan pada setiap anak tidak sama perkembangannya, ada anak yang memiliki kepintaran di salah satu kecerdasan tetapi kurang pada kecerdasan yang lain. Mungkin saja seorang 38 | Prosiding
anak bagus dalam memecahkan masalah tapi di sisi lain ia kurang dalam berbahasa, seperti gagap atau mengalami keterlambatan bahasa lainnya. Penyebabnya beragam, antara lain kebiasaan dalam lingkungan tumbuh kembang anak terutama di rumah. Anak yang kurang di ajak berbicara dan kurang mendapatkan stimulus dalam hal berbicara akan mengakibatkan kurang dalam kemampuan berbahasa (Adriana, 2011). Stimulus tumbuh kembang anak dapat di lakukan dengan cara memberikan permainan atau bermain, mengingat dengan bermain anak akan belajar dari kehidupannya. Ketika anak telah memasuki masa bermain atau disebut juga sebagai masa toddler, maka anak selalu membutuhkan kesenangan pada dirinya (Hidayat, 2011). Salah satu stimulus yang dapat diberikan adalah dengan bermain menggunakan alat permainan edukatif (APE), yaitu jenis permainan yang mengandung nilai pendidikan yang berfungsi untuk meangsang daya imajinasi anak dalam proses perkembangan kongnitif, perkembangan motorik kasar, motorik halus, kemampuan bicara dan bahas serta kemampuan sosialisasi dan kemandirian (Soetdjiningsih, 2009). Dari pengambilan data yang di lakukan dengan kepala TK pertiwi Dusun Banaran Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali pada tanggal 14 Januari 2014, didapatkan data anak pra sekolah usia 3-5 tahun sejumlah 34 anak dimana usia 3 tahun 3 orang, usia 4 tahun 15 orang, dan usia 5 tahun 15 orang. Kepala TK tersebut juga mengatakan bahwa ada anak yang masih pasif seperti tidak mau bermain, ngobrol dengan teman sebaya dan hanya mau dengan orang tuanya, kurang bergaul dengan usia anak sebaya dan juga mengatakan kurang lengkapnya alat permainan yang menunjang dan dapat menstimulasi perkembangan anak secara optimal. Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada 8 orang anak (usia 3-5 tahun), usia 3 tahun 1 orang, usia 4 tahun 3 orang dn usia 4 tahun ada 4 orang, didapatkan 5 anak dari jumlah tersebut mengalami ketelambatan yaitu pada anak usia 3 tahun mendapatkan nilai meragukan 1 orang yaitu pada poin (belum dapat mengenakan sepatunya sendiri dan belum bisa memakai baju dan celana sendiri), pada anak usia 4 tahun ada 2 anak yang mengalami keterlambatan
yaitu mendapatkan nilai meragukan 1 anak yaitu pada poin tidak dapat berdiri dengan 1 kaki tanpa berpegangan dan tidak dapat menyusun kubus tanpa jatuh. Yang mendapatkan nilai kurang ada 1 orang yaitu pada poin bicara bahasa (tidak bisa menyebutkan nama lengkapnya) poin gerak kasar (tidak dapat bediri dengan satu kaki tanpa pegangan serta tidak dapat menjawab pertanyaan dari peneliti), pada anak usia 5 tahun diperoleh 2 orang anak yang mendapatkan nilai meragukan yaitu tidak dapat melakukan pada poin (melompat dengan satu kaki beberapa kali dan tidak dapat menangkap bola kecil sbesar bola kasti menggunakan kedua tangan). Dari pernyataan tersebut memperkuat peneliti untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Stimulasi Alat Permainan Edukatif (APE) Tehadap Aspek Perkembangan Pada Anak Pra-Sekolah Usia 3-5 Tahun Di Taman Kanak-kanak Pertiwi di Dusun Banaran Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali. Tujuan Penelitian: Mengetahui pengaruh pemberian stimulasi Alat Permainan Edukatif (APE) terhadap aspek perkembangan anak Prasekolah (Usia 3-5 Tahun) di Taman Kanakkanak Pertiwi Dusun Banaran Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali. 2. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif yang menggunakan metode quasi eksperiment yaitu eksperimen ini belum atau tidak memiliki ciri-ciri rancangan eksperimen sebenarnya, karena variabel-variabel yang seharusnya dikontrol atau dimanipulasi tidak dapat atau sulit dilakukan (Notoatmojo, 2012). Penelitian ini menggunakan rancangan one group pretest posttest yaitu dimana peneliti sudah melakukan observasi pertama (Pretest) sehingga peneliti dapat menguji/mengevaluasi yang kedua (Posttest) untuk perubahan yang terjadi setelah adanya perlakuan (Riyanto, 2011). Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terlebih dahulu, setelah itu diberikan perlakuan alat permainan edukatif dalam jangka satu minggu kemudian dilakukan pengukuran untuk kedua kalinya.
Populasi Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak Prasekolah yang Ada di TK Pertiwi Dusun Banaran yang berusia 3 tahun sampai 5 tahun. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 34 anak. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di Taman Kanakkanak Pertiwi dukuh Banaran Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali. Penelitian ini dilakukan tanggal 16 Agustus 2014 sampai tanggal 25 Agustus 2014. Sampel dalam penelitian ini adalah anak prasekolah usia 3-5 tahun di Taman Kanakkanak Pertiwi Dukuh Banaran Kecmatan Andong Kabupaten Boyolali sejumlah 34 anak. Gambaran tiap variabel Aspek perkembangan anak prasekolah usia 3-5 tahun sebelum dan sesudah diberikan perlakuan Stimulasi Alat Permainan Edukatif (APE) di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014 Tabel 1. Aspek perkembangan anak prasekolah usia 3-5 tahun sebelum dan sesudah diberikan perlakuan stimulasi APE di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa sampel yang digunakan adalah 34 responden. Aspek perkembangan anak prasekolah sebelum diberikan stimulasi alat permainan edukatif di dapatkan skor terendah atau dapat mencapai pertanyaan dan perlakuan sesuai minimal 17 item dan skor tertinggi 37 item, didapatkan nilai mean 26,65 dengan standar deviasi 5,274. Aspek perkembangan anak prasekolah sesudah diberikan stimulasi alat permainan edukatif di dapatkan skor terendah atau dapat mencapai pertanyaan dan perlakuan sesuai minimal 20 item dan skor tertinggi 39 item, didapatkan nilai mean 28,56 dengan standar deviasi 5,428.
Prosiding |39
Pengaruh Pemberian Stimulasi Alat Permainan Edukatif tehadap Aspek Perkembangan Anak Prasekolah Usia 3-5 di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014 Untuk mengetahui ada tidaknya Pengaruh Pemberian Stimulasi Alat Permainan Edukatif tehadap Aspek Perkembangan Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun. Tabel 2. Hasil uji paired t test sebelum dan sesudah perlakuan stimulasi Alat Permainan Edukatif (APE) di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014
Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat nilai mean perbedaan antara aspek perkembangan anak prasekolah usia 3-5 tahun sebelum dan sesudah perlakuan adalah -1,912 dengan standar deviasi 1,164. Hasil uji statistik didapatkan p-value = 0,0001 < = 0,05 maka Ho ditolak dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan stimulasi Alat Permainan Edukatif (APE) terhaadap aspek perkembangan anak prasekolah usia 3-5 tahun di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014 Pembahasan Analisis Univariat Aspek perkembangan anak prasekolah usia 3-5 tahun sebelum diberikan perlakuan alat permainan edukatif (APE) di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014 Berdasarkan hasil penelitian dari 34 responden didapatkan aspek perkembangan anak prasekolah sebelum diberikan stimulasi alat permainan edukatif di dapatkan nilai mean 26,65, atau dapat diketahui dengan kriteria Abnormal berjumlah 5 orang, Meragukan berjumlah 28 orang dan kategori normal berjumlah 1 orang. Menurut peneliti hasil Aspek perkembangan anak prasekolah sebelum diberikan stimulasi alat permainan edukatif berkategori meragukan karena pada anak prasekolah tersebut sebelumnya belum pernah mendapatkan stimulasi yang cukup baik
40 | Prosiding
dari TK Pertiwi Boyolali maupun dari orang tua. Hal ini sesuai dengan Notoatmojo (2007), yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain berupa tingkat pendidikan, informasi, budaya, pengalaman, dan sosial ekonomi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah informasi baik informasi dari media maupun pendidikan atau penyuluhan. Di TK Pertiwi Boyolali tersebut, tidak menyediakan alat permainan edukatif yang lengkap, jadi anak bermain apa adanya yang mereka tidak mengetahui adakah nilai untuk mempengaruhi perkembangannya, oleh karena itu stimulasi ke anak menjadi kurang baik yang berkategori meragukan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lucki Permana (2005) yang menyatakan bahwa ada perbedaan aspek perkembangan pada kelompok yang diberikan stimulasi Alat permainan edukatif dengan kelompok yang tidak diberikan stimulasi alat permainan edukatif.Oleh karena itu belajar merupakan suatu kegiatan yang baru yang kemudian dicamkan, dimasukan dalam fungsi ingatan oleh individu itu ditampilkan kembali dalam kegiatan kemudian.Pengetahuan seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut. Aspek perkembangan anak prasekolah usia 3-5 tahun sesudah diberikan perlakuan alat permainan edukatif (APE) di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014 Setelah diberikan stimulasi bermain alat permainan edukatif dapat diketahui bahwa sampel yang digunakan adalah 34 responden. Aspek perkembangan anak prasekolah sesudah diberikan stimulasi alat permainan edukatif di dapatkan skore terendah atau dapat mencapai pertanyaan dan perlakuan sesuai minimal 20 item dan skore tertinggi 39 item, didapatkan nilai mean 28,56 atau dapat diketahui bahwa sesudah diberikan stimulasi alat permainan edukatif, aspek perkembangan anak berkriteria Meragukan sebanyak 9 anak, abnormal 1 anak dan normal sebanyak 24 anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 68% responden memiliki perkembangan yang normal, akan tetapi masih ada yang memiliki perkembangan Meragukan. Bervariasinya aspek
perkembangan responden dapat disebabkan salah satunya yaitu stimulasi yang didapat baik dalam lingkungan maupun di luar lingkungan. Seperti pepatah mengatakan bermain adalah cara untuk mendapatkan ilmu, hal ini sesuai dengan teori Soetdjiningsih (2012) yaitu perkembangan kognitif dapat dirangsang melalui permainan, hal ini dapat terlihat pada saat anak bermain. Anak akan dapat berkomunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami objek permainan, seperti dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan dan kenyataan, mampu belajar warna dan berbagai manfaat benda yang di gunakan dalam permainan. Perkembangan anak prasekolah tergantung dari stimulasi yang didapat dalam lingkungan dan kehidupannya. Mereka bermain tanpa mengetahui manfaat yang didapat atau ilmu yang didapat untuk merangsang perkembangannya. Begitu juga dengan para orang tua, mereka memberikan bermacam permainnan terhadap anaknya tanpa mengaetahui manfaat yang di dapat. Stimulasi tersebut bisa diperoleh melalui alat permainan edukatif yang diberikan oleh peneliti pada saat disekolah dengan demikian para guru dan para orang tua dapat mengetahui stimulasi untuk merangsang perkembangan anaknya. Setelah peneliti memberikan alat permainan edukatif serta mengajak anak-anak bermain dengan tipe kesenangannya di TK Pertiwi Boyolali tersebut terdapat nilai positif atau perubahan perkembangan yang terjadi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sofia Sundari (2012) yang menunjukkan hasil bahwa dengan diberikannya stimulasi alat permainan edukatif dapat memberikan perubahan yang signifikan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa setelah mengikuti bermain dengan alat edukatif aspek perkembangan meningkat sehingga hal ini mendorong para orang tua atau guru untuk mencegah terjadinya keterlambatan pada anak.. Hal ini sesuai dengan teori Hidayat (2009) yaitu bermain merupakan suatu aktivitas di mana anak dapat melakukan atau mempraktikan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif serta mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa.
Analisa Bivariat Pengaruh Pemberian Stimulasi Alat Permainan Edukatif tehadap Aspek Perkembangan Anak Prasekolah Usia 3-5 Tahun di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014. Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan stimulasi Alat Permainan Edukatif terhadap aspek perkembangan anak prasekolah usia 3-5 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan aspek perkembangan anak prasekolah usia 3-5 tahun yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan stimulasi alat permainan edukatif, dimana aspek perkembangan anak prasekolah setelah sesudah diberikan stimulasi alat permainan edukatif berkategori Normal. Terjadinya perubahan perkembangan tersebut karena stimulasi alat permainan edukatif sangat efektif untuk merangsang perkembangan anak, karena pada umumnya anak seusia tersebut masih dalam tahapan bermain. Alat permainan edukatif (APE) adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya dan tingkat perkembangannya (Soetdjiningsih, 2012). Aspek perkembangan kongnitif, perkembangan ini dapat di stimulasi menggunakan alat permainan edukatif (buku bergambar, buku cerita, pensil warna, radio, boneka, puzzle, dan lainnya). Aspek perkembangan fisik (Motorik Kasar dan motorik halus), perkembangan ini dapat di stimulasi menggunakan alat permainan edukatif motorik kasar (sepeda roda tiga, mainan yang ditarik dan didorong, tali lompatan), motorik halus (gunting, pensil, bola, balok, lilin dan lainnya).Aspek perkembangan bahasa, perkembangan ini dapat di stimulasi menggunakan alat permainan edukatif seperti (buku bergambar, buku cerita, radio, televisidan lainnya). Aspek perkembangan emosi dan sosial, perkembangan ini dapat di stimulasi menggunakan alat permainan edukatif seperti (alat permainan yang dapat di pakai bersama misalnya congklak, kotak, pasir, bola, tali dan lainnya). Di TK Pertiwi Boyolali tersebut pada umumnya anak-anaknya kreatif, hanya saja kurang stimulasi dari orang tua, lingkungan, tempat Prosiding |41
sekolah untuk menonjolkan prkembangan yang sesuai dengan usianya, setelah diberian stimulasi alat permainan edukatif oleh peneliti akhirnya ada nilai perubahan yang diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan bermain alat permainan edukatif dapat merangsang aspek perkembangan anak prasekolah sesuai dengan usianya. Hal ini sesuai dengan pendapat Padmonodewo (2008) yang menyatakan bahwa bermain di sekolah dapat membantu perkembangan anak apabila guru cukup memberikan waktu, ruang, materi dan kegiatan bermain bagi murid-muridnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lucki Permana (2005) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan aspek perkembangan pada kelompok yang diberikan stimulasi alat permainan edukatif dengan kelompok yang tidak diberikanstimulasi alat permainan edukatif. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan dan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Di sini dapat kita lihat bahwa aspek perkembangan anak balita antara sebelum dan sesudah diberikan stimulasi bermain alat permainan edukatif memiliki perubahan perkembangan yang berbeda. Tingkat aspek perkembangan anak prasekolah sebelum diberikan stimulasi bermain alat permainan edukatif 70% adalah Meragukan, sedangkan sesudah diberikan stimulasi bermain alat permainan edukatif aspek perkembangan anak prasekolah 68% adalah Normal. Hal ini dikarenakan mereka bisa menerima permainan yang diberikan oleh peneliti tersebut berupa Bermain dengan alat permainan edukatif. 4. KESIMPULAN Simpulan Ada pengaruh yang signifikan antara pemberian Stimulasi Alat Permainan Edukatif (APE)
42 | Prosiding
Terhadap Aspek Perkembangan Anak Prasekolah di TK Pertiwi Boyolali Tahun 2014. Saran Bagi orang tua yang memiliki anak prasekolah usia 3-5 tahun agar dapat memantau aspek perkembangan dan dapat menstimulasi anak secara dini dengan bermain atau memberikan permainan edukatif pada anaknya agar tidak terjadi keterlambatan dalam perkembangan. Bagi Guru TK diharapkan dapat mengadakan kegiatan screening terhadap anak didik agar dapat mendeteksi secara dini keterlambatan yang dialami oleh anak prasekolah tersebut agar dapat segera di tangani oleh tenaga kesehatan yang terdekat REFERENSI Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, Saifudin. 2011. Metode Penelitian.Yogyakarta : Pustaka Belajar. Notoatmojo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmojo. 2012. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Riwidikdo, Handoko. 2009. Statistik Kesehatan. Jogjakarta: Mitra Cendikia. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2011. Statistik Non Parametris.Bandung : Alfabeta. Suyanto & Salamah, Ummi. 2009. Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi. Jogjakarta: Mitra cendikia. Padmonodewo, Soemiarti. 2008. Pendidikan anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Soetdjiningsih. 2012. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta; EGC. Sulistyawati, Ari. 2014. Deteksi tumbuh kembang anak. Jakarta:salemba medika Riyanto, Agus. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA DENGAN PERILAKU TENTANG SEKSUAL PRANIKAH Dewi Mayangsari1), Meriyanti Herina Negara2) Program Studi D IV Bidan Pendidik, STIKes Karya Husada Semarang Email :
[email protected] Program Studi D IV Bidan Pendidik, STIKes Karya Husada Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK Perilaku Seks pranikah merupakan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan sebelum mereka di ikat oleh tali perkawinan.Macam kegiatanseks pranikah pada remaja antara lain : berpegangan tangan, berpelukan, ciumkering, ciumbasah, meraba, petting, oral seksual,Intercourse. Kejadian seks pranikah pada mahasiswi D III Kebidanan STIKes X SEMARANG ditemukan kasus kehamilan pranikah 8 mahasiswi pada tahun 2008 sampai dengan 2009. Jaman sekarang ini, banyak sekali remaja yang melakukan kenakalan-kenakalan seperti yang sering terjadi. Kenakalan remaja tersebut merupakan bentuk penyimpangan dari perilaku remaja yang dapat melanggar norma maupun hukum. Kenakalan remaja tersebut dapat berupa menggunakan narkoba, tawuran antar pelajar atau bahkan yang paling parah adalah seks bebas yang dilakukan di luar nikah.Tujuan penelitian : untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap remaja dengan perilaku tentang seks pranikah pada mahasiswa D III Kebidanan STIKes X Semarang.Metode penelitian : pendekatan crosss sectional dan menggunakan Stratified RandomSample. Populasinya adalah mahasiswi D III Kebidanan STIKesX Semarang dengan sampel 89 responden. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner.Hasil penelitian : untuk pengetahuan dengan perilaku menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan remaja dengan perilaku tentang seks pranikah pada mahasiswi Kebidanan STIKesX Semarang. Sedangkan untuk sikap dengan perilaku menunjukan ada hubungan antara sikap remaja dan perilaku tentang seks pranikah pada mahasiswi Kebidanan STIKes X Semarang. Kata kunci: Pengetahuan, Sikap Remaja, Perilaku Seksual Pranikah
1.
PENDAHULUAN Remaja adalah masa transisi dari anak ke dewasa (Sarwono,2011). Remaja sebagai salah satu komponen generasi muda akan mempunyai peran yang sangat besar dan menentukan masa depan bangsa (Soelaryo,2002). Penduduk remaja adalah bagian dari penduduk dunia yang berskala kecil namun memiliki sumbangan teramat besar bagi perkembangan masa depan dunia. Penduduk dunia saat ini berjumlah 6,3 miliar jiwa, memiliki jumlah penduduk remaja lebih dari satu miliar. Dalam perkembangan jumlah penduduk ke depan yang diperkirakan pada tahun 2020 nanti mencapai 7,5 miliar dengan kepadatan penduduk 80% berlokasi di negara-negara berkembang, memiliki jumlah remaja yang lost generation. Saat ini, sekitar satu miliar penduduk usia remaja memasuki perilaku reproduksi dan seksual yang dapat membahayakan atau justru mengancam kehidupannya (Gemari, 2011). 2) Kurangnya
pendidikan untuk anak dan remaja, 3) Ketidak setaraan gender serta belum terpenuhinya hak-hak perempuan dan remaja. 4) Kematian bayi 5) Kurangnya tingkat kesehatan ibu, 6) Permasalahan HIV/AIDS dan infeksi lainnya, 7) Permasalahan lingkungan, 8) Kemitraan global (Pusat Studi Kependudukan dan kebijakan UGM,2010). Youth International Day 2007 sebagai Sebuah Momentum Remaja, tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Remaja Internasional berdasarkan rekomendasi World Conference of Ministers Responsible for Youth yang diselenggarakan di Lisbon pada tahun 1999. Sejak tahun 2000 dan seterusnya hari Remaja Internasional ini mulai dipromosikan sebagai sebuah momentum penting bagi remaja terutama untuk peluang menggiatkan dan melibatkan remaja dalam upaya mengentaskan berbagai permasalahan di dunia, karena sudah sewajarnya apa yang ingin dicapai dalam MDG’s pada tahun 2015 Prosiding | 43
perlu disosialisasikan dan dihadapi bersamasama termasuk oleh remaja di dalamnya (Okanegara,R., 2010). Jaman sekarang ini, banyak sekali remaja yang melakukan kenakalan-kenakalan seperti yang sering tejadi. Kenakalan remaja tersebut merupakan bentuk penyimpangan dari perilaku remaja yang dapat melanggar norma maupun hukum. Kenakalan remaja tersebut dapat berupa menggunakan narkoba, tawuran antar pelajar atau bahkan yang paling parah adalah seks bebas yang dilakukan di luar nikah. Kenakalan remaja seperti ini terjadi karena faktor eksternal dan internal(Martono, 2011). Data WHO setiap tahunnya, 15 juta remaja puteri mengalami kehamilan dan 60 persen diantaranya berusaha untuk aborsi (Widjaya, Nugraheni,2015). Menurut Dr.Ferryal Loetan, Asc & SPRM,M.Kes.MMR, diIndonesia sejak tahun 1990-an perilaku seks remaja sudah mulai meningkat. Beberapa hasil penelitian tahun 1994-1995 tentang perilaku seks remaja menunjukkan sudah condong kearah yang kurang baik dan memprihatinkan sekali (Cindi comp, 2011). Sebagai bangsa terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki SDM remaja berusia 10-24 tahun sejumlah sekitar 65 juta jiwa. Menurut survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dari 33 provinsi sepanjang 2008, jumlah remaja usia sekolah di negeri ini yang pernah melakukan seks pranikah mencapai 63%. Berdasarkan survei atas perilaku seks 2011 yang dilakukan DKT Indonesia di lima kota besar di Indonesia, sebanyak 69,6% mengaku telah berhubungan seks dan 31% diantaranya adalah merupakan mahasiswa, yang cukup mengkhawatirkan adalah 6% mereka mengaku telah berhubungan seks saat berada di bangku SMP/SMA (Metrotv news com, 2011). Dari survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah 2004 di Semarang mengungkapkan bahwa dengan pertayaanpertanyaan tentang proses terjadinya bayi, Keluarga Berencana, cara-cara pencegahan HIV/AIDS, anemia, cara-cara merawat organ reproduksi, dan pengetahuan fungsi organ reproduksi,diperolehinformasibahwa43,22% Prosiding | 44
pengetahuannya rendah, 37,28% pengetahuan cukup sedangkan 19,50% pengetahuan memadai. Data yang diperoleh dari Pusat Informasi dan Layanan Remaja (PILAR) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) telah tercatat sebanyak 503 remaja yang melakukan hubungan seks pranikah, 147 remaja putri yang mengalami hamil pranikah, 123 remaja yang mengalami infeksi menular seksual, 75 remaja yang mengalami kelainan fungsi seksual, dan 67 remaja putri yang melakukan aborsi. Di sisi lain, perilaku remaja yang berpacaran juga tergambar dari survei yang juga dilakukan oleh Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah saling ngobrol 100%, berpegangan tangan 93,3%, mencium pipi /kening 84,6%, berciuman bibir60,9%, mencium leher 36,1% saling meraba (payudara dan kelamin) 25%, dan melakukan hubungan seks 7,6%.Khusus untuk yang melakukan hubungan seks, pasangannya adalah pacar 78,4%, teman 10,3% dan pekerja seks 9,3%. Alasan mereka melakukan hubungan seks adalah coba-coba 15,5%, sebagai ungkapan rasa cinta 43,3%, kebutuhan biologis 29,9%. Sedangkan tempat untuk melakukan hubungan seks adalah rumah sendiri/pacar 30%, tempat kos /kontrak 32%, hotel 28%, dan lainnya 9% (PKBI, 2011). Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, pada tahun 2008 -2010 di STIKesX Semarang jumlah mahasiswa yang dikeluarkan karena hamil sebanyak 8 mahasiswa, yaitu pada tahun 2008 sebanyak 5 mahasiswa, tahun 2009 sebanyak 2 mahasiswa, dan pada tahun 2010 sebanyak 1 mahasiswa yang dikeluarkan. Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap remaja dengan perilaku tentang seksual pranikah 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang hubungan antara duaatau lebih variabel penelitian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah pendekatan secara potong lintang
(cross sectional) yang dilakukan sesaat atau satu waktu (Notoatmodjo, 2010), yaitu variabel independent meliputi pengetahuan dan sikap remaja dan variabel dependent perilaku seksual pra nikah. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan 2 variabel yaitu: Tingkat pengetahuan dan sikap remaja sebagai variabel independen, dan perilaku tentang seksual pranikah sebagai variabel dependen. Populasi Dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa D III Kebidanan tingkat I kelas regular STIKes X Semarang dengan jumlah 115 mahasiswi. Sampel adalah Mahasiswa D III Kebidanan STIKes X Semarang Tingkat I kelas regular,yang mempunyai kriteria inkulsi dan eklusi. Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan rumus sebagai berikut : (Notoadmodjo,2005).
𝑛=
N 1 + N (d² )
Keterangan : N : Besar Populasi n : Besar Sampel d : Tingkat kemaknaan atau ketetapan yang dinginkan (0,05) Berdasarkan perhitungan rumus besar sampel diatas, didapatkan besar sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 89 orang. Teknik pengambilan sampel Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah stratified random sample, yaitu metode pemilihan sampel dengan cara membagi populasi kedalam kelompok-kelompok homogen. Selanjutnya penentuan sampel dilakukan dari tiap kelompok yang memenuhi kriteria inklusi. Instrumen Penelitian Bahan penelitian ini dalah data primer. Penelitian ini menggunakan alat kueisioner. Kuesioner
merupakan daftar pertanyaan yang disusun secara tertulis dalam rangka pengumpulan data suatu penelitian. Responden memberikan jawaban dengan memberikan cek (v) sesuai dengan apa yang diketahui oleh responden. Pengumpulan data pada penelitian ini baik variabel terikat maupun variabel bebas dilakukan dengan mengunakan angket secara langsung kepada responden. Analisis Data a. Analisis Univariat Analisis univariat dalam penelitian ini di gunakan untuk mengetahui proporsi dari masingmasing variabel penelitian yaitu: pengetahuan dan sikap remaja tentang seksual pranikah, serta perilaku seksual pranikah. b. AnalisisBivariat Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel untuk mengetahui adanya hubungan antara variabel bebas tingkat pengetahuan dan sikap remaja dengan variabel terikat (perilaku seksual pranikah). Signifikan dapat diketahui dengan melihat p value (signifikasi), bila p≤ 0,05 maka hipotesis diterima, sebaliknya jika p> 0,05 maka hipotesis ditolak. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian a. Analisis Univariat Tabel-tabel berikut ini memberikan gambaran mengenai umur tingkat pengetahuan dan sikap dan perilaku tentang seks pranikah adalah sebagai berikut : 1) Umur Karakteristik mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang berdasarkan data umur dapat dilihat dalam bentuk tabel distribusi frekuensi di bawah ini : Tabel 1. Distribusi Frekuensi umur pada mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang bulan Maret Tahun 2015
Prosiding | 45
Umur Responden
Frekuensi
Persentase (%)
Umur 17 Umur 18 Umur 19 Umur 20 Total
10 50 25 4 89
11,2 56,2 28,1 4,5 100,0
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa umur responden dengan frekuensi terbanyak adalah 18 tahun sebanyak 56,2%, diikuti umur 19 tahun sebanyak 25 responden (28,1%), sisanya umur 17 tahun sebanyak 10 responden (11,2%) dan umur 20 sebanyak 4 orang (45%). 2)
Pengetahuan tentang seks pranikah Berdasarkan distribusi dari variabel pengetahuan mahasiswa DIII Kebidanan mengenai seks pranikah diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan tentang seks pranikah pada mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang bulan Maret Tahun 2015 Pengetahuan
Frekuensi
Baik Cukup Kurang Total
80 9 0 89
Persentase (%) 89,9 10,1 0,0 100,0
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 89 mahasiswa sebagian besar berpengetahuan baik yakni sebanyak 80 responden (89,9%), sisanya pada kategori cukup 9 responden (10,1%). 3) Sikap tentang seks pra nikah Berdasarkan distribusi dari variabel sikap mahasiswa D III Kebidanan tentang seks pranikah di peroleh hasil sebagai berikut Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sikap tentang seks pranikah pada mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang bulan Maret Tahun 2015 Sikap Positif Negatif Total
Prosiding | 46
Frekuensi 52 37 89
persentase (%) 58,4 41,6 100,0
T mean 67,2%
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 89 mahasiswa sebagian besar mempunyai sikap Positif yakni sebanyak 52 responden (58,4%), sisanya pada kategori Negatif sebanyak 37 responden (41,6%). 4) Perilaku tentang seks pra nikah Berdasarkan distribusi dari variabel perilaku mahasiswa D III Kebidanan tentang seks pranikah di peroleh hasil sebagai berikut : Tabel 4. Distribusi Frekuensi Perilaku tentangseks pra nikah pada mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang bulan Maret Tahun 2015 Perilaku Positif Negatif Total
Frekuensi 57 32 89
persentase (%) 64,0 36,0 100,0
T mean 72,60%
Tabel 4 menunjukan bahwa dari 89 mahasiswa sebagian besar mempunyai Perilaku Positif yakni sebanyak 57 responden (64,0%), sisanya pada kategori Negatif sebanyak 32 responden (36,0%). b. Analisis Bivariat 1) Hubungan Tingkat Pengetahuan Remaja dengan Perilaku tentang seksual pranikah. Tabel 6. Hubungan Tingkat Pengetahuan Remaja dengan Perilaku tentang seksual pra nikah pada mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang Tahun 2015
Tingkat pengetahuan Remaja
Perilaku r 0,096 p 0,371 n 89
Berdasarkan hasil uji Rank Speraman’Rho, hubungan antara tingkat pengetahuan remaja dengan perilaku sek pranikah di mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarangmenunjukkan hasil analisa data, didapatkan hasil nilai r=0,096 (r <0,5) dan p=0,371 (> 0,05), dengan melihat nilai korelasi Sperman sebesar 0,096 menunjukan coefficient corelasi yang lemah dan membandingkan nilai significancy (p) 0,371 > 0,05 maka (Ha) diterima sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat Pengetahuan remaja dengan
perilaku sek pranikah di mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang. 2)
Hubungan Sikap Remaja dengan Perilaku tentang seksual pra nikah. Tabel 7. Hubungan Sikap Remaja denganPerilaku tentang seksual pranikah pada mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang Tahun 2015 Sikap
Perilaku positif negatif n % n %
positif
42
80,8%
10
19,2%
negatif
15
40,5%
22
59,5%
Total
57
64,0%
32
36,0%
Total
52 (100%) 37 (100%) 89 (100%)
X ²: 15,193
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi remaja yang memiliki sikap yang positif dengan perilaku positif tentang seks pra nikah ada 42 orang (80,8%), dengan perilaku negatif ada 10 (19,2%). Sedangkan remaja yang memiliki sikap negatif dengan perilaku positif 15 orang (40,5%), dan dengan sikap negatif dan perilaku negatif 22 orang (59,5%). Melihat hasil analisa data untuk tabel kontingensi 2 x 2 diketahui tidak ada yang memiliki nilai ekspektasi kurang dari 5 (50%) maka dengan menggunakan uji statistik Chi Square dengan tingkat kepercayaan 0,05 dengan degree of freedom (df) 1, diperoleh pvalue=0,000 (<0,05) maka hipotesis kerja dalam penelitian ini (Hɑ) ditolak yang berarti menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna signifikan antara sikap remaja dengan perilaku tentang seksual pranikah. Pembahasan Analisis Univariat a. Berdasarkan umur responden. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa usia responden pada penelitian ini adalah 17 – 20 tahun. Periode usia ini disebut masa remaja ahkir. Pada periode ini remaja semakin mendekati usia kematangan yang sah, para
remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan streotipe belasan tahun dan untuk kesan bahwa mereka sudah dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu remaja mulai memusatkan diri pada perilaku dengan status dewasa ,misalnya mulai merokok,dan perbuatan seks (Hurlock,1995). b. Tingkat pengetahuan remaja tentang seks pranikah. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup (Notoadmojo,2003) Dari hasil penelitian didapatkan bahwa dari 89 mahasiswa sebagian besar berpengetahuan baik yakni sebanyak 80 responden (89,9%), sisanya pada kategori cukup 9 responden (10,1%) . Pengetahuan mahasiswa tentang seksual pranikah dalam kategori baik merupakan hasil terbanyak ini bisa disebabkan karena responden adalah mahasiswa kebidanan yang notabene selalu mendapatkan informasi tentang pengetahuan seks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, pengetahuan berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Menurut Pudjawidjana (1983), pengetahuan adalah reaksi dari manusia atas rangsangannya oleh alam sekitar melalui persentuhan melalui objek dengan indera dan pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan sebuah objek tertentu. Lingkungan fisik yang menyangkut tentang STIKes yang strategis yang memungkinkan responden untuk mengakses sumber informasi yang mudah dari internet, guru, teman-teman yang diperoleh secara formal Prosiding | 47
maupun informal. Rasa ingin tahu responden yang merupakan ciri remaja mendorong mereka mencari informasi guna memenuhi kebutuhan pengetahuan tentang seputar seks. c. Sikap Remaja tentang seks pranikah. Secara teori seringkali diungkapkan bahwa sikap merupakan predoposisi (penentu) yang memunculkan adanya perilaku yang sesuai dengan sikapnya. Sikap tumbuh, diawali dari pengetahuan yang dipersepsikan sebgai sesuatu hal yang baik (positif) maupuan tidak baik (negatif), kemudian diinternalisasikan kedalam dirinya (Dariyo,2004). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa dari 89 mahasiswa sebagian besar mempunyai sikap positif yakni sebanyak 52 responden (58,4%), sisanya pada kategori negatif sebanyak 37 responden (41,6).Sebagian besar responden mempunyai sikap positif,ini dipengaruhi oleh faktor –faktor yang mempengaruhi sikap seperti kebudayaan,lembaga pendidikan, dan agama.Sikap negatif sebanyak 41,6% sama seperti diatas karena dipengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi sikap seperti media massa,dan emosianal. Sikap sebagai konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami dan merasakan suatu obyek. Secord dan Backman mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek tertentu. Komponen kognitif berkaitan dengan kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sesuatu yang telah diyakini akan menjadi suatu stereotipe pada individu tersebut, sehingga pikirannya selalu terpola. d. Perilaku Remaja tentang seks pra nikah. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dari 89 mahasiswa sebagian besar mempunyai perilaku positif yakni sebanyak 57 responden (64,0%), sisanya pada kategori negatif sebanyak 32 responden (36,0%). Responden yang berperilaku negatif telah melakukan perilaku seks pranikah mulai berpegangan tangan sampai cium bibir, ini bisa dipengaruhi oleh Prosiding | 48
sikapnegatif yang tergantung pada reaksi individu untuk merespon terhadap suatu stimulus yang berujung pada suatu tindakan atau perilaku. Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup)yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh – tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing – masing. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia darimanusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo 2003). Seringkali remaja mempunyai pandangan yang salah bahwa masa pacaran merupakan masa dimana seseorang boleh mencintai maupun dicintai oleh kekasihnya. Dalam hal ini, bentuk ungkapan rasa (kasih sayang) dapat dinyatakan dengan berbagai cara, misalnya, pemberian hadiah bunga, berpelukan, berciuman, dan bahkan melakukan hubungan seksual. Dengan anggapan yang salah ini, maka juga akan menyebabkan tindakan yang salah (Dariyo,2004). Analisis Bivariat a. Hubungan Tingkat Pengetahuan Remaja dengan Perilaku tentang seksual pra nikah. Berdasarkan uji Rank Speraman’Rho statistik menyatakan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang seks pranikah dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa kebidanan tingkat I STIKes X Semarang. Pada hasil penelitian menunjukan hasil analisa data, didapatkan hasil nilai r=0,096 dan p=0,371 (< 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan remaja dengan perilaku sek pranikah di mahasiswa Kebidanan STIKes X Semarang.
Berdasarkan teori tentang perilaku menurut WHO menganalisis bahwa seseorang itu berperilaku tertentu bukan karena faktor pengetahuan saja tetapi ada faktor kepercayaan,sikap,orang penting sebagai referensi,sumber-sumber daya dan kebudayaan (Notoatmodjo,2003). Sejalan dengan Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 lewat analisisnya tentang determinan hubungan seks pada remaja dengan variabel bebas yaitu : tingkat pendidikan,status sekolah, status pengetahuan, perubahan fisik,status pengetahuan cara menghindari kehamilan, dan umur pertama kali punya pacar,hasilnya Ho ditolak karena p-value yang diperoleh lebih besar dari tigkat signifikan (a=0,05) artinya bahwa tidak ada hubungan antara variabel bebas tersebut terhadap perilaku hubungan seks pranikah pada remaja (dengan tingkat kepercayaan 95%). Lebih lanjut dilakukan analisis regresilogistik dari sehingga didapati 8 variabel yang signifikan ; yakni status sekolah, status bekerja, pengetahuan ada masa subur, pengetahuan kehamilan, jenis kelamin, umur, status pacaran dan status teman (Purwatiningsih,2010). Berdasarkan model yang terbentuk oleh delapan variable bebas tersebut, rasio kecenderungan atau resiko yang ditimbulkan oleh setiap faktor yang mempengaruhi remaja melakukan seks pranikah di dapati hasil analisisnya adalah sebagai berikut : 1) Status pacaran odd ratio(8,6) yang diartikan bahwa remaja yang mempunyai pacar atau berpacaran lebih beresiko melakukan hubungan seks pranikah dari pada remaja yang tidak berpacaran. 2) Jenis kelamin (OR 5,5) 3) Status sekolah (OR 1,8) 4) Status teman (OR 1,1) 5) Umur (OR 1,5) 6) Status teman (OR 1,1) 7) Pengetahuan ada masa subur, yang tidak mengetahui (OR 0,6) dan yang mengetahui (OR 0,9) artinya di sini remaja yang mengetahui adanya masa subur pada perempuan lebih beresiko melakukan hubungan seks pranikah dibandingkan dengan
remaja yang tidak mengetahui dan yang menyatakan tidak ada masa subur. Secara statistik pengetahuan ada tidaknya masa subur ini tidak signifikan dalam mempengaruhi hubungan seks pranikah, namun rasio kecenderungan tersebut menandakan remaja yang mengetahui adanya masa subur lebih mengetahui dampak negatif yang mereka dapatkan jika mereka melakukan hubungan seks pranikah pada masa subur. Dengan melihat hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) ini, dan membandingkan hasil analisis peneliti tentang hubungan tingkat pengetahuan dan perilaku remaja tentang seks pranikah, maka dapat dikatakan bahwa tingkat pengetahuan remaja tidak mempengaruhi perilaku tentang seks pranikah karena justru dengan pengetahuan yang baik maka remaja lebih beresiko untuk melakukan seks pranikah. Remaja yang berpengetahuan baik tapi sudah berpacaran lebih beresiko melakukan hubungan seks pranikah. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku tentang seks pranikah pada mahasiswakebidanan STIKes X Semarang karena hasil uji Rank Speraman’Rhodidapatkan hasil nilai r=0,096 dan p= 0,371 (< 0,05), Perilaku seks pranikah ini memang kasat mata, namun ia tidak terjadi dengan sendirinya melainkan didorong atau dimotivasi oleh faktorfaktor internal yang tidak dapat diamati secara langsung (tidak kasat mata). Dengan demikian individu tersebut tergerak untuk melakukan perilaku seks pranikah. Motivasi merupakan penggerak perilaku. Hubungan antar kedua konstruk ini cukup kompleks, antara lain dapat dilihat sebagai berikut : Motivasi yang sama dapat saja menggerakkan perilaku yang berbeda, demikian pula perilaku yang sama dapat saja diarahkan oleh motivasi yang berbeda. Motivasi tertentu akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku tertentu pula. Pada seorang remaja, perilaku seks pranikah tersebut dapat dimotivasi oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen Prosiding | 49
yang jelas (menurut Sternberg hal ini dinamakan romantic love); atau karena pengaruh kelompok (konformitas), dimana remaja tersebut ingin menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah dianut oleh kelompoknya, dalam hal ini kelompoknya telah melakukan perilaku seks pranikah. Disinilah suatu masalah acap kali muncul dalam kehidupan remaja karena mereka ingin mencoba-coba segala hal, termasuk yang berhubungan dengan fungsi ketubuhannya yang juga melibatkan pasangannya.Namun dibalik itu semua, faktor internal yang paling mempengaruhi perilaku seksual remaja sehingga mengarah pada perilaku seksual pranikah pada remaja adalah berkembangnya organ seksual.Dikatakan bahwa gonads (kelenjar seks) yang tetap bekerja (seks primer) bukan saja berpengaruh pada penyempurnaan tubuh (khususnya yang berhubungan dengan ciri-ciri seks sekunder), melainkan juga berpengaruh jauh pada kehidupan psikis, moral bahkan sosial. Pada kehidupan psikis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis kelamin. Ketertarikkan antar lawan jenis ini kemudian berkembang ke pola kencan yang lebih serius serta memilih pasangan kencan dan romans yang akan ditetapkan sebagai teman hidup. Sedangkan pada kehidupan moral, seiringan dengan bekerjanya gonads, tak jarang timbul konflik dalam diri remaja. Masalah yang timbul yaitu akibat adanya dorongan seks dan pertimbangan moral sering kali bertentangan. Bila dorongan seks terlalu besar sehingga menimbulkan konflik yang kuat, maka dorongan seks tersebut cenderung untuk dimenangkan dengan berbagai dalih sebagai pembenaran diri. Pengaruh perkembangan organ seksual pada kehidupan sosial ialah remaja dapat memperoleh teman baru, mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya. Jalinan cinta ini tidak lagi menampakkan pemujaan secara berlebihan terhadap lawan jenis dan “cinta monyet” pun tidak tampak lagi. Mereka benar-benar terpaut hatinya pada seorang lawan jenis, sehingga terikat oleh tali cinta.Perlu pula dijelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar-kelenjar seks (gonads) Prosiding | 50
remaja, sesungguhnya merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan jasmani secara menyeluruh, namun dorongan seksual ini mengalami kematangan pada usia usia remaja. Karena itulah, dengan adanya pertumbuhan ini maka dibutuhkan penyaluran dalam bentuk perilaku seksual tertentu.Cukup naïf bila kita tidak menyinggung faktor lingkungan, yang memiliki peran yang tidak kalah penting dengan faktor pendorong perilaku seksual pranikah lainnya.Faktor lingkungan ini bervariasi macamnya, ada teman sepermainan (peergroup), pengaruh media dan televisi, bahkan faktor orang tua sendiri. Pada masa remaja, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi. Seorang remaja yang tidak mampu mengendalikan diri, sehinga dalam kehidupan seksual secara bebas (diluar aturan norma sosial),misalnya seks pranikah akan berakibat negative seperti STD’s (seksually transmitted disease), kehamilan (pregnancy),droup-out dari sekolah. Biasanya merekalah yang memiliki sifat ketidakkonsistenan (inconsistency) antara pengetahuan, sikap dan prilakunya. Misalnya, walaupun seseorang mempunyai pengetahuan dan sikap bahwa seksual pranikah itu tidak baik, namun karena situasi dan kesempatan itu memungkinkan,serta ditunjang oleh niat untuk melakukan hubungan seks pranikah; maka individu ternyata tetap saja melakukan hal itu. Akibatnya prilakunya tidak konsisten dengan pengetahuan dan sikapnya (Dariyo,2004). b. Hubungan Sikap Remaja dengan Perilaku tentang seksual pranikah. Berdasarkan uji statistik menyatakan ada hubungan yang bermakna antara sikap remaja dengan perilaku tentang sek pra nikah pada mahasiwa kebidanan STIKes X Semarang. Pada hasil penelitian menunjukan bahwa dari 89 mahasiswa sebagian besar mempunyai sikap Positif yakni sebanyak 58,4% responden ternyata mempunyai perilaku positif 64,0%.
Hasil penelitian ini menunjukan nilai odds ratio 6,160 pada confidence interval 95% responden yang memiliki sikap positif memiliki peluang untuk berperilaku positif jugadibanding responden yang memiliki sikap negatif. Hal ini menunjukan bahwa sikap sangat mendukung remaja untuk berperilaku tentang seks pranikah. Sikap akan memberikan stimulus seseorang atau kesediaan untuk bertindak dan berperilaku. Sikap positif ini bisa dipengaruhi agama, pendidikan dan sosial budaya sedangkan sikap yang negatif bisa dipengaruhi oleh pengetahuan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan antara sikap remaja dengan perilaku tentang seks pranikah pada mahasiswa D III Kebidanan STIKes X Semarang karena hasil uji chi square diperoleh nilai 000 (p < 0,05) dan X² hitung > X² tabel, ini didukung dengan hasil penelitian oleh Widayati Danik di SMA Negeri I Semarang yang menunjukan ada hubungan bermakna antara sikap dengan hubungan seks pranikah dengan nilai p=0,0000(p < 0,05) dan X² hitung > X² tabel (52,591>9,488). 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkanhasil penelitian terhadap 89 mahasiswa Kebidanan tingkat I STIKes X Semarang dapat disimpulkan, sebagai berikut : a. Mahasiswa D III Kebidanan STIKes X Semarang sebagian besar berpengetahuan baik b. Mahasiswa D III Kebidanan STIKes X Semarang sebagian besar mempunyai sikap positif c. Mahasiswa D III Kebidanan STIKes X Semarangsebagian besar mahasiswa mempunyai perilaku positif d. Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan remaja dengan perilaku sek pranikah di mahasiswa Kebidanan STIKES X Semarang e. Ada hubungan yang signifikan antara tingkat sikap remaja dengan perilaku sex pranikah di mahasiswa Kebidanan STIKES X Semarang
Saran a. Bagi remaja : 1) Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dorongan seksualdengan -cara Taat beribadah, Remaja memahami tugas utamanya, dengan : belajar dan Mengisi waktu sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan. Misalnya : olah raga, kesenian dan berorganisasi. 2) Hindari berpacaran di tempat sepi, hindari perbuatan-perbuatan yang akan menimbulkan dorongan seksual, seperti meraba-raba bagian tubuh pasangan yang mudah terangsang. 3) Jauhkan diri dari materi berbau por nografi lewat media internet. 4) Memilih teman yang baik yang memberi pengaruh baik. b. Bagi institusi pendidikan Membentuk kelompok Peminat Kesehatan Reproduksi Remaja (KPKRR). Pembentukan KPKRR ini merupakan suatu tim yang independent dan bersifat sukarelawan yang mempunyai komitmen tinggi terhadap masa depan remaja sebagai generasi penerus bangsa.Sebelum memberikan pelayan kesehatan reproduksi remaja pada remaja bermasalah atau remaja beresiko maka KPKRR ini diberikan pelatihan-pelatihan konseling remaja serta bersedia mengembangkan pengetahuan mengenai masalah remaja. Untuk melakukan kegiatan KPKRR diperlukan tempat khusus yang dapat digunakan sebagai tempat pertemuan dan diskusi para Peminat Kesehatan Reproduksi Remaja dan juga dapat digunakan sebagai tempat konsultasi yang aman dan terjamin privasi para remaja yang bermasalah dan beresiko. Diperlukan juga persiapan dan kesedian KPKRR untuk melayani remaja di luar jam kerja karena umumnya remaja ingin melakukan konsultasi secara rahasia.Dalam pelaksanaannya Fokus utama dari konsep KPKRR ini adalah masalahmasalah yang sedang dialami remaja dapat terselesaikan sesuai dengan bidang, minat, dan kompetensi masing-masing remaja yang bermasalah atau beresiko.Remaja membutuhkan pelayanan KPKRR dengan biaya gratis, dan yang Prosiding | 51
terpenting adalah remaja mendapatkan pendampingan dengan mengutamakan “Terjaminnya Kerahasiaan”. c. Bagi orang tua/keluarga Menjadi sahabat untuk anak. Cobalah untuk mendengarkan pendapatnya dan berikan arahan dengan cara yang halus apabila anak Anda salah. Hargai mereka,Dengan keluarga berperan sebagai sahabat,anak akan merasa nyaman dan menghargai nasihat-nasihat orang tua.Untuk menghindari lingkungan yang salah, Keluarga harus mengontrol lingkungan anak. Kenalilah pergaulan anak untuk bisa mengontrol pergaulannya. Bersikap friendly terhadap teman-temannya sehingga keluarga tahu siapa yang baik untuknya dan siapa yang tidak baik. Perhatikan sesuatu yang ditonton dan dibacanya. Mudahnya akses informasi menyebabkan orang tua kewalahan mengawasi anak. Pintar-pintarlah mencari tahu apa informasi apa saja yang telah diserapnya dan pastikan anak memandangnya dalam segi positif dan negatif dalam menyaring informasi tersebut. Berikanlah pandangan kita terhadap informasi tersebut tanpa kesan menyudutkan. Hal terpenting yang harus dilakukan keluarga adalah memberikan pendidikan moral dan agama sejak dini kepada anak. Penentangan terhadap seks bebas jelas ditekankan oleh setiap agama. Untuk itu anak harus dibekali pengetahuan agama sejak dini. Ciptakan suasana yang religius di rumah sehingga anak beranjak dewasa (remaja) telah memiliki bekal pengetahuan agama yang cukup. Remaja yang taat akan selalu takut terhadap Tuhan, merasa selalu dalam pengawasannya sehingga memiliki pengendalian diri yang baik. Berbekal pengendalian diri yang kuat, tidak akan mudah dipengaruhi teman-temannya yang salah pergaulan sehingga terjaga dan tidak terjerumus. Sedangkan pendidikan moral harus ditanamkan sejak dini agar mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana perilaku bermoral dan mana perilaku amoral. Beritahu bagaimana seharusnya bergaul dengan lawan jenis, bagaimana bersikap di tempat umum, bagaimana menghargai orang lain. Pendidikan agama dan moral tidak hanya secara lisan saja dilakukan, Prosiding | 52
tapi keluarga (orang tua) harus menerapkan dalam diri sendiri terlebih dahulu sebagai refleksi terhadap anak. Ajaklah anak beribadah bersama dan jelaskan tujuan beribadah agar anak paham secara mendalam dalam hatinya. Ceritakanlah kebesaran-kebesaran Tuhan untuk menumbuhkan kecintaan dan ketakwaan anak. Jadilah tauladan yang menampilkan moralmoral positif dalam sehari-hari. Jika anak salah, beritahu kalau dia salah dan tunjukkan bagaimana seharusnya. Dengan demikian diharapkan terbentuknya remaja yang memiliki sifat dan sikap yang baik. Pendidikan moral dan agama tidak terlepas dari pengawasan orang tua agar anak tidak miskonsepsi terhadap agama dan moral yang diajarkan. Dengan demikian diharapkan anak terhindar dari pergaulan bebas ketika remaja. Dengan berbekal kecintaan dan ketakwaan terhadap Tuhan, kecintaan kepada orangtua dan keluarga serta berbekal nilai-nilai moral sejak dini, diharapkan dapat menghindari pengaruhpengaruh negatif yang dapat menjerumuskan mereka. Oleh karena itu bagi orang tua, kenalilah, sayangi dan kendalikan anak sebelum semuanya menjadi terlambat. Berikan pendidikan di dalam keluarga dengan penuh kasih sayang. Jangan biarkan para remaja penerus bangsa kita termakan oleh zaman dan menghancurkan masa depannya sendiri. d. Bagi masyarakat Ikut berpartisipasi dalam pemantauan dan pengawasan lingkungan di mana remaja berada sehingga remaja tidak terjerumus dalam seks pra nikah.Lingkungan atau masyarakat juga memegang peran penting dalam mencegah seks pranikah. Mulai pemilik kos, asrama hingga masyarakat harus ikut mengawasi kehidupan penghuninya. Jangan cuma menikmati uangnya saja, tetapi juga bertanggung jawab apa yang dilakukan penghuni. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat tata tertib bagi penghuni kos/asrama. Langkah serupa juga bisa dilakukan oleh pengelola losmen, hotel, atau tempat wisata. Kalau memang ada yang melanggar tata tertib, pemilik atau pengelola harus berani menindak penghuni atau pengunjung.
REFERENSI Arikunto, Suharsimi. (2008). Metode Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Dariyo Agus (2004) Psikologi Perkembangan Remaja : Ghalia Indonesia. Cindi (2011) Fenomena Kehidupan Seks Bebas di kalangan Remaja (http : www.cindicomp.com) diakses tgl 20 Desember 2011. Hurlock (1995) Psikologi Perkembangan ,edisi 5 : Erlangga Jakarta. Endang Ediastuti dkk (2010) Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi :Pustaka Pelajar. Jayanti (2010) Konsep Perilaku seksual Pra Nikah : (http :www.dwixhikary) diakses tgl 20 Desember 2011. Handono Riwidiko,S.Kp (2015) STATISTIK KESEHATAN ; Mitra Cendikia Press Yogyakarta. Irianto Koes (2010) Memahami seksologi : Sinar Baru Algensindo. Martono (2011) Fenomena Kehidupan Remaja: (http :www.galuchindra.blogspot.com) diakses tgl 21 Desember 2011. Metro TV.news. (2011) Survey : Remaja Berhubungan Seks diusia 19 tahun : ( http// metrotvnews.com/read/news) diakses tgl 21 Desember 2011. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku:Jakarta : Rineka Cipta. _____________ (2010) Ilmu perilaku Kesehatan: Rineka Cipta Okanegara (2011) Remaja saat ini: Tragis atau Strategis :.( http : www. Dunia Remaja
Indonesia. Blog.spot.com) diakses tgl 21 Desember 2011. PKBI (2011) Info Kasus Semarang : Pilar PKBI Jawa Tengah: Kantor Wilayah Jawa Tengah. PIK KKR “Al-HIKMAH (2011) Bahaya Utama Seks Pra Nikah dan Seks Bebas pada Remaja: ( http// www.: pikkrralhikmah.blogspot.ss.com) diakses tgl 21 Desember 2012. KBI .Gemari (2011) 1 Milyar Remaja Berperilaku Seksual Membahayakan : (http//. Gemari.or.id > di akses tgl 21 Desember 2012. Sugiyono. (2004). Statistik untuk Peneliti. Bandung : Alfabetha. Sarwono Sarlito(2002) Psikologi Remaja :Rajawali Pers. Sularyo Titi (2002) Tumbuh Kembang Anak Remaja :IDAI :Sagung Seto. Sri Purwatiningsih dan Sofia Nur Yulida Furi (2010) Permisivitas dan Peran Sosial dalam Perilaku Seksual di Indonesia ;Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada ; Pustaka Pelajar. Singgih Santoso (2011) Mastering SPSS versi 19 ; PT. ELEX MEDIA KOMPUTINDO ; KOMPAS GRAMEDIA. Tarwoto (2010) Kesehatan Remaja : Problem dan Solusinya : Poltekes Depkes : Salemba Medika. Wawan dkk (2010) Teori & Pengetahuan : Pengetahuan, Sikap, danPengetahuan : Nuha Me
Prosiding | 53
KEPATUHAN HOMOSEKSUAL (GAY) DALAM PEMERIKSAAN VCT DI PUSKESMAS HALMAHERA KOTA SEMARANG TAHUN 2017 Siti Nur Umariyah Febriyanti1), Ayu Wulandari2) 1
Prodi D IV Kebidanan STIKes Karya Husada Semarang Email :
[email protected] 2 Prodi D IV Kebidanan STIKes Karya Husada Semarang Email :
[email protected]
ABSTRAK Latar belakang : Penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit yang mematikan di dunia. HIV/AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah infeksi HIV menurut faktor risiko 47% heteroseksual, persentase AIDS menurut faktor risiko 80,3% heteroseksual dan 8,0% homoseksual. Jawa Tengah berada pada urutan ke-5 jumlah HIV terbanyak tahun 2015 yaitu 568 kasus. Hasil survey di Puskesmas Halmahera Kota Semarang hanya 20-30% dari kaum Gay yang mengalami HIV/AIDS memeriksakan dirinya. Tujuan penelitian: Untuk mengeksplorasi Kepatuhan Homoseksual (Gay) dalam Pemeriksaan VCT di Puskesmas Halmahera Kota Semarang Tahun 2017. Metode penelitian : Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomonologis. Jumlah partisipan hingga saturasi yaitu sebanyak 4 orang. Hasil penelitian : Homoseksual merupakan hubungan sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki. Sebagian besar homoseksual melakukan hubungan seksual menggunakan metode anal dan oral seks. Perilaku tersebut merupakan perilaku seksual yang menyimpang dan berisiko terkena Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS. Cara penularan HIV/AIDS bisa melalui jarum suntik yang bergantian, bergonta-ganti pasangan dan tidak menggunakan kondom. VCT merupakan program untuk pencegahan HIV/AIDS berupa konseling, test, dan konseling hasil. Pemeriksaan VCT bersifat sukarela tidak ada paksaan baik dari pihak puskesmas ataupun lembaga. Kepatuhan homoseksual (gay) dalam pemeriksaan VCT dipengaruhi oleh kesadaran dari diri mereka sendiri. Kesimpulan : Pengetahuan partisipan tentang homoseksual, HIV/AIDS dan PMS sudah baik, perilaku seksual yang dilakukan Gay adalah anal dan oral seks sehingga berisiko tinggi terkena HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual. Kesadaran Gay untuk melakukan pemeriksaan VCT masih kurang. Saran : Diharapkan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan program pencegahan HIV/AIDS. Kata Kunci: Kepatuhan, Homoseksual (Gay), Pemeriksaan VCT
1. PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyerang sistem kekebalan tubuh menusia dan dapat menimbulkan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi (Purwoastuti, 2015). Kasus HIV-AIDS di Indonesia tahun 2014 sebanyak 32,711 kasus untuk HIV dan sebanyak 7,875 kasus untuk AIDS (Komisi Penanggulangan AIDS Jawa Tengah, 2015). Sedangkan, pada tahun 2015 sebanyak 30.935 kasus untuk HIV dan 6.081 kasus untuk AIDS. Jumlah infeksi HIV menurut faktor risiko 47% heteroseksual, sedangkan untuk persentase AIDS menurut faktor risiko sekitar 80,3% heteroseksual, dan 8,0% yaitu 54 | Prosiding
homoseksual. Jawa tengah berada pada urutan ke5 jumlah HIV terbanyak pada Oktober – Desember 2015 yaitu sebanyak 568 kasus. Jumlah kasus HIV-AIDS di Propinsi Jawa Tengah terus meningkat yang dilaporkan sampai dengan Desember 2015, tahun 2013 sebanyak 2.322 kasus, tahun 2014 sebanyak 2.867 kasus, tahun 2015 sebanyak 3005 kasus orang untuk HIV, sedangkan untuk AIDS pada tahun 2013 sebanyak 524 kasus, tahun 2014 sebanyak 740 kasus, tahun 2015 sebanyak 963 kasus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Berdasarkan data dari kasus HIV/AIDS yang ada dari tahun 2014-2015 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dari seluruh provinsi.
Pada bulan September 2015 Kota Semarang merupakan kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki kasus HIV/AIDS paling banyak jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lainnya. Menurut faktor risiko penularan kasus AIDS di Jawa Tengah 4,7% di antaranya adalah homoseksual (Komisi Penanggulangan AIDS Jawa Tengah, 2015). Tahun 2016 trend penyebaran kasus HIV/AIDS yang paling banyak yaitu LSL (lelaki suka lelaki) (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2016). Homoseksual merupakan istilah yang diciptakan pada tahun 1869 oleh bidang ilmu psikiatri di Eropa, untuk mengacu pada suatu fenomena yang berkonotasi klinis, yang pada awalnya dikategorikan sebagai perilaku menyimpang. Kemudian, pengertian homoseks terbagi menjadi dua istilah yaitu Gay (untuk lakilaki) dan Lesbi (untuk perempuan). Homoseksual merupakan jembatan penghubung virus HIV ke populasi yang lebih luas. Mereka cenderung memiliki banyak partner seks dan sering melakukan hubungan seksual tanpa status dengan pasangannya (Sugiarto, 2011). Program pemerintah dalam penanggulangan HIV dan AIDS tersebut diantaranya adalah metode perilaku ABCDE, Prevention of mother to child transmission (PMTCT), Harm Reduction, dan Voluntary Counseling and Testing (VCT) (Nursalam, 2007). Puskesmas Halmahera mempunyai program yang sudah berjalan yaitu PMTCT untuk ibu hamil dan VCT untuk umum. Penyelenggaraan pelayanan VCT atau konseling dalam HIV/AIDS dikenal dengan konseling VCT. Konseling VCT merupakan kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Hasil studi awal yang telah dilakukan di Puskesmas Halmahera Kota Semarang mengatakan terdapat setidaknya 20-30% dari kaum Gay yang memeriksakan dirinya tersebut terkena HIV-AIDS. Pada bulan Agustus dari 27 gay 3 di antaranya positif terkena HIV, satu sedang menjalani pengobatan dan dua masih
belum mengkonfirmasi hasil. Sedangkan, dari hasil wawancara terhadap lima gay yang berusia 17-25 tahun dua di antaranya melakukan oral seks dengan pasangan seksnya, dan sisanya melakukan anal seks, dua diantaranya mengaku terkena IMS. dan beberapa di antaranya merasa berisiko kemudian mau memeriksakan dirinya ke puskesmas. Berkaitan dengan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Kepatuhan Homoseksual (Gay) dalam Pemeriksaan VCT di Puskesmas Halmahera Kota Semarang”. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu bagaimana kepatuhan homoseksual (gay) dalam pemeriksaan VCT di Puskesmas Halmahera Kota Semarang. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini, yaitu mengeksplorasi kepatuhan homoseksual (gay) dalam pemeriksaan VCT di Puskesmas Halmahera Kota Semarang. Tujuan Khusus penelitian ini yaitu (1) Untuk mengeksplorasi pengetahuan Homoseksual (Gay) tentang pengertian homoseksual. (2) Untuk mengeksplorasi perilakuseksual Homoseksual (Gay). (3) Untuk mengeksplorasi dampak perilaku seksual Homoseksual (Gay). (4) Untuk mengeksplorasi Homoseksual (Gay) tentang HIV/AIDS. (5) Untuk mengeksplorasi pemeriksaan VCT yang sudah dilakukan Homoseksual (Gay). Kajian Literatur Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah ditentukan (Bastable,2006). Jadi kepatuhan adalah suatu bentuk perilaku yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien pada tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan rencana dengan konsekuensinya.
Prosiding |55
Kata homoseksual berasal dari 2 kata, yang pertama adalah dari kata “homo” yang berarti sama, yang kedua “seksual” dan seksual berarti mengacu pada hubungan kelamin, hubungan seksual. Sehingga homoseksual adalah aktivitas seksual dimana dilakukan oleh pasangan yang sejenis (sama) kelaminnya. Homoseksual adalah ketertarikan melakukan hubungan seks dengan sesama jenis (pria dengan pria atau wanita dengan wanita). Lazim disebut homoseksual apabila dilakukan antara pria dan pria, sedangkan pada wanita dengan wanita disebut lesbian (Sunaryo, 2004). Homoseksual dapat dijelaskan dalam beberapa dimensi. Termasuk diantarnya adalah sikap untuk mengekspresikan hubungan seksual atau kecendrungan erotis kesadaran akan konsep diri homoseksual, atau hubungan seks dengan sesama jenisnya. Orang yang menjalani perilaku homoseksual ini berasal dari semua kelas sosial, tingkat pendidikannya bervariasi, mewakili semua jenis pekerjaan dan profesi, mempunyai bermacam kepentingan dan kegemaran, dan mungkin sudah menikah atau masih single (Siahaan, 2009). Istilah gay menunjuk pada homophili laki-laki. Gay berarti orang yang meriah. Istilah ini muncul ketika lahir gerakan emansipasi kaum homoseks (laki-laki maupun perempuan) yang dipicu oleh Peristiwa Stonewall di New York pada tahun 60an. Penyebab terjadinya homoseksual dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu : susunan kromosom, ketidakseimbagan hormon, struktur otak, kelainan susunan syaraf, dan beberapa faktor lain. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah satu jenis virus yang menyerang sel darah putih/kekebalan (Aru, 2009). HIV adalah virus penyebab AIDS (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). AIDS adalah terminologi sindrom penyakit yang ditandai dengan penurunan imunitas seluler yang disebabkan oleh infeksi HIV (Tangredi, 2007). Akibat dari penurunan kekebalan tubuh maka penderita dengan mudah terserang berbagai jenis infeksi yang bersifat oportunistik. Faktor perilaku yang tidak sehat mempengaruhi seseorang mudah terserang virus HIV. Penilaian terhadap perilaku berisiko termasuk riwayat seksual yang bebas tanpa potensi dan penggunaan jarum suntik secara bergantian sangat rentan terhadap infeksi HIV. Hal 56 | Prosiding
ini disebabkan oleh karena pemaparan infeksi HIV melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV (Tangredi, 2007). Pencegahan HIV didefinisikan sebagai upaya menurunkan kejadian penularan dan penambahan infeksi HIV melalui strategi, aktifitas, intervensi, dan pelayanan. Tindakan pencegahan penularan HIV dapat dilakukan dengan menggunakan metode atau cara seksual atau nonseksual yang aman. VCT adalah program pencegahan HIV/AIDS dimasyarakat saat ini yang terbukti efektif serta dapat memudahkan orang mengakses berbagai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. VCT merupakan proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidental dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV. Tujuan VCT adalah Upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV, upaya pengembangan perubahan perilaku. Adapun tahapannya yaitu sebelum deteksi HIV (Prakonseling), deteksi HIV (sesuai keinginan klien dan setelah klien menandatangani lembar persetujuan-informed consent) dan pasca konseling (konseling setelah deteksi HIV) 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, yaitu peneliti dengan cara menangkap dan menggali fenomena atau gejala yang timbul dari obyek yang diteliti (Moleong, 2007). Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi partisipan/ informan dalam penelitian (Saryono, 2013). Partisipan dalam penelitian ini adalah Homoseksual (Gay) yang melakukan pemeriksaan VCT di Puskesmas Halmahera Kota Semarang yang sesuai kriteria dan pemelihannya dibantu oleh key person. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, di mana purposive sampling adalah metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukan dalam penelitian. Dalam hal ini, partisipan yang diambil dapat
memberikan informasi yang berharga bagi peneliti (saryono, 2013). Dalam penelitian ini yang menjadi key person adalah Ketua LSM SGC Semarang. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, setelah fokus menjadi jelas maka baru dikembangkan dalam bentuk instrumen sederhana yang dapat melengkapi data dan membandingkan dengan kata yang telah ditemukan dalm observasi dan wawancara (Sugiyono, 2011). Di samping itu, digunakan juga instrumen pedoman wawancara mendalam. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan antara 30-45 menit yang bertujuan untuk mengeksplorasi kepatuhan Homoseksual (Gay) dalam pemeriksaan VCT di Puskesmas Halmahera Kota Semarang. Dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan alat perekam dan buku catatan. Alat perekam digunakan sebagai alat bantu agar tidak ada informasi yang terlewatkan dan selama wawancara, sedangkan buku catatan digunakan untuk mencatat hasil observasi baik lingkungan saat wawancara maupun ekspresi partisipan saat wawancara. Ada beberapa tahapan dalam mengumpulkan data, yaitu tahap persiapan, tahap wawancara, dan tahap penutup. Selanjutnya, cara pengolahan data. Pengolahan data ini menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan melalui cara induktif, yakni pngambilan kesimpulan umum berdasarkan hasil-hasil observasi yang khusus (Notoatmodjo, 2007). Pengolahan data kualitatif dilakukan dengan tiga langkah, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (coclusion drawing and verification). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pengetahuan Homoseksual (Gay) tentang pengertian homoseksual. Pemahaman gay tentang homoseksual sudah cukup baik. Dimana dari empat partisipan yang diwawancarai semuanya mengerti dan memahami definisi homoseksual. Hal itu juga didukung oleh pernyataan triangulasi sumber T3 bahwa homoseksual merupakan hubungan seksual sesama jenis, laki-laki sama laki-laki dan perempuan sama perempuan, sedangkan laki-
laki sama laki lebih sering disebut dengan gay, sedangkan perempuan sama perempuan disebut dengan sebutan lesbian. Hal ini juga sudah sesuai dengan teori yang ada. Ada 3 Partisipan yang mengetahui tentang gay sejak SMP dan mulai ada ketertarikan dengan laki-laki sejak SMP tetapi baru menjadi gay setelah SMA atau kuliah. Sebagian besar partisipan menjadi gay karena merasa nyaman dengan laki-laki, lebih merasa cocok dengan laki-laki. Ada partisipan yang menyatakan penyebabnya karena pernah disakiti perempuan. b.
Perilaku seksual homoseksual (gay) Sebagian besar gay melakukan hubungan seksual dengan pasangannnya dengan menggunakan metode anal dan oral seks. Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan dari triangulasi sumber yang menyatakan tentang perilaku seksual gay. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan dari Laksana dan Lestari (2010) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa dalam hal aktivitas anal seks, ternyata kelompok laki-laki homoseksual sebagian besar melakukan aktivitas seks anal.
c.
Dampak perilaku seksual homoseksual (gay) Dilihat dari perilaku seksual yang sebagian besar gay lakukan adalah anal dan oral seks, dapat disimpulkan bahwa gay merupakan resiko tinggi terkena HIV/AIDS atau PMS karena perilaku seksual yang mereka lakukan. Hal ini juga sangat dipahami oleh gay tersebut, dari 4 pertisipan semuanya memahami dan mengerti dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, dan 1 diantara 4 partisipan sudah pernah terkena PMS. Hal ini semakin membuktikan bahwa gay merupakan kelompok resiko tinggi terkena HIV/AIDS atau PMS. Dari informasi triangulasi 3 dinayatakan bahwa pernah terjadi 9 sampai 11 orang gay yang mengalami PMS pada bulan Januari. Di dalam penelitian Aput Hartono (2009) menyatakan menurut hasil penelitian Hirsfield et.al (2003) menyatakan bahwa komunitas Prosiding |57
gay pada kelompok umur 18-39 tahun memiliki resiko 2 kali lipat terkena PMS dan HIV/AIDS dibanding kelompok umur lebih dari 40 tahun serta perilaku anal seks lebih berpengaruh terhadap PMS dibanding dengan penggunaan obat sebelum atau selama berhubungan seksual. d.
e.
Pengetahuan Homoseksual (Gay) tentang HIV/AIDS Pemahaman gay sendiri tentang HIV/AIDS sudah cukup baik, gay tersebut memahami penularan HIV/AIDS bisa melalui jarum suntik yang bergantian, bergonta-ganti pasangan dan mereka juga menggunakan kondom untuk mencegah terkena HIV/AIDS atau PMS. Hal itu juga di ungkapkan oleh triangulasi sumber (Ketua LSM SGC) yang menyatakan bahwa pemberikan edukasi dan informasi selalu dilakukan melalui sosial media ataupun dari pertemuan-pertemuan yang biasa dilakukan. Untuk mencegah terjadinya HIV/AIDS semua partisipan menggunakan kondom dan tidak bergonta ganti pasangan. Gerakan ABCDE juga dilakukan. Pemeriksaan VCT yang sudah dilakukan homoseksual (gay) Semua partisipan mengetahui tujuan pemeriksaan VCT yaitu untuk mengetahui tentang HIV/AIDS di dalam tubuh apakah positif atau negatif. Dilihat dari teori yang menyatakan bahwa VCT merupakan program pencegahan HIV yang bersifat sukarela jadi tidak semua gay menganggap ini penting dan dari lembaga dan puskesmas tidak bisa memberikan sanksi kepada gay yang tidak mau melakukan pemeriksaan VCT hal ini didukung oleh pernyataan triangulasi sumber T1,T2 dan T3. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepatuhan gay untuk melakukan pemeriksaan VCT dipengaruhi oleh tingkat kesadarannya terhadap kesehatan dirinya. Gay yang sadar dirinya merupakan resiko tinggi terkena HIV/AIDS atau PMS dan merasa kesehatan itu sangat penting akan rutin melakukan pemeriksaan VCT sesuai dengan jadwal yang
58 | Prosiding
sudah ditentukan. Saat ini istilah VCT diganti menjadi HCT (HIV Conseling and Test). Semua partisipan juga megetahui tentang pemeriksaan VCT yang meliputi konseling, tes darah kemudian konseling hasil. Partisipan menyatakan sudah rutin melakukan VCT setiap 3 bulan. Alasan partisipan melakukan pemeriksaan VCT adalah untuk mengetahui apakah dia mengalami HIV/AIDS, sehingga apabila ditemukan hasil positif agar segera ditangani dan menganggap kesehatan itu penting. 4. SIMPULAN Pemahaman Gay terkait dengan pengertian homoseksual, perilaku seksual, dampak perilaku seksual, pengetahuan tentang HIV/AIDS dari cara penularan hingga pencegahannya, dan kemudian pemeriksaan VCT sudah cukup baik. 5. SARAN a. Peneliti menyarankan kepada homoseksual (gay) agar untuk lebih meningkatkan kepeduliannya terhadap pencegahan HIV/AIDS dan PMS dengan rutin melakukan pemeriksaan baik di puskesmas ataupun di fasilitas pelayanan kesehatan lain serta selalu menggunakan pengaman dan tidak bergontaganti pasangan. b. Fasilitas kesehatan diharapkan lebih meningkatkan program pencegahan HIV/AIDS dengan melakukan sosialisasi ABCDE kepada masyarakat (Abstinence : hindari seks bebas dan narkoba, Be Faithful : setia pada pasangan, Condom : gunakan kondom, Drug : pengobatan HIV/AIDS, Education : pendidikan seksual pada remaja). 6. REFERENSI Aput Hartono. 2009. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) Pada Komunitas Gay Mitra Strategis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna Publishing Bastable, B, Susan. 2006. Perawat Sebagai Pendidik. Jakarta : EGC. Carroll, LJ. 2007. Sexuality Now : Embracing Diversity (ed.2). Belmont : Thomson Learning Inc-USA. Dody Hartanto. 2006. Aku Memang Gay (Studi Kasus Konsep Diri Homoseks di Kota Yogyakarta). Skripsi S1. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2015. Jakarta : Ditjen P2P Kementerian Kesehatan RI Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta : Kementerian Kesehatan RI Komisi Penanggulangan AIDS Jawa Tengah. 2015. Buku Saku Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Tengah, Semarang: KPA Jawa Tengah
Moleong, Lexy J, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam, Kurniawati Dian Ninuk, 2007, Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS, Jakarta : Salemba Medika. Purwoastuti, Endang, Th & Walyani, Siwi, Elisabeth. 2015. Ilmu Obstetri Ginekologi Sosial Untuk Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. Saryono dan Anggraeni, Mekar Dwi. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika. Siahaan, MS.J. 2009. Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi. Jakarta: PT.Indeks. Sugiarto, N. 2011. Penyebaran HIV/AIDS Pada Pasangan Tetap ODHA di Indonesia. Jakarta : PT Kalbe Farma. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan.Jakarta : EGC Tangredi, L.A, Danvers, K, Molony, S.L, & Williams, A. 2008. Recommendations for HIV testing in older adults. The Nurse Practitioner.
Prosiding |59
PERSEPSI KADER TENTANG INSPEKSI VISUAL ASAM ASETAT (IVA) TES DALAM UPAYA DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ROWOSARI Dita Wasthu Prasida, Alida Nihayah,Poppy Fransiska,Yeni Oktavia, Nduhri Qurani STIKes Karya Husada Semarang Email:
[email protected] Abstrak Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah serviks. Jumlah kematian akibat kanker serviks dari 37 Puskesmas di Kota Semarang, Puskesmas Rowosari menempati urutan ke 3 tertinggi dengan kasus kematian akibat kanker serviks sebanyak 4 kasus. Salah satu skrining yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dini penyakit kanker serviks adalah Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Pemeriksaan IVA tes yang dilakukan di Puskesmas Rowosari dari 25 kader yang telah diperiksa, 6 orang (24%) diantaranya menunjukan hasil IVA (+). Pemahaman kader tentang pengetahuan, pengalaman, harapan, dukungan dan sikap internal tentang IVA tes diharapkan dapat mencegah kejadia kanker serviks dan mengurangi angka kesakitan pada wanita mengenai kesehatan reproduksinya.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi kader tentang Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Jumlah partisipan tujuh kader yang berusia ≥ 35 tahun yang pernah melakukan pemeriksaan IVA, dan menggunakan kontrasepsi hormonal. Hasil wawancara mendalam pada partisipan didapatkan informasi tentang hal hal yang mempengaruhi persepsi seseorang dalam berbagai aspek, seperti pengetahuan, pengalaman, harapan, dukungan suami, dan sikap internal (emosional) tentang IVA tes. Tenaga kesehatan hendaknya memberikan informasi yang menyeluruh dalam bentuk sosialisasi program pelaksanaan IVA untuk menekan angka kesakitan dan kematian akibat kanker serviks dengan meningkatkan kesadaran kader untuk melakukan pemeriksaan IVA tes. Keywords: Persepsi, Kader, Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes
1.
PENDAHULUAN Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial secara utuh tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam suatu hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya (Dwi Maryanti, 2009: hal.4). Kesehatan reproduksi berdampak panjang, keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mempunyai konsekuensi atau akibat jangka panjang dalam perkembangan dan kehidupan social (Intan Kumalasari, 2012: hal.13). Kesehatan reproduksi juga mengimplikasikan seseorang berhak atas kehidupan seksual yang memuaskan dan aman. Seseorang berhak terbebas dari kemungkinan tertulari penyakit yang dapat berpengaruh pada organ reproduksi, dan terbebas dari paksaan (Marmi, 2013: hal.5).
60 | Prosiding
Setiap wanita beresiko terkena kanker. Kanker masih merupakan masalah kesehatan global yang mengancam penduduk dunia tanpa memandang ras, gender, ataupun status sosial tertentu. Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah serviks (leher rahim) sebagai akibat adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal disekitarnya. Di dunia, setiap 2 menit seorang perempuan meninggal akibat kanker serviks, sedangkan di Indonesia setiap 1 jam seorang perempuan meninggal karena kanker serviks. Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/ serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina). Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sembilan puluh persen (90%) dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya
berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju didalam leher rahim. (Aden Ranggiasaka, 2010: hal. 74) Kanker serviks disebabkan oeh human papiloma virus atau yang lebih dikenal dengan virus HPV, biasanya terjadi pada perempuan usia subur. HPV ditularkan melalui hubungan seksual dan ditemukan pada 95% kasus kanker mulut rahim. Infeksi HPV dapa menetap menjadi displasia atau sembuh secara sempurna. (Intan Kumalasari, 2012: hal.88). Upaya untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit dalam masyarakat melalui deteksi dini dan pengobatan keadaan belum terdapat sympton atau gejala. Skrining merupakan upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi wanita sepanjang daur hidup kehidupannya meliputi sejarah, perkembangan wanita dalam aspek biologis, psikososial dan sosial spritual, kesehatan reproduksi dalam perspektif gender, permasalahannya serta indikator status kesehatan wanita (Marmi, 2013: hal.265). Skrining yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan terjadinya kanker serviks adalah Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. IVA tes merupakan pemeriksaan leher rahim (serviks) dengan cara melihat langsung (dengan mata telanjang) leher rahim setelah memulas leher rahim dengan larutan asam asetat 3-5% (Marmi, 2013: hal. 270). Pemeriksaan IVA tes merupakan pemeriksaan skrining alternatif dari papsmear karena biasanya murah, praktis dan sangat mudah dilakukan dan peralatan sederhana serta dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter ginekologi (Marmi, 2013: hal.271). Menurut WHO (World Health Organozation) kanker serviks merupakan penyebab kematian nomor dua bagi kaum perempuan dari seluruh penyaki kanker yang ada. Dan setiap dua menit seorang wanita meninggal akibat penyakit ini (Samadi, 2011. Hal 15). Menurut data WHO setiap tahun jumlah penderita kanker bertambah mencapai 6.250.000 jiwa. Dan dalam 10 tahun mendatang, diperkirakan akan ada 9.000.000 jiwa meninggal setiap tahun akibat kanker. Dua pertiga dari penderita kanker didunia akan berada di negara-negara yang berkembang. Kasus penyakit tidak menular di Jawa Tengah pada tahun 2014 di proposikan sebagai berikut :
hipertensi 57,89%, diabetes mellitus 16,53%, asma 11,61%, jantung 4,77%, psikosis 3,53%, stroke 2,32%, PPOK 2,14%, dan kanker 1,23%. (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014). Jumlah kematian penyakit tidak menular di Kota Semarang pada tahun 2014 sebanyak 2409 kasus. Terdapat beberapa penyebabnya antara lain akibat hipertensi 423 kasus, diabetes mellitus 187 kasus, dan kanker sebanyak 42 kasus. Kanker serviks menduduki urutan kelima sebanyak 13,6% setelah Infark Miokard Akut (IMA), Ca Bronkitis. Terdapat 353 kasus kanker serviks dan 46 orang diantaranya meninggal pada tahun 2014, jumlah ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2013 terdapat 529 kasus kanker serviks dan 78 orang diantaranya meninggal (Profil Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2014). Jumlah kematian akibat kanker serviks dari 37 puskesmas pada tahun 2014 di kota Semarang sebanyak 21 kasus, jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013 sebanyak 20 kasus. Puskesmas Rowosari menempati urutan ke 3 dengan kasus kematian akibat kanker serviks yakni sebanyak 4 kasus, setelah Puskesmas Srondol 6 kasus, dan Puskesmas Tambak Aji 5 kasus. Sosialisasi IVA tes di kota Semarang yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan kota Semarang baru mencakup 13 puskesmas dari total keseluruhan 37 puskesmas. Data yang didapatkan sampai dengan bulan April 2015 sebanyak 185 kader yang sudah dilakukan pemeriksaan IVA tes ini, 41 orang diantaranya menunjukan hasil IVA Tes (+). Kasus kanker serviks sebanyak 16 kasus sampai dengan bulan April 2015. (Departemen Kesehatan Kota Semarang, 2014). Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 3 Februari 2016 di Puskesmas Rowosari pada saat dilakukan pemeriksaan dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) ini dari 25 kader yang diperiksa 6 orang (24%) diantaranya menunjukan hasil IVA postitif. Persepsi kader mengenai IVA tes ini perlu dikaji guna mencapai bagaimana pemahaman seorang kader, sehingga mampu menguraikan tentang pengalamannya, juga mampu mengintrepetasikan pendapatnya tentang IVA tes ini sesuai dari pengetahuan yang diketahui oleh mereka. Harapannya dipantaunya tentang IVA tes Prosiding | 61
ini diharapakan mampu mencegah terjadinya kejadian kanker serviks pada wanita sehingga mengurangi angka kesakitan pada wanita mengenai kesehatan reproduksinya. Berdasarkan latar belakang diatas telah diuraikan bahwa IVA tes adalah upaya untuk deteksi dini pencegahan kanker serviks. Beberapa kader ada yang sudah mengetahui dan ada yang belum mengetahui. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahuinya, maka penulis membuat karya tulis ilmiah dengan judul “Persepsi Kader tentang Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) Tes Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Serviks di Wilayah Kerja Puskesmas Rowosari”. 2.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian diadakan pada bulan Maret 2016 – Januari 2017, dan dilakukan di Puskesmas Rowosari, alasan dilakukan di Puskesmas Rowosari dikarenakan angka kejadian kematian akibat kanker serviks tinggi, sehingga ingin mengetahui bagaimana persepsi kader setempat tentang inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) tes dalam upaya deteksi dini kanker serviks. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Puskesmas Rowosari adalah salah satu pusat pelayanan kesehatan masyarakat di wilayah kelurahan Rowosari, kecamatan Tembalang. Puskesmas Rowosari bekerja sama dengan puskesmas Kedungmundu mengadakan sosialisasi mengenai deteksi dini kanker serviks dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes selama 2 (dua) hari pada bulan Februari yang dihadiri oleh warga masyarakat wilayah kerja puskesmas Rowosari. Sosialisasi yang dilakukan adalah mengenalkan kepada masyarakat dan mengajak masyarakat Rowosari untuk lebih dini memeriksakan organ reproduksinya untuk mendeteksi kanker serviks dengan menggunakan metode IVA tes ini. Pada penelitian ini, peneliti akan menjabarkan dan membahas hasil wawancara pada tiap partisipan yang terkait tentang Inspeksi Visual dengan Asam Asetatt (IVA) tes dalam upaya deteksi dini kanker serviks di wilayah kerja Puskesmas Rowosari, dalam pembahasan nama 62 | Prosiding
partisipan peneliti tidak menyebutkan nama partisipan namun peneliti mengurutkan dalam kode partisipan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan salah satu metode pengumpulan data, dimana wawancara dilakukan antara informan dengan pewawancara yang ditandai dengan penggalian informasi yang mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka tentang persepsi kader tentang inpeksi visual dengan asam asetat (IVA) tes dalam upaya deteksi dini kanker serviks. Kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang sesuai dengan kriteria inklusi yang ada dalam penelitian ini, yakni kader usia ≥ 35 tahun, sudah pernah melakukan IVA tes, menggunakan alat kontrasepsi hormonal, dan bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini. Keterangan jawaban wawancara dari partisipan dapat diketahui keabsahannya melalui cross check dengan suami dari partisipan dan satu bidan puskesmas Rowosari yang dianggap tahu mengenai partisipan tersebut.Triangulasi didapatkan dari suami dari 2 (dua) kader yang menjadi partisipan dan 1 (satu) bidan puskesmas Rowosari yang bertugas pada pelaksanaan IVA yang mengetahui tentang kader yang merupakan partisipan dari penelitian ini. Penelitian ini mengandalkan pengamatan dan wawancara dalam mengumpulkan data dilapangan. Pada waktu berada dilapangan peneliti melakukan wawancara yang direkam menggunakan handphone dan membuat catatan, setelah pulang ke rumah atau tempat tinggal barulah menyusun catatan lapangan. Catatan yang dibuat di lapangan berbeda dengan catatan yang dibuat di rumah atau ditempat tinggal. Catatan dilapangan berupa coretan seperlunya yang sangat dipersingkat, berisi kata-kata kunci, pokok-pokok isi pembicaraan atau pengamatan. Peneliti mengolah data mentah yang sudah terkumpul dengan cara menulis kata perkata sesuai dengan catatan atau hasil rekaman yang telah peneliti dapatkan. Selanjutnya, peneliti mencermati beberapa kali dan disajikan dalam mencari kata kunci yang mengandung kategori yang telah ditetukan, dan beberapa kategori yang
Yang menyakan bahwa pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat bertujuan untuk mendeteksi dini ada tidak penyakit yang ada didalam tubuh kader.
berkaitan maka terbentuklah tema tema. Hasil analisa data sebagai berikut: a.
Pengetahuan kader mengenai Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes
1)
Pengertian dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes Wawancara dilakukan pada tujuh partisipan untuk mengetahui pengetahuan partisipan tentang pengertian dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Hasil wawancara yang dilakukan kepada 7 (tujuh) partisipan, lima partisipan (P2, P3, P5, P6, P7) mengatakan bahwa pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes adalah pemeriksaan yang menggunakan semacam alat dan asam cuka yang dimasukkan kedalam organ kewanitaan untuk mendekteksi adakah kelainan ataupun kanker didalamnya. Sedangkan dua partisipan lainnya (P1 dan P4) menyatakan bahwa Inspeksi Visual Asam Asetat adalah pemeriksaan organ kewanitaan untuk mengetahui ada tidaknya suatu penyakit. Pernyataan kelima partisipan (P2, P3, P5 ,P6 dan P7) tersebut dibenarkan oleh bidan puskesmas Rowosari yaitu pemeriksaan IVA adalah pemeriksaan inpekulo yang menggunakan asam cuka untuk mengetahui adakah kelainan atau tidak didalamnya.
2)
Tujuan dari dilakukannya Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes Wawancara dilakukan pada tujuh partisipan untuk mengetahui pengetahuan partisipan tentang tujuan dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Hasil wawancara yang dilakukan, semua partisipan mengatakan bahwa tujuan dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat ini adalah untuk mengetahui penyakit yang mungkin ada didalam diri kader, hal ini penyakit yang dimaksud adalah kanker leher rahim supaya dapat dideteksi lebih dini dan ditanggulangi. Pernyataan semua partisipan tersebut dibenarkan oleh para suami yang ditunjuk sebagai tringulasi (T1 dan T2) dan bidan (T3)
3)
Manfaat dari dilakukannya Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes Wawancara dilakukan pada tujuh partisipan untuk mengetahui pengetahuan partisipan tentang manfaat dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Ketujuh partisipan memiliki jawaban yang bervariasi, dari ketujuh partisipan tiga diantaranya yakni P3, P5 dan P7 memiliki jawaban yang hampir sama yang menyatakan bahwa manfaat dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes yaitu partisipan bisa lebih mengetahui kondisi tubuhnya dan lebih bisa berhati hati dan menjaganya. Dua partisipan (P1 dan P6) menyatakan bahwa manfaat dari dilakukannya Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes adalah dapat mencegah terjadinya penyakit. Partisipan ke dua (P2) memberikan pernyataan bahwa manfaat setelah dilakukannya Inspeksi Visual dengan Asam Asetat adalah dapat sembuh dari keluhan sebelumnya Partisipan ke empat (P4) menyatakan bahwa manfaat dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat adalah menjadi lebih tau bahwa pemeriksaan IVA itu penting bagi partisipan. Pernyataan ketiga partisipan (P3,P5 dan P7) ini dibenarkan oleh T3 tentang manfat dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes ini agar tahu atau mendeteksi dini penyakit.
b.
Pengalaman kader mengenai Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes
1)
Pernah mengikuti pemeriksaan dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes Wawancara yang dilakukan kepada tujuh partisipan, seluruh partisipan menyatakan bahwa pernah mengikuti pemeriksaan dengan metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat.
Prosiding | 63
Pernyataan dari ketujuh partisipan dibenarkan oleh T1 yang menyatakan bahwa kader (istri) nya memberitahukan bahwa akan melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. 2)
Proses pelaksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes Wawancara dilakukan pada tujuh partisipan untuk mengetahui pengalaman partisipan mengenai Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes dengan menceritkan proses pelaksanaan dari pemeriksaan IVA tes itu. Hasil wawancara ketujuh partisipan, semua partisipan menceritakan bahwa proses pelaksanaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat itu adalah alat yang dimasukkan ke dalam organ kewanitaan dan diberi asam cuka. Hal ini dibenarkan oleh bidan puskesmas T3 yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan IVA tes adalah pemeriksaan inspekulo menggunakan asam cuka untuk mengetahui adakah kelainan atau tidak.
3)
Hasil dari pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat IVA) tes Wawancara dilakukan pada tujuh partisipan untuk mengetahui pengalaman partisipan mengenai Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes dengan menceritkan hasil dari pelaksanaan dari pemeriksaan IVA tes itu. Hasil wawancara yang dilakukan kepada tujuh partisipan lima partisipan (P1, P2, P3, P6, dan P7) menyatakan bahwa hasilnya baik. Hasil pemeriksaan IVA tes dua partisipan (P4 dan P5) lainnya menyatakan hasil yang kurang baik. Seluruh pernyataan yang dikemukakan oleh partisipan dibenarkan oleh pernyataan T3 yakni bidan puskesmas yang menyatakan bahwa 80% hasilnya bagus tetapi ada juga yang perlu tindakan lebih lanjut.
64 | Prosiding
c.
Harapan kader setelah dilakukannnya Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes Wawancara dilakukan pada tujuh partisipan untuk mengetahui harapan partisipan setelah dilakukannyai Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Hasil wawancara yang dilakukan kepada tujuh partisipan, ada tiga macam harapan yang diungkapkan oleh ke tujuh partisipan. Harapan tersebut yakni ingin tetap sehat, tidak timbul penyakit yang berbahaya dan ingin segera sembuh dari keluhan. Seluruh partisipan menyatakan harapan setelah dilakukannya inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) tes ini biar tetap sehat. Pernyataan seluruh partisipan ini dibenarkan oleh T1 yang menyatakan bahwa harapannya agar kader (istri) tetap sehat. Dukungan suami kader dalam pelaksanaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Wawancara dilakukan pada tujuh partisipan untuk mengetahui bagaimana dukungan suami kader dalam pelaksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan seluruh partisipan menyatakan bahwa suami dari masing masing kader mendukung untuk kegiatan pelaksanaan Inspeksi Visual dengan Asama Asetat (IVA) tes ini. Seluruh pernyataan partisipan dibenarkan oleh suami partisipan yang dijadikan triangulasi dalam penelitian ini, T1 dan T2 menyatakan bahwa mendukung kader (istri) dalam pelaksanaan pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) ini. Sikap internal (emosional) kader dalam pelaksanaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes.
1)
Perasaan pada saat dilakukannya Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes Wawancara dilakukan pada tujuh partisipan untuk mengetahui bagaimana perasaan kader saat dilakukannyai Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes. Hasil wawancara yang dilakukan ada dua macam perasaan yang diungkapkan oleh partisipan yakni ada yang
mengungkapkan biasa saja ada pula yang cemas dan takut. Wawancara ketiga partisipan (P1, P2, dan P5) menyatakan bahwa perasaan nya pada saat melakukan pemeriksaan IVA tes ini biasa saja, hal ini berbeda dengan yang diungkapan oleh ke empat partisipan yang lainnya (P3,P4,P6 dan P7) yang mengungkapkan bahwa pada saat pemeriksaan IVA tes ini timbul rasa takut dan cemas. Seluruh pernyataan dari tujuh partisipan dibenarkan oleh T3 yakni bidan puskesmas yang terlibat dalam pelaksanaan IVA tes ini yang mengetahui bagaimana keadaan emosional (perasaan) partisipan pada saat dilakukan pemeriksaan. T3 menyatakan bahwa perasaan partisipan beragam, beberapa partisipan ada yang mengungkapkan perasaannya, tetapi juga dapat dilihat dari ekspresi partisipan pada saat akan diperiksa. 4.
KESIMPULAN Pengetahuan kader tentang Inpeksi Visual dengan Asam Asetat bahwa semua partisipan sudah mengetahui tentang pengertian, tujuan dan manfaat dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetta (IVA) tes sedangkan pengalaman kader mengenai Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes, meliputi keikutsertaannya dalam pemeriksaan, proses pemeriksaan IVA tes, dan hasil pemeriksaan IVA tes. Semua partisipan telah mengikuti pemeriksaan IVA tes dan menyatakan bahwa proses pemeriksaan IVA tes dimulai dari alat yang dimasukkan ke dalam organ kewanitaan dan diberi asam cuka dan dari sana hasilnya sudah terlihat. Hasil pemeriksaan IVA tes yang dilakukan oleh partisipan, dua orang diantaranya harus mendapat penanganan tindak lanjut.Harapan kader setelah dilakukannya Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes, ketujuh partisipan mengharapkan hal yang sama agar tetap sehat.Dukungan suami kader dalam pelaksanaan Inpeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes, partisipan menyatakan suami mendukung pada saat akan dilakukannya pemeriksaan IVA tes. Sikap
internal (emosional) kader dalam pelaksanaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) tes, empat dari tujuh partisipan menyatakan bahwa mereka merasa takut dan cemas saat akan dilakukan pemeriksaan IVA tes. 5.
REFERENSI
Asmawati, E. (2013). Hubungan tingkat pengetahuan kader (WUS) tentang deteksi dini kanker serviks dengan pelaksanaan IVA tes di RW 1 Desa Bacin Kecamatan Bae Kabupaten Kudus. Eka, N. D. (2015). Faktor Faktor yang berhubungan dengan kejadian pemeriksaan IVA/ Pap Smear pada ibu ibu PKK di Dusun Tajem Depok Sleman. KTI. Gustiana, D. (2014). Faktor faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan kanker serviks pada kader. Jurnal Nasional. Juanda, D. (2014). Pemeriksaan metode IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) untuk pencegahan kanker serviks. Jurnal Nasional. Kosidah, A. (2014). Faktor faktor yang mempengaruhi ibu rumah tangga dalam melakukan tes IVA sebagai upaya deteksi dini kanker serviks di Kecamatan Purwokerto Barat Kabupaten Banyumas. Makalah Publisher. Kumalasari, I. (2012). Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Maharti, L. (2011). Hubungan pengetahuan ibu tentang kanker serviks dengan keikutsertaan ibu melakukan IVA test di Kelurahan Jebres Surakarta. KTI. Marmi. (2013). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maryanti, D. (2009). Buku Ajar Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Nuha Medika. Moleong, L. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mu'aifah, A. (2005). Hubungan Kecemasan dan Agresifitas. KTI. Nesi, N. (2011). Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Notoadmojo, S. (2005). Promosi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, S. (2010). Perilaku Konsumen. Bandung: Kencana Prenada Medika Group.
Prosiding | 65
Nugroho, T. (2014). Masalah Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogyakarta: Nuha Medika. Otto, S. (2005). Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC. Profil Kesehatan Jawa Tengah 2014. (2014, November 14). Dipetik November 16, 2015, dari http://id.dinkesjatengprov.go. Profil Kesehatan Kota Semarang 2014. (2014, November 2014). Dipetik November 08, 2016, dari http://id.dinkessemarang.go. R, I. (2010). Gambaran faktor faktor yang mempengaruhi rendahnya WUS dalam melakukan deteksi dini CA Cerviks dengan melakukan pemeriksaan IVA di desa Candiwates Kecamatan Prigen Pasuruan. KTI. Ranggiasanka, A. (2010). Waspada Kanker Pada Pria dan Wanita. Yogyakarta: Siklus Hanggar Kreator.
66 | Prosiding
Rasjidi, I. (2009). Deteksi Dini dan Pencegahan Kanker pada Wanita. Jakarta: CV Agung Seto. Saebani, B. A. (2008). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia. Samadi. (2011). Yes, I Know Everything about Kanker Serviks. Solo: Metagraf. Saryono. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif. Bandung: Alfabeta. Sulistiowati, E. (2014). Pengetahuan tentang faktor risiko perilaku dan deteksi dini kanker serviks dengan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) pada wanita di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. KTI
FAKTOR MATERNAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN BBLR Isy Royhanaty1), Dwi Indah Iswanti2), Linda Saraswati3) 1 Prodi Kebidanan, STIKes Karya Husada Semarang 2 Prodi Keperawatan, STIKes Karya Husada Semarang 3 Prodi Kebidanan, STIKes Karya Husada Semarang Email :
[email protected]
Abstrak Latar Belakang : BBLR adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Angka kematian bayi menjadi indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan. Secara statistik, angka kematian dan kesakitan pada neonatus di negara berkembang adalah tinggi, dengan penyebab utama adalah BBLR (Puspitasari,2011). Ada beberapa faktor penyebab dari BBLR, misalnya faktor maternal dari ibu. Contoh dari faktor maternal adalah usia, paritas, status gizi, riwayat anemia, riwayat jantung, riwayat hipertensi, dan riwayat prematur sebelumnya. Tujuan Penelitian : Mengetahui faktor maternal yang berhubungan dengan kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di RSUD DR. Soeselo Slawi. Metode Penelitian : Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan waktu Retrospektif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin di RSUD DR Soeselo Slawi periode tahun 2013 berjumlah 287 orang. Analisa data menggunakan uji Chi Square. Hasil Penelitian Ada hubungan antara usia ibu, paritas, status gizi, riwayat anemia, riwayat jantung, riwayat hipertensi, riwayat prematur sebelumnya dengan kejadian BBLR dengan nilai probabilitas (p) value yaitu 0,000. Kesimpulan Ada hubungan antara usia ibu, paritas, status gizi, riwayat anemia, riwayat jantung, riwayat hipertensi, riwayat prematur sebelumnya dengan kejadian BBLR di RSUD DR Soeselo Slawi. Keywords: usia, paritas, status gizi, anemia, jantung, hipertensi, kelahiran premature, BBLR
1.
PENDAHULUAN Angka Kematian Bayi di Indonesia hasil dari SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1000 kelahiran hidup. Sementara target yang akan dicapai sesuai kesepakatan MDGs tahun 2015, angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup (kepmenkes RI,2012:12). Kematian bayi baru lahir atau neonatal mencapai 40% dari semua kematian pada anak balita (6,6 juta). Mayoritas dari semua kematian neonatal, 75% terjadi pada minggu pertama kehidupan, dan antara 25% sampai 45% terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama kematian bayi baru lahir, yaitu prematur dan berat lahir rendah (30%), infeksi (25%), asfiksia (kekurangan oksigen saat lahir) dan trauma kelahiran (28%) , dan (17%) penyebab lain (WHO, 2012). Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan 37 minggu sampai 40 minggu dan berat lahir 2500 gram sampai 4000 gram (Dep.Kes, 2005). Bayi berat lahir rendah
ialah bayi baru lahir yang berat badannya kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2.499 gram) (Sarwono Prawirohardjo, 2008). Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan Bayi Baru Lahir (BBL). Rata-rata berat badan normal (usia gestasi 37s.d 41 minggu) adalah 3200 gram. Secara umum, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) lebih besar resikonya untuk mengalami masalah atau komplikasi pada saat lahir (Damanik, 2010). Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 33% - 38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosial ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian, BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak Prosiding | 67
jangka panjang dengan kehidupannya di masa depan (Pantiawati, 2010: 3). Jumlah bayi berat lahir rendah (BBLR) di Jawa Tengah pada tahun 2012 sebanyak 21.573 meningkat dibandingkan tahun 2011 yang sebanyak 21.184. adapun presentase BBLR sebesar 3,75% meningkat bila dibandingkan tahun 2011 sebesar 3,73% (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2012). Salah satu kabupaten di Jawa Tengah adalah Kabupaten Tegal yang beribukotakan di Slawi. Slawi memiliki Rumah Sakit yaitu Rumah Sakit DR Soeselo Slawi. Rumah Sakit Umum Daerah Slawi ini merupakan Rumah Sakit Rujukan baik oleh Bidan Praktek Swasta, Klinik Bersalin, dan Puskesmas. Menurut data kelahiran dari RS Soeselo Slawi tahun 2012 di Ruang Nusa Indah terdapat 54 kejadian BBLR. Dan 4 diantaranya meninggal. Jumlah meninggal ini lalu meningkat di tahun 2013 yaitu terdapat 5 meninggal dari 54 kejadian BBLR , Keadaan ini justru semakin memburuk dengan prosentase kenaikan 1,85 %. Sebagai tenaga kesehatan, diharapkan dapat mengoptimalkan pelayanan kesehatan ibu hamil sehingga dapat membantu mengurangi angka kematian neonatal. Berat badan lahir rendah (BBLR) bisa disebabkan oleh faktor maternal seperti usia ibu hamil (<16 tahun atau >35 tahun),paritas ibu, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi ibu, dan bisa juga karena nutrisi/status gizi pada ibu, anemia, penyakit jantung, (Anik Maryunani, 2013: 12-13). 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah kuantitatif, dengan pendekatan waktu retrospektif. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah sakit Dr. Soeselo Slawi pada tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin di Ruang Nusa Indah di RSUD Dr. Soeselo Slawi dari rentang bulan Januari sampai Desember tahun 2013 sejumlah 364 orang. Teknik sampling dalam penelitian ini purposive sampling, dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yang digunakan adalah pasien yang mempunyai data lengkap dalam rekam medisnya, sedangkan kriteria eksklusinya adalah data pasien 68 | Prosiding
yang tidak bisa dibaca oleh peneliti, bayi baru lahir yang berat badannya >4000 gram dan ibu yang memiliki status gizi overweight atau IMT >23. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu dengan melihat catatan medis ibu bersalin periode tahun 2013 di bagian rekam medik RSUD Dr. Soeselo Slawi. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah chi square. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang hubungan usia dan BBLR pada 287 responden di RSUD Dr. Soesilo Slawi periode tahun 2013 didapatkan bahwa ada hubungan antara usia dengan BBLR. Responden yang mengalami kejadian BBLR sejumlah 54 orang, sebagian besar adalah usia beresiko (<20 tahun dan >35 tahun). Usia mempunyai pengaruh terhadap kehamilan dan persalinan ibu. Usia yang kemungkinan tidak resiko tinggi pada saat kehamilan dan persalinan yaitu umur 20-35 tahun, karena pada usia tersebut rahim sudah siap menerima kehamilan, mental sudah matang dan sudah mampu merawat bayi dan dirinya. Sedangkan umur <20tahun dan >35 tahun merupakan umur yang risiko tinggi terhadap kehamilan dan persalinan (Cuningham, 2005) (Padila,2014,86) Usia ibu yang kurang dari 20 tahun memiliki alat reproduksi belum matang, sehingga belum siap untuk hamil karena merugikan kesehatan ibu, secara biologis belum optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya. Wanita berusia lebih dari 35 tahun beresiko lebih tinggi mengalami obstretis serta morbiditas dan mortalitas perinatal. Sehingga umur ibu beresiko dianggap lebih rentan mengalami BBLR. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan teori yang ada, dimana menunjukkan adanya hubungan umur ibu dengan kejadian BBLR dan sebagian besar responden yang mengalami kejadian BBLR adalah pada usia beresiko. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ika Kunia R pada tahun 2012 di
Puskesmas Jepara Kabupaten Jepara, dengan hasil adanya hubungan umur ibu dengan kejadian BBLR di Puskesmas Jepara Kabupaten Jepara 2012. Hasil penelitian dari 287 responden, menunjukkan adanya hubungan paritas ibu dengan kejadian BBLR pada ibu bersalin di RSUD Dr. Soesilo Slawi periode tahun 2013. Responden yang mengalami kejadian BBLR yaitu sebanyak 54 orang dan sebagian besar adalah responden primipara. Paritas tinggi (> dari 3) atau grandemultipara mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Menurut Astuti (2008) kehamilan dengan paritas tinggi menyebabkan kemunduran daya lentur (elastisitas) jaringan yang sudah berulang kali direngangkan kehamilan. Sehingga cenderung untuk timbul kelainan letak ataupun kelainan pertumbuhan plasenta dan pertumbuhan janin sehinga melahirkan bayi berat badan lahir rendah. Hal ini dapat mempengaruhi suplai gizi dari ibu ke janin dan semakin tinggi paritas maka resiko untuk melahirkan BBLR semakin tinggi. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan teori diatas, dimana menunjukkan adanya hubungan paritas dengan kejadian BBLR, tetapi sebagian besar responden yang mengalami kejadian BBLR ada responden primigravida yang merupakan bukan resiko terjadinya BBLR, hal ini disebabkan karena adanya faktor resiko BBLR lainnya seperti faktor kondisi maternal (penyakit jantung, anemia, hipertensi), status gizi, usia ibu dan faktor lainnya. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Nurfi Laela dengan judul Faktor – faktor yang Mempengaruhi dengan Kejadian BBLR di RSUD Dr. Zainoel Abidin Periode Tahun 2012, dimana pada penelitiannya menggunakan variabel paritas dan hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan paritas dengan kejadian BBLR. Hasil penelitian dari 287 responden, menunjukkan adanya hubungan status gizi ibu dengan kejadian BBLR pada ibu bersalin di RSUD Dr. Soesilo Slawi periode tahun 2013. Sebagian besar responden yang mengalami kejadian BBLR adalah responden dengan status gizi kurang yaitu sejumlah 41 orang. Status gizi yang optimal pada ibu hamil, berpengaruh dalam menjalani kehamilan dengan
aman dan melahirkan bayi dengan potensi fisik dan mental yang baik. Apabila di dalam masa kehamilan terjadi malnutrisi maka akan sangat mempengaruhi pertumbuhan janin. Seorang ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi, maka bayi yang dilahirkan akan mengalami berat badan lahir yang rendah, sakit-sakitan, dan mempengaruhi kecerdasannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa status gizi ibu hamil dianggap mempengaruhi kejadian BBLR. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan teori yang ada, dimana menunjukkan adanya hubungan status gizi ibu dengan kejadian BBLR dan sebagian besar responden yang mengalami kejadian BBLR adalah responden dengan status gizi kurang. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ika Kurnia Rufaida pada tahun 2012 dengan judul Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian BBLR di Puskesmas Jepara Kabupaten Jepara pada Tahun 2012, dimana pada penelitiannya menggunakan variabel status gizi dan hasil analisis bivariat menunjukan adanya hubungan status gizi dengan kejadian BBLR. Hasil penelitian dari 287 responden menunjukkan adanya hubungan anatara riwayat penyakit anemia dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. Soesilo Slawi. Sebagian besar responden yang mengalami BBLR adalah responden yang tidak memiliki riwayat penyakit anemia. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas ibu. Anak yang dikandung oleh ibu yang menderita anemia juga akan mengalami penurunan kecerdasan intelijensi stelah dilahirkan (Padila, 2014). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori di atas, dimana menunjukkan adanya hubungan riwayat penyakit anemia dengan kejadian BBLR, tetapi dari 54 responden yang mengalami BBLR sebagian besar tidak memiliki riwayat penyakit anemia. Sedangkan pada teori yang lebih rentan mengalami BBLR adalah responden yang memiliki riwayat penyakit anemia. Hal ini Prosiding | 69
disebabkan karena adanya factor lain penyebab BBLR seperti paritas, umur, status gizi, riwayat penyakit jantung, riwayat hipertensi dan riwayat prematur sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nelli Simanjuntak yang berjudul Hubungan Anemia terhadap Kejadian BBLR di Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Rantau Prapat Labuhan Batu pada Tahun 2008 juga menggunakan anemia sebagai variabel penelitiannya dan hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan anemia dengan kejadian BBLR. Hasil penelian dari 287 responden menunjukkan adanya hubungan antara riwayat penyakit jantung dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. Soesilo Slawi. Sebagian besar responden yang mengalami BBLR adalah responden yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Teori menurut Arif Mansjoer (2009, 282) hipervolemia dalam kehamilan yang sudah dimulai umur kehamilan 10 minggu dan mencapai puncak pada usia 32-36 minggu. Uterus yang semakin membesar mendorong diafragma ke atas, kiri dan depan sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran. Kemudian 12-24 jam pasca persalinan terjadi peningkatan volume plasma akibat imbibisi cairan dari ekstravaskuler ke dalam pembuluh darah, kemudian diikuti periode diuresis pascapersalinan yang menyebabkan hemokonsentrasi. Jadi penyakit jantung akan menjadi lebih berat pada pasien yang hamil dan melahirkan, bahkan dapat terjadi gagal jantung. Sehingga ibu yang memiliki penyakit jantung dapat menimbulkan edema paru, abortus pada kehamilan muda, bayi premature, berat badan lahir rendah, hipoksia , gawat janin, hingga kematian. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori di atas, dimana menunjukkan adanya hubungan riwayat penyakit jantung dengan kejadia BBLR, tetapi dari 54 responden yang mengalami BBLR sebagian besar tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Sedangkan pada teori yang lebih rentan mengalami BBLR adalah responden yang memiliki riwayat penyakit jantung. Hal ini disebabkan karena adanya factor lain penyebab BBLR seperti paritas, umur, status gizi, riwayat penyakit anemia, riwayat hipertensi dan riwayat premature sebelumnya. 70 | Prosiding
Penelitian diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Karlina Sulistiani yang berjudul Faktor Resiko Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tanggerang Selatan Tahun 20122014, dimana dalam penelitiannya menggunakan variabel riwayat penyakit ibu termasuk riwayat penyakit jantung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan riwayat penyakit jantung dengan kejadian BBLR. Hasil penelian dari 287 responden menunjukkan adanya hubungan antara riwayat penyakit jantung dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. Soesilo Slawi. Sebagian besar responden yang mengalami BBLR adalah responden yang memiliki riwayat penyakit hipertensi. Teori menurut Manuaba (2009), riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum hamil atau sebelum umur kehamilan 20 minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi berisiko lebih besar meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal lebih tinggi. Pada ibu hamil terjadinya hipertensi, akan menyebabkan terjadinya spasme pembuluh darah, sehingga terjadi gangguan fungsi plasenta, maka sirkulasi uteroplasenter akan terganggu, pasokan nutrisi dan O2 akan terganggu sehingga janin akan mengalami pertumbuhan janin yang terganggu dan bayi akan lahir dengan berat bayi lahir rendah (BBLR). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori diatas, dimana menunjukkan adanya hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian BBLR dan dari 54 responden yang mengalami BBLR sebagian besar memiliki riwayat penyakit hipertensi. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Karlina Sulistiani yang berjudul Faktor Resiko Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tanggerang Selatan Tahun 20122014, dimana dalam penelitiannya menggunakan variabel riwayat penyakit ibu termasuk riwayat penyakit hipertesni. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian BBLR. Hasil penelian dari 287 responden menunjukkan adanya hubungan antara riwayat prematur sebelumnya dengan kejadian BBLR di RSUD Dr. Soesilo Slawi. Sebagian besar responden yang mengalami BBLR adalah
responden yang tidak memiliki riwayat prematur sebelumnya. Riwayat prematur sebelumnya merupakan ibu yang pernah mengalami persalinan premature sebelumnya pada kehamilan yang terdahulu (Hacker, 2001). Ibu yang tidak dapat melahirkan bayi sampai usia aterm dapat disebabkan karena kandungan / rahim ibu yang lemah atau faktor lain yang belum diketahui jelas penyebabnya. Wanita yang telah mengalami kelahiran prematur pada kehamilan terdahulu memiliki resiko 20 % sampai 40 % untuk terulang kembali (Varney, 2007). Persalinan prematur dapat terulang kembali pada ibu yang persalinan pertamanya terjadi persalinan prematur dan resikonya meningkat pada ibu yang kehamilan pertama dan kedua juga mengalami persalinan prematur. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori di atas, dimana menunjukkan adanya hubungan riwayat prematur dengan kejadian BBLR, tetapi dari 54 responden yang mengalami BBLR sebagian besar tidak memiliki riwayat prematur sebelumnya. Sedangkan pada teori yang lebih rentan mengalami BBLR adalah responden yang memiliki riwayat prematur sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya faktor lain penyebab BBLR seperti kondisi penyakit ibu, faktor janin, faktor jalan lahir, dan faktor lainnya. Penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Karlina Sulistiani yang berjudul Faktor Resiko Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tanggerang Selatan Tahun 20122014, dimana dalam penelitiannya menggunakan variabel riwayat prematur. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan riwayat prematur dengan kejadian BBLR. 4.
KESIMPULAN Ada hubungan antara usia ibu, paritas, status gizi, riwayat anemia, riwayat jantung, riwayat hipertensi, riwayat prematur sebelumnya dengan kejadian BBLR di RSUD DR Soeselo Slawi. RS diharapkan dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien dengan resiko BBLR untuk menghindari bertambahnya angka kematian ibu dan mengevaluasi tenaga kesehatan dalam
melaksanakan asuhan kebidanan pada pasien preeklamsia. Tenaga kesehatan dapat melakukan penyuluhan terhadap masyarakat tentang BBLR dan factor-faktor yang menjadi predisposisi terjadinya BBLR supaya dapat menghindarinya, melakukan screening terhadap pasien hamil yang mempunyai resiko terjadinya BBLR dan menekankan kepada masyarakat bahwa hamil <20 tahun dan >35 tahun adalah sangat beresiko. 5. REFERENSI Damanik, S.M. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Dewi Vivian NL. 2011. Asuhan Kehamilan untuk Kebidanan. Jakarta : Graha Ilmu Hasdianah, 2014. Pemanfaatan Gizi, Diet, dan Obesitas. Yogyakarta: Nuha Medika Istianty, Ari, dkk. 2013. Gizi Terapan.Bandung : PT Remaja Rodakarya Kepmenkes 2012 Kosim Sholeh.dkk. 2007. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Kristiyanasari,Weni. 2010.Gizi Ibu Hamil. Yogyakarta : Nuha Medika Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Maryunani,Anik. 2011. Buku Saku Asuhan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. Jakarta : CV Trans Info Media Notoatmadja,Soekijo. 2010. Askeb pada Masa Kehamilan. Jakarta : Salemba Medika Pantiawati, I. 2010. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha Medika Padila. 2014. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta : Nuha Medika Profil Kesehatan Jawa Tengah 2012 Pusat Pendidikan Kesehatan 2003 Salmah,dkk.2006. Asuhan Kebidanan Antenatal. Jakarta : EGC Sastroasmoro,Sudigdo,dkk. 2011. Dasar dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-4. Jakarta : Sagung Seto Sulistyawati,A. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Kehamilan. Jakarta: Salemba Medika Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Bina Pustaka
Prosiding | 71
INDEKS MASSA TUBUH DENGAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS) PADA MAHASISWA JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES KEMENKES KENDARI Nasrawati Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Kendari Email :
[email protected]
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian di Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Kendari selama 2 bulan (Oktober-November 2016). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) terhadap kejadian Premenstrual Syndome (PMS) pada remaja putri. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa putri program studi D3 Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Kendari. Jumlah sampel 192 orang dan diambil secara sistematik random sampling dengan menggunakan rumus Hypothesis for two population proportion. Uji analisis menggunakan uji ChiSquare, Regresi Logistik. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar remaja putri mengalami PMS sebesar 60,9%, sebagian besar IMT remaja putri dalam kategori ≥ overweight yaitu sebesar 49,5%, ada hubungan antara IMT remaja dengan kejadian PMS.
Keywords: Premenstrual sindrom, indeks massa tubuh, remaja putri, Poltekkes Kemenkes Kendari
1.
PENDAHULUAN
Pada siklus kehidupan seorang wanita mulai dari usia remaja hingga dewasa normalnya akan mengalami periode menstruasi atau haid. Sebelum menstruasi, sejumlah gadis dan wanita biasanya mengalami rasa tidak nyaman. Biasanya merasakan satu atau beberapa gejala yang disebut dengan kumpulan gejala sebelum datang bulan atau istilah populernya premenstrual syndrome (PMS). Prevalensi premenstrual syndrome (PMS) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Spanyol pada tahun 2011 menyebutkan bahwa dari 2108 partisipan yang diteliti, terdapat 1554 (37,7%) wanita berusia antara 15 sampai 49 tahun mengalami premenstrual syndrome (Deunas, J.L., 2011). Dari penelitian tersebut juga terungkap bahwa dari total sampel, terdapat 1415 (91%) wanita mengalami gejala ringan dan 139 (8,9%) mengalami gejala yang berat. Wanita yang mengalami gejala berat mempunyai dampak yang signifikan terhadap aktivitas sehari-harinya. Hasil survei yang
72 | Prosiding
dilakukan terhadap 242 mahasiswa di Jimma University, Ethiopia dengan rata-rata usia responden 20 tahun menyatakan bahwa hampir semua partisipan mengalami 99,6% premenstrual syndrome, paling sedikit mengalami satu gejala dari sekian banyak gejala premenstrual syndrome selama siklus menstruasi dalam 12 bulan terakhir. Hal ini dapat memberi dampak terhadap kegiatan akademik mahasiswa seperti: penurunan kosentrasi belajar, peningkatan absensi kehadiran di kelas serta penurunan aktivitas di kampus. Dilaporkan 27% dari partisipan mengalami premenstrual dysphoric disorder, 14% sering tidak masuk kelas dan 15% tidak bisa mengikuti ujian karena beratnya gejala premenstrual syndrome yang dialami (Tenkir, A., Fisseha, N. & Ayele, B., 2002). Penelitian yang dilakukan di Indonesia menyebutkan bahwa prevalensi kejadian premenstrual sindrom pada siswi SMA di Surabaya adalah 39,2% mengalami gejala berat dan 60,8% mengalami gejala ringan (Christiany, I., Hakimi, M., Sudargo, T., 2006). Penyebab PMS disebabkan
oleh multifaktorial, diantaranya adalah: obesitas, under weight, stres, usia menarche, nutrisi, serta faktor lainnya. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa perempuan yang memiliki skor indeks massa tubuh >30, memiliki risiko 3 kali lipat mengalami sindroma premenstruasi dibandingkan perempuan yang memiliki skor indeks massa tubuh <30 (Masho,S.W, Adera, T, South-Paul, J., 2005). Penelitian yang dilakukan di Jepang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan kejadian premenstrual syndrom (Murakami, K., 2008). Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa di Nnamdi Azikiwe University, Awka, Nigeria mengatakan bahwa IMT atau indeks massa tubuh yang rendah mempunyai hubungan yang signifikan tehadap kejadian premenstrual syndrom (Eke, A.C., Akabuike, J.C., Maduekwe.K., 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan PMS pada mahasiswa Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Kendari. 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilakukan di Poltekkes Kemenkes Kendari pada Jurusan Kebidanan selama periode bulan Oktober sampai dengan November 2016. Desain penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa putri program studi D3 Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Kendari. Jumlah sampel 192 orang dan diambil secara sistematik random sampling dengan menggunakan rumus Hypothesis for two population proportion. Uji analisis menggunakan uji Chi-Square, Regresi Logistik. 3.
HASIL
diinput ke komputer dan dianalisis menggunakan SPSS. Hasil analisis data ditampilkan dalam bentuk tabel disertai penjelasan. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel. a. Deskripsi Kejadian PMS, IMT dan Usia Menarche Tabel 1. Distribusi Kejadian PMS, IMT, Usia Menarche, Tingkat Stres Variabel PMS Ada Tidak ada IMT ≥ Overweight Normal Kurang Usia Menarche Cepat Lambat Tingkat Stres Tinggi Rendah
N
%
117 75
60,9 39,1
95 62 35
49,5 32,3 18,2
52 140
27,1 72,9
165 27
85,9 14,1
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 192 responden, sebagian besar mengalami PMS sebanyak 117 orang (60,9%), sedangkan yang tidak mengalami PMS sebanyak 75 orang (39,1%). Dan sebagian besar IMT responden adalah ≥ overweight sebanyak 95 orang (49,5%), kemudian disusul oleh IMT normal sebanyak 62 orang (32,3%) dan IMT kurang sebanyak 35 orang (18,2%). Untuk 192 responden, sebagian besar usia menarche responden dalam kategori lambat sebanyak 140 orang (72,9%), sedangkan usia menarche responden dalam kategori cepat sebanyak 52 orang (27,1%), serta sebagian besar tingkat stres responden dalam kategori tinggi sebanyak 165 orang (85,9%), sedangkan responden dengan tingkat stres rendah sebanyak 27 orang (14,1%). b. Hubungan Umur Menarche, Tingkat Stres dan Usia Menarche dengan Kejadian PMS
Dari total sampel sebanyak 192 orang, selanjutnya dilakukan analisis data yang telah dikumpulkan
Prosiding |73
Tabel 2 Hubungan Umur Menarche dengan Kejadian PMS PMS Variabel
Ada
Umur Menarche Cepat Lambat Tingkat Stres Tinggi Rendah IMT ≥ overweight Normal Kurang
Tidak ada
p
N
%
N
%
45 72
38,5 61,5
7 68
9,3 90,7
0,000
109 8
93,2 6,8
56 19
74,7 25,3
0,000
67 30 20
57,3 25,6 17,1
28 32 15
37,3 42,7 20,0
0,018
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 117 responden yang mengalami PMS, sebagian besar umur menarche responden dalam kategori lambat sebanyak 72 orang (61,5%), demikian pula dari 75 responden yang tidak mengalami PMS, sebagian besar umur menarche responden dalam kategori lambat sebanyak 68 orang (90,7%). Hasil uji analisis menyatakan bahwa ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS (p=0,000). Sedangkan sebagian besar tingkat stres responden dalam kategori tinggi sebanyak 109 orang (93,2%), demikian pula dari 75 responden yang tidak mengalami PMS, sebagian besar tingkat stres
responden dalam kategori tinggi sebanyak 56 orang (74,7%). Hasil uji analisis menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat stres dengan kejadian PMS (p=0,000), dan sebagian besar IMT responden dalam kategori ≥overweight sebanyak 67 orang (57,3%), sedangkan dari 75 responden yang tidak mengalami PMS, sebagian besar IMT responden dalam kategori normal sebanyak 32 orang (42,7%). Hasil uji analisis menyatakan bahwa ada hubungan antara IMT dengan kejadian PMS (p=0,018). Analisis Logistik Regresi Antara Umur Menarche, Tingkat Stres dan IMT Dengan Kejadian PMS.
Tabel 3 Estimasi Odds Ratio (OR) Hasil Analisis Multivariabel Menggunakan Permodelan Regresi Logistik Mengenai Kejadian PMS
Variabel
Model 1 Mengalami PMS OR (CI 95%)
Model 2 Mengalami PMS OR (CI 95%)
Model 3 Mengalami PMS OR (CI 95%)
1,063 (0,434-2,601) 1 0,584 (0,289-1,178)
0,708 (0,298-1,680) 1 0,413* (0,207-0,824)
1,028 (0,412-2,565) 1 0,582 (0,283-1,198)
IMT Kurus Normal ≥overweight Umur Menarche Cepat
0,185** (0,076-0,452) 1
Lambat Tingkat stres Rendah Tinggi -2 Log Likelihood Df Ket: Nilai 1 *: **:
231,958 3
1 0,233** (0,095-0,575) 235,503 3
1 0,308* (0,123-0,767) 223,215 4
Kelompok pembanding P<0,05 P<0,01
Hasil penelitian pada model 1 dapat dilihat bahwa IMT tidak signifikan secara statistik untuk 74 | Prosiding
0,225** (0,090-0,558) 1
mengalami PMS, sedangkan umur menarche signifikan secara statistik untuk mengalami PMS,
sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin cepat umur menarche, maka kecenderungan untuk mengalami PMS akan meningkat. Hasil penelitian pada model 2 dapat dilihat bahwa IMT ≥overweight signifikan secara statistik untuk mengalami PMS, demikian pula tingkat stres signifikan secara statistik untuk mengalami PMS, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin IMT ≥overweight dan semakin tinggi tingkat stres, maka kecenderungan untuk mengalami PMS akan meningkat. Hasil penelitian pada model 3 dapat dilihat bahwa umur menarche signifikan secara statistik untuk mengalami PMS, demikian pula tingkat stres signifikan secara statistik untuk mengalami PMS, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin cepat umur menarche dan semakin tinggi tingkat stres, maka kesenderungan untuk mengalami PMS akan meningkat. 4.
PEMBAHASAN
Masa remaja merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa (Sidabutar, S., 2012). Remaja seringkali kurang mendapatkan informasi tentang proses menstruasi dan kesehatan selama menstruasi sehingga kurang mengetahui gejala-gejala menjelang menstruasi termasuk tentang PMS. Premenstrual syndrome (PMS) adalah gejala fisik, psikologis dan perilaku yang menyusahkan yang tidak disebabkan oleh penyakit organik yang secara teratur berulang selama fase siklus haid menghilang selama waktu haid yang tersisa (Hacker, Moore., 2001). Sekitar 8,9% wanita menderita PMSyang berat sehingga mengganggu kegiatan sehari-harinya (Deunas, J.L., 2011). Sindroma pramenstruasi merupakan gangguan yang umum terjadi pada wanita pada pertengahan siklus menstruasi, ditandai dengan gejala fisik dan emosional yang konsisten, terjadi selama siklus menstruasi (Farida, Z.K., 2011). Hasil penelitian menunjukkan dari 192 responden, sebagian besar mengalami PMS sebanyak 117 orang (60,9%). Hal ini sesuai dengan teori bahwa hampir separuh dari semua wanita dalam usia reproduksi mengalami gejala-gejala PMS dan setiap wanita yang haid berisiko terkena PMS (Balaha, M. H., Amr, M. A., Saleh Al Moghannum, M. & Saab Al Muhaidab, N. , 2010;
Brunner, Suddarth, 2001 ). Hasil penelitian lain menyatakan bahwa prevalensi premenstrual syndrome (PMS) di Spanyol pada tahun 2011 menyebutkan bahwa terdapat 37,7% wanita berusia antara 15 sampai 49 tahun mengalami premenstrual syndrom. Wanita yang mengalami gejala berat mempunyai dampak yang signifikan terhadap aktivitas sehari-harinya (Deunas, J.L., 2011). Hasil survei yang dilakukan terhadap 242 mahasiswa di Jimma University, Ethiopia dengan rata-rata usia responden 20 tahun menyatakan bahwa hampir semua partisipan mengalami 99,6% premenstrual syndrome, paling sedikit mengalami satu gejala dari sekian banyak gejala premenstrual syndrome selama siklus menstruasi dalam 12 bulan terakhir. Hal ini dapat memberi dampak terhadap kegiatan akademik mahasiswa seperti: penurunan kosentrasi belajar, peningkatan absensi kehadiran di kelas serta penurunan aktivitas di kampus. Dilaporkan 27% dari partisipan mengalami premenstrual dysphoric disorder, 14% sering tidak masuk kelas dan 15% tidak bisa mengikuti ujian karena beratnya gejala premenstrual syndrome yang dialami (Tenkir, A., Fisseha, N. & Ayele, B., 2002). Penelitian lain pada siswi SMA di Surabaya menyatakan bahwa 39,2% siswa mengalami gejala berat dan 60,8% mengalami gejala ringan PMS (Christiany, I., Hakimi, M., Sudargo, T., 2006). Angka kejadian PMS belum diketahui secara pasti, namun kira-kira 85 sampai 97% wanita mengeluh mengalami gangguan somatis dan gangguan mental sebelum menstruasi. Gejalagejala sangat beragam dari satu wanita ke wanita lainnya dan dari satu siklus ke siklus berikutnya pada wanita yang sama (Brunner, Suddarth, 2001). Gejala-gejala PMS diklasifikasi berdasarkan fungsi yang terganggu. Gangguan psikologik berupa irritabilitas, ketidakseimbangan emosional, cemas, depresi dan perasaan bermusuhan. Gangguan kognitif dapat berupa ketidakmampuan berkonsentrasi dan bingung. Gangguan somatik berupa mastalgia (nyeri tekan pada payudara), kembung, sakit kepala, kelelahan dan insomnia serta gangguan perilaku sosial berupa kecanduan karbohidrat dan membantah (Scott, 2002). Angka kejadian PMS cukup tinggi, yaitu hampir 75% wanita usia subur di seluruh dunia mengalami PMS. Di Amerika kejadiannya mencapai70-90%, Swedia sekitar 61-85%, Maroko Prosiding |75
51,2%, Australia 85%, Taiwan 73%, dan Jepang mencapai 95% yang mengalami PMS. Negara Indonesia sendiri angka kejadiannya sekitar 7090% (Ernawati, R., 2012). Salah satu penyebab Premenstruasi Syndrome yaitu factor status gizi wanita. Penyebab lain adalah akibat ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesterone, faktor kejiwaan, masalah sosial, gangguan fungsi serotonin. Faktor status gizi remaja puteri sangat mempengaruhi terjadinya menarche (haid pertama) (Munthe, N. B.G., 2012). Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara IMT dengan kejadian PMS. Remaja dengan IMT ≥ overweight lebih banyak jumlahnya yang mengalami PMS, sedangkan remaja yang tidak megalami PMS lebih banyak yang IMT-nya normal. Remaja dengan IMT lebih dari normal cenderung akan memproduksi hormon estrogen yang lebih tinggi sehingga akan menimbulkan gejala-gejala PMS (Rahman, S.A., 2015; Retissu, R., Sanusi, S., Muhaimin, A., dan Rujito L., 2010; Supriyono, B., 2003; Magdalena, D., Pusporini., 2007). Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian Premenstruasi Syndrome (PMS). Hasil penelitian yang diperoleh bahwa sebagian besar Premenstruasi Syndrome (PMS) dialami oleh responden yang mempunyai status gizi kurang dengan nilai p = 0,011 (Setyarini, 2010; Masho,S.W, Adera, T, South-Paul, J., 2005). Remaja yang kelebihan berat badan terutama obesitas akan terjadi peningkatan kolesterol yang disebabkan oleh gangguan regulasi lemak dan ester kolesterol. Sumber pembuatan hormon steroid adalah kolesterol yang berasal dari diet yang dibawa LDL dalam pembuluh darah, sehingga seiring dengan meningkatnya IMT menyebabkan peningkatan presentasi lemak tubuh maka meningkat pula produksi hormon steroid estrogen (Supriyono, B., 2003; Bobak, M, Irene, 2004; Price SAP, Lorr MC., 20 06) . Ada hubungan antara IMT dengan PMS melalui kerja hormon insulin. Kadar insulin di dalam tubuh berbanding lurus dengan presentasi lemak di dalam tubuh (Moran L.J., Norman R.J., 2002). Peningkatan presentasi lemak didalam tubuh menimbulkan perubahan pada sensitivitas dan sekresi insulin (Speroff, Leon MA, Frizt., 2005). Pada remaja yang overweight akan terjadi 76 | Prosiding
peningkatan kadar glukosa darah secara langsung. Peningkatan ini akan menyebabkan terjadi glukogenesis, sehingga mempengaruhi kadar insulin yang terus meningkat (hiperinsulinemia). Insulin pada remaja overweight dapat menurunkan SHBG (sex hormone binding globulin) secara langsung. Tingginya kadar insulin akan menekan produksi SHBG, sehingga terjadi hiperandrogen. Meningkatnya persentase lemak dalam tubuh akan menurunkan regulasi reseptor insulin yang berakibat terjadi peningkatan sekresi insulin. PMS merupakan kumpulan gejala fisik, psikologis, emosi yang berkaitan dengan siklus menstruasi wanita (Sibagariang, E.E., 2010). Banyak hal mempengaruhi terjadinya PMS, yaitu riwayat ibu kandung yang pernah mengalami PMS, wanita yang pernah melahirkan, status perkawinan, usia, stres, diet, kekurangan zat-zat gizi, kebiasaan merokok dan minum alkohol, kurangnya aktivitas fisik (Safara, N., 2012). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan PMS (Munthe, N. B.G., 2012). Pengukuran menggunakan LILA untuk mengukur status gizi responden. Hasil penelitian lain juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara IMT dengan PMS, dimana stress sebagai pemicu terjadinya PMS (Siregar, M.F., 2012). Pada remaja putri perlu mempertahankan status gizi yang baik, dengan cara mengkonsumsi makanan seimbang karena sangat dibutuhkan pada saat haid, terbukti pada saat haid tersebut terutama pada fase luteal akan terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi (Munthe, N. B.G., 2012; Abraham, G., Hargrove,J., 2009). Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi pada remaja. Faktorfaktor yang mempengaruhi status gizi yaitu produk pangan, pembagian makanan atau pangan, akseptabilitas (daya terima), prasangka buruk pada bahan makanan tertentu, pantangan pada makanan tertentu, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, keterbatasan ekonomi, kebiasaan makan, selera makan, sanitasi makanan (penyiapan, penyajian, penyimpanan), pengetahuan gizi (Gozali, A., 2010). Pola makan yang seimbang, yaitu sesuai dengan kebutuhan disertai pemilihan bahan makanan yang tepat agar status gizi yang baik dengan mengkonsumsi 4 sehat 5 sempurna (Handayani, I., 2012).
Gizi kurang atau terbatas selain akan mempengaruhi pertumbuhan, fungsi organ tubuh, juga akan menyebabkan terganggunya fungsi reproduksi. Hal ini akan mempengaruhi terjadinya Premenstrual Syndrome (PMS), tetapi akan membaikbila asupan nutrisinya baik. Tindakan yang dilakukan untuk menangani kasus premenstrual syndrome tersebut adalah menganjurkan perubahan diet, selain menambah suplemen nutrisi, walaupun tidak secara khusus jenis nutrisinya apa. Dengan mengonsumsi rendah lemak, dengan tinggi karbohidrat akan mengurangi pembengkakan payudara, sedangkan konsumsi tinggi karbohidrat dan rendah protein dapat memperbaiki gangguan perasaan yang tidak nyaman (Munthe, N. B.G., 2012). Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian PMS. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di SMK Negeri 10 Medan bahwa hubunganantara usia menarche dan lama menstruasi dengan kejadian dismenore primer (p=0,03/0,046). Responden yang mengalami dismenore paling banyak terjadi pada usia menarche ≤12 tahun sebanyak 83,7% dan lama menstruasi paling banyak yaitu ≥ 7 hari sebanyak 87,2%. Hasil penelitian lain yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara usia menarche dengan kejadian dismenore pada siswi SMK N 10 Medan (Sophia F, Muda, S. Jemadi., 2013). Dalam penelitian ini juga menyebutkan bahwa usia menarche ≤ 12 tahun memiliki kemungkinan 1,6 kali lebih besar mengalami dismenore dibandingkan umur 13-14 tahun. Hasil penelitian lain yang dilakukan di SMA Negeri 21 Makasar, menunjukkan bahwa responden yang mengalamiusia menarche paling banyak yaitu yang usia menarche ≤ 12 tahun sebanyak 62,0%, dengan nilai p=0,029 < 0,05, maka terdapat hubungan yang signifikan antara usia menarche dengan kejadian dismenore primer (Zaitun, 2008). Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 2 Medan, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian dismenore primer (p=0,116). Responden yang mengalami dismenore paling banyak terjadi pada usia menarche ≥12 tahun sebanyak 86,4% (Shinta, O.D., Sirait., Hiswani., Jemadi, 2014). Selain itu juga berbeda dengan
penelitian pada Siswi SMA Negeri1 Kahu di Kabupaten Bone yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama menstruasi dengan kejadian dismenore (p=0,324) (Utami, A.N.R., Ansar.J., Sidik. D., 2012). Responden yang mengalami dismenore paling banyak terjadi pada lama menstruasi ≤ 7 hari (86,5%). Hal ini dikarenakan perbedaan asupan nutrisi pada remaja berbeda-beda. Semakin baik asupan nutrisi maka usia menarche akan cepat dan usia menopause menjadi lambat sehingga akan mengakibatkan rasa nyeri ketika menstruasi (Proverawati, A dan Misaroh, 2009). Pola hidup yang tidak sehat (sering makan junk food, merokok, tidak pernah berolah raga, dll) akan semakin memicu peningkatan rasa nyeri saat menstruasi. Usia menarche dini meningkatkan risiko terjadinya dismenore. Selain itu menarche dini dapat meningkatkan risiko kejadian mioma 1,24 kali. Usia ideal seorang wanita mengalami menarche yaitu pada usia antara 13-14 tahun. Seseorang yang mengalami menarche ≤ 12 tahun memiliki kemungkinan 1,6 kali lebih besar mengalami dismenore dibandingkan umur 13-14 tahun (Sophia F, Muda, S. Jemadi., 2013). Usia menarche yang terlalu dini ≤ 12 tahun memiliki efek jangka pendek yaitu terjadinya dismenore, sedangkan untuk efek jangka panjang dapat memicu terjadinya kanker serviks, kanker payudara dan mioma (Proverawati, A dan Misaroh, 2009). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 2 Medan, bahwa responden yang mengalami usia menarche ≥ 12 tahun paling banyak yaitu sebanyak 86,4%, dengan nilai p=0,116 > 0,05, maka tidak ada hubungan antara usia menarche dengan kejadian dismenore primer (Shinta, O.D., Sirait., Hiswani., Jemadi, 2014). Pada umur menarche yang terlalu dini (≤12 tahun), organ-organ reproduksi belum berkembang secara maksimal dan masih terjadi penyempitan pada leher rahim, sehingga timbul rasa sakit pada saat menstruasi. Hal ini dikarenakan organ reproduksi wanita masih belum berfungsi secara maksimal (Ehrenthal, 2006). Remaja dengan usia menarche yang berisiko (≤12 tahun) perlu lebih memperhatikan masalah kesehatannya khususnya kejadian dismenore. Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat stres dengan kejadian Prosiding |77
PMS. Ada hubungan yang rumit antara ketidakseimbangan hormon, stres dan kekurangan gizi yang dapat menyebabkan terjadinya sindroma ini (Tan, A., 2006). Beberapa factor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sindroma pramenstruasi, antara lain stres, status gizi, kebiasaan makan makanan tertentu, aktivitas olah raga, merokok dana lkohol. Penyebab terjadinya gejala sindroma premenstruasi adalah interaksi yang kompleks antara hormon, nutrisi esensial dan neurotransmitter yang dikombinasikan dengan stres psikologis (Suheimi, K., 2008). Jadi sindroma premenstruasi merupakan keadaan abnormalitas dari wanita untuk beradaptasi terhadap perubahan fluktuasi hormonal bulanannya. Kehidupan yang penuh stres akan memperparah gejala-gejala fisik maupun psikologis dari sindroma pramenstruasi ini. Beberapa wanita melaporkan gangguan hidup yang parah akibat sindroma pramenstruasi yang secara negatif mempengaruhi hubungan interpersonalnya. Penelitian yang dilakukan di Semarang, menunjukkan bahwa 71,9% dari 154 responden mengalami sindroma pramenstruasi. Sekitar 40% wanita berusia 14–50 tahun mengalami sindroma pramenstruasi (Fatimah, S., 2007). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 68 wanita usia produktif di Aceh Besar tahun 2008, didapatkan bahwa sebanyak 28 orang (41,18%) mengalami gejala sindroma pra menstruasi (Maulana, R., 2008). Sindroma pra menstruasi disebabkan oleh faktor psikologis yang ini ditimbulkan oleh stress (Wiknjosastro, Hanifa, 2005). Stres merupakan reaksi tanggung jawab seseorang, baik secara fisik maupun psikologis karena adanya perubahan (Reynolds, C.R, Livingston, R.B,Willson,V., 2006). Kecemasan, kemarahan, dan bentuk lain emosi merupakan reaksi stress (Banjari, A.R.A., 2009). Ketegangan adalah respon psikologis dan fisiologis terhadap stressor berupa kemarahan, ketakutan, frustasi, kecemasan, atau aktivitas saraf otonom (Madhu, K., Shridhar, G.R., 2005). Remaja yang mengalami stress bisa berefek negatif pada tubuhnya, hanya saja perbedaannya ada pada sumbernya dan bagaimana meresponnya. Reaksinya dapat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi kehidupan yang tengah dialaminya. Remaja dapat mengatasi
78 | Prosiding
stresnya dengan menghindarkan terjadinya krisis psikologis dan melakukan penyesuaian diri terhadap tuntutan dan perubahan-perubahan. Stres mengakibatkan terjadinya peningkatan gejala yang signifikan dari sindrom pramenstruasi. Stres psikologis merupakan reaksi maladaptif jangka pendek terhadap stresor psikososial (Dalton, K., 1984). Respon maladaptif dapat disebabkan karena adanya gangguan dalam fungsi social atau pekerjaan atau karena gejala atau perilaku di luar respon normal atau lazim yang diperkirakan terhadap stresor tersebut. Berbagai faktor yang berpengaruh munculnya stres psikologis adalah faktor internal maupun eksternal. Faktor internal dapat meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, kepribadian, level edukasi, dan status pekerjaan. Faktor eksternal yaitu masalah ekonomi, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan/atau pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Gangguan ini paling sering didiagnosis pada remaja tetapi dapat terjadi pada setiap usia. Rasio kejadian stress antara wanita dan pria adalah 2 berbanding 1. Pada remaja, bentuk pencetus yang paling sering adalah masalah kuliah, penolakan orang tua, perceraian orang tua, dan penyalahgunaan zat (Anurogo, D., Wulandari, A., 2011; ). Oleh karena itu salah cara untuk mencegah terjadinya dismenore, yaitu; memiliki pola hidup sehat, tidak merokok, menjaga pola makan (4 sehat 5 sempurna), tidak minum-minuman keras, rutin berolah raga, dan rutin memeriksakan kesehatan reproduksinya ke pusat layanan kesehatan. Hal ini perlu diketahui oleh bidan guna memberikan kesadaran kepada remaja berupa preventif dan promosi agar remaja mengetahui langkah apayang harus dilakukan agar terhindar dari dismenore dan bisa menjalankan pola hidup sehat mulai dari sekarang. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagian besar remaja mengalami PMS sebesar 60,9%, sebagian besar IMT remaja dalam kategori ≥ overweight sebesar 49,5%, ada hubungan antara IMT remaja dengan Kejadian PMS. Remaja diharapkan dapat menerapkan pola hidup sehat, diantaranya menjaga pola makan yang
teratur, mengurangi konsumsi jeroan, garam, karbohidrat sederhana (gula) dan meningkatkan konsumsi makanan yang mengadung serat (sayur dan buah-buahan) dan olahraga yang rutin setiap menjelang haid. Pola makan yang teratur, memenuhi gizi yang dibutuhkan dan olahraga teratur dapat menjadikan berat badan normal juga terhindar penyakit akibat kelebihan berat badan. Perlunya edukasi kepada remaja tentang PMS dan cara penanggulangan PMS. 6. REFERENSI 1) Abraham, G., Hargrove, J. (2009). Effect of vitamin B6 on premenstrual symptomatology in women with premenstrualtension syndrome: Adouble blind cross over study. Infertility. 228,425-165. 2) Anurogo, D., Wulandari, A. (2011). Cara Jitu Mengatasi Nyeri Haid. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta. 3) Balaha, M. H., Amr, M. A., Saleh Al Moghannum, M. & Saab Al Muhaidab, N. (2010) The phenomenology of premenstrual syndrome in female medical students: a cross sectional study. Pan Afr Med J, 54. 4) Banjari, A.R.A. (2009). Pengaruh latihan pasrah diri (LPD) terhadap kadar CRP pada pasien DM dengan hipertensi, dislipidemia dan gejala depresi. http://www.aburaihan74.wordpress.com/2009/ 02/20/laporan-penelitianzikir 5) Bobak, M, Irene. (2004). Keperawatan Maternitas. Edisi 4. Jakarta: EGC. 6) Brunner, Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. 7) Christiany, I., Hakimi, M., Sudargo, T. (2006). Hubungan Status Gizi, Asupan Zat Gizi Mikro (Kalsium, Magnesium) dan Hubungannya dengan Sindroma Premenstruasi pada Remaja Putri SMU Sejahtera di Surabaya. Tesis. 8) Dalton, K. (1984). The Premenstrual Syndrome and Progesterone Therapy,2nd edition. William Heinermann Medical Books Ltd 9) Deunas, J.L. (2011). Prevalence of premenstrual syndrom and premenstrual dysphoric disorder in representative cohor of Spanish women of fertile age, Europen Journal
of obstetrics dan gynekologiy and Reproductive Biology,156.72-77. 10) Ehrenthal. (2006). Menstrual Disorders; women Healht Series. USA: ACP Press. 11) Eke, A.C., Akabuike, J.C., Maduekwe. K. (2011). Predictor of Premenstrual Syndrome among Nigerian University student. Internatinal Journal of Gynecology and Obstetrics, 112 .63-71. 12) Ernawati, R. (2012). Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional dengan Derajat Pre Menstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Putri di Asrama Putri Universitas Brawijaya Malang. Factors Associated With premenstrual Syndrome. ARCH FAM MED, 8, pp. 122-128. 13) Fatimah, S. (2007). Pengaruh tingkat Konsumsi Vitamin C, Magnesium, Asam Lemak Omega 6, Aktivitas fisik dan Olah raga terhadap Premenstrual Syndrome Siswi di SMA Hidayatullah, Semarang. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia.6.1-3. 14) Gozali, A. (2010). Hubungan antara Status Gizi dengan Klasifikasi Pneumonia pada Balita di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta. http:// core.kmi. open.ac.uk/ download/pdf/ 12345200.pdf. 15) Hacker, Moore. (2001). Essensial Obstetri dan Ginekologi. Edisi 2. Jakarta: Hipokrates. 16) Handayani, I. (2012). Gambaran Pola Makan Suku Melayu dan Suku Jawa di Desa Selemak Kecamatan Hampara n Perak Kabupaten Deli Serdang. http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345678 9/34642/4/Chapter%20II.pf 17) Madhu, K., Shridhar, G.R. (2005). Stress management in diabetes mellitus. International Journal of Diabetesin Developing Countries, 25 (1),7-11. 18) Magdalena, D., Pusporini. (2007). Obesitas Sebagai Faktor Resiko Terjadinya Premenstrual Syndrome Mahasiswa Akademi Kebidanan Pemerintah Kabupaten Kudus. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol.23, No. 1., 6 – 11. 19) Masho, S.W, Adera, T, South-Paul, J. (2005). Obesity as a risk factor for premenstrual Syndrom. Departement of Preventive Medicine
Prosiding |79
and Community Health, Virginia Common Wealth university, Richmon. 20) Maulana, R. (2008). Hubungan Karakteristik Wanita Usia Reproduktif dengan Premenstrual Syndrome (PMS) di Poli Obstetri dan Gynekologi BPK RSUD. Dr Zainoel Abidin Banda Aceh. http://razimaulana.files.wordpress.com/2008/1 2/pms.doc. 21) Moran L J, Norman R J.. (2002). Theobese patient with infertility: a practical approachto diagnosisand treatment. NutrClinCare. 22) Munthe, N. B.G. (2012). Hubungan Status Gizi dengan Kejadian premenstrual Syndrome(PMS) Pada Remaja Puteri di SMP Negeri 3 Berastagi. http:// repository. usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/ 37768/4/Chapter%20 23) Murakami, K. (2008). Dietary Glicemic index is associated with decreased premensttrual symptoms in young Japanese women, esevier nutrition 24. 554-561. 24) Price SAP, Lorr MC. ( 2 00 6) . Gangguan sistem reproduksi perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 25) Proverawati, A dan Misaroh, (2009). Menarche Menstruasi Pertama Penuh Makna. Yogyakarta: Nuha Medika. 26) Rahman, S.A. (2015). Hubungan IMT di Atas Normal Terhadap Kejadian PMS Pada Wanita Usia Reproduktif di Kelurahan LOA Ipuh Kabupaten Kutai Kartanegara. Skripsi. Surakarta: FK UMS. 27) Retissu, R., Sanusi, S., Muhaimin, A., dan Rujito L. (2010). Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindroma Premenstruasi. Majalah Kedokteran FK UKI 2010 Vol XXVII No.1 Januari – Maret. 28) Reynolds, C.R, Livingston, R.B,Willson,V. (2006). Measurement And Assesment In Education. Boston. 29) Safara, N. (2012). Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kejadian Sindroma Pramenstruasi di Kalangan Mahasiswa Stambuk 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2012. http://repository.usu.ac.id/xmlui/bitstream/han dle/123456789/37964/Chapter%20I.pdf?seque nce=5. 80 | Prosiding
30) Scott. (2002). Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika. 31) Setyarini. ( 2010). Hubungan Status Gizi dengan Premenstruasi Syndrome (PMS). http://dr-suparyanto.com/2010/02/hubunganantara-status-gizidengan. html. 32) Shinta, O.D., Sirait., Hiswani., Jemadi. (2014). Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMA Negeri 2 Medan Tahun 2014. Karya Tulis Ilmiah. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan. 33) Sibagariang, E.E. (2010). Kesehatan ReproduksiWanita. Jakarta: TIM. 34) Sidabutar, S. ( 2012). Hubungan antara Pengetahuan Siswi kelas XI tentang PMS (Pre Menstruasi Syndrome) dengan Kejadian PMS. Tesis. 35) Siregar, M.F. (2012). G.Stess Leveland Charecteristics of Medical Faculty Students Undergoing Premenstrual Syndrpme andits Associationwith Academic Achievements. http://www.iiste.org/Journals/index.php/JBAH /article/viewFile/3997/ 4053. 36) Sophia F, Muda, S. Jemadi. (2013). FakorFaktor yang Berhubungan dengan Dismenore Pada Siswi SMK Negeri 10 Medan. http://jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/artic le/view/4060. 37) Speroff, Leon MA, Frizt. (2005). Regulationof the menstrual cycle. Dalam: Clinical Gyncology an Endocrinology and Infertility, Seventh Edition. New York. Lippincott Williams&Wilkins. 38) Suheimi, K. (2008). Hormonal treatmenton premenstrual syndrom. http://ksuheimi.blogspot.com/2008/07/hormon al-treatment-on premenstrual.html 39) Supriyono, B. (2003). Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindroma Prahaid. Tesis. 40) Tan, A. (2006). Health Media Nutrition Series, Wanita dan Nutrisi. Jakarta: Bumi Aksara. 41) Tenkir, A., Fisseha, N. & Ayele, B. (2002). Premenstrual Syndrome : Prevalence and Effect on Academic and Social Performances of Students in Jimma University, Ethiopia. Ethiop journal health Dev,17, pp. 181-188.
42) Utami, A.N.R., Ansar, J., Sidik. D. (2012). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dismenore pada Remaja Putri di SMAN 1 Kahu Kabupaten Bone. Karya Tulis Ilmiah. Makasar: Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS.
43) Wiknjosastro, Hanifa. (2005). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 44) Zaitun. (2008). Prestasi Belajar Pada Siswa Yang Menagalami Premenstrual Syndrom Di SMA Muhammadiyah Cirebon, Cirebon. Tesis. Yogyakarta: UGM.
Prosiding |81
PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUALITAS PADA IBU DAN ANAK DIDIK TK LABSCHOOL UNNES DENGAN MENGGUNAKAN BONEKA GENDER Sri Wiji Handayani TK Labschool Unnes
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada ibu dan anak didik TK Labschool Unnes. Penelitian ini termasuk Penelitian Best Practice. Subyek penelitiannya anak didik TK Labschool Unnes kelompok usia 4-5 tahun sejumlah 13 anak. Teknik yang digunakan adalah observasi dan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan melalui kuisioner/angket kepada orang tua dan dokumentasi pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak didik dapat menyebutkan nama bagian tubuh berdasarkan jenis kelamin, dapat menyebutkan 4 zona tubuh yang harus dilindungi. Demikian pula orangtua dalam penelitian ini adalah ibu juga semakin yakin akan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk anaknya. Mereka juga dikenalkan bagaimana cara merawat dan menjaganya. Melalui boneka gender anak merasa tertarik untuk mengetahui bagian tubuh yang seperti halnya bagian tubuh yang dia miliki. Melalui alat peraga yang menarik maka pesan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualtas mudah tersampaikan. Demikian pula orang tua/ ibu lebih mudah memahami dan menjelaskan ketika putra putrinya bertanya tentang seputar kesehatan reproduksi dan seksualitas. Kata Kunci: Boneka Gender, Program Pendidikan Kespro dan Seksualitas.
1.
PENDAHULUAN
Bertolak pandang pada maraknya kasus kekerasan pada anak yang terjadi saat ini kami segenap pendidik TK Labschool Unnes bekerja sama dengan PKBI Jawa tengah untuk memberi bekal tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seks pada anak usia dini. Berdasarkan data anak-anak TK Labschool 3 anak dari 13 anak didik kelompok A atau 23% dapat menyebutkan alat jenis kelaminnya dan yang belum tau nama alat kelamin sebanyak 77%, dan sebagian besar belum tau bagaimana cara merawat saat BAB dan BAK . Dua anak yang tahu nama alat kelamin itu pun menggunakan nama samaran, sedangkan yang lainnya diam ketika guru menanyakan dan sambil menahan rasa malu. Sedangkan ketika teman menyebutkan nama alat kelamin tersebut tertawa sambil malu. Hal ini menunjukkan bahwa kurang
82 | Prosiding
tercapainya indikator “Mampu melindungi diri dari percobaan kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan bullying (misal dengan berteriak dan/ atau berlari)” yakni pada KD no 3.4 yang berbunyi mengetahui cara hidup sehat dan KD 4.4 yang berbunyi mampu menolong diri sendiri untuk hidup sehat. Melalui pengetahuan tentang pendidikan seks dan kesehatan reproduksi anak usia dini yang akan disampaikan dengan Boneka Gender maka diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi anak dan seks pada anak-anak didik TK Labschool unnes. Agar pendidikan kesehatan reproduksi lebih optimal maka pengetahuan tentang kesehatan reproduksi ini juga kami sampaikan kepada orang tua yang dalam kesempatan ini kami bekerja sama dengan ibu. Diharapkan dengan orang tua memahami program yang kami berikan maka
pendidikan kespro juga dapat berkoherensi dengan pengasuhan anak dirumah. Sesuai dengan Instruksi Presiden no 5/2014 tentang gerakan Nasional Anti Kejahatan seksual terhadap anak, Presiden menginstruksikan kepada para menteri, jaksa agung, kapolri, kepala lembaga, para gubernur, bupati, bupati wali kota untuk mengambil langkah yang diperlukan sesui tugas dan fungsi dan kewenangan untuk mencegah dan memberantas kejahatan seksual terhadap anak. Berdsarkan instruksi tersebut maka lembaga TK Labschool Unnes menjalin kerja sama dengan PKBI Jawa tengah untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seks pada anak didik TK Labschool Unnes. Dalam hal ini PKBI Jawa tengah memberikan bantuan berupa boneka Gender kepada guru untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi padaIbu dan anak didik TK Kelompok A Labschool Unnes. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan diketahu bahwa :anak-anak TK labschool unnes belum tau nama alat kelaminnya, anak-anak TK Labschool Unnes malu dan tertawa ketika mendengar nama alat kelamin disebutkan dengan nama samaran oleh temannya. Anak-anak kurang mendapat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dari orang tua. Setelah dilakukan tindakan melalui kegiatan menggunakan boneka gender hal ini diharapkan akan memberi manfaat :Anak menjadi tahu bagian tubuh secara lengkap berdasarkan jenis kelamin, Anak menjadi tahu tentang bagaimana cara merawat organ kelamin, Anak menjadi tahu melindungi diri dari kejahatan seksual. sedangkan bagi Ibu menjadi tahu tentang bagaimana cara memberikan pengetahuan kesehatan reproduksi kepada anak, Ibu menjadi tahu tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi bagi anaknya. Sedangkan Bagi guru dapat Meningkatkan kemampuan guru dalam mengantisipasi permasalahan yang timbul dalam proses kegitan pembelajaran. Begitu Bagi sekolah maka Sekolah mendapatkan bagaimanacara menerapkan pendidikan kespro dan seksualitas pada anak usia dini.
2.
INTI
Berdasarkan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan RI no 160 terdapat ketentuan umum pada Bab I pasal 1 yang berbunyi ”...Pembelajaran adalah proses interaksi antara anak didik dan pendidik denagn melibatkan orang tua serta sumber belajar pada suasana belajar dan bermain disatuan atau program paud”. Pembelajaran di TK tidak akan lepas dari konsep bermain, hal ini karena anak usia TK merupakan usia bermain. Tidak sekedar bermain tetapi dalam bermain tersebut terdapat stimulus untuk membantu perkembangan anak secara optimal. Demikian pula pembelajaran tentang kesehatan reproduksi dan seks ini akan disampaikan dalam dengan kegiatan yang menyenangkan. Pengertian Pendidikan Keshehatan Reproduksi Dan Seksulitas Pada Anak Usia Dini Menurut UNESCO, pendidikan kesehatan reproduksi adalah sebuah pendidikan yang dikembangkan dengan pendekatan yang sesuai dengan usia, peka budaya dan komprehensif yang mencakup program yang memuat informasi ilmiah akurat, realistis dan tidak bersifat menghakimi. Pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif memberikan kesempatan bagi remaja untuk megeksplorasi nilai-nilai dan sikap diri serta melatih kemampuan pengambilan keputusan, komunikasi dan keterampilan penekanan resiko di semua aspek seksualitas. Pendidikan kesehatan reproduksi akan membantu remaja untuk memiliki informasi yang akurat menyangkut tubuh serta aspek reproduksi dan seksual secara akurat, memiliki nilai-nilai positif dalam memandang tubuh serta aspek reproduksi dan seksual dan memiliki keterampilan untuk melindungi diri dari resiko-resiko reproduksi dan seksual termasuk kemampuan memperjuangkan hak-hak remaja untuk sehat. Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif idealnya diberikan mulai anak usia dini berlanjut sampai dewasa kontinu dan konsisiten sehingga terbentuk sikap pandangan yang positif terhadap seksualitas dan biaa efektif mencegah permasalahan seksualitas Prosiding | 83
yang semakin kompleks diantaranya kekerasan seksual, kehamilan yang tidak diinginkan kekerasan berbasis gender, aborsi, infeksi penyakit menular, HIV, AIDS. Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk anak usia dini dikemas menjadi bagian dari pendidikan kecakapan hidup sosial (social life skill education) anak dalam rangka membantu anak mengembangkan kecakapan hidup sosialnya dan mencegah kekerasan seksual pada anak. Dalam buku pedoman pembelajaran you and me atau aku dan kamu penyampaian pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas anak usia dini meliputi : pengenalan diri dan lingkungan, pengenalan tentang peran gender, tumbuh kembang manusia, pengenalan pemahaman dan kesadaran mengenai perlunya pemeliharaan kebersihan diri dan alat alat reproduksi serta bagaimana menjaganya dari pelecehan dan kekerasan seksual, penanaman nilai saling menghormati, saling menghargai, penanaman konsep diri positif, terhadap anak menjadi perilaku yang sangat perlu sebagai langkah awal dan pendidikan dini tentang kecakapan hidup sosial bagi anak usia pra sekolah. Dari paparan di atas maka pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas anak usia dini adalah pendidikan mengenai infomasi yang akurat tentang kebersihan diri dan alat reproduksi serta bagaimana cara menjaga diri dari pelecehan dan kekerasan seksualitas. Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Pada Ibu dan Anak Usia Dini Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak usia dini kiranya sudah mengingatkan bahwa pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada anak usia dini harus segera diberikan. Data dari pusat krisis terpadu RSCM menyebutkan bahwa dari bulan juni tahun 20002005 menunjukkan telah terjadi 1200 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus pencabulan terhadap anak laki-laki sebanyak 68 kasus, selebihnya adalah korban anak perempuan. Menurut laporan Pusat Krisis Terpadu RSCM Jakarta Januari-Mei tahun 2008 terjadi 298 kasus. Dari 298 anak dan perempuan yang melapor ke PKT RSCM. Kasus perkosaan 15 orang, KDRT 84 | Prosiding
113 orang, perkosaan anak perempuan sebanyak 75 orang, kekerasan seksual lain pada anak perempuan 42 orang, kekerasan pada anak lakilaki sebanyak 21 orang, penyanderaan anak sebanyak 15 orang dan kekerasan lainnya sebanyak 15 orang. Menurut data dan fakta diatas menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi memang dibutuhkan dan perlu dikenalkan sejak usia dini kepada anak usia dini untuk mencegah permasalahan diatas semakin berkembang. Pada dasarnya manusia adalah mahkluk seksual. Perkembangan anak sejak lahir sudah ditandai dengan pemenuhan kebutuhan kenyamanan dengan mengisap jempol. Dalam perkembanganya anak mulai mengenal puting payudara dan bahkan ada atau banyak anak yang suka memainkan puting payudara. Pada usia TK adalah anak dimana dalam rentan usia yang sangat pesat pertumbuhan dan perkembangannya, adanya proses pematangan baik secara fisik atau psikis. Terdapat masa peka terhadap stimulus dan rangsangan. Oleh karena itu peran orang di sekitar sangat penting sekali terutama orang terdekat yaitu orang tua utamanya adalah ibu. Adanya rasa ingin tahu yang tinggi anak sehingga menimbulkan banyak pertanyaan maka kita sbegai orang yang bertanggungjawab terhadap anak wajib memberikan jawaban kepada mereka sehingga membantu perkembangnnya secara optimal. Pada usia ini anak biasanya sudah mulai muncul rasa ingin tahu dari mana adik bayi lahir? kenapa adik bayi adanya di perut mama bukan di perut papa? sering kali dan banyak orang tua yang masih tabu untuk menjelaskannya. Dalam masa inilah waktu yang tepat untuk mengenalkan atau memberikan pendidikan sek kepada anak. Oleh karena ibu harus dapat menjelaskan pertanyaan yang disampaikan oleh anak. Cara Memberikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Pada Anak Usia Dini Sesuai pengertian dari pendidikan kesehatan reproduksi menurut UNESCO Pendidikan kesehatan reproduksi adalah sebuah pendidikan yang dikembangkan dengan pendekatan yang
sesuai dengan usia…. Pendekatan pembelajaran yang sesuai usianya dengan berbagai metode, permainan, media yang menarik sehingga menari minat anak dan menyenagkan bagi mereka. Melalui kegiatan yang menyenangkan anak-anak akan memperoleh pendidikan yang maksimal dan perkembangan yang terjadi juga dapat optimal. Jadi cara memberikan harus disesuaikan dengan tahap perkembangan. Menurut Bapak Andre Happy Santosa beliau adalah orang yang bergerak aktif dan tergabung Rutgers WPF dalam pelatihan fasilitator pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada anak pra sekolah bulan Oktober tahun 2015 di Semarang menyatakan bahwa “anak-anak tidak akan memiliki pemikiran seperti orang dewasa”. Selama penelitian anak-anak usia TK di Indonesia dapat menerima penjelasan mengenai kesehatan reproduksi dan seksulitas walaupun pendidikan ini belum menyeluruh di Taman kanak-kanak di Indonesia. Kita tidak boleh merasa tabu dalam menyampaikannya, karena informasi penting bagi anak didik kita untuk bekal masa depan mereka. Berikut ini contoh muatan materi yang dapat diberikan pada pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada anak usia TK sesuai dalam buku panduan “aku dan kamu”: 1. Identitas diri 2. Ciri-ciri aku dan kamu 3. Kelebihanku dan kelebihanmu 4. Teman-teman di kelas 5. Percaya dan saling menghargai sebagi dasar pertemanan/persahabatan 6. Jenis kelamin diri dan teman-teman di kelas 7. Ciri anak laki-laki dan perempuan 8. Empat zona tubuh yang harus dilindungi (mulut, dada, pantat dan alat reproduksi ) 9. Persamaan dan perbedaan anak laki-laki dan perempuan 10. Anggota tubuh dan fungsinya 11. Tumbuh kembang tubuhku 12. Ketika aku bayi 13. Cara merawat/memelihara tubuh 14. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan 15. Bagian-bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh
16. Yang harus dilakukan ketika mendapat ancaman/tidak nyamanan 17. Anggota keluarga 18. Aktivitas dan kebiasaan dalam keluarga 19. Pekerjaan orang tua 20. Macam-macam pakaian 21. Manfaat pakaian 22. Cara memakai pakaian 23. Ketika telanjang 24. Berbagai macam perasaan 25. Situasi-situasi yang memunculkan beragam perasaan dan perilaku yang mengiringinya 26. Perilaku yang berdasarkan keinginan diri sendiri 27. Perilaku berdasarakan harapan lingkungan. Dalam tayangan Film UNESCO dan film si komal kartun dari India memberikan penguatan terhadap pengetahuan kepada semua anak di dunia bahwa terdapat 4 anggota tubuh kita yang harus kita jaga secara baik-baik yaitu 1. 2. 3. 4.
Mulut Dada Pantat Alat kelamin
Keempat zona ini adalah anggota tubuh yang harus dilindungi, dan anak-anak mulai sejak usia dini harus kita kenalkan bahkan dapat melalui simulasi bagaimana cara melindungi 4 zona ini dari tindak kejahatan seksual. Cara Memberikan Pendidikan Reproduksi pada Ibu
Kesehatan
Ibu adalah orang pertama yang terdekat dengan anak. Oleh karena itu peneliti mengundang orang tua untuk diberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Ibu diberi pengetahuan tentang bagaimana cara membiasakan anak terkait kesehatan reproduksi. Dalam hal ini sekolah melakukan kegiatan parenting edukasi tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada ibu wali murid Tk Labschool Unnes. Disini ibu akan terbiasa menyebut nama alat kelamin sesuai dengan nama ilmiah, bagaimana cara Prosiding | 85
merawat dan menjaga kesehatan reproduksi, pembiasaan sehingga anak melakukan toilet training dengan benar dan pembiasaan yang benar ketika memakaikan baju anak, bagaimana cara sehingga selalu waspada ketika bersama anak saat ditempat umum. Alat Peraga
Ket. Gambar alat peraga boneka gender (terdiri dari ayah, ibu hamil, anak laki-laki dan anak perempuan) Menurut Sudjana (2009) dalam panjimoro wordpress/penertian-tujuan-manfaat -alat-peraga, pengertian alat peraga pendidikan adalah suatu alat yang diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan untuk membantu guru agar proses belajarmengajar siswa lebih efektif dan efisien, sedangkan menurut Faizal (2010) dalam panjimoro wordpress/penertian-tujuan-manfaat -alat-peraga mendefinisikan alat peraga pendidikan sebagai instrumen audio maupun visual yang digunakan untuk membantu proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan membangkitkan minat siswa dalam mendalami suatu materi. Dari paparan di atas alat peraga merupakan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran sehingga tujuan pembelajran yang diharapkan dapat tercapai. Jenis alat peraga dua dimensi (gambar, poster, peta) dan tiga dimensi (boneka, globe,.. ) dan alat peraga yang diproyeksikan (film, slide dan film strip).
Penggunaan Boneka sebagai Media dan atau Alat Peraga Boneka adalah tiruan dari bentuk manusia dan bahkan sekarang termasuk tiruan dari bentuk binatang. (Email :
[email protected],
[email protected]).
86 | Prosiding
Penggunaan boneka dalam pembelajaran sebagai alat peraga dapat digunakan dalam kegiatan pembelaran pada saat menggunakan metode bercerita, percakapan dan dapat pula dengan kegiatan bermain. Boneka gender adalah boneka yang dibuat dengan memiliki ciri-ciri gender. Bagian tubuh dengan jelas menunjukkan adanya perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dalam perkembangannya boneka ini bisa terbuat dari karet dan ada pula yang terbuat dari kain. Salah satu boneka gender yang dikeluarkan oleh PKBI jawa tengah adalah boneka kain. Boneka ini memang dirangcang untuk membantu memperikan pengetahuan kepada anak untuk lebih tahu tentang perbedaan anatomi bagian tubuh laki-laki dan perembuan. Boneka ini juga membantu guru mempermudah menyampaikan materi tentang pengetahuan pendidikan kesehatan reproduksi dan seks pada anak. PKBI yang bekerja sama dengan WPF (world population foundation) menerbitkan boneka gender yang terdiri dari sepasang boneka ayah dan ibu hamil dengan 2 boneka anak laki-laki dan perempuan. Boneka ini sangat membantu dalam proses belajar tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan seks pada anak. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas sangat diperlukan sejak anak usia dini. Bekal pengenalan yang kuat akan membentu mereka untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual. Pendidikan yang kita berikan harus menyesuaikan tahapan usianya. Sehingga pendidikan seks dapat dipahami sesuai tingkat usianya. Diah Hariyanti (1994 : 7) bahwa anak usia 3-5 tahun ditandai dengan usaha untuk mencapai kemandirian dan sosialisasi. Hal ini membuktika bahwa anak telah siap untuk berlatih mandiri dalam menjaga kesehatan reproduksi seperti BAK, mengenakan celana sendiri, memakai baju sendiri dan dapat mengambil keputusan keberanian untuk mengatakan tidak ketika ada orang lain berusaha mengganggunya. Menurut Montessori (dalam Yuliana Nurani S. Dan Bambang S., 2004 : 138) masa ini usia prasekolah (taman kanak-kanak) dengan masa
peka terhadap segala stimulus yang diterimanya melalui panca inderanya. Melalui panca inderanya kita sampaikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas pada anak. Terlebih dengan media atau alat peraga yang menarik dalam menyampaikan pesan pendidikan ini, maka seluruh panca inderanya akan bekerja dengan antusias sehingga membantu perkembangan lebih optimal. Penggunaan boneka Gender ini sangat membantu dalam menjelaskan bagian-bagian tubuh dan fungsinya. Semua anak tertarik dengan boneka ini sehingga anak didik TK Labschool
unnes ini lebih mudah dalam memahami bentuk anggota tubuh dan perbedaannya antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dan perbedaan alat kelamin laki-laki anak-anak dan dewasa serta alat kelamin anak perempuan dengan ibu yang memiliki bentuk yang berbeda. Ibu sangat berperan dalam pendidikan kesehatan reproduksi dan seksulitas. Orang tua harus memliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas sehingga program yang dilaksanakan di sekolah akan berkelanjutan di rumah.
Tabel. Hasil Pengamatan pada kegiatan ke- 1 dan ke-2 Tentang Pengetahuan Anak Didik TK Labschool Unnes Mengenai Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas dengan menggunakan Boneka Gender. Indikator pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas Dapat menyebutkan nama alat kelaminnya Dapat menyebutkan nama alat kelamin yang bukan jenis kelaminnya Dapat menyebutkan anggota tubuh (khusus 4 zona “mulut,dada,pantat dan alat kelamin”) Dapat menyebutkan cara merawat melindungi anggota tubuh (khusus 4 zona “mulut,dada,pantat dan alat kelamin’)
Berdasarkan tabel diatas anak-anak mudah menerima pesan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan menggunakan boneka gender. Demikian pula dengan orang tua lebih memahami tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi anak melalui angket pre-test dan post-test. Serta mengetahui bagaimana cara pengasuhan yang benar saat di rumah dengan penyesuaian yang dilakukan di sekolah. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada anak sangat penting. Sebuah sekolah yang melaksanakan program tersebut harus melibatkan ibu atau orang tua sehingga pengasuhan yang diberikan akan berkelanjutan dirumah. Masih banyak masyarakat yang menganggap tabu jika berbicara tentang seks. Oleh karena itu TK Labschool melibatkan orang tua
Hasil Pengamatan Kegiatan ke-1 Kegiatan ke-2 53% 84% 53% 84% 61%
84%
61%
84%
untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sehingga sedikit banyak menyebarkan informasi tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada anakanak generasi penerus bangsa yang excellent. 5.
REFERENSI : 1) Email :
[email protected],
[email protected]) 2) Nuh, Muhammad. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Kurikulum 2013 Pendidikan anak Usia Dini. Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 3) Yuliani Nuraini Sujono dan Bambang S. 2004. Pembelajaran Anak Usia Dini. PT. Remaja Rosdakarya Bandung. 4) Sudjana (2009) dalam panjimoro wordpress/penertian-tujuan-manfaat -alatperaga, penertian alat peraga pendidikan
Prosiding | 87
5) Sumartono, Sri Sentani, Ira Intasari. 2008. Pedoman Pembelajaran “Aku dan Kamu”Pedoman Kecakapan Hidup Sosial Untuk Anak Usia 4-6 Tahun. Jakarta: PKBI Pusat Worl Population Foundation. 6) Sumartono, Sri Sentani, Ira Intasari. 2008. Buku Panduan Untuk Orang Tua
88 | Prosiding
Pedoman Kecakapan Hidup Sosial Untuk Anak Usia 4-6 Tahun. Jakarta: PKBI Pusat World Population Foundation. 7) Yudhoyono, Susilo Bambang. 2014. Instruksi Presiden no 5 tahun 2014. Jakarta
PREMARITAL SEXUAL REMAJA PENGGUNA JASA CYBERSEX DI KOTA SEMARANG Adi Saputro1), Priyadi Nugraha Prabamurti2), Bagoes Widjanarko3) 1) BPJS Kota Magelang 2) Dosen Bagian Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Koresponden :
[email protected] ABSTRACT One of the negative impact of the development of the internet is the emergence of sex variations of the virtual world called cybersex. The activities of cybersex especially chatting sex can be done traffic distance and time and can trigger premarital sex behavior performed by teenagers. 26 cases of unwanted pregnancy and 70 percent of cases of hiv and aids in adolescents aged 15-20 years in the city of semarang affected by behavior this premarital sex. The purpose of this research to identify premarital sexual behavior students as a result of the use of cybersex services especially chatsex in the city of Semarang. The research is the qualitative study. The subject of research is a student a total of seven person of 4 university in semarang city that uses cybersex services in the form of online sex conversation and went on a premarital sexual intercourse. The research results show that college students who uses chatsex also realize they activity to realtime sex with their partner chat. Intention underlying subject to have chatsex is a curious and lust. Family and community didn’t know about the subject of premarital sex. The applications that subject use to chatsex are nimbuzz, mirc, blackberry messenger (BBM), whatsapp, skype, and facebook. Most of the subject are living in boarding houses, so they are more free to have associate. The condition and the situation that support them to do chatsex are when the subject alone and nobody there, no activity, after watching porn movies, when they far from they girlfriend and when eager to. A premarital sex the subject is started with the choose for a partner chatsex (well known and not). Then the process of chatsex happened and continued with meeting in real life and then continued with have premarital intercouse. After finish to have sex, a subject that have sex prenuptial with people who have not known, keep strained relationships with they partner. Keywords: Premarital Sex, College Students, Cybersex, Chatsex
1.
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia cyber dewasa ini sudah semakin pesat. Penggunaannya pun sudah mencapai suatu taraf yang sangat komplek. Internet yang berkembang sebagai media yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat di berbagai belahan dunia menjadikan setiap orang memperoleh kesempatan untuk mengakses informasi apapun dengan cepat. Teknologi informasi tersebut juga memungkinkan setiap orang berkomunikasi secara interaktif mengenai hal-hal yang berorientasi seksual secara online melalui internet. Fakta terbaru di Indonesia, dari sekitar 1,8 juta penduduk Indonesia yang telah mengenal internet 50% diantaranya tidak mampu menahan diri untuk tidak melakukan cybersex (Subagijo, 2008).
Cybersex terjadi ketika seseorang menggunakan komputer yang berisi tentang teks, suara dan gambar yang didapatkan dari software atau internet untuk stimulus seksual dan secara khusus mencakup dua atau lebih orang berinteraksi di internet yang membangkitkan gairah seksual satu dengan yang lainnya (Maheu & Subotrik, 2001). Berdasarkan hasil sebuah survei, 38% dari pengguna internet mengatakan bahwa mereka terlibat dalam cybersex dan kurang lebih 3% dari mereka terlibat lebih sering bahkan hampir setiap saat. Survei tersebut juga melaporkan bahwa 25% responden yang melakuan cybersex telah bertemu dengan pasangan online mereka untuk melakukuan kencan atau melakukan seks di dunia nyata (Sari, 2010). Menurut data hasil survey Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak Prosiding |89
32% remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks pra nikah. Dari survei KPAI diketahui bahwa salah satu pemicu utama dari perilaku remaja tersebut adalah muatan pornografi yang diakses via internet (Ika, 2011). Selain itu berdasarkan pengamatan di Kota Semarang, terdapat komunitas pengguna jasa cybersex yang sebagian besar anggotanya adalah remaja dan mahasiswa. Dengan melakukan aktivitas virtual, beberapa pengguna melakukan aktivitas seksual baik itu di dalam percakapan online maupun terlibat dalam pertemuan real dengan partnernya. Penyaluran dorongan seksual yang menyimpang akan menimbulkan masalah dan menjadi beban, bagi remaja maupun orang tua. Berbagai akibat muncul disebabkan oleh perilaku seksual pranikah, antara lain kehamilan pranikah, terkena PMS (Penyakit Menular Seksual), dan terkena AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) (Sunanti, 2001). Pusat Informasi dan Layanan Remaja (PILAR) PKBI Jawa Tengah mencatat di Jawa Tengah tahun 2013 terjadi 64 kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) pada remaja akibat dari perilaku seksual pranikah 26 kasus berasal dari Kota Semarang. (Propinsi Jawa Tengah, 2015). Selain itu berdasarkan data profil kesehatan Kota Semarang tahun 2011 diketahui bahwa PMS banyak terjadi pada usia 21 – 30 tahun (usia remaja akhir hingga dewasa), hal tersebut terjadi salah satunya karena perilaku seks pranikah (PKBI, 2015). Menurut data PKBI tahun 2013, secara nasional, sebanyak 4.472 orang terinveksi HIV/AIDS. Dari jumlah itu, 20 persen atau 400 orang di antaranya merupakan remaja yang tinggal di Jawa Tengah. Dari 400 orang remaja di Jawa Tengah yang mengidap HIV/AIDS, 70 persen di antaranya adalah remaja di Kota Semarang. Hal ini dipengaruhi oleh perilaku seks pranikah di kalangan remaja usia 15-20 tahun (PKBI, 2013). Berdasarkan latar belakang tersebut dilakukan penelitian yang berjudul “premarital sexual remaja pengguna jasa cybersex di Kota Semarang.”
90 | Prosiding
2.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik wawancara mendalam serta observasi partisipatif. Tujuannya yaitu mengidentifikasi perilaku seksual pranikah remaja pengguna jasa cybersex di Kota Semarang. Tujuan penelitian kualitatif bukan sematamata mencari kebenaran, tetapi lebih kepada pemahaman subyek penelitian terhadap dunia sekitarnya. Oleh karena itu dalam memahami dunia sekitarnya mungkin yang nantinya dipaparkan oleh subyek penelitian tidak sesuai dengan teori yang ada. (Suharto, 2014). Sehingga dalam penelitian ini, peneliti tidak mencoba mencari kebenaran dalam teori-teori yang sudah ada sebelumnya, tetapi mencoba memahami fenomena yang diteliti terlebih memahami subyek penelitian sehubungan dengan perilaku seks pranikah yang dilakukannya. Jadi dalam penerapannya, peneliti lebih fleksibel dan tidak terlalu kaku membuktikan sebuah teori dan konsep. Peneliti memahami fenomena penggunaan jasa cybersex yang berlanjut ke hubungan seks pranikah oleh mahasiswa. Metode partisipatoris digunakan dengan maksud agar tidak ada batasan antara peneliti dan subyek penelitian, sehingga apa yang diungkapkan oleh subyek adalah hal yang terjadi sebagaimana adanya dan data yang diperoleh adalah murni. Penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi penelitian. Penelitian ini tidak menggunakan istilah sampel, namun menggunakan istilah informan atau subyek penelitian. Kriteria subyek penelitian ini adalah remaja berstatus mahasiswa, menggunakan internet dan menggunakan jasa cybersex berupa percakapan seks (chatting sex) online, berjenis kelamin lakilaki maupun perempuan, heteroseksual maupun homoseksual, mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual (baik melalui cyber maupun real), belum menikah dan bersedia menjadi subyek penelitian. Pemilihan subyek penelitian adalah dengan cara snowball method, yakni pengambilan subyek
penelitian yang bisa bertambah dalam dan selama proses penelitian berlangsung (Patton, 2006). Metode ini dilakukan agar diperoleh subyek penelitian satu demi satu atas informasi dari subyek sebelumnya, sehingga atas rekomendasi dari subyek sebelumnya, proses penelusuran subyek penelitian ini dapat dilakukan secara beruntun. Metode ini dilakukan dengan memilih dari pengguna media mIRC yang aktif. Peneliti memilih subyek dari pengguna mIRC. Aplikasi mIRC dipilih karena berdasarkan observasi dari beberapa media online, aplikasi tersebut adalah aplikasi yang masih digunakan untuk melakukan chatting sex serta pengguna chatting sex pada aplikasi tersebut cukup banyak. Pemilihan responden berdasarkan bahwa responden tersebut menggunakan jasa cybersex berupa percakapan seks online serta tidak keberatan untuk diteliti. Pada penelitian ini menggunakan triangulasi teori, triangulasi metode, dan triangulasi sumber dalam validasi data. Wawancara mendalam dilakukan kepada subyek utama dan subyek triangulasi. Subyek utama yakni subyek yang menjadi subyek penelitian utama, yaitu mahasiswa yang melakukan cybersex berupa percakapan seks online dan melanjutkan prosesnya hingga ke dunia nyata. Sedangkan subyek triangulasi yakni pengamat sosial – komunikasi, aktivis komunitas chatters dan juga antropolog. Wawancara mendalam pada subyek triangulasi dilakukan untuk melakukan crosscheck atas hasil wawancara mendalam dari subyek penelitian utama. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Karakteristik Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah mahasiswa berjumlah tujuh orang, terdiri dari lima orang berjenis kelamin laki-laki dan dua orang berjenis kelamin perempuan. Berasal dari empat universitas yang berbeda di Kota Semarang, dan berasal dari kota yang berbeda pula. b. Niat Tujuan awal mahasiswa dalam mengakses internet adalah membuka situs jejaring sosial,
percakapan online (chatting) dimana mereka saling terhubung dengan orang sekitarnya, selain itu juga untuk mengunduh konten – konten tertentu seperti video, gambar, dan lagu atau musik serta bermain game online. Mahasiswa melakukan chatsex pada awalnya karena beberapa hal yaitu karena pengaruh dari teman sebaya, iseng, terdorong oleh rasa penasaran, dan hanya sekedar menanggapi ajakan untuk melakukan chatsex oleh partner chatting. Faktor lain yang paling besar mempengaruhi niat mahasiswa untuk melakukan chatsex yang berlanjut hubungan seks adalah faktor nafsu dalam diri mahasiswa. Selain itu faktor lainnya adalah karena rasa penasaran yang kuat, kemudian kondisi dalam dirinya yang masih belum stabil serta faktor lingkungan sekitar. Menurut pendapat dari seksolog Ronosulistyo remaja merupakan kelompok rentan terhadap rangsangan seksual, pada fase ini, kelompok ini sedang berada dalam suatu masa pancaroba hormon yang berbuntut pada tinggi-tingginya gairah seksual. (Hadi, 2006). Selain itu subyek triangulasi yang merupakan seorang antropolog juga menambahkan bahwa gambar porno dan chatsex dapat menstimulasi hormon pada diri remaja untuk kemudian dapat membuat remaja melakukan hubungan seks pranikah. Sebuah penelitian oleh Dianawati pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa pada usia remaja rasa ingin tahu terhadap seks begitu besar. Apalagi jika teman-temannya mengatakan bahwa seks itu nikmat, ditambah lagi adanya legal informasi yang tidak terbatas. Maka, rasa penasaran tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan berbagi macam percobaan sesuai dengan keinginannya (Dianawati, 2003). Mahasiswa yang belum pernah melakukan hubungan seks sebelumnya rasa keingintahuannya mungkin besar, namun bagi mahasiswa yang sudah pernah melakukan seks pranikah, seks pranikah dapat menjadi semacam gaya hidup.
Prosiding |91
Selain itu niat ini juga dipengaruhi oleh usia pertama kali subyek menggunakan chatsex yang masih tergolong usia rentan yaitu usia 13-18 tahun (SMP–awal kuliah) dimana usia tersebut masih dalam usia ekplorasi diri. Dimana tahap remaja adalah tahap dimana seseorang mencari akan identitas dirinya, sehingga mereka akan mengeksplorasi dirinya sendiri dengan caracara mereka sendiri salah satunya adalah dengan chatsex dan perilaku seks pranikah. c. Dukungan Masyarakat Perilaku seksual pranikah yang dilakukan mahasiswa merupakan urusan pribadi mereka. Orang tua dan masyarakat sekitar tempat tinggal mahasiswa tidak ada yang mengetahui perilaku seksual pranikah yang telah mereka lakukan. Pihak-pihak terdekatnyalah yang mengetahui perilaku mahasiswa tersebut. Pihak-pihak tersebut antara lain teman dekat, teman kos dan juga teman sekomunitas mahasiswa. Hal ini dikarenakan orang-orang terdekat mereka juga melakukan perilaku yang sama bahkan terkadang mahasiswa juga melakukan perilaku seksual pranikah bersama dengan pihak-pihak tersebut, sehingga mahasiswa semakin berani dan bebas. Hal ini menjadikan mahasiswa semakin didukung secara tidak langsung dalam berperilaku seksual pranikah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nefrida pada tahun 2011, dukungan masyarakat merupakan salah satu yang mendukung secara tidak langsung perilaku seks pranikah pada remaja (Nugraheni, 2011). Selain itu hal ini juga sesuai dengan pendapat dari subyek triangulasi yang menyatakan bahwa remaja dalam perkembangannya memiliki salah satu ciri yaitu dalam pemenuhan konformitas diri yang sangat dipengaruhi oleh teman sebaya. Jadi dimana mereka bergaul disitulah mereka akan terbiasa dan terbentuk jati dirinya. d. Keterangkauan Informasi Media komunikasi yang digunakan mahasiswa untuk melakukan cybersex jenis chatsex adalah handphone dan juga laptop 92 | Prosiding
atau komputer. Aplikasi yang digunakan untuk melakukan cybersex jenis chatsex antara lain nimbuzz, mIRC, BlackBerry Messenger (BBM), WhatsApp, Skype, dan juga Facebook. Dari tujuh mahasiswa yang merupakan subyek penelitian, keseluruhannya melakukan chatsex dan tiga diantaranya terkadang memakai webcam sebagai variasi chatsex. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Musthofa dan Winarti (2010) yang menyatakan bahwa perilaku seks pranikah lebih banyak dijumpai pada responden yang mempunyai akses media pornografi tinggi dibanding dengan yang berakses rendah. Selain itu subyek triangulasi yang merupakan pengamat komunikasi menyatakan bahwa penyalahgunaan media chatting biasa terjadi di dalam dunia chatting bahkan chatsex terkadang juga terjadi di dalam komunitas chatting yang tidak mengandung unsur seks di dalamnya. e. Otonomi Pribadi Mahasiswa diberikan kebebasan yang dipercayakan oleh orang tua kepada mereka, walaupun salah satu mahasiswa merasa orang tuanya terlalu keras terhadap dirinya. Mahasiswa bebas melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan dengan tetap memperhatikan wejangan dari orang tua mereka. Pengawasan orang tua dikatakan kurang karena sebagian besar mahasiswa tinggal di rumah kos. Proses pengambilan keputusan tersebut erat kaitannya dengan pola asuh orang tua. Bila terlalu bebas dan terlalu ketat akan membuat remaja akan bertindak semau mereka. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulya (2013), yang menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Pola asuh yang tepat akan membentuk proses pengambilan keputusan yang tepat pula dan membuat remaja tidak salah dalam bertindak.
f. Kondisi dan Situasi Kondisi dan situasi yang mendorong mahasiswa untuk menggunakan cybersex jenis chatsex adalah antara lain ketika muncul dorongan nafsu dalam diri mereka, waktu sepi dan ketika mahasiswa merasa kesepian, ketika tidak sedang dalam kegiatan atau aktivitas dan saat tidak ada orang lain di rumah (sendiri) serta ketika pacar berada jauh dari mahasiswa. Kondisi dan situasi yang mendukung mahasiswa untuk melanjutkan proses chatsex ke hubungan seks pranikah secara nyata adalah ketika ada rasa nafsu dalam diri mahasiswa yang sudah tidak tertahankan dan kemudian adanya rasa saling membutuhkan antara mahasiswa dengan partner chatsexnya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Djubaidah dan Ellyawati, yang menyatakan bahwa suatu perilaku yang dicetuskan oleh suatu individu merupakan implikasi suatu proses mental terhadap situasi dan kondisi tertentu yang kemudian mengarah kepada pola pemenuhan kepuasan diri (Amrillah, 2006). Hal ini juga sejalan dengan pendapat subyek triangulasi yang menyatakan bahwa dalam melakukan suatu tindakan tertentu seseorang juga dipengaruhi oleh kondisi dan situasi yang memungkinkan seseorang tersebut melakukan suatu tindakan tertentu. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan 1) Misuse of media Perkembangan teknologi saat ini ternyata bukan hanya memberikan dampak positif tetapi juga memberikan dampak negatif kepada penggunanya. Dampak negatif salah satunya adalah variasi jenis hubungan seks yang terjadi melalui dunia maya (cyber). Tentu saja hal ini sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan internet. Media komunikasi yang banyak digunakan oleh remaja disalahgunakan ke arah seksual. Melalui media komunikasi ini mahasiswa yang masih dalam tahap remaja menggunakannya untuk aktivitas seksual secara maya dan kemudian
hal ini berlanjut ke arah aktivitas seksual yang lebih nyata (real). 2) Seks hal yang wajar dan merupakan kebutuhan Mahasiswa yang menjadi subyek penelitian mengakui bahwa dirinya telah menggunakan jasa cybersex dalam jenis percakapan seks online (chatsex) dan kemudian berlanjut ke hubungan seksual pranikah. Mahasiswa berpendapat bahwa perilaku seks yang saat ini banyak terjadi termasuk yang mahasiswa lakukan adalah hal biasa dan wajar. Terjadi pergeseran pandangan mengenai hubungan seks yang dulu dianggap tabu dan hanya boleh dilakukan di dalam ikatan pernikahan menjadi satu kebutuhan dasar yang layak dipenuhi meskipun itu diluar ikatan pernikahan sekalipun sehingga seks sudah menjadi semacam kebutuhan bagi mahasiswa. 3) Penyebab Premarital sexual Premarital sexual melalui dunia maya, disebabkan oleh niat remaja yang semula iseng namun menjadi berubah setelah kecanduan, yang didukung oleh keberadaan lingkungan yang tidak peduli, pola asuh orang tua yang kaku dan sebaliknya terlalu longgar. Kemudian kemudahan menggunakan fasilitas media serta adanya otonomi pribadi. Nafsu yang tak terkendali juga menjadi pemicu. 4) Akses mudah alat kontrasepsi Mahasiswa mengetahui akibat dari perilaku seks pranikah yang dilakukan, akan tetapi hal ini justru memunculkan tindakan antisipasi dari perilaku seks yang dilakukan mahasiswa. Hal ini juga didukung oleh pengaksesan yang mudah terhadap alat kontrasepsi yang ada dipasaran. b. Saran 1) Orang tua sebaiknya tetap memberikan kebebasan pendapat kepada anak sejak dini namun tetap mengawasi bagaimana anak berperilaku.
Prosiding |93
2) Orang tua dapat menggunakan aplikasi tertentu untuk mengawasi penggunaan gadget pada anaknya terutama aplikasi yang dapat memberikan warning kepada orang tua ketika anak mengakses konten pornografi. 3) Orang tua mengikuti kelas parenting agar dapat memahami dan berkomunikasi dengan anak remajanya secara lebih baik. 4) Perlu adanya kerjasama antara Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), perusahaan aplikasi chatting, serta perusahaan penyelenggara jaringan selular terkait untuk pengawasan konten-konten pornografi dalam media chatting dengan memberikan semacam warning pemblokiran kepada pengguna percakapan online atau chatters. 5) Peneliti berikutnya diharapkan dapat mengangkat tema ini menjadi lebih spesifik dan mengkajinya lebih dalam. Diharapkan juga akan muncul pengembangan dari penelitian ini sehingga fenomena gunung es yang ditemui menjadi terungkap. 5. REFERENSI 1) Amrillah. 2006. Perilaku Seksual Wabal Di Tinjau Dari Kualitas Komunikasi Orang Tua-Anak Tentang Seksualitas. Surakarta 2) Dianawati, A. 2003. Pendidikan Seks Untuk Remaja. Jakarta: Kawan Pustaka. 3) Hadi, M. 2006. Perilaku Seks Pranikah pada Remaja. Depok. 4) Ika, N. 2011. Tentang Perilaku Seks Bebas di Kalangan Remaja (Online) [Internet].[cited 2014 Apr 8]. Available from: http://m.berita8.com/m8//read/2011/10/04/ 648390/tentang-Prilaku-seks-Bebas-diKalangan-Remaja.html
94 | Prosiding
5) Jateng, Propinsi. 2015. Tingginya Kehamilan Remaja Tuntut PKBI Jateng Susun Program Kerja 2015-2018 [Internet].[cited 2015 Jun 16]. Available from: http://pkbijateng.or.id/tag/ktd/ 6) Maheu, M.M. & Subotrik P. 2001. Infedentity and The Internet: Virtual Relationship and Real Betrayal. Naperyillie, IL: Sourcebooks. 7) Musthofa, SB and Puji,W. 2010. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Mahasiswa Di Pekalongan Tahun 2009-2010. Jurnal Kesehatan Reproduksi. Vol.1.No.1.hal : 33-41. 8) Nugraheni, Nefrida M. 2011. Perilaku Seks Pranikah Mahasiswa Pengguna Percakapan Seks Online (Chatsex) di Kota Semarang Tahun 2011. Skripsi. Semarang 9) Patton, Q. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Belajar 10) PKBI. 2013. Survey PKBI Semarang Tentang Angka Kejadian HIV/AIDS. Semarang. 11) Sari, NN.2010. Gambaran Perilaku Seks Pada Remaja [Internet]. USU; . Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345 6789/199967/6/Coverpdf 12) Subagijo, A.2008. Pornografi Dilarang Tapi Dicari. Jakarta: Gema Insani. 13) Suharto, E. Metode dan Teknik Pemetaan Sosial.2014. [Internet]. [cited 2014 Oct 13]. Available from: http://www.policy.hu/suharto/modul_a/ma kindo_18.html 14) Sunanti, Z. 2001. Perilaku Seks di Kalangan Remaja dan Permasalahannya. Media Litbang Kesehat. Vol.6:30–5. 15) Ulya, LL. 2013. Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis Dengan Kemandirian Dalam Pengambilan Keputusan. Surakarta.
PENGARUH TEKNIK MARMET TERHADAP PENGELUARAN ASI PADA IBU POST PARTUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA SEMARANG Lestari Puji Astuti (1), Ambar Sari (2) 12 D IV Bidan Pendidik, STIKES Karya Husada
[email protected] [email protected]
Abstrak ASI merupakan nutrisi yang paling tepat diberikan pada bayi baru lahir sampai umur 6 bulan karena pada masa tersebut usus bayi belum mampu mencerna makanan selain ASI. Salah satu faktor seorang ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif pada bayinya yaitu pengeluaran ASI yang tidak lancar. Pengeluaran ASI yang tidak lancar ini dapat distimulasi dengan pemberian teknik marmet. Teknik marmet merupakan kombinasi antara memijat dan memerah ASI. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh teknik marmet terhadap pengeluaran ASI pada ibu post partum di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jenis penelitian ini pra eksperimental, dengan desain penelitian One Group Pretest Posttest Design. Tehnik sampel purposive sampling. Sampel 30 responden, penelitian ini menunjukkan sebelum dilakukan teknik marmet ada 30 orang (100%) ASI tidak lancar. Jumlah responden sesudah dilakukan teknik marmet sebanyak 24 orang (80%) ASI lancar, dan 6 orang (20%) ASI tidak lancar, dengan menggunakan Uji statistik wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh sebelum dan sesudah dilakukan teknik marmet dengan hasil p value 0,000 < α (0,05). Ada pengaruh teknik marmet terhadap pengeluaran ASI pada ibu post partum di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ibu nifas dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya. Kata Kunci: Teknik Marmet; Pengeluaran ASI; Ibu Post Partum
1.
PENDAHULUAN ASI (Air susu ibu) merupakan asupan yang sangat penting bagi bayi. Organisasi WHO (World Health Organization) merekomendasikan para ibu di seluruh dunia untuk menyusui bayi mereka secara eksklusif selama enam bulan pertama agar mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan secara optimal (WHO, 2011). Rekomendasi ini didukung oleh Kramer dan Kakuna (2009), berdasarkan systematic review bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif saja, dan tidak ada makanan lain atau cairan, selama enam bulan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan ASI eksklusif selama 3-4 bulan diikuti dengan menyusui campuran. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013 menunjukkan cakupan ASI di Indonesia hanya 42 %. Angka ini jelas berada di bawah target WHO yang mewajibkan cakupan ASI hingga 50 %. Dengan angka kelahiran di Indonesia mencapai 4,7 juta per tahun, maka bayi yang memperoleh ASI,
selama enam bulan hingga dua tahun, tidak mencapai dua juta jiwa. Walau mengalami kenaikan dibanding data Riskesdas 2007 dengan angka cakupan ASI hanya 32 persen, cakupan tahun ini tetap memprihatinkan (Riskesdas, 2013). Ketidakmampuan ibu menyusui dapat dicegah dengan mengajarkan teknik yang sesuai untuk memperlancar pengeluaran ASI maupun meningkatkan produksi ASI. Teknik marmet merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengeluarkan ASI. Teknik ini memberikan efek relaks dan juga mengaktifkan kembali reflex keluarnya air susu/milk ejection reflex (MER) (Martha & William, 2007). Teknik marmet merupakan pijitan dengan menggunakan dua jari, ASI bisa keluar lancar dan membutuhkan waktu sekitar masing-masing payudara 15 menit. (Rahayu, 2008 dan Katili, 2011). Hasil laporan Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2014 pemberian ASI Eksklusif pada bayi umur 0-6 bulan sejumlah 8.534 95 | Prosiding
(64,68%) bayi dari jumlah keseluruhan 13.194 bayi. Hal ini belum mencapai target sebesar 80%, namun pada Puskesmas Kedungmundu dalam pemberian ASI Eksklusif hanya mencapai 30,42% masih jauh dari target yaitu sebesar 80% dan menduduki urutan ke-4 dari 37 puskesmas di Kecamatan Kedungmundu Semarang (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2014). Data dari Puskesmas Kedungmundu didapat pada tahun 2014 pemberian ASI eksklusif pada bayi yang berumur 0-6 bulan sebanyak 46 (69,6%) bayi dan tahun 2015 sebanyak 32 (56,2%) bayi dari hasil dapat di lihat selisih sebanyak 14 (13,4%) bayi, menurut petugas bagian KIA Puskesmas Kedungmundu disimpulkan bahwa pemberian ASI eklsklusif mengalami penurunan dengan perkiraan penyebab banyak ibu yang bekerja, kurangnya kesadaran ibu, dan ASI tidak lancar (Menurut informasi bagian KIA Puskesmas Kedungmundu, 2016). Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 orang ibu menyusui dengan teknik wawancara di Puskesmas Kedungmundu yaitu gambaran proses memerah ASI pada ibu-ibu tersebut antara lain, ibu menyusui yang melakukan memerah ASI dengan tangan hanya 3 (30%) orang ibu menyusui serta menggunakan breast pump 7 (70%) orang ibu menyusui, dan mereka belum mengetahui cara memijat dan memerah ASI dengan menggunakan teknik marmet. Tujuan penelitian untuk mengetahui Pengaruh Teknik Marmet terhadap Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Kota Semarang. 2.
KAJIAN LITERARTUR Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang disekresikan oleh kelenjar mammae ibu dan berguna sebagai makanan bayi (Maryunani, 2013). ASI merupakan nutrisi yang paling tepat diberikan pada bayi baru lahir sampai umur 6 bulan karena pada masa tersebut usus bayi belum mampu mencerna makanan selain ASI (Yahya, 2007). a. Pengeluaran ASI Proses pengeluaran ASI melalui kegiatan menyusui. Laktasi atau menyusui artinya memberikan makanan berupa ASI kepada bayi 96 | Prosiding
langsung dari payudara, menyusui adalah proses alamiah. Menurut (Lawrence. 2011), menyusui adalah penyelesaian fisiologis dari siklus reproduksi. Tubuh ibu selama kehamilan telah mempersiapkan proses menyusui bukan hanya mengembangkan payudara untuk memproduksi ASI, tetapi juga menyimpan nutrisi tambahan dan energy untuk produksi susu. b. Faktor yang mempengaruhi produksi ASI (Biancuzzo, 2003). 1) Faktor tidak langsung terdiri dari : Pembatasan waktu ibu (Jadwal waktu menyusui, Ibu bekerja), Faktor sosial budaya, pendidikan, dukungan keluarga, teman dan petugas kesehatan, umur, paritas, faktor kenyamanan ibu, faktor bayi (berat badan, status kesehatan) 2) Faktor langsung terdiri dari : Perilaku menyusui (waktu inisiasi, frekuensi, lamanya menyusui, menyusui malam hari), faktor psikologis, faktor fisiologis, metode merangsang pengeluaran ASI (teknik marmet, pijat oksitosin). c. Hambatan menyusui 1) Faktor internal Kurangnya pengetahuan yang terkait tentang menyusui, karena tidak ada pengetahuan yang memadai ibu tidak mengerti tentang cara menyusui bayi yang tepat, manfaat ASI, berbagai dampak yang akan ditemui bila ibu tidak menyusui bayi secara eksklusif. 2) Faktor eksternal Faktor eksternal dapat dipenuhi oleh ibu misalnya ASI belum keluar pada hari pertama setelah kelahiran bayi sehingga ibu berfikir memberikan susu formula untuk bayinya, ibu yang bekerja diluar rumah dan tidak memungkinkan memberikan ASI eksklusif, ketidakpahaman ibu mengenai kolostrum, yaitu ASI yang keluar pada hari ke 1-5 atau 7. sangat bermanfaat bagi bayi premature dan bayi yang sedang sakit, sebagian ibu beranggapan kandungan gizi dalam ASI rendah dan kualitasnya kurang baik dibanding susu formula karena bayi dan ASI bersifat parasit bagi ibu.
Teknik marmet adalah teknik yang paling banyak digunakan untuk mengeluarkan ASI secara langsung dengan tangan. Awal mula teknik ini dikembangkan oleh Chele Marmet dari Institusi Laktasi. Teknik memerah ASI dengan tangan tersebut yaitu teknik marmet. Teknik tersebut lebih nyaman, aman, praktis dan mudah dilakukan. Terknik marmet dilakukan karena kesulitan dalam mengeluarkan ASI nya saat bayi menyusu. Kemudian ia menemukan suatu metode memijat dan menstimulasi agar refleks keluarnya ASI lebih optimal (Suryoprajogo, 2009). a. Tahapan Teknik Marmet Pemijatan 1) Massage (Pijat) pergunakan 2 jari yaitu telunjuk dan jari tengah. Tangan kanan mengurut payudara kiri dan tangan kiri mengurut payudara kanan. Dengan tekanan ringan, lakukan gerakan melingkar dari dasar payudara dengan gerakan spiral kearah putting susu. 2) Stroke (Pukulan) dengan menggunakan jarijari tangan tekan-tekanlah payudara secara lembut. Dari dasar payudara kea rah putting susu dengan garis lurus, kemudian dilanjutkan secara bertahap ke seluruh bagian payudara. 3) Shake (Guncangan) dengan posisi tubuh condong ke depan, kocok/guncangkan. b. Memerah ASI 1) Letakkan ibu jari di kalang payudara dan jari telunjuk serta jari tengan dibawah sekitar 2,5-3,8 cm membentuk huruf C ibu jari pada jam 12, dua jari lain berada di posisi jam 6. 2) Tekan lembut kearah dada tanpa memindahkan posisi jari, kemudian ditekan kearah dada. Buatlah gerakan menggulung (roll) dengan ibu jari dan jari ke depan untuk memerah ASI keluar dari gudang ASI. 3) Ulangi secara beraturan untuk mengalirkan ASI, ganti posisi jam dengan variasi huruf C 12:00 dan 6:00, 11.00 dan 5:00, 1:00 dan 7:00, 3:00 dan 9:00. c. Seluruh prosedur membutuhkan waktu sekitar 20-30 menit, meliputi : Massage, stroke, shake perah kedua payudara selama 5-7 menit, 3-5 menit, dan 2-3 menit tiap payudara (Maryunani, 2012).
3.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, dengan desain penelitian one group pretest posttest design. Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu nifas hari ke-3 hingga hari ke-7 di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Tembalang pada periode bulan April sampai Juni 2016. Sampel 30 Responden yang pengeluaran ASInya tidak lancar yang memenuhi kriteria inklusi yaitu Ibu nifas hari ke-3 sampai hari ke-7 yang bersedia menjadi untuk responden, Ibu nifas yang ASInya tidak lancar, bayi tidak diberikan susu formula pada saat dilakukan penelitian, berat badan bayi ≥ 2500 gram. Adapun kriteria eksklusi adalah ibu tidak bersedia menjadi responden, ibu nifas yang ASInya lancar, bayi diberikan susu formula pada saat penelitian, dan berat badan bayi ≤ 2500 gram. Hanya ada satu kelompok dan kesemuanya diberikan perlakukan yang sama. Pengumpulan data: Peneliti mengajukan surat permohonan penelitian dimulai dari pengurusan ijin penelitian yang ditujukan kepada Kepala Badan Kesbangpol Kota Semarang, Kepala DKK Semarang, dan Kepala Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Kemudian peneliti melakukan pengumpulan data sekunder dari wawancara dan data laporan oleh petugas Puskesmas Kedungmundu, melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu pada hari ke-3 sampai ke-7, meminta ibu nifas untuk mengisi/menandatangani surat permohonan dan persetujuan Penelitian untuk menjadi responden, memberikan penjelasan kepada responden dengan menggunakan media, apabila sudah mengerti meminta responden langsung memperagakan di depan peneliti, setelah hari ke-7 responden di observasi ke rumah apakah pengeluaran ASInya lancar/tidak lancar kemudian peneliti mengisi lembar observasi. Analisa data: Hasil penelitian dianalisa menggunakan program SPSS 16.0. Analisa univariat digunakan untuk mengetahui Distribusi frekuensi pengeluaran ASI sebelum dan sesudah dilakukan Teknik Marmet. Analisa Bivariat digunakan untuk mengetahui Pengaruh Teknik Marmet terhadap Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah 97 | Prosiding
Kerja Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Uji statistik menggunakan uji shapiro wilk dengan ketentuan nilai keyakinan yang dipakai adalah 0,95 dan nilai kemaknaan α = 0,05. Uji normalitas menggunakan uji shapiro wilk karena jumlah sampel pada
penelitian < 50. Data yang didapat, jika data berdistribusi tidak normal (p value <0,05), menggunakan uji Wilxocon untuk mengetahui pengaruh teknik marmet terhadap pengeluaran ASI.
Ibu post partum hari ke-3 pengeluaran ASI tidak lancar Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi Sampel yang memenuhi kriteria
Sebelum dilakukan teknik marmet
Observasi pengeluaran ASI sebelum teknik marmet
Purposive Sampling
sesudah dilakukan teknik marmet
Observasi Melakukan setelah Teknik hari ke-7 marmet secara oleh mandiri oleh peneliti responden Gambar 1. Aktifitas selama penelitian
Pemberian informasi dan teknik marmet
4.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Semua responden yang pengeluaran ASInya tidak lancar sebelum dilakukan teknik marmet, dan dengan melakukan teknik marmet sebagian besar responden pengeluaran ASInya lancar. Dengan menggunakan uji Wilxocon
Observasi pengeluaran ASI sesudah teknik marmet
diperoleh P Value=0,000 dimana nilai 0,000 < α (0.05), sehingga dinyatakan hipotesa Ho Ditolak, artinya ada pemgaruh teknik marmet terhadap pengeluaran ASI pada ibu post partum. Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa terdapat pengaruh teknik marmet terhadap pengeluaran ASI pada ibu post partum.
Tabel 1. Pengaruh teknik marmet terhadap pengeluaran ASI
98 | Prosiding
Pengeluaran ASI
N
Mean
Std. Deviation
P Value
Sebelum Sesudah
30 30
2,00 1,20
0,000 0,407
0,000
Gambar 2. Diagram sebelum dan sesudah dilakukan teknik marmet
Pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang sangat kompleks antara rangsangan mekanik, saraf dan berbagai hormon. Pengeluaran ASI yang tidak lancar ini dapat distimulasi dengan pemberian teknik marmet (Soetjiningsih, 2012). Teknik marmet merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengeluarkan ASI. Teknik ini memberikan efek relaks dan juga mengaktifkan kembali reflex keluarnya air susu/milk ejection refleks (MER) sehingga air susu mulai menetes. Dengan diaktifkannya MER maka ASI akan sering menyemprot keluar dengan sendirinya (Martha & William, 2007). Teknik marmet terhadap pengeluaran ASI merupakan suatu cara untuk memperlancar pengeluaran ASI yang efektif, efisien, lebih nyaman, aman, dan mudah dilakukan. Memerah dengan menggunakan tangan dan jari mempunyai keuntungan selain tekanan negative dapat diatur, lebih praktis dan ekonomis karena cukup mencuci tangan dan jari sebelum memerah asi. Penelitian ini membukikan bahwa ada pengaruh teknik marmet terhadap pengeluaran ASI. Hasil penelitian ini selaras dengan yang disampaikan oleh Raden Roro Maria Ulfah (2013) yang berjudul “Efektivitas Pemberian Teknik Marmet Terhadap Pengeluaran Asi Pada Ibu Menyusui 0-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Arjasa Kabupaten Jember”, berdasarkan penelitiannya yang menunjukkan bahwa pada
kelompok perlakuan sebelum diberikan teknik marmet pengeluaran ASI tidak lancar sebanyak 8 responden (53,3%) dan pengeluaran ASI lancar sebanyak 7 responden (46,7%). Sedangkan setelah pemberian teknik marmet, didapatkan bahwa seluruh responden sejumlah 15 responden, pada kelompok perlakuan pengeluaran ASI lancar. Kesimpulannya adalah pemberian teknik marmet pada ibu postpartum efektif terhadap kelancaran pengeluaran ASI. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian (Debby, 2014) pengaruh teknik marmet terhadap produksi ASI pada ibu nifas di RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto hasil penelitian ini didapatkan pada kelompok perlakukan sebagian besar produksi ASI lancar yaitu 19 responden (86%), sedangkan kelompok kontrol sebagian besar mengalami produksi ASInya tidak lancar sebanyak 12 responden (54,5%) dengan kemaknaan =α 0,05 nilai signifikan P Value = 0,005 oleh karena nilai P = 0,005 < α = 0,05 yang artinya ada pengaruh teknik marmet terhadap produksi ASI pada ibu nifas di RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto. 5.
KESIMPULAN Pengeluaran ASI pada ibu post Partum sebelum dilakukan teknik marmet sebagian besar adalah tidak lancar. Pengeluaran ASI pada ibu post
99 | Prosiding
Partum sesudah dilakukan teknik marmet sebagian besar adalah lancar. Ada pengaruh teknik marmet terhadap pengeluaran asi pada ibu post partum di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Sampel 30 responden, penelitian ini menunjukkan sebelum dilakukan teknik marmet ada 30 orang (100%) ASI tidak lancar. Jumlah responden sesudah dilakukan teknik marmet sebanyak 24 orang (80%) ASI lancar, dan 6 orang (20%) ASI tidak lancar, dengan menggunakan Uji statistik wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh sebelum dan sesudah dilakukan teknik marmet dengan hasil P Value 0,000 < α (0,05). Ada pengaruh teknik marmet terhadap pengeluaran asi pada ibu post partum di wilayah kerja puskesmas kedungmundu. 6.
REFERENSI 1) Biancuzzo, M. 2003. Breastfeeding the newborn: Clinical strategies for nurses. St. Louis: Mosby.
100 | Prosiding
2) Lawrence, R. A. 2004. Breastfeeding: A guide for the medical profession. St. Louis: CV. Mosby. 3) Maryunani, Anik. 2012. Inisiasi Menyusu Dini, ASI Eksklusif dan Manajemen Laktasi. Jakarta: CV. Trans Info Media. 4) Ningsih, Debby Isprayuluh. 2014. Pengaruh Teknik Marmet Terhadap Produksi ASI Pada Ibu Nifas Di RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto. Skripsi. Surabaya: RSUD Dr. Wahidin Sudiro 5) Soetjiningsih. 2012. ASI: Petunjuk untuk tenaga kesehatan. Jakarta: EGC 6) Suryoprajogo, N. 2009. Keajaiban menyusui. Edisi 1. Yogyakarta: Keyword. 7) Ulfah, Raden Roro Maria. 2013. Efektivitas Pemberian Teknik Marmet Terhadap Pengeluaran ASI Pada Ibu Menyusui 0-6 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Arjasa Kabupaten Jember. Jember : Universitas Jember.
FENOMENA VAGINA PRACTICE TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI WANITA USIA SUBUR DI PURWODADI Rose Nurhudhariani1), Lilian Hardiyaningsih 2) Prodi D IV Bidan Pendidik , STIKes Karya Husada Semarang email:
[email protected] 2 Prodi D IV Bidan Pendidik STIKes Karya Husada Semarang email:
[email protected]
1
Abstrak Salah satu upaya mencegah masalah kesehatan reproduksi seperti keputihan dengan cara melakukan perawatan organ intim atau vagina practice. Hal inilah yang kuat menjadi alasan para wanita melakukan berbagai cara untuk mendapatkan hasil yang maksimal selain karena alasan kesehatan. Namun kenyataannya perawatan khusus organ kewanitaan ini masih merupakan masalah pro dan kontra, mengingat efek dari penggunaan bahan-bahan yang digunakan selama proses perawatan. Hasil survei di salon kecantikan Purwodadi, 2 dari 5 orang menyatakan bahwa mereka tidak merasakan keputihan atau keluhan setelah melakukan perawatan vagina practice, dampak terhadap hubungan seksualitas juga meningkat. Tujuan penelitian adalah mengetahui dampak vagina practice terhadap kesehatan reproduksi pada WUS. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Tekhnik pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Jumlah partisipan 3 orang yang tergabung dalam member perawatan vagina practice di salon Purwodadi. Hasil didapatkan 2 dari 5 partisipan menyatakan tidak merasakan keluhan setelah melakukan vagina practice, semua partisipan mengetahui tentang vagina practice, alasan dan manfaat melakukan vagina practice, dampak dari praktek vagina practice dan mendapat respon positive dari orang suami partisipan. Penelitian ini diharapkan responden bisa lebih meningkatkan pengetahuan dengan mencari informasi ke berbagai sumber. Diharapkan pihak salon lebih aktif memberikan informasi mengenai vagina practice yang sesuai dengan kaidah kesehatan terhadap klien. Kata Kunci : Wanita usia subur, kesehatan reproduksi, vagina practice. .
1.
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya, atau suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman (Nugroho, 2010). Banyak hal yang menarik bila kita membahas tentang kelompok wanita usia subur, antara lain yaitu jumlah populasinya yang cukup besar serta keunikan dalam pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat baik secara fisik, psikologis maupun sosial dimana mereka memasuki tahapan
wanita dewasa, gaya hidup yang tidak sehat, munculnya masalah kesehatan reproduksi sebelum atau setelah menikah, keluhan berat badan yang meningkat, dan asupan nutrisi yang kurang baik dapat menimbulkan dampak negatif (Widyastuti, 2009). Kesehatan reproduksi wanita harus memperoleh perhatian yang serius, salah satunya adalah keputihan yaitu masalah yang berhubungan dengan organ seksual wanita. Keputihan biasanya disebabkan oleh jamur atau virus bakteri yang tentu saja masalah ini amat mengganggu penderita. Karena biasanya wanita akan mengeluarkan aroma yang tidak sedap dari organ intimnya selain juga merasa gatal yang sering mengganggu (Prawirohardjo, 2007). Perempuan atau wanita memiliki banyak masalah dengan area vagina. Infeksi vagina bisa Prosiding |101
terjadi ketika kuman-kuman seperti bakteri dan virus masuk ke vagina melalui pertukaran cairan tubuh atau melalui luka pada kulit. Berhubungan seks, minum antibiotika kuat untuk waktu yang lama, kondisi stres dan penggunaan sabun dengan PH yang tidak sesuai bisa menyebabkan infeksi vagina dan menimbulkan keputihan (Kinasih, 2012). Salah satu upaya untuk mencegah masalah kesehatan reproduksi atau keputihan adalah dengan cara melakukan perawatan organ intim. Perawatan organ intim atau praktik-praktik yang dilakukan untuk vagina atau vagina practice, sekarang sudah sangat banyak tersedia di tempat praktik-praktik traditional, salon-salon kecantikan, spa, bahkan klinik-klinik praktek dokter spesialisbaik itu perawatan yang dikatakan traditional ataupun modern dengan teknik-teknik mutakhir kedokteraan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Grimley et al, (2006), bahwa alasan utama wanita melakukan vagina practice adalah merasakan bersih setelah menstruasi (66,5%), kebersihan secara menyeluruh (43,6%), untuk membersihkan diri sebelum dan sesudah berhubungan seks (36,7%), untuk mengurangi bau dari vagina (26,9%), bahwa douching baik dan normal untuk dilakukan (19,4%), mengeluarkan cairan abnormal (6,4%), perdarahan menstruasi (4,3%) dan untuk mencegah kehamilan (3,0%). Hal inilah yang kuat menjadi alasan para wanita melakukan berbagai cara untuk mendapatkan hasil yang maksimal selain karena alasan kesehatan. Namun kenyataannya perawatan khusus organ kewanitaan ini masih merupakan masalah pro dan kontra, mengingat efek dari penggunaan bahanbahan yang digunakan selama proses perawatan (Widyastuti, 2009). Hasil survey dan wawancara terhadap lima wanita usia subur di salon Purwodadi Kabupaten Grobogan, menunjukkan bahwa mereka melakukan vagina practice dengan cara douching vagina menggunakan daun sirih, penguapan hangat vagina menggunakan rempah-rempah tradisional, dan juga ada yang melakukan spa vagina. Dua dari 5 orang menyatakan bahwa mereka tidak merasakan keputihan atau keluhan setelah melakukan perawatan vagina atau vagina practice, dampak terhadap hubungan seksualitas juga meningkat, dikarenakan vagina mereka 102 | Prosiding
menjadi wangi dan lendir yang di keluarkan tidak terlalu banyak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengekplorasi dampak vagina practice yang dilakukan di salon kecantikan terhadap kesehatan reproduksi WUS di Purwodadi 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yaitu menjelaskan fenomena vagina practice yang dilakukan di salon kecantikan terhadap kesehatan reproduksi pada wanita usia subur di Purwodadi. Tekhnik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Partisipan utama adalah 3 (Tiga) orang wanita usia subur dengan kriteria usia 28 tahun sampai dengan usia 35 tahun yang melakukan vagina practice di Salon kecantikan Purwodadi. Triangulasi dilakukan kepada 1 (satu) pegawai salon yang melakukan tindakan vagina practice, 1 (satu) pemilik salon, 1 (satu) suami dari istri yang melakukan praktek vagina practice dan 1 (satu) dokter sebagai ahli kesehatan yang mengetahui tentang vagina practice. Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan panduan wawancara semi struktur. Penelitian dilakukan mulai November 2015 sampai dengan Juni 2016. Tabel 1 Definisi Istilah No
Istilah
Definisi
1
Vagina Practice
Tindakan atau praktek perawatan vagina dengan menggunakan alat tradisioanl maupun modern untuk menghilangkan segala keluhan yang di alami
2
Wanita usia subur Wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan baik antara umur 28-40 tahun
3
Manfaat
Kegunaan praktek vagina practice terhadap pasangan suami istri dalam kehidupan seksualitas, dan manfaat yang dirasakan istri dalam aspek kesehatan reproduksi
4
Dampak
Efek dari praktek vagina practice di lihat dari sisi psikologis dan fisik
5
Dukungan
Peran suami dalam memotivasi istri untuk melakukan praktek vagina practice
Cara pengolahan data dengan metode analisis kualitatif, yaitu mentransipkan data yang didapat dari hasil wawancara mendalam ke dalam bentuk narasi, mengklasifikasikan informasi yang disusun sebelumnya agar dapat dibandingkan partisipan, content analysis atau teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian didapatkan bahwa : Tabel 2 karakteristik partisipan No 1.
Tgl Wawancara/ Jam 11 Juni 2016 / jam 12.30-13.30 WIB
Usia
Partisipan P.1
35 tahun
2.
12 Juni 2016 / Jam 09.00-10.00 WIB
P.2
29 tahun
3.
12 Juni 2016/ Jam 15.30-16.30 WIB
P.3
30 tahun
Tabel 3 Karakterstik Triangulasi No
Usia
Pendidikan
Hal ini sesuai dengan pernyataan triangulasi 2 yang mengatakan pernah memberi informasi tentang terapi vagina practice pada klien yang melakukan perawatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan triangulasi sebagai berikut “....untuk terapi-terapinya saya hanya tahu beberapa saja, kalau disini adanya ratus vagina sama spa vagina, terapi yang lain yang saya tahu gurah vagina dek tapi disini belum ada” (T2) Hasil wawancara 1 dari 3 partisipan mengatakan bahwa mereka memilih spa vagina untuk perawatan vagina mereka. Hal ini sesuai dengan penyataan partisipan sebagai berikut :
Status
1
43 tahun
S2
Suami
2
26 tahun
SMA
Pegawai salon
3
45 tahun
SMK
Pemilik salon
4
36 tahun
S1
Dokter
a.
“....tahu mbak, tapi hanya beberapa saja, yang saya tahu hanya ratus vagina, vagina spa, sama gurah vagina, kalau yang lain kurang tahu mbak, kalau ratus itu vaginanya di asepin mbak, jadi pake bubuk gitu di bakar di atas arang itu lo terus nanti duduk di atasnya, kalau spa vagina ya hampir sama mbak tapi bedanya dipijit-pijit dulu badannya, terus vaginanya di uapin pake air hangat, gurah saya gak paham mbak”(P1) “....hanya tahu beberapa aja mbak, gurah vagina, ratus sama spa vagina, kalau yang lain saya kurang paham, gurah itu yang pake tongkat dimasukkan ke vagina itu lo mbak, ratus pake bubuk yang di bakar di atas arang, spa vagina badannya dipijit sama lulur terus nanti vaginanya di uapin pake air anget” (P3)
Mengekplorasi pengetahuan tentang vagina practice Semua partisipan mengatakan bahwa mereka hanya mengetahui beberapa terapi saja. Partisipan 1 dan 3 mengatakan terapi dalam vagina practice adalah ratus vagina, spa vagina, dan gurah vagina. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut :
“....saya pilih spa vagina mbak, dulu sudah pernah ratus tetapi kurang srek gitu lo, kalau spa vagina-kan ada pijitannya dulu itu, jadi di badan enak gitu lo mbak” (P1) “....saya milih spa vagina, menurut saya spa vagina lebih enak di badan, dipijit-pijit juga kan mbak badannya, tergantung selera sih mbak” (P3) Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada tiga partisipan, 1 dari 3 partisipan mengatakan bahwa mereka kurang mengetahui bahan yang digunakan dalam spa vagina. Hal ini sesuai dengan penyataan partisipan sebagai berikut :
Prosiding |103
“....untuk-untuk bahan-bahannya saya kurang tahu mbak, tapi untuk spa vagina sendiri ada lulur yang bisa memilih sendiri untuk wanginya, kalau untuk bahan yang digunakan membersihkan vaginanya saya kurang tahu mbak” (P1) “....bahan untuk spa vagina kurang tahu mbak, kalau yang buat dipijit itu lulur biasa tapi bisa milih sendiri wanginya” (P3) “....kurang tahu mbak, setahu saya hanya bubuk berwarna kuning yang untuk ratus” (P2) Hal ini sesuai dengan pernyataan triangulasi 3 bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk vagina practice khususnya ratus adalah bahan-bahan tradisonal berupa bubuk berwarna kuning “....untuk bahan ratus itu dari bahan tradisonal yang udah jadi bubuk, saya beli langsung bubuk’an warnanya kuning. Tepatnya apa saja kurang tahu yang pasti saya beli bahannya sudah jadi dan khusus untuk ratus” (T3) Vagina practice merupakan tindakan perawatan vagina yang dikhuskan pada daerah vagina, dengan terapi spa vagina, ratus vagina dan gurah vagina. Mendapatkan informasi mengenai vagina practice dari pegawai salon , bahwa pemilihan terapi vagina practice sesuai dengan kebutuhan. Vagina Practice yang sedang berkembang di masyarakat ini, merupakan awal yang bagus untuk membantu mengatasi masalah kesehatan reproduksi khususnya bagi wanita, dengan melihat berbagai manfaat dan dampak yang di rasakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. M. Temmerman Dept. of Obstetrics and Gynaecology, Ghent University (2011) menyatakan bahwa vagina practice adalah serangkaian istilah yang mencakup berbagai perilaku yang dilakukan untuk berbagai motif dengan elemen umum adalah pada labia, klitoris, dan vagina yang bertujuan untuk menjaga daerah organ intim agar tetap sehat dengan menggunakan bahan tradisonal yang sudah di modifikasi. b.
Alasan melakukan Vagina Practice Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan 3 partisipan, semua partisipan mengatakan 104 | Prosiding
bahwa mereka percaya dan tidak percaya terhadap mitos yang berkembang di masyarakat mengenai vagina practice yang mampu menyembuhkan suatu penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut “....percaya gak percaya ya mbak, dulu teman saya ada yang keputihan, terus spa vagina, sembuh mbak. Saya juga pernah sempet gatalgatal seperti keputihan, langsung spa ya baikan mbak, keputihannya berkurang, setelah spa vagina ini saya merasa vaginanya lebih seger aja, memang saya pernah keputihan mbak dulu sebelum tau spa vagina, saya rutin spa kan, udah gak pernah keputihan mbak” (P1) “....ya percaya gak percaya mbak, saya sudah sering ratus, hasilnya lebih kesed, pas keputihan saya langsung ratus, keputihannya berkurang tuh, gara-gara ratus itu saya gak pernah keputihan mbak, paling ya pas capek terus keluar lendir gitu” (P2) “....gimana ya mbak, mungkin kalau sebatas keputihan bisa kali ya, kalau kanker rahim gitu saya gak paham mbak, ya percaya gak percaya, saya gak pernah keputihan mbak, sebelum dan sesudah spa gak pernah, saya memang hanya perawatan saja” (P3) Hal ini sesuai dengan pernyataan triangulasi 4 bahwa pengaruh vagina practice terhadap kaidah kesehatan yang berhubungan dengan mitos vagina practice yang mampu menyembuhkan suatu penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, terutama keputihan tergantung dari berapa kali frekuensi melakukan vagina practice, berapa lama melakukan vagina practice dan terapi apa yang dipilih dalam vagina practice. Hal ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut : “....kalau untuk terlalu sering, mungkin kita lihat dari masalah waktunya itu sendiri. Berapa kali frekuensi dan berapa lama dan vagina practice yang seperti apa. Kalau memang vagina practice yang menggunakan seperti contoh ratus itukan dengan herbal dan asap ya, itu mungkin kalau untuk terlalu sering tidak baik, karna nanti bisa mengubah floral normal dari vagina itu sendiri. Selain itu dia juga mengiritasi dari mukosa
vaginanya itu sendiri, karna paparan asap yang terlalu sering, itu malah bukannya malah sehat, malah terjadi gangguan Ph dan vagina malah bisa menjadikan keputihan, yang tadinya tidak keputihan. Untuk spa vagina atau yang lain, istilahnya tidak melalui paparan langsung dari vagina practice itu sendiri, jika sebulan sekali mungkin masih baik dilakukan. ” (T4) Wawancara yang dilakukan dengan 3 partisipan, mereka mengatakan bahwa faktor yang memengaruhi melakukan vagina practice untuk menjaga vagina dan mendapat dukungan suami. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut : “....lebih menjaga biar tetep wangi, kesed, biar gak gatel-gatel juga mbak, apalagi-kan suami juga mendukung hehehe” (P1) “....biar kesed aja sih mbak, biar rapet juga, ya biar suami seneng” (P2) “....faktornya banyak, lebih disayang suami, biar vaginanya kesed, seger sama wangi aja sih mbak” (P3) Alasan melakukan vagina practice adalah karena beberapa faktor yaitu antara lain, untuk menjaga kesehatan reproduksi, mitos mengenai vagina practice yang mampu menyembuhkan masalah kesehatan reproduksi, dan adanya dukungan dari suami untuk melakukan vagina practice. Dalam penelitian yang dilakukan Adriane Martin Hilberdkk, dalam jurnal A cross cultural study of vaginal practices and sexuality: Implications for sexual health (2009) menyatakan bahwa alasan wanita melakukan vagina practice yaitu untuk mencapai keadaan vagina yang diinginkan terkait dengan perawatan pribadi, peningkatan seksual, kesehatan reproduksi, menjaga kekencangan, kebersihan vagina, kondisi vagina yang sehat, dan menjaga agar tidak terjadi masalah yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Manfaat Vagina Prcatice Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan 3 partisipan, mereka mengatakan bahwa terdapat pengaruh dengan pola seksualitas setelah
melakukan vagina practice. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut : “....untuk pola seksualitas ada perubahan mbak, jadi setiap saya selesai spa vagina, suami saya ngajak berhubungan terus hehehe ya gitu mbak” (P1) “....ada perubahan sih mbak, suami lebih sering ngajak berhubungan kalau habis ratus” (P2) “....kalau perubahan ya jelas ada mbak, suami jadi lebih seneng berhubungan kalau saya selesai perawatan” (P3) Hal ini sesuai dengan pernyataan triangulasi 3 bahwa pengaruh dalam kesehatan reproduksi setelah melakukan vagina practice memiliki banyak manfaat. Hal ini sesuai dengan pernyataan triangulasi sebagai berikut : “....manfaatnya dari kesehatan reproduksi itu sendiri, satu memelihara dari kesehatan vagina itu sendiri, mempertahankan Ph dalam keadaan batas normal, terus kemudian mengurangi bau tidak sedap, contoh pada kasus keputihan yaitu pada candidiasis vagina atau vaginalis bacterial itu sangat berguna sekali, karna bisa mengurangi istilahnya memelihara bakteri normal, jadi disitu kebanyakan kan bakteri ada lactobacillus’nya, jadi bakteri lactobacillusnya itu bisa terkendali dengan vagina practice itu. Jadi memang manfaatnya banyak, selain juga untuk pada kasus penderita dengan penyakit menular seksual dengan tanda kutip dia bekerja sebagai pekerja seks komersil, di situ juga baik untuk dirinya sendiri, selain dapat mencegah penularan sendiri itu sendirikepada orang lain. Untuk pasien yang tidak dengan keluhan, untuk misalnya memang sudah bersuami atau maksutnya memang sudah nyonya, untuk melakukan vagina practice biasanya saya sarankan 1-3 bulan sekali, untuk merawat istilahnya untuk perawatan, jadi selain bisa untuk mengurangi penyakit seperti mungkin keputihan, terus kemudian mengurangi bau itu biasanya di sarankan 1-3 bulan sekali dengan bahan yang sesuai dengan PH vagina”(T3)
c.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan 3 partisipan, mereka mengatakan keluhan yang mereka rasakan berkurangdan hilang setelah Prosiding |105
melakukan vagina practice. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut : “....saya jarang punya keluhan mbak, tapi dulu pernah keputihan terus spa vagina, keluhannya ilang mbak” (P1) “....oh iya mbak kalau itu pasti, karna saya sudah merasakan langsung, pernah keputihan terus ratus, keputihannya berkurang” (P2) Dalam penelitian ini dapat dianalisa data bahwa manfaat melakukan vagina practice lebih mengacu terhadap pengaruh pola seksualitas dan kesehatan reproduksi, karena dapat mengurangi keluhan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Penelitian yang dilakukan Prof. Dr. M. Temmerman Dept. of Obstetrics and Gynaecology, Ghent University (2011) menyatakan bahwa manfaat melakukan vagina practice yaitu untuk menjaga kesehatan reproduksi agar mampu mempertahankan proteksi atau keseimbangan bakteri lactobacillus yang ada di dalam vagina yang bertujuan untuk menjaga kesehatan reproduksi dari penyakit menular seksual atau masalah dalam kesehatan reproduksi. d.
Dampak Vagina Practice Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan 3 partisipan, mereka mengatakan lebih merasa percaya diri setelah melakukan vagina practice Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut : “....tingkat kepercayaan diri memang lebih meningkat mbak, apalagi kan suamimendukung, suami juga seneng mbak hehehe” (P1) “....percaya dirinya meningkat mbak, betul saya nggak bohong, vaginanya lebih rapet setelah rutin ratus mbak” (P2) “....wah ya jelas mbak, kan jadi lebih wangi sama kesed mbak, pede banget saya” (P3) Wawancara yang dilakukan dengan 3 partisipan, mereka mengatakanlangsung ke dokter pada saat mengalami masalah kesehatan reproduksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut
106 | Prosiding
“....ya, kalau ada masalah langsung ke dokter mbak, specialis kelamin, seperti kalau disini itu dokter U itu mbak, masalah yang saya maksud ya maksudnya keputihan yang bau gitu mbak, terus gatel-gatel yang gak sembuh-sembuh ya pasti saya langsung ke dokter specialis kelamin” (P1) “....sejauh ini saya nggak ada masalah ya mbak melakukan ratus, semisal tiba-tiba ada masalah ya langsung ke dokter, masalahnya pada vagina mbak, ya keputihan yang baunya gak enak, terus panas, kayak gitu mbak” (P2) “....ke dokter specialis kelamin mbak” (P3) Dalam penelitian ini dapat dianalisa bahwa dampak dari vagina practice mengacu pada sisi psikologis dan sisi fisik. Sisi psikologis yang dapat dirasakan yaitu tingkat kepercayaan diri meningkat setelah melakukan vagina practice, sedangkan untuk sisi fisik sendiri lebih mengacu terhadap efek langsung yang dirasakan pada daerah vagina setelah melakukan vagina practice. Dalam penelitian yang dilakukanAdriane Martin Hilberdkk, dalam jurnal A cross cultural study of vaginal practices and sexuality: Implications for sexual health (2009) menyatakan bahwa perempuan Thailand dari segala usia secata teratur melakukan vagina practice, terutama pada saat menstruasi dan sebelum melakukan hubungan seksual untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka dengan mitra mereka dan menghilangkan bau vagina yang tidak diinginkan e.
Dukungan Suami dalam Vagina Practice Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan 3 partisipan, mereka mengatakan melakukan vagina practice atas inisiatif sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut : “....pertama inisiatif sendiri mbak, terus suami juga mendukung dan juga banyak teman-teman saya yang melakukan itu jadinya saya pede terus ikut-ikut melakukan, gitu mbak” (P1) “....pertama inisitaif sendiri mbak, saya tahu dari pegawai salon kan, saya coba kok enak, saya cerita ke suami, eh suami mendukung” (P2) “....lebih ke inisiatif sendiri sih ya mbak. tapi sebelum saya spa itu, saya minta ijin suami dulu, eeh suami mendukung” (P3)
Hal ini sesuai dengan pernyataan triangulasi 1 mengatakan bahwa mendukung vagina practice dengan cara mengantar ke salon. Hal ini sesuai dengan pernyataan sebagai berikut : “....setiap jadwal perawatan saya nganter ke salon mbak, sekalian bayarin perawatan yang lain mbak, biar istri saya seneng” (T1) Dalam penelitian ini dapat dianalisa data bahwa dukungan suami dalam vagina practice adalah peran suami dalam praktik vagina practice yang ditunjukan dengan mendukung secara langsung. Dukungan suami merupakan pemberian bantuan baik berupa materi maupun moral dan spiritual. Hal ini sesaui dengan teori yang menyatakan bahwa suami dianggap penting bagi seorang istri sehingga suami adalah orang yang dapat diharapkan dan dimintai persetujuan untuk mengambil tindakan atau dimintai pendapatnya (Notoadmodjo, 2007) 4.
KESIMPULAN
Vagina practice adalah perawatan yang dilakukan khusus untuk daerah vagina. Alasan melakukan vagina practice bertujuan untuk menjaga kesehatan reproduksi dan mencegah keputihan, Manfaat melakukan vagina practice mengacu terhadap pengaruh pola seksualitas dan kesehatan reproduksi. Dampak dari vagina practiceyang di rasakan mengacu pada sisi psikologis (percaya diri) dan sisi fisik (efek yang dirasakan pada vagina). Semua partisipan dalam melakukan vagina practice mendapat dukungan penuh dari suami, Menurut dokter specialis obsgyn, vagina practice boleh dilakukan dengan frekuensi tertentu yaitu 1-3 bulan untuk menjaga kesehatan reproduksi seperti mempertahankan Ph dalam batas normal, mengurangi bau tidak sedap pada kasus keputihan. Bahan yang digunakan harus diperhatikan sesuai dengan PH vagina.
5.
REFERENSI 1) BKKBN. 2006. Deteksi Dini Komplikasi Persalinan. Jakarta: BKKBN. 2) _______. 2011. Pembangunan Kependudukan dan KB BKKBN Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah: BKKBN Provinsi. 3) Creswell, John W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 4) Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Kesehatan Reproduksi Remaja. [Diakses pada tanggal 24 Januari 2016]. Didapat dari http://digilib.litbag.depkes.go.id 5) Depdikbbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 6) Dewi, M. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika. 7) Handayani, Tri Asih. 2008. Memberantas dan Mengobati Keputihan. Jakarta: Salemba Medika. 8) Kinasih, Neyla. 2012. Wanita Pintar Kesehatan dan Kecantikan. Bantul: Araska. 9) Kusmiran, Eny. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika. 10) Manuaba, IBG. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: ECG. 11) Mochtar, Rostam. 2007. Sinopsis Obstetri Fisiologi dan Patologi. Jakarta: EGC. 12) Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 13) Nugroho, Taufan. 2010. Kesehatan Wanita, Gender dan Permasalahannya. Yogyakarta: Nuha Medika. 14) Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. 15) Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT BPSP. 16) ___________________. 2009. Ilmu kebidanan. Jakarta: YBP-SP
Prosiding |107
MENGUBAH SIKAP SUPIR TRUK DALAM PENCEGAHAN PENULARAN IMS DAN HIV/AIDS MELALUI PEMBERIAN LEAFLET DAN DISKUSI Heni Hirawati Pranoto Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo Email :
[email protected]
ABSTRACT
Jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat prevalensinya dan menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia merupakan masalah serius yang perlu segera ditangani. Supir merupakan kelompok dengan kasus HIV/AIDS yang tinggi, mengingat 8% jumlah kumulatif penderita HIV di Indonesia bekerja sebagai supir. Supir truk rentan untuk melakukan perilaku seksual beresiko mengingat karakteristik dan sifat pekerjaannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seksual beresiko adalah sikap terhadap pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS .Perlu adanya upaya pendidikan kesehatan untuk mengubah sikap supir truk. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa pengaruh pemberian leaflet dan diskusi terhadap sikap supir truk dalam pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS. Penelitian ini termasuk penelitian quasi eksperimen dengan rancangan pre-post test with control group design. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 supir truk yang diambil dengan metode purposive sampling. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat secara deskriptif, analisa bivariat dengan uji t test dan analisa multivariat dengan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pemberian leaflet baik yang disertai diskusi maupun tanpa diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan sikap supir truk. Tidak ada perbedaan yang signifikan peningkatan sikap antara kelompok yang diberikan leaflet disertai diskusi dengan kelompok yang diberikan leaflet tanpa diskusi. Saran bagi Dinas Kesehatan dan KPAD, agar terus mengembangkan metode dan media pendidikan kesehatan pada kelompok pria beresiko. Kata Kunci: Leaflet, Diskusi, Sikap
1.
PENDAHULUAN Salah satu target SDG’s adalah memerangi penularan HIV/AIDS. HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus (Project Concern International, 1994). HIV adalah virus penyebab AIDS ( Gallant, 2010). Cara kerja HIV adalah dengan menyerang sistem kekebalan tubuh yang fungsinya melindungi tubuh dari serangan berbagai penyakit. AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS didefinisikan sebagai suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi HIV (Subuh, 2012) Data Ditjen PP & PL Kemenkes RI ( 2014) jumlah penderita HIV mencapai 150.296 kasus. Jumlah penderita HIV/AIDS yang terus meningkat prevalensinya dan menyebar ke seluruh provinsi merupakan masalah yang harus segera ditangani. Proporsi
108 | Prosiding
kumulatif faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks yang tidak aman pada heteroseksual, yaitu sebesar 61,5%. Laki-laki sebagai pelanggan pekerja seks komersial (PSK) selain sebagai populasi yang rentan terjangkit HIV/AIDS, kelompok ini juga merupakan populasi penghubung yang menjembatani populasi kunci yang beresiko tinggi terjangkit HIV/AIDS dengan populasi umum. Oleh karena itu, populasi ini memegang peran yang penting dalam penyebaran HIV. Komunitas yang secara umum teridentifikasi dalam kelompok beresiko ini adalah supir truk, nelayan, penjaja, buruh bangunan dan tentara ( KPAN, 2010) Supir merupakan kelompok dengan kasus HIV/AIDS yang tinggi, mengingat 8 % jumlah kumulatif penderita HIV di Indonesia bekerja sebagai supir. Supir truk rentan untuk melakukan perilaku seksual beresiko mengingat
karakteristik dan sifat pekerjaannya, yaitu umumnya dari kelompok umur muda, produktif dan sering meninggalkan keluarga dan istri dalam waktu lama sampai berhari-hari, kadang ada yang lebih dari 1 minggu (Nurtriyasih, 2009). Hasil penelitian Mundiharno (1999) pada supir truk didapatkan 50% menyatakan pernah menderita IMS (Mundiharno, 1999). Penelitian Kusuma (2005) pada istri supir truk di Sumatera Barat didapatkan 78,6 % menderita IMS. Pemakaian kondom merupakan langkah pencegahan utama bagi para supir truk yang aktif melakukan kegiatan seksual beresiko. Pemakaian kondom merupakan cara pencegahan penularan yang efekif bagi kelompok yang aktif secara seksual (Widyastuti,2009). Kondom merupakan selubung/sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan, diantaranya lateks (karet), plastic (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang di penis pada saat berhubungan seksual (Gallant, 2010). Namun pada kenyataannya, pemakaian kondom masih menjadi sesuatu yang langka bagi para supir truk. Mereka tidak menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual baik dengan WPS maupun dengan istri di rumah. Berdasarkan survey Lembaga Kalandara pada Januari s.d Februari 2009, dengan mengambil 50 orang dari masingmasing ABK, TKBM, sopir truk dan kernet truk, hasilnya 88% dalam seminggu berhubungan dengan WPS dan sebagian besar ( 74%) dari mereka tidak pernah menggunakan kondom (Kalandara, 2009). Hasil penelitian Hakim ( 2013) menunjukkan bahwa supir truk mempunyai perilaku berisiko tinggi tertular HIV informan adalah berhubungan seks dengan Wanita Tuna Susila (WTS) baik pasangan tetap maupun berganti-ganti, tidak menggunakan kondom, berhubungan seks dengan pacar, melakukan hubungan seks secara vaginal dan oral. Determinan perilaku menurut Green meliputi tiga faktor utama yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat (Green, 2000) Pengetahuan dan sikap merupakan faktor pendorong yang cukup kuat yang mempengaruhi perilaku seseorang. Hasil penelitian pranoto (2017), sebagian besar supir truk sudah mengetahui bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang menyerang dan dapat menurunkan kekebalan
tubuh. Beberapa pertanyaan tentang cara-cara penularan IMS dan HIV/AIDS dapat dijawab dengan benar. Dan para supir truk tahu bahwa pemakaian kondom merupakan cara yang tepat untuk mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS. Namun, pengetahuan tentang pentingnya pemakaian kondom tidak serta merta berdampak pada peningkatan pemakaian kondom pada supir truk. Upaya untuk memperbaiki sikap dapat dilakukan melalui promosi kesehatan. Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang terhadap stimulasi atau objek dalam hal ini adalah masalah kesehatan, termasuk penyakit. Setelah seseorang mengetahui stimulasi atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulasi atau objek kesehatan tersebut (Azwar, 2012). Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tigkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2011). Promosi kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, maka masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tersebut pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku (Notoatmodjo, 2010). Dalam promosi kesehatan terjadi proses komunikasi antara komunikator dan komunikan. Taylor dalam Yulifah (2009) memaparkan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi atau pemberian arti sesuatu. Salah satu efek komunikasi diantaranya adalah efek afektif yang mengacu pada aspek emosional atau perasaan. Efek ini kadarnya lebih tinggi dibandingkan efek kognitif (Winarni, 2003). Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik melalui media cetak, elektronika, dan media luar ruang, sehingga pengetahuan sasaran dapat meningkat dan Prosiding |109
akhirnya dapat mengubah perilaku ke arah positif terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Definisi leaflet dalam Kamus Komunikasi adalah lembaran kertas berukuran kecil mengandung pesan tercetak untuk disebarakan kepada umum sebagai informasi mengenai suatu hal atau peristiwa (Mulyana, 2000). Proses penerbitan sebuah leaflet sebaiknya perlu memerhatikan beberapa aspek agar leaflet yang dihasilkan dapat mewujudkan tujuan komunikasi. Penerbit leaflet harus benarbenar berupaya memanfaatkan dan memaksimalkan ruang komunikasi yang tersedia, misalnya bagaimana memilih ukuran, cara penyajian, menyeleksi kata-kata, gambar, foto dan mengolah pesan yang disajikan agar dapat diterima oleh sasaran. Leaflet sering digunakan dalam promosi kesehatan karena sifatnya yang praktis, murah, mudah dibawa dan membantu memahami isi pesan. Diskusi adalah salah satu cara dalam penyuluhan kesehatan dimana kita menerangkan atau menjelaskan sesuatu dengan lisan disertai dengan tanya jawab kepada sekelompok pendengar, serta dibantu oleh beberapa alat peraga yang dianggap perlu. Salah satu metode lainnya dalam promosi kesehatan adalah diskusi kelompok. Dalam diskusi kelompok agar semua anggota kelompok dapat bebas berpartisipasi dalam diskusi, maka formasi duduk para peserta diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapt berhadap-hadapan atau saling memandang satu sama lain (Notoatmodjo, 2010) Pada beberapa penelitian, leaflet dan diskusi terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap. Diskusi terbukti efektif terhadap Peningkatan Pengetahuan Remaja Putri tentang Kebersihan Alat Genetalia (Pranoto, 2014). Pemberian leaflet terbukti efektif terhadap pengetahuan, sikap dan praktik ibu dalam pencegahan DBD pada anak (Kusumawardani, 2012). Kabupaten Semarang merupakan salah satu tempat di Jawa Tengah yang memiliki tempat persinggahan bagi para supir truk, diantaranya adalah Pangkalan Truk Jambu, Gal Panas dan Lemah Abang. Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Semarang tertuang dalam Perda no 3 Tahun 2010 tentang penanggulangan HIV/AIDS. KPA Kab. 110 | Prosiding
Semarang bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Semarang, PKBI dan Kalandara serta seluruh elemen masyarakat telah berupaya dalam penanggulangan HIV/AIDS, baik dalam upya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya promosi kesehatan tentang IMS dan HIV/AIDS pada kelompok pria beresiko diantaranya adalah pembagian leaflet, ceramah dan pemasangan poster. Saat ini Pemkab Semarang telah memiliki dua klinik yang berfungsi melakukan tahapan voluntary conseling and testing (VCT) HIV/AIDS. Klinik tersebut berada di RSUD Ungaran dan Ambarawa yang melayani bimbingan dan tes HIV/AIDS (Pemkab Semarang, 2013) PKBI Kabupaten Semarang bekerjasama dengan LSM Kalandara dalam upaya penjangkauan kelompok pria beresiko telah melakukan beberapa program promosi kesehatan diantaranya pembagian leaflet, ceramah dan pemasangan poster. Petugas lapangan dari PKBI Kab. Semarang menceritakan bahwa pembagian leaflet sudah beberapa kali dilakukan, namun banyak leaflet yang akhirnya hanya bertebaran di jalan atau di warung tempat para supir truk beristirahat. Diskusi selama ini jarang dilakukan karena banyak kendala untuk mengumpulkan para supir truk Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian leaflet dan diskusi terhadap sikap supir truk dalam pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Hipotesis dalam penelitian ini antara lain : (1) pemberian leaflet dan pemberian leaflet disertai diskusi dapat meningkatkan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS, (2) pemberian leaflet disertai diskusi lebih efektif untuk meningkatkan sikap supir truk tentang IMS dan HIV/AIDS dibandingkan dengan pemberian leaflet tanpa diskusi, (3) pemberian leaflet disertai diskusi lebih efektif untuk menekan penurunan sikap supir truk tentang IMS dan HIV/AIDS dibandingkan dengan pemberian leaflet tanpa diskusi. 2.
METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimen semu (quasi eksperiment) yang menggunakan rancangan pre-post test with
control group design. Rancangan ini berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan subyek secara sukarela. Penelitian diawali dengan pre test pada subyek penelitian. Intervensi dilakukan selama 20-35 menit dan kemudian dilakukan pengukuran pengetahuan dan sikap. Pengukuran dilakukan kembali 1 minggu setelah perlakuan. Waktu pengukuran berdasarkan teori David Kolb yang bahwa sesuatu yang dipelajari oleh sesorang akan cenderung menurun secara logaritma dari waktu ke waktu (Depkes RI, 2001). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh supir truk yang pada saat penelitian berada di Kabupaten Semarang. Sampel sejumlah 60 supir truk. Teknik pengambilan sampel menggunakan tehnik purposive sampling yaitu mengambil sampel dengan kriteria sebagai berikut : bertempat tinggal di Propinsi Jawa Tengah, lama bekerja sebagai supir > 1 th, saat bekerja meninggalkan rumah lebih dari 1 hari, umur > 20 tahun, memiliki telepon seluler dan bersedia untuk dihubungi, bisa membaca dan menulis, pernah memperoleh informasi tentang IMS dan HIV/AIDS, bersedia menjadi responden. Instrumen yang digunakan Kuesioner yang digunakan untuk mengetahui sikap responden terhadap pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS terdiri dari 15 item pertanyaan terdiri dari 5 pilihan jawaban yaitu “ sangat setuju”, “setuju”, “ragu-ragu”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju” Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 15 butir r hitung berkisar antara 0,4510,879 sehingga r hitung > 0,444, yang artinya 15 butir soal dinyatakan valid. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa dari 15 butir soal yang valid, r hitung berkisar antara 0,734 – 0,751 (r hitung >0,60). Sehingga disimpulkan bahwa 15 butir soal dinyatakan reliabel. Analisis perbedaan pengetahuan sikap antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menggunakan unpaired t test. Analisis perbedaan pengetahuan antara kelompok intervensi 1, intervensi 2 dan kelompok kontrol menggunakan uji one way ANOVA. Selanjutnya, untuk mengetahui kelompok manakah yang terdapat perbedaan yang bermakna dilakukan dilakukan analisis Post Hoc.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sikap supir truk pada Pre Test sebagian besar baik. Kelompok intervensi maupun kelompok kontrol setuju untuk berhubungan seksual hanya dengan istri di rumah (56%), namun banyak pula yang setuju untuk memiliki beberapa pacar/istri dan memanfaatkan waktu istirahat untuk berkencan dengan WPS. Dalam upaya pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS, hanya sebagian kecil (5%) yang setuju untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan WPS. Banyak supir truk setuju untuk mencegah penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS dengan cara minum antibiotik (43%), padahal minum antibiotik bukanlah cara yang tepat untuk mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS. Supir truk biasanya meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama. Untuk memenuhi kebutuhan seksual, biasanya supir truk memiliki pacar atau kencan dengan WPS. Sebagian besar responden telah bekerja sebagai supir truk lebih dari 5 tahun sehingga pengaruh teman dan lingkungan kerja sulit untuk diabaikan. Hal ini didukung oleh pendapat Azwar (2012) bahwa orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Hasil pengukuran sikap pada pre test menunjukkan bahwa sebagian besar (80%) supir truk kelompok intervensi 1 memiliki sikap negatif dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS, demikian pula pada kelompok intervensi 2 dan kelompok kontrol yaitu sebesar 70%. Rerata skor sikap pada saat pre test berkisar antara 45,25 46,90. Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara ketiga kelompok tersebut (p=0,995). Hal ini membuktikan bahwa ketiga kelompok tersebut mempunyai kondisi awal yang sama. Menurut Murti (2007), penelitian quasy experimental dengan menggunakan sampel yang diambil secara purposive harus memiliki kesetaraan karakteristik. Sikap pada saat post test 1 pada kelompok intervensi 1 hanya sebagian kecil (25%) yang menjawab setuju untuk memanfaatkan waktu istirahat untuk berkencan dengan WPS, demikian pula dengan kelompok intervensi 2 (20%), sedangkan pada kelompok kontrol masih ada 40 % Prosiding |111
supir truk yang menjawab setuju. Terjadi peningkatan jawaban setuju pada penggunaan kondom saat berhubungan seksual dengan WPS pada kelompok intervensi 1(60%), demikian pula pada kelompok intervensi 2 (70%). Namun pada kelompok kontrol hanya sebagian kecil (35%) yang setuju untuk menggunakan kondom pada saat berhubungan berhubungan seksual pada WPS. Hasil post test 1 menunjukkan bahwa segera setelah diberikan intervensi terjadi perubahan sikap pada supir truk, sehingga pada kelompok intervensi 1 sebagian besar (70%) bersikap positif, demikian pula pada kelompok intervensi 2, sebagian besar (70%) bersikap positif dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Sedangkan pada kelompok kontrol, sebagian besar bersikap negatif. Rerata skor sikap tertinggi terdapat pada kelompok intervensi 2 (54,85). Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA yang dilanjutkan analisis post hoc menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p=0,000), namun tidak ada perbedaan sikap antara kelompok intervensi 1 dengan kelompok intervensi 2 (p=0,415) Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA menunjukkan bahwa ada perbedaan skor sikap antar kelompok yang diberikan intervensi dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian leaflet dan diskusi dapat mengubah sikap supir truk dari sikap negatif menjadi positif terhadap pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Pemberian leaflet baik yang disertai diskusi maupun tanpa diskusi membantu penyampaian informasi tentang IMS dan HIV/AIDS yang selanjutnya informasi tersebut memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap. Setelah diberikan leaflet serta diajak berdiskusi, supir truk memahami tentang bahaya penyakit IMS dan HIV/AIDS dan bagaimana pencegahannya. Keinginan untuk tetap sehat dan terus berkarya mendorong supir truk untuk bersikap positif terhadap upaya pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Hal ini didukung oleh pendapat Azwar (2012) bahwa informasi baru yang diperoleh memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
112 | Prosiding
Sikap pada saat post test 2 paling banyak (40%) setuju untuk memilih beristirahat di tempat yang jauh dari lokalisasi supaya tidak terpengaruh untuk berkencan dengan WPS, namun masih banyak pula yang setuju untuk memiliki pacar/istri. Terjadi penurunan supir truk yang setuju untuk menggunakan kondom baik pada kelompok intervensi 1 maupun kelompok intervensi 2 Hasil post test 2 menunjukkan terjadi penurunan sikap pada beberapa supir truk 1 minggu setelah perlakuan. Pada kelompok Intervensi 1 sebagian besar (60%) memiliki sikap positif, demikian pula pada kelompok intervensi 2 (75%). Sedangkan pada kelompok kontrol hanya sebagian kecil (25%) yang memiliki sikap positif dalam pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS. Rerata skor sikap pada post test 2 tertinggi pada kelompok intervensi 2 (53,6). Hasil uji beda ketiga kelompok menggunakan uji one way ANOVA menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan sikap antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p=0,000) , namun tidak ada perbedaan sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,465). Perubahan sikap supir truk disebabkan karena dalam waktu 1 minggu telah terjadi interaksi supir truk dengan lingkungan dan teman sekerja. Kondisi pekerjaan yang berat dan jauh dari keluarga, pertemuan dengan WPS atau istri simpanan memungkinkan terjadinya perubahan sikap supir truk terhadap pencegahan IMS dan HIV/AIDS. Pemakaian kondom masih dirasakan sebagai suatu hal yang tidak mudah. Masih ada pendapat yang kurang mendukung dalam pemakaian kondom sehingga membuat supir truk berubah sikap. Pendapat teman yang dianggap penting dan tidak ingin dikecewakan mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu (Azwar, 2012) Meskipun terjadi penurunan, sebagian besar supir truk pada kelompok intervensi tetap memiliki sikap yang positif terhadap pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan pada kelompok intervensi terjadi retensi sikap yang baik. Perbedaan Sikap Supir Truk Hasil Post test 1 antara kelompok intervensi 1, intervensi 2 dan kelompok kontrol dengan menggunakan unpaired t test menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata
skor sikap hasil post test 1 antara kelompok Intervensi 1 dan kelompok kontrol (p=0,000), demikian pula rerata skor sikap antara kelompok Intervensi 2 dan kelompok kontrol (p=0,000). Namun, tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,423). Sedangkan hasil uji statistik menggunakan one way ANOVA, diperoleh nilai p=0,000 yang artinya setidaknya terdapat perbedaan skor sikap yang bermakna pada dua kelompok. Hasil analisis Post Hoc menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor sikap hasil post test 1 antara kelompok Intervensi 1 dan kelompok kontrol (p=0,000), demikian pula rerata skor sikap antara kelompok Intervensi 2 dan kelompok kontrol (p=0,000). Namun, tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,415). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian leaflet tanpa dan disertai diskusi meningkatkan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Supir truk setuju untuk setia kepada istrinya dan memekai kondom saat berhubungan seksual dengan WPS. Hanya sebagian kecil supi truk yang setuju untuk mencegah penularan penyakit dengan cara minum antibiotic. Keduanya terbukti tidak ada perbedaan yang signifikan. Sikap supir truk menggambarkan perasaan mendukung maupun tidak mendukung terhadap upaya pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Dengan adanya informasi tentang IMS dan HIV/AIDS, didukung oleh adanya pengalaman pribadi dan keinginan untuk hidup sehat menjadikan sikap supir truk yang sebelumnya bersikap negatif menjadi positif. Hal ini sesuai dengan pendapat Azwar bahwa sikap dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, media massa dan faktor emosional. Pemberian leaflet yang disertai diskusi kelompok tidak memberikan hasil yang berbeda secara signifikan dibandingkan pemberian leaflet tanpa diskusi. Meskipun metode diskusi memberikan kesempatan kepada para peserta untuk menguji, mengubah dan mengembangkan pandangan, nilai dan keputusan, namun metode ini tidak menjamin perubahan sikap seseorang. Hal ini didukung oleh pendapat Modjiono bahwa metode diskusi tidak menjamin penyelesaian, sekalipun
kelompok setuju atau membuat kesepakatan pada akhir pertemuan sebab kesepakatan yang dicapai belum tentu dilaksanakan. Meskipun tidak signifikan, skor sikap kelompok yang diberikan leaflet disertai diksusi lebih tinggi dibandingkan kelompok yang hanya diberikan leaflet. Pada beberapa pertanyaan mengenai pemakaian kondom, kelompok yang diberikan leaflet dan diskusi terlihat lebih banyak yang setuju. Dalam proses diskusi, supir truk selain memperoleh informasi melalui indera penglihatan juga melibatkan indera pendengaran. Hal ini memungkinkan lebih banyak informasi yang diperoleh sehingga menjadi dasar pembentukan sikap. Informasi tentang IMS dan HIV/AIDS bersifat sensitif karena membahas mengenai hubungan seksual di luar pernikahan, pemakaian kondom dan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual yang bagi sebagian orang menjadi canggung dan malu. Namun, bagi sebagian supir truk hal ini merupakan pembicaraan yang menarik. Mereka dengan antusias menyampaikan pendapat dan saling mengomentari. Hal ini menjadikan informasi mudah dipahami dan selanjutnya tidak mudah dilupakan oleh para supir truk. Perbedaan Sikap Supir Truk Hasil Post test 2 antara kelompok intervensi 1, intervensi 2 dan kelompok kontrol dengan uji statistik unpaired t test menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor sikap hasil post test 2 antara kelompok Intervensi 1 dan kelompok kontrol (p=0,001), demikian pula rerata skor sikap antara kelompok Intervensi 2 dan kelompok kontrol (p=0,000). Namun, tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,433). Sedangkan hasil uji statistik menggunakan one way ANOVA, diperoleh nilai p=0,000 yang artinya setidaknya terdapat perbedaan skor sikap yang bermakna pada dua kelompok. Hasil analisis Post Hoc menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor sikap hasil post test 2 antara kelompok Intervensi 1 dan kelompok kontrol (p=0,000), demikian pula rerata skor sikap antara kelompok Intervensi 2 dan kelompok kontrol (p=0,000). Namun, tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,465) Prosiding |113
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian leaflet dengan dan tanpa diskusi sama efektifnya dalam meningkatkan retensi sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS. Kedua kelompok mendapatkan informasi yang sama tentang IMS dan HIV/AIDS melalui leaflet. Leaflet menjadi semakin efektif jika setelah dibaca leaflet tersebut diletakkan di tempat yang mudah dijangkau oleh supir truk, seperti di dalam kendaraan, warung, rest area, pom bensin, dll. Tidak ada perbedaan signifikan rerata skor sikap antara kelompok intervensi 1 dan kelompok intervensi 2 (p=0,465). Diskusi yang dilakukan dalam penelitian ini berlangsung selama 15 menit untuk masing –masing kelompok. Hal ini menjadikan materi diskusi kurang luas, kesempatan untuk mengutarakan pendapat oleh masing-masing peserta menjadi terbatas. Hal ini menjadi salah satu kendala tersampaikannya informasi secara optimal. Meskipun hasil uji statistik menunjukkan bahwa sikap kelompok yang diberikan leaflet dan diskusi tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan leaflet, namun skor sikap supir truk pada kelompok intervensi 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok intervensi 1. Pada kelompok intervensi 2, setelah diberikan kesempatan untuk membaca isi leaflet, para supir truk diajak untuk berdiskusi dalam kelompok kecil. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para supir truk untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahami. Dalam diskusi terjadi proses komunikasi kelompok. Bungin (2008) memaparkan bahwa dalam komunikasi kelompok terdapat fungsi pendidikan dan persuasi. Dalam pembentukan sikap, proses persuasi sangat diperlukan untuk terbentuknya penilaian seseorang terhadap sesuatu. Pendapat teman sesama supir truk yang diselingi dengan canda tawa dan kadang kala saling mengejek membuat pesan yang dsampaikan mudah diingat, Hal ini memungkinkan retensi pengetahuan menjadi semakin baik dan diikuti pula dengan sikap supir truk yang positif. Sikap supir truk merupakan kesiapan bereaksi terhadap berbagai upaya pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS. Sikap yang positif diharapkan dapat mempermudah atau mendasari 114 | Prosiding
terbentuknya perilaku yang positif dalam upaya pencegahan penularan penyakit IMS dan HIV/AIDS di kalangan supir truk. Pemberian leaflet dengan dan tanpa diskusi merupakan metode yang terbukti dapat meningkatkan pengetahuan serta sikap supir truk dalam mendukung upaya tersebut. 4.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa (1) pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS segera setelah intervensi yaitu sebesar 8,45 dan 8,05, (2) pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya meningkatkan secara signifikan sikap supir truk dalam pencegahan penularan IMS dan HIV/AIDS segera 1 minggu setelah intervensi yaitu sebesar 7,05 dan 6,8, (3) meskipun tidak ada perbedaan peningkatan sikap yang signifikan antara kelompok yang diberikan leaflet dengan kelompok yang diberikan leaflet disertai diskusi, namun rerata sikap kelompok yang diberikan leaflet disertai diskusi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan leaflet, baik segera setelah intervensi (1,15) maupun 1 minggu setelah intervensi (1,40), (4) pada kelompok pemberian leaflet tanpa diskusi dan pemberian leaflet disertai diskusi, keduanya terjadi penurunan sikap secara signifikan pada 1 minggu setelah intervensi yaitu sebesar 1,4 dan 1,25. 5. REFERENSI 1) Azwar, S. Sikap Manusia; Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2012 2) Bungin B. 2008. Sosiologi Komunikasi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 3) Green, L. 2000 Health Education Promotion Planning. Copyright by. Mayfield Publishing Company. Mountain View. 4) Gallant, J. 2010. 100 Tanya Jawab mengenai HIV dan AIDS. PT Indeks. Jakarta.
5) Hakim, M.Z. Hartini, R. Favourita, L.Sutrisna, N. Perilaku Beresiko Tinggi Tertular HIV/AIDS di Kalangan Supir Truk antar Kota Antar Propinsi. Jurnal Pekerja Sosial. Volume 12 Nomor 1. 6) Kementrian Kesehatan. 2011. Surveilens Terpadu Biologis dan Perilaku pada Kelompok Beresiko Tinggi di Indonesia. 7) Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI. 8) Kementrian Kesehatan. 2014. Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan III th 2014. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI. 9) Komisi Penanggulangan AIDS. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Th 20102014. Jakarta. Komisi Penanggulangan AIDS. 10) Murti B. 2007. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 11) Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Depok. 12) Notoatmodjo, S. 2011. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. 2003 13) Nurtriyasih, T. 2009. Perilaku Pemakaian Kondom Pengemudi Truk dalam Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Batang Tahun 2009. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.
14) Pemkab. Semarang, 2013, Profil Kabupaten Semarang. 15) Pranoto, H.H. Masruroh. Triwijayanti, O.K. 2014. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Menggunakan Metode Ceramah dan Diskusi Kelompok Terhadap Peningkatan Pengetahuan Remaja Putri tentang Kebersihan Alat Genetalia. Jurnal Keperawatan Maternitas Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Volume 2 Nomor 2 Hal. 90-97 16) Pranoto, H.H. 2017. Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pegetahuan Supir Truk tentang Penyakit IMS dan HIV/AIDS. Prosiding Seminar Nasional Kebidanan dan Call Paper Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo. 16 Maret 2017, Kab. Semarang, Indonesia. Hal 176181. 17) Subuh, HM. 2012. Surveilens Terpadu Biologis dan Perilaku 2011. Pengendalian Penyakit Menular. Jakarta. 18) Taufik, 2007.M. Prinsip-prinsip Promosi Kesehatan. CV. Infomedika. Jakarta 19) Yulifah, R. 2009. Komunikasi dan Konseling dalam Kebidanan. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2009.
Prosiding |115
TAKSIRAN VISUAL COMSTOCK UNTUK MENILAI ASUPAN MP ASI IKAN MUJAIR PADA BADUTA Lilik Hidayanti1), Sri Maywati2) 1,2) Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Siliwangi email:
[email protected] email:
[email protected] Abstract Makanan Pendamping ASI (MP ASI) yang menggunakan bahan pangan lokal seperti ikan mujair mempunyai banyak keuntungan antara lain memiliki harga yang murah, bahan pangan mudah didapat, serta merupakan upaya edukasi kepada baduta untuk mengenal berbagai macam rasa dan jenis makanan sehingga kelak dapat menyukai makanan yang beraneka ragam yang ada di sekitar mereka. Kegiatan yang dilakukan bertujuan agar sasaran mau memberikan MP ASI Ikan mujair kepada badutanya meliputi kegiatan promosi, demonstrasi, pelatihan dan pendampingan. Untuk menilai sasaran mau memberikan MP ASI Ikan Mujair dilakukan dengan cara mengukur asupan MP ASI ikan mujair dengan menggunakan taksiran visual Comstock. Data yang diperoleh dianalisis secara univariat menggunakan perhitungan nilai statistik dan tabel distribuasi frekuensi untuk memberikan gambaran persentase asupan MP ASI baduta. Sasaran pada kegiatan ini sebanyak 30 orang ibu yang memiliki anak di bawah umur dua tahun (baduta) dan aktif datang ke posyandu di Kecamatan Sukarame Kabupaten Tasikmalaya. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah sasaran yang mau memberikan MP ASI Ikan mujair kepada badutanya. Setelah promosi dan demontrasi jumlah sasaran yang mau memberikan MP ASI Ikan Mujair kepada badutanya sebanyak 80% (24 sasaran), meningkat menjadi 27 sasaran (90%) setelah dilakukan pelatihan dan menjadi 100% setelah dilakukan pendampingan. Hasil pengukuran taksiran visual Comstock menunjukkan bahwa pada pengukuran pertama ada 16,6 % baduta yang mampu menghabiskan seluruh (100%) MP ASI yang diberikan. Pada pengukuran kedua jumlah baduta yang mampu menghabiskan seluruh MP ASI yang diberikan meningkat menjadi 22,2 % dan pada pengukuran ketiga meningkat lagi menjadi 23,3 %. Hasil ini menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan berupa promosi, demonstrasi, pelatihan dan pendampingan pembuatan MP ASI berbahan baku Ikan Mujair berhasil menyakinkan sasaran sehingga mau memberikan MP ASI berbahan baku Ikan mujair kepada badutanya. Disamping itu tahapan kegiatan yang dilakukan juga mampu meningkatkan asupan MP ASI Ikan mujair pada baduta. Rekomendasi yang diberikan adalah untuk selalu melakukan refreshing dan sasaran dapat membagikan kemampuannya kepada masayarakat yang lain. Keywords: baduta, MP ASI, ikan mujair, visual comstock
1.
PENDAHULUAN
Anak yang berusia di bawah umur dua tahun atau sering dikenal dengan istilah baduta berada pada periode kesempatan emas kehidupan (window of opportunity). Di samping itu pada usia ini jugamerupakan periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang akan mempengaruhi kualitas hidup manusia di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, apabila terjadi masalah gizi pada periode ini maka akan berdampak pada kualitas SDM yang akhirnya berdampak pada daya saing bangsa. Baduta membutuhkan asupan makanan lain selain ASI yang disebut sebagai 116 | Prosiding
Makanan Pendamping ASI (MP ASI). Kandungan gizi di dalam MP ASI harus mampu memenuhi kebutuhan gizi baduta agar tidak menyebabkan terjadinya growth faltering (kegagalan pertumbuhan) dan gangguan perkembangan otak. Berdasarkan hasil observasi menunjukkan bahwa Kecamatan Sukarame berada di Kabupaten Tasikmalaya yang sudah dikenal sejak lama merupakan sentra produksi perikanan darat di Jawa Barat, salah satunya adalah ikan mujair. Produksi ikan mujair di Kabupaten Tasikmalaya sangat besar yaitu 8.509,46 ton/tahun pada tahun 2013, jauh di atas produksi ikan gurame (808,8 ton/tahun), dan ikan mas (6.214, ton/tahun).
Kelebihan lain dari ikan mujair antara lain adalah merupakan sumber protein hewani yang murah, budidayanya mudah, pertumbuhannya cepat, memiliki daging yang tebal dan ukuran yang besar. Budidaya ikan mujair biasanya dilakukan di kolam atau dalam bahasa sunda disebut dengan balong. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Sukarame memiliki kolam ikan atau balong ini. Ikan mujair merupakan ikan lokal dari perairan darat yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan MP ASI. Pembuatan MP ASI dengan menggunakan bahan pangan lokal seperti ikan mujair mempunyai banyak keuntungan antara lain memiliki harga yang murah sehingga terjangkau, bahan pangan mudah didapat, serta merupakan upaya edukasi kepada baduta untuk mengenal berbagai macam rasa dan jenis makanan sehingga anak kelak dapat menyukai makanan yang beraneka ragam yang ada di sekitar mereka. Beberapa hal yang menyebabkan ikan Mujair tidak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai MP ASI, antara lain adalah; (1) Masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan memanfaatkan ikan mujair menjadi MP ASI, (2) Adanya mitos yang berkembang di masyarakat bahwa konsumsi ikan pada baduta dapat menyebabkan terjadinya kecacingan, serta (3) Masyarakat tidak memiliki pengetahuan mengenai kandungan gizi ikan mujair yang sangat bermanfaat bagi pertumbuhan baduta. Ditambah lagi, hasil penelitian Sri Maywati & Lilik Hidayanti (2014) menunjukkan bahwa sebagian besar (67,4 %) ibu yang memiliki baduta berpendidikan SD. Pendidikan seseorang dapat berkorelasi dengan pengetahuan yang dimilikinya. Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka dilakukan kegiatan agar sasaran menjadi tahu, mampu, dan mau membuat MP ASI berbahan baku ikan mujair dan memberikannya kepada baduta mereka. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan promosi, demonstrasi, pelatihan dan pendampingan. Untukmenilaipenerimaan serta asupan energi dan protein badutayang berasal MP ASI berbahan baku ikan mujair maka maka dilakukan pengukuran taksiran visual Comstock. 2.
METODE PENELITIAN
Upaya yang dilakukan agar sasaran mampu memanfaatkan potensi ikan mujair yang dihasilkan
sebagai bahan baku pembuatan MP ASI serta mau memberikannya untuk baduta dilakukan dengan menggunakan prinsip SAVI (Somatic, Auditory, Visualization dan Intellectualy). Prinsip SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa transfer Ipteks dilakukan dengan memanfaatkan semua alat indra yang dimiliki sasaran. Metode yang digunakan adalah promosi, demonstrasi dan pelatihan, dengan tahapan sebagai berikut : a. Tahap pertama : kegiatan pada tahap pertama yang dilakukan adalah Promosi MP ASI Ikan Mujair dan Demontrasi pembuatan MP ASI Ikan Mujair. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada mitra mengenai cara pembuatan MP ASI Ikan Mujair sehingga mitra menjadi tahu cara membuat MP ASI Ikan Mujair dengan benar (Somatic, Auditory, dan visualization). b. Tahap Kedua : kegiatan pada tahap kedua adalah Pelatihan dan pendampingan pembuatan MP ASI Ikan Mujair. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan keterampilan kepada sasaran mengenai cara pembuatan MP ASI Ikan Mujair sehingga sasaran mampu membuat MP ASI Ikan Mujair secara mandiri (Intellectualy). c. Tahap Ketiga : kegiatan evaluasi dengan cara melakukan penilaian asupan MP ASI ikan mujair menggunakan metode penilaian visual Comstock. Prinsip dari metode visual comstock adalah menaksir secara visual banyaknya sisa makanan atau makanan yang dikonsumsi untuk setiap golongan makanan atau jenis hidangan. Hasil estimasi tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk skor dengan menggunakan skala pengukuran. Metode visual comstock dapat menghasilkan hasil yang cukup detail dan tidak mengganggu proses pemberian makan secara signifikan. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui seberapa banyak asupan makan seseorang. Metode taksiran visual dengan menggunakan skala pengukuran dikembangkan oleh Comstock dengan menggunakan skor skala 6 poin dengan kriteria sebagai berikut : 0 : jika tidak ada porsi makanan yang tersisa (100% dikonsumsi) 1 : jika tersisa ¼ porsi (hanya 75% yang dikonsumsi) 2 : jika tersisa ½ porsi (hanya 50% yang dikonsumsi) 3 : jika tersisa ¾ porsi (hanya 25% yang dikonsumsi) Prosiding | 117
4 : jika tersisa hampir mendekati utuh (hanya dikonsumsi sedikit atau 5%) 5 : jika makanan tidak dikonsumsi sama sekali (utuh) Sasaran dalam kegiatan ini adalah 30 ibu rumah tangga yang memiliki anak yang berumur di bawah dua tahun (baduta) dan aktif ke posyandu. Kegiatan dilakukan dengan cara membagi sasaran menjadi 3 kelompok dan masing-masing kelompok sebanyak 10 orang yang didampingi oleh satu orang fasilitator. Kegiatan yang dilakukan agar sasaran menjadi tahu, mampu dan mau memberikan MP ASI berbahan ikan mujairini dilakukan selama 3 bulan dengan jadwal pada bulan pertama dilakukan kegiatan promosi dan demonstrasi, bulan kedua kegiatan pelatihan, dan bulan ketiga kegiatan pedampingan. Pengukuran taksiran comstok dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu : 1) Pengukuran Comstock pertama dilakukan selama satu bulan setelah kegiatan promosi dan demonstrasi 2) Pengukuran Comstock kedua dilakukan selama satu bulan setelah kegiatan pelatihan 3) Pengukuran Comstock ketiga dilakukan selama satu bulan setelah kegiatan pendampingan Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan perubahan skor taksiran visual Comstock selama tiga bulan berturut-turut. Data dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran hasil evaluasi penilaian asupan MP ASI Ikan Mujair menggunakan taksiran visual Comstock. Hasil deskripsi data ditampilkan mmenggunakan perhitungan nilai-nilai statistik dan tabel distribusi frekuensi.
Jenis kelamin anak sasaran hampir berimbang antara yang laki dan perempuan. Secara lebih rinci dinyatakan bahwa, sasaran yang memiliki anak berjenis kelamin laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan sasaran yang memiliki anak perempuan. 2) Umur Anak Tabel 2 Penghitungan Nilai Statistik Umur Anak Sasaran No 1 2 3 4
Nilai Rata-rata Standar Deviasi Minimal Maksimal
Umur (bulan) 13,8 4,9 6 24
Sasaran memiliki anak dengan rata-rata umur sekitar 13 bulan dengan kisaran umur antara 6 sampai 24 bulan. Pada umur 6 bulan pemberian ASI saja kepada anak sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya sehingga anak memerlukan tambahan zat gizi dari makanan lainnya. Setelah berumur 6 bulan anak dapat diberikan makanan selain ASI yang konsistensinya dimulai dari cair, lumat, lembek dan padat seiring dengan pertambahan umur anak. 3) Jumlah Anak Tabel 3 Jumlah Anak Sasaran No 1 2 3 4
Nilai Rata-rata Standar Deviasi Minimal Maksimal
Umur (bulan) 2 1,15 1 5
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sasaran memiliki jumlah anak yang berkisar antara 1 sampai 5 orang dengan rata-rata anak yang dimiliki oleh sasaran sebanyak 2 orang.
a.
Karakteristik anak 1) Jenis Kelamin Anak
b.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Anak Sasaran No 1 2 Total
Jenis Kelamin anak sasaran Laki-laki Perempuan
118 | Prosiding
n
%
17 13 30
56,7 43,3 100,0
Karakteristik Sasaran Sasaran dalam kegiatan ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak usia 6 bulan dampai dengan dua tahun dan tinggal di wilayah kecamatan Sukarame Kabupaten Tasikmalaya. Karakteristik orang tua balita yang mencakup umur, pendidikan dan pekerjaan dapat mempengaruhi proses perubahan perilaku.
1) Pendidikan Sasaran Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pendidikan Sasaran No 1 2 3 Total
Pendidikan Sasaran SD SMP SMA
n
%
25 2 3 30
83,3 6,7 10,0 100,0
Pada kegiatan ini sebagian besar sasaran berpendidikan rendah yaitu sekolah dasar (SD), sedangkan sasaran yang berpendidikan menengah (SMP dan SMA) hanya sekitar 16,7 %. Pendidikan dapat memberikan pengaruh terhadap pengetahuan seseorang dan pada akhirnya akan berkaitan dengan sikap dan prakteknya. Di samping itu, pendidikan yang rendah akan menyulitkan sasaran untuk dapat menerima informasi yang diberikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuannya untuk menerima dan menyerap hal-hal baru yang diberikan (Notoatmojo, 2007). Pada kegiatan ini dilakukan pengulangan pemberian informasi yang dilakukan secara bertahap salah satunya dikarenakan sebagian besar pendidikan sasaran tergolong pendidikan rendah. Penyampaian informasi juga dilakukan dengan menyasar seluruh panca indera sasaran mulai dari mata, telingga, dan juga mencoba melakukan sendiri.
dapat menambah jumlah anak lagi. Distibusi umur sasaran sebagian besar berumur 20-30 tahun menunjukkan bahwa rata-rata umur sasaran berada pada umur reproduksi sehat sehingga dapat meningkatkan motivasi diri untuk memperoleh pengetahuan yang sebanyak- banyaknya. Hurlock, E.B (2004) mengemukakan bahwa umur ibu sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi sosial pada masa dewasa. Wanita yang dewasa akan aktif dibidang sosial. 3) Pekerjaan Sasaran Pada kegiatan ini sebagian besar sasaran adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja untuk menghasilkan uang. Hanya satu orang sasaran yang bekerja secara informal yaitu sebagai pedagang di rumah. Oleh karena itu, hampir semua sasaran memiliki waktu yang sangat luas untuk mangasuh anaknya. Seluruh sasaran mengasuh sendiri anak mereka tanpa melibatkan orang lain dalam pengasuhan baik oleh kerabatnya maupun oleh pengasuh anak. Di samping itu, karena sasaran bukan merupakan ibu dengan pekerjaan yang terikat oleh waktu maka proses penyampaian informasi dapat diberikan dengan waktu yang sangat luas dan fleksibel. Kegiatan promosi dilakukan pada jam 9 sampai jam 12 siang, karena pada waktu tersebut seorang ibu rumah tangga biasanya telah menyelesaikan seluruh pekerjaan rumahnya.
2) Umur Sasaran Tabel 5 Penghitungan Nilai Statistik Umur Sasaran No 1 2 3 4
Nilai Statistik Rata-rata Standar Deviasi Minimal Maksimal
Umur (tahun) 21 11,4 16 33
Umur sasaran berkisar antara 16 tahun sampai dengan 33 tahun, dengan rata-rata umur 21 tahun. Umur sasaran masuk dalam kelompok umur muda, yang masih tergolong mudah untuk menerima informasi dan masih mempunyai semangat untuk mengadopsi kegiatan yang diberikan. Semakin matang umur seseorang, maka dalam memahami suatu masalah akan lebih mudah dan dapat memahami pengetahuan dengan baik. Umur yang masih muda juga memungkinkan sasaran untuk
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Status Pekerjaan Sasaran No 1 2 Total
Status Pekerjaan Sasaran Tidak Bekerja Bekerja
n 29 1 30
% 96,7 3,3 100,0
c.
Karakteristik Fasilitator kegiatan Fasilitator dalam kegiatan ini adalah kader posyandu yang direkomendasikan oleh puskesmas Sukarame, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya. Kader yang menjadi fasilitator berjumlah 3 orang dengan karakteristik sebagai berikut :
Prosiding | 119
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Fasilitator Kegiatan No 1
2
3
4 5
Karakteristik Kader Jenis Kelamin Laki-laki perempuan Pendidikan SD SMP SMA PT Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Umur
Mean 43,3 Lama menjadi kader >5 tahun <5 tahun
n
%
0 3
0 100,0
0 0 2 1
0 0 75,0 25,0
0 3
0 100,0
SD 8,6
Min 34 3 0
Max 51 100,0 0
Semua kader yang menjadi fasilitator dalam kegiatan ini berjenis kelamin perempuan dan semuanya merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja sehingga seluruh fasilitator memiliki waktu yang leluasa untuk mengikuti kegiatan ini. Fasilitaor berpendidikan minimal setara dengan SMA dan ada 1 fasilitator yang berpendidikan tinggi dengan pengalaman menjadi kader selurh fasilitator lebih dari 5 tahun. Latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki fasilitator tentu saja sangat berperan dalam kemampuan fasilitator sebagai pendamping pada kegiatan ini. Di samping itu, kisaran umur fasilitator yang antara 34 sampai 51 tahun memungkinkan mereka memiliki semangat yang tinggi dalam menjalankan kegiatan ini. d. Hasil Penilaian Asupan MP ASI Berbahan Baku Ikan Mujair dengan Taksiran Visual Comstock Untuk mengetahui bahwa mitra mau mengadopsi program kegiatan IbM MP ASI Ikan Mujair dilakukan dengan menilai dampak dari program salah satunya dengan cara menghitung berapa kali ibu mau memberikan MP ASI Ikan Mujair kepada badutanya. Pada saat sebelum dilakukan kegiatan ini, semua sasaran menyatakan belum pernah memberikan MP ASI berbahan baku ikan mujair yang mereka buat sendiri maupun 120 | Prosiding
berasal dari tempat lain kepada badutanya. Setelah dilakukan kegiatan promosi, demonstrasi, pelatihan dan pendampingan maka setiap bulan dihitung berapa kali sasaran memberikan MP ASI berbahan baku ikan mujair kepada badutanya. 1) Jumlah ibu yang memberikan MP ASI ikan mujair kepada badutanya Tabel 8 Jumlah Sasaran yang memberikan MP ASI Ikan Mujair kepada badutanya Kel
Kel 1
Kel 2
Kel 3
Total
Pengukuran ke
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Jumlah ibu yang membuat MP ASI ikan mujair Ya Tidak n % n % 9 90,0 1 10,0 10 100,0 0 0,0 10 100,0 0 0,0 7 70,0 3 30,0 9 90,0 1 10,0 10 100,0 0 0,0 8 80,0 2 20,0 8 80,0 2 20,0 10 100,0 0 0,0 24 80,0 6 20,0 27 90,0 3 10,0 30 100,0 0 0,0
Tabel 8 menunjukkan bahwa setelah dilakukan kegiatan promosi dan demonstrasi jumlah sasaran yang memberikan MP ASI ikan mujair kepada badutanya sebanyak 24 orang (80,0%). Setelah dilakukan kegiatan pelatihan jumlah sasaran yang memberikan MP ASI Ikan Mujair kepada badutanya meningkat menjadi 90,0 % dan setelah dilakukan pendampingan meningkat menjadi seluruh (100%) sasaran telah memberikan MP ASI Ikan Mujair kepada badutanya. Pada pengukuran pertama setelah dilakukan promosi dan demonstrasi, pemberian MP ASI ikan mujair kepada baduta yang dilakukan oleh sasaran berkisar antara 1 sampai dengan 4 kali selama satu bulan, dengan rata-rata sebanyak 1,54 kali per bulan. Pada pengukuran kedua rata-rata pemberian meningkat menjadi 4,11 kali per bulan dan pada pengukuran ketiga menjadi 4,93 kali per bulan.
Tabel 9 Penghitungan Nilai Statistik Jumlah Pemberian MP ASI Ikan Mujair Per Bulan Selama Kegiatan Promosi
Tabel 10 Penghitungan Nilai Statistik Hasil Taksiran Visual Comstock Asupan MP ASI Ikan Mujair
Nilai Statistik Mean
Kelompok
SD
Min
Maks
Bulan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 1,5 4,4 5,5 0,5 1,5 1,1 1 1 3 2 6 7
Kelompok 2 3 1,85 1,25 4,0 3,87 4,7 4,6 1,06 0,4 1,5 0,8 1,1 1,1 1 1 1 3 3 3 4 2 5 5 7 7
Total 1,54 4,11 4,93 0,72 1,3 1,1 1 1 3 4 6 7
Kelompok 1 Kelompok 2
Kelompok 3
Total
2) Penilaian Comstock asupan MP ASI ikan mujair Hasil pengukuran taksiran visual Comstock menunjukkan bahwa pada pengukuran pertama rata-rata MP ASI Berbahan Ikan Mujair yang dihabiskan sebanyak 61,45 %, pada pengukuran kedua meningkat menjadi 63,88% dan pada bulan ketiga menjadi 67,5 %. Pola kegiatan yang dilakukan menunjukkan adanya kemampuan dan kemauan dari sasaran untuk membuat dan memberikan MP ASI Ikan Mujair kepada badutanya. Kegiatan yang dilakukan menyasar semua indera sasaran sehingga diharapkan hasil dari kegiatan ini dapat bertahan lama dan masyarakat mampu memanfaatkan keberadaan ikan mujair sebagai sumber protein hewani yang non allergen untuk anak mereka.
Bulan 1 2 3 1
Mean 75 72,5 75,0 53,57
(%/bulan) SD Min 21,6 50 21,8 50 20,4 50 17,25 25
2 3 1
63,8 72,5 53,12
28,25 24,86 20,86
25 25 25
100 100 100
2 3 1 2 3
53,12 55,00 61,45 63,88 67,50
20,86 19,72 22,09 24,35 22,88
25 25 25 25 25
100 100 100 100 100
Maks 100 100 100 75
Pada pengukuran pertama dari 24 sasaran yang memberikan MP ASI Ikan Mujair untuk baduta,hasil pengukuran taksiran visual comstock menunjukkan bahwa separuh (54,2%) baduta sasaran menghabiskan 50 % MP ASI yang diberikan. Pada pengukuran pertama juga diketahui bahwa ada 16,6 % baduta yang menghabiskan MP ASI ikan mujair 100% atau mampu menghabiskan seluruh MP ASI yang diberikan. Pada pengukuran kedua jumlah baduta yang mampu menghabiskan MP ASI 100 % meningkat menjadi 22,2 % dan pada pengukuran ketiga naik manjadi 23,3 %.
Tabel 11 Distribusi Frekuensi Hasil Pengukuran Taksiran Visual Comstock Asupan MP ASI berbahan Ikan Mujair Persentase MP ASI yang habis
Kel 1 n
100 %
Jumlah 75 %
Jumlah 50 %
%
1
3
75,0
2 3
0 1 4 3 2 0 5 3 4 6
0,0 25,0 16,6 60,0 40,0 0,0 20.8 23,07 30,78 46,15
1 2 3 1 2 3
Pengukuran Ke2 n % 3 50,0 2 1 6 3 3 0 6 4 2 6
33,3 16,7 22,2 50,0 50,0 0,0 22,2 33,4 16,6 50,0
3 n
% 3
42,8
3 1 7 4 4 1 9 3 2 7
42,8 14,4 23,3 44,4 44,4 11.2 30,0 25,0 16,6 58,4
Prosiding | 121
Jumlah 25 %
Jumlah 0%
Jumlah TOTAL
4.
1 2 3 1 2 3
13 0 1 1 2 0 0 0 0 24
KESIMPULAN
Kegiatan yang dilakukan berupa promosi, demonstrasi, pelatihan dan pendampingan pembuatan MP ASI berbahan baku Ikan Mujair berhasil menyakinkan sasaran sehingga mau memberikan MP ASI berbahan baku Ikan mujair kepada badutanya. Disamping itu tahapan kegiatan yang dilakukan juga mampu meningkatkan asupan MP ASI Ikan mujair pada baduta. Rekomendasi yang diberikan adalah untuk selalu melakukan refreshing dengan dukungan dari kader dan petugas gizi Puskesmas, serta hendaknya dapat membagikan kemampuannya kepada masayarakat yang lain. 5.
UCAPAN TERIMA KASIH Pelaksanaan kegiatan ini tidak terlapas dari keterlibatan beberapa pihak. Oleh karena itu, kami menghaturkan terima kasih kepada Kemenristek Dikti melalui DRPM dan LP2M-PMP UNSIL yang telah memberikan bantuan pendanaan sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Puskesmas Sukarame, Kepala Desa Sukarame, Koordinator Posyandu Eldeweis dan Sukarapih, serta seluruh sasaran kegiatan yang telah banyak membantu sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. 6. REFERENSI 1) BAPPENAS, 2011, RANPG - Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 20112015, BAPPENAS, Jakarta
122 | Prosiding
54,2 0,0 50,0 50,0 8,4 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0
12 0 2 1 3 0 0 0 0 27
44,4 0,0 66,6 33,4 11,2 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0
12 0 1 1 2 0 0 0 0 30
40,0 0,0 50,0 50,0 6,7 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0
2) Kemenkes RI, 2010, Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak, Kemenkes RI, Jakarta 3) Kemenkes. 2014. Hasil Riskesdas 2013. Kemenkes RI 4) Lilik Hidayanti & Sri Maywati. 2014. Ketahanan Pangan (Food Security) Dan Status Gizi Balita Keluarga Miskin Di Kecamatan Sukarame Kabupaten Tasikmalaya. Laporan Penelitian Dosen Madya Universitas Siliwangi 5) Lilik Hidayanti & Sri Maywati. 2015. Ketahanan Pangan Keluarga Miskin yang Memiliki Balita Gizi Kurang di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. Laporan Penelitian Dosen Pemula 6) Meyliana, dkk. 2013. Potensi Budidaya Ikan Mujair: Studi Kasus di Kecamatan Leuwisari Tasikmalaya, Laporan Penelitian Universitas Maranantha 7) Puskesmas Sukarame, 2014, Laporan Tahunan Puskesmas Sukarame, Puskesmas Sukarame 8) Sri Maywati & Lilik Hidayanti. 2014. Upaya Meningkatkan Ketahanan Pangan (Food Security) Keluarga Yang Memiliki Balita Kekurangan Gizi Dengan Promosi Konsumsi Makanan Beragam Berbasis Sumber Daya Lokal Melalui Konseling Gizi. Laporan Penelitian Dosen Pemula
PERBEDAAN PENGETAHUAN WANITA USIA SUBUR TENTANG PRAKTIK SADARI TERKAIT KEJADIAN KANKER PAYUDARA SEBELUM DAN SESUDAH PENYULUHAN DI RW 03 KELURAHAN BULUSTALAN SEMARANG 1)2)3)
Novita Nining Anggraini1), Ratih Sari Wardani2), Wahyu Umiyati3) Program Studi Diploma III Kebidanan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker payudara merupakan salah satu jenis penyakit yang dapat menyebabkan kematian terbesar pada kaum wanita di dunia termasuk di Indonesia, namun penyakit kanker payudara merupakan keganasan yang dapat dicegah sedini mungkin dengan berbagai cara, salah satunya yang paling efektif yaitu dengan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). Sosialisasi tentang SADARI di RW 03 Kelurahan Bulustalan belum pernah dilakukan.Tujuan : Mengetahui perbedaan pengetahuan WUS tentang praktik sadari terkait kejadian kanker payudara sebelum dan sesudah penyuluhan RW 03 Kelurahan Bulustalan. Metode : Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Quasi Experiment atau eksperimen semu, dengan rancangan yang digunakan adalah “One Group Pre Test dan Post Test Design”. Populasi dalam penelitian ini wanita usia subur di RW 03 Kelurahan Bulustalan sebanyak 50 orang. Sampel yang digunakan sebanyak 40 orang.Variabel bebas adalah Penyuluhan tentang praktik SADARI dan Variabel terikat adalah pengetahuan WUS tentang praktik SADARI.Analisis Bivariat menggunakan uji (wilcoxon). Hasil : sebelum dilakukan penelitian WUS memiliki pengetahuan tentang SADARI sebanyak (57,5%), dan setelah dilakukan penyuluhan tentang pengetahuan SADARI pada WUS meningkat menjadi baik yaitu (100%). Ada perbedaan pengetahuan tentang praktik SADARI sebelum dan sesudah penyuluhan p-value 0,000 Kesimpulan: Ada perbedaan yang signifikan pengetahuan WUS tentang Praktik SADARI sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan tentang SADARI. Kata Kunci: pengetahuan, sikap, SADARI, Penyuluhan.
1.
PENDAHULUAN
Carsinoma Mammae atau Kanker payudara adalah tumor ganas pada payudara atau salah satu payudara, kanker payudara juga merupakan benjolan atau massa tunggal yang sering terdapat di daerah kuadran atas bagian luar, benjolan ini keras dan bentuknya tidak beraturan dan dapat digerakkan (Olfah, 2013). Kanker payudara merupakan salah satu jenis penyakit yang dapat menyebabkan kematian terbesar pada kaum wanita di dunia termasuk di Indonesia, namun kanker payudara juga dapat terjadi pada pria. Pengobatan yang paling lazim adalah dengan pembedahan dan jika perlu dilanjutkan dengan kemoterapi maupun radiasi (Nugroho, 2011).
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organitation) setiap tahun jumlah penderita kanker payudara bertambah sekitar 7 juta. Survei terakhir di dunia menunjukkan tiap 3 menit ditemukan penderita kanker payudara dan setiap 11 menit ditemukan seorang perempuan meninggal akibat kanker payudara. WHO juga mengatakan selalu ada kasus baru terkait kanker, selama empat tahun itu jumlah kematian yang disebabkan kanker melonjak dari 7.600.000 menjadi 8.200.000 dan lebih dari setengahnya berasal dari negara berkembang. Data WHO menunjukkan bahwa 78% kanker payudara terjadi pada wanita usia 50 tahun ke atas. Sedangkan 6%nya pada usia kurang dari 40 tahun. Kematian akibat penyakit kanker diproyeksikan meningkat 15% secara global antara tahun 2010 dan 2020,
Prosiding |123
hingga mencapai 44 juta kematian. Peningkatan tertinggi (diperkirakan sebesar 20%) (WHO, 2010). Kejadian kanker di Indonesia terdapat sebanyak 23.310 kasus dan kanker payudara sebanyak 2.743 kasus. Dari data survey penelitian yang dilakukan di RS Kanker Dharmais Jakarta, di temukan data bahwa tahun 2011 ada 10 jenis kanker yang paling sering diterjadi yaitu : kanker payudara 43,7%, kanker serviks 26,4%, kanker paru 11,3%, kanker nesopharing 10,4%, hepatoma 7,6%, kanker tyroid 6,2%, kanker kolon 6%, kanker ovarium 5,7%, kanker recti 5,6% dan Limfoma Non Hodgkin (kanker limfe) 3,5%. Hal ini menunjukkan bahwa kanker payudara paling banyak terjadi daripada kejadian kanker lain (Haryono, 2012). Hasil survey Riset Kesehatan Dasar di Indonesia menunjukkan angka prevalensi penyakit tumor/kanker sebesar 4,3 per 1000 penduduk (Kementrian Kesehatan, 2007). Kejadian penyakit kanker menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jateng tahun 2011 ditemukan sebanyak 19,637 kasus, angka ini mengalami peningkatan dibandingkan kasus kanker pada tahun 2010 sebanyak 13,277 kasus, terdiri dari kanker servik 0,013, kanker payudara 0,022, kanker hepar 0,004, dan kanker paru 0,003. Sedangkan pada tahun 2011 terjadi peningkatan yaitu kanker servik 0,021, kanker payudara 0,029, kanker hepar 0,007, dan kanker paru 0,003 (Profil Dinkes Jateng, 2011). Di Provinsi Jateng tahun 2012 mengalami penurunan pada kasus kanker ditemukan sebanyak 11,341 kasus, terdiri dari kanker serviks 2.253 kasus(19,92%), kanker payudara 4.206(37,09%), kanker hepar 2.755 (24,29%), dan kanker paru 2.121 (18,70%) (Profil Dinkes Jateng, 2012). Perhatian terhadap penyakit tidak menular semakin meningkat seiring meningkatnya frekuensi kejadian penyakit di masyarakat. Berdasarkan laporan puskesmas dan rumah sakit di Kota Semarang ditemukan 157 kasus kanker payudara, dan angka tertinggi kasus kanker payudara ada di Puskesmas Pandanaran sebanyak 19 (29,8%) kasus, Puskesmas Kedungmundu 15 (23.5%) kasus, Puskesmas Karangdoro 12 (18,8%) kasus, Puskesmas Gunungpati 11 (17,2%) kasus, dan Puskesmas Candi Lama 10 (15,7%) kasus (Profil Kesehatan Kota Semarang, 2012). 124 | Prosiding
Penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui, tetapi terdapat banyak faktor yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara diantaranya : faktor umur, usia saat menstruasi pertama, penyakit fibrokistik, riwayat kanker payudara, radiasi, penggunaan hormone estrogen dan progestin, gaya hidup tidak sehat (konsumsi rokok, narkoba, makan-makanan instan, dan alkohol) (Mulyani, 2013). Selain itu faktor lain yang menyebabkan kejadian kanker payudara adalah perilaku, yaitu faktor dari diri individu (Predisposing factor), yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, yang terdapat dalam diri individu, faktor pemungkin (Enabling factor), yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana, dan faktor pendorong (Reinforcing factor), yaitu faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan adanya sikap dari orang lain (Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2012). Penyakit kanker payudara merupakan keganasan yang dapat dicegah sedini mungkin dengan berbagai cara. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menolong wanita tersebut terutama pada tahap awal, salah satunya yang paling efektif yaitu dengan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). SADARI adalah pemeriksaan payudara sendiri yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kanker dalam payudara wanita.Pemeriksaan ini dilakukan oleh wanita yang berumur 20 tahun keatas (Olfah, 2013). Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, terdapat kasus kanker payudara tertinggi di puskesmas Pandanaran yaitu sebanyak 19 kasus kanker payudara pada tahun 2012, pada kasus ini banyak ditemukan pada perempuan berusia 15-44 tahun. Dari data yang didapat di Puskesmas terdapat satu kelurahan yang mempunyai kasus kanker yaitu Kelurahan Bulustalan di RW 03 sebanyak 2 kasus. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 25 maret 2014 pada 10 orang WUS di RW 03 Kelurahan Bulustalan ditemukan 6 orang WUS tidak mengetahui pengertian dan cara melakukan sadari, 4 orang WUS tahu tentang sadari tetapi tidak tahu cara melakukannya dengan benar, dikarenakan di kelurahan Bulustalan belum pernah ada sosialisasi
atau penyuluhan tentang praktik sadari oleh tenaga kesehatan. 2.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Quasi Experiment atau eksperimen semu, dengan rancangan yang digunakan adalah “One Group Pre Test dan Post Test Design”. Populasi dalam penelitian ini wanita usia subur di RW 03 Kelurahan Bulustalan sebanyak 50 orang. Sampel yang digunakan sebanyak 40 orang. Teknik pengambilan sampel padapenelitian ini adalah Purposive Sampling (Hidayat, 2010). Variabel bebas adalah Penyuluhan tentang praktik SADARI dan Variabel terikat adalah pengetahuan WUS tentang praktik SADARI.Analisis Bivariat menggunakan uji (wilcoxon). 3.
HASIL Penelitian ini dilakukan di RW 03 Kelurahan Kategori
Pengetahuan sesudah penyuluhan Kurang Cukup Baik Jumlah
Frekuensi
23 15 2 40
Presentase (%)
57,5 37,5 5 100
Bulustalan Semarang Selatan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni. RW 03 ini terdiri dari 7 RT, yang saat ini berjumlah 50 wanita usia subur. Setiap 1 bulan sekali diadakan perkumpulan yang dilaksanakan dirumah anggotanya secara bergiliran. Dalam perkumpulan ini dibagi menjadi 7 kelompok dengan 1 kader penanggung jawab untuk masing-masing RT yang membahas tentang arisan PKK, pengajian dan kegiatan perlombaan.Kegiatan ini dilakukan 1 bulan sekali pada minggu kedua. Penyuluhan tentang praktik SADARI pada wanita usia subur dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2014 di ruang pertemuan Kelurahan Bulustalan dengan populasi 50 wanita usia subur dan sampel yang digunakan adalah semua dari populasi, penyuluhan dimulai pukul 16.00 sampai 18.00 WIB dangan total responden hadir 40 responden dikarenakan hujan yang deras sehingga ada 10 responden yang tidak dapat menghadiri
penyuluhan. Karena ada 10 responden yang tidak menghadiri penyuluhan pada hari itu maka 10 responden tersebut dinyatakan batal menjadi sampel penelitian. Metode yang digunakan pada saat penyuluhan berlangsung adalah metode ceramah dengan materi tentang Praktek SADARI yang dijelaskan menggunakan powerpoint dan alat bantu leaflate serta video tentang praktik SADARI. Sebelum penyuluhan responden diberikan kuesioner sebelum dan kuesioner sesudah diberikan setelah penyuluhan.Pembagian leaflate dilakukan setelah semua responden menyelesaikan kuesioner pretest. Pengetahuan Tentang Praktik Sadari Sebelum Penyuluhan Pengetahuan WUS tentang praktik sadari sebelum dilakukan penyuluhan didapatkan skor dari jumlah jawaban pertanyaan yang benar yaitu antara 5 - 17 dengan rata-rata 10,90 dan standar deviasi 2.716. Kemudian dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu baik jika 76-100% dengan skor 1620, cukup jika 56-75% dengan skor 12-15, dan kurang jika <56% dengan skor < 12. Tabel 1 DistribusiFrekuensi Pengetahuan Sebelum Penyuluhan
Diketahui bahwa kategori pengetahuan WUS tentang SADARI sebelum dilakukan penyuluhan sebagian besar mempunyai pengetahuan kurang tentang SADARI yaitu sebanyak (57,5%), dan yang berpengetahuan baik sebanyak (5%). Pengetahuan Tentang Praktik Sadari Sesudah Penyuluhan Sesudah dilakukan penyuluhan tentang praktik SADARI dengan metode ceramah kemudian dilakukan post test untuk mengukur pengetahuan yaitu antara 16 – 20 dengan rata-rata 19.12 dan standar deviasi 1,244. Tabel Distribusi Frekuensi Pengetahuan Sesudah Penyuluhan
Prosiding |125
Tabel 2 DistribusiFrekuensi Pengetahuan Sesudah Penyuluhan Kategori
Frekuensi
Pengetahuan sesudah penyuluhan Kurang Cukup Baik Jumlah
0 0 40 40
Presentase (%) 0 0 100 100
Diketahuai bahwa pengetahuan sesudah responden dilakukan penyuluhan kategorinya meningkat menjadi 100%.Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sesudah dilakukan penyuluhan tentang praktik SADARI pengetahuan WUS meningkat. Perbedaan Pengetahuan Tentang Praktik SADARI Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Berdasarkan uji wilcoxcon diperoleh rentang rata-rata pengetahuan pre test sebesar 20,50, dengan hasil p-value = 0,000 (<α 5%), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa : ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan pre dan post test. Tabel 3 Uji wilcoxon pada pengetahuan pre dan post 4.
memperoleh sesuatu dari hasil pengindraannya seperti mata, hidung, telinga dan sebagainya seperti yang diungkapkan oleh Notoatmodjo (2007). Pengetahuan wanita usia subur tentang Praktik SADARI Sesudah penyuluhan Sesudah dilakukan penyuluhan tentang praktik SADARI mayoritas pengetahuan WUS dalam kategori baik yaitu sebanyak 100% dari yang sebelumnya WUS dengan berpengetahuan kurang sebanyak 57,5% WUS, hal ini menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan tentang praktik SADARI. Pertanyaan-pertanyaan yang sebelum dilakukan penyuluhan dijawab salah oleh WUS, ternyata setelah diberikan penyuluhan banyak yang menjawab dengan benar.Dikarenakan pada saat penyuluhan berlangsung WUS nampak tenang dan memperhatikan setiap materi yang disampaikan oleh peneliti. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Sunaryo (2004) bahwa pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (Sunaryo, 2004). Perbedaan
Pengetahuan
Variable
N
Pengetahuan
40
PEMBAHASAN
tentang
Mean rank 20,50
Pengetahuan wanita usia subur tentang Praktik SADARI sebelum penyuluhan.
terhadap Praktik SADARI Sesudah Penyuluhan
Sebagian besar responden sebelum dilakukan penyuluhan memiliki pengetahuan kurang tentang Praktik SADARI yaitu sebanyak 57,5%. Terbukti dengan banyaknya pertanyaan pengetahuan yang tidak dijawab dengan benar oleh WUS karena kurangnya informasi yang mereka dapat dari tenaga kesehatan, maupun kesadaran diri sendiri untuk mendapat atau mencari informasi dari media informasi seperti tv, radio, Koran, majalah, dan media informasi lainnya tentang pentingnya praktik SADARI. Hal itu sesuai teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007) bahwa pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
Pengetahuan
126 | Prosiding
SADARI p 0,000
Sebelum
dan
Penyuluhan tentang praktik SADARI pada WUS Kelurahan Bulustalan Semarang dilakukan pada hari Jum’at tanggal 4 Juli pukul 16.00 WIB setelah para WUS selesai bekerja, penyuluhan di laksanakan di ruang pertemuan Kelurahan Bulustalan. Penyuluhan ini disampaikan dengan metode ceramah memakai bahasa yang mudah dimengerti oleh responden, penyampaian materi penyuluhan menggunakan powerpoint yang menjelaskan tiap sub bab dari materi beserta contohnya, leaflate yang dibagikan pada peserta penyuluhan menyertakan gambar-gambar agar
mudah dimengerti oleh responden serta memutarkan video tentang cara melakukan SADARI untuk memudahkan responden. Penyuluhan ini berlangsung tertib, tenang dan tidak ramai karena ada 4 orang teman yang membantu peneliti untuk mendampingi responden saat penyuluhan berlangsung sehingga responden dapat dikondisikan dan dapat memperhatikan dengan tenang dan serius sesuai dengan harapan peneliti. Perbedaan pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan tentang SADARI telah disajikan dengan menggunakan uji wilcocxon, kemudian diperoleh nilai mean rank -5,517 dan nilai p= 0,000. Disimpulkan dari hasil tersebut, maka ada perbedaan yang bermakna rata-rata pengetahuan tentang praktik SADARI sebelum dan sesudah penyuluhan. Sehingga dapat disimpulkan adanya pengaruh dari penyuluhan yang dapat mengubah atau meningkatkan pengetahuan WUS. Pendidikan kesehatan ataupun penyuluhan memmpunyai pengaruh besar terhdap pengetahuan yang kemudian dapat menciptakan persepsi pada diri seseorang terhadap suatu objek yang kemudian akan mengubah perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2005). 5.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan beberapa kesimpulan dari penelitian ini berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakuakan yaitu Pengetahuan tentang Praktik SADARI wanita usia subur sebelum dilakukan penyuluhan sebagian besar masih dalam kategori kurang yaitu sebanyak 57,5% responden salah dalam menjawab pertanyaan tentang faktor resiko dari kanker payudara, sesudah dilakukan penyuluhan meningkat menjadi baik yaitu sebanyak 40 WUS (100%).Ada perbedaan pengetahuan tentang Praktik SADARI sebelum
dan sesudah dilakukan penyuluhan dilihat dari hasil uji wilcoxon p-value yaitu 0,000. 6. DAFTAR PUSTAKA 1) Azwar, S. 2011. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2) Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2012. Profil Kesehatan. Semarang: DKK 3) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2012. Profil Kesehatan. JawaTengah : DKK (http://www.dinkeskotasemarang.go.id. a. diakses tanggal 1 Februari2013) 4) Hidayat, A.2007. Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta:Salemba Medika 5) Hidayat. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.Jakarta:Salemba Medika. 6) Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. 7) Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta 8) Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta 9) Nugroho, T. 2011. ASI dan Tumor Payudara. Yogyakarta : Nuha Medika 10) Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. 11) Olfah, Y dkk. 2013. Kanker Payudara dan SADARI.Yogyakarta : Nuha Medika. 12) Setiawan Ari dan Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan DIII, DIV, SI dan S2.Yogyakarta : Nuha Medika. 13) Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan.Jakarta : EGC
Prosiding |127
PENGARUH PENYULUHAN TERHADAP PENGETAHUAN PADA REMAJA PUTRI TENTANG IMUNISASI VAKSIN HPV DI PONPES KH. SAHLAN ROSJIDI SEMARANG 1)2)3)
Lia Mulyanti1), Rikinatul Sholechana2), Ali Rosidi 3) Progam Studi Diploma III Kebidanan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang Email :
[email protected] Abstract
Latar belakang : Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kanker serviks dan keengganan untuk melakukan deteksi dini menyebabkan lebih dari 70% mulai menjalani perawatan justru ketika sudah berda kondisi parah dan sulit di sembuhkan, hanya sekitar 2% dari perempuan Indonesia mengetahui kanker serviks (Maharani, 2012). Berdasarkan kelompok usia kasus kanker serviks adalah usia 1 tahun 1 kasus, usia 1-4 tahun 0 kasus, 5-9 tahun 2 kasus, usia 10-14 tahun 0 kasus, 15-44 tahun 114 kasus, 45-65 tahun 331 kasus, dan usia > 65 tahun terdapat 34 kasus. Berdasarkan studi pendahuluan di Pondok Pesantren KH. Sahlan Rosjidi Semarang hasil wawancara bahwa hampir 75% mahasiswa belum mengetahui pencegahan kanker serviks dengan metode imunisasi vaksin Human Papilloma Virus (HPV). Tujuan :Mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan remaja putri tentang imunisasi vaksin Human Papilloma Virus (HPV) di Pondok Pesantren Putri KH. Sahlan Rosjidi Semarang. Metode Penelitian : Jenis penelitian eksperimen semu dengan rencangan Pretest Postest with Control Group. Total populasi 186 remaja dan 64 sampel yang dipilih dengan cara Random Sampling. Instrument yang digunakan adalah kuesioner. Hasil : Analisis data menggunakan uji t-test, data pengetahuan didapatkan p = 0,001 yang artinya < 0,05 H0 diterima maka menunjukkan ada pengaruh penyuluhan terhadap pemgetahuan remaja putri tentang imunisasi vaksin Human Papilloma Virus (HPV) di Pondok Pesantren Putri KH. Sahlan Rosjidi Semarang. Simpulan : Ada pengaruh penyuluhan terhadap pemgetahuan remaja putri tentang imunisasi vaksin Human Papilloma Virus (HPV) di Pondok Pesantren KH. Sahlan Rosjidi Semarang. Kata kunci: Pengetahuan, Kanker serviks, Imunisasi vaksin HPV
1.
PENDAHULUAN
Kanker Serviks merupakan suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks yang disebabkan infeksi virus Human Papilloma Virus (HPV) (Sukaca, 2009). Secara global, virus HPV tipe 16 dan 18 menyebabkan 70% dari seluruh kejadian kanker serviks. Selain itu, virus HPV tipe 45 dan 31 menduduki urutan ketiga dan keempat tipe HPV penyebab kanker serviks. Tipe 16, 18, 45 dan 31 secara bersamaan bertanggung jawab atas 80% kejadian kanker serviks di seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2010 bahwa penyakit kanker serviks adalah penyebab utama kematian wanita paling banyak di negara berkembang. Angka kejadian infeksi diperkirakan 6,2 juta kasus baru pertahun. Kejadian infeksi pada wanita berkisar 50-80% 128 | Prosiding
selama hidupnya, 50% diantaranya merupakan tipe onkogenik. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kanker serviks dan keengganan untuk melakukan deteksi dini menyebabkan lebih dari 70% mulai menjalani perawatan justru ketika sudah berda kondisi parah dan sulit di sembuhkan, hanya sekitar 2% dari perempuan Indonesia mengetahui kanker serviks (Maharani, 2012). Di Negara Indonesia kanker serviks merupakan faktor utama penyebab kematian pada perempuan (Profil Dinas Kesehatan Indonesia, 2010). Menurut Yayasan Kanker Indonesia tahun 2007 menyebutkan setiap tahunnya sekitar 500.000 perempuan didiagnosa menderita kanker serviks dan lebih dari 250.000 meniggal dunia total 2,2 juta perempuan didunia menderita kanker serviks, namun kanker serviks dapat di cegah salah
satunya dengan imunisasi vaksin Human Papillioma Virus (HPV). Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah adalah pada tahun 2010 terdapat 0,0013% kasus, tahun 2011 mengalami peningkatan terdapat 19,92% kasus dan tahun 2012 terdapat 0,007% kasus. Presentase kasus kanker serviks di Provinsi Jawa Tengah relavan naik turun (Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012). Menurut Data Dinas Kesehatan Kota Semarang Penyakit kanker serviks adalah pada tahun 2010 terdapat 2782 kasus, tahun 2011 mengalami peningkatan terdapat 5155 kasus, dan pada tahun 2012 terdapat 482 kasus. Berdasarkan kelompok usia kasus kanker serviks adalah usia 1 tahun 1 kasus, usia 1-4 tahun 0 kasus, 5-9 tahun 2 kasus, usia 10-14 tahun 0 kasus, 15-44 tahun 114 kasus, 45-65 tahun 331 kasus, dan usia > 65 tahun terdapat 34 kasus, kasus kanker serviks tertinggi kota Semarang adalah pada tahun 2011 (Profil Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012). Berdasarkan studi pendahuluan di Pondok Pesantren KH. Sahlan Rosjidi Semarang hasil wawancara bahwa hampir 75% mahasiswa belum mengetahui pencegahan kanker serviks dengan metode imunisasi vaksin Human Papilloma Virus (HPV). 2.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian eksperimen semu dengan rencangan Pretest Postest with Control Group. Total populasi 186 remaja dan 64 sampel yang dipilih dengan cara random sampling. Sampel akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang diberi penyuluhan dan tidak diberi penyuluhan jadi masing-masing kelompok jumlah sampelnya adalah 32 sampel Instrument yang digunakan adalah kuesioner. Pada Penelitian ini, peneliti melakukan treatment yaitu penyuluhan imunisasi vaksin Human Papilloma Virus terhadap subjek dengan sengaja, terencana kemudian dinilai pengaruhnya pada penguji kedua (posttest).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Tingkat pengetahuan responden kelompok ekperimen sebelum dengan sesudah diberi penyuluhan
Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah
Kelompok Eksperimen Sebelum Sesudah n % n % 3 9,4 31 96,9 11 34,4 1 3,1 18 56,3 0 0 32 100,0 32 100,0
Tabel 2. Tingkat pengetahuan responden kelompok kontrol sebelum dengan sesudah diberi penyuluhan Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah
Kelompok Kontrol Sebelum Sesudah n % n % 1 3,1 1 3,1 10 31,3 8 25,0 21 65,6 23 71,9 32 100,0 32 100,0
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa pengetahuan remaja putri kelompok eksperimen sebelum diberi penyuluhan pengetahuan kategori baik sebanyak 3 responden (9,4%), pengetahuan kategori cukup sebanyak 11 responden (34,4%), pengetahuan kategori kurang sebanyak 18 responden (56,3%) dan pada kelompok eksperimen sesudah diberi penyuluhan mengalami peningkatan tingkatan pengetahuan yaitu pengetahuan kategori baik sebanyak 31 responden (96,9%), dan pengetahuan kategori cukup sebanyak 1 responden (3,1%). Presentase tingkatan pengetahuan pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan yang signifikan karena responden antusias dalam pemberian penyuluhan tentang imunisasi vaksin HPV sedangkan pengetahuan remaja pada kelompok kontrol sebelum pengetahuan kategori baik sebanyak 1 responden (3,1%), pengetahuan kategori cukup sebanyak 10 (31,3%), pengetahuan kategori kurang sebanyak 21 responden atau (65,6%), dan kelompok kontrol sesudah pengetahuan kategori baik sebanyak 1 responden (3,1%), pengetahuan
Prosiding |129
kategori cukup sebanyak 8 (25%) dan pengetahuan kurang sebanyak 23 responden (71,9%). Persentase pengetahuan kategori kurang kelompok kontrol mengalami peningkatan karena pada kelompok ini responden tidak diberi perlakuan atau penyuluhan sehingga tidak ada perubahan atau kenaikan presentase tingkatan pengetahuan yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analys), sistensi (systestis) serta evaluasi (svaluation). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu penglihatan, pendengaran penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia dipengaruhi dari mata (penglihatan) dan telinga (pendengaran). Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak juga akan akan memberikan dampak terhadap pengetahuan yang lebih jelas. (Notoatmodjo,2012). Tabel 3 Hasil skor pengetahuan kelompok ekperimen dan kontrol Pengetahuan Sebelum Sesudah Selisih
Eksperimen 12,16 ±2,641 19,69 ±1,615 7,53 ±3,027
Kontrol 11,41±3,036 11,25±2,918 -0,16±2,065
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai means dan standar deviasi pengetahuan kelompok eksperimen sesudah diberikan penyuluhan dan kelompok kontrol sesudah mengalami peningkatan. Dilihat dari pengetahuan hasil nilai means yang didapatkan kelompok eksperimen sebelum diberi penyuluhan sebesar 12,16 termasuk tingkat pengetahuan kurang, hal ini karena pada kelompok ini belum diberi perlakuan atau penyuluhan sehinggan pengetahuan responden masih kurang dan hasil nilai means yang didapatkan kelompok eksperimen sesudah diberi penyuluhan sebesar 19,69 termasuk tingkatan pengetahuan baik, sedangkan hasil nilai means yang didapatkan pada kelompok kontrol sebelum sebesar 11,41 termasuk tingkat pengetahuan kurang dan hasil nilai means kelompok kontrol sesudah sebesar 11,25 termasuk tingkat pengetahuan kurang.
130 | Prosiding
Hasil uji t-test pada selisih skor pengetahuan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diketahui bahwa nilai p = 0,001 maka dapat disimpulkan ada pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan remaja putri kelompok eksperimen sebelum diberi penyuluhan dengan sesudah diberi penyuluhan dan tidak ada perbedaan pengetahuan kelompok kontrol sebelum dengan sesudah tentang imunisasi vaksin HPV di pondok pesantren KH. Sahlan Rosjidi Semarang. Penelitian ini membuktikan bahwa penyuluhan mempengaruhi pengetahuan responden karena pada remaja putri kelompok eksperimen yaitu kelompok yang diberi perlakuan dengan metode penyuluhan atau ceramah ada pengaruh yang singnifikaan antara kelompok eksperimen sebelum dengan sesudah diberi penyuluhan dan pada kelompok kontrol hanya sebagai kelompok pembanding. Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objjek tertentu (Notoatmodjo, 2012). 4.
KESIMPULAN
Berdasarkan data penelitian pengetahuan dan sikap remaja putri tentani imunisasi vaksin Human Papilloma Virus di Pondok Pesantren Putri KH. Sahlan Rosjidi Semarang maka dapat di simpulkan bahwa, Rata-rata skor pengetahuan kelompok eksperimen sebelum diberi penyuluhan sebesar 12,16 (pengetahuan kurang) terdapat pada item pertanyaan tentang klasifikasi imunisasi vaksin HPV, efek samping imunisasi HPV, jarak pemberian imunisasi, deteksi dini kanker serviks dengan IVA (Inspeksi Visual Asam asetat) ratarata skor pengetahuan kelompok eksperimen sesudah diberi penyuluhan sebesar 19,09 (pengetahuan baik) sedangkan imunisasi, penatalaksanaan imunisasi vaksin HPV, deteksi dini kanker serviks dengan IVA (Inspeksi Visual Asam asetat) dan rata-rata skor pengetahuan kelompok kontrol sesudah sebesar 11,25 (pengetahuan kurang). Ada pengaruh penyuluhan terhadap Pengetahuan remaja putri kelompok eksperimen sebelum diberi penyuluhan dengan sesudah diberi penyuluhan dan tidak ada perbedaan pengetahuan kelompok kontrol sebelum dengan kelompok kontrol sesudah tentang
imunisasi vaksin Humam Papilloma Virus (HPV) di Pondok Pesantren Putri KH. Sahlan Rosjidi Semarang
5. REFERENSI Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Pratik. Edisi Revisi VI. Jakarta: EGC. Azwar, Saifudin. 2010. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka pelajar Azwar, Saifudin. 2011. Metode Penelitian. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2012. Profil Kesehatan Kota Semarang 2012. Fitriani, Sinta. 2011. Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hardinegoro, Sri Rezeki S. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Maharani, Sabrina. 2012. Kanker mengenai 13 jenis Kanker dan pengobatanya. Yogjakarta: Kata hati.
Machfoedz, Ircham. 2009. Metode Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran. Yogjakarta: Fitramaya Manuaba Chandranita dkk. 2008. GawatDarurat Obstetri- Ginekologi dan Obstetri Ginekologi Sosial untuk profesi bidan. Jakarta: EGC Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. ___________ . 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ____________________. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Riwikdido. 2007. Statistik Kesehatan.Yogjakarta: Mitra Cendikia. Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogjakarta: Nuha Medika Tilong, Adi D. 2012. Bebas dari Ancaman Kanker Serviks. Yogyakarta: Flash Books.
Prosiding |131
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN MINAT IBU TENTANG HYPNOBIRTHING DALAM MENGURANGI NYERI PERSALINAN Siti Choiriyah1) , Kartika Sari2), Ari Andayani3) Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo
Abstract Latar belakang persalinan adalah proses yang normal dan setiap mengharapkan persalinannya berjalan lancar. Hypnobirthing merupakan kombinasi antara proses kelahiran alami dengan hipnosis untuk membangun persepsi positif dan rasa percaya diri serta menurunkan ketakutan, kecemasan, tegang dan panik sebelum, selama dan setelah persalinan. Tujuan penelitian mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan. Desain penelitian deskriptif analitik. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil TM III BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang pada bulan Juni 2016 sebanyak 22 ibu dengan teknik total sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuisioner. Analisis data menggunakan uji fisher”s exact. Hasil penelitian sebagian besar pengetahuan responden cukup sebanyak 11 responden (50,0%), baik sebanyak 9 responden (40,9%) dan kurang sebanyak 2 responden (9,1%). Sebagian besar responden berminat dilakukan hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinannya sebanyak 18 responden (81,8%) dan yang tidak berminat 4 responden (18,2%). Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang dengan nilai p= 0,026. Saran bidan diharapkan meningkatkan pemberian konseling tentang teknik-teknik mengurangi nyeri persalinan terutama metode hypnobirthing sehingga ibu berminat untuk dilakukan metode hypnobirthing. Keywords: Pengetahuan, minat, hypnobirthing
1.
PENDAHULUAN
Persalinan normal adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi, umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. Persalinan normal dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit (Rohani, 2011). Harapan setiap ibu hamil proses persalinannya akan berjalan normal, aman dan nyaman baik bagi ibu sendiri maupun bayinya. Hypnobirthing, metode Persalinan Tanpa Rasa Sakit, cara ini memungkinkan calon ibu menikmati proses kelahiran yang aman, lembut dan cepat. The American Medical Association menyetujui terapi dengan menggunakan metode hipnotis, tetapi metode terapi ini belum banyak diketahui masyarakat (Mongan, 2007; McGlynn, 2007).
132 | Prosiding
Metode hipnosis yang dapat dilakukan mulai masa kehamilan dapat membantu menurunkan tingkat kecemasan dan ketakutan. Dasar dari metode ini sebenarnya sudah dikenal dalam salah satu managemen nyeri nonfarmakologi yang dikenal sebagai imajinasi terbimbing yang dikembangkan dengan berbagai teknik salah satunya adalah hipnosis. Teknik hipnosis dapat membantu merilekkan otot-otot, sehingga ibu terhindar dari kecemasan dan dapat membantu ibu lebih tenang dalam menghadapi persalinan. Teknik hipnosis merupakan salah satu cara yang dapat diaplikasikan oleh ibu hamil untuk memperoleh ketenangan saat menghadapi kehamilan dan persalinan (Bramantyo, 2003). Hypnobirthing merupakan paradigma baru, teknik ini mudah untuk dipelajari, melibatkan relaksasi yang mendalam, pola pernapasan lambat, dan petunjuk cara rileksasi alami tubuh. Masih banyak orang menerima metode hypnobirthing,
terutama orang berfikir hipnosis adalah suatu kondisi yang membuat manusia tidak menyadari apa yang dilakukan, karena hipnosis kerap digunakan dalam kejahatan (Andriana, 2007, Rinie, 2008). Hypnobirthing sering disebut juga dengan hipnosis persalinan, yaitu upaya penggunaan hipnosis untuk memperoleh persalinan yang lancar, aman dan nyaman. Hypnobirthing merupakan metode relaksasi yang mendasarkan pada keyakinan bahwa ibu hamil mengalami persalinan melalui insting dan memberikan sugesti bahwa melahirkan itu nikmat (Maryunani, 2010). Persalinan dengan metode hipnosis dalam kehamilan dan persalinan disebut hypnobirthing. Hypnobirthing merupakan kombinasi antara proses kelahiran alami dengan hipnosis untuk membangun persepsi positif dan rasa percaya diri serta menurunkan ketakutan, kecemasan, tegang dan panik sebelum, selama dan setelah persalinan. Hypnobirthing merupakan sebuah paradigma baru dalam pengajaran melahirkan secara alami. Teknik ini mudah dipelajari, melibatkan relaksasi yang mendalam, pola pernapasan lambat dan petunjuk cara melepaskan endorfin dari dalam tubuh (relaksan alami tubuh) yang memungkinkan calon ibu menikmati proses kelahiran yang aman, lembut, cepat dan tanpa proses pembedahan. Hipnoterapi sendiri merupakan fenomena ilmiah yang memiliki penelitian berbasis bukti (evidence based) dan pengaturan etik. Beberapa negara bahkan sudah terdapat berbagai institusi professional yang aktif dalam edukasi dan aplikasi hipnoterapi, misalnya American Society of Clinical Hypnosis dan Perhimpunan Hipnoterapi Medis Indonesia. Efek terapeutik dari hipnotis pun telah mendapatkan pengakuan dari British Medical Associtation (BMA), American Medical Associtaion (AMA), serta berbagai lembaga Australia dan India. Angka keberhasilan hypnobirthing menurut Yessie (2013) adalah 85%. Profesi bidan tantangannya adalah melayani masyarakat dari berbagai status sosial, mereka mengharapkan suatu pelayanan yang memenuhi harapan dan keinginannya, sehingga mereka merasa puas. Bidan harus mampu memberikan apa yang mereka butuhkan, tentunya sesuai dengan kewenangan dan kemampuan bidan. Apabila dalam pelayanan kebidanan bidan tersebut
dilengkapi dengan keterampilan hipnosis dan dapat bekerjasama dengan calon ibu melahirkan niscaya akan membantu mengurangi trauma akibat persalinan, karena melahirkan merupakan suatu proses yang sangat kompleks, perlu kesiapan mental dan semangat yang besar, ketenangan dan keyakinan kuat untuk melahirkan bayi secara alami, di samping syarat proses persalinan normal secara medis terpenuhi (Fatoni, 2007 ; Tuschhoff, 2006). Studi pendahuluan yang peneliti lakukan di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang jumlah ibu hamil yang melakukan ANC pada bulan September sampai 2 November 2015 sebanyak 61 ibu hamil dimana ibu hamil TM III sebanyak 26 ibu hamil. Kemudian peneliti melakukan wawancara pada 5 orang ibu hamil dan ditanyakan bagaimanakah cara mengatasi rasa nyeri saat bersalin, ibu belum mengetahui teknik hypnobirthing dan menjawab untuk mengurangi nyeri dengan tiduran, nafas panjang dan dipijat atau dielus-elus. Ketika ditanya apakah ibu berminat mencoba teknik hypnobirthing 3 ibu berminat dan 2 ibu mengatakan apa adanya saja karena persalinan proses yang wajar bila sakit. Bidan Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb dalam melakukan asuhan kepada ibu bersalin melakukan teknik hypnobirthing sejak Desember tahun 2013 teknik ini digunakan untuk membantu ibu mengurangi nyeri persalinan walaupun ibu tidak tahu bahwa itu adalah teknik hypnobirthing. Teknik hypnobirthing yang dilakukan bidan dapat mengurangi nyeri persalinan tetapi ibu masih ada yang kurang berminat disebabkan pengetahuannya yang masih kurang, sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi responden Menambah pengetahuan ibu tentang teknik relaksasi dan hipnosis diri sendiri untuk menghilangkan stres dan rasa takut yang mengiringi proses persalinan dan digantikan dengan rasa damai, tenang dan percaya diri. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai Prosiding | 133
masukan bagi bidan dalam meningkatkan pelayanan asuhan pada ibu hamil dan bersalin dan menentukan teknik yang tepat untuk pasien. 2.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian deskriptif analitik. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil TM III BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd.Keb Pudak Payung Semarang pada bulan Mei-Juni 2016 sebanyak 22orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Total Sampling. Hasil penelitian sebanyak 22 responden. Instrumen yang digunakan pengumpulan data dengan kuesioner. Analisis data ini peneliti menggunakan analisis univariate dan dinyatakan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase dan analisis bivariat menggunakan uji fisher”s exact. 3.
8 responden (36,4%) dan pendidikan dasar sebanyak 2 responden (9,1%). Sebagian responden tidak bekerja sebanyak 12 responden (54,4%) dan bekerja sebanyak 10 responden (45,5%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada 22 responden adalah sebagai berikut: Tabel 1 Distribusi frekuensi umur ibu hamil di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang Karakteristik Umur (tahun) < 20 20-35 >35
Frekuensi
Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang Pengetahuan Kurang Cukup Baik Total
Persentase (%) 9,1 50,0 40,9 100,0
2 11 9 22
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan responden cukup sebanyak 11 responden (50,0%), baik sebanyak 9 responden (40,9%) dan kurang sebanyak 2 responden (9,1%). Tabel 3. Distribusi frekuensiminat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd.Keb Pudak Payung Semarang Minat Tidak berminat Berminat Total
Persentase (%) 18,2 81,8 100,0
Frekuensi 4 18 22
Persentase (%)
0 20 2
0,0 90,9 9,1
Pendidikan Dasar Menengah Tinggi
2 12 8
9,1 54,5 36,4
Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja
12 10
54,5 45,5
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berminat dilakukan hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinannya sebanyak 18 responden (81,8%) dan yang tidak berminat 4 responden (18,2% Tabel 4 Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang
Tabel di atasa menunjukkan bahwa sebagian besar umur responden antara 20-35 tahun sebanyak 20 responden (90,9%), > 35 tahun Pengetahuan sebanyak 2 responden (9,1%). Sebagian besar Kurang pendidikan responden adalah menengah sebanyak Cukup Baik 12 responden (54,5%), pendidikan tinggi sebanyak Jumlah
134 | Prosiding
Frekuensi
Minat Berminat Tidak f % f % 2 100,0 0 0 2 18,2 9 81,8 0 0 9 100,0 4 18,2 18 81,8
Jumlah f 2 11 9 22
p % 100,0 0,004 100,0 100,0 100,0
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden yang pengetahuannya kurang semua tidak berminat sebanyak 2 responden (100,0%), responden yang berpengetahuan cukup sebagian besar berminat sebanyak 9 responden (81,8%) dan responden yang berpengetahuan baik semua berminat sebanyak 9 responden (100,0%). Dikarenakan uji chi square tidak memenuhi syarat karena ada 4 cell yang mempunyai nilai harapan kurang dari 5, maka dilakukan merger cell dengan pengabungan cell dan digunakan uji fisher”s exact dan didapat nilai p 0,026 < =0,05 yang artinya Ha diterima sehingga ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan responden cukup sebanyak 11 responden (50,0%), baik sebanyak 9 responden (40,9%) dan kurang sebanyak 2 responden (9,1%). Sebagian besar pengetahuan responden cukup disebabkan 50,0% responden telah mengerti bahwa Hypnobirthing adalah memasukkan pikiran positif ke diri ibu dengan membayangkan dan mengucapkan hal positif dan menyenangkan, bisa dilakukan kapan saja dan membuat responden mengerti bahwa dengan hipnosis, ibu hamil menjadi tidak takut menghadapi kelahiran bayinya karena hypno dapat mengurangi nyeri persalinan. Hal ini dapat dilihat dari 86,4 % responden menjawab benar pertanyaan tentang “dimana ibu mengetahui bahwa bila dilakukan hypnobirthing ibu akan lebih merasakan ikatan batin dan emosi terhadap janin”. Pada saat hypnobirthing ibu akan lebih merasakan ikatan batin dan emosi terhadap janin, ibu merasakan ketenangan dan kenyamanan proses melahirkan, ibu akan lebih dapat mengontrol emosi dan perasaannya, mencegah kelelahan yang berlebih saat melakukan proses persalinan, bayi yang lahir tidak akan kekurangan oksigen sehingga menjadi lebih sehat (Chandyy, 2011) dan pertanyaan tentang “dimana responden mengetahui bahwa menarik nafas berkali-kali akan mengembalikan pasien kembali sadar akan lingkungan”. Menarik
nafas panjang dan menghembuskan beberapa kali akan mengembalikan pikiran anda kembali sadar pada lingkungan sekitar (Mongan, 2007). Hasil penelitian masih ditemukan responden yang mempunyai pengetahuan kurang tentang hypnobirthing. Pengetahuan kurang disebabkan 40,9% menjawab salah pertanyaan tentang manfaat hypnobirthing bagi bayi akan merasakan damai yang berguna bagi perkembangan jiwanya. Menurut Aprillia (2010) ada dua keuntungan yang dapat dirasakan oleh janin ketika ibu hamil mengikuti proses hypnobirthing, yaitu: getaran tenang dan damai juga akan dirasakan oleh janin yang merupakan dasar dari perkembangan jiwanya (spiritual quotient), pertumbuhan janin lebih sehat karena keadaan tenang akan memberikan hormonhormon yang seimbang kejanin melalui plasenta dan 45,5% menjawab salah pertanyaan tentang “makin mudah berkonsentrasi ibu semakin mudah ibu berfokus”. Konsentrasi pikiran sebelum mulai mempraktikan Hypnobirthing, anda perlu melatih cara pikiran anda berkonsentrasi. Karena, makin mudah anda berkonsentrasi dan berfokus, makin lancar pula proses latihan Hypnobirthing (Mongan, 2007). Rendahnya pengetahuan responden dipengaruhi oleh pendidikan responden. Sebagian besar pendidikan responden adalah menengah sebanyak 12 responden (54,5%), pendidikan tinggi sebanyak 8 responden (36,4%). Responden dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi dan lebih mudah menalar dibandingkan responden dengan tingkat pendidikan menengah dan dasar. Hal ini sesuai dengan teori Notoatmodjo (2010) bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi pengetahuan seseorang.Jika seseorang memiliki tingkat pendidikan tinggi, orang tersebut cenderung lebih mudah menerima informasi baru.Sebaliknya, jika seseorang mempunyai tingkat pendidikan dasar, orang tersebut cenderung sulit menerima informasi baru. Pendidikan dasar responden sebanyak 2 responden (9,1%). Pengetahuan seseorang yang didapat dari proses belajar selain diperoleh dari hasil penggunaan indra yang mempunyai nilai sendiri. Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai media Prosiding | 135
masa media elektronik, buku petunjuk kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan responden yang kurang tentang hypnobirthing juga disebabkan hipnosis merupakan terapi yang baru diterapkan kepada ibu hamil, sehingga sebagian besar ibu hamil belum mendapatkan informasi tentang hypnobirthing. Selain itu pekerjaan ibu yang memungkinkan mendapatkan informasi dapat mempengaruhi pengetahuan ibu. Wawan dan Dewi (2011) menyatakan pekerjaan adalah kegiatan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan merupakan cara mencari nafkah yang berulang dan banyak tantangan. Bekerja pada umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Pengetahuan dapat pula dipengaruhi oleh kematangan seseorang. Hasil penelitian sebagian besar berumur 20-35 tahun sehingga telah cukup matang dalam pemikiran dan kematangan jiwa. Wawan dan Dewi (2011) menyatakan usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa. Hypnobirthing merupakan sebuah paradigma baru dalam pengajaran melahirkan secara alami. Teknik ini mudah dipelajari, melibatkan relaksasi yang mendalam, pola pernapasan lambat dan petunjuk cara melepaskan endorfin dari dalam tubuh (relaksasi alami tubuh). Teknik ini memungkinkan calon ibu menikmati proses kelahiran yang aman, lembut, cepat dan tanpa proses pembedahan (Terapi hypnobirthing hanya diberikan pada ibu hamil trimester III dan yang sudah mengikuti senam hamil. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan (Mongan, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berminat dilakukan hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinannyasebanyak 18 responden (81,8%) dan yang tidak berminat 4 responden (18,2%). Djali (2008) bahwa minat pada dasarnya merupakan 136 | Prosiding
penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Minat berkaitan dengan perasaan suka atau senang dari seseorang terhadap sesuatu objek. Hal ini seperti dikemukakan oleh Slameto (2003) yang menyatakan bahwa minat sebagai suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut semakin besar minat. Minat adalah kecenderungan dari dalam individu untuk tertarik pada sesuatu obyek atau menyenangi sesuatu obyek semakin kuat atau dekat hubungan tersebut maka semakin besar minatnya. Minat biasanya ditunjukkan melalui pernyataan yang menunjukkan lebih menyukai suatu hal dan dapat dinyatakan juga dalam bentuk partisipasi pada aktivitas yang diminatinya (Hadi, 2008). Minat terhadap hypnobirthing dapat muncul bila ibu tertarik dan merasa membutuhkan hypnobirthing untuk menjaga kesehatannya. Menurut Rumini yang dikutip Widiyatmoko (2010), bahwa minat dapat dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, sosial, ekonomi, bakat, umur, jenis kelamin, pengalaman kepribadian dan lingkungan. Menurut Gunarsa (2008), minat adalah sesuatu yang pribadi dan berhubungan erat dengan sikap. Minat merupakan dasar bagi prasangka, dan minat penting dalam mengambil keputusan. Minat dapat menyebabkan seseorang giat melakukan menuju ke arah sesuatu yang telah menarik minatnya. Minat terbagi menjadi 3 aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor yang berdasarkan atas pengalaman pribadi dan dinyatakan dalam minat yang ditimbulkan oleh minat (Hurlock, 2005). Dari hasil di atas, rendahnya minat responden sesuai dengan pernyataan Andriana (2007) yang mengatakan bahwa hypnobirthing merupakan paradigma baru. Namun, masih banyak orang belum bisa menerima konsep metode ini, terutama orang berfikir hipnosis adalah suatu kondisi yang membuat manusia tidak menyadari apa yang ia lakukan, karena hipnosis kerap digunakan dalam kejahatan. Sedikitnya minat ibu hamil terhadap metode relaksasi hypnobirthing ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan
manfaat dari hypnobirthing baik pada masa kehamilan, persalinan dan setelah bersalin. Selain itu, sosialisasi mengenai hypnobirthing dan sumber informasi yang didapat ibu hamil baik dari brosur atau artikel tentang hypnobirthing serta masih sedikitnya tenaga kesehatan bersertifikasi yang menerapkan metode hypnobirthing ini. Hasil penelitian ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang. Hal ini disebabkan responden yang pengetahuannya kurang semua tidak berminat sebanyak 2 responden (100,0%), responden yang berpengetahuan baik sebagian besar berminat sebanyak 18 responden (90,0%). Menurut Rumini yang dikutip Widiyatmoko (2010), bahwa minat dapat dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, sosial, ekonomi, bakat, umur, jenis kelamin, pengalaman kepribadian dan lingkungan. Sedangkan menurut Hurlock dalam Widiyatmoko (2010), bahwa semua minat mempunyai dua aspek yaitu aspek kognitif berdasarkan atas pengalaman pribadi dan apa yang pernah dipelajari baik di rumah, sekolah dan masyarakat serta berbagai jenis media massa dan aspek afektif dimana konsep yang membangun aspek kognitif, minat dinyatakan dalamminat terhadap kegiatan yang ditimbulkan minat Berkembang dari pengalaman pribadi dari minat orang yang penting yaitu orang tua, guru dan teman sebaya terhadap kegiatan yang berkaitan dengan minat tersebut dan dari minat yang dinyatakan atau tersirat dalam berbagai bentuk media masa terhadap kegiatan itu. Hasil penelitian didukung penelitian yang dilakukan oleh Triana (2014) dengan judul hubungan minat ibu hamil dengan metode relaksasi hypnobirthing di BPM Bidan Evi Pekanbaru mayoritas ibu hamil tidak berminat sebanyak 128 orang (67,7%) dan mayoritas ibu hamil tidak mengikuti metode relaksasi hypnobirthing sebanyak 168 orang (88,9%) dan dari hasil uji statistik terdapat hubungan yang signifikan antara minat ibu hamil dengan metode relaksasi hypnobirthing dengan p value 0,001. Ibu yang mempunyai pengetahuan kurang tentang hypnobirthing menyebabkan ibu tidak mengerti tentang manfaat dan tujuan hypnobirthing,
sehingga dapat menyebabkan munculnya minat yang negatif terhadap hypnobirthing. Rendahnya pengetahuan ibu tentang metode hipnosis pada ibu hamil dan bersalin berdampak pada minat ibu yang kemudian akan berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam melakukan metode hipnosis pada kehamilan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Romadhomah, dkk (2013) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil tentang hypnobirthing dengan minat ibu hamil terhadap terapi hypnobirthing di BPM Ny. Mul Agus Grobogan menunjukkan bahwa ada hubungan hypnobirthing dengan tingkat kecemasan ibu hamil mengidentifikasi bahwa hypnobirthing sebagai teknik relaksasi yang dapat memberikan sugesti positif sehingga mampu meningkatkan ketenangan jiwa ibu hamil saat menjalani kehamilan dan juga melahirkan. Hasil penelitian ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan di BPM Primitiva Budi Nuryanti Amd. Keb Pudak Payung Semarang. Hal ini disebabkan responden yang pengetahuannya kurang semua tidak berminat sebanyak 2 responden (100,0%), responden yang berpengetahuan baik sebagian besar berminat sebanyak 18 responden (90,0%). Menurut Rumini yang dikutip Widiyatmoko (2010), bahwa minat dapat dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, sosial, ekonomi, bakat, umur, jenis kelamin, pengalaman kepribadian dan lingkungan. Sedangkan menurut Hurlock dalam Widiyatmoko (2010), bahwa semua minat mempunyai dua aspek yaitu aspek kognitif berdasarkan atas pengalaman pribadi dan apa yang pernah dipelajaribaik di rumah, sekolah dan masyarakat serta berbagai jenis mediamassa dan aspek afektif dimana konsep yang membangun aspek kognitif, minat dinyatakan dalamminat terhadap kegiatan yang ditimbulkan minat. Berkembang dari pengalaman pribadi dari minat orang yang penting yaitu orang tua, guru dan teman sebaya terhadap kegiatan yang berkaitan dengan minat tersebut dan dari minat yang dinyatakan atau tersirat dalam berbagai bentuk media masa terhadap kegiatan itu.
Prosiding | 137
Hasil penelitian didukung penelitian yang dilakukan oleh Triana (2014) dengan judul hubungan minat ibu hamil dengan metode relaksasi hypnobirthing di BPM Bidan Evi Pekanbaru mayoritas ibu hamil tidak berminat sebanyak 128 orang (67,7%) dan mayoritas ibu hamil tidak mengikuti metode relaksasi hypnobirthing sebanyak 168 orang (88,9%) dan dari hasil uji statistik terdapat hubungan yang signifikan antara minat ibu hamil dengan metode relaksasi hypnobirthing dengan p value 0,001. Ibu yang mempunyai pengetahuan kurang tentang hypnobirthing menyebabkan ibu tidak mengerti tentang manfaat dan tujuan hypnobirthing, sehingga dapat menyebabkan munculnya minat yang negatif terhadap hypnobirthing. Rendahnya pengetahuan ibu tentang metode hipnosis pada ibu hamil dan bersalin berdampak pada minat ibu yang kemudian akan berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam melakukan metode hipnosis pada kehamilan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Romadhomah, dkk (2013) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil tentang hypnobirthing dengan minat ibu hamil terhadap terapi hypnobirthing di BPM Ny. Mul Agus Grobogan menunjukkan bahwa ada hubungan hypnobirthing dengan tingkat kecemasan ibu hamil mengidentifikasi bahwa hypnobirthing sebagai teknik relaksasi yang dapat memberikan sugesti positif sehingga mampu meningkatkan ketenangan jiwa ibu hamil saat menjalani kehamilan dan juga melahirkan. 4.
KESIMPULAN
Pengetahuan responden sebagian besar cukup sebanyak 11 responden (50,0%), baik sebanyak 9 responden (40,9%) dan kurang sebanyak 2 responden (9,1%). Sebagian besar responden berminat dilakukan hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinannya sebanyak 18 responden (81,8%) dan yang tidak berminat 4 responden (18,2%). Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan Payung Semarang dengan nilai p 0,026.
138 | Prosiding
5.
SARAN
Responden yang pengetahuannya kurang dan cukup diharapkan meningkatkan pengetahuannya dengan mencari informasi baik dari tenaga kesehatan ataupun media lain tentang hypnobirthing sehingga dapat meningkat pengetahuannya dan berminat untuk dilaksanakan metode ini untuk mengurangi nyeri persalinan. Bidan diharapkan meningkatkan pemberian konseling tentang teknik-teknik mengurangi nyeri persalinan termasuk metode hypnobirthing sehingga ibu berminat untuk dilakukan metode hypnobirthing. Bidan diharapkan memberikan hypnobirthing dan mengikuti seminar-seminar untuk meningkatkan ilmunya. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk mengembangkan penelitian yang terkait tentang hypnobirthing. 6.
REFERENSI
Andriana. 2007. Melahirkan Tanpa Rasa Sakit. Jakarta : PT Bhuana Ilmu populer kelompok gramedia. Aprilia. 2010. Rileks Nyaman dan Aman saat Hamil dan Melahirkan. Jakarta. Gagas Media Bramantyo. 2003. Melahirkan tanpa rasa sakit dan nyeri.Jakarta : Rinerka Swara. Cannddy. 2011. Persalinan tanpa rasa sakit. Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Fatoni. 2007. Persalinan Tanpa Rasa Sakit. http://www.Persalinan Tanpa rasa Sakit.htm. Hadi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia. Hurlock, EB. 2003. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Maryunani. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. CV. Trans Info Media. Mongan. 2007. Hypnobirthing. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer. Notoatmodjo. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Rohani. 2011. Asuhan Pada Masa Persalinan. Jakarta : Salemba Medika. Romadhomah. 2013. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Hypnobirthing Dengan Sikap Ibu Hamil Terhadap Terapi
Hypnobirthing di BPM Ny. Mul Agus Grobogan. Jurnal Kebidanan. Vol. 2 No. 2. ISSN: 2301- 8372. 2013. Universitas Muhammadiyah Semarang Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Triana. (2014). Hubungan Minat Ibu Hamil Dengan Metode Relaksasi Hypnobirthing Di
Bpm Bidan Evi Pekanbaru. KTI. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Pekanbaru Indonesia Tuschhoff. 2006. Hypnobirthing. www.hypnobirthing.com Wawan dan Dewi. 2010. Teori Dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Manusia. Yogyakarta. Medical Books.
Prosiding | 139
KETERAMPILAN MENGGUNAKAN KONDOM DENGAN ALAT PERAGA PADA WANITA PEKERJA SEKSUAL Kurnian Nina Istiarini1), Yuliaji Siswanto2), Sri Wahyuni3) Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo
[email protected] 3) Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo
[email protected] 2)
Abstrak Wanita pekerja seksual (WPS) merupakan salah satu kelompok yang beresiko tinggi tertular IMS dan HIV/AIDS. Pencegahan penyakit menular dapat dilakukan dengan penggunaan kondom yang tepat, efektif dan konsisten. Dalam penggunaan kondom secara tepat, efektif dan konsisten, seseorang harus memahami prosedur penggunaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran keterampilan menggunakan kondom dengan alat peraga pada WPS di Resos Sukosari. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif observational dengan pendekatan secara cross sectional. Populasinya adalah semua WPS di Resos Sukosari sebanyak 109 dan sampel yang didapat dengan teknik quota sampling sebanyak 78 orang dengan kriteria WPS yang pernah memasang kondom kepada pelanggan. Penelitian ini menggunakan analisis univariat dengan check list sebagai instrumen, sedangkan dildo dan kondom sebagai alat bantu peraga. Hasil penelitian keterampilan menggunakan kondom dengan alat peraga pada WPS sebesar 65,4% (n=51) berisiko tertular IMS, didapat dari aspek memasang kondom sebesar 51,3% (n=45) dan aspek melepas kondom sebesar 37,2% (n=29). Harapannya, Resos Sukosari dapat meningkatkan kegiatan mengenai cara memasang kondom dengan kegiatan secara terus-menerus sehingga semua anak asuh dapat memperagakan cara penggunaan kondom dan dapat member gambaran letak kesalahan mereka. Ini akan sangat bermanfaat apabila pengetahuan diselaraskan dengan praktek. Kata kunci: WPS, keterampilan, kondom
1.
PENDAHULUAN Sebagian besar infeksi menular seksual dapat disembuhkan, tetapi ada beberapa infeksi menular seksual yang tidak dapat disembuhkan dan menimbulkan gejala berulang. Infeksi menular seksual yang tidak dapat disembuhkan biasanya disebabkan oleh virus seperti herpes simpleks dan human papiloma virus atau kutil kelamin. Sedangkan infeksi menular seksual yang dapat disembuhkan antara lain adalah gonorhea, clamidiasis, dan siphilis sesuai dengan tingkat keparahan (INA, 2013). Prevalensi infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil Survey Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2007, prevalensi gonore dan klamidia pada wanita penjaja seks (WPS) masing-masing sebesar 32% dan 35%. Sementara itu, prevalensi sifilis pada WPS sebesar 14,6% dan HIV sebesar 10,4%. 140 | Prosiding
Tingginya prevalensi IMS di kalangan penjaja seks komersial merupakan akibat dari perilaku seksual beresiko. Seorang wanita penjaja seks (WPS) bisa melayani lebih dari satu orang pelanggan. Perilaku berganti-ganti pasangan seksual inilah yang berpotensi menularkan IMS (Depkes RI, 2009). Infeksi menular seksual dapat menjadi pencetus penularan HIV. Selain infeksi menular seksual yang tersebutkan diatas, HIV dan AIDS pun digolongan dalam penyakit menular seksual karena HIV sendiri dapat ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman. Sebagai kelompok resiko tinggi, Wanita Pekerja Sekaual rentan terhadap penularan penyakit seksual seperti servisitis, sifilis, gonore, kondiloma, klamidia, herpes, dan lainnya yang dapat menyebabkan kemandulan, keguguran, kanker, cacat bayi, dan kematian. Sehingga perlu
perhatian terhadap perempuan dengan upaya pencegahan menggunakan kondom sebagai kontrasepsi (http://www.aids-ina.org). Para ahli mengatakan bahwa penggunaan kondom secara signifikan membantu menghentikan penyebaran PMS (penyakit menular seksual) atau IMS (infeksi menular seksual). Penting untuk diingat bahwa seks oral juga merupakan rute penularan PMS. Kondom harus ditempatkan dengan benar sebelum hubungan seksual dilakukan, dan dihapus segera setelah ejakulasi (http://koranindonesiasehat.wordpress.com/article) . Melihat fungsi kondom yang begitu penting, maka penting dalam menyadari ketepatan menggunakan kondom untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan karena kondom oleh pemerintah sebagai benda yang dapat menekan dan mencegah kehamilan serta mencegah penularan IMS maupun HIV melalui hubungan seksual. Kesalahan dalam penggunaan kondom seperti tidak memperhatikan tanggal kadaluarsa, terlambat menggunakan kondom, melepas kondom lebih awal, menggunakan kondom yang sama secara berulang, gagal menghilangkan udara pada ujung kondom, dan menggunakan secara terbalik dapat memperbesar risiko tertular penyakit kelamin maupun kehamilan yang tidak diinginkan (Kompas.com, 2013). Hasil penelitian Soffiya tahun 2011 pada pekerja seks di lokalisasi Sukosari menyebutkan bahwa penggunaan kondom memiliki hubungan dengan kejadian IMS dimana pemakaian kondom yang jarang akan beresiko 6,3 kali di banding mereka yang konsisten menggunakans kondom saat berhubungan seksual (Soffiya, Aya. 2011). The United States Departement of Health and Human Service pada tahun 2003 melakukan penelitian terhadap efektifitas kondom, hasilnya 85% berkurangnya resiko penularan HIV pada orang-orang yang menggunakan kondom secara konsisten dibandingan dengan mereka yang tidak konsisten menggunakan kondom (UNFPA, 2004). Thailand sebagai salah satu negara yang ikut berkontribusi dalam bertambahnya jumlah penderita HIV, menerapkan “100 percent condom policy” yang mewajibkan WPS dan pelanggannya menggunakan kondom saat bertransaksi seksual.
Program pemerintah Thailand ini berhasil meningkatkan persentase penggunaan kondom dari 14% di tahun 1989 hingga 94% di tahun 1994 dengan bukti penurunan lima kali lipat kasus HIV dan sepuluh kali lipat penurunan kasus IMS. Penelitian yang dilakukan Rizka di salah satu Resos di Kabupaten Semarang yaitu Sukosari yang sebagai lokasi hiburan karaoke dan transaksi seksual. Persentase terbesar 90% adalah servisitis pada kurun waktu 2011, kemudian 8,67 Gonore, serta 1,33% bacterial vaginosis. Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat 84,13% servisitis dan GO 15,87% (Fauza, Rizka, 2012). Berdasarkan studi pendahuluan pada bulan Maret 2013 oleh peneliti, dilakukan observasi lapangan mengenai cara penggunaan kondom pada 5 orang responden yang rata-rata bekerja selama 2 tahun dengan latar belakang pendidikan SD-S1 yang sebelumnya sudah mendapat materi cara penggunaan kondom yang tepat dari PKBI Kabupaten Semarang. Hasilnya, lima responden tidak melihat tanggal kadaluarsa dan tidak menekan ujung kondom. Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan keterampilan menggunakan kondom dengan alat peraga pada wanita pekerja seksual di Rehabilitasi Sosial Sukosari Bawen. Mengetahui gambaran karakteristik responden berdasarkan faktor usia, pendidikan, jumlah pelanggan, dan lama kerja serta mengetahui gambaran ketrampilan memasang dan melepas kondom pada Wanita Pekerja Seksual (WPS) di Sukosari. 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan studi observasional, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melakukan gambaran atau deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan, baik yang berupa faktor resiko maupun efek atau hasil secara apa adanya. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yaitu peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu tanpa melakukan tindak lanjut (saryono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita Pekerja Seksual (WPS) di Sukosari. Data pada Januari 2013 berjumlah 109 orang WPS tetap atau yang tinggal di Sukosari. Dengan sampel 78 orang melaui teknik quota sampling. Sampel yang Prosiding |141
digunakan dalam penelitian ini adalah mereka Wanita Pekerja Seksual (WPS) di Sukosari yang pernah menggunakan kondom laki-laki kepada klien atau pelanggannya. Penelitian ini menggunakan analisis univariat. Analisis univariat adalah analisis untuk menggambarkan tiap variabel penelitian dangan menggunakan tabel frekuensi. Analisis univariat dalam penelitian ini akan menyajikan data dari variabel usia, lama kerja, jumlah klien, dan ketrampilan penggunaan kondom dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan usia didapat bahwa responden yang mendominasi berusia 20-35 tahun sebanyak 63 orang dengan persentase 80,8% dan responden berusia lebih dari 35 tahun sebanyak 15orang dengan persentase 19,2%. Pada data pendidikan menunjukkan bahwa responden berpendidikan SD sebesar 51%, SMP sebesar 75,6%, SMA sebesar 17,9%, dan S1 sebesar 1,3%. Hasil data menurut jumlah pelanggan maka persentase tertinggi pada responden yang mempunyai pelanggan 3 orang per hari yaitu 60,3% (n=47). Adapun persentase terendah pada responden yang mempunyai pelanggan 6 orang per hari yaitu 1,3% (n=1). Dan pada lama masa kerja menunjukkan bahwa persentase responden terbesar yang memiliki masa kerja 2-5 tahun yaitu 89,74 % (n=70) dan masa kerja 6-9 tahun sebesar 10,26 % (n=8) Pada keterampilan menggunakan kondom dengan alat peraga pada WPS di Sukosari didapatkan persentase responden yang berisiko yaitu 65,4% (n=51) dan yang tidak berisiko sebesar 34,6% (n=27). Keterampilan menggunakan kondom ini digolongkan dalam dua tahap yaitu cara memasang kondom dan cara melepas kondom. Pada cara memasang kondom yang tepat menunjukkan hasil bahwa responden yang memasang kondom secara berisiko berjumlah 40 orang dengan persentase sebesar 51,3% dan yang tidak berisiko sebanyak 38 orang dengan persentase 48,7% sesuai dengan aspek memasang kondom terlihat pada Tabel 1.
142 | Prosiding
Tabel 1 Aspek Ketrampilan Memasang Kondom Aspek Memasang Kondom Melihat tanggal kadaluarsa Membuka dengan tangan Gulungan kondom berada di luar Menekan ujung kondom
Melakukan
Tidak Melakukan f % 33 42,3
f 45
% 57,7
78
100,0
0
0,0
78
100,0
0
0,0
63
80,8
15
19,2
Sedangkan pada melepas kondom menunjukkan bahwa responden yang melepas kondom secara berisiko sebanyak 29 orang dengan persentase sebesar 37,2% dan yang tidak berisiko sebanyak 49 orang dengan persentase sebesar 62,8% dengan melihat aspek melepasnya yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Aspek Keterampilan Melepas Kondom Melakukan Aspek Melepas Kondom Memegang pangkal kondom Melepas kondom satu arah Mengikat kondom
Tidak Melakukan f % 0 0,0
f 78
% 100,0
78
100,0
0
0,0
49
62,8
29
37,2
Hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah responden yang berisiko tertular IMS dilihat dari cara memperagakan penggunaan kondom dengan alat peraga sebanyak 51 orang (65,4%). Hal ini dimungkinkan karena faktor usia di mana didominasi oleh responden yang berusia 20-35 tahun. Usia ini merupakan usia muda yang dikaitkan dengan pengalaman yang lebih sedikit dan tingkat emosional yang labil dibanding mereka yang usia matang dengan masa kerja yang cukup lama. Mereka dengan usia matang, pengalaman dan masa kerja yang lama cenderung memperhatikan kesehatan diri sendiri. Selain faktor usia, keterampilan seseorang juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah pula seseorang menerima informasi yang diberikan, sehingga akan semakin
banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat pengetahuan seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diterapkan (Notoadmojo, 2007). Pada hasil penelitian ini didominasi oleh responden berpendidikan hingga jenjang SMP sebanyak 59 (75,6%). Beberapa aspek menggunakan kondom memerlukan pengetahuan seperti cara memasang kondom dan cara melepas kondom. Jika dilihat berdasarkan risikonya maka keterampilan menggunakan kondom dengan alat peraga dapat dikelompokkan berdasarkan cara memasang dan melepas kondom. Berdasarkan hasil penelitian pada tahap memasang kondom, sebanyak 33 orang (42,3) tidak melihat tanggal kadaluarsa dan sebanyak 15 orang (19,2%) tidak menekan ujung kondom. Sedangkan pada tahap melepas kondom sebanyak 29 orang (37,2%) tidak mengikat kondom setelah selesai menggunakan. Faktor grogi dalam memperagakan cara menggunakan kondom juga mempengaruhi seseorang karena berbeda dengan keseharian yang dilakukan saat berhadapan langsung dengan pelanggan. Hal ini terjadi saat responden memperagakan penggunaan kondom hingga dua kali karena menjatuhkan alat peraga seperti kondom dan dildo. Selain itu, semakin banyak pelanggan yang dimiliki oleh responden akan semakin banyak pula tingkat resiko penularan IMS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata pelanggan responden 3-4 orang klien per harinya, sehingga tingkat penularan akan semakin tinggi didukung pula penggunaan kondom yang dipraktekkan tidak sesuai dengan prosedur dari WHO dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dilihat dari hasil penelitian berdasarkan aspek memasang kondom, maka sebanyak 33 orang (42,3%) tidak melihat tanggal kadaluarsa sehingga ini dapat meningkatkan resiko terinfeksi penyakit akibat hubungan seksual. Menurut Planned Parenthood, 2013 bahwa kondom yang kadaluarsa adalah kerusakan kondom yang dapat menyebabkan gatal, iritasi dan membantu penularan IMS. Responden yang tidak melihat tanggal kadaluarsa terlebih dahulu juga dipengaruhi oleh faktor kebiasaan seperti ketersediaan kondom yang di beli melalui Paguyuban Sukosari, menurut responden bahwa
setiap Paguyuban membeli kondom yang kemudian didistribusikan kepada anak asuh sudah terlebih dahulu di screening tanggal kadaluarsa oleh paguyuban. Oleh karenanya beberapa responden memeng jarang melihat tanggal kadaluarsa karena faktor kepercayaan terhadap Paguyuban. Aspek memasang kondom selain melihat tanggal kadaluarsa adalah membuka kondom dengan tangan dan memastikan gulungan kondom berada di luar. Ini dikarenakan saat membuka kondom selain dengan tangan atau membuka dengan benda tajam seperti gunting atau menyobek dengan gigi dikhawatirkan dapat membuat kondom rusak dan menyebabkan kebocoran kondom sehingga mempermudah jalan masuk IMS dan HIV/AIDS (INA, AIDS, 2013). Namun pada hasil penelitian, semua responden (n=78) membuka kondom dengan tangan dan memastikan gulungan kondom berada di luar. Aspek memasang kondom yang terakhir adalah menekan ujung kondom, sehingga kondom terpasang saat ereksi dengan membuat kondom yang terpakai bebas udara atau kedap udara. Berdasarkan penelitian ini responden yang tidak menekan ujung kondom sebesar 19,2% (n=15). Tujuan menekan ujung kondom adalah menyisakan ruang di ujung kondom sebagai penampung sperma dan air mani saat keluar. Jika tidak ada ruang sisa maka sperma dan air mani bisa meluap keluar hingga masuk ke dalam vagina dan menyebabkan IMS apabila pasangan memiliki IMS dan HIV/AIDS (The Female Heatlh Company, 2013). Keterampilan menggunakan kondom dengan alat peraga juga dapat dilihat pada hasil melepas kondom. Pada tabel 2 responden yang melepas kondom secara beresiko sebanyak 29 orang (37,2%), dilihat sesuai aspeknya maka semua responden melepas dengan memegang pangkal kondom dan semua responden melepas kondom secara searah. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan resiko penularan IMS, melepas dengan memegang pangkal kondom berfungsi menarik kondom yang sudah penuh dengan sperma untuk mengantisipasi sperma dan air mani keluar melalui sela-sela kondom sehingga saat berhubungan kembali kondom baru yang di pasang tidak beresiko membawa penyakit. Prosiding |143
Aspek terakhir adalah tahap melepas kondom dengan mengikat kondom setelah berhubungan, ini penting bagi seorang perempuan karena pada semua tahapan, perempuanlah yang memasang kondom sebagai bentuk servis kepada pelanggan. Responden sebanyak 37,2% (n=29) tidak mengikat kondom, hal ini dapat menyebabkan tertularnya penyakit apabila setelah tahapan melepas tidak diperhatikannya kontak tangan dengan alat kelamin pasangan, sehingga pada saat tangan kontak langsung dengan sisa air mani yang ada pada kondom maupun alat kelamin tanpa mengikatnya ataupun tanpa menjaga kebersihan dan keamanannya dapat tertular akibat tidak sengajanya menyentuh vagina dengan tangan. 4. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan responden paling muda berusia 20 tahun dan paling tua berusia 55 tahun. Rsponden terbanyak berusia 21 tahun dengan presentase 11,5% dan rata-rata usia responden adalah 29,51 tahun. Sebagian besar responden menempuh pendidikan hingga jenjang SMP sebesar 75,6% (n=59) dan paling sedikit hingga jenjang pendidikan Perguruan Tinggi sebesar 1,3% (n=1). Masa kerja responden terbanyak adalah 2 tahun dengan prosentase 35,9% dan paling lama bekerja dengan masa kerja 9 tahun sebesar 2,6%. Rata-rata masa kerja responden 3,55 tahun. Jumlah pelanggan responden per harinya paling sedikit 2 orang klien dan paling banyak 6 orang klien dengan prosentase berturut-turut 10,3% dan 1,3% serta rata-rata pelanggan per hari adalah 3 orang klien. Sebesar 65,4% (n=51) responden beresiko tertular IMS dilihat berdasarkan ketrampilan menggunakan kondom dengan alat peraga. Responden yang beresiko tertular IMS saat memasang kondom sebesar 51,3% (n=40) dilihat berdasarkan aspek yang tidak melihat tanggal kadaluarsa sebanyak 33 orang (42,3%) dan yang tidak menekan ujung kondom berjumlah 15 responden (19,2%). Responden yang beresiko tertular IMS saat melepas kondom sebesar 37,2% (n=29) dilihat berdasarkan aspek responden yang tidak mengikat kondom sebanyak 29 orang (37,2%) walaupun semua responden melepas 144 | Prosiding
kondom dengan memegang panggal dan melepas kondom secara satu arah. b. Saran Disarankan bagi Resos Sukosari untuk memperhatikan kebutuhan pengetahuan dan informasi bagi anak asuh, seperti selalu meneruskan informasi dan peningkatan pengetahuan terutama mengenai kondom karena kondom merupakan salah satu media pencegahan terhadap IMS dan HIV sehingga proteksi kondom dapat meningkatkan kualitas kesehatan anak asuh. Pengetahuan cukup dan dilakukan secara terus menerus akan mempengaruhi praktek penggunaan kondom. Pentingnya pengetahuan kondom ini juga harus didukung oleh paguyuban sukosari untuk meningkatkan kegiatan mengenai cara memasang kondom secara berkala dan terus menerus sehingga semua anak asuh dapat memperagakan dan membenarkan letak kesalahan mereka. Ini akan sangat bermanfaat apabila pengetahuan diselaraskan dengan praktek. Perlunya penelitian yang mendalam lagi tentang penggunaan kondom sehingga dapat menggambarkan lagi praktek penggunaan kondom hingga pada tahap menghitung jumlah kondom bekas pakai sebagai salah satu indikator penggunaan kondom di Sukosari. 5. REFERENSI 1) INA, AIDS. 2013. Informasi Dasar IMS dan RTI. Jakarta: Komunitas AIDS Indonesia 2) Depkes RI 2009, Analisis Kecenderungan Perilaku Beresiko terhadap HIV-AIDS di Indonesia; Laporan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku Tahun 2007, Depkes RI, Jakarta. 3) http://www.aids-ina.org diakses 11 Juli 2013 pukul 17.17 4) http://koranindonesiasehat.wordpress.com/ article diakses 1 Juni 2013 pukul 03.51 5) http://health.kompas.com/read/2013/03/05 /17562865/10.Kesalahan.Populer.Pemakai an.Kondom 6) Soffiya, Aya. 2011. Gambaran Penggunaan Kontrasepsi Kondom pada Pekerja seks Komersial di Lokalisasi
Sukosari Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. Semarang: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran 7) Fauza, Riska. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Kondom Untuk Pencegahan PMS Pada PSK Di Lokalisasi Sukosari Bawen Kabupaten Semarang. Ungaran: Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo
8) Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: Citra Cendikia 9) Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta. 10) The Female Heatlh Company diakses 11 Juli 2013 15.17 www.femalecondom.
Prosiding |145
EFEKTIVITAS PUSAT INFORMASI DAN KONSELING KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (PIK-KRR) UNTUK MENCEGAH TERJADINYA PERNIKAHAN DINI BAGI REMAJA
1) 2) 3)
Sri Wahyuni 1), Alfan Afandi2) , Sigit Ambar Widiawati 3) Prodi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo email:
[email protected] /
[email protected]
Abstrak Kesiapan seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan ditentukan oleh kesiapan fisik, mental dan sosial. Selain itu diperberat lagi dengan faktor sosial demografi seperti kemiskinan, pengetahuan rendah, pendidikan rendah, belum menikah, asuhan prenatal yang kurang adequat akan mengakibatkan meningkatnya risiko kehamilan dan kehidupan keluarga yang kurang baik. Keberadaan PIK-KRR yang ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang menarik dan informatif, kemudian dimantapkan dengan tindakan edukasi, diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang baik mengenai permasalahan remaja.Penelitian ini bertujuan untuk meneliti efektivitas pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR) dalam mencegah terjadinya pernikahan dini bagi remaja, khususnya siswa SMA, sehingga dapat secara efektif mencegah terjadinya pernikahan dini di kalangan siswa SMA. Metode penelitian ini menggunakan true experimental dengan pretest-posttest control group design dan sampel diambil secara random.Hasil penelitian dari nilai rata-rata menunjukkan bahwa responden pada kelompok perlakuan memiliki pengetahuan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini lebih tinggi dibandingkan responden pada kelompok kontrol. Akan tetapi jika dilihat dari nilai p sebesar 0,328 maka p value > 0,05 artinya pengetahuan antara kelompok yang diberi penyuluhan dan tidak diberi penyuluhan adalah sama.Keberadaan layanan PIK KRR diharapkan tetap diberikan dengan menggunakan metode pendidikan kesehatan yang lebih interaktif dan menarik dengan memperhatikan kondisi siswa.
Kata kunci: PIK-KRR, pernikahan dini
1. PENDAHULUAN Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Kehidupan remaja merupakan kehidupan yangsangat menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya. Pada tahun 2010 jumlah remaja umur 10-24 tahun sangat besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah Penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk, 2010). Melihat jumlahnya yang sangat besar, maka remaja sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan menjadi manusia yang sehat secara jasmani, rohani, mental dan spiritual. Faktanya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja. Masalah yang menonjol dikalangan remaja yaitu permasalahan seputar TRIAD KRR (Seksualitas, 146 | Prosiding
HIV/AIDS serta Napza), rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja dan median usia kawin pertama perempuan relatif masih rendah yaitu 19,8 tahun (SDKI 2007). Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi merupakan beban dalam pembangunan nasional. Faktor utama yang mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk (LPP) adalah tingkat kelahiran. Tingginya angka kelahiran erat kaitannya dengan usia pertamakali kawin. Salah satu upaya menurunkan laju pertumbuhan penduduk adalah melalui peningkatan usia kawin (Bappenas, 2005). Terjadinya stagnasi program KB antara lain dipicu oleh tingginya angka fertilitas remaja (ASFR) pada kelompok usia 15-19 tahun. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012 menunjukkan age specific fertility rate (ASFR) mencapai 48 per 1000 wanita.Padahal
rencana pembangunan jangka menengah (RJPM) menargetkan 30 per 1000 wanita. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, ditengah kemudahan akses informasi, ditengah membaiknya tingkat pendidikan generasi muda dan meningkatnya kesejahteraan penduduk, justru remaja yang memilih menikah dini dan memutuskan melahirkan anak pada usia muda jumlahnya justru meningkat. Kesiapan seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam tiga hal, yaitu kesiapan fisik, kesiapan mental/emosi/psikologis dan kesiapan sosial/ekonomi. Selain itu juga mempunyai resiko medis dan psikososial instrinsik remaja, bila diperberat lagi dengan faktor sosial demografi seperti kemiskinan, pengetahuan yang kurang, pendidikan yang rendah, belum menikah, asuhan prenatal yang kurang adequat akan mengakibatkan meningkatnya risiko kehamilan dan kehidupan keluarga yang kurang baik. (Soetjiningsih, 2006). Menurut SDKI tahun 2007, median usia kawin pertama perempuan adalah 19,8 tahun. Jumlah perempuan berumur 10 tahun ke atas yang pernah kawin di Jawa Tengah sebesar 38,65 persen menikah pada umur 16-18 tahun, dan sebesar 38,79 persen menikah pada umur 19-24 tahun. Meskipun demikian ternyata di Jawa Tengah masih relatif banyak perempuan yang menikah pada usia di bawah 16 tahun yaitu sebesar 12,78 persen (KBN, 2008).Walaupun himbauan pentingnya kesehatan reproduksi bagi remaja telah dicanangkan pemerintah namun pada kenyataannya masih banyak permasalahan kesehatan reproduksi remaja seperti pernikahan dini.Hasil penelitian diIndonesia menunjukkan bahwa pernikahan dini terjadi sebagai solusi kehamilan di luar nikah (premarital pregnant) (Bannet, 2001 dan Gupta, 2000).Hal inidiakibatkan aktivitas seksual pranikah yang dilakukan kalangan remaja di Indonesia. Untuk merespon permasalahan tersebut, Badan Kependudukan Keluarga Berencana (BKKBN) telah melaksanakan dan mengembangkan program Kesehatan Reproduksi Remaja melalui program perencanaan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR). Perencanaan kehidupan berkeluarga adalah suatu program untuk memfasilitasi terwujudnya tegar remaja.
Salah satu program KRR yang mengembangkan strategi diatas adalah PIK-KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja). PIK-KRR merupakan salah satu wadah yang dikembangkan dalam program GenRe, yang dikelola dari, oleh dan untuk remaja guna memberikan pelayanan informasi dan konseling tentang pendewasaan usia perkawinan, delapan fungsi keluarga, TRIAD KRR (seksualitas, HIV dan AIDS serta Napza), ketrampilan hidup, gender dan ketrampilan advokasi dan KIE. Keberadaan dan peranan PIK-KRR di lingkungan remaja sangat penting artinya dalam rangka membantu remaja untuk memperoleh informasi dan pelayanan konseling yang cukup dan benar tentang penyiapan kehidupan berkeluarga. Keberadaan PIK-KRR untuk memberikan informasi dan pelayanan kesehatan pada remaja diharapkan dapat mencegah meningkatnya permasalahan kesehatan remaja termasuk perilaku premarital seks pada remaja. Untuk itu, sejauh mana pelaksanaan program PIK-KRR ini memberikan dampak bagi remaja menjadi penting untuk diteliti. Pengertian dan pemahaman mengenai kesehatan reproduksi yang sudah diterima dari PIK-KRR tersebut, diharapkan juga berdampak agar remaja memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan dalam pengambilan keputusan untuk menikah dan merencanakan kehamilan. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan satu pengukuran untuk melihat bagaimanakah efektivitas PIK-KRR untuk mencegah terjadinya pernikahan dini bagi remaja. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meneliti efektivitas PIK-KRR untuk mencegah terjadinya pernikahan dini bagi remaja, khususnya siswa SMA, sehingga dapat secara efektif mencegah dan mengurangi terjadinya pernikahan dini di kalangan siswa SMA. Sejalan dengan tujuan umum tersebut, secara khusus penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: 1) Melakukan analisis terhadap kondisi dan tingkat pemahaman remaja tentang masalah kesehatan reproduksi remaja, cara menghindari resiko TRIAD KRR, serta menunda usia perkawinan 2) Melakukan analisis faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini. 3) Menguji efektifitas PIK-KRR untuk mencegah terjadinya pernikahan dini bagi remaja. 147 | Prosiding
dianalisis dengan metode descriptive analysis menggunakan program SPSS.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan true experimental dengan posttest only control group design. Penelitian ini menggunakan 2 kelompok, yaitu 1 kelompok yang diberi perlakuan penyuluhan dari PIK-KRR, sedangkan 1 kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan apapun. Metode yang digunakan adalah metode survei pada siswa SMA Getasan di Kabupaten Ungaran dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Perolehan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung ke lapangan dan wawancara dengan responden. Data yang diperoleh kemudian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari tahap pertama diperoleh pemahaman siswa SMA tentang masalah kesehatan reproduksi remaja, cara menghindari resiko TRIAD KRR (seksualitas, HIV/AIDS, serta NAPZA), serta menunda usia perkawinan serta pemahaman siswa tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan dini. Variabel pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu pengetahuan kurang, sedang dan baik.
Tabel 1 Perbedaan Pengetahuan Kesehatan kelompok perlakuan sebagian besar kategori Reproduksi Post test antara Kelompok sedang sebanyak 50,0% dan pengetahuan baik Perlakuan dan Kelompok Kontrol sebanyak 30,0%. Sedangkan pada responden kelompok kontrol sebagian besar kategori sedang Pengetahuan Kelompok Kelompok sebanyak 60,0% dan pengetahuan baik sebanyak Kesehatan 25,0%. Perlakuan Kontrol Reproduksi Sementara untuk deskripsi tiap item f % f % Kategori responden tentang kesehatan Kurang 4 20,0 3 15,0 pengetahuan Sedang 10 50,0 12 60,0 reproduksi, jawaban responden dikelompokkan Baik 6 30,0 5 25,0 menjadi dua yaitu benar dan salah yang dapat dilihat pada tabel 2 berikut : Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi pada responden Tabel 2. Distribusi Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Item Pertanyaan Tanda awal seorang remaja pria sudah mempunyai fungsi reproduksi Tanda awal seorang remaja wanita sudah mempunyai fungsi reproduksi Jumlah sel telur yang dilepaskan remaja putri setiap bulannya Proses alamiah yang dilakukan tubuh untuk mengeluarkan timbunan sperma saat remaja tidur Terjadinya kehamilan pada seorang wanita Hormon yang dihasilkan oleh tubuh seorang laki-laki Hormon yang dihasilkan oleh tubuh seorang perempuan Tanda-tanda kehamilan Tempat bertumbuhnya janin selama masa kehamilan
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan kesehatan reproduksi pada kelompok 148 | Prosiding
Kelompok Perlakuan Kontrol Benar Benar f % f % 19 95 18 90 15 75 12 60 10 50 12 60 19
95
17
85
9
45
14
70
2
10
6
30
2 18 17
10 90 85
2 17 19
10 85 95
perlakuan dan kelompok kontrol sudah memiliki pengetahuan baik. Beberapa indikator yang
menunjukkan bahwa kelompok perlakuan memiliki pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 90,0% tidak mengetahui hormon yang dihasilkan oleh tubuh seorang laki-laki, sebanyak 90,0% tidak mengetahui hormon yang dihasilkan oleh tubuh seorang perempuan, sebanyak 55,0% tidak mengetahui terjadinya kehamilan pada seorang wanita dan sebanyak 50,0% tidak mengetahui jumlah sel telur yang dilepaskan remaja putri setiap bulannya. Sedangkan pada kelompok kontrol, sebanyak 90,0% tidak mengetahui hormon yang dihasilkan oleh tubuh seorang laki-laki, sebanyak 70,0% tidak mengetahui hormon yang dihasilkan oleh tubuh seorang perempuan, sebanyak 40,0% tidak mengetahui tanda awal seorang remaja wanita sudah mempunyai fungsi reproduksi dan sebanyak 40,0% tidak mengetahui jumlah sel telur yang dilepaskan remaja putri setiap bulannya. Variabel Pengetahuan Cara menghindari resiko TRIAD KRR (seksualitas, HIV dan AIDS, serta NAPZA) dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu pengetahuan kurang, sedang dan baik.
Tabel 3 Perbedaan Cara menghindari resiko TRIAD KRR Post test antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol Cara menghindari resiko TRIAD KRR
Kelompok Perlakuan
Kelompok Kontrol
f
f
Kurang Sedang Baik
4 6 10
% 20,0 30,0 50,0
1 5 14
% 5,0 25,0 70,0
Tabel 3 menunjukkan bahwa pengetahuan cara menghindari resiko TRIAD KRR (seksualitas, HIV dan AIDS, serta NAPZA) pada responden kelompok perlakuan sebagian besar kategori baik sebanyak 50,0% dan pengetahuan sedang sebanyak 30,0%. Sedangkan pada responden kelompok kontrol sebagian besar kategori baik sebanyak 70,0% dan pengetahuan sedang sebanyak 25,0%. Sementara untuk deskripsi tiap item pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi, jawaban responden yang benar dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Distribusi jawaban Cara Menghindari Resiko TRIAD KRR Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Item Pertanyaan Masalah yang berkaitan dengan Resiko Triad KRR Peran keluarga dalam pencegahan terjadinya seks bebas Resiko yang harus dihadapi remaja jika melakukan hubungan seksual sebelum menikah Jenis penyakit yang tidak termasuk pada penyakit menular seksual Cara penularan penyakit menular seksual Salah satu gejala penyakit menular seksual Cara penularan penyakit infeksi HIV/AIDS Penyebab HIV/AIDS Cara mencegah HIV/AIDS Ciri-ciri remaja yang beresiko lebih besar menjadi penyalahguna napza Faktor sikap orangtua yang ikut berperan menjadi pencetus remaja menjadi penyalahguna Napza
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan cara menghindari resiko TRIAD KRR pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sudah memiliki pengetahuan baik.
Kelompok Perlakuan Kontrol Benar Benar f % f % 19 95 14 70 12 60 2 10 17
85
15
75
13 18 20 17 12 19 15
65 90 100 85 60 95 75
11 18 17 14 7 17 18
55 90 85 70 35 85 90
12
60
18
90
Beberapa indikator yang menunjukkan bahwa kelompok perlakuan memiliki pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 40,0% tidak mengetahui peran keluarga dalam pencegahan terjadinya seks
149 | Prosiding
bebas, sebanyak 40,0% tidak mengetahui penyebab HIV/AIDS, sebanyak 40,0% tidak mengetahui faktor sikap orangtua yang ikut berperan menjadi pencetus remaja menjadi penyalahgunaan Napza dan sebanyak 35,0% tidak mengetahui jenis penyakit yang tidak termasuk pada penyakit menular seksual. Sedangkan pada kelompok kontrol, sebanyak 90,0% tidak mengetahui peran keluarga dalam pencegahan terjadinya seks bebas, sebanyak 65,0% tidak mengetahuipenyebab HIV/AIDS, sebanyak 45,0% tidak mengetahui jenis penyakit yang tidak termasuk pada penyakit menular seksual, sebanyak 30,0% tidak mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan Resiko Triad KRR dan 30,0% tidak mengetahui cara penularan penyakit infeksi HIV/AIDS . Variabel Pengetahuan tentang Faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu pengetahuan kurang, sedang dan baik.
Tabel 6. Distribusi Faktor-faktor Penyebab Kelompok Kontrol No 1 2
3 4 5 6 7 8 9
10
11
12 13
Tabel 5. Perbedaan Pengetahuan tentang Faktorfaktor penyebab terjadinya pernikahan dini Post test antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol Pengetahuan tentang Faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini Kurang Sedang Baik
Kelompok Kontrol
f
%
f
%
20,0 40,0 40,0
1 11 8
5,0 55,0 40,0
4 8 8
Tabel 5 menunjukkan bahwa pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kelompok perlakuan kategori baik sebanyak 40,0% dan pengetahuan sedang sebanyak 40,0%. Sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar kategori sedang sebanyak 55,0% dan pengetahuan baik sebanyak 40,0%. Sementara untuk deskripsi tiap item pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi, jawaban responden yang benar dapat dilihat pada tabel 6.
Terjadinya Pernikahan Dini Kelompok Perlakuan dan
Item Pertanyaan Pernyataan yang benar tentang pengertian tentang pernikahan dini Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan Usia yg baik untuk hamil anak pertama Usia maksimal yg aman untuk hamil Harapan rata-rata usia kawin pertama tahun 2014 Dampak pernikahan dini jika dipandang dari segi kejiwaan Resiko tinggi kehamilan pada usia muda Faktor Penyebab Orang tua yang mengawinkan anaknya karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang Faktor penyebab pasangan usia muda merasa sudah saling mencintai dan adanya pengaruh media, sehingga mereka terpengaruh untuk melakukan pernikahan usia muda Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan orang tua, anak, dan masyarakat akan pentingnya pendidikan, makna serta tujuan perkawinan sehingga menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda Kekhawatiran orang tua akan anaknya yang sudah mempunyai pacar yang sudah sangat dekat, membuat orang tua ingin segera mengawinkan anaknya meskipun masih dibawah umur Faktor yang dapat menyebabkan remaja melakukan pernikahan secara dini Pernyataan yang benar tentang nilai virginitas
150 | Prosiding
Kelompok Perlakuan
Kelompok Perlakuan Kontrol Benar Benar f % f % 11 55 14 70 19
95
20
100
19 9 1 5 18
95 45 5 25 90
15 3 0 6 15
75 15 0 30 90
20
100
18
90
20
100
17
85
20
100
16
80
19
95
15
75
11
55
10
50
13
65
13
65
Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sudah memiliki pengetahuan baik antara lain pengetahuan mengenai pengertian Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) dan faktor penyebab orang tua yang mengawinkan anaknya karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang. Beberapa indikator yang menunjukkan bahwa kelompok perlakuan memiliki pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 95,0% tidak mengetahui harapan rata-rata usia kawin pertama tahun 2014, sebanyak 75,0% tidak mengetahui dampak pernikahan dini jika dipandang dari segi kejiwaan, sebanyak 55,0% tidak mengetahui usia maksimal yg aman untuk hamil dan sebanyak 45,0% tidak mengetahui faktor yang dapat menyebabkan remaja melakukan pernikahan secara dini. Sedangkan pada kelompok kontrol, sebanyak 100,0% tidak mengetahui harapan rata-rata usia kawin pertama tahun 2014, sebanyak 85,0% tidak mengetahui usia maksimal yang aman untuk hamil sebanyak 75,0% tidak mengetahui resiko tinggi kehamilan pada usia muda, sebanyak 50,0% tidak mengetahui faktor yang dapat menyebabkan remaja melakukan pernikahan secara dini dan sebanyak 35,0% tidak mengetahui pernyataan yang benar tentang nilai virginitas. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi adalah kemampuan pemahaman yang telah dimiliki oleh responden terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Secara keseluruhan hasil penelitian tentang pengetahuan kesehatan reproduksi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah sama. Adanya kesamaan pengetahuan kesehatan reproduksi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada beberapa item pertanyaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kurikulum yang diterima relatif umum. Materi tersebut meliputi pengetahuan tentang seksualitas yang hanya sebatas pengenalannya saja dan tidak mendalam sehingga dapat dikatakan bahwa semua siswa tidak mendapatkan informasi tentang seksualitas secara lengkap. Selain informasi yang disampaikan kurang lengkap, penyebab lainnya adalah keaktifan responden dalam mencari informasi. Menurut Notoatmodjo, informasi yang diperoleh dari
berbagai sumber mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Jika seseorang mendapatkan banyak informasi maka seseorang tersebut cenderung memiliki pengetahuan yang lebih luas.Walaupun secara umum tingkat pengetahuan responden antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah sama, tetapi ada beberapa perbedaan pengetahuan yang tidak diketahui oleh responden yang dapat dilihat dari item pertanyaan yang masih dijawab salah oleh responden. Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi yang memadai sangat diperlukan oleh remaja.Banyak kasus permasalahan reproduksi pada remaja dikarenakan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi yang kurang, seperti meningkatnya kasus HIV/AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan, dan abortus tidak aman. Pengetahuan tentang cara menghindari resiko TRIAD KRR (Seksualitas, HIV Dan AIDS, Serta NAPZA) adalah kemampuan pemahaman yang telah dimiliki oleh responden terhadap hal-hal yang berkaitan denganSeksualitas, HIV Dan AIDS, Serta NAPZA. Secara keseluruhan hasil penelitian tentang pengetahuan cara menghindari resiko TRIAD KRR (Seksualitas, HIV Dan AIDS, serta NAPZA) kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah sama. Pengetahuan yang baik pada responden juga bisa dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam kegiatan sehari-hari, mereka melakukan hubungan dengan orang lain misalnya teman. Karena hubungan ini seseorang memperoleh suatu pengetahuan dan mengalami proses belajar. Teori yang mendukung pendapat ini adalah teori Notoatmodjo (2010), bahwa lingkungan berpengaruh terhadap pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu. Faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan salah satunya adalah usia. Rata-rata usia siswa SMK adalah 16-18 tahun. Pada usia remaja inilah mereka memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, sehingga memungkinkan responden dapat menerima pengetahuan tentang deteksi dini kanker payudara dengan sadari sebagai suatu pembaruan pengetahuan. Seperti teori yang dikemukakan oleh Fudyartanta (2012), bahwa periode remaja 151 | Prosiding
merupakan periode yang sangat penting untuk diberikan edukasi yang positif. Pada fase ini mulai terjadi perubahan baik secara fisik, psikologis dan sosial. Perkembangan fisik yang cepat dan cepatnya perkembangan mental terutama pada awal masa remaja membuat remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental, sikap dan minat terhadap sesuatu hal yang dianggap baru oleh remaja. Di sisi lain, Hasil Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja masih sangat rendah (Rahmawati, dkk, 2012). Berdasarkan hasil SKRRI tersebut pengetahuan remaja usia 15-19 tahun untuk perubahan fisik untuk pria adalah 21,9% wanita dan 22,4% pria mengetahui bahwa pertumbuhan otot merupakan tanda dari perubahan fisik pria, 52,6% wanita dan 32,9% pria mengetahui bahwa perubahan suara merupakan tanda dari perubahan fisik pria, 30,5% wanita dan 35,3% pria mengetahai bahwa pertumbuhan rambut pada muka, sekitar kemaluan, dada, kaki, dan lengan merupakan tanda dari perubahan fisik pria, 5,3% wanita dan 5,4% pria mengetahui bahwa meningkatnya gairah seksual merupakan tanda dari perubahan fisik pria, 16,1% wanita dan 23,8% pria mengetahui bahwa mimpi basah merupakan tanda perubahanfisik pria, sebanyak 29,7% wanita dan 10,2% pria mengetahui bahwa tumbuh jakun merupakan tanda perubahan fisik pria, dan sebanyak 18,9% wanita dan 18,5% pria mengaku tidak tahu apapun tentang tanda pubertas pada pria. Sedangkan menurut SDKI-R tahun 2007, pengetahuan remaja umur 15-24 tahun tentang kesehatan reproduksi masih rendah, 21% remaja perempuan tidak mengetahui sama sekali perubahan yang terjadi pada remaja laki-laki saat pubertas. Pengetahuan remaja tentang masa subur relatif masih rendah. Hanya 29% wanita dan 32% pria memberi jawaban yang benar bahwa seorang perempuan mempunyai kesempatan besar menjadi hamil pada pertengahan siklus periode haid. Informasi tentang HIV/AIDS sebesar 40,8%, informasi tentang kondom sebesar 29,6%, pencegahan kehamilan sebesar 23,4%, dan Infeksi
152 | Prosiding
menular Seksual (IMS) sebesar 18,4%. (BKKBN,2011). Masa remaja merupakan masa transisi sebagai masa perkembangan fisik, kognitif dan sosial yang memberi tantangan dan kesempatan untuk menjajagi berbagai pilihan dan mengambil keputusan serta komitmen untuk menentukan jati dirinya. Pilihan yang dihadapi remaja tidak semuanya merupakan pilihan yang baik. Pilihan tersebut terkadang merupakan pilihan yang salah yang dapat menjerumuskan remaja ke berbagai masalah. Era globalisasi berpengaruh besar terhadap perkembangan remaja. Masuknya informasi ke kalangan remaja beserta nilai yang terkandung di dalamnya membawa pengaruh pada perubahan diri remaja. Adanya akses informasi yang cepat melalui media massa seperti televisi dan internet membawa informasi yang luas. Kemudahan mendapatkan informasi membawa dampak positif dan negatif bagi remaja. Dampak positifnya adalah ilmu pengetahuan dapat dengan mudahnya didapatkan. Berbagai tayangan serta informasi sepeti kekerasan, narkoba, serta seks bebas dengan mudah dapat ditemukan. Pengetahuan mengenai cara menghindari resiko TRIAD KRR (seksualitas, HIV/AIDS, serta NAPZA) pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah umur, sosial ekonomi, pendidikan non formal, pendidikan formal, lingkungan pergaulan/teman sebaya, serta lingkungan geografis. Hasil penelitian rendahnya pengetahuan remaja ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Asih dan Anggraeni (2012) yang menyatakan bahwa sebagian besar remaja atau lebih dari 70% berada pada kategori berpengetahuan kurang mengenai TRIAD KRR, dan baru sekitar seperempat dari total remaja berada dalam kategori berpengetahuan baik. Sedangkan pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini, hampir sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Sanderowitz Paxman dalam Sarwono, (2003) menyatakan bahwa pernikahan muda juga sering terjadi karena remaja berpikir secara emosional, untuk melakukan pernikahan, mereka berfikir untuk saling mencintai, dan siap untuk saling menikah, selain itu faktor penyebab lain pernikahan muda adalah perjodohan orang tua,
perjodohan ini sering terjadi karena akibat putus sekolah dan akibat dari permasalahan ekonomi. Agar tidak terjadi pernikahan dini, maka beberapa upaya-upaya pencegahan bisa dilakukan. Upaya-upaya pencegahan perkawinan dini bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya orang tua perlu menyadari perkawinan dini bagi anaknya penuh dengan resiko yang membahayakan baik secara sosial, kejiwaan maupun kesehatan, sehingga orang tua perlu menghindari perkawinan dini bagi remaja dan remaja perlu diberi informasi tentang hak-hak reproduksinya dan resiko perkawinan dini serta bagi remaja yang belum menikah, kehamilan remaja dapat dicegah dengan cara menghindarkan terjadinya senggama. Itu artinya remaja harus mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang akan memberi bekal hidupnya di masa depan (Sibagariang dkk, 2010). Tahap kedua dilakukan untuk mengukur efektivitas PIK-KRR untuk mencegah terjadinya pernikahan dini pada remaja. Kegiatan pada tahap kedua ini akan dilaksanakan dalam dua langkah meliputi: (1)=mengukur efektivitas pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR) sebelum remaja mendapatkan konseling pada kelompok control dan (2) mengukur efektivitas pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIKKRR) sesudah remaja mendapatkan konseling pada kelompok perlakuan. Adapun hasil pengukuran efektivitas pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR) untuk mencegah terjadinya pernikahan dini bagi remaja di SMK Getasan Salatiga seperti pada tabel 7. Tabel 7
Efektivitas Pusat Informasi Dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) Untuk Mencegah Terjadinya Pernikahan Dini Bagi Remaja
Kelompok
f
Mean
Sd
p ,328
Kelompok Kontrol
20
22,20
5,357
Kelompok Perlakuan
20
23,50
2,395
Dari tabel 7 menunjukkan hasil uji statistik paired sample t test pada kelompok kontrol (tanpa penyuluhan) post test menunjukkan mean = 22,20 sedangkan pada kelompok perlakuan (penyuluhan) menunjukkan mean = 2,50. Hal ini menunjukkan bahwa responden pada kelompok perlakuan (diberi penyuluhan) memiliki pengetahuan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini lebih tinggi dibandingkan responden pada kelompok kontrol (tanpa penyuluhan). Akan tetapi jika dilihat dari nilai p pada Sig. (2-tailed) sebesar 0,328 maka p value>0,05 artinya rata-rata skor pengetahuan antara kelompok yang diberi penyuluhan dan tidak diberi penyuluhan adalah sama. Penyuluhan kesehatan sebagai bagian dalam promosi kesehatan memang diperlukan sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan, disamping pengetahuan sikap dan perbuatan. Oleh karena itu, tentu diperlukan upaya penyediaan dan penyampaian informasi, yang merupakan bidang garapan penyuluhan kesehatan. Makna penyuluhan adalah pemberian penerangan dan informasi, maka setelah dilakukan penyuluhan kesehatan seharusnya akan terjadi peningkatan pengetahuan oleh masyarakat (Notoatmojo, 2007). Penyuluhan kesehatan memberikan dan meningkatkan pengetahuan yang selanjutnya dapat memengaruhi sikap dan perilaku memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat.Salah satu luaran awal dari kegiatan penyuluhan adalah peningkatan pengetahuan. Menurut Meliono (2007), pengetahuan dapat dipengaruhi oleh pendidikan, media, dan keterpaparan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor pengetahuan antara kelompok yang diberi penyuluhan dan tidak diberi penyuluhan adalah sama. Artinya pengetahuan pada kelompok perlakuan yang diberi penyuluhan dan kelompok kontrol tidak berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan karena SMK Getasan sudah memiliki layanan PIK-KRR, sehingga seluruh siswa sudah lebih banyak mendapatkan informasi dari layanan tersebut. Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2012), menambahkan bahwa program KRR merupakan pelayanan untuk membantu remaja memiliki status kesehatan reproduksi yang baik melalui pemberian informasi, pelayanan konseling dan pendidikan ketrampilan hidup. Salah satu
153 | Prosiding
ketrampilan hidup yang diperlukan oleh seorang remaja adalah merencanakan usia perkawinan. Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2002-2003, menjelaskan bahwa penentu keputusan pasangan menikah adalah diri sendiri (63% pada perempuan dan 72% pada laki-laki), orangtua dan diri sendiri (33% pada perempuan dan 25% pada laki-laki), serta orangtua saja (4% pada perempuan dan 3% pada laki-laki). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah menetapkan program yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk yaitu Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Untuk mencapai Pendewasaan Usia Perkawinan perlu penyiapan sumber daya manusia dalam mewujudkan keluarga berkualitas pada masa depan yang harus dilakukan sejak remaja. Peningkatan pemahaman kesehatan reproduksi remaja dapat dilakukan dengan promosi kesehatan yang bersifat pencegahan. Penyuluhan merupakan bentuk promosi kesehatan sederhana yang dapat mencakup sasaran luas.Pada penelitian ini, tujuan dari pemberian informasi penyuluhan pada kelompok perlakuan diharapkan dapat meningkatkan informasi pada responden agar dapat mencegah terjadinya pernikahan dini. Menurut Notoatmojo 2007, keefektivitasan penyuluhan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain faktor penyuluh, faktor sasaran, dan faktor proses dalam penyuluhan. Terjadinya penerimaan informasi dari masing-masing individu pada saat penyuluhan dipengaruhi oleh faktor sasaran, dimana hal ini berasal dari kondisi panca indera, daya tangkap serta ingatan yang juga dipengaruhi oleh keberagaman karakteristik responden. Sehingga, pada saat penyuluhan berlangsung, kemungkinan responden tidak begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan.Karena hal inilah yang menyebabkan kelompok perlakuan yang sudah diberi penyuluhan tidak berbeda pengetahuannya dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian terdahulu yang menemukan bahwa pelaksanaan penyuluhan yang bersifat rasional 154 | Prosiding
sebagai unsur proses pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan (Rahmadiliyani, 2010). Dimana metode penyuluhan tersebut dapat dijadikan alternatif pelaksanaan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang pernikahan usia muda. Selain itu, pendidikan kesehatan reproduksi dengan penyuluhan berbasis sekolah efektif mengurangi risiko dan perilaku negatif di kalangan remaja akibat kurang pemahaman (Ricketts, 2006). 4. KESIMPULAN Secara keseluruhan kondisi dan tingkat pemahaman remaja tentang masalah kesehatan reproduksi remaja, cara menghindari resiko TRIAD KRR (seksualitas, HIV/AIDS, serta NAPZA), serta menunda usia perkawinan/pendewasaan usia perkawinan dan pemahaman tentang faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol memiliki kategori baik. Dari nilai rata-rata menunjukkan bahwa responden pada kelompok perlakuan memiliki pengetahuan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini lebih tinggi dibandingkan responden pada kelompok kontrol. Akan tetapi jika dilihat dari nilai p pada Sig. (2-tailed) sebesar 0,328 maka p value > 0,05 artinya rata-rata skor pengetahuan antara kelompok yang diberi penyuluhan dan tidak diberi penyuluhan adalah sama. Keberadaan layanan PIK KRR untuk pelaksanaan pendidikan dan program kegiatan di bidang kesehatan reproduksi remaja khususnya tentang pernikahan usiadini diharapkan tetap diberikan dengan menggunakan metode pendidikan kesehatan penyuluhan yang lebih interaktif dan menarik 5. REFERENSI Artikel, Mardiya, 2014. Hari Kependudukan Sedunia Tahun 2013 Saatnya Tahu dan Peduli Terhadap Masalah Remaja, diakses 1 April 2014.www.kulonprogokab.go.id/.../getfile. php?...Artikel%2
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2005. Laporan Perkembangan Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, Jakarta. Benita, Nydia Rena. 2012. Pengaruh Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi pada Remaja Siswa SMP Kristen Gergaji (Laporan Karya Tulis Ilmiah). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. BKKBN Tahun 2012 Green, L., 1983. Notoatmodjo,S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, FKM,UI,Jakarta Grogger, J and Stephen B. 1993. The Socioeconomics Consequences of Teenage Childbearing: Findings from a Natural Experiment. Family Planning Perspective, 25(4): 156-61 & 174http://eprints.undip.ac.id/32662/ Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta: Rineka Cipta. PATH, 1998.Kesehatan Reproduksi : Membangun Perubahan yang Bermakna, http://www.path.org/files/Indonesian 163.pdf. diakses 10 Desember 2014 Pedoman Pengelolaan Bina Keluarga Remaja (BKR) Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional Direktorat Bina Ketahanan Remaja, 2012. Jakarta Pedoman Pengelolaan Pusat Informasi Dan Konseling Remaja Dan Mahasiswa (PIK Remaja/Mahasiswa) Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana NasionalDirektorat Bina Ketahanan Remaja, 2012.Jakarta Profil Program KBN Jawa Tengah, 2008 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2011. Kajian Profil Penduduk Remaja (10-24 Thn) : Ada Apa dengan Remaja?. Seri 1. No6. Pusdu-BKKBN. Desember 2011
Rafidah, dkk, 2009. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 Rahmadiliyani N, Hasanbasri M, Mediastuti F. Kepuasan siswa SLTA terhadap penyuluhan kesehatan. 2010. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat. 26 (4): 203-10. Ricketts SA, Guernsen BP. 2006. School-based health centers and the decline in black teen fertility during the 1990s in Denver, Colorado.American Journal of Public Health. 96: 1588–92 Rahma F J., 2012. Resiko Pada Remaja Akibat Pernikahan Dini, diakses 29 Mei 2014 Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, diakses Agustus 2014http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/112-11.pdf SDKI Tahun 2007 SDKI Tahun 2012 Sensus Penduduk Tahun 2010 Sibagariang, E., dkk., 2010. Kesehatan Reproduksi Wanita, Trans Info Medika, Jakarta. Soetjiningsih.2006. Tumbuh kembang anak.(h.212),Balai Penerbit FKUI; Jakarta Suparmi, 2006.Hubungan antara Remaja Aktif Seksual dengan Kurangnya Pengawasan Orang Tua.UNDIP.Skripsi tidak dipublikasikan. Suryoputro.et.all, 2006, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah : Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual UNPFA.2005. Child marriage fact sheet. diakses 11 April 2014. Didapat dari: www.unpfa.org. USAID.2006. Preventing child marriage: protecting girls health. diakses 11 April 2014. Didapat dari: www.usaid.gov. Zulkifli, 1999.Psikologi Perkembangan, Remaja
155 | Prosiding
GAMBARAN PERILAKU LESBIAN PADA MAHASISWI DI UNGARAN Alfan Afandi 1), Sri Wahyuni 2) Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo
[email protected] 2 Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo
[email protected]
1
Abstract Fenomena lesbian sudah lama muncul dikalangan remaja, salah satunya di kalangan mahasiswa. Fenomena ini muncul seiring dengn kemajuan teknologi. Penelitian ini dilakukan untuk mendiskripsikan faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku lesbian pada mahasiswi. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan mendiskripsikan pengalaman responden tentang perilaku lesbian dengan analisis deep interview. Sampel sebanyak 3 orang responden dipilih dengan teknik snowball sampling. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dapat diketahui bahwa perilaku lesbian dikarenakan sakit hati terhadap pasangan sebelumnya, selain itu sebanyak dua dari tiga responden melakukan hubungan seks terhadap pasangan lesbi mereka. Semua responden responden mengatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam suatu komunitas, tetapi salah satu dari pasangan responden tersebut mengatakan terlibat dalam suatu komunitas tetapi tidak diketahui responden tersebut.
Kata Kunci: Perilaku, Lesbian, Mahasiswi
1. PENDAHULUAN Pada dewasa ini, fenomena homoseksualitas semakin marak. Bukan hanya di luar negeri, tetapi fenomena ini juga berlaku di Indonesia. Baik itu lesbian ataupun gay. Baik dewasa ataupun remaja. Homose ksual bukan lagi merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. Dalam dunia homoseksual, ada dua ma cam yaitu gay dan Lesbi. Gay adalah laki- laki yang mempunyai perasaan ketertarikan seksual dengan laki-laki, sementara lesbi adalah wanita yang mempunyai perasaan ketertarikan seksual dengan perem puan. Lesbi bukanlah hal baru di dalam masyarakat, hanya saja apakah masyarakat selama ini sadar dengan kehadiran mereka. Karena umumnya lesbi lebih memilih untuk menutup diri rapat-rapat. Akan tetapi seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, saat ini kaum lesbi sudah lebih terbuka (Agustina, 2005). Menginjak usia remaja, pada masa pubertas remaja wanita memang akan muncul predisposisi (bawaan, kecendrungan) biseksual; yaitu dengan 156 | Prosiding
mencintai teman putri, sekaligus mencintai kawan pria (Agustina, 2005). Namun pada prosesnya predisposisi biseksual bisa sewaktu-waktu berubah disebabkan pengaruh dari stimuli hormon hormon yang ada dalam tubuh setiap remaja perempuan. Lesbian tidak hanya tampak pada perempuan yang yang berpenampilan tomboy, tetapi juga dapat tampak dalam rupa seorang perempuan semodis model iklan di televisi, dengan pakaian serba minim dan modis serta gerak gerik serba feminin (Dariyo, A., 2004). Lesbian dengan sosok feminin ini dapat berperan ganda, artinya sekaligus dapat menjalin hubungan dengan seorang pria, dengan kata lain hasrat biseksual masih tampak dalam menjalin sebuah hubungan (Gunarsa, S. D., 2009, Brown, L.S, 1994). Lesbi adalah label yang diberikan untuk menyebut homoseksual perempuan atau perempuan yang memiliki hasrat seksual dan emosi kepada perempuan lainnya. Lesbi adalah perempuan yang memiliki hasr at seksual dan emosi kepada perempuan lain atau perempuan yang secara sadar mengidentifikasikan dirinya
sebagai lesbi (Agustina, 2005). Lesbi sejak jaman dulu hingga saat ini masih merupakan suatu fenomena yang penuh dengan kontroversi. Sepanjang sejarah perilaku ini dikaitkan dengan konotasi negatif, yaitu orang yang bermoral sehingga sering terjadi tindakan diskriminatif, kekerasan bahkan pembunuhan. Dalam beberapa tahun terakhir perilaku lesbi ini kembali mendapat sorotan masyarakat seiring dengan m erebaknya penyakit yang mematikan yaitu HIV/AIDS. Remaja lesbi sama seperti remaja heteroseksual hanya berbeda dalam orientasi seksualnya. Remaja ini sering mendapat penolakan dari keluarga, teman, sekolah, dan masyarakat luas (Poerwandari, 2010). Kuatnya stigma lesbi di masy arakat membuat lesbi menjad kelompok yang sangat tertutup bahkan bila dibandingkan dengan kelompok gay. Gejala lesbianisme antara lain disebabkan karena wanita yang bersangkutan terlalu mudah jenuh terhadap relasi heteroseksualnya, misalnya suami atau kekasih prianya. Seorang yang lesbian tidak pernah merasakan orgasme. Penyebab yang lain adalah pengalaman traumatis terhadap seorang pria atau suami yang kejam, sehingga timbul rasa benci yang mendalam dan antipati terhadap setiap laki-laki. Kemudian ia lebih suka melakukan relasi seks dan hidup bercinta dengan seseorang wanita lain. Wanita lesbian menganggap relasi heteroseksual tidak bisa membuat dirinya bahagia, relasi seksnya dengan sesama wanita dianggap sebagai kompensasi dari rasa ketidakbahagiaannya tersebut (Katherine Miller, 2005; Kartono, Kartini, 2006). Di Kabupaten Semarang khususnya, dari waktu ke waktu mengalami banyak perkembangan yang cukup pesat, mulai dari banyaknya tempat wisata untuk keluarga, restoran siap saji, tempat karaoke keluarga, mall-mall, dan tempat-tempat untuk menghabiskan waktu dan tentu saja uang 24 jam dan seminggu 7 hari. Saat ini, Kabupaten Semarang telah menjadi salah satu kota yang berkembang cukup pesat di Indonesia. Dengan adanya perkembangan ini, masyarakat disugukan berbagai macam kemudahan dalam menghabiskan waktunya, namun tentu saja ada berbagai macam dampak yang ditimbulkan sejalan dengan perkembangan ini, gaya hidup yang mengadopsi gaya hidup orang
luar pun tidak dapat dipungkiri menjadi hal yang juga turut berkembang (Kartono, Kartini, 2009; Kitzinger, C, 1997; Oetomo, Dede, 2003; Santrok, J. W., 2003). Salah satunya, kehidupan lesbian yang sebelumnya telah dibahas. Perlu diketahui bahwa, bukan hanya lesbian yang secara terangterangan mulai menampakkan keberadaan mereka, kaum Gay, Biseksual dan Transgender juga sedikit banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat keberadaan mereka diketahui oleh masyarakat luas dengan sengaja diundang dan turut serta hadir dalam diskusi-diskusi publik yang membahas tentang persamaan hak. Seiring dengan perkembangan Kabupaten Semarang tersebut, kaum Lesbian sedikit mengalami pergeseran dari segi keberadaannya. Kalau dulu perempuan lesbian sebisa mungkin menutup diri dan tidak ingin terekspos jati dirinya, namun saat ini mereka bergabung dalam wadah atau organisasi yang semua orang bisa mengetahui keberadaannya. Salah satu contoh yang membuat keberadaan mereka semakin mudah diketahui banyak orang adalah, di situs pertemanan sosial (Facebook), mereka membuat grup-grup lesbian yang didalamnya berkumpul perempuan-perempuan pecinta sesama jenis. Sarana chatting dan facebook menjadi salah satu ruang tempat mereka saling mengetahui keberadaan masing-masing, berbagi cerita dan tentu saja menjadi ajang pencarian pasangan (Willis, S.S, 2005). Penelitian ini dilakukan untuk mendiskripsikan Gambaran Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Lesbian pada Mahasiswi. 2. METODE PENELITIAN Pengalaman pada awal memasuki kehidupan lesbian menarik untuk diteliti. Observasi yang dilakukan oleh peneliti selama melakukan penelitian tidak mengalami banyak hambatan, baik ketika dilakukan di ruang-ruang sosial, seperti tempat makan yang biasa para pasangan lesbian kunjungi sampai tempat para lesbian hangout. Peneliti mengikuti aktivitas mereka seperti makan, minum serta hangout di tempat mereka sering berkumpul. Peneliti mulai melihat kehidupan lesbian, yang diawali dari kehidupan pribadi, sosial, hingga kehidupan malam yang kerap menjadi trend dalam kehidupan kaum lesbian. Prosiding |157
Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik wawancara mendalam (indepth interview), alasannya yaitu karena peneliti ingin menggali secara detail pengalaman-pengalaman individu mengenai gambaran dalam upaya mendapatkan identitas seksual remaja lesbi. Alat yang digunakan diantaranya informed consent, alat perekam suara, pedoman wawancara, alat tulis dan kertas, lembar isian (biodata subjek) lembar ini diperlukan agar sebelum melakukan wawancara, peneliti sudah mengetahui informasi mengenai subjek. Data hasil wawancara akan dianalisis dengan cara verbatim, melakukan analisis awal, koding, menemukan kata kunci dan tema dari transkrip wawancara setiap subjek, analisis dengan teori dan membuat diskusi kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan mengajukan saran bagi peneliti selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan, pengambilan subjek pada penelitian kualitatif harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Purposive sampling adalah metode pengambilan subjek yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Dengan digunakannya teori dalam pengambilan subjek maka penelitian ini menentukan terlebih dahulu individu yang akan menjadi subjek penelitian. Menurut Patton tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah subjek yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Juml ah subjek sangat tergantung kepada apa yang dianggap ber manfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan Gambaran perilaku lesbian pada mahasiswi sumber daya yang tersedia validitas, kedalaman arti, dan insight yang dimunculkan. Penelitian kualitatif lebih berhubungan dengan kekayaan informasi dari kasus atau subjek yang dipilih, daripada tergantung pada jumlah subjek. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh dari sampel penelitian dengan melibatkan 3 orang informan. Karena penelitian ini menggunakan dasar penelitian studi kasus. Sumber data pada penelitian ini dengan menggunakan 3 informan yang dapat memberikan informasi mengenai riwayat mereka dan aktifitas pergaulan informan-informan yang di 158 | Prosiding
lingkungan keluarga, masyarkat, dimana dari penuturan 3 informan dipastikan dapat mewakili para lesbian dengan masalah yang sama. Data hasil penelitian dianalisis secara kualitatif yaitu dengan cara menggambarkan masalah secara jelas dan mendalam yang kemudian hasil dari penggambaran masalah diinterpretasikan sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan. Dalam melakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan proses pengeditan, pengklasifikasian dan verifikasi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara formal peneliti mengamati secara mendalam dan melakukan wawancara kepada 3 orang mahasiswa lesbian, dimana dari masingmasing mereka memiliki pasangan lesbian. Usia informan dibawah 25 tahun, dan mereka masih tercatat sebagai mahasiswa. Dalam penelitian ini Berdasarkan hasil wawancara pada ketiga informan tersebut didapatkan bahwa ketiganya mengaku bahwa mereka menjadi seorang lesbian karena telah dikecewakan oleh pasangan yang sebelumnya. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Lesbian adalah perempuan yang penuh kasih saying (Agustina, 2005). Pada umumnya perkembangan ke homoseksualitas, terjadi pada anak gadis usia remaja. Perkembangannya biasanya merupakan satu stadium belaka dari perkembangan seksual yang sebenarnya. Selanjutnya lambat laun anak gadis tersebut akan menemukan teman kencan yang sesungguhnya dalam hubungan heteroseksual. Ketiga responden mengaku bahwa mereka sangat sakit hati dan menjadi benci pada laki – laki. Pada responden pertama mengaku bahwa mulai berperilaku / menyukai sesama jenis karena di kecewakan (ditinggal menikah oleh pasangan sebelumnya, yang mana dia sangat mencintai teramat dalam). Pada responden kedua mengaku bahwa mereka berperilaku lesbian karena 3 kali berturut- turut telah di tinggal menikah oleh pasangan sebelumnya dan menganggap bahwa laki – laki semuanya pembohong.
“ Dulu aku pernah deket sama seorang cowok, deket yang bener-bener deket. Aku udah nerima dia dalam kehidupanku. Sampe waktu pengungkapan perasaan , tiba-tiba dia jalan sama cewek lain. Dari situ aku ngerasa harga diriku dipermainin”. Responden ke tiga di tinggal menikah kemudian sakit hati dan mulai suka perempuan berambut panjang ditambah karena faktor lingkungan sering terbiasa dengan perempuan. Pada perilaku seks yang didapatkan dari ke tiga informan bahwa reponden 1 mengaku bahwa tidak pernah berciuman sambil menjawab malu – malu. Tetapi peneliti memastikan dengan pertanyaan bagaimana rasanya ketika sedang berciuman dan responden menjawab enak. Dari situ peneliti sebenarnya masih ingin mencuplik hal yang lebih mendalam lagi. Tetapi pada responden pertama memang agak terkesan malu – malu. Pada responden kedua mengaku bahwa pernah berciuman bahkan sering apabila sedang di kost / suasana sepi. Tetapi pada responden ke dua tidak pernah sampai melakukan hubungan seks. Pada responden ketiga mengaku pernah berciuaman dan pernah melakukan hubungan seks dengan alat bantu. Pada hasil wawancara yang dilakukan oleh ketiga responden bahwa responden pertama mengaku bahwa tidak memiliki suatu komunitas, tetapi responden pertama mengakui bahwa pasangan lesbinya mempunyai komunitas. Pada responden kedua dan ketiga mengaku bahwa mereka tidak mempunyai komunitas lesbian. Berdasarkan hasil analisis dan data kategorisasi permasalahan lesbian di kalangan mahasiswa di Ungaran menggambarkan bahwa Perilaku Lesbian pada Mahasiswa di Ungaran masih banyak perilaku lesbian di daerah tersebut kita gambarkan menjadi tiga kategori : 1. Perilaku lesbian 2. Gaya pacaran lesbian 3. Komunitas pada lesbian Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh 3 responden didapatkan hasil bahwa rata–rata responden melakukan perilaku lesbian dikarenakan sakit hati terhadap pasangan yang sebelumnya. Sebenarnya sebelum responden menjadi lesbi mereka normal dalam artian masih
suka dengan laki – laki. Namun karena pengalaman sakit hati yang mereka alami merubah perilaku mereka menjadi lesbi. Dua dari tiga responden mengakui bahwa mereka melakukan hubungan seks terhadap pasangan lesbi mereka. Ketiga responden menyatakan bahwa mereka tidak bergabung dalam suatu komunitas khusus kaum lesbian, namun pasangan dari salah satu responden menyatakan bahwa pasangannya ikut bergabung dalam komunitas lesbian dan itupun tidak diketahui dari responden tersebut. 4.
SIMPULAN
Merujuk pada permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu gambaran perilaku lesbian pada mahasiswi, dapat ditarik kesimpulan bahwa kehadiran seorang lesbian melalui suatu rangkaian suatu proses. Dapat dikatakan bahwa mahasiswa merupakan salah satu agen peruhan yang memiliki gaya hidup yang berbeda dalam pembentukan identitas diri seseorang, dimana dalam perubahan ini melalui proses untuk membangun keterpisahan secara psikologis dari orang tua, teman sebaya dan orang dewasa lainnya serta membangun jati diri sebagai seorang pribadi yang mandiri. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dapat diketahui bahwa perilaku lesbian dikarenakan sakit hati terhadap pasangan sebelumnya, selain itu sebanyak dua dari tiga responden melakukan hubungan seks terhadap pasangan lesbi mereka. Semua responden responden mengatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam suatu komunitas, tetapi salah satu dari pasangan responden tersebut mengatakan terlibat dalam suatu komunitas tetapi tidak diketahui responden tersebut. 5.
REFERENSI
Agustina dkk, 2005. Semua Tentang Lesbian. Ardhanary Institute, Jakarta Selatan. Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. PT Grasindo. Jakarta Gunarsa, S. D., 2009. Psikologi Perkembangan: Anak dan Remaja . BPK. Gunung Mulia. Jakarta.
Prosiding |159
Brown,L.S, 1994, Subversive Dialogues : Theory in Feminist Therapy, Basic Books, New York. Willis, S.S, 2005. “Remaja dan Permasalahannya”, Bandung: CV. Alfabeta Poerwandari, E. K., Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Lembaga Gambaran Status Identitas Remaja Puteri Lesbi Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010 Katherine Miller, 2005. Miller, Katherina, Communication Theories, Perspective Proceses and Context, Second Edition, McGraw Hill, New York Kartono, Kartini, 2006, Psikologi Wanita 1 Mengenal Gadis Remaja & Wanita Dewasa, Mandar Maju, Bandung
160 | Prosiding
Kartono, Kartini, 2009, Psikologi Abnormalitas dan Abnormalitas Seksual, Mandar Maju, Bandung. Kitzinger, C, 1997, Lesbian and Gay Psychology : A Critical Analysis, Dalam Dennis Fox & Issac Prilleltensky (Eds), Critical Psychology : An Introduction. SAGE Publications. Ltd.London. Oetomo, Dede, 2003, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Galang Press, Yogyakarta. Santrok, J. W., 2003. Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
DUKUNGAN MUCIKARI PADA WPS DENGAN KUNJUNGAN VCT DI RESOSIALISASI TEGAL REJO BERGAS, KABUPATEN SEMARANG PujiPranowowati1), AulyTarmali2), Nurul Azizah3) 1) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Email :
[email protected] 2) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Email :
[email protected] 3) LSM Sokoguru Foundation Email :
[email protected]
Abstrak Voluntary Counseling Testing (VCT) atau konseling dan tes sukarela adalah kegiatan konseling yang bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah di laboratorium (KPAN, 2011). Merupakan salah satu program dari pemerintah dalam menanggulangi HIV/AIDS. Salah satu faktor yang mempengaruhi kunjungan VCT adalah dukungan mucikari. Mucikari merupakan salah satu orang terdekat dan sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan WPS. Dukungan orang terdekat sangat besar pengaruhnya dalam melakukan tindakan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara dukungan mucikari dengan kunjungan VCT pada WPS di Resosialisasi Tegalrejo, Bergas. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini seluruh WPS yang terdaftar di Resosialisasi Tegalrejo, Bergas sampai dengan bulan Maret 2014 yitu 162 dengan sampel sebanyak 62responden yang diambil secara kuota sampling. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner dan lembar pengamatan, dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji Uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara dukungan mucikari dengan kunjungan VCT (α=0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan mucikari dengan kunjungan VCT pada WPS (p=0,0001). Pengurus resosialisasi harus member sanksi kepada mucikari atau orang tua asuh yang anak didiknya tidak melakukan kunjungan VCT. Kata Kunci: Dukungan Mucikari, Kunjungan VCT, WPS
1.
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang mengalami epidemi HIV dan AIDS dengan prevalensi yang meningkat tajam dan belum menunjukkan penurunan meskipun upaya penanggulangan HIV dan AIDS telah dilaksanakan oleh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan swasta serta pemerintah (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2007). Menurut Ditjen PP & PL Kemenkes RI, secara kumulatif kasus HIV & AIDS di Indonesia hingga 31 Desember 2013, terdiri dari 127.416 (HIV) dan 52.348 (AIDS). Sedangkan Jawa Tengah menempati urutan pertama pada sepuluh provinsi yang melaporkan jumlah AIDS terbanyak hingga bulan Maret 2013 (Kemenkes RI, 2013).
Terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, dalam kehidupan sehari-hari WPS terdapat beberapa pihak yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS. Figur yang mempunyai pengaruh cukup kuat dalam perilaku WPS adalah mucikari. Dalam industri seks terdapat struktur hirarki tersendiri. Mucikari adalah seseorang yang bertanggung jawab secara langsung untuk menyediakan fasilitas yang mempermudah WPS untuk menjajakan diri, dan menjadi peran yang sangat penting dalam industri seks. Mucikari di lokalisasi menyediakan kamar dan akomodasi lain untuk pelayanan seksual pada klien. Mucikari merupakan orang yang sebagian pendapatannya bergantung dari WPS dan sebagai timbal baliknya memberikan pelayanan kepada
Prosiding|161
WPS dalam bentuk perlindungan dan kontak dengan pelanggan (Widiyanto, 2008). VCT merupakan salah satu program penanggulangan HIV/AIDS yang semakin meningkat. Tercatat pada tahun 2010 di Indonesia sebanyak 388 layanan VCT tersedia, meningkat hingga tahun 2012 sebesar 500 layanan. Bahkan dengan bantuan berbagai LSM kini telah dibuka klinik VCT mobile yang mendatangi tempat resosialisasi. Sebagai salah satu populasi berisiko tinggi, WPS merupakan pengunjung klinik VCT dengan persentase terbanyak (Komisi Penanggulangan AIDS, 2011). WPS merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi dan merupakan pengunjung klinik VCT dengan presentase terbanyak. Berbagai faktor yang mempengaruhi WPS untuk menjalani VCT secara periodik, baik yang berasal dari dalam diri WPS sendiri seperti pengetahuan, keyakinan dan nilai tentang VCT maupun dari luar seperti pengaruh dari orang-orang yang setiap hari ditemui seperti mucikari ataupun petugas kesehatan. Praktik pelayanan dan ketersediaan sumber daya dalam klinik. Berdasarkan data hasil studi pendahuluan, beberapa tempat Resosialisasi yang berada di Kabupaten Semarang yang memiliki kunjungan VCT pada tahun 2013 terendah adalah Resosialisasi Tegalrejo Bergas. Pada tahun 2013 VCT yang sudah dilakukan selama tiga kali mengalami penurunan. Dengan demikian peneliti akan melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan dukungan mucikari dengan kunjungan VCT pada WPS di Resosialisasi Tegalrejo Bergas, Kabupaten Semarang. 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui hubungan antara dukungan mucikari dengan kunjungan VCT (Voluntary Counceling Testing) pada WPS (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh WPS yang terdaftar di Resosialisasi Tegalrejo, Bergas sampai dengan bulan Maret 2014 yaitu sebanyak 162 WPS. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode non randon 162 | Prosiding
sampling dengan teknik kuota sampling dengan jumlah sampel 62. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti dan telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Sedangkan data sekunder digunakan untuk melengkapi data primer, adapun data sekunder yang diambil berasal dari ketua paguyuban setempat antara lain kunjungan VCT, nama serta lama bekerja para WPS. Analisis data penelitian ini dilakukan dengan cara analisis univariat dan bivariat. Pada analisis bivariat dilakukan menggunakan uji statistic Chi Square (Sugiyono, 2013). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi frekuensi dukungan mucikari pada WPS di Resosialisasi Tegalrejo Bergas, Kabupaten Semarang Dukungan Mendukung
Jumlah 42
Persentase (%) 67,7
Tidak Mendukung
20
32,3
Jumlah
62
100,0
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 62 WPS sebagian besar mendapatkan dukungan mucikari yaitu 42 WPS (67,7%). Dukungan yang biasa diberikan mucikari pada WPS berupa dukungan informasional serta emosional. Dukungan informasional dapat berupa pemberian informasi tentang pelaksanaan VCT. Biasanya dapat berupa tanggal pelaksanaan VCT, tempat pelaksanaanVCT, dll. Sedangkan untuk dukungan emosional misal dengan cara mengantar WPS ke tempat VCT, menunggu WPS saat melakukan kunjungan VCT, dll. Sedangkan untuk WPS yang tidak mendapatkan dukungan mucikari yaitu 20 WPS (32,3%). Menurut informasi yang didapatkan beberapa mucikari kurang memberikan dukungan pada WPS dalam melakukan kunjungan VCT karena mereka hanya mementingkan uang setoran dari WPS tanpa memperhatikan kesehatan para WPS. Selain itu para mucikari banyak yang mempunyai kesibukan sendiri, sehingga tidak
mempunyai cukup waktu dalam mengontrol kunjungan VCT para WPSnya. Tabel 2. Distribusi frekuensi kunjungan VCT pada WPS di Resosialisasi Tegalrejo Bergas, Kabupaten Semarang Kunjungan
Jumlah
Rutin
42
Persentase (%) 67,7
Tidak Rutin
20
32,3
Jumlah
62
100,0
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari 62 WPS sebagian besar rutin dalam melakukan kunjungan yaitu 42 WPS (67,7%), sedangkan WPS yang tidak rutin dalam melakukan
kunjungan yaitu 20 WPS (32,3%). Hampir semua WPS melakukan kunjungan VCT, namun yang membedakan adalah rutin atau tidaknya mereka melakukan kunjungan VCT tersebut. Ada diantara mereka yang melakukan kunjungan VCT dalam sekali, dua kali ataupun tiga kali dalam satu tahun baik secara berturut-turut ataupun tidak. Sebagai kelompok resiko tinggi WPS harus melakukan VCT secara rutin untuk menghindari terjadinya penularan HIV. Dalam konseling post tes untuk hasil tes negatif, konselor diminta menyarankan kepada klien yang mempunyai perilaku beresiko untuk kembali melakukan VCT sesudah 3 bulan, karena WPS mungkin sekarang sedang berada dalam periode jendela, dimana telah terjadi penularan HIV tetapi belum dapat dideteksi melalui tes HIV (KPA, 2008)
Tabel 3. Hubungan Dukungan Mucikari dengan Kunjungan ke VCT Resosialisasi Tegalrejo Bergas, Kabupaten Semarang. Kunjungan Dukungan
Total
Mendukung
Rutin f % 35 63,3
Tidak Rutin f % 7 16,7
f 42
% 100,0
Tidak Mendukung
7
35,0
13
65,0
20
100,0
Total
42
67,7
20
32,3
62
100,0
Dapat disimpulkan bahwa dari 42 WPS yang melakukan kunjungan VCT secara rutin dengan mendapatkan dukungan dari mucikari yaitu sebanyak 35 WPS (63,3%) lebih banyak daripada yang tidak mendapatkan dukungan dari mucikari sebanyak 7 WPS (35,0%). Sedangkan dari 20 WPS yang melakukankunjungan VCT tidak rutin yang mendapat dukungan dari mucikari hanya 7 WPS (16,7%) lebih sedikit daripada yang tidak mendapatkan dukungan dari mucikari yaitu sebesar 13 WPS (32,3%). Dari hasil analisis data dengan menggunakan Uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95%, didapatkan p-value adalah 0,0001. Oleh karena pvalue < α (0,05) maka Ho ditolak, serta dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan mucikari dengan kunjungan VCT pada WPS di Resosialisasi Tegalrejo Bergas, Kabupaten Semarang.
p-value
0,0001
Pada WPS selain teman-teman seprofesi yang dianggap paling dekat dengan mereka adalah para orang tua asuh atau mucikari mereka. Dimana dalam kehidupan mereka mucikari adalah orang yang berperan penting. Jadwal, pekerjaan semua ada ditangan orang tua asuh mereka. Sehingga kunjungan VCT para WPS sangat dipengaruhi para mucikari. Biasanya dari ketua paguyuban selalu memberikan undangan VCT kepada para orang tua asuh. Kemudian orang tua asuh yang menyampaikan kepada para WPSnya. Berdasarkan L. Green (Notoatmodjo, 2010) sebuah dukungan merupakan contoh faktor reinforcing sangat berpengaruh dalam suatu perilaku, dimana dukungan mucikari yang merupakan orang tua asuhdari para WPS sangat berpengaruh dalam perilaku kunjungan VCT secara rutin.
Prosiding|163
4.
SIMPULAN DAN SARAN Sebanyak 67,7% mendapatkan dukungan dari mucikari, serta 67,7% WPS melakukan kunjungan VCT secara rutin. Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan mucikari dengan kunjungan VCT pada WPS di Resosialisasi Tegalrejo Bergas Kabupaten Semarang. Bagi peneliti lain yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini bisa melakukan metode yang berbeda seperti pengembangan instrumen yang lebih baik lagi dan melihat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kunjungan VCT. 5.
REFERENSI
Kemenkes RI. 2013.Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia.Jakarta
164 | Prosiding
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2007. Strategi nasional penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010. Jakarta Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). 2011. Rangkuman Eksekutif Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2006-2011.Jakarta Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Widiyanto, Gunawan. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Wanita Pekerja Seks (WPS) Dalam VCT Ulang Di Lokalisasi SunanKuning, Semarang. Tesis. Semarang: Undip Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung : Alfabeta
GAMBARAN PERILAKU KEKERASAN DALAM PACARAN PADA MAHASISWA DI UNGARAN Ita Puji Lestari1), Sri Wahyuni2) 1) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Email :
[email protected] 2) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ngudi Waluyo Email :
[email protected]
Abstrak Kekerasan dalam pacaran (KDP) atau istilah lainnya Dating Violence didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis. Kekerasan dalam pacaran dapat membawa dampak negatif pada korbannya. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan fenomenologi. Populasi dalam penelitian ini mahasiswa yang mempunyai pacar dan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran. Pemilihan informan secara purposive sampling yaitu 6 orang informan yang terdiri dari 2 mahasiswa laki-laki dan 4 mahasiswa perempuan. Instrumen yang digunakan adalah panduan wawancara mendalam dan lembar observasi dan dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pacaran pada usia sekolah atau kuliah banyak menimbulkan masalah, situasi tersebut juga dipengaruhi oleh pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak sesuai. Faktor pemicu pertengkaran dalam pacaran adalah kesalah fahaman, kecemburuan,kecurigaan,dan keegoisan pasangan. Kekerasan yang terjadi dalam pacaran pada mahasiswa dikategorikan dalam hal yang tidak wajar, karena sampai pada kekerasan fisik, sepertimelakukan tamparan dan pukulan. Pemberian edukasi kepada mahasiswa tentang bahaya dan dampak kekerasaan dalam perlu dilakukan, dan peran dosen dalam pendampingan untuk memotivasi mahasiswa perlu dioptimalkan. Mahasiswa diharapkan dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pasangan dan lebih memiliki ketegasan dalam suatu hubungan, berani menolak dan melapor kejadian yang dialami ke lembaga yang menangani kekerasan perempuan.
Kata Kunci: perilaku kekerasan, pacaran, mahasiswa
1. PENDAHULUAN Kekerasan dalam berpacaran tergolong dalam suatu bentuk perilaku menyimpang remaja yang kasusnya biasa terjadi di lingkungan sekitar namun terkadang tidak disadari baik itu oleh korban atau bahkan oleh pelakunya sendiri. Kekerasan dalam pacaran dapat membawa dampak negatif pada korbannya. Berdasarkan perspektif kekerasan perilaku tindak kekerasan merupakan perilaku yang bermaksud menyakiti makhluk hidup lain secara fisik dan verbal sehingga merugikan orang lain Di Indonesia jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2014 sebesar 293.220, sedangkan di Jawa Tengah kasus kekerasan terhadap perempuan berjumlah 448 perempuan mengalami kekerasan seksual, 94 perempuan mengalami kekerasan psikologis dan 90
perempuan mengalami kekerasan fisik.Kasus kekerasan dalam berpacaran berjumlah 385 kasus dengan kasus kekerasan tertinggi yaitu pemukulan sebesar 200 kasus (51,9%) (Komnas Perempuan, 2002). Fenomena berpacaran sudah sangat umum teerjadi dalam masyarakat. Pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia (Hadi, 2010). Pacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya dan belajar membina hubungan sebagai persiapan sebelum menikah, untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan permasalahan pada saat sudah menikah (Basyarudin, 2010). Menurut Cate dan Llyod (dalam Dinastuti, 2008), pacaran atau courtship adalah semua hal yang meliputi hubungan berpacaran (dating relationship) baik yang mengarah ke perkawinan maupun yang putus sebelum perkawinan terjadi. Prosiding |165
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa kekerasan dalam berpacaran adalah semua perilaku yang bermaksud menyakiti pasangan dalam sebuah hubungan secara fisik dan verba sehingga merugikan orang lain. Kekerasan dalam pacaran mengalami berbagai macam distorsi dengan pemahaman tentang hal-hal yang terjadi selama berpacaran. Sering didengar pengakuan bahwa cemburu adalahbagian dari cinta, padahal sering kejadian kekerasan dimulai dari alasan ini.Pasangan menjadikan perasaan cemburu untuk mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal-hal yang possessivedan tindakan mengontrol dan membatasi. Kekerasan dalam berpacaran yang umum terjadi adalah kekerasan seksual dimana korban dipaksa mulai dari melakukan ciuman sampai dengan intercourse atau berhubungan seksual (Fathul,2007). Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) atau dating violence adalah suatu tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Arya, 2010). Kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak baik fisik maupun psikis. Dampak fisik bisa berupa memar, patah tulang, dan sebagainya. Sedangkan luka psikis bisa berupa sakit hati, harga diri yang terluka, terhina, dan munculnya perasaan bersalah pada diri korban atas terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, munculnya perasaan tertekan yang lebih dalam pada korban yang melakukan hubungan seksual dengan pacarnya (Setyawati,2010). Sekitar 40-50% dari perempuan yang menjadi korban kekerasan, terutama kekerasan fisik, terus melanjutkan hubungan pacaran mereka dengan pasangan yang telah menyiksanya. Hal ini memberi kesan bahwa kekerasan dalam pacaran cenderung dianggap sebagai hal yang wajar diterima sebagai risiko berpacaran sekaligus juga menyebabkan korban umumnya tetap bertahan dalam hubungan pacaran dengan kekerasan, padahal tanpa korban sadari kekerasan tersebut dapat menjadi sebuah siklus yang berkelanjutan dan dapat berdampak buruk 166 | Prosiding
bagi korban kekerasan sehingga dapat merusak masa depannya. Apabila perilaku ini diteruskan hingga jenjang pernikahan, dapat dipastikan perilaku kekerasan yangdialami ketika pacaran akan terus terulang setelah menikah (kekerasan dalam rumah tangga) dan dapat mengakibatkan trauma akustik bagi korban kekerasan. Efek dari kekerasan emosional pada dasarnya sama bagi korban perempuan maupun laki-laki. Namun, karena perempuan dibesarkan dalam masyarakat yang menuntut perempuan untuk menjadi pribadi yang pasif, lemah, dan tidak berdaya maka saat mereka menjadi korban, masyarakat lebih mudah menunjukkan simpati.Namun bukan berarti bahwa perempuan lebih mudah dalam menghadapi kekerasan emosional dibandingkan laki-laki. Sebaliknya, penerimaan masyarakat terhadap peran perempuan sebagai korban malah menjadi pembenaran terjadinya kekerasan emosional dan menghalangi pemulihannya (Loring, 1994). 2.
METODE PENELITIA
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain penelitian studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari deskripsian objek penelitian terhadap fenomenologis tentang gambaran kejadian kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa di wilayah Ungaran Kabupaten Semarang dengan penentuan partpan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (in depth interview), serta studi pengumpulan dokumentasi penelitian ini berupa berupa jumlah data mahasiswa tahun 2016, data lainnya adalah catatan atau rekaman wawancara dengan para partisipan dan foto-foto saat peneliti melakukan wawancara dengan informan. Sedangkan teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan beberapa tahapan yaitu mulai dari pengumpulan data mentah, transkrip data, pembuatan koding, kategorisasi data, penyimpulan sementara, triangulasi dan penyimpulan akhir. Untuk teknik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber data.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran karakteristik informan dalam penelitian ini adalah berusia 18 sampai 20 tahun yang terdiri dari dua orang laki-laki dan empat orang perempuan (Tabel 1) Tabel 1. Karakteristik Informan Informan A1 A2 A3 A4 A5 A6
Umur (tahun) 18 19 18 21 19 20
Jenis kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan
Pekerjaan Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
Informan yang diambil dalam penelitian ini adalah perempuan, karena perempuan lebih banyak mengalami kekerasan dari pada laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki lebih dominan melakukan tindakan kekerasan, sementara perempuan dianggap lemah, penurut, dan pasif. Perempuan cenderung menerima tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Usia remaja akhir, merupakan tahap menuju dewasa yang ditandai dengan egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang dan mencari pengalaman-pengalaman baru, terdapat ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi. Fenomena Perilaku Pertengkaran Dalam Pacaran Pada Siswa Berdasarkan hasil wawancara pada keenam informan tersebut didapatkan bahwa keenamnya mengalami kekerasan dalam pacaran baik secara fisik maupun psikologi. Namun, pasangan dari masing-masing keenam informan tidak menyadari bahwa diri mereka mengalami kekerasan dalam pacaran. Kekerasan dalam pacaran mereka disebabkan karena adanya pertengkaran oleh kecemburuan dari sosial media seperti facebook (banyak cewek dalam dunia maya). Ada pula yang tidak bisa menuruti keinginannya kemudian memicu adanya pertengkaran dan muncul katakata yang kasar.
Kekerasan dalam pacaran tersebut dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri, orang lain maupun lingkungan. Seperti halnya banyaknya kaum hawa yang tidak memahami bentuk-bentuk kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh laki-laki. Apalagi pada usia yang masih muda dan pada keadaan ekonomi yang rendah, pacaran dapat menurunkan prestasi belajar dan cenderung suka melawan orang tua. Pada situasi dan kondisi keluarga terdekat yang dahulunya seseorang tersebut pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak akan berdampak pada tingkah lakunya pada masa sekarang. Sehingga, dapat memicu adanya kekerasan dalam pacaran. Situasi tersebut juga dipengaruhi oleh pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan seperti halnya dapat dilihat dari segi cara orang tua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah serta hukuman maupun tanggapan terhadap keinginan anak. Hal itu dapat memberikan dampak pada seseorang untuk bertindak kekerasan terhadap orang lain. Karena dia cenderung untuk membalas apa yang dia rasakan sebelumnya tetapi kepada sasaran yang tidak semestinya. Pertengkaran dalam pacaran adalah ucapan maupun tingkah laku yang tidak layak terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan yang mencakup kekerasan fisik, psikologi dan ekonomi. Pelaku yang melakukan kekerasan ini meliputi semua kekerasan yang dilakukan di luar hubungan pernikahan yang sah. a. Informan A1 berusia 18 tahun, kedua orang tuanya berpisah sejak usianya 10 tahun, dan kini tinggal dengan neneknya. Pacaran sudah selama 6 bulan dan dimulai dari sosial media facebook, selama pacaran informan mengaku bahwa 3 bulan pertama komunikasi berjalan lancar dan semua sama-sama merasa nyaman. Berikut pernyataan informan tentang pertengkaran dalam pacaran yang dialami: “ kalo tengkar pernah, kalo dulu sih dulu jarang mbak tapi setelah itu kok lama-lama jadi bedagitu rasanya, terus aku sama dia itu sering padu, dasar dia nya yang sensian sih, padahal aku mah biasa aja”
Prosiding |167
b.
c.
Informan A2 adalah anak dari orang tua yang bekerja sebagai seorang pengusaha, setiap hari informan selalu diberikan fasilitas yang terbaik dari kedua orang tuanya. Pacaran sudah terjalin selama satu tahun, keduanya sering bertemu karena satu sekolah. Berikut pernyataan informan tentang pertengkaran dalam pacaran yang dialami: “ aaaaah, kalo bertengkar sering kali mbak, soalnya dia kalo diajak ngomong suka gak mudeng sih, jadinya kan aku kesel” Informan A3, adalah seorang yang hanya tinggal dengan ibunya, karena sudah dari balita ayahnya meninggal, ibunya bekerja sebagai pegawai pemerintahan, dan informan merupakan anak tunggal. Berikut pernyataan informan tentang pertengkaran dalam pacaran yang dialami: “aku pernah adu mulut sama dia, karena aku ngrasa kalo aku tuh gak salah tapi diana ngeyel aku yang salah,itu sering mbak kaya gitu, jadi aku sama dia sering banget tengkar”
d.
Informan A4 adalah seorang anak yang rajin ke gereja anak pertama dari tiga bersaudara ayah bekerja di luar kota ibu bekerja sebagai karyawan swasta pacaran dua kali, pacar pertama selama satu tahun. Berikut pernyataan informan: ”bertengkar..pernah mbak ...hehe... tapi karena udah keseringan tengkar aku jadi bosen sama dia, pernah mau tak putus dianya gak mau, yaudah”
e.
Informan A5 adalah anak yang hanya tinggal bersama bibinya, karena orang tuanya sudah merantau ke luar negeri sebagai tenaga kerja asing. Pacaran sudah dari kelas satu hingga sekarang. Berikut pernyataan informan: “ wah nek gelut sama pacar setiap hari mbak, ga ada hari tanpa gelut mbek deknen ki... mbuh mbak,dia ki banyak nyebelin nya og”
f.
Informan A6 usianya 18 tahun, tinggal bersama orang tua yang bekerja sebagai buruh pabrik. Pacaran baru sebulan dan sering gantiganti pacar. Berikut pernyataan informan: “ iyo mbak, pernah... sekali tok”
168 | Prosiding
Dapat diketahui bahwa semua informan pernah mengalami pertengkaran di dalam menjalani hubungan (pacaran). Salah satu pemicu melambungnya angka kekerasan dalam pacaran adalah banyaknya kaum hawa yang tidak memahami bentuk-bentuk kekerasan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh laki-laki. Karenanya, seringkali mereka tidak menyadari telah menjadi korban kekerasan sang kekasih. Berikut hasil yang diperoleh: a. Informan A1 : “Mungkin cemburu, orang ketiga atau apa ya masalah kecil dibesarbesarin” b. Informan A2 : “Karena keegoisan dia, Yyaaa, menangan dewe terus dia suka emosi.” c. Informan A3 : “Sebabe salah faham, Kadang sms sama cewek lain, terus banyak og mbak ya kadang gak ada kabar.” d. Informan A4 : “Ya kayak gitu mba, Awalnya cuma guyon, ujung-ujunge cekcok berlebihan. Habis itu ngambek 3 hari.” e. Informan A5 : “Emmmmmbbb dia terlalu posesif dan cemburuan.” f. Informan A6 : “Itu og mbak dia sukanya egois gak pernah ngertiin aku. Maunya menang sendiri, aku serba salah. Wes kuliahe abot kon ngertiin kae terus” (ekspresi wajah sebel). Dapat diketahui, bahwa pemicu dari terjadinya pertengkaran dalam pacaran pada mahasiswa adalah kecemburuan, salah faham dan keegoisan dari salah satu pasangan. Pada dasarnya mereka mungkin belum cukup umur untuk melangkah kedalam hubungan yang dinamakan pacaran serta adanya pengaruh dari teman sebaya maupun lingkungan yang dapat memicu terjadinya pertengkaran dalam pacaran. Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh mahasiswa adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual,kekerasan ekonomi,dan kekerasan spiritual. Berikut pernyataan informan: a. informan A1 : “Mungkin hanya omongannya yang kasar, “ b. informan A2 : “Pernah, ditampar, pernah dipukul sampai tangan saya jarem” c. informan A3 : “Ya biasa to mbak, paling cakar-cakaran”
d. informan A4 : “Kata-katanya kasar, yo biasalah mas wong wedok isone koyok ngono. Sukanya menuntut, gak mau berkaca pada diri sendiri. Aku pernah ditampar pipiku.” e. Informan A5 : “Saya pernah dipukul pantat saya sampai jarem. Awale cuma dijenggung tapi saya cuma bisanya diem (mata berkacakaca).” f. Informan A6 : “Pertamane adu mulut, soyo suwi mas.e mukul pas pipiku. Narik-narik tanganku, gantian tak lawan. Tapi jenenge cewek yo kalah.” Kekerasan fisik meliputi memukul, menampar, menendang, melukai dengan tangan kosong, dan semua tindakan yang dapat menyebabkan melukai tubuh korban sampai pembunuhan. Kekerasan psikologis ini sering tidak disadari dan diangap sebagai hal yang wajar dalam menjalani hubungan, kekerasan ini meliputi rasa memiliki yang tinggi terhadap pasangannya,cemburu berlebihan, memberi batasan dalam kehidupan pasangan secara berlebihan, membentak, mengancam, menyalahkan pasangan dan tindakan yang menyebabkan rasa takut pada orang lain. Kekerasan seksual adalah tindakan pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual antara lain sentuhan yang tidak diinginkan sampai ke pemerkosaan. Kekerasan ekonomi juga terjadi pada korban yaitu mengendalikan tindakan korban dengan mengatur pengeluaran korban, memaksa pasangan untuk memenuhi kebutuhannya seharihari baik kebutuhan primer, sekunder, tersier. Kekerasan spiritual yang terjadi antara lain memaksa pasangan untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya dan memkasa mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu, jika tidak menurut akan ditinggalkan. Faktor penyebab kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh mahasiswa adalah antara lain faktor internal dan eksternal. Pada faktor internal dapat disebut juga faktor individu, dimana faktor ini dapat dari pengalaman pola asuh dalam keluarga, masa lalunya, si pelaku pernah menjadi korban kekerasan atau terbiasa dengan tindak kekerasan di masa kecilnya. Yang kedua dalahfaktor eksternal yang didapatkan dari faktor lingkungan, faktor yang sangat berpengaruh adalah pengaruh teman sebaya.
Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, berdasarkan informasi dari sumber informan B1 mengatakan bahwa A1 mengalami pertengkaran dalam pacaran dikarenakan adanya salah paham (pihak ketiga), dari sumber informan B1 mengatakan bahwa A2 mengalami pertengkaran dalam pacaran dikarenakan si cowok sering facebook-an dengan cewek-cewek lain sehingga A2 merasa cemburu dan terjadilah pertengkaran, dari sumber informan B3 mengatakan bahwa A3 mengalami pertengkaran dikarenakan tidak ada kabar dari si cewek sehingga terjadi pertengkaran, dari sumber informan B4 mengatakan bahwa A4 mengalami pertengkaran dikarenakan bercandaan yang terlewat batas, dari sumber informan B5 mengatakan bahwa A5 mengalami pertengkaran dikarenakan kecemburuan, dan dari sumber informan B6 mengatakan bahwa A6 mengalami pertengkaran dikarenakan keegoisan pasangan. Dampak yang paling umum adalah dampak psikologis, dimana seseorang yang pernah melakukan kekerasan merasa bersalah, sedih, berdosa. Korban berkecenderungan memiliki rasa percaya diri yang rendah, merasa kurang berharga, kerap menyalahkan diri sendiri, mudah marah hingga kerap merasa khawatir. Korban yang mengalami kekerasan dalam pacaran juga bisa menunjukan ketidakefektifan berkomunikasi dan sulit menyelesaikan permasalahan yang nanti dialaminya. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah seorang pelaku kekerasan dilaporkan ke pihak yangberwajib oleh korban atau keluarga korban yang tidak terima atas perlakuan pelaku kekerasan. Dalam penelitian ini, dampak yang tampak adalah dampak psikologis. Dampak psikis kekerasan emosional menurut antara lain: rasa cemas dan takut yang berlebihan. Kecemasan tersebut akan menghambat perempuan untuk mencari bantuan dan menyelesaikan masalahnya. Selain itu rasa percaya diri yang rendah dapat timbul karena perlakuan pasangan yang membuatnya merasa bodoh, tidak berguna dan merepotkan, dampak psikis lain adalah labilnya emosi (Engel, 2002).
Prosiding |169
4.
KESIMPULAN
Pertengkaran dalam pacaran sering terjadi atau hampir setiap hari terjadi pertengkaran, hal ini sangat mudah memicu tindakan yang tidak diinginkan. Faktor yang memicu adanya pertengkaran dalam pacaran adalah A1 disebabkan karena kesalah fahaman, A2 disebabkan karena kecemburuan, A3 disebabkan karena kesalah fahaman, A4 disebabkan karena kecurigaan, A5 disebabkan karena kecemburuan, A6 disebabkan karena keegoisan pasangan. Kekerasan dalam pacaran sering terjadi pada kalangan mahasiswa, seperti halnya perkataan/omongan kasar pada A1, penamparan dan pemukulan pada A2, cakar cakaran pada A3, perkataan/omongan kasar dan penamparan pada A4, pemukulan pada A5, pemukulan pada A6. Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang dilakukan oleh mahasiswa adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan kekerasan spiritual. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam pacaran adalah faktor individu dan faktor lingkungan. Melihat dari usia informan sangat mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam pacaran, karena pada usia tersebut seseorang masih belum dapat dikatakan stabil untuk melakukan tindakan, dan masih berorientasi pada keinginan pribadi. Dampak yang tampak adalah dampak psikologis seperti rasa malu, takut, dan menyesal.
170 | Prosiding
5. REFERENSI Arya. 2010. Kekerasan Dalam Pacaran.Artikel.http://belajarpsikologi.com . Diakses tanggal 10 Oktober 2015. Basyarudin, A. 2010. Pacaran di Kalangan Remaja. Artikel. http://dc378.4shared.com.Diakses tanggal 20 Januari 2016. Dinastuti. 2008. Gambaran Emotional Abuse dalam Hubungan Berpacaran pada Empat Orang Dewasa Muda. Jurnal Manasa, Volume 2, Nomor 1. Engel, B. 2002. The Emotionally Abusive Relationship: A Breakthrough Program to Overcome Unhealthy Patterns. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Fathul D.R., Nuraisah M.S. dan Chuzaimah B.2007. Kekerasan Terhadap Istri. Cetakan II.Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara. Hadi. 2010. Pengertian Pacaran. Artikel.http://muda.kompasiana.com. Diakses tanggal 10 Januari 2016. Komnas Perempuan. 2002. Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia. ublikasi Komnas Perempuan. Jakarta. Loring, M.T. 1994. Emotional Abuse: The Trauma and the Treatment. San Fransisco: JosseyBass Inc. Setyawati, K. 2010. Studi Eksploratif Mengenai Faktor-Faktor Penyebab dan Dampak Sosial Kekerasan Dalam Pacaran (Dating Violence) di Kalangan Mahasiswa. Skripsi. Surakarta. Fisip Universitas Sebelas Maret.
PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN PREMARITAL SEKS BERDASARKAN LAYANAN PIK-KRR PADA SISWA SMK SWASTA Sigit Ambar Widyawati, Ita Puji Lestari1 Najib2) Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ngudi Waluyo, 2BKKBN Provinsi Jawa Tengah email:
[email protected] email:
[email protected] email:
[email protected]
1
Abstract Kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya. Perilaku berhubungan seksual sebelum menikah (premarital sex) yang semakin permisif di kalangan remaja mendorong peningkatan kejadian kehamilan tidak diinginkan (KTD). Perencanaan kehidupan berkeluarga adalah suatu program untuk memfasilitasi terwujudnya tegar remaja. Salah satu program KRR yang mengembangkan strategi diatas adalah PIK-KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja). Penelitian ini bertujuan mengukur perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR pada siswa SMK Swasta di Kabupaten Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif dengan pendekatan cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan berdasarkan layanan PIK-KRR, meliputi : Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,00001)< (0,05), Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR,p value (0,419) > (0,05), Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang dampak premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (1,000) > (0,05), Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang pencegahan premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,005) < (0,05). Disarankan hendaknya memfasilitasi layanan PIK-KRR pada semua sekolah, dikarenakan masih banyak remaja yang belum paham mengenai pengetahuan premarital seks, dampak premarital seks dan pencegahan premarital seks.
Keywords: Kesehatan Reproduksi, Premarital Seks, SMK Swasta, PIK-KRR
1. PENDAHULUAN Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya. Pada tahun 2010 jumlah remaja umur 10-24 tahun sangat besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah Penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk, 2010). Melihat jumlahnya yang sangat besar, maka remaja sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan menjadi manusia yang sehat secara jasmani, rohani, mental
dan spiritual.Faktanya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja. Masalah yang menonjol dikalangan remaja yaitu permasalahan seputar TRIAD Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) (kususnya dalam aspek Seksualitas, HIV dan AIDS serta Napza), rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja dan median usia kawin pertama perempuan relatif masih rendah yaitu 19,8 tahun (SDKI 2007).
Prosiding | 171
PILAR PKBI Jawa Tengah, sebagai pusat studi, rujukan, dan training center kesehatan reproduksi remaja, pernah melakukan studi tentang perilaku seksual remaja di tahun 2002 dan 2006. Pada tahun 2002, sebanyak 1000 responden remaja ada 97 orang (9,7%) yang telah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Kemudian pada tahun 2006, dari 500 responden, sebanyak 51 orang (10,2%) telah berhubungan seksual sebelum menikah. Sedangkan menurut data info kasus PILAR PKBI Jawa Tengah terhadap remaja usia 10-24 tahun dari Januari 2002-Desember 2007, permintaan konseling terbanyak di klinik kesehatan reproduksi remaja adalah mengenai kasus hubungan seksual pra nikah, yaitu sebanyak 651 kasus (Suharyo, 2008). Perilaku berhubungan seksual sebelum menikah (premarital sex) yang semakin permisif di kalangan remaja mendorong peningkatan kejadian kehamilan tidak diinginkan (KTD). Hal ini menunjukkan satu ironi bahwa ditengah kemudahan akses informasi, ditengah membaiknya tingkat pendidikan generasi muda dan meningkatnya kesejahteraan penduduk, jumlah remaja yang memilih menikah dini dan memutuskan melahirkan anak pada usia muda justru meningkat (BKKBN, 2012). Untuk merespon permasalahan tersebut, Badan Kependudukan Keluarga Berencana (BKKBN) telah melaksanakan dan mengembangkan program Kesehatan Reproduksi Remaja melalui program perencanaan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR). Perencanaan kehidupan berkeluarga adalah suatu program untuk memfasilitasi terwujudnya tegar remaja. Salah satu program KRR yang mengembangkan strategi diatas adalah PIK-KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja). 2. METODE PENELITIAN Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi dan premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR Pada siswa SMK Swasta Di Kabupaten Semarang, maka penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian
172 | Prosiding
kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan penelitian komparatif. Menurut Silalahi Ulber (2005) penelitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan dua gejala atau lebih. Penelitian komparatif dapat berupa komparatif deskriptif (descriptive comparatif) maupun komparatif korelasional (correlation comparatif). Komparatif deskriptif membandingkan variabel yang sama untuk sampel yang berbeda. Selanjutnya menurut Hasan (2002: 126-127) analisis komparasi atau perbandingan adalah prosedur statistik guna menguji perbedaan diantara dua kelompok data (variabel) atau lebih. Komparasi antara dua sampel yang saling lepas (independen) yaitu sampel-sampel tersebut satu sama lain terpisah secara tegas dimana anggota sampel yang satu tidak menjadi anggota sampel lainnya. Arikunto Suharsini (1998:236) mengatakan bahwa dalam penelitian komparasi dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, prosedur kerja, ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau prosedur kerja. Penelitian ini melakukan pengambilan sampel terpilih dari suatu populasi dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan cara purposive sampling pada 5 sekolah SMK Swasta di Kabupaten Semarang yaitu 1) SMK yang sudah memiliki pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIKKRR) dan sudah memiliki komitmen untuk melaksanakan program pendidikan kesehatan reproduksi dimana program tersebut sampai saat ini berjalan dengan baik yaitu SMK Tarunatama Getasan, 2) SMK yang belum memiliki pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR) terdiri dari SMK Teresiana Bandungan, SMK Islam Sudirman 1 Ambarawa, SMK SPP Kanisius Ambarawa, SMK Widya Praja Ungaran. Penentuan tersebut dengan dasar pertimbangan jika dilihat dari karakteristiknya, status sekolah tersebut memiliki akreditasi B dan
kondisi latar belakang siswanya hampir sama dimana sebagian besar berasal dari keluarga ekonomi menengah. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK Swasta di Kabupaten Semarang sebanyak 5 sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 286 siswa..
Karakteristik responden penelitian, layanan PIK-KRR dan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi seperti berikut: 1.
Distribusi responden
frekuensi
Karakteristik Kelompok usia (th) 14–16 (remaja awal) 17–20 (remaja akhir) Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tingkat Pendidikan Ortu Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Akademi/PT
karakteristik
Frekuensi (n=286)
%
172 114
60,1 39,9
99 187
34,6 65,4
19 163 56 44 4
6,6 57,0 19,6 15,4 1,4
Tabel 2. Distribusi frekuensi layanan PIK-KRR Variabel Layanan PIK-KRR Ya Tidak Partner diskusi tentang kesehatan reproduksi Teman Ayah Ibu Guru Pacar Akses sumber infor-masi kesehatan repro-duksi Mata pelajaran Guru Orang tua Teman Organisasi Media elektronik Media cetak Sumber informasi yang diinginkan Mata pelajaran
79 115 25 18 89 19
27,6 40,2 8,7 6,3 31,1 6,6
Tabel 3. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel
Guru Orang tua Teman Organisasi Media elektronik Media cetak
Frekuensi (n=286)
%
94 192
32,9 67,1
162 28 155 33 20
56,6 9,8 54,2 11,5 7,0
166 128 119 86 30 165 52
58,0 44,8 41,6 30,1 10,5 57,7 18,2
76
26,6
Tingkat Pengetahuan
Frekuensi % (n=286) Tingkat Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi Rendah 50 17,5 Sedang 157 54,9 Tinggi 79 27,6 Tingkat Pengetahuan tentang Premarital Seks Rendah 45 Sedang 74 Tinggi 167
15,7 25,9 58,4
Tingkat Pengetahuan
Frekuensi % (n=286) Tingkat Pengetahuan tentang Dampak Premarital Seks Rendah 238 83,2 Sedang 41 14,4 Tinggi 7 2,4 Tingkat Pengetahuan tentang Tencegahan Premarital Seks Rendah 9 Sedang 65 Tinggi 212
3,1 22,8 74,1
Menurut Notoatmojo (2007), umur merupakan lama hidup yang dihitung sejak dilahirkan. Semakin bertambah umur seseorang, semakin bertambah pula daya tangkapnya. Seseorang dengan umur semakin bertambah, akan semakin baik dalam menentukan pilihan karena sudah banyak menerima informasi dari lingkungan sekitar, teman, tetangga dan orang tua. Adapun mayoritas pendidikan orang tua yang tamat SD sebanyak 163 responden (57,0%). Peran PIK-KRR di lingkungan remaja sangatlah penting dalam membantu remaja untuk mendapatkan informasi dan pelayanan konseling yang benar tentang KRR. (Muadz, 2009). Program Kesehatan Reproduksi Remaja difokuskan pada empat sasaran utama yaitu: Peningkatan komitmen terhadap program KRR, Komunikasi perubahan perilaku remaja, Peningkatan kemitraan dan Prosiding | 173
kerjasama dalam program KRR dan Peningkatan memberikan nasihat yang tepat mengenai mencari pelayanan kesehatan akses dan kualitas pengelolaan dan pelayanan bagaimana reproduksi yang tepat bagi remaja. Oleh karena Pusat Informasi dan Konseling KRR (PIK-KRR). Menurut SKRRI (Survey Kesehatan itu, keluarga harus menjadi sumber informasi membimbing remaja mendapatkan Reproduksi Remaja Indonesia), 2002-2003 51% untuk remaja perempuan dan 47% remaja laki-laki pelayanan kesehatan yang aman (Anusornteerakul, mengaku mendapat pelajaran kesehatan reproduksi 2008). Mayoritas tingkat pengetahuan tentang pada saat sekolah di SLTP. Ini berarti peran sekolah dalam menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi pada kategori sedang kesehatan reproduksi belum optimal, akibatnya sebanyak 157 responden (54,9%), sedangkan kebutuhan remaja terhadap informasi kesehatan responden yang berpengetahuan rendah hanya 50 reproduksi remaja masih sangat kurang. Hal ini responden (27,6 %). Pengetahuan seseorang dikelompokkan secara karena informasi yang diterima dari teman sebaya yang masih sama-sama belum mengetahui secara bertahap mulai dari tahap yang paling sederhana benar dan banyak disalah artikan dan ke tahap yang paling lengkap. Dalam penelitian ini, pengetahuan responden masuk dalam tahap diselewengkan (Saroha Pinem, 2009). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa “tahu” yang diartikan bahwa responden memiliki responden lebih banyak memilih teman sebagai kemampuan untuk mengingat kembali suatu partner diskusi tentang kesehatan reproduksi. materi yang telah dipelajari sebelumnya. Teman sebaya merupakan kelompok yang Termasuk menginat kembali sesuatu yang spesifik anggota-anggotanya terikat oleh kesamaan minat, dari informasi yang diterima. Mayoritas tingkat pengetahuan tentang kepentingan dan tujuan tanpa mempersoalkan etnik, agama dan latar belakang sosial lainnya. premarital seks pada kategori tinggi sebanyak 167 Teman sebaya juga merupakan kelompok yang responden (58,4%), sedangkan responden yang para anggotanya memiliki kesadaran dan berpengetahuan rendah hanya 45 responden (15,7 kepercayaan yang satu sama lain dan kepercayaan %). Mayoritas tingkat pengetahuan tentang tersebut mengikat satu sama lain untuk dampak premarital seks pada kategori rendah bertanggung jawab (Nargis, 2004). Untuk akses sumber informasi kesehatan sebanyak 238 responden (83,2%), sedangkan reproduksi mayoritas berasal dari mata pelajaran responden yang berpengetahuan tinggi hanya 7 sebanyak 166 responden (58,0%) kemudian dari responden (2,4 %). Mayoritas tingkat pengetahuan tentang guru sebanyak 128 responden (44,8%). Pengetahuan remaja mengenai kesehatan pencegahan premarital seks pada kategori tinggi reproduksi merupakan perpaduan antara sebanyak 212 responden (74,1%), sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari mata pelajaran responden yang berpengetahuan rendah hanya 9 biologi disekolah dan pengetahuan local yang responden (3,1 %). bersumber dari interaksi sehari-hari dalam Tabel 4. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan kehidupan sosial (Saefuddin, 1999). tentang kesehatan reproduksi Sedangkan sumber informasi yang diinginkan berdasarkan layanan PIK-KRR mayoritas dari orangtua sebanyak 115 responden (40,2%). Hal ini sesuai dengan apa yang Tingkat Pengetahuan diungkapkan oleh PATH (2000) bahwa tentang Kesehatan pendidikan kesehatan reproduksi remaja idealnya Layanan Total p Reproduki diberikan oleh orang tua di rumah, namun banyak PIK-KRR Rendah Sedang Tinggi orang tua yang mengalami kesulitan dalam cara % % % menyampaikan kepada anak remajanya. Orang tua Tidak 22,9 54,7 22,4 67,1 0,00001 Ada 6,4 51,6 38,3 32,9 harus berusaha berkomunikasi yang terbuka 17,5 54,9 27,6 100,0 Total dengan anak-anak remaja untuk memahami masalah-masalah yang mereka hadapi dan 174 | Prosiding
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman yang telah dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang meliputi pengertian seks dan seksual pranikah pada remaja, macam-macam perilaku seks pranikah, dampak dari perilaku seks pranikah dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah. Beberapa hal yang dapat menggambarkan pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi yang masih salah antara lain sebanyak 89,2% tentang hormon yang dihasilkan oleh perempuan, sebanyak 83,2% tentang hormon yang dihasilkan oleh laki-laki, sebanyak 81,5% tentang tanda utama kehamilan dan sebanyak 64,3% tentang penyebab HIV/AIDS. Hasil temuan tersebut sangat mengkhawatirkan, karena pengetahuan yang salah tentang hormon, tanda utama kehamilan dan penyebab HIV/AIDS dapat mengakibatkan responden melakukan tindakantindakan yang beresiko. Hal ini dapat terjadi kemungkinan disebabkan karena informasi yang diterima responden belum benar terutama tentang perubahan hormon yang berperan terhadap munculnya dorongan seksual. Seiring dengan berkembangnya sistem reproduksi pada diri remaja menuju kematangan, hormon-hormon yang mulai berfungsi juga mempengaruhi dorongan seks pada remaja. Para remaja mulai merasakan adanya peningkatan dorongan seks dalam dirinya, misalnya munculnya ketertarikan kepada orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Karena remaja sudah mulai mengalami proses kematangan sistem reproduksi, maka seorang remajapun telah mampu menjalankan fungsi prokreasinya, atau dengan kata lain, seorang remaja telah memiliki kemampuan untuk menghasilkan keturunan. Meskipun begitu, bukan berarti remaja sudah mampu bereproduksi dengan aman secara fisik sebab usia reproduksi sehat dan aman bagi seorang wanita adalah 20-30 tahun. Kebanyakan wanita berumur kurang dari 20 tahun perkembangan fisik organ reproduksinya belum siap untuk memelihara hasil pembuahan dan perkembangan janin (Anas, 2010). Banyak remaja di Indonesia yang kurang memiliki pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi. Contoh sederhananya adalah remaja tidak mendapatkan pengetahuan yang mempersiapkan mereka memasuki masa pubertas sehingga mereka tidak siap memasuki periode menstruasi pertama bagi remaja putri dan periode mimpi basah bagi remaja putra. Bagi sebagian besar remaja, seksualitas tidak hanya tentang hubungan seksual, tapi juga tentang ketertarikan, status sosial atau reputasi, menemukan cinta dan intimasi, dan tentang hubungan itu sendiri. Sementara itu, tidak tersedia informasi yang cukup tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja membuat pengetahuan remaja akan seksualitas dan kesehatan reproduksi menjadi sangat rendah. Rendahnya pengetahuan remaja tentang struktur dan fungsi alat reproduksinya membuat remaja menjadi sangat mudah terpengaruh oleh informasi-informasi yang tidak benar dan justru membahayakan kesehatan reproduksi remaja itu sendiri. Rendahnya pengetahuan remaja tersebut juga berpengaruh terhadap perilaku remaja dalam memperlakukan organ reproduksinya. Akibatnya, remaja tidak mampu mengatasi masalah-masalah kesehatan reproduksi yang sering mereka alami seperti menstruasi yang tidak teratur dan terasa sakit, mimpi basah, dorongan seksual yang tinggi dan hubungan seks pra nikah untuk memenuhi dorongan seksual tersebut, dan cara-cara menghindari penyakit menular seksual (IPPF, 2006). Dari uji statistik Chi Square diperoleh p value (0,00001) < (0,05) maka ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR. Tabel 5. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR Layanan PIK-KRR Tidak Ada Total
Tingkat Pengetahuan tentang Premarital Seks Total p Rendah Sedang Tinggi % % % 17,7 25,5 56,8 67,1 0,419 11,7 26,6 61,7 32,9 15,7 25,9 58,4 100,0
Pengetahuan tentang premarital seks dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman Prosiding | 175
yang telah dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan dengan premarital seks yang meliputi pengertian keperawanan, pengertian premarital seks, penyebab remaja melakukan hubungan seksual dan faktor yang mempengaruhi perilaku seksual beresiko pada remaja. Dalam benak orang, perilaku seks sering disamakan dengan hubungan seks. Padahal kedua hal tersebut memiliki cakupan yang berbeda. Menurut Sarwono, bentuk perilaku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Penyaluran dengan orang lain terkadang dilakukan karena banyak dari remaja yang tidak dapat menahan dorongan seksualnya sehingga mereka melakukan hubungan seks pranikah (Sarwono, 2004). Beberapa hal yang dapat menggambarkan pengetahuan responden tentang premarital seks yang masih salah antara lain sebanyak 58,0% tentang pengetahuan seks pranikah, sebanyak 43,7% tentang faktor yang mempengaruhi perilaku seksual beresiko pada remaja, sebanyak 39,9% penyebab remaja melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan sebanyak 31,5% faktor penyebab remaja jatuh kedalam berbagai persoalan seks. Walaupun persentase dari hasil temuan tersebut jumlahnya kecil, akan tetapi temuan ini sangat mengkhawatirkan. Menurut Hurlock (1999), faktor pengetahuan dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pengetahuan remaja yang rendah cenderung melakukan hubungan seks lebih dini. Data yang ditemukan dari 176survei Komnas Perlindungan Anak di 33 Provinsi Januari s/d Juni 2008 menyimpulkan sebesar 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno; sebesar 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral sex (sex melalui mulut); sebesar 62,7% remaja SMP tidak perawan serta sebesar 21,2% remaja mengaku pernah aborsi. Dalam kesehariannya, siswa berinteraksi langsung dengan orang tua, teman sebaya dan guru. Oleh karena itu peran dan tanggung jawab orang tua, teman sebaya dan guru sangat besar untuk mencegah ternyadinya perilaku seksual pranikah yang tidak sesuai toleransi. Hal 176 | Prosiding
yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah diantaranya menyediakan sarana PIK-KRR. Sekolah merupakan sebuah organisasi dimana sekumpulan orang bekerja bersama untuk sebuah tujuan. Sekolah terdiri dari guru, kepala sekolah, dan pekerja yang lain yang salah satu tujuannya adalah untuk menyediakan pendidikan bagi siswa. Jika sekolah memiliki kesempatan yang sangat besar di dalam melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, maka sekolah perlu melakukan pengembangan-pengembangan sehingga dapat memenuhi kebutuhan siswa mengenai informasi kesehatan reproduksi. Tidak hanya mengembangkan materi, misalnya seperti materi yang dimasukkan dalam pelajaran biologi atau pelajaran integrasi lainnya, tetapi juga perlu dilakukan pengembangan guru yang memberikan materi kesehatan reproduksi (Saito MI, 1998). Hal ini sesuai dengan beberapa teori yang menyebutkan bahwa dari pengetahuan yang dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang baik (positif) maupun tidak baik (negatif) kemudian diinternalisasikan kedalam dirinya. Kalau apa yang dipersepsikan tersebut positif, maka seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan persepsinya. Namun sebaliknya, kalau mempersepsikannya secara social, maka seseorang cenderung menghindari atau tidak melakukan hal itu dalam pemikirannya. Sehingga apa yang diketahui seringkali tidak konsisten dengan apa yang muncul dalam perilakunya. Meskipun seseorang mempunyai pengetahuan bahwa seksual pranikah itu tidak baik, namun karena situasi dan kesempatan memungkinkan maka individu tersebut tetap melakukan hubungan seks praikah, akibatnya perilaku tidak konsisten dengan pengetahuannya (Dariyo, 2004). Menurut Reiss bahwa skala Premarital Seksual Permisivves (PSP) membuktikan bahwa mempercayai perilaku-perilaku premarital seksual adalah suatu hal yang dapat diterima pada tingkat emosional dari suatu hubungan. Hal ini kemungkinan karena terjadinya pergeseran nilai pada remaja yang sudah mulai berubah bahwa sikap serba membolehkan dalam berpacaran, responden juga menganggap bahwa perilaku berpacaran yang serba membolehkan adalah merupakan gaya hidup remaja sekarang dan masih adanya pemahaman yang salah tentang
pendidikan seks, pendidikan seks dianggap tabu untuk dibicarakan didepan umum karena mereka beranggapan bahwa masalah seks adalah bersifat pribadi. Walaupun terjadi perbedaan pengetahuan tentang premarital seks antara siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dengan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, akan tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan. Artinya sekolah yang tidak memiliki layanan PIK-KRR siswanya juga memiliki pengetahuan yang tidak jauh berbeda dengan SMK yang memiliki layanan PIK-KRR. Hal ini dikarenakan semua SMK memiliki aturan-aturan, nilai dan norma yang sangat kuat untuk diterapkan pada siswa yaitu tuntutan dalam kehidupan sehari-hari senantiasa berperilaku sesuai dengan penanaman nilai akhlaq dan moral. Dengan aturan-aturan inilah kemungkinan para siswa sudah mendapatkan informasi tentang batasan-batasan premarital seks. Tabel 6.
Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang dampak premarital seks berdasarkan layanan PIK-KRR
Tingkat Pengetahuan Layanan tentang Premarital Seks Total PIK-KRR Rendah Sedang Tinggi % % % Tidak 17,7 25,5 56,8 67,1 Ada 11,7 26,6 61,7 32,9 15,7 25,9 58,4 100,0 Total
p
0,419
Pengetahuan tentang dampak premarital seks dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman yang telah dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dampak premarital seks yang meliputi dampak fisik, dampak psikologis dan dampak sosial. Beberapa hal yang dapat menggambarkan pengetahuan responden tentang dampak premarital seks yang masih salah antara lain: 1) dampak fisik remaja yang melakukan premarital seks sebanyak 93,0% dada terasa sesak dan sebanyak 90,6% merasakan refresing/relaksasi, 2) dampak psikologis remaja yang melakukan premarital seks sebanyak 88,5% prihatin akan keadaan pasangan dan sebanyak 79,4% tidak bebas dalam mengungkapkan perasaan kesal dan marah , 3) dampak sosial remaja yang melakukan premarital
seks sebanyak 85,0% mempererat hubungan dan sebanyak 76,2% muncul keyakinan akan keseriusan dari pasangan. Hal ini menunjukkan bahwa responden masih belum mengetahui dampak premarital seks dari aspek fisik, psikologis dan soaial. Kurangnya pengetahun ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya informasi yang lengkap tentang dampak-dampak premarital seks. Selain itu, keterpaparan remaja saat ini terhadap pornografi dalam bentuk bacaan berupa buku porno dan film porno semakin meningkat. Di sisi lain bacaan tentang seksualitas dan penerangan melalui media yang bersifat audio visual sangat terbatas dan kalaupun ada bentuknya kurang menarik bagi remaja. Sebenarnya, pemahaman aspek-aspek tentang dampak premarital seks dapat diberikan oleh sekolah, karena pada dasarnya tujuan pendidikan seksualitas atau pendidikan kesehatan reproduksi remaja (PKRR), adalah untuk membekali para remaja dalam menghadapi gejolak biologisnya agar: 1) Mereka tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah karena mengetahui risiko yang dapat mereka hadapi, 2) Seandainya mereka tetap melakukannya juga (tidak semua orang dapat dicegah agar tidak melakukannya), mereka dapat mencegah risiko buruk yang dapat terjadi, 3) Jika risiko tetap terjadi juga, mereka akan menghadapinya secara bertanggung jawab. Melihat besarnya keberadaan remaja di sekolah, maka salah satu cara yang efektif dan efisien adalah membekali pengetahuan dan menanamkan perilaku yang sehat dan bertanggung jawab melalui pendidikan di sekolah dalam bentuk pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi yang relevan dalam pelayanan kesehatan berbasis sekolah. Program- program berbasis sekolah adalah pendekatan yang esensial untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak muda (Kay, 2004). Pelayanan kesehatan dibutuhkan remaja untuk membantu remaja dalam masa pencegahan, awal intervensi, dan untuk pendidikan. Jadi 177sosial177 remaja memanfaatkan pelayanan kesehatan karena ada kebutuhan tertentu dari remaja (Brindis, 2003). Penyebab utama remaja memanfaatkan pelayanan kesehatan baik karena keluhan fisik maupun psikologis adalah karena kebutuhan (Vingilis, 2007). Salah satu tujuan Prosiding | 177
remaja memanfaatkan pelayanan kesehatan pendidikan formal menghadapi masalah dalam penyampaian, penyerapan, dan reproduksi adalah untuk mencari informasi tentang konteks aktualisasinya dalam tindakan. Secara khusus, pendidikan reproduksi dan seksualitas. Faktor lain yang juga mempengaruhi perubahan sosial dan perubahan kebudayaan yang penerimaan akseptabilitas remaja untuk diakibatkan oleh derasnya arus informasi melalui menggunakan pelayanan kesehatan reproduksi media massa, dan aneka ragam informasi lain, adalah petugas pemberi pelayanan. Remaja seringkali tidak mampu disaring sepenuhnya oleh cenderung untuk mengungkapkan permasalahan perangkat institusi lokal maupun nasional kita, dan yang mereka hadapi jika merasa dekat dengan memberi dampak langsung terhadap kehidupan konselor. Melalui model konselor sebaya jarak remaja. antara guru pembimbing (konselor) dapat frekuensi tingkat didekatkan, sehingga hambatan psikologis yang Tabel 7. Distribusi pengetahuan tentang pencegahan menyebabkan siswa tertekan dapat premarital seks berdasarkan layanan dikurangi/dihilangkan. Siswa yang berperan PIK-KRR sebagai pendidik dan konselor sebaya diperlukan karena remaja lebih terbuka kepada sebayanya Tingkat Pengetahuan sehingga informasi lebih mudah didapatkan dan tentang Kesehatan Layanan lebih mudah dipahami sebab menggunakan gaya Total p Reproduki PIKbahasa yang sama (Hasmi, 2002) KRR Rendah Sedang Tinggi Walaupun terjadi perbedaan pengetahuan % % % tentang dampak premarital seks antara siswa SMK Tidak 4,7 26,6 68,8 67,1 0,005 0,0 14,9 85,1 32,9 yang memiliki layanan PIK-KRR dengan SMK Ada 3,1 22,7 74,1 100,0 Total yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, akan tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan. Artinya Pengetahuan tentang pencegahan premarital sekolah yang tidak memiliki layanan PIK-KRR seks adalah kemampuan pemahaman yang telah siswanya juga memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki responden terhadap hal-hal yang berkaitan jauh berbeda dengan SMK yang memiliki layanan dengan pencegahan premarital seks yang meliputi PIK-KRR. Hal ini dikarenakan pendidikan cara mengurangi munculnya dorongan biologis, kesehatan reproduksi di semua sekolah diajarkan cara meningkatkan kemampuan mengendalikan berdasarkan kurikulum yang disusun dan dorongan biologis, dukungan orang tua dan dikembangkan secara sistematis, dan pengajaran dukungan pemerintah. disampaikan secara teratur dan berjenjang. Beberapa hal yang dapat menggambarkan Individu diharapkan menyerap seperangkat pengetahuan responden tentang dampak premarital pengetahuan berdasarkan usia dan jenjang seks yang masih salah antara lain : sebanyak pendidikannya. Sebagian lagi proses belajar 88,8% membiasakan mengenakan pakaian yang tersebut berlangsung dalam kehidupan sehari-hari sopan dapat mengurangi munculnya dorongan melalui interaksi individu dengan keluarga, biologis, sebanyak 75,5% menghindari membaca kelompok-kelompok sosial, peer group, dan buku porno dapat mengurangi munculnya sebagainya. Sehingga secara keseluruhan kedua dorongan biologis dan sebanyak 48,3% orang tua proses tadi membentuk manusia sebagai mahluk tidak memberikan fasilitas (termasuk uang saku) sosial yang memiliki pengetahuan, kemampuan, yang berlebihan merupakan tindakan pencegahan persepsi, nilai-nilai yang digunakannya untuk terjadinya seksual pranikah. Jika dilihat dari hasil beradaptasi dalam kehidupannya. temuan ini, kemungkinan disebabkan karena Secara ideal, pendidikan formal dalam sistem remaja yang masih labil. Walaupun kondisi kemasyarakatan kita diharapkan berjalan dan psikologis remaja masih labil, tetapi berkembang seimbang dengan proses belajar di perkembangan kognitif remaja sudah berfungsi luar sekolah. Sehingga kedua-duanya membentuk dengan baik, sehingga memungkinkan mereka dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam kenyataannya, proses 178 | Prosiding
berfikir secara abstrak, kritik dan teoritik (Dister, 1991). Dukungan keluarga dan lingkungan sosial juga memiliki peran penting untuk pencegahan premarital seks. Selain itu, sekolah juga diharapkan menyediakan layanan kesehatan reproduksi karena remaja memiliki kebutuhan informasi seksual dan kesehatan reproduksi yang unik sehingga dibutuhkan pelayanan kesehatan reproduksi yang efektif dan khusus untuk remaja. Oleh sebab itu, pelayanan yang diberikan diharapkan bersifat secara sosial, murah, mudah, rahasia, tidak menghakimi, dan ramah remaja (Kamau, 2006). BKKBN Kota Semarang pada tahun 2008, juga telah melaksanakan program-program yang berkaitan dengan KRR, salah satunya yaitu: Pemberian informasi tentang KRR kepada remaja pada organisasi sosial, pondok pesantren, karangtaruna dan pada sekolah-sekolah SMP maupun SMA. Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) sebagai wadah bagi remaja untuk memperoleh informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi (BKKBN, 2002). Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan tingkat pengetahuan tentang pencegahan premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR. Hal ini disebabkan karena keberadaan dan peranan PIK-KRR pada tingkat sekolah, memudahkan remaja untuk mendapatkan informasi serta pelayanan konseling yang benar dan secara kontinyu tentang kesehatan reproduksi remaja dan pencegahan premarital seks yang diberikan berdasarkan buku panduan PIKKRR seperti yang disusun oleh BKKBN. Disamping itu, dukungan sekolah juga dapat diketahui dari dukungan yang diberikan kepala sekolah sebagai pemimpin dalam pelaksanaan seluruh kegiatan di sekolah. Karena, peran kepala sekolah juga menentukan jalannya seluruh kegiatan di sekolah. Dari hasil wawancara diketahui bahwa Kepala Sekolah di SMK Getasan sangat mendukung kegiatan di PIK-KRR.
4. KESIMPULAN Gambaran kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang masalah kesehatan reproduksi remaja mayoritas pada kategori sedang sebanyak 157 responden (54,9%), sedangkan gambaran kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang premarital seks mayoritas pada kategori tinggi sebanyak 167 responden (58,4%). Kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang dampak premarital seks mayoritas pada kategori rendah sebanyak 238 responden (83,2%), sedangkan kondisi dan tingkat pengetahuan remaja tentang pencegahan premarital seks mayoritas pada kategori tinggi sebanyak 212 responden (74,1%). Perbedaan tingkat pengetahuan berdasarkan layanan PIK-KRR, meliputi: 1) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,00001) < (0,05) 2) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR,p value (0,419) > (0,05). 3) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang dampak premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (1,000) > (0,05). 4) Ada perbedaan tingkat pengetahuan tentang pencegahan premarital seks pada siswa SMK yang memiliki layanan PIK-KRR dan SMK yang tidak memiliki layanan PIK-KRR, p value (0,005) < (0,05). 5. UCAPAN TERIMA KASIH Pelaksanaan kegiatan ini tidak terlapas dari keterlibatan beberapa pihak. Oleh karena itu, kami menghaturkan terima kasih kepada BKKBN Provinsi Jawa Tengah melalui dan LPPM Ngudi Waluyo yang telah memberikan bantuan pendanaan sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. Prosiding | 179
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Sekolah SMK Swasta di Kabupaten Semarang, serta seluruh sasaran kegiatan yang telah banyak membantu sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. 6. REFERENSI Anas SH. 2010. Sketsa Kesehatan Reproduksi Remaja. Jurnal Studi Gender & Anak.;5(1):199-214. Anusornteerakul S, Khamanarong K, Thinkhamrop S. The influence factors that affect Thailand’s management of youth reproductive health service. Journal of Diversity Management,2008;3(4). Arikunto, Suharsimi (1998), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT. Rineka Cipta, Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa Aksara. Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Pedoman Pengelolaan Bina Keluarga Remaja (BKR). Jakarta: Direktorat Bina Ketahanan Remaja. Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Pedoman Pengelolaan Pusat Informasi Dan Konseling Remaja Dan Mahasiswa (Pik Remaja/Mahasiswa). Jakarta: Direktorat Bina Ketahanan Remaja. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2005. Laporan Perkembangan Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, Jakarta. Basri.H. 2000. Remaja Berkualitas Problematika Remaja dan Solusinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. BKKBN. 2001. Pedoman Kebijaksanaan Teknis Upaya Kesehatan Reproduksi Remaja.http://hqweb01.bkkbn.go.id/hqweb/ ceria/pengelolaceria/pkkebijakanteknisprog ramkrr.html.diakses 7 Februari 2014 BKKBN. 2002. Panduan Pembinaan dan Pengembangan Pusat Informasi dan Konsultasi Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Jakarta,
180 | Prosiding
Brindis CD, Morreale MC, English A. 2003. The unique health care needs of adolescent. The future of Children,;13(1):117-35. Dariyo, Agoes, 2004. Psikologi Perkembangan Remaja Dister W.N. 1991. Psycology of Religion: Classic and Contemporary View, New York; Willy Glanz K, Rimer BK, Viswanath K, 2008. editors Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Practice. United States of America: Jossey-Bass. Grogger, J and Stephen B. 1993. The Socioeconomics Consequences of Teenage Childbearing: Findings from a Natural Experiment. Family Planning Perspective, 25(4): 156-61 & 174 http://eprints.undip.ac.id/32662/ Hasan, M. Iqbal, 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Bogor. Hasmi E. 2002. Pedoman pemberdayaan pendidik dan konselor sebaya dalam program kesehatan reproduksi remaja. BKKBN, Jakarta. Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta, Erlangga IPPF. 2008. Hak-Hak Seksual. Deklarasi IPPF. Kamau AW. 2006. Factors influencing access and utilization of preventive reproduction health services by adolescent in Kenya. Dissertation. Faculty of Health Sciences, School of Public Health. University of Bielefeld, Germany Kirby D.1995. Sex and HIV/AIDS education in Schools. BMJ. Lawrence RS, Gootman JA, Sim LJ., 2009. Adolescent Health Services. Washington D. C.: National Academy of Sciences. Manuaba, I. A. C., Manuaba, I. B. G. F., dan Manuaba, I. B. G. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Edisi 2. Jakarta: ECG. Mardiya, 2013. Artikel dalam rangka HARI KEPENDUDUKAN SEDUNIA TAHUN 2013 : Saatnya Tahu dan Peduli Terhadap Masalah Remaja, diakses 1 April 2014.
www.kulonprogokab.go.id/.../getfile.php?... Artikel%2 Mc.Kay A. 2004. Sexual health education in the school: questions and answers. The Canadian J Hum Sex, 13(3-4):129-41. Muadz, M. Masri. 2009. Beberapa Faktor yang Mendorong Anak Remaja Usia SMP dan SMU melakukkan Hubungan Seks di Luar Nikah. Error! Hyperlink reference not valid. Diakses pada tanggal 5 Desember 2014 Nargis. 2004. Hubungan Struktur dan Fungsi Keluarga dengan Perilaku Seksual Pranikah Remaja SMU di Wilayah Ujung Berung Bandung (Tesis) Notoatmodjo,S. 1983. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: FKM UI PATH. 1998. Kesehatan Reproduksi : Membangun Perubahan yang Bermakna, , http://www.path.org/files/Indonesian 163.pdf. diakses 10 Desember 2008 PATH.2000. Kesehatan reproduksi remaja: membangun perubahan yang bermakna. Outlook, 16:1-8. Pinem,Saroha. 2009. Kesehatan reproduksi dan kontrasepsi. Jakarta: Trans Info Media Profil Program KBN Jawa Tengah, 2008 Rafidah, dkk, 2009. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 2, Juni 2009 Rahma F J., 2012. Resiko Pada Remaja Akibat Pernikahan Dini, diakses 29 Mei, 2012 http://modalyakin.blogspot.com. Roleff TL, 2002. editor. Teen Sex. United States of America: Greenhaven. Saefuddin A.F dan Hidayana. 1999. Seksualitas Remaja . Pustaka Sinar Harapan, Lab.Antropologi FISIP UI & Ford Foundation, Jakarta Saito MI, 1998. Sex Education in School: Preventing Unwanted Pregnancy in Adolescents. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 63(1):157-60. Santrock, John W. 2003. Adolescence. Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, diakses Agustus 2009 http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-211.pdf Sarwono, S.W. Psikologi Remaja. PT. Grafindo Raja Persada, 2004 SDKI Tahun 2007 SDKI Tahun 2012 Sensus Penduduk Tahun 2010 Sibagariang, E., dkk., 2010. Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: Trans Info Menika. Silalahi Ulber, 2005. Metode Penelitian Sosial, Bandung, Unpar Press. Silva M. 2002. The Effectiveness of School-Based Sex Education Programs in The Promotion of Abstinent Behavior: A Meta-Analysis. Oxford Journal. 17(4):471-81 Situmorang A. 2003. Adolescent Reproductive Health in Indonesia. Jakarta: Johns Hopkins University, Program CfC Suharyo. 2008. Masalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di Kalangan Remaja dan Dampak Ketidakadilan Gender. KEMAS. 4(1):90-8. Suparmi, 2006. Hubungan antara Remaja Aktif Seksual dengan Kurangnya Pengawasan Orang Tua.UNDIP.Skripsi tidak dipublikasikan. Suryoputro.et.all,. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah : Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual Tatang AM. 2003. Pokok-Pokok Teori Penggunakan Sistem. UNPFA. . 2005. Child marriage fact sheet. didapat dari: www.unpfa.org diakses 11 April 2014 USAID. 2006. Preventing child marriage: protecting girls health. didapat dari: www.usaid.gov. diakses 11 April 2014 Vingilis E, Wadeb T, Seeleya J. 2007. Predictors of adolescent health care utilization. Journal of adolescent, 30:773-800. Zulkifli, .1999. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakary
Prosiding | 181