PROSIDING
SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015
2015
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015
PROSIDING
SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN
2015
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Tabel 6. Wilayah Kultur, Hukum Adat, dan Pranata Adat Sistem Basudara No. Wilayah Kultur Wilayah Pranata Adat 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hukum Adat Maluku Tengah Pata Siwa-Pata Lima Pulau Buru Bupolo Maluku Tenggara Lorsiv-Lorlim Maluku Tenggara Duan Lolat Barat Maluku Barat Daya Kalwedo Kepulauan Aru Ursia-Urlima
Sistem Basudara Pela dan Gandong Kaiwai Ain ni ain Duan Lolat Kalwedo Sina Kena Sita Eka Etu
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam diri orang basudara ada anak negeri Nusa Ina, di pulau Seram,kepulauan Lease, Ambon, dan Banda yang berhukum Adat Pata-Siwa dan Pata-Lima dengan pranata kekerabatan Pela dan Gandong, anak negeri Bupolo di pulau Buru dengan Kai-Wai, anak negeri Evav di Maluku Tenggara berhukum adat Lorsiv-Lorlim dengan Ain ni ain, anak negeri Tanimbar di Maluku Tenggara Barat dengan hukum adat Duan-Lolat, anak negeri Maluku Barat Daya yang berhukum adat Kalwedo, anak Jargaria dari Aru dengan pranata adat sina kena sita eka etu. Kesemuanya ini bermuara pada pengertian Orang Basudara yang ada dalam hati dan jiwa; Pela-Gandong, Kai-Wai, Ursia-Urlima, Lorsiv-Lorlim, Duan Lolat, sina kena sita eka etu dan. Harapan dalam istilah katong samua orang basudara bukan khayalan atau fantasi buta, tetapi dapat dinalar dan diamati dalam representasi ketulusan hati, alam pemikiran dan tindakan sehingga dipegang sebagai bukti dan rujukan kebenaran. Dalam petualangan leluhur orang Maluku dari periode perjuangan hidup kelokalan, perjuangan nasional, kemerdekaan dan mempertahankan sampai titik puncak perdamaian (2005) banyak bergumul dengan aneka pergulatan kepentingan, ose-beta (kamu; sangat kasar) ale (kamu; sangat halus), beta (aku/saya), kamong-katong (kalian-kita), gigi ganti gigi (bertikai/perang) dan akhirnya tiba pada titik puncak yang sangat indah dan mulia dan tak terbantahkan yaitu; katong samua orang basudara. Puncak titik episentrum konflik sosial di Ambon dan Maluku secara umum pada awal tahun 2005, yang terjadi adalah pemulihan hati dan pemikiran tentang katong samua orang basudara kembali dipeluk kedalam ingatan hidup yang fundamental. Itulah puncak sebuah perjuangan dan petualangan untuk menemukan sebuah standar kebenaran dan kepatutan dalam mengabdikan hidup bersama secara hakiki. Jadi katong samua orang basudara memiliki kedalaman pemikiran yang tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan rasio yang terbatas, tetapi
384
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
dengan hati yang luas dan lapang. Ia menegaskan sebuah faham ”humanisme kolektif” yang membimbing pada kearifan hidup bersama sebagaimana nyata dalam perilaku kolektif mereka; Sama-rata, sama-rasa, potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng dipata dua, hiti hiti hala hala (ringan sama-sama tanggung, berat sama-sama pikul), Ain ni ain (kita sama dari telur yang satu), Ita Rua Kai Wai (kita dua adik kakak), Sina Kena Sita Eka, Etu (kita sama dan satu semua), Kalwedo (salam damai sejahtera untuk semua). b. Periodesasi Sejarah Terbentuk Penduduk Multietnis Kota AmbonMaluku Ambon adalah ibu kota daerah Maluku, merupakan salah satu provinsi tertua dalam sejarah Indonesia merdeka. Wilayah ini dikenal dengan kawasan Seribu Pulau yang memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Ambon-Uliase adalah gugusan pulau yang terdiri dari pulau Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut. Gambar 3. Pulau Ambon dan Pusat Kota Ambon
Sumber: LSEM Utrecht, 1989 Pulau-pulau lainnya adalah Seram, Buru, Manipa, Kelang, dan Buano. Kepulauan ini termasuk dalam wilayah Maluku Tengah yang merupakan basis penyebaran penduduk Alifuru (Leirissa R.Z, 1993: 6). Secara historis, terbentuknya masyarakat multietnis Kota Ambon terjadi dalam beberapa periode, antara lain:
385
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
1) Periode Prasejarah Secara antropologis penduduk asli pulau Ambon dan Maluku Tengah berasal dari Pulau Seram yang dikenal sebagai suku Alifuru, bermigran ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Saparua dan Nusa Laut), Pulau Ambon, Buru, Manipa, Kelang, dan Buano. Menurut antropolog A.H. Kaine, pulau Seram dahulu didiami oleh suku bangsa Alfuros. Suku bangsa ini lahir dari percampuran antara bangsa Kaukasus, Mongol, dan Papua, yang kemudian dikenal sebagai suku Alune dan Wemale. Antropolog F.J.P. Sachse dan Dr.O.D. Tauern berpendapat bahwa, suku Alune berasal dari utara yaitu kemungkinan dari Sulawesi Utara atau Halmahera yang mempunyai ciri-ciri fisik yang hampir sama yaitu berambut kejur dan berkulit agak kuning. Juga memiliki persamaan kebiasaan menguburkan mayat dengan meletakan kepala ke arah barat. Sedangkan suku Wemale berasal dari arah timur dan kemungkinan dari Melanesia . Sampai saat ini penduduk asli pulau Ambon, Haruku, Saparua, Nusalaut, Buru, Manipa, Kelang, dan Buano menjelaskan bahwa nenek-moyang mereka berasal dari Nunusaku di wilayah Seram yang disebut sebagai Nusa Ina atau pulau ibu (Pattikayhatu J.A,1993, Hal.9) 2) Periode Zaman Kuno (Abad I - Abad XV) Menurut Dr.J.C. Van Leur, penduduk di wilayah Maluku Tengah telah terbentuk sebagai masyarakat hukum genealogis secara patrilineal, yang kemudian berkembang menjadi bentuk struktur politik Patrician Republican di bawah satu kuasa rezim aristokrasi. Republik-republik desa patrimonial yang memiliki genelogis teritorial ini, terdiri dari beberapa rumahtau atau lumatau (mata rumah) yang tergabung dalam satu soa (kampung kecil) yang berdekatan, membentuk sebuah hena atau aman (negeri). Karena perkembangan sosial, ekonomi dan politik maka hena dan aman membentuk lagi perserikatan yang lebih besar yang terkenal dengan nama Uli, yang kemudian disebut Uli Siwa dan Uli Lima (kelompok sembilan dan kelompok lima) atau Pata Siwa dan Pata Lima (Pattikayhatu J.A,1993: hal 20). Pada zaman ini penduduk pulau Ambon masih bertempat tinggal di pegunungan dan menganut kepercayaan suku serta memiliki perangkat pranata adat pela dan gandong dalam struktur soa dan hena/aman yang dibawa dari pusat kebudayaan mereka yaitu Nunusaku di Nusa Ina (Pulau Seram). Munculnya pranata adat ini disebabkan karena pada zaman ini dalam perkembangan kehidupan kelompok, sering terjadi peperangan antar Lumatao (kumpulan clan), dan hena/aman (gabungan Lumatao), terutama masalah petuanan/teritorial, sosial, dan ekonomi. Peperangan merupakan hal terbiasa terjadi dalam kelompok (Pata Siwa dan Pata Lima) yang dapat
386
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
diselesaikan dengan sumpah adat, dipimpin oleh upu ama/latu atau upu pati (raja), yang disebut sebagai sumpah pela (sumpah angkat saudara antar negeri) dan sumpah gandong (sumpah adat negeri saudara segandong). Hal ini berlangsung terus sampai masuknya para musafir dari Cina, Arab, Persia, dan dari berbagai wilayah nusantara. Penduduk Ambon/Maluku melakukan kontak dengan pelaut-pelaut dari daratan Cina, khususnya pada zaman Dinasti Tang (618-906), sering mengunjungi Maluku untuk mencari rempah-rempah dan menemukan cengkih. Mereka sengaja merahasiakannya untuk mencegah datangnya bangsa-bangsa lain ke daerah ini. Berita pertama tertua tentang Maluku tercatat dalam tambo dinasti Tang yang menyebutkan tentang Miliku, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang ada di sebelah Barat (Pattikayhatu J.A,1993: hal 61). Namun pada abad ke-9 pedagang Gujarat berhasil menemukan Maluku setelah mengarungi Samudera Hindia. Para pedagang ini kemudian menguasai pasar cengkih di Eropa melalui kota-kota pelabuhan Konstatinopel. Pada abad ke-10 wilayah Maluku dan Jawa telah melakukan jalur perdagangan cekeh dan pala, hingga pada awal abad ke-14 Kerajaan Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Pada waktu itu para pedagang dari Jawa menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku. Sampai sekarang ada cerita-cerita rakyat seperti di Negeri Soya ada tempayan Majapahit, dan beberapa cerita tentang putri-putri dari Majapahit yang kawin dengan orang pribumi. Melalui kota-kota pelabuhan di Jawa rempah-rempah dari Maluku di salurkan ke India oleh para pedagang Gujarat, yang makin meningkat sampai Abad ke-13 (Ch.F. Van Fraassen, hal.30) Abad ke-14, merupakan masa perdagangan rempah-rempah Timur Tengah yang membawa agama Islam masuk ke Kepulauan Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik, antara 1300 sampai 1400. Hingga sekarang perkampungan orang-orang Ambon keturunan Arab berada pada pusat kota, bersebelahan dengan perkampungan Cina (Jln. A.J. Patty) sampai ke wilayah Waihawong-Kota Ambon; dengan marga-marga; Paseban, Assegaf, Alkatiri, Polanunu, Atamimi, Alkatris. Dimasa Dinasti Ming (1368 – 1644) mendirikan Khubilai Khan, rempahrempah dari Maluku diperkenalkan dalam berbagai karya seni dan sejarah. Dalam sebuah lukisan karya W.P. Groeneveldt yang berjudul Gunung Dupa, Maluku digambarkan sebagai wilayah bergunung-gunung yang hijau dan dipenuhi pohon cengkih, sebuah oase di tengah laut sebelah tenggara. Hal ini juga dilakukan oleh Marco Polo orang Persia, menggambarkan perdagangan cengkih di Maluku dalam kunjungannya di Sumatra. Para pedagang Cina pada saat itu mendatangkan komunitasnya sebagai pekerja usaha perdagangan di Ambon dan juga wilayah penghasilan cengkih dan pala yang ada di Maluku
387
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
yang kemudian menetap di Kota Ambon, sehingga sampai saat ini terdapat perkampungan Cina yang disebut kampung Air Mata Cina sampai ke jalan A.J. Patty (wilayah pusat kota) dan telah menjadi pusat pertokoan Kota Ambon. (hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Ambon keturunan Cina, 15 November 2013). Pada abad ke-15 persebaran Islam makin meningkat di Nusantara dengan munculnya kerajaan Aceh dan pusat-pusat perdagangan/penyebaran Islam di pesisir pulau Jawa, dan merambat ke Maluku. Ternate dan Tidore (Maluku) pada saat itu merupakan pusat penyebaran Islam di Maluku. Pada masa kejayaannya, Ternate berhasil meluaskan kekuasaannya di seluruh wilayah yang terbentang antara Sulawesi dan Irian Jaya sampai ke Seram Barat (Jazirah Hoamual), Ambon, dan kepulauan Lease. Tidore berekspansi ke timur yaitu mencapai pesisir Irian Jaya dan kepulauan Raja Ampat, sedangkan ke selatan mencapai pulau Seram, kepulauan Gorom dan Seram Laut (Leirissal, R.Z; 1979, hal.310). Di Ambon dan Kepulauan Lease, Sultan Ternate mengirimkan rombongan rakyat yang terdiri dari para prajurit dan budak-budak dari beberapa wilayah di nusantara yang dipimpin oleh Kapita lau dan Sangaji untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Maka terjadi peperangan secara sporadis di berbagai hena dan aman (wilayah Alifuru). Peperangan diselesaikan dengan perjanjian antara Upu Alifuru dan para Sangaji. Sangaji dan pasukannya beserta budaknya diperbolehkan menetap di bagian pesisir pantai, namun tetap tunduk pada hukum adat Alifuru, yang berkediaman di wilayah pegunungan. Lama kelamaan hubungan sosial diantara mereka menjadi hubungan persaudaraan (basudara) dengan adanya kawin-mawin, sehingga muncul stratifikasi masyarakat keturunan dan masyarakat asli/Alifuru. Sekitar tahun 1500, Islam mulai diajarkan pada basis kebudayaan Ambon yaitu di masyarakat Hitu (kerajaan Hitu/Lei-Hitu) di pulau Ambon, kemudian menyebar ke Kepulauan Lease; Haruku (kerajaan Hatuhaha), Saparua (kerajaan Iha) dan di pulau Seram (kerajaan Sahulau). Selain itu juga empat perdana dari tanah Jawa berhasil mengeksiskan ajaran Islam di pulau Ambon (Hitu) sehingga mereka disebut Empat Perdana Hitu. Mobilisasi penduduk dari Jawa sebagai pedagang banyak dijumpai di wilayah ini, yang kemudian bermukim dan menetap (Pattikayhatu J.A,1993: hal.57). Mereka yang menetap kemudian menyesuaikan diri dengan bahasa dan adat-istiadat Ambon. 3) Periode Zaman Baru (Abad XVI- Abad XIX) Dalam interval waktu yang tidak terlalu lama (tahun 1512), setelah pengaruh Islam, Portugis tiba di pulau Ambon dan membangun loji di Hitu (Lei-Hitu) pada tahun 1515. Kehadiran mereka di Ambon (Maluku) tepat
388
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
dan bersamaan dengan adanya ketegangan-ketegangan politik dalam usaha perebutan hegemoni dan supremasi kekuasaan antara raja-raja Islam yang telah lebih dahulu menguasai beberapa daerah. Portugis turut melibatkan diri mengakibatkan pula pemberitaan Injil dan pembentukan Gereja Kristen terlibat pula dalam ketegangan dan pertentangan yang berlangsung terus antara rakyat Lei-Hitu dan rakyat Lei-Timur, maupun antara rakyat dengan orang Portugis. Namun demikian melalui Citade Amboina, missionarismissionaris Portugis telah berhasil menyebarkan agama Kristen Roma Katolik sebagai agama baru di antara rakyat, dan mendirikan gereja pertama di negeri Hila (Lei-Hitu). Setelah orang Portugis di usir dari Hitu dan berpindah ke Jazirah Lei-Timur, mereka mendirikan benteng dengan nama Nossa Sandora de Anunciada. Di tempat inilah (cikal bakal Kota Ambon) dijadikan pusat kegiatan penyebaran agama disamping kegiatan politik dan perdagangan (Pattikayhatu J.A,1993: hal.60). Dengan demikian pada saat itu sebagian kecil penduduk di pulau Ambon memeluk agama Islam dan Kristen Katolik. Pada abad ini pula, proses perkawinan campur antara orang-orang Portugis dengan orang-orang pribumi sangat pesat, sehingga lahirlah orang-orang Ambon turunan Portugis dengan nama marga (family) seperti; de Queldjoe, de Sousa, de Fretes, de Sera, de Kock, de Silo, dan lain-lain. Pada periode ini juga, orang-orang Spanyol mengambil bagian dalam ekspedisi perdagangan laut dan menyinggahi pulau Ambon. Diantara mereka ada yang menetap dan melakukan perkawinan dengan orang-orang Ambon, sehingga melahirkan marga-marga seperti Gasperzs, Diaz, Parera, Gomez (Gomis), Lopes (Lopis), Muskitta dan Alfonso (Alfons). Mereka menetap di sekitar benteng Kota Laha (cikal bakal Kota Ambon) dan melakukan aktivitas kehidupan terutama perdagangan dan kontak sosial lainnya yang melibatkan penduduk turun dari berbagai hena/aman (perkampungan) di wilayah pegunungan. Keadaan ini berlangsung hingga masuknya orang-orang Belanda pada tahun 1605 dan merebut benteng Kota Laha yang dipimpin oleh Steven van der Haghen. Lenyaplah kekuasaan Portugis di pulau Ambon. Dalam waktu singkat pulau Haruku, Saparua, dan Nusalaut dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, pemerintah kolonial Belanda menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti nama menjadi Negeri, yang diciptakannya.Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang mirip dengan struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan demikian, negeri-negeri menjadi ”negara-negara” kecil dengan pemerintah, rakyat, dan teritori tertentu yang dipimpin oleh raja yang diangkat oleh pemerintah Belanda dari klen-klen tertentu dan memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam
389
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
negeri dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Penyebaran agama Kristen Protestan dilakukan hampir di seluruh wilayah kekuasaanya. Sebagian penduduk yang tadinya Kristen Katolik beralih ke Kristen Protestan (Pattikayhatu J.A,1993: hal.61). Dalam proses sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Salam (Islam) dan Ambon Sarane (Kristen). Pembentukan negeri tanpa ada sistem hukum yang secara gamblang mengikat seluruh rakyat ini, pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Selanjutnya mutasi penduduk secara besar-besaran dari dalam dan luar wilayah Maluku ke Kota Ambon, yang kemudian menyebabkan terjadinya konflik secara sporadis pada wilayahwilayah penghasil cengkeh dan pala. Adanya bajak laut di sekitar perairan Teluk Ambon, Saparua, dan laut Seram untuk merampas hasil cengkeh dan pala yang akan di bawa keluar. Kampung-kampung dibakar, hasil cengkih dijarah, dan terjadi korban pembunuhan di antara mereka. Dalam situasi demikian, penduduk Ambon (Maluku Tengah) tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Tetapi interaksi antara pelbagai negeri menjadi suatu kemungkinan karena VOC, dan kemudian Hindia Belanda bersikeras untuk mempertahankan keamanan dan perdamaian. Peperangan berangsur-angsur hilang, kecuali di pedalaman Seram, maka komunikasi antar pulau mulai dikembangkan dan bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar resmi. Ketika VOC menguasai Kepualauan Ambon-Uliase, kemudian mengatur seluruh kehidupan penduduk untuk mengamankan sistem monopolinya, maka dibentuklah suatu lembaga Landraad yang terdiri dari para penguasa di Lei-Timur. Setelah Lei-Hitu (Hitu) dapat dikalahkan sekitar tahun 1640an, para penguasa Hitu pun diharuskan duduk dalam Landraad di Ambon tersebut, yang kemudian membentuk Landraad tersendiri. Hal ini terjadi mungkin karena penduduknya beragama Islam. Lembaga inilah yang melahirkan peraturan-peraturan/tata kehidupan yang kemudian disesuaikan dengan keterangan-keterangan penguasa negeri (raja) tentang hukum adat. Hal ini di buat dengan tujuan membantu gubernur dan dewannya sebagai patokan menyelesaikan perkara-perkara perdata maupun pidana yang terjadi antara negeri-negeri di pulau Ambon. Pada masa ini perselisihan dan kerusuhan di antara rakyat berangsurangsur berkurang. Hal ini disebabkan karena pemerintahan Hindia Belanda dengan kuatnya menjalankan keamanan rakyat, sehingga misi kekuasaan dan monopoli perdagangan rempah-rempah berjalan lancar. Pelayaran hongi ditetapkan sebagai usaha-usaha menguasaan sistem perdagangan cengkeh dan pala, dan setiap negeri diharuskan mengadakan kora-kora (perahu
390
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
perang) untuk menjalankan pelayaran hongi (hongitochten) membawa kenyataan-kenyataan baru. Faktor inilah, mau dan tidak mau menyebabkan munculnya komunikasi adat (pela dan gandong/hubungan persaudaraan antara rakyat/negeri) yang lebih permanen sesuai dengan adat-kebiasaan yang telah terbentuk sejak dahulu kala. Bermunculan secara drastis negeri-negeri ber-pela dengan berbagai bentuk dan alasan. Ada hubungan persaudaraan yang terbentuk akibat faktor peperangan melawan Belanda, perekonomian, dan perkawinan. Bentuk pela-pela yang muncul dalam masa ini berangsur-angsur hilang setelah pihak Belanda berhasil memantapkan jaringan Governement van Amboina. Sebab itu raison de’etre-nya juga hilang (R.Z. Leirissa, 1983, Hal.33). Namun tidak berarti bentuk pela lalu hilang, tetapi beberapa bentuk pela kuno masih bertahan hingga kekuasaan Belanda diserahkan ke Inggris. Inggris menguasai wilayah Maluku kurang lebih 10 tahun, kemudian Maluku kembali dikuasai oleh Belanda. Kemudian melakukan deportasi penduduk secara besar-besaran ke Kota Ambon dan wilayah onderafdeeling lainnya, sehingga penduduk Ambon diwarnai dengan kehidupan multietnis. Ini berlangsung terus hingga 15 Mei 1817, rakyat bangkit melawan Belanda, perangpun terjadi di Saparua yang dipimpin oleh Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura dan rekan-rekannya Said Parintah dan Anthony Reebhok. Benteng kompeni Belanda di Saparua di kuasai dan penghuninya dibantai. Hanya tinggal 1 orang yaitu anak dari Residen van Saparua yang diselamatkan oleh Thomas Matulessy/Kapitan Pattimura. Sedangkan di Ambon dipimpin oleh Kapitan Ulupaha dari Hitu. Namun kemenangan di pihak Belanda (Pattikayhatu J.A,1993: hal.76). Dari periode perdagangan Cina, Arab serta kekuasaan Portugis, Inggris dan Belanda, sampai pada masa kemerdekaan Indonesia, di Kota Ambon telah ada penduduk yang memiliki marga Cina, Arab, Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jerman. Penduduk yang bermarga Cina adalah Tan, Chen, Chan, Sui, Beng, Hwa, marga Arab adalah Paseban, Assegaf, Allkatiri, Polanunu, Atamimi, Allkatris. Marga Portugis adalah de Kock, de Seira, de Fretes, de Sousa, de Silo, de Queldjoe. Yang bermarga Spanyol adalah Diaz, Gomes, Paays, Muskitta, Parera, Alfons, Tisera. Marga Belanda yaitu; van Harleeng, van Room, Capenberg, de Jonge, van Der Capelen, van Alen, van Bomen, marga Inggris ; Reebhok, Paul, Davids, Johanis, Fredrik, Hendriks, Abrahams, Joseph, Yohanz, Dominggus,Marthinus, Barends, Sedangkan yang bermarga Jerman adalah Eikenboom, Eikendorf, Ruhebreght, Breimer. 3. Sejuta Rasa Orang Basudara di Kota Ambon a. Proses Menjadi Orang Basudara dengan Sejuta Rasa Perbedaan
391
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
(Kemajemukan Hidup) Menjadi Orang Basudara bukanlah turun dari lagit sebagai bahan yang sudah jadi, tetapi dari sebuah jenius alami yang awalnya muncul dari roh absolut dalam sebuah karya kearifan. Roh absolut itu yang telah menancapkan sebuah arus kecerdasan di dalam diri masyarakat Maluku yang majemuk dan sarat perbedaan, untuk membimbing alam kesadaran mereka untuk keluar dari lingkaran egoisme serta eksklusivismenya yang cenderung dikuasai oleh roh curiga, prasangka, benci, dan dendam membara, sebagai bentuk-bentuk kesadaran palsu yang naif yang menyesatkan. Bimbingan roh agung itu makin menguasai hati, jiwa, dan pikiran mereka untuk saling merangkul secara tulus dari ale deng beta/katorang deng dorang (ale=kamu deng=dan, beta=saya / katorang = kita, dorang = mereka); Katong Samua Orang Basudara dan saling menyapa dengan bangga; Ale deng beta orang basudara, ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging (anda dan saya orang bersaudara, apa yang anda rasakan, sayapun merasakannya, seperti potong di kuku rasa di daging). Bahwa dibalik semua aneka ragam perbedaanya itu, ada sebuah karya agung dengan sebuah tangan tersembunyi (invisible hand) yang telah menggerakan hati, jiwa, dan pikiran para pendukung kebudayaan masyarakat kepulauan Maluku yang berbeda-beda itu. Sehingga mereka tidak sekedar mendewa-dewakan perbedaan dan kemajemukan itu, tetapi mampu mengelola, menata, dan mensinergikannya. Mereka bukan pelaku SARA yang anarkhi dan buta dengan perbedaan, tetapi menyelenggarakannya dan membangunnya dalam sebuah rumah kehidupan yang besar. Pola pengelolaan perbedaan atau kemajemukan hidup yang berbasis budaya dan adat serta kosmos kepulauan Orang Basudara itu bukan dilakukan dengan cara saling mensubordinasi yang satu terhadap yang lain. Justru semua itu dilakukan dengan penuh kearifan dalam sebuah manajemen dialektika, yaitu saling mempertautkan aneka perbedaan yang dimiliki itu secara kritis untuk terus bernegosiasi secara jujur, benar, tulus-ikhlas dan setia dengan janji sakral dan aktualita terkontrol. Mereka dibesarkan dalam sebuah tabiat asli orang Maluku, yaitu tabiat hidup orang basudara; saling baku bae, saling baku sayang dan saling baku bage, seng bole baku bunu. Darah dagingnya adalah darah daging orang basudara, juga darah daging basudaranya adalah juga darah dagingnya sendiri dalam sebuah geneologi budaya. Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah gunung, tanah dan air (kosmos), gunung orang basudara (A.Watloly dalam Ralahalu 2012:241-268)
392
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
b. Orang Basudara sebagai Konsep Perilaku Asli Anak Negeri Anak negeri Maluku yang majemuk (multikultur dan polietnis), merangkul dan menenun kebersamaan mereka di dalam sebuah habitat asli sebuah rahim budaya dan tradisi kelahiran yang penuh nilai kekeluargaan. Itulah ciri biocultural atau kelahiran adati (geneologi cultural) dari setiap generasi anak negeri Maluku. Bahwa setiap anak negeri Maluku terlahir dari geneologi cultural Katong Samua Basudara dari berbagai pulau yang bertaburan di wilayah Maluku. Orang Basudara bukanlah sebuah ide kosong dalam agenda intelektual, tetapi lebih sebagai sebuah asa yang menghidupi mereka, mengotaki mereka, dan mengototi mereka dalam sebuah totalitas rasa yang hampir tanpa batas (sejuta rasa). Ia menjadi sebuah dasar, bagaikan batu penjuru (bukan batu nisan) didirikannya sebuah bangunan sosial budaya (adat) yang kokoh. Sekaligus juga sebagai batu ujian bagi mereka untuk cerdas menguji serta menyikapi berbagai tawaran atau tawanan hidup yang terus mengalir didepannya dengan kegairahan sesaat. Asa Orang Basudara menjadi nafas yang begitu lekat dengan nadi dan darah, membentuk sebuah arus kehidupan abadi yang utama tiada dua (life mainstreaming). Ia tertanam kuat dalam batin hati, tercerna dalam otak, dan mengalir dalam lakon, membentuk atmosfir yang memancarkan aura dan senyum khas anak negeri dengan sejuta rasa. Asa Orang Basudara dan rasa hidup orang basudara bukan arus yang menghanyutkan, tetapi arus yang memuarahkan haluan kehidupan mereka menuju keabadian dan keheningan spiritualitas Salam-Sarane (Islam – Kristen). Sebagai terminologi hidup, Katong Samua Orang Basudara, ia terbuka menjadi sebuah agenda tugas yang perlu dipahami dan dilakoni dengan totalitas rasio, moral, dan etika. Katong Samua Orang Basudara menjadi rujukan identitas dan nilai keabadian dan keutamaan yang selalu menyegarkan kalbu dan nurani setiap anak negeri dari generasi ke generasi dalam melintasi waktu dengan spektrum-spektrum peristiwa penuh pemaknaan. Ia menjadi kekuatan pencerahan, fajar-budi (Renaissance) dan tugas kultural yang membimbing, mengarahkan kedamaian hidup dan kesejahteraan bersama. Ia berhimpun menjadi kekuatan bersama untuk membersihkan berbagai polusi peradaban dan sampah-sampah kejahatan yang mengotori diri personal, diri sosial politik dan keagamaannya. c. Katong Samua Orang Basudara dalam Konteks Bhinneka Tunggal Ika, Nasionalisme, dan Masa Depan Bahwa penduduk di Kota Ambon pada umumnya terdiri dari anak-anak
393
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
negeri atau suku dari wilayah pulau dan kepulauan Maluku serta penduduk suku atau etnis pendatang yang menyebar di wilayah Kota Ambon. Anakanak negeri/penduduk asli seperti sebagai orang Evav di Kepulauan Kei, orang Tanimbar di Maluku Tenggara Barat, orang Aru, orang Banda, orang Buru, orang Seram, orang Damer, orang Kisar, orang Wetar, orang Babar, orang Teon Nila Serua, orang Leti, orang moa, orang Saparua, orang Haruku, Nusalaut, Orang Manipa, Orang Buano dan lain-lain. Dari sekian asal orang-orang ini mereka telah membaur saling kawin-mengawin menjadi anak peranakan dari hasil perkawinan silang diantara mereka dan juga hasil perkawinan silang dengan suku-suku/etnis pendatang seperti; etnis Cina, Arab, Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris, Buton, Makasar, Bugis, Jawa, Sunda, Bali, Timor, Sumatera, Manado, Papua, Ternate, Tidore, Bacan, Halmahera dan lain sebagainya. Mereka hidup berdampingan secara moral dalam lingkungan sosial permukiman yang telah dimiliki sejak kedatangan leluhur mereka masing-masing.
Semua orang ini disebut sebagai Orang Ambon yang terdiri dari orang Ambon pribumi/tuni/tulen dan orang Ambon peranakan/keturunan hasil perkawinan silang. Namun mereka secara bersama bersama dibimbing oleh sebuah roh insani yang terbuka untuk saling menyapa dan merangkul serta menenun segala perbedaan alaminya itu menjadi sebuah kebersamaan yang utuh sebagai satu keluarga atau orang basudara. Rumah orang Basudara itu adalah rumah bersama yaitu Kota AmbonMaluku dan Indonesia secara umum. Di dalam rumah Kota Ambon atau Maluku rumah orang basudara itu, setiap anak negeri/Kota Ambon yang berasal dari berbagai daerah di wilayah Kota Ambon seperti di Jasira Leihitu yang beragama Salam (Islam) hidup berdampingan dengan orang di Jazira Leitimur yang beragama Naserani (Kristen) atau dari orang adat Hatuhaha
394
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
yang terdiri dari orang Pelau, orang Rohomoni, orang Kabau, orang Kailolo yang hidup berdampingan dengan saudara sekandung/gandong orang Hulaliu yang Sarani/Kristen dan negeri-negeri Sarani/Kristen lainnya di pulau Haruku dengan rasa serumah adat. Orang dari Pulau Damer yang makan pisang atau di Kepulauan Babar dan Kisar (Maluku Barat Daya) yang makan jagung, pakai kain tenun, beragama Kristen (Sarane) dan berbudaya Kalwedo; anak dari pulau Buru yang makan hotong, pakai Ifutin dan berbudaya Kai-Wai punya segadong (geneologi cultural). Anak dari kepulauan Kei yang makan embal dan berbudaya strata sosial dengan hukum adat Larvul Ngabal , anak dari kepulauan Aru makan sagu pok-pok dan pendukung adat Usia-Urlim. Juga anak dari kepulauan banda beragama Islam punya saudara segandong di kepulauan Tanimbar yang pakai kain tenun, pendukung adat Duan-Lolat yang beragama Kristen Protestan dan Katolik. Di dalam rumah Maluku itu berdiri kokoh tiangtiang kemajemukan yang menjadi pilar-pilau utamanya. Resikonya semua harus dijaga dan dipelihara dengan baik dengan segala keunikannya yang beranekaragam. Bila ada satu tiang yang dibiarkan busuk maka akan membuat bangunan rumah bersama itu menjadi retak, patah, dan terseokseok, sehingga nilai-nilai Ambon-Maluku ke-Indonesiaan akan terseok-seok dan makin hari-makin keropos. Di dalam rumah Maluku-Indonesia, rumah bersama, semua masyarakat kepulauan dengan segala aset kekayaan dan keunikan dirinya itu memiliki kamar atau ruang privat (ruang pribadi) untuk bercengkrama hidup secara aman, nyaman, dan tenang terlindung dari segala gangguan atau ancaman hidup yang menggorogoti eksistensinya. Harus terjamin dan makin terpelihara pula di dalam rumah Maluku-Indonesia itu dalam sistem keagamaan dan kepercayaan hidup. Katong Samua Orang Basudara dalam konsep nasionalisme, merupakan kearifan lokal dari cermin kehidupan berbangsa dan bernegara, bhinekatunggalika berdasarkan pada Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Kehidupan kota yang multietnis perlu di perhatikan oleh pemerintah, lewat kebijakan-kebijakan yang mendamaikan lewat pembelajaran/pendidikan kepada generasi muda bangsa. Keragaman ini diakui tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut. Berkaitan dengan hal ini, perlu adanya pendidikan multikultural sebagai penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain. Karena itulah yang terpenting dalam
395
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai bhineka tunggal ika yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan budaya atau pemeluk agama dan kepercayaan orang lain. Pendidikan jiwa nasionalisme harus ditegakkan di media-media dan wadah pendidikan dalam rangka menjaga keseimbangan atas pemikiran monokulturalisme dan multikulturalisme. Multikulturalisme mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsipprinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu tampak dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan tapi sekaligus memelihara kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman, bukan dengan menghapuskannya atau mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini adalah asumsi dasar yang juga melandasi paham multikulturalisme.
Foto 1. Pasar Multietnis Mardika di Kota Ambon
396
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Foto 2. Tukang Ojek dan Becak, dari Penduduk Keturunan Buton, Makassar, dan Berbagai Orang Pribumi Maluku di Kota Ambon Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif, sebab yang dituju adalah homogenitas, sekalipun itu pada tahap harapan atau wacana dan masih dalam taraf perwujudan (preexisting). Sedangkan asimilasi multietnis masyarakat Kota Ambon timbul dari keinginan bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan etnis yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan dengan fasafah Katong Samua Orang Basudara untuk mencegah pertentangan antara multikulturalisme dan monokulturalisme yang tampak nyata dari asumsi dasar yang saling berseberangan, yang satu melegitimasi perbedaan sementara yang lain meminimalisir perbedaan. Pemikiran terhadap konflik di Ambon harus dipisahkan dari konteks berlangsungnya konflik dimana di zaman kolonial menempatkan penduduk pribumi di satu pihak dengan penguasa kolonial dipihak lain yang disamping berdagang, juga menyebarluaskan agama dan memperluas kekuasaannya. Penduduk pribumi yang berada di pihak kolonial cuma menjadi alat (Thamrin Ely, Membangun Perdamaian Yang Hakiki; Berlayar Dalam Ombak Bekarya Bagi Negeri, hal 271). Eskalasi konflik Ambon (1999–2004), memberikan cambuk keras bagi orang-orang Maluku, prasangka-prasangka buruk antar kelompok-kelompok
397
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
konflik semakin menyolok, sehingga pelanggaran kemanusiaan terus berlangsung. Mungkinkah pertemuan Maluku di Malino yang menghasilkan perjanjian tripartite antara pemerintah dan kelompok rakyat yang bertikai tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh ketiga pihak itu? Atau mungkin saja disebabkan oleh keengganan segelintir kelompok yang sejak awal tidak mau berpartisipasi menyelesaikan konflik Maluku.
Namun di awal tahun 2005, di sela-sela ketidakpastian hidup orang-orang Maluku, perlahan-lahan mendapat titik terang. Ritual Biking Panas Pela dan Gandong digelar, pelantikan adat raja-raja yang melibatkan negeri-negeri pela dan gandong. Anak-anak Salam (Islam) dan Sarane (Kristen) bersatu dalam pangkuan pela dan gandong, secara terbuka dan jujur mengangkat sumpah ”katong samua orang basudara”. Prosesi adat ini berlangsung terus, hingga pada tanggal 25 November 2009, sebagai landasan sejarah perdamaian dunia bagi orang-orang di Maluku (Indonesia), maka Gong Perdamaian Dunia itu tiba di Kota Ambon. Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudoyono), resmi memukul gong tersebut sebagai tanda Ambon (Maluku) sebagai salah satu Wilayah Perdamaian Dunia. Masyarakat Maluku menyambutnya dengan hati yang tulus dan semakin optimis untuk menata kehidupan bersama dalam roh pela dan gandong, atas dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia. Perjalanan yang melelahkan, kini kembali normal, anak-anak Maluku kembali menata kehidupan dengan semangat perdamaian. Seluruh atribut budaya Pela dan Gandong ditonjolkan dalam setiap kebijakan pemerintah Provinsi Maluku. Begitu pula secara wilayah kultur di Maluku masing-masing melakukan ritual lewat pranata adat masing-masing.
398
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Sistem Salam-Sarane (Islam-Kristen) berlaku bagi pemilihan pemimpin daerah (Kabupaten/Kota/Provinsi). Ketika seorang calon gubernur dari anak Salam (Islam) maka wakil gubernur dari anak Sarane (Kristen) atau sebaliknya. Hal inipun terjadi pada calon Bupati dan Wakil Bupati. Dan sampai saat ini pemberlakuan persaudaraan Salam-Sarane ini terus membahana sampai ke pelosok negeri/desa. Anak-anak Maluku telah mengerti dan memahami istilah Salam-Sarane, dan ini menjadi tatanan kebersamaan dan persaudaraan serta jati diri orang Maluku, yang akan terus berlangsung hingga akhir zaman. Katong Samua Orang Basudara, di Indonesia adalah Rumah Kita dan untuk semua dalam bhinneka tunggal ika, di sinilah ada kepercayaan; karena kepercayaan itu mata uang dari kemanusiaan dan kemanusiaan itu mata uang dari perdamaian,”Katong samua orang basudara” (Pattipeilohy, 2012: 27). C. Penutup 1. Kesimpulan Kota Ambon memiliki sejarah yang panjang tentang kehidupan masyarakat multietnis. Sejarah membuktikan bahwa, dari Abad ke-9 sampai Abad ke21 ini, semakin marak. Baik masyarakat multietnis yang telah membaur/ perkawinan silang maupun masyarakat pendatang baru dari wilayah lain di Maluku maupun wilayah di luar Maluku. Eskalasi konflik Ambon, merupakan salah satu tragedi sosial yang memberikan kesadaran akan pentingnya budaya sebagai ikatan kehidupan yang harmonis. Kearifan lokal tentang ungkapan tradisional ”Katong Samua Orang Basudara dalam Bhinekatunggalika” dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan tindakan dengan ikhlas dan kejujuran tentang kehidupan persaudaraan diantara anak-anak bangsa. Pendidikan tentang kearifan lokal dan kehidupan nasionalisme selayaknya terus digalakan sebagai pembelajaran pada sistem pendidikan kepada generasi muda. Masa depan bangsa adalah masa depan anak-anak negeri, masa depan bangsa adalah masa depan negara Indonesia. Tindakan-tindakan melanggar hak-hak azasi manusia perlu di tindak dengan keras. Perlakuan masyarakat multietnis setidaknya memiliki ingatan lokal dan nasional lewat nilai-nilai budaya lokal dan nilai-nilai yang ada pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila dengan tetap berpegang teguh pada semboyan Bhineka Tunggal Ika. 2. Saran Sejalan dengan berbagai kendala yang ada di Kota Ambon maka upaya pengendalian permasalahan masyarakat multietnis harus dilakukan bersamasama (pihak pemerintah dan masyarakat) dapat dilakukan dengan cara:
399
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Sosialisasi tentang membangun kehidupan Multikultural yang sehat, dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya Peningkatan peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilainilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lokal dan budaya masyarakat non pribumi. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan subyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilainilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat menyeimbangkan proses humanisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya, yang memerlukan terasanya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan kesejagatan dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas /kedaulatan budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, dan menghargai kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus perubahan dengan mempertajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dan sence of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut. Transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan.
400
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Daftar Pustaka Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar. Penerbit Kanisius, Yogyakarta Bakker Anton. 1995. Kosmologi Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai rumah Tangga Manusia. Ghalia Indonesia Boulan Mc. 1984. Uru Son Of The Sunrise. di Indonesiakan oleh, S.J.M. Siajuta, dengan judul (Uru, Lelaki dari Matahari Terbit, tidak diterbitkan) De Jonge Nico and van Dijk Toos. 1995. Forgoten Island of Indonesia, The Art and Cultur of the Southheast Moluccas. Periplus Edition, Singapore. Huliselan, M. 2005. Berdampingan Dalam Perbedaan Konsep Hidup Anak Negeri. Dalam buku “Maluku Menyambut Masa Depan”, Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Ambon. Pattipeilohy, M. 2012. Pela Gandong Rumah Kita; Konstruksi Budaya, Inspirasi Dan Realitas Ketahanan Hidup Bersaudara Dari Maluku-Indonesia Untuk Perdamaian Dunia. Warta Sejah dan Budaya, Direktorat Nilai Sejarah R.Z. Leirissa, dkk. 1984. Sejarah Sosial Di Daerah Maluku. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek Dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Scheller M dalam Ernest Cassierr. 1987. Essay on Man. Diterjemahkan oleh Alois Nugroho, “Manusia Baru dan Kebudayaan”. Jakarta: Gramedia. Thamrin Ely. Membangun Perdamaian Yang Hakiki; Berlayar Dalam Ombak Bekarya Bagi Negeri, hal 271 Cetakan 1. Ambon: Ralahalu Institut. Watloly Aholib. 2005. Maluku Baru, Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri. Yogyakarta: Kanisius. Watloly Aholib. 2012. Filsafat Hidup Orang Basudara, dalam buku Berlayar Dalam Ombak Mengabdi Bagi Negeri. Ambon : Ralahalu Institut.
401
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
PELESTARIAN DAN PEMBERDAYAAN UPACARA ADAT Wahjudi Pantja Sunjata
Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Email: ……
402
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
A. Pendahuluan
S
alah satu bentuk ungkapan budaya yang sampai saat ini masih dilestarikan keberadaannya adalah upacara adat, yang merupakan kegiatan pewarisan kebiasaan dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Upacara adat merupakan kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama (Soepanto, 1992: 5). Upacara adat adalah serangkaian kegiatan manusia yang berkaitan dengan sistem kepercayaan terkandung di dalamnya seperangkat lambang atau simbol, dan bagi masyarakat pendukungnya, merupakan pengetahuan tentang norma‑norma, makna, dan nilai‑nilai. Sifat ritual upacara adat dapat dilihat pada maksud dan tujuannya. Pada umumnya upacara adat bertujuan untuk menghormati dan mensyukuri karunia Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk keberhasilan dalam hal kehidupannya, misalnya atas hasil panen yang baik, keselamatan, kesehatan, ketenteraman dan lain sebagainya. Di samping itu upacara adat juga merupakan permohonan keselamatan, kesejahteraan hidup dan hasil yang lebih baik untuk masa yang akan dating (Wahjudi, 2005: 7). Semua itu dapat terwujud apabila kelestarian keharmonisan alam semesta dan segala unsurnya terjaga. Dalam kepercayaan orang Jawa bahwa alam semesta ini terdiri atas jagad gedhé dan jagad cilik. Jagad gedhé adalah alam semesta ini, dan jagad cilik adalah manusia. Suatu keserasian dan keharmonisan tidak hanya diwujudkan dalam hubungan antara manusia dengan alam semesta, tetapi juga dalam bentuk hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosialnya. Keselarasan dalam kehidupan masyarakat akan menjamin kehidupan yang baik bagi individu‑individu. Untuk menjaga keselarasan tersebut seseorang wajib melakukan kewajiban‑kewajiban sosialnya. Kewajiban sosial dilakukan berdasarkan pada prinsip rukun dan hormat antara sesama warga masyarakat Untuk menjaga hubungan serasi dan harmonis, manusia melakukan upacara ritus. Upacara ritus merupakan kelakuan ritual yang dilakukan, menurut tata kelakuan baku (Niels Mulder, 1986: 36). Pelaksanaan upacara ritus berorientasi pada tokoh mitos yang diangkat dan diyakini karena kharismanya mampu melindungi dan memberikan kesejahteraan, ketentraman hidup masyarakat (Koentjara-ningrat, 1992: 252). Dengan demikian upacara adat akan selalu dilaksanakan apabila dirasa masih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pendukungnya. B. Hasil dan Pembahasan 1. Pelestarian Upacara adat merupakan salah satu warisan budaya dari nenek moyang kita syarat akan nilai-nilai luhur budaya yang masih perlu dipertahankan sampai
403
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
sekarang, oleh karena itu untuk menjaga kelestarian upacara adat tersebut perlu adanya peran yang sinergis dari berbagai pihak. Upaya pelestarian dilakukan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi berikutnya, yaitu dengan penyelenggaraan upacara adat secara rutin, hal ini diharapkan untuk menjaga kesinambungan budaya agar tradisi tersebut jangan sampai punah.Upaya pelestarian upacara adat perlu adanya peran: a. Pemangku adat b. Masyarakat (tokoh masyarakat, tokoh agama, generasi muda) c. Instansi/ lembaga terkait (pemerintah: pemerintah desa, kecamatan, dinas kebudayaan dan pariwisata, dan sebagainya). Mengadakan pembinaan, sarasehan, dan pendampingan, secara berkala antara pemangku adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, generasi muda, dan pemerintah. Pelestarian harus bersifat sederhana sehingga tidak memberatkan masyarakat setempat. Juga perlu didukung adanya publikasi dan promosi baik itu melalui media cetak maupun elektronika, seperti: koran, radio, TV, Internet dan sebagainya. Selain itu juga perlu adanya dokumentasi pelaksanaan upacara baik dalam bentuk dokumentasi tulisan maupun rekaman audio-visual. 2. Pengembangan Untuk lebih memberdayakan upacara adat kiranya perlu dikembangkan, namun dalam pengembangan dengan tidak mengurangi atau merubah makna dan tujuan yang ada di dalam setiap upacara adat. Dalam mengembangkan upacara harus berwawasan ke depan dan bersifat umum. Hal-hal yang bisa dikembangkan atau ditingkatkan antara lain: a. Pengemasan tata urutan pelaksanaan upacara b. Budaya (kostum, pemberian makna dikemas secara tertulis) c. Ekonomi (ajang bisnis/kegiatan komersial, pasar malam, dan sebagainya) d. Pariwisata e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), dengan mengadakan: workshop, seminar, penyuluhan, pembinaan, pendalaman agama, anjangsana, supaya pihak-pihak yang terkait ini bertambah wawasannya sehingga diharapkan mampu melihat unsur-unsur mana yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Misalnya dengan mengembangkan tata urutan upacara dengan menambah kegiatan pendukung yang berhubungan dengan kegiatan ritualnya, juga pemakaian kostum yang terencana. Seperti pada upacara adat
404
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Garebeg Besar Demak, yang ditambah dengan Bedhoyo Nowo Songo dan kirab prajurit pembawa air jamas dari pendapa kabupaten ke ndalem Kasepuhan di Kadilangu. Upacara adat Jolenan di Purworejo dengan menampilkan potensi kesenian yang ada di desa tersebut untuk dipergelarkan pada pelaksanaan upacara tersebut. Pada upacara adat Jamasan Pusaka Kanjeng Kyai Upas di Tulungagung, pada malam tirakatan dimeriahkan dengan lomba macapat untuk anak-anak setingkat SD, SLTP dan umum, di samping itu juga ditambah dengan kirab Srono Mulyo dari pendapa kabupaten ke dalem Kanjengan Tulungagung. Upacara adat Tanjungsaren di Dlimas Klaten, yang mengembangkan berbagai macam makanan tradisional dan moderen sebagai sarana kelengkapan sesaji. Sudah barang tentu pelestarian dan pengembangan upacara adat tidak hanya dari masyarakat pendukungnya saja, namun juga harus dari pihakpihak terkait lainnya seperti: tokoh masyarakat, tokoh agama, generasi muda Pemerintah Daerah setempat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan lain sebagainya ikut memberi dorongan, motivasi dan toleransi kepada masyarakat pendukungnya supaya mereka tetap menjalankan tradisi budaya ini. Hambatan yang dihadapi dalam pengembangan, antara lain: a. Kurangnya dana b. Kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat c. Hambatan dari sudut agama d. Keterbatasan sarana dan prasarana (misalnya: jalan menuju lokasi upacara, kurangnya publikasi dan promosi) e. Kurangnya perhatian dari pemerintah (pembinaan dan pendanaan) Adapun solusi untuk mengatasi hambatan dalam pengembangan tersebut, antara lain: a. Dana: 1) Meningkatkan iuran warga 2) Meningkatkan dana stimulan dari pemerintah 3) Dicari donatur dan sponsor. 4) Perlu adanya anggaran rutin dari desa dan instansi terkait. b. Sosialisasi tentang perlunya pelestarian upacara adat c. Meningkatkan kualitas SDM d. Musyawarah antara warga dan pemerintah setempat untuk menjembatani pihak-pihak yang pro dan kontra. e. Pelaksanaan upacara adat disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.
405
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
3. Pemberdayaan Upacara Adat Saat ini masyarakat kita baru mengalami pergeseran nilai-nilai maupun perkembangan budaya, budaya lama mulai ditinggalkan sementara budaya baru belum tampak nyata, maka yang terjadi adalah gejala akan memudarnya budaya yang selama ini diwariskan oleh nenek moyang kita. Di tengah gejolak zaman yang sedang menuju modernisasi ini ada salah satu produk budaya lama yang tumbuh dari kearifan lokal bangsa Indonesia, berupa upacara adat masih tetap dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya, karena upacara adat ini dipercaya masih bermanfaat bagi kehidupannya. Pelaksanaan upacara adat bagi masyarakat pendukungnya di dalamnya terkandung seperangkat lambang atau simbol, yang merupakan pengetahuan tentang norma‑norma, makna, dan nilai‑nilai. Hal inilah yang menjadi dasar bagi masyarakat pendukungnya agar mereka tetap melaksanakan atau mengikuti kegiatan upacara adat tersebut. Oleh karena supaya upacara adat ini tetap lestari maka maksud dan tujuan pelaksanaan ini harus tetap dipertahankan. 4. Masyarakat Pendukungnya a. Pelestari Budaya Upacara adat dilaksanakan apabila upacara adat tersebut masih mempunyai peranan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Masih adanya fungsi, tujuan dan makna upacara adat bagi masyarakat pendukungnya, maka para pendukung upacara adat ini akan selalu melaksanakan upacara adatnya, yang secara tidak langsung merupakan pelestari budaya. b. Transformasi Nilai Budaya Nilai budaya adalah sesuatu yang dianggap baik oleh suatu masyarakat, disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat (Sutarto, 2008). Upacara adat merupakan budaya tradisional yang bersifat spiritual, sebab dalam upacara adat senantiasa mengungkapkan, menanamkan dan memasyarakatkan nilai-nilai luhur budaya bangsa dalam rangka memperkokoh jatidiri dan kepribadian bangsa. Nilai-nilai budaya itu antara lain: kegotongroyongan, pelestarian, ketaqwaan, saling menghormati, kemufakatan, kejujuran, kerukunan, keramah-tamahan, dan sebagainya. Di dalam pelaksanaan upacara adat syarat dengan nilai-nilai budaya warisan nenek moyang kita, dengan masih dilaksanakan upacara adat tersebut secara tidak langsung merupakan tranformasi nilai-nilai budaya kepada generasi penerus.
406
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
c. Pelestari Lingkungan Pada pelaksanaan upacara adat ada hal-hal yang selalu menjadi larangan. Larangan-larangan ini dilakukan karena benda tersebut dianggap “keramat”, sehingga dengan peng-keramat-an itu benda-benda tersebut sampai sekarang masih tetap lestari. Misalnya pada upacara adat Bersih Sendhang Pokak di Desa Pokak, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah di tempat pelaksanaan upacara ada pohon-pohon besar dan langka yang tumbuh di sekitar sendhang ‘sumber air’ yang di-keramat-kan, tidak boleh dipotong dan harus selalu dipelihara. Dengan di-keramat-kannya pohon-pohon tersebut maka sampai saat ini sendhang tersebut masih tetap lestari, sehingga bisa bermanfaat untuk mengairi ± 64 ha lahan persawahan dan kebutuhan air masyarakat di sekitarnya. 5. Pemerintah dan Masyarakat Umum a. Salah Satu Aset Wisata Budaya Pelaksanaan upacara adat banyak dikunjungi orang diluar masyarakat pendukungnya, baik itu untuk melihat pelaksanaan upacara maupun hanya untuk melihat situasi keramaian. Para pengunjung yang datang berasal dari daerah setempat, luar daerah atau bahkan dari mancanegara ini secara tidak langsung merupakan wisatawan. Misalnya pada upacara adat: Siraman Gong Kyai Pradah di Blitar, Labuhan Gunung Kombang di Pantai Ngliyep Malang, Garebeg Sekaten di Kraton Yogyakarta dan Surakarta, Garebeg Besar Demak, Meron di Sukolilo Pati, Sedhekah Laut dan Lumban di Jepara dan lain sebagainya. b. Menambah Pendapatan Daerah Pelaksanaan upacara adat juga dapat dipakai untuk menambah pendapatan daerah baik itu pendapatan bagi pemerintah maupun pendatapan bagi penduduk setempat. Misalnya dengan menambah kegiatan pendukung sepanjang tidak menghilangkan atau mengubah dari makna dan tujuan upacara adat tersebut. Kegiatan-kegiatan bersifat bisnis atau komersial yang sekiranya cocok dengan daerah setempat seperti: pasar malam, pertunjukan kesenian, pakir dan sebagainya yang dikelola oleh panitia atau pemerintah setempat. Bagi penduduk setempat yang berjualan dengan banyaknya pengunjung yang datang maka akan terjadi transaksi jual beli: makanan, minuman, barang kebutuhan seharihari, cinderamata, dan sebagainya. Seperti pada upacara adat: Siraman Gong Kyai Pradah di Blitar, Labuhan Gunung Kombang di Pantai Ngliyep Malang, Larung Tumpeng Sesaji di Telaga Sarangan, Garebeg Kraton Yogyakarta, Garebeg Kraton Surakarta, Garebeg Besar Demak, didukung dengan pasar malam, dan sebagainya. Dari kegiatan pasar malam ini pemerintah setempat bisa menambah
407
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
pendapatan asli daerah (PAD) melalui restribusi: parkir, masuk ke tempat wisata maupun restribusi pedagang dan lain sebagainya. c. Media Penyampaian Pesan-Pesan Pembangunan Pada masa pembangunan pelaksanaan upacara adat dapat dipakai sebagai media penyampaian pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat pendukungnya. Misalnya pada pelaksanaan upacara adat Tanjungsaren Dlimas dan Bersih Sendhang Pokak di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah ditambah dengan kegiatan pendukung upacara seperti: kerja bakti perbaikan jalan lingkungan, pemeriksaan kesehatan bagi balita dan lansia, melaksanakan kebersihan lingkungan, pengumpulan dana untuk membangun desa dan sebagainya. d. Kegotongroyongan Dalam rangkaian kegiatan pelaksanaan upacara adat ada kegiatan yang sifatnya gotong royong, misalnya pengumpulan dana dari masyarakat pendukungnya untuk membiayai kegiatan tersebut, baik itu melalui iuran wajib atau sumbangan. Juga adanya kegiatan kerja bakti untuk membersihkan dan menata lingkungannya. Misalnya pada pelaksanaan upacara adat Mandhasia di Tawangmangu, Bersih Sendhang Pokak di Klaten, Jolenan di Purworejo, Kebokeboan di Desa Alas Malang Banyuwangi dan sebagainya. C. Penutup Upacara adat, yang merupakan kegiatan pewarisan kebiasaan dan nilainilai dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga harus dilestarikan dan dikembangkan/ diberdayakan agar tidak punah. Upaya pelestarian harus melibatkan peran pemangku adat, masyarakat, dan instansi pemerintah terkait. Adapun pengembangannya/ pemberdayaannya harus berwawasan ke depan dan bersifat umum. Pengembangan upacara adat, di samping menjadi tanggung jawab masyarakat pendukungnya (baik tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun tokoh generasi muda), juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini dikarenakan upacara adat mempunyai sejumlah manfaat. Manfaat pelestarian dan pemberdayaan upacara adat bagi masyarakat pendukungnya, antara lain: sebagai pelestarian budaya, media transformasi budaya, pelestarian lingkungan, dan menciptakan sifat kegotongroyongan. Adapun manfaat pelestarian dan pemberdayaan upacara adat bagi pemerintah, antara lain: sebagai aset wisata budaya, menambah pendapatan daerah, menjadi media penyampaian pesan-pesan pembangunan.
408
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Daftar Pustaka Koentjaraningrat. 199. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mulder, Niels 1986. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soepanto, dkk. 1992. Upacara adat Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya. Sutarto, Ayu 2008. “Peran dan Fungsi Nilai Budaya”. Bahan Diklat Tenaga Teknis Tradisi. Tidak diterbitkan. Sunjata, Wahjudi Pantja. 1997. Upacara Adat Garebeg Kraton Surakarta. Yogyakarta: BKSNT. _________. 1997. Upacara Adat Garebeg Besar Demak. Yogyakarta: BKSNT. _________. 1999. BKSNT.
Upacara Adat Tanjungsaren Dlimas. Yogyakarta:
_________. 2005.Upacara Adat Jamasan Pusaka Kyai Upas Di Tulungagung. Yogyakarta: BKSNT. _________. 2005. Upacara Adat Karo Pada Masyarakat Tengger. Yogyakarta: BKSNT. _________. 2005/ Upacara Adat Ceprotan Di Pacitan. Yogyakarta: BKSNT. _________. 2005. Upacara Adat Siraman Gong Kyai Pradah Di Blitar. Yogyakarta: BPNB. _________. 2005. Upacara Adat Kebo-keboan Pada Masyarakat Using Di Banyuwangi. Yogyakarta: Eja Publisher. Sunjata, Wahjudi Pantja, dkk. 2005. Upacara Adat di Kabupaten Klaten. Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
409
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
KEARIFAN LOKAL YANG TERANGKUM DALAM PERIBAHASA JAWA: STUDI KASUS KEARIFAN HIDUP DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA INDONESIA DI KOTA SURAKARTA Wakit Abdullah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Email: ….
410
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
A. Pendahuluan
M
asyarakat di Kota Surakarta dalam kehidupan sehari-hari masih mengenal kearifan lokal yang terekspresikan dalam peribahasa Jawa. Sebagai aspek idiomatic bahasa Jawa ekspresi verbal peribahasa Jawa memiliki keindahan berbahasa, tetapi lebih dari itu mencerminkan cara orang Jawa di Kota Surakarta untuk mengekspresikan kearifan hidup untuk menyampaikan pesan dan pengalaman panjang. Misalnya (1) ana dina ana upa secara leksikal bermakna ‘ada hari ada nasi’, sedangkan secara kultural bermakna untuk membangun optimisme hidup; (2) rukun agawe santosa, crah agawe bubrah secara leksikal bermakna ‘rukun menjadi kuat, bertengkar menjadi rusak’, sedangkan secara kultural bermakna rukun membuat kita kuat dan bercerai berai menyebabkan lemah bahkan hancur; (3) nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake bermakna leksikal ‘menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa membuat malu (lawan)’, sedangkan secara kultural bermakna setiap orang harus belajar dan memiliki cara dan strategi berdiplomasi untuk memenangkan suatu persoalan dengan tetap menghargai lawan, sehingga atas kesadaran sendiri rela mengikuti; (4) tiji tibeh akronim dari mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh bermakna leksikal ‘mati satu mati semua, mukti satu mukti semua’, sedangkan secara kultural bermakna kesatuan dalam semangat dan tekad untuk berjuang demi mewujudkan kemerdekaan, jika menang akan mukti bersama, tetapi jika kalah (mati) dihadapi bersamasama; (5) rawe-rawe rantas malang-malang putung bermakna leksikal ‘ujian hidup dihadapi, tantangan hidup tidak boleh dihindari’ dan bermakna kultural dalam memperjuangkan cita-cita ujian dan tantangan pasti datang, maka harus dihadapi dengan gagah berani, tekad kuat dan ulet, serta tawakal kepada Allah SWT, tidak menghindari tantangan untuk sampai tujuan (lulus doktor, hidup merdeka, hidup cukup, keluarga rukun, tetap taqwa, khusnul khotimah, dan sebagainya). Dalam konteks kearifan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia orang Jawa di Kota Surakarta bersifat subjektif konotatif, yaitu melalui kesasteraan lokal Jawa. Sementara dalam konteks nilai-nilai hidup Jawa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang universal bisa bersifat objektif empiris, yaitu pesan yang terangkum dalam peribahasa Jawa masih signifikan dengan konteks kekinian kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang majemuk. Nilai-nilai kebangsaan dalam peribahasa Jawa tersebut merangkum berbagai dimensi kehidupan orang Jawa antara lain mengekspresikan optimisme hidup; cara menghindari emosi oleh sebab tertentu; diplomasi menjadi pilihan penting; semangat juang yang membaja dan pantang menyerah demi bangsa Indonesia, dsb. Adapun permasalahan yang dikaji meliputi (1) bagaimanakah ekspresi verbal peribahasa Jawa yang merangkum nilai-nilai kebangsaan dalam berbangsa dan bernegara Indonesia?; (2) mengapa nilai-
411
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
nilai kebangsaan yang terangkum dalam peribahasa Jawa untuk kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia menjadi penting diaktualisasikan?; dan (3) Sejauh manakah sinkronitas semangat kebangsaan dalam peribahasa Jawadengan kondisi empiris kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sekarang ini? Maka penelitian ini berjudul “Kearifan Lokal yang Terangkum dalam Peribahasa Jawa: Studi Kasus Kearifan Hidup dalam Berbangsa dan Bernegara Indonesia di Kota Surakarta”. Tinjauan pustaka tulisan ini secara teoritis mengacu pada pengertian kearifan lokal (local genius) (Quaritch Wales dalam Poespowardojo, 1986: 30; Rahyono, 2009: 7-9) sebagai “the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life”. Konsep tersebut mengandung pokok pikiran tentang (1) ciri-ciri budaya, (2) masyarakat pemilik budaya, serta (3) pengalaman hidup yang menghasilkan ciri-ciri budaya. local genius (Poespowardojo,1986: 33) memiliki ketahanan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan mampu berkembang untuk masa mendatang. Kepribadian masyarakat ditentukan oleh kekuatan dan kemampuan local genius dalam menghadapi kekuatan dari luar.Jika lokal genius hilang atau musnah kepribadian bangsapun memudar. Faktor-faktor yang menjadi pembelajaran dan pemelajaran kearifan lokal memiliki posisi yang strategis, karena (1) kearifan lokal merupakan pembentuk identitas yang inheren sejak lahir, (2) kearifan lokal bukan keasingan bagi pemiliknya, (3) keterlibatan emosional masyarakat dalam penghayatan kearifan lokal kuat, (4) pemelajaran kearifan lokal tidak memerlukan pemaksaan, (5) kearifan lokal mampu menumbuhkan harga diri dan percaya diri, (6) kearifan lokal mampu meningkatkan martabat bangsa dan negara. Apabila dipahami (bahwa peribahasa Jawa) sebagai karya sastra yang bersifat subjektif konotatif nilai-nilainya dapat dibumikan agar menjadi sinkron dengan hal yang objektif empiris (Ratna, 2010), khususnya masyarakat Kota Surakarta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Seperti pandangan Mahsun (2005: 81) bahwa banyak cara untuk menguak perilaku kultural (kearifan lokal) suatu masyarakat. Salah satunya adalah melalui bahasa (peribahasa Jawa, red.) yang digunakan. Adanya buktibukti (evidensi) kebahasaan untuk menguak perilaku penuturnya sangat dimungkinkan mengingat struktur bahasa, seperti dinyatakan Sapir–Whorf (1966), dan dirumuskan kembali oleh Clark dan Clark (1977) mempunyai pengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Koentjaraningrat (l990: l83-l84 & 224) menyatakan bahwa kebudayaan (dalam hal ini peribahasa Jawa) merupakan kompleks ide, gagasan, norma, nilai, peraturan, kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan benda-benda hasil karya manusia. Peribahasa Jawa masyarakat di Kota Surakarta (dengan berbagai latar belakang pilihan, efek mentalitas dan prospeknya) didasarkan
412
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
pada pandangan hidup, pribadi dan lingkungan atau masyarakat (Geertz, l98l; Mulder,l985; Koentjaraningrat,l984). Pandangan hidup orang Jawa yang kosmo-mitis dan kosmo-magis menganggap bahwa alam sekitar mempunyai pengaruh terhadap kehidupan material maupun spiritual masyarakat (Mulder,l984), serta tergantung pada watak pribadi (Surjobroto,l983). Peribahasa (Jawa) memiliki potensi yang bersifat subjektif konotatif dan objektif empiris (Ratna, 2010). Adapun penelitian terdahulu yang terkait misalnya Sri Supiyarno, dkk., (2010) tentang “Kearifan Lokal Orang Jawa yang Tercermin dalam Peribahasa Jawa (kajian Etnolinguistik)”, Sutarjo, dkk., (2011) tentang “Aspek Stilistika dalam Peribahasa Jawa; Wakit Abdullah, dkk. (2010) tentang “Kearifan Lokal Petani di Pesisir Selatan Kebumen (Kajian Etnolinguistik)”; Wakit Abdullah,dkk. (2011), tentang “Bahasa Jawa dan Hubungannya dengan Perilaku Orang Jawa di Kota Surakarta”; Wakit Abdullah,dkk. (2012), , tentang “Bahasa Jawa dan Hubungannya dengan Perilaku Orang Jawa di Kota Surakarta; Wakit Abdullah, dkk. (2014) tentang “Kearifan Lokal yang Terangkum dalam Peribahasa Jawa: Studi Kasus Kearifan Hidup Berbangsa dan Bernegara Indonesia di Kota Surakarta”. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini meliputi perencanaan dan pelaksanaan penelitian bersifat deskriptif kualitatif1. Cara pelaksanaannya mengunakan ragam penelitian aksi (action research atau operational research). Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, dan berdasarkan lokasi penelitian, penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fieldwork research). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel yang ada sekarang dalam kehidupan nyata di Indonesia. Data berupa data kualitatif (data verbalperibahasa Jawa), data nonverbal (data kultural) dan data praktikal (aplikasi nilai peribahasa Jawa dalam semangat kebangsaan). Analisis data menggunakan analisis data kasus tunggal memanfaatkan dari perspektif etnolinguistik memanfaatkan Proses penelitian meliputi (l) identifikasi dan pemilihan masalah penelitian, (2) pemilihan kerangka konseptual penelitian serta hubungan dengan penelitianpenelitian sebelumnya, (3) merumuskan masalah, termasuk spesifikasi tujuan dan ruang lingkup masalah, (4) memilih ragam dan strategi penelitian, (5) menentukan variabel dan sumber data, (6) memilih prosedur dan teknik sampling yang digunakan, (7) menyusun instrumen dan teknik pengumpulan data, (8) membuat kode, melakukan editing serta pemrosesan data, (9) menganalisis data, dan (l0) membuat laporan hasil penelitian. Adapun ragam dan strategi penelitian ditentukan oleh (l) cara pelaksanaan, (2) tujuan, (3) pendekatan, (4) bidang ilmu, (5) tempat, (6) variabel, (7) model analisis datanya (Arikunto, l993:8ll; Moh. Nazir, l988: 99). 1
413
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
etnosaint (analisis taksonomik, domain dan komponensial) dalam bentuk penyajian deskriptif kualitatif pesan kearifan lokal yang terangkum dalam peribahasa Jawa. Teknik pengumpulan data dengan obseravasi partisipatif, wawancara mendalam (indepht interviewing), studi dokumen serta pustaka jika memungkinkan. Informan menggunakan teknik purposive sampling dengan model snowball sampling (Sutopo, 2006). Validitas data dilakukan dengan kritik sumber (eksternal dan internal) (Koentjaraningrat, l977:7984), dan melalui cara triangulasi (sumber, metode, teori, peneliti) (Moleong, l989:112; Sutopo,l986:70-74). Hasilnya disajikan secara teks-naratif dengan analisis interaktif melalui proses bentuk siklus (terus-menerus) (Sutopo, 2006). B. Hasil dan Pembahasan Untuk menjawab permasalahan penelitian sebagaimana disebutkan di atas, dapat dicermati dengan deskripsi berikut ini. 1. Ekspresi Verbal Peribahasa Jawa yang Terkait Nilai-Nilai Kebangsaan dalam Berbangsa dan Bernegara Indonesia di Kota Surakarta a. Peribahasa Jawa yang Mencerminkan Perilaku (Watak) yang Memberikan Spirit Nasionalisme Misalnya (1) Ekspresi verbal peribahasa Jawa lobok atine ’longgar hatinya’ secara kultural mencerminkan kearifan lokal Jawa. Oleh karena ekspresi lobok bermakna leksikal ’longgar’ yang secara ilustratif dapat mencerminkan konsep suatu ruang, arena, sifat (legawa ‘ikhlas’) tempat atau lokasi. Adapun terkait kearifan hidup masyarakat Jawa di Kota Surakarta ekspresi verbal lobok ’longgar’ sering dimaknai secara kultural mengilustrasikan suasana rasa atau ati ’hati’. Sehingga ekspresi verbal lobok ’longgar’ yang berstruktur secara morfologis dengan ekspresi verbal atine ’hatinya’. Struktur tersebut secara kultural bermakna mencerminkan sifat kearifan hidup masyarakat Jawa ketika menyikapi keadaan, terutama dalam rangka menyatukan semangat hidup berkebangsaan Indonesia dalam rangka nasionalisme. Sebaliknya apabila satu dengan yang lain yang eksistensi keindonesiaannya bersifat pluralistik, tetapi tidak bisa lobok atine ’longgar hatinya’, maka tidak mustahil yang muncul yaitu watak dan sifat egoisme (mbaguguk makutha waton), sehingga akan menjadi lubang kehancuran dari tujuan berbangsa dan ber-Indonesia. (2) Ekspresi verbal peribahasa Jawa manis eseme ’senyumnya menggiurkan’ secara kultural merupakan potensi karakter yang dapat memberikan modal berkomunikasi positif. Maksudnya ekspresi senyum dapat diidentifikasi menunjukkan potensi sikap kompromistis, damai, rukun dan pertanda awal yang baik. Sebaliknya di sisi lain dapat dipahami di balik senyum yang menggiurkan itu ada sesuatu yang bisa diidentifikasi yang lain. Terbawa oleh ekspresi manis ’manis’ yang mengandung positif, maka hal itu
414
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
menjadi penting untuk membentuk kondisi saling mengenal, saling menghargai, saling memahami, saling mengasihi dan saling positif yang lain sebagai sesama anak bangsa. (3) Ekspresi verbal peribahasa Jawa momot atine ’sabar/penyabar’ secara kultural mencerminkan kearifan hidup, terutama dalam rangka berbangsa Indonesia. Dalam konteks itu momot ’muat/sabar/ penyabar’ akan memberikan kontribusi mentalistik bangsa yang dapat memcerminkan suasana saling memahami, ngemong, dan mengedepankan kebersamaan. (4) Ekspresi verbal peribahasa Jawa dawa ususe ’sabar sekali’ secara kultural dapat memberikan kontribusi yang bersifat mentalistik untuk membangun semangat kebangsaan Indonesia. Kondisi bangsa Indonesia yang bhinneka, mengedepankan sifat sabar dapat menjadi modal spiritual kebersamaan. (5) Ekspresi verbal peribahasa Jawa adus kringet ’mandi keringat’ secara kultural mengilustrasikan semangat juang, kerja, sungguh-sungguh, pantang menyerah, tidak mau berpangku tangan, gigih dalam mencapai citacita dan mempertahankannya, serta tidak takut menderita dan menghadapi cobaan. Oleh karena itu peribahasa Jawa tersebut dalam hubungannya dengan semangat kebangsaan menjadi modal penting. Dengan semangat itu bangsa Indonesia akan segera mencapai cita-citanya. (6) Ekspresi verbal peribahasa Jawa wani mati ’berani mati’ secara historis dan nasionalistis menggambarkan semangat para pahlawan Indonesia. Mereka berasal dari berbagai kalangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu sangat diharapkan para generai penerus dapat mewarisi jiwa berani mati dalam rangka membela bangsa dan negara Indonesia. (7) Ekspresi verbal peribahasa Jawa wedi wirang ’takut malu’ dalam kerangka nasionalisme dan semangat kebangsaan Indonesia telah menjadi kekuatan mental untuk tidak berbuat ceroboh dan gegabah. Hal itu nampak dalam karakter pendiri dan pahlawan bangsa Indonesia, terutama watak para pembela bangsa utama yang ditunjukkan lebih baik mati dari pada menyerah kepada musuh. Ekspresi heroisme itu terangkum dalam “Merdeka ataoe mati”. (8) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ngangsu kawruh ’menimba pengetahuan’ merupakan bagian penting ekspresi verbal peribahasa Jawa yang mengilustrasikan betapa kesadaran bangsa Indonesia menimba pengetahuan menjadi salah satu kekuatan untuk menegakkan semangat nasionalisme Indonesia. Sosok Soekarno, Hatta, Syahrir, Yamin, Agus Salim dan yang lain menjadi contoh aktualisasi nilai-nilai yang terangkum dalam peribahasa jawa tersebut. Betapa mereka menjadi cerdas, berani dan mumpuni karena mencari ilmu atau pengetahuan. (9) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ngendhaleni hawa nepsu ’mengekang napsu’ merupakan bagian dari ekspresi verbal yang merangkum nilai-nilai kekuatan mental spiritual bangsa Indonesia. Apabila dalam perjuangan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, maka yang muncul bukan semangat kebangsaan, melainkan semangat pengekangan, perampasan, penindasan, pembiaran, pemasabodohan, dan watak buruk yang lain. Watak buruk itu jika dibiarkan pada ujungnya adalah kehancuran dan
415
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
kebinasaan. (10) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ana dina ana upa secara leksikal bermakna ‘ada hari ada nasi’, sedangkan secara kultural bisa bermakna untuk membangun motivasi kehidupan agar senantiasa bersemangat dan optimis. (11) Ekspresi verbal peribahasa Jawa rukun agawe santosa, crah agawe bubrah secara leksikal bermakna ‘rukun menjadi kuat, bertengkar menjadi rusak’, sedangkan secara kultural bermakna rukun membuat kuat dan bercerai berai menyebabkan lemah bahkan hancur. (12) Ekspresi verbal peribahasa Jawa nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake bermakna leksikal ‘menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa membuat malu (lawan)’, sedangkan secara kultural bermakna setiap orang harus belajar dan memiliki cara dan strategi berdiplomasi untuk memenangkan suatu persoalan dengan tetap mengangkat dan menghargai lawan, sehingga lawan karena kesadaran sendiri akan mengikuti alur diplomasi yang dikembangkan. (13) Ekspresi verbal peribahasa Jawa tiji tibeh akronim dari mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh bermakna leksikal ‘mati satu mati semua, mukti satu mukti semua’, sedangkan secara kultural bermakna kesatuan dalam semangat dan tekad untuk berjuang demi mewujudkan kemerdekaan, jika menang akan mukti bersama, tetapi jika kalah mati juga dihadapi bersama-sama. (14) Ekspresi verbal peribahasa Jawa rawe-rawe rantas malang-malang putung bermakna leksikal ‘ujian hidup dihadapi, tantangan hidup tidak boleh dihindari’ dan bermakna kultural dalam memperjuangkan cita-cita ujian dan tantangan pasti datang, maka harus dihadapi dengan tekad kuat dan sabar, serta pasrah kepada keberkahan Allah swt. dan jangan menghindari apabila ingin sampai tujuan (lulus doktor, hidup merdeka, hidup cukup, keluarga rukun, tetap di jalan iman dan taqwa, khusnul khotimah, dan sebagainya. (15) Ekspresi verbal peribahasa Jawa nglurug tanpa bala ’menundukkan dengan keluhuran budi, berjuang tanpa pamrih’ dalam rangka berani menghadapi semua rintangan kehidupan. Secara kultural menunjuk pada watak bangsa Indonesia sebagai orang Timur, khususnya para pahlawan bangsa yang tidak berharap apa- apa, kecuali kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka mereka relakan semuanya untuk menempuh cita-cita itu. (16) Ekspresi verbal peribahasa Jawa sugih tanpa bandha ’kaya tanpa harta benda/ mengutamakan persaudaraan dengan siapa saja’. Makna tersebut secara kultural dapat diinterpretasikan bahwa untuk memperkuat persatuan bangsa Indonesia semangat mengutamakan persaudaran menjadi persoalan penting dan harus dipedomani siapapun dan sampai kapanpun oleh bangsa Indonesia. Apabila sebaliknya maka akan terjadi persoalan kebangsaan. (17) Ekspresi verbal peribahasa Jawa digdaya tanpa aji ’sakti tanpa mantra, mukjizat’. Secara kultural dapat diinterpretasikan bahwa perilaku baik akan membawa simpati dari siapapun dan di manapun. Untuk itu konsep tersebut menjadi penting dipahami dan dipedomani oleh anak bangsa yang menginginkan Indonesia menjadi negara bersatu dan kuat. (18) Ekspresi verbal peribahasa Jawa menang
416
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
tanpa ngasorake ’menang dengan cara yang baik/ menghargai, cara yang damai’. Ekspresi tersebut secara kultural dapat diinterpretasikan bahwa semua persoalan secara alami dapat diselesaikan dengan cara-cara yang baik (musyawarah, saling mendengarkan, bicara dari hati ke hati, tidak merendahkan satu dengan yang lain, terbuka tanpa ada yang tertindas dan dirugikan, dan sebagainya). Oleh karena itu satu dengan yang lain tanpa ada yang merasa dipermalukan, dikalahkan, dihinakan, dan persepsi negatif yang lain. (19) Ekspresi verbal peribahasa Jawa aja kengguh mring krincinging dhinar ’jangan tergiur terhadap gemerlapannya uang/ harta’. Secara kultural ekspresi verbal tersebut memberikan pesan moral agar seluruh bangsa Indonesia menyikapi godaan yang berupa uang/suap, sehingga menyebabkan berbagai kerugian negara dan bangsa. (20) Ekspresi verbal peribahasa Jawa aja kengguh mring klubuking mina ’jangan tergiur terhadap berkeloknya ikan, jangan mengikuti para penjilat, jangan menuruti bisikan orang jahat’. Prinsip kearifan hidup yang terangkum dalam peribahasa Jawa tersebut mengilustrasikan bahwa para pemimpin bangsa Indonesia, bahkan seluruh rakyat Indonesia agar tidak membudayakan budaya suap yang telah membuat negara dan bangsa Indonesia terjebak pada perilaku jahat berupa suap dan korupsi. (21) Ekspresi verbal peribahasa Jawa aja kengguh mring klimising wentis kuning ’jangan tergiur terhadap mulusnya betis (wanita)’. Ekspresi tersebut membawa pesan moral bahwa setiap anak bangsa agar tidak terjebak pada perilaku jahat berupa perselingkuhan, tergoda wanita murahan. Akibatnya karir, kewibawaan, moral, kedudukan dan sejenisnya menjadi hancur dan hina. (22) Ekspresi verbal peribahasa Jawa jer basuki mawa beya ’mencapai kesuksesan perlu adanya biaya’. Kearifan hidup yang terangkum dalam ekspresi verbal tersebut memberikan spirit agar semua anak bangsa Indonesia rela berkorban demi kejayaan bangsa Indonesia. (23) Ekspresi verbal peribahasa Jawa yen dibeciki liyan tulisen jroning watu ’jika diberi kebaikan tulislah di batu’. Ekspresi verbal tersebut memberikan pesan kepada semua bangsa Indonesia agar tidak melupakan budi baik orang lain, sehingga persatuan bangsa Indonesia tetap terjaga baik. Harapan itu diibaratkan agar kebaikan itu ditulis dibatu agar abadi dan tidak hilang begitu saja. (24) Ekspresi verbal peribahasa Jawa yen mbeciki liyan tulisen jroning lebu ’bila menaruh kebaikan pada orang lain, janganlah selalu diingat’. Secara kultural mengandung pesan dan dipahami agar bangsa Indonesia memiliki jiwa ikhlas dan rela berkorban untuk negara. (25) Ekspresi verbal peribahasa Jawa sapa nandur ngundhuh wohing pakarti ’siapa menanam memetik hasilnya’. Ekspresi verbal tersebut mengandung pesan bahwa bangsa Indonesia agar hati-hati untuk bertindak, karena setiap perbuatan akan kembali pada diri sendiri. (26) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ngelmu pari saya isi saya tumungkul ’ilmu padi semakin isi semakin menunduk’. Pesan yang terkandung dalam ekspresi verbal tersebut agar bangsa Indonesia memiliki watak rendah hati tetapi
417
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
mantap dan mendalam isinya. Bukan sebaliknya sombong dan menabur permasalahan di tengah kehidupan dunia. b. Peribahasa Jawa yang Mencerminkan Perilaku (Watak) Menjadi Penghalang Nasionalisme Misalnya (1) Ekspresi verbal peribahasa Jawa gedhe endhase ’sombong’ merupakan ekspresi verbal yang memperburuk citra kebangsan Indonesia yang dikenal dunia internasional ramah-tamah dan memegang budaya Timur. (2) Ekspresi verbal peribahasa Jawa peteng atine ’susah batinnya, gelap mata’ secara kultural mengandung pesan bahwa bangsa Indonesia agar bisa menghindari karakter yang diliputi oleh suasana tersebut. Dengan harapan tetap bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. (3) Ekspresi verbal peribahasa Jawa pingget atine ’kecewa’. Ekspresi verbal tersebut secara kultural mengandung pesan nasionalisme agar bangsa Indonesia tidak gampang kecewa, karena apabila bersikap demikian maka ujungnya adalah menuju pada situasi yang membawa dendam, bahkan dendam kesumat. (4) Ekspresi verbal peribahasa Jawa cilik atine ’penakut/minder’ mengandung pesan karakter yang kurang bagus bagi pelaksanaan pembangunan. Apalagi ketika zaman perjuangan melawan penjajah dulu, karena mencerminkan watak penakut, gampang menyerah, tidak tahan uji, tidak berani mati, dan bahkan bisa membawa pada watak pengecut dan gampang berkhianat di tengah-tengah situasi genting dan sulit. (5) Ekspresi verbal peribahasa Jawa mata dhuwiten ’sangat perhitungan’ merupakan ekspresi yang mengilustrasikan karakter atau watak serba mengukur dengan uang. Bahkan dalam batas inmateri, spiritual, atau apapun berusaha untuk diuangkan demi keuntungan dan kepentingan pribadi. Karakter yang terangkum dalam ekspresi tersebut sangat tidak mendukung watak dan jiwa nasionalisme Indonesia. Aktualisasinya tercermin dalam watak para koruptor. (6) Ekspresi verbal peribahasa Jawa kethul atine ’bodoh’ dalam rangka nasionalisme menjadi bagian dari sifat yang kontra produktif bagi bangsa Indonesia. Oleh karena karakter itu secara empiris kurang memberi sumbangan maksimal terhadap pembangunan intelektual, bahkan menjadi hambatan kemajuan bangsa dan nasionalisme Indonesia. Dalam hal nasionalisme sifat bodoh dan kurang memahami nasionalisme gampang dijebak dan diperdayai oleh bangsa asing atau kaki tangan asing di Indonesia. (7) Ekspresi verbal peribahasa Jawa mbukak wadi ’membuka rahasia’. Dalam konteks intelejen Indonesia karakter yang terangkum dalam ekspresi tersebut merupakan ilustrasi sifat yang kontra produktif, karena membahayakan eksistensi bagi rahasia negara dan bangsa Indonesia. (8) Ekspresi verbal peribahasa Jawa rai gedheg ’muka tembok, tidak punya malu’. Ekspresi verbal tersebut mengilustrasikan watak yang kurang membawa kebaikan bangsa, karena watak rai gedheg menunjukkan suatu sifat orang yang tidak punya
418
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
malu, sehingga ketika berbuat salah, merugikan rakyat (koruptor, penjahat) tidak merasa berdosa kepda Tuhan dan tidak merasa bersalah kepada sesama. (9) Ekspresi verbal peribahasa Jawa adiguna ’kepandaian’ mengandung pesan kritikan untuk orang yang sok, yaitu sok tahu, sok pinter, sok paham, dan sok bisa. (10) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ora katon dhadhane ’tidak kelihatan batang hidungnya’. Pesan yang terkandung dalam ekspresi verbal tersebut dalam konteks nasionalisme mengilustrasikan watak yang tidak jantan, tidak berani, penakut menghadapi kenyataan yang berbahaya. Bahkan berubah menjadi pengecut dan menjadi pengkhianat mana kala tertekan atau terpojok ketika memegang amanah (pemimpin, komamdan, tugas khusus, matamata untuk intelejen negara, dan sebagainya). (11) Ekspresi verbal peribahasa Jawa adigang, adigung, adiguna ’membanggakan kekuasaan, keluhuran dan kepandaian’. Mengandung pesan yang mengilustrasikan karakter yang kurang baik karena menyombongkan kekuatannya/ kekuasaannya, besarnya/derajat tinggi, dan kepintarannya (menjadi licik). Dalam rangka nasionalisme bangsa Indonesia karakter tersebut kurang produktif. (12) Ekspresi verbal peribahasa Jawa asu gedhe menang kerahe ’orang besar selalu menang’. Secara kultural kebangsaan Indonesia karakter itu kurang produktif, karena ekspresi tersebut mengilustrasikan karakter yang sewenang-wenang, otoriter, sombong, mengambil keuntungan kelompok dan dirinya. Ekspresi asu ‘anjing’ bentuk sarkasme manusia yang berwatak jahat dan gedhe ‘besar’ menunjuk pada orang yang berpangkat. 2. Nilai-nilai kebangsaan yang Terangkum dalam Peribahasa Jawa untuk Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Indonesia di Kota Surakarta Nilai-nilai kebangsaan yang terangkum dalam peribahasa Jawa untuk kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia di Kota Surakarta. Misalnya nilai-nilai kebangsaan yang diaktualisasikan dalam: (a) Melestarikan budaya Jawa (peribahasa Jawa) terbukti masih diungkapkan ketika ada permasalahan nasionalisme (aja dumeh ‘jangan mersa paling ketika berkuasa’). (b) Aplikasi pesan yang ada di dalamnya, yakni kepahlawan (rawe- rawe rantas malangmalang putung ‘mengatasi dan menghadapi semua tantangan dengan gagah berani’, sepi ing pamrih rame ing gawe ’tidak mengutamakan kepentingan pribadi, dan mengutamakan kepentingan umum), bijaksana (ngono ya ngono ning aja ngono ‘bisa dimaknai menolak dengan cara yang baik, menghukum dengan adil, meminta dengan wajar, dan sebagainya’), spiritual kebangsaan (sadumuk bathuk sanyari bumi direwangi taker pati ‘pelecehan wanita dan perebutan wilayah taruhannya nyawa’), luwes (sapa salah bakal seleh ‘siapa salah akan kalah’ untuk menggambarkan keadaan dizolimi tetapi tidak bisa membalas), sinkron (wong Jawa nggone rasa ‘orang Jawa mengedepankan rasa tahu diri’ tidak boleh semau gue), tanpa beban psikologis (mengungkapkan
419
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
sesuatu: sindiran, kritikan, rasa tidak senang dengan ekspresi metaforis). (c) Membuktikan relevansi budaya tradisional dan budaya modern, karena peribahasa Jawa masih eksis di tengah kemajuan penuturnya. (4) Fungsi komunikatif peribahasa Jawa sebagai rangkuman pengalaman panjang penuturnya, karena mengandung pesan-pesan yang universal. 3. Sinkronitas Semangat Kebangsaan dalam Peribahasa Jawa dengan Kondisi Empiris Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Indonesia Sekarang Sinkronitas semangat kebangsaan dalam peribahasa Jawa dengan kondisi empiris kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sekarang, yakni (a) dapat dibuktikan masih relevan, (b) pesan yang terkandung di dalamnya berbobot, (c) memiliki kandungan spiritualitas kebangsaan, (d) mencerminkan budaya tinggi, (e) perspektif masa depan, dan (f) luwes dalam tekanan keadaan. Pertama, relevansi peribahasa Jawa dengan semangat kebangsaan dapat diidentifikasi dari kearifan orang Jawa di Kota Surakarta untuk mengungkapkan rasa dengan cara menghindari cara-cara yang menyakiti atau menyinggung pihak lain. Hal itu karena antara lain memiliki dipengaruhi oleh spirit dan semangat persatuan, kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Secara empiris pragmatis ketika bermaksud menyampaikan pesan moral, mengkritik, memberi kata putus (closing statement) dan sejenisnya dalam kondisi tertentu maksudnya disampaikan dengan bahasa Jawa indah yang bersifat metaforis seperti peribahasa Jawa. Ekspresi verbal peribahasa Jawa yang merangkum kearifan orang Jawa itu dengan harapan agar tidak menyakiti mitra bicara atau pendengarnya. Kedua, pesan yang terkandung di dalam peribahasa Jawa secara komprehensif dapat dikatakan berbobot, baik secara kultural (mengedepankan sosok berbudaya), sosial (menghargai orang lain dengan menghindarkan diri dari perkataan yang menyinggung dikemas dalam bahasa yang indah metaforis), literal (memiliki kriteria kesastraan karena memiliki standar tertentu), emosional (menjadi media pengendalian perasaan emosi atau jengkel). Ketiga, memiliki kandungan spiritualitas kebangsaan, karena dalam ekspresi verbal peribahasa Jawa terdapat ekspresi yang merangkum spirit nasionalisme Indonesia. Spirit tersebut antara lain dipengaruhi oleh kondisi perjuangan orang Jawa (melawan penjajah, melawan musuh, dan sebagainya). Akibatnya pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunianya terekspresikan secara singkat dalam nuansa bersastra seperti dalam peribahasa Jawa. Keempat, mencerminkan budaya tinggi, karena peribahasa Jawa memiliki
420
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
standar literer tertentu terkait sifat subjektif konotatif. Antara lain maknanya sangat dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan orang per orang atau kelompok dalam menyikapi keadaan yang ada. Kelima, perspektif masa depan, karena rangkuman pesan yang ada di dalamnya merupakan ekspresi singkat pengalaman panjang penutur dan menjadi aspek kesastraan yang bersifat monumental (struktur bahasanya menjadi beku/ tidak mudah diubah). Distrukturbekukan itu antara lain dari perspektif sosio-kultural leluhur Jawa memiliki keraifan, maksud, harapan agar pesan di dalamnya menjadi salah satu pelajaran penting bagi anak cucu di masa depan. Selanjutnya anak cucu menjadi orang yang mau belajar dari pengalaman buruk dan baik, dan mau mencontoh yang baik dan meninggalkan yang buruk agar selamat hidupnya kelak. Keenam, luwes dalam tekanan keadaan karena peribahasa Jawa yang merangkum pesan apapun sesuai konteks kejadian, pemakaian dan pilihan kata (diksi) penutur selalu berusaha datar, tenang, sopan, sabar, dan percaya diri dalam menyikapi keadaan yang sedang berlangsung. Akibatnya kearifan orang Jawa melalui ekspresi verbal peribahasa Jawa itu bisa menjaga suasana tetap baik dan tenang, tetap terjaga dan terkendali. Dalam konteks nasionalisme dan kebangsaan akan memberikan harapan rukun, bersatu, saling menghormati dan menghindarkan diri dari percekcokan yang tidak produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. C. Penutup Berdasarkan uraian di atas maka dalam penutup ini bisa disimpulkan bahwa (1) ekpresi peribahasa Jawa terekspresikan secara verbal dan merangkum pesan yang bersifat nonverbal. Secara nonverbal peribahasa Jawa mencerminkan perilaku (watak) yang memberikan spirit nasionalisme, di samping peribahasa Jawa yang mencerminkan perilaku (watak) yang menjadi penghalang nasionalisme. (2) Nilai-nilai kebangsaan yang terangkum dalam peribahasa Jawa untuk kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia di Kota Surakarta masih diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. (3) Adapun sinkronitas semangat kebangsaan dalam peribahasa Jawa dengan kondisi empiris kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sekarang ini dapat diidentifikasi (a) Relevansi peribahasa Jawa dengan semangat kebangsaan dapat diidentifikasi dari kearifan orang Jawa di Kota Surakarta untuk mengungkapkan rasa dengan cara menghindari cara- cara yang menyakiti atau menyinggung pihak lain. Hal itu karena antara lain memiliki dipengaruhi oleh spirit dan semangat persatuan, kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Secara empiris pragmatis ketika bermaksud menyampaikan pesan moral, mengkritik, memberi kata putus (closing statement) dan sejenisnya
421
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
dalam kondisi tertentu maksudnya disampaikan dengan bahasa Jawa indah yang bersifat metaforis seperti peribahasa Jawa. Ekspresi verbal peribahasa Jawa yang merangkum kearifan orang Jawa itu dengan harapan agar tidak menyakiti mitra bicara atau pendengarnya. (b) Pesan yang terkandung di dalam peribahasa Jawa secara komprehensif dapat dikatakan bebrobot, baik secara kultural (mengedepankan sosok berbudaya), sosial (menghargai orang lain dengan menghindarkan diri dari perkataan yang menyinggung dikemas dalam bahasa yang indah metaforis), literal (memiliki kriteria kesastraan karena memiliki standar tertentu), emosional (menjadi media pengendalian perasaan emosi atau jengkel). (c) Memiliki kandungan spiritualitas kebangsaan, karena dalam ekspresi verbal peribahasa Jawa terdapat ekspresi yang merangkum spirit nasionalisme Indonesia. Spirit tersebut antara lain dipengaruhi oleh kondisi perjuangan orang Jawa (melawan penjajah, melawan musuh, dsb.). Akibatnya pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunianya terekpresikan secara singkat dalam nuansa bersastra seperti dalam peribahasa Jawa. (d) Mencerminkan budaya tinggi, karena peribahasa Jawa memiliki standar literer tertentu terkait sifat subjektif konotatif. Antara lain maknanya sangat dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan orang per orang atau kelompok dalam menyikapi keadaan yang ada. (e) Perspektif masa depan, karena rangkuman pesan yang ada di dalamnya merupakan ekspresi singkat pengalaman panjang penutur dan menjadi aspek kesastraan yang bersifat monumental (struktur bahasanya menjadi beku/tidak mudah diubah). Distrukturbekukan itu antara lain dari perspektif sosio-kultural leluhur Jawa memiliki keraifan, maksud, harapan agar pesan di dalamnya menjadi salah satu pelajaran penting bagi anak cucu di masa depan. Selanjutnya anak cucu menjadi orang yang mau belajar dari pengalaman buruk dan baik, dan mau mencontoh yang baik dan meninggalkan yang buruk agar selamat hidupnya kelak. (f) Luwes dalam tekanan keadaan karena peribahasa Jawa yang merangkum pesan apapun sesuai konteks kejadian, pemakaian dan pilihan kata (diksi) penutur selalu berusaha datar, tenang, sopan, sabar, dan percaya diri dalam menyikapi keadaan yang sedang berlangsung. Akibatnya kearifan orang Jawa melalui ekspresi verbal peribahasa Jawa itu bisa menjaga suasana tetap baik dan tenang, tetap terjaga dan terkendali. Dalam konteks nasionalisme dan kebangsaan akan memberikan harapan rukun, bersatu, saling menghormati dan menghindarkan diri dari percekcokan yang tidak produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
422
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Daftar Pustaka Clark, Herbert H. and Eve V. Clark. 1977. Psychology and Language: An Introduction to Psycholinguistics. New York: Harcourt, Brace Jovarovich. Geertz, Clifford. l98l. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya. Koentjaraningrat. l977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian rakyat. ________. l984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan. ________. l990. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia. Lexy J. Moleong. l989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Mahsun. 2005. “Konsep Ruang dalam Bahasa mBojo dan Kaitannya dengan Cara Pandang Masyarakat Penuturnya”, dalam Linguistik Indonesia, Februari 2005, Tahun ke-23, Nomor 1. Mulder, Niels. l984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia. Ratna, Nyoman Kutha 2010. Sastra dan Cultural Studies, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahyono, F.X.. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta: Wedatama Widyasastra. Sri Supiyarno, dkk., 2010, “Kearifan Lokal Orang Jawa yang Tercermin dalam Peribahasa Jawa (Kajian Etnolinguistik)”, Laporan Penelitian Dana DIPA FSSR UNS, Surakarta: Fakutas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Suharsini Arikunto. l993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sutarjo, dkk., 2011, Aspek Stilistika dalam Peribahasa Jawa, Surakarta: Fakutas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Sutopo, HB., 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Wakit Abdullah, dkk., 2010, “Kearifan Lokal Petani di Pesisir Selatan Kebumen (Kajian Etnolinguistik)”, Laporan Penelitian Hibah Fundamental, Surakarta: Fakutas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. _______. 2011. “Bahasa Jawa dan Hubungannya dengan Perilaku Orang Jawa di Kota Surakarta”, Laporan Penelitian Hibah Fundamental, Tahun I, Surakarta: Universitas Sebelas Maret. ________. 2012. “Bahasa Jawa dan Hubungannya dengan Perilaku Orang
423
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Jawa di Kota Surakarta”, Laporan Penelitian Hibah Fundamental, Tahun II, Surakarta: Universitas Sebelas Maret. ________. 2013, “Kearifan lokal petani dan persepsinya terhadap pekerjaan non-petani di kabupaten Ngawi (Kajian Etnolinguistik)”, Laporan Penelitian Hibah Madya, Dana BOPTN UNS 2013, Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Wakit Abdullah dan Sri Mulyati. 2014. “Kearifan Lokal yang Terangkum dalam Peribahasa Jawa: Studi Kasus Kearifan Hidup Berbangsa dan Bernegara Indonesia di Kota Surakarta”, Laporan Penelitian Hibah Unggulan Fakultas, Tahun I, Dana BOPTN UNS Tahun 2014, Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
424
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
LAMPIRAN-LAMPIRAN
425
426
Rabu, 22/04 /2015
Selasa, 21/04/2015
Hari/Tanggal
08.30- 10.00
22.00
Panitia
Kapuslitbangbud
Keynote Speaker: • Prof. Dr. Bani Sudardi • Strategi Kebudayaan untuk Mewujudkan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Majemuk, Ditinjau dari Persfektif Budaya
Notulis : Noviyanti
Kepala Balitbang Kemdikbud
Dr. Hurip Danu Ismadi
Rehat
Pengarahan dan Pembukaan Secara Resmi
Laporan Panitia
Nur Swarningdyah
Menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya •
MC (Unggul Sudrajat)
Panitia
Panitia
Keterangan
Pembukaan
Registrasi dan Makan Malam
18.00-19.00
19.30 – 22.00
Check in peserta
Acara/Materi
13.00-18.00
Waktu
SUSUNAN ACARA FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN SOLO, 21-24 APRIL 2015 PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Hari/Tanggal
12.45-13.45
Isoma
Diskusi/Tanya Jawab
Panitia
Notulen: - Irawan SSB - Romeyn
Moderator: S. Dloyana Kusumah
2. Prof. Dr.R.B. Soemanto (Sosiologi UNS)
2. Strategi Kebudayaan untuk Mewujudkan Kebhinekatunggalikaan dalam Masyarakat Majemuk Ditinjau dari Persfektif Sosiologi. •
1. Prof. Dr. Irwan Abdullah (Antropologi UGM)
Panel I Narasumber
10.15-12.45
Panitia
Keterangan
1. Drama Kebhinnekaan dalam Keragaman Budaya: Suatu Gerakan Asli.
Rehat
Acara/Materi
10.00-10.15
Waktu
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
427
Hari/Tanggal
428 Panel III Narasumber
16.30 – 18.00
Strategi Budaya Dalam Rangka Membangun Karakter Bangsa (Maritim) Sebuah Tinjauan Dari Perspektif PertahananKeamanan Diskusi/Tanya Jawab
Rehat
Panel II Narasumber 1. Kemajemukan dalam Kesadaran Kebangsaan Indonesia dalam Perspektif Historis Penyerbukan Silang Antarbudaya 2. Strategi Pengelolaan Kebudayaan Lokal. Diskusi/Tanya Jawab
Acara/Materi
16.15 – 16.30
13.45 – 16.15
Waktu
Notulen: Irna Trilestari
Moderator: Untung
Laksamana Muda Untung Suropati (Lemhanas)
Notulen: Panitia
Moderator: Nur Berlian
2. Prof. Dr. Dadang Suganda (FIB Univ. Padjajaran)
1. Prof. Dr. Bambang Purwanto (Sejarahwan UGMI)
Keterangan
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Hari/Tanggal
18.00-19.30 19.30- 21.30
Waktu
Moderator: Budiana Setiawan
Diskusi/Tanya Jawab
Review narasumber: Dr. Ali Akbar
Notulen: Rr. Nur Swaningdiyah
Pembahas: • Peneliti Uiversitas Sanata Dharma • BPNB Pontiana • Puslitbang Kebudayaan • BPNB Makassar
Review Narasumber: Dr. Ade Makmur, M.Phil.
Notulen: Irawan SSB.
Moderator: Damardjati
Panitia Pembahas: • Peneliti Bappeda DI Yogyakarta • Peneliti BPNB Jayapura • Peneliti BPNB Aceh • Peneliti BPNB Bali
Keterangan
Kelas B • Peneliti BPNB Pontianak • Peneliti BPNB Makassar • Universitas Sanata Dharma • Puslitbang Kebudayaan
Disksi/Tanya Jawab
Panel Presentasi I Kelas A • Peneliti BPNB Bali • Peneliti BPNB Jayapura • Peneliti Bappeda DI Yogyakarta • Peneliti BPNB Aceh
Isoma
Acara/Materi
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
429
Kamis, 23/04/2015
Hari/Tanggal
430
10.00-10.30
21.30-06.30 06.30-08.00 08.00-10.00
Waktu
Rehat
Moderator: Sugih Biantoro
Diskusi/Tanya Jawab
Panitia
Review Narasumber: Dr. Ali Akbar
Notulen: Unggul Sudrajad
Pembahas: • Peneliti Puslitbang Kebudayaan • Balitbangda Kalsel • BPNB Padang • BPNB Manado • BPNB Bandung
Panitia Panitia
Keterangan
Istirahat Makan Pagi Panel Presentasi II Kelas A • Peneliti Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan) • Peneliti BPNB Bandung • Peneliti Puslitbang Kebudayaan • Peneliti BPNB Manado • Peneliti BPNB Padang
Acara/Materi
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Jum’at, 24/04/2015
Hari/Tanggal
431
10.00 - 10.30
16.00-16.30 16.30-18.00 18.00-19.30 19.30-21.00 21.00-06.30 06.30-08.00 08.00 – 10.00
14.00-16.00
12.30-14.00
10.30 – 12.30
Waktu
Keterangan
Panitia
Penutupan – Chek Out
Panitia Panitia Panitia Panitia Panitia Panitia Panitia
Review Narasumber: Dr. Ade Makmur, M.Phil Panitia Tim/Peserta (Koordinator Peneliti Puslitbangbud)
Notulen: Nur Swarningdyah
Moderator: Mikka Wildha
Pembahas: • Peneliti Pusat Universitas Negeri Surakarta • Peneliti Pusat Arkeologi Nasional • Peneliti Puslitbang Kebijakan Pariwisata • Peneliti BPNB Ambon • Peneliti BPNB Yogyakarta
Isoma Diskusi Forum Peneliti Kebudayaan: 1. Penelitian ke depan selama 5 tahun 2. Penelitian Kebudayaan yang terkait dengan Nawacita. 3. Tindak Lanjut hasil penelitian kebudayaan. Isoma Pengenalan lingkungan Budaya Isoma Pengenalan lingkungan Budaya Istirahat Makan Pagi Rumusan Hasil Akhir Kegiatan / Rekomendasi Hasil FKPK
Diskusi/Tanya Jawab
Kelas B • Peneliti Pusat Arkeologi Nasional • Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan • Peneliti BPNB Ambon • Peneliti BPNB Yogyakarta • Peneliti Pusat Universitas Negeri Surakarta
Acara/Materi
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
432
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
NOTULENSI
433
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
NOTULA RAPAT FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN SYARIAH HOTEL SOLO, 21-24 APRIL 2015
Hari Pertama Selasa, 21 April 2015 Acara Pembukaan: • Laporan Panitia Pelaksana, oleh Kapuslitbangbud. Yth. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemdikbud Pejabat Struktural Puslitbangbud Para Narasumber, dan Peserta yang kami banggakan Ass. Wr. Wb. Izinkanlah kami dari panitia pelaksana akan melaporkan beberapa hal yang terkait dengan forum komunikasi peneliti kebudayaan sebagai berikut: 1. Latar Belakang a. Kebudayaan di Indonesia merupakan identitas yang tak berhenti mengalami perubahan dan bertransformasi sesuai perkembangan zaman. b. Pesatnya perkembangan Iptek, dan informasi tanpa batas, sehingga terjadinya proses lintas budaya dan silang budaya. i. Puslitbangbud secara proaktif melakukan penelitian dan pengembangan, sebagai bahan rekomendasi kebijakan di bidang kebudayaan. c. Melalui kegiatan forum komunikasi peneliti kebudayaan diharapkan dapat menghasilkan rumusan kebijakan sesuai dengan masalah yang diteliti sehingga dapat dipertanggungjawabkan. d. Bagian dari tugas Puslitbangbud tahun 2015 adalah pertemuan bagi peneliti melalui suatu forum komunikasi peneliti
434
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
kebudayaan. Dari ini diharapkan dapat melakukan pembaharuan dan perubahan yang mendasar terhadap penelitian dan pengembangan kebudayaan sesuai dengan isu permasalahan di masyarakat dan sekaligus merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan di bidang kebudayaan. 2. Tujuan a. Untuk menyamakan persepsi dan meningkatkan kompetensi para peniliti bidang kebudayaan, baik di pusat maupun daerah. b. Mengkomunikasikan berbagai isu aktual yang berkaitan dengan penelitian kebudayaan. c. Sharing informasi dan tinjauan kritis dari sesama peneliti kebudayaan untuk menyempurnakan hasil penelitiannya. d. Kecermatan dalam “menangkap” isu-isu kontemporer tentang kebudayaan yang terjadi di masyarakat. e. Menjadi forum yang dapat dijadikan acuan dalam perkembangan penelitian kebudayaan di Indonesia. 3. Hasil yang Diharapkan adalah: a.
Terlaksananya kegiatan FKPK Puslitbangbud dengan UPT Kebudayaan di Indonesia.
b.
Adanya bahan usulan kepada pemerintah dalam pengambilan keputusan di sektor kebudayaan, khususnya dalam rangka pelestarian kebudayaan daerah.
c.
Adanya dukungan terhadap kebijakan sektor penelitian pendidikan dan kebudayaan.
d.
Mendukung program pemerintah dalam bidang kebudayaan (Nawacita)
e.
Tersusunnya buku dari hasil pelaksanaan forum komunikasi peneliti kebudayaan.
4. Materi dan Narasumber a.
Strategi
Kebudayaan
untuk
Mewujudkan
435
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Kebhinnekatunggalikaan dalam Masyarakat Majemuk Ditinjau dari Perspektif Antropologi, Prof. Dr. Irwan Abdullah (Antrop UGM), b.
Strategi Kebudayaan untuk Mewujudkan Kebhinnekatunggalikaan dalam Masyarakat Majemuk Ditinjau dari Perspektif Sosiologi, Prof. Dr. RB. Soemanto (Sosiologi UNS),
c.
Strategi Kebudayaan untuk Mewujudkan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Majemuk Ditinjau dari Perspektif Sejarah, Prof. Dr. Bambang Purwanto (Sejarahwan UGM),
d.
Strategi Kebudayaan untuk Mewujudkan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Majemuk, Ditinjau dari Perspektif Budaya, Prof. Dr. Bani Sudardi (Budayawan UNS),
e.
Strategi Kebudayaan untuk Mewujudkan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Majemuk, Ditinjau dari Perspektif Pertahanan dan Keamanan, Laksamana Muda Untung Suropati (Lemhanas RI).
f.
Strategi Pengelolaan Kebudayaan Lokal (Budaya Sunda), Prof. Dr. Dadang Suganda (Universitas Padjajaran Bandung).
5. Tema Kegiatan: Strategi Kebudayaan dalam Memperkuat Kebhinnekatunggalikaan dan Karakter Bangsa. 6. Waktu dan Tempat Pelaksanaan: Kegiatan Forum Komunikasi Peneliti Kebudayaan, Puslitbang Kebudayaan dilaksanakan di Syariah Hotel Solo Provinsi Jawa Tengah, selama 4 (empat) hari pada tanggal 21-24 April 2015. 7. Peserta: dalam kegiatan ini berjumlah 58 orang yang terdiri dari unsur: a. Narasumber 8 orang b. Moderator 10 orang c. Pembahas 2 orang d. Peserta Pusat 13 orang e. Peserta daerah 15 orang, dan Akademisi Perguruan Tinggi 10 orang.
436
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Demikianlah yang dapat kami laporkan, dan kami mohon maaf jika dalam kegiatan ini terdapat kekurangan mulai dari persiapan hingga pelaksanaan, dan kami tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua rekan panitia yang turut menyukseskan kegiatan ini. Selanjutnya kami mohon kepada Bapak Ka. Balitbang Kemdikbud untuk memberikan arahan dan sekaligus membuka kegiatan ini secara resmi. Wassalam. • Pembukaan secara resmi, oleh Ka. Balitbang Kemdikbud Pengarahan dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud dan sekaligus membuka secara resmi Forum Komunikasi Peneliti Bidang Kebudayaan, oleh Prof. Furqon, Ph.D. Yth. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Para Narasumber, dan Peserta forum yang berbahagia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, adalah satuan kerja yang menjadi bagian dari unit utama di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang memiliki peran strategis dalam mendukung pengembangan kebudayaan dan kebijakan pendidikan karakter. Forum Komunikasi Peneliti Kebudayaan yang diselenggarakan tahun 2015, diharapkan dapat memberkani kesempatan dan peluang kepada para peneliti baik di lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, maupun di lingkungan UPT Kebudayaan yakni Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) di seluruh Indonesia, untuk mempresentasikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, agar bisa dikomunikasikan satu dengan lainnya. Dengan demikian duplikasi atau tumpang tindih penelitian yang dilakukan di pusat dengan daerah dapat dihindari. Forum ini juga diharapkan dapat menjadi ajang peningkatan kompetensi bagi para peneliti, sehingga model-model penelitian kebudayaan akan semakin berkembang dan terarah.
437
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Mengungkapkan pemikiran hasil penelitian dalam suatu forum bukan saja dapat memperkaya temuan, tetapi juga dapat mengungkapkan hal ihwal yang terkait dengan penerapan metodologi penelitian dan konsep atau teori yang digunakan untuk menjawab masalah sekaligus menemukan solusinya. Sembilan Cita-Cita Keunggulan Bangsa (Nawacita), yakni : (1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, (2) Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, (3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daaerahdaerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, (4) Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya, (5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, (6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, (7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, (8) Melakukan revolusi karakter bangsa, dan (9) Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Dewasa ini Bangsa Indonesia dapat dijadikan sebagai pusat kajian pembangunan kemajuan kebudayan dunia melalui diplomasi budaya di luar negeri dan Indonesia memiliki modal keanekaragaman budaya, warisan budaya dan sejarah yang sangat banyak sehingga sangat cocok menjadi suatu pusat kajian pengembangan kebudayaan, di samping itu Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi dari berbagai daerah sebagai bentuk pelestarian budaya lokal. Oleh sebab itu Bangsa Indonesia telah mampu mengembangkan budaya lokal di tengah-tengah singgungan antar peradaban budaya global dari berbagai negara, untuk itu perlunya menumbuhkembangkan kreativitas dan apresiasi karya budaya melalui berbagai kajian pengembangan kebudayaan, dan peningkatan memanfaatkan sumber daya budaya dalam proses pembelajaran untuk mendukung pemahaman terhadap keragaman budaya bagi generasi muda, serta dapat meningkatkan aktivitas riset dalam bidang pembangunan kebudayaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Meningkatkan pemahaman tentang pluralitas sosial dan keragaman
438
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
budaya untuk menumbuhkan sikap toleransi dan menjaga kesatuan dalam keragaman, untuk meningkatkan kualitas pendidikan karakter dalam membina budi pekerti, serta meningkatkan wawasan kebangsaan di kalangan anak usia sekolah yang berdampak pada penguatan nilai nasionalisme dan cinta tanah air sebagai cermin warga negara yang baik. Meningkatnya lembaga kebudayaan sebagai basis budaya pembangunan dan karakter bangsa, yang dapat dilakukan melalui promosi dan diplomasi budaya sebagai upaya pertukaran budaya untuk meningkatkan pemahaman keanekaragaman dan penghargaan terhadap perbedaan antar suku bangsa secara nasional dan internasional. Memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang dialog antar warga melalui pendidikan karakater dan pekerti bangsa yang dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal, dan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dalam menciptakan ruang dialog antar warga melalui peningkatan pemahaman tentang nilai-nilai kesejarahan dan wawasan kebangsaan. Menjalin interaksi antar kebudayaan tidak hanya mencakup antar kelompok suku bangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia, yaitu pertemuan-pertemuan antara kebudayaan luar dengan keanaekaragaman budaya di Indonesia. Demikianlah yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini. Dengan mengucapkan Bismillahi Rahmanirrahim kegiatan ini dibuka secara resmi. Hari Kedua, Rabu 22 April 2014 Pukul 08.00-10.00, Keynote Speaker Prof. Dr. Bani Sudardi Strategi Kebudayaan untuk Mewujudkan Karakter Bangsa dalam Masyarakat Majemuk Ditinjau Dari Perspektif Budaya. Kebudayaan adalah: Suatu usaha manusia untuk menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan dengan menggunakan akal budi. Binatang menggunakan naluri. Strategi kebudayaan tampak dalam berbagai bentuk hasil budaya. Cerita kancil di Jawa yang dikenal suka menipu lawan-lawannnya adalah cerminan strategi budaya masyarakat Jawa. Cerita tersebut merupakan
439
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
bentuk sikap budaya orang Jawa yang tidak suka open conflict. Cerita ini berbeda dengan cerita kancil Melayu berjudul Hikayat Pelanduk Jenaka yang di dalamnya kancil tampak dinamis, bahkan bergelar Syah Alim Dirimba yang berhasil merajai hewan-hewan di belantara. Cerita kancil yang suka menipu merefleksikan strategi kebudayaan orang Jawa yang tidak suka konflik terbuka dan tidak berterus terang. Di dalam budaya Jawa, menipu memiliki tingkat-tingkat hirarkis. Menipu yang mulia yang disebur dora sembada (menipu untuk membela kebaikan dan kebenaran). Menipu yang dianggap biasa dan dapat membawa keberuntungan yang dikenal goroh nguripi. Perbuatan ini adalah perbuatan pedagang dalam membujuk pembelinya yang juga sering menggunakan kata-kata tipuan. Menipu untuk menjaga kesopanan yang dikenal ulas-ulas. Misalnya sebenarnya lapar, tetapi menyatakan kenyang, menyatakan nggih (ya), tetapi sebenarnya tidak, dan sebagainya Menipu yang tidak merugikan orang lain, tetapi tidak disenangi. Contoh tindakan ini ialah umuk, yaitu menceritakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan. Umuk merupakan refleksi untuk menutupi kekurangan pribadi seperti tercermin dalam ungkapan ”timbang mati ngantuk luwung mati umuk” (daripada mati mengantuk lebih baik mati sombong”. Menipu yang merugikan orang lain yang disebut apus-apus atau apus krama. Tindakan ini adalah tindakan menipu yang menurut budaya Jawa dianggap perbuatan yang tidak dapat dimaafkan. Seni Budaya sebagai jalur, perlu ada dekonstruksi untuk Seni budaya agar bisa meluluhkan jalur perbedaan dan kemajemukan. Sesama bangsa Indonesia perlu ada rasa handarbeni. Rasa handarbeni itu akan berbeda-beda, tetapi sebagai bentuk pengalaman budaya perlu ada. Tanya Jawab: • Danu Hurip Ismadi (Kapuslitbang Kebudayaan) - Kebudayaan berkembang cepat. - Peraturan yang berkaitan dengan kebudayaan berganti-ganti dengan cepat. - Administrasi rigid dan sulit. Untuk melompat membutuhkan hal-
440
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
hal tertentu. - Perkembangan terakhir menyulitkan strategi kebudayaan, bidang bhinneka tunggal ika dan karakter bangsa. - Sering terjadi gangguan terhadap falsafah bhinneka tunggal ika • Rahayu Endang (Bappeda D I. Yogyakarta) Penelitian kebudayaan lebih banyak menceritakan sejarah, tetapi belum ada kajian tentang tujuh unsur kebudayaan. Penelitian/ kajian kurang disukai. Penjelasan secara riiil dalam kehidupan saat ini yang disesuaikan dengan sistem budaya. • Hariadi (BPNB Padang) -
Penanaman nilai karakter tidak secepat yang negatif.
-
Pandangan masyarakat tentang apa itu kebudayaan dengan akademisi dan masyarakat sangat berbeda.
-
Budaya bukan hanya tarian dan upacara
-
Konsep dan realita/ penanaman karakter berbeda.
• Yosep Yapi Taum (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta) -
Kancil mencuri timun strategi untuk menghadapi tekanan.
-
Bagaimana dengan tradisi mengayau di Kalimantan, yang terkesan tidak manusiawi?.
-
Persoalan manusia/ sosial untuk pelacuran/ judi persoalan yang kompleks.
-
Perlu kebijaksaan dalam menangangi suatu masalah.
• Wajidi (Bappeda Kalimantan Selatan) -
Kebudayaan harus berorientasi pada masa lalu untuk masa depan.
-
Budaya bisa disfungsi.
-
Perlu dicari nilai-nilai budaya yang kita gali.
-
Hubungan antar bangsa
441
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
442
-
Tatanan global dan persaingan antar bangsa
-
Strategi menghadapi tantangan global hubungan antar budaya.
-
Mewujudkan budaya unggul.
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Panel 1, Pukul 10.15-1245 (Paparan Prof. Dr. Irwan Abdullah dan Prof Dr. RB. Soemanto) Paparan Prof. Dr. Irwan Abdullah Secara generik, memaknai kebudayaan sebagai cetak biru dan bersifat statis. Sebagai pedoman tingkah laku manusia budaya generik terikat pada ruang dan mengandung prinsip-prinsip generasi, sesuatu yang diwariskan. Masyarakat dilihat sebagai sistem yang terintegrasi yang selalu mengacu pada harmoni. Diferensial, Budaya diferesial terbentuk dari proses interaksi. Kebudayaan bukan dihasilkan dari blue print melainkan dari interaksi. Ia tidak diturunkan begitu saja tanpa ada penolakan, negosiasi, kontestasi yang bersifat dinamis. Makna budaya diferensial terlihat pada teori seperti posmodern, poststruktural, dan feminisme. Makna ini juga lebih mengacu kepada pecahan budaya mikro dan dekonstruktif. Dari sinilah terbentuk masyarakat dengan otoritasnya masing-masing. Dislokasi Budaya adalah perubahan ruang menghilangkan tanda dan simbol budaya (identitas etnis?) Munculnya anggota baru dalam masyarakat: kelas menengah baru dan orang kaya baru (sejarah hidup yang berbeda: tempat, profesi, etnis, agama) Penduduk asli (“the marginal”)= kelompok yang kalah, terabaikan, tidak terstruktur dalam kebijakan (tanpa affirmative action… ) Perubahan ruang (akibat bencana atau kesengajaan) menghilangkan lokasi budaya dan solidaritas sosial/kelembagaan). Fungsi studi budaya: – Mendorong transformasi masyarakat dari sederhana menjadi maju – Memberi legitimasi sosial utk kemajuan bersama – Melakukan fungsi kritik sosial (evaluasi atas suatu keabsahan atau kebijakan) Posisi studi budaya:
443
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Sebagai alat dan analisis dalam menangkap pengetahuan dan kecerdasan masyarakat (sebagai sumber penataan sosial: survive, konsolidasi dan akumulasi) Sebagai orientasi menempatkan manusia sebagai titik pusat kajian dan kebijakan (menggunakan kajian sbg sumber perumusan kebijakan dan penataan sosial) Tantangan ke depan Perubahan internal dalam kesukuan: keragaman yang semakin complicated; Kekuatan kontrol kebudayaan yang melemah dlm penataan; Positioning budaya sebagai anak tiri di rumah sendiri; budaya belum dilihat hal yang penting; hanya sebagai hiburan, aset, pelengkap; tidak ada kebijakan struktural; Pengingkaran status kebudayaan dalam keragaman (status hukum); Kebudayaan telah dirugikan oleh berbagai proses sosial politik dan biaya kultural masuknya teknologi; pemaksaan politik uniformitas melalui berbagai tindakan politik Tekanan globalisasi; dlm orientasi jangka panjang kekuatan global-ancaman bagi kebudayaan, jika tidak cukup cerdas memanfaatkan perubahan konteks dinamis Sebagai penutup, Bagaimana memelihara dan membangun budaya tanpa mengisolasi diri dari dunia global? (kekuatan spiritual dan budaya Bali?) Ketahanan budaya: revitalisasi/revivalisme tradisi?)
budaya atau reinvensi
Implementasi: kosmologi, nilai/norma, pranata, kebiasaan/praktik sosial, dan simbol-simbol budaya dalam keseharian. Budaya = sumber: inspirasi, penataan, keteraturan dan praktik (dokumentasi, aktualisasi dan penguatan)è mainstreaming budaya. Paparan Prof. Dr. RB. Soemanto Strategi Kebudayaan dalam Sosiologi Kebhinnekatunggalikaan: Proses Integrasi, Konsensus Sosial Kebhinnekatunggalikaan Nasional
Indonesia:
Proses
Integrasi,
Konsensus
Kemajemukan Kelompok Sosial Budaya: Suku Bangsa, Adat Istiadat, Dialek (bahasa), Agama
444
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Integrasi Sosial: Bertemunya Aspek2 Kepentingan Bersama (Persatuan dan Kesatuan Masyarakat Indonesia) dalam Ikatan Grand Values Pancasila. Realitas Kebhinnekatunggalikaan: Disintegrasi Sosial: Komunikasi Informasi Sosial Budaya, meliputi: sistem Simbol Budaya Non Materiil; Bahasa Tulis dan Lisan; Ritual Adat; Fakta dan Pendapat; dan Gagasan, Hasil Pemikiran. Fungsi dan norma sosial budaya, meliputi Organisasi Sosial, Status dan Peranan Individu (Tradisi), Kelompok (Primer, Sekunder), dan Stratifikasi Sosial Sistem Kelembagaan (Keluarga, Kekerabatan, Ekonomi, Kekuasaan, Agama, Pendidikan). Yang dimaksud dengan startegi adalah strategi planning untuk meningkatkan kepekaan yang terjadi di masyarakat. Jangan mengeluarkan tikus dari dalam rumah dengan cara membakar rumah. Tanya Jawab • Ernayanti (Puslitbang Kebudayaan) Kearifan lokal dijadikan kearifan kolektif • Mikka Wildha (Puslitbang Kebudayaan) Ekspresi kebudayaan ada yang bagus dan tidak bagus, Bagaimana seharusnya mensikapi kecenderungan penelitian? Ada, posisi penelitian cendrung ke tradisional/ modern. Ekspresi kebudayaan yang terlepas dari ritual. Apa pengaruhnya kebudayaan yang terlepas dari ritual tersebut. • Sri Wariyanti (BPNB Aceh) Tantangan startegi kebudayaan terhadap kapitalis • Rahayu Endang P., Bappeda DI. Yogyakarta
445
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Kemana menyampaikan ide supaya ide itu dpt disalurkan ke kegiatan? forum teknokrat, UU keistimewaan Yogyakarta bertujuan untuk mensejaherakan masyarakat yang harus menghasilkan nilai ekonomi, dengan kebudayaan. Strategi amongtani, tadinya menghadap utara sekarang menghadap selatan. Sri Wariyanti (BPNB Aceh) Startegi kebudayaan untuk membangun masyarakat harus melhat kekuatan ekonomi, startegi penggunakaan tekonologi, perkembangan ini perlu dilihat bagaimana startegi ke depan.apa melihat kegiatan yang saling menguatkan/tidak . Instrumen musrenbang masih berbentuk terdahulu, karena dia sering berbicara atas nama dirinya/kelompoknya. Jawaban Narasumber Prof. RB. Soemanto Ekspresi kebudayaan baik/buruk. Ekspresi adalah bentuk aktualisasi hasil karya budaya dari sekelompok orang untuk kepentingan strategi , ekspresi budaya negatif, apa ada disoreintasi. Kebudayaan masyarakat setempat. Misalnya Ekspresi seni modern, misalnya tari bugil dengan badan dicat. Ekspresi ini dilihat kepentingannya apa? Ekspresi ritual yang lepas, menyesuaikan dengan nilai norma dan adat yang ada. Kalau tidak tahu ya tanya. Prof. Irwan Abdullah • Diplomasi budaya, agar tidak salah membaca. Untuk itu perlu punya kecerdasan kultural. Makanya yakin dan bali adalah tempat yang pembangunanya berhasil. Karena sekarang banyak cultural misplace. Misalnya tissue gulung dipakai untuk meja makan. • Masalahnya terjadi karena perbedaan-perbedaan, jangan bikin kelaskelas sosial. Masalah kebudayaan meliputi orientasi jangka panjang (untuk kepentingan anak cucu), menjamin kemaslahatan orang banyak. • George Simmel menyatakan bahwa culture is generality
446
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Dari mana kita mulai? Sadar punya banyak kekuatan lokal, perlu validitas akademy, karena setiap lokal wisdom belum tentu tentu wisdom untuk general. Di rumah makan padang, tidak ada karyawan, tetapi semua disebut pemilik, tidak ada penggajian, tetapi dilakukan dengan cara kerja bagi hasil. 50% untuk pemilik dan 50% untuk pengelola, dibagi untuk tukang masak, belanja harian untuk pengawasan. Tukang belanja beli daging 10 kg, sampai di warung, ditimbang lagi, kemudian dipotongpotong, diiris-iris. Sampai disajikan bukan disusun tetapi dihitung. Jadi semua orang tahu kalau nanti malam habis semua, maka di kasir akan ada uang sejumlah tersebut. Jadi kalau membicarakan kebudayaan tidak dapat menjadi tradisional-modern. Panel 2, pukul 13.45-16.15 (Paparan Prof. Dr. Bambang Purwanto dan Prof. Dr. Dadang Suganda) Paparan Prof. Dr. Bambang Purwanto, Ketika globalisasi menjadi salah satu kosa kata utama dalam kehidupan sehari-hari, pada saat yang sama kosa kata kearifan lokal hadir sebagai budaya tandingan untuk membangun keseimbangan agar tidak terjadi goncangan dalam kehidupan. Globalisasi cenderung dimaknai sebagai intervensi asing atau elemen luar pada kekinian yang mengancam masa depan, sementara itu kearifan lokal merupakan representasi warisan masa lalu dari dalam yang diposisikan sebagai benteng yang dapat menjaga dan menetralisir pengaruh yang ditimbulkan oleh keberadaan globalisasi. Hasilnya, masyarakat dapat menikmati hidup di tengah-tengah globalisasi dengan tetap berbasis pada budaya sendiri. Dalam konteks politik sebagai contoh, kearifan lokal yang dipahami sebagai milik bangsa akan sangat mudah bertentangan dengan milik etnik, ketika terjadi transformasi kesadaran atas identitas. Kearifan lokal yang menjadi sumber legitimasi politis dari keberadaan sebuah etnik, akan mengancam eksistensi politis kebangsaan. Sementara itu dalam konteks kemurnian budaya, kearifan lokal akan memungkiri kenyataan sejarah yang menunjukkan keberadaan elemen-elemen luar dalam proses pembentukan nilai-nilai yang diyakini sebagai jati diri sendiri. Oleh karena itu, ketika kearifan lokal ditempatkan secara bersama-sama dengan nasionalisme dan globalisasi, maka nasionalisme dan kearifan lokal sebagai representasi dalam akan diposisikan secara bertentangan
447
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
dengan globalisasi sebagai representasi luar. Bagi para sejarawan, pernyataan-pernyataan di atas tentu saja menghadirkan banyak teka teki yang harus dijawab dan dijelaskan, terutama jika dikaitkan dengan keberadaan kesadaran kebangsaan Indonesia. Mengikuti cara berpikir Umar Kayam tentang transformasi budaya dan Taufik Abdullah tentang terbentuknya kebudayaan nasional, pada dasarnya kesadaran kebangsaan Indonesia merupakan produk dari transformasi budaya yang terjadi berkali-kali dalam ruang yang sama, yang bermuara pada terbentuknya kemapanan kultural baru yang disebut Indonesia. Indonesia bukan Majapahit dan juga bukan Melayu, akan tetapi secara historis keberadaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari eksistensi Majapahit dan Melayu. Begitu juga dengan Barat. Indonesia memang bukan Barat, tetapi menghilangkan Barat dari eksistensi kesadaran kebangsaan Indonesia berarti menafikan kenyataan sejarah itu sendiri. Kesadaran kebangsaan Indonesia adalah perwujudan dari upaya untuk mencapai kemajuan, kesejahteraan, dan kesetaraan, ketika ruang kolonial dimana ia tumbuh dipenuhi oleh keterbelakangan, kemiskinan, diskriminasi, dan kekuasaan yang otoriter. Hal itu berarti, semangat kesadaran kebangsaan Indonesia dalam konteks kekinian dan masa depan seharusnya identik dengan semangat kearifan dan kecerdasan budaya dalam kemajemukan untuk mewujukan sebuah masyarakat yang maju, sejahtera, tidak diskriminatif, dan tidak mentolerir kekuasaan otoritarian dengan dilandasi oleh prikemanusiaan yang agamis. Ketika kerangka berpikir yang berlandaskan kebudayaan ini dijadikan dasar, maka Indonesia bukan hanya sekedar pewaris sah peradaban dunia seperti yang pernah dilabelkan oleh judul sebuah buku, melainkan menjadikan Indonesia setara dengan bangsa-bangsa lain yang mewariskan sesuatu bagi peradaban dunia melalui Pancasila. Paparan Prof. Dr. Dadang Suganda Apakah ada wadah penelitian kebudayaan di satuan kerja? Apa yang telah dilakukan berkait penelitian kebudayaan? Apakah ada penelitian lain (keunikan) bidang kebudayaan? Informasikan hal tersebut pada forum komunikasi! (tulisan ilmiah/jurnal internasional).
448
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
“Dapatkah menciptakan rekayasa kebudayaan?” (Kepala Badan). Mengeksekusi hasil penelitian dalam bentuk kebijakan. (Kepala Badan). Kegiatan yang dilaksanakan: Kerjasama Budaya Dengan Kementrian Parekraf, 2006-20014. Seminar Internasional Kebudayaan (2011). Seminar Nasional (Tahunan). Gelar Budaya Sunda (2011). Penerbitan Buku. Kerjasama Renstra Kebudayaan Kab. Tangerang (2013). Kerjasama Pembentukan Pusat Studi Banten (Univ. Latansa Banten,Dan Pemerintah Provinsi Banten). Kerjasama Strategi Kebudayaan Kota Bandung. Stuktur dibangun: Struktur dibangun dari kegiatan/praktik sosial budaya yang berulangulang dan tetap sehingga menjelma menjadi sebuah struktur yang berlaku di masyarakat (Giddens, 1984:2010). Struktur memainkan dan dimainkan dalam praktik sosial budaya, terbentuk dan membentuk praktik sosial budaya. Strategi Kebudayaan Kota Bandung melitputi Renstra kebudayaan Kota Bandung, Tataran Mikro Pengelolaan eksternal, Tataran Mikro pengelolaan internal. Komunitas Budaya Bandung terdiri dari Sunda asli, Jawa, Batak, Minang, campuran, dan asing. Sejarah adalah histiografi, tidak ada sejarah yang lepas dari intersubyektifitas. Jadi konstruksi masa lalu tergantung dari tujuannya Ada dua hal yang mempengaruhi sejarah. Pertama, warisan orientalisme, yang meliputi: melihat sejarah indonesia kepanjangan dari sejarah Belanda. Indonesia sll dilihat ssebagai sitem yang rendah. Jadi segala hal yang ada di indonesia sll dianggap negatif, seperti hanya memiliki apa yang terjadi di Eropa abad pertengahan, berkaitan dengan kegelapan, apalagi kalau bicara peradaban. Periode berikutnya menyadari bahwa masyarakat ini punya masa lalu, tetapi kemudian diformat sebagai oriental exotizme. Artinya anti kowarian, tidak relevan untuk hidup dalam keknian maka diberi roh baru yaitu modernitas. Pdahal modern
449
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
itu disebut sebagai hegemoni modern barat. Kedua, histiografi nasionalistik. Pada 1 sisi hanya rever pada de kolonialisme, jadi yang dianggap barat jelek, dianggap baik. Yang terjadi dalam banyak hal banyak realitas kalau di tataran kontektualitas di ujung hulunya adl orientalisme. Histografi tradisional milik Indonesia, histografi modern kami yang mengajarkan. Isinya semua dianggap mitos, legenda, tidak ada muatan historisnya. Jadi kalau orang dibayar belajar mitologi Yunani, kita tidak pernah mengajari mitologi Indonesia, karena dianggap ssebagai sesuatu yang intelek. Tidak ada nilai keilmuan. Misalnya masjid Aceh, arsitekturnya kafir, tapi sudah jadi milik orang Aceh, akhirnya muncul mitos tsunami. Yang buat mitos adalah Belanda. Kearifan lokal disebut sebagai system yang tumbuh dari dalam diri sendiri, menolak barat, menolak Cina. Bangsa-bangsa dulu adalah bangsa yang merespon terhadap kolonialisme, ada bangsa Bugis, Jawa, Minagng, Sunda, disebut bangsa bukan suku bagsa. Kemudian mucul perubahan sosial dari bangsa menjadi suku bangsa. Jadi jangan cari Indonesia di Majapahit. Indonesia adalah sebuah kesadaran baru yang tumbuh, Hatta bukan menulis sejarah, tapi membuat politik kebudayaan, karena kolonialisme menganggap kita tidak sederajat, maka Hatta membuat hal ini sebagai bagian dari stategi kebudayaan. Strategi kebudayaan adalah rekayasa. Salah satu bentuk Rekayasa itu adalah Pancasila. Problematiknya kita hanya melihat pancasila sebagai konteks politik, bukan sebagai kebudayaan, karena melingkupi semua. Tanya Jawab • Hurip Danu Ismadi (Kapuslitbang Kebudayaan) Prof Furqan, Prof Dadang, dan Prof Bambang menyampaikan tentang rekayasa. Sebetulnya strategi kebud adl rekayasa. Kebud yang spt apa yang hrs dibangun di Indonesia? • Yosef Yapi Taum (Universitas Sanata Dharma)
450
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Tidak ada lagi yang asli, di dalam dunia politik seolah-olah semua jelas. Yang kadang berpengaruh segitu luas. Misal: isu putra daerah. Apakah masih relevan membuat definisi identitas lokal, identitas nasional. • Rahayu (Bappeda DIY) Minta izin untuk me-link tulisan Pak Dadang. Sebagian anak-anak Yogyakarta menanyakan apakah budaya Yogyakarta itu? Bagaimana strategi agar anak-anak mengerti budaya DIY untuk memperkuat kebhinnekatunggalikaan. Kenapa memperingati hari Kartini? Kartini itu teman Belanda. Kenapa tidak seperti Nyi Ageng Serang? Apa dimungkinkan membuat apa, siapa, berbuat apa. •
Lukman Solichin (Puslitbang Kebudayaan) Dimana batas antara politik identitas kedaerahan dan nasional. Di satu sisi menyemai potensi budaya nasional dan ekslusifitas jadi Indonesia. Menurut Romo Mangun menyatakan bahwa Sumpah Pemuda, merupakan manusia paska suku. Nanti akan ada manusia pasca negara.
Jawaban Narasumber: Prof. Bambang Purwanto • Saya merasa mengalami keterasingan karena masih terjebak dalam perangkap lokal, daerah, dan global. Seharusnya tidak ada. Yang ada adl konsep wilayah. Yang tadinya dari nasional jawa, kemudian berubah menjadi suku bangsa. Sekarang Jawa/Sunda ingin mengidentifikasi dirinya menjadi bangsa, bukan suku bangsa. Misalnya, kasus DIY. Yang akhirnya sadar. Dulu pernah membicarakan maskot dan referendum. Perubahan mentransformasikan dulu dari bisa kemudian jadi suku, hatihati mereka ingin menjadi bangsa lagi, karena kita belum punya strategi kebudayaan. • Pada tahun 1950-an pernah dilakukan, silsilah bergerak dari titik 0. Kurvanya sll bolak balik dari 0 naik, turun ke 0 lagi, keudian naik lagi. Kita tidak mau keluar dari paradigma yang merupakan warisan dari kolonial? Orde baru adalah me revival apa yang dibangun ada masa colonial.
451
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
• Politik identitas, seharusnya sudah selesai menjelang kemerdekaan Pilar kemerdekaan ada 3 Yaitu: Pancasila, UUD 1945, dan sumapah pemuda yang sebenarnya sudah selesai sejarahnya dan tidak pernah dibuat sebagai unsur kebudayaan sehingga tidak cocok cocok untuk kehidupan sekarang ini. Prof. Dr. Dadang Suganda • Yang dilihat keuniversalan dan keunikan. Kalau yang disebut silaturahmi, maka tentu tiap suku akan berbeda. Santun budaya Sunda akan berbeda bila dibandingkan tahun 1950, 1970, dan 2000. • Mitos menjadi ideologi. Kalau sangat positif, seperti misalnya laki-laki berambut pendek. Soal bagaimana modelnya, adalah suatu rekayasa konfigurasi yang tidak lepas dari sejarahnya. • Perlente adalah permanen, bagi laki-laki yang sering pakai jas itu perlente. Tetapi tidak kemana-mana pakai jas, itu konfigurasi rekayasa budaya. • Perlu adanya kecerdasan budaya. Panel 3. Pukul 16.30-18.00 (Paparan Laksamana Muda Untung Suropati) Paparan Laksamana Muda Untung Suropati Judul yang diangkat adalah Strategi Budaya dalam Rangka Membangun Karakter Bangsa (Maritim) Sebuah tinjauan dari perspektif pertahanan keamanan. Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis jati diri (krisis identitas). Pasca krisis multidimensi tahun 1998 sudah ada kemajuan, tetapi mash jauh dari harapan. Krisis terjadi dari setiap lini kehidupan. Kemudian terjadi apa yang dinamakan marginalisasi budaya, terpinggirkan bahkan sebagian nyaris punah.. Juga terjadi degradasi nilai. Contohnya, orang berwajah Jawa dan dengan nama Jawa semakin langka. Bangsa Indonesia juga menjadi bangsa yang inferior. Inferioritas bangsa, menjadi bangsa pecundang yang tidak memiliki integritas diri. Ketiga hal tersebut akan mempengaruhi cara berpikir sehingga bangsa kita menjadi bangsa yang irasional. Postur Pertahanan RI (2010-2014)
452
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
-
Anggaran Pertahanan Sudah 70 tahun merdeka tetapi selama itu pula anggaran pertahan menyentuh angka 1 %. Bahkan tataran ASEAN menunjukan angka 6 di bawah Laos. Vietnam tahun 1979 masih berperang dan dibombardir oleh Amerika, dengan kata lain baru kemarin merdeka, tetapi anggaran pertahanan sudah 2 %.
-
MEF MEF pengadaan alusista mengambil yang terbawah. Pendidikan mental 70% dan 30 %.. Alutsista bisa di bawah tapi Singapura menghormati Indonesia. MEF adalah pilihan suatu prioritas, kalau di Indonesia memang bugetnya ngepres
-
Gelar kekuatan Di wilayah-wilayah pangkalan pertahanan laut di Indonesia, seperti Surabaya dan Jakarta semua didesign oleh Belanda dan Jepang. Dulu memang cocok dalam posisi, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Semua pangkalan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Beruntung Pulau Jawa tidak tenggelam karena semua terkonsentrasi di Jawa dari Indusrtri dan lain-lain.
-
Strategi pertahanan Masih paradigma lama, waktu itu cocok ketika ada Belanda dan Kepang karena tugas kita mengusir Penjajah. Ketika sudah tidak ada lagi penjajah tentu konsep itu
Implikasi Strategis dari posisi tawar yang rendah, antara lain: tindak pidana di laut marak dan pelanggaran kedaulatan relatif tinggi. Kalau ekonomi stabil anggaran pertahanan akan dinaikkan dari 0.95 % menjadi 1,5%. Sebagai negara yang kaya, semestinya anggaran yang ideal adalah 4 %. Dalam pelanggaran kedaulatan wilayah, pencuri ikan dari negara lain saja bisa menembus laut kita, apalagi kalau yang masuk kapal siluman. Di dalam laut kita berseliweran kapal laut dari berbagai negara. Di laut dalam kita untuk bermanufer Kapal Phinisi Hati Buana Setia, bangga karena lebih ke maritim, tapi sayangnya sampai sekarang masih belum pernah ada siapa berbuat apa?
453
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Pos Maritim dengan cara menembaki kapal pencuri ikan. Baca buku Trilogi Poros Maritim Dunia, yang terdiri dari: - Arung Samudra Bersama Sang Naga - Hadapi Badai Bersama Sang Elang - Maju Bersama Sembilan Saudara Dengan membaca buku itu, kita akan mengetahui bahwa ada yang belum pas dalam konteks menginterpretasi poros maritim dunia. Dahulu Indonesia menjadi poros maritim dunia, yakni pada zaman Kerajaan Sriwijaya yang membuka poros India dan Cina (Baca Arnold Toenby). Strategi Budaya yang diusulkan adalah: -
Susun kurikulum sisdiknas berbasis maritim
-
Jalin kerja sama dengan TNI/PT, segala sesuatu yang berbau maritim, bila sudah pernah maka sekarang direaktivasi.
-
Buat cerita-cerita yang mengangkat kebesaran masa lalu.
-
Jalin kerjasama dengan media
-
Pelestarian budaya lokal
-
Dorong peningkatan karya tulis/karya seni yang bertema maritime
-
Dorong peningkatan industri strategis
-
Poros Maritim Dunia: Quo Vadis Indonesia?
Sebagai konklusi, Kejayaan kembali Indonesia akan dapat diraih, hanya apabila sebagai bangsa ... Tanya Jawab • Hurip Danu Ismadi (Kapuslitbang Kebudayaan) Rekayasa kebudayaan seperti apa? Peneliti hanya bisa membuat kajian kajian dan merekomendasikan ke yang berkepentingn dan Membangun kemaritim itu seperti apa dan Ini yang harus diinisiasi. • Siti Dloyana K (Puslitbangbud) Bicara soal maritim selalu yang keluar dari Melayu, contohnya Hang Tuah, Pada buku buku kuno saat ini sudah jarang di baca oleh anak-
454
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
anak. Pertemuan dengan anggota TNI di perbatasan selain menjaga juga mengajarkan juga bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. • Sruti Respati (Sinden, Disbudpar Kota Surakarta) Apakah ada strategi kebudayaan secara khusus? Karena generasi muda berbeda dalam mengapresasi dari budaya lain. Sebagai sinden, saya apabila pentas di luar negeri dibayar mahal. Ini mengelitik kami karena terlalu banyak saudara-saudara yang mengapresasi budaya asing dari bangsa lain. Bagaimana membuat kita lebih mengapresasi budaya sendiri dan meningkatkan kecintaan terhadap budaya sendir? • Damardjati (Puslitbangbud) Kejayaan budaya maritim lebih ditujukan pada Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya, tetapi informasi tentang itu masih kurang. Informasi bahwa dahulu Kerajaan Majapahit jaya di Nusantara itu berapa itu menjadi dasar kebutuhan kapal kita untuk kepentingan bangsa. Jawaban Narasumber • Bidang BCLB di Lemhanas mempunyai beberapa kegiatan setiap tahun, yakni: Remaja Bahari (para remaja diajak naik kapal selama tiga hari gratis) dan Pramuka Saka Bahari Sisdiknas perlu ditambah dengan sekolah kejuruan yang bertema maritime. Dengan kurikulum yang bertema maritim ini, merupakan cara satu-satunya untuk mengalahkan musuh tidak dengan peluru. Sebagai contoh, luas laut negara kita meningkat dengan berperan di PBB, yakni dengan diplomasi budaya dengan arti luas. Soal Meseum Morotai, di sekitar lokasi masih terdapat barang barang yang berbahaya. • Salah satu tokoh di bidang maritim adalah Hang Tuah. Tokoh ini harus diinformasikan dengan mengggunakan peluru budaya dalam menyebarkan semangat maritim. Dalam keseharian harusnya kita menjadi trend center, jangan sebagai follower.
455
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
• Perlu political will, karena tanpa kemauan pemerintah, strategi ini tidak bisa berjalan tanpa kerjasama dengan pemerintah. • Damardjati (Puslitbang Kebudayaan) Karena politisasi kepentingan, situs Trowulan akan dibuat pabrik baja? Manakah kepedulian pemerintah Jawa Timur? Kita ada karena adanya ebelum itu. Ini ada proses politisasi dan saya mencium dan menegarai poroses itu ada. Kekuatan tadi ada MEF dan kekuatan kapal 500 kapal sedikitnya 20% yang kita miliki. Negara seluas ini hanya punya dua kapal selam, sedangkan Singapura yang kecil memiliki lima kapal selam.
456
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Diskusi Panel Peneliti, Pukul 19.30-21.30 Panel I, Kelas A: (Rabu, 22 April 2015) Moderator: Damardjati Narasumber Pembahas: Ade Makmur Notulen : Abdul Azis Muslim Pemapar: 1. Dwi Bambang Santosa (Peneliti BPNB Bali) 2. Ishak S.T. Puhili (Peneliti BPNB Jayapura) 3. Rahayu Endang Pujiati (Bappeda DI Yogyakarta) 4. Sri Waryanti (BPNB Aceh) Pembahas: 1. Rahayu Endang Pujiati (Bappeda DI Yogyakarta) 2. Ishak S. T. Puhili (BPNB Jayapura) 3. Sri Waryanti (BPNB Aceh) 4. Dwi Bambang Santosa (BPNB Bali)
Panel I, Kelas B (Rabu, 22 April 2015) Moderator: Budiana Setiawan Narasumber Pembahas: Ali Akbar Notulen: Genardi Atmadiredja Pemapar: 1. Hendraswati (BPNB Pontianak) 2. Muhammad Amir (BPNB Makassar) 3. Yosef Yapi Taum (Universitas Sanata Dharma) 4. Unggul Sudrajat (Puslitbangbud)
457
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Pembahas: 1. Yosef Yapi Taum (Universitas Sanata Dharma) 2. Hendraswati (BPNB Pontianak) 3. Unggul Sudrajat (Puslitbangbud) 4. Muhammad Amir (BPNB Makassar) Diskusi Panel II (Kamis, 23 April 2015, Pukul 08.30-12.30) Panel II, Kelas A. Moderator: Mikka Wildha Narasumber Pembahas: Ali Akbar Notulen : Irna Trilestari Pemapar: 1. Wajidi (Balitbangda Propinsi Kalimantan Selatan) 2. Yuzar Purnama (BPNB Bandung) 3. Budiana Setiawan (Puslitbangbud) 4. Hasauddin (BPNB Manado) 5. Hariadi (BPNB Padang) Pembahas: 1. Budiana Setiawan (Puslitbangbud) 2. Wajidi (Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan) 3. Hariadi (BPNB Padang) 4. Hasanuddin (BPNB Manado) 5. Yuzar Purnama (BPNB Bandung) Panel II, Kelas B. Moderator: Lukman Solichin Narasumber Pembahas: Ade Makmur
458
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Notulen : Noviyanti Pemapar: 1. M. Fardlan S. Intan (Pusat Arkeologi Nasional) 2. Roby Ardiwijaya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan) 3. Marthen M. Pattipeilohy (BPNB Ambon) 4. Wahjudi Pantja Sunjata (BPNB Yogyakarta) 5. Wakit Abdullah (Universitas Negeri Surakarta) Pembahas: 1. Roby Ardiwijaya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan) 2. M. Fardlan S. Intan (Pusat Arkeologi Nasional) 3. Wakit Abdullah (Universitas Negeri Surakarta) 4. Marthen M. Pattipeilohy (BPNB Ambon) 5. Wahjudi Pantja Sunjata (BPNB Yogyakarta) Pemaparan • Yuzar Purnama (BPNB Bandung) Waduk Jati Gede di Kabupaten Sumedang meliputi lima kecamatan. Permasalahannya, di lima kecamatan tersebut adalah wilayah yang banyak sekali situsnya dan nantinya akan tenggelam. Kabupaten Sumedang sendiri dikenal sebagai salah satu sumber budaya Sunda. Ini merupakan musibah karena banyak aset budaya yang akan musnah. Kabupaten Sumedang juga sebagai penghasil beras yang khas Sumedang. Apabila area sawah ditenggelamkan, beras itu akan musnah. Di sini waduk dibangun untuk pengairan. Bila sudah selesai akan mengairi banyak sawah, dapat mengendalikan banjir, menghasilkan air bersih, dan juga akan muncul wisata air. Meskipun demikian, dampak negatifnya adalah: akan ada masyarakat yang akan terusir dari tanah kelahirannya, masalah relokasi yang belum selesai, dan ganti rugi sampai sekarang berlarut-larut. Masyarakat
459
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
melakukan demo ke bupati, DPRD Sumedang, DPRD Jawa Barat, dan lebih ekstrim lagi, mereka daatang ke Jakarta dengan berjalan kaki. Masyarakat merasa ditelantarkan. Ganti rugi telah diberikan kepada orang tua mereka, Namun karena lokasi pembangunan terkatung-katung selam 30 tahun, maka masyarakat dapat saja meminta ganti rugi lagi, karena keridaktahuan mereka kalau tempat tersebut telah diberi ganti rugi. • Budiana Setiawan (Puslitbang Kebudayaan) Konflik di Ambon pada 1999, akhirnya menyebar ke wilayah lain, termasuk Ternate. Secara geografis dan sosial-budaya masyarakat Maluku Utara mempunyai kemiripan dengan Maluku. Permasalahan penelitian, ada kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Maluku Utara yang mengandung nilai-nilai toleransi dan bagaimana itu diaplikasikan. Nilai-nilai itu di antaranya adalah Ni Malili, Suba Joo, Maku Gawene, Dola Bo Lolo. Dalam hal ini peranan pemerintah dalam melestarikan kearifan lokal sangat penting. • Hasanuddin (BPNB Manado) Peran masyarakat Gorontalo pada pelayaran dan perdagangan abad ke18 dan ke-19 sangat vital. Di Gorontalo telah terdapat jaringan pelayaran niaga, yakni dari Bantaeng ke Gorontalo. Salah satu keunggulan sumber daya alam Gorontalo adalah hasil hutan yang berlimpah. Perdagangan ini didukung oleh kehadiran peran pedagang Cina. • … •
460
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
4. Hasanuddin Bpnb Menado Pelayaran Dan Perdagangan Di Gorontalo Abad Ke 18 Dan 19 5. Hariady BPNB Padang
Upacara Tabot
1. Pendahuluan Dilakukan setiap tahun, tabot pada tahun 2003 sudah ditetapkam warisan budaya di Indonesia. Keberadaan tabot sudah dilakukan sebelum Indonesa merdeka di Bengkulu. 2. Sejarah upacara Tabut Upacara tersebut salah satu bentuk penyebaran Islam di Bengkulu dengan memanggkat wafatnya HUsein dan Husin Upacara dibagi dua: Tabot Iman dan Tabot Bangsa 6. Martin BPNB Ambon Penelitian tahun 2013 Kita orang bersaudara Konflik A,mbon 2005 sebuah klimak perjanjian di Malino Sulsel yang mencairkan persoalan di Ambon bersama Yusuf Kala . persoalan ini istilah kita orang bersaudara ini mulai muncul. Sebenarnya sudah terlahir Di Maluku tengah hukum adatnya adalah Pela Gandong Buru hukum adatnya Bungkolo Di Malteng dikenal dengan Bumi … Di MAltra Ketika gong dibunyikan ada sesuatu yang magis dan menangislah warga ketika itu, Pembahasan
Wawan vs Kalse
Diterjemahkan kutipan2 yang ada Wadjidi vs BPNB Bandung 1. Dampak pembangunan waduk 2. Sudah memenuhi karya tulis
461
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
3. Beberapa hal yang disampaikan tujuan yang ingin disampai sejauh mana dampak yang mana ruang lingkupnya pda penggantian ganti rugi dilihat hasil; 4. Sejauh mana yang akan dilihat dampak yang riel dari dampat tersebut ttp dalam hasil ada bebera rielnya belum terlihat. Yang berkaitan dengan sosial mata pencaharian. Mata pencaharian inilebih bersifat teorik belum kepada yang riel dan lebih bersifat menyarankan. Tetapi bgman kondisi reil dampak sosial dari waduk tersebut belum tertulis. 5. Terkait dengan tema besar apakab bisa penedekatan oleh pemerintah ada suatu pola pola dan nilai2 kehidupan diambil dengan …
Hariadi vs Budiana Menggali nilai nilai yang terdapat dalam ungkapan2 pada masyarakat di kota Ternate Dari sisi ungkapan2 cukup kuat untuk mengingatkan kembali oleh masyarakate terhadap konflik yang terjadi bahwa kita bersaudara. Ada beberapa ungkapan yang dimunculkan apakah ungkapan seperti ini sudah menjadi ymum di public? Sehingga orang yang datang , generasi yang lahir menjadi darah daging menjadi sesuatu yang menggakar? 3. Hambatan2 ekonomi untuk merealisasikan ungkapan tersebut dalam kehidupan? Katakanlah bagaimana menyembatani dengan persoalan persoalan tersebut Yusral BPN Vs BPNB Menado 1/ sistematika judul… menulis dengan sub sub judul 1-4 kemudaian daftar pustaka yang telah memenuhi penulisan ilmiah Penyelasan rieel masyarakat peternak ikan kenapa daerah terebut belum digenangi… jika menjadi daerah perairan seperti apa? Apa respon dari pemerinyah setelah ada demo demo: Saat ini asalah yang ada telah ditangani dengan baik meski agak lamnaat.
462
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Hasanuddin vs Haryadi Padang Tabut yang awalnya diterapkan olehislam syiah untuk kalender wisata tahunan Hurip Danu vs Martin 1. Marten> deskrisikan kualitatif, apa yang sudah a. Adat istiadat seperti itu sudah lama mengapa terjadi konflik, kemudian ada perjanjian Malino b. Kedua apa yang dilakukan pemerintah dan non pemerintah lembaga adat untukmenghindari konflik agar tidak terjadi konflik lagi? c. Kalau hasilnya untuk memprediksi untuk tidak terjadi konflik lagi semboyan itu akan ditekanlagi. d. Jadi untuk mencegah konflik apa peran pemerintahitu 2. Budaya Tabut/ a. Itu ada hubungan dengan upacara di Irak dan Di Bengkulu, apakah upacara tersebit masih ada hubungan dengan yang ada di Irak, apakah ada alkulturasi budaya sehingga paham itu tidak berkembang, bisa saja paham yang ada di Irak uyang atang ada budaya filternya. Jangan ada budaya hanya diambil dan tidak di filter 3. Hasanuddin Penelitian ini akan lebih bagus jika tidak hanya deskripsi, kalau sejarahnya ada apa yang dilakukan pemerintah untuk mengeksplorasi kembali. Sehingga sejarah itu dapat dirunut sehingga bisa ada hubungan jika tidak ada maka tidak dapat dikatakan ada hubungannya karena maritime menjadi suatu
Respon Pemakalah
Marten:
Pranata pranata adat yang berkaitan dengan hubungan persaudaraan memang sudah ada dari leluhur dari wilayah yang ada. Sebenarnya ada sensitive sekali di Maluku apabila agama di hina maka akan menjadi sensitive sekali sehingga akan dibela mati dan hidup. Dari hasil dari konfrensi Malino sampai sekarang belum diketahui dalang dari kerusuhan itu namun dengan adanya konvensi itu menjadi perhatian dan berguna dengan afanya tahun 2009 menjadi jalinan
463
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
dan ang terjadi saat ini itu masih kenakalan remaja. Pada tahu 2013 telah dilaksanakan pendidikan kita orang bersudara, dan ini menjadi pengetahuan lokal yang dimasukkan ke dalam kurikulum. Daerah multi etnik, di pulau
Hasanuddin perbedaan…
Perbandingan antara abad 14 dan sekarang memang bayak
Kawasan teluk tomini sekarang ada di Sulawesi tengah, Komoditas perdagangan 200m lalu terkenal sekali dengan kopi, rotan dulu besar sekarang jadi kecil. Saat ini sefdang digalakan kembali perdaganangan Sampai sekarang masalahn emas menjadi suatu yang luar biasa utamanya dikawasan Tobelangau. Yang membanggakan sekali di kabupaten,.. timbolo, di gorontalo ada ersekutuan dari 5 kerajaan yang menyato . di Limboto mereka masih menjadikan adat dengan pemerintahan daerah, raja di Gorontalo tidak diwariskan tetapi harus di musyawarahakan. Saat iniKepala Dinas ditentukan adat, j dada dua filter dalam pengangkatan2. Haryadi
Kalau untuk pembangunan dibantu oleh teungku
Keramaian di biayai oleh pemprov Sampai hari ini untuk ritual domennua dari keluarga tabut Ada keterkaitan dengan paham syiah. Bila dibuat pencirian orang syiah ini sangat menghormati husen dan… . keluarga tabut inilebih aspek turun temurun yang dilakuakan ooleh nenek moyang itu. Apakah didaerah lain melakukan kalau di India hanya melakukan ziarah. Kreasi2 lebih dari dalam negeri, sseperti mengambil tanah itu berarti semua yang ada berasal dari tanah. Pahamnya dilihat tidak seperti yang ada di irak, karena ini budaya sehingga perlu untuk meelestarikannya. Ulasan Ali Akbar
Wadjidi
Nilai kearifan diujung presentasi kearah muatan lokal, penelitian disuatu daerah ditingkatkan menjadi nilai nasional. Yang mencegah Korupsi diminta membahas 9 ciri negative orang Indonesia yang sibuat dari lanjutan pak Muchtar Lubis. 2010. Focus buku
464
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
menidentifikasi Ada divisi Pencegahan di KPK. Tugas kita adalah di divisi pencegahan. Tolong masukan sebagai peneliti kebudayaan. Pak Yusral Dampak pembangunan di waduk jatigede? Masalahnya lebih kepada ganti rugi, Aspek yang pemting mereka petani dan hasilnya bagus, ada 109 yang ada disana dan ada puser budaya sunda. Kita berfungsi kalaupun dsirelokasi kita menawaekan melalui kebuayaan yang budayanya cukup kuat , maka budayanya teta[ ada. Ada bebera[a aspel ketika itu direlokasi, budayanya akan terkikis walaupun budaya itu masih ada. Yang terjadi di Sumedang kebudayaan ini seperti apa, jika mau merekolasi sebaiknya seperti apa Budiana Agar saling dikomunikasikan dimana penekanannya supaya tidak ada pengulangan. Naskah ini cocok dengan tema kita, pulus minusnya sudah dipaparkan. Dipaparan suatu karakter, dimana menjadi kebanggaan suatu etnis, bagaimana kebanggaan sebagai etnis menjadi kebanggaan suatu bangsa/ bagaimana ini direkayasas menjadi suatu yang menjadi kebanggaaan nasional. Martin Kita semua orang bersaudara, penekanannya lebih kepada ini ada konflik penyebabnya apa? Ketika konflik terjadi bisa jug DISELESAIKAN. INI SESUATU YANG BISA DIKAJI MISALNYA PROBLEM MODERN KETIKA KITA TINGGAL DI jAKARTA naik kereta kog bisa dan ketika direkayasa itu busa terjadi. Nagaimana cina menghasilkan kembali jalur sutra, bagimana melakukan … Para peneliti di cina banyak menyumbangkan k=sehungga keluar kebijakan oleh pemerintahnya.
465
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
Pak Hasanuddin bisa mengembangkan untuk menghidupkan kembali poros maritime sesuai lokalnya Hariadi Ada penelitian yang sifatnya minimal jenis jenis ini sid=atnya mendokumentasikan. Ada dari jaman dahulu seperti ini, saat ini bisa tidak kita menaikkan sedikit sehingga bisa merekayasa kembali Kita masing masing sebagaio penenliti memiliki tusi Menemukan kenali merekonstruksi yang dulu dulu ketika mencoba maka stratefi kebudayaan jaman dulu, dengan kata lain punya kearifan lokal, punya kebhinekaan. Tetapi sebagai peneliti ada problem penelitian apa?mala ini menarik untuk di teliti, Kalau mau menulis di dikti, sebutkan penelitian sebelumnya? Kaena peneliti coba menyelesaikan karena penulis terdahulu belum tuntas. 4. Proposal yang bagus masih sedikit bahwa yang dibutuhkan secara keilmuan saya apa Kesimpulan di masyarakat atau ristek punya harapan semua peneliti membuat strategi kebuadayyan dalam konteks itu masih kurang dan bisa disiasati dalam akbir tulisan strategi kedepannya seperti apa? Seperti bekerja sama dengan media, media itu kekurangan berita, asalkan buat dua tiga paragraph. Demikian pula film2 dengan member kesimpulan2. Perlu ditambahkan beberapa halaman arus besar masyarakat saat ini yang berbau kekiniian. Kita sebagai peneliti agen agen budaya yang bisa mengusulkan kepada pemda, polri dan lain sebagainya.
466
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
467
PROSIDING SEMINAR FORUM KOMUNIKASI PENELITI KEBUDAYAAN 2015
468