Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PROSES BERPIKIR REFRAKSI SISWA MENYELESAIKAN MASALAH DATA „MEMBUAT KEPUTUSAN‟ Anton Prayitno, Akbar Sutawidjaja, Subanji, dan Makbul Muksar Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan proses berpikir refraksi siswa dalam menyelesaikan masalah matematika tentang pengambilan keputusan. Penelitian dilakukan dengan memberikan masalah berkaitan „kepuasan pelanggan di restauran‟. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses refraksi dalam menyelesaikan masalah mencakup proses: identified of problem, strategic, dan evaluation. Kata Kunci: Berpikir reflektif, berpikir kritis, berpikir refraksi, masalah data
Penelitian tentang data telah banyak memperoleh perhatian dari beberapa peneliti (Van de Wall, 2006; Curcio, 2001; Harper, 2004; Machester, 2002; McClain, 2000; UNCMSE; 1997). Dari hasil kajian tersebut, diperoleh beberapa temuan antara lain: kesalahan siswa membuat grafik karena salah mengolah data, kesulitan merancang pertanyaan yang tepat dalam mengumpulkan data sehingga mempengaruhi siswa dalam membuat keputusan. Secara prosedur, data sering dianggap sebagai “bilangan” (Cobb, 1999). Siswa tidak memandang data sebagai “ukuran” dari situasi tentang kesimpulan yang harus dibuat. Siswa sering menggunakan prosedur statistika secara “buta” seperti menghitung rata-rata dan menjumlahkan tanpa memperhatikan konteks yang diberikan. Doerr (2003) mengembangkan model untuk menghindari terjadinya misleading, antara lain: interpretasi, deskripsi, dugaan, penjelasan dan evaluasi (pembenaran terhadap penyelesaian karena adanya interaksi terhadap siswa lain). Pagano dan Roselle (2009) mengidentifikasi tahap tersebut sebagai berpikir refraksi yang dikonstruksi dari refleksi dan berpikir kritis. Downey (2005) menggunakan metaphor cahaya untuk menggambarkan proses refraksi yang dihasilkan dari refleksi menuju berpikir kritis (Gambar 1). Refraksi merupakan suatu proses dimana cahaya (refleksi) membentur medium sehingga menyebabkan “reaksi” pada medium yang memicu terjadinya berpikir kritis. Menurut Pagano & Roselle (2009); Medeni (2012), refraksi terjadi karena adanya refleksi yang “diisyaratkan” dengan cahaya melewati suatu medium yang memicu terjadinya berpikir kritis, sehingga cahaya yang keluar dari medium tidak sama seperti refleksi. Hal ini berarti, komponen yang dilewati terjadinya berpikir berpikir refraksi adalah refleksi dan berpikir kritis.
Gambar 1. Proses Terjadinya Refraksi
Pagano dan Roselle (2009) menyatakan bahwa refraksi merupakan suatu proses perubahan pengetahuan (transformation knowledge) yang mengandalkan pengalaman dan pengetahun yang dimiliki siswa sehingga memunculkan persepsi baru. Pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa memungkinkan untuk “dibingkai” sehingga memperoleh makna baru dalam menyelesaikan masalah. Secara umum, pengalaman siswa terhadap data harus melibatkan dengan konsep nyata, di mana konsep data yang nyata akan memberikan kemungkinan terhadap siswa dalam memahami hubungan matematis dengan konsep, display, dan prosedur statistika (Burrill & Romberg, 1998; Garfield & Gal, 1999). Ketika seseorang menghadapi masalah, kemungkinan siswa akan dipengaruhi oleh pengalamannya dalam menyelesaikan masalah. Kolb (1984) menjelaskan bahwa pengalaman siswa dalam belajar dapat
154
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
di terjemahkan dalam konsep refleksi. Siswa dapat membuat konsep dan memodifikasi serta menerapkan konsep tersebut dalam kasus lain dari pengalaman, sehingga hasil dari pengalaman siswa akan mengarahkan ke solusi atau alternatif solusi atas masalah yang diselesaikan. BERPIKIR REFLEKTIF SEBAGAI AWAL TERJADINYA BERPIKIR REFRAKSI Pagano dan Roselle (2009) menyatakan bahwa terjadinya refraksi melalui berpikir reflektif dan berpikir kritis. Hal ini berarti, berpikir reflektif merupakan awal terjadinya berpikir refraksi. Refleksi atau yang dikenal dengan berpikir reflektif merupakan salah satu dalam proses berpikir yang dianggap penting dalam membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman seseorang. Berpikir reflektif dapat diartikan sebagai proses berpikir untuk “menyadari” yang didasarkan pada pengalaman dan kemudian menfasirkannya (Atkins dan Murphy, 1994). Dalam mengkonstruksi berpikir refraksi, terlebih dahulu perlu dikaji komponen berpikir reflektif dan berpikir kritis. Kajian ini membahas tentang konstruksi berpikir refektif sebagai awal terjadinya berpikir refraksi yang didasarkan pada pengertian dan pemikiran dari berpikir reflektif dalam matematika. Sebelumnya perlu disetarakan beberapa komponen berpiki reflektif yang ada, yaitu komponen berpikir reflektif Lee (2005) yang disingkat (KRL); berpikir reflektif Zehavi dan Mann (2006) yang disingkat (KRZ), berpikir reflektif Jansen dan Spitzer (2009) yang disingkat (KRJ) dan berpikir reflektif Rosen (2010) yang disingkat (KRR). Berdasarkan adanya kesamaan indikator pada komponen berpikir reflektif, maka Prayitno (2014) mengkonstruksi berpikir reflektif. Adapun hasil kontruksi berpikir reflekti terdapat pada tabel 1 berikut. Lee 2005 Recall
Rationalization
Reflectivity
Tabel 1. Kontruksi Berpikir Reflektif Zehavi & Mann Jansen & JG Rosen (2006) spitzer (2010) (2009) Selection of techniques Description Location and definition of the problem monitoring of the Recognize or felt solution process difficulty Conceptualization Interpretation The mental elaboration of the idea or supposition insight or ingenuity Suggestion of possible solution Testing the hypothesis by overt or imaginative action.
Berpikir reflektif Description of problem
Define the problem
Collection of information Conclusion belief
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh kontruksi berpikir reflektif dengan alasan sebagai berikut: 1. Komponen Selection of techniques dan monitoring of the solution process pada KRZ; komponen Deskripsi pada KZL dan komponen Location and definition of the problem dan Recognize or felt difficulty pada KRR serta Recall pada KRL merupakan bagian dari berpikir reflektif yang sifatnya hanya menafsirkan situasi berdasarkan ingatan dan menggambarkan informasi yang diperoleh seseorang sebelum menyelesaikan masalah, maka komponen tersebut dapat disebut sebagai description of problem. 2. Komponen define the problem dapat dikatakan sebagai komponen yang menafsirkan informasi secara rasional dan menghubungkan konsep dengan pengetahuan sehingga dapat mendefinisikan masalah. Komponen ini merupakan kontruksi dari rasionalisasi pada KRL, conceptualization pada KRZ, interpretasi pada KRJ, dan the mental elaboration of the idea or supposition pada KRR. 3. Komponen reflectivity, insight or ingenuity, dan Suggestion of possible solution indikatornya adalah pengajuan beberapa alternatif berdasarkan kumpulan ide terhadap informasi, sehingga dapat disebut sebagai Collection of information.
155
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
4. Conclution belief dapat pula disejajarkan dengan Testing the hypothesis by overt or imaginative action karena pada bagian ini adalah membuat hipotesis atau kesimpulan yang diyakini kebenarannya. BERPIKIR KRITIS SEBAGAI PROSES MENUJU BERPIKIR REFRAKSI Setelah berpikir reflektif, proses selanjutnya menuju proses mental yang lebih aktif disebut berpikir kritis. Dalam berpikir kritis salah satu tujuan utama adalah untuk mengenali keterkaitan pandangan yang berbeda oleh karena itu seseorang perlu mempertimbangkan bahan yang dikumpulkan dan persediaan yang diambil dalam tahap refleksi. Dalam berpikir kritis, siswa secara aktif mencoba untuk mengembangkan keterampilan dengan mengonseptualisasikan, analisis, sintesis, evaluasi, mengingat, dan atau menerapkan informasi untuk mencapai kesimpulan atau menjawab pertanyaan (Facione, 2013; Jenicek, 2011). Untuk membuat kategori berpikir kritis ditentukan dahulu beberapa komponen berpikir kritis. Sebelumnya perlu disetarakan beberapa komponen berpikir kritis yang ada, yaitu komponen berpikir kritis Jenicek (2011) yang disingkat (KKJ); berpikir kritis Plymouth University (2010) yang disingkat (KKP) dan berpikir kritis Facione (2013) yang disingkat (KKF). Berdasarkan adanya kesamaan indikator pada masing-masing komponen, Prayitno (2014) mengkonstruksi komponen berpikir kritis yang terlihat pada tabel 2 berikut. Jenicek (2011) Conceptualizing Applying Analyzing Synthesizing Evaluating information
Tabel 2. Kontruksi Berpikir Kritis Plymouth University (2010) Facione (2013) Description Interpretation Analysis
Analysis
Evaluation
Inference Evaluation Explanation Self Regulasi,
Berpikir Kritis Exploration the information Relevance of informatioan Evaluation clarification
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh kontruksi berpikir kritis dengan alasan sebagai berikut: 1. Komponen Conceptualizing pada KKJ, Description pada KKP, dan Interpretation pada KKF secara umum memiliki indikator mengorganisasikan informasi untuk membuat suatu konsep yang berkaitan dengan memahami dan mendefinisikannya. Seseorang harus dapat mengeksplorasi informasi untuk mengkontruksi makna/arti dari informasi tersebut, sehingga komponen tersebut dapat disebut exploration the information. 2. Karena pada komponen Applying, Analyzing, Synthesizing pada KKJ, dan Analysis, Inference pada KKF memiliki indikator yang terlihat sama pada analysis dalam KKP seperti mengidentifikasi hubungan antar konsep, dan kemampuan mengenali unsur yang diperlukan untuk membuat kesimpulan. Maka indikator ini terkait dengan menghubungkan masingmasing informasi untuk membuat suatu kesimpulan sehingga disebut dengan Relevance of information. 3. Komponen evaluation memiliki kesamaan indikator pada komponen berpikir kritis KKJ, KKP dan KKF seperti menilai kesimpulan secara valid. 4. Komponen clarification merupakan gabungan dari komponen explanation dan self regulation pada KKF karena explanation dan self regulation merupakan disposisi/ kebiasaan seseorang berpikir kritis, sehingga komponen tersebut hanya digunakan mengklarifikasi hasil yang diperoleh BERPIKIR REFRAKSI Komponen pada refleksi dan berpikir kritis sifatnya tidak hirarki, artinya kriteria tersebut dapat bertukar posisi menuju komponen yang lain. Secara umum, kriteria berpikir reflefksi akan selalu muncul dalam menyelesikan masalah atau ketika seseorang menilai keberhasilan menjawab. Schon (1991) menjelaskan bahwa refleksi dapat terjadi ketika seseorang memeriksa kembali tentang apa yang dikerjakan (reflection on action) dan refleksi terjadi pada proses menyelesaikan masalah (reflection in action). 156
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada proses berpikir refraksi diperlukan adanya komponen berpikir refraksi. Oleh karena itu, untuk membangun berpikir refraksi ditentukan dahulu komponen berpikir reflektif dan berpikir kritis. Beberapa peneliti, telah banyak mengkaji tentang berpikir reflektif sebagai proses menuju berpikir kritis (Colley & Billics, 2012; Taylor, 1992; Asare, 2012; Park & Kastanis; 2009; Park Ji Yong, 2011; Choy, S. Chee, 2012). Dari kajian tersebut, diperoleh beberapa temuan antara lain: berpikir reflektif merupakan salah satu alat untuk mengembangkan berpikir tingkat tinggi; berpikir kritis merupakan hasil dari refleksi seseorang dalam belajar dan mengembangkan kesadarannya dalam bentuk perasaan dan tindakan; berpikir reflektif mendukung kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah sosial dan politik; berpikir reflektif meningkatkan berpikir kritis siswa dan pemahaman yang dipelajarinya; refleksi mengarah siswa berpikir kritis untuk menghasilkan pengetahuan baru; berpikir reflektif bagian dari proses berpikir kritis secara khusus mengacu pada proses menganalisis dan membuat penilaian tentang apa yang telah terjadi. Oleh karena itu, komponen berpikir reflektif dan berpikir kritis dapat diiriskan atau dikontruksi menjadi komponen berpikir refraksi. Berdasarkan adanya kesamaan indikator pada masing-masing komponen, Prayitno (2014) mengkontruksi berpikir refraksi berdasarkan komponen berpikir reflektif dan kritis. Adapun kontruksi berpikir refraksi terlihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Kontruksi Berpikir Refraksi Komponen Komponen Komponen Berpikir reflektif Berpikir kritis berpikir refraksi of Description of Exploration the Identified problem problem information Define the problem Collection Relevance of information strategic Conclusion belief
Evaluation Clarification
evaluation
PROSES BERPIKIR REFRAKSI DALAM MENYELESAIKAN MASALAH DATA Pagano dan Roselle (2009) menjelaskan bahwa proses refraksi terjadi melalui refleksi dan berpikir kritis. Berpikir refraksi dapat terjadi jika siswa diberikan suatu masalah matematika, terbentur dengan masalah tersebut dan akan mengalami kebingungan sehingga memungkinkan siswa melakukan refleksi. Siswa akan cenderung mengaitkan masalah tersebut dengan pengetahuan yang dimiliki. Siswa juga akan mengaitkan masalah dengan pengalaman. Selanjutnya, siswa mengevaluasi informasi yang terkumpul pada saat melakukan refleksi, sehingga akan memungkinkan siswa memilih alternatif dengan cara mengeliminasi informasi secara bertahap. Kemudian, siswa menyelesaikannya dengan mempertimbangkan beberapa informasi sehingga menghasilkan informasi yang lebih sedikit. Karena itu, proses berpikir refraksi merupakan proses berpikir yang “mengerucutkan” pilihan dari beberapa alternatif dengan cara mengeliminasi informasi secara bertahap. Berdasarkan hasil observasi peneliti (Bulan November 2013), masalah yang diberikan terhadap siswa merupakan pengembangan dari lembar tugas Doerr (JRME, 2003). Proses berpikir refraksi terjadi pada saat siswa menyelesaikan masalah data tentang “Kepuasan Pelanggan di Restauran”. Adapun masalah tersebut, disajikan dalam gambar 2 berikut.
157
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Masalah Kepuasan Pelanggan di Restauran Fri Bur- Kids Quick chocolate Perhatikan tabel di samping ini! es ger Meal ness sundae McD mensurvei 10 orang pelanggan Pelanggan 1 1 3 2 5 4 untuk mengetahui 5 alasan datang ke Pelanggan 2 4 3 1 2 5 McD. 2 1 5 3 4 Angka yang terdapat pada tabel Pelanggan 3 2 3 5 4 1 menunjukkan peringkat (rangking) pada Pelanggan 4 Pelanggan 5 1 2 4 3 5 menu yang dipilih oleh pelanggan. Pelanggan 6 3 4 5 1 2 Tugas Kalian adalah mengurutkan menu Pelanggan 7 4 5 1 3 2 dari yang paling disukai sampai paling Pelanggan 8 1 2 5 3 4 tidak disukai pelanggan! Berikan Pelanggan 9 2 3 4 1 5 penjelasan/keterangan terhadap jawaban Pelanggan 10 2 1 5 4 3 kalian. Gambar 2. Masalah Kepuasan Pelanggan di Restauran yang Diberikan Kepada Siswa
Pada masalah ini, kepuasan pelanggan di Restoran dapat dilakukan dengan mengelompokkan banyak pelanggan pada masing-masing menu. Pengelompokkan banyak pelanggan bisa ditulis dengan cara Talley. Sehingga diperoleh banyak frekuensi pada masingmasing menu. Selanjutnya, untuk menentukan menu yang paling disukai pelanggan, menentukan frekuensi yang terbanyak pada posisi masing-masing menu. Dengan kata lain, banyak frekuensi pada posisi menu dibandingkan dengan menu lain. Frekuensi yang terbanyak merupakan menu yang paling disukai pelanggan. Selain itu, masalah 1 juga bisa diselesaikan dengan menentukan rata-rata pada masing-masing menu, yang kemudian diurutkan dari ratarata terkecil sampai tertinggi. Rata-rata terkecil pada menu merupakan menu yang paling disukai pelanggan, begitu selanjutnya. Selain dengan cara Talley dan rata-rata, masalah menentukan menu yang banyak disukai pelanggan dapat diselesaikan dengan mengaitkan peringkat dengan skor. Peringkat tertinggi diberi skor tinggi, (misalnya peringkat 1 diberi skor 5). Selanjutnya dihubungkan dengan banyak pelanggan. Hasil skor terbanyak akan menempati posisi teratas. Dengan demikian, menu yang memperoleh skor tinggi merupakan menu yang paling disukai pelanggan. Berikut struktur masalah ideal yang dikembangkan oleh peneliti terhadap masalah kepuasan pelanggan di Restauran.
Gambar 3. Struktur Masalah “Kepuasan Pelanggan di Restauran” Berdasarkan Peneliti
158
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Keterangan : Masalah : proses kegiatan : hasil kegiatan
: Alur kegiatan : proses refleksi : proses berpikir kritis
Berikut hasil kerja Panji (nama samaran) dengan menggunakan teknik talley sebagai berikut:
Gambar 4. Hasil Kerja Panji
Berdasarkan hasil kerjanya, Panji melakukan pengelompokan frekuensi berdasarkan banyak pelanggan dengan cara talley. Hasil petikan wawancara terhadap subyek yaitu ”…mengumpulkan berapa banyak pelanggan yang memilih menu..” selanjutnya … saya tulis, seperti itu karena berdasarkan pengalaman mengerjakan soal seperti itu, saya menuliskan dengan cara seperti ini”. Dari respon panji terhadap teknik talley ini, dia mengekplorasi apa yang terdapat pada masalah tersebut dan mencoba mengingat kembali terhadap konteks yang pernah ditemuinya dengan masalah yang dihadapi. Aspek ini telah menunjukkan bahwa, Panji mencoba melakukan refleksi terhadap penyelesaian masalah tersebut. Dimana masalah refleksi yang diungkap adalah pengetahuan yang dimiliki setiap melakukan perhitungan data dengan bentuk tabel frekuensi. Oleh karena itu aspek refleksi yang terdapat pada Panji adalah mengidentifikasi masalah dan menuliskan masalah ke dalam bentuk tabel frekuensi berdasarkan pilihan pelanggan. Selanjutnya Panji menjelaskan tentang frekuensi pada masing-masing menu. Dari lima menu, yang menempati rangking 1 adalah fries, karena banyak pelanggan pada fries lebih banyak dibandingkan pada menu lain. Sedangkan pada rangking 2, ada menu yang sama menempati rangking 2. Berikut penjelasan Panji, dalam memilih rangking 2
Gambar 5. Penjelasan Panji tentang Rangking 2
Berdasarkan petikan wawancara terhadap siswa dalam menentukan rangking 2, Panji menjelaskan sebagai berikut “…Untuk menentukan rangking 2, saya memperhatikan banyak pelanggan yang memilih rangking 1 pada burger dan CS. Karena yang memilih rangking 1 lebih banyak Burger, maka saya memilih Burger dibanding Cholate Sundae”. Dari penjelasan tersebut, Panji mencoba mencari keterkaitan banyak frekuensi pada Burger dan CS dengan masing-masing frekuensi sebelumnya. Panji beranggapan bahwa frekuensi sebelumnya pada kasus tersebut akan menentukan posisi rangking 2, sehingga banyak frekuensi sebelumnya dijadikan pertimbangan untuk memilih Burger dan CS. Aspek yang dilakukan oleh Panji adalah kemampuan mengkaitkan frekuensi yang berada pada menu dengan frekuensi sebelumnya sehingga frekuensi sebelumnya bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk memperoleh jawaban.
Gambar 6. Penjelasan Panji Rangking 3
159
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Selanjutnya untuk menentukan rangking 3, siswa mencoba menggunakan sistem eliminasi salah satu menu yang dikarenakan menu tersebut telah menempati rangking 2. Dalam menentukan rangking 3, Panji mencari banyak frekuensi yang menempati rangking 3, sehingga diperoleh 2 menu yaitu Burger dan Quicness. Berikut kutipan dengan siswa, “…karena burger telah menempati rangking 2, maka Quikness, menempati rangking 3”. Panji berpikir untuk menentukan rangking 3, mencoba menggunakan teknik eliminasi dimana menghilangkan menu burger akibat menu tersebut telah menempati rangking 2. Dengan demikian siswa tersebut mengaitkan rangking 2 dan 3. Selanjutnya banyak frekuensi juga digunakan untuk menentukan rangking 4 dan 5. Dari hasil kerja dan berpikir Panji tersebut, maka diperoleh strategi: 1) Mengaitkan jumlah frekuensi sebelumnya terhadap frekuensi yang lain sehingga dapat dijadikan pertimbangan, 2) keterkaitan antara peringkat yang satu dengan yang lain, sehingga memunculkan cara eliminasi. Proses berpikir Panji dapat dianalisa dengan menggunakan struktur masalah yang dibuat oleh peneliti pada gambar 4 berikut.
Gambar 7. Struktur Masalah “Kepuasan Pelanggan di Restauran” Berdasarkan Jawaban Panji
Keterangan : Masalah : proses kegiatan : hasil kegiatan
: Alur kegiatan : proses refleksi : proses berpikir kritis
Berdasarkan hasil observasi, terlihat bahwa Panji melakukan berpikir refraksi pada masalah diatas. Panji mengalami berpikir refraksi dan terjadi rekonstruksi pengetahuan baru dalam menentukan rangking pada menu ketika terjadi rangking yang sama. Siswa memilih alternatif dengan cara mencari jumlah frekuensi sebelumnya. Berikut hubungan tahapan penyelesaian yang dilakukan oleh Panji dan komponen berpikir refraksi Tabel 4. Tahapan Penyelesaian Panji Tahap penyelesaian yang dilakukan Panji Komponen berpikir refraksi 1. Mengaitkan masalah dengan cara talley identified of problem 2. Selanjutnya mengaitkan frekuensi yang satu Strategic dengan yang lainnya, 3. Mengeliminasi alternatif (pilihan) secara bertahap berdasarkan banyak frekuensi, 4. Mengaitkan frekuensi dengan posisi rangking sebelumnya,
160
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
5.
Memilih alternatif berdasarkan frekuensi sehingga diperoleh kesimpulan yang telah dianggap benar
evaluation
KESIMPULAN Proses berpikir siswa dalam pengambilan keputusan melalui berpikir refraksi dilakukan dengan tiga proses: identified of problem, strategic, dan evaluation. Identified of problem dilakukan dalam proses mengaitkan masalah dengan cara talley. Strategic dilakukan dalam proses mengaitkan frekuensi yang satu dengan yang lainnya, mengeliminasi alternatif (pilihan) secara bertahap berdasarkan banyak frekuensi, dan mengaitkan frekuensi dengan posisi rangking sebelumnya. Evaluation dilakukan dalam proses memilih alternatif berdasarkan frekuensi sehingga diperoleh kesimpulan yang telah dianggap benar. DAFTAR RUJUKAN Anonymous. 2010. Critical Thinking. Learning Development, Plymouth University. http://www.learningdevelopment.plymouth.ac.uk/LDstudyguides/pdf/8Criticalthinking.p df. diakses tanggal 13 November 2013 Asare, Samuel Amoah. 2012. Reflective Collaborative Practices: What Is the Teachers‟ Thinking? A Ghana Case. Creative Education. Vol.3, No.4, 448-456. Atkins, S. & Murphy, K. 1994. Reflective Practice. Nursing Standard, 8(39), pp.49-56. Choy, S. Chee., & Oo, Pou San. 2012. Reflective Thinking and Teaching Practices: A Precursor for Incorporating Critical Thinking Into The Classroom?. International Journal of Instruction. Vol.5, No.1, 167-182. Cobb, P. 1999. Individual and Collective Mathematical development: The case Statistical data analysis. Mathematic Thinking and Learning. Volume 1, Issue 1. 5-43. Colley, Binta M, & Billics, Andrea R., & Lerch, Carol M. 2012. Reflection: A Key Component to Thinking Critically. The Canadian Journal for the Scholarship of Teaching and Learning. Vol. 3. Issue. 1, 1-19. Curcio, F.R. 2001. Developing Data-Graph Comprehension in Grade K-8 (2nd ed). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Doerr, Helen M. 2003. A Modeling Perspective on Students‟ Mathematical Reasoning About Data. Journal For Research in Mathematics Education. Vol. 34 No. 2, 110-136. Downey, Greg. 2005. How to Guide and Facilitate Self Reflective Practice in Re-Entry Programs. Presented at CIEE Conference, Miami, FL. Ennis, R. H. 1996. Critical thinking. Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall Facione, P. A. 2013. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. Millbrae, CA: Measured Reasons and The California Academic Press. Garfield, J., & Gal, I. 1999. Assessment and Statistics Education: Current Challenges and Direction. International Statistical Review, 67, 1-12. Harper, S. R. 2004. Student Interpretations of Misleading Graph. Mathematics Teaching in The Middle Grades, 9. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Jansen and Spitzer. (2009). Prospective Middle School Mathematics Teacher‟s Reflective Thinking Skills: Descriptions of Their Students‟ Thinking and Interpretations of Their Teaching. J Math Teacher Educ, 12, 133–151 Jenicek, M., Croskery, Pat,. 2011. Evidence and its uses in health care and research: The role of critical thinking. Medical Science Monitor. 17(1): RA12–RA17. Kolb, D. 1984. Experiential Learning: Experience As The Source of Learning and Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Lee, H. 2005. Understanding and Assesing Preservice Teachers Reflective thinking. Teaching and Teacher Education. USA. 21 (699-715) Manchester, P. 2002. The Lunchrom Project: A Long-Term Investigative Study. Teaching Children Mathematics, 9. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. McClain, K., Cobb, P.&Gravmeijer, K. 2000. Supporting Student Way of Reasoning About Data. In M.J Burke (Ed). Reston: Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
161
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Medeni, Tunch D., & Medeni, I Tolga. 2012. Reflection and Refraction For Knowledge Management Systems. International Journal of Ebusiness and Egovernment Studies. Vol 4, No 1, 55-64. Pagano, M., & Roselle, L. 2009. Beyond Reflection: Refraction and International Experiential Education. Frontiers: The Interdisciplinary Journal of Study Abroad. 18, 217-229. Park, J.Y., & Kastanis, L.S. 2009. Reflective Learning Through Social Network Sites In Design Education. The International Journal of Learning, 16(8), 11-22. Park, Ji Yong & Son, Jeong Bae. 2011. Expression and Connection: The Integration of the Reflective Learning Process and the Public Writing Process into Social Network Sites. MERLOT Journal of Online Learning and Teaching. Vol. 7, No. 1, 170-178. Prayitno, Anton. 2014. Konstruksi Teoritik Tentang Berpiki Reflektif Sebagai Awal Terjadinya Berpikir Refraksi Dalam Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional di ITS Surabaya. Prayitno, Anton. 2014. Construction Theory of Critical Thinking As Process Towards Refraction Thinking In Mathematics. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional di UNISMA Malang. Prayitno, Anton. 2014. Konstruksi Teoritik Tentang Berpikir Refraksi Dalam Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional di PPPPTK Matematika Yogyakarta. Rosen, JG. 2010. Problem solving and reflective thinking: John Dewey, Linda Flower, Ricard Young. Journal of Teaching Writing. 69-78 Schon, D. 1991. Educating the Reflective Practitioner. San Francisco: Jossey-Bass. Taylor, L. 1992. Mathematics Attitude Development From A Vygotskian Perspective. Mathematics Education Research Journal, 4,8-23. University of North Carolina Mathematics and Science Education Network. 1997. Teach-Stat Activities: Statistic Investigations For Grade 3-6. Palo Alto, CA: Dale Seymour Publication. Vann de Wall, John A. 2006. Elementary and Middle School Mathematics Sixth Edition. Pearson Education. Zehavi, N. 2006. Instrumented Techniques and Reflective Thinking in Analitic Geometry. The Montana Mathematics Enthusiast. ISSN 1551-3440. Vol 2, No. 2 pp. 83-92
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA BERCIRIKAN METODE PENEMUAN TERBIMBING DAN BERBANTUAN MATHXPERT CALCULUS PADA MATERI GRAFIK FUNGSI TRIGONOMETRI UNTUK SISWA SMA NEGERI 2 MALANG KELAS X SEMESTER II Arum Sulistyo Pawestri Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini mengembangkan LKS bercirikan metode penemuan terbimbing dan berbantuan MathXPert Calculus pada materi grafik fungsi trigonometri untuk siswa SMA Negeri 2 Malang. MathXPert Calculus dalam LKS ini digunakan untuk mengecek kebenaran grafik yang dibuat oleh siswa secara manual dan membantu siswa menemukan karakteristik grafik fungsi trigonometri. Pengembangan LKS mengikuti langkah Define, Design, Development, dan Disseminate. Hasil pengembangan ini adalah LKS memenuhi kriteria valid , praktis, dan efektif . Hasil observasi aktivitas siswa menunjukkan bahwa aktivitas siswa termasuk dalam kategori aktif , dan respon siswa positif. Kata Kunci: lembar kerja siswa, penemuan terbimbing, MathXPert Calculus
Hasil observasi di SMA Negeri 2 Malang menunjukkan bahwa sumber belajar yang dimiliki oleh siswa kurang mampu menunjang siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Sumber belajar berisi rangkuman materi, contoh soal, dan latihan-latihan soal, 162
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan belum memanfaatkan penggunaan teknologi dalam matematika. Hal itu menyebabkan siswa pasif dan pembelajaran kurang menyenangkan. Selain itu, metode pembelajaran yang digunakan adalah metode pembelajaran langsung di mana guru berperan dominan dalam pembelajaran dan menjelaskan langsung suatu konsep matematika, sedangkan siswa hanya menerima saja konsep matematika sebagai hasil jadi. Kondisi ini membuat siswa belajar matematika tak bermakna. Oleh karena itu diperlukan suatu media pembelajaran yang dapat memfasiltatsi siswa, salah satunya adalah lembar kerja siswa.. Lembar kerja siswa (LKS) adalah salah satu literatur (sumber bacaan) yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan literatur mempunyai beberapa manfaat. Hal ini didukung oleh pendapat Jane dan Mary (2008:2) yaitu integrating literature within mathematics lesson not only develops literacy skills, but also promote mathematical language and problem solving. Ini berarti penggunaan literatur dalam pembelajaran matematika tidak hanya mengembangkan kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mengenalkan bahasa matematika dan pemecahan masalah. Selain itu Puji (2011:8) juga menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman siswa yang didukung oleh LKS yang digunakan dalam setiap aktivitas pembelajaran mampu membuat siswa mengkonstruk pengetahuan siswa, pemahaman siswa menjadi lebih baik, dan membuat kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna. Salah satu metode pembelajaran yang dapat membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran dan membuat pembelajaran menjadi bermakana adalah metode penemuan terbimbing. Slavin (2009) menyatakan “ in guided discovery the teachers plays a more active role, giving clues, structuring portions of an activity, or providing outlines”. Hal ini berarti dalam penemuan terbimbing guru memiliki lebih banyak peran aktif, memberikan petunjuk, menyusun bagian dari suatu aktivitas, atau menyediakan rangkuman. Menurut Markaban (2006: 16), langkah-langkah dalam pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing meliputi 1) siswa diberikan pertanyaan, perintah atau petunjuk , 2) siswa diminta untuk mengolah data sehingga muncul suatu dugaan, 3) dugaan yang telah diperoleh kemudian diuji untuk mendapat kesimpulan, dan 4) siswa diberikan latihan soal untuk memantapkan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Metode penemuan terbimbing memberikan dampak yang positif terhadap kegiatan pembelajaran. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bahm (2009), Khasnis (2011) dan Mathew (2013) yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing, di mana siswa terlibat aktif dan dibimbing oleh guru, siswa lebih sukses (mendapat skor lebih baik) dan kemampuan inkuiri siswa meningkat daripada menggunakan metode pembelajaran konvensional. Saat ini teknologi berkembang dengan sangat pesat. Kita dapat memanfaatkan perkembangan teknologi tersebut untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, salah satunya dengan memanfaatkan software matematika. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan software matematika membuat kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kissane dan Kemp (2009), modern technology provides an excellent means of exploring many of the concepts associated with trigonometry. Salah satu software matematika yang dapat digunakan adalah MathXpert Calculus. MathXpert Calculus adalah suatu program komputer yang didesain untuk membantu siswa mempelajari aljabar, trigonometri, dan kalkulus satu variabel. Salah satu fitur dari MathXpert Calculus yang dapat kita manfaatkanadalah “Create a Graph”. Dengan menggunakan fitur ini kita dapat mengetahui grafik suatu fungsi, salah satunya adalah grafik fungsi trigonometri. Trigonometri merupakan salah satu materi baru bagi siswa SMA kelas X yang di dalamnya terdapat sub pokok bahasan grafik fungsi tigonometri. Pada sub pokok bahasan ini siswa diminta untuk menggambar grafik secara manual. Ada kemungkinan terdapat kesalahan pada grafik yang dibuat oleh siswa, salah satunya grafik yang diperoleh bukan berupa kurva mulus, seperti yang terlihat pada gambar 1. Untuk mengetahui grafik yang tepat, siswa dapat mengeceknya melalui software MathXpert Calculus. Dengan bantuan MathXPert Calculus pula, siswa dapat mengetahui karakteristik dari grafik fungsi trigonometri yang meliputi amplitude dan periode fungsi, dan hubungan antara grafik fungsi tersebut (konsep pergeseran grafik).
163
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 1. Grafik yang Dibuat oleh Siswa
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Lembar Kerja Siswa Bercirikan Metode Penemuan Terbimbing dan Berbantuan MathXpert Calculus Materi Grafik Fungsi Trigonometri untuk Siswa SMA Negeri 2 Malang Kelas X Semester II yang memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam pengembangan lembar kerja siswa ini adalah Four D (dalam Zuhdan, 2012, yaitu: 1) Define : mendefinisikan dan menetapkan syarat-syarat yang mendasari perancangan lembar kerja siswa, 2) Design: menyusun rancangan Lembar kerja siswa, 3) Develop: validasi ahli dan uji coba lapangan untuk mengetahui kevalidan,kepraktisan dan keefektifan lembar kerja siswa. 4) Disseminate : penyebaran tidak dilakukan karena keterbatasan waktu. HASIL Pada penelitian pengembangan ini telah dihasilkan lembar kerja siswa (LKS) bercirikan metode penemuan terbimbing dan berbantuan MathXpert Calculus pada materi grafik fungsi trigonometri untuk siswa SMA Negeri 2 Malang kelas X Semester II. Tahapan pengembangan yang digunakan adalah model pengembangan Four D yang meliputi: 1. Define (Pendefinisian) a. Hasil analisis awal Hasil observasi di sekolah menunjukkan bahwa ketersediaan sumber belajar yang dimiliki siswa kurang, sumber belajar belum dapat memfasilitasi siswa untuk aktif dalam pembelajaran, pembelajaran grafik fungsi trigonometri belum memanfaatkan suatu software matematika. Berdasarkan hasil observasi tersebut maka peneliti akan mengembangkan LKS yang memanfaatkan suatu software matematika dan dapat memfasilitasi siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. b. Hasil analisis Siswa Hasil yang diperoleh setelah melakukan observasi di sekolah adalah siswa di sekolah ini mempunyai beberapa karaketristik, antara lain; keterlibatan siswa dalam menemukan suatu konsep masih rendah, ketergantungan siswa pada guru dalam menyelesaikan masalah masih tinggi, kurangnya aktivitas diskusi kelompok dan diskusi kelas, dan sebagian besar siswa tidak memiliki sumber belajar yang cukup (hanya menggunakan buku paket dari pemerintah). Berdasarkan karakteristik siswa tersebut maka model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think four Shared dan metode pembelajaran yang akan digunakan adalah metode penemuan terbimbing yang diimplementasikan dalam LKS. Hal ini dilakukan agar siswa terlibat aktif dalam menemukan suatu konsep, proses pembelajaran lebih berpusat pada siswa, dan pemahaman siswa terhadap materi grafik fungsi trigonometri lebih baik. c. Hasil analisis konsep Analisis konsep yang dilakukan yaitu (1) mengidentifikasi konsep-konsep utama yang akan diajarkan sesuai dengan kurikulum 2013, (2) mengatur urutan materi, (3) investigasi sumber-sumber pendukung dan (4) merinci konsep-konsep ke dalam bagian-bagian yang sesuai berdasarkan karakteristik materi dan alokasi waktu d. Hasil analisis tugas 164
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan identifikasi pengetahuan yang akan diperoleh siswa setelah kegiatan belajar menggunakan LKS yang dikembangkan, maka ditetapkan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa dalam setiap kegiatan belajar. Terdapat 3 kegiatan belajar dalam lembar kerja siswa, yaitu grafik fungsi sinus, grafik fungsi cosinus, dan grafik fungsi tangent. Tugas yang harus dilakukan siswa adalah belajar mandiri, belajar kelopok, dan tugas individu. e. Hasil analisis tujuan pembelajaran Tujuan pembelajaran dituangkan dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). RPP yang dibuat berdasarkan kurikulum 2013. 2. Design (Tahap Perancangan): merancang LKS dan instrument penelitian. Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu: (1) lembar validasi LKS, (2) lembar validasi RPP, (3) lembar validasi tes akhir, (5) lembar observasi aktivitas guru, (6) lembar validasi lembar observasi aktivitas guru, (7) lembar observasi aktivitas siswa, (8) lembar validasi lembar observasi aktivitas siswa, (9) lembar observasi keterlaksanaan LKS, (10) lembar validasi lembar observasi keterlaksanaan LKS, (11) angket respon siswa, dan (12) lembar validasi angketrespon siswa. LKS yang dikembangkan dalam penelitian ini disesuaikan dengan kondisi siswa dan karakteristik siswa di SMA Negeri 2 Malang. Komponen-komponen LKS bercirikan penemuan terbimbing dan berbantuan MathXPert Calculus ini terdiri dari: a) Halaman sampul (cover), b) Kata pengantar, c) Daftar isi. d) Pendahuluan, e) Kegiatan belajar: Bagian ini memuat kegiatan belajar untuk tiga kali pertemuan, dengan masing-masing kegiatan belajar terdiri dari aktivitas siswa/tugas kelompok dalam penemuan konsep dan latihan soal, f)Tes akhir, dan g) Daftar pustaka. Penerapan metode penemuan terbimbing yang disajikan ke dalam bentuk LKS yang berbantuan MathXPert Calculus pada grafik fungsi trigonometri adalah sebagai berikut: 1. Siswa diberikan pertanyaan atau petunjuk yang mengarahkannya untuk menggambar dan menemukan grafik fungsi trigonometri. 2. Setelah siswa menggambar grafik fungsi trigonometri secara manual, siswa diminta untuk mengecek kebenaran grafik yang telah mereka buat menggunakan MathXpert Calculus. 3. Siswa diminta menggambar berbagai variasi dari grafik fungsi trigonometri menggunakan MathXpert Calculus 4. Siswa diminta mengamati grafik fungsi yang telah diperoleh dan menentukan karakteristik-karakteriktik grafik fungsi tersebut yang meliputi nilai maksimum dan minimum, periode fungsi dan amplitudo. Selain itu siswa juga diminta untuk menentukan hubungan antara variasi grafik fungsi trigonometri. Kemudian siswa diminta membuat dugaan dan kesimpulan dari materi tersebut. 5. Guru memeriksa kesimpulan yang dibuat oleh siswa. 6. Siswa mengerjakan soal evaluasi untuk mengukur kemajuan proses belajar. 3. Develop (Tahap pengembangan) Pada tahap ini dilakukan proses validasi ahli oleh dua validator dan uji coba lapangan. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan yaitu: a. LKS yang dikembangkan memenuhi kriteria valid .Hal ini ditunjukkan dengan skor validasi ahli 3,32 dari skor maksimal 4. Meskipun telah memenuhi kriteria valid, peneliti tetap melakukan revisi sesuai saran dan komentar yang diberikan oleh validator. Cuplikan aktivitas yang terdapat di LKS dapat dilihat pada gambar 2.
165
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 2. Cuplikan Isi LKS yang Dikembangkan
b. LKS memehuhi kriteria praktis (hasil observasi menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran sesuai dengan RPP dan tingkat keterlaksanaan LKS masuk kategori tinggi dengan skor 3,47 dari skor maksimal 4). Gambar 3 di bawah ini adalah hasil observasi aktivitas guru. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas yang dilakukan guru sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dirancang.
Gambar 3. Hasil Observasi Aktivitas Guru
c. LKS memenuhi kriteria efektif (sebanyak 75% siswa mendapat nilai akhir minimal 75, hasil observasi aktivitas siswa menunjukkan bahwa aktivitas siswa termasuk dalam kategori aktif dengan skor 3,1 dari skor maksimal 4, dan respon siswa positif). Gambar 4 di bawah ini menunjukkan hasil pekerjaan siswa dengan menggunakan LKS yang dikembangkan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa telah membuat dugaan dan berusaha untuk menemukan suatu konsep meskipun hasil yang diperoleh belum tepat. Guru sebagai fasilitator kemudian memandu siswa untuk menemukan kesimpulan
166
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 4 . Hasil Pekerjaan Siswa
PEMBAHASAN Pada penelitian pengembangan ini telah dihasilkan lembar kerja siswa (LKS) bercirikan metode penemuan terbimbing dan berbantuan MathXpert Calculus pada materi grafik fungsi trigonometri untuk siswa SMA Negeri 2 Malang kelas X Semester II. Untuk menilai kualitas LKS ini dikembangkan juga instrumen yang berupa lembar validasi, lembar observasi, dan angket respon siswa. Pengembangan LKS ini mengacu pada model pengembangan Four-D yaitu Define, Design, Development, and Disseminate. Namun dalam penelitian ini tahap Disseminate tidak dilakukan. LKS yang dihasilkan telah memenuhi kriteria kualitas pengembangan yaitu valid, praktis, dan efektif. Kriteria valid diperoleh dari hasil validasi, kriteria praktis diperoleh dari hasil pengamatan aktivitas guru dan keterlaksanaan LKS, dan kriteria efektif diperoleh dari hasil pengamatan aktivitas siswa, nilai penguasaan LKS, dan angket respon siswa.Kriteria valid diperoleh dari hasil validasi, kriteria praktis diperoleh dari hasil pengamatan aktivitas guru dan keterlaksanaan LKS, dan kriteria efektif diperoleh dari hasil pengamatan aktivitas siswa, nilai penguasaan LKS, dan angket respon siswa. Berdasarkan hasil validasi dari dua validator, diperoleh skor rata-rata keseluruhan 3,34 dari skor maksimal 4, sehingga LKS yang dikembangkan telah memenuhi kriteria valid. Rancangan LKS ini bercirikan metode penemuan terbimbing dan berbantuan MathXPert Calculus di mana di dalam LKS terdapat aktivitas yang meminta siswa untuk melakukan pengamatan, memproses data, membuat dugaan, dan membuat kesimpulan. Tahapan –tahapan tersebut merupakan tahapan penemuan terbimbing yang dikemukakan oleh Markaban (2006: 16). Berdasarkan hasil validasi diperoleh kesimpulan bahwa LKS telah memuat langkahlangkah pada penemuan terbimbing. Hal ini didukung oleh skor 3 dan 4 yang diberikan oleh validator yang menyatakan bahwa materi dalam LKS telah bercirikan metode penemuan terbimbing. Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas siswa, diperoleh kesimpulan bahwa LKS bercirikan metode penemuan terbimbing yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran mampu membuat siswa menemukan konsep dengan caranya sendiri, membuat siswa aktif dalam pembelajaran, dan menimbulkan semangat ingin tahu para siswa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Matthew (2013), Khasnis (2011), dan Bahm (2009). Para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing mampu mendorong siswa untuk berpikir dan belajar berdasarkan cara mereka sendiri dan pembelajaran tidak terpusat lagi pada guru. Siswa melakukan kegiatan memproses data untuk membuat grafik fungsi trigonometri dengan pertanyaan-pertanyaan, perintah, dan petunjuk yang terdapat pada LKS dan dengan bantuan MathXpert Calculus. Salah satu contoh saat siswa mempelajari tentang periode fungsi 167
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sinus dalam bentuk Siswa diminta membuat beberapa grafik fungsi sinus sesuai dengan perintah dan petunjuk yang ada pada LKS. Selanjutnya siswa diminta untuk mengamati dan menganalisis bagaimana menentukan periode fungsi sinus dalam bentuk . Pengembangan LKS ini juga mengintegrasikan teknologi yaitu software MathXpert Calculus. Alasan pemilihan software ini adalah Software MathXPert Calculus memiliki beberapa kelebihan yaitu 1) software ini tersedia dalam bentuk portable sehingga lebih mudah dalam penggunaannya (tidak perlu melakukan penginstalan) dan 2) jika dibandingkan dengan software lain (Geogebra, Graphmatica), pada MathXPert Calculus nilai untuk grafik fungsi trigonometrisudah dinyatakan dalam bentuk π radian. Pengintegrasian teknologi ini dalam pembelajaran grafik fungsi trigonometri bermanfaat bagi siswa, antara lain: (1) siswa memperoleh representasi matematika yang baru, (2) siswa dapat memvisualisasi karakter dari suatu grafik fungsi trigonometri dengan jelas, dan (3) siswa dapat berinteraksi secara langsung lebih baik melalui perantara teknologi dibanding hanya menggunakan pensil dan kertas. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Durmus (2006) dan Kissane (2009). Pengintegrasian MathXpert Calculus dalam LKS digunakan untuk membantu siswa mengecek kebenaran grafik fungsi trigonometri yang telah mereka buat dan membantu dalam menemukan konsep yang terkait dengan grafik fungsi trigonometri. Pengembangan LKS ini diharapkan mampu memenuhi keterbatasan sumber belajar yang dimiliki siswa, menambah pengetahuan siswa tentang pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika, dan mampu mengubah pembelajaran yang awalnya berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), sesuai yang diharapkan oleh kurikulum 2013. Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran, siswa telah belajar dengan proses penemuan di mana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau prinsip. Proses asimilasi yang dilakukan siswa meliputi memproses data, mengamati, dan membuat dugaan dan kesimpulan. Siswa tidak sekedar menerima suatu konsep secara langsung, namun siswa telah melakukan suatu proses untuk menemukan konsep tersebut. Hal ini sesuai dengan pandangan Bruner tentang penemuan (dalam Markaban, 2006: 9). Bruner menyatakan bahwa penemuan adalah suatu proses, suatu jalan atau cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. LKS yang dikembangkan juga harus memenuhi kriteria praktis. Hal ini bertujuan agar LKS benar-benar dapat digunakan dan keterlaksanaan pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Kepraktisan LKS diukur melalui pengamatan menggunakan lembar observasi. Kepraktisan LKS ditunjukkan oleh hasil pengamatan yang dilakukan observer . Hasil observasi menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran sesuai dengan RPP dan tingkat keterlaksanaan LKS masuk kategori tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa LKS telah memenuhi kriteria praktis. Keefektifan LKS dinilai dari skor ketuntasan belajar, aktivitas siswa, dan angket respon siswa. Berdasarkan nilai ketuntasan belajar, sebanyak 75% siswa mendapat nilai akhir minimal . Hasil observasi aktivitas siswa menunjukkan bahwa aktivitas siswa termasuk dalam kategori aktif. Sedangkan berdasarkan angket respon siswa, diketahui bahwa respon siswa termasuk dalam kategori positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa LKS yang dikembangkan memenuhi kriteria efektif. Meskipun LKS telah memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif, peneliti juga menerima dan mempertimbangkan tanggapan dan saran yang diberikan oleh validator dan observer. Hal ini bertujuan untuk menyempurnakan LKS sehingga diperoleh LKS yang lebih baik.Berdasarkan tahap-tahap yang dilalui pada pengembangan LKS bercirikan penemuan terbimbing dan berbantuan MathXPert Calculus ini, dapat disimpulkan mengenai beberapa kelebihan, kelemahan, dan kendala. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan LKS ini lebih lanjut. Kelebihan hasil pengembangan LKS ini antara lain sebagai berikut: 1) Siswa dapat lebih memahami suatu konsep dikarenakan siswa mengalami proses untuk menemukan konsep tersebut, 2) LKS yang berbantuan MathXpert Calculus ini menambah pengetahuan siswa dalam pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika, 3) Materi yang dipelajari dapat lebih lama membekas dalam ingatan siswa karena siswa dilibatkan dalam proses penemuan konsep. Kelemahan hasil pengembangan LKS ini antara lain sebagai berikut: 1) Penentuan nilai maksimum atau minimum pada grafik fungsi trigonometri memerlukan estimasi khususnya yang melibatkan desimal, 2) Tidak semua komputer /laptop dapat mendukung sistem software 168
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
ini. Kendala dalam pengembangan LKS ini adalah kurang siapnya siswa dalam mengikuti pembelajaran menggunakan LKS yang dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa siswa yang tidak membawa laptop pada saat pelaksanaan uji coba. KESIMPULAN 1. Pengembangan LKS bercirikan metode penemuan terbimbing dan berbantuan MathXPert Calculus pada materi grafik fungsi trigonometri untuk siswa SMA Negeri 2 Malang melalui tiga tahap pengembangan, yaitu 1) Define (Pendefinisian) yang meliputi analisis awal, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas dan analisis tujuan pembelajaran, 2) Design (Perancangan) yang meliputi perancangan LKS dan intrumen penelitian, dan 3) Develop (Pengembangan) yang meliputi validasi ahli dan uji coba lapangan. 2. Dari hasil validasi dan uji coba lapangan diperoleh kesimpulan mengenai kualitas LKS, yaitu: a. LKS telah memenuhi kriteria valid (skor hasil validasi 3,34 dari skor maksimal 4) b. LKS telah memenuhi kriteria praktis (kegiatan pembelajaran terlaksana sesuai RPP dan keterlaksanaan LKS memenuhi kriteria tinggi) c. LKS telah memenuhi kriteria efektif. Hal ini ditunjukkan oleh minimal 75% siswa mendapat skor minimal 75 dari rentang skor 100, aktivitas siswa memenuhi kriteria tinggi, dan angket respon siswa positif). SARAN Berdasarkan hasil proses pengembangan LKS yang sudah valid, praktis, dan efektif, maka penulis memberikan saran yaitu untuk mempermudah pelaksanaan uji coba lapangan (siswa tidak perlu membawa laptop ke sekolah), guru matematika sebaiknya dapat berkoordinasi dengan guru komputer sehingga pelaksanaan uji coba dapat dilakukan di laboratorium komputer. Penulis mengharapkan adanya pengembangan lebih lanjut terhadap materi matematika lainnya, misalnya materi tentang grafik fungsi kuadrat dan linear, sehingga akan ada alternatif lain bagi guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar. DAFTAR RUJUKAN Bahm, A.G. 2009. The Effects of Discovery Learning on Students’s Success and Inquiry Learning Skills . Egitim Arastiramalari Journal of Educational Research. Turkey. Jane,M.; Napoli, Mary. 2008. Connecting Mathematics and Literature: An Analysis of PreService Elementary School Teachers’ Changing Beliefs and Knowledge. The Journal, (online), Diakses tanggal 19 April 2013 Khasnis, B.Y. 2011. Guided Discovery Method A Remedial Measure in Mathematics. (online) vol 2 (22): http://www.ssmrae diakses tanggal 3 Mei 2014. Kissane, Barry dan Kemp, Marian. 2009. Teaching and Learning Trigonometry with Technology. Australia Markaban. 2006. Model Penemuan Terbimbing pada Pembelajaran Matematika SMK. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika : Yogyakarta (online: http://p4tkmatematika.org/fasilitasi/38-penemuan-terbimbingmatematika- smk.pdf ) Diakses tanggal 3 Desember 2013 Matthew, Bakke M. 2013. A Study on The Effects of Guided Inquiry Teaching Method on Students Achievement in Logic. (online), 2 (1) : (http://www.iresearcher.org), diakses 30 April 2013. Parta, I Nengah. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Inquiry untuk Memperhalus Pengetahuan Matematika Mahasiswa Calon Guru melalui Pengajuan Pertanyaan. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: PPS Unesa Puji, Himmawati. 2011. Developing student worksheet in English Based on Constructivism using problrm solving approach for mathematics learning on the topic of social arithmetics. Disajikan dalam seminar internasional dan the fourth national conference on mathematics education 2011 di Yogyakarta State University juli 21-23 2011. (online: http://eprints.uny.ac.id) Slavin, Robert E. 2009. Educational Psychology Theory and Practice. 2. Pearson Education,Inc. Upper Saddle River:New Jersey. 169
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Zuhdan. 2012. Research and Development, Pengembangan Berbasis Penelitian. (online) (http://staff.uny.ac.id), diakses 19 April 2013.
BERPIKIR INTUITIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Sofia Sa‟o Universitas Flores Ende, NTT
[email protected] Abstrak: Berpikir intuitif merupakan aktifitas mental yang munculkan suatu ide di pikiran siswa sehingga menghasilkan jawaban spontan saat siswa berhadapan dengan masalahmasalah dalam pembelajaran. Berpikir intuitif berbeda dengan berpikir analitik. Penjelasan kebenaran suatu pernyataan dengan pembuktiannya merupakan berpikir yang bersifat analitik. Kebenaran yang munculnya secara subjektif dan diterima secara langsung (tanpa pembuktian) merupakan berpikir intuitif. Pemecahan masalah matematika hendaknya menggunakan kedua cara berpikir tersebut, agar saling melengkapi untuk mencapai tujuannya. Kata kunci: intuisi, pembelajaran matematika
Pembelajaran matematika adalah proses terjadinya belajar mengajar atau interaksi antara berbagai elemen yang terlibat didalamnya. Elemen pelakunya berupa siswa dan guru, didukung oleh elemen pelengkap seperti buku pelajaran, lembar kerja siswa, Kurikulum dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran khususnya pembelajaran matematika, pasti tidak terlepas dari penyelesaian soal, latihan soal, contoh soal, atau masalah-masalah yang berkaitan dengan hitungan matematika. Penyelesaian soal matematika di sekolah seringkali siswa hanya diarahkan untuk melakukan manipulasi secara mekanis, tanpa memperhatikan apakah siswa memahami proses apa yang dilakukan dalam penyelesaiannya. Dalam pembelajaran matematika siswa mempelajari aksioma, definisi dan teorema dengan suatu struktur logika. Proses berpikir analitik memainkan peranan penting sehingga dalam penyelesaian masalah mengikuti langkahlangkah penyelesaian yang sistematis. Namun berpikir analitik tidak selamanya mendapatkan jawaban yang benar. Hal ini diperlukan adanya proses berpikir lain yang juga akan mendukung dan saling melengkapi dalam penyelesaian masalah matematika, yaitu proses berpikir intuitif. Kustos (2010), berpendapat bahwa berpikir intuitif berbeda dengan berpikir analitik. Penjelasan kebenaran suatu pernyataan dengan pembuktiannya merupakan berpikir yang bersifat analitik, tetapi kebenaran yang munculnya secara subjektif dan diterima secara langsung (tanpa pembuktian) merupakan berpikir intuitif. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penyelesaian masalah matematika hendaknya menggunakan kedua cara berpikir tersebut, agar saling melengkapi untuk mencapai tujuannya. Penggunaan cara berpikir intuitif dalam pemecahan masalah matematika sering tidak disadari oleh guru ataupun siswa. Untuk mengkaji proses berpikir intuitif siswa dalam pemecahan masalah matematika, maka peneliti melakukan observasi awal di sekolah. Berdasarkan hasil observasi awal, peneliti menemukan banyak siswa memberikan jawaban spontan, tanpa menganalisis terlebih dahulu. Terlepas dari jawaban siswa itu benar atau salah, yang penting bagi peneliti bahwa siswa sudah menggunakan berpikir intuitif, dengan menjawab spontan. Spontan yang terjadi di sini disimpulkan peneliti bahwa siswa menjawab langsung, yang mungkin proses berpikirnya mengaitkan informasi sekarang dengan pengetahuan yang pernah ada, dan sudah tersimpan dalam memori siswa, sehingga menghasilkan jawaban, tanpa harus membuktikannya, mungkin juga siswa langsung menjawab dengan pemikiran yang munculnya saat itu. Hal ini yang lebih terkesan lagi, ada satu siswa yang sangat cerdas setiap kali ada pertanyaan dari gurunya, langsung menjawab dengan benar setelah gurunya selesai bertanya. Ini terbukti bahwa memang intuisi itu selalu ada. Intuisi diidentikan dengan pemikiran spontan. Dalam Wikipedia (2013) menuliskan bahwa intuisi adalah jawaban spontan yang didasarkan pada "konstelasi luas pengalaman masa lalu, pengetahuan, keterampilan, persepsi dan perasaan." Weintraub (1998) mengatakan bahwa intuisi merupakan kecerdasan tersembunyi yang ditampilkan secara spontan pada saat seseorang 170
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memutuskan untuk menyelesaikan masalah. Menurut Fischbein (1987) intuisi adalah aktivitas mental yang spontan dan segera, berdasarkan pada struktur skemata tertentu. Ada dua jenis intuisi yang dikategorikan oleh Fischbein yaitu intuisi untuk memahami masalah yang disebut dengan afirmatory dan intuisi untuk menyelesaikan masalah yang disebut dengan antisipatory. Dalam pemecahan masalah, kedua jenis ini harus berjalan, sehingga memperoleh hasil yang maksimal. Pemecahan masalah matematika merupakan bagian penting dari proses pembelajaran matematika. Pemecahan masalah memungkinkan siswa menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimilikinya. Pemecahan mesalah membutuhkan kemampuan berpikir tinggi. Untuk memecahkan masalah matematika dapat dilakukan dengan cara berpikir analitik, dapat juga dengan cara berpikir intuitif. Usodo (2011) mengatakan bahwa berpikir intuitif berperan penting dalam pemecahan masalah matematika, karena dengan intuisi siswa mempunyai gagasan kreatif dalam memecahkan masalah matematika. Banyak siswa pandai dalam menyelesaikan soal matematika sering menggunakan cara-cara yang cerdas, sehingga memberikan jawaban yang singkat dan akurat. Gagasan kreatif ini sejalan dengan tuntutan kurikulum 2013 yang mewajibkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran matematika. Tulisan ini emberikan gambaran tentang munculnya intuisi pada pembelajaran matematika sekolah dan meningkatkan kesadaran guru akan pentingnya intuisi dari setiap siswa agar mereka terlatih untuk bersaing dalam penyelesaian masalah selain cara analitik formal dan agar siswa dapat menemukan dengan cara mereka sendiri. PEMBAHASAN Berpikir adalah aktivitas mental, akibat dari adanya informasi (internal ataupun external), untuk menemukan jawaban. Menurut Solso (2012) berpikir adalah proses aktif membentuk representasi mental baru, melalui transformasi informasi pada interaksi mental yang mencakup pertimbangan, pengapstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan. Proses berpikir dapat digolongkan ke dalam berpikir analitik dan berpikir non-analitik atau yang disebut dengan berpikir intuitif. Sulastri (2008) mengatakan bahwa pola berpikir manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan terdapat dua cara, yaitu; cara analitik berupa penalaran dan cara non analitik berupa intuisi. Berpikir intuitif dapat dijadikan sebagai penentu hipotesa untuk mengembangkan pengetahuan selanjutnya, dan untuk pembuktiannya digunakan berpikir analitik. Menggunakan kedua cara berpikir secara terpadu akan menghasilkan pengetahuan yang lebih bermakna. Berikut tabel ciri berpikir analitik dan berpikir intuitif. Tabel 1. Ciri Berpikir Intuitif dan Analitik Berpikir Analitik Mengikuti aturan, pola, langkahlangkah penyelesaian. Menggunakan rumus, dalil, teorema, dsb Penilaian pada proses dan hasil
Berpikir intuitif Pikiran yang munculnya spontan, berasal dari; feeling, prediksi, menebak, perkiraan, ataupun indera ke enam. Jawaban langsung Penilaian kebenaran hasil
Berpikir analitik menggunakan logika formal, sedangkan berpikir intuitif menggunakan pemikiran spontan. Berpikir dalam penelitian ini berhubungan dengan intuisi pada siswa. Berpikir intuitif adalah adalah aktivitas mental subjek saat menghadapi masalah, sehingga memunculkan ide jawaban spontan sebagai perkiraan benar dalam pemecahan masalah matematika. Proses berpikir terjadi pada otak manusia. Otak manusia terdapat 3 bagian, yaitu otak kiri, otak tengah dan otak kanan. Beberapa ahli telah meneliti tentang letak proses berpikir pada otak manusia, termasuk berpikir intuitif. Otak kiri lebih menekankan cara berpikir analitik, otak kanan lebih menekankan cara berpikir imajinatif sedangkan berpikir intuitif terletak pada otak tengah. Wikipedia (2014) menuliskan bahwa otak tengah, juga disebut mesencephalon, yaitu daerah kecil dari otak yang berfungsi sebagai pusat refleks visual, pendengaran, dan motor sistem informasi. Otak ini memutuskan bagaimana harus bertindak dalam menanggapi informasi sensorik yang diterimanya. Oleh karena itu langkah pertama dari otak ini yang menentukan bagaimana orang bereaksi terhadap apa yang mereka lihat dan mereka dengar.
171
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berikut gambar bagian berpikir intuitif pada otak:
Gambar 1. Bagian Berpikir Intuitif pada Otak
Dari gambar otak terlihat bahwa arah panah nomor 2 menunjukkan otak tengah ukurannya sangat kecil, namun memiliki manfaat yang tidak kalah penting dengan fungsi otak kiri dan otak kanan. Berhubungan dengan bagian otak tengah, jika suatu pertanyaan yang diberikan kepada seseorang maka orang tersebut secara refleks akan menjawab apa yang ditanyakan kepadanya. Hal ini adalah cara berpikir intuitif, karena orang tersebut akan menjawab sesuai dengan pikiran yang munculnya secara spontan/tiba-tiba untuk menjawab pertanyaan tersebut, begitupun jika ia melihat suatu objek, misalnya sebuah kotak berbentuk segiempat. Jika ditanya kepadanya ada berapa sudut dalam kotak tersebut? Tentu saja orang tersebut secara spontan menjawab 8, tanpa menghitungnya terlebih dahulu, dan ini adalah jawaban intuisi. Menurut pendapat Skemp (1982) intuisi merupakan sesuatu yang pertama muncul di pikiran seseorang ketika berhadapan dengan lingkungan external. Berpikir intuitif dapat digambarkan sebagai suatu situasi yang bermula dari lingkungan external yang masuk ke reseptors, kemudian diproses pada pikiran seseorang, lalu hasil proses menuju ke efektor dan kembali ke lingkungan external. Berikut skema proses berpikir intuitifnya:
. Gambar 2. Proses Berpikir Intuitif (Skemp:1982)
Sesuai pendapat Skemp di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa proses berpikir intuitif bermula dari lingkungan external berupa informasi masalah, yang masuk ke pikiran seseorang melalui panca indera, lalu diproses di pikiran/otak untuk membuat solusi penyelesaian masalah. Solusi tersebut masuk ke effectors lalu kemambali ke lingkungan external berupa jawaban spontan. Intuisi yang dihasilkan oleh seseorang dapat diketahui melalui penglihatan dan pendengaran. Dari teori tentang tentang intuisi dan kajian empiris di lapangan di atas, maka dalam penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa intuisi sebagai ide yang muncul di pikiran siswa sebagai perkiraan benar sehingga menghasilkan jawaban spontan, saat yang bersangkutan menghadapi masalah, dalam pemecahan masalah matematika. Intuisi sering digambarkan sebagai jenis berpikir spontan (Fischbein 1987) yang "diterima langsung dari keyakinan individu ketika informasi dikaitkan dengan pengalaman sebelumnya, intuisi bersifat subjektif, keyakinan kebenaran pribadi dan karenanya, mungkin tidak identik dengan keyakinan orang lain”.
172
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berpikir intuitif yang menghasilkan jawaban spontan dalam penelitian ini memiliki dua sifat; yaitu spontan yang munculnya tiba-tiba berdasarkan feeling, namun benar dan tidak perlu bukti formal dan spontan sebagai pemicu atau spontan yang munculnya sudah dikaitkan dengan pengetahuan siswa sebelumnya sehingga melengkapi pembuktian formal. Contoh intuisi yang tidak perlu pembuktian formal misalnya berapa derajat besar sebuah sudut siku-siku? Jawaban intuisinya adalah 900, dan ini tidak perlu dibuktikan kembali. Berikut contoh intuisi sebagai pemicu atau intuisi yang berkelanjut kepada pembuktian formal, misalnya diketahui barisan bilangan; 1,3,5,..., bilangan berapakah suku ke 5? Jawaban spontannya adalah 9. Tetapi apakah benar 9? Ini perlu dibuktikan kembali dengan analisis formal, yaitu menggunakan rumus (2n-1). Jika n = 5, maka diperoleh (2.5-1) = (10-1) = 9. Berikut ide spontan dalam tulisan ini: BERPIKIR INTUITIF DALAM MATEMATIKA Matematika adalah ilmu pengetahuan yang memiliki struktur bangunan yang ketat, terdiri atas aksioma, definisi, aturan dan teorema dengan suatu struktur logika (Taplin, 2010). Berpikir matematika diproduksi melalui proses analisis formal didasarkan pada logika dan bukti matematika. Selain itu juga menggunakan prosedural penyelesaian langkah demi langkah. Sedangkan berpikir intuitif merupakan pemikiran non analitik. Menurut Voskoglou (2006) intuisi dan formalitas dalam matematika sangat berperanan penting dalam penyelesaian masalah. Matematika formal didefinisikan secara ketat dan melalui teorema-teorema terkait. Berpikir intuitif sangat diperlukan jika siswa mengalami kendala dalam proses pembuktian formal untuk memperoleh jawaban atas masalah yang dihadapi. Contoh 1. Diberikan dua garis berpotongan pada gambar di bawah ini. Apakah dua sudut yang bertolak belakang mempunyai besar sudut yang sama?
Gambar 3. Dua Garis Berpotongan
Jawaban langsung adalah dua sudut yang bertolak belakang mempunyai besar sudut yang sama, karena kebenaran kesamaan dua sudut tersebut adalah self evident. Jadi jawaban tersebut adalah intuisi. Berikut pengkajian berpikir intuitif, mula-mula diberikan suatu masalah matematika, kemudian siswa diharapkan menjawab spontan pada pemecahan masalah tersebut. Jawaban spontan yang dihasilkan memiliki alur berpikir intuitif Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
173
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 4. Dua Alur Proses Berpikir Intuitif dalam Pemecahan Masalah Matematika
Keterangan: 1. Alur berpikir yang terdapat dalam lingkaran berwarna biru adalah proses pemecahan masalah matematika dengan intuisi Intrinsik, sampai memperoleh hasil pemecahan masalah. 2. Alur berpikir yang terdapat dalam lingkaran berwarna hitam adalah proses pemecahan masalah matematika dengan intuisi Intervensi, sampai memperoleh hasil pemecahan masalah. Kedua alur proses pemecahan masalah yang dihasilkan tersebut, merupakan hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya dengan menyelesaikan masalah matematika. Jika siswa menjawab spontan, pertanyaan selanjutnya alur manakah yang dilewatinya? Apakah melalui intuisi intrinsik ataukah melalui intuisi intervensi Dalam tulisan ini untuk menyimpulkan bahwa jawaban spontan berupa ungkapan, dan tulisan, siswa dalam pemecahan masalah matematika mengikuti alur berpikir intuitif di atas, dengan menggunakan 2 komponen berpikir intuitif. Berikut hasil yang diperoleh peneliti dalam ujicoba soal pemecahan masalah matematika. Masalah yang diberikan adalah: Diketahui sebuah persegi seperti pada gambar berikut! Dari gambar di samping, ABCD adalah persegi. Apakah segitiga AEB sama sisi?
Jawaban spontan Antariksa: Ya. Segitiga AEB adalah sama sisi. Ini adalah jawaban intuisi, namun harus dibuktikan kebenarannya dalam penyelesaian soal tersebut. Berikut buktinya:
174
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 5. Jawaban Antariksa
Sambil menulis jawabannya di kertas, peneliti bertanya kepada subjek; besar sudut CED, 1500? Jawaban siswa karena jumlah besar sudut dalam sebuah segitiga adalah 1800. Jumlah besar sudut di E seharusnya 3600. Besar sudut AED dan sudut BEC adalah sama, yaitu 750. Sedangkan besar sudut CED dan besar sudut AEB tidak sama. Mengapa sudut AED dan sudut BEC dikatakan sama, sedangkan sudut CED dan sudut AEB tidak demikian? Jawaban siswa: Karena titik E pada Persegi tersebut, tidak terletak di tengah-tengah persegi, menyebahkan panjang sisi DE dan CE sama, sedangkan panjang sisi DE dan AE tidak sama. Dilanjutkan penjelasannya bahwa besar sudut A, B, C dan D masing-masing 900. Karena sudut A dan B, sudah didapat 300, maka sudut dalamnya masing-masing A, E dan B adalah 600, dan ini terbukti segitiga AEB sama sisi. Kenapa ini dikatakan segitiga sama sisi? Jawaban siswa karena salah satu syarat segitiga sama sisi adalah besar ketiga sudutnya sama, maka dengan sendirinya sisisisinya sama panjang. (siswa menggunakan intuisi intervensi) KESIMPULAN Intuisi melahirkan jawaban spontan. Intuisi dianggap selalu benar oleh setiap orang yang mengalaminya, dan dinilai oleh orang lain masuk akal sesuai logika sipengamat. Intuisi pada setiap orang berbeda-beda, intuisi yang digunakan dapat menghasilnya berbagai macam cara orang untuk mendapatkan jawaban benar dari permasalahan yang dihadapinya. Menyadari pentingnya intuisi maka disarankan bagi guru disekolah agar dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri dengan menggunakan intuisi mereka. Desamping itu guru sebaiknya selalu memberikan soalsoal yang memunculkan kreatif berpikir siswa dalam penyelesaian masalah matematika. DAFTAR RUJUKAN: Creswell, John W. 2012. Designing and Conducting Mixed Methods Research. USA: Sage publication, Inc. Fischbein, E. 1999. Intuitionand Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies In Mathematics. Vol. 38: Kluwer Academic Publishers. Netherlands Kustos, P.N. 2010. Trens Concerning Four Misconception In Students‟ Intuitively-Based Probabilistic Reasoning Sourced In The Heuristic (online). (http//udini.proquest.com/view/trends-concerning-four). 13 April 2013. Voskoglou, Michael Gr. 2006. Formalism and intuition in mathematics: The role of the problem. Quaderni di Ricerca in Didattica. Italy Wikipedia. 2013. Intuition and decision-making. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/intuition and decision-making). di akses 30 Oktober 2013.
175
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENINGKATAN KEMAMPUAN SISWA KELAS VII DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI BANGUN DATAR SEGIEMPAT DAN SEGITIGA MELALUI PEMBELAJARAN PROBLEM POSING SETTING KOOPERATIF DI SMPN 1 JABUNG KABUPATEN MALANG Murtati, Cholis Sa‟dijah, dan Tjang Daniel Chandra Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan penerapan pembelajaran Problem Posing yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam membuat atau mengajukan pertanyaan pada materi bangun datar segiempat dan segitiga.. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Penerapan pembelajaran Problem Posing setting pembelajaran kooperatif dilakukan dengan tiga tahap. Tahap awal: menyampaikan indikator, tujuan pembelajaran, mengingatkan kemampuan prasyarat siswa dan memotivasi siswa. Tahap inti: membentuk kelompok, mengerjakan soal cerita yang ada pada LKS, membuat soal atau memodifikasi soal cerita pada LKS, mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Tahap penutup: melakukan evaluasi dengan memberikan kuis yang dikerjakan secara individu oleh siswa. Hasil penelitian juga menunjukkan ada peningkatan kemampuan siswa kelas VII dalam menyelesaikan soal cerita bangun datar segiempat dan segitiga di SMPN 1 Jabung Kabupaten Malang Kata kunci: Problem Posing, Kooperatif, Kemampuan, Soal Cerita Bangun Datar Segiempat dan Segitiga
Matematika sebagai ilmu dasar memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan sains, teknologi, ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial, maupun manajemen, karena matematika merupakan sarana berpikir untuk menumbuh kembangkan daya nalar, cara berpikir logis, sistematis, dan kritis. Penguasaan terhadap matematika sangat diperlukan sehingga konsep-konsep matematika harus dipahami dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat banyak sekali aktifitas manusia yang berhubungan dengan matematika. Matematika dapat digunakan dalam aktifitas jual beli, sensus penduduk, perhitungan keuangan dikantor dan di Bank serta masih banyak aktifitas kehidupan sehari-hari lainnya. Hudojo (2005:30) mengatakan matematika merupakan pengetahuan yang esensial sebagai dasar untuk bekerja seumur hidup dalam abad globalisasi. Seperti juga diungkapkan Soedjadi (2004) bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi: (1) tujuan yang bersifat formal yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak, dan (2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika. Dari tujuan di atas terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan seharihari. Dalam melaksanakan pembelajaran siswa hanya menerima secara pasif dan guru melaksanakan pembelajaran di kelas masih menggunakan model konvensional yaitu guru berceramah di depan kelas sedangkan siswa sebagai pendengar yang pasif. Pembelajaran yang selama ini mendominasi kelas-kelas matematika di Indonesia umumnya berbasis pada behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan latihan (Ratumanan, 2003: 2). Guru mendominasi kelas dan berfungsi sebagai sumber belajar utama. Guru menyajikan pengetahuan matematika kepada siswa, siswa memperhatikan penjelasan dan contoh yang diberikan oleh guru, kemudian siswa menyelesaikan soal-soal sejenis yang diberikan guru Berdasarkan wawancara dengan salah seorang guru pada saat observasi awal di SMPN 1 Jabung Kabupaten Malang, peneliti mendapatkan bahwa kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari pokok bahasan Bangun Datar Segiempat dan Segitiga, terutama dalam penyelesaian soal yang berbentuk soal cerita. Siswa kesulitan dalam mengartikan soal cerita dan mengubahnya ke bentuk kalimat matematika. Pembelajaran matematika di SMPN 1 176
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Jabung Kabupaten Malang, guru biasanya menyajikan materi terlebih dahulu kepada siswa, kemudian memberikan contoh soal, dan selanjutnya memberikan soal-soal latihan kepada siswa. Siswa biasanya memperhatikan penjelasan guru kemudian mencatat apa yang ditulis guru di papan tulis. Dalam situasi pembelajaran ini, siswa cenderung pasif, hanya menunggu guru menyampaikan materi, dan kemudian terjadi tanya jawab jika guru melontarkan pertanyaan. Bruner (dalam Widiyatmoko, 2008) menyatakan bahwa kegiatan belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Senada dengan itu Hudojo (2005:135) menyatakan agar proses belajar matematika terjadi, bahasan matematika seyogyanya tidak disajikan dalam bentuk yang sudah tersusun secara final, melainkan siswa dapat terlibat secara aktif di dalam menyelidiki konsep-konsep, struktur-struktur sampai kepada teorema atau rumus-rumus. Secara umum, Marpaung (2000) menuliskan bahwa salah satu masalah dalam pendidikan matematika adalah mengetahui bagaimana siswa mempelajari dan dapat menguasai konsep-konsep, aturan-aturan, prosedur, atau proses yang rumit dalam matematika. Sehingga guru dituntut tidak hanya untuk memahami materi matematika, tetapi harus juga memahami bagaimana siswa memahami materi matematika tersebut, termasuk memahami kemampuan berpikir logis siswa. Salah satu bentuk pembelajaran yang dapat melibatkan siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran adalah pembelajaran Problem Posing untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membuat atau mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan materi bangun datar segiempat dan segitiga, sehingga siswa dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan materi tersebut secara sistematis dan siswa dapat menghargai pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian pembelajaran Kooperatif untuk melatih siswa bekerja dalam kelompok dan saling membantu agar dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Menurut Brown dan Walter dalam Muhfida (2010), pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah Problem Posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for re-direction of mathematics education (reformasi pendidikan matematika). Dalam NCTM yang dikutip As‟ari (2000), Problem Posing merupakan “the heart of doing mathematics” inti dari matematika. Oleh karena itu NCTM merekomendasikan agar para siswa diberi kesempatan yang besar untuk membuat soal sendiri (Problem Posing). Lin berpendapat bahwa Problem Posing dapat juga diartikan sebagai pembentukan soal berdasarkan konteks, cerita, informasi atau gambar yang diketahui (Lin, 2004). Pengertian Problem Posing tidak terbatas pada pembentukan soal yang betul-betul baru, tetapi dapat juga berarti mereformulasi soal-soal yang diberikan. Terdapat beberapa cara pembentukan soal baru dari soal yang diberikan, misalnya dengan mengubah atau menambah data atau informasi pada soal tersebut, misalnya mengubah bilangan, operasi, objek, syarat atau konteksnya. Hal itu sesuai dengan pengertian Problem Posing yang dikemukakan Silver (Lin, 2004). Silver mendefinisikan Problem Posing sebagai pembuatan soal baru oleh siswa berdasarkan soal yang telah diselesaikan. Silver dan Cai (Pittalis dkk, 2004) mengklasifikasikan tiga aktifitas kognitif dalam Problem Posing, yaitu: (1) Pre-solution Posing yaitu pengajuan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan, (2) Within-solution Posing yaitu pengajuan atau formulasi soal yang sedang diselesaikan, (3) Post-solution Posing; strategi ini disebut juga strategi “find a more challenging problem”. Abu-Elwan (2000) mengklasifikasikan Problem Posing menjadi 3 tipe, yaitu: (1) free Problem Posing (Problem Posing bebas), (2) semi-structured Problem Posing (Problem Posing semi-terstruktur) dan (3) structured Problem Posing (Problem Posing terstruktur). Pemilihan tipe-tipe tersebut didasarkan pada materi matematika, kemampuan siswa, hasil belajar siswa atau tingkat berpikir siswa. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Problem Posing adalah suatu pembelajaran matematika yang menekankan pada pembuatan atau perumusan soal dari permasalahan yang diberikan oleh guru yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa. Problem Posing dapat sejalan dengan kurikulum matematika karena terdapat inti dari aktifitas matematis yaitu dengan siswa membangun sendiri masalahnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini menerapkan pembelajaran Problem Posing untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. 177
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pembelajaran kooperatif mempunyai manfaat yang positif apabila diterapkan di ruang kelas. Dengan pembelajaran kooperatif dapat mengajarkan kepada siswa menjadi lebih percaya diri, kemauan dan kemampuan untuk berfikir, mencari informasi dari sumber lain dan belajar dari siswa yang lain. Kemudian dengan pembelajaran kooperatif juga dapat mendorong siswa untuk mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide atau pendapat temannya; dan membantu siswa untuk dapat saling menghargai dan menghormati. Menurut Slavin (2005:92), pembelajaran kooperatif melibatkan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Dengan demikian, pendidikan hendaknya mampu mengkondisikan dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan dan membangkitkan potensi siswa , menumbuhkan aktifitas dan daya cipta kreativitas sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam proses pembelajaran. Menurut Trianto (2007:41) pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Dalam sistem belajar yang kooperatif siwa belajar bekerjasama dengan anggota lainnya. Pada model ini siswa memiliki dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri, dan membantu sesama anggota untuk belajar. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang mengutamakan pembentukan kelompok pada siswa dalam kelompokkelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur kelompok yang bersifat Heterogen yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik dan membangun kerjasama, ada ketergantungan positif serta sikap saling menghargai. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam meyelesaikan soal cerita sekaligus prestasi belajarnya pada materi bangun datar segiempat dan segitiga. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian dengan judul: “Peningkatan Kemampuan Siswa Kelas VII dalam Menyelesaikan Soal Cerita Materi Bangun Datar Segiempat dan Segitiga melalui Pembelajaran Problem Posing setting Kooperatif di SMPN 1 Jabung Kabupaten Malang.” Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: “Bagaimanakah penerapan pembelajaran Problem Posing setting kooperatif yang dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas VII dalam menyelesaikan soal cerita bangun datar segiempat dan segitiga di SMPN 1 Jabung Kabupaten Malang?” Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk Mendeskripsikan langkah-langkah penerapan pembelajaran Problem Posing setting kooperatif yang dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas VII dalam menyelesaikan soal cerita bangun datar segiempat dan segitiga di SMPN 1 Jabung Kabupaten Malang. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan menggunakan data kualitatif yang datanya bersifat deskriptif. Peneliti bertindak sebagai instrumen utama dalam penelitian. Dalam hal ini peneliti melakukan kegiatan merencanakan, melaksanakan, menampilkan dan menganalisis, menarik simpulan, dan membuat laporan. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas dilakukan secara kolaboratif. Penelitian tindakan yang ideal dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan dan pihak yang mengamati proses tindakan atau disebut sebagai penelitian kolaborasi. Dalam penelitian kolaborasi, pihak yang melakukan tindakan adalah guru itu sendiri, sedangkan yang diminta melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya proses tindakan adalah peneliti, bukan guru yang melakukan tindakan. Kolaborasi juga dapat dilakukan oleh dua orang guru, yang dengan cara bergantian mengamati. Ketika sedang mengajar, dia adalah seorang guru; ketika sedang mengamati,dia adalah seorang peneliti. (Arikunto, 2010:17). Menurut Creswell (2008:46) : ”Qualitative research is a type of educational research in which the reseracher relies on the views of partiscipants; asks broad, general questions; collects data consisting largely of words (or text) from participants; describes and analyzes these words for themes; and conducts the inquiry in a subjective, biased manner.” Artinya adalah, Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian pendidikan di mana peneliti bergantung pada pandangan partisipan, bertanya secara luas, pertanyaan umum, mengumpulkan data sebagian besar terdiri dari kata-kata (atau teks) dari partisipan, menjelaskan dan menganalisa kata-kata untuk tema, dan melakukan penyelidikan dengan cara yang cenderung subjektif. 178
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Penelitian kualitatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) peneliti bertindak sebagai instrumen utama, karena disamping sebagai pengumpul data dan penganalisis data, peneliti juga terlibat langsung dalam proses penelitian, (2) mempunyai latar alami, data yang diteliti dan dihasilkan akan dipaparkan sesuai dengan yang terjadi dilapangan, (3) hasil penelitian bersifat deskriptif, karena data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan berupa katakata dan kalimat, (4) lebih mementingkan proses daripada hasil, (5) adanya batas masalah yang ditemukan dalam fokus penelitian, dan (6) analisis data cenderung bersifat induktif. (Moleong, 2004:8-13) Berdasarkan pendekatan dan jenis penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kehadiran peneliti di lapangan sangatlah diperlukan. Moleong (2000) menyebutkan bahwa dalam penelitian kualitatif kedudukan peneliti adalah sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, penyalin penafsiran data, dan pelapor hasil penelitian. Sebagai instrumen peneliti akan bertindak sebagai pelaksana tindakan, pewawancara, dan pengumpul data. Sebagai perancang tindakan, peneliti yang membuat rancangan pembelajaran selama berlangsungnya penelitian. Di samping itu, dilibatkan pula guru (praktisi) yang bertindak sebagai observer, dengan maksud agar guru dapat memperoleh manfaat dari penelitian ini. Desain yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model Kemmis dan Mc. Taggart (dalam The Learning Organization, Volume 9, Number 3, 2002:125-131). Alur kegiatan setiap siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu: (1) tahap perencanaan tindakan (plan), (2) tahap pelaksanaan tindakan (action), (3) tahap observasi (observatio), dan (4) tahap refleksi (reflection). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: (1) Data nama siswa, (2) Hasil observasi aktivitas guru dan siswa, (3) Hasil tes, dan (4) Hasil wawancara. Data penelitian dikumpulkan secara alamiah dari sumbernya. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII.G SMPN 1 Jabung Kabupaten Malang tahun ajaran 2012/2013. Subyek penelitian diambil 4 siswa yang terdiri dari 1 siswa berkemampuan tinggi, 2 siswa berkemampuan sedang dan 1 siswa berkemampuan rendah untuk diwawancarai. Empat siswa ini dipilih berdasarkan dari hasil tes awal dan pertimbangan dari guru matematika dan wali kelasnya. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Data hasil validasi ini diperoleh dari validasi pakar terhadap instrumen pembelajaran yang telah disusun oleh peneliti. Pakar yang dipilih adalah pakar yang berkompeten dibidangnya. Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan di kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan yang diamati meliputi aktivitas peneliti sebagai pengajar dan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan oleh guru matematika dan teman sejawat. Data hasil tes yang akan dilakukan yaitu: tes awal, kuis dan tes akhir. Tes awal dimaksudkan untuk mengetahui untuk pembentukan kelompok. Kuis dilakukan setiap akhir pertemuan dan dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan dan kemampuan siswa terhadap materi pada pertemuan tersebut. Tes akhir dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan materi dan untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita materi bangun datar segiempat dan segitiga. Rekaman pada penelitian ini menggunakan tape recorder untuk wawancara peneliti dengan subyek penelitian. HASIL PENELITIAN Hasil observasi dan catatan lapangan yang dilakukan oleh 2 observer selama pembelajaran berlangsung dan hasil analisis data yang dilakukan peneliti diperoleh data penelitian sebagai berikut: Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap aktifitas siswa pada pertemuan 1 siklus I, siswa telah dapat memodifikasi soal yang berkaitan dengan menghitung keliling dan luas daerah persegi panjang walaupun soal yang siswa buat masih sederhana. Hal itu dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Menghitung Keliling dan Luas Daerah Persegi Panjang
179
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 2. Cara Penyelesaian Kelompok VI
Kelompok VI memodifikasi soal soal cerita di atas menjadi seperti berikut ini.
Gambar 3. Soal Cerita yang Telah Dimodifikasi
Gambar 4. Cara Penyelesaian dari Soal Cerita yang Telah Dimodifikasi
Pada pertemuan ke-2 siklus I siswa juga telah dapat memodifikasi soal yang berkaitan dengan menghitung keliling segitiga menjadi soal yang menghitung keliling persegi. Berikut ini hasil kerja siswa pada saat mereka mengerjakan LKS.
Gambar 5. Menyelesaikan Soal Cerita pada Bangun Datar Segitiga
Gambar 6. Penyelesaian Soal Cerita Kelompok III
Gambar 7. Soal Cerita yang Telah di Modifikasi Kelompok III
180
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 8. Penyelesaian Soal Cerita yang Dimodifikasi Kelompok III
Hasil wawancara dari subyek penelitian yaitu FR, IB, DH dan RO didapat bahwa siswa RO merasa tidak begitu senang dengan belajar dalam kelompok karena ada salah satu anggota kelompok mereka yang tidak mau bekerjasama. Sedangkan untuk pembelajaran Problem Posing, mereka senang mengikuti pembelajaran karena mereka diberi kebebasan dalam membuat pertanyaan ataupun memodifikasi soal yang akan mereka selesaikan. Hasil yang diperoleh dalam pengamatan selama proses pembelajaran, hasil evaluasi proses dan hasil analisis data, maka pelaksanaan tindakan pada siklus I perlu dilakukan perbaikan. Keputusan ini didasarkan pada hasil refleksi menunjukkan hasil belajar secara klasikal kurang memenuhi kriteria ketuntasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Problem Posing setting kooperatif perlu ditingkatkan lagi diperoleh hasil optimal. Untuk itu diperlukan rencana perbaikan tindakan. Rencana perbaikan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pengaturan waktu yang lebih baik sehingga lebih efektif dan efisien, (2) Persiapan presentasi dibuatkan oleh guru, sehingga siswa hanya mengisikan format di papan tulis, kemudian menyampaikan dalam bentuk lisan. Hal ini dimaksudkan agar hasilnya dapat dibaca oleh kelompok lain yang akan melakukan koreksi terhadap hasil diskusi tersebut, (3) Guru hendaknya lebih memperhatikan siswa yang berkemampuan rendah dengan memotivasi untuk aktif diskusi, (4) Berdasarkan observasi oleh dua orang pengamat terhadap kegiatan guru, proses pembelajaran telah berjalan dengan baik, dan hanya perlu ditingkatkan lagi. Dalam kegiatan pembelajaran pada siklus II yang telah dilaksanakan pada pertemuan III menunjukkan peningkatan siswa dalam melakukan aktifitas dikelompoknya. Siswa dapat bekerjasama dengan teman-teman sekelompoknya lebih kooperatif lagi. Hasil belajar siswa juga lebih meningkat dibandingkan pada pertemuan 1 dan pertemuan 2. Siswa dapat menyelesaikan soal yang lebih kompleks berkaitan dengan bangun datar segiempat dan segitiga serta siswa juga dapat memodifikasi soal tersebut. Berikut ini hasil kerja siswa pada pertemuan 3 siklus 2.
Gambar 9. Soal Cerita yang Dikerjakan oleh Kelompok IV
Gambar 10. Penyelesaian dari Soal Cerita pada Gambar 9
Gambar berikut ini adalah soal cerita pada gambar 9 yang dimodifikasi oleh kelompok IV.
181
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 11. Soal Cerita yang Telah Dimodifikasi Kelompok IV
Gambar 12 Penyelesaian dari Soal yang Dimodifikasi Kelompok IV
Hasil wawancara yang diperoleh dari subyek penelitian pada siklus II didapat bahwa mereka menyukai pembelajaran Problem Posing setting kooperatif. Kemampuan mereka dalam menyelesaikan soal cerita materi bangun datar segiempat dan segitiga juga juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal itu terlihat dari hasil tes belajar siswa pada siklus II. Berikut ini diagram yang menunjukkan peningkatan aktifitas guru dan siswa serta peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan materi bangun datar segiempat dan segitiga pada siklus I dan siklus II. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Siklus I Siklus II
Aktifitas Guru
Aktifitas Siswa
Aktifitas Siswa dalam Kelompok
Hasil Tes Siswa
Gambar 10. Diagram Perbandingan Proses Pembelajaran Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan diagram diatas, dapat dilihat bahwa untuk aktifitas guru mengalami peningkatan sebesar 5% dan berada pada kategori sangat baik. Kemudian aktifitas siswa mengalami peningkatan 8,3% dan berada pada kategori sangat baik serta aktifitas siswa didalam kelompok mengalami peningkatan sebesar 8,67%. Hasil tes siswa pada siklus I hanya 72% siswa yang memperoleh skor ≥70. Presentase tersebut belum memenuhi ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 85%. Sedangkan pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 19% menjadi 91% siswa yang memperoleh skor ≥70, sehingga pada siklus II telah memenuhi kriteria ketuntasan belajar secara klasikal. PEMBAHASAN Pada penelitian ini difokuskan pada masalah penyelesaian soal cerita yang berkaitan dengan materi bangun datar segiempat dan segitiga. Sebelum pada tahap penyelesaian soal
182
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
cerita, peneliti mengingatkan kembali kepada siswa tentang sifat-sifat bangun datar yang akan dipelajari, agar siswa benar-benar siap untuk mengikuti kegiatan belajar. Pembelajaran menggunakan Problem Posing yang dilakukan memberikan kesempatan siswa untuk dapat berkarya tanpa harus didoktrin menggunakan satu langkah penyelesaian ketika menyelesaikan soal. Sehingga dalam kegiatan pembelajaran tersebut terjadi interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan sebaliknya. Kegiatan tersebut merupakan salah satu karakteristik pembelajaran kooperatif yang sebaiknya ada dalam pembelajaran matematika. Hal tersebut terlihat pada tabel 1 hasil observasi sebagai berikut: Aspek Penilaian Motivasi Antusias
Interaksi
Siswa dengan guru Siswa dengan siswa
Siswa berpendapat
Tabel 1. Tabel Hasil Observasi Penjelasan a. Seluruh siswa aktif menyelesaikan soal cerita kemudian siswa juga kreatif dalam memodifikasi soal cerita yang diberikan. b. Siswa mau ketika diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka didepan kelas serta saling bertanya dan memberi tanggapan antar kelompok siswa Siswa meminta penjelasan kepada guru mengenai soal yang belum jelas. a.
Siswa berdiskusi dengan teman sekelompoknya untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan. b. Kemudian siswa memodifikasi soal cerita yang diberikan guru c. Dalam diskusi kelas, siswa memberikan komentar terhadap jawaban temannya Dalam Dalam diskusi kelas, siswa saling memberikan saran dan komentar yang positif ketika ada kelompok lain yang sedang presentasi
Observasi terhadap proses pembelajaran yang menekankan aktifitas individu pada kelompok berdasarkan pembelajaran Problem Posing setting kooperatif yang dilakukan siswa selama siklus I mengalami peningkatan yang cukup baik pada siklus II. Mencermati hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pada mulanya siswa belum memahami makna kerjasama dalam kelompok. Hal ini menyebabkan aktivitas siswa dalam kegiatan diskusi pada siklus I belum maksimal. Namun setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya siswa mampu memanfaatkan anggota kelompoknya untuk bekerjasama dalam menyelesaikan semua tugas yang menjadi tanggungjawab. Pembelajaran kooperatif/ kelompok dapat menjadikan siswa lebih mandiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Susilo (2001:4), bahwa didalam masyarakat belajar setiap orang harus bersedia untuk berbicara dan berbagi pendapat, dan berkolaborasi membangun pengetahuan dalam kelompoknya. Hasil penelitian yang dilakukan selama 2 (dua) siklus menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru melalui pembelajaran Problem Posing setting kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita bangun datar segiempat dan segitiga. Hasil pengamatan dari diadakannya tes pada akhir setiap siklus menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan terhadap hasil belajar siswa. Pada siklus I persentase anak yang mendapat nilai ≥70 adalah 72%,. Sedangkan pada siklus II terjadi peningkatan 19% menjadi 91%. Peningkatan tersebut mengindikasikan bahwa aktivitas siswa dalam pembelajaran Problem Posing setting kooperatif adalah baik. Dengan kata lain, pembelajaran Problem Posing setting kooperatif tersebut mampu meningkatkan kemampuan siswa untuk menyelesaikan soal cerita materi bangun datar segiempat dan segitiga. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan paparan data, hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: langkah-langkah penerapan pembelajaran Problem Posing setting kooperatif yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi bangun datar segiempat dan segitiga dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Berikut penjelasan dari masing-masing tahap: (1) Tahap awal; Pada tahap awal pada pembelajaran guru menyampaikan indikator dan tujuan pembelajaran pada siswa, kemudian guru mengingatkan kembali kemampuan prasyarat siswa, dan guru memotivasi siswa, (2) Tahap inti; Tahap inti adalah penerapan pembelajaran Problem Posing setting kooperatif. Siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari siswa yang
183
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
heterogen, baik dari tingkat kemampuan dan jenis kelamin. Dalam penentuan kelompok ini sebelumnya dilakukan tes awal untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa. Kemudian setelah itu siswa diberikan LKS, yang didalamnya terdapat soal cerita materi bangun datar segiempat dan segitiga. Siswa diminta untuk mengerjakan LKS bersama kelompoknya. Pembelajaran Problem Posing setting kooperatif dalam penelitian ini adalah siswa diminta untuk membuat soal cerita baru atau memodifikasi soal cerita yang ada di LKS secara berkelompok, kemudian siswa diminta untuk menyelesaikan soal cerita yang mereka buat. Tahap ini diakhiri dengan presentasi hasil diskusi kelompok, (3) Tahap akhir; Kegiatan pada tahap akhir adalah menyimpulkan hasil pembelajaran dan melakukan evaluasi tertulis yaitu siswa mengerjakan kuis. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: (1) Penerapan pembelajaran Problem Posing setting kooperatif membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga sebagai masukan untuk pembelajaran berikutnya sebaiknya guru dapat mengatur waktu dengan baik, (2) Pada saat siswa melakukan diskusi kelompok, guru dapat menyusun tempat duduk di kelas dengan bentuk yang bervariasi misalnya bangku disusun mem-bentuk lingkaran kecil. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses diskusi siswa dan memudahkan guru untuk melakukan bimbingan, (3) Diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut tentang penerapan pembelajaran Problem Posing setting kooperatif, sehingga peningkatan kualitas belajar matematika dapat terlaksana secara berkesinambungan, (4) Pada saat membuat soal untuk quis, tes dan LKS diharapkan guru lebih berhati-hati agar soal lebih realistis dan tidak menyebabkan kebingungan siswa. DAFTAR RUJUKAN Abu-Elwan, R. 2000. Effectiveness of Problem Posing Strategies on Perspective Mathematics Teacher’s. (On line). http://www.math.unipa.it/~grim/AAbuElwan-G, (diakses 22 Maret 2013). Arikunto, S. 2010. Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta: Bumi Aksara. As‟ari, A. R. 2000. Problem Posing untuk Peningkatan Profesionalisme Guru Matematika. Jurnal Matematika. Tahun V/Nomor I, April 2000. Universitas Negeri Malang. Creswell, J. W. 2008. Educational Research: Planing, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research – 3rd.ed. New Jersery: Pearson Education, Inc. Hudojo, H. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang. PPs UM. Kemmis, R; McTaggart; Altrichter, H & Zuber-Skerritt,O. 2002. The Concept of Action Research. Journal The Learning Organization. Vol. 9. No. 3. 125-131. 2002. Lin, P. 2004. Supporting Teachers on Designing Problem Posing Task as a Tool of Assessment to Understand Student’s Mathematical Learning. Proceeding of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. (On line). http://www.emis.de/proceedings/PME28/RR/RR117_lin.pdf, (diakses 20 Maret 2013). Marpaung, Yansen. 2000. Trend Penelitian Matematika Abad 21. Makalah disajikan pada Lokakarya Penulisan Ilmiah di Program Studi Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Moleong, L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Muhfidah. 2010. Pendekatan Problem Posing. (On line). http://www.muhfida.com/pengertian-pendekatan-problemposing.html, (diakses 22 maret 2013). Pittalis, M; Christou, C; Mousoulides, N & Pitta_pantazi, D. 2004. A Structural Model for Problem Posing. Proceeding of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. (On line). http://www.emis.de/proceedings/PME28/RR/RR058_pittalis.pdf (diakses 20 Maret 2013). Ratumanan, T, G. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif dengan Setting Kooperatif (PISK) dan Pengaruhnya terhadap belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon. Disertasi. Tidak diterbitkan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Slavin, R. E. 2005. Cooperative Learning; Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Soedjadi, R. 2004. PMRI dan KBK dalam Era Otonomi Pendidikan. Buletin PMRI. Edisi III. 184
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Januari 2004. Bandung: KPPMT. ITB. Bandung. Susilo, H. 2004. Pembelajaran Kontekstual untuk Peningkatan Pemahaman Siswa. Makalah disampakan pada seminar Pembelajaran dengan Filosofi Konstruktivisme di Jombang 22 September Trianto, 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. Widiyatmoko, A. 2008. “JEROME BRUNER: Belajar Penemuan”. (on line) (http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/2008/07/29/%E2%80%9Djerome-brunerbelajar-penemuan%E2%80%9D/) (diakses 30 Maret 2013).
LEVEL BERPIKIR PROBABILISTIK SISWA KELAS X SMA NEGERI 10 MALANG DAN SCAFFOLDINGNYA Nur Qomaria, Purwanto, dan Abdul Qohar Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstract: This study aims to determine the probabilistic thinking level of grade 10 students before scaffolding, to describe scaffolding process that can increase the level of probabilistic thinking, and knowing the level of students‟ probabilistic thinking after scaffolding. Data were collected through written test and interview. The results showed that before scaffolding, many students were still on below level 4 on each thinking construction. Scaffolding that can increase the level of students‟ probabilistic thinking is scaffolding that combines verbal and instructional technique. After scaffolding process, students showed increasing levels of probabilistic thinking on every thinking construction. Keywords: probabilistic problems, probabilistic thinking, level of probabilistic thinking, scaffolding. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level berpikir probabilistik siswa SMA kelas X sebelum pemberian scaffolding, mendeskripsikan pemberian scaffolding untuk meningkatkan level berpikir probabilistiknya, dan mengetahui level berpikir probabilistik setelah pemberian scaffolding. Data dikumpulkan melalui tes tulis dan tes wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pemberian scaffolding, banyak siswa masih berada di bawah level 4 pada setiap konstruksi berpikir. Scaffolding untuk meningkatkan level berpikir probabilistik siswa adalah scaffolding yang menggabungkan teknik verbal dan instructional. Setelah diberikan scaffolding, siswa menunjukkan peningkatan level berpikirnya pada setiap konstruksi. Kata Kunci: masalah probabilistik, berpikir probabilistik, level berpikir probabilistik, scaffolding.
Pengetahuan peluang dapat membantu masyarakat dalam membaca surat kabar, mengevaluasi informasi yang diberikan, menganalisis ketepatan dan kemungkinan suatu kejadian, dan membuat prediksi atau keputusan berdasarkan informasi tersebut (Drier, 2000). Shaughnessy (1993) menyatakan there is probably “no other branch of the mathematical sciences that is important for all students, college bound or not, as probability and statistics”. Batanero, dkk (2004) dalam jurnalnya menyatakan bahwa selain berguna dalam masalah seharihari, ilmu peluang juga berperan dalam disiplin ilmu yang lain, dibutuhkan sebagai pengetahuan dasar dalam banyak profesi, dan berperan dalam mengembangkan penalaran kritis. Berpikir probabilistik merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pemikiran seseorang dalam menanggapi berbagai masalah probabilistik yaitu masalah yang memuat unsur ketidakpastian dimana masalah tersebut mengacu pada suatu aktivitas atau eksperimen random yang bisa mendapatkan berbagai hasil yang mungkin, tetapi hasil yang pasti tidak dapat ditentukan sebelumnya secara tepat (Sujadi, 2008). Seseorang tentunya mempunyai tingkatan berpikir yang berbeda-beda. Pengetahuan seseorang, dalam hal ini siswa, tentang 185
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
peluang yang dibangun dalam setting non-akademik dimungkinkan berbeda dengan konsep formal yang dibangun dalam setting akademik (Sujadi, 2008). Hasil prasurvey melalui ulangan harian peluang (kurikulum IGCSE) , pengamatan sebagai guru matematika, dan jurnal siswa Kelas X SMA Negeri 10 Malang tahun ajaran 2012/2013 memberikan informasi bahwa siswa memiliki respon yang berbeda-beda terhadap suatu permasalahan probabilistik. Beberapa siswa yang menjawab kurang tepat mengaku kesulitan menyelesaikan masalah probabilistik. Hasil ini juga diperkuat dengan uji pendahuluan yang diberikan peneliti pada 20 siswa kelas X SMA Negeri 10 Malang tahun ajaran 2013/2014. Respon yang diberikan pada permasalahan probabilistik bervariasi. Berikut ini contoh respon yang diberikan oleh siswa.
Gambar 1 Contoh Respon Siswa terhadap Permasalahan Probabilistik
Untuk mendeskripsikan dengan jelas pemikiran probabilistik siswa, Jones, dkk (1997, 1999) membuat kerangka kerja untuk menilai level berpikir probabilistik. Jones, dkk membuat empat level berpikir probabilistik. Level 1 yakni berpikir non kuantitatif atau berpikir subjektif, level 2 dipandang sebagai masa transisi antara berpikir subjektif dan berpikir kuantitatif alami, level 3 berkaitan dengan berpikir kuantitatif informal, dan level 4 memasukan penalaran secara numerik. Jones, dkk. juga mengembangkan empat elemen kunci yang digunakan untuk menangkap proses berpikir probabilistik yang bervariasi, yakni konstruksi tentang ruang sampel, peluang suatu kejadian, perbandingan peluang, dan peluang bersyarat. Karakteristik level berpikir probabilistik juga telah dikembangkan oleh Imam Sujadi (2008) untuk siswa sekolah menengah di Indonesia. Merujuk pada standar isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pembelajaran tentang peluang secara formal dilakukan di kelas IX yakni tentang ruang sampel dan peluang kejadian sederhana, kemudian dilanjutkan di kelas XI dengan materi yang lebih kompleks. Oleh karena itu, siswa kelas X yang belum mendapatkan pembelajaran peluang di SMA sebaiknya telah mencapai level 4 agar lebih mudah dalam mengkonstruksi pengetahuan probabilistik yang lebih kompleks. Dengan demikian, siswa yang masih berada pada level berpikir probailistik 1, 2, dan 3 perlu dibantu meningkatkan levelnya. Fischbein dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak-anak memiliki pemahaman pra-konseptual tentang frekuensi relatif dan peluang secara intuitif, dan bahwa transformasi intuisi ini ke dalam konsep operatif peluang dapat dimediasi melalui intervensi pembelajaran. Fondasi intuitif yang dimaksud Fischbein mengacu pada pengalaman sosial anak dan konsep yang tertanam dalam pemikiran anak-anak sebelum pembelajaran peluang (Drier, 2000). Menurut Way (2004) terdapat bukti yang cukup bahwa berpikir probabilistik terkait dengan perkembangan kognitif. Oleh karena itu, untuk meningkatkan level berpikir probabilistik siswa dapat dilakukan dengan aktivitas yang mendorong perkembangan kognitif mereka. Implikasi praktis yang terkenal dari teori interaksi sosial Vygotsky yang dapat mendukung perkembangan kognitif adalah scaffolding yang digunakan untuk menangkap dukungan dan bimbingan dalam pembelajaran (Verenikina, 2008). Wood, dkk (Anghileri, 2006) mengemukakan bahwa scaffolding adalah cara yang digunakan orangtua untuk memberikan dukungan atau bantuan yang disesuaikan dengan yang dipelajari anak yang pada akhirnya bantuan tersebut dikurangi atau dihilangkan pada saat anak sudah siap berdiri atau belajar sendiri. Ewing (2008) menyatakan bahwa Bruner menggunakan 186
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
istilah scaffold sebagai label dukungan orang dewasa terhadap peningkatan penguasaan anak terhadap tugas yang diberikan. Anghileri (2006) mengajukan 3 level pemberian scaffolding yang secara khusus mendukung pembelajaran matematika. Level 1 yaitu environmental provisions. Pada tahap ini guru mempersiapkan lingkungan belajar yang baik bagi siswa, misalnya dengan menyediakan benda-benda manipulatif, menyediakan lembar kerja, membentuk kelompok belajar, mengatur tempat duduk. Pada level ini pembelajaran dapat berlangsung tanpa intervensi langsung oleh guru. Level 2 yaitu explaining, reviewing, and restructuring (menjelaskan, meninjau kembali dan merestrukturisasi). Pada level ini, guru tidak sekedar menjelaskan materi kepada siswa namun siswa dibantu untuk mengembangkan pemahaman mereka sendiri. Dalam proses restructuring, guru menggabungkan pemahaman siswa untuk membuat ide-ide menjadi lebih terakses dan bermakna. Level 3 yaitu developing conceptual thinking (mengembangkan pemikiran konseptual). Dalam level ini, guru membantu siswa dalam mengembangkan konsep melalui generalisasi, ekstrapolasi, dan abstraksi. Echervaria (2004) menyebutkan tiga jenis scaffolding dalam pembelajaran, yaitu (1) verbal scaffolding, teknik pelaksanaannya difokuskan pada penggunaan bahasa, seperti bertanya, mengulang, menjelaskan, (2) procedural scaffolding, teknik pelaksanaannya menggunakan langkah-langkah dalam model pembelajaran seperti ekspositori, inkuiri, kooperatif, (3) instructional scaffolding, tekniknya menggunakan media yang mendukung pembelajaran. Berdasarkan hal di atas, peneliti mencoba menginvestigasi proses berpikir probabilistik siswa Kelas X SMA Negeri 10 Malang sebelum mereka mendapatkan materi peluang di SMA. Dari hasil investigasi tersebut ditentukan level berpikir probalilistik mereka berdasarkan karakteristik yang terdapat dalam masing-masing level. Pelevelan ini bertujuan untuk membantu peneliti dalam memberikan scaffolding yang tepat kepada siswa. Dengan meningkatnya level berpikir probabilistik, mereka diharapkan mampu mengkonstruksi pemahaman tentang peluang di SMA dengan lebih mudah. METODE Penelitian ini berfokus pada pelevelan berpikir probabilistik dan proses scaffolding yang diberikan kepada siswa untuk meningkatkan level berpikir probabilistik mereka. Pada awalnya siswa diminta menyelesaikan masalah probabilistik secara tertulis dan dilanjutkan dengan tes lisan / wawancara untuk mengetahui konsepsi siswa lebih dalam tentang masalah probabilistik. Peneliti mengidentifikasi pemikiran yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut, kemudian pemikiran probabilistik siswa dilevelkan berdasarkan karakteristik berpikir probabilistik. Pemberian scaffolding dilakukan setelah kemampuan berpikir probabilistik siswa ditempatkan pada level-level yang sesuai. Data utama penelitian ini berupa adalah data verbal yang mendeskripsikan dan mengeksplorasi level berpikir probabilistik siswa dan proses scaffolding yang diberikan oleh peneliti. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian deskriptif – eksploratif. Subjek awal penelitian adalah dua puluh siswa kelas X SMA Negeri 10 Malang Kampus 2 Tlogowaru yang belum mendapatkan materi peluang di SMA. Dari dua puluh siswa tersebut, dipilih enam siswa yang mewakili level 1, 2, dan 3 pada setiap konstruksi berpikir probabilistik serta memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Keenam siswa terpilih tadi dites lagi secara lisan untuk menangkap lebih detail proses berpikir probabilistik mereka. Selanjutnya kemampuan subjek pada setiap konstruksi berpikir diletakkan pada level-level berpikir yang sesuai. Kemudian subjek diberikan scaffolding sesuai dengan level berpikir probabilistik mereka sampai level berpikir mereka pada setiap konstruksi meningkat minimal satu level di atas level sebelum scaffolding. Data yang terkumpul melalui lembar validasi dianalisis untuk menguji kevalidan soal tes tulis, soal tes lisan, dan pedoman scaffolding. Data hasil tes tulis dikategorikan berdasarkan karakteristik pada pedoman pelevelan berpikir probabilistik. Pengkategorian ini dilakukan untuk memprediksi level berpikir probabilistik mereka. Hasil kategorisasi dijadikan acuan untuk memilih subjek tes lisan / wawancara. Data hasil tes tulis dan lisan keenam subjek penelitian dianalisis berdasarkan karakteristik pada pedoman pelevelan berpikir probabilistik. Pelevelan setiap subjek pada empat konstruksi berpikir probabilistik ditentukan berdasarkan hasil analisis data tes tulis dan lisan keenam subjek tersebut. Setelah kemampuan siswa ditempatkan pada 187
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
level yang sesuai, pemberian scaffolding dimulai. Keseluruhan proses scaffolding direkam dan kemudian data verbal scaffolding yang penting disajikan dalam bentuk dialog dan narasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Tes tulis dilakukan terhadap dua puluh siswa kelas X yang belum mendapatkan materi peluang di SMA dengan kemampuan matematika yang heterogen. Siswa diminta untuk menyelesaikan 2 masalah probabilistik yang didalamnya memuat konstruksi berpikir tentang ruang sampel, peluang suatu kejadian, perbandingan peluang, dan peluang bersyarat. Soal yang digunakan adalah soal yang diadaptasi dari penelitian James E. Tarr & Graham A. Jones (1997). Data hasil tes tulis dikategorikan berdasarkan karakteristik pada pedoman pelevelan berpikir probabilistik. Pengkategorian ini dilakukan untuk memprediksi level berpikir probabilistik mereka. Berikut ini contoh respon siswa pada kedua masalah yang disajikan dalam tes tulis.
Konstruksi/pertanyaan Ruang Sampel Daerah warna apa yang mungkin akan ditunjuk oleh jarum spinner? Jelaskan. Peluang Suatu Kejadian Mengapa pada spinner 1 daerah merah memiliki kesempatan yang lebih besar untuk muncul / ditunjuk oleh jarum spinner? Perbandingan Peluang Spinner mana yang lebih menguntungkan untuk chip merah? Mengapa?
Konstruksi/pertanyaan Ruang Sampel I Siapa saja yang mungkin menjadi ketua OSIS? Jelaskan.
Ruang Sampel II Jika ketua OSIS sudah terpilih, siapa saja yang
Tabel . Contoh Respon Siswa pada Soal 1 Level 3 Level 1 Level 2 Kuantitatif Subjektif Transisi Informal Merah Merah dan Merah dan akan kuning. kuning karena menang. kedua warna itu ada pada spinner. Karena Karena lebih Merah: karena jarum banyak merah ada tiga bagian menunjuk dan merah warna pemutaran sedangkan merah spinner kuning hanya terlebih dimulai dari satu bagian. dahulu. warna merah. Spinner 1 Spinner 1 Spinner 1 karena warna karena ada tiga merah lebih bagian merah banyak dan dibandingkan pemutaran satu bagian dimulai kuning. dengan jarum yang menunjuk warna merah
Level 4 Numerik Merah dan kuning, tetapi warna tersebut memiliki peluang yang berbeda Karena pada spinner 1 kesempatannya 3 bagian dibandingkan 4bagian yang mungkin dan kuning hanya 1 bagian dari 4 keseluruhan bagian. Spinner 1 paling menguntungkan untuk chip merah karena bagian merah memiliki 3 dari 4 kesempatan untuk menang jadi peluangnya 3/4 sedangkan Spinner 2 hanya memiliki 1 dari 4 kesempatan untuk menang sehingga peluangnya hanya 1/4.
Tabel 2. Contoh Respon Siswa pada Soal 2 Level 3 Level 1 Level 2 Kuantitatif Subjektif Transisi Informal Aryo, Bayu, Cilia, Aryo, Cilia, Aryo, Dewi, Saya, karena Dewi, Bayu, dan Bayu, dan saya kami lakisaya, tetapi yang memiliki laki. menjadi ketua kesempatan yang harus laki-laki . sama untuk menjadi ketua OSIS.
Saya, karena sebelum menjadi ketua OSIS
Hal ini tidak dapat ditebak karena ketua OSIS sudah
188
Semua kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
Level 4 Numerik Cilia, Aryo, Dewi, Bayu, dan saya, masing-masing memiliki kesempatan yang sama yaitu 1 dari 5 kandidat. Semua kecuali yang sudah menjadi ketua OSIS dan
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mungkin menjadi wakil ketua OSIS? Jelaskan!
saya cukup menjadi wakil ketua OSIS.
terpilih lewat pemungutan suara. Jadi sesuai dengan hasil pemungutan suara yang ada.
wakil ketua OSIS kecuali yang sudah terplih menjadi ketua OSIS.
peluang mereka sama-sama ¼ karena hanya ada 4 kandidat.
Peluang Suatu Kejadian I Menurut pendapatmu, kemungkinan besar yang akan menjadi ketua OSIS laki-laki atau perempuan? Mengapa?
Laki-laki karena yang pantas menjadi pemimpin adalah lakilaki.
Perempuan, karena saya perempuan sehingga jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, tetapi saya tidak percaya diri untuk menjadi ketua OSIS.
Perempuan, karena ada 3 perempuan dibandingkan 2 lakilaki sehingga lebih besar kemungkinan perempuan untuk menjadi ketua OSIS.
Laki-laki, karena saya laki-laki sehingga banyaknya kandidat lakilaki ada 3 dan kandidat perempuan ada 2. Peluang lakilaki menang 3/5 sedangkan perempuan 2/5.
Peluang Suatu Kejadian II Jika ketua OSIS sudah terplih, menurut pendapatmu, kemungkinan besar yang akan menjadi wakil ketua OSIS laki-laki atau perempuan? Mengapa?
Tergantung siapa yang menjadi ketuanya.
Tergantung banyaknya kandidat lakilaki dan perempuan, tetapi sebaiknya jika ketuanya laki-laki, wakilnya perempuan atau sebaliknya.
Jika ketuanya lakilaki maka banyaknya kandidat laki-laki sekarang ada 2, perempuan juga ada 2, sehingga kemungkinannya sama besar. Jika ketuanya perempuan maka banyaknya kandidat laki-laki ada 3 dan perempuan hanya ada 1, sehingga lakilaki yang mempunyai kemungkinan lebih besar.
Perbandingan Peluang Mana yang paling mungkin terjadi, kamu terpilih menjadi ketua OSIS atau tidak terpilih?
Terpilih karena saya memiliki kemampuan untuk menjadi ketua OSIS.
Tidak terpilih, karena jumlah laki-laki lebih banyak.
Tidak terpilih karena saya hanya 1 melawan 4 calon lain.
PeluangBersyarat Dibandingkan dengan pemilihan ketua OSIS, dalam pemilihan wakil ketua OSIS kali ini, apakah
Berubah, saya tidak ingin menjadi wakil ketua OSIS.
Berubah karena jumlah kandidat berkurang.
Berubah karena kandidat menjadi 4 orang, sehingga kesempatan saya lebih besar.
Ada dua kondisi. Kondisi 1, lakilaki terpilih menjadi ketua, maka peluang laki-laki menjadi wakil 2/4 dan perempuan juga 2/4 sehingga peluangnya sama. Kondisi 2, perempuan terpilih menjadi ketua, maka peluang lakilaki menjadi ¾ sedangkan perempuan hanya ¼ sehingga lakilaki berpeluang besar menjadi wakil. Tidak terpilih karena peluang saya lebih kecil yaitu 1/5 sedangkan untuk tidak terpilih peluang saya 4/5. Berubah, dari 1/5 menjadi ¼. Kesempatan saya terpilih menjadi wakil
189
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kesempatanmu terpilih berubah? Atau tetap? Jelaskan jawabanmu.
Pemilihan ketua 1 dibandingkan dengan 5 kandidat, sedangkan sekarang 1 dibandingkan 4 kandidat.
ketua lebih besar.
Selanjutnya, pengkategorian hasil tes tulis dua puluh siswa berdasarkan pedoman level probabilistik pada setiap konstruksi berpikir disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Pengkategorian Hasil Tes Tulis Berdasarkan Pedoman Level Probabilistik pada Setiap Konstruksi Berpikir Level Berpikir Siswa Ruang Sampel Peluang Suatu Perbandingan Peluang Peluang Bersyarat (RS) Kejadian (PK) (PP) (PB) A 1 1 1 1 B 3 3 3 3 C 1 2 1 2 D 1 1 1 2 E 2 1 1 1 F 1 4 2 1 G 4 3 3 4 H 2 2 2 1 I 2 2 1 1 J 2 4 2 4 K 2 3 3 1 L 2 3 2 1 M 2 2 1 1 N 4 2 2 2 O 3 2 2 2 P 4 3 4 4 Q 2 2 2 1 R 3 2 1 1 S 2 2 2 1 T 2 2 1 1
Dari hasil pengkategorian dan kemampuan mengungkapkan ide/ gagasan, dipilih enam subjek yang mewakili level 1, 2, dan 3 pada masing-masing konstruksi berpikir. Tes lisan atau wawancara dilakukan untuk mengungkap lebih dalam konsepsi dan strategi subjek dalam menyelesaikan masalah probabilistik. Data tes lisan bersama dengan data tes tulis sebelumnya akan dijadikan acuan untuk menentukan level berpikir probabilistik yang lebih akurat. Respon siswa terhadap soal tes lisan merupakan bahan scaffolding. Dalam tes lisan, keenam subjek diberikan beberapa permasalahan yang memuat empat konstruksi berpikir probabilistik. Berikut contoh jawaban subjek terhadap masalah dalam tes lisan. Tabel 4. Contoh Jawaban Subjek pada Tes Lisan / Wawancara Kode Soal
RS1
PK1
Soal
Jawaban
Saya akan mengocok kotak ini (sambil mengizinkan Subjek untuk mengamati bahwa kotak tersebut memuat 4 permen merah, 3 permen hijau, dan 2 permen kuning). Jika kamu menutup mata dan mengambil satu permen dari kotak, permen warna apa saja yang mungkin kamu ambil? Mengapa? Jika kamu menutup mata dan diminta mengambil 1 permen, permen warna apa yang memiliki kesempatan paling besar untuk kamu dapatkan? Mengapa? Berapa peluang mendapatkan permen warna itu?
“Warna merah, karena permen warna merah lebih banyak jumlahnya daripada permen hijau atau kuning. Permen merah ada 4, kuning hijau hanya 3 dan 2”.
190
“Warna merah, karena paling banyak. Tetapi jika menutup mata mungkin kita mengambil kuning atau merah, jadi tidak bisa ditentukan”.
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PB2
PP1
Satu permen merah diambil dan tidak dikembalikan ke dalam kotak. Coba amati lagi isi kotak. Saya akan mengocok lagi kotak ini. Jika kamu mengambil permen lagi tanpa melihat, permen warna apa yang memiliki kesempatan paling besar untuk kamu ambil? Mengapa?
Kamu akan bermain “Candy Crush” lagi. Spinner mana yang paling baik buat kamu? Mengapa? (Jika Subjek memilih salah satu spinner, mereka ditanya “apakah ada pengaruhnya spinner mana yang akan kamu gunakan?”) Coba gunakan bilangan untuk menunjukkan pada saya peluang jarum spinner menunjuk daerah merah.
“Warna merah atau hijau karena memiliki jumlah yang sama. Hanya saja karena selisihnya hanya 1, kuning tetap bisa muncul”.
“Saya pilih spinner pertama karena warna merah lebih besar . Ada pengaruh dalam memilih spinner karena spinner yang kedua warnanya campur dan kesempatan saya kecil jika memilih warna merah. Sulit menjelaskannya dengan bilangan”.
Pelevelan berpikir probabilistik setiap subjek pada setiap konstruksi yang telah disajikan dalam gambar berikut ini.
Gambar 2. Level Berpikir Probabilistik Subjek Sebelum Scaffolding
Keterangan: RS: Ruang Sampel PK: Peluang suatu Kejadian
PP: Perbandingan Peluang PB: Peluang Bersyarat
191
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa siswa kelas X SMAN 10 Malang mempunyai level berpikir probabilistik yang berbeda-beda pada empat konstruksi berpikir probabilistik. Sebelum diberikan scaffolding, siswa masih berada di bawah level 4 pada setiap konstruksi berpikir. Karakteristik utama yang ditunjukkan subjek pada level 1 adalah mereka memberikan alasan subjektif ketika menginterpretasi masalah probabilistik. Biggs dan Collis (1991) mendeskripsikan karakteristik ini sebagai level prestructural dalam siklus pembelajaran dimana siswa mudah terganggu oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan pemikiran probabilistik (Tarr&Jones, 1997). Hal ini dapat dilihat pada subjek A dimana dia sering mengabaikan informasi kuantitatif yang relevan dan mudah terganggu oleh hal-hal yang tidak relevan dengan masalah yang diberikan, misalnya ketika diminta menentukan siapa yang memiliki kesempatan paling besar untuk menjadi ketua OSIS, laki-laki atau perempuan dia menjawab laki-laki karena laki-laki berpikir menggunakan logika, sedangkan perempuan menggunakan hati. Karakteristik yang ditunjukkan oleh siswa pada level 2 adalah keterbatasannya dalam menggunakan informasi kuantitatif dalam mengeksplorasi masalah probabilistik. Pada waktu tertentu, dia mampu menggunakan bilangan untuk memutuskan suatu masalah probabilistik, namun pada waktu yang lain, dia menggunakan informasi kuantitatif yang tidak tepat dan tidak teliti bahkan kembali pada pendapat subjektif. Pada level ini, Biggs dan Collis (1991) mendeskripsikannya sebagai level unistructural dimana siswa terlibat dalam masalah probabilistik dengan cara yang relevan, namun ada beberapa aspek yang tertinggal (Tarr&Jones, 1997). Contohnya, Subjek O menyadari tetapi peluang terambilnya permen hijau dan kuning tidak berubah. Dia fokus pada satu perbandingan kejadian terambilnya permen yang menjadi target dan kejadian yang baru saja terjadi. Karena yang terambil sebelumnya adalah permen merah dan tidak dikembalikan, maka dia berpendapat bahwa yang berubah hanya peluang permen merah saja. Siswa yang menunjukkan level 3 dengan efektif menggunakan alasan kuantitatif ketika menginterpretasi masalah probabilistik. Siswa dengan level ini menunjukkan karakteristik pada level multistructural yang dikemukakan oleh Biggs dan Collis (1991) yaitu siswa fokus pada lebih dari satu hal yang relevan dalam masalah probabilistik (Tarr&Jones, 1997). Sebagai contoh, subjek B dalam masalah PB4 menyadari perubahan peluang untuk semua kejadian, bukan hanya peluang terambil permen merah. Berbeda dengan subjek O yang hanya fokus pada satu aspek saja. Pemikiran siswa tentang masalah probababilistik dipengaruhi oleh setting nonakademik dan setting akademik. Fischbein dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak-anak memiliki pemahaman pra-konseptual tentang frekuensi relatif dan peluang secara intuitif, dan bahwa transformasi intuisi ini ke dalam konsep operatif peluang dapat dimediasi melalui intervensi pembelajaran. Fondasi intuitif yang dimaksud Fischbein mengacu pada pengalaman sosial anak dan konsep yang tertanam dalam pemikiran anak-anak sebelum pembelajaran peluang (Drier, 2000). Amir dan Williams (1999) juga menyatakan bahwa kultur yang meliputi bahasa, keyakinan, dan pengalaman (contohnya permainan) berpengaruh terhadap pengetahuan probabilistik informal siswa. Misalnya ketika siswa diminta menyebutkan siapa saja yang mungkin menjadi ketua OSIS, siswa menyebutkan kandidat laki-laki saja dikarenakan menurutnya dalam ajaran agamanya yang menjadi pemimpin harus laki-laki. Siswa pada level berpikir 1 dan 2 masih sangat terpengaruh oleh faktor-faktor ini. Jika siswa percaya bahwa kejadian yang akan muncul dapat dikontrol oleh seseorang atau suatu usaha tertentu, maka siswa membutuhkan bantuan untuk memprediksi kemungkinan menggunakan ruang sampel (Sharma, 2012). Siswa yang sudah mencapai level 3 menggunakan pengetahuan yang didapatkannya dalam setting akademik sebelumnya (pembelajaran di SMP). Pengetahuan yang didapat secara formal tentang pemahaman matematis dapat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah probabilistik. Sharma (2006) menyatakan bahwa latar belakang pengetahuan tidak hanya dapat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah probabilistik, melainkan dapat juga menghambat pemikiran siswa. Hal ini terjadi dalam penelitian ini dimana subjek D tidak mendaftar semua kejadian yang mungkin terjadi (soal RS1) dikarenakan hanya terfokus pada kejadian yang memiliki kesempatan paling besar. Pada kasus ini subjek D sudah mampu menyadari kejadian mana yang memiki kesempatan paling besar untuk muncul berdasarkan pada alasan kuantitatif, namun pengetahuan ini justru menghambatnya berpikir tentang kejadian yang lain yang masih memiliki kesempatan untuk muncul. 192
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Salah satu bentuk intervensi pembelajaran yang dapat dilakukan sebagai media transformasi intuisi ke dalam konsep operatif peluang adalah dengan memberikan scaffolding. Scaffolding yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara individu antara guru dan siswa, bukan dalam setting pembelajaran di kelas. Guru juga menyediakan benda-benda manipulatif untuk mendukung pembelajaran, sehingga dapat dikatakan bahwa teknik yang dilakukan untuk meningkatkan level berpikir probabilistik siswa adalah gabungan antara verbal dan instructional scaffolding yang difokuskan pada penggunaan bahasa, seperti bertanya, mengulang, menjelaskan dan didukung dengan penggunaan media pembelajaran. Teknik ini dipilih karena menurut Sharma (2006) beberapa miskonsepsi yang muncul dapat disebabkan karena misinterpretasi terhadap pertanyaan dan menurut penelitian oleh Amir dan Williams (1999) wawancara individu dapat mengeksplorasi pemikiran probabilistik siswa lebih mendalam. Scaffolding yang diberikan bebeda-beda tergantung pada level berpikir masing-masing subjek dalam setiap konstruksi. Untuk subjek yang sudah berada pada level 3, scaffolding yang diberikan berupa verbal scaffolding dengan memberikan subjek pertanyaan arahan dan penyelidikan (prompting and probing questions), memberi kesempatan subjek menjelaskan dan menentukan solusi, dan memberikan penguatan terhadap penjelasan subjek. Menurut Anghileri (2006), memberikan prompting and probing question merupakan salah satu tipe interaksi yang terjadi pada tahap reviewing. Interaksi menggunakan pertanyaan arahan (prompting questions) menurut Wood (1994) sukses mengarahkan siswa terhadap solusi yang telah ditentukan (Anghileri, 2006). Pertanyaan seperti ini dapat mendukung pemikiran siswa jika dilakukan oleh guru yang responsif terhadap apa yang dimaksud siswa. Interaksi dengan melalui pertanyaan menyelidik (probing questions) dapat membantu siswa memperluas pemikirannya. Peran guru adalah menyelipkan pertanyaan yang berfokus pada poin-poin kritis. Tujuan interaksi ini adalah untuk mendapatkan wawasan tentang pemikiran siswa dan meningkatkan pemahaman matematis siswa. Menurut Coggins (2007) strategi yang dapat dilakukan dalam pemberian scaffolding adalah dengan mengaktifkan pengetahuan sebelumnya dengan memfokuskan pada apa yang diketahui dan dipahami. Strategi ini dapat dijadikan pedoman untuk membuat pertanyaan arahan dan penyelidikan, sehingga pertanyaan yang disampaikan dapat memberikan efek yang baik terhadap peningkatan level berpikir probabilistik siswa. Interaksi yang juga terjadi dalam pemberian scaffolding untuk siswa pada level 3 adalah memberi kesempatan siswa menjelaskan dan menentukan solusi. Interaksi ini merupakan rangkaian dari tahapan reviewing dan tidak dapat dipisahakan dari interaksi pemberian prompting dan probing questions. Interaksi ini dilakukan dengan mengacu pada strategi yang disampaikan Coggins (2007) yaitu scaffolding hendaknya melibatkan siswa dalam aktivitas interaktif untuk mendiskusikan ide matematika. Interaksi yang juga tidak kalah penting adalah penguatan terhadap penjelasan subjek. Melalui restructuring, guru secara progresif melakukan interaksi yang akan membuat ide-ide siswa lebih mudah diterima, bukan hanya melakukan kontak dengan pemahaman siswa tetapi juga membantu memberikan makna terhadap pemahaman tersebut (Anghileri, 2006). Salah satu interaksi yang dikembangkan oleh Anghileri pada tahap restructuring ini adalah “re-phrasing students’ talk” atau mengungkapkan kembali gagasan siswa. Dalam interaksi ini, peran guru yang penting adalah menyoroti proses yang terlibat dalam penentuan solusi, mendeskripsikan kembali usaha siswa untuk membuat aspek matematis semakin jelas. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Coggins (2007) bahwa dalam scaffolding, guru hendaknya mengecek pemahaman siswa dan bagaimana membantu mereka meningkatkan pemahaman. Untuk subjek yang masih berada pada level 1 dan 2, scaffolding yang dilakukan tidak hanya verbal, namun juga instructional dimana subjek diminta melakukan percobaan dengan media pembelajaran yang disediakan. Scaffolding diawali dengan proses looking, touching, and verbalizing yang dalam hal ini subjek diminta mengamati dan melakukan percobaan memutar spinner dan mengambil permen dalam kotak. Looking, touching, and verbalizing merupakan salah satu tipe interaksi yang juga dikembangkan oleh Anghileri (2006). Interaksi ini termasuk dalam tahap reviewing. Looking, touching, and verbalizing dapat memberikan pengertian yang berbeda pada siswa dalam menentukan solusi terhadap suatu masalah. Pada interaksi ini siswa didorong untuk memanfaatkan benda-benda manipulatif, merefleksi apa yang dapat mereka amati, dan mengulang instruksi atau mengungkapkan hasil pengamatannya. Interaksi inilah 193
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
yang terjadi dalam instructional scaffolding yang dikembangkan oleh Echervaria (2004) dimana subjek belajar menggunakan benda-benda manipulatif yang mendukung pembelajaran. Interaksi yang terjadi selanjutnya sama dengan yang dilakukan pada subjek level 3. Pressley, Hogan , Wharton - McDonald , Mistretta , & Ettenberger (1996) menyajikan saran yang perlu diperhatikan dalam pemberian scaffolding yaitu sebaiknya scaffolding diberikan hanya pada tugas-tugas yang membutuhkan bantuan. Seperti yang dikemukakan oleh Read (2004) bahwa scaffolding bersifat sementara , dikurangi sedikit demi sedikit, kemudian dihilangkan ketika pengetahuan dan keterampilan anak sudah berkembang dan dapat bertindak secara kompeten dan mandiri. Hasil scaffolding yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semua subjek penelitian mengalami peningkatan level berpikir probabilistiknya pada setiap konstruksi berpikir. Setelah diberikan scaffolding yang sesuai, siswa mulai menunjukkan peningkatan level berpikirnya. Unsur-unsur subjektif sudah mulai berkurang. Miskonsepsi yang disebabkan oleh misinterpretasi juga sudah mulai teratasi. Setelah diberikan scaffolding, siswa yang sebelumnya berada pada level 1 pada suatu konstruksi meningkat menjadi level 2 dan 3, bahkan ada yang mampu mencapai level 4. Begitu pula untuk siswa yang berada pada level 2, mereka mampu mecapai level 3 dan 4. Untuk siswa pada level 3, mereka sudah mampu mencapai level 4. Level terendah yang dicapai siswa pada setiap konstruksi berpikir adalah level 2. Keterbatasan menggunakan alasan kuantitatif masih muncul pada beberapa siswa. Level tertinggi yang berhasil dicapai oleh siswa adalah level 4. Siswa dengan kemampuan berpikir probabistik level 4 menggunakan penalaran numerik untuk menginterpretasi situasi probabilistik. Mereka menggunakan peluang secara numerik untuk mengambil keputusan. Oleh Biggs dan Collis (1991), level ini disebut sebagai level relational dalam siklus pembelajaran (Tarr&Jones, 1997). Subjek pada level ini mengintegrasi aspek-aspek relevan secara luas dan masuk akal. Hal ini ditunjukkan oleh subjek B, setelah mendapatkan scaffolding dia mampu menyadari komposisi ruang sampel, mengenali perubahan peluang pada situasi probabilistik‟tanpa pengembalian”, dan dapat menentukan peluang secara numerik secara spontan dan dengan penjelasan. Peningkatan level berpikir probabilistik setiap subjek pada setiap konstruksi disajikan dalam gambar berikut ini.
Gambar 3. Peningkatan Level Berpikir Probabilistik
Keterangan: RS: Ruang Sampel
PP: Perbandingan Peluang 194
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PK: Peluang suatu Kejadian
PB: Peluang Bersyarat
KESIMPULAN Sebelum diberikan scaffolding, siswa berada di bawah level 4 pada setiap konstruksi berpikir. Ditemukan bahwa siswa yang berada pada level 1 (subjektif) memberikan alasan subjektif ketika menginterpretasi masalah probabilistik dan mudah terganggu oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan pemikiran probabilistik. Siswa pada level 2 (transisi) menunjukkan keterbatasannya dalam menggunakan informasi kuantitatif dalam mengeksplorasi masalah probabilistik. Pada waktu tertentu, dia mampu menggunakan bilangan untuk memutuskan suatu masalah probabilistik, namun pada waktu yang lain, dia menggunakan informasi kuatitatif yang tidak tepat dan tidak teliti bahkan mudah kembali pada pendapat subjektif. Siswa pada level 3 (kuantitatif informal) dengan efektif menggunakan alasan kuantitatif ketika menginterpretasi masalah probabilistik, meskipun belum sampai pada penentuan peluang. Scaffolding yang dapat meningkatkan level berpikir probabilistik siswa adalah scaffolding yang menggabungkan teknik verbal dan instructional. Dalam scaffolding ini diterapkan beberapa interaksi untuk membantu siswa merespon masalah-masalah probabilistik, yaitu 1) interaksi looking, touching, and verbalizing dimana siswa didorong untuk memanfaatkan benda-benda manipulatif, merefleksi apa yang dapat mereka amati, dan mengungkapkan hasil pengamatannya, 2) interaksi dengan pertanyaan arahan dan penyelidikan (prompting dan probing questions) yang disusun berdasarkan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya dengan tujuan untuk mendapatkan wawasan tentang pemikiran siswa dan meningkatkan pemahaman matematisnya, 3) interaksi dengan memberi kesempatan siswa menjelaskan dan menentukan solusi, 4) interaksi penguatan terhadap penjelasan subjek dalam bentuk re-phrasing students’ talk” atau mengungkapkan kembali gagasan siswa. Scaffolding yang dilakukan dengan teknik dan pola interaksi seperti ini dapat membantu siswa meningkatkan level berpikir probabilistiknya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya level berpikir probabilistik siswa dalam setiap konstruksi berpikir. Setiap siswa mengalami peningkatan level berpikir probabilistik yang berbeda-beda pada setiap konstruksi berpikir. Setelah diberikan scaffolding, siswa yang sebelumnya berada pada level 1 pada suatu konstruksi meningkat menjadi level 2 dan 3, bahkan ada yang mampu mencapai level 4. Begitu pula untuk siswa yang berada pada level 2, mereka mampu mencapai level 3 dan 4. Untuk siswa pada level 3 pada suatu konstruksi berpikir, mereka sudah mampu mencapai level 4. Siswa dengan kemampuan berpikir probabilistik level 4 (penalaran numerik) menggunakan penalaran numerik untuk menginterpretasi situasi probabilistik. Mereka menggunakan peluang secara numerik untuk mengambil keputusan. Saran Sebelum pembelajaran peluang secara formal berlangsung, guru dapat melakukan wawancara maupun tes tulis untuk mengetahui respon siswa terhadap masalah probabilistik. Hasil ini digunakan sebagai pertimbangan dalam merancang pembelajaran tentang konstrusi peluang yang lebih kompleks. Lebih lanjut, guru sebaiknya mengintegrasi pemikiran intuitif dan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa dalam mendesain suatu pembelajaran. Pada penelitian selanjutnya diharapkan proses berpikir probabilistik siswa dapat digali lebih dalam, sehingga ditemukan aspek-aspek lain yang mempengaruhi pola dan strategi pemikiran probabilistik siswa, termasuk faktor-faktor yang mempengarhi perbedaan kenaikan level pada setiap siswa. Guru matematika, peneliti, orang tua, maupun praktisi pendidikan yang lain diharapkan dapat mengembangkan dan memperbaiki teknik, pola interaksi, maupun strategi scaffolding sehingga dapat diterapkan pada siswa secara individu maupun klasikal. DAFTAR RUJUKAN Amir, G., & Williams, J. 1999. Cultural Influences on Children‟s Probabilistic Thinking. Journal of Mathematical Behavior, (Online), 18(10): 85-107. (http://dx.doi.org/10.1016/S0732-3123(99)00018-8), diakses 15 Maret 2013. Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices that Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics teacher Education, (Online), volume 9: 33-5, (http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10857-006-9005-9#page-1), diakses 15 Maret 2013.
195
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Batanero, C., Godino, J., Roa, R. 2004. Training Teachers To Teach Probability. Journal of Statistics Education, (Online), Volume 12, Number 1, (www.amstat.org/publications/jse), diakses 15 Maret 2013. Coggins, D., dkk. 2007. English Language Learners in the Mathematics Classroom. Thousand Oaks, California: Corwin Press. Drier, Hollylyne Stohl. 2000. Children’s Probabilistic Reasoning With A Computer Microworld, (Online), (www4.ncsu.edu/~hstohl/ dissertation.html), diakses 20 Maret 2013. Echevarria, Vogt dan Short. 2004. Scaffolding Techniques in CBI Classroom, (Online), (http://www.carla.umn.edu/cobalt/modules/strategies/ scaffolding_techniques.pdf), diakses 15 Februari 2014. Ewing McMahon, Bronwyn. 2000. Scaffolding: A Suitable Teaching Characteristic in One-ToOne Teaching in Maths Recovery. In Bana, Jack and Chapman, Anne, Eds. Proceedings Mathematics Education Beyond 2000 , Fremantle, Western Australia, (Online), pages 417-423, (eprints.qut.edu.au/661/1/ ewing_scaffolding.PDF), diakses 20 Maret 2013. Jones, G., Langrall, C., Thornton, C. & Mogill, T. 1997. A framework for assessing and nurturing young children‟s thinking in probability. Educational Studies in Mathematics, (Online), 32, pp 101-125, (www.jstor.org/stable/3482815), diakses 15 Maret 2013. Jones, G., Langrall, C., Thornton, C. & Mogill, T..1999. Students‟ Probabilistic Thinking in Instruction, Journal for Research in Mathematics Education, (Online), (www.jstor.org/stable/749771), diakses 15 Februari 2014. Pressley, M., Hogan, K., Wharton-McDonald, R., Mistretta, J., & Ettenberger, S. 1996. The challenges of instructional scaffolding: The challenges of instruction that supports student thinking. Learning Disabilities Research & Practice, (Online), 11(3), 138-146, (http://eric.ed.gov/?id=EJ530719), diakses 15 Maret 2013. Read, Carol. 2004. Scaffolding children’s talk and learning. (Online), (http://www.carolread.com/articles/s%20talk%20and%20learning.pdf) , diakses 15 Maret 2013. Sharma, Sashi. 2006. Personal Experience and Beliefs in Probabilistic Reasoning: Impication for Research. International Electronic Journal of Mathematics Education, (Online), 3454, (www.iejme.com/012006/d3.pdf), diakses 5 April 2014. Sharma, Sashi. 2012. Cultural Influences in Probabilistic Thinking. Journal of Mathematics Research, (Online), Vol 4, No.5, (http://researchcommons. waikato.ac.nz/bitstream/handle/10289/7724/Cultural%20influences.pdf?sequence=1), diakses 5 April 2014. Shaughnessy, J. M., & Bergman, B. 1993. Thinking about uncertainty: Probability and statistics. In Research ideas for the classroom: High school mathematics (pp. 177-197). New York: Maxwell Macmillan International. Sujadi, Imam. 2008. Rekonstruksi Tingkat-tingkat Berpikir Probabilistik Siswa Sekolah Menengah Pertama. Makalah. Disajikan pada Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika UNY, (Online), (eprints.uny.ac.id/6925/1/P6%20Pendidikan(Imam%20Sujadi).pdf), diakses 15 Maret 2013. Tarr, J. E., & Jones, G. A. 1997. A Framework for Assessing Middle School Students‟ Thinking in Conditional Probability and Independence. Mathematics Education Research Journal, (Online), (http://link.springer.com/article/10.1007%2FBF03217301#page-1), p.39-59, diakses 15 Maret 2013. Verenikina, I. 2008. Scaffolding and Learning: Its Role in Nurturing New Learners. Research online, University of Wollongong, (Online), http://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&context= edupapers), diakses 15 Maret 2013. Way, Jenni. 2004. The Development of Children’s Reasoning Strategies in Probability Tasks. Artikel, Sydney: University of Western Sydney, (Online), (www.merga.net.au/documents/RR_way.pdf), diakses 4 Mei 2013.
196
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENGEMBANGAN MODEL GROUP MENTORING LEARNING (GML) BERBASIS OPEN ENDED PADA MATERI BARISAN DAN DERET UNTUK SISWA SMA/SMK KELAS 10 Ratna Yulis Tyaningsih, Cholis Sa‟dijah, dan Makbul Muksar Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model Group Mentoring Learning (GML) Berbasis Open Ended yang valid, praktis, dan efektif. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Model pengembangan yang digunakanadalah model Plomp yang terdiri dari 5 tahap, yaitu (1) investigasi awal, (2) perancangan, (3) realisasi/konstruksi, (4) pengujian, evaluasi, dan revisi, dan (5) implementasi. Model GML Berbasis Open Ended termasuk kelompok model Pengajaran Sosial yang memfokuskan interaksi antarindividu untuk membangun pengetahuan baru. Model ini terdiri dari 6 sintaks, yaitu (1) Orientasi, (2) Diskusi Kelompok, (3) Compare, (4) Mentoring, (5) Presentasi hasil diskusi, dan (6) Evaluasi Pembelajaran. Model ini diujicobakan ke siswa kelas 10 di SMK N 12 Malang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada Uji Coba I diperoleh kesimpulan model dan perangkat pembelajaran valid dengan skor ≥ 3. Untuk uji kepraktisan model pembelajaran termasuk kategori praktis dengan skor 3,4, tetapi untuk uji keefektifan, model belum memenuhi kriteria efektif. Sementara uji kepraktisan pada Uji Coba II diperoleh kesimpulan model termasuk kategori praktis dengan skor 3,656, dan pada uji keefektifan model termasuk kategori efektif. Dengan demikian pada Uji Coba II diperoleh kesimpulan model valid, praktis, dan efektif. Kata Kunci: Model, GML, group mentoring, Open Ended, Barisan dan Deret
Mutu pendidikan sangat bergantung kepada kualitas guru dalam mendidik dan membelajarkan siswa, yang tercermin dalam keberhasilan belajar siswa, sehingga proses pembelajaran merupakan salah satu tahap yang sangat menentukan keberhasilan belajar siswa. Namun, rendahnya mutu pendidikan tidak hanya berasal dari guru, melainkan bisa juga dari siswa atau kurang memadainya sarana prasarana yang tersedia. Suprihatiningrum (2013: 93) menyatakan keberhasilan pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu perencanaan guru yang memadai, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, dan keterampilan guru mengajukan pertanyaan yang dapat mengaktifkan siswa.Pada dasarnya berbagai upaya perbaikan proses pembelajaran yang dilakukan oleh lembaga pendidikan mengarah pada pembelajaran yang berkualitas namun upaya tersebut belum bisa mengatasi masalah pendidikan di Indonesia secara sepenuhnya. Slavin (1994) dalam Sa‟dijah (2006) mengemukakan bahwa pembelajaran dikatakan berkualitas jika informasi atau keterampilan yang dipelajari siswa, menjamin siswa dapat mempelajarinya. Oleh karena itu, perlu adanya implementasi pembelajaran berkualitas secara kontinu yang dapat meningkatkan keterlibatan siswa secara aktif (student centered), terampil, dan kreatif. Hal tersebut sejalan dengan tujuan Kurikulum 2013 yang termuat dalam (Permendikbud no.70 tahun 2013) yaitu mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Menurut Thobroni & Mustofa, (2011: 37-38) upaya perbaikan pendidikan seharusnya tidak hanya menambah apa yang sudah ada melainkan meningkatkan efektivitas sistem yang sudah ada dengan memperbaiki komponen-komponen tertentu, seperti kurikulum, strategi, model pembelajaran, dan sistem penilaian. Menurut Soedjadi (2000: 37) proses pembelajaran matematika di sekolah masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik, yakni seorang guru secara aktif mengajarkan matematika, kemudian memberikan contoh dan latihan, dan eksplorasi pengetahuan awal siswa tidak dilakukan. Azis (2010: 3) menyatakan permasalahansulitnya menumbuhkan dan mengembangkan kreativitas siswa karena kenyataan yang ada bahwa pendidikan di Indonesia saat ini lebih berorientasi pada hasil yang bersifat pengulangan, penghafalan, dan pencarian satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan. 197
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada penelitian pengembangan ini, materi yang dipilih adalah Barisan dan Deret. Hal tersebut sesuai dengan saran dari guru kelas uji coba yang telah berpengalaman mengajar materi barisan dan deret. Beberapa fenomena yang diperoleh yaitu banyak siswa yang masih kesulitan dalam memahami materi barisan dan deret dan menentukan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan barisan dan deret. Siswa masih kesulitan membedakan apakah soal tersebut termasuk barisan aritmatika atau deret aritmatika, begitu juga dengan apakah termasuk barisan geometri atau deret geometri, jika soal tersebut berbentuk soal cerita karena siswa sudah terbiasa dengan soal yang sudah diketahui suku awal dan beda, atau rasio jika dalam barisan geometri. Berdasarkan uraian di atas, maka pengembang ingin mengembangkan model pembelajaran yang mampu mengaktifkan siswa dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa yaitu Model Group Mentoring Learning (GML) Berbasis Open Ended. Penelitian pengembangan bertujuan untuk mengembangkan Model Group Mentoring Learning (GML) Berbasis Open Ended yang valid, praktis, dan efektif. KAJIAN PUSTAKA Group Mentoring Learning (GML) Berbasis Open Ended adalah model pembelajaran yang menekankan pada kerja sama kelompok untuk saling mengajarkan, mendemonstrasikan, atau mencontohkan dalam rangka meningkatkan proses belajar, membangun pemahaman, dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa dengan menggunakan masalah open ended. Beberapa sintaks dari model GML diadopsi dari model PBL sehingga secara prinsip, model GML dapat dipandang sebagai modifikasi dari modelPBL yang mengacu kepada filosofi konstruktivisme. Perbedaan utama dengan model PBL adalah terletak pada tuntutannya terhadap jenis dan karakteristik masalah matematika yang akan dijadikan bahan pembelajaran. Jenis dan karakteristik dari masalah matematika yang dijadikan fokus pembelajaran pada Model PBL adalah masalah matematika yang menuntut adanya integrasi berbagai lintas disiplin ilmu dan tergolong open-ended, atau ill-structured problem(belum terstruktur dengan baik), yaitu masalah matematika yang disusun sedemikian rupa sehingga memiliki lebih dari satu jawaban yang masuk akal (multiple reasonable solution), dan lebih dari satu cara pemecahan yang masuk akal pula (multiple reasonable algoritms and procedures), sedangkan masalah yang digunakan pada Model GML Berbasis Open Ended adalah open-ended, atau ill-structured problem. As‟ari (2013: 6) menyatakan bahwa PBL kurang sesuai jika diterapkan di pembelajaran matematika sekolah karena salah satu karakteristik yang menonjol dari PBL adalah menuntut adanya integrasi antar berbagai disiplin ilmu sehingga masalah yang cocok diberikan di PBL tidak hanya menuntut penguasaan matematika saja, melainkan penguasaan disiplin ilmu lain untuk mengatasi masalah tersebut. Masalah dalam Buku Matematika Kelas 10 Kurikulum 2013 yang menurut penulisnya dirancang untuk keperluan Problem Based Learning (PBL) masih tergolong “word problems” (soal cerita) yang menurut Jonassen & Hung (2008:12) termasuk kategori “well structured” (sudah tertata dengan baik). Dengan kata lain, masalah di Buku Matematika Kelas 10 Kurikulum 2013 tidak sesuai jika diterapkan dalam Pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Akan tetapi prinsip-prinsip yang lain dari PBL sangat bagus jika diterapkan dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itu pengembang ingin mengembangkan model GML yang merupakan modifikasi dari PBL. Artinya secara prinsip model GML hampir sama dengan PBL namun masalah yang disajikan hanya bersifat Open Ended kategori ill-structured. Model GML Berbasis Open Ended bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif. Ardian (2007: 2) menyatakan salah satu upaya dalam mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kreatif adalah mengembangkan model pembelajaran yang dapat membangkitkan kreativitas pebelajar dan memberikan pengalaman belajar yang diperoleh secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Menurut Suyono (2011:116), ketika siswa dihadapkan pada situasi pembelajaran yang baru kemudian siswa dilatih bersama-sama dengan rekan sekelasnya untuk saling mengajar, maka akan terjadi proses konstruksi pengetahuan secara kolektif yang nonlinear. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cohen, dkk dalam Carberry, (2008: 23) diperoleh suatu kesimpulan bahwa siswa yang telah melakukan belajar dengan mengajar (learning by teaching) memperoleh nilai ujian yang lebih bagus daripada siswa yang tidak mempunyai pengalaman mengajar. Menurut Kafai & Harel (1991) dalam 198
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(Carberry, 2008: 17) belajar dengan mengajar (learning by teaching) akan menghasilkan pengalaman yang lebih kaya daripada belajar sendiri dan menyediakan kesempatan untuk membangun argumen-argumen sehingga diperoleh pengetahuan yang baru. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Suyono, dkk (2011: 116) bahwa metode belajar sambil mengajar (learning by teaching) merupakan metode yang sangat efektif untuk mengembangkan kompetensi siswa, dengan cara ini lebih mudah terjadi perubahan struktur kognitif yang lebih adaptif terhadap pengetahuan yang baru. Menurut Suyono (2011:115) siswa akan lebih menemukan dan memahami konsepkonsep yang sulit (top down process) jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya dalam kelompok kecil. F. Viseu & I.B. Oliveria, (2012: 289) mengemukakan sharing and comparing the processes results in ways of thinking that promote the significance of mathematical concepts. Dengan demikian, siswa yang saling berbagi (sharing) dan membandingkan (comparing) hasil dari suatu proses pola pikir dapat mendukung/meningkatkan pentingnya konsep-konsep matematik. Ketika siswa membangun suatu dugaan dan mendiskusikan permasalahan matematika dengan temannya dalam kelompok kecil, pengetahuan kolaboratif baru akan dikembangkan. Osana, Lacroix, Tucker and Desrosiers (2006: 348) menekankanpenggunaantugasopen endedyangmendukungketerlibatansiswadalam kegiatankelas danmendorong merekauntuk mengeksplorasidan menyelidiki, meningkatkan motivasi merekauntuk generalisasi, mencari modeldan hubungan, berkomunikasi, berdiskusi danmengidentifikasialternatif. Lee (2003: 164)menyatakan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan menyatakan pendapat dalam bidang matematika dapat diukur dengan memberikan masalah Open Ended yang memerlukan lebih dari satu jawaban. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan memberikan permasalahan yang berbentuk Open Ended dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran dan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Salah satu upaya untuk mewujudkan pembelajaran yang mampu mengaktifkan siswa (dalam hal berpikir, berdiskusi (berbagi pengetahuan), berani mengemukakan pendapat) dan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa adalah dengan mengembangkan suatu model pembelajaran dengan karakteristik, sebagai berikut: (1) berpusat pada siswa (student centered); (2) siswa belajar dengan saling mengajar; (3) saling mendiskusikan masalah dalam kelompok kecil; (4) siswa saling berbagi (sharing) dan membandingkan hasil proses diskusi (comparing); dan (5) memberikan masalah open ended. Dengan demikian, Model GML Berbasis Open Ended merupakan salah satu upaya alternatif untuk mewujudkan pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif. Beberapa sintaks Model GML yang diadaptasi dari sintaks Model PBL yaitu (1) Orientasi, (2) Diskusi Kelompok, (3) Presentasi, dan (4) Evaluasi yang secara rinci tampak pada Gambar 1. Sintaks Model GML dilandasi dengan teori pendukung yang kuat, diantaranya kajian tentang Konstruktivis, Kooperatif, Problem Solving, Open Ended, dan Berpikir Kreatif dan komponen yang termuat yaitu Sintaks, Sistem Pendukung, Prinsip Reaksi, Sistem Sosial, Dampak Instruksional, dan Dampak Pengiring seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2
199
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 1. Sintaks Model PBL dan Model GML
Gambar 2. Komponen Model GML
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMK N 12 Malang dan diujicobakan ke siswa kelas 10 SMK N 12 Malang. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian pengembangan Model Group Mentoring Learning mengacu pada langkah-langkah pemecahan masalah pendidikan Plomp (1997: 4-6). Berdasarkan langkah-langkah yang dikembangkan Plomp, maka pengembangan Model Group Mentoring Learning (GML) dilakukan dalam 5 tahap, yaitu (1) tahap investigasi awal (preliminary investigation), (2) tahap perancangan (design), (3) tahap realisasi/konstruksi, (4) tahap pengujian, evaluasi, dan revisi, dan (5) tahap implementasi (implementation). Tahapan rinci mengenai prosedur pengembangan tampak pada Gambar 3.
200
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1. Mengkaji kondisi pembelajaran di kelas 2. Merumuskan rasional pemikiran pentingnya mengembangkan model 3. Mengumpulkan bahan acuan yang relevan dan mendukung pengembangan model GML
Tahap Investigasi Awal
Merancang Desain Model dan Perangkat Desain Model 1. Sintaks 2. Sistem Sosial 3. Prinsip Reaksi 4. Sistem Pendukung 5. Dampak Instruksional 6. Dampak Pengiring
Desain Perangkat 1. Buku Model 2. Petunjuk Pelaksanaan Model 3. RPP 4. LKK 5. Rubrik Penilaian
Tahap Perancangan
Realisasi Model dan Perangkat (Draf 1)
Tahap Realisasi
Draf ke-𝑖, 𝑖 > 1
Validasi Ahli Analisis hasil validasi
Ya
Tidak
Apakah valid?
Perlu revisi?
Tidak Revisi
Tahap Tes, evaluasi, revisi
Ya Revisi kecil
Draf ke-𝑗 𝑗>1
Draf ke-𝑗, 𝑗 > 1
Uji coba Analisis
Ya Revisi kecil
Ya
Perlu revisi?
Apakah praktis dan efektif?
Tidak
Tidak Hasil Pengembangan Gambar 3. Alur Pengembangan Model
Keterangan Gambar 3: : terjadi siklus jika diperlukan : aktivitas atau proses pengembangan : pengecekan hasil aktivitas : produk yang dihasilkan dari proses pengembangan
201
Revisi
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data beserta dengan aspek yang dinilai, sumber data, dan jenis data disajikan pada Tabel 1. Model pembelajaran dikatakan valid, jika menurut penilaian ahli model itu memiliki validitas isi dan validitas konstruk. Validitas isi yaitu model itu dilandasi oleh rasional teoritik yang kuat. Sedangkan validitas konstruk yaitu setiap komponen dari suatu model secara konsisten saling terkait satu sama lain. Uji validasi dilakukan oleh dua dosen Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang dan dua guru Matematika SMA/SMK yang memiliki pengalaman mengajar dan bersedia memberikan masukan terhadap produk yang dikembangkan.Kriteria kevalidan model pembelajaran dan perangkat pembelajaran disajikan pada Tabel 2. Model Pembelajaran dikatakan praktis, jika hasil pengamatan tentang keterlaksanaan model pembelajaran oleh pengamat termasuk kategori tinggi. Pengamat dalam penelitian ini ada 3 mahasiswa Pascasarjana yang mempunyai latar belakang pendidikan S1 dari jurusan matematika, terutama program studi pendidikan matematika dan mempunyai pengalaman mengajar.Kriteria kepraktisan model pembelajaran ditunjukkan pada Tabel 3. Model Pembelajaran dikatakan efektif, jika terpenuhi semua indikator keefektifan, yang meliputi: (a) Penguasaan bahan ajar telah mencapai ketuntasan, yaitu apabila tingkat penguasaan bahan ajar seluruh kelas (𝑇𝑃) ≥ 80, 80% siswa atau lebih dalam satu kelas mencapai penguasaan bahan ajar pada kriteria minimal cukup, dan persentase tingkat kemampuan berpikir kreatif untuk seluruh kelas (𝐾𝑟 ) > 70% yang diukur menggunakan rubrik penilaian holistik; (b) Aktivitas siswa dalam pembelajaran mencapai kategori minimal aktif yang diukur melalui lembar pengamatan aktivitas siswa; (c) Respon siswa positif yang diukur melalui angket. Pengembang dalam memberikan skor pada tiap siswa berpedoman pada rubrik penilaian yang memperhatikan indikator-indikator berpikir kreatif yang diadaptasi dari Silver (1997:97) yang ditunjukkan pada Tabel 4. Kriteria tingkat penguasaan bahan ajar siswa disajikan pada Tabel 5. Sedangkan untuk mengetahui tingkat berpikir kreatif siswa disajikan pada Tabel 6. Pada penelitian ini untuk mengetahui tingkat keaktifan dan respon siswa menggunakan kriteria secara berurutan disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 1. Aspek yang Dinilai, Instrumen, Data yang Direkam, dan Sumber Data Aspek yang dinilai Instrumen Data yang direkam Sumber data Kevalidan Model Lembar validasi Kevalidan model dan Validator dan Perangkat perangkat pembelajaran (RPP, LKK, dan Rubrik Penilaian) Kepraktisan Model - Lembar pengamatan Keterlaksanaan model Pengamat keterlaksanaan model Keefektifan Model - Tes Penguasaan Bahan Ajar Siswa dan Perangkat - Lembar pengamatan Aktivitas siswa Pengamat aktivitas siswa - Angket respon siswa Respon siswa Siswa Tabel 2. Kriteria Kevalidan Model, Perangkat Pembelajaran, dan Instrumen Skor Kriteria Arti Valid Produk dapat diujicobakan 𝑉𝑇 ≥ 3 2 ≤ 𝑉𝑇 < 3 Cukup valid Masih ada bagian kecil yang direvisi Tidak valid Produk revisi total 𝑉𝑇 < 2 Sumber: Diadaptasi dari Parta (2009) Tabel 3. Kriteria Kepraktisan Model Pembelajaran Skor Kriteria Arti Praktis Tingkat keterlaksanaan model tinggi 𝑃𝑇 ≥ 3 2 ≤ 𝑃𝑇 < 3 Kurang Praktis Tingkat keterlaksanaan model cukup Tidak praktis Tingkat keterlaksanaan model rendah 𝑃𝑇 < 2 Sumber: Diadaptasi dari Parta (2009)
202
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
No. 1
Komponen fluency (kefasihan)
2
flexibility (fleksibilitas)
3
novelty (kebaruan)
Tabel 4. Indikator Berpikir Kreatif Indikator o Siswa mengeksplorasi masalah Open Ended dengan banyak interpretasi, strategi penyelesaian masalah, atau jawaban. o Siswa menyelesaikan masalah Open Ended dengan satu cara kemudian dengan cara lain. o Siswa mendiskusikan berbagai strategi penelesaian. o Siswa memeriksa berbagai strategi penyelesaian atau jawaban dari suatu masalah, kemudian mengembangkan strategi baru yang berbeda.
Sumber: Diadaptasi dari Silver (1997: 78) Tabel 5. Kriteria Tingkat Penguasaan Bahan Ajar Siswa Persentase Skor Siswa Kriteria Penguasaan bahan ajar baik 𝑇𝑃𝑖 ≥ 80 Penguasaan bahan ajar cukup 70 < 𝑇𝑃𝑖 < 80 Penguasaan bahan ajar rendah 𝑇𝑃𝑖 ≤ 70 Sumber: Diadaptasi dari Parta (2009) Tabel 6. Kriteria Tingkat Berpikir Kreatif Siswa Persentase Skor Siswa Kriteria Sangat kreatif 𝐾𝑟(𝑖) ≥ 80 Kreatif 70 ≤ 𝐾𝑟(𝑖) < 80 Cukup kreatif 60 ≤ 𝐾𝑟(𝑖) < 70 Kurang kreatif 𝐾𝑟(𝑖) < 60 Sumber: Diadaptasi dari Rohim, dkk (2012:3) Tabel 7. Kriteria Keaktifan Siswa Skor Kriteria 3,5 ≤ 𝐴 𝑇 ≤ 4 Sangat aktif 2,5 ≤ 𝐴 𝑇 ≤ 3,5 Aktif 1,5 ≤ 𝐴 𝑇 ≤ 2,5 Kurang aktif 1 ≤ 𝐴 𝑇 ≤ 1,5 Tidak aktif Sumber: Diadaptasi dari Parta (2009) Tabel 8 Kriteria Respon Siswa Skor Kriteria 𝑅𝑖 ≥ 2 Respon siswa ke-𝑖 positif 𝑅𝑖 < 2 Respon siswa ke-𝑖 negatif Sumber: Diadaptasi dari Parta (2009)
Langkah-langkah pembelajaran di RPP yang dikembangkan dalam penelitian pengembangan ini disajikan dalam Tabel 9. Kegiatan Pra Pembelajaran: Guru mengucapkan salam dan meminta ketua kelas untuk memimpin doa sebelum belajar. Guru melakukan presensi. Tabel 9. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran No.
Tahap
Kegiatan Awal 1. Pendahuluan
Kegiatan Pembelajaran
Alokasi Waktu
10 menit
Guru melakukan apersepsi mengenai tukang bangunan yang sedang membangun tangga, peserta didik diminta menentukan banyaknya batu bata yang dibutuhkan untuk membuat anak tangga ke-6 jika anak tangga ke-1 membutuhkan 20 batu bata. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran pertemuan ini.
203
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kegiatan Inti 2. Orientasi masalah
3.
Diskusi Kelompok
Guru membagikan Lembar Kerja Kelompok (LKK) dan lembar jawab.
Guru mengenalkan siswa pada masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan barisan aritmatika yang terdapat dalam LKK 1 no. 1 (terlampir). Mencipta Peserta didik menggambarkan susunan batang korek api yang membentuk bangun datar beraturan yang merepresentasikan pola barisan aritmatika yang ada dalam kegiatan LKK 1 no.1 (terlampir). Menanya Menanyakan pola/keteraturan dari gambar yang telah dibuat. Mengeksplorasi Guru bersama peserta didik melakukan diskusi kelas untuk membahas masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan barisan aritmatika disertai dengan tanya jawab singkat untuk memancing rasa ingin tahu peserta didik tentang masalah yang dibahas. Mengasosiasi Peserta didik memecahkan masalah dalam kegiatan LKK 1 no. 1 (terlampir) dan menentukan strategi yang paling mudah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Guru meminta peserta didik untuk duduk secara berkelompok sesuai dengan kelompok yang sudah ditentukan berdasarkan prinsip kooperatif. Guru menentukan nomor-nomor anggota kelompok seperti yang ditunjukkan berikut ini. P1 P2 M1 P4
P3
Nomor anggota berputar
10 menit
20 menit
Keterangan: P1 : Peserta didik no. ke 1 P2 : Peserta didik no. ke 2 P3 : Peserta didik no. ke 3
searah jarum jam
4.
Compare
5.
Mentoring
Mengeksplorasi no. ke 4 secara 4 : Peserta Peserta didik salingPkerja samadidik danberdiskusi berkelompok 3-4 orang untuk menyelesaikan masalah Open ke 1 1: Meja Ended di LKK no.2M dan 3 (terlampir). Mencipta Setiap kelompok dengan kreatif memberikan berbagai jawaban dan strategi penyelesaian yang beragam. Guru memantau diskusi peserta didik dan memberikan bimbingan atau arahan seperlunya jika diperlukan. Mengasosiasi Peserta didik membandingkan jawaban dan strategi penyelesaian yang telah diperoleh. Antar anggota kelompok saling mengecek apakah jawaban dan strategi penyelesaian yang diperoleh sudah benar atau belum. Guru memantau siswa selama tahap compare dan memberikan bimbingan atau arahan jika diperlukan. Mengkomunikasi Antar anggota kelompok saling mengajari/menjelaskan tentang jawaban dan strategi penyelesaian yang diperoleh masingmasing anggota kelompok untuk membangun pemahaman tentang masalah yang diselesaikan. Antar anggota kelompok saling mendiskusikan strategi manakah yang paling mudah digunakan dalam menyelesaikan masalah yang disajikan di LKK (terlampir). Guru memantau siswa selama tahap mentoring dan
204
10 menit
20 menit
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
6.
Presentasi Hasil Diskusi
Kegiatan Akhir 8. Evaluasi Pembelajaran
memberikan bimbingan atau arahan jika diperlukan. Mengkomunikasi Guru menunjuk perwakilan kelompok secara acak dengan menyebutkan nomor tertentu untuk mempresentasikan hasil diskusinya di kelas. Guru memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan tanggapan, kritik, maupun saran terhadap hasil diskusi kelompok yang telah dipresentasikan. Guru memantau jalannya presentasi dan memberikan koreksi, bimbingan, atau arahan jika diperlukan.
9.
Penutup
Guru mengecek pemahaman siswa dengan tanya jawab singkat mengenai hal-hal apa sajakah yang diperoleh selama pembelajaran termasuk proses pemecahan masalah yang diperoleh siswa. Guru memberikan penguatan tentang definisi dan konsepkonsep mengenai barisan aritmatika dengan menggunakan tanya jawab singkat. Guru menyampaikan rencana pembelajaran pertemuan berikutnya.
10 menit
10 menit
Berikut ini disajikan beberapa masalah Open Ended yang termuat di Tes Penguasaan Bahan Ajar dan Lembar Kerja Kelompok (LKK) secara berurutan ditunjukkan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Gambar 4. Masalah Tes Penguasaan Bahan Ajar 1 No. 1
Gambar 5. Masalah di Lembar Kerja Kelompok (LKK) 4 No. 2
Berikut ini akan disajikan rubrik penilaian yang digunakan untuk menilai hasil kerja siswa dan sikap siswa. Skor 3
Tabel 10. Rubrik Penilaian Masalah Open Ended Kriteria Jawaban siswa menunjukkan pemahaman yang lengkap terhadap konsep-konsep matematik yang penting dari masalah yang diberikan. Siswa menjalankan prosedur yang lengkap dan memberikan jawaban yang relevan dengan semua bagian dari masalah yang diberikan.
205
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2
1
0
Jawaban memuat sedikit kesalahan kecil, jika ada. Penjelasan merinci bagaimana masalah ini diselesaikan, jelas dan efektif sehingga pembaca tidak perlu menduga mengapa dan bagaimana keputusan itu dibuat. Semua selesaian dari masalah Open Ended yang diberikan adalah benar. Jawaban siswa menunjukkan pemahaman yang hampir lengkap terhadap konsep-konsep matematik yang penting dari masalah yang diberikan. Siswa menjalankan hampir semua prosedur dan memberikan jawaban yang relevan untuk sebagian besar dari masalah yang diberikan. Jawaban mungkin memiliki kesalahan kecil. Penjelasan merinci bagaimana masalah ini diselesaikan mungkin tidak jelas, menyebabkan pembaca untuk membuat beberapa dugaan. Hampir semua selesaian dari masalah Open Ended yang diberikan adalah benar. Jawaban siswa menunjukkan kurang memahami konsep-konsep matematik yang penting dari masalah yang diberikan. Jawaban dan prosedur tidak lengkap. Jawaban mungkin mengandung kesalahan besar. Penjelasan tentang bagaimana masalah ini diselesaikan tidak lengkap. Sebagian kecil selesaian dari masalah Open Ended yang diberikan adalah benar. Jawaban siswa menunjukkan tidak memahami konsep-konsep matematik yang penting dari masalah yang diberikan. Prosedur, jika ada, terdapat banyak kesalahan besar. Tidak ada penjelasan tentang bagaimana masalah ini diselesaikan. Pembaca mungkin tidak dapat memahami mengapa dan bagaimana keputusan itu dibuat. Tidak ada selesaian dari masalah Open Ended yang diberikan.
Nilai rata-rata (kualitatif/huruf)
Presentasi
Partisipasi siswa dalam pembelajaran
Sikap pada guru
Kejujuran
Tanggung jawab
Kerjasama
Kode Siswa
Kedisiplinan
No.
Keterbukaan
Tabel 11. Lembar Pengamatan Sikap Indikator sikap
Rubrik Pengamatan Sikap Skala I: Keterbukaan 3 Terbuka dalam menginformasikan apa yang diketahui atau tidak diketahui kepada teman lainnya atau kepada guru. 2 Kurang terbuka dalam menginformasikan apa yang diketahui atau tidak diketahui kepada teman lainnya atau kepada guru. 1 Tidak terbuka dalam menginformasikan apa yang diketahui atau tidak diketahui kepada teman lainnya atau kepada guru. Skala II: Kedisiplinan 3 Menunjukkan disiplin, loyal, dan menghargai waktu baik selama pengerjaan tugas dan deadline pengumpulan tugas diskusi kelompok. 2 Kurang disiplin, loyal, dan menghargai waktu baik selama pengerjaan tugas dan deadline pengumpulan tugas diskusi kelompok. 1 Tidak disiplin, loyal, dan menghargai waktu baik selama pengerjaan tugas dan deadline pengumpulan tugas diskusi kelompok. Skala III: Kerjasama 3 Tertarik dan mampu berinteraksi dengan sesama anggota kelompok atau dengan anggota kelompok yang lain. 2 Tertarik tetapi kurang mampu berinteraksi dengan sesama anggota kelompok atau dengan anggota kelompok yang lain. 206
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1
Tidak tertarik dan kurang berinteraksi dengan sesama anggota kelompok atau dengan anggota kelompok yang lain. Skala IV: Tanggung Jawab 3 Bertanggung jawab terhadap kelompok dan hasil kerja kelompok. 2 Kurang bertanggung jawab terhadap kelompok dan hasil kerja kelompok. 1 Tidak bertanggung jawab terhadap kelompok dan hasil kerja kelompok. Skala V: Kejujuran 3 Menunjukkan sikap jujur terhadap tugas diskusi kelompok yaitu: tidak menjiplak, menyalin, dan menyontek hasil kerja kelompok yang lain. 2 Kurang menunjukkan sikap jujur terhadap tugas diskusi kelompok yaitu: tidak menjiplak, menyalin, dan menyontek hasil kerja kelompok yang lain. 1 Tidak menunjukkan sikap jujur terhadap tugas diskusi kelompok yaitu: tidak menjiplak, menyalin, dan menyontek hasil kerja kelompok yang lain. Skala VI: Sikap pada guru 3 Sopan dan ramah terhadap guru 2 Kurang sopan dan kurang ramah terhadap guru 1 Tidak sopan dan tidak ramah terhadap guru Skala VII: Partisipasi siswa dalam diskusi 3 Aktif bertanya dan memberi respon terhadap pertanyaan yang muncul 2 Jarang bertanya dan mengungkapkan pendapat dalam kelompok 1 Pasif dalam kegiatan kelompok Skala VIII: Presentasi 3 Mampu menjelaskan hasil kerja kelompok secara sistematis dan sesuai konsep 2 Kurang mampu menjelaskan hasil kerja kelompok secara sistematis 1 Penjelasan tidak sesuai dengan konsep 𝑿=
𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒔𝒌𝒂𝒍𝒂
Skala nilai: SB : jika 20 < 𝑋 ≤ 24 B : jika 15 < 𝑋 ≤ 20 K : jika 8 < 𝑋 ≤ 15 SK : jika 𝑋 ≤ 8 Keterangan: SB : kecakapan hidup sosial dipertahankan B : kecakapan hidup sosial perlu ditingkatkan K : kecakapan hidup sosial sangat perlu ditingkatkan SK : kecakapan hidup sosial sangat perlu ditingkatkan dan perlu bimbingan dari BK HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum dilakukan penelitian, pengembang melakukan Observasi dan Studi Pendahuluan. Pada tahap Observasi, pengembang mengamati pembelajaran yang berlangsung di kelas Uji Coba I. Aspek yang diamati meliputi aktivitas guru dan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Sedangkan dalam Studi Pendahuluan, pengembang melakukan pengujian kemampuan awal siswa di Kelas Uji Coba I sebanyak 12 siswa dalam menyelesaikan masalah di Lembar Kerja Kelompok (LKK) (terlampir) yaitu dengan memberikan msalah Open Ended kepada masing-masing siswa. Berdasarkan hasil Studi Pendahuluan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa cukup banyak siswa yang belum paham tentang konsep barisan dan deret. Secara umum kesalahan yang dilakukan siswa pada Studi Pendahuluan adalah sebagai berikut (1) sebagian besar siswa tidak menuliskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan kesimpulan jawaban akhir dalam menyelesaikan suatu masalah sehingga sulit untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap masalah yang diberikan, dan (2) siswa belum bisa membedakan antara barisan dan deret sehingga sebagian besar siswa terbalik dalam membuat perencanaan penyelesaian, masalah yang seharusnya menggunakan konsep barisan tetapi dikerjakan dengan konsep deret dan sebaliknya. Salah satu contoh kesalahan yang dilakukan siswa dalam
207
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menyelesaikan masalah Open Ended pada Studi Pendahuluan seperti yang disajikan pada Gambar6.
Gambar 6. Kesalahan Siswa dalam Menjawab Soal tentang Barisan Aritmatika
Pada Gambar 6 menunjukkan jawaban siswa dalam menyelesaikan soal Tes Penguasaan Bahan Ajar 1 No. 1 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Dari Gambar 6 diperoleh kesimpulan bahwa: (a) siswa tidak menuliskan apa yang diketahui dan kesimpulan jawaban akhir, (b) siswa hanya menuliskan satu jawaban padahal masalah itu tergolong masalah Open Ended yang memiliki banyak jawaban/cara penyelesaian, (c) siswa tidak memberikan keterangan tentang bilangan 𝑎seharusnya siswa menuliskan bahwa 𝑎 adalah bilangan kuadrat sempurna kemudian siswa baru menunjukkan nilai 𝑎 yang mungkin, (d) siswa keliru dalam menentukan suku awal, seharusnya suku awal barisan tersebut adalah 9 karena 𝑎 yang dipilih adalah 9, (e) Siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan konsep deret padahal seharusnya siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan konsep barisan, karena yang ditanyakan soal adalah 𝑈15 . Pada penelitian pengembangan ini dilakukan dua kali uji coba. Pada Uji Coba I terdiri dari 35 siswa dan pada Uji Coba II terdiri dari 32 siswa. Masing-masing uji coba diamati oleh 3 pengamat yang sama. Tugas pengamat yaitu mengamati tentang keterlaksanaan model pembelajaran dan aktivitas siswa. Rangkuman hasil penelitian pada Uji Coba I disajikan pada Tabel12. Tabel. 12 Rangkuman Hasil Analisis Data Tahap Pengujian, Evaluasi, dan Revisi dan Tahap Implementasi Uji Coba I Kriteria Hasil Analisis Data Kesimpulan Kevalidan Buku model Model valid Rata-rata kevalidan isi 3,07 dan rata-rata kevalidan dan dapat konstruk 3,41. Dengan demikian, skor rata-rata diujicobakan. keseluruhan (𝑉𝑇 ) adalah 3,3 ≥ 3. Perangkat pembelajaran Perangkat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pembelajaran Skor rata-rata keseluruhan aspek (𝑉𝑇 ) adalah valid dan 3,21 ≥ 3. dapat Lembar Kerja Kelompok (LKK) diujicobakan. Skor rata-rata keseluruhan aspek (𝑉𝑇 ) adalah 3,48 ≥ 3. Kepraktisan Keterlaksanaan Model Model praktis. Skor rata-rata keseluruhan aspek dari seluruh pertemuan (𝑃𝑇 ) adalah 3,4 ≥ 3, artinya tingkat keterlaksanaan model baik. Keefektifan Tingkat Penguasaan Bahan Ajar Model belum Tingkat penguasaan bahan ajar seluruh kelas, memenuhi kriteria efektif (𝑇𝑃) adalah 79,57 < 80, artinya tingkat penguasaan bahan ajar seluruh kelas termasuk
208
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kategori cukup. 74,29% siswa mempunyai tingkat penguasaan bahan ajar yang baik. Rata-rata skor pengamatan sikap seluruh siswa dari seluruh pertemuan 𝑋 = 18,71 berada dalam interval 15 < 𝑋 ≤ 20 artinya sikap siswa termasuk kategori baik sehingga perlu ditingkatkan. Persentase Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif Rata-rata persentase tingkat kemampuan berpikir kreatif seluruh kelas, (𝐾𝑟 ) adalah 78,99%> 70%, artinya tingkat kemampuan berpikir kreatif seluruh kelas termasuk kategori kreatif. Aktivitas Siswa Skor rata-rata keseluruhan aspek adalah 2,49, berada dalam interval 1, 5 ≤(𝑃𝑇 ) ≤ 2,5, termasuk kategori kurang aktif. Respon Siswa Skor rata-rata dari seluruh indikator untuk seluruh siswa (𝑅𝑇 ) adalah 1,99 < 2, artinya respon kelas termasuk negatif namun cenderung positif.
Berdasarkan Tabel 12 dapat disimpulkan bahwa model dan perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria valid dan praktis, namun belum memenuhi kriteria efektif. Oleh karena itu, dilakukan Uji Coba II untuk menguji keefektifan model dan perangkat yang dikembangkan.Beberapa hal yang perlu ditekankan dan diperhatikan guru model sebelum melakukan Uji Coba II adalah sebagai berikut. (1) Memperhatikan alokasi waktu yang disediakan sesuai dengan porsi sintaks seperti yang ditunjukkan di RPP (terlampir). (2) Sebaiknya guru model lebih banyak memberikan bantuan proses daripada bantuan hasil ketika siswa membutuhkan bantuan dalam mengerjakan soal di LKK sehingga siswa akan lebih memahami konsep-konsep matematik yang ada. (3) Pada tahap orientasi sebaiknya guru model lebih banyak melakukan tanya jawab singkat untuk mengecek pemahaman siswa dengan masalah yang diberikan. (4) Pada tahap diskusi kelompok, guru model sebaiknya memberikan penegasan tentang waktu yang diperlukan untuk mengerjakan LKK dan mengingatkan tentang sisa waktu yang tersisa sebelum memasuki tahap berikutnya. (5) Guru sebaiknya memberikan motivasi belajar di awal pembelajaran untuk membangun semangat belajar siswa. Selain itu guru juga berupaya untuk membangkitkan semangat siswa agar tidak malu ketika berinteraksi dengan siswa lainnya terutama ketika membandingkan jawaban dan mengajarkan jawaban maupun hal-hal yang diketahui kepada siswa yang lain. (6) Pada tahap evaluasi pembelajaran, guru model sebaiknya lebih banyak melakukan tanya jawab singkat untuk mengecek pemahaman siswa tentang pembelajaran yang telah dilakukan. (7) Sebaiknya guru model lebih memantau kinerja ketua kelompok untuk melaksanakan tugasnya, yaitu mengatur dan mengelola kelompok. Misalnya, ketika ada anggota kelompok yang kesulitan memahami sesuatu, maka ketua kelompok mengelola anggota yang lain supaya membantu memahamkan siswa tersebut, memantau jawaban antaranggota kelompok agar jawaban/cara yang diperoleh setiap anggota berbeda-beda.Rangkuman hasil penelitian pada Uji Coba II disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Rangkuman Hasil Analisis Data Tahap pengujian, evaluasi, dan revisi dan Tahap Implementasi Uji Coba II Kriteria Hasil Analisis Data Kesimpulan Kevalidan Buku model Model valid dan Rata-rata kevalidan isi 3,07 dan rata-rata kevalidan dapat diujicobakan. konstruk 3,41. Dengan demikian, skor rata-rata keseluruhan (𝑉𝑇 ) adalah 3,3 ≥ 3.
209
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kepraktisan
Keefektifan
Perangkat pembelajaran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Skor rata-rata keseluruhan aspek (𝑉𝑇 ) adalah 3,21 ≥ 3. Lembar Kerja Kelompok (LKK) Skor rata-rata keseluruhan aspek (𝑉𝑇 ) adalah 3,48 ≥ 3. Keterlaksanaan Model Skor rata-rata keseluruhan aspek dari seluruh pertemuan (𝑃𝑇 ) adalah 3, 656 ≥ 3, artinya tingkat keterlaksanaan model baik. Tingkat Penguasaan Bahan Ajar Tingkat penguasaan bahan ajar seluruh kelas, (𝑇𝑃) adalah 92,77 ≥ 80, artinya tingkat penguasaan bahan ajar seluruh kelas termasuk kategori baik. 100% siswa mempunyai tingkat penguasaan bahan ajar yang baik. Rata-rata skor pengamatan sikap seluruh siswa dari seluruh pertemuan 𝑋 = 20,74 > 20 artinya sikap siswa termasuk kategori sangat baik sehingga perlu dipertahankan. Persentase Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif Rata-rata persentase tingkat kemampuan berpikir kreatif seluruh kelas, (𝐾𝑟 ) adalah 92,24% ≥ 80%, artinya tingkat kemampuan berpikir kreatif seluruh kelas termasuk kategori sangat kreatif. Aktivitas Siswa Skor rata-rata keseluruhan aspek adalah 3,479 (2,5 ≤(𝑃𝑇 ) ≤ 3,5), termasuk kategori aktif. Respon Siswa Skor rata-rata dari seluruh indikator untuk seluruh siswa (𝑅𝑇 ) adalah 2,56 ≥ 2, artinya respon kelas termasuk positif.
Perangkat pembelajaran valid dan dapat diujicobakan. Model praktis.
Model efektif
Berdasar hasil analisis data hasil Uji Coba II, model dan perangkat yang dikembangkan telah memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif. Dengan demikian, model dan perangkat yang telah memenuhi ketiga kriteria ini selanjutnya disebut sebagai produk akhir pengembangan. Berikut ini contoh hasil kerja siswa pada Uji Coba II seperti yang disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Gambar 7 Contoh Jawaban Salah Satu Anggota Kelompok di LKK 4 No.2
210
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada Gambar 7 menunjukkan jawaban salah satu anggota kelompok dalam menyelesaikan masalah di LKK 4 No. 2 pada Tahap Diskusi Kelompok seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Dalam menyelesaikan masalah tersebut, siswa menggunakan cara manual, yaitu mengalikan setiap suku dengan 8, kemudian menjumlahkan 6 suku yang telah diperoleh untuk memperoleh nilai 𝑆6 . Untuk memudahkan siswa dalam memperoleh nilai 𝑆6 , maka siswa menggolongkan bilangan-bilangan yang tepat sehingga dapat dihitung dengan mudah tanpa menggunakan kalkulator.
Gambar 8 Contoh Jawaban Salah Satu Anggota Kelompok di LKK 4 No.2
Pada Gambar 8 menunjukkan jawaban anggota yang lain dalam menyelesaikan masalah di LKK 4 No. 2 pada Tahap Diskusi Kelompok seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Pada Gambar 7 siswa menghitung nilai 𝑆6 dengan cara mengelompokkan ke bentuk yang lebih sederhana, sedangkan pada Gambar 8 siswa menggunakan cara yang lebih kreatif, yaitu dengan memanfaatkan konsep aljabar agar diperoleh bentuk yang lebih sederhana dan memudahkan siswa dalam menghitung nilai 𝑆6 . KESIMPULAN Penerapan model GML Berbasis Open Ended yang dikembangkan dalam penelitian ini cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil analisis persentase tingkat kemampuan berpikir kreatif seluruh siswa (𝐾𝑟 ) pada Uji Coba II yaitu 92,24% siswa masuk dalam kategori sangat kreatif. Dengan demikian, terbukti bahwa dampak instruksional dari Model GML adalah mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Dari proses pengembangan model pembelajaran Group Mentoring Learning (GML) Berbasis Open ended, pengembang memberikan saran kepada: 1. Guru Sebaiknya guru selektif dalam memilih suatu model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan. Guru sebaiknya berupaya mengalihkan peran mereka dalam pembelajaran, yang sebelumnya guru lebih berperan aktif (teacher centered) berubah menjadi siswa yang lebih berperan aktif (student centered). Oleh karena itu, guru sebaiknya memilih model 211
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran yang memberikan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa. 2. Peneliti lain Penulis mengharapkan adanya pengembangan model beracuan kooperatif maupun konstruktivis lain untuk materi Barisan dan Deret atau materi-materi yang lain yang lebih inovatif, menarik, dan mudah untuk digunakan (usable). Model ini juga dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk melakukan pengkajian dan pengembangan yang lebih lanjut sehingga diperoleh model sejenis yang lebih baik. Adapun pengembangannya sebaiknya memperhatikan kelemahan-kelemahan model pembelajaran yang sudah ada. 3. Pengembang Sebaiknya pengembang dari model ini memodifikasi atau menambahkan masalah-masalah open endedill-structured yang lebih variatif dan menarik motivasi belajar matematik siswa.
DAFTAR RUJUKAN Ardian. 2007. Pengembangan Model Pembelajaran Brainstorming untuk Meningkatkan Kreatifitas mahasiswa pada Matakuliah Praktik Fabrikasi. Laporan Hasil Penelitian. Yogyakarta: UNY Press. As‟ari. 2013. Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Pelajaran Matematika: Seperti Apa Wujudnya?. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Jurusan Matematika “Vektor” FMIPA UM, Oktober 2013. Azis, R. 2010. Psikologi Pendidikan. Malang: UIN-Maliki Press. Carberry, A.R. 2008. Learning by Teaching as a Pedagogical Approach and Its Implications on Engineering Education, (Online), (http://advances.asee.org/vol03/issue02/papers/aeevol03-issue02-p15.pdf), diakses 22 Desember 2014. F. Viseu & I.B. Oliveria. 2012. Open-ended task in the promotion of Classroom Communication in Mathematics. International Electronic Journal of Elementary Education, 4(2), 287-300. Jonassen & Hung. 2008. All Problems are Not Equal: Implications for Problem-Based Learning. Interdisciplinary Journal of Problem-Based Learning, 2 (2), 6-28. Kemdikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 70 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK. Jakarta: Depdikbud. Lee, Kang Sup; Hwang, Dong-jou & Seo, Jong Jin. 2003. A Development of the Test for Mathematical Creative Problem Solving Ability. Journal of the Korea Society of Mathematical Education Series D:Research in Mathematical Education, (7)3, 163-189. Osana, H., Lacroix, G., Tucker, B. J., & Desrosiers, C. (2006). The Role of Content Knowledge and Problem Features on Preservice Teachers‟ Appraisal of Elementary Tasks. Journal of Mathematics Teacher Education, 9(4), 347-380. Parta, I Nengah. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Penghalusan Pengetahuan Matematika Mahasiswa Calon Guru melalui Pengajuan Pertanyaan. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Plomp, Tj. (1997). Educational Design: Introduction. From Tjeerd Plomp (eds). Educational &Training System Design: Introduction. Design of Education and Training (in Dutch).Utrecht (the Netherlands): Lemma. Netherland. Faculty of Educational Science andTechnology, University of Twente. Rohim, dkk. 2012. Penerapan Model Discovery Terbimbing pada Pembelajaran Fisika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Unnes Physics Education Journal, 1 (1): 1-5. Sa‟dijah, Cholis. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Silver, E. A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM) – The International Journal on Mathematics Education, 29(3), 75-80. Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud. Suprihatiningrum. 2013. Strategi Pembelajaran: Teori dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 212
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Suyono, dkk. 2011. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Thobroni & Mustofa. 2011. Belajar dan Pembelajaran: Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
213
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PROSES KONEKSI MATEMATIKA SISWA SMK PGRI 7 MALANG DALAM MENYELESAIKAN MASALAH BERDASARKAN PEMAHAMAN SKEMP Deni Hamdani, Subanji, dan Santi Irawati Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian ini mengkaji proses koneksi matematika siswa dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman Skemp, yakni pemahaman relasional dan pemahaman intrumental. Proses koneksi matematika yang terjadi dikaji dengan cara memberikan Lembar Tugas Individu (LTI) dan wawancara sesuai dengan tahapan Polya. Pengambilan data penelitian menggunakan metode Think-Out-Loud (TOL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada LTInomor 1, semua subjek kelompok berkategori pemahaman relasional, dan pada LTI nomor 2, subjek kelompok 1 memiliki pemahaman relasional, sedangkan subjek kelompok 2 memiliki pemahaman instrumental. Proses koneksi matematika subjek dengan pemahaman relasional dapat mengontruksi hubungan antar konsep matematika, baik antar materi matematika, dan di dalam materi matematika, sedangkan proses koneksi matematika subjek dengan pemahaman instrumental dapat mengontruksi hubungan antar konsep matematika, baik antar materi matematika, dan di dalam materi matematika setelah diberikan stimulus ide penyelesaian. Kata kunci: Koneksi Matematika, Menyelesaikan Masalah, Pemahaman Skemp
NCTM (dalam Walle, 2007). Prinsip pembelajaran menyatakan bahwa “para siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Sedangkan prinsip pengajaran menyatakan “mengajar matematika yang efektif memerlukan pemahaman tentang apa yang siswa ketahui dan perlukan untuk belajar dan kemudian memberi tantangan dan mendukung mereka untuk mempelajarinya dengan baik”. Prinsip-prinsip di atas, mengindikasikan bahwa penting siswa memahami pengetahuan sebelumnya untuk membangun pengetahuan yang baru. Siswa perlu berfikir aktif untuk dapat belajar, di dalam kelas siswa harus didorong untuk bergulat dengan ide baru, mencari koneksi antar ide dan menganalisa idenya sendiri maupun ide temannya. Hal ini sesuai dengan pendapat House, et. all (dalam Walle, 2007) yang mendefinisikan pemahaman sebagai ukuran kualitas dan kuantitas hubungan suatu ide dengan ide yang telah ada. Pemahaman tergantung pada ide yang sesuai yang telah dimiliki dan tergantung pada pembuatan hubungan baru antar ide. Selanjutnya, Skemp (1976) membedakan menjadi dua macam pemahaman, yakni pemahaman relasional dan pemahaman instrumental. Pemahaman relasional didefinisikan sebagai “knowing what to do and why” dan pemahaman instrumental didefinisikan sebagai “rules without reasons.”Tahun 1987, Skemp merevisi pengkategorian dan definisi tentang pemahaman dengan memasukkan komponen pemahaman formal, di samping pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Skemp mendefinisikan: Instrumental understanding is the ability to apply an appropriate remembered rule to the solution of a problem without knowing why the rule works. Relational understanding is the ability to deduce specific rules or procedures from more general mathematical relationships. Formal understanding is the ability to connect mathematical symbolism and notation with relevant mathematical ideas and to combine these ideas into chains of logical reasoning.
Dari definisi ini terlihat bahwa istilah “knowing” dalam definisi sebelumnya, diganti dengan istilah “ability”. Jadi menurut Skemp, pemahaman merupakan kemampuan (ability). Selanjutnya Skemp (1987) menulis “to undertand something means to assimilate it into an appropriate schema.” Jadi terlihat adanya perbedaan antara pemahaman dengan memahami sesuatu. Pemahaman dikaitkan dengan “kemampuan (ability),” dan memahami sesuatu dikaitkan dengan “asimilasi” dan “suatu skema yang cocok (an appropriate schema)”. Skema diartikan oleh Skemp sebagai grup konsep-konsep yang saling terhubung, masing-masing konsep dibentuk dari abstraksi sifat-sifat yang invarian dari input sensori motor atau dari konsep lainnya. Hubungan antara, konsep-konsep ini dikaitkan oleh suatu relasi atau transformasi. 214
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Lebih lanjut Skemp menyatakan pemahaman instrumental sejatinya belum termasuk pada kategori pemahaman, sedangkan pemahaman relasional memang benar sudah termasuk pada kategori pemahaman; sebagaimana dinyatakan oleh Skemp (1989) sebagai berikut : … by calling them „relational understanding‟ and „instumental understanding‟. By the former is meant what I, and probably most readers of this article, have always meant by understanding: knowing both what to do and why. Instrumental understanding I would until recantly not have regarded as understanding at all. It is what I have in the past described as „rules without reasons‟.
Siswa yang berusaha memahami secara relasional akan mencoba mengaitkan konsep baru dengan konsep-konsep yang dipahami untuk dikaitkan dan kemudian merefleksi keserupaan dan perbedaan antara konsep baru dengan pemahaman sebelumnya. Teori yang menyarankan bahwa anak-anak harus aktif dalam mengembangkan pemahamannya adalah teori kontruktivisme. Konstruktivisme menolak bahwa anak-anak adalah lembaran putih yang kosong. Anak-anak tidak menyerap ide-ide yang diberikan gurunya, tetapi mereka adalah kreator pengetahuan (Walle, 2007). Prinsip dasarnya adalah anak-anak mengkontruksi sendiri pengetahuannya, untuk mengkontruksi sesuatu dalam dunia nyata diperlukan alat-alat, bahan dan usaha. Begitu pula dengan bagaimana kita mengkonstruksi suatu ide. Alat-alat yang diperlukan untuk membangun pemahaman adalah ide-ide yang telah ada, yakni pengetahuan yang telah dimiliki.
Gambar 1. Pengkontruksian Ide-ide
Gambar di atas adalah metafora untuk pengkontruksian ide Walle (2007). Titik-titik biru menyatakan ide-ide yang telah ada. Titik merah adalah ide yang muncul, yakni ide yang dikontruksi. Apa saja ide-ide (titik-titik) yang digunakan dalam pengontruksian perlu dikaitkan dengan ide-ide baru, karena ide-ide baru tersebutlah yang memberi arti terhadap ide-ide yang telah ada. Anak yang satu dengan yang lainnya akan menggunakan ide yang berbeda untuk memberi arti terhadap ide baru yang sama, yang penting adalah bahwa pengontruksian sebuah ide hampir pasti akan berbeda bagi setiap anak, meskipun dalam suasana atau kelas yang sama. Lebih lanjut standar proses dalam NCTM (2000), yang menguraikan tentang ide adalah standar koneksi, yakni standar yang berkenaan dengan hubungan di dalam dan antar ide matematika, dengan tujuan membantu siswa melihat bagaimana suatu ide dalam matematika dibangun di atas ide lain. Koneksi matematika diilhami oleh karena ilmu matematika tidaklah terpartisi dalam berbagai topik yang saling lepas, namun matematika merupakan satu kesatuan. Siswa yang mampu mengkaitkan ide-ide matematika diyakini pemahaman matematikanya akan semakin dalam dan bertahan lama karena mereka mampu melihat keterkaitan antar topik di dalam matematika, dengan konteks selain matematika, dan dengan pengalaman hidup seharihari. Dalam mengkaji proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah, didasarkan pada proses pemahaman Skemp, baik itu pemahaman relasional maupun pemahaman instrumental. Dengan demikian proses koneksi matematika terjadi pada proses pemahaman, karena disebutkan bahwa pemahaman tergantung pada ide yang sesuai yang telah dimiliki dan tergantung pada pembuatan hubungan baru antar ide. Hal ini berkaitan dengan ungkapan Mousley (2004) yang mengatakan terjadinya proses koneksi di dalam pemahaman diantara aspek pengalaman, pengetahuan, dan skill. Proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman Skemp diperoleh dari wawancara penyelesaian masalah dengan tahapan Polya. Proses koneksi metematika dikaji menggunakan “mapping mathematics” (Eisenmann dan Otten, 2011), dan “Concept Maps” (McGowen dan Tall, 1999), sedangkan proses pemahaman skemp dikaji menggunakan “jaringan ide” (Walle, 2007). 215
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif, dan jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif eksploratif. Bertempat di SMK PGRI 7 Malang. Data yang akan dikumpulkan meliputi: a) lembar jawaban subjek penelitian, dan b) hasil rekaman suara subjek penelitian. Sumber data adalah siswa kelas XII yang terdiri dari 3 orang siswa. Instrumen utama adalah peneliti sendiri yang dipandu dengan lembar tugas individu. Data-data dikumpulkan dengan menggunakan metode think out lounds (Olson, Duffi, dan Mack, 1988). Selama proses wawancara, masing-masing subjek diminta mengungkapkan dengan keras apa yang ia pikirkan dalam menyelesaikan lembar tugas individu. Peneliti merekam ungkapan masing-masing subjek selama proses penyelesaian lembar tugas individu, mulai dari tahap memahami soal sampai dengan memeriksa kembali hasil penyelesaian. Data yang terkumpul, dianalisis menggunakan teknik model alir (flow model) dengan tahap: a) mereduksi, b) menyajikan data, c) menarik kesimpulan (Miles dan Huberman, 1994). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil kajian dan pendeskripsian dalam penelitian ini, akan dipaparkan kelompok subjek penelitian yang memiliki karateristik yang berbeda. Karakteristik subjek dalam penelitian ini, antara lain subjek kelompok 1, yang terdiri dari S1, dan S2, dan subjek kelompok 2, yakni S3. Proses koneksi matematika berdasarkan pemahaman Skemp Pemahaman subjek dicari dengan mewawancarai masing-masing subjek sesuai dengan tahapan Polya, wawancara ini dilakukan setelah memberikan dan mengoreksi hasil jawaban subjek dalam menjawab LTI tersebut. Hasil wawancara yang dipaparkan sebanyak 2 subjek saja, yakni: S1 dari subjek kelompok 1, dan S3 dari subjek kelompok 2. Hasil yang diperoleh sebagai berikut: Subjek 1 (S1) Pemahaman yang dimiliki S1 dalam menyelesaikan LTI nomor 1 adalah pemahaman relasional. Terlihat dari cara mencari titik perpotongan dua garis yang memenuhi persamaan 𝑥 − 2𝑦 = 4 dan 3𝑥 + 2𝑦 = 8 menggunakan sifat invers matriks, metode grafik, dan mengetahui cara mencari titik perpotongan dua garis tersebut menggunakan metode subtitusi dan eliminasi; mencari gradien garis 𝑙1 yang tegak lurus dengan menganggap bahwa titik 𝑂 adalah titik asal yang berkoordinat 0,0 ; mencari persamaan garis dari 𝑙2 yang melalui titik 𝐵 2,2 dan tegak lurus pada 𝑙1 ; dan memeriksa kembali hasil jawaban yang diperoleh.Bentuk pemahaman yang dimaksud dapat dilihat dari gambar di bawah ini: M 2 a
2
2 a
2 a
1
2
1 a
2
1 b
3 a 3 b
3
1
1 c
3
1
4
2
5
1 2
1 d
4
1 e
1 3
4 4 a
4 b
4 c
4 d
6
4 e
4
S
Gambar 2. Proses koneksi matematika S1 dalam Menyelesaikan LTI Nomor 1 berdasarkan Pemahaman Skemp
216
3
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Keterangan Simbol Arti simbol Soal
Ide-ide penyelesaian
No 1
1 1a 1b 1c 1d 1e 2 2a 2a1 2a2 3 3a 3b 4 4a 4b 4c 4d 4e
Artinya jika titik 𝐴 merupakan titik perpotongan dua garis yang memenuhi persamaan 𝑥 − 2𝑦 = 4 dan 3𝑥 + 2𝑦 = 8 dan garis 𝑙1 adalah garis yang melalui titik 𝐴 dan titik 𝑂, maka persamaan garis dari 𝑙2 yang melalui 𝐵 2,2 dan tegak lurus pada 𝑙1 adalah ... titik 𝐴 sifat invers matriks metode grafik metode subtitusi metode eliminasi metode determinan gradien garis 𝑙1 gradien 𝐴𝑂 atau 𝑚1 titik 𝐴 titik 𝑂 persamaan garis titik 𝐵 2,2 gradien garis 𝑙1 memeriksa kembali hasil jawaban subtitusi nilai 𝑥, 𝑦 ke dalam matriks𝑅 = 𝑃𝑄 subtitusi nilai 𝑥, 𝑦 ke dalam persamaan 𝑥 − 2𝑦 = 4 dan 3𝑥 + 2𝑦 = 8 menjabarkan persamaan garis untuk mendapatkan gradien 𝑚2 subtitusi 𝑚2 ke dalam sifat gradien garis tegak lurus 𝑚1 𝑚2 = −1 untuk mendapatkan gradien 𝑚1 atau gradien 𝑚𝐴𝑂 subtitusi 𝑚𝐴𝑂 dan titik 𝑂 ke dalam 𝑦2 − 𝑦1 𝑚𝐴𝑂 = 𝑥2 − 𝑥1
Arah
Keterangan Simbol
Arti simbol Diketahui
Koneksi konsep
antar
Hasil
Koneksi antar materi Stimulus Mulai/selesai
No 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 -
Artinya persamaan 1 dan persamaan 2 garis 𝑙1 𝑙1 tegak lurus garis 𝑙2 melalui titik 𝐵 2,2 sifat invers matriks metode subtitusi metode eliminasi metode grafik titik 𝑂 0,0 grafik persamaan garis titik potong A gradien 𝐴𝑂 gradien 𝑚2 yang tegak lurus atau gradien garis 𝐴𝑂 yang tegak lurus persamaan garis mengubah bentuk SPL2V menjadi bentuk matriks
-
metode determinan
M S
Mulai Selesai
Operasi Arah Pemahaman skemp
Pemahaman relasional
Dari pemahaman yang dimiliki S1, dapat dikaji proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman relasional, yakni: S1 dapat menghubungkan 217
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
konsep materi SPL2V dengan konsep materi sifat invers matriks; menghubungkan antar konsep (metode subtitusi, metode eliminasi, dan grafik), mengetahui kembali hubungan konsep materi SPL2V dengan konsep materi matriks setelah diberikan stimulus solusi penyelesaian SPL2V menggunakan metode determinan; mencari gradien garis 𝑙1 yang tegak lurus dengan menganggap bahwa titik 𝑂 adalah titik asal yang berkoordinat 0,0 . Selanjutnya pemahaman yang dimiliki S1 dalam menyelesaikan LTI nomor 2 adalah pemahaman relasional. Terlihat dari cara mencari nilai 𝑎dengan menggunakan metode penyelesaian persamaan kuadrat (faktorisasi, dan rumus kuadrat); mencari nilai 𝑐 dengan mensubtitusi nilai 𝑎 ke dalam persamaan 1 + 𝑎 + 𝑎2 = 13 atau 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13; mencari nilai 𝑏 menggunakan rumus suku ke-𝑛 barisan aritmetika dan sifat selisih barisan aritmetika; mencari det 𝐴 dengan mensubtitusikan nilai 𝑎, 𝑏, 𝑐 ke dalam matriks 𝐴; dan memeriksa hasil jawaban dengan mensubtitusikan nilai 𝑎, 𝑐 ke dalam persamaan 1 + 𝑎 + 𝑎2 = 13 atau 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13, kemudian mencocokkan dengan rasio barisan geometri yang selalu tetap; mensubtitusi nilai 𝑏, 𝑐 ke dalam konsep selisih barisan aritmetika; mengecek nilai 𝑎 = 3 dan 𝑐 = 9 menggunakan rumus suku ke-n barisan geometri; mengecek kebenaran pernyataan „bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk barisan geometri berjumlah 13‟ menggunakan rumus jumlah 𝑛 suku deret geometri; mengecek nilai 𝑎 = 3 adalah suku tengah dari bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk barisan geometri berjumlah 13‟ menggunakan rumus suku tengah barisan geometri; dan mengecek nilai 𝑏 = 5 dari bilangan positif 1, 𝑏, 𝑐 yang membentuk barisan aritmetika menggunakan rumus suku tengah barisan aritmetika.Bentuk pemahaman yang dimaksud dapat dilihat dari gambar di bawah ini: M 2 a 1a
1 a2
1
2
1
3 a
3
1
1 a
2 2
1
9 2
a
b
4
d
c
5
5 a
5 b
3
3 b
5 c
2
5 d
5 e
7
4
4 a
1
2
3
6
5 3
1
5 f
8 1 4
S
Gambar 3. Proses koneksi matematika S1 dalam menyelesaikan masalah LTI nomor 2 berdasarkan pemahaman Skemp. Keterangan Simbol Arti simbol Soal
Ide-ide penyelesaian
No 1
Artinya
1 𝑐 , jika bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk 𝑏 𝑑 barisan geometri berjumlah 13 dan bilangan positif 1, 𝑏, 𝑐 membentuk barisan aritmetika. Maka determinan matriks 𝐴adalah ... nilai suku 𝑎 rasio barisan geometri perkalian bilangan berpangkat pada matriks 𝐴 =
1 1a 1a1
218
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1a2 a b c d
persamaan kuadrat metode faktorisasi metode rumus kuadrat metode melengkapi kuadrat metode grafik nilai suku 𝑐 mensubtitusi nilai 𝑎 ke dalam persamaan 1 + 𝑎 + 𝑎2 = 13 atau 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13 nilai suku 𝑏 rumus suku ke-n barisan aritmetika selisih barisan aritmetika det 𝐴 subtitusi nilai suku 𝑎, 𝑏, 𝑐 ke dalam matriks 𝐴 memeriksa kembali hasil jawaban subtitusi nilai 𝑎, 𝑐 ke dalam persamaan 1 + 𝑎 + 𝑎2 = 13 atau 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13 subtitusi nilai 𝑏, 𝑐 ke dalam konsep selisih barisan aritmetika mengecek nilai 𝑎 = 3 dan 𝑐 = 9 menggunakan rumus suku ke-n barisan geometri mengecek kebenaran pernyataan „bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk barisan geometri berjumlah 13‟ menggunakan rumus jumlah 𝑛 suku deret geometri mengecek nilai 𝑎 = 3 adalah „suku tengah dari bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk barisan geometri berjumlah 13‟ menggunakan rumus suku tengah barisan geometri mengecek nilai 𝑏 = 5 dari bilangan positif 1, 𝑏, 𝑐 yang membentuk barisan aritmetika menggunakan rumus suku tengah barisan aritmetika
2 2a 3 3a 3b 4 5 5a 5b 5c 5d
5e
5f
Arah
Keterangan: Simbol
Arti simbol Diketahui
3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 1
Artinya matriks 𝐴 bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk barisan geometri berjumlah 13. bilangan positif 1, 𝑏, 𝑐 adalah barisan aritmetika. rasio barisan geometri selalu tetap metode faktorisasi rumus kuadrat suku ke-𝑛 barisan aritmetika selisih atau beda barisan aritmetika selalu tetap suku ke-𝑛 barisan geometri jumlah 𝑛 deret geometri suku tengah deret geometri suku tengah deret aritmetika nilai suku 𝑎 = 3 nilai suku𝑐 = 𝑎2 = 32 = 9 nilai suku 𝑏 = 5 det 𝐴 = −6 perkalian bilangan berpangkat
2
persamaan kuadrat
Stimulus
1
metode melengkapi kuadrat
Mulai/selesai
2 M S
metode grafik Mulai Selesai
Koneksi antar konsep
Hasil
Koneksi antar materi
No 1 2
Operasi Arah Pemahaman skemp
pemahaman relasional
219
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari pemahaman yang dimiliki S1, dapat dikaji proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman relasional, yakni: S1 dapat menghubungkan konsep materi rasio barisan geometri ke konsep materiperkalian bilangan berpangkat yang menghasilkan konsep persamaan kuadrat, kemudian menyelesaikannya dengan konsep metode faktorisasi dan rumus kuadrat; mengecek kembali nilai 𝑎, 𝑐 menggunakan rumus suku ke-𝑛 barisan geometri; mengecek kebenaran bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 yang membentuk barisan geometri berjumlah 13 menggunakan rumus jumlah 𝑛 suku deret geometri; mencari nilai 𝑏dengan menghubungkan konsep selisih barisan aritmetika, dan menyelesaikan dengan rumus suku ke-n barisan aritmetika. Mengecek kembali nilai 𝑏 menggunakan rumus suku tengah barisan aritmetika; dan terakhir mencari determinan matriks 𝐴. Subjek 3 (S3) Pemahaman yang dimiliki S3 dalam menyelesaikan LTI nomor 1 adalah pemahaman relasional. Terlihat dari cara mencari titik perpotongan dua garis yang memenuhi persamaan 𝑥 − 2𝑦 = 4 dan 3𝑥 + 2𝑦 = 8 menggunakan metode subtitusi, metode grafik, dan metode eliminasi; mencari gradien garis 𝑙1 yang tegak lurus dengan menganggap bahwa titik 𝑂 0,0 ; mencari persamaan garis dari 𝑙2 yang melalui titik 𝐵 2,2 dan tegak lurus pada 𝑙1 ; dan memeriksa kembali hasil jawaban yang diperoleh (subtitusi nilai 𝑥, 𝑦 ke dalam persamaan 1 dan 2; menjabarkan persamaan garis sehingga diperoleh 𝑚2 ; subtitusi 𝑚2 ke sifat gradien dua garis yang tegak lurus untuk mendapat 𝑚1 ; subtitusi nilai 𝑚1 dan titik 𝑂 0,0 ke dalam konsep penyelesaian gradien dua garis untuk mendapatkan nilai 𝑥,𝑦).Bentuk pemahaman yang dimaksud dapat dilihat dari gambar di bawah ini: M 2a
2a
2 a
2
1
1
2
1a
1b
3
1
3 a
3
2
1
2
4
3 b
1c
2
3
1
4 3
4 4 a
4 b
4 d
4 c
4
S
Gambar 4. Proses koneksi matematika S3 dalam menyelesaikan LTI nomor 1 berdasarkan pemahaman Skemp Keterangan Simbol Arti simbol Soal
Ide-ide penyelesaian
No 1
1 1a 1b 1c 2
Artinya jika titik 𝐴 merupakan titik perpotongan dua garis yang memenuhi persamaan 𝑥 − 2𝑦 = 4 dan 3𝑥 + 2𝑦 = 8 dan garis 𝑙1 adalah garis yang melalui titik 𝐴 dan titik 𝑂, maka persamaan garis dari 𝑙2 yang melalui 𝐵 2,2 dan tegak lurus pada 𝑙1 adalah ... titik 𝐴 metode subtitusi metode grafik metode eliminasi gradien garis 𝑙1
220
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2a 2a1 2a2 3 3a 3b 4 4a 4b 4c 4d
gradien 𝐴𝑂 atau 𝑚1 titik 𝐴 titik 𝑂 persamaan garis titik 𝐵 2,2 gradien garis 𝑙1 memeriksa kembali hasil jawaban subtitusi nilai 𝑥, 𝑦 ke dalam persamaan 𝑥 − 2𝑦 = 4 dan 3𝑥 + 2𝑦 = 8 menjabar persamaan garis untuk mendapatkan gradien 𝑚2 subtitusi 𝑚2 ke dalam sifat gradien garis tegak lurus 𝑚1 𝑚2 = −1 untuk mendapatkan gradien 𝑚1 atau gradien 𝑚𝐴𝑂 𝑦 −𝑦 subtitusi 𝑚𝐴𝑂 dan titik 𝑂 ke dalam 𝑚𝐴𝑂 = 2 1 𝑥 2 −𝑥 1
Arah
Keterangan: Simbol
Arti simbol Diketahui
Koneksi antar konsep
Hasil
Mulai/selesai
No 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 M S
Artinya persamaan 1 dan persamaan 2 garis 𝑙1 𝑙1 tegak lurus garis 𝑙2 melalui 𝐵 2,2 metode subtitusi metode eliminasi metode grafik titik 𝑂 0,0 titik potong A gradien 𝐴𝑂 gradien garis 𝐴𝑂 yang tegak lurus persamaan garis mulai selesai
Operasi Arah pemahaman skemp
pemahaman relasional
Dari pemahaman yang dimiliki S3, dapat dikaji proses koneksi matematika S3 dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman relasional, yakni: S3 menggunakan hubungan antarkonsep matematika, yaitu mencari nilai 𝑥 dan 𝑦 dengan menggunakan metode subtitusi, dan metode grafik; mencari gradien garis yang tegak lurus; mencari persamaan garis 𝑙2 yang melalui titik 𝐵 2,2 dan tegak lurus pada garis 𝑙1 . Selanjutnya pemahaman yang dimiliki dalam menyelesaikan LTI nomor 2 adalah pemahaman instrumental. Terlihat dari cara mencari nilai 𝑎, 𝑐dengan menggunakan metode coba-coba kemudian mencocokkan dengan rasio barisan geometri yang selalu tetap, sehingga memungkinkan peneliti untuk memberikan stimulus agar S3 dapat menyelesaikan LTI seperti subjek lainnya; dari hasil mencoba-coba tersebut S3 dapat mencari nilai 𝑏 menggunakan sifat selisih barisan aritmetika; kemudian mencari det 𝐴 dengan mensubitusikan nilai 𝑎, 𝑏, 𝑐 ke dalam matriks 𝐴. Bentuk pemahaman yang dimaksud dapat dilihat dari gambar di bawah ini:
221
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2 b
M
2 a
2
2 1a
3
1
3 a
9
4
3 a
4
5
3
1
7
3 b
1
2 8
2
3
3
1 6
4
S
Gambar 5. Proses koneksi matematika S3 dalam menyelesaikan LTI nomor 2 berdasarkan pemahaman Skemp. Keterangan Simbol Arti simbol Soal
Ide-ide penyelesaian
No 1
1
2
3 4
Artinya
1 𝑐 , jika bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk 𝑏 𝑑 barisan geometri berjumlah 13 dan bilangan positif 1, 𝑏, 𝑐 membentuk barisan aritmetika. Maka determinan matriks 𝐴 adalah ... nilai suku 𝑎 dan 𝑐 1a subtitusi 𝑎 > 1 ke persamaan1 + 𝑎 + 𝑐 = 13, kemudian dicocokkan dengan rasio barisan geometri nilai suku 𝑏 2a selisih barisan aritmetika 2b rumus suku ke-n barisan aritmetika det 𝐴 3a subtitusi nilai suku 𝑎, 𝑏, 𝑐 ke dalam matriks 𝐴 memeriksa kembali hasil jawaban 4a subtitusi nilai 𝑎, 𝑐 ke dalam persamaan 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13 4b subtitusi nilai 𝑏 dan 𝑐 ke bentuk sifat selisih barisan aritmetika yang selalu tetap. pada matriks 𝐴 =
Arah
Keterangan: Simbol
Arti simbol Diketahui
Koneksi antar konsep
No 1 2 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Artinya matriks 𝐴 bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk barisan geometri berjumlah 13. bilangan positif 1, 𝑏, 𝑐 adl barisan aritmetika. rasio barisan geometri selalu tetap metode faktorisasi rumus kuadrat (tapi lupa) selisih atau beda barisan aritmetika selalu tetap suku ke-n barisan aritmetika suku ke-n barisan geometri jumlah n deret geometri suku tengah deret geometri suku tengah deret aritmetika
222
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hasil
1 2 3 4 -
Stimulus Coba-coba
nilai a=3 nilai c=a2=32=9 nilai b=5 determinan matriks A=-6 persamaan kuadrat mengambil sebarang nilai a>1
Mulai/selesai
M S
mulai selesai
Arah operasi Pemahaman skemp
Pemahaman instrumental
Dari pemahaman yang dimiliki S3. Terlihat S3 menggunakan cara coba-coba untuk mencari nilai 𝑎 dan mensubtitusikan nilai 𝑎 ke 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13 dengan tujuan untuk mendapatkan nilai 𝑐, kemudian mencocokkannya dengan konsep rasio barisan geometri; S3 mencari nilai 𝑏dengan menghubungkan konsep barisan aritmetika dengan selisih atau beda dari suatu barisan aritmetika; dan terakhir menyelesaikan permasalahan determinan matriks 𝐴. PEMBAHASAN Hasil analisis LTI diperoleh bentuk proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman Skemp subjek kelompok, yakni: LTI nomor 1 Ide-ide Penyelesaian Mencari titik 𝐴
Mencari gradien 𝑙1 yang tegak lurus Mencari persamaan garis Memeriksa kembali hasil pekerjaan
Kriteria skemp
pemahaman
Subjek Kelompok 1 S1 menggunakan sifat invers matriks, metode grafik, metode subtitusi, dan eliminasi; stimulus metode determinan titik 𝑂 0,0 , dan memperhatikan syarat gradien dua garis yang tegak lurus 𝑦 − 6𝑥 + 10 = 0
Subjek Kelompok 2 Subjek 3 menggunakan metode subtitusi, metode grafik, dan metode eliminasi titik 𝑂 0,0 , dan memperhatikan syarat gradien dua garis yang tegak lurus. 𝑦 = 2 3𝑥 − 5
subtitusi nilai 𝑥, 𝑦 ke dalam matriks𝑅 = 𝑃𝑄; subtitusi nilai 𝑥, 𝑦 ke dalam persamaan 𝑥 − 2𝑦 = 4 dan 3𝑥 + 2𝑦 = 8;
subtitusi nilai 𝑥, 𝑦 ke dalam persamaan 𝑥 − 2𝑦 = 4 dan 3𝑥 + 2𝑦 = 8;
menjabarkan persamaan garis untuk mendapatkan gradien 𝑚2 ;
menjabarkan persamaan garis untuk mendapatkan gradien 𝑚2 ;
subtitusi 𝑚2 ke dalam sifat gradien garis yang tegak lurus 𝑚1 𝑚2 = −1 untuk mendapatkan gradien 𝑚1 atau gradien 𝑚𝐴𝑂 ;
subtitusi 𝑚2 ke dalam sifat gradien garis yang tegak lurus 𝑚1 𝑚2 = −1 untuk mendapatkan gradien 𝑚1 atau gradien 𝑚𝐴𝑂 ;
subtitusi 𝑚𝐴𝑂 dan titik 𝑂 ke dalam 𝑦2 − 𝑦1 𝑚𝐴𝑂 = 𝑥2 − 𝑥1 Pemahaman relasional
subtitusi 𝑚𝐴𝑂 dan titik 𝑂 ke dalam 𝑦2 − 𝑦1 𝑚𝐴𝑂 = 𝑥2 − 𝑥1 Pemahaman relasional
Dari bentuk ide-ide penyelesaian masing-masing kelompok dapat dikatakan bahwa subjek kelompok 1 dan kelompok 2 memiliki pemahaman Skemp yang sama, yakni pemahaman relasional.
223
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
LTI nomor 2 Ide-ide Penyelesaian Mencari nilai suku 𝑎
Mencari nilai suku 𝑐 Mencari nilai suku 𝑏 Mencari det 𝐴 Memeriksa kembali hasil pekerjaan
Subjek Kelompok 1 S1 Menggunakan metode faktorisasi, rumus kuadrat, dan stimulus cara penyelesaian menggunakan metode melengkapi kuadrat, dan grafik subtitusi nilai 𝑎 ke dalam persamaan 1 + 𝑎 + 𝑎2 = 13 atau 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13 menggunakan rumus suku ke-n barisan aritmetika dan sifat selisih barisan aritmetika mensubtitusikan nilai suku 𝑎, 𝑏, 𝑐 ke dalam matriks 𝐴 subtitusi nilai 𝑎, 𝑐 ke dalam persamaan 1 + 𝑎 + 𝑎2 = 13 atau 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13;
Subjek Kelompok 2 S3 mencocokkan sebarang positif nilai 𝑎 > 1
subtitusi nilai 𝑏, 𝑐 ke dalam konsep selisih barisan aritmetika;
subtitusi nilai 𝑏 dan 𝑐 ke bentuk sifat selisih barisan aritmetika yang selalu tetap.
bilangan
hasil pencocok-an sebarang bilangan positif nilai 𝑎 > 1 menggunakan konsep selisih barisan aritmetika mensubtitusikan nilai suku1, 𝑎, 𝑏, 𝑐ke dalam matriks 𝐴 subtitusi nilai 𝑎, 𝑐 ke dalam persamaan 1 + 𝑎 + 𝑐 = 13;
mengecek nilai 𝑎 = 3 dan 𝑐 = 9 menggunakan rumus suku ke-n barisan geometri; mengecek kebenaran pernyataan „bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk barisan geometri berjumlah 13‟ menggunakan rumus jumlah 𝑛 suku deret geometri; mengecek nilai 𝑎 = 3 adalah „suku tengah dari bilangan positif 1, 𝑎, 𝑐 membentuk barisan geometri berjumlah 13‟ menggunakan rumus suku tengah barisan geometri;
kriteria skemp
pemahaman
dan mengecek nilai 𝑏 = 5 dari bilangan positif 1, 𝑏, 𝑐 yang membentuk barisan aritmetika menggunakan rumus suku tengah barisan aritmetika Pemahaman relasional
Pemahaman instrumental
Bentuk pemahaman masing-masing subjek kelompok memberi gambaran pengetahuan yang telah dimiliki subjek dalam menyelesaikan suatu masalah, karena rata-rata subjek dalam penelitian ini sanggup menjawab pertanyaan yang disajikan dalam LTI penelitian ini. Ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami seorang kreator jika para fasilitator mampu memberi kemudahan kepada kreator sedemikian sehingga para kreator dapat mengkaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Hal ini sependapat dengan ungkapan Ausubel (dalam Orton 2004: 24): “If had to reduce all of educational psychology to just on principle, I would say this: the most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly.” Jadi dengan memperhatikan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dapat mencegah siswa belajar dengan hafalan. Hal ini sesuai dengan ungkapan Bell (dalam Shadiq 2012: 7); “…, if the learner‟s intention is to memorise it verbatim, I, e., as a series of arbitrary related word, both the learning process and the learning outcome must necessarily be rote and meaningless.” Pengetahuan atau pengalaman baru yang diperoleh dapat berkaitan dengan pengetahuan lama siswa. Hal ini sesuai dengan definisi pemahaman menurut Back House, et.al (dalam Walle, 2007) “understanding can be defined as a measure of the quality and quantity of connections 224
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
that an idea has with existing ideas. Understanding is never an all or nothing proposition. It depends on the existence of appropriate ideas and on the creation of new connections.” Proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah berdasarkan Pemahaman Skemp Dari pentuk pemahaman yang dimiliki dapat dikaji proses koneksi masing-masing subjek kelompok, yakni sebagai berikut: LTI nomor 1 Indikator koneksi Mencari titik 𝐴
Mencari gradien 𝐴𝑂 yang tegak lurus
Subjek Kelompok 1 S1 menghubungkan konsep materi SPL2V dengan konsep sifat invers matriks; dan konsep penyelesaian SPL2V menggunakan metode subtitusi, eliminasi, dan grafik menggunakan konsep sifat gradien dua garis yang tegak lurus, dan titik 𝑂 0, 0 adalah titik pusat
Subjek Kelompok 1 S3 menggunakan konsep penyelesaian SPL2V, yakni metode subtitusi, eliminasi, dan grafik
Subjek Kelompok 1 S1 menghubungkan konsep rasio barisan geometri dengan konsep perkalian bilangan berpangkat, sehingga menghasilkan persamaan kuadrat, kemudian menyelesaikan dengan menggunakan metode faktorisasi, dan metode rumus kuadrat. subtitusikan nilai suku 𝑎ke dalam deret: 1 + 𝑎 + 𝑎2 = 1
Subjek Kelompok 1 S3 menghubungkan konsep rasio barisan geometri dengan perkalian bilangan berpangkat, sehingga menghasilkan konsep persamaan kuadrat; kemudian menyelesaikannya dengan metode faktorisasi (stimulus) subtitusikan nilai suku 𝑎ke dalam deret: 1 + 𝑎 + 𝑎2 = 13 (stimulus) menggunakan konsep selisih barisan aritmetika dengan suku ke-n barisan aritmetika
menganggap titik 𝑂 0,0 , dan memperhatikan syarat gradien dua garis yang tegak lurus
LTI nomor 2 Indikator koneksi Mencari suku 𝑎
nilai
Mencari suku 𝑐
nilai
Mencari suku 𝑏
nilai
menggunakan konsep suku ke-n barisan aritmetika, dan konsep selisih barisan aritmetika
Dari tabel di atas memperlihatkan hasil analisis lembar jawaban tugas individu masingmasing subjek kelompok penelitian menunjukkan adanya perbedaan proses koneksi matematika di dalam menyelesaikan masalah. Disebabkan karena informasi tentang suatu materi yang dimiliki oleh subjek tidak mampu membantu mengonstruksi suatu materi yang baru. Sehingga penting untuk membangun pemahaman siswa tentang hubungan antar ide-ide matematika. Hal ini sesuai dengan ungkapan Knut (2000) bahwa dengan mengkoneksikan materi matematika dapat membangun pemahaman siswa tentang adanya hubungan internal di dalam matematika. Hubungan internal matematika meliputi hubungan antara topik dalam matematika itu sendiri. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lawson (2000) bahwa penting untuk membantu siswa untuk mengetahui koneksi yang terjadi di dalam setiap materi untuk menyelesaikan permasalahan. Membangun pemahaman siswa diperlukan material, yakni ide-ide matematika sebelumnya. Ide-ide matematika itu sendiri diperoleh dari pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan menyelesaikan masalah dapat dikembangkan dengan: a) mengajari siswa dengan berbagai strategi; b) memberikan waktu yang cukup untuk siswa mencoba soal yang ada; c) mengajak siswa untuk menyelesaikan dengan cara lain; d) mengajak siswa untuk melihat kembali, melihat kemungkinan yang lain, mengatakan dengan bahasa sendiri, kemudian mengajak untuk mencari penyelesaian dengan cara yang lebih baik; e) jika berhadapan dengan materi sulit, tidak berarti harus menghindar. Tetapi gunakan cukup waktu untuk mengulang dan mengerjakan soal yang lebih banyak. Mulailah dengan mengerjakan soal serupa, dan kemudian soal-soal yang lebih menantang. Ini berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dodson dan Hollander (dalam Budi, 2006) yang mana menurut mereka, kemampuan menyelesaikan masalah yang harus ditumbuhkan adalah: a) kemampuan mengerti konsep; b) kemampuan untuk mencatat 225
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kesamaan, perbedaan, dan analogi; c) kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting dan memilih prosedur yang benar; d) kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan; e) kemampuan untuk menaksir dan menganalisis; f) kemampuan untuk memvisualisasikan dan menginterpretasi kuantitas atau ruang; g) kemampuan untuk memperumum berdasarkan beberapa contoh; h) kemampuan untuk mengganti metode yang telah diketahui; i) mempunyai kepercayaan diri yang cukup dan merasa senang terhadap materinya. KESIMPULAN Pemahaman masing-masing subjek kelompok pada proses penyelesaian LTI nomor 2 berbeda, yakni: Subjek kelompok 1 memiliki pemahaman relasional, dan Subjek kelompok 2 memiliki pemahaman instrumental; terdapat ide penyelesaian yang belum dikenal subjek, memungkinkan peneliti memberikan stimulus ide penyelesaian. Proses koneksi matematika yang terjadi dalam menyelesaian masalah berdasarkan pemahaman relasional dan pemahaman instrumental. Proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman relasional, yakni proses koneksi matematika S1, dan S3 dalam menyelesaikan LTI nomor 1, yakni: a) koneksi antar materi matematika, yakni: mencari titik potong 𝐴 dengan menghubungkan konsep materi SPL2V dengan konsep materi sifat invers matrik yang dibuat oleh S1; b) koneksi antar konsep matematika, yakni mencari titik potong 𝐴 dengan menghubungkan konsep SPL2V dengan konsep metode subtitusi, eliminasi, dan grafik; mencari gradien garis 𝑙1 yang tegak lurus dengan memperhatikan konsep sifat gradien dua garis yang tegak lurus, dan titik 𝑂 0, 0 adalah titik pusat, yang dibuat oleh S1, dan S3. Proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman relasional dalam menyelesaikan LTI nomor 2, yakni: a) koneksi antar materi matematika, yakni:S1 mengkoneksikan konsep rasio barisan geometri dengan konsep perkalian bilangan berpangkat, sehingga menghasilkan persamaan kuadrat; kemudian mencari nilai suku 𝑎 menggunakan metode faktorisasi, dan metode rumus kuadrat atau rumus ABC; b) koneksi antar konsep matematika, yakni: S1 mencari nilai suku 𝑏 menggunakan konsep suku ke-n barisan aritmetika, dan konsep selisih barisan aritmetika. Proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman instrumental, yakni proses koneksi matematika S3 dalam menyelesaikan LTI nomor 2, yakni: a) tidak terdapat koneksi antar materi matematika, dikarenakan S3 hanya memakai cara coba-coba untuk mencari nilai 𝑎 dan 𝑐. Namun setelah diberikan stimulus ide penyelesaian oleh peneliti, S3 mampu mengkoneksikan konsep rasio barisan geometri dengan perkalian bilangan berpangkat, sehingga menghasilkan konsep persamaan kuadrat; kemudian menyelesaikannya dengan menggunakan konsep penyelesaian dari persamaan kuadrat (faktorisasi);b) koneksi antar konsep matematika, yakni: mencari nilai suku 𝑏 menggunakan konsep suku ke-n barisan aritmetika, dan konsep selisih barisan aritmetika. Saran Saran dalam penelitian ini adalah: koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah antar materi matematika, dan antar konsep matematika berdasarkan pemahaman Skemp, sehingga memungkinkan peneliti selanjutnya untuk meneliti: 1) bagaimana proses koneksi matematika dalam menyelesaikan masalah lain berdasarkan pemahaman Skemp?, 2) bagaimana proses koneksi mata pelajaran matematika dengan mata pelajaran lain berdasarkan pemahaman Skemp?, 3) pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide penyelesaian dengan temannya, dan menumbuhkan kemampuan:a) mengerti konsep; b) mencatat kesamaan, perbedaan, dan analogi; c) mengidentifikasi elemen terpenting dan memilih algoritma yang benar; d) untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan; e) untuk menaksir dan menganalisis; f) untuk mengganti metode yang telah diketahui. DAFTAR RUJUKAN Budi, W.S, 2006. Langkah Awal Menuju ke Olimpiade Matematika, Jakarta: CV Ricardo. Eisenmann B.A & Otten S, 2011. Mapping Mathematics in Classroom Discourse. Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 42, No. 5, 451-485. Knuth, E.J., 2000. Student Understanding of the Cartesian connection: an Exploratory Study. Journal for research in mathematics education. Vol. 31. No.4, 500-508.
226
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Lawson, M.J., & Chinnappan, M. 2000. Knowledge Connectedness in Geometry Problem Solving, Journal for research in mathematics education. Vol. 31. No.4, 26-43 Miles, B., & Huberman, M. 1994. Data analysis: An expanded source book. Thousand Oaks, CA: Sage Mousley, J. 2004. An Aspect of Mathematical Understanding: The Notion of “Connected Knowing”. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol 3 pp 377–384. National Council of Teacher Mathematics, 2000. Principles and Standard for school mathematics. Reston, VA:Autor. Polya, G. 1973. How to Solve It. New Jersey: Princeton University. Shadiq, F, 2012. Buletin LIMAS Edisi 30 Nopember 2012. Yogyakarta: P4TK Matematika. Skemp R, 1976. Relational and Instrumental Understanding. Departemen of Education. University of Warwik. Skemp R, 1987. Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Skemp R, 1989. Mathematics in The Primary School. London: Routledge Falmer. McGowen, M., & Tall, D, 1999. Concept Maps & Schematic Diagrams as Devices for Documenting the Growth of Mathematical Knowledge. Published in Proceedings of PME23, Haifa, Israel, July 1999, vol. 3, pp. 281–288. Olson, G.M., Duffi, S.A, and Mack, R.L, 1988. Thinking-Out-Loud as a Method for Studying Real-Time Comprehension Processes. (pp. 253-286). Hills Dole, New Jersey. Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. Orton A. 2004. Learning Mathematics: Issues, theory, and classroom practice. London-New York: Continuum. Walle J.A. 2007: Elementary and Middle School Mathematics. Boston: Pearson Education, Inc.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN BANTUAN MAPLE UNTUK MENINGKATKAN KOMUNIKASI DAN REPRESENTASI PADAMATERI LIMIT FUNGSI Widoko, Cholis Sa’dijah, Makbul Muksar Universitas Negeri Malang Abstrak: Rendahnya komunikasi dan representasi matematis pada pembelajaran limit fungsi di SMK Negeri 1 Badegan Ponorogo menyebabkan rendahnya pemahaman siswa. Artikel ini membahas tentang implementasi pembelajaran kooperatif berbantuan mapleuntuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan representasi pada materi limit fungsi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proses pembelajaran komunikasi dan representasi siswa meningkat. Kata Kunci: Komunikasi, Representasi, Limit Fungsi, Maple.
Pada tahun pelajaran 2013/2014 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai memberlakukan kurikulum 2013 untuk menggantikan kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Ada banyak perubahan materi dalam pelajaran matematika Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)pada kurikulum 2013 ini. Ada beberapa materi yang pada kurikulum sebelumnya diberikan di kelas XI dan XII tetapi pada kurikulum 2013 diberikan di kelas X. Adanya penambahan dan perubahan materi tersebut memungkinkan implementasi kurikulum 2013 menimbulkan banyak masalah. Masalah tersebut bisa terjadi karena alokasi waktu pembelajaran di kelas yang ditentukan oleh Kemendikbudsama dengan tahun sebelumnya yaitu 4 jam pelajaran per minggu sedangkan jumlah materi lebih banyak. Dari wawancara yang peneliti lakukan dengan empat guru matematika SMK Negeri 1 Badegan Ponorogo didapatkan hasil bahwa mereka semua sependapatmateri limit fungsi adalah materi yang paling sulit untuk kelas X saat ini. Hal inidiperkuat dengan hasil belajar siswa kelas XII tahun pelajaran 2013/2014 yang menunjukkan 90% siswa memperoleh hasil dibawah 227
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kriteria ketuntatasan minimal (KKM) yang ditetapkan. Nilai rata – rata yang diperoleh adalah5,36jauh dibawah KKM yang ditetapkan yaitu 7,50. Nilai tertinggi yang diperoleh 7,00 dan yang terendah 3,00. Sementara itu dari survey yang peneliti lakukan pada siswa kelas XII SMK Negeri 1 Badegan Ponorogo diperoleh hasil 97% siswa menyatakan limit fungsi adalah materi yang sulit. Menurut pendapat mereka kesulitan tersebut terletak padabagaimana memahami konsep limit fungsidan penggambarannya. Mereka juga mengatakan bahwa bahasa dalam buku dan yang dipakai guru sulit dipahami. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa berinteraksi dengan baik dengan materi. Mereka tidak bisa mendiskusikan untuk mengkomunikasikan materi tersebut dengan teman – temannya untuk meningkatkan pemahaman. Komunikasi adalah bagian penting dari proses belajar matematika (The Literacy and Numeracy Secretariat, 2010:1). Komunikasi penting dalam hal sharing ide dan pemahaman antar siswa. Sedangkan cara bagaimana ide – ide matematika direpresentasikan penting untuk pemahaman dan penggunaan ide - ide tersebut. Ketika siswa memahami representasi matematis dan ide dibaliknya, mereka telah meningkatkan kemampuan matematikanya (NCTM, 2000).Rendahnya komunikasi dan representasi pada pembelajaran materi limit fungsi di SMK Negeri 1 Badegan Ponorogomenyebabkan siswa belajar tanpa pemahaman. Siswa hanya menghafal langkah – langkah pengerjaan yang dicontohkan guru, tanpa memahami konsep dan makna dari apa yang mereka kerjakan. Hal tersebut seperti terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Contoh Pekerjaan Siswa
Siswa hanya mengerjakan tanpa bisa mengevaluasi hasil kerja yang mereka dapatkan. Ketika terjadi kesalahan langkah atau penghitungan, bisa jadi jawaban akansangat jauh dari yang semestinya dan hal tersebut sama sekali tidak disadari siswa. Teknologi merupakan salah satu pilihan bagus yang dapat menstimulus siswa untuk berkomunikasi (NCTM: 2000). Teknologi dapat digunakan untuk membantu diskusi ide – ide matematis dan sebagai salah satu pilihan untuk meningkatkan representasi matematis siswa. Komputer dapat digunakan untuk membangun dan memperluas representasi konvensional (NCTM: 2000). Teknologi komputer yang diiringi dengan pemahaman siswa dapat menanamkan konsep dengan lebih baik dan menarik.Pembelajaran dengan berbantuan komputer dapat meningkatkan efektifitas proses, representasi, pemahaman, dan aktivitas siswa (Keong (2005), Hwang (2007), dan Alias (2009)).Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Buyukkoroglu (2004) menemukan bahwa penggunaan komputer dapat meningkatkan representasi visual dalam pembelajaran konsep limit fungsi. Andersen (2009), Snyder (2006), dan Tarim (2009) menemukan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keaktifan siswa, komunikasi siswa, serta sharing ide antara mereka. Sedangkan Abdullah dan Sharif (2008) menemukan bahwa pembelajaran kooperatif dengan berbantuan komputer dapat meningkatkan pemahaman siswa. Berdasarkan hal-hal tersebut penelitimelihat pembelajaran kooperatif berbantuan komputer kemungkinan besar bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan representasi siswa pada materi limit fungsi. Dewasa ini banyak sekali program komputer yang didesain dengan sangat baik untuk digunakan sebagai alat bantu pembelajaran di dalam kelas (Kennedy, 2008: 83). Dari banyak program komputer yang tersedia untuk penelitian ini penulis memilih program Maple sebagai alat bantu pembelajaran. Pemilihan program ini berdasarkan berbagai alasan, yaitu: (1) penggunaan program Maple merupakan bagian dari Lomba Keahlian Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sehingga sudah dikenal oleh guru matematika SMK dan sangat mungkin untuk diterapkan, (2) mudah dalam pengoperasian, (3) sebagai wahana pengenalan ke siswa jika nantinya mengikuti lomba. Berdasarkan hal – hal yang diuraikan di atas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian berbasis lesson studydi SMK Negeri 1 Badegan Ponorogo untuk meningkatkan 228
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
komunikasi dan representasi pada materi limit fungsi siswa kelas X Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) dengan pembelajaran kooperatif berbantuan maple.Peneliti merasa lesson study ini sangat bermanfaat untuk dilaksanakan karena hasilnya bisa digunakan guru sebagai alternatif solusi untuk meningkatkan hasil belajar siswa, danuntuk meningkatkan profesionalisme dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penelitian.Pada penelitian ini dipilih kelas X TKJkarena siswa pada kelas tersebut pada umumnya telah menguasai dasar-dasar komputer. Disamping itu, penelitian ini juga dalam rangka untuk memanfaatkan ilmu komputer dimiliki siswa serta memberikan pengalaman kepada mereka bahwa ilmu komputer dan matematika saling berkaitan. METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunkan kerangka lesson study. Rancanganlesson study yang digunakan adalah model yang dikembangkan oleh Burghes (2009: 13) seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Rancangan Penelitian
Berdasarkan rancangan tersebut, lesson study yang dilaksanakan memiliki langkahlangkah pokok yaitu observasi kelas (identification of focus), perencanaan (plan), pembelajaran (lesson delivered/do), serta observasi dan refleksi (see). Observasi kelas dilaksanakan untuk melihat kondisi kelas sasaran dan mendiagnosis permasalahan yang muncul (Subanji, 2014: 17). Kegiatan observasi pada penelitian ini melalui pengamatan langsung. Kegiatan Planadalah kegiatan merancang pembelajaran yang diinginkan. Kegiatan ini dilaksanakan dua kali untuk Do yang pertama dan Do yang kedua. Plan yang pertama berdasarkan observasi awal untuk mengidentifikasi fokus, sedangkan Plan yang kedua berdasarkan observasi pada Do yang pertama dengan tujuan untuk menyempurnakan pembelajaran. Kegiatan Do merupakan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan hasil kegiatan Plan sebelumnya. Kegiatan Do dilaksanakan dua kali, dimana kegiatan Do yang kedua merupakan penyempurnaan dari kegiatan Do yang pertama. Kegiatan refleksi (See) dimaksudkan untuk mencari solusi dari masalah pembelajaran yang ditemukan. Hasil kegiatan refleksi digunakan untuk merencanakan kegiatan pembelajaran berikutnya. Lessonstudy ini dilaksanakan pada kelas X TKJ SMK Negeri 1 Badegan Ponorogo dengan jumlah siswa sebanyak 20 siswa. Kegiatan Plan, Do dan See pada lessonstudy ini dilaksanakan peneliti bersama dengan 3 orang guru matematika di Ponorogo yang mempunyai pengalaman mengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat minimal 5 tahun. HASIL DAN PEMBAHASAN Plan (Perencanaan)
229
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Plan yang pertama dilakukan pada hari Senin, 24 Pebruari 2014. Pada kegiatan Planyang pertamadilakukan diagnosis permasalahan pembelajaran untuk menentukan fokus masalah yang diteliti.Materi limit fungsi merupakan materi baru untuk kelas X SMK dan sebagian besar siswa merasakan kesulitan. Siswa tidak tahu kegunaan belajar materi ini. Metode yangdigunakan guru untuk mengajarkan materi ini adalah siswa langsung diberi rumus dan contoh soal. Siswa merasa dengan metode tersebut mereka hanya menghafal langkah pengerjaan yang dicontohkan guru. Mereka tidak bisa memahami konsep limit fungsi yang sebenarnya. Selama pembelajaran siswa merasa bahasa yang digunakan guru dan yang ada di buku tidak bisa mereka pahami dengan baik. Mereka perlu pendekatan dan penggambaran yang lebih jelas berkaitan dengan limit fungsi. Pendekatan dan penggambaran itu dimaksudkan agar siswa lebih aktif dalam berinteraksi dengan materi. Terhadap permasalahan-permasalahan tersebut peneliti merencanakan dua hal pokok untuk mengatasinya yaitu: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa sehingga merangsang komunikasi dan keaktifan mereka, (2) menggunakan alat bantu atau media pembelajaran untuk meningkatkan keaktifan siswa serta meningkatkan representasi limit fungsi.Menurut Sfard (dalam Nillson & Ryve, 2010) komunikasi bisa dipandang sebagai usaha seseorang untuk membuat orang lain mengetahui, mengenali sesuatu atau melakukan kegiatan seperti yang dia inginkan. Dengan peningkatan aktifitas komunikasi matematis dapat meningkatkan pemahaman matematika siswa(Hirschfeld, 2008). Sedangkan berkaitan dengan media Ruthven (2009) mengungkapkan bahwa penggunaan media pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan aktifitas siswa yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan matematika mereka. Metode pembelajaran yang dipilih pada penelitian ini adalah pendekataan kooperatif model grup investigasi. Metode tersebut dipandang sesuai karena pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana siswa bekerja sama untuk saling berinteraksi dan membantu dalam belajar (Slavin, 2006: 45), sedangkan untuk mempelajari materi limit fungsi diperlukan kerjasama tersebut.Jumlah kelompok yang digunakan adalah 2 orang dengan pertimbangan jika terlalu banyak anggota dalam satu kelompok maka akan terlalu ramai sehingga aktifitas kelompok tidak efektif. Pertimbangan jumlah kelompok ini sesuai yang disarankan Kagan & Kagan (2009) bahwa jumlah kelompok yang paling efektif dalam kelas kooperatif adalah dua orang. Sedangkan untuk media pembelajaran yang dipakai peneliti memilih komputer sebagai alat bantu pembelajaran. Pemilihan teknologi komputer ini berdasarkan pendapat Niess (2010) yang menyatakan bahwa penggunaan tehnologi komputer sekarang ini adalah bagian penting dalam pengembangan pembelajaran matematika. Penggunaan komputer memungkinkan guru untuk mendesain pembelajaran dan mengekplorasi matematika secara lebih variatif dan mendalam (Santos, 2008). Disamping itu, penggunaan komputer memungkinkan siswa untuk menggunaan strategi yang berbeda-beda (Tabach, 2008). Plan yang kedua dilaksanakan pada hari Jum‟at, 14 Maret 2014. Plankedua ini merupakan perencanaan pembelajaran berdasarkan hasil observasi dan refleksi dari pelaksanaan Do yang pertama. Tahap ini berupa perencanaan pelaksanaan pembelajaran yang merupakan perbaikan dari pelaksanaan pembelajaran Do yang pertama berdasarkan hasil observasi para observer. Hasil dari Planyang kedua ini adalah: (1) Perlu perubahan kelompok dari 2 orang per kelompok menjadi 3 orang per kelompok. Perubahan kelompok ini dianggap perlu karena dengan 2 orang perkelompok aktifitas diskusi kurang optimal. Yang terjadi jika kelompok beranggotakan dua orang adalah lebih pada pembagian tugas dari pada diskusi. (2) Guru perlu memberikan bimbingan yang lebih intens berkaitan dengan materi prasyarat menggambar grafik fungsi, karena ada banyak siswa belum bisa menggambar grafik. (3) Guru perlu memberikan pengawasan lebih karena ada beberapa siswa yang membuka web site yang tidak mendukung pembelajaran. (4) Guru perlu memberikan apersepsi yang lebih menarik dengan memanfaatkan komputer karena apersepsi yang diberikan kurang menarik perhatian siswa. (5) Guru perlu memberikan contoh dan soal yang lebih bervariatif untuk mengekplorasi dan menambah pengetahuan siswa. Do (Pelaksanaan Pembelajaran) Pelaksanaan Do yang pertama adalah di kelas X Word pada hari Jum‟at, 14 Maret 2014. Pelaksanaan Do yang pertama ini merupakan implementasi dari hasil kegiatan Plan yang pertama dengan materi limit fungsi. Pertama kali guru membentuk kelompok. Satu kelompok terdiri atas 2 orang. Setelah itu guru memberikan apersepsi bahwa materi ini digunakan dalam banyak hal salah satunya untuk menghitung percepatan, kecepatan dan jarak yang ditempuh 230
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
suatu benda. Dengan apersepsi guru tersebut sebagian besar siswa terlihat sangat termotivasi meskipun kelihatan juga mereka belum memahami secara jelas.Sebelum masuk ke materi limit fungsi, guru mengecek pengetahuan prasyarat siswa yaitu tentang fungsi. Guru memberikan dua 𝑥+3 fungsi yaitu: (1) 𝑓 𝑥 = 2𝑥 + 3, dan (2) 𝑓 𝑥 = . Guru meminta untuk: (1) menghitung f(1) 𝑥−2 dan f(3)dari masing – masing fungsi, serta (2) menggambarkan grafik masing-masing fungsi. Dengan masalah yang diberikan guru ini sebagian besar siswa bisa menentukan nilai funsi tetapi sebagian besar tidak bisa menggambar grafiknya. Untuk masuk ke materi limit guru berangkat dari masalah sehari-hari yaitu “satu kue donat untuk banyak orang”. Semua siswa terlihat sibuk mendiskusikan masalah tersebut. Ada beberapa anak yang menggambar donatpada buku mereka. Guru memberi pertanyaanpertanyaan dan mengarahkan siswa untuk memperoleh hasil seperti pada tabel 1. Tabel 1. Masalah satu kue donat untuk banyak orang 1 2 10 1.000.000 Mendekati tak hingga Banyak orang 1 Mendekati nol Bagian masing -masing orang 1 1 1 2 10 1.000.000
Guru menjelaskan bahwa dengan menyelesaikan masalah tersebut sebetulnya siswa telah 1 menghitung limit yaitu lim𝑥→∞ 𝑥 = 0. Mendengar pernyataan guru tersebut siswa merasa sangat antusias dan gembira bahwa mereka bisa mengerjakan soal secara tidak sengaja.Setelah siswa mempunyai gambaran awal tentang limit, guru memberikan konsep dasar limit fungsi. Limit adalah pendekatan nilai suatu fungsi jika daerah asalnya mendekati suatu nilai tertentu. Limit suatu fungsi ada jika nilai limit kiri dan limit kanan fungsi tersebut ada dan bernilaisama. Untuk memperjelas konsep tersebut guru memberikan representasi limit dengan grafik (gambar 3) menggunakan maple.
Gambar 3. Representasi grafik dari𝐥𝐢𝐦𝒙→𝟐 𝒙𝟐
Siswa memperhatikan penjelasan guru, ada beberapa siswa yang bertanya jika fungsinya berbeda. Guru memberikan contoh fungsi yang berbeda. Dengan penjelasan tersebut terlihat beberapa siswa lebih memahami konsep-konsep yang diberikan guru. Setelah siswa memahami konsep limit fungsi, maka guru membagikan lembar kerja. Lembar kerja ini berupa soal mencari nilai limit fungsi dengan metode numerik dan grafik. Dalam mengerjakannya siswa tidak diperkenankan memakai alat bantu apapun. Pada pengerjaan ini, siswa terlihat bisa mengerjakan limit fungsi linier. Mereka kelihatan kesulitan menggambar fungsi yang lebih rumit yaitu limit fungsi pecahan dan fungsi bentuk akar.Setelah siswa secara berkelompok selesai mengerjakan lembar kerja mereka, mereka diminta untuk menukarkan hasil pekerjaan kelompok mereka dengan kelompok lain. Setelah itu mereka diminta untuk mengoreksi hasil kerja kelompok lain dengan alat bantumaple dengan arahan guru. Dengan bantuan maple siswa bisa mengoreksi kesalahan-kesalahan mereka sebelumnya. Siswa menjadi memahami bagaimana limit fungsi untuk fungsi pecahan dan fungsi bentuk akar (gambar 4).
231
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 4. Limit fungsi pecahan
Pada kegiatan ini siswa terlihat lebih antusias dalam pembelajaran. Terlihat dengan bantuan maple siswa lebih aktif dalam berdiskusi, berkomunikasi dan berinteraksi. Mereka juga semakin kreatif untuk mencoba mencari limit fungsi dan representasinya di luar soal yang diberikan. Dengan maplepengetahuan mereka tentang limit fungsi dan representasinya semakin bertambah. Pelaksanaan Doyang kedua dilaksanakan di kelas X Visio pada hari Sabtu, 15 Maret 2014. Pelaksanaan Do yang ke dua ini merupakan perbaikan dari Doyang pertama. Doyang kedua ini dilaksanakan sesuai dengan Planyang kedua yang telah direncanakan sebelumnya. Beberapa hal yang diperbaiki dalam Doyang kedua ini adalah: (1) pembentukan kelompok, (2) apersepsi, (3) penekanan materi prasyarat, (4) pengoptimalan penggunaan komputer, (5) variasi contoh, dan (6) variasi soal. Hal pertama yang diperbaiki guru pada Do yang kedua ini adalah jumlah anggota kelompok. Guru membentuk kelompok dimana satu kelompok terdiri atas 3 orang, karena kelompok yang beranggotakan 2 orang seperti pada Do yang pertama kurang optimal dalam mengaktifkan siswa. Setelah itu guru melakukan perbaikan pada apersepsi. Pada apersepsi Do yang kedua ini guru memberikan apersepsi berupa masalah “peluncuran rudal” menggunakan alat bantukomputer. Dengan alat bantukomputerapersepsi yang diberikan guru terlihat lebih nyata dan menarik perhatian siswa.
Gambar 5. Apersepsi guru (peluncuran rudal)
Guru memberikan apersepsi bahwa materi limit ini digunakan dalam banyak hal salah satunya untuk menghitung percepatan, kecepatan dan jarak yang ditempuh suatu rudal (Gambar 5). Dengan apersepsi guru dengan bantuan komputer tersebut sebagian besar siswa terlihat sangat termotivasi. Antusiasme siswa meningkat jika dibandingkan dengan Doyang pertama. Perbaikan lain adalah pada materi prasyarat. Pada Doyang kedua ini guru lebih menekankan pada bagaimana menggambarkan grafik masing-masing fungsi. Setelah penekanan dari guru, pada Do kedua ini siswa terlihat lebih mahir dalam menggambar grafik suatu fungsi.Perbaikan selanjutnya adalah pada ilustrasi yang digunakan untuk masalah “satu kue donat untuk banyak orang”. Agar lebih mudah dipahamiguru memberikan ilustrasi gambar donat dengan media maple. Para siswa terlihat lebih antusias dengan gambar tersebut, kemudian
232
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
guru mengarahkan siswa untuk menuliskan masalah tersebut kedalam bentuk tabel seperti yang terlihat pada tabel 1. Selanjutnya guru melakukan perbaikan pada penanaman konsep dasar limit, limit kiri, dan limit kanan guru tidak hanya menampilkan satu grafik saja tetapi beberapa grafik dan di beberapa titik. Guru memberikan representasi lim𝑥→2 𝑥, lim𝑥→2 𝑥 2 , dan lim𝑥→0 𝑥 2 , dan lim𝑥→0 𝑥 3 . Tindakan ini dilakukan guru dengan harapan semakin memperluas pengetahuan siswa tentang limit fungsi. Siswa terlihat semakin aktif berdiskusi. Dengan semakin aktifnya siswa berdiskusi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan siswa karena menurut temuan Kosko (2010) diskusi antar teman dapat meningkatkan pemahaman. Semua soal yang diberikan guru pada Doyang pertama merupakan limit fungsi yang dapat ditentukan nilainya. Pada Doyang kedua ini dilengkapi dengan soal yang limit kiri dan limit kanannya tidak sama sehingga nilai limit fungsinya tidak ada (gambar 6). Hal ini untuk menambah pengetahuan siswa bahwa ada fungsi yang tidak punya nilai limit pada titik – titik tertentu.
Gambar 6. Representasi
Dengan representasi grafik tersebut guru bisa mengekplorasi pengetahuan dan argumentasi siswa mengapa
tidak ada.
Observasi dan Refleksi Selama proses observasi diperoleh banyak hal berkaitan dengan pelaksanaan Do pertama dan kedua yang kemudian direfleksikan untuk perbaikan pembelajaran. Dengan pendekataan kooperatif dan dibentuk kelompok terbukti dapat meningkatkan komunikasi siswa tetapi pembentukan kelompok dimana satu kelompok beranggotakan dua orang pada pembelajaran ini kurang efektif. Hal itu karena pada kelompok tersebut tidak terjadi diskusi melainkan pembagian tugas. Yang terjadi ketika anggota kelompok berjumlah dua orang adalah anggota kelompok yang pertama mengoperasikan komputer dan yang kedua menulis jawaban. Berdasarkan hal itu pada Do yang kedua guru disarankan untuk membentuk kelompok beranggotan tiga orang. Kelompok beranggotakan tiga orang tersebut terbukti lebih efektif untuk mengaktifkan siswa. Siswa terlihat lebih aktif berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman-teman dalam kelompok mereka. Apersepsi yang diberikan guru pada Do yang pertama terlihat dapat menarik perhatian siswa, tetapi apersepsi tersebut akan semakin baik jika guru bisa mengoptimalkan penggunaankomputer. Observer melihat pada Do yang pertama komputer hanya dipakai pada pembelajaran inti, sedangkan pada kegiatan apersepsi masih menggunakan apersepsi secara lisan. Berdasarkan hal tersebut pada Do yang kedua guru disarankan agar mengoptimalkan penggunaan komputer untuk kegiatan apersepsi. Penggunaan apersepsi dengan komputer tersebut terbukti dapat semakin menarik perhatian siswa dan memotivasi mereka untuk belajar limit fungsi. Mereka terlihat semakin antusias untuk mengikuti pelajaran. Hal serupa juga disarankan pada ilustrasi yang digunakan untuk menggambarkan kue donatpada Do yang pertama. Agar lebih mudah dipahami dan menarik guru disarankan untuk memberikan representasi matematika masalah tersebutmenggunakan multi media.Representasi yang tepat penting untuk memfasilitasi belajar dan mengkomunikasikan ide – ide matematis (Panaoura, 2010). Terlihat hampir semua siswa lebih antusias dengan representasi yang diberikan guru tersebut. 233
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hal selanjutnya yang harus diperhatikan guru adalah berkaitan dengan materi prasyarat. Pada Do yang pertama siswa terlihat sudah bisa menghitung nilai fungsi, tetapi mereka kurang mahir dalam menggambar grafik. Pada Doyang kedua guru disarankan lebih menekankan pada bagaimana menggambarkan grafik fungsi. Penekanan oleh guru ini sangat dibutuhkan karena interaksi siswa dalam kelas sangat dipengaruhi oleh orientasi proses yang ditekankan oleh guru (Nuhrenborger & Steinbring, 2009). Setelah penekanan dari guru, pada Dokedua siswa terlihat lebih mahir dalam menggambar grafik suatu fungsi. Kemampuan siswa untuk menggambar grafik fungsi sangat berguna untuk merepresentasikan limit fungsi. Adanya maple memungkinkan guru untuk menanamkan konsep dengan menggunakan berbagai macam grafik dan pendekataan. Hal itu belum dimaksimalkan guru pada Do yang pertama. Pada Do yang kedua guru disarankan dalam merepresentasikan konsep dasar limit, limit kiri, dan limit kanan tidak hanya menampilkan satu grafik saja tetapi beberapa grafik dan di beberapa titik. Tindakan ini perlu dilakukan guru dengan harapan semakin memperluas pandangan dan pengetahuan siswa tentang limit fungsi karena representasi tidak hanya berguna untuk menggambarkan dan mengkomunikasikan obyek matematika tetapi juga untuk berkerja dengan matematika (Duvan dalam Nunes & Bryant, 2007).Pada Do kedua terlihat dengan banyaknya representasi yang diberikan guru siswa semakin aktif berkomunikasi dan berinteraksi. Mereka mendiskusikan perbedaan dan persamaan representasi grafik yang diberikan guru. Strategi guru membagi kegiatan diskusi kelompok menjadi dua sesi (kegiatan mengerjakan secara manual dan kegiatan mengoreksi pekerjaan kelompok lain dengan bantuan maple) terbukti efektif dalam meningkatkan komunikasi dan representasi siswa. Representasi siswa yang meningkat tersebut dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam proses pemecahan masalah (Pyke, 2003). Kekurangan pada kegiatan tersebut menurut observer adalah pada soal yang diberikan. Observer melihat semua soal yang diberikan guru pada Do yang pertama merupakan limit fungsi yang dapat ditentukan nilainya. Pada Do yang kedua guru disarankan untuk melengkapi dengan soal yang limitnya tidak ada. Hal ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan siswa bahwa ada fungsi yang tidak punya nilai limit pada titik – titik tertentu. Terlihat pada Do yang kedua, dengan soal yang semakin bervariatif siswa lebih aktif dalam berkomunikasi dan mengekplorasi representasi limit fungsi dalam bentuk grafik dan numerik. KESIMPULAN Pembelajaran kooperatif berbantuan maple dapat meningkatkan komunikasi dan representasi siswa pada materi limit fungsi di kelas X TKJ SMK Negeri 1 Badegan Ponorogo. Mapledapat digunakan untuk membangun dan memperluas representasi konvensional serta untuk membantu diskusi ide – ide matematis di balik limit fungsi. Pembelajaran berbantuan mapleyang diiringi dengan aktifitas yang sesuai dapat digunakan untuk membelajarkan siswa tentang materi limit fungsi dengan lebih baik dan menarik. SARAN Penggunaan komputer memungkinkan guru untuk mendesain pembelajaran dan mengekplorasi matematika secara lebih variatif dan mendalam. Penggunaan komputer memungkinkan siswa untuk menggunaan strategi yang berbeda-beda. Komputer memang merupakan salah satu pilihan bagus yang dapat meningkatkaninteraksi siswa dalam kelas meskipun begitu peran guru tetaplah yang terpenting dalam memfasilitasi siswa belajar serta menentukan arah pembelajaran yang tepat. DAFTAR RUJUKAN Abdullah, Sopiah & Shariff, Adilah. (2008). The Effects of Inquiry – Based Computer Simulation with Cooperative Learning on Scientific Thinking and Conceptual Understanding. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2008, 4(4), 387 – 398 Alias, M. (2008). Integrating Technology in to Classroom Instructions for Reduced Misconceptions in Statistics. International Electronic Journal of Mathematics Education, Vol. 4, Number 2, July 2009: 77 – 91.
234
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Andersen, Teena. (2009). Using Cooperative Learning in Sixth Grade Math Classroom. Department Of Mathematics. University of Nebraska. Burghes, David. (2009). Lesson Study: Enhacing Mathematics Teaching and Learning. CFBT Education Trust: United States of America. Buyukkoroglu, Taner et all. (2004). The Effect of Computer on Teaching The Limit Concept. Department of Mathematics. Science Faculty. Anadolu University. Turkiye. Hirschfeld, Kimberly. (2008). Mathematical Communication, Conceptual Understanding and Students‟ Attitude Toward Mathematics. Department Of Mathematics. University of Nebraska. Hwang, W. Y. et all. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, 10 (2), 191 – 212. Kagan, Spencer & Kagan, Miguel. (2009). Kagan Cooperative Learning. Kagan Publishing: Cale Amencer, San Clemente, CA 92673 Kennedy, Leonard M., et all. (2008). Guiding Children‟s Learning of Mathematics, Eleventh Edition. Thomson Waswordth: United States of America. Keong, Chong Chee. (2005). A Study on the Use of ICT in Mathematics Teaching. Malaysian On line Journal of Instructional Technology. Malaysia Kosko, Karl W. (2010). Mathematical Communication and Its Relation to The Frequency of Manipulative Use. International Electronic Journal of Mathematics Education, Vol. 5, Number 2, July 2010: 79 – 90. NCTM. (2000). Principles and Standarts for School Mathematics. NCTM Inc: United States of America. Niess, Margaret L. (2006). Preparing Teachers to Teach Mathematics With Technology. Oregon State University.
[email protected] Nillson, Per & Ryve, Andreas. (2010). Focal Event, Contextualization and Effective Communication In The Mathematics Classroom. Springer Science & Busines Media. B. V Nuhrenborger, Marcus & Steinbring, Heinz. (2009). Forms of Mathematical Interaction in Different Social Settings: Examples from Students‟, Teachers‟ and Teacher Students‟ Communication About Mathematics. Journal Math Teacher Education (2009) 12: 111 – 132. Springer Science & Business Media B. V. Nunes, Terezhinha & Bryant, Peter. (2007). Understanding Relations and Their Graphical Representation. Key Understandings in Mathematics Learning. Nuffield Foundation. Panaoura, Areti. (2010). Young Students‟ Self – Beliefs About Using Representations In Relation To The Geometry Understanding. Frederick University, Nicosia.
[email protected] Pyke, Curtis L. (2003) The Use of Symbols, Words, And Diagrams as Indicators Of Mathematical Cognition: A Causal Model. Journal for Research in Mathematics Education. 2003, Vol. 34, No. 5, 406 – 432 Ruthven, Kenneth. (2009). Using Graphing Software to Teach About Algebraic Forms: A Study of Technology Supported Practice in Secondary School Mathematics. Education Student Mathematics (2009) 71: 279 – 297. Springer Science & Business Media B. V. Santos, Manuel. (2008). An Inquiry Approach to Construct Instructional Trajectories Based on The Use of Digital Technologies. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2008, 4 (4), 347 – 357 Slavin, Robert E. (2006) Educational Psychology: Theory and Practice. 8th ed. Pearson: United States of America. Snyder, Sandra S. (2006). Cooperative Learning Groups in the Middle School Mathematics Classroom. Department Of Mathematics. University of Nebraska. Subanji. 2014. Panduan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Berbasis Lesson Study Prodi S2 Pendidikan Matematika. Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang: Malang. Tabach, Michal. (2008). Transitions Among Different Symbolic Generalizations By Algebra Beginners In a Computer Intensive Environment. Education Student Mathematics (2008) 69: 53 – 71. Springer Science & Business Media B. V.
235
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tarim, Kamuran. (2009). The Effects Of Cooperative Learning On Preschoolers‟ Mathematics Problem Solving Ability. Education Student Mathematics (2009) 72: 325 – 340. Springer Science & Business Media B. V. The Literacy and Numeracy Secretariat. (2010). Communication in Mathematics Class Room. Capacity Building Series. The Literacy and Numeracy Secretariat. Ontario.
DESKRIPSI PROSES BERPIKIR SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN Abd. Kudratullah, Ipung Yuwono, dan I Nengah Parta Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses berpikir siswa SMP tipe kepribadian ekstrovert dalam menyelesaikan masalah matematika, dan untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa SMP tipe kepribadian introvert dalam menyelesaikan masalah matematika. Jenis penelitian ini adalahdeskriptif kualitatif yang berupaya untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa ditinjau dari tipe kepribadian siswa. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII A SMP Laboratorium UM. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes penggolongan tipe kepribadian, tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika, dan wawancara. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa Subjek penelitian yang memiliki tipe kepribadian yang cenderung ekstrovert mempunyai proses berpikir bersifat unik dan secara umum dapat berkembang dengan membutuhkan orang lain dalam menyelesaikan masalah matematika yang dihadapinya. Subjek penelitian yang memiliki tipe kepribadian yang cenderung introvert mempunyai proses berpikir bersifat unik dan secara umum tidak membutuhkan orang lain dalam menyelesaikan masalah matematika yang dihadapinya. Kata Kunci: proses berpikir, pemecahan masalah matematika, tipe kepribadian
Penyelesaian masalah (problem solving) menjadi sentral dalam pembelajaran matematika (Polya, 1973:5). Hal ini dapat dimaklumi karena penyelesaian masalah dekat dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, penyelesaian masalah melibatkan proses berpikir secara optimal. Dengan pengamatan yang mendalam pada diri siswa, akan disadari adanya berbagai jenis perbedaan, seperti perbedaan kepribadian, perbedaan proses berpikir, dan perbedaan cara belajar. Suhadianto (2009) mengemukakan bahwa karakteristik kepribadian berpengaruh dalam proses pembelajaran. Pelajaran atau materi dapat dipahami oleh siswa saat siswa dapat berkonsentrasi terhadap apa yang sedang dibahas. Sebelum membuat siswa konsentrasi terhadap materi atau pelajaran yang diberikan, langkah awal yang dilakukan guru adalah mengetahui karakteristik kepribadian siswa. Apabila guru telah berhasil mengetahuinya, maka dengan mudah guru melakukan kegiatan pembelajaran. Seringkali guru merasa kesal terhadap siswa yang susah diatur, siswa yang banyak bertanya, siswa yang bersikap dingin, siswa yang tidak pernah bertanya, ataupun siswa yang bersikap keras hati, dan sebagainya. Kekesalan guru tersebut pada dasarnya disebabkan oleh ketidaktahuan guru terhadap tipe kepribadian para siswa, sehingga guru merasa kesal dengan sikap siswa yang tidak sesuai dengan keinginan guru, kemudian memarahi, tanpa memahami, dan tanpa memberikan solusi yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan siswa (Suhadianto: 2009). Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakahproses berpikir siswa SMP tipe kepribadian ekstrovertdalam menyelesaikan masalah matematika. 2. Bagaimanakahproses berpikir siswa SMP tipe kepribadian introvert dalam menyelesaikan masalah matematika.
236
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan proses berpikir siswa SMP tipe kepribadian ekstrovertdalam menyelesaikan masalah matematika. 2. Mendeskripsikan proses berpikir siswa SMP tipe kepribadian introvert dalam menyelesaikan masalah matematika. Matematika memiliki kehirarkian di antara pokok-pokok bahasannya, yaitu: suatu pokok bahasan tertentu merupakan prasyarat pokok bahasan lainnya. Oleh karena itu, menurut Soedjadi (1999:20) bahwa untuk menguasai matematika, diperlukan cara belajar setapak demi setapak dan berkesinambungan. Pendapat ini bersesuaian dengan pendapat Hudoyo (1990:4) yang mengatakan bahwa dalam matematika, untuk mempelajari konsep B yang berdasarkan konsep A, maka perlu memahami dahulu konsep A. Oleh karena itu, untuk belajar matematika harus dilakukan secara bertahap, berurutan, dan berkesinambungan. Suherman dkk (2003) menyatakan bahwa matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di Pendidikan Dasar (SD dan SMP) dan Pendidikan Menengah (SMA dan SMK). Matematika sekolah terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpandu pada perkembangan IPTEK. Masalah adalah suatu situasi atau kondisi (dapat berupa issu/pertanyaan/soal) yang disadari dan memerlukan suatu tindakan penyelesaian, serta tidak segera tersedia suatu cara untuk mengatasi situasi itu. Pengertian “tidak segera” dalam hal ini adalah bahwa pada saat situasi tersebut muncul, diperlukan suatu usaha untuk mendapatkan cara yang dapat digunakan mengatasinya. Sukoriyanto (2001:103) memberikan definisi suatu masalah merupakan kondisi yang mengandung tantangan dan memerlukan tindakan dalam menanganinya tetapi tidak dapat terselesaikan melalui prosedur rutin yang telah diketahui oleh sipenerima tantangan. Hudojo (1990:5) berpendapat bahwa didalam proses belajar matematika terjadi juga proses berpikir, sebab seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental dan orang yang belajar matematika mesti melakukan kegiatan mental. Dalam belajar matematika, seseorang dituntut mempersiapkan mentalnya dalam proses membangun pengetahuan yang disertai tindakan-tindakan konkret melalui penyelesaian masalah. Dengan kata lain, hal utama dalam belajar matematika adalah peningkatan kemampuan untuk berpikir dan berargumentasi tentang situasi baru melalui penggunaan pengetahuan awal. Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematika penting seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika dan lain-lain dapat dikembangkan secara lebih baik. Kepribadian diambil dari terjemahan bahasa Inggris personality dan dari bahasa Latin persona adalah suatu topeng yang digunakan oleh para aktor dalam suatu permainan atau pertunjukan di zaman Romawi. Dari sini, perlahan-lahan, kata persona berubah menjadi satu istilah yang mengacu kepada gambaran sosial tertentu yang diterima oleh individu dari kelompok atau masyarakatnya, dimana kemudian individu tersebut diharapkan bertingkah laku berdasarkan atau sesuai dengan gambaran sosial (peran) yang diterimanya itu. Kepribadian juga sering dihubungkan dengan ciri-ciri tertentu yang menonjol pada diri individu. (Jung dalam Feist, J. dan Feist, G., 2010:115). Menurut Jung (dalam Yusuf, S. dan Nurihsan, J., 2008:74), kepribadian adalah seluruh pemikiran, perasaan, dan perilaku nyata baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Adapun struktur kepribadian manusia terdiri dari 2 dimensi yaitu dimensi kesadaran dan dimensi ketidaksadaran. Dimensi kesadaran berupaya menyesuaikan terhadap dunia luar individu. Adapun dimensi ketidaksadaran berupaya menyesuaikan terhadap dunia dalam individu. Batas kedua dimensi ini tidak tetap, dapat berubah-ubah. Setiap orang mengadakan orientasi terhadap dunia sekitarnya. Namun demikian, dalam caranya mengadakan orientasi itu setiap orang berbeda-beda. Berdasarkan atas sikap jiwanya, manusia digolongkan menjadi 2 tipe. Pertama, manusia yang bertipe ekstrovert. Menurut Jung (dalam Feist, J. dan Feist, G., 2010:124), ekstroversi atau orang dengan tipe ekstrovert 237
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mempunyai sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah luar sehingga orang yang bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan menjauh dari subjektifnya. Ekstrovert akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh sekelilingnya dibandingkan oleh kondisi dirinya sendiri. Mereka cenderung untuk berfokus pada sikap objektif dan menekan pada sisi subjektifnya. Kedua, manusia yang bertipe introvert. Jung (dalam Feist, J. dan Feist, G., 2010:124) memandang bahwa orang yang bertipe introvert mempunyai aliran energi ke arah dalam yang memiliki orientasi subjektif. Introvert memiliki pemahaman yang baik terhadap dunia dalam diri mereka dengan semua bias, fantasi, mimpi, dan persepsi yang bersifat individu. Orang-orang dengan tipe ini akan menerima dunia luar dengan sangat selektif dan dengan pandangan subjektif mereka. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif berdasarkan pada wawancara berbasis tugas (the task-based interview). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam menyelesaikan masalah matematika ditinjau dari tipe kepribadian. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Laboratorium (Lab) Universitas Negeri Malang (UM) Kota Malang. Memilih subjek yang bertipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Subjek yang dipilih adalah siswa kelas VIII pada sekolah tersebut. Kelas yang tersedia ada 6 kelas, dipilih 1 kelas yakni kelas VIII A diberikan tes penggolongan tipe kepribadian. Berdasarkan hasil tes kepribadian kemudian memilih 2 subjek penelitian dengan tipe kepribadian yang cenderung ekstrovert (nilai tertinggi) dan 2 subjek penelitian dengan tipe kepribadian yang cenderung introvert (nilai terendah). Data dalam penelitian ini bersumber dari siswa SMP Lab UM Kota Malang kelas VIII A untuk data tes penggolongan tipe kepribadian. Kemudian 4 siswa yang terpilih setelah tes penggolongan tipe kepribadian untuk tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika dan wawancara. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, karena peneliti merupakan pengumpul data melalui pengamatan dan wawancara mendalam. Sedangkan instrumen pendukung dalam penelitian ini meliputi: Tes Penggolongan Tipe Kepribadian, Tes Kemampuan Menyelesaikan Masalah Matematika, Wawancara. Prosedur pelaksanaan penelitian yaitu: 1. Mengadopsi dan membuat instrumen penelitian dan validasi instrumen oleh ahli. 2. Orientasi lapangan dan observasi di sekolah (tempat penelitian). 3. Calon subjek penelitian diberi tes tipe kepribadian, kemudian menetapkan subjek penelitian berdasarkan tipe kepribadiannya, yaitu masing-masing 2 siswa tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. 4. Pengumpulan data, meliputi (a) memberikan tes untuk penyelesaian masalah matematika kepada subjek penelitian. Subjek menyelesaikan masalah matematika yang diberikan setelah itu diwawancarai, (b) menganalisis hasil penyelesaian masalah dan wawancara. 5. Teknik triangulasi, peneliti melakukan pengecekan kembali terhadap guru wali kelas dan guru matematika yang berada di sekitar subjek penelitian. 6. Analisis data, meliputi (a) menganalisis hasil penyelesaian masalah matematika yang diberikan setiap nomor dan (b) menganalisis hasil wawancara. 7. Menyusun deskripsi kemampuan siswa menyelesaikan masalah matematika di SMP Lab UM ditinjau dari tipe kepribadian siswanya. 8. Menyusun laporan akhir. Hasil yang diharapkan adalah memperoleh deskripsi proses berpikir siswa menyelesaikan masalah matematika di SMP Lab UM, ditinjau dari tipe kepribadian siswanya. Analisis data dilakukan dengan cara mengorganisasikan data ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat keseimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Untuk memperoleh data yang dianalisis maka peneliti akan melakukan validasi ahli terhadap 2 draf instrumen yang telah dirancang yaitu: tes penggolongan tipe kepribadian dan tes penyelesaian masalah matematika. Data hasil penyelesaian masalah matematika dan data hasil wawancara dianalisis deskriptif kualitatif. Analisis dilakukan pada setiap nomor tugas penyelesaian masalah. Proses analisis dilakukan setelah proses wawancara selesai. Adapun data 238
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
hasil wawancara dilakukan dengan langkah: (1) Reduksi data (data reduction), (2) Pemaparan data (data display), (3) Penarikan kesimpula (conclusion) dan verifikasi. HASIL Subjek dalam penelitian ini terdiri atas 32 orang yang merupakan siswa kelas VIII A SMP Lab UM dengan status terdaftar pada semester genap tahun pelajaran 2012/2013 atau dengan kata lain siswa aktif belajar. Usia partisipan bergerak dari 13 sampai 15 tahun. Jumlah partisipan yang berjenis kelamin perempuan sebesar 17 orang dan yang berjenis kelamin lakilaki sebesar 15 orang. Tabel 1. Kategorisasi Tipe Kepribadian Batas Kategori Frekuensi Persentase Kecenderungan 0 ≤ X ≤ 35,38 5 15,63 % Introvert 35,38< X <50,68 22 68,75 % Keduanya X ≥ 50,68 5 15,63 % Ekstrovert Jumlah 32 100 %
Tabel 1 menunjukkan bahwa siswa yang menjadi subjek penelitian 15,63% memiliki tipe kepribadian introvert dan 15,63 % memiliki tipe kepribadian ekstrovert, dan sisanya sebesar 68,75% memiliki tipe kepribadian keduanya, kadang ekstrovert dan kadang introvert. Dari hasil penelitian tersebut terungkap bahwa siswa kelas VIII SMP Lab UM memiliki kecenderungan tipe kepribadian yang campuran, kadang ekstrovert dan kadang introvert. Hal ini menunjukkan bahwa usia responden yang berkisar antara 13 sampai 15 tahun kadang masih mengalami kesulitan dalam menentukan sikap dan pandangannya terhadap masalah, sehingga mereka cenderung memiliki kedua tipe kepribadian yang diteliti dalam penelitian ini. Meskipun demikian, siswa yang mempunyai tipe kepribadian campuran tersebut tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. Fokus penelitian ini hanya ditujukan pada siswa dengan tipe kepribadian ekstrovert yaitu sebanyak 15,63% dan siswa dengan tipe kepribadian introvert sebanyak 15,63%. Rekapitulasi hasil pemetaan tipe kepribadian calon subjek penelitian dituangkan pada tabel berikut. Tabel 2. Hasil Pemetaan Tipe Kepribadian Calon Subjek Penelitian Kategori Tipe Kepribadian Banyaknya Responden Tipe Kepribadian Ekstrovert 5 orang Tipe Kepribadian Introvert 5 orang Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert 10 orang
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa dari 32 siswa yang diambil dari kelas VIII A diperoleh data mengenai siswa dengan tipe kepribadian ekstrovert sejumlah 5 orang dan siswa dengan tipe kepribadian introvert sejumlah 5 orang. Sedangkan ada sejumlah 22 orang siswa yang berada pada kawasan bertipe kepribadian ekstrovert dan introvert. PEMBAHASAN Pada pemilihan subjek dengan memperhatikan tipe kepribadian yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Subjek yang dipilih adalah subjek penelitian yang mempunyai tipe kepribadian yang cenderung ekstrovert (nilai tes kepribadian tertinggi) dan subjek penelitian yang mempunyai tipe kepribadian yang cenderung introvert (nilai tes kepribadian terendah). Dari proses tersebut, terpilih 2 orang ekstrovet (KE1 dan KE2) dan 2 orang introvet (KI1 dan KI2) Dalam penelitian ini kepada siswa diberikan 2 masalah seperti berikut. 1. Berapa banyak persegi panjang dari semua ukuran yang mungkin berdasarkan susunan persegi pada gambar dibawah ini?
Struktur Masalah 1
239
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PU
a PP
B1 R1 B2
b
R2
S
B3 R7
R3
B7R4
B4
R6
R4 B5
R5
B6R4
R4
Gambar 1. Struktur Masalah 1
2. Dapatkah anda memotong sebuah pizza berbentuk lingkaran kedalam 11 potongan dengan empat kali potongan langsung? Struktur Masalah 2 B1 PL P R1 B2 Lkn L R2 B3 R3 S Gambar 2. Struktur Masalah 2
Subjek Tipe Kepribadian Ekstrovert (KE) Struktur Berpikir KE pada Masalah 1
a PP
b (B2)
Pg1 Pg2
PU
(B1) R1 B2 R2 B3 R3 B4 R4 B5
Pg3 (B3) S R7 B7R4 R5
B4
R6 B6R4
R4
Gambar 3. Struktur Berpikir Subjek KE1 pada Penyelesaian Masalah 1 Setelah Wawancara
240
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PU (B1) R1 (B2) R2 B3 R3 B4 R4 B5
a PP
b
Pg2
Pg1 (B2)
S R7 B7R4 R5
(PU)
R6 B6R4
R4
Gambar 4. Struktur Berpikir Subjek KE2 pada Penyelesaian Masalah 1 Setelah Wawancara
Struktur Berpikir KE pada Masalah 2 Pg1 P Lkn
L
PL B1 R1 B2 R2 B3 R3
B2 Pg2 (B2)
S
Gambar 5. Struktur Berpikir Subjek KE1 pada Penyelesaian Masalah 2 Setelah Wawancara
P Lkn
L
PL
B1 R 1 B2 R2 B3 R3
Pg1 SG Pg2 (B2)
S
Gambar 6. Struktur Berpikir Subjek KE2 pada Penyelesaian Masalah 2 Setelah Wawancara
Berdasarkan Gambar 3, Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6 tentang struktur berpikir Subjek KE1, KE2pada penyelesaian masalah 1 dan masalah 2 terlihat bahwa Subjek KE1, KE2dengan tipe kepribadian ekstrovert membutuhkan orang lain dalam menyelesaikan masalah matematika yang dihadapinya. Subjek KE1, KE2juga tidak dapat terlepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya dalam menyelesaikan masalah matematika tersebut. Hal ini sejalan dengan Jung (dalam Feist, J. dan Feist, G., 2010:124) yang mengemukakan bahwa sifat dari tipe kepribadian ekstrovert selalu berorientasi pada dunia di luar dirinya sendiri. Hal ini didukung pula oleh wawancara lanjutan yang dilakukan peneliti terhadap orangorang yang berada di sekitar Subjek KE1, KE2. Wawancara ini dilakukan terhadap guru
241
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
matematika, dan guru wali kelas KE1, KE2. Dari hasil wawancara tersebut diperoleh bahwa Subjek KE1, KE2 mempunyai kecenderungan untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Sesuai dengan kriteria tipe kepribadiannya yang cenderung ekstrovert, Subjek KE1, KE2 tidak dapat lepas dari lingkungan sosialnya. Hal ini membuat Subjek KE1 dan KE2 tidak dapat fokus mengerjakan atau menyelesaikan masalah. Dia cenderung tidak dapat duduk tenang sehingga terkesan terburu-buru dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Teman-teman terdekat dengan Subjek KE1, KE2 mengemukakan bahwa Subjek KE1, KE2merupakan pribadi yang ramai dan cenderung punya banyak teman. Subjek Tipe Kepribadian Introvert (KI) Struktur Berpikir KI pada Masalah 1 Pg1 a
PU (B1)
B1
R1
B2
PP
b
Pg2
R2
S
B3
R4
B7
B4
Pg3
R6
R4
B5
B7
R7
R3
R5
R4
B6
R4
Gambar 7. Struktur Berpikir Subjek KI1 pada Penyelesaian Masalah 1 Setelah Wawancara
Pg1 Pg2 a PP
PU (B1) R1
B2 b
R2
S
(B3) R B7 7
R3
(B4)
R4
R4
B5
R5 R4
R B6 6
R4
Gambar 8. Struktur Berpikir Subjek KI2 pada Penyelesaian Masalah 1 Setelah Wawancara
Struktur Berpikir KI pada Masalah 2
242
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
P Lkn
B1
PL
R1
B2 L
R2
Pg1 (B3)
B3 R3
S
Gambar 9. Struktur Berpikir Subjek KI2 pada Penyelesaian Masalah 2 Setelah Wawancara
Berdasarkan Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9 tentang struktur berpikir Subjek KI1, KI2pada penyelesaian masalah 1 dan masalah 2 terlihat bahwa bahwa Subjek KI1, KI2 dengan tipe kepribadian introvert cenderung tidak terpengaruh oleh dunia di luar dirinya dan cenderung tidak membutuhkan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya, sehingga Subjek KI1, KI2 dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan baik. Jung (dalam Feist, J. dan Feist, G., 2010:124) mengemukakan bahwa seseorang dengan kecenderungan tipe kepribadian yang introvert akan lebih berorientasi pada dirinya sendiri sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam menyelesaikan masalah matematika yang diberikan. Subjek KI1, KI2 juga cenderung tidak membutuhkan orang lain dan berpikir merupakan sumber energinya. Hal ini didukung pula oleh wawancara lanjutan yang dilakukan peneliti terhadap orangorang yang berada di sekitar Subjek KI1, KI2. Wawancara ini dilakukan terhadap guru matematika, dan guru wali kelas Subjek KI1, KI2. Dari hasil wawancara tersebut diperoleh bahwa Subjek KI1, KI2 mempunyai kecenderungan untuk lebih tenang dan tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini membuat Subjek KI1, KI2 dapat fokus mengerjakan atau menyelesaikan masalah. Teman-teman terdekat Subjek KI1, KI2 juga menilai Subjek KI1, KI2 sebagai pribadi yang tenang dalam bergaul dan menyelesaikan masalah, sehingga terkesan pendiam. Meskipun, ada beberapa teman yang tidak menyukai sifat diamnya ini, tetapi mereka cenderung memuji ketelitian Subjek KI1, KI2 dalam menyelesaikan masalah yang diberikan kepadanya. KESIMPULAN Subjek penelitian yang memiliki tipe kepribadian yang cenderung ekstrovert membutuhkan orang lain dalam menyelesaikan masalah matematika yang dihadapinya. Subjek penelitian dengan tipe kepribadian yang cenderung ekstrovert kurang dapat menyelesaikan masalah matematika yang diberikan dengan baik dan tidak dapat mengikuti langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya. Hal ini terbukti dengan subjek penelitian dapat memaparkan hal-hal yang diketahui dan ditanyakan dari masalah, tetapi cenderung tidak memperhatikan keseluruhan masalah secara utuh. Subjek penelitian juga mempunyai rencana strategi penyelesaian tetapi terkadang tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Subjek penelitian dapat menyelesaikan masalah dengan baik setelah mendapat tuntunan dari peneliti. Subjek penelitian juga tidak melakukan tahap melihat kembali karena proses penyelesaian masalah matematika yang diajarkan oleh guru tidak sampai pada tahap melihat kembali. Subjek penelitian dengan tipe kepribadian yang cenderung introvert cenderung tidak terpengaruh oleh dunia di luar dirinya dan cenderung tidak membutuhkan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya, sehingga Subjek penelitian dengan tipe kepribadian yang cenderung introvert dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan baik, meskipun belum sepenuhnya mengikuti langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya. Hal ini terbukti dengan subjek penelitian dapat memaparkan hal-hal yang diketahui dan ditanyakan dari masalah dan memperhatikan keseluruhan masalah secara utuh dengan baik. Subjek penelitian juga mempunyai rencana strategi penyelesaian dan dapat menyelesaikan masalah dengan baik sendiri, tetapi subjek penelitian tidak dapat melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban yang diberikan karena pola penyelesaian masalah matematika yang diajarkan oleh guru tidak sampai pada tahap melihat kembali.
243
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN Akina. 2002. Penerapan Pembelajaran Open-Ended untuk Mengatasi Kesulitan Siswa Memahami Konsep Luas Jajar Genjang pada Kelas VI Sekolah Dasar. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya FMIPA UM, VIII (2): 139-149. Arifin, A. 2000. Sekitar Belajar Matematika. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya FMIPA UM, VI (1): 1-10. Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara. Ardhana, W, dkk. 2005. Implementasi Pembelajaran Inovatif untuk Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika di Sekolah Dasar. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya FMIPA UM, XI (1): 1-21. As‟ari A. 2001. Representasi: Pentingnya dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya FMIPA UM, VII (2): 81-91. _________. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Mengah Pertama dan Madrasah Tsanawiah, Jakarta: Depdiknas. Fadly, A. 2012. Pengertian Tentang Seseorang Yang Introvert/Ekstrovert. (Online) (http://www.techforedu.org/2012/10/pengertian-tentang-seseorang-yang.html) Diakses tanggal 25 Pebruari 2013. Hanamichi. 2012. Apa itu introvert, ambivert dan ekstrovert?. (Online) (http://spesialmedia.com/misteri-dunia/apa-itu-introvert-ambivert-ekstrovert/) Diakses tanggal 25 Pebruari 2013. Herna. 2010. Karakteristik Berpikir Siswa dalam Pematematikaan Horizontal Melalui Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Hudojo, H.1990. Mengajar Belajar Matematika. LPTK Jakarta: Depdikbud. Feist, J. dan Feist, G. 2010. Teori Kepribadian (Edisi 7). Jakarta: Salemba Humanika. Musser, G. L., dkk. 2011. Mathematics For Elementary Teachers A Contemporary Approach Ninth Edition. USA: John Wiley & Sons. Panjaitan, B. 2011. Abstraksi Reflektif Dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Pembelajaran Matematika FMIPA UM, I (1): 64-71. Polya, G. 1973. How to Solve It. Second Edition. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. Rock, D dan Porter, M. K. 2011. “Mathematics Teaching In The Middel School.”The National Council Of Teachers Of Mathematics Inc. 16 (5): 270-271. Rohaeti, E. E. 2011. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa pada Pembelajaran Matematika untuk Menjadikan Siswa Individu yang Mandiri dalam Konstelasi Masyarakat Global. Jurnal Pembelajaran Matematika FMIPA UM, I (1): 8898. Siswono, T.Y.E. dan Kurniawati, Y. 2005. Identifikasi Proses Berpikir Kreatif Siswa Dalam Pengajuan Masalah Dengan Informasi Gambar: Penerapan Model Wallas. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya FMIPA UM, XI (1): 52-67. Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek Edisi Kedelapan (Jilid 1). Jakarta: PT Indeks. Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Subanji. 2007. Proses Berpikir Penalaran Kovarasional Pseudo Dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamika Berkebalikan. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA. Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sunardi. 2000. Hubungan Tingkat Berpikir Siswa dalam Geometri dengan Kemampuan Siswa dalam Geometri. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya FMIPA UM, VI (2): 35-47. Sukoriyanto. 2001. Langkah-langkah dalam Pengajaran Matematika dengan Menggunakan Penyelesaian Masalah. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya FMIPA UM, VII (2): 103-111. Suhadianto. 2009. Pentingnya Mengenal Kepribadian Siswa untuk Meningkatkan Prestasi. (http://suhadianto.blogspot.com/2009/020pentingnya-mengenal-kepribadian siswa.html). Diakses tanggal 9 Desember 2012. Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UPI. Weda, M. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara. 244
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Yusuf, S. dan Nurihsan, J. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya.
PENERAPAN STRATEGI REACT UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN MATEMATIKA SISWA KELAS VIII SMP AHMAD YANI DITINJAU DARI TINGKAT PEMAHAMAN PADA TAKSONOMI SOLO Achmad Abidin, I Nengah Parta, dan Hery Susanto Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penerapan strategi REACT untuk meningkatkan pemahaman siswa kelas VIII SMP Ahmad Yani. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus. Kelima strategi REACT yaitu relating, experiencing, applying, cooperating dan transferring digunakan selama pemberian tindakan. Pada tahap relating siswa mengkaitkan materi yang dipelajari dengan memanfaatkan media pembelajaran untuk membaca informasi penting atau menjawab soal mengenai materi prasyarat. Pada tahap experiencing, siswa menjawab soal mengenai konsep dasar. Kegiatan selanjutnya adalah siswa menjawab soal mengenai penerapan konsep dasar yang berada pada tahap applying. Pada tahap cooperating, secara berkelompok siswa berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Sedangkan pada tahap transferring, siswa menerapkan konsep dasar tersebut pada konteks yang baru. Peningkatan pemahaman siswa selama mengikuti pembelajaran dengan strategi REACT ini ditinjau menggunakan taksonomi SOLO. Pada taksonomi SOLO terdapat lima tingkat pemahaman yaitu prestructural, unistructural, multistructural, relational dan extended abstract. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara klasikal pemahaman matematika yang meningkat pada siklus I berturut-turut mencapai prosentase 60% dan 53%. Sedangkan pada siklus II, secara klasikal prosentase pemahaman matematika siswa yang meningkat berturut-turut adalah 85%, 69%, 60% dan 79%. Kata Kunci:Strategi REACT, pemahaman matematika, taksonomi SOLO
Menurut Cobb, Yackel & McClain (dalam Anghileri, 2006: 1) pembelajaran matematika dibentuk oleh paradigma konstruktivisme sosial untuk proses belajar mengajar dimana siswa secara aktif mengkontruk makna jika siswa berpartisipasi dalam meningkatkan cara yang berkualitas dalam membentuk kembali latihan-latihan matematika yang diberikan. Tetapi, Pembelajaran yang terjadi saat ini, kurang memperhatikan keterlibatan siswa dalam membentuk pengetahuan baru. Kegiatan pembelajaran bersifat transfer pengetahuan baru dari guru ke siswa. Guru menyampaikan pengetahuan baru sedangkan siswa berkewajiban menyimak penjelasan guru. Dalam hal ini, siswa tidak mendapatkan pengalaman secara langsung dalam membentuk pengetahuan baru. Proses pembentukan pengetahuan baru tidak dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Kegiatan pembelajaran seperti ini menjadi kurang bermakna. Sebagai akibatnya, siswa cenderung untuk bercanda dengan teman, mengusili teman dan lain-lain. Salah satu sebab siswa tidak berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar matematika di kelas adalah pembelajaran yang tidak menarik (Murray, 2011: 276). Pembelajaran masih terpusat pada guru. Dalam proses pembelajaran, guru memiliki peran utama dalam menentukan keberhasilan siswa. Siswa tidak diberikan kesempatan untuk saling bertukar pendapat dengan siswa lain dalam mengkonstruk pengetahuan baru. Pembelajaran seperti ini dapat menjadi kendala untuk mencapai keberhasilan pembelajaran matematika (Staples, 2008: 353). Pembelajaran menjadi kurang bermakna. Guru menjadi perhatian utama dalam kegiatan pembelajaran. Siswa tidak terlibat secara aktif dalam menemukan konsep baru. Pembelajaran matematika seharusnya melibatkan guru yang tidak hanya menyampaikan materi secara prosedural saja, tetapi harus menanamkan konsep kepada siswa (McPhan et al dalam Murray, 2011: 281). Sebagai akibat lebih lanjut, pemahaman konseptual yang dimiliki siswa rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat (Ghazali & Zakaria, 245
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2011: 690) yang mengemukakan bahwa pemahaman konseptual siswa berada pada level yang rendah sementara pemahaman prosedural berada pada level yang tinggi. Pemahaman siswa terhadap suatu materi matematika merupakan hal utama yang harus tercapai untuk memperoleh ketrampilan matematika yang lain seperti penalaran, menyelesaikan masalah dan lain-lain. Pemahaman siswa dapat tercermin dari kegiatan asesmen yang dilakukan oleh guru. Pemberian asesmen berupa soal uraian akan menghasilkan berbagai macam jawaban dari siswa. Jawaban yang diberikan siswa tersebut mencerminkan pemahaman yang didapatkan selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Jawaban tersebut dapat dikategorikan kedalam lima tingkatan berdasarkan taksonomi SOLO, yaitu prestuctural, unistructural, multistructural, relational dan extended abstract. Tingkat pemahaman prestuctural tercermin dari jawaban yang diberikan siswa tidak terkait dengan soal yang diberikan. Tingkat pemahaman unistructural tercermin dari jawaban siswa yang dapat memberikan satu aspek yang terkait dengan soal yang diberikan. Tingkat pemahaman multistructural tercermin dari jawaban siswa yang dapat memberikan dua aspek atau lebih yang terkait dengan soal yang diberikan. Tingkat pemahaman relational tercermin dari jawaban siswa yang dapat mengkaitkan aspek-aspek yang terkait dari soal yang diberikan. Sedangkan, tingkat pemahaman extended abstract tercermin dari jawaban siswa yang dapat memberikan aspek lain yang masih terkait dengan soal yang diberikan. Pemahaman yang dimiliki siswa dapat berada pada salah satu diantara lima tingkat pemahaman tersebut. Peningkatan pemahaman siswa dapat dilihat pada kemampuannya untuk berpindah ke tingkat pemahaman unistructural, multistructural, relational dan extended abstract.Diberikan soal seperti pada gambar dibawah ini:
Gambar1. Soal pada Saat Observasi Awal Dilakukan
Beberapa aspek yang terkait untuk menjawab soal tersebut adalah 1) jumlah besar sudut yang letaknya berdekatan pada suatu jajar genjang dan 2) solusi persamaan linear satu variabel. Dalam menjawab soal tersebut, terdapat kesalahan yang berbeda-beda yang dilakukan siswa seperti pada beberapa petikan hasil kerja siswa berikut ini,
Kesalahan yang dilakukan siswa.
Gambar 2. Jawaban yang Diberikan Siswa pada Soal Saat Observasi Awal
Kesalahan yang dilakukan siswa yang tercermin dari jawaban tersebut adalah tidak tepat dalam menggunakan aspek yang terkait. Aspek tersebut adalah jumlah besar sudut yang letaknya berdekatan dalam suatu jajar genjang. Siswa lain memberikan kesalahan yang berbeda dalam menjawab soal yang diberikan seperti pada petikan hasil kerja berikut.
246
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kesalahan yang dilakukan siswa.
Gambar 3. Jawaban yang Diberikan Siswa pada Soal pada Saat Observasi Awal
Pada petikan tersebut, siswa dapat menggunakan satu aspek yang terkait yaitu jumlah besar sudut yang letakanya berdekatan dalam suatu jajar genjang. Tetapi, pada kondisi lain siswa melakukan kesalahan dalam menggunakan aspek tersebut. Kesalahan-kesalahan tersebut mengindikasikan pemahaman matematika siswa lemah. Berdasarkan taksonomi SOLO, jawaban siswa tersebut masih berada pada tingkat prestructural. Perolehan belajar siswa yang demikian menunjukkan bahwa praktik pembelajaran yang terjadi tidak dapat memunculkan pemahaman yang benar bagi siswa. Perbaikan terhadap praktik pembelajaran yang dilakukan guru perlu dilakukan agar dapat memberikan hasil yang optimal terhadap pemahaman matematika siswa.Praktik pembelajaran menggunakan strategi REACT diterapkan untuk meningkatkan pemahaman matematika SMP Ahmad Yani. Pemahaman matematika siswa ditinjau dari tingkat pemahaman matematika berdasarkan taksonomi SOLO. Strategi REACT merupakan singkatan dari relating, experiencing. applying, cooperating, transferring. Relating merupakan strategi dimana siswa mengkaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Experiencing merupakan strategi dimana siswa secara berkelompok menjawab soal mengenai konsep dasar. Selanjutnya, dengan strategi applying, siswa menjawab soal mengenai penerapan konsep dasar. Pada strategi cooperating, siswa berdiskusi dengan sesama teman untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Strategi transferring mengajak siswa menjawab soal mengenai penerapan konsep dasar pada konteks baru. METODE Penelitian ini berjenis penelitian tindakan kelas yang terjadi dalam dua siklus. Dalam setiap siklus, terjadi tahap-tahap yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan dan pengamatan (action &observation), dan refleksi (reflection). Pada tahap perencanaan, peneliti merencanakan perangkat pembelajaran yang terdiri dari dua rencana pelaksanaan pembelajaran, dua lembar kegiatan siswa, dan media pembelajaran. Selain itu, peneliti juga merancang instrumen penelitian yaitu soal kuis dan lembar observasi kegiatan guru. Pada tahap pelaksanaan, peneliti menerapkan strategi REACT berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun. Dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, siswa menggunakan lembar kegiatan siswa sebagai bahan untuk memahami materi. Pada tahap refleksi, peneliti bersama observer dan siswa menentukan hal-hal yang belum tercapai atau tercapai tetapi tidak maksimal selama pembelajaran dengan strategi REACT yang dapat meningkatkan pemahaman matematika siswa. Hasil dari refleksi digunakan peneliti untuk melihat berhasil atau tidaknya pembelajaran dengan strategi REACT yang dapat meningkatkan pemahaman matematika siswa. Peneliti mengumpulkan data berupa 1) skor hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, 2) skor yang diperoleh siswa dari pengerjaan kuis, skor hasil observasi kegiatan guru, dan 3) hal-hal yang diperoleh peneliti selama penelitian berlangsung. Data-data yang telah terkumpul, dianalisis untuk kemudian hasil analisis digunakan sebagai bahan pertimbangan menentukan keberhasilan tindakan yang diberikan. Tindakan dikatakan berhasil jika hasil observasi guru berada pada kategori baik atau sangat baik. Selain itu, prosentase banyaknya siswa yang pemahamannya meningkat pada kuis yang diberikan mencapai 60% atau lebih. Pada penelitian ini siswa dikatakan memiliki pemahaman jika jawaban dari soal yang 247
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
diberikan berada pada tingkat prestructural, unistructural, multistructural, relational atau extended abstract. Pemahaman dikatakan meningkat jika jawaban dari soal yang diberikan berada pada tingkat unistructural, multistructural, relational atau extended abstract. Selain itu, penetapan kriteria keberhasilan terbatas pada dua kriteria dikarenakan 1) tindakan guru melakukan praktik pengajaran menjadi fokus utama dalam memperbaiki pembelajaran dan 2) kemampuan subjek penelitian yang relatif masih sangat rendah. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian tindakan ini terjadi dalam dua siklus. Pada siklus I diberikan dua tindakan selama dua pertemuan, sedangkan pada siklus II diberikan empat tindakan yang terjadi dalam enam pertemuan. Tindakan yang diberikan pada siklus I belum berhasil. Beberapa hal yang menjadikan kegagalan dalam memberikan tindakan pada siklus I menjadi bahan refleksi peneliti bersama obsever dan siswa. Berikut disajikan hasil refleksi selama pemberian tindakan pada siklus I. Hasil observasi kegiatan guru pada pertemuan pertama mencapai prosentase skor hasil observasi (Po) sebesar 44%. Menurut kriteria penarikan kesimpulan terhadap hasil observasi, prosentase ini berada pada kriteria tidak baik. Pada pertemuan kedua, prosentase skor hasil observasi (Po) kegiatan guru sebesar 79%. Menurut kriteria penarikan kesimpulan terhadap hasil observasi, prosentase ini berada pada kriteria baik. Pada pertemuan pertama, prosentase skor hasil observasi (Po) kegiatan guru tidak mencapai kriteria keberhasilan penelitian yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan tindakan yang diberikan oleh guru tidak maksimal. Beberapa kegiatan pembelajaran yang berlangsung tidak sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun seperti 1) kegiatan pembelajaran di beberapa tahap melebihi alokasi waktu yang ditentukan, 2) instruksi yang diberikan oleh guru untuk melakukan kegiatan yang berada pada tahap experiencing dan applying sehingga siswa tidak melakukan kegiatan dengan maksimal, dan 3) kegiatan presentasi yang dirancang tidak membuat siswa saling bertukar pendapat mengenai ide-ide matematika yang dimiliki. Berdasarkan jawaban yang diberikan siswa pada kuis 1 dan 2, didapatkan hasil analisis terhadap pemahaman siswa ditinjau dari taksonomi SOLO. Secara rinci, berikut disajikan tabel 1 hasil rekapan hasil yang diperoleh siswa pada kuis 1 dan 2: Kuis ke 1
N 15
Spmk 9
2
15
8
Tabel 1. Rekapan hasil kuis 1 dan 2 Ppmk Keterangan 60% Delapan siswa meningkat ke unistructural. Satu siswa meningkat ke multistructural. 53% Empat siswa meningkat ke unistructural. Tiga siswa meningkat ke multistructural. Satu siswa meningkat ke extended abstract.
Keterangan: N : banyak siswa Spmk : banyak siswa yang pemahamannya meningkat Ppmk : prosentase banyak siswa yang pemahamannya meningkat Berdasarkan hasil observasi kegiatan guru pada pertemuan 1, didapatkan bahwa kegiatan guru berada pada kriteria tidak baik. Selain itu, prosentase pemahaman matematika siswa yang meningkat (𝑃𝑝𝑚𝑘 ) belum mencapai 60% atau lebih pada pertemuan 2. Dapat disimpulkan, pembelajaran yang terjadi pada siklus ini tidak memenuhi kedua kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Sehingga pembelajaran dengan strategi REACT untuk meningkatkan pemahaman matematika siswa dilanjutkan ke siklus berikutnya. Pembelajaran pada siklus selanjutnya dilaksanakan dengan memperbaiki beberapa kekurangan yang ditemukan selama pembelajaran di siklus pertama. Adapun kekurangan yang ditemukan pada pembelajaran siklus I beserta rencana perbaikan untuk digunakan pada pembelajaran siklus II disajikan pada tabel berikut:
248
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel 2. Deskripsi kekurangan yang ditemukan pada pembelajaran siklus I beserta rencana perbaikan untuk digunakan pada pembelajaran siklus II No Kekurangan Perbaikan 1 Kegiatan pembelajaran pada setiap tahap Merancang kegiatan pembelajaran supaya dapat REACT melebihi alokasi waktu yang terlaksana secara tepat waktu. ditentukan. 2 Kegiatan diskusi pada tahap experiencing Merancang kegiatan diskusi sehingga dapat berjalan dan applying tidak terlaksana secara dengan maksimal. maksimal. 3 Kegiatan saling bertukar pendapat berupa a. Mendesain kegiatan diskusi kelompok yaitu, presentasi tidak membuat siswa saling siswa bekerjasama dengan anggota kelompok bertukar pendapat mengenai ide-ide dalam memahami dan menemukan solusi dari matematika yang dimiliki. permasalahan yang diberikan. b. Mendesain kegiatan presentasi yang dilakukan oleh salah satu kelompok dimana kelompok lain memberikan tanggapan maupun pertanyaan. 4 Beberapa kegiatan di LKS membuat Merancang serangkaian kegiatan yang mempermudah siswa menemui kesulitan untuk siswa melakukan kegiaatan tersebut.. melaksanakannya.
Berdasarkan tabel 2 nomor 2 dan 3 disusun RPP sesuai rencana perbaikan yang telah dirancang. Selain itu, berdasarkan tabel 6 nomor 1 dan 4, peneliti akan menyusun kegiatan pembelajaran sesuai rencana perbaikan yang telah dirancang. Petikan hasil pemberian tindakan pada siklus II Penerapan strategi REACT diawali siswa dengan melakukan kegiatan 7.1 yang berada pada tahap relating.Pada kegiatan ini, siswa menentukan panjang 𝐴𝐶 dan 𝐵𝐶 pada lingkaran O. Pada awalnya, siswa mengamati keliling lingkaran O. Setelah itu, siswa menduga bahwa panjang 𝐴𝐶 adalah ¼ dari keliling lingkaran O dan panjang 𝐵𝐶 ½ dari keliling lingkaran O. Kegiatan selanjutnya adalah, siswa diminta melakukan kegiatan 7.2 yang berada pada tahap experiencing. Pada kegiatan ini, siswa masih berkelompok untuk menentukan rumus umum panjang busur suatu lingkaran. Dalam menentukan rumus umum panjang busur, misalnya panjang 𝐷𝐶, diberikan busur 𝐴𝐶 dan 𝐵𝐶 . Proses menentukan rumus umum tersebut diawali siswa dengan menentukan panjang 𝐴𝐶 dan 𝐵𝐶 . Dari kegiatan 7.1, telah didapatkan panjang 𝐴𝐶 = ¼ dari keliling lingkaran dan panjang 𝐵𝐶 = ½ dari keliling lingkaran. Setelah itu, 𝑢 ∠𝐴𝑂𝐶 𝑢 ∠𝐵𝑂𝐶 siswa menyelidiki hubungan ¼ dengan perbandingan 360° dan ½ dengan 360° . Selanjutnya, siswa mengamati pola yang terbentuk dari beberapa panjang busur yang diberikan untuk menyimpulkan rumus umum panjang busur lingkaran.
Menentukan
Menyelidiki Gambar 4. Rincian hasil diksusi siswa dari kegiatan 6.2
249
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kegiatan siswa selanjutnya adalah melakukan kegiatan 7.3 yang berada pada tahap applying. Dalam kegiatan ini, siswa mengerjakan soal latihan mengenai panjang busur lingkaran secara berkelompok. Dalam menjawab soal tersebut, siswa hanya bisa memberikan aspek-aspek 𝑢 ∠𝐴𝑂𝐵 yang terkait dari soal yang diberikan yaitu keliling lingkaran dan perbandingan 360° . Kaitan antara dua aspek tersebut tidak dihubungkan secara jelas untuk menentukan panjang 𝐴𝐵. Akibatnya siswa juga tidak dapat menentukan panjang busur 𝐶𝐷 dalam upaya memperluas pemahamannya. Selanjutnya, siswa diminta oleh guru melakukan kegiatan presentasi. Salah satu kelompok maju ke depan kelas untuk mempresentasikan hasil diskusi dan kelompok lain menanggapi. Kegiatan ini berada pada tahap cooperating. Siswa saling mengutarakan pendapat antar kelompok. Tetapi, kegiatan ini tidak terlaksana karena tidak ada kelompok yang mempresentasikan hasil diskusi. Kegiatan siswa selanjutnya adalah, melakukan kegiatan 7.5 secara individu. Pada kegiatan ini, siswa mengerjakan soal mengenai panjang busur lingkaran pada konteks baru melalui kuis 7. Konteks baru yang dimaksudkan disini adalah panjang busur lingkaran digunakan dalam menentukan keliling daerah yang diarsir dan tidak diarsir pada lingkaran O yang diberikan. Dalam menjawab soal pada kuis 7, siswa hanya dapat menggunakan satu aspek terkait untuk menjawab soal yang diberikan, yaitu keliling lingkaran. Siswa tidak dapat menunjukkan kemampuan menggunakan aspek terkait lain yaitu panjang 𝑅𝑃. Selain itu, siswa juga tidak dapat mengkaitkan aspek-aspek tersebut untuk menjawab soal nomor 3 tentang keliling daerah yang tidak diarsir. Sebagai akibatanya, aspek lain yang masih terkait dengan soal yang diberikan yaitu keliling daerah yang diarsir tidak tercermin pada jawaban siswa nomor 4. Ditinjau dari taksonomi SOLO, pemahaman matematika siswa tersebut berada pada tingkat unistructural. Hal ini menandakan bahwa pemahaman matematika siswa meningkat. Pada pertemuan ini, kegiatan guru menerapkan pembelajaran dengan strategi REACT diamati oleh seorang observer. Pengamatan yang dilakukan berpedoman pada lembar observasi kegiatan guru 7. Hasil pengamatan menunjukkan prosentase hasil observasi (Po ) terhadap kegiatan guru adalah 88%. Hasil observasi kegiatan guru pada pertemuan pertama sampai pertemuan keenam disajikan pada tabel berikut: Tabel 3. Rekapan hasil observasi kegiatan guru siklus II Pertemuan ke Prosentase skor hasil observasi Keterangan 1 100% Sangat baik 2 100% Sangat baik 3 88% Sangat baik 4 100% Sangat baik 5 85% Sangat baik 6 88% Sangat baik
Berdasarkan jawaban yang diberikan siswa pada kuis 4, 5, 6 dan 7, didapatkan hasil analisis terhadap pemahaman siswa ditinjau dari taksonomi SOLO. Adapun rekapan hasil yang diperoleh siswa pada kuis 1 dan 2 dapat dilihat pada tabel berikut: Kuis ke 4
N 13
5 6
13 15
7
14
Tabel 4. Rekapan hasil kuis 4, 5, 6 dan 7 Spmk Ppmk Keterangan 11 85% Enam siswa meningkat ke unistructural. Lima siswa meningkat ke multistructural. 9 69% Sembilan siswa meningkat ke multistructural. 9 60% Delapan siswa meningkat ke unistructural. Satu siswa meningkat ke multistructural. 11 79% Lima siswa meningkat ke unistructural. Enam siswa meningkat ke multistructural.
Berdasarkan hasil observasi kegiatan guru selama pembelajaran di siklus II, didapatkan kegiatan guru berada pada kriteria baik atau sangat baik. Prosentase banyaknya siswa yang pemahamannya meningkat secara klasikal (𝑃𝑝𝑚𝑘 ) mencapai 60% atau lebih. Dengan demikian,
250
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dapat disimpulkan pembelajaran dengan strategi REACT telah memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. PEMBAHASAN Kegiatan diskusi diawali oleh siswa dengan mengkaitkan materi yang dipelajari dengan membaca informasi mengenai kaitan materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari (relating). Hal ini sesuai dengan pendapat CORD (1999: 4) yang mengemukakan bahwa kejadian dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan informasi baru untuk kemudian diserap. Tetapi, pembelajaran yang terjadi memperlihatkan kebanyakan siswa hanya membaca saja informasi-informasi pada kegiatan yang dirancang di LKS. Siswa tidak dapat menyerap aspekaspek penting pada informasi tersebut untuk mengkaitkan informasi tersebut dengan materi yang dipelajari. Hal ini dimungkinkan tidak semua materi prasyarat di desain pada kegiatan mengkaitkan (relating) karena pada kegiatan ini difokuskan pada materi prasyarat yang terdekat dengan materi yang dipelajari. Padahal kegiatan mengkaitkan (relating) ini merupakan strategi pembelajaran kontekstual yang paling kuat (Crawford, 2001: 1). Sejalan dengan itu, Thompson, R. A & Zamboga, B. L (2004: 782) mengungkapkan bahwa pengetahuan prasyarat mempengaruhi pembelajaran baru. Lebih lanjut Thompson, R. A & Zamboanga, B. L (2004: 782) berpendapat pengetahuan prasyarat merupakan predictor penting dari kesuksesan pembelajaran. Kegiatan selanjutnya adalah menemukan konsep dasar (experiencing) dari materi yang dipelajari. Hal ini sesuai dengan pendapat CORD (1999: 4) yang menjelaskan bahwa experiencing merupakan kegiatan mengeksplorasi, menemukan dan menciptakan. Sejalan dengan pendapat Crawford (2001: 5) yang mengemukakan bahwa experiencing adalah belajar dengan mengalami. Tetapi pada kenyataannya, siswa menemukan beberapa kesulitan dalam menemukan konsep dasar. Hal ini dikarenakan kegiatan mengkaitkan yang berjalan tidak maksimal, sehingga pemahaman tidak segera didapatkan (Crawford, 2001: 1). Hal senada diungkapkan Alexander & Judy, 1988; committee on developments in the science of learning, National Research Council, 1999;Docy et al., 1999 (dalam Thompson, R. A & Zamboanga, B. L, 2004: 778) bahwa jika pengetahuan prasyarat tidak akurat, tidak lengkap atau tidak siap dapat menjadi penghambat memahamai atau mempelajari informasi baru. Pada kegiatan inti selanjutnya, siswa menerapkan konsep dasar pada soal latihan (applying). Crawford (2001: 8) mengungkapkan bahwa untuk dapat mendorong munculnya pemahaman siswa perlu diberikan soal latihan yang relavan dengan konsep dasar yang dipelajari. Tetapi, pada kenyataannya pemberian soal yang relevan dengan konsep dasar tidak cukup untuk memunculkan pemahaman siswa. Hal ini dimungkinkan materi prasayarat yang dimiliki siswa tidak memadai. Dalam melaksanakan kegiatan diskusi, siswa saling berbagi pendapat, memberi tanggapan dan mengkomunikasikannya dengan anggota kelompok. Menurut Crawford (2001: 11) kegiatan ini dinamakan cooperating agar kegiatan yang terkadang tidak dapat dikerjakan secara individu dapat diselesaikan bersama anggota kelompok. Pada pembelajaran yang terjadi, masih ditemui siswa bekerja secara individu. Hal ini dimungkinkan 1) siswa terlalu mempercayai pendapatnya yang terkadang kurang tepat, 2) desain kegiatan cooperating yang tidak mengajak siswa untuk mempertimbangkan pendapat teman dalam kelompok dan 3) siswa hanya menyalin hasil kerja teman dalam kelompok. Kegiatan mengkaitkan (relating), menemukan konsep dasar (experiencing) dan menerapkan konsep dasar (applying) dilakukan siswa di kelompok-kelompok kecil. Pada kegiatan tersebut, siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan di LKS dengan berdiskusi dengan anggota kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat CORD (1999: 24) yang mengemukakan bahwa siswa bekerja dalam kelompok untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diskusi. Namun dalam melakukan kegiatan diskusi, siswa masih membutuhkan pertanyaan-pertanyaan pancingan untuk menjawab beberapa pertanyaan. Crawford (2001: 8) berpendapat bahwa scaffolding perlu diberikan oleh guru untuk membantu siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang rumit (complex). Kegiatan diskusi pada kelompok-kelompok kecil menemui hambatan dalam hal penguasaan siswa terhadap pengetahuan prasyarat. Pengetahuan prasyarat yang tidak memadai tidak memaksimalkan kegiatan mengkaitkan (relating), (experiencing) dan (applying). Hal ini
251
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
didukung pendapat Crawford (2001: 5) yang menjelaskan bahwa salah pengertian mengenai pengetahuan prasyarat dapat menjadi hambatan mendapatkan hasil. Kegiatan inti menerapkan konsep dasar pada konteks baru (transferring) digunakan peneliti untuk mengases pemahaman matematika siswa. Menurut Crawford (2001: 14) transferring merupakan strategi pembelajaran dimana pengetahuan digunakan dalam konteks baru atau situasi yang belum tercakup pada kegiatan pembelajaran sebelumnya. Pada kegiatan ini, asesmen terhadap pemahaman matematika siswa secara individu dilakukan. Beberapa soal yang diberikan pada kegiatan ini adalah sebagai berikut: Diketahui A = {eyang Toni, eyang Roni} B = {Lisa, Tio, Wulan, Andi} 1. Nyatakan relasi dari himpunan A ke himpunan B yang aturannya “kakek dari” kedalam diagram panah, selanjutnya, apakah relasi dari himpunan A ke himpunan B dengan aturan “kakek dari” merupakan fungsi? berikan alasan dari jawaban kamu. 2. Nyatakan relasi dari himpunan A ke himpunan B yang aturannya “memiliki cucu perempuan bernama” kedalam diagram panah, selanjutnya, apakah relasi dari himpunan A ke himpunan B dengan aturan “memiliki cucu perempuan bernama” merupakan fungsi? berikan alasan dari jawaban kamu 3. Tentukan fungsi dari himpunan A ke himpunan B, selain yang sudah ada pada pertanyaan sebelumnya Jawaban yang diberikan menunjukkan, siswa hanya dapat menggunakan satu aspek penting saja untuk menjawab soal yang diberikan. Aspek tersebut yaitu diagram panah relasi dari suatu himpunan ke himpunan lain. Siswa menggambar diagram panah dari relasi “satu kurangnya dari” dan “empat kurangnya dari” saja seperti pada petikan hasil kerja siswa berikut:
Gambar 5. Siswa mengulang “kesalahan yang sama” dalam menjawab suatu tugas yang diberikan
Siswa hanya dapat mengingat satu aspek saja yaitu diagram panah relasi dari suatu himpunan ke himpunan lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Hsu ( 2013: 397) yang mengungkapkan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan tanpa adanya keterkaitan antar konsep, siswa hanya mengingat penggunaan aspek-aspek tertentu. Dalam mengkaitkan antar aspek yang dibutuhkan untuk menjawab soal nomor 1 dan 2, siswa melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut dikarenakan siswa tidak dapat membedakan fungsi dan bukan fungsi. Kesalahan juga tercermin pada jawaban siswa dari soal nomor 3 yang mengkategorikan “lima kurangnya dari” ke dalam salah satu fungsi dari himpunan A ke B. Padahal, “lima kurangnya dari” bukan fungsi dari himpunan A ke B. Kesalahan siswa menggunakan konsep fungsi dan bukan fungsi berulang dari nomor 1, 2 berlanjut ke nomor 3. Kejadian ini sesuai dengan observasi dalam penelitian yang dilakukan oleh Lannin, J. K, Barker, D. D & Townsend, B. E (2007: 57) yang mengatakan bahwa beberapa siswa mengulang “kesalahan yang sama” di beberapa kesempatan. 252
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Jawaban tersebut sekaligus menunjukkan siswa dapat meningkatkan pemahamannya, tetapi hanya meningkat satu tingkat yaitu dari prestructural ke unistructural. Soal yang diberikan pada kegiatan ini merupakan soal yang terlalu kompleks sehingga memungkinkan menjadi salah satu sebab kebosanan siswa untuk menjawab soal. Kekompleksan ini nampak pada lembar kegiatan siswa 2 kegiatan 2.4 nomor 1 dan 2. Dalam satu nomor pada kegiatan 2.4 tersebut, siswa diminta untuk 1) menyatakan secara tertulis salah satu relasi dari himpunan A ke B ke dalam diagram panah, 2) memutuskan apakah relasi tersebut merupakan fungsi atau bukan fungsi, dan 3) menyatakan secara tertulis alasan mengapa suatu relasi dari himpunan A ke B merupakan fungsi atau bukan fungsi. Untuk mengatasi kekompleksan suatu tugas, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menyusun tugas dalam bentuk diagram/grafik. Hal ini sesuai dengan pendapat Schorr, R. Y & Goldin, G. A (2008: 136) yang menjelaskan bahwa siswa dapat mengeksplor ide-ide kompleks menggunakan dinamik grafik dengan sedikit kompleksitas perhitungan. Sejalan dengan itu, Janvier et al (dalam Lowrie, T, Diezmann, C. M, & Logan, T, 2012: 170) mengatakan bahwa representasi grafik khusus seperti peta, diagram, grafik dan bagan merupakan ekspresi konsepkonsep matematika yang bertindak sebagai “stimuli pada kepekaan” untuk membantu seseorang memahami ide-ide kompleks. Lebih lanjut Arcavi (dalam Lowrie, T, Diezmann, C. M, & Logan, T, 2012: 170) mengungkapkan bahwa grafik menyediakan kesempatan untuk membeberkan data dalam cara yang lebih tepat, memungkinkan pembaca “melihat” cerita yang diuraikan dalam representasi grafik tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan tindakan yang telah dilakukan peneliti pada penelitian ini, dapat disimpulkan kegiatan pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman matematika siswa adalah sebagai berikut. Pada tahap relating secara berkelompok siswa mengkaitkan materi yang dipelajari dengan menjawab soal yang disajikan menggunakan representasi grafik/gambar/diagram. Kegiatan siswa selanjutnya pada tahap experiencing adalah secara berkelompok menjawab bagian-bagian yang belum lengkap dari suatu paragraf untuk menemukan konsep dasar. Pada tahap applying, secara berkelompok, siswa menjawab soal latihan mengenai konsep dasar yang disajikan dengan memperhatikan aspek-aspek yang terkait. Pada tahap cooperating, siswa berdiskusi dengan sesama teman dalam kelompok kecil dan presentasi kelas. Pada tahap transferring, siswa menjawab soal secara individu yang disaijikan dengan memperhatikan aspek-aspek yang terkait dari soal tersebut. Guru memberikan bimbingan selama kegiatan diskusi pada tahap relating, experiencing dan applying. Bimbingan yang diberikan berupa penjelasan maksud soal-soal yang belum dipahami atau memberikan pertanyaan-pertanyaan pancingan. Pertanyaan-pertanyaan pancingan diberikan karena siswa memiliki pemahaman yang kurang memadai terhadap materi prasyarat. Sehingga, bimbingan diberikan pada setiap kegiatan secara berurutan. Dalam kegiatan pembelajaran dengan strategi REACT yang terlaksana, terdapat beberapa kekurangan, diantaranya adalah 1) kegiatan cooperating, masih sulit dilakukan siswa. Siswa belum dapat melakukan interaksi antar anggota kelompok, dan 2) Pada tahap transferring, masih dijumpai beberapa siswa melihat pekerjaan teman, tidak sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan, dan lain-lain. Pada tahap transferring, didapat pemahaman matematika siswa SMP Ahmad Yani meningkat. Ditinjau dari taksonomi SOLO, beberapa siswa dapat meningkatkan pemahamannya 92 siswa lain dapat meningkatkan pemahamannya dari prestructural ke unistructural. Beberapa dari prestructural ke multiistructural. Namun tidak ada siswa yang dapat meningkatkan pemahaman ke tingkat relational. Sedangkan peningkatan dari prestructural ke extended abstract ditemukan pada suatu kuis di siklus I. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat, peneliti memberikan saran kepada peneliti selanjutnya untuk mendesain pelaksanaan kegiatan diskusi kelompok kecil dengan aturan yang bervariasi. Selain itu, perlu difokuskan desain kegiatan menerapkan konsep dasar (applying dan transferring) dengan dengan mempertimbangkan kegiatan mengkaitkan (relating) di dalammya. Kegiatan cooperating juga perlu didesain dengan jelas sehingga membuat siswa berinteraksi dengan sesama anggota kelompok maupun antar kelompok. 253
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education. 9: 33-52. Crawford, M. L. 2001. Teaching Contextually. Texas: CCI Publishing Inc. Ghazali, N. H. C & Zakaria, E. 2011. Students‟ procedural and conceptual understanding of mathematics. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 5(7): 684-691. Hsu, W. M. 2013. Examining the types of mathematical task used to explore the mathematics instruction by elementary school teachers. Science research, 4(6): 396-404. Lannin, J. K, Barker, D. D & Townsend, B. E. 2007. How Students View The General Nature of Their Errors. Educ Stud Math. 66: 43-59. Lowrie, T, Diezmann, C. M, Logan, T. 2012. A framework for mathematics graphical task: the influence of the graphic element on student sense making. Math Ed Res J, 24: 169-187. Murray, S. 2011. Declining participation in post-compulsory secondary school mathematics: students‟ views of and solutions to the problem. Research in Mathematics Education. 13(3): 269 – 285. Schorr, R. Y & Goldin, G. A. 2008. Students expression of affect in inner-city simcalc classroom. Educ Stud math, 68: 131-148. Somekh, B. 2006. Action Research: A Metodology For Change and Development. London: Open University Press. Staples, M. E. 2008. Promoting student Collaboration in a detracked, heterogeneous secondary mathematics classroom. J Math Educ.11: 349-371. Thompson, R. A & Zamboanga, B. L. 2004. Academic aptitude and prior knowledge as predictors of student achievement in introduction to psychology. Journal of Educational Psychology. 94(4): 778-784.
PENERAPAN PEMBELAJARAN MELALUI PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMPN 1 KEDIRI KABUPATEN LOMBOK BARAT PADA MATERI SPLDV Afifurrahman, Ipun Yuwono, dan I Made Sulandra Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran melalui pemecahan masalah yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII-E SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat. Hasil penelitian ini didasarkan pada, 1) hasil observasi aktivitas siswa, 2) hasil tes akhir, dan 3) hasil wawancara. Analisis terhadap hasil observasi aktivitas siswa pada siklus I dan II menunjukkan bahwa siswa menjadi aktif selama proses pembelajaran. Persentase keaktifan siswa selama proses pembelajaran masuk dalam kategori “baik”. Analisis terhadap hasil tes akhir menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat pada materi SPLDV. Pada siklus I, 57,69% dari 26 siswa dinyatakan tuntas. Pada siklus II, 80,76% dari 26 siswa dinyatakan tuntas. Terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada materi SPLDV sebesar 23,07%. Analisis terhadap hasil wawancara pada siklus I dan II menunjukkan bahwa, tiga dari empat subjek wawancara menjawab dengan benar soal SPLDV yang diajukan, baik dari segi proses maupun hasil akhir. Kata kunci: Pembelajaran melalui Pemecahan Masalah, Hasil Belajar
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat pada bulan Agustus 2013 dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika untuk aspek aljabar masih berpusat pada guru. Guru masih mendominasi selama proses pembelajaran. Suasana di
254
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dalam kelas cenderung pasif, karena belum terlibatnya siswa secara maksimal dalam kegiatan belajar matematika. Siswa belum mempunyai inisiatif untuk bertanya kepada guru, meskipun guru tetap meminta siswa untuk bertanya jika tidak memahami materi yang diajarkan. Ketika guru menjelaskan materi pelajaran matematika, didapatkan beberapa siswa yang tidur-tiduran, mengobrol dengan temannya, serta melipat-lipat uang kertas. Hasil pekerjaan siswa SMPN 1 Kediri dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan SPLDV menunjukkan bahwa siswa dapat menemukan hasil akhir dari masalah yang diajukan tetapi tidak mampu menjelaskan bagaimana proses yang digunakan untuk memperoleh hasil akhir tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum memahami dengan baik materi SPLDV. Siswa belum mampu mengaplikasikan materi SPLDV yang telah dipelajarinya ke situasi yang lain. Salah satu faktor penyebabnya adalah guru matematika di SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat masih menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran. Metode ceramah yang digunakan guru berdampak pada pasifnya siswa dalam belajar matematika (Hudojo, 2003). Keterlibatan siswa secara aktif baik mental maupun fisik dalam belajar matematika akan menjadikan siswa lebih lama mengingat konsep matematika yang dipelajarinya serta mampu mengaplikasikannya ke situasi yang lain (Hudojo, 1988). Oleh karena itu, siswa harus diberikan kesempatan untuk aktif membangun pengetahuannya berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki. Sebagaimana yang dinyatakan oleh NCTM (2000: 20) bahwa, “Students must learn mathematics with understanding, actively building new knowledge from experience and prior knowledge”. Salah satu cara yang dapat memberikan ruang bagi siswa untuk aktif membangun sendiri pengetahuannya berdasarkan pengetahuan awal yang telah dimiliki yaitu dengan menyajikan masalah kepada siswa untuk diselesaikan. Menurut Perkins (dalam Barrett dkk, 2005) suatu informasi akan bernilai bagi siswa, jika siswa siap menerima informasi tersebut, dan kesiapan siswa dalam menerima informasi dapat dipicu melalui tantangan dari masalah yang dikonstruksi dengan baik. Dengan kata lain, guru disarankan untuk menerapkan pembelajaran melalui pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan permendiknas no.22 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa di dalam KTSP fokus pembelajaran matematika adalah pendekatan pemecahan masalah (Yusuf, 2009). Siswa bisa belajar dan memperdalam pemahamannya terhadap konsep matematika dengan cara bekerja terhadap masalah-masalah (NCTM, 2000). Selain itu, siswa yang diajar melalui pemecahan masalah memperoleh prestasi belajar lebih baik dibandingkan siswa yang diajar melalui cara tradisional (Ali dkk, 2010). Pembelajaran melalui Pemecahan Masalah Hiebert dkk (dalam Walle dkk, 2010: 32) menyatakan bahwa, “Allowing the subject to be problematic means allowing students to wonder why things are, to inquire, to search for solutions, and to resolve incongruities. It means that both the curriculum and instruction should begin with problems, dilemmas, and questions for students.”
Berdasarkan pernyataan Hiebert di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan suatu masalah. Schroeder & Lester (dalam Walle dkk, 2010) menyebutkan bahwa pembelajaran yang mana siswa belajar matematika melalui masalah dunia nyata disebut sebagai pembelajaran melalui pemecahan masalah (teaching through problem solving). Ciri-ciri pembelajaran melalui pemecahan masalah yaitu, 1) masalah disajikan pada awal pembelajaran; 2) ide, konsep, atau keterampilan muncul dari bekerja dengan masalah. Sebagai contoh, ketika siswa dihadapkan dengan permasalahan untuk menemukan kemungkinan panjang dan lebar pintu suatu rumah berbentuk persegi panjang jika ternyata keliling pintu tersebut adalah 6 meter, siswa akan diarahkan untuk menemukan cara menyelesaikan persamaan linear dua variabel. Mengacu pada kedua ciri-ciri tersebut, maka pada penelitian ini, pembelajaran melalui pemecahan masalah diartikan sebagai strategi pembelajaran yang menghadapkan siswa dengan masalah, sedemikian sehingga siswa terdorong untuk menemukan konsep atau prosedur matematis melalui aktivitas memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep atau prosedur matematis tersebut. Masalah diajukan ke siswa dalam bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS). Ciri-ciri pembelajaran melalui pemecahan masalah memiliki persamaan dengan ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa dihadapkan pertama kali dengan masalah (Barrett dkk, 2005). Menurut Allen (1996) fokus pembelajaran
255
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
berbasis masalah yaitu memperkenalkan konsep pada siswa dengan cara mendorong siswa untuk memecahkan masalah dunia nyata. Karena terdapat persamaan antara pembelajaran melalui pemecahan masalah dengan pembelajaran berbasis masalah, maka pada penelitian ini, fase-fase pembelajaran berbasis masalah menurut Arends (2008) dimodifikasi dan digunakan sebagai fase-fase pembelajaran melalui pemecahan masalah. Mengkonstruksi Masalah Pada penelitian ini, masalah diartikan sebagai suatu tugas atau soal yang mana cara atau metode untuk menyelesaikan tugas atau soal tersebut tidak diketahui sebelumnya oleh siswa (Beck dkk, 2000). Peran guru dalam pembelajaran melalui pemecahan masalah adalah memperbaiki, memilih, dan mengembangkan tugas yang dapat membantu perkembangan pemahaman siswa dan penguasaan terhadap prosedur matematis, kemampuan pemecahan masalah, penalaran, serta komunikasi matematis (Cai & Lester, 2010). Sedangkan menurut Selmer & Kale (2013), salah satu peran guru dalam pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah adalah merencanakan tugas atau masalah. Pada penelitian ini, masalah dikonstruksi mengacu pada saran Barrett dkk (2005) serta tahap-tahap mengkonstruksi masalah menurut Weiss (2003). Gambar 1 menampilkan tahap-tahap mengkonstruksi masalah pada penelitian ini. Tahap 1: Menentukan tujuan pembelajaran
Tahap 2: Menentukan tujuan masalah
Tahap 3: Membuat masalah sesuai denganpengetahuan awal siswa
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran melalui pemecahan masalah yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat pada materi SPLDV. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena lebih menekankan pada proses daripada hasil. Adapaun jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas atau PTK karena adanya kesesuaian antara masalah pada penelitian ini dengan tujuan PTK, yaitu untuk memperbaiki kualitas praktek pembelajaran matematika dengan cara menerapkan pembelajaran melalui pemecahan masalah. Data utama yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah, hasil observasi aktivitas siswa dan guru, hasil tes akhir, dan hasil wawancara. Sedangkan data pendukung adalah hasil pekerjaan siswa dalam LKS dan hasil validasi.Sumber data pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII-E SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat yang berjumlah 26 siswa, terdiri dari 12 siswa laki-laki dan 14 siswa perempuan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, tes, wawancara, validasi, dan dokumentasi. 1) Observasi dilakukan untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan siswa dan guru selama pelaksanaan pembelajaran melalui pemecahan masalah. Observasi dilakukan oleh dua orang observer. Masing-masing observer diberikan RPP, LKS, serta instrumen berupa lembar observasi aktivitas siswa dan lembar observasi aktivitas guru. 2) Tes dilakukan untuk mengukur hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran melalui pemecahan masalah. Instrumen yang digunakan berupa lembar tes akhir. Pada siklus I,
256
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
lembar tes akhir memuat 3 butir soal uraian. Sedangkan pada siklus II, lembar tes akhir memuat 2 butir soal uraian. 3) Wawancara dilakukan untuk mengetahui respon siswa selama mengikuti pembelajaran melalui pemecahan masalah. Selain itu, wawancara dilakukan untuk mengecek apakah siswa benar-benar memahami materi SPLDV dengan cara mengajukan soal atau masalah yang berkaitan dengan SPLDV ketika berlangsungnya wawancara. Untuk wawancara digunakan instrumen berupa pedoman wawancara. 4) Validasi dilakukan untuk memperoleh penilaian atau masukan terhadap RPP, LKS, lembar observasi aktivitas guru, lembar observasi aktivitas siswa, lembar tes pratindakan, lembar tes akhir, dan pedoman wawancara. Validasi dilakukan oleh dua orang validator. Masingmasing validator diberikan instrumen berupa lembar validasi. 5) Dokumentasi dilakukan untuk mengambil foto-foto selama pelaksanaan pembelajaran melalui pemecahan masalah menggunakan kamera. Tahap-Tahap Penelitian Tahap Studi Pendahuluan Pada tahap ini dilakukan observasi awal terhadap proses pembelajaran matematika di kelas VIII-E SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat. Hasil observasi tersebut akan dijadikan pijakan perlu atau tidaknya dilakukan PTK. Tahap Pelaksanaan PTK Pelaksanaan PTK menggunakan model spiral yang dikembangkan oleh Kemmis dan McTaggart (dalam Wiriaatmadja, 2012) yang terdiri dari satu siklus atau lebih dengan masingmasing siklus terdiri atas 4 tahap yaitu, perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Siklus pada penelitian ini akan diulangi sampai kriteria keberhasilan yang ditetapkan tercapai yaitu, 1) persentase rata-rata skor aktivitas siswa selama proses pembelajaran berada pada kategori “baik” atau “sangat baik”, 2) minimal tiga dari empat subjek wawancara dapat menjawab dengan benar soal SPLDV yang diajukan ketika wawancara berlangsung, dan 3) minimal 75% dari banyak siswa yang mengikuti tes akhir memperoleh nilai tes akhir minimal 65. Untuk lebih jelasnya, tahap-tahap penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Studi Pendahuluan
Perencanaan
Tindakan
Pengamatan
Tidak
Refleksi
Berhasil
Ya Laporan akhir Gambar 2. Diagram Alur Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah-Langkah Pembelajaran melalui Pemecahan Masalah Penerapan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dirancang mengacu pada fase-fase pembelajaran melalui pemecahan masalah menghasilkan langkah-langkah pembelajaran melalui pemecahan masalah yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-E SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat pada materi SPLDV. Langkah-langkah pembelajaran termuat dalam tiga tahap kegiatan pembelajaran berikut ini. 1) Tahap Awal Tahap awal kegiatan pembelajaran memuat fase-1 yaitu, orientasi siswa pada masalah. Pada fase ini peneliti menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran. Peneliti berupaya untuk mengkomunikasikan dengan jelas secara lisan dan tulisan apa yang akan dipelajari siswa serta
257
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
apa yang hendak dicapai pada pembelajaran tersebut. Seorang guru harus mengkomunikasikan dengan jelas apa yang akan dipelajari siswa (Arends, 2008). Langkah selanjutnya adalah mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan materi pembelajaran. Sebagai contoh, materi pembelajaran pada pertemuan ke-1 adalah PLDV. Peneliti mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan materi pembelajaran secara lisan dan juga tulisan. Secara tulisan, peneliti menulis pada papan tulis seperti pada Gambar 3. Dengan demikian, diharapkan pembelajaran yang terjadi merupakan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Sejalan dengan pendapat Ausubel bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran matematika (Shadiq & Mustajab, 2011).
Gambar 3. Pengaitan Pengetahuan Awal dengan Materi Pembelajaran
Langkah selanjutnya adalah mereview pengetahuan awal siswa. Mereview pengetahuan awal siswa dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, atau soal-soal yang terkait dengan pengetahuan awal tersebut. Untuk memecahkan setiap masalah matematika, seorang siswa butuh pengetahuan awal (Hudojo, 2003). 2) Tahap Inti Tahap inti kegiatan pembelajaran memuat fase-2, fase-3, fase-4, dan fase-5 pembelajaran melalui pemecahan masalah. Fase-2 yaitu, mengorganisasi siswa untuk belajar. Pada fase ini peneliti membantu siswa untuk mendefinisikan tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah, seperti: bagaimana menggunakan LKS, apa peran masing-masing anggota kelompok dalam rangka menyelesaikan masalah pada LKS, dan menjelaskan aturan dalam diskusi kelompok. Selain itu, peneliti juga menjelaskan peran masing-masing anggota kelompok dalam menyelesaikan masalah pada LKS. Ketua kelompok bertugas mengawasi anggotanya yang tidak ikut bekerja, presenter bertugas untuk mewakili kelompoknya ketika menyajikan hasil penyelesaian masalah. Ada siswa yang bertugas menulis penyelesaian masalah, dan ada juga siswa yang bertugas melakukan perhitungan dan memikirkan ide-ide untuk penyelesaian masalah. Dengan kelompok belajar diharapkan siswa dapat saling bertukar ide, pendapat dan pikiran dalam rangka bersama-sama menyelesaikan masalah pada LKS. Hal ini sejalan dengan pendapat Vygotsky bahwa belajar terjadi melalui interaksi sosial antara siswa dengan guru dan dengan teman sebayanya (Arends, 2008). Fase-3 yaitu, membimbing penyelesaian masalah secara kelompok. Pemberian bantuan dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan dalam memunculkan ide atau strategi pemecahan masalah. Bantuan dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaanpertanyaan yang mengarahkan siswa kepada solusi. Salah satu peran guru dalam pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah yaitu memfasilitasi pembelajaran dalam kelas (Salmer & Kale, 2013). Ketika siswa bekerja memecahkan masalah, siswa berusaha menggunakan pengetahuan awalnya dan mengaitkan pengetahuan awalnya dengan pengetahuan yang baru. Sebagai fasilitator, guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membantu siswa untuk mengingat pengetahuan awalnya dan membangun pengetahuan yang baru. Fase-4 yaitu, menyajikan hasil penyelesaian masalah. Pada fase ini presenter dari kelompok yang ditunjuk menjelaskan jawaban kelompoknya, baik dengan lisan maupun tulisan. Setiap kelompok dapat mengajukan pertanyaan atau pendapat jika ada yang tidak dipahami dari jawaban kelompok presenter. Peneliti mengatur jalannya diskusi yang terjadi antara kelompok presenter dengan kelompok lainnya. Tujuan fase ini adalah untuk melatih siswa agar bisa mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain. Mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain merupakan bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan pernyataan NCTM (2000: 60) bahwa, “communication is an essential part of mathematics and mathematics education”. Dengan mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain, siswa bisa mengetahui apakah pemahamannya benar atau salah terhadap suatu ide, konsep, prinsip, atau prosedur. Fase-5 yaitu, menganalisis dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Menurut Eggen & Kauchak (2012), ketika guru menghabiskan waktu untuk membantu salah satu 258
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kelompok dalam menyelesaikan masalah, maka kelompok-kelompok lain kemungkinan besar juga sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan dari guru. Karena waktu telah habis, maka guru pun tidak sempat memberikan bantuan bagi kelompok-kelompok yang lain, sehingga kelompok-kelompok tersebut melakukan kesalahan dalam menyelesaikan masalah. Hal inilah yang menjadikan fase-5 sangat penting untuk dilakukan. Guru dapat memperbaiki atau meluruskan pemahaman siswanya yang salah pada fase ini. 3) Tahap Akhir Tahap akhir kegiatan pembelajaran bertujuan untuk memberikan penguatan kepada siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Penguatan tersebut dilakukan dengan cara memberikan latihan soal kepada siswa dan dilanjutkan dengan menyimpulkan materi pembelajaran. Kegiatan menyimpulkan dilakukan dengan cara membacakan ulang konsep atau prosedur matematis yang telah dipelajari siswa. Dampak Penerapan Pembelajaran melalui Pemecahan Masalah Penerapan pembelajaran melalui pemecahan masalah di kelas VIII-E SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat pada materi SPLDV berdampak pada keaktifan dan hasil belajar siswa. Keaktifan siswa didasarkan pada hasil observasi aktivitas siswa selama proses pembelajaran yang dilakukan oleh kedua observer. Sedangkan hasil belajar siswa didasarkan pada hasil tes akhir dan hasil wawancara. Berikut ini dipaparkan tentang data serta pembahasan mengenai dampak penerapan pembelajaran melalui pemecahan masalah. Hasil Observasi Aktivitas Siswa Keaktifan siswa semakin meningkat selama proses pembelajaran melalui pemecahan masalah. Hal tersebut ditunjukkan dengan persentase rata-rata skor observasi aktivitas siswa yang diberikan oleh kedua observer. Tabel 1 menyajikan skor aktivitas siswa pada siklus I dan siklus II. Tabel 1. Skor Aktivitas Siswa pada Siklus I dan Siklus II Skor Aktivitas Siswa (Siklus I) Skor Aktivitas Siswa (Sikus II) Pertemuan kePertemuan keObserver ke1 2 1 2 ε Oi (%) ε Oi (%) ε Oi (%) ε Oi (%) 1 38 63,33 50 83,33 54 90 58 85,29 2 40 66,66 51 85 50 83,33 59 86,76
Keterangan: ε= total skor hasil observasi aktivitas siswa; Oi = persentase rata-rata skor observasi aktivitas siswa dari observer ke-i dengan i=1,2. Pada pertemuan ke-1 siklus I, persentase rata-rata skor aktivitas siswa sebesar 63,33% dan 66,66% yang masuk dalam kategori “kurang”. Pada pertemuan ke-1, kebanyakan siswa pasif dan sedikit siswa yang aktif. Pasifnya siswa pada kegiatan pembelajaran pertemuan ke-1 dikarenakan siswa belum terbiasa dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Hasil wawancara dengan siswa pada siklus I menunjukkan bahwa siswa biasanya diajar matematika dengan metode ceramah. Metode ceramah menyebabkan siswa-siswa menjadi pasif karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menemukan sendiri (Hudojo, 2003). Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, keaktifan siswa selama proses pembelajaran semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase rata-rata skor aktivitas siswa pada pertemuan ke-2 siklus I sebesar 83,33% dan 85% yang masuk dalam kategori “baik”. Persentase rata-rata skor aktivitas siswa pada pertemuan ke-1 siklus II sebesar 90% dan 83,33% yang masuk dalam kategori “baik”. Sedangkan persentase rata-rata skor aktivitas siswa pada pertemuan ke-2 siklus II sebesar 85,29% dan 86,76% yang masuk dalam kategori “baik”. Hasil Tes Akhir Analisis yang dilakukan terhadap hasil tes akhir untuk siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada materi SPLDV. Pada siklus I, terdapat 15 siswa yang tuntas dari 26 siswa, sehingga persentase ketuntasan klasikal pada siklus I sebesar 57,69%. Pada siklus II, terdapat 21 siswa yang tuntas dari 26 siswa, sehingga persentase ketuntasan klasikal pada siklus II sebesar 80,76%. Artinya terjadi peningkatan pada persentase ketuntasan klasikal dari siklus I ke siklus II sebesar 23,07%. Meningkatnya hasil belajar siswa pada materi SPLDV menunjukkan keefektifan dari strategi pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
259
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dilakukan oleh Ali dkk (2010) yang menunjukkan bahwa, prestasi belajar siswa yang diajar melalui pemecahan masalah lebih baik dari prestasi belajar siswa yang diajar dengan cara biasa. Hasil wawancara menunjukkan bahwa keempat subjek wawancara menyatakan senang mengikuti kegiatan pembelajaran melalui pemecahan masalah pada siklus I dan siklus II. Gambar 4 menampilkan petikan wawancara antara peneliti dengan salah satu subjek wawancara pada siklus I. Peneliti: “udah kamu diajarkan matematika seperti cara saya ngajar kemarin?, kemarin kan ada diskusi kelompok terus ada dari teman kamu yang ngejelasin di depan kelas, sudah gak belajar kayak gitu?” AA: “ndak pernah pak, biasanya kita dijelasin terus nyatat” Peneliti: “senang gak belajar matematika seperti yang saya ajarkan kemarin?” AA: “senang pak, soalnya gak banyak nyatatnya kita, terus cepat ngerti” Peneliti: “oo…syukur udah kalo gitu” Gambar 4. Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran melalui Pemecahan Masalah pada siklus I
Gambar 5 menampilkan petikan wawancara antara peneliti dengan salah satu subjek wawancara pada siklus II. Peneliti: “sekarang ada yang mau bapak tanyakan…udah gak belajar matematika dengan cara yang kita lakukan kemarin?” DS: “belum pernah” Peneliti: “senang diajar matematika kayak gitu?” DS: “senang banget” Gambar 5. Respon Siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran melalui Pemecahan Masalah pada siklus II
Gambar 6 menampilkan hasil pekerjaan dua subjek wawancara dalam menyelesaikan soal SPLDV yang diajukan peneliti ketika berlangsungnya wawancara pada siklus I.
Gambar 6. Strategi yang Digunakan Siswa dalam Menyelesaikan SPLDV
Gambar 7 menampilkan hasil pekerjaan dua subjek wawancara dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan SPLDV yang diajukan peneliti ketika berlangsungnya wawancara pada siklus II.
260
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 7. Strategi yang Digunakan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah yang Berkaitan dengan SPLDV
Petikan wawancara antara peneliti dengan siswa yang ditampilkan pada Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa siswa memiliki respon positif terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Selain itu, hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan SPLDV dan masalah yang berkaitan dengan SPLDV yang ditampilkan berturut-turut pada Gambar 6 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa siswa memahami dengan baik materi SPLDV melalui pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kendala Utama selama Pelaksanaan Pembelajaran Guru yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah menghadapi banyak kendala, seperti jadwal dan peraturan sekolah yang tidak fleksibel yang membatasi gerak siswa (Arends, 2008). Sesuai dengan pendapat Arends tersebut, peneliti menemukan beberapa kendala selama pelaksanaan pembelajaran melalui pemecahan masalah. Akan tetapi, pembahasan ini hanya dibatasi pada kendala utama. Kendala utama yang ditemukan selama pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini adalah, alokasi waktu yang telah direncanakan di RPP seringkali tidak sesuai dengan waktu pelaksanaan di dalam kelas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian alokasi waktu di RPP dengan waktu pelaksanaannya di dalam kelas, yaitu sebagai berikut. 1) Kurang cermatnya peneliti dalam mengatur waktu untuk setiap fase kegiatan pembelajaran, seperti pada pertemuan ke-1 siklus I. 2) Kurang cermatnya peneliti dalam menyesuaikan banyaknya masalah dalam LKS dengan alokasi waktu yang tersedia.
261
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3) Banyak waktu yang terpakai untuk fase-3 dan fase-4 kegiatan pembelajaran, sehingga tahap akhir kegiatan pembelajaran terlaksana setelah bel pergantian pelajaran berbunyi, seperti pada pertemuan ke-1 atau pertemuan ke-2 siklus I. KESIMPULAN Berdasarkan pembelajaran yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa langkahlangkah pembelajaran melalui pemecahan masalah yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-E SMPN 1 Kediri Kabupaten Lombok Barat pada materi SPLDV termuat dalam tiga tahap kegiatan pembelajaran. Ketiga tahap tersebut adalah tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Tahap awal memuat fase-1 yaitu, orientasi siswa pada masalah. Kegiatan yang dilakukan pada fase-1 adalah, 1) Menyampaikan materi yang akan dipelajari siswa dan tujuan pembelajaran secara lisan dan tulisan. 2) Menyampaikan ke siswa bahwa untuk mengerti materi pembelajaran dibutuhkan pengetahuan awal yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumnya. 3) Melakukan tanya jawab dengan siswa terkait dengan pengetahuan awal siswa. Tahap inti memuat fase-2, fase-3, fase-4, fase-5. Fase-2 yaitu, mengorganisasi siswa untuk belajar. Kegiatan yang dilakukan pada fase-2 adalah, 1) Berkeliling ke setiap kelompok untuk membagikan LKS. 2) Menyampaikan bahwa setiap soal di LKS disajikan secara terurut, sehingga setiap kelompok hendaknya menjawab soal-soal di LKS secara terurut agar dapat menemukan sendiri konsep matematika. 3) Membacakan aturan dalam diskusi kelompok. 4) Membacakan tugas masing-masing anggota kelompok, selaku ketua, presenter, dan anggota kelompok. Fase-3 yaitu, membantu penyelesaian masalah secara kelompok. Kegiatan yang dilakukan pada fase-3 adalah, melakukan tanya jawab dengan kelompok yang kesulitan dengan tujuan untuk memancing siswa agar mau berpikir sendiri tentang apa yang ditanyakan oleh masalah. Fase-4 yaitu, menyajikan hasil penyelesaian masalah. Kegiatan yang dilakukan pada fase-4 adalah, 1) Membacakan aturan dalam diskusi kelas. 2) Menunjuk presenter salah satu kelompok untuk maju ke depan kelas menulis dan menjelaskan jawaban kelompoknya terhadap masalah di LKS. 3) Menegur siswa yang tidak memperhatikan penjelasan presenter. 4) Memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk bertanya atau mengemukakan pendapat. 5) Meminta seluruh siswa dalam kelas untuk memberikan tepuk tangan bagi kelompok presenter. Fase-5 yaitu, menganalisis dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Kegiatan yang dilakukan pada fase-5 adalah, 1) Meminta setiap siswa untuk melihat kembali apakah jawaban presenter terhadap masalah sudah benar, baik proses maupun hasil akhir. 2) Menulis ulang jawaban yang benar (proses dan hasil akhir) terhadap masalah di papan tulis apabila pada jawaban presenter terdapat kesalahan (proses dan hasil akhir). Pada tahap akhir, konsep atau prosedur matematis yang telah dipelajari siswa dibacakan ulang untuk menguatkan ingatan siswa terhadap konsep atau prosedur matematis tersebut. SARAN Berdasarkan pembelajaran yang telah dilaksanakan, dapat disampaikan beberapa saran berikut. 1) Bagi peneliti atau guru yang berminat untuk menerapkan pembelajaran melalui pemecahan masalah pada materi atau pokok bahasan matematika lainnya disarankan untuk sebanyak mungkin berlatih mengkonstruksi masalah. Masalah yang dikonstruksi sebaiknya memenuhi syarat-syarat yang dituntut pembelajaran melalui pemecahan masalah, agar pembelajaran menjadi lebih efektif.
262
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2) Bagi peneliti atau guru yang berminat untuk menerapkan pembelajaran melalui pemecahan masalah agar berlatih dalam membimbing ketika siswa bekerja memecahkan masalah dalam kelompok. 3) Pengaturan alokasi waktu dalam RPP sebaiknya lebih diperhatikan secara cermat, agar setiap tahap kegiatan pembelajaran dapat terlaksana dengan lancar dan sesuai alokasi waktu yang telah direncanakan. DAFTAR RUJUKAN Ali, R., Hukamdad & Akhter, A. 2010. Effect of Using Problem Solving Method in Teaching Mathematics on the Achievement of Mathematics Student. Asian Social Science, 6 (2). (Online), (http://www.ccsenet.org/ass), diakses Februari 2013. Allen, D.E. 1996. Problem: A Key Factor in PBL. (Online), (http://www.udel.edu/pbl/cte/spr96phys.html), diakses Februari 2013. Arends, R.I. 2008. Learning To Teach (Belajar untuk Mengajar). Terjemahan Helly Prayitno Sucipto.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Barrett, T., Mac Labhrainn, I., Fallon, H. (Eds). 2005. Handbook of Enquiry & Problem Based Learning. Galway: CELT, (Online), diakses Februari 2013. Beck, P., Dworkin, L., Leinwand, S., Rios, J., Rainey, A. & Raith, L. 2000. Mathematics Assessment a Practical Handbook for Grades 6-8 (W.S. Bush & S. Leinwand, Ed.). Virginia: NCTM. Cai, J. & Lester, F. 2010. Why is Teaching with Problem Solving Important to Student Learning?. Problem Solving Research Brief NCTM, (Online), diakses Januari 2014. Eggen, P. & Kauchak, D. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir Edisi Keenam. Terjemahan Satrio Wahono. Jakarta: PT Indeks. Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Jurusan Matematika FMIPA UM. NCTM, 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA: NCTM. Selmer, S. & Kale, U. 2013. Teaching Mathematics through Problem Solving. Innovacion Educativa, 13(62), (Online), diakses Januari 2014. Shadiq, F. & Mustajab, N. A. 2011. Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK, (Online), diakses Juli 2013. Walle, V.D., Karp, K.S., Bay-Williams, J.M. 2010. Elementary and Middle School Mathematics Teaching Developmentally (Seventh Edition). USA: Pearson Education Inc. Weiss, R.E. 2003. Designing Problem to Promote Higher-Order Thinking. New Directions for Teaching and Learning, No.95 Fall 2003. Wiley Periodicals, Inc, (Online), diakses September 2013. Wiriaatmadja, R. 2012. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Yusuf, M., Zulkardi, Saleh, T. 2009. Pengembangan Soal-Soal Open-Ended pada Pokok Bahasan Segitiga dan Segiempat di SMP. Jurnal Pendidikan Matematika, 3(2), (Online), diakses Agustus 2013.
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS Alep, Toto Nusantara, dan Abdur Rahman As’ari Universitas Negeri Malang
[email protected].,
[email protected],
[email protected] Abstract: This research aims at providing a Development of Problem Solving and Mathematical Communication-Based Teaching Material for VIII Graders. This research is a research and development. The development utilized 4-D model (Define, Design, Develop, dan Disseminate) by Thiagarajan, Semmel and Semmel that is reduced to the step of develop only. The subjects of the research taken from VIII.2 graders of SMP Negeri 2 Jerowaru in the academic year 2013/2014. The researcher used expert validation sheets, observation sheets, and achievement test as the instruments. The produced teaching
263
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
material is in the form of students‟ work sheet (LKS) on two variable of linear equation system. LKS is revised based on validators‟ input and the results of development test. Key words: problem, problem-solving, mathematical communication.
Dalam standar isi mata pelajaran matematika untuk satuan pendidikan dasar dan menengah disebutkan lima tujuan pelajaran matematika, dua diantaranya adalahagar siswa memiliki kemampuan (1) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;(2) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah (Depdiknas, 2006:140).Demikian pula denganNCTM (1989), telah menetapkan standar khusus tentang proses matematika di dalam standar kurikulum dan evaluasi matematika sekolah, yaitu penalaran, pemecahan masalah, komunikasi, dan koneksi. Jadi, jelaslah bahwa kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi penting dalam pembelajaran matematika. Pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Hal ini secara eksplisit ditegaskan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, bahwa kemampuan pemecahan masalah sebagai kompetensi dasar yang harus dikembangkan dan diintegrasikan pada sejumlah materi yang sesuai.Pentingnya kemampuan pemecahan masalah dalam matematika ditegaskan pula oleh beberapa pakar, diantaranya: (1) Subanji (2013:112) mengemukakan bahwa pemecahan masalah dapat ditransfer untuk memecahkan masalah lain dalam kehidupan; (2) pemecahan masalah mempunyai peranan yang sangat penting dalam matematika dan harus menjadi tujuan utama dalam pendidikan (pembelajaran) matematika (Novita, 2012:133); (3) salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah dengan memberikan sejumlah keterampilan problem solving (Dhoruri, 2010:7); (4) banyak manfaat dari pengalaman memecahkan masalah, antara lain peserta didik menjadi kreatif, kritis, dan mandiri (Muhsetyo, 2004:128); dan (5) siswa dapat belajar konsep matematika yang baru melalui aktivitas pemecahan masalah (Ibrahim, 2012). Selain pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis juga penting untuk dikembangkan. Dengan kemampuan komunikasi matematis siswa dapat mengkomunikasikan ide matematisnya baik secara lisan maupun tulisan. Depdiknas (2001:8) menyatakan bahwa mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis dan efisien. NCTM (2000) menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan cara berbagi ide dan memperjelas pemahaman. Di samping itu, kemampuan komunikasi matematis dipandang sangat terkait dengan pemahaman matematika dan pemecahan masalah. Umar (2012) mengungkapkan bahwa kemampuan komunikasi matematis tidak hanya dikaitkan dapat dikaitkan dengan pemahaman matematika, namun juga sangat terkait dengan dengan kemampuan pemecahan masalah. As‟ari (2001:89) berpendapat, bahwa kemampuan membuat pemodelan matematis dan kemampuan memverifikasi apakah selesaian yang diperoleh memang betul-betul selesaian yang diharapkan merupakan hal-hal penting yang perlu dikuasai oleh siswa agar mampu menyelesaikan soal cerita dengan baik. Dengan demikian, untuk menjadi pemecah masalah yang baik dibutuhkan kemampuan komunikasi yang baik pula. Selama ini pembelajaran matematika masih terpaku pada peningkatan pengetahuan deklaratif dan prosedural. Pembelajaran matematika tidak mendukung peningkatan kemampuan lainya yang lebih penting seperti kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi. Dalam kajiannya Rochmad (2011:20) menyimpulkan bahwa pembelajaran matematika di SMP/MTs selama ini berpusat pada guru dan langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan oleh guruguru matematika dilakukan dengan pola informasi-contoh soal-latihan. Salah satu komponen penting dalam pembelajaran adalah bahan ajar. Dengan bahan ajar guru akan lebih mudah dalam melaksanakan pembelajaran dan siswa akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar. Oleh karena itu, guru perlu mempersiapkan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik materi yang akan diajarkan. Tulisan ini akan membahas prosedur dan hasil pengembangan bahan ajar berbasis pemecahan masalah dan komunikasi matematis. METODE PENELITIAN
264
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian dan pengembangan (Research and Development). Model pengembangan yang digunakan mengacu pada 3 (tiga) tahap pertama dari model 4-D yang dikembangkan oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974) yang terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu (1) tahap pendefinisian, (2) tahap perancangan, (3) tahap pengembangan, dan (4) tahap penyebarluasan. Tahap pertama dilakukan melalui lima langkah, yaitu analisis awal-akhir, analisis siswa, analisis tugas, analisis konsep, dan analisis tujuan pembelajaran. Tahap kedua dilakukan melalui tiga langkah, yaitu pemilihan media, pemilihan format, dan perancangan awal. Dan tahap ketiga dilakukan melaui penilaian ahli dan uji coba lapangan. Uji coba dilakukan terhadap 27 siswa SMPN 2 Jerowaru. Sebelum dilakukan uji coba, LKS dan instrument penelitian divalidasi oleh ahli dan praktisi. Instrumen yang digunakan terdiri dari, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar observasi, dan tes hasil belajar. LKS dan instrumen penelitian dilanjutkan ke tahap uji coba setelah hasil validasi mencapai kriteria minimal valid. LKS dikatakan praktis apabila hasil observasi menunjukkan kriteria minimal baik dan hasil siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas pada LKS dalam kategori minimal baik.LKS dikatakan efektif apabila dan minimal 80% siswa memperoleh nilai tes hasil belajar lebih dari atau sama dengan 65. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian metode penelitian telah dijelaskan bahwa pengembangan LKS mengacu pada model 4-D yang direduksi sampai tahap ketiga, yaitu tahap (1) pendefinisian, (2) tahap perancangan, dan (3) tahap pengembangan. Adapun hasil-hasil yang diperoleh pada masingmasing tahap tersebut sebagai berikut. 1. Tahap Pendefinisian a. Analisis awal-akhir Hasil diskusi dengan guru matematika kelas VIII, Khairi Fadli, S. Pd. pada tanggal 3 Juni 2013 diperoleh informasi bahwa siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami materi SPLDV terutama soal-soal yang disajikan dalam bentuk cerita. Gambar 1 menunjukkan kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal SPLDV.
Gambar 1. Hasil Siswa dalam Menyelesaikan Soal SPLDV
Gambar 1 merupakan cuplikan hasil siswa dalam menyelesaikan soal SPLDV yang diberikan pak Khairi Fadli pada tanggal 10 Juni 2013. Dari hasil ini diketahui beberapa kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal SPLDV, antara lain: (1) siswa masih lemah dalam menerapkan prosedur perhitungan; (2) siswa masih kesulitan mengubah soal cerita kedalam kalimat matematika; dan (3) siswa masih kesulitan menginterpretasi selesaian 265
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
b.
c.
d.
No. 1.
2.
3.
e.
matematis ke dalam selesaian yang diinginkan. Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa siswa masih lemah dalam kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis.Anggapan ini sesuai dengan temuan Wardani dan Rumiati (2011:55) yang menunjukkan bahwa siswa Indonesia lemah dalam menyelesaikan soal yang menuntut kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi dan berkomunikasi. Analisis siswa Analisis siswa dilakukan dengan mengkaji karakteristik siswa. Latar belakang pengetahuan prasyarat siswa yang dijadikan subyek uji coba sudah memenuhi untuk mempelajari materi SPLDV. Siswa telah mempelajari materi operasi bentuk aljabar, persamaan linier satu variabel, dan persamaan garis lurus. Jika ditinjau dari perkembangan kognitifnya, siswa kelas VIII SMP rata-rata berusia 13 – 14 tahun, menurut teori perkembangan Piaget berada pada tahap operasi formal. Pada tahap operasi formal siswa dapat memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya (Hudojo, 2003). Dari penjelasan di atas, diasumsikan bahwa siswa kelas VIII SMP telah mampu mengkomunikasikan ide atau gagasan matematisnya meggunakan simbol, diagram, tabel, atau media lainnya serta mampu menyajikan suatu masalah dengan bahasa matematik. Dengan demikian, siswa SMP kelas VIII sudah mampu belajar pemecahan masalah dan komunikasi matematis. Analisis konsep Berdasarkan hasil pada analisis awal-akhir dan analisis siswa, konsep yang akandiajarkan dalam pengembangan bahan ajar ini adalah SPLDV. Konsep mengenai SPLDV akan dibagi kedalam tiga subkonsep, yaitu persamaan linier dua variabel, bentuk SPLDV, dan menyelesaikan masalah SPLDV. Dari ketiga subkonsep ini, penulis akan mengembangkan masalah-masalah kontekstual yang dialami siswa. Analisis tugas Dari hasil analisis konsep, selanjutnya dirancang tugas-tugas yang akan diselesaikan oleh siswa. Hasil dari analisis tugas seperti pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Rancangan Tugas dalam LKS Deskripsi Tugas Dengan berdiskusi kelompok, siswa menganalisis masalah persamaan linier dua variabel yang diberikan. Siswa menyusun strategi dan menerapkannya untuk memecahkan masalah yang diberikan. Siswa menyelesaikan soal-soal latihan. LKS 2. Sistem Dengan berdiskusi kelompok, siswa menganalisis masalah SPLDV Persamaan Linier Dua yang diberikan. Variabel. Siswa menyusun strategi dan menerapkannya untuk memecahkan masalah yang diberikan. Siswa membuat masalah sehari-hari dari model matematika yang diberikan dan menyelesaikannya. Siswa menyelesaikan soal-soal latihan. LKS 3. Menyelesaikan Dengan berdiskusi kelompok, siswa menganalisis masalah SPLDV SPLDV. yang diberikan. Siswa menyusun strategi dan menerapkannya untuk memecahkan masalah yang diberikan. Siswa menguji hasil yang diperoleh dalam proses pemecahan masalah. Siswa menyelesaikan soal-soal latihan. Materi LKS 1. Persamaan Linier Dua Variabel.
Perumusan tujuan pembelajaran Indikator pencapaian hasil belajar yang diharapkan adalah sebagai berikut: (1) menyatakan bentuk persamaan linier dua variabel; (2) membuat soal cerita dari symbol persamaan linier dua variabel; (3) menyatakan bentuk SPLDV; (4) membuat soal cerita dari symbol SPLDV; dan (5) menyelesaikan masalah SPLDV.
266
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2.
a.
Tahap Perancangan Pada tahap ini akan mulai dirancang bahan ajar yang akan dikembangkan dan didasarkan pada hasil berbagai analisis pada tahap pendefinisian. Hasil yang diperoleh pada tahap ini adalah bahan ajar draft 1. Penyusunan tes berbasis kriteria Penyusunan tes dimulai dari penyusunan kisi-kisi soal, penyusunan soal, dan penyusunan pedoman penskoran. Hasil dari langkah ini berupa tes hasil belajar yang terdiri dari 4 (empat) butir soal uraiandan dilengkapi dengan pedoman penskoran.
b.
Pemilihan media Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan media yang tepat untuk menyajikan materi pembelajaran. Proses pemilihan media disesuaikan dengan hasil analisis konsep, analisis tugas dan karakteristik siswa. Berdasarkan hasil analisis konsep, analisis tugas dan karakteristik siswa, maka penulis memilih LKS sebagai media untuk menyajikan materi pembelajaran. c. Pemilihan format Pemilihan format bahan ajar berkaitan erat dengan media yang dipilih. Media yang dipilih yaitu LKS. Penyajian materi SPLDVpada LKS ini tidak dilakukan secara deduktif seperti penyajian materi pada LKS pada umumnya. Penyajian materi diawali dengan penyajian masalah atau cerita kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan konsep SPLDV. Melalui masalah tersebut siswa didorong untuk menyelesaikan tugas-tugas melalui aktivitas pemecahan masalah. Adapun format LKS yang akan dikembangkan adalah (a) Judul LKS; (b) standar kompetensi; (c) kompetensi dasar; (d) indikator; (e) alokasi waktu; (f) petunjuk; (g) tugas-tugas; (h) langkah-langkah penyelesaian tugas; (i) informasi; dan (j) soal-soal latihan. d. Rancangan awal Hasil-hasil yang diperoleh dari tahap pendefinisian sampai tahap pemilihan format dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan bahan ajar. Bahan ajar yang dikembangkan terdiri dari 3 (tiga) LKS. Pada LKS 1, penulis fokuskan untuk konsep persamaan linier dua variabel. LKS 2 difokuskan pada konsep SPLDV. Sedangkan LKS 3 difokuskan pada menyelesaikan masalah SPLDV. 3. Tahap Pengembangan a. Validasi ahli LKS yang dikembangkan divalidasi oleh ahli menggunakan lembar validasi yang telah dinilai kelayakannya. Validasi dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli, yaitu: (1) Dr. Cholis Sa‟dijah, M.Pd., M.A. (Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang), dan (2) Drs. Nanang Hari Setiyono (Ketua MGMP Matematika Kabupaten Malang).Berdasarkan hasil validasi, LKS yang dikembangkan memenuhi syarat valid. LKS yang telah divalidasi kemudian direvisi sesuai masukan dari validator. Hasil revisi tersebut menfhasilkan LKS draf 2. b. Uji coba lapangan Uji coba produk hasil pengembangan dilakukan kepada siswa SMP Negeri 2 Jerowaru, Lombok Timur yang belum menempuh materi SPLDV. Secara operasional, uji coba dilakukan pada siswa kelas VIII-2 yang berjumlah 27 orang dengan rincian 12 siswa laki-laki dan 15 siswa perempuan. Siswa-siswa tersebut dibagi kedalam 7 (tujuh) kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4 orang anggota. Uji coba ini bertujuan untuk menilai secara empiris keterlaksanaan dan keefektifan produk. 1) Keterlaksanaan produk Keterlaksanaan LKS hasil pengembangan didasarkan pada dua hal, yaitu berdasarkan hasil pengamatan dan hasil siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas pada LKS. Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam menyelesaikan LKS menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan sangat mudah digunakan dalam pembelajaran dengan rata-rata prosentase keterlaksanaan 92%. Disamping itu, dari hasil analisis terhadap penyelesaian LKS oleh siswa juga menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan mudah digunakan dalam pembelajaran SPLDV di kelas VIII dengan prosentase 79,86%.
267
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari kegiatan uji coba juga diperoleh informasi tentang kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. Informasi tersebut seperti disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Hasil Uji Coba LKS Berdasarkan Aspek Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis No Aspek Prosentase Ketercapaian Keterangan I Pemecahan Masalah 1 Memamahami masalah 96,19% Sangat baik 2 Menyusun rencana 90,95% Sangat baik 3 Menerapkan rencana 74,40% Baik 4 Melihat kembali 85,88% Sangat baik Sangat baik Rata-rata 86,86% II Komunikasi Matematis 1 Argumentasi 60,00% Cukup 2 Membuat representasi 91,19% Sangat baik 3 Membaca representasi 61,90% Cukup Baik Rata-rata 71,03%
Dari Tabel 2 dapat dilihat, secara keseluruhan, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang terdapat pada tugas-tugas dalam bahan ajar sangat baik (86,86%). Langkah memahami masalah merupakan langkah yang memiliki prosentase tertinggi, yaitu 96,19%. Pada langkah ini siswa hanya dituntut untuk mengidentifikasi informasi kunci berupa data-data yang diketahui dan pertanyaan yang akan dijawab dalam masalah yang diberikan. Sedangkan langkah menerapkan rencana merupakan langkah dengan prosentase ketercapaian paling rendah, yaitu 74,40% . Menurut Khairi Fadli, guru matematika di kelas uji coba, sebagian siswa masih lemah dalam menerapkan prosedur perhitungan. Belum maksimalnya hasil tersebut juga disebabkan oleh adanya tuntutan untuk memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil dalam proses pemecahan maasalah. Dari aspek komunikasi matematis, kemampuan siswa dalam pembelajaran SPLDV menggunakan bahan ajar yang dikembangkan dalam kategori baik dengan prosentase ketercapaian 71,03%. Aspek berargumentasi memiliki prosentase ketercapaian paling rendah, yaitu 60% (kategori baik). Siswa belum mampu memberikan alasan yang sesuai terhadap keputusan yang dipilih. kemampuan siswa dalam berargumentasi sangat dipengaruhi oleh biasa atau tidaknya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat, bertanya, maupun mengklarifikasi sesuatu dalam kegiatan pembelajaran. Dalam skala yang lebih luas kemampuan siswa dalam berargumentasi masih menjadi suatu masalah dalam pembelajaran matematika. Hasil analisis Wardhani (2011) terhadap hasil survei TIMSS pada tahun 2003 mengungkapkan, siswa Indonesia masih lemah dalam menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan berargumentasi dan komunikasi. Aspek komunikasi matematis lain yang menjadi fokus dalam bahan ajar yang dikembangkan adalah kemampuan membuat representasi dan kemampuan membaca simbol SPLDV. Kedua aspek ini memiliki perbedaan yang signifikan dalam tingkat ketercapaiannya. Prosentase ketercapaian kemampuan membuat representasi matematis 91,19%, sedangkan kemampuan membaca simbol SPDV 61,90%. Belum maksimalnya ketercapaian kemampuan membaca simbol SPLDV disebabkan karena siswa juga dituntut untuk mampu membuat soal dari SPLDV yang diberikan dan menyelesaikannya. Dalam hal ini siswa dituntut memiliki kemampuan mentransformasi informasi nonverbal berupa simbol SPLDV menjadi informasi verbal berupa soal cerita. Ini sesuai dengan teori dual coding yang kembangkan oleh Paivio (1991), informasi verbal dan non verbal diproses melalui saluran komunikasi yang berbeda dalam pikiran manusia. Input verbal ditransformasikan ke dalam unit bahasa yang abstrak yang disebut logogens, sedangkan sistem nonverbal bekerja dengan generator gambar yang disebut imagens. Tampaknya dalam pembelajaran matematika selama ini perhatian terhadap kedua sistem komunikasi tersebut kurang seimbang. Aspek representasi matematis, yaitu mengubah soal cerita menjadi model matematis mendapatkan perhatian yang lebih dari pada aspek membaca representasi matematis. Akibatnya kemampuan siswa dalam membuat soal cerita dari simbol SPLDV kurang maksimal. As‟ari (2001, 91) berpendapat, di dalam proses pembelajaran matematika, kita harus menjamin bahwa siswa kita bisa menyajikan konsep yang dipelajarinya 268
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
ke dalam berbagai macam representasi, dan kita sebagai guru juga memfasilitasinya dengan menyajikan konsep tersebut dalam berbagai macam representasi. 2) Keefektifan produk Hasil belajar yang diperoleh siswa mencapai rata-rata 75,37% dengan prosentase siswa yang mencapai nilai sama dengan atau lebih dari KKM 81,48%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa LKS yang dikembangkan sangat efektif digunakan dalam pembelajaran SPLDV di kelas VIII. 4. LKS Hasil Pengembangan Dari pengembangan bahan ajar ini, diperoleh protipe final bahan ajar, berupa LKS berbasis pemecahan masalah dan komunikasi matematis yang terdiri dari tiga LKS, yaitu (1) LKS 1 membahas konsep persamaan linier dua variabel, (2) LKS 2 membahas konsep sistem persamaan linier dua variabel, dan (3) LKS 3 membahas menyelesaikan sistem persamaan linier dua variabel. Berdasarkan hasil uji coba diketahui bahwa LKS ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu (1) materi yang disajikan sesuai dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan, (2) masalah yang disajikan merupakan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat melihat secara nyata manfaat dari materi yang dipelajari, (3) setiap kegiatan yang disajikan membuat siswa lebih aktif karena didesain dalam diskusi kelompok, dan (4) siswa dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematisnya melalui tugas-tugas yang diberikan. Selain memiliki kelebihan, LKS yang dihasilkan juga memiliki beberapa kekurangan, diantaranya (1) LKS yang dikembangkan belum mampu mengembangkan kemampuan berargumentasi dan kemampuan membaca simbul SPLDV dengan optimal, (2) LKS berbasis pemecahan masalah dan komunikasi matematis pada materi SPLDV tidak menyajikan metode penyelesaian berdasarkan prosedur standar seperti metode substitusi, metode eliminasi, maupun metode grafik. KESIMPULAN Produk yang dihasilkan dalam penelitian dan pengembangan ini adalah LKS berbasis pemecahan masalah dan komunikasi matematis. Hasil penilaian ahli dan uji coba lapangan menunjukkan bahwa LKS yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Dengan demikian LKS dapat dijadikan bahan ajar alternatif dalam pembelajaran SPLDV di kelas VIII. Dengan mempertimbangkan bahwa LKS ini tidak hanya menuntut penguasaan konsep, tetapi juga dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis, maka LKS ini dapat dikatakan lebih baik dari LKS yang selama ini digunakan. DAFTAR RUJUKAN As‟ari, A. R. 2001. Representasi: Pentingnya dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya, 7 (2): 81 – 91. Depdiknas. 2001. Standar Nasional. Silabus Matematika SMP/MTs. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Dhoruri, A. 2010. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika SMP Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan PMR. (Online), (http://ebookbrowse.commakalahlsm-2010-pemecahan-masalah-final-atmini-pdf-d180293240), diakses 18 Pebruari 2013. Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.JICA. Jakarta: IMSTEP. Ibrahim. 2012. Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah yang Menghadirkan Kecerdasan Emosional.Infinity: Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, (Online), 1 (1), (http://ejournal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/infinity/article/view/15/9), diakses 29 Maret 2013. Muhsetyo, G. 2004. Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya, 10 (2): 125 – 139. NCTM.1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, Reston, Virgina: NCTM. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics, Reston, Virgina: NCTM.
269
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Novita, R., et. al. 2012. Exploring Primary Student‟s Problem-Solving Ability by Doing Tasks LikePISA‟s Question. IndoMS. J.M.E., 3 (2): 133-150. Paivio, A. 1991. Mental Representations: A Dual Coding Approach. New York: Oxford University Press. Polya, G (1985). How to Solve It . A New Aspect of Mathematical Method 2thEdition. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. Posamentier, A.S.& Krulik, S. 2009. Problem Solving in Mathematics Grades 3 – 6: Powerful Strategies to Deepen Understanding. California: Corwin. Prastowo, A. 2012. Panduan Membuat Bahan Ajar Inovatif: Menciptakan Metode Pembelajaran yang Menarik dan Menyenangkan. Jogjakarta: Diva Press. Rochmad. 2011. Tinjauan Filsafat dan Psikologi Konstruktivisme: Pembelajaran Matematika yang Melibatkan Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif. Jurnal Pembelajaran Matematika, 1(1): 19-35. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: UM Press. Thiagarajan, S. et.al. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Minnesota: University of Minnesota. Umar, W. 2012. Membangun Kemampuan Komunikasi Matematis dalam Pembelajaran Matematika. Infinity: Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, (Online), 1 (1), (http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/infinity/article/view/15/9), diakses 29 Maret 2013. Wardani, S. & Rumiati. 2011. Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: P4TK.
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE SIKLUS BELAJAR 4 FASE TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA SMP Angga Sulistya Putra, Ipung Yuwono, dan Makbul Muksar Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstract: The success of teaching and learning mathematics in school is influenced by several factors. Among these factors are the teachers and students. Teachers play an important role in teaching and educating students, while the student is at once educational objectives as one criterion for determining the success of the learning process. The low mathematics achievement and motivation of students, presumably because the teacher is not in the selection of appropriate learning model. Sometimes learning is more focused on the teacher and the students are not too involved actively in the learning process. It gives the students become passive because students just listen to what the teacher explained. Type of cooperative learning is the learning cycle of four phases of a learning program that is based on constructivism understand. This is a quasi-experimental study (Quasy experimental design) with the experimental design used is Non-Random Pre-test Post-test Control Group to reveal causal relationships by engaging the control group and the experimental group. Collecting data from this study using a questionnaire and test results of students' motivation to learn through the stages of pre-test and post-test. The data analysis technique used is the hypothesis test used in this study is to test the independent sample t-test was used to test whether two samples are mutually independent from populations having the same mean. calculations were performed using SPSS 16.0 for Windows with a significance level of 0.05. Keywords: contact width, leakage, Taguchi, optimum design
Keberhasilan proses belajar mengajar matematika di sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antara faktor tersebut adalah guru dan siswa. Guru sangat berperan dalam membelajarkan dan mendidik siswa, sedangkan siswa merupakan sasaran pendidikan sekaligus sebagai salah satu barometer dalam penentuan keberhasilan proses pembelajaran. Rendahnya 270
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
hasil belajar matematika dan motivasi yang dimiliki siswa tersebut diduga karena guru kurang tepat dalam pemilihan model pembelajaran. Pembelajaran yang terkadang masih lebih terpusat pada guru dan siswa tidak terlalu dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran.Kondisi seperti ini membuat siswa menjadi pasif karena siswa hanya mendengarkan apa yang dijelaskan guru. Pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivisme. Dimana dalam pembelajaran ini menggunakan paham konstruktivisme, siswa mendapat penekanan untuk aktif dalam membentuk pengetahuan mereka sendiri. Siklus belajar (learning cycle) 4 fase mempunyai tahapan sebagai berikut: (1)kegiatan awal (eksplorasi) meliputi penggalian pengetahuan awal dan eksplorasifenomena, (2) kegiatan inti (ekplanasi) meliputi pembentukan konsep materi yang diajarkan dalam matematika, (3) kegiatan pemantapan (ekspansi) meliputi penerapan konsep danpemantapan konsep dan (4) evaluasi terhadap konsep-konsep dan penguasaanketrampilan proses. Model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar 4 fase memfasiltasi siswa agar termotivasi untuk belajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya. Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar 4 fase memiliki motivasi dan hasil belajar lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional? “ METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, peneliti memakai bentuk eksperimen kuasi karena peneliti memilih 2 kelompok sampeldari sampel yang telah ditentukan.dengan rancangan eksperimen yang digunakan adalah Non Random Pre-tes Post-test Control Group untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Pengumpulan data dari penelitian ini menggunakan angket motivasi siswa dan tes hasil belajar melalui tahap-tahap pre-test dan post-test. Kemudian secara acak memilih dari 2 kelompok sampel tersebut, satu kelas jadi kelompok eksperimen dan satu kelas jadi kelompok pembanding. Pada penelitian ini perlakuan yang dikenai pada kelas eksperimen adalah model pembelajaran kooperatif siklus belajar 4 fase, sedangkan kelas kontrol dikenai model pembelajaran ekspositori. Secara ringkas, desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 berikut Tabel 1. Desain Penelitian untuk Menilai Hasil Belajar
Tabel 2. Desain Penelitian untuk Menilai Motivasi
HASIL PENELITIAN Dari Penelitian yang telah dijalankan, ditemukan hasil penelitian sebagai berikut: Tabel 3.
Penyajian Data Hasil belajar dengan menggunakan Analisis Uji t-independent Model Pembelajaran
271
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan hasil analisis yang telah ditujikkan oleh tabel diatas, Bedasarkan hasil analisis yang telah ditujikkan oleh tabel diatas, dapat diketahui nilai T adalah 5,240 sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase berpengaruh positif terhadap motivasi siswa. Dari tabel diatas juga dapat diketahui bahwa nilai signifikansi dari hasil belajar adalah 0,000, sehingga 0,000 < 0,05. Maka hipotesis nol yang berbunyi tidak ada perbedaan antara hasil belajar siswa yang belajar mengunakan metode pembelajarn kooperatif tipe siklus belajar empat fase dengan model pembelajaran ekspositori, ditolak. Sehingga dengan demikian hipotesis penelitian diterima yaitu Ada perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase dan model pembelajaran ekspositori. Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran ekspositori untuk meningkatkan kemampuan hasil belajar siswa. Tabel 4 Penyajian Data motivasi dengan menggunakan Analisis Uji t-independent Model Pembelajaran
Berdasarkan hasil analisis yang telah ditujikkan oleh tabel diatas, dapat diketahui nilai T adalah 24,628 sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase berpengaruh positif terhadap motivasi siswa. Dari tabel tersebut juga diketahui bahwa juga bahwa nilai signifikansi dari motivasi adalah 0,000, sehingga 0,000 < 0,05. Maka hipotesis nol yang berbunyi tidak ada perbedaan antara hasil belajar siswa yang belajar mengunakan metode pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase dengan model pembelajaran ekspositori, ditolak. Sehingga dengan demikian hipotesis penelitian diterima yaitu ada perbedaan motivasi matematika antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase dan model pembelajaran ekspositori. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase memiliki motivasi yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran ekspositori. PEMBAHASAN Berdasarkan uraian hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka pada bab ini peneliti memaparkan jawaban dari masalah penelitian hingga dapat menunjukkan bagaimana tujuan penelitian ini dapat dicapai. Selain itu peneliti menafsirkan temuan-temuan dalam penelitian ini dan mengintegrasikannya kedalam pengetahuan yang telah mapan sebelumnya. Dalam bab ini pembahasan mengenai keterbatasan peneliti dalam melaksanakan penelitian ini juga akan dibahas untuk dapat melihat obyektifitas temuan penelitian. Sesuai dengan rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu “Apakah siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar 4 fase memiliki motivasi dan hasil belajar yang lebih baik daripada siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori ? ”, maka dapat diajukan dua permasalahan yaitu
272
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1. Apakah siswa yang diajarkan dengan menggunakan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Siklus Belajar 4 Fase memiliki hasil belajar yang lebih baik daripadasiswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori ? 2. Apakah siswa yang diajarkan dengan menggunakan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Siklus Belajar 4 Fase memiliki motivasiyang lebih baik daripadasiswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori ? Dari dua pokok permasalahan di atas dapat diuraikan sebagai berikut: Dari deskripsi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya diketahui nilai rata-rata terjadi perubahan pada kelas kontrol dan eksperimen masing-masing sebesar 22,587% dan 3,36%. sehingga pada kelas eksperimen terjadi kenaikan rata-rata nilai hasil belajar sebesar 22,587% dan pada kelas kontrol juga terjadi kenaikan rata-rata nilai hasil belajar sebesar 3,36%, jadi kenaikan nilai rata-rata hasil belajar pada kelas eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol. Selanjutnya dari hasil analisis hipotesis diketahui bahwa Bedasarkan hasil analisis yang telah ditujikkan oleh tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi dari hasil belajar adalah 0,000, sehingga 0,000 < 0,05. Jadi terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase dan model pembelajaran ekspositori, dimana hasil belajar siswa yang dajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase. Pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase dapat mendorong siswa terlibat secara aktif dalam proses penemuan konsepnya. Siklus belajar merupakan kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pelajar atau siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif hal ini senada dengan paham konstruktivisme yang disampaikan oleh Mulyasa (2006:133) menyatakan bahwa pembelajaran matematika selain menekankan pada konsep juga menekankan pada pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Hal ini sejalan dengan pendapat Bettencourt (1989) dalam Suyono (2012) yang menyampaikan bahwa konsep konstruktivisme dilandaskan pada pengetahuan yang bukanlah sesuatu yang didapat dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Berdasarkan hasil penelitian ini, dalam pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase ini, siswa dibimbing pada fase eksplorasi untuk melakukan proses konstruksi kreatif dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang didasarkan pada pengalaman belajar langsung yang sering mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Fase eksplorasi ini memberikan kesempatan siswa untuk melakukan proses konstruksi kreatif dengan menggunakan pengetahuan berdasarkan pengalaman yang mereka tanpa pemaparan materi konsep secara` langsung dari guru. Oleh karena itu, dalam penelitian ini secara jelas dapat terlihat bahwa dasar pemikiran kontrukvisme dan juga konsep penekanan pembelajaran matematika diterapkan secara ekslpisit dalam model pembelajaran Siklus Belajar Empat Fase ini. Pada fase ekspansi pembelajaran secara terpusat kepada pembelajar untuk sampai pada penemuan konsep. Selain itu pertanyaanpertanyaan yang diberikan oleh guru pada tahap ekspansi juga membimbing pembelajar untuk menggunakan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis contoh kasus, mendiskusikan fenomena perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini menimbulkan keseimbangan dalam struktur mental siswa atau pembelajar (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005 dalam Fajaroh dan Dasna, 2007). Selain itu munculnya pertanyaan-pertanyaan baru setelah pertanyaan dari guru pada fase eksplorasi sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, yaitu fase pengenalan konsep. Pada fase ini terjadi proses menuju keseimbangan antara konsepkonsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber buku teks siswa dan juga melalui kegiatan berdiskusi. Kombinasi antara konsep yang telah mereka konstruk pada fase eksplorasi dengan pengenalan konsep pada tahap eksplanasi membantu kemampuan kognitif siswa untuk menelaah dan memahami konsep pembelajaran tersebut dengan lebih cepat 273
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan terstruktur. Hal ini sesuai dengan Hanbury (1996) dalam Suyono (2012) mengemukakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu : siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengaitkan ide yang sudah mereka miliki dengan pengetahuan baru yang sedang mereka pelajari. Model pembelajaran koperatif tipe siklus belajar empat fase mampu meningkatkan hasil belajar, hal tersebut dapat dilihat dari data yang diperoleh dalam penelitian ini. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan hasil belajar siswa adalah interaksi antara pengajar dan siswa. Dimana siswa memerlukan kebebasan dan rasa aman untuk mengekspresikan pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran metematika dengan menggunakan model pembelajaran koperatif tipe siklus belajar empat fase tidak memandang siswa belajar dengan kepala kosong dari rumah, melainkan lebih menekankan bahwa siswa telah memiliki konsep alternatif terhadap kejadiankejadian alam yang berkaitan dengan konsep-konsep yang mereka pelajari. Konsep alternatif itulah yang melalui proses asimilasi dan akomodasi yang diarahkan menjadi konsep ilmiah. Sehingga pengetahuan yang diperoleh adalah berkat pengalaman dengan prosedur penemuan, maka pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari akan terpendam lama dalam ingatan siswa. Model pembelajaran siklus belajar empat fase jelas berbeda dengan pendekatan ekspositori. Model ini menyebabkan hasil belajar kurang maksimal. Model pembelaran ekspositori, ilmu yang diberikan bersifat baku maksudanya materi yang dituangkan berasal dari buku teks. Model pembelajarannya hanya seputar mendengarkan penjelasan guru, mencatat dan menghafal teks. Oleh karenanya siswa tidak memiliki kebebasan untuk menuangkan pikirannya terkait materi yang dipelajarinya. Pada setiap pembelajaran, guru seringkali menjadi pusat dan peserta didik menjadi obyek penerima saja. Sehingga peserta didik tidak punya kesempatan untuk megembangkan pengetahuan. Dalam pembelajaran ekspositori, peserta didik yang berperan sebagai penerima informasi yang pasif. Hal ini dapat mengarahkan siswa pada kebiasaan melakukan sesuatu tanpa mengetahui tujuan dan alasan mengapa mereka melakukannya. Hal tersebut konsisten dengan hasil penelitian ini, bahwa terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang telah mengikuti pembelajaran dengan model yang berbeda yaitu model pembelajaran siklus empat fase dan model pembelajaran ekspositori. Selajutnya dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Siklus Belajar Empat Fase (Learning Cycle 4E) lebih baik untuk meningkatkan kemampuan hasil belajar matematika dibandingkan dengan model ekspositori. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan konsep teori konstruksivis yang disampaikan oleh Waliman (2001) dimana dalam proses kontuksi guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi dengan hipotesis siswa dan mendiskusikannya. Dengan kata lain penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Siklus Belajar Empat Fase ini memberikan pengaruh pada pemahaman konsep siswa dan juga meningkatkan kesiapan siswa untuk melakukan tindakan pendalaman dan aplikasi konsep yang telah mereka temukan. Hai ini tentunya berpengaruh positif pada kemampuan hasil belajar siswa. Lebih lanjut, model pembeajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase yang dilaksanakan dalam model pembelajaran ini sesuai denganBloom dalam Subagiyo (2007), yang membagi hasil belajar dalam tiga ranah, yaitu kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Dengan aplikasi pengiringan siswa pada tahap eksplorasi hingga fase evaluasi merangkup pengalaman untuk masuk pada ketiga ranah tersebut. Selain itu sebagaimana dijelaskan oleh Dimyati dan Mudjiono (2006 : 177-178) dalam Masruro (2012), ranah kognitif yang berkaitan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri atas tiga aspek yaitu mengingat, memahami, dan mengaplikasikan, terlihat jelas dapat diaplikasikan dalam model pembelajara Siklus Belajar Empat fase ini. Hasil penelitian ini yang menunjukkan hasil belajar siswa yang lebih baik dengan penerapan model Pembelajaran Siklus Empat Fase dibandingkan dengan siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran ekspositori juga didukung oleh temuan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Sebagaimana dalam Tuna dan Kacar (2013) menemukan penggunaan model pembelajaran Lima Siklus yang juga berdasarkan pendekatan konstruvisme pada materi trigonometri pada kelas X. Penelitian eksperimental ini 274
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menunjukkan pencapaian nilai siswa pada materi trigonometri di kelas yang menggunakan metode Pembelajaran Lima Siklus lebih tinggi daripada siswa yang diajar dikelas ekspositori. Perbedaan antara kedua grup tersebut juga ditemukan signifikan yang menunjukan titik berat pada kelas yang diajar dengan menggunakan metode Pembelajaran Lima Siklus. Penelitian lainnya Qarareh (2012) yang membahas efek penggunaan model Pembelajaran Siklus dalam mata pelajaran sains terhadap hasil belajar siswa kelas enam menunjukkan hasil yang signifikan pada kelompok siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran siklus. Penelitian ini juga mendukung efektifitas penggunaan metode siklus untuk meningkatkan kemampuan hasil belajar siswa sebagaimana yang juga ditemukan dalam penelitian ini. Penelitian Qarareh (2012) juga menunjukkan penerapan model ini sebagai sebuah proses kognitif dimana siswa mengembangkan kemampuan kognitif mereka dengan menggunakan beragam pengalaman eksplorasi yang memberikan mereka kesempatan untuk mengksloprasi pengetahuan mereka tentang materi yang akan diajarkan. Hal ini juga secara jelas ditemukan dalam penelitian ini. Selain itu penelitian Madu (2012) mengenai efektifitas penerapan model pembelajaran Siklus Empat Tahap terhadap pemahaman konsep siswa berkaitan dengan materi Simple Harmonic Motion (SHM) menunjukkan efek yang signifikan terhadap pemahaman konsep SHM meskipun tidak menunjukkan efek yang signifikan pada materi aplitudo dan frekuensi. Dengan kata lain, penerapan model pembelajaran Empat Siklus menunjukkan signifikansi yang besar terhadap kemampuan hasil belajar siswa. Hal ini juga kembali dibuktikan dalam penelitian ini dimana siswa pada kelompok eksmerimen yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran Empat Siklus memiliki pencapaian hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran ekspositori. Ketiga penelitian terkait diatas menunjukkan efektifitas model Pembelajaran Siklus terhadap kemampuan hasil belajar, namun dalam penelitian ini peneliti juga menemukan bahwa penerapan model ini juga memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan motivasi belajar siswa sebagaimana seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya yang diperoleh melalui data dengan menggunakan angket kepada siswa pada kedua kelompok baik eksperimen maupun kelas control, dimana secara signifikan terlihat siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran empat siklus memiliki motivasi yang lebih tinggi pada materi persamaan dan deret matematika. Namun dalam penelitian ini, peneliti memiliki keterbatasan untuk melakukan analisis hanya pada sub pokok bahasan barisan dan deret. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu dan lainnya sehingga penelitian tentang pengaruh penerapan model pembelajaran Siklus Belajar Empat Fase ini pada sub pokok bahasan yang lain belum dapat dilaksanakan. Secara umum dari temuan penelitian yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, nilai rata-rata terjadi perubahan pada kelas kontrol dan eksperimen masing-masing sebesar -0,621% dan 30,566%. Jadi dapat disimpulkan pada kelas eksperimen terjadi kenaikan rata-rata nilai motivasi sebesar 30,566% dan sebalikanya pada kelas kontrol terjadi penurunan rata-rata nilai motivasi sebesar 0,621%. Selanjutnya dari hasil analisis hipotesis diketahui bahwa Bedasarkan hasil analisis yang telah ditujukkan oleh tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi dari hasil belajar adalah 0,000, sehingga 0,000 < 0,05. Jadi terdapat perbedaan motivasi matematika antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase dan model pembelajaran ekspositori. Hasil tersebut terjadi karena Pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase dapat mendorong siswa terlibat secara aktif dalam proses penemuan konsepnya. Siklus belajar merupakan kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pelajar atau siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif hal ini senada dengan paham konstruktivisme yang disampaikan oleh Mulyasa (2006:133) menyatakan bahwa pembelajaran matematika selain menekankan pada konsep juga menekankan pada pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Hal ini juga disebabkan karena keseluruhan kegiatan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase, sebagian besar proses pembeajaran dilaksanakan sendiri oleh siswa secara individual maupun secara berkelompok. Berdasarkan Wena (2009) Siklus pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase terdiri atas empat tahap. Tahap pertama dinamakan fase eksplorasi, dimana siswa mulai diperkenalkan dengan materi dengan mengkaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa menjadi berminat dan tertarik untuk belajar, dalam tahap ini diharapkan dapat menumbuhkan perhatian dan keterkaitan pada 275
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
diri siswa terhadap materi yang dipelajari. Tahap kedua yaitu eksplanasi siswa dituntut mengidentifikasi konsep yang mereka pelajari secara berkelompok, sehingga akan muncul juga kondisi keterkaitan, pada tahap ini siswa saling bekerja sama dalam memahami topik, dilatih dalam menjelaskan konsep berdasarkan bahasanya sendiri dan bersikap kritis dalam menanggapi materi yang dipelajari . Tahap berikutnya atau ketiga adalah tahap ekspansi, di dalam tahap ini bertujuan untuk menanggulangi kesalahan konsep yang terjadi pada siswa, dengan memberikan soal untuk dikerjakan secara individu dan berkelompok, setelah siswa mantab terhadap konsep yang dipelajari sehingga dalam tahap ini diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan diri sebelum menuju ke tahap selanjutnya yaitu tahap evaluasi, dalam tahap evaluasi diharapkan siswa mendapatkan kepuasan terhadap nilai yang dicapai, sekaligus bisa digunakan untuk menilai kekurangan dan kemajuan diri siswa ataupun guru terhadap proses pembelajaran yang digunakan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini secara jelas dapat terlihat bahwa dasar pemikiran kontrukvisme , dimana siswalah yang seharusnya mengalami pembelajaran sedangkan guru sebagai fasilitator. Pembelajaran ini juga mempersiapkan siswa untuk melakukan eksperimen untuk memahami dan memantabkan konsep yang dipelajari sehingga menumbuhkembangkan rasa ingin tahu, kristis dan terbuka terhadap pendapat siswa lain. Sedangkan pembelajaran ekspositori meletakkan dasar behaviouristik yang lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik seperti yang disebutkan oleh Phil Louther dalam Masruro (2012). Model pembelajaran Siklus Belajar Empat Fase mampu meningkatkan motivasi belajar karena dipengaruhi oleh perkembangan proses mental yang digunakan untuk berfikir dalam pembentukan konsep yang digunakan dalam belajar. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan berpikir adalah interaksi antara pengajar dan siswa. Dimana siswa memerlukan kebebasan dan rasa aman untuk mengekspresikan pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran siklus belajar empat fase jelas berbeda dengan pendekatan ekspositori. Model ini menyebabkan hasil belajar kurang maksimal. Model pembelaran ekspositori, ilmu yang diberikan bersifat baku maksudanya materi yang dituangkan berasal dari buku teks. Model pembelajarannya hanya seputar mendengarkan penjelasan guru, mencatat dan menghafal teks. Oleh karenanya siswa tidak memiliki kebebasan untuk menuangkan pikirannya terkait materi yang dipelajarinya. Pada setiap pembelajaran, guru seringkali menjadi pusat dan peserta didik menjadi obyek penerima saja. Sehingga peserta didik tidak punya kesempatan untuk megembangkan pengetahuan. Dalam pembelajaran ekspositori, peserta didik yang berperan sebagai penerima informasi yang pasif. Hal ini dapat mengarahkan siswa pada kebiasaan melakukan sesuatu tanpa mengetahui tujuan dan alasan mengapa mereka melakukannya. Hal tersebut konsisten dengan hasil penelitian ini, bahwa terdapat perbedaan motivasi siswa yang telah mengikuti pembelajaran dengan model yang berbeda yaitu model pembelajaran siklus empat fase dan model pembelajaran ekspositori.Lebih lanjut, model pembeajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase yang dilaksanakan dalam model pembelajaran ini sesuai denganKeller dalam Masruro, yang membagi motivasi dalam empat kondisi motivasi, yaitu perhatian, keterkaitan, kepercayaan dan kepuasan. Dengan aplikasi pengiringan siswa pada tahap eksplorasi hingga fase evaluasi merangkup pengalaman untuk masuk pada keempat kondisi motivasi tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase adalah sebagai berikut: 1. Ada perbedaan kemapuan hasil belajar yang signifikan dan ekspositori. Dengan Kata lain, penerapan mode; model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase lebih baik untuk meningkatkan kemampuan hasil belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran ekspositori 2. Ada perbedaan tingkat motivasi belajar siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fase dan ekspositori. Artinya bahwa siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe siklus belajar empat fasememiliki motivasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran ekspositori. 276
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN Daryanto. 2010. Belajar dan Mengajar. Bandung: CV. Yrama Widya Djumanta,Wahyudin & Susanti. 2008. Belajar Matematika Aktif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Jeje Press Media Utama Akar.2005. “Effectiveness of 5E Learning Cycle Model on Students” Understanding of Acid and Base Concepts. Master Thesis. Middle East Technical University, Ankara Fajaroh, Fauziatul dan Dasna. 2008. Pembelajaran Dengan Siklus Belajar. Universitas Negeri Malang. Fajaroh , Fauziatul dan Dasna, I Wayan. 2007. Pembelajaran Dengan Model Siklus Belajar (Learning Cycle). Diunduh http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/20/pembelajaran-dengan-model-siklus-belajar-learning-cycle/, tangal 14 Juni 2013. Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan (Aplikasi pada Penelitian Pendidikan Matematika). Jember: Pena Salsabila Jauhar, Mohammad. 2011. Implementasi paikem. Jakarta: Prestasi Pustakaraya Kilavuz, Yeliz. 2005. the effects of 5e learning cycle model based on constructivist theory on tenth grade students‟ understanding of acid-base concepts. Thesis submitted to the graduate school of natural and applied sciences of middle east technical University, Ankara. Latief, Mohamad Adnan. 2010. Tanya jawab metode penelitian pembelajaran bahasa, Malang: Universitas Negeri Malang Madu, B.C.2012.Effect of the four-step learning cycle model on students‟ understanding of concepts related to simple harmonic motion.Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 13, Issue 1, Artikel 4, halaman 3, 20 Juni 2012 Masruro.2012.Pengaruh penerapan metode inkuiri terbimbing dan inkuiri bebas termodifikasi terhadap motivasi dan hasil belajar biologi siswa kelas VIII di SMP Negeri 11 Balikpapan. Tesis. Malang: PPs UM Mulyasa. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa .2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Pramesti,Getut . 2011. Aplikasi SPSS Dalam Penelitian. Jakarta:PT Elex Media Komputindo Qarareh, Ahmad.2012. The Effect of Using the Learning Cycle Method in Teaching Science on the Educational Achievement of the Sixth Graders. International journal :Education Science Faculty, Tafila Technical University, Jordan Soedjadi, R.2000. Kiat Pendidikan Matematika di indonesia.Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan nasional. Subagiyo.2007.Meningkatkan prestasi belajar siswa dalam belajar matematika menggunakan pembelajaran konstruktivis dengen model siklus belajar di kelas XII IPA 3 SMA Negeri Malang. Makalah disajikan dalam seleksi guru berprestasi tingkat propinsi jawa timur,Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur bekerjasama dengan LPMP Jawa timur ,Surabaya, 20 Juni Suciwati & Irawan.2001. Teori belajar dan motivasi. Jakarta: Universitas Terbuka Sugiyono.2011. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta Sugiyono.2012. Statistika untuk penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta Stoll, Manfred. 2000. Introduction to Real Analysis second edition.Corolina :AddisonWesley Suyono dan Harianto. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Bandung Sumarni. 2011. Pengaruh Penerapan Model Problem Based Leanrning (PBL) Terhadap Prestasi Belajar Fisika Ditinjau dari Motivasi Pada Siswa Kelas X SMK Negeri 3 Boyolangu Tulungangung. Tesis: Universitas Negeri Malang. Syah, M. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tuna, A & Kacar. 2013.the effect of 5e learning cycle model in teaching trigonometryon students‟ academic achievement and the permanence of their knowledge. International journal on new trends in their education and their implication (hlm.73). Turkey: Kastamonu University, Educational Faculty
277
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tim Depdiknas. 2006. Kurikulum 2006 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP & Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Desertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian, Edisi lima. Malang: penerbit Universitas Negeri Malang Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: PT. Bumi Aksara
PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH SOAL CERITA PADA MATERI KELILING DAN LUAS SEGIEMPAT DI SMP NEGERI 2 MODO LAMONGAN Edi Prayitno, Purwanto, dan Abdul Qohar Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstract: By the nature mathematics is abstract. Mathematical abstraction contained within it should be pursued in a more concrete form and can help students so that they are easier to understand. It is necessary to design a study that is expected to provide an opportunity for students to further train the ability to think, reason and explore all the potential there is in him so that students are able to position itself as an active subject in the learning impact on increasing students' abilities. Learning in question is the learning of mathematics realistic. The research aimed to result the steps of the learning of Mathematic realistic that could improve ability to get problem solving of the story test at the material circumference and area of quadrilateral in SMP Negeri 2 Modo Lamongan.The approach used in the study is a qualitative approach to classroom action research (CAR). The results showed that the measures undertaken to improve the learning ability of students in problem solving word problems . The steps are 1) to understand the contextual problems, 2) to explain and solve the contextual problem, 3) compare and discuss answers, 4) class discussion, and 5) concludes. Keywords: The Learning of Mathematics Realistic, To Solve Story Test Problems, Circumference and Area of Quadrilateral
Pada hakekatnya matematika bersifat abstrak. Menurut Triyadi (2012), hampir semua yang dibahas di dalam matematika itu adalah idealisasi dari yang nyata dalam bentuk simbol (boleh kita sebut sebagai bahasa matematika). Oleh karena itu, pelajaran matematika dirasakan sulit bagi sebagian besar siswa. Keabstrakan yang terdapat dalam matematika itu perlu diupayakan dalam wujud lebih konkret dan dapat membantu siswa sehingga mereka lebih mudah memahaminya. Jenning dan Dunne (dalam Suharta, 2004:1), mengatakan bahwa kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan nyata. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Soedjadi (dalam Suharta, 2004:1) mengemukakan bahwa agar pembelajaran menjadi bermakna (meaningful) maka dalam pembelajaran di kelas perlu mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ideide matematika. Menurut Van de Henvel-Panhuizen (dalam Suharta, 2004:1), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika. Berdasarkan pengalaman mengajar peneliti dan informasi dari guru pengampu mata pelajaran matematika di kelas VII SMP Negeri 2 Modo kabupaten Lamongan diperoleh gambaran bahwa saat pembelajaran pada materi keliling dan luas segiempat, proses pembelajaran yang terjadi dirasakan kurang bermakna, sehingga siswa hanya cenderung meniru 278
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan menghafal, sementara nalarnya tidak bisa berkembang. Guru cenderung memberikan aturan atau cara penyelesaian, menerangkan contoh soal, kemudian siswa berlatih mengerjakan soalsoal. Interaksi antara siswa dengan guru atau sesama siswa jarang terjadi. Semua aktivitas siswa masih tergantung perintah yang diberikan guru. Guru belum terlihat memberikan bimbingan, tantangan yang memungkinkan siswa termotivasi, aktif dan kreatif untuk menemukan, mengembangkan nalar siswa ataupun, memecahkan masalah yang terkait dengan konsep yang dipelajari. Dari permasalahan di atas dibutuhkan suatu pembelajaran yang diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih melatih kemampuan berfikir, bernalar dan menggali segenap potensi yang ada pada dirinya sehingga siswa mampu menempatkan dirinya sebagai subjek aktif dalam pembelajaran aktif, demokratif, kreatif dan inovatif sehingga dapat terwujud pembelajaran yang efektif dan berdampak pada meningkatnya kemampuan siswa. Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran matematika realistik. Pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah-masalah kontekstual (contextual problems) sebagai titik awal dalam belajar matematika. Siswa diminta mengorganisasikan dan mengidentifikasikan aspek-aspek matematika yang terdapat pada masalah tersebut. Kepada para siswa juga diberikan kebebasan penuh untuk mendeskripsikan, menyederhanakan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut menurut cara mereka sendiri baik secara individu maupun kelompok, berdasarkan pengalaman atau pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru, para siswa diharapkan dapat menggunakan masalah kontekstual tersebut sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian-pengertian matematika yang abstrak (Soedjadi, 2001:3). Melalui pembelajaran matematika realistik, akan lebih mengakrabkan matematika dengan lingkungan siswa, melalui pengaitan konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari, dapat menyebabkan siswa tidak mudah lupa terhadap konsepkonsep/prinsip-prinsip matematika yang dipelajari. Bahkan siswa juga akan lebih mudah mengaplikasikan konsep atau prinsip matematika tersebut, untuk menyelesaikan soal maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari. Menurut Turmudi (2004), pembelajaran matematika realistik sekurang-kurangnya telah mengubah minat siswa menjadi lebih positif dalam belajar matematika. Hal ini berarti bahwa pembelajaranan matematika realistik dapat mengakibatkan adanya perubahan pandangan siswa terhadap matematika dari matematika yang menakutkan dan membosankan ke matematika yang menyenangkan sehingga keinginan untuk mempelajari matematika semakin besar. Pembelajaran Matematika Realistik mengacu pada pendapat Hans Freudenthal. Hans Freudenthal berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (mathematics as human activity) (Hadi, 2005:19). Artinya, matematika harus dikaitkan dengan realita dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep mtematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1991:70). De Lange (dalam Hadi 2005:19) mengemukakan bahwa proses penemuan kembali harus dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan “ dunia nyata ”. Pembelajaran matematika realistik memanfaatkan masalah kontekstual yang mudah difahami siswa dan kemudian siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyelesaikan masalah yang diberikan secara mandiri sesuai dengan pengetahuan awal yang dimilikinya. Kegiatan ini mengandung arti bahwa siswa diberi kesempatan untuk mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan mencari strategi yang sesuai. Dalam hal ini keaktifan siswa lebih diutamakan, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Siswa bebas mengeluarkan idenya, dan mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu siswa (secara terbatas) untuk membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka mengambil keputusan tentang ide mana yang paling tepat, efisien dan mudah dipahami oleh mereka. Dalam kaitannya dengan matematika sebagai aktivitas manusia maka siswa telah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika secara mandiri sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan masalah kontekstual. Setelah pembentukan dan menemukan konsep-konsep matematika, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual sebagai aplikasi untuk memperkuat pemahaman konsep pada dunia nyata.
279
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan uraian di atas, hasil penelitian ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan dalam pembelajaran matematika khususnya pada materi keliling dan luas segiempat dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembelajaran matematika realistik untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah soal cerita pada materi keliling dan luas segiempat di SMP Negeri 2 Modo Lamongan? METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini digunakan karena sumber data berupa data aktifitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan hasil wawancara dengan siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai instrumen utama dikarenakan peneliti yang merencanakan, merancang, melaksanakan, mengumpulkan data, menganalisis data dan menarik kesimpulan serta membuat laporan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersifat deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilakunya yang dapat diamati (Moleong, 2001). Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas. Masalah diangkat dari praktek pembelajaran keseharian yang benar-benar dirasakan oleh guru dan siswanya. Menurut Kemmis dan Mc Taggart (dalam Arikunto, 2010:137) ada empat tahapan dalam penelitian tindakan kelas, yaitu: perencanaan (plan), melakukan tindakan (action), mengamati (observation), refleksi (reflection). Keempat komponen tersebut membentuk suatu siklus yang dalam pelaksanaannya bisa saja membentuk lebih dari satu siklus yang mencakup keempat komponen tersebut tergantung pada ketercapaian indikator keberhasilan yang telah peneliti tetapkan. Subyek pada penelitian ini adalah siswa kelas VII-A SMP Negeri 2 Modo tahun pelajaran 2012/2013 sebanyak 32 siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), Lembar kerja siswa (LKS), lembar observasi aktivitas peneliti dan siswa, lember tes, dan lembar wawancara. Sedangkan sumber data yang dikumpulkan berasal dari hasil pengamatan aktivitas guru dan siswa, hasil tes, dan hasil wawancara. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Semua instrumen pembelajaran yang telah disusun oleh peneliti terlebih dahulu divalidasi oleh pakar yang berkompeten dibidangnya. Untuk mengetahui kemampuan awal siswa dilakukan tes kemampuan awal. Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal siswa terkait dengan materi prasyarat dan dijadikan dasar dalam pembentukan kelompok. Selama proses pembelajaran berlangsung dilakukan observasi untuk mengamati kegiatan di kelas. Kegiatan yang diamati meliputi aktivitas peneliti sebagai pengajar dan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan oleh dua observer yang berasal dari guru mata pelajaran matematika. Setelah semua proses pembalajaran dilaksanakan kemudian hasilnya dievaluasi menggunakan tes akhir tindakan. Tes akhir tindakan ini dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan materi dan untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa terhadap materi keliling dan luas segiemapat setelah satu siklus pembelajaran, selanjutnya dianalisis guna malakukan refleksi pada tindakan selanjutnya. Dalam penelitian ini, data yang dianalisis adalah data hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. Pada penelitian ini perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah LKS (Lembar Kerja Siswa) dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Sedangkan instrumen penelitiannya adalah tes kemampuan awal, tes akhir tindakan/siklus, lembar observasi aktivitas peneliti, lembar observasi aktivitas siswa, dan lembar pedoman wawancara. HASIL PENELITIAN Berdasarkan beberapa alat pengumpul data yang digunakan pada penelitian ini terungkap bahwa pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah soal pada materi keliling dan luas segiempat. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan pada 3 instrumen pengumpul data yang dijadikan dasar untuk mengetahui keberhasilan penelitian yaitu hasil observasi aktivitas peneliti dan siswa, hasil tes, dan hasil wawancara. 280
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari hasil observasi terhadap aktivitas pembelajaran oleh peneliti mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Rata-rata keterlaksanaan pembelajaran oleh peneliti pada siklus I sebesar 80%, sedangkan pada siklus II sebesar 90,83%, sehingga mengalami kenaikan dari siklus I ke siklus II sebesar 10,83%.Persentase rata-rata keterlaksanaan aktivitas tindakan pembelajaran oleh peneliti pada siklus I adalah sebesar 80% dengan rincian tahap awal yang meliputi memahami masalah konstektual dengan persentase 87,5%. Pada tahap inti yang meliputi menjelaskan dan menyelesaikan masalah konstektual diperoleh rata-rata persentase 75%, membandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa 83,33%, dan diskusi kelas 75%.Sedangkan pada tahap akhir yaitu menyimpulkan yang dilaksanakan memperoleh rata-rata persentase 79,17%. Sedangkan rata-rata pelaksanaan kegiatan pembelajaran secara keseluruhan pada siklus I mencapai 80%. Hal ini diartikan bahwa pembelajaran pada siklus I terlaksana dengan baik. Pada siklus II, ditemukan bahwa tahap pembelajaran terlaksana dengan kategori baik dan sangat baik pada tiap-tiap pertemuan. Persentase rata-rata keterlaksanaan aktivitas tindakan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada siklus II adalah sebesar 90,83% dengan rincian tahap tahap awal yang meliputi memahami masalah dengan persentase 95.83%. Pada tahap inti yang meliputi menjelaskan dan menyelesaikan masalah konstektual memperoleh rat-rata 87,5%, membandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa memperoleh rata-rata 87,5%, dan diskusi kelas 83,33%. Sedangkan pada tahap akhir yaitu menyimpulkan memperoleh rata-rata persentase 100%. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II yang terlaksana dengan persentase 90,83% dapat diartikan bahwa pembelajaran pada siklus II dapat terlaksana dengan sangat baik. Dari paparan data diatas maka dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan terhadap keterlaksanaan aktivitas tindakan peneliti sebesar 10,83% dengan rincian sebagai berikut:(1) tahap awal, pelaksanaan memahami masalah konstektual meningkat sebesar 8,33%, (2) tahap inti, pelaksanaan menjelaskan dan menyelesaikan masalah konstektual meningkat sebesar 12,5%, membandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa meningkat 4.17%, diskusi kelas meningkat 8,33%, (3) tahap akhir yang menyimpulkan meningkat sebesar 20,83%. Peningkatan disebabkan karena guru telah mempersiapkan perangkat pembelajaran dengan baik, melaksanakan pembelajaran lebih percaya diri, guru telah mampu memotivasi siswa dalam belajar dan memberikan bimbingan yang menyeluruh pada semua kelompok. Pembelajaran kontekstual yang diterapkan guru dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa untuk menemukan sesuatu yang diinginkannya melalui pengamatan secara langsung. Di samping itu siswa diberi kesempatan untuk memecahkan masalah secara mandiri atau berkelompok dan hanya berfungsi sebagai fasilitator. Hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa selama mengikuti proses pembelajaran, juga terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa pada siklus I ke siklus II sebesar 12,5%. Hasil pengamatan siklus I diperoleh rata-rata keterlaksanaan aktivitas belajar siswa mencapai 79,17% dengan kategori cukup. Pada siklus II diperoleh rata-rata keterlaksanaan aktivitas belajar siswa dengan persentase 91,67% dengan kategori sangat baik. Persentase rata-rata keterlaksanaan aktivitas siswa dalam pembelajaran pada siklus I adalah sebesar 79,17% dengan rincian tahap awal yang meliputi memahami masalah konstektual dengan persentase 75%. Pada tahap inti yang meliputi menjelaskan dan menyelesaikan masalah konstektual diperoleh rata-rata persentase 87,5%, membandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa 83,33%, dan diskusi kelas 75%. Sedangkan pada tahap akhir yaitu menyimpulkan yang dilaksanakan memperoleh rata-rata persentase 75%. Sedangkan ratarata pelaksanaan kegiatan pembelajaran secara keseluruhan pada siklus I mencapai 79,17%. Hal ini diartikan bahwa pembelajaran pada siklus I terlaksana dengankategori cukup. Pada siklus II, ditemukan bahwa tahap pembelajaran terlaksana dengan kategori baik dan sangat baik pada tiap-tiap pertemuan. Persentase rata-rata keterlaksanaan aktivitas siswa dalam pembelajaran pada siklus II adalah sebesar 91,67% dengan rincian tahap tahap awal yang meliputi memahami masalah dengan persentase 95.83%. Pada tahap inti yang meliputi menjelaskan dan menyelesaikan masalah konstektual memperoleh rat-rata 91,67%, membandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa memperoleh rata-rata 95,83%, dan diskusi kelas 83,33%. Sedangkan pada tahap akhir yaitu menyimpulkan memperoleh rata-rata persentase 91,67%. Aktivitas siswa dalam pembelajaran pada siklus II yang mencapai persentase rata-rata 91,67% dapat diartikan bahwa aktivitas siswa dalam pembelajaran pada siklus II masuk kategori sangat baik. 281
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari paparan data diatas maka dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan terhadap keterlaksanaan aktivitas siswa dalam pembelajaran sebesar 12,5% dengan rincian sebagai berikut:(1) tahap awal, pelaksanaan memahami masalah konstektual meningkat sebesar 20,83%, (2) tahap inti, pelaksanaan menjelaskan dan menyelesaikan masalah konstektual meningkat sebesar 4,17%, membandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa meningkat 12,5%, diskusi kelas meningkat 8,33%, (3) tahap akhir yang menyimpulkan meningkat sebesar 16,67%. Berdasarkan pada hasil analisis tersebut di atas maka pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistik dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran ini siswa berusaha untuk menemukan atau mencari sendiri konsep yang dipelajari, siswa berusaha menghubungkan konsep yang telah dimiliki dan untuk mengembangkan konsep yang mendalam, siswa harus menerapkan pengetahuannya dengan mengerjakan lembar kerja siswa secara berkelompok serta menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan masalah yang baru dalam konteks yang baru. Hal ini menyebabkan siswa menjadi lebih aktif, baik secara fisik maupun mental. Berdasarkan hasil analisis data tentang nilai tes akhir tindakan maka diketahui bahwa prestasi hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan. Pada siklus I persentase ketuntasan 87,5% sedangkan pada siklus II persentase ketuntasan 100%, ini berarti ada peningkatan sebesar 12,5%.Sedangkan untuk nilai rata-rata kelas terjadi peningkatan sebesar4 % yaitu dari nilai rata-rata kelas pada siklus I sebesar 77% menjadi 81% pada siklus II. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah soal cerita pada materi keliling dan luas segiempat. Hasil wawancara dengan subjek wawancara juga menunjukkan bahwa siswa sangat senang dengan pembelajaran yang memberikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Siswa mampumengubah soal-soal cerita yang kontekstual/realistik kedalambentuk matematis. Siswa mampu menyelesaikan soal-soal cerita yang realistik pada materi.keliling dan luas segiempat. PEMBAHASAN Penerapan desain pembelajaran matematika realistik pada materi keliling dan luas segiempat dimaksudkan untuk memperoleh langkah-langkah pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah soal cerita. Adapun langkahlangkahnya sebagai berikut: memahami masalah konstektual, menjelaskan dan menyelesaikan masalah konstektual, membandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa, diskusi kelas, dan menyimpulkan. Pada setiap awal kegiatan pembelajaran selalu disampaikan tujuan pembelajaran dan materi prasyarat. Penyampaian tujuan pembelajaran dilakukan agar siswa dapat mengetahui arah kegiatan belajar mereka dan apa yang dipelajari, sehingga siswa bisa terarah pada satu tujuan yang hendak dicapai. Selain itu, penyampaian tujuan pembelajaran mendorong siswa agar termotivasi, dan memusatkan perhatiannya pada proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahar (1988: 174) bahwa penyampaian tujuan pembelajaran dapat membantu siswa untuk mengaktifkan motivasi dan dapat memusatkan perhatiannya terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran. Sedangkan pemahaman terhadap materi prasyarat sangat penting, karena dengan memahami materi prasyarat akan memudahkan siswa memahami materi baru yang akan diterima. Sejalan dengan hal tersebut Crawford (2001:5) menjelaskan bahwa pengetahuan prasyarat dapat berfungsi sebagai landasan yang dapat digunakan menjadi dasar untuk membangun pengetahuan baru. Pengetahuan prasyarat sebagai pengetahuan awal sangat perlu dipahami oleh siswa, sehingga siswa tidak mengalami kesulitan dalam belajar. Selanjutnya peneliti memberikan masalah konstektual yaitu masalah yang memanfaatkan realita dan lingkungan yang bisa dipahami siswa yang berkaitan dengan keliling dan luas segiempat. Permasalahansehari-haridigunakanuntuk menunjukkankonteksyang relevan denganminat danpengalamansiswa (Bostic, 2010). Ini sesuai dengan karakteristik pembelajaran matematika realistik yaitu the use of context. Misalkan pada pertemuan pertama peneliti memberikan masalah kontekstual berkaitan materi keliling dan luas persegi yaitu masalah kebun pisang dan masalah lantai kamar. Untuk menggali pengetahuan siswa, peneliti melakukan tanya jawab dengan siswa terhadap permasalahan tersebut, sehingga peneliti mempunyai gambaran tentang pola fikir dan pemahaman siswa. Pemberian masalah kontekstual pada proses awal 282
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran diharapkan dapat membuat siswa aktif berpikir sejak awal dan siswa sendiri yang berusaha membangun konsep yang akan dipelajari. Pada langkah ini muncul prinsip pembelajaran matematikan realistik yaitu guided reinvention. Pada tahap inti siswa mengerjakan soal-soal kontekstual pada LKS yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami materi keliling dan luas segiempat. Tiap siswa bebas untuk menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk menjawab permasalahan yang terdapat di LKS, sehingga dimungkinkan terdapat banyak penyelesaian yang berbeda antar masing-masing siswa. Pada langkah ini muncul prinsip pembelajaran matematika realistik yaitu didactical phenomenology. Siswa menggunakan model-model yang dikembangkan oleh siswa sendiri dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang ada di LKS disesuaikan dengan situasi dunaia nyata yang relevan dengan lingkungan siswa. Pada langkah ini prinsip yang muncul self developed models sedangkan karakterikstik pembelajaran matematika realistik yaitu use models dan student contribution. Peneliti mengamati dan mengontrol aktivitas siswa sambil berkeliling memberikan bimbingan dan arahan seperlunya kepada siswa yang mengalami kesulitan. Selanjutnya peneliti memberikan kesempatan siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masing-masing dengan jawaban teman dalam kelompoknya untuk menentukan kesepakatan diantara mereka berkaitan dengan penyelesaian yang dianggap paling tepat dari soal-soal kontekstual materi keliling dan luas segiempat yang terdapat dalam LKS. Pada kondisi ini terjadi interaksi siswa dengan teman anggota kelompoknya dan sesekali terjadi perbedaan pendapat antara anggota kelompok karena setiap individu siswa berusaha mencari pengetahuannya sendiri dan mempertahankan pendapatnya dalam kelompok. Langkah yang dilakukan oleh peneliti sudah sesuai dengan yang diungkapkan Young (2006) yaitu jika siswa sudah mulai melaksanakan proses dialog, peneliti hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan mahasiswa untuk melaksanakan perannya dalam pembelajaran. Pada langkah ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul adalah student contribution dan interactivity. Hal ini mendukung pendapat Eggen & Kauchak (1996:282) bahwa dalam kerja kelompok siswa akan saling belajar melalui proses saling menerima dan memberi yang terjadi dalam kelompok. Kegiatan interaksi antar siswa tersebut juga sesuai dengan yang dinyatakan Marrilyn (2004:263) bahwa interaksi antar siswa dalam kolaborasi lebih memungkinkan siswa memahami ide dan pemikiran temannya serta memiliki kesempatan untuk menyusun kembali ide-ide matematika yang sedang mereka pelajari. Kemudian setelah melakukan proses diskusi kelompok, peneliti meminta agar hasil pekerjaan dari diskusi kelompok untuk di presentasikan di depan kelas dengan membandingkan hasil perkejaan kelompok dengan hasil pekerjaan kelompok lainnya. Pada saat proses presentasi kelompok terlihat setiap anggota kelompok saling memberikan tanggapan atau argumen dari hasil pekerjaan kelompok untuk membandingkan dengan hasil perkerjaan kelompok masingmasing. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada tahap ini yaitu student contribution dan interactivity. Pada tahap akhir peneliti mengarahkan dan menuntun siswa dengan cara tanya jawab untuk membuat kesimpulan dari pembelajaran yang telah dilakukan. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada tahap ini yaitu student contribution dan interactivity. Selanjutnya guru melakukan refleksi dan juga memberikan penguatanterhadap materi atau konsep yang baru diperolehnya agar tidak mudah lupa. Hal ini didukung pendapat Degeng (1997:28) bahwa membuat rangkuman atau kesimpulan dari apa yang telah dipelajari perlu dilakukan untuk mempertahankan retensi. KESIMPULAN Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian serta pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: langkah-langkah pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan matematika realistik yang dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah soal cerita di kelas VII A SMP Negeri 2 Modo adalah meliputi tiga tahap yaitu tahap pendahuluan, inti dan penutup. Pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)pada materi keliling dan luas segiempat dilaksanakan dalam lima langkah berikut. (1) Memahami masalah kontekstual. Siswa diberikan soal-soal kontekstual yang berkaitan dengan permasalahan seharihari yang ada disekitar siswa yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami materi keliling dan luas segiempat. 283
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(2) Menjelaskan dan menyelesaikan masalah kontekstual. Siswa secara individu menyelesaikan soal-soal kontekstual tersebut sesuai dengan pola fikir dan pemahaman masing-masing. (3) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. siswa berdiskusi dengan teman dalam satu kelompok untuk mencari kesepakatan jawaban yang dianggap paling tepat dalam menyelesaikan soal-soal kontekstual. (4) Diskusi kelas. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. (5) Menyimpulkan. Membuat kesimpulan hasil diskusi dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukan. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat dikemukakan beberapa saran yaitu bagi guru (1) mengalokasikan waktu secara cermat dalam merancang perangkat pembelajaran dan mengelola pembelajaran. (2) sebelum membelajarkan siswa dengan pembelajaran matematika realistik, guru hendaknya memperhatikan pemahaman siswa terhadap materi prasyarat. Hal ini akan mendukung kelancaran dan keberhasilan siswa dalam belajar, karena apabila siswa kurang memahami materi prasyarat akan menghambat dalam mengikuti pembelajaran. (3) apabila akan melaksanakan pembelajaran secara kelompok, guru sebaiknya menempatkan siswa berdasarkan tingkat kemampuan yang heterogen. Hal ini penting karena sangat berpengaruh untuk kelancaran proses pembelajaran. Siswa yang memiliki kemampuan sedang atau rendah dapat meminta bantuan kepada temannya yang memiliki kemampuan tinggi dan siswa yang berkemampuan tinggi dapat menambah pemahamannya dengan mengajari teman-temannya yang berkemapuan sedang dan rendah. (4) kegiatan pembelajaran yang dirancang hendaknya melibatkan proses fisik dan mental melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru, lingkungan dan sumber belajar yang lain melalui strategi pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada siswa. Bagi peneliti lain yaitu (1) perencanaan waktu pada rencana pelaksanaan pembelajaran hendaknya dilakukan seefektif mungkin agar berjalan sesuai dengan rencana. (2) pemilihan strategi dan pendekatan pembelajaran harus disesuaikan dengan masalah yang ada dalam kelas. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bostic J. & Jaccobe T. 2010. Teaching children mathematics. Promote Problem-Solving Discourse. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), 17(1): 35 Crawford, M. L. 2001. Teaching Contextually. Research, Rationale, and Techniques for Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science. Cord. Dahar,R.W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Airlangga. Degeng, I.N.S. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: IKIP dan IPTDI. Eggen, P.D & Kauchak, P.P. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thinking Skill. Boston: Alyn & Bacon. Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip. Merrilyn, G. 2004. Learning Mathematics In a Classroom Community Of Inquiry. New York. JRME. Soedjadi. 2001. Pemanfaatan Realitas Lingkungan Dalam Pembelajaran Matematika: Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Ralistic Mathematics Education (RME) di FMIPA UNESA 24 Februari. Suharta, I.G.P. 2004. Pembelajaran Pecahan di Sekolah Dasar dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Surabaya. Triyadi, T. 2012. Matematika itu abstrak. (online), http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/13/matematika-itu-abstrak-terus-gimana-435004.html. diakses tanggal 16 Juni 2013. Turmudi. 2004. Pengembangan Materi Ajar Matematika Realistik di Sekolah Dasar.Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembelajaran Matematika Realistik Bagi Guru SD di Kota Bandung tgl. 7,13, dan 14 Agustus. UPIBandung. Young, Carl. A. 2006. Reciprocal Teaching for Strategy Comprehension in Hinger Education: A Strategy for Fortering the Deeper Understanding of Texts. International Journal of Teaching and Learning in Hinger. 17( 2), 106-118 ISSN 1812-9129 http://www.isetl.org/itjtlhe/ diakses 26 Januari 2014 284
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN FOTO UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN SISWA PADA MATERI PERBANDINGAN Eka Nurmala Sari Agustina, Gatot Muhsetyo, dan Sisworo Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstract: This research was based on the preliminary observation showed that students still had difficulties in proportion reasoning. The research‟s goal is to describe how guided discovery learning that use photo as media could improve student‟s reasoning competency of proportion. This research was involving 32 students of SMPN13 Malang in grade 7th class i as participants. This research was conducted start from March 17th and end on April 19th, 2014. The research‟s procedures were: (1) planning; (2) implementing guided discovery using photo as media; (3) collecting the data; and (4) analyzing, evaluating, and reflecting the data. The using photo as media in this research were: (1) giving the students sketch of a house and (2) giving the students some package of photo which had same price but the measure of photo from each package was different. The results from this research were: (1) 80.64% students got mark of reasoning task more than 75, and (2) the mark of teacher‟s activity observation was in category “good enough”. Key words: Proportion, guided discovery learning, photo as media, reasoning competency.
Pada kehidupan sehari-hari, dapat dijumpai penerapan ilmu matematika dalam berbagai hal. Adanya kenyataan bahwa ilmu matematika dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari menjadikan guru dapat menyajikan atau memberikan contoh terkait penerapan matematika, sehingga siswa dapat mengetahui mengapa matematika perlu dipelajari. Salah satu kegiatan kegiatan sehari-hari yang dilakukan dan terkait dengan matematika adalah perbandingan. Contoh kegiatan membandingkan yang dapat dilakukan adalah memperbesar atau memper kecil ukuran foto sesuai ukuran yang diingikan. Namun, pada pembelajaran perbandingan di sekolah, masih terdapat siswa yang merasakan kesulitan menyelesaikan masalah perbandingan. Berdasarkan pengalaman peneliti mengajar siswa SMK yang mendapatkan materi perbandingan 2 kali, yaitu di SMP dan di SMK kelas X, para siswa masih kesulitan menyelesaikan soal perbandingan. Soal perbandingan yang masih dirasakan sulit adalah perbandingan berbalik nilai. Untuk memperoleh fakta kesulitan siswa mengerjakan soal perbandingan, peneliti melakukan observasi awal pada siswa kelas VIII SMP Negeri 13 Malang dengan meminta siswa menyelesaikan 4 soal yang terkaitr dengan perbandingan. Peneliti mendapati bahwa siswa masih mengalami kebingungan dan kesulitan menyelesaikan soal perbandingan. Contohnya adalah siswa siswa tidak dapat melakukan dugaan apakah nilai a dan b tunggal jika diketahui bahwa 𝑎 72 𝑎 72 = . Siswa dapat menuliskan nilai lain dari a dan b jika diketahui = , tetapi siswa salah 𝑏
96
𝑎
72
𝑏
36
96 18
menuliskan jawaban dalam bentuk pecahan seperti = = = .Jawaban siswa 𝑏 96 48 24 menunjukkan bahwa siswa salah memahami soal. Selain kesalahan menuliskan nilai lain dari a dan b, siswa juga mengalami kesalahan menduga rasio harga 12 kotak susu dengan harga 15 kotak susu jika harga 15 kotak susu Rp. 10.500,00 lebih mahal daripada harga 12 kotak susu. Siswa beranggapan bahwa Rp. 10.500 adalah harga 15 susu kotak. Berdasarkan hasil jawaban siswa, terlihat bahwa kemampuan penalaran siswa masih kurang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Penalaran merupakan bagian penting yang dapat diterapkan siswa ketika menyelesaikan masalah atau soal. Seperti yang dijelaskan oleh Avila & McGraw (tt:5) bahwapenalaran digunakan untuk menyelesaikan masalah dan juga menentukan apakah suatu pernyataan itu benar (Avila & McGraw, tt:5). Pada pembelajaran matematika, penalaran juga memainkan peran khusus dan mendasar bagi siswa dalam pencapaian hasil belajar mereka di sekolah (Adgoke, 2006:60). Proses penalaran dapat mendukung pemahaman matematika yang lebih dalam karena dengan penalaran yang dimiliki siswa, memungkinkan siswa untuk lebih memahami proses matematika yang dipelajari siswa. Bentuk penalaran yang dilakukan oleh 285
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa dapat berupa penjelasan informal dan pembuktian dari deduksi formal, serta dapat pula pengamatan induktif (NCTM dalam Martin, 2009:4). Penalaran dapat dipahami sebagai proses penggambaran kesimpulan yang berdasar pada fakta-fakta atau asumsi yang telah dibenarkan (Martin, 2009:4). Martin (2009:4) menjelaskan bahwa penalaran matematik sering dipahami mencakup penalaran formal atau pembuktian dimana kesimpulan yang diperoleh dapat ditarik secara logis dari asumsi dan definisi yang ada. Shadiq mendefinisikan penalaran adalah suatu proses atau aktivitas yang dilakukan seseorang untuk menarik suatu kesimpulan atau proses berpikir seseorang dalam rangka membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya (Wardhani, 2008:11). Brodie (2010:v) juga menjelaskan bahwa penalaran matematik adalah apa yang dilakukan seseorang ketika dia bernalar, maka dia mengikutsertakan pembentukan dan pengomunikasian hubungan antara satu ide atau konsep dan hal-hal yang akan diselesaikan. Kilpatrick (dalam Brodie, 2010:75) memberikan definisi tentang penalaran matematik sebagai keyakinan dengan pengetahuan bahwa seseorang mempunyai suatu penjelasan yang telah dibenarkan, dan orang tersebut dapat mengomunikasikan keyakinannya kepada orang lain. Berdasarkan beberapa penjelasan tentang penalaran matematik, maka dapat dikatakan bahwa penalaran matematik merupakan suatu proses dimana seseorang menggunakan asumsinya dan konsep-konsep yang dimilikinya untuk memecahkan suatu masalah atau membuktikan sesuatu yang dapat disampaikan kepada orang lain. Untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa, maka perlu pelaksanaan pembelajaran yang dirancang agar kemampuan penalaran siswa dapat ditingkatkan. Salah satu pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran dalah pembelajaran penemuan terbimbing. Hal ini sesuai dengan penjelasan Ruthven & Lavicza (2011:100) yang memaparkan bahwa beberapa contoh permasalahan terkait struktur penalaran pada penelitiannya, menjelaskan bahwa penemuan terbimbing didasarkan pada tindakan yang di arahkan.Abdullah (tt : 4) juga memberikan penjelasan bahwa dalam pembelajaran penemuan terbimbing, siswa memahami permasalahan berdasarkan pembelajaran, proses penalaran, dan refleksi. Ada pulaBani (2011:1) yangmenjelaskan bahwa pembelajaran penemuan terbimbing dapat meningkatkan penalaran matematika siswa yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Sehingga, dapat dikatakan bahwa penemuan terbimbing terkait dengan penalaran. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pembelajaran penemuan terbimbing lebih baik dari pada pembelajaran konvensional yaitu penelitian Khanis & Aithal (2011:22) dan Matthew & Kenneth (2013). Penemuan terbimbing merupakan suatu model pembelajaran dimana guru membimbing siswa melalui aktivitas yang dapat mendorong siswa menemukan konsep dari materi yang dipelajari dengan diri mereka sendiri daripada dari presentasi yang disampaikan langsung oleh seorang guru (Brosnahan, 2001:1). Hal ini sesuai dengan kondisi bahwa pembelajaran konsep matematika tingkat sekolah dasar hingga menengah bukanlah menemukan konsep baru karena konsep matematika yang diajarkan di sekolah telah ditentukan dan bukanlah hal yang baru. Pembelajaran penemuan terbimbing yang dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa dapat pula dibantu dengan adanya media pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran dapat membantu tersampaikannya materi pembelajaran secara terencana sehingga dapat tercipta lingkungan belajar yang kondusif dimana siswa dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif (Munandi, 2013:7). Association of Education and Comuncation Technology (AECT) (dalam Munandi, 2013:8) juga menjelaskan bahwa media merupakan segala bentuk dan cara yang digunakan seseorang untuk menyalurkan pesan atau informasi.Terkait dengan penggunaan media dalam pembelajaran penemuan terbimbing, penelitian ini menggunakan foto sebagai media yang diamati untuk membantu siswa mengetahui fakta-fakta dari perbandingan yang dapat dilihat pada foto. Salah satu bentuk penggunaan media foto dalam pembelajaran perbandingan adalah menggunakan suatu benda dilengkapi foto dari benda tersebut untuk mempelajari skala karena adanya rasio antara ukuran suatu objek pada foto dengan ukuran objek sebenarnya. Selain itu, penemepatan foto pada pigora juga menunjukkan adanya proporsi antara ukuran foto dan ukuran pigora. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini melibatkan pembelajaran penemuan terbimbing berbantuan media foto untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa pada materi perbandingan di SMP Negeri 13 Malang. 286
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Subyek penelitian ini adalah 12 siswa putra dan 20 siswa putri dari kelas VII-i SMP Negeri 13 Malang. Penelitian dilaksanakanmulai 17 Maret – 19 April 2014. Berikut prosedur yang dilakukan peneliti untuk melaksanakan penelitian ini. 1. Peneliti merencanakan berbagai hal yang terkait dengan penelitian diantaranya: a. menyusun media pembelajaran perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian yaitu: media foto, RPP, LKS, soal latihan, soal tes awaldan tes akhir siklus; b. menyusun instrument penelitian yaitu lembar validasi, lembar observasi, lembar jawaban tes awal dan tes akhir, serta pedoman penskoran tes awal dan tes akhir; dan c. pedoman penskoran tes kemampuan penalaran yang disesuaikan dengan indikator kemampuan penalaran yaitu kemampuan memunculkan dugaan, kemampuan menuliskan penghitungan dengan benar, kemampuan menyimpulkan hasil penghitungan, dan kemampuan mengetahui pola yang muncul dari soal. 2. Peneliti melaksanakan pembelajaran penemuan terbimbing yang dikembangkan berdasarkan tahapan-tahanpan penemuan terbimbing menurut Eggen et.al (2009:210) yaitu: (1) tahap pengenalan atau review dimana terdiri dari kegiatan mereview materi yang telah dipelajari seperti pecahan dan kecepatan, kegiatan guru menyampaikan tujuan pembelajaran, dan pembagian kelompok; (2) tahap terbuka dimana siswa dihadapkan dengan media foto dan LKS yang dikerjakan dan didiskusikan secara berkelompok; (3) tahap konvergen yang terdiri dari kegiatan guru membimbing siswa pada saat diskusi kelompok, kegiatan presentasi dan diskusi kelas, dan kegiatan penggeneralisasian materi yang dipelajari; dan (4) tahap penutup yang terdiri dari kegiatan siswa berlatih soal sesuai materi yang dipelajari. Setiap siklus pada penelitian ini direncanakan dilakukan selama 4 – 6 kali pertemuan dengan alokasi waktu 1 atau 2 x 40 menit. 3. Peneliti mengumpulkan data penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. No 1.
2. 3.
4. 5.
Tabel 1. Data dan Suber Data Data Data validasi perangkat pembelajaran dengan skala skor 1 – 4 Skor komponen-komponen RPP Skor komponen-komponen LKS Skor komponen-komponen soal tes awal dan tes akhir siklus Skor komponen-komponen lembar aktivitas guru dan siswa Hasil belajar siswa terkait kemampuan penalaran: Pekerjaan siswa pada tes awal dan tes akhir siklus Hasil observasi pembelajaran Data aktivitas guru yaitu skor penilaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan skala skor 1 – 4 dan catatan tentang pelaksanaan pembelajaran. Data aktivitas siswa yaitu skor penilaian kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dengan skala skor 1 – 4 dan catatan tentang pelaksanaan pembelajaran. Data hasil wawancara berupa transkrip tanya jawab. Dokumentasi proses penelitian berupa gambar dan transkrip pelaksanaan pembelajaran
Sumber Data Validator Validator Validator Validator Siswa Observer
Observer
Peneliti Observer dan Peneliti
4. Melakukan analisis data, evaluasi, dan refleksi. Pada tahap analisis, peneliti melakukan analisis kuantitatif terhadap hasil penskoran validasi perangkat pembelajaran, hasil tes kemampuan penalaran siswa pada setiap siklus, hasil penskoran observasi aktivitas guru dan siswa pada tiap pertemuan. Peneliti juga melakukan analisis kualitatif terkait penjelasan ketercapaian kemampuan penalaran siswa yang dilihat dari pekerjaan siswa pada soal tes dan catatan deskripsi observer terkait aktivitas guru dan aktivitas siswa. Setelah peneliti menganalisis data, peneliti mengevaluasi tindakan yang diberikan apakah telah memenuhi kriteria keberhasilan. Keberhasilan penelitian ini yaitu perangkat pembelajaran harus pada kategori valid (lebih dari 51%), hasil observasi minimal pada kategori baik (lebih dari 80%), dan banyak siswa yang mendapat nilai kemampuan penalaran lebih dari 75 minimal dicapai oleh 80% siswa. Jika kriteria keberhasilan belum tercapai maka peneliti mencari penyebab 287
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
ketidak berhasilan penelitian. Kemudian, peneliti melakukan refleksi dengan memperbaiki kekurangan dari siklus sebelumnya. 5. Peneliti melaporkan hasil penelitian. Berdasarkan prosedur penelitian dan apa yang dilakukan oleh peneliti, maka pada penelitian ini peneliti bertindak sebagai observer awal, perencana penelitian, perancang penelitian, pembuat perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, pelaksana penelitian, pengumpul data, penganalisis data, dan pelapor penelitian. HASIL PENELITIAN Penelitian ini menghasilkan dua jenis data yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif terdiri dari hasil penilaian validasi oleh 3 validator (validator I, II, dan III), hasil penilaian observasi aktivitas guru dari siklus I dan siklus II, dan hasil tes kemampuan penalaran dari siklus I dan siklus II. Data kualitatif terdiri dari hasil pengerjaan tes oleh siswa terkait kemampuan penalaran siswa dan hasil sarandari observer untuk perbaikan pembelajaran yang perlu dilakukan peneliti sebagai pengajar. Hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dapat dilihat pada tabel 2 berikut. No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 2 .Validasi Instrumen dan Perangkat Penelitian dari Validator Instrumen dan Perangkat yang Prosentase Skor Validator Total Divalidasi I II III RPP 80,36% 92,86% 89,28% 87,5% Lembar Observasi 77,27% 100% 100% 92,42% LKS 77,5% 97,5% 95% 90% Soal Latihan 76,92% 98,07% 75% 83,33% Soal Tes & Pedoman Penskoran tes 78,84% 98,07% 75% 83,97%
Kesimpulan Valid Valid Valid Valid Valid
Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa instrumen dan perangkat penelitian pada penelitian ini tergolong pada kategori valid. Setelah diperoleh hasil validasi yang termasuk pada kategori valid, maka peneliti melaksanakan tindakan pembelajaran untuk mendapatkan data observasi yang di nilai berdasarkan rumus berikut. O = prosentase observasi oleh tiap observer pada tiap pertemuan. 𝑂 P = prosentase hasil observasi tiap pertemuan = 𝑋= prosentase observasi keseluruhan =
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑜𝑏𝑠𝑒𝑟𝑣𝑒𝑟 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛 𝑃 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑚𝑢𝑎𝑛
Pada siklus I, nilai observasi aktivitas guru (58,66%) dan aktivitas siswa (56,38%) belum memenuhi kriteria keberhasilan serta masuk pada kategori “tidak baik”. Berikut adalah data rincian hasil prosentase observasi aktivitas guru dan siswa pada tiap pertermuan di siklus I. Tabel 3. Hasil Observasi Aktivitas Guru pada Siklus I Total Skor Observasi pada Pertemuan keKode Observer 1 2 3 4 5 6 A O=53,33% O=64,44% B O=16% O=51,11% C O=57,77% O=60% O=84,44% D E F O=22% O=57,77% O=57,77% O=75,55% Prosentase (Pi) 19% 52,22% 57,77% 60,74% 79,995% Kategori Tidak Baik Tidak Baik Tidak Baik Kurang Baik Cukup
Kode Observer A B C D
Tabel 4. Hasil Observer Aktivitas Siswa pada Siklus I Total Skor Observasi pada Pertemuan ke1 2 3 4 5 6 O=51,1% O=57,77% O=46% O=53,3% O=60% O=57,77% O=82,22%
288
7
O=84,44% O=80% 82,22% Baik
7
O=84,44%
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
E F Prosentase (Pi)
O=44% 45%
O=64,44%
Kategori
Tidak Baik
52,2%
O=57,14% 58,57%
O=53,33% 56,29%
O=73,33% 77,775%
74,44%
Tidak Baik
Tidak Baik
Kurang Baik
Cukup
Cukup
Pada siklus II, terjadi peningkatan nilai observasi aktivitas guru (85,212%) dan aktivitas siswa (79,158%) stelah adanya perbaikan pada siklus II. Prosentase observasi aktivitas guru masuk pada kategori “baik” dan prosentase observasi aktivitas siswa masuk pada kategori “cukup baik”. Jika dilihat dari segi pencapaian prosentase observasi aktivitas siswa, maka dapat dikatakan bahwa perolehan prosentase tersebut belum memenuhi kriteria keberhasilan dan seharusnya dilanjutkan ke siklus ke III. Namun karena adanya kendala waktu dan pencapaian prosentase tersebut hampir mencapai kategori baik, maka penelitian ini diakhiri hingga siklus ke II. Berikut adalah data rincian hasil prosentase observasi aktivitas guru dan siswa pada tiap pertemuan di siklus II. Tabel 5. Hasil Observer Aktivitas Guru pada Siklus II Total Skor Observasi pada Pertemuan keKode Observer 1 2 3 C O=90% O=81,81% F O=80% O=84,28% O=90,90% Prosentase (Pi) 85% 84,28% 86,355% Kategori Baik Baik Baik Tabel 6. Hasil Observer Aktivitas Siswa pada Siklus II
Kode Observer Total Skor Observasi pada Pertemuan ke1 2 3 C O=90% O=83,63% F O=72,5% O=77,14% O=74,54% Prosentase (Pi) 81,25% 77,14% 79,085% Kategori Baik Cukup Baik Cukup Baik Selain hasil observasi, pada penelitian ini juga terdapat hasil tes kemampuan penalaran siswa. Dari hasil tes diketahui bahwa pada siklus I, kemampuan penalaran siswa tergolong masih rendah dan belum tuntas walau terdapat peningkatan yaitu dari 0 % (dari tes awal) menjadi 22,5%. Setelah dilakukan perbaikan tindakan guru pada siklus II, terjadi peningkatan banyak siswa yang dapat memenuhi kriteria keberhasilan yaitu dari 22,5% (pada siklus I) menjadi 80,25%. Dariperolehan prosentase pada siklus II, maka dapat dikatakan siswa telah mengalami peningkatan kemampuan penalaran dan memenuhi kriteria keberhasilan penelitian. Pencapaian kemampuan kemampuan penalaran siswa pada tes tiap siklus tidak lepas dari beberapa kesalahan dalam memunculkan kemampuan penalaran, kesalahan konsep, dan kesalahan prosedural. Berikut adalah penjelasan terkait kesalahan yang dilakukan siswa ketika mengerjakan soal tes pada tiap siklus. Soal No. 1
Tabel 7. Hasil Pekerjaan Siswa pada Tes Akhir Siklus Kesalahan yang Dilakukan Siswa Siklus I Siklus II Menduga:Terdapat 8 siswa salah Menduga: Terdapat 8 siswa yang salah menduga menuliskan model matematika dari soal. penulisan “x sepuluh lebihnya dari y”. Contoh Contoh kesalahan yang dilakukan siswa kesalahan yang dituliskan siswa adalah . Penghitungan: Terdapat 8 siswa yang masih salah adalah dimana menuliskan prosedur pengerjaan karena siswa masih seharusnya siswa menjawab p + q = 20. kesulitan mengaitkan dengan aljabar. Contoh Penghitungan:Terdapat 14 siswa kesalahan siswa adalah melakukan kesalahan penghitungan dimana 10 siswa melakukan kesalahan prosedural dan siswa melakukan . kesalahan konsep. Kesimpulan: Terdapat 8 siswa yang salah menuliskan Contoh kesalahan procedural yang kesimpulan karena salah menuliskan urutan penulisan
289
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dilakukan siswa adalah
rasio yang ditanyakan pada soal.
dan kesalahan konsep yang dilakukan siswa adalah
2
. Menduga:Terdapat 5 siswa tidak menjawab, 9 siswa tidak menduga tetapi menuliskan penghitungan, 10 siswa salah menduga. Contoh kesalahan yang dilakukan siswa
adalah , dimana siswa seharusnya menuliskan “luas tanah dikurangi luas kolam”. Penghitungan: Terdapat 5 siswa tidak menjawab dan 22 siswa melakukan kesalahan konsep dalam mengerjakan bagian penghitungan. Contoh kesalahan yang dituliskan siswa adalah
3
4
. Kesimpulan: Karena siswa salah mengerjakan bagian penghitungan, maka siswa melakukan kesalahan dalam menuliskan kesimpulan. Menduga: Terdapat 3 siswa yang salah menduga bahwa buah yang dibeli Ani “lebih sedikit” dari yang direncanakan, terdapat 7 siswa salah menduga soal termasuk “perbandingan berbalik nilai”. Penghitungan: Terdapat 14 siswa yang hanya menuliskan separuh penghitungan, yaitu mencari harga 3 kg buah dan 5 siswa diantaranya menghitung dengan konsep yang salah. Contoh kesalahan siswa pada bagian penghitungan adalah
. Kesimpulan: Terdapat 5 siswa menuliskan kesimpulan yang tidak sesuai dengan pertanyaan dan ada 4 siswa yang salah menuliskan kesimpulan karena hasil penghitungan salah. Menentukan Pola: Hanya ada 1 siswa yang tidak menjawab. Menduga: Terdapat 7 siswa salah menduga yaitu mereka menjawab bahwa 4 lebih sedikit dari 2 dan terdapat 5 siswa salah menduga soal termasuk perbandingan berbalik nilai. Penghitungan: Terdapat 7 siswa yang salah menghitung karena siswa mengalami kesalahan konsep. Contoh kesalahan yang dilakukan siswa adalah
Menduga: Masih terdapat banyak siswa yang salah menuliskan dugaan. Contohnya terdapat 8 siswa yang menduga cara mencari luas tanah yang diarsir dengan menjawab luas tanah yang diarsir dikurangi luas tanah yang tidak diarsir. Penghitungan:Terdapat 10 siswa yang salah menuliskan penghitungan karena kesalahan konsep. Contoh kesalahan yang dilakukan siswa adalah
.Kesimpulan: Akibat kesalahan penghitungan siswa salah menuliskan kesimpulan.
Sudah tidak terdapat siswa yang salah menuliskan dugaan. Penghitungan: Terdapat 5 siswa yang melakukan kesalahan prosedural dan 1 siswa yang melakukan kesalahan konsep. Contoh penkerjaan siswa yang salah melakukan kesalahan prosedural adalah
. Kesimpulan: Terdapat 8 siswa yang menuliskan kesimpulan tetapi tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan soal. Contohnya adalah “Jadi, teh botol yang dibeli Rosa lebih banyak”. Pola: Tidak terdapat siswa yang menuliskan kesalahan pada bagian pola.
Menduga: Hanya terdapat 1 siswa yang salah menduga soal termasuk perbandingan senilai. Penghitungan:Terdapat 6 siswa yang melakukan kesalahan konsep. Contoh kesalahan yang dilakukan siswa adalah
. Kesimpulan: Akibat kesalahan hasil yang diperoleh
290
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa, maka siswa salah menuliskan kesimpulan.
. Kesimpulan:Siswa yang melakukan kesalahan penghitungan salah menuliskan kesimpulan.
PEMBAHASAN Perolehan hasil penelitian ini diakibatkan adanya pemberian tindakan yang dilakukan oleh guru pada setiap pembelajaran dengan menerapkan penemuan terbimbing berbantuan media foto. Pembelajaran penemuan terbimbing yang diberikan pada penelitian ini memenuhi beberapa langkah pembelajaran. Langkah-langkah pembelajaran yang diberikan merupakan pengembangan langkah pembelajaran Paul Eggan et.al (2009) yang terdiri dari tahap awal, tahap terbuka, tahap konvergen, dan tahap penutup. Berikut adalah penjelasan terkait kegiatan yang dilakukan oleh guru pada setiap tahapan. Tahap Awal Kegiatan pembelajaran pada tahap awal adalah guru(peneliti) memberikan pengenalan atau mengajak siswa mereview pembelajaran sebelumnya. Pada hari pertama guru mengajak siswa mereview materi yang terkait dengan perbandingan yaitu pecahan dan kecepatan yang merupakan bagian dari rasio. Guru memberi tahu siswa bahwa pecahan dan kecepatan merupakan contoh dari rasio. Guru kemudian meminta siswa menyebutkan kejadian sehari-hari yang terkait dengan rasio. Beberapa siswa memberikan contoh seperti ARB yang memberikan contoh rasio umur siswa yaitu 15:13:12. Selanjutnya guru mengajak siswa mendefinisikan pengertian rasio. Siswa yang memberikan pendapat mengenai definisi rasio adalah RAQ dan FM. RAQ menyatakan bahwa rasio adalah bilangan yang dibandingkan secara terurut dan FM mendefinisikan rasio adalah membendingkan bilangan secara urut. Jawaban siswa masih kurang tepat, sehingga guru memberi bimbingan dengan menanyakan “Apakah bilangan yang dibandingkan hanya tunggal?” dan siswa menjawab bilangan yang dibandingkan merupakan pasangan bilangan. Pendampingan dari guru membantu siswa memberikan kesimpulan bahwa rasio adalah pasangan bilangan yang dibandingan secara terurut. Setelah kegiatan review, guru memberitahukan tujuan pembelajaran yang akan dilakukan siswa. Pada pembelajaran skala guru menjelaskan bahwa siswa akan berdiskusi kelompok mengukur dan mengamati wadah wafer dan foto wadah wafer untuk mempelajari skala. Pada pembelajaran perbandingan peneliti menginformasikan pada siswa bahwa mereka akan mempelajari perbandingan senilai dan berbalik nilai menggunakan foto dengan berbagai ukuran (contoh foto ukuran 3 x 4 cm dan foto ukuran 4 x 6 cm) dan wadah foto. Penyampaian tujuan ini dilakukan agar siswa mengetahui apa yang hendak dipelajari dan apa yang akan dilakukan siswa pada saat pembelajaran seperti yang dipaparkan Ruhimad (2011:6). Tahap awal pada siklus I tidak mengalami kendala, namun karena adanya kendala yang muncul pada siklus I pada tahap terbuka, maka terdapat perbaikan pembelajaran yang juga mengakibatkan ada perbaikan isi tujuan yang disampaikan pada tahap awal debagai berikut. (1) Pada pembelajaran skala peneliti menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu siswa akan belajar apakah skala yang terkait ukuran panjang sama dengan skala yang terkait dengan luas melalui pengamatan denah pada foto. (2) Pada pembelajaran perbandingan, peneliti menyampaikan tujuan bahwa siswa akan melihat perbedaan perbandingan senilai dan perbandingan berbalik nilai melalui pengamatan 2 paket foto dengan harga paket yang sama tetapi banyak foto yang diperoleh berbeda karena perbedaan ukuran foto pada tiap paket. Setelah nyampaikan tujuan pembelajaran, peneliti membagi siswa dalam 8 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 4 siswa dengan memperhatikan keheterogenan gender siswa dan tingkatan kemampuan siswa yaitu 1 siswa berkemampuan tinggi 2 siswa berkemampuan sedang dan 1 siswa berkemampuan rendah. Namun pada pelaksanaan pembelajaran, siswa masih kurang dapat bekerjasama dengan baik pada siklus I. Masih ada anggota kelompok yang mendominasi kegiatan belajar kelompok seperti yang dilakukan ADE dari kelompok 2, masih ada siswa yang merasa perempuan sendirian yaitu DAF dari kelompok 5. Selain itu, terdapat beberapa kelompok yang ketika guru memberikan bimbingan pada suatu kelompok, siswa dari kelompok yang tidak diawasi guru berincang-bincang dengan anggota kelompok lain sehingga 291
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
suasana kelas terkesan gaduh. Oleh karna itu, pada siklus ke II terdapat perbaikan yaitu guru meminta siswa untuk memilih sendiri anggota kelompoknya. Setiap siswa diberi kebebasan memilih 4 siswa yang ingin dijadikan anggota kelompoknya. Kemudian siswa memberikan hasil pilihan anggota kelompoknya kepada guru. Guru selanjutnya mengatur pembagian kelompok berdasarkan keinginan siswa namun tetap disesuaikan dengan keheterogenan tingkat kemampuan siswa yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pembagian kelompok ini juga sesuai dengan paparan Ruhimat (tt:1) yang menyatakan bahwa pembelajaran harus dikembangkan agar siswa berada pada suasana yang fleksibel, menyenangkan, dan inspiratif sehingga mendukung suasana belajar siswa yang bermakna. Perbaikan pembagian kelompok pada siklus II menjadikan pembelajaran siswa lebih kondusif dan siswa dapat bekerjasama dengan lebih baik. Tahap Terbuka Pada tahap terbuka guru membagikan LKS dan media foto untuk dikerjakan siswa secara berkelompok. Pada pembelajaran skala siswa mengamati dan mengukur unsur-unsur kotak wafer (panjang dan lebar) yang ditanyakan pada LKS serta mengukur unsur-unsur kotak wafer yang tampak pada foto. Kemudian siswa menjawab pertanyaan yang terdapat pada LKS terkait kesamaan rasio yang ditemukan siswa ketika membandingkan panjang kotak wafer pada foto dengan panjang kotak wafer sebenarnya dan membandingkan panjang lebar kotak wafer pada foto dengan lebar kotak wafer sebenarnya. Siswa kemudian diberi pertanyaan untuk 𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎 menjawab bahwa skala = . Pada pembelajaran perbandingan, setiap 𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 𝑛𝑦𝑎
kelompok mendapat LKS yang dibagikan pada setiap anggota dan media foto yang dilengkapi dengan pigora buatan. Siswa melakukan pengukuran pada foto dan pigora serta mencari luas foto dan pigora. Siswa bersama anggota kelompoknya kemudian melakukan percobaan yaitu meletakkan foto pada pigora buatan. Berikut penjelasan setiap pembelajara perbandingan. 1. Perbandingan senilai. Setiap kelompok mencoba meletakkan beberapa foto berukuran 3R ke wadah pigora untuk foto berukuran 3R dan pigora untuk foto berukuran 5R serta mencatat banyak foto 3R yang dapat diletakkan pada masing-masing pigora. Selanjutnya para siswa menjawab pertanyaandari LKS yang membimbing siswa untuk menjawab 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑓𝑜𝑡𝑜 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑖𝑔𝑜𝑟𝑎 𝐼 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑖𝑔𝑜𝑟𝑎 𝐼 = . Siswa diberitahukan bahwa perbandingan yang 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑓𝑜𝑡𝑜 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑖𝑔𝑜𝑟𝑎 𝐼𝐼
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑖𝑔𝑜𝑟𝑎 𝐼𝐼
mereka temukan adalah perbandingan senilai. Siswa kemudian mendiskusikan bentuk umum dari rumus perbandingan senilai. 2. Perbandingan berbalik nilai. Setiap kelompok mencoba meletakkan beberapa foto I(ukuran 3R) ke wadah pigora II (untuk foto berukuran 5R) dan meletakkan foto II (ukuran 5R) pada pigora yang sama, serta mencatat banyak foto I dan banyak foto II yang dapat diletakkan pada pigora II. Selanjutnya para siswa menjawab pertanyaan pada LKS yang membimbing 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑓𝑜𝑡𝑜 𝐼 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑓𝑜𝑡𝑜 𝐼𝐼 siswa menjawab 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑓𝑜𝑡𝑜 𝐼𝐼 = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑓𝑜𝑡𝑜 𝐼 . Siswa diberitahukan bahwa perbandingan yang mereka temukan adalah perbandingan berbalik nilai. Siswa kemudian mendiskusikan bentuk umum dari rumus perbandingan berbalik nilai. Berdasarkan hasil tes siklus I, terlihat bahwa pembelajaran yang dilakasanakan masih belum dapat meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Hasil pekerjaan siswa pada tes siklus I menunjukkan bahwa siswa menyamakan skala ukuran panjang dengan skala ukuran luas dan siswa masih bingung menyelesaikan soal perbandingan berbalik nilai dengan cara perbandingan senilai. Peneliti mengevaluasi bagian yang masih kurang baik dan melakukan refleksi. Peneliti kemudian mengadakan perbaikan pada bentuk media foto yang digunakan dan isi LKS. Peneliti memperbaiki LKS dengan memberikan pertanyaan yang berisi tahapan-tahapan penalaran yaitu memberikan pertanyaan terkait dugaan siswa, penghitungan, penarikan kesimpulan dan meminta menuliskan pola yang muncul. Berikut adalah perbaikan yang diberikan peneliti agar siswa dapat meningkatkan kemampuan penalarannya. 1. Pembelajaran skala. Setiap kelompok diberi media foto berupa denah rumah yang disertai dengan skala denah. Siswa diminta mengisi LKS yang menanyakan tentang hasil pengukuran siswa terkait panjang dan lebar tanah pada denah kemudian meminta siswa mencari panjang dan lebar tanah sebenarnya. Kemudian siswa diminta menjawab pertanyaan LKS yang meminta siswa memberikan dugaan apakah skala denah sama dengan rasio luas tanah pada denah dengan luas tanah sebenarnya. Selanjutnya siswa diminta membuktikan dugaannya dengan melakukan penghitungan luas tanah pada denah dan luas
292
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tanah sebenarnya, sehingga siswa mengetahui bahwa skala denah tidak sama dengan rasio luas tanah pada denah dengan luas tanah sebenarnya. 2. Pembelajaran perbandingan senilai. Setiap kelompok melakukan pengamatan pada paketan foto yang berisi 6 foto 3x4 dengan harga 1 paket adalah Rp. 6.000,00. Siswa diminta menjawab pertanyaan banyak paket yang dibeli yaitu 1, 2, dan 3 paket kemudian meminta siswa menjawab banyak foto yang diperoleh setiap membeli 1 paket, 2 paket, dan 3 paket. Selanjutnya siswa bersama kelompoknya merundingkan tabel dan grafik yang diperoleh dari hasil jawaban siswa hingga siswa mengetahui bahwa bentuk grafik yang ditemukan merupakan grafik perbandingan senilai. (grafik perbandingan senilai selalu naik). Selanjutnya siswa menjawab soal yang menanyakan dugaan siswa pada soal tersebut, meminta siswa untuk melakukan penghitungan, meminta siswa menuliskan kesimpulan, meninta siswa menjawab pertanyaan tentang pola yang muncul. 3. Pembelajaran perbandingan berbalik nilai. Setiap kelompok melakukan pengamatan pada 2 paketan foto yang mana paket 1 berisi 6 foto 3x4 dan paket 2 berisi 4 foto 4x6 dimana harga setiap paket adalah Rp. 6.000,00. Siswa diminta menjawab pertanyaan yang menanyakan banyak foto yang diperoleh jika membeli satu paket foto dengan harga satu foto adalah: Rp. 1.000,-; Rp. 1.500,-; Rp. 2.000,-; Rp. 3.000,-; dan Rp. 6.000 yang diisikan pada tabel. Siswa kemudian diminta menggambarkan grafik dari data yang ditemukan siswa sehingga siswa tahu bahwa bentuk grafik yang diperolehnya merupakan grafik perbandingan berbalik nilai yang selalu menurun. Selanjutnya siswa menjawab soal yang menanyakan dugaan siswa pada soal tersebut, meminta siswa untuk melakukan penghitungan, meminta siswa menuliskan kesimpulan, meninta siswa menjawab pertanyaann tentang pola yang muncul. Perbaikan yang dilakukan peneliti pada siklus II berhasil meningkatkan penalaran siswa. Siswa telah dapat melakukan dugaan dengan baik memberika penghitungan sesuai konsep yang telah dipelajari, siswa dapat menyimpulkan dengan benar, dan siswa mengetahui pola yang muncul dari soal. Tahap Konvergen Pada tahap konvergen, guru memberikan bimbingan kepada siswa setiap kali siswa bertanya pada guru yang berupa pertanyaan pancingan hingga siswa menemukan jawaban yang benar.Berikut adalah bagian yang ditanyakan siswa dan bimbingan guru.
Gambar 1. Bagian Pertanyaan pada LKS yang Ditanyakan Siswa HLR Peneliti HRL Peneliti HRL Peneliti
IPA Peneliti IPA Peneliti MAF
: Bu maksud pertanyaan ini apa? (Siswa menunjuk bagian LKS seperti bagian yang dilingkari merah pada gambar 1) : Kelompok kalian apakah sudah menemukan perbandingan-perbandingan yang ditanyakan? : Sudah Bu. : Apakah nilai yang kalian dapatkan sama? : Beda Bu. : Apakah kalian yakin?Luas wadah foto I dibanding luas wadah foto II nilainya berapa? Kemudian banyak foto pada wadah foto I dibanding banyak foto pada wadah foto II nilainya berapa? : 96/144 dan 8/12 Bu. : Menurut kalian nilai itu beda apa sama? : Beda Bu. : Nilai yang kalian peroleh apa bisa disederhanakan? : Bisa Bu.
293
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Peneliti : Ayo kalian coba dulu apakah hasilnya sama apa beda. (Siswa berusaha menyederhanakan) AAA : Bu sudah. Ini Bu. Hasilnya sama Bu ¾. Peneliti : Berarti apakah ada yang sama dari hasil penemuan kalian?Kalau ada apa itu? IPA : Ada Bu. Hasilnya sama-sama tiga per empat. Peneliti : Nilai tiga per empat itu tadi diperoleh dari apa saja? MAF : Luas wadah foto I per luas wadah foto II dan banyak foto pada wadah foto I per banyak foto pada wadah foto II. Peneliti : Berarti yang ditulis sama apa? HLR : Oh ditulis Luas wadah foto I per luas wadah foto II sama dengan banyak foto pada wadah foto I per banyak foto pada wadah foto II. Peneliti : Iya benar. IPA : Hah cuma gitu Bu? Peneliti : Iya. Nah sekarang silahkan dilanjutkan.
Setelah pemberian bimbingan dari guru pada siswa dan proses diskusi kelompok selesai, kegiatan selanjutnya adalah siswa berdiskusi kelas dimana beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Pada siklus 1 siswa masih kurang antusian untuk mengikuti kegiatan presentasi dan beberapa siswa yang masih menyeletukbahwa sebaiknya diterangkan langsung oleh guru. Namun, guru tetapmelanjutkan proses presentasi. Untuk memperbaiki kegiatan diskusi kelas pada siklus II, guru mengadakan permainan dengan menyiapkan kartu yang berisi nomor dari setiap kelompok. Guru menyediakan 8 kartu dengan 4 macam warna yaitu merah muda, hijau, ungu, dan merah. Setiap 2 kelompok mempunyai warna kartu yang sama. Selanjutnya, guru meminta para siswa memilih warna tanpa mengetahui nomor yang terdapat pada kartu tersebut. Dari 2 kartu dengan warna yang sama hasil pilihan siswa, guru memegang satu kartu di tangan kanan dan satu kartu ditangan kiri kemudian meminta siswa siswa memilih salah satu kartu yang dipegang guru. Guru kemudian memberitahukan nomor kelompok yang maju presentasi dari kartu kelompok yang paling banyak dipilih siswa. Para siswa semangat mempresentasikan dan karena adanya perbaikan pembelajaran pada bagian tahap terbuka, membuat siswa antusias untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Setelah siswa melakukan presentasi guru mengajak siswa untuk menggeneralisasi hasil pembelajaran dengan menanyakan apayang telah siswa pelajari. Tahap Penutup Setelah siswa melakukan pembelajaran dengan LKS dan media foto, peneliti meminta siswa mengerjakan latihan soal untuk melihat dan melatih kemampuan penalaran siswa menyelesaikan soal perbandingan. Peneliti memberikan beberapa soal dengan pertanyaanpertanyaan yang mengarahkan siswa untuk memunculkan kemampuan penalarannya. Soal yang diberikan dilengkapi dengan pertanyaan tentang dugaan siswa, pertanyaan tentang proses siswa menemukan jawaban dari soal, pertanyaan yang meminta siswa memunculkan kesimpulan dari soal, dan pertanyaan yang meninta siswa menyebutkan pola yang muncul dari soal. Pada tahap penutup, peneliti juga menyampaikan informasi terkait apa yang akan dipelajari siswa pada pertemuan selanjutnya. Selain pembahasan terkait langkah pembelajaran, terdapat pula pembahasan mengenai kendala yang muncul dan cara mengatasi kendala yang ada yaitu sebagai berikut. 1. Pada kegiatan pembelajaran. Adapun beberapa kendala selama pembelajaran sebagai berikut. (a) Hampir semua siswa masih merasa kurang percaya diri dengan jawabannya ketika mengerjakan LKS walau jawaban siswa benar. Peneliti mengatasinya dengan menanyakan keyakinan siswa dari apa yang telah dijawabnya dan memberikan pembenaran terhadap jawabannya serta peneliti memberikan pertanyaan pancingan yang mengarahkan siswa agar yakin bahwa jawabannya memang benar. (b) Ada anggota kelompok yang lebih dominan mengerjakan LKS. Peneliti mengambil tindakan dengan bertanya pada setiap anggota dari kelompok tersebut terkait apa yang telah dijawab oleh kelompok tersebut. (c) Ada siswa yang mengobrol ketika proses pebelajaran berlangsung. Peneliti menegur siswa yang mengobrol agar kembali berdiskusi dengan kelompoknya dan peneliti lebih sering berada dekat dengan siswa yang mengobrol. 2. Proses pengerjaan latihan. Adapun kendala terkait pengerjaan latihan, yaitu sebagai berikut. (a) Siswabelum terbiasa menjawab pertanyaan yang menanyakan tentang dugaan yang dilanjutkan dengan penghitungan dalam menyelesaikan soal, kemudian menuliskan
294
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kesimpulan dan menemukan pola. Peneliti mengatasinya dengan memberikan penjelasan terhadap bagian pertanyaan yang belum dipahami siswa. (b) Siswa kesulitan melakukan 𝑎 18.600 operasi perkalian seperti ditanyakan nilai a dari = . Siswa cenderung diam saat 4
12.400
4 ×12.400
menemukan bentuk tersebut dan ada yang salah menjawab a = 18.600 . Peneliti menerangkan ulang proses operasi perkalian dari bentuk tersebut. Peneliti menerangkan dengan bertanya pada siswa seperti “Di ruas kiri hanya disisakan a, berarti ruas kiri harus diapakan?”. Siswa menjawab “dikali 4”. Peneliti bertanya “kalau ruas kiri dikali 4, maka ruas kanannya?”. Siswa menjawab “juga dikali 4”. Peneliti melanjutkan bertanya “Berarti a 4 ×18.600 sama dengan apa?”. Siswa menjawab “a = 12.400 ”. (c) Ada siswa yang salah menuliskan kesimpulan dan tidak sesuai dengan yang ditanyakan pada soal. Peneliti mengambil tindakan yaitu meminta siswa untuk membaca kembali apa yang ditanyakan pada soal dan meminta siswa untuk menuliskan kesimpulan sesuai apa yang ditanyakan. KESIMPULAN Penelitian ini menghasilkan pembelajaran penemuan terbimbing yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran siswa SMP Negeri 13 Malang pada materi perbandingan dengan tahapan berikut. (1) Tahap Awal: (a) guru mengahak siswa melakukan pengenalan atau review, (b) guru menyampaikan tujuan pembelajaran, dan (c) guru membagi siswa ke dalam kelompok. (2) Tahap Terbuka: siswa melakukan diskusi kelompok dengan melakukan pengamatan dan pengukuran pada media foto yang diberikan dan menjawab pertanyaan pada LKS sesuai hasil pengamatan dan pengukuran. (3)Tahap konvergen: (a) guru memberikan bimbingan pada siswa yang betanya ketika diskusi kelompok, (b) guru meminta siswa melakukan presentasi, dan (c) guru mengajak siswa melakukan generalisai hasil pembelajaran. (4) Tahap penutup: (a) guru meminta siswa untuk mengerjakan latihan soal dan (b) guru menginformasikan kegiatan pembelajaran berikutnya. DAFTAR RUJUKAN Abdullah, S. tt. The Use of Guided Discovery Learning Strategy in Teaching Creativity, (Online), (http://www.academia.edu/attachments/30229959/ download_file) , diakses pada 22 Juli 2013. Adegoke, A.B. 2013. Modelling the Relationship between Mathematical Reasoning Ability and Mathematics Attainment.Journal of Education and Practice , 4 (17) : 54-61. Avila, E.R. & McGraw, R. tt. Developing Mathematical Reasoning among Middle School Immigrant Students: Building on First and Second Language Competencies, (Online), (http://math.arizona.edu/~cemela/english/ content/workingpapers/Rubinstein-Avila& McGraw-AERA08%5B1%5D.pdf), diakses pada 19 Juni 2013. Bani, A. 2011. Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menenga Pertama melalui Pembelajaran Penemuan Terbimbing, (Online), (http://jurnal.upi.edu/file/2-Asmar_Bani.pdf), diakses pada 2 November 2013. Brodi, K. 2010. Teaching Matematical Reasoning in Secondary School Clasroom. New York: Springer. Brosnahan, H.L. 2001. Effectiveness of Direct Instruction and Guided Discovery Teaching Methods, (Online), (http://shelf1.library.cmu.edu/HSS /a687992/a687992.pdf), diakses pada 22 Juli 2013. Khasnis, B.Y. & Aithal, M. 2011. Guided Discovery Method A Remedial Measure In Mathematics. Internasional Referred Research Journal, (Online), II (22) : 21–22, (http://www.ssmrae.com/admin/images/5ee69a75390362474e6ad25165e2469a.pdf), diakses pada 18 Juni 2013. Martin, G. 2009. Focis in High School Mathematis: Reasoning and Sanse Making. USA: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. (Online), (http://en.bookfi.org/ book/1470735), diakses pada 25 Juni 2013. Matthew, B.M. & Kenneth, I.O. 2013. A Study on The Effects og Guided Inquiry Teaching Method on Students Achievement in Logic. International Researchers. (Online) 2 (1) : 135-140, (http://iresearcher.org/133-140%20BAKKE%20M.MATTHEW%20gambia. pdf), diakses pada 11 Juli 2013. Munandi, Y. 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: GP Press Group. 295
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Ruthven, K. & Lavicza, Z. 2011. Didactical Conceptualization of Dynamic Mathematical Approaches: Example Analysis from the InnoMathEd Program. International Electronic Journal of Mathematics Education – IEJME, (Online), 6(2): 89-110, (http://www.iejme.com/022011/d3.pdf), diakses pada 22 Juli 2013. Wardhani, S. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/Mts untuk Optimalisasi Pencapaian Tujuan, (Online), (http://p4tkmatematika.org/ file/ PRODUK/PAKET%20FASILITASI/SMP/Analisis%20SI%20dan%20SKL%20Matem atika%20SMP.pdf), diakses pada 22 Juli 2013.
PEMBELAJARAN GRUP INVESTIGASI UNTUK MEMAHAMKAN MATERI VOLUME BANGUN RUANG SISI DATAR PADA SISWA KELAS VIII-3 SMP NEGERI 1 PEUDAWA KABUPATEN ACEH TIMUR Fathonah, Abdur Rahman As’ari, dan Sisworo Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstract: This research is a class action research that has purpose to describe the learning of group investigation in material of the polyhedron volume at can make students in the class eighth three grade of Public Junior High School 1 Pendawa East Aceh understands about those material.The results of this study indicate that students can understand the material of the polyhedron volume by the learning of group investigation. The results of studies suggest that the percentage of test results that obtain in the classical score more than or equal to 70 was 86.11% in the first cycle, and 91.67% in the second cycle, so improving of students understanding from the test results has increased by 5.56% . From the result of observation done by both observers on the observation of teacher and students sheet activities are seen that the learning has been done has been successful. Based on the result of research, the suggestions were the teachers will try the learning of group investigation at the other material and different class. Keywords: understanding, group investigation (GI), the polyhedron volume.
Salah satu kesulitan siswa dalam belajar matematika adalah belajar dalam cabang geometri. Bell (1978) menyatakan bahwa matematika secara garis besar dibagi ke dalam empat cabang yaitu, aritmetika, aljabar, geometri, dan analisis. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan standar isi 2006, peneliti menghitung sekitar 10 kompetensi dasar dari 19 kompetensi dasar yang dipelajari siswa di kelas VIII SMP/MTs tentang geometri. Salah satu materi dalam geometri adalah bangun ruang sisi datar. Geometri pada dasarnya sudah di kenal anak sejak kecil. Anak-anak mengenal geometri melalui benda-benda yang berada di lingkungannya, misalnya buku, meja, atap rumah, ubin lantai, penghapus dan lain-lain. Kenyataan ini seharusnya dapat mempermudah dan memperlancar proses pembelajaran geometri. Usiskin (2001:3) mengemukakan tiga alasan perlunya geometri diajarkan yaitu: (1) geometri dapat mengaitkan matematika dengan bentuk fisik dunia nyata, (2) geometri memungkinkan ide-ide dari bidang matematika yang lain untuk digambar, dan (3) geometri dapat memberikan contoh yang tidak tunggal tentang sistem matematika. Menurut Van Hiele (dalam Suherman, 2001 ) terdapat tiga unsur dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak secara terpadu. Faktor-faktor dominan penyebab ketidakmampuan siswa memecahkan masalah matematika adalah cara mengajar guru, hal ini ditunjukkan dengan hasil observasi peneliti pada kelas VIII-3, guru masih mengajar dengan cara konvensional, dimana guru menyampaikan materi dengan metode ceramah, kemudian siswa mencatat materi dan mengerjakan soal-soal. Terbiasanya siswa mengerjakan soal-soal rutin membuat siswa tidak dapat memecahkan suatu
296
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
masalah apabila diberikan soal-soal yang berbentuk tidak rutin. Mereka tidak terbiasa untuk memecahkan suatu masalah secara bebas dan mencari solusi penyelesaiannya dengan cara mereka sendiri. Mereka hanya bisa mengerjakan soal-soal yang bentuknya sama dengan contoh soal yang diberikan guru. Apabila soalnya berbeda mereka mulai kebingungan karena mereka tidak memahami langkah-langkah dalam memecahkan suatu masalah. Data nilai ulangan harian berikut memperlihatkan rendahnya prestasi belajar matematika selama peneliti mengajar pada SMP Negeri 1 Peudawa Kabupaten Aceh Timur dalam kurun waktu lima tahun, yaitu kompetensi dasar 5.3 menghitung luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma dan limas untuk tahun pelajaran 2007/2008 semester genap kelas VIII-3 terlihat bahwa dari 35 orang siswa hanya 17 orang siswa yang lulus dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran matematika 65, untuk tahun pelajaran 2008/2009 dengan KKM yang sama dari 36 siswa hanya 20 siswa yang lulus, sedangkan tahun pelajaran 2009/2010 dari 37 siswa hanya 23 orang siswa yang lulus dengan KKM 70, dan tahun pelajaran 2010/2011 dari 36 siswa hanya 23 siswa yang lulus, serta tahun pelajaran 2011/2012 dari 36 orang siswa hanya 25 orang siswa yang memenuhi KKM tersebut. Pada saat observasi awal peneliti di kelas VIII-3, beberapa siswa terlihat mondar-mandir keluar kelas tanpa alasan yang jelas, dan sebagian tampak mengantuk. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa siswa kelas VIII-3, rata-rata mengatakan bahwa mereka tidak senang belajar matematika dengan berbagai alasan seperti; membosankan, mengantuk, dan materinya susah dipahami. Dari beberapa uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa pada umumnya siswa kelas VIII-3 kesulitan dalam memahami konsep matematika pada saat pembelajaran karena matematika bersifat abstrak, sehingga sedapat mungkin dalam penyampaian konsep matematika dihubungkan dengan kehidupan nyata siswa sehingga lebih bermakna. Mencermati kenyataan di atas perlu dilakukan usaha lebih lanjut untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran matematika di kelas VIII-3. Data rendahnya prestasi belajar siswa dan adanya permasalahan dalam pembelajaran materi geometri ruang sisi datar tersebut menunjukkan bahwa materi geometri ruang sisi datar belum dapat dipahami dengan baik. Oleh karena permasalahan tersebut, dalam pembelajaran geometri ruang sisi datar diperlukan suatu strategi yang tepat sehingga konsep materi ini dapat dipahami dengan baik. Slavin (2005:218) menyatakan bahwa salah satu strategi pembelajaran yang desainnya banyak melibatkan siswa dalam proses pembelajaran adalah pembelajaran tipe grup investigasi. Dalam pembelajaran matematika, investigasi (penyelidikan) mempunyai peran yang penting untuk melatih keterampilan dan penalaran peserta didik melalui kajian bermakna (meaningful) yang terbuka terbatas (opened exploration). Grup investigasi adalah strategi belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok-kelompok secara heterogen dilihat dari perbedaan kemampuan, gender, etnis, dan agama untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik (Eggen & Kauchak, 1996:305). Selanjutnya Sharan, Y & Sharan S (1989) menyatakan “group investigation is an effective organizational medium for encouraging and guiding students involvement in learning. Students actively share in influencing the nature of events in their classroom”. Artinya investigasikelompokadalah media organisasi yang efektif untuk mendorong dan membimbing keterlibatan siswa dalam belajar. Siswa aktif berbagi dalam mempengaruhi sifat peristiwa dalam kelas mereka. Menurut Joyce, dkk (2009:253) bahwa model investigasi matematika sangat mudah disesuaikan dan komprehensif yang menggabungkan tujuan-tujuan akademik investigasi, integrasi sosial dan proses pembelajaran sosial, dan dapat digunakan dalam semua bidang studi, dalam semua tingkat usia. Menurut Eggen & Kauchak (1996:304), ada beberapa kelebihan grup investigasi. Kelebihan grup investigasi yaitu (1) memfokuskan pada investigasi terhadap suatu topik atau konsep, (2) menyediakan kesempatan kepada siswa untuk membentuk atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bermakna, (3) efektif dalam membantu siswa untuk bekerja sama dalam kelompok dengan latar belakang yang berbeda, dan (4) menyediakan konteks sehingga siswa dapat belajar mengenai dirinya dan orang lain. Adapun kelemahan model grup investigasi jika dibandingkan dengan model belajar kooperatif yang lain adalah bahwa grup investigasi merupakan model yang paling sulit dan kompleks untuk dilakukan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan menerapkan pembelajaran grup investigasi memberikan dampak positif terhadap pembelajaran matematika. Salah satunya 297
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
adalah penelitian yang dilakukan oleh Tamrin (2003) mengatakan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif model grup investigasi dapat memahamkan siswa pada pembelajaran materi teorema pythagoras dengan prestasi yang sangat baik, semua siswa menyatakan senang belajar dengan pembelajaran kooperatif model grup investigasi. Selanjutnya Anggraini (2010) mengatakan bahwa dengan menerapkan model investigasi kelompok pada proses pembelajaran menunjukkan kemampuan pemecahan masalah siswa materi bangun ruang sisi datar sub materi kubus dan balok mengalami peningkatan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah “langkah-langkah pembelajaran grup investigasi (GI) bagaimanakah yang dapat memahamkan materi volume bangun ruang sisi datar pada siswa kelas VIII-3 SMP Negeri 1 Peudawa Kabupaten Aceh Timur”. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Peneliti bertindak sebagai instrumen kunci dan pemberi tindakan dalam penelitian. Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII-3 SMP Negeri 1 Peudawa yang berjumlah 36 siswa, terdiri dari 13 siswa laki-laki, dan 23 siswa perempuan. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap bulan April-Juni 2013 tahun pelajaran 2012/2013. Penelitian ini terdiri dari 2 siklus. Siklus pertama 2 pertemuan dan 1 kali tes akhir, siklus kedua 2 pertemuan dan 1 kali tes akhir. Data dalam penelitian ini bersumber dari siswa kelas VIII-3 SMP Negeri 1 Peudawa Kabupaten Aceh Timur untuk data tes, dan 2 orang observer (guru matematika) untuk data observasi. Rancangan penelitian ini mengacu kepada model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (Moleong, 2011), yang terdiri dari empat langkah kegiatan meliputi (1) perencanaan (planing). Merencanakan proses pembelajaran dengan menyiapkan RPP, LKS, lembar observasi, lembar tes, dan membuat lembar validasi yang berfungsi untuk memvalidasi RPP, Tes, LKS, dan lembar observasi (2) pelaksanaan (acting). Pada tahapan ini peneliti melaksanakan pembelajaran di dalam kelas sesuai dengan RPP yang telah tervalidasi. (3) observasi (observing). Tahap observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Pada tahap ini dibantu oleh 2 orang observer, keduanya adalah guru matematika, (4) refleksi (reflecting).Pada tahap ini peneliti melakukan analisis data yang telah diperoleh selama pembelajaran dalam tiap siklus. Siklus ini dikatakan berhasil jika: (1) tes hasil belajar siswa sekurang-kurangnya 85% dari keseluruhan siswa di kelas mencapai skor nilai lebih dari atau sama dengan 70, (2) kedua observer menyatakan aktivitas guru dan siswa pada lembar observasi sudah mengikuti langkahlangkah pembelajaran grup investigasi (GI). Data yang terkumpul terdiri dari hasil tes, dan observasi, kemudian dianalisisis dengan teknik alur yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2012:91) yang meliputi kegiatan (1) Mereduksi data (data reduction). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok. (2) Penyajian data (data display). (3) Penarikan kesimpulan (verification). Penarikan kesimpulan dan verifikasi adalah memberikan kesimpulan terhadap hasil penafsiran dan evaluasi. Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan 3 cara yang dikembangkan oleh Sugiyono (2012:121), yaitu (1) Meningkatkan Ketekunan. (2) Triangulasi. Triangulasi adalah suatu teknik pengecekan keabsahan data dengan berbagai sumber dan berbagai cara. (3) Pemeriksaan sejawat. HASIL Langkah-langkah pembelajaran grup investigasi pada materi volume bangun ruang sisi datar yakni, kubus, balok, prisma dan limas adalah sebagai berikut: (1) melakukan tanya jawab untuk menggali pengetahuan awal, (2) menyampaikan tujuan pembelajaran (3) siswa dihadapkan dengan situasi/masalah yang menantang (dituangkan dalam LKS) yang dapat mengarahkan siswa untuk dapat memahami materi volume bangun ruang , (4) siswa menjelaskan dan menguraikan reaksi terhadap situasi, (permasalahan dalam LKS), (5) siswa merumuskan tugas-tugas belajar atau learning task dan mengorganisasikan siswa untuk belajar, (6) guru berkeliling untuk memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan (memahami permasalahan dan kesulitan menyelesaikan permasalahan), (7) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi,tanya jawab dengan kelompoknya (8) siswa 298
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menganalisis kemajuan dan proses yang dilakukan dalam belajar kelompok, (9) adanya diskusi kelas dengan memberikan kesempatan kepada salah satu perwakilan setiap anggota kelompok untuk melaporkan/mempresentasikan hasil kerja kelompoknya , (10) adanya kesempatan siswa untuk melakukan tanya jawab sehingga pkelompok pelapor/penyaji mendapat pertanyaan dan masukan-masukan, dan (11) Guru dengan siswa membuat kesimpulan tentang materi volume bangun ruang sisi datar. Kegiatan pembelajaran diawali dengan menyampaikan langkahlangkah pembelajaran yang akan digunakan untuk mencapai hasil yang diharapkan, yaitu siswa dapat menemukan rumus dan menghitung volume kubus termasuk jika ukuran rusuknya berubah dengan menggunakan pembelajaran grup investigasi. Pembelajaran dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan, tahap inti, dan tahap penutup. Pada tahap pendahuluan, memberikan penjelasan tentang pembelajaran yang akan dilaksanakan, menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali pengetahuan awal siswa, dan memotivasi siswa untuk aktif selama kegiatan belajar berlangsung. Pada saat pengecekan pengetahuan prasyarat, guru melakukan diskusi dan Tanya jawab mendalam kepada siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang bertujuan untuk mendorong siswa berpikir kritis dan mengekspresikan idenya secara bebas, serta guru berkeliling untuk memotivasi siswa. kegiatan inti dari pembelajaran Grup investigasi ini terdiri dari 6 langkah yaitu: (1) siswa dihadapkan dengan situasi yang rumit, (2) siswa menjelaskan dan menguraikan reaksi terhadap situasi, (3) siswa merumuskan tugas-tugas belajar atau learning task dan mengorganisasikan siswa untuk belajar (definisi masalah, peran, tugas, dan lain-lain), (4) siswa melakukan kegiatan belajar kelompok, (5) siswa menganalisis kemajuan dan proses yang dilakukan dalam belajar kelompok, dan (6) melakukan proses pengulangan atau recycle activity. Situasi yang rumit di tuangkan dalam LKS berupa soal-soal yang menantang, guru berkeliling untuk membagikan LKS serta menjelaskan tugas dan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok. Berikutnya siswa menguraikan reaksi terhadap situasi dengan cara memahami dan menjelajahi permasalahan dan berusaha menemukan kunci permasalahan yang diketengahkan, pada tahap ini siswa melakukan percobaan menyususn kubus-sukus satuan untuk menemukan rumus volume kubus. Pada tahap menganalisis kemajuan guru mempersilahkan perwakilan kelompok untuk melaporkan hasil investigasi dan temuannya, serta kelompok yang tidak mendapat giliran ditugaskan sebagai kelompok pembanding. Pada tahap akhir, guru melakukan proses pengulangan yakni guru bersama siswa menyimpulkan matei yang sudah dipelajari, serta memberikan evaluasi. Data hasil penelitian yang menunjukkan pemahaman siswa pada materi volume bangun ruang sisi datar disajikan dalam diagram pada Gambar 1 berikut. 92,00% 90,00% 88,00% 86,00% 84,00% 82,00% Tes Akhir siklus 1
Tes Akhir siklus 2
Gambar 1. Diagram Hasil Penelitian
Untuk data hasil tes akhir siklus I diperoleh data bahwa siswa yang memperoleh skor ≥ 70 adalah sebanyak 86,11%, setelah ada langkah perbaikan berdasarkan refleksi pada siklus I maka ketuntasan klasikal tes akhir siklus II sebesar 91,67% meningkat sebesar 5,56%. Dari hasil observasi yang dilakukan kedua observer pada lembar observasi aktivitas guru dan siswa terlihat bahwa pembelajaran yang telah dilakukan sudah berhasil dengan baik. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, secara umum setiap pertemuan terbagi dalam tiga tahap, yaitu pendahuluan, inti dan penutup. Tahap pendahuluan adalah tahap orientasi awal untuk 299
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mempersiapkan agar siswa benar-benar telah siap untuk belajar. Pada tahapan ini yaitu mengkondisikan siswa untuk duduk sesuai dengan kelompok masing-masing, melakukan persiapan fisik maupun mental, memberikan orientasi tentang strategi pembelajaran yang akan digunakan dan menyampaikan tujuan pembelajaran sehinga siswa mengetahui arah yang ingin dicapai dalam pembelajaran, siswa termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran dan akhirnya hasil pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Gagne (dalam jerobudy 2011) yang mengatakan analisis gagne‟s tentang bagaimana manusia belajar (conditioning of learning) mengidentifikasi lima kategori belajar, diantaranya informasi verbal, keterampilan intelektual, keterampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Persiapan fisik meliputi pengaturan posisi duduk dan pengaturan tempat masing-masing kelompok yang heterogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Isjoni (2011:66) yang mengatakan pengaturan posisi duduk memainkan peranan penting dalam kegiatan belajar kelompok, sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas. Di samping itu, harus bisa melihat dan menjangkau rekan-rekan kelompoknya dengan baik dan berada dalam jangkauan kelompoknya dengan merata. Selanjutnya Isjoni (2011:54) menambahkan “untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan belajar kelompok seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya”. Senada dengan hal ini Majid (2013:212) mengatakan sebaiknya dalam satu kelompok bersifat heterogen, baik dari segi kemampuan belajar maupun jenis kelamin. Hal ini dimaksudkan agar kelompok-kelompok tersebut tidak berat sebelah (ada kelompok yang baik dan ada kelompok yang kurang baik). Persiapan mental meliputi kegiatan memotivasi siswa untuk belajar, dan menyampaikan materi prasyarat. Hal ini sesuai dengan pendapat Ausubel (Sumiati & Asra 2007:34) mengartikan readiness sebagai “ … the adequency of the student existing capacity in relation to some instructional objectives”. Yaitu keadaan kapasitas (kemampuan potensial) siswa secara memadai dalam hubungan dengan tujuan pembelajaran. Artinya performance (penampilan) yang harus sudah dimiliki siswa sebelum memulai sesuatu perbuatan. Selanjutnya Sumiati & Asra menambahkan kesiapan adalah kapasitas (kemampuan potensial) baik bersifat fisik maupun mental untuk melakukan sesuatu perbuatan, khususnya melakukan proses belajar disertai harapan keterampilan yang dimiliki dan latar belakang untuk mengerjakan sesuatu. Jika siswa siap untuk melakukan proses belajar, hasil belajar dapat diperoleh dengan baik. Sebaliknya jika tidak siap, tidak akan diperoleh hasil yang baik. Kegiatan memotivasi siswa untuk belajar dimaksudkan agar siswa semangat dalam belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumiati & Asra (2007:236) yaitu motivasi dapat memberikan semangat (dorongan) yang luar biasa terhadap seseorang untuk berperilaku dan dapat memberikan arah dalam belajar. Motivasi ini pada dasarnya merupakan keinginan (wants) yang ingin dipenuhi (dipuaskan), maka ia timbul jika ada rangsangan, baik karena adanya kebutuhan (needs) maupun minat (interest) terhadap sesuatu. Kegiatan menyampaikan materi prasyarat ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan awal yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Majid (2008:104) yang mengatakan seorang guru perlu menghubungkan materi pelajaran yang telah dimiliki siswa dengan materi yang akan dipelajari siswa dan tidak mengesampingkan motivasi belajar terhadap siswa. Pada tahap inti, dimulai dengan membagi siswa kedalam kelompok 5-6 orang, dan memberikan soal-soal yang dituangkan kedalam LKS. LKS berisi permasalahan-permasalahan yang tidak rutin dan menantang yang harus dikerjakan siswa beserta langkah-langkah penyelesaiannya. Soal yang menantang yang dimaksudkan adalah soal-soal yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa, yang membuat siswa berpikir kreatif. Sejalan dengan hal ini Sumiati & Asra (2007:240) menyatakan tugas yang menantang adalah yang dapat memberikan tantangan kepada siswa untuk berpikir lebih kreatif. Namun tugas tersebut jangan terlalu sulit sehingga banyak siswa yang gagal dan berakibat dapat menurunkan semangat belajarnya. Begitu pula jangan terlalu mudah sehingga tidak merangsang aktivitas dan kreativitasnya. Langkah-langkah yang ditentukan dalam LKS merupakan suatu bentuk bantuan bagi siswa. Meskipun di dalam LKS sudah termuat langkah-langkah penyelesaian, LKS tersebut tidak menuntun siswa secara mutlak. LKS hanya memuat pertanyaan yang menantang dan langkah-langkah penyelesaiannya secara garis besarnya saja. Selebihnya, siswa diberi kesempatan sebebas-bebasnya untuk mengungkapkan ide dan kreativitasnya sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah yang diberikan sehingga siswa dapat mengkonstruksi pemahamannya sendiri. Selain itu, dengan bantuan LKS siswa dapat belajar dengan berdiskusi 300
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
bersama teman kelompoknya sehingga siswa dapat melakukan penemuan-penemuan. Hal ini didukung oleh Majid (2008:176) yang menyatakan bahwa LKS dapat memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran dan bagi siswa akan belajar secara mandiri, belajar memahami, dan menjalankan suatu tugas tertulis. Pada saat diskusi kelompok terdapat beberapa siswa yang tidak berani bertanya kepada guru meskipun tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Dalam penelitian ini solusi yang diberikan oleh peneliti adalah guru berkeliling kesetiap kelompok dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan pancingan. Dengan guru berkeliling kesetiap kelompok maka siswa akan mendapat kesempatan dalam memberikan kontribusi pemikirannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Isjoni (2011:79) yang mengatakan berkeliling kesetiap kelompok dimaksudkan agar anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain. Selanjutnya guru memberikan pertanyaan pancingan, hal ini dimaksudkan untuk menggali pengetahuan yang dimiliki siswa sehingga dapat mengekspresikan idenya secara bebas dalam diskusi. Hal ini sesuai dengan pendapat Suyanto &Jihad (2012:134) yang mengatakan bahwa pertanyaan pancingan guru dalam diskusi berfungsi untuk: (1) mendorong siswa berpikir kritis, (2) mendorong siswa mengekspresikan secara bebas, (3) memotivasi siswa menyumbangkan buah pikirannya dalam memecahkan masalah bersama, (4) mengambil satu atau beberapa alternatif jawaban dalam memecahkan masalah berdasarkan pertimbangan seksama. Setelah diskusi kelompok, kegiatan selanjutnya adalah menganalisis kemajuan. Pada tahap ini diberikan kesempatan kepada salah satu perwakilan setiap anggota kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Hal ini diperlukan untuk dapat memupuk keberanian siswa dalam menyampaikan pendapatnya. Dalam diskusi ini, memungkinkan adanya penyempurnaan penyelesaian masalah yang dilakukan oleh kelompok yang mempresentasikan. Jawaban-jawaban yang kurang tepat dikoreksi oleh kelompok lainnya dengan cara bertanya atau menanggapi. Sejalan dengan ini Slavin (2005:221) mengatakan bahwa “partisipasi dalam tahap ini membuat para siswa dapat mengekspresikan ketertarikan mereka masing-masing dan saling bertukar gagasan dan pendapat dengan teman sekelasnya”. Langkah selanjutnya adalah tahap akhir, guru mengadakan evaluasi melalui kegiatan membuat kesimpulan. Guru perlu memastikan bahwa siswa memahami materi yang baru saja dipelajari. Sebagai penutup, atas arahan dan bimbingan guru siswa menuliskan hasil diskusinya sebagai simpulan akhir pembelajaran. Hal ini didukung pendapat Degeng (dalam Ulum:2011) bahwa membuat rangkuman atau kesimpulan dari apa yang telah dipelajari perlu dilakukan untuk mempertahankan retensi. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran grup investigasi dapat memahamkan siswa dalam belajar matematika materi volume bangun ruang sisi datar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tamrin (2003), Mahsup (2008), Anggraini (2010), dan Masjudin (2011). Keseluruhan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa siswa yang diajarkan dengan pembelajaran grup investigasi dapat menyelesaikan masalah-masalah aplikatif, dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dan respon siswa sangat positif. Pada akhirnya pembelajaran grup investigasi pada penelitian ini dapat memahamkan siswa materi volume bangun ruang sisi datar dikelas VIII-3 SMP Negeri 1 Peudawa Kabupaten Aceh Timur. KESIMPULAN Berdasar pada paparan data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran grup investigasi dapat memahamkan siswa materi volume bangun ruang sisi datar kelas VIII-3 SMP Negeri 1 Peudawa Kabupaten Aceh Timur.Langkah-langkah pembelajaran grup investigasi yang digunakan terdiri dari beberapa langkah, yaitu (a) kegiatan pendahuluan yakni melakukan tanya jawab untuk menggali pengetahuan awal, dan menyampaikan tujuan pembelajaran, (b) kegiatan inti, yakni siswa dihadapkan dengan situasi/masalah yang menantang (dituangkan dalam LKS) yang dapat mengarahkan siswa untuk dapat memahami materi volume bangun ruang sisi datar, (c) siswa secara berkelompok melakukan eksplorasi/penjelajahan terhadap masalah dan berusaha menemukan kunci permasalahan yang diberikan, (d) guru berkeliling untuk memberikan motivasi dan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan, (e) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi, dan tanya jawab dengan kelompoknya, (f) siswa secara berkelompok melakukan analisis dan 301
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
melaporkan/mempresentasikan hasil investigasi dan temuannya, (g) guru memberikan evaluasi untuk mengecek pemahaman siswa terhadap materi volume bangun rung sisi datar baik secara lisan maupun tertulis, dan (h) penutup, guru bersama siswa membuat kesimpulan dari materi pembelajaran. Namun ada beberapa langkah grup investigasi (GI) yang perlu dilakukan agar hasilnya lebih optimal, pertama, memberikan motivasi kepada siswa yang tidak berani bertanya dengan cara guru berkeliling kesetiap kelompok dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan pancingan. Dengan guru berkeliling kesetiap kelompok maka siswa akan mendapat kesempatan dalam memberikan kontribusi pemikirannya, serta pertanyaan pancingan ini dimaksudkan untuk menggali pengetahuan yang dimiliki siswa sehingga dapat mengekspresikan idenya secara bebas dalam diskusi, kedua, sebelum pelaksanaan pembelajaran grup investigasi (GI) pada materi volume bangun ruang sisi datar dilaksanakan, siswa dikondisikan agar benar-benar siap untuk belajar. Kegiatan ini dilakukan dengan cara melakukan persiapan fisik maupun mental, ketiga, guru memberikan dorongan berupa nasihat agar siswa mempunyai keinginan untuk belajar dan memberikan rasa senang dalam belajar, keempat,masalah/situasi yang menantang yang dimaksudkan adalah soal-soal yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa dan realistis, yang membuat siswa berpikir kreatif. Tugas tersebut tidak terlalu rumit sehingga siswa bersemangat dalam belajar. Begitu pula jangan terlalu mudah agar dapat merangsang aktivitas dan kreativitasnya, kelima,format anggota kelompok yang tidak di ubah membawa dampak positif seperti, mereka saling mengenal, interaksi semakin bagus, dan bersikap demokratis. Hal ini cukup berpengaruh terhadap lancarnya pelaksanaan pembelajaran grup investigasi (GI). SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang diberikan sebagai berikut.,(1) kepada guru disarankan untuk mencobakan pembelajaran grup investigasi (GI) pada kelas lain dan materi yang berbeda, (2) kepada peneliti lainnya disarankan agar menjadikan hasil penelitian pembelajaran grup investigasi (GI) ini sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut, (3) kepada kepala sekolah, disarankan untuk memberikan kesempatan dan motivasi kepada para guru untuk melakukan penelitian sejenis, untuk dapat memperbaiki mutu pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Anggraini, L. Siroj, R. A, Putri, R. I. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Investigasi Kelompok untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika, juni vol 4(1). (online), (http://eprints.unsri.ac.id/833/1/3_Lela_Anggraini_33-44.pdf), diakses 21 Januari 2013. Bell, F. H.1978. Teching Learning Mathematics: In Secondary Shooles. Iowa: Wn. C. Brown Company Publishers. Eggen, P.D. & Kauchak, P.P. 1996. Strategies for Teachers: Teaching Conten and Thinking Skill. Boston: Allyn & Bacon. Hudojo. 2005. Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press. Isjoni. 2011. Cooperative Learning Mengembangkan Kemampuan Belajar Kelompok. Bandung: Alfabeta. Jerobudy. 2011. Teori-teori Belajar dalam Pembelajaran (Persamaan dan Perbedaan).(Online), (http:// Jerobudy.blogspot.com.2011/03/teori-teori-belajar-dalampembelajaran), diakses 12 Desember 2013. Joyce, B, Weil, Calhoun. 2009. Model-model Pengajaran. Terjemahan Fawaid, A. & Mirza, A. 2009. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mahsup. 2008. Pembelajaran Strategi Investigasi untuk Meningkatkan Pemahaman tentang Sistem Persamaan Linear (SPL) Dua variabel. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Majid, A. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. Majid, A. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. Masjudin. 2011. Pembelajaran Kooperatif Investigatif untuk Memahamkan Siswa Materi barisan dan Deret. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Moleong, L.G. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Sharan, Y. Sharan, S. 1989. Group Investigation Expands Cooperative Learning. (Online), desember 1989/januari 1990, (http://www.ascd.org/ASCD/pdf/journals/ed_lead/el_198912_sharan.pdf), diakses 21 Januari 2013. 302
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Slavin, Robert, E. 2005. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan Yusron, N. Tanpa Tahun. Bandung: Nusa Media. Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Tim MKBPM JICA UPI Bandung. Sujono. 1988. Pengajaran Matematika untuk Sekolah Menengah. Jakarta: Depdikbud. P2LPTK Sumiati & Asra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung:Wacana Prima. Suyanto & Djihad, A. 2012. Calon Guru dan Guru Profesional. Yogyakarta: Multi Pressindo. Tamrin. 2003. Penerapan Pendekatan Kooperatif Model Grup Investigasi untuk Meningkatkan Prestasi Siswa pada Pembelajaran Materi Teorema Pythagoras. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Ulum. 2011. Peningkatan Prestasi Belajar Matematika melalui Pembelajaran Realistik pada Materi Prisma dan Limas untuk Siswa Kelas VIIIC SMP Negeri 01 Donomulyo.Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Usiskin, Z. 2001. National Summit on the Mathematical Education of Teachers: Breakout session: Teachers‟ Mathematics: A Collection of Content Deserving To Be A Field, November 2-3. The University of Chicago.
PENGARUH PENGGUNAAN GEOGEBRA DALAM PEMBELAJARAN GEOMETRI MODEL PACE TERHADAP KEMAMPUAN PENALARANDAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP Hidayah Susatri, Abdur Rahman As’ari, dan Hery Susanto Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstract: This study aimed to determine whether 1) the mathematical reasoning ability of students who have learning geometry through the PACE model using GeoGebra is better than students who have learning through PACE model without using GeoGebra; 2) the mathematical communication skill of students who have learning geometry through the PACE model using GeoGebra is better than students who have learning through PACE model without using GeoGebra. This is a type of quasi-experimental study with a PretestPostest Control Group Design. The population of study is the eighth grade students of SMP Negeri 1 Ampelgading and SMP Negeri 1 Wagir with samples of students in class VIII-A and VIII-C at SMP Negeri 1 Ampelgading respectively as the experimental group and the first control group and students of class VIII-A at SMP Negeri 1 Wagir as the second control group. All three groups are given a pretest and posttest. The instrument of the research used to collect the data of students‟learning outcomes is in the form of essay test. To analyze the instrument, it uses Anates V4, whereas to analyze the data of students mathematic learning outcomes, it uses T-Test and ANOVA test path. The result show that the quality of the three groups at the beginning of the learning is the same for both mathematical reasoning ability and communication skills. However, after the hypothesis was tasted, it is obtained that mathematical reasoning ability and communication skills of the experimental group is better than the two control groups. In other words, the mathematical reasoning ability and communication sklill of students who have learning geometry through the PACE model using GeoGebra is better than students who have learning through PACE models without using GeoGebra. Keywords: PACE model, GeoGebra, reasoning, communication
Kemampuan penalaran dan komunikasi matematis merupakan salah satu fokus pengembangan pembelajaran matematika sekolah. Melalui pembelajaran matematika siswa diharapakan memiliki kemampuan bernalar, berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta mempunyai kemampuan bekerja sama (Depdiknas, 2004). Pembelajaran matematika secara terperinci memiliki tujuan 1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik 303
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kesimpulan, 2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, keingintahuan, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, 3) Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. dan 4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta dan diagram. Kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa pada kenyataannya masih jauh dari standar yang diharapkan. Hal ini didasarkan pada pengalaman mengajar peneliti khususnya, dan secara umum didukung hasil penelitian internasional seperti Program for International Student Assesment (PISA) dan The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS). Berdasarkan hasil PISA 2012 siswa Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara peserta, dan dari hasil TIMSS 2011 siswa Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 40 negara peserta. Hal ini disebabkan banyak materi uji yang tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia (Permendikbud No. 68 : 2013). Aspek-aspek yang dinilai pada PISA dan TIMSS meliputi kemampuan pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, pengetahuan tentang fakta, prosedur penerapan pengetahuan dan pemahaman konsep. Soal-soal lebih difokuskan pada literasi matematik, yaitu kemampuan siswa dalam menggunakan matematika yang dipelajari untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari yang membutuhkan penalaran dan komunikasi. Siswa dikatakan mampu melakukan penalaran bila ia mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika (Wardhani, 2008). Sedangkan untuk komunikasi Sumarmo (2010) menjelaskan kegiatan yang tergolong pada komunikasi matematis di antaranya adalah: (a) Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau model matematis; (b) Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan; (c) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (d) Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis; (e) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri. Menurut Collins (Asikin, 2002) salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan, modeling, speaking, writing, talking, drawing serta mempresentasikan apa yang telah dipelajari. Sementara Baroody dan Coslick (1993) menyebutkan sedikitnya ada dua alasan penting mengapa komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuh-kembangkan di kalangan siswa, yaitu matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat bantu menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, matematika sebagai wahana interaksi antar siswa dan juga antar guru dan siswa. Terkait dengan tujuan mata pelajaran matematika di sekolah dalam standar isi dijelaskan bahwa siswa dikatakan mampu dalam komunikasi secara matematis bila ia mampu mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah (Wardhani, 2008). Kurang berkembangnya kemampuan penalaran dan komunikasi siswa antara lain disebabkan dalam pembelajaran matematika guru terlalu berkonsentrasi pada hal-hal yang prosedural dan mekanistik, pembelajaran berpusat pada guru, konsep matematika disampaikan secara informatif dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam. Hal ini diungkapkan juga oleh Subanji (2013) bahwa pembelajaran matematika di sekolah masih banyak yang dilakukan dengan langkah-langkah : guru menjelaskan materi, memberi contoh soal dan penyelesaiannya, memberikan soal yang mirip dengan contoh, memberikan soal di buku dan pemberian kuis/tes. Pembelajaran seperti ini dari waktu ke waktu pasti akan menjadikan siswa merasakan matematika sebagai pelajaran yang monoton, menuntut banyak hafalan prosedur atau rumus dan menjadikan matematika sebagai pelajaran yang membosankan. Banyak rumus-rumus matematika yang diberikan tanpa adanya penjelasan kenapa rumusnya seperti itu, bagaimana terbentuknya rumus tersebut dan apakah ada syarat berlakunya rumus tersebut. Menurut Herman (2007) pendekatan pembelajaran yang dipilih dan dilakukan guru memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan kemampuan berpikir matematik siswa. Ditinjau dari pendekatan mengajarnya, pada umumnya guru mengajar hanya menyampaikan apa yang ada di buku paket dan kurang mengakomodasi kemampuan siswanya. Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan 304
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
matematikanya. Pembelajaran matematika di Indonesia lebih banyak menekankan kepada keterampilan dasar, beberapa pemahaman konsep dan latihan, dan sedikit sekali mengenai kemampuan penalaran, komunikasi, aplikasi dalam kehidupan nyata dan lain sebagainya. Padahal kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa merupakan bagian yang esensial yang harus dikembangkan. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika (Permendiknas Nomor22:2006). Software GeoGebra memungkinkan visualisasi sederhana dari konsep geometris yang rumit dan membantu meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep tersebut. Jones, Lavicza, Hohenwarter dan Lu(2009) menambahkan ketika siswa menggunakan GeoGebra pemahaman mereka akan berakhir lebih mendalam pada materi geometri. Hal ini terjadi karena siswa diberikan representasi visual yang kuat pada objek geometri, siswa terlibat dalam kegiatan mengkonstruksi yang mengarah pada pemahaman geometri lebih mendalam sehingga siswa dapat melakukan penalaran yang baik. Hal ini juga dirasakan peneliti yang dalam beberapa kegiatan pembelajaran sebelumnya menggunakan software GeoGebra, pembelajaran terasa lebih menarik, menyenangkan, dan memotivasi bagi siswa ketika siswa melihat tampilan materi pembelajaran menggunakan GeoGebra. Penulis berharap dengan siswa menggunakan sendiri software GeoGebra ini maka akan berlangsung pembelajaran yang lebih baik dan lebih menyenangkan bagi siswa yang diharapkan akan berdampak positip terhadap kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. Berdasarkan uraian di atas perlu dirancang suatu pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. Dalam penelitian ini diterapkan pembelajaran model PACE ( Project, Activity, Cooperative, Exercise) menggunakan GeoGebra. Model ini menempatkan siswa sebagai pusat belajar, di mana guru sebagai fasilitator yang memimpin dan memandu siswa untuk menemukan konsep baru, siswa juga memiliki kesempatan yang luas untuk bekerja sebagai sebuah tim yang akan menuliskan atau menyampaikan laporannya di depan kelas (Lee, 2000). Lingkungan belajar dengan model PACE menggunakan GeoGebra ini menyediakan banyak kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis mereka, untuk mengekplorasi, mencari solusi, mengomunikasikan gagasan, mengadaptasi prosedur penyelesaian, serta bekerja dalam kelompok kecil. Penggunaan software GeoGebra diperlukan untuk memudahkan siswa dalam memahami dan melakukan konstruksi geometri. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Adakah Pengaruh Penggunaan GeoGebradalam Pembelajaran Geometri Model PACEterhadap Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP ?”Rumusan masalah tersebut dapat diperinci lagi menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Apakah kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran geometri melalui model PACEmenggunakanGeoGebra lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran model PACE tanpa GeoGebra?, 2) Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran geometri melalui model PACEmenggunakanGeoGebra lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran model PACE tanpa GeoGebra? METODE Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen yang dilakukan pada tiga kelompok siswa yang memiliki kemampuan setara dengan pendekatan pembelajaran yang berbeda. Pada satu kelompok eksperimen diberikan pembelajaran geometri melalui model PACEmenggunakanGeoGebra, sedangkan pada dua kelompok kontrol diberikan pembelajaran model PACEtanpa menggunakanGeoGebra. Desain penelitian berbentuk pretest-postest control groupdesign(Sugiyono, 2010:112). Desain ini dipilih karena kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dipilih secara acak, kemudian diberi pretes untuk mengetahui keadaan awal, adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil pretes yang baik bila nilai kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol tidak berbeda secara signifikan.Pada penelitian ini juga terdapat perlakuan yang berbeda (treatment) antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dan postesuntuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berikut ini disajikan desain penelitian pretest-postest control groupdesign sebagai berikut Kelas Eksperimen : O1 X O2 Kelas Kontrol 1 : O1 O2 305
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kelas Kontrol 2 Keterangan : O1 O2 X
: O1
O2
: Pretest : Postest : Pembelajaran geometri model PACEmenggunakan GeoGebra
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran geometri melalui model PACE menggunakan Geogebra lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran model PACE tanpa Geogebra. 2. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran geometri melalui model PACE menggunakan Geogebra lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran model PACE tanpa Geogebra. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Ampelgadingdan SMP Negeri 1 Wagir Tahun Pelajaran 2013/2014. Pemilihan tingkat kelas, dalam hal ini kelas VIII, karena peneliti berasumsi bahwa kemampuan penalaran dan komunikasi siswa pada tingkat tersebut masih kurang.Setelah dilakukan pengundian dari SMP Negeri 1 Ampelgading terpilih kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII C sebagai kelas kontrol pertama dan dari SMP Negeri 1 Wagir terpilih kelas VIII-A sebagai kelas kontrol kedua. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran geometri model PACEmenggunakanGeoGebra, sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa (Martono, 2011:57). Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah tes (pretes dan postes) dalam bentuk uraian yang terdiri dari tes kemampuan penalaran matematis dan tes kemampuan komunikasi matematis. Untuk menguji validitas isi dan konstruk instrumen penelitian ini, peneliti mengunakan 2 orang validator yaitu seorang validator dosen Matematika dan seorang validator guru pelajaran matematika minimal bergelar Magister dengan pengalaman mengajar minimal 5 tahun. Untuk menguji validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran instrument selengkapnya digunakan Anates V4. Data hasil tes kemampuan penalaran matematis dan tes kemampuan komunikasi matematis yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji- t dan ANOVA satu jalur. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan pengolahan data hasil ujicoba instrumen di dua sekolah menggunakan Anates V4, diperoleh hasil rata-rata validitas butir soal yang tinggi, reliabilitas sedang, daya pembeda yang baik dan tingkat kesukaran yang sedang baik untuk soal tes kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi. Berdasarkan hasil tes uji coba maka soal kemampuan penalaran dan soal kemampuan komunikasi dianggap cukup baik untuk dijadikan instrumen penelitian. Data hasil penelitian (hasil implementasi pembelajaran) yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari satu kelas eksperimen dan dua kelas kontrol, kemudian dibandingkan. Berdasarkan hasil skor pretes dan postes pada aspek kemampuan penalaran matematis diperoleh hasil yang disajikan pada tabel berikut : Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Kemampuan Penalaran Matematis Pretes Postes Eksperimen Kontrol 1 Kontrol 2 Eksperimen Kontrol 1 Kontrol 2 Mean 1,94 1,93 2,32 3,94 2,93 3,43 % 32,33 32,17 38,67 65,67 48,83 57,17 Stand Dev 1,324 1,285 1,389 1,334 1,274 1,451 Catatan : Skor Maksimum Ideal : 6
Tabel 1 menunjukkan rerata hasil pretes pada kelas eksperimen dan dua kelas kontrol tidak jauh berbeda demikian juga dengan prosentase skor reratanya. Prosentase skor rerata diperoleh dari hasil bagi skor rerata dengan skor ideal dikali 100%. Rerata pretes kelas 306
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kontrol kedua sedikit lebih tinggi daripada rerata skor kelas eksperimen. Nilai standar deviasi skor pretes pada ketiga kelas juga tidak jauh berbeda, pada kelas kontrol kedua sedikit lebih tinggi dibanding kelas eksperimen dan kelas kontrol pertama, sehingga dapat dikatakan bahwa penyebaran data berada pada skor rerata. Dari perhitungan hasil postes, rerata hasil postes pada kelas eksperimen dan dua kelas kontrol terlihat berbeda. Skor rerata kemampuan penalaran matematis pada kelas eksperimen (3,94) lebih tinggi daripada kelas kontrol pertama (2,93) dan kelas kontrol kedua (3,43). Demikian juga dengan prosentase skor rerata kelas eksperimen (65,67%) paling tinggi dibanding dua kelas kontrol. Nilai standar deviasi skor postes pada ketiga kelas juga tidak jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa penyebaran data berada pada skor rerata. Hasil skor pretes dan postes pada aspek kemampuan komunikasimatematis diperoleh hasil yang disajikan pada tabel berikut : Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Kemampuan Komunikasi Matematis Pretes Postes Eksperimen Kontrol 1 Kontrol 2 Eksperimen Kontrol 1 Kontrol 2 Mean 2,62 2,37 2,68 4,68 3,37 3,71 % 32,75 29,63 33,50 58,50 42,13 46,38 Stand Dev 1,557 1,426 1,492 1,571 1,438 1,512 Catatan : Skor Maksimum Ideal : 8
Tabel 2 menunjukkan rerata hasil pretes pada kelas eksperimen dan dua kelas kontrol tidak jauh berbeda demikian juga dengan prosentase skor reratanya. Rerata pretes kelas kontrol kedua sedikit lebih tinggi daripada rerata skor kelas eksperimen. Nilai standar deviasi skor pretes pada ketiga kelas juga tidak jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa penyebaran data berada pada skor rerata. Dari perhitungan hasil postes, rerata hasil postes pada kelas eksperimen dan dua kelas kontrol terlihat berbeda. Skor rerata kemampuan komunikasi matematis pada kelas eksperimen (4,68) lebih tinggi daripada kelas kontrol pertama (3,37) dan kelas kontrol kedua (3,71). Demikian juga dengan prosentase skor rerata kelas eksperimen (58,50%) paling tinggi dibanding dua kelas kontrol. Nilai standar deviasi skor postes pada ketiga kelas juga tidak jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa penyebaran data berada pada skor rerata. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal menggunakan uji Kolmogorov Smirnov melalui SPSS 18 yang hasilnya menunjukkan bahwa pada ketiga kelas nilai sig. > 0,05 baik pada skor kemampuan penalaran maupun skor kemampuan komunikasi matematis. Dengan demikian Ho diterima artinya data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas varians menggunakan Uji Levene melalui SPSS 18 pada taraf signifikansi 0,005 yang hasilnya disajikan pada tabel 3. Kriteria pengujiannya adalah terima Ho apabila Sig. Based on Mean > taraf signifikansi. Tabel 3 Uji Homogenitas Levene Fhitung Penalaran Matematis Komunikasi Matematis
0,023 0,153
sig. 0,977 0,858
Keterangan Homogen Homogen
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai sig. > 0,05 baik pada kemampuan penalaranmatematis maupun kemampuan komunikasi matematis. Hal ini berarti bahwa kedua kemampuan baik penalaran dan komunikasi matematis pada ketiga kelas sampel adalah homogen. Selanjutnya dilakukan uji kesamaan rata-rata dengan independent t-test pada skor postes masing-masing kemampuan yang hasilnya menunjukkan bahwa nilai Asymp.S(2-tailed) sebesar 0,000 < 0,05 (lebih kecil dari taraf signifikansi yang dipilih) yang berarti bahwa ketiga kelompok sampel memiliki kemampuan yang berbeda pada aspek penalaran dan komunikasi matematis. Selanjutnya dilakukan uji ANOVA satu jalur (One Way ANOVA) yaitu uji statistika parametrik yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata antara lebih dari dua group sampel. Yang dimaksud satu jalur adalah sumber keragaman yang dianalisis hanya berlangsung satu arah yaitu antar perlakuan (Between Group). Adapun faktor lain yang
307
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
berpotensi mempengaruhi keragaman data dimasukkan kedalam Galat (within Group) dan sebisa mungkin dikontrol. Hasil ANOVA disajikan pada tabel berikut : Tabel 4 Hasil Anova F sig.
Keterangan
Penalaran Matematis
7,134
0,001
Ada Perbedaan
Komunikasi Mtematis
6,540
0,002
Ada Pernedaan
Dari tabel di atas dapat dilihat nilai Sig lebih kecil dari taraf sig 0,05. Ini berarti ratarata pada kelompok eksperimen dan kontrol untuk kedua kemampuan terdapat perbedaan. Dengan kata lain, ada perbedaan yang bermakna antara rata - rata hasil belajar antara kedua kelompok pada kemampuan penalaran dan komunikasi. Dengan demikian, setelah eksperimen dilakukan kedua kelompok memiliki kemampuan yang berbeda pada aspek penalaran dan komunikasi matematis. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data yang telah dipaparkan di atas, analisis awal mengenai skor pretest pada ketiga kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Sejalan dengan pemberian perlakuan pada kelompok eksperimen, yaitu pembelajaran geometri model PACE menggunakan GeoGebra, terlihat peningkatan untuk kedua kemampuan tersebut.Dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, dibandingkan dengan pembelajaran model PACE tanpa Geogebra, pembelajaran geometri model PACE menggunakan GeoGebra menunjukkan peran yang berarti dalam meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. Siswa belajar matematika melalui lembar aktivitas yang diberikan dengan melakukan konstruksi menggunakan GeoGebra, seperti pada penelitian ini, adalah merupakan hal yang baru bagi mereka. Pada awal pertemuan, kegiatan pembelajaran kurang berkembang karena siswa belum terbiasa belajar dalam kelompok. Interaksi antar siswa terbatas hanya untuk bertanya penggunaan tools pada GeoGebra. Mereka masih terlihat kaku dan ragu dalam mengajukan pertanyaan tentang materi terutama kepada guru. Namun setelah diberi petunjuk, arahan, dan motivasi dari guru, kegiatan pembelajaran beranjak menjadi aktivitas yang interaktif dan dinamis. Lembar aktivitas yang telah dirancang membimbing siswa untuk bereksplorasi, memberi kesempatan mengkaji langkah-langkah yang telah, sedang, dan akan dilakukan, serta memberikan peluang untuk membangun pengetahuan mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari pembelajaran model PACE yang bersifat konstruktivisme. Model ini menempatkan siswa sebagai pusat belajar, dimana guru sebagai fasilitator yang memimpin dan memandu siswa untuk menemukan serta memahami konsep baru, siswa juga memiliki kesempatan yang luas untuk bekerja sebagai sebuah tim.Pembelajaran geometri melalui model PACE berangkat dari pengalaman siswa dalam melakukan eksplorasi. Selain itu, kemampuan nalar siswa juga diasah melalui pertanyaan yang mengharuskan siswa untuk mengomunikasikan gagasannya. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa pembelajaran geometri melalui model PACE menggunakan GeoGebra dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. Ini berarti pembelajaran pada kelompok eksperimen lebih berhasil dalam meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi daripada pembelajaran di kelas kontrol. Unsur-unsur dalam pembelajaran geometri melalui model PACE menggunakan GeoGebra sangat mendukung keberhasilan dari peningkatan tersebut. Pendapat ini didukung oleh Lee(2000) yang mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan lingkungan belajar konvensional, suatu lingkungan belajar dengan model PACE menyediakan banyak kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan kemampuan penalaran, mengeksplorasi, mencari solusi, mengomunikasikan gagasan, mengadaptasi prosedur penyelesaian. Pada pembelajaran kerja kelompok, guru tidak cukup hanya dengan mengelompokkan siswa dan membiarkan mereka bekerjasama, namun guru harus mendorong terus agar setiap siswa berpartisipasi sepenuhnya dalam aktivitas kelompok dan bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya. Kesempatan ini diperoleh siswa pada saat pemberian project pada akhir
308
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pertemuan . Untuk menghindari bahwa yang aktif bekerja dalam kelompok hanya siswa tertentu saja, peran guru harus terlihat dengan memberikan instruksi yang jelas, meyakinkan bahwa setiap siswa bertanggung jawab terhadap pekerjaan kelompok masing-masing, dan mendorong siswa untuk berpikir optimal sesuai dengan potensinya masing-masing.Penelitian mengenai pembelajaran model PACE seperti diungkapkan Lee (1998) yang menyimpulkan dalam tulisannya bahwa siswa sangat menyenangi model pembelajaran ini. Dari hasil angket kepuasan siswa diperoleh data bahwa model pembelajaran ini sangat efektif untuk pemahaman konsep dengan baik. Dari hasil penelitian terkait, siswa dalam kondisi tersebut mendapatkan peluang yang lebih besar dalam representasi visual yang kuat pada objek geometri, siswa terlibat dalam kegiatan mengkonstruksi sehingga mengarah kepada pemahaman geometri yang mendalam sehingga siswa dapat melakukan penalaran yang lebih baik.Selain itu Reis dan Gulsecen (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penggunaan GeoGebradapat membuat siswa terlibat lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran dan lebih banyak melibatkan indra lainnya sehingga akan mencapai kesuksesan yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa denganpenggunaan software GeoGebra ini menjadikan pembelajaran lebih menarik sehingga lebih memotivasi bagi siswa. Dengan segala aktivitas yang dilakukan siswa, pembelajaran akan menjadi lebih bermakna sehingga hasil yang diharapkan dalam penelitian ini yakni dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa dapat terwujud. Pemanfaatan media komputer dalam hal ini menggunakan sotware Geogebra juga sangat relevan dengan implementasi kurikulum 2013 di mana materi TIK diintegrasikan dalam pembelajaran setiap mata pelajaran. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Mahmudi (2010) bahwa pemanfaatan teknologi komputer dengan berbagai programnya dalam pembelajaran matematika sudah merupakan keharusan dan kebutuhan . Berbagai manfaat program komputer dalam pembelajaran matematikadikemukakan oleh Kusumah dan Suherman (2003). Menurutnya, program-program komputersangat ideal untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran konsep-konsepmatematika yang menuntut ketelitian tinggi, konsep atau prinsip yangrepetitif, penyelesaian grafik secara tepat, cepat, dan akurat. Lebih lanjutKusumah dan Suherman (2003) juga mengemukakan bahwa inovasi pembelajaran denganbantuan komputer sangat baik untuk diintegrasikan dalam pembelajarankonsep-konsep matematika, terutama yang menyangkut transformasigeometri, kalkulus, statistika, dan grafik fungsi. Salah satu program komputer yang dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran matematika adalah program GeoGebra,yang dikembangkan oleh Markus Hohenwarter pada tahun 2001. Menurut Hohenwarter (2008), GeoGebra adalah program komputer untuk membelajarkan matematika khususnya geometri dan aljabar. Program ini dapat dimanfaatkan secara bebas yang dapatdiunduh dari www.geogebra.com. Menurut Hohenwarter (2008), program GeoGebra sangat bermanfaat bagiguru maupun siswa. Tidak sebagaimana pada penggunaan software komersialyang biasanya hanya bisa dimanfaatkan di sekolah, Geogebra dapat diinstal padakomputer pribadi dan dimanfaatkan kapan dan di manapun oleh siswa maupunguru. Bagi guru, GeoGebra menawarkan kesempatan yang efektif untuk mengkreasi lingkungan belajar online interaktif yang memungkinkan siswamengeksplorasi berbagai konsep-konsep matematis. Menurut Hohenwarter M, Hohenwarter J, dan Lavicza (2010), sejumlah penelitian menunjukkan bahwa GeoGebra dapat mendorong proses penemuan dan eksperimentasi siswa di kelas. Fitur-fitur visualisasinya dapat secara efektif membantu siswa dalam mengajukan berbagai konjektur matematis. Menurut Hohenwarter dan Fuchs (2004), GeoGebra sangat bermanfaat sebagai media pembelajaran matematika dengan beragam aktivitas sebagai berikut a. Sebagai media demonstrasi dan visualisasi Dalam hal ini, dalam pembelajaran yang bersifat tradisional, guru memanfaatkan GeoGebra untuk mendemonstrasikan dan memvisualisasikan konsep-konsep matematika tertentu. b. Sebagai alat bantu konstruksi Dalam hal ini GeoGebra digunakan untuk memvisualisasikan konsep- konsep matematika tertentu, misalnya mengkonstruksi lingkaran dalam maupun lingkaran luar segitiga, atau garis singgung. 309
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
c.
Sebagai alat bantu proses penemuan Dalam hal ini GeoGebra digunakan sebagai alat bantu bagi siswa untuk menemukan suatu konsep matematis, misalnya tempat kedudukan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan adanya kemampuan yang lebih baik untuk kedua kemampuan baik penalaran matematis dan komunikasi matematis pada kelas eksperimen, tetapi perbedaan yang diperoleh belum cukup memuaskan. Hal ini mungkin disebabkan penggunaan software GeoGebra ini merupakan hal yang baru bagi siswa dalam penelitian ini. Siswa masih kurang begitu memahami dengan baik penggunaan software ini sebagai alat bantu dalam belajar, mereka terlalu asyik dengan penggunaan /otak-atik software. Kelemahan dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran memerlukan waktu yang lebih lama, apalagi bila kemampuan siswa dalam menggunakan software masih sangat terbatas. Namun demikian, jika siswa sudah terbiasa dengan penggunaan software dalam pembelajaran geometri melalui model PACE dengan GeoGebra ini, tentu akan berpeluang besar untuk dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa menjadi lebih baik lagi.Peneliti menyadari banyak terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain keterbatasan waktu penelitian, populasi dan sampel, materi yang dipilih hanya sebagian dari materi Lingkaran,serta kemampuan siswa dalam menggunakan Geogebra yang masih sangat terbatas di mana guru hanya memberikan latihan satu minggu sebelum pelaksanaan penelitian dan hanya sebatas pada ketrampilan yang diperlukan siswa pada kegiatan pembelajaran materi pada penelitian. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian selama pembelajaran geometri melalui model PACE menggunakan GeoGebra dapat disimpulkan (1) Kemampuan penalaran matematis siswa yang belajar geometri melalui model PACE menggunakan GeoGebra lebih baik daripada siswa yang belajar geometri melalui model PACE tanpa GeoGebra. (2) Kemampuan komunikasi matematis siswa yang belajar geometri melalui model PACE menggunakan GeoGebra lebih baik daripada siswa yang belajar geometri melalui model PACE tanpa GeoGebra. SARAN (1) Bagi guru matematika, pembelajaran model PACEmenggunakan GeoGebra dapat menjadi alternatif di antara banyak pilihan model pembelajaran matematika yang mampu meningkatkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematis siswa. (2) Untuk penelitian selanjutnya, hendaknya memilih materi yang relevan terutama materi Geometri yang pada umumnya dianggap sulit oleh siswa dan sebelum penelitian dilaksanakan siswa harus cukup dibekali dengan cara penggunaan software agar saat penelitian berlangsung siswa sudah tidak bingung bagaimana menggunakan software sehingga dapat lebih fokus pada materi yang dipelajari. DAFTAR RUJUKAN Asikin, M. (2002). Menumbuhkan Kemampuan Komunikasi Matematika melalui Pembelajaran Matematika Realistik.(Prosiding Konferensi Nasional Matematika XI). Baroody, A.J. dan Coslick, R.T.1993. Problem solving, reasoning, and communicating, K-8: Helping children think mathematically. New York : Mc Millan Publishing Company. Depdiknas.2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kebijaksanaan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah Jakarta. Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. Herman, T. 2007. Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan KemampuanBerpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa SekolahMenengah Pertama (SMP). Jurnal Educationist, (Online),1(1):47-56, (http://scholar.google.co.id) diakses 24 September 2013. Hohenwarter, M. dan Fuchs, K. 2004. Combination of dynamic geometry, algebra and calculus in the software system GeoGebra.Computer Algebra Systems and Dynamic Geometry Systems in Mathematics Teaching Conference. Pecs, Hungary.
310
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hohenwarter, M. 2008. Teaching and Learning Calculus with Free Dynamic Mathematics Software GeoGebra. (http://publications.unilu/record/2718/ files/ICMEII-TSG16.pdf.) diakses 24 September 2013. Hohenwarter, M., Hohenwarter, J dan Lavicza, Z. 2010. Evaluating difficulty levels of dynamic geometry software tools to enhance teachers‟ professional development. International Journal for Technology in Mathematics Education.(online) 17.3: 127-134. (http://www.geogebra.org/en /upload/files/GG _support /Hohenwarter -HW-LaviczaIJTME.pdf) diakses 24 September 2013. Jones, K., Lavicza, Z.,Hohenwarter, M dan Lu, A. 2009. Establishing a professional development network to supportteachers using dynamic mathematics software GeoGebra. Proceedings of theBritish Society for Research into Learning Mathematics, 29 (1), 97-102. Kusumah, Y.S dan Suherman, E. 2003. Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah. Lee, C. 1998. An assessment of the PACE strategy for an introductory statistics course. Paper presented at the Fifth International Conference on Teaching Statistics, Singapore. Lee, C. 2000. Computer Assisted Approach for Teaching Statistical Concept. Jurnal Computers in the Schools,(Online)16(1): 193-2 (http://www.tandfonline.com), diakses 2 Agustus 2013. Mahmudi, A.2010. Membelajarkan Geometri dengan Program GeoGebra.Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika. Universitas Negeri Yogyakarta. Martono, N. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung : Raja Gravindo Perkasa. Permendikbud No 68. 2013. Struktur Kurikulum Matematika SMP/MTs.. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Permendiknas No 22. 2006. Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Reis, Z.A. dan Gulsecen, F. 2010. The Effect Of GeoGebra Use In Mathematics Education: A Case Study On Integers In Turkey. Paper presented at Geogebra National Annual, New York. (Online), (www.geogebra.org.), diakses 2 Oktober 2013. Subanji. 2013. Revitalisasi Pembelajaran Bermakna dan Penerapannya dalam Pembelajaran Matematika Sekolah. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional TEQIP. Universitas Negeri Malang. Sugiono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung. Alfabeta. Sumarmo, U. 2010. Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah FPMIPA UPI, (online), (http://math.sps.upi.edu),diakses 2 November 2013) Wardhani, S. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTsuntuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika. Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. Yogyakarta.
311