PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Penguatan kemitraan berbasis ipteks inovatif untuk kemaslahatan BMI
PERANAN LINGKUNGAN BARU MEMBENTUK MASYARAKAT DAN PERMUKIMAN: BELAJAR DARI RESETTLEMENT KELURAHAN UNTIA UNTUK PERENCANAAN PERMUKIMAN NELAYAN DI KOTA MAKASSAR Arifuddin Akil, Ananto Yudono, Ihsan, Siti Nurvita, Dirja Ferdiansyah. Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan km. 10 Tamalanrea - Makassar, 90245 Telp/Hp: 0813 42779477 e-mail:
[email protected]
Abstract Culture that understood should be the basis in the built environment formation. Social culture that understood community will gradually shift in accordance factors that influence it. Developments and changes of settlements form are affected by the variation degree of various elements based on the growth process. The study discusses resettlement of Untia fishing communities that were previously domiciled in Lae-Lae Island. Community with Makassar ethnic backgrounds have education and income level are relatively low, which then relocated by government programs to the Village Untia at Biringkanaya District. Study aims include: 1) to determine the characteristics of the study area, 2) to determine the influence factors of the new environment in shaping communities and settlements, and 3) to identify the strategies to improve the quality of socio-economic and settlements in Untia resettlement. This study is a qualitative research discussed in the framework of descriptive research through observation, interview, and distribute the questionnaire to the community. The study used qualitative data analysis of physical and non-physical aspects in the Untia resettlement. The study shows that: the characteristics of Untia resettlement today are relatively better than Lae-Lae settlement especially concerning infrastructure such as roads, water, electricity, waste management, as well as the existence of some housing facilities. Changes in non-physical Untia resettlement seen by indicator of education level and an increasingly diverse professions after the relocation. The changes are caused by new environmental involvement in shaping communities and settlements include: educational facilities, amenities and infrastructure, and the change of mindset with the development of science and technology. Changes in various types of the community professions post relocation indicates a shift in the life from mechanic to organic patterns that ultimately led to the settlement order. Compared with a typical houses in Lae-Lae, Untia resettlement more changes related to the physical condition of natural and man-made resources that have been provided by the government. The development strategy in the Untia resettlement, among other things: 1) nonphysical strategies such as turn on the local culture, develop business opportunities, and the participation of institutions, 2) physical strategies such as the development of settlement facilities and infrastructure to achieve the quality of social, economic, and cultural into a neighborhood livable, productive, and sustainable. Keywords: Settlement, Fishing Communities, Untia Resettlement .
PENDAHULUAN Karena Pulau Lae-Lae Kota Makassar mengalami perkembangan penduduk yang semakin pesat, sebagian permukiman memiliki status ilegal yang cenderung merusak lingkungan, dan di sisi lain pulau tersebut memiliki potensi wisata yang sangat menjanjikan termasuk dengan jaraknya yang relatif dekat dari daratan kota, maka pada tahun 2005 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menata kawasan pulau Lae-Lae menjadi kawasan wisata termasuk dengan menertibkan dan memfasilitasi keberlanjutan hidup para penghuni pulau yang ada. Masyarakat tersebut teridentifikasi sebagai masyarakat yang berlatar belakang etnik Makassar dengan tingkat pendidikan dan penghasilan yang relatif rendah [1]. Hal tersebut berlanjut pada adanya keputusan program pemerintah untuk melaksanakan relokasi penduduk di Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya. Relokasi masyarakat Lae-Lae tersebut selanjutnya mengalami tarik ulur yang cukup lama namun akhirnya dapat berjalan dengan baik melalui solusi yang tepat yaitu pelaksanaan fungsi ruang sesuai dengan program pemerintah melalui alih fungsi ruang. Menurut [2] bahwa alasan relokasi masyarakat suatu permukiman
Volume 1 : September 2015
ISBN : ....................................... 1
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Peranan Lingkungan Baru membentuk…
Arifuddin dkk
meliputi beberapa hal yaitu akibat: lokasi terkena dampak bencana, lokasi rawan bencana; dan/atau alih fungsi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Kebijakan relokasi dari pemerintah kota Makassar memberikan dampak pro-kontra, dimana dari 326 jumlah kepala keluarga Pulau Lae-Lae yang direncanakan direlokasi, hanya separuh di antaranya yang setuju. Sehingga menyebabkan komunitas masyarakat Lae-Lae terpecah menjadi dua kelompok [3]. Keinginan untuk tetap menetap oleh masyarakat yang tidak setuju direlokasi dengan resiko membuat rencana penetapan Lae-Lae sebagai kawasan wisata menjadi batal. Masyarakat etnik Makassar yang direlokasikan ke permukiman Untia tentu saja sebelumnya telah memiliki pemahaman atau pola pikir dalam membangun lingkungan, permukiman, serta tempat tinggalnya sesuai dengan pemahaman budaya serta dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan perkembangan modernisasi dan globalisasi hingga saat ini. Namun demikian setelah mereka pindah dan bertempat tinggal di Untia sebagai lingkungan barunya, ternyata mereka banyak mengalami perubahan baik terhadap fisik permukiman maupun non fisik masyarakatnya. Beberapa perubahan hidup masyarakat dan permukiman yang dapat disaksikan saat ini adalah bahwa permukiman yang disediakan pemerintah di permukiman tujuan relokasi Untia memiliki karakteristik lingkungan yang berbeda dengan lokasi awal (pulau Lae-Lae), serta jauh dari tempat pencarian nafkah sebagai nelayan relatif jauh. Namun demikian terdapat faktor pendukung yang lebih bersifat positif yaitu pada lokasi baru memiliki sarana dan prasarana lebih memadai dibanding tempat asal, lapangan kerja yang tersedia lebih beragam, demografi penduduk juga relatif beragam yang ada di sana. Meskipun berada di wilayah pesisir, namun terdapat hal-hal yang kurang mendukung seperti site yang tidak berbatasan langsung dengan pantai sebagaimana pengalaman bermukim pada lokasi sebelumnya, di tambah lagi dengan adanya jarak tempuh yang relatif jauh dari permukiman ke lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan faktor fisik dan lokasi permukiman yang tidak mendukung pekerjaan utama masyarakat nelayan tersebut. Hal tersebut akhirnya mempengaruhi pola pikir dan pandangan masyarakat untuk mencari pekerjaan sampingan selain nelayan. Kebudayaan menurut pandangan Franz Boas dalam [4] bahwa Culture adalah keseluruhan bentuk reaksi manusia terhadap tantangan alam sekeliling, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Dalam konteks proses, pandangan Boas sesuai dengan Soejanto Poespowardoyo (1989) dalam Arifuddin [5] bahwa kebudayaan adalah keseluruhan proses dari hasil perkembangan manusia yang disalurkan dari generasi ke generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik. Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa masyarakat tradisional akan senantiasa mengembangkan hidupnya sesuai dengan peluang-peluang yang dihadapi dan menjanjikan. Di samping itu masyarakat nelayan tradisional ketika masih berada di Lae-Lae, mereka masih menunjukkan adanya pola kerja secara patron-klien (ponggawa-sawi). Patron-klien adalah hubungan kerja yang terbentuk karena ada pihak yang memimpin atau menguasai/berpengaruh, dan ada pihak yang dipimpin atau dipengaruhi [6]. Pola pola tradisional tersebut ternyata berbeda dengan pola kerja masyarakat nelayan di permukiman resettlement Untia. Masyarakat Untia saat ini cenderung bergeser dari pola-pola perilaku tradisional yang pernah mereka lakukan ketika berada pada permukiman sebelumnya. Jika dikaitkan dengan konsepsi Kluckhohn (1951) bahwa secara universal seorang memiliki sistem nilai budaya yang mengandung lima masalah pokok di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu: a) masalah hakekat hidup manusia, b) masalah hakekat karya manusia, c) masalah hakekat kedudukan manusia di dalam ruang dan waktu, d) masalah hakekat hubungan manusia dengan alam, dan e) masalah hakekat hubungan manusia dengan manusia (Kluckhohn dalam Simanjuntak, [7] dan [8]. Pada konsepsi tersebut menunjukkan bahwa di samping manusia atau masyarakat itu sangat memperhatikan hakekat hidupnya, mereka juga tetap banyak melihat perkembangannya berdasarkan hakekat karya manusia, serta hubungan antara manusia dengan manusia, yang tentu saja akan melihat kepada tingkat kebutuhannya dalam ruang dan waktu. Masyarakat Untia adalah tergolong dalam wilayah pengembangan Kota Makasar sehingga sedikit banyaknya akan tersetuh dengan dinamika perkotaan. Dalam konteks fenomena kehidupan perkotaan, dimana masyarakatnya yang cenderung bersifat heterogen, terlihat kecenderungan yang semakin melemah terutama dalam hal semangat kebersamaan, loyalitas kepada komunitas, dan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama. Menurut Schneider (1993) dalam [9] bahwa situasi yang terjadi pada masyarakat perkotaan ditandai dengan adanya pembedaan orang berdasarkan teknologi, kekuasaan, dan kepemilikan, serta tidak ada sistem nilai bersama (kesadaran kolektif). Akan berkembang situasi yang secara alamiah berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Dapat dikemukakan bahwa kata kunci aspek sosial budaya atau sosial ekonomi dari konsep pengembangan masyarakat perkotaan tersebut terutama dalam hal: pertama, penekanan stratifikasi sosial masyarakat yang berdasar pada aspek pendidikan, tingkat pendapatan, dan status sosal; kedua,
ISBN : ..................................
Volume 1 : September 2015 2
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Penguatan kemitraan berbasis ipteks inovatif untuk kemaslahatan BMI perubahan gaya hidup dan perkembangan keluarga berdasarkan jenis profesi; dan ketiga, pengelompokan masyarakat berdasarkan spesialisasi dan kesamaan budaya. Berbicara dalam aspek sosial ekonomi, salah satu indicator perubahan yang dapat ditemukan pada masyarakat nelayan di permukiman resettlement Untia yaitu perubahan pada indikator tingkat pendidikan dan profesi. Masyarakat tersebut sebelumnya hanya berprofesi sebagai nelayan di Pulau Lae-Lae kemudian beralih ke profesi lain berdasarkan lapangan kerja yang tersedia di dalam maupun di sekitar permukiman resettlement Untia. Pembahasan tersebut di atas sangat menyimpan permasalahan yang perlu dikaji faktor penyebab dan pola pengembangan kegiatannya. Berdasakan fenomena yang telah dikemukakan tersebut di atas, termasuk dengan terjadinya perubahan pada aspek sosial, ekonomi dan budaya penduduk, cepat atau lambat, sedikit atau banyak, fenomena tersebut akan berpengaruh pada perubahan kondisi fisik permukimannya. Atas dasar tersebut studi ini berupaya untuk mencari seberapa jauh peranan lingkungan baru membentuk masyarakat dan permukiman yang dimaksudkan untuk dijadikan sebagai dasar atau pertimbangan dalam merencanakan permukiman nelayan di perkotaan, khususnya di Kota Makassar.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian dilaksanakan pada permukiman nelayan di Kelurahaan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, dengan luas lahan 2,89 Ha. Pemilihan lokasi ini didasarkan karena terjadi perubahan sosial dan ekonomi pada kelompok nelayan Lae-Lae setelah direlokasi ke Kelurahan Untia. Studi ini berdasar pada hasil penelitian yang dilakukan dengan metode survei yaitu meliputi kegiatan observasi, wawancara mendalam, dan pengambilan data aspirasi masyarakat melalui kuesioner. Penentuan sampel sebanyak 58 KK ditentukan secara rasional dan purposif. Karakteristik lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di resettlement Untia dapat diidentifikasi berdasarkan variabel: prasarana dan sarana lingkungan, lingkungan fisik, dan data sosial ekonomi serta sosial budaya masyarakat. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui jumlah sarana dan prasarana yang terdapat di permukiman resettlement Untia dengan cara observasi serta mengumpulkan data primer di kelurahan Untia dan Lae-Lae. Sedangkan karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya dapat dianalisis secara deskriptif kualitatif. Peranan lingkungan baru dalam membentuk masyarakat dan permukiman di resettlement Untia dapat diketahui melalui analisis faktor-faktor penyebab perubahan sosial, ekonomi, dan budaya nelayan setempat, serta kondisi fisik lingkungan permukiman nelayan Untia. Data-data tersebut dianalisis keterikatan antara indikator fisik dengan non fisik untuk mengetahui penyebab dari perubahan sosial ekonomi dan budayanya. Strategi meningkatkan kualitas sosial ekonomi dan permukiman masyarakat di resettlement Untia dapat diketahui melalui pendekatan konsep peningkatan sosial, ekonomi, budaya, dan fisik permukiman, sesuai kebutuhan masyarakat permukiman nelayan di Untia. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang strategi yang diajukan dalam meningkatkan kualitas masyarakat dan permukiman di resettlement Untia dilakukan dengan mengidetifikasi karakteristik fisik dan non fisik kawasan permukiman, serta mengkaji fator-faktor penyebab perubahan dan permasalahan yang terjadi, serta arah perkembangan masyarakat dan permukimannya berdasarkan analisis kualitatif desktiptif. Faktor-faktor yang diketahui selanjutnya dikaitkan dengan teori dan selanjutnya menjadi landasan dalam perumusan strategi dalam meningkatkan kualitas masyarakat dan permukiman di resettlement Untia termasuk prasarana dan sarana permukimannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Permukiman Resettlement Untia Berdasarkan profil Kelurahan Untia 2013, jumlah penduduknya sebanyak 2076 jiwa yang terdiri dari 1075 jiwa laki-laki dan 1.001 jiwa perempuan. Jumlah kepala keluarga tercatat sebanyak 542 KK, khusus dalam kawasan pusat kelurahan terdapat sebanyak 429 KK, dan 118 KK di antaranya merupakan masyarakat nelayan yang pindah dari Pulau Lae-Lae pada tahun 2005 (sumber: Ibu Djamrud, staf kantor Kelurahan Untia, 2015). Jumlah tersebut tersebar di 5 RW dan 14 RT yang ada di Kelurahan Untia. Permukiman resettlement Untia merupakan bagian dari Kelurahan Untia yang meliputi RW I, RW II dan RW V. Jumlah Fasilitas pendidikan di Kelurahan Untia tahun 2015 tercatat 2 unit TK, 1 unit SD, dan 1 unit SMP, 1 unit SMA, dan 1 unit SMK. Khusus di permukiman resettlement Untia hanya terdapat 1 unit SMK, 1 unit SD dan 1 unit TK. Untuk jelasnya lihat Gambar 1, 2, dan 3 di bawah. Secara umum masyarakat di resettlement Untia cenderung menyekolahkan anaknya hanya sampai tingkat SMP dengan alasan biaya.
Volume 1 : September 2015
ISBN : ....................................... 3
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Peranan Lingkungan Baru membentuk…
Gambar 1 TK/Kelompok Bermain di Resettlement Untia
Arifuddin dkk
Gambar 2 Fasilitas SD di Resettlement Untia
Gambar 3 Sekolah SMK di Resettlement Untia
Jumlah fasilitas kesehatan di Kelurahan Untia tahun 2015 tercatat terdapat 1 unit puskesmas pembantu (pustu) dan 3 unit posyandu, dan keduanya terletak dalam permukiman resettlement Untia. Di samping itu juga terdapat 1 unit fasilitas masjid. Namun demikian hingga saat ini di permukiman resettlement Untia belum tersedia tempat pelelangan ikan, sehingga para nelayan hanya menjual hasil tangkapan ikannya di TPI Paotere. Jaringan jalan di dalam permukiman resettlement Untia terdapat berupa jalan lokal dan jalan lingkungan dengan kondisi jalan berupa beton dan paving dengan lebar ± 2-3 meter (lihat Gambar 4 dan 5). Pada permukiman resettlement Untia telah tersedia prasarana lingkungan berupa saluran drainase yang mengalirkan air buangan ke dalam kanal dan langsung ke laut. Permukiman Resettlement Untia telah terdapat prasarana TPS untuk pembuangan sampah dengan cara diangkut langsung atau menggunakan ke lokasi TPS dan selanjutnya menggunakan Truk sampah menuju ke TPA Tamangapa, atau diangkut oleh mini truk menuju kontainer di Bulurokeng. Selanjutnya sumber air bersih dapat diperoleh dari sumur, air tanah, dan PDAM. Untuk konsumsi masyarakat setempat umumnya menggunakan air PDAM ataupun depot air isi ulang. Air sumur hanya digunakan pada musim kemarau ketika air PDAM yang diterima terbatas. Di samping itu juga terdapat 3 MCK umum di pusat permukiman resettlement Untia (lihat Gambar 6).
Gambar 4 Jalan Paving dan saluran Drainase di Resettlement Untia
Gambar 5 Jalan Beton dan saluran Kanal bawah jembatan di Resettlement Untia
Gambar 6 MCK dan Sumur Umum di Resettlement Untia
Sebagai sarana penunjang usaha nelayan di Kelurahan Untia, telah terdapat dermaga utama milik PPN Untia yang saat ini dalam tahap pembangunan. Namun demikian hingga saat ini belum ada dermaga khusus untuk masyarakat nelayan, sehingga nelayan memarkir perahu mereka di tepi pantai, tepi dermaga PPN, di dalam bakau, atau di tepi kanal.
Gambar 7 Para Nelayan memarkir perahu di sekitar dermaga PPN Untia (kiri) dan di sisi Kanal (kanan)
Pengaruh Lingkungan Baru dalam Membentuk Masyarakat dan Permukiman Untia Masyarakat relokasi dari Lae-Lae mengalami adaptasi dengan lingkungan barunya seperti beberapa di antaranya beralih pekerjaan atau memiliki pekerjaan sampingan. Pekerjaan baru umumnya seperti menjadi buruh di pergudangan industri, sedangkan pekerjaan sampingan umumnya sebagai tukang bangunan, tukang las, warung, dan pekerjaan serabutan lainnya. Selain itu istri mereka juga memperoleh kesempatan kerja di daerah industri yang berdekatan dengan resettlement Untia. Kondisi perubahan profesi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 8 dan 9 berikut.
ISBN : ..................................
Volume 1 : September 2015 4
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Penguatan kemitraan berbasis ipteks inovatif untuk kemaslahatan BMI Tabel 1 Perubahan Jenis Profesi Masyarakat di Resettlement Untia
Gambar 9 Nelayan yang sedang mempersiapkan peralatan untuk melaut
Gambar 8 Ibu rumah tangga yang sedang bekerja mengupas kulit mente (kiri dan kanan)
Faktor Non Fisik Tingkat pendidikan mempengaruhi jenis pekerjaan yang akhirnya dapat berpengaruh terhadap tingkat pendapatannya. Masyarakat dengan tinggat pendidikan yang tinggi berpeluang memperoleh berbagai pekerjaan dengan pendapatan yang relatif besar. Perkembangan tingkat pendidikan masyarakat dapat dilihat dari perbandingan antara tingkat pendidikan kepala keluarga dengan tingkat pendidikan anak-anaknya saat ini. Hasil analisis menunjukkan peningkatan pendidikan yang secara signifikan dari pendidikan Kepala Keluarga yang menunjukkan rata-rata 76% masih berada di bawah pendidikan SMP ketika di Lae-Lae, sedang ketika di lokasi resettlement saat ini rata-rata tingkat pendidikan keluarga yang <SMP masing-masing menunjukkan untuk anak pertama (58%), anak kedua (68%) dan anak ketiga (70%). Di lain pihak terdapat pertambahan dari pendidikan rata-rata SMP dan SMA dari 22% untuk untuk Kepala Keluarga ketika di Lae-Lae, menjadi 42% untuk anak 1, 33% untuk anak 2, dan 30% untuk anak 3 ketika di lokasi baru. Jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10. Sebagian masyarakat resettlement Untia masih pada tingkat pendidikan rendah (SD dan SMP), sehingga hanya dapat bekerja sebagai buruh pabrik di pergudangan atau pabrik yang tidak mensyaratkan tingkat pendidikan. Di samping itu sebagian memilih pekerjaan serabutan (jasa bangunan, jasa bengkel), dan sebagian lagi hanya melajutkan profesi orang tua sebagai nelayan. Sebagian di antaranya putus sekolah disebabkan oleh faktor ekonomi. Dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan (keturunan) dari masyarakat asal Lae-lae lebih beragam dibandingkan dengan orang tuanya, disebabkan oleh berbagai pengaruh lingkungan baru terutama peluang fasilitas pendidikan yang tersedia, fasilitas dan prasarana penunjang seperti kemudahan akses ke mana-mana, pengembangan profesi, keragaman relasi (interaksi sosial yang terjadi), dan perubahan pandangan terhadap masa depan keturunan yang terkait oleh pengaruh dinamika perkembangan Ipteks.
Volume 1 : September 2015
ISBN : ....................................... 5
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Peranan Lingkungan Baru membentuk…
Arifuddin dkk
Gambar 10 Rata-Rata Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dan Anak-Anaknya
Jenis profesi masyarakat ketika di Lae-Lae dominan berupa nelayan lokal sebanyak 25 KK, kemudian nelayan antar kabupaten/provinsi sebanyak 16 KK dan selebihnya bekerja pada sektor jasa (8KK) dan ibu rumah tangga (6KK). Setelah berada di lingkungan baru resettlement Untia, sebagian besar masyarakat tersebut mengalami perubahan profesi yang disebabkan oleh kondisi dan peluang kerja di lingkungan barunya. Berdasarkan lokasi melaut, nelayan Untia tergolong menjadi tiga, yaitu (1) nelayan lokal yang melaut di sekitar kota Makassar; (2) nelayan yang melaut antar kabupaten/provinsi; (3) nelayan yang melaut antar negara mengikuti kapal asing. Nelayan lokal memiliki jadwal melaut setiap hari (dari subuh hingga siang, atau siang hingga petang, atau malam hingga pagi). Hari kerja nelayan lokal hanya 5-6 hari perminggu. Nelayan yang melaut di perairan di sekitar Makassar umumnya menghabiskan waktu melaut 2-3 hari. Nelayan samudera menghabiskan waktu melaut 3-5 bulan. Terdapat masalah untuk nelayan lokal karena belum adanya fasilitas TPI di Untia, sehingga terpaksa harus menjual hasil tangkapan ke TPI Paotere yang tergolong jauh. Hal ini membuat ketidaknyamanan sehingga mereka cenderung memilih pekerjaan lain atau sampingan. Dalam hal pendapatan, masyarakat resettlement Untia relatif mengalami peningkatan. Ketika di Lae-Lae pendapatan nelayan lokal rata-rata Rp 800.000 perbulan (sesuai nilai uang tahun 2005). Pada saat ini di Untia pendapatan rata-rata nelayan lokal Rp 1,5-2 juta perbulan, nelayan antar kab/prov Rp 2-3 juta perbulan, dan nelayan samudra Rp 3-5 juta perbulan. Walaupun pendapatannya relatif meningkat dibanding di Lae-Lae, jumlah penghasilannya saat ini dinilai masih belum cukup. Dengan berbagai peluang kerja saat ini, masyarakat mulai beralih ke pekerjaan sampingan terutama pada saat tidak melaut. Berdasarkan hasil analisis, perubahan profesi masyarakat di resettlement Untia menunjukkan peralihan profesi yang sangat beragam sesuai dengan latar belakang profesi dan peluang tempat kerja yang ada. Dari 25 KK nelayan lokal yang pindah ke resettlement Untia berubah menjadi jasa bangunan, karyawan swasta, nelayan antar kab/prov, bengkel, dan pegawai toko; demikian pula untuk 16 KK nelayan antar kab/prov juga mengalami perubahan profesi (lihat tabel perubahan profesi masyarakat). Masyarakat nelayan tradisional seperti masyarakat di Lae-Lae (sebelum relokasi) masih menunjukkan adanya pola kerja secara patron-klien (ponggawa-sawi). Patron-klien adalah hubungan kerja yang terbentuk karena ada pihak yang memimpin atau menguasai/berpengaruh, dan ada pihak yang dipimpin atau dipengaruhi [6]. Berbeda dengan masyarakat nelayan di permukiman resettlement Untia pola tersebut sudah mulai bergeser, namun justru membentuk kelompok kerja nelayan secara terstruktur berdasarkan lokasi penangkapan ikan. Di samping itu meskipun lokasi barunya berada di wilayah pesisir, namun terdapat hal-hal yang kurang mendukung seperti site yang tidak berbatasan langsung dengan pantai sebagaimana pengalaman bermukim pada lokasi sebelumnya, di tambah lagi dengan adanya jarak tempuh yang relatif jauh dari permukiman ke lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) membuat mereka mencari pekerjaan sampingan. Dapat disimpulkan bahwa perubahan profesi masyarakat relokasi terjadi secara signifikan yang dipengaruhi oleh bebarapa aspek seperti: pengembangan usaha sesuai potensi yang dimiliki, peluang usaha atau tempat kerja pada lingkungan baru, fasilitas dan prasarana penunjang seperti kemudahan akses ke mana-mana, pengembangan tingkat pendidikan, keragaman relasi (interaksi sosial), adanya kekurangan lokasi Untia sebagai
ISBN : ..................................
Volume 1 : September 2015 6
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Penguatan kemitraan berbasis ipteks inovatif untuk kemaslahatan BMI lokasi nelayan dibanding lokasi sebelumnya, dan perubahan pandangan terhadap pola kerja yang terkait oleh pengaruh dinamika perkembangan Ipteks. Faktor Fisik Kondisi permukiman tradisional di Lae-Lae tergolong permukiman yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat dengan tidak melalui proses perencanaan tapak sebelumnya (tanpa direncanakan). Permukiman tersebut lahir dari masyarakat berdasarkan kebutuhan, ketersediaan lahan, dan hasil rembuk bersama, yang berproses terus menerus hingga sekarang. Salah satu bentuk rumah warga yang difungsikan menyatu dengan fasilitas warung (lihat Gambar 11). Sebagai permukiman tradisional, di sana terlihat ada penguasaan oleh kelompok tertentu pada lokasi tertentu seperti pusat permukiman atau sekitar fasilitas, mereka itu adalah kelompok Ponggawa-Sawi atau kelompok yang memiliki status sosial yang dihormati dan berkuasa.
Gambar 11 Bentuk Rumah yang tergabung dengan Fasilitas Ekonomi di Lae-Lae
Permukiman resettlement Untia memiliki pusat berupa fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, dan keagamaan yang terletak di tengah permukiman. Pola permukiman resettlement Untia menggunakan pola grid dan relatif teratur. Permukiman terdiri dari enam blok dengan luas lahan yang sama dan dikelilingi oleh kanal atau jalan lingkungan. Keteraturan permukiman disebabkan adanya perencanaan permukiman resettlement yang telah ada (siap dihuni). Karena itu dalam permukiman resettlement Untia tidak dikenal adanya pola penguasaan lahan oleh kelompok tertentu, begitu pula kedekatan rumah dari fasilitas umum tidak direncanakan karena letak tersebut diperoleh berdasarkan undian. Kondisi rumah yang ada di resettlement Untia juga dipengaruhi oleh kondisi pendapatan atau jenis pekerjaan penghuni. Penghuni mencerminkan wujud rumahnya sesuai jenis aktifitasnya. Kondisi rumah yang dihuni oleh nelayan lokal terlihat masih asli, kurang dikembangkan, dan kurang dipelihara; sedang kondisi rumah dan material yang dihuni oleh nelayan antar pulau dan nelayan ABK pada kapal asing tampak lebih berkembang dan berkesan terpelihara. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.
Gambar 12 Rumah Milik Nelayan ABK pada Kapal Asing
Nilai-nilai sosio-kultural masyarakat tradisional Makassar seperti pada permukiman masyarakat Lae-Lae sebelum relokasi tercermin dalam bentuk tata letak rumah yang menekankan pada pentingnya aspek kekerabatan (lihat Gambar 13). Setiap warga berupaya menjaga kerukunan dengan cara menempatkan rumah secara berdekatan membentuk kelompok besar. Mereka belum mempermasalahkan batas kepemilikan tanah, sehingga tata bangunan cenderung tidak terlalu teratur. Kondisi ini mencerminkan adanya kesadaran masyarakat secara kolektif atau bersifat mekanis. Mereka belum menggunakan pembatas halaman. Halaman rumah tidak berpagar bertujuan memberi kesan luas, menciptakan keakraban, dan meningkatkan interaksi antarpenghuni yang berkontribusi terhadap peningkatan keamanan penghuni dan lingkungan. Jarak antar rumah yang rapat disebabkan oleh keterbatasan lahan dan kecenderungan tinggal berdekatan dengan keluarga atau kerabat yang dapat menciptakan rasa aman [1]. Meskipun sektor pembangunan dan modernisasi kehidupan telah dicanangkan dengan visi yang sangat ideal, namun demikian tetap terjadi pergeseran terhadap makna nilai-nilai kehidupan yang dipahami masyarakat. Pergeseran tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan struktur sosial dan perubahan pengetahuan budaya (khususnya tentang logika dan etika) [10]. Dalam hal ini pengaruh modernisasi dan globalisasi terhadap masyarakat tradisional yang relatif lebih kuat setelah relokasi dibandingkan dengan ketika masih di tempat asal, cenderung mempengaruhi tatanan perumahan dan permukimannya, apalagi permukimannya secara jelas merupakan pola permukiman yang direncanakan
Volume 1 : September 2015
ISBN : ....................................... 7
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Peranan Lingkungan Baru membentuk…
Arifuddin dkk
sebelumnya. Namun demikian, nilai-nilai budaya yang dipahami masyarakat Makassar tentang perlunya menjaga kebersamaan dan gotong royong yang berdasar pada nilai-nilai kekerabatan seperti siri na pacce, abbulo sibatang, masih tetap terpengaruh terhadap tata bangunan dan bentuk rumahnya yang bersifat terbuka. Hal ini terlihat bentuk pembatas yang tidak masif dan lebih terlihat transparan dengan fungsi semata-mata hanya untuk mempertegas batas hukum dari halaman rumah. Nilai-nilai pacce yang dipahami masyarakat Makassar hingga kini tetap tercermin melalui tata cara hidup berdampingan yang saling menghormati (sipakatau), saling menghargai (sikalabbiri), terutama kaitannya dengan sistem pelapisan sosial masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh [11]. Hal ini terlihat pada kegiatan silaturrahim antar tetangga, pesta perkawinan, kematian, atau pada peringatan hari besar agama Islam. Arah orientasi bangunan pada permukiman di Lae-Lae secara umum berorientasi ke arah garis pantai dan jalur jalan yang mengikutinya. Bangunan memiliki orientasi yang homogen. Hal ini dimaksudkan agar sepenuhnya dapat menghadap ke laut (pusat aktifitas dan sumber energy) serta untuk menciptakan aksesibilitas yang tinggi dari arah pantai atau jalan yang terletak di sepanjang garis pantai. Berbeda halnya dengan arah orientasi bangunan di resettlement Untia yang dominan ke arah jalur jalan atau kanal yang ada. Orientasi bangunan tidak berlaku secara homogeny, tetapi lebih cenderung mengikuti pola jalan di sekitarnya. Hal ini sangat terkait dengan pola permukiman yang telah direncanakan sebelumnya, serta pemahaman masyarakat yang saat ini cenderung lebih mengutamakan orientasi ke arah akses jalan. Mereka lebih melihat pada kondisi pencapaian dibandingkan dengan kesamaan pola, sebagai karakter masyarakat modern yang telah banyak mendapat pengaruh ipteks, kesadaran hukum, dan ekonomi. Pola tata bangunan resettlement Untia dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah.
Gambar 13 Pola Tata Bangunan di Lae-Lae
Gambar 14 Pola Tata Bangunan sekitar Kawasan Resettlement Untia
Dari 58 sampel rumah yang dijadikan objek kajian di perumahan resettlement Untia, dibangun dengan bentuk awal berupa rumah panggung dengan material konstruksi kayu (non permanen). Pada bagian bawah rumah digunakan untuk kegiatan servis dan tempat memelihara ternak atau menempatkan peralatan nelayan. Pada saat ini rumah-rumah tersebut sebagian besar telah dikembangkan menjadi rumah permanen sebanyak 3 unit, semi permanen sebanyak 26 unit, dan tetap dalam kualitas non permanen sebanyak 29 unit. Pengembangan rumah secara umum dilakukan dengan cara memanfaatkan kolong rumah awal menjadi fungsi untuk kegiatan hunian. Hal itu dilakukan dengan menambah dinding pada bagian lantai dasar serta dinding. Material lantai yang digunakan bervariasi dari lantai tanah, semen, keramik, atau campuran ketiganya. Demikian pula material dinding yang digunakan bervariasi dari jenis kayu, seng, bambu, triplek, dan dinding, atau gabungan dari keenam material tersebut. Selanjutnya pada bagian lantai atas juga dikembangkan dengan menggunakan material lantai keramik dan semen. Demikian pula dinding bangunan atas dikembangkan dengan menggunakan material kayu, bamboo dan tembok, atau gabungan kayu dan tembok. Demikian pula pengaruh lingkungan baru terhadap 58 unit rumah di resettlement Untia juga dapat dilihat dari indikator berkembangnya property yang dimiliki oleh penghuni setempat seperti: mobil sebanyak 2 unit, TV sebanyak 55 unit, kulkas sebanyak 47 unit, dan antena parabola sebanyak 3 unit. Kepemilikan mobil adalah rumah penghuni yang memiliki pekerjaan sebagai pelaut dan nelayan yang bergabung dengan kapal asing. Sedangkan kepemilikan property TV dan kulkas hampir semua rumah telah terpenuhi. Dalam hal prasarana air bersih terdapat perkembangan besar bagi kebutuhan penggunaan air bersih. Penggunaan air bersih ketika di Lae-Lae secara umum rumah tinggal menggunakan sumur gali (100%) untuk kebutuhan mandi dan cuci sedankan untuk kebutuhan masak/minum menggunakan air bersih yang dibeli dari kota, air gallon, serta sebagian lagi menggunakan air hujan. Sedangkan penggunaan air bersih setelah berada di
ISBN : ..................................
Volume 1 : September 2015 8
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Penguatan kemitraan berbasis ipteks inovatif untuk kemaslahatan BMI resettlement Untia secara umum rumah tinggal menggunakan air dari PDAM (100%) untuk kebutuhan mandi, cuci, dan masak/minum. Namun demikian sebagian rumah tangga (5 rumah) juga menggunakan air sumur dan atau sumur bor untuk kebutuhan cuci, dan terdapat sebanyak 16 rumah yang juga menggunakan air gallon untuk kebutuhan minum. Demikian pula penggunaan listrik ketika di Lae-Lae tergolong terbatas yaitu hanya menggunakan genset dikelola oleh PLN dan hanya melayani selama 6-12 jam. Sedangkan prasarana listrik yang digunakan di resettlement Untia telah disiapkan oleh PLN selama 24 jam. Perubahan bentuk rumah, kelengkapan prasarana dan semakin bertambahnya pemilikan properti pada setiap rumah tangga tersebut merupakan akibat dari tuntutan kebutuhan fungsi ruang sebagai dampak dari perkembangan anggota keluarga, pengembangan jenis pekerjaan rumah tangga, dan pengembangan tingkat pendapatan keluarga. Jika dibandingkan dengan bentuk tipikal rumah yang ada di Lae-Lae, bentuk rumah di permukiman resettlement Untia banyak mengalami perubahan. Hal ini sangat terkait dengan pengaruh lingkungan baru serta perubahan lifestyle masyarakat akibat perkembangan modernisasi dan globalisasi yang semakin terbuka pada permukiman baru.
Strategi Meningkatkan Kualitas Masyarakat dan Permukiman di Resettlement Untia Berdasarkan pada kondisi internal dan eksternal serta hasil analisis karakteristik dan faktor-faktor pengaruh lingkungan baru terhadap perubahan sosial budaya dan sosial ekonomi dan kondisi fisik resettlement Untia, maka dapat dikemukakan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas sosial ekonomi masyarakat dan permukiman di resettlement Untia yaitu antara lain: Strategi Pengembangan Non Fisik Strategi yang bersifat pengembangan non fisik lebih berdimensi waktu jangka pendek hingga jangka panjang. Adapun strategi pengembangan non fisik dalam meningkatkan kualitas sosial ekonomi dan budaya masyarakat dan permukiman di resettlement Untia, antara lain: menghidupkan solidaritas dan kerukunan masyarakat nelayan walaupun tingkat kehidupan mereka relatif terpengaruh oleh modernisasi dan globalisasi, menghidupkan budaya lokal yang dipahami sesuai aturan agama yang dominan dipahami masyarakat (Islam), membuka dan mengembangkan peluang-peluang usaha masyarakat yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat termasuk melakukan kerjasama dengan berbagai pemilik modal seperti perbankan dan bantuan instansi baik dari dalam maupun dari luar negeri, melibatkan partisipasi berbagai kelmbagaan Negara atau pemerintah dalam memberikan pembinaan dan pelatihan masyarakat lokal khususnya dalam bidang pengelolaan sumberdaya maritime dan pariwisata, serta meningkatkan kapasistas masyarakat lokal dalam menjaga ekologi kawasan menuju permukiman yang berkelanjutan. Strategi Pengembangan Fisik Strategi yang bersifat pengembangan fisik lebih berdimensi waktu jangka menengah hingga jangka panjang. Adapun strategi pengembangan fisik dalam meningkatkan masyarakat dan permukiman di resettlement Untia, antara lain: mengembangkan berbagai prasarana dan sarana permukiman dalam rangka mencapai kualitas sosial, kualitas ekonomi, dan kualitas bdudaya dan spiritual masyarakat. Pengembangan dan peningkatan prasarana meliputi: peningkatan prasarana jalur jalan utama dalam rangka meningkatkan akses pergerakan hasil produksi dari dan ke kawasan ini, pembangunan dermaga dan TPI serta sarana penunjangnya untuk meningkatkan kinerja efisiensi penjualan produksi perikanan di Untia, mengembangkan pelabuhan perikanan nasional yang sementara terbangun, penyusunan konsep pengembangan kawasan resettlement Untia berbasis maritim untuk mengarahkan pembangunan sebelum menjadi kumuh, pembangunan sistem drainase dan sanitasi serta pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Peningkatan berbagai sarana permukiman seperti puskesmas, fasilitas ibadah dan fasilitas sekolah, serta fasilitas ekonomi lingkungan menjadi permukiman layak huni dan produktif, serta menjaga ekologi menuju permukiman yang berkelanjutan, terutama menjaga kualitas tepi pantai dan mangrove.
SIMPULAN Dibandingkan permukiman Lae-Lae, karakteristik permukiman Untia saat ini tergolong lebih baik dilihat dari keberadaan prasarana jalan, air bersih, listrik, pengolahan sampah, serta beberapa sarana lingkungan seperti masjid, puskesmas pembantu, kantor Lurah, pos keamanan, dermaga PPN, dan rumah-rumah penduduk yang relatif sehat. Berbagai perubahan telah dirasakan masyarakat nelayan baik perubahan bersifat non fisik maupun perubahan fisik permukiman di resettlement Untia. Perubahan yang bersifat non fisik dapat dilihat dari indikator perubahan tingkat pendidikan dan profesi masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut tidak lain disebabkan oleh keterlibatan lingkungan baru dalam membentuk masyarakat. Perubahan tingkat pendidikan keluarga (keturunan) disebabkan oleh pengaruh lingkungan baru terutama: peluang fasilitas pendidikan yang tersedia, fasilitas dan
Volume 1 : September 2015
ISBN : ....................................... 9
PROSIDING SEMINAR ILMIAH NASIONAL 2015© Peranan Lingkungan Baru membentuk…
Arifuddin dkk
prasarana penunjang, pengembangan profesi, dan perubahan pandangan terhadap masa depan keturunan yang terkait oleh pengaruh dinamika perkembangan Ipteks. Selanjutnya perubahan keberagaman jenis pekerjaan masyarakat yang sebelumnya dominan nelayan dimana pola kehidupan modern bergeser dari bersifat mekanis (pemahaman kolektif) menjadi organis (semi-individualistik), disebabkan oleh berbagai pengaruh lingkungan baru terutama: pengembangan peluang usaha atau tempat kerja sesuai potensinya, fasilitas dan prasarana penunjang seperti kemudahan aksesibilitas, pengembangan pendidikan, keragaman relasi (interaksi sosial), adanya kekurangan lokasi Untia sebagai lokasi nelayan dibanding lokasi sebelumnya, dan perubahan pandangan terhadap pola kerja dan lifestyle yang terkait dengan modernisasi dan globalisasi. Pengaruh modernisasi dan globalisasi terhadap masyarakat tradisional yang relatif lebih kuat pasca relokasi, cenderung mempengaruhi tatanan perumahan dan permukimannya, apalagi permukimannya secara jelas merupakan pola permukiman yang direncanakan sebelumnya. Dengan demikian tata bangunan yang terbentuk akan lebih teratur sesuai dengan hak-hak atas tanah dan bangunan. Perubahan bentuk rumah dan semakin bertambahnya pemilikan properti pada setiap rumah tangga tersebut merupakan akibat dari tuntutan kebutuhan fungsi ruang sebagai dampak dari perkembangan anggota keluarga, pengembangan jenis pekerjaan rumah tangga dan pengembangan tingkat pendapatan keluarga. Jika dibandingkan dengan bentuk tipikal rumah yang ada di Lae-Lae, bentuk rumah di permukiman resettlement Untia lebih banyak mengalami perubahan. Hal ini sangat terkait dengan pengaruh lingkungan baru, terutama tentang kondisi fisik SDA dan SDB yang telah disediakan oleh pemerintah ketika masyarakat menghuni kawasan permukiman tersebut. Adapun strategi yang diajukan dalam meningkatkan kualitas masyarakat di resettlement Untia, antara lain: 1) strategi pengembangan non fisik berupa menghidupkan kerukunan masyarakat nelayan, menghidupkan budaya lokal, mengembangkan peluang-peluang usaha masyarakat dalam meningkatkan pendapatan termasuk melalui kerjasama, serta partisipasi berbagai kelembagaan dalam pembinaan dan pelatihan masyarakat lokal, 2) strategi pengembangan fisik berupa pengembangan berbagai prasarana dan sarana permukiman dalam rangka mencapai kualitas sosial, kualitas ekonomi, dan kualitas budaya dan spiritual, serta pengembangan dan peningkatan prasarana dan sarana lingkungan permukiman resettlement Untia menjadi permukiman layak huni dan produktif, serta menjaga ekologi menuju permukiman yang berkelanjutan, terutama biota pantai.
DAFTAR PUSTAKA Idawarni, (2013), Permukiman Tradisional Suku Makassar Berbasis Budaya dan Gaya Hidup sebagai Dasar Konsep Permukiman Resettlement di Wilayah Pesisir, Disertasi, FTSP - ITS Surabaya Fanni dan Arief (2014), Artikel internet, http://www.sapp.itb.ac.id/pwk/wp-content Hidayat, Arief (2009). Kajian komunitas nelayan pesisir Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, http://ariefhidayat 06.blogspot.co.id/2009/04/kajian-komunitas-nelayan-pesisir.html Daldjoeni (1992), Seluk Belum Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial, Alumni, Bandung. Arifuddin, (2011), Peranan Nilai-Nilai Sosio-Kultural dalam Pembentukan Kota, dengan Referensi Masyarakat Bugis Kota Makassar, Disertasi, FTSP - ITS Surabaya. Pelras, C. (2006), Manusia Bugis (Judul Asli: The Bugis) Diterjemahkan oleh Abdul Rahman dkk, Forum Jakarta Paris dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Jakarta. Simanjuntak, B. Antonius (2010), Melayu Pesisir dan Batak Pegunungan (Orientasi Nilai Budaya), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Daeng, (2008), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tang, Mahmud (1996), Aneka Ragam Pengaturan Sekuritas Sosial di Bekas Kerajaan Berru, Sulawesi Selatan, ISBN 90-5485-594-0, Grafisch Service Centrum Van Gils B.V, Wageningen. Hamid, Abu (2003), “Siri’ Butuh Revitalisasi”, dalam Siri’ dan Pesse, Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, ed. Mustafa, Yahya, Pustaka Refleksi, Makassar. Wahid, S, (2007), Manusia Makassar, Refleksi, Makassar.
ISBN : ..................................
Volume 1 : September 2015 10