Prolog Juni 1883, Tour Pariwisata Kapal De Cornell Menjelang pukul tiga sore, matahari masih berada cukup tinggi di atas horizon. Sinarnya yang keemasan membuat laut yang terdapat di perairan selat sunda nampak berwarna biru kemilau. Sekali-sekali terdapat ombak besar bergulung sehingga menimbulkan buih keputihan di atas permukaan laut. Sepintas, pemandangan ini mengesankan perairan kepulauan tropis yang damai. Namun jika sudut pandangan bergeser sedikit, akan terlihat pemandangan yang jauh berbeda. Sebuah gunung berapi nampak menjulang setinggi hampir delapan ratus meter di atas permukaan laut. Sosoknya yang berwarna kelabu gelap memberikan kesan yang sangat berlainan dengan perairan di sekelilingnya. Bagaikan seekor naga purba yang sedang tertidur. Itulah gunung Krakatau, yang terbentuk dari tiga buah gunung yaitu gunung Danan, gunung Perboewatan dan gunung Rakata. Asap berwarna keputihan tidak henti-hentinya mengepul dari puncaknya. Tiga tahun yang lalu, setelah hampir dua ratus tahun tertidur, gunung Perboewatan terlihat mengeluarkan lava. Dan hampir dua minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1883, terjadi letusan kecil di gunung yang sama. Aktifitas ini tentunya menimbulkan keingintahuan masyarakat, bahkan ketertarikan. Namun sayangnya, tanpa di iringi dengan kewaspadaan. Bahkan tidak seorangpun yang menduga bahwa kejadian itu adalah awal daripada bencana besar yang akan terjadi tak lama kemudian. Pieter van Leonowen mengamati gunung tersebut dari tempatnya yang aman -- di pinggiran geladak kapal
uap De Cornell. Pemuda itu menarik napas panjang. Setelah melihat gunung Krakatau secara langsung, dia mulai mempertanyakan keberadaannya di atas kapal itu. Apa yang kulakukan disini? pikirnya galau. Tanpa sadar, ia mengeratkan pegangannya pada pagar pembatas yang terdapat di sisi kapal. Ingatannya melayang pada iklan yang di bacanya beberapa hari yang lalu di Batavia. Tour eksotis satu hari di atas kapal mewah. Menyaksikan aktifitas Gunung Krakatau setelah dua ratus tahun tertidur. Berikut koffie drinken dan makan malam. Seru dan menegangkan! Sebuah perjalanan yang tidak akan terulang dalam hidup anda! Pieter mengerutkan kening. Baru sekarang ia menyadari betapa absurdnya kata-kata itu. Seru dan menegangkan? Dia mendengus. Apa jadinya jika gunung itu memutuskan untuk meletus lagi dalam waktu singkat? Katakanlah saat ini juga. Nah! Itu baru seru dan menegangkan, pikirnya kesal. Pieter van Leonowen berusia dua puluh enam tahun. Tinggi, agak kurus, dengan rambut pirang yang terpangkas rapi. Wajahnya tidak terlalu tampan, namun setiap orang yang pernah mengobrol dengannya akan sependapat bahwa pemuda itu memiliki pembawaan yang ramah dan menyenangkan. Walaupun demikian, temanteman terdekatnya mengetahui bahwa raut muka yang ramah itu sewaktu-waktu dapat berubah menjadi keras dan tegas jika menemui masalah. Biar bagaimanapun, garis darah Leonowen mengalir dalam dirinya.... Pieter masih terus memandangi asap keputihan yang mengepul dari puncak Krakatau, sementara pikirannya menerawang. 2
Sebagai lulusan sekolah tinggi -- sarjana ekonomi dari Rotterdamse Handelshogesschool, saat ini dia seharusnya sedang duduk dibelakang meja kerjanya sendiri. Di dalam sebuah ruang kantor yang nyaman, dan mengerjakan laporan-laporan keuangan yang memang merupakan bidangnya. Tapi entah kenapa, ia malah memilih untuk berada di sini. Tempat yang oleh sebagian besar orang Eropa di juluki sebagai 'ujung dunia'. Saat lulus dari sekolah tinggi, Pieter tidak menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan tawaran bekerja datang dengan sendirinya. Tentu saja dia memaklumi bahwa hal itu disebabkan karena ayahnya memiliki relasi yang luas di kalangan pengusaha. Walaupun tak bisa di pungkiri, bahwa lulusan sarjana ekonomi yang cakap memang banyak dibutuhkan pada masa itu. Tapi Pieter tidak merasa tertarik. Ia menolak semuanya, dan untuk meredakan kegusaran ayahnya, dia kemudian bekerja pada biro hukum yang baru di dirikan oleh Jan, kakak tertuanya, di Amsterdam. Namun selama itu pula, darah mudanya bergejolak. Ia menginginkan tantangan. Apapun istilahnya, Pieter ingin menemukan sesuatu yang benar-benar berarti dalam hidupnya. Kemudian, tawaran itu datang melalui sepucuk surat yang dikirim oleh Lembaga Pengkajian Ekonomi untuk Hindia Belanda. Sebuah organisasi swasta yang memfungsikan dirinya sebagai konsultan bagi para pengusaha Belanda dan Eropa yang ingin menanamkan investasi di wilayah jajahan tersebut. Saat itu, mereka sedang membutuhkan kandidat yang akan di tugaskan ke Batavia. Pekerjaannya mudah. Membuat laporan yang lengkap, up to date, dan obyektif, mengenai situasi dan kondisi yang terjadi di wilayah jajahan tersebut. 3
Masalahnya, selain kompeten, orang yang ditugaskan harus mengenal seluk beluk kota Batavia dengan baik, memahami adat istiadat dan kebudayaan penduduk pribumi, serta memiliki relasi di kalangan pejabat dan masyarakat. Pieter van Leonowen adalah kandidat yang sempurna untuk mereka. Dia terpelajar -- seorang sarjana ekonomi dari Rotterdamse Handelshogeschool. Ia menyukai jurnalistik, dan terbukti mampu melakukannya. Dia mengenal kota Batavia dengan baik. Dan lebih dari itu, keluarganya memiliki reputasi dan relasi yang luas di kalangan pejabat pemerintah dan pengusaha. Organisasi tersebut langsung menempatkan Pieter di urutan teratas daftar nama mereka. Surat resmi yang di kirim kepada Pieter bertanggal 5 Februari 1883. Selama dua minggu berikutnya, dia menjalani tiga kali interview tanpa menemui kesulitan yang berarti. Tidak seorangpun dari dewan pengurus Lembaga Pengkajian Ekonomi Untuk Hindia Belanda yang tidak menyukainya. Catatan kaki yang tertulis di atas resume Pieter adalah 'ramah', 'dapat di andalkan', dan 'sangat kooperatif'. Penugasan pemuda itu kemudian disetujui dengan suara bulat. *** "Apa yang kau pikirkan?" tanya seseorang, menyadarkan lamunan Pieter. Ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang menegurnya. Sudah lebih dari tiga belas tahun dia mengenal Armand de Vries. Ayah Armand, Kolonel De Vries, adalah sahabat ayahnya semasa tinggal di Batavia. Pada awalnya, hubungan kedua orang tua mereka lebih didasarkan pada kepentingan bisnis semata. Lama kelamaan, keduanya 4
merasa cocok satu sama lain dan mulai menjalin tali persahabatan. Ikatan itu kemudian di teruskan oleh kedua anak mereka, Pieter dan Armand. "Coba kau lihat gunung itu," kata Pieter. Dia menghela napas dan mengalihkan pandangan sekilas ke samping. Armand berdiri sambil menelekan kedua tangannya pada pagar pembatas geladak. Seperti biasa, penampilannya tampak rapi. Rambut hitamnya disisir lurus ke belakang. Dia memang tidak murni keturunan Eropa karena ibunya adalah wanita pribumi. Namun orang lain tidak mungkin keliru menyangkanya sebagai seorang pribumi, karena kedua bola matanya berwarna biru seperti ayahnya. Secara fisik, Armand tidak setinggi Pieter. Tapi tubuhnya lebih tegap dan berisi. Selain itu, dia sangat tampan. "Kenapa?..." Armand bertanya. Dia memandang gunung Krakatau yang tampak di kejauhan, namun tidak ada ekspresi apapun terlihat di wajahnya. Pieter menggerutu perlahan. Kadang dia kesal dengan sikap tenang Armand yang nyaris tanpa emosi. Masalahnya, pendapat Armand biasanya benar. "Kenapa?" ulang Pieter sambil mengernyit. "Coba pikir -- Dalam jarak sedekat ini, bagaimana jika gunung itu meletus sekarang? Aku yakin, Dokter Armand De Vries tidak akan punya kesempatan lagi untuk mempraktekkan ilmu-ilmunya yang sudah diperoleh dengan susah payah di Amsterdam!" Armand tertawa. "Jadi itu rupanya hasil analisa jurnalistikmu yang tajam," sindirnya. "Sepertinya hanya kau yang memiliki pikiran seperti itu. Aku baru saja dari anjungan tadi. Coba tebak, apa yang sedang dilakukan awak kapal di sana." Pieter menatapnya, dan menggeleng. 5
"Mereka sedang menyiapkan sekoci untuk penumpang." jawab Armand. "Semua orang boleh ikut. Sepertinya kita di persilakan mengunjungi pulau itu... kalau mau!" "Pergi ke sana?" seru Pieter tak percaya. "Astaga! Bodoh benar! Apa mereka sudah gila? Lagipula, siapa yang mau?..." "Antriannya cukup panjang," balas Armand kalem. "Tadinya aku juga mau mengajakmu, kupikir..." Dia tertawa kecil. "Yah... sepertinya usulku kurang tepat ya?" Pieter mendengus. Dia berjalan meninggalkan geladak dan menuju ke anjungan. Dibelakangnya, Armand mengikutinya sambil tersenyum. *** Kapal 'De Cornell' adalah sebuah kapal uap tua buatan tahun 1867. Ukuran panjangnya dari haluan ke buritan sekitar dua ratus kaki. Didorong oleh mesin uap berkekuatan empat ratus tenaga kuda, kecepatan maksimumnya tidak lebih dari tiga belas mil laut. Oleh karena itu, selama lima tahun terakhir Nederland Indische Stoomvartsmaatschappij hanya mengoperasikannya sebagai trampship untuk melayani rute-rute jarak pendek. Walaupun demikian, akomodasi yang terdapat di dalamnya tergolong mewah. Kapal tersebut dilengkapi dengan dua puluh empat kabin penumpang berukuran sedang, sebuah ruang duduk yang memiliki mini bar dan sebuah ruang makan eksklusif. Ruang duduknya mungkin dapat memberikan gambaran mengenai keadaan kamar-kamar yang lain. Ruangan itu dihampari permadani tebal berwarna merah tua, begitu pula tirai-tirainya. Dindingnya berlapis 6
panel-panel kayu mengkilat. Sedangkan kursi dan dipannya terbuat dari kayu jati Jepara dengan kulit yang disamak berwarna coklat tua. Semua kemewahan itu dibangun bukan tanpa alasan. Karena kapal 'De Cornell' sebenarnya di proyeksikan sebagai kapal pesiar mini bagi kalangan tertentu di Batavia. Daftar pelanggannya meliputi pengusaha-pengusaha Eropa yang kaya, para tuan tanah, pejabat tinggi Binenland Bestuur, dan beberapa kapiteijn Cina yang memiliki hubungan baik dengan pejabat kolonial. Namun kenyataannya, hampir setiap penumpang biasanya tidak pernah peduli dengan arah pelayaran yang akan mereka tempuh. Karena semuanya bersedia membayar mahal untuk berada di atas kapal De Cornell dengan satu tujuan, yaitu berjudi! Ruang duduknya yang di juluki sebagai ruang merah sudah terkenal sebagai tempat berjudi yang paling ekslusif. Sedangkan ruang palkanya yang tidak pernah kosong, biasanya memuat berpeti-peti candu, opium, bahkan artefak-artefak kuno yang berasal dari berbagai situs arkeologi yang tersebar di pulau Jawa. Namun pelayarannya kali ini berbeda. Ketika gunung Krakatau mulai bekerja pada bulan Mei yang lalu, perusahaan pelayaran Nederland Indische Stoomvarts maatschappij berinisiatif mengadakan tur pariwisata ke pulau tersebut. Di luar dugaan, animo masyarakat ternyata sangat memuaskan. Bahkan ada permintaan dari kalangan tertentu untuk mengulangi tur dengan menggunakan kapal yang lebih mewah dengan fasilitas yang lebih baik. Nederland Indische Stoomvarts maatschappij tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Selama beberapa hari, kapal De Cornell kemudian di alih 7
fungsikan untuk melayani kebutuhan tersebut. Dan di atas kapal itulah Pieter dan Armand berada sekarang. *** Armand ternyata tidak membual. Antrian panjang terlihat saat Pieter mencapai anjungan. Suasananya ribut sekali. Sepertinya, hampir semua penumpang kapal De Cornell berkumpul di tempat itu. Sebuah sekoci besar yang penuh sesak sedang diturunkan ke permukaan laut. Kabel-kabel kawatnya mengeluarkan bunyi mencicit saat di derek ke bawah. Sedangkan sekoci yang kedua masih berada di pinggiran dek dan belum terisi penuh. Para awak kapal terdengar berteriak-teriak memperingatkan para penumpang yang tidak sabar menunggu giliran, atau berdiri dalam posisi yang menghalangi pekerjaan mereka. Setengah tak percaya, Pieter memperhatikan saat orang-orang berebut memasuki sekoci. "Nah, bagaimana menurutmu?" tanya Armand. Dia mengambil posisi di sebelah Pieter dan ikut memperhatikan keramaian yang ada di hadapan mereka. "Kebodohan masal..." komentar Pieter tanpa mengalihkan pandangan. Armand tertawa kecil. "Kalau boleh kuingatkan, mayoritas orang sepertinya tidak sependapat denganmu..." "Ehem... Kurasa tidak. Aku setuju dengannya!..." Pieter dan Armand menoleh. Seorang gadis berdiri tak jauh di samping mereka. Wajahnya sebenarnya tidak terlalu cantik, tapi kelihatan menarik dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh semangat hidup. Dia orang Eropa, dan mengenakan gaun berwarna merah muda yang serasi di tubuhnya yang ramping. Rambut cokelatnya yang ikal tampak sedikit 8
berantakan karena tertiup angin. Tapi gadis itu sepertinya tak peduli. Dia menggoyang-goyangkan payung kertas minyak yang terdapat di tangan kanannya sambil tersenyum menatap Pieter dan Armand. "er... Apa katamu tadi?" tanya Armand ragu. Gadis itu tertawa. "Aku bilang, aku setuju dengan pendapat temanmu. Pulau itu bukan tempat yang aman untuk dikunjungi." Seketika itu juga Pieter langsung menyukainya. Dia memperhatikan gadis itu dengan perasaan tertarik, dan tiba-tiba menyadari, bahwa caranya tertawa sungguh menawan. Disampingnya, Armand tersenyum. "Setiap orang memang berhak memiliki pendapatnya masing-masing," ujarnya tenang. Dia kemudian mengulurkan tangan kepada gadis itu. "Maaf, kita belum saling mengenal. Namaku Armand De Vries!" Senyum gadis itu merekah. "Sudah kuduga!" serunya riang. Dia menyambut uluran tangan Armand dengan hangat. "Armand De Vries -- kau tidak berubah! Dan yang ini pasti Pieter van Leonowen! Sejak dulu kalian tidak pernah terpisahkan. Aku Nathalie! Kalian lupa ya?..." Pieter dan Armand tertegun. Mereka saling berpandangan sejenak. Semasa tinggal di Batavia dulu, boleh di bilang keduanya selalu bersama. Semua teman Pieter adalah teman Armand juga, begitu pula sebaliknya. Namun seingat mereka, hanya ada seorang gadis bernama Nathalie yang pernah mereka kenal. "Nathalie... yang di sekolah menengah dulu?" tanya Pieter ragu. "Yang suka memanjat pohon dan melompati pagar sekolah?" Gadis itu tertawa dan balas memandang Pieter sambil mengangguk. "Yang pernah kau dorong hingga 9
kepalaku bocor karena terbentur meja," katanya menambahkan. "Kenapa yang itu tidak kau sebutkan?" Pieter menyeringai, sedangkan Armand tertawa. Ternyata gadis itu memang Nathalie yang 'itu'. "Kau berbeda sekali sekarang," kata Pieter takjub. Seingatnya, Nathalie adalah seorang gadis yang selalu bersikap seenaknya, tidak pernah mau mengalah, dan... sama sekali tidak cantik! Sungguh berlainan dengan gadis yang ada dihadapannya saat ini. "Apanya yang berbeda?" tanya Nathalie sambil menatap Pieter. "Kau... jauh lebih anggun sekarang, dan... eh, cantik!" tambah Pieter dengan wajah agak memerah. Tapi gadis itu malah tertawa. "Jadi kau mau mengatakan kalau dulu aku jelek dan tidak tahu sopan santun, begitu ya?" balasnya menggoda Pieter. "Kurang lebih begitulah," sahut Armand seraya tertawa. Diam-diam dia merasa heran melihat sikap Pieter. Tidak biasanya sahabatnya itu kehilangan kata-kata saat menghadapi wanita. "Kenapa kalian berada di sini?" tanya Nathalie kemudian. "Kudengar kalian melanjutkan ke sekolah tinggi di Belanda," Pieter dan Armand mengangguk. "Kami baru saja lulus." jawab Armand. "Maaf -maksudku, aku yang baru saja lulus. Karena Pieter sudah selesai sejak beberapa bulan yang lalu." "O ya? Kenapa begitu?" tanya Nathalie. "Aku mengambil jurusan kedokteran sehingga masa sekolahku lebih lama dari fakultas yang lain." kata Armand menjelaskan. "Pieter sendiri mengambil jurusan ekonomi." "Wah!" komentar Nathalie kagum. "Siapa sangka -Armand De Vries seorang dokter sekarang, dan Pieter van 10
Leonowen seorang sarjana. Dulu kalian begitu... yah, kalian tahu sendiri kan?" Pieter dan Armand tertawa lagi. Walaupun penampilannya sudah berubah, tapi sikap Nathalie sepertinya masih seperti dulu. Begitu polos dan terbuka. Sungguh berbeda dengan gadis-gadis Eropa yang biasa mereka temui. "Sekarang giliranmu," kata Pieter. "Apa yang kau lakukan setelah lulus dari sekolah menengah? Kau pasti sudah menikah sekarang!" Kedua bola mata Nathalie berbinar sekejab, kemudian seulas senyum tipis terlihat di wajahnya. Menikah? Perkataan itu bahkan belum pernah terlintas dalam pikirannya...
11