EnviroScienteae 9 (2013) 100-105
ISSN 1978-8096
PENGGUNAAN EKSTRAK KULIT KAYU GEMOR (Nothaphoebe coriacea K.) SEBAGAI LARVASIDA HAYATI TERHADAP TINGKAT MORTALITAS JENTIK NYAMUK Aedes aegypti SERTA DAMPAKNYA PADA KUALITAS AIR HUJAN Pranatasari Dyah Susanti1), Danang Biyatmoko2), Dini Sofarini3), Susilawati4) 1)
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat email :
[email protected] 2) Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat 3) Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat 4) Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat
Keywords: Aedes aegypti, biological larvacide, gemor, mortality, water quality. Abstract Gemor plants (Nothaphoebe coriacea K.) is the producer of one type of mainstay NTFP (NonTimber Forest Products) in Kalimantan. Bark of gemor is potential to be used as a biological larvacide, especially against Aedes aegypti larvae which are the carriers of disease vectors of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). This study aimed to analyze the effect of bark extract concentration of gemor as a biological larvacide against: (1) the mortality rate of Aedes aegypti mosquito larvae, and (2) the physical and chemical quality of rainwater. The research method used was a completely randomized design (CRD) with 6 treatments and 5 replications. Treatment applied in this research was gemor bark extract concentration, namely: L0 (0 ppm), L1 (400 ppm), L2 (800 ppm), L3 (1,200 ppm), L4 (1,600 ppm), and L5 (2,000 ppm). Larvae used in this study were Aedes aegypti larvae in the third instar. The variables observed were the mortality rate of Aedes aegypti mosquito larvae and the rain water quality parameters, including pH and TDS. The results indicated that increasing concentrations of gemor bark extract significantly (p <0.05) increase the mortality rate of Aedes aegypti larvae. During 12 hours of observation, the percentage of larvae mortality at a concentration of 400 ppm (L1) was 42% and increased to 100% at a concentration of 2,000 ppm (L5), whereas in the control (L0) no mortality was observed. Gemor bark extract may improve the rainwater pH between 0.02 to 0.04. TDS parameter value for the L0 treatment was 4 mg / l, while for the L1 it was 37.6 mg / l and increased to 806.2 mg / l for the L5 . Nonetheless, the value of TDS in the L5 concentration still meets the standards of Ministry of Health Decree No. 416/MENKES/PER/IX/1990 about the Terms and Water Quality Monitoring.
Pendahuluan Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di beberapa negara tropis dan subtropis (Ikhtiar, 2011). Demikian juga dengan yang terjadi di Indonesia. DBD menjadi penyakit yang sering terjadi di Indonesia setiap tahunnya, dan menjadi wabah penyakit luar biasa atau yang lebih dikenal dengan istilah Kejadian Luar Biasa
(KLB). Penyakit ini tidak hanya menyerang anak-anak tetapi juga menyerang di segala usia. DBD mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, kemudian setelah itu jumlah kasus DBD terus bertambah seiring dengan meluasnya daerah endemis DBD. Penyakit DBD akan meningkat pada musim hujan, hal ini disebabkan karena nyamuk akan mudah berkembang biak di dalam air hujan yang tergenang. Agus
Pranatasari DS, et al/EnviroScienteae 9 (2013) 100-105
(1996), menyatakan bahwa penduduk Asia biasanya menyimpan air di tempat penampungan air yang terbuat dari bermacam-macam bahan. Di Indonesia diperkirakan setiap rumah memiliki tempat penampungan air (TPA) antara 5 – 6 buah. Hal ini akan memperbesar peluang terjadinya wabah penyakit DBD. Nyamuk Aedes aegypti dikenal oleh masyarakat dengan tubuh yang berwarna hitam dan putih. Menurut Fadlan (2009) dalam Kusnatin (2010), nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis putih keperakan. Dibagian punggung tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Nyamuk Aedes aegypti ini, merupakan vektor penyakit DBD (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011). Hingga saat ini belum ada vaksin khusus untuk mengobati penyakit demam berdarah. Pengendalian penyebaran penyakit ini dilakukan dengan mengontrol vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida, misalnya Abate berbahan aktif Temephos. Bahan insektisida sintetis tersebut walaupun memiliki efektitas yang tinggi, akan tetapi bisa berdampak negatif terhadap lingkungan dan menimbulkan resistensi dari organisme target (Nugraha, 2011). Untuk mengatasi hal tersebut, vektor DBD ini harus dikendalikan dengan memutus siklus hidupnya menggunakan bahan alami yang ramah terhadap lingkungan. Salah satunya dengan pemberian larvasida hayati, yang dapat diaplikasikan pada jentik Aedes aegypti sebelum Aedes aegypti memasuki fase pupa. Penggunaan tanaman sebagai larvasida hayati, terutama tanaman-tanaman lokal, akan sangat bermanfaat bagi peningkatan potensi sumber daya alam lokal. Salah satu tanaman lokal yang dapat digunakan sebagai larvasida hayati adalah kulit kayu gemor (Nothaphoebe coriacea
101
K). Tanaman ini merupakan tanaman yang tumbuh di lahan gambut dan tersedia di alam. Hingga saat ini, tanaman ini dikenal untuk dimanfaatkan kulitnya dan digunakan sebagai salah satu campuran bahan obat nyamuk bakar, campuran lem, serta hio atau sarana untuk upacara keagamaan. Gemor sebagai salah satu Hasil Hutan Bukan kayu (HHBK) ini, merupakan sumber mata pencaharian pada beberapa komunitas masyarakat terutama masyarakat desa yang berada di sekitar hutan (Purwanto, 2011). Atas dasar itulah gemor, mempunyai peran penting untuk dapat berkontribusi pada sektor ekonomi baik skala lokal maupun nasional. Menurut Zulnely dan Martono. D (2003), kulit kayu gemor potensinya cukup banyak di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Menurut Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (1993) dari serbuk kulit kayu gemor diketahui terdapat kandungan kadar air 13,10%, alkaloid 0,74%, Pyrethrin 1,80% , Resin 5,21%, Tanin 1,66%, dan karbohidrat 39,30%. Pyrethrin adalah suatu bahan aktif insektisida yang bermanfaat untuk pemberantas nyamuk dan dapat digunakan sebagai sumber bahan aktif larvasida hayati, yang ramah terhadap lingkungan. Atas dasar kandungan bahan aktif yang berpotensi sebagai larvasida hayati tersebut, maka pemanfaatan kulit kayu gemor diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pemanfaatan HHBK ini sebagai pemutus vektor penyakit DBD. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat mortalitas jentik nyamuk Aedes aegypti, dan pengaruhnya terhadap kualitas air hujan sebagai media tumbuh kembang jentik Aedes aegypti.
Bahan dan Metode Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah jentik nyamuk Aedes aegypti Instar III, ekstrak kulit kayu gemor, serta air hujan sebagai media yang berasal
102
Pranatasari DS, et al/EnviroScienteae 9 (2013) 100-105
dari daerah Banjarbaru Selatan pada periode musim hujan 2012/2013. Penelitian menggunakan metode eksperimental Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 5 ulangan sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Perlakuan penelitian adalah konsentrasi ekstrak larvasida gemor yang terdiri dari L0 (0 ppm), L1 (400 ppm), L2 (800 ppm), L3 (1.200 ppm), L4 (1.600 ppm), dan L5 (2.000 ppm). Masing masing perlakuan dalam penelitian ini menggunakan 20 jentik, sehingga dalam penelitian ini diperlukan 600 jentik. Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (Anova). Apabila berpengaruh nyata maka akan dilanjutkan dengan uji beda nilai tengah Duncan untuk mengetahui tingkat mortalitas dan kualitas air hujan setelah perlakuan.
Hasil dan Pembahasan Tingkat Mortalitas Jentik Nyamuk Aedes aegypti Berdasarkan hasil penelitian dan analisis Sidik Ragam, terlihat bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak kulit kayu gemor berpengaruh terhadap peningkatan mortalitas jentik Aedes aegypti (p < 0,05) seperti tersaji pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Rataan tingkat mortalitas jentik Aedes aegypti pada berbagai konsentrasi setelah 12 jam pengamatan Rataan Persentase mortalitas mortalitas (ekor) (%) L0 (0 ppm) 0a 0 L1 (400 ppm) 8b 40 L2 (800 ppm) 11c 55 d L3 (1.200 ppm) 15 75 L4 (1.600 ppm) 19e 95 L5 (2.000 ppm) 20f 100 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (p < 0,05) Perlakuan (konsentrasi )
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa pada L0 persentase mortalitas jentik Aedes aegypti sebesar 0%, pada L1 sebesar 40%, pada L2 sebesar 55%, sedangkan pada L3 dan L4 masing-masing 75% dan 95%, serta meningkat pada konsentrasi L5 yaitu sebesar 100%. Peningkatan mortalitas jentik nyamuk seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak, disebabkan oleh kandungan dari ekstrak kulit kayu gemor yang bersifat toksik bagi jentik nyamuk Aedes aegypti. Kandungan yang dapat bersifat toksik tersebut adalah alkaloid, fenolik, flavonoid, saponin, resin, dan tanin. Menurut Robinson (1991) dalam Adam (2005), kandungan alkaloid pada ekstrak larvasida, dapat merangsang kelenjar endokrin untuk menghasilkan hormon edikson. Peningkatan hormon ini akan menyebabkan kegagalan metamorfosis pada jentik Aedes aegypti, sehingga fase pupa tidak akan terjadi. Sementara itu kandungan resin, akan berperan sebagai racun kontak dan racun perut, sehingga menyebabkan kematian pada jentik nyamuk Aedes aegypti. Flavonoid merupakan senyawa fenol sebagai anti mikroba, antivirus, anti jamur dan kerja terhadap serangga (Nopianti, 2008). Kandungan lain yang efektif sebagai larvasida hayati dalam ekstrak kulit kayu gemor adalah saponin. Nopianti (2008) menyatakan bahwa, saponin merupakan golongan senyawa triterpennoid yang dapat juga digunakan sebagai insektisida. Senyawa lain yang efektif sebagai larvasida adalah tanin. Tanin terdapat di hampir seluruh bagian tumbuhan yang sedang tumbuh seperti tunas, akar muda, buah muda, kulit bagian dalam, kulit bagian luar, dan daun muda. Tanin berfungsi sebagai pelindung jaringan dari serangan jamur, bakteri, dan organisme penggangu lainnya, bahkan terhadap virus (Aminah, 1995 dalam Andriani, 2008). Kualitas Air Standar kualitas air bersih yang dilakukan dalam penelitian ini
Pranatasari DS, et al/EnviroScienteae 9 (2013) 100-105
menggunakan Permenkes No. 416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syarat-Syarat Dan Pengawasan Kualitas Air. Pada Permenkes tersebut, terdapat beberapa parameter yang mensyaratkan toleransi nilai dalam setiap parameternya. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pH dan TDS. Hasil analisis Sidik Ragam menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak kulit kayu gemor berpengaruh nyata terhadap peningkatan pH air hujan (p< 0,05). Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan pH air hujan pada berbagai konsentrasi perlakuan Perlakuan Rataan pH (konsentrasi ) L0 (0 ppm) 5,58a L1 (400 ppm) 5,6b L2 (800 ppm) 5,62c L3 (1.200 ppm) 5,62c L4 (1.600 ppm) 5,62c L5 (2.000 ppm) 5,62c Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (p < 0,05)
Uji lanjut beda nilai tengah menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit kayu gemor (Nothaphoebe coriacea K) pada perlakuan L0 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (p<0,05), demikian juga dengan perlakuan L1 (400 ppm). Tetapi untuk perlakuan L2, L3, L4 dan L5 keempatnya menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Pada penelitian ini, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pH setelah pemberian ektrak kulit kayu gemor. Hal ini disebabkan kandungan dari kulit kayu gemor yang bersifat basa, salah satunya adalah alkaloid. Menurut Nopianti (2008), alkaloid merupakan senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, yang biasanya merupakan bagian dari sistem siklik. Hal ini pula yang menyebabkan peningkatan pH pada media air hujan setelah penambahan ektrak kulit
103
kayu gemor sebagai larvasida hayati. Hasil tersebut, tampak pada konsentrasi 0 ppm pH air hujan 5,58 menjadi 5,62 pada konsentrasi L2 (800 ppm) sampai L5 (2000 ppm). Peningkatan pH ini sangat menguntungkan terhadap peningkatan kualitas air hujan seperti yang disyaratkan dalam Permenkes No 416 /MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang SyaratSyarat Dan Pengawasan Kualitas Air, bahwa nilai pH minimum untuk air hujan adalah 5,5, sehingga apabila dilihat dari nilai pH dan dibandingkan dengan Permenkes tersebut, maka pemberian ekstrak kulit kayu gemor ini terbukti dapat meningkatkan kualitas air hujan dengan adanya peningkatan nilai pH air hujan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini selain pH adalah TDS (Total Disolved Solid). Berdasarkan hasil analisis Sidik Ragam, menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak kulit kayu gemor berpengaruh nyata terhadap peningkatan TDS air hujan (p < 0,05). Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Rataan TDS air hujan pada berbagai konsentrasi perlakuan Perlakuan Rataan TDS (konsentrasi ) (mg/L) L0 (0 ppm) 4a L1 (400 ppm) 37,6b L2 (800 ppm) 284c L3 (1.200 ppm) 398d L4 (1.600 ppm) 643,2e L5 (2.000 ppm) 806,2f Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan Tabel 3 tersebut, terlihat bahwa hasil analisis Sidik Ragam menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kulit kayu gemor yang diberikan sebagai larvasida maka nilai TDS pada media air hujan secara linier juga semakin meningkat. Padatan terlarut total atau TDS
104
Pranatasari DS, et al/EnviroScienteae 9 (2013) 100-105
merupakan bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm (Rao, 1992 dalam Effendi, 2003). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi maka nilai TDS juga akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan adanya penambahan ekstrak yang akan berpengaruh terhadap TDS air hujan sebagai media. Nilai TDS ini pada L0 adalah 4 ppm, dan meningkat tajam menjadi 806,2 ppm pada konsentrasi 2000 ppm (L5). Meskipun demikian, hasil pada penelitian ini masih berada dalam kisaran yang diperbolehkan oleh Permenkes No. 416/MEN.KES/PER/IX/1990, yang menjelaskan bahwa nilai TDS yang diperbolehkan adalah 1.500 ppm, sehingga meskipun berada pada konsentrasi tertinggi, yaitu 2.000 ppm, masih berada dalam batas yang diperbolehkan oleh Permenkes tersebut, karena nilai TDS pada konsentrasi tersebut adalah 806,2 ppm. Dengan demikian, penambahan ekstrak kulit kayu gemor pada parameter TDS dapat mempertahankan kualitas air hujan.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak kulit kayu gemor berpengaruh nyata meningkatkan mortalitas jentik nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan parameter kimia dan fisika yang dilakukan pada penelitian ini dan dibandingkan dengan Permenkes No. 416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syarat-Syarat Dan Pengawasan Kualitas Air, parameter pH dan TDS masih memenuhi standar Permenkes tersebut, sehingga sangat disarankan untuk memanfaatkan sumber daya lokal, yaitu ekstrak kulit kayu gemor sebagai larvasida hayati yang efektif terhadap tingkat mortalitas jentik Aedes aegypti sekaligus tetap dapat mempertahankan kualitas air
pada media yang ditambahkan ektrak kulit kayu gemor.
Daftar Pustaka Adam. 2005. Uji Toksisitas Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa Linn). Terhadap Larva Aedes aegypti. [Tesis]. Ilmu Kesehatan Kerja. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Agus. 1996. Kualitas Air Sebagai Pendekatan dalam Pengelolaan Perairan dan Perikanan. Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Andriani. 2008. Uji Potensi Larvasida Fraksi Ekstrak Daun Clinacanthus nutans L terhadap Larva Instar III Nyamuk Aedes aegypti. [Skripsi]. Fakultas MIPA. IPB Bogor. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. 1993. Pengolahan Kayu Gemor Sebagai Bahan Pemberantas Nyamuk Jenis Bakar. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian, Banjarbaru. Direktorat Jenderal Pengandalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Kementrian Kesehatan. Jakarta. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengeloaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Ikhtiar ET. 2011. Efektifitas Larutan Bawang Putih (Allium sativum) dalam Membunuh Jentik Aedes sp pada Air Sumur Gali di Kelurahan Sungai Besar Kota Banjarabaru. Politeknik Kesehatan Banjarmasin. Bajarmasin. Kusnatin L. 2010. Konsentrasi dan Waktu Pendedahan Efektif Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L) sebagai Larvasida Hayati Jentik
Pranatasari DS, et al/EnviroScienteae 9 (2013) 100-105
Aedes aegypti. [Tesis]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Lambung Magkurat. Banjarbaru. Nopianti. 2008. Efektivitas Buah Belimbing Wuluh (averrhoa bilimbi l.) Untuk Membunuh Larva Nyamuk Anopheles aconitus Instar III. Jurnal Kesehatan. Vol. I No. 2 Desember 2008, Hal 103-114 Nugraha. 2011. Ekstrak Kayu Jati (Tectona grandis LF) Sebagai BioLarvasida Jentik Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwanto BS. 2011. Teknik Budidaya Gemor. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru. Zulnely dan D. Martono. 2003. Pemanfaatan Kulit Gemor Sebagai Bahan Untuk Pembuatan Anti Nyamuk Bakar. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Vol I No1 Tahun 2003: 12-19.
105