Laurentia Dian Arvita & Yusi Riksa Yustiana, Program Layanan Bimbingan Kelompok
PROGRAM LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK GROUP EXERCISES UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN COPING PADA REMAJA Laurentia Dian Arvita, Yusi Riksa Yustiana
[email protected];
[email protected]
Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK Permasalahan yang dialami remaja SMP di Rumah Perlindungan Sosial Asuhan Anak (RPSAA) disebabkan ketidakcakapan dalam coping. Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan implementasi program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping pada remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dan secara empiris mengidentifikasi efektivitas program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping pada remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Metode penelitian yang digunakan, yaitu pre-experimental dengan one-group pretest-posttest design. Penelitian menggunakan teknik sampling jenuh. Pengujian efektivitas program menggunakan Wilcoxon dengan bantuan SPSS versi 19.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program layanan bimbingan kelompok sesuai dengan rancangan program layanan bimbingan kelompok yang telah disusun. Berdasarkan evaluasi proses dan hasil diketahui dinamika perubahan keterampilan coping 13 remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung, antara lain: semakin percaya diri, terbuka dan berani dalam mengungkapkan pikiran, berani menerima tantangan yang diberikan tanpa mengeluh, mampu mengelola perasaan dan pikiran, mampu mereduksi tekanan dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, dan mampu menjalin kerjasama dengan orang lain. Terakhir, program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises efektif untuk meningkatkan keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung.
Kata kunci: remaja, bimbingan kelompok, teknik group exercises, keterampilan coping ABSTRACT The research aims to describe the implementation of group counseling service program with group exercise technique to improve the coping skills of junior high school adolescents in RPSAA Ciumbuleuit Bandung, and empirically identify the effectiveness of group counseling service program with group exercise technique to improve coping skills of junior high school adolescents in RPSAA Ciumbuleuit Bandung. The research adopted pre-experimental method with one-group pretest-posttest design. The reserach used saturated sampling technique. To test the effectiveness of the program, Wilcoxon test with the aid of SPSS version 19.0 was employed. The findings show that the implementation of group counseling service program has been in accordance with the program design. Based on the evaluation of the process and outcomes, dynamic changes have been found in the following coping skills of the 13 junior high school adolescents in RPSAA Ciumbuleuit Bandung: increased confidence, openness and courage to express the mind, courage to accept challenges without complaining, ability to manage feelings and thoughts, ability to reduce stress by doing things that are not harmful for selves and others, and ability to cooperate with others. Keywords: adolescent, group counseling, group exercise technique, coping skills
227
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
Pendahuluan Masa remaja merupakan salah satu masa perkembangan manusia di antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya beberapa perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Pada remaja awal, emosi merupakan salah satu aspek diri yang mengalami perubahan yang sangat menonjol. Perubahan dan perkembangan aspek emosi pada masa remaja berpengaruh pada kemampuan remaja dalam menghadapi tuntutan atau harapan sosial, menyelesaikan masalah, membuat keputusan dan kemampuan membangun hubungan dengan orang lain. Pada saat menghadapi tuntutan dan masalah, remaja cenderung bersikap melarikan diri, menghindari masalah, dan mencari dukungan sosial. Blanchard-Fields, Robinson, dan Ebata (dalam Santrock, 2003, hlm. 567) mengatakan remaja awal cenderung menggunakan strategi emotion focused coping dibanding menggunakan strategi problem focused coping. Sikap melarikan diri, menghindar, dan mencari dukungan merupakan beberapa jenis strategi coping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping). Coping merupakan salah satu keterampilan hidup yang sudah dimiliki semua individu sejak lahir. Murphy (dalam Safaria dan Saputra, 2009, hlm. 97) menjelaskan coping merupakan usaha untuk mengatasi situasi baru yang berpotensi untuk menimbulkan ancaman, tantangan dan bahkan menimbulkan frustrasi. Upaya untuk mengatasi situasi baru terbagi menjadi dua bagian, yaitu berfokus pada emosi (emotion focused coping) dan berfokus pada masalah (problem focused coping). Frydenberg (1997, hlm. 196) menjelaskan “..., teaching for coping is teaching life skills to enhance psychosocial competence”. Keterampilan coping perlu untuk dikembangkan secara terus menerus sepanjang rentang kehidupan agar setiap individu mampu bertahan hidup dan menghadapi setiap tekanan, tuntutan, dan tantangan yang akan dihadapi pada setiap tahap perkembangan. 228
Berkaitan dengan pola asuh dan keterampilan coping pada remaja, hasil penelitian Zimmer-Gembeck dan Locke (2007, hlm. 1) tentang “The Socialization of Adolescent Coping Behaviours: Relationships With Families And Teachers”, menunjukkan remaja dengan hubungan keluarga yang positif menggunakan strategi penyelesaian masalah yang lebih aktif untuk mengatasi masalah di rumah dan sekolah. Hubungan yang baik dengan guru dapat diprediksikan akan membuat remaja memiliki perilaku strategi penyelesaian masalah yang aktif di sekolah. Berdasarkan penelitian ZimmerGembeck dan Locke, hendaknya pekerja sosial memiliki hubungan yang baik dengan anak asuh, sehingga anak asuh memiliki keterampilan dalam menyelesaikan dan mengatasi masalah dalam kehidupan seharihari. Remaja SMP di Rumah Perlindungan Sosial Asuhan Anak (RPSAA) Ciumbuleuit Bandung merupakan anak-anak yang berasal dari seluruh kabupaten atau kota di Provinsi Jawa Barat. Remaja di RPSAA Ciumbuleuit Bandung merupakan anak yatim, anak yatim piatu, anak piatu, anak yang berasal dari keluarga broken home, dan anak yang sebagian besar berasal dari keluarga pra sejahtera. Berdasarkan informasi dari pekerja sosial di RPSAA Ciumbuleuit Bandung, diketahui beberapa remaja sering bertindak agresif, kurang disiplin, kurang mampu mengatur waktu, dan beberapa remaja putri suka berdiam diri di kamar saat memiliki masalah, sedangkan beberapa remaja laki-laki suka merokok. Permasalahanpermasalahan yang ditunjukkan oleh remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung menggambarkan ketidakcakapan remaja SMP dalam menghadapi tuntutan dan masalah. Ketidakcakapan dalam coping pada remaja di RPSAA Ciumbuleuit Bandung juga dapat menyebabkan munculnya berbagai masalah, seperti ketidakmampuan dalam menjalani kehidupan, kesulitan dalam
Laurentia Dian Arvita & Yusi Riksa Yustiana, Program Layanan Bimbingan Kelompok
merumuskan masa depan, dan stres. Compas (dalam Zimmer-Gembeck dan Skinner, 2008, hlm. 3) menjelaskan stressor yang dialami oleh remaja berhubungan dengan kesehatan mental dan masalah-masalah perilaku termasuk depresi dan kecemasan, serta perilaku eksternalisasi seperti agresi dan perilaku anti sosial. Zimmer-Gembeck dan Skinner (2008, hlm. 3) menambahkan distress pada remaja terjadi karena remaja merasa tidak mampu memenuhi harapan dari lingkungan. Selain itu, kurangnya penghargaan atas usaha dan penerimaan akan membuat remaja semakin tertekan. Penerimaan dan penghargaan yang kurang dari lingkungan membuat remaja SMP di RPSAA memiliki self esteem dan self efficacy yang rendah. Lazarus dan Folkman (1984, hlm. 159-164) menyatakan keyakinan positif dan dukungan sosial berpengaruh pada keterampilan coping remaja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan coping, yaitu melaksanakan pelatihan keterampilan coping. Forman (dalam Frydenberg, 1997, hlm. 196) menyarankan coping skills training berisi kegiatan yang dapat meningkatkan asertifitas, kemampuan memecahkan masalah, self instruction, relaksasi, kemampuan komunikasi interpersonal, dan behavioral self-control. Fungsi pelatihan sama dengan fungsi layanan dasar dalam bimbingan dan konseling. Layanan dasar bimbingan merupakan layanan yang bertujuan untuk membantu seluruh peserta didik dalam mengembangkan perilaku efektif dan keterampilan-keterampilan hidupnya yang mengacu pada tugas-tugas perkembangan peserta didik (Nurihsan, 2011, hlm. 45). Bimbingan kelompok merupakan salah satu jenis layanan yang dapat digunakan untuk membantu remaja dalam mengembangkan diri ataupun mengatasi masalah baik dalam bidang pribadi, sosial, akademik, ataupun karir. Sukardi dan Kusmawati (2008, hlm. 78) menyatakan,
Pelayanan bimbingan kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik (konseli) secara bersamasama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu (terutama dari guru pembimbing/konselor) dan/ atau membahas secara bersama-sama pokok bahasan (topik) tertentu yang berguna untuk menunjang pemahaman dan kehidupannya sehari-hari dan/ atau untuk perkembangan dirinya baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, dan untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan tertentu. Bimbingan kelompok yang akan dilaksanakan dalam penelitian menggunakan teknik group exercises yang dipelopori oleh Jacobs, at al. Jocobs, at al. (2012, hlm. 222) menjelaskan melalui latihan (exercises) seseorang diberikan kesempatan untuk belajar melalui pengalaman. Kegiatan yang dilakukan dalam group exercises, antara lain: written, movement, rounds, dyad and triad, creative props, art and crafts, fantasy, common reading, feedback, trust, experential, moral dilemma, group decision, dan touching. Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan penelitian, yaitu pertama, menggambarkan implementasi program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping pada remaja SMP di Rumah Perlindungan Sosial Asuhan Anak (RPSAA) Ciumbuleuit Bandung; kedua, menggambarkan secara empirik efektivitas program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping pada remaja SMP di Rumah Perlindungan Sosial Asuhan Anak (RPSAA) Ciumbuleuit Bandung.
229
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
Metode Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian, yaitu pre-experimental dengan one-group pretest-posttest design. Metode one group pretest-posttest digunakan untuk membandingkan keadaan sebelum dan sesudah pemberian intervensi atau perlakuan. Populasi dalam penelitian, yaitu coping seluruh remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung yang berada pada rentang usia 1215 tahun, berjumlah 34 orang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian, yaitu teknik sampling jenuh. Sugiyono (2014, hlm. 85) menyatakan sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel apabila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Sampel dalam penelitian, yaitu keterampilan coping seluruh remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung yang berjumlah 34 orang, tetapi dalam pelaksanaan penelitian hanya terdapat 33 orang remaja yang mengikuti pretest dan 13 orang remaja yang mengikuti posttest. Pengambilan data posttest diikuti oleh 13 orang remaja yang telah mengikuti kegiatan bimbingan kelompok dari pertemuan awal sampai dengan akhir. Penelitian menggunakan instrumen keterampilan coping remaja yang disusun oleh peneliti berdasarkan definisi operasional dan strategi coping menurut Folkman dan Lazarus. Folkman dan Lazarus (dalam Safaria dan Saputra, 2009, hlm. 108-109) menyebutkan terdapat beberapa strategi coping yang dikategorikan dalam dua fungsi coping, antara lain: pertama, emotion-focused coping. Strategi-strategi dari emotion-focused coping, yaitu: seeking social emotional support, distancing, escape avoidance, self control, accepting responsibility, positive reappraisal. Kedua, problem-focused coping. Strategi-strategi dari problem -focused coping, yaitu: seeking informational support, confrontive coping, planful problem-solving, Kisi-kisi instrumen penelitian yang telah dikembangkan dan disusun selanjutnya 230
dijabarkan dalam bentuk pernyataan. Sebelum uji coba instrumen, kisi-kisi instrumen dikembangkan menjadi 73 rumpun item. Setiap rumpun item terdiri dari tiga pernyataan. Ketiga pernyataan dalam setiap rumpun item merupakan jawaban berjenjang yang berarti semakin positif pernyataan yang dipilih oleh responden, maka responden memiliki kecakapan dalam keterampilan coping. Instrumen dalam penelitian menggunakan skala sembilan dan skala tiga. Skala sembilan digunakan untuk menguji validitas setiap item, sedangkan skala tiga digunakan untuk mengukur keterampilan coping remaja. Data yang diperoleh dari uji coba instrumen diolah menggunakan bantuan komputer program Statistical Programme for Social Windows (SPSS) versi 19.0. Komputasi koefisien korelasi item-total digunakan korelasi Spearman Rank dengan two-tailed. Spearman Rank digunakan karena penelitian merupakan data ordinal dan non parametrik. Setelah setiap item diuji validitas, item yang tidak memenuhi kriteria digugurkan. Selanjutnya tiap item dikelompokkan kembali. Tahap selanjutnya peneliti menguji realibilitas instrumen. Reliabilitas instrumen keterampilan coping remaja diuji dengan menggunakan teknik analisis alpha cronbach. Proses perhitungan tingkat reliabilitas instrumen keterampilan coping dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS versi 19.0. Perhitungan reliabilitas dengan program SPSS versi 19.0 diperoleh hasil 0,967. Hasil yang diperoleh melalui penghitungan SPSS versi 19.0 ditafsirkan dengan menggunakan koefisien reliabilitas menurut Drummond dan Jones. Koefisien reliabilitas menurut Drummond dan Jones (2010, hlm. 94) tersaji dalam Tabel 1. Berdasarkan koefisien reliabilitas menurut Drummond dan Jones diketahui instrumen keterampilan coping masuk dalam kategori very high, artinya instrumen
Laurentia Dian Arvita & Yusi Riksa Yustiana, Program Layanan Bimbingan Kelompok
keterampilan coping dinyatakan reliabel dan dapat digunakan untuk pengumpulan data. Tabel 1 Koefisien Reliabilitas Menurut Drummond dan Jones Evaluating Reliability Coefficients > 0,90 Very High 0,80-0,89 High 0,70-0,79 Acceptable 0,60-0,69 Moderate/Acceptable <0,59 Low/Unacceptable
Data penelitian diolah dengan menggunakan analisis statistik. Langkahlangkah analisis untuk memperoleh gambaran keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung, yaitu: pertama, membuat tabulasi skor dari itemitem kuesioner dan menghitung jumlah skor masing-masing responden. Kedua, membuat kategorisasi untuk keterampilan coping setiap responden dengan cara jumlah skor maksimal ideal dikurangi jumlah skor minimal ideal, selanjutnya dibagi tiga. Ketiga, menghitung skor z dari setiap aspek yaitu emotion focused coping dan problem focused coping dan membandingkan kedua skor z pada masingmasing aspek guna mengetahui orientasi coping setiap responden. Rumus skor z (skor baku), yaitu: Keempat, profil pada setiap aspek dan sub aspek diperoleh dengan cara jumlah skor maksimal ideal dikurangi jumlah skor minimal ideal, selanjutnya dibagi tiga. Kelima, menghitung uji efektivitas program dan setiap aspek keterampilan coping dengan menggunakan Wilcoxon melalui bantuan SPSS versi 19.0. Program yang disusun untuk meningkatkan keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung didasarkan pada pendapat Forman (dalam Frydenberg, 1997, hlm. 196) yang mengatakan coping skills training berisi kegiatan yang dapat meningkatkan asertifitas,
kemampuan memecahkan masalah, self instruction, relaksasi, kemampuan komunikasi interpersonal, dan behavioral self-control. Program layanan bimbingan kelompok untuk meningkatkan keterampilan coping remaja dilakukan selama delapan sesi pertemuan yang disusun dari lima tema utama dengan durasi kegiatan 60-90 menit setiap sesi pertemuan. Strategi intervensi layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap awal, transisi, kerja, dan terminasi. Aspek coping yang perlu ditingkatkan melalui bimbingan kelompok dengan teknik group exercises dan indikator perilaku coping tersaji dalam Tabel 2. Hasil dan Pembahasan 1. Implementasi Program Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Group Exercises untuk Meningkatkan Keterampilan Coping pada Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung Program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dilaksanakan mulai tanggal 6 Juni 2015 sampai dengan 24 Juni 2015. Bimbingan kelompok terdiri dari 8 sesi pertemuan. Setiap sesi berdurasi sekitar 40-90 menit. Program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises memberikan pengalaman nyata kepada remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung tentang menumbuhkan keyakinan positif, meningkatkan kemampuan kontrol diri, meningkatkan keterampilan mengelola tekanan, menjadi pribadi yang asertif, dan mampu memiliki keterampilan menyelesaikan masalah dengan tepat. Bimbingan kelompok dengan teknik group exercises juga membuat remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Beberapa remaja mengatakan 231
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
Tabel 2 Aspek Coping yang Perlu Ditingkatkan melalui Bimbingan Kelompok dengan Teknik Group Exercises dan Indikator Perilaku Coping Aspek Coping Emotion Focused Coping
Perilaku Keyakinan positif
Tujuan Anggota kelompok mampu berpikir positif tentang diri sendiri dan masa depan
Memiliki keyakinan positif tentang Tuhan
Problem Focused Coping
Kontrol diri
Anggota kelompok dapat mengelola perasaan dan tindakan saat menghadapi situasi yang kurang menyenangkan
Mereduksi tekanan
Anggota kelompok dapat mereduksi tekanan yang dirasakan dengan cara yang konstruktif Anggota kelompok dapat terbuka akan perasaan dan pikirannya. Anggota dapat menyampaikan perasaan dan pikiran dengan cara yang efektif tanpa menyakiti perasaan orang lain Anggota kelompok dapat bekerjasama dengan orang lain
Asertif
Pemecahan Masalah
232
Indikator Perubahan Perilaku 1. Memiliki pikiran yang positif tentang diri, sehingga dapat semakin memahami diri dan percaya diri 2. Mampu mengidentifikasi upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan citacita 1. Mampu memaknai setiap peristiwa kehidupan 2. Mampu bersyukur kepada Tuhan 3. Mampu merencanakan suatu upaya untuk membangun hubungan yang dekat dengan Tuhan 1. Anggota kelompok dapat mengendalikan emosi negatif dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain 2. Anggota kelompok dapat mengontrol tindakan saat menghadapi situasi yang kurang menyenangkan 1. Anggota kelompok dapat mengelola tekanan dengan cara yang lebih efektif dan tidak merugikan diri sendiri. 1. Anggota kelompok berani mengungkapkan perasaan dengan cara terbuka dan sopan 2. Anggota kelompok berani mengungkapkan pendapatnya dengan terbuka dan sopan
1. Anggota kelompok dapat mengembangkan sikap percaya pada orang lain 2. Anggota kelompok dapat bekerjasama dengan orang lain dalam memecahkan masalah 3. Anggota kelompok mampu membangun komunikasi yang baik dalam kelompok Anggota kelompok dapat 1. Anggota kelompok dapat mengetahui pentingnya menganalisis masalah dari memecahkan masalah dengan berbagai sudut pandang baik 2. Anggota kelompok dapat mengidentifikasi berbagai alternatif penyelesaian masalah 3. Anggota kelompok berani dalam membuat keputusan 4. Anggota kelompok mampu membuat keputusan dengan tepat
Laurentia Dian Arvita & Yusi Riksa Yustiana, Program Layanan Bimbingan Kelompok
bimbingan kelompok membuat perasaan lebih senang dan tidak bad mood karena remaja dapat bermain dan tertawa bersama untuk melepaskan rasa tertekan dan bosan yang dirasakan. Pelaksanaan program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung mengalami beberapa hambatan, antara lain: pertama, penggunaan common reading dan written tampak kurang menarik bagi remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Penggunaan common reading dan written membuat remaja cepat merasa bosan, jenuh, dan lelah. Kedua, waktu pelaksanaan program layanan bimbingan kelompok. Program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dilaksanakan pada saat remaja SMP sedang mengikuti Ujian Kenaikan Kelas (UKK), pekan olahraga, dan bertepatan dengan masa puasa, akibatnya remaja menjadi lebih mudah lelah dan mengantuk saat kegiatan. Ketiga, kurangnya keterbukaan antar sesama remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Latar belakang budaya, norma, dan nilai-nilai yang dipegang oleh setiap remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung berpengaruh terhadap hubungan antar remaja. Pada awal pelaksanaan program tampak sebagian besar remaja sulit untuk berbaur dan terbuka, namun dengan beberapa kegiatan dan permainan mulai terjalin keterbukaan antar remaja. Keempat, kurangnya kemampuan remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dalam memaknai setiap kegiatan. Tampak dari awal pelaksanaan program sampai akhir, remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung kurang mampu memaknai setiap kegiatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota kelompok, kegiatan bimbingan yang dilakukan sebelumnya cenderung diisi dengan kegiatan menonton
film, permainan, dan ceramah dari pekerja sosial. Ketidaktertarikan remaja pada topik bimbingan tampak mempengaruhi proses kognitif remaja dalam mengolah, memahami, memaknai, dan menerapkan informasi yang telah diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan evaluasi hasil dan proses, diketahui dinamika perubahan keterampilan coping 13 remaja SMP RPSAA Ciumbuleuit Bandung, antara lain: semakin percaya diri, semakin terbuka dan berani dalam mengungkapkan pikiran, berani menerima tantangan yang diberikan tanpa mengeluh, semakin mampu mengelola perasaan dan pikiran, mampu mereduksi tekanan dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, dan mampu menjalin kerjasama dengan orang lain. 2. Hasil Uji Efektivitas Program Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Group Exercises untuk Meningkatkan Keterampilan Coping pada Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung Hasil uji efektivitas program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping pada remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3 Hasil Uji Efektivitas Program Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Group Exercises untuk Meningkatkan Keterampilan Coping pada Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung Test Statisticsb Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Based on negative ranks b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sesudah – Sebelum -2,693a ,007
Kriteria uji hipotesis yang digunakan yaitu jika asymp. Sig (2-tailed) < 0,05, artinya ditolak. Pengujian efektivitas layanan bimbingan kelompok dengan teknik 233
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
group exercises menghasilkan asymp. Sig (2-tailed) sebesar 0,007. Hasil perhitungan menunjukkan nilai asymp. Sig. (2-tailed) < 0,05, artinya hipotesis nol () ditolak. Jika ditolak, maka diterima. Hasil pengujian menggambarkan terdapat perbedaan antara skor pretest dan posttest, artinya program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises efektif untuk meningkatkan keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Pengujian efektifitas program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises ditinjau dari setiap aspek menggunakan teknik Wilcoxon menghasilkan asymp, sig. (2-tailed) setiap aspek < 0,05, maka layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises efektif untuk meningkatkan keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung yang tergambar dalam setiap aspek keterampilan coping. Program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises efektif untuk meningkatkan keterampilan remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dalam aspek emotion focused coping dan problem focused coping. Keterampilan coping merupakan salah satu keterampilan hidup yang memiliki peranan sangat penting dalam hidup setiap individu. Keterampilan coping dipelajari melalui observasi dan belajar dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Proses belajar coping yang dimulai sejak awal perkembangan berpotensi untuk membentuk pola tertentu. Secara keseluruhan coping merupakan proses yang dinamis. Sarafino (1994, hlm 139) menjelaskan “the coping prosses is not a single event. Because coping involves ongoing transactions with the environment, the process is best viewed as a dynamic series”. Coping berkaitan erat dengan perubahan lingkungan dan perkembangan diri setiap individu. Lingkungan yang memberikan dukungan sosial akan menjadi sarana yang baik bagi perkembangan keterampilan coping remaja. Selain lingkungan, perubahan 234
dan perkembangan setiap individu dalam berbagai aspek diri khususnya aspek kognitif, emosi, dan spiritual akan berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan coping masing-masing individu. Masa remaja merupakan masa yang identik dengan berbagai perubahan dan ditandai dengan adanya proses kematangan dalam berpikir, emosi, pemecahan masalah sampai dengan pengambilan keputusan. Penelitian yang dilakukan pada remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung menunjukkan sebelum intervensi, remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung cenderung menggunakan strategi emotion focused coping dengan kategori cukup cakap, artinya sebagian remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung cukup cakap dalam mengelola perasaan dan memecahkan masalah. Kecakapan dalam mengelola emosi ditunjukkan dengan sikap berani meminta bantuan dan dukungan dari orang lain, mampu memaknai setiap peristiwa kehidupan, dan memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan. Remaja yang berada pada kategori cukup cakap belum mampu mereduksi tekanan dengan cara yang konstruktif, masih cenderung melarikan diri dan tidak berani menghadapi masalah atau tantangan, kurang memiliki keyakinan yang positif terhadap diri sendiri, dan cenderung tidak mampu mengelola emosi negatif dengan baik. Ketidakmampuan remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dalam mengelola emosi, tindakan, menghadapi masalah, dan keyakinan diri yang negatif dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pertama, masa remaja awal merupakan masa pencarian identitas dengan cara remaja berusaha menjadi sama dengan temantemannya (Hurlock, 1992, hlm. 208). Remaja SMP yang tinggal di RPSAA Ciumbuleuit Bandung merupakan remaja yang berasal dari keluarga yang kurang mampu atau keluarga broken home. Beberapa remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung juga
Laurentia Dian Arvita & Yusi Riksa Yustiana, Program Layanan Bimbingan Kelompok
merupakan anak yatim/anak piatu/anak yatim piatu. Latar belakang kehidupan keluarga membuat sebagian remaja menjadi orang yang tertutup dan kurang percaya diri. Sikapsikap yang ditunjukkan oleh remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung menunjukkan keyakinan, konsep diri, gambaran diri, dan harga diri yang negatif. Kedua, remaja sering melarikan diri dari masalah karena remaja awal memiliki rasa takut tidak mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Remaja awal pada umumnya tidak ingin terlibat dengan banyak masalah yang akan menyulitkan dirinya sendiri. Hurlock (1992, hlm. 207) menegaskan perasaan takut merupakan akibat dari keraguan remaja akan kemampuan dirinya dalam mengatasi masalah dan bertanggungjawab akan perilakunya. Ketiga, kurangnya kemampuan dalam mengelola emosi dan tindakan saat menghadapi situasi yang kurang menyenangkan dapat diakibatkan karena emosi pada masa remaja masih labil, sehingga kurang mampu mengendalikan diri. Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung cenderung kurang mampu mengelola emosi dan tindakan karena terjadinya berbagai perubahan yang terjadi pada diri, penyesuaian diri terhadap lingkungan baru, dan pola asuh yang keliru. Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung juga menunjukkan kurangnya keterampilan dalam memecahkan masalah secara langsung dan kurangnya kemampuan dalam komunikasi khususnya menyampaikan perasaan dan pikiran secara terbuka dan langsung tanpa menyakiti perasaan orang lain, akibatnya remaja kurang mampu menjalin kerjasama yang baik dengan orang lain. Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung cenderung tertutup dan beberapa orang cenderung agresif. Remaja yang cenderung diam atau tertutup diakibatkan kurangnya penghargaan positif dari lingkungan dan kurangnya kesempatan untuk belajar mengemukan perasaan dan
pikiran dengan terbuka dan sopan. Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung cenderung selalu diberikan nasihat dari orang dewasa terutama orangtua dan pekerja sosial tanpa memperhatikan perasaan ataupun memberikan kesempatan pada remaja untuk berbicara. Ketidakcakapan remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan dapat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua kandung dan pekerja sosial RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Pekerja sosial merupakan orangtua bagi remaja atau anak asuh di RPSAA. Berdasarkan informasi dari salah satu pekerja sosial diperoleh informasi pekerja sosial RPSAA Ciumbuleuit Bandung menggunakan pola asuh demokratis, artinya pekerja sosial memberikan kesempatan kepada remaja dalam membuat keputusan, namun RPSAA memiliki kendali penuh terhadap diri anak asuh. Beberapa kegiatan bahkan pengambilan keputusan dalam memilih sekolah tetap ditentukan oleh RPSAA. Sikap yang ditunjukkan pekerja sosial mengakibatkan remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung tidak dapat memecahkan masalah dikemudian hari. Seiring berjalannya waktu dengan adanya layanan bimbingan kelompok, sebagian besar remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung mengalami peningkatan keterampilan coping. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perubahan orientasi coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Peningkatan keterampilan dan orientasi coping dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu a) perkembangan kognitif remaja yang mulai matang dalam pengolahan informasi, menganalisis masalah, dan matangnya perkembangan bahasa. Kegiatan bimbingan kelompok mulai sesi satu sampai dengan sesi delapan memberikan pengalaman nyata pada remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung melalui pemberian wawasan baru tentang coping. 235
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
Desmita (2010, hlm. 34) menyatakan perkembangan kognitif yang meliputi perubahan aktivitas mental memungkinkan remaja untuk memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan. Berdasarkan pengamatan peneliti, tampak remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung mampu memahami dan memaknai informasi pada beberapa sesi khususnya sesi empat, lima, tujuh, dan delapan. Kemampuan remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dalam mengolah informasi membuat remaja mampu membuat rencana perubahan perilaku dan menerapkan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan seharihari. Bukti nyata dampak perubahan kognitif terhadap perubahan perilaku, yaitu terdapat perubahan kognitif, afektif, dan perilaku remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung dalam mereduksi tekanan; b) lingkungan yang mendukung perubahan dan perkembangan keterampilan coping remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Lingkungan yang mau menerima, menghargai, dan memberikan perhatian ataupun dukungan pada remaja dapat meningkatkan konsep diri, keyakinan diri, dan harga diri remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Penghargaan, rasa diterima, dan keterbukaan dalam kelompok selama intervensi menumbuhkan rasa diterima dan dicintai. Berkaitan dengan self concept dan self confident, Seiffge-Krenke (dalam Frydenbergh, 1997, 76) menyatakan terdapat hubungan antara self concept dengan coping. Hasil penelitian SeiffgeKrenke menunjukkan active copers memiliki harga diri yang tinggi dan hubungan yang sempurna dengan orangtua, sedangkan problem avoiders cenderung menunjukkan deskripsi diri yang buruk dan kurang percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri. Harga diri menentukan pilihan pengunaan strategi seseorang, demikian juga sebaliknya penggunaan strategi membantu dalam pembentukan harga diri dan konsep diri. Hasil penelitian selaras dengan hasil 236
penelitian Suryani (2012) yang menunjukkan bimbingan kelompok efektif untuk meningkatkan kemampuan siswa mengelola stres sekolah ditunjukkan dengan perubahan strategi coping yang digunakan siswa dari emotion focused coping menjadi problem focused coping. Hasil penelitian Suryani menunjukkan siswa lebih banyak melakukan coping stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitar yang menjadi penyebab tekanan dibandingkan melakukan usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Hasil penelitian pada remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung menunjukkan terdapat empat remaja SMP yang mengalami perubahan orientasi coping dari emotion focused coping menjadi problem focused coping. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Blanchard-Fields, Robinson, dan Ebata (dalam Santrock, 2003, hlm. 567) yang mengatakan remaja awal cenderung menggunakan strategi emotion focused coping, tetapi seiring waktu remaja awal akan mengalami perkembangan dan proses belajar, sehingga lambat laun remaja akan menggunakan strategi problem focused coping dibandingkan menggunakan emotion focused coping. Perubahan dan perkembangan keterampilan coping akan terus terjadi bahkan sampai dengan masa dewasa. Sarafino (1994, hlm. 144) menjelaskan para psikologis berasumsi perubahan coping terjadi sepanjang rentang kehidupan. Beberapa penelitian juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan coping dari masa remaja ke usia lanjut. Penelitian Folkman, at al. (dalam Sarafino, 1994, hlm. 144) menunjukkan laki-laki dan perempuan paruh baya cenderung memiliki orientasi problem focused coping, sedangkan lansia akan cenderung memiliki orientasi emotion focused coping. Perubahan orientasi
Laurentia Dian Arvita & Yusi Riksa Yustiana, Program Layanan Bimbingan Kelompok
coping berhubungan dengan kondisi atau situasi yang membuat seseorang tertekan. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat enam remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung yang tidak mengalami perubahan orientasi coping setelah intervensi. Tampak terdapat dua remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung setelah intervensi tetap berorientasi pada emotion focused coping dan terdapat empat remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung yang tetap berorientasi pada problem focused coping. Tidak adanya perubahan orientasi coping pada enam remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung diakibatkan karena remaja memiliki pola penilaian (appraisal) yang sama seperti sebelum intervensi. Penilaian remaja dapat dipengaruhi oleh keyakinan atau nilai yang dipegang oleh remaja, hasil belajar di masa lampau, dan nilai-nilai budaya yang dipegang. Lazarus dan Folkman (1984, hlm. 179) menyatakan coping dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang digunakan untuk mengurangi penggunaan sumberdaya. Tekanan dapat berasal dari diri sendiri maupun lingkungan. Tekanan pribadi termasuk nilainilai budaya dan keyakinan-keyakinan yang dipegang, sedangkan tekanan lingkungan termasuk tuntutan yang dapat menghalangi upaya coping. Ancaman yang tinggi juga menghalangi remaja dalam menggunakan sumberdaya coping secara efektif. Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung mengalami banyak tekanan dalam hidupnya. Berdasarkan hasil diskusi pada sesi lima, remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit mengaku beberapa kondisi yang menyebabkan stres, yaitu nilai pelajaran yang turun, dihina orang, dimarahi oleh orang dewasa, tidak memiliki uang, ditinggalkan orangtua, banyak masalah, banyak tugas, tidak juara kelas, diputuskan pacar, dibohongi, tidak dihargai dan dikucilkan. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh remaja guna mereduksi tekanan cenderung berorientasi pada emotion focused coping. Strategi yang sering digunakan, yaitu self
control, distancing, dan escape avoidance. Beberapa strategi yang digunakan dinilai kurang efektif untuk mereduksi tekanan yang dirasakan. Setelah intervensi, remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung mengaku mereduksi masalah dengan cara mengatasi masalah lebih efektif dibandingkan menggunakan distancing dan escape avoidance. Hasil penelitian sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ekaputri. Penelitian Ekaputri (2012) menunjukkan a) problem focused coping terbukti efektif dalam meningkatkan pengelolaan stres siswa dibandingkan emotion focused coping; b) problem focused coping terbukti menurunkan stres pada aspek pikiran khususnya pada gejala merasa kebingungan dan aspek emosi pada gejala mudah panik. Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Folkman, at al. (1986, hlm. 394) yang menyatakan coping didefinisikan dengan sederhana sebagai usaha untuk mengelola tuntutan. Usaha yang dilakukan untuk mengelola tuntutan tidak dapat diasumsikan sebagai strategi yang bagus atau buruk karena tindakan yang dilakukan merupakan upaya untuk mereduksi tekanan, meskipun pada akhirnya strategi yang dilakukan tidak efektif. Senada dengan Folkman, at al., Sarafino (1994, hlm 141-143) menyatakan problem focused coping dan emotion focused coping dapat dilakukan bersama-sama. Diindikasikan tidak ada strategi coping yang lebih efektif dibandingkan strategi coping yang lain. Mengembangkan keyakinan positif, keterampilan sosial, sampai dengan keterampilan memecahkan masalah membutuhkan proses belajar yang terus menerus. Bimbingan kelompok dengan teknik group exercises merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk dapat meningkatkan keterampilan coping remaja. Hasil penelitian menunjukkan program layanan bimbingan kelompok dengan group exercises efektif untuk meningkatkan keterampilan coping 237
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
pada remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Forman, Linney, dan Brondino (1990, hlm. 67) mengenai “Effects of coping skills training on adolescents at risk for substance use” menunjukkan intervensi preventif atau pencegahan pada remaja yang beresiko tinggi memiliki beberapa dampak positif pada faktorfaktor beresiko, meskipun perbedaan keyakinan pada coping skills training tidak didukung. Hasil penelitian Jauhari (2014) menunjukkan program bimbingan kelompok menggunakan teknik latihan kelompok (group exercises) terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri santri Pondok Pesantren Banuraja Kecamatan Batujajar Kabupaten Barat. Beberapa penelitian terdahulu menegaskan bimbingan kelompok terbukti efektif dalam meningkatkan berbagai keterampilan diri setiap orang tidak terkecuali tentang keterampilan coping pada remaja. Bimbingan kelompok dengan teknik group exercises merupakan salah satu bentuk bimbingan dengan menekankan pada experential learning. Remaja akan mempelajari berbagai keterampilan dan kemampuan melalui proses belajar secara langsung dari pengalaman. Riva (dalam Gladding, 2012, hlm. 40) menyatakan “group exercises and activities are commonly used in groups to activate the group, encourage member to risks, and provide a learning experience that moves the group members”. Proses belajar berdasarkan pengalaman akan memberikan dampak yang lebih banyak bagi perkembangan keterampilan coping remaja. Remaja SMP di RPSAA Ciumbuleuit Bandung sudah terbiasa dengan teguran, nasihat, dan petuah baik dari pekerja sosial dan pemuka agama. Exercises bermanfaat bagi dinamika kelompok. Permainan dan exercises dapat meningkatkan tingkat kenyamanan anggota kelompok, sehingga dapat rileks dan gembira. Selain itu, exercises dan permainan dapat 238
meningkatkan berbagai keterampilan, seperti kerjasama, problem solving, komunikasi, dan pemahaman diri. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan diperoleh kesimpulan pertama, implementasi program layanan bimbingan kelompok dilaksanakan sesuai dengan rancangan program layanan bimbingan kelompok yang telah disusun. Pelaksanaan layanan bimbingan kelompok dimulai tanggal 6 Juni sampai dengan 24 Juni 2015. Berdasarkan evaluasi proses dan hasil diketahui dinamika perubahan keterampilan coping 13 remaja SMP RPSAA Ciumbuleuit Bandung, antara lain: semakin percaya diri, semakin terbuka dan berani dalam mengungkapkan pikiran, berani menerima tantangan yang diberikan tanpa mengeluh, semakin mampu mengelola perasaan dan pikiran, mampu mereduksi tekanan dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, dan mampu menjalin kerjasama dengan orang lain. Kedua, program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises efektif untuk meningkatkan keterampilan coping pada remaja SMP yang tinggal di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping remaja direkomendasikan bagi pekerja sosial agar program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises dapat diintegrasikan dengan layanan bimbingan budi pekerti di RPSAA Ciumbuleuit Bandung. Pekerja sosial diharapkan dapat meningkatkan kualitas diri agar dapat melaksanakan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises untuk meningkatkan keterampilan coping pada remaja di RPSAA. Pekerja sosial dapat bekerjasama dengan konselor untuk melaksanakan program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises.
Laurentia Dian Arvita & Yusi Riksa Yustiana, Program Layanan Bimbingan Kelompok
Beberapa rekomendasi yang ditujukan bagi peneliti selanjutnya, antara lain: 1. Peneliti selanjutnya perlu untuk menggunakan metode dan desain penelitian yang berbeda, sehingga ancaman validitas dalam penelitian dapat diminimalkan. Desain yang disarankan, yaitu action reserach atau research and development. 2. Hasil temuan penelitian menunjukkan program layanan bimbingan kelompok dengan teknik group exercises efektif untuk meningkatkan keterampilan coping remaja. Peneliti selanjutnya dapat menggunakan jenis intervensi yang lain, seperti konseling dengan pendekatan cognitive behavioral guna meningkatkan keterampilan coping remaja. 3. Secara teoritis, keterampilan coping perlu untuk dikembangkan sejak awal perkembangan. Peneliti selanjutnya perlu untuk meneliti pada populasi yang lain sesuai dengan tingkat perkembangan dengan seting latar belakang demografis, seperti suku atau latar belakang budaya, latar belakang ekonomi, usia, pola asuh, dan instansi yang berbeda. 4. Peneliti selanjutnya perlu meneliti faktorfaktor lain yang dapat mempengaruhi keterampilan coping pada remaja, antara lain: a) keyakinan positif, keterampilan menyelesaikan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial, dan material; b) intervensi-intervensi yang dilakukan di RPSAA oleh pekerja sosial; c) intervensiintervensi yang dilakukan di sekolah oleh guru; dan d) intervensi-intervensi yang dilakukan oleh orangtua. Daftar Rujukan Desmita. (2010). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Drummond, R. J. & Jones, K. D. (2010). Assessment procedures for counselors and helping professionals. (7th editions). New Jersey: Pearson Education.
Ekaputri, N. R. (2012). Perbandingan efektivitas strategi problem focused coping dan emotion focused coping dalam meningkatkan pengelolaan stres siswa. Skripsi. Pendidikan Psikologi dan Bimbingan, Universitas Pendidikan Indonesia. Folkman, S. at al. (1986). Dynamics of a stressful encounter: cognitive appraisal, coping, and encounter outcomes. Jurnal of Personality and Social Psychology, 1986, Vol. 50. No. 5. 992-1003. Forman, S. G., Linney, J. A., Brondino, M. J. (1990). Effect of coping skills training on adolescents at risk for substance use. Psychology of Addictive Behaviors, Vol 4(2), 1990, 67-76. Frydenberg. E. (1997). Adolescent coping: theoretical and research perspectives. New York: Routledge. Gladding, S. T. (2012). Group work: a counseling specialty. (sixth edition). Jew Jersey: Pearson. Hurlock, E. B. (1992). Alih bahasa dari Istiwidayanti dan Soedjarwo. Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. (edisi kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga. Jacobs, ED. E. at al. (2012). Group counseling: strategies and skills. (7th edition). USA: Brooks/Cole Cengage Learning. Jauhari, D. R. (2014). Program Bimbingan Kelompok Menggunakan Teknik Latihan Kelompok (Group Exercise) untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia. Lazarus & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer Publishing Company, Inc. Nurihsan, A. J. (2011). Bimbingan & konseling dalam berbagai latar kehidupan. Bandung: Refika Aditama. Santrock, J.W. (2003). Adolescence: perkembangan remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga. Safaria, T. & Saputra, N. E. (2009). 239
Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 2 No. 3, Desember 2015
Manajemen emosi: sebuah panduan cerdas bagaimana mengelola emosi positif dalam hidup anda. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sarafino, E. P. (1994). Health psychology: biopsychosocial interactions. (second edition). USA: John Wiley & Sons, Inc. Sarafino, E.P. & Smith, T.W. (2012). Health psychology: biopsychosocial interactions. (seventh edition). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Sugiyono. (2014). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sukardi, D. K. & Kusmawati, D. P. E. (2008). Proses bimbingan dan konseling di sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta.
240
Suryani, Y. (2012). Program bimbingan kelompok untuk meningkatkan kemampuan siswa mengelola stres sekolah. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia. Zimmer-Gembeck, M. J. & Skinner, E.A. (2008). Adolescents coping with stress: development and diversity. The Prevention Researcher, Vol.15(4), hlm.3-7. Zimmer-Gembeck, M. J. & Locke, E. M. (2007). The socialization of adolescent coping behaviours: Relationships with families and teachers. Elsevier. Journal of Adolescence 30 (2007) 1–16.