Profile Anak Indonesia
Pedahuluan 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990 Bab (1) Pasal (1), yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal (1) Ayat (1) juga menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010, pada 2012 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 245,4 juta jiwa, dan sekitar 33,4 persen diantaranya adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa berinvestasi untuk anak adalah berinvestasi untuk sepertiga penduduk Indonesia. Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak. Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan di masa mendatang. Mereka merupakan kelompok yang perlu disiapkan untuk kelangsungan bangsa dan negara di masa depan. Perwujudan anak-anak sebagai generasi muda yang berkualitas, berimplikasi pada perlunya pemberian perlindungan khusus terhadap anakanak dan hak-hak yang dimilikinya sehingga anak-anak bebas berinteraksi dalam kehidupan di lingkungan masyarakat. Sesuai dengan isi UU No.23 Tahun 2002 Pasal 4 tentang Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-undang tersebut merupakan bentuk dari hasil ratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC). Konvensi ini merupakan instrumen Internasional di bidang Hak Asasi Manusia dengan cakupan hak yang paling komprehensif. CRC terdiri dari 54 pasal yang hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang Hak Asasi Manusia
khususnya bagi anak-anak yang mencakup baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai kebijakan untuk anak juga telah dibuat oleh pemerintah diantaranya adalah Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang didalamnya mencakup empat program besar yaitu bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak dan penanggulangan HIV/AIDS. Salah satu aspek penting untuk melihat kualitas anak adalah dari sisi pendidikan. Hasil Susenas 2012 menunjukkan bahwa anak usia 5-17 tahun yang berstatus sekolah sebesar 81,53 persen. Pada kelompok usia tersebut terdapat 6,32 persen yang tidak bersekolah lagi dan yang belum pernah sekolah sebesar 12,15 persen. Meskipun persentase anak usia sekolah yang masih bersekolah cukup tinggi, namun kualitas dari anak tersebut juga harus ditingkatkan demi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas bagi bangsa dan negara di masa mendatang. Hal ini dikarenakan masih adanya permasalahan terbatasnya akses pendidikan berkualitas bagi anak, terutama bagi anak keluarga miskin dan di masyarakat terpencil. Dampaknya dapat terlihat dari semakin meningkatnya kasus-kasus kekerasan, jumlah anak yang bermasalah dengan hukum, eksploitasi (termasuk trafficking), dan diskriminasi terhadap anak. Dilihat dari sisi kesehatan, angka kematian bayi (AKB) pada tahun 2012 sebesar 32 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut jauh dari target MDGs (23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup) yang ingin dicapai pada tahun 2015. Sementara pada tahun yang sama, Angka Kematian Balita adalah sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 32 kematian balita per 1.000 kelahiran hidup. Indikator lainnya adalah status gizi anak, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, prevalensi Balita Kurang Gizi (BKG) pada tahun 2010 adalah sebesar 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang. Dalam hubungan secara sosial, masalah anak diantaranya adalah diskriminasi, kekerasan, eksploitasi, dan penelantaran anak. Hasil Survei Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (2006) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) menunjukkan sebesar 3 persen anak-anak mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga dalam berbagai bentuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak dan memberikan perlindungan bagi anak justru menjadi tempat anak mendapatkan tindak kekerasan. Maraknya kasus kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga atau
lingkungan umum menunjukkan masih minimnya perlindungan terhadap anak. Hal ini menunjukkan pula masih jauhnya lingkungan yang ramah dan aman bagi anak. Di samping itu, perlindungan anak dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi penanganannya masih belum optimal. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah anak bekerja yang relatif masih tinggi. Hasil Survei Pekerja Anak (SPA) yang merupakan kerjasama antara BPS dan ILO (International Labour Organization) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4,1 juta anak usia 5-17 tahun yang bekerja. Sedangkan berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2012, terdapat 3,6 juta anak berumur 10-17 tahun pada 33 provinsi di Indonesia yang bekerja. Disisi lain belum terpenuhinya hak sipil anak, dimana anak yang memiliki akte kelahiran baru sekitar 72 persen (Susenas 2012), 27 persen lainnya tidak mempunyai akte kelahiran. Hal ini mencerminkan belum terpenuhinya hak anak terhadap identitasnya dan masih lemahnya sistem pendataan atau registrasi kelahiran. Tidak dimilikinya akta kelahiran menyebabkan ketidakjelasan identitas anak, yang akan membawa sejumlah implikasi seperti diskriminasi, tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, rawan menjadi korbanperdagangan manusia, mudah dijadikan pekerja anak, rawan menjadi korban kejahatan seksual, dan lain-lain. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka disusun Publikasi Profil Anak Indonesia tahun 2013 sebagai gambaran keadaan anak-anak di Indonesia secara menyeluruh di berbagai bidang. Oleh karena itu KPP&PA bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik melakukan suatu kajian analisis deskriptif mengenai situasi dan kondisi anak-anak di Indonesia. Penyusunan profil dalam jangka pendek menjadi sangat penting untuk disusun dan dikembangkan sebagai basis data dan masukan dalam upaya pemenuhan hak-hak anak. 1.2 Tujuan Publikasi ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi anak-anak yang diamati dari aspek lingkungan keluarga, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak baik terhadap masalah sosial, hukum, kekerasan, anak bekerja dan anak cacat.
1.3 Sumber Data Publikasi ini menggunakan berbagai macam sumber data, dari hasil survei dan sensus sebagai berikut: a. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 b. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2012 c. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012 d. Sensus Penduduk 2010 dan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 e. Lembaga Pemasyarakatan Republik Indonesia f. Bareskrim Mabes POLRI
1.4 Sistematika Penyajian Secara sistematis publikasi ini disajikan dalam tujuh bab. Pemilihan bab dalam penyusunan Profil Anak disesuaikan dengan lima kluster hak anak pada Konvensi Hak Anak (KHA) yakni: hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya, dan perlindungan khusus. Pengelompokan tentang isi KHA ke dalam lima kluster oleh Komisi Hak Anak PBB dilakukan dengan pertimbangan mempermudah pemahaman publik serta mempermudah dalam penyusunan laporan implementasinya kepada PBB. Dalam setiap kluster telah ditentukan indikator rinci, meskipun demikian karena keterbatasan data, tidak semua indikator tersebut disajikan dalam publikasi ini. Bab pertama menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang penyusunan publikasi, tujuan, sumber data, serta sistematika publikasi. Bab ke-dua menyajikan tentang Struktur Penduduk 0-17 tahun. Bab ke-tiga menyajikan tentang Hak Sipil dan Kebebasan. Bab ke-empat tentang Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Bab ke-lima
Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Bab ke-enam Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Seni Budaya, sedangkan Bab ke-tujuh Perlindungan Khusus yang berisi tentang Perkembangan Perlindungan Anak di Indonesia, Implementasi Penanganan Perlindungan khusus bagi Anak, Anak Bermasalah Hukum, Penyandang Disabilitas Anak, dan Profil Anak yang Bekerja.
STRUKTUR PENDUDUK USIA 0 -17 TAHUN 2.1 Jumlah dan Rasio Jenis Kelamin Karakteristik usia secara jelas mendefinisikan perbedaan yang memisahkan antara anak dari orang dewasa. Anak yang dimaksud dalam publikasi ini merujuk pada UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal (1) Ayat (1) yaitu seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak merupakan karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Dari sudut pandang anak sebagai aset, anak merupakan salah satu modal sumberdaya manusia, jika dipenuhi semua kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan,dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Pemenuhan kebutuhan ini akan membentuk anak tumbuh menjadi manusia berkualitas. Sebaliknya jika kebutuhan anak tidak terpenuhi, dikhawatirkan akan menurunkan kualitas hidup anak atau sebagian dari mereka akan menimbulkan masalah bagi keluarga, masyarakat, maupun negara. Hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta jiwa,yang terdiri dari 119,6 juta laki-laki dan 118,0 juta perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 82,0 juta orang atau sekitar 33,4 persen diantaranya adalah penduduk berumur di bawah 18 tahun. Tabel 2.1 Penduduk Indonesia Tahun 2012 (000) Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 Berdasarkan Hasil SP2010 Pada tahun 2012 penduduk Indonesia berumur 0-17 tahun mencapai 82,1 juta (Tabel 2.1) atau sebesar 33,4 persen dari keseluruhan penduduk. Apabila dilihat dari sudut pandang ketergantungan maka sepertiga dari penduduk Indonesia masih membutuhkan perlindungan baik oleh keluarga, masyarakat, ataupun negara.
Kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus disiapkan oleh pemerintah untuk anak terlihat masih cukup besar misalnya dibidang kesehatan dan pendidikan. Masih sangat dibutuhkan peran serta orang tua untuk akses kepada pelayanan kesehatan agar mengurangi angka kesakitan dan angka kematian pada bayi, balita, dan anak. Anak baik bayi maupun balita membutuhkan layanan kesehatan yang baik, sehingga mereka bisa melewati tahun-tahun kritis di awal kehidupannya dimana kesehatannya sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Usaha pemerintah meningkatkan kesehatan anak melalui layanan imunisasi, pemberian vitamin, dan makanan tambahan berperan penting dalam menurunkan kematian bayi dan meningkatkan kualitas kesehatannya. Dibidang pendidikan juga tidak kalah pentingnya dimana pendidikan merupakan sarana untuk membentuk generasi yang berkualitas. Penyediaan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah mutlak diperlukan disamping pendidikan yang diberikan oleh orang tua. Dalam hal ini perlu menjadikan pendidikan anak sebagai investasi untuk hari depan anak dan orangtua. Pada Tabel 2.1 tampak bahwa rasio jenis kelamin kelompok umur 0-17 tahun sebesar 104,8, yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada tahun 2012 penduduk berumur 0-17 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Sedangkan pada kelompok umur yang lebih tua, rasio jenis kelamin sebesar 99,1 yang artinya proporsi penduduk lakilaki berkurang. Secara alami ini berkaitan dengan angka harapan hidup laki-laki yang memang lebih rendah daripada perempuan. Walaupun laki-laki tercatat lebih banyak daripada perempuan, dalam mendukung kesetaraan gender maka baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang setara dalam berbagai aspek seperti untuk memperoleh pendidikan atau layanan kesehatan yang baik. 2.2 Tren Penduduk 0-17 Tahun Dalam periode 2011-2016 yang diperlihatkan oleh Tabel 2.2 diproyeksikan akan terjadi kenaikan jumlah penduduk 0-17 tahun dalam periode lima tahun ke depan, namun pada penduduk kelompok umur 15-17 tahun memiliki pola yang sedikit acak, dimana terjadi peningkatan pada tahun tertentu dan terjadi penurunan ditahun berikutnya. Perbedaan tren antar kelompok umur ini di masa akan datang harus diantisipasi oleh pemerintah dengan
merencanakan program-program yang tepat agar perubahan komposisi penduduk 0-17 tahun ini tidak menjadi penghambat jalannya pembangunan. Tabel 2.2 Proyeksi Penduduk Indonesia Umur 0-17 Tahun, 2011-2016 (000) Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 Berdasarkan Hasil SP2010
HAK SIPIL DAN KEBEBASAN Kepemilikan akte kelahiran juga merupakan salah satu bukti telah terpenuhinya hak memiliki identitas sebagai anak. Pasal (9) konvensi PBB mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Laporan ini menghimbau agar dilaksanakan pendaftaran kelahiran gratis bagi semua anak dan merupakan tujuan yang dapat dicapai oleh semua negara. Konvensi itu diratifikasi oleh indonesia pada tahun 1990. Akte kelahiran merupakan hasil pencatatan terhadap peristiwa kelahiran seseorang di wilayah suatu negara. Sampai saat ini masih banyak anak Indonesia yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaanya. Ketika tidak ada bukti diri, dikemudian hari akan ada kemungkinan penyalahgunaan identitas yang akan menimbulkan permasalahan. Semakin tidak jelas identitas seorang anak, maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak, seperti anak menjadi korban perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja ataupun kekerasan. Akte kelahiran bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan negara atas status keperdataan seseorang. Indonesia termasuk salah satu negara yang cakupan pencatatan kelahirannya kurang baik. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi untuk pencatatan, prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan pencatatan yang biasanya berada di tingkat kabupaten/kota. Gambar 3.1 Penduduk 0-17 Tahun Menurut Kepemilikan Akte Kelahiran, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS
Hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 menunjukkan masih rendahnya kepemilikan akte kelahiran untuk anak 0-17 tahun. Tercatat hanya sebesar 53 persen dari penduduk 0-17 tahun yang memiliki akte kelahiran dapat menunjukkannya, sedang 19 persen mengaku memiliki akte kelahiran namun tidak dapat menunjukkannya, sedangkan tidak memiliki akte kelahiran sebesar 27 persen, serta sebesar 1 persen responden yang ditanya tentang akte kelahiran anaknya menyatakan tidak tahu tentang akte kelahiran. Belum semuanya kepemilikan akte atas anak menunjukkan kepedulian tentang hak anak oleh orang tua dan pemerintah perlu ditingkatkan. Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan, dan diskriminasi. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua, memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan anak. Realitanya keinginan sebagian penduduk untuk memiliki akte kelahiran seringkali mendapatkan hambatan karena biaya pembuatannya yang mahal, persyaratannya banyak, prosesnya yang panjang, dan butuh waktu lama. Mencermati permasalahan dalam pencatatan kelahiran tersebut, maka persoalan yang lebih mendasar yaitu pengetahuan orang tua dan keluarga akan pentingnya akte kelahiran perlu ditingkatkan. Oleh karena itu akte kelahiran juga perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan masyarakat. Tanggung jawab ini diemban oleh pemerintah pusat maupun daerah karena di dalam akte kelahiran terdapat Hak Asasi Manusia (HAM) dan sesungguhnya merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945, serta Undang-Undang No. 23/2002 yang berkaitan keperdataan seseorang berupa hak identitas dan kewarganegaraan. Gambar 3.2 Persentase Penduduk 0-17 tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS Alasan orang tua yang anaknya tidak memiliki akte kelahiran 42 persen diantaranya adalah karena biaya yang mahal. Alasan jarak yang jauh disebutkan oleh responden sebesar 6 persen. Jarak yang menjadi kendala bagi orang tua untuk mengurus dan memperoleh akte kelahiran, menunjukkan bahwa akses pelayanan pemerintah kepada masyarakat masih
menjadi kendala di beberapa provinsi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah jawaban tidak tahu. Sebesar 11 persen mengaku tidak tahu cara mengurus akte kelahiran, dan 4 persen mengaku tidak tahu bahwa kelahiran harus dicacat, hal ini memperlihatkan pengetahuan yang kurang pada masyarakat
tentang akte kelahiran. Bagi pemerintah sangat
perlu
sosialisasi/memperkenalkan hal ini berkaitan dengan tanggung jawab dalam pemenuhan hak anak.
LINGKUNGAN KELUARGA DAN PENGASUHAN ALTERNATIF Anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh karenanya seorang anak harus mendapatkan pendidikan yang baik dan benar. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia berawal dari kehidupan prenatal, terutama sejak awal kehamilan. Faktor kunci terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang sangat menentukan masa depannya adalah suatu periode emas. Periode emas anak tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga merupakan tempat untuk mengembangkan kepribadian yang utuh dan serasi bagi anak. Seperti yang tertuang dalam Mukadimah Konvensi Hak-hak Anak yaitu bahwa anak, demi pengembangan sepenuhnya dan keharmonisan dari kepribadiannya, harus tumbuh dalam lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta kasih, dan pengertian. 4.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Dalam tumbuh kembangnya, anak memiliki masa-masa emas atau yang sering disebut dengan golden age yaitu usia dini. Di usia tersebut, anak akan dengan mudah meniru apa yang ada di sekitarnya. Oleh karenanya, anak harus mendapatkan pendidikan yang baik pada usia tersebut. Pendidikan usia dini atau yang lebih sering dikenal dengan istilah PAUD, adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal, sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya, agar memiliki kesiapan untuk memasuki
pendidikan selanjutnya. Sesuai dengan fungsi tersebut, maka PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pada jalur formal, PAUD berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat, sedangkan PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselengggarakan oleh lingkungan. Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) setiap tahun mengumpulkan data tentang PAUD. Dari data dapat diketahui angka partisipasi PAUD dan jenis PAUD yang diikuti oleh anak-anak di Indonesia. Tabel 4.1 menyajikan persentase anak usia 0-6 tahun yang sedang mengikuti PAUD menurut tipe daerah, jenis kelamin, dan kelompok umur. Persentase anak yang sedang mengikuti PAUD dibagi atas beberapa kelompok umur, yaitu 0-2 tahun, 3-4 tahun, 5-6 tahun, 3-6 tahun, dan 0-6 tahun. Tabel 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS Pada tabel 4.1 memberikan gambaran tentang partisipasi PAUD anak usia 0-6 tahun sebesar 16,07 persen, dan tidak terlalu berbeda antara anak laki-laki sebesar 15,65 persen dan anak perempuan sebesar 16,51 persen. Sedangkan di daerah perkotaan sebesar 18,77 persen lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perdesaan sebesar 13,47 persen. Pada kelompok umur 5-6 tahun merupakan kelompok umur dengan angka partisipasi paling tinggi, karena di kelompok umur ini banyak anak yang mengikuti taman kanak-kanak. Pelaksanaan pendidikan anak usia dini sudah tersebar, walaupun persebarannya belum merata di seluruh provinsi. Hal ini terlihat dari angka partisipasi PAUD per provinsi yang berfluktuasi, seperti yang terlihat di Lampiran 1. Provinsi dengan angka partisipasi PAUD tertinggi adalah Jawa Timur yaitu sebesar 38,11 persen. Sedangkan provinsi dengan angka partisipasi PAUD terkecil adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 4,21 persen.
Gambar 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012 Sumber: DiolahdariSusenas 2012, BPS Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa jenis-jenis PAUD meliputi TK, RA, Kelompok Bermain, dan Taman Penitipan Anak. Dalam Susenas, jenis PAUD dikelompokkan menjadi lima yaitu TK/BA/RA, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Pos PAUD/PAUD terintegrasi BKB (Bina Keluarga Balita)/Posyandu, dan satuan PAUD sejenis lainnya (PAUD-TAAM (Taman Asuh Anak Muslim), PAUD-PAK (Pendidikan Anak Kristen), PAUD-BIA (Bina Iman Anak Katolik), TKQ (Taman Kanak-kanak Al Qur‟an), dan PAUD lembaga lainnya). Tabel 4.2 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD, 2012 Sumber : DiolahdariSusenas 2012, BPS Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa TK/RA/BA merupakan jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak-anak yaitu sebesar 67,01 persen. Jenis PAUD yang paling sedikit diikuti adalah taman penitipan anak yaitu sebesar 1,19 persen. Dari semua jenis PAUD yang ada, angka partisipasi PAUD anak-anak laki-laki dan perempuan relatif kecil perbedaannya. 4.2 Anak dan Keluarga yang Tinggal Bersama Anak dan keluarga merupakan dua hal yang memiliki hubungan erat, dimana lingkungan keluarga merupakan salah satu lingkungan yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
KESEHATAN DASAR DAN KESEJAHTERAAN Kesejahteraan merupakan hal atau keadaan sejahtera, aman, selamat, dan tenteram. Kesejahteraan meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial, dan budaya.
Salah satu indikator yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan adalah status kesehatan masyarakat. Semakin baik kesehatan masyarakat, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. 5.1 Penolong Kelahiran Penolong kelahiran merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses kelahiran. Penolong kelahiran merupakan salah satu bagian dari pelayanan antenatal care. Peningkatan pelayanan antenatal merupakan bagian dari pelayanan kesehatan primer. Penolong kelahiran didefinisikan sebagai orang yang biasa memeriksa wanita hamil atau memberikan pertolongan selama persalinan dan masa nifas. Penolong kelahiran dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan dan bukan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah mereka yang mendapatkan pendidikan formal seperti dokter spesialis kandungan, bidan dan lain-lain, sedangkan bukan tenaga kesehatan misalnya dukun terlatih maupun dukun tidak terlatih. Seringkali seorang ibu yang akan melahirkan ditolong lebih dari satu orang penolong kelahiran. Misalnya seorang ibu pada awal persalinannya ditolong oleh dukun, karena terjadi masalah maka harus dibawa ke bidan. Dalam kasus tersebut, ada dua penolong kelahiran dimana penolong kelahiran pertama adalah dukun, sedangkan penolong kelahiran terakhir adalah bidan. Pada bab ini akan diulas mengenai penolong kelahiran terakhir. Gambar 5.1 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran dan Tipe Daerah, 2012 Sumber: DiolahdariSusenas 2012, BPS Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa penolong kelahiran terakhir paling banyak adalah bidan, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Di daerah perkotaan, penolong kelahiran yang banyak dipilih oleh masyarakat setelah bidan adalah dokter. Sementara itu, penolong kelahiran terakhir yang banyak dipilih oleh masyarakat perdesaan setelah bidan adalah dukun. Masih tingginya persentase balita yang kelahirannya ditolong oleh dukun di daerah perdesaan mungkin disebabkan oleh faktor budaya dan sarana prasarana kesehatan yang kurang memadai. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan maupun tersedianya sarana dan prasarana kesehatan di daerah perdesaan.
5.2 Kematian Neonatum, Bayi, dan Balita Periode neonatal atau 28 hari setelah kelahiran adalah masa paling rawan bagi seorang anak. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, 60 persen kematian bayi terjadi pada saat bayi berumur 0 bulan. Dan 80 persen kematian anak terjadi pada anak berumur 1-11 bulan. Sehingga, upaya menurunkan kematian neonatal adalah suatu hal yang sangat penting untuk digalakkan. Karena proporsi kematian neonatal dan bayi justru meningkat masing-masing sekitar 3,5 dan 3,3 persen dari periode sebelumnya (SDKI 2007). Tren menunjukkan bahwa angka kematian balita dan bayi pada tahun 2012 menurun dibanding tahun 2007, sedangkan kematian neonatal tidak terlihat perubahannya (Grafik 5.2). Namun fakta yang menunjukkan bahwa peningkatan proporsi kematian neonatal dan kematian bayi terhadap angka kematian balita jelas akan menjadi arah dalam menentukan kebijakan guna menurunkan kematian neonatal yang secara signifikan akan menurunkan angka kematian balita secara lebih cepat. Berita baiknya adalah bahwa angka kematian balita di Indonesia sudah jauh menurun dalam dua dekade terakhir, Pada SDKI 2012, angka kematian bayi tercatat sebanyak 40 tiap 1.000 bayi lahir hidup atau turun hampir 60 persen (58,7 persen) dari tahun 1991 yang tercatat sebesar 97 kematian per 1000 kelahiran. Sementara penurunan angka kematian balita terlihat sangat signifikan dalam periode tersebut, tidak demikian halnya dengan angka kematian neonatal yang tidak menunjukkan perubahan berarti, khususnya dalam lima belas tahun terakhir (Lihat Grafik 5.2), dimana angka kematian neonatal hanya turun dari 22 pada 1995 menjadi 19 per 1000 kelahiran. Bahkan pada dua periode SDKI yang terakhir (2007 dan 2012), angka kematian neonatal tidak berubah yaitu 19 per seribu kelahiran hidup. Disini terlihat bahwa penurunan angka kematian neonatal berjalan lebih lambat dari angka kematian bayi dan balita. Grafik 5.2 Angka Kematian Neonatum, Bayi, dan Balita, Per 1000 Kelahiran Hidup 19912012 Sumber: SDKI 2012 Dalam buku „Levels & Trends in Child Mortality Report 2013‟ yang disusun oleh UNICEF, WHO, Bank Dunia dan PBB, dijelaskan bahwa pola penurunan angka kematian bayi dan kematian neonatal di semua negara yang mengadopsi poin-poin MDG‟s adalah
sama. Dimana penurunan kematian bayi jauh lebih cepat daripada angka kematian neonatal. Tren tersebut diperkirakan akan terus terjadi sejalan dengan terus menurunnya angka kematian balita. Kematian neonatal diakibatkan oleh berbagai macam penyakit dan kondisi-kondisi yang umumnya sudah dapat dicegah dengan berbagai macam jenis perawatan yang terbukti efektif dan murah. Secara global, kematian neonatal disebabkan oleh sepsis dan meningitis, pneumonia, atau diare. Penyakit-penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan menerapkan pencegahan dan perawatan yang sederhana. Penyebab kematian neonatal lainnya adalah komplikasi pada saat menjelang kelahiran. Program yang terencana dengan baik yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak terkait akan dapat membantu meningkatkan perawatan bagi ibu dan bayi di seluruh daerah. Tentu saja, program-program tersebut juga harus dijalankan bersamaan dengan program pencegahan yang terkait dengan ibu dan bayi. Misalnya, kunjungan postneonatal akan menjadi sarana efektif untuk mempromosikan kebiasaan hidup sehat seperti kebiasaan menyusui dengan ASI dan penerapan pola hidup bersih bagi ibu-ibu yang baru melahirkan. Kemudian juga penanganan terhadap penyakit menular seperti pneumonia, diare dan malaria. Perawatan kelahiran dapat memberikan tiga keuntungan, yaitu buat ibu, bayi dan anak-anak di kemudian hari. Dengan menerapkan berbagai metode yang sederhana tersebut, diharapkan dapat membantu mengurangi angka kematian bayi. 5.3 Air Susu Ibu (ASI) Air susu ibu atau yang sering kita sebut dengan istilah ASI merupakan susu yang diproduksi oleh manusia untuk konsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bagi bayi yang belum dapat mencerna makanan padat. Bayi yang disusui dengan ASI akan mendapatkan gizi terbaik yang tidak tergantikan bahkan oleh susu formula yang terbaik sekalipun. Hal ini dikarenakan, ASI mengandung banyak immunoglobulin A(IgA) yang baik untuk pertahanan tubuh dalam melawan penyakit. Seharusnya seorang bayi yang baru lahir mendapatkan ASI untuk kekebalan tubuh dan kesehatannya. WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Para ahli menyatakan bahwa manfaat ASI akan meningkat jika bayi diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Akan tetapi belum semua ibu tahu pentingnya ASI untuk bayi, oleh
karenanya perlu dilakukan sosialisasi pentingnya ASI untuk menghasilkan generasi penerus yang cerdas dan sehat. Gambar 5.3 memperlihatkan sebanyak 94,70 persen balita pernah diberi ASI, dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap balita laki-laki (94,29 persen) maupun perempuan (95,13 persen) yang pernah diberi ASI. Sementara itu persentase balita di daerah perdesaan yang pernah diberi ASI (96,15 persen) sedikit lebih tinggi dibandingkan balita di daerah perkotaan (93,20 persen). Gambar 5.3 Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah, 2012 Sumber:Diolah dari Susenas 2012, BPS Rata-rata lama pemberian ASI pada Gambar 5.4 adalah 15,85 bulan atau sekitar 16 bulan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata lama pemberian ASI balita laki-laki (15,80 bulan) dan perempuan (15,91 bulan). Juga tidak ada perbedaan yang signifikan antara balita di daerah perkotaan dan perdesaan. Data tersebut mengindikasikan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemberian ASI sudah cukup baik. Gambar 5.4 Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS Akan tetapi jika dilihat lebih jauh lagi mengenai ASI yang diberikan kepada balita, apakah ASI yang diberikan hanya ASI saja atau dengan makanan tambahan maka pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan masih harus ditingkatkan. Rata-rata lama pemberian ASI saja adalah sekitar 4 bulan, baik di derah perkotaan maupun perdesaan. Sementara itu, ratarata lama pemberian ASI dengan makanan tambahan sekitar 12 bulan (Gambar 5.5). Gambar 5.5 Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Tanpa Makanan Tambahan dan dengan Makanan Tambahan bagi Balita Menurut Tipe Daerah, 2012 Sumber:Diolah dari Susenas 2012, BPS
Dari Gambar 5.6 dapat dilihat persentase balita umur 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih. Hal ini mengggambarkan balita yang diberi ASI eksklusif. Persentase balita 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih sebesar 44,76 persen. Jika dilihat dari tipe daerahnya, balita usia 2-4 tahun yang diberi ASI saja selama enam bulan lebih di daerah perkotaan sebesar 46,20 persen sedikit lebih tinggi dibandingkan di perdesaan sebesar 43,39 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat di daerah perkotaan akan pentingnya ASI eksklusif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
PENDIDIKAN, PEMANFAATAN WAKTU LUANG, DAN KEGIATAN SENI BUDAYA Anak-anak merupakan aset (obyek) dari komunitas sosial sehingga investasi dalam bentuk perlindungan, pengakuan, dan pemajuan akan hakhaknya akan kembali pada penguatan struktur produktivitas dan integrasi sosial dimasa yang akan datang. Hak anak atas pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental sehingga keberadaannya tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun berdasarkan manfaat dan arti penting pendidikan bagi anak dalam korelasinya sebagai mahkluk individu dan sosial. Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan (Deny Slamet Pribadi, 2007) menyatakan bahwa pendidikan merupakan prasyarat bagi terciptanya pembangunan ekonomi sosial, budaya, dan politik dalam usaha peningkatan taraf hidup manusia dalam proses pembangunan berdasarkan peran aktif serta kebebasan. Selanjutnya, Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menekankan arti penting hak atas pendidikan sebagai kendaraan utama untuk meningkatkan dan memberdayakan anak-anak dari kemiskinan, sarana untuk berpartisipasi secara aktif dan total dalam pembangunan komunitas sosialnya. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) juga dinyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28). UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia, karenanya setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal (6) ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan
SMP/sederajat). Melalui UU tersebut, Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Sesuai dengan Undang Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sesuai dengan definisi anak tersebut, penulisan analisis pendidikan anak menggunakan umur 5-17 tahun. Selain mengikuti pendidikan, anak-anak diharapkan memiliki waktu untuk beristirahat dan dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk melakukan berbagai kegiatan seni, budaya, olahraga dan aktivitas lainnya. Dalam bab ini dibahas mengenai pemanfaatan waktu luang oleh anak khususnya dalam mengakses media serta partisipasi anak dalam kegiatan olahraga, kursus, dan kesenian. 6.1 Partisipasi Sekolah Partisipasi sekolah merupakan indikator yang digunakan untuk melihat akses masyarakat terhadap pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Partisipasi sekolah penduduk dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu tidak/belum pernah sekolah, masih bersekolah, dan tidak bersekolah lagi. Seseorang dengan status masih sekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Tabel 6.1 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Partisipasi Sekolah, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS Tabel 6.1 menyajikan persentase anak umur 5-17 tahun menurut tipe daerah, jenis kelamin serta partisipasi sekolah. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2012, persentase anak berumur 5-17 tahun yang masih bersekolah sekitar 81,53 persen. Sementara itu anak yang belum/tidak pernah bersekolah sebesar 12,15 persen dan sisanya, yakni sebesar 6,32 persen tidak bersekolah lagi. Berdasarkan tipe daerah, persentase anak umur 5-17 tahun yang masih bersekolah di perkotaan (82,90 persen) lebih tinggi disbanding di perdesaan (80,27 persen). Hal sebaliknya terjadi untuk persentase anak umur 5-17 tahun yang tidak bersekolah lagi. Persentase anak
umur 5-17 tahun di perkotaan yang tidak bersekolah lagi lebih rendah dibandingkan dengan anak di perdesaan (5,17 persen berbanding 7,37 persen). Kemudahan akses untuk memperoleh pendidikan serta ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di perkotaan yang lebih baik, lengkap dan memadai dibandingkan dengan di perdesaan diduga menjadi penyebab adanya perbedaan antara persentase anak yang bersekolah di perkotaan dibanding di perdesaan. Selain daerah tempat tinggal, akses terhadap pendidikan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah lebih rendah daripada anak lakilaki. Susenas 2012 mencatat bahwa persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 11,87 persen, sedangkan untuk laki-laki sebesar 12,42 persen. Keadaan yang serupa juga terjadi pada status tidak sekolah lagi baik di perkotaan maupun perdesaan. Namun demikian untuk status masih sekolah, persentase perempuan (82,23 persen) lebih tinggi daripada laki-laki (80,87 persen). Ini menunjukkan bahwa perempuan berusia 5-17 tahun masih aktif dalam bidang pendidikan. Faktor lain yang mempengaruhi akses penduduk pada pendidikan antara lain adalah umur. Semakin tinggi kelompok usia sekolah semakin rendah tingkat partisipasi sekolahnya. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa persentase anak yang masih sekolah pada kelompok umur 7-12 tahun (kelompok usia SD/sederajat) tercatat sebesar 97,95 persen. Pada kelompok umur 13– 15 tahun (kelompok usia SMP/sederajat) persentase anak yang masih sekolah sebesar 89,66 persen dan pada kelompok umur 16–17 tahun (kelompok usia SM/sederajat) sebesar 71,34 persen. Meskipun usia minimal yang direkomendasikan untuk bersekolah adalah 7 tahun, namun hasil Susenas tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat anak berumur 5-6 tahun yang saat
ini bersekolah (27,05 persen). Sementara itu pada kelompok umur yang
direkomendasikan untuk mengenyam pendidikan (7-17 tahun), terlihat bahwa sebesar 91,46 persen anak pada kelompok umur 7-17 masih bersekolah. Sedangkan anak yang tidak/belum sekolah sebesar 1,08 persen dan anak yang tidak sekolah lagi sebesar 7,47 persen. Berdasarkan sebaran menurut provinsi, persentase terbesar anak berumur 7-17 tahun yang tidak/belum pernah bersekolah berada di Papua yaitu sebesar 20,97 persen, kemudian Papua Barat sebesar 2,26 persen dan Nusa Tenggara Timur sebesar 2,05 persen (Tabel A-6.2 Lampiran).
Tabel 6.2 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Partisipasi Sekolah, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS 6.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Kasar (APK) Partisipasi penduduk usia sekolah dalam mengikuti pendidikan berdasarkan jenjang dan umur dapat diketahui melalui indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK). APS dibedakan menjadi APS 7-12 tahun, APS 13-15 tahun, APS 16-18 tahun, dan APS 19-24 tahun. APS 7-12 tahun menunjukkan angka partisipasi penduduk berumur 7-12 yang saat ini masih bersekolah di jenjang manapun. Sementara itu APM digunakan untuk melihat partisipasi sekolah menurut kelompok usia sekolah sesuai jenjang pendidikannya. APM dibedakan menjadi APM SD, APM SMP, APM SM, dan APM PT. APM SD menunjukkan angka partisipasi penduduk berumur 7-12 tahun yang masih bersekolah di SD/sederajat. Sedangkan APK digunakan untuk melihat partisipasi sekolah penduduk menurut jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat umur. Seperti APM, APK dibedakan menjadi APK SD, APK SMP, APK SM, dan APK PT. Interpretasi APK SD yaitu angka partisipasi penduduk yang masih bersekolah di jenjang SD/sederajat pada usia berapapun. Meskipun konsep anak dalam publikasi ini adalah penduduk yang berusia sampai dengan 17 tahun, khusus untuk APK SM dan APM SM mengacu pada konsep Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yaitu menggunakan kelompok usia 16-18 tahun. Hal ini dilakukan agar interpretasi yang digunakan dalam publikasi ini sama dengan yang dikeluarkan oleh Kemdikbud. Sementara itu kelompok umur APS menyesuaikan dengan kelompok umur anak yaitu kelompok umur7-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-17 tahun. 6.2.1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah dan sebagai indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. APS merupakan persentase penduduk yang bersekolah menurut kelompok umur tertentu. Indikator APS digunakan
sebagai ukuran daya serap sistem pendidikan nasional terhadap penduduk usia sekolah. Indikator ini tidak memperhitungkan jenjang pendidikan, lembaga, maupun kualitas pendidikan yang sedang ditempuh. Kegiatan bersekolah tidak saja bersekolah di jalur formal akan tetapi juga termasuk bersekolah di jalur non formal seperti paket A setara SD/MI, paket B setara SMP/MTs, dan paket C setara SM/MA. Gambar 6.1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Berumur 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS Gambar 6.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2012,APS 7-12 tahun tercatat sebesar 97,95 persen. Angka tersebut memiliki arti bahwa dari 100 anak usia 7-12 tahun, sekitar 98 anak masih bersekolah dan 2 anak tidak bersekolah (baik yang tidak/belum pernah sekolah maupun tidak sekolah lagi). Sementara itu APS 13-15 tahun tercatat sebesar 89,66 persen dan APS 16-17 tahun sebesar 71,34 persen. Apabila diperhatikan menurut jenis kelamin, secara umum terlihat bahwa APS anak perempuan pada setiap kelompok umur sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan APS anak laki laki. Gambar 6.2 menunjukkan bahwa secara umum pada setiap kelompok umur APS di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan APS di perdesaan. Kondisi ini sedikit memberikan gambaran bahwa penduduk perkotaan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Hal ini terkait dengan lebih banyaknya jumlah sekolah serta mudahnya akses ke sekolah di daerah perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Gambar 6.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Berumur 7-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS 6.2.2 Angka Partisipasi Murni (APM) Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan proporsi penduduk kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah tersebut. APM berfungsi untuk
menunjukkan partisipasi pendidikan penduduk pada tingkat pendidikan tertentu yang sesuai dengan usianya, atau melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai usianya. Sebagai gambaran misalnya APM SD adalah proporsi jumlah murid SD/sederajat yang berusia 7 – 12 tahun terhadap jumlah seluruh anak yang berusia 7 – 12 tahun. APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. Bila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan mencapai 100 persen. Gambar 6.3 menunjukkan bahwa pada tahun 2012, APM SD tercatat sebesar 92,49 persen, APM SMP sebesar 70,84 persen dan APM SM sebesar 51,46 persen. Dapat dikatakan bahwa pada jenjang pendidikan yang tinggi, besaran APM menjadi lebih rendah dibanding dengan jenjang pendidikan di bawahnya atau dengan kata lain APM dan jenjang pendidikan berbanding terbalik. Gambar 6.3 Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Menurut Jenis Kelamin, 2012 Sumber: Diolah dari Susenas 2012, BPS Tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata antara APM anak lakilaki dengan APM anak perempuan pada setiap jenjang pendidikan. APM SD/sederajat anak laki-laki sebesar 92,57 persen, sedangkan APM SD/sederajat anak perempuan sebesar 92,41 persen. Pada jenjang pendidikanSMP/sederajat APM laki-laki sebesar 69,53 persen dan APM anak perempuan sebesar 72,22 persen. Sementara itu APM SM/sederajat anak laki-laki sebesar 51,56 dan anak perempuan sebesar 51,35 persen. Menurut daerah tempat tinggal, APM anak di daerah perkotaan secara umum cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan, kecuali pada jenjang SD yang persentasenya relatif hampir sama (Gambar 6.4). Kesenjangan APM antara anak di perkotaan dan perdesaan semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya jenjang pendidikan. Kondisi ini semakin mempertegas bahwa terdapat perbedaan kesempatan bersekolah serta sarana dan prasarana antara anak yang tinggal di daerah perkotaan dibanding anak yang tinggal daerah di perdesaan.
PERLINDUNGAN KHUSUS 7.1 Upaya Perlindungan Anak di Indonesia Upaya penanganan perlindungan anak di Indonesia secara nasional pada dasarnya telah dimulai sejak tahun 1990. Pada tahun tersebut, pemerintah Indonesia secara resmi meratifikasi Konvensi Tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) melalui Keppres No.36/1990. Setelah Keppres tersebut diterbitkan, pemerintah mulai menyusun berbagai upaya untuk memetakan berbagai persoalan anak, baik dilakukan oleh pemerintah sendiri maupun bekerja sama dengan lembaga PBB yang memiliki mandat untuk melaksanakan perlindungan anak. Pada tahun 1997, pemerintah menerbitkan Undang Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak berupa undang-undang khusus yang mengatur masalah anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-undang tersebut memberikan perhatian dan spesifikasi khusus bagi anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana. Undang-undang ini juga memberikan kekhususan baik dalam penyidikan, penahanan, penuntutan, peradilan hingga penempatannya di lembaga pemasyarakatan anak. Sebagai puncak dari upaya legislasi ini adalah lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini memberikan nuansa yang lebih komprehensif dalam upaya negara memberikan perlindungan pada anak di Indonesia. Sejalan dengan dengan itu, nomenklatur perlindungan anak dimasukkan ke dalam APBN sehingga memberikan jaminan bagi upaya perlindungan dan kesejahteraan anakanak Indonesia. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 secara khusus memberikan mandat untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sebagai institusi indepeden, KPAI diberikan mandat untuk melakukan pengawasan upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh institusi negara dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak yang dilakukan negara. KPAI juga berkewajiban memberikan saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden tentang berbagai upaya perlindungan anak. Atas prakarsa dan perhatian khusus dari Presiden R.I., pada awal tahun 2009 masalah perlindungan anak dimasukkan ke dalam satu kementerian bersama dengan pemberdayaan perempuan. Sesuai dengan perubahan tersebut, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II berganti nama menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA).
7.2 Implementasi Penanganan Perlindungan Anak Pelaksanaan penanganan perlindungan anak di Indonesia hingga saat ini masih terkesan hanya berjalan di tempat. Secara umum, “rapor” tentang pelaksanaan penanganan masalah perlindungan anak di Indonesia masih nampak buruk di mata Komite Hak Anak PBB terutama menyangkut masalah diskriminasi pada anak berdasarkan jenis kelamin khususnya terkait dengan usia perkawinan. Indonesia masih membedakan batas usia perkawinan, untuk laki-laki 19 tahun sedangkan untuk perempuan 16 tahun. Ini menunjukkan bahwa negara masih memberikan diskriminasi bagi anak perempuan, diskriminasi juga masih terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan anak-anak yang menjadi kelompok minoritas. Terkait dengan penerapan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, hingga saat ini masih banyak ditemukan anak-anak yang harus menjalani hukuman penjara di Indonesia. Menurut catatan UNICEF (2009), jumlah anak-anak tersebut diperkirakan telah mencapai lebih dari 4.000 orang anak per tahun. Padahal sebagian besar dari mereka melakukan kejahatan ringan. Bagi sebagian pakar hukum dan masyarakat awam, batasan usia 8 tahun sebagai batas usia tanggung jawab kriminal bagi anak-anak dianggap terlalu rendah. Komitmen terhadap upaya perlindungan anak yang masih rendah juga nampak dari masih sering terjadinya kasus anak-anak pelaku kriminalitas yang ditahan atau dimasukkan penjara bersama-sama atau dicampur dengan orang dewasa yang dapat memperparah/memperburuk perilaku dan kejiwaan anak kearah yang tidak baik. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 138 tentang batasan usia minimum yang diperkenankan bagi anak-anak untuk bekerja dan Konvensi ILO 182 tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak. Indonesia juga telah memiliki rencana aksi nasional penghapusan bentuk bentuk terburuk pekerjaan yang diperuntukan bagi anak. Namun kenyataan tingginya jumlah anak yang bekerja baik di sektor formal maupun informal menunjukkan masih belum teratasinya permasalahan yang terkait dengan pekerja anak. Di lain pihak, gambaran situasi ketenagakerjaan ini juga menunjukkan bahwa upaya perlindungan anak terhadap berbagai tindakan eksploitasi untuk mempekerjakan anak belum maksimal. Di bagian eksploitasi seksual anak, pemerintah mengakui belum adanya data akurat, namun diperkirakan dari semua kasus eksploitasi seksual sekitar 60 persen korbannya adalah
anak-anak yang mayoritas perempuan. Berbagai bentuk eksploitasi seksual komersial anak banyak dijumpai di Indonesia seperti anak yang dilacurkan, pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan pornografi anak. Diperkirakan sekitar 30 persen dari pekerja seksual di Indonesia yang jumlahnya 30.000-70.000 adalah anak-anak. Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi optional protocol Konvensi Hak Anak (protokol tambahan PBB) tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak sehingga undang-undang yang ada masih dinilai kurang efektif akibatnya anak-anak korban eksploitasi seksual sering tidak mendapatkan perlindungan atau bantuan pemulihan yang efektif. 7.3 Perlindungan Khusus Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak secara eksplisit menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak secara keseluruhan mencakup perlindungan khusus. Perlindungan anak dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak anak merupakan upaya perlindungan yang diberikan untuk semua anak tanpa kecuali. Sedangkan perlindungan khusus seperti yang disebutkan pada Bab I Undang-Undang tersebut merupakan upaya perlindungan yang hanya diberikan bagi anak yang mengalami situasi dan kondisi tertentu, perlindungan khusus tersebut antara lain diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang bermasalah hukum, anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak korban tindak pidana, anak penyandang cacat dan anak terlantar.
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 secara rinci menyebutkan bahwa perlindungan khusus diberikan kepada : 1. Anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata) 2. Anak yang berhadapan dengan hukum 3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi 4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan /atau seksual
5. Anak yang diperdagangkan 6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan napza 7. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan 8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental 9. Anak korban perlakuan salah/penelantaran 10. Anak penyandang cacat. Ulasan pada bagian ini difokuskan untuk melihat gambaran secara rinci mengenai kondisi dan perkembangan anak-anak yang mengalami situasi dan kondisi tertentu atau anak yang membutuhkan perlindungan khusus selama periode lima tahun terakhir. Pada bagian ini juga akan dibahas mengenai jenis dan efektifitas perlindungan khusus yang diberikan pada mereka. Terkait dengan masalah keterbatasan data, cakupan anak yang memerlukan perlindungan khusus bermasalah dalam kajian ini hanya dibatasi pada anak bermasalah hukum, pekerja anak, dan anak penyandang cacat. 7.4 Anak Bermasalah Hukum Anak bermasalah hukum yang dimaksudkan dalam kajian ini merujuk pada konsep “anak yang berhadapan dengan hukum” yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Pada Pasal (64) ayat (1) disebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Sesuai dengan delik hukum, konflik hukum yang dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa, pada umumnya merupakan konsekuensi dari tindakan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Atas perbuatan tersebut, pelakunya dapat diancam dengan sanksi atau hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum pidana, tindakan atau perbuatan melanggar hukum tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana, sedangkan sanksi hukumannya disebut sebagai pidana. Anak yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak disebut sebagai
anak nakal. Sedangkan yang dikategorikan sebagai anak adalah mereka yang telah mencapai umur 8 (delapan) tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Klasifikasi serupa juga digunakan oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Lembaga Pemasyarakatan untuk menentukan kriteria anak pelaku tindak pidana dan narapidana anak. Sejalan dengan itu, analisis mengenai profil dan perkembangan anak bermasalah hukum pada bagian ini dilakukan dengan menggunakan data narapidana anak/anak pidana hasil registrasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Sedangkan analisis mengenai profil dan perkembangan anak korban tindak pidana dilakukan dengan menggunakan data anak korban tindak kejahatan/kriminalitas berdasarkan hasil registrasi Bareskrim (Bagian Reserse dan Kriminalitas) Kepolisian Republik Indonesia (Polri)