Aksara, Vol. 1 no. 1
January 2016
Profil Wanita di dalam Novel-Novel Modern Indonesia Warna Lokal Minangkabu Sebelum dan Sesudah Perang: Suatu Analisis Perbandingan
Hasanuddin WS Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang Padang, Sumatera Barat
[email protected]
Pendahuluan Karya sastra akan selalu menarik perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidupnya di segala zaman; di segala tempat di dunia ini. Melalui sastra sebagai hasil kesenian, pembaca memasuki pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan. Dengan demikian, sastra dapat menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan (Jassin, 1983:4). Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting di dalam memberikan berbagai kemungkinan menyikapi kehidupan. Dengan begitu, novel sebagai karya fiksi dapat memberikan alternatif dalam menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang dibicarakan di dalam novel adalah persoalan manusia dan kemanusiaan. Permasalahan kemanusiaan seperti kesetiaan, kesewenang-wenangan, pemerkosaan hak azasi, dan persoalankemanusiaan lainnya disajikan pengarang di dalam novel. Di dalam penulisan novel modern Indonesia dikenal jenis penulisan novel yang disebut novel warna lokal atau novel bersuasana daerah. Novel-novel jenis ini memperlihatkan ciri khusus tentang latar daerah tertentu. Di dalam penceritaannya, novel jenis ini biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan, istilah-istilah; bahkan kebiasaan-kebiasaan berbahasa dan bersikap dari suatu kelompok masyarakat etnik tertentu di tampilkan. Salah satu jenis novel warna lokal yang menonjol adalah novel warna lokal Minangkabau (lihat juga Rampan, 1987:67). Sebagai novel yang berwarna lokal Minangkabau, novel-novel jenis ini lebih banyak mempersoalkan kehidupan manusia yang berkaian dengan pranata sosial etnik Minangkabau. Sebagai etnik, masyarakat Minangkabau memiliki keunikan. Keunikan tersebut terletak pada paham matrilineal yang dianut masyarakatnya. Dengan paham ini, kedudukan wanita menjadi penting. Paham ini secara langsung atau tidak ikut tercermin di dalam novel-novel warna lokal Minangkabau. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa novel-novel jenis ini ikut memberikan gambaran tentang kultur Minangkabau, termasuk persoalan wanita Minangkabau dengan segala aspek kehidupannya. Tak dapat disangkal sehubungan dengan hal ini, usaha melihat profil wanita
ISSN - 2206-0596 (Online)
11
Hasanuddin WS – Profil Wanita dalam Novel-Novel Modern Indonesia
di dalam novel-novel warna lokal Minangkabau merupakan hal yang sangat menarik, di samping penting. Novel sebagai hasil cipta sastra, dari satu sisi dapat berfungsi sebagai cermin dari masyarakatnya. Novel dapat dianggap sebagai perekam kehidupan masyarakat pada suatu kurun waktu tertentu dan pada suatu tempat tertentu juga. Anggapan ini dapat dibenarkan karena sebagai karya sastra, novel ditulis tidak sepenuhnya berlandaskan imajinasi semata. Imajinasi pengarang tidak mungkin berkembang jika pengarang tidak memiliki pengetahuan tentang suatu realitas. Junus (1983:3 dan 1986:42) dengan mengutip Scholes mengungkapkanbahwa setiap kali orang berhadapan dengansuatu realitas, maka realitas tersebut akan mengundang orang untuk berimajinasi; dan orang tidak mungkin berimajinasi tanpa memiliki pengetahuan tentang suatu realitas. Dengan demikian, di dalam karya sastra – fiksi – dapat dipahami bahwa antara fakta dan imajinasi berbaur membentuk kesatuan keutuhannya sebagai karya. Di dalam kaitan antara novel (baca: karya sastra) dengan masyarakatnya, jauh sebelumnya Plato dan Aristoteles (lihat juga Teeuw, 1984:43; Pradotokusumo, 2001: 42) sudah megungkapkan bahwa ada hubungan yang nyata antara keduanya. Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, maka usaha untuk menilai suatu masyarakat, terutama tentang kristalisasi tentang pandangan hidup, perilaku, serta tatanilai msyarakat, dapat ditelusuri antara lain melalui karya sastra (novel). Persoalan wanita dengan segala hal yang berkaitan dengannya, sering merupakan tema sentral karya sastra naratif. Perbincangan kedudukan dan fungsi gender memang merupakan konflik menarik di dalam sastra. Oleh sebab itu, membandingkan profil wanita yang dideskripsikan oleh pengarang-pengarang Indonesia di dalam novel-novel Indonesia modern warna lokal Minangkabau sebelum dan sesudah perang dapat memberikan informasi penting. Di samping dapat memahami bagaimana resepsi dan persepsi pengarang terhadap wanita pada kurun waktu yang berbeda, kajian ini juga sekaligus sebagai usaha identifikasi terhadap pergeseran atau perubahan sosial masyarakat.
Metodologi Penelitian Kajian ini termasuk jenis kajian content analysis. Kegiatan penelitian jenis ini adalah menganalisis karya sastra karena karya sastra dipandang sebagai produk komunikasi antara pengarang denganpembacanya. Dengan menggunakan metode kualitatif, karya sastra yang telah dijadikan bahan penelitian diuraikan dan diterangkan berdasarkan hubungan antarinformasi yang terdapat di dalamnya. Proses mengurai dan menerangkan itu dilanjutkan dengan penginterpretasian. Dengan terlebih dahulu menetapkan persyaratan terhadap novel-novel modern warna lokal Minangkabau yang dianggap memiliki pengaruh besar pada masyarakat, ditetapkan novel-novel berikut sebagai bahan penelitian, yaitu (1) novel Siti Nurbaya (Marah Rusli), (2) novel Salah Asuhan (Abdul Muis) mewakili novel-novel modern Indonesia warna lokal Minangkabau sebelum perang; sedangkan (3) novel Kemarau (A.A. Navis), dan (4) novel Warisan (Chairul Harun) mewakili novel-novel modren Indonesia warna lokal Minangkabau sesudah perang. Hasil Penelitian dan Pembahasan Usaha untuk mendeskripsikan profil wanita di dalamnovel-novel bahan penelitian tidak mungkin dilakukan tanpa terlebihdahulu mendudukkan pengertian profil. Meskipun banyak pengertian tentang profil, tetapi di dalampembahasan ini, yang dimaksudkan dengan profil adalah ISSN - 2206-0596 (Online)
12
Aksara, Vol. 1 no. 1
January 2016
hal yang berkaitan dengan pengertian yang sering kali dipergunakan di dalam kajian psikologi, yaitu hal yang disebut dengan personality atau kepribadian. Istilah personality terutamamenunjukkan suatu organisasi atau susunan dari sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah laku lainnya yang saling berhubungan di dalamdiri individu.Aspek-aspek ini menurut Purwanto (1986:157) bersifat psikofisik yang menyebabkan individu berbuat dan bertindak seperti apa yang ia lakukan, dan menunjukkan adanya ciri-ciri khas yang membedakannya dengan individu lain. Hal yangtercakup didalamnya adalah sikapnya, kepercayaannya, nilai-nilai, cita-cita, pengetahuan dan keterampilannya, macam-macam gerak tubuh, dan lain-lain (lihat juga Suryanto, 1986:56). Untuk mendeskprikan aspek-aspek yang berhubungan dengan personality wanita di dalam novel-novel bahan penelitian selanjutnya akan dihubungkan dengan pola dasar sikap manusia berbudaya (homo humanus). Koentjaraningrat (1981:69) dengan mengutip Kluckhon menentukan aspek-aspek yang menyangkut persoalan psikofisik itu adalah (a) pandangan hidup, (b) tanggung jawab, (c) cinta kasih, (d) keadilan dan kebenaran, (e) keindahan, (f) penderitaan, dan (g) perjuangan dan cita-cita. Pola dasar sikap manusia berbudaya tersebut diujikan pada sosok wanita di dalam novel-novel bahan penelitian ketika mereka berhadapan dengan konflik; bagaimana ia menghadapi permasalahan, menyikapinya, menyelesaikannya, serta menindaklanjutinya. Kesemua hal itu akhirnya bermuara pada konsepsi tentang kehidupannya. Hasil tersebut dapat digeneralisasikan pada akhirnya sebagai profil. Profil Wanita Sebelum Perang Di dalam masyarakat lama, kesetiaan untuk menjalani kehidupan berdasarkan konvensi, norma, dan kesepakatan-kesepakatan yang telah diakui bersama, merupakan suatu keharusan. Bahkan, kadang-kadang merupakan sesuatu yang mutlak adanya. Wanita-wanita Minangkabau, meskipun memiliki kedudukan penting karena paham matrilinealnya, tidakterlepas dari tuntutan untukmemenuhi berbagai konvensi yang telah disepakati oleh masyarakatnya. Dengan patuhnya anggota masyarakat pada berbagai konvensi itu, maka semakin kokohlah keberadaan konvensi dan berbagai norma itu. Pranata-pranata dan lembaga-lembaga sosial yang secara defakto memiliki kekuatan untuk melegalisasikan konvensi masyarakat, ternyata lebih banyak dikuasai oleh kaum pria. Oleh sebab itu, menganut paham matrilineal, tetap saja kaum prianya memiliki pengaruh besar terhadap kaum wanita Minangkabau. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, sebagai individu-individu, wanitaMinangkabau harus tunduk dan patuh pada berbagai konvensi dan norma yang notabene merupakan “produk” kaum pria. Tidak jarang berbagai konvensi tersebut “melemahkan” posisi kaum wanita. Profil wanita Minangkabau sebagaimana ditemukan di dalam novel-novel Indonesia modern warna lokal Minangkabau sebelum perang (novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan) merupakan gambaran wanita-wanita yang amat patuh atau “terpaksa patuh” pada konvensi yang ada. Sebagai anggota dari kelompok masyarakat yang homogen, mereka mematuhi konvensi secara ketat. Pelanggar norma tidak saja dianggap bersalah, tetapi lebih jauh dapat dikeluarkan darikelompokknya. Karena beratnya sanksi, maka individu-individu dari masyarakat homogen ini idak dapat berbuat lain selain mematuhinya. Berikut ini duraikan hal-hal yang menyangkut tokoh wanita Minangkabau dengan aspekaspek sebagai indikator profil yaitu pandangan hidup, tanggung jawab, cinta kasih, keadilan, keindahan, penderitaan, dan cita-cita. ISSN - 2206-0596 (Online)
13
Hasanuddin WS – Profil Wanita dalam Novel-Novel Modern Indonesia
Tokoh Wanita dan Pandangan Hidup Wanita-wanita Minangkabau sebelum perang, menurut data yang diinventarisasi dari bahanpenelitian, didekripsikan sebagai wanita yang memiliki pandangan hidup yang berorientasi pada pencapaian nilaibudaya ideal. Orientasi ini menurut Kluckhon adalahpandangan hidup yang memandang bahwa hidup ini buruk, tetapiberusaha untuk mewujudkan menjadi lebih baik pada masa mendatang. Karena pandangannya ini, mereka kemudian berbuat dan bertindak untuk memperbaiki kehidupannya yang dianggap oleh mereka patut diperbaiki. Keadaan yang paling mengungkung wanita Minangkabau sebelum perang ini adalah ketidakbebasan memilih pasanganhidup. Konvensi saat itu menetapkan bahwa wanita yang baik adalah wanita yang dapat menerima apapun, termasuak menerima pasangan hidup yang telah ditetapkan pihak keluarga. Tampak dengan jelas bahwa wanita-wanita yang tidak setuju dengan konvensi tersebut berusaha menentang dan membebaskan diri dari konvensi itu, walaupun akhirnya mereka kalah. Tokoh-tokoh seperti Siti Nurbaya (Siti Nurbaya), Corrie de Busje (Salah Asuhan), menerima nasib menderita karena “melawan arus” konvensi. Tokoh-tokoh yang bersifat pasrah seperti Rukiah, Halimah (Siti Nurbaya), dan Rafiah (Salah Asuhan), diterima oleh masyarakatnya, meskipun sesungguhnya mereka menderita. Tokoh yang paling aman adalah tokoh yang mendukung konvensi, seperti Puti Rubiah (Siti Nurbaya) , atau tokoh ibu Hanafi (Salah Asuhan). Tokoh Wanita dan Tanggung Jawab Wanita-wanita Minangkabau sebelum perang dideskripsikan sebagai wanita-wanita yang bertanggung jawab. Dalam menjalani kehidupan mereka yang multidimensi peran, wanitawanita tersebut ternyata tidak pernah mengelak dari tanggung jawabnya. Di dalam peran dan fungsinya sebagai ibu, isteri, kekasih, atau anak, mereka adalah wanita-wanita yang tegar, sabar, dan siap berkorban untuk orang-orang yang harus mereka lindungi atau kasihi, seperti anak, adik, kekasih, suami, juga kedua orang tua. Jika mereka menghadapi cobaan berat yang tidak mungkin merekapecahkan, mereka berserah diri pada Tuhan. Halini sekaligfus smencerminkan tanggung jawab mereka sebagai makhluk pada khaliqnya (Tuhan sebagai pencipta). Wanita-wanita yang tergambar pada bahan penelitian adalah wanita-wanita yang amanah. Artinya dapat dipercaya bila diberi tanggung jawab. Mereka rela berkorban untuk amanah yang mereka emban. Dengan demikian, tokoh-tokoh wanita dalam posisi ini adalah tokoh-tokoh ideal dalam hal tanggung jawab. Tokoh Wanita dan Cinta Kasih Cinta kasih di dalam pandangan wanita Minangkabau sebelum perang adalah sesuatu yang bernilai, berharga, agung, luhur, dan sakral. Oleh sebab itu, keteguhan hati untuk setia pada pasangannya sulit tergoyahkan. Pengkhianatan terhadap pasangan, bagi merekaadalah dosa yang tak dapat mereka maafkan. Lembaga perkawinan menurut mereka merupakan sesuatu yang tidak dapat dipermainkan. Di dalam kondisi yang demikian, wanita-wanita Minangkbau sebelum perang cenderung memiliki sifat setia, patuh, pasrah, dan menerima apa adanya. Sesuai dengan konvensi yang hidup pada masa itu, kondisi wanita semacam ini memanglah merupakan tuntutan. Di luar sikap ini, mereka tidak akanditerima oleh masyarakatnya. ISSN - 2206-0596 (Online)
14
Aksara, Vol. 1 no. 1
January 2016
Tokoh Wanita dan Keadilan Hampir seluruh wanita Minangkabau sebelum perang, langsung ataupun tidak, berada di dawah tekanan kaum pria. Langsung, bila mereka berada di dalam kekuasaan orang tua atau suami. Tidak langsung, jika mereka berada di bawah naungan konvensi masyarakat. Konvensi itu biasanya lebih menguntungkan kaum pria. Kondisi ini dianggap sebagai ketidakadilan yang paling banyak mendapat perhatian kaum wanita. Kesadaran untuk mensejajarkandiri denganpria merupakan harapan mereka. Membiarkan jarak antara pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan menurut mereka merupakan sesuatu yang sama halnya membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Ketidakadilan ini menurut mereka disebabkan karena ketidakberdayaan kaum wanita. Ketidakberdayaan tersebutdinilai karena kaum wanita tidak memiliki kekuatansosial dibanding kaum pria. Hampir segala aspek kehidupan kemasyarakatan dikuasai oleh kaum pria. Oleh sebab itu keputusan selalu berada di tangan laki-laki. Ketidakadilan terhadap kaum wanita menjadi tidak terelakkan. Tokoh-tokoh wanita berjuang untuk meruntuhkan “ketidakadilan” itu. Tokoh Wanita dan Keindahan Keindahan di dalam penilaian dan pandangan wanita Minangkabau sebelum perang bukan hanya semata-mata keadaan fisik atau yang bersifat material belaka. Bagi mereka, keindahan justru lebih bersifat pada mentalitas. Oleh sebab itu, mereka tidak tergoda pada keindahan yang bersifat material. Sikap mereka tercermin pada tindakan keseharian. Bagi mereka kecantikan tidak terletak pada fisik meraka saja, tetapi lebih pada budi pekerti. Keindahan fisik yang tidak ditopang oleh keindahan mental, bagi mereka tidak ada manfatnya. Tokoh Wanita dan Penderitaan Wanita Minangkabau sebelum perang adalah wanita-wanita yang tabah, sabar, dan tawakal bila menghadapi cobaan penderitaan. Cobaan dan penderitaan mereka anggap sebagai suatu pengalaman, pelajaran, yang darinya mereka mengambil hikmah untuk kehidupan mendatang. Penderitaan itu misalnya ditingal mati orang tua, dimadu oleh suami, tidak mendapat perlakuan yang semstinya dari anak kandungnya, dan lain-lain. Di dalam posisi ini wanita-wanita Minangkabau sebelum perang adalah sosok wanita-wanita ideal. Tokoh Wanita dan Cita-cita Wanita Minangkabau sebelum perang memiliki obsesi untuk menciptakan dan menjalani kehidupan berkeluarga secara harmonis, bahagia, dan tenteram atas dasar kesetaraan. Cita-cita mereka tampaknya bermuara ke amengobsesi ke arah ini. Cita-cita yang lain, sebagaimana cita-cita kaum pria yang lebih beragam tidak ditemukan. Kondisi yang ikut mendukung obsesi cita-cita wanita pada masa ini, atau mungkin karena naluri keibuan pada wanita-wanita masa itu begitu dominan. Oleh sebab itu, curahan perhatian mereka hanya padaeksistensinya sebagai wanita, yaitu kodrat wanita sebagai penerus generasi.
Profil Wanita Sesudah Perang Tokoh Wanita dan Pandangan Hidup ISSN - 2206-0596 (Online)
15
Hasanuddin WS – Profil Wanita dalam Novel-Novel Modern Indonesia
Wanita Minangkabau sesudah perang berdasarkan penemuan di dalam bahan penelitian dapatdisimpulkan sebagai wanita-wanita yang berpandangan hidup simpel, sederhana, dan lebih mengarah kepada hal-hal yang realistis dan bernilai praktis. Di samping itu, hidup dianggap mumpuni. Kesempatan untuk memperoleh kesenangan dan keinginan pribadi tidak pernah disiasiakan atau ditunggu untuk kedua kalinya. Bahkan, kesempatan untukmencapai keinginan dan kesenangan itu dicari-cari dengan segala macam upaya, baik dengan upaya yang jujur atau sebaliknya. Orientasia mereka hanya pencapaian tujuan kesenangan nyata. Keinginan untuk tidak mencampuri urusan orang lain terasa lebih dominan. Keinginan untuk mematuhi konvensi masyarakat hanya dilakukan pada tahap permukaan saja. Secara individual, mereka mengutamakan kehendak pribadi dan kurang mengindahkan konvensi masyarakat. Konvensi adat, norma-norma agama, atau hal lainnya dipatuhi di dalam lapisan luarnya saja (secara seremonial). Di luar hal-hal seremonial mereka melakukan apa yang secara individual mereka anggap benar dan baik, meskipun itu menyalahi konvensi dan normanorma.Simpulan ini diambil dari sikap dan tindakan tokoh-tokoh seperti Arneti, Upik Denok, Siti Baniar (Warisan) dan Saniah (Kemarau). Tokoh Wanita dan Tanggung Jawab Dari sisi kemanusiaan, wanita-wanita Minangkabau sesudah perang kelihatanlebih lugas. Tidak munafik dalam banyak hal, termasuk pengungkapan hal-hal yang secara umum di dalam msyarakat dianggap tabu, misalnya persoalan seksualitas. Dari sisi keagamaan, tindakan, sikap, dan prilaku mereka memberikan tendensi kurang bertanggung jawab. Hubungan seksual sebelum nikah, menyeleweng darisuami, atau berkhianat pada kkasih mereka bukanlah yang aneh bagi mereka. Tokoh-tokoh seperti Arneti, Maimunah, Farida, Siti Baniar (Warisan), dan lainnya merupakan wakil dari contoh yang dapat menunjang data tentang hal ini. Oleh sebab itu, jika mereka hamil di luar nikah, mereka tidak terlalu panik meminta pertanggungjawaban kaum pria. Mereka secara prinsipil kurang betanggung jawab, ermasuk kepada diri mereka sendiri. Hal ini tampaknya disebabkan mereka lebih mengejar kesenangan seasaat dan hal-hal yang bersifat material. Tokoh Wanita dan Cinta Kasih Wanita-wanita Minangkabau sesudah perang menilai cinta kasih bukanlah sesuatu yang bernilai agung, luhur, atau yang sejenisnya. Lembaga perkawinan juga tidak dinilai sakral, sehingga mereka tidak segan mempermainkan lembaga ini. Oleh sebab itu, sedikit perselisihan di dalam perkawinan dapat segera berujung pada perceraian atau perselingkuhan. Perceraian bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi paea wanita Minangkabau sesudah perang. Di dalam banyak hal mereka bukanlah prototipe wanita yang menunggu, mereka dapat lebih agresif pada banyak hal. Tokoh Wanita dan Keadilan Dengan dasar yang lebihreliastis, wanita-wanita Minangkbau sesudah perang tidak membuka front secara terbuka untuk menuntut diperlakukan sama dengan kaum prianya. Tampaknya mereka secara bahwa ada perbedaan yang secara kodrati membedakan mereka dengan kaum pria. Persamaan hak mereka tuntut, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang berbeda jika dibandingkan dengan wanita-wanita sebelum perang. ISSN - 2206-0596 (Online)
16
Aksara, Vol. 1 no. 1
January 2016
Di dalam menuntut keadilan, kaum wanita sesudah perang lebih bersifat praktis, bahkan pragmatis. Menciptakan “konflik terbuka” dengan kaum pria terlihat tidak ada gunanya. Dengan aspek-aspek kewanitaan yang mereka miliki mereka “mengalahkan” kaum pria. Cara ini menurut gambaran di dalam bahan penelitian ternyata lebih efektif. Ada kesan hidup berdampingan antara pria dan wanita dimulai dengan sikap mencurigai dan ingin saling menundukkan. Tokoh Wanita dan Keindahan Wanita-wanita Minangkabau sesudah perang yang lebih banyak dilandasi dengan paham individualis dan ekonomisnya memandang hal-hal yang baik, indah, dan menarik dengan cara mereka sendiri. Mereka lebih banyak menyandarkan penilaian mereka pada faktor fisik dan material. Oleh sebab itu, harta, pangkat, kedudukan, kecantikan, ketampanan, sebagai hal-hal yang nyata dan berdampaklangsung di dalam kehidupan sehari-hari menjadi perhatian utama mereka. Secara umum, wanita-wanita Minangkabau sesudah perang adalah mereka-mereka yang memandang keindahan berdasarkan indikator yang nyata dan penuh realitas. Oleh sebab itu, mereka lebih menyenangi hal-hal yang tampaksecara nyata dibanding hakikat yang tersembunyi di balik kenyataan itu. Meskipun mereka menyadari bahwa keindahan material adalah keindahan yang semu, mereka ttetap memujanya. Persoalannya, meskipun semu, kenyataan itu berdampak langsung. Secara pragmatis yang berdampak langsung memang terasa lebih utama dan penting. Tokoh Wanita dan Penderitaan Wanita-wanita Minangkabau sesudah perang tampaknya adalah wanita-wanita yang kurang tabah di dalam menjalani hambatan-hambatan di dalam kehidupannya. Penderitaan adalah sesuatu yang menyulitkan hidup. Hampir tidak ada tokoh yang beranggapan bahwa penderitaan adalah cobaan yang mesti dijalani dengan sikap bijak. Ketidaktabahan meraka menghadapi penderitaan di dalam hidupnya, disebabkan tidak tahannya mereka menbolak berbagai godaan hidup. Tokoh-tokoh hanyut di dalam kesenangan keduniawian, sehingga penderitaan betul-betul dianggap siksaan. Pandangan yang demikian terhadap penderitaan dan cobaan, menyebabkan mereka berusaha menghindari segala macam bentuk penderitaan. Jika tak bisa dihindari, mereka berusaha melibatkan orang lain di dalam penderitaan mereka itu. Dengan ikut menderitanya orang lain, mereka merasa penderitaan mereka sedikit berkurang, karena ada orang lain yang senasib dengan mereka. Mereka cenderung mudah putus asa dan frustasi. Akhirnya, mereka akan memilih jalan pintas untukmngatasia penderitaan mereka. Resiko yang muncul menjadiperhitungan kedua. Tokoh Wanita dan Cita-cita Cita-cita wanita Minangkabau sesudah perang lebih bertumpu pada kepentingankepentingan perseorangan. Mereka tidaklagi memperjuangkan cita-cita wanita secara kolektif. Perkawinan bagi wanita sesudah perang bukan sekedar untuk tugas melanjutkan generasi, melainkan sebagai hal yang bersifat kesenangan. Oleh sebab itu, mengurus anak apa lagi dalam jumlah yang besar bukanlah keinginan mereka. Mereka menginginkan beban hidup seminimal mungkin. Di dalam masyarakat yang menempatkan jasa dan pamrih sebagai hal yang wajar, maka nilai materialtidak dapat dihgindarkan. Kebahagiaan yang bersifat nyata dan hal-halkeduniawian menjadi fokus. Nilai-nilai yang bersifat abstrak tersisih. Di dalam hal yang demikian, cita-cita dan ISSN - 2206-0596 (Online)
17
Hasanuddin WS – Profil Wanita dalam Novel-Novel Modern Indonesia
keinginan orang pun mengarah untuk mencapai hal-hal yang bersifat material, yakni yang berdampaklangsung pada kehidupan.
Pergeseran Profil Wanita Sebelum dan Sesudah Perang Secara umum, wanita-wanita di dalam novel-novel yang dijadikan bahan penelitian, sebelum dan sesudah perang, memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Ada pergeseran profil wnita-wanita Minangkabau sebelum dan sesudahperang. Perbedaan dan perubahan ini disebabkan karena kondisi dan situasi zaman hidupnya tokoh-tokoh wanita ituberbeda. Oleh karena itu, pergeresan profil wanita tidak mungkin dihindari. Tuntutan dan pengaruh “luar” yang ikut membias dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, secara evolutif mempengaruhinya. Konvensi msyarakat serta nilai-nilai yang didukung oleh suatu kelompok masyarakat ternyata ikut menentukan pola sikap manusia. Seseorang yang hiodup di dalam suatu kelompok masyarakat yang homogen ternyata menciptakan pola pikir, sikap, dan tingkah laku yang berbeda dengan orang lain yang hidup di dalam kelompok masyarakat yang heterogen. Maka, analoginya sama dengan situasia manusia yang hidupdi dalam zaman yang berbeda, sebagaimana gambaran profil wanita yang ditemukan di dalam novel-novel bahan penelitian. Persoalan mendasar mendasar dari perbedaan itu terletak pada pola pikir wanita. Ternyata, wanita-wanita di dalam novel-novel sebelum perang adalah sosok profil wanita yang idealis. Meraka adalah wanita yang kokoh di dalam berbagai sisi kehidupannya. Pandangan hidupnya tegas, penuh tanggung jawab terhadapdiri sendiri maupun erhadaplingkungannya. Memiliki nilainilai cinta kasih yang luhur tanpa pamrih serta luas dalam menetapkan cita-cita yang diinginkan. Hal-hal yang bersifat kebendaan tidak menarim perhatian mereka. Kebahagiaan bagi mereka adalah kebahagian batin. Hal-hal yang bersifat hakiki menjadi obsesi mereka. Profil wanita di dalam novel-novel sudah perang, yang taraf kehidupannya lebih baik dibanding wanita-wanita sebelum perang, memiliki profil yang berlawanan. Tokoh-tokoh wanita sesudah perang adalah wanita-wanita yang hidup dengan pola pikir, sikap, dan tindakan yang pragmatis dan didasari pada nilai-nilai yang bersifat praktis. Akibatnya, orientasi mereka hanya pada hal-hal yang sesaat, sehingga profil mereka yang pandangan hidupnya pada hal-hal yang materialistis, kurang bertanggung jawab, selalu memperhitungkan jasa dan pamrih, bercita-cita pada hal-hal yang materialistis dan praktis pula. Untukmenentukan profil mana yang lebih baik, tidak semudah yang diduga sebelumnya. Persoalannya, tidaklah berarti profil yang menunjukkan ketegaran dalam hidup, tabah dalam penderitaan, serta idealis, lebih baik dari profil yang pragmatis dan praktis. Baik tidaknya amat tergantung pada situasi, kondisi, sertakebutuhan, dan sudut pandangnya. Tanpa ingin menetapkan profil mana yang lebih baik dan menarik, profil wanita Minangkabau sebelum dan sesudah perang telah menunjukkan adanya pergeseran nilai. Adapun suatu perubahan sosial, menyebabkan profil ini mengalami pergeseran. Hal ini disebabkan tuntutan kebhidupan yang lebih ekonomis dan prktis dalam memandang sesuatu. Kontak masyarakat etnik Minangkabau dengan dunia luar (nilai-nilai eksternal dari berbagai etnik di Indonesia maupun di dunia) yang tidak mungkin dihindari juga merupakan suatu alasan.
Penutup ISSN - 2206-0596 (Online)
18
Aksara, Vol. 1 no. 1
January 2016
Pergeseran profil wanita dapat terjadi karena adanya perubahan sosial di dalam masyarakat. Perubahan sistem sosial akan menyebabkan perubahan norma-norma dan konvensi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Perubahan ini mempengaruhi pola hidup, sikap, dan prilaku anggota masyarakat pendukungnya. Dengan begitu akan terjadi pergeseran-pergeseran tatanilai. Pergeseran profil wanita, dari sudut teori perubahan sosial merupakan sesuatu yang wajar. Perubahan sosial akan melanda masyarakat manusia, cepat atau lambat. Tampak dengan jelas bahwa pergeseran profil wanita Minangkabau ini terjadi secara evolutif. Perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan yang mungkin tidak disadari secara langsung oleh wanita-wanita Minangkabau sendiri. Pergeseran profil wanita semacam ini mungkin saja terjadi pada wanita dari etnik lain. Tidak tertutup kemungkinan hal yang sama melanda kelompok wnita lain dari etnik yang lain, atau bahkan dari suku dan bangsa yang lain. Meskipun demikian, masih perlu dikaji lebih mendalam berdasarkan teori perubahan sosial tentang pergeseran profil wanita Minangkabau ini. Hal ini disebabkan penelitian ini masih bersifat mendasar dan umum. Perlu juga dilakukan penelitian terhadap kondisi masyarakat sesungguhnya, di samping melakukan penelitian terjadap karya sastra sebagai hasilkebudayaan. Kedua hasial penelitian tersebut nantinya dapat pula dibandingkan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan menyeluruh.
Daftar Pustaka Damono, SD 1984, Sosiologi sastra, P3B, Jakarta. Fakih, M 1996, Analisis gender dan transformasi social, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Jassin, HB 1983 Sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, Gramedia, Jakarta. Junus, U 1983, Dari realitas ke imajinasi: wajah sastra dan budaya Indonesia, Gramedia, Jakarta. Junus, U 1986, Sosiologi sastra: persoalan teori dan metode, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Johnson, PD 1986, Teori sosiologi klasik dan modern, trans RMZ Lawang, Gramedia, Jakarta. Koentjaraningrat 1981, Ilmu antropologi, Aksara Baru, Jakarta. Pradotokusumo, PS 2001, Pengkajian sastra, Wacana, Bandung. Purwanto, N 1986, Psikologi pendidikan, Remaja Karya, Bandung. Rampan, KL 1987, Perjalanan sastra Indonesia, Gunung Jati, Jakarta. Ritzer, G 1985, Sosiologi: ilmu berpradigma ganda, Gramedia, Jakarta.
ISSN - 2206-0596 (Online)
19
Hasanuddin WS – Profil Wanita dalam Novel-Novel Modern Indonesia
Suryanto, A 1986, Psikologi umum, Aksara Baru, Jakarta. Teeuw, A 1984, Sastra dan ilmu sastra, Pustaka Jaya, Jakarta.
ISSN - 2206-0596 (Online)
20