PROFIL BERPIKIR SISWA DALAM MENGKONSTRUKSI IDE-IDE KONEKSI MATEMATIS BERDASARKAN TAKSONOMI SOLO (Profile Of Student Thinking In Connection Construct Mathematical Ideas By Solo Taxonomy)
Elly Susanti, I Nengah Parta, dan Tjang Daniel Chandra Universitas Islam Darul Ulum Lamongan, Universitas Negeri Malang,Universitas Negeri Malang Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK: Koneksi matematika adalah bagian dari jaringan yang saling berhubungan dari paket pengetahuan yang terdiri dari konsep-konsep kunci untuk memahami dan mengembangkan hubungan antara fakta, ide, konsep, dan prosedur. Proses koneksi matematis merupakan proses berpikir dalam mengkonstruksi ide-ide yang didasarkan pada pengalaman dengan menghubungkan dan mengintegrasikan pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan baru dalam pemecahan masalah matematika. Berdasarkan pentingnya proses koneksi matematis dalam membangun proses berpikir kreatif dalam menyelesaikan masalah, maka penelitian ini bertujuan menemukan kerangka teori tentang mengkonstruksi ide-ide koneksi matematis dalam pemecahan masalah matematika kemudian menghubungkan ide-ide tersebut sampai diperoleh pengetahuan baru berdasarkan taksonomi SOLO. Kata Kunci: Koneksi Matematika, Proses Koneksi Matematis, taksonomi SOLO.
Persaingan ekonomi global dan tehnologi di dunia semakin berkembang pesat, menuntut masyarakat untuk mampu berpikir kreatif dan berpikir kritis. Setiap individu dituntut untuk mampu mengkonstruksi ide-ide dalam proses pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Menanggapi tuntutan tersebut NCTM (2000) dalam Principle and Standart for School Mathematics menekankan bahwa siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Siswa harus bisa mengkonstruksi pengetahuan matematika, membangun proses koneksi matematis dan mengembangkan kebiasaan berpikir tentang pemecahan masalah matematika. Sedang-
kan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) menekankan proses koneksi matematis merupakan inti kegiatan belajar mengajar yang berfokus pada kemampuan berpikir kreatif dan berpikir kritis. Beberapa jurnal penelitian tentang pentingnya koneksi matematika untuk meningkatkan pembelajaran di sekolah sudah banyak dikaji para peneliti. Ball (2008) menyatakan bahwa dengan membangun dan mengkonstruksi ide-ide terhadap pemahaman yang mendasar dari pengetahuan matematika, guru lebih siap untuk menanggapi pertanyaan siswa tentang “mengapa”, mengevaluasi dugaan siswa, mengajukan pertanyaan matematika yang produktif dan membuat koneksi matematika secara menyeluruh. Hiebert dan Carpenter (1992) menyatakan bahwa 252
253, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
membangun pemahaman tentang konsep, ide, fakta atau prosedur dalam matematika melibatkan proses koneksi (Berpikir dalam membuat koneksi) antara pengetahuan lama dan pengetahuan baru. Haylock (2007) menyatakan proses koneksi matematis merupakan proses membuat koneksi matematika yaitu proses berpikir dalam mengkonstruksi pengetahuan dari ide-ide matematika melalui pertumbuhan kesadaran dari hubungan antara pengalaman konkrit, bahasa, gambar dan simbol matematika. Haylock dalam penelitiannya menggunakan modal dasar dalam mengembangkan ide-ide dari proses koneksi matematis, tujuannya dapat menghubungkan antara pengetahuan baru atau pengalaman baru dengan ide-ide yang muncul. Mengerti terhadap konsep-konsep matematika, seperti pengurangan, persamaan, nilai tempat, merupakan salah satau contoh proses koneksi matematis secara bertahap. Dengan demikian proses koneksi matematis sangat penting dalam mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman matematika. Nordheimer (2010) menyatakan bahwa proses koneksi matematis merupakan proses berpikir dalam mengenali dan menggunakan hubungan antar ide-ide matematika. Untuk memperdalam pemahaman tentang koneksi matematika Nordheimer melakukan penelitian terhadap siswa kelas 10 dengan membuat koneksi pada pohon pythagoras. Hasil penelitian menunjukkan siswa dapat membuat jaringan yang menghubungkan matematika dengan pohon phytagoras. Jaringan yang dibuat siswa tersebut merupakan proses koneksi matematis yang melibatkan angka dan panjang, grafik dalam menyajikan fungsi, kesamaan, perkiraan, dan rumus untuk menghitung luas daerah. Dari hasil penelitian tersebut proses koneksi matematis perlu dibangun
dan dikembangkan agar siswa dapat menghubungkan matematika dengan ilmu lain. Hurst (2007) menemukan bahwa proses berpikir dalam mengkonstruksi ideide dan kapasitas koneksi matematis yang tinggi dapat meningkatkan pencarian strategi berpikir matematika. Strategi pertama yang harus dilakukan siswa adalah siswa harus dapat melakukan ide-ide manipulatif pada saat membuat koneksi dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Seperti yang diungkapkan oleh Karakirik (2006) menyarankan langkah pertama dalam mengkomunikasikan ide-ide matematika adalah penggunaan manipulatif siswa dalam penjelasan penalaran matematika mereka. Menurut NCTM dalam Principle and Standart for School Mathematics (2000), yaitu program pembelajaran dari TK sampai kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk mampu: (1) Mengenal dan membuat koneksi antara ide-ide matematika (2) Memahami bagaimana membangun ide-ide matematika, selanjutnya ideide tersebut dikoneksikan dengan ilmu lain (3) Mengenal dan mengaplikasikan ide-ide matematika ke dalam kehidupan seharihari. Mengkonstruksi ide-ide dalam membangun koneksi matematis dengan pengalaman, menurut Coxford (1995) mengakibatkan siswa dapat: (1) Menghubungkan pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural (2) Menggunakan matematika dalam seluruh wilayah kurikulum (3) Menggunakan matematika dalam kegiatan sehari-hari (4) Melihat matematika sebagai satu kesatuan yang utuh (5) Mengaplikasikan pemikiran matematika dan model matematika untuk memecahkan masalah dengan disiplin ilmu lain seperti seni, musik, psikologi, sain, dan bisnis (6) Menghubungkan antar topik dalam matematika (7) Mengenal repre-
Susanti, dkk, Profil Berpikir Siswa, 254
sentasi yang sepadan untuk konsep matematika yang sama. Glacey (2011) menyelidiki tentang penggunaan literatur oleh siswa berkaitan dengan proses koneksi matematika. Kualitas proses koneksi matematika siswa yang bekerja dengan menggunakan literatur menjadi lebih baik. Dengan menggunakan literatur, siswa dapat menciptakan ide-ide dalam proses koneksi matematika dalam pikiran mereka dan siswa terampil dalam mengaplikasikan proses koneksi tersebut ke dalam ilmu lain dan dapat digunakan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Wilburne dan Napoli (2008) menyelidiki pengetahuan tentang seni bahasa dan konsep matematika harus dimiliki oleh calon guru, karena dengan menguasai dua hal tersebut calon guru dapat mengkonstruksi ide-ide dalam membuat koneksi antar topik dalam matematika. Penelitian Walz dan Lincoln (2008) pada siswa kelas menengah menyelidiki koneksi dalam menulis jurnal matematika, kemudian mendiskusikan dalam pembelajaan dikelas dengan menyelesaikan tugas pekerjaan rumah. Hasil penelitian tersebut (1) Menulis jurnal dapat membangkitkan motivasi siswa untuk melengkapi pekerjaan rumah mereka. (2) Menulis jurnal, dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika (3) Dengan menulis jurnal, siswa dapat mengkoneksikan ide-ide siswa dalam merepresentasikan hasil pekerjaan rumah. Fox (2006) melakukan penelitian terhadap siswa TK yang diberikan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan mozaik yang ditempelkan pada gambar berpola. Siswa mengeksplor pengalaman dalam membuat keterkaitan antara pola gambar dengan mengkonstruksi ide-ide pengetahuan aljabar yang sudah mereka dapatkan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa siswa yang belajar dengan mempola mozaik dikoneksikan dengan matematika dengan melibatkan pengetahuan secara aljabar memberikan siswa pemahaman yang mendalam dan mempunyai dasar matematika yang kuat. Beberapa jurnal yang menyatakan bahwa kesulitan siswa dalam memahami matematika dan kesulitan siswa mengaplikasikan matematika dengan ilmu lain disebabkan karena siswa tidak terbiasa mengkonstruksi ide-ide dalam mengkoneksikan antar topik dalam matematika. Bereiter (1984) pengalaman di SMA tidak memberikan cukup kegiatan pemecahan masalah untuk siap secara mental dalam menyelesaikan permasalahan dalam dunia nyata atau ditempat kerja. Ketika siswa diajarkan ketrampilan dalam memecahkan masalah matematika, mereka sering gagal untuk mengenali ketrampilan baru mereka ditempat kerja karena mereka tidak mampu mengkonstruksi ide-ide dalam membuat koneksi antara pengetahuan baru dan pengetahun lama dalam memecahkan masalah yang sama diluar sekolah. Mousley (2004) melakukan penelitian dengan mewawancara lima orang guru matematika tentang kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengkonstruksi ide-ide dalam membangun koneksi di kelas. Hasil penelitian menunjukkan dengan membangun koneksi matematika guru menjadi percaya diri dan dapat bertindak sebagai guru yang dapat mengembangkan profesionalismenya. Nicol (2002) menemukan bahwa calon guru kesulitan untuk melihat aplikasi matematika di tempat kerja, sehingga sulit bagi mereka untuk membuat penalaran sekitar aplikasi ini. Hal ini disebabkan calon guru tidak dibiasakan mengkonstruksi ide-ide matematika dalam membuat koneksi antara matematika dengan ilmu lain yang merupakan aplikasi matematika di mana sebenarnya digunakan.
255, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Dalam kasus lain, siswa yang terampil dengan tugas-tugas tertentu di luar sekolah sering mengalami kesulitan mentransfer konsep belajar dari pengalaman yang mereka miliki (Love, 1988; Johnson, 1997; Johnson, Dixon, Daugherty, & Lowanto, 2011) dengan penyelesaian masalah terstruktur dengan baik di sekolah, seperti yang sering ditemukan pada matematika dan ilmu pengetahuan lain. Temuan ini menunjukkan ketidakmampuan siswa untuk mengenali kemampuan pemindahan ideide konsep belajar dari pemecahan masalah yang terstruktur dengan baik di kelas, untuk masalah terstruktur yang dihadapi di luar kelas dan juga pengalihan ide-ide konsep belajar dari pemecahan masalah yang terstruktur. Didunia nyata, dengan pemecahan yang baik dan terstruktur masalah yang dihadapi di kelas dapat diselesaikan dengan baik pula. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan diteliti proses koneksi matematis siswa SMA. Bartels (1995) Guru jarang membuat koneksi dalam membuat rencana pembelajarannya, akibatnya siswa tidak dapat membongkar ataupun mengkonstruksi ide-ide pengetahuan sebelumnya dan membangun koneksi matematika secara efektif. Menurut Ball (2005) pembelajaran yang efektif memerlukan pemahaman yang berdasar pada makna dan pembenaran atas ide-ide dan posedur yang dapat membangun kemampuan siswa untuk membuat koneksi antar topik matematika. Faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan siswa dalam belajar, karena sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan ide-ide melalui proses berpikir. Barnad dan Tall (1997) mengatakan bahwa proses berpikir melibatkan struktur kognitif manusia. Sebuah kognitif terdiri dari item kognitif yang dapat diselenggarakan dipusat perhatian dari seorang
pada satu waktu, bersama-sama dengan mengaitkan ide-ide. Terminologi ini akan diterapkan keberbagai kemungkinan dari satu ide dengan beberapa jaringan, untuk struktur dengan banyak keterkaitan. Swenson (2001) dalam Grey dan Tall menegaskan bahwa konsep belajar merupakan pengaitan atribut dalam skema unit kognitif untuk mendapatkan ide-ide. Heider (1946) menyatakan istilah unit kognitif terdiri dari dua individu atau obyek dan hubungan yang terjadi antara mereka yang memungkinkan untuk membangun apa yang disebut sebagai persepsi keseimbangan teori. Zimmer (1970) membuat saran perseptif bahwa konsep dan skema pada dasarnya sama, jika seseorang melihat secara rinci dari konsep menjadi skema koneksi dan bisa menangkap skema tersebut sebagai satu kesatuan dari proses koneksi maka skema dapat dianggap sebagai sebuah konsep global. Proses mencari algoritma perkalian melalui koneksi antara aljabar dan geometri digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1
dan sebagai mode aljabar direpresentasikan ke dalam persegi panjang sebagai mode geometri seperti pada Gambar 1.1, dengan sebagai panjang dan sebagai lebar. Hasil representasi dari aljabar dan geometri tersebut diperoleh koneksi yang berupa luas daerah persegi panjang sebagai hasil kali dari:
Susanti, dkk, Profil Berpikir Siswa, 256
Menurut Crowley dan Tall (1999) mempertimbangkan bagaimana skema persamaan linear digunakan untuk merumuskan dan memecahkan persamaan linear dengan menggunakan proses koneksi matematis dalam memunculkan ide-ide yang sama: (1) Persamaan (2) Persamaan (3) Persamaan (4) Grafik sebagai garis (5) Garis melalui dengan kemiringan (6) Garis melalui titik-titik dan . Persamaan linear diatas direpresentasikan dalam bentuk aljabar dan geometri. Hubungan antara ide-ide yang dikonstruksi dari masing-masing bentuk representasi merupakan proses koneksi matematis antara aljabar dan geometri. Masalah utama memunculkan ide utama, selanjutnya dari ide utama memunculkan ide-ide dari masing-masing konsep. Dalam penelitian ini akan digali profil berpikir siswa dalam mengkonstruksi ide-ide koneksi matematis pada pemecahan masalah matematika, dan contoh berpikir siswa dalam mengkonstruksi ide-ide koneksi digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.2 Proses Koneksi Matematis dari Persamaan Linear
Dalam mengidentifikasi atau mengklasifikasikan kemampuan siswa dalam mengkonstruksi ide-ide koneksi matematis pada pemecahan masalah matematika, penelitian ini menggunakan Taksonomi SOLO (Structure of the
Observed Learning Outcome) yang dibangun oleh Biggs and Collis (1989). Taksonomi SOLO menggambarkan tingkat kerumitan peningkatan pemahaman siswa melalui lima level berbeda dan bersifat hirarkis yaitu level 0: Pre-Structural, level 1: Uni-struktural, level 2: MultyStruktural, level 3: Relational dan level 4: extended abstract. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh para peneliti diatas, hasil observasi, dan pelevelan taksonomi SOLO dalam penelitian ini dibidik empat profil koneksi matematis yaitu koneksi unistruktural, koneksi multistruktural, koneksi relational, dan koneksi extended abstrak. Identifikasi dari masing-masing kemampuan mengkonstruksi ide-ide koneksi matematis sebagai berikut: 1. Koneksi Unistruktural: Pada level ini siswa mempunyai kemampuan mengkonstruksi ide-ide koneksi matematis sederhana antara potongan konsep. 2. Koneksi Multistruktural: Pada level ini siswa mempunyai kemampuan mengkonstruksi beberapa ide-ide koneksi matematis, tetapi tidak bisa menghubungkan dengan proses koneksi yang lain. 3. Koneksi Relational: Pada level ini siswa mempunyai kemampuan mengkonstruksi ide-ide lengkap koneksi matematis dan bisa menghubungkan dengan proses koneksi yang lain dalam satu domain. 4. Koneksi extended abstrak: Pada level ini siswa mempunyai kemampuan mengkonstruksi ide-ide lengkap koneksi matematis dan dapat menghubungkan dengan proses koneksi matematis yang lain serta dapat menggeneralisasikan dan mengaplikasikan ke dalam situasi baru.
257, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Berdasarkan hal tesebut tujuan penelitian ini menemukan kerangka teori tentang profil berpikir siswa dalam mengkonstruksi ide-ide matematika dalam membuat koneksi antar konsep matematika berdasarkan Taksonomi Solo kemudian menghubungkan ide-ide tersebut sampai diperoleh pengetahuan baru. Dengan demikian dalam penelitian ini akan diteliti dan dianalis “Profil Berpikir Siswa Dalam Mengkonstruksi Ide-Ide Koneksi Matematis Berdasarkan Taksonomi Solo”. Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana profil Berpikir Siswa Dalam Mengkonstruksi Ide-Ide Koneksi Matematis Berdasarkan Taksonomi Solo”. Berdasarkan kerangka teori dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukkan bagi guru dalam mendesain model pembelajaran di sekolah dimana siswa dapat mengkonstruksi ide-ide matematika dalam membuat koneksi antar konsep matematika dalam pemecahan masalah matematika dan dapat mengaplikasikan pengetahuan matematika dengan disiplin ilmu lain dan matematika dengan kehidupan sehari-hari. KAJIAN TEORI Berpikir merupakan penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbolsimbol yang tersimpan dalam long term memory. Solso (1998) menyatakan berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah. Barnad dan Tall (1997) mengatakan bahwa proses berpikir melibatkan struktur kognitif manusia, sebuah unit kognitif terdiri dari item kognitif yang dapat diselenggarakan di
pusat perhatian dari seorang individu pada satu waktu, bersama-sama dengan ide-ide lain yang terkait dengan hal itu. Terminologi ini akan diterapkan keberbagai kemungkinan dari satu ide dengan beberapa jaringan, untuk struktur dengan banyak keterkaitan. Potongan-potongan struktur kognitif berkaitan erat dengan ideide dalam pikiran seseorang, konsepsi yang masuk ke dalam pikiran setiap orang bervariasi satu sama lain. Beberapa peneliti dalam Karadag (2009) mendefinisikan proses berpikir matematika sebagai: Define mathematical thinking as a process, which contains at least one of the mental and math-related activities such as reasoning, abstracting, conjecturing, representing and switching between different representations, visualizing, deducing, inducing, analyzing, synthesizing, connecting, generalizing, and proving (Carroll, 1996; Harel, Selden, & Selden, 2006; Mason, Burton, & Stacey, 1982; Romberg & Kaput, 1999; Schoenfeld, 1992; Tall, 1991). Menurut Lesh (1987) membuat koneksi dua representasi adalah mengubah suatu representasi dari satu mode ke mode yang lain atau mengubah bentuk suatu representasi ke representasi yang lain dengan mode yang sama. Sebagai contoh, jika siswa mengidentifikasi grafik fungsi logaritma, maka siswa tersebut mengubah representasi dalam mode gambar menjadi mode tulisan seperti pada gambar 1. Siswa membuat koneksi pada grafik, sebuah representasi gambar dengan lambang aljabar, sebuah representasi tulisan. Jika siswa menulis kembali bentuk representasi sebagai
, maka siswa
Susanti, dkk, Profil Berpikir Siswa, 258
tersebut mengubah representasi dalam mode tulisan.
Gambar 1.3 fungsi
Hiebert dan Carpenter (1992) menjelaskan koneksi matematis sebagai bagian dari jaringan mental yang terstruktur seperti sarang laba-laba. Titiktitik atau node dapat dianggap sebagai potongan-potongan informasi, dan benang di antara mereka sebagai koneksinya. Semua node pada jaringan selalu tersambung, sehingga memungkinkan perjalanan laba-laba selalu lancar tanpa hambatan dengan mengikuti koneksi yang mapan. Beberapa node dihubungkan langsung dan beberapa tidak langsung berhubungan. Jaring mungkin sangat sederhana menyerupai rantai linear, atau mungkin sangat kompleks dengan banyak koneksi yang berasal dari setiap node. Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan (koneksi) antara ide-ide dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan (mengkoneksikan) antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Koneksi matematika adalah bagian dari jaringan yang saling berhubungan dari paket pengetahuan yang terdiri dari konsep-
konsep kunci untuk memahami dan mengembangkan hubungan antara ide-ide matematika, konsep, dan prosedur. Haylock dan Cockburn (2003: 3-8) dalam Haylock (2007) membuat model yang diilustrasikan pada gambar 1.4 sebagai cara sederhana mendiskusikan bagaimana mengembangkan ide-ide dalam proses kognitif dengan melibatkan proses koneksi matematis tentang jumlah dan operasi aritmatika. Model ini didasarkan pada gagasan bahwa perkembangan pemahaman melibatkan berpikir membuat koneksi antara beberapa pengetahuan dan pengalaman baru dengan ide-ide yang ada.
Gambar 1.4 Membuat Koneksi
Kegiatan yang tergolong pada koneksi matematik di antaranya adalah: (a) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur (b) Memahamai hubungan antar topik matematika (c) Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehar-hari (d) Memahami representasi ekuivalen suatu konsep (e) Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen (f) Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika. Jaijan (2010) merealisasikan bahwa siswa harus dapat mencari, membuat dan mengembangkan proses koneksi matematis, diharapkan siswa dalam memecahkan masalah matematika dengan menggunakan pikiran sendiri. Dengan mencari dan menemukan koneksi matematika siswa memiliki kesempatan
259, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
alami untuk berpartisipasi dalam kegiatan menyelidiki koneksi dari masalah dengan melihat solusi yang telah dilakukan oleh siswa.
Taksonomi SOLO singkatan dari Structure of Observed Learning Outcomes menggambarkan kerangka teori tentang tahapan pemahaman yang dikembangkan oleh Biggs dan Collis (1982).
Gambar 1.5 Taksonomi SOLO
Taksonomi SOLO mengklasifikasikan tahapan proses koneksi matematis dalam gambar berikut:
Gambar 1.6 Taksonomi SOLO
pemahaman
berdasarkan
Susanti, dkk, Profil Berpikir Siswa, 260
PENUTUP 3. Koneksi Relational: ada tahapan ini siswa mempunyai Kesimpulan Berdasarkan hasil deskripsi diatas kemampuan mengkonstruksi semua ide kerangka teori dari Profil berpikir koneksi koneksi matematis yang relevan dan bisa matematis dalam penelitian ini adalah menghubungkan ide-ide tersebut dengan profil berpikir siswa untuk mengkonstruksi ide-ide koneksi matematis yang lain dalam ide-ide dalam membangun koneksi dari satu domain sampai siswa menemukan beberapa konsep yang terkait dari soal pengetahuan baru. pemecahan masalah berdasarkan taksonomi SOLO sebagai berikut: 1. Koneksi Unistruktural: Pada tahapan ini siswa mempunyai kemampuan mengkonstruksi ide koneksi matematis yang relevan secara sederhana dalam satu potongan konsep saja sampai siswa menemukan pengetahuan baru.
Gambar 1.9 Kerangka Berpikir Koneksi Relasional
Gambar 1.7 Kerangka Berpikir Koneksi Unistruktural
2. Koneksi Multistruktural: Pada tahapan ini siswa mempunyai kemampuan mengkonstruksi beberapa ide koneksi matematis yang relevan tetapi tidak bisa saling menghubungkan ide-ide tersebut dengan ide-ide koneksi matematis yang lain sampai siswa menemukan pengetahuan baru
Gambar 1.8 Kerangka Berpikir Koneksi Multistruktural
4. Koneksi Extended Abstrak: Pada tahapan ini siswa mempunyai kemampuan mengkonstruksi semua ide koneksi matematis yang relevan dan bisa menghubungkan ide-ide tersebut dengan ide-ide koneksi matematis yang lain dalam satu domain sampai menemukan pengetahuan baru, serta dapat menggeneralisasikan dan mengaplikasikan ke dalam situasi baru. Siswa membuat hubungan bukan hanya antar ide-ide koneksi matematis yang relevan tetapi dapat menerapkannya di luar itu, menggeneralisasi dan mentransfer ide-ide koneksi matematis yang relevan ke ide-ide koneksi matematis yang tidak relevan yang mendasari secara spesifik sampai menemukan pengetahuan baru pada topik yang lain.
261, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Gambar 2.13 Kerangka Berpikir Koneksi Extended Absrtak
Ket: : Masalah utama : Ide tidak relevan yang tidak diberikan dalam masalah : Ide relevan terhadap masalah yang diberikan : Ide relevan yang tidak diberikan terhadap masalah : Koneksi : Batas Domain masalah : Pengetahuan baru
DAFTAR PUSTAKA Barnard, T. & Tall, D. O. (1997). Cognitive Units, Connections, and Mathematical Proof. In E. Pehkonen, (Ed.), Proceedings of the 21st Annual Conference for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2 (pp. 41–48). Lahti, Finland. Barnard, T. & Tall, D. O. (2002). Cognitive Units, Connections, and
Compression in Mathematical Thinking. In E. Pehkonen, (Ed.), Proceedings of the 21st Annual Conference for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2 (pp. 41–48). Lahti, Finland. Beckmann. S. (2007). NCTM’s Curriculum Focal Point For Grades Pre K-8. Georgia Mathematics Conference.
Susanti, dkk, Profil Berpikir Siswa, 262
Department of Mathematics University of Georgia. Bell, Frederick H. (1978). Teaching and Learning Mathematics in Secondary School. second edition. Dubuque, lowa: Wm. C. Brown Company Publishers. Bergeson, T. (2000). Teaching and Learning Mathematic: Using Research to Shift From the “yesterday” Mind to the “Tommorow” Mind. [online]. On hand: www.k12.wa.us. [20 April 2008]. Coxford, A. F. (1995). “The Case for Connection”, in Connecting Mathematics across the Curriculum, Editor : House, P. A. Dan Coxford, A. F. Reston, Virginia: NCTM. Crowley, L & Tall, D. O. (1999). The Roles of Cognitive Units, Connections and Procedures in achieving Goals in College Algebra. In O. Zaslavsky (Ed.), Proceedings of the 23rd Conference of PME, Haifa, Israel, 2, 225–232. Fey. J., Fitzgerald. W., Friel. S., Lappan. G. (2006). The Connected Mathematics Project: edition New and updated data: Research And Evaluation Summary. Pearson Education, Inc., publishing as Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458. Fox, J. (2005). Connecting Algebraic Development To mathematical patterning In Early Childhood. In Chick, H.L. & Vincent, J.L. (Eds.), Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (Vol. pp.313-320). Melbourne: PME.
Glacey. K. (2011). A Study of Mathematical Connections through Children’s Literature in a Fifthand Sixth-Grade Classroom. In partial fulfillment of the MAT Degree Department of Mathematics University of NebraskaLincoln. Hodgson, T. (1995). “Connections as Problem-Solving Tools”, in Connecting Mathematics across the curriculum. Editor: House, P.A. and Coxford, A.F. Reston, Virginia: NCTM. Hurst. C. (2007). Numeracy in Action: Students Connecting Mathematical Knowledge to a Range of Contexts. Proceedings of the 30th annual conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia J. Watson & K. Beswick (Eds), © MERGA Inc. 2007. Johnson, K.M. dan Litynsky, C.L. (1995). “Breathing Life info Mathematics”, dalam Connecting Mathematics across the Curriculum. Editor: House, P.A and Coxford, A.F. Reston, Virginia: NCTM. Karadag. Z. (2009). Analyzing Students’ Mathematical Thinking In Technology-Supported Environments. Department of Curriculum, Teaching, and Learning University of Toronto. Marpaung, Y. (1986). Proses Berpikir Siswa dalam Pembentukan Konsep matematis. Makalah Pidato Dies Natalies XXXI IKIP Sanata Dharma. Mousley, J. (2004). An Aspect of Mathematical Understanding: The Notion of “Connectes Knowing”. Doctoral thesis, LaTrobe University, Australia.
263, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
NCTM. 2000. Principle and Standard for school Mthematics. Reston: The National Council of Tecaher Mathematics. Schroeder, J.I., Schmidt, C. and Scheaffer, J. Identification of high affinity slow anion channel blockers and evidence for stomatal regulation by slow anion channels in guard cells. The Plant Cell 5: 18311841. Skemp, R. R., (1987), The Psychology of Learning Mathematics, (American edition). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. Walz. C. (2008). Journal Writing in Mathematics: Exploring the Connections between Math Journals and the Completion of Homework Assignments. In partial fulfillment of the MA Degree Department of Teaching, Learning, and Teacher Education University of Nebraska-Lincoln. Wilburne. J. M., Napoli. M. (2008). Connecting Mathematics and
Literature: An Analysis of Preservice Elementary School Teachers’ Changing Beliefs and Knowledge. IUMPST: The Journal. Vol 2 (Pedagogy). Wilensky. U. J., (1993). Connected Mathematics-Building Concrete Relationship with Mathematical Knowledge. Submitted to the Program in Media Arts and Sciences of Architecture and Planning. Nordheimer. S. (2010). MATHEMATICAL CONNECTIONS AT SCHOOL: Understanding and facilitating connections in mathematics. Humboldt-Universität zu Berlin, Institut für Mathematik, Rudower Chaussee 25, 12489 Berlin, Germany. Scusa. T. (2008). Five Processes of Mathematical Thinking. Summative Projects for MA Degree. Paper 38.