Produktivitas Sekunder Hewan Bentik Ekosistem Pantai Studi kasus: Produksi Sekunder Nebalia daytoni di Pantai San Diego, California Selatan, USA
oleh: Nuralim Pasisingi C251120031
PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang Perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem perairan disebabkan oleh
faktor yang berasal dari dalam maupun luar lingkungan. Ekosistem perairan pantai meliputi wilayah yang menjadi batas antara daratan dan lautan yang terdiri dari komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik pantai terdiri dari tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah pantai, sedangkan komponen abiotik pantai terdiri dari gelombang, arus, angin, pasir maupun batuan. Produktivitas sekunder merupakan pembentukan biomassa heterotrophik selama kurun waktu tertentu. Pengukuran produksi sekunder merupakan perhitungan yang menjadi dasar penggambaran dinamika suatu ekosistem. Peningkatan
produksi
suatu
lingkungan
umumnya
akan
meningkatkan
ketersediaan makanan. Hal ini akan berdampak pada biomassa yang juga akan semakin meningkat. Ekosistem yang berbeda dengan kondisi lingkungan yang berbeda tentunya akan menggambarkan produktivitas sekunder yang berbeda pula. Laju produktivitas akan tinggi bilamana faktor-faktor lingkungan cocok dan optimal. Konsumen akan memanfaatkan energi yang diperoleh dari produsen kemudian mengubahnya menjadi jaringan tubuh. Namun tidak semua energi tersebut mampu diubah menjadi jaringan, karena salah satunya akan sangat bergantung pada kemampuan biota atau kosumen tersebut dalam mengolah dan mengasimilasi makanannya. Pertumbuhan vegetasi di hampir semua perairan laut sangat dibatasi oleh faktor ketersediaan cahaya dan ketidakstabilan substrat dasar perairan. Hal ini yang menyebabkan keberlangsungan interaksi dalam jaring-jaring makanan dasar atau di daerah afotik akan lebih banyak bergantung pada detritus vegetasi dan hewan air dibandingkan dengan vegetasi yang hidup. Studi literatur secara umum mengenai produktivitas sekunder kali ini akan difokuskan pada ekosistem pantai dengan biota bentik. Adapun secara khusus akan mengangkat studi kasus mengenai produksi sekunder di perairan Pantai San Diego, California Selatan, USA.
Studi ini menguji produksi anggota dominan infauna berpasir dominan yaitu Nebalia (Leptostraca). Meskipun sudah ditemukan lebih dari 200 tahun silam, leptostraca masih sangat jarang diteliti. Secara umum, leptostraca hidup di perairan laut dangkal (<100 meter) dengan substrat dasar pasir berlumpur yang juga berasosiasi dengan habitat lamun dan algae (Rainer and Unsworth 1991; Haney and Martin 2004; Moreira et al. 2012). Beberapa spesies amphipoda yang ditemukan di beberapa lokasi dijadikan pembanding kareana paling banyak dikaji dan memiliki ukuran rata-rata yang hampir menyerupai leptostraca.
1.2.
Tujuan Studi ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis bahwa invertebrata
infauna menjadi lebih produktif seiring dengan peningkatan ketersediaan bahan organik di habitat hidupnya.
2.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Produktivitas sekunder Carlisle Daren M. & Clements William H. (2003) menyatakan bahwa
produksi sekunder merupakan fungsi pengukuran dinamika populasi, termasuk di dalamnya proses yang terjadi pada level individu, populasi maupun ekosistem. Produksi sekunder adalah ukuran komposit sebuah kepadatan populasi biota, biomassa dan pertumbuhan selama kurun waktu tertentu (Rose Lori Valentine, Rypel Andrew L, Layman Craig A 2011). Hewan-hewan herbivora yang mendapat bahan-bahan organik dengan memakan fitoplankton merupakan produsen kedua di dalam sistem rantai makanan. Hewan-hewan karnivora yang memangsa binatang herbivora adalah produsen ketida begitu seterusnya rentetanrentetan karnivora-karnovora yang memangsa karnivora yang lain, merupakan tingkat ke empat, kelima dan sampai pada tingkat yang lebih tinggi (sehingga dinamakan trofik level) dalam sistem rantai makanan. Perpindahan ikatan organik dari satuu trofik level ke trofik level berikutnya merupakan suatu proses yang relatif tidak efisien. Di laut bebas dan banyak tempatdi daratan efisien perpindahannya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya dipercaya hanya sebesar kira-kira 10%. Itu berarti bahwa dari 100 unit bahan organik yang diproduksi oleh produsen pertama hanya 10 unit yang dapat dimanfaatkan oleh produsen kedua, 1 unit oleh produsen ketiga dan demikian seterusnya yang terjadi di sepanjang rantai makanan ini. Sifat khas rantai makanan mempunyai pengaruh yang penting dalam menentukan jumlah produksi ikan di beberapa area. Sebagai contoh produksi ikan di beberapa area dimana terjadi upwelling menunjukkan hasil yang melimpah jika dibandingkan dengan bagian laut yang lain. Pertama, hal ini disebabkan karena hasil produksi primer yang tinggi oleh banyaknya fitoplankton. Kedua, di daerah upwelling perpindahan bahan dari satu trofik level ke trofik level berikutnya dalam rantai makanan terjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan tempattempat yang lain. Pertimbangan yang lain adalah jumlah trofik level yang ada di dalam rantai makanan. Banyak tempat dimana terjadi upwelling hanya mempunyai dua atau tiga trofik level antara ikan dengan fitoplankton jika
dibandingkan dengan daerah lautan lain yang kadang-kadang sampai enam tingkatan. Makin pendek rantai makanan akan menghasilkan produksi ikan yang makin tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka dapat menghindari kehilangan bahan-bahan organik yang seharusnya dipergunakan untuk menambah setiap kenaikan trofik level pada sistem rantai makanan yang lebih besar. Akibatnya makin besar jumlah bahan-bahan produksi yang dihasilkan oleh produsen utama yang menjadi terikat ke dalam jaringan tubuh ikan. Berikut adalah gambar mengenai perpindahan energi pada daerah-daerah yang memunyai trofik level berbeda dalam sistem rantai makanan.
Energy from sunlight
Nutrient in seawater
PRIMARY PRODUCTION (Phytoplankton)
SECONDARY PRODUCTION (Herbivorous zooplankton)
TERTIARY PRODUCTION (Carnivorous zooplankton, Fish predators )
PRODUCTION AT HIGHER LEVEL
Gambar 1. Diagram perpindahan jumlah energi pada trofik level berbeda dalam sistem rantai makanan (Meadows dan Campbell 1978 in Hutabarat S dan Evans S.M. 2008)
2.2.
Karakteristik umum perairan pantai Daerah yang terletak di antara daratan dan lautan yang masih dipengaruhi
oleh pasang dikenal sebagai pantai laut. Pada beberapa tempat, lereng pantainya mempunyai bentuk landai dan di sini terdapat jarak yang besar antara tanda-tanda air pasang tertinggi dan air pasang terendah. Sedangkan di tempat-tempat lain
dimana lereng pantainya berbentuk curam, tanda-tanda air pasangnya akan kelihatan saling berdekatan. Bahan-bahan dasar pembentuk pantai pun mungkin juga berbeda-beda. Ada pantai yang terdiri dari batu-batuan, lumpur, tanah liat, pasir dan kerikil atau campuran antara dua atau lebih dari tipe-tipe ini secara bersamaan. Daerah pantai yang terdiri dari pasir atau kerikil bersih mempunyai pengecualian, karena daerah pasang surutnya dapat mendukung sejumlah besardan berjenis-jenis organisme, walaupun tipe pantai yang berbeda cenderung untuk mempunyai sifat populasi sendiri. Sebagai contoh, pantai yang terdiri dari batu-batuan merupakan tempat yang sangat baik bagi hewan-hewan atau tumbuhtumbuhan yang dapat menempelkan diri pada lapisan ini. Golongan ini termasuk banyak jenis gatropoda-moluska dan tumbuhan yang berukuran besar. Penempelan biasanya tidak mungkin dilakukan pada pasir atau lumpur pantai sehingga di daerah ini cenderung untuk didominasi oleh jenis hewan infauna. (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008). Perairan pantai San Diego, California termasuk ke dalam kategori ini. Perairan dengan substrat berpasir cenderung mengandung bahan organik yang rendah dan macrobenthic yang mendominasi adalah filter feeder (Gillet David James 2010). Daerah pantai kaya akan berjenis-jenis organisme, walaupun demikian kehidupan di sana menciptakan problema-problema. Misalnya organisme intertidal harus dapat menyesuaikan diri dalam keadaan bahaya sehubungan dengan kuatnya sinar matahari pada waktu air surut. Dalam hal yang paling serius adalah risiko kemungkinan besarnya kehilangan cairan tubuh karena semua organisme yang hidup di daerah pantai mempunyai permukaan tubuh yang basah dan mempunyai sifat cepat kehilangan air akibat penguapan. Daerah ini juga berbahaya karena kuatnya intensitas penyinaran matahari akan menyebabkan suhu perairan menjadi terlalu tinggi (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
2.2.1. Suhu Suhu merupakan suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang permukaan bumi adalah sinar matahari (Effendi 2003). Suhu di laut adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu
mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan organisme tersebut. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak dijumpai bermacammacam jenis hewan yang terdapat di berbagai tempat di dunia. Robinson et. al (1983) in Tambiolo Maria L & Downing John A (1994) menyebutkan bahwa produksi benthos laut sangat tergntung pada suhu. Produksi akan menjadi tinggi ketika suhu tinggi, karena laju fisiologi menjadi optimum pada kondisi ektotermal hangat. Baik lautan maupun daratan keduanya dipanasi oleh sinar matahari melalui suatu proses insolation. Akan tetapi pengaruh pemanasan ini tidaklah sama untuk daerah-daerah yang terletak pada lintang yang berbeda. Daerah tropikl lebih banyak menerima panas daripada daerah kutub, yang pada dasarnya disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, sinar matahari yang merambat melalui atmosfer akan banyak kehilangan panas sebelum sampai di daerah kutub, bila dibandingkan dengan daerah ekuator. Kedua, oleh karena besarnya perbedaan sudut datang sinar matahari ketika mencapai permukaan bumi. Pada daerah kutub sinar matahari yang sampai di permukaan bumi akan tersebar pada daerah yan lebih luas daripada daerah ekuator. Ketiga, di daerah kutub lebih banyak panas yang diterima oleh permukaan bumi yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Hal ini disebabkan oleh sudut relatif ketika sinar matahari mencapai permukaan bumi. Keadaan ini yang membuat insolation di daerah subtropik lebih besar daripada di daerah tropik. Alasan yang menyebabkan mengapa keanehan ini terjadi, kemungkinan karena adanya faktor awan yang menutupi.Awan ini yang menyebabkan insolation berkurang karena menyerap dan menyebarkan sinar-sinar yang datang. Daerah tropik adalah daerah yang mempunyai nilai kelembaban udara yang tinggi sehingga menyebabkan daerah ini mempunyai lapisan awan yang lebih tebal daripada daerah subtropik. Sejak sinar matahari kebanyakan diserap oleh lapisan permukaan laut, maka lapisan ini cemderung relatif panas sampai pada kedalaman 200 meter. Pada lapisan kedalaman antara 200 sampai 1000 meter, suhu turun secara mendadak yang membentuk sebuah kurva dengan lereng yang tajam dan dikenal dengan thermokline (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
2.2.2. Gelombang Gelombang selalu menimbulkan sebuah ayunan air yang bergerak tanpa henti pada lapisan permukaan laut dan jarang dalam keadaan sama sekali diam. Angin yang bertiup di atas permukaan laut merupakan pembngkit utama gelombang. Bentuk gelombang yang dihasilkancenderung tidak tertentu. Umumnya makin kencang angin bertiup makin besar gelombang yang terbentuk. Bentuk gelombang akan berubah dan akhirnya pecah ketika sampai di pantai. Hal ini disebabkan oleh karena gerakan melingkar dari partikel-partikel yang terletak di bagian paling bawah gelombang dipengaruhi oleh gesekan dari dasar laut di perairan dangkal. Bekas jalan kecil yang ditinggalkan oleh mereka kemudian berubah menjadi berbentuk elips. Hal ini mengakibatkan perubahan yang besar terhadap sifat gelombang. Gelombang sekarang bergerak ke dapan dan tinggi gelombang naik mencapai 80% kedalaman perairan. Bentuk ini kemudian menjadi tidak stabil dan akhirnya pecah yang sering disertai dengan gerakan maju ke depan yang berkekuatan sangat besar. Bila sebuah gelombang pecah, airnya akan dilemparkan jauh ke depan sampai mencapai daerah pantai. Beberapa di antaranya akan kembali lagi ke laut mengalir sebahai arus yang ada di bawah permukaan (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
2.2.3. Angin, Arus dan Upwelling Hutabarat S dan Evans S.M. (2008) mengemukakan bahwa angin adalah salah satu faktor yang paling bervariasi dalam membangkitkan arus. Arus merupakan gerakan air horizontal yang sangat luas yang terjadi pada seluruh lautan di dunia. Angin dapat juga menyebabkan timbulnya arus air vertikal yang dikenal sebagai upwelling dan sinking pada beberapa daerah pantai. Hal ini terjadi dalam keadaan dimana arah angin sejajar dengan garis pantai. Proses upwelling adalah suatu proses dimana massa air didorong ke arah atas dari kedalaman sekitar 100 sampai 200 meter yang terjadi di sepanjang pantai Barat di banyak benua. Adapaun sinking merupakan suatu proses yang mengangkut gerakan air yang tenggelam ke arah bawah di perairan pantai. Hal ini terjadi sebagai suatu hasi yang merupakan kebalikan dari proses upwelling. Angin bertiup sejajar dengan garis pantai tetapi dalam hal ini arah rata-rata aliran arus yang dirpoduksi
mereka ke arah daratan dan aliran massa air diarahkan ke bawah ketika mencapai garis pantai.
2.2.4. Pasang Surut Pasang surut atau yang biasa disebut pasut merupakan proses naik turunnya permukaan laut dengan pola yang hampir teratur yang dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari (harian). Besarnya kisaran pasang surut selalu berubah mengikuti perubahan posisi bulan dan matahari terhadap Bumi yang juga berubah secara hampir teratur (Satria 2007). Perairan yang mengalami satu kali pasang dan satu kali surut per hari dikatakan memiliki tipe pasang surut tunggal. Perairan yang memiliki dua kali pasang dan dua kali surut per hari dikatakan memiliki pasang surut ganda. Tipe pasang surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, dan dikenal sebagai sebagai pasang surut campuran. Tipe pasang surut ini dapat berubah terutama karena perubahan kedalaman perairan atau geomorfologi pantai setempat (Satria 2007). Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Palabuhan Ratu sama dengan karakteristik gelombang yang merupakan perambatan dari pengaruh pasang surut yang terjadi di Samudra Indonesia. Pasang surutnya bersifat campuran dominasi semidiurnal, yaitu tinggi pasang surut pertama tidak sama dengan tinggi pasang surut kedua. Hal tersebut dikarenakan perairan teluk berhubungan langsung dengan perairan laut lepas Samudera Hindia (Munawir 2006).
2.3.
Organisme bentik perairan pantai Organsime yang hidup di dasar lautan dikenal dengan benthos. Termasuk
di dalamnya seluruh hewan-hewan dan tumbuhan yang hidup pada daerah-daerah yang masih dipengarhui oleh air pasang (daerah littoral), daerah sublittoral dan yang tinggal di laut yang sangat dalam (daerah bathyl dan abyssal). Bermacammacam jenis hewan invertebrata banyak dijumpai di dalam benthos. Mereka mempunyai kisaran ukuran yang sangat luas yaitu dari yang berukuran sebesar protozoa sampai kepada yang berukuran sebesar crustacea dan moluska. Ukuran
ini yang kadang-kadang dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasikan mereka menjadi golongan microfauna, meiofauna dan macrofauna. Microfauna adalah istilah yang dipakai untuk menerangkan hewan-hewan yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Meiofauna adalah golongan hewan-hewan yang mempunyai ukuran 0,1 mm sampai 1,0 mm. Cacing-cacing berukuran kecil dan beberapa crustacea masuk ke dalam golongan ini. Macrofauna meliputi hewan-hewan yang mempunyai ukuran lebih besar dari 0,1 mm. Ini termasuk echinodermata, crustacea, annelida, moluska. Cara lain untuk mengklasifikasikan hewan bentik adalah dengan melihat hubungan mereka terhadap tempat hidupnya. Semua hewan yang hidup di atas permukaan dasar lautan dikenal dengan epifauna dan yang hidupnya dengan cara menggali lubang pada dasar lautan dikenal dengan infauna (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008). Nebalia yang menjadi biota spesifik dalam kajian ini tergolong ke dalam infauna. Hewan-hewan herbivora bentik semata-mata hanya bersandar pada bahan tumbuh-tumbuhan mati atau mengalami pembusukan dari sumber lain sebagai bahan makanan. Bahan-bahan ini tersedia dalam bentuk detritus yang mengandung partikel-partikel kecil atau bahan-bahan organik. Sejumlah besar bahan-bahan ini dibentuk dari sisa-sisa tumbuh-tumbuhan atau hewan bentik yang hancur yang semasa hidupnya tinggal di daerah dangkal di perairan pantai. Kemudian sebagian dari jumlah ini dibawa arus ke daerah lepas pantai. Sisa-sisa tubuh organisme pelagik juga menambah jumlah detritus yaitu ketika mereka mati dan tenggelam ke dasar. Sumber lain detritus adalah kotoran hewan yang hidup di daerah pelagik. Sebagai contoh, beberapa golongan copepoda tidak mencernakan makanan mereka secara sempurna dan akibatnya 30% fitoplankton yang dimakan mereka akan keluar lagi sebagai potongan kotoran yang tidak tercerna, ini kaya mengandung bahan-bahan organik. Hewan bentik dalam memanfaatkan sisa kotoran mengalami suatau masalah khusus, tetapi mereka mampu mengatasi hal tersebut dengan dua cara. Pertama, suspension feeder yaitu dengan cara menyaring partikel-partikel detritus yang masih melayang-layang di air. Kedua, deposit feeders yang mengumpulkan detritus yang telah menetap di atas dasar perairan. Detritus yang dapat sampai ke dasar lautan pada laut-laut yang sangat dalam hanya berjumlah relatif kecil. Karena bahan-bahan organik yang tersedia di
daerah ini menjadi kurang, maka hewan-hewan yang dapat hidup di sini pun menjadi kurang (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008). Dinamika produksi spesies bentik sangat kompleks dan informasi yang tersedia juga sangat minim (Morgan et. al 1980 in Raburu Phil, Mavuti Kenneth M, Harper David M & L Clark Frank. (2002). 2.4.
Karakteristik Nebalia Klasifikasi Nebalia menurut Leach (1814) in Todd Haney (2004) adalah
sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Subphylum
: Crustacea
Class
: Malacostraca
Order
: Leptostraca
Family
: Nebaliidae
Genus
: Nebalia
Gambar 2. Nebalia sp. (http://www.websters-online-dictionary.org) Leptostraca umumnya bentik, bermata majemuk, memiliki rostrum dengan benuk karapas lebar menutupi kepala, thoracopoda. Sejak spesies pertama Nebalia dideskripsikan, Cancer bipes Fabricus 1780, yang kemudian dikenal dengan Nebalia bipes, identifikasi 29 spesies lainnya kemudian mulai diidentifikasi (Lee Christine N W & Bamber Roger N 2011).
Leptostraca merupakan ordo crustacea yang tersebar cukup luas di perairan laut dunia, namun masih sangat sedikit dikaji. Nebalia adalah satu dari tujuh genus leptostraca yang paling dominan ditemukan. Nebalia menduduki lebih dari separuh spesies ordo Leptostraca dan yang berhasil diidentifikasi adalah 22 dari 39 spesies. Spesies yang dikenal antara lain sadalah Nebalia antarctica Dahl, 1990, Nebalia bipes Fabricius, 1780, Nebalia falklandensis Dahl, 1990, Nebalia gerkenae Haney and Martin, 2000, Nebalia patagonica Dahl, 1990 Nebalia daytoni Vetter, 1996. Rainer SF & Unsworth P (1991) menyebutkan bahwa Nebalia sp. adalah epifauna crustacea yang ketersediaannya melimpah di padang lamun di Australia bagian barat pada suhu perairan 16-27 ºC. Panjang maksimum mencapai 6,0-6,4 mm. Nebalia sp. berkembang biak sepanjang tahun. Faktor predasi merupakan sumber utama kematian pada saat kepadatan Nebalia sp. tinggi. Nebalia daytoni umumnya ditemukan di pantai San Diego, California Selatan, USA. Crustacea ini biasanya ditemukan di dasar substrat berpasir di kedalaman 8 sampai 35 meter. Berbeda dengan Nebalia spesies lain, species ini menyenangi pasir perairan oligotrophik dibandingkan dengan sedimen yang kaya. Spesies ini sangat mudah dikenali dari bagian mata, yaitu bagian anterior rata serta memiliki antennular flagelum yang pendek (Vetter, Eric W. 1996). 2.5.
Bahan organik Jumlah bahan organik terlarut dalam air laut biasanya melebihi rata-rata
bahan organik tidak terlarut. Semua bahan organik ini dihasilkan oleh organisme hidup melalui proses metabolisme dan hasil pembusukan. Ekresi dari mikroorganisme merupakan sumber yang penting dari bahan organik karbon. Proses pelepasan nitrogen dan fospor dari organisme mati dalam air laut terjadi dengan cepat. Hampir seluruh organik karbon terlarut dalam air laut berasal dari karbondioksida yang dihasilkan oleh fitoplankton. Konsentrasinya tergantung pada keseimbangan antara rata-rata organik karbon terlarut yang dibentuk oleh hasil pembusukan, eksresi dan rata-rata hasil penguraian atau pemanfaatannya. Hopkinson Charles S et al. (1998) menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas bahan organik yang masuk ke daerah estuaria ditentukan oleh masukan
bahan organik daratan yang terbawa oleh aliran sungai. Bahan organik tidak terlarut dalam air laut berukuran lebih besar dari 0,5 µm. Pada lapisan permukaan air laut material organik tak terlarut ini berupa detritus dan fitoplankton. Pada zona eufotik konsentrasinya lebih tinggi dari lapisan di bawahnya. Bahan organik tak terlarut ini berfungsi menyediakan makanan untuk organisme pada beberapa tingkatan tropik. Organik karbon tak terlarut yang terdapat di laut sumber makanan penting bagi filter feeder.
3.
3.1.
METODOLOGI
Lokasi pengambilan contoh Studi dilakukan menggunakan SCUBA dari kedalaman 19 sampai 21
meter sepanjang 0.7 km dari garis pantai San Diego (California, USA, 32o 52’ Utara dan 117o 15.5’ Barat). Penelitian ini dimulai dari Juni 1991 sampai September 1994. Suhu dasar perairan berkisar 6 - 22oC.
Gambar 3. Lokasi Studi: Pantai San Diego, California Selatan, USA. Sumber : www.maps.google.com
3.2.
Metode pengambilan contoh Menurut Munari Cristina & Mistri Michele (2007), perhitungan
produktivitas sekunder tahunan komunitas macrobenthic memakan waktu yang cukup lama dan relatif mahal. Namun, metode empiris berdasarkan data biomassa yang relatif mudah untuk diperoleh dapat digunakan dalam menilai dan mengkaji produktivitas sekunder suatu perairan. Pengambilan contoh sedimen dilakukan per bulan, dari kedalaman 19 sampai 20 meter menggunakan core dengan diameter 7.6 cm. Core ditekan sepanjang 20 cm secara vertikal ke dalam sedimen. Pengambilan contoh dibagi
menjadi 3 kelompok. Core pada masing-masing kelompok diambil dengan jarak 1 meter satu sama lain. Sedangkan jarak antar kelompok core adalah 4 sampai 8 meter. Beberapa contoh non kuantitatif juga diambil dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah contoh Nebalia daytoni. Selama 2 tahun, 2377 individu diperoleh untuk menduga produksi (rata-rata 97.9 individu/bulan pada tahun pertama dan 100.2 individu/bulan pada tahun kedua). Sedimen kemudian disaring dengan penyaring ber mess-size 500 µm. Contoh kemudian diawetkan dengan menggunakan formalin 4% air laut dan diwarnai dengan menggunakan Rose Bengal selama 48 jam. Contoh selanjutnya dipindahkan ke dalam etanol 70% dan disortasi di bawah mikroskop untuk memisahkan Nebalia daytoni yang diperlukan pada tahap pengukuran karapas. Pengukuran karapas dimulai dari titik paling anterior (di bawah mata) sampai pada titik paling posterior karapas menggunakan bantuan mikroskop yang dilengkapi mikrometer okular. Beberapa
pengumpulan
contoh
non
kuantitatf
diperlukan
untuk
menganalisa hubugan antara panjang karapas dan berat kering. Biota hidup dilarutkan dengan etanol dan dikeringkan pada suhu 62oC sampai berat konstan, kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik Sartorius. Produksi sekunder Nebalia daytoni diduga dengan menggunakan metode kohort rata-rata. Metode ini menghitung kohort rata-rata, distribusi frekuensi ukuran rata-rata populasi dari sata contoh. Hamilton (1969) memodifikasi persamaan produksi Hynes & Coleman (1968) menjadi: ∑( ̅
̅
) √̅
̅
P adalah estimasi produksi, i adalah jumlah terjadinya kehilangan (setara dengan jumlah kelas ukuran yang digunakan), ̅ adalah rata-rata jumlah individu pada kelas ke-j, dan ̅ adalah berat kering rata-rata individu pada kelas ukuran ke-j. Interval kelas ukuran yang dipakai adalah 0.2 mm. Hasil kalkulasi produksi sekunder yang digunakan dalam studi ini selalu menunjukkan pengurangan biomassa diantara peningkatan ukuran. Hal ini terjadi karena terdapat peningkatan rata-rata kelimpahan kelompok ukuran yang lebih besar atau bisa juga dikarenakan laju pertumbuhan antar kelas ukuran yang tidak
seragam. Tentunya nilai negatif bersifat teori yang menunjukkan terjadinya sampling error dan nilai ini tetap dimasukkan ke dalam perhitungan untuk menyeimbangkan error positif. Perhitungan produktivitas sekunder dapat dilakukan melalui 3 metode pendekatan yaitu Metode Increment Aummation digunakan untuk taksa yang dapat dibedakan kohortnya berdasarkan analisis frekuensi panjang. Metode Removal Summation serta Metode frekuensi ukuran yang digunakan untuk semua jenis serangga kecuali Chironomid (Benke in 1996 in Carlisle Daren M. & Clements William H. 2003).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Rata-rata kepadatan Nebalia daytoni selama Juni 1991 sampai Juni 1993 adalah 950 individu/m2 (sd=300), dengan kepadatan maksimum terjadi pada akhir musim semi dan awal musim panas. Sedangkan kepadatan minimum terjadi di akhir musim panas dan di awal musim dingin. Produksi sekunder Nebalia daytoni pada studi ini dihitung selama 2 tahun. Biomassa diduga menggunakan persamaan regresi panjang karapas (CL) dengan berat kering. Persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi: Berat kering = (8.90 x 10-5) x CL2.16 Produksi pada tahun pertama (Tabel 1) sebesar 0.93 gram berat kering/m2/tahun. Nilai rasio P/B = 2.92 dan rata-rata kepadatan 1087 individu/m2. Adapun tahun kedua (Tabel 2) nilai rasio P/B meningkat menjadi 3.17. Namun produksi menurun menjadi 0.66 gram berat kering/m2/tahun. Hal ini dikarenakan penurunan kepadatan (814 individu/m2) dan ukuran tubuh rata-rata. Rata-rata selama 2 tahun, 22% individu yang disampling berada dalam kondisi matang sex (>2 mm CL). Hewan matang sex mencapai 53% dari total biomassa populasi selama 2 tahun studi (Gambar 1) masing-masing 76% produksi pada tahun pertama serta 63% pada tahun kedua (Tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Nebalia daytoni. Perhitungan biomassa dan produksi sekunder selama Juni 1991 sampai Juni 1992 menggunakan metode kohort rata-rata.
Tabel 2. Nebalia daytoni. Perhitungan biomassa dan produksi sekunder selama Juni 1992 sampai Juni 1993 menggunakan metode kohort rata-rata.
Keterangan: Size class ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅ ̅
: Panjang karapas : Rata-rata jumlah individu pada kelas ke-j : Jumlah individu yang hilang dari satu kelas ukuran ke kelas ukuran berikutnya : Berat kering individu pada kelas ke-j : Biomassa kering ukuran kelas ke-j : Rata-rata geometrik berat kering 2 kelas ukuran ̅ ̅ ̅
Gambar 4 menunjukkan diagram batang distribusi frekuensi kelas ukuran Nebalia daytoni selama 2 tahun studi (Juni 1991 sampai Juni 1993). Terlihat dua kohort untuk masing-masing kelimpahan dan biomassa. Sebaran frekuensi biomassa, kelimpahan, produksi organisme menurun dari tahun pertama ke tahun berikutnya.
Gambar 4. Nebalia daytoni. Kelimpahan dan biomassa organisme (*kelas ukuran terkecil organisme matang sex).
Produksi sekunder dapat diduga menggunakan rasio produksi dan biomassa atau algoritma berdasarkan lama hidup tahunan, massa tubuh dewasa atau kombinasi biomassa tahunan rata-rata, bimassa individu rata-rata, suhu ratarata tahunan dan kedalaman. Perhitungan dengan menggunakan metode-metode tersebut cocok pada kondisi tertentu saja. Namun, teknik ini dibatasi oleh variasi laju pertumbuhan oleh karena perbedaan umur invertebrata. Hal inilah yang menjadi landasan pendugaan produksi sekuder dalam studi ini langsung menggunakan data kelimpahan populasi dan frekuensi ukuran. Tabel 3 menunjukkan perbandingan produksi sekunder antara beberapa spesies Nebalia dan amphipoda di beberapa lokasi. Amphipoda dipilih sebagai pemabanding karena terdapat kesamaan ekologi dengan Nebalia. Selain itu jumlahnya yang relatif melimpah. Amphipoda dan leptostraca juga sering mengalami tumpang tindih dalam hal habitat, ukuran dan modus trofik (makanan). Sehingga ketersediaan makanan di suatu perairan terlihat memberikan pengaruh yang sama terhadap produksi sekunder amphipoda maupun leptotraca. Data pada Tabel 3 menunjukkan hanya ada 2 studi produksi sekunder terhadap Nebalia. Rainer & Unsworth (1991) melakukan studi populasi Nebalia sp. yang hidup di padang lamun Australia bagian barat. Produksi tahunan 5.8 gram berat kering/m 2 serta nilai rasio P/B = 22.5. Adapun Vetter (1994) menemukan populasi Nebalia hessleri hidup di perairan subtidal yang terdapat akumulasi detritus macrophyta. Produksi sekunder tahunan N.hessleri mencapai 3300 gram berat kering/m2, nilai rasio P/B = 7.8. Kedua spesies Nebalia ini ditemukan di habitat yang kaya akan detritus. Selain itu, jika dibandingkan dengan amphipoda, produksi sekunder dan nilai rasioa P/B kedua spesies ini relatif tinggi. Sedangkan produksi sekunder serta nilai rasio P/B spesies Nebalia daytoni pada studi ini paling rendah. Hal ini dikarenakan kepadatan dan ukuran tubuh spesies ini adalah kecil.
Tabel 3. Produksi dan nilai rasio P/B Nebalia dan beberapa spesies amphipoda
Secara umum, habitat dengan vegetasi tinggi sangat mendukung produktivitas yang tinggi dibandingkan dengan habitat tanpa vegetasi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sisa karbon yang berasal dari detritus macrophyta tidak menjadi nutrien makrofauna, namun tetap akan memperkaya pertumbuhan detritivora. Beberapa tumbuhan membutuhkan proses mikrobial sebelum dapat dikosunsimsi oleh makrofauna. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa algae dapat bermanfaat untuk pertumbuahn deposit feeder. Munari Cristina & Mistri Michele (2007) menambahkan bahwa keberadaan organisme benthik di perairan akan memberikan pengaruh langsung terhadap proses biokimia sedimen dan menjaga stabilitas sedimen. Bahkan komunitas macrobenthik menjadi indikator paling baik untuk mendeteksi kondisi suatu ekosistem perairan. Parameter lingkungan seperti konsentrasi oksigen, kualitas dan ketersediaan makanan, serta suhu perairan dapat mempengaruhi laju pertumbuhan biota. Habitat padang lamun mendukung produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan substrat dasar yang lembut dan daerah intertidal (Tambiolo Maria L & Downing John A 1994).
Peningkatan produktivitas biasanya akan berdampak pada peningkatan ketersediaan makanan. Peningkatan produktivitas dapat dicerminkan dari nilai rasio P/B populasi yang lebih tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa produksi dan rasio P/B yang tinggi sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan organik habitat biota. Berdasarkan Tabel 3, nilai rasio P/B amphipoda hanya berkisar anatar 1.0 sampai 5.0. Hal ini sesuai dengan fakta studi habitat amphipoda pada daerah yang kurang kaya bahan organik. Kesimpulannya adalah lebih dari 3 data tepat digunakan dalam menilai hubungan antara ketersediaan makanan dan pertumbuhan leptostraca. Menurut Haley Carol J (1997) karakteristik ekologi, kebiasaan dan fungsi morfologi mempengaruhi aktivitas makan biota.
5. KESIMPULAN
Leptrotraca dan amphipoda (invertebrata infauna) per unit biomassa menjadi lebih produktif di habitat dengan ketersediaan bahan organik tinggi (yang umumnya dalam bentuk detritus)
DAFTAR PUSTAKA Carlisle Daren M. & Clements William H. 2003. Growth and secondary production of aquatic insects along a gradient of Zn contamination in Rocky Mountain streams. J. N. Am. Benthol. 22(4): 582–597. Effendi Hefni. 2009. Telaah Kualitas. Air. Yogyakarta: Konisius. Gillet David James. 2010. Effects of habitat quality on secondary production in shallow estuarine waters and the consequences for the benthic-pelagic food web. [dissertation]. The Faculty of the School of Marine Science. Virginia: The College of William and Mary. Haley Carol J. 1997. Comparisons of Secondary Production, Life History, and Mouthpart Functional Morphology Between Two Populations of the Amphipod Gammarus minus. [dissertation]. Faculty of the Virginia Polytechnic Institute. Hopkinson Charles S, Buffam Ishi, Hobbie John, Vallino Joseph, Perdue Michael, Eversmeyer Bruce, Prahl Fredrick, Covert Joseph, Hodson Robert, Moran Mary Ann, Smith Erik, Baross John, Crump Byron, Findla Stuart & Foreman Kenneth.1998.Terrestrial inputs of organic matter to coastal ecosystems: An intercomparison of chemical characteristics and bioavailability. Biogeochemistry 43: 211–234. Hutabarat, Sahala dan Evans, Stewart M. 2008. Pengantar Oseanografi. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Lee Christine N W & Bamber Roger N. 2011. A new species of Nebalia (Crustacea: Phyllocarida: Leptostraca) from the Cape d’Aguilar Marine Reserve, Hong Kong. Zootaxa. 3091: 51-59. Moreira Juan, Sezgin Murat, Katagan Tuncer, Gonulal Onur, Topaloglu. 2012. First record of a bathyal leptostracan, Nebalia abyssicola Fage, 1929 (Crustacea: Malacostraca: Phyllocarida), in the Aegean Sea, eastern Mediterranean. Turk J Zool. 36 (3): 351-360 Munari Cristina & Mistri Michele. 2007. Structure and secondary production of the macrobenthic community in an aquatic transition environment of the Gulf of Olbia, Mediterranean Sea. Indian Journal of Marine Sciences. 36 (3): 216-226. Munawir. 2006. Interpretasi sebaran nilai target strength (TS) dan densitas ikan demersal dengan metode hidroakuatik di Teluk Palabuhan Ratu [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Raburu Phil, Mavuti Kenneth M, Harper David M & L Clark Frank. 2002. Population structure and secondary productivity of Limnodrillus
hoffmeisteri (Claparede) and Branchiura sowerbyi Beddard in the profundal zone of Lake Naivasha, Kenya. Hydrobiologia. 488: 153-161. Rainer SF & Unsworth P. 1991. Ecology and production of Nebalia sp. (Crustacea : Leptostraca) in a shallow-water seagrass community. Australian Journal of Marine and Freshwater Research. 42(1) 53 – 68. Rose Lori Valentine, Rypel Andrew L, Layman Craig A. 2011. Community secondary production as a measure of ecosystem function: a case study with aquatic ecosystem fragmentation. Bulletin of Marine Science. 87 (4): 913937. Satria K D. 2007. Kajian oksigen terlarut selama 24 jam pada lokasi karamba jaring apung di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tambiolo Maria L & Downing John A. 1994. An empirical model for the prediction of secondary production in marine benthic invertebrate populations. Mar.Ecol.Prog.Ser. 114: 165-174. Todd Haney. 2004. Classification. Natural History Museum of Los Angeles County. Retrieved on 2007-08-08. Vetter Eric W. 1996. Nebalia Daytoni N. Sp. a Leptostracan From Southern California (Phyllocarida). Crustaceana. 69 (3): 379-386 (8). Vetter Eric W. 1996. Secondary production of a Southern California Nebalia (Crustacea: Leptostraca). Mar Ecol Prog Ser. 137: 95-101.