WP/13/2014
WORKING PAPER
PRODUKTIVITAS DAN UPAH OPTIMAL TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI INDONESIA
G.A. Diah Utari Ferry Syarifudin Retni Cristina S.
2014
Simpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
1
PRODUKTIVITAS DAN UPAH OPTIMAL TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI INDONESIA G.A. Diah Utari, Ferry Syarifuddin, dan Retni Cristina1
Abstrak Keadaan pasar tenaga kerja dengan karakteristik kelebihan penawaran tenaga kerja di satu sisi dan produktivitas tenaga kerja yang rendah di sisi lain menyebabkan upah menjadi isu sentral dalam bidang ketenagakerjaan. Penelitian ini terutama bertujuan untuk (i) melakukan analisis apakah perkembangan kenaikan upah riil di sektor industri pengolahan masih sejalan dengan perkembangan produktivitas tenaga kerja, (ii) melakukan perhitungan atas besaran upah optimal di sektor industri pengolahan, dan (iii) melakukan analisis mengenai dampak perbedaan upah aktual dan upah optimal terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan. Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian di atas masing-masing adalah metode panel kointegrasi Westerlund, metode panel data dengan metode fixed effect, serta model panel data dinamis. Data yang digunakan adalah data statistik industri besar dan sedang dengan periode 1998–2009 untuk penghitungan fungsi produksi dan data panel provinsi sektor industri pengolahan dari tahun 2002–2012. Hasil empiris membuktikan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan kointegrasi antara produktivitas tenaga kerja dan upah riil pekerja di sektor industri pengolahan. Dari hasil perhitungan upah optimal ditemukan bahwa selama periode pengamatan, sebagian besar provinsi di Indonesia (18–20 provinsi) membayarkan upah aktual kepada pekerja di sektor industri pengolahan lebih besar jika dibandingkan dengan upah optimal. Selanjutnya, hasil empiris membuktikan bahwa semakin besar selisih upah optimal terhadap upah aktual akan berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan. Selain itu, pertumbuhan output sektor manufaktur, serta average years of schooling pada tiap-tiap provinsi berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan. Ketidakselarasan antara pertumbuhan upah riil dan produktivitas tenaga kerja perlu mendapat perhatian agar tidak memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan ekonomi makro. Key words
: tenaga kerja, upah, industri pengolahan
JEL Classification : E24, L6
Peneliti Ekonomi di Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral. Tulisan dalam paper ini merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan pendapat Bank Indonesia. Ucapan terima kasih ditujukan kepada pimpinan PRES Bpk. Iskandar Simorangkir, Bpk. Wijoyo Santoso, dan rekan peneliti PRES serta departemen terkait atas masukan yang konstruktif. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bella Herwanda atas bantuan pengolahan data. Peneliti dapat dihubungi di
[email protected], ferry.s @bi.go.id, dan
[email protected] 1
2
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dalam kondisi dinamika ketenagakerjaan yang semakin kompleks, upah
masih tetap menjadi persoalan utama di negara berkembang seperti Indonesia. Keadaan pasar tenaga kerja dengan karakteristik kelebihan penawaran tenaga kerja di satu sisi dan mutu angkatan kerja rendah di sisi lain menyebabkan upah menjadi isu sentral dalam bidang ketenagakerjaan. Realitas masih banyaknya pekerja berpenghasilan rendah dan minimnya pelindungan sosial telah mendorong pemerintah untuk menetapkan kebijakan upah minimum. Terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah perlu berperan dalam penetapan upah minimum, yaitu untuk pemerataan hasil pembangunan dan menjaga daya beli masyarakat terhadap risiko inflasi. Selain itu kebijakan upah minimum diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pekerja dan perusahaan. Sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup layak, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas.
Sumber: BPS
Sumber: ILO dan CEIC, Diolah
Grafik 1. Upah Minimum Nasional dan Provinsi
Grafik 2. Pertumbuhan Upah Riil dan Produktivitas (2013)
Rata-rata kenaikan upah minimum nominal di Indonesia pada tahun 2013 cukup signifikan, yaitu 19% dari tahun sebelumnya (Grafik 1), tetapi secara riil kenaikan tersebut lebih kecil. Kenaikan itu merupakan yang tertinggi dalam 8 tahun terakhir. Kenaikan upah minimum di DKI Jakarta bahkan mencapai 43% dan membawa pengaruh yang cukup luas, tidak hanya pada wilayah penyangga ibu 3
kota, tetapi juga ke wilayah lainnya seperti Riau Kepulauan, Kalimantan Timur, Bali, dan Bengkulu yang kenaikannya lebih dari 20%. Anglingkusumo et al. (2013) yang melakukan estimasi terhadap sektor pertanian, industri, dan perdagangan menemukan
bahwa
dampak
kebijakan
upah
minimum
provinsi
(UMP)
ditransmisikan ke upah aktual dalam tahun yang sama. Walaupun sudah menjadi hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang setara dengan upah minimum, tingkat kerentanan dan informalitas yang tinggi di pasar
kerja
serta
kapasitas
pengawasan
ketenagakerjaan
yang
terbatas
menyebabkan sekitar sepertiga dari pekerja memperoleh upah di bawah upah minimum provinsi2. Dengan penetapan upah minimum, pemerintah berupaya agar upah yang diterima dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya secara wajar3. Namun, di sisi lain produktivitas tenaga kerja Indonesia kurang dapat bersaing jika dibandingkan dengan tenaga kerja negara-negara di ASEAN. Dari Grafik 3 terlihat kenaikan upah riil Indonesia cukup tinggi, sedangkan produktivitas tenaga kerjanya kurang bersaing. Pada masa akan yang datang, Indonesia akan terjepit antara negara low income yang masih bisa mengandalkan ekspor berbasis buruh murah dengan negara high income yang menghasilkan produk berbasis teknologi tinggi dan inovasi dengan produktivitas tinggi. Keselarasan antara pertumbuhan upah riil dan produktivitas tenaga kerja telah
dipahami
secara
luas
merupakan
kondisi
yang
dibutuhkan
untuk
menciptakan stabilitas makroekonomi. Kondisi tersebut membantu menjaga daya saing perekonomian serta mencegah tekanan inflasi yang berlebihan. Dalam kenyataannya peningkatan upah riil di negara-negara emerging market sering melampaui peningkatan produktivitas. Adanya ketidakselarasan itu di antaranya bersumber dari terbatasnya tenaga kerja terlatih serta kebijakan upah yang kurang tepat (Mihaljek dan Saxena, 2010). Tekanan akan kenaikan upah di satu sisi dapat dimaklumi karena inflasi yang cukup tinggi telah menggerus pendapatan pekerja berpenghasilan rendah. 2 3
Berdasarkan laporan ILO, Desember 2013 “Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2013”. Batas kewajaran tersebut dalam Kebijakan Upah Minimum dapat dinilai dan diukur dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) atau seringkali disebut dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Hal ini diatur dalam Permenakertrans No. 01 Tahun 1999 tentang Upah Minimum Juncto Kepmenakertrans No. 226/MEN/2000 tentang perubahan beberapa pasal dalam Permenaketrans No. 01 tahun 1999. Upah minimum ditetapkan berdasarkan pada kebutuhan hidup layak buruh/pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun.
4
Namun, di sisi lain, penetapan kebijakan yang kurang fleksibel menimbulkan dilema tersendiri bagi pengusaha, khususnya untuk industri padat karya yang upah buruhnya mendominasi biaya produksi. Kondisi seperti itu dapat mengganggu keberlangsungan perusahaan. Dari sisi makro, tekanan kenaikan upah yang tidak diikuti peningkatan produkvitas akan membuat daya saing produk Indonesia menjadi berkurang. Terlebih lagi dengan akan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 yang aliran jasa, khususnya tenaga kerja kerah putih, akan diperkenankan untuk berkompetisi di masing-masing negara ASEAN, issue peningkatan produktivitas menjadi sangat penting. Setelah 2015 bukan tidak mungkin pasar tenaga kerja yang bebas (free labour market) akan mencakup semua golongan pekerja. Sejauh mana aspek produktivitas mempengaruhi kebijakan upah belum banyak
dibahas.
Namun,
kesadaran
akan
pentingnya
memperhitungkan
produktivitas dalam penetapan upah telah diakomodasi oleh pemerintah. Melalui Inpres No. 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam Rangka
Keberlangsungan
Usaha
dan
Peningkatan
Kesejahteraan
Pekerja,
pemerintah menginstruksikan kebijakan upah minimum agar diselaraskan dengan aspek produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional untuk mewujudkan keberlangsungan usaha dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Langkah pemerintah memasukkan elemen produktivitas dalam sistem penghitungan upah minimum merupakan langkah maju untuk menciptakan keadilan (fairness), baik bagi pekerja maupun pengusaha. Dari sisi pekerja, sistem upah
berbasis
produktivitas akan membuat mereka lebih dihargai dan produktif karena akan mendapatkan imbalan yang lebih tinggi. Dari sisi perusahaan, upah berbasis produktivitas
akan
meningkatkan
daya
saing
produk
dan
meningkatkan
keuntungan perusahaan. Selanjutnya diharapkan iklim ketenagakerjaan dan investasi juga semakin baik.
1.2 Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Teori ekonomi menyatakan bahwa pertumbuhan agregat upah riil ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas pekerja. Peningkatan upah riil yang tidak sejalan dengan pertumbuhan produktivitas dalam jangka panjang akan menimbulkan dampak yang serius, baik dari sisi mikro maupun makro.
Dari sisi sektoral,
permasalahan UMP dan produktivitas di sektor industri pengolahan lebih mendapatkan
sorotan
karena
sektor
ini
memiliki
pangsa terbesar
dalam 5
perekonomian4 dan merupakan penyedia lapangan kerja terbesar ke-4. Sektor industri pengolahan yang mampu berkompetisi dalam jaringan rantai produksi global (global supply chain) akan
dapat menjaga kesinambungan pertumbuhan
ekonomi domestik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini analisis produktivitas dan upah tenaga kerja mengacu pada data yang bersumber dari sektor industri pengolahan. Dengan perumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dari kajian ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimana kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia, khususnya sektor industri pengolahan? 2) Apakah kenaikan upah riil saat ini masih sejalan dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja? 3) Berapakah tingkat upah optimal yang sesuai dengan produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan ? 4) Bagaimana dampak perbedaan upah riil dan upah optimal terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan? Dari pertanyaan penelitian tersebut, tujuan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) melakukan analisis terhadap karakteristik pasar tenaga kerja di Indonesia, khususnya sektor industri pengolahan; 2) melakukan analisis apakah perkembangan kenaikan upah riil masih sejalan dengan perkembangan produktivitas tenaga kerja; 3) melakukan perhitungan atas besaran upah optimal di sektor industri pengolahan; dan 4) melakukan analisis mengenai dampak perbedaan upah aktual dan upah optimal terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan.
II. STUDI LITERATUR
4
Walaupun dalam perekonomian masih yang terbesar, pangsa sektor manufaktur cenderung mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir. Pada 2013 share sektor manufaktur terhadap PDB adalah 25,5% menurun dari 26,8% pada 2008 dan 28% pada 2003.
6
2.1 Upah dan Produktivitas Teori Walrasian mengenai keseimbangan pasar tenaga kerja menyatakan bahwa dalam kondisi tanpa adanya friksi di pasar, pekerja akan menerima upah sesuai dengan marginal productivity yang diukur dengan unit output. Prinsip yang serupa juga diterangkan dalam kondisi Solow, yaitu dalam memaksimalkan profit, perusahaan harus membayar upah riil yang elastisitas dari produktivitas terhadap upah adalah 1. Jika upah masih di bawah produktivitas, perusahaan akan lebih untung jika menambah pekerja. Dengan menganggap faktor lain konstan, output per tenaga kerja yang semakin tinggi akan meningkatkan permintaan tenaga kerja dan selanjutnya akan meningkatkan kompensasi untuk tenaga kerja sepanjang kurva labor supply tidak elastis. Dengan berlakunya diminishing return, peningkatan kompensasi untuk tenaga kerja akan berhenti ketika tidak terjadi lagi peningkatan produktivitas tenaga kerja. Keterkaitan antara upah dan produktivitas salah satunya dijelaskan dalam teori efficiency wage5. Hipotesis dasar dari teori efisiensi upah adalah bahwa produktivitas pekerja berhubungan positif dengan upah yang diterima. Mankiw (2003) menyatakan bahwa upah dapat digunakan sebagai pendorong produktivitas serta motivasi dan memperkuat hubungan kerja antara pengusaha dan tenaga kerja pada jangka panjang. Oleh karena itu, tingkat upah yang diterima perlu mencukupi kebutuhan dan besarannya sesuai dengan harapan ekonomis. Jika hubungan antara upah dan produktivitas ini terjadi, perusahaan akan lebih diuntungkan dalam membayar upah yang melebihi nilai pasar. Hal itu dimungkinkan karena upah yang meminimalkan biaya tenaga kerja, kemungkinan bukanlah upah yang ditentukan pasar. Pengusaha akan keberatan untuk memotong upah meskipun pada kondisi kelebihan penawaran tenaga kerja karena keuntungan yang didapat dari pengurangan upah tidak sebanding dengan biaya yang terjadi karena penurunan produktivitas. Implikasi dari uraian ini dapat dijelaskan pada Gambar 1. Garis ww merupakan tingkat upah yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan kondisi Solow. Pada tingkat upah tersebut jumlah pekerja yang optimal bagi perusahaan adalah sebesar Nd. Sementara itu, jumlah suplai tenaga kerja pada tingkat upah sebesar w adalah Ns. Oleh karena itu, terdapat ketidakseimbangan di 5
Teori efficiency wage diperkenalkan oleh Harvey Leibenstein pada 1960-an dan Joseph Stiglitz pada tahun 1970-an. Ulasan dalam paper ini berdasarkan tulisan dari Katz (2006) dalam paper Efficiency Wage Theories: A Partial Evolution”
7
pasar tenaga kerja karena adanya pengangguran sebesar Ns-Nd. Pada kondisi tersebut, perusahaan tidak memilih untuk menurunkan upah dengan pertimbangan di atas. Namun, sebagai akibatnya akan mudah terjadi permanent unemployment.
Real Wage
D
S
W
W Efficiency Wage
D S
Nd
Ns
Quantity of Labor Employed
Unemployment
Grafik 3. Efficiency Wage
Selain pertimbangan untuk mencegah penurunan produktivitas, alternatif rasionalisasi dari pembayaran upah di atas upah pasar adalah (i) meminimalkan biaya turn over dan jumlah pekerja yang keluar dari pekerjaanya. Pada umumnya besaran upah berkaitan dengan tingkat turn over. Perusahaan dengan upah yang tinggi umumnya memiliki turn over pegawai yang rendah demikian pula sebaliknya; (ii) berkompromi dengan keberadaan serikat pekerja guna menciptakan kondisi berusaha yang lebih kondusif; dan (iii) ekspektasi untuk memperoleh pelamar kerja yang berkualitas lebih tinggi. Jika kemampuan pekerja heterogen dan jika kemampuan dan upah berkorelasi positif, perusahaan yang menawarkan upah lebih tinggi akan menarik pelamar kerja yang berkualitas lebih tinggi. Dalam kondisi perusahaan tidak bisa mengamati kualitas pelamar dan dilakukan perekrutan secara acak, upah yang lebih tinggi meningkatkan kemampuan yang diharapkan dari pekerja (Stiglitz 1976, Weiss 1980). Adanya distorsi antara upah yang diterima pekerja dengan upah yang berlaku di pasar juga diterangkan dalam teori insider versus outsider (Lindbeck dan Snower,
8
2001). Menurut teori itu pekerja di perusahaan yang disebut insider menggunakan kekuatannya untuk mendorong upah di atas harga pasar, tetapi perusahaan tidak berupaya untuk mengganti mereka dengan tenaga kerja baru (outsider) karena biaya turn over pekerja yang dikeluarkan akan lebih tinggi. Teori insider ini didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu (i) perusahaan menanggung biaya turn over yang tidak dapat seluruhnya dibebankan kepada pekerjanya, (ii) insider memiliki market power yaitu support oleh serikat pekerja, (iii) pekerja baru yang bekerja cukup lama di perusahaan akan berasosiasi dengan biaya turn over pekerja yang sama besarnya dengan insider dan memiliki kesempatan untuk menegosiasikan kembali upahnya, (iv) keputusan mengenai tenaga kerja dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait exit policy dan peningkatan keahlian pekerja akan membantu mengurangi kekuatan insider dan memperkuat posisi tawar outsider. Menurut Mankiw (2005), keterkaitan antara upah riil dan produktivitas perlu dilihat dengan hati-hati dengan berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, pengukuran upah harus berdasarkan total kompensasi yang meliputi upah dalam bentuk cash dan kompensasi yang intangible (fringe benefit.) Dalam situasi kompensasi intangible, seperti dana pensiun dan asuransi kesehatan menjadi bagian utama dari kompensasi, upah dalam bentuk cash umumnya tidak sejalan dengan produktivitas. Kedua, pemilihan indeks harga sangat penting karena produktivitas dihitung berdasarkan data output. Deflator yang tepat untuk penghitungan adalah deflator harga yang terkait dengan ouput dan bukan deflator yang terkait dengan konsumsi. Upah riil yang dihitung dengan indeks harga konsumen (CPI) akan jatuh jika dibandingkan dengan produktivitas. Ketiga, adanya heterogenitas pekerja. Produktivitas lebih mudah dihitung dengan menggunakan rata-rata pekerja, yaitu total ouput dibagi dengan total jam kerja. Namun, tidak semua tipe pekerja memiliki perubahan tingkat produktivitas yang sama dengan rata-rata.
Produktivitas
rata-rata
(average
productivity)
lebih
sesuai
jika
dibandingkan dengan upah riil rata-rata. Keempat, tenaga kerja bukan satu satunya input faktor produksi, faktor produksi lainnya adalah kapital. Sesuai dengan teori, pengukuran produktivitas yang tepat untuk menentukan upah riil adalah marginal product of labor (MPL), yaitu jumlah tambahan output yang dapat dihasilkan dengan adanya tambahan jumlah pekerja. Dengan standar fungsi produksi Cobb Douglas, marginal productivity (dY/dL) telah proporsional dengan average productivity.
9
Teori ekonomi menyatakan hubungan antara upah riil, produktivitas tenaga kerja, dan kaitannya dengan share tenaga kerja. Dalam suatu perekonomian yang mengombinasikan faktor input kapital dan tenaga kerja, output dinyatakan dalam fungsi Cobb Douglas (1960) sebagai berikut6 𝑌 = 𝐴𝐾 𝛼 𝐿1−𝛼 ..............................................................................................(1) dan jika dinyatakan dalam persamaan logaritma dapat dituliskan sebagai ln 𝑌 = ln 𝐴 + 𝛼𝑙𝑛 𝐾 + 𝛽 ln 𝐿, 𝛼 + 𝛽 = 1…………………………………...................(2) Keterangan: Y = total output, L = input tenaga kerja, dan K = input kapital; A = indeks agregat teknologi atau sering disebut dengan TFP (total factor productivity). 𝛼, 𝛽 adalah share dari kapital dan tenaga kerja terhadap output. Nilai 𝛼, 𝛽, dan A merupakan estimasi statistik dari persamaan. Perubahan nilai A menunjukkan adanya perubahan/shifting dari hubungan antara agregat output dan agregat input yang disebabkan oleh perubahan teknologi (seperti perubahan efisiensi dan/atau perubahan skala operasi perusahaan). Persamaan ini menggunakan asumsi sebagai berikut. i)
Perubahan teknologi adalah eksogen artinya ditentukan di luar model. Jumlah tenaga kerja dan kapital tidak memiliki dampak terhadap perubahan teknologi.
ii) Constant return to scale artinya peningkatan faktor produksi akan mendorong peningkatan output dalam proporsi yang setara sehingga nilai 𝛼 berada dalam rentang 0 dan 1. iii) Adanya diminishing return pada faktor produksi. Dengan menganggap faktor lain konstan, penambahan faktor produksi berakibat pada menurunnya marginal product dari faktor yang digunakan. Penambahan faktor produksi (tenaga kerja) pada titik tertentu hanya akan memberikan tambahan yang terbatas pada peningkatan output. Dengan membuat turunan pertama dari persamaan (1) terhadap tenaga kerja akan didapat persamaan (3). Dengan persamaan ini peningkatan jumlah tenaga kerja akan menurunkan marginal product of labor. 𝜗𝑌 𝜗𝐿
=
𝐴𝐾𝛼 (1−𝛼) 𝐿𝛼
.............................................................................................(3)
iv) Perfect competition. Tenaga kerja dan kapital berkompetisi secara bebas dan transaksi untuk peralihan keduanya tidak signifikan. Marginal revenue of product
6
Rumusan ini mengacu pada penurunan rumus yang terdapat dalam paper Sharpe et al. (2008).
10
(marginal product of labor x harga output) untuk setiap faktor produksi sama dengan kompensasinya. Setiap perusahan akan merekrut pekerja sampai pada suatu titik, yaitu marginal product yang dihasilkan dari setiap tambahan jam kerja akan sama dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan menggunakan persamaan (3), hubungan antara marginal product of labor (MPL) dengan upah riil (𝑤𝑟 ) yang optimal adalah 𝜗𝑌 𝜗𝐿
= 𝑀𝑃𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟 = 𝑤𝑟 ...................................................................................(4)
Karena dalam perekonomian nyata perfect competition tidak atau jarang terjadi, tenaga kerja tidak mendapatkan marginal product, tetapi mendapatkan marginal revenue of product (MRP), yaitu tambahan revenue dari setiap tambahan jam kerja. Dengan mengombinasikan persamaan (1) dengan harga output 𝑃𝑦 , diperoleh nilai output nominal sebagai berikut 𝑌𝑛𝑜𝑚 = 𝑃𝑦 𝐴𝐾 𝛼 𝐿1−𝛼 .....................................................................................(5) Output Y dinyatakan dalam nominal. Marginal revenue of product dinyatakan sebagai 𝜗𝑌𝑛𝑜𝑚 𝜗𝐿
=
𝑃𝑦 𝐴𝐾𝛼 (1−𝛼) 𝐿𝛼
= 𝑀𝑅𝑃𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟 = 𝑃𝑦 ∗ 𝑤𝑟 = 𝑊.................................................(6)
W adalah upah nominal yang dinyatakan dalam Rp/jam kerja, berbeda dengan upah riil (𝑤𝑟 ) yang dinyatakan dalam unit output. Untuk mengonversi upah nominal menjadi upah riil, nilai W dibagi dengan harga output menjadi 𝑊 𝑃𝑦
= 𝑤𝑟 .....................................................................................................(7)
Produktivitas tenaga kerja diukur dengan rata-rata produktivitas tenaga kerja riil yang diperoleh dari output riil Y dibagi dengan L, jumlah waktu kerja pegawai. 𝑌 𝐿
𝐿𝑎𝑏𝑜𝑢𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 = ............................................................................(8) Dengan menyubstitusi persamaan (1) ke dalam persamaan (8) akan dihasilkan 𝐿𝑎𝑏𝑜𝑢𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 =
𝑌 𝐿
=
𝐴𝐾𝛼 𝐿1−𝛼 𝐿
𝐾𝛼 𝐿 ) 𝐿.𝐿𝛼
= 𝐴(
𝐾 𝛼
𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 = 𝐴 ( 𝐿 ) = 𝛾 .............................................................(9) Dengan asumsi bahwa perekonomian yang beroperasi menggunakan constant return to scale dan menerapkan kerangka pasar tenaga kerja dengan menggunakan dasar neo-classicial (Blanchard dan Katz, 1997), marginal product of labor sama dengan average product of labor. Oleh karena itu, upah riil sama dengan labor productivity
11
𝐾 𝛼 𝐿
𝑤𝑟 = 𝐴 ( ) ...............................................................................................(10) Selain itu, diketahui bahwa total kompensasi bagi Labor (𝑌𝑙 ) adalah upah nominal per jam kerja (W) dikalikan dengan total waktu kerja (L) 𝑊 ∗ 𝐿 = 𝑌𝑙 ..............................................................................................(11) 𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑠ℎ𝑎𝑟𝑒 =
𝑌𝑙 𝑌
= 1 − 𝛼 = 𝜑 ...................................................................(12)
Dengan membagi pembilang dan penyebut pada persamaan (12) masing-masing dengan perkalian harga output (𝑃𝑦 ) dan jumlah waktu kerja (L), 𝑌𝑙 = 𝑊 ∗ 𝐿 akan menghasilkan 𝑊∗𝐿 ) 𝑃𝑦 ∗𝐿 𝑌 ( ) 𝑃𝑦 ∗𝐿
(
𝑊 𝑃𝑦
= 𝜑................................................................................................(13)
𝑌 ).........................................................................................(14) 𝑃𝑦 ∗𝐿
=𝜑∗(
𝑟𝑒𝑎𝑙 𝑤𝑎𝑔𝑒 = 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑠ℎ𝑎𝑟𝑒 𝑥 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 ..........................................(15) Jika persamaan (14) dinyatakan dalam logaritma dan derivasi dari waktu, akan diperoleh upah riil optimal sebagai berikut: 𝑙𝑛 𝑤𝑟 = ln(𝜑) + ln(𝑀𝑃𝐿) .........................................................................(16) Uraian mengenai hubungan antara upah optimal dan produktivitas di atas didasarkan atas share tenaga kerja yang diperoleh dari fungsi produksi dengan menggunakan dua input, yaitu kapital (K) dan tenaga kerja (L). Penggunaan 4 jenis faktor produksi yang meliputi kapital (K), tenaga kerja (L), energi (E), dan bahan baku (M) dalam fungsi produksi untuk mengestimasi share keempat faktor produksi di antaranya terdapat dalam paper Berndt
dan Wood (1975). Keduanya
menggunakan pendekatan translog cost function. Lebih lanjut, fungsi produksi diasumsikan
constant
return
to
scale
dan
setiap
technical
change
yang
mempengaruhi K, L, E, dan M adalah Hicks-neutral7. Metode cost function menggunakan pendekatan optimisasi biaya produksi. Perbedaan production function dan cost function terletak pada asumsi yang digunakan. Pada pendekatan cost function, biaya produksi dan jumlah input dianggap endogen sementara harga input serta tingkat output adalah eksogen. Oleh karena itu, ketika tingkat ouput dan harga input dianggap eksogen, umumnya penggunaan metode cost function yang 7
Hicks-neutral: setiap perubahan tidak mempengaruhi komposisi keseimbangan labor dan kapital dalam fungsi produksi.
12
menggunakan harga input sebagai variabel regresi lebih disukai. Hasil empiris dari penggunaan 4 faktor produksi dengan asumsi constant return to scale dalam paper Berndt dan Wood adalah parameter 𝛼𝐾 , 𝛼𝐿 , 𝛼𝑀 , dan 𝛼𝐸 8 masing-masing sebesar 0,0564, 0,2539, 0,6455, dan 0,0442. Adanya deviasi upah riil dari marginal productivity of labor dalam jangka pendek dapat berimplikasi pada profit margin perusahaan pada skala mikro. Sementara itu, dalam skala makro, kondisi itu dapat berpengaruh pada menurunnya penyerapan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja (Klein, 2013). Beberapa penelitian yang diuraikan di bawah ini menerangkan hubungan antara produktivitas tenaga kerja dan upah riil. Dritsakis (2001) melakukan analisis kausalitas multivariat antara upah riil, CPI, produktivitas tenaga kerja, tingkat pengangguran, dan GDP berdasarkan model VECM dengan menggunakan data periode 1960 sampai 2000 di Yunani. Dalam penelitian itu ditemukan ada hubungan kausalitas yang kuat antara upah riil dan produktvitias tenaga kerja dan tingkat pengangguran serta antara tingkat pengangguran dan produktivitas tenaga kerja. Bildiricci (2008) melakukan penelitian untuk melihat hubungan jangka panjang antara upah dan produktivitas di Turki pada periode 1990–2007. Hasil empiris membuktikan bahwa hipotesis adanya hubungan linier dalam jangka panjang antara produktivitas tenaga kerja dan upah ditolak. Selanjutnya dengan menggunakan TAR cointegration approach ditemukan hubungan jangka panjang yang tidak linier antara upah dan produktivitas. Weber (2009) juga menemukan bahwa hubungan jangka panjang antara upah riil dan produktivitas terbukti setelah dilakukan tes pengujian adanya struktural break. Klein (2013) melakukan penelitian mengenai hubungan antara upah riil dan produktivitas kerja dengan menggunakan analisis panel data antara Afrika Selatan dan beberapa negara emerging dan negara maju9 pada periode 1996– 2009. Hasil empiris menunjukkan bahwa upah riil memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap produktivitas dalam jangka panjang walaupun elastisitas keduanya di bawah 1 yang berarti peningkatan upah cenderung didorong oleh faktor lain. Persamaan jangka pendek juga menemukan bahwa periode penyesuaian deviasi terhadap titik keseimbangangannya cukup lama. Selain itu dalam analisis
8 9
𝛼𝐾 , 𝛼𝐿 , 𝛼𝑀 , dan 𝛼𝐸 masing-masing adalah share untuk kapital, tenaga kerja, bahan baku, dan energi. Sampel negara yang digunakan adalah Argentina, Brazil, Chile, Cina, Colombia, Hungaria, Indonesia, Israel, Korea, Malaysia, Mexico, Peru, Philippines, Polandia, Rusia, Thailand, Turkey, Ukraina, dan India.
13
ditemukan adanya dampak negatif dari peningkatan upah riil terhadap sektor informal yang terjadi proses subtitusi antara pekerja nonformal dan pekerja formal. Goh dan Wong (2010) melakukan penelitian mengenai hubungan produktivitas, upah, dan unemployment dengan data time series dari tahun 1970–2005 di Malaysia. Hasil penelitian itu menunjukkan ada hubungan kointegrasi jangka panjang antara upah riil dan produktivitas. Selanjutnya ditemukan elastisitas produktivitas upah riil lebih besar dari 1 (upah riil sangat responsif terhadap perubahan produktivitas tenaga kerja), yang menunjukkan adanya lag antara peningkatan produktivitas pekerja dan kenaikan upah riil. Penelitian yang mengunakan data sektor manufaktur untuk melihat hubungan antara upah riil dan produktivitas tenaga kerja di antaranya dilakukan oleh (i) Strauss dan Wohar (2004) untuk sektor manufaktur US, (ii) Tang (2012) untuk sektor manufaktur Malaysia pada periode 1980–2009, dan (iii) Niyak dan Patra (2013) untuk sektor manufaktur India pada periode 1999–2009. Strauss dan Wohar menemukan adanya hubungan kointegrasi dalam jangka panjang antara upah riil dan produktivitas tenaga kerja pada hampir sebagian besar subsektor industri dan sebagian lainnya tidak memiliki hubungan tersebut. Penelitian dengan data
Malaysia
menggunakan
uji
kointegrasi
Johansen
dan
hasil
empiris
mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut tidak bersifat linier, tetapi menunjukkan hubungan kuadratik (inverted U-shaped curve). Oleh karena itu, hubungan upah riil dan produktivitas tenaga kerja adalah nonmonotonic. Penelitian dengan data India menunjukkan hubungan korelasi positif di antara kedua variabel tersebut.
2.2 Upah Minimum Tujuan upah minimum secara umum adalah untuk aspek pemerataan (distribusi), yaitu untuk meyakinkan bahwa golongan pekerja dengan keahlian terbatas (low skill worker) dapat menerima kompensasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Namun, kebijakan upah minimum telah mengundang banyak perdebatan. Kritik standar adalah bahwa kebijakan upah minimum dapat menggusur tenaga kerja dengan keahlian terbatas (low skilled worker) dari sektor pekerjaan formal sehingga kebijakan ini dapat menjadi kontraproduktif terhadap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk (Kauffman, 1986). Kebijakan upah minimum yang merupakan intervensi dari pemerintah dapat menjadikan pasar tenaga kerja menjadi kurang fleksibel dan 14
dalam jangka panjang dapat memiliki efek pada berkurangnya penciptaan lapangan kerja dan meningkatnya pengangguran. Dampak upah minimum sejatinya bergantung pada karakteristik pasar tenaga kerja apakah kompetitif atau nonkompetitif. Dalam pasar tenaga kerja yang perfectly competitive, banyak perusahaan berkompetisi untuk mencari pekerja. Perusahaan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan upah, tetapi pasar yang menentukan upah. Dalam kondisi ini, jika suatu perusahaan berdeviasi dari upah yang ditetapkan pasar, perusahaan tersebut akan mengalami kerugian dalam jangka panjang. Di sisi lain terdapat labor market yang nonkompetitif dan sering disebut dengan monopsonic market. Dalam monopsonic market terdapat satu perusahaan (major employer) yang memiliki kekuatan untuk mengatur upah tanpa kuatir kehilangan pekerja dan kompetisi. Dampak upah minimum dalam kondisi competitive dan monopsonistic labor market digambarkan dalam Grafik 4 dan Grafik 5 berikut.
Labor demand
Labor supply
Marginal cost of labor Labor supply
Marginal product of labor
Unemployment
Wage
Wage
W1
W1
A B
Wo
W*
Wm
N1
N*
N2
N
Nm N*
N
Grafik 4. Competitive Labor Market Grafik 5. Monopsonistic Labor Market
Perbedaan antara pasar tenaga kerja yang competitive dan monopsonic adalah pada kurva supply tenaga kerja. Kurva supply untuk pasar tenaga kerja yang kompetitif adalah perfectly elastic, yang berarti perusahaan dapat merekrut pekerja sebanyak yang diinginkan pada harga pasar. Restaurant dan supermarket adalah salah satu contoh competitive firm dalam labor market. Dalam pasar tenaga kerja yang kompetitif, besaran upah sama dengan marginal product of labour (MPL). Dari Grafik 4, upah keseimbangan dalam pasar yang kompetitif adalah pada w*. Pada
15
tingkat upah kurang dari w*, permintaan akan lebih tinggi daripada supply sehingga akan mendorong upah bergerak menuju w*. Demikian pula halnya jika upah lebih besar dari w*, upah akan bergerak menuju titik keseimbangannya. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan yang mewajibkan pemberian upah minimum sebesar w1, pada kondisi upah yang lebih tinggi ini permintaan terhadap pekerja akan menurun, yaitu dari N* ke N1, sedangkan supply pekerja meningkat dari N* menjadi N2. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan di pasar tenaga kerja. Pekerja yang sangat membutuhkan pekerjaan akan bersedia untuk dibayar di bawah upah minimum, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan. Di lain pihak, perusahaan bersedia untuk memberikan upah yang lebih rendah untuk pekerja, tetapi terkendala oleh ketentuan pemerintah. Akibatnya kenaikan upah minimum akan meningkatkan pengangguran. Supply curve yang dihadapi perusahaan monopsonic adalah upward sloping. Tingkat upah optimum bagi perusahaan monopsonic adalah Wo, yaitu marginal product of labor = labor supply. Perusahaan dapat memaksimalkan profitnya ketika biaya untuk merekrut tambahan pekerja (marginal cost of labour) sama dengan tambahan output yang dihasilkan (MCL = MPL). Oleh karena itu, tingkat employment yang ideal untuk perusahaan monopsonic adalah di Nm. Dengan karakteristik yang monopsonic tersebut perusahaan dapat mengenakan tingkat upah sebesar Wm yang lebih rendah dari upah kompetitif Wo atau upah W1. Jika akan merekrut lebih banyak pekerja menjadi Nm, perusahaan akan mengurangi profit perusahaan. Apabila pemerintah menetapkan kebijakan upah minimum misalnya sebesar Wo, kurva marginal cost of labor akan menjadi lebih datar sehingga berpotongan dengan kurva labor supply. Hal itu terjadi karena biaya untuk tambahan pekerja adalah sebesar upah minimum (sepanjang perusahaan tidak ingin untuk merekrut pekerja lebih dari jumlah yang bersedia bekerja pada atau di bawah upah minimum ini). Dalam kondisi monopsonic ini kebijakan upah minimum akan berdampak positif, yaitu meningkatkan employment dengan mengurangi efek negatif dari kekuatan monopsonic. Dampak kebijakan upah minimum dapat ditemukan dalam beberapa literatur. Untuk kasus di negara maju, hasil empiris secara umum menyatakan bahwa kebijakan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga
16
kerja10.
Dengan
adanya
tekanan
kenaikan
upah
dan
rigiditas
ketentuan
perburuhan, perusahaan dapat (i) merekrut tenaga kerja dalam jumlah yang lebih rendah, (ii) mengganti pekerja dengan mesin, (iii) mengurangi insentif, serta (iv) merelokasi perusahaan ke tempat lain. Pihak yang paling dirugikan dari kebijakan tersebut adalah tenaga kerja baru, wanita dengan pengalaman kerja minimal, serta mereka yang produktivitasnya terlalu rendah untuk menyesuaikan dengan tuntutan upah baru. Pihak lain yang juga dirugikan adalah konsumen karena kenaikan upah akan mendorong kenaikan biaya produksi sehingga harga barang berpeluang untuk meningkat,
sedangkan
pihak
yang
diuntungkan
adalah
pegawai
dengan
produktivitas rendah yang sudah berada dalam perusahaan karena mendapatkan proteksi dari kebijakan ini. Dalam kasus Indonesia, Alatas (2008) meneliti dampak kebijakan upah minimum pada industri garmen serta kulit skala besar dan kecil. Hasil penelitian membuktikan tidak ada dampak negatif dari kebijakan itu terhadap penyerapan tenaga kerja oleh industri dengan skala besar, tetapi kebijakan itu berdampak signifikan pada industri kecil. Penelitian lainnya dilakukan oleh Carpio et al. (World Bank, 2012). Dengan menggunakan data survei dari Statistik Industri untuk rentang waktu 1993 s.d. 2006 ditemukan bahwa dampak upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja adalah positif jika menggunakan data panel provinsi (fixed effects perusahaan) dan negatif jika menggunakan data panel perusahaan (fixed effects perusahaan). Adanya anomali hasil ini menurut Carpio karena adanya permasalahan endogeneity bias dalam persamaan. Dengan menggunakan data panel perusahaan diperoleh hasil bahwa kebijakan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja, khususnya di perusahaan kecil dan pekerja yang kurang berpendidikan. Pengaruh negatif itu lebih kuat terjadi pada pekerja di divisi bukan produksi dan pada pekerja wanita.
10Rocheteau
dan Murat Tasci (2007) dan Elgrably (2006). Dalam tulisan ini dirangkum beberapa hasil studi empiris mengenai dampak kebijakan upah minimum di US dan Kanada.
17
III. KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN
Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi memiliki pasar tenaga kerja yang sangat besar. Jumlah penduduk Indonesia selama tahun 2000 hingga tahun 2013 mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 1,35 persen per tahun. Pada tahun 2013 jumlah penduduk mencapai 248 juta jiwa, tumbuh 23,64 persen dari jumlah penduduk tahun 2000. Menurut Kemenakertrans11, secara struktural angkatan kerja merupakan bagian dari penduduk usia kerja sehingga jumlah angkatan kerja sangat tergantung pada jumlah penduduk usia kerja yang masuk ke dalam angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja setiap tahunnya terus mengalami peningkatan
sejalan
dengan
pertambahan
jumlah
penduduk
usia
kerja.
Peningkatan angkatan kerja Indonesia yang mencapai 118,19 juta orang pada 2013, tumbuh 23,57 persen dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2000 atau sekitar 1,6% per tahun. Pertumbuhan angkatan kerja cenderung mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir (Grafik 6). Apabila ditinjau dari penyebarannya, sebagian besar angkatan kerja berada di pulau Jawa, yaitu sekitar 59%, di pulau Sumatra 19%, dan sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya. Selain itu tenaga kerja produktif masih didominasi oleh kaum pria (Grafik 7).
Sumber: Sakernas
Sumber: Sakernas
Grafik 6. Jumlah dan Pertumbuhan Angkatan Kerja Produktif
Grafik 7. Penyebaran Angkatan Kerja Produktif (2013)
Sektor industri pengolahan hampir sebagian besar berada di pulau Jawa dengan komposisi terbesar berada Jawa Barat, diikuti Jawa Timur, dan DKI Jakarta
11
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
18
(Grafik 8). Hal itu tidak mengherankan karena selain faktor infrastruktur yang lebih lengkap, Pulau Jawa juga menyediakan lebih banyak tenaga kerja produktif jika dibandingkan dengan pulau lain. Sektor manufaktur merupakan sektor terbesar ke4 penyerap tenaga kerja setelah sektor pertanian, sektor perdagangan-hotelrestoran dan sektor keuangan-sewa-jasa (Grafik 9) dengan rata-rata kisaran sebesar 12%–13%. Selanjutnya apabila ditinjau dari kualitas tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja sektor manufaktur sekitar 5–6 kali produktivitas sektor pertanian (Grafik 10). Produktivitas tenaga kerja berdasarkan sektor ekonomi terbesar berada pada sektor pertambangan, kemudian diikuti sektor keuangan-sewa-jasa, sektor listrik-gas-air bersih, sektor transportasi dan komunikasi, serta sektor industri pengolahan.
Sumber: Kementerian Perindustrian
Grafik 8. Penyebaran Perusahaan Sektor Industri Pengolahan
Sumber : CEIC
Grafik 10. Produktivitas Tenaga Kerja (Relatif terhadap Sektor Pertanian)
Sumber: CEIC
Grafik 9. Penyerapan Tenaga Kerja per Sektor Ekonomi
Sumber : Sakernas
Grafik 11. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektoral
19
Tenaga kerja pada sektor industri pengolahan masih didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan hingga SMA (Grafik 11). Tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih banyak terserap ke sektor jasa, keuangan, serta sektor perdagangan. Tingkat pendidikan mempengaruhi besaran tingkat upah yang diterima oleh pekerja. Dari Grafik 12 terlihat bahwa sektor yang didominasi pekerja dengan tingkat pendidikan rendah umumnya memiliki tingkat upah yang lebih rendah. Sektor pertanian memiliki tingkat upah terendah. Tingkat upah nominal pada sektor industri pengolahan hampir setara dengan sektor perdagangan-hotel-restoran dan sektor konstruksi, tetapi dalam dua tahun terakhir relatif lebih tinggi. Walaupun sudah mengalami peningkatan, upah pada sektor industri pengolahan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sektor pertambangan, sektor keuangan, dan sektor jasa.
Sumber : CEIC
Grafik 12. Upah Nominal Tenaga Kerja Sektoral
Sumber : BPS, diolah
Grafik 14. Unit Biaya Tenaga Kerja Berdasarkan Klasifikasi Industri
Sumber : CEIC
Grafik 13. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Klasifikasi Industri
Sumber : BPS, diolah
Grafik 15. Produktivitas Tenaga Kerja Berdasarkan Klasifikasi Industri
20
Apabila
dipilah
dalam
beberapa
klasifikasi
industri
sesuai
dengan
penggunaan standar ISIC12, sebagian besar tenaga kerja umumnya bekerja di sektor industri jenis unskilled labor intensive dan paling sedikit berada di industri jenis footloose capital intensive (Grafik 13). Industri yang tergolong unskilled labor intensive adalah tekstil, pakaian jadi, furnitur, serta pencetakan, reproduksi media, dan rekaman. Industri yang tergolong footloose capital intensive adalah barang logam bukan mesin dan peralatannya, komputer, barang elektronik dan optik, serta mesin dan perlengkapannya. Rata-rata biaya tenaga kerja pada kelompok industri yang tergolong unskilled labor intensive merupakan yang paling rendah jika dibandingkan dengan jenis industri lainnya (Grafik 14). Dalam data 4 tahun terakhir, yaitu sejak tahun 2010 biaya tenaga kerja pada jenis resource based-labour intensive meningkat cukup signifikan. Industri ini meliputi industri makanan, minuman, dan kayu. Hal itu menunjukkan bahwa kompensasi untuk biaya tenaga kerja dipengaruhi oleh kompetensi tenaga kerja. Rendahnya biaya tenaga kerja untuk sektor unskilled labour intenstive sejalan dengan produktivitas tenaga kerja yang juga relatif rendah jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Produktivitas tenaga kerja tertinggi dimiliki oleh sektor industri footloose capital intensive walaupun cenderung menurun dalam tahun-tahun terakhir (Grafik 15). Terkait dengan penerapan upah minimum, masih cukup banyak sektor industri di daerah yang belum menerima upah di atas upah minimum provinsi yang ditetapkan pada tahun 2012, yaitu Aceh, Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulsel, dan Sulteng (Grafik 16). Dalam penelitian oleh Anglingkusumo (2012), upah minimum provinsi ditransmisikan dalam tahun yang sama pada upah aktual di sektor provinsi. Hal ini terlihat dari korelasi antara UMR dan upah aktual sektor manufaktur riil yang cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir (Grafik 17).
12
Kelompok industri berdasarkan kategori ISIC (international standar industry classification) dibedakan dalam lima kelompok, yaitu (i) unskilled labour intensive, (ii) resource basedlabour intensive, (iii) resource based-capital intensive, (iv) electronics, and (v) footloose capital intensive.
21
Sumber : CEIC
Grafik 16. Penerapan Upah Minimum Regional di Sektor Industri Pengolahan
Sumber : BPS
Grafik 17. Korelasi Antara Upah Aktual Sektor Industri Pengolahan Riil dengan UMR riil
22
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Hubungan antara Upah Riil dan Produktivitas Pekerja Untuk melihat hubungan jangka panjang antara upah riil dan produktivitas
pekerja, metodologi yang akan digunakan adalah panel cointegration. Prakondisi yang dibutuhkan dalam estimasi dengan panel cointegration adalah variabel yang digunakan memiliki unit root yang diuji dalam uji panel unit root. Terdapat beberapa pendekatan untuk melakukan uji panel unit root, yaitu uji Levin and Lin (1992), Im, Pesaran and Shin (1997), Harris and Tzavalis (1999), Madala and Wu (1999), Choi (1999), serta Hadri (1999). Pemilihan metode bergantung pada karakteristik data panel tersebut.
Panel Unit Root Test Bentuk persamaan umum dari pengujian unit root untuk data panel dikembangkan dari model autoregressive (Verbeek, 2008) yang dinyatakan dalam persamaan berikut 𝑦𝑖,𝑡= 𝛼𝑖 + 𝛾𝑖 𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑢𝑖𝑡 …………………………………………...............................(17) yang kemudian dapat dituliskan kembali menjadi ∆𝑦𝑖,𝑡= 𝛼𝑖 + 𝜋𝑖 𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑢𝑖𝑡 ...............................................................................(18) Penjelasanya adalah 𝜋𝑖 = 𝛾𝑖 − 1 . Hipotesis nol adalah bahwa semua data memiliki unit root yang dapat dituliskan dengan 𝐻0 : 𝜋𝑖 = 0 untuk semua i. Hipotesis alternatifnya di antaranya adalah bahwa semua data adalah stasioner dengan parameter mean reversion yang sama yang dituliskan dengan 𝐻1 : 𝜋𝑖 < 0 untuk setiap i. Pendekatan ini digunakan dalam metode Levin dan Lin (1993), Quah(1994), Harris dan Tzavalis (1999), dan Breitung (2000). Hipotesis alternatif lainnya yang digunakan oleh Maddala dan Wu (1999), Choi(2001), dan Im, Pesaran dan Shim (2003) adalah sekurangnya satu individu memiliki data stasioner yang dinyatakan sebagai 𝐻1 : 𝜋𝑖 < 0 untuk sekurangnya satu individu i 23
Pendekatan oleh Hadri (1999) menggunakan residual berdasarkan LM test untuk menguji hipotesis null bahwa setiap data series i adalah stasioner di sekitar trend deterministik. Hipotesis alternatifnya adalah adanya unit root di panel data. Dalam penelitian ini uji panel root yang digunakan adalah metode Breitung dan Hadri.
Panel Cointegration Ketika suatu hubungan kointegrasi belum diketahui, yang merupakan kasus pada umumnya, uji kointegrasi dilakukan dengan terlebih dahulu mengestimasi persamaan
kointegrasi.
Untuk
model
dengan
menggunakan
dua
variabel,
persamaan data panel dapat dinyatakan sebagai berikut. 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖 𝑥𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 .................................................................................(19) Kedua variabel 𝑦𝑖𝑡 dan 𝑥𝑖𝑡 berintegrasi dengan ordo satu. Hubungan kointegrasi menyatakan bahwa 𝑢𝑖𝑡 adalah stasioner untuk setiap i. Hubungan kointegrasi yang bersifat homogen mengharuskan bahwa 𝛽𝑖 = 𝛽. Jika parameter kointegrasi heterogen dan homogenitas diwajibkan, persamaan yang diestimasi menjadi 𝑦𝑖,𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑥𝑖𝑡 + [(𝛽𝑖 − 𝛽)𝑥𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 ] .............................................................(20) dan secara umum komposit error term berintegrasi di orde (I) walaupun 𝑢𝑖𝑡 adalah stasioner. Untuk menguji adanya hubungan kointegrasi dalam data panel, kami menggunakan metode terbaru dari Westerlund (2007). Westerlund mengembangkan empat uji panel kointegrasi yang cenderung didasarkan pada pendekatan struktural daripada residual dinamis sehingga tidak menekankan pada restriksi common factor. Ide yang dikembangkan adalah menguji hipotesis nol tidak ada kointegrasi dengan menyimpulkan apakah error correction term dalam panel error correction kondisional sama dengan nol. Tes terbaru yang digunakan terdistribusi normal dan dapat mengakomodasi efek individu dinamis dalam jangka pendek, trend individu, slope parameter, dan cross sectional dependence. Dua uji didesain untuk mendeteksi apakah panel terkointegrasi secara keseluruhan (panel whole cointegration test), sedangkan dua tes terakhir digunakan untuk melihat alternatif dalam panel setidaknya ada satu unit yang terkointegrasi (group mean cointegration test). Pengujian error correction pada panel data dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut. 24
𝑝𝑖 𝑝𝑖 𝛥𝑦𝑖,𝑡 = 𝛿𝑖′ 𝑑𝑡 + 𝛼𝑖 (𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝛽𝑖′ 𝑥𝑖,𝑡−1 ) + ∑𝑗=1 𝛼𝑖𝑗 𝛥𝑦𝑖,𝑡−𝑗 + ∑𝑗=−𝑞 𝛾 𝛥𝑥𝑖,𝑡−𝑗 + 𝑒𝑖𝑡 ............(21) 𝑖 𝑖𝑗
atau dapat ditransformasikan sebagai berikut (Westerlund, 2007) 𝑝𝑖 𝑝𝑖 𝛥𝑦𝑖,𝑡 = 𝛿𝑖′ 𝑑𝑡 + 𝛼𝑖 𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝜆′𝑖 𝑥𝑖,𝑡−1 + ∑𝑗=1 𝛼𝑖𝑗 𝛥𝑦𝑖,𝑡−𝑗 + ∑𝑗=−𝑞 𝛾 𝛥𝑥𝑖,𝑡−𝑗 + 𝑒𝑖𝑡 ................(22) 𝑖 𝑖𝑗
Penjelasanya adalah 𝜆′𝑖 = −𝛼𝑖 𝛽𝑖′ . Parameter 𝛼𝑖 menentukan kecepatan koreksi error correction menuju goncangan
kembali
(sudden
ke
shock).
keseimbangan 𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝛽𝑖′ 𝑥𝑖,𝑡−1
Jika
𝛼𝑖 < 0,
terdapat
error
setelah
terjadi
correction
yang
mengindikasikan 𝑦𝑖,𝑡 dan 𝑥𝑖,𝑡 terkointegrasi. Apabila 𝛼𝑖 = 0, tidak terdapat error correction yang mengindikasikan 𝑦𝑖,𝑡 dan 𝑥𝑖,𝑡 tidak terkointegrasi sehingga dapat ditulis bahwa hipotesis nol untuk tidak adanya kointegrasi adalah 𝐻0 : 𝛼𝑖 = 0 bagi semua individu i. Alternatif hipotesis tergantung pada asumsi homogenitas dari 𝛼𝑖 . Dua test pertama dinamakan group mean test yang tidak mensyaratkan 𝛼𝑖 𝑠 sama, 𝑔
yang berarti 𝐻0 dites versus 𝐻1 : 𝛼𝑖 < 0 setidaknya untuk satu individu i. Dua tes terakhir disebut panel test, yang mengasumsikan bahwa 𝛼𝑖 bernilai sama untuk 𝑝
semua individu i sehingga desain 𝐻1 : 𝛼𝑖 = 𝛼 < 0 untuk semua individu i. Adapun persamaan untuk pengujian hubungan jangka panjang dari upah riil dan produktivitas adalah sebagai berikut ln(𝑦𝑖,𝑡 ) = 𝜇𝑖 + 𝜏𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 ln(𝑥𝑖,𝑡 ) + 𝑒𝑖𝑡 ..............................................................(23) Penjelasanya adalah y = upah riil dan x adalah produktivitas tenaga kerja. Persamaan di atas akan diuji dengan menggunakan metode panel kointegrasi Westerlund yang telah terdapat dalam software STATA, yaitu command xtwest. Data yang digunakan adalah data panel dari sektor industri pengolahan di 26 provinsi selama rentang waktu 2002–2012 dengan frekuensi tahunan.
Tabel 1. Data Pengujian Unit Root dan Panel Kointegrasi Variabel
Keterangan
Sumber
Upah riil
Upah riil sektor industri pengolahan di tiap-tiap provinsi. Upah riil dihitung menggunakan deflator sektor industri pengolahan.
BPS
Produktivitas
Produktivitas tenaga kerja sektor industri pengolahan provinsi yaitu PDB sektor industri pengolahan/jumlah pekerja sektor industri pengolahan.
BPS
25
4.2 Estimasi Fungsi Produksi dan Penentuan Upah Optimal Penentuan tingkat produktivitas tenaga kerja akan mengacu pada fungsi produksi Cobb Douglas yang dinyatakan dalam persamaan berikut. 𝑌 = 𝐴𝐿𝛼 𝐾 1−𝛼 ............................................................................................(24) atau dalam fungsi linier menjadi ln(𝑌) = a + 𝛼 ln(𝐿) + (1 − 𝛼)ln(𝐾) ................................................................(25) Y adalah ouput riil, K= kapital, dan L = Labor (tenaga kerja), 𝛼= share tenaga kerja yang digunakan untuk produksi output dan (1 − 𝛼) = share kapital yang digunakan dalam produksi output. Dengan melakukan penurunan fungsi output terhadap tenaga kerja pada persamaan (24) akan dihasilkan elastisitas output terhadap tenaga kerja yang dilambangkan dengan 𝜕𝑌
𝑌
𝛼 = (𝜕𝐿 ) /(𝐿 )............................................................................................(26) Persamaan (26) dapat ditulis menjadi persamaan berikut 𝜕𝑌
𝐿
𝛼 = (𝜕𝐿 ) 𝑥 (𝑌) ........................................................................................(27) Berdasarkan asumsi teori neoklasik tentang factor pricing dan dalam perfectly competitive long run equilibrium, suatu industri akan memaksimalkan profit dengan mempekerjakan tenaga kerja sampai pada tingkat marginal product of labor (MPL) sama dengan upah riil (𝑤𝑟 ) atau dengan kata lain
𝜕𝑌 𝜕𝐿
= 𝑤𝑟 . Dengan
menyubtitusikan teori tersebut pada persamaan (27), dapat diketahui bahwa 𝐿
𝛼 = 𝑤𝑟 (𝑌) .............................................................................................(28) 𝐿
Penjelasanya adalah 𝑤𝑟 (𝑌) sering disebut sebagai share tenaga kerja terhadap output. Oleh karena itu, tingkat upah riil dapat ditentukan dengan persamaan berikut 𝑌 𝐿
𝑤𝑟 = 𝛼. ( ) ............................................................................................(29) Dengan memasukkan teori yang menyatakan tingkat upah riil optimal akan sama dengan marginal productivity of labor (produktivitas tenaga kerja), persamaan (29) dapat ditulis sebagai berikut. 𝑌 𝐿
𝑀𝑃𝐿 = 𝑤𝑜𝑝𝑡 = 𝛼. ( ) ................................................................................(30)
26
𝑌
Penjelasanya adalah 𝛼 = share tenaga kerja dalam fungsi produksi dan (𝐿 ) = produktivitas tenaga kerja. Dalam penelitian ini penentuan tingkat produktivitas tenaga kerja serta tingkat upah optimal akan menggunakan persamaan (30). Adapun fungsi produksi Cobb Douglas yang akan diestimasi adalah fungsi produksi sektor industri pengolahan dengan fungsi pengembangan yang memasukkan faktor input material serta bahan bakar energi yang dinyatakan dalam persamaan 𝑌 = 𝐴 𝐿𝑎1 𝐾 𝑎2 𝑅𝑎3 𝐸𝑎4.................................................................................(31) atau dalam fungsi linier menjadi ln(𝑌) = ln(𝐴) + 𝑎1 ln(𝐿) + 𝑎2 ln(𝐾) + 𝑎3 ln(𝑅) + 𝑎4 ln(𝐸) ................................(32) Penjelasannya adalah L = jumlah tenaga kerja (labor), K = kapital, R = input material dan E = bahan bakar energi yang digunakan. 𝑎1, 𝑎2, 𝑎3, dan 𝑎4 masing-masing merupakan share tenaga kerja, share kapital, share input material, dan share energi yang digunakan untuk menghasilkan output. Untuk mengestimasi persamaan (32), metode yang akan digunakan adalah metode data panel. Data yang digunakan adalah data Statistik Industri yang dikelompokkan berdasarkan 3 digit ISIC (47 subsektor) dari tahun 1998–2009 dengan frekuensi tahunan. Seluruh variabel dinyatakan dalam nilai riil yang dihitung dengan menggunakan deflator sektor industri pengolahan. Spesifikasi data dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Data Fungsi Produksi Variabel
Keterangan
Sumber
Y
Total output industri
BPS – Statistik Industri
K
Biaya sewa barang modal
BPS – Statistik Industri
L
Biaya pekerja
BPS – Statistik Industri
R
Biaya input bahan baku (raw material) yang digunakan
BPS – Statistik Industri
E
Biaya energi (bahan bakar) yang digunakan
BPS – Statistik Industri
Dalam metode data panel terdapat dua pendekatan, yaitu fixed effect model (FEM) dan random effect model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau
27
tidaknya korelasi antara komponen error dan peubah bebas. FEM muncul ketika antara efek individu dan periode memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu menjadi bagian dari intersep, yaitu untuk one way error component: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝜆𝑖 𝛽 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖 ................................(33) untuk two way error component: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝜆𝑖 + 𝜇𝑖 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖 ...........................(34) REM muncul ketika efek individu dan periode tidak berkorelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error karena untuk one way error component: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜆𝑖 ............................... (35) untuk two way error component : 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜆𝑖 ...............................(36) Hal penting dalam melakukan pemilihan fixed atau random efek adalah asumsi bahwa nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0, atau
E(τi xit) = 0.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan Hausman test. Hausman test dapat secara langsung digunakan untuk memilih FEM atau REM dengan hipotesis sebagai berikut. 𝐻0 = 𝐸(𝜏𝑖 |𝑥𝑖𝑡 ) = 0, tidak ada korelasi antara komponen error dan peubah bebas (REM) 𝐻0 = 𝐸(𝜏𝑖 |𝑥𝑖𝑡 ) ≠ 0, komponen error memiliki korelasi dengan peubah bebas (FEM) Setelah mendapatkan model terbaik, langkah selanjutnya adalah melakukan uji homoskedastisitas dan uji autokorelasi. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (best linier unbiased estimate) sehingga var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan) atau semua residual/error mempunyai varian yang sama. Panel heterokedastisitas dapat diartikan bahwa varian error dalam kluster bernilai 2 konstan 𝐸(𝑒𝑖𝑡2 ) = 𝐸(𝑒𝑖𝑆 ) = Ơ2𝑖 , tetapi bervariasi antar-unit 𝐸(𝑒𝑖𝑡2 ) ≠ 𝐸(𝑒𝑗𝑡2 )
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar-observasi dalam satu peubah atau korelasi antar-error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan bergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi.
28
Jika model data panel terbukti memiliki masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi, perlu dilakukan perhitungan dengan panel corrected standard error (PCSE).
PCSE
mampu
mengakomodasi
masalah
heterokedastisitas
dan
contemporaneously correlated errors.
4.3 Dampak
Deviasi
Upah
Optimal
dan
Upah
Aktual
terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja Untuk menguji dampak kebijakan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja digunakan persamaan berikut. 𝑒𝑚𝑝𝑙𝑜𝑦𝑖,𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝛼 𝑒𝑚𝑝𝑙𝑜𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝛽𝑥𝑖𝑡 + 𝛾𝑍𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 , 𝑖 .......................................(37) Penjelasanya adalah employ = employment, x adalah selisih antara upah optimal dan upah aktual per propinsi, dan Z adalah variabel kontrol lainnya Data yang akan digunakan dalam persamaan ini adalah data panel 26 provinsi periode 2002–2012 dengan frekuensi tahunan.
Tabel 3. Data Dampak Deviasi Upah terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Variabel
Keterangan
Sumber
employ
Employment sektor industri pengolahan provinsi.
BPS
selisih_upah riil
Selisih upah optimal dengan upah aktual sektor industri pengolahan yang diterima untuk tiap-tiap provinsi.
BPS dan hasil hitungan
g_gdpsektor industri
Pertumbuhan GDP sektor industri provinsi
BPS
schooling
Average year of schooling provinsi
BPS
Metode analisis data yang digunakan untuk mengestimasi persamaan (37) adalah metode panel data dinamis dengan teknik estimasi yang menggunakan pendekatan GMM (generalized method of moments) yang mengacu pada metodologi Verbeek (2004). Hubungan dinamis dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen di antara variabel-variabel regresor. Penggunaan metode panel dinamis dengan pendekatan GMM bertujuan untuk mengontrol bias yang berkaitan dengan simultanitas dan individual special effect setiap individu yang tidak bisa teramati.
29
Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari. Pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood..Namun, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan, asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar, tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Adapun jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif adalah (i) first-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM) dan (ii) system GMM (SYS-GMM)
30
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hubungan Jangka Panjang Antara Upah Riil dan Produktivitas Untuk melihat hubungan jangka panjang antara tingkat upah dan produktivitas dalam penelitian ini, digunakan metode panel kointegrasi yang dikembangkan oleh Westerlund (2007). Sebelum menguji apakah terdapat kointegrasi antara upah riil dan produktivitas, perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa semua data series terintegrasi pada orde atau derajat yang sama, yaitu I(1). Dalam hal ini dilakukan uji unit root dengan menggunakan metode Breitung dan Hardi untuk melihat apakah tiap-tiap variabel yang diuji memiliki unit root (nonstasioner) atau tidak memiliki unit root (stasioner).
Tabel 4. Hasil Uji Unit Root Metode Unit Root Test 1.Breitung Variabel
H0 : Panels contain unit
2. Hadri
roots
H0 : All panels are stationary
H1 : Panels are
H1 : Some panels contain unit roots
stationer P-Value
P-Value
Upah Riil (level)
0,5538
0,000
Produktivitas (level)
0,2055
0,000
Upah Riil (first diff )
0,000
1,000
Produktivitas (first diff )
0,000
0,1157
Berdasarkan uji Breitung diperoleh bahwa p-value untuk variabel upah riil dan produktivitas tenaga kerja adalah 0,5538 dan 0,2055 yang berarti hasil uji statistik menunjukkan hasil yang tidak signifikan atau kedua variabel tersebut memiliki unit root (tidak stasioner) pada level. Begitu juga dengan metode Hadri, uji statistik menunjukkan upah riil dan produktivitas tenaga kerja (p-value = 0.000) adalah tidak stasioner pada level. Kemudian, metode yang sama digunakan untuk melihat stasioneritas dari kedua variabel pada first differenced. Berdasarkan hasil uji Breitung dan Hadri diperoleh simpulan bahwa kedua variabel telah stasioner pada first differenced, seperti yang ditampilkan pada Tabel 4. Oleh sebab itu, dapat
31
disimpulkan bahwa variabel upah riil dan produktivitas telah memiliki derajat integrasi yang sama, yaitu pada I(1). Setelah mengetahui bahwa variabel upah riil dan produktivitas memiliki derajat integrasi yang sama, yaitu pada derajat satu I(1), metode panel kointegrasi yang dikembangkan oleh Westerlund dapat digunakan. Adapun hasil uji kointegrasi dengan metode Westerlund dapat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Kointegrasi Metode Westerlund Statistic
Value
Z-value
P-value
Gt
-1,146
-0,833
0,202
Ga
-1,888
2,146
0,984
Pt
-4,005
-1,201
0,115
Pa
-1,676
-1,145
0,126
Dengan metode Westerlund dilakukan empat pengujian kointegrasi yang dibagi dalam dua kelompok tes, yaitu uji panel kointegrasi group mean test (Gt dan Ga) dan uji panel kointegrasi keseluruhan whole panel test (Pt dan Pa). Dari pengujian tersebut tidak ditemukan hasil yang signifikan untuk membuktikan bahwa terdapat kointegrasi linier dalam jangka panjang antara upah riil dan produktivitas atau, dengan kata lain, tidak terdapat kointegrasi (tidak tolak H0: terdapat kointegrasi). Tidak adanya hubungan linier jangka panjang antara upah riil dan produktivitas kurang sejalan dengan asumsi teori yang ada meskipun beberapa penelitian juga menemukan hal serupa, di antaranya di Turki oleh Bildiricci (2008) dan Strauss dan Wohar pada beberapa sektor industri di US. Mihaljek dan Saxena (2010) juga mengemukakan fakta bahwa peningkatan upah riil di negara-negara emerging
market
sering
melampaui
peningkatan
produktivitas.
Adanya
ketidakselarasan ini di antaranya bersumber dari terbatasnya tenaga kerja terlatih serta kebijakan upah yang kurang tepat. Sebagaimana diketahui bahwa upah yang berlaku saat ini, khususnya untuk medium to low skilled labour, cenderung ditentukan oleh komponen standar biaya hidup minimal atau, dengan kata lain, penentuan upah belum sepenuhnya memperhitungkan kinerja dan produktivitas tenaga kerja. Tuntutan pekerja untuk kenaikan upah memaksa pemerintah mengeluarkan
besaran
upah
minimum
yang
dimungkinkan
lebih
tinggi
32
dibandingkan
kenaikan
produktivitas
buruh.
Hal
itu
berdampak
pada
ketidakseimbangan antara biaya tenaga kerja yang dikeluarkan perusahaan dan nilai tambah dari kegiatan produksi. Ketidakterdeteksian hubungan kointegrasi tersebut terlihat pula dari perbandingan
antara
pertumbuhan
upah
aktual
dengan
pertumbuhan
produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan relatif terhadap tahun dasar 2001 yang dihitung secara riil (Grafik 18). Pertumbuhan produktivitas terhadap tahun dasar cenderung stagnan, sedangkan pertumbuhan upah aktual mengalami
peningkatan
yang
signifikan.
Gap
yang
semakin
besar
dapat
mengindikasikan hubungan antara upah dan produktivitas semakin tidak sejalan. Adanya ketidakseimbangan antara produktivitas dan upah riil dalam jangka panjang dapat memberikan implikasi negatif terhadap keseimbangan makro, di antaranya pengurangan lapangan kerja di pasar tenaga kerja domestik dan berkurangnya daya saing (competitiveness) produk Indonesia. Dalam jangka pendek hal itu dapat berakibat pada berkurangnya profitabilitas perusahaan.
Sumber : BPS, diolah
Grafik 18. Pertumbuhan Upah dan Produktivitas Sektor Industri Pengolahan (Riil)13
13
Pertumbuhan upah aktual dan produktivitas (riil) dihitung relatif terhadap tahun dasar, yaitu 2001.
33
5.2 Upah Optimal Sektor Industri Pengolahan Provinsi Untuk menghitung tingkat upah optimal di sektor industri pengolahan, terlebih dahulu dilakukan estimasi fungsi produksi industri untuk memperoleh nilai koefisien share tenaga kerja. Nilai koefisien itu selanjutnya digunakan untuk menghitung marginal product of labor (MPL) yang merupakan upah optimal. Estimasi fungsi produksi dilakukan dengan menggunakan model panel statis terhadap 563 observasi yang terdiri atas 47 subsektor industri pengolahan. Jumlah 47 subsektor itu merupakan subsektor industri ISIC tiga digit dari tahun 1998–2009. Sebelumnya, dilakukan pengujian terlebih dahulu dengan menggunakan Hausman test untuk memilih model yang tepat antara fixed effect atau random effect. Berdasarkan hasil uji Hausman14, model yang dipilih adalah model fixed effect, selanjutnya dilakukan uji asumsi, yaitu uji homoskedastisitas dan uji autokorelasi terhadap model tersebut. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (best linier unbiased estimate) sehingga var (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error mempunyai varian yang sama. Kondisi itu disebut homoskedastisitas, sedangkan apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas, dilakukan beberapa prosedur, yakni membandingkan hasil dengan generalized least square (GLS)
yang
memasukkan
opsi
dengan
heteroskedasticity
dan
tanpa
heteroskedasticity. Selanjutnya digunakan lrtest untuk membandingkan kedua model tersebut. Berdasarkan uji yang dilakukan, terindikasi bahwa model yang dibangun mengandung heterokedastisity. Hipotesis nol adalah model bersifat homoskedastik. Dari hasil tes diketahui bahwa probabilitas dari chi square adalah 0,000 yang mengindikasikan model melanggar asumsi homoskedastisity. Untuk melihat adanya autokorelasi dalam model, digunakan uji xtserial dalam STATA. Pada STATA, H0 dari uji autokorelasi adalah tidak ada korelasi, artinya jika hasil menunjukkan tolak H0, model yang dibangun memiliki masalah autokorelasi. Berdasarkan uji yang dilakukan, diketahui bahwa p-value dari uji panel autokorelasi bernilai 0,09 yang berarti tidak signifikan pada level 1% dan 5% sehinggga dapat disimpulkan
ada
indikasi
autokorelasi.
Untuk
mengatasi
permasalahan
heteroskedastisitas dan autokorelasi, model panel yang dibangun diestimasi dengan 14
Hausman Test H0 : Random Effect H1 : Fixed Effect
chi2 (4) = (b-B)’ [(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 16,49 Prob>chi2 = 0,0024
34
pendekatan panel-corrected standard errors (PCSE). Berdasarkan langkah-langkah tersebut diperoleh gambaran fungsi produksi sektor manufaktur Indonesia tampak seperti yang ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Ln_Output Ln. Labor Ln_Modal Ln_Energi Ln_Raw Material Constanta Rho Uji Heterokedastis H0 : Homokedastis H1 : Heterokedastis Uji Autokorelasi H0 : No Autokorelasi H1 : Autokorelasi
Estimated Robust Standard Coefficients Error 0.221 0.024 0.029 0.014 0.052 0.012 0.708 0.023 1.416 0.168 0.564 Lr chi2 (47) = 2965.36 Prob > chi2 = 0.000
P>IzI 0.000 0.040 0.000 0.000 0.000
F(1,46) = 2.975 Prob > F = 0.0913
Dalam fungsi produksi, share tenaga kerja (labor share) merupakan koefisien dari faktor produksi tenaga kerja dan dari Tabel 6 adalah sebesar 0,221. Nilai koefisien dari faktor tenaga kerja, modal, energi, dan bahan baku yang diperoleh dari hasil estimasi relatif mendekati hasil dalam paper Berndt dan Wood yang menggunakan pendekatan cost function dan asumsi constant return to scale.15 Parameter 𝛼𝐾 , 𝛼𝐿 , 𝛼𝑀 , dan 𝛼𝐸 16 masing-masing adalah sebesar 0,0564, 0,2539, 0,6455, dan 0,0442. Sementara itu, labor productivity merupakan produktivitas tenaga kerja yang diukur dari perbandingan antara output sektor industri terhadap total tenaga kerja sektor industri pengolahan. 𝑟𝑒𝑎𝑙 𝑤𝑎𝑔𝑒 = 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑠ℎ𝑎𝑟𝑒 𝑥 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦.....................................................(38) Hasil estimasi dari fungsi produksi tersebut akan dijadikan acuan besaran share tenaga kerja sektor industri pengolahan di seluruh provinsi Indonesia. Dengan
15 16
untuk sektor manufaktur di US dari tahun 1947–1971 𝛼𝐾 , 𝛼𝐿 , 𝛼𝑀 , dan 𝛼𝐸 masing-masing adalah share untuk kapital, tenaga kerja, bahan baku, dan energi.
35
demikian, upah optimal (riil) tenaga kerja di sektor industri pengolahan di setiap provinsi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut. 𝐺𝐷𝑃 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑓𝑎𝑘𝑡𝑢𝑟 )..............................(39) 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑓𝑎𝑘𝑡𝑢𝑟
𝑈𝑝𝑎ℎ 𝑜𝑝𝑡𝑖𝑚𝑎𝑙 = 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟 𝑠ℎ𝑎𝑟𝑒 ∗ (
𝐺𝐷𝑃 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑓𝑎𝑘𝑡𝑢𝑟 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛 ).......................(40) 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑓𝑎𝑘𝑡𝑢𝑟
𝑈𝑝𝑎ℎ 𝑜𝑝𝑡𝑖𝑚𝑎𝑙 = 0, 221 ∗ (
Dengan menggunakan rumus pada persamaan (40), dapat diperoleh gambaran upah optimal pekerja sektor industri pengolahan pada tiap-tiap provinsi seperti tampak pada Tabel 7. Upah optimal dan upah aktual dinyatakan dalam nilai riil. Hasil analisis dalam tabel ini juga perlu dicermati dengan hati-hati, khususnya untuk daerah-daerah kaya migas seperti Aceh, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua. Idealnya sektor manufaktur di keempat provinsi itu dipisahkan antara nonmigas dan migas, tetapi terkendala dengan data jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur nonmigas. Oleh karena itu, kami tetap menggunakan data sektor manufaktur total untuk provinsi-provinsi yang tercatat memiliki SDA migas besar. Selain itu, mengingat data yang digunakan adalah sektor manufaktur, fakta mengenai konsentrasi sektor manufaktur di Pulau Jawa yang sebesar 89% juga perlu dipertimbangkan dalam melihat hasil dari analisis upah dari provinsi di luar Jawa.
36
Tabel 7. Upah Optimal Sektor Manufaktur Per Provinsi Provinsi Jawa
Upah Aktual Riil yang diterima > Upah Optimal Riil (√)
Selisih Upah Aktual – Upah Optimal (Rp)
2002
2007
2012
1. Jakarta
-
-
-
2. Jawa Barat
V
V
V
3. Jawa Tengah
V
V
V
4. Yogyakarta
V
V
V
5. Jawa Timur
V
V
V
2002
2007
2012
1. Aceh
-
-
V
(2,292,702)
(296,900)
380,369
2. Sumatera Utara
-
-
-
(456,677)
(204,883)
(119,469)
3. Sumatera Barat
-
V
V
(34,424)
277,515
352,200
4. Riau
V
-
V
237,132
(215,215)
140,082
5. Jambi
V
V
-
170,715
36,280
(371,724)
6. Sumatera Selatan
-
-
-
(198,604)
(383,511)
(167,916)
7. Bengkulu
V
V
V
256,164
568,059
457,085
8. Lampung
V
V
V
38,893
227,965
576,576
2002
2007
2012
1. Bali
V
V
V
297,191
528,179
746,554
2. Nusa Tenggara Barat
V
V
V
846,691
448,792
846,691
846,607
653,432
Sumatera
BalNusTra
3. Nusa Tenggara Timur Kalimantan
2002
2007
2012
(160,163)
(59,631)
10,434
9,168
519,492
142,725
187,154
290,615
192,493
397,058
669,270
50,496
120,604
266,711
(389,526)
2002
2002
V
V
V
476,555
2002
2007
2012
2,002
2007
2012
2007
2012
2007
2012
1. Kalimantan Barat
V
-
-
60,901
(304,635)
(7,653)
2. Kalimantan Tengah
V
V
V
459,055
102,681
493,637
3. Kalimantan Selatan
V
V
V
313,947
336,180
1,864,069
(2,819,077)
(5,985,025)
4. Kalimantan Timur
-
-
-
2002
2007
2012
1. Sulawesi Utara
V
V
V
370,213
343,927
523,441
2. Sulawesi Tengah
V
V
V
118,352
160,657
525,421
Sulampua
2002
(3,310,157)
2007
2012
3. Sulawesi Selatan
-
-
V
(26,459)
(19,068)
48,952
4. Sulawesi Tenggara
V
V
V
178,566
153,833
277,760
5. Maluku
V
V
V
438,612
625,077
1,064,177
6. Papua
V
V
V
548,750
841,381
1,434,126
19
18
20
345,062
606,533
Jml Propinsi dgan upah aktual > upah nominal Rata-Rata selisih upah aktual thd upah nominal
289,772
Sumber: CEIC dan hasil pengolahan data
Pada Tabel 7 periode pengamatan dibagi per lima tahun, yaitu 2002, 2007, dan 2012. Jika dilihat secara keseluruhan, hampir semua pekerja pada sektor industri pengolahan tiap-tiap provinsi menerima upah aktual yang lebih tinggi daripada upah optimal, yaitu masing-masing 19, 18, dan 20 provinsi pada tahun 2002, 2007, dan 2012. Rata-rata selisih upah aktual dengan upah optimal cenderung mengalami pelebaran, yaitu dari Rp289.772,00 pada tahun 2002 menjadi Rp345.062,00 pada tahun 2007 dan menjadi Rp606.533,00 pada tahun 2012.
37
Dari Tabel 7 terlihat beberapa provinsi yang konsisten menerima upah aktual lebih rendah dari upah optimal selama tiga kurun tersebut, yaitu Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur. Namun, selisih upah tersebut mengalami penurunan dari waktu ke waktu, kecuali untuk Kalimantan Timur. Sebagai contoh untuk Jakarta penurunan selisih upah adalah dari Rp389.526,00 pada tahun 2002, Rp160.163,00 pada tahun 2007, dan Rp59.631,00 pada tahun 2012. Provinsi lain yang tercatat menerima upah aktual lebih rendah dari upah optimal pada tahun 2007 s.d. 2012 adalah Kalimantan Barat meskipun selisih tersebut relatif kecil pada tahun 2012. Beberapa provinsi yang tercatat memiliki selisih upah aktual terhadap upah optimal yang cukup besar (di atas rata-rata nasional) selama waktu pengamatan (2002, 2007, dan 2012) adalah Balnustra, Kaltim, Maluku, dan Papua, sedangkan selisih upah aktual di Yogyakarta hanya terjadi pada tahun 2007 dan tahun 2012. Gambaran selengkapnya dari pergerakan upah aktual dan upah optimal dari tiap-tiap provinsi selama 2002–2012 disajikan dalam Grafik 19–24. Dari grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar provinsi dalam setiap tahun pada periode tersebut menerima upah aktual yang lebih besar daripada upah optimal. Apabila ditelisik lebih dalam, terdapat beberapa provinsi yang mengalami pelebaran selisih upah riil terhadap upah optimal, khususnya pada tahun 2008–2012 yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua.
Provinsi DKI Jakarta
Provinsi Jawa Barat
38
Provinsi Jawa Tengah
Provinsi DI Yogyakarta
Provinsi Jawa Timur
Grafik 19. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Jawa
Berdasarkan Grafik 19–24 tersebut dapat ditemukan pula provinsi yang semula menerima upah aktual riil di bawah upah optimal, kemudian sejak tahun 2008 upah optimalnya di atas upah aktual yaitu provinsi DKI Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Barat. Namun, terdapat juga beberapa provinsi yang secara konsisten selalu menerima upah aktual di atas upah optimal yang seharusnya diterima. Provinsi tersebut antara lain adalah Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Bengkulu, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, dan Maluku. Selama periode 2002–2012 provinsi yang sebagian besar periodenya menerima upah aktual di bawah upah optimal adalah Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Dari grafik per provinsi terdapat pula temuan yang cukup menarik, yaitu terdapat beberapa provinsi yang memiliki pola yang sangat dinamis setiap tahunnya karena upah yang diterima terkadang berada di bawah upah optimal dan sebaliknya. Adapun provinsi tersebut adalah Jambi, Sumatera Barat, dan Sulawesi Tengah, terutama sebelum tahun 2009.
39
Provinsi Bali
Provinsi NTB
Provinsi NTT
Grafik 20. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Balnustra
Provinsi Aceh
Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatra Barat
Provinsi Riau
40
Provinsi Jambi
Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Bengkulu
Provinsi Lampung
Grafik 21. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Sumatra
Provinsi Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Timur
Grafik 22. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Kalimantan
41
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara
Grafik 23. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Sulawesi
Provinsi Maluku
Provinsi Papua
Grafik 24. Upah Aktual dan Upah Optimal Industri Pengolahan di Sulawesi
Kecenderungan semakin melebarnya selisih antara upah aktual dan upah optimal yang mencerminkan produktivitas di berbagai provinsi sejalan dengan penelitian Mihaljek dan Saxena (2010) karena peningkatan upah riil di negaranegara emerging market sering melampaui peningkatan produktivitas. Adanya ketidakselarasan itu di antaranya bersumber dari terbatasnya tenaga kerja terlatih serta kebijakan upah yang kurang tepat. Tekanan akan kenaikan upah, khususnya di
Jawa,
juga
diperkuat
oleh
besarnya
peran
serikat
pekerja
untuk
mempertahankan kondisi eksisting. Sebagaimana diterangkan dengan teori insider
42
versus outsider (Lindbeck dan Snower, 2001), pekerja di perusahaan yang disebut insider menggunakan kekuatannya untuk mendorong upah berada di atas harga pasar, tetapi perusahaan tidak berupaya untuk mengganti mereka dengan tenaga kerja baru (outsider) karena biaya turn over pekerja yang dikeluarkan akan lebih tinggi. Terlebih lagi dengan ketentuan kompensasi pemutusan hubungan kerja yang cukup berat. Dari gambaran pergerakan upah aktual yang dibandingkan dengan upah optimal, selanjutnya dapat dipetakan hubungan antara selisih upah optimal terhadap upah aktual sektor manufaktur dan tingkat produktivitas pekerja pada tiap-tiap provinsi seperti yang digambarkan pada Grafik 25–27. Pada grafik tersebut, hubungan antara selisih upah dan produktivitas dibagi ke dalam empat kuadran sebagaimana terdapat dalam gambaran berikut.
Kuadran 4
Kuadran 1
Upah optimal < Upah Aktual
Upah optimal > Upah Aktual
Produktivitas TK > Nasional
Produktivitas TK > Nasional
Kuadran 3
Kuadran 2
Upah optimal
Upah optimal > Upah Aktual
Produktivitas TK < Nasional
Produktivitas TK < Nasional
Grafik 25–27 secara berurutan menunjukkan hubungan selisih upah optimal dan upah aktual yang dikaitkan dengan tingkat produktivitas yang dibagi ke dalam tiga periode waktu, yaitu periode 2002, 2007, dan 2012. Hal yang perlu dicermati adalah posisi di kuadran 1 dan kuadran 3. Kedua kuadran menunjukkan kondisi ketidaksesuaian antara upah dan produktivitas tenaga kerja yang signifikan. Pada tahun 2002 Provinsi Aceh, Jakarta, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan merupakan provinsi yang berada pada kuadran 1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada tahun tersebut, dengan tingkat produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata nasional, upah aktual pekerja sektor industri pengolahan pada keempat provinsi tersebut masih berada di bawah upah optimal yang seharusnya diterima. Untuk kategori kuadran tiga, pada tahun 2002 terdapat delapan belas provinsi yang termasuk kategori tersebut, yaitu Provinsi Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Dengan demikian, dapat 43
disimpulkan bahwa hampir 70% provinsi di Indonesia menerima upah aktual di atas upah optimal meskipun produktivitas tenaga kerjanya termasuk ke dalam kategori rendah (di bawah rata-rata nasional).
Grafik 25. Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja dan Deviasi Upah Provinsi (2002)
Setelah lima tahun yaitu pada tahun 2007, terjadi pergeseran yang cukup signifikan daripada tahun 2002. Untuk kuadran 1 terdapat penambahan jumlah provinsi, dari yang semula hanya Jakarta, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara bertambah menjadi Jakarta, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau, Aceh, dan Kalimantan Barat. Riau yang semula masuk ke dalam kuadran empat, pada tahun 2007 bergeser menuju kuadran satu. Sementara itu, Aceh dan Kalimantan Barat yang semula berada pada kuadran tiga, pada tahun 2007 masuk ke dalam kategori kuadran 1 sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun 2007 terjadi peningkatan jumlah provinsi yang menerima upah aktual di bawah upah optimal. Selain itu, produktivitas juga semakin meningkat pula jika dibandingkan dengan rata-rata 5 tahun sebelumnya, sedangkan untuk kuadran 3 meskipun jumlah provinsi yang masuk ke dalam kategori ini tetap sama, yaitu 18 provinsi atau setara 70% nasional, tetapi terjadi perubahan nama provinsi yang masuk ke dalam kategori ini. Provinsi tersebut, antara lain, adalah Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.
44
Grafik 26. Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja dan Deviasi Upah Provinsi (2007)
Pada tahun 2012 provinsi yang termasuk dalam kuadran 1 adalah Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat berada dalam kuadran 1. Dari kelima provinsi tersebut empat di antaranya selalu berada pada kuadran satu sejak periode 2002, 2007, dan 2012, hanya Provinsi Jambi yang mengalami pergeseran yang signifikan dari kuadran tiga menuju kuadran satu. Untuk kuadran 3 terdapat 17 provinsi yang masuk ke dalam kategori tersebut, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Pada tahun 2012 pekerja sektor industri pengolahan di ketujuh belas provinsi tersebut menerima selisih upah aktual di atas upah optimal meskipun produktivitas tenaga kerjanya cenderung rendah di bawah rata-rata nasional.
45
Grafik 27. Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja dan Deviasi Upah Provinsi (2012)
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa selama periode 2002, 2007, dan 2012 sebagian besar provinsi Indonesia memberikan upah aktual di atas upah optimal kepada tenaga kerja pada sektor industri pengolahan. Sementara itu, upah aktual yang tinggi tersebut tidak didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang tinggi pula. Secara kontinu hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, serta sebagian Sulawesi dan Sumatera masuk ke dalam kategori tersebut. Di sisi lain Provinsi Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat secara kontinu menjadi provinsi yang menerima upah aktual di bawah upah optimal yang seharusnya diterima, sedangkan produktivitas tenaga kerja sektor industri pengolahan di provinsi tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas nasional. Meskipun begitu, selisih upah aktual yang berada di bawah upah optimal tersebut tidak berada dalam kisaran yang signifikan, hanya berkisar antara Rp30.000,00–Rp300.000,00, sedangkan untuk kondisi kuadran 3, selisih upah aktual yang terjadi jauh berada di atas upah optimal yang seharusnya diterima dengan rentang selisih yang cukup besar.
5.3 Dampak Perbedaan Upah Optimal dan Upah Aktual terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Pada bagian ini akan dianalisis bagaimana dampak perbedaan upah tersebut terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan pada tiap-tiap provinsi serta bagaimana melihat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
46
penyerapan tenaga kerja pada sektor tersebut. Sebagai tahap awal dilakukan uji untuk melihat apakah terjadi permasalahan endogenity antara selisih upah dan tingkat penyerapan tenaga kerja. Untuk mengetahui hal tersebut, tes yang dilakukan adalah tes yang dikembangkan oleh Hausman dengan hipotesis nol, yaitu variabel bersifat exogenous. Berdasarkan uji Hausman17 yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa nilai p-value-nya sebesar 0,395 sehingga dapat disimpulkan bahwa selisih upah tersebut bersifat exogenus. Setelah memastikan tidak terdapat permasalahan endogeneity dalam model, estimasi panel dinamis dapat dilakukan sesuai dengan model yang telah dibangun. Selanjutnya, model panel dinamis yang digunakan adalah two step GMM-system (GMM-SYS) yang telah memenuhi kriteria model terbaik untuk panel dinamis seperti yang ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Estimasi Panel Dinamis Ln. Employment
Estimated Coefficients
Standard Error
P>|z|
L1. Lnemployment
0,7949
0,0266
0,000
Ln. Selisih upah*
-0,1521
0,0269
Growth Ymanufaktur
0,0091
0,0014
Ln. Schooling
0,4607
0,1138
Constanta
1,4277
0,3317
Arellano Bond Test
z
Order 1
0,000 0,000 0,000
Prob > z
-2,6855
Order 2
0,000
0,0072
-0,3968
0,6915
H0: no autocorrelation Sargan Test
chi2(17)
H0: Overidentfying
Prob > chi2 =
restriction are valid
= 22,64098 0,1613
Ket: * = selisih upah optimal – upah aktual
Secara
umum
metode
estimasi
dalam
model
data
panel
dinamis
menunjukkan hasil estimasi yang baik. Hal itu terlihat dari tingkat signifikansi dan
17
Hausman Test for Endogeneity H0 : ln selisih upah dalam model exogenous H1 : ln selisih upah dalam model endogeneous
chi2 (3) = (b-B)’ [(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 2,98 Prob>chi2 = 0,3953
47
tanda koefisien estimasi pada model yang sesuai dengan harapan teoretis. Selain itu, metode panel dinamis dengan pendekatan GMM yang digunakan telah memenuhi kriteria model terbaik secara statistik. Kriteria model panel dinamis dengan pendekatan GMM terbaik adalah konsistensi dan validitas instrumen. Pada model yang dibangun, kedua kriteria tersebut terpenuhi dengan baik sehingga disimpulkan bahwa model dinamis yang dibangun adalah model terbaik. Pada model pertama, konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil Arellano-Bond (AB) dengan nilai statistik order 1 (-2,6855) dan peluang 0,007 menunjukkan signifikansi pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%, sedangkan nilai statistik m2 (-0,3968) dan peluang 0,6915 menunjukkan nilai yang tidak signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%. Oleh karena itu, berdasarkan uji ini penduga dikatakan
konsisten
dan
tidak
ditemukan
adanya
autokorelasi.
Kriteria
kesempurnaan model dinamis pada estimasi ini juga dilihat dari uji Sargan yang dilakukan dengan nilai statistik sebesar 22,6409 dan peluang 0,1613 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antarresidu dan over-identifying restrictions sehingga bisa dikatakan tidak ada masalah dengan validitas instrumen. Hasil empiris membuktikan bahwa semakin besar selisih upah optimal terhadap upah aktual akan berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor industri di seluruh provinsi dengan nilai koefisien sebesar 0,15. Hasil itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan di antaranya oleh Elgin dan Kuzubas (2013), untuk kasus Turki, yang menunjukkan bahwa upah yang tidak sejalan dengan
produktivitas berdampak pada
peningkatan
tingkat pengangguran.
Sementara itu, pertumbuhan output sektor manufaktur serta average years of schooling pada tiap-tiap provinsi berdasarkan hasil estimasi diduga berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor industri pengolahan dengan nilai koefisien berturut-turut sebesar 0,009 dan 0,46. Hal itu menunjukkan semakin tinggi pertumbuhan output sektor industri pengolahan akan berdampak pada peningkatan penyerapan jumlah tenaga kerja pada sektor tersebut. Begitu pula dengan faktor average years of schooling, semakin tinggi rata-rata lama pendidikan penduduk pada masing-masing provinsi akan berdampak pada peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan. Hasil pada penelitian ini mendukung temuan sebelumnya, misalnya, Suryadarma et al. (2007) menemukan hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, baik di perdesaan maupun di
48
perkotaan. Secara keseluruhan, seluruh variabel pertumbuhan PDB (pertanian, industri, dan jasa di perkotaan dan perdesaan) memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan tenaga kerja. Rizwanul Islam (2004) juga menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan kapasitas produksi yang meningkat dan, karena itu, terdapat peningkatan kesempatan kerja dengan produktivitas yang meningkat. Pertumbuhan ekonomi mengakibatkan tingkat penyerapan tenaga kerja yang meningkat dengan upah riil yang lebih baik sebagai akibat dari peningkatan produktivitas. Sementara itu, Mohammad Ikhsan (2005) menemukan bahwa dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kesempatan kerja sangat tergantung pada harga relatif tenaga kerja dan modal serta tahapan pembangunan Indonesia. Distorsi dalam harga tenaga kerja, baik dalam bentuk rigiditas pasar tenaga kerja maupun kebijakan upah minimum akan meningkatkan harga relatif tenaga kerja dan mengurangi penciptaan lapangan kerja karena pengusaha cenderung akan menggunakan teknologi yang menggunakan intensitas modal yang lebih tinggi.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
49
5.1 Simpulan 1. Berdasarkan pengujian panel kointegrasi dengan metode Westerlund tidak ditemukan hasil yang signifikan untuk membuktikan adanya hubungan kointegrasi linier dalam jangka panjang antara upah riil dan produktivitas. Adanya ketidakselarasan itu di antaranya dapat bersumber dari kebijakan pengupahan yang masih belum sepenuhnya memperhitungkan kinerja dan produktivitas tenaga kerja. Sebagaimana diketahui upah yang berlaku saat ini khususnya untuk medium to low skilled labour lebih ditentukan oleh komponen standar biaya hidup minimal. Tidak terdeteksinya hubungan kointegrasi tersebut terlihat pula dari perbandingan antara pertumbuhan upah aktual dan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di sektor industri pengolahan relatif terhadap tahun dasar 2001 yang tidak sejalan. Pertumbuhan produktivitas terhadap tahun dasar cenderung stagnan, sedangkan pertumbuhan upah aktual mengalami peningkatan yang signifikan. 2. Sebagian besar sektor industri pengolahan provinsi tercatat memberikan upah aktual yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah optimal. Deviasi antara upah optimal dan upah aktual pada tiap-tiap daerah cukup variatif,
tetapi
terdapat beberapa provinsi yang mengalami pelebaran selisih upah aktual terhadap upah optimal selama tahun 2008–2012, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua. 3. Jika upah tenaga kerja dikaitkan dengan produktivitas rata-rata sektor industri pengolahan, selama periode 2002, 2007, dan 2012 hampir sebagian besar provinsi Indonesia (sekitar 18–20 ) memberikan upah aktual di atas upah optimal. Di lain pihak upah aktual yang tinggi tersebut tidak didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang tinggi (produktivitasnya berada di bawah ratarata produktivitas nasional). Provinsi yang secara kontinu berada dalam kategori tersebut adalah hampir seluruh provinsi di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, serta sebagian Sulawesi dan Sumatera. 4. Beberapa provinsi, yaitu DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat secara kontinu menerima upah aktual di bawah upah optimal yang seharusnya diterima, sedangkan produktivitas tenaga kerja pada sektor
50
industri
pengolahan
lebih
tinggi
jika
dibandingkan
dengan
rata-rata
produktivitas nasional. Meskipun begitu, selisih upah aktual yang berada di bawah upah optimal tersebut tidak berada dalam kisaran yang signifikan. 5. Semakin besar selisih upah optimal terhadap upah aktual akan berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor manufaktur di seluruh provinsi. Selain itu, penyerapan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan output sektor industri pengolahan serta average years of schooling pada tiap-tiap provinsi.
5.2 Saran Deviasi antara upah optimal dan upah aktual pada sektor industri pengolahan perlu mendapat perhatian yang serius karena dalam jangka pendek dapat berimplikasi pada profit margin perusahaan pada skala mikro. Sementara itu, dalam skala makro, kondisi tersebut dapat berpengaruh pada menurunnya penyerapan tenaga kerja serta daya saing produk sektor industri pengolahan Indonesia. Oleh karena itu, penerapan kebijakan upah minimum perlu lebih memperhatikan tingkat produktivitas tenaga kerja. Sementara itu, di lain pihak upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan keahlian harus terus diaktifkan.
DAFTAR PUSTAKA 51
Alatas, Vivi & Cameron, Lisa A. “ The Impact of Minimum Wages on Employment in a Low-Income Country: A Quasi Natural Experiment in Indonesia”. Dalam ILR Review Vol. 61 No. 2 Cornell University. Anglingkusumo, Reza et al. (2013). “Dampak Upah terhadap Produktivitas dan Inflasi” DKEM Working Paper No. WP/6/2013. Berndt, Ernst & Wood, David (1975).”Technology, Prices, and the Derived Demand for Energy”. Dalam The Review of Economics and Statistics, Vol. 57, No. 3 (Aug., 1975), pp. 259–268,The MIT. Carpio, Ximena D., Nguyen, Ha. & Wang, Liang C (2012).”Does the Minimum Wage Affect Employment?” World Bank Policy Research Working Paper 6147 Elgin, Cyhun & Kuzubas, Tolga U. (2013).” Wage-Productivity Gap in OECD Economies”. http://www.economics-ejournal.org/economics/journalarticles /2013-21 Kaufman, Bruce E. (2001) “The Economics of Labor Markets and Labor Relations”, The Dryden Press. Klein, Nir (2012).” Real Wage, Labor Productivity, and Employment Trens in south Africa: A Closer Look”, IMF Working Paper No. 12/92 Kumar, Saten., Webber, Don., Perry, Geoff (2009).”Real Wages, Inflation & Labour Productivity in Australia”. Department of Busines Economics, Auckland University of Technology, New Zealand. https://ideas.repec.org/p/uwe/ wpaper/0921.html Mankiw, Gregory (2003).Macro Economics. Fourth Edition. Worth Publisher Mihaljek, Dubravko & Saxena, Sweta (2010).”Wages, Productivity & Structural Inflation in Emerging Market Economies”. BIS Paper http://www.bis.org/publ/bppdf/bispap49d.pdf Nayak, Satya R. & Patra, Sudhakar (2013).” Wage-Labour Productivity Relationship in Manufacturing Sector of Odisha: An Observed Analysis”. Dalam International Journal of Engineering Science Invention. Volume 2 Issue 3. Rocheteau, Guillaume & Tasci, Murat (2007),”The Minimum Wage and The Labor Market”. Federal Reserves Bank of Cleveleland. Strauss, Jack & Wohar, Mark E. (2004).”The Linkage between Prices, Wages and Labor Productivity: A Panel Study of Manufacturing Industries”. Dalam Southern Economic Journal Vol 70 No. 4 (Apr., 2004, pp 920–941). Sharpe, Andrew et al (2008), “The Relationship Between Labour Productivity and Real Wage Growth in Canada and OECD Countries” CSLS Research Report No. 2008-8 Tang, Chor Foon (2012).”The Non–Monotonic Effect of Real Wages on Labour Productivity: New Evidence From the Manufacturing Sector in Malaysia”. Dalam International Journal of Social Economics Volume 39 Issue 6. Verbeek, Marno (2004).”A Guide to Modern Econometrics” Third Edition. John Wiley& Sons. Westerlund, Joakim & Perysn, Damiaan (2008).“Error Correction Based Cointegration Test for Panel Data”. The Stata Journal 8 Numer 2, pp 232–241.
52