Bab VI
Produksi Lakase dari Marasmius sp.
dalam Bioreaktor Imersi Berkala Termodifikasi Abstrak Lakase merupakan salah satu enzim yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih yang dapat digunakan pada degradasi lignin. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan untuk proses pemutihan pulp. Penelitian produksi lakase telah banyak dilakukan pada berbagai spesies jamur, jenis reaktor, jenis kultivasi dan inducer yang digunakan. Salah satu faktor yang berpengaruh pada produksi lakase adalah tegangan geser (shear stress). Tegangan geser yang kuat pada kultur akan menghambat dan membuat lakase tidak aktif. Temporary immersion bioreactor merupakan bioreaktor yang dapat mengurangi tegangan geser terhadap kultur jamur. Pada penelitian ini dilakukan produksi lakase pada bioreaktor imersi berkala termodifikasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh lamanya waktu imersi pada produksi lakase. Variasi waktu imersi yang dilakukan adalah waktu imersi 15 menit, 12 jam dan 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas maksimum lakase diperoleh pada kultur Marasmius sp dengan waktu imersi 12 jam, yaitu sebesar 457,6 U/l dan diikuti berturut-turut oleh kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit (348,4 U/l) dan 24 jam (281,9 U/l). Aktivitas lakase pada siklus kedua lebih rendah dibandingkan siklus pertama. Persentase penurunan tertinggi aktivitas lakase pada siklus kedua terjadi pada kultur dengan waktu imersi 24 jam (80,66%) kemudian diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 12 jam (64,30%) dan 15 menit (3,83%). Kultur dengan waktu imersi 12 jam menghasilkan lakase lebih tinggi dibandingkan kultur dengan waktu imersi 15 menit dan 24 jam, namun produktivitas kultur tersebut tidak menunjukkan nilai yang paling tinggi. Hasil penelitian menunjukkan produktivitas kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit menghasilkan produktivitas yang paling tinggi yaitu 348,4 U/l/hari diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 24 jam (281,9 U/l/hari) dan 12 jam (152,5 U/l/hari). Aktivitas lakase dapat juga dinyatakan sebagai Unit per mg total protein. Aktivitas lakase siklus pertama dan siklus kedua memiliki pola kecenderungan yang sama yaitu mula-mula aktivitasnya naik sampai aktivitas tertinggi kemudian turun aktivitasnya. Aktivitas lakase yang didapat pada siklus pertama untuk waktu imersi 12 jam sebesar 7,46 U/mg protein, berturut-turut kemudian adalah waktu imersi 15 menit (3,49 U/mg protein) dan waktu imersi 24 jam (2,57 U/mg protein). Aktivitas lakase pada siklus kedua menunjukkan pola yang sama dengan siklus pertama namun nilainya lebih rendah. Hal ini menunjukkan adanya protein (enzim ekstraseluler) lain selain lakase. Kata kunci : lakase, Marasmius sp., bioreaktor imersi berkala termodifikasi, tegangan geser, waktu imersi, aktivitas lakase, produktivitas kultur.
50
VI.1
Pendahuluan
Lakase dikelompokkan ke dalam enzim oksidatif yang berperan sebagai biokatalis proses degradasi lignin. Dengan kemampuannya ini, industri pulp, kertas dan tekstil mulai menggunakan enzim ini pada proses produksinya untuk mendapatkan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan karena dalam kerjanya enzim ini hanya memerlukan oksigen dan menghasilkan air sebagai satusatunya produk samping (Riva, 2005). Namun demikian penggunaan enzim ini pada industri tersebut di atas masih sangat rendah atau masih dalam tahap pengembangan. Salah satu penyebabnya adalah harga lakase yang masih sangat mahal. Jika industri tersebut dapat memproduksi enzim ini secara mandiri dan langsung digunakan tanpa harus melalui proses pemurnian yang panjang, maka diperkirakan biaya pengadaan enzim ini akan turun dan penggunaannya akan meningkat. Di alam terdapat tiga jenis jamur pengurai kayu yaitu pelapuk putih (white rot), pelapuk coklat (brown rot), dan pelapuk lunak (soft rot, yang dapat mendegradasi lignin. Jamur pelapuk putih merupakan kelompok jamur pengurai kayu yang memiliki kemampuan mendegradasi lignin paling tinggi. Jamur ini melakukan dekomposisi lignin sehingga dapat mencapai selulosa dan hemiselulosa (Pérez dkk., 2005). Degradasi lignin dalam kayu menyebabkan terbentuknya kantungkantung yang
berwarna putih, sehingga kelompok jamur ini disebut sebagai
jamur pelapuk putih (gambar VI.1). Beberapa contoh jamur pelapuk putih antara lain Trametes versicolor, Irpex lacteus, P. chrysosporium, Heterobasidium
annosum, Ganoderma australe, Phlebia tremellosa, Pleurotus spp. dan Phellinus pini yang merupakan kelompok Basidiomycetes, serta Xylaria hypoxylan yang termasuk dalam kelompok Ascomycetes (Martinez dkk., 2005).
51
Gambar VI.1. Degradasi kayu pinus oleh jamur pelapuk putih oleh Phellinus pini. Bagian berwarna putih merupakan daerah delignifikasi atau penyisihan lignin dan bukan merupakan degradasi selulosa (www.forestpathology.coafes.umn.edu).
Jamur pelapuk coklat mempunyai kemampuan degradasi lignin lebih rendah daripada jamur pelapuk putih, yang lebih suka menguraikan selulosa dan tidak mendegradasi lignin secara luas. Pertumbuhan jamur pelapuk coklat pada kayu hanya akan mengakibatkan lignin termodifikasi secara terbatas agar dapat mengakses karbohidrat dinding sel (Pérez dkk., 2005). Proses pelapukan oleh jamur pelapuk coklat akan mengakibatkan kayu menjadi berwarna coklat, kering, mudah patah dengan patahan seperti kubus. Seluruh jamur pelapuk coklat masuk ke dalam kelompok Basidiomycetes seperti C. Puteana, Gleophyllum trabeum,
Laetiporus sulphureus, Piptoporus betulinus, Postia placenta dan Serpula lacrimans (Martinez dkk., 2005).
52
Gambar VI.2. Degradasi kayu oleh jamur pelapuk coklat. Perhatikan bentuk kotak-kotak pada kayu yang merupakan ciri khas pelapukan kayu oleh jamur pelapuk coklat. (www.forestpathology.coafes.umn.edu) Jamur pelapuk lunak merupakan pendegradasi yang lambat dan kurang agresif dibandingkan dengan pelapuk putih dan pelapuk coklat. Jamur ini memiliki kemampuan yang paling rendah untuk mendegradasi lignin jika dibandingkan dengan jamur pengurai kayu lainnya. Secara umum kelompok jamur ini mendegradasi selulosa dan hemiselulosa dengan hanya sedikit memodifikasi lignin. Hasil pelapukan kayu oleh jamur pelapuk lunak mirip dengan pelapukan oleh jamur pelapuk coklat seperti disajikan pada gambar VI.3. Pada kelembaban yang tinggi kayu yang diuraikan oleh jamur ini akan menjadi lunak sedangkan pada kondisi yang kering kayu akan berwarna coklat dan mudah menjadi bubuk. Beberapa contoh spesies jamur pelapuk lunak antara lain Chaetomium globusum,
Ustulina deusta yang termasuk dalam kelompok Ascomycetes serta Alternaria alternata, Thielavia terrestris, Paecilomyces spp. yang termasuk dalam kelompok Deuteromycetes.
53
Gambar VI.3. Degradasi kayu oleh jamur pelapuk lunak (www.forestpathology.coafes.umn.edu)
Ketiga
jamur
tersebut
mensekresikan
enzim-enzim
ekstraseluler
untuk
menguraikan komponen kayu. Hal tersebut yang mendasari penelitian ini yaitu memproduksi enzim ekstraseluler untuk mendegradasi lignin pada proses
biobleaching pulp. Lakase (EC 1.10.3.2, p-difenol oksidase) merupakan salah satu enzim ekstraseluler yang berfungsi mengkatalisis proses pemecahan lignin, sehingga dapat digunakan sebagai bahan aktif pada proses biobleaching pulp. Enzim ini dihasilkan oleh spesies jamur yang masuk ke dalam kelompok
Ascomycetes dan Basidiomycetes. Penelitian produksi enzim lakase telah banyak dilakukan seperti disajikan pada tabel VI.1. Penelitian tersebut dilakukan pada berbagai spesies jamur, jenis reaktor, jenis kultivasi dan inducer yang digunakan (Couto dkk., 2006). Menurut Van der Merwe (2002) produksi enzim ligninolitik jamur pelapuk putih dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies jamur, kandungan nitrogen, temperatur, pH, inducer dan inhibitor. Sedangkan Prasad dkk. (2006) mengungkapkan bahwa selain faktor tersebut transfer oksigen juga sangat penting. Kultur yang teragitasi secara mekanis merupakan penghambat produksi lakase karena adanya tegangan geser (shear stress) yang diterima oleh miselia jamur
54
dalam kultur rendam (Prasad dkk., 2005). Oleh karena itu pemilihan bioreaktor sangat berpengaruh pada produksi enzim ini. Couto dkk. (2004) menggunakan bioreaktor imersi dan peneliti yang sama pada tahun 2006 menggunakan bioreaktor air-lift untuk memproduksi lakase. Pada kedua bioreaktor tersebut tidak terdapat tegangan geser akibat agitasi mekanis, namun kebutuhan oksigen tetap terpenuhi dengan baik.
Temporary immersion bioreactor telah digunakan dengan sukses untuk menumbuhkan kultur Trametes versicolor dan Phanerochaete chrysosporium yang digunakan pada proses penghilangan warna sintetis (Böhmer dkk., 2006). Sistem kultivasi ini berhasil karena dapat mengurangi shear stress yang menghambat produksi lakase. Bioreaktor sistem RITA (Récipient à Immersion Temporaire Automatique) (Artiles, 2003) terdiri dari dua kompartemen yaitu kompartemen untuk pertumbuhan mikroorganisme dan kompartemen untuk medium cair. Kedua kompartemen tersebut dihubungkan dengan selang silikon atau selang kaca. Udara tekan steril dari kompresor dialirkan ke dalam kompartemen medium untuk mendorong medium tersebut masuk ke dalam kompartemen tempat tumbuh mikroorganisme. Keadaan ini akan menyebabkan mikroorganisme dapat menggunakan nutrisi yang terdapat di dalam medium. Kondisi mikroorganisme yang terendam dijaga beberapa saat kemudian udara tekan steril dialirkan ke dalam kompartemen mikroorganisme untuk mendorong medium kembali ke kompartemen
medium.
Keadaan
ini
akan
memberikan
kesempatan
mikroorganisme mendapatkan pasokan oksigen dari udara. Proses ini dilakukan berulang-ulang (Artiles, 2003). Skema temporary immersion bioreactor disajikan pada gambar VI.4.
55
Gambar VI.4. Skema temporary immersion bioreactor (www.bioplantas.cu) Prinsip temporary immersion bioreactor tersebut telah digunakan oleh Couto dkk. (2004) untuk memproduksi lakase menggunakan Trametes hirsuta yang diimobilisasi dalam spon stainless steel. Perendaman kultur jamur terimobilisasi dengan mencelupkannya ke dalam medium cair. Pada periode waktu tertentu kultur diangkat dari medium cair (Couto dkk., 2004). Skema bioreaktor imersi disajikan dalam gambar VI.5.
kompresor
sistem pneumatik
saringan steril
pengambilan conto keluaran gas
tempat kultur jamur
medium cair
Gambar VI.5. Skema bioreaktor imersi produksi lakase (Couto dkk., 2004)
56
Berdasarkan hal di atas maka pada penelitian ini digunakan prinsip dari temporary
immersion bioreactor yang dimodifikasi untuk memproduksi lakase yang digunakan pada proses biobleaching pulp. Pemindahan medium cair dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya tidak menggunakan udara tekan melainkan dengan memanfaatkan beda ketinggian kedua kompartemen. Pada penelitian ini dilakukan kajian tentang pengaruh waktu imersi terhadap produksi lakase oleh
Marasmius sp.
57
Tabel VI.1. Konsentrasi maksimum lakase pada berbagai penelitian (Couto dkk., 2006) Spesies jamur
Jenis reaktor
Jenis kultivasi
Inducer
Aktivitas maksimum (U/l)
Pycnoporus cinnabarinus Trametes pubescens Neurospora crassa T. multicolor Pleurotus ostreatus Irpex lacteus Panus tigrinus P. tigrinus P. tigrinus
Packed bed Stirred tank (15 l) Capillary membrane Stirred tank Benchtop (3 l) Packed bed (27 ml) Stirred tank (2 l) Air-lift (2.5 l) Rotatory drum (1.3 l)
CuSO4 CuSO4, gliserol OMW OMW OMW OMW
270 61900 10000 65 4600 4300 1309
Schliephake dkk. (2000) Galhaup and Haltrich (2001) Luke and Burton (2001) Hess dkk. (2002) Aggelis dkk. (2003) Kasinath dkk. (2003) Fenice dkk. (2003) Fenice dkk. (2003) Fenice dkk. (2003)
T. versicolor T. versicolor T. versicolor T. versicolor T. versicolor T. versicolor T. versicolor T. versicolor T. hirsuta
Air-lift (2 l) Immersion (2.5 l) Immersion (2.5 l) Expanded bed (0.3 l) Expanded-bed (0.3 l) Tray (1 l) Tray (1 l) Fluidized (1.5 l) Fixed bed
Xylidine, Tween 80 Tween 80 Tween 80 Tween 80 Tween 80 Tween 80 Tween 80 CuSO4
1676 600 229 600 126 3500 343 1685 2206
Rancano dkk. (2003) Rodrıguez Couto dkk. (2003) Rodrıguez Couto dkk. (2003) Rodrıguez Couto dkk. (2003) Rodrıguez Couto dkk. (2003) Rodrıguez Couto dkk. (2003) Rodrıguez Couto dkk. (2003) Blanquez dkk. (2004) Rodrıguez Couto dkk. (2004a)
T. hirsuta
Immersion (0.5 l)
CuSO4
4892
Rodrıguez Couto dkk. (2004a)
T. hirsuta T. hirsuta T. hirsuta T. hirsuta T. hirsuta
Air-lift (2 l) Immersion (0.5 l) Tray (0.2 l) Tray (0.2 l) Air-lift (6 l)
Imobilisasi pada nilon Sel bebas Imobilisasi pada membran Sel bebas Sel bebas Imobilisasi pada PUF Sel bebas Submerged fermentation SSF pada potongan batang maize Sel bebas SSF pada kulit barley SSF pada nilon SSF pada kulit barley SSF pada nilon SSF pada kulit barley SSF pada nilon Sel bebas Imobilisasi pada spon stainless steel Imobilisasi pada spon stainless steel Imobilisasi pada Ca-alginate SSF pada biji buah anggur SSF pada nilon SSF pada biji buah anggur Sel bebas
Veratryl alcohol CuSO4, gliserol
1043 18715 6898 12877 19400
Domınguez dkk. (2005) Rodrıguez Couto dkk. (2006) Rodrıguez Couto dkk. (2006) Rodrıguez Couto dkk. (2006) Rodrıguez Couto dkk. (2006)
SSF : Solid State Fermentation; OMW : Olive Mill Wastewater; PUF : Polyurethane Foam
58
Peneliti
VI.2 Bahan dan Metode VI.2.1
Mikroorganisme
Jamur yang digunakan adalah Marasmius sp. yang terpilih pada percobaan sebelumnya. Sediaan Marasmius sp. yang digunakan sebagai inokulum, ditumbuhkan pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) dalam cawan petri berumur 5 hari. Cara menumbuhkan jamur tersebut dapat dilihat pada subbab III.2.1.a.
VI.2.2
Konfigurasi bioreaktor
Pada percobaan ini Marasmius sp. ditumbuhkan dengan metode temporary
immersion culture menggunakan bioreaktor sistem RITA (Récipient à Immersion Temporaire Automatique) yang telah dimodifikasi. Satu set bioreaktor terdiri atas dua kompartemen yang terbuat dari kaca dan terhubung dengan selang silikon. Ukuran bioreaktor adalah tinggi 15 cm, panjang 10 cm dan lebar 10 cm. Tiap bioreaktor diisi Marasmius sp. yang terimobilisasi sedemikian rupa sehingga ketinggian kultur dalam bioreaktor adalah 8 cm. Salah satu kompartemen dapat digerakkan naik dan turun dengan menggunakan mesin penggerak yang diatur waktunya sesuai variasi waktu imersi yang digunakan. Variasi waktu imersi yang digunakan pada penelitian ini adalah 15 menit, 12 jam dan 24 jam. Tiap variasi waktu imersi dilakukan untuk dua siklus kultivasi dengan tiap siklus kultivasi berjalan selama tiga hari. Satu siklus berarti kultur jamur dalam bioreaktor menggunakan medium Kirk yang sama selama tiga hari sedangkan pada siklus berikutnya medium Kirk seluruhnya diganti dengan medium Kirk yang baru. Skema bioreaktor disajikan dalam gambar III.3 dan konfigurasi bioreaktor imersi berkala termodifikasi disajikan dalam gambar VI.6
59
Gambar VI.6. Bioreaktor imersi berkala termodifikasi Udara disuplai menggunakan aerator dan medium yang digunakan untuk produksi lakase adalah sama dengan medium untuk merendam bulustru yaitu medium Kirk (dengan kandungan lindi hitam 0,4%) sebanyak 700 ml tiap satu set bioreaktor. Pengambilan conto dilakukan setiap 24 jam.
VI.2.3
Media imobilisasi
Media imobilisasi Marasmius sp. yang digunakan pada penelitian ini adalah bulustru (Sunda)/gambas (Jawa). Bulustru merupakan serat buah oyong yang telah dikeringkan. Sebelum digunakan, bulustru dengan luas kurang lebih 900 cm2 dipotong dengan ukuran sekitar 5 cm x 5 cm dan direndam dalam medium Kirk selam 15 menit. Bulustru yang telah mengandung medium Kirk kemudian ditempatkan dalam plastik tahan panas dan disterilisasi. Setelah dingin bulustru tersebut selanjutnya diinokulasi dengan kultur Marasmius sp. yang telah tumbuh dengan baik pada medium agar. Satu kantung plastik bulustru diinokulasi dengan satu cawan petri kultur Marasmius sp. secara aseptis. Bulustru ini selanjutnya diinkubasi pada temperatur ruang (± 28°C) selama kurang lebih 10 hari untuk mendapatkan pertumbuhan Marasmius sp. yang baik.
60
Penumbuhan Marasmius sp. pada bulustru dimaksudkan agar kultur jamur tidak terbawa aliran medium pada saat pengosongan bioreaktor, yang dikhawatirkan akan menyumbat saluran. Imobilisasi Marasmius sp. ini memungkinkan luas kontak kultur dengan oksigen akan meningkat dan menurunkan hambatan transfer massanya. Pemindahan medium cair dengan memanfaatkan beda ketinggian bioreaktor akan mengurangi tegangan geser yang dialami oleh kultur jamur. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Prasad dkk. (2005) bahwa oksigen merupakan salah satu faktor penting dalam produksi enzim ligninolitik oleh jamur pelapuk putih dan agitasi mekanis yang menyebabkan tegangan geser pada kultur merupakan penghambat produksi enzim tersebut.
VI.2.4
Medium pertumbuhan Marasmius sp.
Medium yang digunakan untuk memproduksi lakase pada percobaan ini adalah medium Kirk. Komposisi dan cara pembuataan medium ini dapat dilihat pada subbab III.2.1.c.
VI.2.5
Kultivasi Marasmius sp.
Kultivasi Marasmius sp. untuk memproduksi lakase dilakukan dengan memasukkan satu kantung kultur Marasmius sp. terimobilisasi pada bulustru pada masing-masing kompartemen bioreaktor. Kemudian ke dalam satu kompartemen dimasukkan 700 ml medium Kirk steril yang mengandung lindi hitam dengan persentase 0,4% (v/v). Kultivasi dilakukan pada suhu ruang (± 28°C) dengan aerasi pada head space bioreaktor. Conto medium kultur diambil setiap 24 jam untuk selanjutnya dianalisis aktivitas lakase dan konsentrasi proteinnya. Setelah tiga hari kultivasi medium kultivasi dihentikan dengan cara mengeluarkan seluruh medium kultur. Kemudian siklus kultivasi kedua langsung dilakukan dengan cara menambahkan 700 ml medium baru.
VI.2.6
Uji aktivitas lakase
Uji aktivitas lakase dilakukan berdasarkan metode Bourbonnais dan Paice (1990). Prinsip uji ini adalah sebagai berikut : pewarna non-phenol 2,2’-azinobis-di-(3-
ethylbenzthiazolinesulphonate) (ABTS) dioksidasi oleh lakase menjadi radikal
61
kation (ABTS+) yang lebih stabil (gambar VI.7). Konsentrasi radikal kation yang berwarna biru kehijauan (dibaca pada panjang gelombang 420 nm) berkorelasi dengan aktivitas lakase (Bar, 2001)
Gambar VI.7. Oksidasi lakase oleh ABTS menjadi radikal kation (ABTS+) (Bar, 2001) Pengukuran aktivitas lakase pada conto kultur medium dilakukan dengan cara sebagai berikut. Larutan 0.4 mM ABTS dalam buffer natrium asetat (pH 4.5) sebanyak 1160 μl dimasukkan ke dalam kuvet 1,5 ml, selanjutnya ke dalam kuvet dimasukkan 40 μl conto enzim dan dikocok agar tercampur homogen. Kemudian absorbansi radikal kation diamati pada panjang gelombang 420 nm (εmM = 36 mM1
cm-1) selama lima menit menggunakan spektrofotometer Genesis 10 UV-Visible.
Perubahan absorbansi radikal kation diamati setiap menit. Aktivitas lakase dinyatakan sebagai International Unit (IU) per liter, dengan 1 IU didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat mengoksidasi 1 µmol ABTS tiap menit. Aktivitas lakase ditentukan menggunakan persamaan VI.1. ⎛ V aktivitas (IU / l ) = 2⎜⎜ ⎝ v xε x d
⎞ ⎟⎟ x ΔA. min −1 x 1000 ⎠
62
........... (VI.1)
dengan :
V
= volume total reaksi (ml)
v
= volume enzim (ml)
ε
= extinction coefficient ABTS pada 420 nm = 36 mM -1cm-1 = Light path of cuvette (cm)
d -1
∆A.min
VI.2.7
= perubahan absorbansi tiap menit pada 420 nm
Pengukuran Konsentrasi Protein
Pengukuran konsentrasi protein dilakukan menggunakan metode Bradford (Walker, 1996). Pengukuran konsentrasi protein metode Bradford didasarkan pada pembentukan ikatan pewarna Coomasie Brilliant Blue G-250 dengan protein yang dapat diamati absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Penentuan konsentrasi protein dilakukan dengan cara : ke dalam kuvet 1,5 ml dimasukkan conto protein sebanyak 50 μl, selanjutnya ke dalam kuvet dimasukkan Reagen Bradford sebanyak 1000 μl (Komposisi dan cara pembuatan reagen Bradford dapat dilihat pada lampiran B). Campuran ini kemudian diinkubasi pada suhu ruang ((± 28°C) selama 5 menit. Kemudian campuran ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Konsentrasi protein ditentukan berdasarkan kurva standar protein. Kurva standar dibuat dengan cara sebagai berikut : pertama-tama dibuat larutan induk Buvine Serum Albumin (BSA) dengan konsentrasi 2 mg/ml, larutan ini kemudian ini kemudian diencerkan agar memiliki konsentrasi 0 – 1 mg/ml. Sediaan ini kemudian dinalisis dengan cara seperti yang telah diuraikan di atas. Profil kurva standar larutan BSA ini dapat dilihat pada lampiran B.
VI.3 Hasil dan Pembahasan Percobaan produksi lakase dari Marasmius sp. ini selain untuk untuk mengetahui pengaruh variasi waktu imersi terhadap produksi enzim, juga untuk mengetahui pengaruh siklus kultivasi terhadap produksi enzim. Variasi waktu yang digunakan adalah 15 menit, 12 jam dan 24 jam dan untuk setiap variasi waktu, kultivasi dilakukan dua siklus.
63
Hasil percobaan pada siklus pertama disajikan dalam gambar VI.8. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada variasi waktu imersi 15 menit, aktivitas lakase meningkat dari 0 U/l pada awal kultivasi menjadi 348,4 U/l setelah satu hari kultivasi. Aktivitas lakase kemudian menurun menjadi 133,5 U/l pada hari kedua dan 112,7 U/l pada hari ketiga, pada saat kultivasi dihentikan. Pola peningkatan aktivitas lakase yang sama juga terlihat pada kultur Marasmius sp. yang ditumbuhkan dengan waktu imersi 24 jam. Kultur Marasmius sp. yang ditumbuhkan dengan waktu imersi 12 jam menunjukkan pola peningkatan aktivitas lakase yang berbeda.
600
aktivitas lakase, U/l
500 400 300 200 100 0 0
1
2
3
waktu, hari
Gambar VI.8. Aktivitas lakase pada siklus pertama; ♦ : waktu imersi 15 menit, ■ : waktu imersi 12 jam, ▲ : waktu imersi 24 jam. Pada kultur ini aktivitas lakase meningkat dari 0 U/l pada kultivasi dilakukan hingga mencapai aktivitas 457,6 U/l setelah tiga hari kultivasi tanpa terlihat adanya penurunan aktivitas enzim tersebut. Namun demikian, diduga aktivitas lakase akan mengalami penurunan jika kultivasi dilanjutkan setelah aktivitas puncak tercapai. Penurunan aktivitas lakase setelah mencapai aktivitas tertinggi dapat disebabkan degradasi enzim tersebut oleh protease. Untuk membuktikannya
64
maka dilakukan uji stabilitas lakase. Pengujian ini dilakukan dengan menginkubasi conto kultur pada suhu ruang (sama dengan suhu kultivasi) selama enam hari. Conto dari percobaan ini diambil setiap hari untuk dianalisis aktivitas lakasenya. Jika penurunan aktivitas lakase pada kultivasi diakibatkan oleh aktivitas protease, maka aktivitas lakase pada conto yang diinkubasi selama enam hari akan menurun. Namun demikian, hasil percobaan ini menunjukkan bahwa aktivitas lakase pada conto yang diinkubasi relatif konstan (Gambar VI.9).
600
aktivitas lakase, U/l
500 400 300 200 100 0 0
1
2
3
4
5
6
waktu, hari
Gambar VI.9. Pengujian stabilitas lakase Dengan demikian penurunan aktivitas lakase, pada saat kultivasi, setelah enzim ini mencapai aktivitas tertinggi bukan diakibatkan oleh protease. Faktor lain yang dapat mengakibatkan penurunan aktivitas lakase ini adalah tegangan geser. Prasad dkk. (2005) menyatakan bahwa agitasi mekanis dapat menyebabkan lakase menjadi tidak aktif. Walaupun metode kultivasi yang diterapkan pada percobaan ini meminimalkan tegangan geser, namun demikian aliran medium dari satu kompartemen ke kompartemen lain selama kultivasi dapat mengakibatkan tegangan geser. Penelitian lebih lanjut tentang hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab penurunan aktivitas lakase.
65
Aktivitas maksimum lakase untuk siklus pertama dapat dilihat pada gambar VI.10. Terlihat bahwa aktivitas maksimum lakase diperoleh pada kultur
Marasmius sp. dengan waktu imersi 12 jam, yaitu sebesar 457,6 U/l dan diikuti berturut-turut oleh kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit (348,4 U/l) dan 24 jam (281,9 U/l). Diperkirakan waktu imersi 12 jam menyebabkan
Marasmius sp. lebih optimal memanfaatkan nutrisi dan oksigen selama kultivasi.
600
aktivitas lakase, U/l
500 400 300 200 100 0 15 menit
12 jam
24 jam
waktu imersi
Gambar VI.10. Aktivitas maksimum lakase pada siklus pertama
Aktivitas maksimum lakase yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 457,6 U/l. Pada tabel VI.1 dapat dilihat aktivitas maksimum lakase yang diperoleh oleh peneliti lain yang nilainya berkisar antara 65 U/l sampai dengan 61900 U/l. Dengan demikian aktivitas maksimum lakase yang diperoleh pada penelitian ini masih berada pada kisaran tersebut. Namun nilainya masih relatif kecil dibandingkan aktivitas maksimum pada tabel VI.1. Perbedaan aktivitas maksimum lakase yang diperoleh karena adanya perbedaan jenis reaktor, jenis kultivasi dan inducer yang digunakan. Lakase yang diperoleh pada penelitian ini masih berupa enzim kasar. Bila enzim kasar ini dimurnikan maka aktivitasnya dapat ditingkatkan.
66
Kultur dengan waktu imersi 12 jam menghasilkan aktivitas lakase lebih tinggi dibandingkan kultur dengan waktu imersi 15 menit dan 24 jam, namun produktivitas kultur tersebut tidak menunjukkan nilai yang paling tinggi. Produktivitas merupakan salah satu variabel penting pada suatu proses produksi karena hal ini berkaitan dengan biaya produksi suatu produk. Gambar VI.11 menunjukkan bahwa kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit menunjukkan produktivitas yang paling tinggi yaitu 348,4 U/l/hari diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 24 jam (281,9 U/l/hari) dan 12 jam (152,5 U/l/hari).
produktivitas kultur, (U/l)/hari
600 500 400 300 200 100 0 15 menit
12 jam
24 jam
waktu imersi
Gambar VI.11.
Produktivitas kultur pada siklus pertama
Pada percobaan ini kultivasi Marasmius sp. dengan metode perendaman berkala dilakukan dua siklus untuk mengetahui kinerja kultur pada siklus berikutnya. Pada akhir siklus pertama (hari ketiga), medium kultur dikeluarkan dan diganti untuk memulai siklus kedua dan kultivasi dilakukan selama tiga hari. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa konsentrasi lakase pada semua kultur mengalami penurunan setelah konsentrasi maksimum lakase dicapai (gambar VI.12).
67
600
aktivitas lakase, U/l
500 400 300 200 100 0 0
1
2
3
waktu, hari
Gambar VI.12. Konsentrasi lakase pada siklus kedua; ◊ : waktu imersi 15 menit, □ : waktu imersi 12 jam, ∆ : waktu imersi 24 jam.
Dari gambar VI.13 terlihat bahwa aktivitas lakase pada siklus kedua lebih rendah dibandingkan siklus pertama. Persentase penurunan tertinggi aktivitas lakase pada siklus kedua terjadi pada kultur dengan waktu imersi 24 jam (80,66%) kemudian diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 12 jam (64,30%) dan 15 menit (3,83%). Penurunan aktivitas lakase pada siklus kedua dapat disebabkan karena biomassa aktif dalam kultur jamur berkurang karena ada biomassa yang mati atau tua sehingga tidak menghasilkan lakase. Kemungkinan penyebab lainnya adalah kultur jamur pada siklus pertama telah berhasil mendegradasi lignin pada media imobilisasi (bulustru) sehingga selulosa dan hemiselulosa dapat diakses sebagai sumber karbon. Menurut Ten Have dan Teunissen (2001) bahwa tujuan akhir degradasi lignin adalah untuk mencapai holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) karena merupakan sumber karbon yang mudah digunakan dibandingkan dengan lignin. Keberhasilan mencapai holoselulosa akan memicu Marasmius sp. untuk menghasilkan selulase dan hemiselulase. Produksi selulase dan hemiselulase
68
mengakibatkan terjadinya kompetisi sistem produksi enzim di dalam sel
Marasmius sp. sehingga produksi lakase menurun.
600
aktivitas lakase, U/l
500 400 300 200 100 0 15 menit
12 jam
24 jam
waktu imersi
Gambar VI.13. Aktivitas maksimum lakase; ■ : siklus pertama dan □ : siklus kedua
Komponen utama penyusun enzim adalah protein (Shuler dan Kargi, 1992). Dengan demikian aktivitas enzim juga dapat dinyatakan dalam Unit per mg total protein (U/mg protein protein). Dari gambar VI.14 dapat diketahui bahwa aktivitas lakase siklus pertama dan siklus kedua memiliki pola kecenderungan yang sama yaitu mula-mula aktivitasnya naik sampai aktivitas tertinggi kemudian turun aktivitasnya. Aktivitas lakase didapat pada siklus pertama untuk waktu imersi 12 jam sebesar 7,46 U/mg protein, berturut-turut kemudian adalah waktu imersi 15 menit (3,49 U/mg protein) dan waktu imersi 24 jam (2,57 U/mg protein).
69
aktivitas lakase, U/(mg protein)
10 9
Siklus I
8
Siklus II
7 6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
waktu, hari
Gambar VI.14. Aktivitas lakase; ▲,∆ : waktu imersi 15 menit; ■,□ : waktu imersi 12 jam; ♦,◊ : waktu imersi 24 jam
Pada gambar VI.15 dapat dilihat bahwa aktivitas maksimum lakase pada siklus kultivasi kedua lebih rendah dibandingkan aktivitas maksimum lakase pada siklus kultivasi pertama. Penurunan aktivitas maksimum lakase pada siklus kultivasi kedua untuk kultur dengan waktu imersi 15 menit, 12 jam dan 24 jam berturutturut adalah 58,08%; 82,24%; 91,68%. Hasil percobaan ini memperkuat dugaan bahwa pada siklus kedua dihasilkan protein (enzim ekstraseluler) lain selain lakase.
70
aktivitas lakase, U/(mg protein)
10
8
6
4
2
0 15 menit
12 jam
24 jam
waktu imersi
Gambar VI.15. Aktivitas maksimum lakase; ■ : siklus pertama dan □ : siklus kedua
VI.4
Kesimpulan
Pada penelitian ini diperoleh aktivitas maksimum lakase diperoleh pada kultur
Marasmius sp. dengan waktu imersi 12 jam, yaitu sebesar 457,6 U/l dan diikuti berturut-turut oleh kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit (348,4 U/l) dan 24 jam (281,9 U/l). Aktivitas lakase pada siklus kedua lebih rendah dibandingkan siklus pertama. Persentase penurunan tertinggi aktivitas lakase pada siklus kedua terjadi pada kultur dengan waktu imersi 24 jam (80,66%) kemudian diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 12 jam (64,30%) dan 15 menit (3,83%). Kultur dengan waktu imersi 12 jam menghasilkan lakase lebih tinggi dibandingkan kultur dengan waktu imersi 15 menit dan 24 jam, namun produktivitas kultur tersebut tidak menunjukkan nilai yang paling tinggi. Hasil penelitian menunjukkan produktivitas kultur Marasmius sp. dengan waktu imersi 15 menit menghasilkan produktivitas yang paling tinggi yaitu 348,4 U/l/hari diikuti oleh kultur dengan waktu imersi 24 jam (281,9 U/l/hari) dan 12 jam (152,5 U/l/hari).
71
Aktivitas lakase berdasarkan total protein dalam enzim kasar menunjukkan bahwa pada siklus pertama dan siklus kedua memiliki pola kecenderungan yang sama yaitu mula-mula aktivitasnya naik sampai aktivitas tertinggi kemudian turun aktivitasnya. Aktivitas lakase yang didapat pada siklus pertama untuk waktu imersi 12 jam sebesar 7,46 U/mg protein, berturut-turut kemudian adalah waktu imersi 15 menit (3,49 U/mg protein) dan waktu imersi 24 jam (2,57 U/mg protein). Aktivitas lakase pada siklus kedua menunjukkan pola yang sama dengan siklus pertama namun nilainya lebih rendah. Hal ini menunjukkan adanya protein (enzim ekstraseluler) lain selain lakase.
72