PRODUKSI ETANOL DARI RUMPUT LAUT Sargassum sp. DAN LIMBAH AGAR Gracilaria sp.
Oleh INDRA PRAHASTHA F34051706
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRODUKSI ETANOL DARI RUMPUT LAUT Sargassum sp. DAN LIMBAH AGAR Gracilaria sp.
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh INDRA PRAHASTHA F34051706
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Produksi Etanol dari Rumput Laut Sargassum sp. dan Limbah Agar Gracilaria sp. Nama
: Indra Prahastha
NIM
: F34051706
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. NIP. 19661219 199103 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus :
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul: “PRODUKSI ETANOL DARI RUMPUT LAUT Sargassum sp. DAN LIMBAH AGAR Gracilaria sp.” adalah karya asli Saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, April 2010 Yang memberi pernyataan
INDRA PRAHASTHA F34051706
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 Maret 1987. Penulis
adalah
anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Dede Suryana dan Nurmala. Pada tahun 1999, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Ciampea 1, Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 6 Bogor pada tahun 2002. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut Pertanian Bogor tahun 2005 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Karena IPB saat itu tengah menerapkan Kurikulum Pendidikan Mayor-Minor, maka penulis pun belum mendapatkan jurusan pada tahun pertama. Setelah memasuki tahun kedua, melalui proses seleksi yang dilakukan akhirnya penulis pun diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi asisten pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam periode 2008/2009. Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan dengan menjadi Pengurus BEM Fateta pada tahun 2006/2007 sebagai Staff Departemen Hubungan Eksternal dan pada tahun 2007/2008 sebagai Wakil Ketua serta pernah menjadi panitia dalam beberapa acara. Selain itu penulis pun aktif pula dalam kegiatan organisasi di luar kampus seperti Wasilas (Wadah Silaturrahim Alumni Muslim SMAN 2 Bogor). Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2008 dengan topik “Mempelajari Pengawasan Mutu Jus Buah di PT Amanah Prima Indonesia, Tangerang-Banten”. Untuk menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul ”Produksi Etanol dari Rumput Laut Sargassum sp. dan Limbah Agar Gracilaria sp.”.
Indra Prahastha. F34051706. Produksi Etanol dari Rumput Laut Sargassum sp. dan Limbah Agar Gracilaria sp. Di bawah bimbingan : Titi Candra Sunarti. 2010. RINGKASAN Permasalahan energi merupakan masalah besar yang dihadapi oleh manusia. Hal ini muncul karena energi yang digunakan saat ini sebagian besar berasal dari bahan bakar fosil yang memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan. Selain itu, dari hasil pembakaran bahan bakar fosil mengakibatkan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Oleh karena itu, pemakaian suatu bahan bakar terbarukan yang lebih aman bagi lingkungan adalah suatu hal yang mutlak. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan sumber energi yaitu dengan menggunakan bioetanol. Bioetanol merupakan etanol yang diproduksi dari biomassa yang memiliki kandungan sakarida di dalam komposisi kimianya. Rumput laut memiliki potensi sebagai bahan baku untuk memproduksi bioetanol karena memiliki kandungan polisakarida cukup tinggi, teknologi budidaya yang sederhana, potensi lahan tanam yang luas, waktu panen yang relatif singkat (4 hingga 6 minggu) dan kemampuan penyerapan CO2 yang baik. Terdapat berbagai jenis rumput laut yang tumbuh dan potensial sebagai bahan baku industri hidrokoloid di Indonesia seperti Porphyroglossum sp., Pterocladia sp., Sargassum sp., dan Gracilaria sp. Pada penelitian ini rumput laut yang dapat digunakan berasal dari jenis Sargassum sp. dan limbah padat dari industri pengolahan agar-agar Gracilaria sp. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemanfaatan rumput laut Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol. Hasil uji proksimat untuk Sargassum sp. diperoleh hasil bahwa komponen terbesarnya adalah mineral/abu dan karbohidrat, sedangkan komponen terbesar untuk limbah agar Gracilaria sp. adalah serat kasar. Tingginya komponen terutama karbohidrat dan serat kasar pada bahan menunjukkan bahwa bahan memiliki potensi sebagai bahan baku bioetanol. Pada pengujian awal hidrolisis asam, diperoleh perlakuan terbaik hidrolisis asam untuk bahan Sargassum sp. adalah menggunakan hidrolisis asam H2SO4 berkonsentrasi 2 % dan waktu 20 menit dengan hasil jumlah gula pereduksi sebanyak 0,649 g/l dan total gula sebanyak 1,015 g/l, sedangkan untuk limbah agar Gracilaria sp. ialah menggunakan hidrolisis asam H2SO4 berkonsentrasi 1,5 % dan waktu 10 menit dengan hasil jumlah gula pereduksi sebanyak 0,157 g/l dan total gula sebanyak 0,205 g/l. Dari hasil analisa fermentasi, didapatkan hasil pada fermentasi hidrolisat Sargassum sp. menghasilkan kadar etanol sebesar 0,18 (% v/v) sedangkan untuk hasil fermentasi pada hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. dihasilkan kadar etanol sebesar 0,11 (%v/v). Kadar etanol yang dihasilkan ini masih rendah diduga karena rendahnya ketersediaan gula dan juga adanya senyawa inhibitor dan racun seperti furfural dalam substrat hasil hidrolisis asam.
Indra Prahastha. F34051706. Ethanol Production from the Acid Hydrolizates of Seaweed Sargassum sp. and Agar Waste of Gracilaria sp. Supervised by : Titi Candra Sunarti. 2010. SUMMARY Nowadays, problems in the scarcity energy is big problem faced by human. This problem emerges because most energy sources come from fossil fuel that having limitation in its availability. Beside that, combustion of fossil fuel results negative impact to the environment. Therefore, exploration of a new fuel which more safe for environment and renewable is required. One of solution to overcome the problems in energy source is by using bioethanol,which can be produced from biomass contains sugars in its chemical composition. Seaweed has high potency as feedstock to produce bioethanol because having high content of carbohydrate, simple cultivation technology, wide cultivation area as well as harvest time that is relatively short ( range around 4 to 6 weeks) and good CO2 absorption abilty. Indonesia has many diversity in seaweed species, and potentially used as raw material for hydrocolloid industry, such as Porphyroglossum sp., Pterocladia sp., Sargassum sp., and Gracilaria sp. In this research fresh Sargassum sp. and agar waste of Gracilaria sp. were used as fuel feedstock in bioethanol production. The results from proximate analysis for Sargassum sp. showed that major components were mineral/ash and carbohydrate, while for agar waste of Gracilaria sp. was crude fiber. High component especially in carbohydrate and crude fiber contents showed its potency as carbon source for bioethanol fermentation. On the pretreatment using acid hydrolysis, high soluble sugars produced from Sargassum sp. was obtained from acid hydrolysis using H2SO4 concentration of 2 % for 20 minutes which result 0.649 g/l of reducing sugar and 1.015 g/l of total sugar, while for agar waste of Gracilaria sp. was obtained from acid hydrolysis using H2SO4 concentration of 1.5 % for 10 minutes which result 0.157 g/l of reducing sugar and 0.205 g/l of total sugar. From result of fermentation analysis, for the fermentation of Sargassum sp. yielded ethanol 0.18 % (v/v) while for the fermentation of agar waste of Gracilaria sp. yielded ethanol 0.11 % (v/v). This low ethanol rate yields probably becaused by the low availibility of sugar as well as existence of yeast growth inhibitor compound and poison like furfural in acid hydrolysis further products.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat, rahmat, dan hidayah serta berbagai kenikmatan yang tak terhitung banyaknya sehingga penulis pun akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, serta dukungan selama masa studi di TIN-IPB, pada saat penelitian serta dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA. dan Dr. Ir. Suprihatin selaku dosen penguji atas masukannya untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Keluargaku tercinta Papah, Mamah, Kakak dan Adikku atas segala dukungan, kasih sayang, do’a dan keteladanan hidup bagi penulis. 4. Laboran Departemen TIN (Pak Edi, Pak Sugiardi, Bu Rini, Bu Ega, Bu Sri, Pak Gunawan dan Pak Diki) atas kesediaannya membantu penulis selama penelitian. 5. Tim bioetanol rumput laut yaitu Mbak Santi, Sari, dan Ulfa yang sangat membantu selama penelitian 6. Teman-teman TIN angkatan 42 atas seluruh kebersamaan, kerjasama, semangat, inspirasi dan pelajaran hidup yang penulis ambil selama kuliah 7. Seluruh orang yang mengenal penulis yang tidak bisa disebutkan satupersatu dalam skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan bermanfaat demi perbaikan skripsi ini. Terima kasih.
Bogor, April 2010 Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .....................................................................................
iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
viii
I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN ................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG .....................................................................
1
B. TUJUAN ..........................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
3
A. RUMPUT LAUT ............................................................................
3
B. Sargassum sp. .................................................................................
5
C. LIMBAH AGAR Gracilaria sp. .....................................................
7
D. HIDROLISIS ASAM .......................................................................
9
E. FERMENTASI ETANOL ...............................................................
11
METODOLOGI ..................................................................................
15
A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................
15
B. METODE PENELITIAN ................................................................
15
1. Karakterisasi Bahan Baku ...........................................................
15
2. Sakarifikasi dengan Hidrolisis Asam ...........................................
15
3.Persiapan Kultur Saccharomyces cerevisiae.................................
16
4. Proses Fermentasi ........................................................................
17
5. Pengujian Hasil Fermentasi .........................................................
17
6. Rancangan Percobaan ..................................................................
17
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
19
A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU ...............................................
19
B. SAKARIFIKASI DENGAN HIDROLISIS ASAM .........................
22
C. FERMENTASI BIOETANOL .........................................................
26
1. pH .................................................................................................
27
2. Total Biomassa ............................................................................
29
iv
3. Kadar Gula ...................................................................................
30
4. Laju Pembentukan CO2 .................................................................
32
5. Kadar Etanol..................................................................................
34
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
36
A. KESIMPULAN ................................................................................
36
B. SARAN ............................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
38
LAMPIRAN ....................................................................................................
43
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Kadar mineral rumput laut .................................................................
4
Tabel 2. Komposisi Kimia Sargassum sp. dari Kepulauan Seribu ..................
6
Tabel 3. Kadar Alginat Beberapa spesies Sargassum sp. ................................
7
Tabel 4. Komposisi Kimia Limbah Agar-Agar Kertas ....................................
9
Tabel 5. Perbandingan Keuntungan dan Kelemahan antara Dua Cara Hidrolisis Asam ..................................................................................
10
Tabel 6. Jenis Substrat serta Mikroorganisme yang Digunakan untuk Memproduksi Etanol .........................................................................
13
Tabel 7. Komposisi Kimia Sargassum sp. dan Limbah Gracilaria sp. ...........
19
Tabel 8. Analisa Kadar Etanol Hasil Fermentasi .............................................
34
Tabel 9. Perbandingan Parameter Akhir Fermentasi Jam ke-72 ......................
35
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Sargassum sp. ..............................................................................
5
Gambar 2. Struktur Laminarin ......................................................................
6
Gambar 3. Gracilaria sp. ..............................................................................
7
Gambar 4. Struktur Galaktan ........................................................................
7
Gambar 5. Diagram Alir Sakarifikasi dengan Hidrolisis Asam ....................
16
Gambar 6. Diagram Alir Proses Fermentasi Bioetanol.................................
18
Gambar 7. Bahan Baku Berupa Tepung........................................................
19
Gambar 8. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula pada Bahan Sargassum sp. .............................................................................
24
Gambar 9. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula pada Bahan Limbah Agar Gracilaria sp. ........................................................
24
Gambar 10. Perubahan pH Sebelum dan Sesudah Fermentasi Etanol............
28
Gambar 11. Perubahan Kandungan Total Gula dan Gula Pereduksi Hidrolisat Rumput Laut Selama Fermentasi ...............................
30
Gambar 12. PeningkatanTotal Biomassa Selama Fermentasi ........................
31
Gambar 13. Pengaruh Jenis Hidrolisat terhadap Laju Rata-Rata Pembentukan CO2 Selama Fermentasi........................................
33
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia....................................
43
Lampiran 2. Prosedur Pengujian Hasil Fermentasi ..........................................
46
Lampiran 3. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula pada Bahan Sargassum sp. ..............................................................................
48
Lampiran 4. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula pada Bahan Limbah Agar Gracilaria sp. ........................................................
49
Lampiran 5. Analisa Keragaman Hasil Hidrolisis Asam .................................
50
Lampiran 6. Analisa Hasil Fermentasi .............................................................
53
Lampiran 7. Laju Pembentukan CO2 ..............................................................
54
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Permasalahan energi bagi kelangsungan hidup manusia merupakan masalah besar yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia ini. Tidak lagi ditemukannya cadangan sumber energi khususnya minyak bumi dalam jumlah yang besar pada rentang waktu terakhir membuat hampir seluruh dunia menjadikan permasalahan energi menjadi permasalahan besar yang perlu ditangani secara serius. Menipisnya ketersediaan bahan bakar minyak yang terjadi ini telah memberikan dampak yang sangat luas di berbagai sektor kehidupan karena bahan bakar tersebut tidak bisa diperbaharui. Padahal minyak bumi merupakan bahan yang paling banyak digunakan sebagai sumber energi dalam kehidupan manusia saat ini. Selain itu pembakaran bahan bakar fosil telah memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dampak buruk yang diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil antara lain terjadinya polusi udara yang menyebabkan turunnya kualitas udara dan timbulnya efek gas rumah kaca yang berujung pada pemanasan global. Kedua efek tersebut hanya sebagian dari efek negatif bahan bakar fosil yang kemudian masih diikuti serangkaian efek negatif lainnya bagi manusia. Oleh karena itu pemakaian suatu bahan bakar terbarukan yang lebih aman bagi lingkungan adalah suatu hal yang mutlak. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan sumber energi yaitu dengan menggunakan bioetanol. Bioetanol merupakan etanol yang diproduksi dari biomassa yang memiliki kandungan sakarida di dalam komposisi kimianya. Karena bahan baku biomassa berasal dari bahan pertanian, maka jaminan ketersediaannya sangat besar karena bisa terus dibudidayakan. Bahan baku yang biasa digunakan untuk memproduksi bioetanol antara lain singkong, tetes tebu, sagu, rumput laut dan lain-lain. Dari bahan baku tersebut, rumput laut merupakan salah satu bahan yang memiliki keunggulan sebagai bahan baku bioetanol. Keunggulan tersebut antara lain dari lahan budidaya yang luas, di Indonesia saja dapat diperkirakan seluas 2,1 juta hektar (Dahuri, 2002); potensi hasilnya yang diperkirakan mencapai 145.850 ton basah/tahun (BRKP, 2004); mudah
dibudidayakan tanpa membutuhkan modal besar untuk irigasi, pupuk, dan sebagainya; waktu panen relatif singkat (4–6 kali/tahun) dan memiliki kemampuan penyerapan CO2 mencapai 36,7 ton per hektar, lebih besar 5-7 kali dibandingkan tanaman kayu (Wi et al., 2009). Komponen utama dalam rumput laut adalah karbohidrat (gula dan gum). Komponen ini berpotensi untuk dikonversi menjadi bioetanol. Selain itu, komponen lain yang terdapat dalam jumlah kecil di antaranya adalah protein, lemak dan abu yang sebagian besar tersusun dari sodium dan potassium (Ishibashi dan Yamamoto, 1960). Rumput laut yang dapat digunakan antara lain dari jenis Sargassum sp. Selain itu, limbah produksi pengolahan rumput laut pun dapat digunakan seperti limbah pengolahan agar-agar dari rumput laut jenis Gracilaria sp.
B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan rumput laut Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Rumput Laut Rumput laut adalah salah satu jenis alga yang hidup di perairan laut dan merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan daun. Rumput laut dikenal juga dengan nama seaweed merupakan bagian terbesar dari makro alga yang tergolong dalam divisi Thallophyta (Winarno, 1996). Menurut Duddington (1971), rumput laut adalah tanaman yang termasuk dalam suatu kelompok yang dikenal dengan alga dan kelompok tanaman ini tidak dapat dibagi menjadi batang, akar dan daun. Tumbuhan ini memiliki bentuk yang hampir sama secara keseluruhan, bentukbentuk yang mirip itu dikenal dengan istilah thallus (Aslan, 1991). Menurut Soegiarto et al. (1978), bentuk thallus bermacam-macam. Ada yang berbentuk bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantung, rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun oleh hanya satu sel dan banyak sel (uniseluler dan multiseluler). Percabangan thallus ada yang dichotomus (bercabang dua terus menerus), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama), pinnate (bercabang dua-dua sepanjang thallus utama secara berselangseling), vertilicate (cabangnya berpusat melingkar aksis atau sumbu utama), ada juga yang tidak bercabang. Coralles (1988) mengelompokkan Thallophyta menjadi empat kelas berdasarkan kandungan pigmen, persediaan makanan, komposisi dinding sel dan keberadaan flagellum, yaitu : Rhodophyceae (alga merah), Phaeophyceae (alga cokelat), Chlorophyceae (alga hijau), dan Cyanophyceae (alga biru hijau). Alga hijau biru dan alga hijau banyak hidup dan berkembang di air tawar, sedangkan alga merah dan alga coklat secara eksklusif ditemukan sebagai habitat laut (Winarno, 1996). Komposisi kimia rumput laut bervariasi karena perbedaan individu, spesies, habitat, kematangan, dan kondisi lingkungannya. Komponen utama rumput laut adalah karbohidrat (gula dan vegetable-gum), protein, lemak dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium (Ishibashi dan Yamamoto, 1960). Umumnya kandungan protein kasar,
karbohidrat, lemak dan abu dari rumput laut kering berturut-turut adalah 5-35 %, 35-74 %, 0.2-3.8 % dan 10-15 % (Ito dan Hori, 1989). Komponen rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90 %, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil. Walaupun kadar lemak rumput laut sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting untuk kesehatan manusia. Rumput laut mengandung asam lemak ω-3 dan ω-6 dalam jumlah yang cukup tinggi. Kedua asam lemak ini merupakan asam lemak yang sangat penting untuk tubuh, terutama sebagai pembentuk membran jaringan otak, syaraf, retina mata, plasma darah dan organ reproduksi. Dalam 100 g rumput laut kering mengandung asam lemak ω-3 berkisar 128-1629 mg dan asam lemak ω-6 berkisar 188-1704 mg (Winarno, 1996). Sumbangan gizi yang cukup bermakna dari rumput laut, terutama dari jenis merah dan coklat, adalah kandungan mineralnya seperti K, Ca, P, Na, Fe dan iodium. Kadar mineral rumput laut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar mineral rumput laut (g/100 g bahan kering) Unsur
Alga Merah 1,5-3,5 1,0-2,2
Alga Coklat 9,8-15 6,4-7,8
Natrium Magnesium Sulfur Silicon Fosfor
1,0-7,9 0,3-1,0 0,5-1,8 0,2-0,3 0,2-0,3
2,6-3,8 1,0-1,9 0,7-2,1 0,5-0,6 0,3-0,6
Kalsium Besi Iodium
0,4-1,5 0,1-0,2 0,1-0,2
0,2-0,3 0,1-0,2 0,1-0,8
Klor Kalium
Sumber : Winarno (1996)
4
B. Sargassum sp. Sargassum adalah salah satu genus dari kelompok rumput laut coklat. Genera rumput laut ini merupakan genera terbesar dari famili Sargassaceae. Klasifikasi Sargassum sp. Menurut Bold dan Wynne (1985) adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Sargassum sp.
Divisio
: Thallophyta
Kelas
: Phaeophyceae
Ordo
: Fusales
Famili
: Sargassaceae
Genus
: Sargassum
Spesies
: Sargassum sp.
Ada 150 spesies Sargassum sp. yang dijumpai di daerah perairan tropis, subtropis dan daerah bermusim dingin (Nizamudin, 1970). Di perairan Indonesia sendiri diperkirakan terdapat lebih dari 15 spesies Sargassum sp. dan yang telah dikenal mencapai 12 spesies. Dua belas spesies Sargassum
sp. yang
telah
diketahui tersebut antara lain Sargassum duplicatum, S. histrix, S. echinocarpum, S. gracilimum, S. binderi, S. polycystum, S. microphylum, S. crassifolium, S. aquafolium, S. vulgare, dan S. polyceratium. Ciri-ciri umum yang terdapat pada Sargassum antara lain : bentuk thallus umumnya silindris atau gepeng, percabangan rimbun menyerupai pepohonan di darat, bagian daun melebar, lonjong atau menyerupai pedang, mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter, panjangnya dapat mencapai tujuh meter dan warna thallus umumnya coklat (Kadi dan Atmadja, 1988). Data mengenai produksi rumput laut Sargassum sp. secara kuantitatif belum ada tetapi telah diketahui tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Daerah penyebaran rumput laut Sargassum sp. terbesar adalah Jawa, Sulawesi, Sumatera Utara, Lombok, Kep. Aru, Kep. Seribu dan Irian (Indriani dan Sumiarsih, 1992). Rumput laut Sargassum sp. mengandung mineral, serat kasar dan karbohidrat dalam jumlah besar. Komposisi kimia Sargassum sp. tersaji dalam Tabel 2.
5
Tabel 2. Komposisi Kimia Sargassum sp. dari Kepulauan Seribu Komposisi Kimia Sargassum sp. Air (%) 11,71 Abu (% bk) 34,57 Protein (% bk) 5,23 Lemak (% bk) 0,74 Serat Kasar (% bk) 28,39 Karbohidrat (by difference) 19,06 Sumber : Yusrizal (2004) Kandungan karbohidrat dalam Sargassum sp. terutama terdiri dari laminarin dan asam alginat. Laminarin memiliki rumus umum (C6H10O5)n. Dilihat dari susunan karbohidratnya, glukosa merupakan komponen yang dominan pada laminarin. Laminarin merupakan polimer dari β-1,3-glukan dengan percabangan pada rantai atom C nomor 6 (Bhakuni dan Rawat, 2005). Struktur laminarin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Laminarin
Pada Sargassum sp., umumnya kandungan laminarin sebesar
25 % (%
bk). Asam alginat didefinisikan sebagai karbohidrat yang membentuk koloid hidrofilik yang diekstraksi dalam kondisi basa (King, 1983). Asam alginat ini terutama banyak dalam bentuk garam natrium alginat (C6H7O5.Na)n. Monomer yang membentuk alginat yaitu β-D-mannuronat dan α-L-guluronat. Kadar alginat dari beberapa spesies Sargassum sp. dapat dilihat pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Kadar Alginat Beberapa spesies Sargassum sp. Jenis
Kadar Alginat (% bk)
Sargassum longifolium
17,00
Sargassum wightii
29,80 – 34,60
Sargassum tenerrimum
29,80 – 34,60
Sargassum ilicifolium
26,64
Sargassum echinocarpum
22,70
Sumber : Yusrizal (2004)
C. Limbah Agar Gracilaria sp. Gracilaria sp. merupakan salah satu alga laut kelas alga merah yang memiliki ciri-ciri umum antara lain tubuh bercabang membentuk rumpun dengan tipe percabangan tidak teratur, bentuk thallus pipih atau silindris, ujung thallus umumnya meruncing, permukaan thallus halus atau berbintil-bintil, garis tengah thallus berkisar antara 0,5-4,0 mm, panjangnya dapat mencapai 30 cm atau lebih dan berwarna coklat kehijauan (Taylor, 1960). Menurut Soegiarto et al. (1978) Gracilaria sp. hidup sebagai phytobenthic, melekat dan menancapkan thallus dengan bantuan cairan perekat pada substrat padat seperti karang mati, batuan, kayu, kulit kerang dan juga pada substrat yang berlumpur dan berpasir. Alga jenis ini juga membentuk suatu rumpun yang lebat atau rimbun yang berbelit-belit dan berkembang biak dengan cara kawin (antara gamet-gamet) dan tidak kawin (vegetatif dan penyebaran spora). Klasifikasi Gracilaria sp. menurut Dawson (1946) sebagai berikut :
Gambar 3. Gracilaria sp.
Divisio
: Thallophyta
Kelas
: Rhodophyceae
Ordo
: Gigantinales
Famili
: Gracilariaceae
Genus
: Gracilaria
Spesies
: Gracilaria sp.
7
Gracilaria sp. selain dapat dimanfaatkan langsung sebagai bahan makanan manusia, juga dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut di antaranya untuk dijadikan produk agar-agar. Agar-agar adalah produk kering tak berbentuk (amorf) mempunyai sifat seperti gelatin, dan merupakan hasil ekstraksi nonnitrogen. Molekul agar-agar terdiri dari rantai linear galaktan. Galaktan adalah polimer dari galaktosa. Dalam menyusun senyawa agar-agar, galaktan dapat berupa rantai linear yang netral ataupun sudah terekstraksi dengan metal atau asam sulfat. Galaktan yang sebagian monomer galaktosanya membentuk ester dengan metal disebut agarosa, sedangkan galaktan yang teresterkan dengan asam sulfat dikenal dengan agaropektin (Winarno, 1996). Struktur kedua jenis galaktan penyusun agar-agar ini diilustrasikan pada Gambar 4.
(a)
(b)
Gambar 4. Struktur Galaktan : (a) Agarosa (b) Agaropektin (Winarno, 1996)
Agar-agar merupakan komoditi yang sudah lama ada dan dikenal di Indonesia. Kata agar-agar sendiri berasal dari bahasa Melayu yang artinya rumput laut. Agar-agar diproduksi dari rumput laut yang tergolong dalam kelas Rhodophyceae (alga merah), namun sebaliknya tidak semua alga merah memproduksi produk berupa agar-agar. Atas dasar kemampuannya memproduksi produk berupa agar-agar, alga merah dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu Agarofit dan Agaroidofit. Agarofit adalah kelompok rumput laut yang dapat digunakan
sebagai
bahan-bahan
baku
pembuatan
agar-agar,
sedangkan
Agaroidofit merupakan kelompok alga merah yang memproduksi senyawa yang mempunyai sifat seperti agar-agar tetapi dengan daya gelasi dan viskositas yang berbeda. Gracilaria sp. termasuk ke dalam kelompok Agarofit (Tseng, 1944).
8
Rendemen dari pengolahan agar-agar tergantung dari sumber dan jenisnya, namun secara umum berkisar antara 24-45% dari berat kering alga (Kappana dan Rao, 1963). Dengan melihat kondisi rendemen tersebut, terdapat potensi jumlah yang cukup besar dari limbah (ampas) yang dihasilkan. Limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan. Limbah agar-agar ini dapat dimanfaatkan untuk dijadikan produk yang memiliki nilai tambah lebih besar. Agar-agar merupakan fraksi yang larut dalam asam cuka, maka limbah kemungkinan besar berupa serat kasar. Komposisi kimia limbah agar-agar kertas tersaji dalam Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Kimia Limbah Agar-Agar Kertas Limbah Agar-Agar Komposisi Kimia Kertas Air (%) Abu (% bk) 15,18 Protein (% bk) 3,05 Lemak (% bk) 0,94 Serat Kasar (% bk) 44,13 Karbohidrat (by difference) 36,70 Sumber : Wilakstanti (2000) Berdasarkan hasil studi oleh Suwandi et al. (1998), tingkat efisiensi pemanfaatan rumput laut dalam proses produksi pengolahan agar-agar adalah sekitar 30 % atau dari 12,5 kg bahan baku rumput laut dapat menjadi 4 kg agar-agar per proses produksinya dengan produksi limbah berkisar 20 % atau sekitar 2 kg dan sisanya berupa kandungan air yang hilang. D. Hidrolisis Asam Khamir memfermentasi gula dalam bentuk monosakarida. Untuk itulah, gula yang masih dalam bentuk polisakarida harus diubah terlebih dahulu agar menjadi bentuk monosakarida. Konversi polisakarida menjadi monomer-monomer sederhana dapat dilakukan dengan proses hidrolisis baik secara enzimatis maupun secara kimiawi. Hidrolisis adalah pemecahan kimiawi suatu molekul karena pengikatan air sehingga menghasilkan molekul-molekul yang lebih kecil (Gaman dan Sherrington, 1981). Lowry (1987) menambahkan bahwa hidrolisis merupakan reaksi kimia yang memecah molekul menjadi dua bagian dengan penambahan molekul air (H2O). Satu bagian dari molekul memiliki ion hidrogen (H+) dan
9
bagian lain memiliki ion hidroksil (OH-). Umumnya hidrolisis ini terjadi saat garam dari asam lemah atau basa lemah (atau keduanya) terlarut di dalam air. Reaksi umum hidrolisis dapat dituliskan sebagai berikut : X-Y + H2O → HX + YOH Akan tetapi, dalam kondisi normal hanya beberapa reaksi yang dapat terjadi antara air dengan komponen organik. Penambahan asam, basa, ataupun enzim umumnya dilakukan untuk membuat reaksi hidrolisis dapat terjadi pada kondisi penambahan air tidak memberikan efek hidrolisis. Asam, basa maupun enzim dalam reaksi hidrolisis disebut sebagai katalis, yakni zat yang dapat mempercepat terjadinya reaksi. Hidrolisis secara kimiawi umumnya menggunakan asam. Proses hidrolisis dengan katalis asam adalah cara yang umum dan sering dipergunakan (Junk dan Pancoast, 1980). Hidrolisis secara asam ini memiliki kelebihan karena murah dan mudah digunakan. Asam yang sering dipergunakan adalah asam sulfat, asam klorida dan asam fosfat. Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh asam mineral seperti H2SO4. Selain asam mineral, asam-asam organik seperti asam oksalat, asam trikloroasetat dan asam trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis pati (Tjokroadikoesoemo, 1986). Hidrolisis asam dapat dikategorikan melalui dua pendekatan umum, yaitu hidrolisis asam konsentrasi tinggi pada suhu rendah dan hidrolisis asam konsentrasi rendah pada suhu tinggi. Pemilihan antara dua cara tersebut biasanya didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti laju hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya total proses produksi (Kosaric et al., 1983). Perbandingan keuntungan dan kelemahan dari hidrolisis asam dengan dua cara tersebut disajikan dalam Tabel 5. Hidrolisis asam merupakan proses yang dilakukan secara acak atau tidak spesifik. Pada hidrolisis selulosa secara asam untuk menghasilkan gula, terbentuk pula 5-hidroksimetil-2-2 furfuraldehida atau disebut juga hidroksimetilfurfural (HMF) akibat penguraian glukosa pada suasana asam. HMF ini akan terus bereaksi membentuk asam-asam organik seperti asam levulinat dan asam format pada suasana asam dan suhu tinggi (Ulbricht et al., 1984).
10
Tabel 5. Perbandingan Keuntungan dan Kelemahan antara Dua Cara Hidrolisis Asam Metode Hidrolisis Asam
Keuntungan
Kelemahan
Hidrolisis pada suhu - Dioperasikan pada - Konsentrasi asam tinggi rendah dengan konsentrasi suhu rendah - Korosi peralatan asam tinggi - Rendemen gula tinggi - Energi tinggi untuk pengambilan asam Hidrolisis pada suhu - Konsentrasi asam - Suhu operasi tinggi tinggi dengan konsentrasi rendah - Yield gula rendah asam rendah - Waktu tinggal singkat Sumber : Taherzadeh dan Keikhosro (2007) Pada umumnya komponen terlarut yang terdapat pada hasil hidrolisis asam polisakarida adalah xilosa, glukosa, selobiosa, furfuraldehid, hidroksimetilfurfural dan asam-asam organik seperti asam format, asam levulinat serta asam asetat (Tsao et al., 1978).
E. Fermentasi Etanol Bioetanol merupakan istilah untuk etanol yang terbuat dari bahan baku nabati dan diproduksi oleh mikroorganisme melalui proses yang disebut fermentasi. Etanol merupakan nama trivial dari etil alkohol (C 2H5OH), sering pula disebut alkohol saja. Bentuknya berupa cairan yang tidak berwarna dan mempunyai bau yang khas. Berat jenisnya pada 15 oC adalah sebesar 0,7937 kg/m3 dan titik didihnya 78,32 oC pada tekanan 766 mmHg. Sifatnya yang lain adalah larut dalam air dan eter serta mempunyai panas pembakaran 328 Kkal. Penggunaan etanol yang terbanyak adalah sebagai pelarut sebesar 40 %, untuk membuat asetildehid 36 %, untuk penggunaan secara kimiawi yang lain 15 %, serta eter, glikol eter, etil asetat dan khoral 9 % (Paturau, 1981). Jika dibakar, etanol menghasilkan karbondioksida dan air. Dengan mencampurkan etanol dan bensin, maka dapat dihasilkan bahan bakar campuran yang dapat terbakar dengan sempurna dan dapat mengurangi emisi pencemaran udara. Menurut Hambali et al. (2007), bioetanol memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan dengan bensin berbasis petrokimia karena beberapa hal berikut :
11
a. Bioetanol mengandung 35 % oksigen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca b. Bioetanol memiliki nilai oktan yang lebih tinggi sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif seperti metil tetra butil eter dan tetra etil timbal. c. Bioetanol memiliki nilai oktan (ON) 96 – 113, sedangkan nilai oktan bensin hanya 85 – 96 d. Bioetanol bersifat ramah lingkungan, karena gas buangnya rendah terhadap senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai polutan, seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca e. Bioetanol mudah terurai dan aman karena tak mencemari air f. Bioetanol dapat diperbaharui (renewable energy) dan proses produksinya relatif lebih sederhana dibandingkan dengan proses produksi bensin. Umumnya, penggunaan bioetanol masih dalam bentuk campuran dengan bensin pada konsentrasi 10 % (E-10) yaitu 10 % bioetanol dan 90 % bensin. Campuran bioetanol dalam bensin dikenal dengan istilah gasohol. Penambahan etanol dalam bensin disamping dapat menambah volume BBM, juga dapat meningkatkan nilai oktan bensin. Penambahan bioetanol 10 % dalam bensin mampu meningkatkan nilai oktan hingga mencapai poin ON 92 – 95. Selain itu, penambahan etanol dalam bensin dapat berfungsi sebagai pengganti MTBE (metil tetra butil eter) yang sekarang ini banyak digunakan sebagai bahan aditif dalam bensin (Hambali et al., 2007). Etanol dapat diperoleh dari hasil proses fermentasi. Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak atau lainnya melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim dan dihasilkan oleh mikroba spesifik (Prescott dan Dunn, 1981). Mikroorganisme yang dipakai dalam fermentasi etanol umumnya adalah khamir. Lackhe (2002) menyatakan bahwa sejumlah besar bakteri juga mampu membentuk etanol sebagai produk utama, misalnya Clostridium dan Bacillus macerans. Khamir yang biasa digunakan untuk menghasilkan etanol adalah Saccharomyces cerevisiae. Khamir ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk metabolit utama adalah
12
etanol, CO2, dan air, sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik (Oura, 1983). Beberapa jenis substrat dan mikroorganisme yang telah digunakan untuk memproduksi bioetanol di antaranya dapat dilihat pada Tabel 6. Untuk substrat dari rumput laut, telah dilakukan beberapa penelitian sebelumnya namun jumlahnya masih belum banyak. Dari hasil penelitian yang dilakukan, antara lain diperoleh kadar etanol sebesar 4,1 % (b/v) yang diproduksi dari rumput laut jenis Gelidium amansii (Kim, 2008) dan dari hasil penelitan Devis (2008) yang memproduksi bioetanol dari bahan limbah karaginan Eucheuma cottonii dihasilkan etanol berkadar 3,28 % ( b/v).
Tabel 6. Jenis Substrat serta Mikroorganisme yang Digunakan untuk Memproduksi Etanol Substrat Kadar Etanol Tertinggi Mikroorganisme (% v/v) Onggok singkong(a) 1,61 Schizosaccharomyces sp. 0,17 Saccharomyces ellipsoideus Biji nangka(b) 9,675 Saccharomyces cerevisiae Limbah Cairan Pulp 8,36 Saccharomyces cerevisiae kakao(c) Tetes tebu(d) 11,85 Saccharomyces ellipsoideus (e) Sagu 4,91 Saccharomyces cerevisiae Onggok tapioka(f) 0,165 Saccharomyces ellipsoideus 1,635 Schizosaccharomyces sp. (a)
Rinaldy (1987) Simandjuntak (1988) (c) Desrizal (1991) (d) Wahyudi (1997) (e) Suyandra (2007) (f) Judoamidjojo et al. (1989). (b)
Menurut Reed dan Rehm (1981), Saccharomyces cerevisiae sering dipakai pada fermentasi etanol karena menghasilkan etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol tinggi, mampu hidup pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah. Harisson dan Graham (1970) menambahkan bahwa Saccharomyces cerevisiae dapat toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12 – 18 % v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4 – 32 oC.
13
Khamir mampu mengkonsumsi berbagai substrat gula, tergantung spesies yang digunakan. Kunkee dan Mardon (1970) menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiae mampu memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa. Secara umum, mikroorganisme ini dapat tumbuh dan memfermentasi gula menjadi etanol secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-35 oC. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa Saccharomyces cerevisiae yang termasuk top yeast tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20 oC . Menurut Paturau (1981), fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. Kebutuhan relatif nutrien sebanding dengan komponen utama sel khamir, yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen. Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potassium dan magnesium juga harus tersedia untuk sintesis komponen-komponen minor. Beberapa mineral (Mn, Co, Cu dan Zn) dan faktor pertumbuhan organik (asam amino, asam nukleat dan vitamin) diperlukan dalam jumlah kecil. Substrat yang digunakan untuk memproduksi etanol dalam jumlah besar biasanya mengandung nutrient yang diperlukan untuk pertumbuhan khamir. Dalam beberapa hal, mungkin diperlukan tambahan nutrient dan biasanya ditambahkan dalam bentuk komponen tunggal seperti garam ammonium dan potassium fosfat atau dari sumber murah seperti corn steep liquor (Kosaric et al., 1983). Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme gula menjadi etanol. Secara sederhana proses fermentasi etanol dari bahan baku yang mengandung gula terlihat pada reaksi berikut : C6H12O6 → 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 ATP + 5 Kkal Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO 2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap gram glukosa memberikan 0,51 g etanol. Pada kenyataannya etanol biasanya tidak melebihi 90-95% dari hasil teoritis. Hal ini dikarenakan sebagian nutrisi digunakan untuk sintesa biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi samping juga dapat terjadi yaitu terbentuknya gliserol dan suksinat yang dapat mengkonsumsi 4-5% substrat (Oura, 1983).
14
III. METODOLOGI
A. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah alga Sargassum sp. yang diperoleh dari perairan di sekitar Pulau Bali dan limbah agar dari alga Gracilaria sp. yang diperoleh dari PT. Agarindo Bogatama, Tangerang. Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae galur ATCC 9763 yang merupakan koleksi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Bahan lainnya adalah H2SO4, buffer asetat, buffer sitrat, air aquades, Pb-asetat, NaOH, media YMGP, media Potato Dextrose Agar (PDA), pupuk NPK, ZA, fenol 5%, dan pereaksi DNS. 2. Alat Peralatan yang digunakan antara lain pipet mikro, waterbath, shaker, timbangan analitik, inkubator, pH meter, kain saring, autoclave, spektrofotometer, destilator, piknometer, dan peralatan gelas lainnya.
B. Metode Penelitian 1. Karakterisasi Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam bentuk tepung yang telah dikeringkan, digiling serta lolos ayakan 40 mesh. Karakterisasi bahan baku dilakukan melalui uji proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar. Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 1. 2. Sakarifikasi dengan Hidrolisis Asam Hidrolisis polisakarida dilakukan secara asam. Sebanyak 5 % bahan digunakan dalam larutan H2SO4. Untuk penentuan perlakuan hidrolisis asam yang digunakan, dipilih dua faktor yaitu konsentrasi asam dan waktu hidrolisis. Konsentrasi asam yang dipilih adalah lima taraf yakni 0,25 %, 0,5 %, 1,0 %, 1,5 % dan 2,0 % (v/v). Untuk waktu hidrolisis yang digunakan dipilih dua taraf yakni 10 dan 20 menit. Proses hidrolisis dilakukan dalam autoclave pada suhu
121 oC dengan tekanan 1 kg/cm2. Percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan. Hasil dari hidrolisis dianalisis kadar gula pereduksi dan total gulanya dan dipilih perlakuan terbaik berdasarkan parameter tersebut. Prosedur perlakuan ini ditunjukkan pada Gambar 5. Mulai
Bahan 5 % (% b/v)
Hidrolisis dengan H2SO4 Konsentrasi 0,25 %, 0,5 %, 1,0 %, 1,5 % dan 2,0 % (v/v) dan Waktu 10 menit menit (121 oC,1 kg/cm2)
dan 20
Analisa kadar gula pereduksi dan total gula
Pemilihan perlakuan terbaik
Selesai
Gambar 5. Diagram Alir Sakarifikasi dengan Hidrolisis Asam
3. Persiapan Kultur Saccharomyces cerevisiae Isolat khamir Saccharomyces cerevisiae diremajakan pada media PDA dan diinkubasi selama 2 hari. Setelah itu isolat ditumbuhkan kembali dalam 30 ml media YMGP ( 9 ose/30 ml) yang terdiri dari ekstrak khamir 5 g/l, malt ekstrak 5 g/l, glukosa 10 g/l, dan pepton 5 g/l dalam. Inkubasi dilakukan pada shaker berkecepatan 120 rpm pada suhu kamar (28 – 30 oC) selama 24 jam.
16
4. Proses Fermentasi Larutan substrat hasil hidrolisis yang telah disaring dan diambil filtratnya, kemudian dipekatkan hingga total gula sekitar 10%. Campuran ditambahkan pupuk NPK dan ZA masing-masing sebanyak 0,04% dan 0,15% dari volume larutan substrat. Volume yang digunakan adalah 300 ml. Selanjutnya larutan diatur pH-nya hingga mencapai pH ± 5 menggunakan NaOH 1 N, kemudian sebelum substrat ditambahkan inokulum starter, dilakukan terlebih dahulu pasteurisasi pada suhu
± 85 oC selama 5 menit. Inokulum starter yang
ditambahkan sebesar 10% dari volume substrat. Proses fermentasi berlangsung pada sistem tertutup selama 72 jam dalam suhu ruang. Labu ditutup dengan sumbat dan dihubungkan selang yang dimasukkan ke gelas ukur dalam air untuk mengukur laju gas CO2 yang dihasilkan dari proses fermentasi. Hasil fermentasi kemudian dianalisa dengan terlebih dahulu dipasteurisasi pada suhu ± 65 oC selama 30 menit untuk menginaktifkan mikroorganisme. Proses fermentasi secara umum dapat dilihat pada Gambar 6. 5. Pengujian Hasil Fermentasi Hasil fermentasi yang diperoleh dilakukan pengujian antara lain uji pH, total biomassa, gula pereduksi, total gula, dan kadar etanol. Selama proses fermentasi dilakukan pula pengukuran gas CO2 setiap 6 jam. Prosedur pengujian hasil fermentasi dapat dilihat pada Lampiran 2. 6. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua kali ulangan. Rancangan percobaan menggunakan dua faktor yaitu konsentrasi asam (A) dan waktu hidrolisis (B). Konsentrasi asam yang dipilih adalah lima taraf dan waktu hidrolisis dipilih dua taraf. Model yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij
=
U + Ai + Bj + (AB)ij + Eij
Yij
=
nilai pengamatan
U
=
nilai tengah umum
17
Ai
=
pengaruh perlakuan A ke-i (i = 0,25 %, 0,5 %, 1,0 %, 1,5 % dan 2,0 % (v/v))
Bj
=
pengaruh perlakuan B ke-j (10 dan 20 menit)
(AB)ij =
pengaruh interaksi perlakuan A ke-i dan perlakuan B ke-j
Eij
pengaruh kesalahan percobaan karena pengaruh Ai, Bj, dan (AB)ij
=
Model tersebut dianalisis sidik ragamnya menggunakan perangkat lunak SPSS 13.0. Cairan Hidrolisat
Kultur khamir
Pengaturan pH (± 5)
Inokulasi PDA
Penambahan nutrien/pupuk
t = 48 jam, suhu ruang
NPK 0,04 % ZA 0,15 %
Inokulasi YMGP
Pasteurisasi
t = 24 jam, suhu ruang
T = ± 85 oC, t = 5 menit
Inokulum Starter 10 % (v/v)
Fermentasi Sistem tertutup, t = 72 jam, suhu ruang
Pasteurisasi T = ± 65 oC, t = 30 menit
Destilasi
Bioetanol
Analisa Bioetanol
Gambar 6. Diagram Alir Proses Fermentasi Bioetanol
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisasi Bahan Baku Bahan baku yang diperoleh awalnya dalam keadaan basah. Bahan baku tersebut kemudian dibersihkan beberapa kali dengan air tawar dan dikeringkan dengan sinar matahari selama 1 hingga 3 hari dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven. Bahan selanjutnya dibuat tepung dengan cara menggiling kemudian menyaringnya dalam ayakan 40 mesh. Bahan yang sudah dibuat menjadi tepung dapat dilihat pada Gambar 7.
(a)
(b)
Gambar 7. Bahan Baku Berupa Tepung dari (a) Sargassum sp. (b) Limbah Agar Gracilaria sp. Komposisi kimia dari suatu bahan merupakan kandungan zat yang terdapat pada bahan dan mempunyai fungsi tertentu di dalam suatu proses yang melibatkan bahan tersebut (Fellows, 2000). Komposisi kimia Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. hasil dari uji proksimat pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi Kimia Sargassum sp. dan Limbah Gracilaria sp. Komposisi Kimia Air (%) Abu (% bk) Protein (% bk) Lemak (% bk) Serat Kasar (% bk) Karbohidrat (by difference)
Sargassum sp. 9,20 35,08 2,79 3,97 15,73 42,43
Limbah Agar Gracilaria sp. 5,67 20,94 0,57 0,83 58,59 19,07
Dari Tabel 4 terlihat bahwa komponen terbesar dari Sargassum sp. adalah mineral/abu dan karbohidrat, sedangkan pada limbah agar Gracilaria sp. adalah
serat kasar. Tingginya komponen karbohidrat dan serat kasar yang ada pada bahan Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. menunjukkan bahwa kedua bahan ini memiliki potensi sebagai bahan baku yang dapat dikonversi menjadi bioetanol. Kadar air merupakan jumlah air yang terserap di dalam bahan. Semakin tinggi kadar air suatu bahan maka makin besar pula kemungkinan bahan tersebut rusak atau tidak tahan lama. Untuk itulah diperlukan perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar air yang tinggi agar bahan dapat lebih tahan lama untuk disimpan seperti melalui proses pengeringan. Proses pengeringan sangat berpengaruh sekali terhadap kadar air yang dihasilkan. Pengeringan mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim penyebab kerusakan bahan dapat dihambat. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15 % (Fardiaz, 1989). Berdasarkan hasil analisis kadar air, baik Sargassum sp. maupun limbah agar Gracilaria sp. kadar tersebut masih cukup rendah yaitu 9,20 dan 5,67 % sehingga dapat disimpan untuk jangka relatif panjang. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Mineral merupakan zat anoganik dalam bahan yang tidak mudah terbakar selama proses pembakaran sehingga kadar abu ini pun menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang dapat menguap (Winarno dan Fardiaz, 1990). Harijadi (1993) kemudian menambahkan bahwa kandungan abu menunjukkan residu bahan anorganik/unsur mineral yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis, proses yang dilakukan pasca panen dan lain-lain. Secara umum, rumput laut memiliki kadar polisakarida bukan pati, mineral dan vitamin yang cukup tinggi (Mabeau dan Fleurence, 1993). Kadar abu dari rumput laut secara umum lebih besar dari tanaman darat. Kadar abu yang dihasilkan berkisar antara 8 hingga 40 % dari berat kering alga (Fleury dan Lahaye, 1991). Berdasarkan hasil analisis, kadar abu untuk Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. yakni 35,08 % dan 20,94 %. Kadar abu yang cukup besar ini kemungkinan berasal dari garam-garam yang terabsorbsi dalam jaringan rumput
20
laut Sargassum sp. atau garam dari proses ekstraksi agar-agar pada limbah agar Gracilaria sp. Protein merupakan suatu zat polimer yang tersusun dari asam amino. Protein dalam bahan biologis biasanya terdapat dalam bentuk ikatan fisis yang renggang maupun akatan kimiawi yang lebih erat dengan karbohidrat atau lemak. Kadar protein dari hasil analisis yang diperoleh untuk Sargassum sp. yakni sebesar 2,79 % dan untuk limbah agar Gracilaria sp. yaitu sebesar 0,57 %. Kadar protein pada bahan Sargassum sp. hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Roswiem (1991) yang memperoleh hasil kadar protein sebesar 5.23 %. Untuk bahan limbah agar Gracilaria sp., diperoleh kadar protein yang sangat kecil. Hal ini diduga karena bahan tersebut telah mengalami proses sebelumnya yang dapat menyebabkan rusaknya protein. Lemak adalah bahan-bahan yang tidak larut dalam air, berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sebagian besar lemak merupakan trigliserida, ester dari gliserol, dan berbagai asam lemak (Buckle, 1987). Kadar lemak yang diperoleh dari uji proksimat untuk Sargassum sp. yaitu sebesar 3,97 % dan untuk limbah agar Gracilaria sp. yakni sebesar 0,83 %. Hasil ini sesuai dengan laporan oleh Herbetreau et al. (1997) yang menyatakan bahwa kadar lemak total rumput laut selalu kurang dari 4 %. Serat kasar adalah salah satu komponen penyusun dinding sel tanaman yang terdiri dari lignin serta polisakarida seperti selulosa dan hemiselulosa yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia. Sudarmadji (1996) menyatakan bahwa serat kasar terdiri dari dinding sel, selulosa, hemiselulosa, pektin dengan sedikit lignin dan pentosan. Dari hasil penelitian diperoleh hasil kadar serat kasar untuk Sargassum sp. yakni sebesar 15,73 % dan untuk limbah agar Gracilaria sp. yaitu sebesar 58,59 %. Herbetreau et al. (1997) menyatakan bahwa rumput laut mengandung kadar lemak yang rendah tetapi kadar serat kasar yang cukup tinggi. Karbohidrat dapat diklasifikasikan menjadi monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Karbohidrat ini merupakan bagian penting yang antara lain dapat
digunakan
sebagai
substrat
fermentasi.
Khamir
dapat
langsung
memfermentasi bahan yang mengandung karbohidrat dalam bentuk gula
21
sederhana (monosakarida). Untuk bahan yang mengandung gula dalam bentuk polisakarida atau oligosakarida, terlebih dahulu harus dirubah dalam bentuk yang lebih sederhana (Judoamidjojo et al., 1989). Hasil dari penelitian menunjukkan kadar karbohidrat Sargassum sp. sebesar 33,23 % sedangkan untuk limbah agar Gracilaria sp. yaitu 13,49 %. Hal ini menunjukkan bahwa komponen karbohidrat pada Gracilaria sp. sebagian besar telah dipisahkan selama ekstraksi. Terdapat perbedaan pada hasil uji proksimat dari bahan Sargassum sp. yang digunakan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian Roswiem (1991). Hal ini diduga karena pengaruh beberapa faktor. Ishibashi et al. (1960), menyatakan bahwa komposisi kimia rumput laut bervariasi karena perbedaan individu, spesies, habitat, kematangan, dan kondisi lingkungannya. Terdapat pula perbedaan hasil untuk bahan limbah agar Gracilaria sp. pada penelitian ini dengan hasil penelitian Wilakstanti (2000) diduga karena perbedaan individu, spesies, habitat, kematangan, dan kondisi lingkungan dari bahan baku walaupun sama-sama menggunakan alga dari jenis Gracilaria sp. Selain itu, perbedaan pada proses yang dilakukan untuk mengekstrak agar-agar pun dapat menjadi penyebab perbedaan komposisi pada limbah. Namun, dari komposisi yang ada tetap menunjukkan potensi limbah dari kandungan karbohidrat maupun serat kasarnya yang cukup besar untuk dijadikan bahan baku bioetanol. Untuk bahan baku Sargassum sp., karbohidrat yang berpotensi untuk diubah menjadi monomer glukosa dan selanjutnya dapat dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae adalah laminarin yang merupakan polimer dari β-1,3-glukan dengan percabangan pada rantai atom C nomor 6 (Bhakuni dan Rawat, 2005). Sedangkan dari bahan limbah agar Gracilaria sp., serat kasar yang berpotensi untuk dapat diuraikan menjadi glukosa terutama adalah selulosa (polimer dari β-1,4-glukan) dan hemiselulosa. Dari glukosa tersebut selanjutnya dapat dikonversi menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae.
B. Sakarifikasi dengan Hidrolisis Asam Sebelum dilakukan proses fermentasi, maka terlebih dahulu dilakukan penentuan perlakuan hidrolisis asam yang akan digunakan. Penentuan perlakuan
22
hidrolisis asam yang akan digunakan ini dilakukan dengan mencari hasil dari hidrolisis yang menghasilkan kadar gula optimal. Untuk gula pereduksi khususnya, kadar gula yang dihasilkan diharapkan dapat mencapai 16-25 % karena menurut Higins et al. (1984), kadar gula pereduksi yang baik untuk fermentasi etanol adalah 16-25 % yang diperkirakan dapat menghasilkan etanol berkadar 6-12 %. Pada penentuan hidrolisis asam, dipilih 2 faktor yaitu konsentrasi asam dan waktu hidrolisis. Konsentrasi asam yang dipilih adalah lima taraf yakni 0,25 %, 0,5 %, 1 %, 1,5 % dan 2 % (v/v). Untuk waktu yang digunakan dipilih dua taraf yakni 10 dan 20 menit. Untuk asam dan suhu yang digunakan yaitu H2SO4 dan 121 oC dengan tekanan 1 kg/cm2. Perlakuan ini didasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kim (2008) yang telah berhasil memproduksi etanol dari rumput laut dengan hidrolisis asam menggunakan H2SO4 berkonsentrasi 0,5-1,25 % dengan variasi waktu 10-20 menit. Hasil dari hidrolisis dianalisis kadar gula pereduksi dan total gulanya dan dipilih perlakuan terbaik berdasarkan hasil analisa tersebut. Hasil dari proses hidrolisis asam yang dilakukan pada bahan Sargassum sp. dapat dilihat pada Gambar 8 dan Lampiran 3. Sedangkan untuk hasil hidrolisis asam pada limbah agar Gracilaria sp. dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 4. Dari Gambar 8, terlihat bahwa dari berbagai perlakuan pada hidrolisis asam menggunakan bahan Sargassum sp. 5 g dalam 100 ml larutan dihasilkan kadar gula pereduksi dan total gula tertinggi dengan perlakuan konsentrasi asam 2 % dan waktu 20 menit yakni gula pereduksi sebesar 0,649 g/l dan total gula sebesar 1,015 g/l. Dari Gambar 9, terlihat bahwa dari berbagai perlakuan pada hidrolisis asam menggunakan bahan limbah agar Gracilaria sp. 5 g dalam 100 ml larutan dihasilkan kadar gula pereduksi dan total gula tertinggi dengan perlakuan konsentrasi asam 1,5 % dan waktu 10 menit yakni gula pereduksi sebesar 0,157 g/l dan total gula sebesar 0,205 g/l. Oleh karena itu, dipilih perlakuan ini untuk hidrolisis asam yang nantinya hidrolisat tersebut akan digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi.
23
Gambar 8. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula pada Bahan Sargassum sp.
Gambar 9. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula pada Bahan Limbah Agar Gracilaria sp. Pada hasil analisa keragaman untuk substrat Sargassum sp., menunjukkan bahwa konsentrasi asam dan waktu hidrolisis berpengaruh nyata terhadap nilai gula pereduksi dan total gula. Uji Duncan memperlihatkan bahwa hidrolisis menggunakan konsentrasi asam 2 % dan waktu 20 menit berbeda nyata dengan perlakuan yang lain terhadap gula pereduksi dan total gula pada selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Sedangkan pada hasil analisa keragaman untuk substrat limbah agar Gracilaria sp., menunjukkan bahwa konsentrasi asam dan waktu hidrolisis tidak berpengaruh nyata terhadap nilai gula pereduksi dan total gula. Uji Duncan memperlihatkan bahwa hidrolisis menggunakan konsentrasi
24
asam 1,5 % dan waktu 10 menit tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain terhadap gula pereduksi dan total gula pada selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Jika dilihat dari nilai DP (Derajat Polimerisasi), terlihat pada hidrólisis Sargassum sp. yang menghasilkan hasil gula paling besar terdapat pada nilai DP yang rendah yakni 1,56475 bahkan untuk hidrolisis limbah agar Gracilaria sp. terdapat pada nilai DP yang memiliki nilai terendah dibanding lainnya yakni sebesar 1,3049. Terdapat perbedaan hasil kadar gula untuk bahan Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. Perbedaan hasil tersebut diduga terjadi karena pengaruh perbedaan jenis bahan dan komposisi kimia bahan masing-masing. Kandungan karbohidrat dalam Sargassum sp. terdiri antara lain dari asam alginat, laminarin, fucoidin dan mannitol, sedangkan pada limbah agar limbah agar Gracilaria sp. diduga banyak terdiri dari selulosa karena merupakan ampas dari proses ekstraksi agar. Selulosa pada limbah agar Gracilaria sp. cenderung lebih sulit terhidrolisis dibandingkan karbohidrat pada Sargassum sp. sehingga gula yang dihasilkan dari hidrolisis Sargassum sp. lebih besar dari limbah agar Gracilaria sp. Akan tetapi, dari hasil hidrolisis masing-masing bahan terlihat adanya peningkatan kadar gula seiring peningkatan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis hingga titik tertentu dan kemudian menurun. Berdasarkan penelitian Ashadi (1988), hasil pengamatan terhadap hasil berupa kadar glukosa untuk hidrolisis menggunakan asam sulfat dipengaruhi oleh konsentrasi asam sulfat dan lama waktu hidrolisis. Peningkatan konsentrasi asam yang terlalu tinggi akan menurunkan glukosa yang dihasilkan karena glukosa yang terbentuk akan terdegradasi lebih lanjut. Pola tersebut terutama terlihat pada hasil hidrolisis untuk limbah agar Gracilaria sp. yang mengalami peningkatan kadar gula hingga konsentrasi asam 1,5 % dan waktu 10 menit dan selanjutnya cenderung menurun, sedangkan pada bahan Sargassum sp. masih belum terlihat penurunan hasil kadar gula hingga konsentrasi asam 2 % dan waktu 20 menit. Pada hidrolisis asam dengan suhu tinggi, terbentuk pula 5-hidroksimetil-22 furfuraldehida atau disebut juga hidroksimetilfurfural (HMF) akibat penguraian glukosa pada suasana asam (Ulbricht et al., 1984). Masing-masing bahan berpotensi menghasilkan senyawa samping tersebut namun dalam kadar dan
25
kecepatan yang berbeda. Pada Sargassum sp. diduga senyawa samping tersebut belum banyak dihasilkan dibuktikan dengan kadar gula yang terus meningkat hingga pada konsentrasi 2 % dan waktu 20 menit, sedangkan untuk limbah agar Gracilaria sp., diduga bahwa senyawa samping HMF lebih banyak dihasilkan dibandingkan dengan pembentukan gulanya setelah konsentrasi 1,5 % dan waktu 10 menit.
C. Fermentasi Bioetanol Pembuatan bioetanol pada umumnya dilakukan melalui proses fermentasi. Secara umum, fermentasi dapat diartikan sebagai proses untuk mengkonversi gula menjadi etanol dan karbondioksida (CO2). Gula yang dapat terfermentasi adalah gula dalam bentuk sederhana (monosakarida), oleh karena itu untuk polisakarida dan oligosakarida harus terlebih dahulu diubah bentuknya menjadi gula sederhana melalui proses hidrolisis untuk dapat dikonversi menjadi etanol (Judoamidjojo et al., 1989). Hasil terbaik dari berbagai perlakuan hidrolisis untuk Sargassum sp. adalah menggunakan hidrolisis asam H2SO4 berkonsentrasi 2 % dan waktu 20 menit sedangkan untuk limbah agar Gracilaria sp. ialah menggunakan hidrolisis asam
H2SO4 berkonsentrasi 1,5 % dan waktu 10 menit. Oleh sebab itu
selanjutnya subtsrat untuk fermentasi dari kedua bahan dihidrolisis berdasarkan perlakuan hidrolisis terpilih tersebut. Proses produksi etanol dilakukan dalam fermentasi sistem batch atau tertutup. Menurut Bailey dan Ollis (1991), fermentasi media cair dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu fermentasi sistem tertutup (batch), fermentasi semi sinambung (fed batch), dan sistem sinambung (continous). Pada fermentasi tertutup, pemanenan dilakukan setelah fermentasi berakhir dan tidak dilakukan lagi penambahan komponen substrat selama fermentasi berlangsung. Kondisi lain dalam fermentasi yang dilakukan yakni dalam kondisi anaerob selama 72 jam dengan suhu ruang. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), suhu optimum fermentasi terjadi pada suhu 25 – 30
o
C. Paturau (1981)
menyatakan bahwa fermentasi etanol membutuhkan waktu 30 – 72 jam.
26
Fermentasi etanol terjadi pada kondisi anaerob dengan menggunakan mikroba tertentu yang dapat mengubah gula menjadi etanol. Mikroba yang digunakan untuk memfermentasi substrat adalah Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam fermentasi gula untuk menghasilkan etanol (Ratladge, 1991). Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme gula (glukosa) membentuk asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur EmbdenMeyerhof-Parnas (EMP) dan selanjutnya pada kondisi anaerob asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol. Pada jalur EMP, terjadi reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor dan akseptor fosfat. Selain itu, pada jalur reaksi tersebut juga terjadi reaksi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi melalui reaksi oksidasi reduksi. Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian menjadi fruktosa1,difosfat dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-difosfat kemudian dipecah menjadi 2 molekul yang terfosforilasi yaitu dehidroksi aseton fosfat dan gliseraldehida-3-fosfat. Dehidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserolfosfat kemudian menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder. Gliseraldehida-3-fosfat tereduksi menjadi asam 1,3-difosfogliserat kemudian mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan fosfat dengan aseptor fosfat ADP membentuk ATP. Selanjutnya 3-P-asam gliserat membentuk 1-P-asam gliserat dan menjadi asam fosfofenol piruvat dengan melepaskan H2O. Asam fosfofenol piruvat kemudian akan terdefosforilasi menjadi asam piruvat dengan menghasilkan ATP. Asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 melalui reaksi dekarboksilasi dan membentuk etanol melalui reaksi oksidasi. Etanol merupakan metabolit sekunder yang diproduksi pada fase stasioner. Mekanisme pembentukan etanol oleh khamir ini melalui jalur EMP atau lebih dikenal dengan jalur glikosis (Crueger dan Anneliese, 1984). Hidrolisat hasil hidrolisis asam digunakan sebagai substrat pada proses fermentasi. Pada pengujian hidrolisis asam awal, diperoleh kadar gula yang relatif kecil sehingga pada proses hidrolisis selanjutnya dilakukan pemekatan dengan
27
penggunaan bahan yang tadinya hanya sebesar 5 % (b/v) menjadi sebesar 10 % (b/v). Setelah hidrolisat tersebut diperoleh, maka dilakukanlah proses fermentasi. Dari hasil fermentasi yang diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian antara lain uji pH, total biomassa, gula pereduksi, total gula, dan kadar etanol. Hasil analisa fermentasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Selama proses fermentasi dilakukan pula pengukuran gas CO2 setiap 6 jam. 1) pH Salah satu faktor yang menentukan kehidupan khamir adalah pH media fermentasi. Kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada keadaan asam yaitu sekitar pH 4-5 (Frazier dan Westhoff, 1978). Nilai pH awal sebelum fermentasi dilakukan berkisar antara 5,03 – 5,25 agar sesuai dengan pH optimal pertumbuhan khamir. Menurut Moat (1979), pH optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 4,5 – 5,5. Casida (1968) menyatakan bahwa pada pH yang lebih rendah kecepatan fermentasi akan menurun sedangkan pada pH yang lebih tinggi terbentuk asam-asam organik dan gliserol lebih banyak yang merupakan hasil samping fermentasi. Asam-asam organik yang merupakan hasil samping fermentasi adalah asam piruvat, asam suksinat dan asam laktat. Dari analisa pH pada awal dan akhir hasil fermentasi didapatkan hasil bahwa pH mengalami penurunan. Analisa pH pada hasil fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Perubahan pH Sebelum dan Sesudah Fermentasi Etanol 28
Pada Gambar 10, terlihat bahwa setelah fermentasi, baik hidrolisat dari Sargassum sp. maupun limbah agar Gracilaria sp. mengalami penurunan pH. Penurunan pH terjadi karena diduga konsumsi glukosa melalui proses glikolisis yang menghasilkan asam organik seperti asam piruvat belum terkonversi semua menjadi etanol dan juga akumulasi metabolit-metabolit samping berupa senyawa asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi. Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas. Selama proses glikolisis, setiap satu mol glukosa akan dipecah menjadi dua mol asam piruvat dan melepaskan dua mol ion H+. Akumulasi ion H+ ini diduga dapat menurunkan pH larutan fermentasi. Proses glikolisis glukosa dapat dilihat dari persamaan reaksi berikut ini : Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi → 2 piruvat + 2 ATP + 2 NADH + H+ Asam piruvat yang terbentuk kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya dirubah menjadi alkohol oleh enzim alkohol dehidrogenase. Reed dan Peepler (1973) menyatakan bahwa proses terjadinya penurunan pH diakibatkan terbentuknya metabolit-metabolit selama proses fermentasi berlangsung. Selama proses fermentasi terjadi pembentukan asam seperti asam asetat, asam piruvat dan asam laktat yang dapat menurunkan pH cairan. Reed dan Rehm (1983) menambahkan bahwa asam sebagai hasil samping fermentasi etanol seperti asam asetat, asam piruvat dan asam-asam organik lainnya berperan besar dalam penurunan pH sedangkan asam butirat dan asam lemak lainnya hanya berpengaruh sedikit.
2) Kadar Gula Kadar gula yang diukur adalah kadar gula pereduksi dan total gula. Gula pereduksi adalah gula sederhana hasil hidrolisis karbohidrat kompleks. Hasil analisa kadar gula pada awal dan akhir fermentasi ditunjukkan pada Gambar 11. Penurunan kadar gula pereduksi dan total gula menunjukkan penggunaan substrat oleh Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi. Menurunnya jumlah 29
substrat dalam cairan fermentasi ini disebabkan oleh dimanfaatkannya substrat oleh Saccharomyces cereviseiae selama fermentasi untuk pertumbuhan dan produksi produk. Penurunan jumlah substrat ini dibuktikan dengan dibentuknya biomassa, karbondioksida dan etanol. Akan tetapi, sebenarnya masih tersedia kandungan gula dalam substrat yang tidak habis dikonsumsi.
Gambar 11. Perubahan Kandungan Total Gula dan Gula Pereduksi Hidrolisat Rumput Laut Selama Fermentasi Hal ini diduga karena terjadi hambatan pertumbuhan khamir yang mengakibatkan lambatnya pula konsumsi substrat dan laju produksi etanol karena adanya senyawa furfural dalam produk dan juga komponen gula non glukosa yang tidak dapat dimetabolisme oleh Saccharomyces cerevisiae. Senyawa furfural dihasilkan dari reaksi lanjut produk hasil hidrolisis asam. Taherzadeh dan Karimi (2007) melaporkan bahwa furfural dapat menyebabkan lambatnya laju pertumbuhan spesifik dan laju produksi etanol baik pada kondisi aerob maupun anaerob pada sistem kultivasi dan fermentasi menggunakan kultur Saccharomyces cervisiae CBS 8066 secara batch.
3) Total Biomassa Biomassa yang dihitung adalah jumlah sel kering yang terdapat dalam cairan fermentasi pada awal dan akhir fermentasi. Hasil pengukuran terhadap jumlah total biomassa dapat dilihat pada Gambar 12. 30
Gambar 12. Peningkatan Total Biomassa Selama Fermentasi Dari Gambar 12 diketahui bahwa pada awal fermentasi, jumlah total biomassa berkisar antara 0.54-0.57 g/l. Pada akhir fermentasi, untuk fermentasi pada Sargassum sp. memiliki total biomassa sebesar 1.91 g/l. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan total biomassa dari fermentasi akhir pada limbah agar Gracilaria sp. yakni hanya sebesar 1.5 g/l. Namun, dapat disimpulkan dari kedua hasil tersebut bahwa pada fermentasi telah terjadi peningkatan jumlah total biomassa. Peningkatan jumlah total biomassa ini menunjukkan adanya pertumbuhan sel. Pertumbuhan terjadi bila kondisi optimum fisik dan kimiawi tercapai misalnya suhu, pH dan ketersediaan nutrisi sesuai dengan kebutuhan mikroba. Mikroba akan tumbuh dan mempunyai aktivitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungannya. Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan (Wang et al., 1979). Meyer (1978) menyatakan bahwa pada metabolisme jalur Embden-MeyerhofParnas, asam fosfofenol piruvat terdefosforilasi menjadi asam piruvat dan menghasilkan ATP lebih tinggi sehingga biomassa yang dihasilkan lebih banyak. Moat dan Foster (1988) menyatakan bahwa pada fermentasi sistem tertutup, pertumbuhan mikroba mengikuti pola berikut yakni terdapat empat fase pertumbuhan antara lain fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Fase adaptasi merupakan masa penyesuaian mikroba sejak inokulum
31
diinokulasi ke dalam media fermentasi. Fase adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi inokulum yang diberikan. Jika inokulum berasal dari fase eksponensial maka fase adaptasi akan lebih pendek atau tidak ada sama sekali. Jika inokulum berasal dari fase stasioner, maka sel membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi karena sel membutuhkan waktu untuk melengkapi kelompok koenzim dan metabolit esensial untuk pembelahan sel. Pada penelitian ini inokulum yang diberikan merupakan Saccharomyces cerevisiae yang telah ditumbuhkan dalam media propagasi selama 24 jam sehingga diharapkan khamir berada pada fase eksponensial dan mampu untuk langsung memfermentasi substrat. Menurut Reed dan Nagodawithana (1991), Saccharomyces cerevisiae mengalami pertumbuhan maksimum pada fermentasi selama 12-20 jam. Setelah fase adaptasi, perbanyakan sel mulai terjadi yang mengakibatkan peningkatan jumlah sel dalam cairan fermentasi. Fase ini disebut fase eksponensial. Menurut Muljono et al. (1989), pertumbuhan mikrobial biasanya ditentukan oleh waktu yang diperlukan untuk menggandakan massa sel. Waktu penggandaan massa sel dapat berbeda dengan waktu penggandaan jumlah, karena massa sel dapat meningkat tanpa penambahan jumlah sel. Bila interval antara penggandaan massa sel dan jumlah dengan waktu berlangsung konstan, maka mikroba tumbuh pada laju eksponensial. Pada fase eksponensial ini laju pertumbuhan mengalami peningkatan. Fase stasioner merupakan fase dimana jumlah sel mati seimbang dengan jumlah sel yang tumbuh (sel baru) dan populasinya stabil. Setelah fase stasioner adalah fase terakhir yang disebut fase kematian dimana pertumbuhan khamir berhenti atau tidak ada lagi pertumbuhan sama sekali. Menurut Lingga (1989), akumulasi produk metabolit primer dan sekunder yang tidak dipanen dapat menginhibisi atau menekan pertumbuhan sel mikroorganisme.
4) Laju Pembentukan CO2 Pada proses fermentasi, dihasilkan pula senyawa CO2 selama fermentasi etanol berlangsung. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi menggunakan hidrolisat Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. dapat dilihat pada Gambar 13 dan Lampiran 6.
32
Gambar 13. Pengaruh Jenis Hidrolisat terhadap Laju Rata-Rata Pembentukan CO2 Selama Fermentasi Produktivitas dari fermentasi antara lain dapat dilihat dari volume CO 2 yang terbentuk. Dari Gambar 12 terlihat bahwa pada enam jam pertama sudah dihasilkan laju pembentukan CO2 yang cukup tinggi. Hal ini diduga karena khamir sudah mampu memfermentasi substrat cukup optimal. Kondisi ini dimungkinkan jika fase adaptasi berlangsung dalam waktu relatif cepat. Fase adaptasi yang relatif cepat dapat terjadi jika khamir yang diinokulasikan sudah dalam kondisi fase eksponensial. Dalam fase eksponensial, waktu untuk melengkapi kelompok koenzim dan metabolit esensial untuk pembelahan sel berlangsung lebih cepat. Volume rata-rata pembentukan CO2 pada hidrolisat Sargassum sp. cenderung lebih tinggi dibandingkan limbah agar Gracilaria sp. Dari hasil tersebut diduga bahwa khamir mampu menghasilkan produk fermentasi lebih besar pada hidrolisat Sargassum sp. Namun, pola pembentukan CO2 baik pada hidrolisat Sargassum sp. maupun limbah agar Gracilaria sp. menunjukkan pola yang hampir sama, yakni meningkat mulai jam ke-0 hingga mencapai puncaknya pada jam ke-18 dan selanjutnya cenderung menurun dari jam ke-18 hingga akhirnya mulai tidak membentuk CO2 pada jam ke-54. Pola pembentukan CO2 ini merefleksikan aktivitas pertumbuhan khamir. Menurut Bailey dan Ollis (1988)
33
fermentasi etanol berasosiasi dengan pertumbuhan sehingga pola pembentukan produk sama dengan pola pertumbuhan.
5) Kadar Etanol Selama proses metabolisme, khamir akan memanfaatkan sumber karbon untuk menghasilkan asam piruvat melalui proses glikolisis. Selanjutnya khamir akan mengubah asam piruvat menjadi asetaldehida. Asetaldehida selanjutnya diubah menjadi etanol. Hasil analisa terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Analisa Kadar Etanol Hasil Fermentasi Parameter Kadar Etanol (% v/v)=
Sargassum sp. 0.18
Rata-rata (n = 3) Limbah Agar Gracilaria sp. 0.11
Rendahnya kadar etanol yang dihasilkan yaitu 0.18 dan 0.11 (% v/v) dimungkinkan karena rendahnya ketersediaan gula hasil hidrolisis asam dan juga kemungkinan gula-gula yang dihasilkan merupakan gula yang tidak dapat diasimilasi oleh Saccharomyces cerevisiae. Selain itu adanya senyawa inhibitor dan racun seperti furfural dalam substrat dapat pula mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. Azhar et al. (1981) di dalam Sari (2009) menyatakan bahwa kandungan senyawa yang bersifat inhibitor dan racun dalam substrat pada hasil hidrolisis asam dapat mengakibatkan menurunnya kadar etanol yang dihasilkan pada hasil fermentasi.
D. Kinetika Fermentasi Etanol Berdasarkan hubungan waktu fermentasi dengan konsentrasi etanol, konsumsi substrat dan biomassa yang diperoleh dapat dibuat perbandingan parameternya. Yield atau rendemen biomassa (Yx/s), rendemen produk per substrat (Yp/s), rendemen produk per biomassa (Yp/x) dan efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) merupakan parameter penting yang menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi biomassa atau produk dan biomassa menghasilkan produk. Parameter tersebut didefinisikan sebagai bobot biomassa produk yang
34
terbentuk per bobot substrat yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu (Collins dan Walter dalam Bouwkamp, 1985).
;
;
=
;
= massa sel saat t
;
= massa sel awal
= massa substrat saat t
;
= massa substrat awal
= produk (etanol) saat t
;
= produk awal
=
Perbandingan parameter hasil fermentasi untuk masing-masing substrat dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perbandingan Parameter Akhir Fermentasi Jam ke-72 Substrat Hidrolisat Sargassum sp. Hidrolisat limbah agar Gracilaria sp.
Yx/s
Yp/s
Yp/x
∆s/s
0,36
0,37
1,05
0,47
0,42
0,36
0,91
0,52
Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai Yx/s pada hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. lebih besar daripada hidrolisat Sargassum sp. Hal ini menunjukkan bahwa konversi substrat menjadi sel yang lebih tinggi terjadi pada hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. dibandingkan hidrolisat Sargassum sp. Akan tetapi, pada saat konversi substrat menjadi sel tinggi tidak memastikan etanol yang dihasilkan juga tinggi. Hal ini terbukti dengan melihat nilai Yp/s dan Yp/x. Jika melihat nilai Yp/s dan Yp/x, maka diketahui bahwa hidrolisat Sargassum sp. lebih tinggi dibandingkan hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. yang berarti bahwa konversi substrat menjadi produk lebih baik terjadi pada hidrolisat Sargassum sp. walaupun dari efisiensi pemanfaatan substrat (∆s/s) hidrolisat limbah agar Gracilaria sp. lebih baik dibandingkan hidrolisat Sargassum sp.
35
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Rumput laut adalah salah satu jenis alga yang hidup di perairan laut dan merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan daun. Komponen terbesar dari Sargassum sp. adalah mineral/abu sebesar 35,08 (% bk) dan karbohidrat sebesar 42,43 (% bk), sedangkan pada limbah agar Gracilaria sp. adalah serat kasar sebesar 58,59 (% bk). Tingginya komponen terutama karbohidrat dan serat kasar pada kedua bahan ini menunjukkan potensinya sebagai bahan baku yang dapat dikonversi menjadi bioetanol. Rumput laut Sargassum sp. dan limbah agar Gracilaria sp. perlu dihidrolisis sebelum digunakan sebagai bahan baku fermentasi etanol. Hasil terbaik dari berbagai perlakuan hidrolisis untuk Sargassum sp. adalah menggunakan hidrolisis asam H2SO4 berkonsentrasi 2 % dan waktu 20 menit sedangkan untuk limbah agar Gracilaria sp. ialah menggunakan hidrolisis asam H2SO4 berkonsentrasi 1,5 % dan waktu 10 menit. Perbedaan hasil tersebut diduga terjadi karena pengaruh perbedaan jenis bahan dan komposisi kimia bahan masing-masing. Pada Sargassum sp. karbohidrat terutama tersusun dari laminarin dan alginat sedangkan pada limbah agar Gracilaria sp. terutama adalah selulosa dari serat kasar. Akan tetapi, dari hasil hidrolisis masing-masing bahan terlihat adanya peningkatan kadar gula seiring peningkatan konsentrasi asam dan waku hidrolisis hingga titik tertentu dan kemudian menurun. Dari hasil analisa fermentasi, didapatkan hasil pada fermentasi Sargassum sp. menghasilkan kadar etanol sebesar 0,18 (% v/v) sedangkan untuk hasil fermentasi pada limbah agar Gracilaria sp. dihasilkan kadar etanol sebesar dan 0,11 (% v/v). Kadar etanol yang dihasilkan ini masih rendah karena rendahnya ketersediaan gula ataupun gula yang dihasilkan merupakan gula yang tidak dapat diasimilasi oleh Saccharomyces cervisiae dan juga
adanya senyawa inhibitor dan racun seperti furfural dalam substrat hasil hidrolisis asam.
B. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki proses hidrolisis asam yang digunakan. Hal ini penting untuk mengoptimalkan gula yang dihasilkan dan juga meminimalisasi terbentuknya senyawa-senyawa samping yang mengganggu proses fermentasi. Selain itu penelitian lebih lanjut untuk menggunakan hirolisis enzim dan juga menggunakan jenis lain dari bahan rumput laut serta penggunaan mikroorganisme lainnya yang mampu menggunakan gula sederhana selain glukosa untuk produksi bioetanol diperlukan mengingat cukup besarnya potensi bahan ini sebagai bahan baku bioetanol.
37
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1980. Official Methods of Analysis of the Association of Analytical Chemist. AOAC International, Washington DC. ______. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Analytical Chemist. AOAC International, Washington DC. ______. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Analytical Chemist. AOAC International, Washington DC. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium : Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Aslan, L.M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Jakarta. Bailey, J.E. dan D.F Ollis. 1991. Dasar-Dasar Biokimia. Diterjemahkan oleh A.A Darwis. PAU IPB, Bogor. Bhakuni, D.S dan D.S. Rawat. 2005. Bioactive Marine Natural Products. Anamaya Publishers, New Delhi-India. Bold, H.C dan M.J. Wynne. 1985. Introduction to the Algae Structure and Reproduction. Second Edition. Prentice Hall Inc, New Jersey. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Casida, J.R. 1968. Industrial Microbiology. John Wiley and Sons Inc, New York. Coralles, R.A. 1988. Introduction to the Four Seaweed Divisions. Report on The Training Course on Seaweed Farming. ASEAN/UNDP/FAO. Manila. Phillipines. p 23-23. Crueger, W. dan C. Anneliese. 1984. Biotechnology : A Textbook of Industrial Microbiology. Science Tech Inc , Madison. Dawson, E.Y. 1946. A Guide to Literature and Distribution of the Marine Algae of the Pacific Coast of America, Repr. Memoirs of the Southern California Academy of Sciences III (1) : 131. Desrizal. 1991. Pembuatan Etanol Secara Sinambung dari Limbah Cairan Pulp Kakao Menggunakan Sel Saccharomyces cerevisiae Amobil. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Devis, F.H. 2008. Bioetanol Berbahan Dasar Ampas Rumput Laut. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor.
Dubois, M., K.A. Gilles, J.K. Hamilton, P.A. Rebers dan F. Smith. 1956. Colorimetric Method for Determination of Sugars and Related Substances. Anal. Chem. (28) : 350-356. Duddington, C.L. 1971. Beginner’s Guide to Seaweeds. Pelham Books Ltd., London Fardiaz, S. 1989. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB, Bogor Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology. 2nd edition. Cambridge England. CRC Press, Washington D.C. Fleury,
N dan Lahaye, M. 1991. Chemical And Physico-Chemical Characterisation of Fibres from Laminaria digitata (Kombu Breton): A Physiological Approach. J of the Sci. of Food and Agriculture, 55, 389– 400.
Frazier, A.L. dan C. Westhoff. 1978. Food Microbiology 4th edition. McGrawHill Book Publ.Co.Ltd, New York. Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Diterjemahkan oleh Gardjito, M., S. Naruki, A. Murdiati dan Sardjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hambali, E., S. Mujdalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia, Jakarta. Harijadi. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia, Jakarta. Harisson, J.S. dan J.C.J. Graham. 1970. Yeast in Distilery Practice. Academic Press, London. Herbreteau, F., Coiffard, L. J. M., Derrien, A., dan De Roeck-Holtz-hauer, Y. 1997. The Fatty Acid Composition of Five Species of Macroalgae. Botanica Marina, 40:25–27. Higins, I.C., D.J. Best, dan J. Jones. 1984. Biotechnology Principles and Application. Balckwell Scientific Publ, London. Indriani, H. dan E. Sumiarsih. 1994. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta. Ishibashi, M dan T. Yamamoto. 1960. In Organic Constituents in Seaweeds. Record of Oceanographic Work in Japan. 5 (2) : 55. Ito, K. dan K. Hori. 1989. Seaweed : Chemical Composition and Potential Uses. Food Rev. Int. 5 (10) : 101. Judoamidjojo, R.M., E.G. Said,. dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. PAU IPB, Bogor.
39
Junk, W.R. dan H. Pancoast. 1980. Handbook of Sugar. The AVI Publishing Co.Inc. Westport, Connecticut. Kadi, A., dan W.S., Atmadja. 1988. Rumput Laut (Alga); Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta. Kappana, A.U. dan A.V. Rao. 1963. Preparation and Properties of Agar-Agar from Indian Seaweeds. Indian J. Technol. (5): 222-224. Kim, G.S. 2008. Method of Producing Biofuel Using Sea Algae. Patent Application Korea PCT/KR2008/001102. King, A.H. 1983. Brown Seaweeds Extract (Alginates). Dalam M. Glicksman (ed). Food Hydrocolloids. Volume II. CRC Press Inc, Florida. Kosaric, H., A. Wieczorec, G.P. Cosentino, R.J. Magee dan J.E. Presonil. 1983. Ethanol Fermentation. Di dalam. H. Dellweg (ed). Biotechnology. Volume III. Verlag Cheme, Weinheim. Kunkee, K.D. dan C.J Mardon. 1970. Yeast in Wine Making. Academic Press. London. Lachke, A. 2002. Biofuel from D-Xylose the Second Most Abundant Sugar. Biochemical Science of Chemical Laboratory, India. Lingga, D.S. 1989. Kinetika Inhibisi oleh Produk Pada Fermentasi Etanol dari Molasses dengan Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Program Teknik Kimia ITS, Surabaya. Lowry, T.H. 1987. Mechanism and Theory in Organic Chemistry. Harper and Row Publishers, Inc. New York Mabeau, S dan Fleurence, J. 1993. Seaweed in Food Products : Biochemical and Nutritional Aspects. Trends in Food Sci. and Technol., 4 : 103-107. Meyer, H.L. 1978. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation. New York. Moat, A.G. 1979. Microbial Physiology. John Wiley and Sons Inc, New York. Moat, A.G. dan J.W. Foster. 1988. Microbial Physiology Second Edition. John Wiley and Sons Inc, New York. Muljono, J., E.G. Said dan A.A. Darwis. 1989. Teknologi Fermentasi. PAU IPB, Bogor. Nizamudin, M. 1970. Phytogeography of the Fucales and their Seasonal Growth. Bot. Mar. 13 : 131-139.
40
Oura, E. 1983. Reaction Product of Yeast Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. Academic Press, New York. Paturau, J.M. 1981. By Products of Yeast Fermentations : An Introduction to Their Industrial Utilization. Elsevier Scientific Publ.Co., Amsterdam. Prescott, S.C. dan C.G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. McGraw-Hill Book Co. Ltd., New York. Ratledge, C. 1991. Yeast Physiology – a Microsynopsis. Bioprocess Engineering. 6 : 195-203. Reed, G. 1973. Yeast Technology. The AVI Publishing Co, New York. Reed, G. dan H.J. Rehm. 1983. Biotechnology Vol III. Industrial Microbiology. AVI Publishing Company Inc, Connecticut. Reed, G. dan Nagodawithana T. 1991. Yeast Technology 2 nd Edition. Copyright by Van Nostrand Reinhold Library of Congress Catalog, Canada. Rinaldy, W. 1987. Pemanfaatan Onggok Singkong (Manihot esculenta Crantz) Sebagai Bahan Pembuatan Etanol. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Sari, F.A. 2009. Pengaruh Jenis Asam pada Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Etanol. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Simandjuntak, F. 1988. Studi Pembuatan Alkohol dari Biji Nangka Menggunakan Khamir Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Soegiarto, A., Sulistijo, W.S Atmadja dan H. Mubarak. 1978. Rumput Laut (Alga), Manfaat, Potensi dan Usaha Budidaya. LON-LIPI, Jakarta. Stanbury P.F dan Whitaker A. 1993. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press, New York. Sudarmadji. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Suwandi, R., B. Riyanto, Taryono dan Uju. 1998. Desain dan Rancang Bangun Alat Pengering Semprot Mekanis Tepung Agar-Agar. Laporan Akhir Paket Penerapan Iptek Daerah : Pengembangan Usaha Perikanan Rakyat Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna di Bidang Pasca Panen. Unpublished Report. Suyandra, I.D. 2007. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) Sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
41
Taherzadeh M.J. dan Karimi K. 2007. Acid-Based Hydrolysis Processes for Ethanol from Lignocellulosic Materials. J Bioresources 2 : 472-499. Taylor, W.R. 1960. Marine Algae of The Eastern of Tropical Resources and Subtopical Coast of America. The Baltimore Press, USA. Tjokroadikoesoemo, P. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta Tsao, G.T., M. Ladisch, T.A. Hsu, B. Dale, C. Ladisch dan T. Chou. 1978. Fermentation Substrates from Cellulosic Materials : Production of Fermentable Sugars from Cellulosic Materials. Di dalam. D. Perlman (ed). Annual Reports on Fermentation Processes Volume 2. Academic Press, New York. Tseng, C.K. 1944. Seaweed and Their Uses Di dalam V.J. Chapman dan D.J. Chapman. 1980. Chapman and Hall, New York. Ulbricht, R.J., J. Sharon dan J. Thomas. 1984. A Review of 5hydroxymethylfurfural (HMF) in parental solutions. Fundamental Appl. Toxicol. 4: 843-853. Wahyudi. 1997. Produksi Alkohol oleh Saccharomyces ellipsoideus dengan Tetes Tebu Sebagai Bahan Baku. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Wang, D.I.C, C.L. Conney, A.L. Demain, P. Dunhil, A.E. Humprey dan M.D. Lily. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons Inc, New York. Wilakstanti, M. 2000. Pemanfaatan Ampas Agar-Agar Kertas Sebagai Tepung Berkadar Serat Tinggi. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor. Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Winarno, F.G. dan D. Fardiaz. 1990. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Yusrizal. 2004. Teknologi Pengolahan Alginat. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan dengan oven dengan suhu 105 0C selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pekerjaan tersebut diulangi sehingga mendapat bobot yang konstan. Kadar Air (%) = A – B x 100% C Keterangan : A = wadah + contoh sebelum dikeringkan (g) B = wadah + contoh setelah dikeringkan (g) C = bobot contoh (g)
2. Kadar Abu (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 6000C sampai pengabuan sempurna. Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap. Kadar Abu (%) = A – B x 100% C Keterangan : A = cawan + contoh kering (g) B = cawan kosong (g) C = bobot kosong (g)
3. Kadar Protein (AOAC, 1995) Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan beberapa butir batu didih. Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml
NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan dibawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades (ditampung dalam erlenmeyer). Larutan yang berada dalam erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan pula penetapan blanko. Kadar protein kasar = (a-b) x N x 0,014 x 6,25 x 100% W Keterangan : a = ml NaOH untuk titrasi blanko b = ml NaOH untuk titrasi contoh N = normalitas NaOH W = bobot contoh (g)
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat soxlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 1050C. Contoh didinginkan dalam eksikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar lemak = bobot lemak bobot contoh
x 100%
5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. Kemudian dihidrolisis dalam otoklaf selama 15 menit pada suhu 1050C dan didinginkan serta ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml. Kemudian dilakukan hidrolisis kembali dalam otoklaf selama 15 menit. Contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N lalu dengan air panas dan terakhir menggunakan aceton/alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105 0C
44
selama 1 jam dan dilanjutkan sampai bobotnya tetap. Kadar serat ditentukan dengan rumus : Kadar serat kasar (%) = a – b x 100% c Dimana : a = bobot residu serat dalam kertas saring (g) b = bobot kertas saring kering (g) c = bobot bahan awal (g)
6. Kadar Karbohidrat (By Difference) Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Karbohidrat (% bk) = 100% - ( A + B + C + D + E) Dimana : A = Kadar Abu B = Kadar Protein C = Kadar Lemak D = Kadar Air E = Kadar Serat kasar
45
Lampiran 2. Prosedur Pengujian Hasil Fermentasi 1. Uji pH (AOAC, 1995) Media yang sudah difermentasi diuji pH-nya dengan menggunakan pH meter. Katoda pH meter dibilas dengan akuades kemudian dikeringkan dengan tisu. Katoda dimasukkan ke dalam buffer dengan pH 6,8, tunggu sampai ada tanda bunyi yang menunjukkan pH meter siap digunakan. Kemudian pH meter dimasukkan ke dalam media uji, hasilnya dicatat. 2. Uji Total Biomassa (AOAC, 1984) Pengukuran
biomassaa
dilakukan
dengan
penyaringan
larutan
menggunakan kertas saring berpori kecil (Whatman No.42). Biomassa dikeringkan menggunakan oven dan ditimbang bobot konstannya. Total Biomassa = (Bobot kertas dan bahan – bobot kertas) g/l 3. Uji Gula Pereduksi Metode DNS (Apriyantono et al., 1989) Sebanyak 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisilat dan 19,8 g NaOH dilarutkan dalam 1416 ml air. Ke dalamnya ditambahkan 306 g NaK-tartat, 7,6 ml fenol yang telah dicairkan pada suhu 1050C dan 8,3 g Na-metabisulfit. Bahan-bahan tersebut dicampurkan hingga larut merata. Keasaman dari pereaksi DNS yang dihasilkan ditentukan. Sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N pada titrasi, ditambahkan 2 g NaOH. Sebanyak 1 ml larutan standar glukosa atau contoh dipipet, dan ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut diletakkan dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian didinginkan hingga suhu kamar. Pembacaan dengan spektrofotometer dilakukan dengan panjang gelombang 550 nm. Bila diperlukan, contoh diencerkan agar dapat terukur pada kisaran 0,2-0,8 %Abs (Absorbansi).
4. Uji Total Gula Metode H2SO4 (Dubois et al., 1956) Sebanyak 2 ml larutan contoh dimasukkan ke dalm tabung reaksi, lalu tambahkan 1 ml larutan fenol 5 %, kocok kedua larutan. tambahkan 5 ml asam sulfat pekat dengan cepat segera tegak lurus ke atas permukaan larutan. biarkan selama 10 menit, kemudian kocok dan tempatkan dalam penangas air selama 15
46
menit. ukur total gula pada panjang gelombang 490 nm. bila diperlukan, contoh diencerkan agar dapat terukur pada kisaran 20-80 % T (Trancmitan). Pembuatan kurva standar sama dengan prosedur pengukuran sampel, hanya sampel diganti dengan larutan glukosa standar sebesar 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan μg glukosa.
5. Uji Kadar Etanol (Penetapan Berat Jenis) Setelah fermentasi berakhir, medium diaduk sampai homogen dan sebanyak 25 ml diukur dengan teliti kemudian dinetralkan dengan NaOH 1.0 N dan ditambah dengan aquades hingga volume 50 ml. Campuran didestilasi hingga diperoleh destilat sebanyak 23 ml. Piknometer volume 25 ml dibersihkan dan dikeringkan dengan tisu. Kemudian diisi dengan akuades sampai penuh dan ditimbang dengan teliti. Cairan yang menempel pada dinding piknometer dikeringkan dengan kertas tisu dan ditimbang dengan teliti. Berat air = (bobot piknometer isi akuades - bobot piknometer kosong) Piknometer yang sama dikeringkan dan diisi dengan destilat yang mengandung etanol, ditera dengan ditambah aquades hingga 25 ml dan ditutup dengan baik. Cairan yang menempel pada dinding piknometer dikeringkan dengan tisu dan ditimbang dengan teliti. Berat sampel = (bobot piknometer isi sampel - bobot piknometer kosong) Berat jenis destilat = (Berat sampel / berat air) Kadar etanol hasil fermentasi dapat dihitung menggunakan Tabel Hubungan Berat Jenis dengan Kadar Etanol (A.O.A.C., 1980).
47
Lampiran 3. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis Terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula Pada Bahan Sargassum sp. Waktu (menit) Konsentrasi (%)
0,25
0,50
1,00
1,50
2,00
Nilai Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
10 Gula Pereduksi (g/l) 0,040 0,042 0,041 0,041 0,092 0,067 0,080 0,077 0,079 0,129 0,155 0,142 0,215 0,233 0,224
Total Gula (g/l) 0,121 0,212 0,167 0,230 0,137 0,184 0,164 0,152 0,158 0,289 0,338 0,314 0,321 0,354 0,338
DP 4,061
2,759
2,013
2,208
1,507
Nilai Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
20 Gula Pereduksi (g/l) 0,110 0,115 0,113 0,135 0,227 0,181 0,298 0,124 0,211 0,388 0,159 0,2735 0,638 0,659 0,6485
Total Gula (g/l) 0,239 0,244 0,242 0,388 0,382 0,385 0,531 0,518 0,525 0,689 0,421 0,555 0,999 1,031 1,015
DP 2,147
2,127
2,486
2,029
1,565
48
Lampiran 4. Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis Terhadap Pembentukan Gula Pereduksi dan Total Gula Pada Bahan Limbah Agar Gracilaria sp. Waktu (menit) Konsentrasi (%)
0,25
0,50
1,00
1,50
2,00
Nilai Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
10 Gula Pereduksi (g/l) 0,052 0,072 0,062 0,090 0,046 0,068 0,098 0,106 0,102 0,148 0,166 0,157 0,049 0,068 0,059
Total Gula (g/l) 0,146 0,138 0,142 0,154 0,164 0,159 0,139 0,180 0,160 0,199 0,211 0,205 0,146 0,152 0,149
DP 2,290
2,338
1,564
1,306
2,547
Nilai Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
20 Gula Pereduksi (g/l) 0,044 0,069 0,057 0,076 0,031 0,054 0,080 0,040 0,060 0,099 0,028 0,064 0,068 0,059 0,064
Total Gula (g/l) 0,081 0,089 0,085 0,091 0,083 0,087 0,100 0,062 0,081 0,112 0,100 0,106 0,098 0,107 0,103
DP 1,504
1,626
1,350
1,669
1,614
49
Lampiran 5. Analisis Keragaman Hasil Hidrolisis Asam A. Sargassum sp. 1. Analisis Keragaman Terhadap Gula Pereduksi Sumber Konsentrasi Asam Waktu Hidrolisis Interaksi Error Total
Jumlah Derajat Kuadrat Kuadrat Kebebasan Tengah 0,3196 4 0,0800 0,1530 1 0,1530 0,0803 4 0,0201 0,0476 10 0,0048 0,6005 19
F-Hitung
Signifikan
16,78 32,11 4,22
0,0002 0,0002 0,0296
Fhitung>Ftabel atau Signifikan < 0,05 maka konsentrasi asam dan waktu hidrolisis memberikan perbedaan yang berbeda nyata terhadap gula pereduksi. Uji Duncan pada interaksi konsentrasi asam dan waktu hidrolisis terhadap gula pereduksi Kelompok Duncan Interaksi Rata-rata (α = 0,05) K1T1 0,0407 D K2T1 0,0661 DC K3T1 0,0784 DC K1T2 0,1128 DCB K4T1 0,1417 DCB K2T2 0,1809 DCB K3T2 0,2113 CB K5T1 0,2237 CB K4T2 0,2735 B K5T2 0,6487 A 2. Analisis Keragaman Terhadap Total Gula Sumber Konsentrasi Asam Waktu Hidrolisis Interaksi Error Total
Jumlah Derajat Kuadrat Kuadrat Kebebasan Tengah 0,5281 4 0,1320 0,4880 1 0,4880 0,2100 4 0,0525 0,0468 10 0,0047 1,2728 19
F-Hitung
Signifikan
28,20 104,22 11,21
0,0001 0,0001 0,0010
Fhitung>Ftabel atau Signifikan < 0,05 maka konsentrasi asam dan waktu hidrolisis memberikan perbedaan yang berbeda nyata terhadap total gula.
50
Uji Duncan pada interaksi konsentrasi asam dan waktu hidrolisis terhadap total gula. Kelompok Duncan Interaksi Rata-rata (α = 0,05) K3T1 0,1583 F K1T1 0,1663 E K2T1 0,1831 FE K1T2 0,2412 FED K4T1 0,3138 FED K5T1 0,3373 ED K2T2 0,3849 DC K3T2 0,5244 CB K4T2 0,5552 B K5T2 1,0150 A
B. Limbah Agar Gracilaria sp. 1. Analisis Keragaman Terhadap Gula Pereduksi Sumber Konsentrasi Asam Waktu Hidrolisis Interaksi Error Total
Jumlah Derajat Kuadrat Kuadrat Kebebasan Tengah 0,0077 4 0,0019 0,0045 1 0,0045 0,0062 4 0,0016 0,0062 10 0,0006 0,0247 19
F-Hitung
Signifikan
3,09 7,27 2,51
0,0674 0,0224 0,1089
Fhitung
0,05 maka konsentrasi asam dan waktu hidrolisis memberikan perbedaan yang tidak berbeda nyata terhadap gula pereduksi. 2. Analisis Keragaman Terhadap Total Gula Sumber Konsentrasi Asam Waktu Hidrolisis Interaksi Error Total
Jumlah Derajat Kuadrat Kuadrat Kebebasan Tengah 0,0042 4 0,0010 0,0230 1 0,0249 0,0016 4 0,0004 0,0019 10 0,0002 0,0326 19
F-Hitung
Signifikan
5,52 130,41 2,14
0,0130 0,0001 0,1500
Fhitung 0,05 maka konsentrasi asam dan waktu hidrolisis memberikan perbedaan yang tidak berbeda nyata terhadap total gula.
51
Keterangan : K (Konsentrasi Asam) K1 : 0,25 % K2 : 0,50 % K3 : 1,00 % K4 : 1,50 % K5 : 2,00 %
T (Waktu Hidrolisis) T1 : 10 Menit T2 : 20 Menit
52
Lampiran 6. Analisa Hasil Fermentasi Parameter Ulangan 1 Ulangan 2 pH Ulangan 3 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Total Gula (g/l) Ulangan 3 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Gula Pereduksi (g/l) Ulangan 3 Rerata Ulangan 1 Ulangan 2 Total Biomassa (g/l) Ulangan 3 Rerata
Parameter Ulangan 1 Ulangan 2 Kadar Etanol (%v/v) Ulangan 3 Rerata
Sargassum sp. Limbah Agar Gracillaria sp. Awal Akhir Awal Akhir 5,22 4,60 5,03 4,65 5,18 4,55 5,10 4,58 5,15 4,58 5,25 4,50 5,18 5,18 5,13 4,58 8,14 4,36 4,39 2,25 7,34 4,13 4,49 1,99 8,45 4,18 5,40 2,70 7,98 4,22 4,76 2,31 4,65 2,66 2,13 1,52 5,36 2,69 2,06 1,74 5,13 2,78 2,11 1,66 5,05 2,71 2,10 1,64 0,58 1,88 0,55 1,65 0,56 2,00 0,53 1,57 0,57 1,85 0,55 1,45 0,57 1,91 0,54 1,56
Sargassum sp. Limbah Agar Gracillaria sp. 0,20 0,07 0,13 0,13 0,20 0,13 0,18 0,11
53
Lampiran 7. Laju Pembentukan CO2
Jam ke0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
Peningkatan Kadar CO2 (ml/6 jam) Sargassum sp. Limbah Agar Gracilaria sp. Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan Ulangan 1 2 3 1 2 3 0 0 0 0 0 0 4 4 4 3 3 4 6 5 4 5 4 5 7 8 9 7 8 8 4 5 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 1 2 1 1 2 2 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
54