BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase Abstrak Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin pada proses pelapukan kayu. Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim ligninolitik yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih yaitu lignin peroksidase, manganese peroksidase dan lakase. Kemampuan mendegradasi lignin jamur pelapuk putih dapat digunakan dalam proses pemutihan pulp kimia. Tiap spesies jamur pelapuk putih memiliki karakterisasi tertentu. Pemilihan spesies jamur yang tepat perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dengan kondisi yang ditetapkan. Pada percobaan ini dilakukan pemilihan spesies jamur yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Pemilihan spesies jamur dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yaitu uji laju pertumbuhan, uji degradasi lignin dan uji kualitatif enzim ekstraseluler. Pemilihan dilakukan terhadap Marasmius sp. dan Trametes hirsuta. Berdasarkan uji laju pertumbuhan jamur dapat diketahui bahwa nilai laju pertumbuhan rata-rata, laju pertumbuhan arah radial dan laju pertumbuhan spesifik Marasmius sp. relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Trametes hirsuta. Laju pertumbuhan rata-rata, laju pertumbuhan arah radial dan laju pertumbuhan spesifik Marasmius sp. masing-masing adalah 20,68 mm/hari, 25,05 mm/hari dan 2,06/hari. Sedangkan laju pertumbuhan rata-rata, laju pertumbuhan arah radial dan laju pertumbuhan spesifik Trametes hirsuta masing-masing adalah 14,17 mm/hari, 17,45 mm/hari dan 1,33/hari. Pada uji degradasi lignin diketahui bahwa Marasmius sp. lebih cepat mendegradasi lignin dibandingkan dengan Trametes hirsuta. Setelah 60 hari inkubasi, Marasmius sp. berhasil mendegradasi lignin secara sempurna daripada Trametes hirsuta. Pada uji kualitatif enzim dapat diketahui bahwa kedua jenis jamur tersebut menghasilkan enzim ekstraseluler. Kata kunci : jamur pelapuk putih, pertumbuhan, enzim ekstraseluler, degradasi lignin IV.1
Pendahuluan
Di alam terdapat tiga kategori jamur yang dapat menguraikan komponen kayu (lignoselulosa) yaitu pelapuk coklat (brown rot), pelapuk putih (white rot) dan pelapuk lunak (soft rot). Pengelompokan jamur pelapuk ini didasarkan pada hasil proses pelapukan. Jamur pelapuk coklat menghasilkan sisa hasil pelapukan berwarna coklat sedangkan jamur pelapuk putih menghasilkan sisa hasil pelapukan yang berwarna putih. Ketiga jenis jamur pelapuk ini mampu mendegradasi lignin, sehingga bisa digunakan pada proses pemutihan pulp. Namun demikian ketiga jenis jamur itu memiliki karakteristik yang berbeda. Jamur pelapuk putih memiliki kemampuan mendegradasi lignin yang tinggi
31
dengan sedikit mengakibatkan kehilangan selulosa. Sifat ini menguntungkan sehingga dapat digunakan pada proses pemutihan pulp. Pada bagian ini akan diuraikan pemilihan jamur pelapuk putih yang akan digunakan untuk memproduksi lakase yang kemudian dimanfaatkan sebagai agensia pada proses pemutihan pulp dan spesies jamur yang terpilih digunakan pada penelitian selanjutnya. Pertumbuhan merupakan salah satu karakteristik penting sel hidup. Pertumbuhan mikroorganisme dapat didefinisikan sebagai peristiwa peningkatan volum suatu organisme yang disertai peningkatan biomassa. Pada jamur pertumbuhan ditandai dengan pemanjangan hifa dan pada jamur uniseluler, seperti ragi, ditandai dengan peningkatan volum sel individu dan jumlah sel yang secara keseluruhan menghasilkan peningkatan biomassa. Pertumbuhan jamur pelapuk putih sebagaimana mikroorganisme lainnya mengikuti suatu pola tertentu. Pada sistem curah, mikroorganisme mengalami empat fase pertumbuhan seperti yang terlihat pada gambar IV.1, yaitu :
1.
Fase Lag. Fase lag merupakan fase adaptasi mikroorganisme dengan
ligkungan yang baru. Fase ini dimulai ketika mikroorganisme dipindahkan dari satu medium ke medium baru. Pada fase ini mikroorganisme berusaha merombak materi-materi dalam medium supaya dapat digunakan sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya. Bila dalam medium ada komponen yang tidak digunakan secara langsung, maka mikroorganisme akan menghasilkan enzim ekstraselular untuk merombak komponen tersebut sehingga dapat dimanfaatkan. Pada kultur yang terdiri dari beberapa populasi mikroorganisme, pada fase ini juga berlangsung proses seleksi, sehingga hanya mikroorganisme yang adaptif terhadap kondisi medium dapat bertahan hidup dan tumbuh. Pada fase ini pertumbuhan ditandai dengan bertambahnya volum dan berat tetapi jumlah sel tidak berubah (Crueger, 1984).
32
2.
Fase Log. Fase ini dimulai setelah berakhirnya fase lag atau ketika
mikroorganisme
telah
beradaptasi
pada
kondisi
barunya
dan
mampu
menggunakan nutrisi yang tersedia. Fase log merupakan fase pertumbuhan mikroorganisme yang ditandai dengan pertambahan volum dan jumlah sel (Crueger, 1984).
3.
Fase Stasioner. Fase stasioner merupakan fase pada saat laju pertumbuhan
sebanding dengan laju kematian, sehingga jumlah biomassa hidup pada kultur terlihat konstan. Pada fase ini terbentuk metabolit sekunder yang biasanya menjadi perhatian khusus untuk bioteknologi, seperti antibiotik (Crueger, 1984).
Fase Log
Log jumlah sel hidup Fase stasioner
Fase Lag
Fase kematian
waktu Gambar IV.1. Fase pertumbuhan mikroorganisme pada kultur curah (Crueger, 1984)
4.
Fase kematian. Fase kematian merupakan fase dengan pertumbuhan
biomassa yang negatif. Pada saat ini laju kematian biomassa lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan biomassa. Fase kematian terjadi apabila nutrisi sudah benar-benar tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan mikroorganisme. Akumulasi metabolit yang bersifat toksik memberikan pengaruh buruk sehingga berkontribusi menghambat pertumbuhan biomassa (Crueger, 1984). Pertumbuhan mikroorganisme dapat dijelaskan secara kuantitatif dengan mengamati pertumbuhannya pada fase log. Laju pertumbuhan selama fase log
33
berada pada laju maksimum karena konsentrasi substrat pembatas berlebih. Laju peningkatan biomassa berhubungan dengan laju pertumbuhan spesifik (µ) dan konsentrasi biomassa (X) dan dinyatakan secara matematis sebagai berikut :
dX = μX dt
......... (IV.1)
Dengan t adalah waktu. Laju pertumbuhan spesifik biomassa (µ) merupakan fungsi dari konsentrasi substrat pembatas (S), dan dinyatakan sebagai berikut :
μ = μm
S Ks + S
........ (IV.2)
yang dikenal sebagai persamaan Monod, dengan µmax laju pertumbuhan spesifik maksimum dan Ks adalah konstanta saturasi substrat pembatas. Laju pertumbuhan spesifik (µ) merupakan parameter penting untuk mengevaluasi kinerja suatu mikroorganisme dalam kultur (Crueger, 1984). Selain laju pertumbuhan spesifik, parameter lain yang juga penting adalah laju pertumbuhan koloni secara radial (Kr) (Reeslev dan Kjøller, 1995). Tipikal pertumbuhan miselia jamur pada arah radial disajikan pada gambar IV.2. Dari kurva pertumbuhan seperti pada gambar IV.2 dapat ditentukan nilai laju pertumbuhan koloni arah radial (Kr). Pada fase log, pertumbuhan koloni dapat dianggap lurus sehingga kurvanya membentuk garis lurus. Kemiringan (slope) garis tersebut merupakan laju pertumbuhan koloni arah radial (Kr). diameter koloni (mm)
Waktu (hari) Gambar IV.2. Tipikal pertumbuhan jamur arah radial (www.fungionline.org.uk)
34
Faktor yang paling penting untuk memilih jenis jamur yang akan digunakan untuk mendegradasi lignin adalah kemampuannya menghasilkan enzim pendegradasi lignin (Lignin Peroksidase, Manganese Peroksidase dan Lakase) yang merupakan hasil metabolisme sekunder dari jamur pelapuk putih pada kondisi tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi enzim tersebut adalah nutrisi, pH, temperatur, inducer dan spesies jamur (Van der Merwe, 2002). Berdasarkan uraian di atas, maka pada penelitian ini dilakukan pemilihan spesies jamur yang digunakan pada penelitian selanjutnya. Pemilihan spesies jamur ini dilakukan dengan menggunakan laju pertumbuhan (laju pertumbuhan spesifik, μ, dan laju pertumbuhan koloni arah radial, Kr) produksi enzim pendegradasi lignin serta kemampuan mendegradasi lignin sebagai parameternya.
IV.2 IV.2.1
Bahan dan Metode Mikroorganisme
Mikroorganisme yang digunakan adalah jamur pelapuk putih yaitu Marasmius sp. dan Trametes hirsuta. Sediaan kedua jamur tersebut dan cara memperbanyak sediaan tersebut dapat dilihat pada subbab III.2.1.a.
IV.2.2
Uji Laju Pertumbuhan
Jamur pelapuk putih dapat ditumbuhkan pada media padat maupun media cair, tetapi untuk mempermudah dan mempercepat pengamatan pertumbuhan jamur yang digunakan dalam penelitian ini maka jamur tersebut ditumbuhkan pada media padat (PDA). Pengamatan pertumbuhan jamur dilakukan dengan mengamati diameter koloni jamur yang diinokulasi pada media PDA. Inokulasi jamur pelapuk putih pada PDA dilakukan dengan cara sebagai berikut: kultur jamur yang telah tumbuh dengan baik pada media padat diambil (diameter 7 mm) dengan menggunakan mulut tabung reaksi kecil yang steril. Kultur ini kemudian ditempatkan di tengah media PDA yang baru pada cawan petri. Cawan petri kemudian ditutup dengan menggunakan plastik Cling Wrap untuk menghindari kontaminasi dan diinkubasi pada suhu ruang. Setiap hari dilakukan pengamatan terhadap diameter koloni yang tumbuh sampai koloni jamur mencapai tepi cawan
35
petri. Pengukuran diameter dilakukan pada beberapa titik seperti disajikan pada gambar IV.3, diameter koloni adalah rata-rata dari pengukuran tersebut.
Gambar IV.3. Pertumbuhan koloni arah radial
Laju pertumbuhan spesifik (μ) jamur pelapuk putih ditentukan dengan cara menghitung kemiringan garis pada pengaluran Ln (luas koloni) dengan waktu pengamatan. Sedangkan laju pertumbuhan koloni arah radial (Kr) ditentukan dengan cara menghitung kemiringan garis pada pengaluran diameter koloni dengan waktu pengamatan. Asumsi yang digunakan untuk penentuan kedua parameter tersebut adalah pertumbuhan jamur terjadi horizontal (diameter meningkat tetapi tidak menebal) dan densitas biomassa untuk kedua jamur yang digunakan adalah sama.
IV.2.3
Uji Degradasi Lignin
Uji degradasi lignin dilakukan pada PDA yang ditambahi lindi hitam. Pembuatan media yang digunakan ini sama dengan cara pembuatan PDA untuk pertumbuhan dengan ditambahi lindi hitam yang telah dinetralkan pH-nya sehingga mencapai konsentrasi sebesar 0,4% (v/v). Lindi hitam merupakan larutan sisa bahan kimia pemasakan pada proses pulping, yang didalamnya banyak mengandung lignin. Inokulasi jamur pelapuk putih dilakukan seperti pada inokulasi untuk penentuan laju pertumbuhan. Pengamatan yang dilakukan adalah perubahan warna pada media padat. Degradasi lignin akan terlihat jika warna coklat medium berkurang.
36
Sediaan lindi hitam yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar IV.6.
IV.2.4 Uji Kualitatif Enzim Ekstraseluler Pada akhir dari uji degradasi lignin, dilakukan uji kualitatif unspesific peroxidase. Uji ini dilakukan dengan cara meneteskan guaiacol pada permukaan medium. Cawan petri yang telah ditetesi guaiacol ini kemudian diinkubasi pada suhu ruang (± 28 °C). Keberadaan peroksidase non-spesifik ditandai dengan timbulnya warna merah coklat pada medium.
IV.3 Hasil dan Pembahasan IV.3.1 Laju Pertumbuhan Jamur Pada percobaan ini kedua jenis jamur di kultur pada media padat yaitu Potato
Dextrose Agar (PDA) pada petri dengan diameter 90 mm. Penambahan pertumbuhan diameter kultur jamur diamati tiap hari sampai kultur jamur memenuhi permukaan medium dalam cawan petri. Hasil pengamatan disajikan pada tabel IV.1 Tabel IV.1. Pertumbuhan koloni jamur arah radial Hari Pengamatan 0 1 2 3 4 5 6 7
Pertumbuhan Jamur, mm Marasmius sp. Trametes hirsuta 7,00 7,00 7,40 8,00 34,00 19,33 58,53 39,33 82,73 56,33 T.A 77,00 T.A 85,00 T.A T.A
T.A : tidak diamati karena koloni telah memenuhi permukaan medium dalam cawan petri
Dari tabel IV.1 diketahui bahwa pertumbuhan jamur Marasmius sp. relatif lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan Trametes hirsuta. Lima hari setelah inokulasi, koloni Marasmius sp. telah mencapai tepi cawan petri sedangkan
Trametes hirsuta memerlukan waktu 7 hari agar dapat mencapai tepi cawan petri. Berdasarkan data di atas, koloni Marasmius sp. bertambah dengan laju 20,68
37
mm/hari, relatif lebih tinggi dibandingkan pertambahan rata-rata diameter koloni
Trametes hirsuta yang bernilai 14,17 mm/hari. Seperti yang terlihat pada gambar IV.4, pertumbuhan jamur Marasmius sp. dan
Trametes hirsuta menunjukkan pembagian fase pertumbuhan yang jelas. Fase lag terjadi selama satu hari karena inokulum kedua jamur ini melakukan adaptasi terhadap kondisi medium yang baru. Setelah itu kedua jamur ini tumbuh dengan cepat dan kurva pertumbuhannya membentuk garis lurus. Marasmius sp. mencapai fase ini dari hari ke-1 sampai hari ke-4 dengan diameter koloni mencapai 82,73 mm. Sementara untuk Trametes hirsuta fase log berlangsung dari hari ke-1 sampai hari ke-5 dengan diameter koloni mencapai 76,83 mm. Berdasarkan kurva tersebut maka diketahui laju pertumbuhan koloni arah radial (Kr) untuk Marasmius sp. dan Trametes hirsuta masing-masing adalah 25,05 mm/hari dan 17,45 mm/hari.
100 90 80
diameter, mm
70
Fase log
Fase lag
60 50 40
Kr1
30
Kr2
20
: Marasmius sp : Trametes hirsuta
10 0 0
1
2
3
4
5
6
waktu, hari
Gambar IV.4. Kurva pertumbuhan jamur arah radial
38
7
8
Nilai laju pertumbuhan spesifik dapat dilihat pada gambar IV.5 terlihat bahwa nilai μ untuk Marasmius sp. lebih tinggi dibandingkan dengan Trametes hirsuta masing-masing adalah 0,088/jam (2,06/hari) dan 0,055/jam (1,33/hari) sehingga pertumbuhan Marasmius sp. lebih cepat daripada Trametes hirsuta.
2.50
μ , hari -1
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 Marasmius sp
Trametes hirsuta
Jam ur Pelapuk Putih
Gambar IV.5. Laju pertumbuhan spesifik Berdasarkan uji laju pertumbuhan jamur pada medium padat maka dapat diketahui bahwa Marasmius sp. lebih cepat daripada Trametes hirsuta yang dapat dilihat dari nilai laju pertumbuhan koloni arah radial (Kr) dan laju pertumbuhan spesifiknya (μ).
IV.3.2
Uji Degradasi Lignin
Mikroorganisme dari jenis jamur yang diketahui mampu menguraikan komponen kayu yaitu pelapuk coklat (brown rot, pelapuk putih (white rot) dan pelapuk lunak (soft rot). Jamur pelapuk coklat mampu menyerang selulosa, jamur pelapuk putih dan pelapuk lunak dapat menyerang selulosa dan lignin (Fan, 1982). Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang dapat menguraikan lignin secara sempurna menjadi karbon dioksida dan air. Namun lignin tidak dapat didegradasi menjadi satu-satunya sumber karbon dan energi. Degradasi lignin oleh jamur pelapuk putih menyebabkannya mampu mencapai holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) yang merupakan sumber karbon dan energi. Mungkin inilah yang
39
merupakan tujuan sebenarnya dari degradasi lignin (Ten Have dan Teunissen, 2001). Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang dapat melakukan mineralisasi lignin secara sempurna. Hal ini karena jamur tersebut mensekresikan enzim pendegradasi lignin. Gugus lignin merupakan susunan rangkaian fenilpropan sehingga enzim untuk mendegradasi lignin kadang disebut fenoloksidase. Pada penelitian ini sumber lignin berasal dari lindi hitam pemasakan pulp proses kraft. Pada saat pemasakan, lignin akan larut karena adanya senyawa kimia yang menyerang gugus lignin pada serpih kayu (biomassa) yaitu natrium hidroksida (NaOH) dan natrium sulfida (Na2S). Dengan demikian pada lindi hitam selain mengandung lignin juga terdapat sisa bahan kimia pemasak tersebut. Pada penelitian ini lindi hitam dinetralkan menggunakan asam klorida (HCl) 1 N. Penambahan lindi hitam sebanyak 0,4% yang berfungsi sebagai inducer agar jamur pelapuk putih yang digunakan mampu menghasilkan enzim pendegradasi lignin. Sediaan lindi hitam yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar IV.6.
Gambar IV.6. Lindi hitam Enzim pendegradasi lignin merupakan hasil metabolisme sekunder, dengan demikian medium padat yang digunakan tetap mengandung nutrisi untuk pertumbuhan dengan jumlah terbatas. Pertumbuhan jamur akan terjadi selama mengkonsumsi nutrisi tersebut. Semakin lama kandungan nutrisi pada media
40
padat berkurang dan untuk melangsungkan kehidupannya maka jamur pelapuk putih akan mensekresikan enzim untuk mendegradasi lignin menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan. Gambar IV.7 menunjukkan degradasi lignin dalam medium padat oleh jamur
Marasmius sp. dan Trametes hirsuta. Pada gambar tersebut warna coklat lignin dapat didegradasi sehingga intensitas warna coklat semakin berkurang yang dapat diamati setelah 60 hari inokulasi. Marasmius sp. lebih cepat mendegradasi lignin daripada Trametes hirsuta. Hal ini dapat dilihat pada gambar IV.7, pada hari ke – 20 warna medium padat lebih cerah bila menggunakan Marasmius sp. daripada
Trametes hirsuta. Sementara di hari ke – 60 lignin berhasil dimineralisasi secara sempurna oleh Marasmius sp., sedangkan medium yang menggunakan Trametes
hirsuta masih menunjukkan warna coklat yang mengindikasikan masih adanya lignin. Dengan demikian Marasmius sp. mensekresikan enzim pendegradasi lignin lebih cepat daripada Trametes hirsuta.
Marasmius sp
Trametes hirsuta
hari ke - 0
hari ke - 20
hari ke - 60
Gambar IV.7. Degradasi lignin oleh jamur pelapuk putih dalam medium padat
41
Berdasarkan uji degradasi lignin maka dapat diketahui bahwa Marasmius sp. memiliki kemampuan mendegradasi lignin lebih cepat daripada Trametes hirsuta. Hal inilah yang menjadi acuan utama dalam pemilihan spesies jamur yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya.
IV.3.3 Uji Kualitatif Enzim Ekstraseluler Setelah ditumbuhkan pada media padat yang berisi PDA dan lindi hitam untuk menginduksi terbentuknya enzim pendegradasi lignin, pada permukaan medium ditetesi guaiacol. Keberadaan enzim pendegradasi lignin atau disebut juga fenoloksidase ditandai dengan adanya warna merah coklat pada permukaan medium yang mengindikasikan oksidasi guaiacol. Hal ini dapat dilihat pada gambar IV.8 berikut ini.
Marasmius sp.
Trametes hirsuta
Gambar IV.8. Uji kualitatif enzim pendegradasi lignin Berdasarkan uji kualitatif sintesis enzim ekstraseluler maka dapat diketahui bahwa kedua jamur Marasmius sp. dan Trametes hirsuta mampu menghasilkan enzim ekstraseluler untuk mendegradasi lignin.
IV.3.4
Kesimpulan
Berdasarkan uji laju pertumbuhan jamur dapat diketahui bahwa nilai laju pertumbuhan rata-rata, laju pertumbuhan arah radial dan laju pertumbuhan
42
spesifik Marasmius sp. relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Trametes hirsuta. Laju pertumbuhan rata-rata, laju pertumbuhan arah radial dan laju pertumbuhan spesifik Marasmius sp. masing-masing adalah 20,68 mm/hari, 25,05 mm/hari dan 2,06/hari. Sedangkan laju pertumbuhan rata-rata, laju pertumbuhan arah radial dan laju pertumbuhan spesifik Trametes hirsuta masing-masing adalah 14,17 mm/hari, 17,45 mm/hari dan 1,33/hari. Pada uji degradasi lignin diketahui bahwa
Marasmius sp. lebih cepat mendegradasi lignin dibandingkan dengan Trametes hirsuta. Setelah 60 hari inkubasi, Marasmius sp. berhasil mendegradasi lignin secara sempurna daripada Trametes hirsuta. Pada uji kualitatif enzim dapat diketahui bahwa kedua jenis jamur tersebut menghasilkan enzim ekstraseluler. Dengan demikian, berdasarkan uji-uji tersebut maka Marasmius sp. dipilih untuk penelitian selanjutnya.
43