Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: Sejauh mana media menjunjung prinsip kewarganegaraan ? Laporan Berseri Engaging Media, Empowering Society: Assessing Media Policy and Governance in Indonesia
Oleh
Riset kerjasama antara:
Yanuar Nugroho Dwitri Amalia Leonardus K. Nugraha Dinita Andriani Putri Jimmy Tanaya Shita Laksmi
Didukung oleh:
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: Sejauh mana media menjunjung prinsip kewarganegaraan?
Terbit pertama kali dalam Bahasa Inggris pada bulan Juni 2013. Edisi Bahasa Indonesia terbit Desember 2013 oleh Centre for Innovation Policy and Governance Jl. Siaga Raya (Siaga Baru), Komp. Bappenas RT 01/006 No. 43A Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 Indonesia. www.cipg.or.id
Desain sampul dan tata letak oleh FOSTROM (www.fostrom.com)
Kecuali dinyatakan berbeda, seluruh isi laporan ini dilindungi dengan lisensi Creative Commons Attribution 3.0.
Hak cipta dilindungi secara terbatas.
Alihbahasa dari Bahasa Inggris: Devi Kusumaningtyas Penyunting Bahasa Indonesia: Billy Aryo Nugroho
Cara mengutip laporan ini: (Nugroho, et al., 2013) - Nugroho, Y., Amalia, D., Nugraha, LK., Putri, DA., Tanaya, J., Laksmi, S. 2013. Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: Sejauh mana media menjunjung prinsip kewarganegaraan (Edisi Bahasa Indonesia). Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tatakelola media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Riset kerjasama antara Centre for Innovation Policy and Governance and HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Foundation. Jakarta: CIPG dan HIVOS.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
i
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh Ford Foundation Indonesia dan dikerjakan oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Jakarta dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara
Peneliti Utama Peneliti Pelaksana (CIPG) Penasihat Akademis
Dr. Yanuar Nugroho, University of Manchester Dwitri Amalia Leonardus Kristianto Nugraha Dinita Andriani Putri Jimmy Tanaya Dr. B. Herry-Priyono, STF Driyarkara, Jakarta Shita Laksmi
Sepanjang riset ini, tim peneliti menerima bantuan dan dukungan yang amat besar dari sejumlah kontak mitra, masyarakat sipil, dan individu-individu yang berpartisipasi dalam studi kami melalui survei, wawancara, diskusi terbatas, dan lokakarya. Kami secara khusus berterima kasih kepada – Roy Thaniago, Roselina Lie, Indah Wulandari; Aliansi Jurnalis Independen (Alliance of Independent Journalists), Combine Resource Institution – Bantul, rekan-rekan di stasiun-stasiun radio komunitas; Ria Ernunsari, Dandhy Dwi Laksono, R. Kristiawan, Inaya Rakhmani; peserta magang di CIPG: Klara Esti dan Levriana Yustriani yang telah banyak berkontribusi pada riset ini.
Kathryn Morrison membaca dan mengoreksi versi Bahasa Inggris laporan ini, yang dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Devi Kusumaningtyas dan disunting akhir oleh Billy Aryo Nugroho.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
iii
Daftar Singkatan AJI BPP-P3I BPOM BPS CSO CSR Depkes DKI FPI GMDSS Golkar Hanura HTI Kemensos KPI KPU LGBT LSPP MUI MAVI MNC Nasdem NGO Pilkada PON P3SPS PP PWI RCTI RRI SCTV TPI TVRI UDHR UU
Aliansi Jurnalis Independen Badan Pengawas Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia Badan Pengawas Obat dan Makanan Badan Pusat Statistik Civil Society Organisation Corporate Social Responsibility Departemen Kesehatan Daerah Khusus Ibukota Front Pembela Islam Global Maritime Distress and Safety System Golongan Karya Hati Nurani Rakyat HizbutTahrir Indonesia Kementrian Sosial Komisi Penyiaran Indonesia Komisi Pemilihan Umum Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Majelis Ulama Indonesia Misionaris Awam Vincentian Indonesia Media Nusantara Citra Nasional Demokrat Non-governmental Organisation Pemilihan Kepala Daerah Pekan Olahraga Nasional Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Peraturan Pemerintah Persatuan Wartawan Indonesia Rajawali Citra Televisi Indonesia Radio Republik Indonesia Surya Citra Televisi Indonesia Televisi Pendidikan Indonesia Televisi Republik Indonesia Universal Declaration of Human Rights Undang-Undang
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
v
Ringkasan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara empiris isi media di Indonesia, cara kerja media, dan faktor yang mempengaruhi kerja media. Penelitian ini akan mengulas konten televisi di Indonesia, faktor - faktor yang mempengaruhi konten media – khususnya televisi, serta dampaknya terhadap warga negara Indonesia.
1.
Meskipun dipandang sebagai pendorong proses transparansi, tingginya pertumbuhan industri media di Indonesia semenjak era reformasi 1998 menunjukkan tanda-tanda munculnya konglomerat-konglomerat media. Saat ini, 12 grup media memiliki kuasa atas hampir seluruh jaringan media di Indonesia. Praktik oligopoli media ini telah menempatkan industri media sebagai entitas yang semata-mata berorientasi kepada profit/keuntungan. Hal ini juga membuat media dapat dengan mudah dipengaruhi oleh kepentingan pemiliknya dan karenanya akan sangat menguntungkan bagi mereka yang mencari kekuasaan. Kuatnya keterkaitan antara sistem kekuasaan dan industri media ini mau tidak mau tercermin dalam bentuk konten media.
2.
Tidak ada keberagaman dalam konten media. Analisis konten terhadap tayangan televisi menunjukkan bahwa penggambaran/peliputan antara kelompok mayoritas dan minoritas tidak seimbang. Kami menemukan bahwa dalam konteks geografis, isi media di Indonesia sangat berpusat kepada gambaran kehidupan kota Jakarta. Dalam konteks orientasi keagamaan, penggambaran Islam sangat mendominasi, dan dalam konteks identitas etnis, budaya Jawa sangat mendominasi. Dalam hal identitas geografis, Jakarta mendominasi konten media dengan presentase 34,1% (dengan 69,9% konten dari Jawa). Untuk konten keagamaan, identitas Islam mendominasi dengan 96,7%, sedangkan konten yang merefleksikan etnisitas didominasi oleh identitas Jawa sebesar 42,8%. Hal tersebut tidak hanya mencerminkan kurangnya keberagaman yang terbuka (open diversity), tetapi yang harus lebih diwaspadai adalah bukti adanya pemaksaan yang berlebihan terhadap konten yang condong kepada kelompok mayoritas dibandingkan kelompok minoritas.
3.
Penelitian kami menyimpulkan bahwa industri media yang berorientasi kepada profit telah meminggirkan warga negara dalam ranah media itu sendiri. Konten media yang serupa merupakan bukti sederhana bahwa media melihat warga negara semata-mata sebagai konsumen, bukan sekelompok orang yang memiliki hak. Menurut dalil Hotelling, hal ini dapat diartikan bahwa konten media mengalami kesamaan (sameness) dan memiliki tingkat keberagaman yang rendah. Karena media yang didorong oleh kepentingan bisnis sangat mementingkan profit, produksi konten akan selalu terpaku dalam pakem mendapatkan keuntungan dari program yang dihasilkan. Permainan kekuasaan melalui konten media ini berbahaya karena beberapa alasan; hal ini merupakan bukti penindasan opini dalam kondisi demokrasi. Hal ini juga berbahaya bagi kekayaan budaya lokal dan memberikan penggambaran yang kurang akurat terhadap kelompok minoritas karena konten dikuasai oleh mereka yang menguasai akses terhadap media. Secara keseluruhan, bukti adanya konsentrasi dalam konten media mungkin bukanlah suatu hal yang alami, tetapi hasil dari rancangan, atau yang lebih tepat disebut sebagai “pemusatan konten”. Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
vii
viii
4.
Ada beberapa faktor lainnya yang secara langsung membentuk konten media seperti kepentingan pemilik, struktur organisasi media serta wartawan/pekerja media itu sendiri. Oleh karena itu, diskusi mengenai konten media tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor tersebut. Kami memahami gagasan bahwa tidak ada media yang bebas dari intervensi. Meski demikian, tujuan kami dalam penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana pengaruh faktor-faktor tersebut diterapkan, dalam situasi apakah intervensi tersebut terjadi dan bagaimana hal ini mempengaruhi konten media. Kekuasaan pemilik terhadap media dapat dipastikan sangat kuat, namun di sisi lain, hal ini dapat terjadi karena ruang redaksi yang memungkinkan terjadinya intervensi. Minimnya profesionalisme di kalangan wartawan juga ikut membentuk produksi konten media.
5.
Di dalam industri di mana banyak politisi memiliki jaringan media, peliputan mengenai aktivitas politik dari pemilik media menjadi hal yang penting; bahkan, beberapa media memiliki tim peliputan khusus untuk melaporkan dan menyiarkan aktivitas politik tersebut. Hal ini berseberangan dengan etika jurnalistik karena media tersebut hanya meliput aktivitas dari partai yang diasosiasikan dengan pemiliknya dan tidak memberikan peliputan yang seimbang mengenai partai lainnya. Di samping pengaruh politik, ruang redaksi juga cenderung mempertimbangkan kepentingan pengiklan. Sebagai sumber pemasukan utama bagi media, pengiklan juga memiliki andil besar dalam mempengaruhi konten media. Meskipun pengiklan tidak secara langsung meminta media untuk menyesuaikan isi pemberitaan yang terkait dengan mereka, namun di beberapa media, ruang redaksi biasanya “berhati-hati” dalam memberitakan liputan yang terkait dengan pengiklan mereka untuk mempertahankan hubungan baik dengan pengiklan. Dalam beberapa kasus, wartawan bahkan memilih untuk tidak meliput berita yang berkaitan dengan pengiklan meskipun berita tersebut sangat penting. Hal ini disebabkan karena berita tersebut pada akhirnya tidak akan ditayangkan. Kami juga menemukan bahwa tidak semua media dapat dengan mudah dipengaruhi oleh pemilik maupun pengiklan. Media seperti ini biasanya memiliki tim redaksi dan wartawan yang solid sehingga mereka tidak sepenuhnya mengandalkan pemilik/ organisasi di mana mereka bekerja.
6.
Minimnya profesionalisme wartawan dapat juga memiliki korelasi dengan tingginya tingkat pertumbuhan industri media yang selalu membutuhkan lebih banyak wartawan dan reporter. Sayangnya tingginya permintaan akan tenaga kerja wartawan atau reporter ini tidak diiringi juga dengan peningkatan kualitas mereka. Wartawan seringkali terlihat memiliki dualisme dalam pekerjaannya sehari-hari, yaitu sebagai pekerja profesional dan sebagai pekerja harian, di mana hal ini menciptakan tarik menarik antara jurnalisme sebagai komitmen atau jurnalisme sebagai pekerjaan. Tarik menarik ini tercermin dalam kualitas pekerjaan mereka; di mana terkadang wartawan mengabaikan etika jurnalistik Sebagian dari wartawan bahkan tidak mengetahui apa saja isi dari etika jurnalisme. Pengabaian etika jurnalisme yang dipadu dengan rendahnya pendapatan wartawan, pada akhirnya berujung kepada munculnya praktik ‘jurnalis amplop’, di mana wartawan menerima sogokan atau “hadiah” dari narasumber untuk pemberitaan yang ‘memihak’ mereka. Meskipun demikian, masih banyak wartawan yang berpegang teguh pada komitmen mereka, dan seringkali, komitmen ini terkait juga dengan tingkat upah yang layak dari perusahaan.
7.
Warga negara dan organisasi masyarakat sipil dapat ikut serta dalam memperbaiki kondisi media dengan terus menerus menjadi pengamat bagi kanal media yang paling mudah diakses. Warga negara membutuhkan kanal untuk menyalurkan keprihatinan mereka mengenai media, dan organisasi masyarakat sipil dapat menyediakan kanal ini. Mengorganisir gerakan-gerakan dan meningkatkan literasi media masyarakat secara terus menerus adalah dua di antara sekian banyak hal yang dapat dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Kritik terhadap media seharusnya menjadi bagian dari wacana besar bagi media, dan warga negara serta organisasi masyarakat sipil harus dapat mewujudkan hal ini di masa depan.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Media, sebagai “Pilar Keempat”, telah diberikan mandat untuk memfasilitasi setiap warga negara agar dapat berpartisipasi secara penuh dalam proses demokrasi. Sayangnya, perkembangan industri media yang dikendalikan oleh logika pasar dalam beberapa hal justru menjadi penghalang bagi pemenuhan hak warga negara untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dan pembentukan wacana yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Meski demikian, selama masih ada kepedulian terhadap gagasan ideal tentang media, seberapapun kecilnya; mimpi untuk “hidup bersama” masih dapat diyakini.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
ix
Daftar Isi Ucapan Terima Kasih
iii
Daftar Singkatan
v
Ringkasan
vii
Daftar Isi
xi
Bab 1
1
Penentuan Konten: Sebuah Pengantar Bab 2
9
Hak Warga Bermedia: Sebuah Konsep Genealogis Bab 3
21
Mengupas Penentuan Konten dan Cara Kerja Media: Metode dan Data Bab 4
31
Mendebat Keberagaman dalam Konten Media: Suatu Tinjauan terhadap Data Bab 5
53
Mekanisme Produksi Konten oleh Media: Logika Kerja Media Bab 6
67
Menggagas dan Membentuk Strategi untuk Terlibat: Meninjau Peran Jurnalis dan Komunitas Bab 7
77
Memastikan Perbaikan Konten, Membudayakan Diri Sendiri: Sintesa dan Tantangan Daftar Pustaka
83
Lampiran
89
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
xi
1. Penentuan Konten: Sebuah Pengantar Pada bulan Februari 1999, sekitar 150 tahun setelah Morse menciptakan standarisasi sinyal panjang dan pendek atau dikenal dengan sebutan ‘dot’ dan ‘dash’, sandi Morse pada akhirnya tidak lagi digunakan sebagai standar internasional komunikasi maritim. Fungsi sandi Morse digantikan oleh sebuah sistem berteknologi satelit yang disebut GMDSS (Global Maritime Distress and Safety System)1, yang mampu dengan seketika melacak posisi kapal dalam keadaan bahaya. Sementara sandi Morse tidak lagi digunakan; di sisi lain, rutinitas keseharian kita juga dipengaruhi oleh perubahan elektronik. Saat ini, kita mungkin lebih familiar dengan wajah seorang bintang olahraga internasional dibandingkan wajah tetangga kita sendiri. Hal ini merupakan contoh yang menunjukkan seberapa jauh keseharian kita telah berubah, dan mengindikasikan bagaimana komunikasi elektronik yang instan telah mengubah karakter kehidupan kita. Terkait dengan media, kemajuan teknologi ini tidak hanya membuat proses pemberitaan atau penyampaian informasi menjadi semakin cepat, namun juga membawa tantangan baru. Tantangan itu adalah tentang bagaimana media dapat menyediakan ruang yang layak bagi keterlibatan warga yang kemudian mendorong media untuk dapat menjalankan fungsi publiknya secara lebih aktif – untuk menjadi perantara dan penyedia berbagai kemungkinan hidup bersama. Akan tetapi, dengan kemajuan industri media global akhir-akhir ini, media tidak lagi diposisikan sebagai penyedia ruang yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berhubungan satu sama lain. Ketika media semata-mata dipandang sebagai bisnis belaka, komodifikasi terhadap informasi dan berita dan kapitalisasi konten telah terjadi, dan hal ini telah telah melemahkan masyarakat. Cara kerja media arus utama pada umumnya justru melanggengkan kepasifan, voyeurism, dan sinisme, ketimbang menjunjung nilai-nilai kewarganegaraan dan partisipasi. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, tren media tampaknya telah mengarah ke arah yang tidak sehat – di mana semakin banyak pesan disampaikan dari semakin sedikit sumber pesan, yang semakin sedikit berbicara (Gamson, Croteau dkk, 1992). Pada akhirnya, hal ini memposisikan penonton/ pembaca/ pendengar semata-mata sebagai konsumen (yang hanya dapat memilih program apapun yang disajikan kepada mereka), bukan sebagai warga negara (yang memiliki hak). Kondisi ini menghambat cita-cita akan “ruang publik” (Habermas, 1989 dan Habermas 2006) yang mendukung terciptanya partisipasi publik dalam konteks demokrasi. Dalam kaitannya dengan kelompok minoritas, implikasinya semakin besar. Secara umum, kelompok minoritas hanya dapat mengakses media tanpa memiliki suara dalam pembentukan konten. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi sasaran stereotip dan/atau dijadikan korban (Nugroho, Nugraha dkk, 2012). Yang patut diingat adalah bahwa konsep awal kewarganegaraan berakar dari keseimbangan antara hak dan kewajiban dari warga negara (Janowitz, 1980); dalam kaitannya dengan kelompok rentan, ada ketidakseimbangan di mana media yang digerakkan oleh pasar telah berpartisipasi untuk meniadakan harmoni dan membuat kelompok tertentu sebagai korban. Dalam laporan ini, kami berfokus pada penentuan konten (content determinism), dengan menggunakan sudut pandang hak warga bermedia. Penentuan konten ini berhubungan dengan seberapa spesifik konten media dirancang dan diproduksi untuk tujuan-tujuan tertentu dan bagaimana hal ini berpengaruh kepada masyarakat. Konten media dan bagaimana konten tersebut dirancang dan diproduksi dalam suatu sistem yang didorong oleh kekuasaan di dalam struktur organisasi media telah memainkan peran dalam merancang kembali dan merekonstruksi dinamika dalam masyarakat.
1.
Lihat penjelasan lebih lengkap di http://www.gmdss.com/. Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
1
1.1 Latar Belakang dan Dasar Pemikiran Meskipun dipandang sebagai sesuatu yang positif dari segi peningkatan transparansi dan demokratisasi, tingginya perkembangan media di Indonesia pasca reformasi di tahun 1998 juga menandai era kemunculan kembali bagi konglomerat-konglomerat media. Kompas-Gramedia Group, Mahaka Media Group, dan Grafiti Pers Group - induk perusahaan Jawa Pos, dan Global Mediacomm (MNC) Group adalah beberapa nama di antara 12 kelompok media besar di Indonesia yang menguasai hampir seluruh saluran media di Indonesia (Nugroho, Putri dkk, 2012). Praktik oligopoli media yang saat ini terjadi di Indonesia telah menempatkan industri media di negara ini menjadi industri yang murni digerakkan oleh motivasi profit dan karenanya mewakili bisnis yang menguntungkan yang dapat dibentuk oleh kepentingan pemiliknya. Hal ini menyebabkan media pada akhirnya menjadi saluran yang sangat menguntungkan bagi mereka yang mencari kekuasaan. Situasi ini menjadi semakin buruk karena praktik media sekarang ini, khususnya media penyiaran, didukung oleh kebijakan yang tidak bergigi. Meskipun Undang-Undang Penyiaran (2002) memiliki nilainilai keberagaman konten, namun implementasinya sangat berbeda (Nugroho, Siregar, dkk, 2012). Hal yang sama terjadi pula dengan Undang - Undang Pers No. 40/ 1999 (UU Pers 40/1999) yang tidak mampu memitigasi logika bisnis industri media yang sangat mengedepankan keuntungan. Para pengambil kebijakan dan pejabat negara telah gagal untuk memisahkan antara monopoli dan oligopoli. Pada kenyataannya, proses perumusan kebijakan justru mempersulit warga negara untuk menggunakan hak mereka dalam bermedia. Karenanya, tugas media untuk melindungi dan memungkinkan warga untuk menggunakan haknya dengan mempertahankan karakter publik serta menyediakan ruang publik sebagaimana disarankan oleh beberapa ahli (Joseph, 2005) tampak tidak memungkinkan. Sebagai pilar keempat (‘Fourth Estate’) (Carlyle, 1840, Schultz, 1998), media seharusnya mampu memainkan peran yang penting terutama di negara demokrasi baru seperti Indonesia. Namun demikian, jika dilihat dengan seksama, sejatinya cara media bekerja saat ini memang dipengaruhi oleh tekanan politik dan ekonomi dari berbagai kelompok kepentingan yang berbeda. Pada saat yang bersamaan, hal tersebut telah mengubah sektor media menjadi alat untuk fabrikasi kesadaran (manufacture consent) (Herman dan Chomsky, 1988) karena kepentingan ekonomi dan politik media telah mengalahkan fungsi sosial dan publiknya. Sebagai hasilnya, alih-alih menyediakan ruang bagi pubik untuk berdiskusi tentang beragam isu menyangkut kehidupan publik, media memposisikan publik sebagai sekadar konsumen sebagai implikasi dari logika pasar dan kepentingan bisnis yang dimiliki media. Berkaitan dengan hal tersebut, kami menganggap bahwa media arus utama sepertinya beroperasi dalam lingkup neoliberal di mana logika profit mengalahkan hal lainnya. Karena bisnis neoliberal bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan, dan memfinansialkan hal-hal lainnya (Harvey, 2005, hal 33), salah satu akibatnya adalah penyeragaman konten sebagai hasil sistem rating yang merupakan alat dari mekanisme pasar. Contoh nyata dari mekanisme ini adalah munculnya fenomena sinetron yang disiarkan ke seluruh penjuru Indonesia dan berfokus pada gaya hidup dan masalah masyarakat perkotaan. Fenomena semacam ini berjarak dari realitas keseharian sebagian besar penonton di Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah terpencil. Hilangnya keberagaman konten telah menciptakan ketercerabutan media (disembeddedness) yaitu kondisi di mana praktik media dan kontennya tidak lagi terhubung dengan konteks sosial tempat mereka berada (sebagaimana diungkapkan Polanyi, 1957 (1944)).2 Selain keseragaman konten, strategi lain yang digunakan media untuk menarik penonton adalah dengan memproduksi tayangan dan liputan yang hiperbolis dan sensasional. Dengan terus menerus memproduksi tayangan yang tidak mendidik semacam ini, media telah turut mencederai kehidupan publik warga negara. Penurunan kualitas konten media yang gagal untuk menyediakan ruang yang cukup untuk setiap kelompok kepentingan yang ada di masyarakat, terutama kelompok terpinggirkan (Nugroho, Nugraha, dkk, 2012), berpotensi menghancurkan kredibilitas media sebagai Pilar Keempat/Fourth State (Carlyle, 1840), Schultz, 1998). Hal ini terjadi karena media telah gagal menjalankan fungsi publiknya untuk 2 Gagasan ketercerabutan disini digunakan dalam artian Karl Polanyi untuk mendeskripsikan bagaimana pasar dengan aturannya sendiri telah mencabut ekonomi dari relasi sosial (Polanyi, 1944, 1957), dengan cara yang sama, logika konten media yang digerakkan oleh profit telah mengalihkan cara kerja media dari misi sipilnya. 2
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
memfasilitasi demokrasi keterwakilan. Dalam kasus empat kelompok minoritas yakni Ahmadiyah, kaum difabel, LGBT, serta wanita dan anak - anak (sebagaimana diulas Nugroho, Nugraha, dkk, 2012), penurunan ini berkorelasi kuat dengan motivasi media dalam menyediakan cerita sensasional dan bukannya menyediakan laporan yang berimbang. Tidak bisa dipungkiri bahwa situasi demikian telah menyebabkan terjadinya intepretasi yang keliru dari objek pemberitaan, karena media lebih memilih untuk menjadi ‘lidah yang akan didengar oleh kelompok lainnya’, dan hal ini akan membahayakan hak kelompok minoritas sebagai warga negara. Ketika praktik media saat ini gagal menyediakan program yang edukatif, hal lain yang menjadi tantangan besar bagi media di masa mendatang adalah ide konvergensi media. Dengan logika konvergensi yang mendikte semua saluran media untuk menyediakan konten yang sama, media berpotensi semakin mendangkalkan pemirsanya melalui tayangan non-edukatif. Karenanya, media perlu dijaga melalui penerapan kebijakan media sehingga karakter publik media dapat dipertahankan (Nugroho, Siregar, dkk, 2012). Namun demikian, tumbuhnya media daring akhir-akhir ini menyediakan harapan baru bagi terciptanya ruang alternatif yang menfasilitasi keterlibatan warga ketika media arus utama gagal menyediakan hal ini. Untuk itu, kami mengajukan gagasan penciptaan dan perlindungan saluran alternatif, termasuk media siaran komunitas, untuk terus dijaga demi memastikan hak warga bermedia. Dalam laporan terakhir ini, kami tidak dapat tidak menyentuh konten beserta proses produksinya. Tidak dapat dipungkiri, kepemilikan media yang terpusat dan bertendensi mengubah media menjadi suatu konglomerasi adalah suatu problematika besar (Nugroho, Putri, dkk, 2012). Tetapi, pada akhirnya, masalah utama yang kita hadapi adalah isi media yang kita konsumsi setiap hari. Bagi kami, hal yang paling memprihatinkan ketika berbicara tentang kebijakan media adalah ketiadaan perhatian terkait kebijakan mengenai produksi, jenis, dan keberagaman konten media yang dilihat/didengar/dibaca setiap hari oleh pemirsa/pendengarnya. Dengan kata lain: tiadanya perhatian terhadap penentuan konten (determination of the content). Ketika kita menyaksikan bagaimana kemajuan teknologi dapat mengubah media dan berkontribusi pada perubahan sosial (McLuhan, 1964), konten yang linear ini juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat. Suka atau tidak, media telah membentuk konsumsi kita, cara kita berinteraksi dengan sesama, dan bahkan membangun selera kita. Kemajuan teknologi media, seperti percetakan dan penerbitan buku, jelas telah menyebabkan perubahan sosial yang luar biasa besar melalui “literasi” - yakni keterwakilan suara atau kata melalui huruf. Manusia tidak hanya berpikir linear dan menjadi individualis, tetapi juga mampu menguasai ide dan keinginan. Hal ini juga menciptakan persoalan ketercerabutan dalam konteks media dan masyarakat (Nugroho, Putri, dkk 2012, hal. 109). Kemajuan media adalah implikasi dari fungsi teknologi: kemajuan teknologi telah mengubah media (termasuk cara-cara penyampaian pesan) yang dalam prosesnya akan mengubah masyarakat, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Menurut McLuhan, struktur media lebih berpengaruh kepada pembentukan kesadaran manusia dibandingkan dengan pesan yang dikirim melalui saluran media. McLuhan menuliskan: Isi atau kegunaan media sama beragamnya, sebagaimana mereka tidak berperan dalam membentuk asosiasi manusia. Bahkan, merupakan suatu hal yang tipikal bahwa isi dari medium apapun telah membutakan kita dari karakter medium tersebut (McLuhan, 1964, hal. 9). Namun, dalam pentas dunia global yang sangat dipengaruhi oleh ide neoliberalisme, McLuhan mungkin telah terperdaya. Contoh nyatanya dapat terlihat di beberapa serial televisi, iklan, dan sinetron. Pendapat McLuhan mungkin benar bahwa sebagian besar film di televisi tidak mendorong pola pikir linear - melalui keberagaman cerita, misalnya. Namun demikian, film tetap memiliki benang merah yang terus diulang-ulang: romantika, kebaikan melawan kejahatan, dan orang biasa yang menjadi selebriti. Pengulangan episode ini tidak hanya terjadi dalam sinetron, tetapi juga dalam isi berita. Meskipun mediumnya tidak linear, kontennya tetap linear. Bagi media, selama program tersebut menguntungkan dan dapat ditonton, dapat menarik banyak pengiklan dan mengundang pemirsanya untuk berintegrasi (dan membeli) produk global, seperti memakai celana Levi’s, merokok Marlboro, dan menggunakan Master Card dan berkendara Cadillacs, hal-hal lainnya tidak lagi menjadi persoalan. Dengan meneliti konten media, penelitian kami menemukan bahwa melalui konten sebagai produk akhir media, konsentrasi kekuasaan dalam industri media yang bersifat oligopoli tersalurkan dengan baik. Melalui konten pula, di mana tarik menarik yang kuat antara industri dan sistem kekuasaan Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
3
termanifestasi, industri media mengusik kohesi masyarakat. Dengan memperkenalkan logika bisnis melalui berbagai macam konten, ide tentang kewarganegaraan terkikis tanpa perlawanan signifikan dari pemerintah (yang berpihak kepada bisnis) atau yang diperintah (warga negara yang pasif dan belum memiliki tingkat literasi yang cukup). Dalam industri yang bersifat oligopoli (Nugroho, Putri, dkk, 2012), mereka yang memiliki pengaruh terhadap produksi konten relatif bebas untuk menyetir konsumsi publik. Meskipun demikian, penelitian kami menemukan bahwa kekuasaan media tidak semata-mata terletak di tangan pemiliknya, tetapi juga dalam sistem itu sendiri. Dalam hal ini, jika kita mencermati relasi kekuasaan dan media, kita akan menemukan bahwa ada keterlibatan agenda pengiklan, bisnis lain yang dimiliki pemilik, dan bahkan dari para pejabat dan/atau mereka yang terpandang. Penjelasan terperinci mengenai isu relasi kekuasaan ini akan dibahas pada bab 5. Pencarian kekuasaan tercermin pula dalam tingkat kompetisi antar sesama media. Karena berbeda dari saingannya merupakan suatu hal yang membahayakan bagi produser (Cuilenburg, 1999), maka konten yang dihasilkan oleh sistem pasar oligopolis yang berorientasi pasar ini menjadi bersifat homogen. Hal ini disebabkan oleh kompetisi antar jaringan media dengan produk-produk yang saling mensubtitusi satu sama lain. Dalam hal ini, kita perlu lebih kritis dalam memahami relasi kekuasaan dalam media dan pada saat yang bersamaan memastikan bahwa sudut pandang hak asasi manusia terwakilkan dalam produksi media, baik itu cetak, siar maupun daring. Indonesia memiliki definisi tersendiri untuk hak asasi manusia yang terakomodasi dalam Undang-undangnya. Hak warga negara, yang tentunya termasuk pula hak kelompok minoritas, secara eksplisit tercermin dalam perundangan ini. Undang-undang ini dibentuk berdasarkan hak asasi dan idealisme kebangsaan, bukan dari keinginan kelompok mayoritas semata. Untuk itu, kami merekomendasikan bahwa produk yang dihasilkan wartawan dan pelaku industri media lainnya seharusnya mencerminkan nilai-nilai perundangan ini.
1.2. Tujuan Penelitian ini melanjutkan hasil dari tiga laporan penelitian sebelumnya mengenai media dan hak warga bermedia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyediakan pandangan terhadap (produksi) konten di mana kekuasaan termanifestasi dengan kuat. Dalam menyelesaikan seri laporan mengenai media ini, kami tidak dapat tidak menyentuh persoalan konten. Sebab, ketika kita berbicara mengenai hak warga, maka kita perlu menganalisis lebih dalam proses produksi dari isi media. Dengan mendalami hal ini, kami berharap dapat memberikan masukan tentang implikasi yang lebih luas dari manifestasi kekuasaan di dalam sistem media, terkait dengan hak warga bermedia dan proses demokratisasi. Untuk menyelidiki persoalan ini, kami memilih untuk menggunakan kacamata hak-hak warga negara kepada media, yang merupakan jawaban atas Artikel no. 19 DUHAM.3 Penelitian semacam ini melindungi hak media sebagai bagian dari kebebasan institusi pers, namun kami percaya bahwa yang lebih diperlukan adalah perlindungan warga negara yang seringkali memiliki keterbatasan dalam hal kebebasan pada media. Penelitian mengenai kaitan antara hak warga bermedia dengan ekonomi politik media di Indonesia ini jarang adanya. Dalam pengamatan kami mengenai hak warga negara terhadap media, kami menggarisbawahi tiga hal berikut: 1) Hak kepada akses informasi yang terpercaya dan untuk menciptakan informasi yang juga membutuhkan 2) Akses kepada infrastuktur media, sehingga warga negara dapat melaksanakan dimensi ketiga yakni 3) Berperan aktif untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, terutama kebijakan yang terkait dengan kewarganegaraan.
3 Artikel 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menuliskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). 4
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
1.3 Pertanyaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut: Sejauh apa konten media di Indonesia mencerminkan keberagaman dalam masyarakat? Bagaimanakah media membuat dan mendistribusikan konten, dan mengapa? Apakah dampak dari konten media terhadap hak warga dalam bermedia dan apakah kaitannya dalam prinsip kewarganegaraan yang ada di masyarakat? Apakah tanggapan masyarakat dan bagaimana mereka menangani hal tersebut? Apakah implikasi dari hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pekerja media baik junior maupun senior, para ahli serta aktivis media dalam rentang waktu Januari hingga Maret 2013. Data sekunder didapat melalui studi literatur. Data sekunder bertujuan untuk meneliti dengan cermat ekonomi dan politik media serta gagasan hak warga negara. Bab ketiga akan mengulas mengenai metodologi dan pengumpulan data secara lebih mendetail.
1.4 Penentuan Isi: Sebuah Pengantar Saat ini, praktik oligopoli dalam industri media telah menempatkan media sebagai industri yang berorientasi profit. Situasi semacam ini mewakili sistem media yang rentan untuk disetir oleh kepentingan pemilik dan sangat menguntungkan bagi mereka yang mencari kekuasaan (Nugroho, Putri, dkk, 2012). Kegagalan dari kebijakan yang ada untuk mencegah logika yang mengedepankan profit secara berlebihan ini semakin memperparah masalah. Penerapan payung hukum media, yakni UU Pers 40/ 1999 dan UU Penyiaran 32/ 2002 telah gagal untuk mengatur media sebagai industri (Nugroho, Siregar, dkk, 2012). Di sisi lain, pembuat kebijakan dan pejabat pemerintah juga gagal dalam menarik garis yang tegas antara monopoli dan oligopoli. Dalam hal ini, dengan berpegang kepada logika rating, media cenderung memiliki konten yang homogen. Untuk menarik semakin banyak penonton, media juga memproduksi reportase dan berita yang lebih hiperbolis dan sensasional. Dalam kaitannya terhadap kelompok rentan, keterwakilan media sangat buruk, sehingga berkontribusi pada pelanggaran hak-hak dasar mereka (Nugroho, Nugraha, dkk, 2012). Implikasi yang lebih besar adalah, kelompok rentan ini memiliki akses yang terbatas terhadap institusi dasar masyarakat sipil, serta minimnya pemenuhan hak mereka sebagai warga negara yang dalam beberapa kasus mengarah kepada eksklusi sosial (Macionis dan Plummer, 2008: 255). Lebih dari itu, dengan terus menerus menyediakan konten yang kurang mendidik, media pada akhirnya juga bertanggung jawab atas pendangkalan warga negara. Dalam mendalami politik ekonomi media, akhirnya kami menemukan bahwa ikatan yang kuat yang mengikat antara sistem kekuasaan dan industri media adalah konten. Melalui distribusi konten, reproduksi makna dalam masyarakat dikontrol oleh mereka yang memiliki akses tertentu serta kekuasaan dalam media. Tanpa disadari, konsekuensi dari kualitas konten ini terkait dengan masyarakat sebagai warga negara. Karena logika yang mengedepankan rating, penonton dilihat hanya sebatas pelanggan potensial bagi industri, alih-alih warga negara yang memiliki hak. Gagasan bahwa media sebagai salah satu pilar demokrasi tidak dapat berjalan dalam kondisi ini. Bahkan, keterbatasan dalam mengakses media dapat menghambat pelaksanaan hak-hak warga. Ada beberapa keterbatasan bagi warga negara untuk berperan dalam proses perumusan kebijakan yang berkaitan dengan sektor ekonomi-sosial-politik dan juga dalam keterlibatan komunitas. Untuk memberikan pandangan mengenai penentuan konten secara menyeluruh, kami menganalisa beberapa program dari 10 stasiun TV swasta selama 30 hari. Televisi sebagai saluran media modern sangat tepat dalam mencerminkan dinamika kebudayaan masyarakat. Hal ini juga diperkuat oleh data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, yang menyatakan bahwa televisi merupakan media dengan angka penetrasi tertinggi dan karenanya sangat penting dalam konstruksi budaya hidup warga. Setidaknya, 91.7% dari seluruh orang Indonesia di atas usia 10 tahun menonton Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
5
televisi.4 Dengan menyediakan analisis konten televisi, kami berpendapat bahwa meskipun banyak pihak yang berpendapat konten media di Indonesia “beragam” dan telah “mewakili” (warga negaranya), namun faktanya bertolak belakang. Dengan mengetengahkan tujuh kategori kewarganegaraan sebagai proxy keberagaman dengan menggunakan pengukuran kuantitatif, kami dapat menyimpulkan bahwa penentuan konten sebagian besar didasarkan kepada sistem nilai yang paling dominan - baik itu dalam konteks agama, etnisitas ataupun geografis. Yang dipelajari dalam analisis konten ini sebenarnya merupakan refleksi dari apa yang terjadi dalam proses editorial dan bagaimana konten diproduksi. Karena praktik media saat ini telah berubah menjadi institusi bisnis yang dimiliki oleh privat dan bukan institusi sosial publik, maka produk akhir dari industri media akan ditentukan oleh seberapa besar keuntungan yang dihasilkannya. Dengan kompleksitas seperti ini, maka kekuasaan pun berbicara. Dalam perkembangannya saat ini, pertumbuhan bisnis media mencerminkan hukum ‘survival of the fittest’ yang memberikan ruang sangat terbatas untuk pendatang baru. Karenanya, bukan hal yang mengejutkan jika terjadi merger dan akuisisi. Untuk bertahan hidup, perusahaan media yang lebih kecil bergabung dengan kelompok yang lebih besar. Proses ini sekali lagi menunjukkan kepada kita bagaimana perusahaan besar tidak hanya mengontrol konten dan kepemilikan, tetapi juga lini distribusi dan sirkulasi media. Penggambaran yang besar ini juga menunjukkan bagaimana perusahaan media yang lebih besar memegang kekuasaan. Namun demikian, relasi kekuasaan juga dimiliki oleh media sebagai suatu sistem besar yang utuh. Penelitian kami mengungkap bahwa intervensi di media sangat berpengaruh terhadap pembentukan konten: bukan hanya dalam memalsukan/membuat fakta, tetapi juga menerbitkan (atau tidak menerbitkan) cerita karena adanya permintaan khusus. Ada dua tipe permintaan khusus ini: eksternal dan internal. Intervensi eksternal datang dari bisnis lain yang dimiliki pemilik media atau intervensi politik, sedangkan intervensi internal datang dalam bentuk sensor dan bingkai editorial yang dirancang oleh sistem. Namun, intervensi lainnya datang dengan cara yang lebih halus. Dalam sistem yang cenderung melayani kepentingan pemilik, wartawan harus sensitif dalam menyenangkan perusahaan tempat mereka bekerja. Melalui pendalaman yang berhati-hati, kami menemukan bahwa kebebasan wartawan dan editor hanya terjadi jika mereka memiliki tempat yang cukup untuk mengekspresikan pikiran mereka. Di beberapa media, di mana pemiliknya terafiliasi dengan politik, para awak media dapat dikatakan tidak memiliki ruang gerak sama sekali. Tetapi, masih ada beberapa praktik yang baik dalam media di mana wartawan memiliki posisi tawar untuk menolak beberapa permintaan khusus untuk membentuk cerita mereka. Seringkali, situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai integritas wartawan. Terbatasnya pilihan saluran ― Indonesia memang memiliki banyak saluran, tetapi secara konten pilihan yang ada tidak banyak — serta adanya kepentingan pribadi atau kelompok dapat mendistorsi informasi yang kita terima. Dalam kacamata hak warga, kombinasi ini telah mengancam hak terhadap informasi yang dapat dipercaya, khususnya dalam situasi di mana tingkat ‘melek’ media masih harus ditingkatkan. Pada saat media sebagai sebuah kesatuan sistem perlu diperbaiki, hal yang sama perlu dilakukan oleh wartawan sebagai salah satu komponen utama dalam sistem media. Meskipun pers yang demokratis telah mulai bertumbuh pasca era reformasi tahun 1998, ada suatu keprihatinan akan penurunan profesionalisme jurnalis di Indonesia. Meskipun secara umum wartawan Indonesia sangat kritis terhadap isu politik di negara ini, ada beberapa tantangan serius yang harus ditangani, yaitu: etika jurnalistik yang rendah, kurangnya profesionalisme dan korupsi di antara wartawan (Pintak dan Setiyono, 2010). Hal ini berhubungan erat dengan krisis etika profesi. Idealnya, sebagai profesi yang mengemban misi publik, wartawan harus selalu ingat bahwa mereka menciptakan dan mengantarkan pesan dengan misi untuk melayani khalayak umum, bukannya untuk kepentingan tertentu. Memilih untuk menjadi wartawan berarti memiliki tanggung jawab pelayanan publik. Ketika warga negara tidak lagi dapat mengandalkan pembuat kebijakan, pejabat pemerintah, dan sistem media yang berorientasi pasar, maka harapan terakhir jatuh di pundak publik. Ada beberapa hal 4 LIhat tautan berikut: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=27¬ab=36. Terakhir diakses pada tanggal 1 April 2013 6
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
yang dapat mereka lakukan, yakni: koalisi dan membangun jaringan antar CSO, membantu penegak hukum dalam proses pembuatan kebijakan mengenai media, berperan sebagai pengawas karena pemilik media sangat sensitif terhadap protes warga negara, atau meningkatkan tingkat melek media bagi masyarakat luas. Saat ini, kita dihadapkan pada fakta bahwa perusahaan media memiliki identitas ganda. Di satu sisi, mereka mengemban tanggung jawab yang besar dalam menjalankan fungsi sosial, budaya, dan politiknya. Di sisi lain, mereka didorong oleh kepentingan ekonomi. Akan tetapi, karena media mempunyai hubungan yang dekat dengan kehidupan publik, maka media harus mulai membangun bisnis yang didasari oleh kepercayaan dan mempunyai komitmen untuk menjalankannya.
1.5. Struktur Laporan Setelah bagian pembukaan, Bab 2 akan mengetengahkan pandangan teoritis dan rangkuman dari laporan sebelumnya yang digunakan untuk menjelaskan mengapa pemahaman tentang hak warga negara menjadi penting dalam mengamati secara mendalam relasi kekuasaan dalam politik ekonomi media. Kerangka ini kemudian digunakan di dalam penelitian untuk menekankan pentingnya peranan media dalam membawakan isu mengenai hak warga negara dalam produksi konten dan dalam sistem media. Bab 3 mengulas metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini serta keterbatasan-keterbatasannya. Penemuan dari penelitian akan dijabarkan dalam tiga bab selanjutnya. Bab 4 akan mengungkapkan debat mengenai keberagaman dengan menyediakan analisis konten dari beberapa program televisi. Bab ini juga akan menjabarkan analisis kualitatif dari program televisi untuk mengungkap permainan kekuasaan melalui konten dan menjawab seberapa beragam dan representatif media kita sesungguhnya. Bab 5 akan meneliti dengan seksama dinamika politik ekonomi media di Indonesia: bagaimana kekuasaan termanifestasi dalam sistem media. Bab ini juga mengungkapkan kompleksitas produksi konten dalam media kita. Bab 6 menyediakan wacana mengenai kualitas wartawan sebagai salah satu faktor kunci dalam produksi konten, dan juga mendiskusikan strategi untuk memperbaiki media di Indonesia. Bab 7 menyimpulkan temuan yang ada dengan mengidentifikasi implikasi dari penentuan konten dalam media. Singkatnya, bab ini menawarkan sejumlah agenda yang penting untuk dibahas di masa mendatang.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
7
2. Hak Warga Bermedia: Sebuah Konsep Genealogis Kemajuan teknologi dan industri media memberikan harapan lebih bahwa media dapat berada pada posisi yang tepat untuk tersedianya ruang bagi segenap anggota masyarakat untuk berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian, semakin besar kemungkinan tercipta masyarakat yang demokratis. Namun, dambaan tersebut sepertinya tidak terjawab karena tren yang terjadi justru bergerak ke arah yang salah, di mana semakin banyak pesan dari produser yang jumlahnya semakin sedikit tetapi ukurannya semakin besar, dan bersuara semakin sedikit (Gamson, Croteau, dkk, 1992). Kondisi ini menjadikan warga negara hanyalah sekadar “pelanggan” yang harus menerima program apapun yang disediakan oleh produser, alih-alih warga negara yang memiliki hak. Warga negara hanya dipandang sebagai pelanggan yang dipaksa menikmati apa yang tersedia dalam saluran media tanpa memiliki daya untuk membentuk konten. Kondisi serupa dialami kelompok rentan karena akses mereka kepada media seringkali dikompromikan. Situasi ini menghalangi cita-cita ideal akan terciptanya ‘ruang publik’ (Habermas, 1989, Habermas, 2006) yang mendukung keterlibatan aktif publik dalam konteks demokrasi. Industri media di manapun, dalam perkembangannya, senantiasa terkait erat dengan sistem ekonomi (Mansell, 2004), tidak terkecuali Indonesia. Perubahan situasi politik dan ekonomi apapun dalam suatu negara akan berpengaruh kepada industri media. Karenanya, ‘perkawinan’ antara politik dan bisnis dalam media merupakan hal yang dapat dimengerti. Kondisi ini telah menggeser warga negara menjadi melulu pemilih dalam hal dinamika politik, dan sebagai ‘pelanggan’ dalam kepentingan bisnis. Media pun tidak lagi menyediakan ruang publik bagi warga negara (Habermas, 1989), di mana setiap warga negara dapat bertukar dan terlibat dalam wacana. Dalam menelaah persoalan ini, kami menggunakan perspektif hak warga negara. Dalam penelitian ini, ‘hak’ merujuk kepada nilai-nilai yang tertulis dalam Universal Declaration of Human Rights.5 Sebagian besar aktivis media seringkali menggunakan Artikel 19 dalam DUHAM6 untuk mempertahankan hak media ― dalam kasus ini, institusi pers maupun wartawan — namun seringkali yang lebih dibutuhkan adalah perlindungan warga negara dalam ruang lingkup kebebasan media yang semakin sempit dan terbatas. Berdasarkan gagasan tersebut, kami berpendapat bahwa yang perlu ditingkatkan bukanlah sekadar hak media per se, namun juga akses (kepada media), sesuatu yang mendefinisikan kewarganegaraan (alih-alih pelanggan) dalam ranah media. Melalui konsep hak warga bermedia, kami meminjam apa yang dirumuskan oleh UNESCO (Joseph, 2005)7 dan menggunakannya untuk meneliti bagaimana warga negara menggunakan hak mereka di dalam tiga aspek: a) akses warga negara terhadap informasi; yang tanpanya mereka akan tercerabut dari perkembangan dan transformasi kehidupan mereka sendiri; b) akses warga negara terhadap infrastuktur media; yang tanpanya, akses kepada informasi dan konten media lainnya tidak akan mungkin didapat; dan c) akses warga negara terhadap kerangka kebijakan, yang tanpa hal tersebut, warga negara akan tertinggal dalam proses pengambilan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kami juga bermaksud untuk meluaskan pemahaman akan hak warga negara, dengan
5 Lihat http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml 6 Artikel 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menuliskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). 7 Lihat juga http://www.unesco.org/new/en/communication-and-information/flagship-project-activities/ world-press-freedom-day/previous-celebrations/worldpressfreedomday200900/themes/empowering-citizenshipmedia-dialogue-and-education/ Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
9
memasukkan perspektif etika media, pengawasan media, akses terhadap informasi, dan infrastuktur informasi, serta wacana akan peran media dalam masyarakat.
2.1 Media: Antara Medium dan Pesan Media memainkan peran sentral dalam masyarakat masa kini. Melalui media, masyarakat dapat bertukar informasi, pandangan, gagasan, serta wacana yang mendorong perkembangan masyarakat untuk terus berjalan. Dalam masyarakat modern, media tertanam secara kuat pada kehidupan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa tidak ada permasalahan sosial yang tidak melibatkan media. Istilah media sendiri berasal dari bahasa Latin (kata tunggal: medium-ii) yang berarti sesuatu yang berada di tengah-tengah. Media juga dapat berarti sesuatu yang ‘terlihat secara publik’, ‘milik publik’ atau ‘mediasi’; dan karenanya mengacu pada ruang yang dimiliki oleh publik — locus publicus. Mengacu pada pemahaman tersebut, esensi media tidak dapat dipisahkan dari keterhubungannya dengan ruang privat dan publik, yang acapkali problematis. Media memperantarai kedua pihak untuk mencari kemungkinan(atau ketidakmungkinan) dalam kehidupan bersama.8 Dalam pemahaman ini, ranah media memang diartikan secara sangat luas, mulai dari ruang secara fisik seperti pengadilan, plaza, teater dan tempat pertemuan publik, hingga ke wujud non-fisik seperti koran, radio, televisi, dan internet, serta aneka bentuk ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial. Pemahaman secara luas ini yang kami pakai dalam penelitian ini.9 Berdasarkan latar belakang tersebut, ‘alasan adanya’ media adalah untuk menyediakan ruang bagi publik untuk berinteraksi dan terlibat di dalam ranah publik secara bebas. Singkatnya, tujuan media adalah melayani gagasan kehidupan ‘sipil’. Gagasan ini dapat ditelusuri dari pandangan Habermas mengenai ruang publik (Habermas, 1984, Habermas 1987). Dia mendefinisikan ruang publik sebagai perjumpaan antara individu privat untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menjadi isu bersama ― dan dengan kekuatan media, ide perseorangan dapat dengan cepat berubah menjadi opini publik. Pemikiran ini tidak hanya berpusat pada pemahaman mengenai bagaimana rasionalitas publik “dibuat”, bahwa seharusnya ada perhatian khusus mengenai mengenai batasan ranah pribadi dan publik, namun sekaligus memberi petunjuk bahwa publik akan selalu terhubung erat dengan politik (Habermas, 1989).10 Sebagai tambahan dari gagasan ini, hal yang tidak kalah penting adalah memastikan ketersediaan akses bagi suara-suara minoritas dan kelompok rentan demi menjamin ruang publik berfungsi dengan baik (Ferree, Gamson et al., 2002). Kembali kepada gagasan Habermas (1989), ranah publik yang ideal adalah yang dapat diakses oleh semua orang dan memiliki otonomi yang tidak dapat diganggu atau diklaim oleh negara atau pasar. Adalah penting untuk menggarisbawahi hal ini karena gangguan pada otonomi tersebut berpotensi mengancam keseimbangan dan dapat mendesakkan kepentingan masyarakat, terutama aneka kelompok rentan, ke tepian ranah publik. Lebih lanjut, ruang publik tidak bersifat tunggal, tetapi plural: ranah publik tidaklah satu, melainkan jamak (Habermas, 1984). Karena ruang publik mencerminkan pluralitas karakter dari masyarakat itu sendiri, maka adalah alamiah bahwa ruang publik yang sama seharusnya mengakomodasi perbedaan opini dalam masyarakat. Senada dengan Habermas, Marshall McLuhan dalam ‘Understanding Media: The Extension of Man’ (1964) mengajukan sebuah desain yang mampu menyediakan keterwakilan pemerintah secara tidak langsung melalui perkembangan teknologi media untuk meluaskan model partisipatif yang baru di mana semua orang dapat terlibat. McLuhan memperhitungkan pentingnya keterwakilan karena jika digabungkan, dampak dari masalah kenegaraan dan kemasyarakatan akan menjadi terlalu banyak, terlalu kompleks, dan terlalu membingungkan untuk dapat dipecahkan oleh warga negara secara perseorangan
8 Sebagian besar isi dari paragraph ini diambil dari ringkasan presentasi Dr. B. Herry-Priyono, SJ tanggal 5 Oktober 2011, saat memberikan materi pada Critical Research Methodology (CREAME) Training di Yogyakarta, sebagai bagian dari proyek penelitian ini. 9 Kami juga merujuk pada pemahaman ini dalam laporan-laporan kami sebelumnya (Nugroho, Putri et al., 2012:20-21, Nugroho, Siregar et al., 2012:19) 10 Kami juga merujuk pada ide sentral ini, dalam laporan kami sebelumnya (Nugroho, Putri et al., 2012:21) 10
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
(Lippmann, 1927, sebagaimana dikutip oleh Levinson, 1999).11 Untuk itu, McLuhan berpendapat bahwa teknologi media yang sedang berkembang ini tidak hanya memungkinkan masyarakat lokal mengakses dunia, tetapi juga menciptakan bentuk partisipasi baru di mana semua orang dapat terlibat dalam aneka isu global. Harus diakui bahwa kemampuan media untuk menciptakan model partisipasi baru telah mendukung persebaran demokrasi ke seluruh penjuru dunia (Mansell, 2004, Castels, 2010). Namun demikian, hal ini tentu memiliki problematikanya sendiri. Lippman (1922) berpendapat bahwa masalah dasar media dalam demokrasi adalah ketepatan berita dan perlindungan narasumber yang akan semakin mengintensifkan cacatnya pengaturan opini publik. Lebih lanjut, Lippmann (1992) mengungkapkan peran media masih belum mencapai apa yang diharapkan12 dan bahwa penciptaan kesadaran masih terjadi: Penciptaan kesadaran bukanlah suatu hal baru. Hal tersebut sudah lama dikenal; dan seharusnya sudah punah seiring dengan munculnya demokrasi. Namun demikian, ternyata itu belum mati. Bahkan, dalam kenyataannya penciptaan kesadaran telah berkembang dengan luar biasa pesat, terutama dalam teknisnya karena kini hal itu telah didasarkan pada analisis, alih-alih norma yang berlaku umum. Untuk itu, sebagai hasil dari penelitian psikologis serta cara-cara komunikasi modern, praktik demokrasi telah berganti. Revolusi kini telah menggantikan tempatnya, dan yang jelas, hal ini lebih signifikan dibandingkan pergantian kekuatan ekonomi (hal. 87). Herman dan Chomsky (1988) lebih lanjut membahas isu ini dengan memberi peringatan bahwa media memiliki kapasitas sebagai salah satu alat propaganda karena kemampuan mereka untuk mengatur opini publik. ‘Tujuan sosial’ dari media adalah untuk menanamkan dan membela agenda ekonomi, sosial, dan politik dari kelompok terpilih yang mendominasi masyarakat domestik dan negara. Media melayani tujuan ini melalui beberapa cara: pemilihan topik, distribusi dan pembentukan isu, menyaring informasi, penekanan, dan dengan menjaga agar suatu perdebatan berada dalam lingkup alasan yang dapat diterima (Herman dan Chomsky, 1988: xi). Bagi Herman dan Chomsky, sepertinya media selalu rentan untuk dimanipulasi dan digunakan oleh kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan di atas kelompok lain (sebagaimana dikatakan Nugroho, Putri, dkk, 2012, hal.22).13 Manipulasi ini jelas-jelas membahayakan keberimbangan ruang publik. Ketika kelompok dengan kekuasaan lebih besar diuntungkan, kelompok yang lebih lemah kehilangan keistimewaan mereka sebagai sesama aktor dalam ranah publik. Menanggapi hal ini, Levinson (1999, yang meneruskan argumentasi McLuhan, 1964) menyatakan pentingnya peran masyarakat untuk turut mengontrol media dengan mendefinisikan kembali ‘medium sebagai pesan’ (the medium as the message). Dengan adanya konsep ini, Levinson menggaungkan kembali apa yang telah dijabarkan oleh McLuhan bahwa implikasi sosial dari medium atau ‘perantara’ ini harus diidentifikasi daripada sekadar mengartikan pesan yang mereka bawa (McLuhan, 1964). Pengartian kembali (redefinisi) ini sangat penting dalam studi kami guna menggali kaitan antara media dan masyarakat, karena audiens cenderung untuk berfokus kepada konten (misalnya sinetron), namun gagal untuk memahami elemen struktural (seperti obsesi ilusif akan gaya hidup perkotaan) yang memiliki dampak signifikan terhadap realitas kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kultural.
11 Pernyataan ini diambil dari Walter Lippmann dalam bukunya The Phantom Public; (Lippmann, 1927), yang dikutip dalam Levinson (1999:72) 12 Bagi Lippmann, masalah ini muncul dari ekspektasi bahwa media (pers) dapat membenarkan/menambal kekurangan dari teori demokrasi. Dalam hal ini, media (media cetak) oleh para demokrat dianggap sebagai panacea untuk kekurangan mereka. Sementara analisis dari hakikat pemberitaan dan basis ekonomi dari jurnalisme tampak menunjukkan bahwa media cetak tak pelak lagi merefleksikan, dan oleh karenanya, dalam skala besar maupun kecil, semakin membunyikan kekurangan dari organisasi tersebut dalam opini publik. 13 22).
Kami juga merujuk pada gagasan penting ini di laporan kami sebelumnya (Nugroho, Putri et al., 2012, p.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
11
Dalam dunia kapitalis sebagaimana terjadi saat ini, apa yang diungkapkan oleh McLuhan dapat kita pahami dengan baik ketika kita melihat praktik media saat ini baik sebagai sebuah industri maupun sebagai suatu sektor dalam masyarakat. Karena perkembangan media telah jauh mengubah masyarakat menjadi ‘masyarakat yang haus akan informasi’ (Castells, 2010), akumulasi profit telah menjadi tujuan utama dari media masa kini; alih-alih menyediakan ‘konten yang beradab’. Yang dimaksud ‘konten yang beradab’ di sini adalah sekumpulan materi yang membantu publik untuk menjadi lebih dewasa dan membantu berefleksi lebih dalam perihal isu dan wacana publik, seperti misalnya konten yang mencerminkan keberagaman masyarakat dan bahwa setiap kelompok dalam masyarakat — khususnya kelompok rentan — berhak untuk mendapatkan liputan dan penggambaran yang akurat dalam media. Mengingat akumulasi profit telah mengubah media menjadi saluran dari produksi massa, mereka juga telah dikontrol oleh para aktor yang berlibat dalam proses produksi tersebut. Secara jelas, media secara terus menerus telah berperan dalam menentukan dan membentuk ulang cara-cara di mana seorang individu, maupun masyarakat dan sebuah kebudayaan mempelajari, memaknai, dan memahami dunia. Dengan bantuan teknologi, media kini mampu menyebarkan informasi tertentu kepada sekelompok massa dalam seketika. Kekuatan media sedemikian besar, sehingga dapat memaksakan ‘asumsi, bias, dan nilai-nilai’ (McLuhan, 1964). Mengingat media memiliki peran penting dalam perkembangan masyarakat kita, maka media menjadi arena yang diperebutkan. Demikian, upaya untuk mengontrol media telah semakin terkait erat dengan upaya mengontrol publik dalam hal wacana, kepentingan, dan bahkan cita rasa (Curran, 1991). Pihak-pihak yang memegang kekuasaan atas media akan mendapatkan keuntungan sedangkan kelompok yang lemah (dan dilemahkan) akan terbuang tanpa suara karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk masuk ke dalam sistem. Prinsip dasar dari media, baik fisik maupun non fisik, telah beralih dari medium dan mediator ruang publik yang dapat menggerakkan keterlibatan kritis dari warga negara (Habermas, 1984, Habermas, 1987, Habermas, 1989), menjadi sekadar alat bagi mereka yang berkuasa untuk ‘membentuk kesadaran’ (Herman dan Chomsky, 1988). Gagasan ini penting untuk memahami dinamika media saat ini, khususnya media massa, apapun bentuknya. Setelah menguraikan beberapa ide dasar mengenai peran media dalam masyarakat, satu hal yang jelas adalah bahwa kerja media sangat bergantung tidak hanya kepada kepentingan ekonominya, melainkan juga terhadap pengaruh politik. Karenanya, pemahaman mengenai politik ekonomi media menjadi sangat penting untuk mengungkap bagaimana relasi kekuasaan dalam media bekerja dan bagaimana motif ekonomi mendorong mereka. Pemahaman ini akan membantu untuk mencegah media kehilangan fungsi sosialnya, sekaligus raison d’etre (alasan keberadaan) mereka.
2.2. Hak Warga Negara terhadap Media: Penanda Status Kewarganegaraan Akses kepada informasi, yang mana media merupakan salah satu salurannya, merupakan suatu hal yang penting bagi penentuan nasib sendiri, bagi partisipasi sosial dan politis, dan bagi pembangunan (Samassekou, 2006). Karena itulah kesadaran baru bahwa warga negara memiliki suara dalam media mulai terangkat; sebab media, dalam beberapa hal, merupakan suatu prasyarat untuk demokrasi. Kekuasaan media massa dapat mendorong partisipasi kelompok yang diperintah dalam lingkup pemerintah mereka. Karenanya, hal tersebut dianggap sebagai landasan demokrasi (Arnstein, 1969). Selain itu, kekuatan media massa yang besar ini sangat penting artinya bukan hanya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan, tetapi juga dalam membentuk nilai dan norma, mencetak perilaku dan tindakan, dan mempengaruhi proses kehidupan. Akses dan kekuatan yang seimbang ini khususnya akan memampukan kelompok-kelompok rentan untuk menggunakan hak mereka dan turut mengambil bagian dalam keterlibatan sipil karena mereka memiliki saluran yang dapat menggaungkan suara lemah mereka. Partisipasi warga negara dalam pemerintahan telah lama dipandang sebagai landasan demokrasi (Arnstein, 1969). Lebih lanjut, masyarakat demokratis yang sesungguhnya terdapat dalam masyarakat yang memiliki informasi sehingga dapat membuat keputusan politis. Karenanya, akses kepada informasi bukan sekadar hak dasar dari warga negara, tetapi juga persyaratan terbentuknya demokrasi itu sendiri (Joseph, 2005). Dalam hal ini, media memainkan peranan yang penting dalam menjaga dan 12
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
memampukan warga negara untuk menggunakan haknya dengan mempertahankan karakter publik yang dimilikinya dan menyediakan ruang untuk keterlibatan publik. Akan tetapi, belakangan ini hak warga negara terhadap informasi — dan juga kebebasan berekspresi — telah terancam, karena saat ini hampir mustahil untuk memiliki media yang independen, yang sama sekali bebas dari kelompok dengan kepentingan khusus, baik kepentingan politis maupun ekonomis. Di samping itu, semakin sulit pula bagi kelompok minoritas dan rentan untuk menyalurkan suara mereka dalam ranah publik karena mereka memiliki kekuatan yang sangat terbatas dalam mengakses media. Situasi ini juga berarti bahwa kepentingan suara-suara di arus bawah ini (Habermas, 1989) tidak terwakilkan; dan sebagai hasilnya, kelompok warga negara ini tidak mampu berpartisipasi secara utuh dalam proses pembuatan kebijakan yang penting. Demokrasi bermula dari masyarakat. Masyarakat demokratis yang sesungguhnya bergantung kepada populasi yang melek informasi dan mampu membuat pilihan politis. Oleh karenanya, informasi dan komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi. Dengan penanda yang serupa, demokratisasi komunikasi merupakan syarat demokrasi. Isu mengenai hak warga negara terhadap media, khususnya partisipasi media dalam pembuatan kebijakan atau dalam pembuatan berita itu sendiri telah lama menjadi pembicaraan di tataran lokal maupun global. Hal ini terjadi karena warga negara dari seluruh penjuru dunia, dengan perlahan tapi pasti, telah sadar akan gagasan bahwa mereka memiliki hak dalam media, bahkan ketika mereka tidak selalu dianggap sebagai pemangku kepentingan oleh pemegang kekuasaan, baik itu pemerintah maupun organisasi media. Kesadaran baru ini didasari oleh pemahaman bahwa, di dunia saat ini, media massa memainkan (dan dalam pengertian tertentu, menggantikan) suatu peranan penting, yang dahulu dipegang oleh keluarga, komunitas, agama, serta lembaga pendidikan formal. Semakin banyak orang yang menyimpulkan bahwa merupakan suatu hal yang penting bagi publik untuk secara kritis sadar akan media — tidak hanya dalam hal program, tetapi juga dalam berbagai hal yang menentukan kebijakan, seperti struktur institusi, pembiayaan, dan regulasi (Joseph, 2005). Jensen (2006) bahkan menekankan pentingnya audiens untuk memainkan peranan yang lebih aktif dalam struktur media daripada sebatas sebagai pengguna dan konsumen. Audiens didorong untuk terlibat sebagai produser (pendamping) yang membuat konten sehingga dapat memberikan nilai kepada kewarganegaraan itu sendiri. Sementara orang di seluruh dunia mulai mengerti bahwa mereka perlu untuk bersikap kritis kepada media, termasuk dalam hal kebijakan dan struktur institusi di sekitarnya, proses demokratisasi komunikasi masih tetap membutuhkan masukan dari negara untuk menjamin akses ini. ‘Hak’ dipandang sebagai ‘hak’ jika, dan hanya jika, seseorang/sebuah pihak dapat menjamin keberadaannya. Karena itulah, berkaitan dengan hal ini, hak warga negara memerlukan penjamin, yaitu negara. Negara diperlukan untuk mengaktifkan hak-hak ini, yang juga akan menjadi penjamin dari pelaksanan hak dasar lainnya.
2.3. Hak Warga Negara kepada Media: Peranan Negara Konsep ‘warga negara’ mengindikasikan bahwa ‘negara’ yang memiliki masyarakat berada dalam hubungan hak dan status yang legal dan bahwa segala aktivitas yang selayaknya terjadi didefinisikan dalam relasi masyarakat dengan negara. Bertentangan dengan konsep ini, konsep konsumen merupakan subjek yang tidak bernegara, tidak berakar, yang segala aktivitasnya terdiri dari tindakan memilih dan membeli dalam suatu pasar di mana produk dari semua negara berdesak-desakan untuk mendapatkan tempatnya di rak (Hilmes, 2004). Demokrasi sejati membutuhkan sebuah sistem berupa interaksi terus menerus dengan semua warga negara tanpa terkecuali. Dalam gagasan ideal ini, semua warga negara adalah setara: suatu kesepahaman yang tidak membeda-bedakan pihak satu dengan pihak lain, di mana mereka berbagi identitas yang sama dan memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Gagasan mengenai demokrasi ini sebenarnya tercermin dalam gagasan nasionalitas. Dalam Politik (bagian 1261a16-25), Aristoteles secara jelas menekankan pentingnya pengakuan keberagaman dan kesetaraan dari setiap anggota polis, karena keberpihakan pada individu (homogenitas) hanya akan menghasilkan tirani.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
13
Namun jelaslah bahwa sebuah negara yang makin lama makin menjadi satu pada akhirnya bukan lagi merupakan negara. Negara menurut kodratnya adalah sebuah kemajemukan. … Di samping itu negara tidak hanya terdiri dari banyak manusia, melainkan pula dari orang-orang yang berbedabeda jenisnya. Negara tak dapat terjadi dari orang-orang yang sama sekali sama (Aristoteles, Politik, 1261a16-25). Aristoteles menyiratkan bahwa keberagaman individu dalam suatu proses politik telah ditanamkan dalam konsep kewarganegaraan. Konsep ini berasumsi bahwa setiap individu, yang berbeda-beda dalam keunikannya, memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Dengan memberikan setiap warga negara hak dan partisipasi yang samalah, proses pembuatan kebijakan publik dapat terlaksana. Selain itu, konsep partisipasi publik merupakan fondasi demokrasi. Alexis Tocqueville dalam De la democratie en Amrique (1835 (2010)) menggambarkan hal ini: “kesetaraan kondisi sosial” merupakan semangat/ dasar dari demokrasi. Karena secara alamiah manusia adalah makhluk yang tidak cukup-diri (tidak autarkis; tidak dapat menghidupi diri sendiri), mereka berbeda satu dengan lainnya dan untuk itulah saling membutuhkan satu sama lain; manusia perlu untuk berkomunikasi untuk proses pengungkapan diri dan pemenuhan kebutuhan (Aristoteles, 1944, bagian 1261a16-25). Komunikasi merupakan proses pengungkapan diri terhadap individu berbeda.14 Demikian dari sudut pandang ini, komunikasi mengandaikan dan menjadi aspek utama keberagaman. Berkaitan dengan pandangan ini, Habermas juga mengajukan pentingnya komunikasi dalam negara modern kontemporer, baik dalam sistem politik maupun ruang publik. Ranah publik sebagai ruang bagi wacana publik untuk menghasilkan opini publik dan aspirasi berarti membentuk kontrol tidak langsung bagi pihak pemerintah. Dengan cara yang sama, opini dan aspirasi sebagai partisipasi publik juga disalurkan melalui perwakilan warga. Persis dalam kerangka inilah media juga dapat memainkan peran signifikan dalam menyalurkan aspirasi publik. Dalam kaitannya dengan Aristoteles dan Habermas, sangatlah penting bagi setiap warga negara untuk mendapatkan akses yang layak kepada media. Tanpa keterlibatan setiap warga negara dalam menggunakan haknya atau berpartisipasi penuh dalam proses demokrasi, ideologi kebangsaan tidak lagi memiliki arti. Hak warga negara terhadap media adalah ‘hak yang memungkinkan’ (enabling rights) karena hak ini memiliki kesanggupan untuk memastikan bahwa hak-hak dasar yang lain tersedia dan terlindungi dengan baik. Dengan menjamin akses yang layak kepada media, warga negara akan memiliki kesempatan untuk membentuk pengetahuan dan kebudayaan, dan karenanya dapat memperkaya kebudayaan, komunikasi, dan demokrasi secara utuh. Untuk itulah, perlindungan bagi hak warga negara terhadap media yang akan memungkinkan terwujudnya seluruh dambaan ini menjadi sangat penting. Adapun tantangan yang kini dihadapi dewasa ini adalah bahwa kepentingan yang tertanam dalam media industri telah memperlakukan gagasan penciptaan konten secara partisipatif (bottom up) dan penyediaan akses yang setara sebagai ancaman, alih-alih sebagai suatu bagian yang melengkapi demokrasi dan kebudayaan modern. Pendekatan neoliberal secara terbuka semacam ini bahkan telah menggarisbawahi bahwa media adalah bagian dari sistem pasar. Dari sudut pandang ini, output dari media adalah komoditas. Dinamika media pun lantas terjerembab ke dalam hukum pasar. Pengecualian memang selalu ada, namun gejala utama tidak lagi dapat disembunyikan. Lebih lanjut, dengan menggunakan logika pasar, audiens – sebagai kumpulan konsumen – menjadi objek individualisasi di mana pasar dapat mengkapitalisasikan perbedaan kelas, gender, umur, cita rasa, dan lain sebagainya, untuk keperluan diferensiasi dan segmentasi. Dalam pandangan konsumerisme inilah, para audiens memiliki ruang yang sangat terbatas untuk berekspresi. Sementara secara ideal warga negara dapat mengakses setiap aspek kehidupan budaya, sosial, politik, dan ekonomi; konsumen hanya dapat menemukan ekspresi mereka dalam pasar. Karena itu, ketika media dijalankan dengan menggunakan logika bisnis semata, dan lantas membuat informasi melulu sebagai komoditas serta mengkapitalisasikan konten; kondisi ini akan membawa pengaruh buruk pada partisipasi publik. Kondisi yang demikian dapat menegasi pemberdayaan audiens sebagai warga negara karena hak budaya, politik, hukum, sosial, dan ekonomi mereka terabaikan. 14 Aristoteles menekankan pentingnya komunikasi (dalam konteks ini, pidato) tidak hanya sebagai alat untuk bertahan hidup (sebagaimana ditegaskan oleh Plato) tetapi juga sebagai alat untuk mengerti satu sama lain dan untuk memiliki wacana-wacana yang sehat dalam rangka mencapai/membentuk hidup bersama (Aristotle, section 1253) 14
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Perlindungan hak warga negara mengasumsikan dan membutuhkan dua hal. Pertama, pada level individu dan komunitas, warga negara perlu memahami kemampuan media dan fakta bahwa media dapat mendorong perubahan kebudayaan. Dengan kata lain, warga dan komunitas perlu diberi peningkatan kapasitas dan pemberdayaan untuk tidak hanya menggunakan, tetapi juga menciptakan konten pada media. Kedua, dalam tataran kebijakan dan tata kelola, yakni akses layak terhadap media – baik dalam artian infrastruktur maupun konten – perlu untuk disediakan dan dijaga. Karenanya, perlindungan hak-hak warga negara kepada media juga membutuhkan peran dari pihak pemerintah. Berbicara tentang hak terhadap media merupakan isu yang menarik jika kita memasukkan wacana tentang ‘kebebasan’. Dengan menggunakan bahasa sistem pasar, ‘kebebasan’ berarti kebebasan untuk memilih sesuai dengan cita rasa perorangan, atau ‘preferensi’ dalam terminologi ekonomi: eligo ergo sum - saya memilih, maka saya ada (Wolfson, 1994). Jika kita berhenti di sini, hal tersebut terdengar sangat elok. Kendati demikian, pendekatan neoliberal semacam ini cenderung menggerus makna preferensi hanya sebatas daya beli. Orang tidak akan memiliki kebebasan untuk memilih ketika mereka tidak memiliki daya beli. Dan bagaimanakah kita memiliki daya beli jika tidak memiliki wadahnya? Hak mengandaikan kebebasan. Kebebasan sebagai otonomi, yaitu kemampuan untuk mengatur diri sendiri, merupakan fondasi dari hak (Beiser, 2005, hal.197). Jika seseorang memiliki hak, itu berarti dia memiliki kebebasan tertentu atas hal tersebut. Namun demikian, dalam kaitannya dengan hak warga negara terhadap media, apakah benar bahwa warga negara bebas untuk memilih dan mengakses informasi? Ataukah sebaliknya, di mana warga negara hanya memiliki pilihan yang amat terbatas dan memilih di antara apa yang telah disediakan saja? Ketika warga negara disuguhkan pada beragam pilihan bebas, yang terjadi adalah pilihan. Pilihan tersebut dibuat dari kekosongan dan jenis yang sama, karenanya, yang disebut sebagai ‘hak untuk memilih’ sesungguhnya merupakan terminologi formal belaka, melainkan tanpa isi.
2.4. Gagasan Hak Warga Negara terhadap Media: Tiga Area Ide mengenai hak warga negara selalu disepakati oleh segenap pemangku kepentingan dalam ranah media. Hal ini mirip dengan gagasan partisipasi warga negara. Partisipasi dari yang diperintah dalam lingkup pemerintahan adalah, dalam teorinya, landasan demokrasi – suatu ide yang dihormati dan dirayakan oleh semua orang (Arnstein, 1969). Hak warga negara terhadap informasi, di sisi lain, hanyalah salah satu aspek dari keseluruhan isu hak warga negara terhadap media yang perlu untuk dipenuhi (Joseph, 2005). Media memiliki tugas untuk melindungi dan memungkinkan warga negara untuk menikmati hak-hak mereka dengan mempertahankan karakter publiknya dan menyediakan ruang untuk keterlibatan sipil. Hak di sini mengacu kepada rumusan DUHAM15 – sejalan dengan pandangan aktivis yang menggunakan Artikel 19 DUHAM16 dalam membela hak bermedia, terutama terkait institusi pers dan profesi jurnalis. Kami berpendapat bahwa hal yang paling penting diperhatikan saat ini adalah bagaimana melindungi warga negara yang memiliki kebebasan terbatas terhadap media. Kami berpandangan bahwa akses warga negara terhadap ranah media merupakan cara untuk memperbaiki hak bermedia. Dengan mengajukan ‘akses’, kami menggarisbawahi elemen utama yang mendefinisikan kewarganegaraan – daripada konsumen/pelanggan – dalam studi media. Karenanya, perhatian kami berpusat pada gagasan mengenai ‘hak warga negara’ dalam tiga area berikut17: Pertama: Akses warga negara terhadap informasi. Akses terhadap informasi memampukan kelompok yang paling rentan sekalipun untuk terlibat dalam pembangunan manusia dan memiliki 15 Lihat http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml. 16 Artikel 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menuliskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). 17 Tiga dimensi ini sebagian besar didasarkan pada kerangka proyek penelitian ini, sebagaimana tertuang dalam proposal dan Kerangka Acuan. Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
15
potensi untuk mengubah hidupnya. Dalam hal ini, ada dua aspek hak yang terlibat: 1) akses terhadap informasi yang terpercaya, dan 2) kemampuan untuk menghasilkan informasi. Tanpa informasi yang spesifik mengenai, misalnya, hak atas kesehatan, perumahan, dan pekerjaan, warga negara tidak akan mampu menjalankan/menikmati hak-haknya tersebut. Hal ini juga dapat dilihat sebagai kesempatan untuk memberdayakan warga negara – tidak terbatas kepada kelompok rentan saja – bahwa informasi yang terpercaya dapat membantu warga negara dalam membuat keputusan yang tepat terkait kehidupan mereka sendiri atau untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan kewarganegaraan mereka. Demikian pula halnya dengan hak warga negara untuk menghasilkan informasi. Hak tersebut harus dilindungi karena mampu membuat mereka menciptakan konten yang dapat dibagi antar sesama warga untuk kepentingan pemberdayaan diri. Seringkali, penciptaan konten dari pengguna yang bersifat bottom-up (bawah ke atas) mengarah kepada penciptaan informasi terpercaya dari bawah ke atas pula. Kendati demikian, akses terhadap hal ini juga mengandaikan akses yang lain, yakni akses ke infrastruktur yang mendukung penciptaan konten. Kedua: Akses warga negara terhadap infrastruktur media. Akses terhadap media bagi warga negara membutuhkan dan mengandaikan kesempatan dan akses yang setara pada infrastruktur. Dalam konteks Indonesia, sebagian besar infrastruktur media dan telekomunikasi tidak tersebar secara merata. Radio memang telah menjangkau sebagian besar wilayah negara, disusul oleh televisi (terutama yang dikelola oleh negara), namun kualitas infrastruktur media, khususnya dan terutama kabel kecepatan tinggi untuk mengakses internet, hanya terkonsentrasi di Jawa, Bali, serta bagian barat Indonesia. Dengan kemajuan konten yang tersedia di dalam media berbasis internet, di mana konten dihasilkan oleh pengguna, situasi ini menghambat kapasitas warga negara dalam memproduksi dan menyalurkan konten yang mereka buat (Nugroho, 2011). Ketiga: Akses warga negara untuk andil dalam perumusan kerangka kebijakan. Kebijakan publik, dan kerangka perundangan secara umum, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan warga. Namun demikian, warga negara yang tidak melek informasi dan tidak memiliki kapasitas lantas tidak dapat berpartisipasi dalam proses penting ini – suatu hal yang acap kali terjadi di Indonesia. Pemberdayaan masyarakat karenanya adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar, guna memastikan partisipasi mereka dalam proses perumusan kebijakan, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak mereka, dan dalam hal ini hak-hak yang berhubungan dengan media. Pemenuhan ketiga hak di atas merupakan gagasan sentral dalam masyarakat modern yang kehidupannya sebagian besar bergantung kepada berbagai jenis media. Pemenuhan hak-hak ini penting dalam pemberdayaan individu dan komunitas tertentu sehingga mereka dapat memperoleh peran yang lebih besar dalam masyarakat. Melalui penciptaan, penyebaran, dan berbagi informasi dan pengetahuan, masing-masing individu, komunitas, atau masyarakat dapat membangun dan memberdayakan diri mereka sendiri. Untuk memanfaatkan kesempatan ini, diperlukan keterbukaan dan kemampuan untuk merangkul dan merefleksikan sejumlah sudut pandang dan realitas yang berbeda, tetapi pada saat yang bersamaan juga menyediakan kesempatan belajar bagi kita semua (Samassekou, 2006). Pemenuhan hak warga negara terhadap media juga mampu memperkuat inti dari hak asasi manusia itu sendiri, di mana martabat, integritas, dan kerentanan dari masing-masing individu dipertimbangkan dengan seksama. Karenanya, jika kita memenuhi hak terhadap media, maka dalam waktu yang hampir bersamaan kita pun merayakan eksistensi dan hak-hak manusia: hak untuk memiliki standar kehidupan yang layak dan hidup dalam kebebasan, tanpa kelaparan, kekerasan, atau penderitaan. Demikian pula halnya dengan hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat, untuk menyuarakan opini dan terbebas dari kesewenang-wenangan oleh negara atau kelompok tertentu. Dalam konteks Indonesia, di mana pengabaian terhadap isu hak asasi manusia ini masih terjadi, diperkenalkannya hak warga negara terhadap media ini merupakan gerbang untuk memperbaiki penerapan hak lainnya, seperti hak ekonomi dan politik. Namun demikian, pemberlakuan hak terhadap media ini masih sangat rendah bagi kelompok rentan. Penelitian kami sebelumnya mengungkapkan bahwa kelompok rentan – dalam hal ini Ahmadiyah, komunitas difabel, LGBT, dan wanita dan anak-anak – terus menerus direpresentasikan secara keliru di dalam media. Selain itu, mereka memiliki akses yang terbatas terhadap penciptaan konten sendiri (Nugroho, Nugraha, dkk, 2012). Untuk itulah, jika kita mengakui akses terhadap media sebagai kondisi penting untuk pembangunan dan partisipasi demokrasi – dan untuk memberlakukan kebebasan berekspresi – maka suatu hal yang masuk akal untuk berpendapat bahwa negara berkewajiban untuk menyediakan dan melindungi akses warganya terhadap informasi 16
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
dalam media (Jorgensen, 2006). Pengabaian hak warga negara terhadap media akan memiliki dampak yang besar, bukan hanya kepada proses demokratisasi, tetapi juga kepada kehidupan setiap warga negara.
2.5. Menjamin Hak terhadap Media, Melindungi Hidup Bersama Media ada untuk menciptakan atau menemukan kemungkinan bagi kemajuan hidup bersama. Sebagai elemen utama dari perkembangan masyarakat, media perlu memberikan ruang kepada publik untuk berinteraksi dengan bebas dan terlibat dalam masalah-masalah publik di ranah publik (Habermas, 1987, Habermas, 1984). Dalam konteks negara demokrasi baru seperti Indonesia, media terbukti memiliki peran penting, yakni sebagai ‘Fourth Estate’ atau Pilar Keempat(Carlyle, 1840:392, Schultz, 1998:49). Media diberikan mandat untuk menjalankan aktivitasnya dengan mengikuti ideal ini. Namun, perkembangan industri media yang berorientasi pada logika pasar dalam beberapa hal telah berperan dalam mengubah karakter ruang publik. Ketiadaan kebijakan tentang media yang seharusnya mampu mengatur industri media membuat situasi ini bertambah runyam. Meskipun masalah ini telah diangkat, kami berpendapat bahwa media telah semakin berkurang perannya dalam memberadabkan masyarakat melalui progamnya dan hal ini dapat berdampak serius bagi hak warga negara terhadap infrastuktur media, konten, dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan. Karena hampir tidak mungkin untuk menemukan media independen yang bebas dari pengaruh kepentingan kelompok, ekonomi dan politik inilah, maka khususnya bagi kelompok minoritas dan kelompok rentan – yang sayangnya dipandang sebelah mata oleh kelompok mayoritas – akan menghadapi tantangan yang berat untuk menyalurkan suaranya di ranah publik. Kondisi semacam ini berarti kepentingan kelompok minoritas atau suara dari bawah (Habermas, 1989) tidak dapat terwakilkan dengan semestinya. Selain itu, bagi kelompok warga negara semacam ini, ruang untuk berpartisipasi penuh dalam proses perumusan kebijakan yang penting pun tidak tersedia. Kondisi ini pada akhirnya akan berbahaya tidak hanya bagi proses demokrasi, tetapi juga bagi pelaksanaan hak warga negara, dalam kehidupan politik maupun sehari-hari. Karena media cenderung untuk memprioritaskan kepentingan tertentu di atas kepentingan publik, diskursus terkait persoalan publik ini seringkali diletakkan dalam daftar paling bawah. Situasi ini mengancam pelaksanaan hak warga negara karena mereka kehilangan ruang untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan wacana yang terkait erat dengan hidup mereka. Sebagaimana konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan media berkembang pesat, sepertinya tidak ada tindakan dari pemerintah untuk melindungi fungsi media sebagai penyedia ruang diskursus publik. Pemerintah benar-benar berperan minimal untuk menyediakan mekanisme yang layak demi memastikan terpenuhinya hak warga negara. Terkait hal ini, sosiolog T.H Marshall mengungkapkan definisi menarik mengenai kewarganegaraan: Status, yang dimiliki oleh seseorang sebagai anggota penuh dari sebuah komunitas bangsa. Kewarganegaraan memiliki tiga komponen: sipil, politis, dan sosial. Hak sipil penting bagi kebebasan individu dan tertanam di dalam hukum peradilan. Kewarganegaraan politis menjamin hak untuk berpartisipasi dalam penggunaan kekuasaan politis dalam masyarakat, baik melalui pemilihan, atau memegang jabatan pemerintahan. Kewarganegaraan sosial adalah hak untuk berpartisipasi dalam standar kehidupan yang layak; hak ini tertanam dalam sistem kesejahteraan dan pendidikan pada masyarakat modern (Marshall, 1994: 54). Definisi Marshall tersebut mengindikasikan bahwa seorang individu dapat berstatus sebagai warga negara hanya apabila ia diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses demokratis di komunitas/masyarakatnya. Berdasarkan gagasan tersebut, menghilangkan hak terhadap media dari seorang individu atau kelompok dapat dikategorikan sebagai upaya penghilangan atau penolakan sebuah elemen kewarganegaraan yang ia/mereka miliki. Dalam masyarakat yang berbudaya, pemenuhan hak terhadap media ini merupakan hal yang penting untuk melindungi masyarakat itu sendiri, karena akses terhadap informasi (yang saluran utamanya adalah media) merupakan hal yang esensial bagi penentuan nasib sendiri, partisipasi sosial dan politik, serta untuk pembangunan (Samassekou, 2006). Karena hal inilah kita dapat mengatakan bahwa hak asasi manusia, demokrasi, Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
17
dan pertumbuhan saling berkaitan satu sama lainnya. Penghilangan salah satu hak tersebut akan berakibat kepada pendangkalan dan pencemaran warga. Melanjutkan gagasan bahwa dalam demokrasi dan peradaban hak terhadap media merupakan aset penting bagi masyarakat sipil (Joseph, 2005), perlindungan/ jaminan terhadap hak warga negara terhadap media merupakan salah satu cara untuk melindungi peradaban itu sendiri. Namun demikian, keseluruhan gagasan ini terancam keberadaannya karena industri media cenderung menempatkan audiens melulu sebagai konsumen daripada sebagai warga negara yang memiliki hak. Karena demokrasi yang sejati menuntut suatu sistem berupa interaksi berkesinambungan dengan seluruh warganya tanpa kecuali, aksesibilitas di semua strata, etos publik di mana ide yang saling bertolak belakang dapat didiskusikan, dan yang dapat menyediakan partisipasi penuh di semua aspek; maka perlindungan hak terhadap media seharusnya mampu mewujudkan semua cita-cita itu, dan hal ini seharusnya menjadi prioritas utama. Karenanya, kita perlu waspada ketika cerminan dari bentuk partisipasi penuh warga negara ini tidak hadir di dalam media. Dalam kasus Indonesia, ketika wajah keseragaman – terutama yang dibangun dari mekanisme rating yang dangkal – telah menggantikan wajah keberagaman, baik itu di media cetak, layar televisi ataupun media lainnya, maka sesungguhnya gagasan Bhinneka Tunggal Ika perlahan telah memudar. Tanpa adanya warga negara yang mampu menjalankan haknya untuk berpartisipasi penuh dalam proses demokrasi, ideologi kebangsaan pun tidak lagi memiliki makna.
18
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
3. Mengupas Penentuan Konten dan Cara Kerja Media: Metode dan Data “Untuk beberapa media yang mencoba untuk berada di jalur yang benar itu sudah ada tapi itu hanya sedikit, sangat sedikit. Sisanya biasanya rating-driven. Ibaratnya TV-TV berbasis berita sedang sidang di DPR membahas Panja (Panitia Kerja) Century, tapi itu hanya seksi untuk orang tertentu untuk level tertentu, untuk market tertentu, sementara ada market yang jauh lebih besar melihat itu sebagai hal yang membosankan. Akhirnya TV-TV berbasis berita cuma sekedar menayangkannya sebagai suplemen. Karena walaupun itu menyangkut hajat orang seluruh Indonesia – karena duit trilyunan dibawa lari orang itu kan harus dipertanggung jawabkan karena itu kan duit semua orang Indonesia – tapi itu nggak seksi buat banyak orang karena membosankan dan orang nggak ngerti. Jatuhnya beritanya cuma sedikit, yang dibanyakin adalah berita yang gambar-gambarnya heboh, sensasional, pukul-pukulan lah, bentrokan lah, karena semuanya rating-driven. Dan memang benar yang seperti itu ratingnya tinggi sekali.” (S. Syarief, Executive Producer Kompas TV, Interview, 08/01/2013) (Wawancara dengan S.Syarief, Eksekutif Produser Kompas TV, 08/01/2013)
Penelitian ini mempelajari tentang konten media di Indonesia dan cara kerja internal perusahaan media dan faktor apa yang mempengaruhinya. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konten televisi di Indonesia, dan faktor yang berpengaruh dalam produksi konten di dalam media dan bagaimana hal ini mempengaruhi warga negara. Kami merancang metodologi yang terperinci namun praktis, yang dapat membantu mencari data yang valid guna menyediakan gambaran tentang konten media yang menyeluruh, mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi proses produksi media, serta membangun penjelasan konseptual. Penggunaan beragam instrumen pengumpulan data juga tidak dapat dihindari untuk membangun pendekatan penelitian yang sesuai untuk menjawab kompleksitas cara kerja media. Kami menjabarkan strategi penelitian secara singkat dalam paragraf-paragraf berikut.
3.1. Pendekatan dan Metodologi Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa pendekatan metodologis untuk membuka tabir kedalaman dan luasnya konten media dalam konteks cara kerja media. Metode kuantitatif melalui analisis konten digunakan untuk menganalisis gagasan mengenai keberagaman konten dan hal tersebut menunjukkan luasnya area penelitian ini. Di samping itu, metode kualitatif kami gunakan untuk memeriksa kerja media di belakang meja produksi konten serta faktor-faktor yang mempengaruhi produksi konten tersebut. Pada saat yang bersamaan, metodologi kualitatif akan menunjukkan kedalaman penelitian ini.
3.1.1 Pendekatan Kuantitatif Melalui Analisis Konten Metodologi analisis konten digunakan dalam penelitian ini untuk menyelidiki sekumpulan konteks yang dapat memenuhi konsep keberagaman dan keterwakilan warga negara di dalam media, dengan mengambil contoh televisi. Analisis konten merupakan metodologi penelitian yang menggunakan Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
21
penelitian konten yang dapat diandalkan – dalam hal ini program televisi – sebagai data (Weber, 1990, Krippendorff, 2012). Analisis konten digunakan baik dalam pendekatan kualitatif (sebagai contohnya Miles dan Huberman, 1984, Hsieh dan Shannon, 2005, Elo dan Kyngas, 2008, Schrier, 2012), maupun pendekatan kuantitatif (mengacu kepada Berelson, 1952, Neuendorf, 2001). Dalam penelitian ini, kami menggunakan pendekatan kuantitatif untuk membuka proporsi statistik dari setiap variabel sebagai proksi yang membantu menggambarkan struktur konten media. Hal ini akan menjadi alat utama untuk membedah masalah keberimbangan wartawan dalam meliput isu kewarganegaraan. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjembatani tujuan tertentu dari metode ini bagi keseluruhan penelitian, misalnya untuk mengungkap konteks keterwakilan dalam media. Dengan demikian, diharapkan hal ini dapat tercermin dalam kekayaan data. Dengan mengambil contoh program televisi di 10 saluran TV swasta di Indondesia, kami merekam seluruh siaran selama 30 hari dari 11 September 2012 sampai 10 October 2012. Adapun 10 saluran yang kami pilih untuk diamati adalah ANTV, Global TV, Indosiar, MetroTV, MNC TV, RCTI, SCTV, Trans 7, Trans TV, dan TV One. Saluran-saluran ini dipilih dengan seksama karena semuanya merupakan kelompok terbesar yang menguasai mayoritas pemirsa di Indonesia (Nielsen (2010) sebagaimana dikutip oleh Ensemble Consulting, 2010) dan karenanya mereka mengontrol wacana publik. Kami memutuskan untuk tidak mengikutsertakan TVRI yang merupakan badan siaran milik pemerintah karena karakternya sangat berbeda dengan kesepuluh stasiun TV lainnya dan kurang memberikan pengaruh kepada publik sehingga tidak mampu menyediakan landasan kontekstual yang cukup kuat untuk mewakili media di Indonesia. Setelah memperhitungkan error dan kesalahan teknis pada saat merekam siaran televisi tersebut, kami mengobservasi program dengan total durasi 4,080 jam dan 47 menit. Kami membagi konten dengan berdasar pada unit program18 di mana satu unit terdiri dari suatu siklus cerita yang berisi prinsip umum 5W1H - Who, What, When, Where, Why, How (siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana). Kemudian, kami baru menganalisis pesan yang digambarkan melalui unit-unit yang terpisah ini, yang hasilnya adalah suatu angka total unit yang diobservasi yaitu sejumlah 12.694 unit. Dengan bantuan pengkode dari Remotivi, kami dapat memberikan gambaran tentang setiap unit yang nantinya akan menjadi dasar klasifikasi pengkodean. Mekanisme ini merupakan dasar operasi yang membantu kami menganalisis konten media. Dengan mekanisme seperti itulah, kami ingin melihat keberagaman pada konten media di Indonesia melalui kacamata kewarganegaraan, di mana keberagaraman diartikan sebagai tingkat heterogenitas konten di satu atau lebih karakteristik khusus. Keberagaman pasokan berita di media, misalnya, dapat diukur melalui distribusi atensi di seluruh kategori berita, sikap politik, aliran baru, fokus budaya, dan lain sebagainya (Cuilenburg, 1999). Berangkat dari pemahaman ini, pengukuran kami terhadap kewarganegaraan dinilai melalui tujuh variabel yaitu: area geografis, orientasi keagamaan, kelompok etnis, peran yang dimainkan di masyarakat, strata akses kepada infrastruktur, kelompok difabel serta orientasi seksual. Ketujuh variabel di atas dibangun berdasarkan pencarian yang sangat ketat akan gagasan identitas. Pengkategorian yang mendetail ini penting dalam memahami arti sesungguhnya dari keberagaman dan keterwakilan, di mana konstruksi identitas seseorang disimbolkan oleh kualitas yang ada pada dirinya dan bagaimana mereka bekerja sama dalam masyarakat. Dengan latar belakang warga yang memiliki budaya yang majemuk, spektrum identitas yang beragam ini pulalah yang idealnya digambarkan oleh media yang mendukung keragaman yang setara dan terbuka. Sebagaimana dikatakan oleh Kymlicka dan Norman (2000): Kekuatan dan stabilitas demokrasi modern tidak hanya tergantung kepada keadilan institusinya, tetapi juga kualitas dan perilaku warganya: misalnya, bagaimana mereka memaknai identitas mereka, atau melihat identitas nasional, regional, etnis, atau agama yang berpotensi saling bersaing satu sama lain; kemampuan mereka untuk mentoleransi dan bekerja sama dengan orang yang berbeda dari diri mereka; keinginan mereka untuk
18 Unit adalah keseluruhan yang dianggap istimewa dan menarik oleh analis, dan merupakan elemen yang independen/mandiri (Krippendorff, 2012) 22
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
berpatisipasi dalam proses politik untuk mendukung kepentingan publik dan memegang akuntabilitas dari otoritas politik; keinginan mereka untuk menunjukkan kemampuan mereka untuk menahan diri dan menjalankan tanggung jawab politik dalam tuntutan ekonomi mereka, dan dalam pilihan-pilihan pribadi yang mereka buat yang mempengaruhi kesehatan mereka dan lingkungan; serta rasa keadilan dan komitmen mereka terhadap pemerataan sumber daya alam.
Selain mengukur kewarganegaraan, kami juga menggunakan kerangka kerja kedua yang mengukur konsumerisme dengan mengamati enam kategori, yaitu korupsi, selebriti dan gaya hidup, terorisme, kekerasan dan kriminalitas, takhayul dan kecelakaan serta bencana alam. Ukuran konsumerisme tidak menggambarkan gagasan identitas, tetapi menjelaskan karakteristik televisi yang memanfaatkan dorongan menjadi hal yang mudah menyebar, ketika melaporkan konten. Pentingnya pengelompokkan konten berdasarkan nilai-nilai konsumerisme menjadi relevan ketika kita menilik konten media Indonesia di mana industri tunduk pada sistem rating. Kategorisasi variabel kewarganegaraan (dan selanjutnya konsumerisme) akan diterangkan secara singkat sebagai berikut.
Konteks Geografis Sebagai salah satu bagian penting dari identitas, kami memasukkan proksi konteks geografis dalam analisis kami. Hal ini akan membantu memahami bagaimana kemajuan sosial ekonomi diwakilkan oleh media melalui liputannya tentang masing-masing provinsi. Kami membagi kategori ini menjadi 34 provinsi di Indonesia, yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepualauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.19 Kami juga mengelompokkan provinsi-provinsi ini sesuai dengan pulaunya masing-masing yakni, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali dan Nusa Tenggara, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Maluku, dan Pulau Papua. Untuk memberikan sudut pandang yang lebih baik mengenai bagaimana konten program televisi terkonsentrasi di ibukota dan area sekitarnya, kami juga mengelompokkan kota-kota satelit Jakarta dan memberikan proksinya sendiri, yaitu daerah Jabodetabek yang terdiri dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Konten yang mewakili isu nasional juga kami pisahkan tersendiri (Silakan lihat apendiks 3.1).
Orientasi Keagamaan Kami membagi orientasi keagamaan menjadi 13 sub-variabel. Sub-variabel ini terdiri dari 6 agama resmi yang diakui oleh Pemerintah Indonesia (Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu), ditambah ateis dan agnostik. Untuk lebih dalam menerima gagasan mayoritas dan minoritas, kami juga memasukkan kelompok keagamaan khusus dalam penelitian ini, dengan ikut menghitung Islam Sunni, Islam Syiah, Islam Ahmadiyah, dan Adven sebagai kelompok yang berbeda dari kelompok agama induknya (silakan lihat apendiks 3.1).
Pengelompokan Etnis Dari ribuan etnis/sub-etnis yang ada di Indonesia (Suryadinata, Arifin, dkk, 2003), kami memutuskan hanya memasukkan 21 kelompok etnis, di mana 11 kelompok teratas mengacu kepada klasifikasi 19 Masuknya Kalimantan Utara didasarkan pada UU No. 20/2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/10/121025_kalimantanutara.shtml Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
23
Suryadinata (Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Batak, Minangkabau, Betawi, Bugis, Banten, Banjar, dan Bali). Sepuluh kelompok lainnya dibentuk dan ditambahkan sebagai proses pengkodean, sebagai indikasi kelompok-kelompok yang sering diliput di media dan muncul di lebih dari satu program televisi (Cina, Aceh, Amungme, Sasak, Ambon, Talang Mamak, Dayak, Monesogo, Anak Dalam dan Dani). Ada beberapa kelompok etnis lainnya yang juga kami amati, tetapi karena kemunculan mereka hanya di satu program eksklusif saja selama periode pengambilan contoh ini, kami mengkategorikan mereka sebagai kelompok terasih. Dalam kategori ini termasuk juga Suku Toraja, Togutil, Bajo, Abui, Lom, Bena, Samawa, Hoaulu, Baiboklo, Bercu, Rimba, Deri, Manggarai, Sabu, Sawang, Banibani, dan Sambori (silakan lihat apendiks 3.1.).
Peran Sosial Kami memberikan perhatian besar terhadap identitas dan peran warga negara di dalam masyarakat. Kami berusaha untuk melakukan hal ini dengan mengkategorikan konten berdasarkan penggambaran peran perempuan, anak-anak di bawah umur, dan pelajar dan pemuda, Kami menggunakan klasifikasi konten ini di bawah kategori anak-anak ketika konten yang ada diasosiasikan dengan anak-anak/remaja berumur 16 tahun ke bawah. Sebaliknya, jika konten yang ada berfokus kepada kelompok umur 16 sampai 30 tahun, maka kami akan memasukkan golongan ini ke dalam kategori pelajar dan pemuda.20 Partisipasi kelompok ini dalam kehidupan publik tidak terelakkan; demikian pula halnya dengan upaya kami dalam menilai identitas mereka sebagaimana tercermin di media (silakan lihat lampiran 3.1.).
Akses kepada Infrastruktur Ketika kami mendefinisikan kewarganegaraan melalui kacamata identitas, kami juga bermaksud untuk mengetengahkan permasalahan kemiskinan yang mendefinisikan seseorang dalam masyarakat. Dikutip dari perjanjian United Nations World Summit for Social Development (WSSD) tahun 1995 di Copenhagen, Denmark: Kmiskinan memiliki berbagai manifestasi, termasuk kekurangan pendapatan dan sumber daya produktif untuk menjamin keberlangsungan kehidupan; kelaparan dan kurang gizi; buruknya kondisi kesehatan; keterbatasan atau ketiadaan akses kepada pendidikan dan kebutuhan dasar lainnya; peningkatan angka kematian karena sakit; tuna wisma dan kurangnya fasilitas perumahan; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan eksklusi sosial. Hal ini juga tercermin pada kurangnya partisipasi dalam proses perumusan kebijakan, maupun partisipasi dalam kehidupan sipil, sosial, dan kebudayaan (UNWSSD, 1995). Dengan gagasan bahwa rendahnya akses kepada infrastruktur, kami akan mengukur pengaruh kemiskinan dalam tiga sub-kategori. Pertama adalah rendahnya akses infrastruktur ekonomi yang tercermin dalam rendahnya daya beli. Kedua adalah rendahnya akses infrastruktur politik, yang tercermin dalam bentuk rendahnya tingkat partisipasi dalam pembuatan keputusan bersama, seperti contohnya dalam mempengaruhi kebijakan publik. Ketiga, kemiskinan juga tercermin dalam rendahnya tingkat aksesibilitas kepada infrastruktur sosial/budaya, yang berarti kurangnya kemampuan mempengaruhi/membentuk konten sosial/ budaya. Ketiga ketiga defisiensi ini muncul dalam analisis konten, maka kami dapat menjawab pertanyaan seputar kemiskinan dalam kaitannya dengan identitas warga negara (silakan lihat lampiran 3.1.).
20 Gagasan pemuda disini didasarkan pada UU No. 40/2009 tentang Kepemudaan http://www.kemendagri. go.id/produk-hukum/2009/10/14/undang-undang-no-40-tahun-2009, yang mengklasifikasi mereka yang berumur 16-30 tahun sebagai pemuda. Situs terakhir diakses pada tanggal 13 April 2013. 24
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Kelompok Difabel Kami membagi kelompok difabel menjadi tiga sub-variabel, dengan mengklasifikasikannya sebagai kelompok dengan keterbelakangan mental saja, kelompok dengan ketidakmampuan fisik saja, serta kelompok dengan keterbelakangan mental dan memiliki ketidakmampuan fisik (silakan lihat lampiran 3.1.).
Orientasi Seksual Kami berfokus pada konten di luar heteroseksual, dan karenanya pada bagian ini kami memiliki lima subvariabel, termasuk homoseksual, biseksual, dan transgender. Kami pun menyediakan pengelompokan tersendiri untuk konten mengenai lesbian dan gay. Adapun tujuan untuk memasukkan variabel ini adalah untuk menilai seberapa beragam dan representatif media kita ketika meliput mengenai orientasi seksual warga negara yang amat beragam ini (silakan lihat lampiran 3.1.). Kami juga mengamati melalui beberapa pengukuran konsumerisme. Hal ini akan mengaitkan hubungan antara kerangka kerja kami tentang kewarganegaraan dengan rating Nielsen. Kami juga ingin mengetahui bagaimana variabel-variabel yang ada dimasukkan ke dalam konten, dan apakah hal tersebut mengandung pesan moral yang lebih menjual bagi penonton. Proksi konsumerisme kami adalah konten yang berisi baik kasus korupsi atau terorisme; dan juga hal-hal yang diasosiasikan dengan konten berkarakter selebritas dan gaya hidup (pemenuhan kebutuhan tersier), kekerasan dan kriminalitas, kecelakaan dan bencana alam, serta takhayul. Hal ini akan menggambarkan dengan baik korelasi distribusi konten secara keseluruhan (silakan lihat lampiran 3.1.).
3.1.2. Pendekatan Kualitatif Terkait dengan tujuan kami untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi cara kerja media di Indonesia dan mengungkap proses produksi di dalamnya, kami melihat bahwa pendekatan kualitatif yang interpretif (Denzin dan Lincoln, 1994) adalah metode yang paling sesuai. Sebagaimana penelitan Cassell dan Symon (2004), melalui pendekatan ini kami dapat berfokus pada proses, mekanisme, dan detail kerja media untuk mengungkap informasi. Selain itu, kami bertujuan untuk menawarkan beberapa penjelasan dan makna dari temuan kami. Dalam penelitian ini, kami juga terusik dengan tatanan kontemporer media dan faktor yang mempengaruhi proses produksi kontennya. Karenanya, dengan pendekatan interpretivis-kualitatif, jika diperlukan, kami dapat lebih fleksibel dalam mengumpulkan data. Terakhir, dan yang paling penting, pendekatan kualitatif seperti ini memungkinkan digunakannya ‘pandangan dari dalam’ (insider view) (Bryman dan Bell, 2007), misalnya kejadian-kejadian yang menimpa narasumber dapat diikutsertakan dalam analisis. Hal ini penting khususnya untuk memahami mekanisme internal yang menjelaskan bagaimana industri media bekerja. Kami menemukan bahwa pendekatan kualitatif akan sangat bermanfaat ketika meneliti subjek yang kompleks, seperti, dalam kasus kami adalah dinamika dan cara kerja media – karena keduanya membutuhkan penjelasan dan penjabaran mendalam. Beberapa literatur metodologis mendukung hal ini. Pendekatan kualitatif berguna ketika berhadapan dengan suatu topik penelitian yang harus dikupas dengan menggunakan kerangka konseptual tertentu yang masih terus berkembang (Creswell, 2003), atau memerlukan kombinasi dari teori-teori yang berbeda (Cassel dan Symon, 2004). Dalam penelitian ini, kami menggabungkan perspektif teoritis yang berbeda mengenai ekonomi politik media (Herman dan Chomsky, 1988, Mansell, 2001, Mansell, 2004) dan dalam studi media, khususnya untuk memahami cara kerja media swasta (Herman dan Chomsky, 1988, McChesney, 1999, Bagdikian, 2004) dan bagaimana mereka menjawab tantangan masa depan seperti konvergensi media (Lawson-Borders, 2006). Pemahaman tentang hak-hak warga negara secara khusus telah dibangun oleh penelitian sebelumnya (mis. Benhabib, 2004, Janowitz, 1980, Joseph, 2005), serta secara spesifik dalam konteks masyarakat sipil di Indonesia dan Asia Tenggara (Bunnel, 1996, Eldridge, 1995, Ganie-Rochman, 2000, Hadiwinata, 2003, Warren, 2005). Dengan kata lain, pendekatan kualitatif di sini adalah alat untuk membuat beberapa teknik yang ditujukan untuk menunjukkan proses dasar yang membuat fenomena yang ada saat ini; dan dalam hal ini, corak konten media. Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
25
Dalam penelitian ini pula, kami perlu menekankan bahwa konteks merupakan hal yang penting dalam penelitian kualitatif: hal tersebut yang menjadikan objek penelitian unik dan dinamis. Selain itu, hal ini akan membuat suatu argumen atau penjelasan lebih kuat serta memberikan pemaknaan pada suatu temuan. Hal ini juga membuat penelitian kualitatif susah untuk ditiru. Karenanya, mengulas penelitian tentang industri media dari perspektif kualitatif memerlukan kontekstualisasi yang menyeluruh dan mendetil, yang menjadikan alasan mengapa hal ini juga lebih susah untuk dikuantifikasi. Sebagaimana panduan pendekatan kualitatif, kami tidak mengharapkan adanya suatu kebenaran tunggal (single truth) yang menunggu untuk diungkapkan. Sebaliknya, kebenaran – dalam hal ini konten media – adalah suatu hal yang dapat diterjemahkan berdasarkan pemahaman, pemaknaan dan konteks yang diterapkan kepadanya (Cassell dan Symon, 2004). Pendekatan kami, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak bermaksud untuk menjadi berlebihan, tetapi untuk menjamin bahwa penelitian ini menyeluruh, dengan kesadaran bahwa epistemologi yang berbeda akan menghasilkan pemaknaan ‘kebenaran’ yang berbeda pula, meskipun berasal dari satu realita yang sama (Cassell dan Symon, 2004). Pada gilirannya, kami akan menjabarkan implementasi dari pendekatan ini dengan menjelaskan pilihan metode, strategi pengumpulan data, dan instrumen.
Metode Pendekatan kualitatif menyediakan beragam metode pengumpulan data, mulai dari interview, focus group, workshop, etnografi, pengamatan/observasi, studi dokumen/teks, dan lain sebagainya (Cassell dan Symon, 2004, Creswell, 2003). Untuk tujuan penelitian ini, kami mengumpulkan data sekunder dari studi pustaka, dan data primer melalui wawancara mendalam yang telah dibentuk. Pengumpulan data sekunder yang kami lakukan melalui studi meja bertujuan utnuk menangkap proses yang melandasi proses produksi dalam media; karenanya, hal tersebut akan membantu menjawab pertanyaan penelitian yang pertama mengenai aliran kekuasaan dalam industri media di Indonesia. Hal ini termasuk juga proses produksi konten, cara kerja ruang redaksi, cara kerja wartawan, dan pemetaan tindakan yang dapat dilakukan oleh warga negara dan organisasi masyarakat sipil dalam menghadapi tatanan industri media saat ini. Kami juga mengambil sumber dari data statistik dan kuantitatif, dan menggunakannya untuk memperkaya pendekatan kualitatif ini sebisa mungkin. Kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana hak warga negara kepada media dirancang? Faktor apa yang mempengaruhi situasi ini? Bagaimana mereka mengaitkan pencapaian hak warga negara dengan media? Dan apakah implikasi dari semua ini? Di samping analisis konten, data primer kami berasal dari wawancara kualitatif. Data ini kami kumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua dan ketiga mengenai faktor yang berkontribusi dalam membentuk struktur industri media saat ini, sampai mengenai perkembangan industri media terkait dengan tercapainya pemenuhan hak warga negara terhadap media. Kami menjalankan wawancara ahli dengan praktisi media, ahli media dan aktor masyarakat sipil untuk mendalami dan mendapatkan pemahaman – serta cerita dari orang dalam – tentang cara-cara industri media di Indonesia berkembang. Kami berpendapat bahwa isu sentral di sini bukanlah gagasan mengenai keterwakilan, tetapi apakah subjek memiliki informasi atau pengalaman yang signifikan dalam perannya masing-masing (baik itu sebagai praktisi media, pemilik, maupun wartawan), atau ahli-ahli yang relevan; suatu pendekatan yang biasa pada penelitian kualitatif. Kami menyusun strategi dan mempersiapkan instrumen pengumpulan data sebagaimana penjelasan berikut.
Strategi dan Instrumen Pengumpulan Data Kami mengadakan beberapa wawancara dengan aktor-aktor yang terlibat dalam bisnis media (praktisi media, pemilik, dan eksekutif bisnis media). Fokus kami dalam wawancara adalah untuk menemukan jawaban dari pertanyaan berikut: i) bagaimana konten diproduksi dalam media; ii) bagaimana industri media menghadapi intervensi dari faktor eksternal dan internal; iii) sejauh apa media membentuk 26
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
pemberitaan publik – termasuk penyensoran; dan yang terakhir, iv) bagaimana media mempertahankan misi jurnalistik dari perusahaannya. Tentunya kami akan mengikuti praktik penelitian kualitatif pada umumnya, yang sangat menyeluruh untuk memproses informasi yang dihasilkan dari fase pengumpulan data ini (Denzin dan Lincoln, 1994, Cassell dan Symon, 2004, Creswell, 2003). Berkaitan dengan hal ini, kami menyatakan bahwa semua hasil wawancara direkam, dengan sepengetahuan responden kami, dan disimpan dalam bentuk transkrip wawancara sebagai praktik standar pengumpulan data kualitatif (silakan lihat lampiran 1 tentang tata cara wawancara).
3.2. Keterbatasan Meskipun kami telah berusaha untuk memastikan validitas metodologi penelitian ini, kami mengakui adanya beberapa keterbatasan. Pertama, beberapa data sekunder yang dikumpulkan dari sumber resmi tidak se-baru yang kami inginkan. Seperti contoh data dari BPS yang terakhir kali diperbaharui tahun 2010. Merekam data penelitian mungkin bukanlah suatu hal yang lazim di Indonesia, namun demikian, harus diakui bahwa kurangnya informasi yang terbaru adalah salah satu hambatan dalam penelitian kami. Sebagai respon dari keterbatasan ini, kami memaksimalkan segala data resmi yang tersedia, dan jika memungkinkan, diperbaharui dengan sumber valid lainnya yang tersedia. Kedua, keterbatasan data ini berdampak pada masalah keterwakilan atau integrasi. Meskipun ketika data yang dibutuhkan tersedia – termasuk ketika harus dibeli – tetap saja terbatas dalam banyak hal. Yang paling krusial adalah data yang tersebar di mana-mana. BPS tidak menyimpan data yang terintegrasi tentang teknologi infomasi dan telekomunikasi; alih-alih, hal informasi ini tersebar di berbagai survey, seperti Survey Potensi Desa dan Survey Sosial Ekonomi Nasional/ SUSENAS. Lagi-lagi, solusi kami dalam hal ini adalah menggunakan seluruh data yang tersedia dan merangkainya sendiri untuk kemudian digunakan dalam analisis kami. Ketiga, karena kami berusaha untuk mengikutsertakan semua jenis media dalam industri, hasilnya sendiri sudah cukup menyeluruh. Penelitian ini memasukkan media siar, cetak, dan media komunitas. Untuk itu, dalam analisis konten, kami berfokus pada pertumbuhan televisi yang sangat mengejutkan dan efeknya kepada warga negara. Karenanya, kedalaman analisis kami pada media televisi ini akan lebih besar dibandingkan tipe media lainnya. Meskipun ada variasi-variasi yang tidak dapat dihindarkan, kami telah melakukan segenap daya upaya untuk memberikan sudut pandang bagi masing-masing sektor dalam usaha kami memahami cara kerja industri media di Indonesia.
3.3. Profil Data Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, data primer dikumpulkan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Melalui data kuantitatif, kami ingin menunjukkan sejauh apa media dapat mengakomodasi keberagaman identitas penonton, serta, seberapa besar identitas ini telah diwakilkan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis konten dari 10 saluran televisi swasta nasional, yaitu ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, MNC TV, RCTI, SCTV, Trans 7, Trans TV, dan TV One. Kami tidak memasukkan TVRI karena media swastalah yang memegang kontrol penuh dari hampir seluruh saluran media dan memiliki porsi penonton terbanyak di Indonesia. Karenanya, contoh yang kami gunakan akan lebih baik untuk memperlihatkan bagaimana keberagaman dan keterwakilan dapat diraih. Untuk pendekatan kualitatif, kami mewawancara 20 orang responden dan mengadakan satu wawancara kelompok. Dari jumlah ini, 15 responden adalah praktisi media dan/atau akademisi dan 5 di antaranya adalah aktivis media. Setelah merekam dengan seksama, rata-rata wawancara berdurasi 60 menit; yang terpendek adalah 43 menit dan yang terpanjang adalah 180 menit. Ada hal teknis yang mengganggu dua wawancara, yakni kerusakan memory card. Kami mengatasi hal ini dengan merangkum catatan wawancara kami dan mengirimkannya kepada narasumber yang bersangkutan untuk dikaji. Total wawancara yang kami rekam berdurasi 21 jam dan 37 menit, yang semuanya disimpan dalam bentuk transkrip: dan sebagai hasilnya adalah suatu teks sepanjang 122,605 kata untuk analisis kami.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
27
Kami tentu juga mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber, seperti BPS, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), BPPT, Nielsen, dari organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Dewan Pers. Kami juga mengambil data langsung dari media seperti Kompas, Tempo, dan CT Corp. Data ini memiliki jangka waktu dari tahun 1970 sampai 2011. Semua data, baik primer maupun sekunder telah aman tersimpan di database kami dan beberapa tersedia untuk publik jika diminta, dengan catatan ada beberapa data yang terikat copyright. Sekarang, kami akan mulai membahas inti dari penelitian ini: Menciptakan konten, membentuk masyarakat: Apakah media di Indonesia memegang prinsip kewarganegaraan?
28
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
4. Mendebat Keberagaman dalam Konten Media: Suatu Tinjauan terhadap Data “Tergantung apa yang anda maksud dengan diversity of content, karena kalo di genre-nya mungkin sama aja. Formatnya seperti apa semua sama aja, semua sinetron semua news begini, begini, ini. Kan yang harus konsen adalah pertama-tama perspektif kan. Perspektifnya ada beragam gak? Kedua adalah yang harus dikhawatirkan adalah karya. Karena saat ini memang sangat elitis, karena tidak ada media manapun yang kita lihat berorientasi pada kepentingan publik, jadi membela rakyat kecil, membela buruh, membela petani kecil, itu gak ada.” (Wawancara dengan Ade Armando, Akademisi, 27/10/2011)
Melalui televisi, perangkat utama media modern, pemirsa disuguhi beragam diskusi mengenai dinamika budaya, gaya hidup, bagaimana peradaban berfungsi dan tingkah laku manusia ketika mengkonsumsi hiburan. Pada saat yang bersamaan, televisi juga mempengaruhi dan mengubah psikologi penontonnya mengenai hal yang serupa. Kedekatan jarak psikologis antara televisi dengan ide penontonnya mengenai realitas adalah suatu hal yang penting dalam menentukan konten yang dipilih televisi untuk disiarkan. Penonton disajikan dengan visualisasi program yang secara tidak terhindarkan dilihat sebagai model ‘kehidupan sehari-hari’. Orang-orang menonton dan membaca mengenai suatu kejadian karena hal tersebut adalah hal yang disuguhkan dan dipromosikan secara intensif (Herman dan Chomsky, 1988). Dalam hal ini, televisi adalah visualisasi model kehidupan yang diproyeksikan oleh sebuah tabung. Hal ini tidak dipungkiri lagi merupakan creme de la creme rumah tangga yang berlaku sebagai tolak ukur kolektif tentang arti kesuksesan; di mana mereka yang bisa masuk di dalamnya dapat dikatakan meraih kesuksesan. Menurut BPS, setidaknya 91,7% orang Indonesia berusia di atas 10 tahun menonton televisi. Di sisi lain, hanya 18,6% dari total populasi mendengarkan radio dan 17,7% membaca koran atau majalah. Karena predikatnya sebagai media dengan penetrasi penonton terbesar, maka televisi menjadi alat yang penting untuk membentuk opini warga negara. Televisi mampu melampaui jenis media lainnya karena memiliki gambar bergerak (motion picture) yang tidak mampu disaingi koran maupun radio. Melalui penggambaran visual, televisi telah menjadi alat elektronik yang ‘wajib dimiliki’ oleh masyarakat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke; dari mulai gubuk beratap daun di daerah terpencil sampai ke Istana Kepresidenan. Televisi mencerminkan status ekonomi, politik, dan sosial. Televisi juga menjadi penanda gerbang ke ‘dunia nyata’; tahanan dapat terpenjara dalam kesendiriannya ketika televisi tidak disediakan dalam ruang tahanan dan televisi dapat menghidupkan kembali gairah pasien di bangsal-bangsal rumah sakit. Pentingnya peranan televisi tidak dapat dipungkiri lagi. Namun demikian, perdebatan besar muncul ketika konten media seringkali dijadikan alat bagi para pemilik modal untuk menyalurkan aspirasi individual ataupun untuk memeras keuntungan dari rating. Akibatnya, meskipun media siar menggunakan frekuensi publik, tetapi, alih-alih menyediakan konten yang beragam, para pemegang kekuasaan seringkali justru menghadirkan konten yang sejalan dengan kepentingan mereka semata. Hal ini berarti pula kepentingan ekonomi dan politik telah menjadi prioritas dibandingkan fungsi sosial dan publik yang seharusnya diemban media (Herman dan Chomsky, 1988). Pada praktiknya, memang benar bahwa secara finansial industri media membutuhkan suntikan modal yang besar. Angka ini terdiri dari ongkos pra-produksi yang tinggi (termasuk riset sebelum suatu perusahaan media berdiri), biaya produksi (biaya lapangan, pembelian program), dan biaya setelah produksi (distribusi, hak cipta) (Doyle, 2002). Selain itu, industri media juga dihadapkan pada resiko investasi yang sangat tinggi dan karenanya industri ini teramat selektif dan hanya dapat diakses oleh investor dengan modal tinggi. Sehingga, wajar jika mereka yang memiliki modal cukup besar untuk Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
31
menembus industri ini merupakan orang-orang yang memiliki kekuatan modal yang jauh lebih besar dibandingkan mayoritas masyarakat, dan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan di media. Apa yang kita lihat di layar kaca adalah prioritas publik yang didominasi oleh sektor swasta atau pemilik modal. Meskipun beberapa pandangan berpendapat bahwa media di Indonesia telah cukup beragam, kami justru melihat fenomena yang berkebalikan. Konten media bukanlah sekedar hal-hal kasat mata. Konten media sesungguhnya harus dimaknai lebih dalam daripada sekedar kumpulan piksel, karena pesan yang sesungguhnya terletak secara implisit di dalam karakter dan alam bawah sadar pemirsanya. Program dibentuk untuk mengekspresikan konten yang dapat memuaskan dorongan dasar manusia, di mana orang mendambakan kebutuhan intrinsiknya – suatu insting – yakni untuk mengetahui apa yang terjadi di balik pengalaman langsung yang mereka alami (Rosenstiel dan Kovach, 2007). Melalui hal ini, kebanyakan penonton membuang penilaian pribadi mereka, menyerahkan kesadarannya kepada otoritas tunggal televisi, dan mengizinkan indoktrinasi untuk masuk ke dalam pikiran mereka. Media komunikasi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang berpusat pada telegrafi dan fotografi telah memberikan gambaran sekilas tentang eksistensi wajah dunia, tetapi, kita belum benar-benar hidup di dalamnya sampai ditemukan televisi. Televisi memberikan bias epistemologis paling kuat bagi telegrafi dan fotografi, meningkatkan keterkaitan antara gambar dan kecepatan kepada kesempurnaan yang indah dan berbahaya... Singkatnya, televisi adalah pusat komando dari epistemologi baru. Tidak ada istilah penonton yang terlalu muda yang diperbolehkan untuk menonton televisi. Tidak ada kemiskinan yang terlalu hina sehingga harus meninggalkan televisi. Tidak ada pendidikan yang terlalu tinggi yang tidak dimodifikasi oleh televisi. Dan yang paling penting, tidak ada subjek kepentingan publik – baik itu politik, berita, agama, ilmu pengetahuan, dan olahraga – yang tidak masuk dalam televisi. Hal ini berarti seluruh pemahaman publik mengenai subjek ini dibentuk oleh bias televisi (Postman, 1985, hal. 77 - 78). Karena itu, meskipun sudah merupakan fenomena yang marak terjadi, keberadaan televisi seharusnya dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan tertentu, disaring tajam, dan disikapi secara kritis; sebuah kemampuan yang bisa didapatkan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan yang erat kaitannya dengan kemakmuran (Filmer dan Prichett, 2001). Secara kebetulan, sebagaimana dicontohkan oleh koran, ukuran kemakmuran sendiri dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Kemakmuran diindikasikan dengan kepemilikan aset berharga, di mana televisi adalah salah satu alat ukurnya. Di samping kepemilikan jam dan mesin jahit, televisi menjadi alat ukur dari peradaban global dalam suatu rumah tangga. Di negara berkembang, hal ini menjadi ironi karena akses warga terhadap infrastuktur masih di bawah rata-rata (Brinceno-Garmendia, Estache, dkk, 2004). Sangat jelas terlihat bahwa televisi tidak hanya memiliki nilai budaya, tetapi juga ekonomi, dan kemudian berdampak pula pada pemberdayaan politis warga negara. Perkembangan sosial masyarakat juga diukur dari apakah mereka memiliki televisi atau tidak.
4.1. Konten Media: Sebuah Arena Pertarungan Kekuasaan? Keterkaitan yang kuat antara sistem kekuasaan dan industri media termanifestasi dalam bentuk konten yang disuguhkan sehari-hari. Dalam industri yang sifatnya oligopolis ini (Nugroho, Putri, dkk, 2012), peran orang-orang dengan akses kepada media telah mendorong berbagai macam konsumsi (atau kurangnya konsumsi) yang dapat dinikmati oleh orang banyak. Ada dua kondisi yang menyebabkan hal ini terjadi: di satu sisi adalah tingginya akses infrastruktur yang dimiliki oleh beberapa konglomerat media tertentu; dan di sisi lain adalah kurangnya akses terhadap informasi dasar yang dimiliki oleh warga negara di luar para konglomerat ini. Hal ini menunjukkan distribusi kekuasaan yang tidak tersebar secara merata di industri media. Konsentrasi kepemilikan ini kemudian diterjemahkan menjadi konsentrasi hasil produksi. Menurut Cuilenburg (1999) hal ini terjadi karena ketatnya kompetisi antar beberapa kelompok media di mana bagi para produser media yang bersangkutan, bersikap berbeda dengan kompetitor justru akan menjadi bumerang. Produser media kemudian akan cenderung untuk menghasilkan konten yang notabene merupakan substitusi sempurna bagi satu sama lain. Hal ini tentunya bermuara kepada homogenitas konten yang tersedia di pasar. Di dalam asumsi ekonomi, pasar jenis seperti ini seringkali menunjukkan kompetisi oligopolistik. Kecenderungan untuk memproduksi produk yang serupa 32
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
adalah alasan mengapa saluran televisi sepertinya menawarkan konten yang serupa meskipun jumlah produsennya sendiri banyak. Dari sudut pandang tersebut, apa yang dikatakan oleh Hukum Hotelling (1929) kemungkinan besar ada benarnya, yakni bahwa tercapainya keberagaman konten di tingkat maksimal, sebagaimana yang dibayangkan, masih jauh dari harapan. Dalam hukum tersebut dikatakan bahwa tingkatan heterogenitas konten tertinggi tidak dapat dicapai karena untuk bertahan di lingkungan pasar yang kompetitif, produser memiliki insting bisnis yang mendorong kompetisi ke arah yang lebih konservatif dan mereka justru akan berusaha menghindari resiko. Mereka akan memproduksi konten yang sebisa mungkin serupa dengan konten yang telah ada, dan menghindari hal-hal yang sama sekali berbeda. Hal ini membenarkan gagasan akan adanya excessive sameness (kemiripan yang berlebihan), di mana deviasi karakteristik konten sangatlah rendah. Akan tetapi, semua kondisi yang telah disebut di atas mengasumsikan suatu industri yang bergerak di mana kepentingan individu merupakan kendaraan pasar dan keuntungan finansial adalah prioritas dari setiap produser. Di sisi lain, dalam konteks demokrasi, warga negara memegang posisi tertinggi dalam masyarakat dan memberikan hak kepada warga negara adalah suatu hal yang penting untuk menjaga pluralisme (Rehg dan Habermas, 1996). Karenanya, dalam kondisi normatif, peran industri jurnalisme dan media sebagai gambaran dari keberagaman warga negara adalah sine qua non masyarakat demokratis yang sehat. Dalam lanskap demografi Indonesia yang kaya akan keberagaman geografis, budaya, agama dan etnis, ketimpangan konten media, sebagaimana yang telah disebutkan, menunjukkan pelanggaran terhadap hak warga negara untuk bermedia – yang di dalamnya termasuk akses terhadap informasi, akses terhadap infrastruktur, dan akses untuk dapat berpartisipasi dalam produksi konten. Ketika komponen pembentuk konten media cenderung menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan mereka yang memiliki kuasa, seperti contohnya, konsentrasi pemberitaan terhadap kelompok etnis atau agama mayoritas, maka pembaharuan sistem kekuasaan tidak bisa ditunda lagi. Ketika diteliti lebih dalam lagi, kami tidak hanya menemukan ketidakseimbangan konten media, tetapi juga, yang lebih membahayakan lagi adalah mulai munculnya sentralisasi. Konten dibuat untuk menarik perhatian sebanyak mungkin pemirsa, dengan menggunakan sistem penghitungan rating. Karena keuntungan finansial (profit pasar) merupakan tujuan dari pemilik media, hal ini dimaksimalkan melalui pendapatan iklan yang mendanai 90% dari biaya operasional stasiun televisi (Ernunsari, wawancara, 2013). Wajar jika kemudian semua pembuat program televisi saling berkompetisi satu sama lain untuk memproduksi konten yang mampu menarik perhatian pengiklan. Nielsen, sebagai lembaga rating satu-satunya di Indonesia, memegang posisi tertinggi dalam menentukan jumlah total penonton untuk masing-masing program, dan karena itulah Nielsen juga cukup berkuasa untuk mempengaruhi saluran televisi dalam menentukan program mana yang memiliki rating yang tinggi untuk terus dimanfaatkan popularitasnya. Dengan pengukuran semacam inilah, Nielsen tidak hanya berfungsi sebagai stimulus atau barometer kesuksesan dari suatu program televisi tetapi juga menjadi mekanisme utama yang mendorong penentuan produksi konten pada media. “Nielsen itu melayani pengiklan, bukan pembuat program. Makanya pembuat program benci sama pengiklan, karena mereka akhirnya disetir kebutuhan untuk advertising, karena itu adalam sumber utama pendanaan untuk stasiun TV kita.” (Wawancara dengan Ria Ernunsari, 17/02/2013)
Berkaca dari hal tersebut, sentralisasi konten tidak sejalan dengan cita-cita adanya kesamaan peliputan dalam kaitannya dengan keberagaman, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Jurnalisme dan industri media yang sehat seharusnya menghilangkan kesakralan sistem rating ini dan lebih mengakomodasi keberagaman warga negaranya.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
33
4.2. Ukuran Keberagaman dan Keterwakilan Dalam konteks industri media, ada dua hal penting yang menandakan seberapa sehatnya suatu sistem demokrasi. Pertama adalah melalui pengukuran keberagaman dan yang kedua adalah pengukuran keterwakilan. Kami akan memaparkan bagaimana kami mendefinisikan standar keberagaman dan keterwakilan sebelum kami mulai menganalisis konten media. Keberagaman media mengacu pada tingkatan heterogenitas konten media. Hal ini termanifestasi dalam dua bentuk, yakni keberagaman reflektif dan keberagaman terbuka (Cuilenburg, 1999). Ada dua perbedaan dari pengukuran ini sebagaimana diungkapkan dalam kutipan berikut: Apakah media berhubungan dengan masyarakat melalui cara-cara yang mencerminkan –secara pro rata – dan menyalurkan preferensi, opini, kedekatan atau karakteristik lainnya sebagaimana yang ada dalam populasi? Ataukan distribusi konten dalam media membagi perhatiannya secara merata untuk semua preferensi, aliran, atau kelompok, atau posisi, yang ada dalam masyarakat? Jika yang digunakan adalah skenario yang pertama, maka media terkait dengan ‘cerminan’ sebagai norma dari keterbukaan media: konten media secara proporsional mencerminkan perbedaan dalam politik, agama, budaya dan kondisi sosial dalam masyarakat melalui caracara yang kurang lebih telah proporsional. Jika yang terjadi adalah skenario kedua, maka kinerja media dapat dikatakan berada dalam norma keterbukaan, yaitu di mana media secara seragam, dalam pengukuran matematis yang absolut, telah menyediakan akses yang telah benar-benar adil dalam seluruh salurannya kepada semua orang dan semua ide dalam masyarakat (McQuail dan Cuilenburg, 1983). Untuk lebih lanjut menjelaskan hal ini, ketika hendak mengukur heterogeneitas konten, keterbukaan reflektif akan menjadi cerminan identik dari apa yang terjadi di masyarakat, dan membuat kelompok mayoritas dikuantifikasi lebih banyak dibandingkan kelompok minoritas. Di sisi lain, keberagaman terbuka akan menghadirkan ilustrasi masyarakat, dengan masing-masing perbedaan yang ada ditampilkan secara berimbang, terlepas dari di golongan mana mereka berada dalam realitanya. Karena penelitian kami bertujuan untuk menelisik seberapa adil konten media di Indonesia dalam suatu peliputan isu, baik itu pada kelompok mayoritas atau minoritas; dan, apakah penggambaran kewarganegaraan yang ada telah cukup mewakili untuk dapat menjadi bagian dari konsumsi nasional, tentunya keberagaman terbuka menjadi ukuran yang paling sesuai dalam hal ini. Untuk lebih mudah memahami metode yang digunakan, kami mengambil contoh kasus keberagaman dalam konteks agama. Mengacu kepada konsep keterbukaan reflektif, di Indonesia, di mana 87% warganya beragama Islam (BPS, 2010), kami berasumsi bahwa 13% sisa konten akan terbagi menjadi 4 agama resmi lainnya (menggabungkan Kristen Protestan dan Kristen Katolik): Kristen, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu (Agama lokal dan tradisional tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena tidak secara resmi diakui oleh negara). Untuk menerjemahkan hal ini dalam konteks konten media, gagasan keberagaman reflektif (reflective diversity) akan menawarkan suatu kondisi di mana media menampilkan 87% karakter konten yang bersifat Islami dan membagi 13% sisanya untuk meliput konten dengan karakter agama lainnya. Konsep keberagaman reflektif tercermin dalam bagan berikut:
34
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Bagan 4.1. Keberagaman reflektif. Sumber: Cuilenburg (1999). Di sini kita dapat melihat bahwa peliputan media akan mengakomodasi kelompok mayoritas dan minoritas dalam proporsi yang identik dengan realitas di masyarakat. Hal ini menjadi cerminan sempurna yang mengukur keberagaman. Untuk menjelaskan gagasan ini dalam bentuk angka, keberagaman reflektif berarti dalam setiap 100 jam acara yang mengandung unsur agama, 87 jam akan didedikasikan untuk konten yang mengandung unsur Islam, dan 13 jam sisanya diisi oleh konten dari empat agama lainnya, dengan frekuensi yang sesuai dengan porsi masing-masing dalam masyarakat. Dengan menggunakan contoh serupa, keberagaman terbuka (open divesity) menawarkan kondisi di mana media membagi konten siarannya secara benar-benar merata untuk semua agama terlepas dari adanya mayoritas di negara ini. Dengan kata lain, total 100% isu keagamaan yang diliput oleh media akan dibagi rata untuk 5 agama resmi sehingga masing-masing agama mendapatkan jatah yang sama yakni 20%. Gagasan keberagaman terbuka ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 4.2 Keberagaman terbuka. Sumber: Cuilenburg (1999). Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
35
Bagan di atas menunjukkan sebuah garis lurus yang menggambarkan suplai media yang dikuantifikasi. Garis tersebut menggambarkan akses yang sama bagi semua agama baik itu agama mayoritas ataupun minoritas. Garis lurus ini juga mengindikasikan tingkatan maksimum keberagaman media di mana heterogenitas tercermin paling sempurna. Untuk menjelaskannya dalam angka, hal ini berarti setiap 100 jam pemberitaan yang berkaitan dengan isu agama, semua agama dan aliran kepercayaan (Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Kong Hu Chu, termasuk pula ateisme dan agnostik) memiliki bagian pemberitaan yang benar-benar sama rata, atau masing-masing mendapatkan jatah selama 14.3 jam untuk masing-masing agama dan aliran kepercayaan (100 jam tayang dibagi rata untuk tujuh agama dan kepercayaan yang disebutkan sebelumnya). Dalam upaya kami mencari bentuk demokrasi yang paling ideal, gagasan keberagaman terbuka – di mana semua perbedaan preferensi, sudut pandang, opini, dan ide yang ada dalam masyarakat dianggap setara atau seragam secara statistik (Cuilenburg, 1999) – terjalin dengan erat dengan konsep ruang publik sebagaimana diungkapkan oleh Habermas (1984) yang mengacu kepada literatur “On Liberty” (Mill, 1985), yang menyatakan bahwa: Kebenaran, dalam kenyataannya, seringkali merupakan persoalan rekonsiliasi dan kombinasi antara dua kubu yang saling berseberangan, yang hanya beberapa orang yang memiliki pemikiran luas dan tidak berpihak dapat membuat penyesuaian untuk mendekatkan diri kepada kebenaran, dan hal tersebut harus diciptakan melalui suatu perseteruan yang keras antara dua pihak dengan panji-panji yang saling berseberangan (Mill, 1859, hal. 86). .... Hanya melalui eksistensi keberagaman pendapat, dalam keadaan di mana kecerdasan manusia itu ada, muncul kesempatan yang sama bagi semua sisi kebenaran. Ketika ditemukan beberapa orang yang bersuara berbeda dari kebulatan suara yang ada, apapun subjeknya (dari perbedaan suara ini), bahkan jika kebulatan suara itu merupakan suatu hal yang benar, ada kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak setuju ini memiliki suatu hal yang layak untuk dikatakan tentang diri mereka sendiri yang patut didengarkan, dan kebenaran akan kehilangan sesuatu karena mereka tidak berkata apa-apa (Mill 1859, hal. 87). Media memiliki tendensi untuk meliput satu sisi dari ‘kebenaran’. Keterkaitan yang penting antara media dan penguatan masyarakat ditunjukkan melalui potret warga negara di media. Jika media mampu mengajak warga negara untuk berpartisipasi dan menganggap penonton, pembaca, dan pendengarnya sebagai konsumen aktif dan bukannya pasif, maka masyarakat telah berada dalam kondisi yang lebih baik (Joseph, 2005). Ide mengenai keterwakilan media dapat dinilai melalui cara-cara kualitatif. Contohnya adalah dengan mengambil sampel dari orang asing, di mana kasus-kasus yang ada merupakan anekdot tetapi secara kuantitatif signifikan, kami tidak hanya mengukur frekuensi variabel atau sub-variabel yang ada tetapi juga variasi reportase yang diterima. Peleburan antara ukuran keberagaman dan keterwakilan adalah instrumen utama dalam menjawab pertanyaan bagaimana konten televisi melayani kepentingan publik. Kami mengajukan suatu analisis mendalam sebagai berikut.
4.3. Keberagaman Konten: Pengukuran Kuantitatif Untuk menjawab pertanyaan apakah media kita telah ‘beragam’ atau ‘representatif’, kami melakukan serangkaian uji pengukuran kuantitatif melalui analisis konten.21 Beberapa proksi dari keberagaman juga dimasukkan dalam analisis ini dengan menggunakan hak warga negara kepada media sebagai lensa utamanya, yang berarti pula kami berfokus kepada konten yang disampaikan kepada penonton, dan bukannya genre atau format program yang ada. Kami mengamati tujuh ukuran kewarganegaraan termasuk konteks geografis, orientasi keagamaan, kelompok etnis, orientasi seksual, kelompok difabel, akses kepada infrastruktur dan peran sosial.
21 Konten analisis adalah metode penelitian yang menggunakan pengujian konten yang terukur – dalam kasus ini: program televisi – sebagai data (Weber, 1990), (Krippendorff, 2012) 36
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Kategori inilah yang merupakan kelompok utama yang haknya kami rasa penting untuk dipenuhi oleh media melalui pemberitaannya, dengan berdasar pada keberagamana terbuka, yang akan menyediakan kita pemahaman yang baik mengenai bagaimana kita, sebagai warga negara, terpotret secara jelas. Selain itu, ada enam ukuran konsumerisme yang di dalamnya termasuk topik-topik mengenai korupsi, selebriti dan gaya hidup, terorisme, kekerasan dan kriminalitas, takhayul, dan kecelakaan serta bencana. Kami akan menunjukkan secara khusus tiga temuan utama yakni kategori konteks geografis, orientasi keagamaan dan kelompok etnis karena dalam prosesnya kami menemukan bahwa tiga hal inilah yang secara erat melekat pada identitas kewarganegaraan – tempat tinggal, agama, dan etnis.
4.3.1 Konteks Geografis Kami menemukan sebuah pola yang sangat menonjol ketika memilah konten melalui identitas geografis. Saat kami mengelompokkan berdasarkan pulau, kami menemukan bahwa 69,6% konten yang ada terkonsentrasi di Jawa (silakan mengacu kepada Bagan 4.3). Sumatera dengan 14,7% menempati urutan kedua dalam pemberitaan, diikuti oleh Sulawesi dengan 5.8%, dan sisanya sebesar 9.9% liputan tersebar mengenai Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku dan Papua. Jika diteliti lebih lanjut lagi, dalam 69,6% pemberitaan mengenai Jawa, 49% terkonsentrasi hanya di Jakarta, diikuti oleh Jawa Barat dan Jawa Timur dengan 18,4% dan 16,9%. Dengan melihat data ini, kita langsung dapat melihat bahwa keberagaman reflektif tercermin dalam konten televisi ketika kita mengelompokkan berdasarkan konteks geografis.
Bagan 4.3 Distribusi konten berdasarkan konteks geografis, dikelompokkan berdasarkan pulau. Sumber: Penulis Angka ini berkorelasi dengan komposisi populasi Indonesia di mana 57,48% penduduknya tinggal di Pulau jawa, diikuti oleh Sumatra sebesar 21% dan Sulawesi sebesar 7,3% (Badan Pusat Statistik, 2012). Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
37
Hal yang sama juga terjadi ketika kami mengklasifikasikan konten berdasarkan provinsi; kami juga menemukan bahwa secara umum, 58.7% program televisi yang memuat konteks geografis hanya terkonsentrasi di tiga provinsi saja yaitu Jakarta (34.1%), Jawa Barat (12.8%), dan Jawa Timur (11.8%). Fokus yang Jakarta-sentris ini merupakan hal yang multidimensional: tercermin melalui sumber geografis konten, dan melalui ukuran-ukuran referensi dan visual, yang mana semua hal ini akan digali dengan lebih mendalam dalam bab selanjutnya. Dominasi konten oleh tiga provinsi ini menegaskan bahwa media tidak menampilkan keberagaman masyarakat tetapi lebih mencerminkan mayoritas. Tidak dipungkiri lagi, Jakarta sebagai ibu kota negara merupakan kota terpadat di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 14,469 orang per kilometer persegi (BPS, 2010). Jakarta juga merupakan wilayah penting dalam perkembangan politik dan ekonomi Indonesia. Tidak kurang dari 70% perputaran uang domestik berada di Jakarta22 yang membuat kesibukan dan kebisingan provinsi ini membayangi hak warga negara Indonesia di 32 provinsi lainnya. Demikian pula halnya dengan Jawa Timur dan Jawa Barat, yang merupakan cerminan serupa dengan Jakarta, di mana dua provinsi tersebut juga merupakan wilayah terpadat di Indonesia dan memiliki aktivitas ekonomi yang terus berkembang. Selain itu, ketiga provinsi ini juga memiliki infrastruktur yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah di luar Jawa, yang juga menjadi salah satu alasan di balik konsentrasi dari rating dari Nielsen. Di saat yang bersamaan pula, alokasi dari dekoder rating yang dimiliki oleh Nielsen juga terkonsentrasi di tiga provinsi tersebut, dengan alokasi people meter di Jakarta sebesar 59%, Jawa Timur 16%, dan Jawa Barat 14% (dokumen internal salah satu TV swasta yang tidak dipublikasikan)23. Karena alat ini merekam jumlah orang yang menonton program televisi tertentu, hal ini menjadi dasar dari satu-satunya sistem rating yang ada di Indonesia. Selain fakta tersebut, perlu dicatat pula bahwa dalam sampel periode 11 September sampai 10 Oktober 2012, Pilkada DKI Jakarta putaran kedua sedang dilaksanakan. Agenda politik ini tentunya mendominasi konten di semua saluran televisi yang ada. Jam tayang televisi marak memberitakan kampanye dari calon inkumben Fauzi Bowo (Foke) dan lawannya Joko Widodo (Jokowi), yang puncaknya terjadi pada hari pemilihan kepala daerah tanggal 20 September 2012. Kedua kandidat mendapatkan pemberitaan seimbang, di mana secara keseluruhan satu dari 11 unit dari acara televisi memiliki konten yang berkaitan dengan Pilkada. Pemberitaan yang ada bervariasi dari acara debat kandidat (MetroTV, 16 September 2012), liputan kunjungan kedua kandidat ke daerah-daerah pinggiran Jakarta, hasil hitung cepat (quick count) yang membanjiri semua saluran televisi di tanggal 21 September 2012, reaksi warga Solo (kota asal kandidat Joko Widodo), sampai kepada fakta-fakta sampingan mengenai Foke yang menyempatkan diri untuk melakukan Salat Subuh bersama dengan beberapa santri pada pagi hari menjelang jam-jam pemilu (Trans7, 20 September 2012). Pesan-pesan yang tertancap kuat dalam liputan dan pemberitaan inilah yang disuguhkan kepada penonton, yang tidak hanya terdiri dari warga Jakarta, tetapi tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Warga ‘dipaksa’ untuk mengkonsumsi semua detil informasi mengenai kehidupan ibu kota secara berulang-ulang setiap minggu. Bertepatan dengan Pilkada Jakarta, dalam hari yang bersamaan sebuah kota di Kalimantan Barat, yakni Singkawang juga melaksanakan Pilkada untuk memilih gubernur baru. Dibandingkan 1.135 unit pemberitaan mengenai Pilkada Jakarta, pemilihan gubernur Singkawang ini hanya mendapat 9 unit pemberitaan yang disiarkan oleh MetroTV, TV One, dan RCTI. Hal ini mengindikasikan bahwa gagasan keberagaman terbuka belum dipenuhi. Mereka yang memiliki kekuasaan (akses kepada infrastruktur) mengendalikan spektrum program, dengan berpatokan kepada kemungkinan untuk mencapai pendapatan yang terbesar dan bukannya keterwakilan yang merupakan esensi dari jurnalisme. Karena produser televisi selalu bergerak berdasarkan rating, maka kemungkinan untuk memproduksi berita di luar Jakarta masih sangat jauh dari harapan. “…Sehingga itu tadi tidak punya pengalaman dan sense bahwa orang daerah perlu berita tapi bukan hanya tentang apa yang terjadi di Jakarta. Tapi kan juga itu yang jadi masalah bahwa apa yang bagi orang Pekan Baru menarik, tapi bagi orang Batu Mas juga menarik. Nah itu kan ga gampang.” (Wawancara dengan Fenty Effendi, Produser TV One, 07/01/2013) 22 Lihat website Bappeda Jakarta http://bappedajakarta.go.id/sekilas-jakarta/jakarta-kini/ Terakhir diakses pada tanggal 1 April 2013. 23 Untuk kebutuhan penelitian, sumber dapat diberikan atas permintaan. 38
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Hal ini merupakan bukti nyata bagaimana berita dikendalikan. Melalui pengukuran konsumerisme, konten dapat dikendalikan dan pada akhirnya berkutat di daerah-daerah yang tidak hanya dekat secara fisik dengan para jurnalis, tetapi juga dekat dalam konteks jarak geografis. Sentralisasi konten merupakan cerminan langsung dari sentralisasi kekuasaan di media. Hal ini juga berarti mereka yang memiliki pengaruh dapat menyalurkan kepentingan politik mereka melalui frekuensi publik yakni televisi. Ketika hak penonton kepada informasi bukan merupakan fokus utama dari para pemilik media, maka harapan akan terciptanya konstruksi identitas yang bersifat partisipatoris sepertinya masih jauh dari kenyataan. Bagan di bawah ini menggambarkan distribusi konten berdasarkan konteks geografisnya. Kita bisa langsung melihat adanya beberapa puncak grafik di luar Jawa seperti di Sumatra Utara, Riau, dan Sulawesi Selatan.
Bagan 4.4. Persebaran konten berdasarkan konteks geografis, dikelompokkan berdasarkan provinsi. Sumber: penulis. Sepuluh titik yang digambarkan dalam bagan di atas menunjukkan provinsi-provinsi yang berkaitan dengan people meter versi Nielsen. Kota-kota tersebut adalah Medan (Sumatra Utara), Palembang (Sumatra Selatan), Jakarta (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Jogjakarta (DI Yogjakarta), Surabaya (Jawa Timur), Denpasar (Bali), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Dapat kita amati bahwa sebagian besar dari kota-kota tersebut sebagian besar mewakili frekuensi konten yang ada. Hal ini senada dengan konsep rating, di mana perilaku konsumsi pada wilayah-wilayah yang tidak dimasukkan dalam perhitungan Nielsen melalui people meter telah dihapuskan secara keseluruhan. Sebagai implikasinya, pemberitaan di wilayah-wilayah tersebut sangat sedikit kecuali ketika ada suatu kejadian istimewa di wilayah tersebut. Logika tersebut juga menjadi latar belakang dari tingginya frekuensi konten yang memuat Riau, Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
39
sebuah provinsi yang tidak memiliki people meter Nielsen. Selama periode pengambilan sampel, Riau menjadi tuan rumah dari Pekan Olahraga Nasional (PON) mulai dari 9 sampai 12 September 2013, yang merupakan acara olahraga nasional terbesar. PON Riau ini merupakan satu-satunya acara yang mendapatkan liputan luas dari kesepuluh stasiun televisi swasta selain Pilkada Jakarta. Liputan acara PON bervariasi mulai dari persiapan atlet, pengumuman perolehan medali, dan berita mengenai pertandingan tinju yang berakhir ricuh (Metro TV, 18 September 2012), serta berita mengenai atletatlet yang kehilangan hak pilihnya dalam Pilkada Jakarta karena mereka mengikuti PON. Jika pada saat itu Riau tidak memiliki acara besar seperti PON ini, maka yang akan didapatkan dari daerah ini hanyalah peliputan mengenai kecelakaan, bencana alam (khusus untuk Riau mengenai kabut asap) atau demonstrasi warga setempat yang berakhir rusuh. Pola ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Konten di luar Jakarta, khususnya Jawa, dipenuhi liputan aksi kriminalitas, kekerasan, kecelakaan, bencana alam, korupsi, dan terorisme. Kasus kriminalitas dan kekerasan menduduki urutan teratas dari semua konten dengan 1.736 unit, diikuti oleh terorisme sebesar 443 unit. Kasus kekerasan dan kriminalitas terbanyak berasal dari Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, di mana Sumatera Utara diasosiasikan dengan 92 unit liputan mengenai kekerasan dan kriminalitas sedangkan Sulawesi Selatan sebesar 115 unit. Di Sumatera Utara, konten lebih banyak berisi tentang penyelundupan narkotika dan ganja, sedangkan Sulawesi Selatan diwarnai oleh bentrokan antara mahasiswa dan polisi. Berita mengenai kecelakaan dan bencana alam juga terkonsentrasi dan berulang kali terpusat mengenai banjir bandang yang terjadi di Sumatera Barat dan gunung meletus di Gunung Lokon Sulawesi Utara, serta kebakaran di Pasar Turi, Jawa Timur dan kabut asap di Riau dan Kalimantan Tengah. Rendahnya keterwakilan wilayah di luar Jawa ini menjadi bukti bahwa karakteristik sensasional merupakan kriteria utama bagi produser dalam menciptakan konten. Penggambaran negatif mengenai provinsi-provinsi di luar Jawa tidak mencerminkan gagasan keterwakilan. Kewarganegaraan dikesampingkan jika dibandingkan dengan konsumerisme, di mana penonton dijadikan subjek dari penggambaran buruk karena media menjual apa yang menjadi pertentangan penontonnya. Secara keseluruhan, ada suatu homogenitas dalam konten, yang ditunjukkan oleh rendahnya tingkat keberagaman terbuka sebagaimana terbukti dari kasus-kasus di atas.
4.3.2. Orientasi Keagamaan Di negara di mana 87% warganya beragama Islam (BPS, 2010), sangatlah mudah untuk melihat bahwa agama memiliki peranan besar dalam mempengaruhi kebudayaan nasional. Warga Muslim yang berjumlah 207 juta merupakan sasaran pasar yang sangat besar bagi pemilik media dibanding 30 juta warga yang berkeyakinan berbeda. Apa yang kami temukan dalam observasi kami adalah adanya konsentrasi keagamaan yang signifikan dalam media. Dari 769 unit yang memuat konten beridentitas keagamaan, 744 unit berhubungan dengan Islam, 18 unit berhubungan dengan Kristen, 4 unit mengenai agama Buddha dan hanya 1 unit mengenai Kong Hu Chu. Dalam prosentase, hal ini berarti 96,75% konten mengenai Islam, 2% Kristen, 0,5% Buddha dan Hindu dan 0,13% Kong Hu Chu.
40
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Bagan 4.5 Distribusi konten berdasarkan orientasi keagamaan. Sumber: penulis. Bagan di atas tidak hanya mengindikasikan keberagaman reflektif tetapi juga menggambarkan bahwa konten mengenai identitas agama sangat berat terfokus pada nilai-nilai Islam. Menurut data BPS di mana 9,6% populasi beragama Kristen, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, dan 0,05% memeluk Kong Hu Chu (2010), 96,75% konten yang diasosiasikan dengan karakteristik Islam ini merupakan bukti bahwa televisi sangat mengedepankan kelompok mayoritas. Selama periode pengamatan, ada beberapa kejadian penting yang mendorong banyaknya berita mengenai Islam. Pada tanggal 11 September 2012, video Innocence of Muslims, menjadi sangat populer di situs YouTube. Konten anti-Islam yang ada di video ini menyebabkan banyak protes dari umat Muslim di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Liputan mengenai hal ini semakin banyak seiring dengan maraknya demonstrasi yang berujung kepada kerusuhan dan penyerangan yang melibatkan demonstran, polisi serta komunitas lokal lainnya. Asal mula dari rangkaian reportase ini dimulai tanggal 12 September 2012 oleh Metro TV di segmen Suara Anda yang ditayangkan pada pukul 19.14 - 20.05. Hal ini terus bergulir dalam pemberitaan intensif selama dua minggu, mulai dari tanggal 14 September 2012 malam, oleh dua stasiun TV secara bersamaan, yaitu Metro TV dan TV One yang meliput demonstrasi oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)24 di depan kantor Kedutaan Amerika Serikat. Kedua stasiun televisi ini menyiarkan aksi protes tersebut sebagai berita utama. Hal ini diikuti pula oleh Indosiar di tengah malam tanggal 15 September 2012, yang kemudian terus membesar dengan diliput oleh stasiun televisi lainnya.
24 Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi Islam Sunni internasional yang dilarang keberadaannya di banyak negara. Tujuan organisasi ini adalah persatuan semua negara Muslim sebagai satu entitas negara Islam dengan berdasar pada Hukum Islam. http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/ http://web.archive.org/ web/20070927200116/http://www.hizb-ut-tahrir.info/english/constitution.htm Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
41
Aksi protes video Innocence of Muslims ini bergulir ke kota-kota lainnya seperti Cirebon, Bogor, Surabaya, Medan, Makassar, Kendari dan Bima, dan frekuensi liputannya pun terus meningkat. Tren ini juga terus dipicu dengan aksi demontrasi yang menjadi agresif dan berujung pada beberapa aksi kekerasan yang digambarkan dalam peliputan, dengan memanfaatkan kekhawatiran penonton bahwa aksi perusakan tersebut terjadi di lingkungan sekitar mereka. Kami mengamati bagaimana konten diduplikasi melalui kasus ini; terbukti dari perluasan genre peliputan. Berita mengenai reaksi terhadap Innocence of Muslims tidak hanya masuk dalam genre berita, tetapi secara perlahan juga beberapa kali menjadi topik dalam talkshow (TV One, tanggal 15, 19, 21 dan 24 September 2012). Topik yang diliput sehubungan dengan Innocence of Muslims juga menjadi beragam, dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), pencekalan film (Metro TV, 19 September 2012), pengutukan film oleh Front Pembela Islam (FPI) (SCTV, 23 September 2012), serangan mahasiswa Kendari ke jaringan restoran cepat saji yang merupakan simbol-simbol Barat (Metro TV, 28 September 2012). Siklus pemberitaaan ini terus berulang sampai tanggal 28 September 2012. Kasus ini mengilustrasikan dengan baik mekanisme duplikasi konten serta bagaimana fungsi kekerasan yang mampu dengan cepat meningkatkan rating saluran televisi. Sumber lain dari masifnya pemberitaan mengenai identitas Islam adalah liputan Haji. Semua stasiun televisi tanpa terkecuali meliput mengenai proses perjalanan ibadah Haji, dari awal sampai puncaknya yakni Hari Raya Idul Adha pada tanggal 26 Oktober 2012. Sebagai salah satu hari raya terbesar dalam Islam, Idul Adha merupakan perayaan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Bagan berikut menunjukkan pembagian peliputan media berdasarkan konten keagamaaan.
(Distribusi konten berdasarkan orientasi keagamaan. Pemetaan Isu - Sepuluh stasiun televisi: Musyawarah Nasional NU 4%, Sinetron 10%, Ibadah Haji 17%, Innocence of Muslims 28%, Ceramah 18%, lain-lain 23%) Bagan 4.6 Distribusi konten berdasarkan orientasi keagamaan. Sumber: penulis Meskipun banyak pemberitaan mengenai identitas Islam bersumber dari dua topik yang bersifat musiman (Innocence of Muslims dan liputan Haji menguasai 46% konten dengan identitas religius), dengan menggunakan teori normalisasi kami masih dapat mengklaim bahwa Islam tetap mendominasi konten keagamaan. Misalnya saja, Islam memiliki program-program ceramah yang ditayangkan secara 42
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
reguler sebesar 125 unit frekuensi sedangkan Kristen hanya 9 kali, Hindu 3 kali dan Buddha 2 kali. Sehingga, dari 18% konten dengan genre ceramah keagamaan, 90% di antaranya diasosiasikan dengan nilai-nilai Islam. Pola yang berbeda muncul dalam peliputan untuk orientasi keagamaan lainnya. Konten yang identik dengan Kristen, Hindu, dan Buddha semuanya didominasi oleh ceramah atau pembelajaran keagamaan. Data kami menunjukkan bahwa setidaknya 60% dari liputan yang diasosiasikan dengan agama ditayangkan bukan di jam tayang utama/prime time (pada waktu subuh) untuk program ceramah/ kuliah keagamaan. Sedangkan 40% sisanya berbentuk berita dan infotainment. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar saluran televisi tidak sungguh-sungguh berniat menyiarkan program-program yang memuat konten mengenai kelompok minoritas; mereka hanya menyiarkan program untuk kelompok minoritas sebagai kewajiban dan bukannya sebagai upaya pendekatan partisipatoris. Hal ini kontras dengan variasi konten Islami yang lebih kaya, mulai dari program ceramah, sinetron, liputan musyawarah akbar Nahdlatul Ulama (NU)25, liputan 1.000 hari meninggalnya mantan presiden Abdurrahman Wahid, sampai dengan bisnis hewan kurban saat Idul Adha. Ada beberapa sinetron bernuansa Islam yang ditayangkan pada jam tayang utama, seperti misalnya Jalan ke Surga di Indosiar yang disiarkan setiap hari dari Minggu sampai Jumat pukul 7 sampai 10 malam. SCTV memiliki sintron Ustad Fotocopy yang juga tayang setiap hari dari pukul 7 sampai 8.30 malam dan serial FTV (Film Televisi) berjudul Pacarin Ustadz setiap pukul 9.30 sampai 12. MNC TV memiliki program Aku Naikkan Haji Emak yang tayang jam 12 sampai 2.30 siang dan Hikmah Ilahi Tafakur dari jam 10.30 sampai 11.30 malam. Selain itu, RCTI menayangkan pula sinetron Islami di jam tayang utama seperti Dalam Mihrab Cinta dan Kemilau Cinta Kamila 2 (Berkah Ramadhan). Dari semua sinetron bernuansa Islam yang ada, tidak ada yang mengalahkan kesuksesan Tukang Bubur Naik Haji yang ditayangkan RCTI setiap hari dari jam 8.30 sampai 10.30 malam. Pada saat penulisan penelitian ini, jam tayang sinteron tersebut telah diperpanjang mulai dari jam 7 sampai jam 10.30 malam dan telah tayang sebanyak 511 episode. Sinetron ini menjadi sinetron keempat terlama yang pernah ditayangkan di Indonesia dan kemungkinan masih akan terus mendulang popularitas26. Hanya ada satu sinetron keagamaan bertema non-Islam, berjudul Lembaran Kasih, yang merupakan program bulanan agama Kristen yang hanya tayang selama 30 menit dari jam 12.55 sampai jam 1.22 siang (RCTI, 16 Desember 2012). Karena itulah, kami melihat disparitas yang kuat dari liputan bernuansa keagamaan. Konten yang mengandung identitas Islam tidak hanya diberikan pada jam tayang utama tetapi juga memiliki jam tayang yang lebih panjang dan frekuensi tayang yang lebih sering, dibandingkan dengan konten non-Islam yang jam penayangannya lebih sedikit. Di samping itu, di tengah sedikitnya liputan mengenai identitas Buddha di televisi, liputan mengenai agama Buddha yang ada juga termasuk liputan mengenai Fauzi Bowo, yang saat itu masih gubernur Jakarta, yang mengunjungi komunitas agama Buddha dalam rangka kampanye Gubernur (RCTI, 18 dan 19 September 2012). Masyarakat Kong Hu Chu muncul di layar kaca satu kali ketika mereka membagikan sembako kepada warga miskin di Purwokerto, dan hal ini pun ditayangkan di jam yang tidak biasa, yakni dari jam 1.32 sampai 1.58 pagi (Trans 7, 12 September 2012). Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa media, dalam hal ini televisi, tidak menyediakan panggung ‘yang populer’ untuk kelompok agama minoritas. Lebih lanjut, gagasan keberagaman dapat dibedah melalui dua cara: kuantitas dari frekuensi konten dan jumlah liputan orientasi keagamaan yang berbeda-beda. Melalui dua cara ini, kami dapat menyimpulkan bahwa data yang kami dapatkan dari 10 saluran televisi, Trans TV menyuguhkan keberagaman konten paling sedikit dan Indosiar memberikan keberagaman terbanyak. Trans TV hanya menyajikan saru agama saja, yaitu Islam dengan frekuensi 53 unit, dan Indosiar menayangkan 4 kelompok agama (Islam, Kristen, Buddha dan Hindu) dengan tingkat frekeuensi yang bahkan lebih signifikan. Hal ini ditunjukkan dalam bagan 4.7.
Tingkat keberagaman berdasarkan orientasi religius, Trans TV (paling tidak beragam) dan Indosiar 25 Nahdlatul Ulama (NU) adalah kelompok Islam Sunni tradisional yang ada di Indonesia. http://www.nu.or. id/page/en/home.html 26 http://www.sinemart.com/news.php?id=45, diakses terakhir kali tanggal 8 April 2013 Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
43
(paling beragam)
Bagan 4.7 Tingkat keberagaman berdasarkan orientasi keagamaan. Sumber: penulis. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa kepicikan agama dapat disaksikan di televisi. Hal ini berdasarkan fakta bahwa distribusi komponen agama-agama yang ada di Indonesia tersebar dengan tidak merata. Komodifikasi nilai-nilai Islam jelas terlihat mendominasi jam tayang dan waktu siaran yang selalu ditempatkan di saat prime time (jam tayang utama). Kurangnya keterwakilan dari kelompok agama lainnya adalah suatu isu yang perlu diketengahkan untuk mengasah toleransi yang saat ini kurang tercermin di media. Secara teori, hal ini menyiratkan bahwa konten dapat berbaur di masyarakat dengan berperan sebagai institusi sekaligus arena untuk menciptakan moral dan budaya, sekaligus memainkan peran dalam mereproduksi dan menjaga hegemoni (Pratt, 2005). Hal ini terkait dengan gagasan tentang ‘ruang publik’ atau public sphere (Habermas, 1989; Habermas, 2006) di mana konstruksi opini dibentuk dengan terbuka, dan media menyediakan tempat di mana dominasi identitas tertentu dicitrakan. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keberagaman agama masyarakatnya, merupakan suatu hal penting untuk memberi tempat kepada kelompok minoritas dalam demokrasi; namun demikian, toleransi keagamaan ini masih belum terlihat di televisi.
4.3.3. Pengelompokan Etnis Menurut Silverstone (1994), penonton adalah ‘titik balik yang berpotensi memainkan peran penting dalam memahami proses sosial dan budaya secara utuh, dan adalah inti dari pertanyaan mengenai komunikasi publik… (yang merupakan) pertanyaan penting mengenai budaya’. Kelompok etnis merupakan hal penting dari keberagaman budaya yang menjadi identitas dari warga negara yang memiliki hak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang memiliki lebih dari 1000 kelompok etnis (Suryadinata, Arifin, dkk, 2003) merupakan ladang emas keberagaman etnis. Namun demikian, ketika mengelompokkan konten media berdasarkan etnis, kami menemukan satu pengkonsentrasian. Kurangnya keberagaman ini sama ketika kami mengelompokkan konten berdasarkan konteks geografis ataupun orientasi keagamaan. Data yang kami himpun menunjukkan bahwa 42,8% konten media memiliki identitas budaya Jawa. Hal ini terlihat dari fakta bahwa dalam 10 44
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
program yang bertema etnis, 4 di antaranya mengenai budaya Jawa. Etnis kedua terbesar yang muncul di media adalah Betawi sebesar 8,5% dan, ketiga terbagi rata antara Sunda dan Minang sebesar 8%. Budaya Bali menduduki posisi keempat dengan 7,5%. Dengan kata lain, sebesar 74,63% konten media yang mengandung identitas budaya didominasi oleh lima kelompok etnis mayoritas, yakni Jawa, Sunda, Minang, Betawi dan Bali. Bagan 4.8. menggambarkan temuan kami ini. Distribusi konten berdasarkan kelompok etnis di 10 saluran televisi
Bagan 4.8 Distribusi konten berdasarkan pengelompokkan etnis. Sumber: penulis. Hal tersebut mencerminkan lanskap demografis Indonesia di mana kelompok etnis mayoritas terdiri dari suku Jawa (40,2%) dan Sunda (15,5%) (Statistik, 2010). Namun demikian, di sisi lain suku Batak, Sulawesi dan Madura tidak menerima prosentase peliputan yang sama besarnya, meskipun suku-suku ini menempati urutan ketiga, keempat, dan kelima dalam komposisi demografis Indonesia (berturutturut 3,58%, 3,22%, dan 3,03% menurut BPS). Justru Betawi dan Minang digambarkan dalam porsi yang lebih tinggi di media meskipun prosentase populasinya masing-masing hanya 8,5% dan 8%. Dominasi budaya Jawa, Sunda, dan Betawi ini terjadi di seluruh saluran televisi kecuali MetroTV. Saluran berita 24 jam ini memiliki liputan lebih banyak mengenai etnis Cina daripada Sunda dan Betawi jika dibandingkan dengan stasiun televisi lainnya. Tingginya prosentase ini disumbangkan oleh program Metro Xin Wen yang tayang setiap hari dan membahas tentang identitas etnis Cina dengan menggunakan Bahasa Mandarin. Liputannya mencakup festival etnis Cina di Jakarta, komunitas di Kalimantan Barat dan kuliner Cina. Selain Metro TV, tidak ada saluran televisi lainnya yang menyajikan budaya Cina dengan begitu komprehensif.
Namun demikian, dominasi Jawa dan Sunda tetap tidak terbantahkan, yang jika digabungkan, dua Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
45
budaya ini memiliki porsi lebih dari setengah program televisi yang memiliki identitas budaya (50.8%); hal ini membuktikan bahwa media Indonesia masih memilih budaya dari kelompok etnis mayoritas. Salah satu sumber dari terkonsentrasinya program televisi pada identitas budaya Jawa tercermin dari program komedi Wayang dan Opera van Java yang ditayangkan di Trans 7. Kedua program yang tayang setiap hari selama 2 jam di jam tayang utama (pukul 8-10 malam) merupakan bukti dari terpusatnya konten media. Menilik dari jam tayangnya yang eksklusif, Opera van Java seharusnya menjadi program hiburan bagi masyarakat banyak, namun demikian, program ini hanya memberikan visualisasi yang dipenuhi baju tradisional Jawa (batik) serta instrumen musik Jawa (gamelan), serta menampilkan selebriti yang kebanyakan populer di Jawa. Melalui tayangan berdurasi 120 menit yang tersedia bagi masyarakat luas di seluruh Indonesia ini, terjadi suatu upaya promosi budaya tunggal. Penonton dipaksa untuk mengkonsumsi satu elemen budaya yang menitikberatkan kepada budaya kelompok mayoritas. Program tersebut tidak hanya menyuguhkan simbol budaya Jawa sebagai budaya inti di Indonesia, tetapi juga refleksi dari budaya yang lebih superior dengan adanya upaya untuk mengajarkan cara memahami modernitas melalui kacamata budaya Jawa. Dalam lingkungan multi etnis seperti Indonesia, kesempatan untuk lebih sering menampilkan keberagaman sangatlah besar. Tetapi sayangnya, apa yang tercermin di media Indonesia hanya mengangkat satu budaya tertentu dengan harapan dapat menjangkau seluruh populasi. Hal ini tidak hanya tercermin dalam program hiburan atau acara petualangan/wisata, tetapi juga dalam program berita. “...Tapi memang soal Jawa luar Jawa itu, kalau kalian belajar juga tergantung. Kan ada yang namanya proximity ya. Kedekatan dengan apa yang ada dalam kepala orang itu lah yang menjadi berita buat mereka. Orang yang lahir dan besar di Jakarta dan jadi wartawan, ya menganggap berita itu hanya Jakarta. Semua seputar Jakarta. Jadi orang-orang itu tidak melihat. Padahal kalau misalnya dengan daerah kalau kita mau nonton TV, ya ga ada kedekatan. Terserah deh Jokowi mau blusukan mau ini, ya ga ada kedekatan. saya sebagai orang Sumatra misalnya Kalimantan. Berapa banyak di satu TV yang wartawannya tinggal cukup besar diluar Jawa sehingga cukup memahami ya Indonesia ga hanya Jakarta dan Jawa. Cek aja pemimpin redaksi TV atau cetak sekalian. Berapa banyak. Latar belakang mereka apa, Jawa!. Dan jangan-jangan tidak pernah tinggal di luar Jawa.” (Wawancara dengan Fenty Effendi, Produser TV One, 07/01/2013) Petikan wawancara di atas senada dengan pengamatan kami. Dominasi budaya tertentu juga merupakan dampak dari identitas produser konten bersangkutan. Dari data yang dimiliki oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI)27 yang 47% anggotanya tinggal di Jawa, minimnya keberagaman konten ini merupakan konsekuensi dari rendahnya referensi budaya yang dimiliki oleh produser konten. Cerminan yang paling dekat dengan fenomena ini dapat dilihat dari acara Opera van Java. Dari 10 saluran televisi, Trans TV menyuguhkan konten yang paling beragam dengan adanya program Ethnic Runaway yang ditayangkan dari Senin sampai Jumat, berisi tentang liputan etnis yang berbedabeda pada setiap episodenya. Acara yang ditayangkan pada jam tayang utama ini (pukul 6 sampai 7 petang), berbentuk semi-dokumenter dengan beragam referensi budaya seperti di antaranya suku Hoaulu, Dayak, Monesogo, Sakuddei, Dawan, Dani, Toraja, Bajo, Togutil, Abui, Lom, Bena, Bercu dan Saiboklo. Program ini menyajikan konten yang informatif mengenai masing-masing kelompok etnis melalui liputan tentang upacara adat, ritual keagamaan, ragam kuliner dan busana serta kepercayaan mistisnya. Dengan adanya informasi-informasi ini, acara Ethnic Runaway mewakili warga negara yang memiliki latar beragam yang berbeda. Meski demikian, di samping kontennya yang kaya informasi, acara ini tetap mengedepankan rating dengan menampilkan dua selebriti yang berbeda di setiap episodenya. Dengan menampilkan selebriti di setiap episodenya, yang seringkali memiliki sudut pandang orang metropolitan (modern, melek teknologi dan tidak peka terhadap norma-norma di luar norma yang dimilikinya), Ethnic Runaway menunjukkan bahwa konsumerisme merupakan faktor yang tidak dapat
dihindari dalam membentuk konten. Konten yang jujur dan edukatif tidak dapat berdiri sendiri tanpa 27 46
http://ajiindonesia.or.id/read/page/halaman/42/anggota.html, Terakhir diakses 5 April 2013.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
adanya mekanisme untuk menaikkan rating, contohnya dengan memasukkan selebriti dalam programprogramnya. Hal ini seringkali memaksa penonton untuk fokus kepada ketidakpekaan budaya dari sang pemandu acara dibandingkan dengan menikmati esensi dari konten yang edukatif ini. Hal lain yang dapat dicermati dari upaya untuk menaikkan konten ini termasuk juga penggambaran kekerasan ketika meliput tentang kelompok etnis yang tidak begitu dikenal. Sebagai contohnya adalah representasi negatif dari media terhadap suku Amungme di Papua melalui liputannya yang berulang kali membahas tentang demostrasi yang berujung kekerasan dalam kasus Freeport pada tanggal 22 September 2012 (TV One) dan perilaku agresif mereka yang diakibatkan oleh satu kasus pembunuhan pada tanggal 13 September 2012 (Trans 7). Selain dua berita ini, tidak ada liputan lainnya mengenai suku Amungme. Kasus ini menegaskan ketidakmampuan konten yang berkualitas untuk tidak bergantung pada tujuan komersilnya. Ketika kami menilik keberagaman kuantitatif melalui liputan kelompok etnis pada saluran televisi di Indonesia, kami menemukan bahwa lima stasiun televisi (Trans TV, Trans 7, TV One, Metro TV dan ANTV) adalah saluran-saluran yang memiliki program etnis yang paling beragam. Trans TV menampilkan 14 kelompok etnis yang berbeda, diikuti oleh Trans 7 dengan 11 kelompok etnis, TV One 9 etnis dan Metro TV dan ANTV masing-masing 8 etnis. Trans 7 unggul dalam menampilkan keberagaman ini karena memiliki program wisata perjalanan yang mengandung referensi budaya seperti Ragam Indonesia yang tayang tiap hari dan Wisata Malam yang tayang tiap pekan. Trans 7 juga memiliki program anak seperti Si Bolang Bocah Petualang, yang tayang tiap hari, di mana tokoh utamanya yang bernama Bolang mengunjungi provinsi yang berbeda-beda setiap episodenya. Hal lainnya yang kami amati juga adalah adanya benang merah dalam konten yang dimiliki oleh Trans 7 dan Trans TV yang dinaungi oleh perusahaan induk yang sama, yakni CT Corp. Meskipun Trans TV dan Trans 7 memliki konten yang beragam, namun stasiun televisi lainnya seperti RCTI, Indosiar, Global TV, SCTV, dan MNC TV memiliki konten keberagaman etnis yang minimal. Data yang kami miliki menunjukkan RCTI, Indosiar, dan MNC TV hanya mewakili tiga kelompok etnis yang berbeda sedangkan SCTV dan MNC TV hanya lima kelompok. Dua spektrum keberagaman ini dapat dilihat pada bagan 4.9., di mana Trans TV menayangkan konten yang paling beragam dibandingkan saluran lainnya, dan RCTI memiliki keberagaman konten etnis yang paling rendah.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
47
Tingkat keberagaman berdasarkan kelompok etnis RCTI (paling tidak beragam) dan Trans TV (paling beragam)
Bagan 4.9. Keberagaman berdasarkan kelompok etnis - RCTI dan Trans TV. Sumber: penulis. Dengan menggunakan kedua pengukuran yang ada, dari segi frekuensi dan variasi konten, kami dapat menyimpulkan bahwa RCTI memiliki konten yang tingkat keberagamannya paling rendah. RCTI hanya menyuguhkan 3 kelompok etnis (Bali, Betawi, dan Jawa) dengan total frekuensi 4 kali; sangat kontras jika dibandingkan dengan Trans TV yang menyuguhkan setidaknya satu lusin kelompok etnis. Hal ini terjadi karena perbedaan metode dalam memproduksi konten oleh kedua saluran televisi tersebut, di mana RCTI cenderung untuk membeli konten dari luar sedangkan Trans TV memproduksi acaranya sendiri. Hal ini membuat Trans TV (dan Trans 7, yang dimiliki oleh perusahaan yang sama) dapat menentukan topik dan programnya sendiri, sehingga memiliki kebebasan dalam mengatur kontennya. Karena tingginya tingkat kebebasan yang mereka miliki, terjadi peningkatan jumlah kelompok etnis yang terepresentasi serta tingkat keberagaman topik dan isu yang diliput. Hal ini terbukti melalui pemetaan isu; RCTI hanya menyentuh topik mengenai tradisi dan upacara adat, sedangkan konten Trans TV lebih kaya dengan adanya unsur-unsur seperti dokumentasi sejarah, wayang, dan referensi tentang industri tekstil serta keberagaman kuliner. Bagan 4.10. menunjukkan berbagai tipe ilustrasi yang ditayangkan ketika meliput tentang kelompok etnis. Kami mengamati bahwa 31% meliput tentang topik tradisi dan upacara adat, 14% mengenai cerita rakyat, 13% mengenai referensi kain adat (dominan dengan batik, diikuti oleh ulos dan tenun), dan berbagai macam produk kuliner dengan porsi sebesar 10%.
48
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Distribusi konten berdasarkan kelompok etnis Pemetaan isu pada 10 stasiun televisi swasta di Indonesia
Bagan 4.10 Pemetaan isu berdasarkan kelompok etnis. Sumber: penulis. Dengan dominasi Jawa dan Sunda pada konten media, kami dapat menyimpulkan bahwa ketika mengelompokkan konten berdasarkan kelompok etnis, kewarganegaraan maupun konsumerisme masih berpihak kepada kelompok mayoritas. Pengamatan kami juga menunjukkan keberagaman konten sangatlah kurang, dilihat tidak hanya dari kuantitas (di mana) penayangan identitas Jawa dan Sunda (memiliki frekuensi tertinggi), tetapi juga dari segi kualitasnya (durasi yang panjang pada jam tayang utama). Kecenderungan media untuk lebih mengetengahkan nilai-nilai budaya kelompok mayoritas tidak kondusif untuk mengembangkan gagasan pokok hak warga negara, karena hal tersebut tidak mengikutsertakan seluruh kelompok masyarakat dengan segala keberagaman mereka. Dominasi ini juga membahayakan kelangsungan hidup kebudayaan lokal yang telah lama ada. Meskipun Trans TV misalnya, membawakan program Ethnic Runaway, yang menampilkan berbagai macam kelompok etnis, namun tetap saja komunitas minoritas ini digambarkan sebagai orang luar dan tidak diikutsertakan dalam produksi konten. Kerangka dan lensa budaya yang digunakan tetap saja dimiliki oleh orang Jakarta atau Jawa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana konstruksi identitas dari kelompok minoritas ini diketengahkan, karena, sebagaimana argumentasi Ward, kelompok mayoritas melihat sudut pandang kelompok minoritas sebagai politik kepentingan pribadi yang sempit yang berusaha mereka atasi (1991). Dengan kata lain, meskipun kelompok mayoritas ini aktif dalam merangkul partisipasi kelompok minoritas, apa yang ditayangkan di layar kaca mungkin tidak menggambarkan representasi kelompok minoritas yang sesungguhnya. Sebagai praktik sosial, kebudayaan bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh perseorangan, tetapi lebih Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
49
merupakan suatu proses sosial di mana individu dapat berpartisipasi dalam konteks kondisi historis yang terus berubah (Pratt, 2005). Karenanya, produksi konten yang mengedepankan kewarganegaraan semakin penting untuk menjaga keberagaman pada tingkat tertinggi yang memungkinkan. Nilai-nilai konsumerisme yang menempel pada liputan mengenai referensi budaya juga merupakan bukti bahwa konten yang edukatif tampaknya sukar untuk berdiri sendiri, dan karenanya harus dipagari dengan konten berisi atribut-atribut yang lebih ramah-konsumen. Lagi-lagi hal ini berasumsi bahwa penonton adalah aktor yang pasif. Jika kita menginginkan keberagaman etnis dapat digambarkan dengan lebih baik di televisi, upaya-upaya reformasi konten secara kuantitatif dan kualitatif mutlak diperlukan.
4.4. Pendulum antara Kewarganegaraan dan Konsumerisme: Sebuah Kesimpulan Dari analisis pada bagian sebelumnya, kami dapat mengamati bahwa media kita bersifat Jakarta-sentris dalam hal konteks geografis, Islam-sentris dalam hal orientasi keagamaan dan Jawa-sentris dalam konteks identitas etnis. Karakteristik ini mengemuka secara simultan ketika fungsi media diharapkan menjadi sistem yang mengikutsertakan seluruh komponen masyarakat. Sebagai institusi “Fourth Estate”/Pilar Keempat (Carlyle, 1840, Schultz, 1998), kontribusi media dalam memperkaya ranah publik seharusnya menjadi hal yang wajib ada pada masyarakat demokratis. Konsep warga negara tercermin ketika sebuah ‘bangsa’ di mana publik berada dalam hubungan hak dan status yang legal dan ketika aktivitas yang sesuai didefinisikan sebagai hubungannya dengan negara. ‘Konsumen’, di sisi lain adalah subjek tanpa negara dan tanpa akar di mana aktivitasnya terdiri dari sekumpulan tindakan dan konsumsi pada suatu pasar di mana produk dari seluruh bangsa memperebutkan tempatnya di rak. Lebih lanjut, dalam persepsi pemikiran liberal demokratis, semua warga negara adalah setara; kewarganegaraan merupakan status yang homogen dan kohesif yang idealnya tidak membeda-bedakan warga negaranya, yang tanpa terkecuali ‘semuanya sama di hadapan hukum’. Konsumsi, di sisi lain, biasanya merupakan konseptualisasi dari tingginya tingkat aktivitas individu, di mana perbedaan kelas, gender, usia, wilayah, dan rasa diidentifikasi dan dimanfaatkan oleh pasar – dan bahkan mereka ciptakan jika memungkinkan, demi mendorong diferensiasi dan segmentasi (Hilmes, 2004).
Sebelumnya kami telah menemukan ketegangan yang substantif antara kewarganegaraan dan konsumerisme yang digambarkan di televisi. Dalam kerangka kewarganegaraan, kami mengamati adanya konsentrasi karakter identitas yang berulang – sebagian besar karena adanya kedekatan jarak geografis, agama, dan etnisitas. Hal ini bermuara kepada beberapa hal. Pertama, ini menunjukkan bahwa media tidak hanya berpihak kepada kelompok mayoritas, tetapi juga, dalam beberapa hal memasukkan kepentingan mereka sendiri secara berlebihan. Kedua, media tidak menyediakan ruang yang cukup untuk mengangkat tema mengenai kelompok marjinal, dilihat dari kurang berkembangnya isu ketika meliput konten yang mewakili golongan rentan. Ketiga, keterlibatan warga negara dalam mempengaruhi konten berjalan satu arah dan kurang terwakili. Hal ini terlihat dari banyaknya konten yang menggambarkan kelompok minoritas tetapi diteropong dari lensa kelompok mayoritas. Dalam kerangka konsumerisme, kami juga telah menyimpulkan beberapa hal. Pertama, media terbukti tidak bergerak berdasarkan fungsi utama mereka dalam melayani warga negara; mereka lebih mengikuti dorongan nilai-nilai konsumerisme dalam hasil produksinya untuk mendapatkan lebih banyak pemasukan melalui iklan. Nielsen sebagai sistem rating tunggal memainkan peranan besar dalam manifestasi hal tersebut. Kedua, ada suatu ketergantungan yang besar antara representasi konten ‘murni’ terhadap nilai konsumerisme (yang didorong oleh pasar), di mana karakteristik unsur kekerasan, kriminalitas, kecelakaan, bencana alam dan selebritas tidak dapat dihindarkan. Terakhir, dan mungkin yang paling penting, adalah bahwa seluruh konstruksi opini dan identitas yang berdasar pada konsumerisme ini masuk dalam pikiran penonton seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini memaksakan suatu model gaya hidup yang penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan, yang menyebabkan penonton terjebak dalam konsumerisme, terisolasi antara satu sama lain dan terceraiberai (Herman dan Chomsky, 1988, Chomsky 2002). 50
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Karenanya, upaya untuk menjembatani pentingnya kewarganegaraan dan kepentingan konsumerisme sangat diperlukan. Perbaikan internal dan eksternal memainkan peranan yang penting. Secara internal, hal ini dapat dijalankan dengan meningkatkan kualitas produksi konten melalui tindakan dari jurnalis, editor dan pemilik, dan juga melalui sistem rating yang lebih baik yang tidak hanya berfokus dalam memanfaatkan penonton sebagai konsumen. Dari sisi eksternal, dukungan pemerintah yang lebih baik untuk memproduksi jurnalisme yang baik juga merupakan alternatif yang dapat dilakukan dengan lebih signifikan melalui pemberian subsidi, hibah, dan sistem kontrol dan sebagainya (Bell, Anderson dkk, 2012). Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi warga negara dalam mempengaruhi konten, yang dapat dilakukan melalui kontribusi media yang lebih aktif dengan memanfaatkan beragam alternatif yang dimungkinkan dengan adanya media baru. Kesimpulannya, ekologi media yang tidak sepenuhnya tergantung pada iklan merupakan suatu sistem yang lebih kami pilih. Keberagaman dan keterwakilan yang lebih aspirasional ini hanya dapat terealisasi di media jika kita bergerak dari konten yang didorong oleh konsumsi ke arah dorongan dari warga negara. Inovasi dalam media, tidak hanya sebagai industri, tetapi juga sebagai entitas publik merupakan hal yang penting. Pada bab selanjutnya, kami akan mengetengahkan isu mengenai kerja internal dari industri media dan alternatif apa yang dapat kita ambil untuk membentuk suatu sistem media yang lebih baik.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
51
5. Mekanisme Produksi Konten oleh Media: Logika Kerja Media Menggunakan kekuasaan untuk intervensi, pemilik yang juga politisi, dan profesional yang lemah... Itu adalah kombinasi yang berbahaya [untuk media kita]... Dan hal itu sedang terjadi sekarang ini. (Wawancara dengan DD Laksono, mantan wartawan dan pembuat film dokumenter, 15/01/2013)
Cepatnya perkembangan industri media telah menyebabkan persaingan industri informasi semakin ketat. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang menyediakan berbagai moda komunikasi, media menjadi alat yang penting dalam menyebarkan informasi dan hiburan – dua hal yang semakin penting bagi kehidupan warga negara. Dengan beragam pilihan akses terhadap informasi, seperti siar, cetak atau online, media dikondisikan untuk memproduksi konten yang dapat menagkap perhatian warga negara. Dalam bab ini kami mencoba untuk menilik bagaimana konten diproduksi dan faktor apa sajakah yang mempengaruhi produksi konten sebelum disajikan kepada warga negara. Kami menemukan ada tiga aspek penting yang mempengaruhi produksi konten di media. Pertama adalah bagaimana wartawan mengumpulkan informasi dan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh warga. Sebagai orang pertama yang menerima informasi, wartawan diharapkan mampu menjaga fakta, akurasi dan objektivitasnya terhadap informasi tersebut sebelum disajikan kepada warga. Aspek kedua yang mempengaruhi produksi konten adalah mekanisme ruang redaksi, di mana informasi diteruskan ke otoritas yang berlapis-lapis sebelum disajikan kepada publik. Secara umum, dalam proses editorial, ada nilai-nilai perusahaan tertentu yang harus dimasukkan pada setiap publikasi. Nilai-nilai ini berbeda dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dan dalam beberapa hal bertindak sebagai proses sensor yang membentuk informasi dalam konten yang disajikan oleh media. Aspek ketiga adalah intervensi yang tidak mungkin terelakkan, baik dari dalam maupun luar media. Dari dalam, intervensi ini dapat berasal dari proses editorial, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, maupun dari kepentingan pemilik perusahaan; sedangkan dari luar, pengaruh ini berasal dari kepentingan pengiklan, pemerintah maupun sekelompok elit. Tiga aspek tersebut bersama-sama membentuk konten media dan menciptakan sistem yang mempengaruhi bagaimana media memproduksi konten. Dalam sub-bab berikut, kami menyelidiki bagaimana media bekerja dan bagaimana kaitan antara intervensi, mekanisme editorial, dan kerja dari para wartawan dapat menggerakkan media.
5.1. Sejarah dan Latar Belakang Tahun 2011 menjadi saksi terjadinya banyak merger dan akusisi antar kelompok media di Indonesia. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) dibeli oleh Elang Mahkota Teknologi yang merupakan perusahaan induk Surya Citra Televisi (SCTV). Chairul Tanjung Group (CT Group), perusahaan induk Trans TV dan Trans 7 baru-baru ini membeli detik.com, salah satu media online terbesar di Indonesia. Dalam skala kecil, proses akusisi lainnya dilakukan oleh Grup Lippo yang membeli beritasatu.com. Hal ini tentunya bukanlah akhir cerita. Proses akusisi dan merger lainnya tampaknya akan menyusul dalam waktu yang tidak lama lagi, mengingat tingginya pertumbuhan industri media di Indonesia (Nugroho, Putri dkk, 2012).
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
53
Dari yang awalnya kontrol oleh pemerintah sampai menjadi alat utama dalam mengukur kebebasan berekspresi, media di Indonesia telah menjadi arena yang amat kompetitif. Saat Orde Baru, media – khususnya media siar seperti radio dan televisi – diawasi dengan ketat oleh pemerintah. Untuk mencegah media melawan pandangan pemerintah, diterapkan regulasi yang ketat untuk membatasinya. Perusahaan media juga dimiliki oleh pemerintah atau mereka yang dekat dengan Soeharto. Ideologi politik yang diterapkan negara pada saat itu sangat mendominasi media. Media pada masa itu menjadi alat penyebaran pandangan pemerintah. Sebagai contoh, industri pers harus menghadapi beberapa kali penyegelan karena berita mereka yang berseberangan dengan pemerintah, contohnya dalam kasus Kompas, Tempo, dan Sinar Harapan (Nugroho, Putri, dkk, 2012). Satu-satunya stasiun televisi yang ada saat itu, yakni TVRI, yang juga sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah. Lebih lanjut, bermunculannya stasiun televisi swasta pun dikaitkan dengan Soeharto dan kerabatnya. Pemerintah terus mengawasi media dengan seksama, terutama pers. Jika kita melihat kembali sejarah televisi, pendirian stasiun televisi di Indonesia tidak pernah dimaksudkan untuk melayani publik. TVRI didirikan untuk pemerintah dan stasiun televisi swasta dimiliki oleh kerabat dekat Soeharto. Bisnis pertelevisian mulai bermunculan pada akhir tahun 1980-an. Awalnya, RCTI didirikan tahun 1989 sebagai televisi berbayar di mana orang harus membayar setiap bulannya. RCTI juga disiarkan melalui dekoder dan merupakan televisi jaringan, di mana setiap wilayah memiliki versi RCTI-nya sendiri. Perubahan wajah pertelevisian di Indonesia (dari saluran jaringan menjadi bebas tayang atau free to air) merupakan dampak dari berdirinya TPI, stasiun jaringan nasional yang dimiliki oleh Siti Harijanti Rukmana (anak perempuan Presiden Soeharto) yang ditayangkan menggunakan jaringan transmisi TVRI. Hal ini kemudian memicu protes dari RCTI dan SCTV. Karena alasan inilah pada akhirnya pemerintah mengizinkan mereka untuk menjadi stasiun televisi bebas tayang, yang merupakan titik balik perubahan model siaran televisi di Indonesia sampai saat ini. Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, pertumbuhan bisnis media adalah gambaran sempurna dari dalil ‘survival of the fittest’: tidak semua perusahaan media mampu untuk bertahan dari kompetisi. Sebagai contoh, di tahun 1999, Indonesia memiliki 1.381 media cetak sedangkan di tahun 2010 hanya 1.076 dari mereka dapat bertahan (Lim, 2011). Saat ini, dua belas kelompok media besar mengendalikan siklus informasi di media Indonesia (Nugroho, Putri dkk, 2012). Media telah menjadi bisnis yang menjanjikan sekaligus ketat. Menjanjikan karena dapat mengendalikan informasi, tetapi juga ketat karena tidak semua orang mengerti bagaimana menjalankan bisnis media. Karena media sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, bisnis mereka juga terkait erat dengan kepercayaan dan integritas, dan memerlukan komitmen ketika menjalankannya. Namun demikian, dalam pertumbuhan industri media, jika pelaku bisnis telah menguasai alatnya, mereka seringkali melupakan komitmennya kepada publik.
5.2. Kekuasaan dan Media Menurut Curran dan Couldry (2003), adalah klise untuk menganggap ‘media memiliki kekuasaan’. Kekuasaan yang dimiliki media tidak hanya dipunyai oleh pemiliknya, tetapi juga berada dalam sistem secara keseluruhan. Secara umum, kekuasaan media simbolis dan persuasif, dalam artian media pada dasarnya memiliki potensi untuk mengendalikan pemikiran pembaca atau penontonnya dalam batasbatas tertentu, tetapi tidak demikian halnya dengan tindakan mereka secara langsung (Dijk, 1995). Lebih lanjut, McCombs dan Shaw (1972) menggali ide Bernard Cohen yang menyatakan pers mungkin tidak terlalu berhasil dalam upayanya mempengaruhi pikiran orang, tetapi sangat berhasil untuk mempengaruhi pembacanya mengenai apa yang seharusnya mereka pikirkan. Dengan demikian, kekuasaan yang bekerja dan berada di sekitar media seringkali dilihat sebagai suatu bentuk agendasetting. Media juga mampu menjadi alat penting bagi mereka yang menginginkan kekuasaan, atau media juga dapat berperan sebagai ‘power generator’ di mana media akan memproses informasi dan mengubahnya menjadi suatu hal yang berbeda, dan mungkin lebih kuat. Namun demikian, beberapa hal yang ada di sekitar dan di dalam media yang mempengaruhi cara kerjanya. Faktor-faktor ini, dalam beberapa hal memiliki kemampuan untuk membentuk konten media. Sebagai contoh, berdasarkan pengamatan kami di awal, konten televisi (berita, hiburan, dan gaya hidup
54
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.28 Semua televisi (dan saluran media lainnya) memiliki kantor pusat yang berlokasi di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain itu, mereka juga didorong oleh pengiklan mereka yang mengiklankan produk mereka berdasarkan target pasarnya yang membuat konten semakin berpusat di Jawa. Penduduk di seluruh Indonesia terekspos kepada konten dan iklan dari Jakarta dan Jawa. Intervensi juga tidak dapat dihindari lagi, apakah itu datang dari dalam maupun luar media dan apakah itu merupakan intervensi yang tidak kasat mata maupun yang jelas terlihat. Intervensi ini berhubungan erat dengan kerja wartawan dan ruang redaksi di mana mereka berkumpul untuk menghimpun informasi sebelum membawakannya kepada publik. Penjelasan yang lebih rinci mengenai kekuasaan dan media akan dijelaskan dalam sub-bab berikut.
5.2.1. Sensor dan Intervensi dalam Media Memiliki kekuasaan untuk dapat terlibat di media merupakan suatu keistimewaan, tidak hanya karena dapat mengetahui informasi, tetapi juga mencetak informasi tersebut sebelum dipublikasikan. Ketika hal ini berjalan, intervensi dalam kerja media dan konstruksi informasi juga terjadi. Proses konstruksi berita hampir selalu terjadi, hanya tekniknya saja yang sedikit berbeda. Contohnya, Dandhy Laksono, seorang mantan jurnalis yang saat ini bekerja sebagai pembuat film, pernah mengalami intervensi ini secara langsung dan tidak langsung sehingga dia harus bertarung untuk mempertahankan kebebasannya.29 Meskipun pada akhirnya dia harus keluar dari perusahaan, sebagai salah satu anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Dandhy masih terlibat dalam organisasi untuk memperbaiki kerja wartawan. Intervensi pemilik atau eksekutif media dan pengaruh mereka terhadap konten memang telah banyak ditengarai sudah terjadi. Tetapi intervensi ini menjadi lebih parah di industri media siar khususnya di televisi yang notabene menggunakan domain publik. Menurut data tahun 2012, setidaknya 91,7% masyarakat Indonesia di atas umur 10 tahun menonton televisi.30 Sebagai media yang paling banyak dikonsumsi, televisi memiliki tanggung jawab lebih besar kepada publik, tapi pada saat yang bersamaan juga merupakan media yang paling menguntungkan. Di sini timbul konflik: media harus beroperasi secara bertanggung jawab, tetapi di sisi lain mereka merupakan entitas ekonomi yang mengedepankan profit. Seringkali intervensi ini tidak langsung datang dari pemiliknya. Namun demikian, ada sebuah sistem yang memagari kerja media yang pada saat bersamaan mengekspresikan kepentingan pemilik dalam cara-cara yang tidak kasat mata. Lebih lanjut, intervensi ini seringkali berada di level manajemen yang pada akhirnya mempengaruhi para editor. Cara-cara intervensi dapat termanifestasi melalui dekonstruksi cerita dan publikasi (menambahkan atau mengurangi fakta) berdasarkan permintaan. Seringkali permintaan semacam ini diikuti oleh pembayaran uang yang besar dari si pemohon. Editor kemudian menyampaikan hal ini kepada jurnalis/reporter/semua staff di meja editorial untuk ditindaklanjuti. Di beberapa media, wartawan memiliki kekuasaan untuk menolak permintaan tertentu untuk merekonstruksi liputan mereka. Wartawan dapat mengkomunikasikan keberatan mereka untuk dan tidak melaksanakan permintaan tersebut dalam rapat redaksi yang dilakukan di media. Namun, proses diskusi redaksi yang terbuka ini bukan merupakan praktik yang umum terjadi di media pada zaman sekarang ini. Seorang responden kami dari televisi swasta nasional menyatakan bahwa di perusahaannya, permintaan untuk memasukkan informasi tertentu (biasanya bukan untuk konsumsi publik) tidak pernah tertera di atas kertas, tetapi mereka tetap harus memenuhi permintaan tersebut. Mereka menerima perintah atau tugas dari editor dan harus menjalankan permintaan itu. Permintaan ini juga tidak pernah diterima secara langsung oleh wartawan lapangan karena mereka memiliki otoritas yang terbatas ketika menentukan berita mana yang layak atau tidak layak tayang. 28 Silakan lihat bab 4 dari laporan ini. 29 Kasus Dandhy melawan dua pemilik media disidangkan di Mahkamah Konstitusi tahun 2012. Testimoni Dandhy dapat diakses di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_78%20PUU%20 2011-telah%20baca%203%20Okt%202012.pdf. 30 Lihat http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=27¬ab=36. Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
55
Itu (perintah meliput berita) kan lewat pimpinan, lewat pimpinan terus perintahnya jatuh ke kita. Kalau lewat kita (reporter), kita bisa menolak.. Kalau kita sendiri bisa menolak tapi kalau itu perintah, kita tidak tahu ini untuk kepentingan apa. [Pimpinan berkata] Kau tampilkan ini lah, [walaupun] kita tidak kompeten dalam topik yang kita bicarakan, sudahlah kau bikin saja. Ini yang pimpinan memanfaatkan kekuasaannya... Kalau ini untuk kepentingan pemilik baik dari sisi bisnis maupun politis dia kita masih bisa menerima... tapi dibawah-bawah pemilik ini lho, yang atasan kita langsung yang pemred yang memanfaatkan itu [pemberitaan & kekuasaan]. (Wawancara dengan narasumber anonim, seorang mantan produser di perusahaan televisi nasional yang dimiliki oleh politisi, 2013) Berdasarkan informasi dari narasumber kami tersebut, terlihat bahwa seringkali media beroperasi di suatu kondisi di mana ketika seseorang memiliki kekuasaan (dalam hal ini uang), mereka dapat membeli suara di produksi berita. Skema pembelian berita ini terjadi di banyak saluran televisi. Biasanya permintaan semacam ini datang dari politisi, institusi pemerintahan dan bahkan dari pelaku bisnis untuk keuntungan pribadi mereka sendiri. Permintaan semacam ini datang ke meja editor yang memiliki otoritas untuk menayangkan berita. Sepertinya, hal ini menjadi cara bagi mereka yang duduk di level manajerial untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Karenanya, seluruh hal ini telah terinstitusionalisasi. ...Kalau semua perintah atasan kita debat kita tolak itu sistem tidak akan jalan, tapi kita tahu ini ‘bau’ ini, ini berbau nih berita ini, kita kerjakan tidak dengan hati. Itu dari sisi moralitas saya merasa seperti diludahin lah. (Wawancara dengan narasumber anonim, mantan wartawan di perusahaan penyiaran nasional, 19/03/2013). Dari wawancara yang kami lakukan, terlihat ada dua mekanisme operasi di media. Pertama, adalah mekanisme editorial tertutup di mana seringkali diskusi editorial menjadi diskusi satu arah. Karena itu, wartawan tidak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan pandangan mereka mengenai beberapa isu ataupun untuk memberikan masukan mengenai topik apa yang seharusnya diliput oleh media. Dalam hal ini, hubungan kerja antara editor dan wartawan menimbulkan situasi yang menempatkan wartawan di posisi dilematis: mengikuti arahan editor sehingga dapat terus bekerja di perusahaan tersebut atau menolak dan beresiko dipecat. Mekanisme ini tidak menyediakan kesempatan bagi wartawan dan awak media untuk menyuarakan keprithatinan mereka dan menerapkan hubungan yang hegemonis di ruang redaksi. Mekanisme kedua adalah proses editorial terbuka di mana wartawan dan editor memiliki hak untuk mengekpresikan opini dan keberatan mereka terhadap isu-isu yang menyentuh kepentingan publik. Biasanya penugasannya itu lewat direct memo yang berupa undangan dan berisi pesan bahwa acara itu penting untuk diliput padahal sebenarnya acara itu biasa saja, hanya acara tentang peluncuran bisnis si pemegang saham atau teman dari pemegang saham. [Liputannya] paling hanya masuk ke berita pendek. Nah, setelah beritanya turun pemegang sahamnya protes karena (namanya) tidak disebutkan. Namanya dimasukkan tapi hanya sekadarnya saja… Pemegang saham lapor ke managing editor… tapi didiamkan saja. Mungkin karena akhirnya kita dibela juga oleh managing editor atau pemimpin redaksi. (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan koran nasional, 04/03/2013). Kami waktu membikin investigasi tentang banjir di jalan tol menuju bandara 2007... Banjir besar, itu kami fokuskan disitu. Setelah diskusi sana sini kita dapatkan bahwa penyebab dari tergenangnya jalan tol adalah didirikannya perumahan Pantai Indah Kapuk. Ketika itu Pantai Indah Kapuk dimiliki oleh Ciputra Group, ya. Siapa Ciputra, Ciputra adalah komisaris Tempo... Kami harus menulis sebuah berita yang menyalahkan perusahaan yang dimiliki oleh komisaris kita sendiri. Apakah ada intervensi untuk jangan ditulis, atau hati-hati, atau ini [lainnya]? Tidak ada sama sekali, tidak ada sama sekali. Singkat kata 56
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
kami tulis lah semua berita itu termasuk konfirmasi dari Ciputra. Waktu itu Ciputra marah sekali, tidak mau ditemui, akhirnya kita door stop nanyain tentang ini segala macam. Saya tulis waktu itu, ketika dikonfirmasi Ciputra membantah dan seterusnya. Tulisan saya setor kepada redpel, diedit oleh redpel dan saya baca hasil editingnya. Apa yang dilakukan redpel? Yang dilakukan redpel adalah ketika dikonfirmasi, Ciputra koma komisaris utama Tempo Inti Media menolak. Artinya apa? Artinya dia menegaskan bahwa Ciputra adalah pemilik Tempo, dan kami menulis Ciputra, gitu loh. Dan toh itu tetap ditulis dan Ciputra marah. Dia melalui anak buahnya mengirim surat bantahan, tentu saja, dan beberapa kali ulang tahun Tempo dia tidak hadir, tapi orang kayak Ciputra tahu persis bahwa kami [redaksi TEMPO] tidak bisa diatur-atur kayak begitu. (Wawancara dengan A. Zulkifli, Editor Senior di Majalah TEMPO, 21/03/2013). Petikan wawancara kedua datang dari TEMPO yang berusaha untuk menjaga keterbukaan mereka di ruang redaksi dengan menulis fakta dalam situasi apapun. Meskipun permintaan ini datang dari komisaris, mereka tetap memiliki hak untuk menolak, atau bahkan mempublikasikan berita dari sudut pandang berbeda dari sudut pandang sang komisaris. Proses editorial ini sangat bergantung pada profesionalisme wartawan dan editor dan cara mereka untuk dapat menjaga akurasi informasi dan integritas profesi mereka. Intervensi Politik dalam Media Dari 12 kelompok media besar yang ada di Indonesia31, kami melihat bahwa 3 di antaranya dipunyai oleh pemilik yang berafiliasi dengan politik, yaitu Surya Paloh pemilik Media Group, Aburizal Bakrie pemilik Visi Media Asia, dan Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Group. Paloh adalah pemimpin Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Bakrie adalah ketua Golongan Karya (Golkar), dan Hary Tanoesoedibjo baru-baru ini pindah dari Partai Nasional Demokrat ke Hati Nurani Rakyat (Hanura), pimpinan Jenderal Wiranto. Tiga orang ini menguasai hampir semua format media yang ada di Indonesia: media penyiaran, cetak, dan online. Pengaruh dari struktur kepemilikan ini mulai mengkhawatirkan, terutama ketika mereka menggunakan kekuasaannya di media untuk kepentingan pribadinya, terutama di televisi, di mana fenomena ini mulai terjadi. Contohnya, liputan mengenai deklarasi partai baru Nasional Demokrat oleh Surya Paloh yang ditayangkan Metro TV, atau laporan khusus tentang deklarasi pencalonan Aburizal Bakrie sebagai presiden yang ditayangkan TV One. Selain dari panjangnya durasi liputan, dua saluran televisi tersebut tidak memberlakukan praktik serupa (tidak meliput) deklarasi atau acara yang dilakukan oleh partai politik lainnya. Dengan menggunakan domain publik, media tersebut bukannya melayani kebutuhan publik akan informasi, tetapi justru menjadikannya alat untuk menyalurkan informasi yang menurut mereka penting. Mereka memperlakukan frekuensi seakan-akan hal itu adalah milik pribadinya sendiri, untuk melayani kepentingannya semata. Intervensi dari pemilik dan pihak eksternal dilakukan dengan terang-terangan. Di salah satu saluran yang dimiliki oleh politisi, kami mendapati dua jenis liputan yang berhubungan dengan aktivitas politis pemiliknya, yakni 1) wajib untuk diliput, 2) wajib untuk disiarkan. Jenis liputan yang pertama berarti merupakan suatu kewajiban bagi wartawan untuk melaporkan acara tersebut. Biasanya, sebuah tim khusus dibentuk untuk meliput secara langsung atau merekam acara. Sedangkan yang kedua berarti acara tersebut harus disiarkan baik lewat siaran langsung maupun tunda. Apapun jenisnya, liputan mengenai aktivitas politik pemilik media itu harus diprioritaskan. Jika acaranya wajib untuk disiarkan, hal ini berarti penayangan program, waktu tayang dan durasinya harus ditentukan dari awal. Mereka bahkan memiliki tim khusus yang secara spesifik menangani semua publikasi mengenai aktivitas politik sang pemilik. Setiap hari atau setiap ada acara [terkait partai politik pemilik] kita harus wajib tayang itu sudah ditentukan programnya, jamnya, durasinya. Bahkan orang yang mengerjakan tentang itu [program terkait partai politik pemilik] tidak boleh orang sembarangan. Sudah ada timnya sendiri. Dan akibatnya produser, merubah titik koma itu tidak. Copy paste, [kemudian] masuk [tayang]... sudah begini. Mau salah mau benar tidak tahu deh. Tapi tanggung jawabnya di produser. Iya, jelas [produser bertanggung jawab]. 31
Lihat Nugroho, dkk (2012b). Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
57
(Wawancara dengan narasumber anonim, mantan pekerja di televisi nasional yang dimiliki oleh politisi, 2013). Dengan mekanisme seperti ini, informasi yang disalurkan kepada publik dipenuhi dengan kepentingan pemilik. Hal ini menjadi problematis karena mereka juga menggunakan frekuensi untuk siaran yang merupakan barang publik. Selain intervensi politik pemiliknya, ada pula skema sensor lainnya yang menciptakan batasan di sekeliling berita dan liputan. Tidak pernah ada suatu sensor resmi yang tertulis atau aturan mengenai bagaimana suatu berita dapat dituliskan, namun wartawan dan awak media sadar hal-hal apa saja yang dapat diliput – terutama berita-berita yang berhubungan langsung dengan pemilik media. Situasi ini mengkonfirmasi kritik Buordieu: perhatian media kepada hal-hal yang luar biasa, bencana, dan kisah hidup manusia lebih besar dibandingkan minatnya untuk secara substantif menelaah isu politik dan sosial; perhatian media yang sinis kepada ‘permainan’ politik yang dimainkan politisi, pelobi, berkebalikan dengan eksplorasi mengenai hal-hal yang konkrit dan efek material dari permainan ini; di mana mekanisme sensor yang terselubung diterapkan dalam berita secara langsung maupun tidak langsung oleh psar, berbagai macam cara di mana jurnalisme memiliki keterbatasan dalam pandangan publik mengenai apa yang membangun realita dan apa yang berkorespondensi dengan pembangunan politik dalam realita ini (Szeman, 2000). Wartawan memang tidak mendapatkan perintah spesifik atau arahan untuk mengubah suatu pemberitaan menjadi tidak terlalu agresif – khususnya berita mengenai pemilik media dan/atau kerabatnya, tetapi karena hal tersebut telah tertanam dalam sistem kerja media. Namun, semua orang yang terlibat di dalamnya menyadari akan adanya suatu keharusan untuk mengurangi kadar negativitas agar lebih aman dan melindungi diri mereka dan surat kabarnya dari konflik yang dapat ditimbulkan dari pemberitaan tersebut. Mekanisme sensor ini terjadi pada semua jenjang, dari manajerial, redaksi, sampai ke wartawan dan reporter. Wartawan yang bekerja di satu koran nasional meyakinkan kami bahwa wartawan menyadari adanya mekanisme sensor tidak terlihat ini dan karenanya, mereka secara sadar menghindari pemberitaan isu-isu tertentu yang dapat menyinggung pemilik media, dan maka dari itu, di samping kerja keras pada saat pengumpuan fakta, cerita mereka tidak akan dipublikasikan. Aku tidak bisa tulis [berita] yang dekat dengan si pemilik, soal itu [partai politiknya]... Jadi ya mau sampai gimanapun, aku sih tidak akan pernah dimarahi menulis itu sama redakturku, aku masukkan saja [beritanya] terus tidak apa-apa, tapi tidak pernah akan turun juga dimanapun [di channel media manapun yang dimiliki oleh pemilik-politisi] ...Karena aku sudah capek menulis, sudah capek turun ke narasumber tidak naik [jadi berita], yasudahlah untuk apa aku kerjakan gitu kan. (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan surat kabar nasional yang dimiliki oleh politisi, 2013). Bentuk lain dari sensor terselubung ini juga terlihat pada media yang tidak memiliki afiliasi dengan partai politik. Di media yang dikuasai oleh pemilik non-politisi, kami tidak menemui adanya mekanisme sensor. Tetapi, media ini juga menerapkan standar editorial tertentu tentang tata cara publikasi berita. Mekanisme sensor tidak ada. Tapi memang editor yang punya wewenang untuk memilih mana yang akan dia naikkan dan mana yang tidak dinaikkan[beritanya]. Dan editor tidak punya kewajiban menjelaskan [kenapa suatu berita tidak dinaikkan], dan otoritas itu dia pasti banyak punya pertimbangan termasuk keamanan [perusahaan] lah… beritanya tendensius lah.. apapun, penjelasannya macam-macam. Otoritasnya [editor] otoritas personal dan dia tidak harus menjelaskan. Ada yang banyak yang menjelaskan [alasan mengapa berita tidak dinaikkan] tapi ada juga yang tidak menjelaskan... [alasannya] banyak, penjelasannya macam-macam. Misalnya cara menempatkan problem misalnya, itu bisa editor minta ok kita udah berapa kali menulis dari sisi A, Gimana kalau sekarang kita menulis dari sisi B, sisi lain… harus sekali-kali menulis dengan angle ini [lain] dong, kita kan bukan, bukan harus di lapangan melayani satu pihak... itu bisa editor melakukan itu [menentukan berita mana yang dinaikkan dan mana yang tidak] 58
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
(Wawancara dengan A. Wisanggeni, wartawan Kompas, 9 Januari 2013). Standar editorial diterapkan guna menjaga kelayakan suatu berita untuk naik cetak berdasarkan nilainilai jurnalistik media bersangkutan. Namun demikian, kami juga menemukan bahwa beberapa media yang tidak memiliki afiliasi politik ini masih harus berhati-hati ketika memberitakan isu-isu tertentu, dan pada saat yang bersamaan, secara tidak langsung, media tersebut menciptakan batas-batas bagi ceritanya. Terkadang hal ini lebih merupakan suatu kehati-hatian dalam memberitakan isu-isu sensitif. Dua contoh yang disajikan dalam laporan ini dimaksudkan untuk menjelaskan gagasan ini. Contoh pertama adalah kasus reportase Ahmadiyah.32 Ketika memberitakan kasus Ahmadiyah, Kompas jarang menyentuh alasan timbulnya kasus tersebut atau akar permasalahannya. Kompas alih-alih berfokus pada fakta mengenai insidennya, berapa banyak orang yang meninggal, kronologi insiden, tetapi tidak pernah mendiskusikan inti permasalahannya. Standar editorial/sensor terselubung ini digunakan untuk menjamin keselamatan perusahaan, dan membuat koran ini bertahan di industri jurnalisme. Dalam hal ini, surat kabar, di satu sisi, dapat meliput fenomena, insiden, dan kejadian yang ada; tetapi di sisi lain, tidak dapat menyajikan pembaca pemahaman yang mendalam mengenai isu tersebut. Kasus kedua yang kami ambil adalah standar editorial di KBR68H. Stasiun radio ini tidak memiliki mekanisme sensor pada isu-isu tertentu, tetapi mereka menyebutnya ‘kehati-hatian’ dalam menyiarkan atau menuliskan suatu berita, karena untuk setiap cerita mereka harus memikirkan dampaknya bagi perusahaan maupun publik. Selain itu, KBR68H juga sering menyiarkan diskusi mengenai isu hak asasi manusia dan isu sensitif lainnya. Untuk itulah mereka harus lebih berhati-hati ketika membawakan berita, tanpa harus menghilangkan poin penting dalam berita tersebut. Untuk hal-hal tertentu ya harus saya kira. Terutama konflik ya, terutama konflik horizontal.. Bukan sensor istilahnya ya, tapi kehati-hatian lebih tepatnya. Juga intuk korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual pada anak juga misalnya, itu wajib itu disembunyikan identitasnya. Pokoknya prinsip-prinsip dan etika jurnalistik mesti dipatuhi. Kalau sensor pada prinsipnya ga ada. Tapi kehati-hatian, iya. (Wawancara dengan Hendratmoko, Direktur KBR68H, 10 Januari 2013). Kami beranggapan bahwa meskipun sensor terselubung dengan alasan keselamatan semacam ini mungkin dapat dibenarkan, tetapi sensor dengan alasan kepentingan pribadi ini seharusnya dihindari atau bahkan ditolak. Karena itu, jurnalis dan editor sebagai pihak yang mengolah informasi memainkan peran yang penting dalam menjaga akurasi berita apapun yang ada pada media. Wartawan, editor dan siapapun yang terlibat dalam membentuk konten adalah mereka yang harus menjaga prinsip media. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan etika dan prinsip jurnalistik, serta mengadakan diskusi reguler antara wartawan dan editor dalam ruang redaksi. Beberapa media memang masih memegang teguh prinsip mereka sebagai institusi sosial dan berdedikasi kepada masyarakat. Mediamedia semacam ini mengerti bahwa dalam bisnis media adalah bisnis kredibilitas dan kepercayaan. Kami mewawancarai beberapa media yang menerapkan sensor terselubung ini. Sensor terselubung yang menguasai keseluruhan sistem media ditanamkan langsung pada hari pertama saat seorang wartawan masuk ke dalam sistem. Meskipun hal ini tidak terungkap secara verbal atau tulisan, semua orang yang bekerja dalam sistem tahu benar tentang apa yang boleh dan tidak boleh diliput. Sensor ini juga dapat ditemui dalam code of conduct perusahaan dan kriteria mengenai apakah suatu cerita memiliki nilai berita atau tidak. Tetapi, dalam perusahaan media yang pemiliknya berafiliasi dengan suatu partai politik, mekanisme sensor dapat merusak kebenaran. Dari sudut pandang hak warga negara, sistem semacam ini telah mengancam hak warga negara untuk memperoleh informasi yang benar, khususnya dalam keadaan di mana melek media masih harus terus dibangun. Namun demikian, meskipun pelatihan untuk wartawan telah beberapa kali dilakukan, penerapan prinsip dan etika jurnalistik harus dijadikan diskusi harian di ruang editorial untuk menciptakan sinergi antara wartawan 32 Bagi pengikutnya, Ahmadiyah adalah gerakan kebangkitan Islam (Al Islam, 2012). Gerakan ini sekarang telah menyebar di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah fatwa melawan Ahmadiyah. Fatwa MUI 5/ 1980 yang terdaftar di MUI ini berdasarkan sembilan buah buku Ahmadiyah yang menyatakan bahwa jamaah Ahmadiyah bukan merupakan golongan Islam dan menyimpang dari ajaran Islam. Beberapa anggota Ahmadiyah percaya bahwa fatwa ini merupakan awal dari fase-fase anti gerakan Ahmadiyah selanjutnya dan berujung kepada beberapa penyerangan terhadap basis massa Ahmadiyah (Nugroho, Nugraha, 2012, hal. 44-46). Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
59
dan editor. Sinergi macam ini dapat membentengi ruangan editorial dari gempuran intervensi di ruang redaksi. Kita dapat berpendapat bahwa sensor dan intervensi tidak sekadar permasalahan politisasi ataupun komodifikasi semata, tetapi juga berhubungan dengan etika kerja wartawan sebagai individu dan juga budaya perusahaan.
5.2.2 Bagaimana Iklan Bekerja dalam Media Secara alamiah ada dualisme dalam sifat dasar konten yang diproduksi media: sebagai komoditas dan barang publik. Disebut komoditas karena industri media menggunakannya untuk mengakumulasi keuntungan. Di saat yang bersamaan konten menjadi barang publik karena dalam beberapa hal konten menciptakan ruang publik. Dengan kata lain institusi media memiliki fungsi sosial, budaya dan politis; di sisi lain, mereka juga didorong oleh kepentingan ekonomi.33 Media adalah penyedia berita; di mana mereka juga harus mendapatkan keuntungan dari publikasi mereka. Untuk menjaga agar media dapat terus bertahan, mereka memerlukan adanya suatu sumber pendapatan tetap. Salah satu sumber pendapatan yang bisa diandalkan adalah pendapatan iklan. Iklan adalah sumber kehidupan dari semua media yang ada, dan pada saat yang bersamaan hal ini menimbulkan kritik serius terhadap bisnis periklanan ini (Dijk, 1995). Sebagai sumber pendapatan utama bagi media, periklanan juga merupakan suatu bisnis yang sangat kompetitif, dan media harus berusaha keras untuk mampu mendapatkan porsi sebesar-besarnya. Karena itu, media selalu menyediakan tempat bagi pengiklan. Dari tahun 2011 sampai 2012, pengeluaran iklan di media telah tumbuh sebesar 20% mencapai IDR 87 trilyun.34 Pengeluaran iklan di televisi memimpin dengan porsi 64% dari total pengeluaran iklan secara keseluruhan. Bukan suatu hal yang mengherankan ketika perusahaan media berebut untuk mendapatkan bagian dalam pendapatan iklan. Dalam bab ini kami menelaah bagaimana media pengiklan bekerja dalam media dan apakah media memiliki kekuasaan untuk menguasai konten editorial. Iklan di media datang dari berbagai sumber. Pengawasan iklan dilakukan oleh berbagai institusi seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan untuk iklan obat, makanan dan kosmetik, Kementerian Kesehatan untuk iklan tentang peralatan kesehatan (hanya untuk di media elektronik), Badan Pengawas Periklanan – Persatuan Perusahaan Periklanan di Indonesia (BPP-P3I) untuk anggota agensi periklanan, Kementerian Sosial untuk iklan undian dan Lembaga Sensor Film untuk iklan-iklan off-screen. Institusi yang beraneka ragam ini telah menjadikan iklan dibatasi – baik dalam bentuk medianya ataupun produknya. Sampai saat ini, masih belum ada peraturan yang spesifik atau panduan yang mengawasi iklan secara jelas dan menyeluruh. Situasi ini mungkin menjadi salah satu alasan angka penyalahgunaan iklan di media masih tinggi. Kita dapat melihat makin seringnya iklan yang diletakkan sebagai jacket cover di surat kabar. Beberapa contohnya dapat dilihat dalam gambar berikut:
33 Lihat Political Economy of Media - Andreas Wittel http://www.triple-c.at/index.php/tripleC/article/ view/379/365. 34 Lihat Belanja Iklan 2012 Tumbuh 20%, Lebih dari 87 Triliun http://www.bisnis.com/belanja-iklan-2012tumbuh-20-lebih-dari-rp87-triliun. 60
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Gambar 5.1 Iklan dalam bentuk jacket cover. Sumber: Kompas, Minggu, 20 Januari 2013.
Gambar 5.2 Ucapan selamat dari MNC Group atas pernikahan putri Hary Tanoesoedibjo. Sumber: Koran Sindo, Desember 2012. Gambar pertama merupakan contoh dari iklan dalam bentuk sampul depan yang diletakkan di depan halaman utama dan menempati halaman paling depan dan paling belakang. Salah seorang sumber kami mengatakan bahwa iklan jenis ini adalah yang paling mahal untuk koran. Surat kabar Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
61
juga digunakan untuk mengumumkan pernikahan Hary Tanoesoedibjo, pemilik surat kabar Koran Sindo. Tidak ada peraturan yang melarang iklan seperti ini. Tetapi berdasarkan etika jurnalisme, pengumuman semacam ini tentunya bukanlah persoalan publik. Terlebih lagi, hal ini menunjukkan pada kita bagaimana media menyediakan ruang yang luas untuk hampir segala jenis iklan, meskipun iklan tersebut mengambil tempat di berita utama atau halaman depan mereka. Beberapa media memiliki aturannya sendiri dalam membatasi siapa saja yang dapat memasang iklan. Sebagai contohnya, KBR68H memiliki peraturan yang sangat ketat dalam periklanan karena mereka menolak iklan dari perusahaan rokok karena pertimbangan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, Tempo; yang mengklain sebagai salah satu media yang paling dapat dipercaya masih dapat menerima iklan rokok dalam majalah mereka, meskipun mereka masih menulis tentang bahaya rokok. Hal yang sama terjadi di surat kabar; yang melaporkan permasalahan lalu lintas di Jakarta, tetapi masih menerima iklan dari perusahaan otomotif, bahkan membuatkan kolom khusus mengenai hal tersebut. Media itu adalah lembaga paling oportunis sedunia. Kompas, let’s say. Dia mengkritik kemacetan di Jakarta luar biasa gitu ya, tapi dia punya rubrik khusus otomotif. Padahal penyebab kemacetan Jakarta tuh karena overpopulated dari mobil. Tapi dia mendorong orang untuk beli mobil [melalui iklan dan rubrik]... itu menjadi bunyi ketika iklan sama berita, itu tidak dipisah. Nah mereka kan seharusnya punya firewall? (Wawancara dengan Kristiawan, Program Officer dari TIFA (Wawancara dengan Kristiawan, Program Officer dari TIFA Foundation Indonesia, 16 November 2011). Media merupakan bisnis yang sangat oportunistik: ia menyediakan berita dan advokasi mengenai satu hal tetapi mengambil keuntungan dari iklan produk tersebut. Menurut survey Nielsen tentang iklan, pada tahun 2012, pengiklan terbesar di media adalah telekomunikasi, diikuti oleh institusi pemerintahan dan/atau politik, dan produk perawatan rambut.35 Dalam beberapa kasus, perusahaan media harus memikirkan masak-masak kepentingan pengiklan dalam penulisan berita. Karena itulah situasi yang problematis timbul: seberapa jauh media harus memperhitungkan kepentingan pengiklan dan mengorbankan perannya dalam masyarakat guna melayani kepentingan pengiklan ini? Seringkali, beberapa media bahkan harus merekonstruksi berita hanya untuk memuaskan pengiklan mereka dan demi menjaga hubungan baik dengan para pengiklan ini. Misalnya aku liputan public expose Bank... Aku pernah buat sekali labanya drop, Itu sebenarnya sih ada alasannya juga dan aku memasukkan alasannya juga di paragrafparagraf awal bahwa labanya jatuh karena apa. Terus yang naik [beritanya, mengenai] pertumbuhan kredit saja. Laba hanya disebut, tapi tidak disebut kalau itu dibandingkan tahun lalu itu drop. Ternyata itu [Bank tersebut] salah satu pengiklan, jadi ada kepentingan ekonomi kantor... itu ya anglenya harus positif (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan di salah satu koran nasional, 2013). Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa, meskipun tidak ada permintaan langsung dari pengiklan untuk menerbitkan hanya cerita yang baik mengenai mereka, kebutuhan untuk menyenangkan pengiklan dan menjaga hubungan baik berarti ruang redaksi harus memanipulasi liputan mereka demi memfasilitasi hal ini. Meskipun praktik semacam ini sering terjadi di beberapa media, ada pula perusahaan media yang tidak mempedulikan pengiklan ini dan masih meliput semua berita tentang mereka, baik yang positif maupun negatif. Wartawan dan editor memainkan peranan yang penting dalam mengatur liputan mereka, tetapi di sisi lain juga menjaga agar tidak dikontrol oleh pengiklan. Selama wartawan dan editor berpaku kepada kode jurnalistik, semua hal yang memiliki nilai berita mengenai pengiklan mereka harus selalu diliput juga. ... Aku pernah ditelepon salah satu maskapai penerbangan karena [meliput soal] delay. Bukan headline, cuma berita biasa... Tapi marketingnya kurang suka. Katanya Mbak kok diberitakan sih... ya, aku kan cuma meliput apa adanya, faktanya delay kok.... Ternyata ya, 35 62
Silakan lihat http://www.bisnis.com/belanja-iklan-2012-tumbuh-20-lebih-dari-rp87-triliun.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
dia [maskapai penerbangan tersebut] masukin iklan juga disini [di media tersebut]... Tapi nggak apa-apa kok, nggak masalah disini [meliput berita itu] (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan di salah satu koran nasional, 14/03/2013). Selain itu, dalam upayanya mengintervensi liputan dari wartawan, pengiklan seringkali mengungkapkan keberatan mereka terhadap suatu pemberitaan melalui bagian marketing. Manajer marketing dari salah satu televisi nasional mengatakan pada kami bahwa mereka sering diprotes melalui telepon oleh pengiklan mereka. Para pengiklan ini kebanyakan memprotes berita negatif mengenai mereknya. ..[K]adang bingung juga begini. Kadang kan memang kalau pihak news, berita dia kan memang memberi apa ya, menyampaikan berita yang memang yang terjadi di masyarakat. Contoh misalnya ada ibu-ibu mati karena makan mie instan ya, ternyata mie instan-nya kadaluarsa. Ini ditayangkan nih [oleh stasiun TV tersebut], akhirnya si mie instan marah sama kita. Kenapa marah? Karena apa? Belum tentu mie instan yang kadaluarsa, [bisa jadi] warungnya yang menyebabkan kadaluarsanya itu. ... Jadi kadang si advertiser itu apakah tidak sebaiknya misalnya, dikonfirmasikan dulu ke advertiser nih, benar atau tidak ini. Kalau misalnya memang itu benar, monggo. Biasanya advertiser tidak apa-apa, tapi jangan sampai menimbulkan persepsi bahwa [produk mereka] menyebabkan kematian... Makanya kadang kita suka ke pihak news maksudnya, mungkin difilternya seperti itu. Karena takutnya ada salah pengertian, lebih kepada itu. Nah biasanya pihak news sih suka menyediakan waktu untuk advertiser untuk dia mengclearkan. Tapi bukan, bukan berarti misalnya ada yang jelek terus kita tutup supaya dia tidak ada pemberitaannya, bukan... Jadi supaya pemberitaannya juga berimbang... Sesuai [proses] jurnalistik kan. (Wawancara dengan narasumber anonim, karyawan di bagian Departemen Marketing sebuah stasiun televisi, 2013). Ketika berhubungan dengan pengiklan, media menggunakan agen untuk membantu mereka memutuskan pengiklan mana yang cocok untuk suatu segmen tertentu. Bagian marketing biasanya datang ke agen dengan program-program mereka dan menjelaskan konsep dari program tersebut dan kinerjanya. Media acap kali bekerja dengan agen, dan bukan langsung berhubungan dengan pengiklan. Dari agen-agen inilah media dapat berhubungan langsung dengan pengiklan dalam sekali jalan. Di samping itu, ketika media membutuhkan iklan secepatnya, mereka dapat menghubungi agen untuk mengisi kekosongan tempat tersebut. Sebagian besar pengiklan hanya berfokus kepada rating dan kinerja dari suatu program sebagai dasar penempatan iklan mereka. Dengan banyaknya saluran media akhir-akhir ini, bagian marketing di media harus menjaga hubungan yang baik dengan pengiklannya serta agen mereka. Skema ini dapat menjadi bumerang bagi media karena terkadang mereka harus berhati-hati saat meliput berita mengenai pengiklannya. Ketergantungan perusahaan media terhadap iklan tampaknya secara tidak langsung memberikan keleluasaan bagi pengiklan untuk mengontrol konten dalam media. Jika pengiklan tidak suka dengan cara produknya diliput, maka media bisa kehilangan amunisinya untuk bertahan hidup. Kontrol semacam ini dapat terjadi ketika media membiarkan hal ini terus berjalan. Waktu itu saya menulis soal black campaign-nya dia. Waktu itu dia melakukan early campaign. Waktu itu jadi bermasalah karena dia akhirnya menarik iklannya yang waktu itu cukup besar dari media ini... Dan katanya Foke kurang suka sama beritanya. Tapi orang marketing yang protes . biasa kalau ada isu yang dianggap sensitif juga tidak akan naik beritanya. Editor di sini juga paling melarang berita seperti itu turun (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan di salah satu koran nasional, 2013). Dalam contoh kasus di atas, media merasa tidak khawatir kehilangan satu pengiklan sepanjang mereka dapat menyajikan berita yang berdasarkan fakta, tetapi, mereka juga menemui adanya media lain yang memanipulasi berita sesuai permintaan pemasang iklan. Mereka memilih untuk hanya meliput berita positif dan menutup mata ketika ada cerita yang menyudutkan pengiklannya. Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
63
Bentuk lain dari iklan disebut juga blocking segment atau built-in advertisement.36 Iklan terselubung ini dimasukkan dalam program atau artikel tertentu. Sebagai contoh dari iklan jenis ini, ada dalam program infotainment di televisi.37 Dalam program infotainment ini, ada bagian-bagian di mana selebriti mempromosikan produk tertentu ketika media sedang meliput aktivitas keseharian mereka. Meskipun iklan dalam bentuk blocking segment semacam ini sangat mahal, beberapa perusahaan tidak keberatan untuk mengeluarkan biaya. Iklan built-in seperti ini jauh lebih mahal dibandingkan iklan biasa karena mereka termasuk dalam konten yang membutuhkan kerja kreatif. Adapun keuntungan dari iklan builtin ini adalah penonton akan lebih sulit untuk melewatkannya karena iklan tersebut dimasukkan ke dalam cerita atau acara yang bersangkutan. Iklan built-in ini seringkali ditemukan di infotainment, hiburan, dan program gaya hidup. Untuk menjaga kualitas dan akurasi konten media dan untuk menghindari dikuasainya konten oleh pengiklan, media harus menerapkan standar dalam lingkup meja advertorialnya, tidak hanya dalam ruang berita. Standar ini harus diterapkan dalam menyaring iklan yang masuk. Iklan apapun yang tayang di media seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan karena menggunakan media mereka. Perusahaan tidak boleh abai akan tanggung jawab mereka terhadap iklan yang ditayangkan di media yang mereka miliki. Tahun 2012, melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menetapkan pembatasan iklan televisi maksimum 20% dari total lamanya waktu siaran.38 Keputusan ini diprotes oleh perusahaan-perusahaan media yang beranggapan bahwa regulasi ini tidak didiskusikan dengan industri penyiaran, dan porsi 20% tersebut merupakan proporsi yang terlalu kecil bagi perusahaan televisi karena iklan adalah sumber utama pendapatan mereka. Perdebatan mengenai iklan ini masih terus berjalan karena tidak ada perundangan yang secara khusus mengatur periklanan di Indonesia. Menghadapi Pemilu tahun 2014, KPI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama-sama mulai merancang regulasi yang mengatur iklan politik dan kampanye di media. Karena iklan politik ini merupakan pengiklan terbesar kedua, maka tentu saja pelaksanaannya harus diawasi dengan seksama.
5.3. Kebebasan di Media/ Otonomi dalam Media Dualisme alamiah pada media ini pada akhirnya membuat gagasan bahwa media adalah kekuatan independen yang pasti berperan sebagai penjaga demokrasi dan kepentingan publik, dipertanyakan.39 Media berjuang untuk mendapatkan perhatian publik. Golongan/kelompok yang memiliki kekuatan finansial tentunya dapat menggunakan media untuk kepentingannya sendiri. Di sisi lain, meskipun ada banyak pilihan saluran yang tersedia bagi masyarakat, namun dalam hal konten pilihannya lebih terbatas. Situasi terbatasnya pilihan ini, yang digabungkan dengan kepentingan swasta, dapat mendistorsi informasi yang diterima oleh penonton atau pembaca. Kerja media dalam ruang berita menunjukkan kepada kita seberapa luas kebebasan yang dimiliki oleh wartawan dan juga memperlihatkan proses editorial. Kebebasan dalam media merupakan suatu ‘kemewahan’. Ruang berita, di mana wartawan dapat mengekspresikan keprihatinan mereka dan memiliki ruang untuk berdiskusi dengan editornya, ternyata bukan merupakan suatu hal yang mudah ditemui. Laporan ini menemukan adanya fakta bahwa kebebasan wartawan dan editornya hanya memungkinkan jika ada ruang kosong di dalam sistem media. Ruang ini membuat wartawan dan editor untuk mengekspresikan pikiran mereka dan
36 Built-in advertisement dan blocking segment merupakan suatu jenis iklan; bentuk iklan ini memberikan waktu khusus bagi sebuah produk. Jenis iklan semacam ini biasanya muncul di program non-drama, khususnya di televisi. 37 Infotainment adalah berita mengenai public figure dan selebriti yang disiarkan di televisi; program ini berfokus pada pengalihan, dan bukan pada kedisiplinan verifikasi (Kovach, B. & Rosenstiel, T.). 38 Silakan lihat Pedoman & Standar Siaran Batasi Iklan, TV Swasta Menjerit, http://news.detik.com/read/20 12/04/05/172701/1886221/10/pedoman-standar-siaran-batasi-iklan-tv-swasta-menjerit. 39 Silakan lihat Political Economy of Media, oleh Andreas Wittel, http://www.triplec.at/index.php/tripleC/ article/view/379/365 64
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
karenanya membuka kesempatan untuk diskusi. Pada banyak media, terutama di media yang dikuasai oleh pemilik dengan afiliasi politik, ruang ini lebih susah untuk ditemukan. Dalam kasus ini, sistem justru diciptakan sedemikian rupa sehingga ruang berita terkurung dalam batasan-batasan tertentu yang dibuat agar konten tetap sesuai dengan kepentingan individu. Diskusi tentang intervensi dan bagaimana media dikelilingi oleh kekuatan internal maupun eksternal kemudian menimbulkan pertanyaan tentang independensi media. Dari mulai kepentingan pemilik sampai pengiklan, intervensi dalam media tidak dapat dihindari, baik di ruang editorial maupun kepada wartawan. Sebagian besar media masih berupaya keras untuk melindungi ruang berita mereka dari intervensi internal dan eksternal yang bertubi-tubi. Lebih lanjut, budaya perusahaan media juga berpengaruh kepada cara kerja jurnalis dan ruang editorial. Di sini wartawan dan editor memainkan peran penting dalam mempertahankan independensi ruang berita dan menjaga akurasi pemberitaan mereka. Wartawan dan ruang redaksi yang kuat dan berkualitas akan menghasilkan informasi berkualitas baik pula. Begitu pula sebaliknya, wartawan yang lemah dan berintegritas rendah akan menghasilkan informasi berkualitas kurang baik dan membuka kesempatan masuknya intervensi. Lembaga pemerintah independen seperti KPI dan Dewan Pers memiliki tanggung jawab untuk mengawasi kerja media, termasuk di antaranya wartawan. Sayangnya, mereka hanya memiliki otoritas terbatas dalam memberikan sanksi kepada media yang melanggar kode etik jurnalistik. Organisasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjaga profesionalisme anggotanya melalui pelatihan dan seminar, begitu pula halnya dengan organisasi-organisasi lainnya. Untuk melanjutkan diskusi mengenai wartawan dan lembaga pengawas (watchdog), bab selanjutnya akan fokus kepada wartawan dan peran masyarakat sipil dalam memperbaiki media.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
65
6. Menggagas dan Membentuk Strategi untuk Terlibat: Meninjau Peran Jurnalis dan Komunitas … Saya kira menjadi wartawan itu bukan sekedar panggilan pekerjaan.. Tapi ya ada dedikasi, calling gitu saya manggilnya. Ada dedikasi.. Jadi kaya kecintaan.. Like what you do is freedom… Ini sekedar lebih dari profesi. Melayani… melayani publik... Nah nilai-nilai seperti itu yang kita tanamkan [pada para pekerja media] meskipun nggak seluruhnya berhasil (Wawancara dengan H. Hendratmoko, KBR68H, 10/01/2013)
Pertanyaan mengenai keberagaman dan kualitas konten media telah menjadi pusat; tidak hanya karena industri media di Indonesia dikuasai oleh 12 kelompok besar, tetapi juga karena hal ini berkaitan dengan hak warga negara kepada media dan dinamika budaya masyarakat. Struktur industri media dilihat melalui pertumbuhan dan merger perusahaan media yang berdampak kepada produksi konten sebagaimana dijelaskan pada bab 4. Di luar struktur, keberagaman dan kualitas media tidak dapat dipisahkan dari aspek pencipta kontennya, yakni ruang berita dan utamanya, jurnalis. Dengan adanya struktur dari industri media saat ini, wartawan menghadapi dua tantangan besar dalam melakukan kerja mereka, yaitu 1) intervensi, dan 2) kecepatan. Wartawan harus menyampaikan berita secepat mungkin dan pada saat yang bersamaan menjaga kualitas kerja mereka berdasarkan etika jurnalisme – suatu standar yang seringkali tidak dipenuhi. Tantangan ini berdampak pada kerja mereka dalam membentuk dan menyampaikan konten. Bab ini akan mengelaborasi bagaimana perubahan struktur di industri media berdampak kepada kualitas jurnalis, dan apakah, serta seberapa jauh situasi ini berkaitan dengan komitmen profesional mereka.
6.1. Kualitas Jurnalisme Reformasi 1998 menandai lembaran baru dimulainya periode ‘menggembirakan’ dalam sejarah media Indonesia. Organisasi wartawan didirikan untuk menjaga kebebasan pers dan profesionalisme wartawan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) didirikan tahun 1994 dan saat ini memiliki 1.813 anggota40. Pionir dari organisasi wartawan ini adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang telah memiliki 14.000 anggota.41 Sekarang ini, wartawan Indonesia merasa tertantang dengan adanya angin kebebasan pers setelah dikungkung dalam rezim Orde Baru yang represif. Namun demikian, meski diberkahi dengan pers yang lebih independen, ada suatu kekhawatiran tentang penurunan profesionalisme yang menghantui jurnalisme Indonesia. Dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Washington State University dan Pantau (Pintak dan Setyono, 2010), ditemukan bahwa meskipun wartawan Indonesia sangat kritis dalam melanjutkan evolusi lanskap politik di negara ini, mereka sendiri menyadari adanya suatu tantangan besar dalam profesi mereka seperti kurangnya profesionalisme, rendahnya etika jurnalistik, dan korupsi di kalangan mereka. Data lengkap mengenai tantangan terbesar yang dihadapi oleh jurnalisme kontemporer di Indonesia berdasarkan sebuah survei terangkum dalam bagan berikut. 40 41
Lihat http://ajiindonesia.or.id/read/page/halaman/42/anggota.html Lihat http://pwinews.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
67
Bagan 6.1. Tantangan jurnalisme di Indonesia dari sudut pandang wartawan (dalam prosentase). Sumber: Pintak dan Setiyono (2010). Kurangnya profesionalisme dalam jurnalisme mungkin berhubungan dengan tumbuhnya industri media yang terus menerus memerlukan wartawan dan reporter baru. Tingginya permintaan akan sumber daya manusia ini sayangnya tidak dibarengi dengan kualitas jurnalis. Banyak dari mereka sepertinya tidak menerima pelatihan yang memadai sebelum terjun ke lapangan. Kurangnya pelatihan ini seringkali membuat wartawan dan reporter menjadi ‘penginterogasi’, dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menuduh, yang perilakunya tidak jauh berbeda dengan polisi. Dalam kasus ini, wartawan terkadang tidak menyadari kode etik jurnalisme, atau, mereka mengabaikan etika demi berita yang sensasional. …Wartawan kita itu nggak dididik secara benar, hanya memenuhi program saja, akibatnya ngaco… [hal]itu masih terjadi. Kebetulan ada wartawan tv yang mewawancarai korban, itu korban dalam tol yang mobilnya hancur, wajahnya berdarah begini, terus diwawancara; “Bagaimana perasaan Bapak?”. Kalau saya ditanya begitu saya lempar itu. Apapun yang bisa saya lempar ke muka reporternya. Tapi masih sering terjadi sampe sekarang… Itu karena nggak ada training nggak ada pelatihan yang bener di medianya. Jadi semua [pekerjaannya] digerakkan dalam soal kecepatan (Wawancara dengan H. Hendratmoko, Direktur Pemberitaan, KBR68H, 10/01/2013). Pelatihan yang tidak memadai ini juga berdampak kepada peran wartawan sebagai pengawas. Di dalam industri media, sepertinya fokus untuk mendorong wartawan untuk menjalankan fungsi ini sangat terbatas. Dari sisi wartawan, mereka sepertinya enggan untuk menjalankan peran ini karena kurangnya perlindungan dari industri maupun pemerintah. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas jurnalis adalah kecepatan informasi yang harus mereka penuhi. Progres jurnalisme sebagai profesi tidak bisa dipisahkan dari perkembangan teknologi saat ini, di mana masyarakat dapat mendapatkan informasi dengan lebih cepat. Informasi instan semacam ini berdampak kepada bagaimana kita mengolah informasi. Masyarakat lebih terekspos kepada informasi mengenai gaya hidup dibandingkan dengan kehidupan masyarakat/warga negara. Kewajiban untuk menyediakan informasi dalam jangka waktu yang singkat (khususnya media harian dan online) telah berdampak pada cara-cara wartawan memproses informasi. Meledaknya teknologi dotcom ini pada akhirnya berkontribusi pada rendahnya kualitas wartawan, di mana tahap-tahap untuk verifikasi 68
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
dan menjaga akurasi diabaikan demi mempertahankan kecepatan informasi. Dalam beberapa kasus tertentu, kurangnya keterampilan teknis ini juga mengarah kepada pelanggaran kode etik jurnalisme. …Saya melihat kadang-kadang ada orang yang otaknya otak dot com tetapi bekerjanya di televisi, sehingga dia turunkan dulu saja beritanya padahal berita yang di turunkan belum cover both sides, turunin dulu saja [beritanya], gampang habis itu kita [bisa] update lagi, padahal pada saat itu udah ada peraturan kamu [pekerja media] harus cover both sides dong, mereka kadang-kadang nggak mau menunggu [konfirmasi] dua pihak demi kecepatan berita. (Wawancara dengan Maman Suherman, Wartawan, Presenter dan Penulis, 23/10/2013). Berkaca kepada konteks yang lebih luas, situasi semacam ini diperparah dengan adanya ‘perkawinan’ yang menjadikan adanya konsentrasi kepemilikan. Hal ini diperparah oleh ruang editorial yang tidak profesional dan pekerja media yang tidak dapat diandalkan, yang juga membuat masuknya praktik intervensi. ..Struktur pemilikan yang memang sangat sentralistis dan redaksi yang tidak independen dan diisi para profesioanl yang integritasnya juga lebih banyak bermain di wilayah abuabu, itu kombinasi yang berbahaya untuk publik. Jadi kekuasaan yang genit terhadap intervensi, pemilik yang punya patronase politik, dan ketiga adalah faktor para profesional yang nggak tahan banting. Itu sudah kombinasi paling mematikan , itu bencana kalau terjadi. Dan sedang terjadi sekarang. (Wawancara dengan DD Laksono, anggota AJI, 15/01/2013). Ketika mengkaji kualitas jurnalisme, kami tidak dapat mengesampingkan struktur industri itu sendiri. Yang kami maksudkan dengan struktur di sini mengacu kepada, tetapi tidak terbatas kepada, sistem kerja di media dan gaji wartawan dan editor. Melalui jajak pendapat yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2011, diketahui bahwa sebagian besar wartawan di media-media besar menerima gaji di atas upah minimum, tetapi wartawan lainnya yang bekerja di perusahaan media yang lebih kecil masih menerima gaji di bawah upah minimum.42 Lebih lanjut, survei ini juga mendapati wartawan di kota-kota besar berkesempatan untuk menerima gaji yang lebih tinggi meskipun gaji yang lebih tinggi ini belum tentu dapat memenuhi kebutuhan hidup harian dengan layak. Masalah kesejahteraan ini adalah salah satu isu yang mempengaruhi cara kerja wartawan. Selain dari profesionalisme wartawan, rendahnya gaji wartawan kemudian berdampak pada munculnya suatu fenomena yang kami sebut sebagai wartawan amplop, di mana wartawan menerima suap dari sang pembuat berita demi mendapatkan peliputan yang positif. Praktik ini terjadi karena wartawan tidak menerima pelatihan yang memadai tentang etika jurnalisme, dan juga, karena mereka tidak menerima upah yang layak dari perusahaannya. Rendahnya gaji mereka seringkali membuat wartawan tidak menulis berita-berita keras seperti korupsi maupun isu politik lainnya dan menjadikan mereka menjalankan solusi yang tidak etis seperti menerima amplop dari pejabat. [Membicarakan gaji]… Tidak cukup, kadang-kadang [memakai] motor [jurnalis] sendiri [untuk liputan], sehingga akibatnya dia mau menerima [amplop], kalau dia wartawan online kalau sekali datang berkisar 150-300 ribu [amplopnya]. Wartawan televisi bisa menerima 500-1juta, itu kan mereka tidak sendiri kadang-kadang cameramen sama reporter berdua atau bisa bertiga dengan sopirnya… dia bagi 3 lagi [amplopnya]. Menurut saya kadang-kadang pemilik tutup mata dengan hal ini. Karena, dia juga ngasih gajinya kecil kok. (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan senior, 2013). Praktik semacam ini telah berpengaruh pada kualitas pemberitaan. Lebih parahnya lagi, pemilik dan
42 Laporan lengkap dari survey ini dapat diunduh dari tautan berikut: http://jurnalis.files.wordpress. com/2012/10/buku-upah-layak-aji-2011.pdf Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
69
jajaran editorial tidak memberikan banyak perhatian dalam persoalan ini. Bagi pemilik, yang penting adalah wartawan mendapat berita dan informasi untuk dimuat di dalam media. Mereka tidak peduli terhadap prosesnya. (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan senior, 2013). Perusahaan mungkin mengetahui kebutuhan wartawan mereka, akan tetapi mereka tidak mampu untuk menaikkan gajinya. Alih-alih, mereka menutup mata terhadap fenomena wartawan amplop ini dan membiarkan wartawannya mendapat penghasilan ekstra. Bagi perusahaan, yang penting mereka mendapatkan berita dan liputan untuk dipublikasikan setiap hari, terlepas dari bagaimana proses yang diperlukannya. Permasalahan ini tidak mudah untuk diselesaikan, dan hal ini berkaitan dengan struktur dari industri itu sendiri, khususnya dalam industri media cetak. Media cetak tidak menggunakan frekuensi untuk menjalankan operasinya, dan karena ketika didirikan media cetak juga tidak memerlukan SIUPP, siapapun dapat masuk ke dalam industri ini selama mereka memiliki modal yang cukup. Selain itu, ada pula orang-orang yang menemui jalan buntu pada saat mencari kerja dan akhirnya menjadi wartawan amplop karena tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian, permasalahan tidak hanya bersumber dari wartawan. Mereka adalah korban dari arogansi pimpinan mereka dan kelompok media. Kesejahteraan adalah satu permasalahan penting jika kita ingin memastikan komitmen dalam kualitas jurnalisme, bukan hanya sekedar menyediakan lapangan pekerjaan sebagai wartawan.
6.2. Antara Komitmen dan Pekerjaan Jurnalisme adalah profesi yang memiliki fungsi sosial. Wartawan memiliki kewajiban untuk menghasilkan dan meneruskan pesan kepada warga negara. Karenanya, wartawan, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki pengaruh yang besar terhadap apa yang dipikirkan, dipandang, dan bahkan dipercaya oleh masyarakat mengenai hal-hal tertentu. Tetapi, wartawan juga memiliki tanggung jawab moral: dalam menciptakan dan meneruskan berita, wartawan juga harus mengingat bahwa mereka melakukan pelayanan publik, bukan untuk kepentingan lainnya. Secara etimologis, ‘profesi’ berarti ‘saya menyatakan secara terbuka (sebagai…), saya mengaku secara terbuka’ - yang berasal dari bahasa Latin profiteor, menggabungkan dua huruf yakni pro dan fateor yang artinya ‘mengakui’. Untuk itulah, ketika seseorang mengambil pekerjaan sebagai wartawan berarti ia berjanji untuk melayani publik sebagai wartawan. Menjalankan mandat masyarakat adalah tugas yang mulia, tetapi, ada pihak-pihak yang tidak menjalankan perannya dalam jalan ini. Pada beberapa kasus tertentu, mereka memilih untuk melayani keinginan korporasi media dibandingkan keinginan publik. Karena itulah, kami berpendapat ada suatu tarik menarik antara wartawan sebagai pekerjaan dan sebagai sumber lapangan kerja. Tarik menarik ini tidak dapat dihindari, tetapi karena profesi wartawan yang paling pertama dan utama adalah untuk melayani masyarakat, maka merupakan suatu hal yang sangat wajar jika timbul pertanyaan independensi dan komitmen wartawan di atas kepentingan perusahaan. Banyak orang yang masih memiliki aspirasi menjadi wartawan. Dalam suatu proses perekrutan wartawan Koran Tempo, lebih dari 300 orang melamar untuk posisi tersebut. Hal ini berarti mereka masih memiliki minat untuk menjadi wartawan, tetapi hal ini bisa juga berarti lapangan kerja yang tersedia terbatas sehingga orang-orang melamar pekerjaan apapun yang tersedia, termasuk menjadi wartawan. (Wawancara dengan narasumber anonim, Wartawan sebuah koran nasional di Indonesia, 2013). Budaya perusahaan juga berdampak kepada tingkat komitmen di antara wartawan. Hampir seluruh media menyediakan pelatihan untuk wartawan junior. Pelatihan ini termasuk juga keterampilan dalam wawancara, bagaimana menjaga akurasi dan memilih cerita yang memiliki nilai berita. Wartawan junior juga dibekali dengan nilai-nilai jurnalisme, dan juga nilai-nilai perusahaan. Pembekalan nilai dan keahlian ini dapat menumbuhkan komitmen dari para wartawan muda ini. Akan tetapi, dalam perkembangan industri, tidak semua perusahaan mampu menjaga nilai dan keahlian wartawan mereka. Perusahaan 70
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
juga tidak dapat menawarkan remunerasi yang pantas. Karena itulah, dalam perjalanannya, mereka kehilangan komitmen dari karyawan mereka. Adanya jarak antara hasil pelatihan dan kenyataan yang terjadi di lapangan mungkin juga menjadi salah satu penyebab penurunan komitmen dari jurnalis. Pelatihan mungkin mengajarkan mereka tentang bagaimana menjaga akurasi, menghasilkan laporan berkualitas baik, tetapi dalam praktiknya tidak semudah itu. Meskipun dipandang sebagai medium yang demokratis, proses editorial juga memiliki keterbatasan dalam hal seberapa besar ruang yang dimiliki wartawan dan reporter dalam mengekspresikan suara mereka dan ruang. Tetapi ruang ini masih dapat dipertahankan selama para wartawan dan reporter dapat menjaga peran mereka yang mulia ini. Meskipun secara umum wartawan tidak memiliki otoritas untuk mempertanyakan keputusan editorial, debat dan diskursus masih dapat dijaga dalam beberapa keadaan. Kotak 1. Apa yang terjadi dalam ruang berita Sumber: Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan di surat kabar nasional, 2013. Sayangnya, sebagaimana kami jelaskan pada Bab 5, debat dan diskursus ini hanya dapat terjadi di media yang memungkinkan terjadinya hal ini. Di media lainnya, struktur editorial dapat membuat wartawan tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan pendapatnya. Mereka harus mengikuti standar editorial. Salah satu contoh di mana wartawan yang mempertahankan komitmennya dalam sistem yang memungkinkan adanya diskursus terbuka dapat dilihat pada kotak di atas. Cerita yang berbeda datang dari wartawan yang memiliki komitmen tetapi harus bekerja di lingkungan yang tidak peduli dengan etika jurnalistik. Alih-alih, perusahaan lebih memilih berita yang lebih memiliki dampak rating komersial atau bersifat sensasional. ..Waktu itu saya liputan soal banjir [di Jakarta], saya liputan situasinya, saya laporkan ketinggian [banjir], korban, dan semua hal-hal yang memang harus diliput sesuai sama etika jurnalistik. Waktu diberikan [ke produser], dia nggak jadi pakai [rekaman liputannya], kenapa? Katanya liputannya terlalu serius, kan di TV perlu sesuatu buat menarik penonton, nah di rekaman liputan saya ya liputan saja, nggak pakai hiburan-hiburan. (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan acara infotainment di salah satu televisi swasta nasional, 2013). Ada pula beberapa wartawan yang dipertanyakan komitmennya. Seorang wartawan junior mengatakan kepada kami bahwa pekerjaan sebagai wartawan hanya merupakan batu loncatan untuk impiannya yang lain. Bukan berarti dia tidak berkomitmen pada pekerjaannya yang sekarang sebagai wartawan, tetapi ia telah membatasi komitmennya: [Menjadi jurnalis] ...ya ini batu loncatan saja sih. Saya punya dream job juga, bukan ini [menjadi wartawan], ini cuma batu loncatan saja. Tapi saya berkomitmen ke pekerjaan ini, saya nggak mau terima amplop, dan gaji saya juga cukup kok... Tapi saya nggak mau jadi wartawan terus. Pasti akan berhenti. Mungkin kalau menikah, atau kalau sudah bisa dapat dream jobnya. (Wawancara dengan narasumber anonim, wartawan junior, 2013). Problematika lainnnya dalam sistem kerja di industri media adalah banyak pula perusahaan yang masih mengalihdayakan kontributor dan posisi-posisi lainnya yang memerlukan keahlian teknis seperi kameramen, reporter, dan presenter. Menyajikan dan melaporkan berita adalah dua keahlian penting bagi wartawan, dan keduanya memainkan peranan penting dalam mengumpulkan dan menyampaikan berita kepada warga. Ketika posisi ini dialihdayakan, pekerja tidak memiliki ikatan kepada pekerjaannya, dan bahkan mungkin memandang profesinya hanya sekedar mata pencaharian semata.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
71
6.3. Memperkuat Profesi Jurnalisme Meskipun sebagian besar wartawan Indonesia mengerti bahwa jurnalisme harus menganut nilainilai ketidakberpihakan, netralitas dan objektivitas (Pintak dan Setiyono, 2010), seringkali dinamika industri media kontemporer di Indonesia membuat wartawan tidak dapat menjadi pembawa berita yang bersikap netral dan objektif. Alih-alih mendapatkan informasi yang netral dan akurat dan/atau menggambarkan realita sebagaimana adanya, wartawan cenderung menyampaikan konten yang tidak dapat diverifikasi hanya agar pekerjaannya cepat rampung. Karena wartawan juga cenderung berpartisipasi dalam mengartikan realitas, berita yang disampaikan justru menjadi kurang objektif. [Perihal media/jurnalis dalam pemahaman mereka mengenai isu difabilitas] Tapi ada juga wartawan yang salah. Dulu kan waktu kita diving itu Metro TV liput kita. Mulai dari kolam renang terus mereka ikut diving juga menyelam ke laut. Lalu, ada juga wartawan lain yang tidak cari informasi, cuma di darat, tidak terjun ikut kita ke dasar laut. Dari darat, ambil foto. Terus ceritanya [pemberitaan] berbeda jadinya. Saya tanya: “Kok begini ceritanya, mas?” [Jawabnya] “Oh, maaf saya nggak bisa menyelam”. Jadi, dia cuma ngeliat dari gambar sedikit aja terus dia ngarang cerita (Wawancara dengan Nyoman Rudiawan, Senang Hati Gianyar-Bali, 27/02/2013). Contoh di atas menunjukkan bagaimana kualitas jurnalis berkontribusi pada pesan yang disampaikan kepada audiens yang lebih luas. Keahlian tertentu diperlukan untuk menciptakan cerita yang paling dekat dengan sudut pandang subjek, serta, semakin wartawan dapat menarik benang merah dengan hal-hal yang terjadi di sekitar maka cerita mereka semakin kaya. Kemampuan seseorang – untuk menyelami sebuah konteks – yang menghasilkan sebuah cerita yang dibuat-buat pastinya bukan merupakan indikasi yang baik dari profesionalisme. Adalah suatu hal yang hampir tidak mungkin untuk menghasilkan berita yang tidak berpihak dan berkualitas di media jika sang pembuat/pembawa berita menyampaikan intepretasinya sendiri yang tidak sensitif terhadap suatu penggalan kebenaran. Karena wartawan akan menggunakan intepretasinya sendiri terhadap suatu realita, maka proses mendidik, atau mendidik kembali, wartawan melalui pelatihan dan penanaman etika jurnalistik, merupakan hal yang teramat penting. Meskipun hal tersebut bukan satu-satunya cara, tetapi dengan memahami kode etik jurnalisme, ini adalah salah satu cara untuk mendidik kembali wartawan dalam ‘pilihan’ mereka untuk menyampaikan pesan kepada audiensnya. Yang dimaksud ‘pilihan’ di sini mengacu kepada kualitas konten serta implikasi dari konten ini. Upaya semacam ini akan membantu jurnalis untuk menciptakan kerangka intepretasi yang lebih sensitif dan tidak berpihak. Kami berpendapat bahwa jika kita memiliki harapan akan proses transformasi kualitas konten media yang sehat dan membudayakan, maka kita harus menyadari bahwa itu otomatis akan terjadi (seperti hukum alam), tetapi memerlukan upaya dari kita semua. Segala agenda transformasi yang berhubungan dengan manusia, asumsinya, memerlukan manusia yang berpendidikan sebagai agen perubahan. Karena itu, selera, pilihan, kompetensi, dan kebiasaan manusia bukanlah suatu hal yang otomatis ada tetapi memerlukan hal-hal lainnya yang perlu dipelajari dan dimiliki oleh agen manusia melalui proses pendidikan. Hal ini, sebagaimana yang kami pelajari, adalah arti dari tingkat pendidikan agen manusia, dan dalam situasi ini, termasuk pula profesi jurnalisme. Melanjutkan ide Ritzer tentang McDonaldisasi (1983), yang sukses dalam melakukan homogenisasi budaya dan kehidupan masyarakat, sistem media – dan wartawan sebagai salah satu elemen inti di dalamnya – tidak diragukan lagi memiliki peranan inti dalam proses peleburan budaya dan selera serta pembentukan identitas pribadi. Jika dalam praktik keseharian anak-anak kita dijejali pertanyaan bahwa “LGBT adalah penyimpangan” dan “mereka yang abnormal berbeda dengan kita”, atau mimpi mewahnya kehidupan selebriti; maka hal ini akan menumbukan bibit-bibit kedangkalan budaya dan kehidupan, mengungkung mereka dengan gaya hidup yang dangkal dan prinsip intoleran. Karena itu, dengan membuat proses pendidikan kembali wartawan sebagai suatu hal yang sangat penting, selera publik mungkin dapat dibentuk ulang. Apa yang disebut dengan ‘mengedukasi kembali selera’ tentu saja membutuhkan waktu yang panjang, tetapi dengan adanya situasi di mana kualitas konten media menjadi semakin buruk setiap harinya, cepat atau lambat, langkah penting ini harus diambil jika kita berharap memiliki media yang berbudaya. Aspek lainnya yang dapat memainkan peran penting adalah kualitas lulusan jurnalistik. Editor mengeluh bahwa lulusan jurusan jurnalistik tidak siap menghadapi tantangan nyata yang ada di dunia jurnalisme 72
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
dan mengabaikan nilai-nilai jurnalisme. Hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh kurikulum, tetapi lebih karena minat dan panggilan hidup untuk menjadi wartawan. Ada media-media tertentu yang memilih untuk merekrut lulusan baru yang memiliki minat di bidang jurnalisme dan masih dapat dikembangkan. Saya lebih memilih untuk rekrutmen reporter itu yang fresh graduate. Kita sangat jarang mengambil reporter yang sudah jadi [senor] itu, bisa dihitung pakai jari. Masih fresh, belum terkontaminasi yang lain-lain. Karena disini [di media], ada nilai-nilai yang mesti diinternalisasi [pada jurnalis], misalnya promosi tentang toleransi, arti demokrasi, ya seperti itu. Media ini tidak hanya sekedar jadi kurir berita tapi juga bisa memberikan semacam track demokrasi setelah reformasi. (Wawancara dengan H. Hendratmoko, Direktur Berita, KBR68H, 10/01/2013). Jurnalis yang mengabaikan kode etik tidak menyadari regulasi terkait dengan pekerjaan/ laporan mereka. Sebagai contohnya, dalam mewawancarai keluarga korban pemerkosaan, wartawan bisa mengungkap identitas mereka, yang sebenarnya tidak dibenarkan secara etis. Dengan semakin berkembangnya industri ini, maka semakin berat bagi wartawan untuk saling berdiskusi dan bertukar pikiran di antara sesama rekan seprofesi. Banyak pelajaran tentang integritas dan nilai-nilai yang sering kali didapatkan justru melalui diskusi dan pertemuan internal yang melibatkan wartawan, editor, dan pihak lain yang terlibat dalam industri media. Interaksi antara wartawan senior dan junior dapat membantu menjaga komitmen dan karenanya memperkuat nilai-nilai jurnalisme. [Mengenai diskusi dan penanaman nilai-nilai jurnalistik] ... Ya, ke jurnalis baru juga begitu [dilibatkan]. Sekarang jauh lebih tertata, kami ada pelatihan buat wartawan baru maupun wartawan lama. Kami ada kelas-kelas yang dibikin secara reguler, dan teratur, tertib, dan pelan-pelan... itu [nilai-nilai jurnalistik] dibangun melalui hal seperti itu... Ya kami punya rapat-rapat redaksi yang dihadiri oleh para redaktur sampai ke level yang lebih bawah dan seterusnya. (Wawancara dengan A. Zulkifli, Editor Senior di Majalah Tempo, 21/02/2013). Selain dari langkah-langkah internal, banyak organisasi yang juga menyediakan pelatihan untuk memperkuat nilai-niai jurnalisme, dan karenanya dapat meningkatkan kualitas. Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), TIFA Foundation, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) sering menyelenggarakan pelatihan untuk wartawan. Tipe pelatihan ini bervariasi tetapi sebagian besar berfokus pada pembangunan pengetahuan wartawan pada isu-isu tertentu seperti korupsi, anggaran negara, dan lain sebagainya. Wartawan yang terlibat dalam pelatihan tersebut diharapkan memiliki nilai jual yang lebih tinggi dalam pekerjaan mereka. Selain memperkuat jurnalis dengan mengajarkan kembali kode etik jusnalistik, ada beberapa hal lainnya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki lanskap media di Indonesia. Kami akan memetakannya di sub-bab berikutnya.
6.4. Memperluas Ruang Keterlibatan Warga Tumbuhnya media konglomerasi baru, meskipun tidak disertai dengan kebijakan yang kuat, telah menempatkan warga negara dalam situasi rumit dalam kaitannya dengan pemanfaatan hak mereka terhadap media (silakan lihat Nugroho, Putri, dkk, 2012). Situasi ini diperparah oleh semakin lemahnya independensi di ruang media. Situasi seperti ini sepertinya membuat media Indonesia khawatir. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah masih ada ruang untuk memperbaikinya. Ketika perubahan seringkali tidak mampu digagas oleh pemerintah dan sistem pasar, masyarakat sipil menjadi salah satu pilar masyarakat yang harus mengambil insiatif dalam memulai perubahan ini. Kami berusaha memetakan keterlibatan dari beberapa organisasi kemasyarakatan yang berjuang untuk memperbaiki media. Kami percaya bahwa warga negara cukup pintar untuk memilih informasi Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
73
mana yang pas untuk kebutuhan mereka. Masalahnya adalah, apakah informasi yang mereka butuhkan ini tersedia di media. Dalam kaitannya terhadap media yang saat ini sudah berdiri, warga negara seringkali menyadari rendahnya kualitas produk media, tetapi mereka tidak tahu bagaimana untuk menyampaikan komentar atau kritik mereka terhadap media. Langkah pertama dapat dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Dengan menciptakan suatu gerakan warga negara, organisasi masyarakat sipil ini dapat mengajak warga untuk berpartisipasi dalam upaya perbaikan media. TIFA Foundation memiliki program untuk ibu rumah tangga di Jawa Tengah untuk menyalurkan kekhawatiran mereka tentang program televisi. Kelompok ibu rumah tangga ini dapat mengkomunikasikan kekhawatiran mereka ini kepada KPI lokal yang meneruskan pesan mereka ke KPI pusat di Jakarta. Langkah menarik lainnya telah dilakukan oleh Remotivi, suatu organisasi yang berperan sebagai pengawas televisi. Alih-alih mematikan televisi, Remotivi mengajak warga negara, khususnya generasi muda, untuk terus menonton televisi dan mengkritisinya. Warga negara diharapkan menjadi pengawas media. Kritik dapat disalurkan melalui media sosial, KPI lokal atau organisasi masyarakat sipil. Kedua, warga negara harus tetap kritis terhadap media: selain melek media dan memiliki pengetahuan mengenai bagaimana konten media diproduksi, mereka juga harus memiliki sikap dalam menentukan benar dan salah di media, atau mengetahui informasi apa yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Protes dapat disampaikan melalui media sosial atau media lainnya. Bersama dengan organisasi masyarakat sipil, seorang individu dapat mengkritik media sebagai diskursus arus utama. harus tetap kritis [pada media]. [Media] Jangan dibiarkan, kalau dibiarkan dia akan bertindak semaunya. Skeptis boleh... Kalau konten-nya jelek, protes. Kita [masyarakat] harus berani bersuara... Sudah waktunya. Jangan diam. Protes aja kalau nggak suka sama isinya. Sekarang makin banyak orang kritis terhadap media. (Wawancara dengan R. Thaniago, Aktivis Media, 13/01/2013). Jalan untuk memperbaiki media adalah bukan dengan menghindarinya. Masyarakat harus terus berperan sebagai pengawas dan mengkritisi media serta kontennya. Media massa kini bergantung kepada pemirsa mereka dan karenanya mereka harus sensitif terhadap kebutuhan pemirsa. Karena itulah, kritik dari penonton merupakan alat yang kuat dalam mendorong perbaikan media. Dalam beberapa kasus, hal ini telah membuahkan hasil, seperti contohnya kasus Primitive Runway43, sebuah program yang ditayangkan di Trans TV. Orang nyinyir di twitter Metro TV, marah menyebut Surya Paloh apa segala macem itu menurutku bagian yang harus didorong dan dibikin lebih berbunyi lagi supaya watchdocnya lebih banyak lagi. Orang sudah nggak nulis surat pembaca sekarang, ya. Orang sudah tidak ngirim fax atau nelpon ke redaksi. Orang sudah memaki di twitter. (Wawancara dengan DD Laksono, Pembuat film dan anggota AJI, 15/01/2013). Meskipun bukan merupakan satu-satunya jalan, protes di media sosial telah terbukti efektif dalam beberapa kasus. Protes semacam itu mampu menekan orang-orang di media; hal ini pada akhirnya juga menekan badan independen negara seperti KPI dan Dewan Pers, yang memicu mereka untuk lebih sensitif dalam perannya sebagai pengawas media. Mereka memandang reaksi instan dan viral yang ada di Twitter sebagai masukan. Lebih lanjut, aksi dalam media sosial ini juga dapat menolong KPI untuk memperkuat radar mereka untuk memantau konten media. Cara lain untuk memperkuat media kita adalah dengan memusatkan perhatian pada pers kampus, di mana bibit-bibit jurnalisme dapat dipupuk dari awal. 43 Primitive Runaway adalah program yang tayang di Trans TV yang melibatkan selebriti yang dikirim ke berbagai komunitas terpencil. Program ini menggambarkan komunitas terpencil sebagai kelompok ‘terbelakang’ atau ‘primitif’ yang seolah-olah hidup di zaman kuno. Program ini diprotes oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional dan Remotivi - organisasi yang berperan sebagai pengawas televisi - karena penggambarannya yang tidak benar mengenai masyarakat terpencil ini. Setelah diprotes, Trans TV meminta maaf untuk konten yang menyesatkan ini, dan kemudian mengganti judul program ini menjadi Ethnic Runaway. 74
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Pers kampus, aku juga dorong mereka masuk ke fase itu [menjadi pengawas media]… Aku minta mereka untuk, mendorong mereka untuk masuk ke wilayah watchdog juga. Karena dalam sejarahnya pers kampus selalu mengambil peran-peran media umum… Setelah reformasi, mereka [pers kampus] jadi komunitas hobi… Tapi pers kampus kan, sepanjang jaman dia [ada], selama masih ada mahasiswa, peran itu [pers kampus] ada. Mereka tidak usah mengambil porsi nasional, mereka cukup menjadi watchdog mediamedia lokal yang juga sama buruknya dengan media di nasional. (Wawancara dengan DD Laksono, Pembuat film dan anggora AJI, 15/01/2013). Kebanyakan wartawan yang kami wawancarai aktif di kegiatan pers di kampus. Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, pers kampus dapat juga memainkan peran di multimedia, yakni dengan mendorong pers kampus untuk menghasilkan reportase dan film pendek untuk mengimbangi apa yang kita lihat di televisi. Dengan beberapa tindakan yang telah disebutkan di atas, ada banyak cara bagi warga negara untuk mempengaruhi konten media. Sayangnya, terkadang cara yang paling mudah untuk memprotes media adalah dengan tidak menonton, membaca atau mendengarnya. Ternyata, dengan mengabaikan media, kita memberikan mereka kesempatan bagi mereka untuk melakukan apapun yang ingin mereka lakukan. Hal utama yang dapat dilakukan warga negara dan masyarakat sipil untuk mendorong perbaikan media adalah justru dengan menonton, membaca dan mendengar media. Media selalu membutuhkan warga negara dan setidaknya, apa yang dapat kita lakukan adalah menjadi pengawas dan menyuarakan keprihatinan kita melalui cara apapun.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
75
7. Memastikan Perbaikan Konten, Membudayakan Diri Sendiri: Sintesa dan Tantangan Keberagaman saluran dan program tidak selalu berarti keberagaman konten. Di Amerika Serikat…, sebuah penelitian menunjukkan bahwa satu keluarga rata-rata hanya menonton 15 saluran per minggu (Mandese, 2007). Banyak konten adalah pengulangan. Kapasitas untuk mengkonsumsi film yang mengandung seks dan kekerasan dengan jalan cerita yang mirip terbatas. Jadi, surga yang ditawarkan kepada pemirsa dengan menyediakan 100 sampai 500 saluran, pada kenyataannya menjadi realita yang lebih kerdil ketika dihadapkan dengan konten yang tidak imajinatif dan keterbatasan uang dan waktu. (Manuel Castells, Communication Power, 2009: 129)
Apa yang diobservasi oleh Castell di Amerika Serikat juga terjadi di Indonesia. Ada yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki saluran media yang beragam (10 stasiun televisi nasional dan lebih dari 40 stasiun televisi lokal), tetapi terbukti bahwa ada keterbatasan pada tipe hiburan dan berita yang disajikan. Contohnya, yang dapat dilihat pada bab sebelumnya atau dalam ringkasan yang akan kami sajikan di bab ini, menunjukkan bagaimana media kita tidak memiliki konten yang beragam dan kurang mewakili partisipasi atau penggambaran warga negara. Dalam kaitannya dengan warga negara, situasi ini membahayakan warga negara pada level di mana mereka hanya menjadi konsumen dan bukannya warga yang aktif dalam menggunakan haknya kepada media. Bab ini merupakan sintesis dari penelitian mengenai penentuan konten pada sistem media dengan konseptualisasi dan pemahaman yang lebih mendalam, khususnya dalam kaitannya kepada upaya memajukan industri media saat ini – di tengah buruknya kebijakan media – dan bagaimana situasi ini membahayakan hak warga negara kepada media. Dalam membedah kondisi ini, kami juga mengetengahkan isu mengenai penurunan kualitas jurnalisme, permainan kekuasaan pada sistem media, dan bagaimana faktor eksternal dan juga pelaku memainkan peran dalam menentukan konten media. Singkatnya, bab ini menyajikan ekonomi politik media dan alasan di balik perkembangan (atau kurangnya) hak warga negara terhadap media di Indonesia.
7.1. Meningkatnya nexus: Antara Konten dan Ekonomi Politik dalam Media Tidak diragukan lagi bahwa semenjak 1998, industri media adalah salah satu sektor dengan pertumbuhan tertinggi di Indonesia. Namun demikian, meskipun tingkat pertumbuhannya sangat luar biasa, hanya sebagian kecil yang dapat bertahan di tengah ketatnya kompetisi. Apa yang tetap bertahan di industri media saat ini adalah kumpulan yang berisi 12 kelompok perusahaan media besar, berkat merger dan akuisisi (Nugroho, Putri, dkk, 2012). Kondisi ini terutama didorong oleh kepentingan bisnis dan bukannya karena ingin menyediakan tempat yang layak untuk menggandeng warga negara atau untuk memediasi kemungkinan adanya shared life (kehidupan bersama). Kebijakan yang ditujukan untuk memitigasi logika industri media yang mencari keuntungan secara berlebihan, terutama media siar, sayangnya tidak berhasil (Nugroho, Siregar, dkk, 2012). Kondisi seperti ini telah membuat situasi semakin sulit bagi warga negara untuk menggunakan haknya kepada media. Tugas mulia media untuk melindungi dan membuat warga negara dapat menjalankan haknya dengan menyediakan ruang untuk keterlibatan publik sebagaimana digagas oleh sejumlah akademisi (Joseph, 2005) tampaknya sulit untuk terlaksana. Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
77
Media sebagai Pilar Keempat (Carlyle, 1840, Schultz, 1998) seharusnya mengambil peran penting dalam mengawal demokrasi yang masih awal terbentuk seperti dalam konteks Indonesia. Namun demikian, ketika mengamati kinerja sektor media saat ini dengan lebih dekat, terungkap bahwa esensi media sebenarnya telah terancam, tidak hanya oleh kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan politik dari partai tertentu. Kepentingan ini akhirnya mengubah sektor media menjadi alat pembentukan kesadaran/ ‘consent manufacturing’ (Herman dan Chomsky, 1988) di mana kepentingan ekonomi dan politik berada di atas fungsi sosial dan publiknya. Dalam hal konten, cara-cara media beroperasi juga menstimulasi kepasifan, voyeurisme dan sinisme, dan bukannya mempromosikan kewarganegaraan dan partisipasi. Adanya sistem rating sebagai alat mekanisme pasar tampaknya membuat kondisi semakin rumit. Dalam memandang hal ini, kami beranggapan bahwa media besar tampaknya beroperasi dalam semangat maksimalisasi profit. Untuk itu, konsekuensi yang memang dicari adalah penyeragaman konten berdasarkan sistem rating. Fenomena sinetron adalah salah satu contoh nyatanya. Seiring dengan hilangnya keberagaman konten, ketercerabutan media (‘media disembeddedness’) sepertinya menjadi konsekuensi langsung. Produk dan praktik media tidak lagi terikat oleh konteks sosial yang mereka wakili. Gambaran ini membahayakan visi mengenai ‘ruang publik’ (Habermas 1989, Habermas 2006) yang membangkitkan keterlibatan publik dalam konteks demokrasi. Dalam laporan ini kami berfokus kepada penentuan konten, bagaimana media memainkan peranan yang besar dalam membentuk dan merekonstruksi dan bagaimana produksi konten dikuasai oleh kekuatan dalam media dengan menggunakan sudut pandangan hak warga negara kepada media. Meskipun pada zaman sekarang ini kita memiliki banyak saluran media; konten sesungguhnya masih linear. Pengulangan ide tidak hanya terjadi di sinetron tetapi juga pada serial televisi dan bahkan iklan. Bagi raksasa media, selama suatu program dapat menarik lebih banyak iklan dan mengundang lebih banyak orang untuk terintegrasi (dan membeli) produk global, maka apapun itu bukan menjadi masalah. Melalui penelusuran mendalam, penelitian kami tentang media juga menemukan bahwa praktik kekuasaan di industri media yang oligopolistik ini dapat terlihat jelas dalam konten sebagai produk akhir dari media. Dalam industri yang memiliki sifat oligopolistik ini (Nugroho, Putri, dkk, 2012), mereka yang memiliki akses kepada produksi konten dapat dibilang bebas untuk menguasai konsumsi publik. Namun demikian, penelitian kami menunjukkan bahwa kekuasaan dalam media tidak hanya berasal dari intervensi pemilik dan bisnis, tetapi juga dalam sistem dan proses sensor mandiri. Penurunan integritas wartawan juga berkontribusi kepada kompleksitas masalah. Analisis kami terhadap konten dari beberapa program di stasiun televisi Indonesia mengindikasikan bahwa meskipun ada banyak pendapat yang menyatakan bahwa media kita telah ‘beragam’ dan ‘mewakili’, penentuan konten sebagian besar didasari oleh sistem tata nilai yang dominan. Kelompok mayoritas – baik itu dalam hal kepercayaan, etnis, atau lokasi geografis – cenderung menguasai keterwakilan dalam produk akhir media. Penemuan ini menunjukkan ketergantungan media pada rating. Karena media mencari rating, media berusaha untuk menyenangkan kelompok mayoritas dengan menyediakan apa yang diinginkan pemirsa/’what people want’. Selain itu, apa yang berhasil diobservasi melalui analisis konten sebenarnya menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi di balik proses produksi konten. Di sini permasalahan mengenai relasi kekuasaan terjadi. Penelitian kami menemukan bahwa intervensi, internal maupun eksternal, yang ada di media sangat mempengaruhi pembentukan konten. Kurangnya pilihan saluran ditambah lagi dengan adanya kepentingan perorangan/kelompok dan juga penurunan integritas wartawan telah mengancam hak warga negara kepada media. Kerja wartawan yang melemah secara sistematis – di mana struktur media secara keseluruhan tidak memberikan perhatian pada penanaman komitmen dalam diri wartawan – pada akhirnya telah membuat kerja mulia wartawan secara perlahan mulai terhapus. Jika ‘pendidikan’ wartawan – dan juga perbaikan struktur industri – sebagai kondisi pendukung jurnalisme yang baik ini tetap tidak berubah, maka hal ini akan beresiko kepada komitmen mereka kepada publik. Sebenarnya, masalah etika profesional yang sama juga terjadi di bidang profesi lainnya. Semua dampak ini telah memicu kami untuk menyimpulkan bahwa pertumbuhan industri media yang luar biasa ini telah mencerabut akar media dari masyarakat. Ketercabutan ini akan semakin nyata di masa mendatang karena adanya jarak antara akses kepada infrastruktur dan akses kepada konten. 78
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Kondisi seperti ini akan berdampak bagi warga negara, terutama mereka yang memiliki keterbatasan baik dalam infrastruktur dan akses kepada konten.
7.2. Penentuan Konten dan Hak Warga Negara: Beberapa Implikasi Karena media memiliki potensi besar untuk menentukan proses pembuatan nilai-nilai di masyarakat, media memiliki kekuatan besar untuk menentukan apa yang diterima sebagai sebuah nilai atau sesuatu yang bernilai (Castells, 2009). Tetapi, bersamaan dengan tumbuhnya kepentingan industri, ruang bagi warga negara dan kepentingan mereka di media diakomodasi hanya dalam ruang yang kecil. Meskipun mungkin dapat dimengerti bahwa media, sebagai institusi komersial, lebih memberikan perhatian pada konten yang lebih menguntungkan perusahaan, tetapi meninggalkan apa yang penting bagi publik akan membahayakan esensi dari media itu sendiri. Sebagai konsekuensinya, media juga akan meminggirkan warga negara dari masyarakat dan dari konteks sosial yang dimilikinya. Dengan semakin berkembangnya keprihatinan mengenai kurangnya pilihan dalam saluran media kita, pelemahan kerja media (yang sistematis) menunjukkan bahwa industri media sebagai suatu sistem secara keseluruhan tidak peduli akan penanaman komitmen pada wartawan mereka. Wartawan sendiri juga bukannya lepas dari permasalahan. Karena diperlakukan dengan buruk oleh sistem yang melihat wartawan sebagai karyawan dan bukannya menghargai tugas mulia jurnalisme, keberadaan wartawan yang sungguh-sungguh ingin melayani publik pada akhirnya semakin menghilang. Tetapi pada kenyataannya masih ada wartawan yang berusaha untuk memenuhi tugas mereka sebagaimana diamanatkan dan bahkan berjuang untuk melayani kepentingan perusahaan media di mana mereka bekerja. Kurangnya pilihan saluran yang ditambah lagi dengan adanya kepentingan pribadi/ kelompok dan juga berkurangnya integritas wartawan menjadi ancaman hak warga negara terhadap media. Sehubungan dengan peran wartawan sebagai elemen utama di media, ada tantangan besar lainnya yang membahayakan integritas jurnalisme. Persoalan tersebut di antaranya adalah rendahnya etika jurnalistik, kurangnya profesionalisme, dan korupsi serta suap (Pintak dan Setiyono, 2010). Karena wartawan dipaksa untuk memproduksi berita – dan karena itulah berita yang mereka hasilkan semakin dangkal setiap harinya – kualitas media kemudian dipertanyakan. Dengan memaksa wartawan untuk menjadi pabrik berita demi memaksimalkan keuntungan, media sesungguhnya telah mengkhianati mandat publik. Kondisi demikian, dalam jangka panjang akan menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada media. Tanpa adanya rasa kepercayaan ini, media akan ditinggalkan. Karena itu, beberapa wartawan senior telah mengingatkan pihak lainnya tentang pentingnya menyediakan kepada warga negara suatu informasi yang mereka butuhkan untuk mendorong keterlibatan sipil. Pernyataan Heru Hendratmoko berikut mewakili saran dari beberapa wartawan senior. [Mengapa media mempertahankan kebenaran public]… Ini yang saya bilang ya.. Media itu bisnis kepercayaan. Sekali kepercayaan itu hilang, matilah dia [media tersebut]. (Wawancara dengan Heru Hendratmoko dari KBR68H, 10/01/2003). Artikel no. 19 DUHAM44, dari sudut pandang warga negara, menyatakan bahwa melindungi warga negara yang memiliki kebebasan dalam media yang terbatas diperlukan untuk mendukung proses demokrasi masyarakat. Akan tetapi, karena adanya kompleksitas dalam ekonomi politis kontemporer yang ada pada media Indonesia, janji akan adanya hak kepada media yang sama bagi warga negara, baik dalam akses kepada infrastruktur maupun konten, masih belum terpenuhi. Media yang disetir oleh bisnis cenderung memprioritaskan kelompok mayoritas dan bukannya mendorong keterlibatan sipil yang berimbang. Dalam kaitannya dengan kelompok rentan, mereka berpotensi untuk digambarkan dengan diskriminatif dan tidak layak karena karakteristik mereka yang ‘unik’ – baik itu dalam hal kepercayaan, gender, kemampuan fisik, etnis, konteks geografis, kelas sosial, atau orientasi seksual. Dalam kasus44 Artikel 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menuliskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
79
kasus tertentu, bahkan media menggambarkan mereka sebagai ‘abnormal’, ‘pesakitan’, atau bahkan ‘menyimpang’ (Nugroho, Nugraha, dkk, 2012). Kondisi ini merusak kemungkinan terjadinya kehidupan bersama (‘shared life’). Ada satu catatan penting yang harus digarisbawahi di sini. Jika bangsa ini masih ingin melindungi semua warga negaranya tanpa membedakan identitas unik yang mereka miliki, maka penting untuk menyediakan narasi yang beragam di media, dan memiliki kemampuan untuk mengakui dan menerima keberagaman. Narasi yang beragam dengan sudut pandang hak asasi manusia harus tercermin dengan baik dalam praktik media masa kini. Baik media sebagai sistem, maupun wartawan, keduanya harus memperbaiki diri. Permasalahan ini seharusnya menjadi peringatan bagi perumus kebijakan dan pemerintah untuk mulai melakukan sesuatu yang menjamin fungsi publik media. Namun demikian, jika warga negara tidak dapat mengandalkan pembuat kebijakan, pejabat negara, atau sistem media yang dikendalikan oleh pasar, maka warga negara harus melakukan sesuatu sebagai alternatif. Dengan membentuk koalisi dan membangun jaringan dengan organisasi masyarakat sipil, menuntun proses penegakan hukum dari regulasi yang berkaitan dengan media, dan berperan menjadi pengawas karena pemilik media sangat sensitif terhadap protes dari warga, atau dengan mendorong melek media dalam bentuk apapun adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk menjaga visi tentang ‘ruang publik’ agar tetap hidup.
7.3. Beberapa Kesimpulan Singkatnya, paparan penelitian kami menyimpulkan bahwa industri media yang mengedepankan profit telah membuat warga negara menjadi konsumen sektor media. Warga negara diabaikan dalam hal akses kepada infrastruktur media dan khususnya akses kepada konten. Konten yang homogen merupakan bukti sederhana bahwa media menilai pemirsanya sebagai konsumen dan bukan sebagai warga negara yang memiliki hak. Karena media yang didorong oleh bisnis ini mencari keuntungan, produksi konten selalu mendahulukan profit dari program-programnya. Permainan kekuasaan melalui media, ditambah lagi kepentingan dari kelompok tertentu menunjukkan bahwa media telah kehilangan karakternya sebagai institusi publik. Demikian pula halnya dengan inovasi teknologi, yang mendukung bisnis media untuk mengejar keuntungan. Namun demikian, inovasi teknologi yang sama dapat digunakan oleh masyarakat sipil demi menumbuhkan aktivitas sipil untuk mengkritisi media arus utama. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan kesempatan bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasi kritis mereka.
7.4. Agenda ke depan Setelah menyajikan temuan, implikasi dan kesimpulan, kami melihat setidaknya ada empat langkah yang perlu dilakukan Pertama adalah perlunya menggandeng industri media untuk mendorong kolaborasi dengan penyedia konten alternatif sehubungan dengan produksi konten. Kedua, hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah meninjau kembali peran badan publik sektor media sebagai pembuat kebiijakan, khususnya KPI. KPI seharusnya memiliki otoritas untuk mengontrol lanskap industri media dan bagaimana perusahaan media bekerja. Hal penting lainnya adalah untuk memperbaharui media publik milik pemerintah seperti TVRI dan RRI. Tanpa adanya lembaga penyiaran publik yang kuat dan berkualitas, maka tidak akan mungkin tercipta suatu ruang publik yang sehat. Ketiga adalah urgensi dalam mengatur iklan di media. Terakhir, meskipun keprihatinan kita secara khusus mengarah kepada produksi konten, penting 80
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
pula untuk menyediakan pelatihan kepada wartawan muda. Selain mengenai kemampuan jurnalistik, yang lebih penting lagi adalah dengan melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa nilai-nilai sistem dan komitmen untuk melayani kepentingan publik tertanam dalam diri wartawan muda, bukan hanya sekedar pekerjaan semata. Dengan demikian, wartawan dapat belajar mengenai nilai-nilai tersebut.
Sepanjang laporan ini kami telah menyajikan penentuan konten (dan realitas di baliknya) dalam media di Indonesia. Dinamika produksi konten telah berpengaruh besar terhadap kehidupan publik kita. Dengan ini, kami mengajak dimulainya inisiatif masa depan untuk memberdayakan, baik publik maupun wartawan, khususnya dalam meluncurkan sebuah pandangan kritis dan aksi bersama untuk merespon dinamika dan perkembangan konten media. Dalam menjalankan upaya ini, yang menjadi taruhannya adalah memastikan bahwa media membudayakan publik dan bukannya mendangkalkannya.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
81
Daftar Pustaka (2002) UU NO. 32/2002 tentang Penyiaran ARISTOTLE (1944) Politics. London. ARNSTEIN, S. R. (1969) A Ladder of Citizen Participation JAIP, 35, 216-224. BADAN PUSAT STATISTIK (2010) Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta, Badan Pusat Statistik. BADAN PUSAT STATISTIK (2012) Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta, Badan Pusat Statistik. BAGDIKIAN, B. (2004) The New Media Monopoly, Boston, MA, Beacon Press. BEISER, F. (2005) Hegel, New York, Routledge. BELL, E., ANDERSON, C. & SHIRKY, C. (2012) Post-Industrial Journalism: Adapting to the Present. Tow Center for Digital Journalism, Columbia Journalism School. BENHABIB, S. (2004) The rights of others: aliens, residents, and citizens, Cambridge, Cambridge University Press. BERELSON, B. (1952) Content analysis in communication research. BRICENO-GARMENDIA, C., ESTACHE, A. & SHAFIK, N. (2004) Infrastructure Services in Developing Countries: Access, Quality, Costs and Policy Reform. World Bank Policy Research Working Paper 3468. World Bank BRYMAN, A. & BELL, E. (2007) Business Research Method, Oxford, Oxford University Press [2nd ed.]. BUNNELL, F. (1996) Community Participation, Indigenous Ideology, Activist Politics: Indonesian NGOs in the 1990s. IN LEV, D. S. & MCVEY, R. T. (Eds.) Making Indonesia. Itacha, Southeast Asia Program, Cornel University CARLYLE, T. (1840) Lecture V: The Hero as Man of Letters. Johnson, Rousseau, Burns, London, James Fraser [Reported with emendations and additions (Dent, 1908 ed.)]. CASSELL, C. & SYMON, S. (2004) Essential Guide to Qualitative Methods in Organisational Research, London, Sage Publications. CASTELLS, M. (2009) Communication Power, Oxford, Oxford University Press. CASTELLS, M. (2010) The Rise of Network Society. The Information Age – Economy, Society, and Culture – Volume I (2nd Ed.), West Sussex, Wiley-Blackwell. CHOMSKY, N. (2002) Media Control: Second Edition: The Spectacular Achievements of Propaganda New York, Seven Stories Press. CRESWELL, J. W. (2003) Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches, Thousand Oaks, CA, Sage [2nd ed.]. Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
83
CUILENBURG, J. V. (1999) On competition, access and diversity in media, old and new. New Media & Society, 1 (2), 183-207. CURRAN, J. (1991) Rethinking the media as public sphere. IN DAHLREN, P. & SPARKS, C. (Eds.) Journalism and the public sphere. London and New York, Routledge. CURRAN, J. & COULDRY, N. (2003) The Paradox of Media Power. IN CURRAN, J. & COULDRY, N. (Eds.) Contesting Media Power: Alternative Media in a networked world. Maryland, Rowman & Littlefield. DENZIN, N. & LINCOLN, Y. (Eds.) (1994) Handbook of Qualitative Research, Beverly Hills CA, Sage. DIJK, T. A. V. (1995) Power and the news media. IN PALETZ, D. (Ed.) Political Communication and Action. New Jersey, Hampton Press. DOYLE, G. (2002) Understanding media economics, SAGE Publications Limited. ELDRIDGE, P. J. (1995) Non-Government Organizations and democratic participation in Indonesia Kuala Lumpur, OUP South East Asia. ELO, S. & KYNGÄS, H. (2008) The qualitative content analysis process. Journal of advanced nursing, 62, 107-115. ENSEMBLE CONSULTING (2010) Survey Media. FERREE, M. M., GAMSON, W. A., GERHARDS, J. & RUCHT, D. (2002) Four Models of the Public Sphere in Modern Democracies. Theory and Society, Vol. 31, No. 3, 289-324. FILMER, D. & PRICHETT, L. H. (2001) Estimating Wealth Effects Without Expenditure Data–Or Tears: An Application to Educational Enrollments in States of India. Demography, 28 No. 1, 115-132. GAMSON, W. A., CROTEAU, D., HOYNES, W. & SASSONSOURCE, T. (1992) Media Images and the Social Construction of Reality. Annual Review of Sociology, Vol. 18, pp. 373-393. GANIE-ROCHMAN, M. (2000) Needs assessment of advocacy NGOs in a New Indonesia. Report to the Governance and Civil Society of the Ford Foundation. Jakarta, Ford Foundation. HABERMAS, J. (1984) The Theory of Communicative Action. Vol. I: Reason and the Rationalization of Society, Boston, Beacon. [German, 1981, vol. 1]. HABERMAS, J. (1987) The Theory of Communicative Action. Vol. II: Lifeworld and System, Boston, Beacon. [German, 1981, vol. 2]. HABERMAS, J. (1989) The Structural Transformation of the Public Sphere, Cambridge, MA, MIT Press. [German, 1962]. HABERMAS, J. (2006) Religion in the public sphere. European Journal of Philosophy, 14, 1–25, J. Gaines (trans.). HADIWINATA, B. S. (2003) The Politics of NGOs in Indonesia. Developing Democracy and Managing a Movement, London, New York, Routledge Curzon. HARVEY, D. (2005) A Brief History of Neoliberalism, New York, Oxford University Press. HERMAN, E. S. & CHOMSKY, N. (1988) Manufacturing Consent: The Political Economy of Mass Media, New York, Pantheon Books HILMES, M. (2004) “Citizen versus Consumer”: Rethinking Core Concepts
84
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
HOTELLING, H. (1929) Stability in Competition. The Economic Journal, 39, No. 153, 41-57. HSIEH, H. F. & SHANNON, S. E. (2005) Three approaches to qualitative content analysis. Qualitative health research, 15, 1277-1288. JANOWITZ, M. (1980) Observations on the Sociology of Citizenship: Obligations and Rights. Social Forces, 59, 1-24. JENSEN, H. (2006) Women’s Human Rights in the Information Society. IN JØRGENSEN, R. F. (Ed.) Human Rights in the Global Information Society. Massachusetts, Massachusetts Institute of Technology Press. JØRGENSEN, R. F. (2006) The Right to Express Oneself and to Seek Information. IN JØRGENSEN, R. F. (Ed.) Human Rights in the Global Information Society. Massachusetts Massachusetts Institute of Technology Press. JOSEPH, A. (2005) Media matter, citizens care: The who, what, when, where, why, how, and buts of citizens’ engagement with the media, UNESCO. Available online http://portal.unesco.org/ci/en/ files/19137/11164945435advocacy_brochure.pdf/advocacy_brochure.pdf. KRIPPENDORFF, K. (2012) Content analysis: An introduction to its methodology, Sage Publications, Incorporated. KYMLICKA, W. & NORMAN, W. (2000) Citizenship in a culturally diverse societies: issues, contexts, concepts. IN KYMLICKA, W. & NORMAN, W. (Eds.) Citizenship in diverse societies. Oxford University Press. LAWSON-BORDERS, G. (2006) Media Organization and Convergence – Case Studies of Media Convergence Pioneers, New Jersey, Lawrence Erlbaum Associates Inc. LEVINSON, P. (1999) Digital McLuhan – A Guide To The Information Millenium, London, Routledge. LIM, M. (2011) @crossroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia. Research Collaboration of Participatory Media Lab and Ford Foundation. LIPPMANN, W. (1922) Public Opinion, New York, Free Press Paperbacks. LIPPMANN, W. (1927) The Phantom Public, New York, MacMillan. MACIONIS, J. J. & PLUMMER, K. (2008) Sociology: A Global Introduction, Prentice Hall. MANSELL, R. (2001) New Media and the Power of Networks. London, First Dixon Public Lecture and Inaugural Professorial Lecture. MANSELL, R. (2004) Political economy, power and new media. New Media & Society, 6, 96-105. MARSHALL, T. H. (1994) Citizenship. IN MARSHALL, G. (Ed.) The Concise Oxford Dictionary of Sociology. New York, Oxford University Press. MCCHESNEY, R. W. (1999) Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times, Urbana and Chicago, University of Illinois Press. MCCOMBS, M. E. & SHAW, D. L. (1972) The Agenda-Setting Function of Mass Media. Public Opinion Quarterly, 36 (Summer). 176-187. MCLUHAN, M. (1964) Understanding Media: The extensions of man, New York, McGraw-Hill. MCQUAIL, D. & CUILENBURG, J. J. V. (1983) Diversity as a Media Policy Goal: a Strategy for Evaluative Research and a Netherlands Case Study. International Communication Gazette, 31.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
85
MILES, M. B. & HUBERMAN, A. M. (1984) Qualitative data analysis: A sourcebook of new methods. MILL, J. S. (1859) On Liberty, London, John W. Parker and Son, West Strand. NEUENDORF, K. A. (2001) The content analysis guidebook, Sage Publications, Incorporated. NUGROHO, Y. (2011) Citizens in @ction: Collaboration, participatory democracy and freedom of information – Mapping contemporary civic activism and the use of new social media in Indonesia. Manchester and Jakarta, MIOIR and HIVOS. NUGROHO, Y., NUGRAHA, L. K., LAKSMI, S., AMALIA, M., PUTRI, D. A. & AMALIA, D. (2012) Media and the vulnerable in Indonesia: Accounts from the margins. Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. Jakarta, Centre for Innovation Policy and Governance, HIVOS Regional Office Southeast Asia, Ford Foundation Indonesia. NUGROHO, Y., PUTRI, D. A. & LAKSMI, S. (2012) Mapping the landscape of the media industry in contemporary Indonesia Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. Jakarta, Centre for Innovation Policy and Governance, HIVOS Regional Office Southeast Asia, Ford Foundation Indonesia. NUGROHO, Y., SIREGAR, M. F. & LAKSMI, S. (2012) Mapping Media Policy in Indonesia. Engaging Media, Empowering Society: Assessing media policy and governance in Indonesia through the lens of citizens’ rights. Jakarta, Centre for Innovation Policy and Governance, HIVOS Regional Office Southeast Asia, Ford Foundation Indonesia. PINTAK, L. & SETIYONO, B. (2010) The Mission of Indonesian Journalism: Balancing Democracy, Development, and Islamic Values. International Journal of Press/Politics, XX(X), 1-25. POLANYI, K. (1957) The great transformation, New York, Rinehart. POSTMAN, N. (1985) Amusing Ourselves to Death, Public Discourse in the Age of Show Business, New York, Penguin Books. PRATT, N. C. (2005) Identity, Culture and Democratization: The Case of Egypt. New Political Science, Volume 27 No. 1, 69-86. REHG, W. & HABERMAS, J. (1996) Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. The MIT Press Cambridge. RITZER, G. (1983) The “McDonaldization” of society. Journal of American Culture, 6, 100-107. ROSENSTIEL, T. & KOVACH, B. (2007) The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, Completely Updated and Revised., Three Rivers Press. SAMASSÉKOU, A. (2006) Foreword. IN JØRGENSEN, R. F. (Ed.) Human Rights in the Global Information Society. Massachusetts Massachusetts Institute of Technology Press. SCHREIER, M. (2012) Qualitative content analysis in practice, Sage Publications Limited. SCHULTZ, J. (1998) Reviving the fourth estate, Cambridge, England, Cambridge University Press. SILVERSTONE, R. (1994) Television and everyday life, Psychology Press. STATISTIK, B. P. (2010) Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia. Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta, Badan Pusat Statistik. STATISTIK, B. P. (2012) Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta, Badan Pusat Statistik.
86
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
SURYADINATA, L., ARIFIN, E. N. & ANANTA, A. (2003) Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies. SZEMAN, I. (2000) Bourdieu on Television: A Review. TOCQUEVILLE, A. D. (1835) Democracy in America: Historical-Critical Edition, Indianapolis, Liberty Fund. UNWSSD (1995) Report of the world summit for social development, Copenhagen, Denmark, The United Nations. WARD, C. (1991) The Limits of “Liberal Republicanism”: Why Group-Based Remedies and Republican Citizenship Don’t Mix. Columbia Law Review 91.3 (1991): 581-607. WARREN, C. (2005) Mapping Common Futures: Customary Communities, NGOs and the State in Indonesia’s Reform Era. Development and Change, 36, 49-73. WEBER, R. P. (1990) Basic content analysis, Sage Publications, Incorporated. WOLFSON, M. (1994) Eligo Ergo Sum: Classical Philosophies of the Self in Neoclassical Economics. History of Political Economy, 26/2, 297-325.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
87
Lampiran A.1.1 Frekuensi konten berdasarkan konteks geografis (dalam unit) TV Channels
Aceh
Indosiar
Metro TV
MNC TV
RCTI
SCTV
Trans7
Trans TV
TV One
Total
6
4
0
29
0
2
6
1
4
15
67
North Sumatera
17
7
25
126
8
18
14
15
19
40
289
West Sumatera
10
8
15
41
9
7
9
19
15
19
152
Riau
42
17
18
99
15
33
26
47
20
40
357
Jambi
1
0
2
12
0
0
9
5
5
27
61
South Sumatera
7
3
11
33
1
1
4
5
5
19
89
Bengkulu
0
0
0
16
0
0
0
0
0
6
22
Lampung
8
6
4
23
4
0
3
4
1
29
82
Bangka Belitung Islands
0
0
0
1
0
0
0
2
5
4
12
Riau Islands
1
0
4
19
2
0
1
0
0
2
29
179
142
139
905
91
245
245
132
158
456
2692
West Java
64
46
83
288
45
41
56
123
62
203
1011
Central Java
50
17
51
155
11
56
54
42
53
86
575
DI Yogyakarta
17
12
3
60
3
7
10
15
5
29
161
East Java
82
24
91
274
24
50
57
109
96
124
931
Banten
13
1
6
32
5
11
9
21
14
16
128
Bali
14
7
4
24
6
7
17
13
5
16
113
West Nusa Tenggara
3
1
0
40
2
0
2
22
7
17
94
East Nusa Tenggara
4
5
0
25
4
8
2
10
14
8
80
West Kalimantan
1
0
0
19
0
3
3
6
11
11
54
Central Kalimantan
1
12
1
16
3
21
2
8
1
2
67
South Kalimantan
8
4
3
12
4
4
2
2
6
5
50
East Kalimantan
6
5
16
27
2
10
2
11
4
13
96
North Kalimantan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
North Sulawesi
6
5
1
27
1
12
3
2
3
21
81
Central Sulawesi
1
0
3
22
0
3
6
2
1
8
46
South Sulawesi
7
7
14
107
11
14
12
11
18
61
262
Southeast Sulawesi
0
2
0
16
1
0
1
4
2
1
27
Gorontalo
0
2
0
2
0
0
0
1
0
0
5
West Sulawesi
0
0
0
6
0
0
4
6
2
16
34
Maluku
4
4
3
28
2
3
6
3
6
9
68
North Maluku
5
0
5
24
0
6
5
4
5
17
71
West Papua
1
0
0
19
3
0
0
0
0
2
25
Papua
1
0
0
28
4
4
4
8
2
14
65
Total
7896
DKI Jakarta
Provinces
ANTV
Global TV
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
89
Urutan berdasarkan provinsi dan pulau
Rank
Provinces
Total (in unit)
Rank
Islands
Total (in unit)
Share
1
DKI Jakarta
2692
34.09%
1
Java
5498
69.63%
2
West Java
1011
12.80%
2
Sumatra
1160
14.69%
3
East Java
931
11.79%
3
Sulawesi
455
5.76%
4
Central Java
575
7.28%
4
Bali and Nusa Tenggara
287
3.63%
5
Riau
357
4.52%
5
Kalimantan
267
3.38%
6
North Sumatera
289
3.66%
6
Maluku
139
1.76%
7
South Sulawesi
262
3.32%
7
Papua
90
1.14%
8
DI Yogyakarta
161
2.04%
7896
100%
9
West Sumatera
152
1.93%
10
Banten
128
1.62%
11
Bali
113
1.43%
12
East Kalimantan
96
1.22%
13
West Nusa Tenggara
94
1.19%
14
South Sumatera
89
1.13%
15
Lampung
82
1.04%
16
North Sulawesi
81
1.03%
17
East Nusa Tenggara
80
1.01%
18
North Maluku
71
0.90%
19
Maluku
68
0.86%
20
Aceh
67
0.85%
21
Central Kalimantan
67
0.85%
22
Papua
65
0.82%
23
Jambi
61
0.77%
24
West Kalimantan
54
0.68%
25
South Kalimantan
50
0.63%
26
Central Sulawesi
46
0.58%
27
West Sulawesi
34
0.43%
28
Riau Islands
29
0.37%
29
Southeast Sulawesi
27
0.34%
30
West Papua
25
0.32%
31
Bengkulu
22
0.28%
32
Bangka Belitung Islands
12
0.15%
33
Gorontalo
34 North Kalimantan Total
90
Share
Centre for Innovation Policy and Governance
5
0.06%
0
0.00%
7896
100%
Total
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
91
ANTV – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 72.5% konten berasal dari Jawa, 16.5% dari Sumatra, 2.8% dari Kalimantan, 3.7% dari Bali dan Nusa Tenggara, 2.5% dari Sulawesi, 1.6% dari Maluku dan 0.36% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Riau.
A.1.2. Distribusi konten berdasarkan konteks geografis
92
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Global TV – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 71% konten adalah dari Jawa, 13.2% dari Sumatra, 6.1% dari Kalimantan, 4.7% dari Sulawesi, 3.8% dari Bali dan Nusa Tenggara, 1.2% dari Maluku dan 0% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Riau dan Jawa Tengah.
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
93
Indosiar – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 74.3% konten adalah dari Jawa, 15.7% dari Sumatra, 4% dari Kalimantan, 3.6% dari Sulawesi, 1.6% dari Maluku, 0.8% dari Bali dan Nusa Tenggara dan 0% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatra Utara.
94
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Metro TV – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 67.1% konten adalah dari Jawa, 15.6% dari Sumatra, 7% dari Sulawesi, 3.5% dari Bali dan Nusa Tenggara, 2.9% dari Kalimantan, 2% dari Maluku dan 1.8% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sumatra Utara.
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
95
RCTI – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 72.4% konten adalah dari Jawa, 10.8 % dari Sumatra, 6.7% dari Kalimantan, 5.1% dari Sulawesi, 2.6% dari Bali dan Nusa Tenggara, 1.6% dari Maluku dan 0.7% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi
MNC TV – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 68.6% konten adalah dari Jawa, 15 % dari Sumatra, 5% dari Sulawesi, 4.6% dari Bali dan Nusa Tenggara, 3.4% dari Kalimantan, 2.7% dari Papua dan 0.7% dari Maluku. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Riau dan Jawa Tengah.
adalah dari DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Riau. 96
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
97
SCTV – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 75% konten adalah dari Jawa, 12.5% dari Sumatra, 2.5% dari Sulawesi, 3.7% dari Bali dan Nusa Tenggara, 1.9% dari Maluku, 1.6% dari Kalimantan dan 0.7% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Riau.
98
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Trans 7 – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 67.7% konten adalah dari Jawa, 15% dari Sumatra, 6.9% dari Bali dan Nusa Tenggara, 4.1% dari Kalimantan, 4% dari Sulawesi, 1.2% dari Papua dan 1% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Riau dan Jawa Tengah.
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
99
TV One – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 68.4% konten adalah dari Jawa, 15% dari Sumatra, 8% dari
Trans TV – Konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara geografis, 70.7% konten adalah dari Jawa, 13.5% dari Sumatra, 4.7% dari Bali dan Nusa Tenggara, 4.7% dari Sulawesi, 4% dari Kalimantan, 2% dari Maluku dan 0.4% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Riau.
100 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Sulawesi, 3% dari Bali dan Nusa Tenggara, 2.3% dari Kalimantan, 2% dari Maluku dan 1.3% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
101
A.1.3. Frekuensi konten berdasarkan orientasi keagamaan (dalam unit)
Keseluruhan Stasiun TV – Secara keseluruhan, konten banyak terpusat di Jawa dibanding dengan kepulauan lain. Secara statistik, 69.6% konten adalah dari Jawa, 14.7% dari Sumatra, 5.8% dari Sulawesi, 3.6% dari Bali dan Nusa Tenggara, 3.4% dari Kalimantan, 1.8% dari Maluku dan 1.1% dari Papua. Provinsi dengan tingkat frekuensi tertinggi adalah dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Riau.
102 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
0 0
Islam - Ahmadiyya
Islam - Wahidiyah
0 3 0 0 0
Confucianism
Atheism
Agnosticism
0
Christianity - Adventist
Hinduism
0
Christianity - Catholicism
Buddhism
0
Christianity - Protestant
3
1
Christianity
1
Islam - Syiah
41
ANTV
Islam - Sunni
Islam
Religious orientations
4 1 0 0
4 Hinduism
5 Confucianism
6 Atheism
7 Agnosticism 769
4
3 Buddhism
744 16
Total (in unit)
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
28
Global TV
2 Christianity
1 Islam
Total
Rank
Urutan berdasarkan orientasi keagamaan
Religious orientations
100%
0.00%
0.00%
0.13%
0.52%
0.52%
2.08%
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
2
4
4
179
Metro TV
96.75%
Share
0
0
0
1
2
0
2
0
4
0
0
0
0
70
Indosiar
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
31
MNC TV
0
0
0
0
2
0
1
0
3
0
0
0
0
84
RCTI
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
80
SCTV
TV Channels
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
40
Trans7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
53
Trans TV
TV One
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
138
Total
0
0
1
4
4
0
3
0
16
1
2
5
5
744
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
103
ANTV – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 87.2% dari konten adalah Islam, 6.4% Kristen dan 6.4% Hindu.
A.1.4. Distribusi konten berdasarkan orientasi keagamaan
Global TV – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 96.5% dari konten adalah Islam dan 3.5% Kristen. 104 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
105
Indosiar – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 91% dari konten adalah Islam, 5.1% Kristen, 2.6% Buddha dan 1.3% Hindu.
Metro TV – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 99.4% dari konten adalah Islam dan 0.6% adalah Kristen. 106 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
MNC TV – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 96.9% dari konten adalah Islam dan 3.1% Kristen.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
107
RCTI – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 94.4% dari konten adalah Islam, 3.4% Kristen dan 2.2% Buddha. 108 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
SCTV – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 98.8% dari konten adalah Islam dan 1.2% Kristen.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
109
110 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Trans 7 – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 95.2% dari konten adalah Islam, 2.4% Kristen dan 2.4% Kong Hu Cu.
Trans TV – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 100% dari konten adalah Islam.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
111
TV One – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 99.3% dari konten adalah Islam dan 0.7% Kristen. 112 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
113
Keseluruhan Stasiun TV – Konten banyak terpusat di agama Islam dibanding dengan agama lain. Sebanyak 96.7% dari konten adalah Islam, 2.1% Kristen, 0.5% Buddha, 0.5% Hindu, 0.13% Kong Hu Cu dan tidak ada dari Ateisme dan Agnostisisme.
114 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
7
0
0
0
0
1
1
1
1
0
3
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
Javanese
Sundanese
Malay
Madurese
Batak
Minangkabau
Betawi
Buginese
Bantenese
Banjarese
Balinese
Chinese
Acehnese
Amungme
Sasak
Ambonese
Talang Mamak
Dayak
Monesogo
Anak Dalam
Dani
Toraja
ANTV
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
3
Global TV
Indosiar
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
1
0
0
0
4
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
9
1
0
0
2
0
2
0
0
0
0
20
Metro TV
MNC TV
A.3.6. Frekuensi konten berdasarkan kelompok etnis (dalam unit)
Ethnic groups
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
2
0
0
0
0
6
1
RCTI
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
2
0
0
0
0
0
1
TV Channels SCTV
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
3
1
0
0
0
3
6
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
4
0
0
0
2
5
1
1
0
2
26
Trans7
1
2
2
1
4
1
1
1
0
0
0
5
0
0
0
2
6
2
0
1
3
13
Trans TV
1 201
3
2
1
6
2
3
2
2
2
12
15
0
1
4
17
16
7
1
2
16
86
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
1
1
3
0
1
2
5
Total
Total
TV One
Urutan berdasarkan kelompok etnis
Rank
Ethnic groups
Total (in unit)
Share
1 Javanese
86
42.79%
2 Betawi
17
8.46%
3 Sundanese
16
7.96%
4 Minangkabau
16
7.96%
5 Balinese
15
7.46%
6 Chinese
12
5.97%
7 Batak
7
3.48%
8 Dayak
6
2.99%
9 Buginese
4
1.99%
10 Ambonese
3
1.49%
11 Dani
3
1.49%
12 Malay
2
1.00%
13 Acehnese
2
1.00%
14 Amungme
2
1.00%
15 Sasak
2
1.00%
16 Talang Mamak
2
1.00%
17 Anak Dalam
2
1.00%
18 Madurese
1
0.50%
19 Bantenese
1
0.50%
20 Monesogo
1
0.50%
21 Toraja
1
0.50%
22 Banjarese
0
0%
201
100%
Total
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
115
116 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
ANTV – Konten beridentitas suku Jawa mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 43.7% konten bercirikan suku Jawa, 18.7% suku Bali, 6.25% suku Minangkabau, 6.25% suku Betawi, 6.25% suku Bugis, 6.25% suku Banten, 6.25% suku Tionghoa dan 6.25% suku Dayak.
A.3.7. Distribusi konten berdasarkan kelompok etnis
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
117
Global TV – Konten beridentitas suku Jawa mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 50% konten bercirikan suku Jawa, 33.3% suku Betawi dan 16.7% suku Tionghoa.
118 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Indosiar – Konten beridentitas suku Jawa mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 57% konten bercirikan suku Jawa, 28.6% suku Betawi dan 14.3% suku Batak.
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
119
Metro TV – Konten beridentitas suku Jawa mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 54% konten bercirikan suku Jawa, 24.3% suku Tionghoa, 5.4% suku Minangkabau, 5.4% suku Bugis, 2.7% suku Bali, 2.7% suku Aceh, 2.7% suku Ambon dan 2.7% suku Dayak.
120 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
MNC TV – Konten beridentitas suku Sunda mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 54.5% konten bercirikan suku Sunda, 18.2% suku Betawi, 9% suku Jawa, 9% suku Tionghoa dan 9% suku Dani.
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
121
RCTI – Konten beridentitas suku Betawi mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 50% konten bercirikan suku Betawi, 25% suku Jawa dan 25% suku Bali.
122 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Trans 7 – Konten beridentitas suku Jawa mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 57.8% konten bercirikan suku Jawa, 11.1% suku
SCTV – Konten beridentitas suku Jawa mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 42.9% konten bercirikan suku Jawa, 21.4% suku Sunda, 21.4% suku Betawi, 7.1% suku Minangkabau dan 7.1% suku Bugis.
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
123
Minangkabau, 8.9% suku Bali, 4.4% suku Sunda, 4.4% suku Betawi, 2.2% suku Madura, 2.2% suku Batak, 2.2% suku Amungme, 2.2% suku Sasak, 2.2% suku Ambon dan 2.2% suku Talang Mamak.
124 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Trans TV – Konten beridentitas suku Jawa mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 19.1% konten bercirikan suku Jawa, 8.8% suku Minangkabau, 7.3% suku Bali, 5.8% suku Dayak, 4.4% suku Sunda, 4.4% suku Hoaulu, 2.9% suku Batak, 2.9% suku Betawi, 2.9% suku Anak Dalam, 2.9% suku Dani, 2.9% suku Bena, 2.9% suku Saiboklo, 2.9% suku Matabesi, 2.9% suku Manggarai, 1.5% suku Melayu, 1.5% suku Sasak, 1.5% suku Ambon, 1.5% suku Talang Mamak, 1.5% suku Monesogo, 1.5% suku Toraja, 1.5% suku Togutil, 1.5% suku Bajo, 1.5% suku Abui, 1.5% suku Lom, 1.5% suku Samawa, 1.5% suku Bercu, 1.5% suku Rimba, 1.5% suku Deri, 1.5% suku Sabu, 1.5% suku Sawang, 1.5% suku Banibani dan 1.5% suku Sambori.
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Centre for Innovation Policy and Governance
125
TV One – Konten beridentitas suku Jawa mendominasi dibanding dengan kelompok etnis lain. Sebanyak 31.2% konten bercirikan suku Jawa, 18.7% suku Batak, 12.5% suku Sunda, 6.2% suku Melayu, 6.2% suku Minangkabau, 6.2% suku Betawi, 6.2% suku Bali, 6.2% suku Aceh dan 6.2% suku Amungme.
126 Centre for Innovation Policy and Governance Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
Keseluruhan Stasiun TV – Secara keseluruhan dari 10 Stasiun TV swasta, suku Jawa mendominasi konten yang bercirikan kelompok etnis. Kelompok etnis dengan frekuensi tertinggi adalah suku Jawa sebanyak 41%, suku Sunda sebanyak 8%, suku Minangkabau sebanyak 8%, suku Betawi sebanyak 8%, suku Bali sebanyak 7%, suku Tionghoa sebanyak 6%, suku Batak sebanyak 3%, suku Dayak sebanyak 3%, suku Bugis sebanyak 2%, suku Melayu sebanyak 1% dan suku Aceh sebanyak 1%.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
127
Para Penulis Yanuar Nugroho (lahir 1972) adalah Research Fellow di Manchester Institute of Innovation Research (MIoIR) dan merupakan anggota inti dari Centre for Development Informatics (CDI) di Manchester Business School dan School of Environment dan Development, the University of Manchester, Inggris. Beliau adalah penerima Hallsworth Fellowship bidang Politik dan Ekonomi di tahun 2010-2012 dan mendapatkan penghargaan sebagai Outstanding Academic of the Year 2009 dari Manchester Business School. Beliau juga merupakan Penasihat senior dari CIPG di Jakarta, Indonesia. Yanuar adalah penulis utama dari laporan ini dan peneliti utama dari riset media dan hak warga di Indonesia – riset kerjasama antara CIPG, Hivos ROSEA, dan Ford Foundation. Dwitri Amalia (lahir 1987) belajar Ekonomi di Royal Holloway University of London dan University of Canberra. Dwitri adalah Research Associate di CIPG Jakarta dan bertanggung jawab atas analisis kuantitatif dan tinjauan laporan ini. Leonardus K. Nugraha (lahir 1986) adalah peneliti dengan latar belakang pendidikan S1 Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Indonesia. Saat ini, dia adalah Research Associate di CIPG Jakarta. Ia terbiasa dengan studi kasus, observasi semi etnografi, dan wawancara mendalam. Nardo adalah peneliti pelaksana dari riset ini dan peneliti lapangan yang bertanggung jawab atas pengumpulan data mengenai industri media di Indonesia. Dinita Andriani Putri (lahir 1984) meraih gelar S1 dalam Hubungan Internasional dan Ilmu Politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Indonesia. Saat ini ia adalah Research Fellow di CIPG Jakarta dan bertanggung jawab mengumpulkan data dari laporan ini. Jimmy Tanaya (lahir 1978) meraih gelar PhD dalam bidang Business Adminisatration (Sustainable Consumption) dari Manchester Business School, University of Manchester. Ia saat ini menjabat sebagai Research Director di CIPG. Shita Laksmi adalah Programme Officer di Hivos Regional Office Southeast Asia (ROSEA) untuk bidang terkait media, informasi dan teknologi informasi (TIK) serta seni dan budaya. Pada tahun 2005, ia meraih gelar Master pada jurnalisme di Ateneo de Manila University, melalui fellowship dari Konrad Adenauer Centre. Dalam riset kerjasama antara CIPG, Hivos, dan Ford Foundation, ia berperan sebagai peneliti dan penulis.
Centre for Innovation Policy and Governance
Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: sejauh mana prinsip kewarganegaraan dijunjung oleh media
129
CIPG adalah organisasi konsultasi berbasis penelitian yang bercita-cita untuk unggul dalam area sains, teknologi, inovasi dan tata kelola. Berawal dari sebuah kelompok studi mahasiswa Indonesia di luar negeri sejak tahun 2007, CIPG resmi didirikan di Jakarta, Indonesia pada tahun 2010. CIPG – atau Pusat Inovasi Tata kelola dan Kebijakan merupakan salah satu dari kelompok konsultasi pertama di Indonesia yang berkeinginan kuat untuk membangun kapasitas riset Indonesia di berbagai sektor. Keunggulan CIPG terletak pada proses riset yang ketat, dan pada relevansi aktivitas kami dengan para pemangku kepentingan serta masyarakat yang dibangun melalui keterlibatan secara aktif. CIPG melakukan aktivitas yang intensif dalam bidang Riset, Konsultansi, dan Peningkatan Kapasitas di area Manajemen Inovasi dan Kebijakan, Keberlanjutan, Manajemen Pengetahuan, Teknologi dan Perubahan Sosial, Manajemen Rantai Suplai, Tata Kelola Perusahaan, dan Penguatan Masyarakat Sipil. Didirikan pada tahun 1968, HIVOS adalah sebuah organisasi pembangunan nirlaba non-pemerintah yang terinspirasi oleh nilai-nilai humanis. Bersama dengan lebih dari 800 organisasi mitra di lebih dari 30 negara di seluruh dunia, 170 anggota staf dan 13 kantor termasuk 2 di Indonesia, Hivos berupaya untuk berkontribusi demi tercapainya dunia yang adil, bebas dan berkelanjutan. Hivos percaya akan kreativitas dan kapasitas dari masing-masing individu. HIVOS memiliki enam kantor regional, salah satunya adalah HIVOS Regional Office Southeast Asia (ROSEA) di Jakarta. HIVOS telah bekerja di wilayah ini sejak pertengahan 1980s, utamanya di bidang pengembangan masyarakat sipil dengan hak asasi manusia sebagai perspektif utamanya, dan juga bergerak dalam bidang pembangunan berkelanjutan yang mencakup energi terbarukan. Bekerja dengan pemimpin dan organisasi visioner di seluruh dunia untuk mengubah struktur serta institusi sosial agar semua individu mendapatkan kesempatan setara untuk mencapai potensi utuhnya, berkontribusi kepada masyarakat, dapat bersuara dalam pengambilan keputusan serta hidup dan bekerja dalam kondisi yang layak. Komitmen terhadap keadilan sosial diimplementasikan dalam program yang memperkuat nilai-nilai demokrasi, mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan, memajukan pengetahuan, kreativitas dan pencapaian.