PRODUKSI EMBRIO KLONING MENCIT DENGAN PENGEMBANGAN TEKNIK TRANSFER INTI SEL SOMATIS
HARRY MURTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Produksi Embrio Kloning Mencit dengan Pengembangan Teknik Transfer Inti Sel Somatis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Harry Murti NIM B362080041
RINGKASAN HARRY MURTI. Produksi Embrio Kloning Mencit dengan Pengembangan Teknik Transfer Inti Sel Somatis. Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO, MOKHAMAD FAHRUDIN dan MOHAMAD AGUS SETIADI. Sel punca embrionik pada umumnya diperoleh dari embrio hasil fertilisasi, namun sekarang dilaporkan bahwa embrio juga dapat diperoleh dari hasil Transfer Inti Sel Somatis (TISS). Prosedur ini diharapkan dapat mengatasi masalah etik dalam penggunaan embrio yang sebelumnya dihasilkan untuk tujuan reproduksi. Tingkat efisiensi kloning reproduksi yang relatif sangat rendah menjadi salah satu alasan menjajaki pemanfaatan TISS untuk kepentingan biomedis yaitu memproduksi ntESC. Embrio kloning mengalami hipermetilasi DNA yang diduga merupakan salah satu penyebab perkembangannya tidak bisa optimal Penelitian memiliki lima tujuan utama, yaitu: (1) melakukan optimasi perlakuan superovulasi, metode aktivasi, dan enukleasi pada mencit sebagai hewan model; (2) untuk memproduksi embrio kloning, embrio partenogenetik, dan embrio fertilisasi in vivo mencit; (3) mempelajari tahapan perkembangan praimplantasi pada kultur in vitro; (4) menentukan tahap siklus sel kumulus dengan menggunakan analisa flowcytometri; (5) mengkaji pengembangan teknik TISS dengan perlakuan penambahan Scriptaid sebagai senyawa penghambat enzim HDAC (histones deacetylases). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dosis PMSG dan hCG 7,5 IU dapat meningkatkan jumlah oosit pada aplikasi superovulasi. Perlakuan dengan medium CZB & CB & SrCl2 (medium segar) selama enam jam (perlakuan C) merupakan metode aktivasi yang paling optimal dan dapat mencapai tingkat aktivasi 97,21%. Penambahan sukrosa 3% dapat meningkatkan keberhasilan enukleasi. Hasil menunjukkan bahwa aplikasi TISS dapat menghasilkan embrio kloning yang mampu berkembang hingga mencapai tahap blastosis (3,2%). Embrio partenogenetik yang dihasilkan oleh aktivasi buatan dapat berkembang hingga tahap blastosis (8,6%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel kumulus yang dipakai sebagai donor inti berada pada tahap siklus sel G0/G1. Sel kumulus ini yang berukuran 5-7µm dan populasinya sebesar 70,84% dari total sel kumulus yang diisolasi. Tahap enukleasi dapat mencapai tingkat efisiensi sebesar 49%, sedangkan tahap transfer inti dapat mencapai tingkat efisiensi 40,8%. Penambahan Scriptaid berhasil meningkatkan efisiensi embrio kloning yang mencapai tahap blastosis menjadi 10,8%. Tingkat efisiensi tersebut naik lebih dari 3 kali lipat dibandingkan dengan kontrol (3,2%). Optimasi terhadap perlakuan superovulasi, enukleasi, dan metode aktivasi dapat meningkatkan efisiensi aplikasi TISS untuk memproduksi embrio kloning mencit. Sel kumulus yang digunakan sebagai donor inti telah dipastikan pada tahap siklus sel G0 atau G1. Embrio kloning mencit dapat dihasilkan melalui aplikasi TISS. Perkembangan praimplantasi secara in vitro embrio fertilisasi dan partenogenetik masih lebih baik dibandingkan dengan embrio kloning. Penambahan HDACi (Scriptaid dan TSA) dapat meningkatkan tingkat efisiensi hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Kata kunci: superovulasi, enukleasi, activasi, embrio kloning, scriptaid
SUMMARY HARRY MURTI. Production of mice cloned embryo by development of Somatic Cell Nuclear Transfer Technique. Supervised by ARIEF BOEDIONO, MOKHAMAD FAHRUDIN and MOHAMAD AGUS SETIADI. Embryonic stem cells can be obtained from an embryo generated through fertilization, recently it has been reported that an embryo can also be generated asexually through Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT). This procedure will overcome the ethical issue regarding the usage of embryo that was initially generated for reproductive purposes. The low efficiency of reproductive cloning is one of the reasons to explore the use of SCNT for biomedical purpose, specifically through nuclear transfer Embryonic Stem Cell (ntESC) production. Cloned embryos undergo DNA hypermethylation, which is thought to be one of the causes of sub-optimal growth. This study has five main objective that include the following: (1) to obtain an optimized oocyte superovulation, activation method, and enucleation using mice oocytes as a model; (2) to produce mouse cloned embryo, parthenogenetic embryo, and in vivo fertilized embryo; (3) to study the stages of pre-implantation development in vitro culture; (4) to determined the cumulus cell cycle using flow cytometry; (5) to study the development of SCNT technique by adding Scriptaid as an inhibitory enzyme HDAC (histone deacetylase). This study showed that using doses of 7.5 IU PMSG and hCG hormones can increase the oocyte cell production optimization through superovulation treatment. The most optimal method of activation is medium CZB & CB & SrCl2 (fresh medium) for six hours (method C) to activate oocyte cells until it reaches the level of activation of 97.21%. The addition of 3% sucrose able to increase the enucleation rate. The result of the research indicated that SCNT application is able to produce cloned embryos which are capable to develop to blastocyst stage (3,2%). In addition artificial activation of oocytes could produce parthenogenetic embryos which are capable to develop up to the blastocyst stage (8,6%). The results show that cumulus cells used as nuclei donors are in the G0/G1 cell cycle phase. The cumulus cells measure at 5-7 µm in diameter and accounts for 70,84% of the total isolated cumulus cell population. The enucleation process could achieve an efficiency rate of 49%, while the nuclear transfer achieves a 40,8% efficiency rate. The addition of Scriptaid successfully increase the embryonic cloning at the blastocyst stage’s success rate to 10,8%. This efficiency rate is three times higher compared to the control, which only shows a 3,2% success rate. Optimization of the superovulation treatment, enucleation, and the activation method could improve the efficiency of SCNT application to produce cloned mice embryos. Cumulus cells were used as donor nuclei has been confirmed at G0 or G1 stage of the cell cycle. Embryos cloned mice could be generated through the SCNT application. Preimplantation development of fertilized and parthenogenetic embryos still better than the cloned embryos. The addition of Scriptaid and TSA could increase the level of efficiency of up to threefold compared with controls. Keywords: superovulation, enucleation, activation, cloned embryo, scriptaid
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKSI EMBRIO KLONING MENCIT DENGAN PENGEMBANGAN TEKNIK TRANSFER INTI SEL SOMATIS
HARRY MURTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc Drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D.
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Amin Soebandrio W.K. Ph.D, dr., Sp.MK (K) Dr. drh. Bambang Purwantara, M.Sc
PRAKATA Assalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokatuh, Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian jenjang doktoral yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. drh. Arief Boediono selaku ketua komisi pembimbing, Dr. drh. Mokhamad Fahrudin dan Prof. Dr. drh. M. Agus Setiadi selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh ketulusan memberikan arahan dan saran selama penulis melaksanakan penelitian hingga penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc dan Drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, Prof. Amin Soebandrio W.K. Ph.D, dr., Sp.MK (K) dan Dr. drh. Bambang Purwantara, M.Sc, selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, atas segala kritik dan saran yang sangat bermanfaat untuk menyempurnakan tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Ketua Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Ketua Program Studi, staf pengajar dan staf administrasi Biologi Reproduksi, serta seluruh staf Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di IPB serta membantu kelancaran proses penyelesaian studi penulis. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada jajaran direksi PT. Kalbe Farma, Tbk. yang telah memberikan ijin studi dan dukungan finansial (beasiswa) dalam rangka penyelesaian studi penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. drh. Ita Djuwita, M. Phil, sebagai Kepala Laboratorium Embriologi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi, Depertemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang telah memberi ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menggunakan berbagai fasilitas yang ada di laboratorium tersebut, kepada drh. Kusdiantoro Muhammad, drh. Wahono Esti Prasetyaningtias, M.Si, atas dukungan dan bantuan dalam bentuk informasi ilmiah yang diterima penulis selama studi di Bogor. Kepada rekan-rekan senior, Dr. Ir. Thomas Mata Hine, MS, Dr. drh. I Wayan Batan, MS, Bayu Rosadi, S.Pt, M.Si atas segala dukungan dan bantuannya. Kepada laboran, Mas Wahyu dan Ibu Yani atas segala kebaikan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium Embriologi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Owner dan Founder PT. Kalbe Farma, Tbk. Yaitu Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D atas kepercayaan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis dalam bentuk beasiswa selama menempuh studi di SPs IPB. Kepada kolega di Stem Cell and Cancer Institute (SCI) yaitu Indra Bachtiar Ph.D, Yuyus Kusnadi Ph.D, Ahmad Utomo Ph.D, Andi Utama Ph.D, Drs. Sie Djohan Apt., drg. Ferry Sandra Ph.D., dr. Caroline Tan Sardjono Ph.D., Fernandina Stella Setiawan BSc, Maurin Merlina S.Si, Yurista Septiani Dewi Apt., MSi, Halida Widyastuti BSc, Sonya A. Tandy Apt., Wara
Noveka, Wireni Ayuningtyas S.Si atas dukungan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan program doktor di SPs IPB. Kepada rekan-rekan saya, Dwi Agustina, S.Si, M.Si, Dini Budiharko, S.Si, M.Si, Riris Lindiawati Puspitasari, S.Si, M.Si, Dr. Enny T. Setiatin, Nuril Farizah, S.Pi, M.Si, Sigit Prastowo, S.Pt, M.Si, Adkhilni Utami, S.KH, dan Dr. Irma Andriani, S.Pi, M.Si. Kepada rekan satu angkatan BRP 2008 yaitu Dr. drh. Sri Wahyuni, M.Si, Dra. Ekayanti M. Kaiin, M.Si, Dr. Tatan Kostaman, S.Si, MP serta semua rekan-rekan mahasiswa BRP atas hubungan baik dan kerjasamanya selama studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Drs. Mardjoko Muljono, ibunda drg. Djauhar Harini, istri tercinta Laura Angelia, Amd., adinda Handaka Murti & Bayu Murti, keluarga besar bapak Ferry Firdaus Salindeho & ibu Komala Gandasamita, keluarga besar Alm. Widyoharsono & Alm. Moh. Tarom serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Wassalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokatuh
Bogor, Juli 2013 Harry Murti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xiii xiv xv
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 1 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Transfer Inti Sel Somatis Siklus Sel Resipien dan Donor Inti Sinkronisasi Siklus Sel dan Aktivasi Modifikasi Epigenetik pada Embrio Kloning Perkembangan Embrionik Praimplantasi
3 3 4 5 6 7
OPTIMASI SUPEROVULASI, METODE AKTIVASI, DAN ENUKLEASI PADA PENGEMBANGAN TEKNIK TRANSFER INTI SEL SOMATIS Abstract Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
8 8 8 9 10 12 17
PRODUKSI DAN KULTUR IN VITRO EMBRIO KLONING DAN EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT Abstract Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
18 18 18 19 21 24 29
PRODUKSI EMBRIO KLONING MENCIT DENGAN PENAMBAHAN SCRIPTAID PADA APLIKASI TRANSFER INTI SEL SOMATIS Abstract Abstrak Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
30 30 30 31 32 36 39
PEMBAHASAN UMUM
41
SIMPULAN DAN SARAN
44
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
51
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL 1. Perlakuan superovulasi untuk menghasilkan sel oosit 2. Perlakuan metode aktivasi sel oosit 3. Keberhasilan enukleasi inti oosit (sel resipien) 4. Tahapan perkembangan kultur embrio secara in vitro 5. Siklus sel kumulus sebagai donor inti setelah isolasi 6. Hasil enukleasi & transfer inti pada produksi embrio kloning mencit 7. Perkembangan sel embrio kloning mencit secara in vitro
12 15 16 27 37 38 38
DAFTAR GAMBAR 1. Sel oosit mencit hasil superovulasi 2. Sel oosit setelah diaktivasi 3. Enukleasi dengan menggunakan sukrosa 3% 4. Isolasi sel oosit dan sel cumulus 5. Aplikasi Transfer Inti Sel Somatik 6. Tahapan perkembangan embrio kloning 7. Grafik hasil analisa flowcytometri sel kumulus setelah isolasi 8. Sel kumulus setelah isolasi 9. Tahapan perkembangan kultur in vitro embrio kloning
14 15 17 25 26 28 36 37 39
DAFTAR LAMPIRAN 1. Komposisi larutan stok CZB 2. Larutan stok CZB- PVA 3. Larutan stok kalsium 4. Larutan stok strontium 5. Larutan stok cytochalasin B 6. Larutan stok hyaluronidase 7. Resep Medium CZB 6. Resep medium M2
52 52 52 52 52 53 53 55
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan teknik Transfer Inti Sel Somatis (TISS) telah menjadi tren baru dalam kemajuan ilmu embriologi dan biomedis (McLaren 2000). Aplikasi ini menjadi sangat populer setelah terungkap dari beberapa hasil studi yang meneliti tentang kemungkinan pemanfaatan teknik transfer inti untuk memproduksi ntESC (nuclear transfer Embryonic Stem Cell) dan pemanfaatannya untuk terapi penyakit degeneratif (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Teknik TISS pada dasarnya meliputi enukleasi (pengeluaran inti oosit resipien), transfer inti (inti sel somatis dimasukkan ke dalam sitoplasma oosit resipien), dan aktivasi (menginduksi oosit hasil rekontruksi untuk mengalami nuclear reprogramming dan berkembang seperti embrio yang normal) (Colman 2000). Aplikasi TISS untuk memproduksi ntESC memberi harapan baru dalam pengembangan therapeutic cloning sebagai alternatif pengobatan berbagai penyakit degeneratif. Secara teoritis ntESC memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan sel punca (stem cell) dari sumber yang lain. Transplantasi ntESC yang bersifat autologous diharapkan mampu mengatasi masalah penolakan sistem imun pada penderita (Cibelli et al. 2001). Ketidakcocokan karakter HLA (Human Lymphocyte Antigen), antara sel donor dengan sel pasien menyebabkan sel donor dianggap sebagai substansi asing yang dapat menimbulkan reaksi penolakan yang dikenal dengan “graft versus host diseases” (Wobus & Boheler 2005). Pemanfaatan ntESC dalam terapi berbasis sel (cell replacement therapy) berpotensi dapat mengatasi permasalahan penolakan sistem imunitas tersebut karena memiliki genom yang sama dengan sel-sel dari individu yang sakit (Moon et al. 2006). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa ESC dapat diarahkan menjadi sel-sel neuron (Wakayama et al. 2001), ginjal (Hipp & Atala 2004), otot jantung (Kodifis et al. 2004), dan pankreas (Paek et al. 2005). Keberhasilan kloning dengan teknik TISS telah mengubah pandangan tentang pola ekpresi gen yang ternyata bersifat reversibel. Inti sel somatis yang telah memiliki pola ekspresi gen tertentu sesuai dengan jenis dan fungsinya, setelah mengalami nuclear reprogramming dapat mengalami perubahan pola ekspresi gen menjadi seperti pada tahap perkembangan embrionik (Wilmut et al. 2002).
Perumusan Masalah Salah satu kendala pada aplikasi TISS baik untuk memproduksi ntESC maupun hewan kloning adalah rendahnya tingkat efisiensi perkembangan embrio hasil TISS hingga tahap blastosis dan keberhasilan kultur sel lestari ntESC (Gurdon et al. 2003). Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya indikasi bahwa penyebab rendahnya efisiensi pada embrio hasil kloning adalah proses nuclear reprogramming belum berjalan secara sempurna, sehingga inti
2
sel belum sepenuhnya dapat berubah pola ekspresi genetiknya menjadi seperti pola perkembangan embrionik (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Berbagai pengembangan teknik TISS telah dilakukan, namun hingga saat ini belum diperoleh hasil yang memuaskan. Selain itu aplikasi TISS pada manusia masih menjadi perdebatan dalam masalah etika, sehingga pengembangan teknik ini lebih banyak dikaji pada hewan coba (Murti et al. 2008). Materi genetik (genom) dan urutan DNA pada sel somatik yang menyusun satu individu pada dasarnya sama. Dinamika perubahan gen yang aktif dan non aktif merupakan penyebab terjadinya modifikasi epigenetik. Teknik kloning dapat memfasilitasi modifikasi epigenetik yaitu memprogram kembali sel yang telah berdiferensiasi (sel somatik) menjadi ke tahapan awal embrionik yang bersifat totipoten (Wang et al. 2007). Modifikasi epigenetik diduga memegang peranan penting pada proses nuclear reprogramming, walaupun hingga saat ini mekanisme pemrograman belum diketahui (Humpherys et al. 2001). Pada embrio kloning telah diketahui bahwa setelah aktivasi, akan terjadi peningkatan hipermetilasi DNA dan deasetilasi histon (Wang et al. 2007). Asetilasi histon juga berperan dalam modifikasi epigenetik karena dapat mempengaruhi metilasi DNA dan ekspresi protein (Enright et al. 2003). Penelitian ini akan mengkaji pengembangan teknik TISS meliputi optimasi superovulasi, optimasi enukleasi, optimasi metode aktivasi, penentuan siklus sel donor inti, dan perlakuan penambahan Scriptaid sebagai senyawa penghambat enzim HDAC (histones deacetylases), sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi perkembangan embrio kloning hasil TISS.
Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengembangkan teknik TISS dengan perlakuan penambahan Scriptaid untuk meningkatkan efisiensi produksi embrio kloning pada mencit. Tujuan khususnya adalah: 1. Melakukan optimasi superovulasi, enukleasi dan metode aktivasi untuk pengembangan aplikasi TISS 2. Menentukan tahap siklus sel donor inti 3. Memproduksi embrio kloning dengan menggunakan aplikasi TISS 4. Mempelajari perkembangan embrio kloning secara in vitro dibandingkan dengan embrio partenogenetik dan embrio fertilisasi in vivo 5. Mempelajari pengaruh penambahan Scriptaid dan Trichostatin A terhadap perkembangan embrio kloning pada tahapan praimplantasi
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teknik TISS untuk meningkatkan efisiensi produksi embrio kloning mencit. Aplikasi TISS pada mencit juga dapat dikembangkan sebagai model dalam penelitian biomedis dan konservasi satwa langka.
3
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan oosit mencit hasil superovulasi dengan penyuntikan hormon PMSG dan hCG secara intraperitonial. Produksi embrio kloning menggunakan teknik TISS yang meliputi: enukleasi, transfer inti dan aktivasi. Sel resipien adalah oosit pada tahap metaphase II sedangkan sel donor inti adalah sel kumulus. Optimasi dilakukan untuk menentukan dosis hormon PMSG dan hCG, metode aktivasi, dan enukleasi yang paling efektif. Siklus sel donor inti dianalisa dengan menggunakan teknik flowcytometri. Perkembangan praimplantasi embrio kloning secara in vitro dibandingkan dengan embrio hasil fertilisasi in vivo dan embrio partenogenetik. Penambahan senyawa inhibitor enzim Histone Deacetylase yaitu Scriptaid dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi aplikasi teknik TISS dalam menghasilkan embrio kloning yang mampu berkembang hingga tahap blastosis.
TINJAUAN PUSTAKA Transfer Inti Sel Somatis Pada tahun 1997, Wilmut dan koleganya di Roslin Institute telah berhasil memanfaatkan teknik TISS untuk memproduksi domba kloning yang pertama di dunia. Domba Dolly adalah mamalia pertama yang dihasilkan bukan dari proses fertilisasi, namun berasal dari inti sel somatis yang ditransfer ke oosit dan selanjutnya dapat melakukan perkembangan embrionik seperti embrio normal. Ada tiga fakta baru yang terungkap dari hasil penelitian tersebut, yaitu (1) sel somatis yang telah berdiferensiasi masih menyimpan potensi untuk dilakukan reprogramming setelah dikultur selama kurun waktu tertentu, (2) sel somatis yang dikultur dengan kondisi rendah/tanpa serum dapat masuk ke dalam tahap G0 dalam siklus sel, dan (3) aplikasi teknik TISS dapat memprogram inti sel somatis dewasa kembali ke perkembangan tahap embrionik (Wilmut et al. 1997). Keberhasilan kloning Dolly memacu aplikasi TISS pada hewan mamalia lainnya. Beberapa mamalia yang telah berhasil dikloning adalah mencit (Wakayama et al. 1998 ), babi (Tomii et al. 2005), sapi (Kasinathan et al. 2001), ferret (Li et al. 2003; Li et al. 2005), anjing (Lee et al. 2005), tikus (Iannacone et al. 2001), dan kambing (Baguisi et al. 1999). Tingkat efisiensi hasil kloning yang relatif sangat rendah (<5%) menjadi salah satu alasan menjajaki pemanfaatan TISS untuk kepentingan biomedis yaitu memproduksi ntESC. Embrio hasil TISS dikultur secara in vitro hingga mencapai tahap blastosis, namun tidak diimplantasikan melainkan diisolasi ICM-nya dan kemudian dikultur sebagai sel lestari ntESC (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Keunggulan utama ntESC bila dibandingkan dengan sumber ESC yang lain adalah masih memiliki sifat pluripotensi, ekspresi MHC kelas I yang masih rendah, dan berkarakter immune-compatible stem cells (Hochedlinger &
4
Jaenisch 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ntESC yang berasal dari inti sel somatis mempunyai sifat pluripoten dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel, seperti dopaminergic & seronergic neuron dan germ cells (Wakayama et al. 2001). Namun ntESC masih berpotensi memiliki beberapa karakter yang berbeda dengan Embryonic Stem Cell (ESC) alami (bukan hasil TISS). Hal ini diduga dipengaruhi oleh memori epigenetik yang tidak sepenuhnya dapat dihapus dalam proses nuclear reprogramming (Ng & Gurdon 2005).
Siklus Sel Resipien dan Donor Inti Keberhasilan nuclear reprogramming pada TISS sangat dipengaruhi oleh sinkronisasi tahapan siklus sel antara sel somatis sebagai donor inti dan sel oosit sebagai resipien. Hal ini menjadi faktor penting karena interaksi antara inti sel somatis dengan sitoplasma oosit merupakan kunci sukses pada awal perkembangan embrionik (Stice et al. 1998). Pada teknik transfer inti, salah satu faktor yang harus diperhatikan dari sel donor inti adalah jumlah kromosom (Kato & Tsunoda 1993). Sel somatis pada tahap G0/G1 mempunyai kromosom diploid (2n), tahap G2 mempunyai kromosom tetraploid (4n) karena telah mengalami replikasi DNA pada tahap S, dan tahap S mempunyai jumlah kromosom yang bervariasi antara diploidtetraploid (2n-4n) karena bergantung pada posisi awal (sebelum replikasi) atau akhir (setelah replikasi). Perbedaan kandungan protein yang terekspresi pada tiap tahap siklus sel, menjadi faktor penentu untuk memprogram kembali inti sel donor (Dinnyes & Szmolenszky 2005). Oosit yang telah mengalami ovulasi biasanya berada pada metafase II tahap M (MII). Pada tahap tersebut konsentrasi Maturation Promoting Factor (MPF) yaitu kompleks cyclin B-Cdk1 mencapai tingkatan maksimal. Selain itu Cytostatic Factor (CSF) juga memegang kendali regulasi siklus sel dengan mempertahankan kondisi stabil pada MII dan menghambat masuk ke tahap anafase (Schimidt et al. 2006). Konsentrasi MPF sitoplasma oosit pada tahap MII juga dipengaruhi oleh aktivasi (Campbell et al. 1993). Setelah oosit diaktivasi baik secara elektrik maupun secara kimiawi dengan SrCl2 maka konsentrasi MPF akan menurun secara drastis. Hal ini diduga disebabkan oleh osilasi ion Ca2+ intraseluler (pasca aktivasi) menginduksi serangkaian reaksi biokimia sehingga CSF akan terdegradasi oleh sistem ubiquitin/ proteosome (Schimidt et al. 2006). CSF yang inaktif akan menyebabkan Anaphase Promoting Complex (APC) aktif dan menghancurkan cyclin A dan B sehingga MPF menjadi tidak aktif (konsentrasi menurun) (McGowan 2003).
Sinkronisasi Siklus Sel dan Aktivasi Dalam satu siklus sel secara normal, materi genetik (DNA) harus mengalami satu kali replikasi dan hanya terjadi sekali tahap mitosis. Hingga saat ini belum diketahui secara jelas mekanisme yang menyebabkan hal tersebut (Campbell et al. 1996). Namun beberapa hasil penelitian,
5
menunjukkan bahwa diduga membran inti mempunyai andil dalam terjadinya replikasi DNA (Campbell et al. 1993). Pada transfer inti dengan resipien pada tahap MII, konsentrasi MPF yang tinggi dapat menyebabkan inti donor mengalami Nuclear Envelope Breakdwon (NEBD) dan Premature Chromosome Condensation (PCC) (Wakayama & Yanagimachi 2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua inti sel pada semua tahap siklus sel akan mengalami NEBD dan PCC bila ditansfer ke sitoplasma oosit yang konsentrasi MPFnya tinggi (Campbell et al. 1993). Namun bagaimana efek PCC terhadap proses nuclear reprogramming belum diketahui secara tuntas hingga saat ini (Sung et al. 2006). Inti donor pada tahap G0, dan G1 yang masing-masing jumlah kromosomnya diploid (2n) bila ditransfer ke dalam oosit resipien pada MII akan terjadi PCC pada kromatid tunggal, lalu mengalami Nuclear Reformation (2n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 4n) kemudian akan membelah menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom diploid (Campbell et al. 1996). Inti donor pada tahap G2 yang jumlah kromosomnya tetraploid (4n) bila ditransfer ke dalam sel oosit resipien pada MII akan terjadi PCC pada kromatid ganda, lalu mengalami Nuclear Reformation (4n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 8n) kemudian akan membelah menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom tetraploid (4n). Hal ini menunjukkan bahwa inti donor tahap G2 tidak sinkron apabila ditransfer pada tahap MII oosit resipien (Campbell et al. 1996). Pada transfer inti ke dalam sel oosit dengan MPF rendah (menurun drastis setelah diaktivasi), menunjukkan bahwa inti donor sel tahap G0, G1, dan S akan mengalami replikasi DNA, sehingga sel anakan mempunyai kromosom diploid (2n). Sedangkan inti donor tahap G2 tidak melakukan replikasi DNA, sehingga pada kromosom sel anakannya menjadi 2n. Hal ini juga memperkuat dugaan bahwa faktor yang mempengaruhi replikasi DNA bukan sekedar karena membran inti yang pecah dan terjadi kondensasi prematur (PCC), tapi diduga juga disebabkan oleh kandungan DNA (kromosom) pada inti donor (Campbell et al. 1996). Ada beberapa cara untuk memperoleh kultur sel pada tahap-tahap tertentu dalam siklus sel. Untuk memperoleh sel pada tahap G0/G1, dapat dilakukan dengan cara mengkultur sel dengan medium tanpa/rendah serum (Wakayama & Yanagimachi 2001). Sinkronisasi tahap G2 dapat dilakukan dengan cara menambahkan cycloheximide pada medium kultur (Campbell et al. 1993). Tahap metafase dapat diperoleh dengan menambahkan demecolcine (Li et al. 2005) atau nocodazole (senyawa penghambat polimerisasi mikrotubuli) pada medium kultur (Ono et al. 2001). Tahapan penting pada aplikasi TISS adalah pada saat terjadi nuclear reprogramming. Inti sel somatis yang telah ditransfer ke dalam sitoplasma sel oosit akan mengalami perubahan baik secara morfologi maupun molekuler (Choi et al. 2004). Beberapa hipotesis menyatakan bahwa perlakuan aktivasi pada oosit pasca transfer inti merupakan awal dari proses nuclear reprogramming (Loi et al. 2003).
6
Oosit pada tahap metafase II (MII) digunakan sebagai resipen setelah dikeluarkan intinya. Pada tahap MII, oosit akan tetap berada dalam kondisi stabil dan bertahan pada kondisi tersebut karena adanya pengaruh dari CSF (cytostatic factor) (Schimidt et al. 2006). CSF juga menghambat aktivitas APC (Anaphase-Promoting Complex) yang berperan memicu masuk ke tahap anafase (Heuvel 2005). MPF (Maturation Promoting Factor) mencapai konsentrasi tertinggi pada tahap MII (Piotrowska et al. 2000). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semua inti donor sel somatis yang ditransfer ke dalam sitoplasma sel oosit pada saat konsentrasi MPF tinggi akan mengalami NEBD (Nuclear Envelope Breakdown) dan PCC (Premature Chromosome Condensation) (Campbell et al. 1993). Pecahnya membran inti sel donor akan menyebabkan materi genetik yang terkandung di dalamnya kontak langsung dengan sitoplasma oosit (Chung et al. 2002). MPF aktif yang merupakan kompleks cyclin B-Cdk1 yang terfosforilasi dan dapat menginduksi sel masuk ke tahap pembelahan mitosis atau meiosis, menyebabkan NEBD, kondensasi kromosom dan perubahan pada sitoskeleton dan morfologi sel (Campbell et al. 1996). Aktivasi pada oosit tahap MII merupakan modifikasi dari proses fertilisasi secara alami. Osilasi ion Ca2+ intraseluler mutlak diperlukan untuk menginduksi proses aktivasi (Vincent et al. 1992). Pada fertilisasi, masuknya sperma ke dalam oosit akan menginduksi sinyal Ca2+ (Schimidt et al. 2006). Pada aplikasi TISS, aktivasi oosit tahap MII dapat dilakukan secara elektrik maupun secara kimiawi dengan SrCl2 maka konsentrasi MPF akan menurun secara drastis. Hal ini diduga disebabkan oleh osilasi ion Ca2+ intraseluler (pasca aktivasi) menginduksi serangkaian reaksi biokimia sehingga CSF akan terdegradasi oleh sistem ubiquitin/proteosome. CSF yang inaktif akan menyebabkan APC aktif dan menghancurkan cyclin A dan B sehingga MPF menjadi tidak aktif (konsentrasi menurun) (Elzen & Pines 2001). Setelah aktivasi, inti sel somatis akan berinteraksi dengan faktor-faktor di sitoplasma dan terjadi proses reformasi inti. Selanjutnya akan terbentuk Pseudopronucleus (pPN). Penambahan Cytochalasin B merupakan upaya untuk mencegah terbentuknya polar body II (PBII) (Wakayama & Yanagimachi 2001). Hal ini perlu dilakukan untuk mempertahankan jumlah kromosom tetap diploid (2n). Keberhasilan nuclear reprogramming sangat menentukan pola ekspresi genetik selama proses perkembangan dan pertumbuhan embrio kloning (Piedrahita et al. 2004).
Modifikasi Epigenetik pada Embrio Kloning Materi genetik (genom) dan urutan DNA pada sel somatik yang menyusun satu individu pada dasarnya sama. Dinamika perubahan gen yang aktif dan non aktif merupakan penyebab terjadinya modifikasi epigenetik. Teknik kloning dapat memfasilitasi modifikasi epigenetik yaitu memprogram kembali sel yang telah berdiferensiasi (sel somatik) menjadi ke tahapan awal embrionik yang bersifat totipoten (Wang et al. 2007). Salah satu pengembangan teknik TISS yang telah dilakukan adalah dengan perlakuan penambahan senyawa penghambat enzim HDAC pada saat
7
proses nuclear reprogramming inti sel donor. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan Trichostatin A (TSA) berhasil meningkatkan keberhasilan perkembangan embrio kloning mencapai tahap blastosis (Enright et al. 2003; Kishigami et al. 2006; Li et al. 2008). Scriptaid merupakan senyawa penghambat deasetilasi histon yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan TSA, yaitu toksisitas yang lebih rendah dan dapat memfasilitasi aktivasi transkripsional (Monneret 2005).
Perkembangan Embrionik Praimplantasi Pada Mencit Siklus sel yang pertama setelah terjadi baik secara fertilisasi (alami) maupun aktivasi (pada aplikasi TISS) akan menghasilkan tahap pembelahan 2 sel dengan terbentuk 2 blastomer (Ng et al. 2004). Tahap ini sangat penting untuk perkembangan embrionik pada mencit karena terjadi transisi dari genom maternal menjadi genom embrionik (Hogan et al. 1986). Proses yang terjadi meliputi berkurangnya mRNA maternal, genom embrionik mulai aktif melakukan transkripsi, dan terjadi perubahan pola sintesis protein. Khusus pada mencit, peristiwa gagalnya proses perkembangan pada tahap 2 sel sering disebut dengan two cell block (Heindryckx et al. 2001). Setelah melewati pembelahan tahap 8 sel, embrio mamalia umumnya akan mulai mengalami kompaksi (morula). Perkembangan embrio mencit akan mencapai tahap morula pada interval waktu 2-3 hari setelah fertilisasi (Hogan et al. 1986). Embrio akan terus membelah dan diikuti terbentuknya rongga yang berisi cairan yang disebut blastosol. Tahapan sel tersebut adalah blastosis. Secara morfologi embrio pada tahap blastosis dibedakan menjadi dua jenis sel yaitu inner cell mass (ICM) di bagian dalam dan trofoblas di bagian luar. Pada perkembangan pasca implantasi, sel-sel trofoblas akan membentuk plasenta, sedangkan ICM akan berkembang menjadi seluruh jaringan tubuh (Kalthoff 2001).
8
OPTIMASI SUPEROVULASI, METODE AKTIVASI, DAN ENUKLEASI PADA PENGEMBANGAN TEKNIK TRANSFER INTI SEL SOMATIS Abstract Embryonic stem cells can be obtained from an embryo generated through fertilization, recently it has been reported that an embryo can also be generated asexually through Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT). This procedure will overcome the ethical issue regarding the usage of embryo that was initially generated for reproductive purposes. The aim of this study was to obtain an optimized oocyte superovulation, activation method, and enucleation using mice oocytes as a model. Mouse oocytes were produced by superovulation method with 5-7.5 IU Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (PMSG) and 5-7.5 IU human Chorionic Gonadotropin (hCG) intraperitoneal (i.p.) injection. Treatment combination for oocytes activation methods were (A) activation in CZB & SrCl2 (prepared in stock) for two hours and in CZB & CB for four hours; (B) activation in CZB & SrCl2 (fresh medium) for two hours and in CZB & CB for four hours; (C) activation in CZB & CB & SrCl2 (fresh medium) for six hours. The optimation of enucleation was conducted with sucrose addition in the enucleation medium. Results showed that using doses of 7.5 IU PMSG and hCG hormones can increase the oocyte cell production optimization through superovulation treatment. The most optimal method of activation is medium CZB & CB & SrCl2 (fresh medium) for six hours (method C) to activate oocyte cells until it reaches the level of activation of 97.21%. The addition of 3% sucrose able to increase the enucleation rate. Keywords: superovulation, activation, enucleation, oocyte
Abstrak Sel punca embrionik pada umumnya diperoleh dari embrio hasil fertilisasi, namun sekarang dilaporkan bahwa embrio juga dapat diperoleh dari hasil Transfer Inti Sel Somatis (TISS). Prosedur ini diharapkan dapat mengatasi masalah etik dalam penggunaan embrio yang sebelumnya dihasilkan untuk tujuan reproduksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan optimasi perlakuan superovulasi, metode aktivasi, dan enukleasi pada mencit sebagai hewan model. Oosit mencit diproduksi menggunakan teknik superovulasi dengan penyuntikan Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (PMSG) 5 - 7.5 IU dan human Chorionic Gonadotropin (hCG) 5 - 7.5 IU secara intraperitoneal (i.p.). Kombinasi perlakuan untuk metode aktivasi oosit adalah (A) aktivasi di medium CZB & SrCl2 (medium stok) selama dua jam dan di medium CZB & CB selama empat jam; (B) aktivasi di medium CZB & SrCl2 (medium segar) selama dua jam dan di medium CZB & CB selama
9
empat jam; (C) aktivasi di medium CZB & CB & SrCl2 (medium segar) selama enam jam. Optimasi teknik enukleasi dilakukan dengan penambahan sukrosa ke dalam medium. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dosis PMSG dan hCG 7,5 IU dapat meningkatkan jumlah oosit pada aplikasi superovulasi. Perlakuan dengan medium CZB & CB & SrCl2 (medium segar) selama enam jam (perlakuan C) merupakan metode aktivasi yang paling optimal dan dapat mencapai tingkat aktivasi 97,21%. Penambahan sukrosa 3% dapat meningkatkan keberhasilan enukleasi. Kata kunci: superovulasi, aktivasi, enukleasi, oosit
Pendahuluan Tahapan penting pada aplikasi SCNT adalah pada saat terjadi nuclear reprogramming. Inti sel somatis yang telah ditransfer ke dalam sitoplasma oosit akan mengalami perubahan baik secara morfologi maupun molekuler (Choi et al. 2004). Beberapa hipotesis menyatakan bahwa perlakuan aktivasi pada oosit pasca transfer inti merupakan awal dari proses nuclear reprogramming (Loi et al. 2003). Oosit pada tahap metafase II (MII) digunakan sebagai resipien setelah dikeluarkan intinya. Pada tahap MII, oosit akan tetap berada dalam kondisi stabil dan bertahan pada kondisi tersebut karena adanya pengaruh dari cytostatic factor (CSF) (Schimidt et al. 2006). CSF juga menghambat aktivitas Anaphase Promoting Complex (APC) yang berperan memicu masuk ke tahap anafase (van den Heuvel 2005). Maturation Promoting Factor (MPF) mencapai konsentrasi tertinggi pada tahap MII (Piotrowska et al. 2000). Menurut Campbell et al. (1993) Nuclear Envelope Breakdown (NEBD) dan Premature Chromosome Condensation (PCC) akan dialami oleh semua inti donor sel yang ditransfer ke dalam sitoplasma sel oosit pada saat konsentrasi MPF tinggi. Mekanisme tersebut dapat menyebabkan membran inti sel donor pecah dan materi genetik yang terkandung didalamnya berinteraksi dengan sitoplasma sel oosit (Chung et al. 2002). MPF aktif yang merupakan kompleks cyclin B-Cdk1 yang mengalami fosforilasi. Konsentrasi Cdk1 cenderung stabil, namun konsentrasi cyclin B yang bervariasi (Campbell et al. 1996). Aktivasi pada oosit tahap MII merupakan modifikasi dari proses fertilisasi secara alami. Osilasi ion Ca2+ intraseluler mutlak diperlukan untuk menginduksi proses aktivasi (Vincent et al. 1992). Pada fertilisasi, masuknya sperma ke dalam oosit akan menginduksi sinyal Ca2+ (Schimidt et al. 2006). Pada aplikasi SCNT, aktivasi oosit tahap MII dapat dilakukan secara elektrik maupun secara kimiawi dengan SrCl2 maka konsentrasi MPF akan menurun secara drastis. Hal ini diduga disebabkan oleh osilasi ion Ca2+ intraseluler (pasca aktivasi) menginduksi serangkaian reaksi biokimia sehingga CSF akan terdegradasi oleh sistem ubiquitin/ proteosome. CSF yang inaktif akan
10
menyebabkan APC aktif dan menghancurkan cyclin A dan B sehingga MPF menjadi tidak aktif (konsentrasi menurun) (den Elzen and Pines 2001). Setelah aktivasi, inti sel somatis akan berinteraksi dengan faktor-faktor di sitoplasma dan terjadi proses reformasi inti. Selanjutnya akan terbentuk Pseudopronucleus (pPN). Penambahan Cytochalasin B merupakan upaya untuk mencegah terbentuknya polar body II (PBII) (Wakayama and Yanagimachi, 2001). Hal ini perlu dilakukan untuk mempertahankan jumlah kromosom tetap diploid (2n). Keberhasilan nuclear reprogramming sangat menentukan pola ekspresi genetik selama proses perkembangan dan pertumbuhan sel embrio kloning (Piedrahita et al., 2004).
Metode Penelitian Penyiapan Sel Oosit Superovulasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dengan sedikit modifikasi. Oosit diisolasi dari mencit betina galur ddy yang berumur 8-12 minggu. Mencit betina distimulasi untuk mengalami superovulasi dengan menyuntikan hormon Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin/PMSG (Intervet International BV, Folligon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU dan human Chorionic Gonadotrophin/ hCG (Intervet International BV, Chorulon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml dengan interval waktu 46-48 jam. Enam belas jam setelah penyuntikan hCG, COC (Cumulus Oocyte Complexes) diisolasi dari oviduct dengan menggunakan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan). Setelah diisolasi dari sel kumulus maka oosit dikultur dalam medium CZB tanpa glukosa yang mengandung BSA (Sigma, A3311, St. Louis, MO, USA) 1mg/ml, ditutup dengan mineral oil (Sigma, M8410, St. Lois, MO, USA) dan disimpan dalam suhu 37°C dan kadar CO2 5% di dalam inkubator (Sanyo, MCO-95, Japan). Manipulasi Embrio Mencit Pembuatan Pipet Mikromanipulasi Injeksi dan Holding Bahan pipet mikromanipulasi adalah tabung borosilikat gelas kapiler tanpa filamen (Sutter Instrument, B100-75-10). Pipet mikromanipulasi injeksi dibuat dengan menggunakan alat micro-puller (Sutter Instrument, P-87) dan micro-forge (Narishige, MF-79, Japan). Ujung pipet mikromanipulasi injeksi berdiameter bagian luar ~ 15!m untuk enukleasi dan 5-6!m untuk transfer inti. Mercury (Madespa MA, 0561, Spain) dimasukkan ke dalam pipet mikromanipulasi injeksi melalui bagian belakang menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml. Ujung pipet mikromanipulasi holding berdiameter bagian luar 80-100 !m dan berdiameter dalam 20-30 !m (Kishigami et al. 2006) .
11
Enukleasi Kromosom MII dari Sel Oosit Enukleasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Kumpulan oosit (biasanya berjumlah 20) dipindahkan ke dalam drop medium M2 (± 10 !l) yang mengandung cytochalasin B (Sigma, C6762, St. Louis, MO, USA) 5 !l/ml. Tutup cawan petri 35mm (Nunc, 153066, Roskilde, Denmark) digunakan sebagai tempat membuat drop medium untuk mikromanipulasi. Mikroskop inverted (Olympus, IX70, Japan) dengan Thermoplate (Tokai Hit, MATS-U55R30, Japan) dan satu perangkat micromanipulator (Narishige, Japan) digunakan untuk melakukan manipulasi oosit. Oosit diposisikan tidak bergerak dengan ditahan menggunakan pipet holding. Zona pelusida oosit lalu ditembus dengan menggunakan Piezo (Prime Tech, PMAS-CT150, Japan) yang menggetarkan ujung pipet mikromanipulasi injeksi yang digunakan untuk enukleasi (dengan diameter bagian dalam ± 15 !m). Komplek benang spindel kromosom MII, dapat ditandai sebagai spot yang dapat ditembus cahaya di dalam ooplasma dengan perbesaran 20x Optik Hoffman Modulation Contrast (Modulation Optics Inc, Greenvale, New York, USA). Kromosom MII dihisap dengan mikropipet injeksi dan hanya sedikit cairan ooplasma yang terhisap. Setelah itu, pipet ditarik dengan halus dan perlahan hingga melewati zona pelusida. Konfirmasi keberadaan inti/kromosom MII dilakukan dengan cara mewarnai oosit pasca enukleasi dengan Hoechst 33342 (Invitrogen, H1399, Eugene, USA) 10 !g/ml dalam PBS (Gibco, 21600-010, Grand Island, NY, USA) tanpa serum selama 10 menit, lalu oosit diletakkan ke dalam sumur-sumur di dalam cawan Terazaki dan diamati di mikroskop fluorescent (Nikon, E600, Japan) dengan panjang gelombang 380nm. Oosit yang masih berinti akan terlihat lebih berpendar karena Hoechst 33342 akan berikatan dengan DNA inti. Setelah dipilih yang enukleasinya berhasil, maka oosit dipindahkan ke dalam CZB tanpa cytochalasin B dan disimpan selama lebih dari 2 jam pada 37°C dan kadar CO2 5%. Rancangan Percobaan Pada tahap ini, variabel respon yang diukur dalam optimasi produksi oosit adalah jumlah oosit yang dihasilkan dari perlakuan superovulasi dengan dosis PMSG & HCG masing-masing sebesar 5 IU dan 7.5 IU per mencit. Optimasi enukleasi dilakukan dengan perlakuan penambahan sukrosa 3% dengan variabel respon yang diamati adalah terbentuknya spot transparan dan tingkat keberhasilan enukleasi. Sedangkan variabel respon yang diukur dalam optimasi perlakuan aktivasi oosit adalah tingkat aktivasi oosit hingga mengalami pembelahan tahap dua sel berdasarkan perbedaan perlakuan aktivasi yaitu: (1) oosit dikultur dalam kombinasi campuran medium CZB dan SrCl2 (dibuat stok/ bukan medium segar) selama 2 jam, lalu dikultur dalam campuran medium CZB dan Cytochalasin B selama 4 jam; (2) oosit dikultur dalam kombinasi campuran medium CZB dan SrCl2 (dibuat sebelum dipakai/ medium segar) selama 2 jam, lalu dikultur dalam campuran medium CZB dan Cytochalasin B selama 4 jam; (3) oosit dikultur selama 6 jam dalam kombinasi
12
campuran medium CZB dan Cytochalasin B (dibuat stok/ bukan medium segar) dan ditambahkan SrCl2 sebelum digunakan. Analisa Data Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Data kuantitatif yang diperoleh lalu diuji secara statistik dengan uji ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% dan apabila ada beda nyata maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test). Data kualitatif disajikan dalam bentuk foto atau gambar.
Hasil dan Pembahasan Aplikasi TISS (Transfer Inti Sel Somatik) membutuhkan oosit dalam jumlah yang relatif cukup banyak sehingga diperlukan usaha untuk meningkatkan produksi oosit. Perlakuan yang banyak diterapkan adalah superovulasi, yaitu dengan menggunakan hormon PMSG untuk menginduksi terjadinya folikulogenesis dan hormon hCG untuk menginduksi terjadinya pematangan dan pelepasan oosit dari ovarium ke oviduk. Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa perlakuan superovulasi dengan menggunakan hormon PMSG dan hCG dosis 7.5 IU menunjukkan produksi oosit berkualitas baik lebih tinggi daripada dengan dosis 5 IU. Rata-rata oosit berkualitas baik yang diperoleh dengan dosis 7.5 IU adalah 20.61/ mencit sedangkan dengan dosis 5 IU adalah 11.61/ mencit. Namun penambahan dosis juga mempunyai efek samping yaitu jumlah oosit berkualitas buruk menjadi meningkat secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari prosentasenya yang naik secara signifikan yaitu 9.22% pada dosis 5 IU menjadi 14.27% pada dosis 7.5 IU. Penambahan hormon yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi keseimbangan hormonal yang ada di dalam sistem reproduksi mencit sehingga diperlukan optimasi agar dapat diperoleh hasil superovulasi yang optimal yaitu jumlah oosit yang berkualitas baik meningkat secara signifikan. Tabel 1. Perlakuan superovulasi untuk menghasilkan oosit Dosis PMSG & hCG 5 IU
Jumlah Mencit
28
Total Jumlah Oosit 358
Rata – rata (oosit / mencit) 12.79a
Kualitas oosit berdasarkan pengamatan morfologi (%) Baik Buruk (oosit / (oosit / mencit) mencit) 11.61 (90.78)a
1.18 (9.22)a
7.5 IU 28 673 24.03b 20.61 (85.74)b 3.43 (14.27)b Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan signifikan (p " 0.05).
13
Menurut Martin-Coello et al. (2008), pada mencit normal jumlah oosit yang diovulasikan berkisar antara delapan hingga dua belas tergantung pada jenis strain. Jumlah tersebut dapat ditingkatkan dengan menggunakan tambahan hormon dari luar (eksogenus). Keberhasilan meningkatkan jumlah oosit dapat menurunkan jumlah hewan yang diperlukan dalam penelitian. perlakuan superovulasi tidak meningkatkan kadar gonadotropin endogenus. Variasi respon ovarium terhadap hormon eksogenus tergantung pada perbedaan genetik di antara strain. Respon perlakuan superovulation dapat dipengaruhi oleh umur, berat badan, status nutrisi, kesehatan, dan kondisi perawatan hewan. Menurut Lim et al. (1985), PMSG tidak meningkatkan jumlah folikel yang berukuran besar, namun PMSG merubah keseimbangan antara folikel yang berkembang dan folikel atresia dengan cara mencegah atau memperlambat proses atresia. Reseptor hormon PMSG (FSH) paling banyak terdapat pada sel-sel granulosa yang ada pada folikel sekunder. Oleh karena itu penambahan FSH akan meningkatkan proliferasi dari sel granulosa sehingga produksi estrogen akan semakin meningkat dan sel oosit akan semakin matang. Perlakuan superovulasi pada mencit mempunyai dampak negatif yaitu dapat menyebabkan perlambatan perkembangan embrionik baik secara in vitro maupun in vivo, dan meningkatkan abnormalitas pembentukan blastosis (Van der Auwera and D'Hooghe 2001). Dalam penelitian aplikasi TISS ini menggunakan sel donor inti yaitu sel kumulus. Pada saat oosit diisolasi dari oviduk, oosit masih dikelilingi oleh sel kumulus (gambar 1), sehingga untuk memisahkan oosit dengan sel kumulus harus menggunakan cara enzimatik yaitu dengan enzim hyaluronidase. Pewarnaan vital Hoechst-PI juga dilakukan untuk menguji apakah oosit yang diisolasi masih hidup dan dapat berfungsi dengan normal. Oosit yang berwarna merah adalah oosit yang sudah mati sehingga pewarna PI mampu menembus membran sel dan mewarnai sitoplasma. Sedangkan oosit yang berwarna biru karena terwarnai oleh Hoechst adalah oosit yang masih hidup dan normal. Oosit juga dipilah berdasarkan morfologinya untuk menentukan kualitasnya (gambar 1C dan 1D). Oosit yang berkualitas baik dapat dilihat dari ukurannya yang normal yaitu sekitar 80 µm, sitoplasma tampak homogen, dan tampak ada Polar Body I.
14
A
B
!
C
!
!
D
!
Gambar 1. Oosit mencit hasil superovulasi. A. Kompleks oosit dengan sel kumulus; B. Pewarnaan vital (Hoechst-PI); C. Oosit yang berkualitas baik; D. Oosit yang berkualitas buruk. Bar = 100µm. Perlakuan aktivasi dalam aplikasi TISS memegang peranan yang sangat vital dalam proses perkembangan embrio kloning sehingga optimasi metode aktivasi perlu dilakukan. Ada tiga metode aktivasi yang diuji pada penelitian ini, yaitu: (A) Aktivasi dengan medium CZB & SrCl2 (telah dipersiapkan dalam stok) selama 2 jam dan dalam medium CZB & CB selama 4 jam (B) Aktivasi dengan medium CZB & SrCl2 (medium baru) selama 2 jam dan dalam medium CZB & CB selama 4 jam (C) Aktivasi dengan medium CZB & CB & SrCl2 (medium baru) selama 6 jam Hasil dari perlakuan metode aktivasi dapat dilihat pada tabel 2 diantara ketiga metode diatas, metode aktivasi C yang menunjukkan tingkat aktivasi hingga 97.21% (oosit yang diaktivasi mampu membelah setelah dua puluh empat jam). Kombinasi medium CZB & CB & SrCl2 (medium baru) mampu menginduksi peningkatan osilasi ion Ca2+ intraseluler sehingga menstimulasi oosit yang sebelumnya berhenti pada tahapan siklus sel metaphase II untuk menyelesaikan tahapan pembelahan sel hingga terbentuk dua sel. Strontium Chloride (SrCl2) merupakan senyawa kimia yang sangat reaktif. Hal ini diduga disebabkan oleh polarisasi inti elektron dari atom strontium sehingga mengakibatkan distorsi pada kerapatan inti elektron yang
15
berinteraksi dengan ikatan Sr dan Cl (Guido and Gigli, 1976). Pembuatan medium stok akan membuat strontium terpapar dan berinteraksi dengan beberapa senyawa lain yang menjadi komponen medium tersebut. Dengan demikian, hal tersebut akan mengurangi sifat reaktif dari strontium yang diharapkan dapat meningkatkan osilasi ion Ca2+ di dalam sitoplasma oosit sehingga mampu menginduksi sel oosit untuk melanjutkan proses pembelahan yang sebelumnya terhenti pada MII. Tabel 2. Perlakuan metode aktivasi sel oosit ! Sel Oosit yang Diaktivasi
Tidak Membelah
Membelah
(A) medium stok; 2 jam
250
169 (67.60)a
81 (32.40)a
(B) medum baru; 2 jam
146
36 (24.66)b
110 (75.34)b
(C) medium baru; 6jam
215
6 (2.79)c
209 (97.21)c
Metode Aktivasi
Tingkat Aktivasi (%)
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan signifikan (p ! 0.05). Salah satu parameter keberhasilan aktivasi adalah terbentuknya pronukleus sekitar enam jam setelah aktivasi (gambar 2). Cytochalasin B yang ditambahkan dalam komposisi medium aktivasi berperan untuk menghambat keluarnya materi genetik pada proses pembelahan sel, sehingga pada sel yang diaktivasi tetap memiliki dua pronukleus dan bersifat diploid (Wakayama and Yanagimachi 2001).
A
!
B
!
Gambar 2. Sel oosit setelah diaktivasi. A. Sel oosit setelah diaktivasi selama 6 jam menunjukkan terbentuknya pronukleus; B. Sel oosit yang telah diaktivasi dan dikultur in vitro selama 24 jam membelah ke tahap dua sel. Bar = 100µm. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa aktivasi menggunakan medium segar (metode B dan C) lebih baik daripada medium stok (metode A). Menurut Jones (2005), secara alami oosit mamalia yang difertilisasi/ diaktivasi
16
oleh sperma akan mengalami peningkatan ion Ca2+ intraseluler selama enam jam. Hal ini juga terlihat pada hasil aktivasi dengan menggunakan metode C (enam jam) yang lebih tinggi daripada metode B (dua jam). Karakter strontium sebagai aktivator buatan adalah dapat berulang-ulang menginduksi peningkatan osilasi Ca2+, menggantikan ikatan Ca2+ di dalam oosit, dan menginduksi peningkatan Ca2+ intraseluler (Alberio et al., 2001). Salah satu kendala dalam tahapan enukleasi adalah kesulitan untuk menentukan dimana letak inti sel (materi genetik) berada di dalam sitoplasma oosit. Oleh karena itu dalam penelitian ini, dicoba penambahan sukrosa sebanyak 3% untuk membuat oosit menjadi terbentuk spot transparan pada daerah yang mengandung materi genetik (gambar 3). Tabel 3. Keberhasilan enukleasi inti oosit (sel resipien) Swelling PERLAKUAN ! Oosit (spot transparan)
Tingkat Enukleasi
kontrol
73
19 (26.02%)a
13 (17.8%)a
sukrosa 3%
87
52 (59.77%)b
36 (41.37%)b
Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan signifikan (p " 0.05). Berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa perlakuan penambahan sukrosa sebesar 3% dapat meningkatkan keberhasilan enukleasi hingga mencapai 41.37% dari sebelumnya hanya sebesar 17.8%. Selain itu, penambahan sukrosa 3% juga berhasil menstimulasi terbentuknya spot transparan sebesar 59.77% sehingga hal ini mempermudah proses enukleasi. Penambahan sukrosa 3% membuat inti sel lebih tervisualisasi dengan lebih jelas. Oosit yang telah berhasil dienukleasi lalu dilakukan pewarnaan Hoechst 33342 untuk mengkonfirmasi bahwa inti sel benar-benar telah berhasil dikeluarkan (gambar 3). Menurut Liu et al. (2002), material genetik (inti oosit) yang letaknya berdekatan dengan Polar Body I hanya sekitar 31% dari seluruh total populasi oosit yang diteliti. Oleh karena itu diperlukan suatu modifikasi agar dapat diperoleh cara terbaik untuk menentukan letak inti di dalam sitoplasma oosit. Salah satu caranya adalah dengan penambahan sukrosa 3% pada medium praenukleasi. Larutan hipertonik sukrosa akan menyebabkan oosit mengkerut, mengubah konsentrasi protein sitoplasma yang dapat merubah sifat membran dan mempengaruhi dinamika sitoskeleton (Wang et al., 2001). Sukrosa menginduksi proyeksi yang dihasilkan dari interaksi antara cortical actin dengan spindle dan atau kromosom yang melekat. Proyeksi tersebut berbeda untuk tiap spesies, sebagai contoh pada oosit sapi akan menjadi pembengkakan (swelling) namun pada oosit mencit akan terbentuk spot transparan. Hasil yang berbeda terhadap sukrosa juga ditunjukkan pada oosit yang berkualitas buruk yaitu menjadi menyusut, rusak dan mengalami fragmentasi. Perlakuan yang sama pada oosit yang berkualitas baik memberikan hasil timbulnya sedikit
17
pembengkakan di sekeliling kromomosom dan terbentuk spot transparan pada daerah spindle. Dengan demikian, penambahan sukrosa dapat mempermudah untuk menentukan lokasi inti oosit dan dapat meningkatkan tingkat keberhasilan enukleasi.
Gambar 3. Enukleasi dengan menggunakan sukrosa 3%. A. Anak panah menunjukkan bagian sitoplasma oosit yang mengalami swelling. B. Oosit yang telah dienukleasi dikonfirmasi dengan pewarnaan Hoecsht 33342 untuk mendeteksi keberadaan inti sel. Bar = 100µm.
Simpulan Dosis PMSG dan hCG 7,5 IU dapat meningkatkan jumlah oosit pada aplikasi superovulasi. Perlakuan dengan medium CZB & CB & SrCl2 (medium segar) selama enam jam (perlakuan C) merupakan metode aktivasi yang paling optimal. Penambahan sukrosa 3% pada medium praenukleasi dapat meningkatkan keberhasilan enukleasi.
18
PRODUKSI DAN KULTUR IN VITRO EMBRIO KLONING DAN EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT Abstract Cloned embryo and parthenogenetic embryo are a potential source of stem cells for regenerative medicine. Stem cells derived from those embryos is expected to overcome the ethical issues to the use of fertilization embryos for therapeutic purposes. The pre-implantation development is a critical step for developing embryos reaches the blastocyst stage. The objective of the research is to produce mouse cloned embryo, parthenogenetic embryo, and in vivo fertilized embryo and study the stages of pre-implantation development in vitro culture. In vivo Fertilized embryos, mouse oocytes, and cumulus cells were used in this study. Treatment was performed on female mice superovulated by PMSG and hCG hormone injections. In vivo Fertilized embryos two-cell stage were collected on the second day post hCG injection. Cloned embryos were produced through Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT), which includes enucleation, nuclear transfer and artificial activation. Parthenogenetic embryos were produced by artificial activation technique. The result of the research indicated that SCNT application is able to produce cloned embryos which are capable to develop to blastocyst stage (3,2%). In addition artificial activation of oocytes could produce parthenogenetic embryos which are capable to develop up to the blastocyst stage (8,6%). In conclusion, efficiency level of parthenogenetic embryos that is able to reach the blastocyst stage was higher than in the cloned embryos. Fertilized embryos showed a better development and more efficient compared with cloned embryos and parthenogenetic embryos in vitro culture. Keywords: Embryo, Fertilization, Cloned, Parthenogenetic, In Vitro Culture
Abstrak Embrio kloning dan embrio partenogenetik merupakan sumber sel punca yang potensial untuk pengobatan regeneratif. Sel punca yang berasal dari embrio tersebut diharapkan dapat mengatasi hambatan masalah etika penggunaan embrio fertilisasi untuk tujuan terapi. Perkembangan praimplantasi menjadi tahapan yang penting hingga embrio berkembang mencapai tahap blastosis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memproduksi embrio kloning, embrio partenogenetik, dan embrio fertilisasi in vivo mencit serta mempelajari tahapan perkembangan pra-implantasi pada kultur in vitro. Penelitian ini menggunakan embrio fertilisasi in vivo, sel oosit, dan sel kumulus mencit. Perlakuan superovulasi dilakukan pada mencit betina dengan penyuntikan hormon PMSG dan hCG. Embrio fertilisasi tahap dua sel dikoleksi pada hari kedua setelah penyuntikan hCG. Embrio kloning dihasilkan
19
dari aplikasi Transfer Inti Sel Somatis (TISS) yang meliputi enukleasi, transfer inti dan aktivasi buatan. Embrio partenogenetik dihasilkan dengan teknik aktivasi buatan. Hasil menunjukkan bahwa aplikasi TISS dapat menghasilkan embrio kloning yang mampu berkembang hingga mencapai tahap blastosis (3,2%). Embrio partenogenetik yang dihasilkan oleh aktivasi buatan dapat berkembang hingga tahap blastosis (8,6%). Tingkat efisiensi embrio partenogenetik yang mampu mencapai tahap blastosis lebih tinggi dari pada embrio kloning. Embrio fertilisasi menunjukkan perkembangan yang lebih baik dan efisien dibandingkan dengan embrio kloning dan embrio partenogenetik pada kultur in vitro. Kata Kunci: Embrio, Fertilisasi, Kloning, Partenogenetik, Kultur In Vitro
Pendahuluan Perkembangan teknologi Transfer Inti Sel Somatik (TISS) / Somatic Cell Nuclear Transfer telah menjadi tren baru dalam kemajuan embriologi dan biomedis (McLaren 2000). Teknik TISS menjadi sangat populer setelah terungkap dari beberapa hasil studi yang meneliti tentang potensi pemanfaatan teknik transfer inti untuk memproduksi ntESC (nuclear transfer Embryonic Stem Cell) dan pemanfaatannya untuk terapi penyakit degeneratif (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Teknik TISS pada dasarnya meliputi enukleasi (pengeluaran inti oosit resipien), transfer inti (inti sel somatik dimasukkan ke dalam sitoplasma sel oosit resipien), dan aktivasi (menginduksi oosit hasil rekontruksi untuk mengalami nuclear reprogramming dan berkembang seperti embrio yang normal) (Colman 2000). Aplikasi TISS untuk memproduksi ntESC memberi harapan baru dalam pengembangan therapeutic cloning sebagai alternatif pengobatan berbagai penyakit degeneratif. Secara teoritis ntESC memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan sel punca (stem cell) dari sumber yang lain. Transplantasi ntESC yang bersifat autologous diharapkan mampu mengatasi masalah penolakan sistem imun pada penderita (Cibelli et al. 2001). Ketidakcocokan karakter HLA (Human Lymphocyte Antigen), antara sel donor dengan sel pasien menyebabkan sel donor dianggap sebagai substansi asing yang dapat menimbulkan reaksi penolakan yang dikenal dengan GvHD (graft versus host diseases) (Wobus & Boheler 2005). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa ESC dapat diarahkan menjadi sel-sel neuron (Wakayama et al. 2001), ginjal (Hipp & Atala 2004), otot jantung (Kodifis et al. 2004), dan pankreas (Paek et al. 2005). Salah satu kendala pada aplikasi TISS baik untuk memproduksi ntESC maupun hewan kloning adalah rendahnya tingkat efisiensi perkembangan embrio hasil SCNT hingga tahap blastosis dan keberhasilan kultur sel lestari ntESC (Gurdon et al. 2003). Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya indikasi bahwa penyebab rendahnya efisiensi pada sel embrio hasil kloning
20
adalah proses nuclear reprogramming belum diketahui secara sempurna, sehingga inti sel belum sepenuhnya dapat berubah pola ekspresi genetiknya menjadi seperti pola perkembangan embrionik (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Berbagai pengembangan teknik TISS telah dilakukan, namun hingga saat ini belum diperoleh hasil yang memuaskan. Selain itu aplikasi TISS pada manusia masih menjadi perdebatan dalam masalah etika, sehingga pengembangan teknik ini lebih banyak dikaji pada hewan coba (Murti et al. 2008). Tahapan penting pada aplikasi TISS adalah pada saat terjadi nuclear reprogramming. Inti sel somatis yang telah ditransfer ke dalam sitoplasma oosit akan mengalami perubahan baik secara morfologi maupun molekuler (Choi et al. 2004). Beberapa hipotesis menyatakan bahwa perlakuan aktivasi pada oosit pasca transfer inti merupakan awal dari proses nuclear reprogramming (Loi et al. 2003). Aktivasi pada oosit tahap Metafase II (MII) merupakan modifikasi dari proses fertilisasi secara alami. Osilasi ion Ca2+ intraseluler mutlak diperlukan untuk menginduksi proses aktivasi (Vincent et al. 1992). Pada transfer inti dengan resipien pada tahap MII, konsentrasi MPF yang tinggi dapat menyebabkan inti donor mengalami NEBD (Nuclear Envelope Breakdown) dan PCC (Premature Chromosome Condensation) (Wakayama & Yanagimachi 2001). Secara molekuler, akan terjadi hipermetilasi DNA dan deasetilasi histon. Asetilasi histon juga berperan dalam modifikasi epigenetik karena dapat mempengaruhi metilasi DNA dan ekspresi protein (Enright et al. 2003). Keberhasilan nuclear reprogramming sangat menentukan pola ekspresi genetik selama proses perkembangan dan pertumbuhan sel embrio kloning (Piedrahita et al. 2004). Aktivasi buatan juga sering digunakan untuk menghasilkan embrio partenogenetik. Perbedaan antara embrio partenogenetik dengan embrio kloning adalah pada inti sel yang diaktivasi. Pada embrio partenogenetik, materi genetik hanya berasal dari maternal tanpa ada unsur paternal sedangkan materi genetik pada embrio kloning berasal dari inti sel somatik tanpa unsur genetik dari maternal. Oleh karena itu embrio partenogenetik hanya memiliki satu set Major Histocompability Complex (MHC) sehingga berpotensi menjadi donor yang universal (Lin et al., 2003). Apabila diimplantasikan ke uterus, embrio partenogenetik tidak dapat bertahan hingga kelahiran, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghasilkan individu baru (Boediono et al., 1995). Dalam penelitian ini metode aktivasi yang digunakan sama, baik untuk memproduksi embrio kloning maupun embrio partenogenetik. Tujuan penelitian ini adalah memproduksi embrio kloning dan embrio partenogenetik serta mempelajari tahapan perkembangannya pada kultur in vitro.
21
Metode Penelitian Donor Inti Sel Isolasi sel kumulus dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (1998) dengan sedikit modifikasi. Sel-sel kumulus dipisahkan dengan penambahan hyaluronidase 0.1% (Sigma, H4272, St. Louis, MO, USA) dalam medium M2 (Specialty media, MR-015P-D, Phillipsburg, New Jersey, USA). Perlakuan tersebut dilakukan selama 10 menit. Lalu 2 !l dari suspensi sel-sel kumulus dipindahkan ke dalam 10 !l CZB-tanpa glukosa yang mengandung polyvinylpyrrolidone (Mr 360 x 103; Sigma, PVP360, St. Louis, MO, USA) 10% (w/v). Sel kumulus yang dipilih sebagai donor untuk transfer inti adalah yang berukuran 5-7 µm. Sel-sel kumulus dikultur dalam CZB –PVP pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5% selama minimal 1 jam sebelum perlakuan lebih lanjut. Resipien Sel Superovulasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dengan sedikit modifikasi. Oosit diisolasi dari mencit betina galur ddy yang berumur 8-12 minggu. Mencit betina distimulasi untuk mengalami superovulasi dengan menyuntikan hormon Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin/PMSG (Intervet International BV, Folligon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU dan human Chorionic Gonadotrophin/ hCG (Intervet International BV, Chorulon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml dengan interval waktu 46-48 jam. Enam belas jam setelah penyuntikan hCG, COC (Cumulus Oocyte Complexes) diisolasi dari oviduct dengan menggunakan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan). Setelah diisolasi dari sel kumulus maka oosit dikultur dalam medium CZB tanpa glukosa yang mengandung BSA (Sigma, A3311, St. Louis, MO, USA) 1mg/ml, ditutup dengan mineral oil (Sigma, M8410, St. Lois, MO, USA) dan disimpan dalam suhu 37°C dan kadar CO2 5% di dalam inkubator (Sanyo, MCO-95, Japan). Manipulasi Embrio Mencit Pembuatan Pipet Mikromanipulasi Injeksi dan Holding Bahan pipet mikromanipulasi adalah tabung borosilikat gelas kapiler tanpa filamen (Sutter Instrument, B100-75-10). Pipet mikromanipulasi injeksi dibuat dengan menggunakan alat micro-puller (Sutter Instrument, P-87) dan micro-forge (Narishige, MF-79, Japan). Ujung pipet mikromanipulasi injeksi berdiameter bagian luar ~ 15!m untuk enukleasi dan 5-6!m untuk transfer inti. Mercury (Madespa MA, 0561, Spain) dimasukkan ke dalam pipet mikromanipulasi injeksi melalui bagian belakang menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml. Ujung pipet mikromanipulasi holding berdiameter bagian luar 80-100 !m dan berdiameter dalam 20-30 !m (Kishigami et al. 2006) .
22
Enukleasi Kromosom MII dari Sel Oosit Enukleasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Kumpulan oosit (biasanya berjumlah 20) dipindahkan ke dalam drop medium M2 (± 10 !l) yang mengandung cytochalasin B (Sigma, C6762, St. Louis, MO, USA) 5 !l/ml. Tutup cawan petri 35mm (Nunc, 153066, Roskilde, Denmark) digunakan sebagai tempat membuat drop medium untuk mikromanipulasi. Mikroskop inverted (Olympus, IX70, Japan) dengan Thermoplate (Tokai Hit, MATS-U55R30, Japan) dan satu perangkat micromanipulator (Narishige, Japan) digunakan untuk melakukan manipulasi oosit. Oosit diposisikan tidak bergerak dengan ditahan menggunakan pipet holding. Zona pelusida oosit lalu ditembus dengan menggunakan Piezo (Prime Tech, PMAS-CT150, Japan) yang menggetarkan ujung pipet mikromanipulasi injeksi yang digunakan untuk enukleasi (dengan diameter bagian dalam ± 15 !m). Komplek benang spindel kromosom MII, dapat ditandai sebagai spot yang dapat ditembus cahaya di dalam ooplasma dengan perbesaran 20x Optik Hoffman Modulation Contrast (Modulation Optics Inc, Greenvale, New York, USA). Kromosom MII dihisap dengan mikropipet injeksi dan hanya sedikit cairan ooplasma yang terhisap. Setelah itu, pipet ditarik dengan halus dan perlahan hingga melewati zona pelusida. Konfirmasi keberadaan inti/kromosom MII dilakukan dengan cara mewarnai oosit pasca enukleasi dengan Hoechst 33342 (Invitrogen, H1399, Eugene, USA) 10 !g/ml dalam PBS (Gibco, 21600-010, Grand Island, NY, USA) tanpa serum selama 10 menit, lalu oosit diletakkan ke dalam sumur-sumur di dalam cawan Terazaki dan diamati di mikroskop fluorescent (Nikon, E600, Japan) dengan panjang gelombang 380nm. Oosit yang masih berinti akan terlihat lebih berpendar karena Hoechst 33342 akan berikatan dengan DNA inti. Setelah dipilih yang enukleasinya berhasil, maka oosit dipindahkan ke dalam CZB tanpa cytochalasin B dan disimpan selama lebih dari 2 jam pada 37°C dan kadar CO2 5%. Transfer Inti Transfer inti dilakukan menurut Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Pipet mikromanipulasi injeksi digunakan untuk menarik kedalam dan keluar sebagian kecil sel kumulus hingga membran plasma rusak, dengan pengamatan menggunakan perbesaran 40x Optik Hoffman Modulation Contrast (Modulation Optics Inc, Greenvale, New York, USA). Setelah inti dapat dihisap ke dalam pipet, maka dengan pipet yang sama digunakan untuk mengisolasi inti dari sel-sel yang lain. Dalam hitungan menit beberapa inti tersebut diletakkan secara urut dalam sebuah pipet. Inti sel donor (sel kumulus) disuntikan satu per satu ke dalam oosit yang telah dihilangkan intinya (enukleasi). Semua manipulasi tersebut dilakukan pada suhu kamar (25–29°C). Dengan menggunakan pendekatan metode tersebut, inti harus disuntikan dalam waktu sekurang-kurangnya 10 menit setelah diisolasi dari selnya. Oosit yang
23
telah disuntik kemudian dipindahkan dan disimpan dalam media CZB pada suhu 37°C selama 1–3 jam sebelum perlakuan aktivasi. Aktivasi Oosit Pasca Transfer Inti Aktivasi embrio pasca transfer inti dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Embrio kloning diaktivasi selama enam jam dalam media CZB tanpa Ca2+ mengandung Sr2+ 10 mM (Sigma, 255521, St.Louis, USA) dan cytochalasin B 5 !g/ml (Sigma, C6762, St. Louis, MO, USA). Produksi Embrio Partenogenetik Produksi embrio partenogenetik dilakukan menurut Murti et al. (2009). Oosit hasil isolasi diaktivasi menggunakan kombinasi medium CZB tanpa Ca2+ dan Mg2+ dengan cytochalasin B (Sigma, C6762, St. Louis, MO, USA) 5 !g/ ml dan strontium chlorida (SrCl2) (Sigma, 255521, St. Louis, MO, USA) 10 mM selama enam jam di dalam inkubator (37°C; kadar CO2 5%) Produksi Embrio Fertilisasi Mencit betina yang telah dilakukan superovulasi digabungkan dengan mencit jantan dengan perbandingan 1:1. Identifikasi mencit betina yang telah melakukan perkawinan dengan mencit jantan dilakukan dengan memeriksa sumbat vagina (vaginal plug) 15-18 jam setelah penyuntikan hCG (MataHine 2008). Koleksi embrio dilakukan pada hari kedua setelah penyuntikan hCG dengan mencacah oviduk di dalam medium M2 menggunakan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan). Embrio tahap dua sel atau lebih dimasukkan ke dalam cawan petri dan dicuci sebanyak tiga kali dalam medium CZB tanpa glukosa. Kultur In Vitro Embrio Embrio hasil fertilisasi in vivo, embrio kloning hasil aplikasi TISS dan embrio partenogenetik hasil aktivasi dikultur dalam media CZB tanpa glukosa hingga mencapai perkembangan delapan sel, lalu dipindahkan ke drop medium CZB yang mengandung D-glukosa 5.55 mM (Merck, 1.08342.0500, Darmstadt, Germany) hingga mencapai tahap blastosis.
24
Rancangan Penelitian Penelitian ini membandingkan perkembangan praimplantasi embrio yang dihasilkan dari TISS (embrio kloning) dengan embrio partenogenetik dan embrio hasil fertilisasi in vivo. Pengamatan mulai dilakukan pada embrio tahap satu sel (embrio kloning dan partenogenetik), sedangkan pada embrio hasil fertilisasi mulai dilakukan pada tahap dua sel. Perkembangan embrio diamati hingga kultur hari ketiga dengan asumsi embrio berkembang hingga tahap blastosis.
Hasil dan Pembahasan Penelitian ini menggunakan embrio dari sumber yang berbeda, yaitu fertilisasi in vivo (embrio hasil fertilisasi), TISS (embrio kloning), dan partenogenesis (embrio partenogenetik). Embrio fertilisasi merupakan hasil dari pertemuan spermatozoa dengan oosit di dalam oviduk sehingga memiliki materi genetik yang lengkap yaitu paternal dan maternal. Embrio kloning memiliki materi genetik yang berasal dari inti sel somatik yang diploid (2n). Hal ini disebabkan oleh perlakuan enukleasi sebelum dilakukan transfer inti sel somatik. Embrio partenogenetik hanya memiliki materi genetik yang berasal dari maternal tanpa ada komponen genetik paternal sedikitpun. Walaupun status materi genetik ketiga jenis embrio tersebut berbeda-beda, namun ketiganya memiliki jumlah ploidi yang sama yaitu diploid. Pada TISS dan partenogenetik menggunakan cytochalasin B untuk menghambat pembelahan sitoplasma dengan cara menghalangi pembentukan mikrofilamen kontraktil (Wakayama and Yanagimachi 2001). Oosit yang digunakan sebagai sumber sel resipien pada aplikasi TISS dan diaktivasi partenogenetik diperoleh dengan cara yang sama (gambar 4). Isolasi oosit diawali dengan memberi perlakuan superovulasi yaitu kombinasi penyuntikan PMSG dan hCG yang berperan menginduksi pertumbuhan folikel dan ovulasi. Perlakuan superovulasi meningkatkan jumlah oosit yang diovulasikan oleh mencit betina. Cumulus-oocyte complex (COC) yang diperoleh dari penyayatan oviduk lalu dipindahkan pada medium yang mengandung enzim hyaluronidase. Enzim tersebut akan melisiskan senyawa hyaluronat yang banyak terdapat pada matriks sel kumulus yang menyelubungi oosit (Van de Velde et al. 1997). Embrio fertilisasi dikoleksi pada hari pertama setelah kopulasi sehingga diharapkan oosit yang telah mengalami ovulasi sudah difertilisasi oleh spermatozoa dan berkembang menjadi embrio tahap dua sel. Oleh karena itu embrio tersebut diisolasi dengan mencacah pada bagian oviduk mencit betina.
25
Gambar 4. Isolasi sel oosit dan sel kumulus. A: Anak panah menunjukkan oviduk yang membesar (tempat COC berkumpul), B: CumulusOocyte Complex (COC) yang telah dikeluarkan dari oviduk, C: Sel oosit mencit, D Sel Kumulus. Bar = 50 µm.
Aktivasi Buatan Tahap akhir dalam produksi embrio kloning dan partenogenetik adalah aktivasi buatan (artificial activation) menggunakan bahan kimia strontium chloride (SrCl2). Senyawa tersebut dapat menginduksi osilasi ion Ca2+ secara berulang baik dengan menggantikan ikatan Ca2+ di dalam sitoplasma maupun dengan menginduksi pelepasan ion Ca2+ intraseluler (Alberio et al., 2001). Setelah enam jam diaktivasi maka dapat diamati mulai terbentuknya Pseudopronucleus (pPN). Apabila nampak ada dua pPN pada sitoplasma embrio maka dapat diketegorikan sebagai embrio diploid (gambar 6A). Pada fertilisasi, masuknya spermatozoa ke dalam oosit akan menginduksi sinyal Ca2+ (Schimidt et al., 2006). Pada TISS dan partenogenetik, aktivasi oosit tahap MII dapat dilakukan secara elektrik maupun secara kimiawi dengan SrCl2 maka konsentrasi MPF akan menurun secara drastis. Hal ini diduga disebabkan oleh osilasi ion Ca2+ intraseluler (pascaaktivasi) menginduksi serangkaian reaksi biokimia sehingga Cytostatic factor (CSF)
26
akan terdegradasi oleh sistem ubiquitin/proteosome. Kompleks CSF yang inaktif akan menyebabkan Anaphase Promoting Complex (APC) aktif dan menghancurkan cyclin A dan B sehingga MPF menjadi tidak aktif (konsentrasi menurun) (Elzen dan Pines 2001).
Gambar 5. Aplikasi Transfer Inti Sel Somatik. A: Proses enukleasi menggunakan mikropipet holding untuk menahan oosit dan mikropipet injeksi untuk menghisap inti, B: Anak panah menunjukkan materi genetik yang dienukleasi, C: Hasil pewarnaan Hoechst 33342 terhadap oosit yang telah dienukleasi, anak panah menunjukkan masih ada materi genetik maternal yang belum dikeluarkan, D: Transfer inti sel kumulus ke dalam sitoplasma oosit yang telah dienukleasi, anak panah menunjukkan materi genetik yang dimasukkan. Bar = 50 µm. Pada transfer inti dengan resipien pada tahap MII, konsentrasi MPF yang tinggi dapat menyebabkan inti donor mengalami NEBD dan PCC (gambar 5). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua inti sel pada semua tahap siklus sel akan mengalami NEBD dan PCC bila ditansfer ke sitoplasma oosit yang memiliki konsentrasi MPF tinggi. Namun bagaimana efek PCC terhadap proses nuclear reprogramming belum diketahui secara tuntas hingga saat ini (Sung et al., 2006). Inti donor pada tahap G0, dan G1 yang masingmasing jumlah kromosomnya diploid (2n) bila ditransfer ke dalam oosit resipien pada MII akan terjadi PCC pada kromatid tunggal, lalu mengalami
27
Nuclear Reformation (2n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 4n) kemudian akan membelah menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom diploid (Campbell et al., 1993). Perkembangan Kultur Embrio In Vitro Sebanyak 35 dari total 37 atau sekitar 94,5% embrio partenogenetik mampu membelah menjadi tahapan dua sel pada kultur in vitro, sedangkan pada aplikasi TISS hanya 31 dari total 43 atau sekitar 72,1% embrio kloning yang dapat mencapai tahap pembelahan dua sel (gambar 6B). Hal ini diduga pada aplikasi TISS terdapat suatu proses nuclear reprogramming yang relatif jauh lebih kompleks akibat inti sel somatik yang ditransfer ke dalam sitoplasma oosit. Komposisi komponen senyawa aktif dalam sitoplasma oosit berbeda dengan dalam sel donor inti (sel kumulus) yang sebelumnya. Status siklus oosit pada saat aplikasi TISS adalah sedang dalam tahap Metafase II (pembelahan sel), sedangkan status siklus sel kumulus pada tahap G0 atau G1. Embrio fertilisasi yang mencapai tahap empat sel memiliki prosentase 96,3%, embrio partenogenetik lebih rendah yang mencapai tahap empat sel yaitu 65,7%, sedangkan pada embrio kloning hanya 58,1% yang mampu mencapai tahap pembelahan empat sel (tabel 4). Pada umumnya perkembangan embrio mencit yang dikultur secara in vitro terdapat fenomena “two cell Tabel 4. Tahapan perkembangan kultur embrio secara in vitro Embrio Embrio Embrio Fertilisasi Partenogenetik Kloning TAHAPAN " sel oosit Dua sel
in vivo 27a
37
43
35 a
31 a
Empat sel
26 (96,3%)a
23 (65,7%)ab
18 (58,1%)b
Delapan sel
26 (96,3%)a
12 (34,3%)b
4 (12,9%)c
Morula
26 (96,3%)a
6 (17,1%)b
2 (6,5%)b
Blastosis 15 (55,6%)a 3 (8,6%)b 1 (3,2%)b Keterangan: Prosentase diperoleh dari nilai tahap dua sel dalam kolom yang sama. Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan ada perbedaan signifikan (p ! 0.05). block“ (hambatan pada tahap dua sel). Hal ini diduga disebabkan oleh pergantian kontrol sintesis RNA dan protein yang awalnya dikendalikan oleh genetik maternal menjadi kombinasi antara maternal dan paternal. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya hal ini adalah dengan menambahkan Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA) ke dalam medium kultur (Gardner and Lane 1996). Pada penelitian ini fenomena “two cell blocks” telah berhasil dicegah,
28
karena pada kultur embrio fertilisasi di atas 95% berhasil mencapai tahap empat sel. Ketidakberhasilan perkembangan embrio partenogenetik dan embrio kloning dalam mencapai tahapan empat sel diduga karena permasalahan genetik masing-masing sehingga proses sintesis protein dan metabolism tidak dapat berjalan seperti pada embrio fertilisasi (Yang et al. 2007). Beberapa hal yang menjadi permasalahan genetik dalam proses nuclear reprogramming adalah genomic imprinting dan X-chromosome inactivation. Kedua fenomena tersebut secara dominan mempengaruhi modifikasi epigenetik dan pola ekspresi genetik pada sel embrio hasil SCNT (Latham 2005).
Gambar 6. Tahapan perkembangan embrio kloning. A: Anak panah menunjukkan Pseudopronucleus yang diploid, B: Embrio kloning tahap dua sel, C: Embrio kloning tahap empat sel, D: Embrio kloning tahap delapan sel, E: Embrio kloning tahap morula, F: Embrio kloning tahap blastosis. Bar = 100 µm. Menurut Yang et al. (2007) embrio kloning mengalami hipermetilasi DNA, yaitu adanya gugus metil (CH3) pada urutan DNA yang berikatan dengan atom C nomor lima pada cytosine sedangkan pada histon justru kebalikannya yaitu apabila kehilangan gugus acetyl maka struktur kromatin akan mengalami kompaksi. Kromatin yang mengalami kompaksi dapat membuat gen-gen yang terkandung di dalamnya tidak dapat diekspresikan dengan normal. Hal ini sama seperti pada urutan DNA yang mengalami metilasi, maka gen-gen tidak dapat diekspresikan. Pada perkembangan embrionik, banyak gen-gen yang terlibat dalam sintesis protein yang diperlukan pada setiap tahapan pembelahan sel. Apabila protein yang diperlukan tidak tersedia maka pembelahan atau perkembangan embrio kloning dapat berhenti. Perkembangan in vitro embrio fertilisasi cenderung stabil, namun efisiensi yang mampu mencapai tahap blastosis hanya 55,6% sedangkan pada
29
embrio partenogenetik dan embrio kloning menunjukkan pola penurunan yang hampir sama. Embrio kloning yang mampu mencapai tahap blastosis berjumlah satu embrio dari total 43 embrio kloning yang telah diaktivasi (3,2%). Embrio partenogenetik yang berhasil mencapai tahap blastosis berjumlah tiga embrio dari 37 total embrio partenogenetik (8,6%). Keberadaan embrio fertilisasi yang dikultur dengan cara yang sama dengan embrio partenogenetik dan embrio kloning dapat memberikan informasi bahwa tidak ada permasalahan mendasar dalam hal kualitas medium, teknik dan fasilitas kultur yang digunakan pada penelitian ini.
Simpulan Aplikasi TISS dapat menghasilkan embrio kloning yang mampu berkembang hingga mencapai tahap blastosis. Embrio partenogenetik yang dihasilkan oleh aktivasi buatan dapat berkembang hingga tahap blastosis. Tingkat efisiensi embrio partenogenetik yang mampu mencapai tahap blastosis lebih tinggi dari pada embrio kloning. Embrio fertilisasi menunjukkan perkembangan yang lebih baik dan efisien dibandingkan dengan embrio kloning dan embrio partenogenetik pada kultur in vitro.
30
PRODUKSI EMBRIO KLONING MENCIT DENGAN PENAMBAHAN SCRIPTAID PADA APLIKASI TRANSFER INTI SEL SOMATIS Abstract The low efficiency of reproductive cloning is one of the reasons to explore the use of Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT) for biomedical purpose, specifically through nuclear transfer Embryonic Stem Cell (ntESC) production. Cloned embryos undergo DNA hypermethylation, which is thought to be one of the causes of sub-optimal growth. The objective of the research is to study the development of SCNT technique by adding Scriptaid as an inhibitory enzyme HDAC (histone deacetylase). The methods used include superovulation, enucleation, nuclear transfer, activation and in vitro culture. The first experiment determined the cumulus cell cycle using flow cytometry, while the second experiment was designed to evaluate the success rate of enucleation and nuclear transfer. The third experiment assessed the effect of Scriptaid on in vitro culture of cloned embryos. The results show that cumulus cells used as nuclei donors are in the G0/G1 cell cycle phase. The cumulus cells measure at 5-7 µm in diameter and accounts for 70,84% of the total isolated cumulus cell population. The enucleation process could achieve an efficiency rate of 49%, while the nuclear transfer achieves a 40,8% efficiency rate. The addition of Scriptaid successfully increase the embryonic cloning at the blastocyst stage’s success rate to 10,8%. This efficiency rate is three times higher compared to the control, which only shows a 3,2% success rate. Keywords: Cloning, Scriptaid, mice cloned embryo, cell cyle
Abstrak Tingkat efisiensi kloning reproduksi yang relatif sangat rendah menjadi salah satu alasan menjajaki pemanfaatan TISS untuk kepentingan biomedis yaitu memproduksi ntESC. Embrio kloning mengalami hipermetilasi DNA yang diduga merupakan salah satu penyebab perkembangannya tidak bisa optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan teknik TISS dengan perlakuan penambahan Scriptaid sebagai senyawa penghambat enzim HDAC (histones deacetylases). Metode yang digunakan meliputi superovulasi, enukleasi, transfer inti, aktivasi, kultur in vitro. Penelitian pertama, menentukan tahap siklus sel kumulus dengan menggunakan analisa flowcytometri. Penelitian kedua, mengetahui tingkat keberhasilan enukleasi dan transfer inti. Penelitian ketiga, mempelajari pengaruh Scriptaid terhadap perkembangan in vitro embrio kloning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel kumulus yang dipakai sebagai donor inti berada pada tahap siklus sel G0/G1. Sel kumulus ini yang berukuran 5-7µm dan populasinya sebesar
31
70,84% dari total sel kumulus yang diisolasi. Tahap enukleasi dapat mencapai tingkat efisiensi sebesar 49%, sedangkan tahap transfer inti dapat mencapai tingkat efisiensi 40,8%. Penambahan Scriptaid berhasil meningkatkan efisiensi embrio kloning yang mencapai tahap blastosis menjadi 10,8%. Tingkat efisiensi tersebut naik lebih dari 3 kali lipat dibandingkan dengan kontrol (3,2%). Kata Kunci: Kloning, Scriptaid, embrio kloning mencit, siklus sel
Pendahuluan Tingkat efisiensi kloning reproduksi yang relatif sangat rendah menjadi salah satu alasan menjajaki pemanfaatan Transfer Inti Sel Somatis (TISS) untuk kepentingan biomedis yaitu memproduksi ntESC (nuclear transfer Embryonic Stem Cell). Sel embrio hasil TISS dikultur secara in vitro hingga mencapai tahap blastosis, namun tidak diimplantasikan melainkan diisolasi (Inner Cell Mass) ICM-nya dan kemudian dikultur sebagai sel lestari ntESC (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Pemanfaatan ntESC dalam terapi berbasis sel (cell replacement therapy) berpotensi dapat mengatasi permasalahan penolakan sistem imunitas karena memiliki genom yang sama dengan sel-sel dari individu yang sakit (Moon et al. 2006). Keunggulan utama ntESC bila dibandingkan dengan sumber Embryonic Stem Cell (ESC) yang lain adalah masih memiliki sifat pluripotensi, ekpresi MHC (Major Histocompatibilty Complex) kelas I yang masih rendah, dan berkarakter immune-compatible stem cells (Hochedlinger & Jaenisch 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ntESC yang berasal dari inti sel somatis mempunyai sifat pluripoten dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel, seperti dopaminergic & seronergic neuron dan germ cells (Wakayama et al. 2001). Namun ntESC masih berpotensi memiliki beberapa karakter yang berbeda dengan ESC alami (bukan hasil TISS). Hal ini diduga dipengaruhi oleh memori epigenetik yang tidak sepenuhnya dapat dihapus dalam proses nuclear reprogramming (Ng & Gurdon 2005). Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya indikasi bahwa penyebab rendahnya efisiensi pada sel embrio hasil kloning adalah proses nuclear reprogramming belum diketahui secara sempurna, sehingga inti sel belum sepenuhnya dapat berubah pola ekspresi genetiknya menjadi seperti pola perkembangan embrionik (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Beberapa hal yang menjadi permasalahan utama dalam proses nuclear reprogramming adalah genomic imprinting dan X-chromosome inactivation. Kedua fenomena tersebut secara dominan mempengaruhi modifikasi epigenetik dan pola ekspresi genetik pada sel embrio hasil TISS (Latham 2005). Berbagai pengembangan teknik TISS telah dilakukan, namun hingga saat ini belum diperoleh hasil yang memuaskan. Selain itu aplikasi TISS pada manusia masih menjadi perdebatan dalam masalah etika, sehingga pengembangan teknik ini lebih banyak dikaji pada hewan coba (Murti et al. 2008).
32
Salah satu pengembangan teknik TISS yang telah dilakukan adalah dengan perlakuan penambahan senyawa penghambat enzim HDAC (histones deacetylases) pada saat proses nuclear reprogramming inti sel donor. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan Trichostatin A (TSA) berhasil meningkatkan keberhasilan perkembangan embrio kloning mencapai tahap blastosis (Enright et al. 2003; Kishigami et al. 2006; Li et al. 2008). Scriptaid merupakan senyawa inhibitor deasetilasi histon yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan TSA, yaitu toksisitas yang lebih rendah dan dapat memfasilitasi aktivasi transkripsional (Monneret 2005). Penelitian ini akan mengkaji pengembangan teknik TISS dengan perlakuan penambahan Scriptaid sebagai senyawa penghambat enzim HDAC, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi produksi embrio kloning mencit.
Metode Penelitian Donor Inti Sel Isolasi sel kumulus dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (1998) dengan sedikit modifikasi. Sel-sel kumulus dipisahkan dengan penambahan hyaluronidase 0.1% (Sigma, H4272, St. Louis, MO, USA) dalam medium M2 (Specialty media, MR-015P-D, Phillipsburg, New Jersey, USA). Perlakuan tersebut dilakukan selama 10 menit. Lalu 2 !l dari suspensi sel-sel kumulus dipindahkan ke dalam 10 !l CZB-tanpa glukosa yang mengandung polyvinylpyrrolidone (Mr 360 x 103; Sigma, PVP360, St. Louis, MO, USA) 10% (w/v). Sel kumulus yang dipilih sebagai donor untuk transfer inti adalah yang berukuran 5-7 µm. Sel-sel kumulus dikultur dalam CZB –PVP pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5% selama minimal 1 jam sebelum perlakuan lebih lanjut. Karakterisasi Siklus Sel Donor Inti Distribusi fase siklus sel dianalisa menurut Nour & Takahashi (2006) menggunakan pengukuran kandungan DNA masing-masing sel kumulus dengan sedikit modifikasi. Sel-sel kumulus dicuci dengan medium DPBS tanpa Ca2+ dan Mg2+, lalu dilakukan setrifugasi dengan kecepatan 290g pada suhu 4°C. Pelet yang dihasilkan lalu difiksasi dengan alkohol 70% dan disimpan pada suhu -20°C. Sebelum dilakukan analisa flowcytometri, sel-sel kumulus tersebut dicuci dengan medium DPBS tanpa Ca2+ dan Mg2+ dan diinkubasi dalam 200µg/mL Rnase A yang dilarutkan dalam larutan DW (distilled water) selama 30 menit pada suhu 37°C. Sel-sel kumulus diwarnai dengan 50µg/mL propidium iodide (Sigma), lalu difilter menggunakan filter jenis nylon ukuran 50µm menjelang dilakukan analisa flowcytrometri. Sel-sel kumulus dianalisa menggunakan FACs Calibur (Becton Dickinson, San Jose, CA).
33
Resipien Sel Superovulasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dengan sedikit modifikasi. Oosit diisolasi dari mencit betina galur ddy yang berumur 8-12 minggu. Mencit betina distimulasi untuk mengalami superovulasi dengan menyuntikan hormon Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin/PMSG (Intervet International BV, Folligon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU dan human Chorionic Gonadotrophin/ hCG (Intervet International BV, Chorulon, Boxmeer, Holland) 7.5 IU menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml dengan interval waktu 46-48 jam. Enam belas jam setelah penyuntikan hCG, COC diisolasi dari oviduct dengan menggunakan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan). Setelah diisolasi dari sel kumulus maka oosit dikultur dalam medium CZB tanpa glukosa yang mengandung BSA (Sigma, A3311, St. Louis, MO, USA) 1mg/ml, ditutup dengan mineral oil (Sigma, M8410, St. Lois, MO, USA) dan disimpan dalam suhu 37°C dan kadar CO2 5% di dalam inkubator (Sanyo, MCO-95, Japan). Manipulasi Embrio Mencit Pembuatan Pipet Mikromanipulasi Injeksi dan Holding Bahan pipet mikromanipulasi adalah tabung borosilikat gelas kapiler tanpa filamen (Sutter Instrument, B100-75-10). Pipet mikromanipulasi injeksi dibuat dengan menggunakan alat micro-puller (Sutter Instrument, P-87) dan micro-forge (Narishige, MF-79, Japan). Ujung pipet mikromanipulasi injeksi berdiameter bagian luar ~ 15!m untuk enukleasi dan 5-6!m untuk transfer inti. Mercury (Madespa MA, 0561, Spain) dimasukkan ke dalam pipet mikromanipulasi injeksi melalui bagian belakang menggunakan syringe (Terumo, SS+01T2613, Philippines) 1ml. Ujung pipet mikromanipulasi holding berdiameter bagian luar 80-100 !m dan berdiameter dalam 20-30 !m (Kishigami et al. 2006) . Enukleasi Kromosom MII dari Sel Oosit Enukleasi dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Sel-sel oosit (biasanya berjumlah 20) dipindahkan ke dalam drop medium M2 (± 10 !l) yang mengandung cytochalasin B (Sigma, C6762, St. Louis, MO, USA) 5 !l/ml dan sukrosa 3%. Tutup cawan petri 35mm (Nunc, 153066, Roskilde, Denmark) digunakan sebagai tempat membuat drop medium untuk mikromanipulasi. Mikroskop inverted (Olympus, IX70, Japan) dengan Thermoplate (Tokai Hit, MATSU55R30, Japan) dan satu perangkat micromanipulator (Narishige, Japan) digunakan untuk melakukan manipulasi oosit. Oosit diposisikan tidak bergerak dengan ditahan menggunakan pipet holding. Zona pelusida sel oosit lalu ditembus dengan menggunakan Piezo (Prime Tech, PMAS-CT150, Japan) yang menggetarkan ujung pipet mikromanipulasi injeksi yang digunakan untuk enukleasi (dengan diameter bagian dalam ± 15 !m). Komplek benang spindel kromosom MII, dapat ditandai sebagai spot yang dapat ditembus cahaya di
34
dalam ooplasma dengan perbesaran 20x Optik Hoffman Modulation Contrast (Modulation Optics Inc, Greenvale, New York, USA). Kromosom MII dihisap dengan mikropipet injeksi dan hanya sedikit cairan ooplasma yang terhisap. Setelah itu, pipet ditarik dengan halus dan perlahan hingga melewati zona pelusida. Konfirmasi keberadaan inti/kromosom MII dilakukan dengan cara mewarnai oosit pasca enukleasi dengan Hoechst 33342 (Invitrogen, H1399, Eugene, USA) 10 !g/ml dalam PBS (Gibco, 21600-010, Grand Island, NY, USA) tanpa serum selama 10 menit, lalu oosit diletakkan ke dalam sumursumur di dalam cawan Terazaki dan diamati di mikroskop fluorescent (Nikon, E600, Japan) dengan panjang gelombang 380nm. Oosit yang masih berinti akan terlihat lebih berpendar karena Hoechst 33342 akan berikatan dengan DNA inti. Setelah dipilih yang enukleasinya berhasil, maka sel oosit dipindahkan ke dalam CZB tanpa cytochalasin B dan disimpan selama lebih dari 2 jam pada 37°C dan kadar CO2 5%. Transfer Inti Transfer inti dilakukan menurut Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Pipet mikromanipulasi injeksi digunakan untuk menarik ke dalam dan keluar sebagian kecil sel kumulus hingga membran plasma rusak, dengan pengamatan menggunakan perbesaran 40x Optik Hoffman Modulation Contrast (Modulation Optics Inc, Greenvale, New York, USA). Setelah inti dapat dihisap ke dalam pipet, maka dengan pipet yang sama digunakan untuk mengisolasi inti dari sel-sel yang lain. Dalam hitungan menit beberapa inti tersebut diletakkan secara urut dalam sebuah pipet. Inti sel donor (sel kumulus) disuntikan satu per satu ke dalam oosit yang telah dihilangkan intinya (enukleasi). Semua manipulasi tersebut dilakukan pada suhu kamar (25–29°C). Inti harus disuntikan dalam waktu sekurang-kurangnya 10 menit setelah diisolasi dari selnya. Oosit yang telah disuntik kemudian dipindahkan dan disimpan dalam media CZB pada suhu 37°C selama 1–3 jam sebelum perlakuan aktivasi. TSA dan Scriptaid sebagai Penghambat Enzim HDAC Sebagai perlakuan, media kultur bagi embrio pasca transfer inti adalah CZB yang ditambah Scriptaid (Sigma, S7817, St. Louis, MO, USA) 5 nM selama 3 jam. Sebagai kontrol positif, media kultur bagi embrio pasca transfer inti adalah CZB yang ditambah TSA (Sigma, T8552, St. Louis, MO, USA) 5 nM selama 3 jam. Sebagai kontrol negatif, media kultur bagi embrio pasca transfer inti adalah CZB tanpa ditambah senyawa penghambat enzim HDAC (Kishigami et al. 2006). Aktivasi dan Kultur Oosit Pasca Transfer Inti Aktivasi dan kultur embrio pasca transfer inti dilakukan menurut Kishigami et al. (2006) dan Wakayama et al. (2001) dengan sedikit modifikasi. Setelah oosit yang dimanipulasi disimpan dalam media CZB selama 1–3 jam (37°C; kadar CO2 5%), inti yang disuntikan ke dalam tiap oosit akan berubah
35
bentuk menjadi kromosom. Embrio kloning diaktivasi selama 6–7 jam dalam media CZB tanpa Ca2+ mengandung Sr2+ 10 mM (Sigma, 255521, St.Louis, USA) dan cytochalasin B 5 !g/ml. Campuran medium aktivasi juga ditambahkan Scriptaid pada kelompok perlakuan Scriptaid. Campuran medium aktivasi juga ditambahkan TSA pada kelompok kontrol positif. Setelah diaktivasi, embrio kloning tersebut diaktivasi dan dikultur dalam media CZB tanpa glukosa hingga mencapai perkembangan 8 sel, lalu dipindahkan ke drop medium CZB yang mengandung D-glukosa 5.55 mM (Merck, 1.08342.0500, Darmstadt, Germany) hingga mencapai tahap blastosis. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penentuan Siklus Sel Donor Inti Sebanyak sepuluh ribu sel kumulus dianalisa siklus sel dengan menggunakan perangkat lunak Cell Quest (Becton Dickinson). Parameter tunggal yang dipilih adalah kandungan DNA pada masing-masing sel kumulus yang telah diwarnai dengan propidium iodide. Populasi sel kumulus tersebut lalu diklasifikasikan dalam beberapa tahapan siklus sel yaitu G0/G1 (mengandung 2C DNA), S (mengandung antara 2C hingga 4C DNA), dan G2 + M (mengandung 4C DNA). Prosentase dihitung berdasarkan jumlah sel yang sesuai dengan tahapan kandungan DNA-nya dibandingkan dengan jumlah total seluruh populasi sel kumulus. Data hasil analisa flowcytometri disajikan dalam grafik plot scatter. Enukleasi dan Transfer Inti Pada tahap ini, variabel respon yang diukur adalah keberhasilan aplikasi teknik enukleasi sel oosit sebagai sel resipien dan transfer inti sel kumulus sebagai donor inti sel. Aplikasi teknik enukleasi dan transfer inti dilakukan dengan ulangan sebanyak tiga kali. Penambahan Scriptaid pada Aplikasi TISS Pada tahap ini, variabel respon yang diukur adalah jumlah keberhasilan sel embrio mencit kloning hasil TISS untuk mencapai tahap dua sel, tahap empat sel, tahap delapan sel, tahap morula dan tahap blastosis. Perlakuan yang digunakan adalah (1) penambahan senyawa Scriptaid; (2) penambahan senyawa Trichostatin A (TSA); (3) kontrol negatif/ tanpa penambahan scriptaid dan TSA setelah transfer inti pada medium setelah transfer inti.
36
Hasil dan Pembahasan Penentuan Siklus Sel Donor Inti
100
cumulus080909.001
G0/G1
G2/M S
40
Counts 80 120 160 200
cumulus080909.001
0
0
FSC-H 200 400 600 800 1000
Pada teknik transfer inti, salah satu faktor yang harus diperhatikan dari sel donor inti adalah jumlah kromosom (Kato & Tsunoda 1993). Sel somatis pada tahap G0/G1 mempunyai kromosom diploid (2n), tahap G2 mempunyai kromosom tetraploid (4n) karena telah mengalami replikasi DNA pada tahap S, dan tahap S mempunyai jumlah kromosom yang bervariasi antara diploidtetraploid (2n-4n) karena bergantung pada posisi awal (sebelum replikasi) atau akhir (setelah replikasi). Pada penelitian ini oosit diisolasi pada tahap MII oleh karena itu agar jumlah ploidi sel embrio kloning normal (2n) maka diperlukan inti sel somatis yang memiliki kandungan inti (2n). Pada gambar 7 terlihat bahwa mayoritas populasi sel kumulus berada pada tahap siklus sel G0/G1, sedangkan sisanya berada pada tahap siklus sel S dan G2/M. Hasil analisa perangkat lunak Cell Quest dapat menunjukkan hasil yang lebih detil yaitu prosentase populasi tiap tahapan siklus sel (tabel 5). Sebanyak 70,84% dari populasi sel kumulus berada pada tahap siklus sel G0/G1. Berdasarkan pengamatan morfologi sel kumulus setelah diisolasi dari COC sebagian besar berukuran kecil yaitu antara 5-7 µm. Pemilihan sel kumulus sebagai donor inti dapat dilakukan berdasarkan ukuran morfologinya (gambar 8).
101
102 SSC-H
103
104
100
101
102 FL2-H
103
104
Gambar 7. Grafik hasil analisa flowcytometri sel kumulus setelah isolasi Inti donor pada tahap G0, dan G1 yang masing-masing jumlah Histogram Statistics kromosomnya diploid (2n) bila ditransfer ke dalam oosit resipien pada MII File: cumulus080909.001 Acquisition Date: 08-Sep-09 akan terjadi PCC pada kromatid tunggal, lalu mengalami Nuclear Reformation Gate: G1 Gated Events: 9816 (2n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 4n) kemudian akan membelah Total Events: 10000 X Parameter: FL2-H (Log) menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom diploid (Campbell et al. 1996). Marker Events % Gated % Total Mean CV Median All G0/G1 S G2/M
9816 7084 1176 1570
100.00 72.17 11.98 15.99
98.16 70.84 11.76 15.70
20.65 4.26 23.25 92.70
178.27 39.74 41.34 48.08
4.83 4.03 21.58 80.58
37
Tabel 5. Siklus sel kumulus sebagai donor inti setelah isolasi Siklus Sel
Prosentase (%)
G0/ G1
70,84
S
11,76
G2+M
15,70
Pada transfer inti dengan resipien pada tahap MII, konsentrasi MPF yang tinggi dapat menyebabkan inti donor mengalami NEBD (Nuclear Envelope Breakdown) dan PCC (Premature Chromosome Condensation). Menurut Campbell et al. (1993) semua inti sel pada semua tahap siklus sel akan mengalami NEBD dan PCC bila ditansfer ke sitoplasma oosit yang konsentrasi MPFnya tinggi. Namun bagaimana efek PCC terhadap proses nuclear reprogramming belum diketahui secara tuntas hingga saat ini.
A
B
Gambar 8. A. Sel-sel kumulus yang masih mengelilingi oosit. B. Populasi sel kumulus yang sudah disolasi. Bar = 100 µm. Perbedaan kandungan protein yang terekspresi pada tiap tahap siklus sel, menjadi faktor penentu untuk memprogram kembali inti sel donor (Dinnyes & Szmolenszky 2005). Oosit yang telah mengalami ovulasi biasanya berada pada metafase II tahap M (MII). Pada tahap tersebut konsentrasi MPF/ Maturation Promoting Factor (cyclin B-Cdk1) mencapai tingkatan maksimal. Selain itu CSF (Cytostatic Factor) juga memegang kendali regulasi siklus sel dengan mempertahankan kondisi stabil pada MII dan menghambat masuk ke tahap anafase (Schimidt et al. 2006). Konsentrasi MPF sitoplasma oosit pada tahap MII juga dapat dipengaruhi oleh aktivasi (Campbell et al. 1993). Enukleasi dan Transfer Inti Enukleasi dan transfer inti merupakan tahapan dalam aplikasi TISS sebelum dilakukan aktivasi. Pada tahap enukleasi, materi genetik oosit dikeluarkan dari sitoplasma. Sedangkan pada tahap transfer inti, materi genetik sel kumulus dimasukkan ke dalam sitoplasma oosit yang telah dienukleasi.
38
Rata- rata oosit yang berhasil dienukleasi adalah 49%, sedangkan rata-rata oosit yang berhasil dilakukan transfer inti adalah 40,8% (tabel 6). Dengan tingkat efisiensi enukleasi dan transfer inti yang masih rendah maka untuk aplikasi TISS diperlukan jumlah oosit yang relatif banyak sebagai sel resipien. Tabel 6. Hasil enukleasi dan transfer inti pada produksi embrio kloning mencit Ulangan # oosit Enukleasi Transfer Inti 1
112
51 (45,54%)
44 (39,29%)
2
126
63 (50%)
52 (41,27%)
3
129
67 (51,94%)
54 (41,86%)
60,33 (49%)
50,0 (40,8%)
Rata-rata
Keterangan: Prosentase diperoleh dari membandingkan dengan kolom # oosit. Penambahan Scriptaid pada Aplikasi TISS Aplikasi TISS yang meliputi enukleasi, transfer inti dan aktivasi akan menghasilkan embrio kloning yang kemudian dikultur secara in vitro untuk melihat perkembangan tahapan praimplantasi. Dalam penelitian ini menggunakan perlakuan penambahan senyawa HDACi (histones deacetylases inhibitor) yaitu TSA dan Scriptaid yang berfungsi untuk menurunkan hipermetilisasi DNA dan deasetilasi histon pada embrio kloning. Salah satu faktor penyebab rendahnya keberhasilan kloning adalah perubahan pola metilasi DNA dan asetilasi histon (Yang et al. 2007). Pada tabel 7 terlihat bahwa tingkat keberhasilan perkembangan embrio kloning untuk mencapai tahapan blastosis masih cukup rendah yaitu berkisar antara 7-10%, sedangkan pada kontrol hanya mampu mencapai efisiensi 3,2% (tabel 4). Secara umum embrio kloning yang dihasilkan dengan penambahan Scriptaid dan TSA menunjukkan perkembangan yang lebih baik daripada embrio kloning kontrol (gambar 8). Tabel 7. Perkembangan embrio kloning mencit secara in vitro Tahap Pembelahan Embrio Kloning (%)
Aktivasi Embrio Kloning
dua sel
empat sel
delapan sel
morula
blastosis
TSA
50
38a
26a (68,4)
9a (23,7)
5a (13,2)
3a (7,9)
Scriptaid
51
37a
24a (64,9)
11a (29,7)
7a (18,9)
4a (10,8)
Perlakuan
Keterangan: Prosentase diperoleh dari membandingkan dengan kolom dua sel. Angka di dalam tanda kurung merupakan angka prosentase.
39
Berdasarkan hasil penelitian ini diduga TSA dan Scriptaid berperan dalam proses ‘nuclear reprogramming’ dengan cara mengurangi level metilasi DNA dan deasetilasi histon. Urutan DNA yang mengalami metilasi, yaitu adanya gugus metil (CH3) yang berikatan dengan atom C nomor lima pada cytosine sedangkan pada histon justru kebalikannya yaitu apabila kehilangan gugus acetyl maka struktur kromatin akan mengalami kompaksi. Kromatin yang mengalami kompaksi dapat membuat gen-gen yang terkandung di dalamnya tidak dapat diekspresikan dengan normal. Hal ini sama seperti pada urutan DNA yang mengalami metilasi, maka gen-gen tidak dapat diekspresikan. Pada perkembangan embrionik, banyak gen-gen yang terlibat dalam sintesa protein yang diperlukan pada setiap tahapan pembelahan sel. Apabila protein yang diperlukan tidak tersedia maka pembelahan/ perkembangan embrio dapat berhenti (Yang et al. 2007).
Gambar 9. Tahapan perkembangan kultur in vitro embrio kloning. A. Anak panah menunjukkan Pseudopronucleus yang diploid, B: Embrio kloning tahap dua sel, C: Embrio kloning tahap empat sel, D: Embrio kloning tahap delapan sel, E: Embrio kloning tahap morula, F: Embrio kloning tahap blastosis. Bar = 100 µm.
Simpulan Sel kumulus yang dipakai sebagai donor inti berada pada tahap siklus sel G0/G1. Sel kumulus ini yang berdiameter 5-7 µm dan populasinya sebesar 70,84%. Tahap enukleasi dapat mencapai tingkat efisiensi sebesar 49%, sedangkan tahap transfer inti dapat mencapai tingkat efisiensi 40,8%. Penambahan Scriptaid berhasil meningkatkan efisiensi embrio kloning yang mencapai tahap blastosis menjadi 10,8%. Penambahan HDACi (Scriptaid dan
40
TSA) dapat meningkatkan tingkat efisiensi hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan kontrol.
41
PEMBAHASAN UMUM Mencit merupakan hewan mamalia kecil yang memiliki siklus reproduksi cukup pendek yaitu empat hingga lima hari per siklus. Ada empat fase siklus reproduksi mencit yaitu fase estrus, metestrus, diestrus, dan proestrus. Salah satu alasan mencit digunakan sebagai hewan model untuk penelitian adalah memiliki siklus reproduksi dan masa kebuntingan yang cukup pendek. Selain itu pada reproduksi normal sekali melahirkan induk mencit dapat menghasilkan enam hingga delapan anakan, sehingga mencit dapat dengan mudah dikembangbiakan (Nagy et al. 2003). Secara alami, mencit betina dapat mengovulasikan oosit sebanyak delapan hingga dua belas oosit tergantung pada jenis mencit (Nagy et al. 2003). Jumlah tersebut relatif sedikit apabila penelitian membutuhkan oosit dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik superovulasi untuk meningkatkan produksi oosit mencit. Superovulasi dilakukan dengan menyuntikan hormon PMSG dan diikuti dengan hormon hCG setelah 46 jam kemudian. Pada penelitian ini diperoleh dosis optimal untuk superovulasi adalah 7,5 IU. Menurut Martin-Coello et al. (2008), perlakuan superovulasi tidak meningkatkan kadar gonadotropin endogenus. Variasi respon ovarium terhadap hormon eksogenus tergantung pada perbedaan genetik di antara strain. Respon perlakuan superovulation dapat dipengaruhi oleh umur, berat badan, status nutrisi, kesehatan, dan kondisi perawatan hewan. Keberhasilan meningkatkan jumlah oosit dapat menurunkan jumlah hewan yang diperlukan dalam penelitian. Aplikasi TISS untuk menghasilkan embrio kloning, meliputi enukleasi, transfer inti dan aktivasi. Enukleasi pada prinsipnya adalah mengeluarkan seluruh materi genetik (inti) sel oosit. Pada penelitian ini sel oosit mencit yang digunakan memiliki sitoplasma yang warnanya cenderung keruh, sehingga sulit untuk menentukan dimana letak inti sel. Posisi Polar Body I juga tidak sepeuhnya dapat digunakan sebagai rujukan untuk mengetahui letak inti sel. Dari total populasi sel oosit hanya sekitar 31% yang letaknya ada di dekat Polar Body I (Liu et al. 2002). Keberhasilan tahap enukleasi sangat ditentukan oleh ketepatan menentukan lokasi inti sel oosit yang akan dikeluarkan. Oleh karena itu, diperlukan modifikasi teknik enukleasi yaitu dengan menambahkan sukrosa 3% pada medium praenukleasi. Penambahan sukrosa 3% dapat menyebabkan munculnya spot transparan pada oosit hingga 59,77% dari total sel oosit yang diteliti. Spot transparan yang terbentuk adalah akibat dari larutan hipertonik sukrosa mempengaruhi konsentrasi protein sitoplasma yang dapat merubah sifat membran dan mempengaruhi dinamika sitoskeleton (Wang et al., 2001). Modifikasi ini berhasil meningkatkan keberhasilan enukleasi lebih dari dua kali lipat dibandingkan tanpa penambahan sukrosa 3%. Tahap aktivasi juga memegang peranan yang cukup penting dalam keberhasilan aplikasi TISS. Aktivasi buatan secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan kombinasi Strontium Chloride, medium CZB, dan Cytochalasin B. Pada penelitian ini dilakukan optimasi tiga metode aktivasi dan hasilnya
42
menunjukkan bahwa aktivasi dengan medium CZB & CB & SrCl2 (medium baru) selama 6 jam adalah metode yang paling optimal bila dibandingkan dengan metode yang lain. Hasil penelitian juga mengindikasikan bahwa Strontium Chloride yang sudah dibuat medium stok akan menurunkan kemampuannya sebagai aktivator. Hal ini diduga karena sifatnya yang sangat reaktif sehingga setelah bercampur dengan medium akan bereaksi dengan komponen-komponen penyusun medium tersebut (Guido and Gigli, 1976). Peranan Strontium Chloride sebagai aktivator adalah melalui jalur kalsium dengan cara menginduksi peningkatan Ca2+ intraseluler, menggantikan ikatan Ca2+ di dalam oosit, dan secara berulang-ulang menginduksi peningkatan osilasi Ca2+ (Alberio et al., 2001). Sel oosit yang diaktivasi dengan protokol tersebut dapat berkembang menjadi embrio partenogenetik. Perkembangan embrio partnogenetik dapat digunakan sebagai pembanding pada proses aktivasi dan kultur in vitro embrio kloning. Pada penelitian ini juga membandingkan perkembangan praimplantasi embrio kloning, embrio partenogenetik dan embrio hasil fertilisasi in vivo sebagai kontrol. Perkembangan embrio fertilisasi memiliki efisiensi pembelahan yang paling baik, kemudian diikuti oleh embrio partenogenetik dan embrio kloning. Baik embrio partenogenetik maupun embrio kloning, keduanya merupakan embrio hasil manipulasi yang dilakukan secara in vitro. Embrio partenogenetik memiliki inti yang berasal dari maternal saja, sementara itu embrio kloning memiliki inti sel somatis. Karakteristik materi genetik tersebut yang diduga menjadi penyebab rendahnya efisiensi pembelahan sel pada embrio partenogenetik dan embrio kloning. Walaupun tanpa materi genetik dari paternal, embrio partenogenetik mampu tumbuh dan berkembang hingga mencapai tahap blastosis. Demikian juga, keberhasilan embrio kloning berkembang hingga mencapai tahap blastosis merupakan bukti bahwa inti sel somatis telah berhasil mengalami proses “nuclear reprogramming”. Inti sel somatis yang berasal dari sel kumulus merupakan sel yang sudah mengalami diferensiasi, namun dengan aplikasi TISS inti sel tersebut dapat diprogram kembali menjadi ke tahap awal pembelahan embrionik. Rendahnya efisiensi perkembangan embrio kloning terkait dengan indikasi bahwa proses nuclear reprogramming belum berlangsung secara sempurna, sehingga inti sel belum sepenuhnya dapat berubah pola ekspresi genetiknya menjadi seperti pola perkembangan embrionik (Hochedlinger & Jaenisch 2003). Kendala utama dalam proses nuclear reprogramming adalah genomic imprinting dan X-chromosome inactivation yang secara dominan mempengaruhi modifikasi epigenetik dan pola ekspresi genetik pada sel embrio kloning (Latham 2005). Sel kumulus yang digunakan pada aplikasi TISS setelah dilakukan analisa flowcytometri menunjukkan pada fase G0/G1. Hal ini penting karena menurut Campbell et al. (1996) inti donor pada tahap G0, dan G1 yang masingmasing jumlah kromosomnya diploid (2n) bila ditransfer ke dalam sel oosit resipien pada MII akan terjadi PCC pada kromatid tunggal, lalu mengalami Nuclear Reformation (2n) dan akan terjadi replikasi DNA (menjadi 4n)
43
kemudian akan membelah menjadi dua sel dengan masing-masing kromosom diploid. Menurut Yang et al. (2007) salah satu faktor penyebab rendahnya keberhasilan kloning adalah hipermetilasi DNA dan perubahan pola asetilasi histon. Penelitian ini menggunakan penambahan senyawa HDACi (histones deacetylases inhibitor) yaitu TSA dan Scriptaid yang berfungsi untuk menurunkan hipermetilisasi DNA dan deasetilasi histon pada embrio kloning. Penambahan HDACi dapat meningkatkan tingkat efisiensi hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Mekasnisme kerja TSA dan Scriptaid adalah menghambat enzim histones deacetylase, sehingga gugus acetyl tetap menempel pada histon dan membuat kromatin tetap renggang. Kinerja enzim histones deacetylase yang dihambat akan membuat asetilasi histon meningkat terutama dalam histone H4 pada lysine 8 (AcH4K8), sehingga mendekati dengan kondisi asetilasi histon pada embrio fertilisasi (Zhao et al. 2010). Dengan demikian, penambahan TSA dan scriptaid merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi produksi embrio kloning mencit.
44
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Optimasi terhadap perlakuan superovulasi, enukleasi, dan metode aktivasi dapat meningkatkan efisiensi aplikasi TISS untuk memproduksi embrio kloning mencit. Sel kumulus yang digunakan sebagai donor inti telah dipastikan pada tahap siklus sel G0 atau G1. Embrio kloning mencit dapat dihasilkan melalui aplikasi TISS. Perkembangan praimplantasi secara in vitro embrio fertilisasi dan partenogenetik masih lebih baik dibandingkan dengan embrio kloning. Penambahan HDACi (Scriptaid dan TSA) dapat meningkatkan tingkat efisiensi hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Saran Penelitian yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui proses nuclear reprogramming dan dapat menentukan strategi yang tepat untuk meningkatkan efisiensi produksi embrio kloning.
45
DAFTAR PUSTAKA Alberio R, Zakhartchenko V, Motlik J, Wolf E. 2001. Mammalian oocyte activation: lesson from the sperm and implications for nuclear transfer. International Journal of Developmental Biology 45:797809. Baguisi A, Behboodi A, Melican DT, et al. 1999. Production of goats by somatic cell nuclear transfer. Nat Biotechnol 17:456-461. Boediono A, Saha S, Sumantri C, Suzuki T.1995. Development in vitro and in vivo of aggregated parthenogenetic bovine embryos. Reprod Fertil Dev 7:1073-1079. Campbell KHS, Loi P, Otaegui PJ, Wilmut I. 1996. Cell cycle co-ordination in embryo cloning by nuclear transfer. Journals of Reproduction and Fertility 1:40-46. Campbell KHS, Ritchie WA, Wilmut I. 1993. Nuclear-cytoplasmic interactions during the first cell of nuclear transfer reconstructed bovine embryos: implications for deoxyribonucleic acid and development. Biology of Reproduction 49:933-942. Choi YH, Love LB, Westhusin ME, Hinrichs K. 2004. Activation of equine nuclear transfer oocytes: methods and timing of treatment in relation to nuclear remodeling. Biology of Reproduction 70:46-53. Chung YG, Mann MRW, Bartolomei MS, Latham KE. 2002. Nuclearcytoplasmic “tug of war” during cloning: effects of somatic cell nuclei on culture medium preferences of preimplantation cloned mouse embryos. Biol Reprod 66:1178-1184. Cibelli JB, Kiessling AA, Cunniff K, Richards C, Lanza RP, West MD. 2001. Somatic cell nuclear transfer in humans: pronuclear and early embryonic development. The Journal of Regenerative Medicine 2:25-31. Colman A. 2000. Somatic cell nuclear transfer in mammals: progress and applications. Cloning 1:185-200. Dinnyes A, Szmolenszky A. 2005. Animal cloning by nuclear transfer: stateof- the-art and future perspectives. Acta Biochimica Polonica 52:585-588. Elzen N den, Pines J. 2001. Cyclin A is destroyed in prometaphase alignment and anaphase. The Journal of Cell Biology 153:121-135. Enright BP, Kubota C, Yang X, Tian XC. 2003. Epigenetic characteristics and development of embryos cloned by trichostatin A or 5-aza-2’deoxycytidine. Biology of Reproduction 69:896-901.
46
Gardner DK, Lane M. 1996. Alleviation of the '2-cell block' and development to the blastocyst of CFl mouse embryos: role of amino acids, EDTA and physical parameters. Human Reproduction 11(12):2703-2712. Guido M, Gigli G. 1976. Ion model and equilibrium configuration of the gaseous alkaline̺earth dihalides. J. Chem. Phys. 65:1397-1403. Gurdon JB, Byrne JA, Simonsson S. 2003. Nuclear reprogramming and stem cell creation. Proc Natl Acad Sci USA 100:11819-11822. Heindryckx B, Rybouchkin A, van der Elst J, Dhont M. 2001. Effect of culture media on in vitro development of cloned mouse embryos. Cloning 3:41-50. Heuvel S van den. 2005. Cell-cycle regulation. The C. elegans Research Community, WormBook, http://www.wormbook.org. doi/10.1895/wormbook.1.28.1 Hipp J, Atala A. 2004. Tissue engineering, stem cells, cloning, and parthenogenesis: new paradigms for therapy. Journal of Experimental & Clinical Assisted Reproduction I:3 Hochedlinger K, Jaenisch R. 2003. Nuclear transplantation, embryonic stem cells, and potential for cell therapy. N Engl J Med 349:275-286. Hochedlinger K, Jaenisch R. 2006. Nuclear reprogramming and pluripotency. Nature 441:1061-1067. Hogan B, Costantini F, Lacy E. 1986. Manipulating the mouse embryo. A laboratory manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory.p.113-114. Iannaccone P, Taborn G, Garton R. 2001. Preimplantation and postimplantation development of rat embryos cloned with cumulus cells and fibroblasts. Zygote 9:135-143. Jones KT. 2005. Mammalian egg activation: from Ca21 spiking to cell cycle progression. Reproduction 130:813–823. Kalthoff K. 2001. Analysis of biological developmental. 2nd ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc. p.104-105. Kasinathan P, Knott JG, Moreira PN, Burnside AS, Jerry DJ, Robl JM. 2001. Effect of fibroblas donor cell age and cell cycle on development of bovine nuclear transfer embryos in vitro. Biol Reprod 64:1487-1493. Kato Y, Tsunoda Y. 1993. Totipotency and pluripotency of embryonic nuclei in the mouse. Molecular Reproduction and Development 36:276278. Kishigami S, Mizutani E, Ohta H, et al. 2006. Significant improvement of mouse cloning technique by treatment with trichostatin A after somatic nuclear transfer. Biochemical and Biophysical Research Communications 340:183-189.
47
Kishigami S, Wakayama S, Van Thuan N, et al. 2006. Production of cloned mice by somatic cell nuclear transfer. Nature Protocols 1:125-138. Kodifis T, Bruin JL de, Yamane T, et al. 2004. Insulin-like growth factor promotes engraftment, differentiation, and functional improvement after transfer of embryonic stem cells for myocardial restoration. Stem Cells 22:1239-1245. Latham KE. 2005. Early and delayed aspects of nuclear reprogramming during cloning. Biol. Cell 97:119-132. Li X, Kato Y, Tsuji Y, Tsunoda Y. 2008. The effect of Trichostatin A on mRNA expression of chromatin structure-, DNA methylation-, and development- related genes in cloned mouse blastocysts. Cloning and Stem Cells 10:133- 142. Li Z, Chen X, Sun X, et al. 2005. Nuclear transfer of M-phase ferret fibroblass synchronized with the microtubule inhibitor demecolcine. J Exp Zool 303A:1126-1134. Li Z, Sabet MR, Zhou Q, et al. 2003. Developmental capacity of ferret embryos by nuclear transfer using G0/G1-phase fetal fibroblas. Biol Reprod 68:2297-2303. Lim YT, Moon SY, Lee JY, Chang YS. 1985. A study on the estrus cycle and superovulation of the mouse. The Seoul Journal of Medicine 26(2):157-162. Lin H, Lei J, Wininger D, Nguyen MT, Khanna R, Hartmann C, Yan WL, Huang SC. 2003. Multilineage potential of homozygous derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21:152-161. Liu JL, Sung LY, Barber M, Yang X. 2002. Hypertonic medium treatment for localization of nuclear material in bovine metaphase II oocytes. Biol. Reprod. 66:1342–1349. Loi P, Ledda S, Jr JF, Cappai P, Moor RM. 1998. Development of parthenogenetic and cloned ovine embryos: effect of activation protocols. Biology of Reproduction 58:1177-1187. Martin-Coello J, Gonzalez R, Crespo C, Gomendio M, Roldan ERS. 2008. Superovulation and in vitro oocyte maturation in three species of mice (Mus musculus, Mus spretus and Mus spicilegus). Theriogenology 70:1004–1013. MataHine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A. 2008. Produksi embryonic stem cells dari inner cell mass blastosis yang diisolasi dengan metode enzimatik dan immunosurgery. Jurnal Veteriner 9:13-19 McGowan CH. 2003. Regulation of the eukaryotic cell cycle. Progress in Cell Cycle Research 5:1-4. McLaren A. 2000. Cloning: pathway to a pluripotent future. Science 288:1775-
48
1780. Monneret C. 2005. Histone deacetylase inhibitors. European Journal of Medicinal Chemistry 40:1-13. Moon SY, Park YB, Kim DS, Oh SK, Kim DW. 2006. Generation, culture, and differentiation of human embryonic stem cells for therapeutic applications. Molecular Therapy 13:5-12. Murti H, Boediono A, Fahrudin M, Sardjono CT, Setiawan B, Sandra F. 2009. Optimation of activation methods for mouse oocytes using calciumfree CZB medium, SrCl2, and cytochalasin B in vitro. Jurnal Kedokteran Maranatha 8:113-120. Murti H, Fahrudin M, Sardjono CT, Setiawan B, Sandra F. 2008. Altered nuclear transfer: improvement of somatic cell nuclear transfer technique to resolve ethical problems. Cermin Dunia Kedokt. 161: 61-3. Nagy A, Gertsenstein M, Vintersten K, Behringer R. 2003. Manipulating the mouse embryo: a laboratory manual. New York (USA): Cold Spring Harbor Laboratory Press. Ng RK, Gurdon JB. 2005. Epigenetic memory of active gene transcription is inherited through somatic cell nuclear transfer. Proc Natl Acad Sci USA 102:1957-1962. Ng SC, Chen N, Yip WY, et al. 2004. The first cell cycle after transfer of somatic cell nuclei in a non-human primate. Development 131:24752484. Nour MSH, Takahashi Y. 2006. Bovine nuclear transfer using primary cultured cumulus cells of determined cell cycle-phase. Journal of Animal and Veterinary Advances 5(9):786-790. Ono Y, Scimozawa N, Muguruma K, et al. 2001a. Production of cloned mice from embryonic stem cells arrested at metaphase. Reproduction 122:731-736. Paek HJ, Moise LJ, Morgan JR, Lysaght MJ. 2005. Origin of insulin secreted from islet-like cell clusters derived from murine embryonic stem cells. Cloning and Stem Cells 7:226-231. Piedrahita JA, Mir B, Dindot S, Walker S. 2004. Somatic cell cloning: the ultimate form of nuclear reprogramming?. J. Am. Soc. Nephrol 15:1140- 1144. Piotrowska K, Modlinski JA, Korwin-Kossakowski M, Karasiewics J. 2000. Effects of preactivation of ooplasts or synchronization of blastomere nuclei in G1 on preimplantation development of rabbit serial nuclear transfer embryos. Biol Reprod 63:677-682. Schmidt A, Rauh NR, Nigg EA, Mayer TU. 2006. Cytostatic factor: an activity
49
that puts the cell cycle on hold. Journal of Cell Science 119:12131218. Stice SL, Robl JM, Ponce de Leon FA, Jerry J, Golueke PG, Cibelli JB, Kane JJ. 1998. Cloning: new breakthroughs leading to commercial opportunities. Theriogenology 49:129-138. Sung LY, Shen P, Jeong BS, et al. 2006. Premature chromosome condensation is not essential for nuclear reprogramming in bovine somatic nuclear transfer. Biology Reproduction 76(2):232-240. Tomii R, Kurome M, Ochiai T, et al. 2005. Production of cloned pig by nuclear transfer of preadipocytes established from adult mature adipocytes. Cloning and Stem Cell 7:279-288. Van de Velde H, Nagy ZP, Joris H, De Vos A, Van Steirteghem AC. 1997. Effects of different hyaluronidase concentrations and mechanical procedures for cumulus cell removal on the outcome of intracytoplasmic sperm injection. Human Reproduction 12(10):2246-2250. Van deer Auwera, D'Hooghe. 2001. Superovulation of female mice delays embryonic and fetal development. Hum Reprod. 16(6):1237-1243. Vincent C, Cheek TR, Johnson MH. 1992. Cell cycle progression of parthenogenetically activated mouse oocytes to interphase is dependent on the level of internal calcium. Journal of Cell Science 103:389-396. Wakayama T, Perry ACF, Zuccotti M, Johnson KR, Yanagimachi R. 1998. Full- term development of mice from enucleated oocytes injected with kumulus cell nuclei. Nature 394:369-374. Wakayama T, Tabar V, Rodriguez I, Perry ACF, Studer L, Mombaerts P. 2001. Differentiation of embryonic stem cell lines generated from adult somatic cells by nuclear transfer. Science 292:740-743. Wakayama T, Yanagimachi R. 2001. Effect of cytokinesis inhibitors, DMSO and the timing of oocyte activation on mouse cloning using cumulus cell nuclei. Reproduction 122:49-60. Wang F, Kou Z, Zhang Y, Gao S. 2007. Dynamic reprogramming of histone acetylation and methylation in the first cell cycle of cloned mouse embryos. Biol Reprod doi:10.1095/biolreprod.107.063149. Wang MK, Liu JL, Li GP, Lian L, Chen DY. 2001. Sucrose pretreatment for enucleation: an efficient and non-damage method for removing the spindle of the mouse MII oocytes. Mol. Reprod. Dev. 58:432– 436. Wilmut I, Beaujean N, de Sousa PA, et al. 2002. Somatic cell nuclear transfer. Nature 419:583-586.
50
Wobus AM, Boheler KR. 2005. Embryonic stem cells: prospects for developmental biology and cell therapy. Physiol Rev 85:635-678. Yang X, Smith SL, Tian XC, Lewin HA, Renard JP, Wakayama T. 2007. Nuclear reprogramming of cloned embryos and its implications for therapeutic cloning. Nature Genetics 39(3):295-302. Zhao J, Yanhong H, Jason WR, Lee DS, Eric MW, Melissa SS, August R, Clifton NM, Randall SP. 2010. Histone deactylase inhibitors improve in vitro and in vivo developmental competence of somatic cell nuclear transfer porcine embryos. Cloning and Stem Cells 12(1):75-83.
51
LAMPIRAN
52
1. Komposisi larutan stok CZB no.
KOMPONEN
1
NaCl
2
mM
KONSENTRASI (g)
81.62
4.7600
2.3800
0.9520
0.4760
KCl
4.83
0.3600
0.1800
0.0720
0.0360
3
MgSO4.7H2O
1.18
0.2900
0.1450
0.0580
0.0290
4
KH2PO4
1.18
0.1600
0.0800
0.0320
0.0160
5
EDTA.2Na
0.11
0.0400
0.0200
0.0080
0.0040
6
Na-Lactate (60% syrup)-> ml
28.3
5.3000
2.6500
1.0600
0.5300
7
D-Glucose
5.55
8
Penicillin G
0.0500
0.0250
0.0100
0.0050
9
Streptomycin
0.0700
0.0350
0.0140
0.0070
10
Phenol Red (10mg/ml in saline)
0.5000
0.2500
0.1000
0.0500
11
MW
990.0
495.0
198.0
99.0
1000 ml
Total
500ml
200ml
100ml
2. Larutan stok CZB-PVA PVA (g) CZB stock solution (ml)
0.05
0.01
0.005
0.0025
0.001
500
100
50
25
10
2.5
1.25
0.625
0.25
100
50
25
10
2.6667
1.3333
0.6667
0.2667
100
50
25
10
3. Larutan stok kalsium CaCl2.2H2O (g)
170m M
MW (ml)
4. Larutan stok strontium SrCl2.6H2O (g)
100m M
MW (ml)
5. Larutan stok Cytochalasin B Cytochalasin B (mg)
1
DMSO (ml)
1
53
alliquot to @25µl --> !40 tube 5ml
6.
Hyaluronidase stock solution [10x] Hyaluronidase (mg)
30
M2 medium (ml)
10
7. Resep Medium CZB
54
55
8. Resep M2 medium Pembuatan medium dari bahan 1. Masukkan diluent ke powder 2. Kocok pelan-pelan 15" 3. Filter medium menggunakan filter disposibble 0.22µm M2 + Hyaluronidase (M2 + Hy) 1. ambil 9 ml M2 dan alliquot ke 20 vial 1.5ml @450ml 2. masukkan stock 10X Hy ke dalam masing-masing via @50ml 3. simpan M2 + Hy didalam refigrator 4°C M2 + Cytochalasin B + Sucrose (M2 + CB + Su) 1. ambil stock CB 5x (@25µl) --> 2 tube 5ml 2. masukkan 4.975ml M2 ke dalam masing-masing tube 3. tambahkan 0.3g sucrose ke dalam 10ml M2+CB 4. alliquot ke 20 vial @0.5ml M2 + PVP 1. ambil 8.8ml M2 2. masukkan 1.2g PVP ke dalam medium M2 3. Simpan overnight di refrigrator 4°C 4. Alliquot ke 20 vial @ 0.5ml M2 Alliquot ke @1ml
56
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sleman, Jogjakarta pada tanggal 9 Juli 1982, dari pasangan Bapak Drs. R. Mardjoko Muljono dan Ibu Drg. Djauhar Harini. Penulis adalah anak sulung dari tiga bersaudara yang semuanya adalah lakilaki. Gelar sarjana sains (S.Si) diperoleh dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2005. Setelah menempuh pendidikan sarjana, penulis bekerja sebagai Reseach Officer di Kalbe Research Centre (PT Kalbe Farma Tbk.) mulai Mei 2006 dengan proyek riset tentang Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT) yang dikerjakan di Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Hewan (BSJH), Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong. Sejak Desember 2006, penulis bekerja sebagai Research Assistant di Stem Cell and Cancer Institute (SCI) hingga 2010. Mulai tahun 2010 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Research Associate di SCI. Posisi Quality Manager pada Regenic Laboratory (PT. Bifarma Adiluhung) diemban mulai bulan Januari 2013 hingga sekarang. Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan tugas belajar dengan beasiswa dari PT Kalbe Farma Tbk. untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2 pada Program Studi Sains Veteriner (SVT) di Fakultas Kedokteran Hewan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (FKH SPs IPB). Sejak tahun 2008, penulis mengikuti program langsung (alih jenjang) dari S2 ke S3 dengan menempuh pendidikan jenjang doktoral pada Mayor Biologi Reproduksi (BRP) FKH SPs IPB. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjabat sebagai Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana (Forkom WACANA) Mayor Biologi Reproduksi tahun periode 2009$2010. Penulis juga aktif dalam keanggotaan dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) dan Asosiasi Reproduksi Hewan Indonesia (ARHI). Beberapa publikasi dan presentasi selama menjadi mahasiswa adalah sebagai berikut: Murti H, Fahrudin M, Setiadi MA, Setiawan B, Boediono A. Perkembangan Praimplantasi Embrio Mencit dengan Materi Genetik yang Berasal dari Parental, Maternal, dan Inti Sel Somatik. Jurnal Veteriner. 2014;15(1). In Press. Halim D, Murti H, Sandra F, Boediono A, Djuwantono T, Setiawan B. 2010. Stem Cell: Dasar Teori & Aplikasi Klinis. Penerbit Erlangga. Jakarta. Boediono A, Fahrudin M, Murti H. Developing of Embryonic Stem Cells Production by Somatic Cell Nuclear Transfer for Therapeutic Cloning Application: Production and culture of cloned embryo. Presented at IPB Seminar. Bogor, Desember 11, 2012. Boediono A, Matahine T, Murti H. Prospect of embryonic stem cell on developmental study and diagnostic cell. Presented at National Seminar of Animal Reproduction. Bogor, October 6 & 7, 2010.
57
Murti H, Fahrudin M, Boediono A, Setiawan B, Sandra F. Preimplantation development of activated mouse oocytes by treatment with trichostatin A and scriptaid in the activation medium. Presented at The 1st Congress of South East Asia Veterinary School Association. Bogor, July 21, 2010. Murti H, Boediono A, Fahrudin M, Sardjono CT, Setiawan B, Sandra F. Optimation of Activation Methods for Mouse Oocytes Using Calciumfree CZB Medium, SrCl2, and Cytochalasin B In Vitro. Jurnal Kedokteran Maranatha.2009;8:113-20. Sandra F, Murti H, Aini N, Sardjono CT, Setiawan B. Potensi Terapi Sel Punca dalam Dunia Kedokteran dan Permasalahannya. Jurnal Kedokteran Maranatha.2008;8:95-101. Murti H, Fahrudin M, Sardjono CT, Setiawan B, Sandra F. Altered nuclear transfer: improvement of somatic cell nuclear transfer technique to resolve ethical problems. Cermin Dunia Kedokt. 2008; 161:61-3 Murti H, Boediono A, Setiawan B, Sandra F. Regulation of cell cycle: a key success factor of somatic cell nuclear transfer. Cermin Dunia Kedokt. 2007; 34: 312-6