PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT
THOMAS MATA HINE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‘Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik Mencit’ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2009
Thomas Mata Hine NIM B061040021
ABSTRACT THOMAS MATA HINE. Development Cultured Methods of Fertilized Embryo Derived-Stem Cells and their Production from Mouse Parthenogenetic Embryos. Under Direction of ARIEF BOEDIONO, IMAN SUPRIATNA, and DONDIN SAJUTHI. The ability of embryonic stem cells (ESC) to contribute become all cell type of the body draw enthusiasm a lot of researcher to investigate and exploit ESC for various importance. One of the benefits of ESC is for treatment of various degenerative diseases resulted from cell damage or aging at certain tissues or organs of the body. In addition, ESC also applicable for pre-clinical trials new drugs before used for medical treatment for animal and human being. The efficiency of ESC deriving is influenced by some factors that are: stadia of the embryos, culture system, type of feeder layer, and passage method. In this research, we test the growth potential of ESC yielded by embryo at cleavage, morula, and blastocyst stage; culture of ESC from inner cell mass (ICM) of blastocyst isolated by enzymatic or immunosurgery methods at cumulus feeder layer (CFL) or cumulus conditioned medium in combination with leukemia inhibitory factor (LIF), passage of ESC with mechanical or enzymatic method, and furthermore induce of ESC to be differentiated. In addition, we produced parthenogenetic ESC in effort to minimize the ethical and immunogenicity problems resulted from fertilized embryos. Result of the research indicated that embryos at the morula stage can produce ESC, with attachment rate and number of primary ESC colony were lower than blastocyst, but doubling time and outgrowth were higher than the blastocyst, while embryos at the cleavage stage were unable to produce ESC. In the second experiment, isolation of ICM of blastocyst by enzymatic method were able to produce ESC wich was similar with immunosurgery, and was higher than produced by intact blastocyst. At the third experiment, effectiveness of CFL comparable with MEF feeder layer, and the LIF at concentration 10 ng/ml at CFL or 20 ng/ml at CCM were able to improve efficiency of ESC deriving, and the mechanical method for ESC colony passage showed the better results than enzymatic method. In addition, ESC colony culture in CFL or CCM was able to differentiate become cardiomyocyte-like cells and neuron-like cells. In the latest experiment, mouse parthenogenetic embryos could produced ESC with growth potential was lower than derive from fertilized embryos. Keywords: culture methods, fertilized, parthenogenetic, mouse embryos, stem cells
RINGKASAN
THOMAS MATA HINE. Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik Mencit. Dimbimbing oleh ARIEF BOEDIONO, IMAN SUPRIATNA, dan DONDIN SAJUTHI. Embryonic stem cells (ESC) adalah sel-sel yang dihasilkan dari kultur sel embrio pra-implantasi, yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi semua tipe sel yang menyusun jaringan tubuh suatu organisme seperti sel syaraf, sel pankreas, sel ginjal, sel hati, sel darah, sel tulang, dan sebagainya. Dengan kemampuan seperti ini, ESC dapat digunakan untuk terapi berbagai penyakit degeneratif atau penyakit lainnya yang diakibatkan oleh adanya kerusakan atau penuaan sel pada suatu jaringan atau organ tubuh tertentu. Selain itu, ESC juga dapat digunakan untuk pengujian obat baru sebelum digunakan untuk pengobatan pada hewan dan manusia. Ada beberapa masalah yang timbul dalam produksi ESC: 1) umumnya ESC diproduksi dari inner cell mass (ICM) blastosis yang memiliki potensi diferensiasi yang lebih terbatas dibandingkan dengan embrio pada stadium cleavage dan morula. 2) ESC selama ini diproduksi dari kultur blastosis utuh atau kultur ICM hasil isolasi dengan metode immunosurgery. Kultur blastosis utuh menghasilkan tingkat pertumbuhan koloni ESC yang rendah sedangkan metode immunosurgery memiliki harga bahan yang mahal, 3) mouse embryonic fibroblast (MEF) feeder layer yang umumnya digunakan untuk kultur ESC sangat sensitif terhadap kontaminasi dengan bakteri atau jamur, dan metode produksinya relatif rumit, 4) ESC yang diproduksi dari embrio hasil fertilisasi memiliki tingkat imunogenitas yang tinggi dan berdampak pada tingginya resiko penolakan oleh jaringan pasien pada saat terapi, dan menimbulkan masalah etika karena diproduksi dari embrio yang berpotensi untuk menghasilkan individu baru. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka dalam penelitian ini, ESC diproduksi dari embrio yang berada pada stadium cleavage dan morula, isolasi ICM dengan metode enzimatik, kultur ESC pada feeder layer kumulus (CFL) atau conditioned medium cumulus (CCM), dan produksi ESC dari embrio partenogenetik. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengukur kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan oleh embrio pada stadium cleavage, morula dan blastosis, 2) mengembangkan metode isolasi ICM blastosis yang lebih murah dan sederhana untuk produksi ESC, 3) menemukan feeder layer dan conditioned medium alternatif untuk kultur ESC, 4) mengetahui profil pertumbuhan ESC partenogenetik. Kegiatan penelitian diawali dengan produksi sel kumulus dari mencit DDY betina, pembuatan CFL, CCM, identifikasi protein pada CCM dengan Sodium Dedocyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE), dan pembuatan MEF feeder layer. Kegiatan selanjutnya adalah superovulasi mencit betina DDY umur 2 hingga 4 bulan dengan pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hCG), perkawinan dengan mencit jantan dengan perbandingan 1:1, koleksi embrio yang berada pada stadium cleavage, morula dan blastosis, isolasi ICM blastosis dengan metode enzimatik atau immunosurgery, kultur ESC pada MEF feeder layer,
CFL atau CCM baik secara tunggal maupun kombinasi dengan leukemia inhibitory factor (LIF), pasase koloni ESC dengan metode mekanis atau enzimatik, uji pluripotensi dengan pewarnaan alkaline phosphatase (ALP), dan induksi diferensiasi ESC dengan melakukan perpanjangan masa kultur dalam ESC medium yang tidak disuplementasi dengan LIF. Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio stadium morula dapat menghasilkan ESC, dengan attachment rate dan tingkat pembentukan koloni primer yang lebih rendah, tetapi doubling time dan outgrowth yang lebih tinggi daripada blastosis; sedangkan embrio stadium cleavage tidak mampu menghasilkan ESC. Pada tahap kedua, isolasi ICM blastosis dengan metode enzimatik mampu menghasilkan \produksi ESC yang setara dengan immunosurgery, dan lebih tinggi dari yang dihasilkan kultur blastosis utuh. Tahap ketiga, efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer pada kultur ESC mencit sebanding dengan mouse embryonic fibroblast (MEF) feeder layer, dan peningkatan konsentrasi LIF hingga 10 ng/ml pada CFL atau 20 ng/ml pada CCM mampu meningkatkan keberhasilan kultur ESC. Passage terhadap koloni ESC yang terbentuk paling baik dilakukan dengan metode mekanis. Selain itu, ESC hasil kultur pada CFL atau CCM berdiferensiasi menjadi cardiomyocyte-like cells dan neuron-like cells. Tahap keempat, embrio partenogenetik mencit dapat menghasilkan ESC dengan kemampuan tumbuh yang lebih rendah dari yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi. Kata Kunci: metode kultur, fertilisasi, partenogenetik, embrio mencit, embryonic stem cells
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT
THOMAS MATA HINE
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup
:
1. Dr. drh. Ita Djuwita, M.Phil
2. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, Ph.D
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka
:
1. dr. Triono Soendoro, Ph.D
2. Dr. drh. M. Agus Setiadi
Judul Disertasi
: Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik Mencit
Nama
: Thomas Mata Hine
NIM
: B061040021
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D Ketua
Prof. Dr. drh. Iman Supriatna
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D
Anggota
Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. drh. Iman Supriatna
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 9 Oktober 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Limpahan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang di dalam Kristus Yesus, Tuhan dan Juruselamat umat
manusia
telah
menyatakan
kasihNya
melalui
penyertaan
dan
pemeliharaanNya selama penulis menyelesaikan studi Doktoral di Institut Pertanian Bogor. Tema penelitian ini adalah embryonic stem cells, yang dilaksanakan dalam kurun waktu lebih kurang 4 tahun, sejak Agustus 2005 hingga Juli 2009. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. `drh. Arief Boediono, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. drh. Iman Supriatna dan Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh ketulusan memberi arahan dan masukan selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere, M.Sc (Alm.) yang walaupun proses pembimbingan tidak berlanjut namun segala arahan yang pernah disampaikan sangat berarti bagi penulis didalam berkarya di masa mendatang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. drh. Ita Djuwita, M.Phil dan drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, dr. Triono Soendoro, Ph.D dan Dr. drh. M. Agus Setiadi, selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, atas segala masukan yang sangat bermanfaat untuk menyempurnakan tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor, Dekan sekolah Pascasarjana, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Ketua Departemen KRP, Ketua Program Studi, staf pengajar dan staf administrasi Biologi Reproduksi, serta seluruh staf Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di IPB serta membantu kelancaran proses penyelesaian studi penulis. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan Fakultas Perternakan Universitas Nusa Cendana yang telah memberikan ijin studi, dan Pemda Propinsi NTT, Dirjen Dikti, dan PT Kalbe Farma, Tbk. atas dukungan finansial dalam rangka penyelesaian studi penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drh. Ita Djuwita, M. Phil, sebagai Kepala Laboratorium Embriologi dan Kepala Laboratorium PSSP yang telah memberi ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menggunakan berbagai
fasilitas
yang
ada
di
kedua
laboratorium
tersebut,
kepada
drh. Kusdiantoro Muhammad, drh. Wahono Esti Prasetyaningtias, M.Si, drh. Mokhamad Fahrudin, Ph.D, Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S, Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, atas dukungan dan bantuan dalam bentuk informasi ilmiah yang diterima penulis selama studi di Bogor. Kepada rekan-rekan senior, Dr. Ir. Wilmientje Marlene Nalley, MS, Dr. Ir. Henny Belli, MS, dan Dr. Ir. Maritje Hilakore, M.Si, atas segala dukungan dan bantuannya. Kepada rekan-rekan saya, Bayu Rosadi, S.Pt, M.Si, Enny T. Setiatin, Raden Harry Murti S.Si, Riris Lindiawati Puspitasari, S.Si, M.Si, Dini Budiharko, S.Si, Dwi Agustina, S.Si, Nuril Farizah, S.Pi, M.Si, Sigit prastowo, S.Pt, M.Si, Ir. Satya Gunawan, MP, Dra. Ekayanti, M.Si, Tatan Kastaman, S.Si, MP, Dr. drh. I Wayan Batan, MS, dan Irma Andriani, S.Pi, M.Si, serta semua
rekan-rekan
mahasiswa Biologi reproduksi atas hubungan baik dan kerjasamanya selama studi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua rekan-rekan asal NTT, Ir. Yohanes U.L. Sobang, M.Si, Ir. Maria Kondi, MP,
Ir. Dodi Dharma
Kusuma dan Ibu, Ir. Kirenius Uly, MP, atas dukungan yang diberikan selama ini. Kepada Wili Praira S.Si, Mas Wahyu dan Ibu Yani atas segala kebaikan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian di Lab Embriologi dan Laboratorium PSSP. Akhirnya, karya ini dipersembahkan kepada isteri saya Erni Julita, dan anak-anak saya Eirens Josua, Angel, Kerin Jeanita, dan Kezia Evangeline, yang dengan penuh pengertian mendukung penulis melalui doa dan pengorbanan yang begitu besar. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua saya (almarhum) yang telah membesarkan dan mendidik saya hingga berhasil, kepada kedua mertua, kakak, adik, dan saudara-saudara atas dukungan moril yang diberikan.
Bogor, Agustus 2009 Thomas Mata Hine
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di salah satu pulau kecil yang berada di bagian terselatan Indonesia, Pulau Sawu, pada tanggal 5 Mei tahun 1966, dari kedua orang tua Mira Kale dan Tamar Diana Lobo. Pendidikan Dasar dan Menengah Pertama ditempuh di Pulau sawu, dan selanjutnya meneruskan pendidikan Tingkat Menengah Atas di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1991, pada Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana dan pada tahun 1992, penulis diterima sebagai staf pengajar pada Fakultas yang sama. Tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Biologi Reproduksi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan selesai pada awal tahun 1997. Pendidikan doktoral penulis jalani sejak tahun 2004 hingga saat ini. Beberapa karya yang dipublikasikan melalui jurnal atau seminar ilmiah selama pendidikan di Bogor adalah: 1. Matahine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A.2008. Produksi embryonic stem cells dari inner cell mass blastosis yang diisolasi dengan metode enzimatik dan immunosurgery. Jurnal Veteriner 9:13-19 2. Matahine T, Boediono A, Supriatna I, Sajuthi D. 2008. Metode isolasi inner cells mass pada produksi embryonic stem cells. Seminar Nasional Persatuan Ahli Anatomi Indonesia (PAAI). Jakarta, 20-21 Juni 2008. pp 90 (abstr). 3. Matahine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A.2007. Produksi embryonic stem cells dari blastosis mencit pada stadium yang berbeda. Seminar Nasional XIII PERSADA, 9 Agustus 2007, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. 4. Matahine T, Boediono A. 2006. Peluang dan tantangan penggunaan stem cells untuk terapi regeneratif. Jurnal Medis Veteriner Indonesia 10(1):31-38. 5. Matahine T. 2005. Kemajuan kriopreservasi dan pendekatan seluler pada embrio hewan domestik. Jurnal IMPASJA 1 :70-86.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL
.............................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR
.............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN
.............................................................................
xvi
DAFTAR SINGKATAN
.............................................................................
xvii
PENDAHULUAN
.............................................................................
1
Latar Belakang Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Daftar Pustaka
.................................................................... .................................................................... .................................................................... .................................................................... .................................................................... ....................................................................
1 1 4 4 4 4
.............................................................................
8
Perkembangan Embrionik Praimplantasi pada Mencit ..................... Embrio Partenogenetik ..................................................................... Embryonic Stem Cells ...................................................................... Isolasi Inner Cell Mass ..................................................................... Feeder Layer .................................................................................... Sel Kumulus ..................................................................................... Daftar Pustaka ..................................................................................
8 9 12 16 17 18 19
KEMAMPUAN TUMBUH STEM CELLS MENCIT YANG DIPRODUKSI DARI EMBRIO STADIUM CLEAVAGE, MORULA, DAN BLASTOSIS.........
26
Abstrak ............................................................................................ Abstract ............................................................................................ Pendahuluan .................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................. Hasil dan Pembahasan Kesimpulan ....................................................................................... Daftar Pusataka ................................................................................
26 26 27 27 29 36 37
TINJAUAN PUSTAKA
xii
Halaman PRODUKSI EMBRYONIC STEM CELLS DARI INNER CELL MASS BLASTOSIS YANG DIISOLASI DENGAN METODE ENZIMATIK ..............
40
Abstrak ............................................................................................ Abstract ............................................................................................ Pendahuluan .................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................. Hasil dan Pembahasan Kesimpulan ....................................................................................... Daftar Pusataka ................................................................................
40 40 41 42 43 48 48
EFEKTIVITAS FEEDER LAYER DAN CONDITIONED MEDIUM KUMULUS DALAM MENUNJANG PROLIFERASI DAN PLURIPOTENSI EMBRYONIC STEM CELLS ........................................................................
51
Abstrak ............................................................................................ Abstract ............................................................................................ Pendahuluan .................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................. Hasil dan Pembahasan Kesimpulan ....................................................................................... Daftar Pusataka ................................................................................
51 51 52 53 58 76 77
PRODUKSI EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO PARTENOGENETIK ....................................................................................
83
Abstrak ............................................................................................ Abstract ............................................................................................ Pendahuluan .................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................. Hasil dan Pembahasan Kesimpulan ....................................................................................... Daftar Pusataka ................................................................................
83 83 84 85 86 98 98
PEMBAHASAN UMUM ................................................................................ KESIMPULAN DAN SARAN UMUM ............................................................ DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................
103 110 111 113
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Profil perkembangan embryonic stem cells yang dihasilkan dari embrio pada stadium berbeda ...............................................................
29
Profil perkembangan embryonic stem cell pasca isolasi ICM dengan metode berbeda.....................................................................................
46
3.
Proliferasi dan Pluripotensi ESC yang dikultur pada CFL dan MEF ......
60
4.
Proliferasi dan pluripotensi ESC yang dikultur pada CFL dan CCM dengan konsentrasi LIF berbeda...........................................................
65
5.
Pengaruh metode passage terhadap proliferasi dan pluripotensi ESC..
72
6.
Induksi diferensiasi spontan pada ESC yang dikultur pada CFL dan CCM ......................................................................................................
75
Tingkat aktivasi, diploidisasi, dan potensi perkembangan embrio partenogenetik pasca aktivasi dengan strontium chloride dan etanol ..
88
Tingkat perkembangan embrio partenogenetik yang dikultur pada KSOM dan CZB .....................................................................................
92
Profil perkembangan embryonic stem cell partenogenetik.....................
96
2.
7. 8. 9.
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. . Embrio stadium cleavage, morula, blastosis dan blastosis ekspan.....
30
2.
Perkembangan ESC yang dihasilkan oleh morula dan blastosis .......
32
3.
Blastosis pada berbagai stadium yang dikoleksi pada hari keempat kebuntingan .........................................................................................
44
4.
Proses isolasi ICM dengan metode immunosurgery dan enzimatik ....
45
5.
Proses isolasi ICM untuk kultur pada CFL dan CCM...........................
58
6.
CFL dan MEF feeder layer yang digunakan untuk kultur ESC .........
59
7.
Perkembangan ESC dalam kultur .......................................................
59
8.
Koloni embryonic stem cells yang positif terhadap pewarnaan alkaline phosphatase ........................................................................................
61
9.
SDS-PAGE pada conditoned medium kumulus..................................
67
10.
Pasase ESC dengan metode mekanis ..............................................
70
11.
ESC line yang terbentuk setelah pasase kelima ...............................
71
12.
Embryoid body .....................................................................................
74
13.
Cardiomyocyte-like cells yang berasal dari ESC dan sel jantung dewasa ................................................................................................
74
14.
Neuron-like cell yang dihasilkan dari ESC ..........................................
74
15.
Perkembangan oosit sebelum dan setelah aktivasi partenogenesis ...
87
16.
Perkembangan embrio partenogenetik dalam kultur in vitro ...............
93
17.
Pewarnaan Hoechst-Propidium Iodide pada embrio partenogenetik sebelum dan setelah immunosurgery ..................................................
18. 19.
Inner cell mass yang dihasilkan dari blastosis hasil fertilisasi dan partenogenetik ..................................................................................... Koloni ESC partenogenetik dan ESC dari embrio fertilisasi sebelum dan setelah pewarnaan alkaline phosphatase ....................................
94 95 95
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. . Medium Kultur Embryonic Stem Cells .................................................
114
2.
Medium Kultur Feeder Layer ...............................................................
116
3.
Medium Immunosurgery ......................................................................
117
4.
Medium Inaktivasi Feeder Layer .........................................................
118
5.
Alkaline Phosphatase Staining ............................................................
119
6.
Chatot, Ziomex, Bavister Medium .......................................................
121
7.
Pembuatan Medium Kultur, Aktivasi, dan Diploidisasi Embrio Partenogenetik ....................................................................................
122
8.
Potassium Simplex Optimization Medium ...........................................
123
9.
Dulbecc’os Phosphate Buffered Saline ...............................................
124
xvi
DAFTAR SINGKATAN
6-DMAP
:
6-dimethylaminopurine
ActRIB, ALK4
:
reseptor activin tipe I
ActRII
:
reseptor activin tipe II
ALK
:
activin receptor-like kinase
ALP
:
alkaline phosphatase
ANOVA
:
analysis of variance
APC
:
adeomatosis polyposis coli
AR
:
tingkat perlekatan
BMP
:
bone morphogenic protein
CCM
:
conditioned medium kumulus
CFL
:
feeder layer kumulus
CKI
:
casein kinase I
CM
conditioned medium
CSF
cytostatic factor
CZB
:
DG
chatot, Ziomex, and Bavister diacylglycerol
DMEM
:
dulbecco’s modified eagle’s medium
Dsh
:
dishevelled
DT
:
doubling time
Ebs
:
embryoid bodies
EDTA
:
ethylene diamine tetraacetic acid
EGF
epidermal growth factor
ERK
:
extracellular signal-regulated kinase
ESC
:
embryonic stem cells
FBS
:
fetal bovine serum
FGF
fibroblast growth factor
GDF
:
growth differentiation factor
GR
:
tingkat pertumbuhan koloni
GSK3β
glycogen synthase kinase-3β
hCG
:
human chorionic gonadotropin
ICM
:
inner cell mass
IGF
insulin-like growth factor
IP3
inositol 3-phosphate xvii
JAK
:
janus-associated tyrosine kinase
KSOM
:
potassium simplex optimization medium
LEF
:
lymphoid enhancer factor
LIF
leukemia inhibitory factor
MEF
:
mouse embryonic fibroblast
MHC
:
major histocompatibility complex
mPBS
modified phosphate buffered saline
MPF
M-phase promoting factor
NEAA
:
nonessential amino acid
Oct-4
:
octamer-binding transcription factor-4
PC
:
tingkat pembentukan koloni primer
PDK-1
:
phosphor-inositide-dependent kinase-1
PI3K
:
phospho-inositide 3-kinase
PIP2
:
phosphatidylinositol 3,4,-bisphosphate
PIP3
:
phosphatidylinositol 3,4,5-triphosphate
PKC
protein kinase C
PLC
phospholipase C
PMSG
:
pregnant mare’s serum gonadotropin
RAL
:
rancangan acak lengkap
REF
:
rat embryonic fibroblast
SDS-PAGE
:
sodium dedocyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis
SMAD
:
Sma and MAD (mothers agains decapentaplegic) related protein
SSEA-1
:
stage specific embryonic antigen 1
STAT
:
signal transducer dan activator of transcription
TCF
:
T cell factor
TGF-β
:
transforming growth factor-β
WFL
:
tanpa feeder layer
xviii
PENDAHULUAN Latar Belakang Embryonic stem cells (ESC) adalah sel-sel yang dihasilkan dari kultur sel embrio pra-implantasi, yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi semua tipe sel yang menyusun jaringan tubuh suatu organisme (Lin 2008). Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa ESC dapat diarahkan menjadi sel syaraf (Ban et al. 2007, Gossrau et al. 2007, Elkabetz et al. 2008, Erceg et al. 2009), sel pankreas (Roche et al. 2005), sel jantung (Guo et al. 2006, Hong et al. 2007), sel ginjal (Kim & Dressler 2005), sel hati (Agarwal et al. 2008, Snykers et al. 2009), sel darah (Rajesh et al. 2007, Ma et al. 2008), sel tulang (Karp et al. 2006, Duplomb et al. 2007) dan sebagainya. Beberapa tahun terakhir banyak penelitian telah difokuskan pada penggunaan ESC untuk terapi penyakit degeneratif (Dang et al. 2004). Kepentingan medis dan ilmiah dari ESC didasarkan pada keinginan untuk menemukan sumber sel baru sebagai upaya memperbaharui jaringan atau organ yang rusak (Doss et al. 2004). Beberapa penyakit yang telah terbukti dapat disembuhkan dengan terapi ESC pada mencit dan hewan laboratorium lainnya diantaranya adalah penyakit Parkinson (Nishimura et al. 2003, Rodriguez-Gomez et al. 2007, Yang et al. 2008), lever (Sukhikh & Shtil 2003, Brezillon et al. 2008), diabetes (Soria et al. 2000, Sameer et al. 2006), spinal cord injury (McDonald et al. 1999), jantung (Behfar et al. 2007), dan Alzheimer (Doss et al. 2004, Feng et al. 2009). Selain itu, ESC juga dapat digunakan untuk uji berbagai obat baru sebelum digunakan untuk menyembuhkan penyakit pada hewan dan manusia (Yu & Thomson 2006). Kerangka Pemikiran Sejumlah faktor diperkirakan berpengaruh terhadap keberhasilan kultur ESC. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah stadium perkembangan embrio yang digunakan untuk menghasilkan ESC, sistem kultur, jenis feeder layer (Park et al. 2004), dan metode perbanyakan ESC. Umumnya ESC diproduksi dari inner cell mass (ICM) blastosis (Rossant 2001, Cowan et al. 2004, Stojkovic et al. 2004, Tielens et al. 2006) yang memiliki potensi diferensiasi yang lebih terbatas dibandingkan dengan embrio pada stadium pra-blastosis (cleavage dan morula). Beberapa penelitian sebelumnya telah berhasil memproduksi ESC dari embrio
2
stadium pra-blastosis dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi (Delhaise et al. 1996, Tesar 2005). Bagaimanapun informasi tentang kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan embrio pra-blastosis khususnya yang berada pada stadium cleavage dan morula masih sangat terbatas. Faktor kedua adalah sistem kultur ESC yang digunakan. Hasil eksperimen sebelumnya menunjukkan bahwa kultur blastosis utuh menghasilkan ESC dengan tingkat pertumbuhan koloni dan doubling time yang lebih buruk daripada yang dihasilkan embrio stadium morula. Keberadaan sel trofoblas dalam kultur ESC diduga sebagai penyebab utama hal tersebut (Li et al. 2003). Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, beberapa peneliti sebelumnya melakukan isolasi atau pemisahan ICM dari sel-sel trofoblas dengan metode immunosurgery (Cowan et al. 2004).
Walaupun demikian,
antiserum dan
complement yang digunakan pada metode tersebut memiliki harga yang mahal dan proses isolasi lebih lama. Selain itu, penggunaan antiserum dalam proses isolasi immunosurgery tidak selalu efektif untuk melisiskan trofoblas.
Dalam
penelitian ini, digunakan tripsin untuk isolasi ICM. Metode ini baru dilaporkan penggunaannya untuk isolasi ICM babi (Li et al. 2003) dan belum pernah dilaporkan pada spesies lainnya termasuk pada mencit. Metode ini selain memiliki harga bahan yang relatif murah, proses isolasi juga berlangsung dalam jangka waktu yang relatif pendek. Faktor ketiga adalah jenis sel yang digunakan sebagai feeder layer pada kultur ESC. Feeder layer yang umum digunakan adalah mouse embryonic fibroblast (MEF) (Thomson et al. 1998, Reubinoff et al. 2000). Penggunaan MEF untuk kultur ESC memiliki kelemahan yaitu metode produksinya relatif rumit dan sangat sensitif terhadap kontaminasi dengan bakteri atau jamur terutama selama proses awal pembuatan feeder layer. Selain itu, penggunaan MEF pada kultur ESC manusia menimbulkan masalah etika karena terjadinya pencampuran sel hewan dengan manusia. Dalam penelitian ini, telah digunakan sel kumulus sebagai feeder layer untuk kultur ESC mencit. Sel kumulus adalah sel yang menyertai
oosit
pada
saat
ovulasi
dan
berperan
dalam
menunjang
perkembangan dan pematangan oosit (Eppig et al. 2005). Feeder layer kumulus (cumulus feeder layer, CFL) telah terbukti dapat menunjang perkembangan embrio praimplantasi (Malekshah & Moghaddam 2005). Selain itu, sel kumulus juga mengandung berbagai growth factor yang berperan dalam mempertahankan proliferasi dan pluripotensi ESC (Memili et al. 2007). Untuk mengoptimalkan
3
dayaguna sel kumulus maka dalam penelitian ini juga dilakukan produksi conditioned medium kumulus (cumulus conditioned medium, CCM), yakni cairan (supernatan) yang dikoleksi dari kultur CFL setelah inkubasi selama periode waktu tertentu. Kelebihan penggunaan CCM adalah tidak terjadi percampuran antara ESC dengan feeder layer sehingga tingkat kemurnian ESC dapat dipertahankan. Masalah lain yang timbul dalam produksi dan pemanfaatan ESC adalah masalah etika, dan penolakan oleh jaringan pasien pada saat transplantasi. Embryonic stem cells yang umumnya dihasilkan dari embrio hasil fertilisasi oosit dengan sperma, memiliki tingkat imunogenitas yang tinggi dan berdampak pada tingginya resiko penolakan oleh jaringan atau organ pasien pada saat terapi. Selain itu, penggunaan embrio hasil fertilisasi sebagai sumber ESC menimbulkan masalah etika (khususnya pada manusia) karena dihasilkan dari embrio yang berpotensi menjadi individu baru (de Wert & Mummery 2003). Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, maka dalam penelitian ini, ESC diproduksi dari embrio partenogenetik, yang merupakan hasil aktivasi oosit dengan bahan kimia tertentu (Boediono et al. 1995, Ito et al. 2003), dan tidak melibatkan sperma dalam proses aktivasi. Dampak dari proses aktivasi tersebut adalah embrio yang dihasilkan hanya memiliki kemampuan tumbuh hingga awal atau pertengahan kebuntingan dan pada mamalia belum pernah terjadi kelahiran secara alamiah. Dengan demikian, penggunaan embrio partenogenetik sebagai sumber ESC akan meminimalisir atau menghilangkan masalah etika yang ditimbulkan oleh embrio hasil fertilisasi. Selain itu, ESC yang dihasilkan oleh embrio partenogenetik hanya mengandung satu set major histocompatibility complex (MHC) sehingga memiliki tingkat imunogenitas yang rendah (Lin et al. 2003). Penelitian tentang ESC partenogenetik masih relatif sedikit dan hasilnya masih sangat rendah dan tidak konsisten antar penelitian (Lin et al. 2003, Lee et al. 2007).
4
Tujuan Penelitian 1. Mengukur kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan oleh embrio pada stadium cleavage, morula dan blastosis. 2. Mengembangkan metode isolasi ICM blastosis yang lebih murah dan sederhana untuk produksi ESC. 3. Menemukan feeder layer dan conditioned medium alternatif untuk kultur ESC 4. Mengetahui profil pertumbuhan ESC partenogenetik Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan metode kultur ESC yang lebih efisien dan sebagai alternatif produksi ESC dari embrio partenogenetik. Hipotesis 1.
Kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan embrio stadium cleavage dan morula lebih baik dari blastosis.
2.
Metode isolasi enzimatik dapat dijadikan sebagai metode untuk pemisahan ICM untuk produksi ESC.
3.
Sel kumulus dapat digunakan sebagai feeder layer dan penghasil conditioned medium untuk kultur ESC.
4.
Profil pertumbuhan ESC yang dihasilkan embrio partenogenetik tidak berbeda dengan yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.
DAFTAR PUSTAKA Agarwal S, Holton KL, Lanza R. 2008. Efficient differentiation of functional hepatocytes from human embryonic stem cells. Stem Cells 26:1117-1127. Ban J et al. 2007. Embryonic stem cell-derived neurons form functional networks in vitro. Stem Cells 25:738 –749. Behfar A et al. 2007. Cardiopoietic programming of embryonic stem cells for tumor-free heart repair. J Exp Med 204:405-420. Brezillon N, Kremsdorf D, Weiss MC. 2008. Cell therapy for the diseased liver: from stem cell biology to novel models for hepatotropic human pathogens. Disease Models & Mechanisms 1:113-130.
5
Boediono A, Saha S, Sumantri C, Suzuki T.1995. Development in vitro and in vivo of aggregated parthenogenetic bovine embryos. Reprod Fertil Dev 7:1073-1079. Cowan A et al. 2004. Derivation of embryonic stem-cell lines from human blastocysts. N Engl J Med 350:1353-1356. Dang SM, Gerecht-Nir S, Chen J, Itskovitz-Eldor J, Zandstra PW. 2004. Controlled, scalable embryonic stem cell differentiation culture. Stem Cells 22:275-282 Delhaise F, Bralion V, Schuurbiers N, Dessy F. 1996. Establishment of an embryonic stem cell line from 8-cell stage mouse embryos. Eur J Morph 34:237 (Abstr) de Wert G, Mummery C. 2003. Human embryonic stem cells: research, ethics and policy. Hum Reprod 18:672-682. Doss MX, Koehler CI, Gissel C, Hescheler J, Sachinidis A. 2004. Embryonic stem cells: a promising tool for cell replacement therapy. J Cell Mol Med 8: 465473. Duplomb L, Dagouassat M, Jourdon P, Heymann D. 2007. Concise review: embryonic stem cells: a new tool to study osteoblast and osteoclast differentiation. Stem Cells 25:544-552. Elkabetz Y et al. 2008. Human ES cell-derived neural rosettes reveal a functionally distinct early neural stem cell stage. Genes & Development 22:152–165. Eppig JJ, Pendola FL, Wigglesworth K, Pendola JK. 2005. Mouse oocytes regulate metabolic cooperativity between granulosa cells and oocytes: amino acid transport. Biol Reprod 73:351-357. Erceg S, Ronaghi M, Stojkovi´c M. 2009. Human embryonic stem cell differentiation toward regional specific neural precursors. Stem Cells 27:78–87. Feng Z, Zhao G, Yu L. 2009. Neural stem cells and Alzheimer’s disease: challenges and hope. American Journal of Alzheimer’s Disease & Other Dementias 24:52-57. Gossrau G, Thiele J, Konang R, Schmandt T, Br¨Ustle U. 2007. Bone morphogenetic protein-mediated modulation of lineage diversification during neural differentiation of embryonic stem cells. Stem Cells 25:939949. Guo X-M et al. 2006. Creation of engineered cardiac tissue in vitro from mouse embryonic stem cells. Circulation 113:2229-2237. Hong S et al. 2007. Development of efficient cardiac differentiation method of mouse embryonic stem cells. Key Engineering Materials 342: 25-28.
6
Ito J, Shimada M, Terada T. 2003. Effect of protein kinase C activator on mitogen-activated protein kinase and p34cdc2 kinase activity during parthenogenetic activation of porcine oocyte by calcium ionophore. Biol Reprod 69:1675-1682. Karp JM et al. 2006. Cultivation of human embryonic stem cells without the embryoid body step enhances osteogenesis in vitro. Stem Cells 24:835843. Kim D, Dressler GR. 2005. Nephrogenic factors promote differentiation of mouse embryonic stem cells into renal epithelia. J Am Soc Nephrol 16: 35273534. Lee ST et al. 2007. Establishment of autologous embryonic stem cells derived from preantral follicle culture and oocyte parthenogenesis. Fertil Steril 88:1193 (Abstr). Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine blastocysts. Mol Reprod Dev 65:429-434. Lin H. 2008. Cell biology of stem cells: an enigma of asymmetry and self-renewal. The Journal of Cell Biology 180:257-260 Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21:152-161. Ma F et al. 2008. Generation of functional erythrocytes from human embryonic stem cell-derived definitive hematopoiesis. Proc Natl Acad Sci USA 105:13087-13092. Malekshah AK, Moghaddam AE. 2005. Follicular fluid and cumulus cells synergistically improve mouse early embryo development in vitro. J Reprod Dev 51:195-199. McDonald JW et al. 1999. Transplanted embryonic stem cells survive, differentiate and promote recovery in injured rat spinal cord. Nature Med 5:1410-1412. Memili E et al. 2007. Bovine germinal vesicle oocyte and cumulus cell proteomics. Reproduction 133:1107-1120. Nishimura F et al. 2003. Potential use of embryonic stem cells for the treatment of mouse parkinsonian models: improved behavior by transplantation of in vitro differentiated dopaminergic neurons from embryonic stem cells. Stem Cells 21:171-180. Park S-P et al. 2004. Establishment of human embryonic stem cell lines from frozen-thawed blastocysts using STO cell feeder layers. Hum Reprod 19: 676-684. Rajesh D et al. 2007. Differential requirements for hematopoietic commitment between human and rhesus embryonic stem cells. Stem Cells 25:490499.
7
Reubinoff BE et al. 2000. Embryonic stem cell lines from human blastocysts: somatic differentiation in vitro. Nat Biotech 18:399-404. Roche E, Sepulcre P, Reig JA, Santana A, Soria B. 2005. Ectodermal commitment of insulin-producing cells derived from mouse embryonic stem cells. The FASEB Journal 19:1341-1343. Rodriguez-Gomez et al. 2007. Persistent dopamine functions of neurons derived from embryonic Stem cells in a rodent model of parkinson disease. Stem Cells 25:918-928. Rossant J. 2001. Stem cells from the mammalian blastocyst. Stem Cells 19:477482. Sameer M, Balasubramanyam M, Mohan V. 2006. Stem cells and diabetes. Current Science 91:1158-1165. Snykers S, Kock JD, Rogiers V, Vanhaecke T. 2009. In vitro differentiation of embryonic and adult stem cells into hepatocytes: state of the art. Stem Cells 27:577–605 Soria B et al. 2000. Insulin-secreting cells derived from embryonic stem cells normalize glycemia in streptozotocin-induced diabetic mice. Diabetes 49:157-162. Stojkovic M et al. 2004. Derivation of human embryonic stem cells from day-8 blastocysts recovered after three-step in vitro culture. Stem Cells 22:790– 797. Sukhikh GT, Shtil AA. 2003. Stem cell transplantation for treatment of liver deseases: from biological foundation to clinical experience. International J molecular Medicine 11:395-400. Tesar PJ. 2005. Derivation of germ-line-competent embryonic stem cell lines from preblastocyst mouse embryos. Proc Natl Acad Sci USA 102:82398244. Thomson JA et al. 1998. Embryonic stem cell line from human blastocysts. Science 282:1145-1147. Tielens S et al. 2006. Generation of embryonic stem cell lines from mouse blastocysts developed in vivo and in vitro: relation to Oct-4 expression. Reproduction 132: 59–66. Yang D, Zhang Z-J, Oldenburg M, Ayala M, Zhang S-C. 2008. Human embryonic stem cell-derived dopaminergic neurons reverse functional deficit in parkinsonian rats. Stem Cells 26:55–63. Yu J, Thomson JA. 2006. Embryonic stem cells. In: Regenerative medicine. Terese Winslow. p:1-12.
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Embrionik Praimplantasi pada Mencit Sebelum terjadi pembuahan, oosit akan membelah secara meiosis dan mengalami pematangan dalam folikel ovarium hingga ia mencapai stadium metafase II. Pada saat tersebut, folikel akan melepas oosit kedalam saluran telur. Oosit matang merupakan sel haploid yang mengandung setengah jumlah kromosom, yang dikelilingi oleh matriks ektraseluler dan glikoprotein yang disebut zona pelusida. Jika terjadi perkawinan, oosit yang terdapat dalam saluran telur akan dibuahi oleh sperma, dimana terjadi fusi antara pronukleus sperma dengan
pronukleus oosit, dan mengembalikan jumlah kromosom yang khas
untuk setiap spesies. Pada kondisi alamiah, proses pembuahan terjadi di dalam ampula saluran telur. Setelah mengalami beberapa proses pembelahan, genome zigot menjadi aktif dan mengontrol perkembangan embrionik selanjutnya (Jones & Thomson 2000). Selama proses pembelahan awal, sel-sel anak (blastomer) tidak mengalami pertambahan ukuran. Seiring dengan kemajuan pembelahan sel (cleavage), jumlah sitoplasma dari setiap sel anak berkurang setengahnya, dan total volume embrio tetap tidak berubah (Pelton et al. 1998). Pada stadium delapan sel, embrio mencit mulai mengalami kompaksi, dimana terdapat gap junction antar sel. Struktur membran yang spesial ini terdiri atas suatu susunan enam molekul protein yang disebut connexins, yang membentuk pori yang memungkinkan pertukaran ion dan molekul-molekul kecil antar sel (Johnson et al. 1986). Proses pembelahan terus berlanjut dan menghasilkan morula. Selanjutnya diantara sel-sel morula akan terbentuk rongga yang berisi cairan yang disebut blastosul, dan embrio pada stadium ini disebut blastosis (Beddington & Robertson 1999). Blastosis tersusun oleh dua tipe sel yaitu trofoblas yang terdapat pada bagian luar dan ICM pada bagian dalam. Pada perkembangan selanjutnya, ICM akan berkembang menjadi semua tipe sel yang menyusun jaringan tubuh embrio, dan juga jaringan nontrofoblas yang menunjang perkembangan embrio (jaringan ekstraembrionik, termasuk kantung kuning telur, allantois dan amnion), sedangkan trofoblas akan berkembang menjadi plasenta (Jones & Thomson 2000, Johnson & McConnell 2004). Oleh karena itu, trofoblas sangat penting untuk implantasi dan menunjang daya hidup dan pertumbuhan embrio di dalam uterus. Gangguan perkembangan plasenta menyebabkan abortus (keguguran selama dua bulan pertama kebuntingan).
9
Kejadian molekuler yang mendasari perbedaan galur sel belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa POU-domain transcription factor Oct4 (Pou5f1), esensial untuk perkembangan ICM. Pada mencit, Oct4 diekspresikan selama oogenesis dan perkembangan praimplantasi, dan pada perkembangan selanjutnya hanya terbatas diekspresikan oleh ICM, epiblas, dan sel-sel germinal (Palmieri et al. 1994). Pada blastosis manusia, baik ICM maupun trofoblas mengekspresikan Oct4, tetapi dengan konsentrasi 31 kali lebih tinggi pada ICM (Hansis et al. 2000). Embrio yang kekurangan Oct4 tidak dapat menghasilkan ICM, dan hanya dapat menghasilkan sel trofoblas (Nichols et al. 1998), dengan demikian, Oct4 sangat diperlukan untuk perkembangan ICM. Ada beberapa transcription factor seperti Mash2 (Rossant et al. 1998), dan Cdx2 (Beck et. al. 1995), yang pola ekspresinya bertentangan dengan Oct4; dimana mereka diekspresikan sepanjang perkembangan awal, tetapi pada embrio stadium blastosis hanya diekspresikan oleh trofoblas. Cdx2 dan Eomes diperlukan untuk perkembangan awal trophoblas, dan Mash2 dilibatkan dalam perkembangan plasenta selanjutnya (Guillemot et al. 1994). Embrio Partenogenetik Partenogenesis
merupakan
suatu
fenomena
biologis
dimana
perkembangan embrionik diinisiasi tanpa melewati proses pembuahan oleh sperma. Pola reproduksi ini umum terjadi pada beberapa ikan, burung dan reptil. Mamalia tidak dapat bereproduksi secara partenogenesis yang disebabkan oleh adanya
kegagalan
kebuntingan.
Embrio
partenogenetik
mengalami
perkembangan tidak normal dan perkembangan terhenti setelah terjadi organogenesis hari ke-10 pada mencit (Kono et al. 2004), hari ke-25 pada domba (Loi et al. 1998), dan hari ke-67 pada sapi (Boediono et al. 1995). Kegagalan kebuntingan tersebut ada kaitannya dengan genomic imprinting, dimana semua materi genetik berasal dari betina dan tidak ada kontribusi jantan. Hal
ini
berakibat
pada
tidak
berkembangnya
trofoblas
dan
jaringan
ekstraembrionik-endoderm. Walaupun mamalia tidak dapat bereproduksi secara partenogenesis, namun oositnya dapat diinduksi untuk menghasilkan embrio partenogenetik menggunakan berbagai rangsangan fisik dan kimia. Pada saat ovulasi, oosit mamalia tertahan pada stadium metafase dari pembelahan meiosis II. Penahanan meiosis ini dipertahankan oleh aktivitas cytostatic factor (CSF) yang berfungsi mencegah inaktivasi Maturation promoting factor (MPF) (Zernicka-Goetz et al. 1995). Maturation promoting factor adalah suatu heterodimer dari cdc2 kinase dan cyclin B yang diperlukan untuk
10
melanjutkan meiosis dan perkembangan melewati meiosis ke metafase II. Pada saat keluar dari M-phase, terjadi degradasi cyclin yang menyebabkan inaktivasi MPF. Pada oosit mencit, penahanan meiosis dapat dipertahankan selama beberapa jam selama ada sintesis dan degradasi yang seimbang dari cyclin B, dan keseimbangan tersebut diregulasi oleh CSF yang merupakan produk dari protoontogene c-mos, cdk2, dan MAP kinase (Zernicka-Goetz et al. 1995). Selama penahanan meiosis, status inti tidak berubah, tetapi sitoplasma mengalami perubahan viabilitas, kemampuan fertilisasi dan kemampuan untuk aktivasi partenogenesis seiring dengan pertambahan umur oosit (Kikuchi et al. 1995). Aktivasi
oosit
oleh
sperma
atau
secara
partenogenesis
akan
menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler. Pola pelepasan kalsium pada oosit hasil aktivasi partenogenesis berlangsung dalam waktu yang relatif pendek dibandingkan dengan hasil aktivasi spermatozoa yang berlangsung tiga hingga empat jam (sejak fertilisasi hingga pembentukan pronukleus) (Jones et al. 1995, Zernicka-Goetz et al. 1995). Peningkatan kalsium intraseluler disebabkan oleh adanya aktivasi produksi diacylglycerol (DG) dan inositol 3-phosphate (IP3) yang diinduksi Gprotein melalui phospholipase C (PLC). Peningkatan kalsium intraseluler kemudian merangsang peningkatan aktivitas protein kinase C (PKC) pada oosit mencit, yang selanjutnya menginduksi eksositosis butiran korteks (Ito et al. 2003). Selain itu, peningkatan ion kalsium menyebabkan aktivasi calmodulindependent protein kinase II yang berfungsi menstimulasi destruksi cyclin B, dan inaktivasi p34cdc2 kinase. Dengan terjadinya degradasi cyclin B dan p34cdc2 kinase maka MPF akan mengalami destruksi sehingga oosit melanjutkan kembali siklus sel-nya (Ito et al. 2003).
Karakteristik oosit yang teraktivasi adalah adanya
eksositosis butiran korteks, pengeluaran polar body II, pembentukan pronukleus dan pembelahan mitosis pertama (Gordo et al. 2002). Oosit mamalia dapat mengalami partenogenesis in vitro dengan keberhasilan yang bervariasi. Oosit yang mengalami aktivasi akan menunjukkan respon biokimiawi mirip dengan respon yang terjadi pada oosit yang mengalami proses fertilisasi. Respon oosit yang diaktivasi ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler yang dianggap sebagai sinyal untuk terjadinya pembelahan meiosis. Namun demikian, embrio partenogenetik yang dihasilkan tidak mengalami perkembangan normal dan perkembangan terhenti setelah terjadi organogenesis (Kono et al. 2004).
11
Aktivasi partenogenetik dipengaruhi oleh umur oosit, dimana oosit yang relatif lebih tua lebih sensitif terhadap perlakuan aktivasi in vitro (Otaegui et al. 1999, Meo et al. 2004). Hal ini ada kaitannya dengan penurunan secara gradual level MPF pada oosit tua (Tian et al. 2002). MPF menginduksi M-phase pada selsel eukaryotik, termasuk oosit. Aktivitas MPF yang tinggi dapat dideteksi pada oosit mamalia metafase I dan II, dan semakin menurun dengan bertambahnya umur oosit (Kikuchi et al. 2000). Studi pada tikus Wistar menunjukkan bahwa untuk aktivasi partenogenetik lebih efektif pada oosit tua (Krivokharchenko et al. 2003, Mizutani et al. 2004 ). Aktivasi partenogenesis dapat dilakukan dengan memaparkan oosit terhadap calcium ionophore A23187 (Kline & Kline 1992), strontium chloride (Meo et al. 2004), etanol (Pinyopummin et al. 1993, Moos et al. 1995, Loi et al. 1998), ionomycin (Loi et al. 1998), atau stimulasi elektrik (Mizutani et al. 2004). Strontium chloride merupakan bahan kimia yang sangat populer untuk aktivasi partenogenetik oosit mencit. Pemaparan oosit mencit kedalam medium yang disuplementasi dengan 1.6 mM strontium chloride selama 2-10 menit menginduksi kejadian partenogenesis yang tinggi. Ketika oosit diinkubasi dalam strontium selama 20-60 menit, terjadi penurunan tingkat aktivasi dan peningkatan jumlah oosit yang berdegenerasi(O'Neill et al. 1991). Bahan
aktivasi
partenogenesisi
harus
dikombinasikan
dengan
cycloheximide (protein synthesis inhibitor), 6-dimethylaminopurine [6-DMAP, protein phosphorylation inhibitor (Mizutani et al. 2004)],
atau cytochalasin.
Walaupun terjadi peningkatan pembentukan pronukleus, penghambatan sintesis atau
fosforilasi
protein
dapat
memberikan
efek
yang
merugikan
bagi
perkembangan embrio yang disebabkan oleh adanya penghambatan sintesis DNA pada oosit sapi (Ito et al. 2003). Cytochalasin merupakan produk yang dihasilkan oleh jamur dengan berbagai metabolit seperti cytochalasin A, B, C, dan D, yang berfungsi untuk mencegah polimerisasi aktin dan menyebabkan perubahan yang dramatis pada sitoskeleton, khususnya filamen aktin (Kim et al. 1997). Pemberian cytochalasin selama pembelahan sel tidak akan mengganggu pergerakan kromosom (kariokinesis),
tetapi
menghambat
pemisahan
sel-sel
anak
(sitokinesis).
Cytochalasin menghambat pengeluaran polar body II pada oosit yang terkativasi dan sering menghasilkan oosit yang diploid (Imahie et al. 2002).
12
Embryonic Stem Cells Embryonic
stem
cells
adalah
sel-sel
pluripoten
yang
mampu
berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel tubuh. Embryonic stem cells umumnya dihasilkan dari ICM blastosis, yang dalam kultur in vitro tetap mempertahankan self renewal (proliferasi untuk menghasilkan sejumlah sel anak yang sama persis dengan sel asalnya) dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel tubuh. Sifat pluripotensi tersebut telah menarik perhatian para peneliti untuk menggunakan ESC dalam terapi sel pada jaringan atau organ yang mengalami kerusakan (Darr & Benvenisty 2006, Biswas & Hutchins 2007). Pluripotensi ESC diregulasi oleh kombinasi faktor eksogen dan endogen. Yang termasuk faktor eksogen diantaranya adalah leukemia inhibitory factor (LIF), transforming growth factor (TGF), fibroblast growth factor (FGF), dan Wnt (Wingsless-type MMTV integration site family members). Pluripotensi dan self renewal ESC mencit dapat dipertahankan ketika dikultur pada MEF yang mensekresikan suatu faktor penghambat diferensiasi, LIF. Leukemia inhibitory factor mempengaruhi tingkat proliferasi sel dengan mengaktivasi jalur sinyal yang dapat mengatur ekspresi gen pada sel pluripoten atau sel-sel yang telah berdiferensiasi. Pengeluaran LIF dari medium kultur memicu hilangnya marker pluripoten dan munculnya marker diferensiasi dalam 24 jam (Prockop 2006). Leukemia inhibitory factor termasuk anggota interleukin-6 (IL6) family, yang setelah terikat pada reseptornya (LIFR), kompleks tersebut mengalami heterodimerisasi dengan gp130 dan mengaktivasi janus associated tyrosine kinase (JAK), yang selanjutnya mengaktivasi jalur sinyal signal transducer and activator of transcription-3 (STAT3) untuk menginduksi transkripsi berbagai gen yang bertanggung jawab dalam self renewal (Niwa et al. 1998, Burdon et al. 1999). Signal transducer and activator of transcription-3 meregulasi pluripotensi dan self renewal ESC melalui empat mekanisme : 1) mempertahankan ekspresi beberapa gen spesifik yang dilibatkan dalam pluripotensi ESC, 2) meregulasi siklus sel ESC, 3) menghambat transduksi sinyal yang menyebabkan diferensiasi ESC seperti ERK (extracellular signal-regulated kinase), 4) mempertahankan level transkripsi Myc yang stabil, sebagai salah satu faktor utama yang dapat mempertahankan self-renewal ESC mencit. Tidak seperti pada ESC mencit, LIF tidak efektif untuk mempertahankan pluripotensi dan self renewal ESC manusia. Pluripotensi dan self renewal ESC juga dapat dipertahankan dalam medium kultur yang mangandung TGF-β/activin (Darr & Benvenisty 2006, Biswas & Hutchins 2007). Transforming growth factor-β meregulasi sinyalnya melalui
13
SMAD1/5 (Sma and MAD (mothers agains decapentaplegic) related protein-1/5), yang mentranduksi bone morphogenic protein (BMP) dan growth differentiation factor (GDF) melalui reseptor activin receptor-like kinase-1 (ALK1), ALK2, ALK3, dan ALK6. Transforming growth factor-β/activin/nodal diregulasi melalui SMAD 2/3 yang selanjutnya mengaktivasi ALK4, ALK5, dan ALK7. Setelah mengalami fosforilasi dan mengadakan kompleks dengan SMAD4, SMAD berpindah ke dalam inti dan bergabung dengan faktor transkripsi yang lain untuk meregulasi ekspresi gen yang bertanggung jawab dalam mempertahankan pluripotensi (Besser 2004, James et al. 2005, Xiao et al. 2006). Fibroblast growth factor 2 (FGF2) merupakan faktor lain yang menunjang self renewal pada ESC. Fibroblast growth factor 2 eksogen mampu mempertahankan ESC manusia dalam ketidak-hadiran serum atau feeder layer. Pengikatan FGF ke reseptornya menyebabkan autofosforilasi reseptor dan aktivasi berbagai jalur sinyal intraseluler seperti Ras/ERK (extracellular signalregulated kinase), PLC-γ (phospholipase C-γ)/calcium, dan phospho-inositide 3kinase (PI3K). Phospho-inositide 3-kinase mengkatalisis konversi phosphatidylinositol 3,4,-bisphosphate (PIP2) menjadi phosphatidylinositol 3,4,5-triphosphate (PIP3). Pengikatan PIP3 pada PH domain menyebabkan Akt berpindah ke membran plasma, yang selanjutnya difosforilasi dan diaktivasi oleh phosphorinositide-dependent
kinase-1 (PDK-1). Akt yang
teraktivasi merangsang
proliferasi dan pluripotensi ESC. Selain itu Aktivasi PI3k/Akt diperlukan untuk meningkatkan ekspresi protein matriks ekstraseluler (Xiao et al. 2006, Conley et al. 2007, Wang et al. 2005, Xu et al. 2005). Wnt juga berperan penting dalam mempertahankan pluripotensi ESC. Jalur sinyal Wnt melibatkan pengikatan Wnt pada frizzled receptor. Pengikatan Wnt pada reseptornya menyebabkan aktivasi Dishevelled (Dsh) dan mencegah degradasi β-Catenin. Wnt juga dapat menyebabkan degradasi proteosomal yang tersusun dari glycogen synthase kinase-3β (GSK3β), adeomatosis polyposis coli (APC) dan casein kinase I (CKI). Pada kondisi fisiologis, β-catenin difosforilasi dan selanjutnya didegradasi oleh GSK3β. Oleh karena itu, degradasi GSK3β akan menyebabkan akumulasi β-catenin dalam sitoplasma, dan selanjutnya berpindah ke dalam inti sel (Barker et al. 2000, Bienz & Clever 2003, Reya & Clevers 2005). Di dalam inti,
β-catenin mengaktivasi T cell factor (TCF)/
lymphoid enhancer factor (LEF) protein yang selanjutnya menginduksi ekspresi berbagai gen yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi ESC seperti Oct4, Nanog, Id, dan Stat3, (Xiao et al. 2006, Miyabayashi et al. 2007).
14
Selain faktor
eksogen,
terdapat
beberapa faktor
endogen yang
mempengaruhi pluripotensi ESC, diantaranya adalah Oct4 (octamer binding protein-4) dan Nanog. Octamer binding protein-4 memainkan peranan penting dalam perkembangan embrio, dan sekaligus sebagai marker pluripotensi. Octamer binding protein-4 diekspresikan oleh oosit, ICM dan epiblas embrio pragastrulasi, dan juga pada primordial germ cells (Palmieri 1994). Dalam lingkungan in vitro, Oct4 hanya diekspresikan oleh
sel-sel yang belum
berdiferensiasi (Niwa 2001). Embryonic stem cells yang kekurangan Oct4 akan berdiferensiasi menjadi sel trofoblas, sedangkan ESC yang kelebihan Oct4 akan berdiferensiasi menjadi sel endoderm. Walaupun demikian, tanpa faktor eksogen, Oct4 tidak dapat mempertahankan pluripotensi ESC (Hay et al. 2004). Studi pada mencit dan manusia menunjukkan bahwa Oct4 adalah komponen faktor transkripsi yang mempertahankan pluripotensi pada ESC (Loh et al. 2006). Octamer binding protein-4 dapat terikat secara langsung pada promoternya atau melakukan heterodimer dengan beberapa faktor seperti ELA, Sox2, dan Rox1, untuk meregulasi ekspresi gen fgf-4, Utf-1, Opn, Zfp42/Rex1, dan Etn052. Faktor endogen lainnya yang mempengaruhi pluripotensi adalah Nanog. Selama perkembangan embrio, Nanog diekspresikan pada ICM, epiblas, dan ectoderm. Dalam lingkungan in vitro, Nanog diekspresikan pada ESC, primordial germ cell dan embryo carcinoma cell. Nanog tidak ditemukan pada hematopoietic stem cells, fibroblas, jaringan dewasa, dan ESC yang telah berdiferensiasi (Hyslop et al. 2005). Sel yang tidak mengandung Nanog mengekspresikan level yang tinggi beberapa faktor transkripsi seperti GATA6, GATA4, dan Cdx2, yang merupakan indikasi diferensiasi trofoblas (Bhattacharya et al. 2004, Hyslop et al. 2005). Hal ini menunjukkan bahwa Nanog mempertahankan pluripotensi ESC dengan menekan ekspresi faktor-faktor transkripsi tersebut. Embryonic stem cell umumnya dihasilkan dari ICM blastosis. Sel-sel ICM bersifat pluripoten dan mampu berkembang menjadi semua tipe sel yang menyusun ketiga lapisan jaringan embrionik (ektoderm, mesoderm, endoderm) (Czyz et al. 2003). Sel-sel ini dapat diisolasi dari blastosis dan mempertahankan mereka dalam status tidak berdiferensiasi selama kultur in vitro (NIH 2004). Embryonic stem cell mencit dapat dipertahankan dalam kultur in vitro ketika dikultur dalam medium yang mengandung faktor-faktor penghambat diferensiasi dan menunjukkan kapasitas proliferasi in vitro yang tidak terbatas (Smith, 2001), serta mempertahankan kemampuan untuk berkontribusi menjadi semua tipe sel
15
setelah transfer ke blastosis. Ketika dikeluarkan dari feeder layer dan dikultur dalam suspensi, ESC membentuk embryonic bodies, yang dapat berkembang menjadi berbagai tipe sel yang menyusun ketiga lapisan jaringan embrionik (Reubinoff et al. 2000) termasuk sel-sel germinal (Marques-Mari et al. 2009). Status diferensiasi ESC dapat dibuktikan dengan adanya kehilangan produk gen yang khas yang dihasilkan oleh ESC seperti c-myc (Cartwright et al. 2005), nanog (Chambers et al. 2003, Darr et al. 2006), eed (Ura et al. 2008), jmjd1a (Ko et al. 2006) dan GABPβ, atau terbentuknya karakteristik yang khas untuk berbagai tipe sel. Embryonic stem cell dapat mempertahankan komplemen kromosom yang stabil dan normal (NIH 2004), mempertahankan morfologi dan ekspresi gen yang konsisten dengan sel-sel embrionik asalnya (Rathjen et al. 1998, Fair et al. 2005), membentuk teratocarcinoma setelah transplantasi in vivo, dan mampu berkontribusi menjadi semua jaringan tubuh termasuk germline pada hewan kimera (Prelle et al. 2002). Selain itu, ESC memiliki rasio yang tinggi antara inti terhadap sitoplasma, tumbuh dalam koloni multilayer yang kompak, menunjukkan aktivitas alkaline phosphatase, membentuk embryoid bodies ketika ditumbuhkan dalam kultur suspensi atau hanging drop (Alex et al. 2005). Embryonic stem cells dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel yang memproduksi insulin yang berguna dalam perlakuan diabetes. Embryonic stem cells yang ditransplantasikan ke mencit yang menderita diabetes dapat memulihkan regulasi insulin secara parsial (Lumelsky et al. 2001). Studi yang lain telah mendemonstrasikan bahwa ESC mencit dapat ditransplantasikan ke mencit yang menderita penyakit Parkinson dan secara parsial menghilangkan gejala tersebut. Embryonic stem cells mencit juga dapat ditransplantasikan ke hewan yang menderita spinal-cord injury dan secara parsial memulihkan fungsi syaraf (McDonald et al. 1999). Selain diproduksi oleh embrio hasil fertilisasi, ESC juga dapat dihasilkan oleh embrio partenogenetik. Penelitian tentang ESC partenogenetik masih relatif sedikit dan hasilnya masih sangat rendah dan tidak konsisten antara penelitian. Lee et al. (2007) berhasil memproduksi ESC dari embrio partenogenetik. Dari 193 oosit yang teraktivasi, hanya 35 yang berhasil berkembang hingga stadium blastosis, dan satu diantaranya berhasil membentuk cell line. Lin et al. (2003), gagal menghasilkan cell line dari embrio partenogenetik manusia. Dari 14 oosit yang mendapat perlakuan calcium ionophore and 6-DMAP, 4 diantaranya mencapai stadium blastosis tetapi dalam kultur selanjutnya tidak berhasil
16
berkembang membentuk cell line. Pada 5 oosit yang diaktivasi dengan calcium ionophore and puromycin, hanya 1 oosit yang mencapai stadium morula, sementara dari 6 oosit yang diaktivasi dengan sham ICSI dan calcium ionophore, satu diantaranya berkembang hingga blastosis ekspan, dan setelah dilakukan assisted hatching dan kultur, ESC yang dihasilkan mampu berproliferasi lebih dari dua pasase. Revazona et al. (2007) berhasil memproduksi ESC partenogenetik
manusia
yang
dikultur
pada
medium
VitroHES
yang
disuplementasi dengan 4 ng/ml hrbFGF, 5 ng/mL hrLIF, dan 10% serum darah talipusat. Isolasi Inner Cell Mass Tahap pertama sebelum dilakukan isolasi ICM adalah penghilangan zona pelusida yang membungkus blastosis sehingga sel-sel yang terdapat di dalamnya dapat dengan leluasa berproliferasi dan berkontak langsung dengan substrat yang digunakan. Penghilangan zona pelusida dapat dilakukan dengan memaparkan embrio pada larutan pronase 0.25% selama 3 hingga 5 menit (Paz et al. 2003). Penghilangan zona pelusida juga dapat dilakukan dengan cara mengkultur blastosis selama satu atau dua hari hingga blastosis tersebut secara spontan keluar dari zona pelusida. Isolasi dimaksudkan untuk memisahkan ICM dari trofoblas. Inner cell mass merupakan sel-sel yang belum berdiferensiasi dan memiliki potensi untuk membentuk semua jenis sel tubuh, sedangkan sel-sel trofoblas sudah berdiferensiasi dan hanya berpotensi untuk membentuk selaput ekstraembrionik. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kultur blastosis utuh (ICM bersama trofoblas) menghasilkan produksi ESC yang rendah. Beberapa metode isolasi ICM yang telah dikenal adalah immunosurgery (Chen & Melton 2007), dan pembedahan mikro (Li et al. 2003, Park et al. 2004). Pada studi yang dilakukan oleh Li et al. (2003), telah dibuat suatu metode yang lebih sederhana untuk isolasi ICM
blastosis babi, yakni dengan
menempatkan embrio dalam larutan tripsin/ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA). Kunci yang paling penting dalam metode ini adalah perlakuan waktu. Manipulator harus mengobservasi embrio-embrio dibawah mikroskop selama perlakuan. Pada saat trofoblas mulai terpisah, perlakuan sebaiknya dihentikan dan ICM dapat dipisahkan dari trofoblas dibawah mikroskop.
17
Feeder Layer Feeder layer adalah kultur sel yang membentuk suatu lapisan monolayer pada dasar cawan kultur yang berfungsi sebagai penghasil growth factor yang berperan dalam proliferasi sel lain. Sifat pluripotensi ESC mencit dapat dipertahankan ketika dikultur dalam medium yang mengandung feeder layer, dimana ESC menunjukkan kapasitas proliferasi in vitro yang tidak terbatas (Smith 2001), serta mempertahankan kemampuan untuk berkontribusi menjadi semua tipe sel setelah transfer ke blastosis. Feeder layer untuk kultur ESC umumnya dibuat dari MEF, dan berfungsi mensekresikan berbagai faktor yang berperan
dalam
menstimulasi
pertumbuhan
ESC
dan
menghambat
diferensiasinya (Kitiyanant et al 2000, CLS 2002, Yang & Pettite 2004). Feeder layer
sebaiknya berada dalam bentuk tidak aktif sehingga tidak dapat
berpoliferasi, tetapi tetap berpotensi untuk menghasilkan growth factor yang menunjang proliferasi ESC (CLS 2002). Menurut Zhang et al. (2003) tingkat proliferasi MEF sangat ditentukan oleh umur fetus. Salah satu senyawa yang terdapat dalam MEF adalah LIF yang berperan dalam menghambat proses diferensiasi ESC (Kitiyanant et al. 2000). Leukemia inhibitory factor juga dikenal dengan nama differentiation inhibiting factor, merupakan sitokin polipeptida yang menghambat diferensiasi spontan dari ESC. Kadar LIF yang ditambahkan ke dalam medium kultur ESC berkisar antara 500 hingga 1000 unit/ml (Hogan et al. 1994). Jumlah LIF yang terdapat dalam medium kultur yang dikondisikan dengan feeder layer mencit adalah 500 unit/ml (Kitiyanant et al. 2000). Selain itu, feeder layer juga mengandung beberapa protein yang berperan dalam proses pertumbuhan sel (Lim & Bodnar 2002, Zhang et al. 2003). Kelemahan penggunaan MEF sebagai feeder layer adalah mudah terkontaminasi dengan bakteri dan jamur terutama pada proses awal pembuatan, proses pembuatan relatif lebih rumit dan panjang yang diawali dari persiapan betina bunting, panen fetus, pencacahan bagian karkas menjadi potonganpotongan kecil, tripsinasi untuk menghasilkan sel tunggal, sentrifugasi, dan kultur. Selain itu MEF tidak dapat digunakan pada pasase pertama karena masih bercampur dengan berbagai jenis sel yang lain, dan dengan demikian diperlukan minimal dua pasaage untuk perbanyakan MEF yang akan digunakan untuk kultur ESC. Pada kultur ESC manusia, pengunaan MEF terbentur dengan masalah etika dan penyebaran patogen dan infeksi virus dari hewan ke manusia (Lee et al. 2005).
18
Sel Kumulus Sel kumulus adalah subset dari sel-sel granulosa, yang mengelilingi oosit mamalia yang sedang berkembang dalam folikel de Graaf yang matang. Pada saat pembentukan antrum folikel, populasi sel granulosa menjadi lebih heterogen.
Satu
populasi
sel
yang
dikenal
sebagai
mural
granulosa
dihubungkan dengan dinding folikel, populasi lainnya dikenal sebagai
sel
kumulus dihubungkan dengan oosit. Ketika perkembangan folikel berlanjut, sel granulosa dan sel kumulus berkembang dengan karakteristik yang berbeda. Misalnya, sesaat sebelum ovulasi, gonadotropin menstimulasi sel kumulus untuk memproduksi dan mensekresikan hyaluronic acid yang berfungsi melekatkan sel kumulus pada matrik yang menyerupai mucus; sedangkan sel granulosa tidak mengalami ekspansi tetapi berkembang menjadi sel luteal (Latham et al. 1999). Sel kumulus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan oosit sebelum ovulasi dan pembuahan oleh sperma (Hess et al. 1999). Beberapa studi menunjukkan bahwa massa kumulus melindungi oosit sebelum dan setelah pembuahan. Misalnya, Sato et al. (1987) menunjukkan bahwa komponen yang diproduksi oleh sel kumulus (seperti glycosaminoglycan) dapat memperlambat proses degenerasi oosit selama kultur in vitro. Selain itu, kriopreservasi oosit bersama dengan kumulus memiliki angka fertilisasi yang lebih tinggi daripada oosit yang dibekukan tanpa sel kumulus (Hess et al. 1999). Sel kumulus juga dapat melindungi oosit terhadap pengaruh negatif heat shock yang dapat menurunkan sintesis protein oosit ( Edwards et al. 1996). Malekshah
dan
Moghaddam
(2005)
melakukan
evaluasi
untuk
mengetahui pengaruh monolayer kumulus dan cairan folikel manusia terhadap perkembangan embrio mencit in vitro. Jumlah embrio satu sel yang dapat berkembang ke stadium blastosis adalah 33.7% ketika dikultur pada kombinasi sel kumulus dan cairan folikel. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingan dengan yang dikultur pada medium Ham’s F-10 yaitu 1.9%. Dalam penelitian ini, sel kumulus digunakan sebagai feeder layer atau penghasil conditioned medium untuk kultur ESC. Sel kumulus mengekspresikan berbagai faktor seperti transforming growth factor-β (TGF-β; Mulheron et al. 1992), activin A (Lau et al. 1999), Wnt2 dan β-catenin (Wang et al. 2009), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), insulin-like growth factor (IGF), dan transforming growth factor (TGF; Memili et al. 2007). Beberapa dari zat aktif tersebut (seperti FGF, activin, TGFβ, dan Wnt2 dan β-catenin) yang disekresikan oleh sel kumulus diketahui sebagai penunjang proliferasi ESC
19
(Levenstein et al. 2006, Ogawa et al. 2007, James et al. 2005, Miyabayashi et al. 2007). Sel kumulus telah terbukti dapat menunjang perkembangan embrio in vitro, namun belum ada laporan tentang penggunaannya sebagai feeder layer untuk kultur ESC. Selain dapat menghasilkan feeder layer, sel kumulus juga dapat
memproduksi conditioned medium
(CM)
yang
dapat
menunjang
pertumbuhan ESC. Penggunaan CM dimaksudkan untuk menghindari terjadinya percampuran antara ESC dengan feeder layer, dan dengan demikian kemurnian ESC dapat dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA Alex JL, Sarathi DP, Goel S, Kumar S. 2005. Isolation and characterization of a mouse embryonic stem cell line that contributes efficiently to the germ line. Current Science 88: 1167-1169. Barker N, Clevers H. 2000. Catenins, Wnt signaling and cancer. Bioassays 22:961-965 (Abstr). Beck F, Erler T, Russell A, James R. 1995. Expression of Cdx-2 in the mouse embryo and placenta: possible role in patterning of the extra-embryonic membranes. Dev Dyn 204:219–227. Beddington RS, Robertson EJ. 1999. Axis development and early asymetry in mammals. Cell 96:195-209. Besser D. 2004. Expression of nodal, lefty-a, and lefty-B in undifferentiated human embryonic stem cells requires activation of Smad2/3. J Biol Chem 279:45076-45084. Bhattacharya B et al. 2004. Gene expression in human embryonic stem cell lines: Unique molecular signature. Blood 103:2956-2964. Bienz M, Clevers H. 2003. Armadillo/beta-catenin signals in the nucleus-proof beyond a reasonable doubt? Nat Cell Biol 5: 179-182 (Abstr). Biswas A, Hutchins R. 2007. Embryonic stem cells. Stem Cells Dev 16:213-222. Boediono A, Saha S, Sumantri C, Suzuki T.1995. Development in vitro and in vivo of aggregated parthenogenetic bovine embryos. Reprod Fertil Dev 7:1073-1079. Burdon T et al. 1999. Suppression of SHP-2 and ERK signalling promotes selfrenewal of mouse embryonic stem cells. Dev Biol 210:30–43. Cartwright P et al. 2005. LIF/STAT3 controls ES cell self-renewal and pluripotency by a Myc-dependent mechanism. Development 132:885-896.
20
Chambers I et al. 2003. Functional expression cloning of Nanog, a pluripotency sustaining factor in embryonic stem cells. Cell 113:643–655. Chen AE, Melton DA. 2007. Derivation of human embryonic stem cells by immunosurgery. Journal of Visualized Experiments.10. http://www. jove.com /index/Details.stp?ID=574, doi: 10.3791/574. CLS. 2002. Stem cells and the future of regenerative medicine: Embryonic stem cells. http://www.nap.edu/books/0309076307/ html/ 31.html. [15 Desember 2004]. Conley BJ, Ellis S, Gulluyan L, Mollard R. 2007. BMPs regulate differentiation of a putative visceral endoderm layer within human embryonic stem-cellderived embryoid bodies. Biochem Cell Biol 85:121-132. Czyz J et al. 2003. Potential of embryonic and adult stem cells in vitro. Biol Chem 384:1391-1409. Darr H, Mayshar Y, Benvenisty N. 2006. Overexpression of Nanog in human ES cells enables feeder-free growth while inducing primitive ectoderm features. Development 133:1193-1201. Darr H, Benvenisty N. 2006. Human embryonic stem cells: the battle between self-renewal and differentiation. Regen Med 1:317-325. Edwards J, Hansen P. Elevated temperature increases heat shock protein 70 synthesis in bovine two-cell embryos and compromises function of maturing oocytes. Biol Reprod 1996; 55:340–346. Fair JH et al. 2005. Correction of factor IX deficiency in mice by embryonic stem cells differentiated in vitro. Proc Natl Acad Sci USA 102:2958–2963. Gordo AC, Kurokawa M, Wu H, Fissore RA. 2002. Modification of calcium release mechanism of mouse oocytes by fertilization and sperm factor. Mol Hum Reprod 8:619-629. Guillemot F, Nagy A, Auerbach A, Rossant J, Joyner AL. 1994. Essential role of Mash-2 in extraembryonic development. Nature. 371:333 (Abstr). Hansis C. Grifo JA, Krey LC. 2000. Oct-4 expression in inner cell mass and trophectoderm of human of human blastocyst. Mol Hum Reprod 6:9991004. Hay DC et al. 2004. Oct-4 knockdown induces similar patterns of endoderm and trophoblast differentiation markersin human and mouse embryonic stem cells. Stem Cells 22:225-235. Hess KA, Chen L, Larsen WJ. 1999. Inter-α-inhibitor binding to hyaluronan in the cumulus extracellular matrix is required for optimal ovulation and development of mouse oocytes. Biol Reprod 61:436-443. Hogan B, Beddington R, Costantini F, Lacy E. 1994. Manipulating the mouse embryo. 2nd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, USA.
21
Hyslop L et al. 2005. Downregulation of nanog induces differentiation of human embryonic stem cells to extraembryonic lineages. Stem Cells 23:10351043. Imahie H, Takahashi M, Toyoda Y, sato E. 2002. Differential effects of cytochalasin B on cytokinesis in parthenogenetically activated mouse oocyte. J Reprod Dev 48: 31-40. Ito J, Shimada M, Terada T. 2003. Effect of protein kinase C activator on mitogen-activated protein kinase and p34cdc2 kinase activity during parthenogenetic activation of porcine oocyte by calcium ionophore. Biol Reprod 69:1675-1682. James D, Levine AJ, Besser D, Hemmati-Brivanlou A. 2005. TGFβ/activin/nodal signaling is necessary for the maintenance of pluripotency in human embryonic stem cells. Development 132:1273-1282. Johnson MH, Maro B, Takeichi M. 1986. The role of cell adhesionin the synchronization and orientation of polarization in 8-cell mouse blastomeres. J. Embrypl Exp Morphol 93:239-255. Johnson MH, McConnell JM. 2004. Lineage allocation and cell polarity during mouse embryogenesis. Semin Cell Dev Biol 15:583–597. Jones KT, Carroll J, Merriman JA, Whittingham DG, Kono T. 1995. Repetitive sperm-induced calcium transients in mouse oocytes are cell cycle dependent. Development 121:3259-3266. Jones JM, Thomson JA. 2000. Human embryonic stem cell technology. Semin Reprod Med 18:219-223. Kikuchi K et al. 1995. Decrease of histone H1 kinase activity in relation to parthenogenetic activation of pig follicular oocytes matured and aged in vitro. J Reprod Fertil 105:325-330. Kikuchi K et al. 2000. Maturation/M-phase promoting factor: a regulator of aging in porcine oocytes. Biol Reprod 63:715-722. Kim NH, Chung KS, Day BN. 1997. The distribution and requirements of microtubule and microfilaments during fertilization and parthenogenesis in pig oocytes. J Reprod Fertil 111:143-149. Kitiyanant Y, Saikhun J, Guocheng J, Pavasuthipaisit K. 2000. Establishment and long-term maintenance of bovine embryonic stem cell lines using mouse and bovine mixed feeder cells and their survival after cryopreservation. Science Asia 26:81-86. Kline D, Kline JT. 1992. Repetitive calcium transients and the role of calcium in exocytosis and cell cycle activation in the mouse egg. Dev Biol 149:80-89. Ko SY, Kang HY, Lee HS, Han SY, Hong SH. 2006. Identification of Jmjd1a as a STAT3 downstream gene in mES cells. Cell Struct Funct 2006:31:53-62.
22
Kono T et al. 2004. Birth of parthenogenetic mice that can develop to adulthood. Nature 428:860 (Abstr). Krivokharchenko A et al. 2003. Development of parthenogenetic rat embryos. Biol Reprod 68:829-836. Latham KE, Bautista FDM, Hirao Y, O’Brien MJ, Eppig JJ. 1999. Comparison of protein synthesis patterns in mouse cumulus cells and mural granulosa cells: effects of follicle-stimulating hormone and insulin on granulosa cell differentiation in vitro. Biol Reprod 61:482-492. Lau CP, Ledger WL, Groome NP, Barlow DH, Muttukrishna S. 1999. Dimeric inhibins and activin A ini human follicular fluid and oocyte-cumulus culture medium. Hum Reprod 14:2525-2530. Lee JB et al. 2005. Establishment and maintenance of human embryonic stem cell lines on human feeder cells derived from uterine endometrium under serum-free condition. Biol Reprod 72: 42-49. Lee ST et al. 2007. Establishment of autologous embryonic stem cells derived from preantral follicle culture and oocyte parthenogenesis. Fertil Steril 88:1193 (Abstr). Levenstein ME et al. 2006. Basic fibroblast growth factor support of human embryonic stem cell self-renewal. Stem Cells 24:568-574. Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine blastocysts. Mol Reprod Dev 65:429-434. Lim JW, Bodnar A. 2002. Proteome analysis of conditioned medium from mouse embryonic fibroblast feeder layers which support the growth of human embryonic stem cells. Proteomics 2:1187-1203. Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21: 152–161. Loh YH et al. 2006. The Oct4 and Nanog transcription network regulates pluripotency in mouse embryonic stem cells. Nat Gen 38: 431-440 (Abstr). Loi P, Ledda S, Fulka P Jr., Cappai P, Moor RM. 1998. Development of parthenogenetic and cloned ovine embryos: effect of activation protocols. Bio Reprod 58:1177-1187. Lumelsky N et al. 2001. Differentiation of embryonic stem cells to insulinsecreting structures similar to pancreatic islets. Science 292: 1389-1394. Malekshah AK, Moghaddam AE. 2005. Follicular fluid and cumulus cells synergistically improve mouse early embryo development in vitro. J Reprod Dev 51:195-199. Marques-Mari AI, Lacham-Kaplan O, Medrano JV, Pellicer A, Simón C. 2009. Differentiation of germ cells and gametes from stem cells. Human Reproduction Update 15:379-390 (Abstr).
23
McDonald JW et al. 1999. Transplanted embryonic stem cells survive, differentiate and promote recovery in injured rat spinal cord. Nature Med 5: 1410-1412 (Abstr). Memili E et al. 2007. Bovine germinal vesicle oocyte and cumulus cell proteomics. Reproduction 133: 1107-1120. Meo SC, Leal CL, Garcia JM. 2004. Activation and early parthenogenesis of bovine oocyte treated with ethanol and stontium. Anim Reprod Sci 81:3546. Miyabayashi T et al. 2007. Wnt/beta-catenin/CBP signaling maintains long-term murine embryonic stem cell pluripotency. Proc Natl Acad Sci USA 104:5668-5673. Mizutani E et al. 2004. Determination of optimal condition for parthenogenetic activation and subsequent development of rat oocytes in vitro. J Reprod Dev 50:139-146. Moos J, Visconti PE, Moore GD, Schultz RM, Kopf GS. 1995. Potential role of mitogen-activated protein kinase in pronuclear envelope assembly and disassembly following fertilization of mouse eggs. Biol Reprod 53:692699. Mulheron GW, Bossert NL, Lapp JA, Walmer DK, Schomberg DW. 1992. Human granulosa-luteal and cumulus cells express transforming growth factorsbeta type 1 and type 2 mRNA. JCEM 74:458-460. [NIH] National Institute of Health. 2004. Embryonic stem cell. http://stemcells. nih.gov/info/scireport/chapter2.asp. [27 Desember 2004]. Nichols J et al. 1998. Formation of pluripotent stem cells in the mammalian embryo depends on the POU transcription factor Oct4. Cell 95: 379-391. Niwa H et al. 1998. Self-renewal of pluripotent embryonic stem cells is mediated via activation of STAT3. Genes Dev 12:2048-2060. Niwa H. 2001. Molecular mechanism to maintain stem cell renewal of ES cells. Cell Struct Funct 26: 137-148. Ogawa K et al. 2007. Activin-nodal signaling is involved in propagation of mouse embryonic stem cells. J Cell Sci 120:55-65. O'Neill GT, Rolfe LR, Kaufman MH. 1991. Developmental potential and chromosome constitution of strontium-induced mouse parthenogenones. Mol Reprod Dev 30:214-219 Otaegui PJ, O’Neill GT, Wilmut I. 1999. Parthenogenetic activation of mouse oocytes by exposure to strontium as a source of cytoplast for nuclear transfer. Cloning I:111-117.
24
Palmieri SL et al. 1994. Oct-4 transcription factor is differentially expressed in the mouse embryo during establishment of the first two extraembryonic cell lineages involved in implantation. Dev Biol 166: 259-267. Park SP et al. 2004. Establishment of human embryonic stem cell lines from frozen-thawed blastocysts using STO cell feeder layers. Hum Reprod 19:676-684. Paz AHR et al. 2003. Mouse embryonic stem cells: The establishment of the system to produce differentiated cell types in vitro. Acta Scientiae Veterinariae 31: 51-54. Pelton TA, Bettess MD, Lake J. Rathjen J, Rathjen PD. 1998. Developmental complexity of early mammalian pluripotent cell populations in vivo and in vitro. Reprod Fertil Dev 10:535-549. Pinyopummin A, Takahashi Y, Hishinuma M, Kanagawa H. 1993. Development of haploid and diploid mouse parthenogenetic: effect of oocyte aging in vivo. Jpn J Vet Res 41:81-87. Prelle K, Zink N, Wolf E. 2002. Pluripotent stem cells-model of embryonic development, tool for gene targeting, and basis of cell therapy. Anat Histol Embryol 31 :169. Prockop DJ. 2006. Embryonic Stem Cells Versus Adults Stem Cells: Some Seemingly Simple Questions. In: Essentials of stem cell biology, Lanza R et al. (editors). Elsevier Inc. All rights reserved. Rathjen PD, Lake J, Whyatt LM, Bettess MD, Rathjen J. 1998. Properties and uses of embryonic stem cells : prospects for application to human biology and gene therapy. Reprod Fertil Dev 10:31-47. Reubinoff BE, Pera MF, Fong CY, Trounson A, Bongso A. 2000. Embryonic stem cell lines from human blastocysts: somatic differentiation in vitro. Nature Biotechnol 18: 399 – 404. Revazona ES et al. 2007. Patient-specific stem cell lines derived from human parthenogenetic blastocysts. Cloning and Stem Cells 9:1-18. Reya T, Clevers H. 2005. Wnt signalling in stem cells and cancer. Nature, 434: 843-850 (Abstr). Rossant J et al. 1998. Mash2 is expressed in oogenesis and preimplantation development but is not required for blastocyst formation. Mechanisms of Development 73:183–191. Sato E, Ishibashi T, Koide S. 1987. Prevention of spontaneous degeneration of mouse oocytes in culture by ovarian glycosaminoglycans. Biol Reprod 37:371–376. Smith, A.G. 2001. Embryo-derived stem cells: of mice and men. Annu Rev Cell Dev Biol 17: 435 – 462.
25
Tian XC, Lonergan P, Jeong BS, Evans AC, Yang X. 2002. Association of MPF, MAPK, and nuclear progression dynamics during activation of young and aged bovine oocytes. Mol Reprod Dev 62:132-138 Ura H et al. 2008. STAT3 and Oct-3/4 control histone modification through induction of eed in embryonic stem cells. J Biol Chem 283:9713-9723. Wang G et al. 2005. Noggin and bFGF cooperate to maintain the pluripotency of human embryonic stem cells in the absence of feeder layers. Biochem Biophys Res Commun 330:934-942 (Abstr). Wang H-X, Tekpetey FR, Kidder GM. 2009. Identification of WNT/β-catenin signaling pathway components in human cumulus cells. Mol Hum Reprod 15:11-17. Xiao L, Yuan X, Sharkis SJ. 2006. Activin A maintains self-renewal and regulates fibroblast growth factor, Wnt, and bone morphogenic protein pathways in human embryonic stem cells. Stem Cells 24:1476-1486. Xu RH et al. 2005. Basic FGF and suppression of BMP signaling sustain undifferentiated proliferation of human ES cells. Nat Methods 2:185-190 (Abstr). Yang Z and Petitte JN. 1994. Use of avian cytokines in mammalian embryonic stem cell culture. Poult Sci. 73: 965-974. Zernicka-Goetz M, Ciemerych MA, Kubiak JZ, Tarkowzki AJ, Maro B. 1995. cystatic factor inactivation is induced by a calcium-dependent mechanism present until the second cycle in fertilized but not in parthenogenetically activated mouse eggs. J Cell Science 108:469-474. Zhang Y, Zhao L, Wang C, Lei B. 2003. isolation and culture of mouse embryonic fibroblast. Sichuan Da Xue Xue Bao Yi Xue Ban 34:344-346.
KEMAMPUAN TUMBUH STEM CELLS MENCIT YANG DIPRODUKSI DARI EMBRIO STADIUM CLEAVAGE, MORULA, DAN BLASTOSIS ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kemampuan tumbuh embryonic stem cells (ESC) mencit yang dihasilkan oleh embrio pada stadium cleavage, morula dan blastosis. Sebanyak 105 embrio yang berada pada stadium cleavage, 101 embrio pada stadium morula, dan 124 embrio pada stadium blastosis dipaparkan dalam larutan pronase untuk melisiskan zona pelusida yang membungkusnya, dan selanjutnya dikultur dalam ESC medium [Dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM)-high glucose yang disuplementasi dengan fetal bovine serum (FBS) 20%, MEM Nonessential amino acid 1%, gentamicin 50 µg/ml, mercaptoethanol 0.1 mM, leukemia inhibitory factor (LIF) 10 o ng/ml] dan selanjutnya dikultur dalam inkubator pada 5% CO2, 37 C. Variabel yang diamati adalah tingkat perlekatan (attachment rate, AR), tingkat pembentukan koloni primer ESC (the number of primary embryonic stem cell colony, PC), tingkat pertumbuhan koloni (growth rate, GR), dan doubling time (DT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa AR dan PC yang dihasilkan oleh embrio stadium cleavage masingmasing adalah 1.90% dan 0% lebih rendah (P<0.05) dari embrio stadium morula yaitu masing-masing 13.86 % dan 9%, dan keduanya lebih rendah (P<0.05) dari yang dihasilkan blastosis yaitu masing-masing 91.94% dan 14.52%. Sebaliknya, koloni ESC yang dihasilkan morula memiliki GR dan DT yang lebih baik (P<0.05) yaitu 115.86% dan 18.48 jam dibandingkan dengan yang dihasilkan blastosis yaitu 84.71% dan 23.02jam. Pada embrio stadium cleavage tidak dilakukan pengukuran GR dan DT karena tidak terdapat koloni ESC yang berkembang. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa embrio stadium morula dapat menghasilkan ESC, dengan tingkat perlekatan dan tingkat pembentukan koloni primer yang lebih rendah, tetapi doubling time dan tingkat pertumbuhan koloni yang lebih tinggi daripada blastosis; sedangkan embrio stadium cleavage tidak mampu menghasilkan ESC.
ABSTRACT The objective of this study was to measure the growth potential of mouse embryonic stem cells yielded by embryos at cleavage, morula and blastocyst stages. In this research, 105 embryos at cleavage stage, 101 morula and 124 blastocyst were exposed to pronase in order to lysis their zona pellucida, and cultured in ESC medium [Dulbecco’s modified eagle’s medium-high glucose (DMEM-high glucose) supplemented 20% fetal bovine serum (FBS), 1% MEM Nonessential amino acid, 50 µg/ml gentamicin, 0.1 mM mercaptoethanol, 10 ng leukemia inhibitory factor (LIF)], in incubator, 5% CO2, o 37 C. The variable observed were attachment rate (AR), the number of primary embryonic stem cell colony (PC), growth rate (GR) and doubling time (DT). The result showed that AR and PC yielded by cleavage embryos were 1.90% and 0%, respectively, less (P<0.05) than those yielded morula i.e 13.86% and 9.90%, respectively, and both of them less (P<0.05) than blastocyst that is 91.94% and 14.52%, respectively. On the contrary, ESC colony yielded morula own better GR and DT (P<0.05) that is 115.86% and 18.48 hours than blastocyst that is 84.71% and 23.02 hours. No measuring of GR and DT on cleavage embryos because there is no ESC colony developed. In conclusion, Embryos at morula stage can derived embryonic stem cells, with lower attachment rate and the number of ESC colony, but higher growth rate and doubling time than blastocyst; while cleavage embryos were unable to yielded ESC. Key word: growth potential, embryonic stem cell, mouse embryos, cleavage, morula
27
PENDAHULUAN Embriogenesis
pada
mamalia
diawali
ketika
oosit
dibuahi
oleh
spermatozoa. Oosit yang teraktivasi akan membentuk embrio satu sel (zigot) yang selanjutnya mengalami proses pembelahan sel membentuk embrio dua sel, empat sel, delapan sel, morula dan blastosis. Pada mencit, stadium blastosis dicapai pada umur 3.5 hari kultur, yang ditandai oleh adanya kejadian diferensiasi pertama menjadi inner cell mass (ICM) dan trofoblas. Trofoblas adalah se-sel epitel yang mengelilingi rongga yang berisi cairan (blastosul) yang dalam perkembangan selanjutnya akan membentuk plasenta, sedangkan ICM yang berada pada bagian dalam akan membentuk seluruh jaringan embrio dan membran ekstraembrionik seperti alantois dan amnion (Rossant 1995). Umumnya ESC diproduksi dari ICM blastosis (Rossant 2001, Cowan et al. 2004, Stojkovic et al. 2004, Tielens et al. 2006) yang memiliki potensi diferensiasi yang lebih terbatas dibandingkan dengan embrio pada stadium cleavage dan morula (Jones & Thomson 2000, Tesar 2005). Beberapa penelitian sebelumnya telah berhasil memproduksi ESC dari embrio stadium pra-blastosis dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi (Delhaise et al. 1996, Tesar 2005). Bagaimanapun, informasi tentang kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan embrio pra-blastosis khususnya yang berada pada stadium cleavage dan morula masih sangat terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kemampuan tumbuh ESC mencit yang dihasilkan oleh embrio pada stadium cleavage, morula dan blastosis.
METODE PENELITIAN Superovulasi dan Perkawinan Mencit betina strain DDY diinjeksi secara intraperitoneal dengan pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG, Folligon, Intervet, Netherland) 5 IU/0.1 ml deionize water dan 48 jam kemudian diinjeksi dengan human chorionic gonadotropin (hCG, Chorullon, Intervet, Netherland) 5 IU/0.1 ml deionize water (Lin et al. 2003). Pada saat injeksi hCG, setiap mencit betina digabungkan dengan mencit jantan dengan perbandingan 1:1. Lima belas hingga 18 jam setelah penyuntikan hCG dilakukan pemeriksaan sumbatan vagina (vaginal plug) untuk mengidentifikasi mencit betina yang telah melakukan perkawinan dengan mencit jantan, dipisahkan ke dalam kandang tersendiri dan selanjutnya digunakan sebagai penghasil embrio.
28
Koleksi Embrio Mencit-mencit tersebut dikorbankan dengan cara cervical dislocation, abdomen dibedah dengan gunting, bagian tuba Falopii (koleksi embrio cleavage dan morula) atau uterus (koleksi blastosis) dipotong dan dimasukan ke dalam modified phosphate buffered saline (mPBS), cuci tiga kali dalam medium yang sama. Koleksi embrio stadium cleavage dan morula dilakukan pada hari ketiga pasca hCG, dengan cara menyayat dinding tuba falopii dengan ujung jarum suntik berukuran 27G, sedangkan koleksi blastosis dilakukan pada hari keempat dengan membilas uterus menggunakan mPBS (Gambar 1). Embrio-embrio yang dikoleksi dicuci tiga kali dengan mPBS, diinkubasi dalam dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM)-high glucose selama 1 jam pada 5% CO2, 37oC. Penglisisan Zona Pelusida Embrio dan Kultur ESC Sebanyak 105 embrio yang berada pada stadium cleavage, 101 embrio pada stadium morula, dan 124 embrio pada stadium blastosis dipaparkan dalam larutan pronase 0.25% selama 5 menit untuk melisiskan zona pelusida yang membungkusnya, cuci tiga kali dalam mPBS, dan selanjutnya dikultur dalam ESC medium [DMEM-high glucose, fetal bovine serum (FBS) 20% (Sigma), non essential amino acid 1%, mercaptoethanol 0.1 mM, gentamicin 50 µg/ml dan leukemia inhibitory factor 10 ng/ml (LIF, Sigma)] pada
5% CO2,
37oC.
Pergantian medium dilakukan setiap dua hari dan pada saat yang sama dilakukan pengamatan untuk mengetahui perkembangan ESC. Variabel Penelitian Variabel yang diamati adalah tingkat perlekatan (attachment rate, AR) dan tingkat pembentukan koloni primer ESC (the number of primary embryonic stem cell colony, PC), tingkat pertumbuhan koloni (growth rate, GR), dan doubling time (DT). Tingkat perlekatan (%), dihitung berdasarkan persentase embrio yang melekat pada dasar cawan, yang ditandai oleh tidak terjadi perpindahan tempat ketika cawan kultur dimiringkan; PC (%), dihitung berdasarkan persentase embrio yang berkembang membentuk koloni sel multilayer yang besar; GR (%) merupakan rata-rata pertambahan diameter koloni harian dibagi dengan diameter awal dikali 100%; DT adalah jumlah satuan waktu (jam) yang dibutuhkan ESC untuk menggandakan diri. Penghitungan diperoleh dari lama kultur (jam) dibagi jumlah kelipatan diameter koloni.
29
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga stadium perkembangan embrio yang berbeda yaitu: embrio stadium cleavage, morula dan blastosis sebagai kontrol. Data penelitian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Analisis menggunakan software SPSS 16.0 for windows dan MS office Excell 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat perlekatan dan Pembentukan Koloni Primer ESC Dari 105 embrio yang berada pada stadium cleavage, hanya 2 embrio (1.90%) yang mampu melekat pada feeder layer, dan tidak satupun dari embrio tersebut yang membentuk koloni primer ESC. Penggunaan morula sebagai penghasil ESC mampu meningkatkan (P<0.05) AR dan PC dibandingkan dengan embrio stadium cleavage. Empat belas (13.86%) dari 101 morula yang digunakan dapat melekat pada dasar cawan, dan 10 (9.90%) diantaranya mampu membentuk koloni primer ESC. Tingkat perlekatan dan PC tertinggi (P<0.05) dicapai ketika blastosis digunakan sebagai sumber ESC. Dari 124 blastosis, 114 (91.94%) dapat melekat dan 18 (14.52%) diantaranya mampu membentuk koloni primer (Tabel 1). Tabel 1 Profil perkembangan embryonic stem cells yang dihasilkan dari embrio pada stadium berbeda
Jumlah Embrio AR (%) PC (%) GR (%) DT (jam)
Cleavage 105 2 (1.90 ± 1.82)c 0 (0.00 ± 0.00)c -
Morula 101 14 (13.86 ± 2.02)b 10 (9.90 ± 2.72)b 115.86 ± 6.27a 18.48 ± 0.89a
Blastosis 124 114 (91.94 ± 4.58)a 18 (14.52 ± 4.00)a 84.71 ± 7.34b 23.02 ± 1.59b
Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antar stadium embrio
30
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa embrio stadium cleavage memiiki AR dan PC yang lebih rendah dari morula dan blastosis. Embrio stadium cleavage (Gambar 1) yang dikultur dalam DMEM-high glucose mengalami kesulitan untuk melekat pada dasar cawan kultur dan juga tidak dapat berkembang ke stadium selanjutnya.
A
B
C
D
Gambar 1 Embrio stadium cleavage (A), morula (B), blastosis (C), dan blastosis ekspan (D). Bar = 50µm.
Untuk mengetahui apakah hal tersebut disebabkan oleh perlakuan pronase pada saat melisiskan zona pelusida atau karena level glukosa yang tinggi pada DMEM maka dilakukan dua rangkaian eksperimen. Eksperimen pertama, embrio stadium cleavage dengan zona pelusida utuh dikultur dalam DMEM-high glucose, dan hasilnya adalah terdapat sedikit peningkatan (< 20%)
31
jumlah embrio yang berkembang ke stadium selanjutnya dibandingkan dengan embrio yang diberi perlakuan pronase, dan tidak satupun yang melekat pada perlakuan pronase. Pada eksperimen kedua, hampir semua embrio stadium cleavage (> 80%) yang dikultur pada KSOM-low glucose dapat berkembang ke stadium berikutnya (empat dan delapan sel) dibandingkan dengan DMEM-high glucose yaitu kurang dari 15%, dan embrio pada kedua medium tersebut tidak ada yang melekat pada dasar cawan kultur. Dari rangkain eksperimen tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa level glukosa yang tinggi pada DMEM merupakan penyebab utama terhadap hambatan perkembangan embrio stadium cleavage, sementara perlakuan dengan
pronase
walaupun
memiliki
kontribusi
terhadap
hambatan
perkembangan sel tetapi pengaruhnya relatif sedikit. Rendahnya AR, tidak disebabkan oleh level glukosa ataupun perlakuan pronase tetapi oleh faktor lain yang belum diketahui secara pasti. Pada morula perlakuan level glukosa yang tinggi atau pronase tidak mempengaruhi kemampuan tumbuh embrio-embrio tersebut, dimana hampir semuanya berkembang ke stadium berikutnya atau melekat pada dasar cawan. Pola perkembangan yang teramati dari embrio stadium morula ada dua macam yaitu: 1) sebagian morula langsung melekat pada dasar cawan kultur tanpa membentuk rongga (blastosul) (Gambar 2A), 2) dan pada sebagiannya lagi, proses perlekatan baru terjadi setelah mencapai stadium blastosis (Gambar 2E). Morula pada kelompok pertama mengalami perlekatan pada hari pertama hingga hari kedua kultur. Perkembangan selanjutnya ditandai oleh adanya inner core yang dikelilingi oleh suatu lapisan sel yang berbentuk seperti cincin, tetapi tidak terdapat kavitasi (rongga) antara inner core dan sel-sel yang berada di bagian luarnya (Gambar 2B). Ukuran core tersebut bervariasi, mungkin mencerminkan jumlah sel yang menyusunnya pada saat perlekatan. Saat pembentukan core bervariasi antar individu morula yaitu berkisar 3 hingga 4 hari. Yang menarik adalah walaupun morula memilki AR yang rendah yaitu hanya sekitar 13% namun sebagian besar (71%) dari embrio-embrio tersebut berkembang membentuk koloni primer. Hal ini mengindikasikan bahwa kegagalan utama pada morula disebabkan oleh ketidak mampuan sel-sel tersebut untuk melekat pada dasar cawan. Disisi lain, morula yang tidak langsung melekat pada dasar cawan, berkembang ke stadium blastosis yang ditandai oleh adanya pembentukan
32
blastosul (suatu rongga yang berisi cairan), yang ukurannya semakin bertambah seiring dengan kemajuan pembelahan sel, dan memisahkan sel menjadi dua bagian yaitu trofoblas pada bagian luar dan ICM pada bagian dalam. Perlekatan pada dasar cawan baru terjadi ketika embrio tersebut telah mencapai blastosis, yangmana telah terbentuk ICM yang dikelilingi oleh sel-sel trofoblas pada bagian luarnya pada hari ke-3 hingga ke-4 kultur (Gambar 2E). Perkembangan selanjutnya akan menyerupai embrio blastosis, dimana sel-sel trofoblas yang berada pada bagian luar akan menyebar membentuk monolayer, sementara ICM membentuk penonjolan multilayer yang berbentuk seperti bola dan terletak pada bagian tengah. Pola pertumbuhan yang kedua ini tidak diperhitungkan berasal dari morula karena masih mengalami proses diferensiasi menjadi blastosis sebelum melekat pada dasar cawan.
A
B
C
D
E
F
Gambar 2. Perkembangan ESC yang dihasilkan morula (A-C), dan Blastosis (D-F). A: morula tanpa zona pelusida, B: morula yang telah melekat pada dasar cawan kultur, C: koloni primer ESC yang dihasilkan morula, D: blastosis tanpa zona pelusida, E: blastosis yang telah melekat pada dasar cawan kultur, F: koloni primer yang dihasilkan blastosis. Bar = 50µm.
Kegagalan perlekatan pada blastosis relatif lebih rendah yaitu hanya sekitar 9%, dimana lebih dari 90% blastosis telah melekat pada dasar cawan pada dua hari pertama kultur. Walaupun demikian, hanya sebagian kecil dari
33
blastosis tersebut yang dapat membentuk koloni primer (< 15%). Hal ini berarti bahwa sekitar 85% dari blastosis yang melekat pada dasar cawan mengalami kematian atau degenerasi setelah perlekatan pada dasar cawan. Walaupun demikian, PC yang dihasilkan blastosis masih lebih tinggi daripada yang dihasilkan embrio stadium cleavage dan morula. Penyebab utama rendahnya PC dari embrio stadium morula dan cleavage adalah ketidak-mampuan embrioembrio tersebut untuk melekat pada dasar cawan (Tabel 1). Hal ini mungkin ada kaitannya dengan perbedaan kandungan molekul adesi yang berperan dalam perlekatan sel. Menurut Alpin (1997), blastosis lebih banyak mengekspresikan molekul adesi dibandingkan dengan embrio pada stadium morula dan cleavage. Sejumlah molekul adesi sel yang diekspresikan oleh trofoblas mencit telah dilaporkan terlibat dalam proses perlekatan, termasuk trophinin, tastin, dan bystin (Susuki et al. 1998, Aoki & Fukuda 2000) dan heparin sulfat proteoglikan (Carson et al. 1993, Smith et al. 1997). Selain itu, molekul adesi yang lain yang dilibatkan dalam proses perlekatan adalah integrin. Integrin adalah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel, dan telah dilaporkan terdapat pada embrio dan endometrium saat implantasi. Integrin terdiri dari transmembrane glycoprotein receptors yang memediasi diferensiasi, motilitas dan perlekatan sel. Peranan utamanya adalah berinteraksi dengan matriks ekstraseluler untuk melakukan tranduksi sinyal pada sel-sel epitel uterus dan trofoblas konseptus. Pengikatan integrin dengan matriks ekstraseluler menyebabkan reorganisasi sitoskeleton, perlekatan, dan memediasi migrasi, proliferasi dan diferensiasi sel melalui sejumlah signaling (Sutherland et al. 1993, Illera et al. 2000). Integrin αvβ3 merupakan salah satu protein yang dideteksi pada permukaan trofoblas mencit. Injeksi antibodi terhadap integrin αv atau β3 dapat mengurangi tingkat implantasi pada mencit. Berdasarkan bukti tersebut, αvβ3 adalah merupakan integrin utama yang berfungsi untuk memediasi adesi dan migrasi sel trofoblas (Illera et al. 2000). Sub unit integrin lainnya yang berperan dalam memediasi perlekatan embrio adalah adalah αvβ5, terutama pada saat diferensiasi trofoblas berlanjut (Schultz et al. 1997). Integrin αvβ5 mengikat fibronectin, vitronectin dan fibrinogen, sementara αvβ3 juga mengikat laminin dan sejumlah molekul matriks ekstraseluler yang lain. Molekul-molekul ini semuanya ditemukan pada trofoblas (Kimber & Spanswick 2000), lamin terdapat pada epitel endometrium dan trofoblas (Carson et al. 1993). Secara teoritis, matriks ekstraseluler dapat bertindak sebagai molekul perantara yang mengikat trofoblas pada permukaan uterus.
34
Blastosis mencit mengekspresikan integrin α1β1, α2β1, α3β1, α5β1, α6 β1, α7β1, α6β4, αvβ3, αIIb3, dan αvβ5 (Sutherland et al. 1993, Aplin 1997, Klaffky et al. 2001). Integrins α1, α3, α5, αIIb, βv, β1 dan β3 telah dilaporkan terdapat pada sel trofoblas yang dikultur in vitro (Sutherland et al. 1993, Yelian et al. 1995). Pemaparan embrio mencit terhadap fibronectin menyebabkan translokasi integrin β1dan β3 ke permukaan apeks trofoblas (Schultz et al. 1997), yang mengindikasikan peranan kedua molekul ini dalam proses perlekatan. Pada mencit, integrin subunit α5, α6B, αv, β1 and β3 terkspresi secara kontinyu selama perkembangan embrio praimpantasi. Subunit α3 terekspresi sejak stadium delapan sel dan blastosis, sementara α2, α6A and α7 terdeteksi pertama pada stadium blastosis ekspan (Sutherland et al. 1993). Integrins α1, α3, α5, αIIb, βv, β1 dan β3 telah dilaporkan terdapat pada sel trofoblas yang dikultur in vitro (Sutherland et al. 1993, Yelian et al. 1995). Selama periode periimplantai pada domba, integrin α (v,4,5) dan β (1,3,5) diekspresikan pada trofoblas dan endometrium (Spencer et al. 2004). Selain integrin, terdapat sejumlah molekul adesi lain yang terdapat pada blastosis atau ICM seperti heparan sulfat, laminin, dan thrombospondin, PECAM1 (Platelet/endothelial cell adhession molecule-1) . Heparin sulfat terdapat pada permukaan luar blastosis mencit (Carson et al. 1993), dan core proteinnya dapat berfungsi sebagai ligand untuk integrin αvβ3. Thrombospondin yang ditemukan pada trofoblas berfungsi sebagai ligand untuk αvβ3. Platelet/endothelial cell adhession molecule-1 yang terdapat pada ICM dan epiblas (Robson et al. 2001), selain berperan sebagai molekul adesi sel (Sun et al. 2000), juga dilibatkan dalam tranduksi sinyal karena dapat berikatan dengan sejumlah molekul sinyal seperti SHP-2, b-catenin, and g-catenin (Ilan et al. 2000, Jackson et al.1997).
Tingkat pertumbuhan koloni dan Doubling Time Tingkat pertumbuhan koloni (GR) dan DT merupakan gambaran kasar kecepatan pertumbuhan ESC. Mengingat embrio stadium cleavage tidak mampu menghasilkan koloni ESC maka pengukuran GR dan DT hanya dilakukan pada koloni ESC yang dihasilkan oleh morula dan blastosis. Dari hasil pengukuran ternyata embrio stadium morula menghasilkan koloni ESC dengan GR yang lebih tinggi dan DT yang lebih pendek (P<0.05) daripada yang dihasilkan blastosis (Tabel 1).
35
Ketika terjadi proses perlekatan dan koloni sel mulai tumbuh, ICM blastosis berada pada bagian tengah dan dikelilingi oleh sel trofoblas yang berada pada bagian luar. Seiring dengan bertambahnya lama kultur, kedua jenis sel tersebut mengalami perkembangan dimana ICM akan bertumbuh dalam bentuk koloni multilayer yang semakin membesar sedangkan trofoblas bertumbuh dalam bentuk monolayer yang semakin meluas. Walaupun demikian, tingkat pertumbuhan koloni dari ICM yang bertumbuh bersama dengan trofoblas tidak signifikan, yang berdampak pada kecilnya ukuran koloni
ESC yang
dihasilkan oleh blastosis (Gambar 2F). Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan sel-sel trofoblas pada embrio blastosis dapat menghambat pertumbuhan ICM. Beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya tingkat pertumbuhan koloni dan panjangnya doubling time pada kultur blastosis utuh adalah terjadinya persaingan zat nutrisi antara sel-sel ICM dengan trofoblas, dimana nutrisi yang tersedia didalam medium kultur selain digunakan untuk pertumbuhan ICM, juga dimanfaatkan oleh sel trofoblas untuk menunjang proliferasinya. Penyebab lainnya adalah terjadinya persaingan ruang antara sel ICM dengan trofoblas. Keberadaan sel trofoblas di sekeliling ICM menyebabkan koloni ICM yang terbentuk tidak dapat dengan leluasa untuk bertumbuh, dan berdampak pada kecilnya koloni ESC yang dihasilkan. Selain itu, ada dugaan bahwa kultur ICM bersama dengan trofoblas akan menyebabkan sejumlah faktor yang dilepaskan oleh trofoblas dapat menginduksi diferensiasi pada ICM, yang selanjutnya berdampak pada rendahnya tingkat proliferasi ICM (Li et al. 2003). Tentunya beberapa hal yang dikemukakan diatas baru berupa dugaan yang tentunya perlu dibuktikan melalui suatu penelitian yang komprehensif di masa yang akan datang. Pola pertumbuhan koloni ESC yang dihasilkan morula berbeda dengan yang dihasilkan blastosis. Sebagian dari morula membentuk koloni multilayer dan tidak teramati adanya pertumbuhan sel-sel trofoblas di sekelilingnya. Tidak terbentuknya trofoblas pada koloni ESC dari morula mengindikasikan bahwa sifat totipotensi yang dimiliki masih tetap dipertahankan. Disisi lain, koloni yang dihasilkan oleh blastosis tersusun oleh dua tipe sel yang berbeda, sel trofoblas yang berbentuk oval memanjang membentuk monolayer pada bagian pinggir koloni dan ICM dengan bentuk sel yang bulat membentuk koloni multilayer pada bagain tengah koloni.
36
Beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwa blastomer embrio pra-blastosis (cleavage, morula) bersifat totipotensi dan masih memiliki kemampuan untuk menghasilkan individu baru (Edwards & Beard 1997). Pada mencit, blastomer tunggal dari embrio stadium dua dan empat sel dapat berkembang menjadi blastosis dan implan (Tarkowski et al. 2001). Kedua blastomer dari embrio domba stadium dua sel dapat berkembang hingga lahir (Willadsen & Godke, 1984), dan tidak ada perbedaan potensi antara embrio dua, empat dan delapan sel dalam produksi embrio kembar (Wiladsen 1979). Blastomer embrio manusia stadium empat sel juga dapat menghasilkan blastosis yang tersusun oleh ICM dan trofoblas (Van de Velde et al. 2008). Dari beberapa penelitian tersebut mengindikasikan bahwa hingga stadium delapan sel (morula tidak kompak), embrio masih belum berdiferensiasi atau bersifat totipotensi, dan dengan demikian masih memiliki kemampuan untuk diarahkan menjadi semua tipe sel termasuk trofoblas. Dengan kemampuan yang demikian, ESC yang dihasilkan oleh embrio pra-blastosis memliki kelebihan dibandingkan
dengan
yang
dihasilkan
blastosis,
karena
selain
dapat
mengahasilkan semua tipe sel tubuh dan sel germinal, juga dapat menghasilkan sel trofoblas yang dapat digunakan untuk studi perkembangan embrio khususnya dalam kaitan dengan proses implantasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa embrio stadium morula dapat menghasilkan ESC dengan tingkat perlekatan dan pembentukan koloni primer yang lebih rendah, tetapi doubling time dan tingkat pertumbuhan koloni yang lebih tinggi daripada blastosis; sedangkan embrio stadium cleavage tidak mampu menghasilkan ESC.
KESIMPULAN Kemampuan tumbuh ESC mencit yang dihasilkan oleh embrio pada stadium cleavage dan morula lebih rendah dari yang dihasilkan blastosis.
37
DAFTAR PUSTAKA Aoki R, Fukuda MN. 2000. Recent molecular approach to elucidate the mechanism of embryo implantation: trophinin, bystin, and tastin as a molecules involved in the initial attachment of blastocysts to the uterus in humans. Semin Reprod Med 18:265-271. Aplin JD. 1997. Adhesion molecules in implantation. Reviews of Reproduction 2: 84–93. Carson DD, Tang JP, Julain J. 1993. Heparan Sulphate proteoglycan (perlecan) expression by mouse embryos during acquisition of attachment competence. Dev Biol 155:97-106. Cowan A et al. 2004. Derivation of embryonic stem-cell lines from human blastocysts. N Engl J Med 350:1353-1356. Delhaise F, Bralion V, Schuurbiers N, Dessy F. 1996. Establishment of an embryonic stem cell line from 8-cell stage mouse embryos. EJM 34:237 (Abstr.) Edwards RG, Beard HK. 1997. Oocyte polarity and cell determination in early mammalian embryos. Mol Hum Reprod 3:863–905. Ilan N, Cheung L, Pinter E, Madri JA. 2000. Plateletendothelial cell adhesion molecule-1 (CD31), a scaffolding molecule for selected catenin family members whose binding is mediated by different tyrosine and Serine/Threonine phosphorylation. J Biol Chem 275:21435–21443. Illera MJ et al. 2000. Blokade of the alpha (v) beta (3) integrin adversely affect implantation in the mouse. Reprod Biol 62:1285-1290. Jackson DE, Kupcho KR, Newman PJ. 1997. Characterization of phosphotyrosine binding motifs in the cytoplasmic domain of platelet/endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1) that are required for the cellular association and activation of the protein-tyrosine phosphatase, SHP-2. J Biol Chem 272:24868-24875. Jones JM, Thomson JA. 2000. Human embryonic stem cell technology. Semin Reprod Med 18:219-223. Kimber SJ, Spanswick C. 2000. Blastocyst implantation: the adhesion cascade. Semin Cell Dev Biol 11:77-92. Klaffky E et al. 2001. Trophoblast-specific expression and function of the integrin alpha (7) subunit in the peri-implantation mouse embryos. Dev Biol 239:161-175. Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine blastocysts. Mol Reprod Dev 65:429-434.
38
Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21:152-161. Robson P et al. 2001. Inner cell mass-specific expression of a cell adhesion molecule (PECAM-1/CD31) in the mouse blastocyst. Dev Biol 234:317329. Rossant J. 1995. Development of the extraembryonic lineages. Semin Cell Dev Biol 1995;6:237–247. Rossant J. 2001. Stem cells from the mammalian blastocyst. Stem Cells 19:477482. Schultz JF, Mayernik L, Rout UK, Armant DR. 1997. Integrin trafficking regulates adhession to fibronectin during differentiation of mouse periimplantation blastocysts. Dev Genet 21:31-43. Smith SE et al. 1997. Expression of heparan sulfate proteoglycan (perlecan) in the mouse blastocyst is regulated during normal and delayed implantation. Dev Biol 184:38-47. Spencer TE, Johnson GA, Bazer FW, Burghardt RC. 2004. Implantation mechanisms: insights from the sheep. Reproduction 128:657–668. Stojkovic M et al. 2004. Derivation of human embryonic stem cells from day-8 blastocysts recovered after three-step in vitro culture. Stem Cells 22:790– 797. Sun J et al. 2000. Contributions of the extracellular and cytoplasmic domains of platelet-endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1/CD31) in regulating cell-cell localization. J Cell Sci 113:1459-1469. Sutherland AE, Calarco PG, Damsky CH. 1993. Developmental regulation of integrin expression at the time of implantation in the mouse embryo. Development 119:1175–1186. Suzuki N et al. 1998. A cytoplasmic protein, bystin, interacts with tropinin mediated cell adhesion between trophoblast and endometrial epithelial cells. Proc Natl Acad Sci USA 95:5027-5032. Tarkowski AK, Ozdzenski W, Czolowska R. 2001. How many blastomeres of the 4 cell embryo contribute cells to the mouse body? Int J Dev Biol 45:811– 816 (Abstr). Tesar PJ. 2005. Derivation of germ-line-competent embryonic stem cell lines from preblastocyst mouse embryos. Proc Natl Acad Sci USA 102:82398244. Tielens S et al. 2006. Generation of embryonic stem cell lines from mouse blastocysts developed in vivo and in vitro: relation to Oct-4 expression. Reproduction 132 59–66.
39
Van de Velde H, Cauffman G, Tournaye H, Devroey P, Liebaers I. 2008. The four blastomeres of a 4-cell stage human embryo are able to develop individually into blastocysts with inner cell mass and trophectoderm. Hum Reprod 23:1742-1747. Willadsen SM. 1979. A method for culture of micromanipulated sheep embryos and its use to produce monozygotic twins. Nature 277:298–300 (Abstr). Willadsen SM, Godke RA.1984. A simple procedure for the production of identical sheep twins. Vet Rec 114:240-243 (Abstr). Yelian FD, Yang Y, Hirata JD, Schultz JF, Armant DR.1995. Molecular interactions between fibronectin and integrins during mouse blastocyst outgrowth. Mol Reprod Dev 41:435–448.
PRODUKSI EMBRYONIC STEM CELLS DARI INNER CELL MASS BLASTOSIS YANG DIISOLASI DENGAN METODE ENZIMATIK ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan metode isolasi inner cell mass (ICM) blastosis yang lebih murah dan sederhana untuk produksi embryonic stem cell (ESC) mencit. Inner cell mass blastosis diisolasi dengan metode enzimatik, immunosurgery, atau kultur utuh (tanpa isolasi), dan selanjutnya dikultur in vitro. Variabel yang diamati adalah tingkat keutuhan ICM, tingkat perlekatan (attachment rate, AR), tingkat pembentukan koloni primer (the number of primary embryonic stem cell colony, PC), tingkat pertumbuhan koloni (growth rate, GR), dan doubling time (DT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keutuhan ICM dan AR pada metode enzimatik dan immunosurgery lebih rendah (P<0.05) daripada hasil kultur blastosis utuh. Tingkat keutuhan ICM dan AR pada metode enzimatik masing-masing adalah 85.15% dan 83.72%, metode immunosurgery adalah masing-masing 88.68% dan 87.23%; dan blastosis utuh: 100% dan 97.35%. Sebaliknya, PC, GR, dan DT yang dihasilkan pada metode enzimatik dan immunosurgery lebih baik (P<0,05) daripada hasil kultur blastosis utuh; dimana PC, GR, dan DT yang dihasilkan pada metode enzimatik: 41.86%, 108.05%, dan 19.70 jam, metode immunosurgery secara berturut-turut adalah 47.87%, 117.13%, 18.44 jam, dan blastosis utuh: 25.66%, 85.57%, 24.13 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ICM yang diisolasi dengan metode enzimatik dapat menghasilkan ESC dengan profil perkembangan yang setara dengan yang dihasilkan metode immunosurgery, dan lebih tinggi dari hasil kultur blastosis utuh.
ABSTRACT The objective of the research was to develop the simple and cheaper isolation method of inner cell mass of blastocyst to derive mouse embryonic stem cells. Inner cell mass was isolated by enzymatic or immunosurgery method, and as control group was o intact blastocyst. They were cultured in ESC medium in CO2 incubator, 37 C. The variables of the research were the number of intact ICM, attachment rate (AR), the number of primary ESC colony (PC), growth rate (GR), and doubling time (DT). The result showed that the number of intact ICM and AR on enzymatic and immunosurgery method were lower (P<0.05) than yielded from culture of intact blastocyst. The number of intact ICM and AR yielded by enzymatic method were 85.15% and 83.72%, respectively; immunosurgery method were 88.68% and 87.23%, respectively; and intact blastocyst: 100% and 97.35%, respectively. On the contrary, PC, GR, and DT yielded by enzymatic and immunosurgery methods were higher (P<0.05) than culture of intact blastocyst, that were 41.86%, 108.05% and 19.70 hours, respectively, on enzymatic method; 47.87%, 117.13%, and 18.44 hours, respectively, on immunosurgery method; and 25.66%, 85.57%, and 24.13 hours, respectively on intact blastocyst. This research concluded that ESC derive from enzymatic method was similar with the immunosurgery, and was higher than intact blastocyst. Key words: Embryonic stem cells, isolation of inner cell mass, enzymatic method
41
PENDAHULUAN Efisiensi produksi embryonic stem cells (ESC) sangat tergantung pada sistem kultur yang digunakan. Salah satu sistem kultur yang telah dikembangkan adalah dengan mengkultur blastosis utuh (tanpa pemisahan inner cell mass dari trofoblas) (Heins et al. 2004) dan selanjutnya dilakukan pemisahan ketika sudah terbentuk koloni primer ESC. Walaupun sistem kultur yang demikian tergolong sederhana namun efisiensi produksi ESC rendah. Hasil eksperimen sebelumnya menunjukkan bahwa kultur blastosis utuh menghasilkan tingkat pertumbuhan koloni yang lebih rendah dan doubling time yang lebih panjang daripada yang dihasilkan morula. Penelitian Li et al. (2003) menunjukkan bahwa ESC babi yang dihasilkan dari kultur blastosis utuh memiliki jumlah koloni primer yang lebih rendah (28%) dibandingkan dengan kultur inner cell mass (68%). Keberadaan sel trofoblas dalam kultur ESC diduga sebagai penyebab utama rendahnya profil perkembangan ESC tersebut. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, beberapa peneliti melakukan isolasi atau pemisahan inner cell mass (ICM) dari sel-sel trofoblas dengan metode immunosurgery (Chen &
Melton 2007) menggunakan whole serum
(Reubinoff et al. 2000, Park et al. 2003, Pickering et al. 2003, Hwang et al. 2004, Stojkovic et al. 2004) atau sel darah merah (Cowan et al. 2004). Walaupun demikian, antiserum dan complement yang digunakan pada metode tersebut memiliki harga yang mahal dan proses isolasi yang lebih lama, serta membatasi aplikasi klinis ESC yang dihasilkan khususnya pada manusia (Wang & Sun 2005, Martin et al. 2005, Skottman et al. 2006, Strom et al. 2007). Selain itu, immunosurgery bukan metode produksi yang optimal ketika menggunakan embrio yang berkualitas jelek (Strom et al. 2007) seperti pada blastosis yang memiliki ICM dengan jumlah sel yang sedikit. Dalam penelitian ini, digunakan tripsin untuk isolasi ICM. Metode ini baru dilaporkan penggunaannya pada proses isolasi ICM babi (Li et al. 2003) dan belum pernah dilaporkan pada spesies lainnya termasuk pada mencit. Metode ini selain memiliki harga bahan yang relatif murah, proses isolasi juga berlangsung dalam jangka waktu yang relatif pendek (Li et al. 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan metode isolasi ICM blastosis yang lebih murah dan sederhana untuk produksi ESC mencit.
42
METODE PENELITIAN Koleksi Blastosis Koleksi blastosis dilakukan pada hari keempat kebuntingan dari mencit DDY yang sebelumnya telah diinjeksi secara intraperitoneal dengan pregnant mare’s serum gonadotropin (PMSG, Folligon, Intervet, Netherland) 5 IU/0.1 ml deionize water dan 48 jam kemudian diinjeksi dengan human chorionic gonadotropin (hCG, Chorullon, Intervet, Netherland) 5 IU/0.1 ml deionize water (Lin et al. 2003). Koleksi dilakukan dengan cara membilas uterus dengan modified phophate buffered solution (mPBS) dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Blastosis yang dikoleksi diinkubasi dalam DMEM (dulbecco’s modified eagle’s medium) sebelum digunakan sebagai materi penelitian. Isolasi Inner Cell Mass Tiga ratus dua puluh embrio stadium blastosis digunakan sebagai materi penelitian. Blastosis-blastosis tersebut dipaparkan dalam pronase 0.25% selama 5 hingga 10 menit untuk menghilangkan zona pelusida. Isolasi ICM dilakukan dengan metode enzimatik dan immunosurgery, dan sebagai kontrol negatif adalah kultur blastosis utuh (tanpa isolasi). Metode enzimatik dilakukan dengan memaparkan blastosis tanpa zona pelusida dalam larutan tripsin 0.25% – EDTA 0.04% (Sigma) selama 5 hingga 10 menit pada suhu ruang (Li et al. 2003), dan dicuci tiga kali dalam mPBS. Pipet secara berulang untuk memisahkan ICM dari sel-sel trofoblas dilakukan setelah blastosis dipaparkan pada PBS- selama 20 menit. Pada metode immunosurgery dilakukan sesuai dengan metode yang pernah dilakukan Lee et al. (2005) dengan beberapa modifikasi. Blastosis tanpa zona pelusida diinkubasi dalam rabbit anti-mouse antibody (Sigma) selama 60 menit dan complement (Sigma) selama 30 menit pada
CO2 5%, 37oC, cuci
dalam Dulbecco’s modified eagle’s medium (DMEM) yang disuplementasi fetal bovine serum (FBS) 10% dan selanjutnya dilakukan pipet berulang untuk memisahkan ICM dari sel-sel trofoblas. Kultur ESC Inner cell mass dikultur dalam ESC medium [DMEM-high glucose (Sigma) yang disuplementasi dengan FBS 20% (Sigma), Nonessential amino acid 1% (Gibco), gentamicin 50 µg/ml, mercaptoethanol 0.1 mM (Sigma), dan leukemia inhibitory factor 10 ng/ml (LIF; Sigma)] pada CO2 5%, 37oC (Stojkovic et al. 2004). Kultur dilakukan selama 7 hari hingga terbentuk koloni primer ESC.
43
Variabel Penelitian Variabel yang diamati adalah tingkat perlekatan (attachment rate, AR) dan tingkat pembentukan koloni primer ESC (the number of primary embryonic stem cell colony, PC), tingkat pertumbuhan koloni (growth rate, GR), dan doubling time (DT). Tingkat keutuhan ICM dihitung berdasarkan persentase ICM utuh setelah proses isolasi; AR dihitung berdasarkan persentase embrio yang melekat pada dasar cawan. PC dihitung berdasarkan persentase embrio yang berkembang membentuk koloni multilayer yang besar; GR adalah rata-rata pertambahan diameter koloni harian dibagi dengan diameter awal dikali 100%; DT adalah jumlah satuan waktu (jam) yang dibutuhkan ESC untuk menggandakan diri. Penghitungan diperoleh dari lama kultur (jam) dibagi jumlah kelipatan diameter koloni. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan yaitu: enzimatik, immunosurgery, dan kultur blastosis utuh (tanpa isolasi). Data penelitian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Analisis menggunakan software SPSS 16.0 for windows dan MS office Excell 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Koleksi Blastosis Walaupun embrio yang dikoleksi sebagian besar sudah berada pada stadium blastosis, namun beberapa diantaranya masih berada pada stadium morula. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan perkembangan bervariasi antara individu embrio. Embrio yang berada pada stadium morula ditandai oleh adanya hubungan antara sel yang sangat kompak dan belum memiliki blastosul, sedangkan blastosis telah memiliki blastosul dan dibedakan dalam tiga kelompok yakni blastosis awal (ukuran blastosul kurang dari 50% volume embrio), blastosis (ukuran blastosul 50 – 80% volume embrio) dan blastosis ekspan memiliki ukuran blastosul yang besar (lebih dari 90% volume embrio). Selain itu, blastosis ekspan memiliki zona pelusida yang lebih tipis dibandingkan dengan blastosis
44
dan blastosis awal (Gambar 3). Embrio-embrio yang berada pada stadium morula diinkubasi dalam medium kultur hingga mencapai stadium blastosis dan selanjutnya digunakan sebagai materi penelitian.
T
zp T
zp
T
bts
bts
bts
bts
ICM
A
B
T
C
Gambar 3 Blastosis pada berbagai stadium yang dikoleksi pada hari keempat kebuntingan. A: blastosis awal, B: blastosis, C: blastosis ekspan. zp: zona pelusida, bts: blastosul, ICM: inner cell mass, T: trofoblas. Bar = 50 µm.
Isolasi Inner Cell Mass Isolasi ICM merupakan tahap penting dalam kultur ESC. Embryonic stem cells manusia yang diproduksi dengan teknik kultur blastosis utuh menghasilkan efisien produksi cell line yang rendah (Heins et al. 2004). Beberapa kelompok peneliti menggunakan teknik immunosurgery untuk memisahkan ICM dari trofoblas blastosis (Thomson et al. 1998, Reubinoff et al. 2000, Cowan et al. 2004), tetapi tidak selalu efektif ketika antiserum digunakan selama proses isolasi (Strom et al. 2007). Selain itu, mengingat harga antiserum dan complement relatif mahal maka dalam penelitian ini digunakan tripsin sebagai isolator untuk memisahkan ICM dari trofoblas blastosis mencit. Pada penelitian ini, isolasi ICM dilakukan secara immunosurgery (Gambar 4A-4C) atau enzimatik (Gambar 4D-4F) dan sebagai kontrol negatifnya adalah kultur blastosis utuh (tanpa pemisahan ICM dari trofoblas). Proses isolasi dengan immunosurgery berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama, berkisar antara 1.5 hingga 2 jam. Blastosis yang diisolasi dengan immunosurgery, belum mengalami perubahan ketika dipaparkan dalam antiserum. Perubahan terjadi ketika blastosis dipaparkan dalam complement dimana sel-sel trofoblas yang terdapat pada bagian luar mengalami lisis yang ditandai oleh bentuk sitoplasma yang kosong. Adakalanya, potensi kerja antiserum dan complement menurun seiring dengan bertambahnya lama penyimpanan dan menyebabkan tingkat lisis
45
trofoblas menurun. Pada kasus seperti ini biasanya trofoblas tidak dapat dipisahkan dari ICM secara sempurna, sehingga sebagian dari sel trofoblas akan ikut dikultur bersama-sama dengan ICM. Semakin banyak trofoblas yang ikut dikultur bersama ICM semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk melekat pada dasar cawan kultur. Untuk mengatasi hal tersebut maka lama inkubasi dalam antiserum dan complement diperpanjang, namun upaya tersebut tidak selalu berhasil. T
T
bts ICM ICM
ICM
A
C
B T ICM
ICM
T
D
E
F
Gambar 4 Proses isolasi ICM dengan metode immunosurgery (A-C), dan enzimatik (DF). ICM: inner cell mass, T: trofoblas, bts: blastosul. Bar = 30 µm.
Isolasi dengan metode enzimatik lebih sederhana karena hanya membutuhkan tripsin sebagai isolator, dan membutuhkan waktu yang relatif pendek yaitu 5 hingga 10 menit. Pemaparan blastosis dalam larutan tripsin akan menyebabkan pecahnya ikatan antara trofoblas dan cairan yang terdapat dalam blastosul akan keluar sebagai akibat tekanan osmotik larutan diluar blastosis lebih tinggi daripada didalam blastosis. Keluarnya cairan dari blastosul menyebabkan morfologi blastosis mengkerut menyerupai morula kompak (Gambar 4 D), dan sel-sel trofoblas yang berada pada bagian luar mulai mengalami lisis, yang ditandai oleh bentuk sitoplasma yang kosong (Gambar 4 E). Kunci keberhasilan dari metode ini adalah ketepatan waktu pemisahan ICM dari trofoblas. Jika isolasi terlambat dilakukan akan menyebabkan bukan saja trofoblas yang mengalami kerusakan tapi juga ICM akan ikut mengalami lisis,
46
sebaliknya jika terlalu awal maka proses isolasi tidak akan berhasil karena ikatan antara sel blastomer belum renggang. Dengan demikian, pengalaman peneliti dalam melakukan isolasi dengan metode ini sangat diperlukan (Turetsky et al. 2008). Perkembangan ESC dalam Kultur In Vitro Pasca Isolasi dengan Metode Enzimatik Dalam penelitian ini, digunakan metode enzimatik untuk isolasi ICM dari blastosis dan dibandingkan dengan metode immunosurgery dan kultur blastosis utuh. Didapatkan bahwa metode enzimatik memiliki efektivitas yang sama dengan immunosurgery dan keduanya lebih baik dari kultur blastosis utuh. Kunci penting dalam metode ini adalah perlakuan waktu terhadap blastosis dalam larutan tripsin-EDTA. Perubahan yang terjadi pada embrio harus diamati dibawah mikroskop selama perlakuan. Ketika trofoblas mulai renggang, perlakuan harus dihentikan dan ICM dapat dipisahkan dari trofoblas. Jumlah ICM utuh dan AR yang dihasilkan metode enzimatik tidak berbeda (P>0.05) dengan metode immunosurgery, dan keduanya lebih rendah (P<0.05) daripada metode tanpa isolasi (Tabel 2). Adanya kerusakan ICM selama proses isolasi baik secara enzimatik maupun immunosurgery diduga menjadi penyebab utama menurunnya jumlah ICM utuh dan tingkat perlekatan pada kedua metode tersebut, terutama pada kasus dimana ukuran ICM terlalu kecil atau terputusnya ikatan antara sel trofoblas pada saat pemaparan dengan pronase. Walaupun demikian, PC, GR, dan DT yang dihasilkan dengan metode enzimatik dan immunosurgery lebih baik (P<0.05) daripada kultur blastosis utuh (Tabel 2).
Tabel 2 Profil perkembangan embryonic stem cell pasca isolasi ICM dengan metode berbeda Variabel Penelitian Jumlah Blastosis ICM utuh (%) AR (%) PC (%) GR (%) DT(jam)
Enzimatik 101 86 (85.15± 4.47)b 72 (83.72± 5.06)b 36 (41.86±4.35)a 108.05±8.30a 19.70±1.26a
Metode isolasi Immunosurgery 106 94 (88.68± 3.80)b 82 (87.23±3.92)b 45 (47.87±4.65)a 117.13±13.59a 18.44±1.82a
Tanpa isolasi 113 113 (100±0.00)a 110 (97.35±3.48)a 29 (25.66±5.68)b 85.57±6.76b 24.13±1.64b
Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara metode isolasi
47
Salah satu hal yang mencolok yang terlihat selama kultur blastosis utuh adalah kebanyakan koloni ICM yang tumbuh mengalami degenerasi sejak hari ketiga kultur yang diawali dengan perubahan morfologis ICM dari bentuk penonjolan multilayer berangsur-angsur menjadi monolayer sebagaimana layaknya profil pertumbuhan sel trofoblas. Profil lainnya yang terlihat pada kultur blastosis tanpa isolasi adalah koloni ESC yang dihasilkan cepat mengalami diferensiasi yang ditandai oleh terbentuknya embryoid bodies, yang selanjutnya berdampak pada sedikitnya jumlah koloni yang mampu berkembang menjadi koloni primer ESC. Selain itu, kehadiran sel trofoblas disekeliling ICM menyebabkan koloni ESC yang berkembang menjadi lebih kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya persaingan ruang dan nutrisi antara koloni ESC dan trofoblas. Minimnya atau ketidak-hadiran sel trofoblas pada blastosis yang diisolasi dengan metode immunosurgery dan enzimatik berdampak positif terhadap perkembangan ESC, yang terlihat dari PC dan tingkat proliferasi ESC yang secara nyata lebih tinggi pada kedua metode ini dibandingkan dengan hasil kultur blastosis utuh. Koloni ESC yang dihasilkan pada metode enzimatik dan immunosurgery
umumnya
memiliki
diameter
yang
lebih
besar,
yang
mengindikasikan bahwa tingkat proliferasi ESC pada kedua metode ini lebih tinggi daripada hasil kultur blastosis utuh. Dengan demikian, metode isolasi enzimatik dapat digunakan sebagai metode untuk isolasi ICM dalam rangka produksi ESC mencit. Li et al. (2003) memproduksi ESC dari blastosis babi yang diisolasi dengan metode enzimatik. Blastosis dikoleksi pada hari ke-7 hingga ke-9 kebuntingan, dan sebagian dari blastosis tersebut digunakan untuk isolasi ICM dengan metode enzimatik sebelum kultur dan sebagian lagi langsung dikultur pada MEF feeder layer. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa tidak ada kerusakan sel ICM selama proses isolasi dengan metode enzimatik pada semua blastosis. Semua ICM melekat pada feeder layer, dan koloni primer ESC yang dihasilkan mencapai 68%, lebih tinggi dari pada hasil kultur blastosis utuh yaitu hanya 28%. Metode lainnya yang digunakan untuk memisahkan ICM dari trofoblas blastosis adalah metode mekanis (Storm et al. 2007). Metode ini menggunakan jarum logam yang fleksibel yang berdiameter 0.125 mm, dengan ujung jarum dibuat tipis dan tajam. Jarum yang lainnya digunakan untuk memfiksasi blastosis
48
sehingga tidak berpindah tempat pada saat dilakukan isolasi. Penggunaan metode ini cukup memuaskan karena dapat menghasilkan lima cell line dari 19 blastosis yang digunakan, dan hasil ini lebih tinggi dari yang dihasilkan dengan metode immunosurgery yaitu 16 cell line dari 100 blastosis (Inzunza et al. 2004). Isolasi ICM secara mekanis juga sebelumnya telah berhasil memproduksi dua cell line (van de Stolpe et al. 2005, Genbacev et al. 2005). Walaupun demikian, metode ini membutuhkan ketrampilan yang cukup tinggi dan membutuhkan alat yang didesain khusus. Metode lainnya adalah melakukan kultur blastosis utuh tanpa pemisahan ICM dari trofoblas (Heins et al. 2004, Simon et al. 2005, Ellerstrom et al. 2006). Walaupun demikian, metode ini tidak selalu efektif dan seringkali menghasilkan efisiensi produksi ESC yang sangat rendah (Inzunza et al. 2005). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa metode isolasi enzimatik mampu
menghasilkan
produksi
ESC
yang
setara
dengan
metode
immunosurgery, dan lebih tinggi dari yang dihasilkan kultur blastosis utuh.
KESIMPULAN Metode isolasi enzimatik dapat secara efektif digunakan untuk pemisahan ICM dari trofoblas blastosis mencit dalam rangka produksi ESC.
DAFTAR PUSTAKA Chen AE, Melton DA. 2007. Derivation of human embryonic stem cells by immunosurgery. Journal of Visualized Experiments.10. http://www. jove.com /index/Details.stp?ID=574, doi: 10.3791/574. Cowan CA et al. 2004. Derivation of embryonic stem-cell lines from human blastocysts. N Engl J Med 350:1353-1356. Ellerstrom C et al. 2006. Derivation of a xeno-free human embryonic stem cell line. Stem Cells 24:2170–2176. Genbacev O et al. 2005. Serum-free derivation of human embryonic stem cell lines on human placental fibroblast feeders. Fertil Steril 83:1517–1529. Heins N et al. 2004. Derivation, characterization, and differentiation of human embryonic stem cells. Stem Cells 22:367-376.
49
Hwang WS et al. 2004. Evidence of a pluripotent human embryonic stem cell line derived from a cloned blastocyst. Science 303:1669–1674. Inzunza J et al. 2004. Comparative genomic hybridization and karyotyping of human embryonic stem cells reveals the occurrence of an isodicentric X chromosome after long-term cultivation. Mol Hum Reprod 10:461–466. Inzunza J et al. 2005. Derivation of human embryonic stem cell lines in serum replacement medium using postnatal human fibroblasts as feeder cells. Stem Cells 23:544–549. Lee JB et al. 2005. Establishment and maintenance of human embryonic stem cell lines on human feeder cells derived from uterine endometrium under serum-free condition. Biology of Reproduction 72: 42-49. Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine blastocysts. Mol Reprod Dev 65:429-434. Li M 2004. Improved isolation and culture of embryonic stem cells from chinese miniature pig. J Reprod Dev 50:237-244. Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21: 152–161. Martin MJ, Muotri A, Gage F, Varki A. 2005. Human embryonic stem cells express an immunogenic nonhuman sialic acid. Nat Med 2005;11:228232. Park JH et al. 2003. Establishment and maintenance of human embryonic stem cells on STO, a permanently growing cell line. Biol Reprod 69: 2007– 2014. Pickering SJ et al. 2003. Preimplantation genetic diagnosis as a novel source of embryos for stem cell research. Reproductive BioMedicine 7: 353–364. Reubinoff BE, Pera MF, Fong C-Y, Trounson A, Bongso A. 2000. Embryonic stem cell lines from human blastocysts: somatic differentiation in vitro. Nature Biotechnology 18 399–404. Simon C et al. 2005. First derivation in Spain of human embryonic stem cell lines: use of long-term cryopreserved embryos and animal-free conditions. Fertil Steril 83:246–249. Skottman H et al. 2006. Unique gene expression signature by human embryonic stem cells cultured under serum-free conditions correlates with their enhanced and prolonged growth in an undifferentiated stage. Stem Cells 24:151-167. Stojkovic M et al. 2004. Derivation of human embryonic stem cells from Day 8 blastocysts recovered after three-steps in vitro culture. Stem Cells 22:790797.
50
Strom S et al. 2007. Mechanical isolation of the inner cell mass is effective in derivation of new human embryonic stem cell lines Human Reproduction 22:3051-3058. Thomson JA et al. 1998. Embryonic Stem Cell Lines Derived from Human Blastocysts. Science 282:1145-1147. Turetsky T et al. 2008. Laser-assisted derivation of human embryonic stem cell lines from IVF embryos after preimplantation genetic diagnosis. Hum Reprod 23:46–53. van de Stolpe A et al. 2005. Human embryonic stem cells: towards therapies for cardiac disease. Derivation of a Dutch human embryonic stem cell line. Reprod Biomed Online11:476–485. Wang W-H, Sun XF. 2005. Human embryonic stem cell lines are contaminated: what should we do? Hum Reprod 20:2987-2989.
PENGUJIAN EFEKTIVITAS FEEDER LAYER DAN CONDITIONED MEDIUM KUMULUS DALAM MENUNJANG PROLIFERASI DAN PLURIPOTENSI EMBRYONIC STEM CELLS ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menguji efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer atau sebagai penghasil conditioned medium dalam menunjang proliferasi dan pluripotensi ESC mencit, baik secara tunggal maupun dalam kombinasi dengan leukemia inhibitory factor (LIF) sebagai bahan penghambat diferensiasi, Pada penelitian tahap 1, Inner cell mass blastosis dikultur pada feeder layer kumulus (CFL), mouse embryonic fibroblast (MEF), atau tanpa feeder layer (WFL). Tahap 2, CFL dan conditioned medium kumulus (CCM), masing-masing disuplementasi dengan LIF pada konsentrasi 0, 10, atau 20 ng/ml. Tahap 3, setiap koloni primer ESC yang dihasilkan dibagi menjadi beberapa subkoloni kecil atau sel tunggal dengan metode pasase mekanis atau enzimatik. Hasil penelitian tahap 1 menunjukkan bahwa efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer pada kultur ESC mencit sebanding (P>0,05) dengan MEF, dan keduanya lebih baik (P<0.05) daripada WFL. Pada penelitian tahap 2, peningkatan konsentrasi LIF hingga 10 ng/ml pada CFL atau 20 ng/ml pada CCM mampu meningkatkan (P<0.05) pembentukan koloni primer, tingkat pertumbuhan koloni, jumlah cell line dan koloni yang positif terhadap allkaline phosphatase, dan memperpendek (P<0.05) doubling time. Tahap 3, pasase ESC dengan metode mekanis dapat meningkatkan (P<0.05) keberhasilan kultur ESC mencit dibandingkan dengan pasase enzimatik. ABSTRACT The purpose of this research was to examine the effectiveness of cumulus cells as feeder layer or conditioned medium in effort on proliferation and pluripotency of mouse embryonic stem cells (ESC), neither singular nor in combination with differentiation inhibitory agent, leukemia inhibitory factor (LIF). In the first experiment, inner cell mass of blastocyst was cultured on cumulus feeder layer (CFL), mouse embryonic fibroblast (MEF), or without feeder layer (WFL). The second experiment, CFL or cumulus conditioned medium (CCM) supplemented by LIF at concentration 0, 10, or 20 ng/ml. The third experiment, each primer colony of ESC divide to several small subcolony or single cell by mechanical or enzymatic method. The first experiment showed that effectiveness of cumulus cells as feeder layer in mouse ESC culture similar (P>0.05) with MEF, and better (P<0.05) than WFL. In the second experiment, increasing LIF concentration up to 10 ng/ml on CFL or 20 ng/ml on CCM promote (P<0.05) the number of primary colony, growth rate, amount of cell line and colony which are positive to alakline phosphatase staining, and shortened (P<0.05) doubling time. The third experiment, passage of ESC by mechanical method promote (P<0.05) the success of mouse ESC culture compare with enzymatic passage. Key words: cumulus feeder layer, conditioned medium, proliferation, pluripotency, embryonic stem cells
52
PENDAHULUAN Feeder layer dan conditioned medium merupakan dua faktor penting dalam kultur embryonic stem cells (ESC) yang berfungsi untuk menghasilkan berbagai growth factor yang berperan dalam meningkatkan proliferasi dan pluripotensi ESC. Perbedaan antara kedua faktor tersebut terletak pada bentuknya. Feeder layer adalah kultur sel yang membentuk suatu lapisan monolayer pada dasar cawan kultur sedangkan conditioned medium adalah cairan atau supernatan yang dikoleksi dari kultur feeder layer. Kelebihan conditioned medium adalah dapat mempertahankan tingkat kemurnian ESC yang dikultur karena tidak terjadi percampuran dengan feeder cell pada saat pasase. Feeder layer dan conditioned medium umumnya dihasilkan dari mouse embryonic fibroblast (MEF). Telah dilaporkan bahwa MEF feeder layer mensekresikan berbagai macam sitokin, seperti leukemia inhibitory factor (LIF), yang menstimulasi proliferasi dan menghambat diferensiasi ESC (Li et al. 2004). Disamping memeliki kelebihan, MEF feeder layer juga memiliki sejumlah kekurangan yaitu mudah terkontaminasi dengan bakteri dan jamur terutama pada saat awal pembuatan feeder layer, proses pembuatan relatif lebih rumit dan panjang yang diawali dari persiapan betina bunting, panen fetus, pemotongan karkas menjadi potongan-potongan kecil, tripsinasi untuk menghasilkan sel tunggal, sentrifugasi, dan kultur. Selain itu MEF tidak dapat digunakan pada pasase pertama karena masih bercampur dengan berbagai jenis sel lain, dan dengan demikian diperlukan minimal dua pasaage untuk perbanyakan MEF yang akan digunakan untuk kultur ESC. Pada kultur ESC manusia, pengunaan MEF terbentur dengan masalah etika (Lee et al. 2005). Pada penelitian ini telah digunakan sel kumulus sebagai feeder layer untuk kultur ESC mencit. Sel kumulus adalah sel-sel yang menyertai oosit pada saat ovulasi, dan memiliki peranan dalam meregulasi proses pematangan oosit. Sel kumulus mengekspresikan berbagai faktor seperti transforming growth factorβ (TGF-β; Mulheron et al. 1992), activin A (Lau et al. 1999), Wnt2 dan β-catenin (Wang et al. 2009), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), insulin-like growth factor (IGF), dan transforming growth factor (TGF; Memili et al. 2007). Beberapa dari zat aktif tersebut (seperti FGF, activin, TGFβ, dan Wnt2 dan β-catenin) yang disekresikan oleh sel kumulus diketahui sebagai regulator proliferasi ESC (Levenstein et al. 2006, Ogawa et al. 2007, James et al. 2005, Miyabayashi et al. 2007). Sel kumulus telah terbukti sangat bermanfaat
53
dalam perkembangan dan pematangan oosit, fertilisasi dan perkembangan embrio (Elvin et al. 1999, Chang et al. 2002, Vanderhyden et al. 2003, Cilio et al. 2007). Walaupun demikian, belum ada laporan tentang penggunaannya sebagai feeder layer atau sebagai penghasil conditioned medium untuk kultur ESC baik secara
tunggal
maupun
dalam
kombinasi
dengan
bahan
penghambat
diferensiasi, LIF. Tujuan penelitian ini adalah: 1) menguji efektivitas feeder layer kumulus (cumulus feeder layer, CFL) dan conditioned medium kumulus (cumulus conditioned medium, CCM) dalam menunjang proliferasi dan pluripotensi ESC mencit, 2) mengetahui konsentrasi LIF optimal pada CFL dan CCM, 3) mengetahui potensi diferensiasi ESC yang dikultur pada CFL dan CCM, dan 4) mengetahui metode pasase yang optimal untuk perbanyakan ESC yang dikultur pada CFL.
METODE PENELITIAN Produksi Sel Kumulus Mencit DDY betina umur dua hingga empat bulan disuperovulasi dengan injeksi pregnant mare’s serum gonadotropin (Folligon, Intervet) 5 IU/0,1 ml deionized water
secara intraperitoneal, dan human chorionic gonadotropin
(Chorulon, Intervet) 5 IU/0,1 ml deionized water dengan selang waktu 48 jam (Lin et al. 2003). Koleksi kompleks kumulus-oosit dilaksanakan 16 jam setelah injeksi hCG, dimana mencit tersebut dikorbankan dengan cara cervical dislocation, abdomen dibedah dengan gunting, bagian tuba falopii diisolasi dan cuci tiga kali dalam modified phosphate buffered saline (mPBS), ampula tubafalopi disayat dengan ujung jarum suntik berukuran 27G untuk mengeluarkan kompleks kumulus-oosit yang ada di dalamnya. Selanjutnya kompleks kumulus-oosit tersebut dipaparkan dalam larutan hyaluronidase 0,03% selama 2 hingga 3 menit hingga ikatan antara sel kumulus terlepas dan terpisah dari oosit. Pembuatan CFL Pembuatan CFL mengikuti metode yang dilaksanakan oleh Malekshah & Moghaddam (2005) dengan beberapa modifikasi. Singkatnya, sel kumulus dicuci tiga kali dalam mPBS, disentrifus pada kecepatan 1000xg selama 5 menit, dan setelah supernatannya dibuang, sel kumulus dikultur dengan kepadatan 5,6 x 104 sel per ml dalam Dulbeccos modified eagles medium (DMEM)-high glucose yang
54
disuplementasi dengan heat inactivated fetal bovine serum 10% (FBS), Nonessential amino acid 1% (NEAA), dan gentamicin 50 µg/ml. Sebelum digunakan sebagai feeder layer, lapisan sel kumulus yang melekat pada dasar cawan kultur diinaktivasi dengan mitomycin C 10 µg/ml selama 2 jam, cuci tiga kali dalam mPBS, dan inkubasi selama 4 jam dalam DMEM-high glucose. Setelah medium inkubasi dibuang, CFL telah siap digunakan untuk kultur ESC. Pembuatan CCM Feeder layer kumulus diinkubasi selama 24 jam dalam ESC medium (DMEM-high glucose yang disuplementasi dengan FBS 20%, NEAA 1%, mercaptoethanol 0.1 mM, gentamicin 50 µg/ml, dan LIF disesuaikan dengan konsentrasi pada masing-masing perlakuan). Setelah inkubasi, supernatan (cairan) diambil dan disaring dengan menggunakan filter 0.22 µm, dan disimpan dalam lemari pendingin atau langsung digunakan untuk kultur ESC.
Identifikasi Protein pada CCM Identifikasi protein yang terkandung dalam CCM dilaksanakan dengan Sodium Dedocyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE). Prosedur
identifikasi
diawali
dengan
pembuatan
monogel
SDS-PAGE,
pemasukan sampel ke dalam sumuran gel, pewarnaan commassie brilliant blue, dan interpretasi hasil. Monogel terdiri dari 2 bagian yaitu running gel dan stacking gel. Running gel dibuat dengan mencampurkan Acrylamide 40% (5.1 ml), bis-acrylamide 2 % (2.80 ml), SDS 10% (150 µL), Tris-HCl pH 8.8 (3.75 ml), dH2O (3.12 ml), TEMED (7.5 µL) dan APS 10% (75 µL). Setelah tercampur secara merata, running gel dimasukan ke dalam cetakan (gel berupa lempeng kaca yang dijepit) dengan menggunakan pipet atau syringe. Batas atas dari running gel sekitar 3 hingga 4 cm dari atas cetakan. Bagian tepi atas running gel dilapisi air untuk mencegah kontak dengan oksigen. Setelah running gel mengeras, air dikeluarkan dan bagian atas gel dicuci dengan air steril, dan selanjutnya dikeringkan kembali. Kegiatan selanjutnya adalah memasukan larutan stacking gel tepat diatas running gel dengan menggunakan syringe, sisir diletakkan di atas stacking gel, dan dibiarkan selama 10 menit hingga stacking gel mengeras.
55
Sementara
menunggu
stacking
gel
mengeras,
sampel
protein
(conditioned medium kumulus) ditambahkan sampel buffer dengan perbandingan 1 : 1, dan selanjutnya dipanaskan selama 2 menit pada air mendidih. Setelah stacking gel mengeras, sisir diangkat dan sumuran yang terbentuk dikeringkan dengan menggunakan kertas saring. Cetakan diletakkan pada tangki buffer yang telah diisi dengan running buffer pada bagian dasar tangki, dan sisanya ditambahkan pada bagian atas tangki buffer. Sumur 1 dan 10 dibiarkan dalam keadaan kosong, marker dimasukkan ke dalam sumur 2, sedangkan sumur lainnya diisi dengan sampel protein menggunakan syringe. Elektroforesis dijalankan pada ketegangan 100 V selama 90 menit. Setelah itu, cetakan dipindahkan dari tangki buffer, gel dipisahkan dari lempeng kaca untuk selanjutnya diwarnai dengan Commassie brilliant blue selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah itu larutan pewarna dikeluarkan, dan sisa pewarna dicuci dengan destaining (methanol + asam asetat + dH2O) hingga sisa perwarna tercuci bersih. Gel sudah siap di evaluasi atau dibaca. Pembuatan MEF Feeder Layer Pembuatan MEF feeder layer menggunakan metode Li et al. (2003) dengan sedikit modifikasi. Fetus mencit umur 13.5 hari dikeluarkan dari uterus, cuci tiga kali dalam mPBS. Setelah bagian nonkarkas dibuang, karkas ditempatkan dalam larutan tripsin 0.05%-EDTA 0.004% selama 10 menit pada suhu kamar. Supernatan yang mengandung sel tunggal dicampur dengan MEF medium (DMEM-high glucose, FBS 10%, NEAA 1%, dan gentamicin 50 µg/ml), sentrifugasi tiga kali pada 1000xg selama 5 menit. Setelah supernatan dibuang, sel tunggal yang terdapat pada dasar tabung dikultur dalam MEF medium. Pasase dilakukan ketika sel hampir memenuhi dasar cawan kultur, dengan menggunakan tripsin 0.05%-EDTA 0.004% selama 5 menit pada suhu kamar. Setelah dua hingga empat pasase, MEF diinaktivasi dalam mitomycin C 10 µg/ml selama 2.5 jam, cuci tiga kali dalam mPBS, dan inkubasi dalam MEF medium selama 4 jam pada CO2 5%, 37oC. Selanjutnya MEF medium dikeluarkan, cuci -
dengan PBS dan sentrifugasi seperti sebelumnya. Endapan sel dikultur kembali dalam MEF medium dengan kepadatan 5.6 x 104 sel/ ml selama 24 jam sebelum digunakan untuk kultur ESC.
56
Produksi Blastosis Kegiatan produksi blastosis diawali dengan induksi superovulasi seperti metode sebelumnya pada mencit Ddy betina umur dua hingga empat bulan (Lin et al. 2003). Pada saat injeksi hCG, setiap mencit betina dikawinkan dengan mencit jantan dengan perbandingan 1:1. Mencit yang memiliki vaginal plug pada pagi hari berikutnya dipisahkan dan pada hari keempat kebuntingan dikorbankan dengan cara cervical dislocation, abdomen dibedah dengan gunting, uterus dipotong dan dicuci tiga kali dalam mPBS. Koleksi blastosis dilakukan dengan membilas uterus menggunakan mPBS, dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop stereo. Blastosis dipindahkan ke dalam DMEM-high glucose
dan
o
inkubasi selama satu jam pada 5% CO2, 37 C. Isolasi Inner Cell Mass (ICM) Blastosis -
Blastosis dicuci tiga kali dalam PBS , dipaparkan dalam larutan pronase 0,25% selama 5 hingga 10 menit untuk melisiskan zona pelusida yang merupakan pembungkus luar blastosis, dan selanjutnya dicuci tiga kali dalam mPBS. Sebelum dilakukan proses isolasi ICM, blastosis tanpa zona pelusida diinkubasi dalam MEF medium selama 5 hingga 10 menit, dan dicuci kembali -
dalam PBS untuk membersihkan antiserum yang masih melekat pada blastosis. Blastosis selanjutnya diinkubasi dalam rabbit anti-mouse antibody selama 60 menit,
dan guinea pig complement selama 30 menit pada suhu 37oC, pipet
berulang hinggga sel trofoblas yang terdapat pada bagian luar blastosis terpisah dari ICM (Matahine et al. 2008). Kultur ESC Pada tahap 1, ICM blastosis dikultur pada CFL atau MEF dalam cawan kultur yang mengandung ESC medium. Tahap 2, ICM dikultur pada CFL atau CCM yang disuplementasi dengan LIF pada konsentrasi 0, 10, atau 20 ng/ml; dan sebagai kontrol pada kedua tahap penelitian ini adalah kultur tanpa feeder layer (WFL). Pergantian medium dilakukan setiap dua hari dan sekaligus dilakukan pengamatan terhadap perkembangan ESC. Kultur dilakukan selama 7 hari hingga terbentuk koloni ESC multilayer yang besar.
57
Pasase Koloni ESC -
Koloni ESC dicuci dua kali dalam PBS dan selanjutnya dilakukan pasase dengan metode enzimatik atau mekanis. Metode enzimatik dilakukan dengan memaparkan koloni ESC pada larutan tripsin 0.25%-EDTA 0.04%
selama 5
menit, pipet berulang hingga dihasilkan sejumlah subkoloni kecil atau sel tunggal. Subkoloni dan sel tunggal tersebut dipindahkan kedalam mPBS, sentrifugasi dua kali dengan kecepatan 1000xg, dan setelah supernatannya dibuang, endapan sel dikultur kembali dalam ESC medium pada 37oC, CO2 5%. Metode mekanis dilakukan dengan cara memotong koloni ESC menjadi beberapa subkoloni kecil, cuci dua kali dalam mPBS, dan selanjutnya dikultur kembali dalam cawan petri yang baru yang mengandung ESC medium. Perbanyakan ESC dengan kedua metode ini dilakukan hingga pasase kelima. Uji Pluripotensi Embryonic stem cells dipaparkan pada paraformaldehide 4% selama 20 menit, cuci dua kali dengan mPBS dan diwarnai dengan larutan alkaline phosphatase (ALP) yang tersusun atas naphtol AS-MX phosphatase 200 µg/ml, Fast Red TR salt 1 mg/ml, dan Tris Buffer 100 mM, selama 30 menit pada temperatur ruangan. Koloni yang positif terhadap ALP (ALP+) akan berwarna merah dan mengindikasi masih bersifat pluripoten (Kitiyanant et al. 2000). Induksi Diferensiasi Dalam upaya untuk mengetahui potensi diferensiasi ESC hasil kultur pada CFL dan CCM maka dilakukan diferensiasi spontan. Koloni ESC yang terbentuk dikultur dalam ESC medium tanpa suplementasi LIF dan tanpa pasase selama empat minggu, dan dilakukan pengamatan harian terhadap perubahan karakteristik ESC. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data penelitian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan. Analisis menggunakan software SPSS 16.0 for windows dan MS office Excell 2007.
58
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil ESC yang Dikultur pada CFL dan MEF Inner cell mass blastosis yang telah dipisahkan dari trofoblas (Gambar 5) dikultur pada CFL atau MEF (Gambar 6). Inner cell mass selanjutnya mengalami perlekatan pada feeder layer (Gambar 7A) dan bertumbuh menjadi koloni ESC multilayer yang besar (Gambar 7B-7D).
ICM
ICM
BT ZP BT T B
A
T
T
T
ICM ICM
C
D
Gambar 5 Proses isolasi ICM untuk kultur pada CFL dan CCM. A: blastosis utuh, B: blastosis tanpa zona pelusida setelah dipaparkan pada antiserum, C: blastosis setelah dipaparkan pada complement, terjadi lisis pada trofoblas, D: ICM hasil isolasi. ZP: zona pelusida, T: trofoblas, BT: blastosul, ICM: inner cell mass. Bar = 60 µm.
59
A
B
Gambar 6 CFL (A) dan MEF feeder layer (B) yang digunakan untuk kultur ESC. 100 µm.
A A
B B
C C
D D
Gambar 7
Perkembangan ESC dalam kultur: ICM yang melekat pada feeder layer setelah kultur 2 hari (A) dan 3 hari (B), koloni primer ESC umur 5 hari (C) dan 7 hari (D). Bar: 100 µm.
60
Perhitungan tingkat perlekatan (attachment rate, AR) dilakukan pada kultur hari pertama hingga keempat. Tingkat perlekatan ICM pada CFL dan MEF tidak berbeda (P>0.05) dengan yang dihasilkan pada WFL. Walaupun demikian, dalam kultur selanjutnya, sebagian besar ICM yang dikultur pada WFL tidak berhasil membentuk koloni multilayer yang besar dan menyebabkan tingkat pembentukan koloni primer ESC (the number of primary embryonic stem cell colony, PC) pada WFL lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan yang dikultur pada CFL dan MEF. Selain itu, tidak satupun koloni ESC yang dikultur pada WFL yang bertahan hingga pasase kelima, dan menyebabkan jumlah cell line yang dihasilkan lebih rendah (P<0.05) dari CFL dan MEF (Tabel 3). Tabel 3 Proliferasi dan pluripotensi embryonic stem cells yang dikultur pada CFL dan MEF Variabel Penelitian Jumlah embrio AR (%) PC (%) GR (%) DT (jam) Cell line (%) ALP+ (%)
CFL 46 43 (93.48±6.65)a 23 (50.00±8.39)a 129.23±20.39a 17.06±2.54a 4 (8.70±2.14)a 51/67 (76.12±2.72)a
Jenis feeder layer MEF 46 42 (91.30±10.95)a 24 (52.17±7.90)a 129.98±19.33a 16.91±2.17a 5 (10.87±4.48)a 60/73 (82.19±4.36)a
WFL 46 37 (86.96±4.25)a 4 (8.70±7.06)b 75.03±11.82b 27.27±4.03b 0 (0.00±0.00)b td
Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara jenis feeder layer. td = tidak dilakukan pengukuran
Selain itu, juga dilakukan pengukuran tingkat proliferasi dan pluripotensi ESC. Tingkat proliferasi didasarkan pada tingkat pertumbuhan koloni (rata-rata pertambahan diameter koloni ESC harian) dan doubling time (jumlah satuan waktu yang dibutuhkan koloni ESC untuk menggandakan diri). Tingkat proliferasi yang tinggi ditunjukkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan koloni (growth rate, GR) dan pendeknya doubling time (DT). Tingkat pertumbuhan koloni dari koloni ESC yang dikultur pada CFL tidak berbeda (P>0.05) dengan yang dihasilkan pada MEF, dan keduanya lebih tinggi (P<0.05) daripada WFL. Tingkat pertumbuhan koloni ESC yang tinggi pada CFL dan MEF berdampak pada lebih pendeknya doubling time (P<0.05) dibandingkan dengan WFL (Tabel 3). Tingkat pluripotensi diukur dengan pewarnaan ALP. Koloni yang positif terhadap pewarnaan ALP (warna merah) menunjukkan masih bersifat pluripoten dan belum berdiferensiasi (Gambar 8). Tingkat pluripotensi ESC pada CFL tidak berbeda (P>0.05) dengan MEF (Tabel 3). Pada kultur dengan WFL, tidak dilakukan pengukuran karena tidak satupun koloni ESC yang bertahan hingga
61
pasase kelima. Morfologi koloni yang telah berdiferensiasi umumnya memiliki bentuk koloni yang flat dan morfologi sel tunggal dapat dibedakan secara individual. Pada ESC mencit, diferensiasi umumnya terjadi pada bagian pinggir (Oh et al. 2005).
Gambar 8 Koloni embryonic stem cells yang positif terhadap pewarnaan alkaline phosphatase. Bar:50 µm.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer pada kultur ESC mencit sebanding dengan MEF, dan keduanya lebih baik daripada WFL. Hampir semua variabel penelitian pada CFL dan MEF kecuali AR, lebih baik daripada WFL. Tingkat pembentukan koloni primer, GR, jumlah cell line, dan ALP+ mengalami peningkatan masing-masing sebesar 41.30, 54.20, 8.70, dan 76.12%, dan terjadi perpendekan DT 10.21 jam ketika ESC dikultur pada CFL dibandingkan dengan WFL (Tabel 3). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa CFL menghasilkan faktor penunjang atau paling tidak menyediakan lingkungan kultur yang lebih kondusif bagi ICM untuk hidup dan melekat pada cawan kultur yang selanjutnya berkembang membentuk koloni ESC. Menurut Kane et al. (1992), feeder layer berpengaruh positif terhadap perkembangan sel embrionik melalui tiga cara: 1) feeder layer memproduksi berbagai bahan mitogenik untuk embrio, 2) produk matriks ekstraseluler feeder layer menunjang pertumbuhan dan perkembangan sel embrionik, dan 3) feeder layer dapat meminimalisir pengaruh dari berbagai substansi toksik yang
62
dihasilkan selama kultur in vitro. Hal tersebut ditunjang oleh Joo et al. (2001), yang menyatakan bahwa kontak langsung antara feeder cell dengan ESC akan memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan tumbuh kembang dari sel-sel yang bersangkutan. Senada dengan itu, Roudebush et al. (1995) menyatakan bahwa penggunaan sistem ko-kultur seperti dengan sel kumulus memiliki beberapa keuntungan yaitu: dapat menghilangkan berbagai substansi yang merugikan dari medium kultur, memiliki aktivitas antioksidan, menghasilkan berbagai agen embriotropik spesifik dan non spesifik seperti growth factor. Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah penggunaan kumulus sebagai feeder layer mampu menampilkan produksi ESC mencit secara optimal. Hal ini terlihat dari tidak adanya perbedaan AR, PC, GR, DT, jumlah cell line, dan ALP+ yang dihasilkan oleh CFL dengan MEF (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan bahwa sel kumulus menghasilkan berbagai growth factor yang berperan dalam proliferasi dan self-renewal ESC. Sel kumulus mengekspresikan TGF-β tipe 1 dan 2 mRNA (Mulheron et al. 1992), dan activin A (Lau et al. 1999). Konsentrasi activin A dalam medium yang mengandung kumulus berkisar antara 539 ± 107,2 pg/ml hingga 875,5 ± 101 pg/ml (Lau et al. 1999). Peranan activin dalam mempertahankan pluripotensi ESC melalui interaksi dengan reseptor activin tipe II (ActRII/IIB), menyebabkan fosforilasi dan aktivasi reseptor activin tipe I (ALK4 atau ActRIB). ALK4 memfosforilasi Smad2 dan Smad3, membentuk kompleks dengan Co-Smad (Smad4). Kompleks tersebut akan terakumulasi dalam inti dan terikat pada promoter region dari gen target, dan meregulasi ekspresi gen tersebut untuk mempertahankan pluripotensi ESC (Feng & Derynck 2005). Xiao et al. (2006) melaporkan bahwa activin A (10 ng/ml) cukup untuk mempertahankan pluripotensi ESC manusia yang dikultur pada matrigel. Activin/Nodal signaling mempertahankan pluripotensi ESC manusia (Xiao et al. 2006). Dalam penelitian tersebut, telah dibuktikan bahwa ESC manusia akan berkembang menjadi trofoblas jika activin/Nodal signaling dihambat. Pada morula manusia, sel-sel yang menerima sinyal activin/Nodal membentuk inner cell mass, sementara sel lain yang tidak menerima cukup sinyal activin/Nodal akan
berkembang
activin/Nodal
menjadi
signaling
trofoblas.
meregulasi
Hal
kejadian
ini
mengindikasikan
diferensiasi
pertama
bahwa pada
perkembangan embrio manusia (Wu et al. 2008). Sel kumulus juga mengandung 4395 protein, 286 diantaranya termasuk protein membran, dan 185 termasuk protein inti (Memili et al. 2007). Mereka juga
63
mengidentifikasi 241 receptor-ligand pathway, 18 diantaranya adalah growth factor yang dilibatkan dalam proliferasi dan diferensiasi sel. Sel kumulus juga mengekspresikan beberapa growth factor seperti Endothelial growth factor-D, FGF, EGF, IGF, TGF (Memili et al. 2007). Kumulus juga mengandung laminin receptor yang berfungsi untuk memediasi perlekatan, migrasi, dan organisasi sel, 249 transcription factor diantaranya adalah: 4 signal transducer and activator of transcription (STAT) proteins (Memili et al. 2007), Wnt2 dan β-catenin (Wang et al. 2009) yang berperan dalam mempertahankan proliferasi dan pluripotensi ESC (Miyabayashi et al. 2007). Secara umum, hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya. Hashemi-Tabar et al. (2005) menguji efisiensi rat embryonic fibroblast (REF) dan MEF sebagai feeder layer untuk kultur ESC mencit. Lima belas blastosis yang dikultur pada REF mampu menghasilkan 8 koloni primer (53.33%), tetapi tidak ada yang mampu membentuk cell line. Disisi lain, dari 10 blastosis yang dikultur pada MEF, dihasilkan 4 koloni primer (40%), dan 3 diantaranya membentuk cell line (30%).
Selain itu, doubling time ESC
mencit pada penelitian ini juga berbeda dengan yang dihasilkan oleh ESC primata, manusia dan kelinci. Doubling time ESC primata pada tiga hari pertama kultur adalah 70 jam dan menurun menjadi 25 jam pada hari keempat dan kelima kultur (Fluckiger et al. 2006). Pada ESC manusia, doubling time lebih panjang yaitu 36.9 hingga 38.7 jam (Chen et al. 2007) dan 30 hingga 40 jam (Park et al. 2008b), sedangkan pada ESC kelinci lebih pendek yaitu 24 jam (Wang et al. 2007). Dari berbagai data yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan produksi ESC sangat dipengaruhi oleh faktor genetik (Yu & Thomson 2008), misalnya, ESC dapat dengan mudah dihasilkan dari mencit strain 129 tetapi kurang efisien dari strain C57BL/6 (Cheng et al. 2004), metode isolasi, metode kultur, pengalaman dan ketrampilan peneliti, jumlah dan kualitas embrio yang digunakan (Stojkovic et al. 2004). Kriteria seleksi yang digunakan untuk memilih embrio akan menentukan tingkat keberhasilan produksi ESC (Trounson 2006).
Diperkirakan bahwa 50 persen embrio manusia memiliki
abnormalitas kromosom (Gianaroli 2002) yang akan membatasi tingkat keberhasilan produksi ESC. Produksi ESC juga tergantung pada tipe, sumber dan kualitas feeder layer, dan metode pasase ESC yang digunakan (HashemiTabar et al. 2005).
64
Profil ESC pada CCM dan CFL dengan Konsentrasi LIF Berbeda Hasil pengamatan AR pada hari kedua kultur menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi LIF dalam medium kultur tidak diiringi peningkatan AR baik pada CCM, CFL, maupun perlakuan kontrol (P>0.05). Semua kombinasi perlakuan memiliki AR yang tinggi yaitu diatas 80% (Tabel 4). Hasil penelitian ini mungkin mengindikasikan bahwa LIF tidak berperan dalam proses perlekatan sel. Disisi lain, ada perbedaan level LIF optimal antara CCM dan CFL pada beberapa variabel seperti PC, GR, DT, cell line dan ALP+, dimana level LIF optimal pada CCM dihasilkan pada konsentrasi 20 ng/ml, sedangkan pada CFL dicapai pada level 10 ng/ml. Peningkatan konsentrasi LIF hingga 20 ng/ml pada CCM mampu meningkatkan keberhasilan kultur ESC yang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan yang dihasilkan pada konsentrasi 0 dan 10 ng/ml (Tabel 4). Peningkatan PC pada CCM dengan konsentrasi LIF 20 ng/ml mencapai 33% dibandingkan dengan 6% pada konsentrasi 10 ng/ml, GR: 44% vs 17%, cell line: 9% vs 2%, ALP+: 77% vs 44%, dan memperpendek DT sekitar 8 jam vs 4 jam. Pada kultur dengan CFL, keberhasilan kultur ESC yang dicapai dengan konsentrasi LIF 10 ng/ml dan 20 ng/ml tidak berbeda nyata (P>0.05), dengan peningkatan PC: 22% vs 27%, GR: 35% vs 41%, cell line: 9% vs 11%, ALP+: 79% vs 83%, dan memperpendek DT sekitar 6 jam vs 6 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperlukan konsentrasi LIF yang lebih rendah pada kultur ESC dengan CFL dibandingkan dengan CCM. Hal ini mungkin diakibatkan oleh beberapa hal: 1) kontak langsung dengan sel kumulus menjamin kontinuitas kebutuhan ESC terhadap growth factor yang berperan dalam proliferasi dan pluripotensi, 2) mitogenic factor yang terekspresi pada CFL tidak dilepaskan secara sempurna kedalam CCM sehingga tidak mencukupi kebutuhan ESC, 3) produk buangan dari hasil sisa metabolime ESC yang dilepaskan ke dalam CCM mengganggu pertumbuhan dan perkembangan ESC.
65
Tabel 4
Proliferasi dan pluripotensi embryonic stem cells yang dikultur pada CFL dan CCM dengan konsentrasi LIF berbeda
Metode kultur
LIF (ng/ml)
AR (%)
PC (%)
GR (%)
DT (jam)
Cell line (%)
ALP+ (%)
CCM
Tanpa LIF
82.22±8.43a
11.11±9.80cd
75.36±4.00cd
26.81±1.19c
0.00±0.00b
td
a
bc
b
b
b
CFL
WFL
92.33±8.60
22.64±1.83
2.22±0.00
44.44±0.00b
44.44±9.71a
119.17±10.55a
18.08±1.38a
8.89±1.47a
77.42±7.25a
91.11±8.08a
24.44±7.65b
86.36±4.93bc
23.90±1.19b
0.00±0.00b
td
10
93.33±6.40a
46.67±5.85a
121.17±10.74a
17.82±1.37a
8.89±1.71a
79.37±3.98a
20
88.89±11.90a
51.11±4.83a
127.90±14.20a
17.05±1.78a
11.11±2.06a
83.58±2.79a
Tanpa LIF
82.22±8.43a
0.00±0.00e
td
td
td
td
10
84.09±4.19a
6.82±6.02de
71.23±3.41d
28.09±1.10c
0.00±0.00b
td
20
88.89±11.47a
11.11±2.15cd
87.99±3.81b
23.49±0.88b
2.22±0.00b
41.67±0.00b
10
86.67±9.76
17.78±7.78
20
91.11±10.48a
Tanpa LIF
Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara metode kultur. td=tidak dilakukan pengukuran
66
Hal lain yang teramati adalah kultur ESC pada CCM atau CFL tanpa LIF menghasilkan keberhasilan ESC yang lebih rendah. Bahkan dari 45 ICM pada masing-masing perlakuan tidak satupun yang membentuk cell line. Hal ini mungkin
mengindikasikan
bahwa
zat
aktif
yang
berperan
dalam
mempertahankan pluripotensi dan proliferasi yang terdapat dalam sel kumulus terkandung dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan dengan kebutuhan ESC sehingga masih diperlukan suplementasi LIF ekstraseluler. Menurut Lau et al. (1999), konsentrasi activin A dalam medium yang mengandung kumulus berkisar antara 539 pg/ml hingga 875,5 pg/ml (Lau et al. 1999), lebih rendah daripada level yang optimal untuk kultur ESC yaitu 10 ng/ml (Xiao et al. 2006). Hasil yang sama ditampilkan ketika ESC dikultur hanya menggunakan LIF tanpa CFL atau CCM. Semua variabel penelitian kecuali AR pada kondisi kultur yang demikian mengalami penurunan secara drastis, bahkan tidak satupun cell line yang dihasilkan pada kelompok WFL tanpa LIF dan WFL plus LIF 10 ng/ml. Hal ini memberi indikasi bahwa kombinasi zat aktif yang terdapat dalam CFL dan CCM dengan LIF yang ditambahkan ke dalam medium kultur memberikan nilai tambah terhadap proliferasi dan pluripotensi ESC. Hasil SDS-PAGE menunjukkan bahwa CCM mencit mengandung empat jenis protein dengan berat molekul secara berturut-turut >203, 75.3, 65.5, dan 30.3 kDa (Gambar 9). Keempat jenis protein tersebut belum diketahui secara pasti karena tidak dilakukan karakterisasi yang lebih spesifik. Namun demikian, dihubungkan dengan beberapa penelitian sebelumnya ada indikasi bahwa protein dengan berat molekul 30.3 kDa hampir sama dengan berat molekul basic fibroblast growth factor (bFGF) yang ditemukan pada testes rodensia (30 kDa) (Mayerhofer et al. 1991). Protein dengan berat molekul 65.5 kDa hampir sama dengan berat molekul activin receptor type I (Alk-2, activin receptor-like kinase-2) (65 kDa) dan protein dengan berat molekul 75.3 kDa berada pada kisaran berat molekul TGFβ type 1 receptor (70-85 kDa) yang berperan dalam pengikatan BMP (R&D system 1999). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa feeder layer dan conditioned medium kumulus yang disuplementasi dengan LIF dapat digunakan secara optimal untuk kultur ESC mencit. Selain itu, penggunaan conditioned medium kumulus dalam kultur ESC akan memberikan nilai tambah dibandingkan dengan penggunaan feeder layer ataupun gowth factor karena selain harganya murah, ESC yang diproduksi dengan metode ini dapat dihasilkan dalam tingkat
67
kemurnian yang tinggi karena tidak adanya percampuran dengan feeder layer. Conditioned medium dapat diproduksi secara kontinyu dari hasil kultur feeder layer baik digunakan untuk keperluan sendiri ataupun dapat dijual kepada pihak lain yang membutuhkan. Line 2
Line 3
Line 4
Line 5
Line 6
Line 7
Line 8
Line 9
Line 10
>203
203 118 86
75.3
65.5
51.6 34.1
30.3
29
19.2
7.5
Gambar 9 SDS-PAGE pada conditioned medium kumulus.
line 1&10:
sample buffer
line 6:
Sampel buffer+ serum
line 2:
marker
line 7:
line 3 : PBS = 1 : 1
line 3:
supernatan kumulus - serum
line8:
line 4 : PBS = 1 : 1
line 4:
supernatan kumulus + serum
line 9:
line 5 : PBS = 1 : 1
line 5:
supernatan kumulus oosit + serum
Sel
kumulus
manusia
menghasilkan
antioksidan
yang
berfungsi
melindungi oosit dari pengaruh negatif reactive oxygen species (Matos et al. 2009). Sel kumulus manusia juga mengekspresikan Wnt/β-catenin (Wang et al. 2009), transforming growth factors-β (TGF-β) type 1 and type 2 mRNA (Mulheron et al. 1992), activin A (Lau et al. 1999). Sel kumulus sapi mengandung FGF, epidermal growth factor (EGF), insulin-like growth factor (IGF), dan TGF (Memili et
al.
2007).
Bahan-bahan
aktif
tersebut
diketahui
berperan
dalam
mempertahankan proliferasi ESC. Wnt signaling bekerja secara sinergis dengan LIF untuk mempertahankan pluripotensi pada ESC mencit dan ESC manusia (Sato et al. 2004, Ogawa et al. 2006). Dalam kehadiran Wnt/β-catenin, LIF
68
berkonsentrasi rendah dapat mempertahankan proliferasi ESC, dan terjadi peningkatan ekspresi STAT3 sebesar dua hingga tiga kali lipat (Hao et al. 2006). Hasil penelitian Davey et al. (2007) mengindikasikan bahwa Wnt/β-catenin dapat meningkatkan aktivasi STAT3, dan memungkinkan level ligand yang berada dibawah ambang kebutuhan dapat
mempertahankan proliferasi ESC. Pada
kondisi normal, misalnya level LIF eksogen yang rendah, tingkat aktivasi STAT3 sangat rendah sehingga tidak cukup untuk mempertahankan proliferasi ESC, yang selanjutnya menyebabkan diferensiasi (Davey et al. 2007). Embryonic stem cells memerlukan growth factor dari luar untuk mempertahankan pluripotensi selama kultur in vitro. Hal ini memberikan suatu indikasi bahwa pluripotensi merupakan suatu tahapan sel yang tidak stabil dan sangat sensitif terhadap faktor-faktor penyebab diferensiasi. Secara umum, ESC dikultur pada feeder layer yang terbuat dari sel-sel fibroblas fetus yang sebelumnya telah diinaktivasi untuk menghambat pertumbuhannya tetapi masih mampu menghasilkan growth factor yang diperlukan untuk menunjang proliferasi dan mempertahankan pluripotensi ESC. Salah satu faktor yang dihasilkan oleh sel-sel fibroblas fetus yang berperan dalam mempertahankan proliferasi dan pluripotensi ESC adalah LIF, suatu sitokin yang pada awalnya dikenal berfungsi dalam menginduksi diferensiasi sel-sel leukemia, tetapi kemudian diketahui dapat menghambat diferensiasi pada ESC. Leukemia inhibitory factor adalah anggota interleukin-6 (IL-6) cytokine family yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan proliferasi ESC mencit. Leukemia inhibitory factor menstimulasi ESC mencit melalui gp130, yang berfungsi sebagai heterodimer bersama dengan LIF receptor. Aktivasi gp130 menyebabkan teraktivasi-nya janus-associated tyrosine kinase (JAK) dan signal transducer and activation of transcription 3 (STAT3). STAT3 masuk ke dalam inti sel dan mengaktivasi sejumlah gen seperti c-myc (Cartwright et al. 2005), nanog (Chambers et al. 2003, Darr et al. 2006), eed (Ura et al. 2008), jmjd1a (Ko et al. 2006) dan GABPβ,
yang berfungsi untuk mempertahankan ekspresi Oct4
(Kinoshita et al. 2007), dan berbagai faktor transkripsi lainnya yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan proliferasi ESC. Tiga faktor transkripsi, Oct4, Nanog dan Sox2, adalah protein-protein pertama yang diidentifikasikan esensial untuk mempertahankan pluripotensi pada ESC (Mitsui et al. 2003). Pluripotensi ESC mencit dapat dipertahankan jika ekspresi Oct4 dipertahankan dalam range yang tepat. Ekspresi yang berlebihan
69
atau kurang dapat menyebabkan diferensiasi (Niwa et al. 2000). Begitu juga dengan ekspresi Sox2, pada konsentrasi yang berada diluar range menyebabkan diferensiasi ESC (Fong et al. 2008; Kopp et al. 2008). Berlawanan dengan yang terjadi pada Oct4 dan Sox2, ekspresi yang berlebihan dari Nanog pada ESC mencit menyebabkan pluripotensi dan proliferasi dapat dipertahankan tanpa ketergantungan pada LIF/STAT3 (Chambers et al. 2003). Selain Oct4, Nanog, dan Sox2, faktor lain yang diperlukan untuk mempertahankan pluripotensi adalah Sall4, Dax1, Essrb, Tbx3, Tcl1, Rif1, Nac1, dan Zfp281 (Loh et al. 2006). Faktor-faktor pluripotensi ini saling bekerjasama dan membentuk jaringan pengatur transkripsi pada ESC (Zhou et al. 2007). Selsel pluripoten juga mengekspresikan pluripotency factor yang tidak hanya berfungsi sebagai marker untuk sel-sel pluripoten, tetapi juga secara fungsional penting untuk mempertahankan pluripotensi (Chen & Daley 2008). Cartwright et al. (2005) menunjukkan bahwa STAT3 memediasi proliferasi melalui aktivasi ekspresi c-myc. Dalam ketidak hadiran LIF selama 36 jam, ekspresi
c-myc
akan
hilang
dan
menyebabkan
terjadinya
diferensiasi.
Diferensiasi tersebut terjadi secara permanen walaupun setelah periode waktu tersebut diberikan LIF kembali (Boeuf et al. 2001). ESC yang dikultur tanpa kehadiran
LIF
akan
menyebabkan
kehilangan
kemampuannya
untuk
berkontribusi menjadi kimera (Burdon et al. 1999). Pluripotensi juga dapat diinduksi pada sel yang telah berdiferensiasi atau sel non-pluripotent dengan memaparkan inti sel terhadap faktor-faktor eksternal. Pemasukan inti sel somatik kedalam oosit enukleasi menyebabkan sel tersebut memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi semua tipe sel yang menyusun jaringan organisme hidup (Gurdon & Byrne, 2004). Metode lain adalah penggunaan empat specific transcription factor, c-myc, Sox2, Oct4, dan Klf4, telah menunjukkan dapat menginduksi pluripotensi pada sel somatik mencit dan manusia (Lowry et al. 2008, Park et al. 2008a). Oct4, Sox2, c-Myc, dan Klf4 bersama-sama dapat memprogram kembali sel fibroblas dewasa dari status unipotent ke status pluripotent (Takahashi & Yamanaka 2006, Takahashi et al. 2007). Grup peneliti lain telah menunjukkan bahwa Oct4, Sox2, Nanog, dan Lin28 dapat 2007).
menginduksi sel pluripoten dari sel somatik manusia (Yu et al.
70
Perbanyakan ESC dengan Pasase Mekanis Pasase adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menyediakan zat nutrisi dan ruang yang cukup untuk tumbuh kembangnya sel dalam kultur in vitro. Pada kultur ESC, cara ini biasanya dilakukan dengan membagi koloni sel multilayer yang besar menjadi sejumlah subkoloni kecil atau sel tunggal dan selanjutnya dikultur kembali pada beberapa cawan petri baru yang mengandung medium kultur segar, demikian seterusnya. Salah satu metode pasase yang sering digunakan untuk perbanyakan ESC adalah metode enzimatik. Metode ini biasanya menggunakan collagenase atau tripsin yang sangat efektif untuk produksi ESC skala besar. Walaupun demikian, penggunaan metode ini menimbulkan berbagai masalah seperti ukuran koloni ESC yang dihasilkan sangat bervariasi yang berdampak pada ketidak-konsistensi antara kultur. Selain itu, perbanyakan ESC dengan metode ini menyebabkan trauma seluler yang dihubungkan dengan peningkatan ketidakstabilan genetik. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan metode pasase mekanis. Metode ini dilaksanakan dengan menggunakan pisau bedah untuk memotong secara manual koloni ESC menjadi sejumlah sub koloni kecil (Gambar 10),
dan selanjutnya dikultur kembali pada cawan petri yang
mengandung medium segar hingga terbentuk sejumlah koloni ESC yang baru (Gambar 11). Kelebihan metode mekanis adalah menurunkan tingkat trauma seluler dan transfer secara selektif koloni ESC yang belum berdiferensiasi.
A
B
Gambar 10 Pasase ESC dengan metode mekanis. A: Koloni ESC sebelum pasase, B: Sub-koloni ESC setelah pasase. Bar: 100 µm.
71
100 µm
Gambar 11 ESC line yang terbentuk setelah pasase kelima.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cell line yang dihasilkan oleh kedua metode pasase tidak berbeda (P>0.05). Dari 32 koloni primer pada masing-masing kelompok dihasilkan lima cell line
(15.63%), dengan jumlah
koloni mencapai 97 pada pada metode enzimatik, sedangkan pada metode mekanis dihasilkan tujuh cell line (21.88%), dengan jumlah koloni mencapai 158 (Gambar 11). Tingkat pertumbuhan koloni dan ALP+ mengalami peningkatan masing-masing 23 dan 10%, dan terjadi pemendekkan DT 4 jam (P<0.05) ketika dilakukan pasase ESC dengan metode mekanis dibandingkan dengan metode enzimatik (Tabel 5). Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab rendahnya profil ESC pada metode enzimatik adalah: 1) pemaparan yang dilakukan secara kontinyu terhadap tripsin dapat menyebabkan kerusakan sel secara menyeluruh yang berdampak pada rendahnya tingkat proliferasi sel, 2) pasase secara enzimatik menyebabkan terjadinya percampuran antara sel yang sudah berdiferensiasi dengan
yang
belum,
yang
selanjutnya
berdampak
pada
lambatnya
perkembangan ESC dan terjadi induksi diferensiasi pada sel-sel yang belum berdiferensiasi, 3) ukuran koloni ESC yang dihasilkan dengan metode enzimatik sangat beragam yaitu dari sel tunggal hingga koloni yang berukuran 300 µm.
72
Tabel 5
Pengaruh metode pasase terhadap proliferasi dan pluripotensi embryonic stem cells
Variabel Penelitian Jumlah Koloni primer Cell line (%) ALP+ (%) GR (%) DT (jam)
Metode Pasase Enzimatik 32 5/32 (15.63±3.27)a 69/97 (71.13±5.99)a 103.05±26.77a 19.43±3.53a
Mekanis 32 7/32 (21.88±4.18)a 128/158 (81.01±3.95)b 126.94±12.49b 15.90±1.28b
Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara metode pasase
Pasase ESC dengan metode mekanis mampu mempertahankan integritas ESC yang lebih baik dibandingkan dengan metode enzimatik (Mitalipova et al. 2005). Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena metode mekanis dapat mempertahankan berbagai molekul adesi sel dan gap junction yang terdapat pada sel yang esensial untuk fungsinya (Wong et al. 2004). Sebaliknya, pemisahan secara enzimatik dapat menyebabkan kerusakan molekul adesi sel dan kontak antar sel pada berbagai tingkat dan menyebabkan stres pada ESC selama kultur selanjutnya. Pemisahan secara enzimatik juga dapat menyebabkan kerusakan matriks ekstraseluler yang merupakan salah satu komponen penting untuk meregulasi self renewal ESC (Hayashi et al. 2007). Peranan matriks ekstraseluler terutama dimediasi oleh integrin family sebagai reseptor adesi permukaan sel (Hynes 2002). Interaksi antara matriks ekstraseluler dan integrin sangat penting untuk berlangsungnya berbagai proses biologi, termasuk perlekatan, penyebaran, proliferasi, survival, dan ekspresi gen (Danen & Yamada 2001, Hayashi et al. 2007). Beberapa matriks ekstraseluler seperti fibronectin dan laminin telah ditemukan pada stadium awal perkembagan embrio mencit (Cooper & MacQueen 1983) dan juga pada ICM blastosis (Shirai et al. 2005). Selain itu, anggota integrin family juga diekspresikan pada awal embriogenesis mencit (Hynes 2002). Sub unit reseptor utama, integrin β1 bersama dengan matriks ekstraseluler sangat esensial untuk perkembangan ICM (Stephen et al. 1995) dan self renewal ESC (Watt & Hogan 2000). Defisiensi integrin-β1 pada ESC mencit mempengaruhi morfologi, adesi, dan migrasinya (Fassler et al. 1995).
73
Selain itu, pasase enzimatik memiliki beberapa kelemahan seperti ukuran cluster yang dihasilkan sangat bervariasi, memerlukan fase adaptasi yang panjang terhadap enzim yang digunakan (Hasegawa et al. 2006), rasio pasase yang rendah (Cowan et al. 2004), menyebabkan abnormalitas kromosom (Cowan et al. 2004, Hasegawa et al. 2006). Inner cell mass dan ESC kelinci sangat sensitif
terhadap
perlakuan
enzimatik,
karena
mereka
secara
cepat
berdiferensiasi atau mati jika dipaparkan terhadap enzim berkonsentrasi tinggi atau dalam waktu yang lama, khususnya selama lima pasase pertama (Wang et al. 2007). Induksi Diferensiasi ESC Induksi diferensiasi in vitro dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu kultur monolayer, perpanjangan kultur, dan pembentukan embryoid bodies (EBs) (Thomson et al. 1998). Kultur monolayer dilaksanakan dengan memencarkan ESC dengan dispase 10 mg/ml, ditempatkan dalam cawan kultur yang dilapisi dengan gelatin, dan dikultur selama 10 – 30 hari. Metode perpanjangan kultur dilakukan dengan mempertahankan ESC pada kepadatan tinggi selama dua hingga empat minggu tanpa pergantian feeder layer; sementara metode pembentukan EBs, ESC dipisahkan dengan dispase 10 mg/ml, ditempatkan kembali dalam ESC medium (tanpa LIF) dan dikultur dalam hanging drop (30 µl/drop, 40 sel per mikroliter) (Wang et al. 2007). Dalam
penelitian
ini,
induksi
diferensiasi
menggunakan
metode
perpanjangan kultur, dimana koloni ESC dikultur selama empat minggu tanpa suplementasi LIF. Dengan metode ini, beberapa koloni ESC mengawali proses diferensiasinya dengan pembentukan EBs (Gambar 12), suatu struktur yang menyerupai balon, yang pada bagian dalamnya berisi cairan, pada hari keempat dan kelima kultur; sementara koloni lainnya tidak menunjukkan adanya perubahan hingga terbentuknya cardiomyocyte-like cells. Sembilan dari 30 koloni ESC (30%) yang dikultur pada CFL, dan 11 dari 28 koloni ESC (39,29%) pada CCM,
mengalami diferensiasi menjadi cardiomyocyte-like cells (Gambar 13)
pada hari ke-8 hingga ke-15, dengan jumlah kelompok cardiomyocyte-like cells yang terbentuk mencapai 29 kelompok pada CFL dan 35 kelompok pada CCM. Satu koloni lainnya pada CFL berdiferensiasi pada hari ke-21 kultur menjadi neuron-like cells (Gambar 14) Koloni ESC lainnya tidak dapat dipastikan status diferensiasinya karena karakterisasi hanya dilakukan secara visual (Tabel 6).
74
A
B
Gambar 12 Embryoid body. A: posisi vertical, B: posisi horisontal.
A Gambar 13
A
B Cardiomyocyte-like cells. A: berasal dari ESC, B: berasal dari jantung dewasa. Daerah di dalam lingkaran adalah kelompok sel yang berdenyut.
B
Gambar 14 Neuron-like cell yang dihasilkan dari ESC.
75
Tabel 6 Induksi diferensiasi spontan pada embryonic stem cells yang dikultur pada CFL dan CCM Metode Kultur
Jumlah koloni ESC
CFL CCM
30 28
Jenis Sel cardiomyocyte- neuron-like like cells cells 9 1 11 0
tid 20 17
tid= tidak teridentifikasi
Jumlah kelompok cardiomyocyte-like cells yang terbentuk pada masingmasing koloni ESC bervariasi. Empat koloni ESC masing-masing membentuk dua kelompok cardiomyocyte-like cells. Koloni ESC lainnya masing-masing membentuk tiga hingga tujuh kelompok cardiomyocyte-like cells. Masing-masing kelompok cardiomyocyte-like cells memiliki jumlah dan irama denyutan yang berbeda, berkisar antara 26 hingga 129 denyutan per menit, dengan kisaran normal berkisar antara 70 hingga 90 denyutan per menit. Hasil pengamatan juga menunjukkan
bahwa
pada
kultur
selanjutnya,
beberapa
kelompok
cardiomyocyte-like cells yang letaknya berdekatan bergabung menjadi satu kelompok cardiomyocyte-like cells yang lebih besar dengan jumlah dan irama denyutan yang sama. Beberapa parameter yang mempengaruhi potensi diferensiasi ESC menjadi cardiomiocyte adalah: 1) jumlah sel yang terdapat dalam EBs, 2) media, growth factor, 3) ESC line, dan 4) waktu plating EBs (Wobus et al. 2002). Cardiomyocyte mudah diidentifikasi berdasarkan kontraksi yang terjadi secara spontan. Dengan diferensiasi yang dilanjutkan, jumlah daerah yang berdenyut meningkat, dan semua EBs dapat mengandung sel-sel yang berdenyut. Tingkat kontraksi dalam setiap daerah yang berdenyut meningkat secara tajam dengan berlanjutnya diferensiasi, diikuti oleh penurunan beating rate dengan berlanjutnya maturasi. Tergantung pada jumlah sel dalam EBs, kehadiran kontraksi spontan dapat berlangsung sejak beberapa hari hingga > 1 bulan. Cardiomyocyte yang telah berdiferensiasi sempurna (fully differentiated) sering berhenti berkontraksi tetapi dapat dipertahankan dalam kultur selama beberapa minggu (Boheler et al. 2002). Perkembangan cardiomyocyte berkorelasi dengan lama kultur, dan dapat dibagi menjadi 3 tahap diferensiasi: awal (pacemaker-like atau primary myocardial-like cells), intermediate, dan terminal (atrial-, ventricular-, nodal-, His-, dan Purkinje-like cells) (Hescheler et al. 1997).
76
Kehat et al. (2001) melakukan studi cardiomyocyte yang dihasilkan dari ESC manusia. Cardiomyocyte diidentifikasi oleh adanya kontraksi spontan dalam EBs yang dibentuk dalam kultur suspensi. Rata-rata periode waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya kontraksi spontan pada EBs adalah 11 hari kultur, dan hanya 8,1% dari EBs yang mengandung daerah yang berdenyut. Rata-rata beating rate adalah 94 ± 33 bpm. Cardiomyocyte yang dihasilkan dari ESC manusia menunjukkan karakteristik struktural dan fungsional yang menyerupai jaringan cardiac tahap awal. Diferensiasi spontan ESC menjadi sel syaraf juga dapat dilakukan dengan metode perpanjangan kultur dan tanpa pergantian feeder layer. Dengan strategi ini, sel-sel progenitor syaraf yang dihasilkan dapat berdiferensiasi menjadi cenral nervous system lineage: oligodendrocytes, astrocytes, dan neuron. Metode lain yang sering digunakan untuk diferensiasi sel syaraf adalah melalui pembentukan EBS. Dengan metode ini hanya sedikit EBs yang berdiferensiasi menjadi sel syaraf. Selain itu, pembentukan sel syaraf juga dapat diinduksi dengan retinoic acid, tetapi populasi sel yang dihasilkan masih relatif heterogen (Erceg et al. 2009).
KESIMPULAN 1.
Efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer pada kultur ESC mencit sebanding dengan MEF feeder layer.
2.
Peningkatan konsentrasi LIF hingga 10 ng/ml pada CFL atau 20 ng/ml pada CCM mampu meningkatkan keberhasilan kultur ESC.
3.
ESC hasil kultur pada feeder layer atau conditioned medium kumulus dapat berdiferensiasi menjadi cardiomyocyte-like cells dan neuron-like cells
4.
Perbanyakan
ESC
dengan
metode
keberhasilan kultur ESC yang lebih tinggi.
mekanis
dapat
meningkatkan
77
DAFTAR PUSTAKA
Boeuf H et al. 2001. The ribosomal S6 kinases, cAMP-responsive elementbinding, and STAT3 proteins are regulated by different leukemia inhibitory factor signaling pathways in mouse embryonic stem cells. J Biol Chem 276:46204-46211. Boheler KR et al. 2002. Differentiation of Pluripotent Embryonic Stem Cells Into Cardiomyocytes. Circulation Research 91:189. Burdon T, Stracey C, Chambers I, Nichols J, Smith A.1999. Suppression of SHP-2 and ERK signalling promotes self-renewal of mouse embryonic stem cells. Dev Biol 210:30-43. Cartwright P et al. 2005. LIF/STAT3 controls ES cell self-renewal and pluripotency by a Myc-dependent mechanism. Development 132:885-896. Chambers I et al. 2003. Functional expression cloning of Nanog, a pluripotency sustaining factor in embryonic stem cells. Cell 113:643–655. Chang H, Brown CW, Matzuk MM. 2002. Genetic analysis of the mammalian transforming growth factor-beta superfamily. Endocrine Reviews 23:787823. Chen L, Daley GQ. 2008. Molecular basis of pluripotency. Human Molecular Genetics17:23–27. Cheng J, Dutra A, Takesono A, Garrett-Beal L, Schwartzberg PL. 2004. Improved generation of C57BL/6J mouse embryonic stem cells in a defined serumfree media Genesis 39:100-104. Cillo F et al. 2007. Association between human oocyte developmental competence and expression levels of some cumulus genes. Reproduction 134: 645–650. Cooper AR, MacQueen HA. 1983. Subunits of laminin are differentially synthesized in mouse eggs and early embryos. Dev Biol 96:467-471. Cowan CA et al. 2004. Derivation of embryonic stem-cell lines from human blastocysts. N Engl J Med 350:1353-1356. Danen EH, Yamada KM. 2001. Fibronectin, integrins, and growth control. J Cell Physiol 189:1–13. Darr H, Mayshar Y, Benvenisty N. 2006. Overexpression of Nanogin human ES cells enables feeder-free growth while inducing primitive ectoderm features. Development 133:1193-1201. Davey RE, Onishi K, Mahdavi A, Zandstra PW. 2007. LIF-mediated control of embryonic stem cell selfrenewal emerges due to an autoregulatory loop. FASEB J 21:2020-2032.
78
Elvin J, Clark A, Wang P, Wolfman N, Matzuk M.1999. Paracrine actions of growth differentiation factor-9 in the mammalian ovary. Mol Endocrinol 13:1035–1048. Erceg S, Ronaghi M, Stojkovic M. 2009. Human embryonic stem cell differentiation toward regional specific neural precursors. Stem Cells 27:78-87. Fassler R et al.1995. Lack of beta 1 integrin gene in embryonic stem cells affects morphology, adhesion, and migration but not integration into the inner cell mass of blastocysts. J Cell Biol 128:979 –988. Feng XH, Derynck R. 2005. Specificity and versatility in TGF-b signaling through Smads. Annu Rev Cell Dev Biol 21:659–693. Fluckiger AC et al. 2006. Cell cycle features of primate embryonic stem cells. Stem Cells 24;547-556. Fong H, Hohenstein KA, Donovan PJ. 2008. Regulation of self-renewal and pluripotency by Sox2 in human embryonic stem cells. Stem Cells doi: 10.1634/stemcells.2007-1002. Gianaroli L et al. 2002. The role of preimplantation diagnosis for aneuploidies. Reprod Biomed Online 4:31–36. Gurdon JB, Byrne JA. 2004. The first half-century of nuclear transplantation. Biosci Rep 24:545-557. Hao J, Li TG, Qi X, Zhao DF, Zhao GQ. 2006. WNT/beta-catenin pathway upregulates Stat3 and converges on LIF to prevent differentiation of mouse embryonic stem cells. Dev Biol 290:81-91. Hasegawa K et al. 2006. A method for the selection of human embryonic stem cell sublines with high replating efficiency after single-cell dissociation. Stem Cells 24:2649-2660. Hashemi-Tabar M, Javadnia F, Orazizadeh M, Baazm M. 2005. Isolation and differentiation of mouse embryonic stem cells. Iranian Journal of Reproductive Medicine 3: 42-46. Hayashi Y et al. 2007. Integrins regulate mouse embryonic stem cell selfrenewal. Stem Cells 25:3005-3015. Hescheler J et al. 1997. Embryonic stem cells: a model to study structural and functional properties in cardiomyogenesis. Cardiovasc Res. 36:149–162. Hynes RO. 2002. Integrins: bidirectional, allosteric signaling machines. Cell 110:673–687.
79
James D, Levine AJ, Besser D, Hemmati-Brivanlou A. 2005. TGFβ/activin/nodal signaling is necessary for the maintenance of pluripotency in human embryonic stem cells. Development 132:1273-1282. Joo BS et al. 2001. The mechanism of action co-culture on embryo development in the mouse model: direct embryo-to-cell contact and the removal of deleterious component. Fertil Steril 75:193-199. Kane MT, Carney EW, Ellington JE. 1992. The role of nutrients, peptide growth factors and co-culture cells in development of preimplantation embryos in vitro. Theriogenology 38:297–313. Kehat I et al. 2001. Human embryonic stem cells can differentiate into myocytes with structural and functional properties of cardiomyocytes. J Clin Invest. 108:407-414. Kinoshita K et al. 2007. GABP alpha regulates Oct-3/4 expression in mouse embryonic stem cells. Biochem Biophys Res Commun 353:686-691. Kitiyanant Y, Saikhun J, Guocheng J, Pavasuthipaisit K. 2000. Establishment and long-term maintenance of bovine embryonic stem cell lines using mouse and bovine mixed feeder cells and their survival after cryopreservation. Science Asia 26:81-86. Ko SY, Kang HY, Lee HS, Han SY, Hong SH. 2006. Identification of Jmjd1a as a STAT3 downstream gene in mES cells. Cell Struct Funct 2006:31:53-62. Kopp JL, Ormsbee BD, Desler M, Rizzino A. 2008. Small increases in the level of Sox2 trigger the differentiation of mouse embryonic stem cells. Stem Cells 29: 903-911. Lau CP, Ledger WL, Groome NP, Barlow DH, Muttukrishna S. 1999. Dimeric inhibins and activin A ini human follicular fluid and oocyte-cumulus culture medium. Hum Reprod 14:2525-2530. Lee JB et al. 2005. Establishment and maintenance of human embryonic stem cell lines on human feeder cells derived from uterine endometrium under serum-free condition. Biology of Reproduction 72: 42-49. Levenstein ME et al. 2006. Basic fibroblast growth factor support of human embryonic stem cell self-renewal. Stem Cells 24:568-574. Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine blastocysts. Mol Reprod Dev 65 : 429-434. Li M et al. 2004. Improved isolation and culture of embryonic stem cells from chinese miniature pig. J Reprod Dev 50:237-244. Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21: 152–161.
80
Loh YH et al. 2006. The Oct4 and Nanog transcription network regulates pluripotency in mouse embryonic stem cells. Nat Genet 38:431- 440 (Abstr). Lowry WE et al. 2008. Generation of human induced pluripotent stem cells from dermal fibroblasts. Proc Natl Acad Sci USA 105:2883-2888. Malekshah AK, Moghaddam AE. 2005. Follicular fluid and cumulus cells synergistically improve mouse early embryo development in vitro. J Reprod Dev 51:195-199). Matahine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A. 2008. Produksi embryonic stem cells dari inner cell mass blastosis yang diisolasi dengan metode enzimatik dan immunosurgery. Jurnal Veteriner 9:13-19. Matos L, Stevenson D, Gomes F, Silva-Carvalho JL, Almeida H. 2009. Superoxide dismutase expression in human cumulus oophorus cells. Mol Hum Reprod 15:411-419. Mayerhofer A, Russell LD, Grothe C, Rudolf M, Gratzl M. 1991. Presence and localization of a 30-kda basic fibroblast growth factor-like protein in rodent testes. Endocrinology 129:921-924 (Abstr). Memili E et al. 2007. Bovine germinal vesicle oocyte and cumulus cell proteomics. Reproduction 133: 1107-1120. Mitalipova MM et al. 2005. Preserving the genetic integrity of human embryonic stem cells. Nat Biotechnol 23:19-20. Mitsui K et al. 2003. The homeoprotein Nanog is required for maintenance of pluripotency in mouse epiblast and ES cells. Cell 113:631-642. Miyabayashi T et al. 2007. Wnt/β-catenin/CBP signaling maintains long-term murine embryonic stem cell pluripotency. Proc Nat acad Sci 104:56685673. Mulheron GW, Bossert NL, Lapp JA, Walmer DK, Schomberg DW. 1992. Human granulosa-luteal and cumulus cells express transforming growth factorsbeta type 1 and type 2 mRNA. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 74:458-460. Niwa H, Miyazaki J, Smith AG. 2000. Quantitative expression of Oct-3/4 defines differentiation, dedifferentiation or self-renewal of ES cells. Nat. Genet. 24: 372–376. Ogawa K et al. 2007. Activin-nodal signaling is involved in propagation of mouse embryonic stem cells. J Cell Sci 120:55-65. Oh SK et al.. 2005. Methods for expansion of human embryonic stem cells. Stem Cells 23:605–609. Park IH et al. 2008a. Reprogramming of human somatic cells to pluripotency with defined factors. Nature 451: 141-146 (Abstr).
81
Park YB et al. 2008b. Alterations of proliferative and differentiation potentials of human embryonic stem cells during long-term culture. Exp Mol Med 40: 98-108. R&D system. 1999. Bone Morphogenetic Proteins (BMPs). http://www. rndsystems.com/mini_review_detail_objectname_MR99_BMPs.aspx. Roudebush W, Levine AS, Lodge JS, Tsai CC, Butler WJ. 1995. Human follicular fluid and mouse cumulus cells act synergistically to enhance preimplantation mouse Balb/cJ embryo development. Journal of Assisted Reproduction and Genetics 12:733 (Abstr). Sato N et al. 2004. Maintenance of pluripotency in human and mouse embryonic stem cells through activation of Wnt signaling by a pharmacological GSK3-specific inhibitor. Nat Med 10:55–63. Shirai T et al. 2005. Identification of an enhancer that controls up-regulation of fibronectin during differentiation of embryonic stem cells into extraembryonic endoderm. J Biol Chem 280:7244-7252. Stephens LE et al. 1995. Deletion of beta 1 integrins in mice results in inner cell mass failure and peri-implantation lethality. Genes Dev 9:1883–1895. Stojkovic M et al. 2004. Derivation of Human Embryonic Stem Cells from Day-8 Blastocysts Recovered after Three-Step In Vitro Culture. Stem Cells 22:790–797. Takahashi K, Yamanaka S. 2006 Induction of pluripotent stem cells from mouse embryonic and adult fibroblast cultures by defined factors. Cell 126:663676. Takahashi K et al. 2007. Induction of pluripotent stem cells from adult human fibroblasts by defined factors. Cell 131:861-872. Thomson JA et al. 1998. Embryonic stem cell lines derived from human blastocysts. Science 282: 1145-1147. Trounson A. 2006. The production and directed differentiation of human embryonic stem cells. Endocrine Reviews 27:208–219. Ura H et al. 2008. STAT3 and Oct-3/4 control histone modification through induction of eed in embryonic stem cells. J Biol Chem 283:9713-9723. Vanderhyden BC, Macdonald EA, Nagyova E, Dhawan A. 2003. Evaluation of members of the TGFbeta superfamily as candidates for the oocyte factors that control mouse cumulus expansion and steroidogenesis. Reproduction Supplement 61: 55–70. Wang S et al. 2007. Generation and characterization of rabbit embryonic stem cells. Stem Cells 25:481–489.
82
Wang H-X, Tekpetey FR, Kidder GM. 2009. Identification of WNT/β-catenin signaling pathway components in human cumulus cells. Mol Hum Reprod 15:11-17. Watt FM, Hogan BL. 2000. Out of Eden: stem cells and their niches. Science 287:1427–1430. Wobus AM, Guan K, Yang H-T, Boheler KR. 2002. Embryonic stem cells as a model to study cardiac, skeletal muscle, and vascular smooth muscle cell differentiation. Methods Mol Biol 185:127-156. Wong RC, Pebay A, Nguyen LT, Koh KL, Pera MF. 2004. Presence of functional gap junctions in human embryonic stem cells. Stem Cells 22:883-889. Wu Z et al. 2008. Combinatorial signals of activin/nodal and bone Morphogenic protein regulate the early lineage Segregation of human embryonic stem cells. The Journal Of Biological Chemistry 283: 24991-25002. Xiao L,Yuan X, Sharkis SJ. 2006. Activin amaintains self-renewal and regulates fibroblast growth factor, Wnt, and bone morphogenic protein pathways in human embryonic stem cells. Stem Cells 24:1476–86. Yu J et al. 2007. Induced pluripotent stem cell lines derived from human somatic cells. Science 318:1917-1920. Yu J, Thomson JA. 2008. Pluripotent stem cell lines. Genes & Development 22:1987–1997. Zhou Q, Chipperfield H, Melton DA, Wong WH. 2007. A gene regulatory network in mouse embryonic stem cells. Proc Natl Acad Sci USA 104:1643816443.
PRODUKSI EMBRYONIC STEM CELL DARI EMBRIO PARTENOGENETIK
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan dari embrio partenogenetik. Untuk itu, oosit yang berkualitas baik diaktivasi dengan dengan ethanol atau strontium chloride dan diploidisasi dengan cytochalasin B selama 6 jam. Oosit yang memiliki dua pronukleus dikultur pada KSOM (potassium simplex optimization medium) atau CZB (chatot ziomex bavister) hingga stadium blastosis, dan selanjutnya dilakukan isolasi inner cell mass (ICM) dengan metode immunosurgery. Kultur ICM dilakukan pada ESC medium hingga terbentuk koloni primer ESC. Dari 37 blastosis yang digunakan, 15 (40.54%) diantaranya melekat pada dasar cawan, dan hanya 3 ICM (8.11%) yang membentuk koloni primer ESC. Pada kultur selanjutnya, satu koloni ESC dapat berkembang melewati pasase pertama, sementara dua koloni lainnya mengalami degenerasi. Tingkat pertumbuhan koloni dan doubling time ESC partenogenetik adalah masing-masing 78.57% dan 25.85 jam, lebih buruk dari yang dihasilkan embrio normal yaitu 133.77% dan 16.21 jam. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa embrio partenogenetik dapat menghasilkan ESC, dengan kemampuan tumbuh yang lebih rendah daripada yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.
ABSTRACT The aim of the experiment was to study the growth potential of mouse parthenogenetic ESC. In this research, the good quality oocytes were activated by ethanol or strontium chloride, and furthermore in cytochalasin B for 6 hours. Oocytes had two pronucleus were cultured in KSOM or CZB to blastocyst stage, and after that, isolation of ICM by immunosurgery method. ICM was cultured in ESC medium for several days until yielded of primary ESC colony, and passaged by mechanical method. The research showed that 15 out of 37 ICM (40.54%) attach on culture dish, but only three ICM (8.11%) developing to primary ESC colony. In the next phase of culture, one colony growth passed the first passage and the two other colony was subject to degenerate. Growth rate and doubling time of parthenogenetic ESC colony were 78.57% and 25.85 hours, respectively, lowered than fertilized embryos i.e 133.77% and 16.21 hours, respectively. The conclusion pathenogenetic embryos can derived ESC, but the potential growth was lower than yielded by fertilized embryos. Key words: parthenogenetic embryos, stem cells
84
PENDAHULUAN Embryonic stem cells (ESC) adalah sel-sel primordial yang belum memiliki fungsi khusus yang dihasilkan oleh embrio pra-implantasi, dan memiliki potensi untuk menghasilkan semua tipe sel yang menyusun jaringan tubuh (Kim & Dressler 2005, Guo et al. 2006, Gossrau et al. 2007, Ban et al. 2007, Duplomb et al. 2007, Agarwal et al. 2008, Ma et al. 2008). Karakteristik inilah yang menjadikan ESC dapat dimanfaatkan untuk terapi berbagai penyakit, khususnya penyakit degeneratif. Umumnya ESC dihasilkan dari inner cell mass (ICM) embrio hasil fertilisasi. Embryonic stem cells yang demikian, memiliki tingkat imunogenitas yang tinggi yang berdampak pada tingginya resiko penolakan oleh jaringan atau organ pasien pada saat terapi. Selain itu, penggunaan ESC yang diproduksi dari embrio hasil fertilisasi menimbulkan kontroversi menyangkut masalah etika, khususnya pada manusia (Rickard 2002, Meslin & Martin 2003). Beberapa peneliti sebelumnya menggunakan embrio hasil transfer inti untuk produksi ESC, dimana dengan teknik ini ESC yang dihasilkan akan cocok dengan donor, dan mencegah terjadinya penolakan oleh jaringan pasien tersebut pada saat transplantasi. Bagaimanapun, teknik ini membutuhkan biaya yang tinggi dan efisiensi produksi ESC yang rendah (Byrne et al. 2007). Pada penelitian ini diproduksi ESC dari embrio partenogenetik. Embrio partenogenetik dihasilkan melalui proses aktivasi oosit secara buatan dengan menggunakan bahan kimia, tanpa melibatkan spermatozoa (Mitalipov et al. 2001, Dighe et al. 2008). Embrio partenogenetik mamalia dapat melewati proses perkembangan praimplantasi dan implantasi tetapi tidak mampu berkembang hingga lahir karena mengalami kematian pada saat kebuntingan (Boediono et al. 1995, Ito et al. 2003), sehingga penggunaannya sebagai penghasil ESC diharapkan tidak akan menimbulkan masalah etika (Dighe et al. 2008). Selain itu, ESC partenogenetik dapat menjadi ”universal donor” karena hanya memiliki satu set major histocompatibility complex (MHC) sehingga lebih mudah diterima oleh berbagai tipe jaringan pasien pada saat transplantasi (Lin et al. 2003, Kim et al. 2007a). Beberapa peneliti sebelumnya (Kim et al. 2007a, Kim et al. 2007b, Revazova et al. 2007) telah berhasil memproduksi ESC dari embrio partenogenetik namun beberapa informasi tentang kemampuan tumbuh ESC partenogenetik masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kemampuan
partenogenetik.
tumbuh
ESC
yang
dihasilkan
dari
embrio
85
METODE PENELITIAN Superovulasi dan Produksi Oosit Superovulasi dan koleksi oosit dilakukan sesuai petunjuk Lin et al. (2003). Secara singkat, mencit disuperovulasi dengan injeksi secara intraperitoneal pregnant mare’s serum gonadotropin 5 IU diikuti 48 jam kemudian dengan injeksi human chorionic gonadotropin 5 IU. Koleksi oosit dilakukan pada 17 jam setelah penyuntikan hCG, dengan cara menyayat dinding ampula menggunakan ujung jarum suntik. Oosit yang dikoleksi ditempatkan dalam modified phosphate buffer saline (mPBS) yang mengandung hyaluronidase 0.03% untuk melepaskan ikatan antara sel-sel kumulus. Aktivasi Partenogenesis dan Diploidisasi Oosit yang sudah matang dipaparkan dalam larutan etanol 7% selama 7 menit dan selanjutnya dalam cytochalasin B 5 µg/ml selama 4 jam atau strontium chloride 10 mM plus cytokalasin B 5 µg/ml selama 6 jam (Imahie et al. 2002). Kultur Embrio Partenogenetik Oosit yang teraktivasi dan memiliki dua pronukleus selanjutnya dikultur dalam medium potassium simplex optimization medium (KSOM) atau Chatot, Ziomek, and Bavister (CZB) yang disuplementasi dengan 50 µg/ml penicillin, 50 unit/ml streptomycin, 0.4% bovine serum albumin (BSA). Pada dua hari pertama kultur, digunakan medium kultur tanpa glukosa; kultur selanjutnya digunakan medium kultur yang disuplementasi dengan glukosa hingga embrio mencapai stadium blastosis. Isolasi dan Kultur ESC Partenogenetik Embrio stadium blastosis dipaparkan dalam larutan pronase 0.25% untuk menghilangkan zona pelusida. Blastosis tanpa zona pelusida dicuci dua kali -
dalam PBS , dan selanjutnya diinkubasi dalam rabbit antimouse antibody selama 60 menit dan guinea pig complement selama 30 menit (Matahine et al. 2008). Sel trofoblas yang sudah lisis dipisahkan dari ICM dengan cara pippeting secara berulang hingga semua sel trofoblas terlepas dari ICM. Inner cell mass selanjutnya
dikultur
dalam
ESC
medium
[DMEM
high-glucose
yang
disuplementasi dengan fetal bovine serum 20% (Sigma), natrium bikarbonat 3.7
86
g/l (Sigma), non-essential amino acids 1% (Sigma), mercaptoethanol 0.1 mM (Sigma), leukemia inhibitory factor 10 ng/ml (Sigma), dan gentamicin 50 µg/ml (Sigma). Pergantian medium kultur dilakukan setiap dua hari dan pada saat yang sama dilakukan pengamatan terhadap perkembangan ESC. Setelah terbentuk koloni primer, dilakukan pasase secara mekanis yaitu dengan melakukan pemotongan koloni ESC dengan menggunakan pisau bedah sehingga dihasilkan sejumlah sub koloni kecil dan selanjutnya dikultur kembali dalam ESC medium. Pewarnaan Alkaline Phosphatase Koloni ESC difiksasi dengan 4% paraformaldehide selama 20 menit. Selsel yang terfiksasi dicuci dua kali dengan mPBS dan diwarnai dalam 200 µg/ml naphtol AS-MX phosphatase (Sigma) dan 1 mg/ml Fast Red TR salt (Sigma) dalam 100 mM Tris Buffer, pH 8.2 selama 30 menit pada temperatur ruangan. Pewarnaan diakhiri dengan mencuci kultur dalam PBS (Kitiyanant et al. 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Aktivasi, Diploidisasi, dan Perkembangan Embrio Pasca Aktivasi dengan Strontium Chloride dan Ethanol Aktivasi partenogenesis dilakukan dengan ethanol atau strontium chloride. Penggunaan kedua aktivator ini diharapkan dapat menginduksi peningkatan kalsium intraseluler yang diketahui berperan dalam aktivasi oosit. Perlakuan oosit dengan strontium chloride akan menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium secara bergelombang, sedangkan perlakuan dengan ethanol dapat menyebab peningkatan kalsium intraseluler secara tunggal (Rogers et al. 2004). Berdasarkan data yang dikumpulkan dalam riset ini membuktikan bahwa kedua aktivator ini mampu menginduksi terjadinya pembentukan pronukleus yang merupakan kriteria utama dari oosit yang teraktivasi. Oosit yang teraktivasi ditandai oleh adanya pembentukan pronukleus atau immediatelly cleavage (Gambar 15C & 15D). Jumlah pronukleus yang terbentuk bervariasi, ada oosit yang memiliki satu pronukleus (haploid), dan lainnya memiliki dua pronukleus (diploid). Oosit haploid umumnya mampu menghasilkan embrio partenogenetik dua sel tetapi mengalami kematian pada perkembangan selanjutnya.
87
A
B
C
D
Gambar 15. Perkembangan oosit sebelum dan setelah aktivasi partenogenesis. A: oosit sebelum aktivasi, B: oosit yang tidak teraktivasi, C: oosit yang mengalami immediately cleavage, D: oosit diploid. Bar = 30 µm.
Kecepatan aktivasi sangat bervariasi antar individu oosit dan jenis aktivator. Sekitar 45% oosit telah memiliki pronukleus pada 4 jam pasca aktivasi dengan strontium chloride sedangkan pada oosit yang diaktivasi dengan ethanol hanya 30%. Sebagian besar oosit teraktivasi pada 5 hingga 6 jam pasca aktivasi. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan perbedaan umur oosit, mengingat pada hewan multipara seperti mencit, kejadian ovulasi sejumlah oosit dari satu ovarium tidak terjadi secara bersamaan yang berdampak pada perbedaan umur oosit yang dihasilkan. Selan itu, oosit yang digunakan dalam riset ini dihasilkan dari beberapa ekor individu mencit yang tentunya memiliki waktu ovulasi yang berbeda. Jumlah oosit yang diaktivasi dengan strontium chloride adalah 224, dan 207 (92.41%) diantaranya teraktivasi, dengan 84.38% dari jumlah tersebut memiliki dua pronukleus (diploid). Pada oosit yang diaktivasi dengan ethanol, jumlah oosit yang memiliki pronukleus lebih sedikit (77.67%), dan 72.09%
88
diantaranya diploid (Tabel 7). Data ini menunjukkan bahwa tingkat aktivasi dan diploidisasi oosit yang diaktivasi dengan strontium chloride lebih baik daripada yang diaktivasi dengan ethanol. Tabel 7. Tingkat aktivasi, diploidisasi, dan potensi perkembangan embrio partenogenetik pasca aktivasi dengan strontium chloride dan etanol Variabel Penelitian Jumlah oosit Teraktivasi (%) Diploidisasi (%) Cleavage (%) Empat Sel (%) Morula (%) Blastosis (%)
Perlakuan Strontium Chloride Ethanol 224 215 207/224 (92.41) a 167/215 (77.67)b 189/224 (84.38) a 155/215 (72.09) b a 185/189 (97.88) 145/155 (93.55) a 124/189 (65.51) a 94/155 (60.65) a a 28/155 (18.06) b 55/189 (29.10) a 21/189 (11.11) 8/155 (5.16) b
Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara activator partenogenesis
Untuk menguji efektivitas kedua aktivator tersebut dalam menunjang perkembangan embrio partenogenetik in vitro, oosit diploid dikultur dalam medium CZB. Oosit tersebut memerlukan waktu kultur sekitar 24 jam untuk mencapai embrio stadium dua sel. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan (P<0.05) jumlah embrio dua sel yang dihasilkan oleh oosit hasil aktivasi dengan strontium chloride dan ethanol. Kedua kelompok perlakuan ini mampu menghasilkan embrio dua sel yang tinggi yaitu 97.88% pada kelompok perlakuan strontium chloride dan 93.55% pada ethanol. Pada kultur selanjutnya, terjadi penurunan yang cukup signifikan pada persentase embrio yang mencapai stadium empat sel pada kedua kelompok perlakuan, dimana jumlah embrio empat sel pada kelompok strontium chloride adalah 65.61% jadi mengalami penurunan sekitar 32%, dan pada kelompok ethanol adalah 60.65%, dengan penurunan sekitar 33%. Penurunan yang sangat drastis terjadi pada saat perkembangan dari empat sel ke stadium morula dan blastosis yaitu masingmasing 29.10% dan 11.11% pada strontium chloride, dan 18.06% dan 5.16% pada ethanol (Tabel 7).
89
Data ini mengindikasikan bahwa walaupun tingkat perkembangan embrio dua dan empat sel pada kedua kelompok perlakuan tidak berbeda, namun daya dukung terhadap perkembangan embrio selanjutnya lebih baik pada oosit yang diaktivasi dengan strontium chloride. Aktivasi hanya dapat dilakukan pada oosit yang sudah matang atau yang berada pada metafase II. Penahanan pada metafase II dikarakteristik oleh tingginya level kompleks cyclin B/cdk1 yang juga dikenal sebagai maturation promoting factor (MPF). Selama penahanan pada metfase II, cytostatic factor (CSF) mencegah destruksi MPF dengan mempertahankan anaphase-promoting complex (APC) dalam keadaan inaktif (Murray et al. 1989). Aktivasi oosit oleh sperma atau bahan aktivator partenogenesis memicu peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler (Kline & Kline, 1992) yang berfungsi untuk mengaktifkan oosit yang diblok pada metafase II. Mekanisme pelepasan kalsium terdiri atas: inositol 1,4,5-trisphosphate (IP3)-induced calcium release (IICR) dan calciuminduced calcium release (CICR). Inositol 1,4,5-trisphosphate-induced calcium release dipicu oleh pengikatan IP3 ke reseptornya pada endoplasmic reticulum (Terasaki & Sardet, 1991). Calcium-induced calcium release (CICR) dipicu oleh pembukaan ryanodine receptor pada tempat penyimpanan kalsium intraseluler, tetapi dapat juga dipicu oleh mekanisme yang melibatkan reseptor IP3 (Berridge, 1996). Pengikatan protein sperma pada reseptor oosit akan mengaktivasi phospholipase C (PLC) yang mengkatalisis phosphatidyl 4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG). Diacyl glycerol berperan dalam beberapa jalur sinyal, termasuk aktivasi protein kinase C (Malcuit et al. 2005), sedangkan IP3 menginduksi pelepasan kalsium dari endoplasmic reticulum ke dalam sitosol (Miyazaki et al. 1993). Di endoplasmic reticulum, kalsium terikat dengan lumenal protein, calreticulin (selain sel otot) dan calsequestrin (sel otot) (Nash et al. 1994). Calreticulin berfungsi sebagai molekul pengikat dan pengantar (chaperones) kalsium. Molekul lainnya adalah calnexin yang juga merupakan chaperon yang mengikat kalsium pada membran endoplasmic reticulum (Balakier et al. 2002). Kalsium akan mengaktivasi calmodulin dependent kinase II yang selanjutnya mengaktivasi APC dan juga menginduksi degradasi CSF (Madgwick et al. 2005). Aktivasi oosit oleh sperma menyebabkan terjadinya osilasi kalsium secara bergelombang (Miyazaki et al. 1992), dan berlangsung selama beberapa jam hingga berhenti pada saat
90
pembentukan pronukleus (Jones & Whittingham 1996). Oosit yang teraktivasi ditandai oleh adanya berbagai kejadian seperti reaksi korteks, pembentukan pronukleus, dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002). Aktivasi oosit mamalia juga dapat dilakukan dengan berbagai stimulus buatan. Beberapa aktivator buatan yang biasa digunakan adalah strontium chloride, ethanol, calcium ionophore, dan stimulasi elektrik. Strontium chloride dan ethanol merupakan dua bahan yang paling banyak digunakan sebagai aktivator partenogenesis oosit mencit (Kline & Kline, 1992; Bos-Mikich et al.1997). Kedua aktivator ini memiliki profil peningkatan kalsium yang berbeda, strontium chloride dapat menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler secara bergelombang seperti yang terjadi pada saat aktivasi oosit oleh sperma, sedangkan ethanol hanya dapat meningkatkan kalsium secara tunggal (Kline & Kline 1992, Bos-Mikich et al. 1995). Strontium chloride dan ethanol menginduksi peningkatan kalsium intraseluler melalui berbagai mekanisme seperti melalui stimulasi adenylyl cyclase type VIII (Gu et al. 2000),
Ca2+-dependent Ca2+
release (Jellerete et al. 2000), dan inositol 1,4,5-trisphosphate (IP3)-induced calcium release (IICR) (Zhang et al. 2005). Ada beberapa perbedaan pola aktivasi dengan strontium dan ethanol. Aktivasi dengan strontium memerlukan waktu yang lebih lama (3 – 6 jam) dibandingankan dengan ethanol (5 – 7 menit). Pendeknya lama pemaparan pada ethanol mungkin ada hubungannya dengan peningkatan permeabilitas oosit pada saat pemaparan dengan ethanol, dan dengan demikian memungkinkan kalsium ekstraseluler dapat masuk ke dalam sel (Loren & Lacham-Kaplan 2006). Aktivasi dengan ethanol dapat menyebabkan osilasi kalsium secara tunggal, dan peingkatan kalsium dalam pola yang demikian tidak mampu mengaktivasi oosit muda (yang baru ovulasi) (Ozil 1990). Sebaliknya, strontium chloride menyebabkan
peningkatan
kalsium
secara
bergelombang
dan
mampu
mengaktivasi oosit muda dan oosit tua (Wu et al. 1998). Aktivasi dengan ethanol dapat menyebabkan tingginya kejadian aneuploidy pada embrio haploid (Loren & Lacham-Kaplan 2006). Persinyalan kalsium pada oosit mencit dipengaruhi oleh jumlah kalsium pada tempat penyimpanan intraseluler (Jones & Whittingham 1996), Jumlah reseptor IP3 dan tingkat sensitivitas reseptor IP3 terhadap IP3 (Jellerette et al. 2004). Strontium chloride dapat meningkatkan sensitivitas reseptor IP3, Strontium chloride dapat memicu eksositosis kalsium yang cepat dengan
91
pengikatan pada calcium-binding site dari IP3 receptor. Ada dua calcium interaction site pada reseptor IP3 yaitu: stimulatory site yang sensitif terhadap strontium chloride dan inhibitory site yang tidak sensitif terhadap strontium chloride (Marshall & Taylor 1994). Aktivasi oosit oleh sperma menyebabkan terjadinya osilasi kalsium secara bergelombang (Miyazaki et al. 1992), dan berlangsung selama beberapa jam hingga berhenti pada saat pembentukan pronukleus (Jones & Whittingham 1996). Oosit yang teraktivasi ditandai oleh adanya berbagai kejadian seperti reaksi korteks, pembentukan pronukleus, dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002). Tingkat pembentukan morula dan blastosis tersebut selain dipengaruhi oleh jenis activator partenogenesis juga diperkirakan dipengaruhi oleh medium kultur yang digunakan. Oleh karena itu pada eksperimen selanjutnya digunakan dua jenis medium yang biasa digunakan untuk kultur embrio mencit. Kedua medium ini memiliki kandungan nutrisi dan garam yang berbeda yang diperkirakan akan berdampak
pada perbedaan daya
dukung
terhadap
perkembangan embrio partenogenetik.
Kultur Embrio Partenogenetik Pada eksperimen ini dilakukan pengujian terhadap dua jenis medium kultur dalam menunjang perkembangan embrio partenogenetik. Oosit yang teraktivasi dan memiliki dua pronukleus dikultur dalam dua medium yang berbeda yaitu KSOM dan CZB. Perbedaan kedua medium ini terletak pada komposisi bahan kimia yang digunakan, dan yang paling menonjol pada KSOM adalah mengandung asam amino esensial dan non esensial yang keduanya berfungsi sebagai energi bagi kebutuhan embrio. Dari 233 oosit diploid yang dikultur dalam KSOM, 196 (84.12%) diantaranya berkembang menjadi embrio partenogenetik dua sel (Gambar 16A), dan tingkat keberhasilan ini hampir sama dengan yang dicapai oleh oosit yang dikultur dalam CZB yaitu 81.22% (Tabel 8). Diperlukan 24 jam kultur oleh embrio partenogenetik untuk mencapai stadium dua sel. Hal ini tidak berbeda dengan kecepatan pembelahan embrio hasil fertilisasi in vivo. Selama proses perkembangan ke stadium empat sel (Gambar 16B), beberapa embrio mengalami penghambatan perkembangan sehingga tetap berada pada stadium dua atau tiga sel, baik pada embrio yang dikultur
92
pada KSOM maupun CZB. Hanya sekitar 70.82% embrio dua sel yang dikultur pada KSOM atau 64.63% pada CZB yang berkembang ke stadium empat sel (Tabel 8). Tabel 8
Tingkat perkembangan embrio partenogenetik yang dikultur pada KSOM dan CZB Perlakuan
Variabel Penelitian
KSOM 233 196 (84.12) a 165 (70.82) a 62 (26.61) a 31 (13.30) a
Jumlah oosit diploid Cleavage (%) Empat Sel (%) Morula (%) Blastosis (%)
CZB 229 186 (81.22) a 148 (64.63) a 39 (17.03) b 14 (6.11) b
Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara medium kultur
Selain
itu,
hal
yang
menarik
dari
pola
perkembangan
embrio
partenogenetik adalah ada sebagian kecil embrio mengalami kompaksi dan membentuk morula kompak pada stadium empat hingga enam sel. Embrioembrio yang demikian umumnya akan mengalami degenerasi setelah kompaksi dan tidak berhasil berkembang mencapai stadium blastosis. Seperti pada percobaan sebelumnya, pola perkembangan embrio partenogenetik dari stadium empat sel ke stadium morula mengalami penurunan secara drastis. Beberapa embrio tertahan pada stadium empat sel, embrio lainnya tertahan pada stadium lima hingga tujuh sel, sehingga hanya sekitar 26.61% yang mencapai stadium morula (Gambar 16C) dan 13.30% diantaranya mencapai stadium blastosis (Gambar 16D) pada medium KSOM. Sementara pada embrio yang dikultur dengan CZB, jumlah embrio yang berhasil berkembang ke stadium morula dan blastosis lebih sedikit masing-masing yaitu 17.03% dan 6.11% (Tabel 8). Data ini mengindikasikan bahwa KSOM lebih cocok digunakan untuk kultur embrio partenogenetik mencit daripada CZB.
93
A
B
C
D
Gambar 16 Perkembangan embrio partenogenetik dalam kultur in vitro. A: embrio stadium dua sel, B: empat sel, C: morula, D: blastosis ekspan. Bar = 50 µm.
Isolasi dan Kultur ESC Partenogenetik Blastosis partenogenetik yang dihasilkan umumnya memiliki jumlah sel yang lebih sedikit daripada blastosis hasil fertilisasi. Sebagai gambaran, jumlah sel blastosis partenogenetik pada hari keempat kultur berkisar antara 30 hingga 49 sel (Gambar 17B), yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan embrio hasil fertilisasi yang telah memiliki 82 hingga 126 sel pada umur yang sama (Gambar 17D). Selain itu, ukuran ICM blastosis partenogenetik relatif lebih kecil dibandingkan ICM blastosis hasil fertilisasi (Gambar 18), dan walaupun beberapa ICM yang demikian mampu melekat pada dasar cawan tetapi koloni ESC yang dihasilkan relatif lebih kecil (Gambar 19A). Bahkan dari hasil pewarnaan hoechstpropidium Iodide menunjukkan bahwa sebagian blastosis memiliki sel ICM yang menyebar dan tidak berkelompok (Gambar 17C). Hal itulah yang diduga menjadi
94
penyebab rendahnya tingkat keutuhan ICM pasca immunosurgery, dimana dari 37 blastosis yang diisolasi, hanya dihasilkan 24 ICM utuh (64.86%), lebih rendah dari kontrol yang mencapai 97.14%. Dalam kultur selanjutnya, 15 (40.54%) diantara ICM tersebut berhasil melekat pada dasar cawan kultur, dan hanya 3 ICM (8.11%) yang berkembang membentuk koloni primer ESC (Tabel 9).
A
B
C
D
Gambar 17 Pewarnaan Hoechst-Propidium Iodide pada embrio partenogenetik sebelum (A&B) dan setelah (C) immunosurgery. A: morula B: blastosis, C: blastosis pasca immunosurgery, D: blastosis hasil fertilisasi. Biru: sel hidup, merah: sel mati. Bar = 50 µm.
95
A
Gambar 18
B
Inner cell mass yang dihasilkan dari blastosis hasil fertilisasi (A) dan partenogenetik (B). Bar = 15 µm.
A
B
C
D
Gambar 19 Koloni ESC sebelum dan setelah pewarnaan alkaline phosphatase. A&C: koloni ESC patenogenetik, B&D: ESC dari embrio hasil fertilisasi. Bar =100 µm.
96
Tabel 9 Profil perkembangan embryonic stem cell partenogenetik Variabel Penelitian Jumlah Blastosis Tingkat Keutuhan ICM (%) AR (%) PC (%) ESC > 1 pasase (%) GR (%) DT (jam)
Jenis Embrio Partenogenetik Hasil Fertilisasi 37 35 24 (64.86) 34 (97.14) 15 (40.54) 32 (91.43) 3 (8,11) 21 (60,00) 1 (2.70) 10 (28.57) 78.57% 133.77 25.85 16.21
AR: attachment rate (tingkat perlekatan), PC: the number of primary embryonic stem cell colony (tingkat pembentukan koloni primer, GR: growth rate (tingkat pertumbuhan koloni), DT: doubling time
Hal lain yang teramati adalah ICM partenogenetik mengalami kesulitan untuk melekat pada feeder layer dan walaupun ada sebagian yang berhasil melekat tetapi waktu yang dibutuhkan relatif lebih panjang dibandingkan dengan ICM blastosis hasil fertilisasi. Sebagai gambaran, lama waktu yang dibutuhkan oleh ICM partenogenetik untuk melekat adalah sekitar 3 hingga 4 hari yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kejadian perlekatan ICM blastosis hasil fertilisasi yaitu sekitar 1 hingga 2 hari. Selain itu, perkembangan koloni ICM dalam kultur juga lebih lambat yang ditandai oleh pertambahan diameter koloni harian yang relatif tidak signifikan sehingga berdampak pada kecilnya ukuran koloni primer ESC yang dihasilkan dan lama kultur yang lebih panjang. Misalnya untuk menghasilkan koloni primer ESC, ICM partenogenetik membutuhkan waktu kultur sekitar 8 hingga 10 hari yang lebih panjang dari yang dibutuhkan oleh ICM blastosis hasil fertilisasi yaitu sekitar 7 hari. Secara keseluruhan, tampilan ESC partenogenetik kurang optimal dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh embrio hasil fertilisasi. Hal ini mungkin ada hubungan dengan rendahnya kualitas ICM yang dihasilkan. Inner cell mass blastosis partenogenetik umumnya lebih kecil dibandingkan dengan yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi (Gambar 18). Hal ini ada hubungannya dengan rendahnya tingkat proliferasi ICM blastosis partenogenetik (NewmanSmith & Werb 1995). Laporan sebelumnya mengindikasikan bahwa aktivasi buatan terhadap oosit dapat menurunkan rasio jumlah sel ICM terhadap trofoblas pada stadium blastosis (Bos-Mikich et al. 1997). Populasi ICM partenogenetik dapat ditingkatkan ketika dikultur dalam medium yang mengandung agens mitogenik seperti LIF atau Igf-1r/Igf-2, dan mengindikasikan bahwa ICM partenogenetik tidak meregulasikan beberapa komponen proliferasi (NewmanSmith & Werb 1995).
97
Setelah terbentuk koloni primer, ESC tersebut dilakukan pasase secara mekanis yaitu dengan melakukan pemotongan koloni ESC dengan pisau bedah sehingga dihasilkan sejumlah sub koloni kecil dan selanjutnya dikultur kembali ke dalam ESC medium. Dari tiga koloni primer yang dihasilkan hanya satu koloni yang berhasil tumbuh melewati pasase pertama, sementara dua koloni lainnya mengalami degenerasi. Untuk mengetahui status diferensiasi ESC yang terbentuk maka dilakukan uji pluripotensi. Pada mencit, kriteria yang paling dapat dipercaya untuk mengidentifikasi pluripotensi ESC adalah kemampuan untuk berkontribusi menjadi germ line pada mencit kimera dan pembentukan teratoma. Walaupun demikian, kedua teknik ini memiliki kelemahan, teknik pertama terbentur dengan masalah etika, sedangkan teknik kedua memerlukan jumlah sel yang banyak (>105) dan minimal 8 minggu hingga teratoma bisa diidentifikasi (O’Connor et al. 2008). Teknik lainnya adalah berdasarkan ekspresi Oct4, Nanog, alkaline phosphatase, dan stage-specific embryonic antigen-1 (SSEA-1) (Palmqvist et al. 2005). Uji pluripotensi dilakukan pada sub-koloni yang bertahan hingga pasase kedua dengan menggunakan pewarnaan ALP (Hikichi et al. 2007, Motohashi et al. 2007, O’Connor et al. 2008, Sun et al. 2008, Tam et al. 2008, Zhang et al. 2008). Alkaline phosphatase merupakan enzim permukaan sel yang berperan dalam proses morfogenesis, diferensiasi (Izquierdo et al.1980), proliferasi dan komunikasi antar sel (Narisawa et al. 1992). Aktivitas ALP terdeteksi pada embrio mencit sejak stadium dua sel dan hingga morula, dan pada stadium perkembangan selanjutnya hanya diekspresikan oleh ICM blastosis, primary ectoderm embrio pra-gastrulasi (Izquierdo et al.1980) dan primordial germ cell. Ada dua ALP isozyme yang diekspresikan pada embrio mencit yaitu embryonal alkaline phosphatase (E-ALP) dan tissue-nonspecific alkaline phosphatase (TNALP). Embryonal alkaline phosphatase merupakan isozyme utama (> 80%) yang diekspresikan oleh embrio mencit stadium dua sel hingga morula, dan ICM blastosis, tetapi tidak diekspresikan oleh embrio umur 7.5 – 9.5 hari dan primordial germ cells. Tissue-nonspecific alkaline phosphatase adalah isozyme utama yang diekspresikan oleh embrio mencit umur 7.5 – 9.5 hari, primordial germ cells, embryo carcinoma cells dan plasenta. Selama perkembangan embrio praimplantasi, TN-ALP diekspresikan kurang dari 20% dari total ALP mRNA (Hahnel et al. 1990).
98
Hasil pewarnaan dengan ALP menunjukkan bahwa ESC partenogenetik positif terhadap pewarnaan tersebut (berwarna merah (Gambar 19C), seperti yang ditampilkan oleh ESC dari embrio hasil fertilisasi (Gambar 19D). Hal ini menunjukkan bahwa paling tidak hingga pasase kedua ESC partenogenetik masih mampu mempertahankan pluripotensinya. Secara umum, hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya. Vrana et al. (2003) menghasilkan empat blastosis (14%) dari 28 oosit kera yang diaktivasi dengan ionomycin dan 6-dimethyl aminopurine. Tiga ICM dapat berkembang membentuk koloni primer setelah kultur 1 minggu, dan satu (3,57%) diantaranya membentuk cell line. Revazova et al. (2007) menghasilkan enam cell line (13,64%) dari 44 oosit yang diaktivasi secara partenogenetik. Wang et al. (2007) tidak dapat menghasilkan ESC line dari blastosis partenogenetik baik yang diaktivasi dengan metode elektrik maupun kimiawi. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa walaupun ESC partenogenetik memiliki profil yang kurang optimal dibandingkan dengan yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi, namun paling tidak hal ini memberikan gambaran bahwa dengan kondisi kultur yang digunakan pada penelitian ini, ESC partenogenetik mencit dapat berkembang hingga pasase kedua.
KESIMPULAN 1. Embrio partenogenetik mencit dapat menghasilkan ESC 2. Kemampuan tumbuh ESC partenogenetik lebih rendah dari yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.
DAFTAR PUSTAKA Agarwal S, Holton KL, Lanza R. 2008. Efficient differentiation of functional hepatocytes from human embryonic stem cells. Stem Cells 26:1117-1127. Balakier H et al. 2002. Calcium-binding proteins and calcium-release channels in human maturing oocytes, pronuclear zygotes and early preimplantation embryos. Hum Reprod 17:2938–2947. Ban J et al. 2007. Embryonic stem cell-derived neurons form functional networks in vitro. Stem Cells 25:738 –749.
99
Berridge M. 1996. Regulation of calcium spiking in mammalian oocytes through a combination of inositol trisphosphate-dependent entry and calcium release. Mol Hum Reprod 2:386–388. Boediono A, Saha S, Sumantri C, Suzuki T.1995. Development in vitro and in vivo of aggregated parthenogenetic bovine embryos. Reprod Fertil Dev 7:1073-1079. Bos-Mikich A, Whittingham DG, Jones KT. 1997. Meiotic and mitotic Ca2+ oscillations affect cell composition in resulting blastocysts. Dev Biol 182:172-179. Byrne JA et al. 2007. Producing primate embryonic stem cells by somatic cell nuclear transfer. Nature 450:497–502 (Abstr). Dighe et al. 2008. Heterozygous embryonic stem cell lines derived from nonhuman primate parthenotes. Stem Cells 26:756-766. Ducibella T et al. 2002. Egg-to-embryo transition is driven by differential responses to Ca2+ oscillation number. Dev Biol 250: 280-291. Duplomb L, Dagouassat M, Jourdon P, Heymann D. 2007. Concise review: embryonic stem cells: a new tool to study osteoblast and osteoclast differentiation. Stem Cells 25:544-552. Gossrau G, Thiele J, Konang R, Schmandt T, Br¨Ustle U. 2007. Bone morphogenetic protein-mediated modulation of lineage diversification during neural differentiation of embryonic stem cells. Stem Cells 25:939 – 949. Gu C, Cooper DM. 2000. Ca2+, Sr2+, and Ba2+ identity distinct regulatory sites on adenylys cyclase (AC) types VI and VIII and consolidate the apposition of capacitative cation entry channels and CA2+-sensitive Acs. J Biol Chem 275:6980-6986. Guo X-M et al. 2006. Creation of engineered cardiac tissue in vitro from mouse embryonic stem cells. Circulation 113:2229-2237. Hahnel AC et al. 1990. Two alkaline phosphatase genes are expressed during early development in the mouse embryo. Development 110:555-564. Hikichi T et al. 2007. Differentiation potential of parthenogenetic embryonic stem cells is improved by nuclear transfer. Stem Cells 25:46-53. Imahie H, Takahashi M, Toyoda Y, sato E. 2002. Differential effects of cytochalasin B on cytokinesis in parthenogenetically activated mouse oocyte. J Reprod Dev 48: 31-40. Ito J, Shimada M, Terada T. 2003. Effect of protein kinase C activator on mitogen-activated protein kinase and p34cdc2 kinase activity during parthenogenetic activation of porcine oocyte by calcium ionophore. Biol Reprod 69:1675-1682.
100
Izquierdo L, Lopez T, Marticorena P. 1980. Cell membrane regions in preimplantation mouse embryos. J Embryol Exp Morph 59:89-102. Jellerette T, He CL, Wu H, Parys JB, Fissore RA. 2000. Down-regulation of the inositol 1,4,5-trisphosphate receptor in mouse eggs following fertilization or parthenogenetic activation. Dev Biol 223:238-250. Jellerette T et al. 2004. Cell cyclecoupled [Ca2+]i oscillations in mouse zygotes and function of the inositol 1,4,5-trisphosphate receptor-1. Dev Biol 274:94–109. Jones KT, Whittingham DG. 1996. A comparison of sperm- and IP3-induced Ca2+ release in activated and ageing mouse oocytes. Dev Biol 178:229– 237. Kim D, Dressler GR. 2005. Nephrogenic factors promote differentiation of mouse embryonic stem cells into renal epithelia. J Am Soc Nephrol 16: 3527– 3534. Kim K et al. 2007a. Histocompatible embryonic stem cells by parthenogenesis. Science 315:482-486. Kim K et al. 2007b. Recombination signatures distinguish embryonic stem cells derived by parthenogenesis and somatic cell nuclear transfer. Cell Stem Cell 1:346-352. Kitiyanant Y, Saikhun J, Guocheng J, Pavasuthipaisit K. 2000. Establishment and long-term maintenance of bovine embryonic stem cell lines using mouse and bovine mixed feeder cells and their survival after cryopreservation. Science Asia 26:81-86. Kline D, Kline JT. 1992. Repetitive calcium transients and the role of calcium in exocytosis and cell cycle activation in the mouse egg. Dev Biol 149:80– 89. Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from metaphase II oocytes. Stem Cells 21:152-161. Loren J, Lacham-Kaplan O. 2006. The employment of strontium to activate mouse oocytes: effects on spermatid-injection outcome. Reproduction 131:259–267 Ma F et al. 2008. Generation of functional erythrocytes from human embryonic stem cell-derived definitive hematopoiesis. Proc Natl Acad Sci USA 105:13087-13092. Madgwick S, Levasseur M, Jones KT. 2005. Calmodulindependent protein kinase II, and not protein kinase C, is sufficient for triggering cell-cycle resumption in mammalian eggs. J Cell Sci 118:3849-3859. Malcuit CM et al. 2005. Fertilization and inositol 1,4,5-trisphosphate (IP3)-induced calcium release in type-1 inositol 1,4,5-trisphosphate receptor downregulated bovine eggs. Biol Reprod 73:2-13.
101
Marshall IC, Taylor CW. 1994. Two calcium-binding sites mediate the interconversion of liver inositol 1,4,5-trisphosphate receptors between three conformational states. Biochem J 301:591–598. Matahine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A. 2008. Produksi embryonic stem cells dari inner cell mass blastosis yang diisolasi dengan metode enzimatik dan immunosurgery. Jurnal Veteriner 9:13-19. Meslin EM, Martin SE. 2003. A brief review of ethical issues in the stem cell debate. Neoreviews 4: e187 Mitalipov SM, Nusser KD, Wolf DP. 2001. Parthenogenetic activation of rhesus monkey oocytes and reconstructed embryos. Biol Reprod 65:253-259. Miyazaki S et al. 1992. Block of Ca2+ wave and Ca2+ oscillation by antibody to the inositol 1,4,5-trisphosphate receptor in fertilized hamster oocytes. Science 257:251–255. Miyazaki S, Shirakawa H, Nakada K, Honda Y. 1993. Essential role of the inositol 1,4,5-trisphosphate receptor/Ca2+ release channel in Ca2+ waves and Ca2+ oscillations at fertilization of mammalian eggs. Dev Biol 158:62-78. Motohashi T et al. 2007. Multipotent cell fate of neural crest-like cells derived from embryonic stem cells. Stem Cells 25:402-410. Murray AW, Solomon MJ , Kirschner MW. 1989. The role of cyclin synthesis and degradation in the control of maturation promoting factor activity. Nature 339: 280-286 (Abstr). Narisawa S et al. 1992. Embryonic alkaline phosphatase is expressed at Mphase in the spermatogenic lineage of the mouse. Development 116:159165. Nash PD, Opas M, Michalak M. 1994. Calreticulin: not just another calciumbinding protein. Mol Cell Biochem 135:71–78. Newman-Smith ED, Werb Z. 1995. Stem cell defects in parthenogenetic periimplantation embryos. Development 121: 2069-2077. O’connor MD et al. 2008. Alkaline phosphatase-positive colony formation is a sensitive, specific, and quantitative indicator of undifferentiated human embryonic stem cells. Cells 26:1109-1116. Ozil JP. 1990. The parthenogenetic development of rabbit oocytes after repetitive pulsatile electrical stimulation. Development 109:117-127. Palmqvist L et al. 2005. Correlation of murine embryonic stem cell gene expression profiles with functional measures of pluripotency. Stem Cells 23:663-680. Revazova ES et al. 2007. Patient-specific stem cell lines derived from human parthenogenetic blastocysts. Cloning Stem Cells 9:432-449.
102
Rickard M. 2002. Key Ethical Issues in Embryonic Stem Cell Research. Commonwealth of Australia. Rogers NT et al. 2004. Phospholipase C causes Ca2+ oscillations and parthenogenetic activation of human oocytes. Reproduction 128:697-702. Sun X et al. 2008. Similar biological characteristics of human embryonic stem cell lines with normal and abnormal karyotypes. Hum Reprod 23:2185-2193. Tam W-L et al. 2008. T-cell factor 3 regulates embryonic stem cell pluripotency and self-renewal by the transcriptional control of multiple lineage pathways. Stem Cells 26:2019-2031. Terasaki M, Sardet C. 1991. Demonstration of calcium uptake and release in sea urchin eggs by cortical endoplasmic reticulum. J Cell Biol 115: 1031– 1037. Vrana KE et al. 2003. Nonhuman primate parthenogenetic stem cells. Proc Natl Acad Sci U S A 100:11911-11916. Wang S et al. 2007. Generation and characterization of rabbit embryonic stem cells. Stem Cells 25:481–489. Wu H, He CL, Jehn B, Black SJ, Fissore RA. 1998. Partial characterization of the calcium-releasing activity of porcine sperm cytosolic ecracts. Dev Biol 203:369-381. Zhang D et al. 2005. Strontium promotes calcium oscillations in mouse meiotic oocytes and early embryos through InsP3 receptors, and requires activation of phospholipase and the synergistic action of InsP3. Hum Reprod 20:3053–3061. Zhang P et al. 2008. Short-term BMP-4 treatment initiates mesoderm induction in human embryonic stem cells. Blood 111:1933-1941.
PEMBAHASAN UMUM
Embryonic stem cells (ESC) adalah sel-sel yang dihasilkan dari embrio pada stadium perkembangan awal yang secara normal dikoleksi sebelum terjadi implantasi di dalam uterus. Secara alamiah, proses perkembangan embrio diawali ketika sel telur dibuahi oleh sperma di dalam saluran telur (tuba falopii), dan menghasilkan embrio satu sel (zigot). Selama perjalanan melewati saluran telur, embrio mengalami suatu seri pembelahan sel, sehingga ketika memasuki uterus embrio tersebut telah memiliki sejumlah sel. Pada tahapan perkembangan tersebut, setiap sel (blastomer) belum memiliki fungsi khusus, dimana setiap blastomer memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi individu utuh (totipotent). Kejadian diferensiasi pertama pada mencit terjadi ketika embrio mencapai stadium blastosis yang terjadi pada hari keempat kebuntingan, dimana sel-sel yang berada pada bagian luar berdiferensiasi menjadi trofoblas sedangkan sel-sel yang berada pada bagian dalam menjadi inner cell mass (ICM) (Yu & Thomson 2006). Inner cell mass memiliki potensi untuk menghasilkan semua tipe sel tubuh (Czyz et al. 2003), tetapi setelah implantasi, kemampuan tersebut secara cepat menghilang, ketika mereka berdiferensiasi menjadi tipe sel tertentu dengan potensi perkembangan yang terbatas. Bagaimanapun, jika ICM dikeluarkan dari lingkungan embrionik normal dan dikultur dibawah kondisi yang tepat, sel-sel yang berasal dari ICM dapat secara kontinyu berproliferasi dan mereplikasi dirinya secara tidak terbatas (Smith 2001) dan potensi untuk membentuk semua tipe sel tubuh masih tetap dipertahankan. Sel-sel yang berasal dari ICM tersebut dikenal sebagai ESC. Dengan
kemampuannya
yang
demikian,
membuat
ESC
dapat
dimanfaatkan untuk menunjang berbagai penelitian dasar, dan dapat digunakan sebagai materi untuk pengujian berbagai obat baru sebelum digunakan untuk pengobatan pada hewan dan manusia (Yu & Thomson 2006). Embryonic stem cell juga memiliki potensi untuk menyediakan sel dalam jumlah yang tidak terbatas untuk kegiatan transplantasi dalam rangka mengobati berbagai penyakit degeneratif dan penyakit lainnya. Beberapa penyakit dapat disebabkan oleh adanya kematian atau tidak berfungsinya sel pada suatu jaringan atau organ tubuh,
misalnya kerusakan sel-sel yang memproduksi insulin yang dapat
menyebabkan penyakit diabetes, atau dopaminergic neuron yang menyebabkan
104
penyakit Parkinson. Pada kasus seperti itu, penggunaan ESC sangat menjanjikan untuk pengobatan dan penyembuhannya. Dalam riset ini telah dilakukan serangkaian kegiatan untuk produksi ESC. Pada kegiatan tahap pertama dilakukan penelitian untuk mengetahui profil perkembangan ESC yang dihasilkan oleh embrio stadium cleavage, morula dan blastosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat perlekatan (AR) dan tingkat pembentukan koloni primer ESC (PC) yang dihasilkan blastosis lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan embrio stadium morula dan cleavage. Rendahnya AR dan PC pada ESC yang dihasilkan embrio stadium morula dan cleavage disebabkan oleh rendahnya kemampuan emrbrio-embrio tersebut untuk melekat pada dasar cawan kultur. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan perbedaan kandungan molekul adesi yang berperan dalam perlekatan sel. Salah satu molekul adesi yang diekspresikan oleh embrio praimplantasi adalah integrin. Blastosis lebih banyak mengekspresikan subunit integrin dibandingkan dengan embrio pada stadium morula dan cleavage (Aplin 1997). Peranan utama integrin diantaranya adalah menunjang perlekatan dan proliferasi sel. Disisi lain, koloni ESC yang dihasilkan morula memiliki tingkat pertumbuhan koloni (GR) dan doubling time (DT) yang lebih baik dibandingkan dengan yang dihasilkan blastosis. Rendahnya tingkat pertumbuhan koloni ESC yang dihasilkan blastosis mungkin mengindikasikan bahwa keberadaan sel trofoblas dalam kultur ICM dapat menghambat pertumbuhan ESC. Dengan demikian, pada tahapan penelitian selanjutnya dilakukan pemisahan ICM dari sel trofoblas dengan menggunakan beberapa metode isolasi. Pada penelitian tahap kedua, dua metode isolasi digunakan untuk memisahkan ICM dari trofoblas blastosis. Metode pertama adalah metode enzimatik, suatu metode yang relatif baru dan penggunaannya baru dilaporkan untuk pemisahan ICM blastosis babi. Sebagai bahan dasar dari metode ini adalah tripsin-EDTA yang memiliki kemampuan untuk melisiskan sel. Sebagai kontrol positif adalah metode immunosurgery, suatu metode yang sudah umum digunakan untuk pemisahan ICM blastosis hewan dan manusia, dengan bahan dasarnya adalah antiserum dan complement. Prinsip kerja dari kedua metode ini agak berbeda. Metode enzimatik dapat melepaskan atau melonggarkan ikatan antar sel, dan jika lama pemaparan terlalu panjang dapat menyebabkan lisisnya ICM bersama dengan trofoblas; dengan demikian, pengalaman dan ketelitian peneliti sangat diperlukan. Pada metode immunosurgery, target sel yang dilisiskan adalah sel-sel trofoblas yang sudah terikat dengan antiserum. Sebagai
105
kontrol negatifnya adalah kultur blastosis utuh seperti pada penelitian tahap pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun tingkat keutuhan ICM dan AR pada metode enzimatik lebih rendah daripada hasil kultur blastosis utuh, tetapi PC, GR, DT yang dihasilkan metode enzimatik tidak berbeda dengan yang dihasilkan oleh metode immunosurgery, dan keduanya lebih tinggi dari yang dihasilkan kultur blastosis utuh. Hal ini mengindikasikan bahwa metode enzimatik dapat digunakan sebagai metode isolasi ICM alternatif untuk produksi ESC. Penggunaan tripsin sebagai isolator memiliki beberapa kelebihan yaitu proses isolasi membutuhkan waktu yang relatif pendek yaitu 5 hingga 10 menit. Pemaparan blastosis dalam larutan tripsin menyebabkan putusnya ikatan antara trofoblas, dan cairan yang terdapat dalam blastosul akan keluar sebagai akibat tekanan osmotik larutan diluar blastosis lebih tinggi daripada didalam blastosis. Keluarnya cairan dari blastosul menyebabkan morfologi blastosis mengalami perubahan menyerupai morula kompak, dan sel-sel trofoblas yang berada pada bagian luar mulai mengalami lisis. Kunci keberhasilan dari metode ini adalah ketepatan waktu pemisahan ICM dari trofoblas. Jika isolasi terlambat dilakukan akan menyebabkan bukan saja trofoblas yang mengalami kerusakan tapi juga ICM akan ikut mengalami lisis, sebaliknya jika terlalu awal maka proses isolasi tidak akan berhasil. Ketidak-hadiran sel trofoblas pada blastosis yang diisolasi dengan metode enzimatik berdampak positif terhadap perkembangan ESC, yang terlihat dari jumlah koloni dan tingkat proliferasi ESC yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil kultur blastosis utuh. Koloni ESC yang dihasilkan pada metode enzimatik umumnya memiliki diameter yang lebih besar, yang mengindikasikan bahwa tingkat proliferasi ESC pada metode ini lebih tinggi daripada hasil kultur blastosis utuh. Dengan demikian, metode isolasi enzimatik dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk isolasi ICM dalam rangka produksi ESC mencit. Metode enzimatik pernah digunakan oleh Li et al. (2003) untuk memisahkan ICM dari trofoblas blastosis babi, dengan PC yang dihasilkan mencapai 68%, dan lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan blastosis utuh yaitu 28%. Pada penelitian tahap ketiga, dilakukan pengujian efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer (CFL) atau sebagai penghasil conditioned medium (CCM) dalam menunjang proliferasi dan pluripotensi ESC mencit, baik secara tunggal maupun dalam kombinasi dengan leukemia inhibitory factor (LIF). Hasil penelitian
106
menunjukkan bahwa efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer pada kultur ESC mencit sebanding dengan mouse embryonic fibroblast (MEF), dan keduanya lebih baik daripada hasil kultur tanpa feeder layer. Hampir semua variabel penelitian pada CFL dan MEF kecuali AR, lebih baik daripada hasil kultur tanpa feeder layer. Tingkat pembentukan koloni primer, GR, jumlah cell line, dan ALP+ mengalami peningkatan masing-masing sebesar 42, 54, 8, dan 76%, dan terjadi perpendekan DT 10 jam ketika ESC dikultur pada CFL dibandingkan dengan tanpa feeder layer. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa feeder layer kumulus menghasilkan faktor penunjang atau paling tidak menyediakan lingkungan kultur yang lebih kondusif bagi ICM untuk hidup dan melekat pada cawan kultur yang selanjutnya berkembang membentuk koloni ESC. Sel kumulus manusia mengekspresikan Wnt/β-catenin (Wang et al. 2009), transforming growth factors-β (TGF-β) type 1 and type 2 mRNA (Mulheron et al. 1992), activin A (Lau et al. 1999). Beberapa growth factor juga telah ditemukan pada sel kumulus sapi, seperti fibroblast growth factor, epidermal growth factor, insulin-like growth factor, dan transforming growth factors (Memili et al. 2007). Beberapa growth factor tersebut telah dibuktikan berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan proliferasi ESC. Wnt signaling bekerja secara sinergis dengan LIF untuk mempertahankan pluripotensi pada ESC mencit dan ESC manusia (Sato et al. 2004, Ogawa et al. 2006). Dalam kehadiran Wnt/β-catenin, LIF berkonsentrasi rendah dapat mempertahankan self renewal ESC, dan terjadi peningkatan ekspresi STAT3 sebesar dua hingga tiga kali lipat (Hao et al. 2006). Hasil penelitian Davey et al. (2007) mengindikasikan bahwa Wnt/β-catenin dapat meningkatkan aktivasi STAT3, dan memungkinkan level ligand yang berada dibawah ambang kebutuhan dapat mempertahankan proliferasi ESC. Secara normal, pada kondisi level LIF eksogen yang rendah, tingkat aktivasi STAT3 sangat rendah sehingga tidak cukup untuk mempertahankan self renewal ESC, yang selanjutnya menyebabkan diferensiasi (Davey et al. 2007). Activin/Nodal signaling berperan dalam mempertahankan pluripotensi ESC manusia (Xiao et al. 2006). Pada kasus dimana activin/Nodal signaling dihambat, ESC akan berkembang menjadi trofobas. Pada morula manusia, selsel yang menerima cukup sinyal activin/Nodal membentuk ICM, sedangkan yang tidak menerima cukup sinyal akan berkembang menjadi trofoblas. Hal ini
107
mengindikasikan bahwa activin/Nodal signaling meregulasi kejadian diferensiasi pertama pada perkembangan embrio manusia (Wu et al. 2008). Untuk mengetahui kadar LIF optimal pada CFL dan CCM maka dilakukan suplementasi LIF dengan kadar 0 (tanpa LIF), 10, atau 20 ng/ml. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan konsentrasi LIF optimal pada CFL dan CCM, dimana pada CFL dicapai pada konsentrasi 10 ng/ml, sedangkan pada CCM dicapai pada konsentrasi 20 ng/ml. Dengan demikian, diperlukan konsentrasi LIF yang lebih rendah pada kultur ESC dengan CFL dibandingkan dengan CCM. Hal ini mungkin diakibatkan oleh beberapa hal: 1) kontak langsung dengan sel kumulus menjamin kontinuitas kebututuhan ESC terhadap growth factor yang berperan dalam proliferasi dan proliferasi, 2) mitogenic factor yang terekspresi pada CFL tidak dilepaskan secara sempurna kedalam CCM sehingga tidak mencukupi kebutuhan ESC, 3) produk buangan dari hasil sisa metabolime ESC yang dilepaskan ke dalam CCM mengganggu pertumbuhan dan perkembangan ESC. Peranan LIF dalam kultur ESC mencit adalah menghambat proses diferensiasi sel sehingga pluripotensi dan proliferasi ESC tetap dipertahankan. Leukemia inhibitory factor menstimulasi ESC mencit melalui gp130, yang berfungsi sebagai heterodimer bersama dengan LIF receptor. Aktivasi gp130 menyebabkan teraktivasi-nya janus-associated tyrosine kinase (JAK) dan signal transducer and activation of transcription3 (STAT3). STAT3 masuk ke dalam inti sel dan mengaktivasi sejumlah gen seperti c-myc (Cartwright et al. 2005), nanog (Chambers et al. 2003, Darr et al. 2006), eed (Ura et al. 2008), jmjd1a (Ko et al. 2006) dan GAB-β, yang berfungsi untuk mempertahankan ekspresi Oct4 (Kinoshita et al. 2007), dan berbagai faktor transkripsi lainnya yang berperan dalam mempertahankan pluripotensi dan proliferasi ESC. Koloni ESC yang dihasilkan pada CFL dan CCM mampu berdiferensiasi secara spontan menjadi cardiomyocyte-like cells dan neuron-like cells. Induksi diferensiasi pada 30 koloni ESC yang dikultur pada CFL menyebabkan sembilan koloni (30%) dari ESC tersebut berdiferensiasi menjadi cardiomyocyte-like cells, dan satu koloni lainnya berdiferensiasi menjadi neuron-like cells. Pada koloni ESC yang dikultur pada CCM, jumlah koloni ESC yang berdiferensiasi menjadi cardiomyocyte-like cells sedikit lebih tinggi yaitu 39.29%. Hal ini memberi gambaran bahwa ESC yang dikultur dengan kedua metode tersebut masih mempertahankan pluripotensinya karena dapat menghasilkan dua tipe sel yang berbeda. Cardiomyocytes adalah sel-sel yang menyusun jaringan jantung dan
108
berasal dari bagian mesoderm embrionik, sedangkan neuron berasal dari bagian ektoderm. Pasase terhadap koloni ESC yang dihasilkan dilakukan dengan metode enzimatik atau mekanis. Jumlah cell line yang dihasilkan oleh kedua metode pasase tidak berbeda. Dari 32 koloni primer pada masing-masing kelompok dihasilkan 5 cell line, dengan jumlah koloni mencapai 97 pada pada metode enzimatik, sedangkan pada metode mekanis dihasilkan 7 cell line, dengan jumlah koloni mencapai 158. Tingkat pertumbuhan koloni dan ALP+ mengalami peningkatan masing-masing 23 dan 10%, dan terjadi pemendekkan DT 4 jam ketika dilakukan pasase ESC dengan metode mekanis dibandingkan dengan metode enzimatik. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab rendahnya profil ESC pada metode enzimatik adalah: 1) pemaparan yang dilakukan secara kontinyu terhadap tripsin dapat menyebabkan kerusakan sel secara menyeluruh yang berdampak pada rendahnya tingkat proliferasi sel, 2) pasase secara enzimatik menyebabkan terjadinya percampuran antara sel yang sudah berdiferensiasi dengan
yang
belum,
yang
selanjutnya
berdampak
pada
lambatnya
perkembangan ESC dan terjadi induksi diferensiasi pada sel-sel yang belum berdiferensiasi, 3) ukuran koloni ESC yang dihasilkan dengan metode enzimatik sangat beragam, dan berdampak pada rendahnya proliferasi ESC. Pasase dengan metode mekanis dapat mempertahankan gap junction dan molekul adesi sel yang terdapat diantara sel, yang keduanya sangat esensial untuk perkembangan ESC (Wong et al. 2004). Sebaliknya, pemisahan secara enzimatik menyebabkan kerusakan kontak antar sel pada berbagai tingkat dan menyebabkan stres pada ESC selama kultur selanjutnya. Pasase secara mekanis memungkin seleksi terhadap koloni yang belum berdiferensiasi untuk digunakan pada kultur selanjutnya, dan hal yang demikian tidak mungkin dilakukan pada pasase enzimatik. Selain itu, pasase enzimatik memiliki beberapa kelemahan seperti ukuran cluster yang dihasilkan sangat bervariasi, memerlukan fase adaptasi yang panjang terhadap enzim yang digunakan (Hasegawa et al. 2006), rasio pasase yang rendah (Cowan et al. 2004), menyebabkan abnormalitas kromosom (Cowan et al. 2004, Hasegawa et al. 2006). Pada
penelitian
tahap
empat
dilakukan
penelitian
pada
embrio
partenogenetik sebagai sumber ESC. Blastosis partenogenetik yang dihasilkan umumnya memiliki jumlah sel yang lebih sedikit daripada blastosis hasil
109
fertilisasi. Sebagai gambaran, jumlah sel blastosis partenogenetik pada hari keempat kultur berkisar antara 30 hingga 49 sel, yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan embrio hasil fertilisasi yang telah memiliki 82 hingga 126 sel pada umur yang sama. Selain itu, ukuran ICM blastosis partenogenetik relatif lebih kecil. Bahkan dari hasil pewarnaan Hoechst-propidium Iodide menunjukkan bahwa sebagian blastosis memiliki sel ICM yang menyebar dan tidak berkelompok. Hal itulah yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat keutuhan ICM pasca immunosurgery, dimana dari 37 blastosis yang diisolasi, hanya dihasilkan 24 ICM utuh (64.86%), lebih rendah dari kontrol (97.14%). Dalam kultur selanjutnya, 15 (40.54%) diantara ICM tersebut berhasil melekat pada dasar cawan kultur, dan hanya 3 ICM (8.11%) yang berkembang membentuk koloni primer ESC. Dari tiga koloni primer yang dihasilkan hanya satu koloni yang berhasil tumbuh melewati pasase pertama, sementara dua koloni lainnya mengalami degenerasi setelah pasase pertama. Tingkat pertumbuhan koloni ESC partenogenetik adalah 78.57% lebih rendah dari yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi (133.77%), dan doubling time 25.85 jam, lebih panjang dari yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi (16.21 jam). Secara keseluruhan, tampilan ESC partenogenetik kurang optimal dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh embrio hasil fertilisasi. Hal ini mungkin ada hubungan dengan rendahnya kualitas ICM yang dihasilkan. Inner cell mass blastosis partenogenetik umumnya lebih kecil dibandingkan dengan yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi. Selain itu, pouplasi sel ICM blastosis partenogenetik memiliki tingkat proliferasi yang lebih rendah dibandingkan ICM dari embrio normal (Newman-Smith dan Werb 1995), dan dengan demikian akan berdampak
pada
partenogenetik
sedikitnya
dapat
jumlah
ditingkatkan
sel
ketika
penyusunnya. dikultur
dalam
Populasi
ICM
medium
yang
mengandung agens mitogenic seperti LIF atau Igf-1r/Igf-2, dan hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa ICM partenogenetik tidak meregulasikan beberapa komponen proliferasi (Newman-Smith & Zena Werb 1995). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa rendahnya kualitas ICM blastosis partenogenetik berdampak sedikitnya jumlah ICM yang melekat pada dasar cawan kultur, dan sekaligus menyebabkan jumlah ICM yang berkembang menjadi koloni primer ESC menjadi lebih sedikit. Selain itu, koloni ESC yang dihasilkan oleh ICM blastosis partenogenetik relatif lebih kecil.
110
KESIMPULAN DAN SARAN UMUM Kesimpulan Umum 1. Kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan embrio stadium cleavage dan morula lebih rendah dari yang dihasilkan blastosis. 2. Metode enzimatik dapat dijadikan sebagai metode isolasi ICM dalam rangka produksi ESC mencit. 3. Sel kumulus dapat digunakan sebagai feeder layer dan penghasil conditioned medium untuk kultur ESC. 4. Profil pertumbuhan ESC yang dihasilkan embrio partenogenetik lebih rendah dari yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.
Saran Umum 1. Perlu dilakukan modifikasi metode kultur untuk mengoptimalkan produksi ESC dari embrio stadium cleavage dan morula. 2. Karakterisasi yang lebih spesifik terhadap jenis protein yang terkandung dalam conditioned medium cumulus. 3. Karakterisasi
ESC
pluripotensi ESC.
secara
immunohistokimia
untuk
menentukan
111
DAFTAR PUSTAKA
Aplin JD. 1997. Adhesion molecules in implantation. Reviews of Reproduction 2: 84–93. Cartwright P et al. 2005. LIF/STAT3 controls ES cell self-renewal and pluripotency by a Myc-dependent mechanism. Development 132:885-896. Chambers I et al. 2003. Functional expression cloning of Nanog, a pluripotency sustaining factor in embryonic stem cells. Cell 113:643-655. Cowan CA et al. 2004. Derivation of embryonic stem-cell lines from human blastocysts. N Engl J Med 350:1353-1356. Czyz J et al. 2003. Potential of embryonic and adult stem cells in vitro. Biol Chem 384:1391-1409. Darr H, Mayshar Y, Benvenisty N. 2006. Overexpression of Nanogin human ES cells enables feeder-free growth while inducing primitive ectoderm features. Development 133:1193-1201. Davey RE, Onishi K, Mahdavi A, Zandstra PW. 2007. LIF-mediated control of embryonic stem cell selfrenewal emerges due to an autoregulatory loop. FASEB J 21:2020-2032. Hao J, Li TG, Qi X, Zhao DF, Zhao GQ. 2006. WNT/beta-catenin pathway upregulates Stat3 and converges on LIF to prevent differentiation of mouse embryonic stem cells. Dev Biol 290:81-91 Hasegawa K et al. 2006. A method for the selection of human embryonic stem cell sublines with high replating efficiency after single-cell dissociation. Stem Cells 24:2649-2660. Kinoshita K et al. 2007. GABP alpha regulates Oct-3/4 expression in mouse embryonic stem cells. Biochem Biophys Res Commun 353:686-691 (Abstr). Ko SY, Kang HY, Lee HS, Han SY, Hong SH. 2006. Identification of Jmjd1a as a STAT3 downstream gene in mES cells. Cell Struct Funct 2006:31:53-62 (Abstr). Lau CP, Ledger WL, Groome NP, Barlow DH, Muttukrishna S. 1999. Dimeric inhibins and activin A ini human follicular fluid and oocyte-cumulus culture medium. Hum Reprod 14:2525-2530. Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine blastocysts. Mol Reprod Dev 65:429-434. Memili E et al. 2007. Bovine germinal vesicle oocyte and cumulus cell proteomics. Reproduction 133: 1107-1120.
112
Mulheron GW, Bossert NL, Lapp JA, Walmer DK, Schomberg DW. 1992. Human granulosa-luteal and cumulus cells express transforming growth factorsbeta type 1 and type 2 mRNA. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 74:458-460. Newman-Smith ED, Werb Z. 1995. Stem cell defects in parthenogenetic periimplantation embryos. Development 121: 2069-2077. Ogawa K et al. 2007. Activin-nodal signaling is involved in propagation of mouse embryonic stem cells. J Cell Sci 120:55-65. Sato N, Meijer L, Skaltsounis L, Greengard P, Brivanlou AH. 2004. Maintenance of pluripotency in human and mouse embryonic stem cells through activation of Wnt signaling by a pharmacological GSK-3-specific inhibitor. Nat Med 10:55-63 (Abstr). Smith AG. 2001. Embryo-derived stem cells: of mice and men. Annu Rev Cell Dev Biol 17: 435 – 462 (Abstr). Ura H et al. 2008. STAT3 and Oct-3/4 control histone modification through induction of eed in embryonic stem cells. J Biol Chem 283:9713-9723 Wang H-X, Tekpetey FR, Kidder GM. 2009. Identification of WNT/βcatenin signaling pathway components in human cumulus cells. Mol Hum Reprod 15:11-17. Wong RC, Pebay A, Nguyen LT, Koh KL, Pera MF. 2004. Presence of functional gap junctions in human embryonic stem cells. Stem Cells 22:883-889. Wu Z et al. 2008. Combinatorial signals of activin/nodal and bone Morphogenic protein regulate the early lineage Segregation of human embryonic stem cells. The Journal Of Biological Chemistry 283: 24991–25002. Xiao L,Yuan X, Sharkis SJ. 2006. Activin amaintains self-renewal and regulates fibroblast growth factor, Wnt, and bone morphogenic protein pathways in human embryonic stem cells. Stem Cells 24:1476–86. Yu J, Thomson JA. 2006. Embryonic stem cells. In: Regenerative medicine, p:112.Terese Winslow.
LAMPIRAN
114
Lampiran 1. Medium Kultur Embryonic Stem Cells
Bahan: - Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM)-High Glucose (Sigma, D7777) - Natrium karbonat (NaHCO3- Sigma, S8875) - Non essential amino acid (NEAA- Sigma, M7145) - Fetal bovine serum (FBS- Sigma, F4135) - Gentamicin (Sigma, G1397) - Mercapthoethanol - Leukemia inhibitory factor (LIF) (Chemicon International Temecula, CA 92590; LIF2005; Kandungan: 5 µg in 0.5 ml PBS - Milli-Q water
Bahan
5 mL
10 mL
50 mL
100 mL
MilliQ water DMEM-high glucose (13.5 g/L) NaHCO3 (3.7 g/L) NEAA (1%) Mercaptoethanol (0.1 mM) FBS (20%) Gentamicin (50 µg/ml) LIF (20 ng/ml)
3.95 mL 0.0675 g 0.0185 g 0.05 mL 35 µl 1 mL 6.25 µl 100 µl
7.90 mL 0.1350 g 0.0370 g 0.1 mL 70 µl 2 mL 12.5 µl 200 µl
39.50 mL 0.6750 g 0.1850 g 0.5 mL 350 µl 10 mL 62.5 µl 1000 µl
79.00 mL 1.35 g 0.37 g 1 mL 700 µl 20 mL 125 µl 2000 µl
Keterangan: -
-
NEAA, mercaptoethanol, FBS, dan gentamicin ditambahkan pada saat digunakan, sedangkan DMEM dan NaHCO3 dapat dibuat stok untuk disimpan pada 4oC selama 2 – 3 bulan. Mercaptoethanol dan LIF diambil dari stok yang sudah dibuat
115
Pembuatan Stok Mercaptoethanol Mercaptoethanol (14.3 M = 14 300 mM) 1 µl 50 µl 100 µl
Milli-Q Water
Stock Mercaptoethanol
999 µL 49.95 mL 99.90 mL
14.3 mM 14.3 mM 14.3 mM
Alliquot dalam ependorf 1 ml dan simpan dalam lemari pendingin (suhu 5oC)
RECOMBINANT MURINE LIF
LIF
DMEM tanpa FBS
Stock LIF
5 µg in 0.5 ml PBS
4.5 ml
5 µg /5 ml = 1 µg /ml = 1000 ng/ml = 1 ng/µl
-
Sterilisasi dengan filter pori 0.2 µm Aliquot dalam ependorf (50 µl per ependorf) Simpan pada -80oC Pada saat digunakan: thawing pada suhu ruang, dan campur dengan medium kultur ESC (DMEM+ FBS+NEAA+Mercaptoethanol): 20 µl/ml LIF per 1 ml ESC medium.
116
Lampiran 2. Medium Kultur Feeder Layer
Bahan
5 ml
10 ml
50 ml
100 ml
1000 ml
MilliQ water DMEM-high glucose (13.5 g/L) NaHCO3 (3.7 g/L) NEAA (1%) Mercaptoethanol (0.1 mM) FBS (10%) Gentamicin (50 µg/ml)
4.45 ml 0.0675 g
8.90 ml 0.1350 g
44.50 ml 0.6750 g
89 ml 1.35 g
890 ml 13.5 g
0.0185 g 0.05 mL 35 µl
0.0370 g 0.1 mL 70 µl
0.1850 g 0.5 mL 350 µl
0.37 g 1 mL 700 µl
3.7 g 10 mL 7000 µl
0.5 mL 6.25 µl
1 mL 12.5 µl
5 mL 62.5 µl
10 ml 125 µl
100 mL 1250 µl
Keterangan: -
NEAA, mercaptoethanol, FBS, dan gentamicin ditambahkan pada saat digunakan, sedangkan DMEM dan NaHCO3 dapat dibuat stok untuk disimpan pada 4oC selama 2 – 3 bulan.
117
Lampiran 3. Medium Immunosurgery
A. Anti Mouse Serum Antibody Produced In Rabbit (Sigma, M5774 – 2 ml (powder) 1. Larutkan antiserum dalam 2 ml milliQ water (sesuai dengan anjuran pabrik 2. Sterilisasi (optional) dengan filter pori 0.2 µm berdiameter kecil 3. Aliquot dalam ependorf 0.5 ml (20 µl per ependorf) 4. Simpan pada suhu -80oC 5. Pada saat digunakan: thawing pada suhu ruang, dan encerkan 10x (atau sesuai dengan kadar pengenceran optimal pada penelitian pendahuluan) dengan DMEM tanpa serum
Complement Sera From Guinea Pig (Sigma, S1639 – 5 ml) 1. Larutkan complement dalam 5 ml milliQ water atau deionized water dingin (sesuai dengan anjuran pabrik 2. Sterilisasi (optional) dengan filter pori 0.2 µm berdiameter kecil 3. Aliquot dalam ependorf 0.5 ml (50 µl per ependorf) 4. Simpan pada suhu -80oC 5. Pada saat digunakan: thawing pada suhu ruang, dan encerkan 10x (sesuai dengan kadar pengenceran optimal pada penelitian pendahuluan) dengan DMEM tanpa serum
118
Lampiran 4. Medium Inaktivasi Feeder Layer Mitomycin C (Sigma M4287-5mg)
1. Larutkan mitomycin C dalam 10 ml milliQ water atau deionized water (setiap ml mengandung 500 µg mitomycin C). 1. Sterilisasi dengan filter pori 0.2 µm berdiameter kecil 2. Aliquot dalam ependorf 0.5 ml (50 µl per ependorf) 3. Simpan pada suhu -80oC 4. Pada saat digunakan: thawing pada suhu ruang, dan encerkan 50x (dosis pakai 10 µg per ml; encerkan 50 µl mitomycin C dalam DMEM + 20% FBS hingga mencapai 2.5 ml).
119
Lampiran 5. Alkaline Phosphatase Staining
Bahan: - Naphtol As-Mx phosphate (Sigma, N4875-100mg) - Fast Red TR Salt (Sigma, F8764-1G) - Tris [(H2NC(CH2OH)3]; BM=121.14g/mol - milliQ/aquadestilata - ependorf 1.5 cc Komposisi Bahan Naphtol As-Mx phosphate Fast Red TR Salt Tris MilliQ Tota1
Volume (µl) 20 10 100 870 1000
Catatan: - Penyiapan dan peawrnaan dilakukan dalam keadaan gelap - Setelah dicampur bisa difilter (pilihan) - Volume bahan diambil dari stok
Stok Naphtol As-Mx phosphate (Sigma, N4875-100mg) -
Larutkan Naphtol As-Mx phosphate dalam 10 ml milliQ (konsentrasi= 10 mg/ml). Aliquot kedalam ependorf (100µl/ependorf). Simpan pada suhu – 20oC atau -80oC Saat pemakaian: encerkan 50x (kebutuhan = 200µg/ml)
Fast Red TR Salt (Sigma, F8764-1G) -
Larutkan Fast Red TR Salt dalam 10 ml milliQ (konsentrasi= 100mg/ml). Aliquot ke dalam ependorf (100 µl/ependorf). Simpan pada suhu– 20oC atau -80oC Saat pemakaian: encerkan 100x (kebutuhan = 1mg/ml)
120
Tris -
Larutkan 0.6057g Tris kedalam 5 ml milliQ (konsentrasi= 1M=1000mM). Aliquot kedalam ependorf (200 µl/ependorf) Simpan pada suhu 5oC Saat pemakaian: encerkan 10x (kebutuhan 100mM).
121
Lampiran 6. Chatot, Ziomeck, Bavister (CZB) Medium A. CZB stock solution Komponen
1000 mL
NaCl KCL MgSO4.7H2O KH2PO4 EDTA.2Na Na. Laktat D-glucose Pennicillin G Streptomycin Phenol red (10mg /ml saline) MilliQ/DW
100 mL
50 mL
4760 mg 360 mg 290 mg 160 mg 40 mg 5.3 mL 50 mg 70 mg 0.5 mL
476 mg 36 mg 29 mg 16 mg 4 mg 0.53 mL 5 mg 7 mg 0.05 mL
238 mg 18 mg 14.5 mg 8 mg 2 mg 0.265 mL 2.5 mg 3.5 mg 0.025 mL
990 mL
99 mL
49.50 mL
mM
Keterangan: larutan stok CZB tanpa glukosa aliquot dalam 0.5 ml/ependorf
B. Calcium Stock Solution (100x) CaCl2.2H2O MilliQ/DW
2500 mg = 170 mM 100 mL
C. Strontium Solution SrCL2.6H2O 267 mg = 100 mM MilliQ/DW 10 mL Filter, aliquot 0.5 mL/ependorf dan simpan pada suhu 5oC D. Cytochalasin B stock solution Cytochalasin B DMSO
1 mg 2 mL
81.62 4.83 1.18 1.18 0.11 28.30 5.55
122
Lampiran 7. Pembuatan Medium Kultur, Aktivasi dan Diploidisasi Embrio Partenogenetik
Bahan
CZB Stock Sol. Calcium Stock Sol NaHCO3 Sod. Pyruvic Acid L-Glutamin BSA Glucose Strontium Cytochalasin B
Medium Kultur 1-4 Sel 99 ml 1 ml 211 mg 3 mg 15 mg 500 mg/FBS 10% -
Medium Kultur >4 Sel 99 mL 1 mL 211 mg 3 mg 15 mg 500 mg/FBS 10% -
Medium Aktivasi dan Diploidisasi 99 mL 211 mg 3 mg 15 mg 500 mg/FBS 10% 10 mL 1 ML
Pembuatan Medium Aktivasi dan Diploidisasi 1. Pembuatan medium aktivasi dan diploidisasi minus strontium dan 2. 3. 4. 5. 6.
cytochalasin B Tambahkan 1 mL cytochalsi B ke dalam 89 mL pada medium tersebut Sterilisasi dengan filter 0.2 µm Aliquot ke dalam 0.9 mL/ependorf Simpan pada suhu 5oC. Tambahkan 0.1 mL strontium ke masing-masing ependorf (konsentrasi strontium = 10 mM)
123
Lampiran 8. Potassium Simplex Optimization Medium (KSOM)
Komponen
NaCl KCl KH2PO4 MgSO4.7H20 Glucose Penicillin G Streptomycin Sodium Laktat
NaHCO3 Phenol red
Na. Pyruvate
CaCl2.2H2O
EDTA
Konsentrasi Akhir mM 95.0 2.50 0.35 0.20 0.20
10.0
25.0
0.20
1.71
0.01
g/liter 5.55 0.186 0.0476 0.0493 0.036
1.12 atau 1.87 g 60% syrup
Stok A’ (10x) g/100ml 5.55 0.186 0.0476 0.0493 0.036 0.060 0.050 1.12 atau 1.87 g 60% syrup
Volume Stok Untuk 100 ml 10 ml
0.060 0.050
B’ (10x) g/100 ml 2.10 0.001
10 ml
1 ml
0.022
C’ (100x) g/10ml 0.022
1 ml
0.25
D’ (100x) g/10ml 0.25
0.1 ml
0.0038
F’ (1000x) g /10ml 0.038
2.10
G’ (200x) 200 mM L-glutamine BSA (Sigma, A3311) MEM NEAA MEM EAA
-
1.00
0.146 1.000
0.5 ml 100 mg
0.5x 0.5x
0.5 ml 1 ml
MEM NEAA : minimum essential medium non-essential amino acids MEM EAA : minimum essential medium esential amino acids Penicillin dan streptomycin ditambahkan pada saat pembuatan medium segar (kultur).
124
Lampiran 9. Dulbecco’s Phosphate Buffered Saline
Komponen NaCl KCl KH2PO4 Na2HPO4.12H2O MgCl2.6H2O CaCl2.2H2O BSA (Sigma, A3311) Phenol red Penicillin G potassium salt Streptomycin sulfate
D-PBS mM 136.0 2.68 1.47 8.1 0.49 0.9 4.0
g/liter 8.0 0.2 0.2 2.89 0.1 0.133 3.0 0.001 – 0.01 (pilihan) 0.06 (100 unit/ml) 0.05