TINGKAT PERKEMBANGAN PRODUKSI EMBRIO IN VITRO HASIL FERTILISASI SAPI SEBANGSA DAN BEDA BANGSA
MUHAMMAD FARIS FIRDAUS
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Perkembangan Produksi Embrio In Vitro Hasil Fertilisasi Sapi Sebangsa dan Beda Bangsa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014
Muhammad Faris Firdaus NIM B04100124
ABSTRAK MUHAMMAD FARIS FIRDAUS. Tingkat Perkembangan Produksi Embrio In Vitro Hasil Fertilisasi Sapi Sebangsa dan Beda Bangsa. Dibimbing oleh NURWIDAYATI dan ARIEF BOEDIONO Produksi embrio hasil fertilisasi in vitro merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan populasi dan mutu ternak sapi. Kehadiran penggunaan teknologi produksi embrio hasil fertilisasi in vitro merupakan salah satu upaya pendukung untuk menghasilkan pedet per tahun dari sapi betina yang terlanjur dipotong di rumah potong hewan (RPH) dan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan daya guna teknologi transfer embrio (TE). Oosit dikoleksi dari ovarium sapi betina yang telah dipotong di rumah potong hewan (RPH). Oosit yang telah dikoleksi kemudian dimaturasi dan difertilisasi dengan semen sebangsa dan semen beda bangsa. Pengamatan dilakukan meliputi pada tahap pembelahan pada hari kedua setelah fertilisasi hingga tahap perkembangan blastosis. Data dianalisa dan diproses dengan metode chi-square. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa pada tahap pembelahan dari zigot yang telah membelah lebih dari 2 sel lebih tinggi pada sapi perkawinan beda bangsa dari pada sapi perkawinan sebangsa. Tahap perkembangan blastosis pada hari ke-6 hingga hari ke-9 lebih tinggi pada embrio hasil fertilisasi sapi perkawinan beda bangsa dari pada sapi perkawinan sebangsa. Hasil total blastosis diantara sapi perkawinan beda bangsa dan sebangsa menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Hasil akhir embrio/ekor sapi yang dihasilkan dari sapi perkawinan beda bangsa sebanyak 4.34 embrio dan sapi sebangsa 1.55 embrio. Kata kunci: beda bangsa, produksi embrio in vitro, sebangsa
ABSTRACT MUHAMMAD FARIS FIRDAUS. Development of In Vitro Embryonic Production by Fertilization of Purebred and Hybrid Cattle. Supervised by NURWIDAYATI and ARIEF BOEDIONO In vitro embryo production in cattle is one of the solution for improving the population. The utilization of in vitro fertilization technology in embryo production as a way to support the acquisition of calf production per year from cattle slaugthered at reproductive age and as an effort to improve the efficiency of embryo transfer (ET) technology. Oocytes were collected from ovaries of cattle from the slaughterhouse. Collected oocytes were then matured and fertilized using one breed sperms and different breed sperms. The cleavage rate was observed on the second day of fertilization until the blastocyst formation. The data was then analysed and processed using chi-square test. Results of the experiment showed that cleavage rate of zygote which devided from more than 2 cells was higher in hybrid embryos than purebred embryos. The blastocyst formation rate at day 6 to 9 were higher on purebred embryos. The total yield between purebred and hybrid embryos was the different. The results of embryo production for a hybrid was 4.34 and 1.55 for a purebred. Keywords: hybrid, in vitro embryo production, purebred
TINGKAT PERKEMBANGAN PRODUKSI EMBRIO IN VITRO HASIL FERTILISASI SAPI SEBANGSA DAN BEDA BANGSA
MUHAMMAD FARIS FIRDAUS Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Tingkat Perkembangan Produksi Embrio In Vitro Hasil Fertilisasi Sapi Sebangsa dan Beda Bangsa. Nama : Muhammad Faris Firdaus NIM : B04100124
Disetujui oleh
Prof Drh Arief Boediono, PhD PAVet (K) Pembimbing I
Drh Nurwidayati Pembimbing II
Diketahui oleh
Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan FKH-IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi sebagai tugas akhir sarjana dengan judul Tingkat Perkembangan Produksi Embrio In Vitro Hasil Fertilisasi Sapi Sebangsa dan Beda Bangsa. Penulis mengetahui bahwa karya ini belum sempurna sehingga bimbingan dan arahan yang membangun sangat diharapkan demi hasil penelitian yang lebih baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Orang tua Eko Djunaedi dan Dra Ema serta keluarga besar penulis atas segala do’a dan dukungannya. Atas segala bimbingan dan arahan Prof Drh Arief Boediono, PhD PAVet(K) selaku pembimbing penelitian dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Drh Nurwidayati selaku pembimbing dari Balai Embrio Ternak Cipelang Bogor serta Ir Tri Harsi, MP sebagai kepala Balai Embrio Ternak Cipelang Bogor. Disamping itu, penghargaan dari penulis sampaikan kepada Laelatul Choiriyah, AMd, Fahrudin Darlian, SPt. dan seluruh staf Balai Embrio Ternak yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen Pembimbing Akademik Drh Kusdiantoro Mohamad, teman-teman kosan jati 18, teman-teman satu penelitian Alif Iman, G Andri Hermawan, Annisa Hasby dan Eka Septiana Anggun, dan teman seperjuangan di Sorcherry Ridding Club IPB Muchamad Dwi, Hafiizha SR, Kahfi K, Meilisa LM, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan, Himpro HKSA FKH IPB, Beasiswa BBM, Dr Drh Amrozi beserta keluarga besar URR atas dukungannya. Semoga penulis dapat menghasilkan informasi yang bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2014
Muhammad Faris Firdaus
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Tempat dan Waktu Penelitian
2
Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Tingkat Fertilisasi dan Pembelahan
5
Tingkat Perkembangan dan Pembentukan Blastosis
7
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
9 9 10
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYAT HIDUP
13
DAFTAR TABEL 1 Tingkat pembelahan embrio sapi (hari ke-2) hasil fertilisasi sebangsa dan beda bangsa 5 2 Tingkat perkembangan pembentukan balstosis pada hari ke- 6, 7, 8 dan 9 pada sapi sebangsa dan sapi beda bangsa 7 3 Tingkat pembentukan blastosis pada sapi perkawinan beda bangsa dan sapi sebangsa 8
DAFTAR GAMBAR 1 Berbagai kualitas oosit 2 Embriogenesis secara in vitro pada sapi
3 8
PENDAHULUAN Latar Belakang Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam usaha peternakan sapi potong adalah masih tingginya proporsi daging maupun sapi bakalan yang diimpor dalam memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Indonesia baru berhasil menyediakan 256.8 ribu ton (2006) atau sekitar 72% dari kebutuhan, sehingga terdapat kekurangan sebesar 100 ribu ton (28%) (DEPTAN 2007). Pada data statistik peternakan (2009) konsumsi daging pada tahun 2007 8,37 kg/kapita/tahun menurun pada tahun 2008 menjadi 7,75 kg/kapita/tahun (Ditjennak 2009). Kekurangan tersebut harus dipenuhi dari impor, berupa ternak bakalan dan daging sapi, bahkan pada tahun 2015 proporsi impor akan meningkat menjadi 50% (DEPTAN 2007). Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 59 /Permentan /HK. 060/8/2007 tentang pedoman percepatan pencapaian swasembada daging sapi (P2SDS). Kelahiran kembar pada domba atau kambing 60–70%, sebagian besar disebabkan karena status nutrisi pada saat ovulasi selain karena keturunan, sedangkan kejadian pada sapi sekitar 0.5 – 4% (Sasongko 2009). Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dan penyedianan daging terutama melalui penerapan bioteknologi atau mengembangkan teknologi reproduksi. Adapun beberapa daerah di Indonesia, diantaranya NTB memiliki data angka kelahiran mencapai 66,7% dari jumlah induk sapi, dan angka kematian anak sapi mencapai 20% dari jumlah ternak sapi yang lahir. Jumlah pedet sebanyak 101.239 ekor, jumlah pemotongan betina dan pemotongan tidak tercatat sebesar 20 % dari pemotongan tercatat. Jumlah pemotongan dalam daerah sebesar 41.575 ekor dan jumlah sapi bibit dan sapi potong yang dikeluarkan dari wilayah NTB tercatat sebanyak 28.500 ekor. Penelitian yang berdasarkan dengan bioteknologi terapan embrio transfer terhadap sapi pedaging yang memiliki genetik unggulan. Jumlah sapi pedaging di Indonesia terkait program pemerintah sebagai negara swasembada daging masih jauh dari sasaran. Pemanfaatan ovarium sapi yang terlanjur dipotong yang berasal dari rumah potong hewan dapat dihasilkan embrio secara in vitro dan ditransfer pada sapi betina untuk mengasilkan pedet. Keberadaan bioteknologi ini dapat menunjung program pemerintah sebagai negara swasembada daging dengan menambah kelahiran pedet/tahun dari sapi yang telah dipotong. Peningkatan daya guna teknologi transfer embrio (TE) dengan cara pemanfaatan teknologi produksi embrio secara in vitro dan rekayasa embrio untuk optimalisasi bibit unggul (Boediono 2005). Perkembangan teknik fertilisasi in vitro (FIV) untuk menghasilkan embrio telah mengalami kemajuan sangat pesat (Gordon dan Lu 1990), teknik ini memungkinkan untuk dilakukan penyimpanan embrio yang dapat digunakan pada waktu yang dibutuhkan. Pembekuan embrio yang berasal dari in vitro mampu menghasilkan angka kebuntingan pada ternak sapi berkisar antara 50 – 60% (Niemann 1991). Usaha peternakan sapi potong di Indonesia didominasi oleh sistem usaha pemeliharaan induk-anak (cow-calf operation) yang banyak dilakukan pada peternakan rakyat (Romjali et.al 2007). Keberadaan produksi embrio hasil fertilisasi in vitro menjadi salah satu upaya
2 untuk meningkatkan kelahiran pedet/tahun dalam rangka mendukung program swasembada daging dan mengembangkan teknologi reproduksi embrio. Tujuan Penelitian Mengetahui tingkat keberhasilan perkembangan embrio hasil fertilisasi in vitro pada sapi beda bangsa (PO, bali, simmental dan brahman) dan sapi sebangsa (wagyu). Mengetahui potensi pemanfaatan ovarium sapi yang terlanjur dipotong untuk menghasilkan pedet. Manfaat Penelitian Pemanfaatan bioteknologi transfer embrio melalui produksi embrio in vitro pada sapi beda bangsa (PO, bali, simmental dan brahman) dan sapi sebangsa (Wagyu), serta penyediaan data ilmiah tingkat perkembangan embrio hasil produksi in vitro pada sapi sebagai pertimbangan peneliti dan peternak.
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang Bogor pada bulan Juni 2013 dan Februari 2014, meliputi proses pelatihan teknik fertilisasi in vitro dan pengambilan data sekunder produksi embrio in vitro tahun 2011 dan 2012. Prosedur penelitian produksi embrio hasil fertilisasi in vitro meliputi beberapa hal yang penting, koleksi dan evaluasi oosit, maturasi oosit, kapasitasi spermatozoa, fertilisasi in vitro dan evaluasi perkembangan embrio. Dalam hal ini, penelitian dibagi dalam 2 kelompok perlakuan yaitu, fertilisasi sapi beda bangsa dan sapi sebangsa. Koleksi dan Evaluasi Oosit Ovarium berasal dari berbagai bangsa sapi yang dikoleksi dari rumah potong hewan (sapi bali, sapi peranakan ongole, sapi brahman, sapi simmental, dan sapi Wagyu) dibersihkan dalam media ringer laktat yang ditambah antibiotik (streptomycin (Sigma Cat.#S1277) 100 mg/L -penicillin (Sigma Cat.#4687) 100.000 IU/L). Koleksi oosit dilakukan dengan cara aspirasi oosit dari folikel berukuran diameter antara 2-5 mm menggunakan jarum 18G yang dihubungkan dengan spuid 5 mL yang sebelumnya telah diisi 0,5 mL larutan modifikasi phosphate buffered saline (PBS, Sigma) yang telah ditambahkan fetal calf serum (FCS, Sigma Cat.#F2442) dan antibiotik sebagai larutan aspirasi. Oosit yang telah dikoleksi akan dibersihkan dan dipisahkan dari sel-sel mati dari ovarium, pencucian menggunakan media tissue culture medium 199 (TCM-199, Gibco Cat.#11150-042). Kemudian dibersihkan dan dievaluasi dibawah mikroskop untuk memisahkan berbagai macam kualitas oosit. Menurut Sobari et al. (2012)
3 oosit kualitas A adalah oosit dengan cumulus oophorus tebal berlapis dan ooplasma homogen, oosit kualitas B adalah oosit dengan cumulus oophorus tipis dan ooplasma homogen, oosit kualitas C adalah oosit dengan ooplasma homogen tetapi tidak terdapat cumulus oophorus, oosit kualitas D adalah oosit dengan ooplasma tidak homogen, cumulus oophorus expand dan dikelilingi granul fibrin (Gambar 1).
Gambar 1 Kualitas oosit hasil koleksi dari ovarium: A) Oosit A, memiliki ooplasma yang homogen dan adanya sel-sel cumulus oophorus yang mengelilingi oosit secara penuh; B) Oosit B; memiliki ooplasma homogen, namun hanya sebagian oosit yang dikelilingi sel-sel cumulus oophorus; C) Oosit C, memiliki ooplasma homogen dan tidak terdapat sel-sel cumulus oophorus yang mengelilingi oosit; D) Oosit D, memiliki ooplasma yang tidak homogen dan sel-sel cumulus oophorus telah menyebar atau expand. (Dokumentasi Balai Embrio Ternak).
Maturasi Oosit Oosit yang telah bersih dan dievaluasi (oosit kualitas A dan B) serta dimatangkan (maturasi) dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 38,5̊ C selama 1824 jam dan kelembaban 90% di dalam media TCM-199. Maturasi yang dilakukan bertujuan agar sel telur mencapai tahap metafase II (M-II) dan siap dibuahi spermatozoa. Perkembangan oosit mencapai tahap metafase II ditandai dengan munculnya polar body I. Kapasitasi Spermatozoa Semen dari bangsa sapi bali, peranakan ongole, brahman, simmental, dan wagyu yang digunakan berasal dari koleksi yang dilakukan pada pejantan unggul dalam kondisi beku didapatkan dari Balai Inseminasi Buatan Singosari, Balai Inseminasi Buatan Lembang dan impor. Hasil koleksi spermatozoa disentrifugasi sebanyak 2 kali dengan semen washing solution (SWS). Aplikasinya diberikan media hasil campuran semen washing solution SWS yang berisi campuran BO solution yang disuplementasi dengan fetal calf serum (FCS; Sigma Cat.#F2442), (streptomycin (Sigma Cat.#S1277) 100 mg/L penicillin (Sigma Cat.#4687) 100.000 IU/L), kafein dan heparin (Sigma Cat. #D4776) 4 μg/mL. Pencucian spermatozoa dilakukan dengan sentrifugasi sebanyak 2 kali dengan kecepatan 1800 rpm selama 5 menit dalam larutan semen washing solution (SWS), setelah sentrifugasi semen dipisahkan dari media, kemudian ditambah media semen diluting solution (SDS) (berisi BO ditambah FCS 10%, (streptomycin (Sigma Cat.#S1277) 100 mg/L -penicillin (Sigma Cat.#4687) 100.000 IU/L) sehingga konsentrasi menjadi 12,5x106 spermatozoa/mL. Penyiapan droplet dengan volume 100 µL yang terdiri dari SDS dan SWS, setiap droplet yang berisi oocyte washing solution (OWS) sebagai media fertilisasi telah mengandung spermatozoa yang siap membuahi oosit.
4
Fertilisasi In Vitro Oosit yang telah matang dicuci dalam media fertilisasi (OWS) sebanyak 3 kali kemudian dilakukan fertilisasi dalam medium drop sebanyak 100 µL berisi spermatozoa yang telah diencerkan dan dimasukkan sebelumnya, medium fertilisasi 5 mL oocyte washing solution (OWS) yang disuplementasi FCS, 10%, (streptomycin (Sigma Cat.#S1277) 100 mg/L -penicillin (Sigma Cat.#4687) 100.000 IU/L) serta dilapisi mineral oil. Fertilisasi dilakukan dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 38,50 C selama 5 jam. Perlakuan dalam penelitian ini fertilisasi in vitro dibagi dua: yang pertama fertilisasi in vitro dilakukan sebangsa (semen sapi Wagyu dengan oosit sapi Wagyu) dan yang kedua fertilisasi in vitro dilakukan beda bangsa (semen dan oosit sapi bali, sapi peranakan ongole, sapi brahman dan sapi simental). Oosit yang telah difertilisasi selama 5 jam dicuci dari spermatozoa yang mengelilingi oosit dan dimasukan ke dalam medium CR1aa dan dikultur dalam incubator CO2 5% dengan suhu 38,50 C dan kelembaban 90% sampai hari ke-9. Evaluasi Perkembangan Embrio Zigot hasil fertilisasi in vitro dicuci untuk selanjutnya dilakukan kultur dalam medium kultur CR1aa dengan sistem kumulus sel ko-kultur, dalam incubator 5% CO2, suhu 38,5 °C, dan kelembaban 90%. Evaluasi embrio dilakukan di hari ke-2 setelah fertilisasi, oosit yang telah dibuahi akan mengalami pembelahan (2-8 sel). Evaluasi perkembangan embrio mencapai tahap blastosis dilakukan pada hari ke-6 hingga hari ke-9. Evaluasi perkembangan embrio hasil produksi in vitro dilakukan pada embrio hasil fertilisasi sebangsa dan beda bangsa. Data yang diolah merupakan data sekunder dari Balai Embrio Ternak Cipelang, Bogor.
Analisis Data Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah pembelahan sel pada hari ke-2, yaitu menghitung secara langsung jumlah embrio yang membelah ≥2sel pada hari kedua (48 jam) setelah fertilisasi. Jumlah zigot yang membelah dihitung sebagai oosit yang terfertilisasi. Tingkat pembelahan = ∑ Embrio yang membelah X 100% ∑ Oosit yang difertilisasi Tingkat Pembentukan Blastosis, yaitu menghitung secara langsung embrio yang mencapai tahap blastosis. Penghitungan embrio yang mencapai tahap blastosis dilakukan pada hari ke-6 (H-6), 7 (H-7), 8 (H-8) dan 9 (H9). Blastosis Total merupakan akumulasi jumlah pembentukan blastosis yang terjadi pada hari ke-6 sampai ke-9. Tingkat Pembentukan Blastosis Hari ke-n ∑ Embrio fase blastosis H-n ∑ Embrio yang membelah
X 100%
5
Hasil penelitian ini diolah dengan analisis data enumerasi Chi-kuadrat yang dinyatakan dengan istilah uji Khi-kuadrat (Chi-square test). Menurut Gaspersz (1991) data enumerasi bukan diperoleh melalui hasil pengukuran yang menggunakan alat ukur tertentu, melainkan dihitung.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Fertilisasi dan Pembelahan Pertemuan antara oosit dan spermatozoa pada suatu media tidak dalam kondisi yang mudah untuk terjadinya fertilisasi. Suatu metode untuk menyatukan keduanya ada dalam teknik fertilisasi in vitro, yang dilakukan di luar tubuh hewan yaitu dalam sebuah media yang secara umum berisi nutrisi yang menunjang proses fertilisasi. Embrio yang membelah pada hari ke-2 adalah embrio yang berasal dari oosit yang berhasil difertilisasi. Tingkat fertilisasi pada data sekunder yang diambil dari Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, fertilisasi beda bangsa sebanyak 1151 oosit dan fertilisasi sebangsa sebanyak 1456 oosit (Tabel 1). Berdasarkan pengertiannya, jumlah embrio yang membelah dapat menggambarkan tingkat fertilitas spermatozoa yang digunakan untuk memfertilisasi (Tabel 1) dan ketahanan hidup embrio tahap pembelahan. Tabel 1 Tingkat pembelahan embrio sapi (hari ke-2) hasil fertilisasi sebangsa dan Jumlah oosit matur yang difertilisasi n
Jumlah embrio yang membelah hari ke-2 n (%±SB)
Beda Bangsa
1151
590 (51.26±13.83)a
Sebangsa
1456
464 (31.87±13.42)b
Fertilisasi
beda bangsa Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).
Tingkat pembelahan embrio pada hari ke-2 berbeda-beda pada setiap spesies hewan, pada sapi beda bangsa 51.26% (590 embrio) mencapai tahap pembelahan, berbeda dengan sapi sebangsa yang hanya mencapai hampir 31.87% (464 embrio) (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan tingkat pembelahan pada sapi beda bangsa lebih tinggi dari pada sapi sebangsa. Tingkat pembelahan yang tinggi juga dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan fertilisasi, hal ini dipengaruhi pula oleh tingkat heterozigositas. Media yang berisi tingkat heterozigositas yang tinggi akan mendapatkan keberhasilan yang tinggi pada tingkat fertilitasnya dari pada yang tingkat heterozigositasnya rendah. Semen ataupun spermatozoa pejantan juga dapat mempengaruhi pembelahan awal pada embrio (Ward et al. 2001). Sesuai dengan hasil yang didapat, tingkat pembelahan awal embrio pada sapi beda bangsa lebih tinggi dari pada sapi sebangsa. Perbandingan ini dapat dijadikan suatu acauan terhadap pertumbuhan selanjutnya hingga terbentuknya hasil produksi embrio.
6 Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pembelahan embrio hari ke-2 adalah kondisi oosit dan spermatozoa. Keberhasilan proses koleksi oosit hingga fertilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya media. Media yang tepat akan sangat mempengaruhi keberhasilan maturasi, fertilisasi, pembelahan sel hingga pembentukan blastosis. Adapun faktor lain yang mempengaruhi tahap pembelahan ini adalah faktor intrinsik antara lain, potensi oosit dan spermatozoa berbagai bangsa sapi yang berbeda akan mempengaruhi keberhasilan maturasi, fertilisasi dan kultur in vitro. Keberhasilan fertilisasi oosit oleh semen beku dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya abnormalitas semen, selama abnormalitas semen beku dibawah 20% masih dapat membuahi sel telur, hal tersebut berkaitan dengan fertilitas karena jika abnormalitas di atas 20% maka dapat dikatakan infertil (Hafez dan Hafez 2000). Tingkat fertilitas sapi potong yang ada di Indonesia dapat menunjukkan perbedaan pada masing-masing setiap individu. Adapun beberapa parameter yang mendukung tingkat fertilitas semen setiap spesies sapi adalah tingkat motilitas dan motilitas progesif (Simmet 2004). Tingkat fertilisasi pada sapi juga dipengaruhi oleh kualitas ovarium dan kualitas oosit. Upaya untuk menjaga kualitas keduanya dimulai dari proses pengoleksian dan pengiriman ovarium. Menurut Gordon (2003) batas waktu yang baik antara pemotongan hewan dan proses koleksi oosit adalah antara 1-2 jam dan suhu yang optimal untuk menyimpan ovarium adalah 30°C, menurut Duran (2008) menyatakan bahwa ovarium yang disimpan selama 3-4 jam setelah pemotongan akan memberikan tingkat pembelahan dan perkembangan blastosis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ovarium yang disimpan selama 5-6 jam setelah pemotongan sapi. Penegasan dari Lucci et al. (2004) bahwa penyimpanan ovarium yang terlalu lama setelah proses pemotongan sapi akan menurunkan persentase kualitas morfologi oosit yang dihasilkannya. Waktu, suhu, dan kualitas serta ukuran folikel dapat mempengaruhi kualitas dan jumlah oosit yang diperoleh (Gordon 2003). Hal ini juga mepengaruhi hasil maturasi yang berdampak pada keberhasilan fertilisasi in vitro. Maturasi merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan fertilisasi in vitro. Hasil oosit yang banyak dan kualitas (A dan B) dapat difertilisasi dengan baik jika termaturasi dengan baik pula. Hal ini dipengaruhi oleh media maturasi dan waktu maturasi. Waktu inkubasi yang tepat pada maturasi menurut Rusyantono (2001) selama 26 jam (88%) lebih baik dari 22 jam (68%) dan 18 jam (42.5%). Kualitas ovarium, oosit, folikel, media kultur, dan waktu kultur yang tepat dan baik dapat mengasilkan oosit yang termaturasi dengan baik pula. Banyaknya oosit yang termaturasi dapat menunjang tingkat fertilitasasi oosit dan perkembangan embrio. Banyaknya faktor yang mempengaruhi tingkat pembelahan awal embrio menunjukkan tingkat sensitifitas mikro embrio. Adapun faktor epigenik yang banyak ditemukan pada proses inkubasi embrio yang telah terfertilisasi, faktor epigenetik memberikan peranan yang penting dalam perkembangan awal embrio, seperti ion, substrat energi, asam amino, vitamin, faktor pertumbuhan, sitokin dan hormon (Duque et al. 2003; Kuran et al. 2002). Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat produksi embrio antara lain, kondisi individu oosit yang bervariasi, semen, media dan kultur yang digunakan setiap fase produksi embrio in vitro (Cevik et al. 2009), fertilitas pejantan (Ward et al. 2001), kualitas oosit, konsentrasi bahan kimia dan waktu aktivasi oosit (Korkmaz 2012). Adapun perbandingan berdasarkan faktor-faktor tersebut, yang besar
7 pengaruhnya terhadap tingkat pembelahan awal adalah kualitas oosit dan semen pejantan. Tingkat Perkembangan dan Pembentukan Blastosis Pembentukan blastosis terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-9 setelah fertilisasi in vitro. Perkembangan embrio tahap blastosis dapat ditemukan pada hari ke-6 hingga hari ke-9 setelah proses fertilisasi (Tabel 2). Tabel 2 Tingkat perkembangan pembentukan balstosis pada hari ke- 6, 7, 8 dan 9 pada sapi sebangsa dan sapi beda bangsa. Fertilisasi Beda Bangsa Sebangsa
Jumlah embrio yang membelah hari ke-2 n (%±SB)
Hari ke-6 n (%±SB)
Hari ke-7 n (%±SB)
Hari ke-8 n (%±SB)
Hari ke-9 n (%±SB)
590
41(6.95±2.29)a
187(31.69±7.97)a
79(13.39±2.89)a
25(4.24±1.25)a
464
7(1.51±1.01)b
58(12.50±3.57)b
43(9.27±2.64)b
19(4.09±1.53)a
Jumlah dan persentase blastosis yang terbentuk*
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05). *Persentase diperoleh berdasarkan jumlah embrio tahap pembelahan
Pembentukan blastosis pada setiap spesies akan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Hari ke-6 pembentukan blastosis pada sapi beda bangsa sebanyak 6.95% blastosis dan sapi sebangsa sebanyak 1.51% blastosis (Tabel 2), keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat pembentukan blastosis pada hari ke-6 tinggi pada sapi beda bangsa, hal ini terjadi hingga hari ke-9. Pembentukan blastosis juga dipengaruhi oleh pembelahan dua sel yang terjadi sebelum pada tahap blastosis. Pembelahan dua sel juga menunjukkan perbedaan antara pembelahan dua sel pada sapi beda bangsa dan sapi sebangsa, pada sapi beda bangsa pembelahan dua sel mencapai 51.26%, berbeda pada sapi sebangsa yang hanya membelah 31.87% (Tabel 1). Hasil ini mempengaruhi pembentukan blastosis pada kedua jenis sapi, pada sapi yang memiliki tingkat pembelahan dua sel lebih tinggi cenderung cepat mencapai pembentukan blastosis. Sesuai dengan hasil yang didapat perkembangan pembentukan blastosis pada kedua sapi menunjukkan jumlah yang tinggi pada hari ke-7, keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Ward et al. (2001) yang menyatakan puncak perkembangan pembentukan blastosis rata-rata terjadi pada hari ke-7 setelah difertilisasi. Jumlah pembentukan blastosis pada hari ke-6 hingga hari ke-8 pada sapi beda bangsa lebih tinggi dan menunjukkan berbeda nyata (p<0.05), namun pada hari ke-9 tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan pembentukan blastosis pada sapi sebangsa. Hasil ini menunjukkan tingkat pembentukan blastosis pada hari ke-6 hingga hari ke-8 pada sapi beda bangsa diduga telah maksimal. Tingkat pembentukan blastosis pada hari ke-7 lebih tinggi (p<0.05) pada sapi beda bangsa dibandingkan sapi sebangsa dan sebagai puncak pembentukan blastosis pada keduanya. Tingkat pembelahan dua sel yang lebih tinggi dan pembelahan yang lebih awal dapat mempengaruhi pembentukan blastosis yang lebih tinggi dari pada embrio yang membelah lebih akhir (Lonergan et al. 1999). Walaupun pembentukan embrio sudah dapat digambarkan berdasarkan keadaan awal oosit.
8 Tingginya pembentukan blastosis pada sapi hasil perkawinan beda bangsa juga dipengaruhi oleh faktor heterozigositas yang dapat meningkatkan keberhasilan pembentukan blastosis, hasil ini sejalan dengan penelitian Boediono et al. (2003). Berikut embrio yang membelah pada kultur hari ke-2 setelah fertilisasi, dan embrio tahap blastosis yang terbentuk pada kultur hari ke-6 hingga ke-9 setelah fertilisasi (Gambar 2). Sel-sel yang terus membelah dari 1sel, 2 sel dan seharusnya mencapai 16-32 sel disebut morulla (Toelihere 1985). Sel-sel membelah dan mulai membesar dapat dikatakan sebagai embrio (Herren 2000).
Gambar 2 Perkembangan embrio hasil fertilisasi in vitro: A) Embrio tahap pembelahan 2 sel; B) Pembelahan 4 sel; C) Embrio tahap morula; D) Embrio tahap blastosis. (Dokumentasi Balai Embrio Ternak).
Tingkat pembentukan blastosis pada sapi beda bangsa lebih tinggi dari sapi sebangsa, walaupun jumlah ovarium yang digunakan pada sapi beda bangsa lebih sedikit (Tabel 3). Tabel 3 Tingkat pembentukan blastosis pada sapi beda bangsa dan sapi sebangsa. Zigot membelah n
Jumlah total blastosis terbentuk n (%±SB)
Jumlah Ovarium
Jumlah Oosit
Beda Bangsa
153
1151
590
332 (56.27±11.25)a
Sebangsa
164
1456
464
127 (27.37±6.29)b
Fertilisasi
Keterangan : Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).
Jumlah akhir pembentukan blastosis antara sapi beda bangsa dan sapi sebangsa menunjukkan tingkat perbandingan yang berbeda nyata (p<0.05). Pembentukan blastosis pada sapi beda bangsa 56.27% dan sapi sebangsa 27,37% (Tabel 3), hal ini juga dipengaruhi oleh faktor hybrid dan purebred. Sapi beda bangsa pada penelitian ini dikawinkan silang yang artinya oosit dan semen berbeda bangsa sapi, namun pada sapi sebangsa menggunakan oosit dan semen yang berasal dari sapi yang sama. Menurut Boediono et al. (2003) dalam penelitiannya terbukti embrio hasil fertilisasi in vitro pada sapi yang dikawinkan silang (hybrid) memiliki tingkat pembentukan blastosis yang tinggi dari pada sapi yang dikawinkan sebangsa (purebred) dan berbeda nyata (p<0.05), sejalan dengan hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05). Menurut Noor (2008) persilangan antar bangsa akan meningkatkan proporsi gen -gen yang heterozigot. Umumnya hetrozigositas akan meningkatkan daya hidup embrio yang tentunya akan meningkatkan jumlah anak perkelahiran. Peningkatan ini disebabkan oleh heterosis pada ternak hasil persilangan yang tetuanya adalah ternak murni. Fase pada perkembangan embrio yang paling penting adalah saat terjadi kompaksi sel, khususnya pada embrio mamalia yang menunjukkan variasi
9 berbeda-beda ketepatan waktunya. Diduga waktu kompaksi pada embrio sapi terjadi pada tahap 16 sel, namun beberapa peneliti berpendapat pada tahap 32 sel bahkan lebih terjadinya kompaksi sel (Prather dan First, 1988, Bondioli et al. 1990, Van Soom et al. 1992). Pembentukan blastosis tidak akan terjadi sebelum menjadi morula (Gambar 2C). Perubahan morula menjadi blastula juga merupakan fase yang penting dan perlu diperhatikan, pada proses ini menghasilkan dua tipe sel yang penting untuk diketahui untuk menentukan pembentukan blastosis, sel tersebut adalah Inner Cell Mass (ICM) dan sel trophoblast. Masing-masing sel ini akan berkembang menjadi plasenta pada trophoblast, dan ICM akan berubah menjadi tiga bentuk lapisan sel perkembangan embrio (endoderm, mesoderm dan ektoderm) (Gordon 1994). Perbedaan pembentukan blastosis pada setiap bangsa sapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pengaruhnya tidak dapat diperkirakan besarnya, seperti semen, pejantan, media, dan proses fertilisasi. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa sapi beda bangsa memiliki kemampuan yang lebih baik dari sapi sebangsa dalam melakukan fertilisasi secara in vitro, pembelahan sel, pembentukan blastosis. Hasil ini juga menunjukkan perolehan embrio/ekor sapi pada sapi beda bangsa lebih tinggi dari pada sapi sebangsa. Hal ini menjadikan sebuah wacana bahwa setiap ekor sapi betina yang dipotong di RPH dapat dimanfaatkan dan menghasilkan 4 ekor pedet/sapi jika mungkin keberhasilan bunting pada sapi 100% (sapi beda bangsa). Angka kebuntingan pada ternak sapi yang dihasilakan dari proses transfer embrio (TE) yang berasal dari in vitro berkisar antara 50 – 60% (Niemann 1991). Perolehan ini dapat dikorelasikan, setidaknya dari 1 ekor sapi betina dapat dihasilkan 2 ekor pedet, jika keberhasilan atau tingkat kebuntingan hasil TE in vitro antara 50-60%. Pemanfaatan bioteknologi embrio hasil fertilisasi in vitro dapat menghasilkan pedet dari sapi yang dipotong. Keuntungan yang dapat diperoleh in vitro ini adalah memperoleh banyak sapi jantan untuk dijadikan sebagai sapi potong dan menentukan perolehan embrio jantan atau betina dengan cara pemisahan spermatozoa X dan Y. Uji coba penggunaan semen beku sapi peranakan ongole (PO) hasil pemisahan pada proses IB ternak sapi juga telah dilakukan dan menghasilkan induk sapi yang bunting dan melahirkan anak dengan jenis kelamin sesuai dengan jenis sperma yang diinseminasikan (Kaiin et al. 2003).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat pembelahan embrio 2 sel lebih tinggi pada sapi beda bangsa, tingkat pembentukan blastosis pada hari ke-6 hingga ke-9 lebih tinggi pada sapi beda bangsa. Hasil total blastosis lebih tinggi pada sapi beda bangsa. Hasil embrio setiap ekor dari sapi yang terlanjur dipotong lebih banyak pada sapi beda bangsa, produksi embrio hasil fertilisasi in vitro berpotensi menghasilkan pedet dari ovarium sapi potong di RPH.
10 Saran Saran yang diajukan berdasarkan pada penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian perolehan embrio hasil fertilisasi in vitro pada sapi betina yang terlanjur dipotong di RPH, dengan diujikan tingkat kebuntingan yang dihasilkan untuk mengetahui potensi pemanfaatannya secara nyata.
11
DAFTAR PUSTAKA Boediono A, Suzuki T, Godke RA. 2003. Comparison of hybrid and purebred invitro-derived cattle embryos during in vitro culture. J Anim Repod Sci. 78:1-11. Boediono A. 2005. Produksi embrio kembar identik melalui bedah mikro pada embrio kambing hasil in vitro. J Vet 6.(2): 39-46. Bondioli KR, Westhusin ME, Looney CR. 1990. Production of identical bovine off-spring by nuclear transfer. Theriogen.33: 165-174. Cevik M, Sagirkaya H, Tas A, Akkoc T, Bagis H, Arat S. 2009. Comparing in vitro embryonic development of bovine oocytes cultured in G1.2/G2.3. Sequential Cultured Media and CR1aa Medium. J of Anim and Vet Advance. 8 (6) : 1185-1189. DEPTAN. 2007. Pedoman Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Jakarta (ID): Departemen Pertanian. [Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2009. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Peternakan. Duran DH. 2008. Studies for the improvement of in vitro culture systems of oocytes and embryos in water buffalo. [Dissertation]. J Sukuba (JP): University of Tsukuba Pr. Duque P, Gomez E, Diaz E, Facal N, Hidalgo C, Diez C. 2003. Use of two replacement of serum during bovine embryo culture in vitro. Theriogen. 59: 889-899. Gasperz V. 1991. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Bandung (ID): Tarsito Bandung. Gordon I, Lu KH. 1990. Production of embryos in vitro and its impact on livestock production. Theriogen. 33: 77-87. Gordon I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Cambridge (UK): University pr. Gordon I. 2003. Laboratory Production Of Cattle Embryos. Cambridge (UK): University pr. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animal. Ed ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, Herren R. 2000. The Science of Animal Agriculture. Ed ke-2. Delmar Thomson Learning, Albany. Kaiin, Tappa EMB, Said S, Afiati F, Gunawan M, Yanthi ND. 2003. Aplikasi bioteknologi untuk produksi bibit yang sudah diketahui jenis kelaminnya. Laporan Teknik Proyek Penelitian Bioteknologi. Puslit Bioteknologi-LIPI. pp. 96-116. Korkmaz O, Kuplulu S, Agca Y, Polat IM. 2012. Effect of oocyte quality and activation protocols on bovine embryo development following intracytoplasmic sperm injection. Turk J Anim Sc. 36 (1).doi: 10.3906/ vet-1105-44. Kuran M, Robinson JJ, Brown DS, Mcevoy TG. 2002. Development, amino acid utilization and cell allocation in bovine embryos after in vitro production. in contrasting culture system. Reprod. 124 : 155-165.
12 Lonergan P, Khatir H, Piumi F, Rieger D, Humblot P, Boland MP. 1999. Effect of time interval from insemination to first cleavage on the developmental characteristics, sex ratio and pregnancy rate after transfer of bovine embryos. J Reprod Fert. 117: 159-167. Lucci CM, Kacinskis MA, Rumpf R. 2004. Effects of lowered temperatures and media on short-term preservation of zebu (Bos indicus) preantral ovarian follicles. Theriogen. 61: 261-272. Niemann H. 1991. Cryoprecervation of ova and embryos from livestock: urrent status and research needs. Theriogen 35: 109-124. Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Prather RS, First NL. 1988. A review of early mouse embryogenesis and its applications to domestic species. J Anim Sci 66: 2626-2635. Romjali, Endang, Mariyono, Wijono DB, Hartanti. 2007. Rakitan teknologi pembibitan sapi potong. [Internet]. [Diunduh 2014 Jan 14]. Tersedia pada: http://www.warintek.ristek.go.id/ peternakan/budidaya/sapi_potong.pdf. Rusiyantono Y. 2001. Pemakaian medium CR1aa untuk produksi embrio kambing in vitro dan upaya kriopservasi dengan metode vetrivikasi. [Disertasi]. Bogor (ID): Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sasongko WR. 2009. Sapi bali beranak kembar di Nusa Tenggara Barat. [Internet]. [Diunduh 2014 Mei 3]. Tersedia pada: http://ntb.litbang. deptan.go.id/ index.php?option=com_frontpage&itemid=1. Simmet. 2004. The great vision behind sperm vision. Sperm Notes. The International AI Newsletter from Minitub. Special edition. Sobari I, Trilaksana B, Suatha IK. 2012. Perbedaan aktivitas ovarium sapi bali kanan dan kiri serta morfologi oosit yang dikoleksi menggunakan metode slicing. Jurnal Medis Veteriner. 1(1): 1-11. Toelihere MR. 1985. Ilmu Kebidanan Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta(ID):UI Press, Van Soom A, Van Vlanenderen V, Mahmoudzadeh AR, Deluyker H, de Kruif A. 1992. Compaction rate of in vitro fertilized bovine embryos related to the internal from insemination to first cleavage. Theriogen. 38: 905-919. Ward F, Rizos D, Corridan D, Quinn K, Boland M, Lonergan P. 2001. Paternal Influence on the Time of First Embryonic Cleavage Post Insemination and theImplicationsfor Subsequent Bovine Embryo Development In vitro and Fertility In vivo. Mol Reprod and Dev. 60:47-55.
13
RIWAYAT HIDUP Muhammad Faris Firdaus lahir di Surabaya pada tanggal 14 Desember 1991 merupakan anak kedua dari pasangan Eko Djunaedi dan Badriyah. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1998 di SD AlIrsyad Surabaya, masuk ke Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2004 di SMP Al-Irsyad Surabaya, masuk ke Sekolah Menengah Atas pada tahun 2007 di SMA Negeri 9 Surabaya. Pada tahun 2009 penulis mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) jalur nilai rapot dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis mengikuti Pemuda Al-Furqon, anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Himpunan Mahasiswa Surabaya (HIMASURYA) 2010-sekarang, aktif sebagai ketua divisi eksternal Himpunan Minat Profesi HKSA Fakultas Kedokteran Hewan IPB periode 2011-2013, sebagai ketua di club berkuda Soorchery Ridding Club IPB dari tahun 2011-2012, aktif mengikuti kegiatan magang di bidang kesehatan dan tunggang kuda dari tahun 2011-2012 dan aktif mengikuti ambulatoar khusus pasien kuda serta mengikuti kegiatan unggulan HIMPRO HKSA IPB seperti Pet Care Day dan Help Our Delman. Penulis juga pernah mengikuti Program Kreafitas Mahasiswa (PKM), bisnis lele sangkuriang, asisten dokter hewan kuda di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi bersama Dr Drh Amrozi, Drh Krido, dan Drh Ade, mengikuti show jumping di Detasemen Kavaleri Berkuda Parongpong, Pegasus Stable dan APM Stable.