3
(PBS + 20% serum + 10% etilen glikol) selama 10-15 menit. Lalu embrio dipindahkan kedalam medium vitrifikasi (PBS + 20% serum + 0.5 M sukrosa + 15% etilen glikol + 15% DMSO) selama 30 detik, kemudian embrio diteteskan di atas straw 0.25 ml yang telah disayat ujungnya dengan medium vitrifikasi kurang dari 5µl. Terakhir straw dengan embrio diuapi nitrogen cair selama 5 detik dan langsung dimasukkan dalam nitrogen cair -196°C (Vanderzwalmen et al. 2003). Straw 0.25ml
Medium V3+ embrio
kontrol, vitrifikasi tunggal tahap 8 sel, vitrifikasi tunggal tahap blastosis dengan vitrifikasi ganda saat tahap blastosis ekspan sampai blastosis hatched. Percobaan kedua mengamati rasio hidup dan mati blastomer dalam embrio yang telah divitrifikasi pada tahap 8 sel. Analisis Data Data viabilitas dan perkembangan embrio yang dihasilkan, disajikan dalam bentuk persentase. Hasil yang didapatkan diolah menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan menggunakan uji Duncan pada tingkat kepercayaan 95%.
HASIL Gambar 2 Teknik pemaparan embrio di atas straw 0.25ml yang telah disayat ujungnya.
Penghangatan (Warming) Straw berisi embrio yang telah dibekukan dianginudarakan selama 10 detik kemudian rehidrasi secara berturut-turut dalam media warming yang terdiri dari : 1) PBS + 20% serum + 0.5M sukrosa selama 1.5 menit; 2) PBS + 20% serum + 0.25M sukrosa selama 2.5 menit; dan 3) PBS + 20% serum + 0.1M sukrosa selama 7 menit. Embrio yang telah direhidrasi kemudian dikultur dalam cawan petri berisi tetesan (drop) media G2 (Vitro Life, Swedia) yang telah ditutupi minyak mineral dan diinkubasi dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37ºC. Selanjutnya viabilitas blastomer dan embrio diamati. Rancangan Penelitian Penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu 1) membandingkan viabilitas embrio pada setiap tahap perkembangan (8 sel, morula, dan blastosis) setelah vitrifikasi tunggal, vitrifikasi ganda dengan yang tidak divitrifikasi (kontrol), 2) Mengamati viabilitas blastomer dalam embrio yang telah di vitrifikasi pada tahap 8 sel dalam kultur in vitro. Percobaan pertama yaitu mengamati perkembangan embrio setelah 24 jam kultur untuk mengetahui kemampuan embrio bertahan hidup setelah divitrifikasi. Hasil dari pengamatan kemudian dibandingkan antara kontrol dengan vitrifikasi pada tahap 8 sel, membandingkan antara vitrifikasi tunggal tahap blastosis dengan vitrifikasi ganda (vitrifikasi tahap 8 sel dan tahap blastosis pada embrio yang sama) pada tahap blastosis setelah vitrifikasi, dan membandingkan antara
Perbandingan Viabilitas Embrio Setelah Vitrifikasi Tunggal dengan Vitrifikasi Ganda Viabilitas embrio yang baik setelah vitrifikasi ditandai morfologi embrio yang sempurna yaitu masih adanya zona pellusida (ZP), plasma membran, sitoplasma, blastomer, fragmentasi < 10% (Gambar 3). Pada perlakuan vitrifikasi tunggal, perkembangan embrio secara in vitro setelah vitrifikasi tahap 8 sel mampu berkembang sebanyak 77.50% dan untuk vitrivikasi ganda pada pembekuan pertama tahap 8 sel mampu berkembang 80.00% (pada pengamatan satu jam setelah vitrifikasi). Perbandingan perkembangan embrio yang berhasil mencapai tahap blastosis antara kontrol dengan vitrifikasi tunggal 8 sel, vitrifikasi tunggal blastosis sebelum divitrifikasi dan vitrifikasi ganda yang mencapai tahap blastosis setelah vitrifikasi pertama (tahap 8 sel) tidak berbeda nyata (P>0.05). Pada perlakuan vitrifikasi tunggal tahap blastosis embrio mampu berkembang sebanyak 82.86% tidak berbeda (P>0.05) dengan vitrifikasi ganda, embrio berkembang pada tahap blastosis sebanyak 79.17% (pada pengamatan tiga jam setelah vitrifikasi). Kecepatan berkembang embrio yang divitrifikasi lebih lambat daripada yang tidak divitrifikasi (Tabel 1). Embrio mampu bertahan hidup setelah divitrifikasi baik vitrifikasi tunggal pada tahap 8 sel saja atau tahap blastosis saja atau vitrifikasi ganda pada embrio yang sama. Pada pengamatan 48 jam saat tahap blastosis ekspan, viabilitas embrio setelah vitrifikasi ganda mencapai 63.16% tidak berbeda (P>0.05) dengan vitrifikasi tunggal blastosis
4
a
b
c
d
e
f
zp
bl
Gambar 3 Viabilitas dan perkembangan embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel: a. viabilitas embrio tahap 8 sel sebelum vitrifikasi, b. viabilitas embrio tahap 8 sel setelah vitrifikasi c. morula, d. blastosis, e. blastosis hatching , ditandai pecahnya zona pellusida (tanda panah), f. blastosis hatched; blastosul (bl), zona pellusida (zp), a-f skala: 50µm.
a
b
c
d
Gambar 4 Viabilitas embrio setelah vitrifikasi ganda tahap 8 sel dan blastosis pada embrio yang sama: a. embrio tahap 8 sel sebelum vitrifikasi, b. viabilitas embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel, c. viabilitas embrio setelah vitrifikasi ganda tahap blastosis, d. blastosis hatching, a-d skala: 50µm.
5
Tabel 1. Perbandingan viabilitas embrio mencit setelah vitrifikasi tunggal dan vitrifikasi ganda ∑ Embrio Tahap perkembangan 8 sel
Kontrol
Vitrifikasi 8sel
Perlakuan Vitrifikasi blastosis
44
40
40
45
-
31 (77.50)
-
36 (80.00)a
Blastosis Setelah vitrifikasi Blastosis
39 (88.64)a
21 (67.74)a*
35 (87.50)a
24 (66.67)a*
-
-
29 (82.86)a*
19 (79.17)a*
Blastosis Ekspan
38 (97.44)a
18 (85.71)a
23 (79.31)a
12 (63.16)a
Blastosis Hatching
37 (94.87)a,b
14 (66.67)a
18 (62.06)a
10 (52.63)a
a
a
8 (42.11)a
Setelah vitrifikasi 8 sel
Blastosis Hatched
37 (94.87)
a
Vitrifikasi 8sel dan blastosis
b
11 (52.38)
15 (51.72)
Keterangan : - Angka dalam kurung adalah persentase jumlah embrio - Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (a-b, P< 0.05) - * Jumlah embrio setelah vitrifikasi tunggal dan vitrifikasi ganda yang berkembang mencapai tahap blastosis
(79.31%), vitrifikasi tunggal 8 sel (85.71%), dan kontrol (97.44%). Perkembangan dan ketahanan embrio setelah vitrifikasi ganda mampu berkembang hingga tahap blastosis hatching (52.63%) tidak berbeda (P>0.05) terhadap vitrifikasi tunggal 8 sel (66.67%) dan vitrifikasi tunggal blastosis (62.06%), akan tetapi embrio hasil vitrifikasi ganda (52.63%) yang berkembang hingga tahap blastosis hatching ini berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol (94.87%). Sedangkan embrio yang berkembang dan baik viabilitasnya sampai tahap blastosis hatched untuk vitrifikasi ganda (42.11%), vitrifikasi tunggal 8 sel (51.72%), dan vitrifikasi tunggal blastosis (52.38%) berbeda (P<0.05) terhadap kontrol yang mampu berkembang mencapai blastosis hatched sebanyak 94.87% (pada pengamatan 69 jam). Hal ini dapat disebabkan terjadinya penurunan tingkat perkembangan embrio setelah vitrifikasi, selain itu dapat disebabkan terbentuknya zona hardening (pengerasan zona pellusida) pada embrio yang divitrifikasi (Gambar 4, Tabel 1).
Viabilitas Blastomer dalam Embrio Setelah Vitrifikasi pada Tahap 8 Sel Embrio dikatakan baik jika jumlah blastomer yang hidup lebih dari setengah jumlah blastomer awal sebelum embrio divitrifikasi. Dari hasil perlakuan vitrifikasi embrio tahap 8 sel, embrio dengan seluruh blastomer (8/8) yang masih hidup sebanyak 27.50%. Embrio yang telah divitrifikasi tidak semuanya memiliki blastomer yang hidup, sebanyak 7.50% embrio hanya memiliki empat blastomer hidup (Tabel 2). Embrio yang memilki lima sampai delapan blastomer hidup setelah vitrifikasi mampu berkembang ke tahap morula sampai tahap blastosis sebanyak 67.74%. Blastomer dalam embrio hasil vitrifikasi juga dapat mengalami kerusakan (degenerasi), yang ditandai dengan bentuk blastomer tidak simetris, terdapat banyak fragmentasi, warna blastomer gelap, sitoplasma tidak ada dan blastomer lisis (Gambar 5).
Tabel 2. Viabilitas blastomer dalam embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel Jumlah embrio awal ∑ blastomer Jumlah embrio (Blastomer dalam embrio (8/8)) hidup/total setelah vitrifikasi 40
40
(%)
8/8
11
27.50
7/8
8
20.00
6/8
6
15.00
5/8
3
07.50
4/8
3
07.50
< 4/8
9
22.50
40
100.00
6
Pada vitrifikasi tahap 8 sel embrio yang mengalami degenerasi sebanyak 22.50%. Degenerasi embrio hasil vitrifikasi tahap 8 sel ditandai dengan jumlah blstomer kurang dari setengah jumlah blastomer awal sebelum embrio divitrifikasi. Dari data blastomer yang hidup, memberikan hasil yang sama dengan perkembangan embrio setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel sebanyak 77.50% pada (Tabel 1). a
b
blst
Gambar 5 Viabilitas blastomer setelah vitrifikasi pada tahap 8 sel : a. delapan blastomer hidup dari embrio tahap 8 sel, b. degenerasi (blastomer < 4/8); blastomer (blst), a-b skala: 50 µm.
PEMBAHASAN Prinsip utama pembekuan embrio menggunakan prinsip dehidrasi, dimana air harus dikeluarkan sebanyak mungkin dari dalam sel, untuk mencegah pembentukan es selama pembekuan dan pemanasan. Karena dalam sel memiliki konsentrasi air 80%, jika dehidrasi tidak terjadi secara sempurna akan terbentuk kristal-kristal es intraseluler yang dapat merusak sel (Renard et al. 1984). Menurut Mukaida et al. (2003) pada proses vitrifikasi dan penghangatan mengalami penyesuaian terlebih dahulu terhadap media kultur, efek toksik krioprotektan, terjadi kerusakan fisik akibat pembentukan kristal es selama pembekuan, stress osmotik selama pengeluaran krioprotektan dari sel saat warming, dan kualitas embrio yang kurang baik. Pembekuan embrio saat ini lebih banyak menggunakan metode vitifikasi karena lebih sederhana, cepat, dan ekonomis dibandingkan pembekuan konvensional (Saha et al. 1994). Pembekuan embrio menggunakan metode vitrifikasi dilakukan untuk menghindari terbentuknya kristal es saat pembekuan embrio. Kristal es yang terjadi selama pembekuan dapat menyebabkan kerusakan pada sel trofektoderm (TE) dan juga inner cell mass (ICM), penurunan jumlah mikrofili di krista mitokondria dalam sel, kehilangan integritas membran plasma, perubahan
mitokondria, pembengkakan retikulum endoplasma kasar, dan pembentukan vesikula kecil. Beberapa perubahan sel akibat kristal es dapat menyebabkan kematian sel pada embrio (Kaidi et al. 2001). Vitrifikasi banyak digunakan untuk pembekuan embrio mamalia seperti domba, sapi, murine, kuda, dan babi pada berbagai tahap perkembangan embrio termasuk tahap blastosis (Kuleshova 2002). Pada penelitian ini dilakukan vitrifikasi pada embrio mencit tahap 8 sel, tahap blastosis, serta vitrifikasi ganda tahap 8 sel dan blastosis pada embrio yang sama. Untuk vitrifikasi pada tahap 8 sel, embrio yang telah divitrifikasi tidak berbeda (P>0.05) dengan embrio yang tidak divitrifikasi (kontrol) mulai dari tahap 8 sel hingga tahap blastosis hatching, akan tetapi setelah embrio berkembang menjadi blastosis hatched hasil menunjukan berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol. Dari hasil penelitian ini, embrio yang telah divitrifikasi pada tahap 8 sel dapat tumbuh secara in vitro sampai tahap blastosis sebanyak 67.74% hingga tahap blastosis hatced sebanyak 52.38% (Tabel 1), hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Supriatna (2005), embrio yang divitrifikasi pada tahap cleavage mampu bertahan sampai tahap blastosis sebanyak 60.61% hingga tahap blastosis hatched sebanyak 21.21% menggunakan metode Hemi-straw. Hasil pada tahap blastosis yang menunjukan berbeda nyata terhadap kontrol, disebabkan karena embrio saat tahap 8 sel (cleavage) belum memiliki sel (blastomer) yang kompak sehingga blastomer mudah mati dan lisis saat proses vitrifikasi, sehingga tidak mampu berkembang menjadi blastosis. Sel blastomer yang tidak simetris, lisis, bahkan mati dapat disebabkan oleh lamanya pemaparan dalam krioprotektan saat proses vitrifikasi, kerusakan zona pellusida, dan kualitas embrio itu sendiri. Menurut Abbeel dan Steirteghem (1999) kerusakan sel blastomer dapat dilihat baik sebelum pembekuan, setelah warming, atau setelah beberapa jam dalam kultur. Meskipun demikian, blastomer yang masih tetap utuh dan hidup setelah vitrifikasi masih mampu berkembang membentuk sel yang kompak hingga mencapai tahap selanjutnya. Embrio dikatakan baik saat tahap 8 sel ini jika sel blastomer simetris, inti tunggal, dan fragmentasi <10% (Toukhy et al. 2003). Dari pengamatan viabilitas blastomer dalam embrio yang telah divitrifikasi pada penelitian ini, blastomer dalam embrio yang dapat
7
bertehan ≥ 50% jumlah blastomer sebelum vitrifikasi sebanyak 77.50%, ini setara dengan jumlah embrio setelah vitrifikasi tahap 8 sel. Akan tetapi embrio yang berkembang sampai tahap blastosis hanya 67.74% dan blastosis hatched 52.38%, hal tersebut disebabkan karena blastomer yang lisis dapat bersifat racun terhadap blastomer yang masih utuh, kerusakan blastomer secara signifikan mengurangi kapasitas embrio hasil vitrifikasi untuk membelah dan membentuk sel yang kompak (morula) dalam kultur in vitro. Terjadinya kerusakan zona pellusida dan blastomer dapat diatasi dengan hati-hati menggunakan prosedur vitrifikasi yang optimal, diantaranya dengan pengoptimalan proses vitrifikasi dan warming, konsentrasi krioprotektan yang sesuai, serta penggunaan mini-straw sebagai wadah penyimpanan. Pada vitrifikasi ganda, embrio dari vitrifikasi ganda setelah tahap blastosis tidak berbeda dengan jumlah embrio dari vitrifikasi tunggal tahap 8 sel dan vitrifikasi tunggal tahap blastosis (Tabel 1). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak berbeda dengan yang dilaporkan oleh Isachenko et al. (2003) yang melakukan vitrifikasi ganda pada tahap morula dan blastosis tikus dengan survival rate blastosis awal 82.60%. Vitrifikasi ganda bermanfaat sebagai tes resistensi stres, mengetahui kualitas fungsional secara umum, dan membantu mngembangkan prosedur kriopreserfasi yang lebih baik. Manfaat dan penerapan vitrifikasi ganda yang terpenting adalah berkaitan dengan waktu perkembangan embrio yang cocok untuk ditransfer pada resipien. Pada kasus program bayi tabung manusia, bila didapatkan tiga embrio setelah warming tahap perkembangan (8 sel) dan berkembang mencapai tahap blastosis dengan kualitas yang bagus, sementara embrio transfer hanya diperlukan satu atau dua embrio, maka sisa embrio yang telah diwarming dan tidak ditransfer dapat divitrifikasi kembali agar dapat digunakan dan ditransfer dimasa datang (Isachenko et al. 2003). Meskipun demikian, embrio hasil vitrifikasi baik satu kali atau dua kali vitrifikasi tidak semuanya berkembang dengan baik dan mecapai blastosis hatched. Hal ini karena terjadi penurunan tingkat perkembangan embrio setelah vitrifikasi, selain itu dapat disebabkan terbentuknya zona hardening (pengerasan zona pellusida) pada embrio yang divitrifikasi. Menurut Vincent et al. (1990) pengerasan zona pellusida disebabkan oleh lamanya pemaparan dalam
krioprotektan yang menyebabkan menipisnya jumlah butiran kortikal yang mendasari permukaan embrio. Pengerasan zona pellusida akibat lamanya pemaparan dapat diatasi dengan menyayat zona pellusida sehingga sel mudah keluar, dan mengurangi konsentrasi kalsium pada krioprotektan (Larman et al. 2006). Krioprotektan dapat mempengaruhi efektifitas embrio setelah vitrifikasi, agar vitrifikasi dapat ditingkatkan efektifitasnya digunakan krioprotektan yang memiliki tingkat toksiksitas rendah dan mengkombinasikan larutan krioprotektan intraseluler dengan menambahkan larutan krioprotektan ekstraseluler. Syarat dari krioprotektan yang digunakan untuk kriopreservasi sel embrio harus tidak beracun, murah, memiliki daya preservasi tinggi, menjamin kehidupan sel dari pengaruh coldshock, harus mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan elektrolit yang sesuai, serta mampu mencegah timbulnya kuman. Krioprotektan memiliki fungsi untuk menurunkan titik beku, mengurangi efek dehidrasi akibat konsentrasi molekul tinggi, mengikat air sehingga tekanan mekanis akibat kristal es dapat teratasi (Nawawi 1997). Krioprotektan intraseluler yang umum digunakan dalam kriopreservasi antara lain gliserol, etilen glikol (EG), dan dimetilsulfoksida (DMSO), dengan berat molekul yang relatif kecil (Saha et al. 1996), sedangkan krioprotektan ekstraseluler mempunyai berat molekul yang relatif besar misalnya sukrosa, rafinosa dan protein. Krioprotektan ini dapat dikombinasikan untuk mengurangi efek toksik tanpa mempengaruhi viabilitas embrio setelah pembekuan. Krioprotektan yang umum digunakan untuk mamalia biasanya menggunakan etilen glikol (EG), etilen glikol telah berhasil digunakan untuk pembekuan cepat dan vitrifikasi embrio tikus tahap morula dan embrio Drosophila. Etilen glikol mampu melindungi protoplas dari dehidrasi selama vitrifikasi, mempunyai daya permeabilitas tinggi terhadap embrio, mampu melewati membran sel embrio dengan mudah selama proses pemaparan dan mudah dihilangkan selama proses pembilasan, dapat meningkatkan viabilitas embrio, mampu mereduksi pengaruh toksik, dan cepat keluar dari dalam sel sewaktu rehidrasi tanpa merusak sel (Valdez et al. 1992). Suplementasi jenis krioprotektan yang bersifat non-permeabel seperti sukrosa dan
8
trehalose membantu kebutuhan sel-sel selama proses pembekuan, sehingga proses dehidrasi dapat berlangsung dengan baik. Proses dehidrasi yang baik tergantung dari penggunaan krioprotektan ekstraseluler (nonpermeabel) yang tepat, dan penambahannya dalam larutan vitrifikasi mampu mengurangi toksiksitas. Krioprotektan ekstraseluler yang mampu mengurangi toksiksitas salah satunya adalah sukrosa, sukrosa juga berguna untuk mengatasi pembengkakan sel saat proses warming karena sukrosa mampu menghilangkan krioprotektan intraseluler selama warming (Kasai et al. 1990). Embrio memiliki kemampuan untuk beradaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya dengan memilih alternatif substrat energi yang tersedia dan adanya hubungan antara kebutuhan embrio dengan aktivitas genom embrio. Setelah proses warming embrio dibilas pada larutan hipertonik untuk mengeluarkan krioprotektan sebelum embrio dibilas ke medium kultur yang bersifat isotonis. Menurut Biggers dan McGinnis (2001) medium kultur yang baik digunakan untuk mendukung perkembangan embrio mulai dari tahap pembelahan sampai tahap blastosis salah satunya adalah kalium simplex optimized medium (KSOM). Pada penelitan ini medium yang digunakan adalah medium G2 (Vitrolife, Swedia), medium G2 baik digunakan untuk mendukung perkembangan embrio mulai tahap 8 sel sampai blastosis karena memiliki kondisi yang sesuai dengan kondisi asli saluran reproduksi. Kondisi kandungan medium yang digunakan sebagai kultur yang terpenting harus memiliki fungsi menyediakan suatu penyangga (buffer) untuk mencegah perubahan pH akibat pembentukan asam laktat dari hasil metabolisme sel, sebagai sumber nutrisi yang menyediakan zat-zat makanan untuk energi bagi embrio. Keberhasilan dan efektifitas vitrifikasi dapat dipengaruhi oleh banyak variabel, diantaranya: temperatur, jenis dan konsentrasi krioprotektan, volume larutan, lama waktu pemaparan sel pada krioprotektan, pendinginan, pencairan, penyimpanan, dan kualitas sel yang digunakan sebagai sampel vitrifikasi (Cremades et al. 2004; Takagi et al. 1993). SIMPULAN Viabilitas embrio setelah vitrifikasi ganda tidak berbeda dengan viabilitas embrio setelah vitrifikasi tunggal baik pada tahap 8 sel atau vitrifikasi blastosis. Viabilitas blastomer
setelah vitrifikasi tahap 8 sel, blastomer masih dapat berkembang dengan baik membentuk sel yang kompak (morula).
SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mentransfer embrio hasil pembekun ganda ke resipien, untuk mengetahui tingkat keberhasilan implantasi embrio hasil pembekuan ganda menggunakan metode vitrifikasi.
DAFTAR PUSTAKA Abbeel EV, Steirteghem AV. 1999. Zona pellucid damage to human embryos after cryopresrvation and consequences for their blastomere survival and in-vitro viability. Hum Reprod 15: 373-378. Arav A, Shebu D, Mattioli M. 1993. Osmotic and cytotoxic study of vitrification of immature bovine oocytes. J Reprod 99: 353-358. Biggers JD, Mc Ginnis LK. 2001. Evidence that glocose is not always an inhibitor of mouse preimplantation development invitro. Hum Reprod 16: 153-163. Boediono A. 2005. Kriopreservasi embrio. Bogor: Konferensi Nasional II PERMI dan Temu Ilmiah FER. Boediono A. 1995. Use of the recent animal reproduction biotechnology for improvement of animal production and quality. Inovasi 6: 26-33. Cremades N, Sousa M, Silva J. 2004. Experimental vitrification of human compacted morulae and early blastocysts using fine diameter plastic micropipettes. Hum Reprod 19: 300-305. Handayani N. 2006. Efektifitas Metode Cryoloop dalam Vitrifikasi Blastosis Mencit (Mus musculus albinus) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hernawan E. 2003. Peningkatan Kinerja Reproduksi pada Fase Kebuntingan Melalui Teknik Superovulasi pada Ternak Domba [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hogan B, Beddington R, Costantini F, Lacy E. 1994. Manipulating the mouse embryos a laboratory manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Isachenko V, Folch J. 2003. Double vitrification of rat embryos at different