SYSTEM CE
EDISI KHUSUS TAHUN 2015 ISSN: 18299059 HADIRKAN SOLUSI SEIRING INOVASI
ATION IFIC RT
PRODUK UNGGULAN BOX TERSIER
Dengan Bahan Ferrocement
Box Tersier adalah konstruksi tepat guna bidang irigasi yang mendistribusikan air sesuai kebutuhan, berbahan ferrocement. Karakteristik • Kuat tekan 365 kg/cm dan tekanan lentur 628 kg • Kedap Air • Ringan (relatif tipis = 3 cm) Keunggulan • Kemudahan dalam pembuatan dan pemasangan • Dapat dibuat sesuai kondisi lapangan
PLAT BAJA ORTOTROPIK Baja Segmental untuk Lantai Jembatan Rangka Baja Baja Ortotropik adalah sistem struktur Pelat baja yang ditambahkan dengan ukuran tertentu untuk mendapatkan kekakuan yang jauh lebih tinggi dari pelat baja biasa. Dibuat secara segmental, dengan sambungan baut agar dapat diterapkan secara bertahap dalam proses konstruksinya. Keunggulan • Mengurangi beban mati yang bekerja di atas jembatan rangka bila dibandingkan dengan penerapan lantai beton. • Mempercepat pemasangan atau penggantian lantai di lapangan tanpa harus dilakukan penutupan jembatan secara total
Sistem Pracetak N-Cap Terdiri dari 4 panel dinding berbentuk N disambung dengan sistem kombinasi sambungan basah (wet Joint) dan sambungan (dry Joint) , lantainya dari panel semi pracetak Keunggulan • Daktilasi struktur baik termasuk pada kategori daktilitas penuh. • Waktu pelaksanaan konstruksi lebih cepat karena sistem penyambungan komponen sederhana. • Biaya total bangunan dapat direduksi karena waktu pelaksanaan yang cepat. Sistem ini telah diujicobakan pada bangunan 2 lantai di Balai Sungai Puslitbang Sumber daya Air Kota Solo tahun 2009.
Redaksi Dari Ruang Redaksi
E
disi ke-4 menjadi terbitan pamungkas di tahun 2015. Selaiknya edisi penutup, Dinamika Riset edisi kali ini menghadirkan ulasan khusus mengenai sejarah Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta pemimpinnya dari masa ke masa. Kehadiran edisi ini merupakan sebuah momentum penting untuk menandai kiprah dan rekam jejak para pemimpin yang pernah membesarkan nama Balitbang PUPR. Hingga saat ini, Balitbang PUPR belum memiliki dokumentasi khusus yang mengulas tentang kiprah para Kepala Balitbang PUPR dari waktu ke waktu. Padahal dokumen seperti ini sangat penting perannya untuk mengetahui program apa yang telah digagas dan menjadi unggulan dari masing-masing Kepala Balitbang PUPR. Balitbang PUPR untuk pertama kalinya dipimpin oleh Ir. Karman Somawidjaja. Dokumentasi mengenai beliau sangat minim, sehingga redaksi harus mewawancarai putra dari Ir. Karman Somawidjaja untuk mendapatkan data yang valid. Selain informasi mengenai Kepala Balitbang PUPR dari masa ke masa, redaksi juga menyuguhkan informasi mengenai 10 karya buku terbaik yang dihasilkan oleh para peneliti Balitbang PUPR tahun 2015. Buku-buku ini menjadi bukti dari kegiatan penelitian dan pengembangan yang sudah dilakukan oleh para peneliti. Sebagai penutup, redaksi mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Natal dan menyambut Tahun Baru 2016. Semoga tahun 2016 membawa semangat perbaikan bagi kita semua. Salam hangat.
Pembina Arie Setiadi Moerwanto Penanggung Jawab Bernaldy William M. Putuhena Herry Vaza Arief Sabaruddin Bobby Prabowo Pemimpin Umum Enny Kusnaty Pemimpin Redaksi Iwan Suprijanto Dewan Redaksi Djamaludin Kuat Pudjianto Redaktur Pelaksana Heny Prasetyawati Mochamad Mulya Permana Nuraini Fasma Handayani Muhamad Syukur Editor Nanda Ika Dewi Kumalasari Fotografer Rizki Akbar Maulana Tata Letak Dodi Kurniadi Sekretariat Ratna Firman Ratri Lady Ivone Ade Alamat Redaksi Dinamika Riset Gedung Heritage Lantai 3 Jl. Pattimura No 20, Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Tel : (021) 7245083, 7257043, 7226302 Fax : (021) 7395062 E-mail :
[email protected] www.litbang.pu.go.id
Redaksi menerima artikel, tulisan akdemis dalam bentuk populer, yang terkait dengan penelitian dan pengembangan pada bidangbidang sumber daya air, jalan dan jembatan, perumahan dan permukiman serta kebijakan dan penerapan teknologi. Naskah ditulis minimal 1.000 kata dan maksimal 2.000 kata, tanpa foto. Foto dikirimkan terpisah dalam bentuk file JPEG dengan resolusi minimal 300 dpi. Naskah wajib disertai dengan identitas penulis dan dikirimkan melalui ke email redaksi. Redaksi juga menerima saran maupun tanggapan yang dapat dikirimkan ke email redaksi.
EDISI KHUSUS TAHUN 2015
1
FOKUS
4
Jejak langkah Balitbang
FOKUS
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah berumur lebih dari 3 dasawarsa hadir sebagai garda depan penelitian dan pengembangan bidang infrastruktur di Indonesia, senantiasa terus berkembang demi kesejahteraan rakyat Indonesia
SEJARAH PERJALANAN BALITBANG MENJADI TULANG PUNGGUNG ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
6
KABALITBANG
INFOSTAND LITBANG 8-9
1984-1999
10-13
KABALITBANG
1999-2009
KABALITBANG
14-19
2009-2015
INFOSTAND AHSP, PEDOMAN HARGA SATUAN
2
DINAMIKA RISET - DAFTAR ISI
21-26 21
PERKERASAN ASPAL 24 Produk akhir kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) adalah “Teknologi” yang dikemas menjadi Norma, Standar, Pedoman, dan Manual (NSPM). Sampai dengan akhir tahun 2010, tercatat sebanyak 990 buah NSPM ke-PU-an yang disebut NSPM bidang konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil
LITBANG PERPETUAL PAVEMENT/ LONG LASTING ASPHALT PAVEMENT
27
EKSTRAKSI ASBUTON DENGAN MIKROBA (PEMISAHAN BITUMEN DAN MINERAL ASBUTON SECARA MIKROBIOLOGIS)
SABODAM MIKRO DAN MENYELAMATKAN LAHAN SUBUR DIENG
STABILISASI PONDASI MENGAMBANG SABODAM
45
TIMBUNAN BERTIANG (PILED EMBANKMENT) UNTUK KONSTRUKSI JALAN DI ATAS GAMBUT
33
PEMANFAATAN DAN KINERJA AGREGAT SUBSTANDAR SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI JALAN
39
27-56
SIGAP MENGHADAPI KEKERINGAN
TITIK KEBERHASILAN PROSES PEMBEBASAN TANAH: TINJAUAN ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN
MERENCANAKAN KOTA HIJAU, MEWUJUDKAN LINGKUNGAN SEHAT
51
PENGENDALIAN DRAINASE GAMBUT DI KAWASAN PENYANGGA BUDIDAYA TERBATAS
EDISI KHUSUS TAHUN 2015
30
36
42
48
54
3
JEJAK LANGKAH BALITBANG PUPR Bernaldy Sekretaris Balitbang
P
eradaban manusia mengalami lompatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kemajuan signifikan ketika teknologi menjadi (PUPR) telah berumur lebih dari 3 dasawarsa hadir pendobrak banyak sendi kehidupan. Kehadiran sebagai garda depan penelitian dan pengembangan teknologi tidak dapat dilepaskan dari proses penelitian bidang infrastruktur di Indonesia, senantiasa terus dan pengembangan (litbang) serta kegigihan berkembang demi kesejahteraan rakyat Indonesia. para cendikia yang berperan sebagai inventor di Sebagai tulang punggung pengembangan ilmu dalamnya. Hal ini kemudian menempatkan litbang pengetahuan dan teknologi, Balitbang PUPR senantisa sebagai sebuah proses penting dalam membangun berusaha menjadi yang terbaik. peradaban manusia, peradaban dunia. Tepat dua abad setelah penemuan Kiprah Balitbang PUPR “History isn’t about dates and places and wars. James Watt memicu lahirnya hingga saat ini tentu saja revolusi industri, Neil Alden It’s about the people who fill the spaces between them”. tidak dapat dilepaskan dari Amstrong pada tahun 1969 jejak langkah para pimpinan Jodi Picoult mengatakan, “…one small step Balitbang yang senantiasa for man, one giant leap for mankind”, ketika menjejakkan berkarya dan menuangkan pemikiran-pemikirannya kaki pertama kalinya di permukaan bulan. Kutipan demi kemajuan dunia litbang. Telusur jejak para cendikia tersebut kembali mengingatkan kita bahwa lompatan pimpinan Balitbang PUPR, selain dimaksudkan sebagai besar terjadi dikarenakan proses penciptaan teknologi penghargaan atas capaian kemajuan litbang juga yang didahului oleh proses litbang. Sekali lagi litbang merupakan sebuah upaya pembelajaran terhadap jejak menjadi kunci penting peradaban dunia. yang ditinggalkan sebagai landasan Balitbang PUPR melangkah ke depan dan berkarya untuk memajukan Dalam setiap peradaban, hasil inovasi litbang selalu bangsa Indonesia. Saat ini jejak tersebut masih diteruskan meninggalkan jejak pada setiap zamannya. Jejak oleh pimpinan Balitbang PUPR dalam meng-Hadirkan yang kemudian menjadi fondasi pengembangan Solusi Seiring Inovasi. teknologi saat ini (present) dan masa datang (future). Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang)
4
DINAMIKA RISET - FOKUS
sumber ilustrasi: istimewa
1984-1989
1999-2001
1989-1991
1991-1994
Di tengah berkembangnya wacana organisasi penelitian dan pengembangan (litbang) ke depan, marilah kita tengok sejenak perkembangan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) yang pernah “dikomandoi” oleh putra-putra terbaik bangsa. Catatan mereka yang pernah menjabat Kepala Balitbang kami sajikan tidak hanya sebagai penghargaan semata melainkan juga bukti rekam jejak langkah prestasi dalam memajukan Balitbang.
2002-2003
1994-1999
2001-2002
2003-2005
2005-2007
2007-2009
2009-2010
2010-2010
2010-2012
2012-2013
2013-2015
2015 EDISI KHUSUS TAHUN 2015
5
SEJARAH PERJALANAN BALITBANG MENJADI TULANG PUNGGUNG IPTEK
Peran sebagai the backbone of science and technology diawali dari unit laboratorium, kemudian berkembang menjadi institut, lembaga, direktorat penyelidikan dan kini disatukan menjadi Balitbang yang berevolusi terus menerus
1912-1945: Unit Laboratorium BOW
1945-1973: Lembaga Penyelidikan Masalah PU
1974-1984: Direktorat Penyelidikan Masalah PU
Pada tahun 1912 Departemen Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau Departemen Pekerjaan Umum yang dibentuk berdasarkan Keputusan Raja (Koninjklik Besluit) tertanggal 21 September 1866, mendapat sebuah laboratorium bahan bangunan. Laboratorium yang dikelola unit kerja setara eselon-4 ini menjadi laboratorium pertama kali yang dibangun pada masa penjajahan belanda untuk menguji bahan bangunan sebelum diaplikasikan. Sejalan dengan kebutuhan, maka pada tahun 1929 dibangun laboratorium konstruksi jalan (laboratorium voor wegen contructie) dan pada tahun 1932 dibangun laboratorium mekanika tanah (laboratorum grounmechanica). Pada tahun 1936 dibangun lagi laboratorium hidrodinamika (laboratorium voor hidrodinamish) untuk melayani kebutuhan pengairan (waterstaat). Keempat laboratorium tersebut bekerja secara mandiri dalam melakukan penyelidikan masalah infrastruktur. Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945) fungsi dan peran laboratorium tetap tidak berubah hanya saja istilah-istilah dalam bahasa Belanda diganti ke dalam bahasa Jepang. Pembangunan keempat laboratorium BOW tersebut menjadi embrio dari pengembangan sebuah institusi penelitian dan pengembangan (litbang) dikemudian hari.
Pada awal kemerdekaan (1945) laboratorium Departemen BOW menjadi milik Departemen Pekerjaan Umum (PU) yang berpusat di Bandung dan berkantor di bekas gedung van Verker en Waterstaat (V&W) yang sekarang dikenal sebagai Gedung Sate. Lokasi laboratorium terletak di kampus Technische HoogeSchool (THS) Bandung atau kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada saat itu, nomenklatur laboratorium berubah menjadi Institut Penyelidikan Teknik. Pada tahun 1951 mulai terjadi perubahan nomenklatur dari Institut menjadi Balai yang setara dengan unit kerja eselon-3. Balai Penyelidikan Teknik (19511953) berubah menjadi Balai Penyelidikan Tanah dan Jalan (1953-1965). Pada tahun 1953 terjadi lagi perubahan nomenklatur yaitu dari Institut Penyelidikan Masalah Bangunan menjadi Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB). Kemudian pada tahun 1965 Balai Penyelidikan Tanah dan Jalan berubah menjadi Lembaga Penyelidikan Masalah Tanah dan Jalan (LPMTJ) yang diikuti Institut Penyelidikan Teknik Air dan Tanah menjadi Lembaga Penyelidikan Masalah Air (LPMA) pada tahun 1966. Akhirnya pada tahun 1973 LPMTJ berubah menjadi Lembaga Masalah Jalan (LMJ).
Di era pemerintahan Orde Baru, kecepatan pelayanan penyelidikan dipandang perlu ditingkatkan lagi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Oleh karena itu satu persatu dari ketiga lembaga penyelidikan tersebut diintegrasikan ke dalam Direktorat Jenderal sektor di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum dan statusnya ditingkatkan menjadi setara dengan eselon-2. LPMA diintegrasikan kedalam Direktorat Jenderal Pengairan (DJA) pada tahun 1974, LMJ diintegrasikan ke dalam Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) menjadi Direktorat Penyelidikam Masalah Tanah dan Jalan (DPMTJ) pada tahun 1975 dan akhirnya LPMB diintegrasikan ke dalam Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) menjadi Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (DPMB) pada tahun 1976. Model tersebut cukup efektif karena berada dalam satu garis komando, namun demikian agar lebih memiliki kreativitas berpikir, kreativitas akademis dan tanggung jawab akademis agar mampu dengan cepat dan akurat merespons masalah yang kompleks dan menjangkau wawasan jauh ke depan. Direktorat Penyelidikan ini selanjutnya diintegrasikan dalam suatu badan penelitian dan pengembangan.
6
DINAMIKA RISET - FOKUS
1984-Sekarang: Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Menyadari bahwa IPTEK semakin menjadi tumpuan dan harapan untuk menyelesaikan masalah masalah yang kompleks, maka pola penyelidikan yang bersifat parsial sudah tidak sesuai lagi. Untuk itu, semua sektor harus bersinergi dan harus mengembangkan sistem yang mampu mendorong percepatan produksi teknologi. Sistem tersebut harus berlandaskan pada kebenaran ilmiah, kebebasan berpikir dan kebebasan akademis, serta tanggung jawab akademis. Mempertimbangkan hal tersebut, terbitlah Keputusan Menteri PU Nomor 211/KPTS/1984 untuk mentransfer secara resmi ketiga direktorat penyelidikan masalah yang semula secara terpisah berada di 3 (tiga) eselon-1 ke dalam satu unit eselon-1 di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang). Perjalanan Balitbang dalam mengemban misi sebagai tulang punggung IPTEK (the scientific and technological backbone) sangat dipengaruhi oleh para nakoda kapal balitbang. Periode 1984-1998: Balitbang PU Periode ini diawali dengan menumbuhkembangkan teknologi yang telah dihasilkan oleh Lembaga maupun Direktorat Penyelidikan Masalah Air, Jalan dan Bangunan. Disadari bahwa ketersediaan teknologi sangat terbatas, maka diperlukan tambahan teknologi. Komite riset digagas untuk menjembatani kebutuhan pengguna dengan produk teknologi yang dihasilkan Balitbang. Desakan kebutuhan teknologi direspon dengan dibangunnya sistem litbang berbasis siklus pembangunan infrastruktur yang terintegrasi
dengan AMDAL. Adopsi standar internasional yang disertai uji lapangan menghasilkan 3 (tiga) output besar yaitu standar tata cara, standar metode pengujian dan standar spesifikasi. Teknologi baru untuk menghasilkan 3 standar tersebut dipacu pengembangannya melalui inovasi. Aplikasi standar dan inovasi teknologi oleh Direktorat Jenderal dipandu melalui komunikasi kelitbangan. Kabalitbang melakukan strategi “Pemasaran” secara reguler ke Direktorat-direktorat Jenderal untuk mengkomunikasikan standar dan teknologi baru yang telah siap diaplikasikan. Periode 1999-2000: Balitbang Kimbangwil Litbang pada periode ini dipacu oleh kebutuhan infrastrtuktur permukiman dan pembangunan wilayah (kimbangwil). Oleh karena itu, kegiatan Balitbang lebih diarahkan pada pengembangan teknologi permukiman berbasis prasarana wilayah. Bertumpu pada konsep shelter for all dalam suatu permukiman yang bersih sehat, maka masalah sosial dan budaya serta ekonomi (Sos Bud Ek) pengguna infrastruktur menjadi unsur penting dalam menghasilkan teknologi tepat guna. Periode 2001-2004: Balitbang Kimpraswil Litbang pada periode ini dipacu oleh kebutuhan pembangunan permukiman dan prasarana wilayah (kimpraswil) dengan mendayagunakan sebesar besarnya peran serta masyarakat (ranmas) dalam investasi dan operasi serta pemeliharaan. Inovasi teknologi tepat guna yang dihasilkan pada periode sebelumnya dikomunikasikan kepada para calon
penggunanya baik swasta maupun masyarakat. Teknologi berbasis masyarakat juga dikembangkan untuk direplikasikan di berbagai wilayah di indonesia. Periode 2005-2015: Balitbang PU dan Balitbang PUPR Berbekal pengalaman pada periode sebelumnya, terobosan dan lonjakan litbang harus dilakukan pada periode ini untuk merespons persoalan yang lebih kompleks. Kualitas dan keberlanjutan infrastruktur menjadi target litbang. Kaidah keberlanjutan seperti sosial, ekonomi dan lingkungan (Sos Ek Ling) serta kelembagaan menjadi bagian penting proses litbang. Analisa BOW diperbaharui menjadi Analisa HSP PU yang di dalamnya telah memperhitungkan pekerjaan yang bersifat manual dan mekanikal. Teknologi pra-fabrikasi dan paten pendukung industri konstruksi terus dikembangkan dan diaplikasikan. Model Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Usaha (PK-BLU) mulai dirintis untuk menjadi media aplikasi teknologi sekaligus mengurangi ketergantungan biaya dari APBN. Model model aplikasi berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) diintegrasikan ke dalam inovasi teknologi yang bersifat fisik. Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK) digunakan sebagai media aplikasi teknologi untuk menangani masalah secara lintas Kementerian dan Lembaga. Akhirnya, mulai tahun 2015 ke depan: Balitbang PUPR harus mampu memenuhi tantangan baru “bekerja lintas sektor” menghasilkan PAKET LITBANG TERINTEGRASI (lintas sektor dan lintas Kementerian dan Lembaga) yang TIDAK SEKEDAR WACANA tetapi DAPAT DIREALISASIKAN.
EDISI KHUSUS TAHUN 2015
7
Mengenal Sosok Ir. Karman Somawidjaja: Pemimpin Pertama Badan Litbang PUPR
1984-1989
U
sia Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sudah memasuki dasawarsa ketiga. Apabila diumpamakan sebagai manusia, usia tiga puluhan berada dalam tahapan liminal atau ambang. Dia telah meninggalkan masa-masa labil sebagai remaja, namun belum siap juga apabila digolongkan pada usia matang. Pun begitu, pencapaian yang diperoleh tidak dapat dipandang sebelah mata. Balitbang PUPR memiliki ledakan semangat ala generasi muda dan pertimbangan matang khas orang dewasa. Selaiknya manusia, sebuah organisasi juga melewati proses lahir sebagai bayi merah. The journey of a thousand miles begin with one step kalau kata Lao Tzu. Pada proses awal terbentuknya, Balitbang PUPR dipimpin oleh Ir. Karman Somawidjaja. Sebelum mengemban tugas berat membidani organisasi baru bernama Balitbang Pekerjaan Umum (PU), beliau pernah menjabat sebagai Kepala Dinas PU Jawa Barat selama 10 tahun dan juga Kepala Direktorat Penyeledikan Masalah Bangunan (DPMB). Laki-laki bungsu dari lima bersaudara ini dilahirkan oleh 8
DINAMIKA RISET - FOKUS
Ibu Siti Kalsum di Kota Garut pada penghujung tahun, yaitu 31 Desember 1929. Ayahnya adalah Raden Somawidjaja. Ir. Karman Somawidjaja adalah orang yang disiplin dan pekerja keras. Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Pak Karman, ikut tergabung dalam tentara pelajar. Bahkan hingga akhir hayatnya beliau masih tetap mempertahankan semangat perjuangannya sebagai pembina dari Tugas Prakarsa Siliwangi (TPS). TPS adalah organisasi yang mewadahi para tentara pelajar dari wilayah Jawa Barat. Menelusuri rekam jejaknya sebagai Kepala Balitbang PU membutuhkan usaha yang cukup keras. Kendala terbesar yang redaksi temukan adalah mendapati fakta bahwa dokumentasi mengenai pemimpin pertama Balitbang PU ini sangatlah minim. Redaksi menggali informasi mengenai kiprah beliau dari sumber terdekatnya, yaitu putra bungsunya, Chandra Maulana Karman. Dari putranya inilah redaksi berhasil mendapatkan banyak informasi berharga tentang Pak Karman, salah satunya adalah perihal usahanya yang gigih dalam memperjuangkan kompleks tinggal bagi karyawan PU di Jalan Soekarno Hatta, Bandung. Chandra mengakui bahwa ayahnya adalah sosok yang sangat disiplin. Beliau tidak mengijinkan anggota keluarganya, termasuk istrinya, menggunakan fasilitas mobil dinas yang diberikan oleh kantor. “Waktu itu mami harus menghadiri acara Darma Wanita di kantor PU. Mami memilih naik
angkot seperti biasanya. Kami terbiasa dengan didikan keras dari beliau”, ujar Chandra mengenang ayahnya. Dimulai pada tahun 1960 saat menjabat sebagai Kepala Urusan Perancang Pengairan Dinas PU Jawa Barat. Berlanjut sebagai Kepala Urusan Perancang di kantor dinas yang sama pada tahun 19611962. Lalu menjabat sebagai Kepala Dinas PU wilayah Priangan tahun 1962-1967. Kemudian sebagai Kepala Bagian Jalan dan Jembatan Dinas PU Jawa Barat pada 19671970 dan berlanjut sebagai Kepala Dinas PU Provinsi Jawa Barat 1970-1980. Setelah itu, kiprahnya di ranah litbang pun dimulai dengan diangkatnya beliau sebagai Direktur DPMB Departemen PU pada tahun 1980-1984. Lalu ketika DPMB resmi berubah menjadi Puslitbang Permukiman, beliau sempat menjadi kepalanya selama satu bulan, terhitung mulai 12 Maret 1984 hingga 12 April 1984. Jabatan terakhirnya adalah menjadi Kepala Balitbang PU terhitung sejak 12 April 1984 hingga memasuki masa purnabakti pada tahun 1989. Rekam jejaknya yang panjang sebagai pemimpin di bidang ke-PU-an menempanya sebagai pemimpin yang tidak hanya disiplin, namun juga menguasai ranah tugasnya dengan baik ditunjang oleh latar pendidikannya sebagai lulusan Fakultas Teknik ITB. Pak Karman adalah tokoh penting dalam tonggak sejarah berdirinya Balitbang PUPR. Semoga kedisiplinan beliau dapat menjadi teladan bagi generasi setelahnya.
Pemimpin Progresif BaLITBANG PU
N
1989-1991
ama Ir. Suryatin Sastromijoyo mungkin sedikit asing bagi generasi muda saat ini, namun di kalangan ahli dan penggiat Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI) nama beliau dikenal sebagai tokoh pendirinya. Selama memimpin Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) beliau menggagas sebuah sistem penelitian dan pengembangan (litbang) yang hasil
P
ada era awal berdirinya Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) pernah dipimpin oleh Ir. Sunaryono Danoedjo. Informasi terkait beliau terbilang sulit dicari, tak banyak jejak dokumentasi yang ditinggalkan. Informasi mengenai dirinya hanya muncul pada satu tautan artikel yang terdapat dalam situs www.ircwash.org. Sebuah organisasi yang bergerak aktif dalam bidang sumber daya air yang lekat dengan persoalan sosial dan kemanusiaan. Informasi mengenai beliau redaksi gali dari sejawat yang pada eranya pernah bekerja dengan beliau, antara lain melalui Prof. Dr. Ir. R. Pamekas, M.Eng. dan Ir. Aim A. Idris, M.Sc.
penelitiannya dapat menjawab fenomena dan berperan sebagai naskah akademis. Salah satu gagasan beliau adalah mengintegrasikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ke dalam siklus pembangunan infrastruktur. Konsep ini kemudian diadopsi oleh Kementerian Lingkungan Hidup hingga saat. Beliau rutin melakukan kunjungan dan diskusi dengan para pejabat eselon I di lingkungan Kementerian PU untuk menginformasikan dan memvalidasi proposal program tahunan dan lima tahunan. Gagasan ini muncul untuk semakin mensinkronkan kerja Balitbang dengan kebutuhan teknologi dari direktorat jenderal. Pak Suryatin, sapaannya juga mewajibkan komunikasi intens di level internal Balitbang PU.
Satu minggu sekali para kepala pusat litbang diwajibkan untuk menyampaikan progresnya kepada Kepala Badan Litbang PUPR. Kinerja para kepala pusat litbang diukur melalui produktivitas dalam menghasilkan konsep pedoman (tata cara, metode uji, dan spesifikasi) per tahun yang disosialisasikan langsung dengan pola go show atau turun langsung ke lapangan. Beberapa rekan kerja yang pernah memiliki kesempatan untuk bekerjasama dengan beliau memberikan testimoni bahwa Pak Suryatin adalah seorang figur manajer yang komplit. Selain itu beliau adalah tipe pemimpin yang tidak alergi terhadap perubahan. Bahkan sebaliknya, beliau adalah seorang penggiat perubahan yang konsisten.
Ir. Soenarjono Danoedjo Penggagas Komite Riset Dari beliau berdualah redaksi mendapat informasi bahwa Pak Sunaryono Danoedjo membentuk komite riset. Komite riset adalah sebuah media komunikasi antara pengguna teknologi, dalam hal ini adalah direktorat jenderal, dengan pemroduksi teknologi, yaitu Balitbang. Dengan adanya komite riset ini, maka dapat dipastikan bahwa proposal riset yang dibuat oleh pihak di luar area Balitbang akan ditolak. Sedangkan untuk proposal riset yang sudah ada atau dibuat di area litbang harus dibahas oleh komite riset yang anggotanya adalah para Pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian PU. Pak Sunaryono Danoedjo juga mengamanatkan sebuah pesan penting agar Balitbang PU
1991-1994 senantiasa berada dalam jalur yang benar dalam melakukan pelayanan terhadap direktorat jenderal. Kegiatan litbang yang dilaksanakan harus tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan teknologi direktorat jenderal, permasalahan terkait dengan bahan bangunan, struktur, irigasi, sanitasi, jalan dan jembatan, kelembagaan, pendanaan, dan lain sebagainya.
EDISI KHUSUS TAHUN 2015
9
Harus Berpikir Seperti Industri
1994-1999
P
Penyebarluasan bisa melalui media masa atau dengan cara-cara lainnya. Lima cita-cita yang masih melingkupi dirinya hingga kini akan dunia litbang yaitu:
Harus ada pembagian tugas antara peneliti dan pengembang. Peneliti bertugas untuk menghasilkan inovasiinovasi. Sedangkan pengembang bertugas untuk memasarkan produk inovasi tersebut kepada konsumen. Karena semua produk penelitian harus dilanjutkan dengan pengembangan.
• Peneliti harus berpikir agar setiap inovasi yang dihasilkan mempunyai nilai industri. Tidak hanya berkutat dengan royalti; • Penelitian yang dilakukan oleh uang negara sebaiknya harus bisa dimanfaatkan kembali untuk kepentingan negara; • Setiap produk yang dihasilkan harus didiseminasikan • Diperlukan dorongan yang kuat dan keinginan (political will) dari Pimpinan untuk mau mempergunakan hasilhasil litbang; • Setiap inovasi yang dihasilkan dimungkinkan untuk disempurnakan bila ada kekurangan.
ada saat berdinas, Ir. Hendro Moeljono merasakan anggaran penelitian dan pengembangan (litbang) yang terbatas. Tidak lebih dari 3 miliar rupiah untuk mengelola sebuah lembaga Penelitian dan Pengembangan, tak membuatnya menjadi patah semangat. Dengan semangat untuk bisa seperti perusahaan Coca Cola, ia mencoba berupaya agar produk yang dihasilkan sudah diketahui khalayak sebelum menjadi sempurna. “Balitbang harus berpikir seperti industri”, tegasnya.
Balitbang Sebagai Garda Depan
B
erikutnya Balitbang dipimpin oleh Ir. Ahmad Lanti pada tahun 2000. Selama masa kepemimpinannya, beliau mencoba untuk menempatkan penelitian dan pengembangan (litbang) sebagai garda terdepan dalam pembangunan infrastruktur. Litbang hendaknya menjadi salah satu penentu arah kebijakan departemen terutama fungsi pengawal pembangunan. Sebagai contoh beliau mengatakan dalam pembangunan bendungan peran Balitbang dapat sebagai perencana yang menyusun feasibility study, desain, konstruksi sampai operasi dan pemeliharaannya. Metode yang sama juga diterapkan untuk pembangunan sarana jalan dan jembatan, dan permukiman. Lebih lanjut Ahmad Lanti menjelaskan pentingnya penelitian
10
DINAMIKA RISET - FOKUS
sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan infrastruktur menjadikan peneliti sebagai sendi vital untuk menjamin kualitas produk yang terbangun. “Sense of researcher harus benar-benar melekat dalam setiap peneliti yang pada gilirannya akan mendorong kemajuan dalam dunia penelitian. Penelitian yang dilakukan harus bersifat independen dan bertanggung jawab serta mendukung tugas Direktorat Jenderal” tegasnya. Dahulu Departemen PU memiliki DPMA, DPMB, dan DPMJ namun sekarang fungsi penyelidikan telah terintegrasi dan diemban oleh Balitbang. Dengan demikian. Balitbang menjadi semakin eksis dan didukung oleh banyak tenaga ahli dan peneliti serta alokasi dana yang cukup besar, imbuhnya.
1999-2001
Sense of Researcher
2001-2002 eneliti itu adalah dapat memberikan solusi. “Researcher should be have a sense of researcher, can conclude something not just investigator”, tegas Gandhi. Ketegasan pria bernama lengkap Ir. Gandhi Harahap, M.Eng. ini diutarakannya ketika menjabat sebagai Kepala Badan
P
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) periode 2001-2002. Walau singkat, dirinya dirasakan membuka peluang kerjasama pemanfaatan teknologi dengan Direktorat Jenderal di lingkungan Departemen PU, sebagai pengguna hasil penelitian dan pengembangan. Gandhi menegaskan, bahwa peneliti harus mampu menjawab kebutuhan pasar. Bukan meneliti sesuai kebutuhan dan keinginannya tanpa mempedulikan kemauan pasar. Dicontohkannya, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) di Australia dan Malaysia. Di sana peneliti menghasilkan produknya seperti keinginan pasar. Bahkan
di sana, lembaga litbang berdiri sendiri dan tidak mengandalkan kebutuhan anggarannya pada keuangan negara. Litbang seperti unit konsultan dan mencari keuntungan. Belajar dari lembaga-lembaga litbang yang ada di negara lain, Gandhi menghimbau agar penelitian dilakukan dengan bekerja sama dengan beberapa instansi lain. Sebagaimana yang pernah dilakukannya dengan Ditjen Bina Marga dan ITB. Pola-pola ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan agar tidak terjadi penelitian ganda.
Road Fund and Road Board
S
atu hal yang menonjol pada masa kepemimpinan Ir. Patana Rantetoding (20022003), adalah mencoba menggoal-kan konsep“road fund” dan “road board” yang sejak tahun 1996 menjadi wacana dan pada tahun 2006 sempat diangkat kembali di tingkat departemen. Konsep ini diharapkan merupakan suatu solusi penanganan pembiayaan perbaikan jalan yang dibebankan kepada pemakai jalan (dana masyarakat).
Darat (Organda) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan sejak sistem“road fund” dan“road board” diusulkan, Komisi IV DPR sangat antusias untuk menerapkan sistem ini. Begitu berlikunya proses dan waktu untuk dapat menerapkan konsep ini, UndangUndang Jalan sebagai payung hukum pengelolaan jalan malah “lahir duluan”, namun sebagian dari konsep ini sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004.
Salah satu sumber dana yang bisa ditarik dari masyarakat untuk road fund adalah dari harga bahan bakar yang dibeli pemakai kendaraan bermotor melalui badan pengelola road fund yang tugasnya mengelola dana dari masyarakat untuk perbaikan jalan.
Selepas itu pada 2006 sempat diangkat kembali oleh Menteri Pekerjaan Umum (PU) dengan menawarkan konsep ini kepada Menteri Perekonomian, Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas. Konsep tersebut dianggap penting sebagai salah satu terobosan dalam pembiayaan pemeliharaan jalan, tanpa harus melalui DIPA yang jumlahnya masih belum memadai. Meski akhirnya kandas di tengah jalan karena masih
Dimotori oleh Patana, pada tahun 2003 telah disosialisasikan dengan pihak-pihak terkait seperti Organisasi Gabungan Angkutan
perlu dimatangkan sebelum diberlakukan, wacana tentang konsep ini terus bergulir. Apalagi melihat pengalaman negara-negara lain seperti Afrika (Kenya), Vietnam, RRC, AS, Jepang dan New Zealand yang telah sukses menerapkan konsep ini menjadi semangat untuk dapat diaplikasikan di negeri kita. Semangat ini pula yang masih menjadi harapan bagi seorang Patana Rantetoding hingga kini, harapannya adalah harapan kita semua untuk dapat menikmati infrastruktur jalan tetap dalam kondisi mantap.
2002-2003 EDISI KHUSUS TAHUN 2015
11
BUSINESS PLAN PRODUK DAN Skala Industri untuk memuaskan kebutuhan peneliti, tetapi menciptakan atau memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.
2003-2005 ria kalem dan selalu tampil “dandy” ini memiliki citacita untuk mengembangkan unit Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang). Ketika menjabat sebagai Kepala Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum (PU) periode 2003-2005. Dr. Ir. Rustam Sjarief membuka peluang pengembangan pemanfaatan produk penelitian dan pengembangan (litbang). Baginya, setiap karya litbang harus bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Hasil litbang bukan
P
Dalam sebuah lembaga penelitian, nilai scientific (ilmu murni) dan applied (terapan) harus diimplementasikan. Sebuah karya litbang sebelum dinyatakan siap untuk diproduksi masal harus melalui dua tahapan. Yakni skala lab dan skala prototype. Pada skala lab, inovasi baru di lakukan tes uji di laboratorium. Setelah dinyatakan lulus uji dari laboratorium, maka dilanjutkan dengan pembuatan prototype di lapangan. “Di sini untuk melihat sejauh mana ketahanan produk tersebut saat diimplementasikan. Atau bisa dikatakan pembuktian teknis”, jelas suami dari Karen Sjarif. Usai pengujian skala prototype ini dan terbukti bisa dikembangkan dan
telah disempurnakan maka karya litbang tersebut bisa dilanjutkan untuk diproduksi secara masal. Ketika sampai pada tahap ini, litbang harus dapat membuat business plan produk. “Pada tahap inilah kita sering tidak siap”, katanya Perubahan pola pikir itu harus dilakukan oleh para peneliti. Karya litbang bukan hanya ketika sampai pada tahap uji prototype, tetapi tuntas hingga penilaian kemungkinan untuk dikembangkan skala industri. Secara kebetulan, cara ini dapat dilakukannya untuk pengembangan rumah RISHA. “Sehingga peneliti tidak hanya memiliki kepuasan intelektual tapi juga financial ” , tegas Rustam. Bila perlu, dibentuk unit komersil yang bertugas untuk memasarkan produk produk litbang. Sebab kemajuan suatu bangsa ditandai dengan pemanfaatan teknologinya. Karena melalui inovasi litbang menunjang kualitas dan efisiensi.
Pengawalan Kualitas Infrastruktur
B
erbekal pengalaman dan “jam terbang” tinggi dalam penyelenggaraan infrastruktur ke-PU-an, Ir. Hendrianto Notosoegondo memimpin organisasi Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) dengan semangat mengawal kualitas infrastruktur Selama 22 tahun bekerja dan mengabdi di bidang jalan dan 12 tahun di bidang manajemen membuatnya “matang” dalam menahkodai dan menjadikan ‘kapal’ Balitbang PU untuk menjadi pengawal kualitas infrastruktur. Konsep inilah yang menjadi pijakan bagi pelaksanaan tugas Balitbang saat ini dan kedepan. Hal ini tercermin dalam tujuan
12
DINAMIKA RISET - FOKUS
Program Balitbang yang sejalan dengan tujuan Departemen PU 2010-2014 meskipun masih dalam tahap penggodokan. “Pengawalan kualitas infrastruktur dari tahap prakonstruksi, konstruksi dan pasca konstruksi, perlu ditingkatkan, dengan (SPMK) Standar, Pedoman, Manual dan Kriteria sebagai alat kontrol kita. Tenaga Ahli/Peneliti merupakan aset dan keberadaan laboratorium sebagai sarana pengujian”, demikian ucapnya dalam berbagai kesempatan. Tugas ini memang tidak ringan. Bagi para peneliti, berkecimpung dengan kegiatan pengawalan kualitas di sela-sela kegiatan pokoknya yakni melakukan
2007-2009 litbang perlu strategi dan kiat-kiat tersendiri agar tujuan dari kedua aktivitas tersebut dapat tercapai. Menurutnya peran Balitbang ke depan adalah lebih banyak melakukan dukungan terhadap penyelenggaraan infrastruktur, melakukan pembinaan terhadap jajaran Departemen PU di pusat maupun daerah dan perlunya penajaman kompetensi Balitbang.
Elit dan Dibanggakan
2005-2007
Dr. Ir. Basuki Hadimoeljono, M.Sc. adalah sosok Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pekerjaan Umum (PU) yang terkenal akan kedekatannya dengan para bawahan. Pria berkumis lebat ini merupakan penggagas sekaligus pelaksana ide penerapan lapangan skala satu banding satu. Dalam perjalanan beliau sebagai Kepala Balitbang dari tahun 2005 hingga 2007, Pak Basuki memberikan perubahanperubahan yang mendasar dalam konsep nilai. Menurut beliau, Balitbang harus semakin pro aktif dalam menyikapi tantangan perubahan yang menuntut sebuah sikap one step ahead terhadap perkembangan IPTEK. Hal ini harus dibarengi dengan banyak perubahan di dalam metode dan filosofi bekerja di Balitbang. Dengan demikian balitbang tidak lagi dikonotasikan sebagai “sulit berkembang” tetapi sebagai badan yang “elit dan dibanggakan”, sebuah credo yang dicetuskan oleh Bapak Roestam Sjarief dan kembali ditekankan oleh Basuki. Dalam masa kepemimpinannya, Basuki memperkenalkan konsep militansi, konsistensi, dan inovasi bagi segenap pegawai di Balitbang terutama untuk para penelitinya. Kekuatan SDM merupakan modal utama bagi sebuah lembaga penelitian karena merupakan sumber sekaligus penggerak modal lain dari organisasi. Seorang peneliti hendaknya punya semangat untuk terus berinovasi dan dapat menghasilkan produk-produk penelitian dan pengembangan (litbang) yang bermanfaat untuk menunjang kegiatan dari direktorat jenderal dan masyarakat pada umumnya.
Basuki juga senantiasa menjadi pionir dan menjadi garda terdepan pada setiap bencana alam yang melanda, seperti tsunami di Aceh tahun 2005 dan gempa Yogyakarta tahun 2006 dengan membawa tim gawat darurat. Pada masa menjabat, beliau juga diberi kepercayaan oleh Presiden untuk menjadi Kepala Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS). Pengalaman itu tertuang dalam buku yang ditulisnya berjudul “Semburan Lumpur Panas Sidoarjo Pelajaran dari Sebuah Bencana”. Sebagai ketua Timnas, amanah untuk menangani semburan Lusi merupakan beban tanggung jawab tersendiri. Segala alternatif teknis penghentian semburan lumpur ternyata tidak bisa menutup semburan lumpur Sidoarjo hingga Timnas PSLS selesai menjalankan mandatnya karena menurut IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) dan beberapa pihak, semburan lumpur yang terjadi di Sidoarjo termasuk kategori mud volcano. Setelah dilakukan penghitungan, semburan ini diperkirakan akan berlangsung hingga 31 tahun mendatang. Seusai menjadi Kepala Balitbang, beliau pun dipindahtugaskan ke Inspektorat Jenderal dan Direktorat Jenderal Tata Ruang sebelum menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.
EDISI KHUSUS TAHUN 2015
13
Singkirkan Guyonan Sulit Berkembang, Litbang adalah Elit dan Membanggakan
B
2009-2010
adan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) pernah dipimpin oleh Dr. Ir. Moch Amron, M.Sc., yaitu pada periode 2009-2010. Setelah itu, tugas baru menempatkannya menjadi Direktur Jenderal SDA dari 2010 hingga memasuki masa purnatugas. Laki-laki yang menamatkan pendidikan S1-nya dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1975 ini memimpin Balitbang PU dengan durasi yang tidak lama. Meski demikian, beberapa karya telah dihasilkan olehnya. Redaksi berkesempatan untuk mewawancarai Pak Amron di ruang kerjanya yang terletak di Gedung SDA. Bagaimana permulaan karir Bapak sebagai PNS? Sewaktu itu, pemerintah sedang mencanangkan program pemenuhan kebutuhan pangan. Kementerian PU tentu memiliki peran yang sangat besar. Banyak program yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Salah satunya adalah reklamasi lahan rawa dan pasang surut yang akan digunakan sebagai lahan pertanian, serta pembangunan irigasi. Waktu itu, pada tahun 1974, saya masih berstatus sebagai 14
DINAMIKA RISET - FOKUS
mahasiswa tahap akhir terlibat dalam kegiatan survei pembukaan lahan pasang surut yang dilaksanakan oleh Kementerian PU. Setelah lulus kuliah saya bekerja di Perencanaan Pengembangan Wilayah Sungai (P2WS), Kementerian PU. Bidang ini sesuai dengan keahlian saya di bidang sumber daya air.
teknologi yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya lokal dan adaptif terhadap kondisi masingmasing daerah.
Sebagai Kepala Balitbang kala itu, hal prioritas apa yang akan Bapak ubah ke arah yang lebih baik?
Balitbang harus mendukung kinerja Kementerian PU secara keseluruhan dengan melakukan kolaborasi bersama satminkal lainnya. Semakin banyak teknologi hasil litbang yang diterapkan oleh direktorat jenderal, maka semakin tinggi pula dukungan Balitbang terhadap kinerja Kementerian. Balitbang harus menggenjot untuk menghasilkan teknologi yang efektif, efisien, murah, dan aman untuk penyelesaian permasalahan bidang infrastruktur di Indonesia.
Sebagai institusi penelitian dan pengembangan (litbang), Balitbang PU dituntut untuk menghasilkan teknologi yang mampu mempercepat penyelesaian masalah ke-PU-an yang muncul di tengah masyarakat. Para peneliti bergiat untuk melakukan penelitian dan pengembangan, baik dari hal yang benar-benar baru, maupun menyempurnakan teknologi yang sudah ada. Hal yang menjadi fokus saya kala itu adalah untuk menggiatkan kegiatan kerjasama dengan lembaga lain. Sehingga teknologi yang dihasilkan bersifat multidimensional. Kerjasama inilah yang harus lebih banyak dilakukan. Tantangan apa yang dihadapi oleh Balitbang pada masa kepemimpinan Bapak? Tantangan terbesar adalah mengoptimalkan penggunaan teknologi hasil litbang. Dalam hal ini adalah direktorat jenderal. Setiap pusat litbang memiliki ciri khas pelanggannya, misalkan direktorat jenderal, pemerintah daerah, dunia usaha, dan juga masyarakat secara langsung. Terutama untuk daerahdaerah baru yang sulit dijangkau, Balitbang harus menghasilkan
Menurut Bapak, apakah Balitbang sudah dapat mendukung kerja Kementerian secara optimal?
Potensi apa saja yang dimiliki oleh Balitbang? Balitbang ini memiliki keunikan. Sumber daya peneliti yang ada di Badan Litbang memiliki keahliankeahlian khusus, misalnya di bidang SDA, jalan dan jembatan, serta permukiman dan perumahan. Fungsi Balitbang ditunjang dengan fasilitas yang khusus seperti laboratorium untuk masingmasing bidang. Selain itu, Balitbang memiliki jumlah peneliti yang cukup banyak. Saya menganggap SDM peneliti adalah potensi yang besar. Meski demikian, jumlah SDM peneliti harus semakin meingkat dari waktu ke waktu. Saya rasa guyonan bahwa litbang itu adalah sulit berkembang harus disingkirkan jauh-jauh, karena kenyataannya Balitbang adalah institusi yang elit dan membanggakan.
SEMANGAT BERKARYA UNTUK KEMANDIRIAN BANGSA berkualitas, bernilai ekonomi, serta aplikatif.
S
2010-2010
umaryanto Widayatin adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) baru di tahun 2010. Sosoknya unik. Pola berpikirnya yang terkadang keluar dari arus utama atau out of the box mampu memberikan rona baru. Suaranya yang lantang menambah semarak lingkungan sekretariat yang dahulu adem ayem. Kombinasi dari cara berpikir out of the box dan suara yang lantang membawa harapan dan semangat baru bagi seluruh keluarga Balitbang. Kesan inilah yang ditangkap oleh karyawan dan karyawati dalam acara pisah sambut usai pengangkatan Sumaryanto Widayatin menjadi Kepala Balitbang yang baru pada tanggal 15 April 2010.
“Semua hasil produk inovasi teknologi Litbang yang untradeable becoming tradable”, ujar Sumaryanto dengan lantang dalam acara pisah sambut. Jargon baru Badan Litbang ini merupakan hasil pemikiran Sumaryanto untuk mendorong para peneliti agar mampu menghasilkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar,
Standar, Pedoman dan Manual (SPM) merupakan acuan dalam rangka meningkatkan mutu infrastruktur bidang ke-PU-an. Akan tetapi, SPM yang menjadi SNI (Standar Nasional Indonesia) bukan sekadar perbaikan mutu saja, melainkan juga untuk mendorong terwujudnya kemandirian bangsa. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa negara yang mampu menggunakan barang-barang hasil produksi sendiri dan bersetifikasi adalah negara yang mandiri. Pasar global justru semakin menggerus produk lokal. Tidak hanya karena harga barang impor yang lebih murah, akan tetapi juga dilengkapi kemudahan purna jual dan juga munculnya stigma “bergengsi” di tengah masyarakat apabila memakai produk impor. Hal ini menjadi ironi ketika melongok kehidupan negara semaju Jepang dan Korea yang justru lebih bangga menggunakan barang produksi dalam negeri. Mengapa Indonesia tidak memulai langkah mencintai produk dalam negeri? Ada dua alasan yang mengemuka, yaitu karena sebagian produk Indonesia belum terstandarisasi dan tidak adanya jaminan purna jual yang menjanjikan. Bahkan tak jarang ditemui barang produksi dalam negeri yang justru harganya lebih mahal dari barang impor. Sumaryanto meyakini bahwa produk yang dihasilkan oleh Balitbang Pekerjaan Umum akan mampu menembus pasar, bukan hanya pelayanan internal ke
direktorat jenderal, tetapi juga ke pemerintah daerah (pemda) dan produsen. “Mungkin kita bisa mengembangkan pola kerjasama kemitraan dengan perusahaan lewat kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility)”, tegas lakilaki yang memulai karirnya di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sejak tahun 1982. “Balitbang PU harus bisa menjadi lembaga seperti IKRAM di Malaysia. Di sana lembaga Litbang bisa mandiri bahkan mendanai dirinya sendiri”, ujar Sumaryanto. Bahkan, menurut Sumaryanto Balitbang harus menjadi inti dari sebuah organisasi dan semakin melanggengkan kebiasaan baik untuk melakukan penelitian dan pengembangan terlebih dahulu sebelum mengambil kebijakan. Pria yang sudah malang melintang berkarya di Kementerian PU ini memulai karirnya di Direktorat Jenderal Bina Marga ini beranggapan bahwa konsep berpikir kelitbangan tidak bisa mendasari pola pikir di ranah sektor. Setiap sub sektor harus kreatif dan berkoordinasi menjadi satu, sehingga yang dihasilkan mempunyai nilai gemilang. Bagi lulusan S2 dari IndianaUSA jurusan Civil Engineering ini menjadi orang dengan kredibilitas tinggi adalah jauh lebih bermartabat daripada hanya banyak bicara, tapi tanpa karya.
EDISI KHUSUS TAHUN 2015
15
memimpin balitbang, Mendulang Prestasi
S
osoknya santun, tutur katanya halus, namun ketika membicarakan capaian kinerja, Anda akan takjub dengan perubahan nada bicara yang menjadi penuh semangat. Dialah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pekerjaan Umum (PU) Mohamad Hasan. Rapor kinerja Balitbang PU pada tahun 2011 bisa dibilang cukup gemilang. Berbagai layanan dan produk dari Balitbang meningkat secara kuantitas dan kualitas. Ketika ditanya tentang pendapat pribadinya mengenai visi sebagai seorang pemimpin, dengan santai Pak Hasan, sapaan akrabnya, menjawab, “menjadi pemimpin itu adalah nature dari setiap orang. Yang membedakan hanyalah cakupan dan tingkatannya. Oleh karena itu, tugas sebagai pemimpin yang sudah dibebankan kepada diri pribadi harus dilaksanakan dengan penuh keikhlasan”. Berbicara tentang capaian kinerja dari Balitbang selama masa kepemimpinan Pak Hasan hingga sekarang bisa dibilang sangat menggembirakan. Balitbang banyak mendulang prestasi, pertama, adalah dengan dicapainya hasil sertikasi International Organization for Standardization (ISO) 9001 oleh seluruh unit kerja di lingkungan Balitbang. Kemudian akreditasi atas kinerja laboratorium yang presentasenya mencapai 90% telah memperoleh ISO 17025. Dengan penerapan Sistem Manajemen Mutu, keluaran yang dihasilkan menjadi jauh lebih berkualitas karena dilaksanakan 16
DINAMIKA RISET - FOKUS
oleh Sumber Daya Manusia (SDM) profesional dan melalui sistem kerja yang terbakukan. Prestasi lain di level kementerian dengan menjadikan quick wins PULSA (Pelayanan Untuk Laboratorium, Sertifikasi, dan Advis Teknis) sebagai salah satu dari tiga quick wins Kementerian PU. Keberhasilan pelaksanaan PULSA akan sangat berpengaruh pada kesuksesan pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Kementerian PU. Quick wins tersebut diharapkan menjadi momentum yang tepat untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik Balitbang khususnya kepada Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian PUPR dan kepada masyarakat pengguna. Pak Hasan kembali menekankan pesan penting, yaitu Balitbang harus mampu menambah item sertifikasi yang termaktub dalam PULSA. Sehingga cakupan pengujian laboratorium, sertifikasi, dan advis teknis semakin luas dan bertambah banyak. Hal ini akan berimbas pada semakin membaiknya dua hal, yaitu kinerja secara keseluruhan dan juga perbaikan citra Selain PULSA, prestasi lain Balitbang adalah meningkatnya jumlah SDM peneliti dari waktu ke waktu. Baginya menjadi peneliti adalah sebuah kesempatan, bukan beban. “Dengan menjadi peneliti Anda dapat mengoptimalkan ilmu yang Anda miliki. Anda bisa naik pangkat lebih cepat. Dan Anda juga bisa masuk ke jalur struktural tanpa masalah. Intinya, menjadi peneliti adalah kesempatan emas
2010-2012 bagi PNS muda Balitbang”, Pak Hasan menjelaskan. Pengembangan Sumber Daya Manusia Balitbang memang harus lebih digenjot lagi. Bidang Sumber Daya Kelitbangan di tiap Puslitbang dan Bagian Kepegawaian dan Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) Sekretariat Balitbang dituntut untuk berinovasi mengembangkan program-program yang mendukung agenda penting ini. Perbaikan Terus Menerus Continous improvement yang diberlakukan sebagai sebuah azas penting dalam SMM ternyata harus diterapkan dalam berbagai bidang. Evaluasi yang dilakukan secara rutin dalam setiap tahapan pekerjaan yang dilakukan di Balitbang dapat meminimalisasi kesalahan, sehingga keluaran atau produk yang dihasilkan pun semakin bermutu. Sebagai Kepala Balitbang, Pak Hasan memberikan tantangan baru, yaitu agar pada tahun mendatang Balitbang harus meningkatkan capaian kinerjanya sebagai lembaga inspeksi teknis ISO 17020 dan lembaga sertifikasi produk - ISO GUIDE 65.
R & D Creates Our Nation’s Future beberapa universitas di Indonesia, yaitu UGM, UNS, dan UMS. Teori “Bubur Panas”
D
2012-2013
inamika Riset berkesempatan untuk berbincang sejenak dengan sosok ramah dan bersahaja Graita Sutadi. Sejak bulan Juli 2012, laki-laki lulusan Universitas Gadjah Mada ini menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Rekam jejak Graita Sutadi adalah sebagai “orang lapangan”. Embrio karirnya dimulai ketika Graita, demikian sapaannya, diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di Kementerian PU pada tahun 1978. Lulus dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada di tahun 1977. Bekal ilmu yang dimilikinya menuntun Graita muda berkiprah di Kementerian PU. Pada permulaan tahun 1980-an Graita mengemban tugas penting menjadi Kepala Bagian Perencanaan, Proyek Bengawan Solo. Tak lama berselang, Graita mendapatkan jalan untuk memperdalam ilmunya di bidang hidrologi dan sumber daya air di Universitas Arizona, Amerika Serikat dan selesai pada tahun 1982. Meskipun masih muda, Graita sudah mendapatkan banyak pengalaman sebagai pengajar di
Perjalanan karirnya yang panjang menempanya menjadi seorang “komandan lapangan” yang cerkas dan cerdik. Dikala menjabat sebagai Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan (BBWS) Solo, Graita menghadapi problema dengan masyarakat di sekitar sungai. Wilayah Sragen yang kala itu memang menjadi daerah langganan banjir, menuntut BBWS Bengawan Solo untuk memberikan tindakan solutif. Graita memformulasikan sebuah pola antisipasi banjir partisipatif dengan melibatkan masyarakat. Masyarakat diajak berbincang tentang alternatif penanganan banjir. BBWS Bengawan Solo menawarkan solusi berupa normalisasi anakanak sungai Bengawan Solo di Sragen. Akan tetapi, normalisasi ini akan memunculkan daerah limpasan. BBWS Bengawan Solo berkolaborasi dengan Pemda Sragen menawarkan solusi yang menuntut keikhlasan warga untuk memberikan sebagian kecil tanahnya sebagai daerah penampung limpasan. Mediasi berhasil dilakukan. Warga dengan sukarela menikhlaskan tanahnya. Dalam pelaksanaan tugas selanjutnya Graita Sutadi menjabat sebagai pemimpin proyek induk Waduk Jatigede. Setelah hampir tertunda selama 40 tahun, akhirnya pembangunan waduk ini berhasil direalisasikan pada masa kepemimpinannya. Seperti proses pembangunan proyek besar yang pernah
dilaksanakan, proyek Jatigede juga menghadapi kendala yang berkaitan dengan masyarakat. Pembebasan lahan menjadi masalah yang harus segera diselesaikan agar tidak mengganggu jalannya proyek. “Untuk menyelesaikan proyek ini saya berpedoman pada teori bubur panas. Sendoklah bubur dari bagian yang paling dingin dulu. Dekati dan selesaikan permasalahan dengan masyarakat yang memiliki tingkat resistensi paling rendah. Setelah itu baru beranjak ke masyarakat dengan tingkat resistensi yang lebih tinggi. Nanti juga lama-lama pendekatan kepada masyarakat akan tuntas dan proyek dapat dilaksanakan”, Graita menerangkan. Selama menjabat sebagai Kepala Balitbang PU, Graita menghasilkan beberapa karya penting. Diantaranya adalah inisiasi penerbitan Analisa Harga Satuan PU (AHSP) sebagai pengganti analisa BOW, inisiasi pembangunan kontruksi kayu di Balai PTPT Denpasar, inisiasi pembangunan Asbuton Center di Pulau Buton, inisiasi beroperasinya APT di Pusjatan. Ada juga beberapa target yang belum dilaksanakan, yaitu pengadaan laboratorium jembatan bentang panjang, review AHSP setiap 2 tahun sekali dan pembangunan kapling perumahan bagi para peneliti di Buleleng. Baginya kinerja yang sesungguhnya adalah apabila produk hasil litbang telah diterapkan dan hasilnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Beliau mengusulkan untuk dibuat dokumentasi berupa buku atau video mengenai teknologi litbang yang sudah diaplikasikan oleh aplikator. EDISI KHUSUS TAHUN 2015
17
BANGGA DI BALITBANG PU
D
inamika Riset mendapat kesempatan mewawancarai pria lulusan Master Highway dari Canada ini. Kini suami dari Paulina dan ayah dari dua orang anak ini, mendapat tantangan baru sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Dia adalah Ir. Waskito Pandu, M.Sc. yang dilantik tanggal 24 Januari 2014. Bagaimana tanggapan Bapak sejak ditempatkan sebagai Kepala Balitbang PU? Saya bangga dan terkejut ketika ditugaskan oleh Bapak Menteri untuk berkarya di Balitbang. Bagi saya Balitbang PU adalah sebuah unit kerja yang unik, sekaligus elit karena berisi para ahli di bidang kePU-an. Saya mengutip sebuah pernyataan yang cukup populer di dunia penelitian dan pengembangan bahwa “suatu negara akan besar dan maju bila bidang penelitian dan pengembangannya berkembang dengan baik”. Dan pernyataan ini sudah dibuktikan oleh Korea Selatan. Korea Selatan awalnya adalah negara yang tidak begitu
maju seperti sekarang. Saya lihat ini sebagai tantangan yang dihadapi oleh Balitbang PU untuk menjadi lembaga riset yang bonafide, sehingga dapat mendukung kemajuan bangsa. Langkah seperti apa yang Bapak rancang agar Balitbang menjadi lembaga riset yang elit dan berkembang? Masalahnya adalah banyak pihak yang tidak mengetahui kinerja dan karya yang dihasilkan oleh Balitbang karena minimnya publikasi. Saya menganggap itu sebagai tugas penting bagi saya untuk “menjual” hasil penelitian dan pengembangan (litbang) kepada para pengguna. Selain mempublikasikan produk litbang yang telah dihasilkan, Balitbang PU juga harus mampu mendukung pelaksanaan dan pencapaian visi serta misi Kementerian PU. Tantangan lain adalah meningkatkan pemanfaatan produk litbang. Meningkatkan layanan advis teknis kepada para pemangku kepentingan, sehingga manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna. Selain itu posisi Balitbang PU sebagai lembaga sertifikasi harus diperkuat agar peran Balitbang PU sebagai scientific backbone Kementerian PU semakin kuat. Apakah Balitbang PU memiliki peluang strategis mengingat Kementerian PU adalah kementerian teknis?
2013-2015 18
DINAMIKA RISET - FOKUS
Menurut saya Balitbang PU justru memiliki peran strategis. Balitbang PU adalah unit yang bergengsi karena semua karya IPTEK untuk mendukung pelayanan infrastruktur
dari Kementerian PU dihasilkan oleh Balitbang. Disinilah tempat berkumpulnya para ahli. Menurut saya, Balitbang PU sudah besar, yang menjadi masalah adalah karena Balitbang PU kurang mempromosikan diri. Menurut Bapak apakah karena anggaran yang diberikan kepada Balitbang kurang? Bagi saya anggaran yang diberikan bukan kurang. Tetapi harus dilihat secara mendalam. Balitbang PU tidak melakukan pekerjaan fisik, sehingga membandingkan anggaran dengan unit lain rasanya kurang tepat. Perhatian pimpinan terhadap Balitbang juga sudah nyata dengan melibatkan di berbagai kegiatan mulai dari perencanaan hingga penyelesaian masalah yang dihadapi oleh Kementerian PU. Tinggal bagaimana Balitbang PU mengelola sumber daya yang ada agar optimal. Eksistensi Balitbang PU bisa tampak bila mampu mencermati kebutuhan stakeholder. Apa cita-cita Bapak untuk mengembangkan Balitbang PU? Cita-cita saya secara garis besar adalah meningkatkan pemanfaatan produk litbang oleh stakeholder. Mulai dari referensi teknis hingga karya IPTEK yang dihasilkan. Advis teknis yang dilakukan oleh Balitbang PU dapat membantu penyelesaian masalah yang dihadapai oleh masyarakat pengguna. Saya juga ingin agar laboratorium yang ada di Pusat-Pusat Litbang bisa dimanfaatkan oleh stakeholder. Laboratorium yang dimiliki Balitbang sangat lengkap dan hanya satu-satunya di Indonesia. Sangat disayangkan bila tidak dimanfaatkan maksimal.
MENGGIRING LITBANG SATU PAKET
B
adan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PUPR, memiliki pemimpin baru. Pria kelahiran Solo, 25 Januari 1958, bernama Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc. Berlatar belakang pendidikan sebagai Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung tahun 1984, Magister Teknik Hidraulika dari IHE-DELFT (Belanda) tahun 1990 dan Doktor Teknik Sipil dari University of Wollongong (Australia) tahun 1999. Redaksi berkesempatan untuk berbincang dengannya tentang tugas barunya sebagai nahkoda baru Balitbang PUPR. Menurut Bapak, apa yang harus dilakukan oleh Balitbang PUPR sebagai salah satu lembaga riset pemerintah agar berkembang? Selama ini kita terlalu terlena dengan berpikir riset adalah riset dasar. Padahal sebagai badan penelitian dan pengembangan di tingkat kementerian, Balitbang dituntut harus menghasilkan teknologi yang bisa langsung diaplikasikan. Hal ini sering menjadi dilema bagi peneliti yang dituntut untuk menghasilkan tulisan sebagai bagian dari peningkatan angka kredit dan menghasilkan teknologi yang aplikatif. Kedua hal tersebut seharusnya dapat dilakukan secara simultan. Kelemahan Balitbang PUPR adalah kurang optimalnya penerapan dan pemanfaatan teknologi oleh pengguna. Kelemahan tersebut dapat diatasi dengan membangun jembatan kepercayaan yang kuat dengan pengguna. Salah satunya adalah dengan menghasilkan teknologi penelitian dan pengembangan (litbang) yang berkualitas. Produk litbang
yang berkualitas dapat dihasilkan oleh kegiatan litbang kolaboratif dengan menggandeng investor dan pengguna, sehingga hasilnya lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan pengguna. Harus ada perubahan paradigma dalam kegiatan litbang. Proses yang bertele-tele harus dipangkas dan mulai berpikir untuk menghasilkan produk litbang yang sesuai dengan masalah di lapangan. Mengajak calon pengguna bekerjasama adalah cara yang ideal. Dengan demikian kegiatan litbang yang dilakukan sifatnya satu paket, ada pangsa pasarnya. Jadi menurut Bapak bukan dana yang jadi masalah? Bagi saya dana kecil tidak menakutkan. Tetapi tidak dipercaya oleh pengguna itu yang saya takutkan. Balitbang PUPR harus mampu menangkap kebutuhan pengguna dan menghasilkan produk litbang yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Kuncinya adalah kepercayaan. Dana bisa didapat dari orang dan cara lain tidak harus bersumber dari APBN. Perubahan paradigma tersebut sebaiknya dimulai dari mana? Sesuai gebrakan Jokowi yang harus berinovasi dan tidak melakukan hal-hal sebagaimana biasanya saja. Mulailah dari konsep berpikir bahwa riset adalah untuk memecahkan masalah, bukan riset untuk riset. Peneliti harus berani berkompetisi. Jangan senang berada di zona nyaman. Gunakanlah inventor dari luar untuk kerjasama dan mengajak BUMN atau Direktorat Jenderal lain sebagai pengguna bekerjasama.
2015 Tidak semua hal harus dilakukan sendiri oleh kita. Ada hal-hal yang bisa dikerjakan bersama dengan orang lain. Penyelesaian tidak harus dilakukan dengan cara lama. Kita menjalankan visi dan misi dari Nawa Cita yang dikeluarkan JokowiJK, yaitu membangun langsung memberikan solusi. Tidak dengan proses yang lama. Kalau demikian, apakah yang menjadi target Balitbang? Menghasilkan produk satu paket. Aspek penelitian dan pengembangan ada, bisnis pun berjalan. Tumbuhkan kepercayaan, agar hasil litbang bisa digunakan dan dicari oleh pengguna. Kita harus menghasilkan teknologi yang aplikatif. Jelas produknya, jelas pasarnya. Sekarang saya sedang mengumpulkan sejumlah teknologi yang sudah pernah dihasilkan. Memilih mana yang bisa didaur ulang dan mengawinkannya dengan bisnis. Jangan takut untuk berkompetisi! Presiden saat peninjauan di lapangan selalu menegaskan untuk membangun sesuatu bagi rakyat. Hal itu menjadi ladang subur untuk penerapan produk litbang. EDISI KHUSUS TAHUN 2015
19
BALITBANG PUPR TERBITKAN PEDOMAN DAN 10 BUKU ILMIAH
D
“Books are the treasured wealth of the world and the fit inheritance of generations and nations” Henry David Thoreau
iseminasi pengetahuan melalui pedoman dan 10 buku ilmiah yang dihasilkan oleh penelitipeneliti Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah dilaksanakan pada di Jakarta Convension Center pada tanggal 6 November 2015 bertepatan dengan Pameran Konstruksi Indonesia 2015. Pedoman dan kesepuluh buku ilmiah tersebut adalah: (1) Pedoman Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) Bidang Pekerjaan Umum; (2) Pedoman Pelaksanaan Pemeliharaan Perkerasan Beraspal Dengan Teknik Penambalan; (3) Estraksi Asbuton dengan Mikroba; (4) Kajian Perencanaan Teknologi Timbunan Bertiang untuk Konstruksi Jalan di atas Gambut; (5) Pemanfaatan dan Kinerja Agregat Substandar sebagai Bahan Konstruksi Jalan; (6) Model Pendukung Penanggulangan Kekeringan Berbasis DRM;
(7) Perpetual Pavement/Long Lasting Asphalt Pavement; (8) Problematika dan Strategi Akselerasi Pengadaan Tanah dan Permukiman Kembali dalam Pembangunan Waduk; (9) Aplikasi Sabodam Mikro dalam Pengendalian Aliran Lumpur di Dataran Tinggi Dieng; (10) Kota Hijau Nan Ekologis dan Penyiapan RTH; (11) Stabilisasi Fondasi Mengambang Sabodam; dan (12) Pengendalian Drainase Gambut di Kawasan Penyangga Budidaya Terbatas. Edisi Khusus Dinamika Riset Tahun 2015 ini, menghadirkan intisari dari pedoman dan kesepuluh buku ilmiah tersebut dalam bentuk artikel sebagai bagian dari diseminasi yang dilakukan oleh Balitbang PUPR. Kesepuluh buku ilmiah tersebut telah melalui penilaian tim penilai yang terdiri dari: Prof. Dr.-Ing.
Andreas Wibowo, S.T., M.T. (Ketua Tim Penilai); Dr. Waloyo Hatmoko, M.Sc. (Anggota); Drs. Gugun Gunawan, M.Si. (Anggota); Dr. Achmad Helmi (Anggota); dan Indah Pratiwi, S.Sos., M.Si. (Anggota). Dari kesepuluh buku ilmiah tersebut keluar sebagai 3 buku ilmiah terbaik antara lain: (1) Perpetual Pavement/Long Lasting Asphalt Pavement karya Dr. Ir. Nyoman Suaryana, M.Sc., Dr. Ir. Djunaedi Kosasih, M.Sc. dan Yohannes Ronny, S.T., M.T. (2) Kajian Perencanaan Teknologi Timbunan Bertiang untuk Konstruksi Jalan di atas Gambut karya Mualana Iqbal, Ahmad Numan dan Rakhman Taufik, S.T., M.Sc. (3) Pemanfaatan dan Kinerja Agregat Substandar sebagai Bahan Konstruksi Jalan karya Dr. Ir. H. R. Anwar Yamin, M.Sc., M.E.
sumber foto: Ismail M. Harsya Pambudi
Peluncuran karya ilmiah Balitbang PUPR dan penerimaan penghargaan kepada tiga buku karya ilmiah terbaik. 20
DINAMIKA RISET
AHSP, PEDOMAN UNTUK MENGANALISIS HARGA SATUAN PEKERJAAN BIDANG PU HENY PRASETYAWATI
sumber foto: Fadholi Irsyad
P
edoman Analisis Harga Satuan Pekerjaan atau Pedoman AHSP merupakan pengembangan dari panduan Analisis Harga Satuan (AHS) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Nomor 0081/BM/2012 edisi Desember 2010, Analisis Biaya Konstruksi (ABK) oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) tahun 2008 dan Pedoman Analisa Harga Satuan (PAHS) oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Sumber Daya Air. Pedoman AHSP ini merupakan pedoman yang diperbaharui sejak dibuat pada zaman kolonial Belanda tahun 1928. Selama ini para kontraktor menggunakan analisis upah dan bahan (BOW Analytic) temuan Belanda pada tahun 1941 tersebut untuk menghitung biaya konstruksi. Pedoman AHSP yang telah dipersiapkan oleh Panitia Teknis 91-01 Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil ini, sedang
direvisi oleh Komisi Teknis dengan konseptornya, yakni tambahan pekerjaan untuk K3, yakni Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Konstruksi. Tambahan pekerjaan yang sedang disiapkan oleh tim di antaranya pekerjaan baja ringan dan pemasangan atap baja ringan, drainase serta tambahan pekerjaan minor di bidang Sumber Daya Air dan Bina Marga. Pedoman yang isinya memuat beberapa pasal diantaranya Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 menguraikan hal-hal yang bersifat umum dan persyaratan untuk proses menganalisis harga satuan, pasal berikutnya yakni Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8, masing-masing menguraikan lingkup pekerjaan dan langkah-langkah proses untuk: • Analisis Harga Satuan Pekerjaan Sumber Daya Air, • Analisis Harga Satuan Pekerjaan Bina Marga, • Analisis Harga Satuan Pekerjaan Cipta Karya
Dalam pedoman ini dijabarkan langkah-langkah menghitung Harga Satuan Dasar (HSD) upah tenaga kerja, alat dan material. Selain itu juga untuk menghitung Harga Satuan Pekerjaan (HSP), Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau Owners Estimate (OE) bagi pekerjaan konstruksi dan Harga Perkiraan Perencana (HPP) atau Engineering Estimate (EE) bagi para penyedia jasa untuk pekerjaan bidang ke-PU-an. Bukan hanya untuk menghitung saja, pedoman ini juga dapat dijadikan panduan untuk membantu menganalisis harga satuan komponen pekerjaan. Contoh soal, jika kita ingin membangun rumah kita pasti menyiapkan RAB atau Rencana Anggaran Biaya. Dalam RAB pasti mencantumkan berbagai estimasi biaya yang akan dikeluarkan, seperti anggaran untuk pembelian material, upah pekerja hingga peralatan. RAB merupakan gambaran tentang estimasi total anggaran (cost) yang akan EDISI KHUSUS TAHUN 2015
21
dikeluarkan untuk membangun rumah. Nah, tentunya proyek pembangunan dengan beban pekerjaan yang cukup berat, seperti membangun jalan tol atau waduk akan memerlukan hal yang sama. AHSP ini fungsinya mirip dengan RAB. Harga satuan tiap pekerjaan dihitung berdasarkan harga satuan bahan, upah tenaga kerja, dan nilai koefisien setiap pekerjaan. AHSP juga dapat memberikan gambaran mengenai biaya yang kira-kira diperlukan dalam sebuah proyek pekerjaan umum. Sebenarnya secara prinsip baik RAB maupun AHSP memiliki kemiripan. Baik untuk proyek pekerjaan yang sifatnya ringan maupun berat sama-sama membutuhkan rincian biaya. Pada pekerjaan yang berat, AHSP penting sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi bidang apapun. Perhitungan Detail dan Spesifik Harga Satuan Pekerjaan (HSP) terdiri atas biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung terdiri dari upah, alat dan bahan. Sementara biaya tidak langsung merupakan biaya umum dan keuntungan. Dalam penerapannya, perhitungan HSP harus disesuaikan dengan spesifikasi teknis yang digunakan, asumsi-asumsi, yang secara teknis mendukung proses analisis, penggunaan alat mekanis atau manual, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, serta pertimbangan teknis (engineering judgment) terhadap situasi dan kondisi setempat. HSD dideskripsikan secara umum, sebagai berikut: 22
DINAMIKA RISET - INFOSTAND
• Harga Satuan Dasar Tenaga Kerja. Faktor yang mempengaruhi HSD tenaga kerja antara lain jumlah tenaga kerja dan tingkat keahlian tenaga kerja. Biaya tenaga kerja standar dapat dibayar dalam sistem hari/orang standar atau jam/ orang standar. Besarnya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan lokasi di mana proyek berlangsung/proyek dikerjakan. Secara lebih rinci, faktor-faktor tersebut antara lain: keahlian tenaga kerja, jumlah tenaga kerja, faktor kesulitan pekerjaan, ketersediaan peralatan, lamanya pekerjaan berjalan, dan persaingan tenaga kerja. Klasifikasi tenaga kerja yang ada pada suatu proyek pekerjaan umum, juga menjadi salah satu contoh keahlian tenaga kerja yang berpengaruh pada upah tenaga kerja yang akan dibayarkan. Upah seharusnya sesuai dengan Standar Upah Minimum Regional yang berlaku. Komponen dasar upah tenaga kerja adalah upah yang sesuai dengan UMR disamping tunjangantunjangan seperti uang makan, transport, pengobatan dan pengamanan, tempat
Harga Satuan Pekerjaan (HSP) terdiri atas biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung terdiri dari upah, alat dan bahan. Sementara biaya tidak langsung merupakan biaya umum dan keuntungan
tinggal sementara, serta perlengkapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Konstruksi (K3). Elemen inilah yang sedang digodok oleh Komisi Teknis beserta tim konseptor sebagai upaya dalam perbaikan pedoman untuk para tenaga kerja yang akan berkontribusi dalam pembangunan. Selain tenaga kerja yang tetap, misalnya mandor, tukang, sopir, dan sejenisnya, ada juga pekerja standar yang bisa mengerjakan satu jenis pekerjaan seperti tukang galian, tukang aspal dan lain-lain. Pekerja standar ini disebut juga orang harian dan sistem pengupahannya per hari dengan spesifikasi 1 (satu) hari dengan 8 (delapan) jam kerja termasuk 1 (satu) jam istirahat. • Harga Satuan Dasar Komponen alat yang menjadi dasar dalam mata pembayaran sebuah proyek pekerjaan umum antara lain: jenis peralatan, efisiensi kerja, kondisi cuaca, kondisi medan, dan jenis material yang dipakai untuk pekerjaan. Untuk pekerjaan bangunan gedung misalnya, terkecuali alat-alat manual yang biasa digunakan seperti cangkul, sendok tembok/serok dan sejenisnya, untuk peralatan berat disediakan dengan sistem sewa. Adapun yang menjadi pertimbangan dalam menghitung biaya alat, termasuk seberapa tinggi fungsi nilai sebuah alat dalam proyek pekerjaan umum menjadi pertimbangan dalam perhitungan.
Komponen alat yang menjadi dasar dalam mata pembayaran sebuah proyek pekerjaan umum antara lain: jenis peralatan, efisiensi kerja, kondisi cuaca, kondisi medan, dan jenis material yang dikerjakan. Cara menghitung biaya peralatan berdasarkan satuan waktu pun membutuhkan beberapa hal sebagai determinan. Hal-hal tersebut, memerlukan perhitungan cermat dan spesifik mengingat nilai sebuah alat tidak sama antara satu dengan lainnya. Jika ingin menghitung berdasarkan satuan waktu, maka yang harus dilihat antara lain faktor jenis alat yang digunakan, tenaga mesin, kapasitas alat, umur ekonomi alat, jam kerja alat per tahun, harga pokok alat, nilai sisa alat, tingkat suku bunga, faktor angsuran modal, dan biaya
pengembalian modal, upah tenaga kerja, harga bahan bakar, serta asuransi dan pajak-pajak. • Harga Satuan Dasar Bahan Faktor yang mempengaruhi HSD bahan antara lain: kualitas, kuantitas serta lokasi asal bahan. HSD bahan dibedakan menjadi 3 (tiga), yakni pertama adalah bahan baku, seperti batu, pasir, semen dan lain-lain. Kedua, bahan olahan seperti agregat kasar dan halus, campuran beton semen, dan lain-lain. Ketiga, bahan jadi seperti tiang pancang, beton pracetak, geosintetik, dan lain-lain. Untuk pekerjaan jalan, jembatan dan bangunan air, biasanya menggunakan alat mekanis dan hanya sebagian kecil pekerjaan yang menggunakan teknik manual. Sementara untuk pekerjaan bangunan gedung biasanya material diterima di lokasi kerja dalam keadaan siap campur, siap
dirakit atau siap dipasang. Oleh karena itu, tidak ada tahapan pekerjaan pengolahan sehingga HSD bahan baku tidak diperlukan lagi. Semua HSD baik upah, alat dan bahan, berpengaruh pada Harga Satuan Pekerjaan. Tiap-tiap pekerjaan memiliki mekanisme pekerjaannya masing-masing yang tidak sama satu dengan lainnya. Misalnya pekerjaan jembatan yang membutuhkan sedikit tenaga manual atau pekerjaan bangunan air yang membutuhkan base camp material yang cukup dekat dengan lokasi dimana bangunan air akan dibangun. Beberapa hal yang berpengaruh terhadap HSP antara lain: asumsi, urutan pekerjaan, faktor yang mempengaruhi analisis produktivitas, serta koefisien bahan, alat dan tenaga kerja. Untuk langkah-langkah perhitungannya ada rumusnya tersendiri. Semua yang diperlukan untuk membuat rincian harga satuan pekerjaan, bisa diperoleh dalam pedoman ini. Kemudian tinggal diaplikasikan dalam template tertentu, sehingga rincian biaya dapat dibuat untuk setiap jenis pekerjaan yang akan dilakukan. Pedoman yang telah diluncurkan sejak November 2014 ini telah disosialisasikan di beberapa kabupaten/kota dan propinsi di seluruh Indonesia baik sebagai tugas pembinaan maupun permintaan stakeholders Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. *Kasubbag Umum dan Rumah Tangga, Sekretariat Balitbang PUPR.
sumber foto: Ismail Abdul Mutholib
EDISI KHUSUS TAHUN 2015
23
PEDOMAN PELAKSANAAN
PEMELIHARAAN PERKERASAN BERASPAL DENGAN TEKNIK PENAMBALAN Retta Ida Lumongga*
P
sumber foto: Rizki Akbar Maulana
edoman Pelaksanaan Pemeliharaan Perkerasan Beraspal Dengan Teknik Penambalan merupakan pedoman yang diterbitkan dalam rangka melaksanakan dan melengkapi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13/PRT/M/2011 tentang Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan. Penetapan untuk pedoman ini adalah dengan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Mei 2015, dalam lembar lapiran Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 40/SE/M/2015. Pedoman ini diadakan untuk digunakan pada pekerjaan perbaikan kerusakan setempat pada bagian lapis permukaan beraspal. Beberapa dasar dari pembentukan diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang jalan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
24
DINAMIKA RISET - INFOSTAND
Negara Republik Indonesia Nomor 4737), serta Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8). Pedoman ini dijadikan acuan dalam melaksanakan pemeliharaan perkerasan beraspal dengan teknik penambalan secara cepat dan tepat, dengan tujuan agar lapisan konstruksi di bawah perkerasan jalan terlindung dari pengaruh air. Ruang lingkup pada pedoman ini adalah menetapkan ketentuan dan prosedur pelaksanaan pemeliharaan perkerasan beraspal dengan teknik penambalan, meliputi teknik penambalan bahan, peralatan, kondisi cuaca dan pelaksanaan penambalan untuk kerusakan setempat. Pedoman ini disusun sebagai hasil dari penelitian dan pengembangan dan juga dengan merujuk literatur terkait, dan dipersiapkan oleh panitia teknis. Untuk tata cara penulisan pada pedoman, maka pedoman ini disusun sudah mengacu pada Pedoman Standardisasi Nasional 08:2007. Isi dari pedoman ini terdiri dari pendahuluan, ruang lingkup, acuan normatif, istilah dan definisi, ketentuan dan prosedur pelaksanaan penambalan.
Untuk ketentuan, pedoman ini mengatur ketentuan untuk teknik penambalan, ketentuan untuk bahan yang digunakan, ketentuan untuk peralatan pada pengerjaan, dan ketentuan untuk kondisi cuaca saat pelaksanaan pekerjaan penambalan. Pedoman ini dilengkapi dengan contoh pada lampiran A yang bersifat informatif, untuk pelaksanaan penambalan dengan bahan siap pakai. Beberapa gambar dalam pedoman ini adalah gambar untuk tipikal kerusakan perkerasan lentur, gambar jenis peralatan dan gambar pelaksanaan penambalan. Sebagai kelengkapan sebuah pedoman, maka pedoman ini juga dilengkapi dengan bibliografi. Penting dan harus diingat adalah bahwa dalam melaksanakan pedoman ini, harus menggunakan juga dokumen referensi sebagaimana tertera berikut ini, yaitu SNI (Standardisasi Nasional Indonesia) 4798:2011 untuk Spesifikasi aspal emulsi kationik; SNI 6832:2011 untuk Spesifikasi aspal emulsi anionik; SNI 4800:2011, Spesifikasi aspal cair tipe penguapan cepat; SNI 4799:2008, Spesifikasi aspal cair tipe penguapan sedang; PdT-12 2003-B, Perambuan sementara untuk pekerjaan lalu lintas, dan; RSNI (Revisi Standardisasi Nasional Indonesia) M-01-2003,
Metode pengujian campuran beraspal panas dengan alat marshall.
Umumnya retak selip terjadi pada lapis permukaan yang kurang ikat dengan lapis di bawahnya.
Untuk membantu pembaca memahami isi pedoman, maka diberikan beberapa istilah dan definisinya, yaitu untuk istilah yang digunakan pada pedoman. Beberapa istilah yang digunakan seperti , ‘retak kulit buaya’ (crocodile crack) yang dimaksud adalah rangkaian retak saling berhubungan pada permukaan perkerasan beraspal sebagai akibat keruntuhan lelah oleh beban kendaraan yang berulang. Retak yang disebut dengan nama lain retak lelah ini, wujudnya berupa retak yang saling berhubungan dan membentuk kotak-kotak dengan sudut tajam yang menyerupai pola kulit buaya, dengan sisi terpanjang kotakkotak umumnya mempunyai ukuran kurang dari 0,5m.
Istilah lainnya yang digunakan dalam pedoman adalah ‘sungkur’ (shoving), yang dimaksud adalah perubahan bentuk longitudinal lapis permukaan yang permanen dan setempat sebagai akibat beban kendaraan. Pada saat beban kendaraan mendorong lapis permukaan, maka pada lapis permukaan akan terjadi gelombang pendek. Sungkur biasanya hanya terjadi pada campuran beraspal yang tidak stabil.
Istilah lain adalah ‘retak blok’ (block crack), yang merupakan retak saling berhubungan dan membagi permukaan menjadi kotak-kotak yang berbentuk hampir bujur sangkar, dengan ukuran kotak berkisar antara 0,3m x 0,3m sampai 3m x 3m. Retak blok terutama disebabkan oleh penyusutan lapis beraspal serta siklus temperatur dalam satu hari yang menghasilkan siklus tegangan/regangan. Istilah untuk retak lainnya adalah ‘retak selip’ (slippage cracking), yang dimaksud adalah retak yang menyerupai bulan sabit atau bulan setengah bulat, biasanya melintang arah lalu lintas. Retak selip ini dapat terjadi dikarenakan saat kendaraan direm atau berbelok, mengakibatkan lapis permukaan terdorong atau mengalami perubahan bentuk.
Sedangkan istilah ‘tambalan’ (patching) yang dimaksud adalah permukaan perkerasan yang sudah diperbaiki dengan teknik penambalan bahan baru dan lokasi setempat-setempat. Untuk istilah ‘ambles’ yang dimaksud adalah kondisi pada suatu lokasi, elevasi permukaan perkerasan lebih rendah dari permukaan perkerasan di sekitarnya. Sedangkan untuk istilah kata ‘lubang’ (pot hole) yang dimaksud dalam pedoman ini adalah kerusakan perasan jalan yang berbentuk cekungan pada permukaan perkerasan yang mempunyai diameter minimum 10 centimeter dan kedalaman minimum 13 milimeter. Dalam pedoman ini dilengkapi dengan gambar-gambar untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut yang dapat ditemukan sebagai ilustrasi gambar dalam ketentuan. Ada empat ketentuan yang diatur dalam pedoman ini. Ketentuan yang pertama adalah teknik penambalan. Penambalan adalah dengan melakukan perbaikan terhadap kerusakan setempat dengan mengurangi ketidakrataan
untuk tujuan meningkatkan keselamatan. Penambalan juga dapat mengurangi tingkat kerusakan perkerasan pada daerah sekitarnya dan memperbaiki bagian perkerasan yang rusak atau mengembalikan kondisi sebelum perkerasan tersebut diberi lapisan tambahan (overlay) atau rekonstruksi. Jenis kerusakan yang dapat ditangani dengan teknik penambalan adalah untuk retak blok, retak slip, sungkur, tambalan yang gagal, dan lubang.
‘retak kulit buaya’ (crocodile crack)
Penambalan jalan diberi lapisan tambahan (overlay)
Namun, penambalan tidak digunakan untuk kerusakan struktural seperti pada retak kulit buaya dan ambles. Hal-hal yang harus dipertimbangkan ketika akan melaksanakan penambalan adalah, kondisi perkerasan, umur layan perkerasan yang diharapkan dan ketersediaan sumber daya secara keseluruhan. Unsur pada kegiatan penambalan ada tiga hal yang termasuk paling penting, yaitu, kualitas pada bahan tambal dimana dianggap penting untuk menggunakan bahan tambal yang berkualitas baik, lalu penting supaya biaya adalah lebih hemat dibandingkan produk lain, serta penting pada kemudahan kerja. EDISI KHUSUS TAHUN 2015
25
Ketentuan kedua adalah ketentuan tentang bahan. Bahan yang digunakan untuk pemeliharaan dengan teknik penambalan adalah tergantung pada jenis perkerasan pada lokasi yang akan diperbaiki dan minimum memiliki kualitas sama dengan bahan yang digunakan pada perkerasan eksisting. Bahan yang harus dipersiapkan adalah lapis resap pengikat dan/atau lapis perekat yang sesuai dengan jenis lapisan dan dasar galian serta persyaratan kualitas sesuai yang dipersyaratkan. Ketentuan untuk lapis resap pengikat untuk aspal emulsi anionilk mengikat sedang dapat dilihat pada SNI 4798:2011 atau SNI 4799:2008 bila menggunakan aspal cair tipe penguapan sedang. Ketentuan untuk lapis perekat untuk aspal emulsi kationik mengikat cepat harus sesuai dengan SNI 4798:2011 atau untuk aspal emulsi anionik mengikat cepat harus sesuai dengan SNI 6832:2011, atau bila menggunakan aspal cair tipe penguapan cepat harus sesuai dengan SNI 4800:2011. Untuk bahan tambalan pada campuran beraspal untuk lapis fondasi, lapis antara serta lapis permukaan adalah harus memiliki kualitas sesuai yang diterapkan dalam Standar Pedoman Manual untuk spesifikasi yang berlaku di lingkungan Bina Marga. Aplikasi bahan tambalan siap pakai harus mengacu pada petunjuk yang diberikan dari pabrik pembuatnya. Ketentuan ketiga adalah untuk peralatan. Peralatan yang digunakan diantaranya adalah: alat pemadat yang sesuai ukuran tambalan; truk pengangkut bahan; alat penyemprot aspal; peniup debu atau disebut kompresor; sekop, sikat, balok kayu, gerobak dorong; dan pemecah aspal (asphalt 26
DINAMIKA RISET - INFOSTAND
breaker). Dalam pedoman ini, untuk tiap peralatan yang digunakan diberikan ilustrasi gambar untuk memperjelas peralatan yang dimaksudkan. Ketentuan keempat atau ketentuan terakhir yang diatur pedoman ini, adalah ketentuan tentang kondisi cuaca. Untuk kondisi cuaca tidak banyak penjelasan, namun secara garis besar adalah sangat penting untuk dipatuhi agar hasil penambalan lebih efektif, bahwa pekerjaan penambalan tidak dilaksanakan pada waktu hujan atau segera akan turun hujan. Selain ketentuan yang telah dijelaskan di atas, pada pedoman ini juga terdapat prosedur pelaksanaan penambalan. Tahapan penambalan dijelaskan mulai huruf a hingga huruf i, keseluruhannya ada sembilan tahapan. Tahapan penambalan diawali dengan memasang rambu lalu lintas sementara (sesuai PdT12-2003-B) lalu memberikan tanda pada bagian terluar luasan yang akan dibongkar yang meliputi paling sedikit 10 centimeter bagian perkerasan yang mantap dari pinggiran luasan yang rusak (cara pemberian tanda dijelaskan dengan gambar). Kemudian, gali atau bongkar lapisan beraspal pada bagian-bagian yang mengalami kerusakan. Bentuk galian (bongkaran) adalah sejajar sumbu jalan hingga lapisan yang masih mantap. Setelah dilakukan penggalian maka permukaan dan bagian tepi/sisi vertikal lubang perlu untuk dibersihkan dari debu dan bahan lepas. Laburkan lapis perekat pada bagian dasar dan sisi galian lubang yang telah dibentuk dan dibiarkan sampai mengering. Penting untuk diingat, lapis perekat di sini wajib memenuhi persyaratan sesuai SNI 4798:2011, SNI
6832:2011 atau SNI 4800:2011 sesuai jenis aspal digunakan sebagaimana telah dijelaskan pada ketentuan sebelumnya. Tahapan selanjutnya adalah mengisi lubang dengan campuran beraspal yang telah disiapkan dan perlu untuk dihindari jangan sampai terjadi segregasi. Untuk tebal pengisian adalah 1,3 kali kedalaman lubang kemudian retakan. Setelah diisi, perlu dipadatkan dengan alat pemadat mekanis sesuai dengan kondisi lubang, dengan menggilas lintasan sampai bahan penambal tidak bergerak lagi atau padat. Menjadi catatan adalah, perlu memperhatikan berapa kedalaman lubang, sebab apabila kedalaman yang diperbaiki lebih dari 6 centimeter, maka pengisian dan pemadatan harus dilakukan 2 kali. Setelah dipadatkan, tahapan selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan terhadap kerataan permukaan dengan menggunakan mistar perata panjang 2 meter. Bila terdapat bagian yang tidak sempurna, maka harus segera diperbaiki dengan menambah atau mengurangi bahan tambalan. Terakhir, setelah semua pekerjaan selesai, jalan sudah dapat dibuka untuk lalu lintas. Dalam pedoman ini, tercatat pada bibliografi yang digunakan antara lain Pedoman Pelaksanaan Campur Dingin Untuk Pemeliharaan dan Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan, dari Bina Marga. Pedoman ini wajib dibaca dan dijadikan acuan untuk perancang, perencana dan pelaksana, dalam melaksanakan pemeliharaan perkerasan beraspal dengan teknik penambalan secara cepat dan tepat. Diharapkan, pedoman ini dapat berguna untuk pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan rutin. * Peneliti, Sekretariat Balitbang PUPR.
PERPETUAL PAVEMENT/LONG LASTING ASPHALT PAVEMENT
sumber ilustrasi: M. Charis B. Handoyo
L
ong-Life Asphalt Pavement didefinisikan sebagai perkerasan beraspal yang dirancang dan dibangun dengan umur 50 tahun atau lebih tanpa memerlukan rekonstruksi (perbaikan struktur perkerasan) melainkan hanya memerlukan pemeliharaan (secara periodik) pada lapisan permukaan perkerasan untuk menghilangkan retak permukaan dan/atau memperbaiki ketidakrataan permukaan (Monismith, 1992; APA, 2002). Pada beberapa literatur, long-life asphalt pavement terkadang disebut sebagai longlasting pavement, extended-life asphalt pavement atau perpetual pavement. Pengalaman di negara lain memperlihatkan bahwa dengan pendekatan mekanistik-empiris (seperti misalnya metode Asphalt Institute-1991), dapat
menghasilkan desain struktur perkerasan umur layan panjang. Dengan catatan, respon struktural di dalam perkerasan dapat dibatasi tetap rendah. Sehingga kerusakan struktur perkerasan hanya terjadi pada lapisan permukaan beraspal saja. Struktur perkerasan bahkan tidak perlu lebih dipertebal lagi untuk memperoleh umur layan panjang. Asalkan pemeliharaan yang diperlukan harus dilaksanakan tepat waktu untuk dapat mengembalikan integritas struktur perkerasan. Keberhasilan dari struktur perkerasan umur layan panjang akan sangat ditentukan oleh tiga faktor pendukung, yaitu mutu konstruksi yang baik, fasilitas drainase yang memadai dan kontrol beban kendaraan sesuai dengan ketetapan desain.
Desain struktur perkerasan untuk memikul beban lalu lintas yang tinggi sebetulnya dapat dihasilkan sejak awal tahun 60-an. Pertama, metoda Asphalt Institute (1970) mengusulkan full-depth asphalt pavement dan deep-strength asphalt pavement untuk desain struktur perkerasan yang memikul beban lalu lintas yang tinggi. Full-depth asphalt pavement merupakan struktur perkerasan berupa lapisan aspal tebal yang digelar langsung di atas tanah dasar. Sedangkan, deep-strength asphalt pavement merupakan struktur perkerasan berupa lapisan beraspal tebal yang dibangun di atas lapisan pondasi granular yang tipis. Kedua jenis perkerasan ini dapat mereduksi regangan tarik yang terjadi pada bagian bawah lapisan beraspal EDISI KHUSUS TAHUN 2015
27
sehingga mengurangi potensi terjadinya retak lelah. Meskipun demikian, teori tentang material campuran beraspal yang tahan terhadap retak lelah masih belum dapat dibedakan dengan metode ini. Pertama, metode Shell (1963) dapat digunakan untuk desain struktur perkerasan yang memikul beban lalu lintas yang tinggi. Metode ini merupakan metoda desain struktur perkerasan pertama yang menerapkan pendekatan mekanistik-empiris. Karakteristik material perkerasan dinyatakan langsung dengan parameter struktural, yaitu modulus dan konstanta Poisson, untuk mendukung teori analisis struktural. Kriteria kerusakan struktur perkerasan ditentukan berdasarkan dua parameter struktural utama, yaitu regangan tarik horizontal di bawah lapisan beraspal untuk mengurangi potensi terjadinya kerusakan retak lelah, dan regangan tekan vertikal pada permukaan tanah dasar untuk mengurangi potensi terjadinya kerusakan alur. Kerusakan retak lelah umumnya dibatasi tidak melebihi 30% dari total luas permukaan perkerasan. Sedangkan, kerusakan alur dibatasi tidak melebihi 12 mm. Long-Life Asphalt Pavement merupakan penajaman dari pendekatan mekanistik-empiris. Ada 5 (lima) ketentuan desain yang membedakan pendekatan Long-Life Asphalt Pavement dari pendekatan mekanistik-empiris konvensional, yaitu pertama, komposisi lapisan campuran beraspal yang terdiri dari tiga lapisan, yaiu lapisan Asphalt Base yang memiliki ketahanan terhadap retak lelah, lapisan Asphalt Binder yang memiliki ketahanan terhadap 28
DINAMIKA RISET - LITBANG
deformasi permanen dan lapisan Asphalt Wearing yang memiliki ketahanan terhadap pengaruh faktor lingkungan seperti keausan, penuaan bahan aspal dan top-down cracking.
Kriteria kerusakan struktur perkerasan ditentukan berdasarkan dua parameter struktural utama, yaitu regangan tarik horizontal di bawah lapisan beraspal untuk mengurangi potensi terjadinya kerusakan retak lelah, dan regangan tekan vertikal pada permukaan tanah dasar untuk mengurangi potensi terjadinya kerusakan alur. Kedua, regangan tarik horizontal yang terjadi di bawah lapisan beraspal akibat beban sumbu kendaraan terberat yang terdapat di dalam lalu lintas dibatasi tidak lebih besar dari sekitar 70÷125με. Sedangkan, regangan tekan vertikal pada permukaan tanah dasar dibatasi tidak lebih besar dari 200 με. Berdasarkan kriteria ini, desain Long-Life Asphalt Pavement dapat lebih ekonomis dibandingkan dengan pendekatan empiris karena tebal struktur perkerasan desain menjadi konstan dan tidak lagi dipengaruhi oleh jumlah repetisi beban sumbu standar. Ketiga, pengujian mutu dan analisis data pengujian mulai dari tanah dasar sampai dengan lapisan permukaan harus dilakukan secara teratur dan konsisten selama masa pelaksanaan konstruksi. Kontraktor perlu mengadakan
fasilitas laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan uji non destruktif yang cepat dan modern serta personil terampil yang memadai untuk memastikan kesesuaian dari struktur perkerasan yang dibangun terhadap parameter desain. Keempat, kerusakan yang terjadi pada permukaan beraspal harus diperbaiki tepat waktu. Proses daur ulang dengan cara menggaruk lapisan permukaan beraspal tersebut dan menggantikannya dengan material yang diperbarui pada kedalaman yang sama (mill and fill) dapat memberikan berbagai keuntungan, seperti mempertahankan integritas struktur perkerasan, preservasi geometrik jalan dan ramah lingkungan. Kelima, biaya konstruksi Long-Life Asphalt Pavement tentunya akan menjadi mahal karena penggunaan lapisan campuran beraspal yang umumnya lebih tebal. Akan tetapi life-cycle cost mungkin bisa lebih rendah karena perkiraan biaya pemeliharaan yang lebih rendah dan biaya operasi kendaraan yang rendah selama periode analisis ekonomi. AASHTO (2008) menyediakan model-model kerusakan struktur perkerasan yang dapat digunakan untuk perhitungan life-cycle cost dari LongLife Asphalt Pavement. Elemen-elemen desain long-life asphalt pavement yang diusulkan untuk Indonesia ditentukan dengan cara membandingkan empat metode desain, yaitu metode Asphalt Institute (1991), metoda Shell (1963), metode TRRL LR-1132 (Powell, et.al., 1984) dan metode Austroads (2010). Di samping itu, manual desain perkerasan jalan (Bina
Marga, 2013) dipertimbangkan secara khusus dan jika sesuai, diposisikan sebagai pilihan awal.
untuk menunjang keberhasilan implementasi dari desain struktur perkerasan umur layan panjang.
Sejumlah parameter dan model desain long-life asphalt pavement yang cocok untuk kondisi jalan di Indonesia sebenarnya masih perlu diuji dengan alat APT (Accelerated Pavement Test) yang sedang dibangun di Pusjatan atau diuji pada jalan percobaan skala penuh. Untuk sementara waktu, parameter dan model desain yang digunakan dalam proses simulasi desain struktur perkerasan umur layan panjang ditetapkan berdasarkan engineering judgement. Secara umum, desain struktur perkerasan berdasarkan pendekatan mekanistik-empiris, termasuk desain perpetual pavement, memerlukan enam elemen desain utama. Berikut adalah usulan untuk enam elemen tersebut: usulan model struktur perkerasan, konfigurasi beban sumbu kendaraan, model karakterisasi material perkerasan, teori analisis struktur perkerasan, model kriteria desain dan usulan prosedur desain.
Ada dua variasi desain struktur perkerasan yang disajikan, yaitu pertama, simulasi desain perpetual pavement berdasarkan regangan batas pada interface dengan membatasi regangan tarik pada lapisan beraspal agar tidak lebih dari 100 με dan regangan tekan pada tanah dasar agar tidak lebih dari 200 με. Proses desain ini pada prinsipnya hanya didasarkan pada kondisi struktur perkerasan terlemah (yaitu pada saat nilai modulus perkerasan terendah) dan beban sumbu kendaraan terberat.
Salah satu pertanyaan yang paling mendasar untuk dijawab pada penelitian ini adalah “apakah long-life asphalt pavement dapat dibangun di Indonesia?” Dengan proses simulasi desain struktur perkerasan umur layan panjang, mungkin akan memperlihatkan kelebihan dan/atau keterbatasan dari desain struktur perkerasan umur layan panjang berdasarkan pendekatan mekanistik-empiris. Selain itu, proses simulasi ini dimaksudkan untuk merangkum ketentuan tentang data desain dan pengujian laboratorium yang diperlukan, dan identifikasi usulan penelitian lanjutan, termasuk pemanfaatan alat APT
Kedua, simulasi desain struktur perkerasan untuk repetisi 80 juta beban sumbu kendaraan berdasarkan regangan kritis pada interface. Regangan yang terjadi di dalam struktur perkerasan akibat beban sumbu kendaraan berat diijinkan untuk melampaui regangan batas. Derajat kerusakan yang diakibatkan oleh setiap lintasan beban sumbu kendaraan yang memberikan regangan yang besar diakumulasikan dengan menggunakan teori Miner (1959). Pada dasarnya, proses desain ini seharusnya akan lebih kompleks karena variasi beban sumbu kendaraan dan variasi modulus perkerasan dalam sehari yang harus diperhitungkan dalam proses desain. Di negara beriklim tropis seperti Indonesia, temperatur lapisan campuran beraspal bervariasi lebih nyata dalam sehari dibandingkan dengan data bulanan. Secara umum, temperatur perkerasan dan udara yang tinggi terjadi dalam rentang
waktu antara jam 08:00 sampai 18:00. Meskipun demikian, temperatur perkerasan yang dihasilkan terlihat selalu lebih tinggi daripada temperatur udara. Dan temperatur lapisan perkerasan yang lebih bawah selalu lebih rendah daripada temperatur lapisan perkerasan yang di atasnya. Kenyataannya di malam hari temperatur lapisan perkerasan yang lebih bawah, seringkali dapat lebih tinggi daripada temperatur lapisan perkerasan yang diatasnya. Di pagi hari temperatur perkerasan dapat lebih rendah daripada temperatur udara. Model perkiraan temperatur perkerasan ini perlu penyesuaian sebelum diterapkan di Indonesia.
Nilai ekonomis dari desain perpetual pavement terlihat dari hasil desain struktur perkerasan yang tidak perlu dipertebal lagi untuk memperpanjang masa layan. Nilai ekonomis dari desain perpetual pavement terlihat dari hasil desain struktur perkerasan yang tidak perlu dipertebal lagi untuk memperpanjang masa layan. Hal ini membedakan konsep desain perpetual pavement dengan pendekatan desain struktur perkerasan secara empiris. Dengan pendekatan empiris, tebal struktur perkerasan dapat terus bertambah untuk masa layan yang lebih panjang. Metode ini mungkin dapat diaplikasikan di Indonesia dengan melakukan beberapa penyesuaian. (Ditulis ulang oleh Nanda Ika Dewi) EDISI KHUSUS TAHUN 2015
29
TIMBUNAN BERTIANG (PILED EMBANKMENT)
UNTUK KONSTRUKSI JALAN DI ATAS GAMBUT sumber foto: istimewa
G
ambut mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan tanah lempung inorganik. Tanah gambut yang terdapat di Indonesia diindikasikan sebagai bagian dari tanah problematik. Pada umumnya pembangunan di atas tanah problematik memerlukan perlakuan khusus karena memberikan dampak instabilitas timbunan, seperti masalah penurunan dan berkurangnya daya dukung, untuk itu diperlukan teknologi penanganan yang bertujuan untuk meningkatkan daya dukung tanah dan meningkatkan stabilitas timbunan. Hal ini yang mendasari perlunya kajian lebih mendalam mengenai identifikasi dan karakterisasi gambut berdasarkan penyelidikan bawah permukaan dan pengujian laboratorium karena penyelidikan dan pengujian yang 30
DINAMIKA RISET - LITBANG
umumnya digunakan untuk tanah lempung tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk tanah gambut. Metode alternatif konstruksi jalan di atas gambut yang diterapkan di Indonesia (Kimpraswil, 2002b), antara lain penggantian material (replacement), berem (brem) sebagai beban kontra (counterweight berms), penambahan beban (surcharging), konstruksi bertahap (staged construction), penggunaan material ringan (use of light material), pondasi tiang, cerucuk, dan pile slab yang pemilihannya bergantung ketebalan lapisan tanah gambut. Permasalahan utama konstruksi jalan di atas gambut adalah masih kurangnya pengetahuan mengenai metode dan interpretasi penyelidikan bawah permukaan yang sesuai untuk jenis tanah gambut, sehingga mendasari
perlunya kajian lebih mendalam mengenai identifikasi dan karakterisasi gambut berdasarkan penyelidikan bawah permukaan. Atas dasar kondisi tersebut, untuk itu pada kegiatan penelitian Kajian Teknologi Timbunan Bertiang (Piled Embankment) untuk Konstruksi Jalan di Atas Gambut tahun 2014, dilakukan pengujian lapangan dengan menggunakan sondir konus, sondir Ball dan Tbar (full flow penetrometer) untuk mengetahui nilai tahanan perlawanan pada gambut. Studi kasus pengujian lapangan, dilakukan di tiga lokasi di Dumai, Provinsi Riau, yaitu Bangko, Bukit Timah, dan Sungai Sembilan. Dari hasil perbandingan, pengujian penetrasi menggunakan Ball dan T-bar diperoleh bahwa Ball dan T-bar penetrometer dapat mengatasi beberapa masalah
yang terjadi pada penetrasi konus konvensional, yaitu hasil nilai tahanan perlawanan yang sangat menyebar karena terjadinya interaksi dengan serat gambut, disamping itu, dapat diketahui ketidakmampuannya untuk memberikan nilai bacaan pada gambut yang sangat lunak. Klasifikasi gambut didasarkan oleh beberapa faktor, antara lain derajat dekomposisi, kadar serat, kadar abu, tingkat keasaman, serta kandungan organik yang terkandung. Deskripsi gambut berdasarkan tingkat kematangan atau kadar seratnya, dapat dilihat sebagai berikut: 1. Fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan aslinya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >67% seratnya masih tersisa. 2. Hemic (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagaian bahan aslinya masih bisa dikenali, berwarna coklat dan bila diremas bahan seratnya 33 - 67% 3. Saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya <33%. Timbunan bertiang dengan perkuatan geosintetik bekerja dengan sistem diletakkan di antara dasar timbunan dan sisi atas topi tiang, dengan tujuan untuk memindahkan seluruh beban timbunan dan beban di atasnya ke topi tiang dan diteruskan kembali ke tiang. Dengan demikian beban lalu lintas dan beban timbunan di atas lengkung tanah (soil arching) ditransfer ke tiang melalui mekanisme lengkung
tanah. Beban timbunan di bawah lengkung tanah akan ditahan oleh lapisan geosintetik dan akan langsung mengenai tiang melalui gaya tarik geosintetik. Tiang-tiang memindahkan beban ke lapisan tanah yang lebih dalam dan lebih keras. Dengan demikian, tanah lunak hanya menerima sedikit gaya dan pemadatan karena gaya-gaya yang bekerja ditransfer melewati geosintetik dan tiang. Timbunan bertiang dapat digunakan untuk konstruksi jalan, rel kereta api, area parkir atau area penyimpanan untuk industri dan abutment jembatan. Pada umumnya timbunan bertiang dibangun di atas tanah lunak. Menurut Van Eekelen, 2013 kelebihan konstruksi timbunan
Timbunan bertiang dapat digunakan untuk konstruksi jalan, rel kereta api, area parkir atau area penyimpanan untuk industri dan abutment jembatan. Pada umumnya timbunan bertiang dibangun di atas tanah lunak. bertiang dibanding konstruksi lainnya, antara lain biaya pelaksanaan timbunan bertiang lebih murah dibandingkan dengan konstruksi pipa drainase vertikal (prefabricated vertical drain) dengan kombinasi beban sementara. Selain itu tidak memerlukan pemeliharaan berlebih, nilai sisa penurunan yang terjadi setelah konstruksi selesai relatif lebih kecil, pelaksanaan konstruksi lebih cepat karena tidak perlu menunggu proses
konsolidasi dan timbunan bertiang dapat mencegah perbedaan penurunan pada tanah lunak. Perkuatan dasar timbunan bertiang terdiri dari beberapa elemen, pertama: timbunan, dimana lapisan di bawah timbunan (matras) harus terdiri dari material friksi, seperti pasir atau agregat hancur (hancuran material konstruksi). Pada banyak kasus, matras terdiri dari agregat hancur dan sisi timbunan terdiri dari material berkualitas rendah, contohnya pasir. Kedua, lapisan geosintetik sebagai perkuatan dasar, yang pemasangannya terdiri dari dari satu lapis atau lebih. Geosintetik yang digunakan adalah geosinetik uniaksial yaitu jenis geosintetik geogrid, yang dipasang pada arah melintang dan memanjang jalan. Ketiga, tiang, dengan atau menggunakan atau tanpa topi tiang. Sebelum pemasangan tiang, umumnya dilakukan pekerjaan lantai kerja, misal dengan lapisan pasir. Komponen-komponen yang mendukung timbunan bertiang adalah tiang pancang, timbunan dan tanah dasar di bawah timbunan. Sementara itu untuk timbunan bertiang dan geosintetik sebagai perkuatan dasar, komponen-komponennya adalah timbunan, tiang pancang, tanah dasar di bawah timbunan, dan lapisan geosintetik. Parameter tanah kohesif merupakan hasil pengujian laboratorium. Parameter tanah kohesif yang digunakan pada percobaan ini adalah tanah timbunan yang didapatkan dari Bangko, Dumai, Provinsi Riau. Tanah tipe ini banyak digunakan pada konstruksi timbunan di atas tanah gambut di Sumatra. Menurut klasifikasi unifikasi (Indonesia, 2002), tanah kohesif ini masuk ke dalam lempung EDISI KHUSUS TAHUN 2015
31
inorganik dengan plastisitas rendah (CL). Tanah kohesif ini mempunyai nilai lolos saringan nomor 200 sebesar 52%. Berdasarkan hasil pengujian laboratorium, ketebalan gambut Dumai berkisar antara 2,75 - 8 meter. Lokasi Bangko yang mempunyai kandungan air sebesar 806,6%, mengidentifikasikan tingkat dekomposisi yang rendah, yaitu kadar air tanah gambut menurun karena unsur mineral tanah. Pada kondisi kadar air terendah di lokasi Sungai Sembilan, dengan kadar air sebesar 309,1%, menunjukkan bahwa kondisi tersebut telah terdekomposisi lebih lanjut dibandingkan lokasi Bangko dan Bukit Timah. Nilai angka pori Dumai yang berkisar antara 6,12 - 16,02 serta kandungan air yang tinggi menyebabkan harga koefesien rembesan gambut menyerupai pasir. Hal ini dikarenakan pori yang besar menyebabkan air dalam pori mudah keluar apabila terdapat beban diatasnya. Gambut mempunyai kadar air yang sangat tinggi, sehingga air mengalir seperti cairan (liquid) sulit untuk dilakukan pengujian plastisitas. Plastisitas tanah adalah kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk atau volume tanpa terjadinya retak-retak yang disebabkan oleh penyerapan air di sekeliling permukaan partikel lempung. Nilai berat jenis gambut Dumai yang berkisar antara 1,5 - 1,7 tidak seperti pada umumnya kondisi berat jenis gambut di Indonesia yang lebih kecil atau sama dengan 2. Sementara kadar organik yang terkandungnya mempunyai nilai berkisar antara 89,8 - 95.16% dan tingkat keasaman atau pH gambut 32
DINAMIKA RISET - LITBANG
sumber foto: istimewa
perkuatan geogrid memberikan distribusi beban pada tiang timbunan
berkisar antara 3,5 -5. Berdasarkan tingkat keasaman ini termasuk jenis highly acidic, menunjukan lingkungan yang asam, tingkat keasaman dipengaruhi musim dan cuaca, tingkat keasaman tertinggi terjadi setelah hujan lebat diikuti musim panas yang kering. Kadar serat terbesar pada lokasi Bangko, sebesar 64,15%, sedangkan kadar serat terkecil di lokasi Sungai Sembilan sebesar 32%. Angka ini menunjukan tingkat dekomposisi tanah gambut Bangko lebih besar dibandingkan dengan tingkat dekomposisi Sungai Sembilan dan Bukit Timah, Dumai. Gambut Dumai, menunjukkan gambut banyak mengandung kayu dan serat organik yang disebut fibrous peat dengan kadar serat 35 - 44% dan termasuk jenis hemik yaitu gambut setengah lapuk, sebagaian bahan aslinya masih bisa dikenali, berwarna coklat. Berdasarkan Von Post gambut Dumai memiliki skala kebusukan gambut seragam, yaitu di skala H5, gambut terdekomposisi sedang. Ketika diperas mengeluarkan air yang sangat berlumpur dan granular amorfos gambut sedikit keluar dari sela-sela jari. Struktur sisa-sisa tanaman tidak cukup jelas meskipun masih memungkinkan untuk mengenali fitur-fitur tertentu. Residu ini terlihat sangat pucat. Secara keseluruhan, pemodelan timbunan bertiang menggunakan timbunan dari tanah kohesif untuk konstruksi timbunan
bertiang dengan perkuatan geogrid memberikan distribusi beban pada tiang dan pada geogrid yang berbeda dengan tanah berbutir. Tanah kohesif menghasilkan beban di atas busur yang ditransfer pada tiang yang lebih rendah, akan tetapi beban di bawah busur (yang dipikul perkuatan geosintetik) lebih besar, hal ini disebabkan karena mekanisme perkembangan busur (arching development) yang berbeda. Selain itu kajian ini memberikan indikasi bahwa efek busur lebih dipengaruhi oleh parameter sudut geser dalam dibandingkan dengan parameter kohesi sehingga tanah kohesif dapat digunakan. Distribusi beban di bawah busur yang lebih besar pada model tanah kohesif menghasilkan beban vertikal pada geogrid yang lebih besar dibandingkan pada tanah berbutir, sehingga memberikan gambaran bahwa penentuan kebutuhan kekuatan tarik geogrid pada tanah kohesif sangat diperlukan. Berdasarkan kajian yang dilakukan maka asumsi distribusi beban di atas geogrid yang paling sesuai untuk tanah kohesif adalah asumsi segitiga terbalik dari Van Eekelen and Bezujien (2012) dan poin maksimum gaya tarik tidak dapat diketahui secara eksak pada mesh elemen karena terlalu kasar, tetapi kontur gaya aksial tarik pada geogrid menunjukkan berada di sekitar tepi tiang sesuai dengan distribusi beban segitiga terbalik. (Ditulis ulang oleh Nanda Ika Dewi)
PEMANFAATAN DAN KINERJA
AGREGAT SUBSTANDAR SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI JALAN
sumber foto: istimewa
P
ekerjaan pembangunan dan peningkatan jalan membutuhkan agregat dalam jumlah yang sangat banyak. Agregat adalah komponen padat dan keras dengan ukuran yang bervariasi yang merupakan material utama dalam konstruksi perkerasan jalan dan berfungsi sebagai penahan beban serta mengisi rongga. Sebenarnya, setiap material dapat menjadi bahan jalan asalkan memenuhi persyaratan spesifikasi yang ada. Dua sifat penting agregat yang harus diketahui yaitu sifat yang merupakan kesepakatan (consensus properties) dan sifat yang berasal dari sumber agregat (source properties). Consensus properties agregat adalah sifat utama agregat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan campuran
beraspal berkinerja tinggi. Yang termasuk dalam sifat-sifat ini adalah angularity, kepipihan dan kadar lempung dalam agregat. Source properties agregat biasanya digunakan untuk mengetahui kualitas sumber-sumber agregat. Yang termasuk dalam source properties ini adalah kekerasan, keawetan dan kandungan material yang tidak diinginkan dalam agregat. Agregat alam dapat digunakan sebagai bahan perkerasan jalan baik secara langsung atau melalui tahapan proses terlebih dahulu. Agregat yang memenuhi source dan consensus properties sebagaimana yang disyaratkan dalam suatu spesifikasi diistilahkan sebagai agregat standar. Tetapi tidak semua agregat memenuhi kedua sifat tersebut di atas, terutama
source properties-nya. Agregat seperti ini diistilahkan sebagai agregat substandar atau agregat marjinal. Untuk mendapatkan jalan yang memiliki kekuatan dan durabilitas yang baik, persyaratan tertentu harus dipenuhi oleh agregat yang akan digunakan. Dalam spesifikasi, umumnya persyaratan untuk agregat ditujukan untuk jalan-jalan yang melayani lalu lintas berat dan padat. Kebutuhan bahan jalan setiap tahun untuk pelaksanaan preservasi dan pembangunan jalan baru terus meningkat. Keperluan material bahan jalan tidak hanya untuk campuran beraspal tetapi untuk lapis pondasi, sedangkan ketersediaan akan sumber bahan, khususnya agregat standar dari tahun ke tahun menurun. Salah satu jalan keluarnya adalah EDISI KHUSUS TAHUN 2015
33
memanfaatkan secara optimum penggunaan bahan lokal dan bahan substandar pada suatu daerah. Permasalahan untuk agregat substandar adalah tidak memenuhi persyaratan dari spesifikasi. Solusinya di sini adalah ada dua hal yang dapat dilakukan pada agregat substandar supaya dapat digunakan sebagai bahan konstruksi jalan sebagaimana agregat standar, yaitu dengan melakukan treatment (penanganan) pada agregat tersebut sebelum digunakan atau dengan menurunkan nilai spesifikasi sifat-sifat agregat yang akan digunakan. Kebaruan dalam buku ini adalah membahas beberapa metode penanganan agregat substandar berkenaan dengan sifat aslinya, supaya dapat digunakan sebagai bahan konstruksi jalan khususnya untuk campuran beraspal, dan perawatan untuk penggunaan lainnya seperti untuk lapis pondasi. Sebagai contoh kinerja jalan yang menggunaan agregat substandar adalah hasil pengamatan uji coba skala terbatas di Manado dan Papua. Ada lima bab yang akan memberikan penjelasan tentang agregat substandar dan cara penanganannya, pemanfaatannya, uji coba pemanfaatan pada jalan serta evaluasi kinerja uji gelar penggunaan agregat standar. Agregat substandar apabila akan digunakan sebagai bahan untuk lapis pondasi, maka untuk pemenuhan persyaratan spesifikasi akibat dari penggunaan agregat ini dapat dilakukan dengan menambahkan bahan pengikat atau penstabil (stabilizer). Bahan yang digunakan untuk tujuan ini harus dapat berfungsi sebagai pengikat atau penstabil partikelpartikel tanah atau agregat baik secara fisik atau secara kimia. Jenis bahan pengikat yang umumnya 34
DINAMIKA RISET - LITBANG
digunakan pada perkerasan jalan antara lain adalah: bahan-bahan organik non-bituminus, seperti semen dan kapur, garam, bahanbahan yang merupakan turunan dari minyak bumi, polimer. Karena tidak semua bahan pengikat cocok untuk digunakan dengan material tertentu, maka bahan pengikat yang cocok untuk digunakan harus ditentukan terlebih dahulu. Dari sisi aspal, peningkatan adesi aspal-agregat dapat dilakukan dengan menurunkan viskositas dan tegangan permukaan aspal dan atau dengan mengubah polaritas dan orientasi molekul aspal. Penurunan dan tegangan permukaan aspal dapat dilakukan dengan menambahkan surfaktan pada aspal tersebut. Sedangkan bahan anti-stripping yang berbasis fatty amine digunakan untuk mengubah polaritas dan orientasi molekul aspal. Selain fatty amine, bahan lain yang dapat juga digunakan sebagai anti-stripping pada aspal-agregat adalah iron naphthene, yaitu garam besi yang berasal dari naphtenic acid. Dari sisi agregat, perbaikan sifat agregat dapat dilakukan dengan penambahan modifier pada agregat. Beberapa jenis modifier yang umumnya digunakan antara lain adalah epoksi, kapur hidrad, semen atau dengan memperkaya partikel agregat dengan bahan kimia lainnya. Metode perbaikan (treatment) sifat agregat yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut, yaitu penyelimutan agregat (coated aggregate) dengan modifier. Beberapa agregat substandar yang dapat digunakan adalah pemanfaatan Batu Karang Kristalin Fak-fak dan Sorong untuk campuran beraspal, pemanfaatan Pasir Laut dari Kaimana untuk latasir,
pemanfaatan Tanah Lateritis Merauke untuk soil cement, pemanfaatan Agregat Substandar Sulawesi Utara untuk campuran beraspal dan pemanfaatan Domato Substandar Agregat Melongguane-Sulawesi Utara. Agregat dari kuari yang terdapat di Fak Fak dan Sorong memiliki sifat natural (natural properties) yang sangat baik dengan nilai abrasi antara 20-37% dan berat jenis bulk berkisar antara 2-2,5 dan penyerapan kurang dari 1%. Namun demikian agregat dari kuari-kuari ini memiliki kelekatan terhadap aspal lebih kecil dari 95%, lebih kecil dari nilai minimum kelekatan yang disyaratkan dalam spesifikasi (>95%). Masalah yang umumnya terdapat pada agregat-agregat ini adalah kurangnya daya lekat agregat (<95%) terhadap aspal. Dari sifat-sifat ini dapat disimpulkan bahwa agregat dari tiga kuari yang terdapat di Fak Fak sangat baik digunakan untuk lapis pondasi Kelas A tetapi tidak boleh digunakan sebagai agregat untuk campuran beraspal. Namun demikian, mengingat sifat-sifat yang tidak terpenuhi tersebut bukan natural properties dari agregat, maka perlu usaha-usaha untuk memperbaiki sifat. Sedangkan pada pasir laut Kaimana, kandungan garam pasir laut adalah sangat kecil, hanya 0,81%. Gradasi asli pasir laut Kaimana hanya mengandung 1,5% partikel yang lolos saringan nomor 200. Untuk memenuhi gradasi Latasir Kelas A ataupun Kelas B yang disyaratkan dalam spesifikasi Bina Marga 2010, perlu penambahan bahan pengisi (filler) sebanyak 10%. Untuk agregat substandar tanah dari Merauke adalah tanah lempung berbutir halus dengan plastisitas tinggi, masuk dalam
kelompok A-7-5. Tanah ini tidak dianjurkan untuk distabilisasi dengan semen karena selain menuntut penggunaan semen yang sangat banyak (>10%), campuran tanah-semen yang dihasilkan juga cenderung akan retak-retak. Agar dapat digunakan sebagai tanah dasar atau bahkan sebagai bahan untuk lapis pondasi, maka tanah ini harus dimodifikasi sifatnya dan ditingkatkan daya dukungnya. Agregat dari Sulawesi Utara khususnya dari kuari Gunung Kelabat, Gunung Lokon, Tomohon, Sea Pineleng, TalautPulututan dan Tateli-Kakas dapat dikatagorikan sebagai agregat substandar karena memiliki daya lekat terhadap aspal kurang dari 95% dan memiliki berat jenis agregat yang kurang dari 2,5 t/ m3, tidak memenuhi sifat agregat sebagaimana disyaratkan dalam Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 (BM, 2010). Walaupun begitu, agregat di propinsi ini memiliki sifat natural (abrasi) yang sangat baik dengan nilai abrasi sekitar 20%, kecuali agregat dari kuari Tateli-Kakas nilai abrasinya cukup tinggi yaitu sekitar 37%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun campuran beraspal yang dibuat dengan menggunakan agregat substandar dari kuari Lokon cukup baik dan memiliki kekuatan yang memadai, namun tanpa penggunaan aditif antistripping campuran ini tidak begitu tahan akibat kombinasi beban, temperatur dan air. Subagregat berikutnya adalah agregat yang berasal dari beberapa kuari, antara lain yaitu Melong, Beo dan Rainis. Bahan dari kuari tersebut memiliki nilai abrasi lebih besar dari 40%, bersifat plastik dan dengan
bentuk fisik tertentu. Masyarakat setempat mengenal agregat dengan sifat fisik seperti ini dengan sebutan Domato. Bahan dari kuari Melong, Beo dan Rainis tidak dapat digunakan sebagai bahan untuk campuran beraspal, Lapis Pondasi Atas (LPA), Lapis Pondasi Bawah (LPB), maupun sebagai bahan untuk bahu jalan (Kelas S), karena dikategorikan sebagai agregat substandar berdasarkan Spesifikasi Bina Marga 2010 karena dalam spesifikasi ini nilai abrasi agregat baik untuk campuran beraspal atapun. Berdasarkan sifat yang dimilikinya, domato akan memberikan daya dukung dan durabilitas yang memadai bila distabilisasi dengan semen. Pada evaluasi kinerja jalan yang menggunakan agregat substandar, dilakukan evaluasi kinerja lapisan dan durabilitas campuran, pada hasil penghamparan di Manado. Evaluasi ini dilakukan setelah lapisan beraspal tersebut melayani lalu lintas selama 12 dan 18 bulan. Evaluasi mencakup pengukuran luas retak, lubang, alur, deformasi dan pelepasan butir. Dari evaluasi visual menunjukkan treatment CCA ataupun ECA memberikan pengaruh yang positif pada kinerja lapis beraspal dan hasil yang lebih dari pada yang ditreatment dengan ASA. Dengan menggunakan agregat substandar yang sama, treatment dengan semen ataupun aspal emulsi lebih efektif dan memberikan hasil yang lebih baik. Dari evaluasi struktural dengan program Kenlayers yang dilakukan pada dimensional ruas percobaan diketahui bahwa umur sisa dan kriteria keruntuhan dari masingmasing segmen percobaan dan disimpulkan bahwa treatment dengan CCA dan ECA yang
dilakukan dapat memperpanjang umur pelayanan lapis beraspal. Evaluasi kinerja lapisan dan durabilitas campuran beraspal dilakukan juga untuk lapisan beraspal yang menggunakan agregat substandar yang dihampar di Papua. Evaluasi ini dilakukan setelah lapisan beraspal tersebut melayani lalu lintas selama 20 bulan. Evaluasi yang dilakukan adalah pengukuran kuantitas kerusakan yang telah terjadi pada segmen percobaan penggunaan agregat substandar yang diikat dengan menggunakan aspal yang menggunakan bahan tambah berupa anti-stripping baik yang berbasis amine (ASA) ataupun surfaktan (ASS) ataupun yang tidak menggunakan bahan tambah apapun pada aspalnya. Evaluasi mencakup pengukuran luas retak, lubang, alur, deformasi dan pelepasan butir. Dari segi bahan, penambahan ASA maupun ASS pada aspal dapat memperlambat penuaan aspal. Untuk mempermudah pemahaman, gambar dan tabel sangat membantu. Membaca buku ini dapat membuka wawasan bagi perencana, pelaksana dan pengawas untuk mempertimbangkan agregat substandard sebagai agregat yang dapat digunakan sebagai bahan jalan dengan kinerja yang baik, tentunya apabila melalui penanganan yang benar. (Ditulis ulang oleh Retta Ida Lumongga)
EDISI KHUSUS TAHUN 2015
35
SIGAP MENGHADAPI KEKERINGAN
sumber foto: istimewa
D
i Indonesia terjadi penambahan suhu udara rata-rata sekitar 0,3° sejak 1990 serta hujan tahunan berkurang sekitar 2-3% sejak 1990. Perubahan karakter hujan menimbulkan perubahan pada ciri kekeringan meteorologi yang pada waktunya berpengaruh pada kekeringan pertanian dan kekeringan hidrologi. Pengukuran curah hujan mudah dilakukan karena hujan dapat dipegang dan dilihat tidak demikian halnya dengan variabel kekeringan meteorologi yang maya (sulit diukur). Alat ukur kekeringan meteorologi disebut Indeks Kekeringan yang merupakan nilai tunggal sebagai gambaran tingkat keparahan atau besar kekeringan secara historis. Penerapan berbagai metode perhitungan Indeks Kekeringan meteorologi, dengan contoh penggunaan rumus-rumus Indeks Kekeringan, khususnya Metode
36
DINAMIKA RISET - LITBANG
Herbst dan Kekeringan Tahunan memperkirakan tingkat keparahan kekeringan. Penerapan SPI dan Teori Run di beberapa wilayah di Pulau Jawa memberikan informasi lebih lengkap akan intensitas dan durasi kekeringan, hubungan antara keparahan Kekeringan-Luas Terkena Bencana-Frekuensi serta rangkaian persentase luasan kena bencana kekeringan di wilayah tertentu. Dari kajian tersebut tersirat kekeringan tidak selalu terjadi setiap tahun bahkan dapat terjadi di musim hujan dan sifat kekeringan dari tahun ke tahun selalu berbeda. Langkah nyata adaptasi dengan pendekatan non-struktural, dapat berupa Penanggulangan Kekeringan yang lebih terpadu. Ini perlu segera direalisasikan karena kekeringan yang terjadi pada dasawarsa akhir-akhir ini di Indonesia telah menimbulkan dampak yang luar biasa terutama dalam bidang pertanian
dan sempat menggoyahkan stabilitas politik (Arifin, 2003). Penanggulangan kekeringan berbasis Disasters Risk Management (DRM), menjelaskan tentang tahap-tahap yang diperlukan mulai dari kajian pemilihan pos hujan dilanjutkan mempersiapkan model monitoring kekeringan serta output yang diperoleh dijadikan input bagi pemodelan prediksi kekeringan yang menuju pada pencarian indikator pemicu kekeringan diakhiri dengan pembuatan peta risiko kekeringan yang memberikan informasi tentang lokasi atau wilayah yang berisiko tinggi. Pembagian wilayah yang digunakan pada studi ini diambil dari sistem pewilayahan BMKG yang lama karena di tahun 2005 mengalami perubahan. Pembagian wilayah yang lama meliputi Banten, Priangan, Jakarta, dan Cirebon untuk Jabar; Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Pekalongan,
Semarang, Surakarta, dan Rembang untuk Jawa Tengah; serta Madiun, Malang, Besuki, Surabaya, dan Kediri untuk Jawa Timur. Seluruh Pulau Jawa dibagi menjadi 16 wilayah. Sampai sejauh mana dampak perubahan iklim mempengaruhi besaran hujan dan kekeringan meteorologi di Pulau Jawa, studi ini mencoba menjawab dengan menggunakan berbagai metodologi untuk mendeteksi kecenderungan hujan dan intensitas kekeringan yang terjadi. Identifikasi terhadap dampak perubahan iklim terhadap pola hujan dan secara khusus watak kekeringan di Pulau Jawa sangat penting dalam menyusun langkah adaptasi yang tepat.
Drought Risk Managenement Perencanaan Penanggulangan Kekeringan berbasis Drought Risk Management merupakan dokumen berisi panduan sebelum, selama dan sesudah bencana kekeringan terjadi. Biasanya, menjelaskan tentang peringkat, indikator, pemicu dan respons sekaligus berisi rencana dan penentuan penggunaannya dalam wadah Dewan Penanggulangan Kekeringan sebagai badan pengendali bekerja sama dengan Komisi Monitoring sebagai pemberi informasi tentang karakteristik kekeringan dan Komisi Kajian Risiko sebagai pemberi informasi berkaitan dengan risiko dari dampak melalui beragam cara Penanggulangan atau mitigasi serta Satgas sebagai pelaksana kegiatan mitigasi (Wilhite, 2006 dan FAO. 2008). Kekeringan, berbeda dengan banjir, tidak dapat terlihat dan yang nampak hanya dampaknya, padahal tindakan kesiap-siagaan yang efektif
hanya dapat dilakukan jika ada jawaban terhadap pertanyaan berapa besarnya, durasinya, intensitasnya, distribusinya secara spasial dan temporal. Pertanyaan tersebut hanya dapat terjawab jika ada perangkat lunak yang menunjangnya. Sejumlah perangkat lunak berbasis Disasters Risk Management (Wilhite, 2006) telah dipersiapkan untuk WS Pemali Comal berlokasi di bagian utara Wilayah Propinsi Jawa Tengah mencakup wilayah seluas kurang lebih 5000 km2 dengan 173.685 ha sawah (Dinas PU Pengairan, 1989).
Perencanaan Penanggulangan Kekeringan berbasis Drought Risk Management merupakan dokumen berisi panduan sebelum, selama dan sesudah bencana kekeringan terjadi. Biasanya, menjelaskan tentang peringkat, indikator, pemicu dan respons sekaligus berisi rencana dan penentuan penggunaannya Penanggulangan kekeringan yang efektif berbasis pada monitoring kekeringan yang dilengkapi dengan peta resiko kekeringan dibuat berdasarkan peta bencana kekeringan dan peta kerentanan. Secara spasial bencana kekeringan tersebar menurut karakternya sehingga ada wilayah yang secara meteorologi rentan terhadap kekeringan, seperti halnya banjir mempunyai parameter hidrologi bernama Banjir Rencana demikian pula Kekeringan seharusnya ada Kekeringan Rencana dengan berbagai periode ulang. Dengan
demikian, upaya pengurangan resiko atau mitigasi kekeringan menjadi lebih mudah dirancang karena karakteristik kekeringannya sudah diketahui (Tonkin,2006). Dasar dari komponen Prediksi dan Peringatan Dini adalah monitoring kekeringan serta salah satu produk komponen Kajian Risiko adalah peta risiko kekeringan. Jadi, perangkat lunak yang disiapkan harus mampu memonitoring, melakukan prediksi serta menentukan pemicu indikator kekeringan yang akan menjadi penentu bagi jenis dan waktu dilakukannya kegiatan mitigasi maupun respons disamping peta resiko yang memberikan informasi akan skala prioritas yang perlu dilakukan. Salah satu komponen dalam DRM adalah Prediksi dan Peringatan Dini yang tersirat didalamnya kegiatan monitoring karena tanpa adanya monitoring kekeringan mustahil dapat dilakukan prediksi, begitu pula halnya dengan kegiatan Kesiapsiagaan perlu dukungan monitoring kekeringan. Monitoring kekeringan meteorologi dihitung dari data hujan bulanan (hasil penjumlahan data hujan harian) yang dioperasikan secara tepat waktu (Real Time) sehingga informasi kekeringan dapat disebarluaskan dan diolah secara mendekati tepat waktu (Near Real Time). Monitoring data secara tepat waktu membutuhkan sarana perangkat keras seperti Telemetri mulai dari cara sederhana menggunakan telepon seluler mengirim SMS (Short Message Service) dari pengamat pos ke pusat kegiatan monitoring sampai yang modern menggunakan transmitter yang secara otomatis mengirim, dilengkapi dengan alat yang dapat membaca dan menyimpan EDISI KHUSUS TAHUN 2015
37
data secara otomatis pula. Guna keperluan monitoring kekeringan cukup dilakukan pengiriman satu kali sehari di jam 7 pagi. Pemilihan pos hujan dilakukan agar pada saat monitoring data hujan harian tepat waktu, pembacaan, pengiriman dan penyimpanan data menjadi efisien, dengan jumlah pos hujan minim tetapi mampu menggambarkan peta kekeringan yang sebenarnya. Metode yang digunakan oleh analisis pemilihan pos hujan adalah melalui pendekatan statistik (Principal Component Analysis/ PCA) dan survei kondisi pos hujan. Proses pengolahan data hujan bulanan dimulai dengan pengisian data kosong selama tahun 1950-2009, dilanjutkan dengan merubah seri data hujan menjadi seri indeks kekeringan dengan metode SPI. Dengan PCA jumlah pos hujan terreduksi sesuai dengan keragaman ruang dan waktu (spatio-temporal) serta dengan bantuan ZPI (Zona Perkiraan Iklim) seleksi pos hujan akan menjadi lebih handal. Dalam suatu ZPI hujan bulanan berkarakter sama sehingga dapat direpresentasikan oleh satu pos hujan untuk wilayah kecil sampai tiga pos untuk wilayah besar. Kajian ini bertujuan untuk memilih pos hujan di masingmasing ZPI yang mencerminkan kondisi kekeringan masing-masing zona. Metode yang digunakan diantaranya adalah SPI dan PCA, SPI digunakan untuk menaksir kondisi kekeringan masing-masing zona, sedangkan PCA digunakan untuk mereduksi dimensi data agar diperoleh komponen-komponen utama (Principal Component atau PC) yang dapat menjelaskan varian dari seluruh data yang ada. Beberapa komponen PC diambil yang memenuhi persyaratan, yakni nilai 38
DINAMIKA RISET - LITBANG
kumulatif variansinya lebih dari 70%. Signifikansi Mitigasi Kekeringan Dampak-dampak kekeringan paling nampak pada produksi pertanian dengan kerugiankerugian yang signifikan merembet ke sektor-sektor ekonomi lainnya. Di tingkat global, kekeringan masih merupakan satu risiko yang tersembunyi dan di tingkat lokal dampak-dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya masih terpusat secara tidak proporsional di rumah tanggarumah tangga miskin pedesaan. Contoh, bentuk campur tangan pemerintah pusat dalam menanggulangi dampak kekeringan di tahun 2003 berupa pendistribusian air minum ke daerah yang kekurangan air; pemberian beras gratis kepada masyarakat yang mengalami paceklik serta padat karya untuk petani yang kehilangan pekerjaan (Kompas, 20/8/03).
Tata kelola yang masih lemah dan tidak efektif sering diakibatkan oleh tidak diperhitungkan faktorfaktor risiko lain seperti tata guna lahan, pengelolaan air, pembangunan perkotaan dan jaminan sosial. Oleh karenanya, sangat perlu untuk memperkuat manajemen risiko kekeringan sebagai satu bagian yang tak terpisahkan dari tata kelola risiko untuk mempertahankan kualitas hidup yang terkena dampak kekeringan (United Nations, 2011). Menurut Wilhite dkk (2014), tata kelola yang lemah disebabkan juga oleh pendekatan manajemen krisis yang reaktif, tidak terkoordinir dengan baik, dan tidak tepat waktu serta tidak fokus pada upaya pengurangan risiko akibat kekeringan. Oleh karena itu, perlu perubahan terhadap cara dan menanggapi kekeringan dengan tekanan pada manajemen risiko serta mengadopsi tindakan mitigasi yang sesuai. (Ditulis ulang oleh Nanda Ika Dewi)
sumber foto: istimewa
Sawah yang mengalami gagal panen akibat kekeringan.
EKSTRAKSI ASBUTON DENGAN MIKROBA
PEMISAHAN BITUMEN DAN MINERAL ASBUTON SECARA MIKROBIOLOGIS
sumber foto: istimewa
P
ulau Buton adalah sebuah pulau kecil di Indonesia yang terletak di Sulawesi Tenggara. Hasil alam yang terkenal dari pulau ini adalah aspal alam, yaitu bitumen murni berasal dari pemisahan minyak bumi secara alamiah dan memiliki berat jenis besar, terperangkap pada reservoir batuan serta seiring waktu menguap dan menyisakan bitumen yang terperangkap dalam matriks batuan, lalu menjadi aspal alam yang dikenal dengan sebutan asbuton. Asbuton merupakan aspal yang dihasilkan dari proses destilasi minyak bumi, dan umumnya digunakan untuk perkerasan jalan. Keberadaan asbuton di pulau Buton sebenarnya dapat menjadi peluang emas untuk menarik investasi di Indonesia, namun mahalnya biaya eksplorasi serta ketidakjelasan deposit serta kurangnya minat investor saat ini untuk berinvestasi dari hulu ke hilir, menimbulkan kesulitan untuk pemasokan asbuton secara tepat waktu, juga harga asbuton yang kurang kompetitif dibanding
harga semen atau harga aspal. Hal ini melatarbelakangi sebab pentingnya penelitian terhadap asbuton untuk dikembangkan. Asbuton murni adalah salah satu dari produk asbuton yang didapat dengan cara mengekstraksi asbuton dengan menggunakan senyawa kimia. Kemampuan terpentin untuk melarutkan aspal tidak sekuat pelarut berbasis minyak, tetapi dengan menambahkan surfaktan, daya larut terpentin dapat meningkat melebihi daya larut pelarut berbasis minyak. Biosurfaktan memiliki fungsi yang luas, dapat digunakan baik sebagai pengencerpengental, penurun tegangan permukaan, pembusaan, pembersih dan lain sebagainya. Dari studi diketahui bahwa selain dapat digunakan sebagai modifier aspal atau bahkan bahan pengikat pengganti aspal minyak, asbuton dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan penghasil biosurfaktan. Biosurfaktan dapat dihasilkan dari asbuton melalui proses biologis
dengan menggunakan mikroba indigen yang secara alami hidup pada asbuton itu sendiri. Diketahui ada dua jenis asbuton yang sudah banyak terdapat di pasaran saat ini, yaitu asbuton butir dan asbuton preblended. Penggunaan kedua jenis asbuton ini belum optimal karena baru bisa menggantikan aspal minyak sampai dengan 40%. Asbuton murni yang diharapkan dapat menggantikan 100% peranan aspal minyak saat ini masih dalam tahap pengembangan. Untuk meningkatkan kuantitas penggunaan asbuton, teknologi permurnian asbuton sampai dengan saat ini terus dikembangkan. Ada beberapa kendala, yaitu kendala pada bahan yang digunakan sebagai pelarut yang dikatakan bersifat tidak ramah lingkungan, dan kendala lainnya adalah pada mahalnya bahan dan sifat kimia pelarut yang digunakan dalam memproduksi asbuton murni dengan sifat-sifat yang diinginkan dan kompetitif dengan aspal minyak. EDISI KHUSUS TAHUN 2015
39
Beberapa usaha yang sudah dilakukan untuk mengatasi kendala diantaranya adalah penggunaan bahan pelarut alami, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Usaha lainnya yang sudah mulai dilakukan untuk tujuan yang sama adalah pengembangan metode ekstraksi secara biologis dengan menggunakan mikroba. Adalah memungkinkan untuk mengembangkan metode ekstraksi asbuton yang lebih ramah lingkungan dan tidak membahayakan, yaitu metode ekstraksi secara mikrobiologis dengan mikroorganisme. Metode ini sangat mungkin dikembangkan karena aspal pada dasarnya merupakan senyawa organik yang secara alamiah dapat terurai secara proses biologis (mikrobiologis) di alam. Penguraian aspal dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri hidrokarbonoklastik, yakni kelompok bakteri yang dapat memanfaatkan senyawa hidrokarbon penyusun aspal. Kelompok bakteri hidrokarbonoklastik umumnya dapat menghasilkan senyawa biosurfaktan sehingga memungkinkan untuk melepaskan aspal dari ikatan bebatuan. Namun demikian, jenis dan kegunaan biosurfaktan yang dihasilkannya belum dapat diidentifikasi dengan baik. Kemudian diketahui tidak semua mikroba dapat digunakan untuk tujuan ini. Hanya mikroba indigen yang menghasilkan surfaktan yang dapat digunakan. Hal baru yang di bahas di sini adalah membahas isolasi mikroba indigen asbuton yang menghasilkan biosurfaktan, yang merupakan bagian dari hasil penelitian ektraksi asbuton dengan mikroba. 40
DINAMIKA RISET - LITBANG
Dalam enam bab buku ini diberikan gambaran tentang asbuton, mikroba, surfaktan dan biosurfaktan, serta penjelasan isolasi mikroba penghasil asbuton dan pemisahan bitumen dan mineral asbuton secara mikrobiologis. Penggunaan mikrobiologis dalam surfaktan disebut surfaktan mikroba atau biosurfaktan, yaitu molekul permukaan aktif yang berasal dari sejumlah mikroba. Biosurfaktan merupakan surfaktan yang disintesis oleh mikroba, terutama jika ditumbuhkan pada substrat yang tidak larut dalam air. Beberapa mikroba mampu untuk memanfaatkan hidrokarbon sebagai satu-satunya sumber karbon. Walaupun begitu, ada masalah yang dihadapi oleh mikroba tersebut: hidrokarbon adalah subtrat atau senyawa yang tidak larut dalam air. Sehingga untuk memanfaatkan hidrokarbon, mikroba harus melakukan upaya sendiri yaitu dengan menghasilkan biosurfaktan. Sampel asbuton yang digunakan isolat mikroba hidrokarbonoklostik adalah asbuton yang diambil langsung di lapangan, yaitu di tempattempat yang masih alami di mana di atas asbuton tersebut masih terdapat tumbuhan atau lumut ataupun kotoran lainnya dan air. Pengambilan sampel dilakukan secara acak pada beberapa titik di masing-masing daerah yang diyakini asbutonnya memiliki perbedaan sifat. Di laboratorium, sampel yang diambil dari satu titik pengambilan di pulau Buton dihaluskan dan diaduk secara merata agar mikroba yang terdapat di sampel tersebut semuanya terwakili dalam satu spesimen. Mikroba yang terdapat pada spesimen ini diaktivasi dalam
medium cair SMSS (Stone Mineral Salt Solution), yang dibuat dengan menggunakan air suling (destilat) secukupnya (± 100 ml) dicampur berturut-turut dengan NH4NO3: 2,5 gram; Na2HPO47H2O: 1 gram; KH2PO4: 0,5 gram; MgSO47H2O: 0,5 gram; MnCl27H2O: 0,2 gram; ekstrak ragi: 0,1 gram dan CaCO3 sebanyak 5 gram. Semua bahanbahan tersebut dimasukan dan dicampur menjadi satu dalam satu labu Erlenmeyer. Penggunaan ekstrak ragi untuk pembuatan medium cair SMSS tersebut di atas adalah sebagai sumber N dalam bentuk asam amino dan growth factor tambahan untuk mikroba yang akan diisolasi, dan untuk selanjutnya disebut medium cair SMSSe. Setelah melalui tahapan-tahapan proses, kemudian dilakukan analisis terhadap pertumbuhan mikroba dengan metode Hidrolisis FDA (Fluorescein Diacetate), yaitu metode pengukuran jumlah total sel mikroba hidup secara tidak langsung dengan melihat aktivitas enzim ekstraseluler yang ditunjukkan oleh intensitas warna yang muncul akibat terjadinya hidrolisis FDA oleh berbagai macam enzim ekstraseluler. Produk dari hidrolisis enzim ini adalah zat fluorescein yang dapat dideteksi secara kuantitatif dengan menggunakan fluorometer atau spektrofotometer. Pada prinsipnya, ada dua tahapan pekerjaan yang dilakukan pada uji pertumbuhan dengan metode FDA, yaitu pembuatan kurva standar FDA (larutan blanko) dan pengukuran FDA terhidrolisis. Analisis yang juga dilakukan adalah analisis Biosurfaktan, dilakukan melalui uji Hemolisis. Isolat mikroba yang berhasil diperoleh ditanamkan pada
lempeng agar darah (blood jelly). Hal ini bertujuan untuk menyeleksi isolat-isolat mana saja yang dapat menghasilkan biosurfaktan. Dari 30 isolat yang diuji potensinya untuk menghasilkan biosurfaktan hanya 7 dari isolat tersebut yang dapat menghasilkan biosurfaktan. Potensi terbesar dari satu mikroba dalam memproduksi biosurfaktan dapat dilihat dari berat biosurfaktan yang dihasilkannya. Isolat yang memiliki potensi terbesar penghasil biosurfaktan adalah isolat dengan kode LS5. Potensi isolat ini dalam memproduksi biosurfaktan adalah 1,5 sampai 5 kali potensi isolat lainnya. Mikroba yang akan dipilih dalam proses screening ini seyogyanya adalah mikroba penghasil biosurfaktan terbanyak dengan nilai OD yang tertinggi. Tetapi seperti yang ditunjukkan mikroba penghasil biosurfaktan terbanyak belum tentu memiliki OD tertinggi dan sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan kombinasi mikroba agar didapatkan suatu isolat yang dapat menghasilkan biosurfaktan terbanyak dan OD tertinggi. Kemudian dilakukan proses optimasi yang bertujuan untuk menentukan medium dan kondisi terbaik yang menghasilkan biosurfaktan. Proses isolasi diulang dengan screening pada medium dilakukan, dengan mempertimbangkan bahwa perubahan subtrat seringkali dapat mengakibatkan perubahan struktur dan kemampuan biosurfaktan yang dihasilkan, biodegradasi oleh biosurfaktan dipengaruhi oleh struktur senyawa yang akan didegradasi, jenis mikroba yang digunakan sebagai penghasil biosurfaktan dan faktor lingkungan, seperti pH, temperatur, cahaya, sumber nutrisi dan oksigen. Variasi terdapat
pada jumlah inokulum, PH dan temperatur pada proses inkubasi. Optimasi yang dilakukan hanya pada isolat kombinasi terbaik, yaitu LS5-LK3A dan disimpulkan bahwa isolat dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan biosurfaktan yang maksimal bila dibiarkan pada kondisi optimum sebagai berikut: kandungan asbuton dalam medium 1%, kandungan molase dalam medium 10%, kondisi pH 6-Netral, temperatur inkubasi 25-30 derajat celsium. Pada identifikasi secara molekuler dengan menggunakan analisis DNA ribosom 16S dilakukan terhadap 2 isolat terpilih yakni isolat Kode LS5 dan Kode LK3A, hasil pengolahan bioinformatik memberikan identitas terhadap isolat bakteri Kode LK3A dengan nama spesies Photobacterium damselae. Sedangkan hasil analisa bioinformatik terhadap isolat Kode LS5 memberi identitas dengan nama species Isolat Kode LS5 merupakan Brevibacillus parabrevis. Dari tujuh isolat indigen asbuton yang didapat dari penelitian sebelumnya, dua isolat penghasil Bakteri Bitumen (BB) terbaik adalah isolat LS3 dan LS10. Sedangkan isolat penghasil Bakteri Mineral (BM) terbaik adalah isolat LK7. Komposisi pasangan bakteri BB:BM = 1:1 merupakan komposisi kombinasi isolat BB-BM terbaik penghasil bitumen asbuton. Kombinasi ini menghasilkan bitumen asbuton dengan kuantitas terbanyak dan bitumennya bersifat lunak. Komposisi inokulum 5% menghasilkan bitumen dengan berat paling tinggi dan berat mineral paling kecil dibandingkan komposisi inokulum 2,5% dan 15%. Selain itu, bitumen yang dihasilkan pada inokulum 5%
memiliki tekstur paling lunak. Walaupun secara kuantitas penambahan molase 0. 5% bukan kondisi yang terbaik, namun secara terbaik dari segi kualitas, kualitas bitumen pada penambahan molase 0,5% adalah yang paling mendekati kualitas bitumen yang diinginkan. Ukuran asbuton yang paling optimal untuk proses ekstraksi secara biologis dengan menggunakan mikroorganisme adalah 0,6 mm untuk asbuton Lawele dan 1,18 mm untuk asbuton Kabungka. Pada proses ekstraksi secara biologis ini, persentase asbuton optimum yang dapat digunakan hanya sebesar 5% dari total berat medium yang digunakan. Waktu inkubasi pada hari ke-4 (H-4) adalah waktu inkubasi paling optimum yang menghasilkan bitumen asbuton terbanyak, yaitu 29,83% (proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut standar menghasilkan bitumen asbuton sebanyak 31%). Pengocokan substrat dengan kecepatan 200 rpm mampu meningkatkan kadar bitumen paling optimum (51,44%) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlu dilakukan proses ekstraksi secara biologis dengan menggunakan isolat Bakteri Bitumen (BB) LS3 atau LS10 yang dikombinasikan dengan isolat Bakteri Mineral (BM) LK7 pada semua kondisi optimumnya. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan asbuton dari sumber lainnya. Dengan pengetahuan yang didapat dari membaca buku ini, peneliti dan produsen asbuton serta peminat lainnya, dapat mengembangkan metode ektraksi asbuton secara biologis. (Ditulis ulang oleh Retta Ida Lumongga) EDISI KHUSUS TAHUN 2015
41
TITIK KEBERHASILAN PROSES PEMBEBASAN TANAH:
Tinjauan Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Waduk Jatigede membebaskan lahan seluas 4.983 Hektare yang diairi.
K
egiatan pembangunan infrastruktur sumber daya air hampir tidak dapat dilepaskan dari adanya kebutuhan akan tanah. Berbagai jenis pembangunan infrastruktur sumber daya air terutama yang baru seperti waduk, saluran irigasi, normalisasi sungai, sudetan, dan sebagainya membutuhkan tanah yang kadang luasannya tidak sedikit. Di antara berbagai jenis infrastruktur sumber daya air salah satu yang banyak membutuhkan tanah adalah pembangunan waduk. Untuk periode tahun
42
DINAMIKA RISET - LITBANG
2014-2019 jumlah pembangunan waduk baru ada sebanyak 49, dari 65 target waduk. Berbagai faktor sosial ekonomi menjadi penyebab timbulnya permasalahan. Pembangunan waduk baru, memiliki dampak sosial ekonomi negatif dengan isu pembebasan lahan, relokasi dan permukiman kembali penduduk yang memiliki risiko tinggi. Sejauh ini dasar perhitungan untuk menentukan nilai tanah bermacammacam. Namun demikian, pada umumnya, perhitungan nilai/
sumber foto: Pusat Komunikasi Publik PUPR
harga tanah dalam pengadaan lahan bagi pembangunan untuk kepentingan umum didasarkan atas beberapa variabel. Faktor luas tanah, jarak ke pusat kota (Central Business District/CBD), kegunaan tanah, prasarana dan sarana yang tersedia, status legalitas tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan RT/ RW, hingga nilai jual objek pajak (NJOP). Namun, dasar-dasar perhitungan tersebut belum mengakomodasi adanya nilai sosial budaya dari tanah. Padahal, tidak sedikit warga yang bertahan
enggan melepas tanahnya karena adanya faktor sosial budaya yang kadang-kadang hanya dipahami oleh pemilik tanah sendiri. Tulisan ini disarikan dari hasil temuan lapangan di empat lokasi, yakni waduk Batutegi di Provinsi Lampung, waduk Sermo di Provinsi DI Yogyakarta, waduk Jatibarang Provinsi Jawa Tengah dan waduk Karian di Provinsi Banten. Dalam tulisan ini hendak ditelisik bagaimana suatu proses pembebasan lahan dapat dikatakan berhasil atau gagal. Sebab jika hanya berkutat pada teori semata, kita tidak akan belajar pada pengalaman, entah baik atau buruk. Dengan mengamati apa yang dianggap berhasil oleh warga pemilik lahan, diharapkan para pihak yang membutuhkan lahan dapat memahami dan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Dengan demikian, proses pembebasan lahan dapat diminimalisasi segala bentuk konfliknya. Persepsi Masyarakat tentang Keberhasilan dan Kegagalan Pembebasan Lahan, Relokasi dan Pemukiman Kembali Keberhasilan atau kegagalan suatu proses pembebasan lahan dan/atau relokasi/pemukiman kembali seringkali tidak hanya dapat dilihat oleh pihak yang membutuhkan tanah. Berdasarkan temuan empiris di lapangan, ada beberapa hal yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai indikator keberhasilan dan sebaliknya, jika hal tersebut terjadi hal yang berbeda, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan. Jeda Sosialisasi dengan Eksekusi Pembayaran
Salah satu tahapan yang cukup krusial dalam proses pembebasan lahan adalah pada saat sosialisasi. Pada saat itu, selain penyampaian rencana pembangunan waduk, tidak jarang disosialisasikan juga mengenai besaran nilai ganti rugi yang ditawarkan. Namun, saat sudah mencapai kesepakatan, ternyata tidak langsung dilakukan eksekusi pembayaran. Ada berbagai dampak yang dirasakan warga akibat lamanya waktu antara sosialisasi dan eksekusi pembayaran. Antara lain keengganan warga untuk merenovasi rumah, para pedagang (warung) yang ragu untuk membangun atau memperluas usahanya, petani/peladang yang enggan menaman tanaman yang berjangka sedang, apalagi berjangka panjang (tanaman keras) hingga masyarakat menjadi agak malas bekerja. Semua hal ini terjadi karena masyarakat senantiasa dibuai oleh mimpi terhadap besarnya nilai
pembebasan lahan dapat dikatakan berhasil manakala jika sudah ada sosialisasi dan dilanjutkan dengan negosiasi, kemudian langsung dilakukan pembayaran. ganti rugi (kompensasi) yang akan diperoleh. Bagi warga pemilik tanah, pembebasan lahan dapat dikatakan berhasil manakala jika sudah ada sosialisasi dan dilanjutkan dengan negosiasi, kemudian langsung dilakukan pembayaran. Akan tetapi, jika
menunggu waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluhan tahun, proses pembebasan lahan tersebut dapat dikategorikan tidak berhasil. Hasil perkiraan rentang jeda waktu sehingga proses pembebasan lahan tersebut dapat dikatakan berhasil adalah <1 tahun. Sedangkan jika rentang jeda waktu sehingga proses pembebasan lahan dikatakan gagal manakala jeda waktunya mencapai >1 tahun. Proses Sosialisasi dan Negosiasi Ada kecenderungan proses yang terjadi di masa lalu, terutama pada era Orde Baru, proses sosialisasi dan negosiasi berjalan dengan posisi yang tidak setara. Pihak yang membutuhkan tanah secara subjektif merasa posisinya lebih tinggi dibanding dengan orang yang tanahnya akan dibebaskan. Setelah rezim Orde Baru runtuh, cara-cara yang demikian sudah mulai mengalami perubahan. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan, pengaruh watak Orde Baru yang cenderung otoriter tersebut kadang-kadang masih muncul. Dalam penilaian masyarakat di waduk Karian mengenai keberhasilan dan kegagalan proses pembebasan lahan, semakin demokratis suatu kegiatan sosialisasi dan negosiasi maka dapat dikatakan semakin berhasil. Sebaliknya, semakin otoriter kegiatan sosialisasi dan negosiasi tersebut, semakin dapat dikatakan bahwa proses pembebasan lahan tersebut semakin gagal. Kepemilikan Harta Pembebasan lahan untuk pembangunan waduk bukan semata-mata meliputi rumah, EDISI KHUSUS TAHUN 2015
43
melainkan juga sawah dan tanah perkebunan. Ketika dilakukan upaya pembebasan, rumah dan tanah tersebut biasa dinilai dengan uang, dengan harapan agar pemiliknya dapat membeli kembali di tempat yang lain. Jika jumlah uang ganti rugi dapat digunakan untuk membeli harta benda di tempat yang lain dengan kualitas dan kuantitas yang sama, hal tersebut tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika nilai ganti rugi tersebut tidak dapat digunakan untuk membeli harta benda yang hilang akibat pembebasan lahan. Apalagi, ada kecenderungan jika di suatu lokasi terjadi pembebasan lahan, maka secara otomatis nilai/harga tanah di sekitarnya mengalami peningkatan. Tetapi jika untuk memperoleh mata pencaharian (ladang), ternyata mengalami penurunan atau pengurangan dan warga mengalami kesulitan untuk mencari nafkah, maka masyarakat mempersepsikan bahwa pembebasan lahan dapat dikatakan berhasil jika pemilik dapat memiliki harta benda (rumah, sawah, tanah perkebunan) yang dimiliki sebelumnya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Bahkan, lebih berhasil lagi kalau masih ada uang sisa dari pembelian tersebut (bertambah). Sebaliknya, jika tidak dapat membeli apa yang pernah dimiliki sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa pembebasan lahan tersebut mengalami kegagalan. Peluang Mata Pencaharian Bagi petani yang lokasi mata pencahariannya terkena pembebasan lahan, akan berharap kesuburan tanah di lokasi yang baru sama, bahkan kalau bisa lebih 44
DINAMIKA RISET - LITBANG
subur dibanding dengan tanah sebelumnya. Hal yang sama juga diharapkan oleh pedagang bahwa di lokasi yang baru adalah daerah yang ramai sehingga mendapat konsumen yang banyak pula. Oleh karena itu, secara umum petani di waduk Karian menilai bahwa pembebasan lahan dapat dikatakan berhasil jika tingkat kesuburan tanah sama atau lebih baik dibanding dengan lokasi yang lama. Sebaliknya, pembebasan lahan dapat dikatakan gagal jika tingkat kesuburan tanah lebih rendah dibanding dengan sebelumnya. Sedangkan khusus pedagang di waduk Karian, mereka mempersepsikan bahwa pembebasan lahan (relokasi) akan berhasil jika di lokasi yang baru jumlah konsumen sama atau bahkan lebih banyak daripada lokasi lama. Sebaliknya, pembebasan lahan (relokasi) dapat dikatakan gagal jika mereka dipindahkan ke lokasi yang kurang konsumennya sehingga mereka mengalami penurunan pendapatan. Pulang Kembali ke Lokasi Semula Meskipun sudah dilakukan pembayaran ganti rugi, kadangkadang masih ada orang yang terpaksa pulang ke lokasi yang lama akibat tidak tahan di lokasi yang baru. Umumnya mereka yang pulang karena kesulitan mencari nafkah di lokasi baru, sedangkan di lokasi yang lama masih terdapat beberapa lahan yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan pendapatan keluarga. Memperhatikan Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungan Memperhatikan pentingnya aspek sosial ekonomi dan lingkungan
pada penentuan nilai tanah dan pemukiman kembali, maka seyogyanya indikator-indikator yang ditemukan di lapangan dapat menjadi pertimbangan, baik dalam menyusun kebijakan maupun pada implementasinya di lapangan. Dasar alternatif perhitungan nilai tanah yang selama ini cenderung hanya memperhatikan hal-hal yang sifatnya tangible, maka mungkin sudah mulai dapat disadari bahwa dalam hubungan tanah dengan pemiliknya terdapat faktor-faktor yang sifat intangible. Hal-hal yang sifatnya intangible ini yang kadangkadang justru menjadi faktor penghambat proses pengadaan tanah. Jika faktor-faktor intangible berdasarkan temuan lapangan diperhatikan dalam perhitungan nilai ganti kerugian, maka diharapkan proses pengadaan tanah dapat lebih menghargai aspek-aspek kemanusiaan dan jatidiri, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok sosial masyarakat. Hasil identifikasi indikatorindikator keberhasilan, baik dalam pengadaan tanah maupun pemukiman kembali bukan hanya dilaksanakan sebatas legal-formal, melainkan juga secara sungguhsungguh diimplementasikan secara subtantif. Memperhatikan aspek sosial ekonomi dan lingkungan sesungguhnya merupakan manifestasi dari pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). (Ditulis ulang oleh Nanda Ika Dewi)
SABODAM MIKRO
DAN MENYELAMATKAN LAHAN SUBUR DIENG
sumber foto: istimewa
M
enurut Tim Kerja Penyelamatan Kawasan Dieng (TKPKD 2012) lebih dari 7000 hektar lahan di Dieng yang masuk dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, sudah menjadi lahan kritis. Harus ada program konservasi pada daerah aliran sungai (DAS) terutama di sub DAS daerah pegunungan dan perbukitan. Aktivitas budidaya pertanian di kawasan Dieng yang berlangsung intensif menyebabkan kondisi tanah rentan erosi. Para petani yang melakukan penanaman tiga kali dalam setahun (terutama tanaman kentang) umumnya belum menerapkan teknik konservasi lahan. Padahal lokasi pertanian berupa lahan dengan topografi bergelombang sampai bergunung dengan lereng yang terjal. Proses penggemburan
tanah juga dapat meningkatkan proses erosi. Akibatnya pada saat hujan proses erosi juga berlangsung intensif. Indikasi terjadinya erosi adalah tingginya kandungan lumpur pada aliran permukaan dan mengalir masuk ke alur-alur intermitten, mengumpul menjadi sedimen berkonsentrasi tinggi dan masuk ke aliran sungai. Para petani umumnya enggan melakukan teknik konservasi lahan karena masih beranggapan tidak memperoleh keuntungan secara langsung. Menurut Hardiyatmo (2006) erosi adalah suatu proses hilangnya lapisan tanah atas yang memiliki unsur hara bagi keperluan pertumbuhan dan kesuburan tanaman dan umumnya disebabkan karena pergerakan air. Erosi tanah dapat berubah
menjadi bahaya jika prosesnya berlangsung lebih cepat dari laju pembentukan tanah. Erosi yang mengalami percepatan secara berangsur akan menipiskan tanah, bahkan akhirnya dapat menyingkap bahan induk tanah atau batuan dasar ke permukaan tanah. Erosi semacam ini tidak hanya merusak lahan daerah hulu (upland) yang terkena erosi langsung, akan tetapi juga berbahaya bagi daerah hilir (lowland). Bahan erosi yang diendapkan di daerah hilir akan berakibat buruk pada bangunan atau tubuh alam penyimpanan atau penyalur air sehingga menimbulkan pendangkalan yang berakibat kapasitas tampung atau salurannya menurun dengan cepat serta merusak lahan usaha dan pemukiman. Oleh karenanya, usaha penanggulangan atau EDISI KHUSUS TAHUN 2015
45
pengendalian erosi harus menjadi bagian yang utama dari setiap rencana penggunaan lahan (land use planing). Dalam upaya mengurangi laju erosi lahan ada berbagai macam penanganan teknik konservasi tanah dan air yang dapat dilakukan. Penanganan erosi dapat dilakukan secara struktural ataupun vegetatif. Penanganan secara struktural salah satunya melalui penerapan teknosabo. Teknosabo diharapkan dapat menjadi sebagai salah satu alternatif penahan laju erosi di DAS bagian hulu dengan menggunakan sabodam mikro. Balai Sabo mulai dari tahun 2010 sampai tahun 2012 melakukan penelitian dengan cara menggunakan sabodam mikro untuk pengendalian aliran lumpur di DTD (Dataran Tinggi Dieng). Sabodam Mikro Teknosabo adalah teknik atau cara untuk mencegah atau mengurangi terjadinya bencana sedimen dan mempertahankan DTA agar tidak terjadi kerusakan lahan. Salah satu prinsip teknosabo adalah mengurangi, menghambat dan
mencegah aliran sedimen hasil erosi agar tidak menimbulkan daya rusak air. Upaya penanggulangan masalah erosi dan sedimentasi telah lama dilakukan di Indonesia dengan menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan menggunakan teknologi sederhana berupa penghutanan dan bendung pengendali sedimen. Menurut Soewarno 2013, Sabodam mikro, adalah ambang (weir) yang dibangun di alur intermitten, berfungsi sebagai alat ukur debit yang dilengkapi alat tampung sedimen suspensi dan bak tampung sedimen dasar atau lumpur hasil erosi yang endapannya dapat diambil dan dikembalikan ke lahan sekitarnya. Sabodam mikro hanya sebagai sarana atau alat ukur berapa volume sedimen yang dapat dikendalikan, selanjutnya masyarakat hanya dipahamkan cara membuat penampung sedimen yang sederhana dengan biaya murah. Sedimen yang tertampung wajib dikembalikan ke lahan mereka, sehingga dengan cara itu masyarakat dilibatkan untuk konservasi lahan mereka sekaligus mereduksi laju sedimentasi waduk agar waduk
tetap berfungsi sebagai sarana konservasi sumber daya air. Bentuk bangunan sabodam mikro terdiri dari 3 bak berbentuk empat persegi panjang yang berjajar. Pada bak I,merupakan penampung lumpur,sedimen dan air. Dari bak I dibuat saluran pipa pelimpah keluar ke bak II, yang dipergunakan untuk menampung suspended load yang tidak dapat tertahan pada bagian hulu. Dari bak II diberi saluran pelimpah ke bak III untuk menampung partikel halus. Pada masingmasing bak diberikan saluran pipa penguras yang dilengkapi penutup. Bangunan sabodam mikro dapat dibuat dari pasangan batako, ferosemen, bambu, batu atau ban bekas. Tiap satu sabodam mikro dengan daya tampung 2m3 dapat mewakili area seluas setengah hektar. Menurut Sumedi 2011, volume erosi Dieng 180.000m3/ ha/tahun, sehingga untuk satu hektar selama seminggu 3,4m3 (180m3 dibagi 52 minggu). Tampungan pada sabodam mikro harus dikeruk seminggu sekali. Menurut SNI 03-6737-2002 tentang Metode Perhitungan Awal Laju Sedimentasi Waduk,
Sabodam Mikro yang berperan mengurangi, menghambat dan mencegah aliran sedimen hasil erosi. 46
DINAMIKA RISET - LITBANG
sumber foto: Balai Sabo Puslitbang SDA
prinsip dasar kriteria pemilihan lokasi sabodam adalah bangunan sabodam sedapat mungkin pada tanah dasar dan atau tanah tebing yang keras, jika pada tanah endapan harus dilengkapi subdam dan lantai lindung (appron). Sementara dasar pertimbangannya merupakan efektifitas terhadap daya tampung, efisiensi dan keamanan lokasi terhadap limpasan. Syarat pembangunannya adalah sabodam harus diletakkan pada daerah erosi, pada palung sungai yang dalam, daya tampung yang tinggi. Penetapan lokasi pada bottle neck (penyempitan sungai), di hilir daerah yang berpotensial longsoran, di tempat lain yang sesuai dengan perencanaan, sesuai dengan kriteria pemilihan lokasi sabo dam maka dari penelitian telah dapat dibuat sebuah konsep peta rencana jaringan lokasi sabodam mikro. Nilai Sabodam di Masyarakat Persepsi masyarakat dalam ujicoba efektifitas sabodam mikro terlihat cukup baik. Petani kentang yang lahannya digunakan untuk uji coba kajian efektifitas sabodam mikro, mencoba untuk mengubah alur lahan kentang yang tadinya tegak lurus kontur menjadi sejajar kontur. Meskipun, tidak semua lahannya tegak lurus karena masih ada kekhawatirkan akan berdampak pada berkurangnya hasil panen kentang. Selain itu, masyarakat di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur Banjarnegara sudah mulai timbul kesadaran bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan pada lahan pertanian. Biaya produksi pertanian akan menjadi lebih mahal karena kualitas tanah sudah menurun. Mereka pun telah membentuk Kelompok Penyelamat Lingkungan
(KPL) Wijaya Kusuma dengan anggota seluruh komponen masyarakat. Bahkan dalam salah satu proposalnya tahun 2010 dikatakan bahwa: “bodoh sekali kita untuk terus menutup mata melihat keadaan ini dan menggantungkan keadaan ini kepada pihak lain tanpa ada kesadaran dari diri kami sendiri didasari dengan ibadah dan rasa memiliki. Untuk itu kami berkomitmen mulai dari kami sendiri dan mulai saat ini juga untuk mengembalikan Dieng seperti filosofinya yaitu DI dan HYANG yang berarti tanah syurga yang indah, melalui program Konservasi Hidrologis Daerah Tangkapan Air di Dataran Tinggi Dieng dan Penguatan Komunitas Pelaku Konservasi Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara” (Soewarno 2005). Kuesioner dari Ardian, dkk (2014) menunjukan keinginan dari para petani di Desa Bakal, Dieng terkait dengan lahan kentang di daerahnya. Mereka mendesak pemerintah memberi solusi upaya apa yang bisa mereka pakai agar bisa tetap bertani namun tidak merusak lingkungan. Petani di Dieng sudah semakin sadar bahwa mereka ingin kelestarian Dieng. Mereka butuh peningkatan ekonomi, karena lahan sudah semakin berkurang tingkat kesuburannya dari tahun ke tahun. Mereka mengetahui program penghijauan dan butuh bimbingan pemerintah serta contoh konservasi lahan. KPL Wijaya Kusuma, telah mempunyai program “Program Konservasi Hidrologis Daerah Tangkapan Air Di Dataran Tinggi Dieng Dan Penguatan Komunitas Pelaku Konservasi Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara”. Tujuan mewujudkan sistem pengelolaan konservasi melalui penghijauan
yang menjamin kelestarian lahan miring di Kawasan Dataran Tinggi Dieng (KDTD) dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh KPL Wijaya Kesuma antara lain hilangnya sumber mata air, kurangnya sistem pengolahan lahan miring dan tata kelola lahan yang kurang terstruktur, minimnya pengetahuan, kurangnya sarana dan prasarana, serta kurangnya dukungan dari instansi terkait. Program ini seyogyanya mendapat dukungan dari semua pemangku kepentingan. Termasuk pengaplikasian teknosabo di KDTD agar terhindar dari bahaya sedimen yang lebih parah. Diharapkan sabodam mikro dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penanganan erosi di Dataran Tinggi Dieng, antara lain untuk mengurangi erosi lahan pertanian, dan sedimen yang tertampung sabodam mikro dapat dikembalikan ke lahan pertanian. Selain itu juga sebagai pengendali banjir lumpur dan laju sedimentasi di daerah hilir seperti waduk maupun sungai. Serta menjadi model percontohan mengukur erosi dan angkutan sedimen dengan berbagai perlakuan lahan serta percontohan konservasi serta membuat contoh Dam Sabo berinovasi di Dataran Tinggi Dieng. Hasil dari Model Fisik sabodam mikro diharapkan juga dapat dimanfaatkan oleh instansi terkait seperti Dirjen SDA Kementerian PU, Indonesia Power yang mengelola Waduk Mrica, Pemkab Banjarnegara dan Pemkab Wonosobo dalam upaya pengendalian sedimen di kawasan Dataran Tinggi Dieng yang akan berpengaruh ke daerah hilirnya. (Ditulis ulang oleh Nanda Ika Dewi) EDISI KHUSUS TAHUN 2015
47
MERENCANAKAN KOTA HIJAU MEWUJUDKAN LINGKUNGAN SEHAT
“.... a city where I can have a healthy life and where I have the chance for easy mobility… The liveable city is a city for all people”. Harberg
sumber ilustrasi: istimewa
I
tulah definisi livable city, kota layak huni, menurut Harberg, seorang ahli tata kota. Livable City merupakan gambaran sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas. Kondisi nyaman itu dilihat dari berbagai aspek, baik aspek fisik yang mencakup antara lain fasilitas perkotaan, prasarana, dan tata ruang, maupun 48
DINAMIKA RISET - LITBANG
aspek non-fisik seperti hubungan sosial dan aktivitas ekonomi. Alih-alih mimpi, cita-cita untuk menciptakan kota layak huni dapat dibumikan antara lain dengan upaya membuka Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dalam konteks perubahan iklim yang tengah menjadi pembicaraan hangat dewasa ini, keberadaan RTH sangat relevan karena
sifatnya yang multifungsi. Pertama, menjaga temperatur mikro kotakota tropis kita melalui penyerapan gas rumah kaca, memberikan peluang yang lebih besar bagi retensi hujan untuk menghindari banjir, dan memperindah citra kota dalam konteks lanskap perkotaan. Pemerintah Indonesia sendiri telah mengakomodasi hal itu. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 telah mengamanatkan
bahwa penyediaan RTH minimal adalah 30%, di mana jumlah itu terdiri atas 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Proporsi 30% yang diamanatkan merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal. Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 (PermenPU 5/2008) tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan fakta sebaliknya, keberadaan RTH jauh dari proporsi ideal, kekuatan pasar yang dominan merubah fungsi lahan sehingga keberadaan RTH semakin terpinggirkan bahkan diabaikan fungsi dan manfaatnya. Kota hijau menurut Djoko Kirmanto memiliki 8 atribut antara lain: 1. Green Planning and Design, kota hijau memiliki perencanaan dan perancangan kota yang beradaptasi dan peduli terhadap kondisi dan kelangsungan lingkungan kota. 2. Green Open Space, mewujudkan jaringan ruang terbuka hijau kota berupa taman kota, hutan kota, dan kawasan konservasi hijau lainnya yang tidak
hanya punya fungsi sebagai estetika kota tetapi juga punya fungsi lain sebagai daerah resapan, tempat interaksi, tempat belajar, dan tempat perlindungan untuk biodiversity kota. 3. Green Community, kota hijau menyangkut semua aspek kehidupan kota termasuk masyarakatnya. Masyarakat hijau memiliki kepekaan, kepedulian, dan peran aktif terhadap perencanaan dan pembangunan kota menuju kota hijau. 4. Green Transportation, kota hijau harus memiliki sistem transportasi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Mengutamakan transportasi massal dengan bahan bakar yang rendah emisi CO2 sebagai mobilitas masyarakatnya, selain itu juga menanamkan budaya bersepeda dan berjalan kaki. 5. Green Waste, memaksimalkan penerapan program 3R (reduce, reuse, recycle) dalam mengatasi permasalahan mengenai sampah kota. 6. Green Water, efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya air dan bagaimana kota hijau mampu menjamin kelestarian sumber daya air tersebut. 7. Green Energy, kota hijau memanfaatkan sumber energi terbarukan yang efisien, berasal dari alam, dan ramah lingkungan. 8. Green Building, konstruksi bangunan yang berasal dari bahan-bahan ramah lingkungan menjadi aspek
penting dalam kota hijau. Bahan-bahan yang ramah lingkungan dan disertai dengan konstruksi yang efektif dan efisien akan memberikan manfaat. Untuk mengukur kesiapan kota dalam melaksanakan P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau), diperlukan instrumen dan analisis yang tepat, yakni dengan sistem indeks checklist. Penggunaan Check List Index bertujuan untuk mengetahui sejauh mana P2KH berjalan di daerah kabupaten/kota sasaran berdasarkan instrumen kebijakan yang telah dibuat oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota, yang dilihat dari aspek policy, planning, dan implementasinya. Check List Index terdiri dari indikator input, indikator proses, dan indikator output. Dalam kajian ini, dari total delapan kriteria, cakupan P2KH dibatasi pada capaian pada green planning and design, green open space dan green community. Check List Index menjadi acuan pengukuran pelaksanaan P2KH di beberapa kota, yakni Kabupaten Badung (Bali), Kota Bukittinggi (Sumatera Barat), Kota Malang (Malang), Kabupaten Tasikmalaya (Tasikmalaya), Kota Yogyakarta (Yogyakarta) dan Kota Surabaya (Surabaya). Hasil rekapitulasi checklist index menunjukkan Kota Yogyakarta dan Badung masuk dalam kategori tinggi, Tasikmalaya kategori sedang, dan Bukittinggi kategori kurang. Dengan kata lain efektivitas Program Pengembangan Kota Hijau yang tinggi terdapat di Yogyakarta dan Badung. Kota hijau (green city) adalah kota yang sehat secara ekologis. Kota EDISI KHUSUS TAHUN 2015
49
hijau harus dipahami sebagai Badung. Dengan hasil itu, secara kota yang memanfaatkan secara keseluruhan Kota Yogyakarta efektif dan efisien sumber daya air meraih peringkat tertinggi. dan energi, mengurangi limbah, menerapkan system transportasi Untuk motivasi dan efikasi, terpadu, menjamin kesehatan tampak bahwa efikasi diri dan lingkungan, mensinergikan motivasi tim pelaksana P2KH lingkungan alami dan buatan, umumnya berada pada level yang berdasarkan perencanaan dan memadai untuk melaksanakan perancangan kota yang berpihak tugas. Kondisi ini dapat pada prinsip-prinsip pembangunan berkembang ke arah yang lebih berkelanjutan. Dalam Green baik mana kala adanya target City Guidelines yang diterbitkan yang jelas, pemahaman yang oleh UCD Urban Institute lebih komprehensif mengenai Ireland dijelaskan bagaimana P2KH, serta dukungan yang latar belakang munculnya cukup dari pimpinan daerah dan konsep green city dalam upaya komunitas/masyarakat. Untuk mewujudkan lingkungan kota valuasi, Program Pengembangan yang berkelanjutan. Konsep kota berkelanjutan diawali dengan adanya kepedulian terhadap efek dari kegiatan manusia terhadap lingkungan alami (natural environment), khususnya penyediaan kebutuhan dasar seperti sanitasi, transportasi dan perumahan. Maka perlu dilakukan penyediaan fasilitas yang memasukkan unsur perlindungan biodiversity dalam sumber ilustrasi: istimewa pembangunan (UCD Urban Taman Adipura Abubakar Ali Yogyakarta Institute Ireland, 2008: VII). Kota Hijau (P2KH) melalui pembangunan Ruang Terbuka Mengacu hal itu, rekomendasi Hijau berupa Taman Kota, telah hasil studi mengenai ruang memberikan manfaat kepada terbuka hijau sebagai langkah masyarakat luas, baik berupa awal mewujudkan kota hijau di manfaat ekologis maupun manfaat sejumlah kota dapat menjadi ekonomis. Manfaat ekologis dan strategi dalam pengelolaan kota manfaat ekonomis taman kota secara umum. Kota Yogyakarta, ini ditunjukkan oleh kesediaaan Badung, Tasikmalaya, dan membayar (willingness to pay) yang Bukittinggi memiliki skor yang sangat tinggi dari masyarakat, baik tinggi terkait penyediaan ruang dalam bentuk in kind maupun in cash terbuka hijau dan pelaksanaan contribution. program pengembangan kota hijau. Dalam nilai agregat Semua variabel efektifitas kotaefektivitas, Kota Yogyakarta dan kota yang telah berkomitmen Badung masuk dalam kategori menyediakan ruang terbuka hijau tinggi, diikuti Surabaya dan Malang, kemudian Tasikmalaya dan menunjukkan nilai yang tinggi. Untuk selanjutnya, diperlukan Bukittinggi. Efektivitas Program strategi maintenance/pemeliharaan Pengembangan Kota Hijau yang agar upaya ini terus berlangsung tinggi terdapat di Yogyakarta dan 50
DINAMIKA RISET - LITBANG
secara lestari (sustainable). Strategi yang perlu diupayakan terkait dengan motivasi-efikasi diri yaitu membuat pola koordinasi yang baik dengan pelaksanaan P2KH dengan sektor lain dan mendorong integrasi program-program internal dengan P2KH. Tidak kalah penting adalah mengembangkan rasa percaya dari warga kepada perangkat pemerintah sekaligus rasa memiliki di antara warga terhadap kotanya. Dengan begitu, apapun programnya, terutama program pengembangan kota hijau, menjadi milik bersama. Cita-cita menjadi kota hijau pun bukan lagi sekadar mimpi. Seperti kita ketahui bersama, dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2015 mengenai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), tugas atau program fisik ex-Direktorat Jenderal (Ditjen) Penataan Ruang dilanjutkan pembinaannya oleh Kementerian PUPR dengan tanggung jawab di ranah Ditjen Cipta Karya. Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan sendiri akan mengintegrasikan program Permukiman Berkelanjutan 1000-100 dengan program P2KH dengan pembangunan RTH yang berkualitas. Selain itu ke depan, P2KH ke depan harus mengalami upscalling, bukan hanya memiliki 3 atribut, tetapi juga masuk ke dalam atribut Kota Hijau yang lain. Komitmen yang kuat dari Kementerian PUPR, Pemerintah Kabupaten/Kota akan semakin menambah semangat dan daya juang dalam mewujudkan Kota Hijau. Perlu diingat, warisan apa lagi yang dapat kita wariskan kalau bukan kota yang nyaman, lingkungan yang asri, dan keberlanjutan sosial-ekonomi lingkungan yang harmonis. (Ditulis ulang oleh Nanda Ika Dewi)
STABILITAS PONDASI MENGAMBANG SABODAM sumber foto: Puslitbang Jalan dan Jembatan
I
ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan struktur topografi yang berbukit-bukit, serta berada pada garis lingkar api dunia, dan memiliki kurang lebih 130 gunung api aktif yang sering memuntahkan material vulkanik. Hal tersebut menyebabkan Indonesia menjadi kawasan yang rentan terhadap bahaya longsor dan aliran lahar/debris. Pada kejadian bencana alam letusan gunung berapi pada tahun 2010, sebuah gunung berapi aktif di Indonesia pernah memuntahkan material vulkanik hasil erupsi
kurang lebih sebesar 140 juta m3. Sebagian besar material vulkanik tersebut telah terangkut ke hilir melalui sungai-sungai yang berhulu di puncak Gunung Api Merapi dan mengakibatkan endapan sedimen pada palung sungai semakin tebal. Endapan material vulkanik baik pada lereng maupun pada palung sungai tersebut menyimpan potensi bahaya yang sangat besar berupa banjir lahar. Diketahui bahwa salah satu tugas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) adalah mengendalikan banjir lahar dan aliran debris lainnya agar tidak menimbulkan
bencana. Dikarenakan pernah adanya peristiwa ancaman banjir lahar ini maka dirasakan perlu untuk melakukan kajian terhadap struktur pondasi mengambang yang diuraikan dalam naskah ilmiah ini. Salah satu bangunan yang diterapkan untuk mengendalikan bahaya longsoran dan terutama aliran lahar di daerah gunung berapi adalah bangunan sabo yang disebut sabodam. Sabo sendiri sebenarnya merupakan adalah istilah yang berasal dari bahasa Jepang yang terdiri dari dua suku kata ‘SA’ yang berarti EDISI KHUSUS TAHUN 2015
51
pasir (sand) dan ‘BO’ yang berarti penanggulangan (prevention). Jadi kata Sabo mempunyai arti penanggulangan bencana yang diakibatkan oleh pergerakan massa sedimen. Sedangkan untuk bangunannya disebut sabodam. Sabodam adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi untuk menahan, menampung dan mengendalikan aliran sedimen/ debris/lahar. Endapan material vulkanik pada alur sungai di daerah gunung berapi pada umumnya bersifat lepas dan sangat tebal dan menjadi faktor utama terbentuknya aliran lahar/ debris. Sabodam yang dibangun di atas endapan material vulkanik tersebut tetaplah harus berpegang pada prinsip stabilitas yang aman, dan oleh sebab itu, kegiatan litbang tentang stabilitas pondasi mengambang sabodam yang dituangkan dalam naskah ilmiah ini perlu diapresiasi. Diawali dengan pengantar, dalam buku ini dijelaskan latar belakang, batasan masalah dan tujuan penelitian, serta dilengkapi dengan tinjauan pustaka. Konsep pondasi mengambang sabodam menjadi inti isi buku ini, yang menjelaskan dasardasar pemikiran, kelebihan dan kelemahan pondasi mengambang, penerapan pondasi mengambang, keruntuhan sabodam pasca erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu, dan penyempurnaan pondasi mengambang. Lingkup kegiatan yang dibahas di sini meliputi tiga jenis kajian yaitu: Kajian Lingkungan, Kajian Struktur dan Kajian Hidraulika. Kajian lingkungan perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh endapan vulkanik hasil letusan Gunung Api Merapi 2010 yang jumlahnya tujuh kali lebih besar dari kemampuan kapasitas tampung seluruh 52
DINAMIKA RISET - LITBANG
bangunan sabodam yang ada di daerah Gunung Api Merapi, terhadap kerusakan bangunan sabodam. Kajian struktur perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan bangunan sabodam yang paling banyak terjadi pada kejadian banjir lahar pasca letusan Gunung Api Merapi 2010. Sedangkan kajian hidraulika adalah untuk mengetahui kedalaman gerusan lokal di hilir bangunan sabodam yang dilakukan melalui uji model hidraulik. Lebih lanjut dijelaskan tentang bangunan Sabo yang merupakan bangunan pengendali aliran debris atau lahar yang dibangun melintang alur sungai. Prinsip kerja Bangunan Sabo adalah mengendalikan sedimen dengan cara menahan, menampung dan mengalirkan material/sedimen yang terbawa oleh aliran dan meloloskan air ke hilir. Untuk daerah vulkanik yang letak batuan kerasnya (bedrock) berada pada lapisan yang cukup dalam, maka sabodam dibangun dengan pondasi mengambang (floating foundation). Artinya bangunan ini dibangun di dasar sungai tanpa pondasi yang mengikat ke dalam lapisan tanah keras dengan asumsi bahwa material dasar sungai daerah vulkanik yang didominasi pasir memiliki stabilitas dan daya dukung yang cukup baik. Banjir lahar pasca erupsi Merapi tahun 2010, mengakibatkan 77 unit sabodam yang ada di sungai-sungai lahar Merapi mengalami kerusakan atau bahkan hanyut terbawa aliran lahar (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak, 2011). Salah satu penyebab keruntuhan sabodam diduga karena sabodam di atas dasar yang tidak stabil (movable bed material), sehingga tidak cukup mampu mengikat bangunan
untuk tetap pada posisi semula. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait konsep pondasi mengambang untuk memahami kelemahan dalam implementasinya, mekanisme kegagalan serta penyesuaian lebih lanjut untuk perbaikan pengelolaan. Dari hasil pengamatan dan identifikasi kerusakan sabodam akibat banjir lahar pasca letusan Gunung Api Merapi 2010, diperoleh penyebab dominan kerusakan sabodam pada sungai-sungai yang berhulu di Gunung Api Merapi adalah gerusan lokal (local scouring). Untuk meningkatkan stabilitas sabodam disarankan pondasi sabodam untuk diperdalam dan dibuat seri kecil (steps dam) sebagai bangunan pengunci kestabilan kelompok sabodam yang ada di hulunya. Selain dilengkapi dengan daftar gambar dan daftar tabel sebagaimana lazimnya sebuah buku ilmiah, buku ini juga dilengkapi dengan daftar istilah dan daftar notasi. Istilah-istilah yang penting untuk dipahami adalah sebagai berikut. Abrasi adalah berkurangnya permukaan sabodam akibat pengikisan, pergesekan dan benturan oleh aliran banjir yang membawa sedimen. Agradasi adalah kenaikan dasar sungai. Angkutan sedimen adalah pergerakan material batuan dan tanah yang berasal atau berada di lembah, tebing, dan dasar sungai oleh aliran air. Debris adalah campuran pekat sedimen dan air pada suatu aliran banjir yang biasanya terjadi pada sungai di bagian hulu. Degradasi dasar sungai adalah penurunan dasar sungai yang terjadi akibat terangkutnya material pembentuk dasar sungai oleh aliran air. Desain adalah rangkaian proses pemikiran dalam
hal penentuan lokasi, tipe dan ukuran bangunan dengan segala kelengkapannya yang diperlukan, sehingga dapat dibangun, dioperasikan, dipelihara dan dipantau agar dapat berfungsi dengan baik sesuai persyaratan yang dikehendaki, sehingga bangunan aman, kuat dan stabil terhadap segala faktor-faktor yang berpengaruh terhadap bangunan tersebut. Desain struktur adalah tahapan kegiatan desain berupa tinjauan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan dan tanah pondasi, untuk mendapatkan tata letak, bentuk, dan dimensi bangunan beserta kelengkapannya sehingga aman dan stabil. Lubang Air (drip hole/drain hole) adalah lubang yang dibuat pada tubuh bangunan sabodam untuk mengurangi tekanan ke atas (uplift pressure) dan untuk memudahkan dalam pelaksanaan konstruksi. Gerusan Lokal adalah gerusan (scouring) setempat yang terjadi di bagian hilir bangunan sabodam, akibat energi loncat aliran air banjir. Pondasi mengambang adalah pondasi bangunan sabodam yang diletakkan pada endapan dasar sungai yang tebal dan mudah bergerak (movable bed materials). Sungai adalah tempat-tempat
dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari sumber air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya sepanjang pengalirannya oleh garis sepadan yaitu garis luar pengaman (Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 (PP 35/1991), Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/M/1993 (PermenPU 63/1993)) Sedangkan untuk notasi, beberapa notasi penting untuk diketahui. W merupakan notasi untuk tinggi jagaan dengan satuan ukur meter. H merupakan notasi untuk beda tinggi permukaan air di hulu dan hilir sabodam, sedangkan D merupakan notasi untuk kedalaman gerus lokal di hilir sabodam dengan masing-masing satuan ukur adalah meter. Untuk debit air rembesan notasi adalah Q dengan satuan ukur sentimeter per 3 detik. K merupakan notasi untuk koefisien permeabilitas tanah dengan satuan ukur sentimeter per detik. A merupakan notasi untuk luas penampang media tanah yang dilewati air rembesan dengan satuan ukur sentimeter persegi. Hukum Darcy digunakan untuk kecepatan air tanah dengan notasi huruf kapital V dan satuan ukur
digunakan sentimeter per detik. Sedangkan untuk kecepatan kritik aliran digunakan notasi Vc dengan satuan ukur yang sama. Beberapa notasi yang tidak memiliki satuan ukur diantaranya notasi huruf i untuk menjelaskan gradient hydraulic dan notasi huruf n untuk porositas. Juga terdapat notasi Cw untuk koefisien rayapan lane (creep coefficient) dan notas Nf untuk jumlah garis aliran dan notasi Nd untuk jumlah garis eqipotensial dan notasi Gs untuk berat jenis tanah. Huruf e kecil merupakan notasi untuk angka pori (voids ratio). Scal merupakan notasi untuk kemiringan hidraulik hitungan dan Scr adalah notasi untuk critical exit gradient. Meskipun secara keseluruhan isi buku ini belumlah sempurna, namun dengan membaca buku ini dapat menambah pengetahuan bagi para peneliti, kalangan akademisi maupun peminat, untuk mengenali sabodam dengan pondasi mengambang serta untuk melakukan pengembangan lebih lanjut. (Ditulis ulang oleh Retta Ida Lumongga).
sumber foto: istimewa
Kerusakan sabodam akibat arus lahar dingin yang tinggi akibat dari erupsi gunung merapi 2010 lalu. EDISI KHUSUS TAHUN 2015
53
sumber foto: istimewa
PENGENDALIAN DRAINASE GAMBUT DI KAWASAN PENYANGGA BUDIDAYA TERBATAS
K
erusakan lahan gambut secara umum telah dimulai sejak dua dekade lalu. Penyebabnya bukan saja karena penebangan vegetasi yang ada di atasnya, tapi juga karena terjadi pengurasan air gambut secara berlebih (over drainase) melalui saluran-saluran yang dibangun di atasnya. Pembangunan saluran-saluran awal mulanya digunakan untuk mengatur tata air bagi kegiatan pertanian dan sebagai sarana transportasi kayu tebangan dan produk bukan kayu dari dalam hutan. Saluran-saluran di lahan gambut jumlahnya sangat banyak dan tersebar dipelbagai lokasi lahan gambut, terutama di Sumatera, 54
DINAMIKA RISET - LITBANG
Kalimantan, dan Papua. Keberadaan saluran-saluran ini pada mulanya ditujukan untuk mengatur muka air tanah gambut, namun kenyataannnya telah menimbulkan kondisi over drainase yang menyebabkan penurunan muka air tanah gambut tanpa terkendali. Untuk mengatasi kondisi demikian, diperlukan upaya-upaya untuk mengangkat kembali tinggi muka air tanah gambut agar gambut menjadi basah dan tidak mudah terbakar, serta untuk mengurangi laju oksidasi dan subsidensi. Permasalahan menjadi semakin kompleks sejak pembuatan saluran-saluran di lahan gambut tersebut telah bertambah luas hingga merambah ke lahan-
lahan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (umumnya akasia). Kondisi demikian sangat mencemaskan, karena menimbulkan berbagai permasalahan, baik di level lokal, nasional, maupun internasional. Contoh kasus yang paling sering terjadi dan membutuhkan penanganan serius adalah keringnya lahan gambut yang pada akhirnya mempermudah timbulnya kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar. Keadaan seperti ini tidak hanya menyebabkan kerusakan bio-fisik gambut, tapi juga menimbulkan gangguan kesehatan, kerugian ekonomi, serta bertambahnya emisi gas rumah kaca yang sangat besar dan berdampak terhadap perubahan iklim global.
Kerugian-kerugian seperti ini akan diperparah, karena selain terbakar, gambut juga (akibat drainase) mengalami oksidasi dan subsidensi secara kontinyu yang akhirnya mengakibatkan hilangnya materi gambut dalam jumlah besar. Kondisi demikian akan makin memburuk apabila drainase dilanjutkan dengan memperdalam saluran. Karena dengan semakin turunnya muka air permukaan pada saluran, materi gambut akan menjadi semakin kering, sehingga fungsi lahan gambut sebagai penahan air akan semakin berkurang dan bahaya banjir pada muara sungai semakin meningkat. Dalam jangka waktu beberapa puluh tahun ke depan, akibat drainase dan turunan-turunannya, seluruh materi gambut akan hilang. Seluruh karbon dari lahan gambut teremisi ke atmosfer serta tanah mineral yang dahulu berada di bawah lapisan gambut akan terekspose. Pada kondisi demikian, akan terbentuk cekungan/depresi (basin) yang akan berisikan genangan air menyerupai danau. Pengelolaan lahan gambut yang tepat menuntut tindakan pencegahan dan/atau penghentian terjadinya drainase di seluruh lahan gambut dalam (>3 meter), yaitu dengan tidak membangun saluransaluran drainase. Jika sudah terlanjur terdapat saluran/ parit penanganan dilakukan melalui pembangunan bendungbendung di dalam saluran serta meminimalisir drainase di lahan gambut dangkal hingga sedang (<3 meter) yang bersebelahan dengan gambut dalam (>3 meter).
Pada gambut sedang atau dangkal, drainase harus dibatasi. Akan tetapi, apabila sudah terlanjur ada, maka perlu dibangun sarana pengendali air (pintu air) untuk memastikan bahwa berkurangnya air sepanjang musim kemarau dapat diminimalisir, sedangkan pada musim hujan kelebihan air dapat dialirkan keluar. Tindakan pencegahan yang sama juga dilakukan pada lahan gambut dengan ketebalan 2-3 m tetapi memiliki fungsi ekologis yang signifikan seperti di selatan Papua (Euroconsult Mott MacDonald and Deltares, Delft Hydraulics, 2008).
tersebar di atas tanah gambut. Benih-benih ini akan tumbuh dengan sendirinya secara alami, jika air tanah gambut di bawah atau sekitarnya sudah naik. Namun demikian, upaya pengayaan jenis-jenis tumbuhan (species enrichment), dapat saja dilakukan. Akan tetapi, pengerjaannya dilakukan setelah pembendungan dan muka air tanah gambut telah kembali normal. Ciri-ciri tanah gambut yang sudah normal adalah tanah gambut tersebut basah kembali.
Berdasarkan hasil studi di kawasan gambut Desa Sei Ahas, besaran emisi gas karbon dioksida akan semakin kecil bila muka air tanah gambut semakin tinggi. Sedangkan pada lahan gambut yang terendam oleh air tidak mengalami oksidasi sehingga tidak menghasilkan emisi CO2. Ketinggian muka air tanah gambut sangat bergantung pada macam kegiatan yang berlangsung di atas atau sekitarnya. Terutama jika kegiatan-kegiatan tersebut diikuti dengan adanya saluransaluran yang bertujuan untuk men-drainase air gambut.
Dalam bahasa Dayak, bendung disebut tebat/tabat, yang berarti penyekatan (blocking) saluran atau parit dengan membuat bendung di dalamnya. Di Kalimantan Tengah kegiatan semacam ini sudah sejak lama dilakukan, tapi dalam skala kecil. Pembendungan saluran di lahan gambut bertujuan untuk menaikkan air tanah gambut setinggi mungkin, yang pada akhirnya diharapkan dapat: (a) menurunkan laju oksidasi dan subsidensi gambut, (b) membasahi gambut untuk mengurangi resiko kebakaran, dan (c) meningkatkan kelembaban tanah untuk pertumbuhan vegetasi dan penanaman kembali (rehabilitasi). Untuk dua butir pertama yang disebutkan di atas, pada akhirnya akan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Upaya untuk menaikkan kembali muka air tanah gambut dapat dilakukan dengan membendung kanal-kanal tersebut (di Kalimantan Tengah dikenal dengan istilah ‘menabat’). Setelah air tanah gambutnya naik, jika diperlukan, dapat dilanjutkan dengan upaya rehabilitasi vegetasi. Kegiatan yang terakhir disebutkan, mungkin tidak diperlukan jika pada sekitar lokasi gambut yang dibendung masih banyak dijumpai adanya benih-benih tumbuhan asli yang
Restorasi Hidrologi atau Tata Air Di Lahan Gambut
Sebaliknya, butir terakhir pada akhirnya akan menambah cadangan karbon pada lokasi tersebut. Untuk menaikkan muka air tanah gambut, sebagaimana disebutkan di atas, dapat dicapai melalui pembangunan bendungbendung/sekat-sekat sebanyak mungkin di dalam sebuah EDISI KHUSUS TAHUN 2015
55
saluran, yaitu agar beda tinggi muka air tanah antar sekat/ bendung dipertahankan sekitar 0,2 m. Untuk mencapai kondisi demikian, diperlukan jumlah bendung/sekat yang cukup banyak (tergantung gradient/ longitudinal slope dari permukaan saluran yang terdapat di lahan gambut) dan puncak bendung harus melampaui permukaan tanah gambut di dekatnya. Artinya, setiap bendung/ sekat yang dibangun harus mampu mengangkat muka air tanah gambut mendekati level ketinggian (atau melebihi) tanah gambut di bagian atas/hulu atau sekitar 20 cm di bawah muka gambut (atau >20 cm) pada bagian hilir/bawah dan sekitarnya. Untuk membuktikan bahwa beda tinggi muka air di dalam saluran sebesar 20 cm efektif dalam menaikan tinggi muka air di dalam saluran dan lahan gambut sekitarnya, diperlukan suatu penelian yang mendalam dan berlangsung lama (mencakup saat kemarau dan musim hujan). Angka 20 cm ini dianggap wajar, memadai dan mendukung kebijakan/Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomasa juga Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengellaan Ekosistem Gambut. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa tanah di lahan basah (gambut) dinyatakan rusak jika muka air tanahnya lebih dari 25 cm (PP 150/2000) atau lebih dari 0,4 m (PP 70/2014) . Bangunan bendung/sekat harus cukup kuat dan mampu bertahan sekurangnya 10 tahun berdasarkan pengalaman 56
DINAMIKA RISET - LITBANG
WI-I di Kalimantan Tengah. Dalam kurun waktu 10 tahun, karena air dalam saluran dapat dipertahankan selalu ada (bahkan cukup tinggi saat musim hujan) akibat adanya bendung. Vegetasi di pinggir saluran yang dibendung dan juga vegetasi yang ditanam di atas bendung akan tumbuh subur. Akar tanaman di atas bendung dalam jangka waktu tertentu (cukup lama), diharapkan dapat menyat u dengan badan/materi
Bangunan bendung/ sekat harus cukup kuat dan mampu bertahan sekurangnya 10 tahun gambut yang terdapat di dalam bangunan bendung. Sedangkan perakaran tumbuhan pada kedua lokasi ini diduga mampu menahan partikel gambut agar tidak tercuci ke dalam saluran. Reruntuhan daun atau bagian-bagian tanaman yang jatuh di lantai gambut akan memperkaya keberadaan bahan organik (karbon) di tepi saluran dan di atas bendung. Jika tanaman yang tumbuh jauh berada ke bagian tengah daratan lahan gambut, maka perolehan karbon akibat penggenangan dapat lebih tinggi. Namun, kondisi demikian perlu dikaji lebih mendalam agar diketahui besarnya laju pembentukan gambut ak ibat adanya reruntuhan bagian-bagian tanaman tersebut. Dari pengalaman pembendungan yang dilakukan WI-I selama ini, bendung/sekat hanya kuat jika dibangun dari bahan pengisi bendung yang dimampatkan/ kompaksi dan menghindari adanya aliran air melalui celah-celah bendung. Bangunan bendung biasanya mengalami kerusakan akibat kebocoran air melalui pori
tanah baik dari samping maupun dari bawah bangunan bendung dikarenakan besarnya porositas dari tanah gambut dan/atau kuatnya arus air di dalam saluran. Antisipasi yang dilakukan adalah untuk mencegah hilangnya gambut dari habitat semula. Karena kondisi tersebut dapat menimbulkan daerah genangan/ banjir secara luas dan bahkan dikhawatirkan berdampak terhadap pemukiman penduduk serta sarana dan prasarana publik yang ada di sekitarnya. Banjir/ genangan tersebut bahkan dapat berisikan air laut karena kebanyakan lahan gambut di Indonesia terletak tidak jauh dari pantai. Meninggikan muka air tanah dengan pembendungan (canal blocking) merupakan suatu teknik yang digunakan untuk merehabilitasi tata air (hidrologi) lahan rawa gambut yang terdegradasi. Upaya demikian akan menjadikan lahan rawa gambut basah kembali (rewetting) dan nilai serta manfaat/peruntukannya dapat ditingkatkan. Penanganan masalah lahan rawa gambut dengan cara meninggikan kembali muka air tanah dianggap sebagai cara/ metoda yang sangat efektif dan ramah lingkungan. Karena dengan membasahi kembali lahan gambut yang tadinya kering akibat drainase, peristiwa kebakaran pada lahan dan hutan (yang menyebabkan emisi gas rumah kaca) akan dapat dikurangi dan upaya demikian dapat berkontribusi besar dalam memenuhi komitmen pemerintah RI untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020. (Ditulis ulang oleh Nanda Ika)
SOFT LAUNCHING ”PINTU” PUSAT INFORMASI TERPADU Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bersama Kompasiana mengadakan acara soft launching Pusat Informasi Terpadu (PINTU) yang dilanjutkan dengan dialog bersama para blogger Kompasiana dengan tema “Hadirkan Solusi Seiring Inovasi” pada 5 Desember 2015 di lobi Gedung Heritage Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Soft launching PINTU yang dibuka oleh Kepala Balitbang PUPR Arie Setiadi, masyarakat bisa bertanya dan mendapatkan informasi mengenai Balitbang dan produk-produk hasil Balitbang melalui media online maupun cetak yang disediakan oleh petugas PINTU. Pengunjung PINTU juga dapat berinteraksi langsung dengan pejabat terkait melalui teleconferences untuk melakukan konsultasi.
Peresmian soft lauching PINTU dibuka oleh Kepala Balitbang
Melakukan teleconferences dengan Pusat-Pusat Litbang di Bandung.
Acara dilanjutkan dialog interaktif bersama blogger kompasiana dengan narasumber Kepala Balitbang PUPR, Leonarda Ibnu Said pemerhati lingkungan, dan Dendy Priandana dari Kepala Dinas Tata Kota Bangunan dan Permukiman (DTKP) Kota Tangerang Selatan, membahas persoalan lingkungan, banjir, sampah serta inovasi dan solusi yang Balitbang dapat diberikan kepada masyarakat. Dialog interaktif bersama para blogger kompasiana.
Foto bersama Narasumber, Blogger Kompasiana dan Panitia
sumber foto-foto: M. Harsya Pambudi