"PRODUCT LIABILITY" DALAM PENYELENGGARAAN PENERBANGAN Amad Sudiro' Abstract
Defective product is one of the contributing factors of aircraft accidents in aviation transportation. This may well relate to the liability of aircraft manufacturer companyfrom a legal perspective. However, these regulations on manufacturer liability has yet to ftnd an implicit direction within the shrines of international conventions in aviation field and Indonesia's national aviation act. In practice, aircraft manufacturer liability due to defective product would have to be resolved in litigation process by invoking the strict product liability principle. Key words: products liability, aircraft accident, product liability
Abstrak
Produk cacat adalah salah salu faktor kecelakaan pesawat dalam transportasi penerbangan. Ini mungkin berhubungan dengan kewajiban perusahaan produsen pesawat dari perspektij hukum. Namun. peraturan tentang kewajiban produsen belum menemukan arah yang implisit dalam konvensi internasional di bidang penerbangan dan Peraturan perundangundangan penerbangan nasional. Dalam prakteknya, kewajiban produsen pesawat, karena produk eacat harus diselesaikan dalam proses litigasi dengan menerapkan prinsip kewajiban produk yang ketal. Kata kunci: pertanggungjawaban produk, kecelakaan penerbangan, kewajiban produk
I. Pendahutuan
Penyelenggaraan kegiatan penerbangan semakin dirasakan sangat strategis dalam rangka mendukung kegiatan ekonomi, mendorong pertumbuban dan pengembangan industri pariwisata, memantapkan perwujudan wawasan nusantara, serta mengbubungkan daerab-daerab terpencil dan terbelakang dalam usaba mencapai tujuan pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
!
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta. Alamat kontak:
[email protected]
Product Liablilydalam Penyelenggaraan Penerbangan, Slidiro
187
Dasar 1945'> 01eh karena itu pemerintah perlu merencanakan secara sistematis penyelenggaraan penerbangan yang memadai dan menjamin kelancaran arus lalu lintas penumpang serta lebih menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan sehingga tidak menimbulkan risiko kerugian terhadap pihak lain. 3 Adanya risiko kerugian dalam melakukan kegiatan usaha itu dapat terjadi setiap saat. Pada penyelenggaraan penerbangan nasional beberapa tahun terakhir ini masih menunjukkan sering terjadi serangkaian kecelakaan pesawat udara, dengan berbagai sebab yang mengakibatkan kerugian terhadap penumpang sebagai konsumen. Kecelakaan-kecelakaan pesawat udara4 tersebut dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain faktor manusia (human), mesin pesawat udara (machine/technical), dan cuaca (weather)5 Beberapa ahli di bidang penerbangan mencatat bahwa semakin canggih teknologi peralatan penerbangan untuk mengurangi atau menghapus situasi spesifik tertentu, seperti alat untuk mendeteksi pesawat udara yang mendekat pada jarak beberapa ratus kilometer, maka semakin besar kemungkinan kapten penerbang pesawat udara itu mengalami kesalahanlkelalaian. Misalnya para kapten penerbang seringkali kesulitan untuk mengoperasikan komputer yang terdapat di ruang kokpit atau tampilannya pada saat pesawat udara sedang melakukan penerbangan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Faktor kesalahanlkelalaian manusia ini sangat sulit untuk dideteksi dalam waktu tertentu. Selain itu perlu memperbatikan faktor-faktor lain, seperti kegagalan mekanis/teknis dan lingkungan ataupun faktor eksternal lainnya pada saat kecelakaan penerbangan terjadi. 6
2
Pemerintah Republik lndonesi~ "Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RP1MN) 2004-2009", (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 368. 3 H.K. Martono, "Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut internasional", (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 104.
4 Kecelakaan (accident) ada lah suatu peristiwa di luar kemampuan manusia yang terjadi selama berada di dalam pesawat udara dari bandar udara keberangkatan ke bandar udara tujuan, di
mana terjadi kematian atau luka parah atau kerugian yang disebabkan oleh benturan dengan pesawat udara atau semburan mesin jet pesawat udara atau terjadi kerusakan struktural atau adanya peralatan yang perlu diganti atau pesawat udara hilang sarna sekali. H.K. Martono, "Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan", (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 338-339.
s H.K. Martono, Kecelakaan Pesawat Udara, Seputar Indonesia, 5 lanuari 2007, hal. 7. 6
Ibid.
188
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Dalam suatu kecelakaan penerbangan dapat terjadi karena adanya kesalahan teknis dalam pengoperasian pesawat udara (technicalfau/t),7 seperti sistem navigasi yang rusak, atau akibat situasi cuaca yang sangat buruk. Namun prosentase terbesar yang menjadi penyebab kecelakaan penerbangan adalah akibat faktor manusia (human fault)8 Faktor lain yang sebenarnya berperan menyebabkan terjadinya keeelakaan penerbangan adalah kesalahaan pengelolaan manajemen (management fault). Misalnya pemeliharaan pesawat udara yang tidak sepenuhnya mengikuti dan mentaati standar pengaturan perawatan yang telah ditetapkan, dan tidak memperhatikan standar ketentuan persyaratan kelaikudaraan dalam penyelenggaraan penerbangan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya keeelakaan pesawat udara. Pemerintah melalui Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) hams segera melakukan investigasi, jika terjadi keeelakaan pesawat udara seeara eepat dan tepat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keeelakaan penerbangan 9 Disamping itu diperlukan segera adanya usaha pertolongan dalam rangka penyelamatan terhadap korban pada saat terjadinya keeelakaan tersebut. Selama proses investigasi atas keeelakaan penerbangan, fakta-fakta tertentu dapat muneul yang menunjukkan bahwa suatu perusahaan penerbangan sebagai pengangkut dan/atau perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen telah melakukan kesalahan/kelalaian, sehingga menyebabkan terjadinya keeelakaan penerbangan. Fakta-fakta tersebut dapat meliputi berbagai faktor yang meneakup antara lain, kelalaian kapten penerbang/personel penerbangan, kelalaian teknisi perawatan pesawat udara, tidak memenuhi standar persyaratan kelaikudaraan penerbangan, eaeat produk (eaeat desainlperaneangan, cacat pembuatanlperakitan, cacat peringatan/instruksi), atau kesalahan manajemen perusahaan penerbangan. 10 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (National Transportation Safety Committee) yang merupakan lembaga independen berkompeten untuk melakukan
7 Walaupun penyebab keeelakaan pesawat udara karena faktor teknis ini prosentasenya keeil, tetapi sering menyebabkan kecelakaan yang berakibat sangat fataL
Gunadi M.D.A. , Kecelakaan Adam Air Akibat Organization Error,
. diakses Selasa, 16 lanuari 2007), hal. I . 9 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Pernerintah tetapi daJam rnelakukan tugasnya harus independen.
ini walaupun dibentuk oleh
10 Edward A. Silooy, Sistem Tanggung Jawab lnternasional Pengangkut Udara Memasuki Millenium 2000, Makalah Forum Diskusi tentang Mewujudkan Penyelenggaraan Penerbangan Arnan, Selamat dan Bertanggung Jawab, (Jakarta: 27 Juli 2000), hal. 6.
Product UaMi:ty datum Penye{engguruan Penernangan, S\\.diro
{89
proses investigasi jika terjadi kecelakaan dalam penyelenggaraan penerbangan guna mencegah terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama. Apabila diperlukan untuk mempercepat proses investigasi, maka investigator dapat mengundang pihak-pihak yang t erkait seperti perwakilan perusahaan penerbangan dan/atau produsen pesawat udara serta pembuat komponennya untuk diminta keterangannya. Dengan demikian tugas Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pada dasarnya mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan penerbangan, sehingga di kemudian hari tidak terjadi lagi kecelakaan penerbangan yang semacam itu. Hal yang serupa juga dilakukan di Arnerika Serikat, dimana pihak yang bertanggung jawab dalam keamanan dan keselamatan penyelenggaraan penerbangan harus segera membentuk tim krisis manajemen, apabila terjadi suatu kecelakaan penerbangan. Tim terdiri dari pihak-pihak yang berkompeten, yang bertugas untuk mengumpulkan inforrnasi yang dibutuhkan berkaitan dengan kecelakaan penerbangan tersebut, membina hubungan dengan para pemangku kepentingan, membuat catatan penting, membuat jadwal perencanaan kegiatan, dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan yang direncanakan sebelurnnya. II Dengan demikian terdapat panduan yang jelas bagi tim dalam proses perencanaan dan penanganannya secara efisien dan efektif (efficient and effective), jika terjadi kecelakaan pesawat udara. 12 Selain itu dalam setiap kegiatan penyelenggaraan penerbangan akan memiliki risiko munculnya kerugian akibat kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk, yang kemudian berdampak pada konsekuensi hukum. Risiko tersebut berkaitan dengan penyelesaian ganti kerugian kepada penumpang sebagai bentuk tanggun~ jawab hukum (legal liability) perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen. 1 Risiko kerugian yang ditanggung produsen pesawat udara ini berkaitan dengan tanggung jawab produknya, yang kemudian risiko itu dialihkan kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung sesuai dengan nilai jaminan yang dipertanggungkan dengan menerima pembayaran sejumlah uang premi dari produsen pesawat udara (third party insurance).
\I David T. N orton, Crisis Management Planning for Small Air Carrier Aircraft Parts Manufacturers, Installers or Maintainers, and Other Aviation Industry Participants, 66 Journal of Air Law and Commerce, Springs: Southern Methodist University School of Law, 2001 , hal. 543-546.
12
Il
Ibid, hal. 560.
Lac. Cit., H.K. Martono. "Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan", dikenal 3 (tiga)
rnacarn tanggungjawab, dalarn arti accountability, responsibility dan liability. hal. 339-343.
190
lurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 lanuari-Maret 2011
Penumpang sebagai konsumen yang menderita kerugian dalam kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk dapat menuntut ganti kerugian terhadap pihak yang dianggap bertanggung jawab. Penyelesaian ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, luka-luka, atau cacat akibat kecelakaan pesawat udara tersebut sebagai salah satu tanggung jawab hukum dalam penyelenggaraan penerbangan. 14 Namun persoalan penyelesaian ganti kerugian yang berkaitan dengan tanggung jawab produk (product liability) dalam penyelenggaraan penerbangan ini pada praktek seringkali belum sepenuhnya dapat diselesaikan, karena peraturan perundang-undangan yang ada masih belum mengaturnya. Disamping itu, kebijakan pemerintah yang kurang tegas, baik dalam usaha menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang penerbangan maupun dalam menegakkan peraturan yang berlaku.
II. Permasalahan
Dari latar belakang tersebut di atas tampak bahwa cacat produk merupakan salah satu penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara dalam penyelenggaraan penerbangan. Mengingat hal ini berdampak pada pertanggungjawaban produsen pesawat udara terhadap pihak yang dirugikan akibat kecelakaan penerbangan tersebut, maka permasalahan yang ingin diangkat oleh penulis, adalah bagaimana tanggung jawab perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen dalam kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk?
III. Pembahasan
Perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen merupakan salah satu bagian penting berkaitan dengan proses kegiatan penyelenggaraan penerbangan seeara keseluruhan. Produsen pesawat udara seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami penumpang sebagai konsumen dalam kecelakaan pesawat udara yang disebabkan caeat produk pada penyelenggaraan penerbangan. Ada 3 (tiga) kemungkinan asal cacat produk dari suatu proses pembuatan pesawat
14
Op. Cit., David T. Norton, hal. 527-531.
Product Ljablity dalam Penyelenggaraan Penerbangan, Sudiro
191
udara.15 Pertama, cacat desainlperancangan (the design defect), yaitu produk yang dalam perancangannya telah mengandung cacat atau kesalahan desain yang mengakibatkan cacatnya produk. Kesalahan desainlperancangan pesawat udara dapat terjadi pada tahap pembuatan cetak biru (blueprint), gam bar desain (design drawing), atau pemilihan bahan baku (row materials) yang digunakan. Kedua, cacat pembuatanlperakitan (the manufacturing defect), yaitu suatu produk mungkin tidak mengandung kesalahan dalam desainlperancangannya, tetapi dalam proses pembuatanlperakitan terjadi kesalahan atau penggunaan bahan baku yang tidak memenuhi persyaratan mutu atau spesifikasi teknis yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga menghasilkan produk yang cacat. Ketiga, cacat peringatan dan instruksi (the warning and instruction defect), yaitu suatu produk yang telah d irancang dengan sempurna melalui proses pembuatan yang cermat tetap dapat mengandung cacat, apabila tidak dilengkapi dengan peringatan danlatau instruksi yang jelas dan tepat mengenai cara-cara penggunaan produk tersebut, baik pada saat dipasarkan maupun saat digunakan. Cacat dalam pemeliharaanlperawatan (maintenance defect) suatu produk yang kemudian digunakan dalam operasi penerbangan, akan mengakibatkan kerusakan yang disebabkan kurang terpelihara atau tidak terawatnya pesawat udara sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam service bulletin dan technical manual updating. Suatu produk yang telah dibuatldirakit secara tepat sesuai dengan standar persyaratan yang telah ditentukan, dalam praktek masih dapat memiliki cacat pada sisi desainnya (the design defect). Suatu produk dikategorikan sebagai cacat desain, apabila produk tersebut benar-benar tidak nyaman dan tidak aman untuk digunakan sesuai dengan tujuannya, walaupun telah dibuat secara benar. Gugatan ganti kerugian berdasarkan cacat desain sering didasarkan pada beberapa hal, yaitu produk tidak berkualitas, perJengkapan produk yang diperJukan tidak tersedia, atau produk tersebut mengandung hal-hal berbahaya yang tidak kelihatan. Cacat desain sebagai dasar gugatan ganti kerugian diterapkan berdasarkan argumentasi bahwa produk terse but tidak di desain secara tepat untuk mengurangi atau menghindari suatu risiko kerugian tertentu. Produsen berkewajiban untuk mendesain produk pesawat udara yang aman dan melindungi pengguna pesawat udara tersebut. Salah satu tujuan pembuatan desain produk pesawat udara untuk menghindari kemungkinan baha ya yang akan timbul dalam penggunaannya. ApabiJa dalam suatu kecelakaan pesawat udara yang
15 Wayne E. Farrell Jr., Aircraft Manufachlrer 's "Aircraft Manufacturer's Liability, Annuals ofAir and Space Law, Vol. XVII-I, 1992, hal. 104.
192
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahul1 ke-41 No.1 Januari-Maret201l
mengakibatkan kerugian penumpang dan ditemukan bukti babwa penyebab kecelakaan pesawat udara akibat cacat desain, maka produsen pesawat udara wajib bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada penumpang. Dengan demikian dalam proses pembuatan pesawat udara, yang dimaksudkan dengan cacat desain (the design defect) adalah desain produk yang tidak menjamin kenyamanan dan keamanan serta keselamatan konsumen yang menggunakan produk tersebut. Oleh karena itu dalam pembuatan desain pesawat udara, harus diperhatikan secara serius tentang standar persyaratan aircraft crashworthiness pesawat udara, sehingga kecelakaan penerbangan yang seharusnya survivable tidak akan menimbulkan cidera atau luka parah terhadap penumpangnya. 16 Selain itu yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan pesawat udara adalah cacat pembuatanlperakitan (the manufacturing defect), yaitu tidak sesuainya produk yang dibuat dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh pembuatnya. walaupun desainnya tidak caca!o Masalah persyaratan cacat produk dalam proses pembuatan pesawat udara ini merupakan bagian dari tanggung jawab produsell. Oleh sebab itu tanggung jawab produk dikenal dengan istilah objective liability, karena pentingnya faktor kondisi produk agar produsen pesawat udara dapat bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian. Salah satu materi penting dalam undang-undang yang menerapkan tanggung jawab mutlak adalah ketentuan tentang kriteria cacat produk. Istilah cacat produk ini temyata tidak digunakan dalam ketentuan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, sehingga menimbulkan kesulitan dalam menafsirkan ruang lingkup dari cacat produk dan menjadi tidak sistematis serta tidak menjamin kepastian hukum. baik bagi produsen maupun konsumen dan aparat penegak hukum. Hal ini berbeda dengan ketentuan di Jepang. Product liability Act 1994 No. 85 di Jepang menyatakan cacat produk, sebagai berikut: The defect means lack of safety that the product ordinarily should provide, taking into account the nature of the product, the ordinarily foreseeable manner of use of the product, the time when the manufacturer, etc, delivered the product, and other circumstances concerning the product.
16 J. Russel Davis, "American Law of Products Liability", (New York: The Lawyers Cooperative Publishing Company, 1987), hal. 12.
Product Lioblity dolam Penyelenggaraan Penerbongan, Sudiro
193
The manufacturing defect, merupakan salah satu alasan penumpang pesawat udara untuk mengajukan gugatan ganti kerugian kepada produsen pesawat udara, karena pada dasarnya produsen mempunyai kewajiban untuk menggunakan material yang memiliki kekuatan cukup memadai dalam memproduksi pesawat udara. Produsen pesawat udara telah banyak diminta pertanggungjawaban untuk membayar ganti kerugian kepada penumpang, akibat menggunakan material yang tidak berkualitas/tidak cukup memadai ataupun tidak memiliki kekuatan atau ketahanan dalam membuat produk pesawat udara secara nyaman dan aman untuk keselamatan konsumen yang menggunakan pesawat udara terse but. Disamping cacat desain dan cacat pembuatan, maka produk pesawat udara dapat saja merugikan konsumen akibat adanya cacat dalam memberikan peringatan dan instruksinya (the warning and instruction defect). Cacat peringatan dan instruksi ini dimaksudkan apabila produk yang dibuat tidak mempunyai peringatan atau petunjuk yang jelas dan tepat serta memadai dalam penggunaannya, walaupun desain dan kualifikasi pembuatan produk tersebut sempuma. 17 Amerika Serikat melalui Uniform Product Liability Act of 1979, menekankan pentingnya peringatan dan instruksi karena suatu produk tidak dikategorikan sebagai produk yang cae at, apabila pembuat produk telah memberikan peringatan dan instruksi yang jelas dan tepat mengenai penggunaan produk dan risiko-risiko produk yang dibuatnya. Selain itu terdapat penjelasan mengenai teknologi dan kelayakan (feasibility) dari pembuatan produk tersebut. Oleh karena itu dalam setiap kejadian kecelakaan pesawat udara yang disebabkan cacat produk, penumpang dapat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada produsen pesawat udara. Gugatan ganti kerugian tersebut dapat diajukan berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Penerapan tanggung jawab mutlak ini merupakan jalan keluar yang dipandang baik untuk memberi akses bagi konsumen dalam mendapatkan hak dan perlindungan kepentingannya di pengadilan terhadap pelaku usaha. Penumpang sebagai konsumen yang dirugikan dapat menuntut penyelesaian ganti kerugian kepada produsen pesawat udara tanpa hams mengajukan atau membawa bukti adanya kesalahanlkelalaian produsen sebagai tergugat. Oleh karena penumpang secara individual akan mengalami kesulitan untuk dapat membuktikan adanya un sur kesalahanlkelalaian dalam suatu proses produksi yang begitu kompleks di industri penerbangan. Produsen pesawat udara yang berada dalam posisi ekonomi lebih kuat dapat mengambil alih kerugian penumpang pada setiap kasus kecelakaan
17
Ibid.
194
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
pesawat udara akibat cacat produk yang mewajibkannya membayar ganti kerugian. Produsen dapat meneruskan kerugian itu dengan mengalihkan risiko kerugian kepada perusahaan asuransi dengan melalui mekanisme penutupan asuransi (product liability insurance) yang nilai preminya dapat dimasukkan ke dalarn perhitungan biaya produk yang dibuatnya. Penyelesaian ganti kerugian akibat cacat produk dengan menerapkan tanggung jawab mutlak, pada dasamya bertujuan untuk menjaga keseimbangan kepentingan 'sosial dalam masyarakat, sehingga dapat tercipta harmonisasi dan keseimbangan antara kehidupan masyarakat dengan kehidupan individu. Dalam penerapan prinsip tanggung jawab mutlak terdapat beberapa asas umum yang harns diperhatikan, yaitu objektif (tidak perlu dibuktikan kesalahanlkelalaian produsen), pembatasan waktu tangggung jawab (produsen tidak dirnaksudkan bertanggung jawab untuk waktu yang tidak terbatas), beban pembuktian pada konsumen atas cacatnya produk, dan hubungan kausalitas antara cacatnya produk dengan kerugian konsumen. 18 Menurut Erman Rajagukguk, "Perlindungan konsumen tidak saja diberlakukan terhadap produk-produk yang berkualitas rendah, tetapi juga terhadap produk-produk yang dapat membahayakan kehidupan manusia",19 seperti produk pesawat udara. Oleh karena itu dasar pemikiran filosofis penerapan tanggung jawab mutlak, yaitu timbulnya kerugian materi yang secara langsung dibebankan kepada pihak yang bertanggung jawab dalam menyebabkan munculnya kerugian tersebut. Selain itu faktor yang mendorong penerapan tanggung jawab mutlak dalam gugatan penyelesaian ganti kerugian akibat cacat produk, secara eksternal dipengaruhi oleh pergeseran paham individualisme ke paham kolektivisme yang menjadi inti dari konsep negara kesejahteraan, sedangkan secara internal dipengaruhi oleh perbedaan posisi tawar antara produsen yang lebih kuat dengan konsumen yang posisinya lebih lemah. 20
l' Bandingkan dengan prinsip-prinsip umum tanggung jawab produk dalam European Community Directive No. 314 Tahun 1985.1nosentius Samsul, "Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak", (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 306. i9 Erman Rajagukguk, "Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia Menyongsong Abad XXI", UNISIA No.33IXVIIII1I97, (1997), hal. II. 20 Inosentius Samsul, "Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak", (Jakarta: Paseasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 102.
Product Lioblity dolom Penyelenggoroon Penerbongon, Sudiro
195
Kasus-kasus penyelesaian ganti kerugian dalam kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk, lebih banyak melalui proses mekanisme gugatan ganti kerugian ke pengadilan. Beberapa gugatan penyelesaian ganti kerugian dari penumpang atau ahli warisnya dalam kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk kepada produsen ternyata tidak sedikit yang dikabulkan oleh majelis hakim, berdasarkan tanggung jawab mutlak. Misalnya, perkara Noel v. United Aircraft Corp. , di pengadilan Third Circuit Amerika Serikat. Kasus ini menjelaskan kelalaian produsen dalam mendesain produk pesawat udara sehingga mengakibatkan penumpang Lockhead Constellation . I duma. . 21 memngga Dalam kasus ini penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian karena ditemukan sistem baling-baling pesawat udara yang mengalami kerusakan atau cacat desain. Selanjutnya produsen pesawat udara selaku tergugat membantah gugatan tersebut, dengan menyatakan bahwa produsen tidak melakukan kelalaian dan kejadian itu bukan menjadi tanggung jawab produsen. Namun Pengadilan menolak jawaban produsen pesawat udara sebagai tergugat berdasarkan teori tanggung jawab mutlak (strict liability). Pengadilan berpendapat bahwa sekalipun produk telah dijual dan mendapat persetujuan Civil Aeronautics Administration (CAA), tetapi dalam penyelidikan pengadilan menemukan bahwa telah terjadi 4 (empat) kali kecelakan serius, kebakaran, dan 23 (dua puluh tiga) kali kecelakaan sangat berat yang disebabkan oleh kecepatan yang tidak terkontrol akibat baling-baling cacat. Pangadilan dalam putusannya menambahkan bahwa produsen pesawat udara sebagai tergugat telah terbukti melakukan berbagai bentuk kelalaian dalam pengontrolan mesin yang sangat berpengaruh terhadap baik atau rusaknya laju baling-baling pesawat udara. Dalam putusan kasus ini, ada beberapa kelalaian produsen pesawat udara yang dapat dibuktikan di pengadilan tersebut, antara lain produsen memproduksi sistem baling-baling pesawat udara yang memiliki kesalahan desain, produsen gagal dalam melaksanakan kewajiban untuk merawat baling-baling pesawat udara sebelum penyerahan sistem baling-baling dan sebelum terjadinya kecelakaan, produsen pesawat udara dianggap melakukan pelanggaran dalam menjalankan kewajiban lanjutan, antara lain menyiapkan pitch lock yaitu suatu mekanisme yang mengatur kecepatan agar tidak terjadi kecelakaan. 22 Selanjutnya dalam Bruce v. Martin-Marietta COrp. ,23 pengadilan negara bagian Maryland yang memeriksa kasus ini menyatakan bahwa adanya kerusakan
21
Noel v. United Aircraft Corp., 342 F. 2d. 232., (3'" Cir., 1964), 3(a), 4, 5(a), 10.
22
[bid.
196
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
karena eaeat desain pada bagian tempat duduk pesawat udara Martin 404 dan alat pemadam api yang tidak berfungsi bukan sebagai bentuk kelalaian, akan tetapi bentuk dari tanggung jawab mutlak (strict liability) atas produk yang tidak berfungsi dengan baik dan sesuatu yang diluar dugaan/pengetahuan penumpang. Dalam kasus ini produsen pesawat udara wajib membayar ganti kerugian kepada penumpang akibat eaeat produk berdasarkan tanggung jawab mutlak, berkaitan dengan desain dan konstruksi pesawat udara yang seharusnya dapat menjamin keamanan dan keselamatan dalam penyelenggaraan penerbangan. Dalam perkara Coulter v. Piper Aircraft Corp,24 penumpang mengajukan gugatan ganti kerugian dalam keeelakaan pesawat udara akibat eaeat desain pada plang pintu pesawat udara yang dapat terbuka saat penerbangan berlangsung. Pada kasus ini pengadilan distrik Florida berpendapat bahwa walaupun tidak menemukan adanya kesalahanl keialaian, tetapi tidak menghalangi untuk memberikan sanksi ganti kerugian berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dianggap sebagai tindakan wajar kepada produsen. Dari kasus ini terlihat bahwa pengadilan distrik Florida telah menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability), sehingga gugatan ganti kerugian dari penggugat tersebut dapat dikabulkan hakim tanpa mempertimbangkan ada atau tidak adanya unsur kesalahanlkelalaian produsen pesawat udara. Pada kasus pembajakan pesawat udara jet jumbo yang kemudian ditabrakan ke gedung kembar World Trade Centre (WTC) oleh sekelompok teroris di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 200 I. Penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian berkaitan dengan tanggung jawab produsen atas kesalahanlkelalaian eaeat desain pesawat udara tersebut. Pengadilan distrik Pennsylvania yang mengadili dan memutuskan kasus ini menyatakan, bahwa telah terjadi kesalahanlkelalaian dalam desain pintu kokpit pesawat udara tersebut, sehingga produsen wajib membayar ganti kerugian yang dialami penggugat dengan menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam kasus ini pengadilan berpendapat, bahwa rangkaian penyebab jatuhnya pesawat udara itu diduga karena adanya kesalahanlkelalaian desain pintu kokpit pesawat udara sehingga pembajak dapat masuk ke ruang kokpit. Menurut hukum negara bagian Pennsylvania, seorang kapten penerbang mempunyai kewajiban untuk mengendalikan pesawat udara dan menghindari serta meneegah adanya gangguan selama penerbangan sehingga penumpang dapat dipastikan aman dan selamat sampai ke tempat tujuan yang disepakati dalam perjanjian 2l
Bntce v. Martin-Marietta Corp. . 173 CA 10 Okla 544 F. 2d 442, 20 VCCRS. 39,
(September 24, 1976). 24
Coulter v. Piper Aircraft Corp., 426 So.2d. 1108, (Fla Dist.et App. 4"' Dist., 1983).
Product Lioblity da/am Penye/enggaraan Penerbangan, Sudiro
J97
penyelenggaraan penerbangan 2S Namun jika dibandingkan dengan hukum negara bagian Virginia, pernyataan tanpa bukti mengenai dugaan bahwa produsen pesawat udara telah gagal dalam mendesain kokpit dengan sempurna dapat dijadikan sebagai pelanggaran hukum. Menurut pengadilan negara bagian Virginia, tindakan pengambilalihan kokpit oleh para pembajak atau orang lain yang tidak berhak, sudah cukup untuk menjadi dasar gugatan ganti kerugian berkaitan dengan tangggung jawab produsen dalam kasus pembajakan pesawat udara tersebut 26 Dalam kasus Manos v, Trans World Airlines,27 yang berkaitan dengan gugatan ganti kerugian penumpang yang menderita luka-luka kepada produsen pesawat udara jenis Boeing 707 yang tiba-tiba meledak saat lepas landas di bandar udara Italia. Kecelakaan pesawat udara diduga akibat kerusakan sistem persneling mundur. Pengadilan mengabulkan permohonan penggugat dalam mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap produsen pesawat udara berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Pengadilan yang menerapkan hukum Italia menyatakan bahwa produsen telah gagal mendesain dan membuat sistem persneling mundur pesawat udara, sehingga gagal berfungsi untuk mendeteksi kerusakan dan dianggap tidak mematuhi peraturan penerbangan sipil Italia. Kasus ini akhirnya diadili kembali oleh pengadilan tinggi Washington dengan menggunakan peraturan Section 402 A of the Restatement (Second) of Torts, yaitu ketentuan mengenai kelalaian melaksanakan kewajiban. Pengadilan tinggi Washington menyatakan bahwa kemampuan daya persneling mundur tidak berfungsi dengan baik. Produsen dianggap telah gagal menyediakan alat untuk mengendalikan sistem persneling mundur, sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat udara tersebut yang mengakibatkan kerugian terhadap penumpang?8 Kecelakaan lain yang penyebabnya akibat cacat pembuatan dan dianggap tidak memenuhi standar persyaratan aircraft crashworthiness, seperti yang terjadi dalam kecelakaan pesawat udara jenis Convair 580 di New Haven Amerika Serikat tanggal 7 Juni 1971. 29 Pada kecelakaan ini, penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian
hal. 113 .
2S
September II Litigation, In re:, 280 F. Supp.2d.279 (S.A.N.Y., 2003).
26
ibid.
27
Manos v. Trans World Airlines, In re: 324 F. Supp. 470 (N.A.
28
ibid.
29
E. Suhennan, "Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan",(Bandung: Mandar Maju, 2000),
m., 1971).
JlIrnal HlIkwn dan Pernbangunan Tahun ke-41 No.1 Janllari-Maref 201 J
198
kepada perusahaan pembuat pesawat udara sebagai bentuk tanggung jawab produsen terhadap produknya yang rusak atau cacat. Berdasarkan hasil pemeriksaan dalam kecelakaan penerbangan tersebut ternyata IS (lima belas) dari seluruh penumpang pesawat udara yang meninggal dunia disebabkan keracunan gas atau luka bakar. Menurut keterangan penumpang yang selamat menyatakan bahwa IS (lima belas) penumpang pesawat udara itu sebenarnya masih hidup pada saat kecelakaan terjadi, dan masih sempat mencari-cari pintu darurat yang letaknya sulit dicari dalam kegelapan dan sulit dibuka. 30 Selain itu pada kasus O'Kee!v. The Boeing Company,31 menunjukkan terdapat kelalaian perusahaan pembuat pesawat udara Boeing dalam memproduksi pesawat udara jenis B-52 yang terbukti ditemukan adanya kerusakanlcacat produk di bagian pengelasan dinding (empennage support bulkheid). Pengadilan distrik negara bagian Washington menyatakan, bahwa perusahaan pembuat pesawat udara Boeing wajib membayar ganti kerugian kepada penggugat berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability), karena telah melakukan kelalaian dalam memenuhi standar kualiflkasi persyaratan pembuatan produk di bagian pengelasan dinding (empennage support bulkheid) pesawat udara tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan penerbangan. Dalam perkara Kritser v. Beech Aircraft Corp,32 pihak korban selaku penggugat menduga bahwa tangki bahan bakar pesawat udara tidak dilengkapi dengan alat internal untuk mengendalikan pergerakan bahan bakar, dan produsen sebagai tergugat tidak melaksanakan tugasnya untuk memperingatkan pemindahan bahan bakar pesawat udara. Pengadilan distrik Texas menyatakan, bahwa bukti yang disampaikan penggugat berkaitan dengan sistem bahan bakar pesawat udara jenis Baron Model D-55 yang mengalami kecelakaan dianggap telah cukup untuk mengungkapkan dan membuat putusan penilaian terhadap kasus kecelakaan pesawat udara ini berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Hakim yang mengadili menemukan fakta bahwa kapten penerbang sudah mengoperasikan pesawat udara tersebut sesuai dengan peringatan dan petul1iuk yang telah ditentukan produsen, tetapi karena terjadi kerusakan atau adanya cacat pada sistem bahan bakar, sehingga mengakibatkan kecelakaan penerbangan. 33
30
Ibid.
31
o Keefv. The Boeing Company, 335 F. Supp 104, (S.D.N.Y., 1977).
J2
Kritser v. Beech Aircraft Corp., 479. F.2d. 1089 (5" CiL 1973).
Product Liablity dalam Penyelenggaraan Penerbangan, SlIdiro
199
Demikian juga pada kasus Hansen v. Cessna Aircraft Inc}' yang dimulai dengan gugatan ganti kerugian oleh ahli waris dari tiga orang penumpang akibat kecelakaan pesawat udara jenis Cessna Model 421-B yang jatuh. Penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada produsen dengan dasar gugatan bahwa telah melakukan kelalaian inspeksilpemeriksaan. Penggugat yang menghadirkan para saksi ahli menyatakan, bahwa sistem pembuang gas pesawat udara tidak mampu untuk mengeluarkan semua gas yang terdapat antara mesin dengan turbocharger, dan produsen tidak melakukan pengujian yang cukup untuk melihat kerusakan yang terdapat pada sistem pembuangan gas uap tersebut. Pengadilan menyatakan bahwa ada beberapa bukti yang menunjukkan telah terjadi kelalaian produsen pesawat udara, khususnya kelalaian dalarn pemeriksaan dan peringatan, sehingga tergugat wajib membayar ganti kerugian berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Selain itu pengadilan menyatakan, bahwa Mahkamah Agung Wisconsin mendasarkan kasus ini pada Section 402 A (jf the Restatement (Second) of Torts sebagai ketentuan yang mengatur mengenai kelalaian dalam melaksanakan kewajiban.35 Dalam perkara Braniff Airways Inc., v. Curtiss- Wright COrp.36 Pengadilan negara bagian New York yang mengadili kasus ini menyatakan bahwa meskipun tidak ada ketentuan dalam perundang-undangan mengenai kewajiban produsen untuk merawat dan memperbaiki jika terjadi kerusakan pesawat udara, tetapi hal itu dianggap sebagai bagian kewaj iban produsen untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Dengan demikian setidaknya produsen wajib memberi tanda peringatan! pemberitahuan dan instruksi-instruksi yang diperJukan untuk memperkecil timbuinya bahaya kecelakaan pesawat udara yang telah diproduksinya pada saat digunakan. Oleh karena itu pengadilan menyatakan bahwa tergugat wajib membayar ganti kerugian kepada penggugat, dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Salah satu perkara gugatan ganti kerugian korban kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk yang diselesaikan melalui pengadilan Indonesia adalah kasus
33
Ibid.
34
Hansen v. Cessna Aircraft Co., 578 F.2d 679 (7"' Cir. 1978).
35
Ibid.
36 Braniff Aicraft Inc v. Curtiss Wright Corp .• 411 F. 2d. 451, 13 Fed. R.Serv. 2d. 4696, VCCRS. 508 Second Circuit, 8[a], (May 19, 1969).
200
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Salful Bahri Cs., v. The Boeing Company Cs. ,37 dalam kecelakaan pesawat udara milik PT. Mandala Airlines yang terjadi di bandar udara Po Ionia Medan di pengadilan Jakarta Pusat. Dalam kasus ini penumpang mengajukan gugatan ganti kerugian berkaitan dengan cacat produk pesawat udara kepada the Boeing Company Cs, sebagai produsen. Selain gugatan di atas, penumpang lain yang mengajukan pendaftaran gugatan ganti kerugian akibat cacat produk di Pen~adilan Negeri Jakarta Pusat adalah kasus Suhendro Cs., v. The Boeing Company Cs. 8 Dalam Linda Marlin Lie, et aL, v. The Boeing Company, et al., No. 04 C 2460, ahli waris korban kecelakaan pesawat udara sebagai penggugat berhasil memenangkan perkara gugatan ganti kerugian kepada produsen dalam kasus kecelakaan pesawat udara jenis Boeing 737-300 milik PT. Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-421 yang melakukan pendaratan darurat akibat cacat produk di sungai Bengawan Solo Klaten tanggal 16 Januari 2002. Menurut hakim Shadur sebagai hakim senior yang mengadi1i perkara ini, tergugat bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian kepada penggugat yang mengajukan gugatan ganti kerugian kepada the BoeinR Company Cs., sebagai produsen pesawat udara tersebut berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dasar gugatan ganti kerugian yang diajukan adalah telah terjadi serangkaian kecacatan pada produk pesawat udara dan kurang lengkapnya petunjuk prosedur pengoperasian, sehingga menyebabkan terjadi kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia jenis Boeing 737-300 tersebut 39 Dengan demikian majelis hakim yang mengadili dan memutuskan kasus ini dalam pertimbangan hukumnya telah menerapkan pendekatan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) . Pada Donald J. Noland v. The Boeing Company, No.2004 WL 1462451,'° berkenaan dengan kece1akaan pesawat udara Garuda Indonesia di Klaten tanggal 16 Januari 2002, penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada the Boeing Company, karena terdapat serangkaian kecacatan produk dan kelengkapan prosedur pengoperasian pesawat udara tersebut. Hakim yang mengadili kasus ini memutuskan untuk mengabulkan gugatan ganti kerugian berdasarkan tanggung jawab mutlak
37
Saiful Bahri Cs. , v. The Boeing Company Cs. , NO.256!PDT.G!2009! PN.JKT.PST.
38
Suhendro Cs. , v. The Boeing Company Cs .. No. I 87!PDT.G!2009! PN.JKT.PST (2010).
39 Linda Marlin Lie, et al.. v. The Boeing Company. et al., No. 04 C 2460 F.Supp.2d., 2004 WL 1462451, United States District Court, Northern District Dlinais, (N.D.Dl., June 29, 2004). 40 Donald J N v. The Boeing Company, F.Supp. 2d., NO.2004 WL 1462451, United States District Court. Northern District lllinais, (N.D. Ill., June 29, 2004).
Product Liablity dalam Penyelenggaraan Penerbangan, Slidiro
201
(strict liability), karena terbukti adanya cacat produk pada bagian desain dan cacat dalam kelengkapan prosedur pengoperasian pesawat udara yang diproduksi tergugat tersebut. 41 Selain itu ahli waris dari penurnpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara milik PT. Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-152 yang terjadi di Sibolangit Deli Serdang Medan pada tanggal 26 September 1997 juga mengajukan gugatan ganti kerugian kepada produsen pesawat udara. Melalui kuasa hukum David J. Gubbins dan Paul R. Borth dari Nolan Law Firm Group untuk menangani penyelesaian pembayaran ganti kerugian korban kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia itu, pada akhirnya penggugat memenangkan gugatan ganti kerugian kepada produsen tersebut 42 Donald Manampin Hutasoit et aL, v. Hamilton Sumistrand Corporation et., aL, No. 04 L 13805 merupakan kasus kecelakaan pesawat udara jenis Airbus 300, oleh penggugat diduga memiliki cacat komponen yang menyebabkan kecelakaan pesawat udara tersebut. Tergugat Hamilton Sundstrands Corporation adalah pembuat peralatan komputer peringatan yang cacat sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan penerbangan. Penggugat mengajukan gugatan pembayaran ganti kerugian kepada Hamilton Sundstrands Corporation sebagai tergugat dalam kejadian kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia akibat cacat produk di Sibolangit Deli Serdang Medan - Sumatera Utara 43 Dalam pertirnbangan hukum majelis hakim yang mengadili mengunakan prinsip tanggung jawab rnutlak (strict liability) karena tergugat telah terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan the Illinois Wrongfol Death Act tabun 2009. Dalam kasus ini, tergugat akhirnya rnembayar jumlah ganti kerugian kepada para penggugat sebagai ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia tersebut, yang dibuat dalam perjanjian pembayaran ganti kerugian tanggal 21 Desernber 2009. Selain itu penerapan tanggung jawab mutlak (strict liability) diberlakukan pada gugatan ganti kerugian lain untuk kasus kecelakaan pesawat udara yang sarna, rnisalnya dalam Butar-butar et., al., v. Hamilton Sundstrands Corporation, No.09C
41
[bid.
42 Antonius. Banyak Perfanyaan yang Be/urn Terjawab Da/am Kecelakaan Adam Air, . diakses 8 April 2008, hal. 3.
43 Mr. Donald Manampin Hutasoit el al., v. Hamilton Sundstrand Corporation, No. 04 L 13805 in the Circuit Court of Cook County, JIIinois County Department Law Division, (Dec 19, 2009).
202
JlIrnai Hlikum dan Pembangunan Tahlln ke-41 No.1 Janllari-Maret 2011
3437. 44 Kasus ini merupakan kejadian kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk yang dioperasikan PT. Gamda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 152, jatuh dan terbakar tanggal 26 September 1997 di Sibolangit Deli Serdang Medan. Penggugat merupakan ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat udara itu rnenyatakan, bahwa tergugat wajib bertanggung jawab terhadap cacat desain produk Ground Proximity Warning System (GPWS) yang dipakai pada penerbangan pesawat udara Garuda Indonesia GA 152 tersebut. Cacat peralatan itu telah menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat udara, akibat kelalaian tergugat dalam mendesain, memproduksi dan merakit produk Ground Proximity Warning System (GPWS) tersebut. Penggugat menyatakan bahwa tergugat hams bertanggung jawab secara mutlak karena telah memproduksi dan menjual GPWS yang cacat produk kepada perusahaan pembuat pesawat udara jenis Airbus. Selain itu penggugat menyatakan bahwa tergugat melakukan kelalaian dalam memberikan peringatan adanya cacat produk. Pad a akhirnya, tergugat bersedia membayar jumlah ganti kerugian kepada penggugat sebagai ahli war is dari penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia tersebut, dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) 45 IV. Penutup
Dengan demikian berdasarkan beberapa penyelesaian kasus pembayaran ganti kerugian dalam kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk tersebut, maka praktek pembayaran ganti kerugian berkaitan dengan tanggung jawab produk (product liability) dari perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen dalam kecelakaan penyelenggaraan penerbangan diselesaikan melalui proses gugatan ganti kerugian ke pengadilan, berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam hal ini penggugat cukup menunjukkan adanya kerugian yang dialaminya, dan kerugian itu ada hubungan kausalitas dengan kecelakaan pesawat udara tersebut. Penerapan tanggung jawab mutlak (strict liability) yang berkaitan dengan tanggung jawab
44 Butor-Butor el. aI., v. Hamil/on Sundstrands Corporation, No.09C 3437, in the Circuit Court of Cook County, Illinois County Department-Law Division, (April 11,2009). 45 Ibid., Agreement between Bular-bular et aI. , as Plaintiffs with Hamilton Sundstrand Corporation as Defendant, (April 15, 2009).
Product Liablity dalam Penyelenggaraan Penerbangan, Sudiro
203
produsen pesawat udara (product liability) ini, harns tetap memperhatikan asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum.
204
Jurnai Hulatm dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Daftar Pustaka Buku
Atiyah, P. S. Accidents. Compensation and the Law, 2 nd Edition, London: Weidenfeld and Nicolson, 1975. Coie, Perkins. Product Liability in the United States. a Primer for Manufacturers and Their Employees, Washington: Library Congress, 1991. Davis, J. Russel. American Law of Products Liability, New York: The Lawyers Cooperative Publishing Company, 1987. Fobe, Jean Michel. Aviation Products Liability and Insurance in the Europe Union, Nederland: Deventer-Kluwer, 1994. Freedman, Warren. International Products Liability, Vol. 1 & 2, Virginia: The Machine Company, Law Publishers, 1999. Geraint, Howells. Comparative Product Liability, Dartmouth: 1993. Keeton, Page and Marshall S. Shape. Product and the Consumer: Defective and Dangerous Product, University Casebook Series, New York: The Foundation Press, Inc., 1970. Martono, H. K. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1995 . ._ _ _ _ . Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007 . . dan Ahmad Sudiro. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UURJ No. I Tahun 2009, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010. Pemerintah Republik Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Samsul, Inosentius. Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Sudiro, Amad. Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Bandung: Mandar Maju, 2000.
Product Liablity datarn Penyelenggaraan Penerbangan, Sudiro
205
Waddams, S. M. Products Liability, Toronto: The Carswell Limited, 1974. Jurnal Barber, J. "Economic of Air Safety", Journal of Air Law and Commerce 431433, Vol. 34, 1968. Benko, M., & Kadletz A. "Liability Air Transport", Annuals of Air and Space Law, Vol. XXV, 2000. Bogus, T. Carl. "The Third Revolution in Products Liability", Chicago Kent Law Review, Vo1.23, 1996. Calabresi, Guido. "First Party, Third Party, and Product Liability Systems: Can Economic Analysis Tell Us Anything About Them? ", 69 Iowa Legal Review 833, 1984. Cheng, Bin. "Air Carriers Liability for Passenger Injury or Death ", Annals of Air and Space Law, Vol.XVIII, No .3, January 1993 .
. "Product Liability in Aviation ", Annals of Air and Space Law, Vol. II, 1982. Ehler, P. Nicholai. "Product Liability in Germany Today and Tomorrow", Annals of Air and Space Law, Vol.XVI, 1991. Eltin, M. Rodman. "The Changing Philosophy of Products Liability and Proposed Model Uniform Product Liability Act", American Business Law Journal, Vo1.l9 , 1981. Farrel, Wayne E. Jr. "Aircraft Manufacturer's Liability", Annals of Air and Space Law, Vol. XVII-I, 1992: 104 Fischer, A. David, & William Power, Jr. Products Liability: Cases and Materials, Minnesota: West Publishing Company, 1988. Giemulla, Elmar, and Thomas Wenzer. "Product Liability in the Field of Aviation the Foreign Plaintiff in USA American Court ", Annals of Air and Space Law, Vol.XV, 1990. Hassenbeck, Rudolf & Denis Campell. Product Liability: Prevention, Practice, and Process in Europe and the United States, Nederland: Deventer-Kluwer Law and Taxation Publishers, 1989.
206
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011
Julack, John F. & Jennifer K. King. Product Liability Prevention: What Every International Business Should Now About Selling Products in The United States, International Law Practicum, Springs: New York State Bar Association, 2003. Kadlestz, Andreas. "Aviation Products Liability and Insurance in the European Union: Legal Aspects and Insurance of Liability of Civil Aerospace Products Manufacturer's in the European Union for Damage to Third Parties", Annals of Air and Space Law, VoI.XXI, 1996. Kusumaatmadja, Mochtar. "Pertumbuhan Penerbangan Sipil di Asia Pasifik Menjelang Tahun 2000 dan Seterusnya: Suatu Tantangan dan Jawaban", Jurnal Ilmiah Era Hukum No.6, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, 1995. Lascher. "Strict Liability in Tort for Defective Products", 38 South California Law Review, 1965. Norton, David T. "Crisis Management Planning for Small Air Carrier Aircraft Parts Manufacturers, Installers or Maintainers, and Other Aviation Industry Participants ", 66 Journal of Air Law and Commerce, Spring: Southern Methodist University School of Law, 2001: 546 Purba, Hasim. "Aspek Hukum Kecelakaan Pesawat Udara", Jurnal Hukum Mahadi, Tahun ke VII, Edisi April, 1998. Rajagukguk, Erman, "Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia Menyongsong Abad XXI", UNISIA No.33/XVIII/I/97, 1997. Schaden, R . "Aircraft Crashworthiness", 14 Trial Magazine, January 1978. Silooy, Edward A. "Sistem Tanggung Jawab Internasional Pengangkut Udara Memasuki Millenium 2000", Makalah Forum Diskusi tentang Mewujudkan Penyelenggaraan Penerbangan Aman, Selamat dan Bertanggung Jawab, Jakarta: 27 Juli 2000. Sudiro, Ahmad. "Tanggung Jawab Pengangkut Udara dan Asuransi", Jurnal Ilmiah Era Hukum No.4, Jakarta: Fakultas Hukum Univers itas Tarumanagara, 1999. _______ __ . "Periindungan Hukum Pada Konsumen Pengangkutan Udara", Jurnal Ilmiah Hukum Honeste Vivere, Vol. XIX, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, 2005.