Proceedings Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXVIII Ambon, 28-30 Oktober 2011 400 halaman, vi 2011 Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI), Indonesian Association of Hydraulic Engineers Secretariat, Gedung G VII Direktorat Sumber Daya Air Jl. Pattimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 - Indonesia Phone/Fax. +62-21 739 8630, 7279 2263 e-mail:
[email protected]
Editor Prof. Dr. Ir. Sri Harto, Br., Dip., H., PU-SDA Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, M.Sc., PU-SDA Prof. Dr. Ir. Rafael Marthinus Osok, M.Sc. Doddi Yudianto, S.T., M.Sc., Ph.D.
We regret for any errors or omissions that we may have unintentionally made. ISBN : 978-979-17093-5-4
iii
Daftar Isi
Sub-Tema I : Pengelolaan Sumber Daya Air Kepulauan 1. Upaya Konservasi Sumber Daya Air Dengan Sistem Jebakan Air Berantai Yang Diharapkan Dapat Mengatasi Banjir Dan Kekeringan Pada Pulau-Pulau Kecil Daerah Kering Indonesia .........................................
1
–– Susilawati
2. Analisis Muka Air Tanah Di Rawa Pasang Surut Distrik Padang Sugihan Dan Simpang Heran ...............................................................................................
13
–– Rosmina Zuchri
3. Penentuan Tinggi Muka Air Efektif Pada Penggelontoran Sedimen Aliran Tertekan Berdasar Penilitian Uji Hidrolik Phisik ...........................................
25
–– Pranoto Samto Atmojo, Djoko Legono, Suripin
4. Ketersediaan Air Di Wilayah Sungai Yang Berbentuk Kepulauan
.............
36
..................
44
6. Pengelolaan Air dalam Rangka Mitigasi Terhadap Degradasi Lahan Gambut .........................................................................................................
60
–– Radhika, Wildan Herwindo,Muhammad Fauzi, Waluyo Hatmoko
5. Upaya Konservasi Sumber Daya Air WS Kepulauan Madura –– Hadi Moeljanto, Ainur Rofiq
–– L. Budi Triadi
7. Bendung Tenggelam Sebagai Pengendali Sedimen Pada Aliran Dengan Tingkat Kekeruhan Tinggi ....................................................................
69
–– Muchlish Amat
8. Kajian Kinerja Embung-Embung Di Pulau-Pulau Kecil Perbatasan/Terluar Maluku Dengan Metode Kualitatif .................................
78
–– Happy Mulya
9. Belajar Dari Embung Tambakboyo di Yogyakarta Untuk Mengatasi Masalah Sumber Daya Air Di Pulau-Pulau Kecil Dan Pantai ....................
87
–– Bambang Hargono
10. Pemberian Air Secara Rotasi Untuk Meningkatkan Efektivitas Air Irigasi . ................................................................................................................
95
–– Widandi Soetopo, Dwi Priyantoro
11. Teknik Penerapan Water Use Efficiency Pada Padi Sawah Dengan Irigasi Intermitten . .................................................................................. 101 –– Susi Hidayah, Isdiyana, Hanhan Ahmad Sofiyuddin
12. Mengatasi Kerusakan Daerah Tangkapan Air Pada Pulau-Pulau Kecil Dengan Upaya Konservasi Tanah Dan Air Yang Didukung Oleh Ketersediaan Air Melalui Sistem Jebakan Air Berantai Pada Alur-Alur Alam ........................ 110 –– Susilawati, Novrini Soan, Prisela Pentewati
iv
13. Studi Laju Erosi Tanah Pasir Kelempungan Yang Distabilisasi Dengan Aspal Emulsi ............................................................................................ 121 –– Elifas Bunga, H. Muh. Saleh Pallu, Mary Selintung, M. Arsyad Thaha
14. Penerapan Program Computer Cubic Spline Interpolation Untuk Perhitungan Debit Kanal Di Rawa Pasang Surut ............................................ 131 –– Rosmina Zuchri
15. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Model Hidrologi Untuk Mendukung Pengembangan Sistem Jebakan Air Berantai Yang Diharapkan Dapat Mengatasi Banjir Dan Kekeringan Pada Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia . ................................................................................................................. 139 –– Tunggul Sutanhaji, Susilawati
Sub-Tema II : Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Pantai dan Pesisir 16. Respon Garis Pantai Karena Pemecah Gelombang Ambang Rendah Di Pantai Anyer, Serang, Banten ...................................................................... 151 –– Dede M. Sulaiman, Mahdi E. Sudjana, Suprapto
17. Perbandingan Metode Peramalan Gelombang Groen - Dorrestein Dengan Metode SPM (Studi Kasus Perairan Lemahabang, Jepara, Jawa Tengah) . ... 161 –– Yati Muliati
18. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Air Di Wilayah Pantai Dan Pesisir Teluk Bone Dengan Keberadaan Bendung Gerak Tempe Dan Jetis Ala Marunda .......................................................................................... 169 –– Subandi, Thomas Raya Tandisau, M.K.Nizam Lembah, Agus Hasanie
19. Aplikasi Produk Geotextile Containment Sebagai Pengganti Batu Untuk Bangunan Pengaman Pantai . ............................................................................. 179 –– Andryan Suhendra, Doyo Lujeng Dwiarso
20. Laju Pendangkalan Teluk Losari Di Kota Makassar
. ....................................
190
–– Kamaruddin Umar, Abd. Nasser Hasan, Abd. Wahab, Zahimu Wahid, Andi Muh. Saleh, Mappile
21. Transmisi Dan Refleksi Gelombang Pada Pemecah Gelombang Ambang Rendah Ganda Tumpukan Batu ....................................................... 201 –– Bambang Surendro, Nur Yuwono , Suseno Darsono
22. Studi Pengamanan Pantai dan Pesisir Pulau Kumbang Kabupaten Kayong Utara .................................................................................... 213 –– Stefanus B. Soeryamassoeka, Djono Sodikin, M. Meddy Danial
23. Penerapan Model Fvcom Untuk Pemodelan Gelombang Tsunami Di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai ............................................................. 223 –– Dhemi Harlan, Hendra Achiari, Bobby Minola Ginting, Alfa Aldebaran
24. Pengkajian Peran Hutan Mangrove Untuk Pengamanan Pantai –– Simon S. Brahmana
................
232
v
25. Studi Tentang Perairan Pelabuhan Belawan Dengan GIS
. ...........................
235
–– A. Perwira Mulia Tarigan, Wiwin Nurzanah, Goentono
26. Peningkatan Efisiensi Fungsi Bangunan Pengaman Pantai (Wave Breaker) Dengan Rekayasa Vegetasi Sebagai Pelindung Pantai (Studi Kasus di Pesisir Kalimantan Barat . ....................................................... 245 –– Aji Ali Akbar, Junun Sartohadi, Tjut Sugandawaty Djohan, Su Ritohardoyo
27. Rangkaian Batang Semi Apung Sebagai Alternatif Struktur Pelindung Pantai .................................................................................................... 255 –– M. Arsyad Thaha, Willem Minggu
28. Pengujian Karakteristik Resapan Dengan Variasi Intensitas Curah Hujan, Tingkat Kepadatan, Dan Gradasi Tanah Daerah Pesisir . .............................. 264 –– Halidin Arfan
29. Dampak Peningkatan Badai Tropis Terhadap Erosi Pantai Di Pulau Bali .......................................................................................................... 278 –– D. M. Sulaiman, R. W. Triweko, D. Yudianto
Sub-Tema III : Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA 30. Alternatif Teknologi Sistem Penyediaan Air Bersih Penduduk Yang Sehat Di Pulau Kecil ........................................................................................................ 291 –– Ratna Hidayat
31. Suatu Gagasan Pengelolaan Air dalam Peningkatan Produktifitas Tanaman Sagu ......................................................................................................... 302 –– L. Budi Triadi, Parlinggoman Simanungkalit, T. Firdaus
32. Peran Masyarakat Pada Pengelolaan Polder Banger
. ....................................
313
–– Suseno Darsono, Mestika
33. Pengentasan Kemiskinan Melalui Identifikasi Potensi Sumber Air Baku di Kabupaten Kapuas Hulu Untuk Mendukung Pencapaian Target Millenium Development Goal’s (MDGs) Bidang Air Minum Tahun 2015 .................. 322 –– Kartini, Stefanus B. Soeryamassoeka
34. Pemanfaatan Sirin Meragun Sebagai Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Masyarakat Kecamatan Nanga Taman Kabupaten Sekadau .......... 331 –– Stefanus B. Soeryamassoeka, Jane E. Wuysang, M. Prima Yudistira
35. Mengungkap Peranan Dan Pengaruh Model Stakeholders Terhadap Sda Di Pulau-Pulau Kecil ............................................................................................. 342 –– Soedarwoto Hadhisiswoyo
36. Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Pulau Terpencil (Studi Kasus Pulau Naen Kabupaten Minahasa Utara) ................................. 350 –– Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja, Happy Mulya
vi
37. Pengelolaan Bantaran Sungai Citarum Hilir Dengan Pendekatan Partisipasi Masyarakat . ......................................................................................... 357 –– Herman Idrus, Reni Mayasari, Herry Rachmadyanto
38. Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) Lokal Menunjang Pemberdayaan Masyarakat, Studi Kasus di Muara Sungai Bogowonto . ...................................................... 363 –– Nasrun Sidqi, Kisworo Rahayu
39. Peran Serta Masyarakat Secara Partisipatif Dalam Upaya Konservasi Daerah Irigasi Anjungan Kalimantan Barat .................................................... 372 –– Henny Herawati, Rizki Purnaini
40. Upaya Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Untuk Masyarakat Pada Pulau-Pulau Kecil Daerah Kering Dengan Menggalakkan Program Pengembangan Sistem Terpadu Penampungan Air Hujan 1-2-1 Dan Jebakan Air Berantai Pada AlurAlur Alam (Studi Kasus Di Pulau Palue, Kabupaten Sikka – NTT) ............. 382 –– Susilawati, Tunggul Sutanhaji
41. Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pengelolaan Sumber Daya Air Melalui Sistem Swakelola Dalam Implementasi Pengembangan Model Pengelolaan Air Hujan Untuk Pertanian Di Desa Daieko, Kec. Hawu Mehara, Kab. Sabu-Raijua ............................................................. 393 –– Susilawati, Iskandar, Charisal A. Manu, Ruben Riwu
Dampak Peningkatan Badai Tropis Terhadap Erosi Pantai Di Pulau Bali D. M. Sulaiman1), R. W. Triweko2), D. Yudianto3) 1
Ph.D Student, Civil Engineering Graduate Program, 2 Professor, Civil Engineering Graduate Program 3 Lecture, Civil Engineering Graduate Program
Parahyangan Catholic University Jalan Merdeka 30 Bandung 40117 INDONESIA
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Intisari Peningkatan suhu udara, muka air laut, dan daratan, telah menyebabkan pemuaian air laut dan mencairnya salju abadi yang memberikan kontribusi pada naiknya paras laut secara global. Kenaikan paras laut erat kaitannya dengan terjadinya erosi pantai. Permukaan air yang lebih tinggi menyebabkan garis pantai berpindah ke arah darat dan memungkinkan gelombang menghempas lebih keras dan membawa sedimen ke arah laut. Kenaikan suhu permukaan laut telah terjadi di seluruh lintang dan lautan dan merupakan pra-kondisi terjadinya siklon tropis dan naiknya paras laut ekstrem. Kenaikan paras laut ekstrem yang terjadi di perairan pantai Indonesia, merupakan imbas dari badai tropis yang terjadi di lintang menengah. Badai tropis ini berkecepatan tinggi dan mampu menaikkan paras laut sesaat dan membangkitkan gelombang besar yang menimbulkan berbagai kerusakan di daerah pantai, seperti erosi pantai dan banjir di dataran rendah pantai. Lonjakan tajam daerah pantai yang tererosi di Pulau Bali, dari 70,33 km pada 2001 menjadi 181,7 km pada 2010, atau meningkat sekitar 2, 5 kali lipat, mengindikasikan adanya peningkatan daya rusak dan gaya-gaya alam yang bekerja terhadap perubahan garis pantai di sepanjang Pulau Bali. Meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas badai tropis, terutama dalam periode 2001-2009. merupakan bukti ilmiah makin kuatnya intensitas badai tropis sebagai dampak langsung dari pemanasan global. Badai yang tumbuh dan berkembang di Australia dan bergerak ke Samudera Hindia Selatan telah berimbas pada kenaikan paras laut di perairan Indonesia, khususnya daerah pantai Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara bagian Selatan. Terdapat kaitan erat antara data erosi pantai di Pulau Bali yang melonjak tajam dengan frekuensi kejadian badai tropis. Meningkatnya erosi pantai di pulau Bali pada periode 2001-2009 disimpulkan sebagai dampak langsung dari meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas gelombang badai dalam periode 2001-2009 tersebut. Naiknya paras laut sesaat yang timbul oleh terjadinya gelombang badai, telah memicu dan sekaligus memperparah lokasi erosi pantai di sepanjang pulau Bali Kata kunci : pemanasan global, badai tropis, kenaikan paras laut ekstrem, erosi pantai, Pulau Bali
278
279
1. Pendahuluan Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena meningkatnya suhu udara, dan muka air laut. Fenomena tersebut timbul sebagai dampak dari kegiatan manusia terkait peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang melebihi ambang batas. Konsentrasi gas rumah kaca di lapisan atmosfer ini menghambat radiasi yang dipantulkan bumi, sehingga radiasi terakumulasi di atmosfer yang mengakibatkan suhu rata-rata di seluruh permukaan bumi dan laut meningkat. Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, suhu rata-rata bumi meningkat sekitar 5°C, laju kenaikan suhu ini mencapai rekor tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan suhu permukaan bumi telah menyebabkan pemuaian air laut dan mencairnya salju abadi yang memberikan kontribusi pada naiknya paras laut secara global. Kenaikan paras laut global telah mencapai 20-25 cm dalam kurun waktu 100 tahun terakhir (IPCC, 2001). Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa skenario terburuk pada tahun 2100, kenaikan paras laut rata-rata mencapai 95 cm (IPCC, 2007). Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan paras laut jauh lebih cepat dibandingkan proyeksi tersebut (Abuoda dan Woodroffe, 2006). Hal ini terutama disebabkan belum adanya upaya-upaya serius dan komitmen yang kuat dari masyarakat dunia untuk menangani masalah pemanasan global (Kaiser, 2007). Penulisan makalah ini bertujuan (1) menguraikan kaitan antara meningkatnya erosi pantai di Pulau Bali yang naik tajam dalam periode 2001-2010 dengan kejadian badai tropis dan kenaikan paras laut ekstrem karena badai (storm surge) sampai tahun 2008; dan (2) menguraikan pentingnya pemahaman yang lebih baik dampak perubahan iklim terhadap daerah pantai dalam upaya mengantisipasi dan menyiapkan pengelolaan daerah pantai di masa mendatang. 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Skenario Kenaikan Paras Laut Global Kenaikan paras laut (KPL) global merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang mempengaruhi manusia secara langsung (Nicholls, 2007; Church dkk., 2001; IPCC, 2007). Sementara dampak imbuhan dan perlunya upaya adaptasi tertuju kepada daerah pantai, tempat di mana jumlah penduduk paling padat, ekosistem penting dan produktif yang rentan terhadap perubahan paras laut (Nicholls dkk., 2007; Dasgupta dkk., 2007). Selama abad ke-20, kenaikan paras laut global terjadi pada laju 1,7 mm per tahun (17 cm per 100 tahun). Pada periode ini terjadi lonjakan kenaikan yang berarti (Church dan White, 2006), dari 1993 sampai akhir 2006, pengamatan paras laut di daerah antara 65° LS dan 65° LU, mengindikasikan kenaikan paras laut global pada 3,1 ± 0,4 mm per tahun, atau 31 cm per 100 tahun (Nicholls, 2007). 2.2 Kenaikan Paras Laut di Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang rentan terhadap dampak kenaikan paras laut. Tingkat kerentanan tersebut makin diperparah dengan jumlah penduduk yang tinggal di daerah pantai, yaitu sekitar 60 persen populasi penduduk
280
Indonesia tinggal di dalam radius 50 km garis pantai (Idris, 2002). Kenaikan paras laut di Indonesia rata-rata 5-10 mm per tahun (MMAF, 2009). Meskipun kenaikan paras laut tersebut relatif kecil, tetapi untuk rentang waktu yang panjang laju kenaikan tersebut sangat berarti dan akan menimbulkan dampak serius terhadap kerusakan pantai. Dengan asumsi tidak ada upaya adaptasi dan tidak terjadi perubahan populasi penduduk, maka skenario kenaikan paras laut setinggi 1 m, dalam rentang waktu 100 tahun ke depan, akan menyebabkan erosi dan mundurnya garis pantai sejauh 50 m (IPCC, 2007). Erosi pantai sebesar itu, akan mengakibatkan berkurangnya luas wilayah pantai Indonesia sekitar 4.759 ha per tahun, dan jutaan penduduk harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi (MMAF, 2009). 2.3 Erosi Pantai dan Kenaikan Paras Laut Salah satu penyebab hilangnya daratan pantai karena kenaikan paras laut adalah meningkatnya erosi pantai. Erosi pantai merupakan proses mundurnya pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan kapasitas angkutan sedimen (CEM, 2003). Proses erosi pantai sangat dipengaruhi oleh jenis pantai, morfologi, dan iklim gelombang. Erosi pantai disebabkan oleh beberapa faktor yang berlainan ( CEM, 2003), yaitu (1) sifat daratan pantai yang masih muda dan belum seimbang, dimana sumber sedimen yang datang lebih kecil dari sedimen yang hilang; (2) penurunan permukaan tanah (land-subsidence); (3) adanya angkutan sedimen ke daerah lepas pantai; (4) perubahan iklim gelombang; dan (5) kenaikan paras laut global. Selain penyebab yang bersifat alami, penyebab erosi pantai juga bisa bersifat buatan atau artificial, dimana pengaruh manusia lebih dominan (Puslitbang Pengairan, 1992). Penyebab buatan terdiri atas (1) pengaruh bangunan pantai yang menjorok ke laut; (2) penambangan material pantai dan sungai; (3) pemindahan muara sungai; (4) pencemaran perairan pantai; (5) pengaruh pembuatan waduk di hulu; dan (6) perusakan oleh bencana alam. Pada umumnya penyebab kerusakan pantai merupakan gabungan dari beberapa faktor di atas. 2.4 Erosi Pantai Karena Gelombang Badai Storm surge yang terjadi di perairan pantai Indonesia merupakan imbas dari badai tropis yang terjadi di lintang menengah (Suryantoro, 2009). Tingkat risiko meningkatnya storm surge sebanding dengan naiknya paras laut (Ozyurt dkk, 2008). Besar kecilnya naiknya paras laut ekstrem setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) kecepatan angin bertiup, (2) lama angin bertiup atau durasi angin, dan (3) jarak seret angin atau fetch (CEM, 2003). Berdasarkan ketiga faktor itu, maka gelombang besar yang terbentuk adalah gelombang yang tumbuh dan dibangkitkan di lepas pantai disertai kecepatan angin yang kencang dan durasi cukup lama. Untuk perairan Jawa Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, badai tropis yang tumbuh di Samudera Selatan di sekitar barat laut Australia, akan membangkitkan gelombang besar di perairan Indonesia, terutama di perairan pantai Jawa Selatan, Bali dan Indonesia bagian Timur lainnya. Karena itu, pantai selatan Indonesia sering dihantam badai, sekaligus storm surge yang sangat besar yang memberikan dampak kerusakan pantai yang lebih parah.
281
3. Analisis dan Studi Kasus 3.1 Kejadian Gelombang Badai di Perairan Bali Kejadian badai di wilayah Indonesia, untuk daerah sebelah selatan ekuator aktivitas setiap tahunnya mulai pada September dan berakhir pada April tahun berikutnya. Daerah Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan wilayah yang mengalami imbas badai yang berkembang di perairan barat laut Australia seperti yang terjadi dengan badai tropis Fiona. Wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan, Maluku Selatan, dan Papua bagian selatan harus memberi perhatian terhadap badai yang terjadi di perairan utara- timur Australia, seperti yang terjadi dengan badai tropis Craig (Purwantara, 2010). Dalam rentang waktu 40 tahun, dari 1969-2008, siklon tropis yang terjadi di Samudera Hindia bagian selatan menunjukkan intensitas yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. yang ditunjukkan dengan meningkatnya frekuensi siklon tropis kategori 4 dan 5, dan perairan Australia merupakan daerah yang paling sering dilewati siklon tropis. Kategori badai berdasarkan skala Saffir-Simpson mengelompokkan badai dalam 5 kategori, dimana kategori 4 dan kategori 5 menunjukkan kelas badai dengan kecepatan angin lebih dari 100 km/jam. Berdasarkan kajian kejadian badai tropis di Samudera Hindia Selatan dalam kurun waktu 40 tahun dari 1969-2008, tercatat sebanyak 629 kejadian badai tropis atau sekitar 15 kali kejadian setiap tahunnya (Anugrah, 2011). Badai tropis di Samudera Hindia Selatan, dalam satu tahunnya terjadi hampir setiap bulan. Pertumbuhannya terjadi dalam periode September- Maret, mulai meningkat pada Bulan Oktober dan mencapai puncak pada Bulan Januari dan mulai melemah di Bulan Maret ( Zakir dan Khotimah, 2008). Dari segi intensitas atau kekuatan badai tropis, yang dikelompokkan ke dalam skala Saffir-Simpson, dalam rentang waktu 40 tahun menunjukkan kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Kenaikan tersebut ditunjukkan dengan semakin banyaknya badai tropis kategori 4 dan kategori 5 (Anugrah, 2011), seperti diperlihatkan dalam Gambar 1. Kejadian meningkatnya intensitas badai tropis di Samudera Hindia Selatan yang berimbas pada kenaikan paras laut di perairan Indonesia, khususnya daerah Bali dan Jawa bagian Selatan, merupakan bukti ilmiah dan sejalan dengan kesimpulan yang dikemukakan Dasgupta dkk (2007) bahwa makin kuatnya intensitas badai tropis sebagai dampak langsung dari pemanasan global. 3.2 Kerusakan Pantai di Pulau Bali Erosi pantai di Pulau Bali timbul karena faktor campur tangan manusia dan faktor alam. Faktor campur tangan manusia berupa penambangan material pantai ( terumbu karang dan pasir laut) dan pembangunan krib yang dilaksanakan pemilik hotel secara sendiri-sendiri di tiap ruas pantai tanpa pertimbangan teknis dan koordinasi dengan instansi terkait. Sedangkan faktor alam berupa pengaruh gelombang dan arus yang dipicu oleh meningkatnya paras laut sebagai dampak dari perubahan iklim.
282
Gambar 1. Intensitas siklon tropis di Samudera Hindia Selatan (Anugrah, 2011) Penambangan terumbu karang terjadi pada tahun 1960-an pada saat kepariwisataan mulai berkembang dan digunakan sebagai bahan bangunan (JICA, 1989). Meskipun sekarang telah dilarang, namun terumbu karang yang ada sebagian besar telah rusak dan tidak efektif lagi meredam energi gelombang yang menghempas pantai. Eksploitasi terumbu karang di areal sekitar Sanur, Nusa Dua, dan Kuta beberapa waktu yang lalu, menyebabkan berkurangnya suplai sedimen ke pantai, sehingga terjadi ketidakseimbangan pasokan sedimen. Selain itu, hilangnya terumbu karang juga menyebabkan energi gelombang yang datang ke pantai menjadi lebih besar, karena bertambahnya kedalaman muka air di dataran karang. Penambangan pasir lepas pantai dapat menyebabkan terjadinya perubahan pengangkutan sedimen di pantai. Angkutan sedimen akan terperangkap di lubang galian yang menyebabkan berkurangnya sedimen yang menuju pantai yang pada akhirnya menyebabkan perubahan keseimbangan pasokan sedimen ke pantai. Tabel 1. Data erosi pantai di Pulau Bali 1990-2001 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kab./Kota Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Karangasem Total
Panjang (km)
Tererosi (km)
121,180 67,350 28,660 80,050 16,000 12,560 40,200 71,700 437,700
20,450 5,000 6,500 11,560 8,220 5,000 7,600 6,000 70,33
Tertangani (km) 12,393 1,060 3,815 1,811 2,511 1,234 3,826 4,200 29,930
Anggaran (M. Rp.) 16,236 2,469 71,965 0,936 3,313 1,679 5,521 4,366 106,486
Sumber : BBCP (2001)
Dalam perkembangan kegiatan pariwisata selanjutnya, yaitu pada tahun 19701980, kerusakan pantai juga disebabkan oleh pembangunan krib oleh para pemilik hotel. Untuk melindungi pantainya yang terus berkurang, para pemilik hotel secara sendiri-sendiri, tanpa berkonsultasi dengan instansi teknis terkait, membangun krib tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pantai sekitarnya (Sulaiman dkk, 2003). Pantai sekitar yang terkena dampak, selanjutnya melakukan hal yang sama,
283
sehingga akibatnya seluruh pantai menjadi rusak tak terkendali. Kejadian ini tidak lepas dari longgarnya pengawasan dan belum adanya aturan perijinan dari instansi teknis terkait. 3.3 Kecenderungan Erosi Pantai Provinsi Bali terdiri dari 9 Kabupaten/Kota, 8 Kabupaten/Kota di antaranya memiliki daerah pantai dengan panjang pantai yang bervariasi (Tabel 1). Kabupaten Bangli merupakan satu-satunya Kabupaten yang tidak memiliki daerah pantai) dan terletak di pedalaman Pulau Bali. Berdasarkan data kerusakan pantai 1990-2001, panjang pantai pulau Bali yang tererosi adalah 70,33 km atau sekitar 16 % dari total panjang pantai di Pulau Bali (Tabel 1). Persentase kerusakan pantai tersebut lebih mencerminkan kerusakan pantai yang diakibatkan oleh faktor campur tangan manusia yang dilakukan dalam rentang waktu sampai tahun 2001. Mulai tahun 2002, Departemen Pekerjaan Umum telah melakukan upaya perlindungan pantai secara menyeluruh di seluruh Pulau Bali. Penanganan erosi pantai tidak hanya terfokus di Bali Selatan seperti pantai Sanur, Nusa Dua, Tanah Lot, dan pantai Kuta, tetapi di 8 Kabupaten/Kota yang ada di Bali. Upaya pengamanan pantai ini menghasilkan panjang pantai yang tertangani melonjak dari 29,93 km pada tahun 2001, menjadi 81,5 km pada akhir tahun 2009 (lihat Tabel 2). Peningkatan erosi pantai terjadi di seluruh Kabupaten/Kota yang ada di Pulau Bali, kecuali Kabupaten Gianyar yang mengalami penurunan dari 5 km pada periode 1990-2001 menjadi 3,65 km pada periode 2001-2010. Persentase kenaikan pantai tererosi paling tinggi dialami Kabupaten Karangasem (580 %), disusul Kabupaten Jembrana (394 %), Kabupaten Buleleng (268 %), Kabupaten Klungkung (247 %), Kabupaten Badung (235 %), Tabanan (196 %), dan Kota Denpasar (123 %) seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Buleleng dan sebagian Karangasem (lihat Gambar 2) merupakan kabupaten yang terletak di pantai utara yang tidak terkena imbas langsung dari gelombang badai yang terjadi diSamudera Hindia bagian selatan. Kerusakan pantai yang terjadi di kedua kabupaten pantai Utara Bali tersebut ditimbulkan oleh gelombang badai sebagai imbas dari badai tropis yang terbentuk di Samudera Pasifik (Purwantara, 2010) seperti dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Sedangkan enam kabupaten/kota lainnya terdapat di pantai selatan yang mendapatkan pengaruh langsung dari kondisi gelombang Samudera Hindia bagian Selatan. Kerusakan pantai tidak hanya terjadi pada pantai alami yang belum tertangani, tetapi juga terjadi pada pantai yang telah direhabilitasi, seperti di Pantai Sanur dan Pantai Nusa Dua. Berdasar hasil pemantauan perubahan garis pantai pasca pengisian pasir, dari 2004-2007, garis pantai Sanur mundur 1,28 m/tahun atau terjadi penyusutan pasir sebanyak 15,52 % (Sulaiman, 2008b). Perubahan garis pantai yang cenderung mundur dari posisi awal, terjadi juga di sepanjang Pantai Nusa Dua. Hasil pemantauan dalam rentang waktu empat tahun, dari 2004-2007, Pantai Nusa Dua mengalami erosi dengan laju 3,23 m/tahun dan pasir yang hilang sebanyak 11,42 % (Sulaiman, 2008a).
284
Gambar 2. Peta Pulau Bali Tabel 2. Data Erosi Pantai di Pulau Bali 2001 s/d 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kab./Kota Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Karangasem Total
Panjang (km) 121,180 67,350 28,660 80,050 16,000 12,560 40,200 71,700 437,700
Tererosi (km) 54,830 19,700 12,760 27,160 10,000 3,650 18,800 34,800 181,700
Tertangani (km) 22,265 6,050 4,300 25,468 8,532 0,500 5,600 8,785 81,500
Anggaran (M. Rp.) 59,472 6,724 104,346 476,061 161,346 5,992 18,344 5,507 837,726
Sumber : BBCP (2001) dan BWS Bali-Penida (2010)
3.4 Penanganan Erosi Pantai Permasalahan pantai di Indonesia, tersebar secara nasional, sementara kemampuan anggaran pemerintah sangat terbatas. Karena itu, dibuat skala prioritas penanganan kerusakan pantai yang berdasar pada bobot tingkat kerusakan dan bobot tingkat kepentingan (DPU, 2010). Dalam periode 10 tahun terakhir terjadi peningkatan penanganan. Pada tahun 2001, garis pantai yang tertangani sepanjang 29,93 km, meningkat menjadi 81,5 km pada tahun 2010. Lokasi pantai di Bali Selatan, seperti Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, memiliki bobot tingkat kepentingan tinggi, karena berfungsi sebagai pantai wisata yang mendatangkan devisa. Kabupatenkabupaten tersebut merupakan tempat dimana terdapat pantai Kuta, Sanur, dan Nusa Dua. Demikian pula Kabupaten Tabanan, dimana Pura Tanah Lot berada memiliki bobot tingkat kepentingan berskala nasional, berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus tujuan wisata. Sementara Kabupaten Buleleng, yang merupakan kabupaten dengan garis pantai terpanjang, dari 54,83 km panjang pantai yang tererosi, sepanjang 22,265 km atau 41 % telah ditangani. Pada sisi lain, Kabupaten Gianyar merupakan kabupaten yang penanganan pantainya paling rendah, hanya 500 m tertangani
285
dari 3,65 km panjang pantai yang terosi. Kabupaten lainnya, seperti Jembrana, Klungkung, dan Karangasem penanganan pantainya hanya sekitar 30 % dari panjang pantai tererosi (Tabel 3). Perbedaan porsi penanganan untuk masing-masing kabupaten/kota cenderung lebih banyak didasarkan atas pertimbangan bobot tingkat kepentingannya dari pada pertimbangan bobot tingkat kerusakannya. Tabel 3. Perbandingan Panjang Pantai Tertangani di Pulau Bali Tahun 2001 dan 2010 Tahun 2001 No.
Kab./Kota
1 2 3 4 5 6 7 8
Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Karangasem Total
Tahun 2010
Tererosi Tertangani % Tererosi Tertangani % (km) (km) Penanganan (km) (km) Penanganan
20,450 5,000 6,500 11,560 8,220 5,000 7,600 6,000 70,33
12,393 1,060 3,815 1,811 2,511 1,234 3,826 4,200 29,930
61 21 59 16 31 24 50 70
54,830 19,700 12,760 27,160 10,000 3,650 18,800 34,800 181,700
22,265 6,050 4,300 25,468 8,532 0,500 5,600 8,785 81,500
41 31 34 94 85 14 30 25
Sumber : BBCP (2001) dan BWS Bali-Penida (2010)
4. Pembahasan Pemanasan global telah berdampak pada meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas badai tropis, yang membangkitkan naiknya paras laut ekstrem dan makin besarnya gelombang yang menghempas pantai-pantai di Pulau Bali. Naiknya paras laut sesaat yang timbul oleh terjadinya gelombang badai, telah memicu dan sekaligus memperparah lokasi erosi di sepanjang pantai pulau Bali Karena itu, meningkatnya erosi pantai di Pulau Bali dari 2001-2009 dapat disimpulkan sebagai dampak langsung dari meningkatnya frekuensi kejadian dan intensitas gelombang badai dalam periode 2001-2009 tersebut. Daerah pantai yang potensial dan berpeluang terkena erosi, menjadi terkikis dan daerah pantai yang semula tidak mengalami erosi, mulai tererosi secara perlahan dan pantai yang sebelumnya tererosi akan lebih parah erosinya. Lonjakan penanganan pantai yang tererosi ini, seharusnya mampu mengurangi persentase atau total panjang pantai yang tererosi. Namun, berdasarkan hasil identifikasi Balai Wilayah Sungai Bali-Penida Tahun 2010, justru panjang pantai yang terosi dalam rentang 2001-2009 tersebut melonjak tajam dari 70,33 Km pada Tahun 2001 menjadi 181,7 Km pada Tahun 2010 (lihat Tabel 4). Meningkatnya erosi pantai, lebih dari 2,5 kali lipat dalam rentang 10 tahun tersebut, mengindikasikan terjadinya peningkatan gaya-gaya alam yang bekerja pada perubahan garis pantai sepanjang Pulau Bali. Faktor alam ini berupa meningkatnya frekuensi badai dan gelombang pasang yang membangkitkan gelombang ekstrem dengan tinggi gelombang yang besar, sehingga daya kikis terhadap pantai makin besar pula dan arus menyusur pantai yang ditimbulkan gelombang ekstrem tersebut mengangkut volume pasir lebih besar dari periode sebelumnya.
286
Tabel 4 Perbandingan panjang pantai tererosi di P.Bali 2001 dan 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kab./Kota Buleleng Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Karangasem Total
Panjang (km) 121,180 67,350 28,660 80,050 16,000 12,560 40,200 71,700 437,700
Pantai Tererosi (km) 2001 2010 % Kenaikan 20,450 54,830 268 5,000 19,700 394 6,500 12,760 196 11,56 27,160 235 8,220 10,000 123 5,000 3,650 73 7,600 18,800 247 6,000 34,800 580 70,33 181,700
Sumber : BBCP (2001) dan BWS Bali-Penida (2010)
Kesimpulan 1. Kenaikan paras laut sebagai dampak pemanasan global dan perubahan iklim, akan memicu erosi pantai. Permukaan air yang lebih tinggi menyebabkan garis pantai berpindah ke arah darat dan memungkinkan gelombang menghempas lebih keras dan membawa sedimen ke arah laut 2. Kenaikan paras laut ekstrem sesaat atau storm surge dibangkitkan badai tropis memberikan dampak parah terhadap erosi di sepanjang pantai. Tingkat kerusakannya akan lebih parah apabila kejadian badai tersebut berbarengan dengan fenomena pasang surut ekstrem. 3. Badai tropis di Samudera Hindia Selatan yang tumbuh di Australia dan berimbas pada perairan pantai di wilayah Indonesia Selatan dalam periode 2001 -2008, merupakan faktor alami terjadinya erosi pantai di sepanjang Pulau Bali dalam periode tersebut. 4. Erosi pantai di Pulau Bali timbul karena faktor campur tangan manusia dan faktor alam. Faktor yang ditimbulkan badai tropis pada periode 2001-2009, menunjukkan dampak yang lebih parah. Lonjakan erosi pantai di sepanjang Pulau Bali dari 70,33 km menjadi 181,7 km dalam rentang waktu 2001-2009, mengindikasikan terjadinya peningkatan gaya-gaya alam yaitu meningkatnya frekuensi dan intensitas badai tropis dalam periode tersebut. 5. Perubahan garis pantai dan kecenderungan terkikisnya pasir isian yang terjadi di pantai-pantai yang telah dilakukan penanggulangan, mengindikasikan terjadinya peningkatan hempasan gelombang yang lebih besar dan membawa pasir ke lepas pantai. Karena itu, kerusakan pantai tidak hanya terjadi pada pantai alami yang belum tertangani, tetapi juga terjadi pada pantai yang telah direhabilitasi seperti di pantai Sanur dan pantai Nusa Dua.
287
Ucapan Terima Kasih. Penulis sangat berterima kasih baik kepada perorangan maupun instansi atas data, informasi, dan bahan-bahan sehingga tulisan ini bisa tersusun. Terima kasih ini penulis haturkan kepada Prof. Safwan Hadi, Ph.D, atas masukannya dalam penulisan makalah ini. Terima kasih juga disampaikan kepada kolega di Balai Wilayah Sungai Bali-Penida dan Perpustakaan Program Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung atas data dan informasinya, dan semua pihak yang telah membantu dalam penyediaan data yang berharga ini. Daftar Pustaka Aboudha, P.A.O. dan C.D.Woodroffe, 2010. “Assessing vulnerability to sea-level rise using a coastal sensitivity index : a case study from southeast Australia”. J.Coast Conserv 14:189-205. Springer.Science+ Bussiness Media. Published online. Anugrah, S.D., 2011. “Analisis Respon Muka Air Laut Akibat Siklon Tropis Februari-Maret 2008 di Samudera Hindia Bagian Selatan ( Stusi Kasus: Benoa, Prigi, Cilacap, dan Padang)”, Tesis Magister, Program Studi Magister Sains Kebumian, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, 2010. “Penanganan Erosi Pantai di Pulau Bali sampai Tahun 2009”, Ditjen Sumber Daya Air, Denpasar. Bali Beach Conservation Project, 2001. “Project Evaluation 1990-2001”, Directorate General Water Resources, Ministry of Public Works, Jakarta. Church, J.A., N.J. White, dan J.R. Hunter, 2006. “Sea-level rise at tropical Pacific and Indian Ocean islands”. Global Planet. Change, 53, 155–168. Coastal Engineering Manual, 2003. “Coastal Morphodynamics”. Chapter IV Part 3. US Army Corp of Engineer. Dasgupta, S., B. Laplante, C. Meisner, D. Wheeler, dan J. Yan, 2007. “The impact of sea level rise on developing countries: A comparative analysis”. World Bank Research Working Paper 4136, World Bank, Washington DC, 51pp. Departemen Pekerjaan Umum, 2010. Pedoman Penilaian Kerusakan Pantai dan Prioritas Penanganannya. Sub-Pantek Sumber Daya Air. Gornitz, V., 1991. Global coastal hazards from future sea level rise. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, vol 89, pp 379-398. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), Climate Change 2007. The Physical Science Basis. Summary for Policy Makers, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Paris, February 2007. http://www.ipcc.ch/, 2007. Idris, I., 2002. Pokok-Pokok Pikiran Naskah Akademik dan Rancangan Undang Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Departemen Kelautan dan Perikanan, Presentasi ke pada Lembaga Sumber daya Masyarakat (LSM). Hotel Millenium, Jakarta
288
JICA, 1989. The Feasibility Study on The Urgent Bali Beach Conservation Project, Final Report, Jakarta. Kaiser, C., 2007. Coastal Vulnerability to Climate Change dan Natural Hazards. Forum DKKV/CEDIM: Disaster Reduction in Climate Change. Karlsruhe University, Kiel. Ministry of Marine Affairs dan Fisheries (MMAF), 2009. Adaptation and Mitigation Measures in Coastal and Small Islands. Directorate General of Marine, Coast, and Small Island Affairs, in cooperation with Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta. Nicholls, R.J., 2007. Adaptation option for Coastal Areas and Infrastructures: An Analysis for 2030, Report to the UNFCCC, Bonn Ozyurt, G., Ergin, A., dan Esen, M., 2008. Indicator Based Vulnerability Assessment Model to Sea Level Rise. Proceedings of 7 th Coastal and Port Engineering in Developing Countries, Dubai, UAE. Purwantara, S., 2010. Kaitan Fenomena El- Nino Dengan Badai dan Gelombang Pasang, Puslitbang Pengairan, 1992. Kerusakan Pantai dan Muara di Indonesia. No.02.00.104-HAB, Bandung Sulaiman, D.M., R. Yusha, S. Adnyana, dan Syamsudin, 2003, “ Lessons from Bali Beach Conservation Project”, Proceedings of 6 th International Conference on Coastal and Port Engineering in Developing Countries, Colombo, Sri Lanka. Sulaiman, D.M., 2008. Perubahan Garis Pantai Sanur Pasca Pengisian Pasir. Buletin Keairan. Vol.1 No.1. pp.79-88.ISSN 1979-9233. Sulaiman, D.M., 2009. Operasi dan Pemeliharaan Pantai dan Bangunan Pengaman Pantai. Buletin Keairan. Vol.2 No.2. pp. 129-142. ISSN 1979-9233. Suryantoro, A., 2008, Siklon Tropis di Indonesia Periode Januari-Juli 2008 Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Seminar Nasional Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, Universitas Trisakti Jakarta, ISSN 19782713, Hal. 569-583. Zakir, A. dan M.K.Khatimah, 2008. Badai dan Pengaruhnya Terhadap Cuaca Buruk di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, Universitas Trisakti Jakarta, ISSN 1978-2713 Nippon Koei ( - ) Large Dams ( ≥ 15 meter high) in Indonesia, Jakarta