PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL OTONOMI DAERAH: Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
i
Sanksi Pelanggaran PasaI 72 UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau PasaI 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
ii
PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL OTONOMI DAERAH: Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Penerbit FISIP Untirta Dan Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta Serang, 2011
iii
PROCEEDING SIMPOSIUM NASIONAL OTONOMI DAERAH: Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Editor: Anis Fuad dan Abdul Hamid
Copyright © 2011 FISIP Untirta Desain Sampul : Anis Fuad Tata Letak : Anis Fuad
Penerbit: FISIP Untirta Cetakan Pertama: Mei, 2011 ISBN : 978-602-96848-2-7 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
FISIP Untirta Jl. Raya Jakarta KM.4 Pakupatan Serang Banten Http://fisip.untirta.ac.id, Email:
[email protected]
iv
KATA PENGANTAR
Sudah lebih dari sepuluh tahun kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Indonesia. Semenjak itu pula berbagai dinamika muncul dan berkembang. Tujuan desentralisasi untuk mensejahterakan masyarakat mengalami berbagai tantangan yang tidak mudah. Pemekaran, kisruh dan biaya tinggi pilkada, inefisiensi dan politisasi birokrasi, serta munculnya raja-raja kecil di daerah menjadi perhatian para pengamat dan ilmuwan yang mengamati otonomi daerah. Namun tentu saja, otonomi tak sekedar menghasilkan keburukan. Kebijakan dan inovasi yang terkategorikan best practices juga muncul di beberapa daerah di Indonesia. Tentu saja ada alasan mengapa yang dipilih adalah “best practices”. Simposium dan penerbitan buku ini dilandasi keinginan untuk mengabarkan hal-hal baik dalam penyelenggaraan otonomi daerah ditengah maraknya kabar-kabar buruk tentang otonomi daerah. Bagaimanapun otonomi daerah adalah “point of no return”, sehingga jikapun ada berbagai persoalan dan tantangan, solusinya adalah memperbaikinya dan bukan kembali ke era sentralisasi. Karena itu, buku ini diharapkan menjadi sarana untuk ber-otonomi dengan optimis. Optimisme penting ditengah goyahnya keyakinan apakah desentralisasi adalah jalan yang benar bagi bangsa ini. Sekali lagi jika memang berbagai persoalan muncul dan berkembang di tengah pelaksanaan otonomi daerah, maka kita sebetulnya sedang tersesat di jalan yang benar. Buku ini menghimpun makalah-makalah yang dipresentasikan dalam “Simposium Nasional Best Practices dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Lab Administrasi Negara FISIP Untirta, 24-26 Mei 2011.
v
Empat puluh pakar dari seluruh Indonesia dan juga Negara jiran memaparkan gagasan dan hasil penelitiannya tentang pelaksanaan otonomi daerah didalam buku ini. Berbagai isu dipotret, dikupas dan dicarikan solusinya. Mulai dari kebijakan publik, inovasi, pembangunan, politik lokal sampai pemberdayaan masyarakat dan penanganan kemiskinan. Pada akhirnya, berbagai kajian dalam buku ini diharapkan menjadi sarana sharing bagi akademisi dan praktisi sehingga best practices di satu daerah dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain.
Serang, 20 Mei 2011 Lab Administrasi Negara FISIP Untirta, Kepala,
Abdul Hamid
vi
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................
v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
Dinamika Politik Lokal di Era Otonomi Daerah Oleh : Ignatius Ismanto ....................................................................................
1
Aplikasi Prinsip-Prinsip RIA dalam Formulasi Peraturan Daerah Oleh : Kristian Widya Wicaksana ..................................................................
9
Otonomi Daerah Dan Perda-Perda Bias Agama Oleh : Victor Silaen ...........................................................................................
17
Dari Birokratis Menjadi ”Biro Jasa”: Contoh Kota Jerman Oleh : Samodra Wibawa ..................................................................................
24
Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Sumber Daya Manusia melalui Implementasi CSR Oleh : Muhamad Azis Firdaus .......................................................................
vii
29
Pengelolaan Usaha Mikro,Kecil dan Menengah di Bengkulu, (Penguatan Ekonomi Lokal Wilayah Pesisir) Oleh : Masyhudzulhak Djamil........................................................................
35
Akuntabilitas Keuangan Partai Politik Di Provinsi Banten Oleh : Dahnil Anzar .........................................................................................
40
Urgensi Public Service Motivation Dalam Mewujudkan Pelayanan Publik Yang Prima Oleh: Syamsir dan Muhamad Ali Embi ........................................................
47
Kajian Best Practice Inovasi Pemerintah Kabupaten Garut : Menikah Dan Menanam Pohon Oleh : Octa Soehartono dan Rizky Fitria.......................................................
56
Pengaruh Budaya Kerja Etnik terhadap Budaya Kerja Keberanian dan Kearifan PNS dalam Pelayanan Publik yang Prima (Studi pada Pemerintahan Kabupaten Pasaman Barat) Oleh : Aldri Frinaldi dan Muhamad Ali Embi .............................................
E-Government:
Studi
Pendahuluan
Penyelenggaraan
62
Pemerintahan
Daerah Di Kabupaten Sragen Oleh : Ikhsan Darmawan .................................................................................
69
Manajemen Sinergitas untuk Penguatan Ekonomi Kerakyatan Oleh : Rutiana Dwi Wahyuningsih ................................................................
viii
76
Pemberdayaan Masyarakat Daerah Kabupaten Badung Provinsi Bali Oleh: Dayat Hidayat ........................................................................................
82
Dukungan E-government dalam Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah : Kasus Best Pratice dari Sejumlah Daerah di Indonesia Oleh: Junaidi ......................................................................................................
89
Best Practice Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Dalam Pengentasan Kemiskinan Oleh: Suwatin ....................................................................................................
99
Analisis Penulusuran Anggaran APBD Provinsi Banten di Sektor Pembangunan Sumber Daya Manusia Oleh : Delly Maulana ....................................................................................... 105
Kebijakan Populis Pemerintah Kabupaten Bantul Oleh: Samodra Wibawa & Ahmad Juary ...................................................... 113
Pembangunan Desa Berbasis Komunitas (Kasus Di Propinsi Banten) Oleh: Agus Sjafari ............................................................................................. 118
Pelayanan Gratis Untuk Masyarakat Miskin di Kota Tangerang Oleh : Samodra Wibawa dan Aryo Dwi Harprayudi ................................. 123
ix
Complain Management sebagai Wujud Akuntabilitas dalam Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah Oleh: Arenawati ................................................................................................ 128
Pemekaran Daerah, Dapatkah menjadi Model Pemerataan Pembangunan? Oleh : Kandung Sapto Nugroho..................................................................... 137
Strategi Pelayanan Publik Yang Prima Oleh Aparat Pemda Banten Oleh : Emrus ...................................................................................................... 145
Social Media Networking dan Otonomi Daerah Oleh : Anis Fuad ............................................................................................... 150
Otonomi untuk Mewujudkan Banten Mandiri, Maju dan Sejahtera Oleh : Paulus Tangdilintin .............................................................................. 158
Peran Otonomi Daerah Terhadap Pariwisata Oleh : Ari Pandu Witantra .............................................................................. 165
Kinerja Baik dan Keterpilihan dalam Pemilukada: Preliminary Research Oleh : Abdul Hamid ......................................................................................... 170
Banten Menuju Era Keterbukaan Informasi: Best Practice Pembentukan Komisi Informasi Provinsi Oleh : Ismanto ................................................................................................... 175
x
Model Pelayanan Publik Yang Efektif Dalam Bidang Perijinan (Studi Pada Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak Oleh : Ipah Ema Jumiati................................................................................... 183
Efektivitas E-Service Di Pemerintah Daerah ( Kasus Di Kabupaten Serang) Oleh : Rahmawati ............................................................................................. 190
CSR dan Kepentingan Pemerintah Daerah Oleh : Rahmatullah........................................................................................... 197
Analisis Strategi SDM dan Pelayanan Prima di Kota Cilegon Oleh : Rina Yulianti .......................................................................................... 203
Analisis Partisipasi Masyarakat Dan Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Manajemen Bencana Di Kabupaten Serang Provinsi Banten Oleh: Riny Handayani ..................................................................................... 207
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Yang Bermutu di Pemerintah Daerah Oleh : Titi Stiawati ............................................................................................ 215
Mendorong Akuntabilitas Pejabat Publik melalui Ethics Leadership Oleh: Yeni Widyastuti ...................................................................................... 220
Transparansi Informasi Publik dan Percepatan Pembangunan di Daerah (Pelajaran dari Kabupaten Lebak – Banten) Oleh: Idi Dimyati .............................................................................................. 224
xi
Best Practice Efisiensi Pembangunan Bidang Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur Oleh: Suripto ..................................................................................................... 232
Strategi Pengembangan Usaha Sektor Informal dalam mendukung Pertumbuhan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan Oleh: Deden M. Haris ...................................................................................... 239
Bureaucracy Culture and Leadership in Indonesian E-Administration Implementation: Based on Perspective of Knowing and Learning Organization Oleh : Ayuning Budiati .................................................................................... 246
Arti Penting Partisipasi Masyarakat Dalam Kebijakan Publik Di Daerah : Analisis dengan Teori Sistem David Easton Oleh : Lince Magriasti ...................................................................................... 252
Kinerja Daerah Otonom Baru Hasil Pemekaran Daerah: Kasus Kota Depok Chanif Nurcholis dan Ace Sriati Rachman ................................................... 259
xii
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
DINAMIKA POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH Ignatius Ismanto, M. Si., MA Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Desentralisasi politik telah membawa dampak yang menarik bagi perubahan dan dinamika politik di daerah. Pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi subyek intervensi pemerintah pusat. Bahkan, Kepala daerah dan DPR-D kini dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui proses pemilu yang lebih demokratis. Kebijakan desentralisasi yang berkembang di tengah liberalisasi politik telah memungkinkan proses rekruitmen politik di daerah yang semakin terbuka bagi partisipasi masyarakat. Liberalisasi politik telah menempatkan partai politik memainkan peran sentral dalam proses rekruitmen politik di daerah. Ironisnya, desentralisasi politik justru diikuti oleh menguatnya.sistem kepartaian yang sentralistik, yang hanya membuka peluang bagi intervensi elitelit politik nasional di daerah. Bahkan, desentralisasi politik tidak didukung oleh kapasitas politik lokal yang kuat. Partai yang memainkan peran strategis dalam memperkuat demokrasi justru telah gagal dalam membawakan aspirasi konstituen, sebagaimana tercermin dari maraknya fenomena praktek-praktek korupsi politik di daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Gagasan pemilihan kepala daerah secara langsung yang membuka peluang bagi calon independen merupakan alternatif dalam mendukung pendalaman demokrasi. Namun, pilkada perorangan itu akan efektif bila ditopang oleh restrukturisasi sistem pemilu legislatif yang lebih responsif kepada konstituen. Bahkan, pelembagaan partai lokal dapat menjadi alternatif bagi penguatas kapasitas politik lokal. Kata Kunci: desentralisasi politik dan politik lokal 1999 yang membuka peluang bagi liberalisasi politik. Pada tingkat nasional, liberalisasi politik telah mendorong tumbuhnya partai-partai politik baru yang berkantor pusat di Jakarta. Bagi daerah, liberalisasi politik hanya membuka peluang sebatas pada diperkenalkannya partai-partai politik nasional tersebut. Pendirian partai politik lokal tidak dimungkinkan oleh UU1. Bahkan, liberalisasi politik telah memungkinkan partai politik memainkan peran sentral dalam proses rekuitmen politik di daerah, yaitu bagi keanggotaan legislatif daerah (DPR-D) mau-pun dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Liberalisasi politik seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah telah meningkatkan persaingan elit-elit politik di daerah. Namun, pelaksanaan otonomi daerah di tengah liberalisasi politik itu belum membawa perubahan politik yang berarti khususnya dalam mengendalikan praktek-praktek korupsi di daerah. Persepsi masyarakat terhadap partai politik di tengah era otonomi daerah-pun semakin negatif. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2007 yang menganulir UU No. 32/2004 dan membuka peluang bagi calon independen dalam pilkada merupakan isu politik yang menarik.
1.
PENDAHULUAN Relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif (Gubernur, Bupati/Walikota) dan lembaga legislatif di daerah (DPR-D Provinsi, DPR-D Kabupaten/Kota) merupakan salah satu isu menarik dalam menkaji perubahan politik lokal seiring dengan pelaksanaan kebijakan dsentralisasi sejak 1999. Dinamika hubungan kedua lembaga itu sekaligus menjadi jendela dalam menkaji proses pendalaman demokrasi di Indonesia. Ada 2 (dua) faktor penting yang telah mempengaruhi dinamaka hubungan lembaga eksekutif dan lembaga eksekutif di daerah sejak 1999, yaitu restrukturisasi pemerintahan serta liberalisasi politik. Restrukturisasi pemerintahan yang awalnya diperkenalkan melalui UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi dengan UU No. 32/2004, pada hakekatnya dipandang sebagai „era baru‟ dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah yang diperkenalkan di tengah tekanan demokratisasi itu memberikan kewenangan yang lebih besar bagi daerah dalam menentukan proses pembangunan daerah. Otonomi daerah itu tidak hanya membuka peluang bagi dinamika hubungan yang baru antara pemerintahan pusat (Jakarta) dan pemerintahan daerah, tetapi juga dinamika hubungan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di daerah. Faktor penting lainnya yang mempengaruhi dinamika hubungan lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di daerah yaitu perubahan politik sejak
1
Pendirian partai lokal hanya dimungkinkan bagi Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD) seiring dengan pemberian status otonomi khusus kepada provinsi tersebut [1]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tulisan ini dimaksudkan mengkaji dinamika hubungan eksekutif dan legislatif di daerah sejak liberalisasi politik 1999 serta menkaji peluang dan tantangan dengan dimungkinkannya calon independen bagi dinamika politik di daerah.
itu ditempuh melalui berbagai bentuk, seperti: dekonsentrasi dan pendelegasian. Dekonsentrasi merupakan pergeren pengambilan keputusan dalam pemerintahan yang sentralisitik. Sedangkan pendelegasian merupakan pengalihan tugas-tugas tertentu dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sementara pemerintah pusat masih memegang tanggung-jawab secara keseluruhan. Dari dimensi administratif, kebijakan desentralisasi (administrative) itu dimaksudkan mendorong efisieni dalam penyelenggaraan pemerintahan umum di daerah. Sehubungan dengan itu, kebijakan desentralisasi yang dipromosikan oleh pemerintah pusat dengan memberikan pengakuan terhadap otonomi daerah lebih sering dipandang sebagai „kewajiban daerah‟, yaitu kewajiban bagi pemerintah daerah untuk mensukseskan kebijakan atau program-program yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat. Desentralisasi fiscal ditempuh untuk mengurangi kesenjangan fiscal, yaitu: (i) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau yang disebut „vertical fiscal imbalance‟, dan (ii) antar daerah atau yang disebut „horizontal fiscal imbalance‟. Instrumen yang dikembangkan antara lain: (i) Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dan (ii) Dana Otonomi Khusus. Sedangkan desentralisasi yang sarat dengan muatan dimensi politik merupakan bentuk desentralisasi yang paling kompleks. Desentralisasi politik ini memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi masyarakat daerah serta legislatif daerah dalam pengambilan keputusan. Desentralisasi politik ini pada hakekatnya dimaksdukan untuk mendekatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan serta mendorong keterlibatan masyarakat di daerah dalam proses politik. Dari perspektif daerah, Hidayat (2005: 5-7) mengidentifikasi tujuan desentralisasi sebagai (i) political equality yaitu membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di daerah dan mendorong mereka itu ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan daerah, (ii) local accountibility yaitu meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial-ekonomi mereka dan (iii) local resposivenss yaitu meningkatkan kepekaan pemerintah daerah dalam mengidentifikasi tuntutantuntutan masyarakat daerah. Kebijakan desentralisasi dengan demikian tidak selalu otomatis dimaksudkan untuk mendorong proses demokratisasi. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi yang sarat dengan muatan administratif tidak selalu menjadi instrumen utama bagi proses demokratisasi. Demikian pula, kebijakan desentralisasi bukan-lah kondisi yang statis. Kebijakan desentralisasi selalu berkembang. Perubahan ekonomi dan politik merupakan faktor
2.
LATAR BELAKANG SEJARAH Kebijakan desentralisasi yang juga sering digunakan secara silih berganti dengan istilah kebijakan otonomi daerah sesungguhnya bukan-lah kosa kata baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Sejumlah UU (Undang Undang) tentang pemerintahan daerah yang menjadi kerangka acuan bagi pelaksanaan kebijakan desentralisasi sejak Indonesia merdeka telah diperkenalkan serta mengalami beberapa kali perubahan. (Hoessein, 1996; Hidayat, 2005). Namun, kebijakan desentralisasi yang diperkenalkan sejak 1999, yaitu dengan disahkan UU No. 22/1999 dan direvisi dengan UU No. 32/2004, merupakan isu kebijakan yang menarik. Pertama, kebijakan desentralisasi itu ditempuh di tengah perubahan politik dan tekanan demokratisasi. Kedua, implementasi kebijakan desentralisasi dalam satu dasawarsa terakhir ini telah membawa dampak yang luas bagi dinamika politik di daerah (politik lokal). Desentralisasi merupakan konsep yang multi-dimensi. Secara umum, desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dan tanggungjawab pemerintahan pusat (nasional) kepada hirarkhi pemerintahan yang lebih rendah. Dari dimensi administratif, konsep desentralisasi merupakan penyerahan kewewenang administratif dari hirarkhi pemerintahan yang lebih tinggi kepada hirarkhi pemerintahan yang lebih rendah. Konsep desentralisasi dari dimensi administratif diartikan sebagai “transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field, local administrative unit, semi autonomous and parastatal organization, local government or non-government organizations” (Rondenelli sebagaimana dikutip dalam Hidayat, 2005). Desentralisasi juga dapat dilihat dari dimensi finansial yaitu transfer keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dari dimensi politik, desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan (devolution of power). Desentralisasi dari dimensi politik ini dapat diartikan sebagai ”transfer of power, from top level to lower level in a territorial hierarchy, which could be one government within a state or offices within a large organizations” (Smith sebagaimana dikutip dalam Hidayat, 2005). Setiap bentuk desentralisasi itu pada hakekatnya memiliki karakteristik yang berbeda dan karenanya, implikasi kebijakan yang berbeda pula. Kebijakan desentralisasi yang diimplementasikan di Indonesia selama kurun waktu yang panjang umumnya lebih sarat dengan muatan administratif. Kebijakan desentralisasi administratif [2]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang sangat besar pengaruhnya terhadap substansi kebijakan desentralisasi. Bahkan, kebijakan desentralisasi tidak-lah pernah dirumuskan dalam ruang yang hampa politik (political vacuum). Selama masa regim Orde Baru, misalnya, peran negara yang besar (omni potent) serta luasnya jangkauan keterlibatan negara dalam berbagai aspek kehidupan sosial (omni present) sangat mewarnai karakteristik sistem pemerintahan yang dipilih, yaitu sistem pemerintahan yang sentralistik. Sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi instrumen stabilitas politik yang penting dan diperlukan sebagai pra-syarat bagi pembangunan ekonomi. Sistem pemerintahan yang sentralistik dan didukung oleh negara yang otoritarian dimana proses pengambilan keputusan hanya ditentukan oleh kalangan elit yang terbatas, yaitu pejabat-pejabat pemerintahan baik sipil dan militer, diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi. Bahkan, selama periode itu, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang menakjubkan (World Bank, 1993). Ironisnya, kemajuan ekonomi yang menakjubkan itu gagal dalam mendorong demokrasi. Pengalaman sejumlah negara Asia Timur menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi merupakan faktor yang berperan penting dalam mendorong perubahan politik menuju transisi demoktasi. Kehadiran regim otoritarian awalnya dipandang diperlukan pada tahap awal pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yaitu untuk menghindari revolusi sosial. Namun, regim yang otoritarian itu sifatnya hanya sementara saja (Huntington, 1965) yaitu pada saat awal pembangunan ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi diikuti oleh kesenjangan ekonomi. Regim otoritarian akan berakhir seiring dengan kemajuan ekonomi. Sebaliknya, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi justru memberikan legitimasi bagi kelangsungan otoritarian dan sistem pemerintahan yang sentralistik. Kemajuan ekonomi Indonesia tidak diiikuti oleh perubahan politik yang berarti dalam mendorong proses demokratisasi. Sebaliknya, kelangsungan otoritarian itu justru semakin menyuburkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada 1997 merupakan ’blessing in disguise’. Krisis ekonomi itu membawa dampak politik yang luas, yaitu melemahkan legitimasi regim otoritarian serta mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto 1998. Berakhirnya regim otoritarian membuka peluang bagi restrukturisasi sistem politik dan sistem pemrintahan sejak 1999. Pengesahan UU No. 22/1999 yang membuka peluang bagi devolution of power menjadi momentum penting bagi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
3.
DESENTRALISASI SEBAGAI INSTRUMEN DEMOKRASI Kebijakan desentralisasi yang menentukan format hubungan pemerintah pusat dan daerah sangat dipengaruhi karakteristik struktur kekuasaan politik yang ada. Struktur kekuasaan yang dicirikan oleh peran negara yang besar (omni potent) dan intervensi negara yang luas dalam berbagai aspek kehidupan sosial (omni present) sangat mempengaruhi kelangsungan sistem pemerintahan yang sentralistik yang bertahan selama kurun waktu yang panjang di masa lalu. Dalam struktur kekuasaan yang dicirikan oleh dominasi peran negara, yang dikenal dengsn birokratik otoritarian, ko-optasi merupakan unsur yang penting dalam sistem pemerintahan yang sentralistik. Sehubungan dengan itu, format hubungan pusat–daerah dalam struktur kekuasaan yang otoritarian dan sentralistik itu menempatkan pemerintah daerah tidak lebih sebagai instrumen bagi pemerintah pusat dalam mengatur (baca: mengendalikan) kepentingan daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistik yang ditopang oleh struktur kekuasaan yang otoritarian itu membawa implikasi yang luas bagi dinamika politik di daerah. Pertama, konsep pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam pemerintahan daerah tidak relevan. Kedua, Kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) tidak hanya sebagai administrator / kepala administratif wilayah tetapi juga merupakan kepanjangan tangan (derevasi) pemerintahan pusat yang ada di daerah. Nordholt dan Klinken (2007:15) menamakan kalangan administrator yaitu para Gubernur, Bupati/Walikota itu sebagai ”agen pemerintah pusat”. Mereka tidak bertanggung-jawab kepada lembaga legislatif (DPR-D). Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Demikian pula, Bupati/Walikota bertanggung-jawab kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Ketiga, peran DPR-D sangatlah minimal, yaitu hanya sebatas memberikan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah. Oleh sebab itu proses rekruitmen politik terhadap keanggotaan DPR-D selalu menjadi subyek kepentingan intervensi pemerintah (pusat). Pemilihan umum selama regim Orde Baru selalu menempatkan Golkar sebagai mesin politik utama regim Orde Baru dan menguasai mayoritas kursi DPR-D di hampr sebagian besar wilayah di Indonesai. Kelangsungan dan stabilitas sistem pemerintahan yang sentralistik itu juga ditopang oleh menguatnya sistem kepartaian yang hegemonik. Sistem pemerintahan yang sentralistik itu tidak lagi dipertahankan seiring dengan tekanan demokrasi yang mengakhiri struktur kekuasaan yang otoritarian pada 1998. Restrukturisasi sistem pemerintahan yang ditempuh melalui pengesahan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU [3]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah membawa dampak yang luas bagi hubungan pusat-daerah serta dinamika politik di daerah. Restrukturisasi sistem pemerintahan itu membawa sejumlah perubahan yang menarik. Pertama, restrukturisasi pemerintahan itu telah memungkinkan penyerahan sejumlah urusan administratif2 yang lebih besar kepada daerah. Bahkan, penyerahan sejumlah urusan administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu dijamin oleh dukungan transfer finansial dari pemerintah pusat. Ray dan Goodpaster (2003) menggambarkan bahwa pemerintah daerah dalam era pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001 lebih merupakan ”mesin pembelanjaan”. Kedua, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas, tidak hanya dalam mengalokasikan transfer keuangan dari pemerintah pusat, tetapi juga dimungkinkan untuk memobilisasi, meskipun terbatas, untuk menggali sumber-sumber keuangan dalam membiayai anggaran belanja daerah (APBD). Ketiga, restrukturisasi pemerintahan juga merombak pola interaksi hubungan kekuasaan di daerah. Restrukturisasi pemerintahan itu memisahkan secara tegas antara kekuasaan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam struktur pemerintahan daerah. Kepala daerah tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh pejabat pemerintahan berdasarkan struktur hirarkhis dalam birokrasi pemerintahan. Namun, kepala daerah dipilih dan bertanggung-jawab kepada DPR-D yang dipilih oleh rakyat dalam pemiihan umum yang demokratis. Kebijakan desentralisasi sebagaimana yang dirumuskan dalam UU No. 22/1999 memiliki dimensi politik yang kuat, dimana pemerintah pusat memberikan kekuasaan bagi daerah dalam menentukan sirkulasi elit kekuasaan di daerah. Kebijakan desentralisasi yang ditempuh di tengah liberalisasi politik itu karenanya sangat berbeda dengan kebijakan desentralisasi sebelumnya yang lebih menekankan pada dimensi administratif. Sehubungan dengan itu, UU No. 22/1999 dapat dipandang sebagai instrumen penting dalam mendorong pendalaman demokratisasi seiring dengan perubahan politik Indonesia sejak 1998. Restrukturisasi pemerintahan di daerah yang berlangsung di tengah liberalisasi sistem pemilu dan kepartaian telah membawa perubahan politik yang luas bagi daerah. DPR-D memainkan peran serta pengaruh yang besar, termasuk dalam menghadapi kepala daerah. Bahkan, restrukturisasi pemerintahan itu telah memungkinkan pergeseran struktur kekuasaan dari pola yang sebelumnya dicirikan oleh dominasi kekuasaan eksekutif
(executive heavy) menuju pola baru yang lebih dicirikan oleh dominasi kekuasaan legislatif (legislative heavy). Pergeseran struktur kekuasaan di daerah itu secara struktural dimungkinkan karena meningkatnya kewenangan yang dimiliki DPR-D. DPR-D tidak hanya memiliki hak untuk menyetujui RAPBD yang diajukan oleh pemerintah daerah. DPR-D juga memiliki hak untuk memilih kepala daerah serta meminta pertanggung-jawaban kepala daerah. Bahkan, DPR-D dapat mengajukan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden bila laporan pertanggung-jawaban kepala daerah itu secara berturut-turut dalam 2 (dua) tahun ditolak DPR-D. Dinamika perubahan politik di daerah memungkinkan DPR-D menjadi power block yang efektif dalam menghadapi lembaga eksekutif di daerah Kebijakan desentralisasi sebagai instrumen demokratisasi dalam realisasinya dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan ruang politik bagi daerah tidak didukung oleh infra-struktur politik yang memadai dalam mengakomodasi kepentingan daerah. Liberalisasi politik memang membuka peluang bagi tumbuhnya partai-partai baru. Namun, liberalisasi politik itu tidak membuka peluang bagi tumbuhnya partai lokal. Bahkan, kebijakan desentralisasi yang mengakhiri sistem pemerintahan yang sentralistik itu justru diimbangi oleh menguatnya manajemen kepartaian yang sentralistik. Liberalisasi politik ini pula yang membuka peluang bagi elit-elit politik nasional untuk mengintervensi isu-isu yang berkembang di daerah. Bukan tidak mustahil bahwa persaingan elit politik di daerah sekaligus mencerminkan persaingan kepentingan di kalangan elit-elit politik nasional. Kedua, restrukturisasi sistem pemerintahan yang telah menempatkan DPR-D sebagai institusi politik yang demikian penting di daerah tidak didukung oleh mekanisme politik yang efektif untuk menuntut pertanggung-jawaban DPR-D kepada publik. Dinamika politik di daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah diikuti oleh meningkatnya konflik di kalangan elit politik di daerah, khususnya antara kepala daerah dan DPR-D. Konflik antara kepala daerah dan DPR-D itu dipicu oleh berbagai sumber, seperti: kebijakan kepala daerah hingga pertanggung-jawaban kepala daerah. Ironisnya, kewenangan DPR-D yang besar itu tanpa didukung oleh mekanisme pertanggung-jawaban yang efektif justru membuka peluang bagi praktekpraktek penyalah-gunaan kekuasaan di daerah. Fenomena praktek-praktek korupsi politik justru semakin meluas di berbagai daerah seiring dengan pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan desentralisasi yang menentukan format hubungan pemerintah pusat dan daerah sangat dipengaruhi karakteristik struktur kekuasaan politik yang ada. Struktur kekuasaan yang dicirikan oleh peran negara yang
2
Sejumlah urusan yang tetap dipertahankan oleh pemerintah pusat yaitu: (i) agama, (ii) politik luar negeri, (iii) peradilan, (iv) keuangan dan moneter, serta (vi) pertahanan dan keamanan. [4]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sejumlah urusan administratif3 yang lebih besar kepada daerah. Bahkan, penyerahan sejumlah urusan administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu dijamin oleh dukungan transfer finansial dari pemerintah pusat. Ray dan Goodpaster (2003) menggambarkan bahwa pemerintah daerah dalam era pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001 lebih merupakan ”mesin pembelanjaan”. Kedua, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas, tidak hanya dalam mengalokasikan transfer keuangan dari pemerintah pusat, tetapi juga dimungkinkan untuk memobilisasi, meskipun terbatas, untuk menggali sumber-sumber keuangan dalam membiayai anggaran belanja daerah (APBD). Ketiga, restrukturisasi pemerintahan juga merombak pola interaksi hubungan kekuasaan di daerah. Restrukturisasi pemerintahan itu memisahkan secara tegas antara kekuasaan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam struktur pemerintahan daerah. Kepala daerah tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh pejabat pemerintahan berdasarkan struktur hirarkhis dalam birokrasi pemerintahan. Namun, kepala daerah dipilih dan bertanggung-jawab kepada DPR-D yang dipilih oleh rakyat dalam pemiihan umum yang demokratis. Kebijakan desentralisasi sebagaimana yang dirumuskan dalam UU No. 22/1999 memiliki dimensi politik yang kuat, dimana pemerintah pusat memberikan kekuasaan bagi daerah dalam menentukan sirkulasi elit kekuasaan di daerah. Kebijakan desentralisasi yang ditempuh di tengah liberalisasi politik itu karenanya sangat berbeda dengan kebijakan desentralisasi sebelumnya yang lebih menekankan pada dimensi administratif. Sehubungan dengan itu, UU No. 22/1999 dapat dipandang sebagai instrumen penting dalam mendorong pendalaman demokratisasi seiring dengan perubahan politik Indonesia sejak 1998. Restrukturisasi pemerintahan di daerah yang berlangsung di tengah liberalisasi sistem pemilu dan kepartaian telah membawa perubahan politik yang luas bagi daerah. DPR-D memainkan peran serta pengaruh yang besar, termasuk dalam menghadapi kepala daerah. Bahkan, restrukturisasi pemerintahan itu telah memungkinkan pergeseran struktur kekuasaan dari pola yang sebelumnya dicirikan oleh dominasi kekuasaan eksekutif (executive heavy) menuju pola baru yang lebih dicirikan oleh dominasi kekuasaan legislatif (legislative heavy). Pergeseran struktur kekuasaan di daerah itu secara struktural dimungkinkan karena meningkatnya kewenangan yang dimiliki DPR-D. DPR-D tidak hanya memiliki hak untuk menyetujui RAPBD yang diajukan oleh pemerintah daerah.
besar (omni potent) dan intervensi negara yang luas dalam berbagai aspek kehidupan sosial (omni present) sangat mempengaruhi kelangsungan sistem pemerintahan yang sentralistik yang bertahan selama kurun waktu yang panjang di masa lalu. Dalam struktur kekuasaan yang dicirikan oleh dominasi peran negara, yang dikenal dengsn birokratik otoritarian, ko-optasi merupakan unsur yang penting dalam sistem pemerintahan yang sentralistik. Sehubungan dengan itu, format hubungan pusat– daerah dalam struktur kekuasaan yang otoritarian dan sentralistik itu menempatkan pemerintah daerah tidak lebih sebagai instrumen bagi pemerintah pusat dalam mengatur (baca: mengendalikan) kepentingan daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistik yang ditopang oleh struktur kekuasaan yang otoritarian itu membawa implikasi yang luas bagi dinamika politik di daerah. Pertama, konsep pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam pemerintahan daerah tidak relevan. Kedua, Kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) tidak hanya sebagai administrator / kepala administratif wilayah tetapi juga merupakan kepanjangan tangan (derevasi) pemerintahan pusat yang ada di daerah. Nordholt dan Klinken (2007:15) menamakan kalangan administrator yaitu para Gubernur, Bupati/Walikota itu sebagai ”agen pemerintah pusat”. Mereka tidak bertanggung-jawab kepada lembaga legislatif (DPR-D). Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Demikian pula, Bupati/Walikota bertanggung-jawab kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Ketiga, peran DPR-D sangatlah minimal, yaitu hanya sebatas memberikan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah. Oleh sebab itu proses rekruitmen politik terhadap keanggotaan DPR-D selalu menjadi subyek kepentingan intervensi pemerintah (pusat). Pemilihan umum selama regim Orde Baru selalu menempatkan Golkar sebagai mesin politik utama regim Orde Baru dan menguasai mayoritas kursi DPR-D di hampr sebagian besar wilayah di Indonesai. Kelangsungan dan stabilitas sistem pemerintahan yang sentralistik itu juga ditopang oleh menguatnya sistem kepartaian yang hegemonik. Sistem pemerintahan yang sentralistik itu tidak lagi dipertahankan seiring dengan tekanan demokrasi yang mengakhiri struktur kekuasaan yang otoritarian pada 1998. Restrukturisasi sistem pemerintahan yang ditempuh melalui pengesahan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah membawa dampak yang luas bagi hubungan pusat-daerah serta dinamika politik di daerah. Restrukturisasi sistem pemerintahan itu membawa sejumlah perubahan yang menarik. Pertama, restrukturisasi pemerintahan itu telah memungkinkan penyerahan
3
Sejumlah urusan yang tetap dipertahankan oleh pemerintah pusat yaitu: (i) agama, (ii) politik luar negeri, (iii) peradilan, (iv) keuangan dan moneter, serta (vi) pertahanan dan keamanan. [5]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
DPR-D juga memiliki hak untuk memilih kepala daerah serta meminta pertanggung-jawaban kepala daerah. Bahkan, DPR-D dapat mengajukan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden bila laporan pertanggung-jawaban kepala daerah itu secara berturut-turut dalam 2 (dua) tahun ditolak DPR-D. Dinamika perubahan politik di daerah memungkinkan DPR-D menjadi power block yang efektif dalam menghadapi lembaga eksekutif di daerah Kebijakan desentralisasi sebagai instrumen demokratisasi dalam realisasinya dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan ruang politik bagi daerah tidak didukung oleh infra-struktur politik yang memadai dalam mengakomodasi kepentingan daerah. Liberalisasi politik memang membuka peluang bagi tumbuhnya partai-partai baru. Namun, liberalisasi politik itu tidak membuka peluang bagi tumbuhnya partai lokal. Bahkan, kebijakan desentralisasi yang mengakhiri sistem pemerintahan yang sentralistik itu justru diimbangi oleh menguatnya manajemen kepartaian yang sentralistik. Liberalisasi politik ini pula yang membuka peluang bagi elit-elit politik nasional untuk mengintervensi isu-isu yang berkembang di daerah. Bukan tidak mustahil bahwa persaingan elit politik di daerah sekaligus mencerminkan persaingan kepentingan di kalangan elit-elit politik nasional. Kedua, restrukturisasi sistem pemerintahan yang telah menempatkan DPR-D sebagai institusi politik yang demikian penting di daerah tidak didukung oleh mekanisme politik yang efektif untuk menuntut pertanggung-jawaban DPR-D kepada publik. Dinamika politik di daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah diikuti oleh meningkatnya konflik di kalangan elit politik di daerah, khususnya antara kepala daerah dan DPR-D. Konflik antara kepala daerah dan DPR-D itu dipicu oleh berbagai sumber, seperti: kebijakan kepala daerah hingga pertanggung-jawaban kepala daerah. Ironisnya, kewenangan DPR-D yang besar itu tanpa didukung oleh mekanisme pertanggung-jawaban yang efektif justru membuka peluang bagi praktekpraktek penyalah-gunaan kekuasaan di daerah. Fenomena praktek-praktek korupsi politik justru semakin meluas di berbagai daerah seiring dengan pelaksanaan desentralisasi.
kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung memang mempersempit peluang praktek-praktek kekuatan uang dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh kalangan yang sangat terbatas, seperti DPR-D yang jumlahnya rata-rata 45 orang. Pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) memang bukan jaminan akan membebaskan praktek-praktek politik kekuatan uang. Pemilihan kepala daerah secara langsung juga memiliki kelebihan atau kekuatan yaitu memperkuat legitimasi dan meningkatkan akuntabilitas kepala daerah. Perubahan politik seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan liberalisasi politik semakin membuka peluang bagi persaingan politik di daerah. Anggota DPR-D dan Kepala Daerah kini dipilih secara langsung oleh rakyat. Satu hal yang menarik dari pilkada adalah bahwa partai politik memainkan peran yang penting dalam proses pencalonan pasangan kepala daerah. Pasal 59, ayat (1) UU 32/2004 menegaskan bahwa ”peserta kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dari ketentuan itu semakin jelas bahwa partai politik merupakan satu-satunya kendaraan politik untuk menuju tampuk kekuasaan menjadi kepala daerah. Ironisnya, pelaksanaan pilkada tidak didukung oleh proses pemilu yang demokratis. Praktek-praktek kekuatan politik uang (money politics) masih juga menyertai pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah. Bahkan, partai-partai yang telah mapan berkepentingan untuk membatasi persaingan dalam pilkada. Mereka diuntungkan oleh ketentuan Pasal 59, ayat (2) yang menegaskan bahwa ”partai atau gabungan partai politik yang meraih sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR-D atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPR-D yang berhak mengajukan pasangan calon dalam pilkada”. Partai politik memainkan peran yang sangat menentukan dalam mendukung proses konsolidasi demokrasi. Sebagaimana layaknya dalam sistem demokratis, partai memainkan peran yang penting dalam menjalankan fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, pendidikan politik, penyederhanaan konflik-konflik yang berkembang dalam masyarakat hingga proses rekruitmen politik. Namun, ironisnya perubahan politik di daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah tidak didukung oleh kapitas politik lokal yang kuat. Partai politik yang memainkan peran yang semakin penting dalam proses rekruitmen politik itu, ternyata mereka umumnya tidak didukung oleh kemampuan finansial partai. (Mietzner, 2007). Bukanlah hal yang mengherankan bila peran partai yang strategis dalam proses rekruitmen politik sangat rentan terhadap praktek-praktek korupsi politik. Masduki (2005) mengidentifikasi praktek-praktek korupsi dalam
4.
PEMILIHAN KEPALA DAERAH Kewenangan DPR-D yang besar, sebagaimana diformulasikan oleh UU No. 22/1999, tanpa didukung oleh mekanisme pertanggung-jawaban publik yang efektif sangat-lah rentan terhadap praktek-praktek kekuatan politik uang. Pengesahan UU 32/2004 yang merupakan revisi terhadap UU No. 22/1999 merupakan respon terhadap ekses negatif kewenangan DPR-D yang disalah-gunakan. UU 32/2004 memberikan peluang bagi pemilihan [6]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pemilihan umum, yaitu: (i) pembelian suara (vote buying), pembelian kursi (candidacy buying), (iii) manipulasi pendanaan kampanye (abusive donation), dan (iv) manipulasi perolehan suara (administrative electoral corruption). Proses pencalonan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilakukan oleh partai atau gabungan partai politik membuka peluang bagi suburnya ‟pembelian tiket‟ (candidacy buying) untuk dinominasikan oleh partai atau gabungan partai tersebut dalam pilkada. Sehubungan dengan itu, memperjuangkan kepentingan sosial siapakan partai itu – merupakan pertanyaan yang besar di tengah perubahan politik dewasa ini. Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU 32/2004 membuka peluang bagi calon perorangan dalam pilkada. Gagasan dimungkinkannya calon perorangan atau calon independen dalam pilkada merupakan respons terhadap hegemoni partai dalam proses pencalonan kepala daerah. UU No. 12/2008 tentang Pemilihan Umum menjamin calon independen untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun, pilkada yang membuka peluang bagi calon indepen itu tidaklah cukup dalam mendorong demokratisasi, tanpa didukung oleh perubahan dalam sistem kepartaian dan sistem pemilu. Bahkan, di tengah fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen, calon independen yang terpilih hanya akan menghasilkan “minority government”, yaitu kepala daerah yang memiliki legitimasi politik yang tinggi karena terpilih dengan suara terbanyak dalam pilkada tetapi tidak memiliki dukungan politik yang kuat dalam DPR-D.
Bahkan, Kepala daerah dan DPR-D kini dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui proses pemilu yang lebih demokratis. Kebijakan desentralisasi telah membuka proses rekruitmen politik di daerah yang semakin terbuka bagi partisipasi masyarakat. Liberalisasi politik merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi pelaksanaan desentralisasi, yaitu membuka persaingan politik di daerah. Bahkan, partai politik memainkan peran sentral dalam proses rekruitmen politik di daerah. Namun, perubahan politik itu belum mampu mendorong penguatan bagi demokrasi lokal. Pertama, liberalisasi politik memang telah membuka peluang bagi tumbuhnya partai-partai politik baru. Ironisnya, restrukturisasi sistem pemerintahan yang sentralistik di tengah liberalisasi politik itu justru diikuti oleh menguatnya pengelolaan sistem kepartaian yang sentralistik. Sistem kepartaian yang sentralistik itu hanya membuka peluang bagi intervensi elit-elit politik nasional dan karenanya tidak menguntungkan bagi kepentingan daerah. Kedua, desentralisasi politik sebagai instrument demokratisasi tidak didukung oleh kapasitas politik yang kuat. Proses konsolidasi demokrasi selalu menuntut peran partai dalam menyerderhanakan konflik serta mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam realitas, partai justru seringkali menjadi sumber konflik. Bahkan, partai telah gagal dalam membawakan aspirasi konstituen, sebagaimana tercermin dari maraknya fenomena praktek-praktek korupsi politik di daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Bukan tidak mustahil, partai hanya menjadi instrument elit-elit politik, termasuk elit poltik nasional dalam memperjuangkan kepentingan politik mereka di daerah Pemilihan kepala daerah yang membuka kemungkinkan bagi calon independen (perorangan), merupakan gagasan yang dapat memperkuat pelembagaan demokrasi. Namun, pelembagaan pilkada perorangan itu kiranya juga perlu didukung oleh restrukturisasi sistem pemilu dalam mendorong akuntabilitas partai. Tanpa didukung restrukturisasi sistem kepartaian, kemenangan calon independen dalam pilkada hanya akan menghasilkan ‟minority government‟ yang membuat kompleksitas pelaksanaan pemerintahan di daerah. Di samping itu, pelembagaan partai politik local juga dapat menjadi alternatif dalam mendorong penguatan demokratisasi lokal seiring dengan desentralisasi politik.
5.
PENUTUP Salah satu fenomena menarik yang menyertai perubahan politik sejak 1998 adalah komitmen politik untuk melakukan restrukturisasi sistem perintahan yang sentralistik. Kebijakan desentralisasi yang ditempuh melalui pengesahan UU No 22/199 dan 25/1999 memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi daerah. Bahkan, kebijakan desentralisasi yang baru itu berbeda dengan kebijakan desentralisasi sebelumnya yang hanya menekankan pada aspek administrasi, yaitu meningkatkan efisiensi pelayanan publik. Sebaliknya, kebijakan desentralisasi yang baru itu memberikan kewenangan politik bagi daerah, aspek yang tidak pernah diberikan pada kebijakan desentralisasi sebelumnya. Dengan demikian, kebijakan desentralisasi yang baru itu merupakani instrument penting bagi pendalaman demokratisasi di Indonesia. Desentralisasi politik telah membawa dampak yang menarik bagi perubahan dan dinamika politik di daerah. Pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi subyek intervensi pemerintah pusat.
PUSTAKA Hidayat, Syarif, (2005), ”60 Tahun Desentralisasi di Indonesia: Tinjauan Kritis tentang Konsep dan Implementasi Kebijakan”, Diskusi Panel 60
[7]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tahun Indonesia Merdeka, diselenggarakan oleh Harian Kompas, 22 Juli. Hoessein, Benyamin (1996), “Memutar Roda Desentralisasi: Dari Effisiensi ke Demokras”, Prisma (4), April Masduki, Teten, (2005) “Politik Uang dalam Pilkada Langsung?”, Paper yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional Menyambut Pilkada Langsung yang Demokratis, Bersih tanpa Politik Uang, diselenggarakan di Pacitan, 20 Januari. Mietzner, Marcus, (2007), ”Party Financing in PostSoeharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruption”, Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affars, Vol. (29), Number 2. Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken eds., (2007), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. World Bank (1993), The East Asian Miracle, Washington DC: Oxford University Press.
Biodata Penulis Ignatius Ismanto, menamatkan MA dengan konsentrasi studi Public Policy dari Universitas Murdoch, Perth, Australia Barat pada 1997 dan kini menjadi staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pelita Harapan, Karawaci – Tangerang, Banten.
[8]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
APLIKASI PRINSIP-PRINSIP RIA DALAM PROSES FORMULASI PERATURAN DAERAH Kristian Widya Wicaksana, M.Si. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Untirta Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK One of the implementations of good governance can reflected in the capability of Pemda in producing good regulations. In public administration science, such capability is often referred to as good regulatory governance. This means that people as taxpayers deserve quality service from local government, one of them is through local regulation that benefits the people. It is because of this that we need to idetify some effective guidelines that could direct local government in issuing regulations. One of the guidelines is called Regulation Impact Assessment (RIA). RIA is a policy evaluation tool that would systematically assess the positive and negative influence of a particular policy being curently proposed (Asian Development Bank, 2003). RIA has several principles, among others are Principle of Neutrality in Competition, Principle of Effective Minimum Regulatory Needs, Principle of Participation and Transparancy, and Principle of Budget-Interest Effectiveness. Key words: Governance, Regulation and Democracy
suatu kebijakan yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan (Asian Development Bank, 2003). Masalah yang seringkali dihadapi dalam Implementasi Otonomi Daerah adalah sulitnya menyusun Peraturan Daerah yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan sekaligus tidak bertentangan dengan regulasi lainnya yang telah diterbitkan sebelumnya. Data yang dihimpun melalui Departemen Dalam Negeri perbulan Maret 2005 menyebutkan bahwa dari 4.564 Peraturan Daerah yang dilaporkan kepada Departemen Dalam Negeri RI, diidentifikasi 1.835 Perda diantaranya dikategorikan bermasalah karena mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, melemahkan daya saing komoditas daerah dan sebagian bertentangan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah serta kebijakan menteri terkait. Misalnya, pada tanggal 23 Febuari 2006 yang lalu, Menteri Keuangan RI merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2001 tentang Retribusi Pelayanan Penyelenggaraan Koperasi yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Peraturan daerah ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 dan mengganggu kepentingan umum karena tidak menciptakan iklim kondusif bagi usaha perkoperasian (Kompas, 1 Maret 2005). Bila dicemati, pada umumnya Perda yang sudah dibatalkan adalah Perda yang menyangkut usaha perekonomian rakyat, seperti perkebunan, peternakan, pertanian, kehutanan, dan perindustrian perdagangan. Contohnya Perda Kabupaten Bandung Nomor 22 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemeriksaan Hewan/Ternak yang kemudian diikuti
PENDAHULUAN Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setelah otonomi daerah resmi dilaksanakan pada tahun 2001 melalui UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU 32 Tahun 2004, pemerintah daerah menjadi ujung tombak dalam melaksanakan pelayanan publik. Dalam tulisan Ripley (1982) dinyatakan bahwa Street Level Bureaucracy atau birokrasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat perlu untuk diberi keleluasaan kewenangan (otonomi) agar mampu menjawab kebutuhan daerah lokal yang terus menerus membuncah. Oleh karenanya, kita dapat melihat bagaimana tuntutan untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) justeru semakin besar ditujukan pada pemerintah daerah. Salah satu wujud pelaksanaan Good Governance adalah kapabilitas Pemda dalam menghasilkan regulasi yang mampu menjawab kebutuhan publik. Dalam ilmu Administrasi Publik, kapabilitas tersebut dinamakan sebagai Good Regulatory Governance. Artinya, masyarakat dan pelaku bisnis sebagai pembayar pajak (tax payer) berhak memperoleh layanan yang optimal dari Pemda, salah satunya adalah melalui regulasi yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi mereka. Dengan demikian, perlu diidentifikasi seperangkat rambu-rambu yang efektif untuk memberi batasan bagi Pemda dalam menerbitkan suatu regulasi, sehingga regulasi yang dihasilkan benar-benat akurat untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan pelaku pasar. Rambu-rambu tersebut salah satunya adalah Regulation Impact Assesment (RIA). RIA merupakan piranti evaluasi yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif dari [9]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
oleh Perda Kabupaten Blitar, Bondowoso, Magetan, Pasuruan, dan Probolinggo tentang retribusi kartu ternak. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat masalah yang fundamental dalam tubuh Pemerintah Daerah dalam hal memformasikan kebijakan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa lemahnya formulasi regulasi di tingkat daerah juga merupakan cerminan buruknya formulasi kebijakan di tingkat pusat, misalnya pertentangan antara Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimana pada Undang-undang otonomi daerah dinyatakan bahwa pengurusan kehutanan diserahkan kepada Pemerintah Daerah sedangkan dalam UndangUndang Kehutanan disebutkan bahwa kewenangan wilayah pengelolaan kehutanan masih diurus oleh sejumlah instansi vertikal. Hal ini ternyata berdampak buruk di lapangan, misalnya di Jawa Barat, upaya Pemda Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Kehutanan untuk melakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan menjadi terhambat akibat hutan dan lahan kritis yang hendak direhabilitasi berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan Perhutani dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Yang kemudian menjadi ironis adalah waktu penerbitan kedua Undang-Undang tersebut (UU No. 41 dan UU No. 22) dilakukan pada tahun yang sama. Desain kebijakan otonomi daerah juga hingga saat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengindikasikan defisit otonomi daerah dimana masih ada sinyalemen yang menunjukkan upaya resentralisiasi. Dukungan pemerintah pusat agar daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal masih nampak kurang optimal hal ini diindikasikan dari sejumlah pajak strategis yang masih dikelola oleh pusat. Oleh karenanya, kapasitas anggaran daerah tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan otonomi daerah terutama dalam hal penyediaan barang dan layanan publik bagi masyarakat di daerah mengingat masih terbatasnya kemampuan daerah untuk memperoleh penghasilan dari sumber-sumber yang sesuai dengan aturan perundang-undangan. Akhirnya daerah masih saja tergantung pada Pemerintah Pusat melalui Block Grant dan Specific Grant yang tentunya memberatkan APBN. Apalagi pasca bergulirnya PP 129 Tahun 2000 yang mengatur pemekaran wilayah, tentunya semakin banyak pula daerah yang harus memperoleh porsi Block Grant dan Specific Grant. Namun demikian, demi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat maka kebijakan otonomi daerah harus tetap dipertahankan meskipun ke depannya perlu dilakukan reformulasi kebijakan agar sasaran otonomi daerah dapat tercapai secara akurat. Hal ini juga dimaksudkan
untuk membangun keseimbangan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia sehingga keutuhan Indonesia sebagai negara kesatuan dapat tetap terjaga. Selain itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development As Freedom bahwa negara perlu menciptakan kesempatan sosial bagi warganegaranya sehingga memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Salah satu upaya menciptakan kesempatan sosial tersebut adalah membuka akses layanan yang lebih mudah dijangkau oleh masyarakat. Maka dari itu, otonomi daerah sebagai upaya untuk mendekatkan layanan pemerintah kepada publik perlu untuk dipertahankan, dengan asumsi bahwa akan lebih banyak kesempatan sosial yang dapat diciptakan oleh negara bagi warganya melalui otonomi daerah. Berangkat dari argumen tersebut maka untuk menciptakan otonomi daerah yang sesuai dengan ontologinya perlu dilakukan pemberdayaan terhadap Pemda dalam memformulasi kebijakan. Regulation Impact Asssesment (RIA) menjadi salah satu resep metodologis yang dapat memberikan sejumlah argumen yang plausibel untuk menyediakan pengetahuan dan informasi yang relevan dan mendukung bagi suatu regulasi daerah. Hal ini juga dapat mengefesienkan waktu konsultasi antara pihak Pemda dengan pihak Departemen Dalam Negeri sehingga penyediaan regulasi untuk merespon kebutuhan publik menjadi lebih cepat tersaji. RIA memiliki empat prinsip pokok diantaranya adalah: Prinsip Netralitas dalam Persaingan, Prinsip Kebutuhan Regulasi Minimum yang Efektif, Prinsip Partisipasi Transparansi dan Prinsip Efektivitas Biaya-Keuntungan. PRINSIP NETRALITAS DALAM PERSAINGAN Prinsip Netralitas dalam Persaingan dilandasi pandangan yang menyatakan bahwa pasar yang bebas dari intervensi pemerintah memberikan hasil yang terbaik bagi konsumen dan produsen dibandingkan pasar yang diatur oleh mekanisme kebijakan pemerintah. Asumsi seperti ini telah ada sejak awal abad ke-19 dimana para scholars ekonomi-politik menggagas bahwa konsep pasar (market) merupakan konsep yang dapat mendamaikan konflik antara ruang publik dan privat. Salah satu scholars yang memiliki keyakinan tersebut adalah Habermas. Habermas dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into A Categorization of Bourgeois Society (1989) menyatakan bahwa perkembangan ruang publik pada abad ke-19 di Inggris berasal dari perbedaan yang tegas antara kekuasaan publik dan dunia privat. Cara memaksimalkan kepentingan individual yang sepaket dengan mempromosikan kepentingan publik [10]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
adalah melalui penggunaan kekuatan pasar. Berfungsinya kebebasan (freedom) dan kebebasan individu dalam mengambil pilihan bisa memenuhi kepentingan individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik dan kesejahteraan publik. Oleh karenanya, peran negara dan politik adalah sebatas menciptakan kondisi dimana kepentingan publik dapat terjamin. Konsekuensinya bahwa pemerintah sebaiknya tidak terlalu banyak ikut campur tangan dalam pasar. Namun demikian, bukan berarti pemerintah tidak terlibat dalam penyediaan fasilitas publik. Dalam hal ini yang menjadi pembatas penting bagi peran pemerintah adalah kebebasan ekonomi. Habermas berhipotesis bahwa kepentingan publik akan terlayani dengan baik apabila kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, bukannya dibatasi oleh negara. Pendapat ini mengasumsikan bahwa ketertiban merupakan hasil spontan dari pilihan privat. Oleh karenanya, intervensi publik dipersilahkan saja sepanjang mampu menjamin penegakkan hukum, menjamin hak-hak asasi dan ketertiban. Akan tetapi, sebaliknya, intervensi sama sekali tidak diperkenankan untuk mencampuri equilibrium alami yang muncul dari swa kepentingan (self interest). Oleh karenanya, konsep ini disebut dengan utilitarianisme, yakni memaksimalkan nilai kegunaan bagi individu. Pada dasarnya kosep utilitarian yang ditawarkan Habermas tersebut bersandar pada gagasan liberalisme yang dapat kita temui pula dalam karya lama milik Adam Smith, The Wealth Of Nation (1776). Arah berpikir seperti ini merupakan konsekuensi atas dominasi pemikiran ekonom neoklasik terhadap pemikiran ekonom neomerkantilis yang lebih menekankan pada upayaupaya pemerintah untuk mengarahkan agar ekonomi dapat berjalan lebih baik dibandingkan pasar. Keberhasilan para pemikir ekonomi neoklasik terletak pada kemampuan mereka menjelaskan hakikat pasar dan uang. Sebab, bagaimanapun pasar secara faktual merupakan peletak sumberdaya yang efesien dan memberikan kebebasan bagi dorongan kepentingan pribadi untuk meningkatkan pertumbuhan. Dan hal ini didukung pula oleh teori kebutuhan manusia yang dikembangkan Abraham Maslow yang menyatakan bahwa manusia salah satu kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri yakni dorongan untuk menjadi sesuatu yang dia inginkan termasuk pertumbuhan, mengembangkan potensi diri serta menggapai cita-citanya. Sehingga pembatasan yang berlebihan justeru akan semakin memenjarakan manusia dan berpotensi untuk menciptakan pemberontakan. Oleh karenanya, Pemda sebaiknya tidak menerbitkan regulasi-regulasi yang dapat membatasi proses aktulisasi diri tersebut. Pemda dapat menerbitkan suatu regulasi apabila masyarakat dan
produsen yang terlibat dalam mekanisme pasar memintanya dan dengan catatan bahwa intervensi tersebut harus diarahkan untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi pasar. Sebab, tidak tertutup kemungkinan bahwa beberapa regulasi yang diterbitkan Pemda dapat mengganggu netralitas. Contohnya beberapa Pemda yang memberlakukan regulasi non-tariff barrier terhadap produk-produk yang didatangkan dari luar wilayah mereka dalam bentuk karantina. Regulasi seperti ini jelas merugikan bagi pengusaha yang berasal dari luar daerah dan menutup peluang pengusaha luar daerah untuk bersaing dengan pengusaha lokal. Keluhan terhadap Perda-Perda yang tidak kondusif bagi iklim usaha di daerah sudah lama bermunculan, akan tetapi hanya segelintir yang ditanggapi oleh pemerintah sesuai harapan pelaku bisnis. Dari ribuan perda yang dimintakan untuk dibatalkan, hanya sedikit yang akhirnya dicabut atau dibatalkan. Bahkan, jika ada keputusan pemerintah pusat untuk mencabut perda bermasalah tersebut, yang terjadi di lapangan belum tentu konsisten sebagai akibat lemahnya jangkauan pengawasan pemerintah pusat. Beberapa contoh Perda sebagaimana yang diuraikan dalam Kompas edisi 1 April 2006 yang dinilai memberatkan dunia usaha diantaranya adalah pungutan pada sektor perkebunan. Pungutan ini bermacam-macam, mulai dari pungutan yang dikenakan pada obyek volume produksi dan distribusi perkebunan hingga pungutan terhadap penggunaan tenaga listrik. Misalnya Perda Nomor 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Hasil Produksi Usaha Perkebunan yang diterbitkan oleh Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Perda ini mengenakan pungutan retribusi (kategori jasa umum) pada obyek pajak hasil produksi bidang perkebunan. Besarnya Rp 2 per kilogram minyak sawit mentah (CPO), 2 persen dari harga jual untuk kelapa, tebu, kopi, lada, dan lain-lain, serta 0,25 persen dari harga jual untuk benih atau bibit yang dijual keluar daerah. Perda lainnya yang juga dinilai bermasalah adalah Perda No 27/2000 tentang Pajak Produksi Hasil Tanaman Perkebunan Negara/Daerah, Swasta, dan Perkebunan Rakyat yang dikeluarkankan oleh Kabupaten Deli Serdang. Jika dalam perda Kotabaru pungutan atas volume produksi dipungut dalam bentuk retribusi, dalam perda Deli Serdang pungutan tersebut berbentuk pajak. Pajak ini dikenakan atas obyek produksi hasil jenis tanaman tertentu (karet, kelapa sawit, cokelat, tembakau, dan tebu) dari perusahaan perkebunan yang luasnya sama dengan atau di atas dua hektar. Untuk karet, besarnya Rp 6 per kilogram karet, Rp 5 per kilogram tandan buah segar (TBS) cokelat, Rp 5 per kilogram TBS kelapa sawit, dan sebagainya. Pungutan yang diberlakukan oleh kedua kabupaten tersebut dapat dikategorikan sebagai pungutan ganda karena obyek [11]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang sama sudah terkena pungutan pajak dari pemerintah pusat. Sedangkan contoh pungutan atas komoditas perkebunan yang dikaitkan dengan distribusi antara lain Perda No 15/2002 tentang Retribusi Lalu Lintas Hasil Hutan dan Perkebunan yang dikeluarkan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Perda ini mengenakan pungutan retribusi atas obyek hasil perkebunan, seperti TBS sawit, getah pohon karet, CPO, kernel, limbah CPO, bibit sawit, dan bibit karet yang diangkut ke dan dari wilayah Kabupaten Indragiri Hulu serta melintasi wilayah Kabupaten Indragiri Hulu. Pengenaan tarif dilakukan berdasarkan tarif rupiah tertentu terhadap unit ukuran tertentu. Misalnya, Rp 100 untuk setiap batang bibit kelapa sawit atau Rp 1 per kilogram TBS. Contoh lainnya adalah Perda No 25/2001 tentang Pajak Komoditi yang diterapkan oleh Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan perda ini, berbagai jenis komoditas yang keluar dari Kabupaten Tolitoli (termasuk 12 jenis hasil perkebunan) dikenai tarif pungutan 1-5 persen dari harga jual produk yang berlaku di daerah tersebut. Pungutan-pungutan seperti ini, jelas melanggar prinsip free internal trade (perdagangan bebas dalam negeri) dan menambah biaya komoditas sehingga berpotensi menurunkan daya saing produk bersangkutan di pasaran. Alhasil pengusaha berpotensi untuk merugi karena harga jual komoditi mereka tentunya harus dinaikkan untuk menutupi kebutuhan produksi. Dengan demikian, sebaiknya Pemda berperan sebagai pengawas (watch dog) terhadap berbagai konfigurasi interaksi yang terjadi antara produsen dan konsumen dalam mekanisme pasar. Dalam perspektif leftis, peran pemerintah sebagai pengawas diintepretasikan sebagai pelindung atau “anjing penjaga” bagi para pemilik modal. Namun, pada dasarnya peran pemerintah sebagai pengawas adalah memantau mekanisme pasar agar tetap berjalan secara netral dan natural. Artinya, Pemda memberikan kesempatan yang sama luasnya kepada semua aktor yang terlibat dalam mekanisme pasar untuk melakukan aktivitasnya tanpa berpihak pada salah satu aktor manapun.
secara sukarela, maka regulasi tidak perlu diterbitkan. Sedangkan bila pemerintah menerbitkan suatu regulasi maka pemerintah harus memilih regulasi yang menimbulkan beban paling sedikit bagi masyarakat. Artinya, pemerintah hanya bertindak jika ada masalah yang harus dipecahkan, atau jika tidak ada alternatif non regulasi yang tersedia untuk memecahkan masalah atau berdasarkan analisis cost-benefit bahwa peraturan yang akan diterbitkan merupakan cara pemecahan masalah yang terbaik. Indonesia menjadi contoh kasus yang menarik untuk meninjau penerapan prinsip kebutuhan regulasi minimum yang efektif sebab di era otonomi daerah banyak Pemda yang menerbitkan Perda-Perda bermasalah. Kemunculan peraturan-peraturan daerah di Indonesia umunya dilatari keinginan untuk menggali pendapatan asli daerah (PAD) sebesar-besarnya. Namun, implikasinya hal ini menjadi sumber ekonomi biaya tinggi bagi para investor dan pelaku usaha di daerah sehingga menyebabkan penerbitan regulasi tersebut justru tidak menjawab prinsip kebutuhan regulasi minimum yang efektif. Bagi pengusaha, perda menjadi kendala paling mengganggu, yang lebih menjengkelkan dibandingkan hambatan-hambatan investasi lain, seperti masalah perizinan usaha, ketenagakerjaan, atau masalah lingkungan. Misalnya, Perda No 29 tahun 2000 tentang Sumbangan Wajib Perusahaan Perkebunan Negara/Daerah dan Perusahaan Perkebunan Swasta, yang dikeluarkan oleh Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara. Perda ini memungut sumbangan sebesar Rp 10 per kilogram untuk komoditas karet, Rp 5 untuk cokelat, dan Rp 3 untuk TBS sawit. Contoh lainnya adala Surat Keputusan (SK) DPRD Temanggung Nomor 67/Pimp/VII/2004 tanggal 3 Agustus 2004 dan Keputusan Bupati No 525.2/213 Tahun 2004 tentang Sumbangan Masyarakat Pertembakauan disebutkan, setiap orang atau badan yang mengangkut daun tembakau dengan kendaraan bak terbuka bertonase sampai satu ton dan masuk ke wilayah Temanggung dikenai retribusi sebesar Rp 750.000. Adapun kendaraan bertonase dua ton dikenai Rp 800.000, truk bertonase tiga ton dikutip Rp 1 juta, dan yang bertonase 6 ton dikutip Rp 1,5 juta. (Kompas, 1 April 2006) Itu berarti biaya-biaya pungutan melalui perda ini sudah pada taraf mengganggu efisiensi produksi. Sejumlah kalangan meyakini bahwa ada sinyalemen, otonomi daerah hanya memindahkan sebagian praktik korupsi dan pemerasan dari pusat ke daerah. Fakta bahwa para pelaku usaha merasa iklim usaha di daerah menjadi semakin tidak pasti sejak otonomi daerah menunjukkan bahwa praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia masih didominasi oleh eforia dan kepentingan
PRINSIP KEBUTUHAN REGULASI MINIMUM YANG EFEKTIF Prinsip Kebutuhan Regulasi Minimum yang Efektif menekankan bahwa pemerintah sebaiknya hanya mengeluarkan regulasi untuk halhal yang memang tidak dapat dicapai dengan cara lain selain menerbitkan regulasi. Dan penerbitan regulasi dilakukan untuk kepentingan menjamin “iklim peraturan” yang kondusif. Apabila masalah dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar dan
[12]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
daerah untuk mengejar pendapatan asli daerah sehingga mengabaikan kepentingan jangka panjang pembangunan daerah tersebut.
terjangkau dan pengusaha berkemauan untuk memperoleh keuntungan. Oleh karenanya, semua kepentingan harus didialogkan sebab apabila tidak dilakukan dialog maka dapat menimbulkan kesalahan intepretasi dan dapat berujung pada konflik. Giddens mensyaratkan dialog demokrasi yang menyamaratakan kedudukan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat sehingga terjadi proses bargaining yang seimbang. Untuk menciptakan kesamaan kedudukan antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat dalam proses dialog demokrasi maka Amy Guttman dan Dennis Thompson dalam bukunya yang berjudul Democracy and Disagreement (1996) menyarankan untuk menerapkan dileberative democracy. Artinya, kesempatan untuk terlibat dalam dialog demokrasi terbuka bagi siapa saja yang berkeinginan untuk terlibat secara aktif tanpa dibatasi sekat-sekat yang sudah ada pada dirinya. Diharapkan dengan demikian, dialog demokrasi berjalan secara efektif yakni membicarakan substansi permasalahan bukan terdistorsi dengan hal-hal yang tidak diperlukan seperti sentimen rasialisme, wawasan keagamaan yang sempit dan eksklusivitas lainnya. Selain itu, seringkali sulit untuk memperoleh kata sepakat antara masyarakat dan institusi pemerintah, maka dileberative democracy dapat berperan sebagai penggiring kelompok kepentingan untuk dapat menerima keputusan yang dapat diterima bersama hingga pada titik yang paling minimum. Salah satu bentuk aplikasi dari prinsip partisipasi tranparasi dalam penyusunan kebijakan dapat ditinjau pada kasus Solo. Kasus Solo merupakan eksperimen Anggaran Partisipasi yang penyusunannya diawali dari tingkat Rukun Tetangga (RT) dengan melibatkan seluruh Kepala Keluarga (KK) dan difasilitasi oleh organisasi non pemerintah. Selanjutnya usulan tersebut ditembuskan ke tingkat RW dan dusun untuk dibawa ke tingkat desa/kelurahan. Pada level desa/kelurahan kemudian dibentuk panitia pembahasan yang terdiri dari unsur aparat pemerintah, tokoh masyarakat dan organisasi non pemerintah yang bertugas menyusun draft rencana pembangunan beserta dengan anggaran yang dibutuhkannya. Selanjutnya dilakukan sidang pleno di tingkat desa/kelurahan yang melibatkan seluruh Kepala Keluarga untuk membahas usulan rencana pembangunan yang sudah disusun tersebut dan mengutus perwakilan dari desa/kelurahan untuk mengikuti pleno di tingkat Kecamatan. Pada tingkat kecamatan, proses yang dilaksanakan hampir serupa dengan di tingkat desa/kelurahan. Kesepakatan pleno tersebut selanjutnya dibawa ke Kabupaten/Kota. Pada tingkat Kabupaten/Kota dibentuk dua buah forum. Forum pertama adalah spatial planning forum yang membahas usulan dari setiap kecamatan. Forum kedua adalah forum sektoral lintas kecamatan untuk
PRINSIP PARTISIPASI TRANSPARANSI Prinsip partisipasi tranparansi merupakan cerminan budaya demokratis yang menekankan bahwa proses perumusan sebuah regulasi harus memperhatikan aspirasi masyarakat. Sebab, regulasi yang dirumuskan melalui proses yang transparan dan partisipatif akan lebih efektif memperoleh dukungan dari stakeholder dibandingkan dengan regulasi yang dihasilkan dari teori otonomi negara ataupun teori koalisi dan kepentingan ekonomi Prinsip Partisipasi Transparansi dapat pula memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Pemda. Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation Of Prosperity (1995) menyatakan bahwa dengan tumbuhnya kepercayaan diantara sesama anggota masyarakat maka akan membantu proses pemulihan dan pemantapan kesejahteraan masyarakat yang terpuruk akibat terjadinya destruksi sosial seperti krisis ekonomi. Pada sisi lain, Pemda akan memetik keuntungan dari kepercayaan yang terbentuk dalam benak masyarakat yakni mencitrakan pemerintahan lebih solid dan berwibawa di mata masyarakat sehingga kemungkinan ketidakpatuhan masyarakat terhadap regulasi dapat direduksi. Kepercayaan kemudian membidani interaksi yang konstruktif diantara kelompokkelompok kepentingan dalam masyarakat. Kepercayaan merupakan bagian dari Social Capital (James Coleman, 1998). Social Capital sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Social Capital sama pentingnya dengan Physical Capital (tanah, bangunan, mesin) dan Human Capital (keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki manusia), sebab ketiganya menjadi prsyarat menuju paripurna kesejahteraan. Dengan kepercayaan sebagai modal sosial maka interaksi yang terjalin diantara stakeholder tersebut akan memungkinkan untuk menghasilkan stock informasi dan pengetahuan untuk dan dalam mendapatkan alternatif kebijakan yang lebih menguntungkan, baik mengenai subjek regulasi maupun dampak yang mungkin akan timbul dari penerapan regulasi tersebut. Transparansi partisipasi merupakan elemen yang berguna ketika upaya masyarakat luas untuk memahami maksud dan tujuan dari pemberlakukan suatu kebijakan dikomunikasikan sebab bagaimanapun pemerintah memiliki kepentingan kekuasaan, masyarakat mempunyai keinginan untuk memperoleh harga barang kebutuhan yang [13]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
melakukan generalisasi rancana pembangunan dan anggaran yang relevan untuk masuk dalam struktur Anggaran Daerah. Legislatif daerah selanjutnya dapat menjadi fasilitator untuk lebih menajamkan struktur anggaran daerah tersebut agar terlihat lebih akurat dan proporsional. Kasus Solo memperlihatkan keterkaitan yang integratif antara lembaga pemerintahan dari hulu hingga ke hilir untuk membangun konstruksi arsitektur pemerintahan yang sinergis dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat. Konstalasi tersebut secara positif akan mendorong degradasi mono-orientasi kekuasaan pada kalangan birokrasi dan politisi serta menempatkan pemerintah pada posisi sesungguhnya yakni sebagai fasilitator dan penyedia layanan bagi masyarakat.
Sebuah studi kasus di Provinsi Banten menunjukkan bahwa hingga saat ini 70% petani miskin masih kebingungan untuk mengajukan permohonan bantuan pupuk kepada pemerintah daerah. Untuk mengatasi permasalahan seperti itu, maka peran lembaga legislatif daerah perlu dimaksimalkan terutama dalam menjembatani komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah daerah. Kegiatan kunjungan lapangan, dengar pendapat dan dialog interaktif merupakan ajang yang tepat bagi anggota legislatif untuk menyerap aspirasi masyarakat dan menyuarakannya dalam proses pembahasan APBD. Selain itu, perlu direvitalisasi pula tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mekanisme penyampaian aspirasi. Hal ini bertujuan untuk mereduksi terjadinya bias komunikasi. Sebab tidak tertutup kemungkinan terjadi pembiasan akibat distorsi komunikasi diantara anggota legislatif dengan masyarakat. Dan hal tersebut dikhawatirkan akan memunculkan intepretasi dan pemahaman yang berbeda terhadap esensi aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat. Revitalisasi ini dapat dilakukan melalui pendidikan politik khususnya bagi Aparatur dan Tokoh Masyarakat di pedesaan. Harapannya dikemudian hari stakeholder kebijakan memiliki kemampuan yang memadai untuk membahasakan secara jelas pilihan kebijakan yang diharapkan. Aspek kedua dalam proses penyusunan anggaran daerah adalah kesederhanaan informasi anggaran yang tidak mengeliminasi esensinya. Artinya, informasi yang disajikan dalam anggaran daerah merupakan informasi yang memadai dan mudah dipahami oleh masyarakat. Hal tersebut merupakan perwujudan akuntabilitas anggaran yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahui penggunaan sumber daya keuangan yang dikelola guna mencapai hasil yang ditetapkan. Keinginan untuk mewujudkan akuntabilitas dilatarbelakangi pretensi dan stigma inefesiensi anggaran dalam tubuh pemerintah. Pretensi dan stigma tersebut secara makro telah mencederai kepercayaan masyarakat serta menodai citra positif pemerintah. Kepercayaan masyarakat merupakan modal dasar yang fundamental untuk membangun arsitektur pemerintahan yang berwibawa. Salah satu rekomendasi untuk mengembalikan kepercayaan serta citra positif pemerintah dalam benak masyarakat yakni melalui pengemasan informasi anggaran yang sederhana. Sebab tampilan informasi yang sederhana akan membantu masyarakat dalam mengintepretasi dan memberikan sikap yang proporsional terhadap berbagai rancangan kegiatan serta sumber pembiayaannya dalam anggaran daerah. Selain itu, masyarakat juga semakin dimudahkan untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan APBD. Aspek ketiga adalah akurasi perkiraan pendapatan serta pengeluaran yang efektif dan
PRINSIP EFEKTIVITAS BIAYAKEUNTUNGAN Setiap regulasi yang diterbitkan harus menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Jika terdapat lebih dari satu alternatif yang menghasilkan rasio dan netto yang positif maka yang dipilih adalah yang terbesar rasio manfaatnya. Misalnya apabila Pemda menciptakan pos pajak baru dalam nomenklatur anggaran. Perlu dipahami bahwa pada hakikatnya pungutan pajak yang dilakukan Pemda terhadap masyarakat telah menurunkan tingkat daya beli masyarakat. Maka dari itu, regulasi yang terbitkan oleh Pemda diarahkan untuk mengembalikan daya beli masyarakat tersebut melalui penyediaan layanan dan fasilitasi terhadap kebutuhan-kebutuhan yang muncul sebagai akibat ketidaksempurnaan pasar yakni ketidakmampuan pasar untuk menyediakan barang-barang publik (public goods) atau efek eksternalitas pasar seperti polusi, pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas. Oleh karenanya, kita perlu untuk memperhatikan dimensi-dimensi anggaran kinerja yang saat ini tengah diterapkan oleh Pemerintah Daerah. Terdapat empat dimensi aspek dalam proses penyusunan Anggaran Kinerja yang dapat mengoptimalisasikan pencapaian hasil dari input yang telah direncanakan. Pertama adalah ketersediaan ruang partisipasi yang memadai bagi masyarakat dalam formulasi anggaran. Pembukaan ruang partisipasi dilakukan melalui metode penjaringan aspirasi yang bertujuan agar masyarakat dapat menggunakan hak publiknya untuk menyampaikan harapan serta pilihan mereka dalam komposisi anggaran daerah. Namun, bagian yang sulit untuk direalisasikan yakni pada saat operasionalisasi penjaringan aspirasi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tidak semua masyarakat memahami mekanisme yang tepat agar aspirasi mereka dapat didengar dan diakomodir dalam Anggaran Daerah. [14]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
efesien. Aspek tersebut lebih menekankan agar pemerintah daerah berhati-hati pada saat menampilkan rancangan anggaran. Tingkat kepastian yang tinggi terhadap potensi pendapatan akan mengefektifkan kinerja pemerintah dalam menyusun informasi tentang anggaran pendapatan. Sebaliknya, ketidaktepatan peramalan (forecasting) dalam kebijakan anggaran pendapatan menunjukkan buruknya kualitas pengelolaan sistem informasi tentang nilai potensi nyata daerah. Untuk menghindari ketidaktepatan hasil peramalan tersebut, maka Pemerintah daerah dapat melakukan Analisis proyeksi potensi daerah yang didasarkan pada beberapa Indikator makro ekonomi diantaranya adalah Indikator tingkat Inflasi, Indikator Tahun Dasar melalui Analisis Time Series: sesudah dan sebelum potensi tersebut dijadikan sumber pendapatan, Indikator Perkembangan Sektor Lapangan Usaha, Indikator Pertumbuhan Penduduk, Indikator Perkembangan Pendapatan Perkapita dan Indikator Pertumbuhan Ekonomi. Pada sisi pengeluaran anggaran, perlu dihindari terjadinya over budgeting. Artinya, proses penyusunan anggaran belanja harus lebih mengedepankan rasionalitas kebutuhan belanja publik maupun belanja aparatur. Tentunya semua itu berpulang pada political will dari stakeholder untuk peka terhadap krisis yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Alokasi anggaran yang berlebihan pada salah satu sektor pengeluran akan mengganggu keseimbangan pembangunan masyarakat. Maka dari itu, penentuan skala prioritas belanja harus berpijak pada kebutuhan nyata yang dirasakan oleh masyarakat. Aspek keempat adalah azas keadilan (equitas) dan pemerataan pelayanan khususnya bagi masyarakat miskin. Salah satu peran pemerintah menurut Adam Smith adalah peran distributif yaitu menciptakan keadilan bagi masyarakat melalui alokasi anggaran sehingga dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Untuk mengukur azas keadilan dalam anggaran daerah maka kita dapat meninjau tingkat keluasan coverage kebijakan pembangunan dan pelayanan bagi masyarakat. Apabila mayoritas masyarakat dapat memperoleh manfaat nyata dari kebijakan pembangunan dan pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah artinya azas keadilan anggaran telah terpenuhi. Sedangkan pemerataan pelayanan bagi masyarakat miskin merupakan pemberian kemudahan bagi masyarakat miskin untuk mengakses berbagai pelayanan. Peningkatan kualitas pelayanan bagi masyarakat miskin dapat dilakukan melalui otomatisasi atau simplikasi prosedur layanan. Selain memberikan kemudahan, Fitzsimmons dan Fitzsimmons (1994) menyatakan bahwa pemerintah perlu memperhatikan dimensi-
dimensi penyediaan layanan. Diantara lima dimensi yang diuraikan setidaknya tiga dimensi berkorelasi dengan pelayanan bagi masyarakat miskin. Pertama reabilitas yaitu kemampuan untuk menampilkan pelayanan yang dijanjikan secara tepat dan akurat. Kinerja pelayanan yang riabel adalah pelayanan yang sesuai dengan harapan pengguna layanan. Artinya pelayanan dapat diberikan setiap saat, tepat waktu, dengan sajian yang sama dan tanpa kesalahan. Kedua responsivitas yaitu keinginan untuk membantu masyarakat miskin dan menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh mereka. Salah satunya adalah tidak membiarkan pengguna layanan menunggu tanpa suatu alasan yang jelas. Keluarga miskin membutuhkan bantuan cepat, apabila prosedur layanan yang mereka peroleh terasa menyulitkan, maka akan semakin memperburuk persepsi mereka terhadap kualitas pelayanan pemerintah. Dan hal tersebut dapat berimbas pada kredibilitas pemerintah dalam menciptakan keadilan masyarakat. Untuk menghindari imbas buruk tersebut, maka simplifikasi dan otomatisasi prosedur pelayanan merupakan keniscayaan yang harus ditampilkan oleh Pemerintah Daerah. Ketiga Empati yaitu memberikan perhatian khusus berupa sentuhan secara pribadi kepada masyarakat miskin. Seperti yang telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa pemerintah bersama-sama dengan lembaga daerah lainnya harus memiliki sense of crisis khususnya kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat miskin. Dengan demikian, pemerintah akan memiliki referensi yang baik dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat miskin dan membuka peluang untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka. ANALISA INTERAKSI ANTARA EKONOMI DAN POLITIK DALAM RIA David Easton (1971) adalah salah satu ilmuan yang mencoba memberikan ilustrasi tentang mekanisme kemunculan kebijakan publik. Ia menjelaskannya dengan menggunakan pendekatan sistem politik, dimana proses politik merupakan upaya untuk mengolah dukungan dan tuntutan yang datang dari infrastruktur dan suprastruktur politik menjadi produk kebijakan. Artinya, secara jernih Easton mencoba menyatakan bahwa kebijakan merupakan konsekuensi dari interaksi politik yang terjadi diantara berbagai aktor. RIA merupakan acuan yang memudahkan penyusunan kebijakan publik, asumsinya metode ini dapat memberikan batasan bagi para pengambil keputusan untuk memperhatikan implikasi atas kebijakan yang telah disahkan. Tiga dari empat prinsip di dalam RIA yakni Prinsip Netralitas dalam Persaingan, Prinsip Kebutuhan Regulasi Minimum yang Efektif, dan Prinsip Efektivitas BiayaKeuntungan merupakan gambaran betapa RIA [15]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
didominasi oleh aspek kalkulasi ekonomi untuk menghasilkan kebijakan. Hal ini dilatari atas hasil pengamatan dan penelitian mendalam yang dilakukan ADB tentang pola penerbitan regulasi di kawasan Asia. Dalam penelitian tersebut dijumpai bahwa umumnya regulasi yang diterbitkan seringkali tidak menguntungkan dunia ekonomi. RIA kemudian dihadirkan oleh ADB sebagai jawaban atas eskalasi masalah tersebut. Nampak bahwa ADB mencoba untuk mendudukan proses politik yang menghasilkan kebijakan sebagai upaya untuk mengondusifkan kondisi ekonomi di kawasan Asia. Harapannya agar interaksi ekonomi dan politik dapat berjalan dalam track yang benar dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Dominasi kalkulasi ekonomi yang disampaikan dalam RIA merupakan “instrumen determinasi” dalam proses negosiasi politik agar kebijakan yang dihasilkan tidak mematikan kepentingan ekonomi bahkan memberikan pelayanan prima bagi aktivitas ekonomi dengan cara memberi ruang yang lebih leluasa bagi ekonomi untuk berkembang lebih pesat demi penciptaan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, RIA mengajak aktor politik untuk tidak mengabaikan ekonomi dalam perumusan kebijakan serta menuntut mereka untuk berperilaku kondusif terhadap kepentingan ekonomi.
Indonesia Regulatory Review Annual (Jakarta: Asian Development Bank) Coleman, James (1998) „Social Capital in the Creation of Human Capital‟, American Journal of Sociology Supplement 94: 95-120 Easton, David (1981) The Political System: An Inquiry Into The State Of Political Science (Chicago: The University of Chicago Press) Fitzsimmons and Fitzsimmons (1994) Service Management For Advantage, (New York: McGraw Hill) Fukuyama, Francis (1995) Trust: The Social Virtues and the Creation Of Prosperity (New York: Free Press) Guttman, Amy and Dennis Thompson (1996) Democracy and Dissagreement, (Cambridge, MA: Hravard University Press) Habermas, J. (1989) The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into A Categorization of Bourgeois Society (London: Polity Press) Martinussen, John (1997) Society, State and Market: A Guide To Competing Theories of DeVelopment (New Jersey: Zed Books Ltd)
PENUTUP Saat ini, tuntutan terbesar bagi Pemerintah Daerah adalah lebih meningkatkan kualitas kinerja pelayanan termasuk dalam bentuk penyediaan regulasi yang diharapkan mampu secara netral dan objektif mengatur dan menyelesaikan masalah publik. Hal ini akan semakin mudah terwujud apabila pasar dan masyarakat berpartisipasi aktif dalam proses formulasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh John Martinussen (1997) bahwa Kerjasama diantara tiga entitas dalam konstalasi politik yakni masyarakat, negara dan pasar akan sangat membantu mewujudkan produk kebijakan yang jangkauannya mampu mensejahterakan lebih banyak kalangan masyarakat. Oleh karenanya, dibutuhkan perangkat rambu-rambu regulasi yang dapat memberikan arahan kepada Pemda dalam menyusun Kebijakan. Regulation Impact Assesment (RIA) merupakan salah satu metode yang cukup representatif dan dapat dikembangkan oleh Pemerintah Daerah untuk menghasilkan regulasi yang sesuai dengan harapan masyarakat. Sebab, bagaimanapun keinginan mendasar yang melekat dalam benak masyarakat adalah kinerja regulasi daerah yang optimal untuk menghantarkan masyarakat menuju kesejahteraan.
Maslow, Abraham (1954) Motivation Personality (New York: Harper and Row)
and
Ripley, Randall B. and Grace A. Franklin, (1982) Policy Implementation and Bureaucracy (Homewood, Illinois: The Dorsey Press) Sen, Amartya (1999) Development As Freedom (New York: Alfred A. Knopf) Sumber lain Kompas, 1 Maret 2005 Kompas, 1 April 2006
Identitas Penulis Kristian Widya Wicaksono, menamatkan MSi di Universitas Parahiyangan Bandung tahun 2008. kini menjadi staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan Universitas Parahiyangan, Bandung.
DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan (2003)
[16]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
OTONOMI DAERAH DAN PERDA-PERDA BIAS AGAMA DR. Victor Silaen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – UPH Tangerang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Perubahan politik pasca-Soeharto yang antara lain diwujudkan melalui kebijakan desentralisasi politik ditandai dengan maraknya peraturan daerah (perda) bias agama di sejumlah daerah. Di satu sisi, kemunculan perda-perda tersebut merupakan ekses dari kebijakan Otonomi Daerah, sementara di sisi lain merupakan dampak dari demokratisasi yang bergulir deras di berbagai aras dan aspek kehidupan. Dari perspektif hukum, perda-perda tersebut sangat perlu dikritisi karena sebagian substansinya cenderung bertentangan dengan perundangan dan peraturan di atasnya. Sementara dari perspektif politik, substansi perda-perda tersebut juga dinilai banyak yang melanggar hak asasi manusia, dan karena itu juga merupakan antitesis dari perkembangan politik Indonesia yang semakin modernis. Berdasarkan itu maka diragukan jika kebijakan Otonomi Daerah di sejumlah daerah yang ditandai dengan maraknya perda bias agama dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat . Kata Kunci: otonomi
daerah, peraturan daerah, bias agama. pembangunan di daerah. Keempat, rekrutmen elitelit politik lokal dari daerah masing-masing. Diharapkan dengan berlakunya kebijakan Otda maka pemerintah daerah mempunyai “hak” jika berhadapan dengan pusat, sebaliknya ia mempunyai “tanggung jawab” mengurus barangbarang publik untuk dan kepada rakyat (masyarakat sipil). Di samping itu diharapkan juga tercipta pemerintahan yang efektif-efisien serta clean and good governance. Pendeknya, melalui otonomi daerah, diharapkan kelak rakyat menjadi orangorang yang “berotak cerdas”, “berbadan sehat” dan “berkantong cukup tebal”. Ketiga hal ini merupakan indikator utama kesejahteraan rakyat (Hadenius, 2003). Terkait pengelolaan daerah otonom, ada dua pendekatan yang didasarkan pada dua proposisi (Chalid, 2005). Pertama, pada dasarnya semua persoalan patut diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkan persoalan, kecuali untuk persoalanpersoalan yang tak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negarabangsa (pendekatan federalistik). Kedua, seluruh persoalan pada dasarnya harus diserahkan kepada pemerintah pusat kecuali untuk persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah (pendekatan unitaristik).
1.
Pendahuluan Kebijakan Otonomi Daerah (Otda) di era pasca Orde Baru telah membawa perubahan besar dalam sistem politik di Indonesia: yang semula bercorak sentralistik menjadi desentralistik. Tujuannya adalah mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat, agar partisipasi politik rakyat di daerah kian meningkat, mulai dari pemilihan para elit penyelenggara negara sampai dengan proses perencanaan dan pembuatan kebijakan publik, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasinya (Hadenius 2003, Kuncoro 2004, Chalid 2005). Memang, Indonesia yang luas wilayahnya serta sangat banyak dan heterogen penduduknya tidak mungkin dilayani dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah pusat yang berkantor di sibukota negara (Jakarta). Atas dasar itulah maka kebijakan Otda merupakan keniscayaan. Kebijakan Otda yang baik niscaya menghasilkan beberapa perubahan positif. Pertama, rakyat di daerah semakin berdaya, karena: (1) dapat mempengaruhi pembuatan peraturan daerah, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan kebijakan publik lainnya; (2) dapat memilih sendiri siapa yang akan mewakili mereka di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pimpinan eksekutif di daerahnya, melalui pemilu. Sejak Pemilu 2004, rakyat di daerah juga memilih para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang tidak mewakili partai politik manapun dan jumlahnya empat orang untuk setiap provinsi (lihat UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD). Kedua, optimalisasi pelayanan publik melalui lembaga eksekutif dan legislatif daerah (Budiarjo, 2008). Ketiga, percepatan dan pemerataan
2.
Perda Bias Agama Sejak kebijakan Otda dilaksanakan tahun 1999, bergulirlah wacana pro dan kontra atas peraturan daerah (perda) bias agama 1. Namun, 1
Yang dimaksud perda bias agama, dalam konteks ini, adalah perda-perda yang substansinya [17]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
wacana tersebut timbul-tenggelam selama beberapa lama hingga tiba-tiba muncul kembali di tahun 2006. Pertengahan Juni tahun itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pernyataan tegas bahwa pemerintah daerah (pemda) tidak perlu membuat perda bernuansa syariat Islam untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. “Syariat Islam dalam pengertian NU adalah substansial-inklusif, bukan formalisasi Islam yang diangkat ke wilayah negara. Artinya, NU lebih mengedepankan syariat Islam yang lebih substantif daripada sekadar formalisasi dalam bentuk perda-perda,” tegas Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi (Suara Pembaruan, 19/6/2006). Mengomentari setidaknya ada 22 kota dan kabupaten yang telah menerapkan perda bernuansa syariat Islam, menurut Muzadi, hal itu merupakan fenomena munculnya semangat simbolisme ajaran Islam yang berlebihan dari para anggota parlemen di daerah. Pernyataan NU itu sebelumnya telah didahului oleh 56 anggota DPR lintas fraksi yang mendatangi pimpinan DPR untuk menyampaikan petisi penolakan atas keberadaan perda-perda bernuansa syariat, 13 Juni 2006. Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, usai menerima petisi yang ditandatangani 56 anggota DPR itu, menyatakan mendukung desakan tersebut dan akan menyampaikannya kepada pemerintah. Tapi, boleh jadi karena muncul kontra-petisi yang diteken 134 anggota DPR lainnya, maka wacana itu pun berhenti (Suara Pembaruan, 5/7/2006). Selesai di aras elit politik, bukan berarti selesai pula di aras masyarakat sipil. Begitulah agaknya jika sebuah wacana yang pernah bergulir betul-betul mencerminkan adanya sebuah masalah. Majalah Tempo edisi 14 Mei 2006 menyebutkan, dari Aceh sampai Bulukumba, Sulawesi Selatan, telah ada sejumlah peraturan ditegakkan yang jelasjelas bersumber dari ketentuan dalam syariat Islam, semisal pendirian Mahkamah Syariat, Wajib Baca Al-Quran bagi siswa dan pengantin, sampai pemotongan gaji guru demi Perda Zakat Profesi. Akibat sosial yang tampak adalah maraknya majelis ta‟lim dan pengajian Al-Quran, serta para perempuan yang kebanyakan memakai jilbab saat keluar rumah. Di pihak lain, sekalipun ada Perda Zakat, tidak tampak adanya perbaikan pelayanan publik dan transparansi pengelolaan keuangannya. Sebagai akibat lanjutan, disepakati bahwa hanya boleh ada satu gereja di Bulukumba dan upaya pendirian gereja baru dihalang-halangi. Hal ini jelas meresahkan, baik bagi warga masyarakat secara keseluruhan maupun warga masyarakat yang tergolong minoritas secara kuantitatif dari segi agama yang dianutnya. Dalam
hal pengelolaan kehidupan bersama, model masyarakat yang terbangun niscaya juga diskriminatif bagi warga dari komunitas yang minoritas tersebut. Di pintu masuk kantor Kepala Desa Padang dan Bulukumba, misalnya, tertulis: “Maaf tidak melayani tamu wanita yang tidak berjilbab”. Meski tidak terkait langsung dengan perdaperda bias agama, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita (periode 2004-2009) pernah menyatakan bahwa DPD akan berupaya memfasilitasi penertiban dan pembenahan ketidaksinkronan antara peraturan pusat dan peraturan daerah. Sebab, disinyalir banyak perda yang mengganggu perekonomian dan menghambat investasi (Seputar Indonesia, 16/12/2006). Data dari Departemen Dalam Negeri bahkan menyebutkan sudah sekitar 600 perda pada tingkat kabupaten/kota, terutama perda-perda tentang ekonomi, yang sudah dibatalkan. Namun, dalam kenyataannya, masih banyak perda terbatalkan itu yang terus diberlakukan. Menurut Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi (periode 20042009), perda-perda itu juga banyak yang tumpangtindih dengan undang-undang (UU). Ia mensinyalir jumlahnya mencapai 1.850 UU dan 5.000 perda. Hal itu dinilainya dapat menjadi faktor penghambat pemberantasan korupsi (Seputar Indonesia, 16/12/2006). Mengomentari hal itu, anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun mengatakan, Pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam melakukan revisi agar terjadi harmonisasi antarperaturan tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 mengenai “Pembentukan Perundang-undangan”. 3.
Perspektif Hukum dan HAM Upaya membatalkan atau merevisi (khususnya) perda-perda bermasalah ini patut kita sambut gembira. Namun, selain bertujuan untuk meningkatkan investasi, hendaknya hal itu dilakukan juga demi penghormatan atas hak asasi manusia (HAM). Sebab jika tidak, percuma saja Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB pada 10 Mei 2006. Hal ini terkait dengan banyaknya perda yang dinilai berpotensi melanggar HAM, selain melanggar konstitusi dan hierarki hukum, melanggar prosedural pembentukan peraturan perundangundangan, juga melanggar jiwa dan semangat Pancasila, baik sebagai Cita Hukum (Rechtsidee) maupun Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm).2 2
Maria Farida Indrati, “Penerapan Perda–perda Syariat Islam Dikaji dari Sudut Hukum di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Agama-Agama, diselenggarakan oleh Biro Litkom PGI, Cipayung, Jawa Barat, 3 Oktober 2006. Tata urutan peraturan perundang-
sarat dengan kepentingan agama tertentu. Perda bias agama tersebut, oleh warga masyarakat dari agamaagama lain umumnya dianggap diskriminatif. [18]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tentang hierarki hukum, sangat jelas diatur bahwa semua perundangan/peraturan tidak boleh bertentangan dengan perundangan/peraturan yang berada di atasnya (Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang “Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan” dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang “Tata Urutan Perundang-undangan”). Jadi, pemda memang berwenang membentuk sebuah perda. Namun, ada batasan atau syarat yang harus diperhatikan, yaitu: 1) perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan; 2) perda dibentuk untuk menjabarkan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah; 3) perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, dalam arti pengaturan di dalamnya tidak berakibat terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta tidak bersifat diskriminatif; 4) perda dilarang bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; 5) perda berlaku setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah; 6) perda harus dibentuk sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; 7) perda harus dibentuk dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekaitan itu penting pula dipahami bahwa perda adalah sebuah produk hukum. Selain sebagai peraturan, hukum memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai alat kontrol sosial. Dalam konteks ini hukum dimaksudkan untuk menetapkan tingkahlaku mana yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut (Soemitro, 1984). Selanjutnya, fungsi hukum sebagai kontrol sosial tidaklah dapat dilihat berdiri sendiri dalam masyarakat, melainkan menjalankan fungsi itu bersama dengan lembaga sosial lainnya. Fungsi hukum sebagai kontrol sosial merupakan fungsi yang pasif. Artinya, hukumlah yang harus menyesuaikan diri terhadap kenyataan masyarakat (Ali, 2002). Terhadap dua poin terakhir itu, dua pertanyaan patut diajukan. Pertama, lembaga sosial mana saja yang harus menjalankan fungsi kontrol sosial tersebut, jika hukum itu sendiri bernuansa satu agama tertentu saja? Kedua, jika hukum harus menyesuaikan diri terhadap realitas sosial, mengapa sejumlah perda justru mengatur soal-soal agama di dalam masyarakat yang agamanya beraneka-ragam? Hukum, menurut Roscoe Pound, juga berfungsi sebagai “a tool of social engineering”.
Fungsi hukum ini bertolak dari asumsi bahwa hukum harus menjadi dasar untuk mengadakan perubahan masyarakat. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti hukum mungkin digunakan sebagai alat oleh agent of change, yang adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan (Soekanto, 1981: 141). Fungsi ini berimplikasi pada pemberian kekuasaan yang sangat penuh kepada pemerintah. Karena itulah fungsi hukum dalam konteks ini dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak yang positif terlihat, misalnya, dalam Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1954 yang menetapkan bahwa orang kulit hitam harus dipersamakan dengan orang kulit putih. Sedangkan contoh yang berdampak negatif dapat dilihat pada penerapan UU Sisdiknas (UU No. 23 Tahun 2003) yang cenderung mematikan kekhasan pendidikan berbasis pluralitas masyarakat (khususnya lembaga-lembaga pendidikan swasta). Pertanyaannya, pemerintah daerah yang telah membuat dan menerapkan perdaperda bernuansa agama tertentu itu sesungguhnya berorientasi perubahan sosial ke arah mana? Ke depan yang modernis, yang tidak lagi mengotakngotakkan masyarakat berdasarkan hal-hal yang primordialistik, atau surut ke belakang, yang kembali menghidupkan sekat-sekat primordialistik itu dalam kehidupan masyarakat? Seharusnya proses pembuatan dan penyelenggaraan kebijakan negara, selain harus berpedoman pada pakem yang sudah menjadi kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa, juga menghargai pluralitas masyarakat. Mantan presiden Abdurrahman Wahid pernah mengatakan bahwa UUD 1945 sudah membuat pemisahan yang jelas antara negara dan agama. Para pendiri negara bahkan sadar adanya kebhinnekaan di Indonesia, baik agama, suku, dan adat yang harus selalu dibina. “Saya merasa saat ini mulai ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan kebhinekaan tersebut. Mereka ingin mengubah rasa kebhinekaan itu melalui berbagai aturan perundang-undangan,” katanya dalam acara Panggung Terbuka Konsolidasi Nasional “Mempertahankan Pancasila, Meneguhkan Kebhinekaan” di Surabaya, 25 Juni 2006 (Sinar Harapan, 26/6/2006). Akan halnya ahli politik hukum Prof Mahfud MD (saat itu anggota Komisi II DPR), menyatakan bahwa ia menolak penerapan perda syariat Islam. Sebab berdasar pada penuntun hukum di Indonesia, yakni Pancasila, sudah ditentukan bahwa tidak boleh ada hukum yang mengikat satu komunitas tertentu berdasar hukum agama tertentu. “Artinya, jika ada kelompok masyarakat dengan agama non-Islam di sebuah komunitas, maka tidak boleh diberlakukan hukum Islam, meski itu berdasarkan demokrasi.” Jadi, menurut dia, demokrasi tidak dapat dijadikan
undang yang dimaksud adalah: 1) UUD 1945; 2) Tap MPR; 3) UU; 4) Peraturan Pemerintah Pengganti UU; 5) Peraturan Pemerintah; 6) Keputusan Presiden; 7) Peraturan Daerah. [19]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
dalih untuk membuat dan menerapkan hukum berdasar agama tertentu. Mahfud melanjutkan, hukum di Indonesia harus berdasarkan penuntun yang disepakati atau ideologi. “Ideologi kita adalah Pancasila. Pancasila itu mempunyai empat penuntun hukum yang salah satu di antaranya tidak membolehkan penerapan hukum berdasar agama tertentu. Meski itu berdasar demokrasi, demokrasi itu juga punya prosedur dan pedomannya sendiri,” tegasnya. Karena itu, perda syariat Islam itu tidak perlu ada. “Bahwa isinya baik, itu iya. Tetapi konsiderannya jangan berdasar Al-Quran, ayat sekian dan hadist sekian. Itu sensitif sekali” (Suara Pembaruan, 1/8/2006). Dari persepektif hukum, sesungguhnya juga tidak dibenarkan jika sebuah perda mengatur apa yang termasuk dalam wilayah hukum pidana. Misalnya saja masalah pelacuran, perjudian, minuman keras, pornografi, yang tidak hanya merupakan masalah khusus di daerah tertentu, melainkan di seluruh wilayah negara. Karena itulah pengaturannya menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang telah termuat dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Demikian dikatakan oleh Nursyahbani Katjasungkana, anggota DPR dari Komisi III (Suara Pembaruan, 21/6/2006). Sedangkan dari perspektif HAM, sesungguhnya hal-hal yang sudah ditetapkan dalam UUD 1945 jelas tidak boleh ditentang oleh perundangan/peraturan di bawahnya. Apalagi, di samping itu juga ada UU No. 39 Tahun 1999 yang secara khusus mengatur tentang HAM. Jika dikaitkan dengan agama, ada UU No. 32 Tahun 2004 tentang “Pemerintahan Daerah” yang menetapkan bidang-bidang apa saja yang boleh dan tidak boleh diatur (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan keuangan nasional, agama, dan hukum) oleh pemerintahan daerah.3 Tetapi, mengapa sejumlah pemerintah daerah seolah tidak hirau ketentuan dalam UU tersebut – terbukti dengan banyaknya perda yang mengatur hal-hal di seputar agama dan kehidupan beragama? Ketua Arus Pelangi Rido Triawan mengatakan, pihaknya menemukan setidaknya ada 27 perda maupun surat edaran dan instruksi bupati/walikota yang diskriminatif, sehingga merugikan kaum minoritas dalam masyarakat (Sinar Harapan, 13 Oktober 2006). Tercatat setidaknya ada 22 kota dan kabupaten yang memberlakukan perda-perda bernuansa agama itu. Isinya kurang lebih sama, mewajibkan kaum perempuan memakai jilbab dan
kaum pria berbaju koko, termasuk menghentikan semua kegiatan pada saat azan. Ada juga kewajiban bisa baca tulis Al-Quran sebagai syarat masuk sekolah atau naik pangkat di jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta puasa Senin-Kamis, dan larangan terhadap hal-hal yang dianggap maksiat. Sementara staf ahli Departemen Agama Prof. Musdah Mulia mengatakan, perda-perda bernuansa agama tertentu itu juga banyak yang merugikan kaum perempuan. “Sebagian besar perda dibuat di sejumlah daerah Indonesia melanggar HAM, terutama hak perempuan, seperti mengucilkan perempuan, tidak boleh keluar malam. Oleh karena itu, harus dihapus.” Menurut dia, kelompokkelompok masyarakatlah yang harus segera mengajukan permohonan uji materiil atas perdaperda bermasalah itu kepada MA. “Jangan harapkan pemerintah untuk menghapus perda-perda itu, tetapi masyarakat sendirilah yang bergerak,” katanya. “Melarang perempuan ke luar malam atau pulang malam hari, membuat ekonomi rumah tangga si perempuan terganggu atau menjadi melarat. Ini kan kejam,” katanya lagi (Suara Pembaruan, 20/2/2007). Di Makasar, siswi SMP dan SMU diharuskan untuk memakai rok panjang sampai mata kaki. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kota Makassar melalui Instruksi Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Kebijakan ini berupa surat edaran yang disebar ke sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang ada di kota itu (www.eskol.net, diakses 3 Juli 2006). Masih banyak perda bias agama yang dapat disebutkan sebagai contoh. Yang jelas, menurut praktisi hukum Adnan Buyung Nasution, perdaperda tersebut berpotensi melanggar konstitusi. Menurut dia, gagasan syariah tidak boleh dimasukkan dalam undang-undang negara. Walaupun warga mayoritas Indonesia beragama Islam, namun perundangan dan peraturan harus menghormati hak-hak umat lain, sebagaimana diamanatkan konstitusi. “Hukum agama mana pun itu pasti benar. Tapi, kalau hukum Islam dijadikan hukum negara, itu menjadi runyam. Siapa nanti yang dapat menafsirkan hukum Tuhan itu? Hakim tidak mempunyai kewenangan, yang punya adalah ulama. Ini bertentangan dengan prinsip negara berdemokrasi,” tegas Nasution. Menurut dia, segala bentuk peraturan, hukum, norma dan etika harus berdasarkan peraturan yang universal dan diterima semua golongan. Apalagi Indonesia berdasarkan Pancasila, yang menjamin hak warga, tak peduli apa pun agamanya. Kalau hanya satu agama yang diutamakan, jelas telah terjadi penyangkalan pada keindonesiaan semua orang (Gatra, edisi 24, 1 Mei 2006). Yang terkini, di Malang telah muncul peraturan dari Pemerintah Kota (Pemkot), meski baru berbentuk Surat Edaran (SE). SE dengan
3
Periksa Pasal 10 Ayat 1 dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang “Pemerintahan Daerah”. Periksa juga perundangan sebelumnya, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah”, Pasal 7 ayat 1, yang tegas menyebutkan bahwa pengaturan bidang agama merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. [20]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Nomor 470/322/35.73.123/2011 tertanggal 31 Maret 2011 itu ditujukan kepada seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Malang. SE tersebut tidak hanya dilampiri surat pernyataan kesediaan dari PNS dan Capeg untuk dipotong gajinya sebesar 2,5 persen setiap bulannya, tetapi juga terlampir ketentuan nominal pemotongan gaji mulai dari Wali Kota hingga Capeg golongan II C. Untuk Wali Kota sendiri, gajinya dipotong senilai Rp 250 ribu, Wakil Wali Kota Rp 200 ribu, eselon II A Rp 180 ribu, II B Rp 150 ribu, III A Rp 125 ribu, III B Rp 110 ribu, IV A Rp 90 ribu, IV B Rp 80 ribu, V A Rp 75 ribu, untuk Kasek SMA/SMK Rp 115 ribu, Kasek SMP.SMPLB dan sederajat Rp 100 ribu, Kasek SD dan TK Rp 95 ribu. Selain itu, golongan III dan IV dipotong Rp 85 ribu, IV A Rp 80 ribu, III D Rp 75 ribu, III C Rp 70 ribu, III B Rp 67.500, III A 65 ribu, II D Rp 60 ribu, II C Rp 57.500, II B Rp 55 ribu. Sedangkan golongan II A Rp 52.500, I D Rp 50 ribu, I C Rp 47.500, I B Rp 45.000. I A Rp 40000, capeg golongan III B Rp 50 ribu, capeg III A Rp 47.500, capeg II C Rp 45 ribu. Pemotongan gaji terhadap lebih dari 10 ribu orang itu dimaksudkan untuk zakat, infaq, amal atau sadaqah (Azis). Namun pertanyaannya, mengapa Azis dijadikan kewajiban dan jumlahnya ditentukan? Tak pelak muncul kecurigaan (melalui sms yang beredar luas) kalau-kalau dana Azis ini nantinya dipakai untuk kampanye di kelurahan di bawah pengendalian Pemkot. Demikian disampaikan oleh Ketua Komisi D DPRD Kota Malang Christea Frisdiyantara (www.beritajatim.com, diakses 5 April 2011).
dalam hubungan pusat-daerah yang di era Orde Baru bersifat sangat sentralistik. Berdasarkan kedua hal itu, maka sangatlah jelas bahwa masalah agama tidak sekali-kali dapat dibenarkan untuk diatur oleh pemerintah daerah. Terkait itu (mantan) anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa AS Hikam menegaskan, perda harus dikembalikan sesuai fungsi utamanya: membuat pengaturan yang berdasarkan ciri khas daerah itu sendiri. Tapi, masalah agama menyangkut kepentingan bersama, sehingga pengaturannya harus sejalan dengan kepentingan nasional. “Sejak awal saya sudah ingatkan, masalah perda syariat harus didasari konstitusi. Kalau ada dasar hukumnya, seperti Aceh, sudah jelas. Tapi di luar Aceh, saya tidak setuju. Tapi di Aceh pun, saya tidak setuju ada hukum cambuk. Hal-hal pidana seharusnya tetap mengacu pada hukum nasional. Sementara syariat, hanya menyangkut hukum pribadi, seperti soal warisan, pernikahan,” katanya. Menurutnya masalah perda telah diatur secara tegas oleh undang-undang. Bila tidak sejalan dengan konstitusi, Departmen Dalam Negeri bisa mencabutnya (Suara Pembaruan, 21/6/2006). UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 22 menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan otda, kepala daerah berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan dan keutuhan NKRI. Sedangkan Pasal 27 menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Kalau begitu, mengapa masih ada daerah-daerah yang membuat perda bias agama? Inilah peliknya situasi politik Indonesia pascaSoeharto. Kebebasan bergulir begitu derasnya, sehingga atas nama demokrasi pelbagai kepentingan politik bermunculan untuk diperjuangkan. Padahal, di balik itu sangat mungkin ada manipulasi dan intrik politik yang berorientasi jangka pendek. Denny Indrayana, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa fenomena maraknya perda bernuansa syariah Islam (SI) berkaitan aspirasi permanen „sebagian‟ kelompok Islam untuk memasukkan hukum Islam ke dalam hukum nasional. Karena upaya memasukkan “tujuh kata” Piagam Jakarta dalam amandemen UUD tidak kunjung berhasil, sekarang kecenderungan itu bergeser ke tingkat daerah melalui perda. Dalam istilah Mao Tse-tung, strategi ini disebut “desa mengepung kota”. Jadi, kalau perda-perda itu sudah ada di berbagai daerah, pada akhirnya SI menjadi bagian yang tidak bisa dihilangkan lagi dari tengahtengah masyarakat.
4.
Manipulasi dan Intrik Politik Telah dijelaskan bahwa persoalan agama bukanlah merupakan urusan pemerintah daerah untuk mengaturnya, melainkan urusan pemerintah pusat. Memang, jika dicermati secara kritis, kebijakan Otda itu sendiri dibuat karena “niat baik” untuk memperbaiki kesalahan pemerintah pusat di masa lalu yang telah berlaku tidak adil kepada daerah-daerah, khususnya dalam hal pembangunan. Karena ketidakadilan dalam pembangunan di era Soeharto itu, terjadilah ketimpangan antara pusat dan daerah. Dalam rangka mengurangi ketimpangan itulah, di samping untuk memandirikan daerah dalam hal membangun sesuai kekhasan situasi dan kondisinya masing-masing, maka kebijakan Otda pun dirumuskan dan otoritas dalam implementasinya diberikan kepada gubernur (untuk daerah khusus seperti DKI Jakarta), walikota (untuk kotamadya seperti Bekasi), dan bupati (untuk kabupaten seperti Cianjur). Jadi jelaslah bahwa kebijakan Otda sematamata berkait dengan persoalan-persoalan pembangunan daerah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, ia juga merupakan jawaban atas tuntutan demokratisasi
“Saya melihat ada manipulasi-manipulasi untuk kepentingan politik. Pada 2004, Partai Bulan Bintang melontarkan gagasan SI, tapi tidak ada konsistensi memperjuangkannya. Ada dua indikator. Pertama, karena disertasi saya tentang perubahan UUD, jadi saya baca risalah rapat [21]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PBB dalam Sidang DPR antara 1999-2002. Ada kata-kata „Sudahlah, kita sama-sama tahu kalau ini tidak akan kita teruskan perdebatan itu‟. Yang lain mengatakan, „Tapi jangan sekarang, malu di depan konstituen. Nanti saja di detikdetik terakhir‟. Ini tanda mereka tidak serius, hanya sandiwara saja di depan konstituen. Kedua, saat pemilu. Dalam rentang waktu 1-2 bulan usai Pemilu Legislatif, saat Pemilu Presiden, PBB berkoalisi dengan Partai Demokrat, Partai Golkar dan lain-lain yang tidak memperjuangkan SI. Mungkin itu masalah pilihan politik. Tapi, dari sisi kesetiaan memperjuangkan SI, usai mendapatkan dukungan konstituen, mereka tinggalkan tanpa berpikir panjang. Dan jangan pernah bermimpi berhasil memperjuangkan SI melalui koalisi dengan partai-partai nasionalis” (Gatra, edisi 24, 29 April 2006).
(Suara Pembaruan, 9/6/2006). Sementara (mantan) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menyatakan, perda seharusnya menyerap isi kovenan HAM tentang hak sipil politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Alasannya, selain Indonesia mengaksesi kovenan itu, ternyata ada kecenderungan eksklusivitas dalam pembentukan perda. Kondisi itu tentu tidak sejalan dengan kewajiban Indonesia sebagai negara yang mengaksesi dua kovenan HAM itu. Eksklusivitas itu, kata Hamid, banyak muncul setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan. “Misalnya, ada kabupaten atau kota yang melarang orang dari daerah lain masuk ke kawasan itu untuk berusaha atau mengharuskan berpakaian tertentu,” jelasnya. Hamid melihat, dalam proses pembentukan perda, selain banyak prinsip HAM yang dilanggar, kebanyakan anggota parlemen dan organisasi massa di daerah lupa pada ketentuan mengenai proses, substansi, dan struktur pembentukan peraturan perundang-undangan (Kompas, 6/2/2007).
Denny juga mengatakan tentang praktik “copy and paste” sebagai berikut:
Daftar Pustaka “Dari segi teknik legal drafting, perda-perda itu bermasalah, yaitu copy paste. Pergi ke satu daerah, balik dengan perda dari daerah itu, diganti judulnya, bahkan ada daerah yang lupa nama kabupaten (yang dijiplak-red) masih belum diganti. Dari segi moral juga bermasalah. Mereka hanya jalan-jalan menghabiskan anggaran. Itu artinya koruptif. Padahal di saat yang sama mereka meneriakkan Perda SI. Dari segi waktu, menjelang pilkada, untuk menarik simpati masyarakat.”
Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Penerbit Gunung Agung. Balasurya, Tissa, 1997. Teologi Siarah, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah, Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Jakarta: Kemitraan. Indrati, Maria Farida, “Penerapan Perda–perda Syariat Islam Dikaji dari Sudut Hukum di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Agama-Agama, diselenggarakan oleh Biro Litkom PGI, Cipayung, Jawa Barat, 3 Oktober 2006.
Inilah kepentingan lain yang membonceng perda-perda tersebut, yakni untuk menarik simpati masyarakat ketika para calon kepala daerah berkampanye dalam ajang pilkada (pemilihan kepala daerah). Maksudnya, dengan mengangkat isu “syariah Islam”, diharapkan masyarakat akan bersimpati. Sesungguhnya masih banyak hal yang bisa diajukan sebagai kritik atas perda-perda bias agama ini. Yang jelas, kebhinekaan Indonesia tidak sekalikali boleh dinafikan. Negara ini pun, jika betul-betul menghayati sistem politiknya yang sudah demokratis, mestinya tidak lagi mempertahankan paradigma usang yang masih suka membuat kebijakan publik atas nama ”pihak mayoritas”. Sebab, demokrasi yang matured justru meniscayakan pihak mayoritas menghormati pihak minoritas (Lively, 1975). Jika tidak demikian, mungkin Indonesia memang masih “hijau” dalam berdemokrasi. Masih harus belajar banyak lagi. Terkait itu (mantan) Menteri Dalam Negeri Moh Ma‟ruf mengatakan bahwa pemerintah akan bersikap tegas dan tetap berpegang pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika
Karman, Yonky. 2007. Merayakan Hidup dalam Keberagaman, Bagaimana Bersikap di Tengah Masyarakat Majemuk, Yogyakarta: Penerbit Andi. Lively, Jack. 1975. Democracy, New York: G.P. Putnam’s Sons. Soekanto, Soerjono. 1981. Fungsi Hukum dalam Perubahan Sosial, Bandung: Penerbit Alumni. Soemitro, Ronny Hantiji. 1984. Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Bandung: Sinar Baru. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (tentang Pemerintahan Daerah).
[22]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (tentang pemerintahan Daerah).
Biodata Penulis Victor Silaen, Meraih gelar Doktor di bidang Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (2005), dengan disertasi tentang gerakan sosial baru dan civil society. Aktif menulis opini di berbagai media massa dan artikel ilmiah di beberapa jurnal ilmiah.
[23]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
DARI BIROKRATIS MENJADI ”BIRO JASA”: CONTOH KOTA JERMAN Dr. Samodra Wibawa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Jogja 55281 E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Jerman bukanlah negara pioneer dalam hal pembaharuan atau reformasi birokrasi. Penyebabnya barangkali adalah: negeri ini lebih makmur, sistem hukumnya lebih kompleks, dan ideologinya lebih sosialis/kekeluargaan dibandingkan para negara pembaharu Anglo Saxon. Namun pemerintah kota-kota Jerman pada awal 1990-an mulai melakukan perombakan sistem birokrasinya menuju “biro jasa”, lebih ramah kepada “konsumen” dan meninggalkan wajah buruknya sebagai suatu “sistem ketidakbertanggungjawaban yang terorganisir”. Mengapa mereka melakukannya? Bagaimana ini semua dilakukan? Kepada siapa mereka belajar? Bagaimana belajarnya? Bagaimana memulai perombakan itu? Apa hasilnya? Apa saja kekuarangan atau kelemahannya? Makalah ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, untuk dijadikan bahan pembanding dan pelajaran bagi para bupati dan walikota di Indonesia pada khususnya serta gubernur, menteri dan presiden pada umumnya dalam menyempurnakan birokrasi mereka. Kata kunci: reformasi birokrasi, Jerman, biro jasa, sosialis
1.
1980-an terjadi krisis ekonomi global seperti kurang-lebihnya yang terjadi pada pertengahan 1990-an. Ketika itu Inggris dan Amerika melakukan privitasisasi atas perusahaan negara, mengurangi layanannya kepada rakyat, yang berakibat pada perampingan birokrasi. Gerakan neo- atau reliberalisasi inilah yang kiranya melahirkan konsep new public management (NPM), yang diakhiri dengan karya terkenal Osborne dan Gaebler “Reinventing Government” lebih satu dekade kemudian (Koenig 1997:105). Berbeda dengan itu, Jerman (Barat) relatif tidak tersentuh oleh krisis ekonomi global pada masa tersebut, sehingga wajar jika negeri ini “tidak melakukan apa-apa” terhadap birokrasinya. Selain karena relatif mapannya ekonomi Jerman, keengganan Jerman untuk melakukan perampingan birokrasi ke arah lean management juga barangkali ditopang oleh ciri dasar negeri ini sebagai welfare state, yang mengharuskan pemerintah untuk peduli terhadap banyak bidang kehidupan rakyatnya. Ini berbeda dengan negara Anglosaxon yang secara tradisional adalah memang hanya “negara penjaga malam” (Bandemer/Hilbert 1998:25): pemerintah membiarkan rakyatnya bebas berbuat apa saja, dan hanya turun tangan jika di antara rakyat terjadi konflik, percekcokan dan pelanggaran kebebasan. Situasi seperti itu mungkin tidak akan berubah, seandainya Jerman Barat dan Jerman Timur tidak bersatu pada 1990. Penyatuan-kembali (reunifikasi) kedua negara ini menjadikan Jerman Barat yang kaya harus menyatakan solidaritasnya dengan cara berbagi uang kepada Jerman Timur. Akibatnya pemerintah Jerman Barat harus mengurangi belanjanya untuk rakyat dan juga birokrasinya. Ini berarti krisis keuangan –sebuah daya dorong yang
PENGANTAR
Jerman adalah sebuah negara yang cenderung bersifat sosialis, kekeluargaan, serba-negara daripada individualis, liberal, serba-pasar. Ini berbeda dengan negara-kepulauan Inggris (dan kawan-sebahasanya Amerika, Australia dan New Zealand). Karakter sosialis ini menjadikan pemerintah sangat berorientasi pada pelayanan terhadap warganya: pemerintah harus tidak saja melindungi, melainkan juga memenuhi kebutuhan hidup warganya. Ini berbeda dengan negara-negara Anglo Saxon: pemerintah hanya menjaga keamanan, mengelola konflik, dan membiarkan penduduk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Karakter-dasar seperti itulah yang kiranya menjadikan negara Anglo Saxon menjadi pioneer dalam perombakan birokrasi, mengurangi layanan kepada masyarakat, back to basic menjadi minimal state, negara penjaga malam, sejak awal 1970an. Ketika itu negara-negara tersebut “merasa” mengalami krisis keuangan, sehingga pemerintah menjuali perusahaan negara, seperti bank, kereta api dan pos. Sementara Jerman (Barat) masih menikmati kesejahteraannya, melayani rakyatnya semaksimal mungkin, hingga pada 1990an pemerintah kota-kota di sana merasakan perlunya perombakan sebagaimana dilakukan oleh tetangga mereka di seberang lautan, di Barat. Bagaimana kisah perombakan itu, seberapa berhasil, dan apa kekurangannya? 2.
PENDORONG PERUBAHAN Seperti disebut di atas, pendorong perubahan di negara Anglo Saxon adalah krisis keuangan negara, di mana memang pada akhir 1970-an dan awal [24]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
kuat untuk berlangsungnya perombakan birokrasi. Mulailah pemerintah kota-kota di Jerman Barat merasakan perlunya mengurangi birokrasinya, lalu mendiskusikan cara menerapkan konsep NPM, yang memang sejak beberapa tahun sebelumnya telah menjadi “mantra” baru di kalangan pakar administrasi negara. Kebutuhan akan perlunya merombak birokrasi, lebih dari itu, didorong pula oleh citra birokrasi yang –sebagaimana di banyak belahan dunia lain bahkan hingga saat ini-- sangat buruk. Citra birokrasi, khususnya birokrasi kota, dengan siapa rakyat bertemu sehari-harinya, adalah: angkuh, jauh dari warga, lamban, boros dan tidak efektif. Birokrasi kota dijuluki sebagai “ketidakbertanggungjawaban yang terorganisir” (bandingkan dengan “kriminalitas yang terorganisir” alias mafia) dengan struktur organisasi yang tidak diarahkan ke pencapaian hasil yang maksimal melainkan hanya merangsang penggunaan sumberdaya sebanyak-banyaknya (Kissler dkk. 1997: 29 dan Jann 1998: 71). Secara keseluruhan, ketidakpuasan terhadap birokrasi kota meningkat, tidak saja di kalangan masyarakat dan politisi melainkan juga di antara para pegawai sendiri. 3.
dikarenakan lemahnya manajemen (Steuerungsluecke) yang mencakup: legitimasi, atraktivitas, manajemen, strategi dan efisiensi (Blanke dkk. 1998: 71). Karena itulah konsep ini dinamai neues Steuerungsmodell (NSM) –sebuah adopsi atas NPM yang tidak 100%, dan memang tidak perlu begitu! Menurut tim KGSt, tujuan untuk mengubah instansi-instansi pemerintah menjadi “perusahaan jasa” –yang efisien, ramah dan cepat-- dapat diraih melalui strategi sebagai berikut (Kissler 1997: 30): a. wewenang politik (parlemen kota) dan birokrasi (walikota dan jajarannya) dibatasi secara jelas dalam suatu kontrak b. tanggungjawab terhadap sumberdaya dan personalia didesentralisasikan –sudah barangtentu tetap dibarengi dengan kontrol dan pengendalian c. kinerja dikendalikan melalui pendefinisian produk, analisis biaya-hasil, penganggaran dan manajemen kualitas yang berorientasi warga.
4.
PENERAPAN KONSEP DAN HASILNYA
KGSt sebagai komisi yang dibentuk oleh asosiasi hanyalah menyodorkan konsep. Pelaksanaannya terserah para pemerintah kota anggota asosiasi sendiri, termasuk untuk tidak melaksanakan. Bagi yang akan menerapkannya, berikut ini beberapa syarat yang dinyatakan oleh KGSt: a. implementasi dilakukan atas dasar kepentingan kota sendiri b. ada konsensus strategis antara elit birokrasi dan parlemen kota c. partisipasi pegawai meluas, sehingga terbentuk learning organisation –yang di dalamnya orang boleh melakukan kesalahan untuk kemudian memperbaiknya d. dibentuk gugus-gugus kerja yang memiliki: 1) anggaran sendiri 2) anggota yang keberadaannya bersifat sukarela 3) unit pengarah yang berisi pimpinan birokrasi dan politisi 4) perencanaan yang ketat atas kegiatan, waktu dan biaya 5) evaluasi yang teratur 6) laporan kemajuan yang teratur kepada parlemen kota 7) penyebaran informasi yang lancar, baik intern maupun ekstern. Tiga tahun setelah dirumuskannya konsep itu ditemukan, bahwa hampir semua di antara 84 kota besar di Jeman mencoba menerapkan unsur-unsur NSM tersebut (Kissler dkk. 1997: 13). Sejumlah 90,5% pemerintah Landkreis (semacam kabupaten atau karesidenan) juga telah atau setidaknya berencana memulai reformasi itu. Dan setahun
PENDORONG PERUBAHAN
Mulailah pemerintah kota-kota di Jerman melalui asosiasinya membentuk suatu tim yang bernama KGSt (Kommunale Gemeinschaftsstelle fuer Verwaltungsvereinfachung –Komisi Asosiasi Pemerintah Kota untuk Penyederhanaan Administrasi), yang berisi gabungan antara praktisi dan akademisi. Pada tahun 1992 komisi ini melakukan studi banding ke Tilburg, sebuah kota di Belanda yang dinilai oleh Bertelsmann Stiftung sebagai kota yang birokrasinya terbaik di Eropa. Kunjungan ini melahirkan sebuah naskah berjudul “Jalan Birokrasi Kota Menuju Perusahaan Jasa”. Sekalipun dokumen ini hanya setebal 40-an halaman, pemerintah kota-kota anggota asosiasi serius menjadikannya sebagai pedoman gerakan. Mereka merumuskan visi baru bagi birokrasi mereka, yang terangkum dalam sebuah slogan – konsisten dengan judul laporan komisi-- “Dari Instansi Pemerintah Menjadi Perusahaan Jasa” (von Verwaltung zum Dienstleistungsunternehmen). Berbeda dengan swastanisasi yang terkesan menjadi semangat NPM, dan karena itu berarti pengurangan layanan yang diberikan oleh pemerintah, perombakan birokrasi kota Jeman ini dilakukan dengan semangat mempertahankan jumlah layanan yang selama ini telah diberikan kepada para warga, bahkan dengan mutu (proses) yang lebih baik –justru ketika dana untuk menopang proses itu berkurang! Jadi, birokrasi yang bobrok diperbaiki, bukan dijual! Para ahli di sana mendiagnosis, bahwa buruknya kinerja birokrasi [25]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
berikutnya (1996) sebuah survai mengidentifikasi tindakan-tindakan reformasi/modernisasi yang dilakukan oleh 210 kota sebagai berikut (Klages 1997: 46): a. analisis biaya dan hasil (dilakukan oleh 155 kota atau 73,8% dari keseluruhan) b. perubahan sistem anggaran (72,4%) c. perbaikan proses administrasi (71%) d. desentralisasi pengelolaan sumberdaya (66,7%) e. perbaikan controlling dan pelaporan (63,8%) f. inventarisasi produk dan penerapannya (57,6%) g. manajemen pengembangan personalia (53,8%) h. pemangkasan hierarkhie (41,9%) i. survai kepuasan pelanggan (22,4%). Klages (1997: 48-51) melaporkan, bahwa pembuatan katalog produk menjadi dasar bagi upaya optimasi proses kerja birokrasi. Dengan dilakukannya desentralisasi tanggungjawab, unitunit pusat yang selama ini mengurusi seluruh birokrasi kota dihapus dan dijadikan unit pengarah saja. 5.
f. data dikumpulkan, diolah, disistematiskan, tapi tidak jelas pemanfaatannya g. hanya sedikit kota yang memiliki konsep integral, penerapan NSM sebagai konsep utuh barulah berada pada fase awal. Pakar lain (Naschold/Bogumil 1998: 174-180) mencatat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan modernisasi, yang terutama menyangkut moral pegawai, sebagai berikut: a. terjadi paralelitas antara penghematan anggaran dan reformasi administrasi b. terjadi benturan antara sentralisasi anggaran (untuk penghematan) dengan desentralisasi tanggungjawab pengelolaan sumberdaya (untuk fleksibilitas) c. terjadi demotivasi pegawai, karena mereka memandang modernisasi sebagai proses rasionalisasi (pengurangan pegawai) atau karena mereka –yang sebelumnya serius dan semangat melakukan perbaikan-- tidak melihat kemajuan yang berarti dalam proses kerja d. terjadi penolakan yang cukup besar dari para pimpinan, karena struktur yang baru menyediakan lebih sedikit jabatan struktural e. penerimaan yang lemah terhadap penerapan jabatan pimpinan yang menjadi bersifat sementara (yang dievaluasi secara periodik, dan seseorang dapat diberhentikan di tengah jalan) f. keragu-raguan menghinggapi para pengurus persatuan pegawai.
KELEMAHAN DAN HAMBATAN
Hasil yang paling kasat mata dari proses atau gerakan perombakan birokrasi itu adalah terbentuknya kantor-kantor pelayanan satu titik yang disebut Buergbuero (arti harfiahnya: kantor rakyat) di setiap kota mulai sekitar pergantian milenium, yang dapat melayani hampir semua kebutuhan penduduk –mulai dari plastik tempat sampah, pajak hingga paspor. Ini kiranya merupakan hasil yang sangat monumental, yang benar-benar telah merealisisasik mimpi tujuh-delapan tahun sebelumnya: menjadi “biro jasa” bagi masyarakat. Buergerbueros tersebut berpenampilan layaknya sebuah mal, bank atau biro perjalanan –yang ramah, efisien dan cepat. Sekalipun demikian, dalam kisah sukses tersebut dapat ditemukan pula adanya beberapa kelemahan dan hambatan, yang rasanya memang tidak terlalu menonjol. Di beberapa tempat dijumpai sisi lemah dari gerakan modernisasi ini sebagai berikut (Plamper 1998: 16): a. jumlah modernisator riil jauh lebih sedikit dibanding mereka yang menyatakan keinginannya untuk memodernisasi diri b. penghematan masih menjadi tujuan terpenting, sehingga anggaran masih tetap berorientasi input c. partisipasi terlalu sedikit d. pembuatan katalog produk tidak sebanyak yang dibayangkan semula, dan baru sedikit yang dapat menjawab: “Produk, lalu ngapain..?” e. kompetisi, baik dengan swasta maupun dengan birokrasi dari kota lain, belum memainkan peranan penting
6.
PELAJARAN BAGI KITA
Kisah perombakan birokrasi di kota-kota di Jerman di atas, menurut hemat penulis, memberikan pelajaran penting bagi kita: a. reformasi hendaknya benar-benar didasarkan kepada kebutuhan, kepentingan kita sendiri, bukan sekedar mengikuti anjuran negara lain; sementara kabupaten/kota dan provinsi juga tidak perlu diwajibkan mereformasi birokrasinya –biarkan semua berjalan secara alamiah dengan dorongan dari dalam sistem masing-masing b. konsep reformasi hendaknya kita rumuskan sendiri; konsep dari negara lain dapat saja kita adopsi, tapi tidak untuk ditelan mentah-mentah melainkan dengan perubahan (adaptasi) sesuai kondisi kita sendiri c. kalau memang dirasakan perlunya reformasi, maka proses ini harus dilakukan dengan serius, tidak untuk formalitas yang asal-asalan belaka; harus terencana, dilaksanakan dengan disiplin tinggi, dan dievaluasi untuk memberikan ganjaran kepada yang berprestasi dan melakukan perbaikan terhadap apa yang jelek
[26]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
d. motiviasi pegawai harus dijaga dengan baik, perlu ada pengkondisian sebelumnya – sosialisasi sematang mungkin, juga kemudian koordinasi yang efektif untuk mengelola benturan antar personal atau bidang; orientasi kepada konsumen, pelanggan, klien, warga sebagaimana yang didengung-dengungkan selama ini malah harus dikurangi, dibarengi dengan orientasi kepada pegawai/karyawan dengan kekuatan yang sama.
temannya yang ditulis tahun 2007 untuk mengevaluasi hasil gerakan modernisasi itu secara – sebisa mungkin-- sensus terhadap seluruh kota. Direncanakan dalam proposal itu untuk mengidentifikasi-ulang masalah-masalah implementasi –termasuk di dalamnya persoalan motivasi para pegawai dan pejabat. **
PUSTAKA Telah adanya beberapa kabupaten/kota di negara kita yang, dalam bentuk yang berbeda, melakukan perbaikan birokrasi –seperti misalnya Jogja dan Solok-kiranya menjadi modal yang sangat memadai bagi kabupaten/kota yang bersangkutan untuk melakukan perbaikan menyeluruh, dan menjadi magnet bagi kabupaten/kota lain untuk melakukan kebajikan serupa. Best practices atau suri tauladan mereka dapat dihimpun dan diringkas menjadi sebuah buku pedoman, yang menjadi pegangan/petunjuk bagi (tapi tidak untuk ditiru seratus persen oleh) kabupaten/kota yang akan mulai membenahi birokrasinya.
7.
Bandemer, Stephan von/Josef Hilbert, “Vom expandierenden zum aktivierenden Staat”, dalam Blanke dkk. (eds.) 1998 Blanke, Bernhard dkk. (eds.), Handbuch zur Verwaltungsreform, Opladen 1998 Bogumil, Joerg, “10 Years of the New Steering Model – Evaluation of Local Administrative-Modernisation”, proporsal penelitian tahun 2007, dalam http://homepage.rub.de/Joerg.Bogumil/Proj ect10YNSM.htm, dibuka 19 April 2011 Hill, Herman/Helmut Klages (eds.), Lernen von Spitzenverwaltungen, Duesseldorf 1998 Jann, Werner, “Neues Steuerungsmodell”, dalam Blanke dkk. (eds.) 1998 KGSt, “Bericht: Das Neue Steuerungsmodell. Bilanz der Umsetzung (B 2/2007)”, sinopsis, dalam http://www.kgst.de/produkteUndLeistunge n/arbeitsergebnisse/?rmtparams= cm10YWM9c2VhcmNoJnJtdGF1PWh0dH AlM0ElMkYlMkZsb2NhbGhvc3QlM0E1 Nzg4MCUyRmtnc3Qt_d2ViYXBwJTJGc2 hvcCUyRnNob3dEb2N1bWVudCUyRjE0 MDgwNDE5Nw--, dibuka 19 April 2011 Kissler, Leo dkk., Moderne Zeiten im Rathaus?, Reform der Kommunalverwaltungen auf dem Pruefstand der Praxis, Berlin 1997 Klages, Helmut, Verwaltungsmodernisierung: “Haerte” und “Weiche” Aspekte, Speyer 1997 Koenig, Klaus, “Verwaltungszusammenarbeit und „New Public Management‟ –Kritische Anmerkungen aus verwaltungswissenschaftlicher Sicht”, dalam Thedieck/Mueller (eds.) 1997 Naschold, Frieder/Joerg Bogumil, Modernisierung des Staates, Opladen 1998 Plamper, Harald, “Herausforderungen an die oeffentliche Verwaltung: Vortrag zur Aufaktveranstaltung zum 4. Speyere Qualitaetswettbewerb vom 18. Maerz 1998”, dalam Hill/Klages (eds.) 1998 Thedieck, Franz/Joachim Mueller (eds.), Rezeption deutscher Beitraege zur Verwaltungsmodernisisierung fuer die
POSTSCRIPT
Informasi yang dipaparkan tentang modernisasi di kota-kota di Jeman di atas diperoleh pada 1999, tatkala penulis menyelesaikan program magister di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Nasional (Deutsche Hochschuele fuer Verwaltungswissenschaften) di Kota Speyer, Jerman. Pada 2007 KGSt selaku perumus dan pendamping melaporkan situasi terakhir dari penerapan NSM itu (semacam self evaluation). Dinyatakan, bahwa sejak 1993 KGSt telah membuat laporan-laporan tentang proses modernisasi birokrasi atau administrasi itu, melakukan seminar, kongres, konsultasi, advokasi, dan juga membangun jaringan implementasi NSM dengan berbagai yayasan, perguruan tinggi dan perusahaan konsultan. Secara umum dinyatakan, bahwa gelombang reformasi administrasi kota memang telah berlangsung nyata sejak 1993-an itu, dengan mengacu pada konsep NSM tersebut. Dan ini mendorong pemerintah negara-negara bagian serta federal untuk juga melakukan hal yang sama. Hanya saja diakui, bahwa sangat sedikit kota yang telah menerapkan konsep NSM secara utuh-total. Sekalipun hasilnya berbedabeda dari satu kota ke kota lain, pada umumnya di mata para penduduknya, pemkot-pemkot tersebut telah dinilai sebagai mengarah ke pelayanan yang jauh lebih prima dan memuaskan dibanding masamasa sebelumnya. Sayang penulis tidak berhasil memperoleh hasil kajian yang lebih sistematis dari peneliti independen, kecuali proposal Joerg Bogumil dan teman[27]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
Zusammenarbeit Entwicklungslaendern, Berlin 1997
ISBN: 978-602-96848-2-7
mit
Biodata Penulis Samodra Wibawa memperoleh gelar Dr.rer.publ. dari sekolah tinggi nasional bidang ilmu administarsi (negara) di Kota Speyer Jerman -Deutsche Hochschule fuer Verwaltungswissenschaften-pada 2003. Sebelumnya memperoleh gelar MSc. untuk ilmu dan kebijakan lingkungan di University of Bath, England (1994) dan Drs. bidang administrasi negara di UGM (1989). Sebagai dosen, termasuk sebagai dosen tamu di UGM, UNY, UIN (dulu IAIN) Sunan Kalijaga, Akmil Magelang, UNS, UNSOED, UNDIP, UNG (Gorontalo) pernah mengajar matakuliah: kebijakan publik, proses formulasi kebijakan, evaluasi kebijakan, metode penelitian, analisis dampak sosial, teori administrasi negara, patologi administrasi negara, sejarah sosial-politik, kepemimpinan, manajemen pelayanan publik, administrasi pembangunan, kebijakan pendidikan, dan administrasi keuangan negara. Telah menerbitkan 10 buku, di antaranya Negara-negara di Nusantara: dari Negara Kota hingga Negara Bangsa, dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi (Yogyakarta: Gamapress 2001), Reformasi Administrasi, Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik (Yogyakarta: Gava Media 2006) dan Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu 2011). Saat ini dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal ASIAN (Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara) periode 2011-2013).
[28]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI IMPLEMENTASI CSR M. Azis Firdaus Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor Jl. KH Soleh Iskandar KM 2 Kota Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Konsep Corporate Social Responsibilty (CSR) masih dianggap sebagai bagian kegiatan sosial untuk perusahaan-perusahaan yang berskala besar, hal ini menyebabkan perusahaan yang beroperasi hanya di daerah tertentu saja merasa tidak memiliki keharusan dalam melakukan kegiatan CSR. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang cukup luas dalam mengelola daerahnya untuk kepentingan masyarakat. Namun disisi lain, pemerintah daerah juga memiliki Keterbatasan yang hal ini dapat menyebabkan pembangunan pada beberapa sektor tertunda atau perkembangannya lambat. Otoritas daerah melalui kebijakan publiknya dapat mengarahkan pembangunan daerah dengan melibatkan sektor swasta (Private) untuk kesejahteraan masyarakat (Public Private Partnership/PPP). Salah satu kemitraan yang dapat dilakukan adalah kemitraan dalam membangun SDM di daerah. Melalui otoritas yang dimilikinya, pemerintah daerah dapat menjalin kemitraan dengan swasta untuk membangun sumber daya manusia (SDM) di daerah (terutama masyarakat asli daerah tersebut), sehingga kebutuhan SDM di daerah dapat tersedia secara berkesinambungan, dengan keahlian yang memang dibutuhkan oleh private sector atau oleh pemerintah daerah itu sendiri. Hal ini secara tidak langsung dapat menekan laju urbanisasi atau migrasi penduduk. Beberapa kondisi yang perlu di perhatikan dalam kemitraan ini, diantaranya adalah kondisi yang saling menguntungkan, data-data demografi dan lainnya yang up to date, serta rencana pembangunan yang disosialisasikan secara baik kepada sektor swasta. Dengan diketahuinya rencana pembangunan tersebut, maka dapat diketahui rencana kebutuhan SDM serta kualifikasi dan spesifikasinya, yang hal ini dapat disupply oleh sektor swasta, melalui kegiatan atau program-program CSR. Sehingga Program CSR yang dilakukan, disesuaikan dengan kebutuhan SDM di daerah yang bersangkutan. Kata Kunci: csr, pemerintah, swasta, kemitraan dan sumber daya manusia 1.
kesejahteraan masyarakat di Daerahnya. Kemitraan Pemerintah Swasta ini memiliki ciri-ciri diantaranya adalah : (a) Adanya pembagian investasi dan resiko (b) Adanya pembagian keuntungan Komposisi dari nilai investasi yang disepakti dalam kemitraan ini (PPP), tidak menghilangkan kekuatan peran Pemerintah Daerah untuk tetap menjadi pihak yang bertanggungjawab atas pelayanan publik kepada masyarakat. Ginanjar Kartasasmita mengatakan bahwa kemitraan dalam pembangunan pada dasarnya mengandung hakekat keadilan dalam perolehan keuntungan dan manfaat, pembebanan biaya dan penanggungan resiko yang timbul dalam kegiatan tersebut (www.ginanjar.com). Terdapat beberapa tipe PPP yang diantaranya seperti yang disampaikan Caroline Paskarina yang mengadopsi dari Kumar dan Prasad, (Warta Bapeda Jabar) yaitu : (a) Kontrak pelayanan (b) Kontrak pengelolaan (c) Sewa (d) Konsesi build-operate-transfer (e) Build-operate-own lepas
Kemitraan Pemerintah Swasta
Pasca UU otonomi Daerah, Perkembangan tatakelola pemerintahan daerah saat ini telah berkembang pada pemerintahan yang lebih terbuka yang salah satunya ditandai oleh model-model pengembangan kerjasama dari tingkat lokal (Daerah) sampai dengan Internasional seperti Sister City. Bersamaan dengan hal ini, tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik, tuntutan terhadap peningkatan kesejahteraan pun semakin meningkat. Disisi lain Pemerintah Daerah tentunya memiliki keterbatasan sumber daya seperti Dana, Sumber Daya Manusia (SDM), Lahan, dan peralatan/perlengkapan. Untuk itulah kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak lain (dari lokal sampai dengan internasional) perlu dilakukan. Kerjasama atau kemitraan tersebut tentunya perlu dilakukan secara terus menerus, sehingga output/outcome dapat secara maksimal dirasakan, khususnya oleh masyarakat. Khusus mengenai kerjasama melalui kemitraan Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP), hal ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mampu menciptakan stimulus dalam peningkatan [29]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Manfaat yang diharapkan dengan adanya PPP ini yaitu : (a) Dampak Biaya, diharapkan PPP mampu mereduksi biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh Pemerintah daerah. Hal ini dapat terjadi melalui pengurangan biaya overhead pemerintah daerah, jumlah staf yang lebih ramping, dan penelolaan yang lebih baik. (b) Inovasi, Keterlibatan pihak swasta dalam kemitraan dengan Pemerintah daerah diharapkan memberikan dampak pada munculnya temuan-temuan baru, seperti metode yang lebih efektif dan efisien. (c) Dampak pada kualitas, dengan adanya pihak swasta diharapkan ada persaingan yang sehat antar pihak swasta dalam memberikan kualitas pelayanan kepada mitranya (Pemerintah Daerah).
Disamping itu sektor swasta juga, melalui kadin mengharapkan CSR hanya untuk perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam yang unrenewable (tidak dapat diperbaharui), dan pihak swasta memberikan tawaran lainnya berupa permintaan pemotongan pajak. Perbedaan visi pemerintah dan pihak swasta ini dapat dimaklumi, mengingat pemerintah memiliki kepentingan pada akselerasi pembangunan yang mungkin ingin lebih cepat serta untuk mempertahankan kualitas lingkungan yang belakangan pula banyak disoroti pihak luar negeri dan LSM. Kekhawatiran yang muncul dapat dimaklumi mengingat sektor swasta terkait dengan para stakeholder yang mungkin memiliki cara pandang berbeda terhadap penerapan CSR serta kepentingan para stakeholder yang dapat pula berbeda. Konsep CSR mulai dipopulerkan pada tahun 1953 dengan terbitnya buku berjudul “Social Responsibilities of the Businessman” oleh Howard R. Bowen, yang periode selanjutnya isu-isu CSR terus berkembang pada tahun 1960-an yang dilandasi oleh permasalahan kemiskinan dan keterbelakangan yang mulai mendapat perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Pada KTT Bumi (Earth Summit), tahun 1992 di Rio De Janeiro ditegaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. Tahun 2002 pada “World Summit on Sustainable Development (WSSD)” di Yohannesburg, Afrika Selatan memunculkan konsep Social Responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu Economic and Environment Sustainability. Terlebih lagi pada tahun 2010 direncanakan akan diberlakukannya sertifikasi ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility, yang mencakup 7 isu pokok yaitu: (a) Pengembangan Masyarakat (b) Konsumen (c) Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat (d) Lingkungan (e) Ketenagakerjaan (f) Hak asasi manusia (g) Organizational Governance (tatakelola organisasi) Beberapa definisi mengenai CSR (tanggungjawab social perusahaan) disampaikan oleh beberapa lembaga dunia dan local, diantaranya adalah menurut world bank yang mendefinisikan sebagai berikut : “The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve the quality of life, in ways that are both good for business and good for development. ”.
Beberapa prinsip dalam melakukan PPP yaitu : (a) Saling Percaya (b) Data yang lengkap mengenai apa yang akan dikerjakan (c) Jaminan keuntungan (d) Resiko yang dibagi secara proporsional (e) Dukungan stakeholder Beberapa hal yang sering menjadi kendala dalam menjalin kemitraan Pemerintah dengan Swasta diantaranya adalah : (a) Ketidakpastian keuntungan yang besar. (b) Birokrasi yang panjang. (c) Belum mempunyai pola kerjasama yang saling menguntungkan. (d) Kekhawatiran pada paradigma “ganti pemerintah ganti kebijakan”. (e) Kekhawatiran dianggap sebagai kegiatan Kolusi Korupsi atau Nepotisme. 2.
Tanggungjawab Sosial Perusahaan Corporate social Responsibility (CSR)
/
Dalam sudut pandang pemerintah, khususnya pemerintah Republik Indonesia menganggap bahwa CSR perlu diatur dengan sebuah Undang-undang dengan tujuan menjaga kualitas lingkungan dan kualitas sosial masyarakat. Hal ini terlihat dari UU PT No. 40 tahun 2007, yakni pasal 74 ayat 1 yang menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tangung jawab sosial dan lingkungannya. Ayat 2 berbunyi; tanggung jawab social dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat 3 menyatakan; perseroan yang tidak melaksanaan kewajiban sebagaimana pasal 1 dikenai sangsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [30]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Sementara itu The World Business Council for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai berikut : “Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community at large.” Lingkar Studi CSR Indonesia, menyatakan bahwa CSR adalah : “Upaya sungguh sungguh dari entitas bisnis meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan ” Definsi CSR lain adalah yang dikutip Agatha dari buku Holme & Watts, 2000, yang berjudul “Corporate Social Responsibility : Making Good Business Sense”. dalam kutipan tersebut CSR di definisikan sebagai suatu komitmen yang berkelanjutan oleh para pembisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi pada pengembangan ekonomi, bahkan meningkatkan kualitas hidup bagi tenaga kerja dan keluarganya sebagaimana hal nya pada komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas. the European Commission’s DirectorateGeneral for Enterprise and Industry, mendefinisikan CSR sebagai berikut: “A concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis”. Dari beberapa definisi di atas, minimal ada tiga hal utama yang menjadi pokok dari CSR yaitu : (a) Merupakan komitmen yang berkelanjutan dari perusahaan (b) Kepedulian dan tindakan social (c) Ada benefit yang dapat diperoleh perushaan. Pada banyak literature mengenai CSR, tidak disebutkan bahwa CSR hanya untuk perusahaan yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam saja, namun CSR adalah merupakan bagian dari kegiatan perusahaan dalam membangun citra perusahaan (Building image). CSR dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan manfaat jangka panjang bagi perusahaan berupa kepercayaan dan loyalitas customers. Dengan kegiatan CSR sedemikian rupa, diharapkan customers dapat memberikan kontribusi pada peningkatan daya saing perusahaan, apakah perusahaan tersebut listing di bursa saham atau tidak. Implementasi CSR diperusahaan tidak akan berjalan dengan baik manakala implementasinya berseberangan dengan kepentingan para stakeholder. Implementasi CSR, bagi stakeholder diharapkan tidak mengurangi kepentingannya, seperti stockholder misalnya, tentunya tidak menginginkan laba perusahaan
berkurang karena dikurangi oleh biaya implementasi CSR. Vittorio Colao, Chief Executive Officer of Vodafone Group Plc, mengatakan: "Conducting business in a responsible manner is essential to the long-term commercial success of every business." Untuk itu pelaksanaan CSR di sektor swasta dimungkinkan akan menghadapi kendala-kendala, terutama manakala terjadi perbedaan persepsi antara manajemen dengan stakeholders, khususnya pemegang saham. Persamaan persepsi dan kepentingan yang terstruktur secara jelas, serta benefit jangka panjang yang dikalkulasi secara tepat, dapat mengurangi gap kepentingan antara manajemen dan pemegang saham. Permasalahan perusahaan dengan masyarakat, berupa aksi perusakan asset perusahaan, serta demo karyawan terhadap perusahaan, dapat dijadikan sebagai salah satu parameter mengenai pelaksanaan tanggungjawab social perusahaan. Untuk itu CSR tidak hanya pada aspek eksternal perusahaan saja seperti kualitas sumber daya lingkungan, social kemasyarakat sekitar perusahaan dll, tetapi juga pada aspek internalnya. Aspek internal dapat berupa aspek-aspek kepersonaliaan dalam perusahaan. Dengan demikian CSR berbeda dengan Community Development (CD) yang juga banyak diperbincangkan. CD merupakan kegiatan pengembangan masyarakat secara sistematis untuk meningkatkan kekuatan dan kemandirian masyarakat yang kurang beruntung (disadvantages group). Sehingga CD jelas ditujukan untuk masyarakat yang tertentu dan tentunya perusahaan berkepentingan dengan hal ini untuk menghindari dampak negative disharmoni antara perusahaan dengan kelompok masyarakat tersebut. Perusahaan-perusahan yang telah mengintegrasikan implementasi CSR dalam budaya perusahaannya (Corporate culture) terbukti mendapatkan apresiasi yang baik dari masyarakat sekitar dan dari para karyawannya, serta mendapatkan kepercayaan dan loyalitas customer yang lebih tinggi. Walaupun kepercayaan dan loyalitas ini diperoleh dengan investasi yang tidak sedikit dan dalam jangka panjang benefit tersebut baru dapat dirasakan. Dengan demikian CSR merupakan suatu bagian dari Good corporate governance yang menganggap lingkungan, masyarakat dan karyawan sebagai suatu kontributor dalam mempertahankan kelangsungan perusahaan. 3.
Pembangunan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kepentingan Pembangunan Manusia (SDM) lebih dari sekedar bagaimana mempertahankan atau meningkatkan Pendapatan nasional. Pembangunan Manusia (Human Development) adalah mengenai [31]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html
bagaimana menciptakan lingkungan dimana masyarakat dapat mengembangkan potensinya sendiri dan melakukan pilihan-pilihan secara lebih leluasa. Mahbub ul Haq mengatakan bahwa "The basic purpose of development is to enlarge people's choices. In principle, these choices can be infinite and can change over time. People often value achievements that do not show up at all, or not immediately, in income or growth figures: greater access to knowledge, better nutrition and health services, more secure livelihoods, security against crime and physical violence, satisfying leisure hours, political and cultural freedoms and sense of participation in community activities. The objective of development is to create an enabling environment for people to enjoy long, healthy and creative lives." (http://hdr.undp.org) Prof. Amartya Sen (Professor of Economics, Harvard University), menjelaskan bahwa: “human development as a process of enlarging people’s choices and enhancing human capabilities (the range of things people can be and do) and freedoms, enabling them to: live a long and healthy life, have access to knowledge and a decent standard of living, and participate in the life of their community and decisions affecting their lives”. (http://hdr.undp.org) Dengan demikian pembangunan manusia (SDM) perlu diarahkan pada peningkatan kapabilitas SDM sehingga memudahkan masyarakat (manusia/SDM) untuk memilih secara lebih baik dan mandiri. Peningkatan kapabilitas tersebut tentunya memerlukan data mengenai kapabilitas saat ini, dan kebutuhan di masa yang akan datang, dalam melaksanakan rencana pembangunan. Salah satu indikator dalam mengukur kualitas SDM adalah dengan menggunakan Human Development Index (HDI). Pada tahun 2010 Indonesia menempati urutan ke 108 dunia. Pengukuran HDI tersebut berdasarkan kepada 3 dimensi yaitu Kesehatan, Pendidikan dan Standar hidup. Kesehatan diukur dengan menggunakan indikator angka harapan hidup, Pendidikan diukur dengan menggunakan indikator lama sekolah, dan rata-rata harapan bersekolah. Sementara itu Indikator Pendapatan Perkapita digunakan untuk mengukur Standar hidup. Tabel : HDI Indonesia, Asia Timur pasifik dan Dunia 2005-2010 Year
Indonesia
East Asia and the Pacific
Berdasarkan data UNDP, HDI Indonesia ternyata masih sangat jauh dibandingkan dengan Asia timur pasifik dan dunia. Rata-rata Peningkatan HDI setiap tahunnya hanya masih dibawah HDI Asia Timur yaitu 0.0084 sementara Indonesia 0.0078, namun di atas rata-rata peningkatan HDI dunia yang sebesar 0.0052. Kemajuan yang relatif lebih baik yaitu dibidang Kesehatan (0.815), kemudian diikuti oleh Pendidikan (0.539) dan terakhir adalah Pendapatan (0.491). Pada Tingkat daerah identifikasi sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki daerah, menjadi sangat penting, ketika sebuah rencana pembangunan (jangka pendek/jangka menengah/jangka panjang) disusun. Data SDM di daerah tentunya akan terkait dengan kesuksesan rencana pembangunan. Biasnya data dapat menyebabkan rencana pembangunan pun menjadi tidak tepat sasaran. Untuk itu sudah saatnya dilakukan identifikasi SDM di daerah secara tepat dan berkelanjutan, yang diikuti dengan rencana pembangunan yang berbasis data ril SDM. Salah satu penyebab tingginya laju pengangguran di Indonesia adalah adanya gap antara kebutuhan/permintaan kualifikasi tertentu dari dunia usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh penyedia jasa tenaga kerja (lembaga pendidikan). Gap ini dapat terjadi karena belum adanya sinkronisasi antara pengguna dan penyedia jasa tenaga kerja. Namun demikian tentunya ada beberapa bidang ekonomi yang dapat didorong untuk mampu menyerap tenaga kerja secara lebih banyak, yaitu kewirausahaan. Demikian juga dengan sektor pertanian dan lainlainnya, perlu didorong untuk ditingkatkan kualitas SDM nya secara proporsional. Terkait dengan kualitas SDM, Sujadi (1994;59) menyampaikan saran-saran peningkatan kualitas SDM Indonesia diantaranya adalah : (a) Meningkatkan disiplin nasional (b) Mendorong Kreatifitas yang inovatif (c) Solidaritas dan kerukunan hidup (d) Sadar lingkungan (e) Intensifikasi pelatihan 4.
Berdasarkan pada konsep PPP, CSR dan Pengembangan SDM maka terdapat berbagai model kemitraan yang dapat dilakukan. Diantaranya : (a) Proses akselerasi pembangunan yang diharapkan pemerintah didaerah-daerah sekitar industri, dapat difasilitasi oleh kegiatan CSR perusahaan berupa pelatihan-pelatihan keterampilan bagi masyarakat sekitar. Melalui pelatihan keterampilan ini perusahaan diuntungkan dengan tersedianya tenaga terampil disekitar perusahaan, sehinga manakala dibutuhkan tambahan tenaga dengan keterampilan khusus, perusahaan tidak kesulitan karena supply telah tersedia. Disisi masyarakat
World
2005
0.561
0.608
0.598
2006
0.568
0.617
0.604
2007
0.580
0.628
0.611
2008
0.588
0.636
0.615
2009
0.593
0.643
0.619
2010
0.600
0.650
0.624
Model Kemitraan
Sumber :
[32]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
peningkatan keterampilan tentunya dapat membuka peluang untuk mendapatkan penghasilan. Dari sudut pandang pemerintah, maka pengangguran sedikit demi sedikit dapat direduksi, bahkan pemerintah tidak perlu biaya untuk melakukan pelatihan-pelatihan. (b) Kegiatan CSR Perusahaan diarahkan pada kegiatan yang menumbuhkan bisnis/wirausaha masyarakat. (c) Kegiatan CSR perusahaan dapat diarahkan pada peningkatan Skill Knowledge dan Ability (SKA) yang disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Beberapa asumsi untuk melakukan ini adalah : (a) Pemerintah memiliki data SKA SDM (masyarakat) secara ril dan kontinyu (b) Pihak Swasta memiliki kemauan dalam mengimplementasikan CSR pada bidang pengembangan SDM di daerah. (c) Adanya sinkronisasi data yang dimiliki Pemerintah Daerah dengan pihak Swasta yang akan melakukan program CSR. (d) Secara berlanjut perkembangan hasil dari program CSR ini di monitor oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah memiliki data aktual tentang kondisi SDMnya. (e) Tidak selalu program CSR itu dilakukan oleh Perusahaan berskala besar, dan tidak selalu harus perusahaan manufaktur, perusahaan jasa seperti perhotelan, perdagangan, lembaga pendidikan dan lain-lain perlu didorong untuk mengimplementasikan CSRnya. Beberapa kendala yang mungkin dihadapi salah satunya adalah pihak swasta akan kesulitan dalam mensosialisasikan dan mentransformasikan program CSR ini kepada Pemilik perusahaan. Karena program CSR akan dianggap sebagai biaya yang dapat mengurangi keuntungan. Namun demikian bukti emfiris menunjukan bahwa dalam jangka panjang program CSR yang tepat dapat meningkatkan secara signifikan loyalitas konsumen. Berdasarkan asumsi bahwa kemitraan ini (PPP) akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang maka, diperlukan suatu lembaga yang mampu menyediakan data secara valid/ril serta mensosialisasikannya kepada stakeholder dalam PPP ini. 5.
implementasi CSR dengan berbasis pada kapabilitas SDM saat ini dan kebutuhan yang akan datang. (c) Rencana Pembangunan daerah yang disusun berbasis pada data yang valid dan kontinyu tentang Skill Knowledge Ability dari SDM daerah. Untuk menindaklanjuti dari PPP dalam pengembangan SDM melalui Program CSR perlu dibentuk suatu lembaga yang secara serius dan inten melakukan kajian-kajian SDM daerah dan memonitoring serta mengevaluasi implementasi kemitraan ini.
PUSTAKA Agatha Ferijani, http://www.pascafe.ui.ac.id/files/compile_abs trak_DJM3_2008.pdf Indra Surya, SH.LLM, dan Ivan Yustiavandana,SH.LLM, 2006,”Penerapan Good Corporate Governance”, Prenada Media Group, Jakarta, Indonesia. Jalal dan Reza Ramayana, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) serta Kemitraan Tiga Sektor (tri-sector partnership) untuk Pembangunan Berkelanjutan di KabupatenKabupaten di Madura, Lingkar Studi CSR, A+ CSR Indonesia Jusuf irianto, 2001, Isu-isu Strategis Pengembangan Sumber Daya Manusia, Insan Cendekia, Jawa Timur Peter Wright Mark J. Kroll John A Parnel, 1998, Strategic Management (Concepts and Case) 4th Edition, Prentice Hall Int L Inc USA Suyadi Prawirosentono, Drs.MBA, Model Ise, model pendekatan atas Sumber Daya Manusia Indonesia. The Corporate Social Responsibility (CSR) webpages of the European Commission’s Directorate-General for Enterprise and Industry, www.ec.europa.eu www. Republika.co.id, Senin, 30 Mei 2005 Website Dinas Perindustrian & Perdagangan Jawa Barat Rubrik : PUBLIKASI [News] Etika Bisnis, Corporate Social Responsibility (CSR), dan PPM 27 Nov 2002 00:00 www.csrnetwork.com/story.asp?id=116 Warta Bapeda Jabar, www.bapeda-jabar.go.id www.ginandjar.com http://hdr.undp.org/en/humandev/ http://www.choike.org/documentos/ReedCSR.pdf http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.ht ml
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan diantaranya adalah : (a) Model Kemitraan yang umum dilakukan adalah model kemitraan dalam penyediaan infrastruktur. (b) Pihak Pemerintah daerah dan Swasta dapat membentuk model kemitraan khusus untuk Pengembangan SDM di daerah melalui [33]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Biodata Penulis Nama : M. Azis Firdaus,SE. MM Tempat/tgl.lahir : Bogor, February 12, 1971 Jenis kelamin : Male Marital Status : Married Address : Jl. Dalurung IV no 11 Perumnas Bantarjati Kota Bogor Kode Pos : 16153 HP : 081384149386 Email :
[email protected] Education Record (a) SMAN 1 Kota Bogor 1997-1990 (b) S-1 Fakultas Ekonomi Univ. Ibn Khaldun Bogor 1991-1997 (c) S-2 Magister Management, Universitas Ibn Khaldun 2007 Researches (a) Human Resources Department Profile in Kota Bogor and Kabupaten Bogor (2003). (b) The effect of oil increasing prices to the inflation transportation sector in Kota Bogor. (2003) (c) The effect of Cellular Operator Quality to repurchase pulse and Analysis of Market share with Markov Chain. (2008) (d) Decision making with Analytical Hierarchy Process (AHP). (2008) (e) The Influences Seluler Operator Quality to the number of puls rebuying in Ibn khaldun University (2008). (f) Fishbein and Multidimensional Analysis to defining University positioning (2010)
[34]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PENGELOLA USAHA MIKRO DAN KECIL DI BENGKULU (Penguatan Ekonomi Lokal di Wilayah Pesisir) Prof. DR. Masyhudzulhak Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Otonomi daerah pada hakikatnya adalah sebagai suatu upaya Pemerintah Pusat mempercepat laju pembangunan dan pelayanan terhadap rakyat yang berada didaerah. Namun realitasnya laju pembangunan didaerah masih banyak terdapat kendala dan permasalahan diantaranya belum mampunya Pemerintah daerah menterjemahkan secara optimal isi dan hakikat dari Otonomi daerah. Di Provinsi Bengkulu usaha mikro,kecil di wilayah pesisir berjumlah 3.471, dari 8.592 usaha mikro dan kecil. Dalam mengerakan perekonomi daerah UMK sangat signifikan mendorong pertumbuhan pembangunan ekonomi daerah. Jumlah yang cukup besar tersebut, suatu kelompok yang strategis dalam menentukan laju pembangunan ekonomi. Dan terbukti Usaha mikro,kecil dan menengah (UMKM) telah mampu bertahan terhadap krisis ekonomi pada tahun 1997/1998. Cukup besarnya jumalah UMK dan kuatnya daya tahan dalam menghadapi krisi ekonomi moneter, sudah saatnya Pemerintah Daerah memberdayakannya dengan cara mengalang kerjasama, memberikan peluang yang lebih besar dalam pertumbuhaan usahanya. Potensi UMK (usaha mikro dan Kecil) di Provinsi Bengkulu dapat menjadi basis ekonomi daerah yang memberikan kontribusi terhadap sumbangan ekonomi wilayah atau PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Kebijakan dalam pengelolaan Usha Mikro,Kecil yaitu; efektifitas pengaturan dan efisiensi pemanfaatannya, yang tetap mempertimbangkan daya dukung wilayah pesisir. Kata Kunci: Otonomi, Ekonomi Lokal, Wilayah Pesisir.
seperti pada masa era orde baru, dan masih sangat bergantung pada Pemerintah Pusat, belum muncul ide-ide cerdas dalam menumbuhkembangkan pembangunan untuk rakyat banyak. Belum mampunya Pemerintah daerah memahami arah pembangunan didaerahnya sehingga sampai saat ini masih lambannya pertumbuhan pembangunan didaerah. Pada dasarnya otonomi daerah pendorong dan pemicu dalam pertumbuhan perekonomian rakyat, hal ini disebabkan otonomi daerah dapat menjadi guideline dalam pembangunan perekonomian rakyat terutama usaha mikro dan kecil sebagai panduan penguatan ekonomi lokal di era otonomi; (i) dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha mikro dan kecil untuk lebih meningkatkan produktivitasnya,(ii) panduan; dapat memberikan peluang dan tumbuh berkembangnya kearipan lokal dan tatanan kegiatan usaha yang sesuai dengan daya dukung dan kemampuan masyarakat, (iii) sebagai panduan kelembagaan dan hukum untuk menjadi payung dalam pengelolaan usaha mikro dan kecil didaerah. Ketiga panduan tersebut diatas dapat menjadi panduan penguatan ekonomi lokal yang berbasiskan sumberdaya daerah dan menjadi sentra ekonomi baru pengerak pertumbuhaan ekonomi. Penguatan ekonomi lokal seharusnya dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah dalam memacu pembangunan ekonomi rakyat terutama usaha mikro dan kecil sebagai modal dasar untuk
1. PENDAHULUAN Kometmen Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah salah satunya diberlakukan Undang-Undang Pemerintah Daerah Tahun 1999 dan di revisi pada Tahun 2004, yaitu UndangUndang No.32 dan Undang No.33. Undang-Undang No.32 dan No.33 Tahun 2004 tersebut pada hakikatnya mendorong pembangunan didaerah secara cepat dan terpadu sesuai dengan daya dukung yang ada (Sumberdaya Manusia, Sumberdaya buatan, Sumberdaya alam) dengan demikian diharapkan Pemerintah daerah akan mampu mengelola pembangunan sesuai dengan kapasitas daya serap. Realitas menunjukan bahwa sejak digulirkan Undang-Undang Otonomi Daerah, pembangunan daerah pada umumnya belum berjalan sesuai apa yang diharapkan oleh Undang-undang tersebut, masih banyak kendala dan permasalahan didaerah yang muncul dari mulai penyimpangan operasional pembangunan dan penyelengaraan pemerintahan. Hal ini disebabkan Pemerintah daerah masih belum mampu dalam mengenali kondisi daerah secara subtansial, terutam daya dukung sumberdaya daerah berupa; sumberdaya buatan, sumberdaya alam dan yang lebih penting lagi adalah sumberdaya manusia, akibatnya perencanan pembangunan jarang menyentuh apa yang diharapkan rakyat didaerah. Pembangunan pada saat ini masih terpola [35]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
meningkatkan perekonomian rakyat. 2.
ISU DAN PERMESALAHAN MIKRO DAN KECIL
masyarakat, dan terjadinya KKN didaerah. USAHA 3. PERSPEKTIF PENGUATAN EKONOMI LOKAL WILAYAH PESISIR.
Usaha mikro dan kecil adalah pelaku ekonomi dan kelompok usaha yang paling banyak peranannya terhadap ekonomi kerakyatan karena usaha mikro dan kecil bergeraknya diarus menengah dan bawah, sebagai usaha yang paling banyak memberikan kontribusi dalam memenuhi keperluan rakyat banyak. Usaha mikro dan kecil telah terbukti mampu menghidupkan perekonomi Nasional pada masa krisis tahun 1998, dan pada waktu krisis ekonomi dan moneter banyak usaha sekala besar atau sering disebut usaha para konglomerat berjatuhan dan limbung dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter, sedangkan usaha mikro dan kecil, menengah masih banyak bertahan. Hasil survaey Badan Litbang Koperasi pada awal 1998, pengusaha kecil yang berjumlah 225 ribu lebih kurang 64 % mampu bertahan, 31 % mengurangi kegiatan usaha dan hanya 4% menghentikan usahanya (Prawirokusumo,.2001), dari laporan Badan Litbang Kementerian Koperasi tersebut tergambar bahwa kelompok inilah yang menjalankan roda ekonomi bangsa sampai saat ini. Kuatnya daya tahan usaha mikro dan kecil, menengah dalam badai krisis ekonomi dan moneter telah menjadi isu perlunya penguatan ekonomi rakyat dan bentuk usaha yang dilaksanakan pada masa lau yaitu lebih bertumpu pada skala besar atau konglomerat sudah tidak relavan lagi untuk Indonesia. Untuk itu cara paradigma dalam pembangunan ekonomi sudah saatnya perlu adanya perubahan yang mementingkan perekonomian Nasional berbasis usaha mikro,kecil, menengah dan koperasi, sebagai tulang punggung perekonomian bangsa. Isu penguatan ekonomi usaha mikro, kecil dan koperasi semakin kencang dengan diberlakukannya otonomi daerah, dan sudah saatnya pemerintah daerah mengkaji kembali potensi daerahnya terutama usaha-usaha yang berbasiskan sumberdaya daerah itu sendiri. Permasalahan yang muncul diera otonomi saat ini dalam penguatan ekonomi lokal masih kurang cerdas daerah mengenali potensi daerahnya sendiri, dan masih kurangnya tenaga yang profesional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, belum fokusnya pembangunan infra struktur daerah dalam mendukung pengerak eknomi daerah. Sehingga memunculkan penyimpangan-penyimpangan antara lain rusaknya sumberdaya alam di daerah disebabkan hanya untuk mengejar pendapatn Asli daerah (PAD), banyak peraturan daerah yang menghambat pertumbuhan perekonomian
Wilayah pesisir dari mulai pembangunan dimasa order baru sampai masa reforamsi saat ini masih jauh tertinggal dengan pembangunan wilayah daratan (up land), wilayah pesisir masih dianggap sebagai penampung limbah, dan kumuh. Kalaupun adanya pembangunan masih bersifat sektoral belum mempertimbangkan secara terpadu, bahkan menjadikan masyarakat pesisir termarjinalkan akibat dampak dari pembangunan itu sendiri. Untuk itu pembangunan wilayah pesisir memerlukan suatu konsep baru yang terpadu, pembangunan terpadu tersebut adalah pembangunan yang memperhitungan daya dukung yang meliputi, ekologi, ekonomi, kearipan lokal, dan meminimumkan kerusakan–kerusakan sumberadaya wilayah pesisir. Konsep yang tepat dalam pembangun wilayah pesisir adalah pembangunan berkelanjutan ((Sustainable Development). Dimasa orde baru pembangunan di Indonesia telah menerapkan sistem pembangunan dengan berapa pendekatan yang dilakukan; pertama pendekatan yang difokuskan terhadap pertumbuhan ekonomi,yang disebut Growth Paradigm dengan kebijakan invesatsi, perdagangan, dan industrilisasi, pada awalnya konsep ini cukup berhasil namun tidak menguntungkan bagi usaha mikro dan kecil. Kedua Pembangunan ekonomi dilakukan dengan fokus pertumbuhaan dan pemerataan atau sering disebut (Growth and equity of strategy development), yang fokusnya mengedepankan “investasi sumber daya manusia" dan "pembangunan sosial" konsep ini masih belum mampu untuk mendorong pembangunan ekonomi didaerah disebabkan masih banyak pengangguran, urbanisasi, kesehatan, dan pendapatan. Ketiga; konsep pembangunan pendekatan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dalam hal ini sering disebut adalah pembangunan terpadu dan konsep ini yang paling tepat untuk pembangunan wilayah pesisir Fokusnya pembangunan berkelanjutan dalam melaksanakan pembangunan tetap mempertimbangan daya dukung daerah dan ekositem sumberdaya alam terutama ekologinya dan meminimumkan kerusakan sumberdaya alam termasuk kearipan lokal. Selain itu pembangunan berkelanjutan tetap memperhitungan kepentingan pembangunan masa depan bagi generasi masa datang. Menurut Munasinghe (2001) menyatakan pembangunan berkelanjutan suatu kegiatan yang pengunaan sumberdaya untuk meningkatkan kesejahteraan individu /masyarakat secara efisien [36]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
dan memberikan kesempatan pengunaan sumberdaya untuk kepentingan generasi mendatang dengan tetap memperhitungkan: secara ekonomi; (i) pertumbuhaan, (ii) efisiensi, (iii) stabilitas produksi. Secara sosial; (i) pemberdaya, (ii) pembimbingan/konsultasi (iii) peranan Pemerintah. lingkungan ; (i) sumberdaya alam, (ii) pencemaran, (iii) daya tahan species dan keanekaragaman species. Kay dan Alder (1999) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan 4 faktor yaitu ; (i) terpadunya konsep “equity” lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (ii) dipertimbangkan secara khusus aspek ekonomi;(iii) dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan; (iv) dipertumbangkan secara khusus aspek sosial budaya. Pembangunan berkelanjutan dapat dinyatakan proses kegiatan yang menuju kebaikan dengan memperhitungan daya dukung wilayah, yang meliputi, ekologi,ekonomi,sosial budaya, kelembagaan dan meminimumkan dampak kerusakan dari pembangunan itu sendiri. Pengelolaan wilayah pesisir diera otonomi pendekatan pembangunanya adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan, hal ini disebabkan wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh wilayah daratan maupun wilayah lautan, sebagai wilayah penyanggah dari daratan dan lautan, oleh karenaperubahan yang terjadi antara daratan dan lautan akan mempengaruhi wilayah pesisir antara lain kerusakan hutan dilahan atas atau pencemaran dilautan. Wilayah pesisir menurut Masyhudzulhak (2004) adalah pertemuan antara pengaruh daratan dan lautan, kearah darat sampai pengaruh perembesaan air laut dan angin laut, dan kearah daratan sampai pengaruhnya air tawar dan memiliki beragam sumberdaya yang pulih maupun tidak pulih. Secara sosial ekonomi wilayah pesisir tempat aktivitas manusia bersosialisasi yaitu; kepemerintahan,sosial ekonomi,budaya pertahanan keamanan Penguatan ekonomi lokal (PEL) menurut, World Bank; PEL sebagai proses yang dilakukan secara bersama oleh pemerintah, usahawan, dan organisasi non pemerintah untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di tingkat lokal. PEL bertujuan untuk membangun kapasitas ekonomi dari suatu lokasi sebagai dasar untuk memperbaiki masa depan ekonomi dan kualitas kehidupan seluruh anggota masyarakatnya. Sementara, fokus PEL adalah pada upaya meningkatkan derajat kompetitif (competitiveness), meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan menjamin pemerataan dan meningkatkan kualitas dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bank Dunia menggarisbawahi bahwa secara ideal pengembangan strategi PEL harus menjadi bagian integral dari
proses perencanaan strategis yang dilakukan dalam skala lokasi yang lebih luas, misalnya provinsi dan kabupaten/kota. Blakely and Bradshaw menyatakan; PEL adalah proses dimana pemerintah lokal dan organsisasi masyarakat terlibat untuk mendorong, merangsang, memelihara, aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan. International Labour Organization (ILO); PEL adalah proses partisipatif yang mendorong kemitraan antara dunia usaha dan pemerintah dan masyarakat pada wilayah tertentu, yang memungkinkan kerjasama dalam perancangan dan pelaksanaan strategi pembangunan secara umum, dengan menggunakan sumber daya local dan keuntungan kompetitif dalam konteks global, dengan tujuan akhir menciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan merangsang kegiatan ekonomi. A. H. J. Helming menyatakan bahwa; PEL adalah suatu proses dimana kemitraan yang mapan antara pemerintah daerah, kelompok berbasis masyarakat, dan dunia usaha mengelola sumber daya yang ada untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan merangsang (pertumbuhan) ekonomi pada suatu wilayah tertentu. Menekankan pada kontrol lokal, dan penggunaan potensi sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik. Giancarlo Canzanelli menyatakan;PEL adalah proses yang tepat untuk menciptakan kondisi yang sesuai untuk ketenagakerjaan yang berkelanjutan, penciptaan dan pertumbuhan usaha kecil dan menengah untuk memperluas pembangunan manusia dan lapangan kerja yang layak. Berdasarkan dari definisi PEL yang telah diuraikan maka PEL adalah; mengoptimalkan sumberdaya lokal sesuai daya dukung wilayah baik sumberdaya alam, buatan dan sumberdaya manusia yang melibatkan pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah dalam mengembangkan ekonomi, dengan tetap mempertimbangkan kearipan lokal suatu wilayah. Penguatan ekonomi lokal wilayah pesisir tidak semata-mata dipandang sudut ekonomi saja namun diperlukan keterpaduan penglolaannya yang meliputi dimensi sosial ekonomi dan dimensi kelembagaan mencakup ekosistemnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam penguatan ekonomi lokal wilayah pesisir. Keberhasilan penguatan ekonomi lokal wilayah pesisir tidak terlepas kemauan politik Pemerintah Daerah dalam pengambilan keputusan untuk itu perlu secara cermat pemerintah daerah mempertimbangkan dari semua aspek yang ada di wilayah pesisir. Sehubungan dengan itu pula penguatan ekonomi lokal wilayah pesisir perlu adanya payung hukum (perda) dengan ketersedia [37]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
peraturan daerah landasan hukum dalam pengelolaan ekonomi lokal dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis formil. Sejelasnya di gambarkan dalam Gambar 1.
produksi dari usaha mikro dan kecil sejelasnya digambarkan dalam tabel berikut ini:
Jumlah Produksi secara keseluruhan perikanan tangkap pada Tahun 2009 sebesar 41.088,9 dengan kontribusi terhadap Produk Demostik Brutto sebesar (PDRB) Rp. 564.822.990. (dalam harga berlaku). 4.
3.
STRATEGI PENGUATAN LOKAL WILAYAH PESISIR
EKONOMI
Peranan Pemerintah yang mempunyai otoritas yang diberikan UU No 32 dan No.33 peluang dalam penataan dan tata kelola pembangunan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan usaha mikro dan kecil wilayah pesisir Kota Bengkulu. Hal ini disebabkan sebagai institusi yang berwenang dapat mengarahkan dan memberikan dorongan terhadap pelaku kegiatan di wilayah pesisir dengan membuat kebijakan dan pengaturan yang efektif dan efisien. Kebijakan pengaturan dalam kegiatan usaha wilayah pesisir peran serta Pemerintah daerah sangatlah strategis dalam pengembangan dan pertumbuhaan usaha mikro dan kecil di Provinsi Bengkulu. Selanjutmya dalam upaya pemanfaatan sumberdaya pesisir di Provinsi Bengkulu tidak saja pengaturan dalam pengembangan usaha. Pemerintah daerah haruslah mempertimbangankan daya dukung wilayah pesisir teutama daya dukung bio fisik wilayah pesisir, sesuai dengan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan. Selain itu pengaturan kelembagaan terutama dalam hal rules of the game di wilayah pesisir Pemerintah seharusnya membuat payung hukum yang jelas dan transparan yang memberikan kepastian usaha mikro dan kecil dalam berusaha. Efisiensi Ekonomi lebih difokuskan dalam pemanfaatan wilayah pesisir, secara, ekonomi, sosial budaya, dengan memperhitungkan daya dukung ekonomi dan daya dukung sosial wilayah pesisir, perlunya mempertimbangkan daya dukung ekonomi, sosial, dalam upaya meminimumkan depresiasi rente ekonomi, disparitas pendapatan dan beralih fungsinya lahan pesisir di Provinsi Bengkulu untuk itu perlu adanya tata kelolaa baik pengembangan perekonomian dan penataan tata
KERAGAAN USAHA MIKRO KECIL WILAYAH PESISIR BENGKULU
Bengkulu secara geografis terletak di pantai bagian barat sumatera mempunyai potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang besar dan beragam. Hal ini disebabkan dua pertiga wilayahnya merupakan kawasan pesisir. Potensi sumberdaya wilayah pesisir tersebut dapat digali sesuai dengan kemampuan daerah dan dapat dijadikan salah satu sentra produksi baru dalam menumbuhkembangkan perekonomian daerah. Luas dan besarnya wilayah pesisir Bengkulu tersebut belumlah menjadi modal pembangunan daerah sebagai tulang punggung ekonomi daerah dalam meningkat pembangunan berbagai bidang. Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir pada saat ini belum mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah khusus pembangunan ekonomi. Usaha mikro dan kecil wilayah pesisir pada umumnya usaha yang dilakukan masih tradisionil belumlah banyak menyentuh aspek manajerial yang sesuai dengan badan usaha secara modren. Secara konsep usaha mikro dan kecil wilayah provinsi Bengkulu : 1. Usaha mikro nelayan tangkap yang mempunyai perahu tanpa Motor 2. Usaha kecil nelayan tangkap yang mempunyai Perahu Motor 1 s/d 5 ton. Jumlah usaha mikro, kecil di wilayah pesisir, untuk usaha mikro berjumlah 1.664 dan usaha kecil berjumlah 1.817.Sedangkan tingkat
[38]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
ruang yang membagi zona-zona pemanfaatan dan konservasi. Strategi pengelolaan penguatan ekonomi wilayah pesisir dimasa otonomi daerah dibutuhkan framework pengelolaan. Selengkapnya dapat disajikan dalam tabel 2 berikut ini.
Pesisir dan Lautan seacara Terpadu,. Jakarta. Cetakan Pertama PT.Pradnya Paramita Jakarta. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Teori dan Aplikasi,. Jakarta. Penerbit PT Gramedia. Hidayat Syarif dan Masyhuri. 2001. Menyingkap Akar Persoalan Ketimpangan Ekonomi di Daerah Sebuah Kajian Ekonomi Politik. Jakarta. Penerbit Pamator Jackie and Kay,. Coastal Planning and Management,. London and New York. E & FN SPON An imprint of Routledge. Kuncoro Mudrajad. 2010. Masalah, Kebijakan, dan Politik, Ekonomika Pembangunan. Jakarta. Penerbit Erlangga. Kusnadi. 2006. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perubutan Sumberdaya Alam. Yogyakarta. Penerbit LkiS. Leo Agustino. 2011. Sisi Gelap Otonomi Daerah. Bandung Penerbit Widya Pajajaran Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah Dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi. Yogyakarta Penerbit BPFE. Mangkoesoebroto Guritno. .2010. Ekonomi Publik. Yogyakarta.Penerbit BPFE. Universitas Gajah Mada. Masyhudzulhak. 2007. Analisis Tata Niaga Perikanan Tangkap.Bogor. Penerbit Jurnal PKSPL IPB. Jurnal Pesisir Dan lautan Akreditasi No.22/Dikti/Kep.202. ISSN 14107821 Volume 8. No.1. Munasinghe, M. 2001.Analyzing The Nexus of Sustainable Development ang Climate Change: An Overview. Srilangka. Munasinghe Institut for Development (MIND). Prawirokusumo Soeharto. 2001. Ekonomi Rakyat (konsep, Kebijakan, dan Strategi).Yogyakarta. Penerbit. BPFE. Purwanti Puji. 2010. Model Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Sekala Kecil. Malang. Penerbit Universitas Brawijaya Press. Sajogyo dan Sumantoro Martowijoyo. 2005. Pemberdyaan Ekonomi rakyat Dalam Kancah Globalisasi.Bogor. Penerbit Sa!ns Tambunan Mangara. 2010. Menggagas Perubahan Pendekatan Pembangunan Mengerakan Kekuatan Lokal dalam Globalisasi. Jakarta. Penerbit Graha Ilmu Undang-Undang Otonomi Daerah. UU.NO.32 dan UU No 33 Tahun .2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta Penerbit Fokusmedia.
5. KESIMPULAN Wilayah pesisir di era otonomi, belumlah mengacu pada pembangunan berkelnajutan dan mempertimbangkan daya dukung wilayah pesisir, penguatan ekonomi lokal wiilayah pesisir terutama pengelolaan usaha mikro dan kecil masih bersifat sektoral dan belum terpadu Strategi Kebijakan yang perlu dilakukan adalah efektifitas pengaturan dan efsiensi pemanfaatan dengan cara pengelolaan yang terpadu, yang mempertimbangkan karateristik wsumberdaya wilayah pesisir dan kearipan lokal.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2009. Bengkulu Dalam Angka. Penerbit Badan Pusat Statistik Propinsi Bengkulu Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya pesisir dan lautan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan, Institut Pertanian Bogor. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Lautan. Jakarta. Cetakan Pertama PT Pradnya Paramita Cicin - Sain B, and R.W. Knecht. 1998. Intergrated Coastal And Ocean Management. Concept and Practices. Washington D.C. Island Press. Clark. R Jhon,. 1996. Coastal Zones Management Hand Book.Lewis Publishers, Boca Raton London New York Washington, D.C. Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Biodata Penulis Masyhudzulhak adalah guru besar Sistem Ekonomi Indonesia Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun Bogor
[39]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
AKUNTABILITAS KEUANGAN PARTAI POLITIK DI BANTEN Dahnil Anzar, SE, ME Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta KM.4 Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Political Actor has significant role for made parties financial statement and created accountability, based that understanding, these research used phenomenological method and observed political parties financial statement. Political parties in Banten made a financial statement as a reason for avoided from penalty, not as effort for creating transparency and accountability. The financial statement did not describes a real activities of political parties, many transaction not recorded in financial statement, it according to evidences found by auditor. Kata Kunci: partai politik, transparansi, akuntabilitas, laporan keuangan Peneliti berkeyakinan, untuk membasmi korupsi, harus dimulai dengan menciptakan proses politik yang sehat dan bersih dari politik uang. Proses politik yang sehat dan bersih ini harus dilakukan dengan pembiayaan politik yang transparan dan bertanggungjawab. Instrumen modern yang mampu membahasakan transparan dan bertanggungjawab tersebut adalah akuntansi. Namun demikian, untuk menciptakan proses politik seperti ini, Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan berat. Lemahnya pengelolaan, pertanggungjawaban, dan pengendalian pembiayaan politik merupakan persoalan utama yang dihadapi. Hal ini tercermin dengan tidak transparannya pengelolaan keuangan partai politik. Praktek-praktek tidak transparan tersebut diperparah dengan tidak memadainya laporan keuangan partai-partai politik, baik dalam laporan rutin maupun laporan kegiatan Pemilu. Tidak memadainya laporan-laporan ini selain miskinnya komitmen, juga disebabkan oleh belum adanya standar akuntansi keuangan yang komprehensif untuk partai politik. Standar yang dipakai saat ini yakni PSAK NO.45 Tentang Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba, sangat tidak mencukupi karena tidak mengakomodasi karakteristik partai. (Hafild, 2008). Namun, dibalik kekurangan tersebut partai politik tetap dituntut untuk menjaga akuntabilitasnya mengelola seluruh kegiatan partai politik dalam menghadapi kontestasi politik yakni, pemilihan umum. Penelitian yang dilakukan oleh Emmy Hafild bersama Transparancy Internasional (2008), menunjukkan partai politik di tingkat pusat sangat rendah kepatuhannya terhadap kewajiban menyajikan laporan keuangan partai politik yang baik dan benar sehingga akuntabilitas partai politik di tingkat pusat rendah, karena masyarakat tidak dapat mengakses secara luas sumber-sumber pendanaan yang digunakan oleh partai politik.
1.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakter dasar partai politik adalah meraih kekuasaan atas nama rakyat, yang diperoleh melalui Pemilu. Bila menang dalam Pemilu, partai politik akan memegang kekuasaan melalui jalur pengambil keputusan (eksekutif) dan jalur pembuat kebijakan (legislatif). Setiap keputusan yang dibuat oleh partai politik melalui kedua jalur tersebut selalu atas nama rakyat, dan berimplikasi luas terhadap kehidupan rakyat. Oleh karena itu partai politik seharusnya memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan demi rakyat yang diwakilinya, bebas dari politik uang dan pengaruh kelompok kepentingan (vested interest group). Namun, faktanya, sulit sekali melepaskan partai politik dari pengaruh kelompok kepentingan karena kehidupan partai politik justru tergantung pada sumbangan yang diterima, dan sumbangan ini selalu disertai oleh imbal jasa. Bila ini terjadi, orientasi partai politik bukan lagi kepada rakyat melainkan kepada kepentingan para donaturnya, khusus kelompok kepentingan, seperti Pengusaha. Untuk alasan inilah, dibutuhkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan sumber keuangan partai politik. Sebagai institusi publik, maka partai politik harus mempertanggungjawabkan seluruh tindakannya kepada publik, termasuk secara transparan melaporkan kepada publik sumber-sumber keuangan yang diperoleh dalam membiayai kegiatan partai politik bersangkutan. Karena, melalui transparansi pengelolaan keuangan partai politik maka publik akan mudah mengawasi dan menilai affirmasi kebijakan dan gerakan politik yang dibuat oleh partai politik. Dengan Partai politik yang tak akuntabel dan transparan, jangan pernah berharap adanya pemerintahan yang akuntabel dan transparan, yang bebas korupsi, kolusi, dan nepoteisme. Disinilah letak, urgennya revitalisasi laporan keuangan partai politik yang baik dan benar.
[40]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Otonomi daerah yang diikuti oleh proses demokratisasi di daerah menuntut menghadapi tantangan yang berat, kualitas partai politik yang buruk menghasilkan proses politik dan pembangunan di daerah yang juga rendah sehingga mempengaruhi pembangunan demokratisasi nasional. Akuntabilitas partai politik ditingkat lokal, akan mendorong akuntabilitas yang lebih baik dalam proses dan pelembagaan politik ditingkat nasional.
Partai Politik Demokrat Golkar PKS PAN PBB Patriot Sumber: Penulis
1.2 Metode Penelitian
Tabel 1 Daftar Informan Informan Keterangan SAH Gagal SAG Berhasil PM Berhasil FDH Gagal NBA Gagal JLK Gagal
Pengamatan dimasing-masing partai dan calon anggota legislatif dilakukan secara terus menerus sepanjang masa kampanye dan setelah pemungutan suara dilakukan pada tanggal 9 April 2009, dilanjutkan pengamatan sampai dengan penyusunan laporan keuangan dalam bentuk Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) oleh partai politik dan calon anggota legislatif. Terdapat 2 calon legislatif dari 2 partai dimana penyusunan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye melibatkan peneliti sebagai penyusun, sehingga peneliti lebih dalam memahami prilaku calon anggota legislatif dan Partai politik bersangkutan dalam melakukan transaksi selama proses kampanye, pemungutan suara pada tanggal 9 april 2009, sampai dengan masa tenang dan penyampaian Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) kepada KPUD Banten pada tanggal 24 april 2009, yang akan dilanjutkan proses audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang telah ditunjuk oleh KPU Pusat.
Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, adalah sebuah penelitian yang didasarkan pada fenomena, gejala, fakta, atau informasi sosial. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2006;3) yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Model penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut Julia Brannen (1992), model penelitian deskriptif yaitu suatu model yang digunakan untuk menemukan pengetahuan yang seluas-luasnya terhadap obyek penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai gejala atau keadaan yang ada pada saat penelitian dilakukan. Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana individu didalam partai politik mengelola keuangan dan melaporkannya sebagai bentuk perintah undangundang. Untuk memperkuat disain penelitian peneliti juga mengembangkan model partisipasi peneliti dalam aktivitas politik, dan penyusunan laporan keuangan untuk memahami lebih dalam praktek-praktek politik yang melibatkan indikatorindikator keuangan dalam kegiatannya. Penelitian dilakukan sepanjang bulan Januari sampai dengan April 2009.
2.1 Laporan Keuangan dan Akuntabilitas Berangkat dari Peraturan dan Undang-undang yang berlaku serta merujuk pada kondisi obyektif pengelolaan keuangan partai politik. Partai Politik secara institusional tidak melibatkan instrumen modern yakni akuntansi secara baik dan benar demikian pula dengan calon anggota legislatif. Dari enam partai politik yang diamati, 5 dari 6 partai politik sumber keuangannya berasal dari pengurus partai politik yang telah menjadi anggota legislatif di tingkat propinsi di Banten atau berasal dari Gubernur, Bupati dan Walikota yang dicalonkan oleh partai politik bersangkutan, hanya satu partai politik yang mengaku mendapatkan sebagian sumber keuangannya dari iuran anggota yang besarannya tidak sebanding dengan besaran dana yang diperoleh dari anggota legislatif di tingkat propinsi, dari 6 informan calon anggota legislatif yang diwawancara dan diamati. Semuanya menyatakan bahwa sumber dana kampanye yang mereka gunakan berasal dari dana pribadi, sumbangan rekan kerja dan keluarga serta pinjaman. Informan SAH, SAG, PM, FDH, NBA dan JKL menyatakan bahwa sumber dana kampanye mereka peroleh dari dana pribadi, dan sumbangan rekan kerja dan keluarga. Sedangkan
2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan pada bagian ini meliputi hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti sepanjang bulan Januari sampai April 2009. Proses pemungutan suara dilakukan pada tanggal 9 April 2009, sedangkan proses kampanye telah dilakukan partai politik baik secara terbuka maupun tertutup sejak bulan Januari 2009, seluruh kegiatan kampanye melibatkan transaksi keuangan baik melalui partai politik maupun langsung oleh calon anggota legislatif. Pengamatan dilakukan terhadap kecenderungan prilaku partai politik dan para calon anggota legislatif dalam mengelola keuangannya untuk membiayai kegiatan kampanye menarik simpati dari calon pemilih. Berikut partai yang diamati secara langsung:
[41]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
FDH mengaku selain berasal dari dana pribadi dan sumbangan rekan kerja dan keluarga, sumber dana kampanyenya juga berasal dari pinjaman kepada orang lain dengan menjaminkan tanah yang dimilikinya. Berangkat dari sumber keuangan yang diperoleh oleh para calon anggota legislatif ini, yang didasari oleh pemikiran bahwa dana yang mereka gunakan untuk kepentingan kampanye adalah uang mereka sendiri dan sumbangan beberapa rekan yang sangat dekat dengan mereka dan bersedia membantu tanpa perlu ada pengganti dan pertanggungjawaban. Latarbelakang asal sumber dana kampanye ini menyebabkan informan merasa tidak perlu membuat laporan keuangan untuk mempertanggungjawabkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada publik. Seperti diungkapkan informan NBA ” Uanguang saya, digunakan untuk masyarakat malah, untuk sumbang masjid, kegiatan sosial, dan banyak lagi uang saya yang dinikmati oleh masyarakat, kok disuruh lapor”. Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh informan lainnya. Seluruh calon anggota legislatif yang menjadi informan dalam penelitian ini merasa bahwa tidak ada kewajiban moral bagi mereka untuk melaporkan kepada publik seluruh penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang telah mereka peroleh dan pergunakan selama masa kampanye dan pada saat pemungutan suara, karena dana yang mereka peroleh berasal dari dana pribadi dan pihak ketiga yang tidak meminta laporan atas dana yang diterima dan digunakan oleh mereka. Kalau pun pada akhirnya mereka harus menyusun Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LKPPD), hal itu bukan didasari oleh keinginan untuk mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan partai politik tetapi lebih karena tuntutan dari pimpinan partai politik ditingkat atas agar semua calon anggota legislatif membuat laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, dan perintah menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye tersebut selalu diikuti dengan sanksi oleh partai politik apabila tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Partai politik mendesak calon anggota legislaif untuk membuat laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LKPPD) didasari oleh desakan UndangUndang NO.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPD, DPR, dan DPRD. Berdasarkan Undang-Undang tersebut pasal 138 ayat 1 dan 3. Partai politik menanggung risiko tidak diikut sertakan dalam pemilihan umum apabila tidak segera menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sampai batas waktu yang telah diatur yakni seminggu atau tujuh hari sebelum hari pertama jadwal kampanye dalam bentuk rapat umum. Sanksi ini efektif mendorong partai politik
menyampaikan laporan awal dana kampanyenya ke KPU, KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Hasil wawancara dengan ketua Pokja Dana Kampanye KPUD Propinsi Banten saudara Didih, ditemukan bahwa semua partai politik menyampaikan laporan awal dana kampanye dan rekening khusus dana kampanye kepada KPUD Propinsi Banten, walaupun penyampaian laporannya disampaikan pada batas akhir seperti yang telah ditetap di Undang-Undang, yakni sebelum tujuh hari menjelang kampanye terbuka. Berkaitan dengan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) yang wajib disampaikan oleh partai politik di tingkat propinsi Banten, sanksi yang diatur dalam pasal 138 ayat 3 efektif memaksa partai politik untuk menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) tepat pada waktunya yakni harus sudah diterima paling lambat pada tanggal 24 april 2009. berdasarkan dokumen audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dan wawancara dengan ketua Pokja Dana Kampanye KPUD Propinsi Banten saudara Didih, semua partai tingkat propinsi peserta pemilu di Banten menyampaikan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan melalui peraturan KPU NO.1 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota serta Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2009, yakni batas akhir harus sudah diterima pada tanggal 24 April 2009 atau 15 hari setelah pemungutan suara. Berdasarkan wawancara dengan ketua, salah satu partai, saudara NBA ditemukan bahwa sanksi yang diberikan dalam Undang-Undang NO.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum membuat pengurus partai terpaksa menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye tepat pada waktunya, semua calon anggota legislatif diinstruksi untuk membuat laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye masing-masing yang kemudian dikonsolidasikan/digabungkan menjadi laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, ditambah dengan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye secara institusional, yang juga akan dikonsolidasikan dengan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye partai politik ditingkat kabupaten dan kota. Menurut SAH, SAG, PM, FDH, NBA dan JKL laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye mereka susun karena takut apabila terpilih nanti dan belum menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK), keterpilihan mereka dapat dianulir oleh KPUD Propinsi Banten. Berdasarkan pengamatan dan peneliti menjadi bagian langsung proses penyusunan [42]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) 2 dari 6 partai politik yang diamati. 2 partai politik tersebut menyusun, Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye masing-masing 4 dan 2 hari sebelum batas akhir laporan disampaikan kepada KPUD Propinsi Banten. Dalam proses penyusunan laporan penerimaan dan pengeluarannya dana kampanye, akuntan tidak memperoleh data yang akurat tentang transaksi yang telah dilakukan, sebagian besar transaksi tidak memiliki bukti berupa kwitansi atau bukti lainnya yang dapat dipercaya, akuntan hanyan menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye berdasarkan informasi Lisan calon anggota legislatif, yang disertai dengan catatancatatan kecil penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan selama masa kampanye, sedangkan untuk menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) Tingkat propinsi akuntan hanya menyusun didasari oleh dokumen laporan yang disampaikan oleh para calon anggota legislatif tingkat propinsi dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Kabupaten/Kota yang tidak disertai dengan bukti transaksi yang memadai. Daftar penyumbang tidak jelas, karena tidak disertai dengan bukti sumbangan berupa kwitansi dan KTP maupun alamat penyumbang. Berdasar pengamatan langsung dan keterlibatan langsung pada proses penyusunan laporan keuangan khususnya di 2 partai dari 6 partai yang diamati, tergambar jelas bahwa alasan menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) bukan karena adanya komitmen akan akuntabilitas dan transparansi, hal ini dibuktikan dengan tidak tertibnya dari awal proses pengelolaan keuangan oleh partai politik dan para calon anggota legislatif di propinsi banten penyusunan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye hanya sebagai usaha untuk menggugurkan kewajiban yang diperintahkan undang-undang, karena tingkat validitas dan kebenaran laporan tersebut tidak menjadi syarat mutlak, undang-undang hanya mengatur sanksi apabila tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, tidak memberikan sanksi secara tegas apabila laporan yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak layak berdasarkan audit yang dilakukan Kantor Akuntan Publik (KAP), celah ini yang berdasarkan wawancara dan pengamatan langsung yang dilakukan, dimamfaatkan informan dan partai politik yang diteliti untuk tidak melakukan pengelolaan laporan keuangan secara layak sejak awal.
bentuk dan menghindari penafsiran yang berbeda dari laporan keuangan yang disajikan. Standar yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan dana kampanye partai politik pada pemilu tahun 2009 yakni Peraturan KPU NO.1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Partai Politik Peserta Pemilihan Umum. Standar ini disusun bersama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, Konsepsi transparansi, akuntabilitas, sederhana dan praktis, serta mengedepankan sistem pengendalian intern yang memadai bagi peserta pemilu. Seperti diungkap dalam pedoman tersebut, bahwa Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta Calon Anggota DPD ini hanya merupakan satu petunjuk dalam penyusunan laporan dana kampanye, sehingga dalam pelaksanaannya menuntut adanya kesadaran dari para peserta Pemilu untuk dapat menyampaikan seluruh aktivitas kampanyenya dalam format yang sudah disediakan sehingga transparansi dan akuntabilitas yang diharapkan undang-undang dapat terpenuhi. Dengan adanya pelaporan dana kampanye yang baik maka masyarakat dapat menilai tanggungjawab dan keinginan peserta pemilu menjunjung azas transparansi sehingga memberikan kepercayaan atas penggunaan dan pengelolaan dana masyarakat oleh peserta pemilu. Berdasarkan penelitian terhadap dokumen Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Partai politik yang diserahkan oleh 38 partai politik tingkat propinsi kepada KPUD propinsi Banten yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) ditemukan bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP) hanya melaksanakan audit terhadap prosedur yang disepakati dalam peraturan KPU NO.1 Tahun 2009, Auditor tidak melakukan perikatan prosedur yang disepakati berdasarkan standar auditing yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Kecukupan dari prosedur yang disepakati tersebut merupakan tanggungjawab KPU. Sebagai konsekuensinya, auditor tidak memberikan representasi tentang kecukupan prosedur yang disepakati dengan kata lain, auditor tidak ditugasi dan tidak melakukan perikatan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan IAPI dengan tujuan untuk menyatakan pendapat atas laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) Partai Politik di Propinsi Banten. Berdasarka penelitian terhadap 38 dokumen Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) partai politik di propinsi Banten yang diserahkan kepada KPUD Propinsi Banten. Ditemukan bahwa semua partai politik berdasarkan format mengikuti format pelaporan yang disyaratkan dalam peraturan KPU NO.1 Tahun 2008. Namun, essensi Akuntabilitas dan
2.2 Standar Laporan Keuangan Dalam penyusunan laporan keuangan dibutuhkan standar baku untuk menyeragamkan [43]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
transparansinya tidak dapat dipertanggungjawabkan kesimpulan ini muncul dari ketidak taatan sebagian besar partai politik terhadap indikator-indokator yang disepakati melalui peraturan KPU tersebut, berikut yang menjadi temuan dalam audit yang dilakukan oleh kantor akuntan publik (KAP): Tabel 2 Temuan Auditor NO
INDIKATOR
Ref.
TEMUAN
1
Transaksi via rek. khusus
2
Akurasi Matematis
Pasal 129 ayat 6 UU NO. 10 Tahun 2008 Pasal 281 UU NO.10 Tahun 2008
3
Identitas Lengkap Penyumbang
Partai politik tidak memiliki bukti bank keluar untuk aktivitas pengeluaran 90% penggunaan dana kampanye melalui transaksi tunai dan tidak memiliki bukti transaksi Bukti identitas penyumbang tidak ada, sehingga tak bisa dikonfirmasi, tdk melampirkan bukti rekening koran
4
Daftar Aktivitas/Pengelu aran Dana Kampanye atau Buku Pembantu
5
Kelengkapan LPPDK
Pasal 132 ayat 5 UU NO.10 Tahun 2008, Pasal 11 ayat 3 dan Peratura n KPU NO.1 Tahun 2009 Lampir an Peratura n KPU NO.1 Tahun 2009 Peratura n KPU NO.1 Tahun 2009
JUMLAH PARTAI 6 Taat 32 Tidak Taat
7 Taat 31 Tidak Taat
7 Taat 31 Tidak Taat
Tidak ada lampiran Laporan Aktifitas
8 Taat 30 Tidak Taat
Parpol hanya melaporkan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye saja. Sehingga tidak bisa diuji kelengkapann ya
8 Taat 30 Tidak Taat
Sumber: diaolah dari hasil audit, Kantor Akuntan Publik, (2009)
[44]
2.3 Konsepsi Laporan Keuangan Partai Politik Partai politik melalui calon anggota legislatif dan pengurus partai politik selalu memamfaatkan kelemahan Undang-Undang untuk menghindarkan partai politik dari praktek-praktek yang transparan dan akuntabel. Sanksi administrasi dan pembatalan keterpilihan calon anggota legislatif ternyata efektif mendorong partai politik dan calon anggota legislatif untuk menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) yang diamanatkan dalam Undang-Undang NO.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu dan UndangUndang NO.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Namun, sanksi dalam kedua undang-undang tersebut tidak secara tegas menjelaskan bahwa laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang disusun harus benar dan layak secara akuntansi. Sehingga, partai politik dan calon anggota legislatif hanya menyusun laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye seadanya dan mengabaikan kebenaran dan kelayakan laporan tersebut secara akuntansi, hal ini dilakukan karena tidak adanya sanksi yang diberikan apabila laporan disampaikan secara tidak benar dan layak. Oleh sebab itu, idealnya sebelum membenahi standarisasi laporan keuangan partai politik publik membutuhkan good will dari DPR dan Presiden untuk mengamandemen kedua Undang-undang tersebut, terutama berkaitan dengan sanksi terhadap penyampaian laporan keuangan yang tidak benar dan layak berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi. Sehingga dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas yang tinggi pada entitas akuntansi partai politik. Partai Politik adalah entitas akuntansi yang masuk pada domain lembaga publik. Layaknya lembaga-lembaga publik lainnya di Indonesia maka partai politik disyaratkan untuk membuat laporan keuangan secara periodik yakni setahun sekali dan diaudit oleh auditor negara seperti BPK atau Kantor Akuntan Publik (KAP), tidak hanya pada saat kampanye menjelang pemilu, karena aktifitas partai politik tidak hanya berkaitan dengan kampanye namun aktifitas politik lainnya yang berhubungan dengan publik sepanjang tahun. Pedoman Penyusunan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran dana kampanye yang dimuat di Peraturan KPU NO.1 Tahun 2009, yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) harus direvisi, idealnya standar akuntansi khusus partai politik disusun oleh IAI dan dapat digunakan dalam jangka panjang tidak temporer seperti pada saat ini. Setidak-tidaknya laporan keuangan partai politik terbagi dua yakni laporan keuangan yang disampaikan secara periodik yakni setahun sekali dan laporan keuangan yang disajikan secara khusus pada saat kampanye atau disebut sebagai laporan keuangan kampanye. Sekurang-kurangnya memuat: 1. Neraca
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
2.
Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana/Aktivitas 3. Laporan Arus Kas 4. Laporan Perubahan Aktiva 5. Catatan Atas Laporan Keuangan Dengan demikian muncul tuntutan profesionalisme yang disertai dengan transparansi dan akuntabiltas pada pengelolaan partai politik di Indonesia, karena partai politik tidak lagi dapat bermain-main dengan pengelolaan keuangannya. Tuntutan pelaporan keuangan yang layak dan benar serta harus disampaikan setiap tahunnya, lengkap dengan sanksi yang tegas apabila tidak menyampaikan laporan dengan benar dan layak secara akuntansi akan mendorong partai politik menjadi lebih transparan dan akuntabel.
pengelolaan laporan keuangannya. Partai Politik harus menyiapkan staf khusus yang mengurusi pengelolaan akuntansi partai politik, partai politik dan calon anggota legislatif harus distimulus untuk menjadi lebih transparan dan akuntabel melalui pengetatan peraturan perundang-undangan melalui sanksi-sanksi yang lebih tegas. 2. Perlu dilakukan perluasan terhadap auditor dan tugas audit, yang memeriksa laporan keuangan partai politik bisa dilakukan oleh BPK, dan Kantor Akuntan Publik (KAP) karena partai politik adalah lembaga publik. Selain itu, harus diberikan kewajiban dan hak untuk melakukan perikatan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sehingga auditor berhak menyampaikan pendapatnya atas laporan keuangan yang disajikan partai politik, serta prosedurprosedur lainnya yang dapat mengetahui lebih dalam tentang laporan keuangan yang disajikan partai politik. 3. DPR dan Presiden harus didorong untuk melakukan amandemen terhadap UndangUndang NO.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan Undang-Undang NO.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dan Kota serta Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2009. khususnya yang berkenaan tentang sanksi bagi partai politik yang tidak menyampaikan laporan keuangan secara baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang telah disepakati, dan partai politik wajib menyampaikan laporan keuangannya secara periodik yakni setahun sekali. IAI perlu mendorong pemerintah untuk menyusun standar akuntansi khusus partai politik, setidaknya laporan keuangan partai politik dibagi menjadi dua bagian yakni laporan keuangan partai politik yang disampaikan secara periodik yakni setahun sekali dan laporan keuangan khusus dana kampanye, yang disampaikan pada saat pelaksanaan pemilihan umum partai politik. Sekurangkurangnya laporan keuangan partai politik terdiri dari Neraca, Laporan Penerimaan dan Pengeluaran/Aktivitas, Laporan Arus Kas, Laporan perubahan aktiva dan Catatan atas laporan keuangan.
3. SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan 1. Argumentasi menyusun laporan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) bukan karena adanya komitmen akan akuntabilitas dan transparansi, hal ini dibuktikan dengan tidak tertibnya dari awal proses pengelolaan keuangan oleh partai politik dan para calon anggota legislatif di propinsi banten penyusunan laporan keuangan. 2. Partai Politik di Banten tidak mematuhi aturan dan kelayakan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) dan berdasarkan pengamatan fenamenalogis terhadap proses penyusunan laporan keuangan partai politik yang dilakukan oleh calon anggota legislatif dan Partai Politik di Banten, maka dapat disimpulkan bahwa Partai Politik di propinsi banten memiliki akuntabiltas keuangan yang sangat rendah 3.
Undang-Undang NO.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan Undang-Undang NO.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dan Kota serta Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2009 tidak memberikan sanksi tegas terhadap laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) yang disusun secara tidak benar dan tidak layak berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku, sehingga memunculkan Moral Hazard. 3.2 Saran 1. Partai Politik harus didorong untuk berprilaku profesional untuk menciptakan transparansi dan akuntabel dalam
PUSTAKA
Alatas, SyedHussein. (1999). Corruption and the Destiny of Asia. Malaysia: [45]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Prentice Hall (M) Sdn. Bhd. And Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd. Hafidl, Emmy.(2008). Kajian Standar Akuntansi Keuangan Khusus Partai Politik. Transparancy Internasional. Jakarta. Ikatan Akuntan Indonesia. (1998). Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba PSAK No. 45 Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia. Indonesia Corruption Watch.(2001). Mekanisme Keuangan Partai Politik dan Implikasinya Terhadap Proses Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Indonesia Corruption Watch. Laporan Hasil Riset. Lubis, Mochtar dan James C. Scott. (1993). Korupsi Politik. Yayasan Obor. Jakarta. Mardiasmo.(2005). Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta. Prasetyono dan Nurul.(2008). Analisis Kinerja Rumah Sakit Daerah Berdasarkan Budaya Organisasi , Komitmen Organisasi dan Akuntabilitas Publik. Simposium Nasional Akuntansi. Pontianak. Sorauf, Frank.(2000). Money, Power, Responsibility. University of Minnesota. Paper. Sekretariat Negara. (2008). UndangUndang NO.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Sekretariat Negara. (2008). UndangUndang NO.10 Tahun (2008) Tentang Pemilu. Tangkilisan, Hessel Nogi. 2005. Manajemen Publik. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Biodata Penulis Dahnil Anzar adalah Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,, lahir di Aceh Timur 10 April. Pengampu mata kuliah, Akuntansi Sektor Publik dan Akuntansi Pemerintah, dengan ketertarikan kajian dan penelitian keuangan publik. Magister Ekonomi diperoleh dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik.
[46]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
URGENSI PUBLIC SERVICE MOTIVATION DALAM MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA Syamsir Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang Jl. Prof. Hamka, Air Tawar Padang E-mail:
[email protected] Muhamad Ali Embi Fakulti Kerajaan, Undang-undang, dan Pengajian Antarabangsa, Universiti Utara Malaysia Kampus UUM, Sintok, Kedah-Darul Aman E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pada hakikatnya PNS adalah orang-orang pilihan dan pengemban tugas dan tanggungjawab untuk memberikan pelayanan publik yang prima kepada semua warga negara. Namun dalam kenyataannya banyak indikasi bahwa sebahagian besar PNS tidak mampu memberikan pelayanan yang prima tersebut kepada warga negara secara optimal. Diasumsikan bahwa hal ini antara lain erat kaitannya dengan motivasi yang rendah/buruk untuk memberikan pelayanan publik pada saat mereka direkrut dan diseleksi menjadi PNS bahkan setelah menjadi PNS. Makalah ini mencoba untuk mendiskusikan persoalan ini berdasarkan perspektif teori Public Service Motivation dalam konteks PNS di Indonesia dan memberikan alternatif untuk mengatasi masalah “penyakit” PNS tersebut di atas dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang prima di kalangan PNS pada masa yang akan datang. Uraian dalam makalah ini dibuat berdasarkan studi literature dan analisis berbagai hasil kajian para peneliti pada berbagai instansi pemerintah di Barat. Public Service Motivation (PSM) sering didefinisikan sebagai kecenderungan seorang individu dalam merespons motiv yang biasanya terdapat dan menjadi ciri khas lembaga dan organisasi publik. Teori PSM bisa memainkan peranan penting, secara teori dan praktis, dalam manajemen pelayanan publik. Teori ini mengesankan bahwa pekerjaan publik seharusnya dipandang sebagai pemenuhan panggilan jiwa dan tidak hanya sekedar melakukan pekerjaan semata-mata. Kata Kunci: Pegawai Negeri Sipil, Motivasi Pelayanan Publik, Kualitas Pelayanan Publik, Pelayanan Prima (angkatan kerja) Indonesia menurut Andi Hamzah (1990) antara lain adalah keinginan bekerja instansiinstansi publik, sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan enggan bekerja di sektor produktif, seperti sektor swasta atau wiraswasta. Keinginan bekerja di instansi-instansi publik (PNS) ini sebenarnya tidaklah jelek. Hanya saja yang menjadi persoalan sekarang adalah bahawa kebanyakan orang menjadi pegawai publik (PNS) di Indonesia lebih sering dilandasi oleh orientasi dan mentalitas yang tidak benar – hanya sekedar ingin hidup senang, dalam artian bisa kerja ringan dan santai tapi mendapatkan gaji rutin, tunjangan, pensiunan, dan fasilitas lainnya secara gratis. Menurut Fanani (2005), tingginya angka pengangguran di Indonesia antara lain juga disebabkan oleh persoalan mentalitas kerja yang kurang baik dari para angkatan kerja. Sebagian rakyat Indonesia, terutama yang termasuk angkatan kerja, tidak memiliki mentalitas usahawan dan sering terbuai oleh mitos "enaknya menjadi PNS". Kebanyakan mereka lebih suka menggantungkan nasib kepada pemerintah dan enggan bekerja secara mandiri. Profesi PNS sering dipandang sebagai sesuatu yang akan mampu menaikkan prestise
1. PENDAHULUAN Dalam pasal pasal 27 ayat 2 UUD RI 1945 telah dimanatkan bahawa ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ini berarti bahwa setiap warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan dan keinginan bekerja memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan keinginannya itu serta memperoleh imbalan atau ganjaran yang layak bagi kehidupannya. Setiap warga negara Indonesia dapat menentukan sendiri pekerjaan apapun yang diinginkannya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Salah satu pekerjaan yang menjadi sasaran dan keinginan warga negara itu adalah pekerjaan sebagai PNS. Namun pekerjaan sebagai PNS bukanlah pekerjaan yang ringan untuk diemban. Ia merupakan pekerjaan yang penuh tantangan, tugas yang penuh tangungjawab kepada masyarakat dan negara, serta tidak bisa dilakukan dengan setengah hati. Artinya orang-orang yang memiliki mentalitas kerja yang rendah atau buruk sebaiknya tidak usah bercita-cita menjadi PNS. Salah satu mentalitas kerja yang kurang baik dan masih menggejala di kalangan masyarakat [47]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
mereka dibandingkan dengan profesi lainnya. Sehingga selama ini terlihat bahwa motivasi untuk menjadi PNS di kalangan masyarakat Indonesia sangat tinggi. Dari tahun ke tahun selalu terjadi peningkatan jumlah pelamar yang signifikan dalam memperebutkan peluang untuk menjadi PNS. Selain persoalan mentalitas kerja yang kurang baik, persoalan lain yang juga menggejala di kalangan para pekerja di Indonesia, terutama PNS, adalah persoalan rendahnya kualitas pelayanan publik oleh PNS. Persoalan rendahnya kualitas pelayanan publik ini antara lain diduga ada hubungannya dengan persoalan rendahnya motivasi pelayanan publik (public service motivation) di kalangan PNS yang sudah barang tentu berkorelasi pula dengan motivasi yang mereka miliki pada saat mereka melamar atau direkrut dan diseleksi menjadi PNS. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk mengupas berbagai persoalan yang menyangkut tentang ”motivasi pelayanan publik (public service motivation) dan urgensinya dalam rekrutmen dan seleksi CPNS”. Hal ini antara lain dimaksudkan untuk memberikan salah satu alternatif dalam rangka peningkatan kualitas pelayan publik yang prima di kalangan PNS, terutama dalam rangka menunjang best practice dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia, sebagaimana tema dalam simposium nasional ini.
formalistik. Prosedur birokrasi yang terlalu berbelitbelit dan kadang-kadang menjengkelkan masyarakat masih sering terlihat di berbagai instansi. Penilaian tentang rendahnya kualitas kinerja birokrasi publik di Indonesia pernah diberikan oleh World Economic Forum (WEF) dan International Institute for Management. Berdasarkan laporan yang dimuat dalam World Competitiveness Report 1995 terlihat bahwa kualitas pelayanan publik di Indonesia menempati peringkat ke 31 dari 38 negara yang disurvei. Peringkat kualitas pelayanan publik Indonesia yang rendah itu menurut Pusat Data Bisnis Indonesia disebabkan oleh besarnya jumlah pegawai tanpa diimbangi oleh profesionalisme yang memadai (Effendi, 1996). Rendah dan buruknya kualitas pelayanan publik di Indonesia juga pernah diungkapkan oleh hasil penelitian mengenai ranking negara-negara Asia dalam implementasi good governance yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy) dan Price Water House Cooper pada tahun 2001. Menurut penelitian itu birokrasi di Indonesia dinilai termasuk yang terburuk dan belum mengalami perbaikan yang berarti dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1999 awal mulanya reformasi birokrasi dicanangkan di Indonesia. Menurut penelitian itu Indonesia berada pada ranking ke-89 dari 91 negara yang disurvei dalam kategori korupsi dan birokrasi. Sementara dari sisi daya saing (competitiveness), Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang disurvei (Mustopadidjaja, 2006; Soebhan, 2006). Disamping itu menurut Siagian (1994), rendahnya kualitas pelayanan publik dari aparat birokrasi di Indonesia antara lain disebabkan oleh merajalelanya spoil system dalam penerimaan, pengangkatan, penempatan, dan promosi pegawai. Rendah dan buruknya kualitas pelayanan publik di Indonesia juga dikemukakan oleh Sutopo & Adi Suryanto (2003). Menurut mereka, implementasi pelayanan prima dalam pelayanan publik di Indonesia mengalami berbagai masalah. Masalah tersebut antara lain sulitnya merubah kondisi dan mental aparatur yang sudah sedemikian lama kurang memposisikan dirinya sebagai pelayan publik, tetapi lebih merasa sebagai kelompok elit masyarakat yang memainkan peran memerintah. Dalam hal ini muncul anggapan bahwa mereka harus dilayani daripada melayani. Kondisi ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Miftah Thoha (2006) bahwa para pemimpin atau birokrat di Indonesia lebih menyenangi kekuasaan daripada melayani dan memperhatikan kepentingan rakyatnya. Masalah yang sering muncul adalah sikap aparatur yang kurang memiliki komitmen terhadap pelayanan kepada masyarakat dan lebih mementingkan pelayanan kepada atasan yang mungkin saja berbeda dengan kebutuhan masyarakat. Keadaan seperti ini diakui pula oleh Menteri Negara Pendayagunaan
2. PERMASALAHAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI KALANGAN PNS (BIROKRASI) DI INDONESIA Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di kalangan PNS atau birokrasi di Indonesia selama ini sudah sangat sering dilakukan. Namun sayangnya upaya perbaikan kualitas pelayanan publik tersebut tampaknya belum mengalami perubahan dan peningkatan yang begitu berarti, baik perbaikan terhadap inefektifitas dan maupun inefisiensi administrasi. Menurut Abdul Wahab (1999), pada kebanyakan kasus di sektor pemerintahan, karakter pelayanannya cenderung terlalu birokratik dan bersifat monopolistik. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik aparatur birokrasi yang baik, yang memenuhi kriteria responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas, belum terlaksana secara optimal. Padahal tugas utama dari pemerintah (aparat birokrasi) bagi rakyatnya adalah memberikan pelayanan yang prima dalam rangka memenuhi keperluan yang diinginkan oleh masyarakat (Sutopo & Suryanto, 2003). Di satu sisi, kualitas pelayanan publik dari aparatur birokrasi pemerintahan (PNS), baik di pusat ataupun di daerah, akhir-akhir ini memang terlihat jauh lebih baik bila dibandingkan dengan keadaan beberapa dekade yang lalu. Namun pada sisi lain di kalangan pemerintah, terutama pemerintah daerah, masih terlihat para aparat birokrasi yang bersikap [48]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Aparatur Negara yang menyatakan bahawa 55 persen dari total jumlah PNS di Indonesia mempunyai prestasi kerja yang buruk dan berkualitas rendah (Harian Kompas, 12 Januari 2007). Gelombang reformasi yang terjadi dalam pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1998 sebenarnya telah memberikan harapan baru bagi bangsa Indonesia untuk menata sistem birokrasi pemerintahan yang lebih baik. Berbagai harapan dan tuntutan dari masyarakat akan terwujudnya kinerja yang baik dan bermutu dari para aparatur pemerintahan semakin meningkat dan muncul di mana-mana. Kondisi ini tentunya harus menjadi perhatian serius dari pemerintah. Aparatur pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, seharusnya bersikap bijaksana dengan melakukan berbagai perubahan, reorganisasi struktur, dan perbaikan kualitas pelayanan publik dan produktivitas kinerja para aparatur pemerintah (pegawai), termasuk dalam hal sistem perencanaan kepegawaian atau sistem rekrutmen dan seleksi pegawai baru. Namun dalam kenyataannya peluang reformasi tersebut ternyata tidak digunakan oleh pemerintah Indonesia secara optimal untuk memperbaiki citra dan paras birokrasi di Indonesia. Ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai, dan regulasi kepegawaian negara telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik yang prima kelihatannya semakin jauh dari harapan masyarakat.
Crewson (1997). Perry dan Wise mendefinisikan PSM sebagai kecenderungan seseorang individu merespons motif yang secara unik dan biasanya terdapat dalam intistusi-institusi publik. Perry dan Wise telah melakukan beberapa penelitian terhadap para pekerja sektor publik dan para pekerja sukarela (volunteers) di Amerika Serikat. Motivasi itu berkenaan dengan empat dimensi, iaitu: 1) ketertarikan terhadap pembuatan kebijakan publik (attraction to public policy making), 2) tanggung jawab terhadap kepentingan publik dan kewajiban sebagai warga negara (commitment to public interest and civic duty), 3) perasaan keharuan atau kasihan (compassion), dan 4) sikap pengorbanan diri (selfsacrifice) (Perry dan Wise, 1990). Keempat dimensi inilah yang pada umumnya terdapat di kalangan para pegawai di berbagai institusi sektor publik. Sedangkan Crewson mengemukakan bahwa PSM adalah orientasi pelayanan seseorang individu – minus orientasi ekonomis – supaya berguna bagi masyarakat, orientasi untuk menolong orang lain, dan semangat untuk memperoleh prestasi yang bersifat intrinsik atau yang berorientasi pelayanan (service orientation). Dimensi pertama menurut Perry dan Wise erat kaitannya dengan motivasi untuk mencapai prestasi yang memungkinkan seseorang individu memperoleh kepuasan batin/pribadi. Dimensi kedua erat kaitannya dengan motif atau keinginan untuk melayani kepentingan publik yang dapat berupa kepentingan individu dalam program atau pelayanan publik tertentu disebabkan adanya pendirian atau keyakinan yang tulus dan kasih sayang terhadap kepentingan sosial. Sikap kasih sayang tersebut juga erat kaitannya dengan dimensi ketiga, yaitu compassion. Motif ini dicirikan oleh adanya keinginan untuk menolong orang lain. Artinya, motif ini mencakupi sifat mementingkan kepentingan orang lain (altruism), sikap ikut merasakan perasaan orang lain (empathy), keyakinan moral (moral conviction), dan keinginan-keinginan prosocial lainnya. Sementara dimensi keempat, yaitu self-sacrifice, mencakupi sikap kecintaan pada tanah air (patriotism), tanggung jawab kepada tugas (duty), dan kesetiaan (loyalty) kepada negara. Pendapat ini juga didukung oleh Brewer et.al. (2000) yang mengungkapkan bahwa sebagian individu memiliki norma dan emosi yang kuat untuk mengabdi pada sektor publik Motivasi atau etika pelayanan publik ini dipandang dapat menarik individu-individu tertentu untuk mengabdi di sektor publik dan membantu mewujudkan perilaku kerja (work behavior) yang konsisten dengan kepentingan publik. Sementara menurut Rainey (1997), selama lebih dari tiga dekade yang lalu beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa para pegawai di sektor publik menempatkan penilaian lebih rendah terhadap ganjaran keuangan dan menempatkan penilaian lebih tinggi terhadap sifat altruistic atau motif yang berkenaan dengan pelayanan publik.
3. MOTIVASI PELAYANAN PUBLIK DI KALANGAN BIROKRASI (PNS) DALAM PERSPEKTIF TEORI PUBLIC SERVICE MOTIVATION (PSM) Permasalahan motivasi pelayanan publik dalam pelaksanaan pelayanan oleh birokrasi (PNS) sangatlah penting dipahami dan diperhatikan karena ia sangat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan tugas seorang pegawai. Motivasi dalam pekerjaan pelayanan pegawai publik ini telah sering menjadi perhatian banyak peneliti karena ia berhubungan sangat erat dengan prestasi kerja seseorang atau organisasi dalam mencapai berbagai tujuannya. Permasalahan motivasi pelayanan publik (Public Service Motivation) ini telah sering menjadi topik kajian para peneliti di Barat dalam upaya mencari dan memahami konsep ideal bagi pelayanan publik dan dalam rangka pengembangan ilmu administrasi dan manajemen publik. Walaupun tidak ada kesepakatan mengenai definisi Public Service Motivation (PSM) di kalangan para peneliti, namun untuk kepentingan pembahasan makalah ini patut diperhatikan definisi yang dikemukakan oleh Perry dan Wise (1990) dan [49]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Di sisi lain, Crewson (1997) menemukan bahwa para pegawai di sektor publik meletakkan nilai yang lebih tinggi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dibandingkan para pegawai di sektor swasta. Sementara Lewis dan Alonso (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapatnya hubungan yang positif antara motivasi pelayanan publik dan kinerja (performance) pegawai. Pendapat ini juga didukung oleh Houston (2000) yang menyatakan bahawa para pegawai di sektor publik memberikan penilaian yang lebih tinggi terhadap ganjaran kerja yang bersifat instrinsik dibandingkan ganjaran yang bersifat ekstrinsik. Hal ini berarti bahwa para pegawai pada organisasi-organisasi publik (pemerintahan) nampaknya lebih termotivasi oleh kepedulian kepada masyarakat dan keinginan untuk memberikan pelayanan untuk kepentingan publik. Berdasarkan beberapa teori dan hasil penelitian di atas dapat dipahami bahwa seyogyanya motivasi yang seharusnya terdapat di kalangan para pegawai publik atau PNS adalah motivasi yang lebih mementingkan kepentingan untuk mengabdi kepada kepentingan publik atau motivasi yang berifat intrinsik, dan bukannya motivasi yang mengarah kepada perilaku yang bertentangan dengan kebutuhan dan kepentingan publik. Seorang PNS seharusnya selalu meletakkan kepentingan publik jauh berada di atas kepentingan pribadi dan seharusnya berperilaku sebagai pelayan dan bukannya minta dilayani oleh publik, sebagaimana yang lebih sering terkesan dan banyak terjadi selama ini di kalangan para birokrasi (PNS) di Indonesia. Pada bagian lain dalam kajiannya Perry dan Wise (1990) menemukan bahwa tingkat dan tipe motivasi pelayanan publik di kalangan pegawai sektor publik memiliki hubungan yang signifikan terhadap pilihan pekerjaan (job choice) dan prestasi kerja (job performance) seorang pegawai publik, serta terhadap efektifitas organisasi dalam mencapai tujuannya. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat PSM seorang individu maka akan semakin tinggi pula keinginannya untuk memilih pekerjaan (bekerja) pada organisasi sektor publik. Selain itu, seseorang individu yang memiliki tingkat PSM yang tinggi akan menunjukkan prestasi kerja yang berarti dalam berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan keadilan sosial, kesetiaan kepada negara, dan program sosial kemasyarakatan. Selanjutnya keduanya juga menemukan bahwa organisasi-organisasi publik yang merekrut para pegawai yang memiliki tingkat PSM yang tinggi tidaklah terlalu tergantung kepada sistem insentif atau ganjaran keuangan untuk mendorong dan mengelola para pegawainya dalam mencapai prestasi kerja dan keberhasialan organisasinya. Dalam penelitian lainnya Perry (2000) mengemukakan bahawa pendorong utama bagi seseorang untuk bekerja pada sektor publik adalah karena adanya berbagai kepentingan yang menarik perhatian mereka terhadap pelayanan publik.
Kepentingan-kepentingan tersebut mungkin saja berbeda dari kepentingan mereka yang berkerja pada sektor swasta. Artinya, motivasi para pekerja di sektor publik lebih memandang faktor ganjaran yang bersifat non materi (non-keuangan) lebih tinggi daripada ganjaran yang bersifat matei (keuangan). Kondisi ini berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor swasta yang menjadikan kepentingan utama terhadap faktor ganjaran bersifat materi (keuangan) ketimbang ganjaran non materi (non-keuangan). Motivasi pelayanan publik, menurut Perry dan Wise (1990), secara umum terkait dengan orientasi normatif seperti keinginan untuk mengabdi kepada kepentingan publik atau keadilan sosial dan ia tidak memerlukan sistem insentif atau ganjaran yang bermanfaat untuk mendorong perilaku para pegawai publik. Selanjutnya Crewson (1997), dengan menggunakan data dari General Social Surveys, Federal Empoyee Attitude Surveys, dan the Institute of Electronic and Electrical Engineers, menyimpulkan bahwa para pegawai di sektor publik memberikan penilaian yang lebih tinggi untuk mengabdi kepada masyarakat dibandingkan para pegawai di sektor swasta. Pendapat ini juga disokong oleh Houston (2000) dan Crewson (1997) yang menyatakan bahwa para pegawai di sektor publik memberikan penilaian yang lebih tinggi terhadap ganjaran kerja yang bersifat instrinsik dalam bentuk pencapaian (prestasi) kerja dan harga diri ketimbang ganjaran yang bersifat ekstrinsik seperti gaji, promosi jabatan, keamanan kerja, status dan prestise. Hal ini berarti bahwa para pegawai pada organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga pemerintahan nampaknya lebih termotivasi oleh kepedulian kepada masyarakat dan keinginan untuk mengabdi bagi kepentingan publik. Berdasarkan beberapa hasil kajian tersebut di atas, secara umum dapat dipahami bahwa para pegawai di sektor publik seharusnya lebih mementingkan dan termotivasi oleh ganjaran intrinsik dibandingkan dengan para pegawai di sektor swasta. Para pegawai di sektor swasta lebih sering terfokus kepada motivasi untuk mendapatkan ganjaran yang bersifat ekstrinsik, seperti ganjaran dalam bentuk gaji yang tinggi, promosi jabatan, status dan prestise, dan sebagainya. Motivasi terhadap ganjaran ekstrinsik bagi pegawai di sektor publik tidak lah begitu penting dibandingkan dengan ganjaran yang bersifat intrinsik, seperti pencapaian kerja, kepuasan kerja, harga diri, dan sebagainya. Dari uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa motivasi pelayanan publik yang berlaku di kalangan para pegawai publik di berbagai negara, terutama pada negara-negara maju di Barat yang menganut teori motivasi modern, lebih banyak didorong oleh keinginan untuk mendapatkan ganjaran non-materi atau ganjaran-ganjaran bersifat intrinsik lainnya, seperti keinginan mengabdi kepada masyarakat dan negara, dan melalui dorongan atau keinginan seperti ini lah mereka akan termotivasi [50]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
untuk memperoleh prestasi kerja dan kepuasan kerja dalam bentuk kepuasan batin. Namun apabila dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, keadaannya pada umumnya akan berbanding terbalik. Artinya, motivasi yang dimiliki oleh para pegawai publik (PNS) lebih banyak berorientasi kepada motivasi untuk mengharapkan ganjaran yang lebih bersifat ekstrinsik serta memberikan penilaian yang lebih tinggi terhadap ganjaran ekstrinsik tersebut, seperti keinginan mendapatkan gaji yang tinggi, jabatan, keamanan kerja dan jaminan hari tua yang lebih menjanjikan (dapat pensiunan), status dan prestise, dan sebagainya ketimbang ganjaran yang bersifat intrinsik, seperti prestasi kerja, kepuasan kerja atau kepuasan batin karena telah berhasil mengabdi kepada publik. Dengan kata lain, motivasi para pekerja sektor publik di Indonesia kelihatannya lebih memandang faktor ganjaran yang bersifat materi (keuangan) lebih tinggi daripada ganjaran yang bersifat non-matei (non-keuangan). Selanjutnya orientasi para pegawai sektor publik di Indoensia dalam pemberian layanan kelihatannya mereka memberikan penilaian yang lebih rendah untuk mengabdi kepada masyarakat dibandingkan para pegawai di sektor swasta. Artinya bahwa para pegawai pada organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga pemerintahan nampaknya lebih termotivasi oleh pemenuhan kepentingan pribadi ketimbang kepedulian kepada masyarakat dan keinginan untuk mengabdi bagi kepentingan publik. Implikasi dari hal ini antara lain terlihat dari kurangnya pelayanan prima yang dijumpai pada sebagian besar sektor publik bila dibandingkan dengan pelayanan di sektor swasta.
seleksi pegawai negeri. Keinginan pihak-pihak tertentu untuk menjadikan birokrasi sebagai mesin politik juga ikut mempengaruhi sulitnya melakukan reformasi dalam rekrutmen dan seleksi PNS. Salah satu aspek yang sangat perlu dipertimbangkan oleh aparatur pemerintahan dalam sistem perencanaan atau rekrutmen dan seleksi pegawai baru adalah aspek motivasi dari para calon pegawai untuk memasuki dunia kerja barunya sebagai PNS. Aspek motivasi menjadi PNS ini sangatlah perlu dipertimbangkan karena motivasi yang baik dan tulus dari para calon pegawai untuk menjadi PNS sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat akan sangat menentukan tingkat kualitas dan sekaligus produktivitas kinerjanya nantinya pada saat mereka telah menjadi PNS. Artinya, orang yang ingin menjadi PNS karena didorong oleh motivasi ingin mengabdi masyarakat atau motivasi pelayanan publik yang tinggi tentu saja diharapkan akan lebih baik kualitas dan produktivitas kerjanya dibandingkan dengan orang yang memiliki motivasi pelayanan publik yang rendah atau motivasi menjadi PNS hanya karena didorong oleh motivasi ingin memperoleh kekayaan, mengharapkan kompensasi, jaminan hari tua, atau status dan prestise dalam masyarakat. Disamping itu, proses rekrutmen dan seleksi PNS selama ini cenderung diwarnai oleh ketidakseriusan dari pemerintah dan tidak mencerminkan maksud yang tulus untuk memperoleh PNS yang bermutu. Menurut Agus Dwiyanto (2004: Kompas 4 Desember 2004), selama ini sistem perekrutan PNS tidak jelas, tidak transparan, dan sarat dengan KKN. Selain seleksi yang tidak berbasis kompetensi, kota/kabupaten sering melakukan manipulasi kursi peluang PNS. Berdasarkan penelitiannya terungkap bahwa banyak kabupaten yang menjual kursi formasi pegawai, di antaranya dilakukan dengan cara menerapkan pensiun dini bagi guru-guru, agar pejabat bisa menjual formasi tersebut. Menurutnya pula bahwa hampir 99 persen di daerah terindikasi adanya KKN dalam proses perekrutan PNS. Disamping itu, dalam situasi krisis multidimensi yang ditandai oleh makin tingginya tingkat pengangguran dan gaji yang relatif kecil tidak menjadi penghalang motivasi mereka untuk mengejar status PNS. Keadaan yang sama juga dikemukakan oleh Ismanto (2006), Muslimin B. Putra (2006), dan Somi Awan (2006). Menurut mereka bahwa dalam kenyataan di lapangan masalah rekrutmen PNS cenderung tidak mengemukakan kemampuan personal tetapi lebih mengutamakan kekerabatan atau pertemanan (nepotism system). Model birokrasi patrimonial yang mengandalkan patronase, hubungan pertemanan, kekerabatan, dan kedekatan psikologis masih sering terjadi dalam paras birokrasi Indonesia masa kini, termasuk dalam hal seleksi calon PNS. Dalam setiap proses pengadaan,
4. URGENSI MOTIVASI PELAYANAN PUBLIK DALAM MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA Eko Prasojo (2006) mengemukakan akar permasalahan buruknya birokrasi atau kepegawaian negara di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting. Pertama, persoalan internal sistem kepegawaian negara itu sendiri yang dapat dilihat dari subsistem yang membentuk kepegawaian negara. Subsistem ini antara lain adalah proses rekrutmen dan seleksi pegawai. Kegagalan pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan proses rekrutmen dan seleksi pegawai ini telah melahirkan para birokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazzard) dan kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies), karena proses rekrutmen dan seleksi belum dilakukan secara profesional dan masih diwarnai oleh kolusi, korupsi, dan nepotisme. Kedua, persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesionalisme kepegawaian negara. Hal ini dapat dilihat dari segi kekuatan eksternal yang mendorong terjadinya intervensi politik dalam proses rekrutmen dan [51]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
rekrutmen, dan seleksi calon PNS banyak dijumpai para oknum pejabat, legislatif, dan para calo yang menitipkan sejumlah nama dan nomor ujian kepada pihak panitia agar supaya diperhatikan dan diluluskan menjadi PNS. Praktik-praktik semacam ini tentu saja dapat berdampak kepada pada semakin tidak efektifnya kinerja birokrasi. Kondisi-kondisi yang dijelaskan di atas jelas merupakan sesuatu yang sangat ironis bila dikaitkan dengan keinginan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelayanan punlik dan kinerja aparatur birokrasi. Bagaimana mungkin keinginan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik dan kinerja aparatur birokrasi dapat terwujud bila dalam proses seleksinya sudah diawali dengan cara-cara yang tidak patut. Bagaimana mungkin tugas sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat akan terlaksana dengan baik bila sumber daya manusia yang direkrut dan diseleksi tidak memenuhi persyaratan, baik dari segi kemampuan maupun motivasi pelayanan publik yang tinggi dan tulus. Berdasarkan hasil studi berbagai literatur, pada dasarnya terdapat beberapa hal yang menyebabkan seseorang begitu tertarik atau termotivasi menjadi PNS di Indonesia karena ia melihat dan mengharapkan beberapa keuntungan bila seandainya ia menjadi PNS. Awangga (2005) berpendapat bahwa beberapa keuntungan yang mungkin diharapkan oleh seseorang untuk menjadi PNS adalah: 1) Adanya jaminan keamanan kerja; 2) Adanya perlindungan dari PHK; 3) Adanya jenjang karir yang jelas; 4) Adanya peluang promosi jabatan; 5) Adanya peluang peningkatan sumber daya manusia; dan 6) Adanya kepastian gaji. Selain itu, menurut Adi Arifin (2006), ada beberapa alasan mengapa orang termotivasi untuk menjadi Pegawai pemerintah atau PNS, antara lain karena: 1) ingin hidup aman dan nyaman, 2) mengharapkan pensiun, 3) ingin menjadi kaya, atau 4) ingin memperoleh kebanggaan atau status sosial. Berdasarkan beberapa pendapat di atas jelaslah bahwa motivasi seseorang untuk menjadi PNS di Indonesia sangatlah beragam. Keberagaman motivasi menjadi PNS ini jelas akan berdampak pada keberagaman kualitas dan produktivitas kinerja yang ditampilkan oleh para pegawai pada saat mereka menjadi PNS nantinya. Padahal aspek motivasi terhadap suatu pekerjaan sangat penting arti dan pengaruhnya terhadap kualitas dan produktivitas kinerja. Artinya, motivasi yang tinggi dan tulus sebagai abdi masyarakat (pelayan publik) bagi seorang calon PNS akan sangat berpengaruh terhadap kinerjanya pada saat ia menjadi aparatur (pegawai) pemerintahan nantinya. Selanjutnya, semakin tinggi motivasi pelayanan publik dan kinerja aparatur pemerintahan maka kepercayaan masyarakat terhadap kinerja dan wibawa pemerintah akan semakin tinggi pula. Sebailknya, bila motivasi pelayanan publik dan kinerja aparatur pemerintahan
rendah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maka kepercayaan masyarakat terhadap kinerja dan wibawa pemerintah akan semakin menurun pula. Sebenarnya dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja aparatur pemerintah selama ini, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk para aparaturnya seperti melalui perbaikan kesejahteraan, peningkatan kemampuan sumber daya aparatur, perbaikan sistem promosi jabatan, penerapan aturan disiplin, dan sebagainya. Kesemua upaya ini diharapkan akan dapat menciptakan aparatur pemerintah yang bermutu, profesional, responsif, akuntabel, berdedikasi tinggi, dan bertanggung jawab terhadap tugas yang menjadi kewajibannya. Namun, tanpa adanya motivasi pelayanan publik yang tinggi dan tulus dari para aparatur dalam memposisikan diri mereka sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat yang berkewajiban memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat maka upaya dari pemerintah dimaksud tidak akan membuahkan hasil, dan motivasi pelayanan publik yang tinggi dan tulus ini tentu sudah harus dipertimbangkan semenjak seseorang direkrut dan diseleksi menjadi PNS. Dalam perencanaan atau rekrutmen dan seleksi calon PNS selama ini, pemerintah lebih banyak mempertimbangkan kemampuan daripada kemauan atau motivasi. Padahal untuk menjadi PNS, persoalan motivasi pelayanan publik sangatlah perlu dipertimbangkan. Disamping itu, pekerjaan sebagai PNS adalah pekerjaan yang diperlukan dalam jangka waktu yang lama dan menyangkut keperluan orang banyak (publik). Hal ini berbeda dengan pekerjaan sebagai pegawai swasta yang sangat mudah terjadinya PHK dan mungkin hanya diperlukan untuk jangka waktu sementara. Titik berat rekrutmen dan seleksi terhadap kemampuan ini dapat dilihat dari berbagai persyaratan yang sering dan pada umumnya diminta dari para calon tenaga kerja pada saat mereka direkrut, seperti pendidikan minimal, pengalaman, keahlian atau ketrampilan khusus, upah atau gaji yang ditawarkan, status perkawinan, keterangan kesehatan, dan sebagainya. Ujian seleksi yang dilakukan juga lebih banyak difokuskan pada ujian pengetahuan, sikap, kepribadian, bakat, dan ketrampilan. Kalaupun dilakukan wawancara, namun selama ini ada kesan bahwa wawancara hanya dilakukan secara asal-asalan dan tidak menjurus kepada persoalan motivasi calon pegawai memasuki pekerjaan barunya. Wawancara juga kelihatannya lebih banyak terfokus pada persoalan yang menyangkut pengetahuan, sikap, kepribadian, dan ketrampilan para calon pegawai. Kondisi ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Fanani (2005) bahwa ujian masuk PNS pada masa sekarang ini lebih cenderung bersifat dan menjurus kepada pengujian kemampuan intelektual yang akan mengujikan berbagai varian [52]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
ujian yang sifatnya akademis dan kognitif. Kalaupun dilakukan ujian terhadap aspek psikologis atau kepribadian, namun biasanya aspek psikologis yang diuji hanya meliputi kepribadian, sikap kerja, dan kepemimpinan. Artinya, persoalan tentang motivasi seorang calon PNS untuk menjadi PNS jarang digali dan dipertanyakan kepada para calon PNS. Hal ini, di satu sisi, memang dapat dimaklumi karena para peserta ujian seleksi yang cukup banyak, sementara waktu yang diperlukan dalam menggali dan menilai motivasi seseorang melalui wawancara tidak lah memungkinkan karena waktu yang sedikit dan sempit. Disamping itu, pertanyaan dalam wawancara kadang-kadang tidak begitu relevan dengan maksud wawancara. Padahal wawancara sebenarnya dapat digunakan untuk memperoleh masukan tambahan tentang diri para calon pegawai, terutama yang menyangkut persepsi, nilai-nilai yang dianut, dan kepribadian, termasuk motivasinya mereka menjadi PNS. Selain itu, tidak jarang pula terjadi bahwa wawancara lebih terkesan subjektif karena sering diwarnai oleh persepsi, anggapan, kondisi mental, dan pengetahuan pewawancara (interviewer). Hal ini mungkin dapat dimengerti karena pada umumnya pewawancara bukanlah ahli jiwa (psikolog). Padahal untuk dapat menggali, mengetahui, dan menilai berbagai persoalan yang menyangkut motivasi, persepsi, kepribadian, sikap, dan aspek kejiwaan lainnya dari seseorang sebaiknya dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dalam ilmu kejiwaan (psikologi).
Lemah dan buruknya sistem dan pola rekrutmen dan seleksi pegawai, antara lain karena kurang diperhatikannya aspek motivasi pelayanan publik yang dimiliki calon pegawai, diduga berdampak terhadap rendahnya mutu kinerja aparat birokrasi publik di Indonesia. Rendahnya mutu kinerja aparat birokrasi ini tentu saja akan berakibat pada terwujudnya kesenjangan antara harapan masyarakat akan kualitas pelayanan publik yang prima dengan kenyataan riil yang mereka hadapi di lapangan, karena mereka masih banyak menjumpai pelayanan aparatur yang kurang ramah, kurang bergairah, proses birokrasi yang berbelit-belit, motivasi kerja aparatur yang rendah, kemampuan aparatur yang kurang memadai, suasana pelayanan dan budaya kerja yang kurang kondusif dan sebagainya. Tulisan singkat mengenai Urgensi Public Service Motivation dalam Mewujudkan Pelayanan Publik yang Prima ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait, terutama Pemerintah Daerah, dalam rangka penentuan kebijakan dan sistem atau model rekrutmen dan seleksi pegawai yang tepat dan dapat dijadikan sebagai pilihan efektif dalam penerimaan PNS agar kualitas kinerja para PNS dapat menjadi lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Disamping itu tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dan pertimbangan pemikiran dalam mewujudkan kualitas pelayanan publik yang prima seiring dengan dilakukannya perbaikan dalam sistem rekrutmen dan seleksi CPNS yang diharapkan lebih memperhatikan dan mempertimbangkan persoalan motivasi pelayanan publik yang dimiliki oleh CPNS dengan mengembangkan instrumen khusus dalam rekrutmen dan seleksi CPNS. Disamping itu pembinaan motivasi pelayanan publik di kalangan PNS yang sudah ada juga terus ditingkatkan di masa depan, antara lain dengan mengembangkan assessment tools khusus dalam rangka memantau, mengontrol, dan membina motivasi pelayanan publik di kalangan PNS, seperti model mystery shopping yang sering digunakan dalam instansi-instansi swasta.
5. PENUTUP Dari penjelasan pada uraian terdahulu dapat dipahami bahwa rendahnya kualitas pelayanan publik di kalangan aparatur pemerintahan pada berbagai instansi pemerintahan antara lain tidak terlepas dari rendahnya motivasi pelayanan publik di kalangan para aparatur (pegawai) dalam pelaksanaan tugasnya atau pekerjaan yang menjadi kewajibannya sebagai PNS. Namun patut diduga bahwa rendahnya motivasi kerja pegawai tersebut mungkin saja erat kaitannya dengan persoalan motivasi pelayanan publik yang mereka miliki pada saat mereka diseleksi dan direkrut atau pada saat mereka pertama kali memasuki pekerjaan sebagai PNS sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik di kalangan aparatur pemerintah, faktor sumber daya manusia sebagai pelaksananya sangatlah penting dibina dan dipersiapkan. Sumber daya manusia sangat menentukan keberhasilan kinerja dan kualitas pelayanan suatu organsiasi disamping manajemen, fasilitas, atau kepemimpinan dalam organisasi yang bersangkutan. Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara, khususnya PNS.
PUSTAKA Abdul Wahab, Solichin. 1999. ”Reformasi Pelayanan Publik: Kajian dari Perspektif Teori Governance”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Universitas Brawijaya, Malang. Arifin, Adi. 2006. ”Kenapa Banyak Orang Ingin Jadi PNS” http://www.adiarifin.web.id/ archives/ 2006/02/15/kenapa-banyak-orang-ingin-jadipns/#more-9 Awan, Somi. 2006. “Kacaunya Rekrutmen CPNS Kami” dalam Eko Prasojo, et.al. 2006. Mengurai Benang Kusut Birokrasi: Upaya [53]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
_______. 2000. “Bringing Society In: Toward a Theory of Public Service Motivation”. Journal of Public Administration Research and Theory (J-PART). April 2000. p. 471-488. Prasojo, Eko. 2006. “Reformasi Rekrutmen PNS di Indonesia” dalam Eko Prasojo, et.al. 2006. Mengurai Benang Kusut Birokrasi: Upaya Memperbaiki Centang Perenang Rekrutmen PNS. Editor: Fajar Nursahid. Jakarta: Piramedia Putra, Muslimin B. 2006. “Politisasi dalam Rekrutmen CPNS” dalam Eko Prasojo, et.al. 2006. Mengurai Benang Kusut Birokrasi: Upaya Memperbaiki Centang Perenang Rekrutmen PNS. Editor: Fajar Nursahid. Jakarta: Piramedia Rainey, Hal. G. 997. Understanding and Managing Public Organizations. 2nd ed. San Fransisco, CA: Jossey-Bass Publishers. Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soebhan, Syafuan Rozi. 2006. “Model Reformasi Birokrasi di Indonesia” dalam Eko Prasojo, et.al. 2006. Mengurai Benang Kusut Birokrasi: Upaya Memperbaiki Centang Perenang Rekrutmen PNS. Editor: Fajar Nursahid. Jakarta: Piramedia Sutopo & Adi Suryanto. 2003. Pelayanan Prima. Cetakan ke-2. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI. Thoha, Miftah. 2006. “Reformasi Birokrasi Pemerintah” dalam Eko Prasojo, et.al. 2006. Mengurai Benang Kusut Birokrasi: Upaya Memperbaiki Centang Perenang Rekrutmen PNS. Editor: Fajar Nursahid. Jakarta: Piramedia Tim Litbang Media Group. 2007. “Motivasi Menjadi Pengusaha Sangat Rendah” dalam Media Indonesia, edisi Rabu 2 Mei, 2007 hal. 20
Memperbaiki Centang Perenang Rekrutmen PNS. Editor: Fajar Nursahid. Jakarta: Piramedia Awangga, Suryaputra N. 2005. Kiat Sukses dan Tata Cara melamar CPNS. Yogyakarta: Pyramid Publisher. Brewer, Gene A, Sally Coleman Selden, and Rex L Facer II. 2000. “Individual Conceptions of Public Service Motivation” Public Administration Review. May/June 2000. Vol. 60, No.3. p. 254-264. Crewson, P.E. 1997. Public Service Motivation: Building Empirical Evidence of Incidence and Effect” Journal of Public Administration Research and Theory (J-PART). (4) p. 499518. Dwiyanto, Agus. 2004. ”Calon Pegawai Negeri Sipil Vs Kemunduran Bangsa” dalam Kompas. Edisi Sabtu, 4 Desember 2005. http://www. kompas.com/kompas-cetak/0412/04/Fokus/ 1415293.htm Effendi, Sofian. 1996. ”Revitalisasi Sektor Publik Menghadapi Keterbukaan Ekonomi dan Demokratisasi Politik”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Fanani, Ahmad Zainal. 2005. Kiat-kiat Sukses Menjadi PNS. Cetakan ke-4. Jogjakarta: DIVA Press. Hamzah, Andi. 1990. Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Cetakan ke-1, Jakarta: Rineka Cipta. Houston, David J. 2000. “Public Service Motivation: A Multivariat Test”. Journal of Public Administration Research and Theory (J-PART). 10 (2000): 4: p. 713-727. Ismanto, Agus. 2006. “Peran Strategis Rekrutmen PNS dalam Menunjang Pelayanan Publik oleh Birokrasi” dalam Eko Prasojo, et.al. 2006. Mengurai Benang Kusut Birokrasi: Upaya Memperbaiki Centang Perenang Rekrutmen PNS. Editor: Fajar Nursahid. Jakarta: Piramedia Lewis, Gregory B. and P. Alonso. 2001. “Public Service Motivation and Job Performance: Evidence from the Federal Sector”. The American Review of Public Administration. 31: p. 363-380. Mustopadidjaja AR. 2006. “Reormasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN” dalam Eko Prasojo, et.al. 2006. Mengurai Benang Kusut Birokrasi: Upaya Memperbaiki Centang Perenang Rekrutmen PNS. Editor: Fajar Nursahid. Jakarta: Piramedia Perry, James, L. and Lois Recascino Wise. 1990. “The Motivational Bases of Public Service” Public Administration Review 50 (May/June): 367-373.
Biodata Penulis Syamsir, lahir di Jambi 1 April 1963. Menyelesaikan S1 pada Jurusan PMP/KN FPIPS IKIP Padang tahun 1988. Memperoleh gelar Magister Sains pada Program Sosiologi-Antorpologi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung 2000. Saat ini sedang melanjutkan Studi S3 (Ph.D.) dalam bidang Manajemen Publik, Universiti Utara Malaysia sejak tahun 2007. Sejak tahun 1989 dosen pada FIS UNP Padang. Muhamad Ali bin Embi, lahir di Sungai Gelugor, Pulau Pinang, Malaysia pada Juli 1968. Menyelesaikan Undergraduate (S1) dan memperoleh gelar BPA pada UUM di Universiti Utara Malaysia tahun 1992. Menamatkan Master Degree (MPA) pada [54]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
University of Southern California, USA pada tahun 1995. Memperoleh Ph.D pada University Sains Malaya pada tahun 2004. Saat ini adalah Profesor Madya bidang Public Management pada Kolej Undang-undang, Kerajaan dan Kajian Antara Bangsa, Universiti Utara Malaysia., Sintok Kedah Darul Aman, Malaysia. .
[55]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
KAJIAN BEST PRACTICE INOVASI PEMERINTAH KABUPATEN GARUT : MENIKAH DAN MENANAM POHON Octa Soehartono, SE dan Rizky Fitria, SE Lembaga Administrasi Negara E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Pelaksanaan Reformasi Birokrasi harus mampu mendorong perbaikan dan peningkatan kinerja pemerintah baik dalam tataran Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini sangat penting untuk diimplementasikan dimana salah satu agenda tersebut adalah penerapan Otonomi Daerah. Pemberlakuan otonomi daerah merupakan salah satu strategi untuk menghadapi era baru dengan menghasilkan pemerintahan daerah yang efisien, efektif, akuntabel, transparan, konsisten, terintegrasi, dan responsive secara berkesinambungan. Maka diperlukan Pemerintah Daerah yang dapat menghasilkan kebijakan dan inovasi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu yang harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah adalah masalah kependudukan. Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menjamin keberlangsungan hidup penduduk yang selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam bahasan kependudukan ini, Pemerintah Kabupaten Garut menghadapi masalah berupa adanya tekanan penduduk yang sangat tinggi terhadap lahan kritisnya. Hal ini menjadikan Kabupaten Garut sebagai salah satu kabupaten dengan lahan kritis terluas di Propinsi Jawa Barat yaitu 89.917 Ha. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Garut juga menghadapi masalah tingginya angka perkawinan dan perceraian dimana dalam kurun waktu setahun terdapat 27 ribu pasangan yang menikah. Ini tentu saja akan meningkatkan pertumbuhan penduduk Kabupaten Garut dan menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakatnya serta menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Karena itulah, Pemerintah Kabupaten Garut mengeluarkan kebijakan berupa kewajiban menanam pohon bagi warganya yang menikah dan bercerai. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu pemulihan lahan kritis sekaligus mengontrol tingkat pernikahan dan perceraian di wilayah Kabupaten Garut. Kata kunci: Reformasi birokrasi, otonomi daerah, lahan kritis, pernikahan dan perceraian 1. PENDAHULUAN 1. SELAYANG PANDANG KABUPATEN GARUT1 1.1. Wilayah Administratif dan Kependudukan Kabupaten Garut adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sumedang dan Samudera Indonesia. Kabupaten ini terbentuk dari pembubaran Kabupaten Limbangan pada tahun 1811 oleh Deandels. Pembubaran tersebut mengharuskan Bupati Limbangan kala itu yaitu Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia yang akan mencari daerah baru yang dapat dijadikan Ibu Kota Kabupaten sehingga ditemukanlah daerah yang kemudian dinamakan Kabupaten Garut. Secara administratif, data tahun 2009 menunjukkan Kabupaten Garut memiliki luas wilayah 306.512 Ha dengan 42 Kecamatan, 21 Kelurahan, dan 403 Desa. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Cibalong dengan luas wilayah 21.359 Ha, dan kecamatan terkecil adalah Kecamatan 1
Sumber:http://www.garutkab.go.id/pub/static_m enu/detail/sekilas_sejarah, diakses pada tanggal 10 Mei 2011.
Kersamanah dengan luas 1.650 Ha. Berdasarkan sensus terakhir yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010 kemarin, jumlah penduduk Kabupaten Garut tercatat sebanyak 2.737.526 jiwa dengan perbandingan laki-laki sebanyak 1.397.756 jiwa dan perempuan sebanyak 1.339.770. 1.2. Visi dan Misi Untuk periode waktu 2009 – 2014, Pemerintah Kabupaten Garut memiliki visi “Terwujudnya Garut yang Mandiri dalam Ekonomi, Adil dalam Budaya dan Demokratis dalam Politik dengan Didasari Ridlo Allah SWT.” Visi tersebut memiliki maksud agar Kabupaten Garut bersatu baik secara wilayah dan masyarakat dengan segala potensi yang dimilikinya, sehingga penduduknya dapat memenuhi segala kebutuhan dengan kemampuan sendiri untuk menjadi masyarakat yang maju dan madani, dan memiliki kepercayaan terhadap Pemerintahnya sehingga terwujud pola Good Governance yang didasari ridho Allah SWT. Sedangkan misi Pemerintah Kabupaten Garut adalah: 1. Membangun kualitas sumber daya manusia yang berlandaskan nilai agama, sosial dan budaya sesuai kearifan lokal;
[56]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
Mengembangkan ekonomi kerakyatan berbasis agrobisnis, agroindustri dan pariwisata disertai pengembangan budaya lokal; 3. Meningkatkan tata kelola pemerintahan daerah yang baik dan bersih; 4. Meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur wilayah sesuai dengan daya dukung dan fungsi ruang; Untuk mencapai Visi dan Misi tersebut, Pemerintah Kabupaten Garut menetapkan beberapa strategi, sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas kemampuan dan profesionalisme aparatur pemerintah untuk mewujudkan “Good Governance”; 2. Penegakkan supremasi hukum, demokrasi dan hak azasi manusia; 3. Peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan melalui pengembangan pendidikan melalui pengembangan pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah; 4. Peningkatan kualitas dan kuantitas sarana prasarana dan pelayanan kesehatan masyarakat; 5. Peningkatan kualitas kehidupan beragama, fasilitas peribadatan dan pendidikan keagamaan; 6. Pengelolaan sumber daya alam dan buatan dengan memperhatikan aspek manfaat dan resiko terhadap lingkungan; 7. Optimalisasi penataan ruang dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan; 8. Peningkatan kualitas dan kuantitas pertanian dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan; 9. Pemberdayaan dan pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi; 10. Peningkatan sarana dan prasarana transportasi, Pos dan Telekomunikasi, Komunikasi dan Media Massa untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan; 11. Peningkatan dan pengembangan sarana, prasarana, serta sumber daya manusia; 12. Pemeliharaan dan pengembangan seni budaya sebagai identitas daerah; 13. Pengentasan kemiskinan melalui penciptaan kesempatan kerja dan penanganan daerah tertinggal. 1.3. Perspektif Ekonomi Dianugerahi wilayah dengan kesuburan tanah, beraneka ragam flora fauna serta keindahan alam, menjadikan Kabupaten Garut berpotensi untuk dikembangkan secara ekonomi dan investasi. Dilihat dari sisi ekonomi, sektor yang menjadi sektor utama
adalah sektor pertanian. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor pertanian dan hampir 75% wilayah Kabupaten Garut digunakan untuk pertanian. Setelah pertanian, sektor yang menjadi andalan Kabupaten ini adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selain itu, Kabupaten Garut memiliki potensi di sektor industry terutama agroindustri, sektor pariwisata yang dikaitkan dengan kawasan konservasi sumber daya alam, sektor perikanan, serta sektor pertambangan bahan galian golongan C. Pemanfaatan dan pengelolaan yang baik terhadap sektor-sektor tersebut tentu saja memberikan pengaruh positif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Garut. Berikut data PDRB Kabupaten Garut periode 2004 sampai 2008 Tabel 1. Data PDRB Kabupaten Garut Periode 2004-2008 (Triliun Rupiah) Tahun PDRB 8.418 2004 8.768 2005 9.162 2006 9.59 2007 10.06 2008 Sumber: Tahun 2009, Tahun Politik Bagi Kabupaten Garut (Yan AS, 2009). Data diolah Table diatas menunjukkan bahwa PDRB Kabupaten Garut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tak hanya itu, Pertumbuhan PDRB perkapita yang dapat menjadi acuan kesejahteraan masyarakatnya juga mengalami peningkatan seperti tampak pada grafik dibawah ini:
PDRB Perkapita 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0
PDRB Perkapita 2004 2005 2006 2007 2008
2.
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tahun 1 Grafik 1. Data PDRB Perkapita Kabupaten Garut Periode 2004-2008 Sumber: Tahun 2009, Tahun Politik Bagi Kabupaten Garut (Yan AS, 2009). Data diolah 2.
[57]
REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DALAM RANGKA OTONOMI DAERAH MENUJU GOOD GOVERNANCE
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
Reformasi birokrasi sebagai sebuah kebijakan merupakan hal yang penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan mencapai tujuan yang diharapkan dengan mewujudkan cita-cita birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. Dalam era otonomi daerah, sangat erat kaitannya dengan reformasi birokrasi dimana hal ini sangat penting untuk diimplementasikan sebagai salah satu usaha untuk memajukan dan mensejahterahkan masyarakat menuju penciptaan good governance yang merupakan instrumen terpenting dalam proses reformasi birokrasi yang juga menjadi persyaratan utama dalam menciptakan demokrasi yang substansial. Penerapan Good Governance (LAN 2007) secara konseptual dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif, serta solid dan bertanggung jawab, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara elemen-elemen yaitu negara, sektor swasta, dan masyarakat. Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja yang ingin dicapai. Dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, ada banyak pemikiran mengenai prinsip-prinsip Good Governance yang dapat dijadikan pedoman pemikiran dan tindakan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Implementasi reformasi birokrasi pada pemerintah daerah dilaksanakan tidak hanya mencakup perubahan manajemen struktural dan organisasi menuju perampingan ukuran (downsizing & rightsizing) dan komponen birokrasi. Lebih dari itu, reformasi birokrasi publik juga mencakup perubahan secara gradual terhadap nilai (public value) dan budaya aparat pemerintah daerah yang berimplikasi pada etos kerja, kualitas pelayanan publik, hingga perubahan perilaku sebagai penguasa (ambtenaar) menjadi pelayanan & pengayoman. Di usianya yang hampir seabad, pemerintah Kabupaten Garut terus berbenah, khususnya dalam melaksanakan reformasi birokrasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, kapasitas dan akuntabilitas kinerja penyelenggara negara yang efektif, efisien dan dapat memberikan pelayanan prima bagi seluruh masyarakat sehingga dapat menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, berintegritas tinggi dan bertanggung jawab. Pemerintah Kabupaten Garut sejak era kepemimpinan Bupati Garut periode 2009-2014 terpilih H. Aceng HM. Fikri, S.Ag mulai melakukan berbagai inovasi. Dalam pidato Yan Yan AS (2009), beliau menjelaskan bahwa Bupati Garut tersebut melalui Strategi Dasar Sinergitas Pelaksanaan
ISBN: 978-602-96848-2-7
Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Garut berupaya menjawab tuntutan masyarakat, salah satunya, melalui strategi pokok dengan optimalisasi kinerja birokrasi pemerintahan daerah. Optimalisasi ini dilakukan dengan langkah peningkatan kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan daerah di seluruh tingkatan yang transparan dan akuntabel melalui penataan kelembagaan, manajemen publik, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur berbasis pengembangan dan pemanfaatan Iptek, sebagai wujud untuk melakukan reformasi birokrasi di tataran pemerintahannya, dengan memfokuskan diri dalam pencapaian visi dan misi yang telah dirancang. Salah satunya dengan menciptakan stabilitas pemerintahan, stabilitas politik, dan stabilitas dunia usaha yakni dengan cara membangun kualitas sumber daya manusia yang berlandaskan nilai agama, sosial dan budaya sesuai kearifan lokal dengan mengembangkan pendidikan formal dan non-formal, mengembangkan ekonomi kerakyatan berbasis agrobisnis, agroindustri dan pariwisata disertai pengembangan budaya lokal, meningkatkan tata kelola pemerintahan daerah yang baik dan bersih, meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur wilayah sesuai dengan daya dukung dan fungsi ruang. Langkah lain dalam optimalisasi ini adalah peningkatan kualitas kehidupan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia melalui peningkatan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan perempuan dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang dinamis, beretika serta berorientasi pada upaya pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Yang tak kalah pentingnya adalah memantapkan kemampuan keuangan daerah dengan intensifikasi dan ekstensifikasi potensi pendapatan daerah disertai dengan pengawasan untuk menekan tingkat kebocoran. Dalam masalah birokrasi, beliau juga mengingatkan dan menghimbau agar semua pihak menempatkan kembali birokrasi pada ruang yang benar, yaitu organisasi pelayanan publik yang di dalamnya terdapat aparatur profesional yang mengetahui, memahami, mampu memberikan pelayanan prima bagi kebutuhan masyarakat, serta mau dan mampu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayaninya. 3.
INOVASI PEMERINTAH KABUPATEN GARUT: MENIKAH DAN MENANAM POHON Dalam pembahasan best practice Pemerintah Daerah ini, Pemerintah Kabupaten Garut memberikan kebijakan yang menarik untuk diketahui bahkan diikuti oleh daerah lainnya. Kebijakan tersebut adalah penerapan program menanam pohon bagi pasangan yang akan menikah [58]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
dan pasangan yang akan bercerai di Kabupaten Garut. Menurut Edi Muharam, Kepala Bidang Rehabilitasi Lahan dan Pengembangan, Dinas Kehutanan Garut dalam wawancaranya dengan Radio Nederland Wereldomroep [RNW], program tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu: a. Letak kawasan hutan Kabupaten Garut yang berada di hulu Sungai Cimanuk, dan di dominasi oleh pegunungan Mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No. 195 Tahun 2003, Kabupaten Garut memiliki kawasan hutan yang terluas dibandingkan daerah lain di Provinsi Jawa Barat yaitu seluas 107.865 Ha dengan hutan lindung seluas 75.572 Ha, hutan konservasi seluas 26.727 Ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 5.400 Ha , dan hutan produksi seluas 1.66 Ha2. Secara geografis, keseluruhan kawasan hutan tersebut berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Hulu, DAS Cikaengan/Cisanggiri, DAS Cilayu/Cikandang, dan DAS Ciwulan Hulu. Itulah sebabnya keberlangsungan hutan menjadi hal yang sangat penting untuk mendukung fungsi ekologi dan produksi di Kabupaten ini3. Program penghijauan di DAS tentulah sangat penting dilakukan agar dapat memenuhi fungsinya sebagai DAS Cimanuk yang akan mengairi areal persawahan disekitarnya. b. Meluasnya lahan kritis di Kabupaten Garut. Sumber daya hutan di Kabupaten Garut yang semestinya dijaga, telah mengalami degradasi. Hal itu dapat disimpulkan dari banyaknya lahan kritis yang terdapat di daerah ini. Pada tahun 2009 luas lahan kritis di Kabupaten Garut mencapai 31.553 Ha4. Lahan kritis biasanya disebabkan oleh beberapa hal seperti berikut5: Tekanan dan pertambahan penduduk Luas areal pertanian yang tidak sesuai Pengolahan hutan yang tidak baik dan penebangan illegal Pembakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali Ekploitasi bahan tambang. Terus meluasnya lahan kritis tentu saja dapat menyebabkan kualitas hidup penduduk yang
semakin menurun, lahan tinggal semakin menyempit sehingga tingkat populasi menjadi sangat padat, hingga kerusakan lingkungan lainnya. Menghindari hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Garut merasa perlu mengeluarkan kebijakan penanaman pohon bagi pasangan yang menikah dan bercerai. c. Jumlah penduduk Kabupaten Garut yang terus meningkat. Penduduk Kabupaten Garut terus meningkat dari tahun ke tahun dengan Laju Pertumbuhan Penduduk tahun 2010 sebesar 1.53%..6 Faktor mutasi kependudukan seperti kelahiran, kematian, dan migrasi menentukan trend dari Laju Pertumbuhan Penduduk tersebut. Berikut data Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Garut per periode sensus penduduk dari tahun 1961 – 2010.
2
1997
http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/b erita, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011 3 Ibid. 4 John Doddy Hidayat, http://antarajawabarat.com/lihat/berita/19012/lihat/ kategori/94/Kesra, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011 5 Laporan Status Lingkungan Hidup IndonesiaTahun 2002; www.menlh.go.id/i/art/Daftar%20Isi%20dan%20Pe nyusun.pdf. diunduh pada tanggal 13 Mei 2011.
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Garut 1961 – 2010 Tahun
LPP 2,74 2,38 1,66 1,66 1,57 1,53*
1961-1971 1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2005 2005-2008 *) Estimasi
Sumber: www.garutkab.go.id Sementara itu, tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Garut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Tingkat Pertumbuhan Kabupaten Garut periode 1971 – 2010 Tah 197
LakiLaki -
198
-
-
198
-
-
199
-
-
-
-
-
-
-
-
un
Peremp uan -
1 0 5 0 1995
1998 1.043. 2001
242 1.088.
6
1.007.8 50 1.050.8
Jml. Penduduk 1.200. 407 1.483. 035 1.641. 617 1.748. 634 1.738. 418 1.905. 465 1.912. 055 2.051. 092 2.139.
Sex Ratio 103, 51 103,
http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/s ekilas_sejarah, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011
[59]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
Tah
LakiPeremp Jml. Sex Laki uan Penduduk Ratio 276 91 167 56 2002 1.106. 1.067.1 2.173. 103, 473 50 623 68 2003 1.121. 1.082.8 2.204. 103, 200 283 92 175 55 4 1.139. 1.100.0 2.239. 103, 046 45 091 55 2005 1.157. 1.117.7 2.274. 103, 252 21 974 54 2006 1.174. 1.134.9 2.309. 103, 800 73 773 51 2007 1.256. 1.200.7 2.456. 104, 176 12 888 6 2008 1.370. 1.313.3 2.683. 104, 384 51 735 3 2009 1.397. 1.339.7 2.737. 104, 756 70 526 3 2010 Detail LPP & Jumlah Penduduk 1971-2000 Kab. Garut per Kecamatan (pdf-87 kb) Sumber : DISDUKCAPIL Kabupaten Garut un
Sumber: www.garutkab.go.id Pertumbuhan penduduk yang terus naik seperti yang diperlihatkan oleh tabel diatas tentu harus diiringi oleh ketersedian lahan untuk kehidupan di masa yang akan datang. d. Tingginya angka pernikahan dan perceraian di Kabupaten Garut. Kabupaten Garut adalah kabupaten dengan tingkat pernikahan dan perceraian yang cukup tinggi. Dalam setahun, rata-rata terdapat 27.676 pasangan yang melangsungkan pernikahan dan 1.252 pasangan yang bercerai7. Program kewajiban menanam pohon diharapkan mampu menekan salah satu masalah Kabupaten Garut ini. Mengacu pada empat hal diatas, Bupati Kabupaten Garut, H. Aceng HM. Fikri, S.Ag, memandang penting adanya suatu partisipasi aktif dari masyarakat untuk mewujudkan Garut yang hijau sekaligus menjamin keberlangsungan masa depan masyarakatnya. Partisipasi itu diwujudkan melalui kerjasama antara Dinas Kehutanan dengan Departemen Agama khususnya KUA yang melahirkan Surat Anjuran Bupati Garut No. 522.4/205/Dishut yang menjelaskan mengenai kewajiban menanam 10 pohon bagi pasangan yang akan menikah, dan 50 pohon bagi pasangan yang akan bercerai. Kewajiban tersebut dibebankan kepada pasangan yang akan menikah karena diasumsikan keturunan mereka yang nantinya akan hidup dan berkembang
ISBN: 978-602-96848-2-7
disana. Selain itu, kewajiban menanam pohon dalam jumlah yang lebih banyak dibebankan kepada pasangan yang hendak bercerai selain bertujuan untuk mencegah terjadinya perceraian, juga bertujuan untuk menjamin kehidupan masa depan pasangan yang bercerai tersebut. Jika program ini dapat berjalan dengan berkelanjutan, maka dalam jangka waktu lima tahun akan terhimpun bibit pohon produktif sekitar 1,6 juta batang dan kemudian akan ditanam lahan kritis mencapai 4.245 Ha8. Atas inovasi yang telah berjalan semenjak tahun 2009 ini, dimana telah berhasil mereboisasi lahan kurang lebih 2000 Ha9, Pemerintah Kabupaten Garut masuk dalam 30 daerah nominator penerima penghargaan Innovative Government Award (IGA) 2010 yang digagas Kementerian Dalam Negeri. Menurut Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dalam sambutannya ketika seminar sosialisasi Innovate Government Award (2010), Innovate Government Award (IGA) adalah salah satu kegiatan kementrian yang telah dilakukan semenjak tahun 2007 sebagai bentuk pelaksanaan pembinaan terhadap pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dari 30 nominator yang telah terpilih, kemudian diseleksi kembali oleh Tim Ahli hingga menyisakan 12 nominator yang terus dipersempit menjadi empat pemenang. Kategori penilaian yang dilakukan meliputi bidang tata kelola pemerintah daerah, peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah. Penilaian tim ahli kemudian menyatakan Kabupaten Garut menjadi salah satu dari 12 nominasi yang menerima penghargaan IGA 2010 pada tanggal 15 Desember 2010 lalu. Walaupun tidak menjadi pemenang, inovasi yang belum memiliki payung hukum dan baru berupa himbauan bupati ini patut diapresiasi dan dilaksanakan secara berkelanjutan. 4.
PENUTUP Best Practices merupakan salah satu agenda reformasi birokrasi dimana keberhasilan implementasi pelaksanaan reformasi birokrasi dalam era otonomi daerah sangat bergantung dari beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain adalah faktor kepemimpinan dimana kemauan dan komitmen Bupati Garut H. Aceng HM. Fikri, S.Ag dibantu dengan segenap penyelenggara pemerintah daerah untuk merubah daerah tersebut menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Faktor lain adalah partisipasi aktif dan pemahaman masyarakat dalam usaha menjaga keberlangsungan masa depan lingkungan hidup masyarakat.
7
http://www.harianpelita.com/read/11921/11/anta r-daerah/penghargaan-kebijakan-tanam-pohon-/, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011.
8 9
[60]
Ibid. Ibid.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
Dalam tulisan ini, pelaksanaan Reformasi Birokrasi pada Pemerintah Kabupaten Garut mampu mendorong inovasi-inovasi dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan daerah di seluruh tingkatan yang transpatan dan akuntabel melalui penataan kelembagaan, manajemen public, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur berbasis pengembangan dan pemanfaatan Iptek. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Garut membuat inovasi di bidang pemberdayaan masyarakat yaitu kewajiban menanam 10 pohon bagi pasangan yang akan menikah, dan 50 pohon bagi pasangan yang akan bercerai. Disatu sisi, keberhasilan program ini dibuktikan dengan pemulihan lahan kritis kurang lebih seluas 2000 Ha di wilayah Kabupaten Garut dan mampu membawa Kabupaten Garut menjadi salah satu nominator Innovative Government Award (IGA) 2010 dalam satu tahun pertama pelaksanaannya. Disisi lain, inovasi ini belum memiliki payung hukum dalam implementasinya selain hanya berupa himbauan dari Bupati. Alangkah lebih baik jika inovasi tersebut dibakukan dalam sebuah Peraturan Daerah Kabupaten Garut yang menjelaskan mengenai tata cara pelaksanaan penanaman pohon hingga sanksi bagi pasangan menikah dan bercerai yang tidak melakukannya.
ISBN: 978-602-96848-2-7
http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/tanampohon-dulu-baru-nikah, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011. http://jabar.tribunnews.com/read/artikel/18637/37Juta-Pohon-Ditanam-di-Lahan-Kritis, diunduh pada tanggal 13 Mei 2011. Website Pemerintah Kabupaten Garut: http//: www.garutkab.go.id . .
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Peraturan Menteri PAN dan RB No. 20 Tahun 2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 20102014. Best Practices Pemerintah Daerah: Inovasi Kelembagaan, Sistem dan Prosedur, Pengembangan SDM Aparatur dan Pemantapan Budaya Organisasi, LAN 2009. John Doddy Hidayat, http://antarajawabarat.com/lihat/berita/19012/lihat/ kategori/94/Kesra, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011. http://www.harianpelita.com/read/11921/11/antardaerah/penghargaan-kebijakan-tanam-pohon-/, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002; diunduh pada tanggal 13 Mei 2011. http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktu a/indonesia060905/pengantin_tanam_pohon2009 0310-redirected, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011. http://www.radartasikmalaya.com/index.php?option =com_content&view=article&id=6084:garutnominator-iga-2010&catid=1:latestnews&Itemid=18, diunduh pada tanggal 10 Mei 2011. [61]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PENGARUH BUDAYA KERJA ETNIK TERHADAP BUDAYA KERJA KEBERANIAN DAN KEARIFAN PNS DALAM PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA (STUDI PADA PEMERINTAH KABUPATEN PASAMAN BARAT) Aldri Frinaldi Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang Jl. Prof. Hamka, Air Tawar Padang E-mail:
[email protected] Muhamad Ali Embi College of Law, Government, and International Studies, Universiti Utara Malaysia Kampus UUM, Sintok, Kedah-Darul Aman E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Keberanian dan Kearifan salah satu bentuk budaya kerja yang dapat mendorong terwujudnya pelayanan publik yang prima di daerah. Keberanian diartikan dorongan yang kuat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk memikul resiko dampak pengambilan keputusan dalam berbagai situasi, sedangkan kearifan mengacu pada kebijaksanaan dalam bertindak dengan pertimbangan matang untuk kepentingan umum. Penelitian ini bermaksud menganalisis pengaruh budaya kerja etnik terhadap budaya kerja Keberanian dan Kearifan PNS dalam pelayanan publik yang prima. Temuan penelitian menunjukkan kecenderungan masih kuat pengaruh budaya etnik terhadap PNS di Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat, sehingga berpengaruh kepada keberanian dan kearifan dalam pelayanan publik yang prima. Untuk itu diperlukan upaya perubahan budaya kerja PNS pada organisasi pemerintah daerah, yang dapat dilakukan dengan perpaduan budaya kerja yang ditetapkan Pemerintah, budaya kerja etnik positif dan budaya kerja berdasarkan ajaran agama guna peningkatan kualitas pelayanan publik yang prima. Kata Kunci: budaya kerja, budaya kerja etnik, pegawai negeri sipil, perpaduan budaya kerja. pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya; dari budaya bersifat hirarkhis, budaya bersifat individual, budaya bersifat fatalis seharusnya berubah ke budaya masyarakat egaliter. Hal ini terlihat dengan banyaknya PNS pada organisasi pemerintah di daerah kurang berani mengambil resiko dalam pengambilan keputusan karena tuntutan masa baru yang tidak pasti atau di luar kebiasaan. Kenyataan ini terjadi karena konsekuensinya kalau gagal mereka akan kena sanksi, sehingga mereka tidak berbuat apa-apa, dan menunggu perintah. Begitupula dalam hal kearifan, PNS baik staf maupun tingkat pimpinan seiring dengan keadaan ekonomi maka pada umumnya kurang memiliki kearifan, karena nilai kearifan itu telah bergeser pada nilai materialisme yang selalu diukur dengan uang. Kebijakan pemerintah masih menganut paradigma yang berorientasi pada pandangan birokrasi yang mekanistik, vertikal dan individual, sehingga resiko beban individu terasa sangat berat resikonya. Akibatnya kearifan dikorbankan dalam pelayanan publik demi prestige akibat adanya pengaruh dari lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat (Penjelasan Pedoman Budaya Kerja SK Menpan 25 Tahun 2002). Keadaan ini juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dwiyanto (2002) bahwa PNS organisasi pemerintah di Indonesia berakar pada
1.
PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara yang telah melakukan penguatan demokrasi salah satunya dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya, memerlukan adanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang handal dan efisien melaksanakan penyelenggaraan administrasi publik, dan pelayanan publik dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Kehandalan ini harus diimplementasikan dalam bentuk budaya kerja oleh PNS pada organisasi Pemerintah di daerah. Budaya kerja tersebut diantaranya berkaitan dengan keberanian dan kearifan dalam mengambil keputusan serta kemampuan menangani suatu persoalan bagi pelayanan publik yang prima. Budaya kerja keberanian dan kearifan merupakan salah satu pasang dari 17 (tujuh belas) pasang budaya kerja yang harus dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kep. Menpan) Nomor : 25/Kep/M.PAN/4/2002 tentang Pedoman Budaya Kerja bagi Aparatur Negara. Namun kenyataannya, menurut Darminto (2007) bahwa dalam menjalankan pelayanan publik PNS pada masa sekarang ini kurang berjalan secara efektif dan efisien. Selanjutnya Walters (dalam Suyono, 2006) menambahkan bahwa kegagalan dari pelayanan publik yang prima disebabkan banyak PNS tidak menyadari adanya perubahan dan [62]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
budaya kerja etnik Jawa yang bersendikan priyayi (kerabat raja / bangsawan) berkelanjutan pada pemerintah kolonial sampai pemerintah Orde Baru, masih membekas dalam budaya kerja organisasi pemerintah pada masa reformasi saat ini. Hal tersebut diatas juga diasumsikan terjadi pada PNS di Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat. Di daerah ini terdapat keberagaman etnis dalam susunan masyarakatnya. Populasi terbesar adalah etnis Minangkabau, kemudian etnis Mandailing, serta etnis Jawa selanjutnya berbagai etnis lainnya. Untuk itu permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh budaya kerja etnik lokal terhadap budaya kerja keberanian dan kearifan PNS pada pemerintah daerah di kabupaten Pasaman Barat ? Sedangkan limitasi penelitian ini adalah dibatasi pada PNS yang berasal dari budaya kerja etnik Minangkabau, etnik Mandailing dan etnik Jawa yang terdapat pada pemerintah kabupaten Pasaman Barat, provinsi Sumatera Barat.
2.2 Teori berkaitan dengan Budaya Kerja Keberanian dan Kearifan Teori yang banyak digunakan untuk berkaitan dengan pengaruh budaya terhadap budaya organisasi maupun budaya kerja pada berbagai bentuk organisasi, adalah teori yang dikemukakan oleh Hofstede. Dalam konsepnya bahwa budaya adalah suatu set mental programing. sebagai program mental yang berpola pikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (action) (Hofstede ;1984). Ini bermakna bahwa suatu budaya kerja juga suatu seperangkat nilai-nilai yang digunakan dan diyakini dalam melakukan suatu pekerjaan atau sewaktu bekerja. Pembentukkan program pada diri seseorang dapat berasal dari sistem nilai yang dianut dalam budaya kerja etniknya. Hofstede mengemukakan 5 (lima) dimensi yaitu: power distance, individualism collectivism, masculinty-feminity dan uncertainty avoidance dan short-term - long term orientation. Berkaitan dengan budaya kerja keberanian dan kearifan adalah Power Distance. Dalam hasil penelitiannya di Indonesia dikemukakannya bahwa terdapat tingginya Power Distance (Jarak Kekuasaan) dalam budaya organisasi. Teori diatas dapat juga bermakna bahwa keberanian dan kearifan dipengaruhi oleh kedudukan dan status seseorang dalam kehidupan masyarakatnya maupun pada organisasi tempat ianya bekerja. Sehingga menunjukkan kuat pengaruh budaya kerja yang paternalistik dan autokratik. Budaya kerja kerja paternalistik dan autokrasi maka keberanian pengambilan keputusan dan kesanggupan menanggung resiko dibebankan kepada pimpinan. Sedangkan pegawai lainnya sebagai bawahan mempunyai kecenderungan menunggu arahan dari pimpinan untuk melaksanakan sesuatu hal dalam bekerja. Selanjutnya teori lain yang berkaitan dengan pengaruh budaya dalam bekerja adalah teori X dan Y dari Gregor (dalam Gitosudarmo, 1986). Pada teori X menggambarkan bahwa rata-rata orang mempunyai kecenderungan malas dalam bekerja, tidak ingin tangguang jawab, tidak mempunyai ambisi, tidak peduli pada tujuan organisasi. Untuk itu pada teori ini diperlukan adanya kontrol yang ketat dari pimpinan kepada bawahan / para pegawai dalam bekerja. Sebab intinya alasan orang bekerja adalah karena uang dan keamanan hidup. Kemudian sebagaimana dikembangkan bahwa sebagian besar orang berupaya mencari suatu pekerjaan hanya untuk memenuhi keperluan hidupnya. Dengan harapan memperoleh uang baru seseorang dapat digerakkan untuk melakukan pekerjaan. Kemudian selain teori X diatas McGregor mengajukan rumusan teori Y. Dalam teori menggambarkan bahwa seseorang dalam bekerja mempunyai keinginan untuk mencapai suatu prestasi. Oleh sebab itu ia mempunyai keberanian dan kearifan untuk mewujudkan keinginannya dengan menerima suatu
2.
KAJIAN TEORI 2.1 Budaya Budaya ialah segala tindakan keatas sesuatu sehari-hari yang diperoleh seseorang daripada kebiasaan, yang merupakan sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan melekat pada dirinya melalui pengalaman dalam kehidupan kelompok masyarakatnya (Koentjaraningrat, 2002). Keadaan ini terbentu dengan kekhasan etnik, keadaan geogfrafis suatu daerah. Karena kehidupan manusia senantiasa dalam berkelompok maka sejalan dengan persebaran kelompok manusia terbentuk berbagai etnik yang mempunyai kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai dasar membentuk aturan dalam kelompok masyarakat tersebut. Nilai dan kepercayaan adalah sesuatu keyakinan yang mendasari seseorang berperilaku dalam bekerja. Makna dari suatu nilai adalah asumsi dasar mengenai apa-apa yang ideal diinginkan atau berharga. Sehingga kepercayaan seseorang dipengaruhi nilai atau budaya yang kemudian menjadi suatu budaya kerja bagi seseorang dalam bekerja. Bahkan salah yang terkuat mempengaruhi kepercayaan seseorang adalah keyakinan atas agamanya yang dianutnya (Tika, 2008 :37). Perubahan budaya dalam suatu masyarakat tertentu oleh pengaruh agama juga ditemukan oleh Max Weber (2001) pada penganut agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik di Eropa. Sama hal yang ditemukan oleh Kato (2005) pada masyarakat etnik Minangkabau di Indonesia pengaruh agama Islam telah membawa perubahan dalam kehidupan etnik ini yang ditandai dengan falsafah adat yang berubah menjadi “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” (adat berasas syariat, dan syariat berasaskan Kitab suci yaitu Al Qur’an). [63]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
beban tanggung jawab pekerjaan dan resiko yang terdapat pada pekerjaan tersebut. Penegasan pengertian budaya kerja keberanian dan kearifan juga terdapat dalam Keputusan Menpan No. 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Budaya Kerja bagi Aparatur Negara, yang pengertiannya yaitu : Keberanian diartikan sebagai berani menanggung resiko dalam pembuatan keputusan dengan cepat dan tepat waktu. Budaya kerja ini dimaksud agar seluruh PNS bukan hanya di tingkat Pimpinan saja mempunyai keberanian dalam mengambil resiko dalam pengambilan keputusan Sedangkan pengertian kearifan yaitu suatu landasan membentuk nilai-nilai bersumber dari otak sebelah kanan yang penuh nilai baik dan buruk sehingga orang dapat memilih nilai-nilai yang paling cocok dalam manajemen untuk memecahkan berbagai masalah dan menghadapi tantangan baru dengan mengambil tindakan yang diperlukan. Kemampuan menerapkan budaya kerja keberanian dan kearifan diatas oleh PNS, merupakan suatu permasalahan sangat penting untuk menganalisa suatu pelayanan publik di daerah. Oleh karena budaya kerja ini dapat menjadi penentu berjalan dengan cepat dan efesien atau sebaliknya menjadi lambat dan berbelit-belit pelayanan publik di daerah.
terdapat perbedaan secara hierarkis, paternalistis, dan feodalistis, sehingga status dan kedudukan sosial seseorang di dalam masyarakat sangat kentara. Ada yang tua dan ada yang muda, ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada raja, ada rakyat (abdi). Setiap orang dalam kelompok masyarakat harus selalu berada pada tempatnya. Demikianlah keselarasan dalam masyarakat. Dalam konsep budaya ini ada pula tradisi dalam berkomunikasi atau berbahasa yang bertingkat-tingkat, tradisi dalam berkesenian, tradisi dalam tata krama, dan lain-lain sebagai perwujudan konsep dan sistem kebudayaan masyarakat etnis tersebut. 2.4 Pelayanan Publik yang Prima Pengertian pelayanan publik dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik, yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan dalam ayat (5) menyebutkan pelaksana pelayanan publik yang adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik. Menurut Suyono (2007) tolok ukur keberhasilan pelayanan publik adalah Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain : (1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi; pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan; (2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan; (3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah ( prinsip rasionalisasi); (4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan. Dari berbagai pengertian diatas pelayanan publik yang prima adalah suatu pelayanan yang diberikan oleh organisasi Pemerintah maupun Pemerintah Daerah kepada segenap unsur pengguna yang memerlukan layanan sesuai dengan keperluan masing-masing masyarakat pengguna layanan, dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan laju pembangunan.
2.3 Budaya Kerja Keberanian dan Kearifan dalam Budaya Kerja Etnik Setiap etnik yang terdapat di Indonesia mempunyai bentuk budaya kerja tersendiri yang tercermin dari artifak, seni, falsafah kehidupan yang diyakini dan menjadi pandangan hidup sehari-hari. Kemudian pada daerah Kabupaten Pasaman Barat terdapat 3 (tiga) etnik yang mayoritas disamping etnik lainnya. Mayoritas etnik ini dilihat dari aspek jumlah penduduk yaitu; etnik Minangkabau, etnik Mandailing dan etnik Jawa. Pada masyarakat etnik Minangkabau, budaya kerja Keberanian dan kearifan tergambar dalam kehidupan pergaulan sehari-hari tidaklah terdapat dalam tingkatan tetapi pada hubungan yang terdapat dalam keberadaan masing-masing. Konsepsi alam terkembang yang dijadikan guru oleh masyarakat Minangkabau memperlihatkan bahwa semua unsur alam memiliki peran masing-masing dan saling berhubungan. Perbedaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosialnya akan tetapi oleh fungsinya. Saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tetapi tidak saling melenyapkan, saling mengelompok tetapi tidak saling meleburkan (Navis, 1984: 59). Keselarasan dalam konsep masyarakat Minangkabau tidaklah suatu jaringan (alam) yang hierarkis, tetapi merupakan sebuah mozaik yang sesuai antara manusia dengan lingkungannya dalam bentuk simbiosis muatualisme. Sedangkan budaya kerja etnik Mandailing dan etnik Jawa dalam pergaulan kehidupan sehari-hari
2.5 Penelitian terdahulu yang berkaitan Penelitian terdahulu berkaitan dengan pengaruh budaya etnik lokal terhadap pelayanan publik di daerah, diantaranya hasil penelitian Dwiyanto dkk (2003) bahwa dalam temuan penelitiannya pada daerah Istimewa Yogyakarta, bentuk budaya kerja yang berbentuk nilai dan simbol dalam praktek seharian PNS pada organisasi pemerintah daerah [64]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang berasal dari adat dan kebiasaan etnik Jawa yaitu yang merupakan sistem nilai dan budaya feodalis, rasa enggan atau pakewuh PNS kepada pimpinan, maupun masyarakat dengan PNS yang disebut juga sebagai budaya paternalistik. Oleh sebab itu dalam sistem nilai etnik Jawa dianggap bahwa seseorang yang menentang pimpinan dianggap sebagai tindakan durhaka atau mbalelo. Kemudian dalam temuannya di Sumatera Barat bahwa budaya etnik Minangkabau menganut falfasat hidup bahwa setiap individu etnik Minangkabau memiliki status yang sama, seperti yang terungkap dalam petuah mereka "tagak samo tinggi, duduk sama rendah" (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) sehingga tidak ada sikap saling menguasai. Terdapat prinsip egaliter dalam hubungan pimpinan dengan PNS bawahannya, yaitu tidak terdapat jarak yang jauh antara pimpinan dengan bawahan, sesuai dengan pepatah Minangkabau yaitu “pemimpin ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah (pemimpin ditinggi satu ranting (ibarat dahan kayu pohon), didahulukan satu langkah). Namun, dalam budaya etnik Minangkabau juga terdapat prinsip untuk menegakkan harga diri mempunyai dampak ego individual yang cukup tinggi untuk mempunyai posisi atau peranan tertentu dalam suatu kelompok. Hal ini sejalan dengan adanya falsafah "malu tak dapat dibagi". Bentuk budaya kerja paternalistik, hedonistik, dan feodalistik juga ditemukan oleh peneliti lainnya diantaranya Susanto, 1980; Danandjaja, 1986; Paramita, 1992 (dalam Endang, 2020). Paternalistik merupakan hubungan kebapakan antara pimpinan dengan PNS dan masyarakat, patron-client suatu pelayanan PNS pada organisasi pemerintah melihat aspek ketokohan seseorang dapat masyarakat atau hubungan seseorang dengan tokoh atau orang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat. Hedonistik terkait dengan kemungkinan mendapatkan materi tertentu dalam mendapat kenyamanan keduniawian. Feodalistik suatu hubungan pelayanan publik yang melihat aspek status sosial dalam kemasyarakatan, misal status kebangsawan, priyayi atau kedudukan dan jabatan formal lainnya. Gambaran hasil penelitian terkait diatas selanjutnya peneliti memformulasi penelitian ini untuk mendalami lebih lanjut pengaruh budaya kerja etnik terhadap budaya kerja keberanian dan kearifan PNS pada organisasi Pemerintah di daerah dalam pelayanan publik.
menganalisis secara terperinci, jelas dan sistematis terhadap budaya kerja PNS pada Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman Barat, Budaya Kerja PNS etnik Minangkabau, etnik Batak/Mandahiling, dan etnik Jawa pada Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi, yang dilakukan mulai Januari 2010 – Maret 2011. Pengujian keabsahan data menggunakan teknik trianggulasi sumber. Sedangkan teknik analisis data ini merujuk kepada pendapat Miles dan Huberman (1992) yaitu analisis pendekatan kualitatif menggunakan interactive model of analysis. Informan dan Responden dalam penelitian ini adalah PNS yang bekerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Pasaman yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan publik, yaitu Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpollinmas), Kantor Pelayanan Satu Pintu (Yantu), dan Badan Kepegawaian dan Pelatihan Daerah (BKPL). 4.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa PNS pada 3 (tiga) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada pemerintah kabupaten Pasaman Barat (kab Pasbar) yang menjadi lokasi penelitian ini, terdapat kecenderungan yang kuat adanya pengaruh budaya kerja etnik. Disamping juga dipengaruhi budaya kerja yang berasal dari masa Orde Baru dan budaya modern akibat kemajuan teknologi dan informasi. Adapun bentuk budaya kerja etnik mempunyai kecendrungan berpengaruh kepada budaya keberanian dan kearfian dalam pelayanan publik yang prima disajikan berikut ini. PNS yang berasal dari etnik Minangkabau dalam pelayanan publik berkaitan dengan budaya kerja keberanian dan kearifan yaitu budaya kerja etnik Minangkabau dalam bentuk budaya kerja penuh perhitungan dan “galie”. Budaya kerja etnik Minangkabau yang sebelum melakukan sesuatu maka ia memperhitungkan resiko yang akan terjadi. Sesuai dengan pepatah “duduak marauik batuang, tagak maninjau jarak” (duduk mengayam bambu, berdiri melihat jangkauan). Pepatah berkaitan lainnya” ma ukua bayang-bayang sepanjang badan” (mengukur bayang tubuh diri sendiri). Sedangkan budaya kerja “galie” sejalan dengan budaya kerja penuh perhitungan, sehingga mempunyai kecenderungan untuk mengelak dari resiko. PNS yang berasal dari etnik Mandailing PNS dalam pelayanan publik berkaitan dengan budaya kerja keberanian dan kearifan, mempunyai kecenderungan adanya keberanian mengambil suatu langkah kebijaksanaan, terutama bilamana yang berurusan tersebut orang-orang yang sama etnik dengannya, ini sejalan dengan semboyan “alak hita”. Ini sejalan dengan bentuk budaya kerja etnik
3. METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif. Maksud pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang mengunakan analisis sebab akibat yang terjadi di lapangan (Moleong, 1993). Penelitian ini dilakukan melalui studi lapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk [65]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Mandailing yang mempunyai ikatan primodial yang tinggi, berani dalam menghadapi sesuatu dan rasa setiakawan yang kuat. Namun cenderung keberanian mengambil kebijakan tersebut dilakukan kurang perhitungan, karena ingin segera selesai sesuatu urusan. Dalam hal terlihat adanya kurang arif dalam mengambil kebijaksanaan tersebut. PNS yang berasal dari etnik Jawa PNS dalam pelayanan publik berkaitan dengan budaya kerja keberanian dan kearifan, mempunyai kecenderungan kurang berani mengambil suatu langkah kebijaksanaan. Ini sejalan dengan bentuk budaya kerja etnik Jawa yang segan mengambil kebijakan karena dianggap melangkahi atasan bagi etnik Jawa atasan pada hakikat dianggap sebagai seorang ”Bapak” atau adanya budaya kerja paternalistik, kemudian mereka cenderung menjalankan sesuatu sesuai dengan prosedur yang sudah baku dan kaku. Sebagaimana dijelaskan oleh Hofstede dalam teorinya bahwa pembentukkan mind set programing suatu budaya kerja dipengaruhi oleh berbagai aspek lingkungan. Dengan kenyataan dari temuan yang peneliti peroleh bahwa upaya perubahan budaya kerja oleh Pemerintah Pusat hanya lebih cenderung sebatas mengeluarkan aturan bagi aparatur negara baik berkaitan dengan budaya kerja maupun UU pelayanan publik, namun belum diringi dengan sosialisasi secara intensif kepada pada PNS yang berada di pemerintah daerah merupakan penyebab utama menjadi kuat pengaruh budaya kerja etnik. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Schein (1992) bahwa suatu budaya kerja pada suatu organisasi harus dilakukan internalisasi agar para anggota organisasi mampu memahami nilai-nilai budaya kerja tersebut dan kemudian menerapkannya. PNS di lokasi penelitian ini cenderung lebih dominan melakukan bentuk budaya keberanian dan kearifan berdasarkan budaya kerja etnik mereka, disebabkan mereka lebih merasa telah merupakan sebagai kebiasaan yang cenderung sulit berubah tanpa dilakukan perubahan secara tegas dari pimpinan terkait. Kecenderungan PNS dari ketiga etnik menjalankan sesuatu tugas sesuai dengan rutinitas. Keberanian dan kearifan yang dapat menghasilkan pengambilan keputusan dan inovasi bagi perubahan budaya kerja dalam pelayanan publik cenderung belum berjalan sebagaimana mestinya. Yang ditemukan dari hasil observasi dan wawancara di lokasi penelitian adalah budaya kerja menunggu perintah dari atasan, menunggu petunjuk dari atasan serta mengikuti peraturan dari atasan tidak ada keberanian dan kearifan bertindak. Selanjutnya berdasarkan ungkapan masyarakat yang berurusan dengan ketiga SKPD tersebut, PNS dalam melayani mereka masih cenderung melihat tentang status sosial seseorang dalam masyarakat. Jika yang berurusan mempunyai status sosial misalnya tokoh masyarakat, orang mempunyai kedudukan tertentu, maka akan mendapatkan prioritas
dalam pelayanan yang dilakukan. Sedangkan jika orang yang berurusan merupakan masyarakat awam, cenderung dilayani dengan prosedur yang kaku dan lambat. Keadaan diatas menunjukkan bahwa PNS dalam memberikan pelayanan publik cenderung masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan. Sehingga kondisi ini menyebabkan masyarakat yang awam dalam berurusan berada dalam posisi “tidak berdaya” dan terpaksa mengikuti prosedur yang kaku, ketat, dan cenderung lama untuk mendapatkan penyelesaian urusan tersebut. Berbeda dengan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertentu akan mendapat pelayanan dalam berurusan lebih baik dan fleksibel, serta ada kemauan PNS menerapkan budaya kerja keberanian dan kearifan untuk mempercepat dan memperlancar urusan tersebut. Kemudian berdasarkan penelusuran lebih lanjut penyebab lainnya kuat pengaruh budaya etnik terhadap budaya kerja keberanian dan kearifan PNS, berdasarkan ungkapan beberapa informan bahwa pengalaman mereka sebelum menjadi PNS, sebagian dari mereka pernah bekerja sebagai pegawai swasta, ada juga yang sebelumnya menjadi pegawai honorer di lingkungan pemkab. Bagi mereka pernah bekerja di perusahaan swasta yang menerapkan bentuk budaya kerja sebagaimana budaya kerja modern dari negara di Barat, terasa lebih senang bekerja sebagai PNS. Hal ini karena sebagai PNS mereka tidak ada kekuatiran di berhentikan karena bekerja tidak mencapai target yang seharusnya. Sebagai PNS terasa nyaman karena ada kepastian pendapatan dari gaji dan penghasilan lainnya sesuai aturan berlaku dalam waktu jangka panjang. Sejalan dengan teori X dari McGregor, maka budaya kerja keberanian dan kearifan menjadi cenderung sulit terjadi disebabkan motivasi utama seseorang menjadi PNS adalah adanya kepastian mendapat uang dalam jangka waktu lama. Sehingga setelah menjadi PNS bagi mereka yang merasa berkemungkinan sulit mendapat jabatan, promosi dalam berkarir dalam organisasi pemerintah daerah kecenderungan malas dalam bekerja, tidak ingin tangguang jawab, tidak mempunyai ambisi, tidak peduli pada tujuan organisasi. Untuk itu pada teori ini diperlukan adanya kontrol yang ketat dari pimpinan kepada bawahan / para pegawai dalam bekerja. Dari pembahasan diatas maka sejalan dengan dikemukakan oleh Rini (2002) para pemimpin administrasi negara harus memadukan gaya manajemen Barat, Jepang, Cina dengan gaya manajemen budaya tradisional Indonesia sehingga menghasilkan budaya kerja yang positif untuk diterapkan. Menurut peneliti perpaduan ini di Indonesia sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai keyakinan agama penduduk di Indonesia. Sebagaimana juga [66]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
dikemukakan oleh Tika (2008) bahwa nilai dan keyakinan agama mempunyai pengaruh yang kuat bagi perubahan budaya. Mayoritas PNS di lingkungan pemerintah kabupaten Pasaman Barat adalah beragama Islam, disamping ada juga PNS beragama Kristen. Salah satu upaya yang mampu menghasilkan perubahan budaya kerja PNS adalah dengan pembinaan kepada semua PNS dalam bentuk kegiatan wirid/ceramah agama, secara periodik dengan materinya kerja dihubungkaitkan antara budaya kerja menurut Pemerintah, budaya kerja etnik positif dan budaya kerja yang diajurkan dalam agama. Perpaduan budaya bekerja ini dapat membangun suatu kesadaran kosmik spiritual yang religius untuk diekspresikan dalam bekerja, termasuk dalam melaksanakan pelayanan publik yang prima di daerah.
Kependudukan dan Kebijakan. Universitas Gadjah Mada. Rini, Endang Sulistya.(2002). Manajemen Indonesia: Perpaduan Manajemen Barat dan Timur serta Budaya Tradisional. Diakses tanggal 16 Februari 2008 dari Digitized by USU digital library. Hofstede, G.(1984). Culture’s Consequences : International in Work – Related Values. Abridged Edition. Volume 5, Cross-Cultural Research and Methodology Series. _________________. Tanpa tahun. Cultural Dimensions For Indonesia. Makalah. Gitosudarmo, Indriyo. (1986). Prinsip Dasar Manajemen. BPFE, Yogyakarta. Kato, Tsuyoshi. (2005). Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Balai Pustaka.Jakarta. Penerjemah Gusti Anan dan Akiko Iwata. Koentjaraningrat (2002). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia. Koentjacaraningrat.(2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta. (Kebudayaan Batak, Pajung Bangun hal 94 – 117) (Kebudayaan Minangkabau, Umar Junus 248 – 265) (Kebudayaan Jawa, Kodiran 329 – 354). Miles, Matthew B, and Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. (terjemahan). UI Press. Jakarta. Moleong, Lexy J. (1993). Metode Penelitian Kualitatif. Remadja Rosda Karya. Bandung. Navis, A.A.(1984). Alam Takambang Jadi Guru. Grafiti Pers. Jakarta. Tika, H.Moh.Pabundu. 2006. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Bumi Aksara. Jakarta. Weber, Max. 2001. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terjemahan.
5.
PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini, bahwa masih kuatnya pengaruh budaya kerja etnik terhadap budaya kerja keberanian dan kearifan PNS. Bentuk pengaruh yang kuat tersebut adalah PNS etnik Minangkabau cenderung berupaya mengelak dari resiko (cenderung galie) dalam hal keberanian dan kearifan, suatu pengambilan keputusan, etnik Jawa cenderung mengikuti prosedural yang ketat dan kaku atau menunggu arahan pimpinan (paternalistik) dalam budaya kerja keberanian dan kearifan, etnik Mandailing cenderung primodial dalam budaya kerja keberanian dan kearifan. 5.2 Saran Sebaiknya perlu dilakukan upaya bagi perubahan budaya kerja keberanian dan kearifan PNS di kabupaten Pasaman Barat perlu dilakukan langkah antara lain; (1) perlu adanya upaya pelatihan oleh pemerintah daerah bagi penanaman nilai-nilai budaya kerja, (2) perlu Kepala Daerah untuk menggiatkan secara periodik wirid/ceramah bagi PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat, dengan tema berkaitan dengan nilai – nilai budaya kerja perpaduan budaya kerja yang ditetapkan Pemerintah, budaya kerja etnik yang positif dan budaya kerja yang terdapat dalam ajaran agama.
Biodata Penulis Aldri Frinaldi, lahir di Jakarta / 12 Februari 1970 , menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum UNAND, tamat tahun 1995, kemudian S2 di Universitas Hasanuddin, Makassar, tamat tahun 2000, sekarang sedang mengikuti studi lanjutan yaitu S3(Ph.D.) tentang Culture of Public Administration, pada College Law, Government and International Studies Affair, Universiti Utara Malaysia (UUM), sejak tahun 2006. Bertugas sebagai Dosen pada prodi Ilmu Administrasi Negara FIS UNP. Mulai menjadi tahun 1998 hingga sekarang.
6. PUSTAKA Suyono, Agus. (2007). Budaya Birokrasi Pelayanan Publik. Jurnal FIA – UB tanggal 5 Januari 2008 diakses dari www.lib.unair.ac.id Darminto. (2007). Aspek Budaya dan Kinerja Aparatur Pemerintah. Artikel. Juli. Diakses tanggal 15 September 2007 dari www.Gerbang Jabar.go.id Dwiyanto, Agus.(2002). Reformasi Birokasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi
Muhamad Ali bin Embi, lahir di Sungai Gelugor, Pulau Pinang, Malaysia pada Juli 1968. Menyelesaikan Undergraduate (S1) dan memperoleh gelar BPA pada UUM di Universiti Utara Malaysia tahun [67]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
1992. Menamatkan Master Degree (MPA) pada University of Southern California, USA pada tahun 1995. Memperoleh Ph.D pada University Sains Malaya pada tahun 2004. Saat ini adalah Profesor Madya bidang Public Management pada Kolej Undang-undang, Kerajaan dan Kajian Antara Bangsa, Universiti Utara Malaysia., Sintok Kedah Darul Aman, Malaysia.
[68]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
E-GOVERNMENT: STUDI PENDAHULUAN DI KABUPATEN SRAGEN Ikhsan Darmawan Prodi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kabupaten Sragen merupakan salah satu kabupaten yang menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Pertama, Kabupaten Sragen sampai tahun 2008 telah meraih sejumlah penghargaan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, Kabupaten Sragen termasuk salah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang telah berhasil mengembangkan jaringan egovernment sampai ke tingkat desa. Paper ini merupakan studi pendahuluan mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten Sragen dengan menggunakan e-government. Pembahasan paper ditekankan pada substansi, implementasi, dampak, dan faktor pendukung keberhasilan dari kebijakan e-government di Kabupaten Sragen. Kata Kunci: E-government, Local Government, Sragen itu, Inpres tersebut juga meminta seluruh pihak seperti disebutkan di atas untuk merumuskan rencana tindak di lingkungan instansi masingmasing dengan berkoordinasi dengan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi. Regulasi lainnya di tingkat nasional selain Inpres adalah Peraturan Presiden tentang Pelaksanaan Egovernment di Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah. Hanya saja, Peraturan Presiden tersebut masih berstatus sebagai draft dan belum disetujui oleh Presiden. Kembali kepada Inpres No.3 Tahun 2003, sejak Inpres itu diberlakukan, lembaga-lembaga pemerintah mulai dari pusat sampai dengan tingkat kabupaten/kota mulai melakukan banyak persiapan agar dapat melaksanakan Inpres tersebut. Sebagai contoh, jika menggunakan indikator dari salah satu bentuk pelaksanaan e-government yakni eprocurement, berdasarkan laporan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sampai tahun 2010, minat dan implementasi kebijakan e-procurement di tingkat nasional telah 25 instansi pemerintah di tingkat pusat.i Sedangkan, untuk tingkat daerah sampai bulan Januari 2010, jumlah provinsi, kabupaten, dan kota yang masuk kategori telah menerapkan eprocurement telah mencapai 30 provinsi, 72 kabupaten, dan 34 kota (LKPP, 2010). Untuk tingkat daerah, salah satu daerah yang menarik untuk dicermati kebijakan e-governmentnya adalah Kabupaten Sragen. Apa yang penting dan menarik dari Kabupaten Sragen? Pertama, sampai dengan tahun 2008, Kabupaten Sragen telah meraih banyak penghargaan, di antaranya (1) Citra Pelayanan Primadari Presiden RI; (2) Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden RI; (3) Otonomi Award bidang Administrasi Pelayanan dari JPIP Surabaya; (4) Terpilih sebagai Model Kabupaten dalam Bidang Pelayanan dari BKKSI; (5) Leadership Award dari
1.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang E-government, yang dapat didefinisikan sebagai seluruh tindakan dalam sektor publik (baik pusat maupun daerah) yang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan tujuan mengoptimalkan proses pelayanan publik yang efisien, transparan, dan efektif (Prasojo, et.al., 2007: 82), telah menjadi bagian penting dalam usaha untuk membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia. Pentingnya e-government paling tidak disebabkan oleh 3(tiga) faktor (Prasojo, et.al., 2007: 82), yaitu: (a) Komunikasi elektronik antara sektor publik dan masyarakat menawarkan bagi keduanya bentuk baru untuk partisipasi dan interaksi; (b) Ruang cyber dalam pelayanan publik memudahkan penghapusan struktur birokrasi dan proses klasik dari pelayanan yang berbelitbelit; dan (c) E-government dapat menawarkan juga informasi di tingkat lokal. Dasar hukum e-government di Indonesia di tingkat nasional adalah Intruksi Presiden (Inpres) No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-government. Poin penting Inpres tersebut yaitu menginstruksikan kepada: (1) Menteri; (2) Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; (3) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara; (4) Panglima Tentara Nasional Indonesia; (5) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; (6) Jaksa Agung Republik Indonesia; (7) Gubernur; dan (8) Bupati/Walikota untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing masing guna terlaksananya pengembangan e-government secara nasional dengan berpedoman pada Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government. Di samping
[69]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Menpan dan Mensos; dan (6) Ranking 1 Daerah Pro Investasi di Jawa Tengah pada tahun 2006. Satu penghargaan lainnya yang tak kalah pentingnya dan erat kaitannya dengan paper ini adalah penghargaan Best of the Best e-Government Award 2007 dari Majalah Warta Ekonomi. Kedua, Kabupaten Sragen termasuk salah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang telah berhasil mengembangkan jaringan e-government sampai ke tingkat desa (bahkan telah sampai ke seluruh desa atau 208 desa). Setelah pertanyaan mengapa memilih untuk membahas Kabupaten Sragen terjawab, pertanyaan berikutnya adalah mengapa mengangkat masalah egovernment? Secara teoretis, e-government karena beberapa sebab (OECD 2005, 15-16), yakni: 1. E-government meningkatkan efisiensi Teknologi informasi dan komunikasi meningkatkan efisiensi dalam hal pemrosesan tugas dan operasi adminitrasi publik dalam jumlah besar. Aplikasi berbasis internet bisa menyimpan koleksi dan transmisi data, provisi informasi dan komunikasi dengan customer. Efisiensi di masa datang yang lebih signifikan mungkin dilakukan melalui pembagian data yang lebih besar dengan dan antar pemerintahan. 2.
3.
E-government meningkatkan pelayanan Jika pemerintahan ingin fokus pada pengguna mengimplikasikan bahwa seorang pengguna tidak seharusnya mengerti struktur dan hubungan pemerintahan yang kompleks dengan tujuan berinteraksi dengan pemerintah. Internet bisa membantu untuk mencapai tujuan ini dengan memudahkan pemerintah untuk muncul sebagai organisasi yang bersatu dan menyediakan pelayanan online. Pelayanan egovernment harus dibangun dalam kaitan dengan permintaan dan nilai untuk user, sebagai bagian dari strategi pelayanan yang melibatkan banyak saluran.
4.
E-government bisa berkontribusi untuk tujuan kebijakan ekonomi E-government membantu mengurangi korupsi, menambah keterbukaan dan kepercayaan dalam pemerintahan, dan maka berkontribusi untuk tujuan kebijakan ekonomi. Dampak khusus mencakup pengeluaran pemerintahan yang berkurang melalui program yang lebih efektif, dan efisiensi dan peningkatan dalam produktivitas bisnis melalui teknologi komunikasi dan informasi memudahkan penyederhanaan administrasi dan meningkatkan informasi pemerintahan.
5.
E-government bisa menjadi pengkontribusi utama untuk reformasi Teknologi informasi dan komunikasi telah mendukung reformasi dalam banyak area, sebagai contoh dengan meningkatkan transparansi, memfasilitasi pembagian informasi dan meng-highlight ketidakkonsistenan internal.
6.
E-government bisa membantu membantu kepercayaan antara pemerintah dan warga negara Membangun kepercayaan antara pemerintah dan warga negara adalah hal mendasar untuk pemerintahan yang baik. Teknologi informasi dan komunikasi membantu membangun kepercayaan dengan memudahkan pelibatan warga negara dalam proses kebijakan, mempromosikan pemerintahan yang terbuka dan akuntabel dan membantu mencegah korupsi. Lebih lanjut, jika keterbatasan dan tantangan dapat diatasi, e-government bisa membantu suara seorang individu dapat didengarkan dalam sebuah perdebatan yang lebih luas.
1.2 Permasalahan Berangkat dari rumusan latar belakang di atas, paper ini mencoba untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana substansi, implementasi, dampak dan faktor pendukung keberhasilan dari kebijakan egovernment di Kabupaten Sragen? Paper ini hanya dibatasi pada studi pendahuluan mengenai substansi serta kebijakan e-government di Kabupaten Sragen. Penelitian yang lebih bersifat analitis mengenai dampak kebijakan e-government terhadap kualitas pelayanan publik di Kabupaten Sragen, misalnya, memerlukan penelitian lebih lanjut disertai turun lapangan.
E-government membantu mencapai keluaran kebijakan tertentu Internet bisa membantu pemangku kepentingan (stakeholder) membagi informasi dan ide dan maka itu berkontribusi terhadap keluaran kebijakan tertentu. Sebagai contoh, informasi online bisa menyebarluaskan penggunaan sebuah program pendidikan atau pelatihan, pembagian informasi dalam sektor kesehatan bisa meningkatkan penggunaan sumber daya dan perhatian terhadap pasien, dan pembagian informasi antara pemerintahan pusat dan sub-nasional bisa memfasilitasi kebijakan lingkungan.
2.
KEBIJAKAN E-GOVERNMENT KABUPATEN SRAGEN 2.1 Latar Belakang Kebijakan E-government Sragen adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah mencapai 94.155 Ha dan jumlah penduduk pada tahun 2009 mencapai [70]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
875.463 jiwa. Mayoritas masyarakat Sragen bekerja sebagai petani 58,22%. Data di bidang pemerintahan menunjukkan bahwa Kabupaten Sragen memiliki 20 kecamatan, 196 desa, dan 12 kelurahan. ii Latar belakang penerapan e-government di Kabupaten Sragen dapat ditelusuri dari Arah Kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Sragen. Salah satu poin dari kebijakan tersebut yakni penataan kembali sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penataan kembali sistem ditetapkan dalam rangka pelaksanaan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Penataan tersebut diupayakan untuk memperkuat serta menyempurnakan Struktur Organisasi Pemerintahan Daerah yang didukung sumber daya apatur yang memiliki komitmen dan kompetensi, professional, demokratis, akuntabel, respontif, efektif, efesien, dan merakyat dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Penataan tersebut berkaitan dengan diterapkannya kebijakan e-government karena egovernment termasuk salah satu bagian dari penataan sistem seperti yang dimaksud di atas. iii Selain latar belakang di atas, hal yang tak kalah penting untuk dicermati adalah penempatan kebijakan penataan kembali sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berada di tempat pertama menunjukkan bahwa masalah e-government mendapat prioritas utama dalam hal kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen.
e. Mengembangkan kapasitas SDM di lingkungan pemerintahan dan meningkatkan e-literacy masyarakat. f. Melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan-tahapan yang realistik dan terukur. 2.3 Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan e-government dapat dilihat dari website Pemerintah Kabupaten Sragen (lihat Gambar 1). Penggunaan Teknologi Informasi (TI) di Kabupaten Sragen telah dimulai sejak tahun 1998. Akan, tetapi proses adopsi yang terjadi pada waktu itu masih sangat rendah karena kapabilitas sumberdaya manusia yang juga masih rendah. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Kabupaten Sragen melakukan pelatihan TI secara rutin sejak tahun 2002 untuk meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia dalam pemanfaatan TI dalam rangka implementasi e-government.
2.2 Substansi Kebijakan Kebijakan e-government di Kabupaten Sragen merupakan wujud implementasi dari UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE, serta Inpres No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan E-government. Sedangkan, untuk tingkat Kabupaten Sragen sendiri terdapat peraturan yang mengayomi implementasi e-government yaitu Peraturan Bupati No.11 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi dan Komunikasi atau E-government di Kabupaten Sragen. Substansi kebijakan e-government di Kabupaten Sragen dapat diketahui dari strategi pengembangan e-government. Menurut Sulihanto(…: 3), pengembangan e-government di Kabupaten Sragen meliputi sejumlah aspek, yaitu: a. Mengembangkan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas. b. Menata sistem manajemen dan proses kerja pemerintahan. c. Memanfaatkan teknologi informasi secara optimal. d. Meningkatkan peran serta dunia usaha dan mengembangkan industri telekomunikasi dan teknologi informasi
Gambar 1. Website Pemkab Sragen Sumber: www.sragenkab.go.id Implementasi e-government di Sragen dikelola oleh Bagian Penelitian, Pengembangan, dan Data Elektronik. Pada Oktober 2002, Sragen membuka Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) sebagai one-stop service untuk memberikan pelayanan kepada publik dengan lebih mudah dalam mendapatkan ijin. Sampai tahun 2007, sebanyak 52 layanan/ijin diterbitkan oleh KPT. Sebanyak 16 darinya didelegasikan ke tingkat kecamatan, dan 9 ke tingkat desa (lihat Gambar 2).
[71]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
5
2006
Instansi vertikal: BPN, Depag, Kejaksaan, Pengadilan, Polres, BPS. 6 2007 Seluruh desa/kelurahan sebanyak: 208 desa/kelurahan. Sumber: Hartono, Dwiarso Utomo, Edy Mulyanto (2010, 10). Sampai dengan tahun 2010, cakupan jaringan pelayanan e-government telah jauh berkembang pesat. Setidaknya, terdapat 11 sistem yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sragen, yaitu dari mulai Sistem Informasi Kependudukan (Simduk), Sistem Informasi Perdagangan Kebutuhan Pokok, Sistem Informasi Perijinan, Sistem Informasi Barang Daerah, Sistem Informasi Pendapatan Daerah, sampai dengan Sistem Informasi Pemberdayaan Pemerintahan dan Potensi Desa (Untuk lebih lengkapnya, lihat Tabel 2). Kebijakan e-government di Kabupaten Sragen memiliki sederet kelebihan dan keunggulan, antara lain (Sulihanto:..., 7): a. Tidak menggunakan telepon sebagai sarana pengiriman data(bebas biaya pulsa); b. Akses download dan upload file lebih cepat; c. Online 24 jam; d. Dapat dimanfaatkan untuk akses internet melalui satu titik (Base PDE) dan semua user / titik dapat ikut akses internet; e. Dapat dimanfaatkan untuk media Teleconference; dan f. Dapat digunakan untuk jaringan VOIP antar Desa/Kecamatan/Satuan Kerja/Pimpinan.
Gambar 2. Jaringan Internet Pemkab Sragen Sumber: Isnadi (hal. 6) Sejak dibuka sampai dengan tahun 2005, KPT telah menerbitkan 12.601 ijin yang sebagian besar terkait dengan aktivitas ekonomi. Berdirinya KPT yang mempermudah proses perijinan telah memberikan dampak yang jelas pada iklim investasi di Sragen. Pada tahun 2006, sebanyak 52 kantor telah terkoneksi dengan jaringan komputer dan Internet, termasuk di dalamnya 21 unit kerja di tingkat kabupaten, 20 kantor kecamatan, dan 11 kantor dinas. Local area network digunakan untuk menghubungkan semua kantor tersebut dengan bantuan kabel dan gelombang radio pada frekuensi 2,4 Mhz. Pada tahun 2007, sebanyak 208 kantor kelurahan telah dikoneksikan dengan Internet (lihat Tabel 1 dan Gambar 3). Tabel 1. Tahapan Pembangunan Jaringan Online Kabupaten Sragen No
Tahun
1
2002
2
2003
3
2004
4
2005
Instansi yang Dibangun Jaringan Online KPDE, Sekretariat Daerah, Dispenda, BUMD Seluruh Badan, Dinas, Kantor: BKD, Bawasda, Badan Diklat, Disdik, DPU, Dishub, Dipertan, Disterkan, Disperindagkop, Dinas PKBM, BPT, Kantor pariwisata, Kantor Satpol PP, Kantor Capil. 8 Kecamatan: Sragen, Sidoharjo, Masaran, Ngrampal, Tanon, Gemolong, Karangmalang, Tangen. 12 Kecamatan: Jenar, Gesi, Sukodono, Mondokan, Sumberlawang, Miri, Kalijambe, Plupuh, Kedawung, Sambirejo, Gondang, Sambungmacan.
Gambar 3. Jaringan E-government Pemkab Sragen Sumber: Isnadi (hal. 7) Tabel 2. Pengembangan E-government di Kabupaten Sragen No Sistem E-government 1 Sistem Informasi Kependudukan (Simduk) 2 Sistem Informasi Perdagangan Kebutuhan Pokok [72]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
2.5 Faktor Pendukung Keberhasilan Pertanyaan penting berikutnya adalah, apa saja faktor pendukung keberhasilan kebijakan egovernment di Kabupaten Sragen? Paling tidak, ada 6(enam) faktor yang menjadi pendukung keberhasilan e-government di Kabupaten Sragen (Wahid, 2007), yaitu: 1. Kepemimpinan politik yang kuat dengan visi yang jelas. Manajemen perubahan (change management) untuk mengatasi masalah organisasi dan kultur hanya dapat dilakukan dengan baik dengan dukungan kepemimpinan yang kuat. Tantangan organisasi dan kultural umumnya lebih sulit diselesaikan daripada tantangan dari sisi teknologi. Mantan Bupati Sragen yang menggagas e-government di Sragen, Untung Wiyono, menyatakan, ”Manajemen perubahan perlu untuk menjamin keberhasilan implementasi e-government”. Bahkan dalam beberapa pertemuan dengan staf, Bupati mempersilakan kepada yang menentang kebijakan implementasi untuk mundur dari jabatannya. Kepemimpinan politik yang kuat dengan visi yang jelas ini telah memberikan hasil yang nyata, berupa dukungan dari para staf dan bahkan rival politiknya di DPRD.
3 4 5 6 7
Sistem Informasi Kepegawaian Sistem Informasi Perijinan Sistem Informasi Barang Daerah Sistem Informasi Pendapatan Daerah Sistem Informasi Pengadaan Barang Daerah 8 Kantor Maya (Kantaya) 9 Sistem Informasi Pelayanan Sertifikat Tanah 10 Surat Maya 11 Sistem Informasi Pemberdayaan Pemerintahan dan Potensi Desa Sumber: Hartono, Dwiarso Utomo, Edy Mulyanto (2010, 10). 2.4 Dampak Kebijakan E-government Setelah diimplementasikan, bagaimana dengan dampaknya? Ternyata dampak dari kebijakan egovernment ini termasuk positif. Menurut Sulihanto, (...: 14-15), sejumlah dampak kebijakan egovernment, yaitu: 1. Adanya kecenderungan peningkatan nilai investasi. Jika di tahun 2002 investasi di Sragen adalah Rp 592 M, kemudian di tahun 2003 sebesar 703 M dan di tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 926 M, maka di tahun 2006 nilai investasi di Kabupaten Sragen telah meningkat kembali menjadi Rp.1,2 T. 2.Peningkatan daya serap tenaga kerja di sektor industri. Peningkatan itu terlihat dari sebelumnya di tahun 2002 tenaga kerja yang terserap hanya 40.785 orang, di tahun 2006 telah mencapai 58.188 orang. 3.Peningkatan jumlah perusahaan yang memiliki perijinan (legalitas usaha). Peningkatan tersebut mencapai 27% dari sebelumnya di tahun 2002 berjumlah 6.373, di tahun 2006 jumlahnya telah mencapai 10.293. 4.Perkembangan jumlah perijinan. Jumlah perizinan meningkat tajam dari di tahun 2002 sebanyak 2.027 Ijin, di tahun 2006 jumlah perizinan telah menembus angka 5. 274. 5.Peningkatan Potensi Fiskal. Peningkatan itu yakni dari sebelumnya berada di urutan 8 terbawah menjadi di atas rata-rata nasional (Tahun 2003 naik 250 %). 6.Peningkatan PAD dari 8,8 M menjadi 88,3 M selama 7 tahun. 7.Peningkatan PDRB. PDRB Sragen selama kurun waktu tahun 2002 sampai tahun 2006 meningkat sebesar 57.48 %. 8.Peningkatan angka Pertumbuhan Ekonomi. Peningkatan itu adalah dari di tahun 2004 sebesar 4,53 %, di tahun 2005 naik menjadi 5,06%. 9.Terdapatnya jumlah dana yang berasal dari Swadaya Masyarakat di tahun 2006 sebesar Rp. 89,6 M.
2. Pelibatan semua pihak. Kepemimpinan yang kuat telah memberikan iklim yang baik untuk membangkitkan kesadaran bersama akan arti penting dukungan semua pihak terhadap egovernment. Tahap awal implementasi bukan tanpa hambatan. Awal dibukanya KPT telah memunculkan sinisme dari banyak pihak. Adopsi inovasi, dalam hal ini KPT, jika dipandang belum terbukti bermanfaat seringkali mendapatkan resistansi. Namun, ketika inovasi sudah terbukti, maka akan mudah untuk mendapatkan dukungan banyak pihak. Pelibatan semua pihak akan mengurangi resistensi ini. Pelibatan semua pihak dalam implementasi egovernment dari berbagai tingkatan, mulai kabupaten sampai desa, merupakan modal awal keberhasilan. KPT telah mengubah paradigma pelayanan publik di Sragen. Hubungan antar lembaga pun menyesuaikan. KPT sebagai sebuah one-stop service telah berhasil menyatukan komitmen semua dinas terkait dalam memudahkan dan meningkatkan kualitas layanan publik. 3. Penyiapan sumberdaya manusia. Dalam implementasi e-government di Sragen, salah satu kendala yang sangat nyata pada tahap awal adalah kapabilitas sumberdaya manusia. Di samping itu, masalah besar lainnya adalah mengubah pola pikir. Pelatihan, konsultasi, dan studi banding ke beberapa perusahaan swasta pun dilakukan. Bahkan seragam staf di KPT pun [73]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
tidak jauh dengan seragam pegawai di pegawai perusahaan swasta seperti bank. Semua dilakukan untuk memberikan kenyamanan dalam pelayanan publik.Untuk menyiasati masalah kapabilitas individu, pelatihan teknologi informasi dilakukan secara teratur. Setiap Kepala Dinas bahkan harus didampingi oleh seorang operator yang terlatih.
melainkan harus melalui titik layanan seperti KPT dan kantor kecamatan (Wahid, 2007). Akan tetapi, walaupun demikian, belajar dari best practices di Kabupaten Sragen selama ini, bukan tidak mungkin ke depannya kelemahan tersebut akan dapat diatasi dan sehingga akhirnya pelayanan publik e-government di Kabupaten Sragen menjadi jauh lebih baik dari saat ini.
4. Implementasi secara bertahap. Implementasi secara bertahap adalah pelajaran lain yang bisa diambil. KPT adalah sebuah pilihan baik untuk mengawali implementasi e-government. Selain karena melibatkan banyak pihak, dampak terhadap layanan publik dapat langsung terasa. Selain dapat menyiasati keterbatasan sumberdaya, implementasi secara bertahap ini juga akan memudahkan proses difusi dengan mengurangi risiko dan menurunkan resistensi.
PUSTAKA Hartono, Dwiarso Utomo, dan Edy Mulyanto, Electronic Government Pemberdayaan Pemerintahan dan Potensi Desa Berbasis Web, Jurnal Teknologi Informasi, Volume 6 Nomor 1, April 2010, Diunduh dari research.pps.dinus.ac.id/.../ELECTRONIC%20G OVERNMENT%20PEMBERDAYAAN%20PE MERIN..., pada 15 Mei 2011, pukul 20:31 WIB.
5. Pembangunan kemitraan. Kemitraan dengan berbagai pihak pun dikembangkan. Sebagai contoh, aplikasi untuk pencetakan Kartu Tanda Penduduk merupakan hasil kerja sama bagi hasil dengan sebuah perusahaan swasta. Dengan demikian, investasi yang harus dikeluarkan tidak terlalu besar tanpa mengorbankan kualitas layanan. Untuk memperbaiki cetak biru e-government, pihak perguruan tinggi pun dijadikan mitra. Kemitraan dengan beberapa lembaga internasional yang terkesan dengan kualitas layanan publik Sragen juga dilakukan. Kemitraan yang baik ini dengan berbagai pihak, selain akan memecahkan masalah keterbatasan sumberdaya, juga akan meningkatkan kualitas.
Isnadi, Penerapan E-government dan Penerapan Mindset, diunduh dari www.itu.int/ITUD/asp/CMS/Events/2011/ITU.../Session2Isnadi.pdf, pada 15 Mei 2011, pukul 20:09 WIB. LKPP (2010). Implementasi E-Procurement sebagai Inovasi Pelayanan Publik. Diunduh dari www.lkpp.go.idv2filescontentfileeProc%20book %20final.pdf pada 15 Mei 2011, pukul 13: 31 WIB. OECD, 2005, E-Government for Better Government, Paris: OECD Publishing. Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan, dan Defny Holidin (2007). State Reform in Indonesia. Depok: Administrative Science Department, University of Indonesia.
6. Melakukan evaluasi secara rutin. Untuk mengukur keberhasilan e-government, Pemerintah Kabupaten Sragen melakukan evaluasi rutin meskipun masih bersifat terbatas pada kualitas layanan publik yang diberikan oleh KPT. Setiap tahun, KPT melakukan survei kepada pengguna layanan, untuk mengukur kualitas, dan sekaligus mendapatkan umpan balik untuk perbaikan.
3.
Sulihanto, Budi, Penerapan E-government di Kabupaten Sragen, Diunduh dari http://fit.uii.ac.id/media/egovernmentkabupatensr agen.pdf, pada 16 Mei 2011, pukul 07:59 WIB. Wahid, Fathul, Pelajaran dari Implementasi Egovernment di Sragen, Paper di Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007), Diunduh dari journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/view/174 1/1521, pada 15 Mei 2011, pukul 18:28 WIB.
PENUTUP
Pemerintah Kabupaten Sragen telah menunjukkan bahwa e-government telah memberikan dampak positif terhadap pelaksanaan pemerintahan di wilayahnya. Hal ini patut untuk dicontoh oleh daerah-daerah lain.
Biodata Penulis Penulis adalah Staf Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI. Saat ini juga menjadi Sekretaris Program Studi Ilmu Politik Jenjang Sarjana Parallel di Departemen Ilmu Politik FISIP UI.
Hanya saja, masih terdapat kelemahan dalam implementasi e-government di Kabupaten Sragen. Sebagai contoh, sampai saat ini, publik belum bisa mengakses layanan secara langsung melalui Internet, [74]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
i
ii iii
ISBN: 978-602-96848-2-7
Minat dalam hal ini dapat diartikan niat dan keinginan dari instansi pemerintah tersebut dan belum sampai pada tahap terdapat kebijakan khusus atau bahkan implementasi kebijakan. Data BPS Sragen Januari 2010. Arah Kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Sragen, diunduh dari http://www.sragenkab.go.id/home.php?menu=11, pada 11 Mei 2011, pukul 23: 53 WIB. Poin penataan kembali sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah berada di urutan pertama.
[75]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
MANAJEMEN SINERGITAS UNTUK PENGUATAN EKONOMI KERAKYATAN Rutiana Dwi Wahyuningsih Jurusan Ilmu administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta E-mail:
[email protected] ABSTRAK Artikel ini menyajikan inovasi pemerintah kota Surakarta dalam membangun sinergitas antara pilar pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan. Prinsip yang dipakai adalah (1) product management, menghasilkan produk yang unggul, dan kompetitif; (2) branding management, mengelola hasil/produk kota yang mencerminnkan karakter kota; (3) dan customer management, membuat orang ingin kembali ke kota Surakarta untuk membelanjakan uangnya . Inovasi cara berpikir untuk pengembangan kota adalah (1) From top down to partnership/participatory, menekankan partisipasi stakeholder dibandingkan perintah dari pemerintah saja; (2) From bureaucratic style to entrepreneurial mindset, menekankan pola berpikir kreatif diantara para SKPD dan pro aktif mengembangkan kerjasama dengan pihak swasta dan masyarakat; (3) From procedural attitude to end-result oriented, Perubahan dari cara berpikir yang lambat dan berbelit, kepada pola pikir yang responsif terhadap peluang dan berorientasi pada kemanfaatan yang diterima masyarakat, (4) From partial handling to integrative solution, Perubahan dari cara berpikir yang sektoral, parsial, kepada pemikiran yang komprehensif, sinergis. Hal yang dibangun adalah bagaimana memberikan kenyamanan pada orang datang kekota Surakarta, mulai dari pelayanan publiknya, transportasi, penginapan, kuliner, dan keramahan masyarakatnya. Konsep lokal yang diyakini untuk mengelola kota adalah “saiyeg saekopraja”, yaitu bersama-sama mengelola Kota, bukan hanya dari Walikota atau pemerintah, tetapi kota ini adalah milik bersama rakyat Surakarta Kata Kunci: governance, sinergi, ekonomi kerakyatan lembaga negara semi otonom, dan kerjasama yang didesentralisasikan antara (2) Desentralisasi politik, organisasi dan prosedur peningkatan partisipasi warga untuk memilih perwakilan politik, dan proses pengambilan keputusan publik dalam rnagka penyediaan pelayanan yang memberi keuntungan sosial, mendorong aktivasi sumber daya sosial dan finansial. (3) Desentralisasi fiskal, cara dan mekanisme kerjasama fiskal dalam sharing pendapatan diantara level pemerintah (4) Desentralisasi ekonomi, termasuk deregulasi, dan bentuk-bentuk public-privat partnership lainnya. Kesetimbangan keempat jenis desentralissi ini, diyakini dapat membantu akselerasi ekonomi, peningkatan akuntabilitas politik, mendorong partisipasi publik di proses kepemerintahan, bila dikelola dengan tepat dapat menjebol kemacetan hirarkhi birokrasi sehingga pelayanan dan kerjasama pemerintah dengan pelaku ekonomi swasta serta masyarakat dapat lebih lancar. Dengan demikian, sasaran akhir otonomi atau desentralisasi seharusnya adalah kemandirian daerah dan masyarakat (Warsito, 2011). Dalam konteks ini, seharusnya otonomi daerah memberi ruang gerak berkreasi lebih besar bagi daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan daya saing. Ketiga indikator ini saat ini juga
1. KREATIVITAS MANAJEMEN KOTA DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH 1.1 Tujuan Otonomi Daerah Otonomi daerah, atau yang sering disebut sebagai satu paket dengan desentralisasi daerah, yaitu mempunyai tujuan administratif dan tujuan ekonomis. Tujuan administratif mendekatkan dan menyediakan pelayanan lebih baik, dan memperbesar kedekatan dan kepemilikan masyarakat, sehingga memperbesar akuntabilitas pemerintahan (Sandee, 2009). Hal ini sejalan dengan perkembangan konsep governance, yang dilansir oleh The United Nations tahun 1990-an (Cheema dan Rondinelli, 2007:6) yaitu “the exercise of political, economic, and administrative authority in the management of a countr’s affairs”. Dalam konsep ini desentralisasi tidak berarti hanya masalah transfer kekuasaan, otoritas dan responsibilitas di dalam pemerintahan, tetapi juga sharing otoritas dan sumber daya untuk pembentukan kebijakan publik di masayrakat. Cheema dan Rondinelli (2007:6) menyebut praktik desentralisasi dikategorikan setidaknya dalam empat kategori: (1) Desentralisasi administratif, termasuk dekonsentrasi birokrasi dan struktur pemerintah pusat, delegasi dari otoritas pemerintah pusat dan responsibilitas kepada
[76]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
menjadi ukuran evaluasi penyelenggaraan kinerja pemerintah daerah di Indonesia, mulai dari perencanaan, pengendalian maupun evaluasinya (PP nomor 6 tahun 2008, Permendagri no. 73 tahun 2009, Permendagri no 54 tahun 2010)
banyak pemerintah daerah kekurangan kemampuan meraup peluang dari kebijakan desentralisasi yang mempersyaratkan inovasi kreatif dalam pembuatan kebijakan dan kemampuan berpikir melalui pertimbangan biaya dan manfaat melalui kebijakan baru. Salah satu kelemahan yang ditemukan adalah kurang mengembangkan kerjasama kemitraan dengan swasta ataupun kelompok masyarakat- yang disebut sebagai pembangunan partisipatoris. Menurut Grindle (2007:56) desentralisasi adalah suatu proses yang dinamis, riskan mengalami kemunduran-namun juga kemajuan, riskan penyelewengan- namun juga perbaikan kinerja, dan memerlukan perhatian khusus tentang respon daerah (lokal) pada tanggungjawab baru dan pengelolaan sumber daya. Menurutnya ada empat faktor yang berpengaruh pada kinerja pemerintahan lokal, yaitu (1) pemilihan kepala derah yang kompetitif (rasional-profesional); (2) kewirausahaan (entrepreneurship) sektor publik- tantangan kesempatan baru kepemimpinan; (3) Modernisasi sektor publik-penerpan ide-ide baru, penggunaan tehnologi informasi,untuk pengembangan manajemen dan administrasi yang lebih kapabel; (4) pengembangan ruang-ruang keterlibatan partisipasi masyarakat sipil.
Gambar 1. Tujuan Desentralisasi/Otonomi Daerah
Desentralisasi/ otonomi
Teknik Administrasi atau Praktik Administrasi
Proses interaksi politik
Demokrasi Lokal
Pembagian kekuasaan (Sharing of power) Pembagian pendapatan (distribution of income) Pemberdayaan administrasi regional (empowering regional administrastion)
of
KEMANDIRIAN
1.2 Kreativitas Daerah Kreativitas daerah ternyata beragam menanggapi peluang dan tantangan dari otonomi daerah,- setelah lebih dari satu dasawarsa implementasinya. Eko (2007) mengidentifikasi variasi peran pemerintah daerah dari sisi pembangunan (ekonomi dan sosial) dan konteks politik lokal, yang menjadi fondasi struktural daerah dan mempunyai kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, antara lain (1) variasi tatakelola pemerintahan daerah (local governance), yakni tatacara mengelola kebijakan, keuangan daerah, dan birokrasi; (2) variasi peran negara, yang direpresentasikan oleh pemimpin daerah dan unsur birokrasi daerah; (3) variasi pendekatan (tatakelola) pembangunan dan sumber-sumber produksi lokal.. Eko (2007) juga menyajikan tipologi daerah berdasar kemampuan keuangan dan orientasi kebijakannya dalam tipologi (1) tipe daerah lemah; (2) tipe daerah budiman; (3) tipe daerah pelit; (4) tipe daerah sejahtera, dan; (5) tipe daerah royal. Dalam konteks kreativitas daerah, tipologi daerah budiman ini yang dinilai berhasil memainkan peran pemerintah daerah mencapai tujuan desentralisasi, yaitu kemandirian daerah melayani warganya. Daerah budiman ditandai dengan pemerintah daerah sanggup melakukan distribusi belanja sosial yang tinggi, meski pendapatan daerah rendah. Daerahdaerah budiman mempunyai karakter negara yang aktif, pemimpin lokal yang kuat dan responsif maupun reformasi birokrasi. Decentralization Support Facility (2008) menemukan banyak pemerintah daerah yang belum menyadari potensi kontribusi mereka dalam peningkatan iklim usaha di daerahnya. Terkait pengembangan ekonomi lokal, Sandee (2009:191) dengan sampel penelitian pengembangan UMKM di Jawa, menemukan bahwa
2.
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH Konsep ekonomi kerakyatan dalam artikel ini mengacu pada konsep pengembangan kemampuan ekonomi masyarakat lokal –dalam hal ini masyarakat Surakarta-, terutama kelompok usaha non perusahaan besar, meskipun tidak menafikan keterkaitannya dengan struktur makro ekonomi kota secara keseluruhan. Pengembangan ekonomi kerakyatan merupakan bagian integral dari pengembangan ekonomi lokal. Mengembangkan ekonomi lokal berarti membangun economic competitiveness (daya saing ekonomi) suatu kota untuk meningkatkan ekonominya. Dalam konteks otonomi daerah, priroritasi ekonomi lokal pada peningkatan daya saing ini adalah krusial, mengingat kelangsungan hidup komunitas ditentukan oleh kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dan meningkatnya kompetisi pasar. Daya saing diukur dari beberapa indikator (Munir dan Fitanto, 2008:23), yaitu: a. Struktur ekonomi: komposisi ekonomi, produktivitas, output dan nilai tambah, serta tingkat investasi (asing dan domestik) b. Potensi wilayah yang non tradeable seperti lokasi, sumber daya alam, citra daerah, amenity masyarakat, biaya hidup dan iklim bisnis c. Sumber daya manusia: kualitas SDM yang mendukung kegiatan ekonomi d. Kelembagaan: konsistensi kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang pro
[77]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pengembangan ekonomi lokal, dan budaya produktivitas. Bercermin dari pengalaman kota Surakarta, keempat indikator daya saing ini nampaknya menjadi kompas kebijakan pengembangan ekonomi kota, sebagaimana dipaparkan berikut.
sinergis antar sektor dan antar stakeholder. Konsep lokal yang diyakini untuk mengelola kota ini adalah “saiyeg saekapraja”, yaitu bersama-sama mengelola Kota, bukan hanya dari walikota atau pemerintah, tetapi kota ini adalah milik bersama rakyat Surakarta. Manajemen City Branding memerlukan reformasi manajerial birokrat dan birokrasinya. Oleh karena itu Walikota Joko Widodo mengeinternalisi 4 cara berpikir kepada jajaran birokrasi, yaitu: 1) From top down to partnership/ participatory Prinsip ini berarti menekankan partisipasi stakeholder dibandingkan perintah dari pemerintah saja. 2) From bureaucratic style to entrepreneurial mindset Cara berpikir ini menekankan pola berpikir kreatif di antara para SKPD dan pro aktif mengembangkan kerjasama dnegan pihak swasta dan masyarakat; 3) From procedural attitude to end-result oriented Perubahan dari cara berpikir yang lambat dan berbelit, kepada pola pikir yang responsif terhadap peluang dan berorientasi pada hasil dan kemanfaatan yang diterima masyarakat; 4) From partial handling to integrative solution Perubahan dari cara berpikir yang sektoral, parsial, kepada pemikiran yang komprehensif, sinergis.
3.
PENGALAMAN KOTA SURAKARTA Kota Surakarta termasuk salah satu kota yang sering mendapatkan penghargaan atas kreativitas dan inovasi penyelenggaraan governance . Beberapa penghargaan tersebut antara lain: (1) Penghargaan Social Entrepreneurship Achievement tahun 2010 dari Majalah Swa; (2) Penghargaan Daya Saing Daerah tingkat provinsi Jawa Tengah tahun 2010; (3) Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award (BHAKA) tahun 2010 bidang reformasi dan pelayanan publik; (4) peringkat kota bersih korupsi naik menjadi nomor 3 tahun 2011; (5) anugerah kotamadya berkinerja terbaik 2011. Dari hasil penelitian Wahyuningsih (2010), pengalaman di Kota Surakarta, menyajikan bagaimana kreativitas manajemen Pemerintah Kota Surakarta mengelola potensi ekonomi lokal melalui upaya pengembangan jeajaring/kemitraan/ membangun kaitan (linkage) antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam jaringan aktor, serta merespon tantangan perubahan dalam konteks lokalitas. Kondisi geografis kota Surakarta tidak mempunyai sumber daya alam yang besar, tetapi sebagai kota yang dikelilingi daerah produsen hasil pertanian. Sebagai kota yang memiliki peninggalan kerajaan (Kasunanan dan Mangkunegaran), Kota Surakarta memiliki warisan budaya tradisonal cukup banyak. Kota Surakarta juga pusat koordinasi karesidenan masa lampau, banyak berdiri fasilitas pemerintahan dan layanan jasa. Oleh karena itu orientasi pengembangan kota Surakarta sebagai kota jasa dan perdagangan. Dalam rangka mengoptimalkan potensi dasar kota tersebut, Pemerintah kota Surakarta –dibawah pemerintahan Walikota Joko Widodo mengembangkan manajemen city branding. Manajemen City Branding adalah upaya membuat kota Surakarta terkenal di dunia melalui pencitraan kota. Pencitraan kota didasarkan pada tiga pola utama pencitraan, yaitu produk, keunikan/kekhasan brand, dan kepuasan pelanggan. Manajemen pengembangan kota didasarkan atas manajemen, yaitu: (1) manajemen product: menghasilkan produk yang unggul, dan kompetitif; (2) manajemen brand: mengelola hasil/produk kota yang mencerminkan karakter kota; dan (3) manajemen customer: membuat orang ingin kembali ke kota Surakarta untuk membelanjakan uangnya. Hal yang dibangun adalah bagaimana memberikan kenyamanan pada orang yang datang ke kota Surakarta, mulai dari pelayanan publiknya, transportasi, penginapan, kuliner, dan keramahan masyarakatnya. Manajamen ini dilakukan secara
Terkait dengan pengembangan ekonomi lokal, penerapan prinsip-prinsip tersebut terwujud dalam implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah kota Surakarta dalam kurun 7 tahun terakhir, yang akan dicontohkan dengan beberapa kasus berikut. Prioritas pengembangan pasar tradisional menunjukkan pilihan basis ekonomi komunitarian aktif. Penataan pedagang pasar tradisional merupakan kebijakan yang pro ekonomi kerakyatan, berpihak pada kaum lemah dan perempuan. Pembangunan pasar tradisional akan mampu membangun kota ke arah pemberdayaan perempuan sebagai kelompok usaha. Hasilnya, pendapatan asli daerah (PAD) dari pasar yang semula Rp 7 miliar naik menjadi Rp 12 miliar. Agar pasar tradisional unggul, selain menata fisik bangunan, Walikota berusaha mengubah pola pelayanan dan perilaku pedagang: ”Kesan pasar kotor dan jorok harus diubah jadi bersih dan higienis”. Dalam lima tahun (2005-2010), 13 pasar tradisional berhasil dibangun. Pasar Tradisional di Solo juga merupakan sentra ekonomi masyrakat terutama juga masyarakat miskin. Sejumlah area di kota itu bebas PKL, seperti Stadion Manahan dan Jalan Slamet Riyadi. Bahkan, di Jalan Slamet Riyadi, pedagang makanan diberi gerobak seragam untuk mendukung city walk (kawasan khusus pejalan kaki). Membuat city walk di Jalan Slamet Riyadi, kawasan Ngarsapura di [78]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
depan Pura Mangkunegaran, penataan taman-taman kota dan bantaran sungai untuk memberi kenyamanan pelancong, kesegaran psikologis warga, dan pada ujungnya mendongkrak skala ekonomi kota.
Pasca pelantikan menjadi Walikota periode 2005-2010, Walikota membentuk sebuah tim kecil untuk mensurvey keinginan warga kota Solo dimana mayoritas masyarakat Surakarta menginginkan daerah Banjarsari ditertibkan karena dirasa banyaknya PKL pasca kerusuhaan Solo 1998 sudah sangat mengganggu pengguna jalan dan pemandangan kota. Namun demikian Walikota tidak ingin memancing konflik dengan para PKL, karena keinginan sebagian masyarakat Solo yang ingin para PKL dipindahkan dari jalan-jalan dan taman. Dengan mempertimbangkan pengalaman masa lalu dimana Solo sudah dua kali dibakar, Joko Widodo kemudian memutuskan bahwa para PKL itu harus direlokasi dengan cara yang strategik dan hati-hati. Dengan latar belakang pengalamannya sebagai pengusaha, digunakan strategi “lobi meja makan” untuk berdialog dan mencari kesepahaman dengan para PKL. Targetnya para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Para koordinator paguyuban diundang dan diajak makan di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini hingga pertemuan yang ke 53 tidak ada pembicaraan mengenai relokasi, tetapi hanya makan bersama dan bersilaturahmi kepada para PKL. Pada jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Walikota mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka. Ketika hal itu diungkapkan, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yang diambil Walikota, sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru untuk berdagang. Walikota berjanji akan memberikan lokasi baru. Walikota juga menjanjikan akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Infrastruktur penunjang juga disiapkan, yaitu memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Hasilnya, Pemerintah Kota Surakarta berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura b. Digerakkan oleh visi Visi menjadi titik pancang kebijakan pengembangan kota. Visi dipancangkan terutama untuk tiap bidang krusial yang memiliki spread effect atau multiflier effect besar. Sebagai contoh: di bidang budaya dan tata kota memiliki visi “Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”, sehingga tempat-tempat ikon kota dihidupkan kembali sebagai pusat berkumpulnya publik, dikemas dalam model perekonomian sesuai
Dunia usaha juga mendapat perhatian baik dari Walikota Surakarta. Pemerintah Kota Surakarta mengkondisikan supaya iklim kota kondusif bagi partisipasi dunia usaha untuk menggerakkan roda perekonomia dan pembangunan kota. Hal ini ditunjukkan dengan program reformasi dan revitalisasi pelayanan perijinan, sehingga terbentuklah Kantor Pelayanan Ijin Terpadu, dengan penampilan budaya organisasi yang didesain mirip pelayanan dunia bisnis, misalnya dalam hal seragamnya, alur prosesnya, tata ruangnya. Reformasi ini dibuktikan dengan. Kinerja ini juga dibuktikan dengan diperolehnya piala dan piagam Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden untuk kinerja kota dalam penyediaan sarana pelayanan publik, kebijakan, deregulasi penegakan disiplin dan pengembangan manajemen pelayanan (11 Pebruari 2009), dan Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award tahun 2010 bidang reformasi dan pelayanan publik. Pada tahun 2010, peringkat kota bersih korupsi naik menjadi nomor 3 diantara 50 kota besar yang disurvey. Keterlibatan dunia usaha dalam program pemerintah kota yang bersifat langsung ke masyarakat belum terlalu besar, tetapi sudah ada. Misalnya dalam bantuan permodalan industri kecil. Mitra usaha yang sudah bekerjasama dengan melakukan CSR (Corporate Social Responsibility) adalah Bank Indonesia, Telkom, PT. Pos, Garuda Indonesia, dan PLN. Dunia usaha ini langsung menetapkan kriteria dan pemilihan kelompok sasaran penerima bantuan. Kemitraan dengan dunia usaha ini merupakan salah satu kraeativitas untuk mengembangkan ekonomi lokal masyarakat kota Surakarta. Di bidang sektor informal, Walikota memberikan lokasi baru pada PKL yang direlokasi dengan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600,perhari di tempat baru yang suasananya jauh lebih baik dibandingkan tempat para PKL berdagang sebelumnya. Dengan retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Salah satu aksi kebijakan kota yang sangat menarik perhatian nasioanal bahkan internasional adalah keberhasilan pemerintah kota Surakarta menertibkan 5.817 pedagang kaki lima (PKL), tanpa kekerasan. Dari kronologis pelaksanaan penertiban PKL ini, dapat diidentifikasi kunci sukses kebijakan sebagai berikut: a. Kebijakan didasarkan atas pengenalan kondisi masa lalu dan kondisi eksisting, serta data riil kemauan publik. [79]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
perkembangan jaman. Misalnya berdirinya pasar Ngarsopuro, dibangunnya City Walk yang menghubungka dua pusat keraton masa lalu. Dibidang ekonomi, ada visi “PKL menjadi Saudagar”, ini menjadi arah bagi pengembangan ekonomi kerakyatan, mengingat Surakarta adalah kota jasa dan perdagangan. Di bidang kerjasama antar daerah dikembangkan visi “Solo Spririt of Java” artinya Solo (Surakarta) menjadi kota simpul pengembangan produk dan potensi yang dimiliki kabupaten disekitarnya. Visi Walikota untuk mengangkat status PKL menjadi saudagar, hal ini dipengaruhi oleh latar belakang Walikota sebagai pengusaha, membentuk perspektifnya atas PKL sebagai potensi ekonomi rakyat. Visi lain adalah menjadikan Solo layaknya Singapura, sebuah kota yang bersinar dengan wisata belanjanya. Karena itu ketertiban, kebersihan dan keindahan kota menjadi kunci utama. Pesrpektif ini mempengaruhi cara yang ditempuh Walikota untuk mengeksekusi kebijakan yang ditempuh untuk mewujudkan visi tersebut. c. Kebijakan berlandaskan nilai (based value system). Kebijakan ini menggunakan nilai lokal: “nguwongke uwong” artinya menempatkan para PKL sebagai manusia yang mempunyai hak-hak dasar sebagai warga; hak hidup dan berusaha. Menurut Walikota, tugas pemerintah memberi ruang kepada pedagang kecil untuk maju, bukan menggusur mereka. ”Pemimpin yang baik adalah yang mengikuti keinginan orang yang dipimpinnya”. Sebelum direlokasi, para pedagang diajak berdialog hingga 54 kali pertemuan, selama tujuh bulan dengan mengajak para PKL makan bersama dan dialog. Metode dialog ini oleh Walikota disebut sebagai “pendekatan Jawa”, yaitu “rebug bareng” (berdialog bersama). Nilai ideologis, diambil dari konsep Ideological State Apparatus yaitu aparat negara yang menjalankan fungsinya melalui ideologi-ideologi tertentu. Bukan menggunakan Represif State Apparatus. Dalam hal ini nilai ideologisnya adalah pemberdayaan ekonomi kerakyatan (wong cilik) supaya bisa berkontribusi lebih besar untuk negara. d. Strategi Komunikasi politik untuk menguatkan partisipasi masyarakat sasaran. Dalam mempersiapkan implementasi kebijakan penataan kota, Walikota menggunakan pendekatan empathy dan homofili, yaitu menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain, dan menciptakan situasi kesamaan posisi. Ini terwujud dalam cara Walikota mengajak makan bersama dan dialog para PKL, yang bersuara vokal didatangi langsung untuk diketahui keinginan mereka seperti apa. Tempat dialog mulai dari warung kecil (wedangan),
pinggir jalan, lokasi PKL Banjarsari, hingga di Loji Gandrung (rumah dinas Walikota). Ketika komunikasi sudah terjalin, konsep penataan PKL disusun Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dan disosialisasikan kepada pedagang. Proses berlanjut dengan perencanaan pembangunan, pelaksanaan, baru relokasi. Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “klenengan” khas Solo. Dalam acara tersebut dihadirkan Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL. Faktanya, para PKL sangat legowo saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Konsumsi dan perlengkapan arak-arakan dibiayai sendiri oleh para PKL. Ini jarang terjadi di daerah lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989 PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung program pemerintah dengan sukacita. Di Kota Surakarta, kreasi pengelolaan ekonomi kerakyatan, dilakukan lintas sektoral juga, salah satunya dengan sektor pendidikan. Pengarusutamaan pro job di sektor pendidikan nampak dalam program pengembangan pendidikan non formal untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja yang memenuhi kebutuhan pasar. Saat ini Kota Surakarta telah memiliki Solo Techno Park (STP). STP merupakan pengembangan Surakarta Competency and Technology Center (SCTC) yang merupakan institusi diklat hasil kerjasama antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI). Tujuan awal SCTC adalah untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru SMK keahlian mesin perkakas se-Indonesia agar menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar industri. Selain itu, SCTC juga berfungsi sebagai tempat diklat pemuda penganggur sampai penyalurannya ke tempat kerja. Saat ini, STP (Solo Techno Park) adalah pusat vokasi dan inovasi teknologi di Kota Surakarta yang dibangun dari sinergi dan hubungan yang kokoh antara dunia pendidikan, bisnis dan pemerintah (the triple helix). Dalam hal ini ada penerapan nilai-nilai governance dalam bentuk sinergitas. STP memberikan layanan pendidikan dan pelatihan bidang industri, inkubator bisnis, jasa produksi serta penelitian dan pengembangan teknologi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan daya saing dan kinerja dunia usaha dan dunia industri, meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan memperluas lapangan pekerjaan melalui pembangunan ekonomi berkelanjutan. Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui moto "Solo: The Spirit of Java". Spririt ini juga untuk mendongkrak skala ekonomi kabupaten hinterland yaitu Boyolali, Sukoharjo, [80]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten (Sobosukowonosraten). Kebijakan pencitraan kota yang lain diwujudkan dalam konsep pembangunan ”Solo Masa Depan adalah Solo Masa Lalu”, bertujuan untuk mengubah Solo menjadi “kota yang berkarakter”. Sebagai salah satu kebijakan branding Walikota mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Dunia pariwisata di Solo meningkat perkembangannya. Sejumlah potensi penggerak perekonomian rakyat yang lama meredup, seperti kerajinan batik tumbuh dengan pesat. Salah satu kluster yang menonjol perkembangannya adalah kampung Batik Laweyan. Batik berkembang tidak hanya media kain, tetapi juga media kayu, dan lainnya. Semua perkembangan ini terkait dengan pencitraan kota.
Internasional: Lebih Dari Sekadar Penghapusan Kemiskinan: Memajukan Kebijakan Sosial yang Komprehensif di Era Desentralisasi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Prakarsa, Ford Foundation, OXFAM Great Britain, Kantor Menkro Kesra, Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Kota Serdang Badagai, ADKASI, IESR dan KruHa. Jakarta 26-28 Juni 2007. Grindle, M.S. (2007). “Local Governments That Perform Well: Four Explanation” in Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices, Cheema, G.S and Rondinelli , D.A (ed). Washington D.C.: Brooking Institution Press. Munir, R. dan Fitanto, B. (2008). Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif: Masalah, Kebijakan dan Panduan Kegiatan. Jakarta: Local Government Support Program, USAID. Sandee, H. (2009). “Small Entreprises and Decentralization: some essons from Java” in Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia: Implementation and Challenges, Holtzappel, C.J.G, and Ramstedt, M. (ed). Singapore; Institutes of Southeast Asian Studies. Utomo, W. (2011). “Prospek Era Otonomi Daerah Strategi Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Kumpulan Makalah Analitis Serangkaian Kajian: Konsep, Formulasi dan Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesi. Unpublished Wahyuningsih, R.D. (2010). Kontekstualisasi Model Sound Public Governance dalam Perencanaan Pembangunan Daerah untuk Meningkatkan Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah (Studi Kasus Kota Surakarta). Universitas Sebelas Maret: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Laporan Hasil Penelitian. PP nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Permendagri no. 73 tahun 2009 tentang Tatacara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Permendagri no 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
KESIMPULAN Pengalaman kota Surakarta dalam pengembangan ekonomi daerah berbasis ekonomi kerakyatan merefleksikan implementasi decentralized governance yang menerapkan paradigma public governance yaitu penyelenggaraan administrasi publik yang dijiwai oleh kesadaran akuntabiltas dari para aktor mengenai nilai-nilai kepublikan, sehingga terbentuk relasi vertikal dan horisontal dalam networking yang luwes, responsive, dan kreatif dalam kerangka legalitas, dengan mempertimbangkan aspek lokalitas. Para aktor dalam governance ini meliputi Kepala Daerah, Satuan Kerja Perangkat Daerah, DPRD, unsur masyarakat, dan unsur privat/pengusaha/pemilik modal. Kunci pembelajaran mencakup materi tentang (1) Kepemimpinan partisipatif; (2)Perencanaan kota berbasis visi; (3) Perencanaan program pro public value (pro poor, pro people, pro job); (4) Inovasi cara berpikir untuk pengembangan kota; (5) Manajemen program integratif; (6) Manajemen Komunikasi Pembangunan; (7)Penguatan peran partisipatif masyarakat (dunia usaha/ privat dan masyarakat umum); (8) Mengkontekstualisasikan nilai lokal dalam menjawab tantangan intervensi nilai-nilai global PUSTAKA Cheema, G.S. dan Rondinelli , D.A.(2007). “From Government Decentralization to Decentralized Governance” in Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices, Cheema, G.S and Rondinelli , D.A (ed). Washington D.C.: Brooking Institution Press Decentralization Support Facility (2008). Mengoptimalkan Kontribusi Desentralisasi Bagi Pembangunan Eko, S. (2007). “DAERAH BUDIMAN: Prakarsa dan Inovasi Lokal Membangun Kesejahteraan” Makalah disajikan dalam Konferensi
Biodata Penulis Penulis adalah staf pengajar di jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNS, sedang menempuh program S3 di Universitas Gadjah Mada, beraktivitas dalam kemitraan dengan beberapa Pemerintah Daerah, pernah aktif sebagai Short Term Technical Assistant (2006-2009) untuk 8 Kabupaten di Jateng, melalui Local Government Support Program- USAID
[81]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN BADUNG PROVINSI BALIi Dayat Hidayat Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I – Lembaga Administrasi Negara Jl. Kiarapayung KM 4.7, Jatinangor, Sumedang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Model pemberdayaan yang diperkenalkan oleh Pemerintah (Pusat) telah banyak digulirkan melalui berbagai kebijakan, terutama melalui program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net) yang dilakukan pemerintah pasca krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu. Sebagaimana hasil evaluasi dan pengamatan berbagai kalangan termasuk lembaga-lembaga penelitian baik nasional maupun internasional, disinyalir bahwa berbagai program pemberdayaan masyarakat tersebut belum efektif, selain kurang mengena pada sasaran, mekanisme pemberdayaan yang dilakukanpun ternyata dituduh kurang tepat. Makalah ini berupaya menghasilkan rumusan konsep model hipotesis Manajemen Pemberdayaan Masyarakat di Daerah. Kegiatan penelitian ini dilakukan di beberapa daerah salah satunya di Kabupaten Badung (Provinsi Bali). Berdasarkan temuan empirik sebagaimana dipaparkan terdahulu, dari keseluruhan program pemberdayaan yang diluncurkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah, terdapat program yang berhasil meningkatkan keberdayaan masyarakat, namun di sisi lain terdapat pula program pemberdayaan yang tidak berhasil meningkatkan keberdayaan masyarakat. Secara hipotetik dapat dikatakan bahwa keberhasilan program pemberdayaan di samping ditentukan oleh dimensi struktural masyarakat dan kultural masyarakat, juga ditentukan oleh manajemen pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dalam kaitan ini, pola manajemen pemberdayaan yang lebih menekankan aspirasi dan kebutuhan masyarakat nampak lebih berhasil membangkitkan partisipasi ketimbang yang diintroduksikan secara top down Kata Kunci: governance, sinergi, ekonomi kerakyatan A.
Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah yang selanjutnya berimplikasi kepada makin luasnya kewenangan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tersebut, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, kemandirian dan kreativitas daerah. Otonomi daerah bukan otonomi untuk pemerintah daerah melainkan otonomi untuk masyarakat di daerah. Dengan demikian, kemandirian dan kreativitas daerah yang dijadikan tujuan dari kebijakan ini, pada dasarnya adalah kemandirian dan kreativitas masyarakat di daerah. Dalam hal ini, pemerintah, sebagaimana dalam konsepsi good governance, merupakan domain yang berfungsi menggerakkan partisipasi dan memberdayakan masyarakat tersebut. Model pemberdayaan yang diperkenalkan oleh Pemerintah (Pusat) pun telah banyak digulirkan melalui berbagai kebijakan, terutama melalui program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net) yang dilakukan pemerintah pasca krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu. Sebagaimana hasil evaluasi dan pengamatan berbagai kalangan termasuk lembaga-lembaga penelitian baik nasional maupun internasional, disinyalir bahwa berbagai program pemberdayaan masyarakat tersebut belum efektif, selain kurang mengena pada sasaran, mekanisme pemberdayaan yang dilakukanpun
ternyata dituduh kurang tepat. Atas dasar kondisi dan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk dapat: 1) Teridentifikasinya program-program pemberdayaan yang telah dilakukan Pemerintah (Pusat dan Daerah) saat ini, 2) Teridentifikasinya keunggulan dan kelemahan program pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemerintah, 3) Teridentifikasinya faktor-faktor yang menjadi penghambat sehingga program pemberdayaan tersebut tidak dapat berjalan secara efektif, 4) Teridentifikasinya faktor-faktor yang dapat dijadikan pendukung dalam pengembangan program pemberdayaan masyarakat di Daerah, 5) Terumuskannya model kelembagaan, mekanisme, dan instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat di Daerah. B.
Kerangka Pikir Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berbagai kebijakan dan program yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat di daerah dalam Bidang Ekonomi baik langsung ataupun tidak langsung. Penelitian ini bersifat evaluatif terhadap berbagai kebijakan pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, untuk kemudian dipetakan dalam suatu model manajemen
[82]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
pemberdayaan yang berlaku saat ini, yaitu dengan cara mendeskripsikan berbagai interaksi antara dimensi-dimensi kebijakan pemberdayaan pada setiap tahapan fungsi manajemen yang ada. Dari hasil pemetaan tersebut, dapat digambarkan profil manajemen pemberdayaan yang berlaku saat ini, mengidentifikasi berbagai keunggulan dan kelemahannya, dan berdasarkan hal tersebut diformulasikan model kebijakan pemberdayaan masyarakat untuk kebijakan dan program yang akan datang. Dalam diagram, kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Model kerangka pikir penelitian tersebut, dapat dijelaskan bahwa semua kebijakan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah pada saat ini dapat dikategorikan ke dalam 5 kategori, yaitu: (1) Penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumbersumber daya; (2) Peningkatan keseimbangan antara sebuah kondisi yang memiliki keunggulan dengan kondisi lain yang tidak memiliki keunggulan; (3) Pengembangan potensi masyarakat (SDM maupun kelembagaan); (4) Penyediaan stimulus untuk membangkitkan swadaya dan dan swakelola masyarakat; (5) Penyertaan masyarakat atau kelompok masyarakat dalam proses perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan. Selanjutnya, kebijakan pemberdayaan masyarakat di daerah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dapat dilihat dari tiga dimensi utama, yaitu dimensi substansi kebijakan, dimensi implementasi kebijakan, dan dimensi kinerja kebijakan. Ketiga dimensi kebijakan tersebut saling terkait satu sama lain. Artinya bahwa kegagalan atau keberhasilan suatu kebijakan yang diwujudkan
ISBN: 978-602-96848-2-7
sebagai kinerja kebijakan sangat tergantung kepada implementasi kebijakan atau substansi kebijakannya. Dalam hal ini kinerja kebijakan yang baik merupakan produk dari substansi kebijakan yang baik (good policy) dan implementasi yang baik (good implementation). Sebaliknya kinerja kebijakan yang buruk merupakan hasil dari substansi kebijakan yang salah (bad policy) dan/atau implementasi yang buruk (bad implementation). Untuk melihat substansi dan implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam hal ini, dapat dilihat dari simplifikasi model kebijakan yang ada saat ini ke dalam dua dimensi, yaitu dimensi model dan dimensi fungsi manajemen. Dimensi model kebijakan pemberdayaan meliputi kelembagaan pemberdayaan, mekanisme pemberdayaan, dan intrumen pemberdayaan. Sementara itu, dimensi fungsi manajemen pemberdayaan digunakan pendekatan Gullick & Gullick mengenai fungsi manajemen yang meliputi Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, dan Budgetting. Berdasarkan pendekatan ini, dapat dianalisis bagaimana pelaksanaan setiap fungsi manajemen pada setiap unsur atau dimensi model pemberdayaan yang relevan. Sebagai contoh, bagaimana perencanaan kelembagaan pemberdayaan dilakukan, baik dilihat dari substansi kebijakan maupun dalam implementasinya? Bagaimana mekanisme pengorganisasian pemberdayaan baik dalam substansi kebijakannya maupun dalam implementasinya? Bagaimana mekanisme koordinasi yang dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat baik dalam kebijakan maupun dalam implementasinya? Bagaimana perencanaan dan penggunaan instrumen pemberdayaan baik dalam kebijakan maupun dalam implementasinya? C.
Metode dan Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode kualitatif. Sedangkan pendekatannya adalah pendekatan deskriptif, yaitu suatu pendekatan yang berusaha mendapatkan gambaran kondisi yang ada berupa data, fakta dan informasi sebagai landasan empiris yang kemudian akan dipadukan dengan landasan teoritis atau konsepsi untuk menghasilkan rumusan konsep model hipotesis Manajemen Pemberdayaan Masyarakat di Daerah. Kegiatan penelitian ini dilakukan di beberapa daerah sebagai berikut: Kabupaten Badung (Provinsi Bali), Kabupaten Probolinggo (Provinsi Jawa Timur), Kota Cirebon (Provinsi Jawa Barat), Kota Makassar (Provinsi Sulawesi Selatan). Namun demikian yang akan dikemukakan di dalam kesempatan Simposium ini adalah hasil penelitian di Kabupaten Badung. Secara etimologis, Pemberdayaan adalah terjemahan dari kata empowerment, yang berasal dari kata empower yang mengandung dua [83]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
pengertian: (i) to give power to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pada pihak lain). (ii) to give abilty to, enable (usaha untuk memberi kemampuan). Merriam Webstle (Prijono, 1996 : 45), menguraikan lebih lanjut bahwa: Memberdayakan (empower) mengandung dua arti: pengertian pertama adalah to give power or authority to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain) dan pengertian ke dua adalah to give ability to or enable (upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan). Pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pemberdayaan intinya terletak pemahaman dalam pelaksanaan pembangunan, pemeliharaan dan pengawasan pembangunan. Hal ini memberikan arti bahwa pemberdayaan itu harus diawali dengan penyebaran informasi yang ditindaklanjuti dengan proses pembinaan. Dalam konsep pemberdayaan terdapat adanya pengalihan sebagian kekuatan atau kemampuan dari pihak yang lebih berkuasa atau „mampu‟ kepada pihak yang „kurang mampu‟ (masyarakat) agar menjadi lebih berperan, melalui proses penstimulasian dan pemberian motivasi agar mereka mempunyai kemampuan untuk hidup lebih mandiri. Pemberdayaan mengarah kepada suatu pemahaman adanya upaya memandirikan dan meningkatkan kemampuan masyarakat serta membangkitkan kesadaran akan kemampuan yang dimiliki untuk maju ke arah kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainable), karena pada hakekatnya setiap masyarakat yang terdiri atas kumpulan individu mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. D.
Hasil Dan Pembahasan Secara administratif Kabupaten Badung yang memiliki luas 418,52 km2 terbagi menjadi 6 (enam) wilayah Kecamatan yang terbentang dari bagian Utara ke Selatan yaitu Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi, Kuta, Kuta Utara, & Kuta Selatan. Di samping itu di wilayah ini juga terdapat 16 Kelurahan, 45 Desa, 1 Desa Persiapan, 361 Banjar Dinas, 148 Lingkungan dan 13 Lingkungan Persiapan. Selain Lembaga Pemerintahan seperti tersebut di atas, di Kabupaten Badung juga terdapat Lembaga Adat yang terdiri atas 119 Desa Adat, 523 Banjar dan 523 Sekaa Teruna. Di Kabupaten Badung juga terdapat 1 BPLA Kabupaten dan 6 BPLA Kecamatan serta 1 Widyasabha Kabupaten dan 6 Widyasabha Kecamatan. Lembaga lembaga adat ini memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan di wilayah Badung pada khususnya dan Bali pada umumnya. Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga, anggota masyarakat adat ini terikat dalam suatu aturan adat yang disebut Awig - awig. Keberadaan
ISBN: 978-602-96848-2-7
awig-awig ini sangat mengikat warganya sehingga umumnya masyarakat sangat patuh kepada adat. Oleh karena itu keberadaan Lembaga Adat ini merupakan sarana yang sangat ampuh dalam menjaring partisipasi masyarakat. Banyak program yang dicanangkan Pemerintah berhasil dilaksanakan dengan baik di daerah ini, berkat keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang ada. Pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Badung terutama diarahkan kepada upaya pengentasan kemiskinan. Bertindak sebagai motivator dan sekaligus sebagai fasilitator dan stimulator adalah Pemerintah Daerah. Masyarakat dalam hal ini dituntut untuk berpartisipasi dalam upaya pengentasan kemiskinan tersebut. Kebudayaan Daerah Kabupaten Badung yang dijiwai Agama Hindu merupakan potensi dasar yang dijadikan landasan dalam segala gerak dan langkah pembangunannya. Hal ini ditujukan untuk melestarikan nilai asset, yang akan menjadi pembangunan Kabupaten Badung terus berkesinambungan dengan mengandalakan sektor pariwisata. Untuk pembangunan daerah Kabupaten Badung yang sifatnya lintas sektoral/bidang, pembangunan tetap diletakkan pada bidang ekonomi, yang bertumpu pada sektor Pariwisata simultan dengan sektor primer, industri pengolahan dan jasa. Pembangunan sektor primer selama ini terkesan belum nyambung dengan sektor jasa (pariwisata) sesuai dengan amanat prioritas pembangunan yang ditetapkan. Idealnya komoditi yang dihasilkan di sektor primer mestinya mampu menciptakan kondisi yang saling mendukung (mutualisme). Berkembangnya sektor pariwisata semestinya mampu mengangkat nilai tambah di sektor primer. Adapun pembangunan di bidang ekonomi, politik, hukum, agama dan sosial budaya yang merupakan program prioritas Bupati Badung sebagai Peningkatan Partisipasi Masyarakat, dalam pelaksanaanya tetap berpegang pada strategi kebijakan stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan di seluruh wilayah Kabupaten. Oleh karena itu, peranan kelembagaan kordinasi sangat besar, mulai dari tatanan paling bawah dengan lebih memberdayakan perangkat yang sudah ajeg dan terbukti kelenturannya yaitu Banjar dan Desa Adat. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, Pemerintah Kabupaten Badung, sebagaimana ditegaskan oleh Bupati Badung, sangat memperhatikan terhadap perbaikan koordinasi antar berbagai pihak yang terkait dalam pembangunan. Dalam hal ini, perbaikan koordinasi diarahkan kepada hal-hal sebagai berikut: 1. Pembenahan kelembagaan koordinasi; 2. Pembenahan mekanisme dan pelaksanaan koordinasi; [84]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
3. Pembenahan tindak lanjut hasil koordinasi; Dalam rapat koordinasi dapat dirumuskan program-program pembangunan sekaligus membahas hasil-hasil monitoring yang dilakukan pemerintah sendiri maupun oleh publik dan merumuskan jalan keluar untuk pengendalian maupun tindak lanjutnya. E. Program Pemberdayaan Masyarakat Memperhatikan program prioritas kabupaten badung sebagaimana dikemukakan terdahulu, maka program-program lanjutan yang dirancang dalam rangka pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan desa dan masyarakat miskin dapat diringkaskan seperti pada tabel berikut:
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang bersangkutan, dan BAWASDA merupakan instansi pengevaluasi. Sementara itu, untuk monitoring dilakukan oleh kelembagaan teknis dengan koordinator dilakukan oleh Bagian Pembangunan yang ada di bawah Asisten II yaitu Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Badung. Namun karena pemberdayaan selalu dikaitkan dengan masyarakat dan kelembagaan desa, maka baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam pengendalian dan pengawasan selalu berkoordinasi dengan Bagian Pemerintahan Desa pada Sekretariat Daerah. Dengan kata lain, karena pemberdayaan diinterpretasi sebagai pengentasan masyarakat dari kemiskinan, dan kemiskinan diidentikan dengan pedesaan. Maka Bagian Pemerintahan Desa pada Sekretariat Daerah menjadi koordinator dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa. F. 1.
E.
Kelembagaan Yang Menangani Pemberdayaan
Kelembagaan yang menangani pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Badung pada dasarnya adalah semua perangkat daerah yang ada sesuai dengan tugas dan fungsinya. BAPEDA merupakan lembaga yang berfungsi merencanakan dalam tataran makro kabupaten, instansi teknis merupakan kelembagaan pelaksana berbagai program dan kegiatan pemberdayaan sekaligus sebagai leading sector untuk program dan kegiatan pemberdayaan yang sesuai dengan fungsi lembaga [85]
Mekanisme Pemberdayaan Mekanisme Perencanaan; Pada umumnya perencanaan program pembangunan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Badung mengikuti kebijakan nasional yaitu mencoba memadukan mekanisme perencanaan dari bawah (bottom up planning) dan perencanaan dari atas (top down policy). Mekanisme ini terutama dilakukan pada program program pemberdayaan yang asal programnya dari pemerintah pusat, seperti Program Pengembangan Kecamatan. Bahkan dalam program-program seperti ini, top down policy cenderung lebih dominan. Sementara itu, dalam perencanaan program pemberdayaan yang dilakukan atas inisiatif daerah sendiri dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Badung, perencanaan program lebih bersifat bottom up. Pemerintah Daerah hanya memberikan rambu-rambu, sedangkan perencanaan operasional sebagian besar diserahkan kepada masyarakat dengan kelembagaan adat sebagai pengorganisasinya. Sebagai contoh dalam pemberian bantuan desa yang besarnya Rp. 100 juta, Pemerintah Daerah hanya menetapkan rambu-rambu sebagai berikut: 40% (yang berarti 40 juta rupiah) untuk pembangunan fisik; 40% (yang berarti 40 juta rupiah) untuk dana abadi desa adat dan disimpan di LPD (Lembaga Pembangunan Desa), serta 20% (yang berarti 20 juta rupiah) untuk upacara adat. Dengan rambu-rambu yang demikian, Desa Adat membuat perencanaan operasional kegiatan sampai kepada pengalokasian dananya. Dengan cara seperti ini, maka bantuan pemerintah daerah ini benarbenar menjadi stimulus dan mampu mendongkrak partisipasi masyarakat. Contoh lain yang secara riil terbukti mampu mengundang partisipasi masyarakat adalah
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
pemberian bantuan aspal untuk jalan desa. Berdasarkan pengalaman, bantuan aspal ini telah mampu mendongkrak aspirasi masyarakat sampai lebih kurang 7 kali lipat dari jumlah dana (jika diuangkan) yang diberikan. Sehingga tidak heran, kinerja program ini nampak dari baiknya kondisi jalan di desa-desa di seluruh wilayah Daerah Kabupaten Badung. Bahkan sejak Tahun 1985 (yaitu sejak program ini diluncurkan), telah berhasil membuat jalan atas dasar swadaya masyarakat (dengan stimulus aspal dari Pemerintah Daerah) sepanjang lebih kurang 600 km. 2. Pengorganisasian; Pengorganisasian dalam program pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Badung merupakan pengintegrasian antara kelembagaan formal pemerintahan dengan kelembagaan adat. Pada tataran tingkat Pemerintah Daerah, kelembagaan yang terlibat adalah BAPEDA, Bagian Pembangunan, BAWSADA, Bagian Pemerintahan Desa, Instansi Teknis, dan Kecamatan. Sementara itu pada tingkat masyarakat, peran desa (desa adat dan desa dinas) beserta perangkat atau kelengkapan kelembagaan desa lainnya sangat berperan. 3. Mekanisme Pelaksanaan; Pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemberdayaan masyarakat juga sebagian besar dilaksanakan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, diwujudkan bukan hanya dalam bentuk sumbangan materi, melainkan juga tenaga dan sumber daya lainnya. Dalam kasus pembangunan sarana jalan misalnya, masyarakat secara langsung ikut mengerjakan pembangunan atau perbaikan jalan desa tersebut. 4. Mekanisme Pengendalian dan Pengawasan; Secara oparesional kelembagaan desa adat melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan tersebut. Kemudian secara formal, pengendalian dilakukan oleh Bagian Pembangunan Asisten II (Asisten Ekonomi dan Pembangunan) dengan mekanisme sebagai berikut: a. Masyarakat melalui BPD dan Kepala Desa membuat laporan secara rutin kepada Instansi Teknis melalui Camat mengenai kegiatan yang telah dilakukannya; b. Instansi Teknis mengkompilasi laporan dari desa-desa tersebut dan melaporkannya kepada Bagian Pembangunan Asisten II Sekretariat Daerah Kabupaten. Mekanisme perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan dalam rangka pembangunan untuk pemberdayaan masyarakat dapat diringkaskan sebagai berikut:
ISBN: 978-602-96848-2-7
1.
BAPEDA bersama-sama dengan instansi teknis membuat kebijakan makro pemberdayaan masyarakat dalam konteks pembangunan daerah; 2. Instansi teknis menterjemahkan perencanaan makro tersebut ke dalam kebijakan operasional untuk dilaksanakan sesuai dengan lokus kegiatannya. 3. Bekerja sama dengan Bagian Pemerintahan Desa, kebijakan operasional tersebut, disampaikan kepada desa melalui Kecamatan. 4. Desa melakukan identifikasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam rangka pemberdayaan. Selain itu, juga dilakukan peluang partisipasi masyarakat dalam rangka menunjang kegiatan yang direncanakan tersebut; 5. Atas dasar identifikasi aspirasi, kebutuhan, dan peluang partisipasi tersebut, Desa dengan dikoordinasikan oleh camat membuat perencanaan operasional sesuai dengan potensi dan kebutuhan desa dengan rambu-rambu yang telah diberikan oleh instansi teknis dan Bagian Pemerintahan Desa; 6. Instansi teknis berkoordinasi Bagian Pemerintahan Desa menyeleksi perencanaan operasional yang dibuat oleh Desa; Setelah diverifikasi dan ternyata layak untuk dilaksanakan, bantuan diberikan kepada Desa. Jika tidak, dilakukan revisi; 7. Desa dengan kelengkapan Perangkat desanya melaksanakan kegiatan, di bawah koordinasi Camat beserta Instansi Teknis dan Bagian Pemerintahan Desa; 8. Masyarakat melalui BPD dan Kepala Desa membuat laporan secara rutin kepada Instansi Teknis melalui Camat mengenai kegiatan yang dilaksanakannya; 9. Instansi Teknis mengkompilasi laporan dari desa-desa tersebut dan melaporkannya kepada Bagian Pembangunan Asisten II Sekretariat Daerah Kabupaten; 10. Dalam waktu yang telah ditentukan, Bawasda melakukan pengawasan terhadap kegiatan tersebut kepada instansi teknis. G.
Media Pemberdayaan Sebagaimana disebutkan, peran kelembagaan adat sangat menentukan dalam penyelenggaran program pemberdayaan di Kabupaten Badung khususnya dan di Bali pada umunya. Dengan demikian, khusus berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat yang diluncurkan oleh Pemerintah Daerah, maka media yang efektif digunakan adalah media-media adat, seperti upacara adat dan media adat lainnya. [86]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
Sementara itu, dalam penyelenggaraan pemberdayaan yang diluncurkan oleh Pemerintah Pusat, selain menggunakan media adat, juga mekanisme formal seperti Musbangdes tetap dilakukan. H.
KESIMPULAN
Hasil identifikasi terhadap berbagai program pemberdayaan yang dilakukan di daerah nampak bahwa secara garis besar program pemberdayaan yang dilakukan, dilihat dari asal program tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu program pemberdayaan yang berasal dari Pemerintah Pusat. Propinsi, dan Kabupaten/Kota. Dilihat dari substansinya ternyata di setiap daerah, program pemberdayaan ditafsirkan hanya dalam konteks ekonomi, meskipun strategi pelaksanaannya dalam beberapa hal terkait dengan bidang lain. Hal ini juga sejalan dengan penafsiran pemberdayaan yang diluncurkan oleh Pemerintah Pusat. Artinya, bahwa sebagian besar bahkan hampir semuanya, program pemberdayaan yang dilakukan saat ini, baik oleh pusat maupun daerah ditujukan untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat. Ditinjau dari proses manajemennya, program pemberdayaan masyarakat di daerah dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu manajemen program pemberdayaan dengan dominasi top down management, dan manajemen program pemberdayaan dengan dominasi bottom up management. Program pemberdayaan yang diperkenalkan oleh Pemerintah Pusat secara umum lebih bersifat dominasi top down management, sedangkan program pemberdayaan yang dilakukan atas inisiatif daerah, ada yang lebih bersifat topdown management dan ada pula yang lebih bersifat bottom up management. Dalam hal program pemberdayaan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat secara nasional dan seragam, nampaknya kurang berhasil menggerakkan partisipasi masyarakat. Dalam pengertian, pemberdayaan hanya mampu memberdayakan masyarakat “sesaat”. Setelah program itu selesai, maka masyarakat kembali kepada kondisi semula. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, sebagaimana hasil wawancara yang didapatkan, progran pemberdayaan yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat secara nasional dan seragam, malah melahirkan “manipulasi” yang dilakukan “masyarakat”. Sebagai contoh, tatkala diluncurkan program bantuan untuk koperasi dan pengusaha kecil, maka bermunculanlah koperasikoperasi “instan” yang hanya ada nama dan kepengurusannya, sementara aktivitas dan anggotanya semua fiktif. Karena kontrol yang dilakukan juga lemah, maka dana stimulus untuk pemberdayaan, cenderung tidak “bermanfaat”.
ISBN: 978-602-96848-2-7
Sementara itu, program pemberdayaan yang dilakukan atas inisiatif daerah dan bersifat topdown management, Pemerintah Daerah memberikan bantuan (dana) dengan pola alokasi yang telah ditentukan. Porsi masyarakat dalam menentukan kebutuhan dan memberikan partisipasinya relatif terbatas. Sementara itu, program pemberdayaan atas dasar inisiatif daerah yang lebih bersifat bottom up management, Pemerintah Daerah tetap mempunyai peranan bukan hanya dalam pendanaan stimulus tetapi juga dalam memberikan rambu-rambu, misalnya rambu-rambu alokasi dana stimulus tersebut. Sementara itu, porsi masyarakat dalam menentukan kebutuhan dan memberikan kontribusi partisipasinya lebih luas. Berdasarkan temuan empirik sebagaimana dipaparkan terdahulu, dari keseluruhan program pemberdayaan yang diluncurkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah, terdapat program yang berhasil meningkatkan keberdayaan masyarakat, namun di sisi lain terdapat pula program pemberdayaan yang tidak berhasil meningkatkan keberdayaan masyarakat. Secara hipotetik dapat dikatakan bahwa keberhasilan program pemberdayaan di samping ditentukan oleh dimensi struktural masyarakat dan kultural masyarakat, juga ditentukan oleh manajemen pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dalam kaitan ini, pola manajemen pemberdayaan yang lebih menekankan aspirasi dan kebutuhan masyarakat nampak lebih berhasil membangkitkan partisipasi ketimbang yang diintroduksikan secara top down. Dengan kata lain, kegagalan program pemberdayaan di daerah lebih disebabkan oleh ketidaksesuaian kebutuhan dengan program yang dicanangkan. Faktor lainnya yang menyebabkan kegagalan ini adalah, kontrol yang relatif lemah dari pemerintah, tidak adanya pendampingan sehingga masyarakat tidak begitu “cerdas” dalam memanfaatkan dana stimulus yang diberikan. Temuan lain juga menunjukkan bahwa lembaga yang menjadi koordinator dalam penyelenggaraan pemberdayaan di setiap daerah ternyata berbeda-beda. Namun demikian, keterlibatan instansi teknis dalam penyelengaraannya di setiap daerah relatif sama, disesuaikan dengan kompetensi instansinya. Satu hal yang juga penting sebagai temuan penelitian ini, ternyata peran adat dan budaya lokal sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan yang dicanangkan baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah. Hal ini disebabkan masyarakat yang menjadi sasaran pemberdayaan di semua daerah adalah masyarakat yang berada di papan bawah, miskin, dan kebanyakan berada di pedesaan. Sementara itu, peran adat dan budaya di kalangan masyarakat tersebut masih relatif kuat, sehingga penyelenggaraan program pemberdayaan dengan menggunakan adat dan budaya sebagai “kendaraan” [87]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
atau “instrumen” ternyata memberikan dampak yang positif.
Sumodiningrat, Gunawan (1996), Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta, PT. Bina Rena Pariwara
DAFTAR PUSTAKA
UNDP (1997). Empowering People: A Guide Book to Participation. http://www.undp.organisasi/csopp/pnguide0. htm
Bhatta, Gambhir (1996), Capacity Building at the Local Level for Effective Governance Empowerment Without Capacity is Meaningless.International Conference on Governance Innovations . Manila. Philippines. Departemen dalam Negeri (2001), Kemendagri no 18/2001 Tentang Pedoman Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat(KPM).Menteri Dalam Negeri , Jakarta. ---------------------------------(2002), Petunjuk Teknis Operasional, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Tahun Anggaran 2002. Tim Koordinasi Pengembangan Kecamatan. Jakarta. Departemen Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah (2003), Petunjuk Teknis Perkuatan Permodalan UKMK Dan Lembaga Keuangannya Dengan Penyediaan Modal Awal Dan Padanan (MAP) Melalui KSP/USP Koperasi. Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia. Jakarta. Evans, Peter (1996), Moving Beyond 20th Century Myths to an Appreciation of State-Society Synergy. International Conference on Governance Innovations . Manila. Philippines. Hardjana, (1988), Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, terjemahan dari : Stewart, Aileen Mitchell, Empowering People;
Vitalaya, Aida (2000). Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Otonomi Daerah, Proseeding Seminar Pemberdayaan Manusia Menuju Masyarakat Madani, Bogor, 25-26 September 2000. Wasistiono, Sadu (2003), Pokok-pokok Pikiran Mengenai Konsep Kebijakan dan Arah Pemberdayaan Masyarakat Dalam Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, disampaikan pada Diskusi Terbatas tentang “Desentralisai, Pembangunan Daerah dan Penguatan Masyarakat Sipil‟ yang diselenggarakan oleh PKDA I LAN Bandung, 15 Oktober 2003
Biodata Penulis Penulis adalah Peneliti Madya bidang Administrasi Publik Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I – Lembaga Administrasi Negara. Pendidikan terakhir saat ini adalah Magister Sain Administrasi Publik i
Makalah ini Merupakan bagian dari hasil penelitian Manajemen Pemberdayaan Masyarakat di Daerah oleh Tim Peneliti PKP2A I – LAN, Bandung Tahun 2004. Kabupaten Badung merupakan salah satu daerah sampel di mana penulis melakukan penelitian
Ife, Jim William (1995) Community Development: Creating Community Alternatives - Vision, Analysis and Practice, Melbourne, Longman Australia. Kartasasmita, Ginanjar (1996), Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta, PT Pustaka Cidesindo. Osborne, David (1992), Reinventing Government Priyono, Onny S. dan Pranaka (1996), Pemberdayaan Konsep Kebijakan dan Implementasi, Jakarta, CSIS. Pranarka dan Moeljarto (1996), Pemberdayaan (Empowerment) dalam Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi (Prijono dan Pranarka, penyunting). Jakarta, CSIS.
[88]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
DUKUNGAN E-GOVERNMENT DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH : KASUS BEST PRACTICES DARI SEJUMLAH DAERAH DI INDONESIA Junaidi Jurusan Ilmu administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sriwijaya Jl. Palembang-Prabumulih Km.32 Indralaya, Ogan Ilir E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pemerintah daerah telah banyak melakukan berbagai upaya peningkatkan kualitas pelayanan publik selama otonomi daerah berlangung. Salah satunya adalah mengaplikasikan berbagai teknologi informasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik atau e-government. Sejak terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government, berbagai Instansi Pemerintah termasuk pemerintah daerah mulai mengadopsi e-government tersebut dengan berbagai metode dan tahapan. Dari Pengamatan selama ini, Beberapa daerah menunjukkan kinerja pengembangan e-governmentnya cukup baik, namun beberapa daerah lain baru memahami penerapan e-government hanyalah sebatas membangun website. Bahkan website yang ada pun jauh dari kesan informatif. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan dua aspek. Pertama, Potret dari beberapa Pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten atau kota yang dianggap berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui pemanfaatan teknologi informasi atau e-government. Pemda tersebut antara lain Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Jembrana, Kota Surabaya, Kabupaten Sragen dan Kota Yogyakarta. Kedua, Faktor-faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Pengembangan e-government dalam mendukung Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah dan upaya kedepannya. Belajar dari beberapa pemda yang telah berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui pemanfaatn TI, ada 4 faktor dominan yang menjadi pendukung keberhasilannya yaitu Adanya political will Kepala Daerah, adanya blue print atau master plan pengembangan e-government, Manajemen perubahan dan adanya Partisipasi Masyarakat. Kata Kunci: e-government, kualitas pelayanan publik, otonomi daerah, best pratice 1.
menyelenggarakan E-Government Award, misalnya pemberian Penghargaan E-government Award oleh Majalah Warta Ekonomi yang telah dilakukan sejak Tahun 2002 (Tabel 1). Dukungan ini pada dasarnya sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap Pemda yang serius menerapkan e-government. Dari Pengamatan selama ini, Beberapa daerah menunjukkan kinerja pengembangan egovernmentnya cukup baik, namun beberapa daerah lain baru memahami penerapan e-government hanyalah sebatas membangun website. Bahkan website yang ada pun jauh dari kesan informatif.
PENDAHULUAN
Otonomi daerah sudah lebih dari sepuluh tahun diselenggarakan. Hal ini penting dalam sejarah penyelenggaraan negara Republik Indonesia, dimana pembagian kekuasaan tak hanya dilaksanakan secara horizontal, namun juga secara vertikal. Pemerintah daerah memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih luas dan leluasa dalam mengupayakan kesejahteraan daerahnya. Semenjak itu pula, berbagai dinamika terjadi dalam penyelenggaraannya baik dari aspek politik,ekonomi, maupun administrasi negara. Pelayanan publik misalnya, menjadi isu terpenting karena secara teoritis, rentang kendali yang lebih pendek membuat pelayanan publik menjadi lebih prima. Berbagai Upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, salah satunya adalah mengaplikasikan berbagai teknologi informasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik atau e-government. Sejak terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government, berbagai Instansi Pemerintah termasuk pemerintah daerah mulai mengadopsi e-government tersebut dengan berbagai metode dan tahapan. Untuk mendukung upaya ini, pihak masyarakat pun
Tabel 1. Daftar Pemenang Warta Ekonomi EGovernment Award Tahun 2006-2009 Kategori/ Peringkat Propinsi Juara I Juara II Juara III
[89]
2009 DIY Jabar
2008 Jawa Timur Jawa Barat Kep.Riau
Tahun 2007 DKI Jakarta Jawa Barat DIY
2006 DIY Jawa Timur DKI Jakarta
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tabel 1. Lanjutan Kategori/ Peringkat Kab / Kota Juara I Juara II Juara III
2009
2008
Tahun 2007
pengembangan perangkat lunak untuk mendukung para birokrat dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Mengingat kegiatan pengembangan e-Government demikian banyaknya dan tidak akan selesai dalam jangka waktu yang pendek dan dalam rangka memenangkan persaingan baik antar pemerintah daerah maupun antar wilayah di luar negari diperlukan terobosan-terobosan, maka pada tahun anggaran 2005 Pemerintah Propinsi DIY mulai memutuskan untuk menemukenali bidang-bidang yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan memanfaatkan jaringan internet/intranet dengan apa yang disebut dengan Digital Government Services (DGS). Pengembangan DGS ini diyakini akan mempercepat tercapainya visi pemerintah daerah yaitu ”Mantapnya Pemerintah Daerah yang katalistik dan mendukung terbentuknya masyarakat kompetitif”, karena dengan pengembangan DGS diyakini dapat mewujudkan pelayanan prima kepada seluruh masyarakat serta merupakan bagian upaya menuju terwujudnya Jogja Cyber Province. Jogja Cyber Province adalah model propinsi yang melakukan transformasi layanan yang berorientasi kepada pelanggan (masyarakat) dengan berbasis pada proses bisnis, informasi dan pengetahuan yang memanfaatkan TIK sebagai akselerator (Warta Ekonomi dan Dian Rakyat, 2010:44). Ada enam bidang Layanan Unggulan DGS yaitu Pendidikan, Pariwisata, Perindustrian dan Perdagangan, Pertanian, Perikanan/Kelautan dan Perhubungan). Enam bidang tersebut telah ditunjuk sebagai pilot project bidang unggulan DGS 20062008. Dalam tiap bidang dipilih inisiatif strategis dengan tujuan yang terkait dengan peningkatan daya saing dan kesejahteraan masyarakat. Untuk memberi gambaran tentang inisiatif tersebut, di bawah ini diberikan masing-masing satu contoh inisiatif strategis di Bidang Pendidikan dan Bidang Perindustrian-Perdagangan. Dua inisiatif strategis ini telah diimplementasikan sejak Tahun 2006. Pertama, Layanan Unggulan Bidang Pendidikan. Pemerintah menyediakan layanan pembelajaran melalui pemanfaatan ICT (baik on-line maupun offline). Layanan unggulan “DIY Learning Gateway” atau “Gerbang Pembelajaran” memberikan fasilitas kepada masyarakat untuk mendapat kesempatan menikmati pendidikan yang baik, memberikan fasilitas bagi para guru untuk mengembangkan profesinya serta memberikan fasilitas kepada semua insan pendidikan (orang tua/wali murid, dewan pendidikan, praktisi, dan sebagainya) untuk saling berkomunikasi dan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di DIY. “Gerbang Pembelajaran” ini diintegrasikan dengan “DIY Regional Library Network” yang sudah dikembangkan dan akan diintegrasikan dengan national and international learning exchange.
2006
Kab. Kab. Kab Kab. Jembrana Jembrana Sragen Sragen Kota Kota Kota Kota Surabaya Surabaya Malang Malang Kota Kota Kota Kab. Bogor Surabaya Malang Jombang Website terbaik : DIY, Kota Yogyakarta e-Leadership : Kota Surabaya Best Of The Best : Kab. Jembrana
Pengharga an Khusus Tahun 2009 Sumber : diolah Junaidi dari berbagai sumber, 2011.
Tulisan ini mencoba mendiskripsikan beberapa hal. Pertama, Potret dari beberapa Pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten atau kota yang dianggap berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui pemanfaatan teknologi informasi atau e-government. Pemda tersebut antara lain Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Jembrana, Kota Surabaya, Kabupaten Sragen dan Kota Yogyakarta. Kedua, Faktor-faktor yang mempengaruhi Keberhasilan Pengembangan egovernment dalam mendukung Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah. 2
POTRET PENGEMBANGAN EGOVERNMENT DI BEBERAPA DAERAH
Pengembangan e-government pada beberapa daerah ternyata dilakukan dengan berbagai format yang bervariasi. Kalau dilihat dari aspek yang dinilai pada setiap event pemberian penghargaan Egovernment Award, ternyata aspek keunggulan dari aplikasi yang dikembangkan menjadi indikator penilaian yang sangat dominan. Hampir setiap daerah yang dikaji menunjukkan bahwa Pemda DIY, Kota Surabaya, Kabupaten Jembrana, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sragen memiliki program yang unggul dimana program tersebut tidak dimiliki oleh pemda lain. Namun demikian keunggulan tersebut memiliki arah yang sama yaitu bagaimana kualitas pelayanan publik semakin cepat, murah, transparan maupun akuntabel. 2.1 Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pengembangan TI di Pemerintah Propinsi DIY telah dimulai sejak tahun 2002 yang diawali dengan pembangunan situs www.pemda-diy.go.id dan diikuti dengan penyusunan Rencana Induk Pengembangan e-government dan pembangunan infrastruktur interkoneksi antar instansi Pemerintah Propinsi DIY dengan menggunakan kabel hibrid fiber optic coaxia l(HFC) serta pengadaan perangkat keras pendukungnya seperti komputer server, personal komputer, dan lain sebagainya. Kemudian pada tahun berikutnya mulai dilakukan [90]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Kedua, Layanan Unggulan Bidang Perindustrian dan Perdagangan. Pemerintah memberdayakan UKMK (Usaha Kecil Menengah dan Koperasi) dengan bertindak sebagai mediator atau konsultan bisnis yang menggerakan sendi-sendi bidang industri, perdagangan dan jasa di DIY. Fungsi mediator ini direpresentasikan melalui layanan DIY Small and Medium Business Development Center, yang diharapkan mampu menarik dunia usaha (investor, pembeli, distributor, retailer, dan lain-lain) serta mampu mendorong UKMK agar cepat tanggap terhadap dinamika bisnis. Tahun 2008 pengembangan DGS diorientasikan pada Bidang Kesehatan dan Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi. DGS bidang kesehatan yang dihasilkan saat ini bersifat informatif kepada masyarakat dan layanan interaktif untuk layanan registrasi online tenaga kesehatan. Layanan unggulan bidang kesehatan dapat dipahami bahwa Dinkes Propinsi DIY berperan sebagai pusat informasi kesehatan (Health Information Center); sebagai penyedia informasi yang terpercaya (reliable) dan capable untuk memetakan kondisi kesehatan masyarakat; melakukan analisa kesehatan berdasarkan data yang komprehensif dari semua unit-unit kesehatan; melakukan pemantauan dan pengendalian masalah kesehatan melalui Health Monitoring System dan Konsultan kesehatan bagi masyarakat, baik secara online (web) maupun offline. Beberapa aplikasi yang berhasil dibangun sebagai program unggulan berbasis TI antara lain aplikasi pendidikan berbasis online dan integrasi sitem pemerintahan sektoral yang terdiri dari bidang transportasi, pariwisata, tenaga kerja, dan kesehatan, dengan membangun sistem informasi terpadu (Warta Ekonomi dan Dian Rakyat, 2010:45). Untuk dapat mencapai sustainable development, maka Pemprop Yogyakarta mengantisipasi dengan menyiapkan blue print pengembangan e-government. Aplikasi yang dikembangkan lewat program DGS banyak menyentuh masyarakat, misalnya Plaza Informasi yang menerima kunjungan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Selain itu, dengan mengguakan sistem jemput bola, pemprop juga membuat Mobile Community Access Point (MCAP) yang mengunjungi masyarakat untuk memberikan informasi.
Selain tidak efisien, praktik pengadaan barang dan jasa secara manual ternyata penuh dengan ekses korupsi, kolusi antara rekanan dan pejabat pemerintah, sehingga kualitas barang dan jasa yang diperoleh tidak sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan. Pengadaan barang dan jasa melalui lelang secara on line di kota Surabaya mula-mula dilakukan dengan dibukanya situs web dengan nama www.lelangserentak.com pada tahun 2003. Sarana awal e-government Pemerintah Kota Surabaya untuk lelang publik tersebut dibuka dengan keinginan yang kuat untuk menciptakan sistem lelang yang efisien, transparan, akurat, tepat waktu, dan menghemat anggaran publik. Seiring dengan perkembangan minat warga Surabaya yang meningkat dalam penggunaan fasilitas internet, situs ini ternyata mendapat tanggapan yang sangat positif dari warga masyarakat, terutama para pengusaha atau rekanan swasta yang selama ini kesulitan untuk mendapat akses ke jalur-jalur birokrasi Pemerintah Kota Surabaya yang terkadang rumit dan tidak transparan. Pada saat yang sama, para pejabat Pemkot Surabaya juga melihat bahwa biaya yang harus dialokasikan untuk pengembangan sistem ini sebenarnya cukup murah sedangkan keuntungan dari segi efisiensi biaya sangat besar. Maka selanjutnya Pemkot Surabaya punya komitmen untuk menyempurnakan sistem lelang serentak tersebut dengan membuka situs yang lebih formal dengan nama www.surabaya-eproc.or.id pada tahun 2004. Kebijakan pelaksanaan eprocurement tersebut tertuang dalam Peraturan Walikota Surabaya nomor 50 tahun 2004 jo nomor 30 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik (eProcurement). Sistem internal yang terdapat di jajaran Pemkot Surabaya itu selanjutnya disebut Surabaya e-Procurement System (SePS) yang mengaitkan database tentang kebutuhan pengadaan barang dan jasa dengan banyak asosiasi rekanan atau pengusaha bisnis kecil secara on line. Sejak dilaksanakannya e-procurement, lebih banyak lagi transaksi pengadaan barang dan jasa dapat dilaksanakan oleh Pemkot Surabaya melalui media elektronik. Pada tahun 2005, misalnya, tercatat bahwa ada sekitar 3.000 badan usaha telah menjadi anggota dari sistem e-procurement Pemkot Surabaya dengan total nilai lelang barang/jasa yang mencapai hampir Rp 300 milyar (Kumorotomo, 2008:10) Perkembangan terbaru dari e-procurement di Pemkot Surabaya adalah ditingkatkannya keamanan transfer data sehingga mendapat pengakuan berupa sertifikat ISO 27001:2005 tentang Security Management System. Mulai pertengahan tahun 2007, pihak Pemkot juga meluncurkan layanan berupa Smart Office Zone. Layanan ini berupa fasilitas hotspot untuk mengakses internet yang disediakan untuk kawasan 250.000 meter persegi di sekitar
2.2 Kota Surabaya Terobosan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam manajemen pelayanan publik adalah aplikasi E-Procurement, suatu sistem pengadaan barang dan jasa publik yang dikelola secara elektronik berbasis web. Pertimbangan yang mendasari kebijakan ini adalah kurang efisiennya sistem pengadaan barang dan jasa secara manual seperti yang selama ini terjadi di banyak daerah. [91]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
kompleks perkantoran dan Taman Surya di balai kota Pemkot Surabaya. Integrasi dari layanan pengadaan barang dan jasa juga dilakukan dengan kantor unit pelayanan terpadu yang memiliki Sistem Manajemen Satu Atap (SIMTAP). Dari segi software, sudah dilakukan pengembangan sebanyak lima kali dengan basis program open source Linux Debian. Versi terakhir dari e-procurement sudah dilengkapi dengan Public Key Infrastructure. Stabilitas dari akses ke www.surabaya-eproc.or.id juga dijamin dengan sistem back up yang menggunakan colocation di Jakarta. Tentu saja fasilitas keamanan yang lain bagi setiap transaksi, seperti password, user name, enkripsi dan sistem private key juga telah dibuat sesuai standar. Secara kelembagaan, untuk memberikan meningkatkan efektivitas pengelolaan eprocurement, maka sejak 2008 telah dibentuk Kantor Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang bertugas mengadakan pelelangan dari seluruh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di lingkungan Pemkot Surabaya. Program lain yang menjadi unggulan pemerintah Kota Surabaya adalah Government Resources Management System (GRMS) (Warta Ekonomi dan Rakyat, 2010:32). GRMS adalah sistem pengelolaan sumber daya pemerintahan yang terintegrasi dari aktivitas birokrasi dari hulu sampai hilir (dalam konteks belanja) yang dikembangkan dalam rangka menjunjang pengelolaan keuangan daerah. Sistem GRMS yang dikembangkan terdiri dari e-Budgeting, e-Project Planning, eProcurement, e-Delivery; e-Controlling dan ePerformance. Aplikasi lain yang dikembangkan oleh Pemkot Surabaya adalah Gessy (Gateway for Short Message System). Sistem SMS Gateway ini memiliki kegunaan mengirim pesan secara massal, mengambil data dari database, membuat autoresponder SMS, dan membuat interface berbasis web. Salah satu manfaatnya adalah warga Kota Surabaya dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai data kependudukannya di wilayah Surabaya cukup dengan mengirim SMS. Gessy juga dapat menyajikan data jumlah penduduk Kota Surabaya lengkap dengan gendernya atau untuk mengetahui jumlah penduduk usia produktif. Pemkot Surabaya juga memanfaatkan sistem SMS Gateway sebagai sarana pengaduan proyek fisik. Terobosan lain yang kini tengah dilakukan Pemkot Surabaya adalah menambah sidik jari dalam Kartu Identitas Penduduk (KTP). Terobosan ini sebagai tambahan identitas seseorang di samping KTP Nasional. Ke depan, Pemkot seudah menyiapkan konsep pengembangan sistem integrasi dalam pemanfaatan KTP di samping sebagai identitas diri dapat juga dimanfaatkan sebagai integrasi untuk intervensi program pemerintah dan penggali potensi. Misalnya melalui KTP yang telah
terintegrasi, akan dapat terdeteksi identitas pe nerima bantuan bagi keluarga miskin. Pada sektor pendidikan, dapat dimanfaatkan juga sebagai validasi pembayaran biaya sekolah dan penerima bantuan beasiswa. 2.3 Kabupaten Jembrana Pengembangan e-government yang optimal perlu didukung dengan perencanaan yang baik. Dengan adanya perencanaan yang baik, penerapan teknologi informasi diharapkan akan dapat didorong untuk memaksimalkan capaian tugas-tugas pemerintahan, sehingga biaya-biaya yang dikeluarkan nantinya tidak semata-mata hanya sebagai pengeluaran saja, tetapi dapat menjadi salah satu bentuk investasi yang menguntungkan. Inilah yang mendorong Pemerintah Kabupaten Jembrana menyusun Rencana Induk Pengembangan eGovernment. Penyusunan Rencana Induk Pengembangan e-Government dimulai tahun 2004 untuk masa berlaku 2004-2008. Selanjutnya disusun kembali Rencana Induk Pengembangan eGovernment Tahun 2009-2013. Akibat terencananya program pengembangan e-government di Jembrana, banyak prestasi yang kini diraih Pemkab Jembrana. Dalam pemilihan E-Government Award yang diadakan oleh majalah Warta Ekonomi tahun 2009, kabupaten Jembrana berhasil mempertahankan gelar juara tahun 2008 dalam penerapan E-government untuk tingkat kabupaten. Keunggulan Jembrana adalah penerapan kartu J-Card (Jembrana Card). Setiap warga Jembrana yang memiliki J-Card dapat pergi ke rumah sakit dan menunjukkan kartunya. Kartu akan ditempelkan ke mesin pembaca (card reader). Untuk otorisasi, si pasien cukup menempelkan tangannya. Di layar komputer akan terpampang riwayat medis si pasien dan pengobatan yang pernah diterimanya. Setelah diobati, si pasien boleh pulang dan cukup mengucapkan terima kasih. Jembrana Card (J-card) juga ternyata berfungsi ganda. Selain kartu berobat, kartu ini juga sekaligus menjadi KTP dan ATM. Dengan penggunaan J-card sebagai KTP, pemerintah daerah bisa mengetahui jumlah, penyebaran dan tingkat ekonomi penduduknya. Menurut data, sudah 60% dari 263.000 warga Jembrana yang memiliki kartu J-card. Kendala yang masih dihadapi adalah keterbatasan kemampuan pemerintah daerah untuk memproduksi kartu per hari. Manfaat penting lain implementasi J-Card adalah untuk pelaksanaan e-voting atau pemilu dengan sistem elektronik. Dengan sistem e-voting, calon pemilih cukup membawa J-Card. Dengan JCard tersebut warga kemudian mendaftar, lalu menuju bilik suara yang suah berisi monitor touch screen. Di bilik suara, warga cukup menyentuh gambar calon dipilihnya, yang sudah tertera pada layar monitor. Jadi, warga Jembrana tidak lagi
[92]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
mencoblos atau mencontreng tanda gambar di kertas sebagaimana dalam pemilu nasional. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa dengan sistem e-voting, rata-rata waktu yang dibutuhkan pemilih untuk memberikan suaranya hanya 25,83 detik. Tingkat keakuratan data hasil pemilihan bisa dipastikan akan lebih tinggi karena bebas dari kesalahan perhitungan manual dan kemungkinan manipulasi data seperti yang sering kita dengar pada pemilu tingkat nasional. Selain itu cara ini juga lebih irit karena tidak lagi menggunakan kertas yang sekali pakai tak bisa digunakan lagi. Pemkab Jembrana pernah mencoba membuat simulasi dan membandingkannya dengan pengalaman mereka saat menggelar Pilpres 2009 di lima kecamatan di sana. Hasilnya adalah pada Pilpres 2009 di lima kecamatan itu membutuhkan 373 TPS dengan rata-rata pemilih 548 orang per TPS. Jika dibandingkan dengan e-voting, hasil simulasi di lima kecamatan itu menunjukkan mereka hanya membutuhkan 254 TPS (32 % lebih sedikit) dan rata-rata pemilih 806 orang per TPS atau 47 % lebih banyak (Warta Ekonomi dan Dian Rakyat,2010: 21-22) Menurut Koswara, Kabupaten Jembrana merupakan salah satu pemerintah daerah yang berhasil menggunakan open source software untuk membangun sistem e-Governmentnya. Pada 2007 Pemkab Jembarana membangun J-Net (Jimbarwana Networking). J-Net yaitu jaringan yang mengintegrasikan Kecamatan, desa-desa, sekolah, puskesmas dan lain-lain se-Kabupaten Jembrana, dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan menuju ketata Pemerintahan yang baik (Good Governance), peningkatan kualitas pendidikan atau E-Learning, dan pemasyarakatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi kepada kalangan masyarakat atau e-people. J-Net dibangun untuk : 1. Meningkatkan efektifitas pelaksanaan pemerintahan di daerah baik DPRD maupun Eksekutif melalui komunikasi timbal balik secara lebih cepat 2. Meningkatkan kwalitas pelayanan masyarakat melalui komputerisasi administrasi pemerintahan di tingkat Kecamatan, Desa dan Kelurahan, ada 31 Jenis Surat Keterangan; 3. Meningkatkn kesejahteraan masyarakat pada semua lapisan melalui akses jaringan internet yang dapat menjadi perangsang tumbuhnya simpul simpul ekonomi baru di pelosok desa; 4. Meningkatkan kualitas intelektual anak didik melalui akses internet atau jaringan pendidikan nasional yang memungkinkan bagi pembelajaran elektronik; untuk menggunakan perangkat lunak legal sesuai dengan Undangundang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak atas
Kekayaan Intelektual dalam mendukung administrasi Pemerintahan Kabupaten Jembrana; 5. Meniadakan kesenjangan digital di lingkungan pemerintahan Kabupaten Jembrana. J-NET sangat membantu dalam menyediakan sumberdaya manusia di lingkungan Kecamatan, Desa dan Kelurahan di Kabupaten Jembrana yang mampu mengoperasikan dan mempergunakan aplikasi-aplikasi berbasis open source yang telah disediakan dalam rangka peningkatan kwalitas pelayanan terhadap masyarakat serta Penggunaan aplikasi open sources dalam pemerintahan kabupaten Jembrana. Perangkat lunak open source yang digunakan adalah untuk kebutuhan : 1. Sistem operasi OSS dengan aplikasi open office untuk pengolahan kata, tabulasi dan presentasi; 2. Telepon VOIP atau Voice Over Internet Protocol sehingga biaya komunikasi relatif murah; 3. Video meeting untuk kebutuhan pertemuan pertemuan di kapupaten Jembrana; 4. Akses Intranet Pemkab Jembrana untuk a. Sistem Perkantoran Elektronik menggunakan Kantaya atau Kantor Maya berbasis open source hasil pengembangan BPPT; b. Sistem Informasi Manajemen Pemda (Simda) meliputi bidang Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan darat & laut, Pengaduan masyarakat dgn SMS melalui SMS center, Sistem Pelaporan Kecamatan, Kelurahan & Desa; c. Kurikulum Administrasi Pendidikan Maya (Kasipena); 5. Akses ke Internet 2.4 Kota Yogyakarta Pengembangan SI UPIK (Sistem Informasi dalam Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan) merupakan salah satu terobosan dalam sistem manajemen pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jogjakarta. Gagasan untuk mengembangkan sistem ini bermula dari perhatian Walikota Jogja, Herry Zudianto, yang melihat pentingnya masukan, keluhan atau kritikan terhadap kinerja pemerintah. UPIK dibentuk dengan dilandasi tiga persoalan, yaitu: 1) Tidak semua warga masyarakat mengetahui saluran pengaduan yang dapat dipergunakan secara mudah, 2) Adanya hambatan waktu bertemu antara rakyat dengan pejabat atau penguasa, dan 3) Adanya rasa takut dan sungkan untuk mengadukan keluhan diantara masyarakat. Maka UPIK diharapkan akan bisa menampung sejumlah aspirasi, keluhan, saran, kritik atau sekadar informasi yang bisa segera ditanggapi sesuai masukan dari warga masyarakat sebagai pengguna layanan publik. Terbentuknya UPIK yang berada di bawah kantor BID (Badan Informasi [93]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Daerah) merupakan terobosan yang memang didorong oleh tuntutan masyarakat daerah di kota Jogja (Kumorotomo, 2008:5). Kebijakan untuk membentuk UPIK digariskan melalui Keputusan Walikota Jogja No.86 tahun 2003 yang ditetapkan pada tanggal 14 November 2003. Kedudukan, tugas pokok dan fungsi satuan ini adalah sebagai penerima keluhan masyarakat atas pelayanan administratif maupun kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota. Proses pembentukan unit ini dimulai dari ditetapkannya PT Exindo sebagai pemenang tender untuk pengadaan sistem dan pelatihan SDM untuk mengoperasikan sistem komunikasi antara warga masyarakat dan pemerintah daerah berbasis elektronik. Mula-mula, PT Exindo menawarkan pengembangan sarana aduan dengan teknologi yang sudah banyak dipakai oleh masyarakat, yaitu dengan pengiriman SMS (Short Message Services) melalui sarana telepon seluler, dengan telepon secara langsung, dan dengan pengiriman e-mail (electronic mail) melalui jaringan internet. Untuk pelaksanaan pengadaan software, monitoring dan evaluasi program, pemerintah kota Jogja juga dibantu oleh Swisscontact, sebuah rekanan swasta di bidang pengadaan software. Untuk sistem manajemen, terutama monitoring dalam organisasi dan etika pelayanan, juga terdapat bantuan konsultan PKPEK, sebuah LSM yang selama ini bergerak di bidang advokasi industri kecil dan pelayanan publik. Peluncuran dan sosialisasi pemanfaatan UPIK dimulai sejak tanggal 29 Februari 2004. Payung kelembagaan dari sarana pengaduan ini mula-mula dipercayakan kepada Kantor Humas. Berikut ini adalah alamat situs web dan nomor-nomor yang dapat diakses dengan sistem UPIK : Datang langsung : Kantor BID atau operator UPIK , Telepon kabel (fixed line) : 0274-555242 , Telepon seluler (SMS) : 081-227-80001 atau 2740, Situs web : www.upik.jogja.go.id, E-mail :
[email protected]. Ternyata animo masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan aduan melalui SMS demikian besar. Masyarakat yang sudah biasa menggunakan hotline service ke Pemda kota Jogja akhirnya tidak asing lagi dengan nomor telepon kabel, ponsel, maupun alamat situs di atas. Dari data statistik penyampaian keluhan yang masuk ke pengelola UPIK, aduan yang disampaikan melalui SMS dan e-mail ternyata menempati urutan yang tertinggi. Aduan melalui SMS mengalami fluktuasi, tetapi aduan melalui e-mail menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun. Banyaknya aduan melalui surat, fax, dan telepon kabel ternyata justru menunjukkan penurunan. Ini menunjukkan bahwa animo masyarakat Jogja untuk menggunakan perangkat komunikasi elektronik yang lebih efisien terus mengalami peningkatan. Dari empat kategori pesan melalui SMS (keluhan, pertanyaan, informasi, usul/saran), juga diketahui bahwa 80% respon
langsung dapat diterima oleh warga masyarakat. Menyangkut usulan warga yang berkaitan dengan pembangunan (misalnya pengaspalan jalan, pembuatan talud sungai, pengadaan truk sampah, dsb) yang membutuhkan anggaran relatif besar, pemerintah kota Jogja terkadang memang harus menganggarkan untuk tahun yang akan datang atau berkoordinasi dengan daerah lain sehingga perwujudan usulan tersebut tidak mungkin bisa seketika. Namun satu hal yang pasti ialah bahwa usulan semacam itu akan digunakan sebagai masukan dalam penyusunan anggaran untuk jangka menengah atau jangka panjang. Dari data statistik UPIK, Tabel 2 menunjukkan distribusi aduan yang disampaikan oleh warga yang direkap setiap bulan. Tabel 2. Distribusi Aduan Warga Melalui UPIK No Pering kat
Dinas Dituju
1
Kimpraswil
2
12
3
Humas & Info Pendidikan
4
Perijinan
7
5
Lain-lain
6
Ketertiban
7
Sept 2007
Mei 2007 Juml ah 15
Dinas Dituju
Jumlah
Humas & Info
11
Naker/ Kepegawaian Kimpraswil
10
7
5
Adum/ pemerintahan Perijinan
3
Perindag
4
3
Pendidikan
3
8
Naker/Kepe gawaian Sosial
3
BKKBC
2
9
Perhubungan
2
Lain-lain
2
10
Pariwisata
2
Perhubungan
1
Σ
9
62
10
Σ
6
56
Sumber: Laporan UPIK 2007 dalam Kumorotomo (2008:6)
UPIK merupakan sebuah upaya pengembangan e-government yang telah masuk kategori interaktif. Informasi melalui media elektronik tidak hanya bersifat sepihak, dari pemerintah ke masyarakat, tetapi sudah bersifat timbal-balik dengan mengutamakan informasi dari masyarakat ke pemerintah. Perkembangan ini memang tidak mudah karena menuntut aparat pemerintah daerah untuk lebih responsif dan peka terhadap semua aduan dari masyarakat. Tentu saja tanggapan yang ideal dari aparat pemerintah bukan sekadar jawaban yang segera tetapi juga tindakan riil yang sesuai dengan kehendak masyarakat. Namun perkembangan ini tentu akan membawa manfaat yang besar bagi kinerja lembaga pemerintah. Dari sebuah penelitian (Yulia Rustiyaningsih, 2008), berikut ini adalah manfaat yang dapat dipetik dari responsivitas Pemda kota Jogja dengan sarana UPIK: 1. Meningkatnya kemampuan Pemda untuk mengenali kebutuhan masyarakat
[94]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
2.
Kemudahan dalam menyusun agenda dan skala prioritas 3. Pengembangan program sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat 4. Meningkatnya tanggungjawab atas layanan yang diberikan 5. Meningkatnya komitmen aparat dalam melayani masyarakat. Manfaat yang dapat diperoleh dari efektivitas komunikasi dengan bantuan sistem UPIK tampaknya sederhana. Namun apabila dilihat secara sungguhsungguh, dapat dipahami bahwa keseriusan untuk menanggapi aduan masyarakat akan mengandung implikasi sangat penting. Sebagai contoh, kemudahan dalam menyusun agenda dan skala prioritas sebenarnya akan sangat terbantu aparat Pemda menindaklanjuti aduan ke UPIK secara serius. Pemerintah Kota Jogyakarta telah menetapkan bahwa laporan UPIK yang dikirimkan tembusannya ke Tim Tindak Lanjut difungsikan sebagai laporan bulanan kepada Walikota dan sekaligus sebagai masukan kepada Bappeda. Walikota sendiri sudah memberikan instruksi bahwa laporan khusus yang menyangkut adanya indikasi KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) oleh aparat Pemda supaya langsung ditujukan kepadanya secara langsung. Apabila pola tindak-lanjut semacam ini dilaksanakan secara konsisten, tentu masalah korupsi dalam birokrasi publik dapat ditekan dan citra Pemda yang selama ini dipandang tidak responsif akan dapat dikikis. Contoh lainnya, dalam hal tanggungjawab atas layanan yang diberikan, sistem UPIK jelas membuktikan peran teknologi informasi dalam peningkatan tanggungjawab Pemda dan kinerja pelayanan Pemda sendiri. Sejalan dengan difungsikannya UPIK sebagai sarana interaktif, Pemda kota juga melaksanakan penyempurnaan mekanisme perijinan. Kini Pemda kota Jogja telah memiliki Dinas Perijinan yang memungkinkan setiap warga dapat mengurus berbagai surat perijinan di satu atap. Pembentukan satuan ini sebagai sebuah Dinas memang di satu sisi bertentangan dengan PP No.41 tahun 2007 tentang Struktur Organisasi dan Tatakerja Pemerintah Daerah. Kenyataan ini memang pernah menjadi sumber kekhawatiran diantara sebagian perumus kebijakan di kota Jogja. Namun karena di sisi lain pembentukan Dinas Perijinan telah menghasilkan manfaat yang besar dalam efisiensi pelayanan, keberadaan dinas ini tetap dipertahankan dan bahkan dilengkapi dengan perangkat teknologi informasi yang semakin bagus. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan UPIK sebagai wahana interaksi antara warga dan Pemda kota Jogja sangat didukung oleh komitmen pejabat Walikota. Komitmen walikota yang lebih suka dipanggil sebagai “kepala pelayan” ketimbang penguasa di Kota Jogja merupakan salah satu jaminan bagi berfungsinya UPIK bagi umpan-
balik perumusan kebijakan pemerintah daerah (Kumorotomo, 2008:8) 2.5 Kabupaten Sragen Upaya pengembangan Jaringan infrastruktur di Kabupaten Sragen telah dilakukan sejak 2002 yaitu dimulainya koneksi jaringan computer dan integrasi sistem pada kompleks perkantoran SETDA yang terpusat di PDE; Tahun 2003 dimulai koneksi antar Dinas/Satker di luar SETDA dan 8 titik Kecamatan hingga pada Tahun 2005/2006 semua Dinas/Satker dan 20 Kecamatan terkoneksi jaringan Online; Tahun 2007 dibangun Jaringan Desa yang meliputi 208 Desa/Kel se-Kabupaten. Sragen; Development System/Aplikasi, Pengolahan Data dan Maintenance seluruhnya dilaksanakan oleh TimTeknis PDE Sragen. Kabupaten Sragen merupakan salah satu daerah percontohan dalam implementasi e-Government di Indonesia. Menurut Prasojo (2008) beberapa program yang telah berhasil dilakukan antara lain Pemerintah Kabupaten Sragen melaksanakan berbagai program seperti pembangunan jaringan pemerintahan secara online dengan perangkat wireless, pengoperasian sampai ke tingkat desa/kelurahan dalam rangka memperlancar hubungan komunikasi di lingkungan pemerintah kabupaten; pembangunan data kependudukan sipil secara elektronik dengan menggunakan single identity number, serta dengan mengembangkan mekanisme pemilihan kepala desa secara elektronik. Penerapan e-government di Kabupaten Sragen didukung adanya e-Leadership yang kuat, inovasi dan upaya terus menerus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan melalui teknologi informasi. Perkembangan pesat teknologi informasi di Kabupaten ini terlihat dari maraknya dunia virtual di lingkungan masyarakat melalui aplikasi remote Jaringan Global se Kabupaten Sragen (NAGIOS), siaganya Internet dan intranet online 24 jam di semua satker, dan Website Kabupaten Sragen yang interaktif. Simangunsong (2010) berpendapat bahwa Kabupaten Sragen mengembangkan One Stop Service (OSS). OSS Center adalah sebuah institusi yang memberikan dukungan pengembangan satuan kerja layanan perijinan terpadu atau lebih dikenal dengan istilah One Stop Services disingkat OSS. OSS Center mendukung terwujudnya inovasi layanan perijinan terpadu didaerah yang pada kenyataannya masih memiliki keterbatasan untuk mengembangkan pelayanan perijinan terpadu secara prima. Sedangkan manfaat nyata dari OSS ini adalah OSS diharapkan mampu melayani seluruh perijinan yang dibutuhkan oleh investor dan dunia usaha di daerah masing-masing, mulai dari ijin mendirikan bangunan (IMB), ijingangguan (HO), ijin usaha (SIUP, TDP, TDI, IUT, IUI, TDG, dll) atau ijin per [95]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sektor seperti ijin usaha restora, ijin pendirian salon dan OSS Center akan memberikan berbagai informasi dan pelatihan tentang sistem, metode, dan cara untuk mengembangkan layanan perijinan dan investasidi Indonesia yang dapat diakses secara langsung di kantor OSS Center atau melalui telepon, email, dan website (www.oss-center.net). OSS Center juga akan menghubungkan pemerintah kota/kabupaten dan OSS di seluruh Indonesia dengan lembaga pendamping atau lembaga-lembaga lain yang dapat memberikan bantuan teknis untuk pengembangan OSS. Saat ini Kabupaten Sragen sudah menerapkan e-government secara penuh. Hasilnya, Pemkab Sragen memiliki beberapa jenis layanan publik unggulan yang terintegrasi. Pertama, website resmi Pemkab Sragen sejak 2002. Lewat website www.sragenkab.go.id, masyarakat bisa memperoleh informasi lengkap mengenai profil dan potensi kabupaten yang terdiri dari 20 kecamatan dan 208 desa/kelurahan ini, termasuk harga sembako dan sarana interaktif aparat dan masyarakat. Kedua, Sistem Informasi Manajemen Kependudukan sejak 2003. Layanan ini memungkinkan pembuatan KTP hanya butuh waktu lima menit, tanpa ada pungutan liar dan prosedur yang berbelit. Ketiga, Sistem Informasi Manajemen Perizinan sejak 2005. Sistem ini bisa melacak (tracking) dokumen perizinan secara online. Adanya egovernment memungkinkan Pemkab Sragen memberikan layanan perizinan terpadu di kantor pelayanan satu atap kepada kalangan dunia usaha. Keempat, Sistem Informasi Kepegawaian (Simpeg), berfungsi sebagai Aplikasi Kepegawaian, Kartu Pegawai, Gaji Berkala, dan lain-lain. Kelima, Billing System, merupakan aplikasi di lingkungan Rumah Sakit meliputi Rekam medis, data pasien, Jasa Medis, dan lain-lain. Keenam, Mapatda, merupakan aplikasi di Dipenda seperti PAD, Retribusi, PBB, dan lain-lain. Ketujuh, Sistem Informasi Pemerintahan Daerah Kantaya (Kantor Maya) sejak 2004. Sistem online ini mempermudah pekerjaan pegawai Pemkab Sragen dan koordinasi antar organisasi pemerintahan di sana. Misalnya, untuk pelaporan dan pengawasan di setiap unit kerja, kecamatan dan BUMD, sarana pengiriman data, informasi dan pengawasan proyek di setiap unit kerja, informasi agenda kerja di setiap satuan kerja, pengiriman surat dinas atau undangan kedinasan ke setiap unit kerja, dan untuk forum diskusi serta interaksi antarpegawai. Sistem informasi pemerintahan ini terhubung secara elektronik dengan Departemen Perdagangan dan Departemen Dalam Negeri. Ini menjadikan Kabupaten Sragen sebagai proyek uji coba Departemen Perdagangan dalam pemberian
perizinan usaha perdagangan secara elektronik (elicensing). Kabupaten Sragen juga telah mengembangkan Pusat Data dan Informasi (Sragen Multimedia Centre). Adanya Pengembangan Pusat Data, Informasi dan Promosi melalui Multi Media Centre ini, masyarakat dapat memperoleh da memanfaatkan layanan publik seperti Website www.sragenkab.go.id, Geographic Information System (Pemetaan Wilayah Digital), Infrastruktur (Pendidikan, Kesehatan, Transportasi), Kepegawaian/Penggajian, Produk Unggulan Daerah (Kerajinan, Industri, UKM, Agribisnis), Potensi Pariwisata, Info Perdagangan/Harga Pasar (SIPAW), Info Pertanahan (BPN online), Info Perijinan (BPT online), dan Laboratorium e-Government. Hasil Kajian terhadap 5 pemerintah daerah di atas dalam upaya meningkatan kualitas pelayanan publik melalui pemanfaatan teknologi informasi atau e-government memberikan satu benang merang bahwa program yang dibuat, disusun dan diimplementasikan setiap daerah ternyata memiliki keunikan masing-masing sehingga memunculkan program unggulan. Dari program unggulan inilah daerah tersebut memperoleh banyak manfaat khususnya apresiasi yang tinggi dari masyarakat dan pemerintah melalui pemberian penghargaan Egovernment Award dan sejenis (Lihat Tabel 3) Tabel 3. Program Unggulan, Aplikasi E-government yang dikembangkan dan Penghargaan Yang telah diperoleh Pemerintah Program Unggulan, Aplikasi E-government Daerah yang dikembangkan dan Penghargaan Yang telah diperoleh Program Unggulan : Jogja Cyber Province Propinsi (JCP), MCAP, Plaza Informasi Yogyakarta Aplikasi E-gov yang dikembangkan : pendidikan berbasis online dan integrasi sitem pemerintahan sektoral yang terdiri dari bidang transportasi, pariwisata, tenaga kerja, dan kesehatan, dengan membangun sistem informasi terpadu Penghargaan : Warta Ekonomi EGovernment Award Tahun 2009, 2007, 2006, 2005, 2004, 2003 Program Unggulan : sistem Informasi UPIK Pemkot Yogya Aplikasi E-gov yang dikembangkan : Sistem Informasi UPIK, Perijinan terpadu, PSB Online Penghargaan : Website terbaik 2009, Warta Ekonomi E-Gov Award Tahun 2005 Program Unggulan : e-procument, SIAK, Pemkot GRMS, Gessy Surabaya Aplikasi E-gov yang dikembangkan : eProcurement, e-Budgeting, KTP Online, Penghargaan : Terbaik e-leadership Tahun 2009, Warta Ekonomi E-Gov Award Tahun 2009, 2008, 2007, Pemenang Khusus Open Source Award 2010 dalam membangun komitmen
[96]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Program Unggulan dan Aplikasi E-gov yang dikembangkan : J-Card (Jembrana Card), JNet (Jimbarwana Networking), e-Voting, Kantaya, SIAK Pengharagaan : Warta Ekonomi E-Gov Award Tahun 2009 dan 2008, Warta Ekonomi e-Government Award 2008 Best Of The Best, Piagam Penghargaan E-Voting Piagam, Aplikasi Unggulan Jembrana Smart Card, Juara I Indonesia Open Source Award 2010 Program Unggulan : e-Leadership, EKabupaten Voting, Kantaya Sragen Aplikasi E-gov yang dikembangkan : 13 aplikasi sistem diantaranya Kantaya (Kantor Maya),Simduk, Simpeg, Billing System, Simpatada, SIM Perijinan, Simduk, Simkasda, Simbada, Sim RSU, Sim Perusda, SIM BPR/BKK, Sim GIS, Sim Pertanahan BPN, SIM pendidikan dan SMS Centre. Penghargaan : Wara ekonomi 2006, Best of The Best Warta Ekonomi Award Tahun 2007, The Best E-Government Award Tahun 2008, Best Of The Best E-Government Award SeIndonesia Tahun 2008, Juara II Indonesia Open Source Award 2010 Sumber : diolah Junaidi dari berbagai sumber, 2011.
government. Artinya proyek-proyek e-government yang dikembangkan tidak asal-asalan, tapi memang sesuai tahapan dan merujuk pada master plannya. Propinsi DIY punya Pergub Nomor 42 Tahun 2006 tentang Blueprint Jogja Cyber Province, Kota Surabaya Perwako Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah dengan Sistem Eprocurement, Kota Yogyakarta punya Perwako Nomor 78 Tahun 2007 tentang e-Government. Dengan adanya blue print tersebut berbagai program pengembangan e-gevernment dilakukan secara lebih terarah, dapat diukur tingkat keberhasilannya sehingga program tersebut sustainability lebih terjamin.
Kabupaten Jembrana
3.
3.3 Manajemen Perubahan Memang tidak mudah melakukan perubahan, sebab acapkali upaya perbaikan yang dibuat bukannnya mendapat dukungan tapi malah memperoleh perlawanan baik dari luar maupun dalam organisasi. Belajar dari cara Bupati Jembrana I Gede Winasa dalam menerapkan manajemen perubahan, ia terpaksa menerapkan tangan besinya. Bupati menuntut agar setiap karyawan di Kabupaten Jembrana mampu mengoperasikan komputer. Jika tidak ia meminta karyawannya mundur. Sementara dalam implementasi e-Procurement di Kota Surabaya misalnya dilakukan melalui “pemaksaan” agar semua unit organisasi menggunakan aplikasi ini untuk urusan pemerintahan. Pemaksaan dalam tanda kutip ini juga mencakup perlindungan dari top management jika jajaran middle management di internal pemkot ternyata saling “bergesekan atau digesek dengan sengaja” dari luar organisasi karena adanya benturan kepentingan diluar pemkot. Kejadian semacam ini memang banyak terjadi di lingkungan Pemkot Surabaya, terutama pada awal implementasi eProcurement sering terjadi pada level middle management.
PENUTUP : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI E-GOVERMENT
Belajar dari keberhasilan beberapa Pemda di atas, maka paling tidak ada 4 faktor dominan yang menjadi pendukung keberhasilannya yaitu : 3.1 Adanya political will Kepala Daerah Political will dan Komitmen dari kepala daerah sebagai pimpian tertinggi birokasi di daerah untuk melaksanakan program. Di mulai dengan membangun kesamaan visi, misi dan tujuan dengan aparat birokrasi, kepercayaan dan keterlibatan birokrasi dalam pelaksanaan program sangat menentukan. Artinya komitmen politik kepala daerah saja tidak cukup tanpa dukungan dan motivasi aparat biokrasi untuk melaksanakan program tersebut. Apalagi jika terdapat sejumlah orang dalam internal birokrasi yang kontraproduktif terhadap gagasan dan pelaksanaan program. Belajar dari Kota Surabaya menerapkan aplikasi e-procurement, program ini lahir berkat kemauan yang keras dari Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono. Meskipun awalnya mendapat tentangan yang keras dari sejumlah kalangan, termasuk sebagian pimpinan di pemerintah pusat, Bambang Dwi Hartono jalan terus. Kini aplikasi yang dikembangkan Kota Surabaya itu ditiru oleh banyak lembaga pemerintahan daerah lainnya. 3.2 Adanya blue print atau master plan pengembangan e-government. Kaitan antara tata kelola proyek e-government dengan perencanaan. Ini setidaknya tercermin dari blue print atau master plan pengembangan e-
3.4 Adanya Partisipasi Masyarakat. Kepemimpinan yang kuat telah memberikan iklim yang baik untuk membangkitkan kesadaran bersama akan arti penting dukungan semua pihak yang terlibat dengan implementasi e-Government. Tahap awal implementasi bukan tanpa hambatan. Belajar dari Kabupaten Sragen menerapkan Egovernment, ketika 2003 awal dibukanya KPT (Kantor Pelayanan Terpadu), yang sejak 2006 berubah menjadi Badan Pelayanan Terpadu 2006, telah memunculkan sinisme dari banyak pihak (Anwaruddin, 2008). Pelibatan semua pihak dalam implementasi eGovernment dari berbagai tingkatan, mulai kabupaten sampai desa, merupakan modal awal keberhasilan. KPT telah mengubah paradigma pelayanan publik di Kabupaten Sragen. Hubungan [97]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
antar lembaga pun menyesuaikan. KPT sebagai sebuah one-stop service telah berhasil menyatukan komitmen semua dinas terkait dalam memudahkan dan meningkatkan kualitas layanan publik. Intinya impelementasi e-government mesti meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang.
Sulianto, Budi. (2007). Penerapan Egovernment di Kabupaten Sragen. Diakses pada 10 Mei 2011 darihttp://fit.uii.ac.id/media/egovernmentkabupa tensragen.pdf. Simangunsong, Jumadi. (2010). Pengembangan Egovernment di Indonesia, Jurusan MTI Fikom UI, Diakses 10 Mei 2011 dari http://jumadifran.files.wordpress.com/2010/09/p engembangan-e-government-di-indoensia2.pdf Warta Ekonomi dan Dian Rakyat. (2010). Warta Ekonomi E-Government Award 2009, Jawarajawara Pengaplikasi E-government, Jakarta : Warta Ekonomi dan Dian Rakyat Pergub Nomor 42 Tahun 2006 tentang Blueprint Jogja Cyber Province Pemerintah Propinsi DIY Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 78 Tahun 2007 tentang e-Government Peraturan Walikota Surabaya Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah dengan Sistem E-procurement www.pemda-diy.go.id www.sragenkab.go.id www.surabaya.go.id www.jogjakota.go.id www.jembranakab.go.id
PUSTAKA Anwaruddin, Awang (2008). Best Practices Keberhasilan e-leadership. Diakses pada 29 April 2011 dari http://www.e-capacitybuilding.info/ecb5/index.php?option=com_cont ent&task=view&id=46&Itemid=53. Djunaedi, Achmad. (2006). Pengalaman Pengembangan Digital Government Services di Pemerintah Propinsi DIY, Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia, ITB, Mei 2006, Bandung. Erizal, Roswiani, Ani (2009). Pemanfaatan Model Strategic Alignment untuk Penentuan Layanan Unggulan Digital Government Service Bidang Kesehatan Pada Pemerintah Daerah Propinsi DIY,Makalah Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi, Juni 2009, Yogyakarta. Diakses pada 5 Juni 2010 dari http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/vi ewFile/1215/1012 Erizal. (2008). Digital Government Service Bidang Kesehatan, Executive Summary.Diakses pada 10 Mei 2011 dari http://www.pilarsolusi.com/files/Executive_Su mmary_DGS_Bid_Kesehatan.pdf Kumorotomo, Wahyudi. (2008). Pengembangan Egovernment untuk Peningkatan Transparansi Pelayanan Publik : Studi Kasus UPIK di Pemkot Jogyakarta dan E-procurement di Pemkot Surabaya. Makalah KAN Juni 2008 , UGM, Jogjakarta. Diakses pada 4 Agustus 2009 darihttp://kumoro.staff.ugm.ac.id/wpcontent/upl oads/2008/06/pengembangan-e-government dalam-peningkatan-transparansi-pelayananpublik.pdf Koswara, Engkos. E-government berbasis Open Source dan Kisah Keberhasilan Jembrana, Diakses pada 29 April 2011 dari http://www.untan.ac.id/?p=223 Prasojo, Eko.,Kurniawan, Teguh. (2008). Reformasi Birokrasi dan Good Governance : Kasus Best Practices dari sejumlah Daerah di Indonesia. Diakses pada 29 April 2011 dari http://staff.ui.ac.id/internal/0900300014/publika si/ReformasiBirokrasi_dan_GoodGovernance_E P_TK_reviseed.pdf Sinurat, Herry.(2008). Inovasi Reformasi Pengadaan Barang/Jasa di Kota Surabaya. Diakses pada 6 Juni 2010 dari http://www.usdrpindonesia.org/files/downloadContent/183.pdf.
Biodata Penulis Junaidi, S.I.P,M.Si, lahir Kangkung (OKU Timur), 9 Maret 1976. Saat ini sebagai Dosen Tetap pada Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya. Lulusan S1 dari Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNSRI Tahun 2001. Kemudian menyelesaikan pendidikan S2 pada Magister Administrasi Publik UGM Tahun 2005. Saat ini masih aktif sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Sriwijaya. Adapun Mata Kuliah yang diampu antara lain Kebijakan Publik, Analisis Dampak Sosial, Studi Implementasi Kebijakan, Analisis Proses Kebijakan Publik, E-Government, Sistem Informasi Manajemen dan Manajemen Strategis Sektor Publik.
[98]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
BEST PRACTICE PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN Suwatin, S.Sos, MA Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan – Lembaga Administrasi Negara E-mail:
[email protected] ABSTRAK Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang semakin global seiring dengan berjalannya proses globalisasi di segala bidang kehidupan. Malangnya, permasalahan kemiskinan ini semakin parah dialami oleh negara berkembang (World Bank Report, 2008) di mana Indonesia termasuk di dalamnya.Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia baik nasional maupun daerah telah melakukan berbagai upaya dengan berbagai pendekatan.Namun demikian tidak sedikit yang mengalami ketidak-optimalan hasil capaian sementara itu dari sekian banyaknya kegagalan terdapat beberapa praktek yang dapat dijadikan percontohan (best practice), utamanya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebagai level pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat. Terkait dengan kenyataan tersebut, paper ini mengulas beberapa best practice pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, terutama yang terkait dengan issue kemiskinan yang saat ini berkembang. Best practice dideskripsikan mulai pendekatan yang digunakan, upaya-upaya yang dilakukan, hingga tingkat keberhasilannya di daerah tersebut. Kata Kunci: Best Practice, Pengentasan Kemiskinan, Pemerintah Daerah 1.
Kemiskinan di Indonesia Berdasarkan Peta Tematik Kemiskinan yang dikeluarkan secara resmi oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemisiknan Kantor Wakil Presiden Republik Indonesiai permasalahan kemiskinan sangat erat kaitannya dengan aksesibilitias dan affordabilitas masyarakat terhadap pelayanan dasar yakni kesehatan dan pendidikan, dan kebutuhan gizi dan akses perumahan yang memadai.Dengan indikasi kemiskinan tersebut, maka best practice penanggulangan kemiskinan yang akan ditampilkan disini terkait dengan beberapa indikator tersebut, yakni akses air bersih, pendidikan dan kesehatan. 2.
Metodologi Terkait dengan permasalahan kemiskinan sebagaimana disampaikan untuk lebih spesifik, beberapa kasus penanganan kemiskinan ditujukan pada issue-issue yang mencuat saat ini, yakni : Inovasi Kelembagaan Penyediaan air bersih (Kota Calang, Kabupaten Aceh Jaya, Pemerintah Aceh) Inovasi Kelanjutan dari Penyediaan air bersih (Kabupaten Ngada, NTT) Inovasi peningkatan hasil Ujian Nasional siswa (Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat) Inovasi dalam rangka penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah (Kabupaten Jembarana) Selanjutnya pengumpulan data dilakukan dengan telaah dokumen yang berasal dari hasil kajian-kajian terkait dengan pengentasan Kemiskinan. 3.
Inovasi Kelembagaan Penyediaan Air Bersih di Calang - Kabupaten Aceh Jayaii
3.1. Latar Belakang Calang merupakan salah satu Kota di Kabupaten Aceh Jaya.Karena Calang merupakan daerah yang terkena Tsunami pada tahun 2004, maka calang merupakan objek rehabilitasi dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).Salah satu yang dilakukan BRR adalah mendirikan Water Treatment Project yang selesai pada tahun 2006.Namun sayangnya, hingga tahun 2008 instalasi air bersih tersebut belum dapat menghasilkan air bersih karena Kabupaten tidak memiliki daya untuk mengelolanya. 3.2. Metode dan Solusi Karena ketidaksanggupannya, Kabupaten mengajukan bantuan kepada beberapa donator luar negeri yakni Local Government support Program (LGSP) dan American Red Cross (ARC). Untuk membenahinya, ARC mengajukan pembangunan guna pengoperasionalisasian WTP tersebut, dengan prasyarat Pemerintah Daerah harus mampu mengelolanya, yakni dengan mendirikan organisasi pengelola air bersih serta penggajian pegawainya. Terkait dengan hal tersebut, LGSP mengadakan workshop dengan mengundang beberapa pihak yang berpengalaman dalam mengoperasionalkan WTP, baik LSM maupun organisasi pemerintah daerah lainnya. Undangan diantaranya adalah Environmental ServiceProgram (ESP) memaparkan beberapa keuntungan dan kekurangan BPAM, BLU dan PDAM,sementara LGSP mempresentasikan metode Kerjasama antar daerah dan Kerjasama denganpihak ke tiga (service contraction). Selain itu juga ada Panel Diskusidengan narasumber dari PDAM Tirta Nadi (Sumatera utara), dan BPAMSI NAD (Badan Pengurus Air Minum Seluruh Indonesia Provinsi NAD) membahas tentang lembaga yang cocok untuk diterapkan di Aceh Jaya. [99]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Hasil diskusi menghasilkan beberapa sarana antara lain : Pengelola air minum sebaiknya bukan dari pegawai negeri (belajar dari kasus PDAM Aceh Barat) karena banyak kendala dalam pengoperasionalnya, sehingga PDAM tidak direkomendasikanuntuk diterapkan. Diperoleh informasi bahwa dari 300 lebih PDAM yang ada di Indonesia, hanya 50 PDAM yang sehat, hanya belasan saja yang mampu memberikan kontribusi terhadap PAD,sedangkan lebih dari 220 PDAM merupakan PDAM ”sakit”, Berdasarkan kedua hal tersebut pembentukan PDAM untuk Calang tidak direkomendasikan oleh para narasumber. Selanjutnya dengan menelaah berbagai peraturan perundangan mengenai pengelolaan urusan daerah, LGPS menyampaikan rekomendasi bentuk pelaksana operasionalisasi pelayanan air bersih dilakukan dalam bentuk Badan Layanan Umum sebagaimana di tentukan dalam Peraturan Kementerian Keuangan. Untuk pengelolaan Air bersih di Aceh Jaya, Badan Layanan Umum Daerah ini didesain sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa Penyediaan Air Minum yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Rekomendasi ini ditindaklanjuti oleh Bupati Aceh Jaya, Ir. Azhar Abdurrahman, dengan workshop lanjutan yang dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 2008di Aceh Jaya yang menghasilkan beberapa tindak lanjut rencana kegiatan antara lain dengan: Merumuskan panitia persiapan pengelolaan air bersih Batasan tugas Panitia persiapan pengelolaan air bersihpaling lama enam bulan. Panitia persiapan bertanggung jawab kepada bupati melalui sekretaris daerah (SEKDA) Biaya akibat dikeluarkannyakeputusan ini dibebankan bersama kepada APBD (untuk personil pemerintah daerah), ARC(trainingtraining dan pertemuan), BRR (tenaga ahli) dan LGSP (tenaga ahli) Penetapan tugas panitiapersiapan antara lain : Melakukan analisa terhadap bentuk-bentuk pengelolaan yang lebih efektifdan efisien Mempercepatproses pembentukan struktur pengelola air bersih, Menyusun draft regulasi dan mekanisme pengelolaan,
Menyusun draft qanun biaya retribusi airbersih, Menyusun program peningkatan kapasitas bagi pengelola dan operator pengelolaan airbersih. Perumusan kriteria dan Kualifikasi serta Rekruitment Pegawai BLUD BLU ini kemudian diberi nama BLUDSPAM Tirta Mon Mata. Analisis jumlah kebutuhan pegawai idealdan kriteria dan kualifikasi pegawai BLUD Tirta Mon Mata ditujukan agarterdapat penilaian standar guna menghindari penilaian yang subjektif dan nepotisme.Dengan demikian panitia persiapan yang juga akan menjadi tim seleksi mempunyai cara penilaian yang sama. Kriteria dan kualifikasi ini kemudian ditetapkandengan SK Bupati Proses rekruitment diawali denganpengumuman penerimaan di surat kabar lokal. Peserta dapat mengirimkan lamaran melalui email dan kotak Pos. Bagi Pemerintah Aceh Jaya, ini merupakanhal baru, dimana biasanya rekruitmen pegawai selalu dilakukan di kantor bupati atau SKPD teknis. Sistem rekruitment ini dinilai cukup efektif,efisien dan tidak mengganggu rutinitas panitia persiapan. Panitia persiapan memilih tiga terbaik untuk masing-masing posisi dan kemudianmerekomendasikan satu nama sebagai kandidat kuat mengisi posisi yang disediakan. Namunsebelum menetapkan melalui SK Bupati, Bupati dan Wakil Bupati Aceh Jaya melakukanwawancara secara langsung dengan ketiga kandidat terbaik dan meminta komitmennya untukmengabdi kepada kabupaten Aceh Jaya dengan segala keterbatasan sarana dan prasarananya. Praktek baik dalam rekruitmen karyawan BLU ini kemudian diterapkan dalam rekruitmen karyawan di BLUD Rumah Sakit Umum Daerah, karenadengan system ini panitia persiapan dapat bekerja secara efektif, efisien, transparan, akuntabel danbebas dari Kolusi dan Nepotisme. Karena BLUD SPAM merupakan yang terbesar di Indonesia, maka PUmenjadikan Tirta Mon Mata sebagai salah satu Pilot Project-nya dan menjanjikan program insentif nasional.Buku panduan fasilitator yang disusun berdasarkan pengalaman pendampingan di KabupatenAceh Jaya pun kemudian digunakan menjadi buku panduan resmi proses pelembagaan BLUD-SPAMoleh BPP-SPAM Republik Indonesia. 3.3. Point Penting Menyadari bahwa permasalahan yang kompleks sering kali harus ditangani oleh berbagai pihak yang memiliki komitmen untuk membantu. Namun demikian peran aktif dari pemerintah daerah sendiri menjadi salah satu kunci utama yakni melaksanakan rencana kerja tindak lanjut [100]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
yang disepakati dengan benar-benar mematuhi target waktu yang diberikan. Dengan demikian, lembaga donor pun akan dapat meneruskan bantuannya Pendisainan dan keputusan pelaksanaan kegiatan atau program dilakukan dengan hati-hati melalui sharing pengetahuan dengan lembaga lain yang pernah melakukan kegiatan sejenis, guna melihat kekurangan dan kelebihan serta kesesuaiannya dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang akan melakukan kegiatan/pembentukan kelembagaan tersebut. Dalam hal ini Aceh Jaya telah mencetak satu bentuk pelayanan air minum dengan bentuk Badan Layanan Umum yang dijadikan praktek terbaik, dimana pada umumnya, pelayanan air minum biasanya dikelola dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah. Sistem rekruitmen yang transparan mudah dilakukan, mendapatkan hasil yang sesuai (bahkanmelebihi) dari yang diharapkan, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakanpemerintahan dan tidak menimbulkan gejolak karena semua kandidat merasa puas denganapapun hasil yang mereka terima. 4.
Inovasi Pengadaan Air dan Pengembangannya di Kabupaten Ngada, NTTiii
4.1. Latar Belakang NTT merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang paling banyak memiliki wilayah yang kekurangan air bersih.Salah satunya adalah Desa Sarasedu, Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada.Kekurangan air bersih dialami warga selama sepuluh tahun.Kondisi ini menjadi beban berat kaum perempuan, di mana untuk memperoleh air bersih, mereka harus berjalan kaki sekitar satu kilometer ke sumber air terdekat melewati perbukitan yang terjal. Pada tahun 2003 Desa Sarasedu, ditawarkan program PNPM, dan masyarakat diperkenankan menyusun tiga usulan program prioritas melalui Musyawarah Antar Desa (MAD). Proses mengegolkan penyediaan air bersih sebagai prioritas dilalui dengan perdebatan alot. Dalam musyawarah tersebut, kaum perempuan Dusun Watumanu gigih mempertahankan usulan tersebut, namun tidak demikian bagi kaum laki-laki yang lebih menginginkan jalan desa.Kaum perempuan Dusun Watumanu didukung oleh sebagian besar kaum perempuan desa yang hadir pada musyawarah tersebut. Dari program PNPM, MAD di kecamatan forum menetapkan usulan sarana air bersih tersebut didanai sebesar Rp. 58juta.
ISBN: 978-602-96848-2-7
Dari dana program ditambah sejumlah swadaya masyarakat dibangun 1 unit bangunan penangkap mata air (brontchaptering ), bak penampung, 5 hidran umum dan 4 tugu kran, dengan panjang jaringan perpipaan 1.050 meter. Sarana air bersih ini melayani 45 rumah tangga atau sekitar 225 jiwa. Penyediaan sarana air bersih berbasis kebutuhan masyarakat ini, telah memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih yang layak. Hingga saat ini sarana air bersih masih berfungsi dan terawat dan bahkan telah dikembangkan dengan menambah 4 hidran umum baru. 4.2. Metode Pemeliharaan dan Pengembangan Sarana air bersih Desa Sarasedu merupakan idaman masyarakat selama bertahun-tahun.Sehingga setiap warga peduli terhadap pelestarian sarana tersebut.Kepedulian tersebut diwujudkan dalam pengelolaan sarana air bersih yang diorganisir dengan baik melalui Tim Pemelihara dan Pengelola Prasarana (TP3).Dalam struktur organisasi TP3, ada penasehat, ketua, sekretaris, dan bendahara. Untuk teknis operasional dibantu oleh seksi teknik, seksi usaha dana dan perencanaan. Disetiap hidran umum yang melayani tiga hingga Rumah Tangga Miskin (RTM), dikeloladua orang pengurus yang membantu memelihara dan memantau secara rutin. Sebelum melaksanakan tugasnya, TP3 memperoleh pelatihan pembekalan dari fasilitator teknis (FT). Melalui musyawarah desa, masyarakat menyepakati iuran bagi pemanfaat air bersih sebesar Rp.250perjiwa/bulan, yang dikumpulkan oleh seksi usaha dan dana. Pemanfaatan iuran juga disepakati melalui musyawarah desa dan sudah beberapakali digunakan untuk mengganti kran air yang rusak. Pada 2006 melalui musyawarah desa, masyarakat sepakat untuk memanfaatkan sebagian iuran air bersih ditambah dengan swadaya masyarakat, untuk peningkatan penyediaan jamban keluarga bagi RTM. Tahap pertama telah disediakan untuk pembangunan 20 unit jamban bagi 20 RTM. Penerima bantuan ditentukan secara partisipatif melalui musyawarah desa. Agar kegiatan ini tetap berkelanjutan maka pengadaan jamban keluarga ini dilakukan dengan cara bergulir. Hal ini dilakukan dengan memberlakukan ketentuan bahwa RTM yang menerima bantuan jamban keluarga membayarnya dengan mencicil kepada TP3. Dana cicilan yang terkumpul, digunakan kembali untuk menyediakan material pada RTM yang belum menerima bantuan. 4.3. Point Penting Ketidakberdayaan kelompok masyarakat memang memerlukan uluran tangan dari pihak luar untuk membantu meningkatkan keberdayaannya.Namun seringkali bantuan tersebut tidak mencukupi semua kebutuhan masyarakat tersebut.Diantara sekian banyak kebutuhan dasar [101]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
yang mendesak dan terbatasnya anggaran, prakarsa dan keterlibatan masyarakat ternyata mampu memutuskan prioritas dan melaksanakannya dengan baik.Dalam hal ini pelibatan masyarakat dalam menentukan prioritas dapat meningkatkan komitmen dalam melaksanakannya, bahkan mengembangkannya untuk memecahkan permasalahan lainnya. 5.
Inovasi Peningkatan Hasil Ujian Nasional Siswa di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barativ
5.1. Latar Belakang Langkah Kabupaten Tanah Datar untuk meningkatkan kualitas pendidikan terbilang tidak biasa dan mungkin tidak pernah terpikir oleh siapapun sebelumnya.Setelah kebijakan desentralisasi diberlakukanpada tahun 2001 telah banyak kebijakan pendidikan yang baru, termasuk pembentukan sekolah menengah atas.Khusus untuk murid yang berbakat, penempatan kepala sekolah yang kinerjanya bagus ke sekolah yang kualitasnya masih kurang, pemberlakuan enam hari kerja bagi guru, dan pedanaan bagi murid yang putus sekolah di daerah terpencil dan miskin agar mereka bisa bersekolah lagi. Dua dari kebijakan- kebijakan inovatif tersebut akan disorot dalam studi kasus ini.Namun pembahasan dalam paper ini hanya akan mengulas dua hal yakni : Penguatan Insentif dan pembatasan jumlah siswa per kelas. Kebijakan Penguatan insentif, yang diterapkan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004, menghadiahkan kunjungan belajar ke luar negeri kepada guru Bahasa Inggris dan kepala sekolah teladan. Kegiatan selama kunjungan belajar tersebut yaitu ke Australia selama satu minggu untuk menjalani pelatihan Bahasa Inggris atau ke Malaysia dan Singapura untuk mengunjungi beberapa sekolah di negara-negara tersebut, Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan motivasi guru agar mengajar dengan baik, selain itu juga untuk memberikan contoh metode-metode mengajar yang baru bagi para guru tersebut, dan untuk meyakinkan kepala sekolah serta para guru tentang perlunya reformasi pendidikan. Lebih spesifik lagi, Bupati ingin agar sekembalinya dari kunjungan, belajar, staf sekolah menjadi semakin yakin akan pentingnya mata pelajaran bahasa Inggris dan keterampilan computer. Membatasi jumlah murid perkelas menjadi 30 murid saja; mengedepankan disiplin; dan memperbaiki mutu pengajaran.Dengan berlakunya Pembatasan jumlah murid per kelas, mulai tahun ajaran 2003/2004 semua sekolah menengah atas (SMA) memberlakukan jumlah tiga puluh murid per kelas.Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memperkuat hubungan antara murid dan guru, dan agar perhatian guru dapat lebih terpusat pada
ISBN: 978-602-96848-2-7
prestasi murid.Sebelum adanya kebijakan ini, setiap kelas sering kali berisi lebih dari 40 murid. 5.2. Metode Pelaksanaan Hadiah dalam bentuk perjalanan ke luar negeri diberikan kepada beberapa guru bahasa Inggris dan Kepala sekolah teladan. Hanya sekolah-sekolah dengan nilai rata-rata secara keseluruhan tertinggi yang diberi hadiah. Untuk meningkatkan jumlah penerima hadiah, hadiah ini juga diberikan kepada kepalasekolah dari sekolah yang memiliki nilai tertinggi. Namun demikian dilakukan pembatasan usia bagi kunjungan keluar negeri, yakni maksimum 48 tahun dengan harapan memaksimalkan manfaat yang diperoleh melalui sosialisasi yang lebih intensif. Pembatasan jumlah murid per kelas yang lebih sederhana tidak memiliki aturan tertentu kecuali mensyaratkan agar semua kelas di SMA dibatasi masing-masing hanya boleh menampung 30 murid perkelas. Sekolah-sekolah yang belum menerapkan kebijakan tersebut akan menerima surat teguran. 5.3. Penyediaan Anggaran Hal pertama yang terfikir terkait dengan pelaksanaan kebijakan ini tentunya masalah anggaran, yang alokasinya tidak sedikit, terutama kunjungan keluar negeri. Untuk mengantisipasi hal ini, Kepala Daerah melakukan perampingan struktur Satuan Kerja Perangkat Daerah yang semula berjumlah 22 menjadi 8 saja, yang meningkatkan efisiensi hingga 10 milyar setahun. Tabungan ini kemudian digunakan untuk peningkatan penyelenggaraan layanan publik termasuk pendidikan. Untuk perjalanan Guru ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah, sedangkan untuk perjalanan Kepala Sekolah, perjalanan dapat ditanggung oleh Pemerintah Daerah dan Komite Sekolah, 5.4. Hasil yang dicapai Pada tahun 2004 Kabupaten Tanah Datar mendapat penghargaan karena meraih nilai ujian nasional tertinggi di tingkat provinsi pada tahun ajaran 2003/2004. Meningkatnya motivasi kerjadari pihak guruguru bahasa Inggris dan kepala sekolah. Perubahan metode mengajardari beberapa guru bahasa Inggris, termasuk guru-guru yang sudah melakukan kunjungan belajar dan beberapa guru yang belum mendapat kesempatan tersebut tetapi sehari-hari bergaul dengan guru-guru yang sudah melawat tersebut (misalnya sebagai teman atau rekan di sekolah). Meningkatnya perhatian terhadap prestasi murid dan jam mengajar yang lebih panjangdari guru dan kepala sekolah, karena diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah dan KebijakanPenguatan insentif.
[102]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Para murid sekarang rata-rata mendapat tambahan jam belajar sekitar 15 jam per minggu. Meningkatnya dukungan kepada Bupati, dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh dua kebijakan beliau.Terutama kepala sekolah dan guru yang sudah ke luar negeri, mereka kembali ke tanah air dengan keyakinan bahwa tujuan Bupati untuk mereformasi bidang pendidikan memang benar adanya.
pelayanan kesehatan sekunder dan tersiernya, serta ke lebih dari 40 dokter pegawai negeri yangmenandatangani kontrak individual untuk praktik swasta mereka setelah jam kerja. Menjadikan Jembrana menarik bagi para bidan, tetapi berdampak kecil, atau negatif,terhadap dokter, dokter gigi, paramedis, dan spesialis. Peningkatan persentase jumlah dokter di Jembrana kurang lebih sama daritahun 2002 ke 2003 (sebelum JKJ) dan dari tahun 2003 ke 2004 (setelah JKJ mulai) — tetapi peningkatan tersebutsedikit menurun. JKJ meningkatkan persaingan penyedia untuk mendapatkan pasien. Dengan meningkatkan akses ke penyedia swasta, JKJ meningkatkan persaingan antara puskesmas danklinik swasta untuk mendapatkan pasien.
5.5. Point Penting Inti dari upaya peningkatan di bidang pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar di sekolah. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan motivasi pengajar dan kepala sekolah, serta menciptakan suasana kelas yang mendukung tercapainya target belajar.
6.
Inovasi penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah di Kabupaten Jembrana, Baliv
6.1. Latar Belakang Jembrana merupakan salah satu pioner dalam memberikan jaminan kesehatan (Jaminan Kesehatan Jembrana) kepada warganya. Dengan diperkenalkannya JKJ,praktik dokter bersaing langsung dengan Puskesmas dan rumah sakit pemerintah dalam menyediakan layanankesehatan dasar. 6.2. Metode Setiap Keluarga diberikan kartu JKJ yang dapat dipergunakan untuk setiap anggota keluarga dalam mendapatkan layanan kesehatan baik di Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah, dan Praktek Dokter. Pembayaran Klaim JKJ dilakukan dengan Bapel (Badan Pelayanan) terhadap penyelenggara layanan kesehatan dengan beberapa kriteria yang telah ditetapkan secara rigid sebelumnya 6.3. Keberhasilan penerapan JKJ Meningkatkan akses orang miskin ke pelayanan kesehatanKarena orang miskin sekarangmemiliki akses ke sebagian besarpenyedia pelayanan kesehatan swasta (juga pemerintah) secara gratis.Sebelum JKJ, hanya 17 persen warga yangmemiliki asuransi kesehatan; dengan adanya JKJ, 63 persen memiliki asuransi. Meningkatkanpenggunaan fasilitas pelayanan kesehatan oleh pasien miskin maupun tidak miskin. Sebelum JKJ, pelayanankesehatan gratis untuk pasien miskin hanya bisa didapatkan di 11 puskesmas (juga pustu setempat). Dengan JKJ,selain pelayanan gratis di pustu, RTM mendapat akses jugake lebih dari 20 dokter praktik swasta, 2 rumah sakit dengan
6.4. Masalah anggaran Anggaran Tantangan terbesar bagi keberlangsungan JKJ adalah anggaran. Pengeluaran kabupaten untuk JKJ meningkat pesat. Pada 2003, Jembrana membelanjakan Rp. 3,7 miliar untuk JKJ, tidak sampai 2 persen total anggarandaerah. Pada tahun 2004, belanja JKJ yang dilaporkan untuk klaim penggantian pengeluaran meningkat dua setengahkali lipatnya, menjadi Rp. 9,5 miliar atau kira-kira 4% anggaran Kabupaten. Tiga kali lebih tinggi daripada anggaran kesehatan tingkat nasional (2,9 persendari total pengeluaran tahun 2003). Karena biaya JKJ tinggi dan terus meningkat pesat dilakukan mengeksplorasi berbagai cara untukmembuat program ini swadana. Hal itu dilakukan dengan : Digantikannya kartu anggota keluarga dengan kartu anggota individu. Diberlakukan ongkos perpanjangan kartu Rp.10.000 untuk anggota non-miskin, dan Rp. 5.000untuk anggota miskin. Jika jika seluruh warga Jembrana terdaftar, premi ini menghasilkan Rp. 2,4 miliar—kurang dari sepertiga anggaran JKJ tahun 2004. 6.5. Dasar hukum yang tidak pasti menjadi tantangan atas keberlanjutan JKJ. Saat ini, dasar hukum JKJ agak lemah,yaitu Surat Keputusan (SK) Bupati. Karena jika bupati yang sekarangdiganti oleh seseorang yang tidak mendukung program ini, kebijakan ini bisa saja berubah, atau bahkan ditiadakan. 7. Pandangan Kritis Dari beberapa daerah yang memberikan kontribusi terhadap praktek yang inovatif dalam penanganan kemiskinan, kebanyakan terjadi di daerah Kabupaten yang memang berdasarkan data nasional mengandung penduduk miskin lebih [103]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
banyak dari di Perkotaan. Namun demikian, dengan prosentase perkotaan yang sedikit, maka sesungguhnya permasalahan kemiskinan diperkotaan juga tidak kalah pelik, hanya sayangnya, best practice penanggulangan kemiskinan di perkotaan kurang terdengar. Terkait dengan perkotaan, satu hal yang menjadi Pekerjaan Rumah untuk dieksplorasi best practicenya adalah penanganan gelandangan dan anak jalanan. Seringkali kita dengarkan berita, upaya penanggulangan gelandangan dan anak jalanan bukan diberdayakan, malah dibuang ke daerah lain. 8.
Penutup Terkait dengan beberapa ulasan mengenai best practice dalam penanggulangan kemiskinan adalah : Adanya kreatifitas, inisiasi, dandukungan dan dari Kepala Daerah/ Pemerintah Adanya bantuan dana dari luar dengan pelibatan masyarakat dalam pengalokasian anggaran, penentuan kegiatan dan pelaksanaan bahkan pengembangannya Adanya perencanaan yang matang terkait dengan prosedur dan control terhadap kualitas Adanya kerjasama/partisipasi anggota masyarakat yang menjadi target pengentasan kemiskinan Dari kesemuanya itu, segala upaya pengentasan kemiskinan dilakukan berdasarkan kebutuhan, sesuai dengan sasaran, dan dilakukan dengan transparansi dan akuntabiltas yang dijaga.Dengan penentuan tersebut, metode atau mekanisme program-program terobosan dapat dilakukan dan dilaksanakan dengan baik.Kesemuanya itu berpulang kembali pada actoraktor yang memainkan peran penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengembangannya.
ISBN: 978-602-96848-2-7
Daftar Pustaka TNP2K (2010). Peta Tematik Kemiskinan, Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia, diunduh dari http://tnp2k.wapresri.go.id/data.html, pada tanggal 2 Mei 2011 Edstrom, Judith and Hoff, Robert van der (2009). Praktek yang Baik dalam Peningkatan PelayananLingkungan: Pembentukan Badan Layanan Umum Daerah, Sistem Penyediaan Air Minum (BLUD-SPAM) ”Tirta Mon Mata” di Aceh Jaya, Seri Manajemen Pelayanan Publik, Local Government Support Program, Aceh, Indonesia Reng, Paulus (2010). Air Bersih dan Jamban Keluarga di Ngada NTT (diunduh dari http://www.pnpm-perdesaan.or.id, pada 3 Mei 2011) Indopov (2006)Inovasi Pelayanan Pro Miskin : Sembilan Studi Kasus di Indonesia, World Bank, Indonesia
i
TNP2K (2010). Peta Tematik Kemiskinan, Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia, diunduh dari http://tnp2k.wapresri.go.id/data.html, pada tanggal 2 Mei 2011 ii Edstrom, Judith and Hoff, Robert van der (2009). Praktek yang Baik dalam Peningkatan PelayananLingkungan: Pembentukan Badan Layanan Umum Daerah, Sistem Penyediaan Air Minum (BLUD-SPAM) ”Tirta Mon Mata” di Aceh Jaya, Seri Manajemen Pelayanan Publik, Local Government Support Program, Aceh, Indonesia iii Reng, Paulus (2010). Air Bersih dan Jamban Keluarga di Ngada NTT (diunduh dari http://www.pnpm-perdesaan.or.id, pada 3 Mei 2011) iv Indopov (2006)Inovasi Pelayanan Pro Miskin : Sembilan Studi Kasus di Indonesia, World Bank, Indonesia v Ibid
[104]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
ANALISIS PENELUSURAN ANGGARAN APBD PROVINSI BANTEN DI SEKTOR PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA Delly Maulana S.Sos, MPA Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Imu Politik, Universitas Serang Raya Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Saat ini kenaikan pencapaian target pembangunan sumber daya manusia Provinsi Banten tidak terlalu signifikan. Hal terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Banten pada tahun 2010 hanya mencapai 70,06. Dan jika dibandingkan dengan standar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) nasional pada tahun 2010, yakni sekitar 71,76 maka IPM Provinsi Banten lebih rendah dibandingkan Standar IPM nasional tersebut. Kondisi tersebut jelas dikarenakan oleh beberapa faktor, salah satunya ketersediaan anggaran serta pemanfaatan anggaran yang bersumber dari APBD. Apakah masih di dominasi oleh belanja aparatur atau belanja publiknya. Metode analisis yang dilakukan oleh penulis adalah menulusuri penyerapan dan pemanfaatan anggaran, serta mencoba untuk mengevaluasi dampak dari program-program yang telah dibuat oleh masing-masing SKPD yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia masyarakat di Provinsi Banten. Hasil analisis penulis menunjukkan bahwa penyerapan realisasi anggaran agenda pembangunan SDM masyarakat Banten secara keseluruhan mencapai 95,7 persen dari target anggaran. Dalam rangka memaksimalkan peran anggaran dalam merealisasikan agenda pembangunan SDM masyarakat di Provinsi Banten maka yang harus perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : Pertama, Pemerintah Daerah dan DPRD harus berkomitmen untuk meningkatkan anggaran melalui APBD dalam rangka percepatan pembangunan SDM masyarakat Banten; Kedua, SKPD-SKPD yang berkaitan dengan leading sector pembangunan SDM masyarakat harus menekankan kebijakan peningkatan SDM masyarakat di Kabupaten-Kabupaten yang masih di bawah standar IPM Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang. Kata Kunci : Kinerja, Anggaran, dan Pembangunan Sumber Daya Manusia A.
PENDAHULUAN Penerapan undang-undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, memberikan dampak yang signifikan terhadap Pemerintah Provinsi untuk bisa lebih mandiri dalam penyelengaraan pembangunan di daerahnya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Implikasi ini sekaligus membawa dampak yang besar bagi Provinsi untuk mempunyai tanggung jawab moral untuk bisa lebih mensejahterakan masyarakat daerahnya, mengefesienkan serta mengefektifkan proses penyelenggaraan pemerintah daerahnya. Di dalam undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah telah diatur beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Daerah Provinsi, terutama diatur dalam pasal 12, yaitu : Pertama, Perencanaan dan pengendalian pembangunan; kedua, Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; Ketiga, Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; Keempat, Penyediaan sarana dan prasarana umum; Kelima, Penanganan bidang kesehatan; Keenam, Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; Ketujuh, Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; Kedelapan, Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; Kesimbilan, Fasilitasi Pembangunan koperasi, usaha kecil, dan [105]
menengah termasuk lintas kabupaten/kota; Kesepuluh, Pengendalian lingkungan hidup; kesebelas, Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; Keduabelas, Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil. Selain konsekuensi kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi, undang-undang ini juga memberikan konsekuensi hak daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya-sumber dayanya sendiri, tentu dengan profesional dan akuntabel demi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah yang nantinya sekaligus dapat menjawab tantangan globalisasi yang melanda seluruh masyarakat, bangsa dan negara di dunia ini. Secara konseptual globalisasi akan menuntut daya saing yang pada hakekatnya kualitas seluruh produk atau jasa. Oleh karena itu, tentunya diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas pula, yaitu sumber daya manusia yang memiliki kemampuan yang cukup untuk menggerakan seluruh sumber daya wilayah yang ada (Nachroni dan Suhandojo dalam Muchdie, 2001). Jika dilihat dari pencapaian dan target pembangunan sumber daya manusia Provinsi Banten yang terilustrasi dari Indeks Pembangunan Manusianya (IPM), maka dapat dikategorikan rendah dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi lainnya yang berada di
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
wilayah Pulau Jawa. Misalnya pada tahun 2009 IPM Provinsi Banten sekitar 70,06, sedangkan Provinsi Jawa Timur sekitar 71,06, Provinsi Jawa Tengah sekitar 72,10, Provinsi Jawa Barat sekitar 71,64, dan Provinsi Yogyakarta sekitar 75,23. Dan jika dibandingkan dengan daerah Provinsi yang samasama baru lahir dengan Provinsi Banten, yaitu Provinsi Gorontalo sekitar 69,79, bisa dikatakan lebih baik, sedangkan dengan Provinsi Kepulauan Riau, yakni sekitar 74,54 bisa dikatakan lebih rendah. Sementara itu, jika dibandingkan dengan standar IPM Indonesia, maka Provinsi Banten masih di bawah standar nasional, yakni sekitar 71,76. (BPS Tahun 2010) Gambaran di atas terilustrasikan pada grafik di bawah ini :
Sementara itu, kondisi pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Banten juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pembangunan sumber daya manusia di tingkat Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Provinsi Banten. Jika pembangunan sumber daya manusia di Kabupaten/Kota menunjukkan keadaan yang baik, maka secara otomatis pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Banten juga akan baik, begitupun sebaliknya. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa kondisi pembangunan sumber daya manusia di tingkat Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Provinsi Banten (dalam hal ini terlihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota) masih ada beberapa daerah Kabupaten yang memilki tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di bawah standar dari IPM Provinsi Banten (70,06), yaitu Kabupaten Pandeglang (67,98), Kabupaten Serang (68,30) dan Kabupaten Lebak (67,37). Untuk jelasnya terlihat pada tabel di bawah ini :
Kondisi tersebut jelas membuat Pemerintah Daerah Provinsi Banten harus terus meningkatkan program-program strategis yang nantinya akan berdampak terhadap realisasi target yang sudah [106]
direncanakan dalam bidang Pembangunan sumber daya manusia pada tahun 2012. Tentu dalam mengimplementasikan suatu program-program Pembangunan sumber daya manusia tidak akan terealisasi secara maksimal, jika tidak didukung oleh sumber anggaran yang maksimal yang bersumber melalu APBD Provinsi Banten. Pagu anggaran yang dianggarkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Banten untuk Pembangunan sumber daya manusia pada tahun 2010 melalu APBD yakni sekitar Rp. 494,854,641,728 milyar yang tersebar dibeberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Banten sebagai leading sector pembangunan sumber daya manusia masyarakat di Provinsi Banten, yaitu terdiri dari : Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Biro Kesejahteraan Rakyat, BPPMD, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, dan RSU Malingping. Tetapi dengan pagu anggaran yang dapat dikategorikan besar pada tiap-tiap SKPD sebagai leading sector pembangunan sumber daya manusia masyarakat di Provinsi Banten, terutama pada Dinas Kesehatan dan Pendidikan masih belum berdampak secara signifikan terhadap peningkatan sumber daya manusia masyarakat Banten. Kondisi tersebut juga ditambah dengan permasalahan umum tentang pemanfaatan anggaran yang bersumber dari APBD, yaitu masih tingginya dominasi belanja aparatur dibandingkan dengan belanja publik atau belanja untuk memenuhi kebutuhan publik, walaupun secara aturan belanja publik harus lebih besar dibandingkan dengan belanja aparaturnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya serta menjadi permasalahan umum dari pemanfaatan APBD adalah daya serap SKPD yang berkaitan dengan agenda pembangunan sumber daya manusia masyarakat Banten dalam merealisasikan rencana program dan anggarannya. Oleh karena dengan kondisi tersebut, maka perlu adanya kajian penulusan anggaran berbasis kinerja terhadap ke-9 (sembilan) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Daerah Provinsi Banten sebagai leading sector pembanunan sumber daya manusia masyarakat Banten, sehingga nantinya akan tercipta pemerintah daerah yang mengedepankan good governance, yaitu memperhatikan akuntabilitas, transparan, rasional, partisipatif, efektif dan efesien. B. Tujuan Kajian Dalam kajian ini ada beberapa tujuan yang nantinya akan dicapai, yaitu : • Untuk mengetahui seberapa jauh penyerapan anggaran, khususnya dalam Agenda Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat melalui leading sector di 9 (Sembilan) SKPD (sebagaimana tercantum dalam RPJMD Provinsi Banten)
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
•
Untuk mengetahui pemanfaatan anggaran khususnya dalam Agenda Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat melalui leading sector di 9 (Sembilan) SKPD (sebagaimana tercantum dalam RPJMD Provinsi Banten) C. Kajian Pustaka C.1. Reformasi Anggaran Ruang lingkup reformasi anggaran meliputi perubahan struktur anggaran (budget structure reform) dan perubahan proses penyusunan APBD (budget process reform). Perubahan struktur anggaran dilakukan untuk mengubah struktur anggaran tradisional yang bersifat line-item dan incermentalism. Perubahan struktur anggaran tersebut dimaksudkan untuk menciptakan transparansi dan meningkatkan akuntabilitas public ( public accountability). Dengan struktur anggaran yang baru tersebut akan tampak secara jelas besarnya surplus dan defisit anggaran serta strategi pembiayaan apabila terjadi deficit fiskal. Format baru tersebut akan mempermudah bagi publik untuk melakukan analisis, evaluasi, dan pengawsan atas pelaksanaan APBD. Pemerintah daerah juga dimungkinkan untuk membentuk dana cadangan. Dengan demikian, anggaran tidak harus dihabiskan selama tahun anggaran bersangkutan, namun bisa ditansfer ke dalam dana cadangan. Reformasi anggaran tidak hanya pada aspek perubahan struktur APBD, namun juga diikuti dengan perubahan proses penyusunan anggaran. APBD dalam era otonomi daerah ini disusun harus menggunakan pendekatan kinerja. Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. (Mardiasmo: 2002, 28) Berbagai perubahan tersebut harus tetap berpegang pada prinsip pengelolaan anggaran yang baik. Prinsip manajemen anggaran daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan anggaran tersebut meliput : akuntabilitas, value for money, kejujuran dalam pengelolaan keuangan publik, transparansi, dan menekankan pengendalian. C.2. Tujuan Pembangunan Daerah Konsep pembangunan daerah harus dibedakan dengan pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah merupakan upaya terpadu yang menggabungkan beberapa dimensi kebijakan dari seluruh sektor yang ada. Tujuan pembangunan daerah adalah mewujudkan masyarakat yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera. Sedangkan pembangunan ekonomi adalah pembangunan daerah disektor ekonomi yang perumusan dan pelaksanannya tetap berpegang pada tujuan pembangunan daerah. Pembangunan yang tidak merata, seperti yang dilaksanakan selama ini, hanya mengutamakan [107]
pertumubuhan ekonomi dan tidak diimbangi dengan peningkatan kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi daerah pada umumnya dipandang sebagai kenaikan pendapatan perkapita penduduk di daerah tersebut yang diwakili oleh PDRB. Pengukuran PDRB tersebut dapat menunjukkan kemampuan peningkatan output yang lebih besar daripada tingkat pertumbuhan penduduk. Tolak ukur yang demikian mengabaikan beberapa hal, seperti kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan. Tujuan pembangunan daerah seharusnya menempatkan manusia sebagai sasaran akhir dan fokus utama dari seluruh kegiatan pembangunan, melalui pemberian pelayanan dalam berbagai aspek kehidupan, yaitu kesehatan, pendidikan, social, dan ekonomi. Pembangunan manusia mencakup dua proses dimana orang-orang melakukan perluasan pilihan-pilihan dan pencapaian tingkat kesejahteraan. Salah satu hal penting adalah menjamin kondisi kesehatan hidup dalam jangka panjang, memperoleh pendidikan dan menikmati standar hidup yang layak. Pilihan tambahan lainnya adalah kebebasan berpolitik dan perlindungan hak asasi manusia. Salah satu bentuk kemampuan manusia yang dapat diperbaiki yaitu kesehatan dan pengetahuan, sementara itu, yang kemampuan lainnya dapat dipergunakan untuk bekerja atau menikmati waktu luang. D. Analisis Capaian Kinerja APBD Provinsi Banten Rencana Kerja (Renja) suatu SKPD adalah Penjabaran Perencanaan tahunan dari Rencana Strategis SKPD tersebut. Tercapai tidaknya pelaksanaan kegiatan-kegiatan atau program yang telah disusun dapat dilihat berdasarkan Laporan Kinerja dan Laporan Keuangan. Laporan Kinerja adalah Iktisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBD. Kinerja sendiri dapat dijelaskan sebagai keluaran atau hasil dari kegiatan atau program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. Sementara itu, laporan Keuangan merupakan laporan pertanggung jawaban keuangan yang berbentuk laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan. Ketentuan mengenai bentuk laporan keuangan tersebut telah diatur dalam PP No.24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Pentingnya keselarasan antara Perencanaan dan Penganggaran sesuai amanat Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menekankan keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran. Keterpaduan perencanaan dan
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
anggaran inilah akhirnya memunculkan istilah anggaran berbasis kinerja, kinerja berbasis tupoksi. Kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatankegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Tentunya upaya mengoptimalkan capaian kinerja pemerintah daerah atas APBD, pada dasarnya diorientasikan untuk makin memperkuat capaian kinerja pembangunan yang langsung terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, untuk melihat kinerja APBD Provinsi Banten selama empat tahun terakhir dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Berdasarkan di atas, terlihat pagu dalam APBD Provinsi Banten periode 2007-2010 memiliki trend meningkat setiap tahunnya, misalnya pada tahun 2007 sebasar Rp 2.039,838.815.848 meningkat menjadi Rp 2.400,889.277.782 pada tahun 2008 dan kembali meningkat pada tahun 2009 sebesar Rp 2.525,067.959.527, dan pada tahun 2010 mencapai APBD Pemerintah Provinsi Banten naik menjadi Rp 2.981,773.544.459, atau rata-rata setiap tahunnya mengalami peningkatan sekitar 13,85 persen. Peningkatan pagu dalam APBD memperlihatkan kecenderungan peningkatan yang konsisten dari tahun ke tahun, dan ini tampaknya harus tetap dijaga dengan cara meningkatkan perolehan pendapatan daerah serta konsisten dalam pelaksanaan pembangunan di Provinsi Banten. Total realisasi APBD periode 2007-2010 mengalami peningkatan dari 93 persen pada tahun 2007 meningkat menjadi 94 persen pada tahun 2008. Pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 96 persen. Sedangkan pada tahun 2010 mengalami penurunan satu persen saja, yakni 95 persen. Gambaran persentase kinerja APBD Provinsi Banten periode 2007-2010 dapat diilustrasikan pada grafik di bawah ini.
[108]
Kurang maksimalnya daya serap penggunaan APBD pada tahun 2010 menunjukkan ada faktorfaktor yang menyebabkan hal itu dapat terjadi. Faktor-faktor tersebut antara lain: karena perencanaan yang kurang maksimal, aturan main yang kurang baik, serta permasalahan yang bersifat teknis, yakni lambatnya penerbitan surat keputusan untuk calon PPTK sehingga akan berpengaruh terhadap keterlambatan pelaksanaan program yang sudah direncanakan. Selain faktor internal, ada juga penghambat dari faktor eksternal, yaitu waktu penetapan APBD yang masih belum sesuai dengan batas waktu yang diberikan Undang-undang Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang menyatakan APBD ditetapkan paling lambat Bulan November atau 1 bulan setelah APBN ditetapkan. Akibatnya, terjadi keterlambatan penetapan APBD dan perubahannya. Dengan kondisi tersebut, jelas akan berimplikasi pada terhambatnya proses pelaksanaan program atau kegiatan, sehingga secara otomatis akan menghambat penyerepan anggaran APBD. Ke depan seharusnya sudah dimulai dengan meningkatkan pola perencanaan yang baik, peningkatan mutu sumber daya manusia, serta medisaian aturan main yang baik. Sehingga kedepan, dalam konteks penyerapan anggaran pada tahun 2011 akan menunjukkan perubahan yang signifikan. E. Analisis Anggaran Berdasarkan Agenda Pembangunan Sumber Daya Manusia di Provinsi Banten Semua daerah harus menekan perbaikan proses penganggaran di sektor publik dengan cara penerapan anggaran berbasis perstasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta dapat menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja perangkat daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, ada beberapa hal yang menyangkut kebaikan dari anggaran berbasis kinerja yaitu anggaran disusun
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
berdasarkan program, fungsi serta aktivitas dengan ditetapkan satuan akur tertentu, dan tujuan telah dirumuskan, maka bisa dilakukan penilaian terhadap masukan dan keluarannya (input-output), atau penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, Anggaran harus diarahkan pada pemilihan program atau kegiatan yang terukur dan menyertakan kegiatan yang menjadi skala prioritas, kebutuhan atau tugas pokok dan fungsi dari lembaga pemerintah. Pada langkah-langkah pemilihan program/kegiatan serta penganggaran tersebut dicantumkan Visi-Misi daerah sampai dengan tujuan kegiatan sehingga tersusun anggaran. Untuk merealiasikan hal tersebut, maka perlu ada langkah-langkah yang strategis serta mengedepankan prioritas. Secara konseptual prioritas adalah suatu upaya mengutamakan sesuatu dari pada yang lain. Prioritas merupakan proses dinamis dalam pembuatan keputusan yang saat ini dinilai paling penting dengan dukungan komitmen untuk melaksanakan keputusan tersebut. Indikator yang tidak kalah pentingnya adalah dengan cara melihat sejauhmana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai pengguna anggaran dan pengguna barang dalam menyerap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dapat memenuhi prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efesien dan sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan. Sebab secara idiologis Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) harus dapat mengedepankan kepentingan rakyat daerahnya, hal dikarenakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan milik rakyat, serta kembali kepada rakyat. Oleh karena itu, proses politik yang dilakukan oleh legeslatif sebagai lembaga representasi rakyat serta sekaligus mempunyai kewenangan budgeting harus mempunyai komitmen untuk mengawal hal tersebut. Tetapi dalam perjalannya sistem pengelolaan APBD di era otonomi daerah ini masih terdapat permasalahan, diantaranya adalah belanja daerah masih di dominasi oleh belanja aparatur ketimbang belanja publik atau belanja yang dapat memenuhi kebutuhan publik. Walaupun ada beberapa daerah belanja publik lebih besar, namun pada dasarnya di dalam belanja tersebut masih terdapat, belanjabelanja administrasi umum dan biaya pegawai. Jika APBD dikaitkan dengan tujuan pembangunan daerah, maka seharusnya APBD menempatkan pembangunan manusia sebagai sasaran akhir dan fokus utama dari seluruh kegiatan pembangunan daerah yang dianggaran oleh APBD, baik melalui pemberian pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Dengan konsep tersebut maka keberhasilan pembangunan daerah bukan semata-mata dilihat dari perkembangan atau pertumbuhan ekonomi, melainkan kemampuan pemerintah daerah untuk menciptakan atau memungkinkan orang menikmati hidup yang layak, [109]
mendapatkan kesehatan yang layak, serta dapat meningkatkan kreativitas hidup menuju kehidupan yang sejahtera. Oleh karenanya, analisis belanja pembangunan yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara menelusuri dokumen perencanaan program atau kegiatan SKPD melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Penelusuran DPA tersebut dilakukan atas anggaran tahun 2010. Maksudnya adalah untuk mengetahui sejauh mana komitmen pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran yang berorientasi pada upaya pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Banten sebagai tujuan akhir pembangunan daerah. Komitmen Pemerintah Daerah Provinsi Banten dalam peningkatan sumber daya manusia masyarakat sebagai tujuan pembangunan daerah dapat terlihat dari proposi anggaran belanja yang direncanakan oleh masing-masing SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Banten dalam merealisasikan 4 agenda pembangunan, yaitu agenda pemerintahan, agenda pembangunan ekonomi, agenda pembangunan SDM, dan agenda pembangunan kewilayahan. Untuk jelasnya terlihat pada tabel di bahwah ini :
Data di atas menujukkan bahwa prioritas Pemerintah Daerah Provinsi Banten belum memaksimalkan dalam menyentuh pembangunan SDM masyarakat Provinsi Banten, hal ini terlihat dari proporsi target anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Banten untuk agenda pembangunan SDM hanya sekitar Rp. 494.858.641.728 milyar, berbeda dengan agenda pemerintahan yang mempunyai target anggaran yang sangat besar, yaitu sekitar Rp. 1.680.068.854 trilun. Kondisi tersebut jelas mengakibatkan tujuan pembangunan daerah yang utama, yaitu pembangunan SDM masyarakat di daerah tidak akan maksimal. Gambaran proporsi target anggaran dari empat agenda pembangunan Provinsi Banten yang tersebar di beberapa SKPD yang menjadi leading sector agenda pemerintahan, agenda pembangunan SDM, agenda pembangunan ekonomi, serta agenda pembangunan kewilayahan terilustrasi pada grafik di bawah ini :
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Selanjutnya, jika diilustrasikan dengan cara membagai proporsi anggaran dengan persentase di empat agenda pembangunan Provinsi Banten tahun 2010 maka terlihat adanya ketimpangan anggaran terutama untuk anggaran agenda pemerintahan yang hampir setengah APBD, yakni sekitar 56,4 % dibandingan dengan agenda-agenda lain, terutama dengan agenda pembanguan SDM masyarakat yang hanya 16,6 % dari seluruh target APBD. Walaupun dalam agenda pemerintahan mempunyai SKPD yang banyak, yakni sekitar 18 SKPD, tetapi SKPD tersebut hanya SKPD yang tidak bersentuhan langsung dengan pelayanan publik atau sebagian besar anggaran tersebut digunakan untuk belanja aparatur. Sementara itu, pembangunan SDM masyarakat Banten tidak akan tercapai secara maksimal jika penganggarannya juga tidak maksimal. Oleh karena itu, penulis akan menganalisis sejauhmana gambaran antara target dan realisasi dimasing-masing SKPD yang menjadi leading sector pembangunan SDM masyarakat di Banten. Untuk jelasnya tergambarkan pada tabel di bawah ini :
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa agenda pembangunan SDM masyarakat Provinsi Banten mendapatkan alokasi anggaran dari APBD sebesar Rp.494.854.641.728 milyar. Dari target anggaran pembangunan SDM masyarakat yang tersebar di 9 SKPD Provinsi Banten maka terdapat 2 SKPD yang mendapatkan anggaran paling besar, yaitu SKPD Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan, [110]
yakni sekitar Rp. 222.272.056.951 milyar (44,9 %) dan Rp. 187.337.262.894 milyar (37,9 %). Adapun anggaran terkecil terdapat di SKPD Biro Kesejahteraan Rakyat, yakni sekitar Rp. 2.991.823.250 milyar (0,004 %). Sementara itu, jika dilihat dari realisasi anggaran untuk pembangunan SDM masyarakat di Provinsi Banten secara keseluruhan sekitar Rp. 473.323.930.842 milyar atau sekitar 95,7 % dari target anggaran yang sudah direncanakan. Dari kesembilan SKPD ada 7 SKPD yang realisasi anggarannya di atas 90 %, yakni Dinas Kesehatan (97,7 %), Dinas Pendidikan (94,6) BPPMD (94,1 %), Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (93,4 %), Dinas Sosial (93,3 %), Biro Kesejahteraan Rakyat (93,1 %). Dan Dinas Pemuda dan Olah Raga (92,3 %). Sedangkan SKPD yang realisasi anggarannya di bawah 90 % terdapat 2 SKPD yaitu RSU Malingping (83,3 %) dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (86,7 %). Belum maksimalnya penyerapan penggunaan anggaran APBD oleh beberapa SKPD yang berkaitan dengan agenda pembangunan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa SKPD tersebut belum mampu mamaksimalkan sumber dayanya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor kurang kompetennya dan profesionalnya sumber daya manusia di beberapa SKPD dalam menjalankan tugasnya, sehingga akan berdampak terhadap penggunaan anggaran yang tidak maksimal. Kondisi tersebut juga diperparah dengan kurang maksimalnya perencanaan program yang berkaitan dengan pembangunan SDM masyarakat Banten sehingga menyebabkan program tersebut dilaksanakan secara mendadak dan cenderung berulang-ulang. Secara konseptual manajemen pengeluaran daerah harus mencangkup perencanaan dan pengendalian pengeluaran daerah. Hal tersebut sangat berkaitan dengan tujuan dasar dalam rumusan yang luas dan jangka penjang, yaitu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Banten, terutama dalam peningkatan pembangunan SDM masyarakatnya. Oleh sebab itu, ke depan harus segera dimulai perbaikan-perbaikan perencanaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik melalui perbaikan rekruitmen dan peningkatan kapasitas SDM aparaturnya. Sehingga ke depannya juga SKPD-SKPD sebagai leading sector pembangunan SDM masyarakat Banten lebih memaksimalkan penyerapan anggaran, karena rendahnya penyerapan anggaran membuktikan rendahnya kualitas kinerja SKPD tersebut, sebab penyerapan anggaran bisa dijadikan sebagai alat evaluasi kinerja. Faktor lain yang menyebabkan randahnya penyerapan anggaran oleh SKPD yang berakaitan dengan pembangunan SDM masyarakat Banten adalah belum maksimalnya penentuan prioritas
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
dalam menciptakan program kegiatan, hal ini dikarenakan adanya kecenderungan SKPD yang lebih menyesuaikan arahan prioritas kebijakan pemerintah pusat, sehingga dalam penyusunan rencana program harus menunggu dan akibatnya terjadi keterlambatan serta berdampak terhadap penyerpan anggaran. Selain itu juga banyak faktor politis yang menghambat dalam penyerapan penggunaan anggaran sehingga menyebabkan kebingunan SKPD dalam memanfaat anggaran atau cenderung menunggu perintah. Selanjutnya, adalah faktor waktu penetapan APBD masih belum sesuai dengan batas waktu yang diberikan UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yang menyatakan APBD ditetapkan paling lambat Bulan November atau 1 bulan setelah APBN ditetapkan. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau penetapan APBN mengalami kemoloran ?, maka kondisi tersebut juga akan berimplikasi terhadap molornya penetapan APBD dan perubahannya. Jelas, kondisi tersebut akan berdampak terhadap molornya programprogram di daerah, terutama program pembangunan SDM masyarakat Banten. Contoh yang paling nyata adalah banyaknya kegiatan-kegiatan yang tidak penting atau tidak berkaitan langsung dengan pelayanan publik yang muncul pada akhir anggaran, baik berupa kegiatan lokakarya, seminar, pelatihan, dan sejenisnya. Sementara itu, jika kita kaitkan dengan struktur belanja daerah, maka belanja daerah dibagi menjadi dua, yaitu belanja aparatur dan belanja publik. Secara konseptual belanja apartur adalah belanja yang terdiri dari belanja adminsitrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal atau pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Sedangkan, belanja publik adalah belanja yang terdiri dari belanja administrasi umum, belanja opererasi dan pemeliharaan, serta belanja modal atau pembangunan yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Oleh karena dengan konsep tersebut, maka jika kita kaitkan dengan realisasi anggaran yang dilakukan oleh sembilan SKPD sebagai leading sector pembangunan SDM masyarakat Banten maka nantinya akan terlihat sejauhmana SKPD tersebut memenuhi standar pengeluaran belanja daerah atau tidak, yakni alokasi belanja aparatur harus ditekan sampai 35% dan memperbesar belanja publik sekitar 54 % pada tahun 2011 dari total dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hal tersebut disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Konsep tersebut seharusnya dapat direalisasikan oleh semua daerah, termasuk Pemerintah Daerah [111]
Provinsi Banten, terutama bagi SKPD-SKPD yang berkaitan dengan pembangunan SDM masyarakat Banten, yakni Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial,Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Biro Kesejahteraan Rakyat, BPPMD, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah, serta RSU Malingping. Sebab pada dasarnya semua pengeluaran pemerintah adalah untuk kepentingan pelayanan publik. Oleh karennya untuk mengetahui sejauhmana komposisi belanja publik dan belanja aparatur di kesembilan SKPD sebagai leading sector pembangunan SDM masyarakat Banten akan terlihat pada tabel di bawah ini :
Data di atas menujukkan bahwa sebagian besar proporsi anggaran antara belanja publik dan aparatur menujukkan proporsi yang baik, yakni 80:20. Tetapi jika melihat per-SKPD maka sebagian besar mempunyai proporsi rasio belanja aparatur lebih besar dibandingkan dengan belanja publik. Hanya lima SKPD saja dari Sembilan SKPD yang proporsi belanja publiknya lebih besar dibandingkan dengan belanja aparaturnya, yakni Dinas Kesehatan (95:5), Dinas Pendidikan (75:25), BPPMD (69:31), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (54:46), dan Dinas Pemuda dan Olah Raga (59:41) Sedangkan SKPD lainnya menunjukkan proposi belanja aparaturnya lebih besar dibandingkan dengan belanja publiknya, seperti Dinas Sosial (57:43), Biro Kesejahteraan Rakyat (0:100), Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (15:85), dan RSU Malingping (30:70). Dengan kondisi tersebut jelas menunjukkan bahwa masih ada beberapa SKPD sebagai leading sector-nya pembangunan SDM masyarakat Banten masih menekankan proporsi belanja aparaturnya lebih besar dibandingan dengan belanja publik, hal tersebut memperlihatkan bahwa SKPD-SKPD tersebut belum mampu memenuhi syarat proporsi belanja daerah sesuai dengan standar, yakni 35 % untuk belanja aparaturnya dan 54 % untuk belanja publiknya.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Oleh karena itu kedepannya, perlu adanya pengawasan perencanaan anggaran dengan cara melakukan koreksi-koreksi, mana program yang hanya menekankan belanja aparatunya saja, dan mana program yang memang menekankan pada belanja publik atau belanja yang langsung dinikmati manfaatnya oleh masyarakat daerah. Hal tersebut juga sangat ditekankan oleh undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pelaksanaan otonomi daerah yang harus dapat mensejahterakan masyarakat daerahnya, serta menciptakan efesiensi dan efektivitas dalam pengelolaan anggaran.
F. Kesimpulan dan Saran Setelah melakukan analisis penulusan anggaran agenda pembangunan SDM masyarakat Banten maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama, penyerapan realisasi anggaran agenda pembangunan SDM masyarakat Banten secara keseluruhan mencapai 95,7 persen dari target anggaran. Tidak maksimalnya penyerapan anggaran tersebut, terutama SKPD Dinas Pendidikan dikarena faktorfaktor tertentu, misalnya perencanaan yang tidak matang, kompetensi sumber daya manusia pegawai yang kurang baik, terlambatnya terbitnya surat keputusan untuk calon PPTK di masing-masing SKPD, dan lain-lain; Kedua, dari segi pemanfaatan anggaran dalam agenda pembangunan SDM masyarakat dapat dilihat dari proporsi anggaran daerah, yaitu proporsi belanja public dan belanja aparaturnya. Secara garis besar proporsi belanja daerah menujukkan proporsi yang baik, yakni belanja publik 80 persen dan belanja aparatur 20 persen. Tetapi jika melihat per-SKPD maka sebagian besar mempunyai proporsi rasio belanja aparatur lebih besar dibandingkan dengan belanja publik. Sementara itu, dalam rangka memaksimalkan peran anggaran dalam merealisasikan agenda pembangunan SDM masyarakat Banten pada tahun 2012 maka pelu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :Pertama, Pemerintah Daerah dan DPRD harus berkomitmen untuk meningkatkan anggaran melalui APBD dalam rangka percepatan pembangunan SDM masyarakat Banten; Kedua, harus ada koreksi terhadap SKPD-SKPD dan program-programnya yang hanya memperbesar proporsi belanja aparaturnya dibandingan dengan belanja publiknya, serta lemah dalam penyerapan anggarannya; dan Ketiga, SKPD-SKPD yang berkaitan dengan leading sector pembangunan SDM masyarakat harus menekankan kebijakan peningkatan SDM masyarakat di KabupatenKabupaten yang masih di bawah standar IPM Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang.
[112]
DAFTAR PUSTAKA Keban T, Yeremias. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu, Gava Media, Yogyakarta. Keban, T, Yeremias. 2000. Good Governance dan Capacity Building sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan, dalam Jurnal Perencanaan Pembangunan, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Jakarta. Mardiasmo, 2002. Otonomi Daerah dan Manjemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta Thoha, Miftah. 2000. Peranan Administrasi Publik dalam Mewujudkan Tata Kepemerintahan yang Baik, Disampaikan pada Pembukaan Kuliah Program Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta. Literatur Lain Undang-undang No. 32 dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Daerah BPS 2010 BPS 2008 RPJMD Provinsi Banten Tahun 2007-2012 Data-data anggaran dari Biro Administrasi Pembangunan Provinsi Banten Tahun 2010 Biodata Penulis Delly Maulana adalah dosen sekaligus ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya. Memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial di Universitas Diponegoro dan MPA pada Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik UGM.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
KEBIJAKAN POPULIS PEMERINTAH KABUPATEN BANTUL Samodra Wibawa dan Ahmad Juwari Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIPOL UGM, Bulaksumur Jogja 55281 E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Makalah ini menguraikan dan menjelaskan kebijakan Pemkab Bantul tahun 2003-2010 yang menguntungkan rakyat kecil (pro poor). Sebelumnya diuraikan apa itu millenium development goals (MDG), yang merupakan konteks dari kebijakan Pemkab Bantul. Apa saja kebijakan-kebijakannya, bagaimana diimplementasikan, apa hasil dan dampaknya bagi rakyat (masyarakat menengah ke bawah)? Apakah manfaat itu memang sebegitu besar, sehingga masyarakat Bantul memilih Idham Samawi sebagai bupati untuk periode ke-dua dan bahkan kemudian memilih isterinya untuk jabatan tersebut pada periode sesudahnya? Selain itu makalah ini juga menyoroti beberapa kelemahan bupati, seperti “penyunatan” dana gempa yang diaku sebagai kearifan lokal. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah terhadap “diskresi” semacam ini? Kata-kata kunci: Kebijakan pro rakyat, kesejahteraan, pilkada, diskresi
isterinya terpilih pula sebagai penggantinya pada periode berikutnya (2010-2015).
1.
Pendahuluan Gerakan Reformasi Mei 1998 menghasilkan tidak saja sistem politik negara yang demokratis, melainkan juga sistem negara yang desentralistis serta sistem politik provinsi dan kabupaten yang demokratis pula sejak 2001. Harapannya adalah kegiatan pemerintah provinsi dan kabupaten akan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Saat ini sistem pemerintahan kabupaten dan provinsi tersebut diatur oleh UU Pemerintahan Daerah (2004) dan UU Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (2004) –keduanya merevisi UU yang dibuat tahun 1999, yang dinilai memberikan otonomi terlalu besar kepada kabupaten. Hanya saja desentralisasi ke kabupaten menimbulkan masalah baru: korupsi yang semula terpusat menjadi tersebut, terkesan lebih banyak dan lebih terbuka. Hubungan kabupaten – provinsi – negara juga terkesan kurang harmonis, sehingga pelayanan publik seperti jalan dan jembatan terkesan malah memburuk. Faktor-faktor seperti komitmen politik dan administrasi, sikap, perilaku dan budaya masyarakat, kualitas organisasi pemerintah dan ketersediaan sumberdaya belum berada pada kondisi yang prima guna memanfaatkan peluang yang disediakan oleh desentralisasi (Rondinelli dalam Nurcholis, 2005). Di tengah kesan yang belum memuaskan tersebut, beragam inovasi dijumpai dilakukan oleh berbagi kabupaten dan provinsi, yang untuk sebagian membantu pencapaian target-target yang termuat dalam millenium development goals (MDG). Kabupaten Bantul merupakan salah satunya, yang dipandang oleh banyak pihak sukses dalam kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Kesuksesan Bupati Idham Samawi menjadikannya terpilih pada periode yang ke-dua, dan bahkan
2.
Millenium Development Goals Millenium development goals (MDG) merupakan deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000 di New York yang telah disetujui oleh 189 negara, termasuk Indonesia. Dokumen ini memuat target-target dalam delapan bidang berikut yang direncanakan untuk dicapai pada 2015 (Sulfiana, 2007): menanggulangi kemiskinan dan kelaparan mewujudkan pendidikan dasar untuk semua mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menurunkan angka kematian anak meningkatkan kesehatan ibu memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya memastikan kelestarian lingkungan hidup mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Dalam hal kemiskinan dan kelaparan, misalnya, ditargetkan untuk: menurunkan jumlah penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 USD per hari menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015 menurunkan jumlah penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015. Target-target MDG seperti di atas menjadi acuan banyak negara untuk membangun negeri masing-masing, termasuk Indonesia. Tahun 2000 pemerintah SBY mengkopi target-target tersebut menjadi, misalnya, berkurangnya minimal separo masyarakat miskin (Kompas, 2010). Namun target [113]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
tersebut nampaknya belum mampu terealisasikan saat ini. Pada tahun 2010 angka kemiskinan hanya turun 0,82% setelah tahun 2009 turun 1,27% (BPS, 2010). Penduduk miskin di Indonesia jumlahnya kini 31,02 juta orang (13,33%). Dengan demikian menurunkan angka kemiskinan menjadi 7,5% pada 2015 sesuai dengan MDG sepertinya sangatlah sulit (Sibuea, 2011). Selain kemiskinan, angka kematian bayi di Indonesia bervariasi. Di tahun 2005 angka kematian bayi di DKI Jakarta adalah 18 per 1000 kelahiran, di DIY, Kepulauan Riau dan Sulut masing-masing 19, sementara di NTB sangat tinggi, yakni 66 (Bappenas, 2007). Upaya pencapaian target-target MDG ini sepertinya membutuhkan peran dominan dari pemerintah kabupaten. Dan secara umum mungkin patut diduga, bahwa kabupaten dapat dijadikan ujung tombak guna mencapai target-target tadi. Era otonomisasi mestinya merupakan kondisi yang subur bagi kreativitas dan inovasi pemerintah dan orsospol di tingkat kabupaten guna membutktikan dugaan ini.
Rp 1.500/kg dan kering Rp 3.000/kg, bawang merah Rp 2.800/kg, cabe merah Rp 1.500/kg dan kedelai Rp 2.500/kg. Selain itu dalam Pemkab membangun kemitraan dengan swasta sejak PT. Melki Agro Sarana, PT. Benih Sheed, Eka Poultry dan Yayasan Unilever Peduli diajak bekerjasama dengan kelompok tani untuk mengembangkan produk pertanian organik. Swasta membeli gabah organik petani untuk dipasarkan ke Jakarta. Yayasan Unilever Peduli mengembangkan kedelai hitam “malika” sebagai bahan baku kecap bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Teknologi dan Manajemen Agro Industri Fakultas Teknik Pertanian UGM. Kemitraan yang dilakukan dengan petani menggunakan pola plasma, dan petani memperoleh hasil yang lebih banyak dibandingkan kedelai konvensional (Bappeda Bantul, 2007). b.
Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah Selain sektor pertanian dan perdagangan, di Bantul juga terdapat banyak Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yakni 17.799 buah, sekitar 23,6% dari 74.941 total UKM di DIY pada tahun 2005 (Perindakop DIY dalam Purwanto, 2006). Sentra-sentra kerajinan banyak ditemui di Bantul, misalnya: gerabah di Kasongan, kulit di Manding dan batik di Imogiri dan Pandak. Kebijakan pro rakyat yang digulirkan Pemkab Bantul adalah menggalakkan sektor ini bersama dengan pariwisata pada tahun 2008. Kabupaten Bantul membangun sentra pariwisata Gabusan, Manding dan Tembi (GMT) untuk memasarkan produk-produk UKM. Ini menggabungkan kawasan wisata utama: Gabusan dengan pasar kerajinan, Manding dengan kerajinan kulit dan Tembi dengan rumah budaya. Tapi tampaknya hingga saat ini Pasar Seni Gabusan sebagai ikon baru GMT perlu banyak dibenahi karena tampaknya tidak berhasil menarik lebih banyak wisatawan.
3.
Kebijakan Pro Rakyat Pemkab Bantul Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, 75 desa, dan 933 dusun (sub-desa, merangkum beberapa rukun warga). Kabupaten ini memiliki sumberdaya alam yang cukup melimpah di bidang pertanian. Sektor ini pada 2008 memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Bantul, yaitu 24,33%, sekalipun trendnya cenderung menurun akibat alih fungsi lahannya menjadi perindustrian. Gempa besar melanda kabupaten ini pada pagi hari 27 Mei 2006, menewaskan 4.659 jiwa (Bappeda Bantul, 2007) sehingga memperoleh perhatian nasional dan internasional yang tidak kalah besar dengan perhatian terhadap bencana tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004. Setelah gempa, masyarakatnya terbilang cepat bangkit. Kabupaten Bantul sejak tahun 2000 di bawah Bupati Idham Samawi (PDIP) memiliki kebijakan-kebijakan yang dinilai pro rakyat oleh banyak kalangan. Tiga di antaranya diuraikan di bawah ini.
c.
Pelarangan mall Kebijakan pelarangan mall di Bantul bertujuan untuk melindungi pedagang-pedagang pasar tradisional agar tidak mati. Larangan pendirian mall termuat dalam Peraturan Bupati (Perbup) tentang Penataan Toko Modern (No. 12/2010, revisi atas Perbup yang sama No. 57/2009), dan konon akan diusahakan menjadi peraturan kabupaten (Perkab) agar memiliki kedudukan yang lebih kuat. Bupati menilai, bahwa keberadaan 56 pasar tradisional di Bantul sangatlah menguntungkan seluruh warga, dan karena itu harus dipertahankan. Ia tak khawatir jika karena kebijakannya dicap sebagai pejabat katrok (ndeso) (KR 2010). Bantul merupakan satu-satunya kabupaten di antara lima kabupaten/kota di DIY yang melarang keberadaan mall. Di tengah arus modal yang masuk ke DIY, sikap ini terlihat sebagai heroik.
a.
Proteksi Petani Bupati Idham Samawi pada tahun 2003 membuat kebijakan pertanian yang melindungi petani dari gejolak harga pasar. Ia memproteksi komoditas utama pertanian, yaitu padi, jagung, bawang merah, kacang tanah, cabai, kedelai. Ini dituangkan dalam SK Bupati tentang Kebijakan Pertanian di Bantul (No. 12A/2003). Yang dilakukan oleh mirip dengan Bulog: membeli hasil pertanian dengan harga normal, ketika harga jual petani sedang rendah (karena panen raya). Dengan demikian petani tidak merugi karena harganya anjlok. Pemkab membeli gabah dengan harga Rp 2.100/kg, jagung Rp 2.000/kg, kacang tanah basah [114]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Walaupun begitu, kebijakan pelarangan mall di Bantul tidak diikuti oleh kebijakan pelarangan toko modern (Alfamart, Indomart dsb.) yang semakin menjamur. Yang dilakukan saat ini adalah mengatur jarak toko seperti itu antara 3 - 5 kilometer dengan pasar tradisional, dan itupun banyak dilanggar. Dalam Perbup tersebut termuat pula ketentuan lain, misalnya luas toko maupun keharusan untuk bermitra dengan usaha kecil dan koperasi. Pada akhirnya mall mewah yang besar memang tidak dijumpai di Bantul (barangkali memang tidak pernah ada pengusaha yang berminat?), tapi toko-toko modern tetap menjamur. Pada hal yang terakhir ini, birokrasi terkesan tidak bersungguh-sungguh (lihat Isnani 2010) –mungkin karena bupatinya memang sudah di ujung akhir masa jabatannya.
Secara umum tampaknya kepemimpinan Idham Samawi dinilai sukses. Setelah duduk selama dua kali masa jabatan (akhir tahun 1999-2010), posisinya “diwariskan” dengan mudah kepada isterinya, Ny. Sri Suryawidati. Bersama dengan wakilnya Drs. Sumarmo, pasangan ini, berbeda dengan Idham yang didukung PDIP, diusung oleh Partai Amanat Nasional, Golkar, dan Partai Karya Perjuangan Bangsa dan meraih kemenangan telak dengan perolehan suara 67,8% dari sebanyak 487.877 suara sah pada pemilu yang diselenggarakan Mei 2010. (Lawannya pasangan Sukadarma memperoleh 28,3% suara dan pasangan Karib 3,9%, Pemilu Indonesia 2010). 4.
Kasus Dana Gempa: Kearifan Lokal atau Korupsi? Keharuman nama Idham Samawi ternodai atau setidaknya terganggu oleh kasus penggunaan dana rekonstruksi bencana gempa di Bantul. Dalam hal ini Kepala Dusun Mancingan, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Tri Waldiyana disidang oleh PN Bantul dan terbukti melakukan korupsi (Simanjuntak dkk, 2008) dana rekonstruksi gempa senilai Rp865 juta. Dia dituntut hukuman penjara enam bulan, harus membayar denda Rp50 juta dan uang pengganti Rp29 juta. Tuntutan serupa untuk kasus yang sama juga dikenakan kepada terdakwa lain, yakni Wijoyo Hadi Sumarto dan Kepala Desa Temuwuh, Kecamatan Dlingo, Basuki yang melakukan pemotongan dana gempa Rp1,6 miliar (Menkokesra, 2010). Dalam kasus-kasus tersebut Idham Samawi duduk sebagai saksi dalam persidangan yang telah dimulai sejak 25 Mei 2010. Idham yang sudah tidak menjabat lagi membela para terdakwa dengan mengatakan, bahwa pemotongan dana rekonstruksi gempa tersebut merupakan bentuk kearifan lokal yang telah dimusyawarahkan bersama. Dana yang dianggap dikorupsi tersebut digunakan masyarakat untuk membangun sarana-prasarana umum, dan semua itu dilakukan berdasarkan musyawarah dan diketahui semua warga. Guna memperkuat pembelaan terhadap para pamongnya tersebut, Idham bahkan sempat mengatakan untuk rela tidur di Kantor Kejaksaan Negeri membela para terdakwa. Namun ketiga pamong tersebut akhirnya tetap ditahan –dengan tahanan rumah. Dalam hal ini penulis tidak berusaha untuk menyatakan penilaian tentang keputusan pengadilan. Namun, melihat bahwa Idham merupakan sosok yang punya karakter dan figur yang disukai rakyatnya, tampaknya adalah benar, bahwa pemotongan dana rekonstruksi tersebut, yang dilakukan oleh para pamong tanpa sepengetahuan dirinya dilakukan benar-benar tidak untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kebaikan bersama. Tindakan para pamong memang menyimpang dari aturan penggunaan dana
Sekalipun berbeda-beda efektivitasnya, tiga kebijakan di atas kiranya dapat menjadi teladan atau best practices. Hanya saja kebijakan pro rakyat yang dilakukan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi. Tiga kebijakan pro rakyat di atas relevan dengan kondisi Bantul sendiri dimana ada tiga sektor utama yang menjadi mata pencaharian masyarakatnya, yaitu pertanian, UKM, dan pedagang tradisional. Selain tiga kebijakan di atas, di daerah yang porak-poranda akibat gempa 2006 dilakukan beragam program yang berguna bagi rakyat, misalnya dibentuknya Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) di seluruh dusun di Bantul. Bekerjasama dengan Yayasan Damandiri, Posdaya menjadi program pemicu peningkatan kesejahteraan keluarga (Setyowantoko, 2011). Di bidang pendidikan, Dinas Sosial Bantul membagikan bantuan kepada siswa maupun mahasiswa yang berasal dari Bantul. Program-program seperti inilah yang mempercepat Bantul mencapai target-target yang dikehendaki dalam kesepakatan yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDG). Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia tahun 2010 disebutkan, bahwa Bantul sangat berkomitmen dalam menurunkan angka kematian bayi (Bappenas, 2010). Bagi Desa yang bebas dari kematian bayi Pemda memberikan penghargaan sebesar Rp100 juta. Hal ini menjadi daya tarik yang kuat bagi pemerintah desa-desa di Bantul, sehingga kematian bayi di Bantul tahun 2010 hanya 9,85 per 1000 kelahiran, lebih baik dibanding tahun sebelumnya sebesar 11,75. Penderita gizi buruk di Bantul pun terus menurun, tahun 2009 0,33 sedang tahun 2010 sebesar 0,32, jauh di bawah angka gizi buruk Propinsi DIY sebesar 2,0. Angka cakupan imunisasi hampir seluruhnya tercakup di seluruh desa di Bantul, baik imunisasi Hepatitis, TT ibu hamil maupun kepada anak sekolah (Bappeda Bantul, 2010). [115]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
rekonstruksi yang diatur oleh pemerintah (pusat), namun kiranya sulit untuk disebut korupsi, karena tidak untuk kepentingan pribadi. Tindakan ini barangkali lebih tepat disebut diskresi atau freies ermessen –kebebasan bertindak yang sebenarnya merupakan hak para pelaksana guna menanggapi kebutuhan lokal yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh para pembuat kebijakan. Terkait dengan kasus di atas, ada hal lain yang menghadang Idham lagi, yakni penyerangan kantor LOS (Lembaga Ombudsman Swasta) DIY yang terletak di Kota Jogja, yang diduga dikoordinir oleh atau setidaknya melibatkan 9 orang aparat desa dan pegawai Pemkab Bantul pada tanggal 11 Februari 2008. Penyerangan tersebut dilakukan setelah sebelumnya LOS mengumumkan hasil penelitiannya, bahwa 40% dana rekonstruksi korban gempa yang dikucurkan Java Reconstruction Fund salah sasaran. Pengrusakan ini memaksa Bupati Idham Samawi untuk memohon maaf dan menyanggupi membayar ganti rugi materiil, namun dia menolak untuk memberikan pernyataan soal keterlibatan aparat desa dan pegawai Pemkab dalam penyerangan itu (Yunanto, 2008). Ini sepertinya tidak terselesaikan, dan bahkan Pemkab Bantul terkesan berbelit-belit untuk mengganti kerugian, sementara para pelaku pengrusakan malah menjadi orang-orang penting di birokrasi Pemkab (Global FM, 2011). Bahwa kasus pengrusakan ini belum terselesaikan, ini kiranya mencerminkan kekuatan sosok Idham di satu sisi dan –ternyata-- lemahnya aparat penegak hukum di sisi lain.
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Milenium Development Goals Indonesia 2007. www.targetmdgs.org. diakses tanggal 17 Mei 2011 Bappeda Bantul. 2007. Ringkasan Laporan: Penyusunan Rencana Strategis Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) Kabupaten Bantul 2007. www.bappeda.bantulkab.go.id Bappeda Bantul. 2010. Executive Summary LKPJ Akhir TA 2010 dan ILPPD Akhir TA 2010. http://bappeda.bantulkab.go.id/berita/baca/ 2011/04/26/084115/executive-summarylkpj-akhir-ta-2010-dan-ilppd-akhir-ta2010-kab-bantul diakses tanggal 17 Mei 2011 Global FM. 2011. Refleksi 2 Tahun Kasus Pengrusakan Kantor LOS DIY. http://www.globalfmjogja.com diakses tanggal 15 Mei 2011 Isnani. 2010. Implementasi Peraturan Bupati Bantul tentang Penataan Toko Modern. Skripsi. Jogja: Jurusan Administrasi Negara, FISIPOL UGM KR. 2010. “APPSI Keluhkan Pasar Modern di Bantul.” http://www.krjogja.com/news diakses tanggal 13 Mei 2011 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/badan perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. gizi.net diakses tanggal 16 Mei 2011 Kompas. 2010. SBY, Indonesia, dan MDGs. 2010. http://muda.kompasiana.com diakses tanggal 13 Mei 2011 Menkokesra. 2010. Perangkat Desa Korupsi Dana Gempa. Bupati Bantul Membela. http://www.menkokesra.go.id diakses tanggal 13 Mei 2011 Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo. Pemilu Indonesia. 2010. “Istri Gantikan Suami Jadi Bupati.” http://www.pemiluindonesia.com diakses tanggal 15 Mei 2011 Purwanto, Erwan Agus. 2006. Strategi Budaya untuk Pemulihan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Yogyakarta Pascagempa. i-lib.ugm.ac.id/ diakses tanggal 15 Mei 2011 Setyowanto, Hari. 2011. Wakil Bupati Bantul Drs H Sumarno PRS; Posdaya Percepat Kesejahteraan Keluarga Pascagempa. http://www.gemari.or.id diakses tanggal 13 Mei 2011
5.
Penutup Dalam sistem kabupaten yang demokratis, semestinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintahnya adalah pro rakyat (kecil, yang jumlahnya pada umumnya paling banyak). Bahwa ada kabupaten yang terlihat kuat sekali prorakyatnya dan ada kabupaten yang begitu abai kepada rakyat, kiranya ini tidak terlepas dari personalitas bupatinya, selain dukungan politik dari parlemen kabupaten. Idham memenuhi dua kriteria ini: figurnya kuat dan diusung oleh partai dominan dalam parlemen kabupaten. Posisinya yang sedemikian rupa dalam kondisi seperti itu memungkinkannya untuk bebas berkreasi merumuskan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Hanya saja dia terjebak untuk melakukan kreativitas kebablasan: baik di matanya, tapi menyeleweng di mata pembuat kebijakan dan penegak hukum. Pilihannya adalah: menyadarkan figur-figur kuat seperti dia agar lebih berhati-hati ataukah mengubah aturan hukum untuk memberikan kebebasan yang lebih besar lagi bagi jiwa-jiwa bagus yang kreatif? **
DAFTAR PUSTAKA [116]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Sibuea,
Posman. Kemiskinan, MDGs, dan Pembangunan Agroindustri. http://www.stoppemiskinan2015.org diakses tanggal 13 Mei 2011 Simanjuntak, Frengky dkk. 2008. Membedah Fenomena Korupsi. Jakarta: Tranparancy International Indonesia Sobari, Wawan dkk. 2004. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah & Otonomi Award. Surabaya: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi. Sulfiana, Endang. 2007. Sosialisasi MDGs. http://www.ppsw.or.id/Greget/gregetutama.html diakses tanggal 13 Mei 2011 Yunanto, Reza. 2008. Perusakan Kantor LOS Yogyakarta: 9 Penggerak Massa Layak Jadi Tersangka. http://www.prakarsa-rakyat.org diakses tanggal 15 Mei 2011
Dompet Dhuafa setelah sebelumnya tinggal di PP/PA Sinar Melati Yogyakarta. Aktif dalam kegiatan mahasiswa: Keluarga Mahasiswa Administrasi Negara (KMAN), BEM KM UGM maupun Keluarga Mahasiswa Etos Jogja. Tahun 2010 mewakili UGM dalam kompetisi PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) di Bali, memperoleh medali perak. Menulis di Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja di kolom suara mahasiswa hingga belasan kali. Prisnsip yang dipegang teguh adalah bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi orang lain.
Biodata penulis Samodra Wibawa memperoleh gelar Dr.rer.publ. dari sekolah tinggi nasional bidang ilmu administarsi (negara) di kota Speyer Jerman -Deutsche Hochschule fuer Verwaltungswissenschaften-pada 2003. Sebelumnya memperoleh gelar MSc. untuk ilmu dan kebijakan lingkungan di Fakultas Biologi University of Bath, England (1994) dan Drs. bidang administrasi negara di UGM (1989). Sebagai dosen, termasuk sebagai dosen tamu di UGM, UNY, UIN (dulu IAIN) Sunan Kalijaga, Akmil Magelang, UNS, UNSOED, UNDIP, UNG (Gorontalo) pernah mengajar matakuliah: kebijakan publik, proses formulasi kebijakan, evaluasi kebijakan, metode penelitian, analisis dampak sosial, teori administrasi negara, patologi administrasi negara, sejarah sosialpolitik, kepemimpinan, manajemen pelayanan publik, administrasi pembangunan, kebijakan pendidikan, dan administrasi keuangan negara. Telah menerbitkan 10 buku, di antaranya Negaranegara di Nusantara: dari Negara Kota hingga Negara Bangsa, dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi (Yogyakarta: Gamapress 2001), Reformasi Administrasi, Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik (Yogyakarta: Gava Media 2006) dan Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu 2011). Saat ini dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal ASIAN (Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara, periode 2011-2013). Ahmad Juwari lahir di Bantul pada 14 Mei 1990. Menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya di Bantul dan sejak 2008 menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM. Penerima beastudi Etos wilayah Yogyakarta di bawah Lembaga Pengembangan Insani (LPI) [117]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PEMBANGUNAN DESA BERBASIS KOMUNITAS (KASUS DI PROVINSI BANTEN) DR. Agus Sjafari Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pakupatan-Serang, Banten E-mail:
[email protected] ABSTRACT Indonesia as an archipelagic country is a rich country with enormous natural resources, whether land resources and marine resources are very abundant. Geographic location and wealth of resources that should be developed for the welfare of the community. Seeing such objective conditions, it's time when the development process in Indonesia is more focused on an agricultural-based development that emphasizes the empowerment of rural communities. The concept of development which has been more focused on the development of urban areas is extremely degraded. This is caused by rapid population growth. Attention to rural development which focuses on the process of renewal of natural resources becomes a necessity that can not be circumvented. Resources in the village is actually very large, but because there is no partiality of government to invest in rural villages finally getting left behind. In the end the massive urbanization of the villagers to urban areas. Therefore it is logical if there is a reorientation of an agrarian-based development that can memberdayaan villagers. Banten Province as one of the new province in Indonesia is an area that needs to get priority-based agricultural development. The objective of Banten has an area of three-quarters of its territory located in rural areas. Thus, in an objective region has a very big agricultural potential which is currently completely untapped. Thus one of the strategies of development that needs to be done to optimize the potential of agrarian owned Banten Province through the construction of model villages with community-based society. Rural community development model can be assessed in terms of economic and social empowerment of the community in Banten Province. Keywords: rural development, community Adanya perhatian pembangunan desa didasarkan kepada suatu kondisi bahwa lebih dari 2/3 penduduk Indonesia berada di daerah pedesaan (baik itu rural village maupun urban village). Di samping itu, bila dilihat dari segi sejarah, terlihat perbedaan pandangan dalam melihat desa antara Indonesia dengan beberapa Negara ‘maju’. Bila pada beberapa Negara ‘maju’ desa hanya merupakan garis belakang (hinterland) yang memberi dukungan pada kota, di Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu desa menjadi titik senteral kehidupan Negara (Rukminto Adi, 2003 : 292). Perhatian kepada pembangunan pedesaan yang menitikberatkan pada proses pembaharuan sumber daya alam menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Sumber daya di desa sebenarnya sangat besar, namun karena tidak ada keberpihakan pemerintah untuk berinvestasi di desa akhirnya desa semakin tertinggal. Pada akhirnya terjadi urbanisasi besar-besaran penduduk desa ke perkotaan. Oleh karena itu sangatlah logis apabila terdapat reorientasi pembangunan berbasis agraris yang mampu memberdayaan masyarakat desa. Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi baru yang ada di Indonesia merupakan wilayah yang perlu mendapatkan prioritas pembangunan yang berbasis agraris. Secara obyektif wilayah Banten memiliki luas wilayah yang tiga perempat wilayahnya berada di wilayah pedesaan. Dengan demikian secara obyektif wilayah tersebut memiliki potensi agraris yang sangat besar yang saat ini sama
1.
PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan sebuah negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat besar, baik itu sumber daya daratan maupun sumber daya lautan yang sangat melimpah. Letak geografis serta kekayaan sumber daya itulah yang seharusnya dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Kekayaan alam seperti halnya kandungan mineral, potensi ikan, nilai pariwisata laut dengan terumbu karang yang luas, gas serta energi yang menyebar di seluruh wilayah nusantara, dimana dua pertiga adalah pertanian yang berada di wilayah pedesaan. Memberi justifikasi terhadap hadirnya Indonesia sebagai negara agraris di dunia, baik secara ekonomi maupun budaya. Dengan kata lain, Indonesia adalah negara yang kuat, makmur dan sejahtera akan tegak bila negeri ini dibangun berdasarkan visi agraris yang didukung oleh sumber daya manusia yang kreatif dan terdidik serta didukung oleh kebijaksanaan pemerintah . Melihat kondisi obyektif yang demikian tersebut, sudah saatnya apabila proses pembangunan di Indonesia lebih menitikberatkan kepada pembangunan berbasis agraris yang menekankan kepada pemberdayaan masyarakat desa. Konsep pembangunan yang selama ini lebih menitikberatkan kepada pembangunan wilayah perkotaan sudah mengalami degradasi yang amat sangat. Hal ini disebabkan karena pesatnya pertumbuhan penduduk.
[118]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Berdasarkan data – data diatas menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan desa di Provinsi Banten menunjukkan laju pertumbuhan yang rendah. Tingkat pembangunan yang terjadi di desa di Provinsi Banten masih tergolong lambat, baik dilihat dari pembangunan fisik desa, perkembangan sumber daya manusia, serta pembangunan sosialnya. Tingkat kemiskinan lebih terpusat di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Meskipun sumber daya alam yang melimpah tanpa ditunjang oleh kualitas sumber daya manusianya, mengakibatkan sumber daya alamnya belum tergali dan termanfaatkan secara optimal. Pola – pola pembangunan tidak hanya terpaku kepada pembangunan fisik desa semata, melainkan perlu adanya rekayasa sosial yang mampu melibatkan partisipasi masyarakat desa untuk menemukan permasalahannya sendiri, merencanakan dan mendesain rencana pembangunannya, melaksanakan sendiri, serta mampu menilai tingkat keberhasilan dari kegiatan pembangunannya tersebut. Program – program pemberdayaan perlu digalakkan dengan melibatkan beberapa pihak terkait di dalam membangun desa. Pemerintah bersama dengan pihak swasta, NGO, dan lembaga pendidikan tinggi perlu bersama – sama terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat desa di Provinsi Banten.
sekali belum tergarap. Dilihat dari pembagian daerah pedesaan di atas bahwa hampir 2/3 desa di Provinsi Banten termasuk ke dalam rural village misalnya saja di wilayah Kabupaten Lebak, Pandegelang, dan sebagian wilayah di Serang dan Cilegon. Sedangkan sisanya yang hanya 1/3 yang termasuk ke dalam urban village yang sebagian besar berada di Kabupaten dan Kota Tangerang. Dengan demikian salah satu strategi pembangunan yang perlu dilakukan guna mengoptimalkan potensi agraris yang dimiliki Provinsi Banten tersebut melalui model pembangunan masyarakat desa dengan berbasis komunitas. Model pembangunan masyarakat desa tersebut dapat dikaji dari sisi pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat di Provinsi Banten. 2.
WAJAH DESA BANTEN Berbicara mengenai kondisi desa di Provinsi Banten memang perlu mendapatkan perhatian yang besar, baik dari segi paembangunan fisik desa maupun pembangunan non fisik (sosial ekonomi) masyarakat desanya. Beberapa data kondisional terkait dengan desa di Provinsi Banten adalah sebagai berikut: a. Sebanyak 764 desa atau 51,52% tergolong dalam desa tertinggal, terdiri dari 458 desa tertinggal di daerah tertinggal dan 306 desa tertinggal di daerah non tertinggal (Suharso, 2010) b. Banyaknya Desa Menurut Keberadaan Penderita Gizi Buruk Dalam 3 Thn Terakhir, Keluarga Penerima Kartu Askeskin dan Keluarga Penerima Surat Miskin/SKTM dalam 1 Thn Terakhir seperti yang tercantum dalam tabel 1.
c.
3.
PROBLEMATIKA MASYARAKAT BANTEN Masyarakat desa pada dasarnya terdiri dari masyarakat yang tingkat pendapatan dan penghasilan ekonominya relatif rendah. Rendahnya tingkat penghasilan dan pendapatan ekonomi keluarga pesisir dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain: 1) Rumah yang tidak permanen; 2) kualitas kesehatan yang sangat buruk; 3) lingkungan keluarga yang tidak sehat; 4) kualitas makanan/kalori yang dikonsumsi tidak memadai dari sisi kesehatan dan sebagainya. Rendahnya pendapatan dan penghasilan ekonomi keluarganya dikarenakan oleh rendahnya atau belum berkembangnya perilaku masyarakat desa tersebut. Rendahnya atau belum berkembangnya perilaku masyarakat desa tersebut ditandai oleh: 1) tingkat pengetahuan yang rendah dikarenakan tingkat pendidikannya yang rendah; 2) Sikap mental masyarakatnya yang masih tradisional tanpa disertai oleh keinginan untuk maju dan berkembang; serta 3) Keterampilan yang tidak mamadai untuk dapat bersaing hidup di kota besar seperti di Propinsi Banten. Kehidupan masyarakat desa di Propinsi Banten tersebut mengakibatkan kehidupannya yang terasing baik secara sosial, ekonomi maupun politik; secara sosial mereka tetap teridentifikasi sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki modal sosial yang mamadai untuk dapat
Data kemiskinan desa di Provinsi Banten dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
[119]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
bersaing dengan masyarakat lainnya yang memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang besar. Rendahnya tingkat penghasilan masyarakat desa di Propinsi Banten, yang berdampak terhadap rendahnya kesejahteraan mereka menempatkan mereka (masyarakat desa) sebagai masyarakat yang tingkat kemandiriannya tergolong rendah. Artinya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, sebenarnya mereka masih sangat membutuhkan uluran tangan serta bantuan dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan ekonomi yang lebih, misalnya saja orang kaya, pihak pemerintah, pihak swasta dan lain sebagainya. Tanpa bantuan dari pihak-pihak tersebut, menjadikan mereka semakin tidak berdaya dan dalam kondisi yang sangat kekurangan. Dengan demikian guna membangun kemandirian masyarakat desa tersebut, sangatlah perlu ditunjang oleh proses pemberdayaan yang intensif bagi masyarakat desa tersebut.
masih jarang sekali program pemberdayaan masyarakat desa tersebut yang berwujud How to empowering masyarakat desa tersebut agar terbebas dari ketidakberdayaannya tersebut. Pola-pola pemberdayaan dalam bentuk charity tersebut sangatlah memungkinkan untuk menuai kegagalan. Dalam prakteknya pola tersebut hanya akan membantu masyarakat desa tersebut dalam jangka waktu pendek. Setelah bantuan tersebut habis maka mereka (masyarakat desa) akan kembali menjadi miskin dan tidak berdaya. Program PNPM yang selama ini digulirkan oleh pemerintah perlu mendapatkan penilaian yang proporsional. Kritik terhadap program PNPM tidak lain adalah perlunya keberpihakan dari program tersebut untuk lebih menekankan kepada pembangunan aspek sosial dan ekonomi. Proporsi anggaran PNPM sebesar 70% untuk pembangunan fisik desa tertinggal hanya berkontribusi untuk membenahi wajah desa namun bersifat sesaat tanpa menciptakan kemandirian masyarakat untuk menciptakan usaha yang potensial yang dapat dikembangkan oleh keluarga di pedesaan. Alangkah elegannya apabila kepentingan sosial dan ekonomi keluarga juga menjadi perhatian dalam PNPM tersebut.
4.
URGENSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA Pembangunan masyarakat desa yang sekarang disebut juga dengan nama pemberdayaan masyarakat desa, pada dasarnya, serupa dan setara dengan konsep pengembangan masyarakat (Community Development). Menurut Schlippe (Rukminto Adi, 2003 : 393) pada mulanya teori tentang pembangunan masyarakat desa ini tidak ada. Perkembangan teori pembangunan desa dimulai dengan praktek, yaitu dari kebutuhan yang dirasakan di dalam masyarakat terutama dalam situasi social yang dihadapi di dalam negara – negara yang menghadapi perubahan social yang cepat. Secara teoritis proses pemberdayaan bagi masyarakat desa secara umum sangat bergantung pada dua hal yaitu 1) kekuatan yang ada pada internal (diri masyarakat itu sendiri); 2) perlunya intervensi dari kekuatan ekternal yaitu kekuatan yang ada di luar dari dirinya tersebut. Kekuatan yang ada pada dirinya menyangkut segala potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut misalnya motivasi, keterampilan, kebutuhan, pengetahuan, sikap mental, dan sebagainya. Sedangkan kekuatan yang berasal dari luar dirinya terkait dengan adanya bantuan atau stimulus yang mendorong mereka untuk lebih berdaya antara lain bantuan uang, bantuan alat dan sarana prasarana, kemampuan beradaptasi, kemampuan organisasi dan sebagainya (Sjafari : 2007). Pola pemberdayaan yang selama ini dilakukan, baik oleh pihak pemerintah, pihak swasta ataupun oleh pihak-pihak lainnya lebih menekankan dan menitikberatkan kepada program charity (sumbangan, bantuan dan amal) atau lebih lebih kepada program how to give something seperti halnya Program Bantuan langsung Tunai (BLT) oleh pemerintah, bantuan sarana prasarana, bantuan lahan dan perumahan dan sebagainya. Di sisi lain lain
5.
PEMBANGUNAN BERBASIS KOMUNITAS Berbicara mengenai kegiatan pembangunan khususnya di wilayah pedesaan mengandung kompleksitas yang tinggi dengan melihat beberapa aspek yang diukur dalam keberhasilan pembangunan tersebut. Secara lebih gamblang Mardikanto (1991) mengemukakan bahwa pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana untuk melaksanakan perubahan – perubahan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk jangka panjang, yang dilaksanakan oleh pemerintah yang didukung oleh masyarakatnya, dengan menggunakan tehnologi yang terpilih. Salah satu pola pemberdayaan masyarakat desa yang dinilai mampu memberikan kontribusi dalam jangka panjang adalah melalui pendekatan dan pembelajaran komunitas melalui kelompok atau organisasi. Strategi pendekatan dan pembelajaran komunitas pada masyarakat desa selama ini jarang disentuh. Padahal kita tahu bahwa melalui pendekatan dan pembelajaran komunitas tepatnya melalui pembelajaran kelompok bagi masyarakat desa tersebut, akan memiliki potensi mamampukan mereka di dalam memecahkan problematika hidup yang selama ini mereka hadapi. Mengapa menggunakan pendekatan komunitas ?. Komunitas dalam hal ini merujuk pada warga – warga sebuah desa, kota, suku atau suku bangsa. Soekanto (2000) menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu kelompok baik besar maupun kecil [120]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang anggotanya hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memebuhi kepentingan – kepentingan hidup yang utama. Kriteria yang utama bagi adanya suatu masyarakat adalah adanya social relationship antara anggota – anggota kelompok tersebut. Redfield (1963 : 4) menguraikan karakteristik komunitas. Sebagai realitas sosial yang diidentifikasikan sebagai pemukiman kecil penduduk, bersifat mandiri (self contained) dan yang satu berbeda dengan yang lainnya. Beberapa karakteristik komunitas antara lain: a. Komunitas memiliki kesadaran kelompok b. Komunitas tidak terlalu besar sehingga setiap anggota berkesemapatan mengenal secara pribadi satu sama lain, tetapi tidak terlalu kecil sehingga mereka dapat melakukan usaha bersama secara efisien. c. Komunitas bersifat homogen. d. Komunitas hidup mandiri (Self-sufficient). Asumsi yang dibangun adalah melalui penguatan komunitas yang tinggi dan stabil akan lebih menciptakan kemandirian bagi masyarakat desa, khususnya masyarakat desa yang ada di Propinsi Banten. Melalui penguatan komunitas inilah, program-program pemberdayaan bagi masyarakat desa tersebut akan lebih terencana, terprogram dan memiliki tingkat efektivitas yang tinggi. Hal yang terpenting dalan penguatan komunitas tersebut bahwa dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pemberdayaan tersebut di lakukan secara mandiri oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Pihak – pihak di luar masyarakat dibutuhkan untuk melakukan proses pendampingan serta membuat kebijakan – kebijakan yang berpihak kepada pembangunan komunitas tersebut. Dalam mengimplementasikan proses pembangunan desa berbasis komunitas, diperlukan adanya sesnsitivitas masyarakat desa di dalam menilai kondisi desanya masing – masing. Pada awalnya setiap anggota masyarakat desa diharapkan mampu menilai dan mengevaluasi setiap kondisi baik secara fisik maupun non fisik desa. Ketika pada elemen tertentu terdapat hambatan-hambatan, maka dengan sesegera mungkin dilakukan perbaikanperbaikan. Terdapat beberapa aspek yang terkait di dalam mengembangkan sumber daya yang ada di desa tersebut. Secara lebih konkrit, implementasi pembangunan desa berbasis komunitas dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) Pada TAHAP INPUT, rendahnya keberdayaan masyarakat desa pada saat ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: rendahnya karakteristik individu yang di dalamnya terdapat pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah keluarga yang semuanya dalam kualitas yang rendah, serta tidak kondusifnya lingkungan fisik dan sosial yang ada di desa. Sebagian besar masyarakat desa juga tidak mampu meningkatkan sumber daya ekonomi dan sumber daya sosialnya. (b) Pada TAHAP PROCESS, bahwa melalui intervensi pemberdayaan masyarakat desa yang menekankan kepada penguatan komunitas akan menciptakan keberdayaan masyarakat desa menjadi lebih tinggi. Pengembangan sumber daya desa meliputi kegiatan mengidentifikasi, memelihara dan menilai sumber daya yang terdiri dari sumber daya fisik dan non fisik. Pengembangan kelompok dan peningkatan intensitas dalam intervensi pemberdayaan merupakan kegiatan yang akan mendukung keberhasilan dalam pengembangan sumber daya desa. Melalui kegiatan pengembangan kelompok dan kegiatan intervensi pemberdayaan, maka setiap anggota masyarakat desa akan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sumber daya yang ada di desa. Artinya kegiatan kelompok yang di dalamnya terdapat kepemimpinan kelompok masyarakat, kedinamisan kelompok masyarakat, dan intensitas komunikasi kelompok masyarakat memberikan pembelajaran kepada masyarakat desa untuk tahu, mau dan mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya desa yang dimiliki. Selama ini tingkat kepedulian anggota masyarakat desa terhadap sumber daya yang ada di desa tergolong sangat rendah. Rendahnya sumber daya desa dipersepsikan sebagai sebuah kondisi yang tidak dapat diperbaiki. Adanya kepedulian anggota masyarakat desa terhadap sumber daya desa akan memudahkan masyarakat desa menjadi lebih berdaya. Keberadaan kelompok akan mendorong masyarakat desa untuk lebih peduli terhadap sumber daya yang ada di desanya. Sedangkan Intervensi pemberdayaan akan memberikan keterampilan bagi masyarakat desa di dalam memanfaatkan sumber daya desa. (c) Pada TAHAP OUTPUT, merupakan hasil yang akan dicapai dengan adanya kegiatan intervensi pemberdayaan masyarakat desa melalui pengembangan sumber daya desa yaitu adanya keberdayaan masyarakat desa yang ditandai dengan tingkat adaptasi masyarakat desa yang [121]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
tinggi, tingkat pencapaian tujuan masyarakat desa menjadi terarah, tingkat integrasi masyarakat desa menjadi semakin tinggi, serta terbentuknya nilai-nilai positif dan maju dalam masyarakat desa yang terkondisikan dalam nilai-nilai laten di masyarakat. (d) Pada TAHAP OUTCOMES, adanya peningkatan keberdayaan masyarakat di atas pada akhirnya berdampak secara langsung terhadap semakin tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat (better society) yang ditandai dengan: semakin tingginya tingkat pendapatan masyarakat, terpenuhinya kebutuhan dasar, terpenuhinya kebutuhan sekunder, terpenuhinya kebutuhan tertier, serta yang tidak kalah pentingnya adalah adanya ketepatan dalam pengelolaansumber daya desa. Terciptanya kondisi kesejahteraan bagi masyarakat desa tersebut secara akumulatif diharapkan akan berdampak kepada terciptanya kondisi desa yang lebih baik (better villages). Kondisi Better villages inilah yang diharapkan dapat tercapai melalui implementasi pemberdayaan komunitas. Pada akhirnya pada tahapan feed back, bahwa better villages inilah yang merupakan bentuk jawaban terhadap pemecahan terhadap kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat tersebut. Implementasi pembangunan desa berbasis komunitas khususnya terhadap masyarakat desa sangat diperlukan untuk mencapai tingkat keberdayaan, yang dilakukan keluarga melalui kegiatan perencanaan program pemberdayaan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (a) ANALISIS SITUASI. Pada tahapan ini yang dilakukan adalah melakukan pengamatan, observasi, pengumpulan data (faktual dan potensial) serta melakukan analisis situasi yang terkait dengan kondisi masyarakat desa tersebut. (b) MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH. Pada tahapan ini, pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan bersama dengan masyarakat desa merumuskan masalah yang jelas pada masyarakat desa dengan maksud untuk menentukan real needs atau dengan kata lain dapat merubah felt needs menjadi real needs. (c) MENENTUKAN TUJUAN PROGRAM. Pada tahapan ini, pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan harus mampu melakukan identifikasi dan perumusan program pemberdayaan yang jelas tentang: “Apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari kegiatan pembangunan desa yang akan dilakukan terhadap masyarakat desa tersebut. (d) MENENTUKAN CARA/PROGRAM. Setelah pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan tersebut menentukan tujuan dari kegiatan
pembangunan desa secara jelas, maka pada tahap ini diperlukan untuk merancang dan mengimplementasikan programnya tersebut. Apabila semua tahapan di atas dapat dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan bukan tidak mungkin apabila masyarakat desa mampu melakukan perubahan dan perbaikan yang optimal. Aspek sumber daya desa merupakan salah satu faktor yang sangat kuat untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat desa. Sumber daya desa merupakan modal utama yang memungkinkan masyarakat desa menjadi lebih sejahtera. Daftar Pustaka Mardikanto, Totok.1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Solo. UNS Press Rukminto Adi, Isbandi.2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Sjafari, Agus. 2007. Pembangunan Masyarakat; Teori dan Implementasi di Era Otonomi Daerah, Bogor. CDI Press Soekanto .2000. Pembangunan Masyarakat, Jakarta :Reineka Cipta Redfield,.1963. Community Organization: Theory, principles dan Practise. Second Edition. New York; haper & Row publishers Suharso, Babar. 2010. Banten Yang Ideal di Era Otonomi Daerah, Bappeda Serang Banten.
Identitas Penulis Agus Sjafari, Lahir di Pamekasan 24 Agustus 1971; menempuh Program Sarjana Ilmu Administrasi Publik di FISIP UNSOED Purwokerto; selanjutnya menempuh Magister Ilmu Administrasi Publik di UNPAD Bandung; kemudian menyelesaikan Program Doktor di Program Penyuluhan Pembangunan di IPB Bogor. Aktif dalam kegiatan pembangunan masyarakat (Community Development). Saat ini menjabat sebagai Sekjen di the Community Development Institute (CDI); Aktif sebagai pemerhati sosial dan pemerintahan; kolomnis di beberapa surat kabar nasional maupun lokal. Saat ini menjabat sebagai Pembantu Dekan Bidang Akademik FISIP Untirta Serang Banten
[122]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PELAYANAN GRATIS UNTUK MASYARAKAT MISKIN DI KOTA TANGERANG Oleh : Samodra Wibawa dan Aryo Dwi Harprayudi FISIPOL Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected] dan
[email protected]
Abstrak Makalah ini membahas kebijakan Pemkot Tangerang dalam bidang kesehatan dan pendidikan yang pro poor berupa Kartu Multiguna. Masyarakat miskin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di rumah sakit. Namun dalam pelaksanaannya seringkali warga miskin masih dipungut iuran dan tidak memperoleh kamar rumah sakit. Kebijakan pro poor yang lain adalah program 1000 Posyandu, di mana di setiap RW disediakan satu-dua posyandu lengkap dengan fasilitas operasionalnya. Pemegang Kartu Multiguna juga dapat bersekolah secara gratis. Dalam hal ini Pemkot membangun sarana dan prasarana pendidikan dan meningkatkan kualitas guru pengajar. Hasilnya tingkat kelulusan anak sekolah mencapai hampir 100%. Untuk lebih memperbaiki pelayanan di kedua bidang ini, penulis merekomendasikan perlunya inspeksi rutin, disediakannya kamar tersendiri bagi warga miskin di setiap rumah sakit dan perlunya Pemkot lebih responsif terhadap rerhadap laporan yang mereka terima. Kata-kata kunci: pelayanan masyarakat, inovasi, pro poor, kesehatan, rumah sakit, posyandu, pendidikan I.
memperbaiki kualitas manusia melalui manajemen kepegawaian yang serius dan membuka sebesarbesarnya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam semua tahap pelayanan. Kesehatan dan pendidikan harus dikelola secara profesional (lihat Sidi, 2001 ). Apa yang dikerjakan Pemkot Tangerang dalam kedua bidang ini?
Pengantar
Otonomi yang lebih luas memberi pemerintah daerah kesempatan untuk lebih dekat kepada masyarakat, lebih bertanggungjawab dalam memanfaatkan seluruh sumberdaya (uang dan alam) yang pada hakekatnya adalah milik masyarakat. Pemerintah adalah pihak yang diamanahi untuk mengelola sumberdaya tersebut, dan bukan pemiliknya. Sumberdaya ini mestinya diorganisir secara serius untuk melayani kesehatan masyarakat secara berkelanjutan, tidak sekedar dimanfaatkan untuk komoditas politik sesaat (bandingkan Utama, 2004). “Indonesia Sehat 2025” yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan, untuk peningkatan, pemeliharaan, dan perlindungan kesehatan, perlu dijabarkan oleh para pemerintah daerah, karena kesehatan merupakan kunci penting bagi produktifitas penduduk. Di bidang pendidikan, pemerintah daerah juga memegang peran penting sejak desentralisasi. TK hingga SLTA sekarang menjadi urusan daerah, hanya perguruan tinggi yang yang masih dipegang pusat (lihat Priyono, 2004). Kualitas pendidikan kita masih rendah: 58% dari seluruh pekerja kita berpendidikan SD dan hanya 4% yang berpendidikan perguruan tinggi. Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi relatif rendah (56% untuk SLTP, 32% SLTA, dan 12% perguruan tinggi). Kesehatan dan pendidikan perlu dikelola dengan baik, antara lain untuk mempercepat berkurangnya kemiskinan, sehingga warga dapat menggunakan hak-hak sipilnya secara benar-benar bebas merdeka. Untuk itu beberapa upaya perlu dilakukan, seperti memperbaiki organisasi dan manajemen pelayanannya. Termasuk di dalamnya adalah
II.
Kebijakan Kesehatan
a)
Latar belakang dan isi kebijakan
Orde Baru sejak 1970-an telah membentuk Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) di setiap kecamatan, sehingga layanan kesehatan menjangkau seluruh warga. Belakangan dibentuk Posyandu (pos pelayanan terpadu) di setiap desa. Pada awal 1990an pembangunan Puskesmas semakin meningkat, bidan disebar ke desa-desa dan mendidik kader kesehatan dari kalangan penduduk sendiri serta mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program. Selaras dengan program ini adalah program pengendalian kehamilan yang disebut KB (keluarga berencana), sehingga tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia dapat ditekan ke angka 1,97% per tahun pada periode 1980-1990 (total pertumbuhan 31,7 juta) dan menurun lagi selama 1990-2000 (Ananta, 2010). Otonomi memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah daerah untuk mengeksplorasi kemampuan setempat, mulai dari komitmen pemimpin dan masyarakat untuk memperbaiki kesehatan --sistem dan manajemennya, dana, sarana dan prasarana. Di Banten tahun 2010 sebanyak 1,13% persen dari 829.195 balita terpantau menderita gizi buruk (Berita 8, 2011). Hal ini malah [123]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
jauh lebih buruk dibandingkan tahun 2005, di mana hanya terdapat 0,38% balita bergizi buruk (1.120 kasus) di antara 291.634 balita (Tempo, 2006)! Kasus gizi buruk ini merata di hampir semua kota/kabupaten di Provinsi Banten (Fakhruddin, 2011). Karena itu Pemkot Tangerang, mengedepankan sikap akhlaqul karimah (perilaku atau budi pekerti yang terpuji/baik) sebagai salah satu slogannya (Kota Benteng, 2011), berusaha meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, yakni melalui penerbitan Kartu Multiguna dan pembangunan 1000 Posyandu. Kartu Multiguna memberikan kelebihan dibanding Jamkesmas: pemegangnya mendapatkan layanan kesehatan gratis di rumah sakit, termasuk layanan pengurusan jenazah hingga pemakamannya (Syamsir, 2011). Melalui Kartu Multiguna ini penyaluran BLT juga menjadi lebih mudah. Sementara itu dalam program 1000 Posyandu, Pemkot membangun atau merevitalisasi posyandu di seluruh RW di Tangerang, dimana di setiap RW dibuat satu-dua unit. Hal ini untuk semakin memudahkan masyarakat Tangerang mengakses layanan kesehatan, khususnya untuk menjamin kesehatan ibu dan balita.
Rp. 6 juta/tahun, yang penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada para kader (Pemkot Tangerang, 2010).
Gambar 1. Kartu Pelayanan Dasar Miskin atau biasa disebut Kartu Multiguna
b) Proses pelaksanaan Setelah dilantik sebagai Walikota Tangerang pada 2008 Wahidin Halim menerbitkan Kartu Multiguna untuk membantu warga miskin berobat dan melakukan perawatan serta bersekolah secara gratis. Sebanyak 242.600 warga Kota Tangerang mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis melalui cara ini. Pemkot Tangerang berupaya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dalam pengurangan kemiskinan, peningkatan kesehatan dan pendidikan. Cakupan pelayanan kesehatan mulai dari puskesmas hingga rumah sakit. Layanan yang diberikan adalah rawat jalan tingkat pertama (RJTP), rawat inap tingkat pertama (RITP), rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), rawat inap tingkat lanjutan (RITL) hingga pelayanan gawat darurat. Untuk ini Pemkot Tangerang bekerjasama dengan sejumlah 22 rumah sakit di Kota Tangerang, seperti RSUD Tangerang, RS Bhakti Asih, RS Global Medika, RS Husada Insani dan RS Sari Asih Karawaci, juga dengan RSUPN Cipto Mangunkusuno dan RS Dharmais di Jakarta. Pasien pemegang kartu ditempatkan pada kamar kelas II dan III pada rumah sakit rujukan (Pemkot Tangerang, 2011). Sementara itu di setiap posyandu disediakan fasilitas operasional, termasuk 10 orang kader kesehatan dan dokter. Setiap bulan selalu ada pelayanan kesehatan untuk bayi, ibu hamil dan lansia secara gratis. Posyandu juga dimanfaatkan untuk membagikan raskin maupun tabung gas. Kepada setiap posyandu diberikan insentif sebesar
Gambar 2. Rumah Sakit Bhakti Asih, sebuah rumah sakit rujukan bagi pemegang Kartu Muliguna
Gambar 3 . Posyandu Merak, salah satu posyandu yang terdapat di Desa Pondok Bahar, Kecamatan Karang Tengah
c)
Hasil dan dampak
Atas programnya tersebut, Pemkot memperoleh apresiasi dari beberapa kalangan, di antaranya Ibu Ani Yudhoyono ketika memberikan sambutan dalam peresmian 1000 Posyandu (Pemkot Tangerang, 2010). Selain itu Kota Tangerang masuk enam besar dalam penilaian program hidup bersih dan sehat (PHBS) tingkat nasional, setelah sebelumnya menjadi yang terbaik di Provinsi Banten, yang salah satu indikatornya adalah tingkat kesehatan bayi dan balita di (Tangerang News, 2011). [124]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
d) Hambatan dan kritik
Pemkot memberikan insentif kepada guru sebesar Rp. 450.000,- per bulan –tertinggi di Provinsi Banten. Pelatihan bagi guru untuk meningkatkan mutu pendidikan juga dilakukan oleh Pemkot Tangerang, seperti pelatihan untuk MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) Matematika SMA Kota Tangerang (Izaskia , 2010) dan seminar penelitian tindakan keras yang diselenggarakan bagi 1.000 guru (Warta Tangerang, 2011).
Kelemahan dalam praktik program kesehatan bagi orang miskin di Kota Tangerang adalah, bahwa pemegang Kartu Multiguna seringkali dipungut iuran ketika akan memanfaatkan layanan kesehatan gratis di rumah sakit (pengakuan seorang ibu ketua PKK, tanggal 10 Mei 2011). Selain itu kadangkadang mereka tidak memperoleh kamar ketika harus menginap. Terhadap persoalan ini Pemkot Tangerang sejak tahun 2011 ini telah menerapkan sistem online. Pemegang kartu dapat mengakses segala informasi tentang kesehatan, termasuk mengetahui kapasitas kamar yang ada di rumah sakit rujukan pada saat itu (real time). Hanya saja, tidak diketahui, sejauh mana warga pemegang kartu telah dapat memanfaatkan fasilitas online ini dengan baik --sementara Servon (2002) berpendapat, bahwa orang miskin umumnya mengalami ketertinggalan digital. Sementara itu dari segi jumlah, beberapa kalangan menilai, bahwa semestinya lebih banyak orang yang diberi Kartu Multiguna. Saat ini pemegang kartu baru 366.087 orang, padahal jumlah warga miskin tercatat 510.000 orang atau 30% dari 1,7 jiwa. Jumlah kartu itu juga terkesan sedikit, jika dilihat bahwa APBD 2011 menganggarkan dana bagi pemegang kartu Rp10 miliar (Media Indonesia, 2011).
III. a)
c)
Hasil dan dampak
Di Kota Tangerang banyak gedung sekolah yang sudah bertingkat (Tangsel Raya, 2011, data jumlah dan persentasenya tidak tersedia). Pada tahun 2011 Pemkot membangun dan merenovasi 21 sekolah dengan anggaran Rp66 miliar (Ikatan Alumni Yuppentek, 2011). Sementara itu 70% gurunya telah bergelar S1, dan ada pula yang S2 (tidak tersedia angka pasti). Isi dan proses pembelajaran ditingkatkan mutunya melalui peningkatan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan (Warta Tangerang, 2011). Hasilnya jumlah tingkat kelulusan ujian mendekati 100%, yakni dari 99,72% pada 2010 dan 99,92% pada 2011 (dari jumlah peserta ujian 8.482 siswa SMA di 79 sekolah penyelenggara dan 12.632 siswa SMK di 88 sekolah) (Tangerang News , 2011). Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI H. Marzuki Alie memberikan apresiasi terhadap Walikota Tangerang H. Wahidin Halim atas komitmennya dalam membangun Kota Tangerang di berbagai bidang, khususnya bidang pendidikan sehingga mengalami kemajuan. Apresiasi juga diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Tempo, 2010). Majunya pendidikan di Kota Tangerang membuat beberapa daerah di Indonesia meniru pelayanan pendidikannya. DPRD dan Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong, Kalimatan Selatan, pernah mengunjungi kota ini. Pemkab Serang juga berniat mempelajari pembangunan fisik sarana pendidikan di Tangerang (Banten online, 2007). Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Belawan, Provinsi Riau juga datang meninjau untuk mencontoh fasilitas dan sarana pendidikan (Tangerang News, 2011).
Kebijakan pendidikan Latar belakang dan isi kebijakan
Dalam bidang pendidikan visi Pemkot Tangerang adalah terwujudnya pendidikan yang merata dan bermutu dengan melibatkan semua stakeholders guna membentuk sumberdaya manusia yang unggul dan berakhlaqul karimah. Kebijakan Pemkot di bidang pendidikan adalah membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu, menyediakan sarana dan prasarana yang berkualitas, pendidik dan tenaga kependidikan yang professional, dan meningkatkan kesejahteraan guru (Pemkot Tangerang, 2011). Dinas Pendidikan Kota Tangerang menargetkan tahun 2016 mendatang seluruh guru dari SD hingga SLTA berpendidikan S1 –sebagaimana diwajibkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Gardu news, 2011). Anggaran Pemkot untuk bidang ini pada 2010 adalah Rp 471,53 milyar atau 31,9 % dari total APBD yang Rp 1,476 trilyun. Juga dibagikan insentif sebesar Rp 4,5 milyar untuk 3.000 guru ngaji --Rp 1,5 juta/tahun untuk tiap guru (Pemkot Tangerang , 2010).
d) Hambatan dan kritik Secara umum pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia, termasuk Pemkot Tangerang, belum sesuai UUD 1945 karena masih mahal (Garda Berita, 2011). Di Tangerang pendaftar SMPN 1 dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 100.000,- (SMPN 1 Tangerang, 2008), padahal di daerah lain seperti di di Aceh tidak dikenal biaya adanya pendaftaran ini (Radar Aceh Online, 2007).
b) Proses pelaksanaannya [125]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
Kendati telah tersedia fasilitas pendidikan dari tingkat SD hingga SMU yang relatif memadai, warga masih sering mengeluhkan proses penerimaan siswa baru, di mana masih dipungut sumbangan pendidikan yang dirasa mahal oleh rakyat kecil (Radar Banten Online, 2006). Adanya pungutan ini barangkali memang diijinkan oleh Pemkot, sebagaimana banyak dijumpai di tempat lain. Karena itu istilah “sekolah gratis” kiranya tidaklah tepat. Yang terjadi sebenarnya adalah “sekolah murah”, tapi dikomunikasikan kepada masyarakat –mungkin sebagai janji pada pemilu walikota dulunya-sebagai “sekolah gratis”. IV.
2011 dari http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=pu blisher&op=viewarticle&artid=10460 Benteng, Kota. W H Ajak Warga Kota Tangera n g Selalu Hargai Perbedaan . 2011. Diakses pada 16 Mei dari http://www.scribd.com/doc/51508025/KORANKOTA-BENTENG-EDISI-6-TAHUN-2011 Berita, Garda. Tak Bisa Beri Pendidikan Murah,WH Dibilang Tak Layak Pimpin Banten. 2011. Diakses pada Mei 2011 dari http://www.gardaberita.com/kota-tangerang/38headline/1168-tak-bisa-beri-pendidikan-murahwh-dibilang-tak-layak-pimpin-banten.html Delapan, Berita. 9.378 Balita Di Banten Bergizi Buruk. 2011. Diakses pada 16 Mei 2011 dari http://www.berita8.com/read/2011/01/22/4/3722 3/9.378-Balita-di-banten-Bergizi-Buruk Hamdi, Rizwan. Otonomi Daerah dan Pembangunan Kesehatan di Indonesia. 2011. Diakses pada 15 Mei 2011 dari http://www.rizwanhamdi.com/?p=268 Fakhruddin, Muhammad. Mendesak, 9 Ribu Balita Gizi Buruk Banten Butuh Pertolongan. 2011. Diakses pada 15 Mei 2011 dari http://www.republika.co.id/berita/regional/nusa ntara/11/04/19/ljw8rr-mendesak-9-ribu balitagizi-buruk-banten-butuh-pertolongan Indonesia, P. Wartawan. Ketua DPR RI Puji Keberhasilan Pendidikan Di Kota Tangerang. 2011. Diakses pada 15 Mei 2011 dari http://pwitangerang.wordpress.com/2011/4/03/k etua-dpr-ri-puji-keberhasilanpendidikan-dikota-tangerang/ Interaktif, Tempo. Busung Lapar Pertama Di Tangerang. 2006. Diakses pada 17 Mei 2011 dari http://www.tempo.co.id/hg/jakarta/2006/04/03/b rk,20060403-75794,id.html Kemendagri. Kota Tangerang Berikan Masyarakat Kartu Multiguna. 2008. Diakses pada 16 Mei 2011 dari http://www.depdagri.go.id/news/2008/08/13/kot a-tangerang-berikan-masyarakat-kartumultiguna News, Gardu. Tahun 2016,Guru Kota Tangerang Berikazah Strata Satu. 2011. Diakses pada 15 Mei 2011 dari http://www.gardunews.com/index.php?option=c om_content&view=article&id=2752:tahun2016-guru-kota-tangerangberijazahstratasatu&catid=78:sorotan&Itemid=4 21 News, Tangerang . Kabupaten Belawan Mencontoh Pendidikan Kota Tangerang. 2011. Diakses pada 17 Mei 2011 dari http://www.tangerangnews.com/baca/2011/04/2 2/4682/kabupaten-belawan-mencontohpendidikan-kota-tangerang
Penutup
Kesehatan dan pendidikan adalah dua bidang kehidupan yang pokok bagi terwujudnya masyarakat madani yang berkelanjutan. Dalam hal ini Pemkot Tangerang telah menggratiskan pelayanannya bagi warga miskin. Hanya saja seringkali masih ditemui adanya pungutan terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan yang semestinya gratis tersebut. Untuk itu Pemkot harus sering melakukan inspeksi di rumah sakit dan sekolah. Laporan yang berasal dari masyarakat perlu direspon secara memadai dan dilakukan tindak-lanjut yang semestinya. Fenomena penggratisan biaya ini kiranya tidak hanya ditemui di Tangerang, melainkan di beberapa kabupaten/kota lain di Indonesia. Dan tampaknya semuanya terpulang kepada figur bupati atau walikotanya. Di Tangerang hal ini berlangsung di bawah Walikota Wahidin Halim (2008-2013). Dengan demikian political will, bagaimanapun, tetap menjadi kunci bagi maju-mundurnya suatu kota. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Sebagai catatan akhir, penulis menyadari, bahwa kajian ini masih perlu diperdalam lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan yang masih menarik untuk dijawab oleh para ilmuwan administrasi negara di antaranya adalah: Apakah kebijakan penggratisan ini bukan hanya merupakan teknik seorang bupati atau walikota untuk memenangkan pemilu? Apakah kebijakan ini dimungkinkan semata-mata karena daerah yang bersangkutan memang kaya? Tetapi, sebaliknya, mengapa tidak semua daerah yang kaya memberikan pelayanan yang serupa? Untuk daerah yang anggarannya tidak memadai, anggaran bidang apa yang dapat dikurangi agar dapat menggratiskan atau memurahkan layanan bagi masyarakat? ** PUSTAKA Ananta, Aris. Penduduk Indonesia Meledeak Lagi?. 2010. Diakses pada 16 Mei 2011 dari http://mletiko.com/2010/08/24/pendudukindonesia-meledak-lagi/ Banten, Radar. Pemkot Harus Buat Standarisasi Biaya Pendidikan. 2007. Diakses pada 15 Mei [126]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
News, Tangerang. Siswa di Kota Tangerang Juga 17 Orang Tak Lulus UN. 2011. Diakses pada7 Mei 2011 dari http://tangerangnews.com/baca/2011/05/16/480 6/siswa-di-kota-tangerang-juga-17-orang-taklulus-un News, Tangerang. Kota Tangerang Peringkat Enam Perilaku Hidup Bersih. 2011. Diakses pada 17 Mei 2011 dari http://www.tangerangnews.com/baca/2011/04/1 2/4620/kota-tangerang-peringkat-enamperilaku-hidup-bersih Raya, Tangsel. BEM Mahasiswa Dukung Kebijakan WH Soal Pendidikan dan Kesehatan. 2011. Diakses pada 15 Mei 2011 dari http://www.tangselraya.com/component/content /article/47-home/1392-bem-mahasiswa-dukungkebijakan-wh-soal-pendidikan-dankesehatan.html Servon, Lisa J. Bridging the digital divide: technology, community, and public policy. Blackwell Publishing. Malden. 2002. Sidi, I. Djati. Otonomi Daerah Di Bidang Pendidikan. Jurnal Studi Pembangunan, kemasyarakatan dan Lingkungan, Vol. 3. Jakarta. 2001 SMPN I. Informasi PSB SMPN 1 Tangerang. 2006. Diakses pada 16 Mei 2011 dari http://smpn1tangerang.blogspot.com/ Tangerang, Pemkot. Seminar Guru. 2011. Diakses pada 15 Mei 2011 dari http://www.tangerangkota.go.id/mobile/detailbe rita/3331/120 Tempo. 2010. Prioritaskan Pendidikan. Diakses pada 15 Mei 2011 dari http://www.rancahbetah.info/2010/04/prioritask an-pendidikan.html#?max-results=5 Yuppentek, Ikatan alumni. Komitmen Fokus Pendidikan Ditunjukan Kota Tangerang. 2011. Diakses pada 17 Mei 2011 dari http://ikastisipyuppentek.webs.com/apps/blog/s how/6841028-komitmen-fokus-pendidikanditunjukan-kota-tangerang
penelitian, analisis dampak sosial, teori administrasi negara, patologi administrasi negara, sejarah sosialpolitik, kepemimpinan, manajemen pelayanan publik, administrasi pembangunan, kebijakan pendidikan, dan administrasi keuangan negara. Telah menerbitkan 10 buku, di antaranya Negaranegara di Nusantara: dari Negara Kota hingga Negara Bangsa, dari Modernisasi hingga Reformasi Administrasi (Yogyakarta: Gamapress 2001) , Reformasi Administrasi, Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/Publik (Yogyakarta: Gava Media 2006) dan Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu 2011). Saat ini dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal ASIAN (Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara, periode 2011-2013). Aryo Dwi Harprayudi adalah mahasiswa S1 Administrasi Negara FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM). Kelahiran Jakarta, 12 Juni 1992, ini sekarang aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan, seperti di BEM KM UGM (Wakil Menteri Kajian Strategis), KAMMI, KMAN dan JMF. Dia fokus dalam pergerakan kemahasiswaan mulai dari awal masuk bangku perkuliahan. November 2010 menjadi juara ke-1 perlombaan debat tingkat universitas seDIY di UNY, dan sekarang menjadi formatur Centrum Intelejensia Kebangsaan yang merupakan perkumpulan pencinta debat dan menulis di UGM.
Biodata penulis Samodra Wibawa memperoleh gelar Dr.rer.publ. dari sekolah tinggi nasional bidang ilmu administarsi (negara) di kota Speyer Jerman --Deutsche Hochschule fuer Verwaltungswissenschaften-- pada 2003. Sebelumnya memperoleh gelar MSc. untuk ilmu dan kebijakan lingkungan di Fakultas Biologi University of Bath, England (1994) dan Drs. bidang administrasi negara di UGM (1989). Sebagai dosen, termasuk sebagai dosen tamu di UGM, UNY, UIN (dulu IAIN) Sunan Kalijaga, Akmil Magelang, UNS, UNSOED, UNDIP, UNG (Gorontalo) pernah mengajar matakuliah: kebijakan publik, proses formulasi kebijakan, evaluasi kebijakan, metode [127]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
COMPLAIN MANAGEMENT SEBAGAI WUJUD AKUNTABILITAS DALAM PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Arenawati, M.Si Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pakupatan-Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pelayanan publik adalah serangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Otonomi Daerah dengan azas desentralisasi yang dianutnya bertujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam tugasnya sebagai penyedia pelayanan penyelenggara pelayanan publik harus memperhatikan azas pelayanan, seperti transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, tidak diskriminatif dan keseimbangan hak dan kewajiban. Namun pada kenyataannya penyelenggara pelayanan publik seringkali mengabaikan azas-azas tersebut. Banyak masyarakat yang harus kecewa atas pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, dalam hal ini adalah pemerintah daerah. Penyelenggara pelayanan publik di daerah telah memberi kesempatan masyarakat untuk memberi saran lewat kotak pos, atau telepon interaktif sekedar hanya untuk dikatakan bahwa mereka aspiratif. Sebagian besar penyelenggara pelayanan tidak memanfaatkan komplain yang disampaikan untuk dikelola sebagai masukan penting guna perbaikan organisasi. Mengelola komplain bagi penyelenggara pelayanan publik di daerah adalah sangat penting di era otonomi daerah , karena salah satu prinsip otonomi daerah adalah otonomi yang bertanggungjawab, dimana wujud pertanggungjawaban tersebut dilakukan dalam bentuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Agar komplain dapat memperbaiki kinerja organisasi, maka beberapa hal perlu dilakukan diantaranya : merubah pandangan dan budaya organisas terhadap komplain, melakukan tindakan melalui pendekatan mekanistis dan pendekatan organis, menerapkan manajemen komplain dari Wensminster Social Service Department. Kata Kunci : Akuntabilitas, Complaint Management, Pelayanan Publik I.
PENDAHULUAN Otonomi daerah dan Daerah Otonom lahir sebagai konsekuensi dari adanya sistem desentralisasi karena desentralisasi menuntut penyerahan sejumlah fungsi pemerintahan kepada daerah otonom. Otonomi itu sendiri bertujuan mencapai efektivitas dan efesiensi dalam pelayanan kepada masyarakat, karena prinsip pelayanan publik yang paling efesien seharusnya diselenggarakan oleh otoritas yang memiliki kontrol geografis paling minimal (Cheema dan Rondinelli dalam Ambar, 2009 : 358). Kebijakan otonomi daerah ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan daerah dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance). Undang-undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi seluas-luasnya adalah daerah diberi
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadikan prinsip Otonomi Nyata ,Luas dan Bertanggung Jawab dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi seluas-luasnya adalah daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.kecuali kewenangan absolute yang dimiliki oleh pemerintah pusat seperti politik luar negeri, Hankam, moneter, fiskal, yustisi dan agama. Konsekuensi prinsip otonomi nyata adalah adanya urusan wajib pemerintah daerah yang nyata ada dan dibutuhkan oleh masyarakat yang meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, [128]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Sejak dicanangkannya Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001 otonomi daerah belum berjalan dengan mulus dan lancar. Berbagai isu implementasi yang muncul seperti terkait dengan pelaksanaan pemerintahan daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dana perimbangan serta tata cara pertanggungjawaban kepada daerah perlu untuk dianalisis serta diantisipasi agar implementasi otonomi daerah berjalan dengan baik, efesien dan efektif untuk memberikan pelayanan kepada publik (Widjaja, 2007 :24). Begitu pula dalam pelaksaan urusan wajib pemerintah, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan. Terkait dengan pekerjaaan umum seperti kondisi jalan, terminal, jembatan yang rusak. Dalam bidang pendidikan masih banyak sekolah yang kondisinya rusak berat, daerah terpencil jumlah guru masih kurang, di bidang kesehatan pelayanan puskesmas dan RSUD masih dinilai lamban dalam melayani, kurangnya jumlah tenaga kesehatan, sikap sebagian perawat yang kurang ramah dan diskriminatif. Belum lagi yang terkait dengan pelayanan pemerintah yang bersifat administratif seperti dalam pelayanan pembuatan KTP, Akte Kelahiran, Sertfikat Tanah, Surat Ijin Mendirikan Bangunan, SIUP dan lain-lain. Pelayanan yang bersifat administrative tersebut bagi sebagian warga masyarakat dinilai lamban dan juga berbelit, terlalu banyak syarat dan prosedur yang panjang. Konsekuensi terakhir dari otonomi daerah adalah prinsip otonomi yang bertanggung jawab. Dalam menjalankan pemerintahan daerah harus disertai dengan tanggung jawab kepada publik sehingga memenuhi harapan masyarakat di daerah, salah satu wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Agar harapan ini terwujud maka fungsi pengawasan yang dilakukan oleh legislatif dan masyarakat harus dilakukan (Widjaja, 2007 : 24). DPRD dan masyarakat memiliki kesempatan untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, sehingga partisipasi aktif dari masyarakat dalam bentuk kritikan, masukan, saran atas pelayanan yang diberikan pemerintah merupakan masukan penting bagi perbaikan kinerja pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
II.
Masyarakat masih merasakan pelayanan pemerintah yang tidak efesien, prosedur yang yang panjang dan berbelit, pelayanan yang lamban, diskriminatif, tidak transparan. Pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap pelayanan publik menyebabkan ketidakpuasan yang dituangkan dalam bentuk komplain. Bagi birokrasi pemerintah komplain seringkali tidak ditanggapi dan dikelola dengan baik, seringkali pemerintah menganggap komplain yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelayanan yang diterimanya dapat mengurangi wibawa pemerintah di mata masyarakat. Padahal bagaimana pemerintah menanggapi komplain adalah wujud akuntabilitas pemerintah terhadap pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat. Oleh karena itu permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah “ Bagaimanakah Complaint Management dapat meningkatkan akuntabilitas pelayanan publik ?”. III.
PEMBAHASAN Peranan pemerintah memang telah mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat yang berkembang. Hal ini seiring dengan berubahnya paradigma dalam ilmu Administrasi publik, pada paradigma Old Public Administration menempatkan warga masyarakat sebagai clients, dimana posisi client lebih bersifat powerless, berada pada pihak yang harus nurut terhadap perlakuan pelayanan yang diberikan oleh provider (birokrat). Pada masa ini posisi warga negara sangat lemah karena sangat tergantung dengan pemerintah sebagai pemberi pelayanan. Paradigma kedua The New Public Management (NPM) adalah meletakkan mekanisme pasar sebagai pedoman dalam pelayanan publik. Pada dekade ini dikenal istilah “steer not row”. Disini peran pemerintah adalah mengarahkan . NPM menempatkan warga masyarakat sebagai customer, dimana konteks dan kualitas pelayanan sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi customer. Jika customer memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik maka ia akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik pula. King dan Stivers (1998) dalam buku “ Government is Us “, mendesak para administrator melibatkan warga masyarakat, Mereka harus melihat rakyat sebagai warga masyarakat bukan sebagai pelanggan, sehingga dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali serta percaya pada keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsive terhadap kepentingan atau kebutuhan nasyarakat, bukan semata mencari efesiensi yang lebih tinggi sebagaimana dituntut dalam NPM. Keterlibatan masyarakat harus dilihat sebagai “ investasi” yang signifikan (Keban, 2008 : 247) Prinsip-prinsip yang disampaikan King dan Stiver memberikan pandangan baru terhadap administrasi pelayanan publik. Dimana paradigm
PERMASALAHAN
Otonomi Daerah yang sejak awalnya bertujuan untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat, pada kenyataannya tidak sepenuhnya tercapai. [129]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
tersebut disebut dengan paradigm New Public Service. Menurut Denhardt dan Denhardt (2007 : 4243 ) administrasi publik harus : 1. Service citizen not customers, public servant do not morely respond to demands of “customers” but rather focus on building relationships of trust and collaboration with among citizens. 2. Seek the public interest, public administrator must contribute to building a collective, shared notion of the public interest. The goal is not to find quick solution driven by individual choise. Rather it is the creation of shared interest and shared responsibility. 3. Value citizenship over entrepreneurship, The public interest is better advanced by public servants and citizens commited to making meaningful contributions to society than by entrepreuneurial managers acting as if public money were their own. 4. Think strategically, act democratically, Policies and programs meeting public needs can be mos effectively and responsibly achieved through collective efforts and collaborative processes 5. Recognize that accountability isn’t simple , Public servants should be attentive to more than the market; they should also attend to statutory and constitutional law, community values, political norms. Professional standards and citizens interest. 6. Serve rather than steer, It is increasingly important for public servants to use shared, value based leadership in helping citizens articulate and meet their shared interest rather than attemting to control or steer society in new directions. 7. Value people, not just productivity, Public organization and the networks in which they participate are more likely to be successful in the long run if they are operated through processes of collaboration and shared leadership based on respect for all people.
Value citizenship over entrepreneurship, nilai-nilai kemasyarakatan warga negara diatas nilainilai kewirausahaan (bisnis). Kepentingan publik lebih baik diutamakan oleh para pelayan publik dan warga negara diikutsertakan dan berkontribusi pada masyarakat daripada kepentingan para pelaku usaha. Think strategically, act democratically, berfikir strategis berbuat demokratis. Kebijakan dan program-programs yang dibutuhkan masyarakat akan lebih efektif dan lebih dipertanggungjawabkan diselesaikan melalui semangat kebersamaan dan proses yang kolaboratif. Recognize that accountability is not simple , mengakui bahwa pertanggungjawaban itu tidak sederhana. Pelayan publik seharusnya lebih memikirkan untuk menaati hukum dan konstitusi, nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma politik , standar profesi dan kepentingan warga negara. Serve rather than steer, lebih pada melayani daripada mengarahkan. Sangatlah penting untuk meningkatkan pelayan publik dengan turut menggunakan nilai berbasis kepemimpinan dengan membantu warga negara mengutarakan pendapat dan menemukan keinginannya daripada mengawasi atau mengendalikan masyarakat dengan arahan yang baru. Value people, not just productivity, menerapkan nilai-nilai kemanusian, tidak sekedar produktivitas. Organisasi publik dan jaringan kerjanya akanlebih berhasil jika merekan dalam oprasionalnya melalui proses kolaborasi dan membagi kepemimpinan didasarkan pada menghormati semua orang. Paradigma ini menyebabkan perubahan pandangan terhadap warga negara sebagai pengguna pelayanan publik. Dengan prinsip service citizen not customer menempatkan warga negara tidak lagi sebagai pelanggan yang mendapatkan pelayanan berdasarkaan kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Dalam New Public Service pengguna pelayanan publik adalah warga negara yang memiliki posisi sebagai owner atau pemilik pelayanan tersebut. Pergeseran pandangan ini mengisyaratkan bahwa masyarakat sejak awal harus dilibatkan dalam perumusan berbagai hal yang menyangkut pelayanan publik, misalnya mengenai jenis pelayanan yang mereka butuhkan, cara terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan publik, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme untuk mengevaluasi pelayanan (Dwiyanto,2005 : 194).
Dari asas – asas dalam New Public Service di atas dapat dijelaskan satu persatu sebagai berikut Service citizen not customers, melayani warga negara bukan pelanggan, bahwa pelayan publik tidak hanya merespon keinginan dari pelanggan tetapi lebih fokus pada membangun hubungan , kepercayaan dan kolaborasi diantara warga negara. Seek the public interest, mengutamakan kepentingan publik. Administrator publik harus memikirkan untuk membangun sebuah kebersamaan, membagi gagasan akan kepentingan publik. Tujuannya tidak untuk mendapatkan solusi yang cepat yang diarahkan pada pilihan individual. Tetapi lebih kreasi untuk membagi kepentingan dan tanggung jawab.
Pelayanan Publik Dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan Publik , Pelayanan Publik didefinisikan sebagai berikut : Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-ndangan bagi setiap warga negara dan [130]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pendudukatas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam hal ini yang dimaksud penyelenggara pelayanan publik adalah instansi pemerintah yang meliputi : 1. Satuan kerja/satuan organisasi Kementrian 2. Departemen 3. Lembaga pemerintah Non Departemen 4. Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, misalnya : secretariat dewan (Setwan), secretariat negara (Setneg) dan sebagainya. 5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 6. Badan Hukum Milik Negara (BHMN) 7. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) 8. Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah termasuk dinas-dinas dan badan. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, aparatur pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi dan berbagai pungutan lainnya. Menurut Lewis (2005: 9) ruang lingkup pelayanan publik dapat dilihat dari pernyataan “ Public Service refers to agencies and activities tending toward the public side of the continuum. In actuality there is no clear division between public and private. Public service includes quasy governmental agencies and the many non profit organization devoted to community services and to the public interest”. Pelayanan publik mengacu pada agen dan serangkaian aktivitas yang diarahkan pada sisi publik. Sesungguhnya tidaklah jelas pembagian antara publik (umum) dan private. Pelayanan publik meliputi agen semi pemerintah dan banyak organisasi non profit yang mencurahkan perhatiannya pada pelayanan masyarakat dan kepentingan umum. Posisi pelayanan publik digambarkan sebagai berikut :
Pelayanan umum dapat juga dilakukan oleh pihak swasta, seperti rumah sakit atau pasar. Dalam memberikan pelayanan publik, instansi penyedia pelayanan publik menurut Mahmudi ( 2005 : 234 ) harus memperhatikan asas pelayanan publik, yaitu : 1) Transparansi, pemberian pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. 2) Akuntabilitas, pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Kondisional, Pemberian pelayanan public harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. 4) Partisipatif, mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. 5) Tidak diskriminatif (kesamaan hak), Pemberian pelayanan publik tidak boleh bersifat diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agma, golongan, gender, status social dan ekonomi. 6) Keseimbangan Hak dan Kewajiban, pemberi dan penerima pelayanan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Azas-azas pelayanan publik seharusnya dilaksanakan oleh setiap instansi pemberi pelayanan, sebagai wujud tanggung jawab pemerintah pada masyarakat akan pelayanan yang diberikannya. Kepuasan Pelayanan Kepuasan pelanggan akan berkaitan dengan harapannya atas pelayanan tersebut. Kepuasan Pelanggan menurut Kotler (1997) adalah : … a person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s received performance (or outcome) in relation to the person,s expectation “. Kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja yang ia rasakan/alami terhadap harapannya ( dalam Arief, 2007 : 167) . Menurut Levesque dan M Dougall (1996) “ Satisfaction is an overall customer attitude towards a service provider” sedangkan Zineldin (2000) mendefinisikannya “an emotional reaction to the differen between what customer anticipate and what they receive” ( dalam Hansemark, 2004 :41). Dari definisi diatas diungkapkan bahwa kepuasan seperangkat sikapsikap yang mengarah pada seorang penyedia layanan dan juga dapat dikatakan sebagai reaksi emosi yang berbeda antara apa yang pelanggan harapkan dan apa yang mereka terima. Sama dengan difinisi yang lain bahwa kepuasan itu akan berhubungan antara harapan dengan kenyataan yang diterima atau dirasakan oleh pelanggan. Dari
Gambar diatas menunjukkan bahwa pelayanan publik bersifat semi pemerintah dan swasta.
[131]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa secara umum pengertian kepuasan pelanggan dilihat dari kesesuaian antara harapan (expectation) pelanggan dengan persepsi, pelayanan yang diterima (kenyataan yang dialami). Moenir ( 2008: 197) menyatakan bahwa kepuasan adalah , sebagai sasaran utama manajemen pelayanan. Dimana didalamnya terdapat dua komponen besar yaitu komponen layanan dan komponen produk. Jadi kepuasan akan pelayanan dapat dilihat dari : a. Layanan, agar layanan dapat memuaskan kepada orang atau sekelompok orang yang dilayani, maka dengan ini si petugas harus memiliki 4 syarat pokok, ialah : (a)tingkah laku yang sopan,(b)cara penyampaian sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan, (c) waktu menyampaikan yang tepat (d) keramahtamahan. b. Produk, produk yang dimaksud dalam hubungannya dengan sasaran manajemen pelayanan yaitu kepuasan berbentuk (a) barang, (b) jasa dan (c) surat-surat berharga. Berkaitan dengan jasa bahwa produk jasa ini akan dapat memuaskan pihak yang bersangkutan apabila hasil karya, penyelenggaraan, penyajian atau pelaksanaannya memenuhi spesifikasi, keterangan, janji atau kesanggupan tertulis dari pihak pembuat, penyelenggara atau pelaksana seperti yang biasanya disediakan (brosur, leaflet, owner’s guide book dan sebagainya). ( Moenir, 2008: 199-200)
customers resolve their complaint. Complaint handling is a customer oriented business process, consisting in front office .“ Aktivitas dari penanganan keluhan adalah pada tingkat operasional untuk membantu menyelesaikan keluhannya. Penanganan keluhan biasanya ditemui pada pelanggan yang berorientasi proses bisnis, dan depan kantor. Jadi penganan keluhan hanya diartikan pada proses bagaimana complain ditanggapi, diselesaikan pada level operasional yang berhadapan dengan pelanggan langsung. Selain penanganan keluhan kita juga menemui istilah manajemen keluhan (complaint management). Wogmana(2001), Ossel (2003), Strauss and Seidel (2005) mengartikan manajemen keluhan sebagai berikut : “ Complaint management refers to overall process.The objective of complaint management is therefore not only focused on customer rentetion by solving customer dissatisfaction, but also on ensuring a long term improvement of the services to customer and in this way building a customer oriented organization”( dalam Vos, 2008: 10). Manajemen komplain mengarah pada kesemua proses. Yang menjadi obyek dari manajemen komplain tidak hanya terfokus pada daya tahan pelanggan yang disebabkan ketidakpuasan penyelesaian komplain/keluhan, tetapi juga bagian dari serangkaian panjang pengembangan pelayanan pada pelanggan dan jalan membentuk organisasi yang berorientasi pelanggan. Jadi manajemen komplain tidak hanya di frontdesk yang membantu pelanggan menangani keluhannya, tetapi sampai pada proses bagaimana konflik tersebut di dikelola bagi pengembangan organisasi ke arah yang lebih baik. Johnson (2001) juga menyatakan hal yang sama “… that the complaint management not only result in customer satisfaction but also lead to operational improvement and improve financial performance “. Bahwa komplain manajemen tidak hanya berpengaruh pada kepuasan pelanggan tetapi juga mengarahkan pada pengembangan operasional dan peningkatan kinerja keuangan ( dalam Hansemark, 2004 :41). Penanganan Keluhan dan Manajemen Keluhan digambarkan sebagai berikut :
Penanganan Keluhan dan Manajemen Keluhan Komplain dari pengguna pelayanan terjadi apabila pengguna pelayanan tidak puas atas pelayanan yang diberikan, yaitu jika pelayanan yang ditemui atau diterima oleh pengguna tidak sesuai dengan harapannya. Seperti pernyataan berikut : “ Complaint satisfaction refers to degree to which the complainant perceives the company’s handling performance or meeting a exceeding his on her expectations “ (Gilly and Gelib, 1982 dalam Hamburg, 2005 :95). Menurut Barlow dan Moller (1996) “ A complaint can be considered as any form of expression of dissatisfaction by customer, either with without good reason “. Sebuah komplain dapat dianggap sebagai ekspresi dari ketidakpuasan pelanggan, tanpa disertai alasan yang baik. Seseorang bila keluhannya tidak ditanggapi dengan baik maka akan melakukan komplain. Sedangkan penanganan komplain ( complaint handling ) diartikan oleh Vos (2008 : 9) sebagai berikut : “ complaint handling is stand for operational activities direcly aimed at helping [132]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
perilaku pegawai dimana pendekatan tersebut sangat berhubungan dengan penanganan komplain dalam pernyataan berikut : “… several approaches for influencing employee behavior, two such approaches are particularly relevant for complain handling . First, companies can influence individual behavior by developing guidelines example : standar operating procedures. Second, organization can influence behavior by focusing on training and motivating employees and by providing them with sares value and norms “. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa dalam penanganan komplain terdapat dua hal penting yang perlu dilakukan oleh organisasi, yaitu : pertama, mengembangkan panduan, seperti disediakannya standar operasional prosedure. Kedua, dengan memberikan pelatihan dan dorongan pada tenaga kerja dan menyiapkan mereka dengan mensosialisasikan nilai-nilai dan norma perilaku. Hamburg dan Andreas dalam tulisannya di Jurnal of Marketing yang berjudul “ How Organizational Complaint Handling Drives Customer Loyalty: An Analysis of The Mechanistic and The Organic Approach “ menjelaskan bagaimana kerangka kerja dari pendekatan mekanistis dan pendekatan organis meningkatkan kepuasan pelanggan yang kemudian menimbulkan sikap loyal pelanggan terhadap pelayan atau produk kita. Bagaimana kerangka kerja tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa customer atau pelanggan memiliki fungsi kontrol. Bila harapannya tidak terpenuhi maka ia akan melaporkan keluhannya pada orang-orang yang diberi tanggung jawab menangani komplain. Komplain kemudian ditangani dan direspon dan dikembalikan pada pelanggan, kemudian pelanggan menerima atau tidak menerima alasan atau jawaban atas komplain yang diajukan. Dalam gambar juga terlihat bahwa skope manajemen komplain lebih luas, tetapi manajemen komplain tidak berhadapan langsung dengan pelanggan. Manajemen lebih pada bagaimana mengelola agar komplain menjadi potensial dan berguna untuk memperbaiki keadaan yang lebih baik. Pernyataan diatas sejalan dengan pernyataan Carney (1996 : 20) sebagai berikut : “ The information from these complaint has been used to plan future service provision and inform policy making. As result major areas of complaint have been addressed and high percentage of solution to customer dissatisfaction the department service identified “. Jadi informasi yang diperoleh dari keluhan yang disampaikan pelanggan digunakan untuk merencanakan pelayanan di masa datang dan bahan masukan bagi pembuatan kebijakan sehingga penanganan komplain mendapatkan perhatian lebih sebagai solusi atas ketidak puasan pelanggan. Jadi apabila masyarakat menyampaikan complain atas pelayanan yang diterimanya maka sebenarnya masyarakat sudah turut membantu instansi pemberi layanan untuk memperbaiki kinerjanya di masa yang akan datang. Perbaikan kenerja pelayanan inilah sebagai bentuk pertanggung jawaban organisasi publik pada masyarakat. March (1994) dalam Homburg (2005 : 96) menyampaikan dua pendekatan yang mempengaruhi
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pada pendekatan mekanistis dalam menangani komplain dengan berdasarkan pada tiga hal yakni yang pertama adanya kualitas panduan proses yang [133]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
mengarahkan perilaku sehingga terdapat prosedur yang adil, kedua kualitas dari panduan prilaku individu sehingga terjadi interaksi yang adil dan yang ketiga kualitas atas keluaran sehingga terjadi distribusi yang adil. Sedang pada pendekatan organis adalah dengan adanya dukungan dari lingkungan didalam organisasi yang tanggap untuk menangani konflik. Hal ini akan mengarahkan kepada prosedur yang adil, interaksi yang adil dan distribusi yang adil. Ketiga hal ini yang menyebabkan kepuasan pelanggan akan penanganan komplain. Setelah terjadi komplain semua pelanggan menjadi puas. Kepuasan atas penanganan tersebut akhirnya berdampak pada loyalitas pelanggan sebuah institusi. Kunci keberhasilan dalam penyelesaian komplain adalah kemampuan organisasi untuk mempengaruhi perubahan budaya dan keluar dari pikiran tradisional , hal tersebut disampaikan oleh Carney ( 1996 : 21 )dengan pernyataannya sebagai berikut : “ Key to success of any complaints procedure is the ability of an organization to effect cultural change and move away from the ideas of blame opportioment traditionally associates with complain work ; a) to promote a positive imege of complaints, b) information is shared at every level “
d.
e.
The central complaint service produces a quarterly complaints news letter which distribution to all social services staff. The central complaint service is involved in daily net working with local service points chasing action on complaint recommendation and informing them of central action in matters of local complaint (Carney, 1996:22).
Hal-hal yang telah dilakukan oleh Departemen Pelayanan Masyarakat adalah : a. Setiap minggu mengadakan pertemuan untuk meng update komplain antara pusat pelayanan komplain dengan direktur pelayanan masyaraka. b. Menyebarluaskan good practice dan mengembangkan standard konsistensi untuk komplain. c. Mendistribusikan statistik komplain dan bahan –bahan analisis setiap minggu kepada manager/pimpinan. d. Pusat Penanganan Keluhan setiap tiga bulan sekali menghasilkan newsletter yang didistribusikan untuk semua staf pelayanan masyarakat. e. Pusat Pelayanan Komplain setiap hari dilibatkan dalam jaringan kerja dengan bentuk aksi dalam merekomendasikan dan menginformasikan tindakan-tindakan dalam penyelesaikan komplain.
Jadi pandangan tradisional yang menganggap bahwa komplain itu buruk, dapat merusak tatanan harus diubah dengan menyampaikan image positif dari komplain, bahwa komplain dapat memajukan organisasi. Selain itu juga membagikan informasi tersebut pada semua level. Membagikan informasi kepada setiap level sudah diterapkan pada Westminster Social Services Department, dengan beberapa mekanisme dengan menekankan komunikasi dalam menyampaikan informasi komplain melalui setiap level organisasi, yang meliputi : a. A monthly complaints update meeting between the central complaints service and the director of social services. This provides the chies officer with contemporary information on complaints issues and trends and informs service delivery planning and policy development b. Used to disseminate good practice and developed consistence standards of complaints c. The distribution of monthly complaints statistic and analysis materials to service manager within the Social Services Departement. This information is then used locally to inform debate about customer care, complaint and quality issues. Service manager disseminate this information to staff through their minthly meetings.
Mekanisme ini memungkinan pegawai di semua level dapat mengetahui permasalahan organisasi dan menangani setiap komplain yang diajukan. Dengan informasi yang dimiliki oleh setiap pegawai baik tentang komplain apa saja yang sering ditemui dan pengetahuan tentang standar konsistensi komplain diharapkan tidak ada lagi pegawai yang tidak bisa menjelaskan dan mengarahkan kemana dan bagaimana si pengguna pelayanan menyampaikan komplainnya. Dengan mekanisme ini komplain yang disampaikan pelanggan akan dijadikan bahan masukan untuk dianalisis oleh pimpinan sehingga komplain menjadi potensial, karena dengan adanya complain diharapkan akan terjadi perbaikan kinerja terutama dalam pelayanan publik. Berdasarkan pada konsep dan teori diatas maka agar komplain menjadi potensial sebagai sarana untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik, maka perlu adanya “Complaint Management”, Complaint Management harus diawali dengan mengubah pandangan tradisional yang semula negatif terhadap komplain menjadi image positif terhadap komplain. Kemudian mengelola konflik berdasarkan pada pendekatan mekanistik dan organis, dan menggunakan mekanisme yang diterapkan oleh Westminster Social Service Departement. [134]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
IV.
KESIMPULAN Konsep New Public Service (NPS) telah menempatkan warga negara tidak hanya sebagai pelanggan pengguna pelayanan publik tetapi juga pemilik pelayanan itu sendiri. Seiring dengan konsep otonomi daerah yang bertujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka masyarakat memiliki andil dalam melakukan control terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Fungsi control masyarakat terhadap pelayanan publik dapat dituangkan dalam bentuk penyampaian keluhan atau complain kepada pemberi pelayanan, apabila warga negara merasakan ketidakpuasan atas pelayanan yang diberikan pemerintah. Sebagai wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat atas pelayanan yang telah dilakukan, maka pemerintah wajib untuk membuka diri menerima keluhan, kritikan, saran yang berasal dari masyarakat serta menindaklanjuti komplain disampaikan oleh masyarakat tersebut. Agar komplain dapat menjadi masukan dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan atau organisasi/birokrasi, maka komplain harus di manage dengan baik dan benar. Hal pertama yang dilakukan untuk mengelola komplain adalah dengan mengubah pandangan negatif terhadap complain, melakukan pendekatan mekanistis dan organis . pendekatan mekanistis dapat dilakukan dengan cara : pertama adanya kualitas panduan proses yang mengarahkan perilaku sehingga terdapat prosedur yang adil, kedua kualitas dari panduan prilaku individu sehingga terjadi interaksi yang adil dan yang ketiga kualitas atas keluaran sehingga terjadi distribusi yang adil. Pendekatan organis dilakukan dengan cara menciptakan dukungan dari lingkungan didalam organisasi yang tanggap untuk menangani konflik dengan melakukan perubahan budaya organisasi yang lebih responsive dan inisiatif. Pengelolaan complain dapat menerapkan mekanisme complain yang dibuat oleh Westminster Social Service Departmen, yaitu dengan melakukan hal berikut ini : a. Setiap minggu mengadakan pertemuan untuk meng update komplain dilakukan oleh pusat pelayanan komplain dengan direktur pelayanan masyarakat (Humas) b. Menyebarluaskan good practice dan mengembangkan standard konsistensi untuk komplain. c. Mendistribusikan statistik komplain dan bahan –bahan analisis setiap minggu kepada manager/pimpinan. d. Pusat Penanganan Keluhan setiap tiga bulan sekali menghasilkan newsletter yang didistribusikan untuk semua staf pelayanan masyarakat. e. Pusat Pelayanan Komplain setiap hari dilibatkan dalam jaringan kerja dengan bentuk aksi dalam merekomendasikan dan
menginformasikan tindakan-tindakan dalam penyelesaikan komplain.
DAFTAR PUSTAKA Arief.
2007, Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan, Bayumedia Publishing, Malang Denhardt, Janet V, Robert B. Denhardt. 2007, The New Public Service Serving, Not Steering, M.E. Sharpe Armonk, New York Dwiyanto, Agus. 2006, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Lewis, W. Carol and Stuart C. Gilman. 2005, The Ethics Challenge in Public Service : A Problem Solving Guide Second Edition, Josey Bass A Willey Imprint, San Fransisco Mahmudi. 2005, Manajemen Kinerja Sektor Publik, YPKN, Yogyakarta Moenir, H.A.S.,2008, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta Widaningrum, Ambar. 2009, Reformasi Manajemen Pelayanan Kesehatan : Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Gava Media Yogyakarta Jurnal Carney,
Steve. 1996, Celebrate and Record Westminster City Council : Improving Quality Through Complaint Management, Managing Service Quality Volume 6 Number 4 Hamburg, Christian and Andreas Furst. 2005, How Organizational Complaint Handling Drive Customer Loyalty An Analysis of The Mechanistic and The Organics Approach, Journal Of Marketing, July 2005 Hansemark, Ove C dan Marie Albinsson. 2004, Customer Satisfaction and Retention : the experience of individual employees, Managing Service Quality Journal, Volume 14 No. 1 Tahun 2004 Lapidus, S Richard and John A. Schibrowsky. 1994, A Procedure for Developing Customer Service Satisfaction, Journal of Services Marketing Vol 8 No.4, MCB University Vos, J.F.J and G.B. Huitema and E.De. Lange. Ros. 2008, How Organisations Can Learn From Complaint, The TQM Journal Vol 20 No. 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
[135]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Identitas Penulis Arenawati, Lahir di Jogjakarta; menempuh Program Sarjana Ilmu Administrasi Negara di FISIP UNSOED Purwokerto; selanjutnya menempuh Magister Ilmu Administrasi Publik di almamater yang sama. Aktif sebagai peneliti di Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta. Saat ini aktif mengajar di Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta Serang Banten.
[136]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PEMEKARAN DAERAH, DAPATKAH MENJADI MODEL PEMERATAAN PEMBANGUNAN? (Kasus Pemekaran Di Provinsi Banten) Kandung Sapto Nugroho, M.Si Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pakupatan-Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pembangunan, kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depan dimana akan berimplikasi pada pemberian perhatian terhadap kapasitas, aspek keadilan, penumbuhan kuasa dan wewenang, agar dapat menerima manfaat pembangunan dan pemenuhan aspek sustainability (Briant & white, 1987). Pemekaran daerah bahkan pemekaran wilayah seringkali menjadi pilihan dalam proses menuju ke arah yang lebih baik, menjadi pilihan jalan pintas mendapatkan kue pembangunan. PP 129 Tahun 2000 yang merupakan operasionalisasi dari Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan direvisi dengan PP 78 Tahun 2007 yang merupakan operasionalisasi dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah untuk payung pemekaran daerah sedangkan pemekaran wilayah payungnya adalah PP 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Provinsi Banten terbentuk dengan UU No. 23 Tahun 2000 adalah representasi pemekaran daerah untuk level provinsi, Kota Serang terbentuk dengan UU No. 32 Tahun 2007 adalah representasi pemekaran daerah untuk level kabupaten/kota dan masih ada calon kabupaten baru yakni Cilangkahan, Caringin, Cibaliung. Sedangkan pemekaran wilayah misalnya Di Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa pemekaran (wilayah) kecamatan yakni diantaranya adalah Kecamatan Cijaku dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong, Kecamatan Malingping dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan Panggarangan dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cilograng. Nampaknya pemekaran dipilih karena dapat mewujudkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan, melalui : Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, Percepatan pengelolaan daerah, Peningkatan keamanan dan ketertiban dan Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Namun bisakah pemekaran menjadi model untuk memeratakan pembangunan di Indonesia, ataukah pemekaran dipilih hanya untuk meredam disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia karena kita sebenarnya sudah menganut ideological federalism. Kata Kunci: Pemekaran, Provinsi Banten 1. PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Amandemen 1945 menjelaskan bahwa pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Artinya pemberian otonomi luas kepada daerah adalah dalam rangka memberikan/mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, memprioritaskan kesejahteraan dan menghendaki adanya partisipasi publik dalam setiap pentahapan proses pembangunan yang ada. Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dimana dalam usaha untuk menerapkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini diperlukan paling tidak ada 33 peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut dari undang-undang ini agar bisa dilaksanakan dengan baik di tingkat daerah.
Prinsip pemberian otnomi seluas-luasnya kepada daerah dalam bentuk pemberian kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan memungkinkan daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik di daerah untuk yang berwajah pelayanan, peningkatan peranserta publik, pemberdayaan masyarakat yang tentunya berujung pada kesejahteraan masyarakat. Apalagi, tidak dapat dihindari bahwa tantangan global menuntut kinerja pemerintahan daerah lebih sigap, fleksibel, dan responsif. Ini artinya pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah dengan disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi keniscayaan. Isi dari otonomi adalah pelayanan rakyat, dalam hal ini adalah pelayanan kebutuhan pokok dari sandang, papan, pangan dan lain sebagainya juga pelayanan pengembangan sektor unggulan dalam suatu daerah tertentu. Dimana ini semua dapat terwujud apabila pemerintah daerah otonom dalam memberikan atau menciptakan public goods dan [137]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
public regulations, sehingga apa yang menjadi semangat dari otonomi dapat tercapai dengan baik.
semangat kedaerahan yang selalu mewarnai dinamika masyarakat. Semangat untuk menonjolkan keegosentrisannya seringkali berbenturan dengan semangat jati diri kebangsaan. Bagaimana menonjolkan kesukuannya dengan tanpa mau berinteraksi dengan suku yang lain adalah hal yang sering terjadi. Jangan sampai Suku Minahasa mendirikan Propinsi Minahasa, Suku Mongondouw mendirikan Provinsi Totabuan, Suku Sanger Talaud mendirikan Provinsi Nusa Utara. Sekarang ini di beberapa daerah sedang ngetrend mengenai isu pemekaran wilayah, baik itu pemekaran menjadi beberapa kecamatan, pemekaran menjadi beberapa kabupaten bahkan pemekaran menjadi beberapa propinsi. Pemekaran di beberapa dikatakan sebagai sebuah harga mati dari seluruh aspirasi masyarakat yang berkembang, terlepas dari isu kepentingan-kepentingan politik yang berkembang di masyarakat, karenanya pemekaran adalah sebuah cita-cita politik masyarakat. Pemekaran sebenarnya adalah wujud dari proses dinamika sosial, ekonomi, politik, budaya, kesejahteraan yang terjadi di masyarakat daerah setempat. Ini adalah cermin dari dinamika perubahan/reformasi dan pembaharuan yang dilakukan oleh semua tingkatan masyarakat kita yang berusaha untuk mendapatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, penerapan dari welfarestate dalam konsep kenegaraan Indonesia. Benarkah pemekaran daerah dapat mendekatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam pembangunan di Indonesia? Pembentukan daerah otonom pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pemberdayaan publik, termasuk juga pendidikan politik lokal didalamnya. Untuk itu, pembentukan daerah harus mempertimbangkan pelbagai faktor, seperti: (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) luas wilayah, (4) kependudukan, (5) pertimbangan aspek sosial-politik, (6) pertimbangan aspek sosial-budaya, serta (7) pertimbangan dan syarat lainnya, untuk dapat memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujdukan tujuan dibentuknya daerah otonom Contohnya Pada tanggal 8 Desember 2006 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melalui sidang paripurna DPR mengesahkan 16 Rancangan Undang-undang pembentukan daerah otonom baru, dari 17 wilayah yang telah disetujui pemekarannya, hanya satu daerah gagal disahkan melalui rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno yakni daerah Memberano Raya (Papua). Padahal sebuah pembentukan atau pemekaran wilayah baru apakah itu kabupaten ataupun propinsi selalu berakibat pada adanya
2.
BAIK BURUK PEMEKARAN DAERAH Di beberapa daerah implementasi otonomi daerah ini telah menghasilkan best practice, seperti di Kabupaten Jembrana yang dikomandani oleh I Gede Winasa, Kabupaten Sragen yang dikomandani oleh Untung Wiyono yang sukses dengan Kantor Pelayanan Terpadu), Kabupaten Solok, Provinsi Gorontalo yang dikomandani oleh Fadel Muhammad, dengan kesuksesan yang telah diraih, akhirnya rakyat dalam Pilkada Gubernur Gorontalo yang dilaksanakan 26 November 2006 tetap memilih Gubernur yang lama yakni Fadel Muhammad dengan angka yang saat ini menjadi rekor tertinggi kemenangan secara nasional yakni sebesar 82,2 %. Walaupun sekarang ini yang bersangkutan sudah diangat menjadi menteri dalam negeri di era pemerintahan Susilo Bambang YudhoyonoBoediono sekarang ini Salah satu contoh konkret dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Menyadari banyaknya lulusan SMU di Muba yang kesulitan pendidikan ke perguruan tinggi. Pemerintah Daerah Musi Banyuasin menyediakan fasilitas kuliah gratis di Politeknik Sekayu. Pada tahun akademik 2007-2008 ini, makasiswa belajar Program Studi Akuntansi. Dan di tahun 2008-2009 tersedia Program Studi Manajemen Informatika dan Teknik Informatika. Selain di Politeknik Sekayu, warga Musi Banyuasin juga bisa studi di Akademi Perawat Muba secara Cuma-Cuma. Bahkan tidak hanya bebas studi, para mahasiswa ini juga mendapat fasilitas akomodasi (asrama) dan konsumsi, sehingga bisa fokus berkonsentrasi menyelesaikan studinya. Lain halnya dengan Pemerintah Kabupaten Jembrana guna membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan kebijakan yang diambil adalah membebas biaya sekolah untuk sekolah negeri melalui Keputusan Bupati No. 24 Tahun. 2003 dan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2006, kemudian memberikan beasiswa untuk siswa sekolah swasta Rp.7.500 SD, Rp. 12.500 SLTP, Rp. 50.000,SMA/siswa/bulan, Rp.75.000,SMK/siswa/bulan, Pemberian buku paket bagi siswa, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan tidak mampu melalui Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2006, serta pengadaan bus sekolah untuk siswa. Kemudian dalam bidang kesehatan Pemerintah Kabupaten Jembrana mengeluarkan Keputusan Bupati No. 31 Tahun 2003 tentang Asuransi Kesehatan Masyarakat (JKJ) Jaminan Sosial Daerah Jembrana. Namun tidak sedikit pula implementasi otonomi daerah ini memberikan imbas negatif dari semangat otonomi daerah (bad practice), timbulnya [138]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
penambahan Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) ataupun dalam bentuk lainnya. Bahkan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono pun pernah menyatakan statement yang intinya daerah pemekaran akan dihentikan, ini akan semakin membebani keuangan negara kita, ini harus dihentikan. Sehingga sekarang ini kebijakan Moratorium sedang dijalankan Masyarakat sepertinya berusaha untuk menarik dana yang ada di pusat untuk ditarik ke daerah dengan jalan membentuk kabupaten/kota atau propinsi baru yang mana ini akan mendapatkan dana alokasi baik DAU maupun DAK. Pemekaran pun terjadi di tanah Banten, melalui Undang-undang No 23 tahun 2000 Propinsi Banten akhirnya terbentuk setelah memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat. Dahulu semangat yang dibangun agar mendapatkan pelayanan yang lebih baik, kesejahteraan yang lebih baik. Namun setelah 11 tahun berjalan yang dapat dihasilkan masih sangat jauh dari apa yang dulu diusung atau yang diharapkan. Memang secara kalkulasi jarak pelayanan untuk sekarang lebih dekat, karena tidak perlu ke Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat, namun kita tahu bahwa gizi buruk masih terjadi dimana-mana, sarana kesehatan masih amburadul, sarana pendidikan masih banyak sekali yang hancur, gedung perkantoran masih sewa yang harganya sangat tidak rasional hingga pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Propinsi Banten (KP3B) yang sampai sekarang masih juga belum selesai. Terjadi pula isu pemekaran pada tingkat kabupaten/kota di Propinsi Banten yakni pemekaran dari Kabupaten Pandeglang menjadi 2 kabupaten baru, yakni Calon Kabupaten Caringin dan Calon Kabupaten Cibaliung. Sedangkan isu pemekaran di Kabupaten Lebak menjadi Calon Kabupaten Cilangkahan (Lebak Selatan) yang telah melewati kajian akademik Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri maupun dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan predikat lulus bersyarat, serta di Kabupaten Serang saat ini telah dimekarkan dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Serang dimana sekarang ini Kabupaten Serang sedang mencari lokasi untuk menentukan ibu kota kabupaten. Kemudian Kabupaten Tangerang yang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Tangerang Selatan. Isu-isu pemekaran ini menimbulkan pro dan kontra diantara masyarakat banyak, bahkan terkadang antara eksekutif dengan legislatif mengalami perbedaan pandangan apakah mendukung atau tidak mendukung proses pemekaran suatu daerah. Factor kepentingan jua lah yang bermain, cost and benefitlah yang cukup menentukan dalam membagi kelompok pro dan kontra, yang akan diuntungkan otomatis akan mendukung proses
pemekaran sedangkan yang dirugikan akan menolak proses pemekaran ini. Sebuah kabupaten induk akan menolak proses pemekaran apabila akibat dari pemekaran yang terjadi akan mengurangi PAD kabupaten tersebut, bahkan akan mengganggu kelangsungan pendapatan kabupaten induk. Lain halnya ketika kabupaten baru yang terbentuk dari proses pemekaran ini adalah beban bagi kabupaten induk, proses pemekaran akan didukung. Demikian pula pemekaran di level kecamatan pun banyak terjadi di berbagai wilayah, dimana seharunya memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Di Kabupaten Lebak telah terjadi beberapa pemekaran dalam level kecamatan yakni diantaranya adalah Kecamatan Cijaku dimekarkan kecamatan baru yakni Kecamatan Cigemblong, Kecamatan Malingping dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Wanasalam, Kecamatan Panggarangan dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cihara, dan Kecamatan Bayah dimekarkan kecamatan baru Kecamatan Cilograng. Pada level desa, jumlah desa/kelurahan di Provinsi Banten pada tahun 2008 hanya terdapat 1.504 desa/kelurahan bertambah menjadi 1.535 desa/kelurahan pada akhir tahun 2010 berarti ada penambahan sebanyak 31 desa dalam rentang 24 bulan, artinya setiap bulan lebih dari satu desa (1,29) baru terbentuk/dimekarkan. Akan lebih menjadi ironi dimana kondisi desa yang masih memprihatinkan. Perhatikan tabel berikut ini :
Dari tabel di atas nampak bahwa 45,81 persen desa/kelurahan di Provinsi Banten masih belum memiliki sarana MCK yang memadai, dalam bahasa local sering disebut dengan “dolbon”, MCK tidak dipandang sebagai perihal yang harus diperhatikan cukup dengan pergi ke kebon untuk buang hajat, bahkan untuk sebuah yang berpredikat sebagai kota, yakni Kota Serang 42,42 persen desa/kelurahan di Kota Serang masih terdapat warganya yang “dolbon”, sebuah ironi karena Kota Serang adalah Pusat Pemerintahan Provinsi Banten.
[139]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Pemekaran dipilih adalah karena untuk mempercepat kesejahteraan. Salah satu gambaran kesejahteraan adalah gambaran tingkat penderita gizi buruk yang terjadi di Provinsi Banten pada tahun 2008 adalah sebagai berikut :
Kajian pemekaran bila dilihat dalam perundang-undangan yakni Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah haruslah meliputi 8 aspek yang sangat berpengaruh dalam menentukan proses lebih jauh, yakni : 1. Kamampuan ekonomi 2. Potensi daerah 3. Luas Wilayah 4. Kependudukan 5. Pertimbangan aspek sosial politik 6. Pertimbangan aspek sosial budaya 7. Pertahanan dan keamanan 8. Pertimbangan dan syarat lainnya. Kemampuan ekonomi adalah sebuah aspek yang sangat vital dalam menentukan layak tidaknya sebuah daerah untuk dimekarkan, demikian pula untuk digabungkan, yang dalam konteks sekarang ini spirit yang ada adalah semangat pemekaran bukan pada semangat penggabungan atau dihapuskan. Indikator kemampuan ekonomi diantaranya adalah tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah, dan PDRB calon kabupaten pemekaran itu sendiri. Dari sini akan diketahui pendapatan per kapita penduduk suatu daerah. Indikator lain adalah pertumbuhan ekonomi yang ada. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah haruslah dikomparasikan dengan pertumbbuhan nasional tahun 2006 yang hanya 5,6%, apakah sudah menggambarkan kondisi riil indikator pertumbuhan ekonomi atau hanya hitunghitungan diatas kertas. Laju inflasi nasional tahun 2006 yang mencapai 6,6% pun harus dipergunakan sebagai pembanding. Apakah pertumbuhan ekonomi di daerah pemekaran baik itu kabupaten baru maupun kabupaten induk lebih baik atau lebih buruk dari laju pertumbuhan ekonomi nasional? Apakah laju inflasi di daerah pemekaran baik itu kabupaten baru maupun kabupaten induk lebih baik atau lebih buruk dari laju inflasi nasional? Kemudian bagaimanakah kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap PDRB total Pendapatan Asli Daerah, semakin tinggi akan semakin baik pula kinerja ekonomi yang ada. Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap kesehatan anggaran APBD akan mendorong tingkat besarnya pembangunan di daerah tersebut. Rasionya terhadap pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan dalam APBD akan sangat signifikan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan di daerah tersebut, sehingga tidak membebani keuangan negara APBN karena harus mengeluarkan Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) setiap tahunnya yang apabila semakin banyak daerah pemekaran baik itu di tingkat kabupaten maupun propinsi akan semakin besar pula dana DAU dan DAK yang harus diberikan oleh Pemerintah Pusat, karena kenyataan
Dari tabel di atas nampak sangat jelas bahwa 63,69 persen desa di Provinsi Banten masih terdapat warga yang menderita gizi buruk, sedang khusus di Kota Serang sebagai Ibu Kota Provinsi 83,33 persen dari jumlah desa warganya masih terdapat yang menderita gizi buruk, padahal salah satu semangat ketika pembentukan Provinsi Banten Tahun 2000 maupun pembentukan Kota Serang Tahun 2007 adalah untuk meningkatkan kesejahteraan warga terlebih lagi Provinsi Banten merupakan Provinsi dengan Ibu Kota terdekat dengan Ibu Kota Negara Jakarta. Semoga pemekaran yang di terjadi di Banten, Kota Serang bukan karena alasan politis untuk dimekarkan, melainkan karena kajian akademik yang memang layak untuk dimekarkan. Nampaknya pemekaran adalah sebuah pilihan yang realistis (baca: instant) untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, walaupun terkadang usulan pemekaran yang diajukan tidak berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Dimana pada pasal 2 disebutkan bahwa pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan, melalui : 1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat 2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi 3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah 4. Percepatan pengelolaan daerah 5. Peningkatan keamanan dan ketertiban dan 6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
[140]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sekarang ini lebih dari setengah kabupaten dan propinsi di Indonesia mengandalkan dana-dana ini. Yang juga tidak kalah signifikan adalah rasio PAD terhadap PDRB. Indikator aspek potensi daerah diantaranya adalah jumlah lembaga keuangan seperti bank baik itu bank yang sifatnya bank konvensional maupun bank syarifah yang sekarang ini menjamur tumbuh di berbagai daerah. Lembaga keuangan simpan pinjam, pemberi kredit, seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jumlah lembaga keuangan ini dibandingkan dengan jumlah per 10.000 penduduk dalam masyarakat itu. Semakin tingkat rasionya banyaknya bank dan semakin sedikit jumlah penduduk akan semakin ideal tingkat potensi daerah dalam hal aspek lembaga keuangan. Karena akan mendorong pergerakan ekonomi, dinamika masyarakat akan lebih aktif dalam kesehariannya. Tingkat ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi yang tersedia dalam wilayah daerah tersebut, misalnya dihitung dari jumlah pasar, jumlah swalayan, jumlah komplek pertokoan per 10.000 penduduk. Semakin banyaknya pasar, swalayan dan pusat-pusat perekonomian akan semakin tinggi tingkat perputaran uang ini berarti roda ekonomi terus berjalan yang pada akhirnya akan tercapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tahun 2006 tingkat pertumbuhan ekonomi disamping ditentukan oleh program dan proyek pembangunan pemerintah juga dipengaruhi oleh faktor konsumsi yang dilakukan masyarakat. Karena tingkat serapan dana program dan proyek pembangunan terhadap pelaksanaannya pada tahun 2006 hanya mencapai kurang lebih 40%. Disinyalir ini disebabkan karena intensnya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga banyak para pejabat negara enggan untuk menjadi pimpinan proyek (pimpro) karena takut salah melangkah, sehingga akan bermasalah secara hukum dan ujung-ujungnya masuk bui. Alhasil tingkat serapan dana program dan proyek pembangunan terhadap APBN hanya kisaran 40% akibatnya pertumbuhan ekonomi hanya rendah sehingga sedikit banyak mengharapkan faktor pertumbuhan ekonomi dapat tinggi dengan mengharapkan tingkat konsumsi masyarakat. Salah satu indikator potensi daerah adalah tingkat ketersediaan sarana pendidikan baik dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai dengan tingkat perguruan tinggi (PT). Ketersediaan ini harus dibandingkan dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut, sehingga akan ditemukan angka rasio ketersediaan sarana pendidikan di wilayah tersebut. Semakin tinggi rasio yang ada akan semakin tinggi tingkat potensi daerah tersebut. Faktor sarana kesehatan di suatu wilayah akan bisa menjadi sebuah potensi bagi daerah tersebut untuk maju. Rasio jumlah fasilitas kesehatan yang ada per 10.000 penduduk akan
menggambarkan tingkat kesehatan masyarakat tersebut. Demikian pula halnya dengan rasio jumlah tenaga medis yang tersedia per 10.000 penduduk. Semakin tinggi rasio yang akan semakin tinggi potensi daerah tersebut. Faktor sarana transportasi dan komunikasi, juga akan menjadi potensi suatu daerah misalnya jumlah kendaraan roda dua, tiga, empat atau lebih. Setidakya itu akan menggambarkan tingkat mobilitas penduduk dalam kesehariannya di suatu daerah. Panjang jalan yang tersedia, apakah itu jalan kabupaten, jalan propinsi maupun jalan negara, atau bahkan jalan tol. Rasio jumlah kendaraan dengan panjang jalan yang tersedia akan menjadi indikator utama dalam hal potensi sarana transportasi. Demikian pula halnya dengan faktor komunikasi, jumlah sambungan telepon yang tersedia dan yang terpasang. Faktor lain dari potensi daerah adalah jumlah sarana obyek wisata, misalkan jumlah obyek wisata, berikut dengan tingkat hunian hotel, semakin tinggi tingkat hunian hotel maka akan semakin berpotensi, karena ini menunjukkan besarnya potensi wisata yang ada. Jumlah restoran/rumah makan yang ada sebagai salah satu pendukung obyek wisata. Di bidang ketenagakerjaan pun bisa menjadi ukuran potensi kemampuan daerah. Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang mempunyai kompetensi dalam berbagai bidang, paling tidak untuk kebutuhan industrialisasi tersedianya buruh/tenaga kerja dengan kualifikasi yang memadai (buruh murah dalam bahasa penanam modal). Tingkat prosentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun keatas, kemudian presentase penduduk yang bekerja dalam daerah tersebut, tingkat partipasi angkatan kerja. Sedangkan dalam memenuhi kebutuhan pemerintahan indikator yang digunakan adalah rasio pegawai negeri sipil per 10.000 penduduk Aspek luas wilayah dapat diketahui dengan menggunakan indikator luas wilayah seluruhnya, rasio jumlah penduduk urban terhadap jumlah penduduk dan luas wilayah efektif yang bisa dimanfaatkan dan diberdayakan. Sedangkan aspek kependudukan indikator utamanya adalah jumlah penduduk yang ada di daerah tersebut dan prosentase laju pertumbuhan penduduk, angka kematian dan kelahiran penduduk. Aspek sosial-politik menjadi salah satu bahan kajian untuk menentukan pemekaran atau tidaknya sebuah wilayah. Aspek ini diukur dengan mengetahui tingkat partisipasi politik masyarakat yang mempunyai hal pilih dalam kegiatan-kegiatan politik seperti dalam pelaksanaan pemilihan presiden, pemilihan legislatif termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten bahkan ke desa [141]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sekalipun. Indikator lainnya dalah jumlah organisasi kemasyarakat yang ada di wilayah tersebut. Aspek sosial budaya di suatu daerah akan ikut mempengaruhi kondisi socio cultutal daerah tersebut, yang terwakili dari rasio tempat peribadatan yang tersedia per 10.000 penduduk untuk semua jenis agama dan kepercayaan yang ada. Jumlah institusi sosial yang bisa digambarkan melalui rasio pertunjukan seni per 10.000 penduduk dan rasio panti sosial per 10.000 penduduk misalkan jumlah panti jompo, atau jumlah rumah singgah untuk anak jalanan (anjal). Aspek sosial budaya lainnya adalah dalam hal sarana olah raga, misalkan kegiatan olah raga yang dilaksanakan dan jumlah rasio lapangan olah raga yang tersedia per 10.000 penduduk. Bahan pertimbangan dalam menentukan pemekaran sebuah kabupaten atau propinsi selanjutnya adalah aspek pertahanan dan keamanan. Ini tergambarkan pada angka kriminalitas per 10.000 penduduk, semakin tinggi tingkat kriminalitas suatu daerah akan sangat tidak mendukung iklim pembangunan. Namun permasalahan tingginya tingkat kriminalitas di suatu daerah juga sangat tergantung dengan rasio jumlah polisi dalam wilayah tersebut. Berapa rasio ideal untuk satu orang polisi dengan jumlah masyarakat yang harus dilayani? Demikian pula halnya dengan tentara yang tergambarkan dengan jumlah koramil, korem atau kodim atau bahkan kodam sekalipun. Kemudian adalah perbandingan jumlah sistem keamanan keliling (siskamling) yang aktif dalam wilayah tersebut dengan jumlah penduduk yang ada. Aspek selanjutnya adalah pertimbangan dan syarat lainnya yang dalam hal ini bisa diwakili mengenai aspek ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan. Sebuah calon kabupaten pemekaran haruslah mempunyai gedung persiapan guna mengantisipasi proses transisi pemerintahan baru. Ini dapat dihitung dengan mengetahui rasio gedung yang ada terhadap kebutuhan minimal gedung pemerintahan. Selain kebutuhan gedung adalah rasio lahan yang ada terhadap kebutuhan minimal gedung pemerintahan. Sehingga pada akhirnya apabila pemekaran adalah opsi yang dipilih proses transisi pemerintahan tidak mengalami stagnan yang mengakibatkan proses pelayanan publik terganggu, padahal faktor pelayanan publik inilah yang menjadi semangat awal gagasan pemekaran. Pertimbangan lainnya adalah rata-rata jarak kecamatan ke pusat pemerintahan (dalam hal ini ibukota kabupaten induk), dengan pemekaran setidaknya akan memotong jarak yang ada, sehingga dapat mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sebagai contohnya di Kabupaten Lebak, titik terjauh yang harus ditempuh masyarakat untuk dapat mencapai Ibukota Kabupaten Lebak yakni Kota Rangkasbitung mencapai jarak 185 km. demikian pula rata-rata lama waktu perjalanan yang
dibutuhkan untuk mencapai ibukota kabupaten. Kedua hal ini akan mempengaruhi rentang kendali dalam menjalankan proses pemerintahan. Kedelapan item ini harus dikaji secara objektif, rasional, empiris dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pengkajian pemekaran sebuah daerah haruslah dilakukan secara objektif tanpa didorong oleh faktor-faktor yang mengatasnamakan rakyat padahal hanya cerminan dari kelompok elit yang terpinggirkan sehingga ingin memisahkan diri. Riset yang dilakukan pun haruslah obyektik, hasil riset bukanlah pesanan sekelompok orang tertentu yang akan dirugikan atau diuntungkan dengan adanya pemekaran, oleh karena harus tetap dilakukan dengan kaidah-kaidah ilmiah dari sebuah penelitian. Aspek rasionalitasnya jangan sampai sebuah calon kabupaten baru yang akan dibentuk setelah dikaji memang “tidak mampu” tetap memaksakan diri untuk menjadi kabupaten baru, yang terjadi justru hanya akan membenani keuangan negara. Pemekaran yang terjadi tingkat kecamatan, tingkat kabupaten bahkan tingkat propinsi yang marak terjadi setelah era reformasi ini menimbulkan kekawatiran, karena isu yang digunakan dan selalu muncul dalam pemekaran adalah isu kedaerahan, egosentrisme, kesukuan sehingga yang muncul adalah semangat menonjolkan kelokalan atau primordialisme. Termasuk dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah isu kedaerahan ini selalu dikait-kaitkan dalam upaya mencari dukungan suara. Ini adalah bibit-bibit perpecahan yang apabila dibiarkan lebih luas akan sangat mengganggu kelangsungkan entitas Negara Indonesia. Nampaknya pemerintah mengambil sikap bahwa pemekaran wilayah adalah instrumen yang bisa digunakan untuk memeratakan pembangunan, ini dapat dilihat dari isi PP 129 tahun 2000, karena dalam PP itu berjudul tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah namun pada kenyataan isinya hanya mengatur tentang pemekaran wilayah, artinya insturmen-instrumen pemekaran wilayah sudah diatur, namun isu tentang penggabungan wilayah sama sekali belum diatur. Pada pertengahan Desember 2007 ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 mengatur hal yang sama, walaupun sebenarnya ini sudah cukup terlambat mengingat acuan dari Peraturan Pemerintah ini adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Karena memang Peraturan Pemerintah 129 Tahun 2000 mengacu pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, sehingga memang Peraturan Pemerintah ini secara yuridis patut dipertanyakan. Sehingga dewasa ini ketika Undangundang 32 Tahun 2004 sedang atau akan direvisi
[142]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
maka hendaknya adalah pilihan yang tepat untuk mengambill langkah moratorium sekarang ini. Apapun itu, yang jelas dengan adanya pemekaran wilayah ini akan semakin membebani keuangan negara, nemun jangan sampai semangat pemekaran adalah semangat post power sindrom dari para elit lokal yang tidak kebagian jatah kue pembangunan di daerah, sehingga berniat membentuk daerah otonom sendiri, jadi pemekaran wilayah bukan untuk kepentingan sekelompok elit namun adalah demi rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks keluarnya Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007 sekarang ini, semua daerah yang mengajukan untuk dimekarkan baik itu menjadi kabupaten/kota ataupun propinsi harus menyesuaikan kembali dengan peraturan perundangundangan yang terbaru ini, termasuk dalam memenuhi segala persyaratan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, seperti Calon Kabupaten Cibaliung, Calon Kabupaten Caringan dan Calon Kabupaten Cilangkahan.
percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan pemberdayaan masyarakat, percepatan pembangunan sarana dan prasarana sosial, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi lokal, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah, bukan diadakan pemekaran karena faktor kedaerahan, egosentrisme, kesukuan, primordialisme dan semacamnya yang mana itu merupakan bibit-bibit disintegrasi bangsa sehingga tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dengan kata lain pemekaran daerah ketika menjadi pilihan kebijakan karena memang telah diketahui akar masalahnya, Karena seringkali kita bukannya tidak mampu untuk membuat kebijakan atas masalah yang benar, namun seringkali kita tidak mampu untuk merumuskan masalah dengan benar. Daftar Pustaka Anderson, James E. 1994. Public Policy Making: An Introduction. New York: Holt, Rinehart and Winston.
3.
PENUTUP Semangat pemekaran ini apabila ditarik lebih luas cakupannya mungkin akan terjadi pemekaran dalam level nasional, yang dalam hal ini adalah entitas sebuah negara, maka ini adalah pemekaran menjadi beberapa negara. Di awal reformasi kita pernah mendengar isu yang dilontarkan oleh Prof. Dr. HM Amien Rais, tentang isu negara federal, yang terdiri dari negara-negara bagian, yang tentu saja pada saat itu banyak menimbulkan pro dan kontra, walaupun sepertinya kita sudah memasuki ideological federalism. Ataukah pemekaran adalah sebuah jawaban atas ketakutan akan (menjadi) negara federal, ketakutan akan disintegreasi bangsa? Oleh karena itu pemekaran yang terjadi haruslah tetap dalam bingkai pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat yang dilakukan secara terus menerus sejak dari proses pemekarannya sampai dengan setelah pemekaran pun tetap harus ada pengawasan secara holistik. Dan bila dirasakan perlu bukanlah hal yang tabu untuk diambil kebijakan penggabungan daerah otonom oleh Pemerintah Pusat. Karena otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan, dan bila hak otonom itu diberikan tidak bisa digunakan, tidak digunakan sebagaimana mestinya dan daerah otonom dirasakan tidak mampu mengelola daerahnya, maka hak otonom yang diberikan tadi hendaknya dicabut oleh Pemerintah Pusat. Oleh karenanya pemekaran yang dilakukan adalah benar-benar bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan publik, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian,
Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lebak. 2006. Profil Daerah dan Peluang Investasi. Lebak: BAPPEDA Lebak
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2010. Banten Dalam Angka 2010. Banten: BPS Banten ISBN : 978-979-1426-31-2 Bardach, Eugene. 1977. The Implementation Game. Cambridge, Mass.: MIT Press. Center of Law and Good Governance Studies Tim Kajian Rencana Pembentukan Kabupaten Caringin. 2004. Laporan IIIlmiah Tentang Rencana Pembentukan Kabupaten Caringin. Depok: Fakultas Hukum UI DPRD Provinsi Banten, 2008. Potret Kinerja Pembangunan Di Banten Tahun 2008 Dalam Bentuk Angka Statistik Dye, Thomas R. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 Tentang Penggaraan Desentralisasi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah [143]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Suharso, Babar. 2010. Banten Yang Ideal Di Era Otonomi Daerah, Bappeda Provinsi Banten Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Winasa, I Gede. 2010. Inovasi Pembangunan Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali Identitas Penulis Kandung Sapto Nugroho, Lahir di Kulonprogo, Yogyakarta; menempuh Program Sarjana Ilmu Administrasi Negara di FISIP UNSOED Purwokerto; selanjutnya menempuh Magister Ilmu Administrasi Publik di almamater yang sama. Aktif sebagai peneliti di Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta. Saat ini menjadi ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta Serang Banten.
[144]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
STRATEGI PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA OLEH APARAT PEMDA BANTEN DR. E m r u s Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pelita Harapan Lippo Karawaci, Tangerang 15811 Email:
[email protected]
ABSTRAK Pelayanan prima merupakan faktor utama mendorong kemajuan suatu negara, termasuk kemajuan daerahPropinsi Banten.Sesungguhnya kemajuan daerah tercermin dari satandar pelayanan birokrasi kepada rakyat.Bahkan terdapat korelasi kuat antara kemajuan negara dengan pelayanan birokrat. Kenyataan menunjukkan, pada negara miskin,kualitas pelayanan masih di bawah standar minimal. Negara berkembang,kualitas pelayanan hanya memenuhi standar minimal. Sedangkan negara maju, kualitas pelayanan biasanya melampaui standar minimal. Jadi, pada era reformasi dengan keterbukaan informasi publik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini dan yang akan datang, perbaikan pelayanan sektor publik menjadi keharusan bagi penyelenggaraan pemerintah di Propinsi Banten. Tentu hal tersebut sejalan dengan reformasi administrasi birokrasi yang sedang digalakkan saat ini. Oleh karena itu, pelayanan prima bertujuan memberdayakan masyarakat pada setiap aktivitas pembangunan.Selain itu, pelayanan prima menimbulkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.Pada gilirannya, kepercayaan mendorong masyarakat berpartisipasi penuh pada setiap program pembangunan yang dicanagkan pemerintah Propinsi Banten untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan pelayanan prima yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan Propinsi Banten, masyarakat puas dan rakyat pun bahagia dan partisipatif. Dengan demikian, birokrat pemerintah Propinsi Banten harus siap dan setia melayani rakyat, bukan dilayani oleh rakyat. Pemimpin yang sejati, pemimpin yang melayani bukan dilayani. Untuk merealisasikan pelayanan prima kepada publik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa bersama Universitas Pelita Harapan dapat menjalin kerja sama dengan pemerintah Propinsi Banten untuk menyusun strategi pelayanan prima dan memberikan pelatihan “Kiat Pelayanan Prima” kepada segenap aparat birokrasi pemerintahan Propinsi Banten. Kata Kunci: Pelayanan, Prima, Birokrat, Kepercayaan, Kemajuan, dan Partisipasi. kekuasaan “kecil”, bukan pelayan publik. Saat itu, para birokrat melaksanakan tugasnya dengan menggunakan kekuasaannya. Birokrat mempunyai otoritas penuh dalam mejalankan fungsi birokrasi. Rakyat hampir tidak mempunyai wewenang ketika berurusan dengan birokrat. Rakyat hanya mengikuti kehendak birokrat. Tidak heran muncul istilah “uang pelicin’ pada setiap berhubungan dengan birokrat. Lain halnya, pada era reformasi yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini dan akan terus berlanjut. Para birokrat harusmenjadi pelayan publik (rakyat). Publik berhak memperoleh pelayanan, sedangkan aparat pemerintah wajib memberi pelayanan yang baik. Untuk itu, dalam melakukan pelayanan publik yang prima perlu ditentunkan Standar Oprasional Prosedur (SOP) sebagai pedoman bersama antara aparat Pemda Banten dengan masyarkat. Untuk itulah semua sistem pelayanan birokrasi Pemda Banten harus melakukan perubahan dengan orientasi pada kepuasan pelayanan kepada masyarakat.Untuk mencapai hal tersebut, Pemda Banten harus menetapkan bahwa pelayanan prima sebagai hal yang urgen.Namun menjalankan pelayanan prima tidak semudah membalik tangan,
1.
URGENSI PELAYANAN PUBLIK Saat ini Indonesia mengalami perubahan dari otoritarian ke era reformasi. Demikian halnya dengan pelayanan birokrasi, juga membutuhkan perubahan, dari birokrasi sebagai alat kekuasaan menjadi melayani masyarakat.Karena itu, di Indonesia perlu terjadi berubahan mendasar dan holistic dalam pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan pusat maupun daerah, termasuk di Propinsi Banten. Sebenarnya, ada dua faktor utama mendorong perubahan di Indonesia, yaitu merespon globalisasi dan tuntutan reformasi. Globalisasi membuat dunia menjadi “satu”.Batas teritorial negara sekedar legal aspek. Interaksi antar manusia begitu cepat dan dinamis. Setiap daerah Indonesia menjadi bagian dari relasi antaer bangsa di dunia yang tak terpisahkan. Sedangkan reformasi mendorong keterbukaan informasi dan komunikasi pada setiap pelayanan public.Utamanya pelayanan birokrasi kepada masyarakat.Masyarakat mempunyai hak atas informasi publik. Sebelum era reformasi, Indonesia berada pada sistem otoritarian di bawah rezim Orde Baru. Pada era otoritarian ini, birokrasi berfungsi pelayan kekuasaan, bahkan memunculkan keuasaan[145]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
tetapi sebagai suatu realitas sosial yang dikonstruksi secara terencana dan holistik. Sebab, untuk menciptakan pelayanan prima dibutuhkan pengertian, kesadaran, pemahaman dan dukungan dari semua tingkatan birokrasi Pemda Banten, mulai dari gubernur sampai tenaga front liner yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Sehubungan dengan itu, Pemda Banten mempunyai kepentingan mengelola loyalitas masyarakat yang menjadi warganya dengan memberikan pelayanan prima. Pemilihan langsung oleh rakyat, siapa-siapa yang pantas menjadi kepala pemerintahan pusat (Presiden dan DPR) dan kepala pemerintahan daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati serta DPRD) menunjukkan bukti bahwa rakyat telah menjadi ”pelanggan” mereka. Tanpa dukungan rakyat mereka tidak akan terpilih menjadi kepala pemerintahan. Itulah sebabnya pelayanan prima menjadi penting dan wajib dilakukan oleh aparat Pemda Banten. Untuk itu, para pemangku kekuasaan Pemda Banten perlu menyusun perencanaan,strategi dan program dalam rangka pelayanan prima (excellent service) kepada masyarakat. Dalam rangka merealisasikan pelayanan prima tersebut perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan pelayanan prima bagi setiap aparat Pemda Banten. Dengan demikian, para birokrat Pemda Banten mampu melayani masyarakat secara profesional dan memberikan kepuasan kepada masyarakat. Strategi Pelayanan Publik Setiap aktivitas manusia, termasuk pelayanan prima, selalu untuk mewujudkan tujuan tujuan tertentu. Untuk itu, agar tujuan dapat tercapai dengan optimal, maka pelayanan prima harus dilakukan dengan suatu strategi. Strategi dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan rencana yang baik, jelas, operasional, matang dan menyeluruh yang berbasis pada visi (seperangkap nilai atau cita-cita yang ingin dicapai), misi (cara merealisasikan visi)dalam rangka mendukung kepentingan publik. Jadi, strategi harus berdasarkan perhitungan yang matang tentang rangkaian kebijakan dan langkah-langkah yang harus diwujudkan dalam suatu tindakan pelayanan publik. Sedangkan pelayanan prima sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi dalam rangka memenuhi kebutuhan orang lain (publik) dengan “the right thing, at the right place, at the right time”, (Wright, 1999; 164). Dengan demikian, publik merasa puas karena kebutuhannya dapat terpenuhi secara optimal. Jadi, stategi pelayanan prima merupakan penyusunan rencana secara baik, jelas, operasional, matang dan menyeluruh dari seseorang atau organisasi untuk memenuhi kebutuhan dan rasa puas
kepada publik dengan melakukansesuatu hal yang tepat, tempat yang tepat, dan pada saat yang tepat. Dengan demikian, perumusan strategi menjadi sesuatu yang penting dalam suatu kegiatan pelayanan prima. Untuk merumuskan strategi yang baik, termasuk dalam pelayanan prima, Supriyanto dan Ernawaty (2010; 35-36) mengemukakan, ada empat hal yang perlu diperhatikan: (1) pemahaman visi, misi, dan tujuan yang akan dilakukan strategi; (2) pemahaman akan perubahan dan tuntutan lingkungan eksternal organisasi (peluang dan ancaman); (3) pemahaman kemampuan sumber daya internal organisasi yang meliputi kemapuan sumberdaya manusia, finansial, dan teknologi (kekuatan dan kelemahan organisasi); (4) penguasan manajemen efektif yang meliputi kemampuan organisasi dalam perumusan strategi, perencanaan strategi, penyusunan program, penyusunan anggaran, implementasi, dan pengendalian yang efektif. Sehubungan dengan itu, strategi pelayanan prima tidak lepas dari penilaian terhadap realitas pelayanan yang sudah dilakukan oleh organisasi. Kemudian merumuskan peningkatan pelayanan prima yang akan direalisasikan pada kurun waktu yang definitif pada masa ke depan. Untuk itu, perlu dibuat suatu rencana yang baik dan operasional tentang berbagai hal dalam rangka merealisasikan peningkatan pelayanan prima. 2.
PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA Pada konstitusi tertulis kita, UndangUndang Dasar 1945, jelas menyebutkan bahwa negara wajib memberikan pelayanan kepada setiap warga negara (publik) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Merujuk pada konstitusi tersebut, aparat birokrasi pemerintah, termasuk Pemda Banten, wajib dan harus memberi pelayanan terbaik kepada setiap warga, tanpa kecuali. Namun masih ada kecenderungan bagi mereka yang memiliki “uang“, mendapat pelayanan yang lebih baik dari pada orang miskin. Padahal, menurut konstitusi, setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum, termasuk memperoleh pelayanan publik. Karena itu, tidak ada alasan bagi aparat birokrasi tidak melayani, apalagi menghambat segala urusan kepentingan publik yang berkaitan dengan administarsi pemerintahan atau negara. Seluruh kepentingan publik seharusnya memperoleh pelayanan dari seluruh pemangku jabatan publik dan aparat birokrasi. Namun di sisi lain, masih banyak terdapat keluhan dan pengaduan masyarakat tentang rendahnya kualitas pelayanan aparat pemerintah. Buktinya, buruknya pelayanan publik menjadi agenda harian media massa memuat perilaku aparat pemerintah yang memberikan pelayanan yang belum profesional. Bahkan diperparah masih terjadi [146]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pungutan liar yang berkaitan dengan urusan publik terhadap instasi pemerintah. Sehingga tidak heran terjadi korupsi strukrural pada berbagai lembaga pemerintah. Sebagai agenda media yang memuat pelayanan publik yang buruk di Indonesia, dapat menimbulkan kesan negatif dari masyarakat terhadap penyeleggaraan pemerintahan. Efek lanjutannya, informasi tersebut dapat mengkonstruksi realitas sosial yang kondusif tumbuhnya berbagai penyimpangan sosial di tengahtengah masyarakat, seperti korupsi. Pengurusan KTP yang menjadi identitas penduduk dan hak sipil warga negara, misalnya, seharusnya dibantu aparat birokrasi dalam pembuatannya. Namun kenyataan masih tetap ada kendala birokrasi dan biaya siluman. Merosotnya pelayanan publik membuat masyarakat menjadi geram terhadap pemerintah baik di pusat dan daerah. Hal ini dapat membuat rakyat tidak sabar dan cemas terhadap perilaku aparatur pemerintah. Ditambah lagi dengan aparat penegak hukum yang juga tidak berpihak kepada rasa keadailan masyarakat. Rakyat menjadi kecewa dan apatis. Semua hal tersebut sangat berkontribusi menimbulkan konflik vertikal antara publik di satu sisi dengan aparat pemerintah di pihak lain sebagai pelayan kepentingan publik. Lihat saja, setiap hari media massa memuat aksi demonstrasi yang melakukan protes terhadap instasi pemerintah sebagai pelayan kepentingan publik. Kenyataan tersebut mampu menimbulkan turunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Padahal, pelayanan prima yang seharusnya diberikan pemerintah kepada publik akan mendorong kemajuan suatu masyarakat di daerah khususnya, dan negara umumnya. Jadi, Pemerintah tidak lagi sebagai “baginda raja” yang selalu mendapat upeti ketika rakyat berurusan dengan adminstrasi pemerintahan. Karena itu, Pemda Banten sebagai penyelenggara administrasi negara di Propinsi Banten harus berbenah dan menyausun strategi untuk memberikan pelayanan kepentingan umum. Selain itu, sejalan dengan globalisasi dan keterbukaan informasi publik, fungsi pemerintahan tidak hanya berkutat pada aturan normatif, tetapi harus kreatif menciptakan, membuat trobosan dan mendorong pelayanan publik yang lebih cepat dan bermutu. Namun, tak kalah pentingnya tidak menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Prinsip parsimoy (efisien) menjadi sesuatu yang penting merealisasikan pelayanan kepentingan umum (public sevice). Aparat pemerintah tidak lagi melakukan pendekatan “perintah” tetapi menjadi pelayanan dan sisten jemput “bola”. Pemerintahseharusnya menjadi pemimpin yang melayani, bukan yang dilayani.
Bila kita menelisik penyelenggaraan birokrasi pemerintahan ke belakang, dan bahkan masih ada berlangsung saat ini, pelayanan publik menjadi “lahan” memperkaya diri bagi sebagian (tidak sedikit) aparat birokrasi pemerintahan. Tidak heran pelayanan sistem administrasi pemerintahan di pusat maupun di daerah tidak efektif dan bahkan menjadi sumber permasalahan yang menjadi penghambat utama peningkatan pertumbuhuan ekonomi nasional maupun daerah. Hal ini disebabkan oleh peta kognisi aparat birokrasi masih orientasi kekuasaan dan bahkan menambah pundipundi pribadi, sehingga perilaku mereka seolah menempatkan diri pada posisi lebih tinggi dari rakyat. Birokrat”minta” harus dilayani rakyat. Mereka ibarat raja yang selalu dituruti. Sehubungan dengan itu, dalam rangka mewujudkan pelayanan prima, kepala pemerintahan di pusat maupun di daerah perlu melakukan perubahan total terhadap sistem administrasi publik dari orientasi kekuasaan menjadi berpusat pada pelayanan kebutuhan masyarakat. Jadi, diperlukan pergeseran model pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah dari orientasi penyedia yang dapat diperjualbelikan, menjadi orientasi pelayanan kebutuhan publik. Suara publik penting didengar dan harus menjadi pedoman utama bagi sebuah pelayanan birokrasi. Dengan demikina, partisipasi masyarakat dipastikan meningkat dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional maupun lokal. Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk di Indonesia selama ini telah menjadi momok bagi rakyat ketika berurusan dengan birokrasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik pada pasal 18 yang mengatakan, masyarakat berhak: (1) mengetahui kebenaran isi standar pelayanan; (2) mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; (3) mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; (4) mendapat advokasi, perlindungan dan/atau pemenuhan pelayanan; (5) memberitahukan kepada pimpinan penyelengggara untuk memperbiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; (6) memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaikti pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan; (7) mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman; (8) mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman; (9) mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan. Dengan demikian, UUD 1945 dan UndangUndang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik mewajibkan aparat Pemda [147]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Propinsi Banten memberikan pelayanan yang dapat memuaskan masyarakat di Propinsi Banten. Ukuran kepuasan pelayanan (nilai) merupakan selisih antara keuntungan (benefit) yang diperoleh dengan pengorbanan yang dikeluarkan (cost). Jadi, kepuasan (nilai) = benafit – cost.
Saundra dan Richard (2001:555) berpendapat pesan yang persuasi adalah pesan yang tepat dan pada waktu yang tepat.Selanjutnya mereka (2001:556) mengatakan kunci memahami persuasi adalah pengaruh. Pengaruh merujuk kepada kekuatan dari seseorang atau hal mempengaruhi yang lain. Pendapat senada dikemukakan William J. Seiler.Menurutnya (1996:346-347) akhir dari semua tujuan persuasi adalah tindakan; itu berarti, kesuksesan persuasi adalah menguatkan perilaku yang terjadi, merubah perilaku yang terjadi, atau menentukan perilaku baru. Ketika tujuan utama pembicara adalah mencapai tindakan, maka yang akan dicari adalah satu dari empat tujuan berikut: (1) adopsi adalah suatu tujuan tindakan yang meminta pendengar mendemonstrasikan (melakukan) apa yang mereka terima dari sebuah sikap, kepercayaan, atau nilai dengan menunjukkan ; (2) discontinuance adalah kebalikan dari adopsi. Jika tujuan tindakan kita adalah diskontinu, kita ingin pendengar kita menghentikan melakukan sesuatu; (3) deterrence (penolakan) adalah sebuah tujuan tindakan yang meminta pendengar melakukan apa yang mereka terima dari sikap, kepercayaan, atau nilai dengan menghindari perilaku tertentu; (4) continuance adalah sebuah tujuan tindakan yang meminta pendengar mendemontrasikan penerimaan mereka dari sebuah sikap, kepercayaan, atau nilai dengan melanjutkan perbuatan perilaku tertentu. Untuk mewujudkan tujuan persuasi perlu dilakukan strategi.Larry A. Samovar dan Jack Mills (1995, 284), mengemukakan persiapan persuasi melibatkan sebuah proses yang sama yang digunakan dapam persiapan pembicaraan yang informatif. Seorang pembicara (1) memilih topik, (2) menganalisa khalayak, (3) memformulasikan tujuan yang spesifik, (4) mengumpulkan bahan-bahan untuk mewujudkan pencapaian tujuan, (5) penyusunan pembicaraan, dan kemudian (6) melakukan komunikasi persuasi. Perloff (Antar Venus, 2004:43-47) menyarankan strategi persuasi yang dapat digunakan yakni: (1) pillihlah komunikator yang terpercaya; (2) kemaslah pesan sesuai keyakinan khalayak; (3) munculkan kekuatan diri khalayak; (4) ajak khalayak untuk berpikir: (5) gunakan strategi pelibatan; (6) gunakan strategi pembangunan inkonsistensi; (7) bangun resistansi khalayak terhadap pesan negative. Khusus mengenai kemasan pesan yang sesuai dengan khalayak, materi pesan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan khalayak sasaran. Saundra dan Richard (2001:565-578) berpendapat menentukan material tergantung pada materi itu sendiri; itu boleh tergantung pada ketertarikan atau tujuan kita, atau itu boleh tergantung pada situasi atau kewajiban. Pertimbangan yang penting, bagaimanapun, adalah
3.
TEKNIK PERSUASI PELAYANAN PUBLIK Untuk merealisasikan pelayanan publik yang prima tidak lepas dari teknik komunikasi persuasi.Pada bagian ini diuraikan definisi, efek dan strategi persuasi yang dapat digunakan pada aktivitas pelayanan prima. Persuasi dapat diartikan sebagai usaha mempengaruhi orang lain dengan bujukan. Usaha pembujukan atau persuasi sering kita jumpai dalam berbagai konteks komunikasi, termasuk kegiatan pelayanan publik. untuk mempengaruhi khalayak sasaran. Saundra dan Richard (2001:556) berpendapat persuasi adalah proses yang terjadi ketika komunikator (pengirim) mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, atau perilaku orang lain (penerima). Sedangkan efek persuasi Larry A. Samovar dan Jack Mills (1995, 281-282) menguraikan persuasi menuntut perubahan kepercayaan, nilai dan perilaku. Oleh karena itu, pembicara yang persuasi memerlukan perhatian pada empat variabel tersebut jika mencapai tujuan persuasi. Mengenai empat variabel tersebut mereka penjelaskan berikut ini. Kepercayaan umumnya didefinisikan sebagai keyakinan yang pasti dalam pernyataan kebenaran atau keberadaan sesuatu. Kita percaya tentang agama, peritiwa, tentang orang lain dan bahkan diri kita sendiri. Sikap dapat didefinisikan sebagai pernyataan dari pikiran atau emosi terhadap seseorang atau situasi.Sikap kita cenderung menuntun kita ke dalam respon kita terhadap sesuatu dengan subyektif dan sesuai dengan orientasi. Sebagai pembicara, kita perlu menduga sikap khalayak sebab mereka menentukan apakah pendengar kita akan merespon dengan baik atau tidak terhadap tujuan kita yang spesifik dalam pembicaraan. Sebagai contoh, jika khalayak mempunyai sikap yang positif terhadap budaya jerman, mereka pasti mendukung rencana keberadaan mobil produk jerman di kota mereka. Nilai masih merupakan variabel lain yang mempengaruhi apakah orang dipastikan berfikir atau merasa tentang suatu subjek tertentu. Banyak kepercayaan dan sikap manusia dilatarbelakangi oleh sistem nilai dasar mereka.Nilai disebut komponen evaluasi terhadap kepercayaan dan sikap. Perilaku merujuk pada aktivitas khalayak yang dapat diobservasi. Perubahan perilaku dapat dilihat dari suatu perilaku ke perilaku yang lain atau sebaliknya. [148]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sikap kahalayak, atau bagaimana kita mengharapkan khalayak memberi reaksi. Sekarang kita kemukakan beberapa topik yang berhubungan dengan persuasi dalam pembicaraan: menanyakan tentang fakta, nilai, dan kebijakan; argument satu sisi versus dua sisi; dan urutan penyajian. Jelasnya, menurut penulis, pesan harus dikemas sesuai kondisi khalayak. Perbagai kemasan pesan yang dapat dirancang adalah sebagai berikut: (1) induktif versus deduktif; (2) implisit versus eksplisit; (3) satu sisi versus dua sisi; (4) klimaks versus anti klimaks; (5) menyenangkan versus menakutkan; (6) emosional versus rasional; dan (7) hasil riset versus akal sehat. Berhubungan dengan strategi persuasi, Antar Venus (2004: 48-49) mengemukakan prinsipprinsip umum persuasi yang dapat digunakan untuk membantu merancang dengan melaksanakan berbagai tindakan persuasi yaitu: (1) Prinsip timbal balik. Jika manusia menerima sesuatu yang dipandang berharga.maka seketika ia akan menanggapi dengan memberikan sesuatu; (2) Prinsip kontras. Orang cenderung akan memilih yang terbaik dati dua buah pilihan yang hampir sama; (3) Prinsip karena teman. Orang akan melakukan hampir semua hal yang diminta oleh seorang ternan kepadanya. Ini terjadi karena teman adalah orang yang disukai dan biasanya rasa suka ini muncul karena teman tersebut juga mempunyai banyak kesamaan dengannya; (4) Prinsip harapan. Orang akan cenderung melakukan sesuatu yang menjadi harapan orang yang ia percayai dan ia hormati; (5) Prinsip asosiasi. Manusia cenderung menyukai produk, jasa, atau gagasan yang didukung oleh orang lain yang disukai atau dihormati; (6) Prinsip konsistensi. Orang akan melakukan sesuatu jika itu sesuai dengan pendiriannya; (7) Prinsip kelangkaan. Orang akan melakukan sesuatu jika merasa bahwa kesempatan yang sama tidak akan ia dapatkan pada waktu den tempat yang lain. Banyak kampanye promosi yang menggunakan prinsip kelangkaan untuk meningkatkan penjualan pada periode waktu tertentu. Ini dapat terlihat dari adanya pesan-pesan seperti " berlaku hanya pada tanggal x hingga tanggal y", "Selama persediaan masih ada", atau " produk x edisi hari kemerdekaan"; (8) Prinsip kompromi. Kebanyakan orang cenderung menyetujui usul, produk, atau jasa yang akan dipandang bisa diterima oleh mayoritas orang lain atau mayoritas anggota kelompoknya; (9) Prinsip kekuasaan. Semakin berkuasa seseorang dipandang oleh orang lain, semakin basar kemungkinan permintaannya akan dipertimbangkan dan diterima. Penggunaan masing-masing prinsip tentunya disesuaikan dengan tujuan serta khalayak sasaran kampanye.
4.
KESIMPULAN Untuk menjawab tuntutan globalisasi, reformasi, keterbukaan informasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan yang signifikan di Propinsi Banten, aparat Pemda Propinsi Banten wajib memberikan pelayanan publik yang prima kepada warga masyarakat di Propinsi Banten. 5.
SARAN 1. Perlu grand design strategi pelayanan publik yang prima untuk memenuhi kebutuhan kepentingan publik masyarakat di Propinsi Banten. 2. Sudah sangat mendesak dilakukan pelatihan pelayanan prima mengubah perilaku aparat Pemda Propinsi Banten dari orientasi kekuasaan menjadi berpusat pada pelayanan kepada warga masyarakat di Propinsi Banten.
Daftar Pustaka Antar Venus. 2004. Manajemen Kampanye, Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Larry A.Samavar dan Jack Mills. 1995. Oral Communication Speaking Across Cultures, Iowa: Brown & Benchmark Saundra Hybels dan Richard L. Weaver II.2001. Communications Effectively, New York:McGraw-Hill, Supriyanto, S dan M, Ernawati. 2010. Pemasaran Industri Jasa Kesehatan, Yogyakarta: Andi Yogyakarta. William J. Seiler. 1996. Communication Fundations, Skills, and Applications, New York:HarperCollinsCollegePublishers. Wright, J. Nevan. 1999. The Management of Service Operations, , London:Cassell
Biodata Penulis E m r u s, Meraih gelar Doktor di bidang Ilmu Komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Bandung (2009), dengan disertasi tentang komunikasi politik. Aktif menulis opini di berbagai media massa cetak dan artikel ilmiah di beberapa jurnal ilmiah.
[149]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
SOCIAL MEDIA NETWORKING DAN OTONOMI DAERAH Anis Fuad Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pakupatan-Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Potensi besar facebook dan beberapa situs jejaring sosial (Social Media Networking) lainnya tidak pernah dilirik banyak orang dalam penyelenggaraan kepemerintahan di daerah khususnya dalam pelayanan dan kebijakan publik. Sedikit para pelayanan publik daerah memanfaatkan Social Media Networking untuk melayani dan mendekatkan diri pada masyarakat. Sedikit pula para pembuat kebijakan di daerah memahami bahwa Social Media Networking bisa menjadi alat bantu untuk mengumpulkan berbagai masukan dari masyarakat di daerah dalam membuat suatu kebijakan secara partisipatif dan berbasis fakta. Melayani masyarakat hingga membuat suatu kebijakan yang partisipatif lewat e-government sesungguhnya tidak perlu rumit dan mahal. Faktor terpenting dalam menjalankan pemerintahan di era otonomi daerah adalah kreatif, inovatif dan berfikir efektif serta efisien. Untuk menciptakan partisipasi masyarakat yang begitu massif sesungguhnya tidak membutuhkan biaya mahal. Manfaatkan teknologi yang ada, lihat teknologi apa yang berkembang di masyarakat dan ikutilah arus mereka (masyarakat). Kata Kunci: E-gov, Social Media Networking, Gov 2.0, Otonomi Daerah Bibit-Chandra sebagai aktor utama yang secara tidak sadar menggerakkan secara massif facebooker mendukung perjuangan gerakan anti-korupsi dan kriminalisasi KPK. Bagi penulis, inilah potensi besar facebook dan beberapa situs jejaring sosial lainnya yang tidak pernah dilirik banyak orang dalam bidang kepemerintahan khususnya pelayanan publik di daerah. Sedikit para pelayanan publik di daerah memanfaatkan facebook untuk melayani dan mendekatkan diri pada masyarakat. Sedikit pula para pembuat kebijakan di daerah memahami bahwa facebook bisa menjadi alat bantu untuk mengumpulkan berbagai masukan dari masyarakat dalam membuat suatu kebijakan. Padahal ada jutaan orang di Indonesia terkait, berhubungan dan berjejaring satu sama lain dengan dihubungkan oleh berbagai media jejaring sosial di Internet.
A.
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Saat ini, Facebook telah menjadi keseharian bagi 36,533,680 orang Indonesia1. Namun disaat yang sama banyak orang khawatir dengan dampak yang ditimbulkan facebook. Beberapa waktu lalu media massa memberitakan ada banyak kejadian negatif yang semuanya timbul karena penyalahgunaan situs jejaring sosial terpopuler di dunia ini. Facebook menjadi tersangka dari maraknya kejahatan seperti penculikan, penipuan, pelacuran hingga pencemaran nama baik. Namun tentu kita juga ingat, betapa efektifnya peran media jejaring sosial (Social Media Networking) yang dimanfaatkan Barack H. Obama sebagai alat kampanye dan penarik simpati massa di pemilihan Presiden Amerika 2008 lalu. Facebook dan beberapa media jejaring sosial lainnya berhasil membantu memenangkan Obama menjadi Presiden Amerika Serikat. Kelatahanpun terjadi di Indonesia. Banyak politisi memanfaatkan facebook sebagai media kampanye mereka di Pemilu 2009 lalu dan juga berhasil. Facebook-pun telah memberikan jasa besar bagi perkembangan demokratisasi di Indonesia. Kita tidak mungkin lupa bagaimana perjuangan Prita Mulya Sari yang dibangun para “facebooker” dan netizen menghantam ketidakadilan hukum di dunia nyata. Istilah “cicak dan buaya” menjadi terkenal didunia maya dan memunculkan
2.
Rumusan Masalah Media jejaring sosial telah dimanfaatkan oleh banyak kalangan dan mempunyai peran penting dalam menghubungkan (interrelated) antar warga masyarakat (citizen) di berbagai negara termasuk di Indonesia. Dalam dunia usaha, media jejaring sosial dimanfaatkan secara maksimal dalam usaha marketing dan mengikat serta menciptakan partisipasi pelanggannya (custumer engagement). Pertanyaan menarik adalah sudahkah pemerintah daerah dalam era otonomi daerah ini memanfaatkan secara maksimal media jejaring sosial (Social Media Networking) dalam penyelenggaraan pemerintahan? Apa faktor penyebabnya?
1
Lihat http://www.checkfacebook.com , Indonesia per 18 Mei 2011 menduduki peringkat kedua pengguna facebook terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat . [150]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
for policymaking, geographic information systems, and, most recently, e-government. The rhetoric of these computing-based reform efforts has been that computing is a catalyst that can and should be used to bring about dramatic change and transformation in government”
3.
Tujuan Tujuan kajian ini adalah menjelaskan bahwa peran media jejaring social (Social Media Networking) memiliki posisi yang penting di era otonomi daerah dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya menciptakan ruang partisipasi masyarakat (public engagement) yang demokratis, kebijakan publik di daerah yang berbasiskan fakta hingga efektifitas dan efisiensi pelayanan publik di daerah. Kajian ini juga mengeksplorasi sampai dimana potensi media jejaring sosial dimanfaatkan oleh beberapa lembaga di daerah.
Fountain (2002) yang dikutip Kraemer dan King (2006) mengatakan, “Technology is a catalyst for social, economic and political change at the levels of the individual, group, organization and institution.” Di era e-gov saat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa penggunaan ICT dalam pemerintahan dapat mendorong pelaksanaan birokrasi lebih efektif. Kualitas yang baik dalam pelayanan publik, dan kemudahan akses publik terhadap informasi dan pelayanan yang disediakan pemerintah. Dalam konsep reformasi manajemen publik salah satu dari sembilan reformasi manajemen Bresser-Pereira (2004) adalah mengadopsi secara luas teknologi informasi khususnya teknologi internet untuk mengaudit, pembayaran pembelian hingga berbagai macam registrasi pelayanan. Lebih lanjut Bresser-Pereira (2004) mengatakan, “The new information technology was the central underlying change. It reduced the costs and increased the speed of communications, enabling financial markets to work internationally in real time, and an international civil society to mobilize people for political causes.” Penggunaan ICT dalam penyelenggaraan administrasi dan birokrasi dalam suatu negara merupakan keniscayaan dan merupakan fenomena global dari adanya globalisasi. Hal demikian tidak terkait sebuah Negara menganut ideologi tertentu, tapi ada banyak manfaat yang diperoleh dari teknologi. Di Serbia, salah satu negara di Eropa timur juga melihat penggunaan ICT maupun pengetahuan sebagai faktor kunci dalam keberhasilan kinerja dan produktifitas. Lilić dan Stojanović (2007) mengatakan bahwa dalam lingkungan ekonomi berbasis pengetahuan, ide e-gov sebagai dampak dari syarat efektifitas dan efisensi. Tiga elemen dasar yang dituju dalam pelaksanaan e-governement di Serbia adalah a) menjamin pemerintah yang terbuka dan transparan pada aktifitas lembaga-lembaga pemerintah; b) Menyediakan pelayanan on-line yang memudahkan warga negara (citizens) menggunakan internet untuk membayar pajak, akses untuk mendaftarkan berbagai layanan (access registries), mempermudah prosedur (make applications or undertake procedures), memilih wakil rakyat (elect their representatives), memberikan kritik dan saran (express their opinions) dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, serta c) menghubungkan
B.
Kajian Literatur 1. ICT dan Electronic Government Penggunaan ICT dalam birokrasi pemerintahan menjadi keharusan diberbagai penjuru dunia. Menurut Killian (2008), penggunaan ICT secara umum dan e-gov secara khusus di desain untuk memfasilitasi komunikasi antara pemerintah dan warga masyarakat (citizens). Berdasarkan beberapa hasil kajian yang telah dilakukan beberapa ahli, penggunaan ICT, khususnya e-gov mempunyai dampak yang positif terhadap bidang lain. Sudarto (2006) mencatat hasil penelitian ITU, setiap satu persen investasi dibidang TI akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi mencapai 3 persen. Penggunaan sumberdaya alam juga menjadi hemat, karena terjadi perubahan dari perkantoran berbasis kertas menjadi tanpa kertas (paperless). Dengan demikian penggunaan ICT diharapkan mampu mempercepat upaya memperbaiki birokrasi. Hasil studi Kraemer dan King (2006) menyatakan bahwa pengunaan ICT adalah sebagai katalisator dan instrument penting dalam reformasi administrasi. Kraemer dan King (mengutip Fountain, 2002; Garson, 2004; Gasco, 2003; Reinermann, 1988; Weiner, 1969) menjelaskan hubungan penggunaan ICT dalam reformasi administrasi, “We define administrative reform as efforts to bring about dramatic change or transformation in government, such as a more responsive administrative structure, greater rationality and efficiency, or better service delivery to citizens. Toward these ends, governments historically have undertaken structural reforms, such as city-manager government; budget reforms, such as the executive; performance and program budgets; financial reforms, such as unified accounting; personnel reforms, such as merit-based employment and pay; and many others. Computing has been viewed as an instrument of such reforms and also as a reform instrument, per se. Such instruments are illustrated by urban information systems, integrated municipal information systems, computer-based models [151]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
berbagai lembaga pemerintah dengan lembaga pemerintah lainnya. Berdasarkan pertimbangan diatas Lilić dan Stojanović, (2007) menyimpulkan bahwa e-gov adalah element kunci dalam reformasi birokrasi di Serbia. Mereka mengatakan, “The goal of e-government development is to secure an efficient path of the public administration to the 21 century and that citizens can conduct as many administrative procedures in the future through the Internet as possible. Such action would exclude unnecessary waiting and would save precious time. Within this context, e-government is the key part of public the administration reform strategy in Serbia.”
di tiap stakeholder dengan bantuan ICT. E-gov dan demokrasi melebur menjadi satu potongan puzzle edemocracy. Dimana kampanye online, lobby, activism, berita politik, atau diskusi warga negara, politik dan tatapemerintahan (governance) hari ini menjadi online diseluruh dunia (Clift; 2003). E-democracy merupakan jawaban dari teoritisasi Habermas mengenai masyarakat komunikatif, public discourse dan public sphare. Tegaknya demokrasi dengan terjaminnya ruang publik yang netral, terbuka dan kolaboratif menciptakan wacana rasional yang berpengaruh pada proses-proses pembuatan kebijakan yang legitimate dan rasional pula. Salah satu perangkat dalam menciptakan edemocracy pada masa kini adalah kehadiran media jaringan social (social media networking) yang sangat massif melibatkan banyak pihak seperti Facebook, Twitter, Youtube, Flickr, Wikipedia, weblog, dan beberapa nama lainnya 2. Media jejaring sosial di atas merupakan perkembangan dari teknologi web 1.0 menjadi web 2.0. Web 1.0 merupakan generasi pertama dari website yang bercirikan consult, surf dan search.3 Website generasi pertama hanya berfungsi sekedar mencari atau browsing untuk mendapatkan informasi tertentu. Ciri lainnya adalah terletak pada penampilan web statis, kaku dan satu arah. Sedangkan web 2.0 mempunyai ciri penting yaitu share, collaborate dan exploit. Berbagi, kolaborasi dan mengekploitasi interaksi antar pengguna menjadi keunggulan web 2.0 yang bisa ditemukan di berbagai aplikasi internet seperti yang disebutkan di atas. Media Jejaring sosial berbasiskan web 2.0 merupakan gambaran konstruksi sosial saat ini yang diciptakan oleh kecanggihan teknologi. Oleh karena itu web 2.0 sesungguhnya mempunyai kekuatan yang sangat potensial untuk menciptakan edemocracy yang efektif. Pada perkembangan selanjutnya Web 2.0 menjadi sarana yang tepat untuk membantu pemerintahan dimanapun dalam menjalankan e-gov yang dapat melibatkan semua stakeholder lebih dekat, murah dan demokratis. Maka muncullah istilah Government 2.0 atau Gov 2.0. Menurut Traunmüller dan Kepler (2009) Pada sisi warga masyarakat (citizen), aplikasi Gov 2.0 menjamin terselenggaranya aktivitas warga secara online meliputi partisipasi, petisi, kampanye, monitoring, penegakan hukum, permodelan perilaku warga Negara dalam berinteraksi dengan warga
Pengalaman empiris lain dibuktikan oleh Ibei dan forje (2009) ketika ICT di pergunakan dalam administrasi dan birokrasi di Kamerun. Mereka lebih percaya bahwa reformasi administrasi dan akuntabilitas pelayanan publik dapat berjalan di kamerun jika menerapkan penggunaan ICT dan egov. Ibei dan Forje menyebutkan bahwa dalam “The AFRICAN Governance programme”, beberapa pilot project dibeberapa Negara Afrika sudah melakukan pengenalan e-administration dan beberapa negara malah sudah mengimplementasikan. Khusus dalam proyek Telemedicine dapat dikatakan sukses dalam implementasinya di Kamerun. Artinya, kamerun sebagai bagian negara di benua Afrika yang dikenal sebagai kawasan terbelakang dan salah satu negara dunia ketiga saja dapat merasakan manfaat yang lebih dari penggunaan ICT dalam adminsitrasi dan birokrasi di negara tersebut. Di Indonesia, dimana penetrasi ICT sudah mengalami kemajuan, seharusnya dapat menggunakan ICT secara maksimal dalam penyelenggaraan administrasi dan birokrasi. 2.
E-democracy, Social Media Networking dan Gov 2.0 Penggunaan ICT dalam pemerintahan memberikan dampak yang menggembirakan dalam proses demokratisasi dan pelayanan masyarakat. Egov mempermudah pola hubungan antara administrasi, politik formal dan civil society lebih efektif (Gronlund: 2002). Ketika semua simpul saling berinteraksi, berdiskusi dalam ruang publik maya (virtual public sphare) dan berkolaborasi dalam membuat keputusan maka muncullah apa yang disebut Electronic Democracy (e-democracy). E-democracy atau Virtual Democracy (Norris & James; 1998), Digital Democracy (Hague; 1999), Democracy Online (Shane; 2004) merupakan konsep demokrasi yang berkembang saat ini dan menjadi bentuk demokrasi terpenting di masa depan. Proses demokrasi akan menjadi massif dan berjejaring kuat
2
Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/list_of_social_networki ng_websites.htm/ 3 Lihat http://netsains.com/2007/07/setelah-web20-kini-giliran-web-30/ [152]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Negara lainnya serta pemberian saran dan penilaian terhadap pelayanan publik. Sedangkan di sisi administratif, aplikasi Gov. 2.0 meliputi aktifitas online berupa feedback for improvements, kolaborasi lintas instansi, good practice exchange, pembuatan peraturan dan hukum serta manajemen pengetahuan 4
masyarakat secara luas didalam pemerintahan tapi juga fokus pada proses dimana pengetahuan masyarakat berelasi dengan pemecahan masalah secara ilmiah. E-cognocracy sebagai katalisator proses belajar bersama untuk menciptakan kesadaran (kognisi) politik masyarakat dalam kehidupan bersama, dan internet adalah alat komunikasi pendukungnya. E-cognocracy adalah kombinasi dari tiga ranah ilmiah yaitu demokrasi sebagai bagian kajian teori politik, teori pengambilan keputusan dan penggunaan ICT khususnya pemanfaatan media jejaring social sebagai alat komunikasi dan mengkolaborasikan antar stakeholder (collaboration governance). E-Cognocracy mempertemukan model demokrasi representatif – dimana aktornya adalah para politisi yang ada dalam partai politik – dengan model demokrasi langsung dimana setiap warga negara berpartisipasi langsung dalam proses politik. Masyarakat maya (netizen) di Indonesia merupakan masyarakat kritis yang sesungguhnya mempunyai kekuatan besar dalam menciptakan arus demokratisasi di Indonesia. E-cognocracy sebagai demokrasi digital mempunyai peran penting dalam berjalannya praktek kebijakan publik dan pemerintahan yang baik (good governance). Ecognocracy dapat mensejajarkan masyarakat dalam posisi yang seimbang dengan aktor politik dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Masyarakat kritis dan saling berbagi sangat diperlukan dalam e-cognocracy. Ada banyak asupan ide sekaligus kritik bagai proses kebijakan publik berkualitas. Ada kesamaan hak disana dan kedudukan yang egaliter diantar warga negara. Facebook bukan lagi milik politisi, artis, mahasiswa dan para eksekutif muda, tapi juga tukang ojek, tukang jamu hingga pembantu rumah tangga. Mereka dapat mengakses facebook dan twitter lewat telepon genggamnya. Disitu pula potensi demokrasi digital tumbuh dan berkembang untuk memaksa kebijakan publik lebih representatif dan partisipatif. Pemerintah-lah kemudian menjadi jembatan penghubungan bagi semuanya dan situs jejaring sosial semacam facebook-lah sebagai alat penghubung dan pengumpul aspirasi yang paling murah dan efektif. Contoh sederhana dari praktek ecognocracy di Indonesia – walaupun tidak disadari hal itu sebagai e-cognocracy karena kemungkinan pemerintah tidak menggunakan metode multicriteria decision making – adalah ketika begitu massifnya masyarakat Indonesia khususnya di dunia maya lewat facebook. twitter dan weblog, berpartisipasi penuh kesadaran dalam memberikan masukan pada kebijakan RPM konten Multimedia yang dikeluarkan Kementerian komunikasi dan Informasi pada waktu lalu. Ketika RPM konten Multimedia dilemparkan ke ruang publik, banyak kritik dan
3.
Evidence Based Policy dan E-Cognocracy Teknologi Web 2.0 sudah memudahkan pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk mengembangkan e-gov menjadi lebih mudah dan murah. Memudahkan pemerintah untuk lebih dekat dengan masyarakatnya. Kebijakan publik dengan cara melibatkan masyarakat banyak dalam proses pembuatan keputusan dapat dilakukan melalui media situs jejaring sosial, dimana salah satunya adalah dengan memanfaatkan facebook dan twitter. Kondisi inilah yang disebut Piles, dkk (2006) serta Jimenez (2006) sebagai e-cognocracy. E-cognoracy adalah sistem demokrasi terbaru yang berfokus pada penciptaan dan penyebaran pengetahuan di masyarakat yang terkait dengan bagaimana kompleksitas masalah dapat dipecahkan secara ilmiah sehingga pembuatan keputusan publik dapat dilakukan dengan baik. E-cognocracy menawarkan formulasi khusus untuk menciptakan partisipasi warga Negara (citizen) dalam proses pembuatan keputusan dengan pendekatan Multicriteria Decision Making. E-cognocracy menjadi konsep yang menjembatani kebijakan publik berbasis fakta (evidence based policy). Fakta berupa kritik, saran serta masukan dari para stakeholder termasuk masyarakat menjadi bahan baku pemerintah dalam membuat kebijakan publik yang rasional. Media jejaring social seperti facebook dan twitter menjadi alat yang efektif untuk mengumpulkan fakta-fakta tersebut. Dengan demikian e-cognocracy adalah sistem demokratisasi terbaru yang bekerja untuk menciptakan peradaban baru yang lebih terbuka, transparan, dan masyarakat yang bebas. Pada waktu yang sama, setiap warga negara saling terkait dan saling terhubung dalam kondisi yang penuh partisipasi, seimbang, saling peduli dan membutuhkan. E-Cognocracy merupakan jawaban bagi keterbatasan demokrasi tradisional. E-Cognocracy tidak saja menyediakan ruang untuk keterlibatan 4
Traunmüller, Roland and Johannes Kepler. 2009. E-Governance – Some Challenges Ahead: Social Media Spurring Participation. University of Linz, Austria di unduh dari http://www.slideshare.net/dgpazegovzpi/egovernanc e-some-challenges-ahead-social-media-spurringparticipation pada tanggal 3 Juli 2010 [153]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
masukan dari berbagai stakeholder yang akhirnya dapat mempengaruhi proses kebijakan publik tersebut. Ada debat dan diskusi yang membangun di situ. Akhirnya, berdasar kritik dan masukan berkualitas yang diciptakan oleh interaksi antar masyarakat dan stakeholder di dunia maya, Menkominfo saat itu akhirnya membatalkan RPM Konten Multimedia tersebut. Dengan kata lain, melalui ICT dengan memanfaatkan situs jejaring social, siapapun dapat memberikan masukan, kritik dan saran terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan memanfaatkan situs jejaring sosial, masyarakat mempunyai kekuatan politik yang sangat besar, bukan sekedar potensi tapi juga tindakan nyata yang dapat merubah tatanan hidup suatu bangsa.
Hanya beberapa lembaga pemerintahan di daerah yang menggunakan social media networking dalam usaha pelayanan publik yang maksimal. Salah satu best practice pemanfaatan social media networking di Indonesia berasal dari Traffic Management Center (TMC) Ditlantas Polda Metro Jaya. Selain website, TMC Ditlantas Polda Metro Jaya menggunakan twitter dan facebook dalam melayani masyarakat di bidang lalu lintas 7. Berdasarkan penelusuran penulis, account twitter dan facebook TMC Ditlantas Polda Metro Jaya sudah di manfaatkan masyarakat dengan baik. Banyak masyarakat saling berbagi informasi lalu lintas, hingga memberikan pertanyaan, kritik dan saran. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mengunakan ICT di Birokrasi pemerintah dan pelayanan publik khususnya dengan menggunakan social media networking menjadi kebijakan khusus ditiap Negara federal.8 Ditiap situs e-gov pemerintah federal hingga pemerintah pusat Amerika Serikat, ada akun resmi (official account) di tiap situs social media networking.9 Setiap instansi wajib memiliki minimal akun resmi facebook, twitter, youtube dan myspace untuk dapat melayani dan berhubungan langsung dengan masyarakatnya Berdasarkan fakta diatas, pertanyaan penting adalah mengapa e-gov di Indonesia khususnya pemanfaatan social media networking tidak dilakukan secara maksimal. Beberapa faktor dapat diuraikan sebagai berikut; pertama, jika kita menilik penetrasi penggunaan ICT di Indonesia, ada lompatan besar bahwa sesungguhnya masyarakat Indonesia sudah dapat menerima penggunaan teknologi sebagai bagian yang terpisahkan dalam kehidupan masyarakat (lihat Fuad, 2010). Contoh
C. Pembahasan Jika ditilik dari berbagai website e-gov di Indonesia, nyaris tidak ada kebijakan e-gov berbagai pemerintah daerah di Indonesia untuk memanfaatkan situs media jejaring sosial (Social Media Networking) sebagai official account untuk melayani masyarakat secara online. Hanya sedikit instansi pemerintahan yang menggunakan media jejaring social sebagai perangkat untuk mengumpulkan fakta sebagai bahan pertimbangan kebijakan maupun pelayanan publik. Potensi Indonesia dalam bidang ICT dan penggunaan social media networking sangatlah besar. Menurut berbagai sumber 5 per juli 2010, pengguna internet lewat PC sekitar 25 juta orang dan lewat ponsel sekitar 9 juta dari 165 juta pengguna ponsel di seluruh Indonesia. Melonjaknya penggunaan ponsel di Indonesia salah satu penyebabnya adalah karena terjadi booming pemanfaatan media pertemanan online (social media networking) seperti facebook dan twitter. Indonesia saat ini menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai pengguna facebook yaitu sebanyak 36,533,680 account. Selain itu, pengguna Twitter di Indonesia diperkirakan sebanyak 5,6 juta account.6 Sayangnya dibidang pemerintahan hanya sedikit instansi pemerintahan di daerah menyadari potensi tersebut.
7
Social media networking TMC Ditlantas Polda Metro Jaya dapat dikunjungi di http://twitter.com/tmcpoldametro dan http://www.facebook.com/TMCPoldaMetro 8 Perdebatan tentang kebijakan pemanfaatan social media networking dapat dibaca pada situs http://www.iq.harvard.edu/blog/netgov/2009/07/the_ complexity_of_government_20.html , impact of social computing of public services at http://ipts.jrc.ec.europa.eu/publications/pub.cfm?id= 2820 , http://memeburn.com/2010/06/could-socialnetworking-actually-be-a-threat-to-democracy, http://socialwizz.com/Is_social_media_bad_for_dem ocracy _Social_Wizz.htm, http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2010/04/18/ social-media-in-government-facing-a-tsunami-witha-teacup, http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2009/11/24/ government-2-0-and-the-expiry-date-of-socialnetworks 9 Sebagai contoh, lihat situs pemerintah federal California, http://www.ca.gov/
5
Diolah dari berbagai sumber seperti situs http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/tr ansaksi-bisnis-ict-di-indonesia-rp-300-triliun-pertahun/ , http://www.detikinet.com/read/2010/05/25/130546/1 363675/328/ menkominfo- soroti-maraknya-asingdi-telekomunikasi/ dan http://www.detikinet.com/read/2007/09/07/131313/8 26987/328/2010-pengguna-ponsel-indonesia-capaiseparuh-populasi/ 6 Lihat http://virtual.co.id/blog/socialmedia/twitter-tembus-lima-juta-akun-di-indonesiasocial-media-marketing-makin-rumit/ [154]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
terbaru, dengan adanya aplikasi jejaring sosial di Internet semacam, Friendster, Twitter dan Facebook sesungguhnya penggunaan internet dan akses terhadap teknologi ICT di Indonesia melompat tajam menjadi 600 persen atau 6 kali lipat dari sebelumnya. Dengan kata lain dengan beberapa intervensi dan strategi tertentu, sesungguhnya masyarakat sudah siap menerima perubahan budaya dalam bidang ICT. Namun pada pelaksanaan dilapangan belum ada upaya yang khusus dan serius oleh pemerintah daerah di Indonesia dalam penggunaan ICT untuk melayani masyarakat. Masih banyak SDM dalam birokrasi di daerah yang gagap teknologi. Ataupun ketika banyak aparat birokrasi di daerah sudah mulai mengenal teknologi, mereka bukan memanfaatkan teknologi untuk melayani masyarakat sebagai upaya efektifitas dan efisiensi malah menggunakan ICT hanya sebagai sarana hiburan belaka. Situs jejaring sosial semacam facebook bukan dimanfaatkan untuk mempermudah melayani masyarakat namun menjadi sumber penurunan produktivitas kerja. Kedua, penggunaan e-gov oleh lembagalembaga pemerintah di daerah hanya sebatas menggugurkan kewajiban memenuhi anjuran pemerintah pusat via kemenkominfo. Malah, dalam kondisi tertentu e-gov dipandang sebagai proyek yang menggiurkan karena merupakan program highcost dimana membutuhkan investasi dengan dana besar sehingga membuka kesempatan bagi banyak kalangan khususnya birokrasi pelaksana untuk menjadikan lahan korupsi. Ketiga, secara statistik, implementasi e-gov di berbagai lembaga pemerintah dan daerah, 80 persen situs e-gov hanya sebagai situs penyedia informasi dan belum pada tahap interaksi apalagi transaksi pelayanan (lihat, Rokhman, 2008). Dengan kata lain penggunaan media social networking berbasis web 2.0 di berbagai situs e-gov di Indonesia tidak dimanfaatkan secara maksimal. Permasalahan terbesar penyelenggaraan egov di Indonesia adalah pemahaman para pembuat kebijakan dalam hal ini pimpinan birokrasi yang berangggapan bahwa penyelenggaraan e-gov hanya sekedar memiliki website berisi informasi lembaganya. Website dibanyak instansi pemerintah daerah di Indonesia baru menerapkan web 1.0 yang kaku dan tidak interaktif. Jauh dari harapan dimana pelayanan online yang interaktif sesungguhnya mudah untuk dilakukan. Kajian lebih jauh mengenai hambatan-hambatan e-gov di Indonesia dapat dilihat beragam komentar yang secara keseluruhan menilai negatif implementasi e-gov di Indonesia pada link ini, http://virtual.co.id/blog/internet-marketing/egoverment-yang-abai-komunikasi-online/ Selain itu bukti ketidakseriusan penggunaan ICT dan e-gov dalam pelayanan publik di Indonesia adalah dengan melihat hasil riset
lembaga penelitian Brookings tahun 2009 tentang pelayanan publik menggunakan media internet yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 175 dari 198 negara yang dinilai. Peringkat Indonesia dapat dikatakan mengalami penurunan dan kemunduran. Tahun 2008, Indonesia berada di peringkat ke-170, dan tahun 2009 turun menjadi 5 level. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara terbawah dalam pelayanan pemerintah menggunakan media internet. Sementara Singapura menjadi yang termaju dengan menempati ranking ke-4. Atau bandingkan dengan dua negara terbelakang di Asia yaitu Afghanistan yang menduduki peringkat 76 dan Timor Leste yang berada diatas posisi Indonesia, yaitu diperingkat 156. (lihat www.yadmi.or.id). Keempat, pemahaman, kemauan dan kemampuan pemimpin dalam memanfaat ICT berbasiskan Social Media Networking sebagai visi besar dalam menjalankan roda organisasi publik yang efektif dan efisien. Menurut Kraemer dan King (2006) permasalahan utama penggunaan ICT adalah dari sisi pimpinan dalam mendistribusikan teknologi secara efesien, hal ini disebabkan ketidakpahaman pimpinan atas manfaat penggunaan teknologi pada sistem birokrasi. Kraemer dan King mengatakan, “The main problem with the claim that information technology is an instrument of administrative reform is the lack of evidence to back it up. Faced with this, proponents respond that the potential of IT to produce reform is thwarted because of top management’s failures to distribute the technology efficiently, to empower lower level staff, to re-engineer the organization along with computerization efforts, and to become hands-on knowledge executives themselves. Much of the benefit that IT could bring to organizations is lost due to poor management, but this does not explain the failure of the reform hypothesis.” Selain itu Noveck (2009:148) juga mengungkapkan hal yang hampir sama mengenai peran pimpinan pemerintah. Noveck mengatakan sangat penting untuk mengalamatkan pada peran pemimpin politik dalam mendorong inovasi dan reformasi berbasis teknologi dalam institusi pemerintah. Sebagai contoh administrasi Obama (The Obama Administration) memberikan nama lembaga pemerintahannya sebagai “the country’s first chief technology officer” yang meniatkan diri sebagai lembaga yang berperan secara spesifik dalam memimpin perubahan. Noveck lebih lanjut mengatakan tentang perhatian pemerintah Obama dalam memanfaatkan teknologi dalam pelayanan masyarakat, “Because every leader has an imperative today to apply innovative, technologically enabled approaches to solve [155]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
problems on the policy agenda, there is not necessarily a special focus on how technology can also help to create twenty-first-century institutions of governance.” Jika dibandingkan dengan Indonesia, sangat sedikit pemimpin pemerintahan daerah di Indonesia yang bervisi ke depan. Melayani masyarakat agar efektif dan efisien dengan memanfaatkan ICT khususnya memanfaatkan social media networking. Banyak pemimpin daerah yang gagap teknologi dan ketika Pemerintah Pusat mewajibkan pelayanan masyarakat dengan memanfaatkan e-gov di tiap daerah, e-gov bukan dipandang sebagai terobosan baru pelayanan masyarakat namun menjadikan proyek yang menguntungkan. Sehingga menjadi tidak heran kualitas situs e-gov di berbagai daerah di Indonesia hanyalah berfungsi sebagai brosur online belaka, tidak lebih. Manfaat yang diperoleh lebih sedikit dari biaya yang sudah dikeluarkan. Untuk membantu analisis ini, jika diasumsikan kisaran umur pimpinan birokrasi daerah sebagai pemegang kebijakan sekitar pada rentang umur 55-64 tahun, maka dapat dimaklumi bahwa pemanfaatan social media networking menjadi tidak penting dan tidak disadari oleh para pembuat kebijakan. Menurut data yang dirilis situs checkfacebook.com, pengguna facebook di Indonesia dengan rentang umur 55-64 tahun hanya 0,4 Persen dari 29,844,240 pengguna facebook di Indonesia secara keseluruhan. Faktor terakhir tidak dimanfaatkannya Social Media Networking dalam pelayanan publik oleh pemerintah daerah di Indonesia adalah karena ketiadaan hasrat untuk melayani (passion for service). Secanggih dan semudah apapun alat bantu kita dalam menjalankan pelayanan publik, namun ketiadaan hasrat untuk melayani pada jiwa pelayan publik di daerah maka semua bentuk pelayanan tidak pernah berjalan maksimal dan memuaskan masyarakat.
the Republican State. New York. Oxford University Press Inc. Clift, Steven. 2003. E-Democracy, E-Governance and Public Net-Work (Government 2.0), diunduh dari http://www.publicus.net/articles/edempubli cnetwork.html Fuad, Anis. 2010. Facebook dan E-Cognocracy. dalam Radar Banten edisi Senin, 1 Maret 2010 Grönlund, Åke. 2002. Electronic Government: Design, Aplication & Management. Hershey PA. Idea Group Publishing Hague, Barry N. dan Brian D. Loader. 1999. Digital Democracy: Discourse and Decision Making in the Information Age. New York. Routledge Ibei, John Egbe Dan John W Forje. 2009. Chalenges of Administrative Reforms and Public Service Accountability In Africa: The Case of Cameroon. Cameroon Journal On Democracy An Human Rights Vol 3. No.1 June 2009 Killian, Jerri. 2008. The Missing Link in Administrative Reform: Considering Culture dalam Jerri Killian dan Niklas Eklund (ed.). Handbook of Administrative Reform : an International Perspective, CRC Press : Florida Kraemer, Kenneth dan John Leslie King. 2006. Information Technology and Administrative Reform: Will EGovernment be Different? dalam International Journal of Electronic Government Research, 2(1). 1-20. JanuaryMarch 2006 Lilić, Stevan and Maja Stojanović. 2007. EGovernment and Administrative Reform in Serbia. Masaryk University Journal of Law and Technology Noveck, Beth Simone. 2009. Wiki Government: How Technology Can Make Government Better, Democracy Stronger, And Citizens More Powerful. Washington D.C. Brookings Institution Press Rokhman, Ali. 2008. Potret dan Hambatan EGovernment Indonesia. Jurnal Inovasi Edisi Vol.11/XX/Juli 2008 diunduh dari http://io.ppijepang.org/article.php?id=263 Shane, Peter M. (Ed.). 2004. Democracy Online: The Prospects for Political Renewal Through the Internet. New York. Routledge Sudarto, Yudo. 2006. E-Goverment Dan Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan Yang Baik dalam Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia. Bandung. Institut Teknologi Bandung
D.
Kesimpulan dan Saran Dalam era otonomi daerah, melayani masyarakat lewat e-gov sesungguhnya tidak perlu rumit dan mahal. Faktor terpenting dalam menjalankan pemerintahan di era otonomi daerah adalah kreatif, inovatif dan berfikir efektif serta efisien. Untuk menciptakan partisipasi masyarakat yang begitu massif sesungguhnya tidak membutuhkan biaya mahal. Manfaatkan teknologi yang ada, lihat teknologi apa yang berkembang di masyarakat dan ikutilah arus mereka (masyarakat). Social Media Networking menjawab akan kebutuhan otonomi daerah. E. Daftar Pustaka Bresser-Pereira, Luiz Carlos. 2004. Democracy and Public Management Reform: Building [156]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Traunmüller, Roland and Johannes Kepler. 2009. EGovernance: Some Challenges Ahead: Social Media Spurring Participation, University of Linz, Austria diunduh dari http://www.slideshare.net/dgpazegovzpi/eg overnance-some-challenges-ahead-socialmedia-spurring-participation Piles, Joan Josep, José Luis Salazar, José Ruíz dan José María Moreno-Jiménez. 2006. The Voting Challenges in e-Cognocracy dalam Robert Krimmer. Electronic Voting 2006: Lecture Notes in Informatics (LNI) – Proceedings Series of the Gesellschaft für Informatik (GI). Bonn. Gesellschaft für Informatik Sumber internet/website: http://virtual.co.id/blog/internet-marketing/egoverment-yang-abai-komunikasi-online/ http://www.yadmi.or.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=267:indonesia-beradadi-ranking-ke-175-dalam-egoverment&catid=38:terkini&Itemid=69 http://en.wikipedia.org/wiki/list_of_social_netwo rking_websites.htm http://netsains.com/2007/07/setelah-web-20-kinigiliran-web-30 http://twitter.com/tmcpoldametro http://www.facebook.com/TMCPoldaMetro http://www.iq.harvard.edu/blog/netgov/2009/07/t he_complexity_of_government_20.html http://ipts.jrc.ec.europa.eu/publications/pub.cfm? id=2820 http://memeburn.com/2010/06/could-socialnetworking-actually-be-a-threat-to-democracy http://socialwizz.com/is_social_media_bad_for_ democracy_social_wizz.htm http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2010/04/ 18/social-media-in-government-facing-atsunami-with-a-teacup http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2009/11/ 24/government-2-0-and-the-expiry-date-ofsocial-networks http://www.detikinet.com/read/2007/09/07/1313 13/826987/328/2010-pengguna-ponselindonesia-capai-separuh-populasi http://www.ca.gov/
Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta Serang Banten. Anis Fuad dapat di temui di http://anisfuad.com dan http://anis-fuad.com
Identitas Penulis Anis Fuad, Lahir di Serang; menempuh Program Sarjana Ilmu Administrasi Negara di FISIP UNS Surakarta; sedang menempuh Magister Ilmu Administrasi Publik di almamater yang sama. Aktif sebagai peneliti di Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta dengan fokus kajian EGovernment, Sistem Informasi Manajemen dan Akuntabilitas Publik. Aktif menulis di beberapa media massa, buku, dan jurnal. Saat ini mengajar di [157]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
OTONOMI UNTUK MEWUJUDKAN BANTEN MANDIRI, MAJU DAN SEJAHTERA Prof. DR. Paulus Tangdilintin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pelita Harapan Karawaci, Tangerang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Otonomi yang dijalankan sejak awal reformasi memikul mandat yang khas. Motivasinya dilartarbelakangi oleh suatu pengalaman yang tragis. Pengalaman tragis itu merupakan akibat pembangunan yang menyimpang dari tujuan utama republikini yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam tatanan negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu otonomi yang kita jalankan sekarang terutama diarahkan untuk mengoreksi pembangunan yang dilakukan rezim Orde Baru yang terlalu mengejar pembangunan fisik material khusunya ekonomi, dan sebaliknya mengabaikan bahkan melumpuhkan pilar-pilar utama kelembagaan masyarakat yaitu keadilan, persamaan, dan kelestarian lingkungan. Pada hal pilar-pilar itulah yang akan menjadi modal sosial untuk memperkokoh masyarakat dan meningkatkan daya juang menghadapi berbagai tantangan. Setelah lebih satu dekade reformasi, ternyata kita belum mampu mewujudkan cita-cita reformasi itu bahkan ada kecendrungan kita mengulangi kesalahan Rezim Orde Baru. Kata kunci: otonomi, desentralisasi, kesenjangan sosial, ekonomi ganda, pelaku pembangunan, substansi pembangunan, metode pelaksanaan pembangunan dibendung bahkan sebaliknya diharapkan dapat menghadirkan banyak peluang bagi warga Banten. Sebagian wilayah Propinsi Banten saat ini merupakan kawasan yang padat industri yang memberi peluang kerja bagi masyaraskat. Hal ini merupakan berkat yang terbawa oleh ”ekspansi” yang telah menghadirkan sejumlah fasilitas penting penunjang kegiatan ekspor impor berupa Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Bojonegara, dan juga infrastruktur seperti aliran listrik, air bersih dan transportasi seperti jalan tol dan kereta api, sehingga tidak heran bahwa cukup banyak industri yang memilih untuk berlokasi di Propinsi Banten. Fasilitas yang semakin baik itu menjadi faktor penarik bagi masuknya insvestor untuk membuka usaha di Banten. Pada saat ini paling sedikit terdapat 18 kawasan industri yang berada di sepanjang pesisir Utara dari Anyer, Ciwandan, Kragilan, Balaraja, Cikupa Pasar Kemis, hingga Serpong. Sedang Cilegon, Serang dan Tangerang menjadi pusat perdagangan dan jasa. Produk domestik regional bruto Propinsi Banten didukung dari sektor modern, yaitu : 47% dari sektor industri, 19% sektor perdagangan dan 5,35% dari sektor jasa. Mayoritas penduduk Propinsi Banten bekerja di sektor modern. Di Kabupaten Tangerang tercatat 43% penduduk yang berusia 15 tahun ke atas bekerja di sektor industri, sedang di Kota Serang, Kota Tangerang, dan Cilegon tercatat masing-masing 39%, 46% dan 44%. Tanpa terasa Banten Utara telah menjadi bagian integral dari kegiatan ekonomi global. Pengaruh ekonomi global telah membuat Banten Utara semakin dinamis, terus menata diri menjadi lingkungan yang kondusif bagi para investor.
1.
Latar Belakang Propinsi Banten tergolong propinsi baru yang diresmikan pada tahun 2000 berdasar UndangUndang Nomor 23 Tahun 2000. Sebagai propinsi baru pasti banyak masalah yang muncul, dan tentu lebih banyak lagi masalah yang belum ditemukan. Dibutuhkan banyak upaya untuk mengungkap semua masalah itu, untuk kemudian dicarikan pemecahan, sehingga SDM yang kompeten sangat dibutuhkan untuk menyusun strategi dan menetapkan urutan prioritas. Dalam kondisi demikian, Banten butuh waktu persiapan, butuh model untuk dijadikan perbandingan. Tetapi hal ini tentunya tidak mudah karena Banten mempunyai keunikan dan masalah tersendiri yang berbeda dengan daerah lain, baik dari sisi latar belakang sejarah masa lampau maupun kondisi aktual lingkungan yang dibawa oleh derasnya arus globalisasi dan informasi. Bagaimana gambaran Banten saat ini? Kemana pembangunan Banten akan dibawa? Itulah pertanyaan yang harus dijawab sebelum berbicara tentang pemecahan masalah baik yang sudah dikenal (aktual) maupun yang baru akan ditemukan (latent). Jawab atas pertanyaan ini pasti beragam, tergantung sudut pandang melihatnya. Banten merupakan salah satu propinsi yang bersentuhan langsung dengan Ibu Kota Negara, Jakarta. Posisi ini mempunyai pengaruh ganda kepada perkembangan Banten saat ini dan masa yang akan datang. Banyak hal yang menguntungkan tetapi tidak sedikit membawa permasalahan rumit bahkan menambah peliknya permasalahan yang telah ada. Banten tentu tidak dapat membendung ”ekspansi” kota metropolitan yang terus mendesak keluar. ”Ekspansi” itu bukan hanya tidak dapat [158]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Namun perkembangan ini bukan tanpa masalah bagi Banten. Dinamika perekonomian global yang dialami Banten Utara tidak diikuti oleh Banten Selatan, sehingga terjadi kesenjangan. Masalah kesenjangan bukanlah masalah yang mudah. Perekonomian global telah membuat sektor perekonomian bekerja sebagai satu tatanan sendiri dan beroperasi dalam jalinan yang terkait secara global. Kekuatan penggerak di belakang perkembangan tersebut adalah perusahaanperusahaan global yang dewasa ini semakin aktif mengukuhkan dan mengkonsolidasikan diri. Oleh karena itu, kekuatan-kekuatan globalisasi ini cendrung mengikis integrasi dan otonomi perekonomian lokal. Globalisasi telah membuat kesenjangan antara Banten Utara dan Banten Selatan yang semakin melebar. Kurangnya prasarana dan sarana transportasi telah membuat wilayah Banten Selatan cenderung terisolasi, sehingga produksi pertanian mereka sulit dipasarkan. Tidak heran jika di Pandeglang misalnya masih dijumpai perdagangan barter. Untuk mendapatkan minyak goreng atau garam misalnya, mereka harus menukar dengan beras, atau untuk mendapatkan peralatan rumah tangga (seperti gelas) ditukar dengan ayam. Seekor ayam ukuran sedang dapat ditukar dengan 6 buah gelas. Kabupaten Lebak juga mengalami masalah minimnya prasarana jalan. Namun faktor utama kemiskinan di Lebak adalah karena minimnya tanah pertanian untuk digarap. Dari 304.472 hektar tanah di Lebak sebagian dikuasai oleh negara dan swasta. Tercatat 43.000 hektar termasuk wilayah TNGHS, 33.000 dikuasai Perhutani, dan 67.000 hektar dikuasai oleh perkebunan negara dan swasta, serta 5.130 hektar merupakan tanah ulayat masyarakat adat Baduy. Penduduk Lebak rata-rata hanya memiliki 0,57 hektar atau 1200 meter persegi perkeluarga. Tanah seluas itu tentu tidak mungkin digarap sebagai sumber mata pencaharian. Banten sekarang terjebak dalam kondisi ekonomi ganda (ekonomi dualistik) yaitu dua sistem ekonomi dalam satu masyarakat. Kedua sistem ekonomi ini masing-masing memiliki pijakan budaya, aturan main, teknologi das pola-pola permintaan dan teknik pelaksanaan yang berbeda. Ekonomi dualistik pertama kali diperkenalkan oleh Boeke 1953 untuk menyuburkan hadirnya sistem ekonomi modern dan sistem ekonomi tradisional secara bersamaan dalam ekonomi kolonial. Ia yakin bahwa kedua sistem tersebut sulit dipadukan. Dalam sistem ekonomi ganda, masyarakat yang menjalankan ekonomi modern menikmati kekayaan, sedangkan ekonomi tradisional tetap misikin dan tidak dapat memperoleh imbas dari ekonomi kaya itu. Slogan yang pas untuk keadaan itu adalah ”yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin”.
2.
Gambaran Situasi Gambaran situasi di atas memperlihatkan permasalahan utama yang dialami oleh Propinsi Banten yaitu masalah kesenjangan antara Banten Utara dan Banten Selatan. Permasalahan ini menjadi tantangan yang sangat aktual jika dihadapkan dengan motivasi dasar pembangunan yang saat ini sedang dilaksanakan pemerintah daerah yaitu untuk Mewujudkan Masyarakat Mandiri, Maju dan Sejahtera. Masyarakat Banten yang makmur hanya dapat diwujudkan jika kesenjangan dapat dihilangkan atau paling tidak dapat dijembatani. Kemakmuran hanya dapat dicapai jika seluruh kekuatan dari semua komponen masyarakat dapat dilibatkan dalam pembangunan. Keterlibatan ini dapat bermakna ganda. Keterlibatan dapat mempercepat tercapainya cita-cita masyarakat makmur, tetapi juga keterlibatan dapat meningkatkan rasa percaya diri yang berarti memperkokoh identitas setiap komponen itu. Selanjutnya dengan partisipasi akan timbul rasa saling membutuhkan di antara semua komponen masyarakat. Namun saat ini hal tersebut tentu tidak mudah untuk diwujudkan karena karakter ekonomi global, yang sudah disebutkan di atas, menjadi bagian dari tatanan ekonomi yang cenderung bergerak sendiri, dan lebih berorientasi keluar. Dalam situasi tersebut, ekonomi global bekerja dalam jaringan bisnis global dan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan global baik dalam upaya memasok bahan baku, maupun dalam mencari akses pasar tempat melempar produksi. Untuk membangun masyarakat Bantren yang otonom, dalam pengertian mandiri, ternyata banyak hambatan yang harus diatasi. Globalisasi tidak lagi dapat dihindarkan melainkan harus diterima sebagai bagian dari lingkungan kita. Tantangan sekarang adalah bagaimana memanfaatkan ekonomi global ini secara positif. Ekonomi global harus dimaknai sebagai hadirnya peluang emas untuk mendongkrak ketertinggalan. Salah satu karakter lain dari perekonomian global yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya mobilisasi yang terwujud dalam aliran masuk tenaga kerja dari daerah luar Banten, untuk mambuka usaha maupun untuk mencari pekerjaan. Hal ini menyebabkan warga asli Banten semakin terpinggirkan baik secara fisik maupun sosial. Secara fisik memberikan implikasi terjadinya perpindahan lokasi tempat tinggal, dan secara sosial menyebabkan hilangnya simbol-simbol tradisional seperti kepemilikan tanah atau status sosial adat lainnya. Globalisasi juga cenderung menimbulkan fasilitas-fasilitas budaya baru yang dapat menimbulkan konflik. Perkembangan ini harus diimbangi dengan dikembangkannya institusi yang dapat mulai menata masyarakat sesuai dengan perkembangan yang aktual.
[159]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Arus mobilitas sekarang memperlihatkan adanya kecenderungan terpinggirkannya budaya lokal, padahal modal utama untuk membangun masyarakat yang mandiri adalah identitas yang tercermin dalam budaya lokal tersebut. Situasi demikian juga merupakan suatu tantangan berat yang harus dihadapi. Sebenarnya perkembangan industri yang daya rusaknya mulai terlihat masih belum mencukupi untuk menyerap semua potensi tenaga kerja yang ada di Propinsi Banten. Jumlah pencari kerja yang ada lebih besar daripada jumlah lowongan kerja yang tersedia, sehingga secara absolut terdapat angkatan kerja yang masih belum mendapatkan pekerjaan. Data tahun 2007 misalnya, mencatat para penganggur di Propinsi Banten sebanyak 632 ribu dan bagian terbesar dari jumlah itu justru berada di Kabupaten Tangerang salah satu wilayah padat industri, yaitu 233 ribu orang. Salah satu penyebab banyaknya angka pengangguran ini adalah tingkat pendidikan angkatan kerja yang masih belum memadai, sehingga banyak posisi yang diisi oleh angkatan kerja dari daerah-daerah selain Propinsi Banten. Selain itu, seandainya pun terserap sebagai pegawai, banyak angkatan kerja yang hanya menduduki posisi rendah sebagai buruh atau pekerja kasar. Hal ini diperparah dengan tingginya angka pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi, terkait dengan buruknya kondisi perekonomian dunia di masa kini. Sebagai akibatnya, potensi besar berupa aset angkatan kerja ini malah akan menjadi suatu beban bagi perekonomian propinsi Banten. Namun tidak berarti bahwa jalan keluar sudah tertutup untuk memperbaiki keadaan. Salah satu strategi yang dapat diambil adalah melaksanakan Otonomi Daerah secara konsekuen.
menetapkan kebijakan pertumuhan tinggi untuk pembangunan ekonomi1. Hasilnya luar biasa. Pertumbuhan yang dicapai rata-rata 7,9% bahkan pada 1968 mencapai 10,9%2, dan selama Repelita I pertumbuhan tercatat rata-rata 9,9%. Pendapatan perkapita juga terus meningkat, sehingga keberhasil yang diperlihatkan lewat angkaangka ini telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang sukses melaksanakan pembangunan dan dicatat sebagai salah satu macam Asia. Bukan hanya pembangunan ekonomi, pembangunan sosial juga mendapat perhatian besar di masa Orde baru. Sejak pelita III prioritas pembangunan fokus pada pemerataan dengan mencanangkan program 8 jalur pemerataan. Program-program kesejahteraan yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan digiatkan pada semua level (individu, kelompok, regional, wilayah, kawasan) melalui semua instansi (departemen dan non departemen) dengan menggunakan berbagai model (candak kulak, PKT,P4KT, BKD, IDT, KCK,JPS,P2DKE, PEMP, Takesra, P2KP, PPK). Seperti pembangunan ekonomi pada umumnya, pembangunan kesejahteraan ini juga tercatat sukses. Penelitian yang dilakukan Mubyarto untuk mengvaluasi program IDT seluruh Indonesia membuktikan hal itu.3 Melihat rekam keberhasilan pembangunan ekonomi maupun sosial itu sulit dipercaya bahwa Rezim Orde Baru harus tumbang oleh kerusuhan besar yang dipicuh oleh penderitaan yang disebabkan oleh kemiskinan. 4.
Otonomi Daerah sebagai Solusi Skema Otonomi Daerah yang dikembangka menyusul tumbangnya era Orde Baru adalah bagian dari solusi untuk meluruskan kembali cita-cita pembangunan bangsa sesuai jiwa Undang-undang Dasar 45, setelah pembangunan yang dijalankan Resm Orde Baru gagal mewujudkan kesejahteraan bangsa. Karena meskipun selalu mencatat keberhasilan dengan angka pertumbuhan yang tinggi dan pendapatan perkapita yang terus meningkat, ternyata hasil pembangunan itu hanya dinikmati oleh sekelompok kecil mereka yang kuat, sedang sebagian terbesar rakyat justru semakin terjepit. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar, yang menimbulkan kecemburuan sosial yang makin lama makin sulit diredam akhirnya meletus dalam berbagai bentuk perlawanan yang sulit dikendalikan.
3.
Banten Cerminan Indonesia Kondisi dan situasi Banten yang tergambar secara singkat di atas sebenarnya sekaligus mencerminkan kondisi dan situasi Indonesia secara nasional. Indonesia secara nasional mengalami kesenjangan antara kota dan desa, antara Indonesia bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Ada sektor-sektor kegiatasn ekonomi yang telah terhisap kedalam kegiatan ekonomi global yang moderen, sementara ada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang masih dikelola secara sangat tradisional yang terus tertinggal dan semakin terjepit. Yang disebut terakhir ini justru menjadi tumpuan harapan sebagian besar masyarakat yang tinggal di pedesaan atau di bagian-bagian kumuh dalam semua kota di Indonesia. Kondisi suram ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan yang diambil pada fase pemulihan di awal era Orba yang salah satunya adalah mengundang investasi sebesar-besarnya, yang selanjutnya dikuatkan oleh keputusan MPR yang
1
Untuk tujuan itu pada 1 Januari 1976 disyahkan UU pananaman Modal asing dan pada 3 Juli 1968 UU penanaman Modal Dalam Negeri. 2 Lihat Baswir dkk, 1999, mengutip Sundrum 1986 3 Mubyarto, 1999,h.9-11 [160]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Pertanyaan yang menggoda adalah kenapa pembangunan yang dinilai sangat berhasil itu ternyata membawa bencana? Di mana kesalahannya? Bagaimana memperbaikinya? Itu pergumulan yang muncul di awal era reformasi. Jawab atas pertanyaan ini pasti banyak, tetapi tetapi sesuai topik ada 2 yang paling mempengaruhi solusi yang dipilih saat itu. Pertama: system pemerintahan yang sangat sentralistik, otoriter dan birokratis. Kedua,paradigma pembangunan (ekonomi) yang sangat fokus pertumbuhan dan berorientasi pasar. Krisis yang terjadi itu telah menimbulkan kesadaran bahwa cita-cita bangsa ini telah bergeser jauh dari yang diamanatkan UUD 45. Karena itu transformasi total harus segera dilakukan. Pilihan untuk itu adalah pelaksanaan Otonomi Daerah yang tujuannya tercermin dari prisip-prinsip yang terkandung dalam UU.no 22/99 dan rumusan operasionalnya tercermin dalam Program Pembangunan Nasioanl (Propenas) 1999. Otonomi menurut UU.no. 22/99 itu dirumuskan sebagai : kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirassi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU.no.22, ps 1.h.). Dalam UU. No 32/2004 (pengganti UU no 22/99) rumusan itu menjadi: otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU.no 32 ps. 1 butir 5) Dari rumusan itu tercermin bahwa tujuan otonomi adalah mengganti sistem pemerintahan yang sentralistik, otoriter, dan birokratis menjadi lebih partisipatif, demokratis. Rumusan itu memperlihatkan bahwa otonomi yang dipilih sebagai solusi krisis itu adalah otonomi yang mengutamakan kepentingan daerah dan masyarakatnya dan bukan kepentingan pemerintah pusat (seperti jiwa UU no. 5/74). Desentralisasi yang dijalankan di era reformasi ini seharusnya dipahami sebagaimana dirumuskan oleh Pide (1997) yang dikutip oleh Joko Widodo (2001?) bahwa “desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi /lembaga / pejabat yang lebih tinggi kepada institusi / lembaga / fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut.4 Penegasan ini penting karena dalam praktek pemberian kewenangan dari pusat ternyata hanya berhenti di Propinsi atau kabupaten, dan tidak dilanjutkan kepada institusi / lembaga atau pejabat dibawahnya.
4
Ada banyak perubahan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan otonomi ini, baik dalam menata sistem pemerintahan maupun menata jalannya pembangunan pada semua level mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Paling tidak perubahan (khususnya yang menyangkut penataan pembangunan) itu menyangkut 3 bidang yaitu (a) perubahan menyangkut pelaku pembangunan, (b) perubahan menyangkut metode pembangunan dan (c) perubahan menyangkut substansi pembangunan. Cita-cita propinsi Banten untuk mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejahtera berdasar Iman dan Taqwa hanya dapat diwujudkan jika ke 3 perubahan yang diamanatkan otonomi itu dapat dilakukan. (a). Mengenai perubahan pelaku pembangunan, undang-undang Otoda menetapkan adanya penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, atau kalau mengikuti rumusan Pide tadi, nbedrarti penyerahan kewenangan dari instansi yang lebih tinggi ke instansi yang lebih rendah, bahkan menurut jiwa UU otonomi desentralisasi itu harus bermuara ke masyarakat. Tujuannya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, bahkan lebih dari itu ditegaskan (dan mungkin ini yang lebih menarik) bahwa peran pemerintah yang selama ini sangat dominan melakukan pembangunan akan digantikan oleh peran serta masyarakat yang semakin besar. (b) Mengenai perubahan substansi pembangunan pasal tadi mengisyaratkan bahwa fokus pembangunan di era Otonomi itu tidak lagi hanya pada fisik material tetapi juga (dan mungkin terutama) pada peningkatan kualitas manusia. Maksudnya bahwa keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari tingkat pertumbuhan tetapi keberhasilan itu terutama harus dinilai dari kualitas kinerja manusia yang lebih mampu berinisiatif dan lebih berani menyampaikan aspirasinya. Harus disadari bahwa kekayaan sesungguhnya yang menjadi andalan setiap masyarakat adalah manusia warganya. Kekayaan dan kekuatan yang seharusnya menjadi andalan Indonessia adalah warga (manusia) Indonesia dan bukan terutama sumber daya balamnya, demikian juga kekayaan dan kekuatan yang seharusnya menjadi andalan Banten adalah warga Banten. Masyarakat yang memiliki sumber daya alam yang sangat terebatas telah membuktikan hal itu seperti Jepang, Singapur atau Israel. Negara-negara ini dapat tampil menjadi kekuatan dunia yang cukup diperhitungkan karena didukung oleh warga yang berkualitas. (c) Sedang menyangkut metode pelaksanaan pembangunan tersirat prinsip bahwa cara atau pendekatan pembangunan tidak hanya
Joko Widodo (2001:39) mengutip Pide, 1997:34
[161]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pembangunan sektoral namun juga pembangunan wilayah bahkan secara lebih terfokus adalah pembangunan masyarakat (community building). Perubahan yang mendasar disini adalah pada pendekatan yang selama ini kita anut yang beranggapan bahwa kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan membangun berbagai sektor (seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya) akan diarahkan menjadi pembangunan kemasyarakatan. Pembangunan kemasyarakatan menganut strategi bahwa masyarakatlah yang seharusnya diprioritaskan untuk dibangun dan diperkuat sehingga mampu membangun dirinya sendiri. Membangun masyarakat pada dasarnya berarti membangun sistem yang wujudnya institusiinstitusi dalam masyarakat itu. Institusi-institusi dalam masyarakat dapat dibedakan atas : institusi pasar (ekonomi), institusi sosial (masyarakat) dan institusi politik (pemerintah). Simon Peres pernah bercerita tentang awal Israel menjalin hubungan dengan Rusia. Yang pertama diminta Rusia dari Israel adalah sapi, karena sapi Israel dapat memproduksi susu 3 kali lebih banyak dari sapi pada umumnya sehingga Israel dapat mengeksport susu. Namun di Rusia sapi Israel ternyata tidak berbeda dengan yang lain. Pesan cerita ini menurut Peres adalah bahwa “Anda bisa mendapatkan susu yang lebih banyak dari sistem ketimbang dari sapi”5.
yang berarti dalam rangka persiapan penerapan Otoda tersebut. Perhatian rupanya lebih banyak diarahkan pada persiapan perangkat hukum dan perundang-undangan. Padahal penyesuaian otomatis tidak akan terjadi meskipun perangkat perundangannya telah lengkap. Peraturan dan perundangan itu baru merupakan infrastruktur sosial yang perlu dilengkapi dengan perencanaan tindakan, perencanaan perubahan. Paling tidak ada tiga kategori hambatan yang dialami dalam melakukan perubahan itu, yakni hambatan yang berlatar belakang struktural, hambatan yang berlatar belakang administratif dan hambatan yang berlatar sosial budaya. Dengan memperhatikan latar belakang Propinsi Banten yang diuraikan diawal tulisan ini kita dapat membayangkan hambatan yang harus dipertimbangkan dalam mendorong perubahan mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejahtera. Paling tidak ada dua hal : (1) Tantangan berkaitan dengan perobahan Pelaku Pembangunan. Dalam hal ini Banten tidak berbeda dengan daerah lain. Dengan pelaku pembangunan disini terutama dimaksudkan Pemerintah Daerah yang diharapkan dapat berubah lebih demokratis dan partisipatif. Namun seperti kita semua tahu selama era Orba, Pemda hanya berfungsi sebagai pelaksana dari program pembangunan yang seluruhnya ditangani oleh Pemerintah Pusat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasinya. Pemerintah daerah hanya berfungsi sebagai pelaksana dan untuk itu mereka tidak boleh menyimpang dari skenario yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang dikenal dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Pada umumnya mereka tidak memiliki tradisi mengidentifikasi potensi daerahnya, membuat perencanaan berdasar potensi itu dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, kemudian melaksanakan bersama dengan masyarakat. Sekarang mereka diminta untuk mengatur dan mengurus daerahnya dengan prakarsanya sendiri. Kita tentu dapat memahami kesulitan untuk merealisasikan perubahan ini. Perubahan yang diharapkan ini tidak akan terjadi dengan hanya mengeluarkan berbagai perundangan dan peratura, karena untuk perubahan itu dibutuhkan perubahan pola pikir, pengetahuan, ketrampilan bahkan sikap yang sesuai dengan perubahan itu. Saya kira dibutuhkan semacam pendidikan dan pelatihan. Hal yang sama dialami oleh masyarakat, yang di era otonomi, yang demokratis partisipatif, justru diharapkan menjadi pelaku pembangunan utama. Masyarakat kita selama era Orba hanya diperlakuan sebagai obyek dalam pembangunan. Mereka selalu dinilai tidak berdaya dan karena itu harus dijadikian obyelk pemberdayaan. Tidak pernah diberi kepercayaan untuk ikut berpartisipasi
5.
Tantangan Pelaksanaan Melaksanakan otonomi pada hakekatnya berarti melakukan serangkaian perubahan. Itulah yang ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang No. 22 berkaitan dengan Dasar Pemikiran bahwa "Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD Melihat uraian di atas jelas bahwa pembangunan yang akan diterapkan dalam rangka Otonomi Daerah adalah identik dengan apa yang disebut oleh Tropman dkk sebagai locality development yang dengan tepat didifinisikan sebagai : "to empower the local residents to gain the capacity to solve problems and successfully cope with powerful authorities and institutions that affect their lives"6. Mungkin pertanyaannya sekarang adalah tantangan besar apa yang akan dihadapi dalam menerapkan Otoda ? Jawabnya adalah melakukan perubahan membentuk dan merubah tatanan, sistem, mekanisme dan perilaku yang sudah melembaga untuk disesuaikan dengan aspirasi baru. Namun nampaknya tantangan ini tidak mendapat perhatian 5
Oscar Lafontaine dkk (terjemahan 1999) h.. 37 Cnaan and Rothman (tanpa thn) dalam John E. Tropman dkk (ed) (tanpa tahun) 6
[162]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
atau berinisiatif dalam mangatasi masalahnya. Pada hal kita tahu bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik untuk mengembangkan diri. Di era Otonomi masyarakat diharapkan dapat berperan aktif mengambil prakarsa dan berani menyalurkan aspirasinya melalui semua jalur yang ada. Dengan kata lain pada era otonomi ini masyarakat diharapkan dapat menjadi subyek pembangunan dan bukan sekedar obyek dalam pembangunan. Perubahan ini tentu tidak mudah sehingga membutuhkan strategi yang tepat, apalagi dengan mengingat masyarakat kita yang berlatar belakang kultur feodal yang paternalistik. Masyarakat kita sudah terbiasa hanya menunggu perintah. Kultur seperti itu telah diwarisi dari era feodal, kemudian dilestarikan di masa penjajahan dan terakhir era otoriter yang militeristik selama Orde Baru. Semua itu memenjarakan inisiatif dan rasa percaya diri masyarakat kita. Ini semua memperlihatkan betapa besar tantangan yang dihadapi dalam rangka menciptakan masyarakat kita sebagai subyek pembangunan. (2) Tantangan berkaitan dengan perobahan Metode Pelaksanaan Pembangunan. Seperti dijelaskan di atas, yang kita maksudkan dengan perobahan metode adalah merobah prinsip pembangunan sektoral menjadi pembangunan wilayah, atau disebut juga pembangunan lokal atau pembangunan masyarakat (community building). Kenapa pembangunan lokal ini penting? Karena salah satu faktor penyebab krisis yang akhirnya terus berkepanjangan adalah hilangnya kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Penyebabnya penyeragaman yang dilakukan selama Orba. Tujuannya untuk memudahkan pengaturan terpusat, tetapi ternyata berakibat fatal dengan hancurnya nilai-nilai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat lokal. Untuk memulihkan kembali kehidupan masyarakat, sendi-sendi kehidupan lokal itu harus dibangun kembali. Tanpa itu tidak mungkin mengharapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam membangun masa depannya. Masalah utama yang kita hadapi dalam melaksanakan pembangunan masyarakat adalah (1) kita tidak sadar benar apa urgensinya pembangunan masyarakat itu dan (2) kelihatannya kita juga tidak mengetahui teori, metode dan teknik membangun kelembagaan masyarakat itu. Karena keterbatasan itu kita cendrung mengabaikannya, dan akibatnya kita gagal membangun wadah bagi kekuatan terbesar yang kita miliki untuk membangun bangsa ini yaitu kekuatan yang dimiliki oleh rakyat kita sendiri. Khusus untuk Propinsi Banten pembangunan masyarakat penting karena propinsi ini unik berhubung dengan posisinya, sebagai penyangga ibu kota negara. Hal ini sudah dijelaskan di awal tulisan ini. Apa masalahnya?
6.
Penutup Sebenarnya di awal tulisan ini sudah diungkap. Banten saat ini terbelah dalam Banten Utara dan Banten Selatan yang berbeda dalam banyak hal. Perbedaan ini semakin diperlebar oleh kemajuan yang sangat dinamis yang dialami Banten Utara karena posisinya yang strategis dan fasilitas yang semakin baik. Kondisi ini menarik arus globalisasi mengalir lebih deras, dan mendorong meningkatnya mobilisasi manusia menyusul menjamurnya pemukiman khususnya di Banten Utara. Pada fase perkembangan saat ini, secara sosiologis Banten sulit disebut sebagai suatu masyarakat. Banten terdiri dari banyak segmen masyarakat yang tidak merasa terkait satu dengan yang lain, bagaikan tumpukan pasir yang berkumpul tetapi tidak terikat. Kondisi semacam ini tentu tidak dapat dibiarkan berlangsung lama. Bukan saja karena “masyarakat” seperti ini sulit dibangun, tetapi juga karena dapat menjadi sumber ketegangan yang sulit dikendalikan. Pemerintah dituntut untuk mengimbangi perkembangan ini dengan mengembangkan institusi yang dapat menata masyarakat sesuai dengan perkembangan yang aktual. Seharusnya itulah yang menjadi tujuan falsafah pembangunan Banten yaitu “Mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejaterah”. Gejala Ekonomi ganda yang disebut diawal harus dilihast sebagai tantangan sekaligus peluang untuk memulai pembangunan wilayah (community building sesuai amanat Undang-Undang Otonomi. Daftar Pustaka Buku Adam Kuper dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Baswir, Revrisond, dkk. 1999. Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta dan Yogyakarta: Elsam dan Idea. Cnaan, Ram A. and Jack Rothman. Locality Development and the building of Community, in Tropman et al. (ed). Strategies of Community Intervention. Illinois: Peacock Publishers,Inc. Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta. Mubyarto.1999. Reformasi Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Joko Widodo. 2001. Good Governance. Surabaya: Insan Cendekia. Peres, Shimon. Melibatkan Diri dalam Tanggung Jawab Sejarah dan Tantangan Masa Depan. dalam Lafontaine, Oscar, dkk. 2000. Shaping Globalization (terjemahan). Yogjakarta: Penerbit Jendela. [163]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Timur Mahardika. 2001. Strategi Tiga Kaki. Dari Pintu Otonomi Daerah Mencapai Keadilan Sosial. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. BPS Propinsi. Banten Dalam Angka. 2008 (diakses 9 Mei 2010). Undang-Undang Undang-Undang Otonomi Daerah 1999, Penerbit Restu Agung Jakarta Undang-Undang Otonomi Daerah 2004, Edisi Lengkap, 2006, penerbit Fokusmedia Dokumen Draf Program IPTEK bagi Wilayah (IbW), 2010, Meletakkan Dasar Masyarakat Mnadiri Melalui PKBM Draf Usulan Program IPTEK bagi Wilayah di Propinsi Banten oleh Dinas Pendidikan Pemerintah Propinsi Banten (2010) Koran Kompas, 26 Januari 2010 Kompas, 27 Januari 2010 Kompas, 28 Januari 2010 Kompas, 29 Januari 2010 Kompas, 30 Januari 2010 Identitas Penulis Paulus Tangdilintin, Guru Besar pada Program Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia ini lahir pada 16 Juli 1938 di Makale, Sulawesi Selatan. Menjadi staf pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI sejak tahun 1970. Beliau pensiun pada tahun 2003. Saat beliau masih aktif, beliau pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, juga Ketua Program Kekhususan Pembangunan Sosial. Saat ini beliau menjadi pengajar tidak tetap di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Adapun bidang keahliannya adalah Pembangunan Sosial dan Evaluasi. Saat ini mengajar di FISIP UPH Karawaci Tangerang.
[164]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PERAN OTONOMI DAERAH TERHADAP PARIWISATA Ari Pandu Witantra, S.Sos Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta KM.4 Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAKS Potensi-potensi yang ada di daerah sangat sulit dikembangkan jika kebijakan yang masih dianut adalah kebijakan yang masih tersentralisasi. Sebutlah sektor pariwisata, pada dasarnya sektor ini adalah sektor strategis yang dapat dengan optimal dikelola oleh daerah. Sektor pariwisata dapat mendatangkan wisatawan mancanegara ataupun wisatawan domestik. Pengembangan pariwisata yang baik akan mengundang banyak investor yang berminat untuk mengembangkan usahanya di daerah yang banyak dikunjungi wisatawan. Sebelum adanya Otonomi Daerah, secara umum Indonesia sudah memiliki bermacam-macam objek pariwisata, namun jumlahnya tidak banyak. Bandingkan dengan saat ini, begitu banyak daerah yang mempromosikan objek pariwisata di daerahnya bahkan hingga stasiun TV nasional tidak pernah kehabisan bahan ulasan untuk sektor pariwisata saat ini. Dari hasil studi pustaka dan informasi yang penulis temukan, otonomi daerah cukup berperan penting dalam pengembangan potensi daerah, terutama pada sektor pariwisata. Kebijakan desentralisasi ini memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengoptimalkan potensi pariwisata yang terdapat di masing-masing daerah. Untuk sesuatu yang ada di daerah, dengan keberagaman sifat dan sikap yang dimiliki masyarakat Indonesia, daerah pasti lebih mengetahui sendiri apa yang mereka butuhkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Tinggal bagaimana promosi yang akan diambil oleh pemerintah daerah untuk menjadikannya destinasi wisata. Kata Kunci: desentralisasi, pariwisata, potensi daerah, promosi sudah dijalankan sejak beberapa Tahun lalu itu memang sudah menampakkan hasilnya. Walaupun terdapat banyak gangguan, baik dari sisi gejolak krisis dunia hingga adanya terror Bom, jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia sedikit demi sedikit terus meningkat.
1.
PARIWISATA INDONESIA 1.1 Visit Indonesia Siapa yang belum pernah mendengar Bali? Daerah wisata yang dikenal juga dengan nama Pulau Dewata ini hingga saat ini menjadi destinasi pariwisata oleh wisatawan Internasional. Keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan Bali sebagai salah satu tujuan wisata memang berhasil. Bali dianggap sebagai salah satu surga daerah tropis di mata dunia. Destinasi wisata lain di Indonesia yang terkenal sejak lama yaitu Danau Toba, Gunung Tangkuban Perahu, Lompat Batu Nias, dan banyak lagi. Indonesia memang sudah lama mengembangkan sektor pariwisata untuk menarik perhatian masyarakat dunia agar datang ke Indonesia. Dahulu, salah satu cara promosinya adalah dengan menceritakan atau mendongengkan Legenda dan sejarah terjadinya kawasan wisata yang dipromosikan. Saat ini, perkembangan pariwisata di Indonesia sungguhlah pesat. Setiap daerah berlomba untuk memajukan potensi pariwisata yang mereka miliki. Sektor pariwisata memang salah satu sektor strategis untuk mendatangkan wisatawan dan juga Investor. Semakin banyak wisatawan datang, investor semakin melirik daerah tersebut untuk mengembangkan usahanya disana. Salah satu promosi internasional Indonesia dalam meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia adalah Visit Indonesia. Program yang
1.2 Pariwisata Pariwisata berasal dari kata pari dan wisata. Pari dapat diartikan sebagai banyak atau berkali-kali. Sedangkan Wisata berarti bepergian dalam tujuan bersenang-senang baik sendirian ataupun berkelompok (kamus Tata Ruang, 2007). Didalam UU No.10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalan jangka waktu sementara. Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dari dua teori diatas dapat kita simpulkan bahwa tujuan pariwisata adalah bersenang-senang. Pariwisata memegang peranan penting bagi masyarakat pekerja yang membutuhkan saat untuk relaksasi dan bersenang-senang. Masyarakat pekerja menganggap pariwisata sebagai salah satu cara
[165]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
untuk melepas ketegangan setelah sekian lama bekerja di tempat kerjanya. Kelompok masyarakat yang juga membutuhkan pariwisata adalah masyarakat keluarga. Dalam menjalin kebersamaan dalam sebuah keluarga, melakukan wisata sekali atau beberapa kali dalam setahun dapat mempererat hubungan antar keluarga. Wisata juga memperluas wawasan anak dalam membantu tumbuh kembang otaknya. Selain itu, kegiatan pariwisata juga dapat menambah keharmonisan pasangan dalam berkeluarga.
Kulon, dan lain-lain. Cagar alam di tentukan dan dibatasi penggunaannya untuk memberikan perlindungan terhadap satwa dan tumbuhan langka yang berada di dalamnya. Jika tidak dibatasi, flora atau fauna yang terdapat di dalamnya bukan tidak mungkin akan semakin langka dan akhirnya punah. Wisata cagar alam ini bisa dilakukan dengan cara trekking atau berkeliling di sekitar cagar alam dengan alat transportasi yang telah disediakan atau ditentukan. b.
1.2.1 Wisata Budaya, Cultural based tourism Indonesia adalah gudangnya wisata budaya. Indonesia yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang memiliki masing-masing adat istiadat membuat Indonesia menjadi surganya wisata budaya. Budaya yang unik, menarik untuk disaksikan dan dipelajari membuat budaya dijadikan sebagai salah satu jenis pariwisata. Keaneka ragaman budaya yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, serta keunikannya yang tidak ditemui di daerah lain membuat budaya menjadi salah satu hal point penting dalam pengklasifikasian jenis-jenis pariwisata. Contoh wisata budaya yang terkenal dan dijadikan destinasi wisata yaitu Ngaben di Bali, Lompat Batu di Nias, Makam batu Tana Toraja, Debus di Banten dan masih banyak lagi.
Agrowisata, agrotourism Tak hanya alam yang natural saja yang bisa memiliki daya pikat. Daerah perkebunan atau pertanian pun dapat menjadi tujuan objek wisata. Tujuan agrowisata ini dapat berupa menikmati pemandangan dan hawa perkebunan yang sejuk, menikmati langsung hasil perkebunan, atau berminat untuk mempelajari teknik dan pengetahuan yang bisa digali disana. Pengembangan agrowisata banyak terdapat di daerah perbukitan. Puncak, Jawa Barat dijadikan salah satu objek agrowisata dengan program tea walk. Tawangmangu di karanganyar, jawa tengah selain dikenal dikenal dengan sentra perkebunan sayur mayur dan buah-buahan, dan masih banyak lagi.
1.2.4 Wisata Ziarah, Religious based tourism Wisata ziarah banyak dikaitkan dengan ibadah suatu agama tertentu. Seringkali pula berkenaaan dengan sejarah dan adat istiadat. Tempat wisata yang dituju adalah tempattempat suci atau yang diskakralkan, makam Nabi, pemimpin besar, tokoh masyarakat, wali, dan tempat-tempat keramat dan peninggalan sejarah keagamaan lainnya. Wisatawan yang datang bermaksud untuk mengunjungi dan mendoakan makam yang dikunjungi, dapat juga dijadikan tempat berdoa untuk penganut agama tertentu atau hanya senang mengunjungi tempat peninggalan sejarah keagamaan untuk menambah pengetahuan. Salah satu peninggalan sejarah keagamaan yang terkenal di dunia internasional adalah Candi-candi yang terdapat di Indonesia, terutama Candi Borobudur.
1.2.2 Wisata Air, Water based tourism Indonesia adalah negara kepulauan, jelas sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Air juga menjadi salah satu klasifikasi jenis wisata karena banyak hal yang menarik yang dapat dilakukan di dalam dan di permukaan perairan. Diving, snorkeling, surfing adalah beberapa hal menarik yang dilakukan di air. Keanekaragaman hayati yang berwarna-warni di dalam air menjadikan bawah laut memiliki pemandangan yang luar biasa indahnya. Saat ini indonesia memiliki beberapa destinasi wisata air yang sudah terkenal di kancah Internasional. Bunaken, wakatobi, raja ampat adalah beberapa destinasi snorkeling dan diving di Indonesia. Pantai di bali dan selatan pulau jawa juga banyak menjadi destinasi peselancar untuk berselancar di pantai indonesia.
1.2.5 Wisata hobby, Interest based tourism Hobby atau hobi adalah kegiatan yang dilandasi ketertarikan seseorang terhadap sesuatu benda atau kegiatan. Ketertarikan seorang pehobi ini terkadang dianggap berlebihan bagi orang lain yang kurang tertarik dengan hal yang sama yang disukai pehobi tersebut. Terkadang seorang pehobi dapat mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi
1.2.3 Wisata Alam, Natured based tourism a. Wisata Cagar Alam, Reserve tourism Flora dan fauna Indonesia yang indah dan unik menjadikan satu klasifikasi jenis wisata di Indonesia. Indonesia memiliki beberapa daerah cagar alam seperti di Pulau Komodo , ujung [166]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
hobi yang disukainya. Hobi juga seringkali dikaitkan dengan kegiatan olahraga. Contohnya saja hobi berburu, uang yang dikeluarkan oleh pehobi ini luar biasa besar, apalagi untuk kalangan menengah kebawah. Di Indonesia, hanya beberapa wilayah yang diperbolehkan untuk digunakan sebagai wilayah perburuan. Hewan yang diburu pun haruslah hewan yang merupakan hama bagi masyarakat, misalnya Babi hutan. Babi Hutan banyak terdapat di luar Pulau Jawa, otomatis para pemburu ini harus pergi keluar Pulau Jawa untuk melaksanakan hobinya ini. Belum lagi kendaraan khusus yang digunakan saat berburu, membeli dan mendapatkan ijin memiliki senjata api, membeli amunisi, pemandu, caddy, dan lain-lain. Untuk sekali melaksanakan hobinya, jutaan hingga puluhan juta rupiah uang yang harus dikeluarkan. Kegilaan pehobi ini dan minimnya wilayah yang tersedia menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu destinasi wisata. Wilayah lain yang bisa dijadikan destinasi wisata adalah daerah dengan potensi ikan yang baik. Daerah ini bisa dijadikan destinasi wisata hobby memancing. Belum lama ini Cirebon sedang mengupayakan salah satu wilayahnya sebagai destinasi wisata hobby memancing. Cirebon sedang memaksimalkan potensi ikannya dengan membuat banyak rumpon di perairan sekitarnya.
oleh masyarakat daerah itu sendiri. Sewaktu pemerintahan masih sentralisasi, pemerintah pusat hanya mengetahui sedikit, atau bahkan tidak mengetahui sama sekali perihal potensi pariwisata yang ada di daerah. oleh karena itu, pengembangan potensi pariwisata daerah saat itu sangatlah kurang. Ketidaktahuan pemerintah pusat itulah yang menyebabkan kurangnya perhatian untuk mengembangkan sektor pariwisata daerah. Salah satu karakteristik otonomi daerah adalah Unit-unit pemerintah bersifat otonom, mandiri dan jelas-jelas sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat hanya mengontrol sedikit atau tidak ada kontrol langsung oleh pusat terhadap unit-unit tersebut. Dengan hal tersebut, unit pemerintah daerah bebas merencanakan dan menjalankan strategi kemajuan daerahnya masingmasing. Potensi daerah yang sangat dikenal oleh masyarakat setempat dapat dikembangkan sebagai salah satu destinasi pariwisata utama di daerah. Kemudahan yang difasilitasi oleh otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah menyusun strategi terbaik untuk memajukan sektor pariwisata di daerahnya. Perbedaan jenis wisata yang heterogen antara daerah satu dengan daerah lain memungkinkan satu daerah memiliki potensi unggulan yang tidak dimiliki daerah lain. Hal inilah yang diambil pemerintah daerah sebagai strategi memajukan daerahnya. Keunggulan yang dimiliki tidak akan tersaingi oleh daerah lain. Red tape dan prosedur yang berbelit juga sudah di-cut dengan adanya otonomi daerah. pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui daerahnya dibandingkan dengan pemerintah pusat yang berada di daerah lain. Jalinan yang baik antara pejabat dengan masyarakat lebih mudah tercipta dengan adanya otonomi daerah. Informasi yang didapat oleh pemerintah daerah juga lebih mudah karena masyarakat sekarang lebih dekat dengan pejabat dan pemerintahan di daerahnya.
1.2.6 Wisata lainnya. Masih banyak hal lain yang dapat menjadikan daerahnya menjadi destinasi wisata. Mungkin tidak lama lagi akan muncul wisata belanja seperti di Singapura, Wisata kuliner, dan lain sebagainya. Tinggal bagaimana pemerintah daerah di Indonesia menyusun strategi agar daerahnya dapat menjadi destinasi wisata unggulan dibandingkan dengan daerah lain.
3.
STRATEGI PROMOSI Pariwisata tidak akan menjadi destinasi jika tidak dikenal oleh masyarakat luas. Untuk menjadikannya dikenal, destinasi wisata membutuhkan promosi. Otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk menetapkan objek mana yang akan dijadikan destinasi wisata serta mengatur bagaimana objek tersebut akan dikelola. Namun tanpa adanya promosi, objek wisata tersebut tidak akan dikenal oleh masyarakat luas. Kalaupun dikenal akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemerintah daerah memerlukan strategi promosi yang baik agar objek wisata yang dimiliki benarbenar menjadi destinasi wisata oleh wisatawan, baik wisatawan lokal ataupun wisatawan mancanegara.
2.
OTONOMI DAERAH Banyaknya sektor pariwisata di Indonesia tidak terlepas dari peran Otonomi Daerah. Sejak diundangkannya UU No.22 dan 25 tahun 1999, daerah memiliki kewenangan untuk mengembangkan daerahnya masing-masing. Salah satu sektor yang dikembangkan adalah pariwisata. Pariwisata di daerah mempunyai potensi peningkatan Pendapatan Anggaran Daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan baru di daerah memiliki PR untuk meningkatkan PAD daerahnya. Pemerintah daerah berlomba agar targetnya tercapai. Pengembangan berbagai sektor diperlukan untuk meununjang keberhasilan daerah. Seperti pepatah tua, tak kenal maka tak sayang, potensi pariwisata daerah pastilah sangat dikenal [167]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
3.1 Analisa objek wisata Yang pertama harus dilakukan pemerintah daerah yaitu membuat analisa lengkap tentang lokasi atau objek wisata yang telah ditentukan. Pemerintah harus mengetahui apa kekuatan (strength) dari lokasi wisata yang telah ditentukan, hal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah mengetahui apa yang akan diunggulkan untuk dipromosikan. Selain kelebihan, kelemahan yang dimiliki objek wisata juga harus diketahui, hal ini dimaksudkan agar kelemahan tersebut dapat dihilangkan atau diminimalisasi. Kelemahan ini dapat berupa akses jalan yang kurang mendukung, belum adanya fasilitas MCK, kebersihan hingga fasilitas penginapan misalnya. Opportunity atau kesempatan yang bisa diambil oleh pemerintah daerah juga perlu diketahui. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah mengetahui adanya kesempatan yang bisa diambil untuk memajukan objek pariwisata tersebut. Ancaman untuk menggagalkan program ini bisa datang dari mana saja. Ancaman kegagalan harus diketahui pula oleh pemerintah daerah agar dapat ditangkal sedini mugkin. Ancaman ini bisa datang dari destinasi di daerah lain atau bisa datang dari masyarakat yang belum mengerti maksud dan tujuan baik pemerintah daerah.
c.
d.
e.
3.2 Strategi promosi Untuk pengembangan sebuah objek (produk) pariwisata, strategi IMC dapat digunakan untuk membantu pengembangan pariwisata ini. IMC adalah proses pengembangan dan implementasi berbagai bentuk program komunikasi persuasif kepada pelanggan dan calon pelanggan secara berkelanjutan. Proses IMC berawal dari pelanggan atau calon pelanggan, kemudian berbalik pada perusahaan untuk menentukan dan mendefinisikan bentuk dan metode yang perlu dikembangkan bagi program komunikasi yang persuasif. (Terrence A Shimp, 2005) Dalam strategi ini ada beberapa hal yang harus dilakukan. Panduan yang dapat diambil yaitu bisa menggunakan hierarchy of effect yang dibuat oleh Robert J. Lavidge dan Gary A. Steiner. Adapun tahapannya sebagai berikut : a. Kesadaran (Awareness): Kesadaran harus dibangun sebagai permulaan dari proses komunikasi suatu produk. Dalam hal ini masyarakat harus sadar bahwa objek wisata yang akan dipromosikan oleh pemerintah itu ada. Tugas pemerintah daerah untuk mengenalkan mulai dari nama destinasi wisata dan keunggulan-keunggulannya. Pada tahap ini banyak sekali jalan yang bisa ditempuh oleh pemerintah daerah, misalnya dengan memberitakannya di berbagai media. b. Pengetahuan (Knowledge): setelah masyarakat telah banyak yang sadar akan adanya objek
f.
pariwisata tersebut, Pemerintah Daerah perlu mengetahui berapa banyak audiens yang mengerti sedikit, cukup banyak atau banyak sekali pengetahuan tenytang objek wisata yang dipromosikan. Berdasarkan informasi tersebut, pemerintah daerah kemudian memilih pengetahuan tentang objek wisata sebagai tujuan komunikasi. Menyukai (Liking): Bila masyarakat sasaran telah menyukai atau berminat terhadap objek wisata yang dipromosikan, berarti masyarakat sasaran sudah sampai pada tahap ketiga dari hierarki. Jika masyarakat terlihat kurang menyukai objek wisata tersebut maka pemerintah daerah harus mengetahui alasannya dan mengembangkan suatu komunikasi pemasaran untuk mendorong perasaan menyukai. Preferensi (Preference): masyarakat mungkin menyukai objek wisata tersebut tapi tidak memilihnya dibandingkan objek wisata lain. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus berupaya membangun preferensi konsumennya. Keyakinan (Conviction): Ada kemungkinan masyarakat sasaran sudah menjadikan objek wisata tersebut tersebut sebagai pilihan, tapi tidak memiliki keyakinan yang pasti. Tugas pemerintah daerah adalah membangun keyakinan di antara para masyarakat yang tertarik bahwa objek wisata tersebut adalah yang terbaik bagi mereka. Membeli (Purchase): Akhirnya, beberapa orang dari masyarakat mungkin memiliki keyakinan tetapi tidak bermaksud untuk mengunjunginya. Mereka kemungkinan menanti lebih banyak informasi atau merencanakan untuk bertindak kemudian. Komunikasi harus mengarahkan masyarakat ini agar mengambil langkah terakhir, yaitu melakukan kunjungan ke objek wisata yang kita promosikan.
PUSTAKA Arofa A. Rahman (2010), Potensi Pengembangan Situ Di Kota Bogor, Tesis, Undip, Semarang Terence A. Shimp (2003), Periklanan dan Promosi, jilid 2, Edisi ke-5, Erlangga, Jakarta. Undang-Undang No.22 tahun 1999 Undang-Undang No.25 tahun 1999
Biodata Penulis Ari Pandu Witantra, S.Sos lahir di Serang 22 April 1982. Mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi [168]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan saat ini sedang mengambil program Master di jurusan Manajem Komunikasi, Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
[169]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
KINERJA BAIK DAN KETERPILIHAN DALAM PEMILUKADA PRELIMINARY RESEARCH Abdul Hamid Lab Administrasi Negara FISIP Untirta Jl, Raya Jakarta Km. 4 Serang Banten E-mail:
[email protected] ABSTRAK Kebijakan desentralisasi telah dijalankan lebih dari sepuluh tahun semenjak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999. Semenjak itu pula berbagai dinamika muncul dari aspek administrasi Negara, ekonomi, maupun politik. Secara ideal desentralisasi membuka ruang kreasi bagi pemerintah di daerah uPntuk membuat kebijakan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat di tingkat lokal. Tentu saja berbagai evaluasi muncul terhadap pelaksanaan desentralisasi, sebagian besar beropini bahwa desentralisasi menumbulkan banyak persoalan mulai dari munculnya raja-raja kecil dampai gelombang pemekaran yang tak berdimensi kesejahteraan. Namun, berbagai inovasi dan kebijakan yang pro rakyat yang terkategorikan sebagai best practices juga sudah mulai muncul di beberapa daerah di Indonesia. Sementara itu, semenjak tahun 2005, kepala daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dipilih oleh masyarakat secara langsung. Banyak kalangan menyangsikan efektifitas dan efisiensi dari pemilihan semacam ini. Ada pandangan bahwa demokrasi langsung yang mahal tak berkorelasi dengan kesejahteraan. Tulisan ini memberikan perspektif berbeda dengan menyajikan hubungan antara keberhasilan memimpin daerah dengan keberhasilan memenangkan pemilukada secara mutlak dengan mengambil contoh beberapa daerah di Indonesia. Kata Kunci: Pilkada, Incumbent, Kinerja 9. Stabilitas politik yang lebih kuat Tentu saja ada harapan besar dengan pemilihan kepala daerah langsung. Selain alas-alasan diatas diharapkan juga kualitas kepala daerah terpilih akan lebih baik dan merepresentasikan keinginan masyarakat. Ujungnya adalah kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Hal ini juga dianggap sejalan dengan kebijakan desentralisasi yang diterapkan sejak lahirnya UU 22 1999 dan dilanjutkan oleh UU 32 2004, dimana daerah memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Artinya, ada peluang untuk menciptakan kebijakan dan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Namun tentu saja desentralisasi tak mesti berarti demokrasi langsung berjalan secara otomatis, Nordholt dalam Harris dkk (2005:30) menyatakan “..a shift from centralised to a decentralised government is not synonymous with a shift from authoritarian to democratic rule nor does it automatically simply a shift from a strong state towards a strong civil society”
1.
PENDAHULUAN Semenjak tahun 2005, kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat. Hal ini tertuang dalam UU 32 2004 yang yang dioperasionalisasikan melalui PP No. 6 tahun 2005. Pilkada langsung merupakan upaya menjadikan pemimpin daerah dipilih langsung oleh masyarakat. Sebelumnya, sesuai UU No. 5 1974 di era Soeharto dan UU No. 22 tahun 1999 di awal era reformasi, pemilihan dilakukan oleh DPRD. Gagasan ini diakibatkan oleh elitisme pemilihan kepala daerah di DPRD yang menutup peluang masayarakat untuk berpartisipasi. Pilihan dalam pemilihan oleh DPRD merepresentasikan kepentingan partai dan kelompok tertentu saja dan beraroma politik transaksional. Hal ini dianggap menyalahi prinsip-prinsip demokrasi. Di lain pihak, Presiden sejak tahun 2004 dipilih langsung oleh masyarakat dalam pemilihan Presiden, sehingga demi alasan linieritas, gagasan pemilihan langsung betul-betul menjadi arus utama. Departemen Dalam Negeri (2005) mengajukan beberapa alasan pokok mengapa pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan langsung: 1. Pasal 6 A UUD 1945 presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat 2. Pasal 18 UUD 1945 Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara Demokratis 3. Kepala Desa Dipilih Langsung Rakyat 4. Money Politics Lebih sulit dilakukan 5. Hubungan Checks and Balances Lebih Baik 6. Konstruksi Pemda sudah tidak Kondusif lagi untuk menghadapi realitas persaingan 7. Kesamaan sistem dengan di Pusat 8. Lebih akuntabel, kepada rakyat
Hal ini juga yang kemudian terbukti dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Alih-alih menghasilkan proses dan pemimpin yang lebih baik, berbagai masalah muncul dalam penyelenggaraannya. Zuhro (2010) menyampaikan meskipun sebagian besar pilkada dinilai berlangsung damai, aman, dan relatif demokratis, pesta demokrasi tersebut cenderung mencerminkan model demokrasi prosedural. Sebab, secara kualitas, rapornya bisa dikatakan merah. Secara umum, pilkada belum mampu menghasilkan kepala daerah [170]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
yang amanah, kapabel, menyejahterakan rakyatnya.
kredibel,
ISBN: 978-602-96848-2-7
dan
yang terbaik? Apakah sama sekali tak ada relasi antara kinerja baik kepala daerah dengan keterpilihannya dalam pilkada?
Dalam praktiknya, ia justru menyimpan sejumlah masalah, mulai dari politik uang hingga kerusuhan sosial. Alih-alih menjadi bagian dari proses pembelajaran politik dan pendalaman demokrasi, rakyat lebih banyak dibuat tak berdaya oleh kuatnya hegemoni partai politik yang selalu mem- fait accompli mereka untuk menerima calon yang ditentukannya. Akibatnya, tak sedikit kepala daerah terpilih yang menjadi sangat elitis, tak mencerminkan kebutuhan rakyat dan daerah, serta gagal menganalogikan dirinya dengan rakyatnya.
2.
PEMBAHASAN Baiklah, mungkin mayoritas pilkada menghasilkan proses dan hasil yang tidak berkualitas. Namun ada minoritas kepala daerah yang bekerja baik dan membuat kebijakan yang pro rakyat. Para kepala daerah ini bekerja keras, berinovasi dan diakui sukses memimpin daerahnya. Bagaimana nasib mereka jika mereka bertarung dalam pemilukada? Jawabannya adalah kepala daerah yang bekerja keras untuk rakyat dan dianggap berhasil akan mudah memenangkan pilkada. Tentu saja sebagai preliminary research, tulisan ini mengandalkan datadata yang bersumber dari dokumen, lityeratur dan media massa serta membutuhkan studi lapangan. Kita bisa menyebut pasangan Joko Widodo (Jokowi) - FX Hadi Rudyatmo Calon Incumbent Walikota Surakarta memperoleh hasil mencengangkan, 90,09% suara pemilih dalam pencoblosan 26 April 2010. Hasil ini hampir memecahkan rekor MURI yang dipegang Herman Sutrisno- Akhmad Dimyati, Walikota Banjar yang juga incument yang mendapatkan suara 92, 19% di tahun 2008. Rekor ini tumbang di tangan Herman Deru-Kholid Mawardi, meraih 373.177 suara atau sekitar 94,56 persen. Di kalangan pemegang prosentase suara terbanyak terdapat nama Wahidin Halim, Walikota Tangerang (88,22%), Untung Wiyono, Bupati Sragen (87,34%), I Gde Winasa Bupati Jembrana (88,5%) atau di tingkat Provinsi fadel Muhammad, mantan Gubernur Gorontalo (81%). Pemegang Rekor MURI, Herman Deru adalah incumbent dalam Pilkada Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. OKU Timur merupakan pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten OKU Selatan pada tanggal 18 Desember 2003. Kemenangan Herman Deru disumbang oleh prestasinya ketika menjadi incumbent. Salah satunya adalah diraihnya penghargaan Inovasi Manajemen Perkotaan (IPM) dari Kementerian Dalam Negeri, termasuk di antaranya Bupati OKU Timur, H Herman Deru. Kabupaten lumbung beras itu mendapat nilai tertinggi untuk IPM 2010 kategori kabupaten. Pengelolaan pasar tradisional dan PKL di OKU Timur dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Makanya pembiayaan bersifat low cost, biaya langsung dari masyarakat secara swadaya. Bukan dana dari pemerintah yang bersifat proyek. Dalam penghargaan ini terdapat lima katagori yang dinilai, pengelolaan pasar tradisional, penataan pedagang kaki lima (PKL), pembenahan pemukiman
Selain itu sejumlah distorsi dan paradox muncul dalam penyelenggaraan pilkada di sejumlah daerah, seperti munculnya berbagai macam konflik, adanya politik uang, bekerjanya black campaign, kultur demokrasi yang lemah, kandidat-kandidat yang miskin program, resources yang terbatas dan adanya penolakan dan kekecewaan masyarakat terhadap hasilhasil yang dicapai dalam pilkada langsung. Distorsi-distorsi tersebut menjadi catatan pesimisme yang dapat menegasikan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pilkada langsung. Kalangan pesimisme dapat mencapai pilkada langsung sebagai “new ghost” yang tidak membawa manfaat apa-apa terhadap : (1) bekerjanya demokrasi local;(2) upaya penciptaan tatanan pemerintahan yang demokratis, dan; (3) tidak akan mendorong peran dan fungsi institusi-institusi politik local semakin efektif dan efisien dalam menjalankan tugasnya, (sahdan, 2005: 384 – 385) Hal lain yang juga kemudian terjadi adalah politisasi di kalangan birokrasi. Penelitian yang dilakukan oleh Perdana, dkk (2009) menemukan bagaimana birokrasi terjebak kedalam pusaran kekuasaan dalam pilkada. Birokrasi di era pilkada langsung dianggap sebagai kekuatan politik yang dimanfaatkan untuk kemenangan kandidat tertentu, utamanya incumbent. Karena itulah wajar jika berbagai kalangan, mulai mantan ketua PBNU Hasyim Muzadi sampai Mendagri Gamawan Fauzi membangun wacana dikembalikannya pemilihan kepala daerah ke DPRD. Selain alasan-alasan diatas tiga hal dikemukakan: mahalnya biaya kampanye yang mendorong kepala daerah melakukan korupsi, mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada secara langsung dan pilkada berpotensi menyebabkan perpecahan di masyarakat. Melihat argumentasi-argumentasi diatas, rasanya sulit melihat sisi baik pilkada langsung. Apakah masyarakat betul-betul tidak bias memilih calon [171]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
kumuh, tata ruang kota, sanitasi perkotaan, dan ruang terbuka hijau (http://okutimurnews.blogspot.com/2011/02/herman -deru-raih-penghargaan.html) Juara kedua rekor Muri, Walikota Banjar juga menunjukkan kinerja yang baik sebagai incumbent. Sama seperti Kabupaten OKU Timur, kota Banjar juga merupakan daerah otonom baryu, hasil pemekaran dari Kabupaten Ciamis dan terbentuk berdasarkan UU No. 27 tahun 2002. Anggaran publik di kota Banjar jauh lebih besar dari anggaran pegawai. Sejak tiga tahun terakhir, perbandingannya 55 persen untuk belanja publik dan 45 persen belanja aparatur. Tahun 2011, dari total anggaran belanja sekitar Rp 400 miliar, sebanyak Rp 222 miliar di antaranya difokuskan untuk belanja publik dan hanya Rp 178 miliar untuk belanja aparatur. Prioritas itu didukung penyetopan sementara penerimaan pegawai negeri sipil baru dalam tiga tahun terakhir. Sekretaris Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan Daerah Kota Banjar Nana R mengatakan, keberadaan 3.600 orang pegawai negeri dan 1.900 tenaga sukarelawan sudah sangat ideal. Keberanian ini membuka banyak perubahan daerah. Salah satu bukti yakni peningkatan Indek Pembangunan Manusia (IPM). Di akhir tahun 2010, Kota Banjar meraih IPM mencapai 73 atau berada di atas IPM Jabar sebesar 71,64. Hasil evaluasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri menetapkan Kota Banjar sebagai daerah otonomi tersukses kedua di Jabar. Di bidang kesehatan, misalnya. Sejak tahun 2004, Kota Banjar telah membebaskan biaya berobat bagi keluarga tidak mampu. Kini, sekitar 25 persen dari total penduduk sekitar 183.046 orang menikmati bebas biaya di puskesmas dan kelas tiga Rumah Sakit Umum Daerah Banjar. Di bidang pendidikan juga tidak kalah gaungnya. Sejak tahun 2005, Kota Banjar menerapkan program intervensi siswa SD, SMP, dan mahasiswa berprestasi, tetapi terancam putus sekolah. Program ini lebih dulu dilakukan di Banjar sebelum bantuan operasional sekolah diselenggarakan di Indonesia. Tahun 2011, setiap siswa dari 5.000 siswa sekolah dasar mendapatkan bantuan sebesar Rp 250.000 per tahun, dan 2.000 siswa sekolah menengah pertama mendapatkan dana tambahan Rp 750.000 per tahun per orang. Adapun 20 orang mahasiswa berprestasi dibiayai satuan kredit semester yang diambil. Bantuan tersebut berlaku hingga mereka tamat sekolah. Keberhasilan ini mendapat apresiasi Kementerian Pendidikan Nasional. Tahun 2008, Kota Banjar dinilai berhasil tuntas wajib belajar pendidikan nasional sembilan tahun dengan angka partisipatif kasar 118,24 persen. Bahkan, 1.600 guru
di Kota Banjar juga diberikan dana tambahan Rp 500.000 per bulan per orang. Di bidang ekonomi kerakyatan, Kota Banjar juga menggenjot partisipasi warganya melalui Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (PUP2K), yang melibatkan 26 desa dan kelurahan. Setiap desa mendapatkan dana Rp 5 juta per tahun. Dana itu menjadi modal usaha bagi pengembangan warga desa, seperti usaha kecil menegah dan pertanian. Ada juga program Koperasi Jemaah Masjid (Kopjamas) yang melibatkan 360 masjid dengan peserta aktif lebih dari 1.000 orang. Setiap masjid diberikan dana stimulan Rp 10 juta. Dana itu diserahkan secara mandiri pada pengurus masjid untuk modal para jemaahnya. Peningkatan daya beli masyarakat juga disuntik dana senilai Rp 2 miliar untuk pengadaan 100 sapi, 100 kambing, dan 100 ekor domba pada 26 desa. Tahun 2011, program ini akan ditambah 100 ekor sapi senilai Rp 900 juta. (Kompas , 4 April 2011) Jika dua pemegang rekor diatas masih kurang, mari kita ambil contoh kesuksesan tiga incumbent lain pemegang rekor, Jokowi (90,09%), I Gde Winasa (88,5%) dan Untung (87,34%). Joko Widodo (Jokowi) memiliki prestasi yang mengesankan dalam penataan kota dengan menggunakan pendekatan yang manusiawi. Prestasi Jokowi yang paling termashur adalah saat menata 5.817 PKL di kota itu, tanpa kekerasan. Sebelum direlokasi, Jokowi dan Wakil Walikota FX Hadi Rudyatmo melewati proses dialog panjang, hingga 54 kali pertemuan. Bersama wakilnya, dan para kepala dinas, setiap Jumat pagi (dua minggu sekali) Jokowi bersepeda berkeliling kampung. Dia ajak pedagang makan siang atau makan malam. Mereka yang bersuara vokal didatangi. Keinginan mereka seperti apa, lalu didengarkan. Pada Juli 2006 sebanyak 989 pedagang yang berusaha di Monumen 45 Banjarsari sejak 1998 mau pindah ke Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi, tanpa paksaan. Kerja keras Pemkot Solo itu dapat ditemui di Stadion Manahan dan Jalan Slamet Riyadi. Bahkan, di Jalan Slamet Riyadi, pedagang makanan diberi gerobak seragam untuk mendukung city walk (kawasan khusus pejalan kaki). Untuk program penataan PKL ini Pemko Solo setidaknya menghabiskan dana Rp 5,6 Miliar. Selain itu, pemerintah daerah juga menggratiskan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Dari penataan para pedagang pasar tradisional itu, Jokowi berhasil menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) dari pasar yang semula Rp 7 miliar naik menjadi Rp 12 miliar. (Harian Global, 28/12/2009) Di Jembrana, I Gde Winasa melakukan berbagai terobosan positif. Tahun 2001, siswa SD sampai SMA/SMK di Jembrana dibebaskan dari segala bentuk pungutan. Ada pula beasiswa bagi siswa sekolah swasta berprestasi. Insentif guru [172]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
ditingkatkan dan pemkab menanggung sebagian biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Tahun 2008 total anggaran pendidikan 30 persen APBD. Di bidang kesehatan, pemkab mengalihkan subsidi pelayanan kesehatan dari unit pelayanan kesehatan ke masyarakat melalui lembaga Jaminan Kesehatan Jembrana. Penduduk Jembrana gratis berobat jalan ke semua dokter, dokter gigi, bidan, dan klinik pemerintah maupun swasta. (Kompas, 4/12/2008) Di Sragen, Untung melakukan revolusi besar dengan pendekatan e-government. Penerapan egovernment di Sragen sudah dimulai sejak tahun 2003. Melalui aplikasi e-government, kantor-kantor pemerintah sampai ke tingkat kecamatan terkoneksi dalam LAN (Local Area Network) dan WAN (Wide Area Network). Sejak 2007 WAN bahkan sudah menjangkau 208 desa di Sragen. Tulang punggung penerapa e-government di Sragen adalah Kantor Pengolahan Data Elektronik (PDE). Secara garis besar, terdapat empat bentuk aplikasi e-government di Sragen (Warta Ekonomi, Maret 2008). Pertama, Sistem Informasi Manajemen Kependudukan sejak 2003. Layanan ini memungkinkan pembuatan KTP hanya butuh waktu lima sampai dua menit, tanpa ada pungutan liar dan prosedur yang berbelit. Kedua, Sistem Informasi Manajemen Perizinan sejak 2005. Sistem ini bisa melacak (tracking) dokumen perizinan secara online. Saat ini sudah 59 izin dan 10 non-perizinan yang diproses menggunakan TI. Kabupaten Sragen juga sudah mempunyai 13 aplikasi sistem untuk kantor pemerintah dan rumah sakit. Sragen juga sudah membangun jaringan sampai ke 208 desa dan menyerahkan 17 izin yang bisa diurus pada tingkat kecamatan. Ketiga, website resmi Pemkab Sragen sejak 2002, http://www.sragenkab.go.id/. Lewat website, masyarakat bisa memperoleh informasi lengkap mengenai profil dan potensi kabupaten yang terdiri dari 20 kecamatan dan 208 desa/kelurahan ini, termasuk harga sembako dan sarana interaktif aparat dan masyarakat. Keempat, Sistem Informasi Pemerintahan Daerah-Kantaya (Kantor Maya) sejak 2004. Sistem online ini mempermudah pekerjaan pegawai Pemkab Sragen dan koordinasi antarorganisasi pemerintahan di sana. Misalnya, untuk pelaporan dan pengawasan di setiap unit kerja, kecamatan dan BUMD, sarana pengiriman data, informasi dan pengawasan proyek di setiap unit kerja, informasi agenda kerja di setiap satuan kerja, pengiriman surat dinas atau undangan kedinasan ke setiap unit kerja, dan untuk forum diskusi serta interaksi antarpegawai. Kantaya telah menjadi sarana komunikasi dari kantor kabupaten hingga ke 20 kecamatan dan 208 desa di Sragen yang disebut Kantor Maya (Kantaya).
Aplikasi Kantaya di antaranya laporan monitoring setiap dinas, satuan kerja, dan kecamatan; sarana pengiriman data; informasi dan monitoring proyek secara online pada setiap satuan kerja; agenda kerja setiap satuan kerja; forum diskusi dan chatting antarpersonel dan satuan kerja; surat dinas atau undangan. Di kantaya juga tersedia sistem informasi pemerintahan daerah, perizinan terpadu, sistem informasi perdagangan antarwilayah, kepegawaian, keuangan daerah, kependudukan, pertanahan, sistem rumah sakit umum daerah, sistem informasi strategis, pendapatan daerah, pengelolaan barang daerah, sistem informasi geografis, kredit, dan pembayaran perusahaan daerah air minum. 3.
SIMPULAN Contoh-contoh diatas rasanya cukup memberi kita pelajaran bahwa keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah berkorelasi positif dengan perolehan suara dalam pilkada. Mereka menuai hasil dari kebijakan pro rakyat dengan perolehan suara yang amat tinggi. Hal ini penting dipahami oleh para incumbent, terutama di masa jabatan pertama bahwa kampanye sesungguhnya tidak hanya berlangsung dua minggu menjelang pencoblosan. Kampanye sesungguhnya adalah merealisasikan janji-janji kampanye dan melaksanakan kebijakan pro rakyat selama memerintah sehingga masyarakat terpuaskan dan memiliki loyalitas. Incumbent yang tak bekerja baik biasanya mengalami kesulitan untuk memenangkan pemilihan. Hal ini biasanya kemudian diikuti pencitraan besar-besaran yang cenderung menggunakan APBD seperti berbagai bentuk sosialisasi yang sebetulnya merupakan kampanye terselubung. Jika mereka bekerja baik sebetulnya yang berkampanye bukanlah spanduk atau baligo, tapi jalan yang bagus, sekolah yang kokoh, atau puskesmas yang melayani semua lapisan masyarakat. Kinerja-lah yang berkampanye untuk seorang incumbent. PUSTAKA Harris, John, Kristian Stokke and Olle Tornquist . 2005. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization. New York, Palgrave Macmillan. Sahdan, Gregorius. 2005. Distorsi dan Paradoks dalam Pilkada . Jurnal Analisis CSIS, Vol. 34 No. 4 Desember 2005 Bahan Sosialisasi Pilkada Langsung 2005, Departemen Dalam Negeri Aditya Perdana (dkk), Politisasi Birokrasi Dalam Pilkada: Studi Kasus Kota Depok Dan Kabupaten Tangerang, Laporan Penelitan Strategis Nasional UI Tahun 2009 [173]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Zuhro, Siti. Rapor Merah Pilkada, 26 Juli 2010. http://okutimurnews.blogspot.com/2011/02/hermanderu-raih-penghargaan.html www.sragenkab.go.id Harian Global, 28/12/2009 Kompas, 4 April 2011 ------------, 4 Desember 2008 Biodata Penulis Abdul Hamid, dosen dan peneliti di Lab Administrasi Negara FISIP Untirta. Hamid bisa ditemukan di www.abdul-hamid.com atau dihubungi di
[email protected].
[174]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
BANTEN MENUJU ERA KETERBUKAAN INFORMASI: Best Practice Pembentukan Komisi Informasi Provinsi Ismanto Program Studi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Keterbukaan informasi adalah bagian dari hak azasi manusia, yang dibutuhkan guna mewujudkan kedaulatan rakyat secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, keterbukaan informasi telah menjadi keniscayaan bagi negara-negara demokrasi, dimana partisipasi rakyat sangat dibutuhkan pada satu sisi, serta transparansi dan akuntabilitas dituntut untuk diwujudkan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Peran pemerintah yang tidak lagi menjadi agen tunggal dalam pemerintahan dan pembangunan juga menempatkan masyarakat dan sektor privat pada posisi yang makin setara, sehingga keterbukaan informasi menjadi kata kunci dalam mewujudkan partisipasi dan akuntabilitas tersebut. Setelah menunggu lebih dari sepuluh tahun, Indonesia kini telah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dengan diundangkannya UU Nomor 14/2008. Namun demikian, butuh waktu dua tahun transisi untuk diterapkannya UU ini, mengingat kesiapan dan sejumlah kekhawatiran yang mengiringi lahirnya UU ini, terutama di daerah. Mindset ketertutupan yang masih mewarnai pemerintahan daerah adalah tantangan yang berat dalam implementasi UU ini. Terbukti, hingga kini baru enam provinsi saja yang telah membentuk dan memiliki Komisi Informasi Publik sebagai salah satu instrumen penegakan hak masyarakat atas informasi publik di daerah. Provinsi Banten patut berbangga, karena dari 33 provinsi di Indonesia Banten adalah provinsi kelima yang berhasil membentuk komisi informasi dimaksud. Kendati butuh waktu cukup lama untuk mewujudkannya serta tantangan yang cukup berat, Banten kini telah memasuki era keterbukaan informasi, yang dengannya diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitasnya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
. Kata Kunci: transparansi, akuntabilitas pengawasan masyarakat (social control). Lebih lanjut, UU KIP merupakan jaminan konstitusional bagi hak azasi warga negara, mengingat bahwa bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Menyadari sepenuhnya urgensi UU KIP tersebut, dipandang perlu untuk menindaklanjutinya bagi implementasinya di daerah, khususnya dalam rangka menjalankan amanat UU tersebut untuk membentuk Komisi Informasi Daerah (KID) Provinsi Banten. Mengingat bahwa eksistensi KIP bukan sama sekali domain pemerintah, maka keterlibatan masyarakat dalam pembentukannya tentu akan menjadi nilai positif dalam membangun kepercayaan dan kemitraan antara masyarakat dan pemerintah daerah. KEBEBASAN INFORMASI SEBAGAI HAK AZASI Hak atas informasi (right to know) merupakan bagian tak terpisahkan dari freedom of expression yang telah menjadi salah satu isu utama para perumus Deklarasi Umum tentang Hak Azasi Manusia. Majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bahkan menilai bahwa hak ini memiliki peran yang sangat penting bagi perjuangan hak-hak azasi lainnya, sehingga memiliki karakter sebagai fundamental right. Karena pertimbangan
PENDAHULUAN Tak banyak orang yang menyadari, bahwa lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada tanggal 30 April 2008 lalu tak lepas dari kontribusi Provinsi Banten di dalamnya. Tidak langsung memang, namun eksistensi dan keberhasilan dari Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) di Kabupaten Lebak diakui secara nasional sebagai salah satu best practice yang mendasari kelahiran UU tersebut. Kenyataan ini tentu sangat membanggakan, terutama karena 3 (tiga) alasan mendasar. Pertama, karena KTP justru lahir jauh sebelum UU KIP dilahirkan, di tengah diskursus pro dan kontra urgensi Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) di awal era reformasi. Kedua, KTP merupakan salah satu komisi informasi pertama yang lahir di Indonesia. Dan ketiga, KTP diakui secara nasional sebagai best practice yang sering menjadi rujukan bagi daerah lain dalam pembentukan komisi sejenis. Studi yang dilakukan oleh Sobari paling tidak mewakili kesimpulan obyektif tentang hal ini. i Dalam pada itu, lahirnya UU KIP merupakan kemajuan dalam upaya membangun tata pemerintahan yang baik di pusat maupun daerah. Keterbukaan informasi merupakan salah satu prasyarat terciptanya tata pemerintahan yang baik, yang sekaligus menjadi pen-stimuli berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, serta [175]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
itulah maka hak atas informasi kemudian dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di dalam Pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”ii International Covenant on Civil and Political Rightsiii - yang disahkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi nomor 2200A (XXI) tanggal 16 December 1966 – kemudian memperkuat deklarasi 1948 di atas, yang terbuka bagi Negara manapun untuk ikut meratifikasinya. Indonesia termasuk Negara yang telah meratifikasi covenant ini melalui UU No.12 Tahun 2005. Walaupun jauh agak terlambat, dengan diratifikasinya kovenan ini maka Pemerintah Indonesia kini terikat pada kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut. Kewajiban yang diembannya terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate).iv Namun demikian jauh sebelum Indonesia meratifikasi kovenan ini, Indonesia telah telah mencantumkan hak untuk memperoleh informasi ini dalam amendemen UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Fv yang kemudian dimanifestasikan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal 14 UU ini menyatakan bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Selanjutnya, jaminan terhadap kebebasan memperoleh informasi ini diwujudkan dalam satu UU tersendiri yaitu UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, kendati butuh waktu agak lama untuk merealisasikan UU ini mengingat cukup banyaknya respon pro dan kontra selama proses penyusunannya.UU KIP memberikan ruang yang cukup bagi terciptanya akuntabilitas publik karena mampu menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan keputusan suatu kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian maka UU ini pun dapat bersinergi dengan upaya mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, transparan,
akuntabel, efektif, dan efisien yang dibangun dengan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik tersebut. UU KIP DAN GOOD GOVERNANCE Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. UUD bahkan menjamin hak untuk memperoleh Informasi sebagai hak asasi manusia yang wajib dilindungi sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Sebagai fundamental right, hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights yaitu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dengan demikian, pelaksanaan hak ini dapat dibatasi dengan pertimbangan tertentu karena pelaksanaan atas hakini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu. Itu sebabnya prinsip maximum acces, limited exemption digunakan dalam UU ini disamping metode consequential harm, balancing public interest, dan pembatasan waktu kerahasiaan yang digunakan dalam UU ini untuk mengatur informasi-informasi yang dapat dikecualikan. Untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh Informasi, telah dibentuk undang-undang yang mengatur tentang keterbukaan Informasi Publik. Lahirnya UU ini diyakini sebagai sarana penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka, yang menjamin hak atas Informasi bagi seluruh warga masyarakat. Di samping itu, lahirnya UU ini juga didasari oleh keyakinan bahwa hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan Informasi Publik. Di sisi lain, dengan jaminan keterbukaan informasi publik diharapkan badan-badan publik termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang prima. Dengan demikian, dalam jangka panjang dapat berkontribusi bagi terwujudnya pemerintahan yang terbuka, bersih, dan berwibawa (good governance) yang bersendikan pada prinsip-prinsip: partisipasi, rule of law, transparansi, responsif, berorientasi pada consensus, kesetaraan, efektif & efisien, akuntabilitas, dan visi strategis.vi Masyarakat dunia saat ini telah mencapai satu kesadaran umum bahwa antara pembangunan, hak azasi manusia, dan good governance sebenarnya memiliki relevansi dan korelasi yang sangat kuat. [176]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tidak ada pembangunan tanpa penghormatan terhadap HAM. Tidak ada akan ada penghormatan terhadap HAM tanpa pemerintahan yang baik. Dan tidak akan ada pemerintahan yang baik tanpa ada pembangunan terhadap manusia karena pemerintahan yang baik senantiasa membutuhkan partisipasi warga negaranya, transparansi, akuntabilitas, dan kesetaraan setiap warga Negara di dalam hokum dan pemerintahan tersebut. Inilah sesungguhnya benang merah yang nyata antara ketiganya, yang kendati muncul dalam proses sejarah yang berbeda dan dipelajari sebagai teori yang berbeda-beda dan mungkin dalam disiplin yang berbeda, namun ketiganya bermuara pada satu kepentingan yang sama yang menempatkan manusia sebagai fokus utamanya, karena pembangunan, HAM, dan good governance secara konvergen memiliki “share the common tenet of putting people at the center of their agenda”.
ini terasa sangat lambat. IPM misalnya, adalah bukti sinyalemen ini. Banten yang tahun 2002 berada pada peringkat 11 nasional justru kini terpuruk di peringkat 23 dengan IPM. Sementara Bangka Belitung yang awalnya pada peringkat 20 kini berhasil duduk bertengger di peringkat 10 (2009). Diantara 7 provinsi baru, Banten hanya berhasil meningkatkan IPM-nya sebesar 3,96 poin selama periode 2002-2010; jauh dibawah Bangka Belitung yang mencapai 7,15; Gorontalo yang mencapai 5,69 poin, Papua Barat yang mencapai 5,58 poin, Sulawesi Barat yang mencapai 5,18 poin, serta Kepulauan Riau yang mencapai 4,54 poin. Banten hanya sedikit lebih baik dari Provinsi Maluku Utara berhasil menaikkan IPM-nya sebesar 3,03 poin. Dalam hal pengentasan kemiskinan, diantara 7 provinsi baru tersebut Banten juga menunjukkan gejala yang sangat tidak memuaskan. Gorontalo tercatat sebagai Provinsi yang paling berhasil menurunkan angka kemiskinannya, dengan besaran 8,94% dari 32,13% pada tahun 2002 menjadi 23,19% pada tahun 2010, disusul Sulawesi Barat yang berhasil menurunkan 7,22%; Papua Barat sebesar 6,64% ; Bangka Belitung (5,11%), Maluku Utara (4,61%), dan Kepulauan Riau (2,95%). Banten sendiri hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 2,06% dalam kurun waktu 20022010, dari 9,22% menjadi 7,16%. Pengentasan adalah prestasi terburuk provinsi Banten. Dalam periode 2002-2010 Banten justru „kewalahan‟ mengatasi melonjaknya angka pengangguran. Dengan trend negatif sebesar -3,36 berarti terjadi kecenderungan peningkatan angka pengangguran setiap tahunnya, dari 10,32% pada tahun 2002 menjadi 13,68% pada tahun 2010. Berbeda dengan gorontalo yang dalam kurun yang waktu sama secara fantastis mampu menekan angka penganggurannya hingga 7,28%. Demikian juga Bangka Belitung yang turun sebesar 8,86%. Perbandingan yang kurang lebih sama juga terjadi pada indikator Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Banten yang rata-rata berada di bawah 6%, jauh tertinggal dibandingkan Gorontalo yang konsisten rata-rata di atas 7%, tahun 2010 bahkan mencapai 7,63% sementara Banten hanya mencapai 5,94%, padahal Banten memiliki potensi SDA yang jauh berlimpah serta posisi geostrategis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Yang menarik dari kenaikan LPE di Banten adalah fakta kurang berkorelasinya peningkatan LPE tersebut dengan turunnya angka pengangguran dan kemiskinan. Analisis terhadap kinerja LPE terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran sepanjang 5 tahun terakhir membuktikan bahwa secara statistik kontribusi 1% pertumbuhan ekonomi di Banten ternyata hanya mampu menyediakan lapangan kerja baru untuk sekitar 18.000 tenaga kerja saja. Artinya bila LPE saat ini (2010) adalah 5,94%, maka LPE tersebut hanya mampu
ISU KETERBUKAAN DI PROVINSI BANTEN Tak terasa, telah sepuluh tahun lebih perjalanan Provinsi Banten sejak dibentuk melalui Undangundang No. 32 Tahun 2000 pada tanggal 17 Oktober tahun 2000. Cukup banyak kemajuan yang telah dicapai sepanjang 9 tahun perjalanan Provinsi Banten tersebut, kendati tidak berarti tidak terdapat kekurangan dan kelemahan sama sekali didalamnya. Berbagai prestasi telah dicapai yang mengindikasikan sinyal-sinyal positif terhadap keberlangsungan pembangunan ke arah yang lebih baik di masa mendatang, seperti: pendapatan daerah yang terus bertumbuh, IPM yang terus bergerak naik, IPD yang terus meningkat, angka pengangguran yang dapat ditekan, serta IPM-G dan IDG yang juga terus meningkat. Termasuk juga kapasitas resillience perekonomian daerah yang masih dapat bertahan di tengah terpaan krisis yang cukup dahsyat. Pencapaian kuantitatif ini merupakan keberhasilan yang patut diapresiasi sebagai wujud pengakuan kita terhadap kesungguhan ikhtiar pemerintah beserta segenap jajaran birokrasi pemerintah Provinsi Banten dalam mewujudkan komitmen pengabdiannya bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat Banten. Seluruh kemajuan tersebut tak diragukan merupakan hasil karya dari kerjasama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya, karena tanpa ketiganya maka pembangunan tidak akan berjalan dan mencapai tujuannya. Namun demikian, beberapa kelemahan nampaknya patut didiskusikan secara terbuka guna meningkatkan efektivitas pemerintahan dan pembangunan. Sejumlah data sepanjang dasawarsa terakhir masih menunjukkan lemahnya kinerja dan percepatan pembangunan di provinsi Banten dalam mencapai target pembangunan yang telah ditetapkan. Dibandingkan dengan provinsi yang seusia dengannya, kemajuan yang dicapai oleh Banten hari [177]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
menyediakan lapangan kerja bagi 106.920 tenaga kerja, padahal jumlah penganggur saat ini mencapai 726.377 orang. Bahkan, angka pengangguran faktanya terus bertambah karena rata-rata tambahan angkatan kerja baru yang mencapai 115.543 orang per tahun tidak diimbangi dengan pertambahan kesempatan kerja yang hanya tersedia sebanyak 99.976 orang per tahun. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi di Banten juga ternyata hanya mampu menurunkan rata-rata 0,03 persen jumlah penduduk miskin. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi ternyata justru makin menciptakan ketimpangan yang nyata antar kabupaten/kota di Banten. Secara statistik, setiap 1% LPE justru meningkatkan besaran indeks ketimpangan sebesar 0,19%. Artinya ada kecenderungan yang sangat nyata bahwa daerah yang maju semakin maju sementara daerah yang kurang maju terus tertinggal. Fakta ini paling tidak membuktikan isu disparitas Utara-Selatan yang masih relevan hingga kini, yang juga membuktikan stigma yang tak banyak jauh berubah dalam dasawarsa terakhir ini. Menurut analisis ekonom Dahnil Anzhar, LPE yang moderat pada angka 5% masih sangat jauh dibawah potensi pertumbuhan yang harusnya bisa dicapai oleh Banten. Harusnya dengan geostrategisnya, SDA yang luar biasa, serta supply tenaga kerja yang besar, Banten bisa mencapai angka LPE di atas Gorontalo. Faktanya justru terbalik karena adanya barrier inefisiensi yang tinggi, minimnya stimulus pemerintah terhadap dunia usaha, infrastruktur jalan dan listrik yang buruk, dan birokrasi pemerintah yang tak kunjung berubah. Kondisi ini kemudian memparah kesenjangan ekonomi antar daerah. Data National Human Development Resources (NHDR) UNDP, tahun 2009 misalnya membuktikan kontribusi yang tidak seimbang entitas ekonomi Tangerang yang berkontribusi sebesar 61% terhadap PDRB Provinsi Banten, sedangkan Kabupaten/Kota lain hanya menyumbang sisanya. Fakta-fakta di atas tentu juga menemukan relevansinya dengan sejumlah kenyataan yang juga masih memprihatinkan, misalnya : masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang masih mencapai 200an kasus/100.000 kelahiran; Angka Kematian Bayi (AKB) masih mencapai 30an kasus/1.000 kelahiran; 253 desa yang masih tertinggal; layanan pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, kesenjangan sosial antar daerah yang makin lebar, infrastruktur yang sangat buruk (63% rusak); kualitas pekerjaan pembangunan yang buruk, serta arah pembangunan yang distortif oleh sejumlah proyek mercusuar dan atau proyek pesanan yang muncul „tiba-tiba‟. Semuanya membuktikan policy mismatch yang nyata antara apa yang dibutuhkan masyarakat dengan apa yang dilakukan pemerintahnya.
Tingginya korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dilansir oleh KPK melalui survey Integritas Pemerintahan Daerah yang rendah (5,66), serta Transparansi Internasional Indonesia melalui Indeks Persepsi Korupsi yang cukup tinggi (4,87), merupakan buah dari rendahnya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan. Sejumlah perkara korupsi yang menjerat beberapa pejabat pemerintah hanyalah puncak gunung es dari fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang faktanya mungkin jauh lebih menggurita dibanding apa yang nampak di permukaan. Kinerja provinsi yang dinilai buruk oleh Kementerian Menteri Dalam Negeri (2010) - dengan skor 44,57 dan peringkat keenam dari tujuh provinsi baru di Indonesia - juga merupakan bukti nyata dari distorsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Banten selama dasawarsa ini. Sejumlah kelemahan tersebut tidak sekedar menggambarkan persoalan dan kendala-kendala umum yang dihadapi birokrasi, namun lebih dari itu mengindikasikan lemahnya beberapa fundamen pemerintahan yang baik. Secara hipotetis kelemahan tersebut dapat dikaitkan dengan partisipasi masyarakat yang tidak optimal, yang diakibatkan oleh keterbukaan yang belum ”diimani” oleh jajaran pemerintahan, swasta, dan masyarakat yang masih terbelenggu oleh implementasi nilai-nilai lama yang kurang relevan, nilai-nilai tabu yang dimaknai secara salah, serta belenggu persaingan antarkepentingan politik yang menguat sejak liberalisasi politik mewabah pasca reformasi tahun 1998. Akibatnya, akuntabilitas masih menjadi sekedar wacana daripada praktek yang nyata dalam kehidupan bernegara. Akuntabilitas disini tentu tidak sekedar akuntabilitas teknis/ administratif semata sebagaimana diatur dalam pedoman penyusunan LAKIP, namun juga akuntabilitas strategis/manajerial, akuntabilitas legal, akuntabilitas politik, akuntabilitas moral, dan tentu akuntabilitas spiritual yang berdimensi vertikal dan transedental. Beberapa indikasi dari kurang ”diimani”-nya isu keterbukaan itu nampak dari beberapa sinyalemen berikut ini: 1. Masih cukup tingginya intensitas keluhan dari kalangan peneliti, pers, mahasiswa, dan LSM yang kesulitan dalam mengakses informasi publik terkait dengan dokumen kebijakan, perencanaan dan laporan-laporan kinerja badanbadan publik; 2. Relatif rendahnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, yang direpresentasi oleh keterlibatan mereka dalam berbagai musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa, kecamatan, hingga provinsi; 3. Tingginya kecenderungan mobilisasi daripada partisipasi dalam berbagai forum pertemuan [178]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta BANTEN 0.7
0.6
0.6 0.42
0.39
0.44
0.4
0.47
0.33
0.38
0.39
Pengendalian Korupsi
0.4
Rule of Law
0.5
INDEKS
0.44
0.3 0.2
Kepercayaan
Kualitas PERDA
Kapasitas Menyampaikan Info
Transparansi
Partisipasi
Stabilitas Politik
0
Inovasi
0.1
Efektivitas Pemerintah
yang terbuka bagi publik, seperti: sosialisasi, diskusi, seminar, dll; 4. Belum digunakannya hak jawab secara efektif baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat dalam mengklarifikasi isu tertentu yang dianggap merugikan pihak-pihak terkait; 5. Belum mentradisinya forum ”public hearing” maupun konferensi pers di kalangan badanbadan publik maupun masyarakat; 6. Cukup tingginya aksi-aksi massa yang lebih disebabkan oleh tersumbatnya saluran komunikasi dan informasi; 7. Kurang optimalnya komunikasi dan koordinasi antarlevel pemerintahan di Provinsi Banten sehingga memunculkan isu dishamoni hubungan antarlevel pemerintahan tersebut; 8. Kurang responsifnya jajaran pemerintahan di Banten pada umumnya dalam mensikapi isu keterbukaan informasi yang telah bergulir 10 tahun lalu, kendati Banten telah memiliki Komisi Transparansi dan Partisipasi di Lebak sejak tahun 2005 serta kendati UU KIP telah dilahirkan pada tahun 2008. Persiapan yang sangat minim untuk mengimplementasikan UU tersebut, serta sosialisasi yang tidak cukup efektif menyebabkan nampak nyatanya ”kegagapan” di kalangan aparatur pemerintah dalam merespon UU ini saat mulai berlaku pada awal Mei 2010 lalu; Sejumlah sinyalemen di atas nampaknya cukup relevan dengan salah satu riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) yang dirilis pada tahun 2007. Riset yang bertujuan mengukur ‟Governance Assesment in Banten Province’ menghasilkan kesimpulan yang agak mengejutkan, dimana terdapat sejumlah indikator yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa Banten tengah bergerak ke arah bad governance bukan good governance. Beberapa indikator itu antara lain: indeks efektivitas pemerintahan yang hanya 0,39 (dalam skala 1); indeks inovasi pemerintah 0,42; indeks partisipasi 0,4; indeks transparansi 0,33; indeks kapasitas menyampaikan informasi 0,44; indeks kualitas Perda 0,47; indeks rule of law 0,38; indeks pengendalian korupsi 0,39; indeks kepercayaan publik 0,44; dan indeks stabilitas politik 0,6. Nyaris seluruh indikator good governance tersebut berada di bawah indeks 0,5 yang berarti dalam kondisi buruk hingga sangat buruk. Grafik berikut ini menggambarkan hasil governance assesment sebagaimana dipapar di atas.
ISBN: 978-602-96848-2-7
INDIKATOR
Sumber: PSKK UGM, 2008 Riset juga menyimpulkan 2 instansi non pemerintah yang paling tidak dipercaya yaitu: parpol (79,78%) dan asosiasi pengusaha (74,16%), di samping 2 instansi non pemerintah yang paling terpercaya yaitu: perguruan tinggi (78,65%) dan media massa (75,28%). Secara khusus beberapa indikator keterbukaan juga menunjukkan penampakkan indeks yang relatif rendah, seperti: akses terhadap informasi (0,32), partisipasi (0,4), keterbukaan dalam kebijakan (0,35), keterbukaan dalam rekrutmen (0,28), keterbukaan dalam keputusan tender (0,41), dan transparansi (0,33). Informasi ini dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Merefleksikan fakta-fakta di atas serta menyadari sepenuhnya urgensi keterbukaan informasi bagi kemajuan masyarakat, maka lahirnya UU KIP merupakan angin segar yang dapat membuka ruang partisipasi yang jauh lebih besar bagi masyarakat. Oleh karenanya, berbagai diskusi dalam rangka sosialisasi telah dilakukan guna menyambut UU KIP ini. Sejumlah LSM, lembaga riset, pers, tokoh masyarakat, dan organisasi mahasiswa) gencar melakukan sosialisasi dan mewacanakan UU KIP ini [179]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sejak awal tahun 2009. Tim Persiapan pembentukan Komisi Informasi Publik (TP-KIP)vii dibentuk sebagai organisasi taktis yang bersifat ad-hocviii yang mewadahi elemen-elemen masyarakat tersebut guna mendorong pemerintah untuk proaktif dalam menyambut pemberlakuan UU KIP ini dengan melakukan percepatan pembentukan Komisi Informasi di Provinsi Banten. Wacana percepatan ini saat itu menjadi sangat penting bagi Banten, karena didorong oleh 4 (empat) kepentingan besar untuk mempercepat pembentukan komisi tersebut, yaitu: (1) mempertahankan image sebagai Provinsi pertama yang membentuk Komisi Informasi Provinsi, melengkapi image provinsi pertama yang memiliki Komisi Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten Lebak; (2) mempertahankan prestasi sebagai Provinsi terdepan dalam implementasi UU, sebagaimana prestasi sebelumnya sebagai Provinsi pertama dan satu-satunya yang memiliki Perda Pengarusutamaan Gender; dan (3) mengubah stigma provinsi Banten yang tertutup, tidak transparan, dan tertinggal dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan (4) membangun best practice implementasi UU KIP dengan mengawalinya melalui pembentukan Komisi Informasi Provinsi yang melibatkan elemen masyarakat sipil dan pemerintah secara sinergis dan kemitraan yang setara. Dan untuk ke-empat obsesi itulah percepatan pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten dipandang penting dan strategis bagi kepentingan Provinsi Banten saat itu. Percepatan pun sangat memungkinkan (saat itu) mengingat beberapa faktor obyektif yang dimiliki Provinsi Banten sebagai berikut: 1. Percepatan pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten sangat memungkinkan mengingat 3 (tiga) pertimbangan empiris sebagai berikut: (1) Banten telah memiliki pengalaman pembentukan Komisi sejenis, dan berhasil dengan baik; (2) Lembaga teknis daerah terkait - dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi - juga telah memiliki pengalaman memfasilitasi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan berhasil dengan sangat baik; dan (3) Banten memiliki best practice pembentukan Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) di Kabupaten Lebak, yang juga diakui sangat berhasil. 2. percepatan pembentukan Komisi Informasi Provinsi sangat bernilai strategis dalam mempertahankan citra positif Banten, khususnya terkait dengan eksistensi UU tersebut; 3. Berbagai pengalaman pembentukan komisikomisi daerah di provinsi Banten dapat dielaborasi guna membentuk Komisi Informasi Provinsi dengan biaya yang murah, proses yang cepat, dan hasil yang sesuai dengan tujuannya.
Berbekal sejumlah modal sosial tersebut, TP-KIP melakukan advokasiix proses pembentukan komisi informasi. TP-KIP juga melakukan diskusi, kajian dan fasilitasi guna percepatan pembentukan komisi informasi di daerah.x Komunikasi dengan Komisi Informasi Pusat juga dilakukan guna mengefektifkan proses percepatan tersebut.xi TP-KIP menjadi satu-satunya organisasi yang aktif mengawal proses pembentukan komisi informasi, sehingga hampir seluruh tahapan seleksi yang diselenggarakan oleh tim seleksi nyaris tidak luput dari pengawasan dan kontribusi dari TP-KIP. xii
Penutup Terbentuknya Komisi Informasi Provinsi Banten disadari bukanlah tujuan, namun sarana mewujudkan keterbukaan informasi yang nyata bagi masyarakat yang memungkinkankan terbangunnya tata pemerintahan yang baik. Karenanya, terbentuknya KIP tidak dengan serta merta menjamin keterbukaan di Provinsi Banten karena sejumlah kendala struktural dan kultural diyakini tidak banyak berubah. Mindset ketertutupan yang masih menjadi paradigma kebanyakan elite pemerintahan, politik, dan birokrasi merupakan tantangan yang masih akan dihadapi. Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap hak-hak sipilnya yang masih rendah dalam pemerintahan dan pembangunan juga merupakan kendala lain yang juga diyakini masih menghambat iklim keterbukaan di daerah. Karena itu, peran masyarakat kelas menengah masih diperlukan guna menjadi trigger perubahan. TP-KIP yang telah ”berhasil” memainkan peran sejarahnya masih dibutuhkan guna mengoptimalkan peran komisi informasi sekaligus mendorong kesadaran politik warga negara. Dan karena itu pula, transformasi TP-KIP menjadi Masyarakat Informasi Banten (MIB) merupakan keputusan strategis guna terus mewacanakan dan mewujudkan keterbukaan untuk terbangunnya tata pemerintahan yang baik di daerah. Semoga. Daftar Bacaan http://mirror.undp.org/magnet/policy/chapter1.htm# b http://www.radarbanten.com/ Kasim, Ifdhal. “Kebebasan Memperoleh Informasi dan Rahasia Negara”. Makalah pada Diskusi Terbuka RUU Rahasia Negara dan Ancaman Kebebasan Informasi Publik, Hotel IBIS Tamarin, 18 Februari 2009. Patinassarany, Daan. Kusuma, Chandra. ”Transparansi, Partisipasi, dan Pelayanan Publik di Kabupaten P2TPD, Temuan GDS Tahun 2006”. DSF Working Paper, 2007 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. ”Governance Assesment in Banten Province”. Working Paper, 2008 [180]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Sobari, Wawan. Jurnal YIPD. Tahun V No. 3, Juli September 2006. http://www.yipd.or.id/publikasi/index.php?act= ndetail&sub=article&p_id=41 Universal Declaration of Human Rights, Article 19th. http://www.un.org/en/documents/udhr/ UU Nomor 39/1999 Tentang Hak Azasi Manusia UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 UU Nomor 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Biodata Penulis Penulis lahir di Tanjung Karang 36 tahun silam, menikah dan memiliki 2 putra. Hobi membaca, bermusik, dan fishing. Pernah memimpin Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Serang tahun 2004, Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Banten tahun 2006, Konsultan Perencana pada beberapa instansi pemerintah hingga kini, Sekretaris Eksekutif Dewan Riset Daerah Provinsi Banten tahun 2005-2008, Pembantu Dekan II FISIP UNTIRTA 2007-2009, dan lain-lain. Pembicara dan trainer pada sejumlah seminar, lokakarya, dan training. Host pada acara dialog interaktif “Sudut Pandang” di Banten Tv. Sehari-hari berkhidmat sebagai guru pada program studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, serta aktif menulis dan meneliti untuk pengembangan ilmu sosial dan politik maupun untuk kepentingan kebijakan publik. Ketua Perkumpulan (NGO) Masyarakat Informasi Banten, 2011-sekarang. Korespondensi dapat dilakukan melalui
[email protected] atau fesbuk: Romo Gandung Ismanto
iv
v
vi
vii
viii
i
Sobari, Wawan. Jurnal YIPD. Tahun V No. 3, Juli September 2006. http://www.yipd.or.id/publikasi/index.php?act=ndetail &sub=article&p_id=41 ii http://www.un.org/en/documents/udhr/. Article 19th Universal Declaration of Human Rights, declared by the General Assembly of the United Nations on December 10, 1948. iii Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik 1966 menjelaskan bahwa: “(1). Everyone shall have the right to hold opinions without interference. (2) Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. (3) The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.
ix
x
[181]
Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM RI, “Kebebasan Memperoleh Informasi dan Rahasia Negara”. Makalah disampaikan pada Diskusi Terbuka RUU Rahasia Negara dan Ancaman Kebebasan Informasi Publik, Hotel IBIS Tamarin, 18 Februari 2009. Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Good governance is, among other things, participatory, transparent and accountable. It is also effective and equitable. And it promotes the rule of law. Good governance ensures that political, social and economic priorities are based on broad consensus in society and that the voices of the poorest and the most vulnerable are heard in decision-making over the allocation of development resources. http://mirror.undp.org/magnet/policy/chapter1.htm#b TP-KIP dibentuk secara resmi pada tanggal 2 Juli 2009 di kantor Banten Research and Development Support (BRDS) Cijawa, setelah melalui sejumlah diskusi dengan berbagai tokoh, jurnalis, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Pattiro adalah NGO yang paling awal mewacanakan keterbukaan informasi, dan sangat aktif dalam aktivitas TP-KIP. TP-KIP dipimpin oleh Gandung Ismanto, dan sejak itu TP-KIP aktif melakukan sosialisasi dan pendekatan khususnya kepada pemerintah provinsi agar proaktif dalam mensikapi berlakunya UU No.14/2008, khususnya dalam pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten. Ad hoc karena TP-KIP merupakan koalisi masyarakat sipil Banten yang bertujuan afirmatif untuk mempercepat dan mengawal proses pembentukan Komisi Informasi di Banten. Namun Pasca dilantiknya Komisi Informasi Provinsi Banten pada tanggal 24 Pebruari 2011, TP-KIP bertransformasi menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat berbadan hukum perkumpulan dengan nama Masyarakat Informasi Banten (MIB) pada tanggal 23 April 2011, dengan visi turut serta membangun tata pemerintahan yang baik di Provinsi Banten melalui penguatan masyarakat sipil dalam meningkatkan partisipasi publik dalam pemerintahan dan pembangunan. MIB juga melakukan kajian, penelitian, penerbitan, hingga advokasi dalam mewujudkan visi dan misinya. Advokasi dimulai melalui audiensi dengan sejumlah SKPD, dimulai dari: Dishubkominfo Provinsi Banten (7 Juli 2009), Bappeda Provinsi Banten (13 Juli 2009), dan Sekretaris Daerah Provinsi Banten (20 Juli 2009). Audiensi tersebut menghasilkan kesepahaman dan kesanggupan pemerintah provinsi untuk memfasilitasi anggaran untuk proses pembentukan Komisi Informasi di Banten secepat-cepatnya. Tanggal 25 Juli 2009 dilakukan diskusi dalam rangka penyusunan rancangan Kelompok Kerja Pembentukan Komisi Informasi. Tanggal 10 Agustus 2009 dilakukan fasilitasi awal rencana pembentukan komisi Informasi, dihadiri oleh Komisioner dari KI Pusat, Humas Provinsi Banten, Dishubkominfo, dan sejumlah wartawan, bertempat di RM. Sederhana.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tanggal 5 September 2009 dilakukan rapat teknis penyusunan persiapan pembentukan KI di kantor Kabid Kominfo, dilanjutkan tanggal 10 September 2009 di kantor Biro Humas Provinsi Banten guna menindaklanjuti pertemuan dengan Sekda Provinsi Banten. xi Pertemuan dengan KI Pusat banyak dilakukan, banyak secara formal maupun informal. KI Pusat bahkan menugaskan anggota TP-KIP (Agus Salim, Pattiro) untuk mewakili KI Pusat dalam Tim Seleksi KI Provinsi Banten. Nama-nama anggota Timsel yang lain (Dr. Ahmad Sihabudin, Eti Fatiroh, dan Rahmat Ginanjar) juga merupakan hasil dari usulan TP-KIP, setelah sejumlah nama yang diusulkan sebelumnya tidak disetujui oleh Pemprov. xii Baca rekaman berita di sejumlah media cetak dan online, antara lain: (1)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=61245 (2)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=61118 (3)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=54651 (4)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=60843 (5)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=59430 (6)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=57104 (7)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=61777 (8)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=57222 (9)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=61701 (10)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=55715 (11)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=56184 (12)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=56712 (13)http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher &op=viewarticle&artid=55197. Diakses tanggal 16 Mei 2011, pukul 00.15 WIB
[182]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
MODEL PELAYANAN PUBLIK YANG EFEKTIF DALAM BIDANG PERIJINAN (STUDI PADA KANTOR PELAYANAN PERIJINAN TERPADU KABUPATEN LEBAK Ipah Ema Jumiati Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten E Mail:
[email protected]
Abstrak Pemberian otonomi daerah kepada Kabupaten atau Kota yang nyata dan bertanggungjawab telah membawa angin segar bagi pengembangan otonomi daerah. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, yang kemudian disempurnakan lagi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menyebabkan adanya perubahan-perubahan mendasar sistem dan mekanisme pengelolaan pemerintahan khususnya bagi daerah dan otonomi bagi daerah akan diterapkan secara nyata, bertanggungjawab, serta tidak lagi hanya semacam slogan belaka. Salah satu upaya Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam rangka memperbaiki masalah pelayanan publik tersebut dan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat adalah dengan membentuk sebuah badan atau instansi yang secara khusus bertugas mengkoordinasi berbagai macam tugas-tugas pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan perijinan. Untuk itulah, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No.3 Tahun 2005 tentang pembentukan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT), maka Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak membentuk KPPT (Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu). KPPT sendiri dibentuk atas dasar tuntutan masyarakat yang semakin kompleks yang menginginkan adanya reformasi birokrasi atau perbaikan dalam birokrasi, khususnya dalam hal pelayanan publik. Kata kunci: efektivitas, e-service, pemerintah daerah instansi pemerintahan. Mulai dari tingkat atas (pusat) hingga tingkat bawah (daerah), sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi atau dalam hal ini pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintahan yang terdapat pada instansi-instansi pemerintah tersebut sangat buruk. Hal tersebut bisa dilihat dari pelayanan yang diberikan kepada publik/masyarakat. Dimana selama ini buruknya pelayanan, kesan berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat karena ditangani oleh banyak instansi, biaya tinggi karena pelayanan yang birokratis dan pungutan yang tidak jelas dan waktu yang lama, serta banyaknya penyimpangan-penyimpangan seperti praktek KKN, lekat sekali dengan sistem pelayanan publik di negara ini. Hal-hal tersebut di atas sangatlah ironis apabila dikaitkan dengan pelayanan publik yang sesuai dengan konsep good governance, dimana dalam birokrasi pemerintah harus bersih dari penyimpangan dan harus adanya transparansi di dalamnya. Mengacu pada hal tersebut, idealnya pemerintah menerapkan pelayanan yang baik pada masyarakat dalam kaitannya dengan pelayanan publik yang sesuai dengan konsep good governance tersebut diterapkan dengan baik di instansi-instansi pemerintah guna menciptakan pelayanan prima. Menurut Kep.Men.PAN. No.63 Tahun 2003, ”Pelayanan publik mengandung artian bahwa segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai usaha
I.
PENDAHULUAN Tuntutan perubahan dalam segala tatanan kehidupan masyarakat dan kenegaraan masih terus menggema, suatu kesadaran baru muncul untuk menegakkan kedaulatan rakyat, demografi pemerintah dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah di era reformasi menuntut pengalokasian dan pendistribusian kewenangan dalam penetapan publik serta alokasi sumber-sumber pembiayaan secara adil antara pusat dan daerah. Pemberian otonomi daerah kepada Kabupaten atau Kota yang nyata dan bertanggungjawab telah membawa angin segar bagi pengembangan otonomi daerah. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah, yang kemudian disempurnakan lagi dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menyebabkan adanya perubahan-perubahan mendasar sistem dan mekanisme pengelolaan pemerintahan khususnya bagi daerah dan otonomi bagi daerah akan diterapkan secara nyata, bertanggungjawab, serta tidak lagi hanya semacam slogan belaka. Apabila melihat kondisi negara Indonesia pada saat sekarang ini, bisa dilihat buruknya birokrasi pada setiap level atau tingkatan pada [183]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksana ketentuan perundang-undangan”. Dan lahirnya pelayanan publik ini bisa didasarkan bahwa masyarakat membutuhkan sebuah pelayanan yang prima. Bila dilihat bahwa inti dari pelayanan adalah kepuasan pelanggan. Jadi, tolak ukur baik atau buruknya pelayanan diberikan tergantung kepada kepuasan pelanggan. Pelayanan sebagai tindakan seseorang atau organisasi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Jadi tolak ukur baik atau buruknya pelayanan yang diberikan tergantung kepada kepuasan pelanggan. Pelayanan sudah menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat, disadari atau tidak disadari oleh setiap masyarakat selalu berhubungan dengan kepentingan umum. Pelayanan yang baik adalah kemampuan dalam memberikan pelayanan baik sektor privat maupun sektor publik yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan minimal telah memenuhi standar pelayanan, dimana suatu pelayanan sering dikaitkan dengan kepentingan umum. Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi atau penerima pelayanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelayanan Publik, standar pelayanan sekurang-kurangnya, meliputi : prosedur pelayanan, waktu penyelesaianan, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi layanan. Idealnya, standar pelayanan harus melihat atau mengacu pada perkembangan masyarakat yang selalu berubah. Dengan kata lain, standar pelayanan tidak bersifat kekal atau tidak terpaku kepada suatu hukum tertentu, tapi bisa berubah seiring dengan perubahan sosial masyarakat yang dinamis. Dituangkannya pelayanan prima ke dalam visi dan misi Nasional Indonesia menunjukkan bahwa tuntutan terhadap pelayanan prima aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan keharusan yang tidak dapat ditunda apalagi diabaikan. Pelayanan prima adalah pelayanan yang mengutamakan kebutuhan dan kepuasan pelanggan serta tidak pandang bulu atau tidak memihak. Idealnya instansi pemerintah harus menerapkan pelayanan secara maksimal dalam tugasnya untuk melayani masyarakat sesuai dengan konsep pelayanan prima. Tapi pada pelaksanaannya, konsep pelayanan prima tersebut masih belum berjalan secara maksimal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja instansi pemerintah dalam melayani publik/masyarakat masih jauh dari memuaskan. Lemahnya koordinasi adalah salah satu
penyebab timbulnya pelayanan yang berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat karena ditangani oleh banyak instansi, ditambah lagi etos kerja birokrat yang selalu ingin dilayani, semakin menambah buruk wajah instansi pemerintah. Seharusnya masalah-masalah mengenai pelayanan publik yang ditangani oleh instansi pemerintah tersebut harus sudah diperbaiki, mengingat pada saat ini perkembangan jaman sudah semakin maju, dan kebutuhan masyarakat pun semakin kompleks. Oleh karena itu, instansi-instansi pemerintah yang secara khusus memberikan pelayanan kepada masyarakat, dituntut untuk membenahi diri agar mampu memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada masyarakat dalam kaitannya dengan konsep pelayanan prima. Pemangkasan alur birokrasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki berbelit-belitnya pelayanan, karena dengan sendirinya waktu dan biaya pelayanan pun akan ikut terpangkas. Mengingat, pada saat ini masyarakat membutuhkan suatu pelayanan yang praktis, bersih dari praktek KKN, tidak diskriminatif, dan kalau bisa hanya ditangani dalam satu pintu. Salah satu upaya Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam rangka memperbaiki masalah pelayanan publik tersebut dan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat adalah dengan membentuk sebuah badan atau instansi yang secara khusus bertugas mengkoordinasi berbagai macam tugas-tugas pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan perijinan. Untuk itulah, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No.3 Tahun 2005 tentang pembentukan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT), maka Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak membentuk KPPT (Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu). KPPT sendiri dibentuk atas dasar tuntutan masyarakat yang semakin kompleks yang menginginkan adanya reformasi birokrasi atau perbaikan dalam birokrasi, khususnya dalm hal pelayanan publik. Latar belakang Pemerintah Kabupaten Lebak membentuk KPPT antara lain adalah untuk mewujudkan visi daerah ”Lebak mejadi kondusif untuk berinvestasi pada tahun 2009”, pelayanan prima merupakan suatu keharusan seiring dengan tuntutan peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan adanya tantangan persaingan global, kesan berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat karena ditangani oleh banyak instansi, ekonomi biaya tinggi karena pelayanan yang birokratis, pungutan yang tidak jelas dan waktu yang lama, image pelayanan publik yang buruk karena adanya diskriminasi pelayanan dan pungli dianggap wajar. Pemberian pelayanan perijinan terpadu oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat adalah perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara.
[184]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Secara garis besar KPPT yang berkoordinasi dengan dinas teknis bertugas melayani berbagai macam kebutuhan masyarakat dalam hal perijinan dengan mengusung konsep profesionalisme dalam pelayanan prima, dalam arti berbagai macam tugas pemerintah yang menyangkut dengan pelayanan perizinan, yang tadinya dikerjakan oleh masing-masing dinas/instansi sesuai dengan bidangnya, kini tugas-tugas tersebut dikerjakan oleh KPPT. Jadi, berbagai macam pelayanan perijinan dapat dilayani oleh KPPT dalam satu pintu. Hal tersebut dapat memangkas waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen/masyarakat, karena segala macam bentuk perijinan dapat dilayani di KPPT tersebut dalam jangka waktu yang singkat (maksimal 15 hari) tergantung jenis perijinannya, juga dijamin tidak ada pungutan liar. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) dipimpin oleh seorang kepala kantor yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah, kewenangan KPPT itu sendiri meliputi penerimaan permohonan, pemrosesan, penerbitan, dan pencabutan perijinan berdasarkan rekomendasi dinas teknis. Di Provinsi Banten sendiri, untuk saat ini kantor sejenis KPPT hanya terdapat di Kabupaten Lebak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Kabupaten Lebak telah berani melakukan reformasi khususnya di bidang pelayanan publik. Hingga saat ini, setelah 2 (dua) tahun KPPT bekerja, apakah keberadaan KPPT sebagai implementasi dari Perda Kabupaten Lebak No.3 Tahun 2005 berjalan dengan efektif, atau dengan kata lain apakah keberadaan KPPT membawa perubahan terhadap kondisi pelayanan publik di Kabupaten Lebak?
Kemudian dalam melaksanakan pelayanan di KPPT Kabupaten Lebak dibutuhkan susunan kepegawaian dan struktur organisasi untuk keberlangsungan menjalankan tugas-tugas KPPT tersebut. Struktur organisasi diperlukan untuk memperoleh gambaran mengenai wewenang dan tanggung jawab masing-masing jabatan untuk dikoordinasikan sejalan dengan tujuan organisasi. Berikut adalah struktur organisasi dan tugas pokok serta fungsi dari KPPT Kabupaten Lebak, yaitu : 1. Kepala Kantor Kepala Kantor mempunyai tugas memimpin, mengkoordinasikan, dan mengendalikan kegiatan kantor dalam melaksanakan pelayanan di bidang perijinan. Selain itu, Kepala Kantor mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pengkajian perencanaan dan perumusan kebijakan di bidang perijinan; 2. Penyusunan rencana dan program kerja dalam pelaksanaan tugasnya; 3. Pelaksanaan pelayanan di bidang perijinan; 4. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan hasil kegiatan di bidang perijinan; 5. Pemberian informasi, saran, dan pertimbangan kepada Bupati sebagai bahan untuk menentukan kebijakan dan membuat keputusan; 6. Penandatangan perijinan; 7. Pertanggungjawaban tugas Kepala Kantor secara teknis administratif kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. 2. Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sub Bagian Tata Usaha dipimpin oleh Kepala Sub Bagian yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor serta mempunyai tugas melaksanakan urusan surat menyurat, kepegawaian, keuangan, rumah tangga, dan perencanaan. Selain itu, Sub Bagian Tata Usaha mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Penyiapan dan perumusan program kerja; 2. Pelaksanaan urusan keuangan; 3. Pelaksanaan urusan administrasi keuangan; 4. Pelaksanaan urusan surat menyurat; 5. Pelaksanaan urusan rumah tangga; 6. Menerima dan mengelola pembayaran retribusi perijinan untuk disetorkan kepada Kas Daerah dengan mata akun dari Satuan Kerja Terkait; 7. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan. 3. Seksi Perijinan Seksi Perijinan mempunyai tugas melaksanakan tugas di bidang perijinan yang meliputi penerimaan permohonan, pemeriksaan dan pemrosesan perijinan. Seksi Perijinan mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Perumusan kebijakan teknis perijinan dan koordinasi dengan Satuan Kerja terkait; 2. Penerimaan permohonan perijinan, pemeriksaan kelengkapan administrasi dan
II. PEMBAHASAN 2.1 Deskripsi Objek dan Susunan Kepegawaian Objek makalah ini adalah Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak, Jl. Abdi Negara No.3 Rangkas Bitung 42312, Tlp (0252) 202772. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 3 Tahun 2005, hal ini sebagai perwujudan Visi Kabupaten Lebak yaitu ”Kabupaten Lebak menjadi Daerah yang Menarik untuk Berinvestasi pada Tahun 2009”. Selanjutnya dengan keberadaan KPPT diharapkan akan memberikan kemudahan bagi para calon investor/pengusaha yang akan menanamkan modalnya di Kabupaten Lebak, terutama dalam proses perijinannya. Di samping itu juga akan semakin meningkatkan pelayanan perijinan terhadap masyarakat secara cepat, tepat, murah dan transparan, baik biaya maupun lamanya proses perijinan. [185]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
persyaratan teknis sesuai dengan peraturan yang berlaku; 3. Penghitungan dan penetapan besarnya retribusi. 4. Seksi Program dan Informasi Seksi Program dan Informasi mempunyai tugas melaksanakan tugas di bidang program dan informasi serta pengaduan yang meliputi pengumpulan data, mengolah, memberikan informasi dan tindak lanjut pengaduan masyarakat. Seksi program dan informasi mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Perumusan kebijakan teknis di bidang program dan informasi; 2. Pengumpulan dan pengolahan data menjadi informasi; 3. Perencanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan; 4. Pengembangan sistem informasi; 5. Pelayanan informasi dan pengaduan. 5. Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian kegiatan kantor secara profesional sesuai dengan kebutuhan. Kelompok Jabatan Fungsional dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Kepala Kantor. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah tenaga dalam jenjang jabatan fungsional yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Jumlah Jabatan Fungsional ditentukan menurut sifat, jenis, kebutuhan dan beban kerja. Jenis dan jenjang jabatan Fungsional diatur sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berikut adalah gambaran struktur organisasi Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) Kabupaten Lebak :
adalah faktor pegawai, sebab manusia lah yang melaksanakan berbagai aktivitas yang berupaya mencapai tujuan itu. Sejalan dengan itu, maka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak, dilaksanakan oleh 20 orang pegawai. Demi meningkatkan kualitas layanan, maka KPPT Lebak berusaha untuk meningkatkan skill dan pengalaman Sumber Daya Manusia di dalamnya melalui : 1. On the Job Training (Magang) pada KPT Kab. Sragen, unsur Pimpinan pada tanggal 27 Maret – 3 April 2005 dan unsur staf tanggal 10-16 Oktober 2005 2. Bimbingan Teknis Pelayanan Prima 3. Emotional Spiritual Quotiont (ESQ) Out Bound Training 4. Kenyamanan, Kerapihan, perubahan paradigma (Merubah dari dilayani menjadi melayani dengan tulus, Pelanggan adalah orang terpenting yang harus dihormati dan dilayani). 5. Komputerisasi melalui WAN dan LAN, Teleconference 6. Membangun sistem yang akuntabel berdasarkan standar ISO 9001 – 2000. 2.3 Jenis Layanan dan Waktu Penyelesaian Berikut adalah beberapa jenis layanan dan standar waktu penyelesaian yang diberikan: N o
Jenis Perijinan (44 + SM) 1 IPPT (Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah) 2 IMB (Ijin Mendirikan Bangunan)
1 2
2.2 Keadaan Pegawai Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, maka faktor dominan yang paling menentukan bagi kelancaran dan keberhasilan
3
4
[186]
Perda No.44 Tahun 2001
SITU/SIGA (Surat Ijin Tempat Usaha/Surat Ijin Gangguan)
6 hari
SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) 5 TDP (Tanda Daftar Perusahaan) 6 TDG (Tanda Daftar Gudang) 7 TDI/IUI (Tanda Daftar Industri/Ijin Usaha Industri) 8 Ijin Pertambangan Umum – 3 SM 9 Ijin Penyelenggaraan Reklame 1 SIUJK (Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi) 1 Ijin Pengusahaan Sarang Burung Walet 1 Ijin Penebangan Kayu – 2 SM 1 SIUK (Surat Ujin Usaha Kepariwisataan ) – 11 SM 1 Ijin Pelayanan Kesehatan – 32 SM
6 hari 6 hari 6 hari 6 hari 15 hari 6 hari 6 hari 6 hari 7 hari 6 hari
Perda Tahun 2004 Perda Tahun 1996 Perda Tahun 2001 Perda Tahun 2005 Perda Tahun 2002 Perda Tahun 1996
15 hari
Perda Tahun 2003
4
12 hari
Dasar Hukum
Perda No.11 Tahun 2002 diubah menjadi Perda No.6 Tahun 2006 Perda No.41 Tahun 2001 diubah menjadi Perda No.5 Tahun 2006 Perda No.38 Tahun 2001 Perda No.37 Tahun 2001 Perda No.39 Tahun 2001 Perda No.40 Tahun 2001
3
0
Lam a Proses 7 hari
No.7 No.34 No.34 No.7 No.12 No.32
No.7
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Keterangan : SM = Standar Minimal Selanjutnya terdapat pula 10 Perijinan Tertentu Yang Memerlukan Persetujuan Bupati, antara lain : (1) Hotel; (2) Rumah Sakit, (3) Reklame Besar, (4) RMU (Rice Mealing Unit), (5) SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum); (6) Industri 1 M ke atas; (7) Pertambangan 5 Ha ke atas; (8) IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) 500 m/500 jt ke atas; (9) IPPT (Ijin Peruntukkan Penggunaan Tanah) 1000 m ke atas; (10) Yang belum memiliki aturan yang baku. 2.4 Alur Proses Perijinan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak memiliki model pelayanan dengan alur proses perijinan sebagai berikut :
2.
3.
Pemenang I dalam Kompetisi Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik Tingkat Kabupaten Harapan I Tingkat Propinsi
2.7 Daerah/Lembaga Yang Melaksanakan Studi Banding Saat ini Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak merupakan pusat percontohan pelayanan satu atap di Provinsi Banten, sehingga dijadikan model bagi pemerintah daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Banten itu sendiri maupun bagi pemerintah daerah lainnya di Indonesia, antara lain : 1. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 19 April 2006 2. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Banten pada tanggal 11 Mei 2006 3. Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Provinsi Banten pada tanggal 12 Juli 2006 4. Pemerintah Kabupaten Pandeglang pada tanggal 12 Juli 2006 5. Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah pada tanggal 18 September 2006. 2.8 Model Usulan Demi terlaksananya suatu pelayanan yang baik, maka pelayanan harus memenuhi segala tata aturan, mekanisme dan standar pelayanan tertentu yang berlaku sehingga apa yang diinginkan oleh masyarakat sebagai pelanggan dapat tercapai dan hal tersebut tentunya akan berdampak bagi kepuasan yang diterima oleh pelanggan. Penulis dalam ini menggunakan Surat Keputusan (SK) MENPAN No. 25/KEP/M.PAN/7/2004, sebagai pedoman umum penyusunan indeks kepuasan masyarakat unit pelayanan instansi pemerintah, sehingga suatu organisasi/instansi yang memberikan pelayanan jasa harus dapat mengetahui apa yang menjadi keinginan atau kepuasan masyarakat sebagai pelanggan. Pelayanan dikatakan baik apabila paling tidak memenuhi rasa kepuasan pelanggan, kepuasan tercapai jika pelayanan yang mereka terima dapat melebihi apa yang mereka harapkan. Kepuasan pelayanan merupakan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan yang diberikan oleh aparatur penyelenggara pelayanan publik. Kepuasan atau ketidakpuasan (discomfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya atau harapan kinerja lainnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Keterkaitan antara kepuasan pelanggan dengan pelayanan publik yang telah diberikan adalah kemampuan pegawai di dalam memberikan pelayanan sesuai dengan tata aturan yang telah ditetapkan oleh Kep. M. PAN No. 25/KEP/M/PAN/7/2004 tentang ”Pedoman Umum
2.5 Hubungan Dengan Dinas 1. Pembentukan Tim Pembina 2. Pembentukan Tim Teknis 3. Target dan pemasukan PAD ke rekening Dinas terkait 4. Laporan bulanan ke Dinas 5. Tidak menghapus seksi perijinan pada Dinas Teknis. 2.6 Realisasi Pencapaian PAD Dinas Teknis Secara Kumulatif Dengan adanya Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) Kabupaten Lebak, maka tercapai realisasi pencapaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dinas Teknis Secara Kumulatif sebagai berikut : 1. Target 2006 sebelum APBD Perubahan Rp. 1,6 ML terlampaui 25 September 2006. 2. Target setelah perubahan 1,7 ML terlampaui 19 Oktober 2006. 3. Realisasi s/d 16 Nopember 2006 Rp. 1,8 ML, kurang lebih 7081 ijin yang telah diterbitkan dari 7806 pemohon. Sementara itu penghargaan yang pernah diperoleh adalah : 1. Kab. Lebak meraih DSI Tertinggi III
[187]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah”. Untuk menjelaskan uraian di atas, maka dapat digambarkan kerangka berpikir sebagai berikut :
dengan perhitungan retribusi sesuai dengan dasar hukum yang berlaku agar proses perijinan menjadi steril. Dari sisi penerima layanan : Diharapkan sebaiknya penerima layanan sebagai pihak yang mengurus perijinan mematuhi aturanaturan dan mekanisme pelayanan yang telah ada, tidak melakukan praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme untuk mempercepat proses pemberian ijin usaha, agar tidak memancing terjadinya kucurangan-kecurangan dari pemberi layanan karena situasi dan kondisi serta kesempatan yang mendukung. Akhirnya ketika proses evaluasi terhadap kepuasan publik melalui analisis model/alur proses perijinan telah dilakukan, outputnya tentu juga dapat dirasakan meningkat baik bagi KPPT Kabupaten Lebak sebagai pemberi layanan maupun publik atau pun sektor privat sebagai penerima/pengguna layanan. Proses perubahannya dapat digambarkan sebagai berikut : Perbedaan sebelum dan sesudah adanya KPPT Sebelum Sesudah Waktu dan biaya Waktu, biaya jelas tidak jelas dan pasti Pungli dianggap Dijamin tidak ada wajar pungli Banyak instansi dan Pelayanan yang berurutan profesional Pelayanan yang Mudah, cepat, buruk transparan dan nyaman
Berdasarkan rumusan kerangka berpikir di atas, maka penulis mengajukan suatu model pelayanan di bidang perijinan secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dibentuknya Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) lebak merupakan usaha untuk lebih mengefisienkan pemanfaatan Sumber Daya Manusia, pemanfaatan alat (prasarana) dan pemanfaatan keuangan dan pembiayaan. Artinya bahwa pelayanan akan lebih cepat, tepat, murah dan transparan, baik biaya maupun waktu. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu merupakan instansi yang tugasnya mengatur proses perizinan dengan menggunakan pola satu pintu yang berarti bahwa segala hal yang berkaitan dengan perizinan berlangsung di satu tempat mulai dari berkas masuk sampai izin keluar. Hal tersebut menjadikan motivasi untuk menyederhanakan perizinan agar pelayanan lebih baik dan memuaskan masyarakat. Dengan ditetapkan Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat, semua unit pelayanan instansi pemerintah baik yang langsung maupun tidak langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat wajib menyusun indeks kepuasan masyarakat secara periodik di lingkungan masing-masing dalam upaya
Dari sisi penyedia layanan : Dengan mempertimbangkan fakta yang ada saat ini, dimana pada model/alur perijinan sebelumnya terdapat kebocoran pada tahap pemeriksaan lapangan karena tidak dilakukannya survei ke lokasi/tempat yang sedianya telah ditetapkan sebagai lokasi/tempat yang telah diberi ijin dan ditemukannya proses tawar-menawar biaya perhitungan retribusi. Sebagai contoh terdapatnya beberapa nama perusahaan dengan alamat dan lokasi yang sama, kemudian terdapatnya penentuan biaya retribusi di luar ketetapan yang berlaku. Maka penulis berargumen untuk memperbaiki model/alur yang telah ada dengan mengganti alur yang ketiga dari pemeriksaan lapangan menjadi pemeriksaan lapangan dan survey tempat. Kemudian mengganti langkah yang keenam [188]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan penyusunan indeks kepuasan masyarakat, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas unit pelayanan instansi pemerintah pusat dan daerah, tergantung kepada komitmen dan kesungguhan para pejabat maupun pelaksana di masing-masing instansi serta masyarakatnya.
9.
Perlunya rekruitmen personil melalui saringan yang sangat ketat dari pengelola perijinan sebelumnya; 10. Dalam operasionalisasinya KPPT menggunakan perda perijinan sebelumnya. Demikianlah beberapa saran dan rekomendasi dari penulis, semoga dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan serta mendapatkan perhatian dari Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak untuk dapat meningkatkan pelayanannya menjadi lebih baik.
3.2 Saran Sebagai bahan masukan dan rekomendasi dari penulis kepada Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak, mengenai evaluasi kepuasan pelayanan publik adalah sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut yang mendalam pada lokus yang sama namun fokus yang berbeda untuk dapat lebih mengetahui secara khusus dan jelas mengenai kepuasan pelayanan publik di Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak; 2. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak hendaknya melakukan penyusunan indeks kepuasan masyarakat secara periodik dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat; 3. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak perlu meningkatkan sosialisasi tentang pelayanan perijinan terpadu kepada masyarakat agar masyarakat dapat lebih mendayagunakan keberadaannya; 4. Perlunya pemahaman bahwa KPPT dibentuk untuk melayani masyarakat dengan prima, sebagaimana tugas birokrat adalah memberikan pelayanan bukan dilayani; 5. Perlunya meningkatkan fungsi KPPT serta memberikan kewenangan yang penuh dalam (menerima ---memproses --menanda tangani), mengingat realita yang ada proses penyelesaian teknisnya masih dikerjakan oleh masing-masing dinas (sebagai back office bukan oleh Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPPT) sebagai front office. 6. KPPT Kabupaten Lebak memerlukan komitmen Kepala Daerah, dukungan dinas dan DPRD; 7. KPPT Kabupaten Lebak perlu merubah sikap mental sebagaimana tata nilai profesional swasta agar pelayanan lebih cepat, tanggap dan mengutamakan kepuasan konsumen atau pelanggan; 8. Terdapatnya pengertian dari pemberi layanan bahwa dengan mengurus ijin masyarakat mendapat banyak manfaat;
DAFTAR PUSTAKA Daftar Perijinan Yang Dilayani Pada Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak, Operasional Secara Efektif 1 Januari 2006. Hasil Studi Lapangan Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, 17 November 2006. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 63/KEP/M.PAN/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP/25/M.PAN/2/2004 Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Osborne, David dan Plastrik, Peter. 1996. Memangkas Birokrasi. Jakarta : CV. Teruna Grafika. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak. Ratminto dan Winarsih, Atik R. 2005. Manajemen Pelayanan. Jogjakarta : Pustaka Pelajar. Bidota Penulis Ipah Ema Jumiati adalah Dosen Program Studi Administrasi Negara FISIP Untirta. Meraih gelar Master dari Program Pasca Sarjana Magister Administrasi Publik Universitas Padjajaran. Saat ini menjabat sebagai sekretaris Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta.
[189]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
EFEKTIVITAS E-SERVICE DI PEMERINTAH DAERAH ( KASUS DI KABUPATEN SERANG) Rahmawati, S. Sos, M.Si Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten E Mail:
[email protected]
Abstrak Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi pada organisasi public atau e-Government telah menjadi katalisator bagi pemerintah untuk membuat akses pelayanan yang lebih baik pada masyarakat. Penggunaan TIK bukan hanya dianggap sebagai solusi agar pemerintahan lebih efisien, tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi dan pelayanan. Tulisan ini menelaah tentang efektivitas pelayanan public secara online (e-service) dengan melihat pada beberapa aspek seperti pengaruhnya terhadap social, budaya dan etika serta factor-faktor yang mempengaruhi kesiapan penerapan e-service pada pemerintah daerah. Kata kunci: efektivitas, e-service, pemerintah daerah 2.
A.
PENDAHULUAN Pengembangan e-government di Indonesia terus bergulir dan berjalan sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan egovernment. Kini di setiap lembaga pemerintah, baik itu di pusat maupun di daerah telah menyusun konsep dan rencana penerapannya, bahka sudah ada yang mulai menerapkannya. Menurut Inpres No. 3 Tahun 2003: pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan system manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi. Tujuan implementasi e-government adalah : 1) Meningkatkan mutu layanan publik melalui pemanfaatan teknologi IT dalam proses penyelenggaraan pemerintahan 2) Terbentuknya kepemerintahan yang bersih, transparan dan mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif 3) Perbaikan organisasi, system manajemen dan proses kerja kepemerintahan.
3.
4.
Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan perkembangan perekonomian nasional dan memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga Negara serta penyediaan fasilitas dialig publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan Negara. Pembentukan system manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan antar lembaga pemeirntah dan pemerintah daerah otonom.
Tuntutan masyarakat modern adalah bahwa pemerintah harus memiliki waktu response yang cepat terhadap berbagai permintaan atau kebutuhan khalayak. Dengan kata lain, masyarakat tidak perduli bagaimana pemerintah mengorganisasikan dirinya, namun yang penting adalah bahwa semua proses pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat dapat diberikan secara baik, cepat dan murah. Hal itu mampu dijawab jika pemerintah telah menerapkan teknologi informasi dan komunikasi dalam setiap penyelenggaraan pelayanan publik. E-government adalah salah satu bukti transformasi area kehidupan dalam sektor publik yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah seiring dengan semakin bertambahnya penetrasi internet, sebagai bagian dari TIK, sekarang sangat mungkin meninggalkan prosedur lama yang terkesan kaku dan harus berbasis tatap muka. Dengan e-government masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik dapat menikmati
Untuk melaksanakan maksud tersebut pengembangan e-government diarahkan untuk mencapai sasaran pembangunan, yaitu : 1. Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah Indonesia pada setiap saat tidak dibatasi oleh sekat waktu dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
[190]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pelayanan yang lebih baik karena pelayan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Kantor pelayanan publik buka selama 24 jam dan dapat diakses dari manapun. Pelayanan publik di Indonesia yang telah banyak dinilai oleh banyak kalangan belum menunjukkan kinerja yang memuaskan sangatlah mungkin diperbaharui melalui egovernment. Apalagi dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hal ini menambah peluang bahwa transaksi pelayanan publik diperbolehkan melalui e-government.
hanya berpengaruh terhadap efektivitas penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan kinerja pemeirntah dan kualitas kehidupan masyarakat, namun lebih jauh dapat menyebabkan terhambatnya dan tertinggalnya Negara yang bersangkutan dari kemajuan Negara-negara lain yang tidak memiliki kesenjangan digital. Keempat, adalah dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintah dengan menggantikan proses-proses yang “paper based” (manual, berbasis dokumen/kertas) dengan mengimplementasikan secara utuh konsep “government online”. Inti dari transformasi ini adalah tidak semata untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, namun lebih jauh lagi juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan bernegara. Dengan tersedianya hubungan online 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, maka pemeirntah secara tidak langsung telah membuka diri sebagai mitra kerja dari siapa saja yang membutuhkannya, dari berbagai lapisan masyarakat tanpa kecuali. Kelima, adalah mencoba untuk menggunakan “digital knowledge” sebagai pengganti dari “physical knowledge” yang selama ini dipergunakan sebagai sumber daya untuk meningkatkan kualitas kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Yang dimaksud dengan digital knowledge disini adalah bagaimana hasil pengolahan data dan informasi yang mengalir di dalam infrastruktur e-government dapat dimanfaatkan dan dijadikan sebagai sumber pengetahuan berharga bagi siapa saja yang membutuhkan. E-government merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
B.
PEMBAHASAN Perubahan tuntutan masyarakat akan pelayanan yang lebih cepat, lebih baik, lebih murah dilatarbelakangi oleh perubahan pelayanan yang diberikan oleh sector swasta kepada para pelanggannya (customernya). Tentunya, masyarakat pun menginginkan semua jenis pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah dapat dilakukan seperti swasta. 1. Kajian tentang E-Service dan E-Teknologi dalam sector Publik Pada dasarnya implementasi konsep egovernment merupakan sebuah tantangan transformasi. Fungsi teknologi informasi tidaklah sekedar sebagai penunjang manajemen pemeirntahan yang ada, tetapi justru merupakan driver change atau sebagai hal yang justru menawarkan terjadinya perubahan-perubahan mendasar sehubungan dengan proses penyelenggaraan pemerintahan di era modern. Terdapat empat tahapan di dalam proses transformasi sehubungan dengan aplikasi egovernment, yaitu : (Indrajit: 37-39) Pertama, adalah bagaimana e-government dapat merubah prinsip “service to citizens” menjadi “service by citizens). Kedua, adalah mencoba untuk mengubah fenomena “citizens in line” menjadi “citizen on line”, dalam arti kata bagaimana jika dahulu masyarakat harus mengantri dan menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan maka setelah egovernment diimplementasikan yang bersangkutan tidak harus menunggu lama dan membayar mahal untuk mendapatkan pelayanan karena semuanya dapat dilakukan secara on-line melalui internet. Ketiga, adalah mencoba untuk mengatasi permasalahan “digital divide (kesenjangan digital)” dan menjamin terciptakannya sebuah “digital democracy (demokrasi digital)”. Kesenjangan digital, dimana terjadi jurang yang besar antara sedikit dari mereka yang faham dan fasih menggunakan teknologi informasi (dan memiliki akses yang mudah terhadapnya), dengan mereka yang sama sekali tidak mampu dan tidak dapat menggunakan teknologi terkait. Keadaan ini tidak
Tabel 1: Pergeseran Paradigma dalam Pelayanan Publik Orientasi Proses organisasi
Prinsip manajeme n
Gaya kepemimp inan Komunika si internal Komunika
[191]
Paradigma birokratis Efisiensi biaya produksi Merasionalisasik an peranan, pembagian tugas dan pengawasan hirarki vertical Manajemen berdasarkan peraturan dan mandat (perintah) Memerintah dan mengawasi
Paradigma e-government
Hirarki (berperingkat) dan top-down Terpusat, formal
Jaringan banyak tujuan dengan koordinasi pusat dan komunikasi langsung. Formal dan informal, umpan
Fleksibel, pengawasan dan kepuasan pengguna (customer). Hirarki horisontal, jaringan organisasi dan tukar informasi
Manajemen bersifat fleksibel, team work antar departemen dengan koordinasi pusat.
Fasilitator, koordinatif dan entrepreneurship inovatif.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta si eksternal Cara penyampai an pelayanan Prinsipprinsip penyampai an pelayanan
dan saluran terbatas Dokumen dan interaksi antar personal
balik langsung, cepat dan banyak saluran Pertukaran elektronik dan interaksi non face-to-face.
Terstandarkan, keadilan dan sikap adil
Penyeragaman bagi semua pengguna dan bersifat personal.
ISBN: 978-602-96848-2-7
Memfasilitasi konsultasi dan komunikasi Memprakarsai dan mengembangkan kapasitas, bertukar pengalaman, meningkatkan akses dengan para ahli, dan informasi lainnya mengenai kepentingan dan pemahaman satu sami lain Keaktifan Masyarakat Keterlibatan/Partis ipasi Melibatkan masyarakat di dalam pembuatan keputusan pemerintah, pemecahan masalah dan proses pemilihan umum.
Sumber : Haedel 2001 dan Pellici 2001 yang dikutip oleh Rokhman:2008 Sementara itu E-service (pelayanan secara on-line) sebagai salah satu bentuk penerapan egovernment muncul dan terwujud dalam beberapa bentuk. Aplikasi yang umum (yang digunakan di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) adalah: menyediakan akses, menghubungkan kepada suatu pelayanan, memfasilitasi konsultasi, dan memungkinkan partisipasi aktif masyarakat. Tabel 2 : Aplikasi e-government dan e-service secara umum Jenis E-service
Aplikasi Umum
Fase
Menyediakan akses Memberikan akses kepada masyarakat akan ketersediaan informasi (kios publik, Internet, CDCD, dll)
Akses masyarakat terhadap informasi umum Arah dan petunjuk menuju pusat komunitas Kalender even-even dan aktifitas rakyat Panduan akan prosedur dan kebijakankebijakan Daftar nomor telepon Informasi kepemilikan Perpanjangan dan pembayaran izin Pembayaran tiket parkir dan denda Registrasi kegiatan olahraga Surat izin online, izin usaha, dan dokumen hukum Sistem pelelangan online Keterangan komoditas secara online Transaksi bisnis Pemungutan pajak penjualan Pengumuman lowongan kerja secara online Fungsi dan pelayanan pemerintah Pelayanan masyarakat Pelayanan bisnis Pelayanan pegawai Pengumuman pegawai Agenda legislatif
Akses yang telah meningkat
Menghubungkan kedalam proses dan pelayanan Menyediakan informasi dan akses bagi masyarakat untuk terhubung kedalam sistem pemerintahan yang berbasis TIK, manajemen informasi, dan internet
Meningkatkan kepedulian Menyediakan informasi tentang proses politik, pelayanan, dan pilihan-pilihan yang tersedia di dalam proses pembuatan keputusan
Menerbitkan Permintaan Informasi dan dokumen penawaran Sumber-sumber panduan pembelajaran jarak jauh Penyiaran rapat-rapat pemerintah melalui web
Akses yang semakin baik E-service yang semakin terintegrasi Edemokrasi
E-demokrasi Komunikasi dengan anggota-anggota dewan
Integrasi eservice edemokrasi
Aplikasi e-government di pemerintah daerah dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu : 1. Bidang pelayanan, terdiri dari kependudukan, perpajakan dan retribusi, pendaftaran dan perijinan, bisnis dan investasi, pengaduan masyarakat, publikasi info umum dan kepemerintahan. 2. Bidang administrasi dan manajemen 3. Bidang legilasi 4. Bidang pembangunan 5. Bidang keuangan 6. Bidang kepegawaian 2. Dampak Sosial, Budaya dan Etika Tidak dapat dipungkiri banyak sekali manfaat/dampak yang sudah dirasakan oleh masyarakat dengan kemajuan TIK. a) Dampak terhadap Hak-Hak Individu dan Privasi Kemudahan setiap orang di seluruh dunia dalam mendapatkan informasi yang diinginkan melalui internet membuat hak-hak individu dan privasi seseorang saat ini cukup sulit dijaga. Kemampuan oknum untuk menghek (hacker) sebuah situs atau blog seseorang menjadikan informasi yang semula bersifat pribadi dan rahasia, menjadi umum dan dipublikasikan secara luas. Sebagai contoh, banyak situs atau blog milik selebriti yang dimanfaatkan oleh oknum untuk menyebarkan luaskan berita atau informasi, terutama gambargambar milik pribadi selebriti. b) Dampak Terhadap Pekerjaan dan Tempat Kerja Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi terhadap pekerjaan dan tempat kerja dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi positif dan sisi negative. Sisi positif dari penggunaan TIK adalah mempercepat proses pekerjaan dan meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan menggunaan TIK dalam
Integrasi akses eservice yang semakin maju
Komunikas i internal yang semakin baik Meningkat nya akses
[192]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pelayanan dapat memangkas waktu, biaya, jumlah tenaga kerja dan struktur organisasi serta strategi pelayanan. Sedangkan dampak negative penggunaan TIK dapat menimbulkan kejenuhan, kebosanan dan keletihan sehingga dapat berujung pada kecelakaan kerja. Seperti penggunaan computer, dapat menimbulkan keletihan pada mata dan dapat membuat cedera pada otot tangan. Penggunaan teknologi informasi juga dapat menimbulkan rasa malas atau budaya malas pada masyarakat. Kemajuan teknologi saat ini banyak memanjakan manusia untuk segala kemudahan dan menghemat waktu manusia dalam proses kerja. c) Dampak Potensial TIK terhadap Masyarakat Pengaruh TIK terhadap masyarakat dapat dilihat dari daya tahan budaya bangsa yang lebih rentan tergerus oleh budaya luar yang masuk. Teknologi multimedia mengakibatkan tidak terbentungnya segala macam informasi dari segala penjuru dunia masuk ke dalam relung-relung pribadi melalui personal computer. Contoh, budaya berpakaian yang lebih bebas dan mengikuti gaya busana/tren yang terjadi di Negara lain. Demikian juga cara bergaul atau bersikap remaja atau masyarakat saat ini yang menurut penilaian penulis banyak yang sudah tidak sesuai dengan cirri masyarakat Indonesia. d) Dampak Terhadap Interaksi Sosial Saat ini masyarakat dunia sedang dihebohkan dengan munculnya situs jejaring sosial yaitu facebook, yang mengalahkan situs jejaring yang sudah ada sebelumnya seperti frensetter, hi5 dan sebagainya. Dengan adanya jejaring sosial ini membuat hubungan antar teman yang semula berjauhan, dapat berkomunikasi dan berinteraksi secara langsung. Situs jejaring atau pertemanan ini bahkan meningkatkan interaksi sosial di masyarakat. Situs jejaring ini pun dapat digunakan untuk mendukung atau menolak sesuatu yang berkaitan dengan politik, sosial dan budaya. Sebagai contoh, menjelang pemilu baik legislative maupun presiden kemarin, banyak partai atau tim sukses presiden menggunakan jejaring facebook untuk mendapatkan dukungan bagi calon mereka. e) Keamanan Informasi Kehidupan manusia di era teknologi informasi dan komunikasi saat ini sepertinya tidak ada yang bisa disebut sebagai rahasia, bahkan untuk rahasia keamanan Negara sekalipun. Masih ingat dalam benak kita bagaimana seorang siswa sekolah menengah atas di sana membobol system keamanan militer Amerika Serikat yang terkenal sangat tinggi teknologi keamanannya untuk menjaga rahasia Negara. Pada ahli TIK di Pentagon dibuat “kebakaran jenggot” akibat ulah anak SMA. Itu adalah salah satu contoh bagaimana saat ini keamanan informasi mudah diketahui oleh orang lain.
3.
Kesiapan penerapan TIK Sejumlah faktor penentu yang patut menjadi pertimbangan dalam menentukan tingkat kesiapan sebuah daerah untuk menerapkan e-government menurut Indrajit adalah : a. Infrastruktur Telekomunikasi, dalam level pelaksanaannya, perangkat keras seperti computer, jaringan dan infrastruktur akan menjadi faktor teramat sangat penting dalam penerapan E-government. b. Tingkat konektivitas dan Penggunaan TI oleh Pemerintah. Dengan mengamati sejauh mana pemerintah saat ini telah memanfaatkan beraneka ragam teknologi informasi dalam membantu kegiatan sehari-hari akan tampak sejauh mana kesiapan untuk menerapkan konsep egovernment. c. Kesiapan sumber daya manusia di Pemerintah. Yang akan menjadi pemain utama atau subyek di dalam inisiatif e-government pada dasarnya adalah manusia yang bekerja di lembaga pemerintahan sehingga tingkat kompetensi dan keahlian mereka akan sangat menmpengaruhi performa penerapan e-government. d. Ketersediaan dana dan anggaran. Sangat jelas jelas terlihat bahwa sekecil apapun inisiatif egovernment yang akan diterapkan, hal itu membutuhkan sejumlah financial untuk membiayainya. e. Perangkat Hukum. Karena konsep e-government sangat terkait dengan usaha penciptaan dan pendistribusian data/informasi dan hak cipta intelektual yang harus dilindungi oleh undangundang. f. Perubahan paradigma. Pada hakikatnya penerapan e-government merupakan suatu proyek “ change management” yang membutuhkan adanya keinginan untuk mengubah paradigma dan cara berfikir, cara kerja, bersikap, berprilaku pada kehidupan sehari-hari. Akses terhadap TIK sangatlah memiliki pengaruh terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Kita memiliki rasa optimisme akan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh dunia digital, dimana hal ini akan memperluas partisipasi tiap individu di dalam sistem ekonomi yang berbasis jaringan. Pada saat yang bersamaan, perbedaanperbedaan di dalam penyebaran dan penggunaan TIK akan muncul, sehingga menciptakan pengkotakkotakan sosial-ekonomi di dalam kehidupan masyarakat, dunia usaha, dan negara. Perbedaanperbedaan kemampuan untuk mengakses dan menggunakan TIK dapat menimbulkan: pengkotakkotakan negara-negara di dunia, pengkotak-kotakan sosial, pengkotak-kotakan tingkat kesejahteran, pendidikan, usia, tipe keluarga, lokasi, sektor usaha, dan wilayah.
[193]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Secara keseluruhan, proses pengembangan eservice sangatlah tergantung kepada keadaan sektor industri TIK itu sendiri, selain itu juga, hal tersebut juga sangat tergantung kepada kesiapan akan penggunaan TIK baik di dunia pemerintah, organisasi, dan masyarakat. Dengan kata lain, kesenjangan akan akses dan literacy akan dunia digital dapat dikatakan sebagai sebuah hambatan untuk mewujudkan system e-government. Beberapa penyebab munculnya kesenjangan ini diantaranya: 1) Kurangnya infrastruktur jaringan – telekomunikasi dan kurangnya ketersediaan peralatan komputer 2) Kurangnya sumber finansial untuk mengembangkan infrastruktur tersebut 3) Kurangnya kemampuan untuk menggunakan TIK, selain itu nilai-nilai konservatifisme di masyarakat masih kuat, sehingga akan menghambat pemasyarakatan TIK 4) Terbatasnya akses internet dan jaringan (kurangnya infrastruktur dan biaya) 5) Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk investasi bisnis di bidang TIK Hasil penelitian yang dilakukan oleh IDC untuk mengukur indek Kemampuan Aplikasi TIK menempatkan Indonesia pada posisi sebagai Negara yang lamban (peringkat ke 54) dalam mengaplikasikan TIK. Beberapa penyebab Indonesia berada pada posisi tersebut adalah : 1. Terlalu luasnya wilayah Indonesia. 2. Besarnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 220 juta jiwa. 3. Masih kurangnya dukungan financial atau pendanaan untuk infrastruktur TIK. Meskipun saat ini pemerintah sudah membuat blueprint tentang aplikasi e-government di Indonesia, tetapi kurang didukung dengan financial atau pendanaan untuk infrastruktur TIK. Teknologi merupakan tulang punggung dari kesuksesan pelaksanaan e-government, tanpa adanya teknologi maka sulit untuk bisa berhasil menerapkan egovernment. 4. Masih rendahnya kualitas SDM. Seperti kita ketahui bersama permasalahan utama yang menyebabkan cukup sulitnya melaksanakan konsep e-government di Indonesia secara utuh adalah rendahnya kualitas SDM. Menurut Rokhman (2008), hambatan pengembangan e-government jika ditinjau dari perspektif birokrasi sebagai penyelenggara layanan publik melalui elektronik adalah sebagai berikut : 1. Peopleware. Sumberdaya manusia yakni kemampuan para pejabat birokrasi maupun staff dalam menggunakan internet yang masih sangat terbatas. Hal ini terbukti dari masih sangat tergantungnya birokrasi dalam pengembangan e-government terhadap pihak luar. Operasionalisasi e-government juga tidak berjalan
lancar ditandai dengan sarana interaksi yang disediakan tidak ada aktivitas yang berarti. 2. Hardware, yakni berkaitan dengan teknologi dan infrastuktur. Terbatasnya hardware dan software serta masih sedikitnya instansi pemerintah yang terhubung pada jaringan baik lokal (LAN) maupun global (Internet) menyebabkan perkembangan e-government tidak dapat berjalan lancar. 3. Organoware. Hambatan birokrasi, seringkali instansi pemerintah dalam mengoperasionalkan e-government menemui kendala dalam aspek organisasi. Kendala ini ditandai dengan tidak fleksibelnya Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT) birokrasi yang dapat mewadahi perkembangan baru model pelayanan publik melalui e-government. Para admin e-government di beberapa daerah yang selalu memonitor pengaduan masyarakat tidak mempunyai wewenang dan kemampuan untuk langsung berinteraksi dengan masyarakat misalnya dalam memberikan jawaban. Sedangkan untuk meminta pejabat atau pegawai yang terkait untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan masyarakat, para admin tersebut tidak mempunyai wewenang. Hambatan birokrasi lainnya adalah belum adanya regulasi yang mengijinkan transaksi melalui media elektronik dapat dianggap sah. Walaupun sudah ada Undang-Undang ITE namun belum ada Juklak dan Juknis. Disamping SOT dan regulasi, hambatan organoware berikutnya adalah terbatasnya dana yang tersedia untuk pengembangan dan operasionalisasi e-government di daerah. Pemerintah pusat hanya menyediakan kerangka kebijakan dan panduan tidak disertai dengan alokasi dana sehingga harus ditanggung oleh daerah yang bersangkutan. C. CONTOH KASUS PENYELENGGARAAN E-SERVICE 1. Pelaksanaan e-service di salah salu pemerintah daerah di Selandia Baru Pada bulan Desember tahun 2001, salah satu pemerintah daerah di Selandia Baru mencoba menerapkan sistem e-service. Pemerintah daerah ini bermaksud untuk memperkenalkan sistem e-service melalui implementasi e-governance dengan tujuan untuk memfasilitasi arus informasi dua arah dan untuk meningkatkan image pemerintah sebagai pelayan publik yang profesional. Dewan kota berpendapat bahwa kesuksesan implementasi egevernance tidaklah akan menghasilkan sistem distribusi dan pengumpulan informasi yang terautomatisasi, tetapi hanya akan memberikan kelancaran arus informasi antara organisasi pemerintah dengan masyarakatnya. Metode penelitian yang digunakan adalah dari hasil wawancara dan survey untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan pendapat masyarakat atas pelaksanaan e-service. Para responden dipilih dari [194]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
berbagai tingkat usia, 61% responden merupakan individu-individu yang berusia sekitar 18-34 tahun, 26% adalah mereka yang berusia antara 35-49, dan sisanya adalah mereka yang berusia diatas 50 tahun. Hasilnya penelitian, sekitar 76% dari seluruh responden memiliki kepedulian dan memanfaatkan sistem e-government yang disediakan oleh dewan kota, 87% dari responden yang memiliki kepedulian dan memanfaatkan sistem e-government berpendapat bahwa sistem e-government merupakan sistem yang mendukung e-service. Sedangkan 81% persen yang tidak menggunakan web site dewan kota menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan pemerintah daerah cukup bagus. Seluruh individu yang mengetahui adanya pelayanan online dewan kota, 49% dari mereka menjadi peduli terhadap website dewan kota, 32% responden mengetahui keberadaan website dewan kota melalui mesin pencari, sedangkan 19% responden mengetahuinya dari iklan. Responden-responden yang diwawancarai mengaku telah menggunakan layanan-layanan online yang diberikan, diantaranya: 42% responden mengaku suka memanfaatkan layanan informasi perpustakaan daerah, 38% responden memanfaatkan informasi operasi pelayanan, 32% responden memanfaatkan layanan informasi jadwal kegiatan/even di kota tersebut, 31% memanfaatkan informasi peta, 30% memanfaatkan pelayanan komunitas, 25% informasi suku bunga, 23% jadwal bus, 13% informasi perizinan, 12% informasi galeri seni, 11% informasi lowongan kerja, 10% informasi sumberdaya air, dan 7% responden mengaku telah memanfaatkan layanan informasi statistik kependudukan. Keberadaan website dewan kota cukup efektif. Beberapa responden yang diwawancarai menyatakan: 77% responden menyatakan bahwa akses mudah didapat dimanapun dan kapanpun, 55% responden berpendapat bahwa keberadaan website dewan kota telah menghemat waktu proses pelayanan dan pengaduan, 40% responden mengakui mendapatkan kepraktisan di dalam mendapatkan informasi, 27% menyatakan bahwa website dewan kota memberikan banyak manfaat, 20% berpendapat bahwa website yang disediakan sangat mudah digunakan dan user-friendly. Hanya satu responden yang menyatakan bahwa website dewan kota sama sekali tidak berguna. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan sistem e-service dirasakan sebagai sesuatu yang relatif efektif, hal ini memberikan kemudahan di dalam meningkatkan akses publik terhadap pelayanan, selain itu juga memfasilitasi kemudahan proses demokrasi. (Asgarkhani: 2002) 2.
Kabupaten Kutai Timur melalui program SMS Gemilang (Gerbang Menuju Informasi Langsung) di nomor 0811558846, telah melakukan sebuah terobosan layanan publik berbasis teknologi informasi (TI) yang bertujuan untuk memberikan layanan publik pemerintah mudah, cepat dan murah. Dengan adanya program SMS Gemilang tersebut, khususnya masyarakat Kutim, kini bisa mendapatkan informasi persyaratan perizinan dan pelayanan publik sehingga mereka tidak perlu datang ke kantor kecamatan atau kantor badan system informasi pemerintah kabupaten (Basimpekab). Diharapkan pula, program ini pun (SMS Gemilang) bisa membantu para pengambil kebijakan saat menerapkan pelayanan publik dan pengelolaan pemerintah. Yang menarik dari kabupaten ini adalah ketika otonomi daerah diluncurkan, Kutim mencoba menangkal KKN dengan e-government yaitu memperkenalkan SIMPEKAB (Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Kabupaten) yang berfungsi sebagai kas terpadu guna mengetahui jumlah uang yang masuk atas balas jasa pelayanan yang diberikan dan fungsi operator yang melayani masyarakat secara langsung, serta fungsi control bagi manajemen untuk memonitor proses layanan kepada masyarakat. Filosofi dasar di balik SIMPEKAB adalah bagaimana memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dengan system informasi manajemen pelayanan satu atap (SIMTAP) secara cepat, murah dan transparan. Sebagai contoh, untuk mengurus KTP maupun akte kelahiran hanya membutuhkan waktu maksimal sehari. Pembuatan SIUP, TDP, dan TDI memakan waktu maksimal 7 hari. (Rosyadi, dkk: 2008: 14-15). 3. Pelaksanaan e-service di Kabupaten Serang Kabupaten Serang melalui Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan menyelenggarakan e-service kependudukan. Melalui website Dinas Kependudukan, masyarakat Kabupaten Serang mendapatkan informasi mengenai persyaratan administrasi kependudukan dan persyaratan untuk mendapatkan administrasi kependudukan tersebut. Salah satunya bentuk administrasi kependudukan adalah kepemilikan Akta Kelahiran. Melalaui web tersebut Pemerintah Kabupaten Serang menginformasikan kepada masyarakat kegiatan pembuatan akta kelahiran gratis pada beberapa kecamatan termasuk biaya retribusi pembuatan administrasi kependudukan. Pelayanan online yang disediakan melalui website Dinas Kependudukan Kabupaten Serang baru sebatas kemudahan dalam mendapatkan formulir pembuatan Akta-akta kependudukan, seperti formulir pelaporan kelahiran dan formulir pembuatan Akta Kelahiran. Sementara untuk
Pelaksanaan e-service di Kabupaten Kutai Timur
[195]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
mendapatkan formulir administrasi kependudukan yang lain seperti keterangan pindah, kartu identitas penduduk musiman masih harus datang langsung ke kantor dinas. Diharapkan dengan adanya egovernment pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, lebih baik dan lebih murah.
Biodata Penulis Rahmawati, Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta. Menyelesaikan S1 di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Diponegoro. Kemudian melanjutkan S2 di Magister Administrasi Publik Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
D.
KESIMPULAN Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan tawaran solusi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Salah satu bentuk penerapan e-government tersebut adalah eservice atau pelayanan publik secara on line. Meskipun secara nasional, pemerintah telah membuat blue print penerapan e-government bagi pemerintah daerah, tetapi dalam pelaksanaannya belum mampu diterapkan secara optimal karena adanya beberapa hambatan seperti luas wilayah, pendanaan dan faktor sumber daya manusia.
DAFTAR PUSTAKA Asgarkhani, Mehdi. 2009. The effectiveness of eservice in local Government: A Case Study. Faculty of Commerce, C.P.I.T, Christchurch, New Zealand.
[email protected]. , 2009. The Reality of e-Service in The Public Sector: A Local Government Perspective. Faculty of Commerce, C.P.I.T, Christchurch, New Zealand.
[email protected]. Electronic Journal of e-Government Volume 7 Issue 1 2009, pp 113-122, available online at www.ejeg.com Indrajit, Richardus. 2002. Electronic Government. Andi Offset, Yogyakarta 2005. E-Government in Action. Andi Offset, Yogyakarta Rokhman, Ali. 2008. Prospek dan Hambatan Penerapan E-Government di Indonesia. Inovasi Online. Vol 11-xx- Juli 2008 Rosyadi, Slamet, dkk. 2008. Prospek penerapan New Publik Service di tingkat local : teori dan praktek dalam Pelayanan Publik di Tingkat Lokal. Kajian Teori dan Empirik. LMKP, Purwokerto Schwester, Richard. 2009. Examining the Barriers to e-Government Adoption. City University of New York, New York USA.
[email protected] Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government.
[196]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
CSR DAN KEPENTINGAN PEMERINTAH DAERAH Rahmatullah S.Sos Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Serang Raya Jl KH Amin Jasuta No 15, C Serang, Banten, 42115 email:
[email protected]
ABSTRAK Kebijakan desentralisasi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 telah memberikan dampak positif maupun negatif terhadap aspek politik, ekonomi, maupun sosial. Terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah namun tidak sepenuhnya dilatarbelakangi oleh kajian terhadap kebutuhan masyarakat maupun unsur pemangku kepentingan (stakeholder) lain, yang pada akhirnya tidak memberikan dampak manfaat secara langsung. Salah satu fenomena yang terjadi saat ini adalah maraknya pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang lebih dikenal dengan istilah Perda CSR. Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, seperti Kabupaten Tangerang, Kota Serang sudah mensahkan Perda CSR. Sedangkan Kabupaten Serang dan Kota Cilegon sedang merangpungkan draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) CSR. Kata Kunci: CSR, Perda, Pemda Pada aspek lain, belum optimalnya perusahaan dalam menjalankan aktivitas CSR menjadi salah satu alasan pemerintah menerbitkan Perda. Terdapat beberapa indikator yang bisa dijadikan sebagai ukuran sejauhmana keseriusan perusahaan menjalankan aktivitas CSR. Diantaranya, Pertama, tidak semua perusahaan memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai CSR. Kedua, tidak semua perusahaan memiliki departemen atau divisi khusus yang menangani CSR, karena selama ini aktivitas CSR masih dirangkap oleh divisi Hubungan Masyarakat (Humas) atau Human Resources Development (HRD). Ketiga, perusahaan tidak fokus menyiapkan Sumber daya Manusia (SDM) yang memiliki kapasitas dalam mengelola CSR (Rahmatullah, 2011). Ketiga aspek tersebut pada akhirny hanya melahirkan kegiatan CSR yang bentuknya karitatif atau sumbangan semata yang jauh dari konteks tanggungjawab berkelanjutan (sustainable responsibility), padahal dalam tatanan global, pelan atau pasti perusahaan yang produknya terkait ekspor dan impor direkomendasikan mengikuti panduan ISO 26000 tentang Social Responsibility yang penerapannya dimulai pada tahun 2010. Munculnya Perda CSR setidaknya memunculkan 4 (empat) kemungkinan: pertama, ada kesan Pemda berupaya membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada perusahaan. kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga. Ketiga, Pemda berupaya mengelola program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan tata laksananya. Keempat, pihak perusahaan tidak serius dalam mendesain dan melaksanakan program CSR.
I.PENGANTAR Munculnya Peraturan Daerah (Perda) CSR merupakan bagian dari fenomena implementasi otonomi daerah, namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting diterbitkannya Perda CSR, karena berdasarkan pemberitaan yang ada, wacana yang muncul tidak lepas dari upaya menghimpun dana CSR (Raperda CSR di Rancang, Radar Banten 01/02/2010), bukan pada bagaimana pemerintah mengontrol penerapan CSR perusahaan agar mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, berjalan berkelanjutan, dan sesuai konsep pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Substansi CSR sendiri bukan pada aspek penghimpunan dana dan pembangunan infrastruktur semata, tapi bagaimana perusahaan mampu mengintegrasikan perhatian terhadap aspek sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan (Europe Commission, 2004). Disisi lain, belum ada peraturan yang bisa dijadikan sebagai payung hukum Perda CSR, karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai dengan saat ini belum selesai dibahas di DPR. Jikapun Perda mengacu pada Peraturan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), Undang-undang Perseroan Terbatas (PT), Undang-Undang Penanaman Modal, atau Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. Keempat peraturan tersebut bersifat wajib pada domain perusahaan yang berbeda, mulai dari statuta, jenis usaha, cakupan dan lokasi perusahaan.
[197]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan. Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan. Pada hakikatnya CSR adalah nilai yang melandasi aktivitas perusahaan, dikarenakan CSR menjadi pijakan komperhensif dalam aspek ekonomi, sosial, kesejahteraan dan lingkungan perusahaan. Perusahaan tidak boleh mengimplementasikan CSR secara parsial, misalnya berupaya memberdayakan masyarakat lokal, sedangkan disisi lain kesejahteraan karyawan yang ada di dalamnya tidak terjamin, atau perusahaan tidak disiplin dalam membayar pajak, suburnya praktik korupsi dan kolusi, atau mempekerjakan anak. Oleh karena itu dalam CSR tercakup didalamnya empat landasan pokok yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan (Tanari, 2009), diantaranya: a. Landasan pokok CSR dalam aktivitas ekonomi, meliputi: kinerja Keuangan berjalan baik, investasi modal berjalan sehat, kepatuhan dalam pembayaran pajak, tidak terdapat praktik suap/korupsi tidak ada konflik kepentingan, tidak dalam keadaan mendukung rezim yang korup, menghargai hak atas kemampuan intelektual/paten, dan tidak melakukan sumbangan politis/lobi, b. Landasan pokok CSR dalam isu lingkungan hidup, meliputi: tidak melakukan pencemaran, tidak berkontribusi dalam perubahan iklim, tidak berkontribusi atas limbah, tidak melakukan pemborosan air, tidak melakukan praktik pemborosan energi, tidak melakukan penyerobotan lahan, tidak berkontribusi dalam kebisingan , dan menjaga keanekaragaman hayati c. Landasan pokok CSR dalam isu sosial, meliputi: menjamin kesehatan karyawan atau masyarakat yang terkena dampak, tidak mempekerjakan anak, memberikan dampak positif terhadap masyarakat, melakukan proteksi konsumen, menjunjung keberanekaragaman, menjaga privasi, melakukan praktik derma sesuai dengan kebutuhan, bertanggungjawab dalam proses Outsourcing dan off-shoring, dan akses untuk memperoleh barang-barang tertentu dengan harga wajar d. Landasan pokok CSR dalam isu kesejahteraan, meliputi: memberikan kompensasi terhadap karyawan, memanfaatkan subsidi dan kemudahan yang diberikan pemerintah, menjaga kesehatan
II. Kerangka Pemikiran 1. Konsep Dasar CSR Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development), definisi pembangunan berkelanjutan menurut The Brundtland Comission, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. The Brundtland Comission merupakan komisi yang dibentuk untuk menanggapi meningkatnya keprihatinan dari para pemimpin dunia menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Selain itu komisi ini mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. (Solihin: 2009). Pengenalan konsep Sustainability Development memberikan dampak kepada perkembangan definisi dan konsep CSR. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merumuskan CSR sebagai kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi yang tidak sematamata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang saham, upah bagi para karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sedangkan Sustainability Development adalah The World Business Council for Sustainability Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berprilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari para pekerja dan keluarganya, demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas (Budimanta, 2004). Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan (Wibisono: 2007), yaitu: Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat, oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif. Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, wajar bila perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada [198]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
karyawan, menjaga keamanan kondisi tempat kerja, menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, dan menjaga keseimbangan kerja/hidup Selain itu perusahaan bukanlah entiatas tunggal, melainkan menjadi bagian dari pemangku kepentingan (stakeholder). Secara sederhana definisi stakeholder adalah kelompok-kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh organisasi tersebut sebagai dampak dari aktifitas-aktifitasnya (Tanari, 2009). Stakeholder terdiri dari: a. Pelanggan: berhak mendapatkan produk berkualitas, dan harga yang layak. b. Masyarakat: berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan bisnis, dan mendapatkan hubungan yang baik dari keberadaan perusahaan c. Pekerja: berhak mendapatkan jaminan keamanan dalam bekerja, mendapatkan jaminan keselamatan, dan mendapatkan perlakukan yang adil dan non diskriminasi d. Pemegang Saham: berhak mendapatkan harga saham yang layak dan keuntungan saham. e. Lingkungan: berhak mendapatkan jaminan terhadap perlindungan alam, dan mendapatkan rehabilitasi f. Pemerintah: berhak mendapatkan laporan atas pemenuhan persyaratan hukum g. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): berhak menjalankan fungsi kontrol baik terhadap regulasi maupun komitmen perusahaan. Dalam konteks penerapan CSR, stakeholder wajib dirangkul dan dilibatkan baik dalam tahap perencanaan, implemantasi dan evaluasi. Jikapun stakeholder tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, setidaknya mendapatkan kontribusi berupa dampak positif dari program yang dilaksanakan. Andai terdapat satu stakeholder tidak mendapatkan manfaat atau kepuasan dari perusahaan, maka berpotensi menjadi masalah bagi keberlanjutan perusahaan dikemudian hari.
Sedangkan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Program Bina Lingkungan, meliputi: bantuan korban bencana alam; bantuan pendidikan dan/atau pelatihan; bantuan peningkatan kesehatan; bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum; bantuan sarana ibadah; dan bantuan pelestarian alam. Kedua, Peraturan bagi Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola Sumber Daya Alam (SDA) diwajibkan melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, karena telah diatur dalam UU Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007. Dimana dalam pasal 74 diatur bahwa : (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketiga, bagi penanaman modal asing, diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, daalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan". Sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya, meliputi: (a). Peringatan tertulis; (b). pembatasan kegiatan usaha; (c). pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau (d). pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal Keempat, bagi perusahaan pengelola minyak dan gas bumi, terikat oleh Undang-undang No 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 13 ayat 3 (p), menyebutkan bahwa: ”Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu : (p). pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat”. Jadi berdasarkan Undang-undang tersebut, perusahaan yang operasionalnya terkait Minyak dan Gas Bumi baik pengelola eksplorasi maupun distribusi, wajib melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat dan menjamin hak-hak masyarakat adat yang berada di sekitar perusahaan.
2. Peraturan Terkait CSR Saat ini baru terdapat 4 (empat) aturan hukum yang mewajibkan perusahaan tertentu melaksanakan aktivitas CSR atau tanggungjawab sosial dan lingkungan, serta satu panduan (guidance) internasional mengenai tanggungjawab berkelanjutan (sustainability responsibility), diantaranya: Pertama, bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib melaknasakan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN: Per05/MBU/2007 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. [199]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Kelima, ISO 26000, merupakan standar internasional dalam bidang Corporate Social Responsibility. Di dasarkan pada Pemahaman bahwa Sosial Responsibility sangat penting bagi keberlanjutan usaha. Fokus ISO adalah tata kelola organisasi, Hak Asasi manusia (HAM), ketenagakerjaan, lingkungan, fair operating /praktek operasi yang adil, isu konsumen dan Pengembangan masyarakat. ISO sendiri bertujuan membantu berbagai bentuk organisasi dalam pelaksanaan social responsibility. Dengan cara memberikan pedoman praktis, serta memperluas pemahaman publik terhadap social responsibility. Jika dilihat dari peraturan diatas, urusan terkait dengan CSR merupakan domain pemerintah pusat, karena baik Peraturan Menteri BUMN, Undang-Undang PT, Undang-Undang PMA, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi dibuat oleh DPR bersama Pemerintah Pusat. Sedangkan peran pemerintah daerah adalah melakukan monitoring dengan perangkat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos) dan mengkaji sejauhmana perusahaan mampu memberikan manfaatnya kepada stakeholder dalam hal ini masyarakat setempat. Pemda tidak berkewenangan dalam mengatur CSR yang merupakan urusan program perusahaan terlebih masalah pengelolaan dananya, kecuali menjalin kerjasama antar stakeholder didasarkan pada program dan skala prioritas yang sama terkait upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat.
optimalnya pelaksanaan alih teknologi. (http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/29432 /Enam-Hambatan-Investasi-di-Indonesia). Berdasarkan alasan diatas, perusahaan memiliki logika berpikir atas kalkulasi sederhana, biaya izin usaha termasuk pajak di Indonesia lumayan besar dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai hilir, belum lagi perizinan turunan di tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ditambah biaya-biaya informal untuk mempercepat proses perizinan, jatah-jatah pihak-pihakl yang berkepentingan, proposal pembangunan masjid, pembangunan sekolah dan lainnya. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan dengan Perda yang mengatur CSR, terlebih substansinya ditekankan pada menghimpun dana CSR perusahaan, bukan bagaimana seharusnya melakukan prkatik CSR secara ideal. Alangkah lebih baik pemerintah daerah memperjuangkan hak-hak buruh, peningkatan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan lain sebagainya, tanpa harus dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang secara mendasar sudah diatur dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencanana Pemantauan Lingkungan (RPL) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos). Sebetulnya keseriusan perusahaan dalam penerapan CSR tinggal dievaluasi pada level itu, karena dalam Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungannya, jika perusahaan melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga hasilnya bisa ”diatur” pemerintah dan perusahaan, yang dirugikan selalu masyarakat setempat. Secara hakikat berbicara CSR bukanlah hal yang mudah dalam arti menetapkan program asal jalan, asal sumbang, asal bangun dan asal ada anggaran, yang ada pada akhirnya malah merusak kapital sosial masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan matang sesuai kebutuhan masyarakat bukan keinginan masyarakat sebagaiana telah diurai dalam kerangka pemikiran diatas. Setidaknya terdapat lima tahap dalam melakukan CSR yaitu need assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action (aplikasi program), termination (pemutusan bantuan) dan evaluation (evaluasi) dan After Care (Adi, 2007). Setiap proses CSR membutuhkan waktu ideal, membutuhkan mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam pengelolaannya, karena program CSR berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, dan kepentingan stakeholder (Rahmatullah, 2011). Apakah pemerintah daerah melalui pembuatan Perda CSR yang bernuansa pengelolaan dana bersama, mampu menjamin terlaksananya aspek-aspek tersebut.
III. Kepentingan Perusahaan dan Pemerintah Daerah Dalam pembuatan Perda CSR, pihak DPRD maupun pemerintah terkadang tidak memperhatikan pihak yang menjadi objek yang dikenai tanggungjawab Perda, dalam hal ini perusahaan. Seharusnya pemerintah memahami konstruksi berpikir perusahaan, karena akan menjadi kontradiktif ketika pada satu sisi daerah berupaya menarik investor untuk menanamkan modalnya, sedangkan disisi lain akibat terlalu banyaknya aturan, biaya formal maupun informal, malah membuat investor enggan menanamkan investasinya. Berdasarkan penelitian BAPPENAS dan LIPI pada tahun 2008, dikemukakan bahwa terdapat enam alasan hambatan investasi di Indonesia, diantaranya: pertama, belum optimalnya pelaksanaan harmonisasi pusat dan daerah. Kedua, kualitas infrastruktur yang kurang memadai. Ketiga, masih cukup panjangnya perizinan investasi sehingga masih tingginya biaya perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara kompetitir. Keempat, belum tercukupinya pasokan energi yang dibutuhkan untuk kegiatan industri. Kelima masih cukup banyak peraturan daerah yang menghambat iklim investasi. Keenam, masih terkonsentrasinya sebaran investasi di Pulau Jawa, dan belum [200]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Alangkah lebih baik jika pembuatan Perda CSR bukan menjadi sebuah ‘demam’ atau budaya ikut-ikutan antar daerah sebagai bentuk kebablasan di era otonomi daerah, didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk kewajiban bagi perusahaan tertentu, tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan perusahaan’, Jangankan mengatur CSR, gaji buruh saja misalnya masih dibawah UMK, kondisi kesehatan perusahaan-pun hidup segan mati tak mau. Lebih baik pemerintah melalui kewenangannya memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL Amdalsos. Jangan sampai Pembuatan Perda CSR hanya membuang energi dan biaya percuma, lalu dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri dikarenakan tidak ada referensi hukum atau berbenturan dengan aturan hukum diatasnya, sebagaimana pada tahun 2002, terdapat 402 Peraturan Daerah yang dibatalkan (http://www.depdagri.go.id/media/documents/2010/ 03/05/d/a/daftar_kepmen_pembatalan_perda_data_2 002-2009.pdf). Jikapun Pemda ingin membenahi pola pelaksanaan CSR perusahaan, salah satu langkanya adalah melakukan koordinasi dan sinkroisasi program yang sejalan didasarkan basis data dan kebutuhan yang terukur. Selain itu pemerintah wajib melakukan evaluasi sejauhmana pelaksanaan CSR yang perusahaan lakukan, sudah memberdayakan masyarakat lokal atau malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan catatan perbaikannya dalam bentuk rekomendasi yang sifatnya berkelanjutan.
Guidance On Social Responsibility, Document ISO 26000, 2008. Kerangka Acuan Kerja (KAK) Workshop Kajian Penerapan Pasal 74 UU PT NO.40/2007 dan Kaitannya Dengan Pelaksanaan PKBL Pada Badan Usaha Milik Negara. Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per05/MBU/2007 Rahmatullah, Program CSR dan Pembangunan Banten, Artikel. 2009 Rahmatullah, Evaluasi Pelaksanaan Program kemitraan Koperasi Komunitas Saguling Pada PT IndonesIa Power, Penelitian, 2008. Rahmatullah, Corporate Social Responsibility (CSR) Dan Keberlanjutan Perusahaan Rahmatullah (2008), Pelaksanaan Program Kemitraan Koperasi Komunitas Saguling (KKS), PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangit (UBP) Saguling. (penelitian tidak dipublikasikan) Tanari, Adrianus. Materi Training CSR as per ISO 26000, Jakarta. Valueconsult, 2009 Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001 Website: http://www.csrreviewonline.com/lihatartikel.php?id=53, ISO 26000 http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/29432/ Enam-Hambatan-Investasi-di-Indonesia http://www.depdagri.go.id/media/documents/2010/0 3/05/d/a/daftar_kepmen_pembatalan_perda _data_2002-2009.pdf
PUSTAKA Buku: Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Press. Kotler, Philip, Lee, dan Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility : Doing The Most Good for Your Cause. New Jersey : John Willey & Sons Inc. Rahmatullah& Kurniati, Trianita. Pedoman Praktis Pengelolaan CSR. (Belum terpublikasi) Rudito, Bambang. 2004. Corporate Social Responsibility; Jawaban Bagi Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta. ICSD. Solihin, Ismail. 2009. Corporate Social Responsibility; From Charity to Sustainability. Jakarta. PT.Salemba Empat. Wibisono, Yusuf. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik. Fascho Publishing, 2007
Biodata Penulis Rahmatullah, Studi S1 di FISIP Universitas Padjajaran Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Sedang menuntaskan Program Pascasarjana Ilmu Kesejaheraan Sosial FISIP UI, bermodalkan beasiswa Building Professional Social Worker (BPSW) konsentrasi CSR, Community Development dan Kemiskinan Pernah menjadi wartawan Monitor Indonesia, Asisten Tenaga Ahli PT.Kartika Pradipta Prisma, menangani Program Evaluasi Kinerja Dep Pekerjaan Umum. Menjadi Corporate Social Responsibility (CSR) Assistant pada PT. Agro Harapan Lestari, melakukan Riset Social Impact Assessment bagi perusahaan Palm Oil di Kalimantan. Periset pada Early Recovery Need Assessment (ERNA) West Java Earthquake (WJEQ) - UNDP, melakukan penelitian dengan Reform Institute, Yayasan Mangrove-IPB, dan PSKK UGM-
Paper dan Dokumen Negara: [201]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
World Bank. Saat ini menjadi PNS di Dinas Sosial Kota Serang dan mengajar di Universitas Serang Raya. Tulisan terkait masalah sosial, kemiskinan, dll, terangkum dalam : www.rahmatullah.banteninstitute.org.
[202]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
STRATEGI SDM DAN PELAYANAN PRIMA DI KOTA CILEGON Rina Yulianti Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten Email:
[email protected]
Abstrak Manusia selalu berperan aktif dan signifikan dalam setiap kegiatan organisasi, baik sebagai perencana, pelaku dan perintis terwujudnya tujuan organisasi. Baik itu organisasi ekonomi, politik dan kemasyarakatan, tujuan organisasi tersebut tidak mungkin terwujud tanpa peranan manusia. Bagaimana canggihnya peralatan sekalipun, faktor manusia tetap akan menentukan, itulah sebabnya SDM dianggap aset yang sangat penting dalam suatu organisasi. Di tengah era globalisasi dengan perubahan-perubahan yang cepat dan kompleksitas pendidikan yang makin meningkat, Kota Cilegon harus cepat melakukan pembenahan dalam manajemen strategi SDM nya. Karena tidak saja pendidikan yang tinggi tapi SDM tersebut harus mempunyai sikap dan perilaku yang baik. Hal tersebut merupakan salah satu unsur terpenting dalam pelayana prima. Dan seperti diketahui juga, di dalam pelayanan prima yang menpengaruhi adalah aspek SDM dimana yang sangat menentukan adalah bagaimana persepsi terhadap pelayanan prima itu sendiri, khususnya diKota Cilegon. Kata Kunci: Pelayanan Prima, SDM, Strategi perencanaan guna menyelenggarakan pemerintahan secara efisien dan efektip. Fungsi pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah begitu penting oleh karena menyangkut kepentingan umum yaitu kepentingan masyarakat. Di dalam menciptakan pelayanan prima di Kota Cilegon tentunya selain SDM yang bagus dan mempunyai kompetensi pada bidanfnya masingmasing, juga harus ditunjang oleh suatu strategi yang baik, agar apa yang diharapkan oleh organisasi pemerintah maupun pihak swasta dapat berjalan sesuai dengan visi maupun misi organisasinya. Apalagi Kota Cilegon juga terkenal dengan kota industrinya, sehingga pemerintah harus bisa memberikan rasa aman kepada investor ketika mereka akan menanamkan modalnya, dan sikap dan prilaku aparat juga merupakan modal utama di dalam melakukan layanan. Strategi apapun digunakan kalau tidak di dukung oleh sikap aparat di dalam memberikan pelayanan prima dalam bentuk kenyamanan dan keamanan tentu akan membuat mereka berfikir ulang untuk menanamkan modalnya di Kota Cilegon. Oleh karena itulah salah satu unsur yang sangat penting dalam strategi perencanaan SDM adalah pelayanan prima. Selain itu pelaksanaan pelaksanaan sumber daya manusia harus juga disesuaikan dengan strategi tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisikan adanya kesenjangan agar tujuan dengan kenyataan dan sekaligus menfasilitasi keefektifan organisasi dapat dicapai. Perencanaan sumber daya manusia harus diintegrasikan dengan tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang organisasi. Hal ini diperlukan agar organisasi bisa terus survive dan dapat berkembang
Pendahuluan Manusia merupakan salah satu faktor penting dalam perjalanan sebuah organisasi. Organisasi akan berjalanan dengan baik kalau sumber daya manusianya dapat bekerja dengan baik. Agar dapat bekerja secara efektif, maka di dalam sebuah organisasi baik pemerintah maupun swasta tentunya di butuhkan suatu rancangan strategi sumber daya manusia. Di dalam suatu organisasi tanpa di dukung oleh pegawai (SDM) yang memiliki keahlian yang sesuai dengan bidangnya agak sulit untuk mencapai suatu target yang tentunya ingin di capai organisasi tersebut, apalagi mempertahankannya. Sehingga diperlukannya suatu langkah-langkah manajemen yang tepat. Dengan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan tentu organisasi dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat. Apalagi bila dikaitkan dengan persoalan globalisasi ekonomi yang sementara berlangsung tentu aspek pelayanan menjadi salah satu kunci utama dalam persaingan produk barang dan jasa. Di tambah lagi dengan kenyataan bahwa Kota Cilegon yang memiliki banyak industri yang juga akan berkerjasama pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian harus bisa memberikan layanan prima kepada para investor yang akan menanmkan modalnya. Selain itu perusahaan juga akan memperbaiki produk dan pelayanannya sebaik mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Begitupula di bidang penyelenggaraan pemerintahan masalah pelayanan kepada masyarakat khususnya masyarakat bisnis harus mendapat prioritas utama
[203]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat cepat dan dinamis . Peranan SDM semestinya sangat signifikan dalam membangun daya saing bisnis. Hal ini beralasan karena dalam prateknya, mutu pelayanan dapat dilihat dari beragam sisi seperti sisi fisik dan non-fisik. Misalnya sisi fisik, perusahaan harus mampu menampilkan mutu barang atau jasa yang ditawarkan yang sesuai dengan preferensi konsumen dan pelanggan. Disinilah peran SDM untuk mampu menjaga mutu dan kerusakan produk perusahaan dengan dukungan fasilitas,dan perlengkapan mutu menjadi sangat penting. Dari sisi non-fisik, peranan SDM menjadi penting pula ketika pelayanan prima ditunjukkan oleh kehandalan dan komitmen pelayanan dengan segera, akurat, dan memuaskan konsumen dan pelanggan. Selain itu ketika para karyawan dan manajer sedang melayani langsung para konsumen dan pelanggan, mereka harus bersikap sopan, penuh perhatian, empati, dan dapat dipercaya. Dengan begitu maka pelayanan prima dapat tercapai.
pengelola maupun penyedia SDM bagi departemen lainnya. Di dalam sebuah organisasi pemerintah maupun swasta di dalam pengelolaannya tentu akan menghadapi beberapa tantangan baik dari luar maupun dari dalam organisasi itu sendiri. Tantangan Internal a. Posisi Organisasi dalam Bisnis yang Kompetitif Untuk mewujudkan organisasi/perusahaan yang kompetitif , diperlukan berbagai kegiatan MSDM yang dapat meningkatkan kemampuan SDM. Usaha itu dapat dilakukan dengan mendesain sistem pemberian ganjaran yang mampu memotivasi berlangsungnya kompetisi prestasi antar para pekerja. b. Fleksibelitas Organisasi / perusahaan memerlukan pengembangan sistem desentralisasi yang mengutamakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab secara berjenjang. Fleksibilitas juga menyangkut penggunaan tenaga kerja, dengan mengurangi kecenderungan mengangkat pekerja reguler (pekerja tetap). Pengangkatan sebaiknya lebih difokuskan pada penggunaan tenaga kerja temporer (tidak tetap). c. Pengurangan Tenaga Kerja Manajemen SDM suatu perusahaan sering dihadapkan dengan keharusan mengurangi secara besar-besaran tenaga kerja, karena berbagai sebab, seperti resessi, berkurangnya aktivitas bisnis, dan lain-lain harus diatasi dengan cara memperbaiki struktur pekerja lini dari tingkat bawah, dengan mendesain kembali proses produksi. d. Tantangan Restrukturisasi Tantangan restrukturisasi adalah usaha menyesuaikan struktur organisasi/perusahaan karena dilakukan perluasan atau penambahan dan sebaliknya juga pengurangan kegiatan bisnisnya. e. Bisnis Kecil Bisnis kecil seperti dikemukakan diatas yang terdiri dari banyak anak perusahaan, yang saling memiliki ketergantungan dalam produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan sebagai perwujudan net work (jaringan kerja) dalam berbisnis, sebagai perusahaan besar/raksasa yang tersebar di banyak lokasi. f. Budaya Organisasi Budaya perusahaan akan mewarnai dan menghasilkan perilaku atau kegiatan berbisnis secara operasional, yang tanpa disadari akan menjadi kekuatan yang mampu atau tidak mampu menjamin kelangsung eksistensi organisasi/perusahaan. g. Teknologi
Pembahasan Keberadaan tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi sangat penting artinya bagi organisasi. Dalam perkembangannya, organisasi akan menghadapi permasalahan tenaga kerja yang semakin kompleks, dengan demikian pengelolaan sumber daya manusia harus dilakukan secara profesional oleh departemen tersendiri dalam suatu organisasi, yaitu Human Resource Departement. SDM sebagai salah satu unsur penunjang organisasi, dapat diartikan sebagai manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi (disebut personil, tenaga kerja, pekerja/karyawan); atau potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya; atau potensi yang merupakan asset & berfungsi sebagai modal nonmaterial dalam organisasi bisnis, yang dpt diwujudkan menjadi potensi nyata secara fisik dan non-fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi ( Irawan, 2000). Mengelola SDM ( karyawan/pegawai ) di Kota Cilegon di era globalisasi bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, berbagai macam suprastruktur dan infrastruktur perlu disiapkan untuk mendukung proses terwujudnya SDM yang berkualitas. Dengan tumbuh suburnya industri yang ada di Kota Cilegon dan adanya pemerintahan daerah yang kuat di dalam pembangunan, tentu akan membawa dampak yang positif bagi Kota Cilegon itu sendiri. Sebuah organisasi/perusahaan kalau ingin tetap eksis dan memiliki citra positif di mata masyarakat tidak akan mengabaikan aspek pengembangan kualitas SDM-nya. Oleh karena itu peran manajemen sumber daya manusia dalam organisasi tidak kecil, bahkan sebagai sentral
[204]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tantangan teknologi tidak sekedar menyangkut pembiayaan (cost), karena bagi Manajemen SDM hubungannya terkait pada keharusan menyediakan tenaga kerja yang terampil mempergunakannya, baik dari luar maupun melalui pengembangan tenaga kerja di dalam organisasi/perusahaan.
maka strategi pembangunan nasional harus didasarkan pada mobilitas SDM, alam dan kelembagaan. Pelayanan Prima Perkembangan tuntutan pelayanan saat ini adalah pelayanan prima atau pelayanan yang dapat memenuhi harapan masyarakat atau lebih baik dari standar dan asas-asas pelayanan publik/pelanggan. Dalam organisasi publik hal ini sebenarnya telah menjadi tuntutan sejak munculnya teori negara baru (Frederickson) tentang azas keadilan. Oleh sebab itu dalam pelayanan primapun perlu adanya standar pelayanan sebagai ukuran yang telah ditentukan untuk pembakuan pelayanan yang baik dan berkeadilan. Bila seluruh pelayanan telah memiliki standar maka akan lebih mudah memberikan pelayanan yang lebih baik, sehingga secara kontinyu akan dapat disebut prima. Sementara itu pelayanan prima di sektor seringkali terjadi adanya kesenjangan dalam kualitas pelayanan (Service Quality Concept). Konsep ini memformulasikan dalam tingkat kualitas pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan. Terdapat 5 (lima) macam gap/kesenjangan yang menjadi ukuran kepuasan. Gap 1: Tidak Memahami Kehendak Konsumen Gap ini terjadi akibat pihak manajemen tidak dapat merasakan secara tepat apa yang dikehendaki atau menjadi pertimbangan konsumen. Hal ini disebabkan kurangnya riset konsumen (masyarakat/pelanggan), kurang interaksi antara manajemen dan konsumen, serta terlalu banyak level of management antara management puncak dan pelaksana yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Gap 2: Penerapan Standar Kualitas Tidak Tepat Gap ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi manajemen dan penetapan spesifikasi standar pelayanan untuk memenuhi kehendak konsumen. Hal ini disebabkan kurang komitmen pelayanan, kurang tepatnya hasil studi kelayakan, dan tidak tepatnya standarisasi tugas pelaksanan pelayanan. Gap 3: Kurangnya Pemenuhan Pelayanan Gap ini terjadi jika pelaksana tidak mampu menyampaikan pelayanan sebagaimana mestinya seperti yang telah ditetapkan manajemen. Hal ini disebabkan kurangnya pelatihan bagi pelaksana atau beban kerja yang terlalu berat serta peralatan kerja yang kurang tepat. Gap 4: Pelayanan Tidak Sesuai Dengan Yang Dijanjikan Harapan konsumen juga dipengaruhi oleh janji-janji yang disampaikan pada saat terjadi komunikasi. Gap ini timbul jika pelayanan yang disampaikan ternyata tidak sesuai dengan yang
h. Serikat Pekerja Dengan kerjasama, perusahaan/organisasi setidak-tidaknya harus berusaha agar serikat pekerja tidak menjadi penghambat proses produksi, dengan tidak menempatkanya sebagai lawan. Selain itu, menurut mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro, ada 4 tantangan yang dihadapi oleh suatu bangsa dalam upaya menciptakan SDM berskala internasional, yaitu: • Berwawasan Nilai tambah ini penting mengingat bahwa apabila sumber daya alam tak dapat lagi diandalkan, pilihan satu-satunya aclalah membina SDM yang mampu meningkatkan nilai tambah produk industri. • Perubahan struktur masyarakat Secara alami harus ada suatu mekanisme yang menjembatani konflik internal sehingga setiap benturan dapat ditangani secara terarah dan proporsional. • Persaingan global yang kian ketat. Di perspektif ekonomi, globalisasi merupakan tantangan untuk meraih peluang melalui penguasaan teknologi produksi berskala internasional yang esensinya adalah bagaimana menciptakan produk yang kompetitif di pasar global. • Penjajahan Penguasaan Iptek Kita harus bekerja keras untuk menciptakan sentra-sentra pengembangan dan penelitian iptek. Strategi Perencanaan Tenaga Kerja (SDM) Perencanaan ini mempakan lanjutan dari proses pengembangan SDM, dimaksudkan untuk menjamin tenaga terdidik yang diperlukan dalam suatu upaya pengembangan. Perencanaan tenaga kerja berhubungan erat dengan pemberdayaan SDM dengan mengusahakan supaya setiap orang mampu bekerja atau mendapatkan suatu pekerjaan. Ciri utama pembangunan nasional berkaitan erat dengan keserasian pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berkualitas, serta eksistensi teknologi peningkatan produktivitas. Kunci menuju produktivitas adalah ilmu dan perekayasaan teknologi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Penelitian menunjukkan bahwa maju tidaknya suatu negara disebabkan produktivitas nasionalnya yang berkaitan dengan keberhasilan sistem pendidikan di negara tersebut dan penguasaan teknologi oleh SDM nya. Sehubungan dengan itu, [205]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
dijanjikan. Hal ini bisa diakibatkan kurangnya komunikasi horizontal antara sesama pelaksana. Gap 5: Pelayanan Yang Tidak Memuaskan Terjadi apabila pelayanan yang dirasakan konsumen tidak seperti yang diharapkan. Penyebabnya adalah satu atau lebih gabungan gap-gap lain. Gap 5 ini dapat diukur dengan menggunakan dimensi kualitas layanan yaitu Tangible, Empathy, Reability, Responsiveness, dan Assurance. Persaingan pelayanan terhadap pelanggan semakin ketat, unit-unit perusahaan yang dulunya terkesan memberikan pelayanan seadanya kini dituntut memberikan pelayanan prima kepada pelanggannya. Unit layanan yang mampu melayani kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan prima yang memiliki daya saing untuk mampu berbicara dalam usaha
Biodata Penulis Rina Yulianti adalah Dosen Program Studi Administrasi Negara FISIP Untirta. Meraih gelar Master dari Program Pasca Sarjana Magister Administrasi Publik Universitas Padjajaran. Saat ini menjabat sebagai sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta
Kesimpulan Banyak faktor yang menentukan apakah sebuah organisasi akan berhasil atau tidak, sumber daya manusia merupakan salah satunya, selain itu adalah kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang ada. Dengan manajemen strategi yang efektif akan menentukan arah yang harus dituju organisasi, bagaimana cara untuk menuju ke sana, dan kemudian mengadakan evaluasi secara rutin untuk melihat apakah pegawai/karyawan (SDM) yang sudah ada berada di jalur yang benar atau tidak dengan keahliannya. Kota Cilegon merupakan kota industri yang mana sangat mebutuhkan SDM yang berkualitas. Untuk membangun kualitas yang bagus tentu diperlukan strategi yang berkaitan dengan pelayanan prima. Dengan adanya pelatihan dan kompetensi di organisasi pemerintah ataupun swasta yang ada di Kota Cilegon, ini akan menambah mutu layanan tersebut menjadi lebih bagus. Di tambah dengan sikap dan prilaku yang simpatik dari aparat akan menambah nilai plus pada sumber daya manusia yang ada di organisasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Nurmandi, Achmad. 2010.Manajemen Pelayanan Publik. Penerbit: PT Fanar Syukri, Agus. 2009. Standar Pelayanan Publik PEMDA. Penertbit: Kreasi Wacana, Bantul Sinergi Visi Utama, Yogyakarta Prasetya Irawan, Manajemen Sumber Daya Manusia,, Tahun 2000, Penerbit Lembaga Administrasi Negara (LAN)-Jakarta Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2008. Manajemen Pelayanan Publik. Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Sunyoto, Agus, (1996) Manajemen Sumber Daya Manusia, Modul Perkuliahan Manajemen Swnberdaya [206]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DAN PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN MANAJEMEN BENCANA DI KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN Riny Handayani Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten E Mail:
[email protected]
Abstrak Peristiwa bencana yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda yang besar baik di Indonesia, telah membuka mata kita bersama bahwa manajemen bencana di negara kita masih sangat jauh dari yang kita harapkan. Selama ini, manajemen bencana dianggap bukan prioritas dan hanya datang sewaktuwaktu saja, padahal kita hidup di wilayah yang rawan terhadap ancaman bencana. Oleh karena itu pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh seluruh kalangan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Pemerintah cenderung menerapkan pendekatan ”atas ke bawah(top down)” dalam perencanaan manajemen bencana dimana kelompok sasaran diberi solusi-solusi yang dirancang untuk mereka oleh para perencana dan bukannya dipilih oleh masyarakat sendiri. Pendekatan seperti jarang mencapai tujuan masyarakat karena pemerintah bertindak atas gejala-gejala dan bukan atas penyebabnya, dan gagal merespon kebutuhan riil dan tuntutan dari masyarakat. Kabupaten Serang, selain di wilayah ini terletak ibukota Propinsi Banten, berdasarkan data yang didapat dari POKJA AMPL Kabupaten Serang, seiring pertambahan tahun kawasan budidaya yang didominasi areal persawahan telah banyak berubah fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri yang tentunya akan menjadi daerah potensial banjir. Selain hal tersebut, saat ini terbentuk pola banyak perbukitan dan hutan yang ditebang secara liar sehingga menyebabkan tanah tak bisa terlalu banyak menyerap air sehingga menimbulkan banjir dan longsor. Telaah kepustakaan ini bertujuan menganalisis partisipasi masyarakat dan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan manajemen bencana di Kabupaten Serang. Kata Kunci : Partisipasi Masyarakat, Peran Pemerintah Daerah, Manajemen Bencana pandai menyiasati cara-cara hidup berdampingan dengan kondisi alam yang rawan bencana tersebut. Pada telaah kepustakaan ini, secara khusus manajemen bencana yang akan dianalisis adalah tentang banjir dan tsunami dengan wilayah penelitian adalah Kabupaten Serang. Karena selain di wilayah ini terletak ibukota Propinsi Banten, berdasarkan data yang didapat dari POKJA AMPL Kabupaten Serang, pola penggunaan lahan pada kawasan budidaya, yang penggunaan lahannya terdiri atas persawahan yaitu sawah tadah hujan dan irigasi, tegalan, kebun campuran, dan perkampungan, seiring pertambahan tahun telah banyak berubah fungsi menjadi lahan pemukiman dan industri yang tentunya akan menjadi daerah potensial banjir. Selain hal tersebut, saat ini terbentuk pola banyak perbukitan dan hutan yang ditebang secara liar sehingga menyebabkan tanah tak bisa terlalu banyak menyerap air sehingga menimbulkan banjir dan longsor Di Banten ada 87 titik daerah rawan banjir yang tersebar hampir merata. Cakupan bencana banjir di wilayah Provinsi Banten meliputi 4 kabupaten dan 1 kota yang terdiri dari 43 Kecamatan, 133 Desa/Kelurahan dengan jumlah korban 30.851 KK, 80.804 Jiwa. Dari enam Daerah
PENDAHULUAN Wilayah Indonesia, termasuk daerah rawan terjadinya bencana, terutama bencana alam geologi, yang disebabkan karena posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik di dunia yaitu: Lempeng Australia di Selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian Barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian Timur, yang dapat menunjang terjadinya sejumlah bencana. Berdasarkan posisinya tersebut, maka hampir di seluruh Indonesia kecuali daerah Kalimantan yang relatif stabil, kejadian bencana akan sangat mungkin terjadi setiap saat dan sangat sukar diperkirakan kapan dan dimana persisnya bencana tersebut akan terjadi. Jawa Barat termasuk termasuk daerah rawan terjadinya bencana seperti hal nya daerah lain di Indonesia, karena di wilayah ini selain kondisi geologinya menunjang terjadinya sejumlah bencana, juga banyak terdapat gunung berapi yang masih aktif Perlu disadari penuh oleh masyarakat serta pemerintah daerah di Kabupaten Serang bahwa kita hidup di daerah yang rawan bencana, sehingga bencana dapat datang secara tiba-tiba. Dengan demikian masyarakat Kabupaten Serang harus
[207]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
Tingkat II, hanya Kota Cilegon yang terbebas dari bencana yang sangat parah. .(Kesbanglinmas Provinsi Banten, 2008) Bencana banjir yang terjadi akibat derasnya curah hujan baru-baru ini telah menimbulkan kerusakan paling parah di Kabupaten Tangerang yang menggenangi 21 Kecamatan, 63 Kelurahan/Desa, dengan korban berjumlah 14.578 KK/ 45.380 Jiwa, dan korban meninggal mencapai 7 orang. Di Kota Tangerang, banjir menggenangi 13 Kecamatan yang terdiri dari 69 Kelurahan/Desa dengan jumlah korban mencapai 15.530 KK/32.333 Jiwa, dan korban meninggal mencapai 5 orang. Di Kabupaten Serang banjir menggenangi 5 Kecamatan terdiri dari 16 Kelurahan/Desa dengan jumlah korban mencapai 621 KK/2.481 Jiwa, dan tidak ada korban meninggal.(Kesbanglinmas Provinsi Banten, 2008) Untuk Kabupaten dan Kota Serang, daerah rawan banjir terletak di Kecamatan Pontang, Tanara, Tirtayasa, dan Kasemen. (Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Banten Winardjono.) Dua sungai, Ciujung dan Cidurian, di Kabupaten Serang, setiap kali musim penghujan selalu menjadi penyebab banjir bagi wilayah di sekitarnya. sungai itu, yaitu Ciujung yang membawa air dari daerah Lebak, dan Cidurian yang membawa kiriman air dari daerah Bogor. Selain itu, terdapat beberapa daerah lain di Kabupaten Serang yang menjadi langganan banjir, seperti Kec. Tunjungteja, Kasemen, Kragilan, dan Kec. Cikande yang menimbulkan kerugian cukup besar. Manajemen bencana dan tindakan-tindakan antisipasinya adalah syarat mutlak untuk dapat hidup berdampingan dengan bencana alam. Perlu political will pemerintah untuk segera memprioritaskan program manajemen bencana dengan melaksanakan penilaian bahaya, peringatan dan persiapan menghadapi bencana serta kegiatan sosialisasinya kepada masyarakat. Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana (seperti terlihat dalam Gambar Siklus Manajemen Bencana), yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa; (2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.(Dr, Ir, Agus Rahmat, 2007)
Siklus Manajemen Bencana
Selain gempa bumi, sejak tahun 1987 sampai sekarang telah terjadi lebih dari 800 kejadian bencana tanah longsor yang menimbulkan korban lebih dari 700 jiwa, dimana setengah dari kejadian tanah longsor tersebut terjadi di Propinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi daerah Jawa Barat dan Banten merupakan daerah perbukitan yang padat penghuninya dan memiliki curah hujan yang tinggi. Dari beberapa fakta dan data yang ada, Indonesia telah mengalami berbagai bencana yang menyebabkan kerugian jiwa dan materi yang besar. Bencana banjir Jakarta di awal tahun 2002 menunjukkan betapa besarnya kerugaian yang ditimbulkan. Untuk pemulihan kondisi perkotaan setelah kejadian banjir di Jakarta, diperkirakan akan menghabiskan dana lebih dari 15 trilyun rupiah. Kerugian ini belum termasuk kerugian yang diderita oleh masyarakat secara langsung. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi percepatan program pembangunan kota serta menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dibandingkan provinsi lain, Jawa BaratBanten merupakan wilayah paling rawan gempa bumi. Penyebab dari gempa bumi ini adalah terjadinya pergeseran patahan (sesar) di dalam tanah. Patahan ini mengalami pergeseran sebagai akibat akumulasi tekanan yang merupakan fenomena alam. Semakin tinggi tekanan maka patahan ini akan bergeser lebih keras sehingga terjadilah bencana gempa bumi yang besar dengan radius kerusakan bisa mencapai belasan kilometer dari pusat gempa bumi. (Direktorat Vulkanologi dan Manajemen bencana Geologi, 2007) Potensi bencana alam di Indonesia, diperparah oleh beberapa permasalahan lain yang memicu peningkatan kerentanan. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, sebagai salahsatu contoh akan banyak membutuhkan kawasan hunian baru yang pada akhirnya kawasan tersebut akan terus berkembang dan menyebar hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak aman (Pusat Manajemen bencana, ITB, 2008). Tidak tertib dan tidak tepatnya penggunaan lahan, merupakan salahsatu faktor yang menyebabkan adanya [208]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
peningkatan kerentanan akan bencana alam tersebut. Peningkatan kerentanan ini akan diperparah bila aparat pemerintahan maupun masyarakatnya tidak menyadari dan tanggap adanya potensi bencana alam di daerahnya.
4. 5.
6. PEMBAHASAN Pengertian Partisipasi Partisipasi adalah keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan tanggungjawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama (Sastropoetro, 1986). Sedangkan Terry berpandangan bahwa partisipasi secara formal dapat didefinisikan baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangsihsumbangsih kepada proses pembuatan keputusan terutama mengenai darpersoalan-persoalan bagi keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan melaksanakan tanggungjawabnya untuk melakukan hal tersebut. (Winardi, 1985). Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh perorangan maupun secara berkelompok dalam masyarakat, untuk menyatakan kepentingan atau keterikatan mereka terhadap organisasi atau masyarakat dimana mereka bergabung dalam rangka mencapai tujuan masyarakat tersebut. Bentuk partisipasi masyarakat dapat dibedakan atas beberapa cara dan bentuk. In (Young Wang, 1981) membedakan tiga cara dalam berpartisipasi yaitu (1) voluntary participation, (2) introduced participatio, (3) forced participation. Samuel Huntington dan Joan Nelson (Budiarjo, 1982) membedakan bentuk partisipasi dalam dua bentuk yaitu (1) partisipasi otonom, (20 partisipasi mobilisasi. Di samping itu (Cohen dan Uphoff , 1977) membedakan partisipasi atas 3 jenis : (1) voluntary participation, (2) coersion participation, (3) combination voluntary-coercion. Partisipasi meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan termasuk pengawasan dan pemanfaatan hasil kegiatan yang terdapat aspek pemeliharaan hasil kegiatan. Dalam kaitan dengan tahap partisipasi, (Ndraha, 1990 : 102-104) mengemukakan bentuk yang dapat juga disebut tahap partisipasi, meliputi : 1. Partisipasi dalam/melalui kontraknya dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial. 2. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), menginginkan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya. 3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana),…. Termasuk keputusan politik yang menyangkut nasib mereka, dan partisipasi dalam hal yang bersifat teknis (desain proyek).
Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan Cohen dan Uphoff menamakan ini participation in benefits. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauhmana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauhmana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Untuk mendapatkan tingkat partisipasi yang diharapkan dalam pelaksanaan keputusan, maka tujuan dan pelaksanaan keputusan itu diarahkan pada perbaikan kondisi dan taraf hidup masyarakat (peningkatan kesejahteraan). Dalam hal ini, (Ndraha, 1990 : 104) mengemukakan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat itu, adalah : 1. Sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt need) 2. Dijadikan stimulasi terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (respon yang dikehendaki). 3. Dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi membangkitkan tingkah laku (behavior) yang dikehendaki secara berlanjut. Keadaan dan unsur penting penting timbulnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan atau kebijaksanaan daerah, maka paling tidak terdapat beberapa faktor dasar yang mempengaruhi tingkat partisipasi itu, antara lain : a. Proses penentuan rencana (pembuatan keputusan) yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat. Unsur akomodatif ini juga diwujudkan pada kemanfaatan yang akan diterima masyarakat dari pelaksanaan kegiatan itu. b. Adanya kesadaran, yaitu sejumlah sikap, perilaku dan pola sikap yang didasarkan pada pengetahuan akan manfaat atau juga oleh sejumlah nilai yang menuntut seseorang melaksanakan kegiatan yang ditetapkan. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan ataupun kebudayaan politik, yaitu kebudayaan yang berhubungan dengan perumusan rencana (keputusan) dan pelaksanaan keputusankeputusan yang mengikat bersama (masyarakat). c. Adanya upaya motivasi pengarahan dan penggerakan dari pemimpin dalam masyarakat untuk menimbulkan partisipasi itu. Dalam hal ini, kepemimpinan daerah yang dapat menimbulkan kesadaran anggota masyarakat dalam berpartisipasi, sangat dibutuhkan. Gaya kepemimpinan yang mampu mengakomodasikan terhadap aspirasi masyarakat, merupakan sesuatu yang penting. [209]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
d.
ISBN: 978-602-97365-X-X
Untuk mewujudkan komponen-komponen di atas juga perlu didukung oleh pola komunikasi yang efektif dari para elit dalam organisasi pemerintahan daerah, guna dapat mewujudkan penerimaan kebijaksanaan yang dibuat. Adanya kesamaan pengertian dan pandangan pelaksanaan kegiatan melalui pola komunikasi yang efektif, maka partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijaksanaan itu akan dapat diwujudkan.
Manajemen Bencana Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama, yaitu: 1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini; 2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian; 3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Pendekatan proaktif dalam mengurangi resiko bencana, merupakan salah satu bagian terpenting dalam kegiatan mitigasi yang pada akhirnya sebenarnya lebih ditujukan untuk mengurangi tingkat resiko bencana. Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi. Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi. Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen Bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.
Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik berupa korban jiwa dan atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Untuk mendefinisikan rencana atau strategi mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian resiko (risk assesment).
[210]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya. Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersamasama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain: 1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana; 2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan; 3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik; 4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan; 5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.
Mitigasi Bencana Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakantindakan pengurangan resiko jangka panjang. Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah. Mitigasi Bencana yang Efektif Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan. 1. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya; 2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya. 3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman.
Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat Pemerintah cenderung menerapkan pendekatan ”atas ke bawah(top down)” dalam perencanaan manajemen bencana dimana kelompok sasaran diberi solusi-solusi yang dirancang untuk mereka oleh para perencana dan bukannya dipilih oleh masyarakat sendiri. Pendekatan seperti itu cenderung mendekatkan tindakan-tindakan manajemen bencana fisik dibandingkan perubahanperubahan sosial untuk membangun sumberdaya dari kelompok yang rentan. Jarang tercapai tujuan [211]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
masyarakat karena pemerintah bertindak atas gejalagejala dan bukan atas penyebabnya, dan gagal merespon kebutuhan riil dan tuntutan dari masyarakat. Satu pendekatan alternatif adalah mengembangkan kebijakan manajemen bencana lewat konsultasi dengan kelompok-kelompok setempat dan menggunakan tehnik serta tindakan dimana masyarakat dapat mengorganisir sendiri dan mandiri dengan bantuan tehnis terbatas dari luar. Program-program manajemen bencana berbasis masyarakat tersebut dianggap lebih mungkin menghasilkan tindakan-tindakan yang merespon kebutuhan riil penduduk, dan untuk mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan ini juga cenderung memaksimalkan penggunaan sumber-sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja, material dan organisasi. Menerapkan kebijakan berbasis masyarakat tersebut tergantung pada beberapa faktor diantaranya, adanya lembaga-lembaga dan kelompok masyarakat setempat yang aktif dan berkepentingan yang dapat menyediakan bantuan dan dukungan tehnis pada tingkat yang memadai. Praktek-praktek manajemen bencana yang berhasil harus melibatkan kerjasama antara komunitas lokal dengan instansi yang terkait. Komunitas lokal harus sadar akan resiko dan peduli untuk melakukan tindakan untuk menghadapi resikonya. Masyarakat mungkin memerlukan bantuan tehnis, bantuan materi dan bantuan dalam membangun kapabilitas-kapabilitas mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat yang diciptakan untuk mencapai tujuannya dan memperoleh bantuan dari instansi pemerintah akan memberikan manfaat pembangunan yang berlangsung terus menerus dan berkelanjutan.
yang mungkin terjadi dan meningkatkan manfaat pada keberlangsungan pembangunan di wilayah Banten. Sebanyak 14 wilayah pesisir Banten rawan terhadap gempa dan tsunami. Ke-14 wilayah tersebut berada di Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Lebak. Untuk wilayah pesisir Kabupaten Serang yang rawan gempa dan tsunami terletak di Kecamatan Cinangka dan Kecamatan Anyer. Sementara Kota Cilegon terletak di Kecamatan Pulo Merak, Kecamatan Ciwandan, dan Kecamatan Grogol. Kabupaten Pandeglang terletak di Kecamatan Sumur, Kecamatan Cikeusik, Kecamatan Pagelaran, dan Kecamatan Panimbang. Kabupaten Lebak terletak di Kecamatan Bayah, Kecamatan Panggarangan, dan Kecamatan Malingping. (Sumber : Deputi Analisis Kebutuhan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi Kementerian Riset dan Tekhnologi 17 Des 2007). Kampung Siaga Bencana di provinsi ini adalah representasi dari program penanggulangan bencana berbasis masyarakat ( Community base disarter manageman ) yaitu sebagai bentuk upaya pelembagaan penanggulangan bencana pada daerah rawan bencana yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat dalam rangka menanamkan sikap kesiapsiagaan penanggulangan bencana yang juga perlu dukungan dari Pemerintah Daerah Provinsi Banten. Program KSB ini, merupakan salahsatu dari beberapa program yang dibuat untuk mengantisipasi bahaya bencana alam yang terjadi di wilayah ini. Program lainnya adalah pembentukan Tim Reaksi Cepat (TRC), Sekolah Siaga Bencana (SSB), Seminar dan Diskusi Kebencanaan, Gladi/Drill Penanggulangan Bencana dengan Jurnalis, Penguatan konseptual, Managerial, tehnikal dan Social Skill serta Fasilitasi Operasional Kepengurusan.
Kampung Siaga Bencana di Provinsi Banten Provinsi Banten terletak di antara 5º7'50"7º1'11" Lintang Selatan dan 105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur dengan luas wilayah 9.160,70 Km2. Kondisi topografi dengan wilayah datar (kemiringan 0 - 2 %) seluas 574.090 hektare, wilayah bergelombang (kemiringan 2 - 15%) seluas 186.320 hektare, dan wilayah curam (kemiringan 15 - 40%) seluas 118.470,50 hektare. Secara umum, Provinsi Banten memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, klimatologis dan demografis yang rawan terhadap ancaman bencana. Beberapa potensi bencana yang terindikasi, pernah terjadi dan mungkin akan terjadi di Propinsi Banten antara lain adalah : gempa bumi, gunung meletus, rawan longsor, banjir, tsunami, gelombang badai, tumpahan minyak/zat kimia di laut, dan ledakan/kebocoran industri zat kimia. Adaptasi potensi rawan bencana ke dalam desain struktur dan perencanaan pengembangan wilayah Banten diharapkan akan dapat mengurangi dampak buruk
Tujuan dari KSB khususnya di wilayah ini, adalah :
-
[212]
Melembagakan proses kegiatan penanggulangan bencana berbasis masyarakat Mengurangi dampak bencana Mengorganisir potensi masyarakat terlatih siaga bencana Membentuk unit khusus siaga bencana berbasis masyarakat disetiap kecamatan sebagai front liner Menjamin kesinambungan proses kesiapsiagaan penanggulangan bencana berbasis masyarakat Memperkuat integrasi sosial melalui peningkatan intensitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
-
ISBN: 978-602-97365-X-X
dan khususnya Kabupaten Serang tentang pemahaman pada tahapan ini sangat penting untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur). Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan dalam bentuk dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya. Sebagai upaya dan inisiasi aktif, mengenali pentingnya penguatan kapasitas komunitas dalam pengelolaan bencana maka Pemerintah Daerah Provinsi Banten dalam hal ini Dinas Sosial dan Tim Penganggulangan Bencana Alam (TAGANA) Banten merancang dan coba menerapkan program penanggulangan bencana dengan menggunakan pendekatan Community Based Disaster Management (CBDM), TAGANA mengimplementasikan program tersebut melalui serangkaian kegiatan sebagai berikut: 1. Pembentukan Tim Reaksi Cepat (TRC) 2. Kampung Siaga Bencana (KSB) 3. Sekolah Siaga Bencana (SSB) 4. Seminar dan Diskusi Kebencanaan 5. Gladi/Drill Penanggulangan Bencana dengan Jurnalis 6. Penguatan Konseptual, Managerial, Tehnikal dan Keterampilan Sosial 7. Fasilitasi Operasional Kepengurusan Pendekatan dari bawah ke atas ini akan melengkapi pendekatan atas ke bawah yang dimiliki pemerintah, ini memungkinkan khususnya komunitas-komunitas yang mempunyai kerentanan tinggi untuk mengaktifkan partisipasi dalam merespon resiko atas ancaman yang datang.
Masyarakat agar mampu mengelola sumberdaya manusia, wilayah, potensi dalam penanggulangan bencana KSB berkedudukan di kecamatan atau komunitas adat sederajat dalam wilayah Republik Indonesia.
Pemerintah Provinsi Banten pada tahun 2011 ini akan menbentuk sebanyak 154 kecamatan yang berlabel Kampung Siaga Bencana Se-Provinsi Banten, Dinas Sosial dan Tagana Banten bertanggungjawab untuk penyelenggaraan pembinaan dan pemantapan program KSB ini. Kriteria Lokasi Kampung Siaga Bencana (KSB) adalah, pernah mengalami kejadian bencana dan merupakan daerah yang sangat rawan bencana, Dukungan dari Pemda setempat (Pos/Gardu Sosial KSB, lapangan untuk lokasi simulasi KSB, dunia usaha, LSM/NGO). Masyarakat mempunyai kompetensi melakukan penanggulangan bencana yang terjadi di wilayahnya secara mandiri, Partisipasi masyarakat setempat dalam pembentukan KSB, Belum pernah ada program sejenis dan Tidak bertentangan dengan budaya lokal (Kearifan Lokal). PENUTUP Provinsi Banten termasuk wilayah yang rawan akan bencana seperti gempa bumi, pergerakan tanah/longsor dan juga banjir. Penyebabnya adalah terjadinya pergeseran patahan (sesar) di dalam tanah. Patahan ini mengalami pergeseran sebagai akibat akumulasi tekanan yang merupakan fenomena alam. Semakin tinggi tekanan maka patahan ini akan bergeser lebih keras sehingga terjadilah bencana gempa bumi yang besar dengan radius kerusakan bisa mencapai belasan kilometer dari pusat gempa bumi. Mitigasi merupakan usaha untuk melunakkan akibat bencana. Usaha ini memang paling murah untuk dilakukan. Mitigasi dan perlindungan dapat dilakukan secara serempak. Jika konsep mitigasi ternyata dapat dikerjakan dengan teknologi, dapat ditingkatkan menjadi perlindungan. Sebagai contoh ialah identifikasi daerah banjir dan langsung tindakan teknologi. Mitigasi dapat dibagi dua yaitu aktif dan pasif. Pasif artinya tindakan untuk menghindari bencana. Sebagai contoh ialah pembuatan zonasi daerah rawan bencana, aturan bangunan, tataguna lahan, perencanaan tata ruang, dst. Tujuannya jelas yaitu mengurangi / menghindari akibat bencana. Mitigasi aktif adalah usaha agar mitigasi pasif dapat terlaksana yaitu melibatkan masyarakat. Dengan demikian kegiatannya meliputi diantaranya pendidikan masyarakat dan birokrasi akan bencana, penyesuaian infrastruktur sesuai aturan, relokasi penduduk, diversifikasi kegiatan ekonomi, penyesuaian tatguna lahan. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah, dalam hal ini Provinsi Banten [213]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
DAFTAR PUSTAKA Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri , dkk 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta; PT. Pradnya Paramita Faisal, Sanafiah. 2004. Format-format Penelitian Sosial. Grafindo Persada, Jakarta Drs. Kusnadi, M.A. Nelayan; Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial (2002). Bandung. Humaniora Utama Press Arah Kebijakan Mitigasi Bencana di Indonesia, Sekretariat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Jakarta 2002 Soetrisno, L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta Budiarjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik. Bunga Rampai. Gramedia, Jakarta www.geo.ugm.ac.id : Manajemen Bencana, April 2009 www.banten.go.id : Profil Kabupaten Serang. 3 Maret 2009 www.belajarbencana.wordpress.com : Belajar Mengenali Bencana Alam, 22 April 2009 www.bapeda-jabar.go.id: Manajemen dan Mitigasi Bencana, 2 Juni 2008 www. Tempointeraktif.com : Propinsi Banten Rawan Banjir. 17 Juli 2008 www.radarbanten.co.id : Banjir Melanda Kota Serang. 28 November 2008
Biodata Penulis Riny Handayani adalah dosen Program Studi Administrasi Negara FISIP Untirta. Aktif di Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta. Fokus bidang penelitian pada Manajemen Bencana dan Sistem Informasi Geografi
[214]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG BERMUTU DI PEMERINTAH DAERAH Titi Stiawati Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten
Abstrak Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan kemudian hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat tersebut. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan kualitas atau mutu pelayanan tadi, maka fungsi pemerintah yang memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat secara bertahap perlu ditingkatkan agar menjadi lebih efektif dan efisien serta memberikan kepuasan bagi masyarakat, dan untuk mengembangkan pelayanan yang bermutu dibutuhkan adanya perubahan sikap dan keterampilan baru diantara staf pemerintah dan klien mereka serta perubahan lingkungan kelembagaan. Dengan demikian, pelayanan pemerintah kepada masyarakat dikatakan bermutu bila pelayanan yang diberikan memenuhi atau melebihi harapan masyarakat. Pengertian mutu dapat diartikan juga sebagai hasil kinerja untuk suatu proses pekerjaan yang sesuai standar sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Selanjutnya arti mutu juga tidak hanya memuaskan masyarakat, tetapi menyenangkan masyarakat dan memberikan inovasi kepada masyarakat Kata kunci: Pelayanan Publik, Mutu, Sumber Daya Manusia. masyarakat sebagai pelaksana (rowing). Kegiatan masyarakat harus saling mengisi, saling menunjang dan saling melengkapi dalam kesatuan langkah menuju terwujudnya pembangunan nasional yang dalam Reiventing Government disebut dengan kerjasama yang berasaskan kemitraan, saling percaya, saling menghormati dalam melakukan terobosan. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan kualitas atau mutu pelayanan tadi, maka fungsi pemerintah yang memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat secara bertahap perlu ditingkatkan agar menjadi lebih efektif dan efisien serta memberikan kepuasan bagi masyarakat, dan untuk mengembangkan pelayanan yang bermutu dibutuhkan adanya perubahan sikap dan keterampilan baru diantara staf pemerintah dan klien mereka serta perubahan lingkungan kelembagaan. Selanjutnya pelayanan pemerintah perlu didesentralisasi, lebih efisien dan efektif melalui swastanisasi dan promosi pelayanan berbasis masyarakat, sehingga pemerintah dapat berfokus pada fungsi mereka sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat. Manfaatnya antara lain pemerintah lebih efisien, pertanggungjawaban lebih baik, semangat kerja Pegawai Negeri lebih tinggi dan penghidupan masyarakat meningkat.
PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan kemajuan pembangunan dan peningkatan taraf sosial, ekonomi, dan pendidikan, maka berkembang pula keinginan masyarakat terhadap suatu lembaga yang dapat memberikan suatu pelayanan yang berkualitas atau bermutu baik, serta mampu dijangkau oleh kemampuan sosial ekonominya adalah suatu gejala yang wajar. Adapun yang pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan kemudian hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat tersebut. Hal yang melatarbelakangi kebijakan pelayanan umum ini adalah atas keberhasilan negara maju, seperti Amerika Serikat yang merupakan prinsip pemerintah berorientasi kepada pelanggan, demikian pula dengan Inggris, Canada, Australia dan Selandia Baru. Selanjutnya alasan yang melatarbelakangi berikutnya adalah sudut pandang tentang subjek pernbangunan di Indonesia, di mana masyarakat di tempatkan sebagai pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang menunjang kegiatan masyarakat, yang menurut bahasa Reinventing Government, pemerintah sebgai pengendali (steering) dan
Pemberdayaan Masyarakat Dikalangan pemerintahan, kesadaran akan mutu pelayanan mulai berkembnag sejak tahun 1980 an. Kesadaran ini di picu oleh kenyataan bahwa kegiatan pelayanan bagi masyarakat ternyata [215]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
memerlukan biaya yang sangat besar, bahkan terasa semakin hari semakin membengkak, tetapi belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Baik masyarakat yang dilayani, maupun pemerintah sebagai penyelenggaraan pelayanan sama-sama kecewa, karena kesejahteraan umum tetap masih jauh dari harapan. Kekecewaan ini selanjutnya merangsang semua pihak untuk melakukan penilaian dan pengkajian secara menyeluruh terhadap sistem pelayanan masyarakat. Di mata masyarakat pelayanan oleh pemerintah dirasakan berbelit-belit, semena-mena, kaku, mahal, mengada-ada, lama, pilih kasih, kurang efisien, kurang demokratis, kurang terbuka dan tidak bertanggung jawab. Pengkajian dari pihak pemerintah awalnya menghasilkan pandangan yang masih bercirikan birokratik. Namun dengan semakin kuatnya paksaan dari masyarakat, pemerintah mulai mau belajar mendengarkan dan belajar memahmi aspirasi mereka. Saat ini, pemerintah sungguh menyadari bahwa tujuan akhir dari pelayanan adalah mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurusi semua persoalan mereka sendiri. Agar dapat tercapai tujuan ini, pemerintah melakukan berbagai tindakan yang perlu seperti meningkatkan debirokratisasi, kewirausahaan, transparasi, dan akuntabilitas.
juga tidak hanya memuaskan masyarakat, tetapi menyenangkan masyarakat dan memberikan inovasi kepada masyarakat. STANDAR PELAYANAN PUBLIK Setiap penyelenggaraan pelayanaan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi atau penerima pelayanan. Adapun standar pelayanan, sekurangkurangnya meliputi 1. Prosedur Pelayanan Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan. 2. Waktu Pelayanan Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. 3. Biaya Pelayanan Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan. 4. Produk Pelayanan Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 5. Sarana dan Prasarana Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggaraan pelayanan publik 6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.
Meningkatkan Mutu Pelayanan Secara sederhana definisi mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya. Dengan demikian, yang dikatakan mutu disini adalah kondisi yang dinamis yang bisa menghasilkan pelayanan yang : 1. Lebih baik , yaitu pelayanan yang lebih baik jika dibandingkan dengan pelayanan-pelayanan yang dilakukan sebelumnya dan lebih baik pula jika dibandingkan dengan pelayanan-pelayanan pihak lainnya menurut kacamata pelanggan. 2. Lebih murah, yaitu pelayanan yang lebih murah menurut pelanggan, baik ditinjau dari sisi persaingan maupun ditinjau dari proses yang lebih efisien sehingga menghasilkan pelayanan yang lebih terjangkau dilihat dari segi biaya dengan tetap mempertahankan keefektivitasannya. 3. Lebih cepat, yaitu pelayanan yang lebih cepat bagi pelanggan tanpa mengabaikan standar dan prosedur yang ada. Dengan demikian, pelayanan pemerintah kepada masyarakat dikatakan bermutu bila pelayanan yang diberikan memenuhi atau melebihi harapan masyarakat. Pengertian mutu dapat diartikan juga sebagai hasil kinerja untuk suatu proses pekerjaan yang sesuai standar sebagaimana diharapkan oleh masyarakat. Selanjutnya arti mutu
PERILAKU PELAYANAN PUBLIK Dalam pelayanan publik, yang bertindak sebagai pemberi pelayanan adalah birokrasi, dalam hal ini instansi pemerintah termasuk BUMN dan BUMD. Pengertian birokrasi itu sendiri adalah suatu tipe organisasi yang didalamnya terdapat suatu tata kerja yang telah ditentukan dalam suatu peraturan yang selalu dilaksanakan dengan sepenuhnya. Demikian pula dengan setiap tugas pokok dan fungsi yang tertuang pada setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas pokok dan fungsi adalah bagian dari tugas pokok dan fungsi dari eselon atasannya,dan seterusnya sampai pada eselon yang paling bawah. Berarti pula bahwa petugas membantu pelaksanaan tugas atasannya dalam hal ini membantu pelaksanaan tugas pejabat eselon IV. Kemudian berikutnya tugas pokok dan fungsi pejabat eselon IV adalah membantu pelaksanaan tugas dan fungsi pejabat
[216]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
eselon III dan seterusnya sampai pada eselon tertinggi. Selanjutnya strategi memuaskan masyarakat itulah, yang berada di garis depan menghadapi masyarakat adalah aparat atau minimal pejabat yang eselonnya paling bawah. Aparat yang bertugas paling depan itulah yang menentukan berhasil tidaknya pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada dorongan atau bantuan dari atasan langsung. Begitu pula atasan yang diatasnya lagi harus memberikan bantuan dalam rangka keberhasilan pelayanan, dan seterusnya sampai pada atasan yang paling atas yaitu eselon I. Bantuan dan dorongan tersebut diwujudkan dengan pelayanan dari atasan langsungnya. Perilaku pelayanan publik yang berorientasi kepada masyarakat adalah perilaku pelayanan dari eselon teratas atau pimpinan membina kepada bawahannya dan secara hierarki sampai pada eselon paling, bawah yang selanjutnya membina staf agar mampu melayani masyarakat atau aparat harus melayani masyarakat sebagai pelanggan, bukan aparat yang harus dilayani oleh masyarakat. Inilah komitmen birokrasi harus mengubah perilaku pelayanan sehingga berhasil mencapai tujuannya. Agar pelayanan kepada masyarakat dapat berhasil sesuai dengan tujuan organisasi yang berorientasi pada masyarakat maka harus didukung oleh : 1. Pirnpinan yang berorientasi kepada masyarakat. 2. Penyesuaian organisasi (restrukturisasi organisasi). 3. Peningkatan mutu sumber daya manusia. 4. Peningkatan kemampuan manjerial. 5. Peningkaatan mutu itu dalam proses.
1. Sikap dari semua orang yang bekerja secara positif membantu masyarakat. 2. Sasaran-sasaran yang jelas yang menjadikan masyarakat sebagai prioritas utama. 3. Sebuah tim yang kompak bersatu melayani masyarakat. 4. Anggota tim yang mampu menangani segala urusan dengan masyarakat secara tepat dan cepat. 5. Antisipasi dan perencanaan awal yang membuat masyarakat merasa adanya kesiapan untuk senantiasa membantu. 6. Prosedur yang memudahkan masyarakat, tidak berbelit-belit, tidak mernbuangbuang waktu dan tidak membuat frustasi. 7. Keluwesan dalam menghadapi perubahan, mengantisipasi perubahan kebutuhan masyarakat. Kepemimpinan yang cakap disini diartikan sebagai kepemimpinan suatu birokrasi untuk mengelola secara ketat dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya dan secara terus menerus melakukan perbaikan, dengan mengelola bahkan baik dari pegawai, masyarakat maupun pokok lainnya termasuk stakeholder. RESTUKTURISASI ORGANISASI Sering kali terjadi kegagalan dalam mutu pelayanan disebabkan organisasi atau birokrasi gagal mempersiapkan fondasi yang kuat , yaitu tidak mendapatkan cukup komitmen dari pimpinan organisasi atau birokrasi, waktu dan kecepatan implementasi yang tidak seimbang dengan motivasi mereka yang terlibat, dan tidak ada balikan (feedback) tentang dampak pengelola mutu terhadap hasil organisasi dalam jangka pendek. Oleh karena itu, sebagai tahap akhir adalah tahap integrasi yaitu harus mengadakan restrukturisasi dan mengubah sistem nilai yang lama, sehingga tahap ini dikatakan sebagai langkah yang paling berat karena tantangannya dalam usaha menghasilkan mutu pelayanan yang baik. Sering terjadi pada tahap integrasi ini gagal, karena : 1. Pemberdayaan (empowerment) tidak dilaksanakan dengan sempurna 2. Kurangnya integritas dan konsisten pemimpin. 3. Tidak sesuainya struktur organisasi dengan desain pekerjaan. Selanjutnya dengan struktur organisasi yang berorientasi kepada masyarakat adalah organisasi untuk membangun sebuah sistem yang dapat mencapai tujuan-tujuannya dengan cara yang sebaik-baiknya, dan untuk memastikan bahwa sistem ini dapat selalu beradaptasi terhadap : 1. Perubahan-perubahan dalam konsep target. 2. Inovasi teknik. 3. Perubahan-perubahan dalam lingkungan.
PEMIMPIN YANG BERORIENTASI KEPADA MASYARAKAT Menurut Steve Macaulay dan Sarah Cook ( 1993 ) dalam bukunya Customer Service, yang dimaksud dengan pemimpin yang berorientasi pada pelanggan / masyarakat adalah pemimpin yang dapat memberikan inspirasi dan tuntutan bagi kelompok, dan secara terns menerus menanamkan komitmen untuk memuaskan semua kebutuhan masyarakat/ pelanggan. Artinya seorang pemimpin yang berorientasi kepada pelanggan atau masyarakat harus dapat : 1. Mengarahkan misi organisasi demi kepentingan masyarakat/ pelanggan. 2. Mengambil inisiatif dan merealisasikannya. 3. Menjadi sumber motivasi dan panutan bagi yang lain. Kepemimpinan suatu birokrasi yang cakap tercermin dalam sikap atau perilaku sewaktu menghadapi bawahan atau staf, rekan sekerja atau dengan pelanggan / masyarakat, hal ini terlihat melalui : [217]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
4. kemajuan-kemajuan umum.
dalam
ISBN: 978-602-96848-2-7
pengetahuan
pengawas pun terlibat dalam kegiatan pelayanan kepada masyarakat yang memuaskan. 3. Kewenangan Konsekuensi dari perilaku seluruh staf atau pegawai hares berorientasi kepada pelanggan/masyarakat adalah perlunya diberikan wewenang yang cukup kepada pegawai sewaktu berhadapan dengan pelanggan atau masyarakat. Ini penting terutama ketika pelanggan/masyarakat membutuhkan keputusan yang cepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. 4. Pelatihan Penyelenggaran pelatihan dan pengembangan dalam upaya meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia merupakan keharusan dan terletak pada urutan utama paling atas pada daftar pertangung jawaban pimpinan, terutama di bidang pelayanan kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan kebutuhan untuk menjaga standar pelayanan yang telah ditetapkan. Pelatihan dan pengembangan merupakan sarana mutlak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan . Adapun pegawai yang dilatih tidak terbatas pada pegawai baru saja, tetapi pegawai lamapun perlu dilatih berkenaan dengan kemajuan teknologi sarana serta perubahan-perubahan aspek lainnya. Sasaran pelatihan dan pengembangan yaitu pegawai perlu mendapatkan tambahan pengetahuan, kecakapan dan perilaku atau sikap. Pengetahuan pegawai perlu dikembangkan dan disegarkan agar mereka menjelaskan produk dan jasa pelayanan. Pelatihan tentang kecakapan misalnya mengoperasikan komputer. Disamping itu juga diberikan pembelajaran tentang manajemen waktu. Bagaimanapun akhirnya, sikap merupakan kunci bagi terciptanya pelayanan prima. Hal ini tercermin dari sikap mau membantu, sikap yang menunjukan perhatiannya kepada masyarakat, dan sikap yang menunjukkan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah.
MENINGKATKAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA Upaya meningkatkan mutu Sumber daya manusia yaitu harus diselenggarakannya diklat, selain itu juga dibekali dengan kemampuan berkomunikasi, diberi wewenang dan diberi motivasi, sehingga tercapailah profesionalisme dibidang pelayanan kepada masyarakat. Adapun upaya untuk meningkatkan mutu Sumber daya manusia tersebut adalah : 1. Komunikasi efektif Sebagai pimpinan birokrasi, sebagai karyawan atau sebagai siapa saja dalam suatu organisasi, selalu berada dalam mata rantai komunikasi. Di dalam organisasi perlu secara terus menerus mengusahakan agar staf dan seluruh pegawai ( aparat ) tetap mengikuti perkembangan serta berada dalam jalurnya. Disamping itu juga pimpinan harus mendengar pendapat dan masukan dari staf mengenai berbagai perkembangan dan kemungkinan permasalahan yang timbul. Banyak pimpinan yang mengecewakan staf atau pegawai karena ketidakmampuan dalam berkomunikasi yang efektif. Begitu juga dengan masyarakat, karena jalinan kornunikasinya tidak efektif, sehingga hubungan dengan masyarakatpun menjadi lambat dan sia-sia. 2. Motivasi Motivasi merupakan dorongan untuk membangkitkan semangat kerja. Motivasi juga adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen, termasuk manajemen dalam rangka mendekati masyarakat. Seorang pimpinan harus dapat memotivasi staf atau pegawainya untuk mencapai tujuan organisasi yaitu pelayanan kepada masyarakat . Pimpinan yang pandai memberikan motivasi kepada stafnya adalah pimpinan yang : a. Menerapkan sikap yang lugas kepada stafnya. b. Menunjukkan perilaku yang ramah. c. Memperhatikan kehidupan staf atau pegawainya. d. Sering minta pendapat atau tanggapan dari bawahannya sebelum memutuskan kebijakannya. e. Cepat memberi respon terhadap kualitas pekerjaan staf atau pegawainya. Karena sifat kepemimpinan atasan sebagaimana dikemukan tersebut diatas maka staf atau pegawai akan terdorong untuk bekerja dengan sepenuh hati demi kepuasan masyarakat. Staf atau pegawai menaruh perhatian penuh dalam kegiatan menyenangkan masyarakat. Ini berarti, setiap orang yang ada didalam organisasi tersebut, apakah juru tulis, pegawai tingkat menengah atau top manajer, termasuk pegawai magang, bahkan sampai pejabat
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MANAJERIAL Sebagai pimpinan harus mampu memberikan inspirasi dan tuntunan pada pegawainya dan juga terus menerus menanamkan komitmen. Disamping itu juga seorang pimpinan harus kreatif dan proaktif dengan mengambil inisiatif sehingga pimpinan dapat menggerakkan pegawainya menuju tercapainya pelayanan yang prima. Selanjutnya diperlukan juga menguasai atau mampu mengelola (manajerial) tidak terbatas pada pimpinan tingkat tinggi (top management) melainkan manajer tingkat mana saja, walaupun derajatnya berbeda. Semakin tinggi lapisan kepernimpinannya semakin luas pengetahuan manajerialnya yang dibutuhkan, seperti bagaimana mendorong kinerja pegawai tanpa harus mengawasi mereka, memastikan adanya motivasi dan [218]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
komitmen, melakukan peninjauan pelaksanaan dan memberikan penghargaan, mengukur kinerja dan memberikan imbalan, dan strategi apa yang ditetapkan dalam rangka menangani perbedaan kinerja masing-masing.
Gelar master dari Program Pasca Sarjana Universitas Syekh Yusuf (UNIS), Tangerang.
SIMPULAN Produk atau jasa yang bermutu tidak mungkin dicapai tanpa proses yang bermutu. Tetapi upaya untuk meningkatkan mutu dalam proses harus disusun organisasi yang tepat. Organisasi yang tepat harus didukung oleh kepemimpinan yang, berorientasi pada pelanggan/ masyarakat dan memiliki komitmen yang kuat. Selanjutnya proses pelayanan yang ramah adalah yang dinilai sebagai proses yang, bermutu, yaitu yang dirasakan masyarakat masuk akal, katakatanya tidak membingungkan, dapat menimbulkan kesan bagi masyarakat bahwa pelayanannya sopan, ramah dan mau membantu kesulitan pelanggan atau masyarakat. Dengan demikian, pealayanan publik yang bermutu disini adalah kondisi yang dinamis yang bisa menghasilkan pelayanan yang lebih baik, lebih murah dan lebi hcepat serta senantiasa menjalankan 5S yaitu Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun sehingga pelayanan yang diberikan oleh pemerintah memenuhi atau melebihi harapan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Depdagri ., Modul Pelatihan Pelayanan Prima, 2003. Santoso, Kristanto., Total Quality Management, PQM Consultan, Jakarta, 1993. Sumarto, Sj Hetifah., Inovasi Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, 2004. Suryanto, Adi., Pelayanan Prima Bahan Ajar Diklat Prajab Golongan III, LAN RI, 2003 Soedarmono, Harjo, Soewarno., Dasar-dasar Quality Management, Yogyakarta, 1996. Widjaja, A.W., Administrasi Kepegawaian, Rajawali Pers, 1990. Sumber lain : Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 62 Tahun 2003 Tentang Pedoman umum Penyelenggraan Pelayanan Publik
Biodata Penulis Titi Stiawati, Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta. Juga menjabat sebagai Kepala Perpustakaan FISIP Untirta. Menyelesaikan S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Maulana Yusuf, Banten. Mendapat
[219]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
MENDORONG AKUNTABILITAS BIROKRASI PEJABAT PUBLIK MELALUI ETHICS LEADERSHIP Yeni Widyastuti Prodi Ilmu Administrasi negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten E Mail:
[email protected]
Abstrak Pemahaman tentang etika bagi pejabat publik adalah bahwa para pejabat publik akan bekerja dalam situasi dan kondisi yang serba transparan, akan dinilai oleh banyak pihak terutama masyarakat. Pejabat publik akan dinilai mulai dari kinerjanya, perbuatannya, ucapan-ucapannya, gerak-gerik, mimik dan bahasa tubuhnya, yang mencerminkan tumpuan masyarakat sebagai konsekuensi dari kepercayaan yang diberikan kepada mereka. Etika berperan besar dalam hal ini karena terkait dengan pemikiran sistematis tentang karakter, moralitas serta tindakan-tindakan yang benar. Pemimpin akan menjadi acuan dalam pelaksanaan nilai-nilai etik ini secara praktis, maka setiap perilaku yang dikerjakan seorang pemimpin haruslah berangkat dari niat etik yang ada dalam dirinya sebagai sebuah pertanggungjawaban moral dimana niat dan perbuatan ini harus selaras (koheren), bahwa mereka akan bertindak sesuai dengan apa yang mereka katakan. Sebagaimana Mike Nelson (dalam Said, 2007:330) yang menyatakan bahwa: “…The ethical intention of leaders and their real-time behaviors must be coherent; leaders must do as they say” Kata kunci: etika, pejabat public, moral lain melalui media dan mekanisme yang ada, kemudian ada sebuah proses yang disebut fit and proper test untuk lebih mendalami dan mengkaji track record (jejak rekam) yang bersangkutan. Pejabat publik akan dinilai mulai dari kinerjanya, perbuatannya, ucapan-ucapannya, gerak-gerik, mimik dan bahasa tubuhnya, yang mencerminkan tumpuan masyarakat sebagai konsekuensi dari kepercayaan yang diberikan kepada mereka. Alasan lain mengapa diperlukan pemahaman tentang etika bagi pejabat publik adalah bahwa para pejabat publik akan bekerja dalam situasi dan kondisi yang serba transparan, akan dinilai oleh banyak pihak terutama masyarakat. Etika berperan besar dalam hal ini karena terkait dengan pemikiran sistematis tentang karakter, moralitas serta tindakantindakan yang benar. Mekanisme check and balanced akan berjalan dengan menggunakan ukuran etika didalamnya. Etika adalah aturan-aturan yang bersifat ideal dan siap pakai bagi tindakan para pejabat publik dalam melaksanakan tugasnya seharihari. Seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat atau masyarakat setempat, diharapkan adalah sosok yang dianggap sebagai individu yang mampu memenuhi ekspektasi serta meningkatkan kualitas kepemerintahan dengan baik. Hal ini adalah sejalan dengan alasan atas penerapan otonomi daerah (Treisman, dalam Said, 2005:25) yaitu: a. Karena individu tersebut adalah sosok publik yang dianggap memiliki pengetahuan atas kondisi-kondisi lokal
PENDAHULUAN Perspektif filosofis dan moralitas memiliki peranan penting dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kepemerintahan yang baik. Kinerja para pejabat publik yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyelesaikan segala pekerjaan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan kadangkala dibebani dengan pekerjaan yang membutuhkan “keajaiban” (sebagaimana pandangan “public administration as a mickey mouse”) pekerjaan dengan rutinitas dan formalitas yang berlebihan, dalam rangka memenuhi ekspektasi masyarakat kepadanya. Moral dan etika merupakan operasionalisasi dari sikap dan pribadi seorang pejabat publik yang baik. Kinerja para pejabat publik yang beretika ini, akan tampak dalam pemikiran-pemikiran dan performanya dalam pelaksanaan tugas. Etika sebagai pemandu (guideline) akan memberikan arah untuk tindakan mana yang benar dan patut (proper) untuk dilakukan. Seleksi dan promosi pejabat publik akan didasarkan pada pertimbangan catatan moral yang dimilikinya. Catatan ini akan diperoleh dari sikap, perilaku dan laporan-laporan dari masyarakat tentang pribadi masing-masing. Penilaian dari masyarakat ini dicek dan dievaluasi seobyektif mungkin. Dalam rekruitmen pejabat publik masyarakat akan diberikan peluang untuk mengajukan beragam informasi tentang calon pejabat publik dimaksud, misalnya apakah ada keberatan ketika yang bersangkutan telah masuk dalam tahapan seleksi dibandingkan dengan calon [220]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
b.
Karena semakin mudah terciptanya kesesuaian antara kebijakan-kebijakan dengan selera dan kebutuhan-kebutuhan lokal c. Karena semakin meningkatnya akuntabilitas para pejabat daerah Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, diharapkan daya tanggap (responsiveness), yang merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik, antara kepala daerah dengan rakyat akan semakin baik. Masyarakat lokal dengan permasalahan lokalitas antara daerah yang satu dengan daerah yang lain pastilah berbeda. Pencegahan konflik serta perpecahan-perpecahan dalam masyarakat yang kompleks, pemberantasan korupsi dan berbagai persoalan lainnya, akan memerlukan pemecahan yang fleksibel dengan kondisi yang ada. Oleh karenanya respon kebijakan pemimpin lokal (kepala daerah) serta inovasi yang akan dilakukan dalam pengelolaan pemerintahan tentunya juga akan beragam. Etika kepemimpinan yang baik diharapkan dapat menjadi sebuah langkah yang logis untuk mengawali sebuah tata pemerintahan yang baik yang bersih dan bebas KKN. Kepemimpinan akan sangat berkaitan dengan karakteristik, kemampuan, gaya kepemimpinan, relasi, interaksi serta penilaian-penilaian praktis dari masyarakat. Pemimpin yang baik akan dinilai dari kemampuannya dalam menyelesaikan tugas, keeratan hubungan dengan pengikutnya (cohesiveness), moralitasnya, senantiasa belajar dan berusaha untuk memperbaiki dan mengembangkan diri (continual learning and development). Masyarakat akan menuntut akuntabilitas dari para pemimpinnya karena mereka mempunyai hak-hak publik yaitu hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be kept informed), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to). Dari latar belakang diatas maka semakin kita sadari bahwa etika sangat berperan dalam mewujudkan akuntabilitas birokrasi para perjabat publik untuk melaksanakan tugas mengelola kepemerintahan yang baik.
tidak saja disebabkan oleh semakin banyaknya aturan yang membatasi moral pejabat tetapi juga oleh semakin banyaknya tuntutan publik agar pejabat publik harus mengikuti nilai-nilai dasar yang mereka tuntut. Konflik-konflik etis yang dihadapi pejabat publik muncul dari dua ciri umum jabatan pemerintahan, yaitu sifat representasional artinya mereka memiliki hak dan kewajiban demi kepentingan warga negara yang diwakilinya, dengan kata lain mereka bertindak untuk kita. Kedua, adalah sifat organisasionalnya, dimana mereka bertindak bagi perwakilan dari mana mereka berasal (kelompok pendukung) artinya mereka akan bertindak dengan orang lain. Jadi dalam tugasnya, pejabat publik adalah melayani konstituen mereka serta di pihak lain harus melayani pula kepentingan publik (masyarakat). Sehingga untuk menilai tanggung jawab etis dari seorang pejabat publik mengalami kondisi yang ambigu. Di satu sisi para pejabat tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan yang dimiliki oleh semua warga negara, sehingga mereka akan dinilai oleh prinsip yang sama yang mengatur semua hubungan moral sementara di sisi lain, karena pejabat bertindak bersama-sama dengan banyak pejabat lain dalam sebuah organisasi maka publik akan mengalami kesulitan untuk meminta tanggung jawab moral tersebut. Hal ini terlihat dalam penanganan kasus korupsi misalnya, tidak semua pihak yang terkait dengan kejahatan tersebut mendapatkan hukuman yang setimpal. Etika dapat menjadi suatu faktor yang menyukseskan tetapi di sisi lain dapat memicu kegagalan tujuan kebijakan publik. Kualitas kebijakan akan berkorelasi dengan tingkat moralitas pembuat kebijakan. Begitupun untuk menjalankan sebuah manajemen publik yang baik membutuhkan keniscayaan moralitas atau etika dari para pihak yang terlibat dalam proses tersebut mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta hasil akhirnya. Dengan kata lain, tingkat moralitas atau etika para pejabat public akan mempengaruhi pencapaian hasil. Dalam konteks administrasi publik etika merupakan sebuah filsafat dan professional standards (kode etik) atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan public atau administrator publik (Denhardt, 1988 dalam Keban, 2008:168). Pada prakteknya para pejabat publik akan melakukan sebuah diskresi kewenangan dalam beragam wujud mulai dari pengelolaan sumber daya organisasi publiknya, bagaimana berhubungan dengan pemberian pelayanan bagi masyarakat serta dalam pembuatan kebijakan. Dengan keleluasaan kewenangan yang dimilikinya maka pejabat publik bertanggungjawab untuk mewujudkan akuntabilitasnya dengan baik dalam rangka menumbuhkan kepercayaan pada
PEMBAHASAN Kode etik merupakan komitmen moral dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai individu yang memiliki jiwa pengabdian kepada publik. Perhatian kepada kepentingan publik dan tugastugas publik cukup banyak dilandaskan pada prinsip-prinsip moral dibandingkan dengan perhatian pada hak individu atau kewajiban pribadi (Dean Acheson dalam Thompson, 2002:xviii). Publik akan melihat sejauhmana prinsip-prinsip moral untuk menentukan pandangan apa yang paling tepat bisa dianut oleh pejabat pemerintah. Dennis F.Thompson (dalam Keban, 2008:165) menyatakan bahwa skandal etika ini memang semakin meluas, [221]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
masyarakat, akuntabilitas ini harus senantiasa terpenuhi dan oleh karenanya membutuhkan check and balance dari masyarakat. Etika berperan penting dalam hal ini atas fungsinya yang berkaitan dengan moralitas, karakteristik serta tindakan apapun yang dilakukan para pejabat public, mempertanyakan benar atau salah. Kontribusi etika tidak sekedar untuk pengawasan namun juga menunjukkan pula bagaimana integritas dan menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pejabat publiknya sebagaimana dirangkum oleh OECD (dikutip dari Anwar, 2005:383): “As a derivation from ethos the ethos, in its implementation, the code of ethics may have some contributions. It is not just contribute to monitoring and policing behavior, but also promoting integrity and good conduct, seeking some consensus on what is good behavior, and giving public servants some guidance as to how they should act, make decisions and use discretion in their everyday work” Para pejabat publik akan senantiasa berhadapan dengan masyarakat yang datang dari beragam latar belakang, beragam tuntutan dimana para pejabat publik dituntut untuk memberikan pelayanan prima, yang adil dan tidak diskriminatif, yang memuaskan, transparan dan akuntabel. Hal ini mewajibkan para pejabat publik untuk senantiasa berpikir jernih, memiliki prinsip kehati-hatian, menjadi pendengar keluhan yang baik dan sebagainya, yang bisa jadi hal ini akan memunculkan perasaan stress dan marah. Maka kecerdasan emosional mereka diperlukan untuk dapat mengelola kondisi seperti ini. Selain itu, kompleksitas dalam organisasi publik adalah berbeda dari organisasi swasta. Menurut Denhardt (sebagaimana dikutip oleh Susanto, 2009:323) organisasi publik dan swasta dibedakan oleh 3 (tiga) hal yaitu ambiguity, pluralistic decision making and visibility. Ambiguity mengacu pada pengukuran kinerja dalam sector publik yang lebih sulit dioperasionalkan (ambiguous). Hal ini terjadi karena keragaman latar belakang masyarakat yang harus dilayani dengan tingkat kepuasannya masingmasing. Salah satu contoh untuk mengukur kinerja sektor publik ini yaitu melalui Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Plularistic decision making mengacu pada kuantitas kelompok-kelompok dalam setiap pengambilan keputusan dimana organisasi publik melibatkan lebih banyak kelompok kepentingan dengan latar belakang yang beragam. Jika kita kaitkan dengan salah satu teori dalam etika, seringkali kebijakan publik itu menjadi sebuah konsep utilitarianisme dimana sebanyak mungkin manfaat yang didapat maka hal tersebut akan dilakukan. Pejabat publik seringkali mengalami dilemma dalam hal ini karena di satu sisi dia harus membawa aspirasi kelompok pendukungnya (konstituen) tapi di sisi lain berhadapan dengan kelompok kepentingan yang berbeda. Visibility
mengacu pada kondisi dimana semua kegiatan dan kebijakan yang dibuat oleh organisasi publik selalu dimonitor oleh media massa dan masyarakat sehingga prinsip kehati-hatian menjadi prioritas. Masyarakat mempunyai harapan yang tinggi terhadap pejabat publik ini dan berfungsi sebagai alat control atas tindakan apapun yang dilakukan oleh para pejabat publik. Sosok pemimpin daerah yang cakap dan cerdas dalam mengorganisir dan mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki daerahnya menjadi sosok sentral untuk mencapai mensukseskan program pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Menjadi pemimpin itu meliputi bagaimana menggerakkan sumber daya manusia, bagaimana mengatur strategi terbaik dalam organisasi publiknya, maka kolaborasi antara kompetensi terbaik dalam pemahaman dan ketrampilan sosial, teknis dan organisatoris harus dipunyai. Pemimpin harus bisa membangun iklim etika birokrasi yang sehat, bersih dan produktif. Sebagaimana yang ditulis oleh Mike Nelson (dalam Said, 2007:330) bahwa: “It is the leadership that shapes cultural norms – the way things are done in your organization – and the leadership must not only participate in the development of the Code of Conduct and take a proper responsibility for managing implementation, but must then be seen to be modeling the values of your organization in practice. The ethical intention of leaders and their real-time behaviors must be coherent; leaders must do as they say” Pemimpin yang baik harus menjadi teladan bagi para pengikutnya. Dalam sebuah organisasi nilainilai etika yang ada tidak sekedar dibuat dalam konteks kewajiban organisasi untuk membuatnya, namun juga kewajiban untuk menjalankan implementasinya secara bertanggung jawab. Pemimpin organisasi akan menjadi acuan dalam pelaksanaan nilai-nilai etik ini secara praktis, maka setiap perilaku yang dikerjakan seorang pemimpin haruslah berangkat dari niat etik yang ada dalam dirinya sebagai sebuah pertanggungjawaban moral dimana niat dan perbuatan ini harus selaras (koheren), bahwa mereka akan bertindak sesuai dengan apa yang mereka katakan. PENUTUP Jelas sekali bahwa etika sangat diperlukan untuk mendorong terciptanya akuntabilitas birokrasi para pejabat publik. Etika sangat diperlukan untuk melakukan check and balanced atas kinerja para pejabat publik. Etika juga dapat digunakan untuk mengontrol perilaku pejabat publik dan bahkan mengarahkan organisasi pelayanan publik untuk mengutamakan nilai-nilai kepentingan publik diatas kepentingan lainnya.
[222]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Tirtayasa tahun 2008, Studi tentang Citizen Charter’s dalam Menciptakan Pelayanan Prima di Puskesmas Kota Serang tahun 2009 yang dilanjutkan dengan implementasinya melalui sosialisasi sebagai bentuk pengabdian masyarakat bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Serang tahun 2010.Pernah dikirim sebagai peserta untuk Program Dosen Magang Dikti tahun 2007 di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, mewakili MAP Unsoed dalam Forum Rembug Nasional (FRN) Mahasiswa Pascasarjana Seluruh Indonesia di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009. Sejak tahun 2009 menjadi anggota Satuan Pengawas Intern (SPI) Untirta dan dikirim sebagai peserta Joint Audit Dikti dengan BPKP tahun 2009 di Indramayu, Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA Damanhuri,DS. 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta:Gava Media Matondang, H & Bachrum Siregar. 2005. Materi Pokok Etika Birokrasi. Pusdiklat Pegawai Bandiklat Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia. Said, Mas’ud M. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbitan Univ.Muhammadiyah Malang (UMM). Malang Said, Mas’ud M. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis: Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi Indonesia. Malang: UMM Press Sinambela, LP.,dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Penerbit PT.Bumi Aksara. Jakarta Thompson, DF. 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Biodata Penulis Yeni Widyastuti menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untirta sejak 2004 untuk matakuliah Psikologi Sosial dan Etika Administrasi Negara. Alumnus FIA Universitas Brawijaya (1998) dan mendapatkan beasiswa BPPS Dikti untuk menempuh di Magister Administrasi Publik (MAP) Universitas Jenderal Soedirman (2010). Melakukan berbagai penelitian terutama terkait dengan fokus gender antara lain Studi tentang Anggaran Responsif Gender di Provinsi Banten (2006), Analisis Kasus Tindak Kekerasan Anak dari Perspektif Yuridis dan Fenomenologis (Studi Kasus di Kabupaten Serang) yang dibiayai DP2M Dikti tahun 2006, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Diskriminasi terhadap Tenaga Kerja Perempuan di Kabupaten Serang (2007). Selain itu kepeminatan lainnya adalah pemberdayaan masyarakat yang memperoleh dana Hibah Bersaing Dikti selama 2 tahun berturut-turut yaitu tentang Model Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin Melalui Program Bimbingan Usaha Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus di Kota Serang Propinsi Banten) untuk tahun 2009 dan 2010, penelitian Strategis Nasional yang berjudul Model Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin Melalui Pendekatan Kelompok (Studi Kasus di Kabupaten Serang Propinsi Banten) tahun 2009 dan beragam penelitian Dosen Muda maupun Kajian Wanita di lingkungan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa antara lain Netralitas PNS dalam Pilkada Kabupaten Serang (Studi Kasus di Sekretariat Daerah Kab.Serang) tahun 2005, Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Kesejahteraan Buruh (Studi Kasus di Kabupaten Serang) tahun 2007, Indeks Kepuasan Mahasiswa Universitas Sultan Ageng [223]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
TRANSPARANSI INFORMASI PUBLIK DAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH (PELAJARAN DARI KTP KABUPATEN LEBAK – BANTEN) Idi Dimyati Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten Email:
[email protected]
Abstrak Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 tahun 2008 mewajibkan kepada setiap badan publik untuk menyediakan, memberikan dan menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya. Untuk menjamin pelaksanaan keterbukaan informasi publik ini, maka dibentuklah Komisi Informasi Publik di tingkat pusat, provinsi dan jika dibutuhkan di tingkat kabupaten/kota. Uniknya, jauh sebelum UU keterbukaan informasi ini disahkan, pada tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Lebak telah melangkah maju dengan membentuk Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) Lebak. Komisi ini terbentuk berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Kabupaten Lebak. Secara umum, tugas dan kewenangan KTP Lebak dalam kaitannya dengan informasi publik sama dengan komisi informasi publik. Bahkan, KTP Lebak memiliki fungsi pengawasan yang tak dimiliki oleh komisi informasi publik. Tulisan ini berusaha mengungkap peranan KTP Lebak dalam mendorong transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak yang pada akhirnya berimplikasi bagi upaya percepatan pembangunan yang ada di Kabupaten Lebak. Selain itu, berbagai persoalan yang dihadapi KTP Lebak dalam upaya mendorong proses transparansi informasi Publik yang dikenal sebagai salah satu daerah kabupaten tertinggal di Indonesia. Kata kunci: Komisi transparansi dan partisipasi, transparansi informasi publik, dan badan publik. . tahun 2005. Jika dilihat dari tugas dan kewenangan PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN yang dimiliki sebagaimana tercantum dalam Perda Keterbukaan informasi merupakan wacana No. 6 Tahun 2004 yang menjadi landasan penting dalam dunia komunikasi dewasa ini. pembentukannya, komisi ini memiliki posisi sangat Bahkan, wacana keterbukaan ini dimensinya meluas penting dan strategis dalam kaitan mendorong ke hampir semua sektor kehidupan; seperti sosial, terwujudnya keterbukaan informasi publik di politik, ekonomi dan yang lain. Ia pun telah menjadi Kabupaten Lebak. isu sentral dalam pembahasan mengenai Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pembangunan tata pemerintahan yang baik (good sesungguhnya keberadaan KTP Lebak ini dalam governance) di mana transparansi atau keterbukaan proses mendorong terwujudnya keterbukaan informasi publik menjadi syarat bagi terwujudnya informasi publik di Kabupaten Lebak? Hal ini tentu tata pemerintahan yang baik. Artinya, pemerintahan saja menjadi bahan kajian yang menarik mengingat yang baik sudah seharusnya memberikan jaminan KTP Lebak merupakan bagian dari sistem sosial dan kepada masyarakatnya untuk bebas mendapatkan politik pemerintahan di Kabupaten Lebak. informasi publik yang sesungguhnya merupakan Independensi KTP Lebak dalam menjalankan tugas bagian dari hak asasi manusia. dan kewenanganya terkait dengan mewujudkan Dalam konteks ini, masyarakat dijamin dan transparansi informasi publik tentu akan mengalami bebas berkumpul menyampaikan ekspresi dalam banyak dinamika. Dalam kaitan inilah penelitian sebuah „ruang‟. Ruang itu bisa dijangkau oleh dan tentang keberadaan KTP Lebak ini dilakukan. bagi semua lapisan masyarakat tanpa mengusik kehidupan pribadi warganya. Hal demikian II. METODE diungkapkan oleh Jurgen Habermas (1962) sebagai publik sphare atau ruang publik yang intinya Metode yang digunakan dalam penelitian merujuk pada ruang nasional yang menyediakan ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah metode kebebasan dan arena keterbukaan atau juga forum riset yang menggunakan berbagai sumber data untuk debat publik (Mc.Quail, 2005: 181). (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan Upaya menjamin dan menciptakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan keterbukaan informasi publik itu di lakukan di secara komprehensif berbagai aspek individu, Kabupaten Lebak dengan dibentuknya Komisi kelompok, suatu program, organisasi, atau Transparansi dan Partisipasi (KTP) Lebak pada peristiwa secara sistematis (Kriyantono,2006:66). [224]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok, atau suatu kejadian, peneliti bertujuan memberikan uraian yang lengkap dan mendalam mengenai subyek yang diteliti. Studi kasus merupakan metode atau strategi penelitian dan sekaligus hasil suatu penelitian pada kasus tertentu, Studi kasus lebih dipahami sebagai pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan “kasus”: dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar (Salim,2006:118). Studi kasus dalam penelitian ini terfokus pada upaya menjawab pertanyaan bagaimana transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak dalam mendorong percepatan pembangunan di daerah? Dalam kontek menjawab pertanyaan di atas, pembahasan mengenai Keberadaan Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) Lebak dalam Proses Transparansi Informasi Publik di Kabupaten Lebak menjadi tak terhindarkan. Sebab, upaya membumikan transparansi informasi publik di Lebak ditandai dengan keberadaan komisi ini. Bahkan, KTP Lebak dianggap sebagai icon dari magnum opus gerakan masyaakat sipil di Kabupaten Lebak. Sesuai objek penelitian ini, yakni persoalan keberadaan komisi transparansi dan partisipasi (KTP) dalam proses transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak maka sasaran yang ditentukan dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait langsung dengan tranparansi informasi di Kabupaten Lebak, baik anggota KTP maupun stakeholder yang berkaitan langsung dengan keberadaan KTP Lebak. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yang umumnya digunakan dalam penelitian kualitatif, yakni observasi (partisipan), wawancara mendalam (In depth interview), dan studi dokumentasi (Sugiono, 2007:147). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menangkap dan memahami peristiwa kultur secara holistik, maka pengumpulan data dilakukan melalalui interaksi dengan subjek penelitian. Sementara itu, kegiatan analisis data akan dilakukan dalam tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Pengolahan data; memeriksa seluruh data yang masuk untuk dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian. Transkrip hasil wawancara, catatan lapangan, dan data dokumentasi akan dicek kembali kelengkapan dan teknik penyajiannya. 2) Analisis data; Menganalisis data yang telah diolah menjadi satuan-satuan data yang disajikan dalam bentuk pola, tema dan kecenderungan. Selain itu menyajikan pula kategorisasi, klasifikasi
serta tipologi yang sesuai dengan pemahaman peneliti, namun jika terdapat temuan yang berbeda dengan rencana sebelumnya, akan dilakukan perubahan-perubahan seperlunya. Pada tahap keabsahan data, peneliti melakukan pengecekan temuan penelitian yang disesuaikan dengan keberadaan KTP Lebak dalam proses mendorong terciptanya keterbukaan informasi publik di Kabupaten Lebak. Peneliti kemudian memeriksa seluruh data yang mendukung, menangkap atau menggambarkan temuan. Pada tahap ini peneliti bersikap konsisten terhadap data penelitian, memilih topik-topik penting dan menonjol, menganalisis dan membuat interpretasi data. Hasil interpretasi data kemudian dibuat dalam bentuk deskripsi, yang selanjutnya dinegosiasikan atau didiskusikan dengan subjek penelitian. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) Lebak sebagai satu institusi independen memiliki peran cukup penting dan sentral dalam mendorong transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak. Tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh KTP Lebak selama ini telah membuka ruang cukup luas dalam menciptkan iklim keterbukaan informasi publik. Seperti dituangkan dala Perda No 6 tahun 2004, KTP Lebak memiliki tugas sangat strategis, yakni melakukan; pengawasan, konsultasi publik, pengkajian, perumusan dan pengusulan aspirasi publik, serta evaluasi mekanisme informasi publik yang dilakukan badan publik. 1 Sementara, kewenangan yang dimiliki oleh KTP Lebak meliputi; meminta informasi dan dokumen dari badan publik tanpa pemberitahuan, mengundang dan atau menghadirkan berbagai pihak terkait yang berkenaan dengan tugas KTP Lebak, serta mengadakan atau penyusunan kebijakan di bidangnya.2 Meski demikian, dalam kenyataan sesungguhnya idealitas keberadaan Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) Lebak dalam mendorong proses transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak memang tak sesuai dengan realitas. Berbagai realitas sosial di mana KTP Lebak berada yang pada akhirnya membentuk dan mempengaruhi keberadaan KTP Lebak dalam konteks mendorong proses transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak. Realitas sosial di Kabupaten Lebak yang mengkontruksi keberadaan KTP Lebak dalam proses mendorong transparansi informasi publik itu adalah: 1. Soliditas internal KTP Lebak sendiri yang diisi oleh komisioner yang berasal dari lembaga dan kelompok sosial masyarakat yang berbeda, 1 2
[225]
Perda No 6 Tahun 2004 pasal 28. Perda No 6 tahun 2004 pasal 29.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
2.
3.
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang mempengaruhi kohesifitas dan soliditas KTP Lebak secara kelembagaan dalam menjalankan tugas dan kewenangnya mendorong transparansi informasi publik. Modal sosial yang dimiliki oleh masing-masing komisoner KTP Lebak yang beragam ini seharusnya memberikan andil besar dalam mempengaruhi keberadaan KTP Lebak dalam mendorong transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak. Basis sosial dan modal sosial yang dimiliki oleh anggota KTP Lebak saat ini tidak cukup kuat, usaha untuk mengkapitalisasi dukungan itupun belum cukup berhasil disebabkan berbagai kendala individual maupun institusional dalam tubuh KTP Lebak. Supporting system yang dimiliki oleh KTP Lebak saat ini, utamanya berupa dukungan anggaran dan tenaga sekretariat yang belum optimal. Anggaran minim dan tenaga sekretariat nyaris tak berfungsi. Oleh karenanya, secara praktis KTP Lebak sebagai sebuah organisasi strategis dalam konteks mendorong transparansi informasi publik di Lebak berjalan sangat minimalis dibandingkan dengan yang seharusnya bisa mereka lakukan. Sinergi dan harmonisasi hubungan dengan Pemerintah Daerah Lebak yang dipersonifikasikan oleh Kepala Daerah/Bupati Lebak yang berjalan kurang harmonis. Realitas ini diakibatkan oleh cara pandang yang berbeda dalam melihat keberadaan KTP Lebak di tengah struktur birokrasi pemerintah daerah Lebak. Satu sisi bupati Lebak cendrung menghendaki KTP Lebak lebih aktif untuk ikut serta menyosialiasikan program pembangunan Pemda Lebak layaknya Humas Pemda dengan meminimalisir fungsi pengawasan (kontrol), di sisi lain KTP Lebak berusaha menjaga jarak karena berusaha memposisikan diri sebagai lembaga independen yang merepresentasikan kepentingan masyarakat Lebak dalam kontks transparansi dan partsipasi warga. Basis sosial atau modal sosial yang dimiliki anggota KTP Lebak juga dinilai tidak cukup kuat dibandingkan kekuatan bupati Lebak saat ini yang secara umum dinilai cukup „hegemonik‟. Berdasarkan realitas sosial di atas, maka keberadaan KTP Lebak dalam mendorong transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Di bawah ini gambaran yang menunjukkan alur pengawasan yang bisa dilakukan oleh KTP Lebak dalam kapasitasnya mendorong proses keterbukaan informasi publik di Lebak. Tugas atau fungsi pengawasan ini bisa disebut strategis, lantaran tak dimiliki oleh lembaga komisi informasi publik yang dibentuk berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik No 14 tahun 2008. Meski demikian, tugas dan kewenangan yang luas dan besar yang dimiliki KTP Lebak seperti disebutkan di atas dalam prakteknya di lapangan tak seluruhnya bisa berjalan dengan baik. Ini diakui oleh ketua dan para anggota KTP Lebak sendiri. Tb. Munawar Azis, Ketua KTP Lebak periode ini (2009-2012) menyebutkan: “Persoalan utama yang dihadapi oleh KTP Lebak dalam menjalankan tugas dan wewenangnya adanya keterbatasan sumber daya, baik sumber daya anggaran maupun sumber daya manusia yang kita miliki. Secara administratif, KTP Lebak juga harus berhadapan dengan birokrasi di pemerintahan daerah. Hal itu cukup menghabiskan energi. Pun termasuk positioning kita dengan kepala daerah Lebak yang terus mengalami pasang surut.“ 3 Oleh karena itu bisa dimaknai bahwa, eksistensi KTP Lebak sangat banyak dipengaruhi situasi politik dan ekonomi yang melingkupinya. Meski KTP Lebak merupakan lembaga independen yang merepresentasikan publik Lebak, tapi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya itu mereka tak bisa melepaskan diri dari sikap dan good will yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah kabupaten Lebak. Utamanya dari sisi anggaran dan dukungan politik. Beberapa temuan dalam pengawasan yang dilakukan KTP pada akhirnya harus di‟petieskan‟ karena persoalan yang ditangani KTP Lebak tersebut setelah ditelusuri bermuara pada kepentingan kepala daerah dan keluarga besarnya. Udin Syahruldin, Sekretaris KTP Lebak menyatakan bahwa permintaan khusus dari pemerintah daerah Lebak terhadap persoalan yang 3
[226]
Hasil wawancara tanggal 24 November 2010.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
dimunculkan atau ditangani KTP Lebak memang terjadi dalam beberapa kasus. Ia jelaskan: “Walaupun tidak sampai mengancam. Misalnya, permintaan secara halus agar menghentikan polemik di media massa tentang suatu proyek pembangunan yang dianggap bermasalah. (Ada) Semacam permintaan untuk bersikap lunak terhadap 4 hal-hal yang tengah kita persoalankan.” Menyikapi hal demikian, ia katakan, KTP Lebak akan melihat konsekwensi politis yang kemungkinan muncul dari persoalan tersebut. Keputusan akhirnya, menurut Udin, lebih banyak diserahkan kepada ketua KTP Lebak untuk memposisikan lembaga KTP yang dipimpinnya. Dalam pandangan teori ekonomi politik informasi ada hubungan dialektis antara agensi yang dalam hal ini adalah publik yang direpresentasikan oleh Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) Lebak dengan pemerintah Kabupaten Lebak yang dipengaruhi oleh kepentingan „pasar‟ secara lebih luas. Kekuasaan politik pun ternyata pada akhirnya mempengaruhi proses komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi pemanfaatan informasi dan akses informasi publik di Kabupaten Lebak. Anang Hermawan5, menyebutkan keterikatan pada dimensi ekonomi dan politik menjadikan informasi menjadi ajang yang rentan dipengaruhi keduanya. Sebagai entitas yang dikonstruksi oleh KTP Lebak, apa yang disebut sebagai ‟informasi‟ kerapkali merepresentasikan kepentingan ekonomi sekaligus politik tertentu. Meski demikian dalam batasan tertentu, KTP lebak dinilai cukup berhasil membangun transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak. Setidaknya bila dibandingkan dengan realitas keterbukaan informasi publk di Kabupaten/Kota lain, terutama di Provinsi Banten. Hal ini dinyatakan oleh hampir semua informan yang diwawancarai dalam penelitian. Aisyah Ahyar, konsultan P2TD Lebak dengan sangat yakin mengatakan hal ini, “kalau untuk urusan transparansi informasi publik, Lebak termasuk leading dibandingkan kabupaten/kota yang lain. Ini bisa dilihat dalam evaluasi bulanan P2TPD yang dilakukan.”6 Bukti lain soal iklim keterbukaan yang demikian luas di Kabupaten Lebak sejak hadirnya KTP, menurut Aisyah Ahyar adalah, permintaan data publik apa pun bisa didapatkan. Catatannya data itu memang tersedia, karena persoalan yang masih menjadi kendala dan dinilai menghambat permintaan informasi dari publik adalah soal pengarsiapan yang belum baik di tingkat badan publik.
Penilaian hampir sama juga diberikan oleh Wakil Bupati Lebak, Amir Hamzah. Ia katakan: “Soal di mana posisi transparansi Lebak, kalau saya diminta memberi nilai, mungkin nilainya antara 7,5-8. Ya, ini jika dibandingkan dengan daerah lain. (Ketika ia diminta menilai kinerja KTP dalam mendorong transparansi informasi publik, Amir menjawab:) Saya rasa sudah menjalankan tugas dengan baik, sudah sesuai dengan Perdalah. Akan tetapi mereka kadang direpotkan oleh masalah-masalah yang di luar tugas dan fungsinya, seharusnya mereke tidak seperti itu. Mungkin pemahaman masyarakat juga yang menyebabkan demikian.” 7 Iklim keterbukaan yang sekarang hadir di Lebak memang tak lepas dari peran KTP Lebak dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Mereka berusaha terus melakukan pengawalan dan pengawasan transparansi informasi publik ini melalui berbagai program kerja dan kegiatan yang dilakukan. Udin Syahruldin, Sekretaris KTP Lebak menjelaskan bahwa salah satu tujuan yang menjadi prioritas program kerja KTP Lebak setiap tahun adalah: “Membuka kesadaran seluruh badan publik akan keharusan mereka terbuka terhadap informasi, juga masyarakat. Sayang sampai hari ini masih ada saja kesalahan pemahaman tentang tugas dan fungsi KTP. Banyak badan publik dan masyarakat yang menganggap kita sebagai penyedia data dan informasi. Parahnya, kita sering dianggap sebagai institusi penegak hukum yang menjadi penyelesai kasus-kasus penyelewengan aparat atau konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Misalnya ada kasus perceraian yang dilaporkan oleh istri lantaran suaminya PNS masuk ke KTP, termasuk soal kandang ayam yang mengganggu warga.”8 Oleh sebab itu, bila melihat peran dan upaya KTP yang telah mereka jalankan sejak berdiri tahun 2005, menjadi jelas bahwa mereka merupakan institusi yang berusaha mengembangkan public sphere di Kabupaten Lebak untuk tujuan keterbukaan informasi publik dan partisipasi publik. Di bawah Gambaran peran KTP Lebak dalam proses mendorong transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak.
4
Hasil wawancara tanggal 28 Oktober 2010. Jurnal Komunikasi UII Volume 1 Nomor 1, Oktob 2006. 6 Hasil Wawancara tanggal 24 November 2010. 5
7 8
[227]
Hasil wawancara tanggal 16 Desember 2010. Hasil wawancara tanggal 28 Oktober 2010.
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
tertentu masih ada kelemahan-kelemahan yang juga bisa kita jumpai. Betapa tidak, KTP Lebak melalui berbagai program kerjanya concern menciptakan masyarakat cerdas informasi. Tujuannya agar informasi publik yang telah terbuka betul-betul bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Berdasarkan gambaran di atas kita bisa lihat secara lebih jelas bahwa KTP Lebak berperan ikut serta mendorong demokratisasi komunikasi melalui seluruh tugas dan kewewenangan yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk aksi nyata dalam program kerja KTP Lebak. Berbicara kedudukan atau positioning KTP Lebak dalam kaitannya mendorong proses transparansi informasi publik di antara masyarakat (publik) dan pemerintah daerah kabupaten Lebak (badan publik) cukup penting. KTP Lebak bisa berada dalam posisi di tengah-tengah, yakni sebagai mediator atau fasilitator agar masyarakat bisa mendapatkan haknya untuk bisa mengakses informasi publik. Dalam „sengketa‟ informasi antara masyarakat dengan badan publik pun, KTP Lebak bisa menjadi lembaga yang memiliki otoritas untuk menjamin dibukanya informasi. Artinya, dalam konteks yang tak jauh berbeda, KTP Lebak bisa menjalankan fungsi mediasi sebagaimana dimiliki oleh media massa, untuk memediasi (penengah atau penghubung) antara realitas sosial obyektif dan kebutuhan pribadi masyarakat akan informasi tentang hal tersebut (Mc. Quail, 1987:52). Di bawah ini gambaran posisi KTP Lebak diantara badan publik dan pemohon informasi publik di Kabupaten Lebak.
Bila melihat tugas dan kewenangan atau bisa kita sebut sebagai fungsi KTP Lebak di atas, kita bisa simpulkan bahwa KTP Lebak merupakan entitas yang keberadaanya cukup penting dalam menciptakan demokratiasi komunikasi. Hal ini karena demokratisasi komunikasi menuntut dan menjamin adanya kebebasan setiap warga untuk menyampaikan pendapat dan ekspresinya secara setara. Hal ini termasuk di dalamnya jaminan penggunaan hak untuk mengakses informasi publik, menyampaikannya, serta mengelolanya. Di sinilah KTP Lebak sebagai institusi sosial memiliki peran fasilitator dan mediator dalam „transaksi‟ informasi publik antara warga masyarakat dengan badan publik yang sesungguhnya memiliki kewajiban untuk memberikan transparansi itu. Keberadaan KTP di Kabupaten Lebak diakui atau tidak telah menjadi satu elemen yang mendukung demokratisasi komunikasi. Empat asumsi demokratisasi yang diungkapkan Sphichal sebagaimana kutip oleh Antar Venus (2001: 100), bahwa demokratisasi komunikasi dalam berbagai konteksnya selalu didasarkan pada; warga negara bersifat “well informed“.tumbuhnya kesadaran politik warga negara, adanya kesetaraan hak untuk berbicara dan berpartisipasi dalam berbagai pembuatan keputusan dan adanya keterbukaan ruang publik (public sphere). Keempat asumsi demokratisasi ini dalam konteks Lebak berhasil diciptakan oleh KTP Lebak, meski dalam tataran [228]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
3.
IV. SIMPULAN DAN SARAN 3.1.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah disampaikan dalam bab sebelumnya, ada beberapa simpulan yang didapatkan dari penelitian ini. Simpulan-simpulan itu adalah sebagai berikut: 1. Komisi transparansi dan partsipasi (KTP) Lebak yang terbentuk pada 25 Juli 2005 berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak bisa disebut sebagai magnum opus gerakan masyarakat sipil di Kabupten Lebak. KTP Lebak merupakan komisi transparansi yang pertama kali dibentuk di Indonesia. KTP Lebak dianggap sebagai rule model bagi komisi transparansi sejenis yang kemudian banyak berdiri di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, ia menjadi rujukan ketika UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14 tahun 2008 dibahas oleh DPR dan pemerintah. Salah satu fakta bahwa eksistensi KTP Lebak diakui secara nasional adalah banyaknya daerah lain yang datang ke Lebak untuk studi banding mengenai pembentukan dan optimalisasi peran KTP di wilayahnya masing-masing. 2. Di dalam tata pemerintahan daerah di Kabupaten Lebak, Komisi Transparansi dan Partisipasi Lebak merupakan lembaga yang posisinya independen. Artinya, jelas bahwa KTP Lebak bukanlah institusi vertikal di bawah kepala daerah Lebak seperti halnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Lebak. Sehingga pertanggungjawaban kerja KTP Lebak sesungguhnya adalah kepada publik di Lebak karena mereka dipilih atas nama atau mewakili publik untuk mendorong, memediasi, dan mengawasi pelaksanaan transparansi informasi publik dan partisipasi publik di Kabupaten Lebak. Kedudukan KTP Lebak yang independen
4.
[229]
ini dalam prakteknya memang tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan aturan. Komisi Transparansi dan Partisipasi (KTP) Lebak memiliki peran cukup besar dalam mendorong proses transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak. Di Kabupaten Lebak masyarakat bisa mendapatkan informasi publik apapun kepada seluruh badan publik. Secara sederhana, tak ada informasi publik yang tidak bisa kita dapatkan di Lebak. Setidaknya, ketika masyarakat menemui hambatan dalam mengakses informasi publik yang mereka perlukan, mereka bisa segera mengadukannya ke KTP Lebak yang kemudian akan memediasi pihak pemohon informasi untuk mendapatkan informasi yang diminta kepada badan publik. Berdasarkan pengalaman selama KTP Lebak berdiri, ketika mediasi dilakukan seluruh badan publik pada akhirnya mau memberikan informasi publik yang diberikan. Meski demikian, diakui masih ada wilayah tabu yang selama ini masih sulit ditembus oleh KTP Lebak agar terbuka. Wilayah tabu ini menyangkut halhal yang terkait langsung dengan kepentingan elite politik dan lingkar pusat kekuasaan di Kabupaten Lebak. Bagaimanapun tekanan kekuasaan politik menjadi satu hal yang tak bisa dihindari oleh KTP Lebak dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya selama ini. Banyak tantangan dan hambatan yang dialami oleh KTP Lebak dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mendorong proses transparansi informasi publik di Kabupaten Lebak. Hambatan dan atau tantangan itu muncul baik dari internal lembaga maupun eksternal lembaga. Secara umum, ada 4 tantangan dan hambatan yang dialami oleh KTP Lebak selama ini. Pertama, pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap tugas dan wewenang KTP Lebak yang masih rendah. Kedua, dukungan pemerintah daerah Lebak saat ini yang dianggap makin berkurang. Dukungan itu terutama dalam hal anggaran, dan fasilitasi sekertariat beserta SDM pendukungnya. Ketiga, sinergi hubungan yang saat ini dinilai kurang terjalin dengan baik antara KTP dengan kepala daerah Lebak. Bergaining position KTP Lebak saat ini pun dinilai lebih rendah di hadapan bupati Mulyadi Jayabaya. Keempat, soliditas dan konsolidasi internal dalam tubuh KTP Lebak saat ini juga dinilai bermasalah. Latar belakang komisioner yang berbeda-beda, baik dari sisi
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
organisasi, pengalaman, maupun pendidikan dinilai tak cukup mampu disinergikan menjadi satu kekuatan besar. Bahkan, mereka terkesan berjalan masingmasing.
Kladen, Marianus dan Mohamad Hamid (penerjemah). 2008. Tranparency & Silence: Sebuah survei UU akses informasi dan Prakteknya di 14 Negara. Jakarta: PDA TEMPO dan Yayasan Tifa. Koentjaranigrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Luwarso, Lukas (red). 2002. Media: Pilar IV Demokrasi. Jakarta: Kerjasama SEAPA, FES dan Dewan Pers. Littlejohn, W Stephen & Foss A Karen. 2009. Teori Komunikasi, Theories of Human Communication. Terjemahan Mohamad Yusuf Hamdan. Jakarta: Penerbit Salemba. Edisi 9. Moleong, Lexy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London: Sage. Mulyana, Deddy. 2003. Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Populer Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Terjemahan Agus Dharma dan Aminuddin Ram. Jakarta: Penerbit Erlangga. McQuail, Denis & Sven Windahl. 1993. Communication Models for the Study of Mass Communication. London: Longman. Nugroho D, Riant. 2003. Reinventing Pembangunan. Jakarta: Elex Media Komputindo. Nurudin. 2004. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Ritzer, Geore. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Rajawali Press. Samsuri. 2004. Media dan Transparansi. Jakarta: SEAPA Jakarta-Friederich Ebert Stiftung. Sihabudin, Ahmad. 1996. Media Massa dalam paradigma Fakta Sosial. Jurnal Kampus Tercinta. No.1 Tahun 1. Venus, Antar. 2001. Demokratisasi Media Massa: Sebuah Trend Kebijakan Komunikasi Global. Jurnal ISKI Vol. VI: 98-111. Vredenbregt, J. 1984. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia. Yin, K Robert. 2008. Studi Kasus, Desain dan Metode. Terjemahan M Djauzi Mudzakir. Jakarta: Rajawali Pers. Tesis dan Disertasi:
DAFTAR PUSTAKA Adimiharja, Kusnaka. 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial dalam Pembangunan. Bandung: Tarsito. Agustino, Leo. 2006. Politik dan Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung dan Puslit KP2W Lemlit Unpad. Basrowi & Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitaif Persepektif Mikro. Surabaya: Insan Cendikia. Berger, Peter and Thomas Luckmann.1967. The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Anchor Books. Bungin, M Burhan. 2008. Kontruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Prenada Media Group. Creswell, John W. 2002. Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches. Terjemahan. Jakarta: KIK Press. Croteau, D. and Hoynes, W. 2003. Media Society: Industries, Images and Audiences. USA: Pine Forge Press, Thousand Oaks. Darmawan, Cecep. 2009. Memahami Demokrasi, Perpektif Teoritis dan Empiris. Bandung: Pustaka Aulia Press. Eriyanto. 2002. Analisis Framing Kontruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS. Eriyanto. 2008. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Faisol, Ahmad dkk. 2008. Modul Workshop Keterbukaan Informasi Publik untuk Jurnalis. Jakarta: Yayasan Tifa dan ISAI. Fisher, B Aubrey. 1986. Teori-teori Komunikasi. Penerjemah Soejono Trimo Bandung: Remadja Karya. Fiske, John. 1990. Introductions to Communication Studies, London: Routledge. Hadiyyin, Ikhwan. 2008. Paradigma Keterbukaan Informasi dan Optimalisasi Pelayanan Publik: Kajian Tentang Peran KTP di Kabupaten Lebak. Jurnal Dedikasi Vol.1 No.1. Heryanto, Ignatius. 1999. Beberapa Aspek Hubungan Pers dan Pemerintah. Jurnal Sejarah, Edisi 7. Stiglitz, Joseph. 2006. Transparansi dalam Pemerintahan.Dalam Bujono, Bambang & Dian R Basuki (Editor). Terjemahan M Hamid. Hak Memberitakan, Peran Pers dalam Pembangunan Ekonom, hlm. 33-56. Jakarta: PDA TEMPO & World Bank.
[230]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Atie Rahmiatie. 2005. Keberadaan Radio Komunitas dalam Eskalasi Demokratisasi Komunikasi. Disertasi pada Pascasarjana Unpad Bandung. Nasucha, Muchammad. 2005. Akses informasi Politik Publik Indonesia: Perpektif Partai Keadilan Sejahtera. Tesis pada Pascasarjana UI Jakarta. Sutadi, Heru. 2003. Konstruksi Sosial Kebijakan Penegmbangan Layanan Pemerintahan Secara Elektronik (E-government) untuk Akses Informasi Publik. Tesis pada Pascasarjana UI Jakarta. Iqbal, Muhammad. 2004. Modal Sosial Demokratisasi Informasi (Analisis Kritis Ekonomi Politik Kebebasan Memperoleh Informasi Publik). Tesis pada Pascasarjana UI Jakarta. Yunita, Rahmi. 2008. Implementasi Peraturan Daerah tentang Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten Lebak. Tesis pada Universitas Terbuka Jakarta. Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Keempat. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak Biodata Penulis Idi Dimyati adalah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta. Meraih gelar Master dari Program Pasca Sarjana Magister Komunikasi UNPAD. Saat ini menjabat sebagai Pembantu Dekan III FISIP Untirta
[231]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
BEST PRACTICE EFISIENSI PEMBANGUNAN BIDANG KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Suripto Peneliti Muda Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10 Jakarta Pusat, Telp. 021-3848217 email :
[email protected] atau
[email protected]
Abstrak Indek Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi KalimantanTimur (Kaltim)tahun 2008 menempati peringkat lima nasional. Faktor yang menjadi kunci utama dalam pencapaian tersebut adalah bidang kesehatan, selain faktor pendidikan dan pendapatan perkapita.Kalimantan Timur Dalam Angka 2009 menunjukan bahwa profil kesehatan tahun 2008telah memiliki 208 unit puskesmas, 739 unit puskesmas pembantu, 511 dokter, 48 rumah sakit dan8.083 unit tempat tidur.Dengan sumber daya tersebut, Bagaimana efisiensi pembangunan kesehatan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Kaltim ?Apakah sumber daya tersebut sudah merata secara proposional?Dengan pendekatan evaluasi, paper ini membahas tingkat efisiensi relative pembangunan kesehatan dengan menggunakan alat analisis Data Envelopment Analysis (DEA). Dalam menganalisis digunakan 15 variabel input, 7 varibel output dan 11 variasi analisis. Pembahasan dikelompokan menjadi 4 bagian besar. Pertama, analisis komprehensip dengan menggunakan seluruh varibel input dan output. Kedua analisis efisiensi sarana kesehatan. Ketiga, analisis efisiensi tenaga kesehatan. Keempat, analisis efisiensi keluarga berencana. Dalam pembahasan menyajikan tingkat efisiensi, proyeksi peningkatan atau penurunan nilai variabel serta rujukan yang paling sesuai dalam peningkatan efisiensi. Kata Kunci : Efsiensi, Kesehatan, Rumah Sakit, Kalimantan Timur, Best Practices A. PENDAHULUAN 1.1 Indeks Pembangunan Manusia Lima Besar Nasional Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu pintu gerbang di wilayah timur Indoensia.Dimana Kaltim berbatasan darat dengan Negara Malaysia khususnya Negara bagian Sabah dan Serawak.Luas wilayah daratan 198.441,17Km². Wilayah tersebut dibagi menjadi 10 (sepuluh) kabupaten dan 4 (empat) kota. Kesepuluh kabupaten tersebut meliputi Pasir (Pr), Kutai Barat (KB), Kutai Kartanegara (KK), Kutai Timur (KT), Berau (Br), Malinau (Mln), Bulungan (Blg), Nunukan (Nn), Penajam Paser Utara (PPU), Tana Tidung (TT). Sedangkan Kota meliputi Balik Papan (BP), Samarinda (Smd), Tarakan (Tn) dan Bontang (Btg).
Grafik 1 menunjukan bahwa Provinsi Kaltim selalu pada peringat ke-5 dalam IPM. Namun demikian ada hal yang sangat menarik dalam IPM di Kaltim, dimana peningkatan cukup besar dibandingkan dengan 4 Provinsi besar lainnya (lihat Tabel 1)
Bumi Borneo berlimpah dengan kekayaan, baik didalam maupun di atas bumi. Di dalam bumi seperti batubara atau “emas hitam”. Pada tahun 2008 produksi “emas hitam” telah mencapai 118.853.758 ton. Di atas seperti perkebunan kepala sawit. Produksi kelapa sawit pada tahun 2008 telah mencapai 409.564 ton /311.393 ha. Kekayaan bumi borneo telah memberikan tingkat kesejahteraan yang lebih baik pada penduduknya. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang semakin meningkat. Peningkatan tersebut dapat dilihat seperti Grafik 1 :IPM Provinsi 5 Besar Terbaik.
Pencapaian tersebut tentunya tidak terlepas dari capaian IPM kabupaten dan kota di provinsi Kaltim yang rata-rata diatas nilai IPM nasional yakni 71.17. Kondisi tersebut menunjukan pemerataan pembangunan IPM di Provinsi Kaltim. Hal menarik [232]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
lainnya adalah pertumbuhan penduduk secara prosentase mengalami penurunan mulai tahun 2004 – 2008. Pada periode ’04-’05 sebesar 4.97 persen, ’05-’06 sebesar 2.37 persen, ’06-’07 sebesar 2.34 persen dan ’07-’08 sebesar 2.31 persen. Kondisi tersebut juga menjadi salah satu inkator keberhasilan dalam pembangunan kesehatan khususnya program keluarga berencana. Berdasarkan prestasi Provinsi Kaltim tersebut, tentunya sangat menarik untuk mengetahui secara lebih detail tentang penyelenggaraan IPM Kaltim. Untuk membahas IPM tentunya tidak terlepas dari tiga aspek yakni Kesehatan, Pendidikan dan pendapatan perkapita. Mengingat luasnya cakupan IPM tersebut, paper ini menfokuskan pada pembangunan kesehatan di Provinsi Kaltim. Dengan prestasi tersebut, apakah pembangunan kesehatan di Provinsi Kaltim telah efisien ?Kenapa yang menjadi fokus efisiensinya bukan efektifitas ? Dengan prestasi yang telah dicapai dalam IPM maka “efektifitas pembangunan kesehatan” telah tercapai. Sehingga menjadi sangat penting untuk melihat efisiensi dari penggunaan sumber daya yang digunakan untuk mencapai prestasi tersebut. 1.2 Trobosan Kaltim Bidang Kesehatan Gubernur Provinsi Kaltim memiliki komitmen memberikan pelayanan kesehatan yang adil dan merata kepada masyarakat1.Hal tersebut diwujudkan dengan visi dan misi kesehatan Provinsi Kaltim2. Visi “Kesehatan Untuk Semua Dalam Rangka Terwujudnya Derajat Kesehatan Masyarakat KalimantanTimur Terbaik Di Luar Jawa Bali”.Untuk mencapai visi tersebut dijabarkan kedalam empat misi yang meliputi : Memfasilitasi pemeliharaan dan peningkatan upaya kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan berkeadilan, Mendorong dan menggerakkan pemberdayaan masyarakat untuk hidup sehat dan membangun kemitraan dengan lintas sektor. Mengembangkan sumber daya kesehatan yang memadai dan berkesinambungan. Memantapkan manajemen kesehatan yang dinamis dan akuntabel. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut,Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Kaltim membuat trobosan antara lain Peraturan 1
H Awang Faroek Ishak pada peresmian sejumlah peralatan dan gedung di lingkungan Rumah Sakit Umum A Wahab Sjachranie (AWS), Rumah Sakit Atma Husada Mahakam serta Badan Kesehatan Mata dan Olahraga Masyarakat (BKMOM) sumber Kaltim akan alokasikan dana kesehatan 10 persen http://www.kaltimprov.go.id/kaltim.php?page=detailberita&id =2131 diunduh tanggal 21 April 2011 2 Visi dan misi Kesehatan Provinsi Kaltim diunduh dari http://kesehatan.kaltimprov.go.id/visi-misi-dinkes tanggal 21 April 2011
ISBN: 978-602-97365-X-X
Daerah (perda) yang mengatur tentang strategi pelayanan kesehatan dan menargetkan anggaran 10 persen untuk pelayanan bidang kesehatan.Penetapan visi, misi dan strategi didasarkan atas kesadaran bahwa pembangunan kesehatan merupakan investasi utama dalam mendukung percepatan pembangunan Provinsi Kaltim. Visi dan misi Provinsi bidang kesehatan juga didukung oleh Bupati dan Walikota di Kaltim. Kabupaten dan kota tersebut antara lain Smrd, Btg, Tn, BP, Pr, PPU dan lain sebagainya. Dukungan tersebut antara lain dengan menerapkan program pelayanan kesehatan gratis pada wilayah masingmasing. Selain itu juga, untuk menjamin terlaksananya program tersebut diawasi juga oleh Rumah Sakit Umum Daerah. B. DATA DAN METODOLOGI Study ini didasarkan atas data dalam Kalimantan Timur Dalam Angka 2009 bidang Kesehatan. Data tersebut meliputi Jumlah Dokter Umum, Dokter Gigi, Dokter Spesialis, Rumah Sakit, Tenaga Medis, Tenaga Pewarat, Tenaga Non Perawat, Tenaga Non Medis, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Dokter Puskesmas, Apotek, Klinik KB, PKBRS, Penduduk, Demam Berdarah, Diare, Pasangan Usia Subur, Pemakai Aktif Kontrasepsi, Pemakai Kontrasepsi Baru dan Persalinan.
Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Provinsi Kaltim tahun 2008 sebanyak 3.094.700 jiwa dengan penyebaran seperti pada Grafik 2.Jumlah penduduk sebanyak 53.83 persen tersebar di kabupaten yang memiliki luas wilayah 98.87 persen. Sedangkan 46.17 persen penduduk tersebar di kota dengan luas wilayah 1.13 persen. Kondisi tersebut menunjukan bahwa penyebaran penduduk di Kaltim tidak merata.Kepadatan penduduk di kabupaten berkisar 1 – 39 jiwa / Km², sedangkan daerah perkotaan berkisar 732 – 904 jiwa/ Km².
[233]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
apotik dan tempat tidur rawat lebih banyak di daerah kota yakni antara 44.9 – 74.9 persen. Sedangkan untuk sarana puskesmas, klinik KB dan PKBRS penyebarannya relative merata. Sedangkan untuk puskesmas pembantu penyebaranya lebih banyak di daerah kabupaten. Penyebaran sarana dan prasarana tersebut jika dibandingkan dengan penyebaran penduduk maka akan memberikan pelayanan kesehatan yang relative merata. Keluarga Berencana Pada faktor Keluarga Berencana data yang digunakan meliputi Pasangan Usia Subur, Pengguna Alat Kontrasepsi Aktif, Pengguna Alat Kontrasepsi Baru dan Jumlah persalinan. Penyebaran data keluarga berencana seperti pada Grafik 4. Data tersebut selaras dengan jumlah penduduk pada setiap kabupaten / kota. Artinya Data Keluarga berencana daerah perkotaan yang berkisar antara 47 -49 persen dan jumlah penduduk di daerah perkotaan sebesar 46 persen. Metodologi Dengan menggunakan pendekatan evaluasi, study ini mengukur tingkat efisiensi relative pembangunan kesehatan Provinsi Kaltim. Dalam mengevaluasi tingkat efisiensi relatif digunakan alat bantu analisis Data Envelopment Analysis (DEA). DEA pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (CCR) (1978)3. DEA merupakan alat yang dirancang dan dibangun untuk mengukur tingkat efisiensi relatif Decision Making Unit (DMU) dengan membandingkan antara input dan output. DEA memiliki banyak keuntungan antara lain dapat mengukur banyak variabel input dan output yang memilki satuan pengukuran berbeda. Study ini menggunakan SoftwareDEA dengan model DEA-Solver LV3.0/ CCR(CCRO)/(CCR-I). Tenaga Kesehatan Penyebaran tenaga kesehatan di Provinsi Kaltim lebih banyak tersebar di daerah perkotaan yang meliputi dokter umum 44.1 persen, Dokter gigi 52.4 persen, Dokter spesialis 77.7 persen, dokter puskesmas 47 persen, Medis, 73 persen, perawat 73.6 persen, non perawat 56.9 persen dan non medis 70.7 persen.Sedangkan lainnya tersebar di sembilan kabupaten dan 18 – 38 persen berada di Kabupatn KK. Data penyebaran tenaga kesehatan seperti pada Grafik 3. 1.3 Sarana dan Prasarana Kesehatan Sarana dan prasarana yang digunakan meliputi rumah sakit, tempat tidur rawat, puskesmas, puskesmas pembantu, apotek, klinik KB dan PKBRS.Penyebaran Sarana dan Prasarana di Provinsi Kalimantan Timur seperti pada Tabel 2. Penyebaran sarana kesehatan seperti rumah sakit,
Selanjutnya, Variabel input dalam study inimeliputi varibal-variabel yang sumber daya yang digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya Variabel output meliputi varibel-variabel palayanan kesehatan dan KB kepada masyarakat. Varibel yang digunakan dalam study ini meliputi 15 variabel input, 7 varibel output yang analisis dengan 11 variasi model analisis.Variasi yang dimaksudkan adalah penglolahan dengan menggunakan beberapa variabel yang berbeda-beda antara satu model dengan model lainnya. Variabel input meliputi Dokter Umum (A), Dokter Gigi (B), Dokter Spealis (C), Rumah Sakit (D), Tempat Tidur Rawat (E), Tenaga Medis (F), Tenaga Perawat (G), Tenaga Non Perawat (H), Tenaga Non Medis (I), Puskesmas (J), Puskesmas Pembantu (K), Dokter 3
Ivan Hadinata dan Adler H. Manurung, Penerapan Data Envelopment Analysis (DEA) Untuk Mengukur Efisiensi Kinerja Reksa Dana Saham.
[234]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
Puskesmas (L), Apotek (M), Klinik Keluarga Berencana/KB (N), Program Keluarga Berencana Rumah Sakit /PKBRS (O).Variabel output meliputi Jumlah Penduduk (P), Pasien Demam Berdarah (Q), Pasien Diare (R), Pasangan Usia Subur (S), Pemakai Aktif Kontrasepsi (T), Peserta Baru Kontrasepsi (U), Persalinan (V).Sedangkan Model variasi yang digunakan sebagai berikut :
ISBN: 978-602-97365-X-X
menyediakan sarana kesehatan dengan kapasitas kecil dan tersebar. Wilayah administrasi kota memiliki penduduk sebanyak 46.17 persen,sedangkan luas wilayah hanya sekitar 1.13 persen dari Kaltim.Penyebaran sarana Rumah Sakit sebanyak 44.90 persen dengan 70.34 persen tempat tidur rawat berada diwilayah kota . Begitu juga dengan tenaga kesehatan seperti dokter umum sebanyak 44.15 persen, dokter gigi 52.44 persen, dokter spesialis 77.74 persen, perawat 73.56 persen juga di daerah perkotaan. Selanjuntya, wilayah administrasi kabupaten dengan luas wilayah 98.87 persen dankepadatan penduduk antara 1 -36 jiwa / Km² membutuhkan sarana kesehatan yang lebih menyebar sehingga terjangkau masyarakat dengan mudah. Data Kalimantan Timur Dalam Angka 2009 menunjukan bahwa Puskesmas sebanyak 72.22 persen, puskesmas pembantu sebanyak 91.75 persen dan pos KB desa sebanyak 90.38 persen tersebar di wilayah administrasi kabupaten. Model 2 Analisa Model 2menunjukan nilai efisiensi sebesar 0.98. Dengan demikian penggunaan Sarana dan prasarana kesehatan Kaltim relative sangat efisien. DMU yang relative efisien teteapi masih memerlukan peningkatan adalahKT (lihatGrafik 5).
C. HASIL ANALISIS Hasil analisis dengan menggunakan DEA-Solver LV3.0 seperti pada Grafik 5. Pembahasan hasil selanjutnya akan dikelompokkan menjadi tiga bagian yakni pembahasan dan analisa dengan model 1, model 2 dan model 3. Model 1 Hasil DEA-Solver LV3.0 (CCR-O) menggunakan model 1 menunjukan bahwa seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Kaltim telah relatif efisien (lihat Grafik 5 kolom Model 1). Hal ini tentunya sangat menarik karena seluruh DMU relative efisien dalam menggunakan variable input untuk mencapai output. Keberhasilan tersebut tentunya tidak terlepas dari komitmen kepala daerah dalam memberikan pelayanan kesehatan yang adil dan merata untuk masyarakat Kaltim. Komitmen tersebut diwujudkan dalam bentuk pelayanan kesehatan gratis seperti yang diselenggarakan di Smrd yang dikenal dengan program “Asmara” (Asuransi Kesehatan Masyarakat Samarinda), BP, Btg, Tn, Pr, PPU dan lainnya. Strategi penyebaran sarana, prasarana dan tenaga kesehatan juga berpengaruh efisien penyelenggaraan bidang kesehatan di Kaltim.Ada dua strategi yang diterapkan di Provinsi Kaltim pertama wilayah administrasi kota menyediakan sarana kesehatan dengan kapasitas besar dan terpusat, kedua wilayah administrasi kabupaten
Proyeksi peningkatan efisiensi sarana dan prasarana kesehatan KT seperti pada Grafik 6. Variabel input yang meliputi D,E,J,K,M,N dan O perlu dilakukan pengurangan,proyeksi nilai efisien variable input D sebanyak 1 unit, E sebanyak 106 unit, J sebanyak 12 unit, K sebanyak 67 unit, M sebanyak 7 unit, N sebanyak 28 unit dan O sebanyak 2 unit. Sedangkan variable output yang perlu ditingkatkan meliputi P, S, T dan U. Nilai efisien variable P sebanyak 238.815 jiwa, S sebanyak 41.379 pasang, T sebanyak 27.493 orang, U sebanyak 4.966 orang dan V sebanyak 5.499 orang.
[235]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
Selanjutnya untuk memberikan deskripsiModel 2 secara parsial digunakan model 2.1, model 2.2 dan model 2.3.
Ketiga model tersebut untuk memberikan gambaran tingkat efisiensi dilihat dari variabel DE, IJ dan N. Evaluasi tersebut penting untuk melihat tingkat efisiensi dari setiap variable secara terpisah.Hasil analisis dengan menggunakan model 2.1, model 2.2 dan model 2.3 seperti pada Grafik 7.Perbedaan hasil analisis pada Grafik 5 dan grafik 7 menunjukan bahwa variabel pada model 2 masih dapat ditingkatkan efisiensinya. DMU yang memiliki nilai relative efisien dengan model 2, model 2.1, model 2.2 dan model 2.3 adalah Smrd, sedangkan lainnya relative dapat dioptimalisasikan efisiensinya dengan berbagai variasi model seperti pada Grafik 7. Model 2.2 dan model 2.3 menunjukan bahwa I, J dan N merupakan variabel yang masih sangat memungkinkan untuk dioptimalkan kinerjanya. Peningkatan kinerja dengan output dengan model 2.1, 2.2 dan 2.3 seperti pada Grafik 8. Peningkatan Kinerja dari variabel output rata-rata sebesar 59 persen dengan peningkatan variable Q sebesar 193 persen, R dan U sebesar 24 persen, S dan V sebesar 42 persen dan T sebesar 31 persen.
Model 3 Analisa model 3 menunjukan nilai relative efisiensinya sebesar 0.99. Kondisi tersebut menunjukan bahwa tenaga kesehatan di Kaltim relative sangat efisien. Namun demikian terdapat dua DMU yang masih dapat meningkatkan efisiensinya yakni KB dan Btg (lihat Grafik 9). royeksi peningkatan efisiensi tenaga kesehatan seperti pada Grafik 9. KB dalam meningatkan efisiensinya dapat dengan mengurangi A,B,G, L sebanyak 11 persen, dan F,G,H,I antara 19 – 37 persen. Btg mengurangi A,H dan I sebesar 8,6 persen dan tenaga kesehatan lainnya diatas 19 persen.
Nilai efisiensi relative tenaga kesehatan lebih parsial dianalisis menggunakan model 3.1, model 3.2, model3.3.dan model 3.4.
Hasil analisis tenaga kesehatan dengan model 3.1, model 3.2, model 3.3 dan model 3.4. seperti pada Grafik 10. Model 3.1.sebanyak 2 DMUs telah relative belum efisien yakni Blg dengan nilai 0.65 [236]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-97365-X-X
dan Btg dengan nilai 0.54. Dengan demikian tenaga kesehatan A,B,C telah relative efisien. Model 3.2. memiliki nilai rata-rata sebesar 0.61 dengan 10 DMUs telah belum relative efisien dan hanya 3 DMUs yang relative efisien yakni KT, Nn dan PPU. Kondisi tersebut menunjukan bahwa penggunaan tenaga kesehatan E dan H relative belum efisien. Model 3.3. memiliki nilai rata-rata 0.68 dengan 10 DMUs relative belum efisien dan 3 DMUs relative efisien yakni KK, KT dan PPU. Dengan nilai ratarata tersebut maka penggunaan tenaga kesehatan F dan G relative belum efisien. Model 3.4. memiliki nilai rata-rata 0.62 dengan 11 DMUs relative belum efisien dan 2 DMUs relative telah efisien yang meliputi KT dan Blg.
Grafik 11 sampai Grafik 14 menunjukan bahwa terdapat beberapa kombinasi model yang dibutuhkan untuk mencapai relative efisiensi. Kombinasi model 3.1., 3.2., 3.3. dan 3.4 meliputiKB, Trn dan Brg. Kombinasi model 3.1, model 3.2 dan model 3.3 Adalah Blg.Kombinasi model 3.2, model 3.3 dan model 3.4 meliputi Pr, KB, Br, Mln, BP dan Smrd. Kombinasi model 3.3 dan model 3.4 meliputi Nn. Kombinasi model 3.2 dan model 3.4 adalah KK. Sedangkan DMUs lainnya hanya membutuhkan satu model saja. Dengan membadingkan hasil analisis tenaga kesehatan secara keseluruhan dan parsial, maka relative efisiensi yang dicapai dengan model 3 didukung oleh keunggulan dari tenaga kesehatan masing-masing DMUs. DMUs yang memiliki keunggulan tenaga kesehatan ABC meliputi Pr, KK, Br, Mln, Nn, PPU, BP, dan Smrd. DMUs dengan keunggulan E dan H meliputi KT, Nn dan PPU. DMU yang memiliki keunggulan tenaga kesehatan FG meliputi KK, KT dan PPU. Sedangkan, DMUs dengan keunggulan tenaga kesehatan L meliputi KTdan Blg. Proyeksi peningkatan relative efisiensi model 3.1 seperti pada Grafik 11, model 3.2 seperti pada Grafik 12, model 3.3 seperti pada Grafik 13 dan model 3.4 seperti pada Grafik 14.Selanjutnya, variabel yang membutuhkan penyesuaian efisiensi yang paling besar meliputi variabel A,B, C, E dan F yang berada di Btg, variabel G berada di Mln, Variabel H berada di Trn dan variabel L berada di PPU.
Model 4 Kinerja KB diukur dengan variabel input I, L dan N, sedangkan variabel outputT dan U. Hasil nilai relative efisiensi model 4 sebesar 0.78 dengan sebanyak 6 DMUs relative efisien dan 7 DMUs relative belum efisien. Nilai relative efisiensi efisiensi Model 4 pada setiap DMUs seperti pada Grafik 15. Selanjutnya, Proyeksi peningkatan relative efisiensi model 4 seperti pada Grafik 16. DMUs dengan proyeksi lebih dari 100 persen pada variabel T meliputi Nn, Mln dan KB, sedangkan pada variabel U meliputi KB dan Mln.
D. PENUTUP Berdasarkan berbagai hasil analisa model tersebut diatas, maka DMUs yang relative paling [237]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
efisien adalah yang memiliki nilai tertinggi. Hasil nilai rata-rata dengan menggunakan 11 model analisa seperti pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukan bahwaDMUs yang memiliki nilai rata-rata > 0.90 adalah Smrd dan PPU.Berdasarkan hasil analisa model 2, model 3 dan model 4, kedua DMUs tersebutmemiliki nilai relative sangat efisien. Selanjutnya, dilihat secara lebih detail maka Smrd memiliki keunggulan pada Model 2.1, Model 2.2 dan Model 2.3. Sedangkan PPU memiliki keunggulan pada model 3.1, model 3.2, model 3.3 dan model 3.4. Sehingga dapat disimpulkan bahwa DMUs yang best practices efisiensi dalam pembangunan kesehatan di Provinsi Kalimatan Timur adalah Smrd dan PPU. DMUs lainnya dalam meningkatkan efisiensinya dapat merujuk pada Smrd dan PPU. Sebagai kata penutup, paper ini merupakan study pendahuluan untuk menjawab DMUs yang terbaik dalam efisiensi pembangunan kesehatan di Provinsi Kalimantan Timur. Oleh karena itu disarankan perlu dilakukannya pengkajian lebih lanjut terkait dengan berbagai hal yang telah dilakukan oleh Smrd dan PPU dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Terima kasih. DAFTAR PUSTAKA BPS dan Bappeda, 2010, Kalimantan Timur Dalam Angka 2009, Samarinda Suripto, 2011, Jurnal Administrator Borneo : Evaluasi Efisiensi Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Dasar Dan Madrasah Ibtidaiyah Di Kalimantan Timur (ISSN : 1858-0300), Samarinda Hadinata, Ivan dan Manurung, Adler H., Penerapan Data Envelopment Analysis (DEA) Untuk Mengukur Efisiensi Kinerja Reksa Dana Saham diakses dari http://www.finansialbisnis.com/Data2/Riset /DEA.pdf tanggal 12 April 2011 Samarinda Pos, 2011, Kaltim Berada di Peringkat Lima Nasional, Samarinda diakses dari http://www.sapos.co.id/index.php/berita/det ail/Rubrik/15/15899 tanggal 12 April 2011 Dinas Kesehatan, ____, Visi dan Misi Dinkes, Samarinda diakses dari http://kesehatan.kaltimprov.go.id/visi-misidinkestanggal 12 April 2011 Kaltim Pos, 2009, Dipecat, Dokter yang Pungut Pasien,Penajam diakses dari http://www.kaltimpost.co.id/?mib=berita.de tail&id=22584tanggal 12 April 2011 Kaltim Pos, 2010, Anggaran Kesehatan Gratis Naik Rp 4,1 M, Penajam diakses dari http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib =berita.detail&id=75557tanggal 12 April 2011
ISBN: 978-602-97365-X-X
Provinsi Kaltim, 2009, Kaltim akan alokasikan dana kesehatan 10 persen, Samarindaakses dari http://www.kaltimprov.go.id/kaltim.php?pa ge=detailberita&id=2131 tanggal 21 April 2011 Antara, 2010, Delapan Layanan Asuransi Kesehatan Masyarakat Samarinda Gratis, Samarinda diakses dari http://kaltim.antaranews.com/berita/2837/d elapan-layanan-asuransi-kesehatanmasyarakat-samarinda-gratis tanggal 21 April 2011 Ismono, 2009, Pengobatan dan Rawat Inap Gratis, Samarinda diakses dari http://bappeda.samarinda.go.id/berita.php?i d=327 tanggal 21 April 2011 Pemerintah Kota Samarinda, 2006, Biaya Puskesmas Dibebaskan, Balikpapan diakses dari http://www.balikpapan.go.id/index.php?opt ion=com_content&task=view&id=1253&It emid=35tanggal 21 April 2011 Dinas Kesehatan Bontang, 2010, Berguru ke Bontang, Belajar Jamkesda dan Sistem Dokter Keluarga, Bontang diakses dari http://dinkes.bontangkota.go.id/index.php/b erita-kesehatan/2-bontang/33-berguru-kebontang-belajar-jamkesda-dan-sistemdokter-keluarga tanggal 21 April 2011 Tribun Kaltim, 2007, Tarakan Borneo Raih Penghargaan Kota Sehat, Tarakan diakses dari http://ardiz.blogspot.com/2007/11/tarakanraih-penghargaan-kota-sehat.htmltanggal 21 April 2011 Kaltimpost, 2008, Pelayanan Kesehatan Gratis di Paser Sejak 2006, Paser diakses dari http://www.paserkab.go.id/publikasi/423tan ggal 21 April 2011 Humas Pemerintah Kabupaten Kurai Kartanegara, 2008, Total Indonesie Luncurkan Program Kesehatan Gratis, Kukar diakses dari http://humas.kutaikartanegarakab.go.id/inde x.php/read/total_indonesie_luncurkan_prog ram_kesehatan_gratis_/tanggal 21 April 2011 Soft Ware : DEA-Solver produksi Saitech Inc.
[238]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA SEKTOR INFORMAL DALAM MENDUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PERKOTAAN Deden Muhammad Haris Prodi Administrasi Negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl Raya Jakarta Km 4 Serang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Masalah sektor informal khususnya Pedagang Kaki Lima menjadi hal yang dilematis bagi pemerintah daerah. Sektor formal selama ini memang diakui sebagai pemberi kontribusi pendapatan terbesar bagi perekonomian negara. Hanya saja selama ini para perencana/aparat pemerintah kota memandang PKL/sektor informal lebih sebagai faktor negatif dalam pembangunan wilayah perkotaan. Pandangan negatif tersebut antara lain: PKL sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya kemacetan, merusak tata kota (berjualan di lokasi yang tidak di peruntukkan, membuat lingkungan menjadi kumuh), meninggalkan sampah, pekerja ilegal. Tulisan dalam makalah ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan : pertama, karakteristik dan kondisi lingkungan pedagang kaki lima perkotaan, seperti jenis usaha, profil bisnis, faktor-faktor sosial dan ekonomi yang berpengaruh, lokasi pemilihan dan lingkungan yang sesuai dengan pedagang kakilima; masalah-masalah yang muncul dalam pengembangan usaha pedagang kakilima. K e t i g a , m e n j e l a s k a n p r o fi l e atas regulasi, kebijakan dan peraturan terkait upaya penanganan pedagang kaki lima seperti pendekatan yang dipakai oleh para pemangku kebijakan dalam upaya penanganan pedagang kaki lima, best practice penanganan PKL
Kata Kunci: Sektor Informal,Pedagang Kaki Lima Dalam konteks dan prespektif yang berbeda, sektor informal dikenal dengan beberapa nama. Sektor ini sering disebut sebagai ekonomi informal, ekonomi tidak teregulasi, sektor tidak terorganisasi, atau lapangan kerja tidak teramati. Sektor ini tipikalnya menunjukkan unit ekonomi dan pekerja yang terlibat dalam beragam aktivitas komersil dan pekerjaan yang beroperasi diluar realisme pekerjaan formal (Suharto 2002) dalam konteks kota sektor informal mencakup operator usaha kecil yang menjual makanan dan barang atau menawarkan jasadan pada gilirannya melibatkan ekonomi uang dan transaksi pasar, hal ini disebut sebagai sekot informal perkotaan. Aktivitas sektor informal perkotaan di area publik kota secara khusus nampak pada kasus perdagangan di jalanan yang dikenal luas sebagai pedagang jalanan atau pedagang kali lima (PKL) dalam bahasa lokal. Berbicara mengenai PKL sangat menarik karena kemandiriannya dalam menciptakan lapangan kerja dan menyediakan barang/jasa murah serta reputasinya sebagai katup pengaman yang dapat mencegah merajalelanya pengangguran dan keresahan sosial (Simanjuntak, 1985:99). Di samping itu PKL sangat menarik karena dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kecenderungan sosial ekonomi kepada penentu kebijakan. Banyak pencari kerja yang terserap di
1. PENDAHULUAN Sumbangan sektor informal dalam perkembangan perekonomian indonesia sangat memegang peranan penting. Keberadaan dan kelangsungan kegiatan sektor informal dalam sistem ekonomi kontemporer bukanlah gejala negatif, namun lebih sebagai realitas ekonomi kerakyatan yang berperan cukup penting dalam pengembangan masyarakat dan pembangunan nasional. Setidaknya ketika program pembangunan kurang mampu menyediakan peluang kerja bagi angkatan kerja, sektor informal mampu berperan sebagai penampung dan alternatif peluang kerja bagi pencari kerja. Krisis moneter di Indonesia pada tahun 1997an berakibat kepada kemunduran perekonomian nasional namun sektor informal mampu bertahan tanpa membebani ekonomi nasional, sehingga roda perekonomian masyarakat tetap bertahan. Peran sektor informal ini telah berlangsung sejak lama dalam pasang surut perkembangan masyarakat dan dinamika perkembangan ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh data Sakernas 1998 sampai dengan 2002 Badan Pusat Statistik bahwa sebagian besar (65,40%) pekerja di Indonesia tahun 1998 berusaha di sektor informal, dan sisanya merupakan pekerja sektor formal, dan pada tahun 2002 pekerja di sektor informal bahkan meningkat menjadi 69,63%.
[239]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sektor informal menurut berbagai penelitian merupakan pencerminan ketidakmampuan sektor formal dalam membuka kesempatan kerja lebih luas sebagian penduduk usia kerja. Sektor formal selama ini memang diakui sebagai pemberi kontribusi pendapatan terbesar bagi perekonomian negara. Akan tetapi di lain pihak, ketidakmampuan sektor formal menyerap angkatan kerja mengakibatkan sebagian angkatan kerja, khususnya yang sedang mencari pekerjaan, dituntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga ketiadaan kerja ini dipandang sebagai suatu tantangan. Jalan keluar untuk mengatasi tantangan ini adalah harus keluar dari pasar tenaga kerja dan menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri (self employed) dalam aktivitas ekonomi. Orang-orang yang self employed ini disamping sebagai pekerja mereka juga bertindak sebagai pengusaha. Hanya saja selama ini para perencana/aparat pemerintah kota memandang PKL/sektor informal lebih sebagai faktor negatif dalam pembangunan wilayah perkotaan. Pandangan negatif tersebut antara lain: PKL sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya kemacetan, merusak tata kota (berjualan di lokasi yang tidak di peruntukkan, membuat lingkungan menjadi kumuh), meninggalkan sampah, pekerja ilegal dll. Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Firnandy (2002) merekomendasikan bahwa arah kebijakan pengembangan sektor informal memerlukan intervensi langsung maupun tidak langsung dari pemerintah. Pertanyaan berikutnya di level nasional atau di level pemerintah kota kah yang harus lebih dalam melakukan intervensi? Seiring diberlakukannya UU 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian direvisi menjadi UU 32 tahun 2004 pemerintah pusat telah melimpahkan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengurusi rumah tangganya. Kewenangan ini juga termasuk upaya penciptaan sistem governance yang baik dengan keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah kota mempunyai peran yang sangat penting dalam memperbaiki keseluruhan kondisi yang berkaitan dengan keberadaan informal ekonomi perkotaan. Sedangkan pemerintah nasional harus dapat memberikan payung hukum dan arah strategi pengentasan kemiskinan perkotaan yang melibatkan PKL bagi pemerintah daerah. Di era desentralisasi pemerintah kota (daerah) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang luas guna meningkatkan pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan pembangunan yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masarakat. Tetapi di sisi yang lain banyak sekali fenomena di mana pemerintah kota mengesampingkan penataan PKL dalam perencanaan kota, bahkan seringkali adanya
penggusuran atau pemberangusan PKL daripada pembinaan dan pendampingan terhadap PKL. Hal tersebut terjadi karena paradigma pemda yang menganggap PKL bukanlah sektor yang harus diperhitungkan sebagai salah satu faktor penggerak perekonomian kota dan sebagai salah satu katup pengaman bagi penyediaan lapangan kerja. PKL cenderung dianggap sebagai pengganggu ketertiban dan keindahan kota. Dalam konteks ini studi tentang strategi penataan pedagang kaki lima sebagai bagian dari penyusunan strategi pengembangan usaha sektor informal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan di perkotaan menjadi strategis, di mana di era desentralisasi sudah selayaknya terjadi pergeseran paradigma pada pemerintah dalam kebijakan penataan pedagang kaki lima. Pergeseran paradigma dari penggusuran menjadi pemberdayaan manajemen, pemberian pendidikan dan pelatihan serta integrasi struktural. Tulisan dalam makalah ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan : pertama, karakteristik dan kondisi lingkungan pedagang kaki lima perkotaan, seperti jenis usaha, profil bisnis, faktor-faktor sosial dan ekonomi yang berpengaruh, lokasi pemilihan dan lingkungan yang sesuai dengan pedagang kakilima; masalah-masalah yang muncul dalam pengembangan usaha pedagang kakilima. K e t i g a , m e n j e l a s k a n p r o fi l e atas regulasi, kebijakan dan peraturan terkait upaya penanganan pedagang kaki lima seperti pendekatan yang dipakai oleh para pemangku kebijakan dalam upaya penanganan pedagang kaki lima, best practice penanganan PKL, pola pengambilan kebijakan, dan keterlibatan stakeholders dalam proses pengambilan keputusan. Makalah ini didasarkan dari studi lapangan yang dilakukan penulis di Kota Bogor, Bandung, Yogya dan Palembang serta studi literatur yang terkait 2. KONSEP SEKTOR INFORMAL Konsep sektor informal muncul dalam konsep keterlibatan pakar-pakar internasional dalam perencanan pembangunan di Dunia Ketiga. Gejala ini muncul setelah kelahiran Negara-negara maju setelah berakhirnya Perang Dunia II. Menurut Djojohadikusumo (1994 : 212), sektor informal ditandai oleh satuan-satuan usaha kecil dalam jumlah yang banyak dan biasanya dimiliki oleh keluarga dengan menggunakan teknik produksi yang sederhana dan padat karya. Golongan angkatan kerja di sektor informal biasanya mempunyai pendidikan dan keterampilan yang terbatas. Firnandy (2002) dalam studinya berdasarkan data Sakernas 1998 dan 2002 dari BPS menyatakan bahwa 82,9% tenaga kerja utama penjualan berada pada sektor informal,dan umumnya mereka berada daerah perkotaan yang sebagian besar didominasi oleh Pedagang kaki lima.
[240]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Konsep “ sektor informal “ diperkenalkan oleh Keith Hart, ahli ekonomi dari Inggris, yang melakukan penelitian tentang kegiatan ekonomi didaerah perkotaan Ghana (Nurul 2009). Jean Breman (1979) dalam Manning (1989:138) mengatakan istilah sektor informal pertama kali dikemukakan oleh Hart pada tahun 1971 dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja yang tidak terorganisir. Manning dan Effendi (1996:75) mengemukakan bahwa Keith Hart seorang antropolog Inggris adalah orang pertama kali melontarkan gagasan sektor informal dalam penelitiannya di suatu kota di Ghana pada tahun 1973. Kegiatan sector informal dapat bervariasi. Kegiatan tersebut bisa dilakukan sebagai pekerjaan paruh waktu setelah bekerja, bagi kaum imigran pekerjaan sector informal lebih mudah didapatkan karena mereka tidak diperkenankan bekerja pada sector formal. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Schneider (2002) : “Informal activities take place in many forms. The work varies from part-time jobs after working hours, to work of immigrants who are not allowed to work in the formal sector.In general, informal activities can be categorized into two sections: self-employed and non-permanent labor. In all developing countries the self employed Becker (2004) menyebutkan bahwa di Asia jenis yang pertama ini dapat mencapai 60% dari total orang yang beraktivitas dalam sector informal. In Asia self-employment covers around 60 percent of the total informal sector (Becker, 2004). Di Indonesia, kendati telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun sejak dilontarkan konsep sektor informal pada dasawarsa 1970-an hingga saat ini, perdebatan tentang sektor informal masih juga belum mencapai kesepakatan informal sebagai berikut “cara bekerja yang mempunyai ciri-ciri tertentu”. Ciri-ciri yang dimaksud adalah : mudah dimasuki, pemakaian sumber-sumber daya lokal, pemilikan oleh keluarga, berskala kecil, padat karya dan pemakaian teknologi yang sederhana, keterampilan yang dimiliki di luar system pendidikan formal, serta bergerak di pasar yang kompetitif dan tidak berada di bawah pengaturan resmi. Di samping itu ILO (2002) menemukan adanya kegiatan-kegiatan ekonomi yang selalu lolos dari pencacahan, pengaturan dan perlindungan oleh pemerintahan tetapi mempunyai makna ekonomi karena bersifat kompetitif dan padat karya, memakai input dan teknologi lokal serta beroperasi atas dasar kepemilikan sendiri oleh masyarakat lokal. Kegiatan-kegiatan inilah yang kemudian dinobatkan sebagai sector informal. Castells dan Portes (Portes, 1989:20) mengajukan defenisi sektor informal sebagai proses perolehan penghasilan diluar ssstem regulasi. Istilah ini merupakan suatu ide akal sehat (common sense
nation) yang karena batas-batas sosialnya terus bergeser, tidak dapat dipahami dengan definisi yang ketat. Mereka melihat bahwa sektor informal sebagai suatu proses perolehan penghasilan mempunyai ciriciri sentral yaitu tidak diatur oleh lembaga-lembaga sosial dalam suatu lingkungan legal dan sosial. Menurut mereka batas-batas ekonomi informal bervariasi secara substansial sesuai dengan konteks dan kondisi historisnya masing-masing. Sthurman dalam Manning dan Tajuddin (1989:90) mengemukakan istilah sektor informal biasanya digunakan untuk mengajukan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Alasan berskala kecil karena : umumnya mereka berasal dari klangan miskin, sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara berkembang, bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan untuk memperoleh keuntungan, umumnya mereka berpendidikan sangat rendah, mempunyai keterampilan rendah, dan umumnya dilakukan oleh para migran. Dari ciri-ciri terebut dapat digambarkan bahwa usaha-usaha itu berupaya menciptakan kesempatan kerja dan memperoleh pendapatan untuk dirinya sendiri. Menurut Sethurman sendiri bahwa konseptualisasi sektor informal yang tersebut diatas walaupun bermanfaat tetapi belum dapat memecahkan masalah definisi. Hal ini karena masih diperlukannya beberapa definisi untuk menentukan batasan sektor ini baik dari sudut pandang operasional maupun penelitian. Simanjuntak (1995: 98-99), memberikan ciriciri yang tergolong sektor informal sebagai berikut: Kegiatan usaha umumnya sederhana, skala usaha relatif kecil, umumnya tidak mempunyai izin usaha, bekerja di sektor informal lebih mudah daripada di sektor formal, tingkat pendapatan di sektor informal biasanya rendah, serta Usaha-usaha di sektor informal sangat beraneka ragam. Usaha-usaha sektor informal yang dimaksud diantaranya pedagang kaki lima, pedagang keliling, tukang warung, sebagian tukang cukur, tukang becak, sebagian tukang sepatu, tukang loak serta usaha-usaha rumah tangga seperti : pembuat tempe, pembuat kue, pembuat es mambo, barang-barang anyaman dan lain-lain. Dipak Mazundar dalam Manning dan Noer (1989:12) memberikan definisi sektor informal sebagai pasaran tenaga kerja yang tidak dilindungi. Dikatakannya bahwa salah satu aspek penting dari perbedaan antara sektor informal dan informal sering dipengaruhi oleh jam kerja yang tidak tetap dalam jangka waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya hubungan kontrak kerja jangka panjang dalam sektor informal dan upah cenderung dihitung per hari atau per jam serta menonjolnya usaha mandiri. Jan Breman dalam Manning dan Noer (1996:139), tanpa memberikan batasan istilah yang jelas tetapi membedakan sektor formal dan informal [241]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang menunjuk pada suatu sektor ekonomi masingmasing dengan konsistensi dan dinamika strukturnya sendiri. Sektor formal digunakan dalam pengertian pekerja bergaji atau harian dalam pekerjaan yang permanen meliputi: pertama, sejumlah pekerjaan yang saling berhubungan yang merupakan bagian dari suatu struktur pekerjaan yang terjalin dan amat terorganisir. Kedua, pekerjaan secara resmi terdaftar dalam statistik perekonomian, dan ketiga syaratsyarat bekerja dilindungi oleh hukum. Wirasarjono dalam Didin (1987:5), mengemukakan ciri-ciri umum sektor informal adalah : Umumnya bekerja tanpa bantuan orang lain atau bekerja dibantu anggota keluarga ataupun buruh tidak tetap yang kebanyakan mereka bekerja dalam jam kerja yang tidak teratur dan jumlah jam kerja di bawah kewajaran, melakukan sembarangan kegiatan yang tidak sesuai dengan pendidikan atau keahliannya. Berdasarkan berbagai pendapat dan beberapa penelitian terdahulu dapat disampaikan bahwa konsep sektor informal lebih difokuskan pada aspek-aspek ekonomi, aspek sosial dan budaya. Aspek ekonomi diantaranya meliputi penggunaan modal yang rendah, pendapatan rendah, skala usaha relatif kecil. Aspek sosial diantaranya meliputi tingkat pendidikan formal rendah berasal dari kalangan ekonomi lemah, umumnya berasal dari migran. Sedangkan dari aspek budaya diantaranya kecenderungan untuk beroperasi diluar system regulasi, penggunaan teknologi sederhana, tidak terikat oleh curahan waktu kerja. Dengan demikian cara pandang di atas tentang sector informal lebih menitik beratkan kepada suatu proses memperoleh penghasilan yang dinamis dan bersifat kompleks. Di samping aspek-aspek di atas, kehadiran sektor informal dapat dilihat dari dua segi yaitu segi positif dan segi negatif. Segi positif diantaranya mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, kemampuan menyerap angkatan kerja yang sekaligus sebagai katub pengaman terhadap pengangguran dan kerawanan sosial, menyediakan kebutuhan bahan pokok untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan dari segi negatifnya adalah mengganggu lalulintas, mengganggu keindahan kota dan mengganggu kebersihan. Berdasarkan berbagai pendapat seperti telah diuraikan di atas, maka ciri-ciri kegiatan sektor informal dapat disimpulkan sebagai berikut : Manajemennya sederhana, Tidak memerlukan izin usaha, Modal rendah, Padat karya, Tingkat produktivitas rendah, Tingkat pendidikan formal biasanya rendah, Penggunaan teknologi sederhana, Sebagian besar pekerja adalah keluarga dan pemilikan usaha oleh keluarga, Mudahnya keluar masuk usaha, Kurangnya dukungan dan pengakuan pemerintah. Secara umum, kegiatan sector informal dapat dikategorikan dua hal : pertama adalah orang yang
bekerja pada dirinya sendiri dan yang kedua adalah buruh temporer.Di Negara-negara berkembang jenis yang pertama yang terbanyak. Termasuk dalam sector ini adalah pedangang kaki lima, sopir taxi atau industry rumahan.
3. PEDAGANG KAKI LIMA SEBAGAI USAHA SECTOR INFORMAL Pedagang kaki lima (street trading/street hawker) adalah salah satu usaha dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal. Pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono, 1989). Istilah pedagang kaki lima merupakan peninggalan zaman penjajahan Inggris. Diambil dari ukuran lebar trotoar yang waktu itu dihitung dalam feet sama dengan kaki, atau 1,5 meter. Pedagang yang berjualan ditrotoar tersebut kemudian disebut pedagang kaki lima (PKL). Jika melihat modal kaki lima adalah orang yang dengan modal relatif sedikit. Mereka berusaha dibidang produksi dan berjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kelompok konsumen tertentu di dalam masyarakat. Aktifitasnya dilaksanakan pada tempat-tempat yang sangat strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Pedagang kaki lima pada umumnya adalah self-employed, artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan, dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, atau dari supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya, dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang. Sehingga kemungkinan untuk mengadakan investasi modal maupun ekspansi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978). Mereka yang masuk dalam kategori pedagang kaki lima ini mayoritas berada dalam usia kerja utama (prime-age) (Soemadi, 1993). Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keahlian tertentu menyebabkan mereka sulit menembus sektor formal. Bidang informal berupa pedagang kaki lima menjadi satu-satunya pilihan untuk tetap mempertahankan hidup. Walaupun upah yang diterima dari usaha pedagang kaki lima ini di bawah tingkat minimum, tapi masih jauh lebih baik
[242]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
dibandingkan dengan keadaan mereka di tempat asalnya. Lokasi pedagang kaki lima sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelangsungan usaha para pedagang kaki lima, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula volume penjualan dan tingkat keuntungan. Secara garis besar kesulitan yang dihadapi oleh para pedagang kaki lima berkisar antara peraturan pemerintah mengenai penataan pedagang kaki lima belum bersifat membangun/konstruktif, kekurangan modal, kekurangan fasilitas pemasaran, dan belum adanya bantuan kredit (Hidayat,1978). Beberapa faktor yang bisa menjadi sebab pertumbuhan PKL adalah; pertama terbatasnya kesempatan pekerjaan formal dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka kemudian mencoba dan mencari pekerjaan lain yang memungkinkan mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup. Usaha model PKL sering menjadi alternatif bagi mereka yang mengalami kondisi PHK seperti ini. Kedua, terjadinya kosentrasi sentra aktifitas ekonomi, yang pada akhirnya memunculkan tempat-tempat strategis yang menjadi lahan potensial bagi PKL. Ketiga, perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi). Umumnya lapangan kerja di desa, dan pekerjaan yang ada sama sekali tidak menjanjikan dan tidak akan diminati. Anggapan bahwa PKL adalah “penyakit kota” yang mengganggu kebersihan, keindahan, ketertiban, dan kelancaran lalulintas. Padahal jika mau jujur, kemacetan itu biangnya adalah konsentrasi keramaian. konsentrasi keramaian yang secara tidak bijak telah diciptakan oleh kebijakan pembangunan itu sendiri. Disamping karena memang kurangnya budaya tertib di masyarakat kita. Tetapi yang tidak tertib itu, sesungguhnya melanda semua pihak; para pengusaha dan para pejabat juga. Termasuk para pedagang kecil, pejalan kaki, angkot dan tukang becak. Tidaklah bijak, jika hanya menyalahkan mereka yang kecil. Pembangunan malmal yang meringsek ditengah kota dengan menggusur berbagai ruang publik dan cagar budaya, adalah bukti bahwa mereka para pengusaha dan pejabat tidak pernah mau tertib. Jika dilihat dengan kacamata yang lebih jernih, dapat ditemukan banyak manfaat sosial dari PKL, di samping ketidaknyamanan dan ketidak-teraturan mereka. Di antarnya : pertama PKL merupakan salah satu penyangga perekonomian rakyat, yang mandiri, kuat dan membuka lapangan kerja bagi banyak pihak disekeliling mereka. Kedua, usaha PKL mampu mendukung industri secara makro. Karena pada prakteknya, justru usaha PKL yang menjadi pengecer langsung barang-barang yang diproduksi industri besar. Ketiga, pada saat yang sama, PKL mampu memberikan barang-barang alternative dengan harga yang terjangkau. Keempat, dalam beberapa survey yang dilakukan terhadap
PKL di banyak kota-kota besar di Indonesia, PKL justru menjadi bamper penduduk kota dari penjahat jalanan. Dan kelima, PKL juga mendatangkan pendapatan terhadap pemerintah daerah. 4. PERSEPSI DARI PKL DAN PEMERINTAH Paradigma baru sektor informal melihat bahwa sektor ini memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian sehingga perlu didukung dan difasilitasi. Namun dukungan dan fasilitas ini tidak akan banyak bermanfaat bagi sektor informal, seperti PKL, bila prosesnya tidak melibatkan para pelaku sektor tersebut. Akibatnya program berbiaya mahal dapat menjadi sia-sia karena fasilitas ini tidak sejalan dengan kebutuhan PKL. Pelajaran yang perlu diangkat adalah bahwa pemerintah hendaknya tidak lagi menganut paham bahwa PKL tidak mau ditata dan diatur. Justru pemerintah mesti mengintensifkan komunikasi dengan PKL melalui paguyuban mereka agar dapat dihasilkan bentuk penataan dan pembinaan yang sejalan dengan kepentingan masing-masing pihak. Persepsi yang terbentuk dalam benak para pelaku PKL menyatakan bahwa profesi yang dijalani awalnya dilakukan karena terpaksa, hanya untuk bertahan hidup. Kemudian pekerjaan ini dipandang sebagai pekerjaan yang baik dan punya prospek yang baik, mempunyai peluang usaha serta ada keuntungan yang dapat dinikmati. Para pelaku PKL memandang bahwa pekerjaan yang dilakoni mudah dilakukan. Akhirnya mereka berpandangan sebagai mata pencaharian pokok dan menjadi suatu pilihan hidup, bahkan kemudian menjadi orang yang menciptakan lapangan kerja. Sisi lain ada para pelaku PKL yang menginginkan sebagai profesi yang diakui, hal ini dinyatakan oleh PKL dari Sleman, Bandung, Bogor. PKL ada dan bermunculan jika ada keramaian dan bertindak selaku marketer produk industri. Persepsi dari pemerintah yang terbentuk yang terungkap adalah bahwa Tidak semua PKL adalah orang yang sesungguhnya perlu dibantu/diberdayakan, karena tidak semua PKL adalah orang miskin dan perlu penegasan tentang apa dan siapa yang hendak dibantu/didampingi. Selain itu, PKL tempat berjualan yang mengisi ruang-ruang publik dan kalau dibiarkan jumlah PKL yang semakin banyak. Hal itu terjadi karena ketidak pahaman PKL mengenai peraturan-peraturan sehingga sulit diatur, merusak keindahan dan tatakota dan keberadaannya yang sering menimbulkan konflik di lingkungan, dan pelaku PKL kurangnya kreatifitas. Oleh karena itu perlu mendudukan PKL pada kelembagaan yang tepat. Dan yang paling buruk adalah tidak adanya standar upah untuk pekerja PKL.
[243]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pemerintah kepada para PKL, seringkali jika ditanya instansi mana yang menangani PKL, maka jawabannya adalah Satpol PP. Hal ini berarti penertiban, bukan pembinaan. Dari sekian hambatan yang ada di atas, terlihat jelas belum ada keterpaduan antara semua pihak, baik pihak ekskutif dengan legislatif ataupun dengan dunia swasta. Bahkan pada eksekutif pun tidak tejadi kordinasi yang baik diantara unit-unitnya dalam menata dan mengembangkan PKL Terdapat dua jenis dukungan. Pertama adalah dukungan Internal. Hal yang utama dalam pengembangan PKL adalah dari dirinya sendiri yang harus punya karakter “mau berusaha”. Ini yang menjadi motor penggerak pertama. Hal yang kedua adalah kesadaran dalam diri PKL akan pentingnya berorganisasi, yang harus dilanjutkan dengan saling mendukung antar individu dalam organisasi tersebut, apakah dalam bentuk paguyuban, asosiasi ataupun koperasi. Hal yang ketiga adalah adanya keterlibatan dalam keluarga PKL sendiri dalam usaha. Selain dukungan internal, terdapat juga dukungan eksternal. Dukungan muncul dari luar diri PKL adalah adanya modal tambahan, baik dari Bank, Pemerintah ataupun organisasi yang dibentuk oleh PKL. Hal ini ditunjukan pada kasus Kota Yogyakarta di mana Koperasi Tri Dharma dipercaya untuk mendistribusikan pinjaman dari Bank dan bantuan dari Pemerintah. Bantuan ini muncul karena memang sudah terjadi pengakuan akan keberadaan PKL dari Pemerintah Kota Yogyakarta.
5. HAMBATAN DAN DUKUNGAN Hambatan internal yang akan menghambat perkembangan PKL dilihat adalah mereka tidak terorganizir sehingga menimbulkan rawan konfilk dan menjadikan para PKL tidak kompak di antara sesama. Selain itu, yang umum dirasakan oleh PKL adalah kurangnya modal kerja. PKL rentan terkena penyakit akibat kondisi kerja PKL yang melingkupi tidak sehat, namun sisi lain belum ada jaminan kesehatan bagi PKL sehingga jika mereka sakit akan berakibat tidak akan mendapat penghasilan. Hambatan eksternal artinya hambatan yang timbul dari luar diri PKL yang akan menyebabkan terhambatnya perkembangan PKL. Diantara hambatan eksternal yang muncul adalah dimulai dari kebijakan tidak berpihak, hal ini umum terjadi di semua daerah terkecuali di Kota Solo dan Yogyakarta. Hambatan lain adalah sulitnya akses ke lokasi (pasar), hal ini bisa terjadi jika terjadi relokasi yang memindahkan PKL dari tempat ramai ke tempat yang sepi. Selain itu, ketidakadilan dalam penataan PKL terutama jika ada oknum yang tidak adil. Kemudian, sedikitnya kepedulian dari fihak pemerintah (ekskutif), fihak wakil rakyat (legislatif) dan dunia swasta/ pengusaha yang sudah mapan. Contoh kasus, menurut penuturan salah satu PKL di jalan Merdeka Bandung (BPI), pihak pengelola BPI kurang bersahabat dengan PKL. Adanya perintah dari pimpinan pengelola kepada pegawainya agar tidak membeli makanan dari PKL dan instruksi untuk membersihkan area depan BPI dari PKL dapat dijadikan contoh. Hambatan lain yang muncul adalah tidak adanya nomenklatur khusus yang menyebutkan “PKL” dalam APBD, hal ini membuat aparat Pemkot Bandung kesulitan untuk mengalokasikan dana dalam APBD. Hal ini ditambah dengan minimnya elit yang berpihak kepada PKL. Hambatan lainnya adalah akses ke permodalan lembaga keuangan hampir dapat dikatakan tidak ada. Kasus pedagan audio elektronik di Cihapit Bandung yang kesulitan mendapat akses tambahan modal dengan cara mengajukan pinjaman ke Bank NISP yang lokasinya persis berhadapan dengan kawasan PKL tersebut, tetap saja pihak Bank menganggap PKL tidak bankable, hal ini diungkapkan pula oelh PKL dari Sleman. Agak berbeda ceritanya PKL yang berada di Kota Jogja, melalui Koperasi yang mereka bentuk, pihak Bank mau mengucurkan dananya melalui Koperasi itu. Di Sleman, menurut penuturan PKL, terdapat Perda yang mengatur tentang PKL namun belum ada petunjuk pelaksanaannya sehingga menyebabkan tidak diakuinya PKL sebagai sebuah profesi. Pada umumnya, Perda yang mengatur PKL hanyalah yang bersifat penertiban.. Selain itu, karena tidak adanya pengakuan PKL sebagai sebuah pekerjaan atau profesi maka akibatnya tidak ada pembinaan dari
6. PENUTUP Penanganan masalah PKL menjadi hal yang krusial saat ini, terutama bagi pemerintah daerah, baik pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten. Penanganan yang dimaksud bukanlah sekedar penggusuran atau pemberangusan tetapi penanganan yang akan berdampak positif kepada banyak pihak, yaitu pemerintah, PKL itu sendiri dan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa profesi PKL menjadi suatu safety net di kala seseorang tidak punya pekerjaan atau tidak dapat ditampung dalam sektor formal. Dengan demikian pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus segera membuat strategi pengembangan PKL sebagai bagian dari pengembangan sektor informal dalam rangka penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Beberapa strategi yang dikembangkan adalah penataan PKL sehingga kawasan kota tetap cantik dalam bentuk pemberdayaan seperti : pemberian legalitas dalam usaha, pemberian modal, pemberian bantuan sarana dan prasana, serta pemberian pelatihan. Terdapat tiga bentuk pendekatan yang digunakan oleh pemerintah kota, yaitu : pertama, pendekatan humanistik yang dijalankan oleh Kota [244]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Solo dan Yogya yang memberdayakan PKL menjadi salah satu daya tarik kota dan sumber pendapatan. Pendekatan kedua, pendekatan represif tetapi tetap memberdayakan PKL seperti yang dijalankan Kota Palembang. Tegas dalam menindak pelanggaran tetapi membuat lokasi-lokasi sebagai sentra PKL. Dan yang ketiga, pendekatan represif dan permisif. Artinya pendekatan represif yang digunakan hanya musiman dan ada saatnya seolah-olah terjadi pembiaran berkembangnya PKL pada tempat-tempat yang dilarang serta bersifat tebang pilih. Hal ini yang dijalankan oleh Kota Bogor dan Bandung. Dilihat dari berbagai profilnya PKL sebagai bagian ekonomi sektor informal layak untuk dikembangkan sebagai suatu alternatif penanggulangan kemiskinan dengan berbagai cara pengembangan dan pemberdayaanya di perkotaan, tanpa melupakan pengembangan perekonomian di sektor lainnya baik di perkotaan dan di pedesaan Mengingat hasil analisa dilakukan terhadap data yang sangat terbatas, maka yang dapat dilakukan adalah memberikan informasi mengenai deskriptif analitik, sehingga belum dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan yang bersifat final. Studi yang lebih mendalam dan komprehensif, perlu dilakukan untuk mempertajam hasil analisis. Mengingat keterbatasan data, studi ini hendaknya dipandang sebagai sebuah langkah awal, dalam menyikapi keberadaan PKL yang semakin hari terasa semakin memerlukan perhatian dan penanganan yang arif dan bijaksana. Bagaimanapun juga, menata apalagi meniadakan PKL, akan menimbulkan implikasi dan penafsiran yang beragam, karena masalah PKL menyangkut banyak pihak yang berkepentingan. Keterbatasan sumber-sumber manajemen memaksa kita harus menentukan prioritas. Prioritas pertama hendaknya diberikan kepada kawasankawasan PKL yang secara langsung telah mengganggu arus lalu lintas. Penanganan kawasan lainnya perlu disesuaikan dengan kondisi kawasannya, apakah cukup pembinaan, penataan atau sudah diperlukan penertiban. Disamping rekomendasi tersebut di atas, beberapa pemikiran yang sifatnya terobosan, barangkali perlu permasalahan dikedepankan sebagai sebuah wacana yang dapat dijadikan bahan diskusi dengan melibatkan berbagai unsur yang terkait seperti, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, unsur pemerintah dan tidak ketinggalan para PKL nya itu sendiri.
Firnandy, 2002. Studi Profil Pekerja Di Sektor dan Arah Kebijakan Ke Depan. Direktorat Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi. Bappenas Haryono, Tulus, 1989. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Pedagang Kaki Lima : Studi Kasus di Kodya Surakarta (tesis yang tidak dipublikasikan, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada). Hidayat, 1978. "Peranan Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia", Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol. XXVI, No. 4, Desember 1978, hal. 415-443. ILO (2002) Women and men in the Informal Economy : A Statistcal Picture. Geneva, International Labor Office. Manning, Cris dan Tajuddin Noer. 1989. Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota. Gramedia, Jakarta. Nurul Widyaningrum, “Kota Dan Pedagang Kaki Lima” , Jurnal Analisis Sosial Vol 14 No.1 Juni 2009, Yayasan Akatiga, Bandung,2009 Portes, Alejandro (ed). 1989. The Informal Economy : Studies in advanced and less developed countries. Baltimore, Md. John Hopkins. University Press Schneider, F. dan D. Enste.2002. Shadow Economies Around the World : Sizes, Cause and Consequences. 2000. IMF Working Paper.00/26 Soemadi, M. Djelni, 1993. " Usaha Kaki Lima Tetap Merupakan 'Gantungan Hidup' bagi Mereka", Kedaulatan Rakyat, 14 Mei 1993. Suharto, Edi. ”Human Development and The Urban Informal Sector In Bandung, Indonesia : Poverty Issue”. 2002. New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2 (december,2002):115133 Biodata Penulis Deden Muhammad Haris, lahir di Purwakarta 7 April 1972. Menyelesaikan S1 pada Prodi Administrasi Fiskal Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia tahun 1997. Memperoleh gelar Magister Sains pada Program Administrasi dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi Universitas Indonesia 2006. Sejak tahun 2000 dosen pada STIAMI Jakarta kemudian pada tahun 2008 menjadi dosen tetap pada Prodi Administrasi Negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
PUSTAKA Becker, K. 2004. The Informal Economy : Fact Finding Study. SIDA, Stockholm
.
[245]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
BUREAUCRACY CULTURE AND LEADERSHIP IN INDONESIAN EADMINISTRATION IMPLEMENTATION: BASED ON PERSPECTIVE OF KNOWING AND LEARNING ORGANIZATION Ayuning Budiati, S.IP, MPPM Prodi Ilmu Administrasi Negara, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta Km. 4 Serang, Banten Email:
[email protected]
Abstract Indonesian E-administration implementation involves bureaucratic culture and leadership issues. Those issues appear due to the change that occurs if e-administration is implemented nationally. Implementing eadministration can be risky, expensive and difficult. The change is inevitable for effective and efficient eadministration implementation, and to gain its benefits. Patrimonial bureaucracy culture in Indonesia should be reformed into a situation that is more dynamic and transparent, moreover, there should be a sharing of information processes among government agencies. The patrimonial type of Indonesian bureaucracy is an inherent factor in the Indonesian political system in the new regime era. Historically, that situation is caused by the influence of traditional values from Indonesian ancient kingdoms and a colonial style of bureaucracy (Dutch invasion era). Moreover, Indonesian bureaucracy is still focused on social control and serving superior orientations rather than service orientation. Those values are still occurring in Indonesian bureaucracy in some areas, even though Indonesia is in the reform era. In this reform era, the Indonesian government’s bureaucracy still has not changed significantly. It is reflected in the government’s capacity to serve the public. For example, behavior patterns of bureaucrats in Banten, Yogyakarta, West Sumatra, and South Sulawesi still show a low level of accountability, responsiveness, and efficiency in giving the service to the public. In sum, public service quality is still at a low level. Public employees are not being motivated to improve and provide policy about ICT when there is a need of eleadership due to the characteristic of Indonesia’s paternalistic culture. This situation causes a lack of policy including operational guides at every level of government to improve ICT. Because of the situation, when there is no role model in electronic leadership, bureaucrats working under leaders are not motivated to improve and provide policies in electronic development. The paternalistic Indonesian culture makes bureaucracy unmotivated and provides electronic policies when there is not e-leadership. Indonesia needs a nationally committed leader to e-administration implementation, in order that there is bureaucratic support for the use of IT and there is ICT policy improvement. Improvement of ICT literacy and skill is needed in Indonesia’s e-administration implementation. Its improvement in committed leadership to the improvement of e-administration and the ability of controlling and managing e-administration implementation in Indonesia’s bureaucracy will enhance e-administration effectiveness. This paper will analyze those factors regarding the organization’s paradigms: organization as learning and knowing organization. Keywords: learning and knowing organizations, e-administration . According to Kettl (2000, pp. 68-69), “public 1. Bureaucracy and Indonesian Emanagement is inevitably about politics; and public administration Information technologies affect bureaucracy. management reform is about strengthening the “Information technologies affect information flows, ability of elected officials to produce result”. In coordination, and the work of the bureaucracy by addition, public management reform is as much altering the relationship between information and the about politics as management and it is about physical factors of distance, time, and memory” government, the private and nonprofit sectors (Kettl, (Fountain, 2001, p. 33). For example, data is being 2000, p. 69). Strengthening the ability of the digitized and can be accessed by every layer of bureaucrat is needed in public management reform government institutions easily, it can even be and in public service deliveries process. Good ability accessed without limitations of hierarchy. “The of bureaucrats in politic and management is needed creation of telecommunications networks can greatly in public management reform, including in ereduce the space (files), staff, and tasks needed to administration implementation. manage data” (Fountain, 2001, p. 35). The layers in bureaucracy are simplified. The measurement of government performance in new public management depends on the government [246]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
relationship. As Kettl (2000, p. 69) mentioned “the performance of government strongly depends on the relationship of administration with the rest of government and of government with nongovernmental partners”. As e-administration is linked to those three relationships, the success of egovernment will also mean the success of government performance.
In addition, there is limited transparency, openness, loyalty, and dialogue process with the public, and this creates situations where there is not a public trust of bureaucrats. Transparency and work culture reform has not changed Indonesian bureaucracy. There are still unofficial fees that burden people, and there remains a lack of public sector capacity to serve the citizens. For example, the unofficial fee needed in getting a land certificate (Dwiyanto et.al, 2002, p. 229). Bureaucratic work culture should be changed to be more dynamic, transparent, and accountable. E-government can help to achieve this.
Kettl (2000, p. 33) states, one important factor of management reform strategies is that they must fit with and be supported by the governance systems in which they are located. President’s directive is one example of supported governance systems. Indonesian President directive No. 3 in the 2003 about policy and national strategy of e-government implementation means that e-government becomes a reform in public management strategies and bureaucracy in Indonesia.
The process of changing the work culture in Indonesia’s public service is important. As Khudori cited in Setiyadi (2003), an obstacle faced by Indonesian government to improve e-government implementation is to change the work culture of public servants, because the effectiveness of public servants’ service to citizens will be seen by the citizens. Further opinion explains clearly the relation between the use of IT and the culture of organization. The use of an IT system will be successful only if it improves organizational performances. If the changes happen due to the use of IT, then the culture must change too, because future performance and survival are at risk (Sauer, C, Yetton, P.W., & Associates, 1997, p.134). Therefore, cultural changes in organization become unavoidable when adopting ICT.
In addition, according to OECD (2003, p. 157), “e-government will affect the relationship between the parliament, the executive and citizens, challenging traditional concepts of political legitimacy, representation and ministerial accountability”. E-government affects government strata and the citizens due to the use of Internet. The relations creates more accountability, transparency, better interaction and coordination among those strata because the virtual nature of the Internet. Moreover, bureaucracy’s layers will be simplified. Patrimonial bureaucracy culture in Indonesia should be reformed into a situation that is more dynamic and transparent, moreover, there should be a sharing of information processes among government agencies. The patrimonial type of Indonesian bureaucracy is an inherent factor in the Indonesian political system in the new regime era. Historically, that situation is caused by the influence of traditional values from Indonesian ancient kingdoms and a colonial style of bureaucracy (Santoso, 1993, p. 139). Moreover, Indonesian bureaucracy is still focused on social control orientation rather than service orientation (Santoso, 1993, p.140). Those values are still occurring in Indonesian bureaucracy in some areas, even though Indonesia is in the reform era. In this reform era, the Indonesian government’s bureaucracy still has not changed significantly. It is reflected in the government’s capacity to serve the public. For example, behavior patterns of bureaucrats in Yogyakarta, West Sumatra, and South Sulawesi still show a low level of accountability, responsiveness, and efficiency in giving the service to the public (Dwiyanto et.al, 2002, p. 228). In sum, public service quality is still at a low level.
Moreover, e-government implementation also needs change in the organizational structure. As Layne and Lee (2001, p. 135) state because egovernment becomes more prevalent, and the public sector organizational structure will change accordingly i.e. internally that is system efficiency, and externally that is the citizens. The most important factor is that e-government can give convenience to citizens, hence the changing of public sector’s work culture and organizational structure is intrinsic to gain the benefit of egovernment implementation. According to Rahardjo (2001), one obstacle of egovernment implementation in Indonesia is there is no sharing culture and willingness to create an efficient process, “why they should make the process easier if they can make it difficult”. It can be seen that the work culture among the bureaucrats does not have willingness to change into more efficient and effective work culture. Moreover, according to Accenture (2002), in their research about general public sector partnering issue, only 50 percent of respondents said they have the ability to share data with other government agencies, and only 11 percent have the ability to share it with businesses. This means, even though the public [247]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sector willing to share data with others agencies or private sector, they have lack capabilities to make them happen (Accenture, 2002).
bureaucracy never disappears, but it is restructured due to the use of Internet in the public sector. Improving the attractiveness of using IT in egovernment by bureaucracy can be conducted by the incentive method. As Margetts and Dunleavy (2002, p.12) state, citizen benefits of e-government can be maximized by using incentive to encourage citizens to access electronic services. For example, if citizens pay tax online, then the government will give a considerable reduction. However, this incentive system should be applied carefully. As Margetts and Dunleavy (2002, p.12) state, incentives have to be realistically designed so that they really are incentives. The citizens should obtain factual benefits, and they not be deceived by the government, because of the online incentive system.
In addition, according to Fountain (2001, p. 51), the Internet has the ability to affect not only production but also coordination. If public servants can understand and use Internet maximally, coordination among agencies can be improved. As long as Internet is used as, “simply a matter of increasing rationalization in the bureaucracy, then the logics would be perfectly aligned” (Fountain, 2001, p. 51). Hence, Internet will not and cannot change the rationale of bureaucrats. Internet will improve rationalization of bureaucracy and its organization. As Fountain states (2001, p. 12 and p.98), IT will reshape organization into a better logic, and reciprocally organization will shape the enactment of IT. It is clear that the use of IT, such as Internet will not harm organization and its bureaucracy, but it gives advantages.
2.
Leadership and Bureaucratic Culture in Indonesian E-administration: Learning and Knowing Organization Point of View Leadership and commitment are factors of successful e-administration because e-administration implementation needs change in bureaucracy culture and administration. A committed leadership to egovernment implementation can manage the change effectively. As OECD (2003, p. 153) states “leadership and commitment, at both political and administration levels, are crucial to managing change”, because committed leaders are to “deal with disruptive change, to persevere when benefits take time to emerge, to respond when things go wrong, and to establish visions and plans for the future”. Leadership is necessary at all levels, from the political to the administrative. Political leadership makes e-administration a priority and guides transformation by putting it in a broader context, and in administrations, leading implementers help translate political vision into an action plan (OECD, 2003, p.153). Leaders can make strategies in e-government implementation that becomes the guidance of its implementation or action.
Indonesia’s political, economic, and financial situations are still in crisis. Malpractice in the public sector still occurs. Bribing to get faster service is still consider common. There are different needs between private and public sectors in understanding reform in public administration. Bureaucrats that get advantages with the old system do not want to change, while the citizens need easier, cheaper, faster, on time, and transparent services. The work culture, vision, and mission should be changed into more efficient, effective, transparent, and accountable process of services for the citizens. Because, some public servants still misuse their information for their own benefit (Rahardjo, 2001). The use of the Internet will reduce layers in bureaucracy, due to on line activity. It will improve the cognitive aspect in an organization, including their bureaucracy, due to the adoption of technology and its rationalization. As Fountain (2001, p. 98) states, IT affects institutions in the form of “cognitive, cultural, socio cultural and formal embedded ness”. It also affects the changes in cultural issues in its working procedure. If it is used wisely then IT will improve coordination, effectiveness, and efficiency due to reducing time, distance, and memory.
Creating local leaders (team leaders, project leaders, etc) is a key answer to the principle of decentralized management and decision power over IT in organizations (OECD, 2003, p. 97). Hence, leadership is needed for managing and making decisions regarding e-administration implementation. According to OECD (2003, p. 98), principles for successful e-administration leadership are “coordinating resources and responsibilities within the organization; developing common vision and set objectives (e-agenda); developing the ability to persuade people to that vision in order to convince the enthusiasts and engage the skeptics; developing a customer-led and customer-focused approach;
Bureaucracy will be simplified due to the adoption of IT. The citizens can simplify its layers to gain services. As Hughes (2003, p. 193) states, bureaucracy will not disappear, only the layers reduce. In sum, Fountain (2001, p. 62) states, the Internet in bureaucracy is to lead to greater rationalization and standardization. The nature of IT is that rationality will effect and improve the rationalization of bureaucrats. The importance of [248]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
ensuring that leadership can be recognized and encouraged wherever it is found in the organization; raising the awareness and developing the skills of employees, encouraging innovative solutions to organizational problems; assessing and building the capacity to deliver on line services, leading people through the difficult process of change, securing the commitment from staff along the way and managing their programme of work; ensuring technological development within the organization and make sure that personnel can fully benefits from that; recognizing the full use of technologies but not chasing technological solutions in itself”. These principles need to be implemented in all government institutions in Indonesia to improve its e-leadership. Leadership in e-administration implementation is essential, especially in deciding vision, mission, strategic planning, managing, and coordinating implementation nationally in Indonesia. The importance of leadership in an organization is stated by Evans and Wurster (2000, p. 228), a leader is creating a culture and strategy. The cultural values in an organization reflects the vision of the leader, and the organization’s programs or activities improvement will depend on the leader’s skill; moreover, the right culture in organization only depend on the leader skill (Evans and Wurster, 2000, p. 228). Hence, leadership is an essential factor to implement and improve a new system, such as eadministration. Apparently, there is no one national e-leadership in Indonesia that can be used as a role model. As Setiyadi (2003) states, Indonesia does not have e-leadership that can become a role model for the public in deciding electronic strategies. In Malaysia, Dr. Mahatir Muhammad (their former Prime Minister) gave vision for electronic development through InfoComm’s infrastructure. In addition, based on experience in Indonesia, when high level of local officials such as mayors or governors do not have ICT awareness, then projects will not be successful (Minges, 2002). This situation describes the importance of leadership in eadministration implementation and improvement in Indonesia.
nationally committed leader to e-administration implementation, in order that there is bureaucratic support for the use of IT and there is ICT policy improvement. An example where leadership has an important role in the success of e-administration implementation is in Takalar regency, Indonesia. The head of Takalar regency is motivated and committed to implementing e-government in his area. Moreover, he can organize the business sector in his area that supports e-administration implementation. Hence, its government can give better service to their citizens. For example, making an ID card only takes five to ten minutes, licenses (such as a business license) that usually take two weeks, now only take one to three days, and there is 70% better efficiency in paper usage (Susatijo, 2003). Moreover, in East Kutai regency (Kalimantan Island), its regent, Awang Faroek Ishak is committed to implementing e-administration. It is proved by his preparation in all supported infrastructure and simptap (management information system within one roof) project that have succeeded (Gatra.com, 2003). There are still obstacles when head of agencies are not willing to implement e-government. They do not like a changing process and there is a fear of disappearance of revenue from other sources for their public servants. There is still resistance to change from local bureaucrats because multilevel corruption becomes less (Gatra.com, 2003). Unwillingness to change by the leaders and fear of losing additional revenue are still obstacle of eadministration implementation. Clear vision, mission, strategy, and committed national leaders to e-administration improvement are important, because leaders have a crucial role in deciding e-government implementation. Garnham (2000) cited in Setiyadi (2003) states, non-technical factors, such as vision, mission, goals and strategies conducted with full support of national leaders is more dominant than technical factors (such as computer and telephone) in improving the success of e-administration. In Indonesia’s case, leadership commitment to e-government should be followed by other factors, namely supported ICT infrastructure, cyberspace law enforcement, capable human resources in ICT, and a supportive bureaucratic work culture. Those factors should be in an integrated way improved to gain maximum benefits of e-administration implementation. As in learning and knowing organization, leadership has significant role to improve eadministration. The power of leadership in superior affects systemic mindset of public servants in understanding and serving public. As a systemic point of view, internal and external factors should be considered in improving e-administration
Public employees are not being motivated to improve and provide policy about ICT when there is a need of e-leadership due to the characteristic of Indonesia’s paternalistic culture. This situation causes a lack of policy including operational guides at every level of government to improve ICT. Because of the situation, when there is no role model in electronic leadership, bureaucrats working under leaders are not motivated to improve and provide policies in electronic development. As Setiyadi (2003) states, the paternalistic Indonesian culture makes bureaucracy unmotivated in electronic development and provides electronic policies when there is not e-leadership. Indonesia needs a [249]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
implementation. All aspects interconnect to each other. To reduce digital divide, public organization need more aggressive in training their bureaucrat, as in learning organization. There are aspects need to be fulfill to improve bureaucratic culture and leadership based on knowing and learning organisations, namely: 1. Visioner leader 2. Implementing formal and informal reward 3. Publishing the success staffs 4. Starting with adapting style and culture of organization As Indonesia e-administration is in dynamic situation with free trade agreement situation, political and economy fluctuation and local values that embedded in every people’ development actions, hence in knowing and learning organization point of view, there is a need of information seeking behavioral pattern that needs to be involve in Indonesian e-administration. Ellis (1989) in Chun Wei Choo (2006:60) states that there are eight behaviors characteristic that need to be fulfill in the information seeking phase, namely: 1. Starting: bureaucrats and society search for information (that their need). 2. Chaining: they have culture to citation or reference among materials they use 3. Browsing: they have culture in searching in an area of potential interest 4. Differentiating: they have culture in using materials when they use information differences for positive reason 5. Monitoring: there is an action of monitoring information for development issue 6. Extracting: they have culture in working systematically to identify any materials that they need. 7. Verifying: they have culture in eager to check the accuracy of information 8. Ending: they are still have feeling to seek information even at the end of their action, for checking purposes.
activities in knowing and learning organization (in order the optimum e-government imperatives can be felt by Indonesian people), namely: sense making, knowledge creation and decision making. Strategy to improve leadership and bureaucratic culture in the learning and knowing organization is by using The Knowing Cube (Chun Wei Choo, 2006:314). The knowing cube is the model that provides a structure and language that can be used to analyze information use in organization (Chun Wei Choo, 2006:314). According to Chun Wei Choo this model does not suggest universal solutions, but it offers a framework that can help an organization to think through its own strategy to gain better actions to achieve organization’s goals. Overall the knowing cube is not a panacea of all obstacles in ICT adoption (e-administration) in organization. Factors influence information in organization – sense making, knowledge creation and decision making- are: cognitive, affective and situational (Chun Wei Choo,2006:314). Those factors play out at the individual, group and organizational level (Chun Wei Choo, 2006:314).By using cognitive, affective and situational factors in the sense making, knowledge creation and decision making in eadministration implementation, a leader can has a framework to help organization analyze its management and use of information, including in creating bureaucratic culture in adopting ICT in government’s every day duties.. As cultural knowledge consists of the shared assumptions and beliefs about organization goals, identities, capabilities, customers and competitors (Chun Wei Choo, 2006:196), then cognitive, affective and situational factors are needed to improve bureaucratic culture including in e-administration implementation. 3. Conclusions There is still no culture of sharing of information in Indonesian bureaucracy. This remains an obstacle of e-government implementation. Furthermore, Indonesia’s bureaucracy is another drawback of the use of ICT to improve their capacity to serve their citizens. Not all bureaucrats are willing to change their work culture.
As above eight generic characteristics of information seeking behavior is not generally already in Indonesian public organization and society have, however in this digital and eadministration era, those characteristic need to be placed. So as to, Indonesian can improve their welfare, because other countries (developed and developing countries already adopt ICT) already in this or close to this information seeking pattern. Therefore, Indonesian national leaders and bureaucratic culture need to improve those eight generic characteristics in order Indonesian eadministration in this information era improve. Those items indicate the three major information
Leadership has an important role in creating good vision, mission, and strategy of eadministration implementation in Indonesia. A committed leader to the improvement of eadministration implementation will affect the effectiveness of e-administration implementation. Indonesia still needs a national leader to improve its e-administration implementation. To enhance the role of leadership and bureaucratic culture in e-administration from the learning and knowing organization, there is a need to [250]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
fulfill: visioner leader, implementing formal and informal reward, publishing the success staffs and starting with adapting style and culture of organization.
The Asian Development Bank, E-government to Combat Corruption in the Asia Pacific Region, http://www.adb.org/Governance/egovernmentc orruption.pdf, May 2003, [date accessed: 10 October 2003]. The United Nations, Benchmarking E-government: A Global Perspective, http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/d ocuments/un/unpan003984.pdf, 2001, [date accessed: 21 January 2003]. The United Nations. (2003), World Public Sector Report 2003: E-government at the Crossroads, The United Nations, New York. The World Bank, The E-government Handbook for Developing Countries, A Project of InfoDev and The Center for Democracy and Technology, http://www1.worldbank.org/publicsetor/egov/ E-gov%20Handbook.pdf, 2003, [date accessed: 10 November 2003]. Victorian Government, Multi Media Victoria, Putting People at the Centre, Government Innovation Working for Victorians, http://www.mmv.vic.gov.au, 2002, [date accessed: 24 February 2004]. Wahyudi, I.A., Indonesian E-government, http://www.eov.thai.gov.net/knowledge/eGov ernmentInter/INA.ppt, November 2001, [date accessed: 29 January 2003]. Weill, P & Vitale, M.R. (2001), Place to Space, Migrating to eBusiness Models, Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts. Weill dan Ross, (2004), IT Governance, How Top Peformers Manage IT Decision Rights for Superior Results, Harvard Business School Press, Massachusetts. Wibisono, Y & Sulistyaningsih, W, The Development of E-government in Indonesia, http://www.uncrd.or.jp/ict/eworkspace/papers/ dp_woro.htm, 2002, [date accessed: 31 January 2003]. Yong, J.SL. (Eds.) (2003), Enabling Public Service Innovation in the 21st Century: E-government in Asia, Times Media Private Limited, Singapore.
The Knowing Cube is a model of creating a framework of leaders and bureaucratic culture to improve and analyze the use of ICT in government’s duties or e-administration. References Chun Wei Choo, 2006, The Knowing organization: How Organizations Use Information to Construct meaning, Creating Knowledge, and Make Decisions, Oxford University Press, New York. Gronlund, A. (2002), Electronic Government: Design, Applications and Management, Idea Group Publishing, Hershey. Hughes, O. E. (2003), Public Management & Administration: An Introduction, Palgrave Macmillan, New York. KDI School of Public Policy & Management, OECD (Organization for Economic Cooperation & Development), Korean Ministry of Planning & Budget. (2003), International Seminar on Open Government, KDI School, OECD, Korean Ministry of Planning & Budget, Korea. Layne, K. & Lee, J. (2001), “Developing Fully Functional E-government: A Four Stage Model”, Government Information Quarterly, No. 18, pp.122-136. Laudon, K.C & Laudon, J.P. (1998), Information Systems and the Internet, A Problem-Solving Approach, The Dryden Press, Harcourt Brace College Publishers, Fort Worth, Philadelphia. Marche, S & McNiven, J.D. (2003), “E-government and E-governance: The Future Isn’t What It Used To Be”, Canadian Journal of Administrative Science, Vol. 20, No. 1, pp. 74-86. OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). (2003), The Egovernment Imperative, OECD Publications Services, Paris. Prins, J.E.J. (Eds). (2001), Designing E-government, On the Crossroads of Technological Innovation and Institutional Change, Kluwer Law International, Netherlands. Setiadi, Kompas, 16 Mei 2005, Pelayanan Publik di Indonesia, Jakarta. Sinar Harapan, October 2005, Indonesia Negara Terkorup Ke Enam, Jakarta. Smith, R.F.I, Can E-government Help?, 2005, Monash University, Melbourne.
[251]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
ARTI PENTING PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEBIJAKAN PUBLIK DI DAERAH: ANALISIS DENGAN TEORI SISTEM DAVID EASTON Lince Magriasti Jurusan Ilmu Sosial Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang Jl. Prof. DR. Hamka Air Tawar Padang, Sumatera Barat E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penerapan good governance dalam tata pemerintahan di daerah, prasyarat yang tidak dapat ditinggalkan adalah partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik. Ketika pemerintah menerapkan otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi, partisipasi masyarakat menjadi prasyarat utama. Hal ini mencakup semua aspek pelaksanaan pembangunan di daerah mulai dari perencanaan hingga pengawasan. Partisipasi masyarakat inilah yang mendorong proses demokratisasi dapat berjalan dengan lancar. Jika dianalisa secara teoritis, teori sistem David Easton sudah mewakili gambaran pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembuatan ataupun perubahan kebijakan. Secara sederhana Easton memaparkan bahwa proses input yang berasal dari tuntutan dan dukungan masyarakat, kemudian dikonversikan oleh lembaga pembuat kebijakan, barulah dapat melahirkan output berupa kebijakan publik yang diberlakukan kepada masyarakat. Hal ini selanjutnya berproses lagi dengan pengaruh dari lingkungan dalam dan luar dari masyarakat tersebut, dan pada akhirnya melahirkan input baru. Pada dasarnya teori ini merupakan konsep umum lahirnya sebuah kebijakan, contoh Instruksi Walikota Padang tentang Berpakaian Muslim/Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK di Kota Padang. Kebijakan ini lahir sebagai bentuk dukungan kondisi secara umum Sumatera Barat yang mayoritas Islam dengan berpegang pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Kondisi ini yang menjadi acuan pemerintahan daerah dan selanjutnya mengeluarkan kebijakan yang diterapkan dalam masyarakat. Hingga saat ini pun masyarakat menyambut dan melaksanakan dengan baik kebijakan tersebut, inilah bentuk partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik di daerah khususnya Kota Padang. Kata Kunci: partisipasi, kebijakan, teori sistem nasional dalam rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapangan bawah. b. Segi manajemen pemerintahan adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat. c. Segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri, dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhannya. d. Segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.
1.
PENDAHULUAN Reformasi yang bergulir pertengahan 1998 lalu, ternyata memberikan perubahan yang signifikan dalam kehidupan politik di Indonesia. Perubahan mendasar yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia salah satunya yaitu perubahan UU Pemerintahan Daerah yang semenjak Orde Baru tidak pernah mengalami perubahan yaitu UU No. 5 Tahun 1974 menjadi UU No 22 Tahun 1999. Praktik hubungan pusat dan daerah yang sebelumnya adalah sentralisasi, berubah menjadi desentralisasi dimana otonomi daerah dititikberatkan pada daerah kabupaten/kota. Penyelenggaraan desentralisasi ini dilaksanakan secara utuh dan bulat dalam hampir semua aspek pemerintahan kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Konsekuensi otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi ini, mendorong daerah melakukan improvisasi, kreasi, inovasi hingga distorsi kebijakan. Selain itu, otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi ini memiliki tujuan yang meliputi empat aspek (Sarundajang, 2000): a. Segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan
Dari tujuan penyelenggaraan otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat merupakan subjek sekaligus objek dari pelaksanaan pemerintahan di daerah. Maksudnya adalah bahwa ketika pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan, masyarakat menjadi objek karena hal tersebut diberlakukan dan dilaksanakan [252]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pada seluruh lapisan masyarakat. Sementara masyarakat menjadi subjek, ketika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mengikutsertakan atau karena adanya partisipasi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat tidak dapat dipinggirkan apalagi dalam proses lahirnya kebijakan. Ini dimaksudkan agar masyarakat merasakan bahwa kebijakan yang diberlakukan pemerintah merupakan manifestasi dari kebutuhan dan keinginan masyakarat. Lebih lanjut dalam pelaksanaan tata pemerintahan di daerah, partisipasi masyarakat merupakan salah satu prasyarat penerapan konsep good governance (tata pemerintahan yang baik). Konsep good governance memiliki beberapa prinsip yang disepakati mulai dari tingkat global hingga level nasional. Prinsip good governance yang dipaparkan World Bank, UNDP, Bappenas hingga ditetapkan dalam bentuk kebijakan yatu Perpres No. 7 Tahun 2005, secara keseluruhan menyebutkan partisipasi masyarakat merupakan salah satu prinsip good governance (LAN, 2007). Konsep good governance ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi masyarakat, hak asasi manusia dan pembangunan manusia secara berkelanjutan (Thoha, 2003). Ini berarti partisipasi masyarakat penting keberadaannya termasuk dalam pembuatan ataupun perubahan kebijakan publik baik secara nasional hingga di daerah. Begitu pula halnya yang dijadikan contoh dalam tulisan ini tentang partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik di Kota Padang yaitu Instruksi Walikota Padang No. 451.422/Binsos-III/2005 tentang Pelaksanaan Wirid Remaja Didikan Subuh, Anti Togel/Narkoba serta Berpakaian Muslim/Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK di Kota Padang. 2.
Dalam tahap ini, partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan berupa forum diskusi ataupun bentuk lain yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di tingkat lokal. b. Tahap partisipasi dalam perencanaan pembangunan, Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya diukur dari derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak untuk ikut membuat keputusan yang mencakup merumuskan tujuan, maksud dan target. c. Tahap partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, Partisipasi masyarakat dalam tahap pelaksanaan pembangunan diartikan sebagai pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga, kerja, uang tunai dan atau bentuk lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh warga yang bersangkutan. d. Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan, Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dalam pembangunan sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan bukan hanya untuk tercapainya tujuan, tetapi juga diperlukan untuk mendapatkan umpan balik tentang masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan sangat diperlukan. e. Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan, Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan merupakan hal penting namun sering terlupakan. Padahal tujuan dari pelaksanaan pembangunan adalah untuk memlperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan merupakan tujuan utama. Selain itu, pemanfaatan hasil pembangunan akan menumbuhkan kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang.
KERANGKA TEORI
2.1 Konsep Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat terdiri atas dua kata yaitu partisipasi dan masyarakat. Partisipasi dalam Bahasa Inggris yaitu participation yang artinya pengambilan bagian dan pengikutsertaan. Sedangkan masyarakat dalam Bahasa Inggris yaitu society yang berarti perkumpulan, perhimpunan dan lembaga. Ini berarti partisipasi masyarakat yaitu mengikutsertakan banyak orang atau perkumpulan. Dalam artikel Aziz Turindra (2011), ada beberapa tahapan dari partisipasi masyarakat, yaitu: a. Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan, Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat yang lebih banyak mencerminkan kebutuhan dari kelompok elit yang berkuasa daripada keinginan masyarakat banyak.
2.2 Teori Sistem David Easton Menurut David Easton, sistem politik adalah sistem interaksi dalam setiap masyarakat didalamnya dibuat alokasi yang mengikat atau bersifat otoritatif diimplementasikan (Varma, 1992). Easton memandang kehidupan politik sebagai suatu sistem yang terdiri dari aktivitas yang saling berkaitan. Aktivitasi itu menemukan hubungan-hubungan atau ikatan sistemiknya dari kenyataan bahwa aktivitas itu mempengaruhi bagaimana keputusan otoritatif dirumuskan dan dilaksanakan. Bila kehidupan politik dipandang sebagai suatu sistem aktivias,
[253]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
maka dijumpai suatu konsekuensi tertentu dari cara melakukan analisis mengenai operasi suatu sistem. Masukan-masukan (input) yang datang dari komponen lain dalam sistem merupakan energi bagi sistem itu sendiri yang menyebabkan sistem itu berjalan. Masukan itu dikonversi oleh proses sistem politik sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang otoritatif. Kebijakan-kebijakan itu mempunyai konsekuensi terhadap sistem politik itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungannya. Gambaran kehidupan politik melalui pendekatan sistem digambarkan oleh David Easton dalam gambar sebagai berikut (Wikipedia, 2011):
c. Diferensiasi suatu sistem Dalam praktik, tidak memungkinkan suatu sistem politik yang signifikan dimana unit-unit yang sama melakukan aktivitas yang sama pada waktu yang sama. d. Integrasi sistem politik Jika unit-unit sistem politk melakukan aktivitas yang berbeda pada waktu yang bersamaan masalah yang muncul adalah bagaimana membawa aktivtas yang berbeda pada waktu yang bersamaan itu ke dalam tingkat artikulasi minimal yang diperlukan bagi sistem politik agar tidak hancur sewaktu memproduksi hasil. Untuk itu, sistem harus memiliki mekanisme yang memadukan (mengintegrasikan) atau merangsang para anggotanya untuk bekerjasama dalam kadar minimal agar mereka dapat mengambil keputusan mengikat.
Tuntutan
Sistem Keputusan Politik
Inputs Dukungan
Output
Tindakan
3.
3.1 Sekilas tentang Minangkabau dan Kota Padang Sejarah etnik Minangkabau berbeda sekali dengan etnik lain di Indonesia. Jika sejarah keberadaan etnik ini ditandai dengan adanya aksara sendiri, etnik Minangkabau sampai abad ke 14 Masehi peninggalan sejarahnya ditulis dalam hurufhuruf yang dikenal di Pulau Jawa pada saat itu. Bukan hanya itu, tambo-tambo Minangkabau yang ditulis semenjak masuknya agama Islam pun ditulis dalam aksara Arab. Ini berarti sampai abad ke 14, etnik Minangkabau ini adalah etnik pra-sejarah, karena zaman sejarah dimulai setelah ada tulisan. Akibat tidak adanya aksara asli ini adalah tidak terdapat dokumen sejarah otentik etnik ini. Baru pada tahun 1970, para sejarawan asal Minangkabau bersama-sama menulis buku sejarah pertama dari etnik Minangkabau (Bahar dkk, 2004). Jumlah seluruh etnik Minangkabau pada tahun 2000, baik yang berdiam di Propinsi Sumatera Barat (Sumbar) maupun di daerah perantauan adalah 5.475.145 orang, terdiri dari 2.708.751 laki-laki dan 2.766.394 perempuan (Bahar dkk, 2004). Di Propinsi Sumbar sendiri, etnik Minangkabau merupakan mayoritas tunggal yaitu 88,35% dari seluruh penduduk (Suryadinata, 2003). Ditambahkan lagi, 97% warga Sumbar adalah beragama Islam (Bahar dkk, 2004). Kedekatan praktik adat Minangkabau dan mayoritas beragama Islam yang dianut masyarakat Sumbar, memberikan imbas pada falsafah hidup masyarakat Sumbar secara keseluruhan. Hal ini tergambar dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat berpegang pada yang benar, yang benar berpegang pada Al Qur’an) yang menjadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Saat ini, Sumbar terdiri atas 19 kabupaten/kota dengan Kota Padang sebagai ibukota propinsi.
Umpan Balik Lingkungan
PEMBAHASAN
Lingkungan
Gambar 1. Model Teori Sistem Politik David Easton David Easton mengemukakan beberapa ciri sistem politik (Varma, 1992): a. Sifat identifikasi Untuk membedakan sistem politik dengan sistem sosial lainnya ada beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu: 1) Unit-unit sistem politik Unit-unit sistem politik adalah aksi-aksi politik yang biasanya membentuk diri dalam peran politik dan kelompok politik. Aksi-aksi politik dimasukkan setiap tindakan yang terkait dengan kekuasaan politik dalam masyarakat. 2) Batas-batas sistem politik Untuk dapat membedakan antara sistem politik dengan lingkungannya, maka sistem politik mempunyai batas-batas tertentu. Batas suatu sistem politik ditentukan oleh unsur tindakan yang kurang lebih berhubungan dengan pengambilan keputusan yang mengikat (otoritatif) bagi suatu masyarakat. Setiap aksi sosial yang tidak memiliki ciri-ciri ini sudah jelas tidak termasuk ke dalam sistem politik. b. Input dan output sistem politik Agar sistem politik selalu bekerja melahirkan output, maka setiap sistem politik memerlukan input (masukan) terus-menerus dari masyarakat. Tanpa input suatu sistem politik tidak dapat bekerja, seterusnya tanpa output kita tidak dapat mengidentifikasi pekerjaan yang dilakukan sistem politik tersebut. Salah satu indikator yang memperlihatkan kualitas sistem politik adalah kuantitas dan kualitas input dan output sistem politik tersebut. [254]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Penetapan sebagai ibukota propinsi, secara de facto dinyatakan sejak tanggal 29 Mei 1958 oleh Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Nomor 1/g/PD/1958, dan secara de jure di tahun 1975, yang ditandai dengan keluarnya Undangundang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dari segi sejarah, tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini Padang. Diperkirakan kota ini pada zaman dahulu berupa sebuah lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan Padang. Kata Padang juga dapat berasal dari bahasa Minang yang bermaksud pedang. Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya merupakan bahagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari dataran tinggi (darek). Tempat pemukiman pertama adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang. Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan daerah pesisir pantai barat Sumatera berada di bawah pengaruh kerajaan Pagaruyung. Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bahagian dari kedaulatan kesultanan Aceh (Wikipedia, 2011). Orang Minangkabau di Kota Padang merupakan perantau dari daerah lainnya dalam Propinsi Sumbar. Pada tahun 1970, jumlah pendatang sebesar 43% dari seluruh penduduk, dengan 64% dari mereka berasal dari daerah-daerah lainnya dalam provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 1990, dari jumlah penduduk kota Padang, 91% berasal dari etnis Minangkabau. Mayoritas penduduk Kota Padang memeluk agama Islam yang kebanyakan pemeluknya adalah orang Minangkabau (Wikipedia, 2011). Lebih jauh mengenai pemerintahan Kota Padang, pemilihan kepala daerah secara langsung pada kali pertama dalam suasana reformasi pemerintahan dan era otonomi daerah, baru dilakukan pada tahun 2009. Pada tahun 2009 tersebut, Fauzi Bahar terpilih kembali untuk masa jabatan kedua kalinya sebagai Walikota Padang, sedangkan pada masa jabatan sebelumnya pada tahun 2004 dia masih dipilih melalui sistem perwakilan di DPRD kota.
terdapat kurang lebih 25 perda syariah yang tersebar di propinsi dan 12 kabupaten/kota. Di Kota Padang, perda syariah yang diberlakukan kepada masyarakat adalah berupa instruksi Walikota Padang tentang Pemakaian Muslim/Muslimah bagi Murid/Siswa sekolah mulai dari SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK melalui Instruksi Walikota Padang No. 451.422/BinsosIII/2005. Dilihat dari sejarah dan ciri khas Minangkabau, adat istiadat dan budaya sudah membaur dengan sangat baik dengan perkembangan agama Islam dan menjadi agama yang mayoritas dianut sehingga falsafah hidup masyarakat Minangkabau dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Ditambahkan lagi, kebijakan ini diberlakukan sebagai bentuk pengembalian adat budaya Minangkabau kembali ke Surau. Bahwa dulunya masyarakat terutama kaum laki-laki Minang banyak beraktivitas bahkan tinggal di Surau, dimana tidak ada anak laki-laki yang tidak pandai mengaji dan sore atau malam harinya bersilat (olahraga silat). Inilah salah satu alasan Surau di Minangkabau memiliki halaman yang luas karena sebagai tempat untuk berlatih silat bagi laki-laki Minang dulunya. Sementara itu bagi kaum perempuan Minang, pakaian yang dikenakan adalah baju kurung dan pelengkap baju kurung tersebut adalah selendang. Seperti yang diutarakan Walikota Padang, Fauzi Bahar dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 16 Mei 2011, bahwa selendang ini ketika ditiup angin akhirnya dililitkan ke leher dan pada akhirnya dikenal dengan berjilbab. Ini berarti gambaran perempuan berpakaian muslim yang dituangkan dalam kebijakan tersebut. Ditambahkan lagi, Fauzi Bahar sebagai Walikota pembuat kebijakan di Kota Padang pada saat itu, setelah mempelajari kurilulum siswa mulai dari SD hingga SLTA sederajat memandang waktu pelajaran agama sangat kurang yaitu 2 jam perminggu. Pembahasan tentang shalat pun hanya dibahas pada kurikulum SD sederajat, sementara tingkatan selanjutnya membahas tentang sejarah kerajaan Islam. Hal ini yang memotori lahirnya kebijakan tentang berpakaian muslim, dimana anak sekolah diinstruksikan untuk berpakaian muslim/muslimah dan melalui Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang pada saat itu, dimintakan anak-anak sekolah untuk shalat Zuhur berjamaah. Kondisi ini diikuti dengan mensosialisasikan libur selama bulan Ramadhan untuk seluruh sekolah mulai dari SD hingga SLTA dan kemudian diisi dengan Pesantren Ramadhan bagi yang Muslim dan Pastoral bagi siswa Nasrani. Dukungan lahirnya kebijakan ini bukan hanya dari beberapa hal tersebut di atas, pembuat kebijakan juga belajar dari nilai Budhis yang diajarkan bagi anak-anak umur 13 hingga menikah di Kamboja. Dimana pada usia tersebut, anak-anak diajarkan tentang nilai-nilai Budhis dan berpindah-pindah
3.2 Proses Lahirnya Kebijakan Publik di Kota Padang Reformasi yang bergulir di Indonesia tahun 1998 dan kemudian berimbas pada pergantian paket UU Otonomi Daerah, ternyata membuat daerah memiliki keleluasaan untuk berinovasi dan berkreasi sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Salah satu bentuk inovasi dan kreasi daerah adalah keluarnya perda syariah di banyak daerah, baik yang berdasarkkan syariat Islam ataupun Injil bagi daerah yang mayoritas Kristen seperti di Papua Barat. Paling tidak sejak reformasi sudah ada kurang lebih 166 perda syariah yang ada di daerah-daerah. Kondisi ini juga terjadi di Sumatera Barat, dimana [255]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pagoda. Hal ini dianggap dapat menghindari anakanak dari nilai-nilai yang negatif karena ada konsep karma yang diterapkan, apakah itu karma baik atau buruk. Inilah yang terbawa hingga dewasa. Bukan hanya itu, dewasa ini penanaman nilainilai dan norma agama untuk membentuk karakter manusia dianggap penting. Fauzi Bahar lebih lanjut menyampaikan bahwa pada 20 Mei 2011 Presiden SBY mencanangkan character building, sebagai bentuk pertahanan atas globalisasi dan ancaman terorisme yang banyak terjadi mengatasnamakan agama. Konsep ini sudah diterapkan di Kota Padang sejak 2005 dengan keluarnya Instruksi Walikota Padang. Pada awal kebijakan ini diterapkan, banyak pro dan kontra yang berkembang di masyarakat. Namun pada perkembangannya banyak keuntungan yang dihasilkan. Secara praktiknya saja, berpakaian muslim terutama berjilbab bagi anak perempuan memberikan gambaran yang baik, seperti dapat dicontohkan bahwa dari laporan Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang, bahwa angka penderita demam berdarah untuk anak-anak menurun drastis. Hal ini dikarenakan pada pukul 8 hingga 10 pagi dan pukul 3 hingga 5 sore adalah waktu rawan untuk digigit nyamuk demam berdarah dan pada jam-jam tersebut adalah waktu dimana siswa sedang belajar dan dimungkinkan untuk terjangkit. Bukan hanya itu, kondisi daerah yang berbeda-beda dimana ada daerah yang dingin memungkinkan membantu siswa untuk tidak kedinginan dan konsentrasi dalam menerima pelajaran. Ditambah lagi, juga menghemat waktu dan uang dibandingkan tidak berjilbab, selain juga menghindari hinaan dan keisengan orang yang tidak bertanggung jawab hanya karena mengenakan rok pendek dan tidak berjilbab. Perubahan ini kemudian juga diterapkan oleh Fauzi Bahar pada pegawai-pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Padang. Banyaknya perubahan yang terjadi di Kota Padang setelah pemberlakukan Instruksi Walikota Padang tentang Berpakaian Muslim ini, pada akhirnya membuat masyarakat menerima dan melaksanakan dengan baik dan lancar segala aktivitas yang berkaitan dengan kebijakan tersebut. Bukan hanya bagi siswa muslim saja, tetapi peningkatan nilai-nilai keagamaan juga semakin ditingkatkan di sekolah-sekolah Kristen, seperti pelaksanaan pastoral pada saat siswa Muslim menjalani Pesantren Ramadhan selama kurang lebih satu bulan di Bulan Ramadhan yang memang diliburkan untuk aktivitas belajar-mengajar di sekolah. Hal-hal tersebut yang selanjutnya membuat kebijakan ini didukung dan semakin dikembangkan pelaksanaannya. Hal positif lainnya yang diterima oleh pembuat kebijakan adalah dengan terpilihnya Fauzi Bahar untuk periode yang kedua melalui pemilihan langsung pada tahun 2009. Dari data perolehan suara
Pemilihan Umum Kepala Daerah kota Padang pada 2009 lalu, dari lima pasangan calon, Fauzi Bahar bersama calon Wakil Kepala Daerah Mahyeldi, berhasil memdapatkan dukungan mayoritas mutlak sebesar 51,53% suara. Suara ini jauh mengungguli Wakil Walikota sebelumnya yang kemudian mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah yang memperoleh suara sebesar 22,03%. Paling tidak ini adalah salah satu imbas dari kebijakan popular dan sesuai dengan budaya serta kebutuhan masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat di Kota Padang. 3.3 Analisis Teori Lahirnya kebijakan Walikota Padang tentang berpakaian muslim, adalah berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi adat budaya serta agama yang dianut di Minangkabau secara umum. Bukan hanya itu, dukungan dalam bentuk pembelajaran informatif pun menjadi pertimbangan. Ditambah lagi tuntutan untuk kembali ke Surau dan nilai-nilai budaya yang memang sudah lama berkembang dalam masyarakat turut mendorong lahirnya kebijakan ini. Dilihat partisipasi masyarakat secara langsung, dari diskusi penulis dengan Fauzi Bahar sebagai pembuat kebijakan, secara tegas kebijakan tersebut dibuat memang lebih banyak merupakan inisiatif pembuat kebijakan. Namun dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan kebijakan, partisipasi masyarakat secara langsung ditunjukkan dengan dukungan masyarakat umum, lembaga yang terkait dan peran serta pihak sekolah melalui telaah kurikulum. Kebijakan pun dalam pelaksanaannya didukung selain masyarakat secara luas tapi juga pihak sekolah bahkan sekolah Kristen. Demikian juga dalam tahap pemanfaatan, secara jelas menunjukkan bermanfaat bagi seluruh siswa tanpa pembedaan agama, juga oleh masyarakat yang saat ini memperlihatkan peningkatan jumlah pemakai pakaian muslim dan berjilbab. Ditambah lagi, ekonomi masyakarat saat ini mulai berkembang untuk penjualan pakaian muslim. Lebih lanjut pemanfaatan hasil kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat dan siswa sekolah, tetapi juga diperoleh oleh pembuat kebijakan dengan terpilih kembali menjadi Walikota Padang untuk periode yang kedua melalui pemilihan langsung. Peningkatan aktivitasi keagamaan yang mulai ditingkatkan termasuk untuk siswa Nasrani melalui Pastoral juga mendapat dukungan besar dari pihak sekolah Kristen di Kota Padang. Kegiatan ini dikembangkan bersamaan dengan Pesantren Ramadhan bagi siswa Muslim. Sejauh ini banyak dukungan yang diberikan oleh masyarakat secara luas terhadap kebijakan tersebut, sehingga yang ada adalah tuntutan dan dukungan perubahan yang lebih baik dalam pelaksanaan program kebijakan ini.
[256]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Jika dipetakan secara teoritis dengan teori sistem David Easton, dapat dilihat beberapa hal yaitu: a. Input, Kebijakan tentang berpakaian muslim bagi siswa sekolah didukung oleh input sebagai berikut: 1) Budaya alam Minangkabau kembali ke Surau dan berbaju kurung bagi perempuan. 2) Agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Kota Padang. 3) Waktu pembelajaran dan kurikulum pelajaran agama dari SD hingga SLTA yang dianggap kurang dapat membentuk karakter anak yang lebih baik. 4) Pengaruh dari lingkungan luar yang sifatnya informatif dari pengalaman pengajaran Budhis di Kamboja. b. Konversi Kebijakan, Kebijakan ini dibuat berdasarkan input-input di atas dan mengikutsertakan lembaga terkait, partisipasi masyarakat dan pihak sekolah termasuk sekolah Kristen. c. Output, Output yang dihasilkan dari proses input dan konversi adalah diberlakukannya Instruksi Walikota Padang No. 451.422/Binsos-III/2005 tentang Pelaksanaan Wirid Remaja, Didikan Subuh, Anti Togel/Narkoba dan Berpakaian Muslim bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK. d. Umpan Balik, Kebijakan yang diberlakukan pada masyarakat menunjukkan partisipasi aktif dari masyarakat secara langsung khususnya mengenai berpakaian muslim dan memberikan pengaruh pada: 1) Angka penderita demam berdarah pada anak usia sekolah di Kota Padang menurun. 2) Jumlah masyarakat umum yang menggunakan pakaian muslim meningkat. 3) Didukung oleh pihak sekolah Kristen dengan pengembangan dan peningkatan program pastoral bagi siswa Kristen. 4) Terpilih untuk kedua kalinya bagi Fauzi Bahar dengan perolehan suara 51,53%. e. Lingkungan, Kebijakan berpakaian muslim di Kota Padang ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dalam dan luar, yaitu: 1) Lingkungan dalam, Dipengaruhi oleh budaya Minangkabau dan agama mayoritas Islam yang dianut masyarakat Kota Padang. 2) Lingkungan luar, Dipengaruhi oleh pengajaran Budhis di Kamboja bagi anak-anak usia 13 tahun hingga menikah. Secara umum, dapat terlihat bahwa keberhasilan kebijakan tersebut di atas adalah dikarenakan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Partisipasi mencakup seluruh lapisan masyarakat bahkan dari kalangan non Muslim.
4.
PENUTUP Teori sistem David Easton di atas, merupakan model sederhana dari proses lahirnya kebijakan publik. Pembahasan dengan teori ini tidak terbatas pada satu bidang kebijakan publik yang akan dikeluarkan saja. Dari paparan di atas, diketahui bahwa sebuah kebijakan publik dapat dibuat ataupun diubah karena adanya partisipasi masyarakat. Hal ini mencakup semua lini, bukan hanya di input saja tetapi dalam proses hingga kebijakan diberlakukan dan diterapkan dalam masyarakat pun membutuhkan partisipasi masyarakat. Umpan balik yang positif ataupun negatif dapat dirasakan semua kalagan yang berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan. Seperti contoh kebijakan berpakaian Muslim di Kota Padang di atas, partisipasi masyarakat tidak dapat ditinggalkan selain didukung oleh budaya yang telah lama ada dan agama yang dianut masyarakat. Kebijakan tersebut pun setelah diberlakukan tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Muslim tetapi juga non Muslim. Namun untuk kalangan non Muslin diberikan alternatif lain yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Penerimaan masyarakat kemudian ditunjukkan dengan keberhasilan yang dirasakan oleh semua pihak termasuk pembuat kebijakan yang terpilih kembali pada pemilukada secara langsung yang pertama kalinya dilaksakanakan di Kota Padang pada tahun 2009 dengan peroleh suara mutlak. Keberhasilankeberhasilan inilah melahirkan input baru untuk perbaikan kebijakan sebelumnya. PUSTAKA Sarundajang, S.H., (2000). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan LAN. (2007). Penerapan Good Governanve di Indonesia. Jakarta: LAN Bahar, Saafroedin, dkk. (2004). Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Yayasan Sepuluh Agustus Varma, S.P. (1992). Teori Politik Modern.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Chalid, Pheni. (2005). Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan Konflik. Jakarta:Kemitraan KPU Kota Padang. (2009). Laporan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Padang Tahun 2008. Padang: KPU Kota Padang www.padang.go.id. diakses pada tanggal 11 Mei 2011 Suharso, Pudjo. (2011). “Pro Kontra Implementasi Perda Syariah: Tinjauan Elemen Masyarakat”. http://journal.uii.ac.idindex.php/JHI/article/view File/249/244. Diakses pada tanggal 12 Mei 2011
[257]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Biodata Penulis Lince Magriasti, S.IP, M.Si. Dosen pada Jurusan Ilmu Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang. Memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik di Universitas Andalas Padang tahun 2002 dan M.Si pada Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia Jakarta pada tahun 2005.
[258]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
KINERJA DAERAH OTONOM BARU HASIL PEMEKARAN DAERAH KASUS KOTA DEPOK Dr. Chanif Nurcholis, M.Si dan Dra. Ace Sriati Rachman, M.Si Jurusan Ilmu Sosial Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Terbuka E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Berdasarkan evaluasi kinerja terhadap daerah otonom baru hasil pemekaran daerah oleh Kementerian Dalam Negeri lebih 50 persen daerah pemekaran dinilai gagal. Salah satu indikatornya adalah ketidakmampuan daerah baru untuk menghidupi dirinya secara otonom sehingga menjadi beban pemerintah pusat. Salah satu daerah otonom baru hasil pemekaran daerah adalah Kota Depok. Untuk mengetahui apakah Kota Depok termasuk daerah otonom baru yang gagal atau berhasil, dilakukan penelitian di daerah ini dengan pendekatan kualitatif. Data diambil melalui observasi, studi dokumen, dan studi pustaka. Analisisnya adalah deskriptif kualitatif. Ditemukan bahwa Kota Depok Provinsi Jawa Barat tidak termasuk daerah otonom baru yang gagal. Kota Depok dapat mengembangkan diri sebagai daerah otonom yang relatif mampu mengatur dan mengurus urusan lokalnya dengan baik. PAD dan PDRB tumbuh dari tahun ke tahun. APBD tidak mengalami defisit. Pemerintah Kota dapat memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilannya adalah Kota Depok sebelum menjadi daerah otnom adalah sebuah wilayah administrasi sehingga sudah memiliki infrastruktur yang sudah berjalan. Di samping itu, ia didukung oleh mekanisme politik yang dinamis-stabil, partisipasi aktif civil society organization, dukungan rakyat terhadap kepemimpinan kepala daerah, dan program pemerintah yang pro rakyat. Kata Kunci: daerah otonom baru, mengatur dan mengurus urusan lokal, civil society organization. menjadi 33 buah, kabupaten menjadi 399, dan kota menjadi 98 buah, jumlah semua daerah otonom menjadi 530 buah. Suatu wilayah yang akhirnya menjadi daerah otonom baru berubah menjadi badan hukum publik yang lengkap dengan infra struktur pemerintahan daerah otonom: sarana dan prasarana, sumber daya manusia, sistem birokrasi termasuk di dalamnya DPRD, dan anggaran. Dengan menjadi daerah otonom baru, maka provinsi atau kabupaten/kota hasil pemekaran ini harus mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah kepada dirinya. Akan tetapi, hal tersebut tidak mudah karena ia belum memiliki infra strukur pemerintahan daerah otonom. Sarana dan prasarana belum ada sehingga umumnya menyewa bangunan milik pihak lain. Perangkat daerah diambilkan dari daerah otonom induk dengan jumlah, kualifikasi, dan kompetensi yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan. Kepala daerah diangkat dari pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur (untuk kabupaten/kota) dan Menteri Dalam Negeri (untuk provinsi). DPRD juga belum terbentuk sehingga memerlukan pembentukan KPUD dulu yang selanjutnya membentuk DPRD berdasarkan perolehan suara Pemilu yang telah berlangsung. Di sinilah daerah otonom baru untuk beberapa tahun sibuk mempersiapkan infra struktur pemerintahan daerah otonom agar dapat berjalan sesuai dengan sistem pemerintahan daerah sebagaimana mestinya. Masalah tersebut dihadapi oleh semua daerah otonom baru. Akibatnya berdasarkan
Latar Belakang Pasca kejatuhan regim Orde Baru 1998 pemerintahan daerah tidak lagi diselenggarakan secara sentralistis tapi desentralistik. Pada zaman Orde Baru pemerintahan diselenggarakan berdasarkan asas dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan dengan titik berat pada asas dekonsentrasi. Akan tetapi, sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pemerintahan diselenggarakan berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan dengan titik berat pada asas desentralisasi. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, pemerintah pusat menyerahkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada daerah otonom. Pemerintah pusat hanya memegang 6 urusan pemerintahan: politik luar negeri, keuangan dan moneter nasional, pertahanan, keamanan, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan di luar 6 urusan tersebut pengaturan dan pengurusannya diserahkan kepada daerah: provinsi dan kabupaten/kota. Sistem pemerintahan daerah model baru tersebut di samping memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah khususnya kabupaten/kota juga membuka peluang adanya pemekaran daerah, yaitu memekarkan satu daerah otonom yang sudah ada menjadi dua daerah otonom dengan cara menjadikan bagian dari daerah otonom tersebut menjadi daerah otonom baru. Peluang ini memicu Daerah melakukan pemekaran daerah. Sampai 2009 provinsi bertambah 7 buah, kabupaten bertambah 164 buah, dan kota bertambah 34 buah, sehingga provinsi [259]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
evaluasi kinerja terhadap daerah otonom baru hasil pemekaran yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri hasilnya sebagian besar kinerjanya kurang baik. Bahkan ada beberapa daerah otonom baru yang dinyatakan gagal karena infra struktur pemerintahan tidak bisa memberikan pelayanan publik yang baik, infra struktur fisik makin jelek, PDRB tidak berkembang, dan APBD habis untuk membiayai birokrasi. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pemekaran daerah menjauh dari tujuannya. Tujuan pemekaran daerah adalah sebagai alat untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat. Dengan pemekaran daerah, diharapkan pelayanan publik dapat didekatkan dengan penerimanya, potensi daerah dapat diproduktifkan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat lebih cepat dilakukan karena tidak terkendala dengan luasnya wilayah dan panjangnya birokrasi. Kota Depok adalah daerah otonom baru hasil pemekaran daerah dari Kabupaten Bogor. Sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran daerah tentu menghadapi persoalan sebagaimana disebutkan. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah Kota Depok sebagai daerah otonom baru yang berhasil atau yang gagal perlu dilakukan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk itu, diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut. Bagaimana kinerja Kota Depok setelah menjadi daerah otonom baru?
mengurus urusannya berdasarkan aspirasi dan kepentingannya (Bhenyamin Hoessein, 1993). Koswara (2001) menjelaskan bahwa kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 telah menggeser kebijakan administrasi pemerintahan daerah dari desentralisasi yang bersifat dekonsentratif ke desentralisasi yang bersifat devolutif. Akibat dari pergeseran konsepsi ini adalah gerak ke arah demokratisasi yang berkeadilan dari sistem pemerintahan yang lebih menekankan efisiensi pelayanan (Bhenjamin Hoessein, 1995). Sistem desentralisasi yang lebih bersifat devolutif tersebut ditandai dengan dua hal: 1) dianutnya sistem prefektoral terintegrasi pada provinsi dan otonomi murni pada kabupaten/kota, 2) penyerahan kewenangan pemerintahan dengan cara general competence atau open end arrangement kepada daerah yang membawa konsekuensi pada luasnya kewenangan daerah karena merupakan residu dari kewenangan pusat yang hanya terdiri atas enam kewenangan: politik luar negeri, hankam, moneter, peradilan, agama, dan kewenangan lain (Hanif Nurcholis, 2007). Batinggi, Achmad (1999) menjelaskan bahwa semakin lama tuntutan masyarakat semakin banyak akan bidang-bidang yang memerlukan pelayanan umum dari pemerintah. Hal ini disebabkan antara lain: 1) pendidikan masyarakat semakin meningkat, sehingga tuntutan masyarakat terhadap pelayanan umum juga terus meningkat; 2) masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi tentang perkembangan daerah lain, sehingga masyarakat menuntut adanya perbaikan pelayanan umum dari pemerintah; dan 3) partisipasi masyarakat dalam pembangunan makin meningkat, sehingga semakin banyak anggota masyarakat yang merasa perlunya perbaikan pelayanan umum pemerintah. Pada hakikatnya, pemerintahan baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi utama: 1) memberikan pelayanan/services baik perorangan maupun publik/ khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development for economic growth), dan 3) memberikan perlindungan/protective kepada masyarakat (Hanif Nurcholis, 2007). Adapun yang dapat dijadikan indikator kualitas pelayanan meliputi 5 (lima) dimensi yaitu: a) tangibles; kualitas pelayanan berupa sarana fisik kantor, komputerisasi administrasi, ruang tunggu, tempat informasi dan sebagainya; b) realibility; kemampuan dan keandalan dalam menyediakan pelayanan yang terpercaya; c) responsivness; kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat serta tanggap terhadap keinginan konsumen; d) assurance; kemampuan dan keramahan dan sopan santun dalam meyakinkan kepercayaan konsumen; e) emphaty;
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan naturalistik/kualitatif. Metode yang digunakan adalah analisis wacana atas dokumen yang dilengkapi dengan observasi dan studi pustaka. Data diambil melalui observasi, studi dokumen, dan studi pustaka. Data awal diambil dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Milwan, dkk (Milwan, 2009). Berdasarkan data tersebut, dicari data baru tentang infrastruktur kelembagaan, pertumbuhan PDRB, APBD, demografi, dan infrastruktur fisik. Data tersebut kemudian dilakukan analisis deskriptif kualitatif. Dengan demikian penelitian merupakan penelitian di belakang meja, desk reseach. Kajian Pustaka Penyelenggaraan pemerintahan daerah telah menjadi aksioma dalam sistem pemerintahan di Indonesia (Bhenyamin Hoessein, 2000). Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal dua konsep: desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi adalah kebijakan administrasi, yaitu penyerahan kewenangan pemerintahan bidang politik maupun administrasi kepada daerah (Hanif Nurcholis, 2007). Adapun otonomi daerah adalah kebijakan politik yang memberikan ruang dan hak kepada masyarakat lokal untuk mengatur dan [260]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
sikap tegas tetapi ramah dalam memberikan layanan kepada konsumen (Amy Y.S. Rahayu, 1997). Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dapat ditempuh dengan cara membentuk daerah otonom baru atau pemekaran wilayah (menumbuh kembangkan wilayah). Menurut Parr (1999), pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah merupakan suatu proses kontinyu sebagai hasil dari berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu wilayah. Proses yang terjadi sangat kompleks, melibatkan aspek ekonomi, aspek sosial, lingkungan dan politik (pemerintah) sehingga pada hakikatnya merupakan suatu “sistem” pembangunan wilayah yang tidak dapat dipisahpisahkan. Lebih lanjut Parr (1999), mengemukakan bahwa wilayah tumbuh dan berkembang dapat didekati melalui teori sektor yang diadopsi dari Fisher dan Clark yang mengemukakan bahwa berkembangnya wilayah dihubungkan dengan transformasi struktur ekonomi dalam tiga sektor utama, yakni primer (pertanian, kehutanan, perikananan), sekunder (pertambangan, manufaktur, konstruksi, utilitas publik) dan tersier (perdangangan, transportasi, keuangan dan jasa). Perkembangan ditandai oleh penggunaan sumber daya dan manfaatnya – yang menurun di sektor primer, meningkat di sektor tersier, dan meningkat hingga pada suatu tingkat tertentu di sektor sekunder. Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri (2004), mengemukakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan wilayah dalam masa sekarang tidak dapat dilepaskan dengan semakin luas dan terspesialisasinya sektor-sektor jasa. Sektor ekonomi beroperasi efisien untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sehingga memberi ruang bagi terciptanya permintaan, aspirasi dan kepuasan. Lebih lanjut Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri (2004) mengemukakan ada beberapa penentu penting yang mencirikan pertumbuhan dan perkembangan wilayah. Pertama, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat maju sehingga mampu menciptakan produk dan proses produksi baru dalam banyak sektor. Fenomena ini mengakibatkan wilayah berkembang semakin kompleks dan dinamis mengikuti bergantinya teknologi untuk memenuhi kepuasan setiap individu. Kedua, teknologi informasi dan mekanisme pasar secara gradual telah diterima sebagian besar orang sehingga memungkinkan aliran informasi, keuntungan ekonomi dan modal ke berbagai wilayah. Ketiga, perkembangan dan diterimanya kerangka pemikiran (kalangan) akademis juga mempengaruhi perkembangan wilayah. Keempat, faktor-faktor budaya dan permintaan sosial akan aspek kenyamanan dan kepuasan lainnya di masa
mendatang akan makin menonjol seiring dengan kenaikan kesejahteraan. Dari kajian-kajian di atas, dapat ditarik suatu “benang merah” bahwa setiap usulan mengenai pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonom baru di suatu wilayah seharusnya benar-benar merupakan kebutuhan objektif masyarakat yang didukung oleh potensi ekonomi, SDM, sarana dan prasarana, dan capital social yang memadai bukan semata kehendak para elite. Pemekaran daerah tidak banyak manfaatnya ketika ia merupakan ambisi elite untuk mendapatkn sumber kekuasaan dan ekonomi. Jika dinilai pelayanan publik pada suatu wilayah negara tidak efisien, maka bisa dipertimbangkan pembentukan pemerintahan daerah termasuk pemekaran pemerintahan daerah yang sudah ada. Untuk sampai pada keputusan membentuk pemerintahan daerah baru, harus dilihat aspek politik, ekonomi, dan sosial budayanya. Aspek politik melihat apakah masyarakat yang tinggal di daerah yang akan dibentuk satuan pemerintahan lokal tersebut mendukung sepenuhnya. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah itu sendiri karena masyarakatlah yang menjadi subyek/pelaku utamanya. Aspek ekonomi melihat apakah sumber daya ekonomi daerah yang bersangkutan potensial untuk membiayai diri dan dapat ditumbuhkan menjadi kekuatan yang bisa menciptakan kesejahteraan rakyat setempat. Aspek sosial budaya melihat apakah masyarakat yang tinggal di daerah yang akan dibentuk satuan pemerintahan daerah tersebut akan menjadi satu komunitas yang solid sebagai satu kesatuan masyarakat hukum. Untuk mengetahui apakah pelayanan publik pada pemerintah daerah yang sudah ada tidak efisien bisa dilakukan pengkajian atas kinerja pelayanan, span of control, dan outcomenya. Adapun apakah kesatuan masyarakat hukum pada daerah yang bersangkutan berkeinginan kuat untuk memecah diri menjadi dua entitas, harus dilakukan penelitian secara mendalam karena konsep kesatuan masyarakat hukum itu sendiri adalah sebuah konsep sosial politik dan budaya yang menyangkut aspek filosofis, politik, geopolitik, psikologis, dan sosialbudaya. Untuk itu, pemecahan diri menjadi dua entitas tersebut harus dikaji secara komprehensif menyangkut semua aspek tersebut. Untuk mengetahui apakah kesatuan masyarakat hukum pada suatu daerah mempunyai keinginan untuk memecah diri menjadi dua entitas atau lebih bisa dilakukan dengan dua pendekatan: yaitu politik dan administratif. Pendekatan politik bisa dilakukan dengan cara referendum daerah yang kemudian dilegalisasi. Pendekatan administratif dilakukan dengan pembuatan kebijakan publik oleh pemerintah dan DPR tanpa melibatkan langsung
[261]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
anggota kesatuan masyarakat hukum yang bersangkutan. Pendekatan politik lebih absah, legitimate karena mendapat dukungan langsung dari masyarakat sepenuhnya sedangkan pendekatan administratif kurang absah karena lebih mencerminkan keinginan para elitnya daripada anggota masyarakat sendiri. Karena itu, seringkali pendekatan adminsitratif mendapat tantangan dari anggota masyarakat. Cara lain adalah gabungan antara pendekatan politik dan Administratif. Dalam pendekatan gabungan ini pemerintah melakukan kajian yang mendalam atas keinginan rakyat disertai dengan data kuantitatif yang bersifat administratif lalu dilegalisasi. Jadi, dalam pembentukan pemerintahan daerah baru pertanyaannya bukan pada apakah daerah otonom yang sudah ada dapat dimekarkan dengan melihat aspek-aspek berikut: potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, aparatur, infra struktur, keamanan, pelayanan, cakupan wilayah, dan calon ibukota. Akan tetapi, pertanyaan yang benar adalah apakah daerah otonom yang sudah ada telah tumbuh suatu komunitas baru yang berpotensi menjadi kesatuan masyarakat hukum baru dan mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan jika ia diserahi untuk mengatur dan mengurusnya.
diamanatkan untuk memperhatikan perbandingan antara luasan kawasan budidaya dengan kawasan lindung. Selain sebagai daerah penyangga, Depok juga merupakan counter-magnet bagi DKI Jakarta. Sebagai counter-magnet, aktivitas yang tumbuh dan berkembang di Kota Administratif Depok sedikit banyak merupakan kegiatan perkotaan dan sebagian besar bertumpu pada ketersediaan infrastruktur regional yang menghubungkan Kota Administratif Depok dengan kota-kota lain di sekitarnya. Selama 17 tahun Kota Administratif Depok semua desa berubah menjadi kelurahan. Hal ini terjadi akibat perkembangan karakteristik penduduk yang makin urban dan makin hilangnya ciri-ciri perdesaan pada hampir di semua kawasan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan memperhatikan perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, tanggal 16 Mei 1994, Nomor 135/SK.D/03/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Depok dan persetujuan DPRD Provinsi Jawa Barat 7 Juli 1997 dengan Keputusan No. 135/Kep. Dewan.06/DPRD/1997 tentang Persetujuan Atas Pembentukan Kotamadya Dati II Depok dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok maka pada 27 April 1999 Kota Administratif Depok dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok. Kemudian sesuai dengan digantikannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka semua Kotamadya Daerah Tingkat II secara otomatis menjadi Kota. Dengan demikian, Kotamadya Daerah Tingkat II Depok menjadi Kota Depok. Dalam perkembangan selanjutnya, kinerja Kota Depok menunjukkan trend yang positif. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Depok tahun 2005 atas dasar harga berlaku mengalami peningkatan sebesar 19,12 persen dibanding tahun 2004, yaitu dari Rp. 6.314.197,60,milyar pada tahun 2004 menjadi Rp. 7.521.594,61,milyar pada tahun 2005. Sedangkan atas dasar harga konstan mengalami peningkatan sebesar 6,92 persen dari Rp. 4.433.822,90,- milyar tahun 2004 menjadi Rp. 4.740.868,66,- milyar tahun 2005. Ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian di Kota Depok mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Namun PDRB Kota Depok dua tahun terakhir atas dasar harga konstan di atas, jika dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Bogor (kabupaten induk sebelum pemekaran) maka PDRB Kota Depok tahun 2004 telah mencapai 338,98% dari PDRB Kabupaten Bogor tahun 2004 yaitu Rp. 1.308.000,39 milyar. Sedangkan PDRB Kota Depok tahun 2005 meningkat menjadi 348,34% dari PDRB Kabupaten Bogor tahun 2005 yaitu Rp. 1.361.000,40
Hasil dan Pembahasan Depok semula adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor. Sejalan dengan perkembangan wilayah ini yang makin urban karena secara langsung berbatasan dengan megapolitan Jakarta, wilayah ini kemudian dijadikan wilayah administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1981. Kota Administratif Depok terdiri atas 3 kecamatan dan 17 desa/kelurahan. Wilayah ini berbatasan langsung dengan wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) dan merupakan wilayah penyangga untuk meringankan tekanan penduduk DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Wilayah ini mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat. Pada 1990 Kota Administratif Depok berpenduduk 271.134 jiwa dan pada 1998 meningkat menjadi 828.870 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata 6,75 persen per tahun. Akibatnya beban dalam penyelenggaraan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat makin berat. Dalam konstelasi wilayah Jakarta – Bogor – Depok - Tangerang – Bekasi (Jabodetabek), Depok merupakan wilayah penyangga bagi Ibukota Negara RI DKI Jakarta, sekaligus menjadi wilayah antara (buffer-zone) dari kawasan resapan air (di daerah selatan, seperti kawasan Bogor dan sekitarnya) dengan kawasan perkotaan (di sebelah utara, seperti DKI Jakarta). Dengan fungsi sebagai daerah penyangga sekaligus sebagai daerah resapan air, pola pemanfaatan ruang dan lahan di Depok [262]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
milyar (Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Bogor, 2005). Berdasarkan perhitungan PDRB harga konstan, laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Depok tahun 2005 mengalami peningkatan, yaitu dari 6,41 persen pada tahun 2004 menjadi 6,93 persen pada tahun 2005, dan LPE tahun 2005 telah melampaui target yang direncanakan dalam RKPD tahun 2006 sebesar 6.54 persen. Sedangkan dilihat dari kelompok sektor (lihat tabel 11), semua kelompok mengalami peningkatan. Kelompok sektor yang mengalami peningkatan yang terbesar adalah kelompok sekunder (8,03%) diikuti kelompok tersier (5,90%) dan kelompok primer (4,70%) . Jika melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Kota Depok atas dasar harga berlaku menunjukkan kenaikan dari Rp. 4.813.938,49 pada tahun 2004 menjadi Rp. 5.554.989,46 pada tahun 2005 atau meningkat 15,39%. Sedangkan PDRB perkapita berdasarkan harga konstan naik dari Rp. 3.380.342,53 pada tahun 2004 menjadi Rp. 3.501.315,46,- pada tahun 2005 atau naik 3,58 persen. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan atau konsumsi penduduk Kota Depok juga mengalami peningkatan. Namun capaian angka di atas, jika dibandingkan dengan PDRB perkapita pada tahun 2000 (saat terakhir Kota Depok masih merupakan bagian Kabupaten Bogor) berdasarkan harga konstan 1993 yaitu sebesar Rp. 4.461.304,12, maka PDRB per kapita Kota Depok sampai tahun 2005 masih di bawah angka PDRB perkapita sebelum menjadi daerah otonom baru. Dengan perkataan lain, setelah menjadi daerah otonom baru tingkat kesejahteraan masyarakat Depok justru mengalami penurunan bukan peningkatan. Kualitas sumber daya manusia mempunyai peran yang besar dalam keberhasilan suatu pembangunan. Salah satu indikator adanya usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, serta ibadah. Pada tahun 2005, penduduk Kota Depok yang berumur 10 tahun ke atas memiliki ijazah tertinggi SLTA dan sederajat. 24,61%. Anak berumur 10 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis huruf latin 79,95%, bisa membaca huruf lainnya 0,17%, bisa membaca huruf latin dan huruf lainnya 18,58%, dan yang buta huruf 1,30%. Jumlah tempat ibadah pada tahun 2006 adalah: 548 masjid, 1.139 musholla, 6 gereja katolik (tahun 2003), 121 gereja protestan (tahun 2003), dan 2 vihara. Jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kota Depok tahun 2006 adalah 133 sekolah dengan jumlah murid 30.420 orang, dan guru 1.581 orang. Sedangkan jumlah Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kota Depok 60 sekolah, dengan jumlah siswa 10.675 orang, dan jumlah guru 1.067 orang. Serta
jumlah sekolah Madrasah Aliyah (MA) ada 21 sekolah, dengan jumlah siswa 1.828 siswa, dan 362 guru. Di Kota Depok tahun 2006 tersedia 27 Puskesmas yang tersebar di 6 kecamatan dan 10 Puskesmas pembantu. Sarana rumah sakit umum juga tersedia di Kota Depok. Sampai dengan tahun 2006 rumah sakit yang ada di Kota Depok berjumlah 8, rumah sakit ibu dan anak berjumlah 4 rumah sakit. Saat ini, berdasarkan indikator IPM bidang kesehatan, Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kota Depok adalah 72,17 tahun. Nilai AHH Kota Depok ini merupakan nilai tertinggi di Jawa Barat, sehingga menggambarkan bahwa tingkat kesehatan penduduk Kota Depok sudah cukup baik. Nilai AHH tersebut merupakan gambaran keberhasilan atas upaya kesehatan yang telah dilaksanakan dan angka ini melebihi target yang telah ditetapkan pada tahun 2006 sebesar 67 tahun. Jika dilihat dari penyerapan tenaga kerja pada sektor-sektor di atas, mayoritas penduduk di Kota Depok pada tahun 2005 bekerja di sektor jasajasa (29,14%), kemudian di sektor perdagangan (27,79%), disektor Industri (15,14%), di sektor transportasi dan komunikasi (6,35%), di sektor keuangan (10,05%), di sektor pertanian (1,44%), di sektor listrik, gas dan air (0,82%), dan yang paling kecil persentasenya adalah di sektor pertambangan dan penggalian, yaitu hanya sebesar 0,55%. Jika dilihat persentase jenis kelamin menurut lapangan usaha, terlihat bahwa untuk sektor jasa-jasa, persentase perempuan mencapai 37,53 persen, lebih tinggi dari pada laki-laki yang hanya sebesar 25,13 persen. Lapangan usaha di sektor ini lebih banyak diminati oleh perempuan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Demikian pula di sektor perdagangan, persentase perempuan mencapai 33,92 persen dari laki-laki hanya sebesar 24.87 persen. Sektor ini banyak diminati oleh perempuan, karena dapat bekerja sambil mengurus rumah tangga. Meskipun merupakan wilayah perkotaan, Depok dikenal memiliki potensi unggulan daerah berupa komoditas hortikultura yang dikembangkan dengan konsep Pertanian Perkotaan, salah satunya adalah belimbing. Pada tahun 2006, luas areal tanaman belimbing di Kota Depok mencapai 119,6 Hektar, dengan total produksi 3.208 ton. Jika dikonversikan ke dalam rupiah, omzet produksi belimbing Kota Depok mencapai Rp.19 Milyar per tahun, meningkat sekitar 11,76% dari tahun 2005, yang hanya mencapai Rp. 17 Milyar. Selanjutnya tanaman hias juga merupakan komoditas prospektif di Kota Depok, seiring dengan perkembangan Kota dan meningkatnya jumlah pemukiman yang membutuhkan tanaman-tanaman landscaping dan tanaman hias pekarangan yang diminati warga perkotaan. Komoditas tanaman hias [263]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
yang menjadi unggulan Kota Depok adalah tanaman anggrek. Kualitas pengawasan pelaksanaan pembangunan juga semakin membaik dengan meningkatnya persentase tindak lanjut temuan dari 49,8% pada tahun 2002, menjadi 64,69% pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 83,14 temuan telah ditindaklanjuti. Pada tahun 2005 pengawasan yang dilaksanakan terhadap 24 SKPD yang terdiri atas 13 Dinas, 5 Kantor, dan 6 Kecamatan, diperoleh 218 temuan beserta 218 penyebab dengan tindak lanjut rekomendasi 323 dari 380 rekomendasi. Dengan demikian persentase capaian rekomendasi pengawasan yang ditindaklanjuti mencapai 85%. Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kota Depok sekitar 2,2 persen pada tahun 2010. Meskipun pertumbuhannya kecil, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Produk Domestik Bruto (PDRB) mengalami kenaikan. PAD Kota Depok pada tahun 1999 baru mampu mengumpulkan dana Retribusi dan Pajak Daerah sekitar Rp 16 miliar. Pada tahun 2010 sudah mencapai sekitar Rp 119 miliar. APBD tahun 1999 hanya Rp 36 miliar tapi pada tahun 2010 sudah mencapai Rp 1 triliun lebih. Begitu pula dengan IPM sudah mencapai 78,90 pada tahun 2010, sementara IKM sudah mencapai 78,3. Bahkan PDRB Kota Depok yang semula hanya sekitar Rp 1 trilun saat ini sudah mencapai Rp 14 triliun lebih. Kota Depok mempunyai delapan program unggulan yang dapat berjalan dengan baik yaitu, 1) Gratis biaya pendidikan untuk SD dan SMP yang akan dilanjutkan untuk SMA Negeri; 2) Menyediakan 1 SMA/SMK Negeri di setiap Kecamatan; 3) Menyediakan 100 beasiswa kuliah di Perguruan Tinggi untuk siswa-siswi yang berprestasi; 4) Memberikan layanan gratis untuk pasien penderita Demam Berdarah Dangue (DBD) di kelas III Rumah Sakit Umum Daerah; 5) Pemberian santunan kematian; 6) Betonisasi jalan lingkungan; 7) Memberi kredit tanpa bunga sebesar masingmasing Rp 5 juta untuk 5000 Usaha Kecil dan Menengah (UKM); 8) Pemberdayaan ekonomi 3000 pemuda;
kelola pemerintahan, dan anggaran. Berdasarkan modal dasar ini maka ketika Kota Administratif Depok ditingkatkan menjadi daerah otonom maka infra strukturnya tinggal melengkapi dan/atau mengembangkannya. Perangkat daerahnya dilengkapi dan/atau dikembangkan menjadi satuan perangkat daerah otonom: sekretariat daerah, dinas, badan, dan kantor. Kelembagaan politiknya dilengkapi dengan pengisian KDH dan DPRD secara politik. Ketika sudah menjadi daerah otonom, interaksi antara Kepala Daerah dengan DPRD berjalan relatif stabil. Meskipun terjadi beberapa kali ketegangan politik antardua lembaga tersebut tapi keduanya dapat mencapai kompormi-kompromi politik yang dinamis sehingga tidak mengganggu jalannya pemerintahan dan pemberian pelayanan publik. Di samping itu, faktor kepemimpinan juga ikut mempengaruhi. Kota Depok di bawah kepemimpinan Nur Mahmudi Ismail relatif terkelola dengan baik. Program pembangunan dan pelayanan publik berjalan baik dan efektif. Partisipasi masyarakat juga ikut mendukung keberhasilan Kota Depok. Dinamika partai politik dan organisasi masyarakat sipil menunjukkan kedewasaan politik. Aspirasi politik disalurkan melalui lembaga politik meskipun ada juga yang disalurkan di luar lembaga politik. Akan tetapi, secara keseluruhan aspirasi politik dan dinamika politik terkelola dalam batas kewajaran. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah Kota Depok mencerminkan aspirasi atas-bawah dan check and balances terjadi antara kekuatan DPRD dan KDH dan antara rakyat dan KDH. Kesimpulan dan Saran Kinerja daerah otonom baru Kota Depok relatif baik. Hal ini karena terdapat faktor-faktor pendukung yang signifikan. Pertama, daerah otonom Kota Depok tidak lahir begitu saja tapi didahului sebagai kecamatan kemudian ditingkatkan menjadi Kota Administratif baru dijadikan daerah otonom Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersamaan dengan perubahan UU No. 5 Tahun 1974 dengan UU No. 22 Tahun 1999 secara otonomatis menjadi Kota Depok. Dengan demikian, sebelum menjadi daerah otonom, ia telah memiliki infra struktur pemerintahan dan sarana dan prasarana yang memadai. Kedua, sebelum menjadi daerah otonom baru, Depok telah berkembang menjadi daerah urban sejalan dengan migrasi penduduk dari DKI. Di sini terjadi pertumbuhan penduduk, ekonomi, sosial, dan politik yang akhirnya membentuk suatu komunitas yang memerlukan pelayanan pemerintahan yang lebih kompleks. Ketika prasyarat untuk pembentukan daerah otonom baru relatif terpenuhi, maka wilayah ini kemudian ditingkatkan menjadi daerah otonom. Ketiga, faktor kepemimpinan ikut menentukan keberhasilan Kota Depok. Kepemimpinan yang efektif dan tidak terdengar
Keberhasilan Kota Depok sebagai daerah otonom baru tak terlepas dari kesiapan infra struktur pemerintahan/kelembagaan, pengelolaan pemerintahan, kesiapan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan ditunjang oleh berjalannya politik lokal yang dinamis. Depok sebelum menjadi daerah otonom adalah sebuah wilayah administrasi Kecamatan kemudian ditingkatkan menjadi wilayah administrasi Kota Adminstratif. Sebagai Kota Adminstratif, Depok memiliki kelengkapan infra struktur pemerintahan yang memadai: sarana dan prasarana, sumber daya manusia, sistem dan tata [264]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
adanya kasus korupsi di jajaran pemerintahan, membuat semua program pembangunan dan pelayanan dapat berjalan dengan baik. Keempat, terjadinya hubungan yang dinamis antara DPRD dan KDH sehingga pemerintahan tetap berjalan stabil dan check and balances berjalan dengan baik. Kelima, adalah peran serta masyarakat dalam mendukung program pembangunan dan pelayanan yang diberikan Pemkot Depok. Best praktice ini dapat dijadikan model dalam rancang bangun pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru. Pembentukan daerah otonom baru sebaiknya menggunakan model kun fa yakun, dari tiada maka jadilan daerah otonom baru. Akan tetapi, pembentukan daerah otonom baru sebaiknya terlebih dulu dibentuk wilayah administrasi dengan infra struktur yang lengkap. Setelah pemerintahan wilayah adminstrasi dapat berjalan dengan baik maka baru ditingkatkan menjadi daerah otonom lengkap dengan pengisian jabatan politiknya.
__________, 2001b, Hubungan Kewenangan antara Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Artikel. Koswara, E., 2001, Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Pariba, Jakarta. Mark Turner dan David Hulme, 1997, Governance, Administration, and Development, Kumarian, Connecticut USA. Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta. Nurcholis, Hanif, Edisi Revisi, 2007, Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta. Parr, J.B, 1999, Regional Economic Development: An Export Stages Frame Work, Land Economic. Rahayu, Amy Y.S, 1977, Fenomena Sektor Publik dan Era Service Quality, dalam Bisnis dan Birokrasi No. 1/Vol.III/April/1977.
DAFTAR PUSTAKA Batinggi, Achmad, 1999, Manajemen Pelayanan Umum, Pusbit UT, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Bryson, John M. 1991, Strategis Planning for Public and Non Profit Organizations, Jossey-Bass, San Fransico-Oxford.
Biodata Penulis Dr. H. Hanif Nurcholis, M.Si adalah anak pasangan H. Nurcholis dan Hj. Rochmah. Ia lahir pada 1 Februari 1959 di Demak, Jawa Tengah. Setelah menyelesaikan S1 FISIP Universitas Terbuka Program Studi Administrasi Negara tahun 1990, pada 1992 almamaternya mengangkatnya sebagai dosen tetap pada Jurusan Ilmu Administrasi FISIP. Pada 2000 ia menyelesaikan program magister (S2) di Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Administrasi dan pada 2010 menyelesaikan program doktor (S3) Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjadjaran Bandung. Pengalaman jabatannya adalah Ketua Program Studi Administrasi Negara (dua periode: 19941996 dan 2001-2003) dan Ketua Program Magistrat Administrasi Publik (S2) FISIP-UT (2003-2004). Pengalaman pengabdian kepada masyarakat adalah sebagai Staf Khusus Bupati Cilacap (20002002), menjadi anggota Tim Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (2004-2009), dan menjadi Ketua Tim Pengembangan Kapasitas Kabupaten Demak (2006-2011). Dalam bantuan akademis, ia menjadi anggota tim pengembang sistem monitoring dan evaluasi otonomi daerah Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (2002); anggota Tim
Chema G, Shabir, and Rondinelly, Dennis, ed, 1983, Decentralization and Development, Policy Implementation in Development Countries, Sage, London. Hoessein, Bhenyamin, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi, Disertasi Pascasarjana UI, tidak diterbitkan, Jakarta. __________, 1995, Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia: Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efesiensi ke Demokrasi?, Pidato Pengukuhan Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Administrasi Negara FISIP-UI, November 1995, Jakarta. __________, 2000, Sentralisasi dan Desentralisasi: Masalah dan Prospek, Dalam Menelaah Format Politik Orde Baru, PPW-LIPI – Yayasan Insan Politika – Gramedia, Jakarta. __________, 2001a, Transparansi Pemerintahan, dalam Jurnal Forum Inovasi, November 2001.
[265]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Penyusun RPP Pemekaran Daerah, RPP Kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, dan Rancangan Permendagri tentang Investasi Daerah; dan trainer pengembangan kapasitas, capacity building pemerintahan daerah dan pemerintahan desa. Ia juga menjadi konsultan kebijakan pendidikan pada Bappeda Kota Bogor dan Dinas Pendidikan Kabupaten Demak, dan konsultan pengembangan kapasitas pada Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang. Ia menulis buku referensi: Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah (PT Gramedia W), Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah (PT Gramedia W), dan Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (PT Erlangga). Ia juga menulis makalah ilmiah di jurnal berkala dan artikel opini pada berbagai media. Email:
[email protected] ;
[email protected] Ace Sriati Rachman, menyelesaikan Dra di Jurusan S1 Hubungan Masyarakat angkatan 1981. Dosen FISIP UT yang lahir di Bandung, 3 Mei 1962 ini menamatkan S2 di Universitas Indonesia tahun 2004. Judul thesisnya adalah Konstruksi realitas perempuan di surat kabar nasional : suatu analisis framing tentang isu kesetaraan jender pada rublik Swara harian Kompas dalam perspektif konstruktivisme. Sering melakukan berbagai Riset yang didanai oleh Universitas Terbuka maupun DIKTI.
[266]