PROBLEMATIKA …
PROBLEMATIKA PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) Minnah El Widdah
A. PENDAHULUAN Pendidikan agama saat ini menuai berbagai kritik yang tajam karena ketidakmampuannya dalam menanggulangi berbagai isu penting dalam kehidupan masyarakat, seperti mempercayai kepercayaan keagamaan dan keragaman kultural yang beraneka ragam yang sering melahirkan ketidakharmonisan dan konflik berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Sejumlah persoalan tersebut terkait dengan penyelenggaraan pendidikan agama di lapangan, sehingga peran keefektifannya dipertanyakan. disamping itu, pendidikan agama di sekolah juga dipandang belum mampu menjadi roh atau semangat yang mendorong pertumbuhan harmoni kehidupan sehari-hari. Akan menjadi tidak adil bila munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataaan hanya ditimpakan kepada pendidikan agama disekolah, sebab pendidikan agama bukan satu-satunya faktor pembentuk watak dan kepribadian peserta didik, namun kenyataan peran guru pendidikan agama sebagai pengembang kurikulum sangat besar (berpengaruh) terhadap pembentukan kepribadian peserta didik.1 Barangkali dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan penolong utama bagi manusia untuk menjalani kehidupan ini. Tanpa pendidikan, maka manusia sekarang tidak akan berbeda dengan keadaan pendahulunya pada masa purbakala. Asumsi ini melahirkan suatu teori ekstrim, bahwa maju mundur atau baik buruknya suatu bangsa akan ditentukan oleh keadaan pendidikan yang dijalani bangsa itu. Memang sangat rasional apabila pendidikan menjadi indikator maju mundurnya sebuah bangsa. Indonesia yang saat ini sedang mengalami keterpurukan dalam segala aspek kehidupan merupakan imbas dari kegagalan pelaksanaan pendidikan, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Kegagalan pendidikan di Indonesia telah berakibat pada kemerosotan moral bangsa yang ditandai dengan munculnya tindakan kriminal di mana-mana. KKN meraja lela di semua instansi, pembantaian, pembunuhan, tawuran antar pelajar bahkan antar kampung dan konplik antar golongan kerapkali mewarnai sejarah bangsa ini. Dengan demikian, tanggung jawab pendidikan untuk membangun kembali bangsa yang telah lama rusak, semakin berat dan
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
membutuhkan waktu yang lama dan usaha yang ekstra maksimal. Jadi, berdasarkan asumsi di atas bahwa baik buruknya negara ini di masa yang akan datang tergantung pada pendidikan yang diselengarakan oleh negara ini. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, sebagian tanggung jawab menurut asumsi diatas, terletak di pundak lembaga pendidikan Islam yang sekaligus sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Secara ideal, pendidikan Islam akan berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh. Dengan kata lain, manusia yang berkualitas unggul baik lahiriah maupun batiniah serta berbobot dalam prilaku, sehingga survive dalam arus dinamika perubahan sosial budaya pada masa hidupnya.2 Betapa besar tanggung jawab pendidikan Islam, di samping mencetak manusia yang mempunyai ketajaman intelektual tetapi juga harus melahirkan manusia yang mempunyai kedalaman spiritual dan keluhuran budi pekerti. Tetapi, sungguh disayangkan dalam pembangunan aspek moral, hanya dalam porsi yang kecil saja menjadi tanggung jawab pendidikan Islam. Memang terasa janggal, dalam suatu komunitas masyarakat Muslim, pendidikan Islam tidak diberikan kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. B. PEMBAHASAN 1. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang salah satunya melalui mata pelajaran pendidikan agama.3 Mata pelajaran PAI merupakan salah satu mata pelajaran (subject matter) yang dikemas dalam sebuah kurikulum dan harus diikuti oleh peserta didik yang beragama Islam. Mata pelajaran PAI berfungsi sebaga pengajaran gama Islam, proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai agama Islam, rekonstruksi sosial dan sumber nilai dalam kehidupan masyarakat, dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, serta berkahlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama. Perhatian pemerintah yang dicurahkan pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat sosialistis religius. Dan bahkan tidaklah salah jika dikatakan, bahwa pendidikan 2. Muhaimin.Paradigma Pendidikan Islam. 2004. 3 Rahmat Raharjo. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam. 2010.
1 Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam.2004.
79
80
PROBLEMATIKA …
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
Islam di Indonesia justru menempati kelas dua dalam masyarakat yang mayoritas Muslim. Beberapa bukti tentang kecilnya perhatian pemerintah dalam pengembangan pendidikan Islam terlihat dari minimnya anggaran untuk lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga pendidikan Islam tidak diberikan kewenangan secara otonom oleh pemerintah dalam berpastisipasi membangun bangsa yang besar ini. Selain minimmya dana yang dikucurkan pemerintah untuk anggaran pendidikan nasional. Secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam berada di bawah kontrol dan kendali Kementerian Agama, termasuk pendanaannya. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Kementerian Agama selain kecil juga dipergunakan untuk membiayai berbagai sektor di lingkungan Kementerian Agama termasuk pembiayaan pendidikan.4 Akibatnya alokasi pendanaan bagi lembaga pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya-upaya pengembangan dan peningkatan kegiatan-kegiatan nonfisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada biaya per siswa atau mahasiswa. Di samping masalah-masalah di atas terdapat dua permasalahn yang sangat krusial yang turut mempengaruhi kemunduran pendidikan Islam, yaitu sistem pendidikan nasional yang bercorak sentralistik dan adanya pemahaman dikotonomi ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama di tengah masyarakat sehingga lahir dua sistem pendidikan yaitu pendidikan dan pendidikan umum. Sistem pendidikan nasional selama ini bercorak sentralistik, di mana manajemen pendidikan berasal dari struktur kekuasaan dari Pemerintah Pusat dan menjalar ke lembaga-lembaga pendidikan. Dengan sendirinya lembaga-lembaga pendidikan tersebut tidak mempunyai otonomi karena segala sesuatu telah ditentukan oleh suatu sistem yang ketat dari atas. Dengan pola sentralistis yang demikian, lembaga-lembaga pendidikan tidak mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri, sebab segala sesuatu telah ditentukan prosedurnya. Masyarakat tidak mempunyai hak di dalam menentukan arah dan jalannya proses pendidikan itu sendiri. Masyarakat hanya menjadi penonton dan tidak mempunyai tanggung jawab di dalam terjadinya proses pendidikan. Output pendidikan bukan saja menjadi masalah bahkan menjadi beban masyarakat. Pendidikan Islam sejak lahirnya yang tumbuh dari masyarakat, tumbuh dari bawah, oleh sebab itu, semestinya para siswa juga harus mengenal manajemen yang tumbuh dari bawah.5 Pada sekolah menengah pertama (SMP), kurikulum PAI mempunyai kedudukan yang strategis untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional, sejajar dengan mata pelajaran lainnya. Keberadaan PAI di SMP tidak terpisahkan dari pendidikan nasional, yang tujuannya untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan seni, yang realisasinya membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikannya berakhlak mulia, dan disamping mereka menguasai IPTEK juga senantiasa berlandaskan IMTAQ. Sejalan dengan tujuan ini, maka semua mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik harus mengandung muatan pendidikan akhlak yang harus diperhatikan setiap guru.6 Di dalam rancangan kurikulum PAI pada SLTP (1999), telah diuraikan secara terinci tentang kemampuan dasar lulusannya sebagai berikut : “Dengan landasan iman yang benar, siswa: (1) Mampu membaca Al-Qur’an, menulis dan memahami terjemahan ayat-ayat pilihan; (2) Mengetahui, memahami, dan meyakini unsur-unsur keimanan; (3) Memahami sejarah Nabi Muhammad Saw dan perkembangan agama Islam; (4) Memahami fikih ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat; (5) Melaksanakan ibadah dalam kehidupan sehari-hari; dan (6) Berbudi pekerti luhur/berakhlak mulia”. 7 Muatan akhlak yang harus diperhatikan setiap guru dalam pembelajaran merupakan wujud pengembangan potensi beragama peserta didik sebagaiman tujuan pendidikan nasional yang pada hakikatnya telah dimiliki oleh setiap peserta didik yang disebut fitrah. Tugas guru PAI dalam mengembangkan kurikulum adalah mengembangkan fitrah agar menjadi kemampuan aktual dan mengarahkannya untuk kebaikan, sehingga peserta didik dapat mencapai kesempurnaan dengan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya. Dengan demikian tugas guru PAI dalam pembelajaran adalah meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman peserta didik akan ajaran Agama Islam agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4 Muhaimin.Paradigma Pendidikan Islam. 2004. 5 Muhaimin.Paradigma Pendidikan Islam. 2004.
6 Rahmat Raharjo. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam. 2010. 7 Direktorat Jenderal Binbaga Islam, 1999.
81
82
PROBLEMATIKA …
2.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pengembangan kurikulum menjadi kurikulum KTSP melibatkan berbagai pihak (sekolah, komite sekolah, dan guru) yang tidak hanya menuntut ketrampilan teknis dari pihak pengembang, tetapi kemampuan berbagai faktor yang memengaruhi pengembangannya. Pengembangan kurikulum KTSP, dalam konteks ini kurikulum PAI, disusun sebagai wujud pelayanan kepada masyarakat yang mempunya latar belakang budaya dan adat istiadat yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Oleh karena itu pengembangan kurikulum PAI harus mampu melayani kebutuhan mereka, dengan memfokuskan pengembangan pada kompetensi tertentu yang berupa pengetahuan agama, keterampilan beragama, sikap yang utuh dan terpadu antara ilmu dan amal, serta kemampuan peserta didik mendemonstrasikan sebagai wujud hasil belajar dengan pendektan informal cultural religious agar lebih bisa diterima masyarakat.8 3.
Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Prospek pendidikan Islam pada masa mendatang, harus pula dikaji dan diteropong melalui lensa realitas pendidikan islam di Indonesia yang ada pada hari ini. Melihat kendala yang dihadapi oleh pendidikan nasional, minimal telah terpantul sinar yang juga menggambarkan tentang kondisi pendidikan Islam di Indonesia pada masa kini. Adapun kendala tersebut berupa: a. Kurikulum yang belum mantap, terlihat dari beragamnya jumlah presentasi untuk pelajaran umum dan agama pada berbagai sekolah yang berlogo Islam. b. Kurang berkualitasnya guru, yang dimaksud disini adalah kurang kesadaran professional, kurang inofatif, kurang berperan dalam pengembangan pendidikan, kurang terpantau. c. Belum adanya sentralisasi dan disentralisasi. d. Dualisme pengelolaan pendidikan yaitu antara Kemenag dan Dinas Pendidikan. e. Sisa-sisa pendidikan penjajahan yang masih ditiru seperti penjurusan dan pemberian gelar. f. Kendali yang terlalu ketat pada pendidikan tinggi. g. Minimnya persamaan hak dengan pendidikan umum. Minimnya peminat sekolah agama karena dipandang prospeknya tidak jelas. Untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran diperlukan pembelajaran yang efektif. Suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut dapat membelajarkan
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
pesereta didik secara kondusif. Untuk itu diperlukan metode dan strategi pembelajaran yang bervariasi, yang meliputi sebagai berikut :9 a. Student centered instruction, yaitu pembelajaran yang berpusat pada peserta didik seperti diskusi dlam berbagai variasi, kemudian dapat dikembangkan dengan adanya game yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih hidup. Peserta didik bersifat aktif sedang guru fasilitator. b. Collaborative learning, yaitu cara belajar siswa aktif melalui proses pembelajaran yang dilakukan secara bersama-sama antara guru dan peserta didik atau antara peserta didik dengan peserta didik yang lain. c. Cooperative learning, yaitu proses pembelajaran yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk terlibat dala kelompoknya, dalam melaksanakan tugas yang diberi oleh gurunya, dan masingmasing anggota memiliki tugas dalam kelompoknya dan saling memeriksa pekerjaan teman-temannya kemudian bisa dikembangkan menjadi variasi kelompok. d. Self discovery learning, yaitu belajar melalui penemuan mereka sendiri, melalui penelitian dengan menemukan sendiri masalah yang harus dipelajari dan dipecahkan. Untuk itu, keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran merupakan hal sangat penting dan menentukan keberhasilan pembelajaran. e. Quantum learning, yaitu strategi belajar dimana dalam belajar semua indera harus bekerja aktif, di mana semua komponen kecerdasan akan aktif bekerja menggunakan multimedia dan pendayagunaan kelompok belajar. f. Contextual Teaching and Learning (CTL), yaitu strategi yang digunakan untuk membantu peserta didik untuk memahami makna dari materi pelajaran dengan mengaitkan mata pelajaran tersebut dengan konteks kehidupan mereka. 4.
Kendala-kendala Pelaksanaan Pembelajaran Kendala pembelajaran adalah hambatan yang menjadikan pelaksanaan pembelajaran tidak evektif. Kendala disini juga meliputi problem-problem yang sering dikeluhkan oleh peserta didik maupun guru selaku pelaksana kurikulum. Kendala-kendala dalam pembelajaran PAI dapat berasal dari guru, peserta didik, kepala sekolah, ketersediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya.10 a. Guru dan Peserta Didik Untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran peran guru sebagai pelaksana kurikulum dan peserta didik sebagai subjek 9 Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. 2007. 10 Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. 2004.
8 Rahmat Raharjo. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam. 2010.
83
84
PROBLEMATIKA …
pembelajaran sangat berpengaruh. Kurangnya keterampilan guru melaksanakan pembelajaran yang mendidik terkait erat dengan kebiasaan yang sudah lama melekat dalam sistem sentralisasi pendidikan, yaitu pembelajaran yang menekankan pada pencapaian target materi dan ranah kognitif (menghafal, memindahkan pengetahuan dari otak ke otak) yang disampaikan secara verbal. Padahal, sesungguhnya pembelajaran PAI menuntut porsi yang lebih besar pada aspek afektif. Namun kenyataannya, justru aspek ini yang menjadi kelemahan pembelajaran PAI selama ini. Responden lain mengeluhkan masih adanya sebagian peserta didik yang menganggap bahwa PAI merupakan mata pelajaran yang kurang penting, yaitu sebagai mata pelajaran pelengkap dibanding dengan mata pelajaran lain yang diujikan secara nasional (yang di-UNkan). Anggapan seperti ini menjadikan motivasi belajar mereka rendah. Kondisi demikian seharusnya menjadi tantangan oleh guru PAI untuk mencari strategi yang mampu mengajak peserta didik memiliki etos dan tanggung jawab belajar sebagai kebutuhannya sendiri. Dalam pembelajaran, guru PAI harus punya niat untuk membimbing peserta didik selamat didunia dan akhirat. Untuk itu, guru PAI harus bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya. b. Kepala Sekolah Komponen pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap keberhasilan maupun keberlangsungan proses pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah berkewajiban membantu guru-guru dalam usaha mereka mengembangkan keterampilan mengajarnya. c. Sarana dan Prasarana Pelaksanaan pembelajaran PAI tidak akan optimal tanpa adanya dukungan sarana prasarana yang memadai untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Data menunjukan bahwa problem yang dihadapi guru PAI adalah terbatasnya sarana prasarana yang dibutuhkan. 5. 1.
2.
Problematika Kurikulum PAI di SMP Sebagaimana tertuang dalam kurikulumnya, agaknya masih terpilah-pilah menjadi beberapa aspek, yaitu : aspek AlQur’an/Hadits, aqidah akhlak, fiqih dan tarikh Islam. Sehingga pembelajaran yang dilaksanakan terpisah tersebut hanya terfokus pada sub mata pelajaran PAI saja. Pemahaman aspek-aspek PAI maupun proses pelaksanaannya yang terpilah- pilah tersebut pada kenyataannya problem-problem yang muncul dilapangan, antara lain : Orientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna secara tekstual dan kontekstual. 85
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
Aspek aqidah akhlak, ibadah dan syari’ah yang diajarkan hanya sebagai tata aturan keagamaan dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan kepribadian sebagai konsekwensi dari pengajaran agama islam tersebut. Kurang terciptanya suasana religious di sekolah, yang seharusnya tercipta sebagai manifestasi dari potret lingkup terkecil dari efek pembelajaran pendidikan agama Islam di SMP. Tidak dimasukkannya mata pelajaran PAI dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 6.
Solusi Problematika Kurikulum PAI di SMP Bahwa Dua jam pelajaran di kelas memang tidaklah akan cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan yang begitu komplek. Kalaulah kita tidak pandai mensiasatinya maka informasi yang diterima pelajar khawatir hanya akan menyentuh aspek kognitif saja sementara aspek afektif dan psikomotor tidak dapat tersentuh. Dalam masalah akhlaq mungkin saja ketika dilakukan evaluasi tertulis (ulangan) para pelajar (mungkin) dapat menjawab dengan tepat bahkan bisa menyebutkan dalil naqlinya bahwa etika makan dan minum dalam Islam diantaranya tidak boleh sambil berdiri, tapi dalam kehidupan sehari-hari pelajar tersebut masih saja makan dan minum sambil berdiri dan bahkan sambil berjalan. Dalam masalah ibadah para pelajar mungkin saja ketika dilakukan evaluasi tertulis (ulangan) dapat menjawab dengan tepat bahwa shalat lima waktu itu hukumnya wajib, bila ditinggalkan berdosa dan bila dilaksanakan akan mendapat pahala, tapi dalam kehidupan sehari-hari pelajar tersebut masih enggan melakukan shalat. Hal ini tentu tidak kita harapkan karena apa yang dilakukan para pelajar tidak sesuai dengan apa yang telah diketahuinya, diakui atau tidak kenyataan itu membuktikan bahwa Pendidikan Agama Islam masih belum berhasil.11 Upaya untuk mensiasati keterbatasan jam pelajaran dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, diantaranya adalah : 1. Menyeleggarakan Bina Rohani Islam (ROHIS) Kegiatan Bina Rohani Islam (ROHIS), dapat dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang wajib diikuti oleh seluruh pelajar yang beragama Islam. Untuk mewujudkan kegiatan ini perlu dibuat program kerja yang matang sehingga dalam pelaksanaannya tidak berbenturan dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya, didanai dengan dana yang cukup, materi yang disampaikan dapat menunjang materi intrakurikuler dengan menggunakan metode yang menyenangkan tapi tetap edukatif 11 Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. 2007.
86
PROBLEMATIKA …
serta memanfaatkan tenaga pengajar yang ada di lingkungan sekolah yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam. a. Waktu Penyelenggaraan Bina Rohani Islam (ROHIS) Karena sekolah kita menyelenggarakan proses pembelajaran pada pagi hari, maka waktu penyelenggaran kegiatan Bina Rohani Islam (Rohis) dapat dilakukan setiap sore hari (secara bergantian menurut jumlah kelas) setelah selesai proses pembelajaran. b. Sumber Dana Penyelenggaraan Bina Rohani Islam Sumber dana bina Rohani Islam bisa disusun sejak awal tahun pelajran, dan dimasukkan ke dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Dana tersebut dapat di distribusikan untuk seluruh kegiatan yang ada kaitannya dengan Bina Rohani Islam termasuk didalamnya biaya pengganti transport (insentif) para pembimbing bina rohani Islam. c. Materi yang disajikan Materi yang disajikan dalam bina Rohani Islam hendaknya dapat menunjang materi intrakurikuler, dengan penekanan pada pendalaman pemahaman dan kemampuan membaca Al Qur’an tapi tidak melupakan materi-materi lain seperti Aqidah, Ahlak, Ibadah (fiqih), Tarikh dan doadoa pilihan. Mengapa harus demikian ? Karena tujuan semula penyelenggaraan Bina Rohani Islam adalah dalam rangka mensiasati keterbatasan jam mengajar di kelas. d. Tehnik dan metode penyampaian materi Pada pertemuan pertama para pembimbing Bina Rohani Islam mengelompokkan dan menginventarisir pelajar yang sudah mampu membaca Al Quran dan yang belum. Pelajar yang telah dikelompokkan tersebut untuk pertemuan selanjutnya dianjurkan membawa Al Qur’an bagi yang sudah mampu membacanya dan membawa Buku Iqro (AlBarqy) bagi yang belum mampu membaca Al Qur’an. Untuk pertemuan berikutnya, pada empat puluh menit pertama dipergunakan untuk pendalaman baca tulis Qur’an, Bagi yang sudah mampu membaca Al Qur’an dianjurkan untuk membaca Al Qur’an sendiri, lebih baik lagi bila melakukan hapalan dan bagi yang belum mampu membaca Al Qur’an dibimbing oleh pembimbing Bina Rohani Islam untuk mempelajari IQRO (Al-Barqy). Dan bila perlu pembimbing bisa meminta bantuan pelajar yang telah mampu membaca Al Qur’an untuk membimbing temannya mempelajari Iqro/Al-Barqy (TUTOR SEBAYA). Kemudian Dua puluh menit berikutnya dipergunakan untuk penyampaian materi yang telah direncanakan dan tersusun dalam Garis-Garis Besar Pengajaran (GBPP – ROHIS). Selanjutnya Dua puluh menit terahir dipergunakan untuk hapalan Al Qur’an surat-surat pendek dan surat-surat pilihan yang telah direncanakan. Metode penyampaian materi diusahakan menghindari metode satu arah (ceramah), tapi diharapkan para pembimbing rohani Islam 87
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
mampu menggunakan berbagai macam metode kreatif dengan harapan metode tersebut bisa menumbuhkan semangat pelajar untuk belajar tanpa menimbulkan kejenuhan. Prinsip yang harus dipegang oleh para pembimbing rohani Islam metode tersebut dapat menyampaikan pesan ke Islaman sebanyak-banyaknya kepada para pelajar dan dapat menimbulkan gairah untuk mengamalkan inti ajaran Islam yang diperolehnya dengan penuh keikhlasan. e. Tenaga Pengajar (Pembimbing Bina Rohani Islam) Tenaga pengajar atau pembimbing Bina Rohani Islam tidak hanya guru Pendidikan Agama Islam saja, jika kekurangan tenaga pengajar maka Kepala Sekolah bisa menunjuk guru mata pelajaran lain yang memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap ajaran Islam. Atau jika perlu bisa mengadakan kerja sama dengan para ustadz/ustadzah, qori/qori’ah dan lembaga-lembaga keagamaan lain yang benar-benar bisa meluangkan waktunya.12 2.
Mengkondisikan Sekolah (Islamisasi sekolah).
Dengan
Kegiatan
Keagamaan
Islamisasi sekolah, memang terasa sangat ekstrim. Tetapi hal ini dimaksudkan agar seluruh warga sekolah terutama yang beragama Islam bisa menjalankan sebagain syariat Islam di lingkungan sekolah sehingga situasi kondusif bisa tercipta di lingkungan sekolah tersebut. Islamisasi sekolah itu diantaranya bisa dilakukan melalui :13 Setiap hari sebelum belajar diusahakan setiap pelajar membaca Al Qur’an antara 5 s. d 10 ayat. Siswa yang telah bisa membaca Al Qur’an diharapkan dapat membantu temannya yang masih belum bisa membaca Al Qur’an. Sehingga saat menghadapi ujian praktek Pendidikan Agama Islam dan mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UAS-BN) seluruh pelajar telah dapat membaca Al Qur’an dengan baik dan benar. Waktu Istirahat disesuaikan dengan waktu shalat Dzuhur, sehingga seluruh warga sekolah dan peserta didik bisa melakukan shalat tepat waktu. Dalam hal ini perlu dibuat komitmen yang serius sehingga waktu istirahat benar-benar digunakan untuk shalat. Setiap hari jum’at pagi seluruh warga sekolah yang beragama Islam wajib menguikuti kegiatan yasinan yang dimulai dari pukul 06.50 s.d pukul 07.30 WIB. Dan di siang harinya mengadakan salat Jum’at berjamaah di Masjid yang ada di lingkungan sekolah (sesuai dengan daya tampung masjid sekolah). Sebaiknya ada siswa mewakili kelasnya bergiliran menjadi petugas shalat Jum’at seperti 12 Kelompok Kerja Guru PAI SMP N 1 Kota Jambi 13 Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. 2007.
88
PROBLEMATIKA …
-
-
-
-
-
muadzin dan bilal. Sedangkan guru-guru (laki-laki) yang beragama Islam diharapkan bisa bergiliran menjadi Imam dan Khatib Jum’at. Setiap hari Jum’at seluruh pelajar yang beragama Islam, guruguru dan seluruh warga sekolah diwajibkan untuk memakai busana muslim baik laki-laki maupun perempuan, (laki-laki memakai baju koko dan celana panjang serta peci berwarna putih, sedangkan yang perempuan memakai jilbab dan rok panjang). Setiap siswi muslimah yang kelasnya ada jadwal pelajaran Pendidikan Agama Islam diwajibkan memakai jilbab seharian (selama berada di lingkungan sekolah). Setiap bulan Ramadlan melaksanakan kegiatan pesantren kilat, ifthor jama’i (buka puasa bersama secara bergantian pada setiap kelas), shalat tarawih di masjid sekolah, pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan zakat maal dengan melibatkan para pelajar sehingga mereka bisa mengetahui mekanisme pembagian zakat melalui praktek, serta kunjungan ke panti asuhan dengan memberikan sumbangan (baik berupa uang maupun pakaian bekas layak pakai). Untuk memeriahkan peringatan Nuzul Qur’an, sekolah melaksanakan kegiatan Khatam Al-Quran bagi siswa yang sudah dianggap mampu membaca Al-Qur’an (khatam) yang sengaja dipersiapkan dalam mata pelajaran IQRO’. Setiap bulan Dzulhijjah seluruh warga sekolah yang beragama Islam menyelenggarakan kegiatan shalat idul adha di masjid/lapangan sekolah, pemotongan hewan qurban di sekolah dengan melibatkan para pelajar sehingga mereka bisa mengetahui bagaimana mekanisme pelaksanaan ibadah qurban dan bagaimana mekanisme pembagaian daging hewan qurban.
Ketika menyelenggarakan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) tidak hanya diisi dengan kegiatan ceramah tapi bisa melakukan kegiatan lain yang bisa lebih menyentuh hati dan ingatan peserta didik seperti melakukan bakti sosial, pemutaran film-film Islam baik yang berupa film-film perjuangan maupun film-film dokumenter, cerdascermat Al Qur’an, lomba MTQ (tilawah Quran) dan kegiatan-kegiatan lainnya. Semua hal tersebut dapat terlaksana dengan baik bahkan bisa menciptakan suasana kondusif di lingkungan sekolah jika seluruh guru dan seluruh aparat sekolah mempunyai tanggung jawab dan keinginan yang sama dalam membentuk siswa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.14
14 Kelompok Kerja Guru PAI SMP N 1 Kota Jambi
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
3. Menggunakan Metode Insersi (Sisipan) dalam proses pembelajaran Metode Insersi adalah cara menyajikan bahan pelajaran degan cara ; inti sari ajaran Islam atau jiwa agama/emosi religius diselipkan/disisipkan di dalam mata pelajaran umum. Untuk menggunakan metode ini guru agama harus bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain (mata pelajaran umum) agar pesan-pesan keagaamaan bisa disampaikan melalui pelajaran umum dengan cara yang sangat halus, sehingga hampir tidak terasa bahwa sesungguhnya saat itu para pelajar sedang mendapatkan suntikan keagamaan oleh guru mata pelajaran yang bukan pelajaran agama.15 Metode insersi ini bisa dilakukan melalui seluruh mata pelajaran, sebagai contoh ketika guru mata pelajaran ekonomi mengajarkan tentang barter dan jual beli maka bisa disisipkan jiwa agama berupa informasi tentang perlunya ijab kabul dan perlunya pencatatan transaksi jual beli yang tidak dengan cara tunai sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 282. Atau contoh lain ketika melakukan praktikum IPA, guru IPA bisa mneyampaikan perlunya kejujuran, ketelitian dan kesabaran dalam melakukan praktek, sebab tanpa semua itu hasil dari praktek tidak akan memuaskan bahkan mungkin gagal, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. C. KESIMPULAN Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan, yang salah satunya melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Pengembangan kurikulum menjadi kurikulum KTSP melibatkan berbagai pihak (sekolah, komite sekolah, dan guru) yang tidak hanya menuntut ketrampilan teknis dari pihak pengembang, tetapi kemampuan berbagai faktor yang memengaruhi pengembangannya. Untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran diperlukan pembelajaran yang efektif, yaitu dengan beberapa metode dan strategi pembelajaran yang bervariasi, meliputi: a. Student centered instruction b. Collaborative learning c. Cooperative learning d. Self discovery learning e. Quantum learning f. Contextual Teaching and Learning (CTL)
15 Rahmat, Rahardjo. Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam. 2010.
89
90
PROBLEMATIKA …
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
Kendala pembelajaran adalah hambatan yang menjadikan pelaksanaan pembelajaran tidak evektif. Kendala disini juga meliputi problem-problem yang sering dikeluhkan oleh peserta didik maupun guru selaku pelaksana kurikulum. Kendala-kendala dalam pembelajaran PAI dapat berasal dari guru, peserta didik, kepala sekolah, ketersediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya.
INTEGRASI PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI PONDOK PESANTREN AL-‘ASHRIYAH Marwazi1 Masalah penguasaan bahasa Arab di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam tak kunjung terselesaikan, permasalahannya bukan saja terletak pada kualitas dosen, tapi lebih pada komitmen mereka mengaplikasikan metodenya yang tepat untuk pembelajaran bahasa tersebut. Pada umumnya, mereka yang berlatarbelakang pendidikan bahasa Arab tahu tentang metodenya yang tepat, yaitu mulai dari banyak baca, menulis dan berbicara, kemudian didukung oleh lingkungan pembelajaran yang kondusif, yaitu lingkungan yang dapat memacu dan memicu gairah berbahasa tersebut, mulai dari keberadaan buku yang berbahasa Arab, kultur menulis, dan miliu yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa percakapan sehari-hari dan bahasa pengantar dalam pembelajaran. Penerapan reward dan punishment dalam pemberlakukan disiplin berbahasa, sehingga terjadi laboratorium bahasa alamy. Di samping metode yang tiga di atas dan lingkungan kondusif, adalah menanamkan sikap positif terhadap bahasa tersebut, sehingga mereka belajar dengan kesadarannya yang tinggi tanpa harus dibimbing terusmenerus.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Binbaga Islam, Jakarta. 1999. Muhaimin. Paradigma Pendidikan Rosdakarya, 2004.
Islam.
Bandung:
PT.Remaja
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Raharjo, Rahmat. Inovasi Kurikulum Pendidikan Yogyakarta: Magnum Pustaka, 2010.
Agama
Islam.
Kata Kunci: Integrasi Pembelajaran Bahasa, Bahasa Arab, dan PP ‘Ashriyah A. Mukadimah Bahasa Arab mulai dikenal di bumi Nusantara sejak Islam masuk ke sana pada abad ke-7 M. Dibanding dengan bahasa Inggris, Perancis, dan Belanda, bahasa Arab jauh lebih dahulu dikenal oleh bangsa Indonesia. Namun demikian, bahasa tersebut belum menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi lebih sebagai bahasa ilmu agama Islam. Sehingga mereka yang belajar bahasa Arab dimotivasi oleh kepentingan religious bukan untuk kepentingan pragmatis, seperti menjadi syarat mendapatkan berbagai macam kerja dan lain-lain, sehingga kurang diminati betapapun unggulnya bahasa tersebut dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lain. Dari segi sifatnya, kata Ahmad al-Iskandary dan Mustafa Inany, Bahasa Arab adalah sebahagian bahasa yang terkaya kosa 1.
91
Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Tangkit Sungai Gelam Muaro Jambi
92