Problematika Ekonomi Kreatif dari Perspektif Kelembagaan Hak Kekayaan Intelektual Budi Agus Riswandi Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
[email protected] Abstrak Pengembangan ekonomi kreatif dibutuhkan melalui penciptaan iklim yang kondusif untuk pengembangan kreatifitas dan inovasi. Sejalan dengan itu, perlindungan HKI menjadi isu strategis dalam pengembangan ekonomi kreatif dikarenakan perlindungan HKI dapat menciptakan iklim berkreatifitas dan berinovasi yang baik. Penelitian ini mengangkat masalah, pertama, bagaimanakah kelembagaan HKI yang berperan dalam perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi creative city? Kedua, bagaimanakah peran kelembagaan HKI dalam praktek perlindungan HKI terhadap produk-produk ekonomi kreatif selama ini bagi creative city? Penelitian ini akan diselenggarakan dengan menggunakan metode penelitian normatif dan empiris. Hasil penelitian menyimpulkan, Pertama, kelembagaan dan Tata Kelola HKI dalam rangka pengembangan ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hanya mengacu kepada ketentuan UU dalam bidang HKI, namun juga dapat mendasarkan diri pada UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Di dalam undang-undang ini secara tegas didorongnya lembaga perguruan tinggi atau lembaga penelitian termasuk yang ada di daerah memiliki lembaga HKI yang disebut dengan sentra HKI. Ketentuan ini tentunya berlaku juga bagi Creative City yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang sangat tinggi. Namun demikian, landasan hukum ini dalam kenyataannya tidak memberikan suatu gambaran yang lengkap mengenai model kelembagaan HKI berikut tata kelolanya. Oleh karenanya, kelembagaan HKI yang diatur di dalam UU No. 18 Tahun 2002 masih sangat sederhana. Selanjutnya, manakala Creative City menghendaki melakukan pembentukan kelembagaan HKI, maka selain ketentuan UU No. 18 Tahun 2002 sebagai landasaannya dapat juga mendasarkan diri pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bagaimanapun, diakui bahwa Creative City tidak dapat melepaskan diri dari aturan mengenai pemerintahan daerah. Kedua, kelembagaan dan tata kelola HKI di Creative City dalam hal ini Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali nampaknya wilayah-wilayah ini memiliki kelembagaan dan tata kelola HKI sangatlah beragam. Keragaman ini tidak saja dalam hal kelembagaannya, namun termasuk dalam tata kelolanya. Sebagaimana diketahui Jawa Barat yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang besar, dalam hal penanganan HKI di daerah masih sangat lemah dari segi prakteknya, namun dari sisi regulasi sudah cukup kuat dengan diterbitkannya Perda, sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal penanganan HKI terlihat lebih serius daripada Creative City yang lainnya, meskipun dari sisi regulasi perlindungan dan kelembagaan masing lemah. Keseriusan itu terlihat ketika Daerah Istimewa Yogyakarta telah memiliki satu lembaga khusus di bidang HKI yang dikenal dengan Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual. Dengan adanya kelembagaan khusus ini Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah memapu menjalankan tata kelola cukup baik dalam bidang HKI. Di mana tata kelola tersebut meliputi, sistem edukasi HKI, dokumentasi HKI, fasiltiasi HKI dan Promosi serta advokasi HKI Kata Kunci: Ekonomi Kreatif – Kelembagaan – Hak Kekayaan Intelektual
Pendahuluan Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan pengembangan produk kreatif dan inovatif. Suatu produk yang dapat diberikan perlindungan HKI, maka produk tersebut haruslah kreatif dan inovatif. Suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif dalam perspektif HKI hendaknya produk itu dapat memenuhi kriteria dari masing-masing rezim HKI. Untuk hak cipta suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila memenuhi kriteria orisinalitas, fiksasi dan kreativitas, untuk paten, maka suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila produk tersebut memenuhi kriteria kebaruan, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam kegiatan industri, untuk desain industri, maka kriterianya harus baru dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya, dan untuk rahasia dagang kriteria yang harus dipenuhi adalah adanya upaya menjaga informasi yang bernilai ekonomi untuk tidak diketahui oleh umum. Melihat pada kriteria-kriteria tersebut, maka tegaslah produk yang dimintakan HKI sudah seharusnya produk itu kreatif dan inovatif. Namun sayangnya, saat ini masih ada para pelaku ekonomi kreatif tidak memperhatikan kriteria-kriteria yang ada. Alhasil, produk yang ada, tidak baru bahkan merupakan tiruan/bajakan dari yang sudah ada sebelumnya. Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan sistem pendaftaran HKI berupa prosedur pendaftaran yang dianggap rumit, berbiaya “mahal” dan waktu yang cenderung tidak pasti, sehingga akhirnya tidak didaftarkan. Hal ini tentunya memperlemah perlindungan hukum dan berimplikasi pada tidak dilindunginya produkproduk ekonomi kreatif tersebut. Realitas perlindungan HKI lainnya berhubungan dengan penegakan hukum HKI. Penegakan hukum HKI hingga kini dirasa masih tebang pilih dan kurang mendapatkan penanganan yang baik dan professional. Minimnya, aparat penegak hukum yang memiliki pemahaman baik atas HKI juga menjadi realitas nyata dalam penegakan hukum HKI. Alhasil, produk-produk ekonomi kreatif yang telah terdaftar HKI-nya tidak serta merta dapat dilindungi, meskipun telah dilakukan proses hukum yang seharusnya. Mencermati realitas perlindungan HKI yang lemah1 atas produk-produk ekonomi kreatif, maka harus dicarikan solusinya. Solusi untuk hal ini tentunya dapat dilakukan 1
Dalam bahasa Insan Budi Maulana salah satu pakar HKI, realitas ini mengambarkan bahwa Indoensia lemah dalam hal politik dan manajemen HKI. Menurutnya, Indonesia masih terlihat kelabu karena tidak ada tindakan politik HKI yang bersifat strategis, preventif, terprogram dan terkoordinasi yang mampu memberikan nilai tambah HKI bagi pengembangan ekonomi Indonesia baik di tingkat
dengan memperhatikan terlebih dahulu realitas kelembagaan yang berperan dalam perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi creative city. Selanjutnya, penelitian juga difokuskan pada peran kelembagaan HKI dalam praktek perlindungan HKI terhadap produk-produk ekonomi kreatif selama ini bagi creative city (Jawa Barat, Bali dan DIY). Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan dua permasalahan, yakni: Pertama, bagaimanakah kelembagaan HKI yang berperan dalam perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi creative city? Kedua, bagaimanakah peran kelembagaan HKI dalam praktek perlindungan HKI terhadap produk-produk ekonomi kreatif selama ini bagi creative city? Tujuan Penelitian Penelitian ini disusun dan diusulkan guna mencapai dua tujuan khusus yang hendak dicapai, yakni: Pertama, untuk mengkaji kelembagaan HKI yang berperan dalam perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi creative city. Kedua, untuk mengkaji peran kelembagaan HKI dalam praktek perlindungan HKI terhadap produk-produk ekonomi kreatif selama ini bagi creative city. Metode Penelitian Penelitian ini akan diselenggarakan dengan menggunakan metode penelitian normatif dan empiris. Dalam proses penelitian normatif akan digunakan bahan hukum primer, yakni berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan untuk mengkaji bidang kelembagaan HKI di Indonesia. Selain itu, juga digunakan bahanbahan sekunder seperti, hasil penelitian, jurnal, artikel-artikel dan referensi lain yang nasional maupun internasional. Selama ini manajemen HKI tidak dilakukan secara profesional dengan menggunakan sistem manajemen HKI modern sebagaimana yang diterapkan di negara-negara lain, terutama Asia Timur misal Jepang dan Korea Selatan. Lihat Insan Budi Maulana, Politik dan Manajemen Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2009, hlm. V.
berhubungan dengan pengembangan ekonomi kreatif melalui perlindungan HKI. Untuk menajamkan kajian penelitian, maka akan dilihat juga pengembangan ekonomi kreatif melalui perlindungan HKI ini pada tataran empirisnya. Hal ini difokuskan juga pada praktek kelembagaan HKI dalam menunjang pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia khsusunya di beberapa kota yang dijadikan sebagai creative city, seperti: Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Bali. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara bebas terpimpin. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan metode induktif dan deduktif dalam proses penarikan kesimpulannya. Hasil Penelitian dan Pembahasan HKI dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat HKI2 merupakan hasil terjemahan dari istilah intellectual property rights. Bambang Kesowo mendefinisikan HKI sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.3 Jill Mc Keough dan Andrew Stewart mendefinisikan HKI sebagai sekumpulan hak yang diberikan oleh hukum untuk melindungi investasi ekonomi dari usaha-usaha yang kreatif. Sementara Dirjen HKI bekerjasama dengan ECAP mendefinisikan HKI sebagai hak yang timbul dari hasil olah fikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.4 Klasifikasi HKI pasca Putaran Uruguay tertuang dalam suatu persetujuan yang disebut TRIPs Agreement. Hal ini lebih khusus lagi diatur pada Part II tentang Standards Concerning the Availability Scope and Use of Intellectual Property Rights. Lebih lengkapnya lagi klasifikasi HKI berdasarkan TRIPs Agreement terdiri dari: 1) copyrights and related rights; 2) trademarks; 3) geographical indications; 4) industrial iesigns; 5) patent; 6) layout Designs (Topographies) of Integrated Circuits; 7) 2
Pendapat Robert M Sherwood, Intellectual Property and Economic Development, Sherwood mengememukakan ada dua pengertian yang terkandung dalam konsep HKI. Pertama, kreativitas pribadi (private creativity). Kedua, perlindungan oleh negara terhadap hasil dari kreativitas (public protection for the result of creativity). Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Alumni, Bandung, 2011, hlm. 105. 3 Bambang Kesowo, GATT, TRIPs dan Hak Atas Kekayaan Intelektual, Mahkamah Agung, Jakarta, 1998, hlm. 160. 4 Tomy Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 2.
Protections of Undisclosed Information; 8) Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licenses. Di Indonesia, dalam pengklasifikasian HKI tidak sepenuhnya mengadaptasi pada pembagian seperti yang ada pada TRIPs Agreement, meskipun dari segi norma telah disesuaikan dengan standar yang ada pada TRIPs Agreement. Klasifikasi HKI yang ada di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut: 1) hak cipta dan hak terkait; 2) paten; 3) merek; 4 ) desain industri; 5) desain tata letak sirkuit terpadu; 6) rahasia dagang; 7) perlindungan varietas tanaman. Secara konseptual masing-masing bagian HKI di atas dapat diuraikan secara terinci sebagai berikut. Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Lingkup hak cipta meliputi hasil-hasil karya intelektual dalam bentuk karya seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Hak cipta diperoleh secara otomatis tatkala karya tersebut telah diwujudkan secara nyata. Namun demikian, untuk kebutuhan pembuktian hak cipta dimungkinkan utnuk didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI. Masa waktu perlindungan hak cipta yang diatur di dalam ketentuan hukum hak cipta di Indonesia cukup variatif, yakni; Pertama berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia, umtuk jenis ciptaan berupa buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain, drama atau drama musikal, tari, koreografi, segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat dan seni patung, seni batik, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, arsitektur, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain, alat peraga, peta, terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai. Kedua, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan ciptaan berupa program komputer, sinematografi, fotografi, database, dan hasil pengalihwujudan dan ketiga, ciptaan yang dikuasai negara berlaku tanpa batas waktu. Paten mengandung arti hak eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Lingkup paten5 ada pada invensi dalam bidang teknologi yang sifatnya memecahkan masalah. Invensi ini ada yang bentuknya produk atau proses atau dapat juga pengembangan/ penyempurnaan produk atau proses. Syarat suatu invensi dapat dipatenkan secara substantif ada tiga, yakni; syarat kebaruan (novelty), syarat langkah inventif (inventive step) dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable). Paten sendiri diperoleh dengan cara pendaftaran (first to file principle). Akan tetapi, di beberapa negara seperti Amerika Serikat paten diperoleh dengan berlandaskan pada penemu pertama (first to invent principle). Indonesia sendiri menganut sistem pendaftaran (first to file principle). Pendaftaran dilakukan ke Direktorat Jendral HKI Departemen Hukum dan HAM RI. Jenis paten ada dua, yakni paten dan paten sederhana. Masa waktu perlindungan untuk paten adalah 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Paten sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Lingkup merek6 adalah tanda berupa gambar, nama, huruf-huruf, angka-angka, kata dan susunan warna atau kombinasi dari semuanya yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Hak atas merek dapat diperoleh melelui sistem pendaftaran (first to file principle) bukan didasarkan pada sistem penggunaan pertama (first to use principle). Di Indonesia untuk memperoleh hak atas merek harus melalui sistem pendaftaran. Apabila merek telah terdaftar, maka timbul hak atas merek. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam
5
Sejarah penerapan paten di Indonesia dapat dilihat pada Insan Budi Maulana,”Penerapan Paten Sejak UU Paten No. 6 Tahun 1989 hingga UU Paten No. 13 Tahun 1997: Pengalaman Indonesia Selama Ini,” Ridwan Khairandy, dkk, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Pusat Studi Hukum Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, Yogyakarta, 2000, hlm. ...??? Lihat juga Endang Purwaningsih, Perkembangan Intellectual Property Rights Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. ...? 6
Merek memiliki fungsi pembeda, fungsi jaminan, fungsi promosi dan fungsi rangsangan invenstasi dan pertumbuhan ekonomi. Untuk hal ini dapat dilihat pada Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Bandung: Mandar Maju, 2012, hlm. 53. Lihat juga Dwi Rezeki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, Bandung; Alumni, 2009, hlm. ...?
Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Jenis merek ada dua, yakni merek dagang dan jasa. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Jangka waktu perlindungan merek adalah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Desain Industri lingkupnya mencakup pada aspek kreasi berupa bentuk, konfigurasi dan komposisi yang mengandung unsur estetika yang biasanya digunakan dalam kegiatan industri dan kerajinan. Hak atas desain industri sendiri diperoleh dengan menggunakan sistem pendaftaran. Setelah dilakukan pendaftaran desain industri, maka timbul hak atas desain industri. Hak atas desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut. Masa waktu perlindungan desain industri adalah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan. Lingkup rahasia dagang mencakup pada informasi yang bersifat pribadi, memiliki nilai ekonomi dan dijaga kerahasiaannya. Untuk memperoleh hak atas rahasia dagang didasarkan pada pemenuhan syarat-syarat dari rahasia dagang itu sendiri. HKI apabila dihubungkan dengan pengembangan ekonomi kreatif memiliki relasi yang sangat kuat. Relasi tersebut terletak pada; Pertama, HKI dapat menjadi insturmen dalam menghasilkan produk-produk ekonomi kreatif yang lebih inovatif dan mengandung unsur kebaruan (novelty). Pemahaman ini diperoleh, dimana di dalam HKI dikenal adanya sistem database HKI yang berguna dan bermanfaat bagi upaya pengembangan suatu produk termasuk produk-produk ekonomi kreatif; Kedua, HKI dapat dijadikan instrumen bagi upaya mendokumentasi suatu produk ekonomi kreatif secara teratur dan efektif. Dalam pendokumentasian produk ekonomi kreatif melalui HKI biasanya yang didokumentasi tidak saja berkaitan dengan produk itu sendiri, akan
tetapi meliputi juga pada dokumentasi penghasil produk yang disertai dengan buktibukti hukumnya; dan Ketiga, HKI dapat dijadikan sarana dalam hal perlindungan hukum atas suatu produk ekonomi kreatif. Dalam sistem HKI ini setiap orang yang berhasil membuat suatu produk, maka dengan menempuh prosedur tertentu, maka ia dapat dianggap sebagai pemegang hak eksklusif. Dengan dimilikinya hak eksklusif, maka ia dapat mempertahahankan dari pihak lain yang menggunakannya dengan cara melawan hukum. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Dalam hal kelembagaan dan tata kelola HKI sebagai salah satu faktor penyebab permasalahan perlindungan HKI tidak dapat membawa dampak positif bagi pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia, terutama di wilayah creative city dikarenakan pengaturan yang ada masih sangat lemah. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 13 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2002 bahwa : “dalam meningkatkan pengelolaan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan lembaga litbang wajib mengusahakan
pembentukan
sentra
HKI
sesuai
dengan
kapasitas
dan
kemampuannya.” Pasal 13 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2002 sebagai dasar pembentukan kelembagaan HKI, nampaknya mengatur kelembagaan dan tata kelola HKI ini masih sangat sederhana sekali. Pengaturan hukum terhadap kelembagaan dan tata kelola HKI sebenarnya dapat dilakukan terhadap setiap jenis HKI yang terdapat di creative city sebenarnya dapat juga dilandaskan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini menjadi relevan dikarenakan creative city yang saat ini memiliki potensi dan komitmen untuk mengembangkan ekonomi kreatif ini pada dasarnya terikat juga dengan ketentuan undang-undang tersebut. Adapun beberapa wilayah yang dapat dikategorisasikan sebagai creative city itu adalah Jawa Barat, DIY dan Bali. Wilayah-wilyah yang telah disebutkan ini pada dasarnya merupakan satuan pemerintah daerah apabila melihat pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2002, tepatnya pemerintahan Provinsi atau setingkat Provinsi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa creative city sebagai wilayah provinsi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 telah mempunyai hak untuk menyelenggarakan pemerintah daerah. Dalam hal penyelenggaraan pemerintah daerah creative city ini memiliki urusan pemerintah.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, maka
diatur juga mengenai urusan
pemerintah daerah. Mencermati hal ini, jelaslah bahwa urusan pemerintah daerah itu dapat dibedakan menjadi dua yakni urusan wajib pemerintahan provinsi dan urusan wajib pemerintahan kabupaten/kota. Urusan wajib provinsi mencakup pada urusanurusan sebagai berikut: a) perencanaan dan pengendalian pembangunan; b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d) penyediaan sarana dan prasarana umum; e) penanganan bidang kesehatan; f) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota, antara lain melingkupi; i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Untuk urusan wajib pemerintahan kabupaten/kota yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 meliputi: i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah. Di samping ada urusan wajib, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota juga memiliki urusan pilihan. Untuk urusan pilihan pemerintah provinsi dapat dilihat pada ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 yang berbunyi:” Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.” Untuk urusan piliha pemerintah kabupaten/kota, maka hal tersebut diatur di dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 yang selengkapnya berbunyi: “Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.” Apabila memperhatikan pada urusan pemerintah pusat dan urusan-urusan pemerintah daerah memang HKI tidak secara eksplisit menjadi bagian dari urusan pemerintah pusat dan urusan-urusan pemerintah daerah. Namun demikian, apabila dicermati kembali tentang dua hal ini, maka dapat ditemukan peluang menjadikan HKI sebagai asset tidak berwujud dikelola oleh pemerintah daerah melalui pemahaman atas urusan-urusan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota, yakni mengacu
kepada urusan wajib provinsi bahwa ada dua urusan wajib provinsi apabila ditafsirkan dapat memberikan peluang bagi kebutuhan melakukan pengelolaan HKI sebagai asset tidak berwujud, yakni urusan wajib pemerintah provinsi yang berhubungan dengan fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; dan penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Untuk pemerintah kabupaten/kota urusan wajib yang memiliki peluang bagi pengelolaan HKI sebagai asset tidak berwujud yakni fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah. Selanjutnya, kabupaten/kota
yang
ternyata
berhubungan memiliki
dengan
relevansi
urusan bagi
pilihan
kemungkinan
provinsi
dan
dilakukannya
pengelolaan HKI sebagai asset tidak berwujud. Jika dicermati urusan pilihan provinsi menyatakan:” Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.” Sedangkan urusan pilihan kabupaten/kota menyatakan: ““Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah
yang
bersangkutan.
Dari
urusan-urusan
pilihan
provinsi
maupun
kabupaten/kota dibuka peluang untuk mengembangkan sesuatu yang khas dan unggul di daerahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk kekhasan berkaitan dengan ekonomi kreatif. Dari pemahaman ini, membentuk kelembagaan dan tata kelola HKI pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembembangkan kekhasan dan unggulan daerah (baca: ekonomi kreatif) guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Berdasarkan kajian tersebut, maka Kabupaten/Kota/Provinsi sebuah wilayah yang penyelenggaraannya berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, maka pada dasarnya memiliki peluang juga untuk melakukan pembentukan kelembagaan dan tata kelola HKI guna mengembangkan ekonomi kreatif sebagai sebuah kekhasan dari potensi wilayah.
Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Wilayah Creative City
Relasi antara kelembagaan dan tata kelola HKI bagi, maka pengembangan ekonomi kreatif diharapkan dapat dioptimalisasikan. Untuk melihat hal ini dapat diungkapkan beberapa data di beberapa kota dalam hal ini Jawa Barat, Yogyakarta dan Bali. 1. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Jawa Barat Kelembagaan dan tata kelola HKI di Jawa Barat dilaksanakan oleh beberapa kelembagaan. Kelembagaan tersebut dilakukan oleh Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat, Klinik HKI Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Sentrasentra HKI di beberapa perguruan tinggi di Jawa Barat. Dalam penelitian ini secara kelembagaan difokuskan pada kelembagaan dan tata kelola HKI di Kanwil Hukum dan HAM dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat. a. Kelembagaan dan Tata Kelola di Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat Kawnil Hukum dan HAM Jawa Barat dalam melaksanakan tugasnya ini dijabarkan dalam beberapa kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup pada:7 1). Sistem dokumentasi Sistem dokumentasi di Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat lebih dimaknai sebagai sistem administrasi pelayanan HKI kepada masyarakat. Dengan pemaknaan ini sistem dokumentasi sudah teroganisir dengan baik karena Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat telah membuat urutan penerimaan pendaftaran dan penanganan surat menyurat yang sudah terstruktur. Adapun urutan dan penanganan surat menyurat ini sebagai berikut: (1) konsultasi HKI sebelum pendaftaran (Konsultasi dijadwal setiap hari jumat pukul 09.00 – selesai) kenapa dilakukan konsultasi agar mempersempit usulan penolakan dari Ditjen HKI; (2) pendaftaran (korektor berkas/kelengkapan); (3) penginputan data (efilling); (4) tanda tangan penerima (kasubbid Pelayanan Hukum); (5) pengiriman (bagian surat menyurat dll). Dalam perihal surat menyurat sudah ada bagiannya agar terkordinasi dengan baik, untuk pelaksanaannya bisa melalui surat pemberitahuan atau via telepon, dalam hal usulan penolakan pihak Kanwil Hukum dan HAM
7
Hasil Wawancara dengan Bapak Dona Prawisuda pada tanggal 19 Agustus 2013.
membantu untuk mengarahkan pemohon untuk membuat sanggahan di bagian konsultasi. 2). Database Data base yang dipakai sementara masih data base yang di gunakan dari pusat yaitu e-filling, tapi Kawnil Hukum dan HAM mempunyai data base tersendiri berkas yang sudah di scan untuk penginputan e-filling disimpan sebagai data base Kanwil Hukum dan HAM. 3). Fasilitasi Pendaftaran UKM Fasilitasi Pendaftaran HKI untuk UKM, Kanwil Hukum dan HAM hanya menjadi penghubung saja manakala Direktorat Jenderal HKI memberikan fasilitasi pendaftaran HKI untuk UKM melalui APBN. Sementara, untuk fasilitasi APBD Kanwil Hukum dan HAM tidak terlebiat. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen HKI HKI-09.OT.03.01 Tahun 2013 tentang insentif HKI bagi Sekolah menengah umum, Usaha Mikro dan kecil, Perguruan tinggi, dan Warga binaan, maka mempermudah masyarakat untuk lebih giat mendaftarkan hasil olah piker intelektualnya dan Kanwil Hukum dan HAM telah mensosialisasikannya dengan kerjasama universitas, KADIN,
dan
beberapa
lembaga
bisa
dilihat
di
web
kemenkumham.jabar.go.id tentang sosialisasi insentif HKI 4). Jumlah Pendaftaran Pendaftaran HKI yang tercatat di Kanwil Hukum dan HAM berdasarkan kepada praktek selama ini dapat dikemukakan sebagai berikut: hak atas merek
berjumalh
200-250/tahunnya,
hak
cipta
berjumlah
100
–
150/tahunnya, paten berjumlah 1-5/tahunnnya. 5). Advokasi HKI Tingkat pelanggaran HKI sangat marak, tetapi untuk proses penegakan hukum hal tersebut menjadi tugas dari pihak Kepolisian, sementara Kanwil Hukum dan HAM berperan sebagai saksi ahli guna mencari data kebenaran dan data pelimpahan ke kejaksaan. 6). Komersialisasi HKI Tidak memiliki data dan informasi berkenaan dengan praktek komersialisasi HKI
7). Koordinasi antar lembaga Sejauh ini lembaga-lembaga yang terkait dengan HKI masih berjalan sendiri-sendiri. Terkait dengan kelembagaan dan tata kelola HKI, Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat mempunyai kendala-kendala sebagai berikut: Pertama, kendala anggaran atau pembiayaan di Kanwil Hukum dan HAM, di mana anggaran sangat terbatas, sehingga dalam beberapa hal seperti pengiriman dokumen, pihak Dirjen HKI tidak menyediakan anggaran tersebut. Akibatnya, pelayanan HKI di Kanwil Hukum dan HAM Jawa Barat menjadi terkendala; Kedua, informasi dari pihak Ditjen HKI yang masih belum terbuka, sehingga hal ini menyulitkan apabila ada hal berkaitan dengan penolakan permohonan HKI; dan Ketiga, kegiatan sosialisasi HKI yang belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Selama ini masih sangat tergantung dengan kerjasama sub bidang penyuluhan dan bantuan hukum, di mana anggaran yang ada di DIPA dikombinasikan. b. Kelembagaan dan Tata Kelola di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat Kelembagaan dan tata kelola HKI di Jawa Barat tidak terlepas dari peran dan fungsi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat. Apabila memperhatikan dasar hukum Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat berlandaskan pada Perda No. 21 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Barat Jo Peraturan Gubernur No. 69 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Rincian Tugas dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat. Melihat pada tugas pokok dan fungsi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat secara eksplisit tidak mengatur mengenai pengelolaan kekayaan intelektual. Namun demikian, dengan diterbitkannya Perda No. 5 Tahun 2012 tentang Perlindungan kekayaan Intelektual, maka Provinsi Jawa Barat sangatlah maju dalam melakukan pengaturan dan perlindungan Kekayaan Intelektual dan/atau Hak Kekayaan Intelektual.
Pertimbangan diterbitkannya Perda ini didasarkan pada dua hal, yakni; pertama, Jawa Barat memiliki berbagai hasil cipta, karsa dan karya masyarakat baik yang bersifat benda maupun tak benda yang harus dilestarikan, dilindungi dibina, dan dikembangkan; kedua, dalam upaya melindungi hasil cipta karsa dan karya masyarakat sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf a dari pengakuan oleh pihak lain, perlu dilakukan upaya strategis melalui perlindungan kekayaan intelektual sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam Perda ini secara substantif diatur beberapa hal, seperti ruang lingkup perlindungan kekayaan intelektual, fasilitasi pendaftaran HKI, perlindungan, perlindungan kebudayaan, pemanfaatan, sistem informasi, peran masyarakat, sentra HKI, sosialisasi dan bimbingan teknis, insentif dan disinsentif, dewan dan Duta HKI, koordinasi, larangan dan penegakan peraturan daerah. Dalam kenyataannya, fungsi pengelolaan kekayaan intelektual di Provinsi Jawa Barat yang tidaklah dianggap sebagai tugas dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat. Akan tetapi, dalam prakteknya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat terkadang melaksanakan tugas yang berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual.8 Hal ini dapat terungkap dari hasil wawancara dengan Ibu Ira Rahmayanti dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat pada tanggal 18 Agustus 2013 yang menyatakan: “Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat tidak memiliki kewenangan menangani HKI. Dengan demikian semua hal terkait HKI tidak dapat diputuskan di Disperindag Jawa Barat. Adapun hal yang telah dilakukan adalah mengasistensi pelaku usaha yang mendapatkan fasilitasi sertifikasi HKI. Meskipun demikian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat telah melakukan beberapa kegiatan, yakni; pertama, melakukan pengarsipan HKI yang terbatas pada pelaporan dokumen untuk pertanggungjawaban kegiatan, sementara itu, pengarsipan HKI secara terstruktur dan sistematis 8
Kegiatan ini dilaksanakan oleh Klinik HKI, akan tetapi saat ini klinik HKI dalam melaksanakan kegiatannya mengalami kevakuman. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh M.Khairi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat
belum dilaksanakan; kedua, penyusunan database HKI masih sebatas kebutuhan saat mendata calon penerima, biasanya peserta pelatihan atau Industri Kecil dan Menengah Binaan; ketiga, asistensi pada program fasilitasi HKI pada 2013 sebanyak 6 permohonan. 9 Dalam hal kegiatan-kegiatan yang lainnya seperti edukasi HKI, dokumentasi HKI, Promosi HKI dan Advokasi HKI serta Koordinasi penanganan HKI bersifat linas SKPD Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat tidak melaksanakannya. 2. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Daerah Istimewa Yogyakarta Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Yogyakarta dilakukan oleh beberapa lembaga. Lembaga-lembaga itu terdiri dari: Kanwil Hukum dan HAM, Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual, Sentra-sentra HKI Perguruan Tinggi. Dalam penelitian ini dapat disajikan kelembagaan dan tata kelola HKI di Yogyakarta yang terdapat di Kanwil Hukum dan HAM dan Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual. a. Kelembagaan dan Tata Kelola di Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan institusi pemeritahan pusat yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri memiliki unit kerja yang terdiri dari empat divisi. Adapun devisi-divisi tersebut adalah; 1). Divisi adminstrasi; 2). Divisi Pemasyarakatan; 3). Divisi imigrasi dan 4). Divisi Pelayanan Hukum. Khusus Divisi Pelayanan Hukum dibagi menjadi beberapa bidang, yakni; bidang pelayanan hukum, bidang hukum, dan bidang hak asasi manusia. Berkaitan dengan kelembagaan HKI di Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta tidaklah diatur secara khusus pada satu divisi atau bidang, namun hal ini masuk dalam tugas dan fungsi di divisi pelayanan hukum dan khususnya di bidang pelayanan hukum.
9
Hasil wawancara dengan M Khairi dan Ira Rahmayanti
Dalam konteks pelayanan hukum terutama berhubungan dengan HKI, maka Kanwil Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta telah melaksanakan beberapa aktivitas, di antaranya;10 1) memberikan konsultasi dan sosialisasi hak kekayaan intelektual kepada masyarakat. Kanwil Hukum dan HAM DIY memberikan layanan berupa kegiatan konsultasi HKI yang diselenggarakan setiap hari sejak tahun 1990 hingga sekarang. Adapun cara yang dilakukan dengan menerima konsultasi langsung di Kanwil Hukum dan HAM DIY apabila yang melakukan konsultasi HKI terdiri dari satu orang saja, sedangkan apabila pihak yang akan konsultasi dalam jumlah yang banyak pihak Kanwil Hukum dan HAM DIY melakukan pemberian konsultasi HKI dengan cara datang kepada pihak tersebut. Untuk kegiatan sosialisasi HKI Kanwil Hukum dan HAM DIY tidak memberikan secara khusus, namun biasanya dilakukan bekerjasama dengan pihak instansi terkait lainnya di lingkungan DIY. 2) memberikan fasilitasi HKI melalui anggaran APBN Ditjen HKI. Kanwil Hukum dan HAM DIY dalam menjalankan pelayanan hukum dalam bidang HKI dilakukan dengan memprogramkan fasilitasi HKI melalui anggaran APBN Ditjen HKI. Di samping itu, Kanwil Hukum dan HAM DIY juga menerima permohonan HKI yang diajukan langsung oleh masyarakat DIY. Berdasarkan penelitian diperoleh data-data permohonan HKI di Kanwil Hukum dan HAM DIY sebagai berikut: pada tahun 2009 hak atas merek 100 permohonan, hak cipta 78 permohonan dan desain industri 6 permohonan. Pada tahun 2010 hak atas merek 152 permohonan, hak cipta 39 permohonan dan desain industri 6 permohonan. Pada tahun 2011 hak atas merek 206 permohonan, hak cipta 172 permohonan dan desain industri 8 permohonan. Pada tahun 2012, hak atas merek 242 permohonan, hak cipta 78 permohonan dan desain industri 8 permohonan. 3) melakukan dokumentasi HKI. Kanwil Hukum dan HAM melakukan dokumentasi permohonan HKI secara manual dengan
cara
menyimpan
dokumen
permohanan
HKI
dalam
bentuk
paperdocument. 4) melakukan koordinasi dalam melaksanakan program 10
Wawancara dilakukan dengan ibu Widyawati Kepala Bidang Pelayanana Hukum Kanwil Hukum dan HAM pada Hari Kamis, 5 September 2013.
berkaitan dengan HKI. Kanwil Hukum dan HAM DIY dalam melaksanakan kegiatan HKI senantiasa berkoordinasi dengan instansi yang ada di lingkungan DIY, baik dengan pemerintah daerah atau dengan lembaga perguruan tinggi. Koordinasi ini dilakukan dalam rangka mensinergikan kegiatan HKI yang ada di wilayah DIY. b. Kelembagaan dan Tata Kelola di Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual Daerah Istimewa Yogyakarta. Peluang DIY untuk dapat memanfaatkan HKI sebagai alat mensejahterakan masyarakatnya terlihat semakin menguat tatkala pada akhir tahun 2010 Gubernur DIY telah menandatangani kesepakatan bersama dengan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) DIY dan Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI tertuang dalam Kesepakatan Bersama No: HKI.01.HM.03.02, No. 1/KSP/IV/2009, No. 11/REK/01 REK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 Kemudian hal tersebut ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 54 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur No. 43 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Dinas dan UPT – LTD pada Dinas Perindagkop dan UKM DIY. Kebijakan ini antara lain berisi pembentukan lembaga pengelola kekayaan intelektual di lingkungan Pemerintahan DIY, yang kedudukannya berada di bawah Dinas Perindustrian. Perdagangan, Koperasi dan UKM DIY, yaitu Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual (BPBPKI). Lembaga ini dapat dikatakan sebagai embrio untuk pengelolaan sistem HKI yang lebih baik dan efektif kedepan. Untuk itu, maka dibutuhkan suatu upaya terencana dan sistematis dalam kurun waktu tertentu agar kelembagaan HKI dapat dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan. Tugas
BPBPKI
adalah
menyelenggarakan
pelayanan,
dan
pengembangan bisnis dan pengelolaan kekayaan intelektual. Adapun fungsi BPBPKI meliputi: 1) pengembangan sistem informasi bisnis dan kekayaan intelektual; 2) Pelayanan informasi bisnis dan kekayaan intelektual; 3) pengelolaan data informasi bisnis dan kekayaan intelektual; 4) pelayanan
bimbingan konsultasi dan pengembangan usaha; 5) Pelayanan pengelolaan kekayaan intelektual. Strategi dalam mengoptimalisasi lembaga BPPKI, maka dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) menyelenggarakan pembinaan, pelatihan dan konsultasi HKI secara berkelanjutan dan terstruktur; 2) membangun kluster bisnis yang saling menguatkan melalui sistem HKI; 3) bekerjasama dengan stakeholders yang memiliki komitmen terhadap pengembangan UKM yang telah terlindungi HKI-nya; 4) memediasi dan mengadvokasi mitra bisnis dalam rangka mempromosikan produk yang telah terlindungi HKI-nya. Setelah memahami aspek kelembagaan HKI di Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan HKI, maka aspek tata kelola HKI mencakup pada beberapa aspek di bawah ini. a. Edukasi HKI Balai Pelayanana Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual dalam hal menjalankan tugas edukasi HKI selama ini telah menjalankan sistem edukasi cukup baik. Sistem edukasi HKI diberikan dengan memberikan tema-tema HKI dari mulai pengenalan hingga pada isu-isu HKI yang actual dan terkadang pada persoalan-persoapan teknis berkaitan dengan HKI Sistem pelatihan yang dilakukan diformulasikan dalam bentuk – bentuk sebagai berikut: 1). Konsultasi HKI Konsultasi HKI dilaksanakan secara offline dengan hadir ke kantor Balai langsung dan secara online melalui saluran handphone, email dan media-media digital lainnya. Konsultasi HKI diberikan baik dalam rangka pengenalan HKI hingga kepada hal-hal yang berkaitan dengan proses teknis pendaftaran dan pengelolaan HKI. Konsultasi HKI yang dilakukan secara offline secara tetap dijadwalkan setiap hari Jumat dari jam 09.00 – 14.00. 2). Workshop/Diskusi Terbatas Workshop HKI merupakan sistem edukasi HKI yang dikembangkan dengan menghadirkan jumlah terbatas kurang lebih 20-30 orang. Workshop HKI ini diberikan biasanya berkaitan dengan persoalan
teknis dalam bidang HKI untuk lebih dapat diefektifkan lagi pemahamannya. Biasanya workshop HKI ini diberikan apabila kegiatan sosialisasi HKI dianggap belum efektif dalam memberikan pemahaman HKI kepada sasaran pokok dari kegaitan tersebut. 3). Sosialisasi Sosialisasi HKI adalah bentuk edukasi HKI yang sifatnya kolosal, di mana peserta yang dihadirkan dalam jumlah yang banyak kira-kira 50100 orang peserta. Sosialisasi HKI biasanya diselenggarakan untuk memberikan pemahaman awal mengenai suatu persoalan dalam bidang HKI. 4). Bimbingan Teknis Bimbingan teknis merupakan sistem edukasi HKI yang dihadiri oleh jumlah terbatas 20-30 orang dan pesertanya pun terseleksi dan biasanya kelompok sasaran yang diharapkan dapat melakukan program-program HKI yang diberikan. Kegiatan bimbingan teknis ini diselenggarakan dalam satu tahun 1 kali secara rutin. b. Dokumentasi HKI Dokumentasi HKI di Balai Pelayananan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual dilakukan dengan model konvensional melalui paperdocument dan belum paperless document. Dokumentasi HKI sendiri mencakup pada aspek-aspek sebagai berikut: dokumentasi konsultasi HKI dan dokumentasi produk HKI. c. Fasilitasi Pendaftaran HKI Balai
Pelayanana
Bisnis
dan
Pengelolaan
Kekayaan
Intelektual
melaksanakan fasilitasi pendaftaran HKI dibuat dalam dua jalur, yakni; jalur fasiltiasi pendaftaran HKI melalui Jalur APBD dan fasilitasi pendaftaran HKI melalui Jalur APBN. Untuk fasilitasi Jalur APBN dilakukan melalui insentif HKI dari Dirjen HKI, Kemenristek dan Kementerian Perindustrian. Saat ini fasilitasi pendaftaran HKI melalui Jalur APBD diorentasikan untuk fasilitasi HKI bagi HKI komunal seperti indikasi geografis dan merek kolektif. Data hasil fasilitasi pendaftaran HKI pada tahun 2011 hak merek 22 permohonan, hak atas merek kolektif 2 permohonan, indikasi geografis 1
permohonan dan paten 1 permohonan. Tahun 2012 hak atas merek 78 permohonan, hak atas merek kolektif 2 permohonan dan hak cipta 2 permohonan. d. Promosi/Komersialisasi HKI Balai Pelayanana Bisnis dna Pengelolaan Kekayaan Intelektual memiliki tugas melakukan promosi dan komersialisasi HKI. Namun demikian dalam konteks tugas ini Balai Pelayanan Binis dan Pengelolaan Kekayaan intelektual belum secara optimal melaksanakan tugas tersebut. Promosi yang dilakukan untuk saat ini dalam bentuk news letter. e. Advokasi HKI Advokasi HKI yang dilaksanakan oleh Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual telah dijalankan cukup baik. Sebagai contoh; balai pelayanana bisnis dan pengelolaan kekayaan intelektual melakukan advokasi terhadap pelanggaran merek ayam ungkep. Hasil yang diperoleh kasus dapat diselesaikan dengan upaya damai. 3. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Provinsi Bali Sisi pelayanan HKI di Bali ada beberapa hal yang menarik dikemukakan, yakni: a
Diidentifikasi oleh sebagian masyarakat, sebanyak 1.800 hasil karya pengrajin Bali telah didaftarkan oleh pihak ketiga (asing) dan 600 siap didaftarkan, informasi ini diperoleh saat open house Gubernur Bali tanggal 28 Sepember 2008;
b
Adanya sengketa HKI di pengadilan antara perajin Bali dengan perusahaan asing, menyebabkan perajin merasa takut berkarya karena takut terlibat dalam sengketa yang menyangkut HKI;
c
Pengurusan pendaftaran Desain Industri memakan waktu yang cukup lama, sedangkan Desain Industri untuk produk kerajinan yang dimintai pasar sesuai selera konsumen cepat berubah, sehingga produk desain industri yang didaftarkan sampai memperoleh sertifikat tidak lagi diminati pasar. Dari hal-hal tersebut di atas, maka timbul sejumlah permasalahan terkait
dengan pengembangan pelayanan HKI. Permasalahan tersebut di antaranya; perajin yang belum mengerti manfaat HKI, kurangnya informasi tentang HKI,
kurang bersemangat mendaftarkan karyanya, di nilai biaya pendaftaran cukup mahal dan proses pendaftaran dirasakan cukup lama, pengambilan sertifikat ke Ditjen HKI di Jakarta. a. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Kanwil Hukum dan HAM Bali Kelembagaan dan tata kelola HKI di Kanwil Hukum dan HAM Bali diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan HAM RI. Berdasarkan aturan ini, maka Kanwil Hukum dan HAM telah melakukan pelayanan HKI, khususnya berkaitan dengan administrasi HKI. Kegiatan pelayanan HKI yang diselenggarakan oleh Kanwil Hukum dan HAM mencakup beberapa kegiatan, yakni; 1). Sosialisasi HKI Kegiatan sosialisasi HKI dilaksanakan dengan memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat mengenai HKI. Kegiatan sosialisasi ini ada yang diselenggarakan oleh Kanwil Hukum dan HAM Bali ada yang sifatnya Kanwil Hukum dan HAM sebagai narasumber. Dari data yang tersaji,
Kanwil
Hukum
dan
HAM
pada
tahun
2013
ini
telah
menyelenggarakan kegiatan sosialisasi sebanyak 1 kali, sedangkan sebagai narasumber sudah melaksanakan sebanyak 3 kali11. 2). Dokumentasi HKI Dalam hal dokumentasi HKI, Kanwil Hukum dan HAM Bali telah menyelenggarakan dokumentasi HKI, akan tetapi sebatas pada penyimpanan dokumen
permohonan12.
Sementara
itu,
itu
hal-hal
lain
tidak
dilakukan.Artinya, pelaksanaan dokumentasi hanya berhubungan dengan dokumen administrasi, sementara untuk dokumentasi produk yang telah berHKI tidak dilaksanakan. 3). Pengurusan pendaftaran HKI
11
Hasil Wawancara dengan Isya Natalegawa bagian pelayanana HKI Kanwil Hukum dan HAM Bali pada hari Selasa 10 September 2013 12 Hasil Wawancara dengan Isya Natalegawa bagian pelayanana HKI Kanwil Hukum dan HAM Bali pada hari Selasa 10 September 2013
Kanwil Hukum dan HAM Bali selain menjalankan sosialisasi dan dokumentasi administrasi HKI juga melakukan pengurusan pendaftaran HKI. Untuk tahun 2013, tercatat dari Januari sampai September 2013, Kanwil Hukum dan HAM telah melakukan pengurusan pendaftaran HKI sebanyak 36 permohonan. Untuk jumlah demikian, tidak diketahui apakah 36 itu meliputi semua jenis HKI atau tidak. Di samping menjalankan kegiatan rutin dalam hal pelayanan HKI, Kanwil Hukum dan HAM Bali melakukan sosialisasi mengenai fasilitasi HKI dari Ditjen HKI. Adapun sosialisasi tersebut dilakukan dengan mengirim surat kepada Kab/Kota. Akan tetapi, hasilnya dari proses mengirim surat ini tidak diperoleh respon dengan baik. Selanjutnya, hubungan Kanwil Hukum dan HAM dengan jajaran pemerintah Provinsi Bali sangat erat, yang mana dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 Kanwil Hukum dan HAM Bali telah menjadi tim HKI Provinsi Bali yang regulasi tersebut diprakarsai oleh Gubernur Bali dengan sekretariat di Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa kelembagaan dan tata kelola HKI di Kanwil Hukum dan HAM Bali telah terlembagakan dan memiliki beberapa fungsi. Akan tetapi, kelembagaan dan tata kelola HKI yang saat ini dijalankan nampaknya masih belum maksimal dikarenakan keberadaannya tidak bersifat khusus akan tetapi, masih bersifat umum. Oleh karena itu, fokus perhatian lembaga tidak sepenuhnya berfokus pada HKI. Sementara itu, dilihat dari fungsi lembaga nampaknya, kelembagaan HKI di Kanwil Hukum dan HAM cenderung dalam menjalankan fungsinya masih sangat administratif dan normatif. Alhasil, fungsi-fungsi kelembagaan HKI tidak mendukung kepada upaya pengelolaan HKI sebagai sebuah asset tidak berwujud. Oleh karena itu, dengan realitas ini, maka tidak mengherankan apabila hingga saat ini HKI belum mampu dijadikan sebagai instrumen guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Bali. b. Kelembagaan dan Tata Kelola HKI di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali
Strategi pengembangan HKI di Provinsi Bali telah dikembangkan sedemikian rupa. Secara umum strategi pengembangan HKI ini mencakup pada beberapa hal, yakni; Pertama, pembentukan dan pemberdayaan klinik konsultasi HKI, Kedua, identifikasi hasil karya milik masyarakat Bali (folklor), Ketiga, peningkatan prekuensi sosialisasi tentang HKI, Keempat, fasilitasi pendaftaran HKI, Kelima, fasilitasi advokasi baik tingkat nasional maupun internasional terhadap hasil karya seni yang merupakan milik masyarakat Bali. Khusus berhubungan dengan pembentukan dan pemberdayaan klinik HKI, maka kelembagaan dan tata kelola HKI di Provinsi Bali dilakukan dengan berlandaskan kepada dua payung ketentuan hukum, yakni; Pertama, Keputusan Gubernur Bali No. 462/03-P/HK/2010 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Tim Pengelola Klinik Konsultasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Industri Kecil dan Menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali dan Kedua, Keputusan Gubernur Bali No. 519/03P/HK/2012 tentang Pembentukan dan Susunan Kenaggotaan Tim Khusus Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Provinsi Bali. Khusus, untuk SK Gubernur yang kedua ini, biasanya dilakukan perubahan setiap tahun. Apabila memperhatikan pada dua ketentuan hukum di atas, maka jelas bahwa ketentuan pertama lebih minitkberatkan pada pengelola HKI-nya secara administratif, sedangkan SK kedua lebih menitikberatkan kepada para fasilitatornya yang langsung berhubungan dengan urusan HKI. Terkait dengan SK Gubernur yang berhubungan dengan pengelolaan HKI secara administratif. SK gubernur No. 462/03-P/HK/2010 berisi tentang pembentukan tim pengelolaan klinik hak kekayaan intelektual (HKI) industri kecil dan menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali dengan terdiri dari 7 orang staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali. Adapun tugas-tugas
tim mencakup hal-hal sebagai berikut: a)
memberikan layanan konsultasi dan bimbingan hak kekayaan intelektual serta proses pendaftaran hak kekayaan intelektual kepada pengusaha kecil dan menengah di wilayah Provinsi Bali; b) membantu proses pendaftaran hak kekayaan intelektual kepada pengusaha industri kecil dan menengah di wilayah Provinsi Bali melalui klinik hak kekayaan intelektual industri kecil dan
menengah Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM; c) melaksanakan sosialisasi/penyebarluasan informasi hak kekayaan intelektual baik secara langsung maupun tidak langsung; dan d) melaporkan hasil kegiatan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DIY. Untuk SK Gubernur dengan No. No. 519/03-P/HK/2012 berisi pembentukan Tim Khusus hak kekayaan intelektual (HKI) Provinsi Bali dengan susunan tim terdiri dari, penasehat; Gubernur Bali, Koordinator; Sekda Daerah
Provinsi
Bali,
Penanggung
Jawab;
Asisten
Perekonomian,
Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Provinsi Bali, Sekretaris Kepala Bidang Aneka Industri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, Anggota terdiri dari Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Kepala Sub Bagian HAM, Biro Hukum dan HAM Setda Provinsi Bali, Kanit I Subdit I Dit Reskrim Polda Bali, Kepala Bidang Ekonomi Bapedda Provinsi Bali, Kepala Seksi Pengawasan, Pengendalian dan Hak Kekayaan Intelektual, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, Dosen bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Anggota UPT Sentra HKI Universitas Udayana, PPNS HKI Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Bali, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga Provinsi Bali, Staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali. Adapun tugas-tugas dari Tim khusus ini adalah: Pertama, melakukan koordinasi, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan hak kekayaan intelektual; Kedua,
mensosialisasikan
penerapan
hak
kekayaan
intelektual
bagi
masyarakat, ketiga, memberikan advokasi kepada masyarakat bali terkait masalah hak kekayaan intelektual, pengetahuan tradisional bali dan ekspresi budaya tradisional (folklore) Bali; dan Keempat, melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali.
Dalam prakteknya, menurut Ir. Ni Made Dewiratni Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan Pengembangan Pelayanaan HKI telah dilakukan beberapa kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:: 1. Konsultasi dan Bimbingan Teknis HKI Unit ini telah melaksanakan kegiatan konsultasi secara rutin mengenai HKI. Konsultasi dapat dilakukan setiap saat tanpa jadual secara khusus. Konsultasi HKI dibeirkan biasanya kepada IKM yang telah memiliki kesadaran HKI dan mau melakukan pendaftaran HKI. Di samping konsultasi HKI setiap hari, unit ini juga memberikan bimbingan teknis tentang HKI. Bimbingan teknis ada yang berupa pendampingan secara khusus bagi IKM yang akan mendaftar HKI. Sosialisasi HKI merupakan kegaitan lainnya dari unit ini. Pada tahun 2012, unit ini telah menyelenggarakan kegiatan sosialisasi HKI di 4 kab/kota dan 9 kab/kota. Pelatihan HKI bagi aparatur pemda kab/kota yang dilaksanakan 9 kab/kota telah menjadi angenda program di tahun 2013 dari unit ini. 2. Inventarisasi dan Pengurusan HKI Unit ini telah melaksanakan program inventarisasi HKI bagi produkproduk tenun khas dan tradisional Bali. Kegiatan ini dilaksanakan bekerjasama dengan perguruan tinggi Universitas Udayana Bali dan Institut sSeni Indonesia Denpasar. Di samping itu, unit ini juga telah menyelenggarakan kegiatan pengurusan HKI melalui program fasilitasi HKI melalui APBD. Data menunjukan untuk program ini tahun 2011 fasilitasi pendaftaran HKI Bali berjumlah 94 yang mana terdiri dari. Merek sebanyak 61 unit, hak cipta 22 unit dan desain industri 11 unit. Tahun 2012 difasilitasi sebanyak 28 pengrajin. Berdasarkan data yang diperoleh pendaftaran HKI langsung oleh masyarakat ke Ditjen HKI sampai 2011 terdiri dari merek berjumlah 342 unit, desain industri berjumlah 370 unit dan paten berjumlah 17 unit. 3. Advokasi HKI Dalam hal advokasi HKI, unit ini melakukannya dengan berkolabarasi dari sisi sumber daya manusianya dari pihak Polda Bali, Lembaga Bantuan
Hukum Unud, PPNS HKI Kanwil Hukum dan HAM Provinsi Bali. Akan tetapi, dari sisi data unit ini belum dapat memberikan data mengenai kegiatan ini. Dari penelitian yang dilaksanakan saat ini Provinsi Bali sedang merencanakan untuk melakukan pembentukan lembaga HKI secara khusus berkedudukan di bawah Gubernur, di mana. Untuk pelembagaan HKI seperti ini sedang direncanakan untuk diterbitkan Peraturan Gubernur Bali. Penutup Kelembagaan dan Tata Kelola HKI dalam rangka pengembangan ekonomi kreatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak hanya mengacu kepada ketentuan UU dalam bidang HKI, namun juga dapat mendasarkan diri pada UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Di dalam undang-undang ini secara tegas didorongnya lembaga perguruan tinggi atau lembaga penelitian termasuk yang ada di daerah memiliki lembaga HKI yang disebut dengan sentra HKI. Ketentuan ini tentunya berlaku juga bagi Creative City yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang sangat tinggi. Namun demikian, landasan hukum ini dalam kenyataannya tidak memberikan suatu gambaran yang lengkap mengenai model kelembagaan HKI berikut tata kelolanya. Oleh karenanya, kelembagaan HKI yang diatur di dalam UU No. 18 Tahun 2002 masih sangat sederhana. Selanjutnya, manakala Creative City menghendaki melakukan pembentukan kelembagaan HKI, maka selain ketentuan UU No. 18 Tahun 2002 sebagai landasaannya dapat juga mendasarkan diri pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bagaimanapun, diakui bahwa Creative City tidak dapat melepaskan diri dari aturan mengenai pemerintahan daerah. Kelembagaan dan tata kelola HKI di Creative City dalam hal ini Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali nampaknya wilayah-wilayah ini memiliki kelembagaan dan tata kelola HKI sangatlah beragam. Keragaman ini tidak saja dalam hal kelembagaannya, namun termasuk dalam tata kelolanya. Sebagaimana diketahui Jawa Barat yang memiliki potensi ekonomi kreatif yang besar, dalam hal penanganan HKI di daerah masih sangat lemah dari segi prakteknya, namun dari sisi regulasi sudah cukup kuat dengan diterbitkannya Perda, sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam hal penanganan HKI terlihat lebih serius daripada Creative City yang lainnya, meskipun dari sisi regulasi perlindungan dan kelembagaan masing lemah. Keseriusan itu terlihat ketika Daerah Istimewa Yogyakarta telah memiliki satu lembaga khusus di bidang HKI yang dikenal dengan Balai Pelayanan Bisnis dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual. Dengan adanya kelembagaan khusus ini Daerah Istimewa Yogyakarta juga telah memapu menjalankan tata kelola cukup baik dalam bidang HKI. Di mana tata kelola tersebut meliputi, sistem edukasi HKI, dokumentasi HKI, fasiltiasi HKI dan Promosi serta advokasi HKI. Daftar Pusataka Antariksa, Basuki, Konsep Ekonomi Kreatif: Peluang dan Tantangan dalam Pembangunan di Indonesia, Bagian Hukum, Kepegawaian, dan Organisasi, Sekretariat Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Budi Maulana, Insan, Politik dan Manajemen Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: Alumni, 2009. ______,”Penerapan Paten Sejak UU Paten No. 6 Tahun 1989 hingga UU Paten No. 13 Tahun 1997: Pengalaman Indonesia Selama Ini,” Ridwan Khairandy, dkk, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, 2000. Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Ghelfi, Donna, Understanding the Engine of Creativity in a Creative Economy: An Interview with John Howkins,” Creative Industries Division, Office of Strategic Use of Intellectual Property for Development, WIPO. Joedo, Hanintianto, “Manfaat Hak Kekayaan Intelektual bagi Pelaku Ekonomi Kreatif”, disampaikan dalam Sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual bagi UKM, Disperindag dan UKM DIY, Yogyakarta, 11 April 2012. Kemenekraf dan Pariwisata, “Ekonomi Kreatif dan Peran Pendidikan Tinggi dalam Pengembangannya,” disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dit. Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kemendikbud, 21 Januari 2012. Kesowo, Bambang, GATT, TRIPs dan Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Mahkamah Agung, 1998.
Khairandy, Ridwan, dkk, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Pusat Studi Hukum Yogyakarta bekerjasama dengan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, Yogyakarta, 2000.
Purwaningsih, Endang, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, Bandung: Mandar Maju, 2012. _________________, Perkembangan Intellectual Property Rights Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005. Rezeki Sri Astarini, Dwi, Penghapusan Merek Terdaftar, Bandung; Alumni, 2009. Slamet Kurnia, Titon, Perlindungan Hukum Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Bandung; Alumni, 2011. Suryo Utomo, Tomy, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. United Nation, Creative Economy: A Fesable Development Option, UN Report 2010.