Problem kesehatan mental saat ini semakin memerlukan perhatian di tingkat global, nasional, maupun lokal. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa gangguan mental, neurologis, dan penyalahgunaan narkoba (Mental, Neurological, and Substance Use Disorders/ MNS Disorders) berkontribusi sebesar 14% terhadap beban penyakit global (WHO, 2010) dan 30% terhadap beban noncommunicable disease (WHO, 2008). Data nasional Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan tingginya prevalensi gangguan kesehatan mental umum (common mental health problem), yaitu sebesar 11,6% dari jumlah penduduk yang ada. Dengan kata lain, sekitar 1 dari 9 penduduk Indonesia dimungkinkan memiliki gangguan kesehatan mental umum seperti depresi, kecemasan, dan somatoform. Lebih lanjut, data di Propinsi DI Yogyakarta menunjukkan tingkat prevalensi gangguan kesehatan mental umum yang relatif sama dengan level nasional dengan prevalensi tertinggi sebesar 12,0% berada di Kabupaten Sleman (Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2008). Meski problem kesehatan mental tampak semakin nyata, treatment gap terkait layanan kesehatan mental masih mencapai 75%, terutama di negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah (WHO, 2010). Tiga perempat dari gangguan mental dunia terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah karena alokasi anggaran kesehatan mental yang rendah (berkisar 2%) dan tenaga kesehatan mental profesional yang belum terdistribusi secara merata (WHO, 2008). Merespon kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten Sleman bekerja sama dengan Fakultas Psikologi UGM menginisiasi program penempatan psikolog di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kabupaten Sleman sejak 2004 (Retnowati, 2011). Program ini sejalan dengan program mhGAP (Mental
2
Health Gap Action Programme) dari WHO yang merekomendasikan agar layanan kesehatan dasar (primary care) menjadi garda depan dalam mengatasi problem kesehatan mental masyarakat (WHO, 2008). Didukung oleh Kementrian Kesehatan yang telah merekomendasikan untuk menjadikan isu kesehatan mental sebagai salah satu prioritas (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012), program integrasi layanan kesehatan mental di institusi kesehatan primer perlu dilanjutkan. Meski program peningkatan layanan kesehatan mental telah mulai dicanangkan dan dilaksanakan, proses pelaksanaan di lapangan masih memerlukan evaluasi. Untuk itu, pelaksanaan program penempatan psikolog di Puskesmas perlu dievaluasi lebih lanjut terutama dengan menekankan pada peningkatan efektivitas dan efisiensi layanan kesehatan mental di Puskesmas dan peningkatan cakupan masyarakat yang terlayani. Saat ini, masih banyak masyarakat dengan problem kesehatan mental yang belum terdeteksi dan terlayani dikarenakan faktor ketidaktahuan ataupun stigma. Sebagian besar gangguan kesehatan mental masyarakat yang datang ke Puskesmas justru diawali dengan keluhan fisik terlebih dulu (Retnowati, 2011). Sayangnya, pengoptimalan peran psikolog di layanan kesehatan primer seperti Puskesmas bukanlah hal yang mudah. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan, khususnya di Indonesia, belum melatih psikolog untuk bekerja di dalam sistem layanan kesehatan primer yang bersifat integratif. Haley et al. (2004) memberikan sejumlah tips bagaimana psikolog dapat bekerja secara optimal di layanan kesehatan primer. Salah satu tips yang disebutkan adalah tidak menunggu pasien datang sendiri ke psikolog. Psikolog perlu membuat prosedur yang terintegrasi dengan petugas kesehatan lainnya di layanan
3
kesehatan primer agar pasien yang membutuhkan layanan kesehatan mental mendapatkan layanan psikologis yang dibutuhkan. Sementara itu, salah satu gangguan kesehatan mental di Puskemas yang perlu mendapat perhatian lebih adalah gangguan somatoform. Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (misal: nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik tersebut merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatik sistem saraf otonom yang dapat dihubungkan dengan kecemasan (Nevid, Rathus, & Greene, 2005) dan berada dalam tingkat yang cukup serius sehingga menyebabkan penderitaan emosional dan/atau hendaya fungsi peran pada pasien. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Gangguan somatoform terdiri dari lima diagnosis yang lebih spesifik dan dua diagnosis residu seperti dijelaskan di dalam DSM-IV TR, yaitu: gangguan somatisasi, gangguan konversi, hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan nyeri serta gangguan somatoform tak tergolongkan (undifferentiated) dan gangguan somatoform yang tidak ditentukan (NOS; not otherwise specified) (American Psychiatric Association, 1994; Kaplan et al., 2010). Keluhan khas yang muncul dari gangguan somatoform adalah: 1) gejala somatik multiple yang terjadi dengan frekuensi tinggi dan durasi lama, 2) gejala terisolasi yang tidak memiliki penyebab fisik, 3) keluhan rasa sakit yang tidak memiliki dasar fisiologis, 4) keluhan rasa sakit dengan intensitas berlebihan jika ditinjau dari kondisi fisik pasien, dan 5) keluhan akan adanya penyakit yang membahayakan nyawa seperti kanker, jantung, dan lain-lain, meski tidak terbukti secara medis (Morrison, 2001). Prevalensi seumur hidup munculnya tiap gangguan di dalam somatoform
4
pada populasi umum bervariasi. Pada gangguan somatisasi, prevalensi seumur hidup diperkirakan berada pada angka 0,1 hingga 0,2 persen, meskipun jumlah ini berbeda dari satu penelitian ke penelitian lainnya. Gangguan ini lebih banyak ditemukan pada individu dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah serta seringkali muncul mulai usia belasan tahun. Pada gangguan hipokondriasis, salah satu penelitian terbaru menunjukkan prevalensi enam bulan sebesar 4 hingga 6% pada populasi klinik medis umum. Pada gangguan konversi, prevalensi yang terekam adalah paling sedikit 1,1 dalam 10.000 orang hingga paling banyak 1 dalam 200 orang. Sementara dua gangguan lainnya, yaitu gangguan dismorfik tubuh dan gangguan nyeri menunjukkan kasus yang tinggi pada sejumlah populasi yang diteliti
(Nevid et al., 2005; Kaplan et al., 2010). Urutan prevalensi dari
gangguan di bawah somatoform pada salah satu penelitian adalah: somatoform tak tergolongkan, gangguan nyeri, hipokondriasis dan gangguan somatisasi (Liu et al., 2012). Pada tingkat lokal, dalam hal ini Kabupaten Sleman, gangguan somatoform juga menjadi salah satu dari 10 prevalensi tertinggi gangguan kesehatan mental di Puskesmas. Pada tahun 2011, misalnya, tercatat sebanyak 1.388 orang (17,7%) dari 7.846 orang pasien dengan diagnosis gangguan psikologis yang berkunjung ke Puskesmas mengalami gangguan somatoform (Center for Public Mental Health, 2011). Gangguan somatoform merupakan salah satu gangguan yang banyak ditemukan di layanan kesehatan mental primer melalui kategori medically unexplained symptoms (MUS) (Henningsen & Creed, 2010; WHO, 2010). Gangguan yang berada di bawah rumpun MUS ini dianggap sebagai gangguan yang berbiaya tinggi. Gangguan ini membuat individu cenderung melakukan
5
pemeriksaan medis atas keluhan yang secara medis tidak terbukti ada (Hartman, Borghuis, Lucassena, vandeLaar, Speckens, & Weel, 2008). Memahami kondisi ini, instrumen skrining diperlukan di pusat layanan kesehatan untuk dapat menjaring masyarakat dengan gangguan mental umum, termasuk gangguan somatoform. Sayangnya, hingga saat ini belum terdapat satu instrumen skrining terstandar yang validitas kliniknya telah terbukti untuk dapat digunakan di Indonesia. Skrining sejauh ini masih mengandalkan wawancara dari dokter di Balai Pengobatan Umum (BPU) yang dengan banyaknya pasien yang ada menjadi sangat terbatas waktunya untuk melakukan pengiraan yang memadai. Wawancara pada dokter Puskesmas menunjukkan bahwa para dokter di BPU memiliki banyak faktor yang menghambat dapat dilakukannya skrining awal gangguan kesehatan mental pada pasien yang datang sehingga dapat dirujuk ke Poli Psikologi. Sejumlah faktor yang menghambat antara lain: 1) banyaknya pasien BPU, 2) terbatasnya ketrampilan perawat dalam melakukan skrining tersebut, dan 3) kecenderungan dokter untuk melakukan layanan dengan secepat mungkin hingga mengabaikan simptom gangguan mental yang mungkin tampak (Primasari, 2012). Salah satu instrumen skrining yang telah banyak digunakan di berbagai negara dan telah terbukti memiliki properti psikometri yang baik serta validasi klinik yang baik adalah General Health Questionnaire (GHQ). GHQ merupakan instrumen yang berfungsi mendeteksi gangguan psikologis dan dapat digunakan di setting klinik nonpsikiatri seperti institusi kesehatan dasar (seperti Puskesmas) dan klinik dokter umum (Goldberg dalam Smith, Fallowfield, Stark, Velikova, & Jenkins, 2010). GHQ dikembangkan pertama kali oleh David Goldberg pada tahun 1974 dan hingga saat ini telah banyak dipelajari serta dikembangkan di berbagai negara
6
(Lewis & Araya, 1995). Pada awalnya GHQ terdiri dari 60 aitem dan dikenal sebagai GHQ-60. Dalam perkembangannya terdapat tiga versi lain dari GHQ dengan jumlah aitem yang berbeda-beda, yaitu: GHQ-30, GHQ-28, dan GHQ-12. Saat ini GHQ telah melalui rangkaian tes validitas dan reliabilitas hingga tersedia dalam 38 bahasa dan dapat digunakan di lebih dari 50 negara (Bell, Watson, Sharp, Lyons, & Lewis, 2005). Sementara sejumlah penelitian juga menunjukkan reliabilitas GHQ berkisar antara 0,78 sampai 0,95 (Yusoff, Rahim, & Yacoob, 2009) meski cenderung lebih rendah dari angka tersebut saat dinilai menggunakan asumsi realistis (Hanskin, 2008). Keempat versi GHQ dapat digunakan dengan menyesuaikan karakteristik masing-masing. GHQ-60 merupakan versi paling panjang dan lengkap dari GHQ dan bermanfaat untuk menggambarkan kondisi pasien dengan lebih detil. GHQ-30 merupakan versi yang lebih singkat dengan tidak melibatkan aitem yang berhubungan dengan penyakit fisik di dalamnya. GHQ-28 memiliki kemampuan untuk mendeteksi simptom somatis, kecemasan dan insomnia, disfungsi sosial, dan depresi. Terakhir, GHQ-12 merupakan versi GHQ paling ringkas yang sesuai untuk penggunaan dengan tujuan skrining dan penelitian (Jackson, 2007) dengan kemampuan sama baiknya dengan versi yang lebih panjang (Holi, Marttunen, & Aalberg, 2003). GHQ-12 memiliki konstruk yang hampir sama dengan GHQ-60 tetapi menghilangkan aspek “sakit secara fisik” (physically ill). GHQ-12 memiliki kesamaan dengan GHQ-60 pada aitem nomor 30, 36 dan 60, tetapi GHQ-12 hanya mengandung enam aitem yang sama dengan GHQ-28 (GL Assessment, tanpa tahun). Penerjemahan GHQ-12 versi Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia pernah dilakukan oleh dua psikiater dari pusat pendidikan berbeda yang tidak
7
saling mengenal. Proses penerjemahan balik dilakukan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris oleh satu psikiater lain dan kemudian diujicobakan kepada 20 orang sebanyak 2-3 kali sampai didapatkan kuesioner yang dapat dimengerti oleh sebagian besar subjek (Idaiani & Suhardi, 2006). Pada tahun 2012, dilakukan proses adaptasi kembali oleh Primasari (2012) guna meningkatkan reliabilitasnya. GHQ-12 versi Bahasa untuk Indonesia juga tersedia di Mapi Research Institute, sebuah lembaga pengembangan dan adaptasi kuesioner kesehatan yang diberikan wewenang untuk melakukan translasi dan adaptasi ke dalam berbagai bahasa oleh David Goldberg sebagai pemilik hak cipta GHQ (Mapi Research Trust, tanpa tahun). Untuk dapat digunakan di setting klinik dalam kerangka diagnostik, GHQ12 perlu melalui proses validasi klinik terlebih dulu. Validitas klinik merupakan penilaian mengenai ketepatan pengukuran suatu instrumen atau alat tes terhadap apa yang seharusnya diukur di dalam setting klinik. Karena setting klinik sangat erat kaitannya dengan pengambilan keputusan klinis atau penegakan diagnosis, maka validasi klinik berhubungan dengan pengembangan alat ukur yang benar-benar mampu membantu penegakan diagnosis (Fletcher, Fletcher, & Wagner, 1991). Selanjutnya hal penting yang harus dipahami dalam proses validasi klinik adalah hubungan antara hasil tes dan diagnosis yang sebenarnya. Suatu tes ketika diberikan kepada pasien dan menunjukkan hasil tertentu (positif atau negatif), memiliki empat kemungkinan hubungan dengan diagnosis yang sebenarnya, yaitu: a) true positive (positif sebenarnya), b) false positive (positif palsu), c) true negative (negatif sebenarnya), dan d) false negative (negatif palsu). Suatu tes yang baik akan memiliki penilaian ketepatan atau akurasi yang
8
tinggi terhadap ada atau tidaknya suatu penyakit sebenarnya (Fletcher et al., 1991). Untuk menguji ketepatan suatu alat tes, diperlukan baku emas (gold standard) yang dapat menunjukkan “kebenaran” ada atau tidaknya suatu penyakit tersebut. Meskipun penetapan baku emas ini seringkali tidak mudah, dalam penelitian diagnostik kesehatan mental, baku emas yang banyak digunakan adalah wawancara terstruktur Diagnostic Statistical Manual (DSM) (Rumpf, Meyer, Hapke, & John, 2001). Salah satu panduan wawancara terstruktur DSM yang banyak digunakan sebagai baku emas adalah Structured Clinical Interview for DSM (SCID) (Rumpf et al., 2001). Validasi klinik instrumen atau alat tes diperlukan agar instrumen tersebut dapat menjadi dasar pengambilan keputusan klinik yang kredibel. Hal ini dikarenakan dalam pengambilan keputusan klinik, diperlukan pertimbangan biaya dan manfaat (cost and benefit) suatu tindak lanjut. Biaya dan manfaat yang dimaksud dalam hal ini didefinisikan secara luas meliputi semua konsekuensi yang penting dari pengambilan keputusan. Yang dimaksud manfaat dalam hal ini seperti untuk menyembuhkan penderitaan, memperbaiki fungsi dan mencegah kematian. Sementara yang dimaksud dengan biaya meliputi uang, efek samping, pengurangan harapan hidup, hilangnya waktu, tenaga, jasa, dan lain-lain (Fletcher et al., 1991). Hasil dari penelitian validasi klinik adalah sensitivitas dan spesifisitas suatu instrumen terhadap diagnosis kesehatan tertentu. Sensitivitas didefinisikan sebagai proporsi orang-orang yang menderita penyakit yang menunjukkan hasil tes diagnostik positif untuk penyakit itu. Tes yang sensitif jarang menunjukkan kekeliruan dalam menentukan adanya penyakit pada seseorang. Sementara
9
spesifisitas adalah proporsi dari orang-orang tanpa penyakit yang menunjukkan tes negatif. Suatu tes yang spesifik jarang salah dalam menentukan seseorang tanpa penyakit dinyatakan sebagai menderita penyakit tersebut (Fletcher et al., 1991). Pertimbangan penggunaan tes dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas tertentu disesuaikan dengan tujuan dari penggunaan tes tersebut dan seberapa besar resiko dari penyakit yang akan dideteksi. Sebagai contoh, untuk penyakit yang memiliki resiko tinggi bila ditemukan, misal: penyakit tuberculosis, maka tes dengan tingkat sensitivitas tinggi atau sangat pekalah yang dibutuhkan. Sementara tes spesifik dibutuhkan ketika diagnosis positif yang palsu atau salah memiliki resiko mengganggu pasien secara fisik, emosional, atau finansial. Dengan kata lain, tes sensitif sangat berguna ketika hasil tes negatif, karena mengurangi resiko diagnosis negatif yang salah, sebaliknya tes sensitif sangat berguna ketika hasil tes positif sehingga dapat mengurangi resiko diagnosis positif yang salah (Fletcher et al., 1991). Pada akhirnya pengguna alat tes harus melakukan tawar-menawar (trade-off) antara sensitivitas dan spesifisitas dari alat tes tersebut. Idealnya alat tes memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang sama-sama tinggi. Akan tetapi, seringkali hal tersebut sulit dicapai sehingga titik potong (cut-off) yang menjadi batas antara kontinum normal dan abnormal harus ditentukan dengan berbagai pertimbangan berdasarkan fungsi sensitivitas dan spesifisitas yang telah dijelaskan di atas. Salah satu cara untuk melihat hubungan antara sensitivitas dan spesifisitas dari suatu alat tes adalah dengan membuat kurva yang disebut ROC (Receiver Operating Curve). Daerah di bawah kurva menunjukkan ketepatan dari keseluruhan hasil tes. Selanjutnya dari hasil analisis
10
ROC ini, dapat ditentukan cut-off yang paling ideal sesuai dengan tujuan alat tes tersebut (Fletcher et al., 1991). Hasil selanjutnya yang akan muncul dari penelitian validasi klinik adalah nilai prediktif (predictive value). Fletcher et al. (1991) menjelaskan bahwa nilai prediktif dari suatu tes adalah probabilitas penyakit dari hasil suatu tes. Nilai prediktif positif adalah probabilitas suatu penyakit pada pasien dengan hasil tes yang positif (abnormal). Nilai prediktif negatif adalah kemungkinan tidak mengidap penyakit pada pasien dengan hasil tes negatif (normal). Secara sederhana, nilai prediktif adalah jawaban dari pertanyaan: Bila hasil tes pasien saya itu positif (atau negatif) berapakah kemungkinannya bahwa pasien saya itu menderita (atau tidak menderita) penyakit? Nilai prediktif terkadang disebut juga dengan istilah probabilitas posterior (atau posttest). Semakin peka suatu tes, maka semakin tinggi nilai prediktif negatifnya. Sebaliknya, semakin spesifik suatu tes, maka semakin tinggi nilai prediktif positifnya (Fletcher et al., 1991). Penelitian dalam menguji validitas klinik GHQ-12 sebagai instrumen skrining kesehatan mental termasuk jenis penelitian diagnostik. Penelitian yang menguji validitas klinis GHQ-12 pernah dilakukan oleh Primasari (2012), Emeldah (2012), dan Nurwanti (2012) dengan hasil bahwa GHQ-12 sensitif dan spesifik untuk digunakan sebagai instrumen skrining gangguan penyesuaian diri, depresi, dan gangguan kecemasan menyeluruh dengan rekomendasi titik potong tertentu. Selanjutnya untuk dapat meningkatkan fungsionalitas GHQ-12 sebagai instrumen skrining di layanan kesehatan primer seperti Puskesmas, diperlukan penelitian serupa untuk gangguan dengan prevalensi tinggi lainnya. Penelitian ini dalam hal ini mengambil peran menguji validitas klinik GHQ-12 sebagai instrumen skrining terhadap gangguan somatoform.
11