PRO-RAKYAT ATAU PRO-BIROKRAT; “Sekelumit Tentang Politik Anggaran Indonesia”
All budgeting is about politics; most politics is about budgeting; and budgeting must therefore be understood as part of political game” (Aaron WIldavsky)
Gerakan reformasi 1998 telah menghasilkan berbagai macam tuntutan perubahan di segala sektor kehidupan bernegara. Tuntutan-tuntutan tersebut berkisar pada pemenuhan hak-hak warga negara serta pelibatan masyarakat dalam pengelolaan negara. Tuntutan ini kemudian diletakkan dalam kerangka pencapaian tujuan bernegara, yaitu untuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemenuhan berbagai macam tuntutan tersebut memerlukan mobilisasi sumber daya yang dimiliki oleh negara. Akumulasi sumber daya yang dikerahkan untuk membiayai segala aktivitas dalam rangka pemenuhan tujuan bernegara kemudian dituangkan dalam bentuk anggaran negara. Anggaran merupakan instrumen pemerintah untuk menyelenggarakan berbagai kebijakan serta dapat menjadi cermin untuk melihat hubungan antara masyarakat dan negara. Anggaran diartikan sebagai rencana penerimaan dan pengeluaraan negara dalam periode tertentu, sebagaimana yang diungkapkan oleh John F.Due, “A budget, in the general sense of the term, is a financial plan for a specific period of time. A government budget therefore, is a statement of proposed expenditure and expected revenues for the coming period, together with data of actual expenditures and revenues for current and past period.” (“Government Finance and Economic Analysis”)
Di Indonesia, anggaran seperti yang dimaksudkan diatas mewujud ke dalam dokumen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan bahwa APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.1 Penyusunan APBN didasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang telah diubah menjadi pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), melalui amandemen keempat, yang berbunyi:
1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Page 1 of 13
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Selanjutnya, disebutkan bahwa APBN/D mempunyai beberapa fungsi; Pertama, mempunyai fungsi otorisasi karena menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja tahun yang bersangkutan. Kedua, mempunyai fungsi perencanaan karena menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Ketiga, fungsi pengawasan untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan. Keempat, fungsi alokasi untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi. Kelima, fungsi distribusi dimana kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Keenam, berfungsi sebagai alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Fungsi-fungsi diatas sejalan dengan pandangan Richard Musgrave yang menyatakan bahwa pemerintah memiliki peran pokok sebagai pihak yang berkewajiban melakukan alokasi, distribusi, dan stabilisasi.2 Dalam konteks ini pemerintah harus dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien, adil, dan merata. Pemerintah juga harus dapat menjaga stabilitas persoalan ekonomi makro, seperti angka kemiskinan, angka pengangguran, dan tingkat inflasi.
Selain fungsi-fungsi tersebut diatas, anggaran juga berfungsi sebagai alat politik (political tool) yang dalam penyusunannya membutuhkan political skill untuk bernegosiasi dan berkompromi terhadap banyaknya kepentingan yang bermain. Penyusunan anggaran dipandang sebagai suatu proses perebutan sumber daya yang jumlahnya terbatas dengan melibatkan banyak pihak yang sarat akan beragam kepentingan. Proses budgeting diletakkan dalam kerangka yang sifatnya politis ketimbang proses teknokratis semata.3
2
Richard Abel Musgrave, The Theory of Public Finance, New York: McGraw Hill, 1959 Andy Norton & Diane Elson, What’s Behind the Budget?; Politics, Rights and Accountability in the Budget Process, 2002 3
Page 2 of 13
Good Governance dan Kebijakan Pro-Poor Budgeting Sejak akhir 1990an, istilah good governance ramai diperbincangkan oleh berbagai kalangan di semua level dan di berbagai forum, mulai dari LSM, birokrat, mahasiswa, akademisi, hingga rapat di tingkat desa. Pada prinsipnya, good governance mengandaikan peran minimal negara (less government) dalam mengelola persoalan-persoalan publik. Negara dianggap sebagai biang masalah yang mengambat proses pembangunan sehingga perlu dikurangi perannya. Dengan demikian, negara hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Di sisi yang lain, peran masyarakat dan dunia usaha diperluas untuk mengimbangi peran negara yang sebelumnya sangat dominan.
Pemerintah telah meletakkan good governance sebagai prioritas dan tujuan yang akan dicapai dalam proses transformasi bernegara. Dalam dokumen rencana pembangunan ditegaskan bahwa salah satu agenda utama pembangunan nasional adalah Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan. Pemerintah telah meletakkan Reformasi Tata Kelola sebagai program prioritas utama dalam agenda pembangunan. Bahkan, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dijadikan sebagai prinsip pengarusutamaan yang menjadi landasan operasional bagi seluruh pelaksanan pembangunan serta menjadi jiwa dan semangat yang mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di setiap bidang pembangunan.4 Dalam dokumen tersebut dinyatakan: “Penerapan tatakelola pemerintahan yang baik secara konsisten dan berkelanjutan oleh sebuah negara mempunyai peranan yang sangat penting bagi tercapainya sasaran pembangunan nasional, dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien.”
Dalam konteks penganggaran, good governance ditandai dengan konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik, termasuk sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.5 Untuk itu, pemerintah telah menempatkan reformasi anggaran sebagai bagian dari proses transformasi menyeluruh pada kehidupan bernegara.
4
Republik Indonesia, “Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010-2014” 5 Yujiro Hayami, 2003, From the Washington Consensus to the Post-Washington Consensus; Retrospect and Prospect, Asian Development Review Volume 20 No. 2, 2003, Manila, dalam Pratikno, 2005, Good Governance dan Governability, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Volume 8 Nomor 3, Maret 2005 Page 3 of 13
“Penerapan tata kelola pemerintah yang baik tersebut harus dilakukan pada seluruh aspek manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengendaliannya.”6
Reformasi dalam pengelolaan keuangan negara dimulai dengan terbitnya satu paket perundangundangan bidang keuangan negara, yaitu UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Reformasi anggaran ini berpedoman pada konsep anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) yang berusaha menciptakan anggaran yang akuntabel, efisien, dan partisipatif.
Upaya mereformasi proses penganggaran kemudian ditandai dengan perubahan orientasi kebijakan dalam penyusunan APBN. Perubahan ini disesuaikan dengan tiga strategi dasar (pilar pembangunan) dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, yaitu pro-growth (peningkatan pertumbuhan ekonomi), pro- poor (pengentasan kemiskinan), dan pro-job (perluasan lapangan kerja). Untuk itu, sejak tahun 2005 kebijakan alokasi belanja pemerintah diarahkan terutama untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam memacu pertumbuhan (pro growth), menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan (pro job), serta mengurangi kemiskinan (pro poor). Ketiga prioritas pembangunan nasional tersebut kemudian dicerminkan di dalam arah dan postur APBN.
Pro-poor budgeting merupakan upaya pemerintah untuk meletakkan kerangka penyusunan anggaran dalam konteks pemberantasan kemiskinan. Pro-poor budgeting merupakan politik baru reformasi anggaran di Indonesia, yang menjadi kerangka pengarusutamaan (mainstreaming) dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran negara dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan.7 Anggaran yang pro-poor diartikan sebagai anggaran yang sebagian besar pengeluarannya memberi manfaat lebih pada masyarakat miskin.8 Setidaknya, ada dua hal yang dapat dijadikan pisau analisa untuk menguji apakah suatu anggaran benar-benar mengadopsi konsep pro-poor budgeting. Pertama, apakah proses penyusunan anggaran harus melibatkan partisipasi 6
Republik Indonesia, op cit. Sutoro Eko, Pro Poor Budgeting: Politik Baru Reformasi Anggaran Daerah untuk Pengurangan Kemiskinan, IRE’s Insight Working Paper/Eko/iv/June/2008 8 Kementerian PPN/Bappenas, Buku Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak pada Masyarakat Miskin, 2008 7
Page 4 of 13
masyarakat miskin secara aktif. Kedua, prosentase alokasi belanja pemerintah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat miskin.
Proses Penyusunan Anggaran Di dalam UU No. 17 tahun 2003 disebutkan bahwa penyusunan APBN harus senantiasa berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP yang bersifat tahunan ini merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang bersifat 5 tahunan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), RPJMN merupakan hasil penerjemahan visi misi presiden terpilih yang digabungkan dengan rencana program pembangunan yang bersifat teknokratis. RPJMN merupakan acuan pemerintah dalam menyusun rencana tahunan (RKP), dimana selanjutnya RKP ini dijadikan pedoman dalam penyusunan dan pengalokasian anggaran (APBN).
Mekanisme perencanaan secara legal formal telah mengakomodasi kebutuhan akan partisipasi masyarakat. Mekanisme yang digunakan tidak lagi bersifat top-down tetapi bottom-up dengan menampung
berbagai
aspirasi
masyarakat
melalui
forum
musyawarah
perencanaan
pembangunan (musrenbang). Siklus musyawarah yang dimulai dari tingkat desa hingga tingkat nasional
merupakan suatu proses penjaringan aspirasi masyarakat untuk kemudian
diartikulasikan sehingga menghasilkan dokumen perencanaan.
Hanya saja, banyak kritikan yang ditujukan kepada proses perencanaan ini karena dianggap tidak benar-benar partisipatif (bottom-up). Unsur-unsur masyarakat yang terlibat dalam proses musrenbang masih sangat terbatas (elitis) dan belum mencerminkan komposisi masyarakat yang sebenarnya. Selain itu, program-program yang dibahas dalam musyawarah tersebut tidak sepenuhnya berangkat dari kebutuhan masyarakat dilevel bawah tetapi masih merupakan hasil desain yang disusun oleh pemerintah.
Kondisi ini tentu saja mencerminkan bahwa peran serta masyarakat dalam proses perencanaanpenganggaran belum terwujud sepenuhnya. Padahal peluang masyarakat untuk terlibat dalam rangkaian proses perencanan-penganggaran terletak pada tahap penyusunan dokumen Page 5 of 13
perencanaan. Hal itu disebabkan karena setelah dokumen perencanaan selesai maka praktis proses selanjutnya, yaitu proses penganggaran dilakukan secara elitis teknokratis oleh eksekutiflegislatif. Marginalisasi masyarakat dalam proses perencanaan secara otomatis membuka kemungkinan bahwa dokumen perencanaan yang disusun tidak berpihak. Padahal dokumen perencanaan tersebut akan dijadikan pedoman oleh pemerintah dalam proses penyusunan APBN/D.
Komposisi Belanja Pemerintah Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, belanja negara mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005, jumlah belanja negara mencapai 509 triliun dan kemudian meningkat menjadi 1.048 triliun di tahun 2010.
Tren Alokasi Belanja Negara 2005-2010 (dalam triliun) 1
.
5
0
0
,
0
0
1
1
9
1
.
0
0
0
,
0
5
5
0
9
,
5
.
0
0
0
,
8
.
0
4
8
0
0
0
6
5
8
0
,
0
0
0
,
0
0
6
5
,
2
1
0
9
9
,
1
0
2
,
4
0
7
0
0
5
2
0
0
6
2
0
0
2
0
0
8
2
0
0
9
2
0
1
0
7
Sumber: Data Pokok APBN 2005-2010, Departemen Keuangan RI, diolah
Walaupun besaran belanja negara terus mengalami kenaikan tetapi kenaikan tersebut tidak berimbas pada alokasi belanja untuk pelayanan kepada masyarakat miskin, yang justru tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2005, total belanja subsidi tercatat sebesar 120,78 triliun, dan pada R-APBN tahun 2010 belanja subsidi hanya mencapai sebesar 144,36 triliun. Selama kurun waktu 5 tahun tersebut kenaikan belanja subsidi hanya sebesar 23,58 triliun. Situasi itu sangat berbeda jauh dengan tren belanja pegawai yang terus mengalami Page 6 of 13
kenaikan. Pada tahun 2005, total belanja pegawai tercatat sebesar 54,25 trilun dan pada tahun RAPBN 2010 telah mencapai 161,76 triliun, atau meningkat sebesar 107,51 triliun. Tren Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis 2005-2010 (dalam triliun) 3
2
0
5
2
0
1
5
1
0
5
0
0
0
0
0
0
0
2
b
e
l
p
e
m
a
n
j
b
0
a
a
0
p
y
e
a
2
5
g
r
a
a
n
w
a
b
u
0
0
6
i
2
b
n
g
a
u
t
a
n
g
s
e
u
l
b
0
a
0
n
s
j
i
d
a
7
b
2
a
r
a
n
0
0
8
g
i
2
0
b
e
b
a
0
l
n
a
9
n
t
2
j
u
a
a
m
n
s
o
d
o
s
a
i
0
1
0
l
a
l
Sumber: Data Pokok APBN 2005-2010, Departemen Keuangan RI, diolah
Jika dilihat dari fungsinya, alokasi belanja pemerintah pusat dibagi ke dalam beberapa fungsi. Hal ini terkait dengan sebelas fungsi pemerintah yaitu: (1) fungsi pelayanan umum, (2) fungsi pertahanan, (3) fungsi ketertiban dan keamanan, (4) fungsi ekonomi, (5) fungsi lingkungan hidup, (6) fungsi perumahan dan fasilitas umum, (7) fungsi kesehatan, (8) fungsi pariwisata dan budaya, (9) fungsi agama, (10) fungsi pendidikan, dan (11) fungsi perlindungan sosial. Untuk itu, di dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengaturan alokasi belanja pemerintah pusat juga mengikuti pembagian fungsi-fungsi tersebut. Komposisi alokasi berdasarkan fungsi ini mencerminkan apa yang menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Page 7 of 13
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi 2009-2010 (miliar rupiah) Kode
Fungsi
APBN-P 2009
APBN 2010
01
Pelayanan Umum
470.004,8
495.320,0
02
Pertahanan
11.581,5
20.968,2
03
Ketertiban dan Keamanan
13.631,0
14.926,0
04
Ekonomi
63.154,5
57.358,8
05
Lingkungan Hidup
6.782,0
7.889,2
06
Perumahan dan Fasilitas Umum
18.074,8
20.906,6
07
Kesehatan
16.461,2
18.001,8
08
Pariwisata dan Budaya
1.405,1
1.416,1
09
Agama
783,2
913,1
10
Pendidikan
86.528,5
84.086,5
11
Perlindungan Sosial
3.129,1
3.456,7
Sumber: Nota Keuangan dan APBN 2010
Data diatas menunjukkan prosentase kenaikan yang cukup signifikan terjadi pada alokasi belanja fungsi pertahanan untuk tahun 2010, yang naik sebesar 9,3 triliun jika dibandingkan tahun 2009. Selain itu, alokasi belanja fungsi pelayanan umum naik cukup signifikan sebesar 25,3 triliun. Padahal jika dilihat dari subfungsinya, maka alokasi pada fungsi pelayanan umum lebih berat untuk pembiayaan birokrasi dan pembayaran bunga utang. Di sisi lain, alokasi anggaran untuk fungsi pendidikan justru menurun sebesar 2,4 triliun jika dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan alokasi anggaran untuk
fungsi-fungsi yang berkaitan erat dengan kesejahteraan
masyarakat, seperti Perumahan dan Fasilitas Umum, Kesehatan, dan Perlindungan Sosial, walaupun mengalami kenaikan tetapi besarannya sangat kecil. Padahal subfungsi dari fungsifungsi tersebut mayoritas bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti penyediaan air minum, penerangan jalan, pelayanan kesehatan masyarakat, pelayanan bantuan pendidikan, serta bantuan dan jaminan sosial.
Page 8 of 13
Menuju Predatory State Kecenderungan dari tabiat pemerintah dalam mengalokasikan anggaran memunculkan berbagai spekulasi yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Anggaran belanja pemerintah yang semakin terkonsentrasi untuk pembiayaan aparat negara semakin membuka kemungkinan terbentuknya model negara penjarah (predatory state). Douglas North (1981) mendefinisikan predatory state sebagai “the agency of a groups or class; its function is to extract income from the rest of constituents in the interest of that group or class”.9 Model negara ini dicirikan oleh naiknya penerimaan negara yang tidak diikuti dengan perbaikan kualitas kebijakan anggaran bagi masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, pendapatan negara selama kurun waktu 5 tahun terakhir selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2005, penerimaan negara tercatat sebesar 495,2 triliun dan kemudian meningkat hingga 949,7 triliun pada tahun 2010. Akan tetapi, kenaikan penerimaan ini tidak diikuti dengan peningkatan kualitas alokasi anggaran. Hal ini ditandai dengan menurunnya total subsidi dan belanja sosial dari tahun ke tahun. Di sisi lain, belanja pegawai justru terus mengalami kenaikan, dari 54,25 triliun pada tahun 2005 menjadi sebesar 160,4 triliun pada tahun 2010.
Tren Kenaikan Belanja Pegawai APBN 2005-2010 (dalam triliun)
9
Mats Lundahl, 1997, Inside the Predatory State: The rationale, methods, and economic consequences of kleptocratic regimes, Nordic Journal of Political Economy, Volume 24 Page 9 of 13
0
2
0
1
1
6
1
1
2
9
,
4
3
3
,
7
1
0
,
4
1
2
,
8
3
3
0
7
5
4
0
0
1
8
6
0
4
,
2
3
,
2
6
6
0
0
2
0
0
5
2
0
0
6
2
0
0
7
2
0
0
8
2
0
0
9
2
0
1
0
Kondisi diatas memperlihatkan bahwa mayoritas anggaran belanja pemerintah pusat dialokasikan untuk belanja pegawai (birokrasi). Alokasi anggaran untuk birokrasi mengalami kenaikan yang stabil dari tahun ke tahun. Pemerintah beralasan bahwa besarnya belanja birokrasi dikarenakan untuk membiayai program reformasi birokrasi. Padahal, reformasi birokrasi masih sebatas dipahami sebagai kenaikan tunjangan (remunerasi) dan bukan sebagai perbaikan kinerja. Hal itu diperparah dengan semakin gemuknya birokrasi kita sekarang, yang ditandai dengan bermunculannya entitas-entitas baru, baik lembaga maupun individu. Situasi yang demikian sangat kontraproduktif dengan semangat reformasi birokrasi yang ingin merampingkan struktur birokrasi. Akibatnya, proses reformasi birokrasi yang berlangsung sekarang hanya semakin menambah beban keuangan negara. Dalam istilah Mosca, monopoli kekayaan negara oleh birokrasi telah menciptakan suatu bentuk absolutisme birokratik.10
Alokasi anggaran yang terkonsentrasi untuk belanja birokrasi juga dapat dibaca sebagai upaya pemerintah untuk merangkul birokrasi ke dalam lingkaran kekuasaan. Birokrasi masih dipandang sebagai suatu entitas yang sangat berpotensi untuk dimobilisasi secara politik. Jumlah pegawai yang besar serta struktur birokrasi yang mengakar merupakan “godaan” bagi rezim untuk 10
Martin Albrow, 2005, Birokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Page 10 of 13
memanfaatkannya sebagai kekuatan politik demi menggalang dukungan. Kondisi ini tentu saja akan menggugurkan semangat untuk mengembangkan konsep birokrasi yang netral dan profesional. Dalam negara predatoris, birokrasi yang tidak profesional dapat mengantarkan negara menuju kegagalan (failing state).11
Catatan Penutup Anggaran merupakan instrumen pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang telah direncanakan. Anggaran menjadi wadah bagi mobilisasi sumber daya negara untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara. Terbatasnya sumber daya yang ada telah memaksa pemerintah untuk membuat pilihan-pilihan demi memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Kondisi ini telah melahirkan persaingan dan perebutan kepentingan antara aktor-aktor yang terlibat dalam penyusunan anggaran. Anggaran tidak hanya dilihat sebagai proses mekanis-teknokratis dalam memobilisasi sumber daya tetapi lebih dilihat sebagai medan politis untuk persaingan memperebutkan sumber daya tersebut.
Kampanye good governance turut berpengaruh terhadap perubahan paradigma dalam penyusunan anggaran. Nilai-nilai akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi, turut andil melahirkan konsep yang menjadi pedoman dalam melaksanakan reformasi anggaran, yaitu performance based budgeting. Sayangnya, upaya-upaya pemerintah dalam mereformasi anggaran masih kental atau didominasi dengan pendekatan teknis teknokratis. Padahal dalam situasi perpolitikan Indonesia yang masih sarat dengan kepentingan pragmatis, pendekatan yang bersifat teknis tidak akan cukup berhasil untuk memunculkan perubahan.
Dalam konteks penganggaran, good governance ditandai dengan konsentrasi belanja negara pada barang-barang publik. Untuk itu, pemerintah kemudian mengembangkan tiga strategi dasar dalam orientasi penyusunan anggaran, yaitu pro-growth (peningkatan pertumbuhan ekonomi), pro- poor (pengentasan kemiskinan), dan pro-job (perluasan lapangan kerja). Ketiga strategi ini menjadi arah kebijakan dalam penyusunan anggaran. Hanya saja, kenyataan di lapangan belum memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menerapkan strategi tersebut. Setidaknya, ada dua hal yang dapat dijadikan alat untuk melihat apakah slogan pro-poor budgeting benar-benar 11
Avinash Dixit, 2006, Predatory States and Failing States: An Agency Perspective, Princeton University Page 11 of 13
diterapkan, yaitu keterlibatan masyarakat miskin dalam proses penyusunan anggaran; dan prosentase anggaran yang dialokasikan guna kepentingan masyarakat miskin.
Proses penyusunan anggaran dimulai dengan penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijadikan pedoman dalam menyusun anggaran. Fase perencanaan ini dilakukan melalui mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang outputnya berupa dokumen rencana pembangunan jangka menengah. Walaupun secara legal-formal mekanisme perencanaan ini telah mengakomodasi semangat bottom-up, tetapi kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa nuansa top-down lebih mendominasi. “Ditutupnya” partisipasi masyarakat pada fase ini telah menghilangkan kesempatan masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan-penganggaran, mengingat proses berikutnya –penganggaran- dilakukan secara elitis teknokratis oleh eksekutif-legislatif.
Selanjutnya, besaran anggaran yang dialokasikan untuk kepentingan masyarakat miskin juga mencerminkan bahwa strategi pro-poor belum sepenuhnya terealisir. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran untuk program-program pelayanan kepada masyarakat miskin yang cenderung semakin menurun. Di sisi lain, alokasi belanja pegawai justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kecenderungan pemerintah dalam pengalokasian anggaran belanja yang semakin terkonsentrasi untuk pembiayaan birokrasi merupakan gejala dari terbentuknya model negara penjarah (predatory state). Negara predatoris ditandai dengan terkurasnya anggaran negara untuk kepentingan birokrasi pemerintah.
Kondisi-kondisi diatas menunjukkan bahwa politik anggaran pemerintah belum menunjukkan keberpihakan. Ketika upaya-upaya perubahan berusaha dimunculkan akan selalu ada resistensi dari aktor-aktor yang diuntungkan dari kebijakan anggaran yang ada sekarang. Upaya perubahan yang terlalu menekankan pada pendekatan teknis prosedural tidak akan cukup mengingat kontestasi stakeholders yang masih sarat akan kepentingan pragmatis.Untuk itu, seharusnya pemerintah membuka ruang kepada masyarakat untuk terlibat lebih dalam proses penyusunan anggaran. Tersedianya ruang yang cukup bagi masyarakat akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Pemerintah juga harus membuka ruang yang seluasluasnya bagi civil society untuk mengakses segala informasi yang berkaitan dengan anggaran. Page 12 of 13
Keberpihakan pemerintah dalam politik anggaran harus ditempuh agar tiga strategi (pilar) pembangunan tidak berhenti pada slogan dan jargon semata.
-Husni1/11/2010
Page 13 of 13