PRO KONTRA UJIAN NASIONAL (UN) DALAM SISTEM EVALUASI PENDIDIKAN DI INDONESIA Abdul Hadi Arwan Alamat koresponden penulis adalah Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah Jl. Prof. KH. Zainal Abidin Fikri KM. 3.5 Palembang. Email:
[email protected], dan
[email protected] Abstrak Evaluasi pendidikan adalah upaya menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan dalam tataran makro atau mikro. Evaluasi merupakan elemen penting dalam suatu sistem pendidikan. Konsep evaluasi dalam diskursus pendidikan memiliki makna ganda. Satu aspek evaluasi pendidikan ditempatkan sebagai aktivitas epistimologi pendidikan, pada aspek lain ditempatkan sebagai aksiologi pendidikan yang berguna untuk memberikan muatan nilai dalam setiap komponen dan proses pendidikan. ﺗﻘﯾﯾم اﻟﺗﻌﻠﯾم ھو ﻣﺣﺎوﻟﺔ ﻟوﺿﻊ: اﻟﺗﺟرﯾد ﻗواﻋد ﻣﻌﯾﻧﺔ ﻟﻘﯾﺎس ﻣﺳﺗوى اﻟﻧﺟﺎح اﻟﺗﻌﻠﯾﻣﯾﺔ اﻟﺗﻘﯾﯾم ھو. ﻓﻲ اﻟﻛﻠﯾﺔ أو اﻟﻣﺳﺗوى اﻟﺟزﺋﻲ ﻣﻔﮭوم اﻟﺗﻘﯾﯾم. ﻋﻧﺻر ﻣﮭم ﻓﻲ ﻧظﺎم اﻟﺗﻌﻠﯾم ﯾوﺿﻊ. اﻟﺗرﺑوي ﻓﻲ اﻟﺧطﺎب ﻟﮫ ﻣﻌﻧﻰ ﻣزدوج ﺟﺎﻧﺑﺎ واﺣدا ﻟﺗﻘﯾﯾم اﻟﺗﻌﻠﯾم ﺑﺎﻋﺗﺑﺎره ﻧﺷﺎط وﻋﻠﻰ ﺟواﻧب،ﻧظرﯾﺔ اﻟﻣﻌرﻓﺔ اﻟﺗﻌﻠﯾﻣﯾﺔ أﺧرى ﻣن اﻟﺗﻌﻠﯾم ﻛﻣﺎ وﺿﻌت ﻣﻧطﻖ اﻟﻌﻣل اﻟﺗﻲ ھﻲ ﻣﻔﯾدة ﻟﺗﻘدﯾم ﻣﺣﺗوى وﻗﯾﻣﺔ ﻓﻲ ﻛل .ﻋﻧﺻر ﻣن ﻋﻧﺎﺻر اﻟﻌﻣﻠﯾﺔ اﻟﺗﻌﻠﯾﻣﯾﺔ
Abstract: Evaluation of education is an effort to establish particular rules to measuring level of educational success in macro or micro level. Evaluation is an important element in a system of education. The concept of evaluation in educational discourse has a double meaning. One aspect of the evaluation of educational activities epistemology placed as education, on the other aspects of axiology placed as to provide useful educational content and value in each component of the educational process. Kata Kunci: ujian nasional, evaluasi. Pendahuluan Tujuan pendidikan dalam perspektif Islam adalah membentuk peserta didik agar mampu berkembang sebagai generasi "Khair al-ummah" yakni beriman dan bertaqwa, dewasa dalam bersikap mentalitas, daya pikir dan semangat hidup, mandiri, kreatif, dinamis dan berakhlaq mulia (Fajar, 1998: 176). Guna meneropong tujuan itu maka diperlukanlah apa yang disebut dengan istilah evaluasi. Evaluasi itu terapat berbagai model, yan secara nasional di Indonesia dikenal dewasa ini dengan Ujian Nasional. Hal itu selama ini dijadikan sebagai standar 79
nasional untuk meng-evaluasi pendidikan yang telah berlangsung di Indonesia setiap tahunnya. Ujian Nasional (UN) dilaksanakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dan meningkatkan kualitas pendidikan. Yusuf Kalla pada saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengatakan bahwa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia karena murid/mahasiswa di Indonesia tidak mau belajar. Mengapa tidak mau belajar, karena merasa tidak perlu belajar. Mengapa merasa tidak perlu belajar, karena belajar atau tidak belajar mereka akan tetap naik kelas/lulus. Dalam perspektif UN, pada tahun 2007, Yusuf Kalla mengindikasikan anak-anak lebih semangat belajar karena takut tidak lulus. Anak-anak juga stres. ”100 anak stres lebih baik dari pada sejuta anak bodoh” (Kompas, 7 Juli 2007). Demikian penegasan Yusuf Kalla akan pentingnya evaluasi dalam sistem pendidikan (baca: UN). Hal senada juga disampaikan Burhanuddin Tolla, bahwa penyelenggaraan UN yang dimulai dari SD bisa mendorong terjadinya perubahan perilaku siswa, guru, dan masya-rakat. Semua akan jadi ber-semangat untuk belajar karena harus mempersiapkan diri agar bisa lulus dalam UN (Kompas, 9 Novem-ber 2007).
Di tengah gencarnya pemerintah menyuarakan perlunya UN, dengan dalih untuk meningkatkan mutu pendidikan, penolakan terhadap UN yang tak kalah nyaringnya juga disuarakan oleh kalangan DPR, masyarakat, orang tua dan sejumlah elemen masyarakat lainnya. Perdebatanpun masih terus berlanjut. Pemerintah dan masyarakat, tetap berpegang pada argumentasinya masing-masing. Di sisi lain, para siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan takut tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan anaknya; para praktisi pendidikan merasakan penyelenggaran UN menimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan; sedangkan sebagian anggota legislatif yang menolak menilai pelaksanaan UN bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasio-nal. UN hanya sebatas control kualitas untuk mengawasi taraf pendidikan (Kompas, 5 Mei 2004). Meskipun terdapat pro dan kontra terhadap penyelenggaraan UN, BSNP dengan persetujuan Mendik-nas, tetap melaksanakan UN hingga saat ini. Dengan memperhatikan penomena demikian, maka penulis tertarik untuk menganalisa lebih jauh seputar pro
80
dan kontra terhadap penyelenggaraan UN. UN sebuah kebijakan yang sering bahkan setiap kali penyelenggaraannya tak pernah lepas dari kritik. Mulai dari penyediaan soal yang sentralistik, distribusi soal, percetakan soal, pengamanan soal hingga sampai ke sekolah penyelenggara, pelaksanaan UN, pelibatan tim independen, pengamanan selama proses UN, pengembalian LJK siswa, dan seterusnya hingga proses scaner hingga pengumuman kelulusan. Bila diruntut akar masalahnya, harus diakui bahwa betapa banyak energi yang terkuras, biaya yang dikeluarkan, politisasi pendidikan, intervensi birokrat dan kegelisahan orang tua dan kecemasan anak. Inilah pertanyaan mendasar yang harus dikritisi sehingga secara komprehensif menemukan formula yang memadai penyelenggaraan UN yang benar-benar pro mutu pendidikan, bukan sekedar hajatan tahunan yang padat modal? Evaluasi: Beberapa Definisi Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu atau dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang ada hubungan dengan pendidikan (Nata, 2001: 131). Dalam bahasa Arab menurut Arifin istilah evaluasi dikenal dengan imtihan yang berarti ujian.
Istilah ini dikenal juga dengan dengan termonologi khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa evaluasi dapat pula diartikan dengan proses membandingkan situasi yang ada dengan kriteria tertentu karena evluasi adalah proses mendapatkan informasi dan menggunakannya untuk menyusun penilaian dalam rangka membuat keputusan (Arifin, 2003: 26). Dengan melihat definisi dasar tersebut, maka menurut Abudin Nata bahwa evaluasi pendidikan adalah suatu proses yang tidak hanya membandingkan situasi yang ada dengan kriteria tertentu terhadap masalahmasalah yang berkaitan dengan pendidikan (Nata, 2001: 131). Untuk itu evaluasi pendidikan sebenarnya tidak hanya menilai melainkan juga berkenaan dengan penilaian terhadap berbagai aspek yang mempengaruhi proses belajar siswa tersebut, seperti evaluasi terhadap guru, kurikulum, metode, sarana prasarana, lingkungan dan sebagainya. Kendati demikian umumnya evaluasi dalam pendidikan lebih ditujukan kepada upaya mengetahui dengan jelas dan obyektif terhadap hasil belajar yang dilakukan oleh suatu lembaga pendidikan. Edwind Wand dan Gerald W. Brown (1997: 12) ia mengemukakan bahwa penilaian atau evaluasi adalah the act or prosess to detemining the value of something. Evaluasi dalam pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk me81
nentukan nilai suatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Menurut ilmu jiwa evaluasi berarti menetapkan penomena yang dianggap berarti di dalam hal yang sama berdasarkan suatu standar (Qahar, 2002). Disamping istilah evaluasi juga dikenal istilah measurement atau pengukuran. Pengukuran dalam pendidikan adalah usaha untuk memahami kondisi obyektif tentang sesuatu yang akan dinilai. Ukuran atau patokan yang menjadi pembanding perlu ditetapkan secara kongkrit guna menetapkan nilai atau hasil perbandingan (Ramayulis, 2002). Hal senada dikemukakan oleh Ahmad Tafsir bahwa istilah evaluasi juga sering dikenal dengan istilah tes, pengukuran, penilaian dan lain-lain. Dalam perspektif Ahmad Tafsir evaluasi diartikan dengan suatu tindakan yang dilakukan untuk mengetahui hasil pengajaran khususnya, hasil pendidikan pada umumnya. Selain itu lanjutnya bahwa evaluasi berguna dalam upaya perbaikan lesson plan, juga sebagai pertimbangan utama dalam menentukan kenaikan kelas, bahkan perbaikan bagi program tertentu (Tafsir, 2005). Untuk itu, evaluasi dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan keputusan-keputusan kependidikan, baik yang terkait dengan perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun ke-
lembagaan. Keputusan apapun yang ditetapkan dimaksudkan agar tujuan yang dicanangkan dapat tercapai. Dengan kata lain bahwa evaluasi bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam berbagai apsek. Suatu pendidikan dikatakan berkualitas (bermutu) jika diukur dari perannya dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkrakter, bermoral dan berkepribadian. UNESCO mendefinisikan mutu dengan “moulding the character and mind of young generation” (Roy, 1998: 16). Untuk itu perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suatu suasana dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif, menyenangkan, merangsang, dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya adalah salah satu prinsip pendidikan yang demokratis. Hal senada juga dikemukakan Soedijarto bahwa bagi negara yang maju seperti Amerika Serikat dan Jerman tidak mengenal UN untuk memilah dan memilih. Kegiatan pendidikan dilakukan dengan membantu peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan: (1) menyediakan guru
82
yang professional yang se-luruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik; (2) menyediakan fasiltas sekolah yang memungkinkan peserta didik belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olah raga dan bermain dan ruang kerja guru; (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik belajar terus-menerus belajar dengan membawa buku wajib, buku rujukan serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar; (4) evaluasi yang terus- menerus, komprehensif, dan obyektif (Soedijarto, 2008).
didik secara berkesinambungan, dan Kedua evaluasi peserta didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan (UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003). Secara khusus bahwa UN didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dan pada tahun 2008, UN didasarkan pada Peraturan Menteri Nomor 34 tahun 2007 tentang Ujian Nasional SMP/MTs/SMPLB, SMA/ MA/SMALB dan SMK. Sebagai suatu perbandingan bahwa di Amerika Serikat sendiri tes sejenis UN memang pernah dilakukan. Bahkan pada tahun 1997, tercatat dunia pendidikan Amerika Serikat menghabiskan dana sebesar US$ 200.000.000 per tahun untuk tes di sekolah-sekolah negeri (public school) (Tilaar, 2006). Dengan demikian, UN tersebut dapat dijadikan instrumen untuk melakukan pemetaan terhadap permasalahan pendidikan secara nasional, dan pada saat bersamaan dapat menentukan kebijakan dan program untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bila demikian nmasalahnya, hádala hal yang keliru bila menjadikan UN sebagai instruyen untuk menentukan kelulusan seorang siswa.
Kebijakan Ujian Nasional Kebijakan UN nasional merupakan amanat Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 57 dijelaskan bahwa Pertama, evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan Kedua evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Pada pasal 58 dijelaskan bahwa Pertama evaluasi hasil belajar peserta didik oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan Dampak Positif Ujian Nasional dan perbaikan hasil relajar peserta 83
Secara umum bahwa kegunaan UN dilaksanakan dalam rangka melaksanakan: Pertama Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; Kedua, Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; Ketiga Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan Keempat Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Dengan demikian, maka dampak positif pelaksanaan UN antara lain adalah: (1) memperoleh data hasil belajar siswa; (2) memperoleh data untuk menentukan lulusan SMP/ Mts yang dapat melanjutkan pendidikan ke SMA/MA/SMK; (3) memperoleh data yang akan digunakan sebagai dasar untuk program tindak lanjut. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan. Terdapat hal yang menarik sekaligus menggelitik ketika UN sebagai penentu kelulusan. Disinilah letak diskusi dan argumentasi yang tak berujung. Taufikurrahman misalnya menilai harus ada pembedaan yang jelas antara standar kelulusan dengan kontrol kualitas. Dengan UN, hanya angka yang dijadikan ukuran kualitas, tetapi tidak ada makna di dalamnya sehingga belum tentu mencerminkan mutu lulusan. Begitu pula Muhammadi, ia mempertanyakan “Bagaimana mungkin UAN dari pusat yang hanya terdiri dari tiga
mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, menentukan proses belajar 3 tahun. Seharusnya yang menjadi pegangan bukan hasil, tetapi proses (Kompas, 5 Mei 2004). Lebih lanjut Agus Listiono mempertanyakan Pak Mendiknas, siapa yang Peduli Proses? (Kompas, 17 Mei 2004), demikian judul tulisannya. Tidak ada lagi yang perlu menjadi pertimbangan dalam kelulusan, selain angka yang diperoleh siswa dalam ujian. Oleh karena itu, tidak penting lagi sesungguhnya mewacanakan karakteristik siswa dengan segala keunikannya saat proses pembelajaran berlangsung di kelas, kecerdasan emosional, life skill, dan semua hal yang hanya tampak dalam proses belajar seharihari. Karena semua itu tidak termasuk dalam indikator keberhasilan siswa? Jika demikian adanya, ungkapan prustasi seorang guru disekolah adalah: untuk apa pembelajaran berlangsung aktif, efektif dan menyenangkan, kalau yang diinginkan hanyalah pengetahuan kognitif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa: Pertama, dunia pendidikan di Indonesia telah membelajarkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk berlaku tidak konsisten, mengapa? ketika terbit berbagai system semua mengedepankan pentingnya kognitif, afektif dan psikomotorik, tetapi ketika mengukur keberhasilan di akhir tahun, pemerintah hanya mengukurnya dari aspek kognitif. Kedua jadilkah siswa
84
yang dinyatakan tidak lulus sekolah karena hasil UN dan USnya tidak memenuhi syarat lulus, padahal mereka dengan tekun mengikuti pendidikan selama 3 tahun pelajaran? dan Ketiga jangan pernah menggeneralisasi bahwa guru sebagai ujung tombak pelaksanaan KBK adalah komponen yang sulit diubah, yang secara operasional akan menjadi penghambat bagi keberhasilan pendidikan secara umum di Indonesia. Namun demikian, menurut Bedjo Sujanto, tidak perlu ada yang dikhawatirkan tentang UN, ketika pembelajaran dilaksanakan secara tuntas yakni suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan dengan target semua anak menguasai materi belajar yang sesuai dengan kecepatan dan cara belajar mereka (Sujanto, 2007: 96). Pembelajaran tuntas akan menuntun siswa memiliki rasa percaya diri karena mereka akan siap kapanpun ujian akan dilaksanakan. Namun demikian, konsep ini memerlukan dukungan guru dan kesiapan siswa. Belajar tuntas akan tidak menjadi berarti bila dihadapkan pada perbedaan kemampuan siswa begitu juga kualitas guru serta dukungan sarana parasarana yang tersedia.
negatif penerapan UN, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran yang di UN-kan, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan orang tua lebih memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan, terutama pada siswa kelas akhir. Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. 2. Proses pembelajaran yang kurang bermakna Untuk mempersiapkan siswa menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar pada saat UN. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal UN, dan menguasai teknikteknik dan trik mengerjakan soal UN yang dihadapi. Pembelajaran Dampak Negatif Ujian Nasional Selain dampak positif yang didengan model ini jelas tidak timbulkan oleh penyelenggaraan bermakna, karena apa yang diUN, maka terdapat pula dampak pelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep 85
yang esensial. Pembelajaran gelembungkan (mark-up) hasil seperti ini kurang meujian pun terjadi. Caranya ngembangkan kemampuan verdengan membuat tim untuk pikir dalam memecahkan membetulkan jawaban-jawaban masalah, yang menjadi salah siswa Kondisi seperti ini jelas satu indikator kecerdasan jauh dari nilai-nilai kejujuran sebagaimana yang diharapkan dalam pendidikan yang seharusdicapai melalui pembelajaran. nya menjadi bagian yang harus 3. Upaya-upaya yang tidak fair dikembangkan secara serius di Tuntutan kelulusan yang tinggi, sekolah. Bila ini berlanjut, bisa baik terhadap persentase/ dibayangkan manusia-manusia jumlah siswa yang dinyatakan seperti apa yang dihasilkan oleh lulus, maupun besarnya nilai dunia pendidikan (formal) kita. yang diperoleh para siswa, 4. Hanya ranah kognitif yang terukur mendorong sekolah untuk meUN yang menggunakan bentuk lakukan berbagai upaya untuk soal multiple choise hanya akan mencapainya. Tuntutan seperti dapat mengukur hasil belajar ini sekaligus berdampak pada pada ranah kognitif. Mengacu terbentuknya citra dan prestise pada ranah kognitif dari Bloom, sebuah sekolah. Sekolah yang tingkatan berpikir yang mampu mampu meluluskan siswanya terukur melalui bentuk soal MC dengan prosentase yang tinggi hanya sampai pada tingkat dengan nilai UN yang tinggi, berpikir aplikasi. Kondisi seperti dinilai sebagai sekolah yang ini mendorong para siswa belajar berkualitas dan unggul. Setiap dengan menghafal. Belum lagi, sekolah menginginkannya dan ranah afektif dan psikomotorik berbagai upaya dilakukan yang merupakan bagian dari untuk mencapai posisi tersebut. tujuan pembelajaran yang juga Untuk mewujudkan itu, tidak harus diukur ketercapaiannya, jarang upaya-upaya yang tidak tidak dilakukan. Sulit diharapkan fair dilakukan oleh oknum guru dapat diukur dengan menggunadan kepala sekolah untuk menkan UN, yang sifatnya masal dan capai target kelulusan yang dilakukan dalam waktu yang setinggi-tingginya.. Kasus di sangat terbatas. Sekali lagi beberapa sekolah, guru dengan kondisi ini akan berakibat pada berbagai modus memberi kunci pembelajaran di sekolah hanya jawaban kepada siswa. Selain pada pengembangan kecerdasan itu, pada tingkat penyelenggara intelektual, sementara kecerdaspendidikan daerah seperti dinas an lainnya (multiple intelegence pendidikan, usaha untuk meng-
86
Gardner) akan tidak mendapatsekolah di Provinsi DKI Jakarta, kan perhatian yang memadai. Yogyakarta dan Jawa Barat ada5. Keputusan penentuan kelulusan lah yang terakreditasi A sekitar yang kurang obyektif (35 – 48)%, yang terakreditasi C Pada umumnya satuan penkurang dari 10 %; (2) hasil didikan hanya mengacu pada akreditasi sekolah di Provinsi hasil UN untuk menentu kan Sulawesi Barat, Bengkulu, Aceh, kelulusan siswa artinya kalau NTB, Kalimantan Barat dan hasil UN sudah memenuhi Papua adalah yang terakreditasi syarat kelulusan maka siswa A kurang dari 10% dan yang tersebut sudah pasti lulus terakreditasi C antara (40–55)%. walaupun nilai mata pelajaran Contoh lainnya adalah: (1) hasil yang tidak di UN-kan jelek dan akreditasi TK/RA, SD/MI, sikapnya kurang baik. Proses SMP/MTSP pada tahun 2007 belajar yang dilakukan siswa yang berjumlah 869 di provinsi selama 3 tahun di SLTP dan DKI Jakarta adalah yang terSLTA, nasibnya ditentukan akreditasi A=57,6%, terakredioleh hasil UN yang dikerjakan tasi B=28,0% dan terakreditasi C beberapa jam saja. Ketidak=4,1%; (2) hasil akreditasi lulusan siswa dalam UN bisa TK/RA, SD/MI, SMP/ MTS jadi bukan karena faktor kepada tahun 2007 yang berjumlah tidakmampuannya menguasai 798 di provinsi Maluku adalah materi pelajaran, tetapi karena yang terakreditasi A=2,0%, faktor kelelahan mental (mental terakreditasi B= 24,7% dan yang fatique), karena stres pada saat terakreditasi C=59,3%. Dengan mengerjakan soal UN. menggunakan UN yang tingkat 6. Pengukuran hasil belajar yang kesukarannya sama pada diskurang fair paritas kualitas pendidikan yang Disparitas pendidikan di pulau berbeda baik antar provinsi dan jawa dengan di luar pulau jawa antar kabupaten/kota akan mesangat berbeda (Kompas, 2 Juni nimbulkan pengukuran hasil be2008). Berdasarkan hasil akrelajar yang kurang fair. ditasi sekolah yang dilakukan 7. Menutup akses pendidikan beroleh Badan Akreditasi Sekolah kualitas bagi masyarakat miskin. (BAS) yang mengacu pada Hasil UN dijadikan juga sebagai Standar Nasional Pendidikan acuan penentuan untuk melanjutpada tahun 2007, dari 57292 kan ke jenjang yang lebih tinggi sekolah negeri/swasta dan seperti dari SMP ke SMA. madrasah yang diakreditasi di Sekolah-sekolah yang berkualitas peroleh data antara lain sebagai dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan berikut: (1) hasil akreditasi para siswa, yang berakibat pada 87
terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, bagi orang tua yang berkecukupan (kaya) berusaha melibatkan anaknya untuk mengikuti pelajaran tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena upaya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas. Kedudukan dan Peran Evaluasi dalam Pembelajaran Mencermati berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu dilakukan kajian secara komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/ pedagogis, yuridis formal, maupun kajian empirik, untuk melihat bagaimana seharusnya kita menempatkan ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah (Jasmine, 2007). Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian
berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses pembelajaran. Salah satu fungsi evaluasi yang utama adalah evaluasi dilaksanakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan. Hal ini terlihat jelas dalam model evaluasi yang dikemukakan oleh Tyler, model tersebut memperlihatkan hubungan antara tujuan pendidikan, pengalaman belajaran, dan evaluasi hasil belajar yang saling berkaitan (Arieh, 1997). Bila model di atas diterapkan dalam melaksanakan evaluasi tingkat nasional maka ujian nasional seharusnya dilakukan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk mengukur hasil pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka diperlukan instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi bentuk tes yang digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan ganda (multiple choise). Sementara untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan pada ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi dalam bentuk non tes. Dan ini tidak (mungkin) dilakukan dengan UN, karena untuk melakukan
88
itu harus dilakukan secara berkelanjutan. Pembatasan aspek yang dievaluasi melalui UN, yang hanya mengukur prestasi akademik yang nota bene hanya mengukur penguasaan pengetahuan, berakibat pada proses pembelajaran yang terjadi di sekolah pun menjadi berfokus pada pengembangan ranah kognitif. Aspek-aspek afektif, seperti berakhlak mulia, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab menjadi terabaikan. Telah terjadi disorientasi proses pendidikan. Pendidikan di sekolah telah melupakan fungsi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang vermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Disorientasi pembelajaran, sebagai akibat dari penyesuaian dengan tuntutan UN juga terjadi pada fokus perhatian para siswa dan orang tua terhadap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Mata pelajaran yang di-UN-kan mendapatkan prioritas utama dan sekaligus mendapat porsi yang lebih besar dalam proses belajar siswa. Seolah-olah hanya ketiga mata pelajaran itu saja yang penting. Padahal penetapan mata pelajaran yang ditetapkan di sekolah didasarkan pada kebutuhan pencapaian tujuan pendidikan yang lebih luas.
Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya melalui pengembangan pendekatan dan strategi pembelajaran. Berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran telah dikenalkan, diujicobakan dan juga dilatihkan pada para guru, seperti pendekatan CBSA, Keterampilan Proses, sampai pada KTSP. Berbagai inovasi tersebut memang dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar yang dialami siswa, karena proses belajar yang berkualitas pada akhirnya akan mendorong mutu hasil belajar siswa. Dengan pendekatan dan strategi pembelajaran yang inovatif diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang menyenangkan, menstimulasi pengembangan potensi diri siswa, jauh dari tekanan dan stres, dan mendorong siswa belajar menemukan, sebagaimana dikatakan Whitehead, the child should experience the joy of discovery (North t.th.). Model pembelajaran seperti inilah sebenarnya yang diharapakan terjadi sehingga pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif; pasal 4 ayat (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; serta 89
pasal 4 ayat (4) yang menyatakan Pendidikan yang diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Namun sayang, berbagai upaya tersebut kembali kandas pada saat akan dilaksanakan di kelas. Bukan karena para guru tidak mampu melaksanakan berbagai pendekatan tersebut, tetapi karena terbentur dengan tuntutan dan ukuran keberhasilan belajar yang menggunakan nilai UN. Guru lebih suka menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan nilai UN. Strategi pembelajaran yang di dalamnya menggunakan metode drilling dianggap efektif untuk mengkondisikan proses belajar siswa agar siap dan mampu menghadapi UN dengan baik. Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar sesuai dengan apa yang akan diujikan dalam ujian. Bila soal-soal dalam ujian menuntut mereka untuk hafal banyak hal, maka proses belajar yang dilakukannya adalah dengan cara menghafal. Hal ini sebenarnya telah diingatkan oleh Soedijarto berdasarkan hasil penelitiannya dalam rangka penyusunan disertasi Doktornya, pada tahun 1981. Penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi (dalam arti frekuensi dan bentuk tes) merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas proses belajar
(Soedijarto, 1993), yang pada gilirannya tentunya yang pada gilirannya akan berpengaruh juga terhadap mutu hasil belajar. Secara lebih spesifik B.S. Bloom mengatakan students will attempt to learn what they anticipate will be emphasized in the evaluation instrument on which they expect to be judged, graded, and certified. Dalam perspektif demikian, maka kebijakan yang harus diutamakan dalam membantu peserta didik agar dapat berkembang optimal, yaitu: (1) menyediakan guru yang professsional, (2) menyediakan fasilitas sekolah yang memungkin peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan, (3) menyediakan media pembelajaran yang kaya seperti buku-buku, kelengkapan laboratorium, perpustakaan dan lainlain, (4) eveluasi yang terus menerus, komprehenshif dan obyektif (Soedijarto, 2008: 151-152). Untuk point terakhir menurutnya dapat menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan dan nilai seperti etos kerja, kedisiplinan, kejujuran serta moral. Nilai-nilai ini, tentu sangat tidak mungkin untuk diukur melalui tes sejenis UN yang saat ini berlaku. Kesimpulan Evaluasi dalam pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk menentukan nilai suatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan. evaluasi diartikan dengan suatu
90
tindakan yang dilakukan untuk mengetahui hasil pengajaran khususnya, hasil pendidikan pada umumnya. Selain itu bahwa evaluasi berguna dalam upaya perbaikan lesson plan, juga sebagai pertimbangan utama dalam menentukan kenaikan kelas, bahkan perbaikan bagi program tertentu. Evaluasi pendidikan nasional dilakukan dalam rangka pengendalian mutu secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Ujian Nasional berdampak positif antara lain mendorong siswa dan guru untuk kreatif melaksanakan proses belejar mengajar dengan baik dan melaksanakan pemetaan pendidikan. Sedangkan dampak negatifnya antara lain terjadinya distorsi tujuan pendidikan, hanya mengukur aspek kognitif, penilaian yang tidak fair, tertutupnya akses masyarakat miskin untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan lainlain. Dari pengalaman UN yang dilakukan selama empat tahun terakhir, berbagai kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai daerah, seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk
mempertimbangkan sistem penyelenggaraan UN yang lebih efektif dan efisien. Di samping itu sebaiknya juga perlu dipikirkan bahwa kelulusan siswa tidak hanya didasarkan pada nilai 3 mata pe-lajaran yang di-UN-kan, tetapi juga melihat secara komprehenshif siswa dengan segala kemapuan dan potensi yang dimilikinya, hal ini berarti melibatkan sekolah dalam menentukan kelulusan. Referensi Aoer, Cyprianus, 2005. Masa Depan Pendidikan Nasional, Jakarta: Center for Poverty Studies. Arifin,.Muzayyin, 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta. Fajar, A. Malik, 1998. Visi Pembaharuan Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Alfa Grafikatama. Harian Kompas, 2 Juni 2008, 7 Juli 2007, 9 November 2007, 7 Mei 2004, 17 Mei 2004, 18 Mei 2004. Jasmine, Julia, 2007. Mengajar dengan Metode Kecerdasan Majemuk: Implementasi Multiple Intelligence. Bandung: Nuansa. Kubiszyn, Tom, Gary Borich. 2003. Educational Testing and Measurement, Classroom Application and Practice, Seventh Edition. Singapore: John Wiley and Sons, Inc..
91
Lewy, Arieh. 1977. Handbook of Tinjauan Kritis (Jakarta: Rineka Curriculum Evaluation. New York: Cipta. Unesco. Undang-undang Nomor 20 tahun Nata, Abudin, 2001. Filsafat Pen- 2003 tentang Sistem Pendidikan didikan Islam, Jakarta, Logos. Nasional Qahar, Yahya, 2002. Evaluasi Pen- Wand, Edwin and Gerald W. Brown, didikan, Jakarta, Bursa FIP IKIP. 1997. Essentials of Education Ramayulis, 2002. Ilmu Pendidikan Evaluation, Holt Rinehart and Winston, second edition. Islam, Jakarta, Kalam Mulia. Roy, Killen, 1998. Effective Teaching Strategies: Lesson from Research and Practice, Second Edition, Australia: Social Science Press.
Whitehead, Alfred North. t.th. The Aims of Education and Other Essays. New York: The New American Library.
Wiersma, William, Stephen G. Jurs. Tafsir, Ahmad, 2005. Metodologi 1990. Educational Measurement and Pengajaran Agama Islam, Testing. Boston: Allyn and Bacon. Bandung, Rosdakarya. Salamuddin, 2005. UN Perlu Kejujuran. Pendidikan Network, 22 Mei. Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka. …………... 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita,. Jakarta: Kompas, Sujanto, Bedjo. 2007. Guru Indonesia dan Perubahan Kurikulum; Mengorek Kegelisahan Guru, Jakarta: Sagung Seto. ………….., 1993. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka. Tilaar, H.A.R. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu 92