Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi
Perubahan Iklim & Tantangan Peradaban
2
Vol. 29, April 2010
Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi mengundang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya. Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi. © Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Perubahan Iklim & Tantangan Peradaban Vol. 29, No. 2, April 2010
Terbit setiap tiga bulan (Januari, April, Juli, Oktober)
TOPIK
KITA
Daniel Dhakidae
2
Bumi Manusia
Ismid Hadad
3
Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Pengantar
Daniel Murdiyarso
23
Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke Meja Perundingan
Mubariq Ahmad
38
Ekonomi Perubahan Iklim: Dari Kegagalan Pasar Menuju Ekonomi Rendah Karbon
Asclepias RS Indriyanto
53
Energi Rendah Emisi: Masalah Teknologi, Ekonomi, atau Politik?
Nur Masripatin
61
Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang Emisi Dunia?
Rizaldi Boer
81
Membangun Sistem Pertanian Pangan Tahan Perubahan Iklim
Agus Sari
93
Pasar Karbon dan Potensinya di Indonesia
ESAI Daniel Dhakidae
34
Iklim, Ilmu, dan Kekuasaan DIALOG
Emil Salim
71
Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang BUKU
IGG Maha Adi
100 Perubahan Paradigma Lingkungan Hidup 105 K R I T I K & K O M E N T A R 106 P A R A P E N U L I S
Redaktur Tamu: Ismid Hadad Gambar oleh GM Sudarta
Prisma Vol. 29, No. 3: Otonomi Daerah Prisma Vol. 29, No. 4: Islam dan Dunia
Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim • Pemimpin Umum: Suhardi Suryadi • Wakil Pemimpin Umum: Sudar Dwi Atmanto • Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae • Redaktur Pelaksana: MA Satyasuryawan • Dewan Redaksi: A Tony Prasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani, Kamala Chandrakirana, Sumit Mandal (Jerman), Taufik Abdullah, Vedi R Hadiz (Singapura) • Redaksi: Daniel Dhakidae, E Dwi Arya Wisesa, MA Satyasuryawan, Nezar Patria, Rahadi T Wiratama Sekretaris Redaksi: Eriko Sustia • Produksi: Awan Dewangga • Bisnis dan Pemasaran: Anis Ilahi Wahdati, Panji Anggoro Alamat: Jalan Letjen S Parman 81, Jakarta 11420, Indonesia. Tlp.: (6221) 567 4211, Faks.: 568 3785 Email:
[email protected];
[email protected]; Website: www.lp3es.or.id Bank: MANDIRI, KCP RSKD, Jakarta. Nomor Rekening: 116-000-526-169-9 a/n LP3ES
Prisma
TOPIK KITA
Bumi Manusia Belum pernah dalam sejarah manusia mengatakan bahwa mereka mencintai bumi seperti sekarang. Untuk itu diciptakan “hari bumi”, nama yang aneh dan umurnya pun, dalam takaran global, belum panjang, baru dua puluh tahun— meskipun hari itu sudah meledak di Amerika tahun 1970. Meski aneh, tujuannya tidak aneh: menyelamatkan bumi dari keanehan lain, yaitu perilaku penghuninya yang menganggap bau busuk pembuangan industri sebagai aroma kemewahan. Bergenerasi kita dengar orang mencintai tanah air, bukan cinta bumi sebagai planet, karena itu tanah selalu diidentikkan dengan orang terdekat, yang membawanya ke bumi, yaitu ibu dan bapak. Tanah selalu menjadi ibu—ibu pertiwi Indonesia, Rossiya-Matushka Rusia, atau bapak— Vaterland Jerman dan vaderland Belanda. Bila diperhatikan mendekatnya orang ke tanah, seperti terungkap dalam hari bumi, adalah reaksi balik dari gerak lain. Manusia tidak lagi “melanglang buana” akan tetapi “melanglang semesta”. NASA mengumumkan bahwa teleskop raksasanya menemukan sekurang-kurangnya seribu lima ratus tata surya dengan tingkat kepastian tinggi. Kalau ada seribu lima ratus tata surya, mungkinkah ada seribu lima ratus bumi? Kalau ada seribu lima ratus bumi mungkinkah ada kehidupan manusia di ribuan tempat itu? Soal lain juga muncul. Kalaupun teknologi mampu mengidentifikasikan kehidupan di sana, jarak begitu absolut jauhnya sehingga menembusi jarak itu demi berkontak ragawi menjadi kemustahilan yang tak kurang absolut. Kerepotan mencari bumi lain mungkin dipercepat oleh kekhawatiran bumi sendiri akan hancur. Mengapa keanehan perilaku di atas? Gerak berikut ini mungkin bisa menjelaskannya. Ketika bumi diciptakan serta manusia di dalamnya, salah satu pesan pertama kepada manusia adalah “subiicite terram,” “taklukkan dan kuasailah bumi”. Namun, yang disebut sebagai “taklukkan dan kuasailah bumi” pada dasarnya berlangsung bertahap. Penemuan teleskop untuk mengintip langit dan memelototi bumi jadi awal penaklukan bumi secara global oleh Barat dalam bentuk kolonialisme yang semakin meningkatkan penguasaan bumi dan penghuni yang ada di dalamnya. Semuanya diungkapkan dalam nama yang menya-
kitkan seperti “discovery”, menemukan Amerika, Australia, dan Singapura. Namun, penguasaan dunia sesungguhnya baru berlangsung ketika industri dan industrialisasi bertenaga mesin uap dengan sumber energi batu bara, dan kelak minyak bumi dan nuklir. Sejak itu yang disebut “menaklukkan dan menguasai bumi” dilanjutkan dengan deraplangkah sebegitu rupa sehingga yang terjadi lebih dari penguasaan, dan menjadi “pemerkosaan”. Industrialisasi memang sampai ke tingkat tertentu memerkosa alam dan manusia sekaligus. Alam diperkosa dengan polusi dan penghancuran lingkungan; manusia diperkosa dengan l’exploitation de l’homme par l’homme oleh suatu sistem sosial yang bukan saja dimungkinkan, akan tetapi diharuskan, oleh proses industrialisasi itu. Dengan begitu ibu bumi dan bapak bumi diperkosa dalam dua arti sekaligus, oleh kaum lelaki dan perempuan. Pemerkosaan membuat bumi menjadi semakin tua dan renta. Namun, di sana juga letak paradoks karena bumi yang renta bukan bumi yang diam, akan tetapi bumi yang “mengamuk” dalam cara paling primitif seperti pada awal bumi diciptakan, yaitu melalui “air, api, dan udara”—air yang meluap, api yang mengamuk, dan udara yang membusuk untuk menghancurkan tanah yang runtuh tak terkendali. Kalau bumi mengamuk bukan bumi yang hancur, akan tetapi makhluk hidup dan terutama spesies homo sapiens akan punah. Pertanyaan lain akan muncul: kalau manusia hancur, apakah masih ada yang disebut bumi? Karena, hanya manusia, bukan malaikat, yang sadar bahwa itu bumi, dan karena itu bumi ada, dan hanya satu bumi. Pada masa Perang Dingin kehancuran dimungkinkan oleh armageddon nuklir. Pascaperang Dingin kiasan perang di har Megiddon, bukit Megiddon, tidak pernah dipakai lagi—kecuali Amerika yang memelesetkannya menjadi snowgeddon di Washington, yang, masya Allah, menjadi bahan tertawaan orang Moskow, karena yang disebut snowgeddon hanya sekulit luar dari pengalaman Rusia tiap tahun. Salah satu penjelasannya, mungkin karena manusia tidak berperang melawan musuh lain kecuali perilaku dan dirinya sendiri. Daniel Dhakidae
Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Sebuah Pengantar Ismid Hadad
Hasil kajian ilmiah membuktikan aktivitas manusia menyebabkan perubahan iklim. Sayangnya, isu ini dianggap masalah teknis lingkungan belaka, yang tidak berkaitan dengan soal pembangunan. Sumber energi seperti batu bara, minyak dan gas bumi masih menjadi andalan. Kegiatan konversi hutan dan lahan gambut masih terus berlangsung. Merekalah penyumbang emisi karbon terbesar yang menimbulkan pemanasan global. Tulisan ini merupakan pengantar untuk memahami tantangan perubahan iklim dan dampak pemanasan global, serta bagaimana langkah yang perlu dilakukan di tingkat nasional maupun global untuk mengatasi kedua fenomena tersebut.
P
erubahan iklim merupakan tantangan multidimensi paling serius, kompleks dan dilematis yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21, bahkan mungkin hingga abad ke-22. Tak ada satu negara atau kelompok masyarakat di dunia ini mampu menghindar, apalagi mencegah terjadinya ancaman terhadap peradaban bangsa tersebut. Seberapa besar dan sekuat apa pun kemampuan suatu bangsa, tak akan ada yang sanggup mengatasi sendiri tantangan perubahan iklim dan pemanasan global yang terjalin erat dengan perilaku dan gaya hidup manusia, keputusan politik, pola pembangunan, pilihan teknologi, kondisi sosial ekonomi, kesepakatan internasional. Dampak negatifnya cepat meluas dari tingkat global hingga ke tingkat lokal yang terpencil sekalipun.
Ketika suhu bumi semakin panas, pola curah hujan berubah drastis, iklim dan cuaca menjadi lebih ekstrem, seringnya timbul bencana kekeringan, badai, dan banjir, maka gelombang hawa panas (heat waves) dan kebakaran hutan makin banyak dan meluas. Pada suhu bumi yang mencapai titik panas tertentu, bongkahan es di kutub dan salju di puncak gunung dapat mencair dan menimbulkan gejala pemekaran air laut; permukaan laut naik dengan kemampuan menenggelamkan dataran rendah, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat penghuni di negara-negara sedang berkembang. Puluhan juta rakyat miskin yang rentan di negara-negara kekurangan air bersih itu makin terancam oleh gagalnya panen hasil pertanian, merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani, kebun dan perikanan, serta meningkatnya
4
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
gangguan kesehatan, kurang gizi, bencana kelaparan, dan wabah penyakit. Sebenarnya, cuaca dan iklim di bumi ini sering berubah secara musiman, tahunan, dan sepuluh tahunan, yang berlangsung secara alamiah. Akan tetapi, cuaca ekstrem itu makin sering terjadi dibanding sebelumnya, dan diperkirakan akan terus terjadi dalam jangka panjang. Dari hasil kajian para ilmuwan yang tergabung dalam Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC), disimpulkan bahwa berubahnya iklim yang semakin sering terjadi dalam 150 tahun terakhir ternyata bukan hanya karena proses alamiah saja, melainkan karena pengaruh kegiatan atau intervensi manusia. Ulah manusia (anthropogenic intervention) itulah yang memicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim menjadi lebih ekstrem, terutama aktivitas yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil (minyak bumi, gas bumi, dan batu bara) dan juga kegiatan pembabatan hutan dan alih guna lahan yang mengakibatkan pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara, dan menumpuk di lapisan atmosfer yang membuat bumi semakin panas. Karena itu, perubahan iklim diartikan sebagai berubahnya iklim di bumi yang, langsung ataupun tidak langsung, diakibatkan oleh aktivitas manusia. Kegiatan tersebut menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global, selain juga terjadi variabilitas iklim alamiah yang teramati dalam kurun waktu (panjang).
Pemanasan Global: Dampak dan Konsekuensinya Kegiatan manusia di bidang industri dan transportasi modern yang berlangsung sejak Revolusi Industri di Eropa Barat itu menghasilkan emisi gas buangan industri dan kendaraan bermotor yang menumpuk di udara selama bertahun-tahun. Akumulasi bahan pencemar di atmosfer berupa gas-gas rumah kaca (GRK) kemudian mengakibatkan terjadinya fenomena pemanasan global. Di antara gas-gas rumah kaca yang terpenting adalah karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), dan klorofluorokarbon (CFC). Semua menyumbang pada proses radiasi sinar matahari yang dipancarkan/dipantulkan bumi, sehingga suhu atmosfer permukaan bumi makin hangat dan memanas—biasa disebut proses pemanasan global— serta menyebabkan iklim berubah secara ekstrem. Pemanasan global memang terjadi berangsur-angsur melalui proses selama ratusan bahkan ribuan tahun, tetapi dampaknya sudah kita rasakan di sini dan sekarang. Selama hampir satu juta tahun sebelum zaman industri, konsentrasi gas CO2 di atmosfer berkisar hanya sekitar 170 sampai 250 ppm (ppm= parts per million by volume of CO 2 equivalent). Ketika Revolusi Industri dimulai di Inggris sekitar tahun 1850, konsentrasi CO2 di atmosfer baru sebesar 280 ppm, dan rata-rata temperatur bumi naik sekitar 0,74 derajat Celcius dibandingkan dengan zaman praindustri. Namun, 160 tahun kemudian, menurut para ilmuwan IPCC, akumulasi CO 2 di atmosfer diperkirakan sudah mencapai sekitar 390 ppm, terutama karena pembakaran bahan bakar fosil dan sebagian karena emisi pertanian dan alih guna lahan hutan. Jika pola produksi, konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk bumi dibiarkan tak terkendali seperti sekarang, maka 100 tahun ke depan konsentrasi CO2 diperkirakan akan naik menjadi 580 ppm atau lebih dua kali lipat dari zaman praindustri. Akibatnya, dalam kurun waktu 50-100 tahun ke depan, jika manusia tidak mengambil tindakan apa pun untuk menstabilisasi GRK di atmosfer, suhu rata-rata bumi akan naik sebesar 1,1 hingga 5 derajat Celcius. Panas yang dahsyat akan membawa dampak luar biasa terhadap berbagai sektor kehidupan manusia, flora dan fauna, serta makhluk bumi lainnya. Ancaman kekeringan, kebakaran hutan, terganggunya ekosistem, ketersediaan air, punahnya aneka ragam sumber daya hayati, merosotnya produksi pangan, penyebaran hama dan penyakit (tanaman dan manusia), bahaya paceklik dan kelaparan, konflik sosial, adalah beberapa contoh dampak sosial ekonomi T O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
dan lingkungan yang ditimbulkan oleh peningkatan suhu bumi sepanas itu. Karena itu, sesuai dengan hasil kajian IPCC, perjuangan masyarakat internasional melalui Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan BangsaBangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) dan Protokol Kyoto yang berlangsung sejak 17 tahun lalu adalah mengusahakan supaya kenaikan suhu panas bumi jangan sampai melebihi ambang batas 2 derajat Celcius. Jika kenaikan temperatur bumi dibatasi tidak lebih dari 2 derajat Celcius di atas level zaman praindustri, konsentrasi gas CO 2 di atmosfer harus bisa ditekan dan dibatasi pada tingkat maksimum 450 ppm, dengan puncak pencapaian tak lebih dari tahun 2020. Artinya, masyarakat penghuni bumi ini harus sanggup menghentikan atau bahkan menurunkan emisi karbon hingga 80 persen pada tahun 2020 dari level emisi tahun 1990. Bahkan, negara-negara kepulauan kecil di Samudera Pasifik yang tergabung dalam Alliance of Small Island Developing States (AOSIS) mencanangkan target kenaikan suhu maksimum 1,5 derajat Celcius dan konsentrasi CO2 di atmosfer tidak lebih dari 350 ppm harus tercapai pada tahun 2015. Itu berarti semua negara harus bisa menurunkan emisi karbon sebesar 100 persen pada 2015. Jika suhu bumi dibiarkan naik sampai 2 derajat Celcius pada 2020, diperkirakan hampir separuh dari 40 negara kepulauan kecil itu akan tenggelam, sirna ditelan samudera dan hilang dari peta bumi. Sesungguhnya, tenggelam dan sirnanya negara-negara kepulauan hanya sebagian kecil saja dari wujud ancaman perubahan iklim terhadap peradaban bangsa di dunia modern abad ke-21 ini. Sedemikian jauh, dalam, dan luasnya tantangan perubahan iklim itu mengancam seluruh aspek dan unsur kehidupan manusia dan makhluk hidup di muka bumi ini. Namun demikian, karena faktor penyebab terbesarnya sudah diketahui, yaitu kegiatan manusia yang mencemari alam, maka proses dan dampak pemanasan global itu seharusnya bisa dikurangi, T O P I K
5
ditunda, atau dihentikan sama sekali. Artinya, manusia yang hidup di bumi ini seharusnya bisa dan segera bertindak melakukan upaya penyelamatan bumi dari pemanasan global dan mencegah terjadinya pemusnahan peradaban bangsa di dunia.
Dari Mana Sumber Emisi Karbon Itu? Seperti telah disebutkan, konsentrasi gas CO2 naik drastis sejak Revolusi Industri, dan meningkat lagi dalam periode 50 tahun terakhir. Setelah abad ke-20, konsentrasi GRK khususnya CO2 naik dari 280 ppm menjadi 387 ppm – atau mengalami peningkatan hampir 40% – terutama karena kegiatan manusia yang menggunakan energi dengan bahan bakar fosil berbasis karbon, dan sebagian kecil karena kegiatan manusia membabat hutan dan mengonversi lahan hutan yang berakibat pelepasan emisi CO2 ke udara. Pembakaran bahan energi dari minyak, gas, dan batu bara, dewasa ini menyumbang sekitar 80 persen dari emisi karbon (CO2) yang dilepaskan ke udara setiap tahun, sementara kegiatan alih guna lahan hutan dan pertanian menyumbang sekitar 20 persen. Besarnya emisi karbon dari bahan bakar energi ditentukan oleh jumlah konsumsi energi dan intensitas penggunaan energi tersebut. Pada umumnya, jumlah konsumsi energi naik sebanding dengan peningkatan jumlah dan pendapatan penduduk, serta tergantung struktur ekonomi, iklim, dan kebijakan ekonomi energi masing-masing negara. Demikian pula setiap negara memiliki intensitas penggunaan bahan energi yang berbeda, tergantung besar kecilnya sumber daya energi dan kebijakan untuk memanfaatkan sumber daya energi. Menurut laporan Bank Dunia, sejak 1970 jumlah konsumsi energi dunia naik dua kali lipat. Jika digabung dengan intensitas penggunaan energi yang tetap tinggi, kombinasi keduanya kian melipatgandakan jumlah emisi karbon ke atmosfer dalam tempo 30 tahun belakangan.
6
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Siapa saja penyumbang emisi karbon terbesar penyebab pemanasan global? Menurut Bank Dunia, dua pertiga dari akumulasi gas CO2 di atmosfer terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil berasal dari dan dihasilkan oleh negara-negara industri maju. Kenyataan tak dapat dimungkiri, negara-negara industri maju itulah penyumbang emisi karbon terbesar dan karenanya paling bertanggung jawab sebagai pemicu pemanasan global dan perubahan iklim yang mengancam umat manusia dewasa ini. Di lain pihak, negara-negara berkembang hanya menyumbang sepertiga dari emisi CO2 yang berasal dari bahan energi, namun kecenderungan dan laju peningkatan konsumsi dan intensitas penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil di negara berkembang ternyata juga meningkat cukup pesat. Diperkirakan dalam 20 tahun mendatang hampir 90 persen dari kenaikan konsumsi energi global dengan menggunakan bahan bakar minyak bumi, gas bumi, dan batu bara, akan berasal dari negara-negara berkembang. Jika dihitung penggunaan energi per kapita mereka sebenarnya masih relatif rendah, namun jumlah penduduk negara berkembang jauh lebih besar dibanding penduduk negara maju. Dalam hal pemanfaatan energi berbahan bakar fosil secara global, sektor pembangkit tenaga listrik adalah penyumbang emisi GRK terbesar (26%), disusul sektor industri (19%) dan transportasi (13%), serta bangunan gedunggedung (8%). Sisanya adalah emisi berasal dari alih guna lahan hutan, pertanian, dan limbah sampah. Jika dilihat dari pengelompokan negara berdasarkan pendapatan, emisi GRK di negara-negara industri maju terkonsentrasi pada sektor pembangkit listrik dan transportasi; untuk negara-negara berpenghasilan rendah emisi terbesar berasal dari sektor pertanian dan alih guna lahan; negara-negara berpenghasilan menengah terutama berasal dari pembangkit listrik, industri, dan alih guna lahan. Khusus untuk emisi yang berasal dari alih guna lahan hutan, sebagian besar terpusat pada tiga sampai empat negara berkembang, di antaranya
Brasil dan Indonesia yang menyumbang separuh dari total emisi GRK yang berasal dari kegiatan alih guna lahan hutan.
Bagaimana Menanggulangi Perubahan Iklim? Perubahan iklim adalah fenomena global, baik dari sisi penyebab, konsekuensi maupun dampaknya, yang sangat terkait dengan aktivitas manusia di tingkat nasional dan lokal. Begitu pula sebaliknya. Penyebab pemanasan global yang memicu perubahan iklim adalah karena adanya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Akumulasinya kini telah mencapai tingkat yang membahayakan sistem iklim Bumi. Akibat atau dampak pemanasan global menyebar ke seluruh dunia. Gangguan terhadap sistem ekologi bumi yang ditimbulkan juga membawa perubahan pada cuaca, iklim, curah hujan, gelombang panas, dan berbagai gangguan alam lain yang bisa terjadi, dirasakan, dan diderita semua negara dan makhluk di bumi ini. Ada dua cara atau kunci utama untuk menanggulangi perubahan iklim, yaitu “mitigasi” dan “adaptasi”. Pertama, mitigasi untuk mencegah, menghentikan, menurunkan atau setidaknya membatasi pelepasan emisi gas buangan, gas pencemar udara, yang kini lazim disebut “gas-gas rumah kaca” di atmosfer. Upaya mitigasi yang bertujuan membatasi dan menurunkan emisi GRK dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan sumber daya energi yang banyak menghasilkan emisi CO 2 (disebut source) yang dihasilkan oleh pembakaran minyak bumi, batu bara dan gas bumi untuk kegiatan produksi, industri, transportasi, pembangkitan tenaga listrik, penerangan gedung, bangunan, pusat-pusat belanja, jalan raya serta aktivitas pembangunan lainnya. Upaya mitigasi bisa juga dilakukan dengan cara menambah, memperkuat atau memperluas sistem bumi yang berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan karbon secara alami (disebut sink), yaitu hutan dan lautan, agar emisi CO2 dan T O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
GRK yang terlepas di udara dapat ditangkap, diserap, dan disimpan kembali di dalam pepohonan, hutan, lahan gambut, dan, dalam kondisi tertentu, laut. Sebaliknya, apabila pohon ditebang, hutan dibabat, lahan gambut dikeringkan, serta mangrove (bakau), terumbu karang, dan padang lamun di pesisir dan laut dirusak, maka semua karbon yang tersimpan di perut bumi dan laut akan dilepaskan kembali sebagai emisi gas buang yang akan mencemari udara dan kembali menumpuk di atmosfer. Tujuan utama dari upaya mitigasi adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu dan membahayakan sistem iklim bumi. Karena itu, upaya mitigasi melalui penurunan emisi GRK harus dilakukan di tingkat nasional dan internasional dalam skala besar agar dapat membawa dampak atau hasil efektif secara global. Karena sumber historis penyebab konsentrasi GRK dan penyumbang GRK terbesar selama ini adalah negara industri maju, maka upaya mitigasi untuk menurunkan emisi GRK pada dasarnya merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara-negara industri maju — dalam lampiran dokumen UNFCCC disebut negara-negara Annex I. Selain itu, hanya negara-negara kaya yang T O P I K
7
tercantum dalam daftar Annex I hingga kini memiliki kemampuan teknologi dan sumber daya ekonomi untuk menerapkan sistem industri, transportasi, dan pola pembangunan rendah karbon, sehingga penggunaan energi minyak, batu bara dan gas bumi bisa dikurangi secara signifikan dan diganti atau diimbangi dengan sumber-sumber energi terbarukan seperti geotermal, energi surya (photovoltaic), energi angin, tenaga mikro-hidro, biomassa, dan sebagainya. Kunci kedua untuk menanggulangi perubahan iklim adalah adaptasi. Artinya upaya untuk menyesuaikan diri, melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan yang terjadi. Bagaimanapun juga, dampak perubahan iklim tak mungkin lagi bisa dihindari, apalagi dicegah. Perubahan iklim dan pemanasan global adalah fenomena yang niscaya akan terjadi. Upaya adaptasi yang bisa dilakukan adalah dengan langkah-langkah antisipasi kapan dan di mana akan terjadi, kemudian memperkirakan apa, bagaimana, dan seberapa besar dampaknya, serta bagaimana mengurangi risiko dan menanggulangi dampak itu secara dini dan efektif sehingga tidak mengakibatkan bencana atau risiko kerugian lebih besar. Karena itu, langkah pertama adaptasi adalah dengan mengetahui “di
8
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
mana” lokasi dan “siapa” kelompok masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan atau daerah tertentu yang sangat rentan (vulnerable) terhadap gangguan alam dan perubahan iklim. Penanggulangan perubahan iklim melalui upaya adaptasi merupakan agenda prioritas utama bagi hampir semua negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Sebagaimana diketahui, lokasi geografis maupun kondisi sosial ekonomi penduduk beberapa negara berkembang sangat rentan terhadap gangguan alam dan cuaca seperti badai, banjir, kekeringan, tanah longsor, tsunami, dan kebakaran hutan. Sumber daya dan kemampuan mereka untuk merespons gangguan alam dan dampak perubahan iklim juga amat terbatas. Karena itu, bagi negara berkembang, program adaptasi untuk menanggulangi perubahan iklim harus terintegrasi dalam program untuk meningkatkan ketahanan (resilience) ekonomi, sosial dan lingkungan nasional dengan menanggulangi kemiskinan, kekurangan gizi dan pangan, peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat, dan sebagainya. Pada hakikatnya, program adaptasi harus sejalan dengan upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pendek kata, kenaikan pertumbuhan ekonomi, perbaikan kesejahteraan dan keadilan sosial, serta perlindungan ekologi dan pelestarian fungsi lingkungan, perlu dilakukan serentak dan seimbang dengan memperhitungkan dampak perubahan iklim dalam strategi pencapaiannya. Kerangka program adaptasi efektif umumnya memiliki empat unsur penting, yaitu (1) perkiraan dan peta kerawanan/kerentanan sosial dan lingkungan (vulnerability assessment and mapping) untuk mengetahui kondisi dan memperkirakan risiko dampak, di mana daerah/kawasan rawan, dan siapa saja kelompok masyarakat yang rentan terhadap potensi bencana alam dan lingkungan yang akan terjadi; (2) upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan (public awareness and capacity building), khususnya di daerah dan sektor rawan
bencana, agar mampu mengantisipasi, merencanakan program dan menanggulangi dampak perubahan iklim yang akan terjadi; (3) penyusunan atau reformasi kebijakan publik serta penguatan lembaga-lembaga publik yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan mengelola sumber daya alam dan lingkungan secara lestari, serta mampu menanggulangi masalah perubahan iklim secara efektif; dan (4) membangun sistem ekonomi dan strategi pembangunan rendah karbon yang memberi insentif bagi investasi prasarana dan program efisiensi energi, pengelolaan hutan lestari, dan pengembangan sumber-sumber energi terbarukan.
Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perubahan iklim sangat erat terkait dengan kegiatan manusia yang menggunakan sumbersumber energi tidak terbarukan – minyak bumi, gas bumi, dan batu bara – serta pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti tanah, hutan, dan air, tanpa memedulikan daya dukung lingkungan dan kelestarian ekosistem. Kendati disebabkan oleh dan berdampak pada kondisi sosial ekonomi, namun perubahan iklim selama ini hanya dianggap sebagai masalah geofisika dan teknis lingkungan belaka; tidak ada kaitannya dengan urusan pembangunan ataupun kebijakan publik. Masalah perubahan iklim seolah-olah hanya menjadi perhatian dan urusan ilmuwan fisika, ahli cuaca, dan pakar lingkungan saja. Di sisi lain, upaya pengurangan emisi GRK oleh negara maju dan negara berkembang masih lebih banyak mengandalkan pendekatan teknologi dan ilmu pengetahuan alam. Mereka belum menyertakan kebijakan pembangunan sosial ekonomi serta pendekatan politik dan kultural yang diperlukan untuk mengatasi masalah kompleks tersebut secara komprehensif. Terlalu sedikit yang menyadari bahwa pola pembangunan yang hanya mengikuti pola konT O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
sumsi dan produksi tanpa memedulikan daya dukung lingkungan dan kelestarian ekosistem alamiah (unsustainable pattern of development) itulah yang terutama merupakan faktor penyebab pemanasan global dewasa ini. Karena itu, bagaimana aktor-aktor pembangunan akan mengatur dan menerapkan pola dan sistem pembangunan di tingkat internasional, nasional, dan lokal, akan sangat menentukan seberapa besar tingkat ketahanan sistem sosial terhadap perubahan iklim di masa depan. Perubahan iklim pasti akan berdampak langsung, terutama pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang sensitif terhadap perubahan cuaca seperti pertanian, perikanan, dan kesehatan, serta membawa akibat tidak langsung pada masalah kemiskinan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan sebagainya. Pertanyaannya, apakah kita akan terus membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memakai cara dan model pembangunan konvensional, yaitu tetap menggunakan sumber-sumber energi padat karbon yang mencemari udara dan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa batas sehingga merusak kelestarian bumi dan keseimbangan alam semesta? Perlu pula diingat bahwa perubahan iklim besar kemungkinan akan memperlebar kesenjangan sosial dan ketidakadilan internasional, terutama karena tidak meratanya bencana dan dampak kerusakan lingkungan fisik yang diakibatkannya. Gejala pemanasan global dan perubahan iklim melanda semua negara tanpa kecuali, namun negara-negara berkembang dan kelompok masyarakat miskin dan rentan di Asia, Afrika, dan kepulauan di Samudera Pasifik akan paling banyak terkena dampak dan menjadi korban. Bahkan, diperkirakan 75 sampai 80 persen biaya kerusakan akibat perubahan iklim harus dipikul oleh negara-negara berkembang. Perekonomian negara-negara berkembang yang sangat tergantung pada pengelolaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan tentu saja peka terhadap perubahan iklim. Bagian terbesar penduduk negara berT O P I K
9
kembang juga hidup di daerah pesisir pantai dan kawasan rawan secara fisik. Kondisi sosial ekonomi mereka sangat rentan, sementara kemampuan finansial dan kelembagaan negara berkembang sangat terbatas. Bagaimanapun juga, penggunaan anggaran dan sumber daya negara berkembang yang serba pas-pasan itu harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, yaitu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, meningkatkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Apabila sumber daya amat terbatas itu tiba-tiba harus dialihkan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, dengan sendirinya nasib rakyat di negara-negara relatif miskin itu akan lebih sengsara lagi. Karena itu, perlu ada pola dan sistem pembangunan alternatif yang mampu membangun atau setidaknya meningkatkan kapasitas masyarakat dan negara-bangsa untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim dan juga menentukan seberapa besar emisi GRK yang boleh dan bisa ditoleransi oleh masing-masing negara, sehingga upaya pengurangan emisi karbon secara kumulatif dapat memberi dampak signifikan terhadap penurunan suhu panas global dalam 10 -15 tahun mendatang. Hal lain tidak kalah pelik adalah upaya untuk menanggulangi ancaman perubahan iklim – baik mencegah dan mengurangi emisi GRK (mitigasi) maupun upaya mengendalikan dan menanggulangi dampaknya (adaptasi) – membutuhkan biaya ekonomi dan sumber daya luar biasa besar dan mahal. Tidak semua negara industri maju siap mengatasi masalah itu, karena upaya mitigasi untuk menurunkan emisi GRK membutuhkan biaya sangat besar, bahkan untuk ukuran negara kaya seperti AS, Inggris, Jerman, Perancis, dan Jepang sekalipun. Apalagi untuk negara berkembang. Mereka pasti tidak mampu menanggung beban biaya ekstra yang besarnya bisa menelan pendapatan nasional negara bersangkutan, yang berarti harus mengorbankan upaya penanggulangan kemiskinan yang menjadi kewajiban utama negara berkembang. Padahal, penyebab awal munculnya emisi
10
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
GRK dan pemanasan global bukan karena ulah negara berkembang, melainkan negara-negara industri maju yang sejak zaman Revolusi Industri telah melakukan dan menikmati hasil-hasil pembangunan ekonomi dengan proses industrialisasi yang menghasilkan akumulasi gas buangan di atmosfer. Ruang atmosfer tak cukup nyaman lagi untuk dinikmati negara berkembang yang baru belakangan memulai kegiatan pembangunan. Masalah di atas menghadapkan banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pilihan dilematis dalam memutuskan kebijakan pembangunan dan menentukan keputusan politik dalam dan luar negeri. Di sisi lain, menurut hasil kajian Lord Stern dan beberapa studi ekonomi, negara-negara maju dan berkembang harus segera melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Bila langkah dan tindak mengurangi emisi GRK ditunda-tunda, maka biaya-biaya ekonomi dan sosial yang harus dikeluarkan setiap negara akan berlipat sepuluh kali lebih besar, jika aksi pengurangan emisi itu baru dilakukan lima tahun akan datang. Jadi, kebijakan dan praktik pembangunan nasional tak bisa lain dan tak mungkin menghindar dari keharusan untuk merumuskan kebijakan publik; langkah-langkah aksi penanggulangan perubahan iklim harus dilaksanakan secara komprehensif dan efektif mulai dari sekarang, tidak perlu menunggu. Masalahnya, perubahan iklim adalah gejala dan isu global yang mustahil diatasi di tingkat nasional, apalagi oleh satu atau dua kelompok negara saja. Diperlukan kesepakatan dan aturan yang mengikat secara internasional, baik untuk penurunan tingkat emisi maupun peningkatan upaya adaptasi.
Konvensi PBB dan Protokol Perubahan Iklim Untuk itulah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyusun Konvensi Perubahan Iklim yang disahkan KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992. Tujuan Konvensi atau per-
janjian multilateral itu adalah “menstabilkan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim”. Tingkat konsentrasi emisi yang hendak distabilkan harus dicapai dalam “suatu kerangka waktu yang memungkinkan ekosistem beradaptasi secara alamiah dengan perubahan iklim, yang memberi kepastian bahwa produksi pangan tidak terganggu, dan yang memungkinkan pembangunan ekonomi berlangsung secara berkelanjutan”. Konvensi PBB itu memegang dan menerapkan prinsip bahwa semua negara memiliki tanggung jawab bersama mencegah perubahan iklim sesuai dengan kapasitas masing-masing dan prinsip keadilan (common but differentiated responsibilities and respected capabilities). Atas dasar prinsip itu, Konvensi Perubahan Iklim telah menyepakati bahwa negara-negara industri maju harus membuat komitmen, memimpin, dan mengambil langkah lebih dahulu dalam hal pengurangan emisi GRK. Negara industri maju Eropa, negara-negara bekas Uni Soviet, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru, adalah negaranegara yang masuk dalam daftar Annex I Konvensi Perubahan Iklim. Mereka berkewajiban mengurangi emisi karbon masingmasing pada akhir milenium (tahun 2000), sehingga emisi kolektif mereka berada di bawah tingkat emisi tahun 1990. Untuk mewujudkan tujuan konvensi dalam kerangka waktu dan sasaran penurunan emisi yang disepakati bersama, Konvensi Perubahan Iklim kemudian dilengkapi dengan suatu perangkat atau aturan tata cara pelaksanaan konvensi (disebut Protokol Kyoto) yang lebih spesifik dan mengikat secara hukum. Sesuai dengan prinsip common but differentiated responsibilities, Protokol Kyoto memuat pernyataan komitmen negara-negara industri maju (Annex I) untuk mengurangi emisi GRK kolektif mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai pada periode 2008-2012. Negara-negara berkemT O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
bang tidak memiliki kewajiban atau komitmen menurunkan emisi pada periode tersebut, namun perlu menerapkan pola pembangunan berkelanjutan untuk mencegah terjadinya kenaikan emisi GRK di negara masing-masing. Untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi negara maju, Protokol Kyoto menyediakan tiga macam instrumen bersifat fleksibel, yaitu (1) Joint Implementation (JI); (2) Clean Development Mechanism (CDM); dan (3) Emission Trading Scheme (ETS). Semua skema penurunan emisi GRK itu berlaku sampai dengan 2012, yaitu tahun berakhirnya Protokol Kyoto. Sebagaimana diketahui, protokol pelaksanaan perjanjian tentang perubahan iklim ditandatangani di Kyoto, Jepang, pada 1997 dan berlaku sejak 2005 setelah diratifikasi lebih dari 130 negara. Namun, Protokol itu tidak diratifikasi Pemerintah Amerika Serikat (dan Australia), sehingga sampai kini AS tidak terikat dengan ketentuan Protokol Kyoto. Kendati demikian, tiga instrumen Protokol Kyoto telah banyak digunakan dan berhasil menurunkan emisi karbon negara-negara yang telah ataupun belum meratifikasinya. Instrumen Joint Implementation memungkinkan negara-negara Annex I melaksanakan kewajiban, selain dari upaya sendiri untuk menurunkan emisi di dalam negeri, juga bisa menjalin kerja sama dengan sesama negara maju dalam pelaksanaan proyek bersama untuk menurunkan emisi GRK mereka. Emission Trading Scheme merupakan mekanisme pertukaran atau perdagangan karbon yang bisa digunakan negara maju untuk mengurangi emisi karbon di negara sendiri dengan cara “membeli” jatah emisi GRK negara maju lain yang belum terpakai. Sedangkan Clean Development Mechanism merupakan satu-satunya instrumen yang memungkinkan negara berkembang bisa ikut serta dalam kegiatan penurunan emisi GRK melalui proyek bantuan kerja sama negara maju dengan negara berkembang di bidang efisiensi energi atau pengembangan energi terbarukan, misalnya. T O P I K
11
Hasilnya bisa digunakan negara maju untuk memperoleh sertifikat (kredit) penurunan emisi karbon negara sendiri. Ketiga mekanisme Protokol Kyoto itu, khususnya instrumen emission/carbon trading dan CDM, banyak mendorong berkembangnya berbagai jenis program dan proyek penurunan emisi GRK, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Selain itu, instrumen tersebut juga menciptakan pasar dan bisnis baru yang disebut “pasar perdagangan karbon” (carbon markets) dan “pembiayaan karbon” (carbon finance) dengan volume transaksi bisnis global mencapai triliunan dolar AS. Adanya pasar karbon memberi peluang besar bagi kalangan bisnis swasta untuk ikut serta dalam transaksi perdagangan emisi GRK secara lokal ataupun global, sekaligus menghasilkan pendapatan (revenue) bagi korporasi maupun negara. Dewasa ini pasar karbon berkembang menjadi sumber pendanaan penting untuk membiayai berbagai upaya penurunan emisi GRK; lebih meringankan beban anggaran pemerintah negara-negara industri maju dalam memenuhi komitmen dan kewajibannya.
Mengapa Emisi Karbon Tetap Tinggi? Sekalipun telah ada Konvensi PBB dan Protokol Kyoto, namun emisi CO2 di atmosfer saat ini masih belum menunjukkan tanda penurunan, bahkan diperkirakan 30 persen lebih tinggi ketimbang saat Konvensi Perubahan Iklim itu ditandatangani belasan tahun silam. Menurut perhitungan terakhir, konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lain di atmosfer tahun 2009 telah mendekati angka 430 ppmv. Bila dibiarkan berlanjut tanpa upaya mitigasi yang memadai, laju kenaikannya bisa menjadi tiga kali lipat pada akhir abad ke-21. Ini berarti mendekati 50 persen risiko kenaikan suhu global pada 5 derajat Celcius. Dengan kondisi suhu global sepanas itu pasti akan cepat melelehkan lapisan es di puncak gunung atau kutub bumi, menaikkan semua permukaan air
12
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
laut, membawa bencana kekeringan, banjir, paceklik pangan, dan sederet bencana lain. Ada empat penyebab utama mengapa emisi karbon global tetap tinggi, sekalipun telah ada perjanjian internasional. Pertama, karena negara penghasil/pelepas emisi karbon terbesar dunia, yaitu Amerika Serikat, sampai sekarang enggan meratifikasi perjanjian Protokol Kyoto. Australia yang juga tercatat sebagai negara penghasil emisi per kapita terbesar baru dua tahun terakhir menerima dan bersedia mengesahkan Protokol Kyoto. Kedua, ada beberapa negara Annex I sudah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, namun gagal memenuhi kewajiban atau tidak berhasil menurunkan emisi GRK-nya sesuai dengan target yang ditentukan. Emisi karbon negeri Kanada, misalnya, hingga tahun 2007 masih 29 persen di atas level emisi tahun 1990. Begitu pula Spanyol yang masih 57 persen di atas level emisi tahun 1990. Beberapa negara bekas Uni Soviet dan negara-negara sosialis Eropa Timur yang semula masuk dalam kelompok negara pencemar/pelepas emisi tinggi, sebagian besar industri berat mereka yang menggunakan teknologi “kuno dan kotor” bangkrut setelah runtuhnya Tembok Berlin. Namun, penurunan emisi karbon akibat rontoknya kegiatan industri di negara-negara itu tidak serta merta mengurangi emisi karbon di Benua Eropa. Banyak negara maju Eropa Barat anggota Uni Eropa yang belum berhasil mencapai target penurunan emisi kemudian
berlomba-lomba “memborong” pembelian jatah emisi GRK negara-negara bekas Uni Soviet yang tak terpakai itu (Russian hot air) melalui sistem offset dalam perdagangan karbon, terutama menjelang berakhirnya Protokol Kyoto 2012. Ketiga, negara-negara kaya di Eropa dan Amerika banyak yang memindahkan lokasi atau “mengekspor” sebagian pabrik dan industrinya yang “kotor” ke negara-negara sedang berkembang. Industri baja, semen, mobil, motor, kulkas, komputer, dan lain-lain perangkat kehidupan modern yang proses produksinya menyebabkan polusi/pencemaran lingkungan di negara-negara berkembang ternyata sekarang merupakan hasil produksi China, India, Brasil atau negara berkembang lainnya. Emisi GRK mereka tidak dibatasi, karena menurut ketentuan Konvensi, negara-negara sedang berkembang tersebut memang tidak berkewajiban menurunkan emisi karbon. Keempat, negara-negara sedang berkembang yang lebih maju seperti China, India, Brasil, Korea Selatan, Meksiko, Afrika Selatan, bahkan Indonesia, dalam tempo lima sampai sepuluh tahun setelah berlakunya Protokol Kyoto (1998), ternyata mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat. Karena sebagian besar ditopang oleh penggunaan energi berbahan bakar fosil, laju pertumbuhan emisi GRK negara-negara tersebut juga naik dengan cepat. Namun, karena mereka tidak termasuk Annex I dalam Konvensi Perubahan Iklim, tidak ada pembatasan besarnya emisi GRK yang bisa dilepaskan ke atmosfer, sehingga emisi karbon global bukannya berkurang tapi malah semakin meningkat. Hal terakhir itulah yang banyak dipersoalkan negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, dalam forum konvensi dan perundingan internasional tentang perubahan iklim yang cenderung menolak memperpanjang atau memperbarui Protokol Kyoto, serta menginginkan dihapuskannya pembedaan antara negara-negara Annex dan non-Annex dalam konvensi internasional. T O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
Bali Roadmap dan Bali Action Plan Pada akhir 2007, sekitar 189 perwakilan pemerintah negara seluruh dunia berkumpul dalam Conference of the Parties (COP-13) UNFCCC di Nusa Dua, Bali, untuk membahas kesepakatan baru menjelang berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012, supaya peningkatan suhu panas bumi bisa segera dikendalikan. Pada awalnya, sebelum konferensi di Bali, muncul dua pendapat berbeda, bahkan bertentangan, di antara negara maju (Annex I) dengan negara-negara (sedang) berkembang (non-Annex). Negara-negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok 77 dan China berpendapat bahwa negara-negara maju harus segera memenuhi komitmen dan kewajiban menurunkan emisi GRK sesuai target kuantitatif dan target waktu yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto, supaya suhu panas bumi tidak bertambah 2 derajat Celcius pada 2010. Sebaliknya, negara-negara maju, termasuk AS yang tidak terikat Protokol Kyoto, berpendapat bahwa upaya penurunan emisi sebaiknya menunggu sampai ada bukti-bukti keilmuan yang cukup tentang penyebab pemanasan global, dan juga sampai adanya teknologi yang lebih murah agar tidak menambah beban ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis. Dengan kata lain, negara-negara Annex I cenderung hendak mengganti Protokol Kyoto dengan rezim perjanjian internasional baru yang dianggap lebih adil. Konferensi COP ke-13 di Bali akhirnya menyepakati “jalan tengah” yang bisa menjembatani dua kubu pandangan yang sangat bertolak belakang di antara negara-negara Utara dengan Selatan. Fokus pertemuan di Bali lebih ditujukan untuk memecahkan berbagai isu jangka panjang, yaitu bagaimana mewujudkan rezim perjanjian iklim baru setelah berakhirnya Protokol Kyoto. Namun demikian, ada beberapa isu mendesak yang belum terselesaikan selama periode Protokol 2008-2012, yaitu belum terpenuhinya komitmen dan target penurunan T O P I K
13
emisi negara-negara Annex I serta kejelasan arah dan pedoman penyelesaiannya. Hasil negosiasi COP-13 di Bali akhirnya mengadopsi dua kesepakatan penting, yaitu (1) Bali Roadmap dan (2) Bali Action Plan. Bali Roadmap adalah kesepakatan Para Pihak mengenai proses selama dua tahun (20082009) tentang bagaimana mengatasi perbedaan dalam cara pendekatan dan wadah perundingan di antara negara berkembang dengan negara maju. Di dalam negara maju ada negara penting seperti Amerika Serikat yang anggota Konvensi, tetapi berada di luar perjanjian Protokol Kyoto. Untuk itu disepakati pembentukan dua jalur (track) negosiasi. Jalur pertama berada di bawah Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim untuk pembahasan dan negosiasi isu-isu jangka panjang pasca-2012, yang dilakukan melalui wadah kelompok kerja sama jangka panjang atau Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA). Sementara jalur kedua berada di bawah perjanjian Protokol Kyoto yang membahas dan menegosiasi penyelesaian komitmen selanjutnya bagi negara maju yang masuk dalam Annex I sesuai dengan ketentuan perjanjian Protokol Kyoto. Wadahnya adalah kelompok kerja komitmen Annex I atau Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties (AWG-KP). Kedua jalur perundingan akan berjalan paralel selama dua tahun dan diharapkan dapat menyimpulkan hasil negosiasi pada Konferensi COP-15 dan Pertemuan Protokol Kyoto ke-5 (CMP-5) di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009. Kalau Bali Roadmap menentukan proses dan jalur perundingan, maka Bali Action Plan merupakan hasil kesepakatan Para Pihak mengenai substansi dan arah masa depan perundingan perubahan iklim yang diputuskan COP-13 di Bali. Bali Action Plan (BAP) memuat rencana tindak (action plan) untuk membentuk kelompok kerja sama jangka panjang (AWGLCA) dengan mandat menanggulangi perubahan iklim tidak hanya dengan mitigasi dan adaptasi saja, tetapi juga melalui empat elemen atau pilar utama kerja sama global berjangka
14
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
panjang guna mengurangi pemanasan global yang disepakati Konvensi. Keempat elemen – mitigasi, adaptasi, pendanaan, dan alih teknologi (termasuk pengembangan kapasitas) — merupakan satu paket aksi bersama di masa depan. Untuk itu BAP menyepakati pentingnya upaya mewujudkan ”visi bersama” mengenai aksi kerja sama berjangka panjang (a shared vision for a long-term cooperative action), termasuk bagaimana mencapai tujuan akhir Konvensi dalam menurunkan secara signifikan emisi GRK dan suhu panas bumi pada 2050. Visi bersama itulah yang diharapkan dapat dituangkan dalam suatu agreed outcome (hasil akhir yang disepakati bersama) yang seharusnya ditetapkan oleh semua Pihak pada COP-15 di Kopenhagen. Ditambahkannya dua elemen baru, yaitu pendanaan dan alih teknologi (termasuk pengembangan kapasitas) sebagai satu paket upaya penanggulangan perubahan iklim dalam satu “visi bersama” negara-negara maju dan berkembang itu adalah langkah kemajuan yang diperoleh negara berkembang dalam perundingan di Bali. Hal ini sangat penting, karena tanpa adanya alih teknologi dari negara maju dan tambahan pendanaan yang memadai, negara-negara berkembang pasti tidak akan sanggup melakukan kegiatan mitigasi maupun adaptasi dengan sumber daya sendiri. Ada beberapa keputusan lain dalam BAP yang menjadi tonggak penting bagi negara berkembang dalam perjalanan Konvensi Perubahan Iklim menuju rezim perjanjian internasional baru. Di antaranya mengenai diterimanya upaya mencegah deforestasi sektor kehutanan, khususnya REDD-plus (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), sebagai mekanisme/instrumen yang diadopsi Konvensi dalam upaya mitigasi menurunkan emisi GRK negara-negara berkembang. Selain itu, masalah bagaimana mengukur keberhasilan Negara Pihak dalam melaksanakan komitmen, atau dikenal dengan kriteria “MRV” (Measurable, Reportable and Verifyable), juga menjadi isu dan perdebatan hangat. Kriteria “MRV” akhirnya disepakati untuk dima-
sukkan dalam ketentuan pelaksanan komitmen dan kewajiban mitigasi negara maju, serta kegiatan mitigasi sukarela negara-negara sedang berkembang. Berkaitan dengan yang disebut terakhir muncul istilah dan konsep NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions), yakni kegiatan mitigasi tingkat nasional yang patut dilakukan negara berkembang dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Negara maju bisa membantu negara berkembang dalam bentuk pendanaan, teknologi, dan pengembangan kapasitas, apabila pelaksanaannya bisa diukur, dilaporkan, dan diverifikasi (MRV) dengan benar.
Perubahan Iklim dan Emisi GRK di Indonesia Sebagai negara sedang berkembang yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan sektor pertanian, Indonesia amat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Karena itu, ketika suhu bumi kian memanas, curah hujan dan iklim berubah secara ekstrem, Indonesia termasuk negara yang diperkirakan menjadi “korban” dari perubahan iklim. Namun demikian, masih sulit diperkirakan seberapa besar dampaknya terhadap ekonomi dan lingkungan Indonesia. Di sisi lain, sebagai negara yang memiliki tutupan hutan dan lahan gambut terluas di Asia, Indonesia juga termasuk negara penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink) terbesar dunia. Sayangnya, karena besarnya luas kerusakan hutan serta pesatnya laju konversi hutan dan degradasi lahan hutan selama ini, Indonesia dikhawatirkan masuk dalam jajaran negara pelepas dan penyumbang karbon (carbon emitter) terbesar dunia. Pendek kata, perubahan iklim dan pemanasan global membuat Indonesia mempunyai potensi besar sebagai “korban” yang terkena banyak dampak negatif, sebagai penyumbang emisi gas GRK yang mencemari dunia, atau sebagai penyerap dan penyimpan karbon – sering disebut “paru-paru” dunia, bila tutupan hutannya tetap terjaga dan terhindar dari anT O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
caman kebakaran, deforestasi, dan degradasi hutan. Mana yang akan terjadi tergantung pada kebijakan atau tindakan mitigasi dan adaptasi apa yang akan ditempuh, serta mulai kapan dan seberapa jauh akan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat. Semakin dini dan cepat tindakan mengurangi emisi dan mengadaptasi perubahan iklim, semakin kecil potensi dampak dan korban yang terkena, dan semakin besar potensi hutan Indonesia berfungsi sebagai carbon sink, penyerap dan penyimpan karbon. Meski belum ada kepastian mengenai besaran emisi GRK Indonesia, perkiraan saat ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan dan alih guna lahan menyumbang emisi dengan jumlah lebih besar dibanding emisi dari sektor energi dan sektor lain. Besarnya emisi dari deforestasi, kebakaran hutan, konversi lahan hutan, dan lahan gambut, menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat emisi karbon cukup tinggi; Indonesia masuk dalam kategori negara yang perlu melakukan upaya mitigasi guna mencegah percepatan perubahan iklim. Profil emisi karbon Indonesia memang masih didominasi emisi dari sektor kehutanan, lahan gambut, limbah dan pertanian, namun seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi, emisi yang berasal dari sektor energi, industri, dan transportasi menunjukkan tren kenaikan cukup tinggi. Meningkatnya kebutuhan akan tenaga listrik, baik untuk industri, pusat-pusat belanja maupun rumah tangga, membuat emisi GRK dari pembakaran bahan bakar fosil akan bertambah dan semakin meningkat. Pertumbuhan sektor energi Indonesia masih tergantung pada pemakaian batu bara yang melepas emisi gas karbon dua kali lebih banyak dibanding emisi minyak dan gas bumi. Tingkat emisi karbon dari sektor energi dan listrik yang menggunakan BBM dan batu bara diperkirakan akan naik tiga kali lipat pada 2030 bila tidak ada upaya untuk mengurangi atau mengganti bahan bakar tersebut dengan sumber energi yang jauh lebih bersih dan ramah lingkungan. T O P I K
15
Sesungguhnya, Indonesia sangat kaya akan sumber-sumber energi terbarukan, terutama panas bumi (geotermal), tenaga air, energi surya, dan biomassa. Namun, sumber-sumber energi bersih yang berlimpah itu hingga kini belum banyak dimanfaatkan, apalagi dikembangkan dalam skala komersial. Indonesia sangat tergantung pada pemanfaatan minyak bumi (BBM) yang hingga kini masih disubsidi pemerintah. Selain merugikan perekonomian nasional karena menimbulkan distorsi harga, defisit fiskal, dan beban biaya anggaran tak terduga, ketergantungan sangat tinggi pada penggunaan BBM justru mendorong penggunaan energi dan listrik secara tidak efisien dan berlebihan. Subsidi BBM juga menghambat pengembangan sumber-sumber energi terbarukan. Potensi sumber-sumber energi terbarukan boleh dikatakan sangat besar, namun selama ini belum memperoleh banyak perhatian dan insentif dari pemerintah. Perkembangan renewable energy di Indonesia selalu dibiarkan terkendala oleh tingginya biaya investasi awal untuk teknologi, ketidakpastian peraturan, dan keterbatasan kapasitas kelembagaan. Padahal, di sanalah peluang terbesar Indonesia dalam menerapkan pola pembangunan rendah karbon.
Kebijakan dan Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia Dalam beberapa belas tahun terakhir, tanda-tanda dampak pemanasan global sudah mulai terlihat di Indonesia. Kita telah mengalami beberapa kali musim kemarau sangat panjang pada 1982-1983, 1987, 1991, 1997-98, dan 20022003. Selain menyebabkan gagal panen, musim kemarau amat panjang itu juga membuat puluhan ribu hektar sawah harus dipusokan, produksi gabah turun ratusan juta ton, dan merugikan petani Indonesia. Pemerintah yang pada 1984 telah mencapai swasembada beras kembali harus mengimpor beras dalam jumlah besar dari berbagai negara di Asia. Musim kemarau kering dan amat panjang itu juga se-
16
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
ring menimbulkan kebakaran hutan, di antaranya yang terbesar pada 1991 dan 19971998, yang mengakibatkan kerugian besar bukan hanya di sektor kehutanan saja, tetapi juga di sektor transportasi, perdagangan, dan pariwisata di Indonesia dan beberapa negara tetangga akibat tebalnya asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, Indonesia juga kian sering menyaksikan dan mengalami bencana alam dan bencana lingkungan yang terus meningkat seperti banjir besar, gempa bumi, tanah longsor, badai, angin topan dan gelombang tsunami di berbagai daerah. Musim kemarau panjang dan mulai sering terjadi, menurut beberapa pakar, disebabkan oleh fenomena El Nino, yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31 derajat Celcius yang membawa gelombang panas dan kekeringan di Indonesia. Selain itu, juga terjadi curah hujan tinggi yang disebabkan oleh fenomena La Nina, kebalikan El Nino, yakni gejala menurunnya suhu permukaan Samudera Pasifik yang membawa angin kencang dan awan hujan ke Australia dan Asia bagian selatan, termasuk Indonesia. Apakah kemarau panjang dan curah hujan tinggi di atas normal yang semakin sering terjadi merupakan kejadian alam biasa atau dampak dari pemanasan global? Hal ini belum bisa dijelaskan secara pasti. Namun, jika pemanasan global itu sungguh terjadi, maka yang akan kita alami adalah kemarau panjang dan curah hujan di atas normal dalam skala lebih besar dan lebih luas. Kerugian sosial ekonomi dan lingkungan yang dtimbulkan pasti jauh lebih besar. Perubahan iklim dan pemanasan global jelas membawa dampak ke semua sektor dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan serta keberlangsungan ekosistem tempat manusia, tumbuhan, hewan dan makhluk lain hidup di dalamnya. Pemerintah Indonesia kemudian mengambil sikap bahwa perubahan iklim adalah isu pembangunan, bukan isu lingkungan hidup semata. Karena itu, dalam pengelolaan dan pengendaliannya, semua pihak dan
pemangku kepentingan harus ikut terlibat, tidak bisa hanya pemerintah sendiri, dan tidak mungkin ditangani di tingkat lokal dan nasional saja, karena akar permasalahan berada di tataran global. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto masing-masing dengan UU No. 6/1994 dan UU No. 17/2004, kesadaran mengenai pentingnya upaya penanganan isu perubahan iklim dan kaitannya dengan keberhasilan pembangunan ekonomi belum mendalam dan meluas ke semua jajaran, baik pemerintah maupun masyarakat umum. Indonesia mulai bergerak lebih aktif di forum-forum internasional, khususnya sejak 2002 ketika ikut serta dalam persiapan dan menjadi pimpinan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, dan terutama menjelang persiapan COP-13 di Bali, Desember 2007. Di Bali tahun 2007 itulah peran Indonesia makin menonjol dalam diplomasi serta percaturan politik dan ekonomi internasional tentang perubahan iklim. Selain menjadi tuan rumah dan berhasil memfasilitasi pengorganisasian konferensi yang dihadiri lebih dari 10.000 orang peserta dari 189 negara dengan lancar, peran Indonesia sebagai Ketua COP-13 — Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar — juga dinilai sebagai fasilitator yang baik dalam mendekatkan perbedaan-perbedaan tajam yang muncul di antara negara berkembang dengan negara maju dan berhasil menelorkan Bali Action Plan yang sekarang menjadi salah satu tonggak historis acuan perundingan menuju rezim perjanjian iklim baru pasca-2012. Di samping itu, apabila selama 10 tahun lebih pertemuan Konvensi Perubahan Iklim hanya diurus dan dihadiri oleh para pejabat dan menteri lingkungan hidup, di Bali itu pula Indonesia memprakarsai dua forum pertemuan informal tingkat menteri di luar bidang lingkungan, yaitu keuangan dan perdagangan. PerT O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
temuan para menteri keuangan negara-negara maju dan berkembang yang juga dihadiri para petinggi Dana Moneter Internasionl (IMF), Bank Dunia (WB) dan Bank-bank Pembangunan Multilateral (MDB) itu dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Itu merupakan terobosan baru, karena memasukkan agenda “pendanaan” dalam isu perubahan iklim. Begitu pula pertemuan para menteri perdagangan. Pertemuan yang juga dihadiri pimpinan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan UNCTAD itu dipimpin Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, dan mendapat sambutan cukup baik karena memulai dialog substantif tentang kaitan isu kebijakan perdagangan dengan isu lingkungan hidup yang selama ini berjalan sendirisendiri. Indonesia selaku Ketua COP-13 terus melanjutkan peranan sebagai bagian dari Troika (tiga serangkai). Bersama Polandia selaku Ketua COP-14 dan Denmark selaku Ketua COP15, Indonesia diberi tugas oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk mengawal Bali Action Plan agar berhasil merintis a new and legally binding agreement pada COP-15 di Kopenhagen, Desember 2009. Sayangnya, harapan begitu tinggi di Bali ternyata harus kandas di Kopenhagen. Bagaimanapun juga, peristiwa di Bali akhir 2007 itu merupakan tonggak perjalanan Indonesia yang tak kalah penting bagi terciptanya momentum baru di dalam negeri. Sejak itu kesadaran, gerakan masyarakat, dan liputan media massa terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim makin gencar dan meluas, selain melahirkan serangkaian terobosan kebijakan, program, dan lembaga-lembaga baru yang menunjukkan peningkatan perhatian pemerintah dan alokasi sumber daya negara pada upaya penanggulangan perubahan iklim di Indonesia. Terbitnya dokumen Rencana Aksi Nasional untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-MAPI) kemudian diikuti pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang dipimpin langsung Presiden Republik Indonesia pada Juni 2008 menandai langkah awal perubahan kebijakan pemerintah T O P I K
17
yang menganggap perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan semata, tetapi juga menyangkut masalah pembangunan. Dengan bekal arah kebijakan baru itu, DNPI mulai melakukan kajian dan dialog lintas sektor agar kebijakan dan program pembangunan yang akan memasukkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak lagi dilakukan dengan pola konvensional atau “business as usual”, akan tetapi harus ada perubahan pendekatan yang menjamin terlaksananya pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia. Untuk itu, selain melihat kinerja pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan kenaikan Produk Domistik Bruto (PDB, Gross Domestic Product), hasil pembangunan juga harus dilihat dari turunnya tingkat emisi karbon (CO2) dalam mencapai tingkat PDB tersebut. Ukuran rendahnya kadar karbon (emisi GRK) merupakan salah satu syarat penting terlaksananya pembangunan berkelanjutan di masa depan. Karena itu, diperkenalkan pengertian “pembangunan rendah karbon” (low carbon development) sebagai alternatif pola pembangunan konvensional yang selama ini dilakukan dengan mengandalkan bahan bakar energi sarat emisi karbon. Langkah tersebut diteruskan oleh Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang pada tahun 2009-2010 mengeluarkan beberapa dokumen kebijakan. Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan bahwa isu perubahan iklim dan lingkungan hidup mulai masuk ke arus utama (mainstream) kebijakan pembangunan nasional. Akhir Oktober 2009, misalnya, Menteri Keuangan menerbitkan dokumen setebal 163 halaman bertajuk Green Paper on Economic and Fiscal Policy and Strategies for Climate Change in Indonesia, yang menguraikan konsep dan kerangka kebijakan fiskal, anggaran dan keuangan negara dalam menunjang tercapainya tujuan mitigasi perubahan iklim yang digariskan Pemerintah Indonesia. Bappenas juga menerbitkan Yellow Book dan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap
18
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
sebagai kebijakan baru dan “peta jalan” bagi sembilan sektor pembangunan yang terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sekaligus digunakan sebagai masukan untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2010, dan juga sebagai bahan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 2010-2020. Dokumen RAN-GRK 2010-2020 harus segera diproses secara lintas sektor oleh Bappenas dan DNPI bersama semua sektor dan lembaga terkait untuk menerjemahkan dan menjabarkan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah mencanangkan tekad Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada 2010 dari tingkat emisi tahun 2005. Penurunan emisi itu bisa lebih besar menjadi 41 persen, jika negara-negara industri maju bersedia membantu Indonesia untuk mengantisipasi bantuan dan kerja sama internasional bagi program-program terkait perubahan iklim, Bappenas dan Kementerian Keuangan menyiapkan wadah atau mekanisme pendanaan baru, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Beberapa terobosan untuk membawa isu perubahan iklim ke arus tengah kebijakan pemerintah mulai menguak jendela kebijakan pembangunan ekonomi. Namun, tantangan terbesar Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon adalah bagaimana menembus tembok benteng kementerian dan lembaga-lembaga sektoral seperti Kementerian Kehutanan, Pertanian, Energi dan Sumber Daya Mineral, Pekerjaan Umum, dan pemerintah daerah. Sekalipun mulai membuka pintu untuk bisa ikut menikmati “kue dana bantuan perubahan iklim” bagi sektor atau daerah masingmasing, pada dasarnya mereka masih menggunakan sasaran dan pola kerja business as usual, tanpa melakukan perubahan kebijakan dan langkah berarti untuk benar-benar mengurangi “jejak karbon” (carbon footprint) yang masih dalam dan lebar.
Kopenhagen: Gagal atau Keberhasilan yang Tertunda? Konferensi Para Pihak ke-15 negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC di Kopenhagen, Denmark, pada 7-19 Desember 2009 — yang dirancang dua tahun sebelumnya di Bali sebagai “puncak” perundingan dunia yang diharapkan akan melahirkan “perjanjian baru” atau “pembaruan” atas Protokol Kyoto yang akan berakhir tahun 2012 — ternyata membuyarkan harapan dunia dan berbagai skenario yang pernah dibuat. Di tengah kecemasan masyarakat internasional akan hasil kajian ilmiah yang memprediksi kenaikan suhu bumi melebihi 3 derajat Celcius dari tingkat pra-Revolusi Industri, konferensi Kopenhagen yang diharapkan bisa mengeluarkan “resep” penurunan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius ternyata tak berhasil membuat kesepakatan apa pun yang mengikat semua negara peserta. Apa yang sebenarnya terjadi di Kopenhagen? Pada awalnya, penyelenggaraan COP-15 berlangsung sesuai dengan Bali Roadmap, yakni dalam dua jalur perundingan (two tracks) dan wadah persidangan. (1) Jalur AWG-KP, untuk merumuskan komitmen selanjutnya dari negara-negara Annex I dalam memenuhi ketentuan Protokol Kyoto pada periode pasca2012; dan (2) jalur AWG-LCA untuk merumuskan langkah-langkah kerja sama jangka panjang (2020-2050) yang perlu disepakati semua pihak penanda tangan Konvensi di masa depan. Proses perundingan melalui dua jalur itu lazimnya dilakukan tim perunding teknis (negotiators) profesional mewakili masingmasing Para Pihak yang sudah menangani seluk-beluk prosedur dan substansi isu perundingan sejak COP-13 Bali (2007), COP-14 Poznan (Polandia, 2008), dan serangkaian perundingan persiapan COP-15 mulai dari Bonn (tiga kali), Bangkok, Barcelona, sampai Kopenhagen awal Desember 2009. Dalam seluruh proses perundingan melalui dua jalur selama dua tahun itu, Para Pihak yang berjumlah 189 negara maju dan berkembang T O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
19
Sumber: IPCC, DNPI: Pathways to a Low-Carbon Economy, (2009)
terwakili dan ikut serta secara aktif dalam perundingan di bawah bendera UNFCCC. Sampai dengan hari kesepuluh, proses perundingan di tingkat tim perunding teknis COP-15 Kopenhagen berjalan lamban dan sangat alot, mengingat masih banyaknya perbedaan pendapat soal isu-isu substansial di antara negara industri maju dengan negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok 77 dan China. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada kemajuan yang dicapai tim perunding teknis. Sehari menjelang diselenggarakannya perundingan tingkat menteri (ministerial/high level segment of negotiation), ketua-ketua AWGKP dan AWG-LCA menyerahkan draf dokumen hasil perundingan tingkat tim negosiator teknis yang mengandung lebih banyak kesepakatan dibanding perbedaan antara negara maju dan negara berkembang. Namun, ketika proses perundingan beralih dari perundingan teknis ke tingkat lebih tinggi (high level segment), perbedaan pendapat bukannya berkurang, tetapi semakin tajam dan memuncak dalam ketegangan posisi dan sikap negara-negara maju menghadapi Kelompok 77 dan China. Bila selama ini perundingan highlevel segment hanya dihadiri oleh para menteri lingkungan hidup dan/atau duta besar masingT O P I K
masing Pihak, pada COP-15 Kopenhagen hadir lebih dari 110 kepala negara/pemerintahan, yang kemudian mengambil alih peran para negosiator dan pejabat tinggi yang memahami isu perubahan iklim. Itu merupakan peristiwa baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam tujuh belas tahun sejarah perundingan global tentang perubahan iklim. Hal lain yang juga tidak lazim adalah Perdana Menteri Denmark selaku kepala pemerintahan bertindak sebagai Ketua COP-15 yang memimpin jalannya sidang Konvensi hingga selesai, bukan menteri lingkungan atau menteri teknis yang menangani perubahan iklim. Hal paling mengecewakan, Kopenhagen akhirnya hanya menghasilkan sebuah dokumen politis yang disebut Copenhagen Accord (Kesepakatan Kopenhagen). Dokumen ini merupakan catatan hasil perundingan tingkat tinggi/kepala negara yang difasilitasi Perdana Menteri Denmark selaku Ketua COP-15 yang hanya melibatkan 29 negara dari 189 negara peserta Konvensi. Statusnya sekadar “catatan” COP-15 yang sama sekali tidak mengikat secara hukum. Dua belas butir kesepakatan yang tertuang dalam Copenhagen Accord dihasilkan setelah proses perundingan yang alot dan panas, terutama antara Amerika Serikat, China
20
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
dan negara-negara kelompok ALBA dari Amerika Latin dalam sidang tertutup pada menitmenit terakhir menjelang sidang penutupan Konvensi. Semua hal di luar kebiasaan yang terjadi di Kopenhagen menunjukkan bahwa peran politisi dan pertimbangan politik sangat mendominasi hasil perundingan dan keputusan Konvensi. Berikut beberapa butir isi kesepakatan Copenhagen Accord: • Tentang target stabilisasi GRK di atmosfer: menetapkan tujuan pembatasan peningkatan suhu global pada tahun 2050 adalah 2 derajat Celcius di bawah tingkat zaman praindustri. Target itu akan dikaji ulang pada 2015, termasuk kemungkinan mengubah stabilisasi emisi GRK menjadi 1,5 derajat Celcius sesuai permintaan negara-negara kepulauan kecil (AOSIS). • Tentang kewajiban negara Annex I: menyetujui bahwa pada 31 Januari 2010 negaranegara maju (Annex I) harus menentukan target penurunan emisi secara kuantitatif (economy wide) untuk tahun 2020 sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Menyetujui sistem pemantauan dan pelaporan atas capaian target pengurangan emisi GRK negara-negara maju serta penyediaan dana dan teknologi negara industri maju dalam Annex I, termasuk Amerika Serikat, untuk negara berkembang. • Tentang kewajiban negara non-Annex: menetapkan pengurangan emisi GRK negara-negara sedang berkembang (NonAnnex) perlu diukur, dilaporkan, dan diverifikasi (MRV) oleh masing-masing negara serta dikomunikasikan ke Sekretariat UNFCCC setiap dua tahun melalui laporan National Communication. Mengenai bentuk dan cara aksi penurunan emisi merupakan hak sepenuhnya negara bersangkutan. Menetapkan bahwa upaya pengurangan emisi oleh negara berkembang (Nationally Appropriate Mitigation Actions/NAMAs) akan dibantu pendanaan dan alih teknologi dari negara maju melalui pengukuran, pe-
•
laporan, dan verifikasi (MRV) oleh satu Badan Registrasi (Registry) sesuai panduan internasional yang dibuat UNFCCC. Tentang Pendanaan: menyepakati komitmen negara maju untuk menyediakan pendanaan sebesar 30 miliar dolar AS dalam periode 2010-2012 bagi kegiatan adaptasi dan mitigasi negara sedang berkembang di bawah supervisi COP-UNFCCC melalui mekanisme Copenhagen Green Climate Fund yang akan segera dibentuk. Selain pendanaan jalur cepat (interim fast track funding) menjelang 2012, negara-negara maju juga berkomitmen memobilisasi dana sebesar 100 miliar dolar AS per tahun mulai tahun 2020 untuk membiayai, antara lain, kegiatan mitigasi di sektor kehutanan (REDD), peningkatan kapasitas dan pembentukan mekanisme teknologi.
Bagaimanapun juga, keputusan resmi COP15 yang hanya berupa takes note, sekadar mencatat adanya Copenhagen Accord (CA), itu menunjukkan bahwa CA tidak diterima oleh semua Pihak, dan hanya mengikat secara politis Para Pihak yang menyatakan menerima dokumen CA. Ini berarti COP-15 Kopenhagen gagal menghasilkan agreed outcome dalam bentuk perjanjian internasional yang mengikat (legally binding agreement) dan menyeluruh sebagaimana diamanatkan COP-13 Bali. Dari segi proses perundingan, COP-15 merupakan preseden buruk; proses UNFCCC bisa dibelokkan oleh kepala negara/pemerintahan yang melakukan negosiasi naskah akhir. Dalam hal ini, Perdana Menteri Denmark dianggap telah “melanggar” prinsip multilateralisme dalam perundingan internasional yang seharusnya bersifat terbuka, transparan, dan inklusif. Selain dari sisi proses yang memiliki banyak kecacatan, substansi Copenhagen Accord juga dianggap langkah mundur, karena tidak mencantumkan target penurunan emisi global jangka menengah pada 2020 ataupun tujuan mencapai 50 persen reduksi emisi global pada 2050, yang sebenarnya telah disepakati pada T O P I K
Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
pertemuan negara-negara maju G-8 tahun 2009. Selain itu, ketentuan tentang komitmen penurunan target emisi negara Annex I tidak diikuti dengan ketentuan tahun dasar (base year) yang sama. Hal lain yang juga sangat disesalkan, posisi negara berkembang disetarakan dengan negara maju dalam hal pelaporan aksi mitigasi dengan format berbeda. Ketentuan tentang NAMAs, misalnya, akan membuat negara berkembang seperti Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk mempersiapkan sistem registrasi nasional, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia secepatnya, mengumpulkan dan menyusun data sektoral dan regional secara lebih akurat, serta mengalokasi anggaran yang memadai. Walaupun demikian, tidak semua ketentuan Copenhagen Accord bersifat negatif. Sebenarnya ada beberapa unsur positif yang merupakan langkah maju dibandingkan dengan Bali Action Plan. Dalam penentuan target stabilisasi GRK di atmosfer, misalnya, kesepakatan untuk secara eksplisit membatasi kenaikan suhu global 2 derajat Celcius merupakan kemajuan yang tidak berhasil dicapai dalam COP-13 di Bali, di samping adanya kesediaan untuk mereview kemungkinan penurunan target stabilisasi menjadi 1,5 derajat Celcius pada 2015. Begitu pula dengan ketentuan agar negara Annex I memasukkan angka target baru penurunan emisi secara kuantitatif (QUELROs) sebelum 31 Januari 2010 adalah ketentuan yang tidak ada dalam Bali Action Plan. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, masuknya ketentuan tentang skema Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) sebagai instrumen untuk mitigasi perubahan iklim juga merupakan sebuah kemajuan besar. Hal paling positif dari Copenhagen Accord adalah dokumen formal pertama yang memuat komitmen konkret tentang angka dan jumlah pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi dari negara maju ke negara berkembang, dan juga dokumen formal pertama yang memuat ketentuan tentang rencana aksi dan target penurunan emisi GRK negara-negara berkembang. T O P I K
21
Sejauh ini sudah tercatat 32 negara berkembang yang secara sukarela menyampaikan target nasional penurunan emisi GRK, termasuk Indonesia. Perkembangan posisi negara-negara berkembang ini dapat dijadikan “modal” dalam proses negosiasi lanjutan guna mendesak negara-negara maju agar meningkatkan komitmen penurunan emisi secara lebih siginifikan.
Tantangan Menuju Cancun Walaupun Copenhagen Accord bukan merupakan kesepakatan yang mengikat, Para Pihak diminta menyatakan dan menyampaikan “asosiasi”-nya pada Copenhagen Accord dan “mendaftarkan” rencana aksi (target) penurunan emisi masing-masing kepada Sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman. Hingga 30 Maret 2010, tercatat 114 negara, 58 di antaranya negara berkembang, yang telah menyampaikan pernyataan untuk berasosiasi dengan kesepakatan Copenhagen Accord. Selain itu, tercatat 42 negara maju dan 32 negara berkembang yang telah menyampaikan target penurunan emisi nasional masing-masing untuk didaftarkan dalam Appendix I dan Appendix II Copenhagen Accord. Fakta tiga bulan sesudah pertemuan Kopenhagen berakhir lebih dari separuh 189 negara penandatangan Konvensi bersedia mengasosiasikan diri pada Copenhagen Accord menunjukkan bahwa ada elemen tertentu dari kesepakatan tersebut yang dianggap positif dan bisa diterima oleh negara yang pada awalnya menolak. Diterimanya kesepakatan Kopenhagen tentu tidak datang begitu saja, tetapi melalui lobi dan proses perundingan cukup alot — dalam rangka membangun kembali kadar kepercayaan dan memasukkan elemen-elemen positif Copenhagen Accord ke dalam proses perundingan resmi UNFCCC. Situasi pasca-Kopenhagen ditandai oleh trauma negara-negara berkembang yang memandang proses perundingan berjalan tidak fair dan tidak berguna, karena didominasi kepen-
22
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
tingan negara-negara maju. Di sisi lain, negaranegara maju yang tergabung dalam Annex I nyaris frustrasi. Mereka ingin secepatnya mengoperasikan Copenhagen Accord dan menganggap proses negosiasi berjalan terlalu lamban dan bertele-tele. Karena ketidakjelasan status hukum Copenhagen Accord, maka yang bisa dilakukan hanya memperhatikan dan membahas elemen-elemen substansi kesepakatan tersebut. Itulah yang dicoba dilakukan Meksiko. Tuan rumah penyelenggara pertemuan COP-16 itu berusaha keras membangun kembali kepercayaan (trust building) Para Pihak melalui dialog dan konsultasi yang transparan, inklusif, serta memfokuskan diri pada elemen-elemen penting Copenhagen Accord untuk dibawa ke meja perundingan di Cancun akhir 2010. Tantangan yang dihadapi Meksiko adalah bagaimana mengembalikan proses negosiasi pada kerangka kerja konvensi PBB yang bersifat multilateral dan terbuka dengan mengintegrasikan Copenhagen Accord ke dalam dua jalur kelompok kerja (AWG-KP dan AWG-LCA) serta tidak menjadikannya sebagai satu-satunya jalur atau jalur ketiga dalam proses negosiasi di Cancun. Dari sisi substansi, masalah pokok yang harus diselesaikan masih tetap sama, yaitu (1) target angka dan target waktu penurunan emisi GRK negara-negara Annex I dengan dasar tahun yang sama (1990), serta (2) memperoleh komitmen negara-negara berkembang yang besar, seperti China dan India, untuk menurunkan emisi GRK mereka dengan rencana yang jelas.
Ada dua isu pokok yang merupakan tantangan besar dan perlu dituntaskan di Cancun, yaitu (1) pendanaan, termasuk peran pasar karbon dan alih teknologi untuk menyelesaikan masalah mitigasi dan adaptasi di negara-negara berkembang, dan (2) pengukuran pelaksanaan komitmen (MRV), baik untuk mengukur keberhasilan negara maju dalam mencapai target emisi dan kewajiban menyediakan dana serta alih teknologi kepada negara berkembang maupun mengukur keberhasilan negara-negara berkembang dalam melaksanakan NAMAs sesuai panduan UNFCCC. Namun, sekali lagi, itu semua tergantung pada sikap Amerika Serikat; seberapa jauh negara adidaya dan produsen emisi karbon terbesar di dunia ini bersedia menetapkan target penurunan emisinya secara signifikan menjelang atau pada akhir perundingan di Cancun. Sebagaimana diketahui, hingga hari ini Amerika Serikat belum meratifikasi Protokol Kyoto. Bahkan, sejak perundingan di Poznan, Bonn, sampai Kopenhagen, AS bersama Kanada, Jepang, dan Uni Eropa berusaha “mematikan” Protokol Kyoto. Itu menunjukkan bahwa hasil perundingan Konvensi maupun keberhasilan penurunan emisi GRK tidak bisa dilepaskan dari kemauan dan kekuatan politik ekonomi negaranegara adikuasa. Pertanyaannya, apakah semua bangsa dan umat manusia akan membiarkan begitu saja negara-negara adikuasa menjerumuskan bumi ini menjadi neraka pemanasan global dalam kurun waktu tidak lama lagi? •
T O P I K
Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke Meja Perundingan Daniel Murdiyarso
Laju pertumbuhan yang luar biasa gas rumah kaca memaksa para pengambil kebijakan, melalui PBB, segera melakukan tindakan korektif yang mengikat. Perubahan iklim dan pemanasan global yang sebelumnya hanya merupakan bahan percakapan sehari-hari kini menjadi isu penting yang memiliki dimensi politik, sosial, dan ekonomi sangat luas. Penanganan iklim menjadi agenda internasional karena sebuah negara miskin akan terus terpuruk dalam kemiskinan, dan hilang tenggelam disapu tingginya permukaan air laut. Paradigma pembangunan kita harus diubah. Kita tidak bisa terus-menerus menggunakan minyak bumi atau mengelola hutan secara serampangan dan kurang bertanggung jawab.
Everybody talks about the weather, but nobody does anything about it (Mark Twain)
K
alau kita sedang berada di sebuah kawasan dengan cuaca kerap berubah, orang sering memberi apresiasi jika cuaca saat itu bersahabat. Paling tidak itulah kalimat kedua di warung kopi yang diucapkan setelah bertegur sapa dan menanyakan kabar lawan bicara. “How are you….”, “…..nice weather, isn’t it”. Tak heran bila penulis sekaliber Mark Twain mengatakan: “semua orang berbicara tentang cuaca, tetapi tidak seorang pun melakukan sesuatu terhadap cuaca”. Meskipun punya pengertian berbeda, iklim dan cuaca sangat berkaitan. Iklim merupakan kondisi rata-rata cuaca dalam jangka relatif panjang, dan mencakup kawasan luas. Daerah di sekitar khatulistiwa, misalnya, memiliki iklim tropis, sementara daerah yang terletak di lintang tinggi punya iklim sedang, daerah padang pasir beriklim kering, dan sebagainya.
Iklim adalah juga ciri fisik suatu kawasan. Jika terjadi perubahan, dampaknya terhadap komponen-komponen biotik (hidup) dan abiotik (tak-hidup) akan sangat luas. Boleh jadi, perubahan itu bersifat permanen karena hilangnya komponen penting dalam kawasan, misalnya, hutan sebagai ekosistem atau spesies penting di dalam ekosistem hutan. Perubahan iklim tidak terjadi secara mendadak, tetapi berangsur-angsur dan relatif lebih mudah diperkirakan. Fenomena ini sangat berbeda dengan variabilitas iklim atau kondisi cuaca ekstrem yang sontak dapat memorakporandakan kehidupan, misalnya, hujan badai disertai angin puting-beliung, kemarau panjang, El Niño, dan La Niña. Kejadian ekstrem itu tidak berlangsung terus-menerus, tetapi begitu terjadi dampaknya bisa sangat fatal. Karena luasnya implikasi perubahan iklim terhadap kehidupan manusia, maka pengamatan terhadap unsur-unsur iklim tidak lagi dijalankan secara konvensional. Teknologi canggih sudah banyak digunakan. Pertukaran
24
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
data dan informasi serta hasil penelitian juga makin intensif sehingga dapat segera diumumkan kepada publik. Begitu pula dampak yang ditimbulkan telah didokumentasikan secara teratur. Tidak kurang lembaga antarbangsa seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta badan-badan di bawahnya melibatkan diri secara aktif untuk semaksimal mungkin mengurangi dampak dan mengatasi akar permasalahannya. Tulisan ini mencoba memaparkan secara singkat sejarah perundingan iklim global serta implikasinya bagi kehidupan manusia. Kompleksitas kepentingan politik, ekonomi dan sosial pihak-pihak terkait, termasuk kepentingan domestik masing-masing negara, sering menyulitkan para pengambil keputusan untuk menentukan sikap. Relevansi kesepakatan global dengan pembangunan berkelanjutan di Indonesia juga akan dikupas dalam konteks tata kelola sumber daya alam yang baik (good governance). Dengan demikian, catatan Mark Twain dapat dibatalkan; kita tidak hanya bicara.
Emisi GRK Antropogenik Sains atmosfer di kawasan tropis, khususnya Indonesia, dirintis oleh pengamatan sinoptik sejak zaman kolonial. Nama-nama seperti Berlage, Boerema, dan Braak, telah memberi kontribusi besar dalam industri pertanian, transportasi, dan pengembangan infrastruktur. Kehadiran mereka yang ketika itu bermarkas di Kantor BMKG lama di Jalan Prapatan (dekat Tugu Tani), Jakarta Pusat, selain terkait penerbangan sipil, juga sangat mendukung pengembangan pertanian dan perkebunan besar, khususnya di Jawa dan Sumatera. Sebelum teknologi Sistem Informasi Geografi berkembang seperti sekarang, zonasi iklim sudah lama dikenal. Secara spasial orang sudah bisa melihat karakteristik iklim wilayah. Klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson, Köppen dan peneliti-peneliti abad ke-19 terbukti memberi banyak manfaat. Perlu diingat bahwa nenek moyang kita
ternyata juga memiliki sistem budi daya terkait iklim. Tarikh atau kalender masa tanam dan aktivitas sosial lainnya dikaitkan Pranata Mangsa di Jawa, Lontara atau Pananrang di Sulawesi, dan masih banyak lagi kearifan lokal, termasuk dalam dunia kebaharian yang tidak terdokumentasikan. Pertanyaannya adalah sampai seberapa jauh semua kemudahan dan kearifan itu bisa diandalkan? Pergeseran iklim dan kondisi cuaca ekstrem sering terjadi. Gagal panen atau puso karena salah waktu tanam sering dilaporkan. Kerugian ekonomi akibat banjir dan kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan sudah cukup besar. Alarm yang membangunkan kita bahwa iklim sudah berubah adalah data pertumbuhan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di Gunung Mauna Loa, Hawaii, yang dikumpulkan David Keeling. Dari stasiun pengamatan yang diasumsikan bebas dari CO2 industri sekitarnya (karena terletak di tengah Samudera Pasifik dan berada di puncak gunung yang tidak aktif), ditunjukkan bahwa CO2 meningkat tajam dari angka 280 ppm (parts per million) pada zaman praindustri menjadi 330 ppm saat diumumkan 1 pada 1978. Saat ini, dari stasiun yang sama, konsentrasi CO2 terus meningkat hingga melampaui angka 380 ppm (lihat, Gambar 1). Data cukup mencengangkan itu menjadi bukti kuat peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic) yang melibatkan penggunaan bahan bakar fosil. Bukti ini akhirnya dijadikan dasar untuk memperluas jaringan pengamatan di seluruh dunia guna membahas masalah iklim ke tingkat lebih tinggi, dan dikaitkan dengan kebijakan pemerintah karena kian banyaknya dampak yang ditimbulkan. 1
Charles D Keeling, “The Influence of Mauna Loa Observatory on the Development of Atmospheric CO2 Research”, dalam John Miller (ed.), Mauna Loa Observatory: A 20th Anniversary Report (Boulder, CO: National Oceanic and Atmospheric Administration Special Report [NOAA] Environmental Research Laboratories, September 1978), hal. 36-54. T O P I K
Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Konsentrasi CO2 (Kurva Keeling) di Stasiun Pengamatan Puncak Gunung Mauna Loa, Hawaii
UNFCCC: Jalan Berliku Menuju Kopenhagen Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan, atau yang lebih dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), di Rio de Janeiro, Brasil, Juni 1992, para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi rencanarencana besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan sekaligus menyejahterakan umat manusia melalui pembangunan. Kesepakatan itu dituangkan dalam tiga dokumen yang bersifat tidak mengikat secara hukum (legally non-binding), yaitu: • Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan. Pernyataan ini meliputi 27 prinsip yang menekankan hubungan antara lingkungan dan pembangunan. • Pernyataan tentang Prinsip-prinsip Kehutanan. Pernyataan yang mengenali pentingnya hutan bagi pembangunan ekonomi, penyerap karbon atmosfer, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pengelolaan daerah aliran sungai. • Agenda 21. Sebuah rencana komprehensif mengenai program pembangunan berkelanjutan ketika dunia memasuki abad ke-21. T O P I K
25
Selain itu, di Rio juga disepakati tiga dokumen yang secara hukum mengikat (legally binding), yaitu: • Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD) • Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) • Konvensi untuk Memerangi Penggurunan (United Nations Convention on Combating Desertification/UNCCD) KTT Bumi yang bertema “think globally, act locally” itu menekankan pentingnya semangat kebersamaan (multilateralisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melaksanakan pembangunan dan melestarikan sumber daya alam. Dengan tema itu tujuan pembangunan berkelanjutan dan keberlanjutan bumi dapat dicapai dengan tindakan-tindakan lokal yang proporsional. United Nations Framework Convention on Climate Change lahir dalam suasana kebersamaan dan dilandasi prinsip-prinsip Deklarasi Rio, di antaranya tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities/CBDR). Konvensi ini mengikat para anggota untuk mencapai tujuan utama, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim bumi. Lembaga pengambil keputusan tertinggi di dalam UNFCCC adalah Konferensi Para Pihak (Conference of Parties/COP), yakni perhelatan tahunan lebih dari 170 negara anggota UNFCCC. Dalam periode antar-COP, badan-badan pembantu UNFCCC (subsidiary bodies) mengadakan pertemuan rutin untuk menindaklanjuti keputusan COP sebelumnya, dan mempersiapkan COP mendatang. Badan-badan itu adalah Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI). Di samping itu, COP juga
26
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Bagan 1. Kelembagaan UNFCCC beserta Badan-badan Pembantu dan Kelompok Kerja
dapat membentuk Kelompok Kerja Sementara (Ad-hoc Working Group) sesuai kebutuhan (lihat, Bagan 1). Untuk menindaklanjuti keputusan-keputusan COP, Sekretariat UNFCCC didukung oleh mekanisme keuangan yang dikoordinasikan Global Environment Facilities (GEF), dan diimplementasikan oleh UNDP, UNEP, dan Bank Dunia. Koordinasi GEF dengan Sekretariat biasanya dimatangkan melalui pertemuanpertemuan SBI, baik dalam COP maupun di dalam kurun waktu antar-COP. Sementara itu, COP melalui SBSTA dapat memberi perintah atau mandat kepada Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/ IPCC) untuk melakukan kajian khusus selain kajian regular yang diputuskan Biro IPCC. Namun demikian, segala bentuk kajian yang dihasilkan IPCC tidak bersifat preskriptif atau wajib diikuti anggota COP, meskipun sangat relevan dengan kebijakan anggota COP. Sejak akhir tahun 1980-an IPCC telah melakukan kajian ilmiah secara teratur. Laporan Pengkajian Pertama diterbitkan pada 1990, disusul yang
kedua (1995), ketiga (2001), dan keempat (2007). Sekretariat UNFCCC dipimpin seorang Sekretaris Eksekutif. Dia diusulkan para anggota PBB dan ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB. Sekretariat UNFCCC bertanggung jawab menyelenggarakan COP, pertemuanpertemuan SBSTA, SBI, dan AWG, serta lokakarya terkait dengan keputusan COP. Dananya dari mana? Dari iuran setiap negara anggota yang dikutip sesuai kemampuannya. Sepanjang sejarah UNFCCC kita hanya mengenal satu protokol, yakni Protokol Kyoto hasil COP ke-3 yang mengikat dan dipersiapkan oleh AWG on Berlin Mandate dan diputuskan dalam COP ke-1. Bonn Agreement lahir enam bulan setelah COP ke-6 gagal, Marrakesh Accord hasil COP ke-7 disusun untuk menindaklanjuti Bonn Agreement. UNFCCC juga menghasilkan beberapa rencana aksi (Action Plan) termasuk COP ke-13 di Bali, dan beberapa Declaration tidak mengikat. Jadi, urutan tingkat keseriusan keputusan COP adalah: Protocol–Mandate–Accord–Agreement–Action Plan–Declaration. Dalam perjalanannya, UNFCCC telah menyelenggarakan lima belas COP. Pertama di Berlin pada 1995 hingga terakhir di Kopenhagen akhir 2009 . Perhelatan perdana COP ke-1 di Berlin menghasilkan Mandat Berlin yang mengamanatkan agar COP segera merumuskan tata cara penurunan emisi GRK yang membahayakan iklim bumi. Para perunding pun bekerja keras selama dua tahun dan akhirnya melahirkan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah tonggak sejarah perjanjian multilateral sangat penting. Betapa tidak, meskipun target penurunan emisi disepakati hanya 5 persen dari tingkat emisi dunia tahun 1990 atau sekitar 14 miliar ton CO2, langkah kecil ini secara hukum mengikat (legally binding). Target ini diharapkan tercapai ketika periode komitmen pertama berakhir pada 2012. Karena itu, sejak dini harus dipersiapkan mekanisme pengganti ketika Protokol Kyoto memasuki kadaluwarsa. Tidaklah berlebihan bila T O P I K
Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi
tiga tahun menjelang berakhirnya Protokol Kyoto, masyarakat internasional berharap banyak dari COP ke-15 di Kopenhagen. Perhelatan lingkungan paling akbar di abad ke-21 ini diikuti lebih dari 15.000 peserta (dari 30.000 yang mendaftar) dan lebih dari 100 kepala negara/pemerintahan, sehingga mirip KTT. Namun demikian, di Kopenhagen para perunding yang peranannya diambil para kepala negara atau kepala pemerintahan hanya mencapai kesepakatan politis yang disebut Copenhagen Accord. Dokumen berisi 12 butir kesepakatan ini hanyalah “catatan” COP ke-15 yang tidak memiliki kekuatan hukum; COP ke-15 kehilangan momentum untuk mengambil keputusan penting. Padahal, dalam dua tahun 2 terakhir sejak Bali Action Plan disepakati, dua kelompok kerja COP, yakni AWG-KP dan AWG-LCA, sudah bekerja keras dan bertemu sedikitnya delapan kali serta menghasilkan draft keputusan yang akhirnya seolah-olah dimentahkan oleh Copenhagen Accord. Kopenhagen tidak bisa dianggap berhasil, baik dari segi outcome maupun timing. COP ke15 tidak dapat memenuhi harapan sebagian besar Pihak agar dapat mengesahkan sebuah Mandat, bukan Kesepakatan (Accord). Semula, banyak Pihak berharap agar keputusan yang diambil tetap adil (fair), memiliki target penurunan emisi besar (ambitious, deep cuts), dan keputusan itu mengikat secara hukum (binding). Jalan berliku menuju Kopenhagen berujung pada ketidakpastian tentang masa depan tata kelola iklim global (global climate governance). Sementara waktu yang tersisa tidak banyak lagi.
Nasib Protokol Kyoto: Masih Adakah Kemauan Politik? Kopenhagen yang diharapkan menghasilkan mandat untuk menyusun Protokol baru yang berlaku setelah 2012, telah mengecewa2
Lihat, “FCCC/CP/2007/6/Add.1. Decision 1/ CP.13, Bali Action Plan”.
T O P I K
27
kan banyak pihak karena sepinya kemauan politik. Semangat multilateralisme yang dimiliki di Rio de Janeiro dan Kyoto agaknya mulai memudar. Ia digantikan oleh kepentingan domestik masing-masing negara, sehingga cenderung bertindak bilateral (dengan mencari mitra) atau unilateral (bertindak sendiri secara diam-diam). Dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel Perdamaian akhir 2007 silam, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore dengan lantang mengucapkan “… political will is a renewable resource”. Penggalan kalimat sama diucapkannya lagi pada kesempatan COP ke-15 di Kopenhagen, meskipun dengan nada agak getir. Mungkin karena dia ragu apakah kemauan politik itu masih ada, termasuk dari negaranya sendiri. Kompleksitas perundingan dalam tiga COP terakhir tidak lepas dari munculnya kekuatan ekonomi baru China dan India. Meskipun dalam Konvensi Perubahan Iklim mereka tergolong dalam negara-negara berkembang yang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi (nonAnnex I), dan tergabung dalam Kelompok G77+China, kedua negara berpenduduk besar ini memiliki pertumbuhan ekonomi mengagumkan. Konsekuensinya, emisi GRK dalam kegiatan ekonomi mereka juga meningkat pesat, khususnya China. Pada periode 2000-2005 emisi nasional China mendekati 4 miliar ton CO2, mendekati emisi total 26 negara Uni Eropa. Namun demikian, China tetap menganggap emisi historis negara-negara industri maju (Annex I) tidak boleh diabaikan begitu saja. Mereka memiliki tanggung jawab besar sejak Revolusi Industri dimulai pada pertengahan abad ke-18. Bali Action Plan yang menjadi keputusan COP ke-13 merekomendasikan agar keputusan tentang tata cara dan target baru itu diambil dalam waktu dua tahun. Namun demikian, Copenhagen Accord yang berisi 12 butir kesepakatan itu hanya macan kertas belaka. COP ke-15 tampak kehilangan momentum penting. Padahal, dalam dua tahun terakhir, sudah diseleng-
28
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
garakan sedikitnya enam kali perundingan membahas kelanjutan Protokol Kyoto yang akan kadaluwarsa, dan enam perundingan paralel yang membahas kerja sama jangka panjang di bawah Konvensi Perubahan Iklim. Jika kita mengingat Protokol Kyoto waktu itu (1997) merumuskan Quantified Emissions Limitation Reduction Objectives (QELROs), target rata-ratanya hanya sebesar 5 persen dari tahun dasar perhitungan (1990) yang diharapkan akan tercapai pada periode komitmen pertama (2008-2012). Dari target 5 persen, kemudian muncul jatah penurunan emisi nasional yang bervariasi sesuai tingkat emisi masing-masing negara saat itu. Ketika itu, Amerika Serikat mendapat jatah 36 persen, dan angka ini membuat mereka langsung “cabut” dari Protokol Kyoto yang dianggap tidak adil dan akan memberatkan beban ekonomi AS. Pada butir 4 Kesepakatan Kopenhagen disebutkan bahwa pada 31 Januari 2010 negaranegara maju (Annex I) harus menentukan target penurunan emisi ekonomisnya secara kuantitatif atau Quantified Economy-Wide Emissions Targets (QEWETs) untuk tahun 2020. Target tersebut harus disertai tahun dasar perhitungan (base year) yang selama ini cukup beragam, dan akan didaftarkan dalam sebuah Appendix. Saat COP ke-15 berlangsung, muncul target baru. Misalnya, Amerika Serikat menargetkan 17 persen dari emisi 2005, Jepang 25 persen dari emisi 1990, Uni Eropa 20-30 persen dan Inggris 20 persen dari emisi 1990. Daftar ini selanjutnya disebut Appendix 1 Copenhagen Accord. Sementara pada butir 5 Kesepakatan Kopenhagen disebutkan bahwa negara-negara berkembang (non-Annex I) diminta mendaftarkan kegiatan mitigasi dalam rangka menurunkan emisi masing-masing negara. Kegiatan mitigasi yang secara generik diberi nama Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) ini tidak dapat dianggap kewajiban sebagaimana diterapkan kepada negara Annex 1 Protokol Kyoto. Daftar itu selanjutnya disebut Appendix 2 Copenhagen Accord.
Jika benar Kongres AS akan meloloskan Waxman-Markey Bill atau dikenal dengan American Climate and Energy Security Act (ACES) pada kuartal pertama 2010, mungkin kita akan memiliki perjanjian baru. Jika benar Perjanjian yang mengikat itu muncul pada tahun 2010, maka Para Pihak punya waktu dua tahun untuk menyusun Protokol dan skema kerja sama baru – hampir sama ketika Mandat Berlin memberi waktu untuk melahirkan Protokol Kyoto. Namun demikian, peta geopolitik saat ini jauh lebih kompleks dibanding masa itu. Boleh jadi Amerika Serikat akan memilih bentuk bilateral, bahkan mungkin unilateral, dan sepenuhnya melibatkan pihak swasta. Sementara itu, para perunding China banyak diawaki orang-orang muda sangat gigih berjuang di balik prinsip common but differentiated responsibility yang berlaku bagi tiga Konvensi Rio, termasuk UNFCCC. Jika Para Pihak salah memperhitungkan faktor China, negara industri baru yang berbasis batu bara murah ini dapat menjadi batu sandungan bagi tercapainya kesepakatan baru. Artinya, Protokol Kyoto akan benar-benar terpuruk dan berakhir. Akan tetapi, jika dielus-elus, kemauan politik pemimpin China juga bisa menjadi prime mover yang mengingatkan kita pada peran Rusia yang membuat diberlakukannya Protokol Kyoto (entry into force) persis lima tahun silam.
Menata Rumah Kita Perubahan iklim memang isu relatif baru dalam jargon pembangunan dan pemerintahan. Namun demikian, pemahaman para pihak terkait makin hari makin baik, apalagi setelah Pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah COP ke-13 di Bali pada 2007. Sekarang perubahan iklim sudah menjadi bahan percakapan sehari-hari, dan menjadi bagian dari daftar panjang tantangan pembangunan nasional seperti desentralisasi, korupsi, perambahan hutan, pengangguran, dan kemiskinan. Dalam usia masih sangat muda, tingkat pemahaman di setiap sektor dan daerah sangat T O P I K
Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi
beragam. Karena itu, tidak heran jika koordinasi lintas sektor antara pemerintah pusat dan daerah sering mengalami hambatan cukup serius. Kondisi ini menyebabkan tantangan sendiri bagi segenap pihak untuk terus melakukan sosialisasi pentingnya mengatasi perubahan iklim, dan melibatkan seluruh lapis masyarakat. Hambatan kelembagaan (institutional barriers) dapat diatasi dengan dua pendekatan. Pertama, meningkatkan kemampuan atau kapasitas aparat pemerintah. Dengan cara itu diharapkan penanganan urusan dapat lebih efisien (cepat dan tepat). Kedua, menyederhanakan birokrasi proses perizinan dan tata kelola (governance) yang baik dan transparan, sehingga beban biaya transaksi menjadi lebih ringan. Pengalaman pada masa penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) dari Protokol Kyoto menunjukkan proses itu sangat berbelit dan mahal, baik di tingkat global dan nasional maupun lokal. Tidaklah heran bila ada yang memelesetkan CDM sebagai completely difficult mechanism. Dari sekitar 2.000-an proyek yang terdaftar dan disetujui Badan Pelaksana CDM global, lebih dari 1.000 proyek diserap oleh China. Akibatnya, CDM diplesetkan lagi menjadi China development mechanism. Bahkan, CDM mendapat julukan lain sebagai carbon dumping mechanism, tempat negara-negara maju membuang karbon. CDM juga diibaratkan seperti Tetuko, bukan anak Gatutkaca yang belum bisa terbang, bukan pesawat buatan nasional yang gagal terbang, tapi karena sing tuku ora teko teko (yang akan membeli tidak kunjung datang); kalau toh datang sing teko ora tuku tuku (yang sudah datang pun tidak segera membeli). Dalam pertemuan G20 di Pittsburg, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan bahwa Indonesia pada 2020 akan menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dari tingkat emisi tahun 2005. Ditambahkan pula, jika negara-negara industri bersedia membantu, emisi itu dapat diturunkan lebih besar lagi T O P I K
29
menjadi 41 persen. Meskipun dasar perhitungannya tidak terlalu jelas, tindakan sukarela itu ditanggapi oleh berbagai kalangan dengan nada berbeda, mulai dari pujian sebagai keputusan berani sampai tanda tanya mengingat Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi. Jika target tersebut harus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), apalagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tampaknya semua pemangku kepentingan harus disadarkan agar dapat mengawasi dana masyarakat itu (termasuk dari pembayar pajak, bila mau disebut demikian) akan dibelanjakan. Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RAN MAPI) yang pernah dilontarkan, atau apa pun namanya nanti, tidak boleh mengorbankan tujuan pembangunan nasional paling mendesak, yaitu memerangi kemiskinan hingga angka absolutnya benar-benar turun. Kapasitas aparat pemerintah pusat di setiap sektor terkait, dan pemerintah daerah, tampaknya juga harus ditingkatkan. Hambatanhambatan birokrasi harus jauh hari disingkirkan, sehingga tidak terjadi persaingan tak sehat di dalam lembaga pemerintah sendiri. Sejauh ini terdapat tiga pemain utama yang menangani masalah nasional terkait perubahan iklim, yaitu: • Kementerian Lingkungan Hidup (KLH); secara historis telah memainkan peran penting di dalam maupun di luar negeri karena posisinya sebagai UNFCCC National Focal Point dan koordinator lintas sektoral. Namun demikian, peran tersebut lambat laun kian melemah. Padahal, kementerian non-portfolio ini dilengkapi perangkat kelembagaan mitigasi dan adaptasi yang memiliki jaringan daerah, kalangan swasta, dan lembaga swadaya masyarakat. • Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI); dibentuk dengan Peraturan Presiden dan diketuai presiden sendiri beranggotakan beberapa menteri terkait. Meskipun ketua harian telah ditunjuk dengan kantor di-
30
•
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
lengkapi sekretariat dan kelompok kerja, peranannya sempat membingungkan beberapa kalangan. Posisi UNFCCC National Focal Point pun berpindah ke institusi baru ini, sesuatu yang dirasakan janggal oleh lembaga-lembaga pemerintah. Demikian pula Designated National Authority (DNA), yaitu lembaga yang berwenang memberi persetujuan proyek-proyek CDM yang dahulu merupakan unit KLH, saat ini berada di bawah DNPI. Masyarakat luas mempertanyakan apakah DNPI akan mengambil peran koordinasi atau implementasi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas); selama ini memiliki kewenangan dalam mengalokasikan dana pembangunan, sehingga tidak mengherankan jika lembaga ini tampil dengan peran mengelola dana untuk mengatasi perubahan iklim. Ide membangun Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) pun digulirkan, namun tidak ada jaminan lembaga yang berpengalaman dalam mengelola dana nasional ini tidak akan mendapat saingan dari lembaga lain dengan dana serupa.
Secara sektoral terdapat kelembagaan yang menangani perubahan iklim, termasuk izin melaksanakan kegiatan mitigasi perubahan iklim. Salah satu contoh kuat adalah adanya Kelompok Kerja yang menangani pelaksanaan skema Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD) di Kementerian Kehutanan. Bahkan, di daerah pun sudah mulai berkembang inisiatif REDD pada tingkat subnasional, baik tanpa maupun sepengetahuan pemerintah pusat. Dapat dibayangkan alangkah membingungkannya seandainya ada calon pembeli atau investor atau pengembang proyek. Pintu mana yang harus dimasuki? Jika kelembagaan terlalu rumit, maka biaya transaksi akan semakin tinggi, sehingga memiliki potensi menghambat. Penting juga dihindari sikap saling lempar tanggung jawab bila sudah diketahui risiko
kegagalannya tinggi. Dengan demikian, kelakar tetuko tidak akan terulang lagi pada era pasca2012. Jika kewenangan unit-unit kerja pemerintah dipetakan, maka Tabel 1 dapat mewakili potensi unit-unit tersebut dalam menerapkan RAN MAPI. Dalam hal ini hanya unit teknis saja yang dipertimbangkan. Dengan demikian, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat luas dapat menyesuaikan diri dalam bermitra dengan pemerintah pusat untuk mencapai target atau rencana jangka panjang yang telah ditetapkan secara nasional. Dari Tabel 1 juga bisa dilihat mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan oleh beberapa sektor, baik terkait penggunaan dan produksi energi maupun nonenergi seperti kehutanan dan pertanian. Potensinya sangat tergantung pada peluang yang ada, serta tugas pokok dan fungsi unit tersebut. Unit-unit terkait dengan kegiatan mengemisikan GRK dapat mengubah paradigma menjadi unit yang dapat mengendalikan emisi itu, bahkan membalikkannya menjadi emisi negatif. Tentu saja upaya tersebut memerlukan biaya kompensasi, dan di sinilah letak peluang “memperdagangkan” kredit emisi. Sementara untuk melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, hampir semua unit memiliki keterkaitan dan memerlukan pemberdayaan. Masalah utama dalam strategi adaptasi adalah kurang adanya kesadaran bahwa ancaman perubahan iklim sangat nyata dan memerlukan dana dan sumber daya amat besar. Adaptasi sangat erat dengan agenda pembangunan. Salah satu indikator penting yang menunjukkan bahwa pemerintah suatu negara dan masyarakatnya memperhatikan dampak perubahan iklim adalah seberapa besar dana pembangunan dianggarkan untuk mengantisipasi perubahan iklim. Pendanaan adaptasi tidak bisa dilakukan sekadarnya, termasuk pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Pertanyaan penting dalam konteks pembenahan kelembagaan adalah haruskah di T O P I K
31
Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi
setiap kementerian dibentuk gugus tugas (task force) khusus menangani perubahan iklim? Bagaimana dan siapa yang mengoordinasikan secara lintas sektoral? Jika memperhatikan ketiga pemain utama dalam uraian di atas, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan menjadi sangat penting karena besarnya gap antara peluang yang bisa dilakukan setiap sektor dengan tantangan yang dihadapi. Mengingat luasnya cakupan sektor yang harus ditangani, beberapa pihak berpendapat
sudah saatnya dibentuk Kementerian Perubahan Iklim, yang bisa dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam yang kelestariannya mengalami ancaman, misalnya, energi dan/ atau hutan. Pilihan ini pun tidak mudah karena pendanaan akan menjadi beban tambahan baru bagi pemerintah. Di samping itu, pola kerja dengan lembaga legislatif juga belum pernah terbentuk, belum lagi “biaya” politiknya. Hambatan lain mungkin juga akan terjadi di daerah, tempat sebagian besar masalah berada. Apa pun keputusan pemerintah, baik melalui proses koordinasi maupun pembentukan
Tabel 1. Potensi Unit Kerja Pemerintah dalam Menerapkan RAN MAPI Potensi Mitigasi Kementerian
Unit Kerja Rendah
ESDM
Kehutanan
Sedang Tinggi 3
3
Mineral, Batubara dan Panasbumi
3
3
Listrik dan pemanfaatan energi
3
3
Bina Produksi
3
3
3
3
Planologi
3 3
3
Darat
3
3
3
Udara
3 3
Perkeretaapian Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka
3 3
Tanaman Pangan
3 3
3
3 3
Perkebunan
3
3
Pengelolaan lahan dan air
3
3
Tataruang
3
Sumberdaya air
3
Cipta Karya Bina Marga T O P I K
3
3
Peternakan
PU
3 3
Agro dan Kimia Pertanian
3
RLPS
Laut
Perindustrian
Ada Tidak ada
Migas
PHKA
Perhubungan
Dampak yang Diadaptasi
3 3
3 3 3
32
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
lembaga baru, kemitraan dengan kalangan swasta dan seluruh lapisan masyarakat sipil (civil society) harus selalu diupayakan. Keterbatasan pemerintah harus dikemukakan secara terbuka kepada seluruh pemangku kepentingan karena pada hakikatnya iklim menyangkut kemaslahatan orang banyak.
Hutan dan Tata Ruang di Indonesia Emisi GRK Indonesia tahun 2005 yang hendak dilaporkan kepada Sekretariat UNFCCC adalah sekitar 2 miliar ton CO2, lebih dari separuh berasal dari kegiatan kehutanan dan alih guna lahan.3 Angka-angka tersebut diperoleh dari laporan dan data yang tersedia di setiap kementerian tekait seperti tercantum dalam Tabel 1. Sesungguhnya, masih banyak sumbersumber emisi tidak terhitung karena tidak tercatat oleh kementerian mana pun. Padahal, sumber tersebut sangat potensial menjadi bagian dari pemecahan masalah emisi. Misalnya, kegiatan alih guna lahan di luar kawasan hutan dan nonhutan. Hal ini dijumpai pada kawasan rawa gambut yang hendak dikonversi menjadi perkebunan. Aktivitas ini tentu tidak dijumpai di Kementerian Kehutanan, karena berada di luar kawasan hutan, dan hampir pasti emisinya tidak dicatat di Kementerian Pertanian atau Kementerian Dalam Negeri, karena urusan emisi bukan tugas pokok dan fungsi unit tersebut; apalagi jika emisi yang ditimbulkan bukan berasal dari kebakaran lahan gambut. Emisi dari lahan gambut dapat berasal dari proses pengeringan atau oksidasi bahan organik yang mendominasi lahan gambut (meskipun di atas permukaan sudah tidak ditumbuhi hutan
3
Lihat, Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Indonesia Second Communication under United Nations Framework Convention on Climate Change: Summary for Policy Makers (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2009).
lagi). Perlu pula dicatat bahwa laju deforestasi lahan gambut antara 2000-2005 tercatat sekitar 4 100.000 hektar per tahun. Deforestasi dan kerusakan hutan juga berkaitan dengan tumpang tindihnya peruntukan kawasan (hutan) lindung dengan konsesi pertambangan. Terlebih lagi jika proses penambangannya berupa penambangan terbuka yang membersihkan vegetasi (hutan) dan mengupas permukaan tanah hingga pada kedalaman bahan galian. Jika pemerintah hendak melakukan mitigasi dan mencapai target nasional, tidak ada pilihan lain. Masalah hutan, lahan gambut, dan pertambangan perlu ditangani secara serius dan penataan ruang yang komprehensif harus diprioritaskan. Kewenangan tata ruang bersifat koordinatif yang diberikan kepada Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) selama ini tampak kurang efektif, dan sama sekali tidak menyentuh upaya mitigasi perubahan iklim secara konkret. Semangat menyusun Rencana Tata Ruang ke tingkat wilayah lebih kecil perlu diberi “muatan lokal”, khususnya di wilayah yang memiliki potensi tambang dan gambut sangat besar. Petunjuk dan pilihan mengarah pada perhitungan ekonomi, sosial dan lingkungan harus disiapkan sehingga daerah dapat terhindar dari kebijakan pemerintah pusat yang tidak hanya top-down, tetapi juga cenderung seragam. Cuaca dan iklim tidak perlu hanya menjadi bahan pembicaraan masyarakat Indonesia, tetapi melekat di sanubari mereka, karena semua dilibatkan sehingga memiliki sense of belonging yang tinggi. Urusan iklim bukan monopoli elite tertentu, termasuk ilmuwan. Semua akan merasakan akibatnya jika salah urus. Semua juga akan mendapat manfaat jika
4
Lihat, Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, Consolidation Report Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation in Indonesia (Jakarta: Ministry of Forestry of the Republic of Indonesia, 2008). T O P I K
Daniel Murdiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi
mampu memunculkan isu global ini menjadi relevan di tingkat akar rumput. Sekalipun percaturan di tingkat global mengalami pasang surut, kita tidak boleh lengah dengan perubahan iklim yang sudah terjadi saat ini dan di sini. Kita adalah “korban” (victim) perubahan iklim. Terlebih lagi kelompok masyarakat yang rentan (miskin, berpendapatan rendah, tidak memiliki akses yang cukup pada
T O P I K
33
pendidikan dan kesehatan), adalah golongan yang harus mendapat prioritas secara nasional. Jika keadilan berpihak kepada mereka, keputusan apa pun yang akan diambil penyelenggara negara akan mendapat dukungan luas. Semakin banyak orang membicarakan iklim kian ramai pula yang akan membantu, karena masalah perubahan iklim ke depan adalah soal hidupmati.•
34
Prisma
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
ESAI
Iklim, Ilmu, dan Kekuasaan Daniel Dhakidae
Apa pun bisa diberikan kepada, dan dikatakan tentang, ilmu kecuali kepastian, karena ilmu tidak mengejar kepastian akan tetapi memecahkan soal, menjawab pertanyaan alam dan masyarakat dalam suatu rentetan tanpa putus antara pertanyaan dan jawaban yang melahirkan lagi pertanyaan dan jawaban baru. Karena itu, bertanya adalah langkah pertama dari ilmu apa pun. Mengajukan pertanyaan yang benar selalu dikatakan sebagai separuh jawaban ada di tangan. Ilmu keras tidak mempersoalkan opini; ilmu mempersoalkan penemuan yang berarti fakta dan setiap fakta melahirkan pertanyaan baru bagi setiap zaman. Semuanya itu seperti pupuk dan membawa ilmu keras ke dalam perkembangan yang berlipat ganda sejak ditemukan puluhan abad lalu. Dukungan teknologi, yang sering menjadi anaknya sendiri, membawanya ke puncak-puncak perkembangan dan semakin meningkatkan perkembangan tersebut sebegitu rupa sehingga pada saat tertentu apa yang menjadi misteri pada abad-abad lalu tentang surga dan langit, neraka dan bumi—yaitu pusat-pusat kosmologi kuno—seakan-akan telah dibuka, dan yang disebut misteri seolah-olah menjadi dongeng tentang dongeng.
Paradoks Ilmu Namun, semakin ilmu berkembang dan semakin mencapai kepastian, kepastian itu
berubah menjadi titik awal untuk sesuatu yang baru lagi, yaitu ke-tidak-pasti-an. Di sana paradoks ke-tidak-pasti-an justru berawal, dan memaksa ilmu itu untuk berproses baru lagi. Berbagai teknologi ditemukan untuk mengintip alam semesta. Penemuan kelompok bintanggemintang dengan jarak ratusan juta kilometer jadi awal ke-tidak-pasti-an baru tentang apa dan siapa yang mampu menjejakkan langkah di sana, dengan pertanyaan mengusik dari zaman ke zaman apakah ada kehidupan di sana. Jarak menjadi absolut jauhnya, dan dengan begitu membuat ke-tidak-pasti-an dan ke-tidaktahu-an menjadi absolut lagi. Semakin sinar terang ilmu berpancar semakin awan kelam ketidak-tahu-an menampakkan diri. Hal yang sama menimpa para ahli klimatologi ketika kepastian prediksi ilmiah sekaligus juga memancarkan ke-tidak-pasti-an. Kepastian di sisi yang satu diralat oleh ketidakpastian di sisi lain. Kepastian tentang daya rusak carbondioxide diralat oleh kemampuan water-vapor di awan dan lain-lain yang mampu mendinginkan bumi. Kepastian karbon dioksida meningkatkan panas bumi dilawan oleh kenyataan lain bahwa karbon bisa berfungsi sebagi pupuk ideal untuk meningkatkan pertumbuhan hutan dan hasil panen (Freeman Dyson, dalam the New York Times Magazine, 25 Maret 2009). Di sisi lain, bumi yang panas bukan baru sekarang untuk pertama kalinya akan tetapi sudah dan pernah berlangsung lama sejak Abad Tengah karena diperkirakan berada dalam suatu
Esai
siklus bumi-panas dan bumi-dingin. Semuanya semakin menyumbang pada ke-tidak-pasti-an sehingga the Economist menyimpulkannya dalam judul yang begitu merisaukan ketika membahas perubahan iklim sebagai “the cloud of unknowing”, suatu pengetahuan penuh yang selalu berisiko untuk berubah menjadi awan ketidak-paham-an.
Tropikalisme dan Perubahan Iklim Hanya dalam iklim tertentu manusia hidup. Namun, dalam hidupnya sepanjang masa berbagai jenis manusia, dari berbagai jenis suku bangsa sudah menunjukkan daya tahan luar biasa, di dalam teriknya padang gurun sampai ke wilayah di mana kebekuan adalah hidupnya. Karena itu, sepanjang masa manusia menunjukkan kemampuan hidup dalam segala jenis iklim dari yang terpanas sampai ke yang terdingin. Dengan demikian, daya tahan dan kontribusi kultural juga memegang peran. Setiap jenis iklim memberikan sumbangan kebudayaan kepada manusia dan dengan kebudayaan tersebut manusia dan masyarakat manusia menyesuaikan diri dan menaklukkan iklim. Karena itu, paham tentang iklim “baik” atau “pemurah” dan “buruk” atau “berbahaya”, kalau itu dikatakan tentang iklim di luar kebudayaannya, selalu memberi makna lain. Akan tetapi, kelain-an dan perbedaan itu hanya boleh dipahami dalam arti bahwa iklim mendapatkan kategori moral melalui penilaian manusia, yaitu penilaian yang mendukung kenikmatan dan kemampuan kita, demikian Mike Hulme, ahli iklim berkebangsaan Inggris. Dikatakan selanjutnya: Tidak ada suatu moralitas pasti dan universal yang menjadi dasar menilai suatu iklim. Apakah iklim “baik” stabil atau berubah-ubah? Apakah iklim “buruk” tidak dapat diprakirakan atau sesuatu yang terlalu panas atau terlalu dingin bagi kenyamanan kita? ... Semua iklim sulit dan berbahaya, toh, semua
35
iklim bermanfaat dan merangsang kreativitas. Hanya sedikit sekali cuaca di bumi ini yang belum pernah dialami manusia, dan dari sana pun hidupnya tetap berlanjut (Mike Hulme, Why We Disagree About Climate Change [Cambridge: Cambridge University Press, 2009], hal.3).
Dengan kata lain, hidup dan alamnya menciptakan dinamika internal dalam bentuk adaptasi klimatik dan mengembankan supremasi kebudayaan berdasarkan itu. Berbudaya dan berkreasi ditentukan oleh iklim yang menjadi sumber hidup dan sumber inspirasi. Apa yang dikatakan di atas adalah pedang bermata dua. Sisi pedang yang lain adalah sisi hitam rasial. Supremasi ras sering kali berdasarkan moral judgment terhadap supremasi iklim, karena itu iklim dingin dan sedang identik dengan kemapanan dan kemampuan moral menahan umbaran hawa nafsu. Sedangkan iklim panas berhubungan dengan segala jenis keburukan dan lain-lain. Dalam hubungan itu tidak jarang iklim tropis disamakan dengan keterbelakangan dan keburukan moral lainnya. Masa kolonial bangsa ini pun mengenal apa yang disebut sebagai tropische journalisten yang tidak lain dari wartawan penuh nafsu amarah dengan kritik sepedas cabai tanpa kendali. Dengan seluruh simpatinya Johann Wolfgang von Goethe menyimpan kesan yang demikian pula ketika diberikan komentar dalam surat yang dialamatkan kepada seorang sahabatnya di Hindia Belanda tentang Batavia yang tidak pantas jadi kota. Jalan pikirannya adalah sebagai berikut. Kalau orang karena kebutuhan yang luar biasa menetap di tanah rawa, atau karena nasib berdiam di tempat-tempat yang tidak layak, seperti penduduk kota Roma pertama apa boleh buat; akan tetapi kalau tanpa alasan yang jelas, [berlaku] seperti seorang Kaiser besar melakukan hal yang tidak pantas, yang tidak menyenangkan bagi orang-orangnya pasti semata-mata menunjukkan prinsip monarki absolut. Seorang nelayan tua seharusnya
36
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
mengingatkannya bahwa tempat itu sama sekali tidak pantas untuk suatu kota. Di dalam benaknya dia membayangkan Amsterdam dan bangunan dam Belanda, tanpa melihat bahwa itu tidak cocok sama sekali di sini. Orang Belanda sendiri menanggung kesalahan terhadap keadaan Batavia [karena] mereka mengkhayal seolah-olah orang hidup tanpa merasa tersiksa di rawa-rawa di bawah teriknya matahari. Goethe mungkin tidak menghina Hindia Belanda yang tropis karena dia mencintai Kebun Raya Bogor, sedangkan yang “ditegurnya” adalah para pejabat Belanda yang memutuskan membangun Kota Batavia, yang menurut pikirannya tidak pantas menjadi kota di tengah rawa-rawa dan teriknya matahari. Supremasi iklim, supremasi ras, merangsang kolonialisme dalam banyak bentuk. Nama Hindia Belanda pun menjadi onze tropische eilanden, pulau-pulau tropis kita, yang siap dijajah, di samping “penemuan sesuatu yang lain yang eksotik”, the exotic Other. Penemuan berarti mengangkat yang hilang dan dengan itu menuntut pertobatannya kepada cara hidup yang mengenal kekangan moral untuk menjadi ugahari (temperate), demikian Lynne Phillips yang selanjutnya berkata: Pada masa lalu konsep tropika hidup bersama dengan tantangan kolonialisme untuk menaklukkan dunia; kini dalam dinamika pembangunan, konsep itu masih menyaturagamkan wilayah luas di dunia yang jadi milik kata itu (the tropics) sebagai tempat yang secara sosial lebih rendah tanpa produktivitas dan moralitas. ... Sebagai narasi besar “tropikalisme” mengandung pesan tentang cita-cita kepantasan perilaku bagi wilayah dunia yang tidak menunjukkan kelenturan mengikuti “rambu-rambu moral”, pesan mana lebih mengandung apa yang dinilai dalam imajinasinya tentang temperatur daripada tentang orang yang hidup bergenerasi-generasi di wilayah tropik (Lynne Phillips, “Changing Health Moralities in the Tropics: Ethics and the Other”, dalam Barbara Gabriel dan Suzan Ilcan (eds.), Postmodernism and the Ethical
Subject [Montreal dan Kingston: McGillQueen’s University Press, 2004], hal.254).
Karena itu tidak mengherankan bahwa iklim tropis yang panas dan penuh rawa dan nyamuk, penyakit, dan lain-lain selalu menjadi citra awal tentang wilayah itu. Panas dan penyakit dan kelak melekat dalam karakter tropikal seperti yang dicatat dengan sangat mengenaskan oleh Mas Marco dalam novelnya sebagai “kotor, bodo, males, tidak beschaafd”. Semuanya bisa dikategorikan sebagai karakter tropikal dalam pandangan rasis kolonial yang berasal dari hawa dingin. Dengan apa yang ditunjukkan oleh seluruh gemuruh tentang perubahan iklim sebenarnya yang kita lihat adalah pertarungan antara keunggulan ilmu dan, berdasarkan itu, atas peri mana suatu rancangan kebudayaan harus dibangun. Penolakan terhadap batu bara—suatu cara membangun yang relatif termurah dan ada teknologi untuk mengurangi dampak polutifnya—menjadi pertanda untuk itu. Pertarungan antara keputusan kebudayaan terhadap iklim dan supremasi iklim yang semuanya didukung oleh ilmu yang juga dalam dirinya berkuasa. Sejak abad ke-17 pun Francis Bacon sudah mengumandangkan nam et ipsa scientia potestas est, karena ilmu pengetahuan itu sendiri adalah kekuasaan.
Ramalan dan Nubuat Sepanjang Masa Kesadaran tentang hidup sama tuanya dengan kesadaran tentang kematian dan dua jenis kesadaran itulah yang berperan melahirkan kebudayaan manusia. Karena itu, ritual kematian tidak jauh dari ritual kehidupan, sama megahnya. Karena itu juga cinta hidup, biophilia, dan cinta mati, necrophilia, selalu bertanding dalam hidup normal yang tidak kurang menyebabkan krisis demi krisis dari masa kuna sampai zaman modern. Social and
Esai
political biophilia selalu bertanding dengan social and political necrophilia. Biophilia Nazisme selalu berujung pada tindakan-tindakan necrophilic seperti pembunuhan massal dan lain-lain yang menjadi musuh biophilia mempertahankan “kemurnian” ras Aria. Sisi lain dari itu adalah obsesi tentang kiamat yang berada di Timur dan di Barat. Tidak ada sumber di negeri ini yang paling siap dan yang paling banyak dipelajari daripada kesusastraan Jawa. Ramalan paling populer adalah apa yang disebut sebagai “Jangka Jayabaya”, atau “ramalan Jayabaya”, abad ke-12. Namun, pesona terhadap ramalan itu berlangsung sebegitu rupa sehingga jauh-jauh mengatasi kritisisme terhadap originalitasnya. Akibatnya, ramalan-ramalan yang beredar lebih menjadi “ramalan setiap orang” kecuali “ramalan Jayabaya” sendiri. Namun, dengan menjadi “ramalan setiap orang”, obsesi terhadap maut itu menjadi bagian paling akrab dalam kehidupan masyarakat. Di sana bercampur-baur antara rasa bangga tentang kemampuan bernubuat yang berumur ratusan tahun, sebegitu rupa, sehingga jauhjauh mengatasi ketakutan akan maut kolektif pada masa datang. Semuanya terbalik-balik di sini, ketakutan tidak menjadi dasar bertindak, kebanggaan menjadi hampa, sedangkan persoalan tetap terbuka tanpa penyelesaian. Prediksi para ahli tentu saja berbeda, namun begitu menakutkan sehingga rasa takut itu sendiri menghilang. Dalam kepastian ramalanramalan dibuat tentang permukaan laut yang naik tak terbendung dan mencerai-beraikan jutaan orang; glasier di tempat tinggi lumer dan mengancam persediaan pangan untuk bermiliar orang; laut yang penuh zat acid akan mengancam pangan untuk bermiliar lagi yang lain. Bila disanding dengan nubuat tua dari nabinabi agama-agama hanya sedikit sekali perbedaan akan dilihat di sana meski nubuat dibuat karena “penampakan” makhluk gaib, sedangkan prediksi dibuat karena “akumulasi data” da-
37
ri alam nyata. Nubuat diberikan kepada hanya seorang sedangkan prediksi adalah akumulasi pengetahuan kolektif dari suatu komunitas ilmiah. Namun, dengan melihat rentang-zaman saja sungguh mengagumkan bahwa psikologi apokaliptik itu begitu menyatu dengan manusia— sekurang-kuranganya dari lima ratus tahun Sebelum Masehi ketika Belteshazzar versi Parsi, atau Daniel dalam versi Yahudi, dalam kerajaan Darius meramal tentang berakhirnya kerajaankerajaan Persia sampai abad ke-21 ketika pada bulan September 2008 harian the Sun Inggris meramal bahwa end of the world due in 9 days, “dalam tempo sembilan hari dunia akan kiamat” (The Sun, 1 September 2008). Dengan penampakan nabi-nabi bernubuat tentang kiamat bahwa “gempa mengguncang bumi, dan matahari jadi hitam dan kelam seperti karung dan bulan jadi darah. Bintanggemintang di langit jatuh ke bumi layaknya buah pir mentah berguguran dari pohonnya ketika diguncang badai. Langit dicabik-cabik seperti sobekan buku yang jatuh terkapar menggelentang, dan gunung-gemunung dan pulau-pulau digusur dari tempatnya masingmasing” (Apocalypsis) Bahwa dunia akan “kiamat dalam tempo sembilan hari” tentu saja absurd; bahwa pulau kecil akan tenggelam dalam tempo beberapa puluh tahun ke depan tentu saja menakutkan. Bahwa “Pulau Jawa mungkrat” adalah kepercayaan dari “ramalan setiap orang” tentang kiamat. Sungguh mengejutkan bahwa semuanya itu pun tidak jauh dari prediksi para ahli tentang lumernya kutub dan gunung-gunung es yang mengakibatkan naiknya permukaan laut yang akan menenggelamkan pulau-pulau kecil, dan mengecilkan pulau-pulau besar. Di tengah absurditas nubuat dan rasa takut terhadap prediksi siapa pun tidak mampu lagi membedakan di mana ilmu berhenti, dan teologi mulai. Di mana ilmu klimatologi berhenti dan teologi apokaliptik mulai.•
38
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Ekonomi Perubahan Iklim Dari Kegagalan Pasar Menuju Ekonomi Rendah Karbon Mubariq Ahmad
Dari sudut pandang teori ekonomi, perubahan iklim terjadi karena kegagalan mekanisme pasar dalam menginternalisasi emisi gas rumah kaca (GRK), akibat sampingan dari produksi barang dan jasa yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan umat manusia. Masyarakat internasional berusaha memperbaiki dengan mewajibkan negara-negara maju menurunkan emisi GRK melalui alih teknologi dan “ekonomi rendah karbon” (ERK). Bagi Indonesia yang “pro-gowth, projob dan pro-poor”, kesempatan ini perlu diselaraskan dengan urgensi penurunan tingkat kemiskinan dan kebutuhan ekonomi. Target penurunan emisi 26 persen, adalah langkah progresif sekaligus berisiko.
S
ejak awal dekade 1980-an, perubahan iklim mulai mencuat ke permukaan sebagai isu lingkungan hidup yang dikhawatirkan dapat mengganggu kesejahteraan dan kenyamanan hidup umat manusia. Selama dua puluh tahun lebih, isu ini disikapi dan dibahas dalam berbagai forum internasional sebagai isu terkait dengan perubahan fisik di alam raya. Meskipun ada beberapa ahli ekonomi yang menulis tentang ekonomi perubahan iklim sejak awal tahun 1990-an, isu perubahan iklim sebagai masalah ekonomi baru mencuat setelah terbitnya Stern Review pada awal 2007.1 Di dalam Review tersebut, Sir Nicholas Stern, ekonom kondang asal Inggris, menulis 1
Lihat, Nicholas Herbert Stern, The Economics of Climate Change: The Stern Review (Cambridge: Great Britain Treasury, Cambridge University Press, 2007).
bahwa perubahan iklim diperkirakan akan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat berarti bagi dunia. Stern memperkirakannya dalam skenario “business as usual” (BAU), yaitu jika pemerintah negara-negara maju tidak berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan pemerintah negara-negara yang terkena dampak tidak melakukan upaya adaptasi, maka kerugian akibat perubahan iklim dapat mencapai 14 persen dari produk domestik bruto (PDB) global pada pertengahan abad ke-21— jika semua nilai pasar dan nilai nonpasar diperhitungkan. Stern juga menyampaikan hipotesis bahwa biaya pencegahan kerusakan tersebut dari segi penurunan emisi GRK (disebut sebagai upaya mitigasi perubahan iklim) berkisar -2 persen (biaya negatif = manfaat) sampai 5 persen dari PDB; jauh lebih murah dibanding biaya kerusakan yang akan ditimbulkan oleh T O P I K
Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim
perubahan iklim jika pemerintah tidak melakukan tindakan. Dari segi pengurangan dampak dan penyesuaian kehidupan dalam situasi perubahan iklim yang diantisipasi (disebut upaya adaptasi), biayanya diperkirakan bisa mencapai 0,5 persen dari PDB di negara-negara maju yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Karena itu, Stern merekomendasikan agar pemerintah di seluruh dunia menyikapi masalah perubahan iklim sebagai masalah ekonomi, dan mulai mengambil langkahlangkah investasi secara serius untuk mengurangi tingkat kerugian ekonomi yang diantisipasi. Adanya ketidakpastian dalam berbagai estimasi biaya dan tingkat risiko yang beragam seyogyanya memacu percepatan aksi pemerintah, bukan menjadikannya alasan untuk tidak berbuat apa-apa. Kehadiran Stern Review juga membangkitkan tuntutan baru terhadap ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi dihadapkan pada sebuah tantangan unik untuk menjelaskan fenomena perubahan iklim sekaligus memberi jawaban bagaimana mengatasi fenomena ini dari sisi ekonomi. Sederet pertanyaan menggantung tidak hanya di kalangan awam tetapi juga di pihak pemerintah, terutama lembaga-lembaga terkait dengan perumusan kebijakan ekonomi dan pembangunan. Di antaranya adalah bagaimana menghitung biaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim? Apakah setiap bangsa harus melakukan investasi sekarang untuk mitigasi dan adaptasi suatu keadaan yang diperkirakan “baru” akan terjadi di masa depan? Bagaimana menentukan prioritas investasi antara upaya mitigasi dan adaptasi, dan mana yang dipilih di antara berbagai program? Apakah Indonesia seperti negara berkembang lainnya adalah korban atau justru ikut menjadi penyebab perubahan iklim? Apakah negara berkembang harus ikut menanggung biaya kerugian yang akan terjadi? Bagaimana jalur pembangunan ekonomi rendah karbon (ERK) dapat dijelaskan sebagai pilihan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang masuk akal untuk T O P I K
39
masa depan? Bagaimana transisi menuju pembangunan ERK itu akan dibiayai? Jika perubahan iklim adalah dampak dari kegagalan ekonomi berbasis pasar bebas, masih adakah peran pasar dalam skenario kebijakan dan kegiatan ekonomi di masa depan? Tulisan ini mencoba menjawab sebagian pertanyaan di atas dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang yang masih perlu membangun kesejahteraan masyarakat, sekaligus sebagai negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim dan sebagai penyumbang emisi GRK. Sebagai penyumbang emisi GRK signifikan, Indonesia secara potensial juga dapat memberi sumbangan solusi global melalui mitigasi perubahan iklim. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas konteks teoretis fenomena perubahan iklim dari sudut pandang ekonomi, kesepakatan-kesepakatan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change; UNFCCC) yang relevan bagi Indonesia, konsep ERK, isu biaya dan pendanaan investasi terkait penanggulangan perubahan iklim, serta sikap dan inisiatif Pemerintah Indonesia. Pada akhir tulisan dibahas berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam upaya mewujudkan “ekonomi rendah karbon”.
Perubahan Iklim sebagai Fenomena Kegagalan Ekonomi Pasar Gejala perubahan iklim mencakup kenaikan suhu udara rata-rata secara global dan relatif cepat sejak manusia memasuki era industrialisasi. Sebelum itu, bumi tidak pernah mengalami kenaikan suhu begitu cepat. Karena itu, gejala perubahan iklim tidak dapat dipisahkan dari peningkatan kegiatan ekonomi umat manusia—produksi dan konsumsi—terutama sejak mesin-mesin industri dan transportasi ditemukan. Dalam teori fisika, perubahan iklim terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
40
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
di atmosfer bumi. Konsentrasi GRK meningkat karena bertambahnya kegiatan ekonomi dunia yang menimbulkan emisi GRK. Emisi GRK berasal dari dekomposisi biomassa tak terpakai (misalnya, sisa penebangan hutan dan sampah organik), asap pabrik dan kendaraan bermotor yang mengandung CO2, pertanian lahan basah yang mengeluarkan gas metana, dan berbagai emisi gas berbahaya lainnya. Penumpukan dan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menimbulkan efek rumah kaca, yaitu meningkatnya suhu udara permukaan bumi karena terkurungnya pantulan energi sinar matahari. Secara teori ekonomi, perubahan iklim terjadi karena emisi GRK adalah eksternalitas dari kegiatan ekonomi (produksi dan konsumsi). Disebut eksternalitas karena kerugian yang diakibatkan oleh dampak emisi GRK tidak diperhitungkan sebagai komponen biaya bagi produsen maupun konsumen yang menimbulkan emisi tersebut. Mekanisme pasar tidak dapat atau gagal memperhitungkan biaya kerugian tersebut dan tidak dapat membebankannya kepada pelaku emisi karena dampaknya bersifat tidak segera dan langsung. Beban dampak yang diterima seseorang tidak dapat dipisahkan dengan beban yang ditanggung orang lain, dan penyebabnya tidak dapat diatribusikan secara spesifik kepada pelaku tertentu. Dampak dan penyebab yang bersifat kolektif tidak memungkinkan pasar mengalokasikan beban biaya dan membayarkannya kepada pihak yang terkena dampak. Karena atmosfer tempat terkonsentrasinya GRK adalah milik bersama secara global (global common), maka urusan pengalokasian beban tersebut tidak dapat diserahkan kepada satu pemerintah saja. Karena itulah dunia membentuk UNFCCC sebagai global platform untuk menangani isu perubahan iklim. Dari kacamata ilmu ekonomi, UNFCCC dibentuk untuk melakukan berbagai pengaturan dan menciptakan institusi tingkat global yang menginternalisasi biaya kerugian akibat emisi GRK. Fakta bahwa berbagai riset dan konferensi telah digelar dengan biaya
sangat besar—dan hasilnya belum tuntas — menunjukkan bahwa dunia pantas dan bersedia membayar biaya transaksi untuk menciptakan pasar bagi upaya internalisasi eksternalitas yang dikhawatirkan dapat mengganggu kehidupan umat manusia di masa depan.
Dimensi Ekonomi dalam Kesepakatan UNFCCC Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) adalah satu dari dua konvensi internasional yang disepakati dalam Earth Summit atau Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992.2 Earth Summit juga menandai awal penggunaan instrumen ekonomi untuk penanggulangan masalah lingkungan hidup secara global. Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim memuat dua poin utama: (1) menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat perubahan iklim yang disebabkan oleh kegiatan manusia; dan (2) memberi jalan bagi adaptasi ekosistem terhadap perubahan iklim tanpa memengaruhi produksi pangan, dan membuka jalan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Dengan segala keterbatasannya sebagai organisasi multilateral yang berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNFCCC merumuskan dan menetapkan berbagai aturan dan mekanisme global untuk menangani perubahan iklim melalui kesepakatan yang dibangun oleh pemerintah negara-negara peserta dan penandatangan konvensi. UNFCCC menganut prinsip “common, but differentiated responsibility” sebagai cerminan dari pengakuan bahwa atmosfer adalah global common, dan adanya 2
Konvensi kedua adalah UN-CBD (United Nations Convention on Biological Diversity); lihat, www.cbd.org. T O P I K
Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim
perbedaan kemampuan ekonomi di antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dalam upaya menanggulangi perubahan iklim. Pada 1997, UNFCCC menyepakati Protokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara maju mengurangi emisi kolektif GRK sampai 5 persen dari level tahun 1990 yang harus dicapai pada tahun 2008-2012, dan mengizinkan perdagangan karbon secara global melalui mekanisme clean development mechanism (CDM). CDM memungkinkan negara-negara berkembang membangun perekonomian dengan menggunakan teknologi rendah karbon, dan menjual carbon credit yang dihitung berdasarkan selisih emisi karbon antara teknologi yang digunakan dan teknologi alternatif yang tersedia, dan pembuktian penciptaan kredit itu sebagai upaya tambahan (additionalities) terhadap apa yang memang sudah seharusnya dilakukan. Kredit karbon yang sudah disertifikasi (certified emission reduction/CER) dijual kepada negara maju. Negara berkembang mendapat kompensasi dalam bentuk dana “pembangunan bersih”. Skema CDM juga memungkinkan penciptaan kredit karbon melalui upaya penghutanan kembali (reforestation) dan menghutankan (afforestation). Secara teoretis, mekanisme ini diharapkan mendukung transisi teknologi industri di negara maju dan, terutama, di negara berkembang yang memerlukan dana dan teknologi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam pelaksanaannya, Protokol Kyoto menghadapi banyak kendala. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, tidak meratifikasi protokol tersebut dan praktis menghambat implementasinya. China dan India merupakan dua negara yang banyak memanfaatkan fasilitas CDM, khususnya dalam sektor kehutanan. Di Indonesia, hanya ada enam proyek CDM yang berjalan, dan tak satu pun menyentuh sektor kehutanan. UNFCCC terus berupaya menuju pada kesepakatan global untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada level 450 ppm (parts T O P I K
41
per million) CO2e yang berasosiasi dengan o kenaikan suhu rata-rata global sebesar 2 C (dua derajat Celcius). Istilah 450 ppm CO2e merujuk pada tingkat konsentrasi berbagai macam komposit GRK yang sepadan (ekuivalen) dengan konsentrasi 450 ppm gas karbon dioksida di udara bebas. Kenaikan suhu lebih dari 2OC diperkirakan akan menimbulkan kerugian ekonomi sangat besar dan ketidaknyamanan bagi umat manusia. Sayangnya, pertemuan Conference of Parties (sering disebut COP) ke-15 negara-negara peserta UNFCCC di Kopenhagen, Desember 2009, tidak juga menghasilkan komitmen yang secara hukum mengikat negara-negara anggota konvensi untuk menstabilkan GRK pada level 450 ppm CO 2 e. Copenhagen Accord, yang diharapkan menjadi kesepakatan yang secara hukum mengikat dalam COP ke-16 UNFCCC di Meksiko pada penghujung 2010, hanya menyatakan tentang perlunya pembatasan kenaikan suhu sebesar dua derajat Celcius tanpa disertai komitmen yang mengikat. Copenhagen Accord, dari sisi positif, memuat komitmen untuk mendaftarkan target penurunan emisi negara-negara maju dan aksi mitigasi negara-negara berkembang hingga tahun 2020 pada akhir Januari 2010, dan mempertahankan Protokol Kyoto dengan memperkuat komitmen penurunan emisi yang telah dicakup sebelumnya. Keberlanjutan Protokol Kyoto dianggap penting oleh negara berkembang sebagai kerangka kompensasi dan pendanaan menuju teknologi bersih. Namun, negara-negara maju (dalam kategori UNFCCC disebut Annex I) mempertanyakan keberlanjutannya, karena Amerika Serikat belum meratifikasi Protokol Kyoto. Copenhagen Accord juga mengusulkan pembentukan Copenhagen Green Climate Fund di bawah otoritas UNFCCC dengan menghimpun modal sebesar US$ 30 miliar sampai dengan tahun 2012, dan mobilisasi dana US$ 100 miliar per tahun pada 2020. Dana tersebut sangat diperlukan untuk mendukung berbagai investasi, baik untuk kegiatan mitigasi maupun
42
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
adaptasi perubahan iklim. Dana ini juga akan digunakan untuk membangun mekanisme dan mendukung pembiayaan transfer teknologi dan “REDD-plus” (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), yaitu upaya penurunan emisi dari pengurangan penebangan (deforestation) dan kerusakan hutan, termasuk kompensasi untuk manfaat tambahan seperti keanekaragaman hayati. Copenhagen Accord juga memuat tentang perlunya mekanisme “MRV” (measuring, reporting and verification of emission reduction) yang koheren secara internasional, terutama untuk kegiatan penurunan emisi GRK yang menuntut kompensasi di luar negara bersangkutan. Kesepakatan stabilisasi GRK setingkat 450 ppm CO2e memiliki implikasi ekonomi sangat luas, baik untuk negara maju maupun negara berkembang. Negara-negara Annex I diwajibkan menurunkan tingkat emisi GRK masingmasing ke tingkat emisi tahun 1990 melalui perbaikan teknologi produksi dan efisiensi konsumsi. Negara-negara berkembang seperti Indonesia masih diizinkan untuk meningkatkan emisi GRK-nya dalam rangka membangun kesejahteraan masyarakat, tetapi diharapkan segera mengadopsi teknologi climate-friendly (ramah terhadap iklim). Saat tingkat kesejahteraan masyarakat negara berkembang menyamai atau seimbang dengan masyarakat negara maju, negeri-negeri berkembang wajib menurunkan emisinya. Secara teoretis ekonomi, UNFCCC bisa menetapkan beberapa mekanisme insentif yang dapat mendorong negara-negara maju dan berkembang mewujudkan kesepakatan itu secara efisien. Untuk mempercepat penurunan emisi, negara-negara maju diizinkan membeli kredit emisi. Sebaliknya, negara-negara berkembang mendapat bantuan dana dalam bentuk hibah dan utang serta transfer teknologi untuk mempercepat pembangunan negara-negara ini. Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di segala bidang, negara berkembang yang umumnya kesulitan pendanaan harus didorong untuk mengadopsi teknologi climate-friendly
dalam setiap investasi baru yang berpotensi memengaruhi emisi GRK. Negara-negara berkembang didorong untuk menumbuhkan perekonomian sambil menempatkan pertumbuhan ini dalam jalur yang ramah terhadap iklim. Suatu perekonomian yang memanfaatkan teknologi ramah iklim, yang sebagian besar berorientasi pada penurunan kadar karbon dan GRK lain dalam kegiatan ekonomi, disebut “ekonomi rendah karbon”. Berbagai mekanisme yang disepakati di tingkat UNFCCC dalam pelaksanaannya memunculkan sejumlah kontroversi. Sebagian negara berkembang menuding bahwa dengan mengizinkan negara maju membeli kredit emisi (misalnya, carbon credit), negara maju tidak akan serius dalam menurunkan emisi GRK-nya. Mereka khawatir kewajiban menurunkan emisi hanya akan dipenuhi melalui mekanisme offset karbon. Dorongan agar negara berkembang menciptakan kredit emisi untuk dibeli oleh negara maju dianggap akan melanggengkan ketimpangan tingkat kesejahteraan antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju dapat melanjutkan tingkat konsumsi yang sekarang dan mengompensasi emisi melalui pembelian kredit emisi, sedangkan negara berkembang tidak bisa meningkatkan kesejahteraan karena lahan yang dijadikan basis produksi kredit emisi tidak dapat dibangun/ digunakan secara produktif. Negara berkembang juga menuduh negara maju tidak serius dalam melakukan transfer teknologi, sehingga menyulitkan negara berkembang mentransisikan perekonomian ke jalur ERK.
Konsep Dasar Ekonomi Rendah Karbon dan Peran Mekanisme Pasar Ekonomi Rendah Karbon Bagian ini mencoba menggambarkan “ekonomi rendah karbon” dari berbagai sumber. Sayangnya, belum tersedia literatur yang memadai sebagai referensi utuh mengenai subjek ini. Stern Review, laporan Bank PemT O P I K
Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim
bangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia yang masing-masing memuat perspektif regional dan global mengenai dampak perubahan iklim, serta berbagai studi tentang “ekonomi hijau” dan ERK 3 di Indonesia turut mewarnai konstruksi ini. Stern Review mencoba menggugah para pemimpin dunia bahwa perubahan iklim bisa membawa risiko kerugian ekonomi sangat parah, dan karena itu perlu direspons dengan kebijakan ekonomi. Dampak perubahan iklim mulai dirasakan di seluruh dunia. Bencana alam terkait dengan perubahan iklim, seperti banjir dan badai, makin sering terjadi dan mengakibatkan kerugian amat besar, termasuk di Inggris dan negara-negara Eropa. Suhu yang memanas diperkirakan akan menurunkan produktivitas pertanian pangan dan produktivitas sektor perikanan, karena rantai makanan yang berpangkal pada terumbu karang rusak akibat peningkatan suhu air laut. Dari sudut ketersediaan sumber daya genetika dan produksi pangan, banyaknya spesies yang akan punah mulai menimbulkan kekhawatiran tentang integritas sistem pendukung kehidupan manusia di masa depan. Pada dasarnya semua risiko tersebut mengarah pada isu ketahanan pangan (food security) dan integritas lingkungan hidup yang berimplikasi luas pada kesejahteraan ekonomi, serta kemungkinan terjadinya migrasi besar-besaran. Negara dan penduduk miskin adalah pihak pertama yang akan merasakan dampaknya. Bank Dunia memperkirakan tiga perempat kerugian akibat perubahan iklim dalam skenario “business as usual” akan di-
3
Materi ini merupakan gabungan pemikiran dari berbagai referensi, antara lain, Stern, The Economics of Climate Change…; The World Bank, Development and Climate Change: World Development Report 2010, 2009; Asian Development Bank, Economics of Climate Change in Southeast Asia: A Regional Review, 2009; Ministry of Finance Republic of Indonesia, Indonesia Green Paper: Economic and fiscal policy options for climate change mitigation in Indonesia, 2009; dan “The Economics of Biodiversity and Ecosystem”, dalam Climate Change Update, 2009.
T O P I K
43
tanggung oleh negara-negara berkembang.4 Perubahan iklim menghambat pertumbuhan ekonomi karena penurunan produktivitas, dan berpotensi merusak berbagai capaian pembangunan, misalnya infrastruktur. Dalam kacamata ekonomi, kita dituntut untuk menyadari bahwa emisi GRK adalah biang keladi perubahan iklim di masa lalu yang senantiasa didorong oleh pertumbuhan ekonomi. Dalam visi ekonomi rendah karbon, stabilisasi konsentrasi GRK bisa (feasible) dilakukan secara konsisten dengan upaya menumbuhkan ekonomi. Oleh karena itu, semua negara/ pemerintah di dunia perlu memastikan apakah pembangunan ekonomi sudah berada pada jalur pertumbuhan rendah karbon. Setiap negeri, termasuk yang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi, perlu mengupayakan perubahan pendekatan kebijakan ekonomi dan pembangunan agar dunia dapat menstabilkan konsentrasi GRK pada level 450 ppm CO2e. “Dekarbonisasi ekonomi” (decarbonizing the economy) dapat dicapai secara bertahap oleh negara-negara maju dan berkembang. Untuk negara maju yang diwajibkan menurunkan emisi, dekarbonisasi dilakukan dengan mengganti teknologi industri dan produksi energi menjadi rendah karbon. Negara berkembang yang masih diperbolehkan menaikkan emisi, menggunakan teknologi rendah karbon untuk beberapa investasi baru. Pembangkit energi listrik, industri, dan transportasi dipercaya sebagai tiga sektor utama penggerak perekonomian menuju ERK. Masyarakat konsumen perlu disadarkan akan dampak emisi karbon (carbon footprint) dari konsumsi dan gaya hidupnya, serta diarahkan untuk mengonsumsi barang yang diproduksi dengan emisi karbon minimum. Masyarakat produsen perlu dan harus merespons perubahan ini dengan menonjolkan fitur rendah karbon pada produknya, sehingga menjadi keunggulan kom4
The World Bank, A Climate for Change in East Asia and the Pacific: Key Policy Advice from World Development Report 2010, 2009, hal. 2.
44
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
petitif (competitive advantage) baru. Pendek kata, ERK memerlukan reorientasi kebijakan ekonomi pemerintah, pola produksi, dan pola konsumsi masyarakat. Melanjutkan pembangunan ekonomi dalam jalur ERK berarti melakukan mitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi GRK. Upaya mitigasi perubahan iklim sejalan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi, jika investasi dilakukan pada sektor-sektor yang dinilai akan menurunkan emisi GRK relatif terhadap “business as usual”. Produksi tenaga listrik dialihkan dari sumber berbasis fosil dan tak terbarukan ke sumber-sumber terbarukan seperti panas bumi dan energi surya, membangun industri baru dengan menggunakan teknologi lebih efisien dari sisi energi, mengefektikan pengelolaan hutan lestari, menghentikan konversi hutan alam menjadi area peruntukan lain, mass-rapid transport dijadikan tumpuan utama sistem angkutan nasional, memastikan dekomposisi lahan gambut dan sampah tidak mengeluarkan GRK. Semua potensi kredit karbon yang tercipta dari proses transisi menuju ERK dapat menjadi sumber pendanaan itu sendiri, meski tidak sepenuhnya. Transisi menuju ekonomi rendah karbon mulai diyakini sebagai kebijakan yang bermanfaat bagi Indonesia, tidak hanya dalam jangka panjang. Beberapa studi ekonomi yang mencoba menelusuri dampak kebijakan tersebut mengindikasi hasil yang positif. Penerapan pajak karbon, penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pergeseran sumber pembangkit listrik menuju sumber terbarukan seperti panas bumi, peningkatan efisiensi pemakaian energi di sektor industri, dan penerapan REDD, memungkinkan Indonesia dapat mencapai ERK dalam 20-30 tahun ke depan. Dalam proses transisi menuju ERK, beberapa studi mengindikasi Pemerintah Indonesia perlu berhati-hati terhadap dampak perubahan kebijakan tersebut pada distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan antardaerah. Dalam konteks kebijakan tertentu, seperti aplikasi REDD dan pengurangan subsidi BBM,
Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan mekanisme kompensasi untuk sekelompok kecil masyarakat yang mungkin terkena dampak negatif temporer dari transisi itu.5
Kebijakan Pokok yang Diperlukan dalam Transisi Menuju ERK Dalam transisi menuju ERK, Stern menyarankan tiga kebijakan yang perlu diterapkan secara bersamaan dan konsisten, baik di negara maju maupun di negara berkembang. (a) Kebijakan Penetapan Harga Karbon (carbon pricing) dan Pengembangan Pasar Karbon. Penetapan harga karbon — sesungguhnya merupakan refleksi dari biaya internalisasi emisi — merupakan dasar utama kebijakan pro-iklim. Harga karbon dapat ditetapkan melalui pajak, atau mewajibkan internalisasinya melalui peraturan pemerintah. Tujuannya agar setiap orang menghadapi konsekuensi dari tindakan konsumsi dalam bentuk biaya sosial penuh (full social cost) yang harus dibayar. Individu konsumen dan pelaku bisnis akan menjauh dari produk/ jasa dengan kadar karbon tinggi ke alternatif yang lebih rendah karbon. Pembayaran atas harga karbon juga dapat menjadi sumber pembiayaan untuk adopsi teknologi rendah karbon. (b) Kebijakan Teknologi Menuju Adopsi Teknologi Rendah Karbon dan Transfer Teknologi. Diperlukan kebijakan insentif bagi dunia usaha dan konsumen untuk mengadopsi
5
Setidaknya dua studi berikut mengindikasikan manfaat positif dari kebijakan transisi menuju “ekonomi rendah karbon”, jika diterapkan di Indonesia, yakni Ministry of Environment Republic of Indonesia, Padjajaran University, and Strategic Asia, Menuju Ekonomi Hijau: Alternatif Strategi Mencapai Pembangunan yang Pro-job, Pro-poor dan Pro-Environment (2009) (studi ini menggunakan model CGE statis) dan Mubariq Ahmad, Results of Low Carbon Economy Simulation Using Interregional Dynamic CGE Model (mimeograph, 2010). T O P I K
Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim
teknologi rendah karbon, termasuk pengurangan bea impor, pengurangan pajak, penetapan standar teknologi dan bahan bakar kendaraan bermotor, pembiayaan eksplorasi sumber-sumber energi rendah karbon, akuisisi dan riset teknologi rendah karbon, dan sebagainya. Idealnya negara berkembang dapat mengaitkan keperluan transfer teknologi dengan pemanfaatan berbagai pendanaan untuk investasi menuju ERK. (c) Penghapusan Hambatan bagi Perubahan Perilaku. Mekanisme regulasi atau deregulasi dapat memainkan peran penting dalam menghapus berbagai hambatan perubahan perilaku, termasuk aturan mengenai otoritas kelembagaan pemerintah, biaya transaksi (misalnya, system design) yang mahal, ketiadaan sistem informasi yang andal, atau sekadar kekakuan dan resistensi organisasi untuk berubah. Kebijakan informasi dan edukasi publik dapat membantu banyak dalam hal ini.
Pendanaan Ada sejumlah tantangan yang dihadapi negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam membangun kapasitas dan sumbersumber pendanaan untuk mentransisikan ekonomi menuju ERK. Dari segi pendanaan telah banyak berkembang inisiatif pendanaan untuk kegiatan penanggulangan perubahan iklim, baik untuk kegiatan mitigasi maupun adaptasi, serta pendanaan kegiatan pembangunan untuk mentransisikan perekonomian menuju ERK. Melalui hibah, pinjaman lunak, pinjaman setengah lunak dan bantuan penjaminan risiko serta mobilisasi dana swasta, lembaga-lembaga keuangan multilateral dan swasta internasional mencoba menawarkan berbagai fasilitas pendanaan kegiatan investasi terkait dengan upaya negara berkembang melakukan transisi menuju ERK. Clean Technology Fund (CTF), misalnya, menawarkan hibah dalam bentuk pengembangan rencana proyek pembangkit energi rendah T O P I K
45
karbon (terutama geotermal), pinjaman investasi sebagian modal dengan bunga 0,25 persen per tahun untuk mengungkil (leverage) pinjaman setengah komersial dan investasi modal swasta, pinjaman untuk menjamin risiko investasi swasta di sektor pembangkit listrik panas bumi, serta pinjaman lunak untuk berbagai pembangkit energi terbarukan lain dalam berbagai skala ekonomis. Kekhawatiran negara-negara berkembang akan mahalnya biaya investasi menuju ERK direspons oleh lembaga keuangan multilateral, lembaga pembangunan bilateral dan swasta internasional dengan menawarkan kesempatan tersebut. Negara berkembang yang tetap harus membangun dengan atau tanpa terjadinya perubahan iklim (terutama di bidang infrastruktur) dihadapkan pada sebuah pilihan cukup pelik, terus menambah utang dengan memanfaatkan pinjaman lunak berembel-embel climate finance atau mengikuti posisi G77 (kelompok 77 negara berkembang) yang mengatakan bahwa negara berkembang sebagai korban seharusnya mendapat bantuan hibah untuk menangani perubahan iklim, bukan berutang untuk ikut berkontribusi pada upaya mitigasi global dalam proses menuju ERK.
Apakah Transisi Menuju ERK Mahal? Selain ketersediaan pendanaan, kekhawatiran negara berkembang untuk segera melakukan transisi menuju ERK atau bahkan sekadar memberi komitmen untuk melakukan mitigasi dan adaptasi, adalah soal besarnya perkiraan biaya dan ketidakpastian manfaat dari tindakan yang akan dilakukan. Perkiraan biaya transisi menuju ERK, yang disebut secara umum dalam Stern Review sebagai biaya investasi mitigasi perubahan iklim, agar tercapai stabilisasi GRK sekitar 500-550 ppm CO2e berkisar di antara -2 persen sampai dengan 5 persen dari PDB dengan rata-rata 1 persen. Dibandingkan dengan nilai PDB yang akan hilang seandainya pemerintah tidak melakukan tindakan, yaitu antara 5-7 persen jika
46
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
hanya nilai pasar yang dihitung dan 11-14 persen jika semua nilai nonpasar ikut dihitung, tentu saja secara ekonomis upaya mitigasi menjadi sesuatu yang sangat menguntungkan untuk dilakukan. Bank Pembangunan Asia menghitung bahwa untuk negara-negara Asia Tenggara, upaya mitigasi perubahan iklim dapat menurunkan kerugian dari 6,7 persen menjadi 6 3,4 persen dari PDB. Perkiraan biaya mitigasi atau biaya investasi menuju ERK dapat menggunakan tiga pendekatan. Pertama, memperkirakan biaya program, proyek, dan kegiatan, yang akan berdampak langsung pada penurunan emisi. Pendekatan mikro ini sangat bermanfaat untuk menentukan pilihan kebijakan relatif efisien (cost-effective) terhadap dampak yang ingin dicapai. Kedua, model ekonomi makro yang dapat memperkirakan dampak sebuah kebijakan terhadap perekonomian, baik sektoral maupun regional, jika model yang digunakan memuat variabel dan parameter yang relevan. Dalam pendekatan macro modeling yang sangat menuntut ketersediaan data ini, biaya mitigasi dapat diidentifikasi dalam dua bentuk: biaya untuk melakukan perubahan yang diinginkan dan kemungkinan kerugian yang ditimbulkan di tingkat regional dan sektoral. Model keseimbangan umum atau computable general equilibrium model (CGE) berbasis antarregional social accounting matrix (SAM) dapat digunakan untuk melacak dampak berbagai pilihan kebijakan mitigasi terhadap sektor perekonomian, distribusi biaya/manfaat antardaerah, dan usulan kebijakan mitigasi/adaptasi terhadap tingkat kemiskinan. Ketiga, menggunakan biaya marginal berupa tambahan biaya mitigasi yang harus dikeluarkan untuk setiap tambahan penurunan emisi GRK, dan membandingkannya dengan biaya sosial karbon per ton. Pendekatan ini menghasilkan perbandingan antara biaya dan manfaat per unit tambahan penurunan emisi dalam jangka waktu tertentu. Selisih antara nilai 6
Asian Development Bank, Economics of Climate Change …, hal. 89.
sekarang (present value) dari biaya sosial karbon dan biaya untuk tambahan per ton penurunan emisi selama periode analisis merupakan manfaat dari upaya mitigasi yang dilakukan. Walaupun ketiga pendekatan itu memasukkan angka dari perspektif yang berbeda, semua perkiraan biaya investasi untuk mitigasi per tahun mengerucut (converging) ke nilai rata-rata 1 persen dari PDB. Angka terendah dalam jangkauan estimasi menunjukkan biaya 2% (minus dua persen) dari PDB yang berarti upaya mitigasi menghasilkan manfaat positif, bukan tambahan beban biaya, bagi perekonomian. Misalnya, alih teknologi produksi dalam industri yang menggunakan energi secara intensif menuju mesin-mesin yang lebih efisien dalam penggunaan energi. Berbagai studi, termasuk yang dikerjakan Bank Dunia dan ADB, menganjurkan langkah menuju ERK dilakukan melalui kebijakan mitigasi dan adaptasi. Sektor kehutanan, energi, dan pertanian disarankan sebagai sektor utama yang masuk dalam upaya mitigasi, sementara sektor pertanian, kehutanan, pengelolaan air tawar, pengelolaan kelautan dan pesisir, kesehatan dan prasarana adalah sektor-sektor yang perlu diprioritaskan untuk upaya adaptasi. Sektor-sektor unggulan ini diajukan berdasarkan prakiraan efisiensi dan keefektifan (cost-effectiveness) dalam mencapai target mitigasi ataupun adaptasi. Dari semua usulan tersebut, sektor kehutanan muncul sebagai sektor berpotensi paling tinggi sebagai “low hanging fruit” dalam upaya mitigasi. Mitigasi di sektor kehutanan, khususnya dengan menghentikan konversi hutan menjadi kawasan peruntukan lain, merupakan langkah paling efektif dan murah. Negara-negara yang memiliki hutan alam, terutama negara berkembang, menjadi target pengembangan program dan proyek REDD yang berorientasi menciptakan kredit karbon dari hutan dan menjualnya sebagai sarana offset bagi emisi di negara maju. Pada satu sisi, negara-negara maju dan industri berkepenT O P I K
Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim
tingan mendorong penciptaan kredit karbon murah untuk keperluan offset, setidaknya dalam jangka pendek. Di sisi lain, negara berkembang dihadapkan pada sebuah dilema antara kebutuhan untuk mendapatkan dana pengelolaan hutan secara lestari dan keengganan untuk menjadikan hutan sebagai carbon sink bagi emisi negara maju. Kelompok negara berkembang khawatir mekanisme offset tidak mendorong kesungguhan negara maju untuk menurunkan emisi industrinya.
Peran Pasar dalam ERK Untuk menuju “ekonomi rendah karbon”, beberapa pasar perlu memainkan peran secara efektif. Pasar yang dimaksud adalah pasar karbon, teknologi rendah karbon, produk rendah karbon, dan pasar finansial. Dengan kata lain, ekonomi rendah karbon yang tercipta sebagai reaksi atas kegagalan pasar — mengatur eksternalitas emisi GRK dari kegiatan produksi — melalui berbagai “regulasi” di bawah payung UNFCCC justru menghasilkan empat pasar pendukung. Pasar karbon mengambil peran sebagai basis ERK dengan mendorong efisiensi dan internalisasi emisi GRK dalam kegiatan industri. Pasar ini memfasilitasi pelaksanaan aturan yang mewajibkan internalisasi GRK. Pasar teknologi rendah karbon terkait dengan pengadaan dan transfer teknologi rendah karbon, baik di sektor hulu (pembangkit tenaga listrik) maupun di sektor hilir (industri manufaktur). Sementara pasar produk rendah karbon merupakan sarana penjualan dan promosi produk yang diproduksi dengan fitur berkarbon rendah. Terakhir, pasar finansial berperan dalam pendanaan kegiatan produksi dan konsumsi barang dan jasa rendah karbon. Dalam perkembangan kemudian, berbagai regulasi di bawah UNFCCC telah melahirkan pasar karbon dan pasar yang terikat dengan aturan tertentu (regulated market). Di sisi lain, lahir pasar karbon dan pasar finansial sukarela (voluntary market), karena kesempatan bisnis yang tercipta dari adanya kewajiban negara maT O P I K
47
ju dan dunia industri untuk menurunkan emisi, antisipasi keuntungan sebagai pengadopsi awal (early adopter), dan antisipasi keuntungan pasar karbon yang berasal dari penciptaan kredit karbon. India dan China, misalnya. Dengan antisipasi fitur rendah karbon pada produk sebagai keunggulan kompetitif baru di masa depan, India dan China aktif mendorong pertumbuhan sektor energi dan sektor industri manufaktur rendah karbon (termasuk industri teknologi pembangkit energi alternatif seperti energi surya), meskipun kedua negeri ini tidak selalu menyetujui kesepakatan-kesepakatan UNFCCC. Celah bisnis itu juga banyak dimanfaatkan oleh carbon cowboys, yaitu para broker dan investor. Mereka berhamburan dari beberapa negeri maju datang ke negara-negara berkembang untuk mencari, memberi dana, dan menjadi “calo” pengembangan proyek-proyek karbon kredit. Secara keseluruhan, keempat pasar tersebut akan tumbuh berkembang sesuai dengan pergerakan insentif yang tercipta di dalam pasar masing-masing. Kebijakan pemerintah dan pergeseran perilaku masyarakat dapat memperkuat dan mempercepat pertumbuhan pasarpasar itu.
Kesempatan Indonesia Menuju ERK dan Target Penurunan Emisi 26 Persen Indonesia memiliki banyak kesempatan untuk meletakkan pembangunan ekonomi ke dalam jalur pertumbuhan “ekonomi rendah karbon”. Pemerintah menyikapi kesempatan itu secara cukup cerdik dengan menegaskan bahwa prinsip utama pembangunan Indonesia adalah “pro-growth, pro-job, pro-poor” (propertumbuhan, propenciptaan lapangan kerja, dan propenghapusan kemiskinan), dan menyinkronkan semua beban tambahan pembangunan dengan prinsip itu. Sejak 2007, Pemerintah Indonesia melalui peran aktif Menteri Keuangan mengambil posisi penting di lingkungan UNFCCC dalam konteks kebijakan perubahan
48
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
iklim terkait dengan pembangunan ekonomi. Pemerintah Indonesia membuka diri bagi semua donor, baik multilateral, bilateral maupun swasta internasional, untuk membantu memikirkan kebijakan ekonomi dan pembangunan Indonesia menuju ERK. Beberapa studi telah dilakukan atas nama kerja sama dengan beberapa donor bertajuk low carbon economy studies, green economy, climate friendly economy, dan sebagainya. Pemerintah Indonesia juga terlihat memanfaatkan momentum perumusan kebijakan perubahan iklim itu untuk melakukan konsolidasi internal dengan mengupayakan sinkronisasi kebijakan, meski belum mencapai tingkat yang diharapkan, dan koordinasi antarkementerian terkait. Sejak menjadi tuan rumah COP-13 UNFCCC di Bali, Desember 2007, Indonesia menjadi garda depan kepentingan negara-negara berkembang dalam bidang kehutanan dan pendanaan pembangunan terkait perubahan iklim, masing-masing melalui peran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Keuangan. Pemerintah membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pertengahan 2008, menetapkan Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim, mengesahkan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009, memublikasikan dokumen Second National Communication tentang perubahan iklim, mendirikan Indonesia Climate Change Trust Fund, dan memublikasikan Indonesian Sectoral Roadmap to Climate Change. Di bidang pendanaan, Indonesia mulai memanfaatkan berbagai mekanisme dan fasilitas pendanaan yang disusun negara-negara donor untuk mendukung implementasi berbagai kesepakatan UNFCCC. Indonesia juga mulai mengakses dana Forest Carbon Partnership Fund (FCPF) untuk persiapan implementasi REDD, Clean Technology Fund (CTF) untuk mendorong investasi pembangkit energi panas bumi, dan Forest Investment Program (FIP) untuk investasi revitalisasi sektor kehutanan. Dibantu IFC dan ADB, Pemerintah Indonesia berusaha menggalang modal swasta agar
melakukan investasi dalam infrastruktur dengan teknologi rendah karbon, khususnya pembangkit listrik panas bumi. Untuk menutup defisit umum anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), pemerintah telah meminta “climate change program loan” dari AFD (Pemerintah Perancis), JICA (Pemerintah Jepang), dan Bank Dunia, dengan jumlah total US$ 1 miliar. Pinjaman ini tidak ditujukan untuk membiayai proyek tertentu, namun pemerintah memberi komitmen untuk menyelesaikan serangkaian kebijakan dan langkah terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kebijakan paling akhir Pemerintah Republik Indonesia adalah komitmen untuk berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim global. Indonesia bersedia menurunkan emisi sebesar 26 persen dari prakiraan emisi skenario “business as usual” tahun 2020 dengan dana sendiri, dan dapat menurunkan sampai 41 persen jika mendapat bantuan internasional. Komitmen tersebut disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, September 2009, dan diulang kembali dalam pidatonya di COP-15 UNFCCC Kopenhagen, Denmark, Desember 2009. Sejalan dengan Copenhagen Accord, komitmen ini telah didaftarkan secara resmi sebagai Voluntary Emission Reduction kepada UNFCCC, 31 Januari 2010. Dalam pidato tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan komitmen Indonesia untuk mewujudkan “ekonomi rendah karbon”. Kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim, meski disebut dalam pidato itu, tidak ditampilkan sekuat komitmen melakukan mitigasi. Setelah itu, Pemerintah Indonesia berusaha mengarusutamakan kebijakan perubahan iklim dengan memadukan target penurunan emisi 26 persen dan dokumen roadmap ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 dan prioritas kerja pemerintah untuk 2010 (Inpres 1/2010). Kebijakan penurunan emisi sebesar 26 persen dari “business as usual” 2020 ini dianggap sangat progresif oleh dunia internasional T O P I K
49
Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim
Tabel 1. Profil Emisi Indonesia 2005 dan 2020 dengan Skenario Penurunan Emisi (dalam giga ton)
Sektor
Target tambahan penurunan emisi 15%
Target penurunan emisi 26%
Profil Emisi
Profil Emisi 2020
Emisi 2005
BAU 2020
Giga Ton
% dari BAU
Giga Ton
% dari BAU
Skenario 26%
Skenario 41%
Lahan gambut
0,83
1,09
0,280
9,5
0,057
2,03
0,81
0,75
Sampah
0,17
0,25
0,048
1,6
0,030
1,07
0,20
0,17
Kehutanan
0,65
0,49
0,392
13,3
0,310
11,02
0,10
(0,21)
Pertanian
0,05
0,06
0,008
0,3
0,003
0,11
0,05
0,05
Industri
0,05
0,06
0,001
0,0
0,004
0,14
0,06
0,06
-
-
0,008
0,3
0,008
0,28
(0,01)
(0,02)
0,37
1,00
0,030
1,0
0,010
0,36
0,97
0,96
2,12
2,95
0,767
26
0,422
15,01
2,18
1,76
Transportasi Energi Total
dan memberi Indonesia sebuah posisi menguntungkan dalam kompetisi meraih danadana pembangunan terkait dengan perubahan iklim. Namun, sebagian tokoh informal dalam komunitas organisasi nonpemerintah (ornop) mempertanyakan mengapa pemerintah lebih memprioritaskan aksi menurunkan emisi yang tidak wajib dilakukan oleh negara berkembang dengan pembiayaan begitu besar, sementara langkah-langkah adaptasi yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak mendapatkan perhatian yang setara. Sejauh ini, pemerintah telah mendorong pengembangan kebijakan adaptasi di tingkat sektoral dengan upaya integrasi yang minim. Setiap sektor berusaha membangun penilaian dan peta kerentanan (vulnerability assessment and map) dan merumuskan program adaptasi masing-masing secara terpisah, atau mengaitkan program yang ada dengan keperluan adaptasi. Beberapa kementerian yang menangani urusan bencana alam terkait iklim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, misalnya, mulai membangun kerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta Badan MeT O P I K
teorologi, Klimatologi dan Geofisika. Untuk kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat tergantung kondisi alam, dan perekonomian berbasis sumber daya alam, upaya adaptasi perlu memprioritaskan pengembangan ecosystem-based adaptation serta peningkatan ketahanan ekosistem (ecosystem resilience) yang secara tidak langsung memiliki manfaat mitigasi. Rehabilitasi lahan gambut atau hutan bakau yang rusak, misalnya, memberi manfaat adaptasi sekaligus mitigasi, di samping dampak kenaikan produktivitas sumber-sumber ekonomi juga akan muncul dari ekosistem yang menjadi lebih baik ini. Sektor pertanian yang sangat tergantung pada iklim khususnya perlu mendapat prioritas. Pengembangan dan sosialisasi Kalender Tanam Berbasis Iklim dan program Sekolah Iklim Lapangan merupakan beberapa langkah positif. Riset mengenai peningkatan produktivitas pertanian padi juga diperlukan untuk mengatasi risiko penurunan produktivitas pertanian akibat perubahan iklim yang diperkirakan dapat mencapai 50 persen.7 7
Lihat, Stern, The Economics of Climate Change…
50
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Secara keseluruhan, Indonesia memerlukan strategi adaptasi nasional yang terintegrasi dengan prioritas dan mekanisme pendanaan yang jelas. Untuk menuju implementasi komitmen target penurunan emisi sebesar 26 persen dari “business as usual” 2020, pemerintah menggunakan pendekatan emisi neto (net emission) sebagai basis perhitungan reduksi emisi dan menetapkan sektor-sektor yang akan memberi kontribusi pada pencapaian target penurunan itu. Empat sektor utama yang diharapkan memberi kontribusi terbesar adalah kehutanan, pengelolaan lahan gambut, energi, dan pengelolaan sampah. Tiga sektor lain yang diharapkan ikut menyumbang adalah pertanian, transportasi, dan industri. Saat artikel ini ditulis, rencana implementasi sektoral belum tuntas dan dasar hukum pelaksanaannya berupa Peraturan Presiden belum ditetapkan. Dari informasi yang tersedia, target penurunan emisi 26 persen dari skenario “business as usual” akan mentransisikan tingkat emisi neto Indonesia sebagaimana tampak dalam
Tabel 1 dan Diagram 1. Tingkat emisi yang akan terjadi pada 2020 hampir sama dengan tingkat emisi 2005. Dengan penurunan sebesar 41 persen, sektor kehutanan berpotensi menjadi penyerap emisi neto. Distribusi beban pencapaian target penurunan emisi tersebut – dalam persentase — dapat dibandingkan dengan distribusi emisi pada kondisi awal tahun 2005 dengan kondisi akhir tahun 2020. Terlihat distribusi beban penurunan emisi tidak berasosiasi dengan potensi penurunan atau titik awal kondisi emisi tahun 2005. Pola distribusi dan hasil akhir skenario penurunan emisi 41 persen tampak tidak jauh berbeda dengan gambar penurunan emisi 26 persen di bawah skenario BAU 2020. Kita juga dapat melihat target penurunan emisi 26 persen dari BAU 2020 berkaitan erat dengan penyusunan APBN untuk lima tahun ke depan. Beberapa rencana besar, seperti pengembangan pembangkit listrik panas bumi yang jelas merupakan bagian dari strategi menuju ERK, tidak dimasukkan sebagai komitmen untuk mencapai target 26 persen penurunan
Diagram 1. Profil Sektoral Tahun 2005 dan 2020 dengan Skenario Business as Usual, Penurunan Emisi 26 persen dan 41 persen
T O P I K
Mubariq Ahmad, Ekonomi Perubahan Iklim
51
Diagram 2. Distribusi Potensi, Beban Penurunan Emisi Sektoral dan Hasil Akhir 2020
emisi, karena hasilnya baru akan terlihat tiga tahun sebelum masa komitmen berakhir. Terbuka peluang bagi pemerintah untuk memasukkannya ke dalam target 41 persen yang akan dicapai dengan bantuan internasional. Beberapa proyek besar pembangkit energi panas bumi memiliki banyak kesempatan untuk itu. Proyek tersebut memang memerlukan bantuan pendanaan investasi dari luar negeri, T O P I K
karena sektor finansial dalam negeri yang tidak terlalu berminat dan keterbatasan dana. Walaupun terlihat konvergensi kuat di kalangan pemerintah dalam sektor-sektor yang menjadi prioritas penurunan emisi, informasi di atas menunjukkan bahwa ada tiga isu yang perlu dicermati terkait implementasi target penurunan emisi. Pertama, penggunaan konsep net emission berpotensi merancukan kegiatan
52
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
penurunan emisi dengan kegiatan perampasan (sequestration) karbon. Konsep emisi neto memungkinkan pemerintah melanjutkan konversi hutan alam menjadi area peruntukan lain, seraya melakukan penanaman kembali hutan yang ditargetkan 500.000 hektar per tahun. Hal serupa juga dijumpai di sektor energi. Pemerintah berkomitmen meneruskan pembangunan 2 x 10.000 MW pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, yang cenderung meningkatkan emisi, sambil menggenjot pembangunan sumber energi altenatif nonfosil. Kedua, keterkaitan antara program/kegiatan yang diusulkan dengan penurunan emisi sektor bersangkutan. Perlu dicermati apakah program riset – yang berguna untuk tujuan lain tetapi tidak menurunkan emisi – serta program monitoring yang dimasukkan tidak terkait langsung dengan kegiatan penurunan emisi. Ketiga, distribusi beban sektoral terkait dengan basis emisi sebelum komitmen, potensi penurunan, dan costeffectiveness dari APBN. Idealnya, program yang dipilih sebagai sarana untuk mewujudkan komitmen tersebut mencerminkan rasionalitas ekonomi dan keseriusan mendukung implementasi komitmen politik presiden.
Catatan Penutup Apakah Indonesia on the right track to low carbon economy? Penulis secara optimis mengatakan: “Ya”. Pucuk pimpinan kebijakan ekonomi di tingkat pusat kelihatannya serius mengantar Indonesia bergerak menuju ERK. Apakah semangat yang sama juga terlihat di tingkat pimpinan sektoral dan daerah? Belum merata. Perlu disadari bahwa pada tahap implementasi, seluruh kebijakan tersebut akan diimplementasikan dalam bentuk program-
program di tingkat sektor dan daerah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu upaya khusus untuk meyakinkan seluruh jajaran menteri dan kepala daerah tingkat I bahwa bergerak menuju ERK akan menguntungkan seluruh masyarakat Indonesia. Indonesia dapat memanfaatkan berbagai tawaran/bantuan internasional untuk membangun ketahanan masyarakat dan perekonomian dalam menghadapi gejala perubahan iklim, serta membangun product competitiveness untuk pasar di masa depan. Pemerintah perlu menyinkronkan pelbagai aturan agar semua yang diinginkan dalam ERK dan target penurunan emisi tercapai. Tanpa bermaksud buruk sangka, penulis ingin mengutip pepatah yang mengatakan “devils are in details”. Kebijakan progresif di tingkat atas sering kali mentah dan salah kaprah ketika diterapkan dalam bentuk program dan proyek di lapangan. Indonesia menghadapi banyak tantangan internal terkait dengan tata kelola (governance) dan kepentingan kelompok yang mendapat keuntungan dari kondisi status quo. Kecanggihan dalam “memelintir” konsep kebijakan yang semula bagus menjadi tidak berarti apa-apa juga cukup terkenal. Ketika kegiatan menurunkan emisi dirancukan dengan kegiatan mensekuestrasi karbon, misalnya, pemerintah sebenarnya tengah membangun risiko dengan melemahkan atau menggembosi target-target yang sudah ditetapkannya sendiri. Ketika ambisi dilipatgandakan, karena semangat rent seeking atau terpancing dengan iming-iming jaminan pendanaan APBN, capaian target pun menjadi tanda tanya. Perlu kecermatan tinggi untuk memastikan apakah program dan proyek yang diajukan memiliki kontribusi pada target penurunan emisi benar-benar mengantar pemerintah pada tujuan yang diinginkan.•
T O P I K
Energi Rendah Emisi Masalah Teknologi, Ekonomi, atau Politik? Asclepias Rachmi Soerjono Indriyanto
Untuk menjaga kehidupan makhluk bumi perlu upaya bersama menurunkan emisi gas rumah kaca atau mitigasi melalui efisiensi dan konservasi energi, serta penggunaan energi rendah emisi. Bagaimana mendapatkan energi dan teknologi rendah emisi terjangkau secara luas, sementara anggaran dan kemampuan sumber daya terbatas? Masalah ketersediaan (availability), akses (accessibility), daya beli (affordability) dan penerimaan lingkungan (acceptability) atas penyediaan maupun penggunaan energi adalah bagian tak terpisahkan dalam kebijakan energi. Adaptasi perlu mendapat perhatian besar dan tidak dapat ditunda-tunda agar sejalan dengan tujuan mencapai ketahanan energi dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
E
nergi merupakan salah satu kebutuhan dasar dalam kehidupan masyarakat modern. Selain untuk memasak, energi juga diperlukan untuk penerangan, mengerakkan peralatan, dan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain. Hingga saat ini sebagian besar kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh energi fosil, berupa minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Pada 2007, ketiga jenis energi itu menyumbang lebih dari 81 persen pasokan energi dunia.1 Di Indonesia, energi fosil menduduki 74 persen kebutuhan energi pada 2007 dan naik menjadi 79 persen pada
2
2008. Selain energi fosil, penggunaan kayu bakar dan sampah untuk energi dengan cara pembakaran sederhana cukup banyak dijumpai di negara-negara berkembang. Gabungan energi fosil dan energi biomassa konvensional tersebut mencakup 91 persen dari penggunaan energi dunia dan 97 persen di Indonesia. Penggunaan energi meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan gaya hidup. Kebutuhan energi dunia diperkirakan naik 40 persen dalam kurun 2007-2030; energi fosil mengisi 77 persen dari kenaikan kebutuhan
2 1
International Energy Agency, “Key World Energy Statistics 2009”, dalam http://www.iea.org/ textbase/nppdf/free/2009/key_stats_2009.pdf (diakses pada 19 November 2009).
Lihat, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Handbook of Energy Economic Statistics Indonesia 2009 (Jakarta: Pusat Informasi Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009).
54
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
energi tersebut.3 Dominasi penggunaan energi fosil dan teknologi pemanfaatannya saat ini merupakan salah satu penyebab naiknya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), meningkatnya temperatur udara di permukaan bumi, dan berbagai dampak negatif lainnya. Negaranegara maju merupakan pengguna energi fosil terbesar. Mereka berkewajiban mengurangi emisi, namun sulit mengimplementasikan karena khawatir dengan besarnya biaya ekonomi dan sosial yang akan ditanggung, serta kesulitan mengubah gaya hidup. Di sisi lain, kenaikan penggunaan energi di masa depan “berpindah” ke negara-negara berkembang, karena jumlah populasinya yang besar, laju pertambahan penduduk yang pesat, serta pola perkembangan ekonomi dan gaya hidup yang senantiasa mengacu pada negara-negara maju. Upaya merespons perubahan iklim melibatkan persoalan jauh lebih kompleks bagi negara berkembang. Berbagai teknologi dan pendekatan baru untuk membatasi dan mengurangi GRK cenderung meningkatkan biaya penyediaan energi dan akses infrastruktur. Keterbatasan dana dan sumber daya lain selalu merupakan kendala besar pun sebelum meruyaknya isu perubahan iklim. Dengan demikian, bila tidak ada perubahan berarti, negaranegara di dunia tetap bergantung pada energi fosil untuk menunjang kehidupan masyarakat dan memutar roda perekonomian hingga beberapa dekade mendatang. Para ilmuwan telah mengidentifikasi berbagai dampak negatif dan kemungkinan bencana katastropik yang akan muncul bila kondisi itu terus berlanjut. Sesungguhnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Namun, proses untuk mencapai kesepakatan di tingkat global masih terus berlangsung, sehingga hasil yang ingin dicapai bisa dikatakan belum banyak berarti. Sementara 3
International Energy Agency, “World Energy Outlook 2009 Fact Sheet”, dalam http:// www.worldenergyoutlook.org/docs/weo2009/ fact_sheets_WEO_2009.pdf (diakses pada 22 Maret 2010).
itu, data serta peningkatan kemampuan analisis para ahli menunjukkan percepatan memburuknya berbagai indikator penting bagi kehidupan makhluk bumi, baik bersifat lokal maupun global. Bagian pertama tulisan ini mengupas hubungan di antara penggunaan energi dengan kenaikan temperatur udara dan perubahan iklim bumi, serta upaya-upaya untuk mengubah pola hubungan tersebut. Bagian kedua membahas isu energi rendah emisi dalam konteks negara berkembang. Untuk itu diperlukan kerangka berpikir adaptasi dan mitigasi secara bersamaan agar upaya penanggulangan dampak perubahan iklim dapat berjalan seiring dengan tujuan menyejahterakan penduduk. Bagian terakhir menggarisbawahi pentingnya keikutsertaan semua pihak dalam tugas besar itu, baik dalam tingkat nasional maupun internasional. Kerja sama dalam berbagai bidang dan hubungan saling menguntungkan merupakan kebutuhan bersama umat manusia di bumi ini.
Energi dan Perubahan Iklim Jenis energi yang dipakai, termasuk cara dan pola penggunaannya, berkontribusi besar pada konsentrasi GRK yang ada sekarang beserta konsekuensinya yang amat serius. Bahan-bahan dasar energi fosil adalah berbagai jenis rantai hidrokarbon. Teknologi pemanfaatannya sebagian besar melalui proses pemanasan atau pembakaran untuk menghasilkan energi. Selain energi, proses tersebut juga menghasilkan berbagai limbah termasuk sejumlah senyawa karbon yang terlepas ke atmosfer dan menjadi bagian dari GRK. Meski bukan satu-satunya penyebab, penggunaan energi fosil dan biomassa konvensional dalam kegiatan sehari-hari terkait erat dengan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer bumi, yang merupakan salah satu penyebab naiknya temperatur udara. Pada 2007, konsentrasi GRK ekuivalen dengan 430 ppm (parts per million CO2), naik T O P I K
Asclepias Rachmi, Energi Rendah Emisi
dari 280 ppm sebelum era Revolusi Industri. Perubahan ini paralel dengan kenaikan temperatur udara sekitar 0,5 derajat Celcius di permukaan bumi dalam kurun waktu tersebut. Para ilmuwan memperhitungkan bila pola itu tidak berubah, kemungkinan besar konsentrasi GRK pada 2035 akan naik dua kali lipat dari kondisi sebelum Revolusi Industri, yang akan memicu kenaikan temperatur udara lebih dari 20 C. Bila berlanjut, suhu global akan naik 0 menjadi lebih dari 5 C pada 2050; konsentrasi GRK naik tiga kali lipat dibanding kurun waktu sebelum Revolusi Industri.4 Kenaikan temperatur mulai dirasakan saat ini, di antaranya perubahan pola dan curah hujan serta timbulnya iklim ekstrem. Kerugian besar termasuk hilangnya nyawa dan harta benda bermunculan di berbagai tempat. Semakin sering terjadi bencana dan semakin luas wilayah yang terkena, semakin besar dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Di samping itu, kenaikan suhu global yang tak terkendali berdampak pada perubahan geofisik bumi dan menciptakan malapetaka tak terperi bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Saat ini berlangsung berbagai upaya untuk mencapai kesepakatan global dalam rangka menjaga kenaikan temperatur tidak melebihi 20 C, konsentrasi GRK berada pada 450 ppm, dan mengurangi 50 persen emisi pada 2050. Siapa harus melakukan apa, dan bagaimana hubungan antarnegara serta para pelaku di dalamnya, masih diperdebatkan dalam dialog global yang alot. Selama ini negara-negara maju merupakan pengemisi GRK terbesar, namun negara-negara berkembang juga diperkirakan penyumbang emisi (polluters) besar dalam waktu dekat. Sebagai pihak yang menghasilkan GRK terbanyak, negara-negara yang masuk dalam 4
Lihat, Nicholas Stern, “The Economics of Climate Change”, Executive Summary (2006), hal. iii atau http://webarchive.nationalarchives.gov.uk/+/ http:/www.hm-treasury.gov.uk/independen _reviews/stern_review_economics_climate _change/stern_review_report.cfm (diakses pada 20 November 2007).
T O P I K
55
daftar Annex I Protokol Kyoto wajib menurunkan laju dan jumlah emisi GRK-nya. Selain upaya mitigasi di negara masing-masing, mereka masih dimungkinkan menjalin kerja sama dengan negara-negara berkembang melalui skema Clean Development Mechanism (CDM). Banyak negara berkembang yang melihat hal tersebut sebagai peluang untuk mendapatkan dana tambahan pembangunan ikut memfokuskan upaya di bidang mitigasi GRK dalam beberapa dasawarsa terakhir. Namun, merealisasikan potensi dana CDM ternyata tidak mudah. Protokol Kyoto yang ditandatangani sejak 1997 baru berlaku efektif setelah 55 negara Annex I meratifikasinya pada 2005. Selain itu, proses validasi dan pendaftaran proyek CDM memakan waktu dan menelan biaya tidak sedikit. Pada 2007, volume perdagangan di pasar CDM sebesar 551 juta ton CO2 ekuivalen, yaitu sekitar 3,7 persen dari volume emisi global yang dicakup Protokol Kyoto atau hanya 1,1 persen dari total emisi antropogenik dunia per tahun. Sampai dengan Agustus 2008, proyek CDM terbanyak berada di India (30%), China (22%), dan Brasil (19%); Certified Emission Reduction paling banyak dihasilkan China (73%, tahun 2007). Bila proyek-proyek dalam proses validasi ikut diperhitungkan, China tampak mendominasi negara lain.5 Hingga saat ini hanya segelintir negara berkembang yang berhasil memanfaatkan peluang CDM; dampaknya pada pengurangan emisi karbon dunia juga masih sangat sedikit. Sementara itu, komposisi negara penghasil emisi GRK telah berubah secara signifikan. Pada 1973, emisi dari negara maju berjumlah 65,8 persen. Pada 2007, persentasenya turun menjadi 44,9 persen. Sebaliknya China yang 5
Lihat, Jodie Keane dan Gareth Potts, “Achieving ‘Green Growth’ in a carbon constrained world”, dalam Overseas Development Institute Background Note, Oktober 2008, atau http:// www.odi.org.uk/resources/download/2449.pdf (diakses pada 7 April 2010).
56
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
semula porsinya 5,7 persen naik menjadi 21 persen. Pada kurun waktu yang sama, emisi negara-negara berkembang lainnya naik dari 8,6 persen menjadi 21,4 persen. Perubahan itu membuat isu mitigasi memasuki babakan baru; negara maju menginginkan negara berkembang juga membatasi emisi. Di sisi lain, negara-negara berkembang menganggap bahwa keterbatasan ruang gerak sekarang ini adalah akibat dari kegiatan negara-negara maju di masa lalu, sehingga tidaklah adil menerapkan pembatasan kepada negara berkembang karena akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terlihat adanya berbagai kepentingan dan kendala setiap negara dan kelompok masingmasing. Para ilmuwan masih mengkaji berbagai aspek dan dampak perubahan iklim, sedangkan para negosiator masih berdebat alot di meja perundingan. Namun demikian, makin banyak pihak yang bersepakat bahwa data dan informasi yang ada menunjukkan gentingnya persoalan. Karena itu, diperlukan tindakan cepat, konsisten, dan partisipasi semua pihak untuk mengatasi masalah itu. Berbagai kajian menyebutkan bahwa potensi terbesar untuk mengurangi laju kenaikan konsentrasi GRK dalam jangka pendek adalah dengan menghemat pemakaian energi melalui efisiensi dan konservasi energi. Langkah ini menghasilkan pengurangan emisi secara cepat dan tidak bisa dipandang remeh, terutama mengatasi kendala terbatasnya dana untuk mencari dan mengembangkan sumber pasokan energi. Mematikan lampu saat meninggalkan kamar kosong, melepas pengisi baterai telepon selular dan peralatan listrik lainnya saat tidak dipakai, menurunkan temperatur penyejuk ruangan, dan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor pribadi, adalah beberapa contoh upaya penghematan energi yang dapat dilakukan tanpa biaya tambahan. Berbagai produk dan teknologi untuk menghemat pemakaian energi juga telah tersedia, misalnya, lampu hemat energi, regulator dan sistem kontrol untuk peralatan industri dan
sistem kelistrikan, serta berbagai jenis motor dan kompresor dengan teknologi hemat energi. Memanfaatkan limbah (udara panas, air, dan lain-lain) dari sebuah proses industri sebagai sumber energi tambahan juga merupakan bagian dari kegiatan itu. Selain efisiensi dan konservasi energi, pengendalian konsentrasi GRK juga dapat dilakukan dengan mengembangkan dan menggunakan “energi rendah emisi”. Salah satu cara untuk mendapatkannya adalah dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan, yang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi didefinisikan sebagai: “sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut”. Pemanfaatan energi terbarukan saat ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan energi fosil. Energi rendah emisi juga dapat dihasilkan dari “teknologi rendah emisi” yang mengonversi sumber daya energi disertai GRK dan polutan udara lain serta dampak lingkungan yang rendah, meskipun berasal dari energi fosil.6 Peralatan dan rancang bangun penunjang merupakan hal utama dalam teknologi rendah emisi. Salah satu contoh adalah teknologi Carbon Capture and Storage untuk menangkap CO2 dan polutan lain dari pembangkit listrik dan peralatan industri berbahan bakar batu bara sehingga tidak terlepas ke udara bebas. Emisi tersebut kemudian “disimpan” di dalam rongga kerak bumi atau tempat lain yang memenuhi syarat. Gasifikasi batu bara dan batu bara cair adalah contoh lain energi yang dihasilkan oleh teknologi rendah emisi. Kendaraan bermesin listrik, hibrid, propan, gas dan hidrogen juga bagian dari kelompok itu. Sumber energi terbarukan dan teknologi 6
Lihat, http://www.global-greenhouse-warming. com/low-emission-technology.html (diakses tanggal 23 Maret 2010). T O P I K
Asclepias Rachmi, Energi Rendah Emisi
rendah emisi adalah harapan bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi tanpa peningkatan GRK dan kerusakan ekosistem. Saat ini, teknologi untuk menghasilkan energi rendah emisi, baik berasal dari sumber energi terbarukan maupun fosil, berkembang pesat seiring menguatnya perhatian dan meluasnya pengetahuan tentang berbagai dampak perubahan iklim. Namun demikian, negara maju tetap mendominasi teknologi dan sumber daya manusia di bidang itu. Mereka memiliki dana sangat besar di bidang penelitian dan pengembangan, baik disediakan oleh pemerintah maupun kalangan industri swasta, sehingga kemungkinan untuk menguasai pengetahuan dan teknologi masa depan juga lebih besar. Keunggulan itu dimungkinkan oleh kesempatan mengumpulkan kemampuan teknis dan ekonomis sebagai negara berpendapatan tinggi. Posisi tersebut tidak terlepas dari sejarah penguasaan dan penggunaan energi fosil yang notabene merupakan kontributor besar dalam kemelut perubahan iklim yang sekarang melanda dunia.
Energi Rendah Emisi dan Negara Berkembang Mengingat energi adalah kebutuhan dasar untuk hidup dan mendorong pertumbuhan ekonomi, maka pasokan energi menjadi isu penting di negara maju maupun negara berkembang. Untuk sebagian besar orang dan pemerintah di negara maju, masalah mereka adalah kebutuhan akan energi dalam jumlah mencukupi serta harga energi yang stabil. Namun demikian, negara berkembang menghadapi persoalan khas yang menambah rumit masalah penyediaan pasokan energi, terutama berkaitan dengan keterbatasan akses energi, minimnya anggaran investasi dan lemahnya daya beli konsumen. Akses terhadap energi modern di beberapa negara berkembang mencapai kurang dari separuh jumlah penduduk. Di kawasan Asia Pasifik, kondisi itu setidaknya dialami oleh T O P I K
57
delapan negara dalam hal akses listrik dan sembilan belas negara untuk energi bagi ke7 perluan memasak. Di beberapa negara, akses penduduk terhadap energi modern telah mencapai lebih 50 persen, namun belum mencakup mayoritas dari mereka. Diperkirakan sekitar 809 juta orang belum mendapat layanan listrik dan bahkan 1,8 miliar manusia masih “memanfaatkan” kayu bakar, kotoran ternak, dan biomassa tradisional untuk memasak dan memanaskan ruangan di kawasan dengan total 8 penduduk sekitar 4,1 miliar orang. Hal serupa terjadi di beberapa negeri Afrika, bahkan dalam kondisi jauh lebih buruk. Negara berkembang memiliki cadangan energi fosil dan sumber daya energi terbarukan dalam berbagai jenis, ukuran, dan kualitas. Namun, untuk mengubah sumber daya alam menjadi energi modern siap pakai diperlukan teknologi dan peralatan yang sesuai, sumber daya manusia yang terlatih, dan dana investasi yang besar. Penyediaan dan sarana untuk mengakses energi terkendala keterbatasan anggaran negara, terutama alokasi untuk investasi pengembangan fasilitas produksi energi serta infrastruktur distribusi dan penunjang. Selain itu, rendahnya pendapatan per kapita sebagian besar penduduk membuat daya beli menjadi lemah. Untuk mengatasinya pemerintah menerapkan kebijakan subsidi energi. Namun, di sisi lain, kebijakan itu justru membebani anggaran negara dan berkompetisi dengan prioritas sektor lain. Akibatnya, kemampuan untuk memasok dan mengakses energi juga menjadi terkendala. Lingkaran persoalan berkait kelindan itu membelit sebagian besar negara berkembang. Ketika negara-negara maju menginginkan negara-negara berkembang mengendalikan 7
8
Lihat, UNDP dan WHO, The Energy Access Situation in Developing Countries: A Review Focusing on the Least Developed Countries and Sub-Saharan Africa, 2009. Estimasi dari IEA (World Energy Outlook 2009) untuk listrik dan ADB (Energy for All 2009) untuk biomassa konvensional.
58
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
emisi GRK mereka, atau melakukan mitigasi seperti kewajiban negara maju, maka bertambahlah beban yang harus dipikul. Penyediaan energi dasar (availability), akses terhadap energi (accessibility), dan daya beli masyarakat (affordability) merupakan soal tersendiri yang tidak dapat dijawab hanya dengan pembatasan emisi GRK saja. Upaya mitigasi yang dilakukan negara berkembang akan berkontribusi pada target global pengendalian konsentrasi GRK dan disambut baik masyarakat internasional (acceptability), namun dukungan dunia tidak akan berarti bila kebutuhan penduduk negara berkembang terbengkalai. Seluruh aspek tersebut (availability, accessibility, affordability, dan acceptability) merupakan prasarat yang dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan energi. Oleh sebab itu, adaptasi, yakni mengambil sejumlah langkah untuk membangun ketahanan dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan meminimalisasi biaya, menjadi upaya yang sangat penting. Di lain pihak, negara-negara berkembang tidak bisa menutup mata, bahwa emisi GRK mereka dalam waktu dekat akan mengambil alih porsi negara-negara maju. Oleh karena itu, upaya pengendalian konsentrasi GRK perlu dilakukan bersama oleh semua negara, meski skala tanggung jawab dan beban ekonomi mereka berbeda. Upaya mitigasi dan adaptasi merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keduanya dibutuhkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan menciptakan ketahanan energi, tetapi juga untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial, memungkinkan negara berkembang melanjutkan pembangunan, dan mempertahankan eksistensi dalam tatanan global. Bagi Indonesia, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan dan energi rendah emisi amat strategis dan berimplikasi luas. Indonesia adalah negeri kepulauan dengan penduduk tersebar di ribuan pulau. Meski sebagian besar berada di Pulau Jawa, cukup banyak kelompok penduduk di daerah yang sulit dijangkau. Dengan rasio
elektrifikasi 64 persen, dan baru sekitar 45 persen populasi menggunakan energi modern untuk memasak, tetap masih banyak penduduk yang sulit mendapatkan energi. Infrastruktur penyediaan energi seperti kilang minyak dan gas bumi, pembangkit listrik serta jaringan transmisi dan distribusi, pipa penyaluran gas, serta pelabuhan, jumlahnya masih terbatas. Membangun infrastruktur dan sistem penunjang di seluruh tempat di tanah air adalah pekerjaan luar biasa besar dan mahal. Lokasi penduduk yang tersebar dan keterbatasan infrastruktur membuat energi menjadi komoditas amat langka dan mahal — bagi jutaan masyarakat Indonesia. Dalam hal availability, masing-masing daerah memiliki beragam potensi energi terbarukan, meskipun data teknis dan keekonomian sumber-sumber energi ini belum banyak tersedia. Sesungguhnya, pemanfaatan sumber daya energi yang ada di berbagai daerah dapat mengurangi biaya penyelenggaraan dan risiko transportasi energi antarwilayah. Kenaikan intensitas curah hujan maupun musim kemarau akibat perubahan iklim dapat menyebabkan sungai banjir atau kering dalam skala lebih berat, padahal sungai adalah wahana penting bagi pendistribusian BBM maupun pergerakan komoditas lainnya di banyak wilayah. Pengembangan energi setempat akan meningkatkan ketersediaan energi dalam jarak lebih pendek dan risiko gangguan lebih kecil, serta berpengaruh positif pada ketahanan energi daerah bersangkutan. Dari sisi accessibility, pengembangan energi terbarukan dapat mengatasi kendala minimnya infrastruktur jaringan penyediaan energi dan penunjangnya. Banyak potensi energi terbarukan skala kecil dan menengah dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk melalui akses yang terpisah dari jaringan nasional. Hal ini sangat relevan dalam upaya peningkatan rasio elektrifikasi di negara kepulauan seperti Indonesia, serta dapat mengurangi beban investasi berskala masif yang diperlukan untuk membangun jaringan inT O P I K
Asclepias Rachmi, Energi Rendah Emisi
frastruktur energi nasional yang saling terhubung. Selain itu, sarana penyediaan energi yang tersebar juga mengurangi risiko kegagalan fungsi infrastruktur energi secara masif. Sekarang ini cukup banyak jaringan infrastruktur energi berlokasi di kawasan pesisir pantai. Risikonya, kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim berpotensi mengganggu proses pendinginan pembangkit listrik serta operasi bongkar muat di pelabuhan batu bara. Pendek kata, sistem penyediaan energi yang tersebar dapat berfungsi sebagai sistem cadangan dan mengurangi lingkup gangguan bila jaringan listrik interkoneksi terganggu. Pengembangan sumber energi terbarukan dan energi rendah emisi dalam skala kecil dan menengah juga memungkinkan partisipasi masyarakat lebih luas, mendorong kegiatan ekonomi lokal, dan berdampak positif terhadap pengurangan kemiskinan. Namun, pengembangan sumber energi terbarukan selama ini banyak dilakukan dengan menggunakan pendekatan program berbasis proyek yang dikerjakan oleh konsultan atau kontraktor luar daerah tanpa melibatkan masyarakat setempat. Dampak negatifnya, kemampuan lokal tidak akan mungkin tumbuh, rasa tanggung jawab dan kepemilikan terhadap aset menjadi rendah, serta manfaat program hanya berusia pendek. Semua itu berarti pemborosan yang sangat tidak sesuai dengan kondisi negara berkembang yang serba terbatas. Asumsi bahwa penduduk Indonesia tidak mampu membayar sehingga program pengembangan energi terbarukan dilakukan dengan pendekatan give away seperti sinterklas membagikan hadiah juga perlu mendapat perhatian. Berbagai contoh menunjukkan bahwa rakyat di pedalaman membayar mahal untuk mendapatkan minyak tanah dan minyak diesel, bahkan dalam situasi normal sehari-hari. Dengan usaha yang keras mereka juga harus menempuh jarak jauh dan mengangkut sendiri BBM dari titik penjualan ke rumah mereka. Kondisi ini mencerminkan nilai dari ketersediaan dan akses energi mereka, yang juga berarti referensi T O P I K
59
dalam mengukur daya beli dan kemauan membayar (willingness to pay) dalam penyelenggaraan program pengembangan energi terbarukan. Dengan menempatkan nilai keekonomian yang memberi banyak manfaat, memungkinkan terkumpulnya dana masyarakat untuk perawatan mesin dan penggantian suku cadang, menumbuhkan perhatian dan tanggung jawab terhadap sarana yang dibangun, serta pemahaman bahwa energi itu berharga sehingga penggunaannya harus hemat. Kegiatan dengan nilai ekonomi yang jelas juga akan menarik minat para entrepreneur sekitar untuk ikut ambil bagian, sehingga dapat menumbuhkan lapangan kerja baru. Indonesia memiliki potensi energi terbarukan dalam skala besar, seperti panas bumi. Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk melalui undang-undang khusus, untuk mendorong perkembangan sumber energi panas bumi. Pemerintah telah mencantumkan target peningkatan kapasitas pembangkitan listrik dari panas bumi dalam Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 MW Tahap II. Pengembangan listrik panas bumi yang terkoneksi dengan jaringan transmisi nasional penting untuk meningkatkan kelenturan dan keandalan sistem penyediaan energi, karena berfungsi sebagai pasokan beban dasar (base load) dan menambah ragam sumber energi. Selain itu, energi panas bumi tidak dapat diekspor sehingga persaingan dengan pasar luar negeri yang berdaya beli lebih kuat dapat dihindari. Dengan berbagai karakteristik itu, pemanfaatan energi panas bumi niscaya meningkatkan ketahanan energi. Namun, secara umum peran energi terbarukan di Indonesia masih belum beranjak, meskipun kebijakan nasional tentang diversifikasi energi telah diluncurkan sejak tahun 1980-an. Potensi energi terbarukan yang besar, tersebar, beragam, dan berbagai kemungkinan manfaat yang dapat dibangkitkannya belum dapat diwujudkan. Kebijakan energi yang diterapkan dalam dekade terakhir bahkan membuat banyak indikator ketahanan energi
60
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
melemah, sebagaimana tercermin dari krisis energi yang muncul silih berganti di berbagai daerah dalam bermacam bentuk dan dipicu oleh berbagai sebab.9 Adalah ironi di tengah persoalan tersebut beberapa kebijakan nasional untuk menghadapi perubahan iklim hanya menetapkan mitigasi di sektor energi.10 Dokumen Second National Communication (SNC) November 2009 memasukkan program nasional untuk adaptasi terhadap perubahan iklim, namun belum banyak yang dilakukan di bidang ini, khususnya terkait dengan energi. Selain itu, konsep perencanaan energi secara agregat yang digunakan sebagai acuan utama selama ini mengaburkan konteks penduduk negara kepulauan yang tersebar di wilayah terpencil dipisahkan oleh jarak dan kondisi alam. Teknologi untuk pemanfaatan energi terbarukan skala kecil dan menengah perlu dikembangkan dengan sedapat mungkin meningkatkan komponen lokal secara bertahap. Berbagai sistem pendukung juga perlu diciptakan, misalnya, akses pendanaan untuk investasi. Selain dana internasional untuk perubahan iklim, upaya memobilisasi dana dan sumber daya domestik juga amat penting. Hal yang dapat dilakukan, antara lain, meningkatkan pemahaman kalangan perbankan tentang karakteristik kegiatan pengembangan sumber energi terbarukan dan penggunaan teknologi energi rendah emisi, serta peluang ekonomis kegiatan ini bagi pertumbuhan perbankan dalam negeri. Selain itu, perlu digencarkan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia bagi proses 9
Lihat, Indonesian Institute for Energy Economics, “Overview on Energy Unavailability” dan “Energy Security and Sustainable Development” dalam Indonesian Energy Economics Review ,Vol. II, 2007. 10 Di antaranya tercantum dalam Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (Jakarta: Bappenas, 2009) dan Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change Mitigation in Indonesia (Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2009).
pengembangan dan pemanfaatan teknologi aplikatif di daerah.
Kerja Sama Berbagai Pihak Pengembangan dan penggunaan energi rendah emisi merupakan kewajiban semua bangsa dan negeri di bumi ini. Persoalannya bukan hanya mengenai perubahan iklim, apalagi tentang mitigasi atau bahkan teknologi tertentu saja. Upaya pengembangan dan pemanfaatan energi rendah emisi meliputi aspek teknologi, ekonomi, sosial, dan politik. Bagi negara berkembang, energi rendah emisi dapat berperan penting dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar penduduk, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan energi. Selain itu juga menjadi bagian dari dan upaya mitigasi perubahan iklim serta menjawab persoalan lingkungan, baik dalam lingkup lokal maupun kawasan. Upaya mitigasi dan adaptasi di bidang energi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Berbagai catatan untuk kondisi Indonesia mengindikasikan bahwa perlu dilakukan penyesuaian kebijakan dan regulasi di bidang energi dan perubahan iklim agar selaras dengan tujuan utama menyejahterakan masyarakat. Perlu pendekatan menyeluruh dan kombinasi kebijakan di berbagai bidang. Gotong royong dan kerja sama perlu digali kembali, karena tidak ada satu orang atau institusi yang dapat menangani semua pekerjaan besar itu. Keikusertaan masyarakat menjadi elemen penting dalam keberhasilan langkah ke depan. Kejelasan pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan membantu koordinasi dan kelancaran implementasi. Tahap pemonitoran dan evaluasi program pengembangan energi terbarukan harus dilakukan agar manfaat kegiatan tersebut dapat terukur dan efisiensi anggaran meningkat. Upaya Pemerintah Indonesia untuk tampil sebagai pemimpin negara berkembang dalam inisiatif pengendalian emisi global patut didukung, namun sikap ini perlu pula ditunjang oleh realisasi langkah dan kesiapan di dalam negeri• T O P I K
Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang Emisi Dunia? Nur Masripatin
Areal hutan Indonesia yang mencapai 2/3 luas wilayah berpotensi menjadi penyerap dan penyimpan karbon yang signifikan. Namun, ia juga menjadi penyumbang emisi (net emitter) sejalan dengan perkembangan penduduk dan keperluan pembangunan serta aktivitas manusia yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Sudah diterapkan berbagai kebijakan dan dukungan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, menyelamatkan hutan yang masih tersisa dan merehabilitasi/merestorasi hutan yang telah rusak. Dengan target pengurangan emisi pada 2020 sebesar 26 persen dari kondisi pada 1990, bagaimana kondisi, tantangan, opsi pengurangan emisi, dan aksi mitigasi di sektor kehutanan?
K
ita perlu meninjau dari berbagai aspek apakah hutan Indonesia bisa dianggap sebagai penyerap karbon atau penyumbang emisi dunia, mengingat sektor kehutanan bukan sektor yang sama sekali independen. Keberadaan suatu kawasan hutan untuk tetap sebagai hutan atau digunakan untuk aktivitas lain sangat dipengaruhi oleh kebijakan nasional secara keseluruhan yang tertuang dalam kebijakan sektor-sektor terkait. Jadi, kita perlu memperhatikan kondisi hutan itu sendiri, kebijakan sektor kehutanan, kebijakan sektor terkait, dan faktor eksternal lain yang memengaruhi keberadaan hutan. Hutan dalam konteks perubahan iklim dapat mengambil peran, baik sebagai penyerap dan penyimpan karbon dioksida atau CO2 (sink) maupun sebagai pengemisi CO2 (source). Intervensi manusia dapat membuat kondisi
suatu hutan menjadi net sink atau sebagai net source. Kontribusi penebangan hutan atau deforestasi terhadap emisi global — sebesar 17 persen menurut catatan Intergovernemntal Panel on Climate Change (IPCC) 2007 — menunjukkan bahwa intervensi manusia terhadap sumber daya hutan berkontribusi negatif pada upaya mitigasi perubahan iklim. Konsep pengurangan emisi dari penebangan dan degradasi hutan (reducing emissions from deforestation and forest degradation/ REDD), kemudian berkembang menjadi REDD-plus (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan stok karbon hutan), pasca-Conference of the Parties (COP) ke-13 di Bali tahun 2007, merupakan pendekatan kebijakan dan insentif positif bagi negara berkembang. Sesuai de-
62
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
ngan kondisi hutan nasional, negara berkembang dapat membuktikan bahwa telah mengurangi emisi atau menjaga stok karbon atau meningkatkan stok karbon hutan. Harapannya, dengan pendekatan ini negara berkembang bisa mengurangi laju pengurangan hutan dan dapat melanjutkan pembangunan nasional secara berkelanjutan. Hutan bukan hanya tentang karbon. Dalam konteks perubahan iklim dan stabilisasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang merupakan salah satu tujuan dari Konvensi Perubahan Iklim, maka yang menjadi ukuran kontribusi hutan terhadap mitigasi perubahan iklim adalah aspek karbon. Sisi lain dari tujuan Konvensi adalah mencapai pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, fungsi hutan di luar konteks karbon adalah pengatur tata air, konservasi keanekaragaman hayati, tempat sandaran masyarakat lokal mencari sumber penghidupan, praktik budaya dan religi, serta jasa lingkungan lainnya. Seiring dengan proses negosiasi, berkembang pula ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengukur/menghitung produk dan jasa hutan. Pada level negosiasi, badan dunia untuk kerangka konvensi perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) memperhitungkan manfaat di luar karbon atau memastikan bahwa implementasi REDD-plus sejalan dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari dan dimensi lainnya, termasuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati, manfaat jasa lingkungan, serta kepentingan masyarakat lokal. Semua prinsip diakomodasi dalam guiding principles dan safeguard. Dalam draf keputusan COP untuk aspek kebijakan REDD-plus yang dihasilkan di COP-15 Kopenhagen, Denmark, guiding principles dan safeguard sudah sangat jelas. Ada beberapa pendekatan yang mencoba menghitung manfaat di luar karbon, atau lebih dikenal sebagai co-benefits. Dengan demikian, selain fokus utama pada soal karbon, Konvensi Perubahan Iklim juga memperhitungkan manfaat lainnya.
Diagram 1. Perbandingan Luas Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (APL) (dalam juta hektar)
Sumber: Kementerian Kehutanan (2009)
Kondisi Hutan Indonesia Luas wilayah Indonesia 187,8 juta hektar. Tujuh puluh persen atau sekitar 132,4 juta ha merupakan kawasan hutan (Diagram 1). Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan sebagai konsekuensinya peningkatan derap pembangunan, tekanan terhadap keberadaan hutan di Indonesia akan jauh lebih besar dibanding negara-negara dengan kawasan hutan relatif kecil. Berbagai sumber daya alam yang berada di bawah tanah hutan, seperti sumber energi panas bumi (geotermal) dan tambang, tentu menuntut kebijakan atau peraturan yang tepat. Pemanfaatan hutan Indonesia untuk keperluan produksi dalam skala besar dimulai sejak awal tahun 1970-an yang kemudian disusul berbagai kebijakan terkait pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Untuk memahami permasalahan saat ini, dan mencari solusinya, kita perlu melihat akar masalah yang menjadi pemicu kerusakan dan pengurangan luas hutan, baik di tingkat lokal dan nasional maupun internasional. Semua T O P I K
Nur Masripatin, Hutan Indonesia
Diagram 2. Laju Deforestasi
63
Diagram 3. Inventarisasi GRK Nasional pada SNC 2009
Sumber: Departemen Kehutanan (2006)
diakibatkan oleh adanya permintaan pasar dunia yang tinggi atas produk hasil hutan. Indonesia pernah menjadi eksportir kayu lapis dan kayu gergaji terbesar pada awal tahun 1990-an. Laju pengurangan tutupan hutan yang terjadi antara tahun 1980-an hingga tahun 2000-an sangat fluktuatif. Laju tertinggi terjadi pada 1997-2000, kemudian menunjukkan penurunan setelah tahun 2000 (Diadram 2). Dari 1985 sampai 1997, laju deforestasi mencapai kurang lebih 1,8 juta hektar per tahun. Periode tersebut bertepatan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang memacu pertumbuhan industri kehutanan, pembangunan hutan tanaman industri, dan pengembangan perkebunan terutama kelapa sawit, karet dan cokelat. Laju deforestasi tertinggi terjadi pada 19972000 sebesar ± 2,8 juta hektar/tahun. Periode ini berjalan seiring dengan diterapkannya kebijakan desentralisasi. Ketika itu, tapal batas administrasi tidak selalu selaras dengan batas daerah aliran sungai (DAS) atau ekosistem hutan. Di sejumlah daerah, hutan menjadi sumber andalan pendapatan asli daerah. Lahan hutan diubah peruntukannya menjadi lahan lain, termasuk untuk perkebunan, sarana publik, dan T O P I K
Sumber : Second National Communication (Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia , 2009
pemekaran wilayah. Pada periode ini pula Indonesia mengalami krisis ekonomi dan sosial berkepanjangan, serta terjadi penyimpangan fenomena alam (El Niño) yang memicu kebakaran hutan cukup hebat. Kemudian, antara tahun 2000-2005, laju deforestasi turun sampai ± 1,2 juta hektar/tahun. Periode ini bersamaan waktunya dengan diterapkannya kebijakan moratorium konversi hutan untuk penggunaan lain, pengurangan jatah tebang tahunan atau soft landing, penegakan hukum (law enforcement), dan peningkatan upaya perbaikan pengelolaan hutan. Berdasarkan data Second National Communication (SNC), kontribusi emisi dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan (land-use change and forestry/LUCF) sebesar 47 persen atau
64
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Gambar 1. Data Karbon Hutan Indonesia
Sumber: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, “Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia” (2008).
0,65 Gton CO2e1 dari total emisi nasional sebesar 1,36 Gton CO 2e. Bila kebakaran lahan gambut dimasukkan, kontribusi LUCF bertambah menjadi sekitar 60 persen (lihat, Diagram 3). Perlu pula diingat bahwa tingkat ketidakpastian data emisi lahan gambut sangatlah tinggi, sehingga angka yang dipakai harus selalu disertai dengan penjelasan asumsi yang digunakan. Dari hasil studi Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) 2007, kandungan karbon hutan Indonesia pada kisaran 8 – 339 ton/ha atau 24 1.017 ton CO2e per ha (lihat, Gambar 1). Pulau Sumatera menunjukkan tempat tertinggi dalam distribusi emisi, disusul Kalimantan, Papua, Sulawesi, Maluku, dan lain-lain (lihat, Diagram 4). Sumber emisi terbesar berasal dari hutan
1
CO2e atau CO2 ekuivalen merujuk pada tingkat konsentrasi berbagai macam gas rumah kaca secara komposit yang sepadan (ekuivalen). Gas rumah kaca misalnya gas metana, perfluorocarbons dan nitrous oxide.
Diagram 4. Perbandingan Emisi dari Deforestasi per Pulau Antara 2000-2005
Sumber : Departemen Kehutanan, “Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia” (2008).
lahan kering disusul hutan rawa gambut (lihat, Diagram 5). Berdasarkan fungsi hutan, sumber emisi terbesar berasal dari Hutan Produksi, disusul berturut-turut Hutan di Areal Penggunaan Lain (APL), Hutan Konversi, Hutan Konservasi, dan Hutan Lindung (lihat, Diagram 6). T O P I K
Nur Masripatin, Hutan Indonesia
Diagram 5. Perbandingan Emisi Antara 20002005 Menurut Jenis Hutan
Sumber : Departemen Kehutanan, “Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia” (2008).
Diagram 6. Perbandingan Emisi Antara 20002005 Menurut Fungsi Hutan (juta ton CO2e)
Sumber : Departemen Kehutanan, “Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia” (2008).
Target Nasional dan Bagaimana Kontribusi Kehutanan Diperhitungkan Sebagai bagian dari komitmen global dalam upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim, Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen sampai tahun 2020. Dari 26 persen, sekitar 14-54 persen dari target nasioT O P I K
65
nal dibebankan kepada sektor kehutanan (LUCF). Hal ini seimbang bila dibandingkan dengan kontribusi sektor kehutanan terhadap emisi GRK nasional yang lebih besar dari 50 persen, termasuk lahan gambut (lihat, Diagram 3). Indonesia merupakan salah satu negara yang mengasosiasikan diri pada Copenhagen Accord. Sebagai bukti dukungan terhadap Copenhagen Accord yang dihasilkan pada COP15 tahun 2009, Indonesia secara sukarela akan mengurangi emisi sebesar 26 persen pada 2020 dari keadaan pada 1990 (kondisi business as usual). Caranya, antara lain, melalui (1) pengelolaan lahan gambut secara lestari; (2) pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan; (3) pembangunan proyek penyerapan karbon di sektor kehutanan dan pertanian; (4) mendorong efisiensi energi; (5) pengembangan alternatif sumber energi terbarukan; (6) pengurangan limbah padat dan cair; dan (7) perubahan menuju moda transportasi rendah emisi. Sektor kehutanan masuk ke dalam aksi mitigasi nomor 1-3. Masih banyak hal perlu diklarifikasi di tingkat nasional dan dikomunikasikan secara transparan ke seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Di antaranya adalah bagaimana Indonesia menerjemahkan hasil COP-UNFCCC dalam rencana aksi serta konsistensi antara apa yang diperjuangkan dalam negosiasi UNFCCC dengan apa yang dilaksanakan di dalam negeri. Proses untuk membagi beban tanggung jawab antarsektor masih terus berlangsung, dan masing-masing sektor, termasuk kehutanan, secara independen telah menyusun Rencana Aksi Pengurangan Emisi. Setiap sektor mungkin sudah siap dengan Dokumen Rencana Aksi masing-masing. Lalu, bagaimana rencana aksi tersebut diimplementasikan sesuai dengan panduan nasional dan memenuhi persyaratan internasional (guidance di bawah UNFCCC)? Bagaimana mengantisipasi isu crosssectoral yang akan berdampak terhadap kelestarian hutan? Apakah itu sudah masuk dalam agenda sektor terkait? Apakah isu tersebut
66
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
sudah diantisipasi dalam dokumen nasional yang memayungi seluruh sektor? Dari tiga kegiatan yang terkait langsung, kegiatan mitigasi di sektor kehutanan mencakup pengurangan emisi serta peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan karbon. Sejalan dengan tujuan Konvensi Perubahan Iklim — mitigasi perubahan iklim sektor penggunaan lahan, tata guna lahan dan kehutanan (land use, land-use change and forestry/ LULUCF) — pengurangan emisi tidak cukup hanya dengan meningkatkan penanaman, tetapi juga harus disertai dengan tindakan pengurangan emisi dari deforestasi (mencegah/ meminimalkan konversi hutan) dan degradasi (melalui praktik pengelolaan hutan secara lestari) serta menjaga stok karbon yang ada (misalnya, melalui konservasi) dengan target yang jelas. Masalah yang terkait dengan illegal logging, kebakaran hutan, perambahan hutan, serta konflik penggunaan lahan saat ini tidak terlepas dari berbagai masalah di bidang penegakan hukum, permasalahan kemiskinan, dan kelembagaan pengelolaan hutan. Percepatan pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), reformasi kebijakan terkait, serta kejelasan rencana tata ruang nasional — termasuk perkiraan kebutuhan sektor lain akan lahan yang berdampak pada kelestarian hutan — merupakan pendekatan yang diperlukan untuk menangani akar masalah kerusakan hutan. Dalam batas kewenangannya, Kementerian Kehutanan telah menetapkan delapan kebijakan prioritas 2010 – 2014 sebagai berikut (1) Pemantapan kawasan hutan berbasis pengelolaan hutan lestari; (2) Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS); (3) Perlindungan dan pengamanan hutan serta pengendalian kebakaran hutan; (4) Konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; (5) Revitalisasi hutan dan produk kehutanan; (6) Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan; (7) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan; dan (8) Penguatan kelembagaan kehutanan. Delapan kebi-
jakan prioritas ini dapat mendukung tercapainya target pengurangan emisi nasional dari sektor kehutanan apabila implementasinya didukung oleh kebijakan di sektor lain, misalnya, kejelasan perencanaan tata ruang nasional, penegakan hukum, pemberantasan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan, dan harmonisasi aturan perundangan. Tantangan dalam pengurangan emisi dari sektor kehutanan tidak hanya pada permasalahan terkait pengelolaan hutan, tetapi juga di tingkat internasional, karena sementara ini panduannya masih dinegosiasikan di bawah kerangka UNFCCC. Kehutanan dalam proses negosiasi masuk dalam beberapa agenda, afforestation/reforestation clean development mechanism (A/R CDM) dan LULUCF di bawah Protokol Kyoto, REDD-plus dalam dua trek negosiasi, yaitu aspek metodologi di bawah otoritas Subsidiary Body on Scientific and Technological Advise (SBSTA) sedangkan aspek kebijakan di bawah Ad-hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action (AWG-LCA). Terdapat pula agenda terkait, yaitu Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs); target nasional untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26 persen sampai dengan tahun 2020 sebagaimana tertuang dalam “Pernyataan Indonesia berasosiasi dengan Kopenhagen Accord” masuk dalam kategori ini. Posisi Indonesia (dan sebagian besar negara berkembang) tidak ingin memasukkan REDD-plus menjadi bagian dari NAMAs karena belum jelasnya konsep NAMAs baik untuk negara berkembang maupun negara maju, di pihak lain negara maju berkeinginan agar REDD-plus menjadi bagian dari NAMAs. NAMAs oleh negara berkembang masih dibedakan lagi antara aksi mitigasi yang dilakukan dengan sumber daya domestik (unilateral NAMAs) dan aksi mitigasi yang didukung sumber daya eksternal (supported NAMAs). Kondisi ini membawa konsekuensi terutama untuk sektor kehutanan, karena penerjemahan pernyataan pengurangan emisi di atas dalam konteks nasional dan lokal lebih kompleks dibandingkan dengan sektor lain. Dari T O P I K
Nur Masripatin, Hutan Indonesia
ketujuh aksi mitigasi, terdapat tiga aksi yang mencakup kegiatan kehutanan yaitu: pengelolaan lahan gambut secara lestari (untuk gambut di kawasan hutan), pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan, serta pembangunan proyek penyerapan karbon di kehutanan. Tantangan yang mesti kita pecahkan adalah bagaimana ketiga aksi mitigasi ini diterjemahkan ke tingkat implementasi secara sederhana, dapat diukur hasilnya (measurable), dapat dilaporkan (reportable) secara transparan, dan dapat diverifikasi (verifiable) sesuai standar internasional (guidance di bawah UNFCCC).
REDD/REDD-plus dan Target Pengurangan Emisi dari Sektor Kehutanan REDD-plus (sesuai amanah Bali Action Plan/Keputusan COP-13 No.1 tahun 2007) adalah kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan stok karbon hutan. Terkait dengan perubahan iklim, semua kegiatan kehutanan Indonesia pada dasarnya masuk dalam kategori REDD-plus, sebagai contoh (1) pengurangan emisi dari deforestasi melalui pencegahan atau meminimalkan konversi hutan, pencegahan perambahan yang berakhir dengan perubahan tata guna lahan; (2) pengurangan degradasi hutan melalui pemanenan kayu ramah lingkungan (reduced impact logging/RIL), pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran, penanganan perladangan berpindah; (3) pengelolaan hutan secara lestari; (4) menjaga stok karbon melalui konservasi hutan; dan (5) peningkatan stok karbon hutan melalui penanaman dan kegiatan lain yang mendorong peremajaan hutan, misalnya, melalui penanaman dan restorasi hutan. Tantangan dalam operasionalisasi REDD/ REDD-plus tidak hanya pada masalah yang ada di dalam negeri terkait pengelolaan hutan dan tekanan terhadap keutuhan kawasan hutan, tetapi juga di tingkat internasional. Sementara T O P I K
67
ini, aturan main di bawah kerangka UNFCCC masih dalam proses negosiasi. Selain itu, perkembangan yang berlangsung sangat cepat di luar proses negosiasi berdampak ke tingkat nasional dan lokal, termasuk berbagai bentuk inisiatif dengan label REDD/REDD-plus serta voluntary carbon trading/market pada level proyek. Sejak awal diangkat dalam agenda COP, pendekatan REDD-plus — waktu itu masih REDD — adalah nasional, bukan berbasis proyek. Karena kondisi setiap negara berbeda, negara yang berkepentingan termasuk Indonesia kemudian menegosiasikan “pendekatan nasional dengan implementasi di tingkat sub-nasional (provinsi/kabupaten/unit manajemen)”. Dengan demikian, kendati REDD/ REDD-plus dapat diimplementasikan sampai level unit manajemen/proyek, tetap harus menjadi bagian integral dari setting nasional. Emisi sektor kehutanan Indonesia di tingkat nasional adalah “net-emitter”, namun di tingkat sub-nasional — antarpulau/provinsi/kabupaten — status emisinya bervariasi. Dengan demikian, aksi mitigasi di tingkat nasional (secara total) berupa pengurangan emisi, sementara di tingkat sub-nasional (sesuai kondisi masing-masing wilayah) dapat berupa pengurangan emisi atau konservasi stok karbon atau peningkatan stok karbon hutan. Sejalan dengan perkembangan negosiasi keputusan COP dan elemen-elemen yang telah disepakati, Pemerintah Indonesia mengomunikasikan konsep implementasi REDD/REDDplus secara bertahap (phased-approach) yang terbagi atas tiga tahap: (1) Tahap Persiapan mencakup identifikasi status iptek dan kebijakan terkait (2007-2008); (2) Readiness Phase meliputi penyiapan perangkat metodologi dan kebijakan REDD Indonesia (2009-2012); dan (3) Full Implementation merupakan tahap implementasi penuh sesuai aturan COP pada saat REDD/REDD-plus menjadi bagian dari skema UNFCCC pasca-2012. Strategi REDD untuk Readiness Phase 2009-2012 telah disusun dalam rangka meningkatkan kesiapan untuk
68
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
implementasi penuh pasca-2012. Strategi ini dimaksudkan untuk memberikan panduan tentang intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani akar masalah deforestasi dan degradasi hutan, dan infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDDplus. Strategi ini juga untuk mengintegrasikan semua aksi terkait REDD/REDD-plus termasuk kegiatan yang didanai dari sumber luar negeri. Pembangunan Demonstration Activities (DA)-REDD/REDD-plus merupakan salah satu bentuk pelaksanaan amanah Keputusan COP13 di Bali tentang REDD, dan di Indonesia merupakan bagian dari proses readiness. Sesuai Keputusan COP-13, negara berkembang dan negara maju didorong untuk bekerja sama dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang, termasuk di dalamnya dukungan finansial, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi dari negara maju. Di samping itu, DA-REDD/ REDD-plus juga sebagai sarana pembelajaran (learning by doing) dan membangun komitmen serta sinergi antarpihak terkait. Oleh karenanya, pembangunan DA-REDD/REDD-plus merupakan komponen penting dari Strategi Readiness REDD Indonesia, yakni diimplementasikannya berbagai kegiatan terkait dengan metodologi, kebijakan, pelibatan stakeholders, dan lain-lain. Skema REDD/REDD-plus sesuai semangat awalnya adalah untuk membantu negara berkembang yang mengalami masalah deforestasi dan degradasi hutan (dengan mengurangi kadar kerusakannya), namun tetap dapat melanjutkan pembangunan nasional secara berkelanjutan. Dalam perkembangan kemudian, REDD/REDD-plus diperkenalkan sedemikian rupa kepada stakeholders di berbagai tingkatan sebagai perdagangan komoditas karbon. Saat ini marak tawaran berupa voluntary carbon trading/market pada level proyek (project-based activity) yang tidak jelas kaitannya dengan apa yang berkembang dalam negosiasi atau kebijakan negara maju tertentu sebagai pembeli potensial kredit yang diha-
Diagram 7. Perbandingan Luas Areal Berhutan dan Tidak Berhutan Menurut Fungsi
Sumber: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008 (Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, 2008).
silkan dari perdagangan tersebut. Demikian pula dengan implementasi proyek perdagangan karbon dalam setting REDD/REDD-plus nasional. Memang, seluruh masyarakat internasional masih dalam proses belajar dan persepsi terhadap REDD/REDD-plus pun sangat beragam. Semua memiliki kebenaran masing-masing, namun pada akhirnya environmental integrity di tingkat nasional dan global merupakan keniscayaan dalam rangka memaksimalkan manfaat dari sisi iklim dan pembangunan nasional berkelanjutan di negara berkembang. Dengan realita seperti itu, serta melihat kondisi hutan di Indonesia (lihat, Diagram 7, 8 dan 9), opsi apa saja yang dapat dipilih dan dilakukan Indonesia dalam aksi pengurangan emisi dari sektor kehutanan? Bila menyimak 2/ 3 luas daratan Indonesia berupa kawasan hutan, dapat dipastikan tekanan terhadap keberadaan T O P I K
Nur Masripatin, Hutan Indonesia
Diagram 8. Kondisi Penutupan Lahan Berhutan
69
Diagram 9 . Penutupan Lahan Berhutan pada 7 (Tujuh) Kelompok Pulau/Kepulauan Besar
Sumber: Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008 (Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, 2008).
hutan di masa mendatang akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan pembangunan. Diagram 7 menunjukkan perbandingan antara areal berhutan dan tidak berhutan di setiap fungsi kawasan berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2005/2006 yang dilaksanakan Departemen Kehutanan. Areal tidak berhutan pada kawasan hutan dapat berupa semak belukar, padang rumput, tanah terbuka dan lain-lain yang di antaranya terjadi karena aktivitas manusia. Sementara areal yang berhutan juga memiliki kondisi beragam mulai dari hutan primer hingga hutan sekunder dengan berbagai kondisi. Diagram 8 menunjukkan kondisi atau jenis hutan pada areal berhutan, baik di dalam kawasan hutan maupun areal penggunaan lain (APL). Sektor kehutanan telah dimasukkan sebagai bagian penting dari target nasional pengurangan emisi GRK sebesar 26 persen pada 2020 dari kondisi business as usual. Ini berarti kegiatan di sektor kehutanan menjadi bagian dari Upaya-upaya Mitigasi yang Tepat di Tingkat Nasional (Nationally Appropriate Mitigation T O P I K
Sumber : Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008 (Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan Badan Planologi Kehutanan Departemen Kehutanan, 2008).
Actions/NAMAs) mencakup kegiatan (1) pengelolaan lahan gambut secara lestari (kawasan hutan), (2) pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan, dan (3) pembangunan proyek penyerapan karbon di sektor kehutanan. Indonesia juga berada dalam Phase Readiness (penyiapan perangkat metodologi, institusi, dan lain-lain) untuk pada saatnya memasuki skema pasar REDD-plus dengan pendekatan nasional dan implementasi di tingkat subnasional. Artinya, semua aktivitas REDD-plus di tingkat subnasional menjadi bagian integral dari national setting REDD-plus. Sampai saat ini, dalam negosiasi di bawah naungan UNFCCC, Indonesia menempatkan REDD-plus tidak sebagai bagian dari NAMAs. Tulisan ini menyajikan beberapa opsi implementasi REDD-plus di Indonesia dan kegiatan terkait pengurangan emisi dari sektor kehutanan. Diagram 7, 8, dan 9 menunjukkan proporsi kawasan berhutan dan tidak berhutan,
70
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
kondisi hutan pada semua fungsi kawasan, serta sebarannya menurut wilayah (baca: pulau) dan fungsi kawasan. Informasi ini dapat dijadikan basis dalam menetapkan aksi pengurangan emisi dan kegiatan mitigasi lainnya dari sektor kehutanan, baik dalam konteks NAMAs maupun REDD-plus dan skema lainnya. Posisi “pro” dan “kontra” dalam opsi-opsi tersebut bisa dikaji lebih dalam lagi, sehingga keputusan tentang mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi di sektor kehutanan dapat dikatakan telah mempertimbangkan berbagai aspek. Opsi-opsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dari sisi cakupan aktivitas REDD-plus, areal berhutan yang masih dalam kondisi baik dapat diarahkan untuk pengurangan emisi (REDD) dan konservasi karbon, sementara areal hutan yang telah terdegradasi diarahkan ke peningkatan stok karbon, misalnya, melalui restorasi, rehabilitasi, dan pengembangan hutan tanaman sesuai tingkat degradasi dan kesesuaian fungsi hutan. 2. Bila fungsi hutan dipakai sebagai basis perhitungan, dan mempertimbangkan perkembangan negosiasi UNFCCC, maka (a) Hutan Konservasi dan Hutan Lindung dapat diarahkan untuk konservasi karbon atau pengurangan emisi dari degradasi hutan bila terdapat tekanan cukup besar terhadap kawasan tersebut; (b) Hutan Produksi untuk pengurangan emisi dari degradasi hutan; (c) Hutan Konversi untuk pengurangan emisi dari deforestasi; dan (d) semua areal untuk peningkatan stok karbon melalui restorasi hutan atau rehabilitasi sesuai
dengan tingkat degradasi dan kesesuaian fungsi hutan. 3. Bila dikaitkan dengan NAMAs dan mempertahankan posisi bahwa REDD-plus Indonesia bukan bagian dari NAMAs, maka (a) aksi nasional (unilateral NAMAs) dapat dipenuhi melalui program/kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Rakyat (HR); (b) aksi nasional plus dukungan internasional (supported NAMAs) berupa hibah untuk pengelolaan Hutan Konservasi, Hutan Lindung, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Adat; (3) REDDplus dengan market-based untuk pengelolaan Hutan Produksi, hutan di areal penggunaan lain (APL berhutan), dan Hutan Konversi.
Penutup Pengurangan emisi bagi negara berkembang bersifat sukarela dan tetap dalam konteks pembangunan berkelanjutan, dengan meletakkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas dari semua aksi. Seberapa besar kemampuan Indonesia menurunkan emisi dan bagaimana emisi dapat dikurangi melalui sektorsektor prioritas adalah masalah kebijakan. Kebijakan tersebut harus diimplemetasikan secara terintegrasi antarsektor dan antarlevel (nasional, provinsi, kabupaten, hingga desa) karena pada saatnya perlu dibuktikan bahwa hasil upaya pengurangan emisi GRK Indonesia telah dilakukan secara terukur dan transparan sesuai dengan guidance COP-UNFCCC.•
T O P I K
Prisma
DIALOG
Emil Salim:
Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang Isu perubahan iklim ramai diperbincangkan dan dibahas tuntas oleh ilmuwan, para pengambil kebijakan atau media massa, namun tetap saja menyisakan banyak pertanyaan. Sebuah survei yang dilakukan Gallup Polls terhadap 128 negara pada 2007-2008 menunjukkan bahwa semakin negara itu berkembang, penduduknya makin tidak peduli pada isu itu, dan semakin bertambahnya usia penduduk, semakin besar pula ketidakpedulian mereka. Menurut Mike Hulme, seorang pakar iklim, perubahan iklim bukanlah sebuah masalah yang menunggu untuk dipecahkan. Perubahan iklim lebih merupakan soal fenomena lingkungan, budaya, dan politik, yang mendesak kita untuk menajamkan kembali corak berpikir tentang cara kita menjalankan kehidupan. Perubahan iklim adalah fenomena yang mungkin baru akan terjadi berpuluh tahun lagi, tetapi ia memaksa kita untuk memikirkannya sekarang juga. Masalahnya adalah, dengan merujuk hasil survei tersebut, bagaimana membuat masyarakat menyadari bahwa perubahan iklim itu akan (telah?) terjadi secara nyata dan memengaruhi cara kita dalam memandang dan menjalani hidup ini. Untuk lebih memahami fenomena perubahan iklim, redaksi Prisma berbincang-bincang dengan salah seorang peletak dasar ekonomi Indonesia juga menteri pertama yang mengurus lingkungan hidup, Prof Dr Emil Salim. Usaha kerasnya untuk mempertemukan konsep pembangunan dengan lingkungan, dan konsep ekonomi dengan ekologi, menghasilkan sejumlah pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan yang kian relevan hingga saat ini. Berikut kutipan dialog MA Satyasuryawan dan Nezar Patria dengan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden itu di kantornya.
Prisma: Isu perubahan iklim kerap ditanggapi banyak orang antara percaya dan tidak percaya. Mungkin karena ilmu adalah tentang ketidakpastian sedangkan dampak perubahan iklim itu pun masih akan terjadi jauh di masa depan. Bahkan, sebuah survei menunjukkan bahwa banyak orang tidak terlalu peduli dengan isu perubahan iklim. Bagaimana seharusnya kita memahami dan menyikapi persoalan tersebut?
Emil Salim: Pertama, perubahan iklim adalah sebuah fenomena evolusioner yang berjalan lambat. Ia bukan berlangsung dalam hitungan satu, lima atau sepuluh tahun, tetapi dalam puluhan tahun. Kuncinya adalah emisi karbon dioksida yang menebal di bumi menyerupai selimut. Cahaya matahari menyinari bumi dan membuat bumi panas. Lazimnya, panas itu kembali ke udara, sehingga suhu bumi kembali normal. Sekarang, ia tertahan oleh
72
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
selimut kabut CO , sehingga terpantul kembali 2 ke bumi. Bumi semakin panas. Panas itu mengakibatkan suhu bumi meningkat, es di kedua kutub mencair, dan permukaan laut naik. Peredaran arus laut membawa perubahan dalam cuaca dan terjadilah perubahan iklim. Suhu bumi yang semakin panas membawa dampak berupa perubahan iklim. Proses tersebut tidak berlangsung dalam tempo satu atau dua tahun saja. Ia berjalan lambat dan berangsur-angsur. Proses itu dimulai sejak Revolusi Industri pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Karena itu, orang tidak bisa segera melihat dan menangkap apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Kedua, mengapa sumber dari CO hanya 2 akibat pembakaran bahan bakar fosil? Bahan bakar fosil (batu bara dan minyak bumi) adalah pemicu industrialisasi. Karena industrialisasi di Inggris tahun 1750 menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, James Watt kemudian memperkenalkan mesin uap, lahir industri baja dan sebagainya, menyusul angkutan mobil, kereta api, dan lain-lain. Apa yang dapat dilihat di balik fosil fuel dan batu bara itu adalah lahirnya industri yang sangat berkepentingan dengan fosil fuel dan batu bara. Karena itu, ada kaitan sangat erat antara industrialisasi, fosil fuel, batu bara, dan CO . Industrialisasi berhasil mencip2 takan lapangan kerja, mengubah pola hidup manusia dan seluruh peri kehidupan. Alam yang semula berkembang evolusioner dirombak menjadi alam bikinan manusia. Seperti sebuah kota, misalnya. Kota bukanlah ciptaan alam, tetapi ciptaan manusia. Produksi pangan yang awalnya sangat bergantung pada alam, dengan adanya pelbagai energi yang melahirkan pupuk kimia dan lain-lain, memungkinkan produksi dapat meningkat pesat. Perubahan dan pencemaran oleh fosil dan batu bara itu memberi “manfaat” sangat besar, yakni industrialisasi. Industrialisasi melahirkan banyak kepentingan. Amerika dan Eropa sekarang adalah hasil dari industrialisasi berdasarkan fosil fuel dan batu bara. Muncul pelbagai kelompok kepentingan (interest group) yang maju, kaya, dan makmur dengan mengandalkan fosil fuel
dan batu bara. Umpamanya seorang bekas Gubernur Texas seperti Bush yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat. Texas adalah salah satu produsen minyak bumi terbesar di Amerika Serikat. Minyak bumi itulah yang banyak menopang kampanye Bush dan menghidupi Texas. Sulit dibayangkan bila Bush kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengerem, atau bahkan melarang, penggunaan fosil fuel. Bergulirlah roda perekonomian yang saling menautkan industri minyak bumi, batu bara, kapital, industri otomotif, dan lain-lain. Semua rentetan yang mendorong modernisasi itu bertumpu pada fosil fuel, yakni minyak bumi dan batu bara. Mengapa sejak awal orang tidak meributkan soal perubahan iklim? Dulu, pada 1750-1950-2000, pencemaran relatif kecil. Semua masih bisa diserap oleh alam dan udara. Kemudian terbit sebuah buku berjudul Silent Spring. Kenapa spring itu membisu atau sunyi? Karena burung-burung dan ribuan sel telah mati. Kenapa mereka mati? Karena pencemaran. Kenapa tercemar? Karena perbuatan manusia! Si penulis, Rachel Carson, terus bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa, hingga membawa pengaruh besar. Manusialah yang mengubah dan membunuh alam. Prisma: Dari mana asal-muasal munculnya isu perubahan iklim? ES: Sepuluh tahun setelah terbitnya buku Silent Spring, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan sebuah konferensi pada 1972. Dalam United Nations Conference on the Human Environment itu dinyatakan bahwa human environment kita telah berubah, dan “lingkungan hidup bukan hanya diubah oleh manusia tetapi dihancurkan oleh manusia”. Jadi, kita mesti meninjau kembali cara membangun bumi ini. Setelah konferensi, lahir the United Nations Environment Programme (UNEP). Di dalam lembaga itu berkembang aneka pemikiran yang hendak meninjau kembali proses pembangunan selama ini. Apa betul kita harus selalu merusak alam? Apa betul spring itu sunyi, D I A L O G
Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang
Prof Dr Emil Salim adalah menteri terlama yang mengurus soal lingkungan (1978-1993). Setelah tidak lagi menjabat menteri, pria kelahiran Lahat, Sumatera Selatan (8 Juni 1930) tetapi berdarah Minang ini, tetap berkutat pada soal lingkungan dengan mengajar di Pascasarjana ilmu lingkungan Universitas Indonesia, serta aktif di Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (YBP) dan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Di era Reformasi, Emil kembali ke pusaran kekuasaan sebagai penasihat Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri, serta Ketua Dewan Pertimbangan Presiden merangkap anggota bidang lingkungan dan ekonomi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2010-2014). Doktor ekonomi lulusan University of California at Berkeley (1964) dan sarjana ekonomi UI (1958) itu juga memangku berbagai jabatan, seperti Anggota Majelis Wali Amanat UI (20072012), Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (1995-sekarang), dan anggota pimpinan Yayasan Penelitian tentang Pendapatan Nasional Berkelanjutan. Dia juga pernah memimpin delegasi Indonesia untuk UNFCCC di Bali (2007), Eminent Person Bank Dunia untuk Mengkaji Pengembangan Industri Ekstraktif (2001-2004), dan Chairperson of the 10th United Nations Commission on Sustainable Development (2001-2002).
D I A L O G
73
burung dan segala macam itu mati? Kalau burung mati, ia tidak bisa menyebarkan bibit. Kalau bibit tidak disebar, tumbuhan untuk makanan manusia berkurang. Jadi, ada koneksi dan siklus di antara manusia, hewan, burung, cacing, air, dengan iklim. Ekosistem tidak boleh diputus dan dipatahkan. Kehidupan ini seperti jaring laba-laba. Jejaring itulah yang menghubungkan semuanya. Matahari menyinari lautan, air laut menguap, uap ditiup angin menjadi butiran air yang turun ke bumi menjadi sungai dan kembali ke laut. Hewan cacing membuat lubang, air masuk ke lubang ini dan memungkinkan akar tumbuh. Cacing punya predator bernama ayam, misalnya. Ayam musuh musang, musang musuh harimau, dan seterusnya. Kenapa ada predator? Seandainya predator punah, maka meledaklah hama, musang, tikus, dan sebagainya. Maka keseimbangan atau equilibrium menjadi kata kunci. Kemudian dicari satu “bentuk” pembangunan. Bisakah kita membangun tanpa mengubah keseimbangan alami antara manusia dan alam? Alam memang berubah, tetapi ada threshold (ambang batas). Di atas ambang batas, perubahan itu akan menjadi negatif. Lahir konsep sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Pembangunan terus berlanjut, dan alam harus mendukung kemungkinan pembangunan berkelanjutan, agar kesejahteraan manusia bisa meningkat. Pendek kata, alam “bertugas” menunjang kesejahteraan umat manusia. Karena itu, tidak dipertentangkan antara pembangunan dan lingkungan. Kata kuncinya adalah threshold. Jejaring kehidupan akan “mati” bila melewati ambang batas, dan akan tetap utuh serta tumbuh bila berada di bawah ambang batas. Dalam perkembangan seperti itu, model pembangunan yang banyak memanfaatkan teknologi mau tidak mau harus disesuaikan; bukan teknologi yang eksploitatif, tetapi teknologi yang memperkaya. Maka lahir pembangunan dengan teknologi added value (nilaitambah). Apa teknologi yang dianut? Tebang pohon di hutan. Mengapa pohon itu ditebang?
74
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Kenapa kita tidak memperkayanya, misalnya, dengan memanfaatkan kulit kayu menjadi bahan baku obat. Atau mikro organisme yang dibutuhkan oleh industri kosmetik, jamu, dan lainlain. Mikro organisme juga bisa dijadikan bahan baku obat atau makanan seperti tempe. Jadi, manusia bisa menjadikan sumber daya alam sebagai produk yang bermanfaat tanpa harus menghancurkan alam. Contoh lain lintah atau pacet tanah yang mempunyai bisa hirudin. Kita menganggap hewan itu tidak bermanfaat. Sebenarnya, hirudin bisa dijadikan obat untuk memecahkan kekentalan darah, sumber penyakit stroke dan serangan jantung. Dengan kemampuan ilmu dan teknologi, ada beberapa teknologi yang tidak eksploit tapi memperkaya, seperti bioteknologi, bioinsektisida, biopestisida, biofertilizer, bioagrikultur, bioarsitektur, dan sebagainya. Umpamanya, bentuk rumah lebah. Sarang lebah itu seperti rumah susun terdiri dari lima sisi, bukan empat sisi. Anehnya, kecuali air hujan, udara dan sinar matahari dapat masuk keluar dengan leluasa. Jadi, ada satu atau beberapa hal yang dapat dipelajari manusia dari dunia hewan, seperti letak atau struktur rumah yang ideal; yang kemudian “melahirkan” ilmu feng shui. Alam ini penuh dengan ilmu yang dapat kita manfaatkan. Intinya adalah kita mempelajari pembangunan dari alam, sehingga pembangunan tidak merusak alam. Kerusakan alam paling dahsyat adalah perubahan iklim yang membuat air laut naik dan bisa menenggelamkan beberapa pulau kecil seperti Maldives. Bila air laut pasang, pulau itu nyaris tenggelam. Kenapa 10-15 tahun lalu ia tidak tenggelam? Kenapa permukaan laut naik? Molekul-molekul menyebar. Mengapa menyebar? Bumi panas. Mengapa bumi panas? Climate change! Sebagian pakar memperkirakan Maldives akan lenyap ditelan lautan sekitar tahun 2025-2030. Kalangan bisnis, politikus, dan pemerintah yang tahu bahwa permukaan air laut telah naik menghitung sekitar 5 tahun lagi Maldives tenggelam. Mereka berpikir dalam jangka pendek, sedangkan perubahan alam terjadi dalam jangka panjang.
Prisma: Mengapa isu perubahan iklim ditentang sebagian masyarakat? ES: Orang itu is living in today’s world, he doesn’t care about tomorrow. Semakin bertambah usia, semakin tidak peduli. Tapi besok tidak bisa lagi demikian. Jadi, yang harus sensitif terhadap perubahan itu kaum muda. Mereka yang memasuki usia senja tentu tidak akan menyaksikan tenggelamnya 2.000 pulau Indonesia pada 2030 nanti. Mereka tidak akan melihat naiknya permukaan laut di pantai utara Jawa. Generasi muda yang akan mengalaminya. Status quo oriented adalah jawaban mengapa “generasi tua” tidak terlalu peduli. Sebagian besar orang yang tidak peduli adalah, pertama, karena tidak berpengetahuan, tetapi menghendaki kenyamanan, dan, kedua, generasi yang hidup dalam kekinian dengan jangkauan pemikiran ke depan sangat terbatas. Sebagian besar intelektual juga tidak bisa menerangkan secara sistematis kepada generasi muda. Itu menjelaskan kenapa dunia terpecah, kelompok negara maju yang sudah mapan dan tidak mau berubah. Siapa yang paling tidak mau berubah? Amerika Serikat di bawah Bush tidak mau menandatangani Protokol Kyoto, dan Obama tidak mendapat mandat dari Senat untuk menghadiri konferensi di Kopenhagen. Siapa di belakang semua itu? Lobi minyak dan Wall Street. Siapa mereka? The current industrialists. As a matter of interests, ada cara pandang jangka pendek versus jangka panjang antara kelompok-kelompok mapan dan “pembaru”. Prisma: Kenapa persoalan ekonomi dan lingkungan yang telah lama dibicarakan di Indonesia sejak tahun 1970-an belum juga selesai hingga kini? ES: Pihak-pihak yang membicarakan soal perubahan iklim hanya di lingkungan UNEP saja. Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan organisasi-organisasi “Wall Street’s”, enggan menyinggung soal itu. Ketiganya memang sangat berkepentingan dengan perekonomian D I A L O G
Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang
yang didikte oleh mekanisme harga (price mechanism). Namun, mekanisme harga di situ tidak menyentuh atau menanggung biaya lingkungan. Harga bahan bakar minyak harus disubsidi supaya tarif angkutan murah. Operasi Kereta Api Parahyangan dihentikan karena lebih mementingkan pengembangan jejaring jalan tol. Padahal, meski memang tidak “nyaman”, moda transportasi kereta api itu jauh lebih bersih, tidak ada CO . Kereta api rakyat 2 “dimatikan” karena kalah bersaing dengan kendaraan ber-CO . Lantas, siapa yang mem2 bayar CO ? No one. Kita menyubsidi CO . Kita 2 2 membiarkan harga bensin tetap rendah. Siapa akhirnya yang membayar CO ? Mereka yang 2 tidak mampu. Bayi-bayi di bawah usia 5 tahun meninggal karena udara tercemar. Kereta api rakyat mati karena tidak mampu bersaing dengan kendaraan ber-CO . Semua lembaga 2 ekonomi, termasuk Wall Street, World Bank, WTO, bekerja dalam “ekonomi yang terdistorsi” (distorted economy). Biaya lingkungan tidak dimasukkan dalam struktur harga, dan otomatis diabaikan. Padahal, selama dua belas bulan matahari terus-menerus bersinar. Kenapa kita mengembangkan sumber “energi surya” (solar energy)? Kita memiliki pantai sepanjang 80.000 kilometer. Kenapa “energi dari gelombang laut pantai” (beach energy) tidak berkembang? Indonesia memiliki ratusan sungai. Kenapa mikrohidro tidak jalan? Semua kalah dengan bahan bakar fosil yang disubsidi. Semua orang pasti akan ribut bila saya bicara soal naikkan harga bensin. Orang tak peduli dengan pencemaran yang diakibatkan pemakaian bahan bakar fosil. Setiap orang mau serba murah. Murah berarti ongkos pencemaran dan kerusakan lingkungan tidak dipikul oleh pengusaha. Gerakan lingkungan sesungguhnya sedang menghadapi “kegagalan pasar” (market failure) dalam menampung atau mengatasi biaya-biaya lingkungan. Lembaga internasional seperti UNEP memang telah tumbuh, tetapi tidak pernah bisa masuk ke dalam WTO, IMF, dan World Bank, untuk dapat menentukan perekoD I A L O G
75
nomian internasional. Siapa yang menentukan perekonomian dunia? Negara-negara industri maju yang mengendalikan dan mengandalkan bahan bakar dasar berupa bahan bakar fosil. Itulah — market failure, interest group para industrialis, serta mereka yang menghadiri “Davos” — yang mencemari dunia dan menguasai hampir semua media massa. Ketika hendak membahas climate change, lahir Intergovernmental Panel on Climate Change berisi ratusan ilmuwan. Di kalangan ilmuwan sendiri muncul silang-pendapat. Ada yang mengatakan citra IPCC “terlalu menakutkan”, omong kosong, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri masih banyak yang menyetujui pemakaian batu bara sebagai bahan bakar. Banyak hutan di Kalimantan dibabat habis untuk dijadikan areal tambang batu bara. Artinya, interest group yang hidup dengan pola business as usual tetap bergeming. Prisma: Bagaimana caranya supaya biayabiaya lingkungan masuk ke dalam perhitungan bisnis? ES: Prinsip pertama pola pembangunan tidak dibangun dalam jangka pendek, bukan sepanjang dia berkuasa, baik di pemerintahan maupun di bisnis. Ia harus dibangun dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Alam itu selalu berlanjut! Ayam bertelur, dan telur akan menjadi ayam. Pohon pepaya atau pisang akan berbuah. Setelah itu mati, berbuah, mati, dan begitu seterusnya. Manusia juga seharusnya melakukan seperti itu. Apa yang mendorong pembangunan berkelanjutan? Sumber daya alam, baik yang tidak bisa diperbarui maupun yang dapat diperbarui. Misalnya, timah di Pulau Bangka yang akan habis pada 2030. Bagaimana bila mesin pertumbuhan di Bangka berhenti lantaran kehabisan timah? Saya pernah mengatakan, “pemerintah daerah Bangka tumbuh maju dengan mengandalkan non-renewable resource, tetapi jangan semua dihabiskan. Anda juga harus ‘menanam’ pada renewable resource berupa pertanian, perkebunan, perikanan,
76
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
pariwisata, dan human resource seperti Singapura. Ketika timah habis, bisa beraliah ke situ.” Tumpuan pembangunan berkelanjutan adalah renewable resource yang ditopang oleh “kekuatan akal”, seperti Swiss atau Singapura. Karena itu, hasil sumber daya alam seperti minyak bumi jangan dihabiskan. Minyak Indonesia akan habis pada 2015. Bila minyak habis, apa yang dapat menggantikannya. Brain power! Kedua, dua pertiga wilayah Indonesia berupa laut penuh dengan aneka ikan. Ikan itu akan selalu memperbarui diri. Kita jangan over fishing. Sayangnya, jumlah ikan di Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Bangka, Selat Bali, dan Laut Jawa, mulai menurun drastis karena over fishing. Begitu pula hutan. Hutan itu renewable resource, tetapi kecepatan menghancurkan hutan lebih besar daripada kecepatan menumbuhkan hutan. Jalan keluarnya seperti tukang cukur yang menggunting rambut setiap bulan. Dia hidup dari rambut kita yang dia gunting. Bila dianalogikan dengan hutan, dia hidup dari hasil hutan yang bisa dia ambil. Diameter pohon tumbuh 1 cm setiap tahun. Setelah 60 cm ke atas, pohon itu bisa ditebang. Akan tetapi, untuk mencapai diameter setebal itu butuh waktu puluhan tahun. Jangan ditebang. Dulu ada yang namanya “tebang pilih tanam Indonesia” dan “hutan tanaman industri”. Apakah pabrik bubur kertas dan kertas boleh didirikan? Boleh, tetapi harus menanam pohon terlebih dahulu sebelum membangun pabrik. It can be done, mengikuti teori “gunting rambut”, dan dengan teknologi yang bisa menaikkan nilai tambah. Prisma: Apa strateginya? ES: Seorang teman pernah mengatakan kepada saya bahwa satu hektar hutan di Riau memiliki mikro organisme yang bisa menjadi bahan kosmetik, obat-obatan, dan produk lain dengan nilai seratus ribu buah kelapa sawit. Akan tetapi, dia menghendaki brain power. Strategi pembangunan yang selalu saya dorong adalah value added terrestrial (daratan) dan
tropical rainforest based development. Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis nomor 2 terbesar setelah Brasil. Indonesia juga memiliki dua pertiga kawasan laut tropis. Indonesia merupakan satu-satunya kepulauan di khatulistiwa. Artinya, mikro iklim di Aceh berbeda dengan Banten, Manado, atau Papua. Jenis tanah dan tanamannya juga beraneka. Itu kekuatan Indonesia. Buah durian yang tumbuh di Kalimantan berbeda dengan durian Riau, Jawa Tengah, dan sebagainya. Begitu pula bunga. Belanda mengembangkan koekenhoff dan mengekspor bunga ke seluruh Eropa. Bunga yang dibiakkan di dalam rumah kaca itu sesungguhnya adalah bunga Indonesia! Seluruh Indonesia adalah rumah kaca. Kita membutuhkan otak, ilmu pengetahuan dan teknologi supaya bunga itu tidak cepat layu. Laut pun bukan sekadar ikan, ada terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan sebagainya. Semuanya adalah bahan baku untuk obat-obatan, kosmetik, dan sebagainya, yang belum digarap maksimal. Apakah bisa resource base yang unik, yang tidak ada di Eropa, Jepang, China, dan Amerika itu, ditambah kekuatan otak membuat kita punya posisi yang sangat kuat. Kita menghadapi China tidak dengan kekuatan otot. Kita punya tropical marine, tropical rain forest, pacet, dan lain-lain. Jadi, dalam rangka menghadapi persaingan dengan negara lain, arah pembangunan dengan nilai tambah berbasis sumber daya alam, ilmu, dan teknologi harus dikembangkan dengan sungguh-sungguh. Bioteknologi harus kita pelopori dengan memanfaatkan keunikan sumber daya alam daratan dan lautan. Sekarang, kita harus menghadapi perubahan iklim. Bagaimana cara menghadapinya? Ambil contoh Negeri Belanda yang berada di bawah permukaan laut. Mereka memiliki teknologi dan alat yang memang sangat mahal. Suku Bajo di Indonesia mencari mata pencaharian dan bermukim di atas laut. Bila pergi ke Sungai Musi, Batanghari, atau Barito, kita dapat menyaksikan beberapa rumah yang mengambang di tepi sungai. Kenapa mereka yang berdiam di rumah-rumah itu tidak memasang alat peredam D I A L O G
Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang
(shock breaker) seperti mobil, sehingga penghuninya tidak bergoyang ketika diterpa gelombang sungai. Kenapa tidak ada teknologi yang bisa meredam gelombang air laut, sementara penghuninya tetap mantap di dalam rumah? Ini yang saya maksud science and technology. Kita ini negeri kepulauan dengan 17.508 pulau. Untuk memasok energi dibangun kabel melintasi laut atau selat. Kabel ditanam di bawah laut atau selat. Itu tidak cocok. Kenapa tidak membangun energi per pulau? Kalau per pulau, maka ini berarti lokal. Kalau lokal, berarti sumber energi lokal bisa berupa sinar surya, angin, hujan, hydropower, biomassa dan sebagainya. Jadi, tidak cocok kalau kita membangun sistem energi terpusat di satu tempat. Prisma: Indonesia punya cadangan karbon dan hutan gambut yang besar. Bila lahan gambut dibuka, karbon akan terlepas ke udara. Di sisi lain, Indonesia harus menumbuhkan perekonomian sekaligus melestarikan lingkungan. Bagaimana kedua hal itu bisa jalan bersamaan. Memang bukan isu baru, tetapi kerusakan hutan belakangan ini tampak kian meluas. Artinya, dari sisi kebijakan mungkin bagus, tapi bagaimana dengan soal birokrasi, koordinasi, dan penegakan hukum? ES: Kalau berbicara perubahan iklim, kita bicara tentang iklim yang dipengaruhi oleh pencemaran dari China, Jepang, Amerika, dan sebagainya. Bumi ini seperti pesawat terbang. Negara-negara maju berada di kelas satu, sedangkan kita duduk di kelas ekonomi. Saya katakan kepada penumpang kelas satu, “You mengisap cerutu yang asapnya masuk ke ruang kami. Kami mendapat dampaknya. Kami mampu menyerap asap itu dengan hutan-hutan kami dan sebagainya. Kalian menikmati cerutu itu, sementara kami menampung asap itu. Kalian tidak membayar kami. Di mana keadilan itu?” Kemudian saya mulai membangun. Saya juga mengeluarkan asap, tetapi tuan marah, “Jangan, kalau kamu keluarkan asap juga, pesawat akan penuh asap dan pengap!” D I A L O G
77
Sebagaimana diketahui, total emisi Amerika Serikat adalah 27 persen dari seluruh dunia. Amerika, Eropa, Rusia, dan negara maju lainnya total menyumbang 65-70 persen emisi. Jadi, asap di kapal terbang itu 70 persen berasal dari kelas satu. Sekarang, saya mau membangun dan minta ruang. Karena saya membangun dengan memakai teknologi kamu, maka saya juga mengeluarkan asap. Saya perlu ruang 30 persen untuk dicemarkan. “Jangan ke ruang kelas satu, nanti penuh.” Kalau jangan, maka kalian yang harus turun dari 70 ke 40, dan kami naik menjadi 30 persen. Jadi, asap yang beredar di kabin pesawat tetap 70 persen. “Oh, tidak bisa begitu, itu menghambat pembangunan,” kata mereka. Kalian bilang tidak mau turun karena menghambat pembangunan kalian, tetapi kami tidak boleh naik karena akan merusak kalian. Tidak fair! Itu intinya. Negara berkembang memerlukan ruang untuk pencemaran. Batas 450 ppm, kenaikan suhu 2 derajat Celcius, itulah yang 70 persen. Itu pertempuran pertama. Pertempuran kedua, “kalian menghasilkan 70 persen, tetapi tidak membayar sepeser pun. Kami menyerap 70 persen itu dengan pohon, lahan gambut, dan laut kami. Apa imbalan untuk kami? Andai kami membuka hutan, 70 persen itu tentu tidak bisa diserap dan akan mengganggu kalian. Apa imbalannya? Lahirlah REDD (Reducing Emissions from Deforestation dan Degradation). Pertempuran ketiga, kami ini duduk di kelas ekonomi yang terkadang tidak diberi makan dan minum. Kalian bebas membuang beraneka macam asap, dan dapat tidur nyenyak belasan jam dalam perjalanan udara dari Washington ke Jakarta. Kami ingin rakyat kami juga maju dan menikmati kenyamanan. Nah, untuk maju, kami perlu ruang untuk dicemari. Kalau kalian tidak bersedia ruang kalian dicemari, maka transfer teknologi supaya kami tidak mencemari ruang kalian. Apa kata Bush? “We have a technical cooperation”. Good! “But through the private sector”. Kami harus membayar teknologi, karena sektor swasta tidak memberi hadiah. Artinya,
78
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
negara berkembang harus membayar alih teknologi dari negara maju. Selain itu, negara berkembang juga diharuskan menjaga dan menurunkan emisi. Jangan mencemarkan. Kurang ajar itu kan!, tapi kami mau membangun supaya rakyat kami yang miskin bisa makan. Karena kami tidak boleh mencemarkan, maka kalian harus bayar bukan sebagai “bantuan” (aid), tetapi sebagai sebuah “kewajiban” (obligation). Karena kalian yang mencemarkan, kami yang menjadi korban. Lahirlah common but differentiated responsibility. Bumi ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kita berada di pesawat yang sama, tetapi ruang kita berbeda. Kalian di kelas satu, kami di kelas ekonomi. Beban dan tanggung jawabnya tentu berbeda. Bagi kami, yang sangat penting di dalam pembangunan itu adalah bagaimana menurunkan kemiskinan. Iklim memang penting, tetapi kalau kami harus membayar 1 dolar untuk membeli alat pengendali climate change, berarti dolar itu tidak bisa pakai untuk membuka lapangan kerja mengatasi kemiskinan. Climate change mungkin baru akan terjadi 5-10 tahun ke depan, tetapi rakyat kami tidak bisa menunggu hari esok untuk makan. Ini prioritas utama kami. Namun, bila kalian memberi kami cara bagaimana membangun keduanya (the co-benefit approach) melalui transfer teknologi dan co-funding, maka pembangunan itu akan bepengaruh ganda — pengentasan kemiskinan sekaligus pengurangan CO . 2
Prisma: Presiden SBY telah menetapkan target penurunan emisi Indonesia sebesar 26%. Apakah itu sudah mencakup alokasi sumber daya untuk menurunkan tingkat kemiskinan? ES: Mengapa Indonesia secara sukarela mengajukan diri, tidak menunggu Kopenhagen? Sejak bulan Oktober, Indonesia sudah komit minus 26 persen dari business as usual. Kalau berjalan seperti biasa, tahun 2000, 2020, 2050, bumi semakin panas. Dampaknya akan sangat dirasakan oleh negara-negara kepulauan yang berada di sekitar garis ekuator, bukan Zaire, Kongo, Brasil, Eropa, Amerika Latin, Kanada,
Rusia, atau Jepang. Perubahan iklim terbesar akan terjadi di sekitar garis ekuator. Indonesia termasuk yang menjadi korban, sedangkan es di Himalaya, Kanada, dan Alaska, akan mencair. Mereka mendapat tanah tambahan. Air laut bisa diolah menjadi air tawar, tetapi tidak ada yang bisa membikin tanah. Mereka dapat tanah “baru”, sedangkan kita tenggelam. Sampai saat ini tercatat 29 pulau di Indonesia yang telah tenggelam, menyusul menciutnya luas tanah di 2.500 pulau. Bagi Indonesia, isu perubahan iklim bukan hanya soal diplomasi semata, tetapi lebih as survival of the nations. Kalau kita hanya menunggu, berjalan seperti apa adanya, tanah air kita bisa tenggelam. Kedua, apa yang dimaksud perubahan iklim? Curah hujan yang tak menentu dan air menguap cukup cepat. Apa makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia? Beras. Makanan pokok kita itu sangat bergantung pada air. Bila menguap dengan cepat, bagaimana kita bisa menanam padi tanpa air? Ketiga, adanya perubahan curah hujan yang semula berlangsung bulan September-Desember, kita bekerja di sawah menanam padi, atau mendengar alunan suara kodok. Iklim tiba-tiba berubah. September belum turun hujan. Begitu pula di bulan Januari, Februari, dan April. Air hujan tidak kunjung turun. Akibat tak menentunya curah hujan, pola tanam menjadi kacau. Keempat, penyakit. Muncul penyakit-penyakit baru yang tidak pernah kita kenal, yang terkait dengan kekeringan maha dahsyat. Jadi, soal perubahan iklim bukan sekadar pidato, tetapi lebih pada kelangsungan pulau-pulau, kelangsungan pangan. Bagaimana kita bisa memelihara ketahanan pertanian kita yang didera aneka macam perubahan musim? Bagaimana kita bisa menanggulangi munculnya penyakit yang berkaitan dengan kekeringan seperti malaria, disentri, dengue, dan lain-lain. Prisma: Bagaimana mengubah sikap dan mental masyarakat termasuk aparat, sementara mereka ini tidak terlalu peduli dengan perubahan iklim? D I A L O G
Hadapi Perubahan Iklim seperti Berperang
ES: Mengubah mental sangatlah sulit. Kuncinya adalah “rencana tata ruang” (spatial planning). Dalam merencanakan tata ruang, kita harus mengetahui secara pasti sumber-sumber daya yang ada, termasuk air yang mengering atau perusakan lahan gambut yang dapat melepaskan CO ke udara. Memang, persoalannya 2 kita selalu business as usual. Seluruh Riau, Kalimatan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua, dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kita harus meninjau ulang kebijakan itu. Memang tidak mudah, kalau kita mau berubah. That is the battle. Jadi, presiden mengajukan komitmen pengurangan emisi minus 26 persen itu tidaklah gampang. Sangat jarang presiden yang mau melawan arus, apalagi para investor yang sudah bergelimang uang. Itulah tantangan bagi keputusan politik. Sekarang, aparat harus mendukung penuh. Namun, Indonesia ini ibarat kapal tanker besar. Bila mau mengubah haluan, ia tidak bisa secepat speed boat. Bila mau banting haluan, radius putarnya sangat lebar. Akan tetapi, kita tetap harus memutar haluan. Kenapa lambat? Karena kita ini kapal tanker. Apalagi seorang bupati yang hendak gunting pita pada tahun ke-5, merayakan keberhasilannya dalam memimpin suatu daerah. Dia ingin dipilih kembali, tetapi tidak diperbolehkan memperluas areal perkebunan kelapa sawit yang selama itu menjadi andalan perekonomian daerahnya. Bagaimana caranya supaya dia terpilih kembali? Maka, terjadilah konsultasi antara pemerintah pusat dan daerah. Indonesia itu sedang mencari perubahan di tengah semaraknya otonomi atau desentralisasi. Pemerintah pusat tidak lagi berkuasa seperti zaman Pak Harto. Ia berhenti pada level provinsi. Gubernur tidak bisa mengatur langsung bupati. Bupati punya DPRD. Bupati sendiri dipilih langsung oleh rakyatnya. Kalau zaman dulu, hitam kata Pak Harto, hitam kata kabinet, hitam kata gubernur, hitam pula kata bupati. Ada Kopkamtib, Babinsa, Korpri, dan Golkar. Hitam di sini, hitam pula di sana. Kalau sekarang, hitam kata SBY, belum tentu hitam kata kabinet koalisi. Gubernur dan DPRD D I A L O G
79
dipilih langsung, “Saya ini dipilih rakyat.” Begitu pula bupati, “Aku juga dipilih rakyat.” Kita berkata hitam, belum tentu di sana hitam. Pendek kata, kepemimpinan yang sekarang tidak sama dengan kepemimpinan di zaman Pak Harto. Prisma: Bagaimana menyatukan persepsi yang berbeda seperti itu? ES: Perlu pertimbangan mendalam. Saya melihat pertemuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Cipanas, Tampak Siring, Bidakara, itu sebagai proses pembelajaran. Indonesia bukan hanya Riau. Indonesia juga bukan hanya Papua. Kalau kalian menuntut semua hasil pendapatan minyak bumi hanya untuk daerah kalian saja, lantas bagaimana dengan Nusa Tenggara Barat? Tingkat kematian bayi di provinsi itu tinggi, sementara tingkat pendidikan di NTT tercatat paling rendah. Komunikasi dari Aceh ke NTT memang tidak mudah. Jadi, yang bisa menyatukan adalah common plan, perencanaan bersama seperti fokus pada “progrowth, pro-job dan pro-poor.” Presiden selalu mengimbau jangan terfokus pada soal ekonomi saja, tetapi juga pada millennium development goal, kemiskinan, tenaga kerja, dan sebagainya. Selama ini, bupati melulu berkampanye soal ekonomi. Mind set-nya selalu ekonomi. misalnya, kapan hutan bisa dibabat habis? Mereka memandang hutan sebagai free resource. “Meningkatkan pendapatan asli daerah”, demikian bahasa seorang bupati. Apa yang dimaksud dengan pendapatan asli daerah? Sumber daya yang ada, hutan. Bagaimana menghadapi semua itu? Bapak tidak berkuasa lagi, tidak bisa memberi instruksi ke bupati, you don’t instruct the bupati, you talk to the bupati. Dalam era otonomi daerah, kekuasaan sudah dibagi habis. Presiden bertanggung jawab secara nasional, gubernur di tingkat provinsi, bupati di kabupaten, dan lain-lain. Kita sekarang berada dalam dunia yang sama sekali berbeda. Sayangnya, masih banyak orang yang belum menyadari soal itu. Governance (tata kelola) itu pun belum disetel secara mantap.
80
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Prisma: Menurut perhitungan Anda, kita butuh waktu berapa lama untuk putar haluan? ES: Tahun 2014 adalah transisi. Setelah 2014, generasi seangkatan saya sudah “habis” diganti generasi lebih muda. Saya percaya pada generasi muda. Mereka hebat dan memiliki idealisme tinggi. Itulah generasi yang akan membelokkan tanker itu. Kita sekarang sedang berusaha membelokkan kapal itu. Prisma: Kalau dampak perubahan iklim pada hasil panen dan segala macam, adakah penurunan produksi akibat perubahan iklim? ES: Karena menanam pada saat tidak tepat. Perubahan iklim mengakibatkan musim tanam berubah. Akan tetapi, bila Anda tidak mengubah musim tanam, siap pada waktu masih muda, kemudian ditimpa hujan, semua pasti akan busuk. Tanaman padi akan gagal panen karena tidak tepat waktu. Kenapa pemerintah tidak memberi tahu? Karena kita ini mikro iklim. Luas wilayah Indonesia seperti jarak dari London hingga Teheran. Secara nasional, iklim kita tidak sama. Curah hujan di Aceh lain dari Papua. Kita harus terjemahkan per mikro iklim yang berbeda-beda itu. Dulu fluktuasi tidak sedahsyat sekarang, sehingga orang bisa bilang musim hujan datang bulan September, Oktober, November, dan Desember. Namun, dengan perubahan iklim, fluktuasi menjadi berbeda di setiap daerah. Intensitas hujan di antara musim hujan dengan musim kemarau berbeda. Perubahan iklim juga menyebabkan intensitas hujan yang berubah, lebih besar pada waktu musim hujan dengan waktu lebih pendek. Saat musim kemarau, kekeringan akan lebih panjang. Lembaga Biologi Nasional LIPI sedang mengusahakan bibit padi tahan kering, dan tahan basah supaya tidak lekas busuk. Pokoknya, mencari bibit padi yang lebih cocok dengan perubahan iklim. Jadi, kita harus hidup dalam struktur iklim yang sama sekali berbeda.
Prisma: Bagaimana kita menghadapi perubahan iklim, dan apa saja yang harus dipersiapkan? ES: Kita mesti berpikir jauh ke depan seandainya pulau-pulau mengalami masalah naiknya permukaan laut akibat perubahan iklim, sehingga area daratan menjadi berkurang. Mungkin kita mencari pola tanam lain seperti pohon sagu. Kita ambil skenario terburuk. Kalau permukaan laut meninggi, pohon yang tinggi masih bisa bertahan, bukan padi-padian yang habis tergenang air. Pohon yang karbohidratnya tinggi dan kuat adalah sagu. Menurut seorang ahli, bila kita menanam sagu seluas Jawa Barat, ini bisa memberi karbohidrat untuk 220 juta penduduk Indonesia. Karena itu, menghadapi perubahan iklim, kita harus berpikir seperti berperang. Pantai kita bakal digerogoti air laut. Ketika surut, tanamlah bakau di area tersisa sampai garis pantai. Sewaktu tanaman bakau itu tumbuh berkembang, garis pantai sudah makin menjorok ke laut. Ada garis pantai yang baru. Kita berperang melawan perubahan itu dengan merebut dan menduduki tanah yang surut dengan pohon bakau. Kita mempunyai 80.000 km garis pantai. Tak terperikan bila separuhnya saja kita tanami bakau. Bagaimana orang-orang mau menanam bakau? Bisa tidak pohon bakau dicangkok dengan jenis tumbuhan yang bermanfaat seperti buahbuahan, misalnya. Maka, areal tanaman bakau itu bisa menjadi perkebunan. Coba kita bayangkan sepanjang pantai yang 80.000 km itu berubah menjadi perkebunan buah-buahan. Dengan demikian, benteng pantai kita tetap terpelihara. Jadi, yang semula harus investasi membangun benteng tinggi seperti Negeri Belanda, sekarang orang berebut mendapat tambahan tanah dan pendapatan. Kita didukung oleh masyarakat, dan bersama-sama berperang melawan perubahan iklim. Seperti Suku Bajo, kita tidak melawan alam tetapi hidup bersama alam•
D I A L O G
Sekilas Tentang
DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim yang menyebabkan pelbagai bencana seperti banjir, tanah longsor, kemarau panjang, angin kencang, dan gelombang tinggi permukaan laut. Bahkan, bencana tersebut dapat terjadi dalam intensitas lebih besar dan dirasakan langsung oleh masyarakat petani, nelayan, pesisir, perdesaan, dan perkotaan. Dampaknya yang lebih luas tidak hanya menurunkan dan merusak kualitas lingkungan hidup, tetapi juga membahayakan dan merugikan kesehatan manusia, ketahanan pangan, kegiatan pembangunan ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, serta infrastruktur fisik. Untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim, dibentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008. Di dalam Pasal 3 PP No. 46/2008 itu disebutkan bahwa tugas DNPI adalah: a. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program, dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; b. Mengoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan; c. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon; d. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim; e. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.
Sebagai Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim, Presiden Republik Indonesia dibantu dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Ada 17 Menteri dan 1 Kepala Badan duduk sebagai anggota DNPI. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Nasional Perubahan Iklim dipimpin oleh Ketua Harian merangkap anggota, Prof (Hon.) Ir Rachmat Witoelar, dibantu oleh beberapa Kelompok Kerja dan Sekretariat.
Kelompok Kerja DNPI Saat ini Kelompok Kerja yang ada di DNPI adalah Kelompok Kerja Adaptasi, Kelompok Kerja Mitigasi, Kelompok Kerja Post Kyoto 2012, Kelompok Kerja Pendanaan, Kelompok Kerja Alih Teknologi, Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan (LULUCF), Kelompok Kerja Basis Ilmiah dan Inventaris Gas Rumah Kaca (GRK), serta Kelompok Kerja Kelautan. Fokus kegiatan Kelompok Kerja Adaptasi adalah merumuskan strategi adaptasi perubahan iklim nasional serta membantu penentuan posisi negosiasi Indonesia terutama yang menyangkut adaptasi perubahan iklim. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, • Mengoordinasi perencanaan kegiatan adaptasi mulai dari tingkat nasional sampai daerah dengan melibatkan sektor-sektor terkait (pemerintah pusat, pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi). • Menyelenggarakan pertemuan komunikasi kegiatan adaptasi di tingkat nasional dan daerah yang bertujuan untuk mengomunikasikan kegiatan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan sektor/departemen dan organisasi masyarakat sipil, baik di tingkat nasional maupun daerah, kepada para pemangku kepentingan lainnya.
• Membangun tujuan strategis untuk mendukung terwujudnya pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim dalam kebijakan nasional dan daerah. • Membangun jejaring kerja sama antarsektor dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. • Pengumpulan hasil studi kesiapan beradaptasi instransi-instansi di beberapa provinsi. • Mengoordinasikan studi kerentanan bencana akibat perubahan iklim dengan beberapa instansi terkait, antara lain, Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
• •
•
• Fokus kegiatan Kelompok Kerja Mitigasi adalah mengoordinasi posisi Indonesia dalam negosiasi mitigasi perubahan iklim serta merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim Indonesia. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, • Mengoordinasi seluruh masukan delegasi Indonesia terkait usulan mitigasi dalam negosiasi internasional. • Menyelenggarakan berbagai pertemuan, baik meeting dan roundtable discussion maupun focus group discussion, mengenai mitigasi perubahan iklim. • Menyosialisasikan mitigasi perubahan iklim pada pihak terkait. • Memfasilitasi diskusi dan menginformasikan laju emisi GRK di Indonesia serta potensi pengurangan biaya. • Mendiseminasikan teknik-teknik mitigasi serta hasil studi terkait mitigasi, antara lain, kurva biaya mitigasi Indonesia (carbon abatement cost curve). Fokus kegiatan Kelompok Kerja Post Kyoto 2012 adalah mengoordinasikan posisi Indonesia dalam menghadapi negosiasi perubahan iklim, terutama yang menyangkut rezim perubahan iklim pascaperiode pertama Protokol Kyoto (pasca2012), dengan kegiatan utama negosiasi internasional perubahan iklim serta kegiatan pendukung, antara lain, • Melaksanakan serangkaian pertemuan antardepartemen dan pertemuan dengan para
•
pemangku kepentingan (stakeholders) terkait persiapan pertemuan UNFCCC. Menyelenggarakan sesi-sesi brainstorming bagi penyiapan posisi delegasi Republik Indonesia. Mempersiapkan dan menyampaikan beberapa submisi ke Sekretariat UNFCCC terkait posisi Pemerintah Indonesia, baik terhadap isu-isu yang telah dinegosiasikan maupun teks negosiasi. Menyiapkan pernyataan pers dan menjadi juru bicara delegasi Republik Indonesia, serta penghubung bagi media asing dan lokal selama sidang berlangsung. Mendiseminasikan hasil akhir posisi Indonesia, baik kepada sektor terkait maupun perwakilanperwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Mendiseminasi hasil-hasil perundingan ke kementerian, perguruan tinggi, dan pemangku kepentingan lain.
Kelompok Kerja Pendanaan dengan fokus program untuk mendapatkan skema dan merumuskan strategi pendanaan yang akan mendukung upaya-upaya mitigasi, adaptasi, dan alih teknologi perubahan iklim. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, • Mengoordinasi masukan posisi delegasi Republik Indonesia terkait sumber dan mekanisme pendanaan perubahan iklim global yang berkeadilan dan efektif. • Menjalin kerja sama dengan 20 negara untuk menyiapkan Pendanaan Interim guna pelaksanaan REDD (2010–2015). • Mengoordinasi masukan domestik dalam rangka pengembangan mekanisme-mekanisme pendanaan untuk investasi dan pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, dan kehutanan. • Menjajaki berbagai opsi dan mekanisme Low Emission Development Financing Facility (LEDF) bersama dengan Kementerian Keuangan, Bapepam-LK, dan para investor di Jakarta. Tujuan LEDFF adalah menuil (leverage) dana swasta dan masyarakat dalam dan luar negeri untuk mendukung dana publik yang ada. • Merundingkan dan menginisiasi beberapa pen-
danaan perubahan iklim jangka pendek dari lembaga donor multilateral (UNFCCC, World Bank) dan bilateral (European Commission, USAID, DFID-UK, AusAID). • Memberi penjelasan kepada lembagalembaga bilateral dan multilateral tentang perspektif Indonesia mengenai pendanaan perubahan iklim dalam konteks nasional dan global. Fokus kegiatan Kelompok Kerja Alih Teknologi adalah merumuskan strategi alih teknologi untuk memastikan Indonesia dapat melakukan mitigasi dan adaptasi secara optimal. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, • Menyiapkan posisi delegasi Republik Indonesia untuk alih teknologi dan mempersiapkan negosiasi internasional. • Mengoordinasi pemetaan isu alih teknologi perubahan iklim. • Menjalin kontak dengan berbagai pihak dan menyusun proposal untuk implementasi alih teknologi. • Menyelenggarakan roundtable discussion dan focus group discussion mengenai alih teknologi perubahan iklim. • Menyosialisasi alih teknologi perubahan iklim kepada pihak terkait. Fokus kegiatan Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan (LULUCF) adalah memperkenalkan beberapa opsi dalam mengelola hutan secara optimal dalam hubungannya dengan perubahan iklim, selain menentukan sikap dan strategi dalam menghadapi perundingan perubahan iklim internasional terkait sektor kehutanan dan alih guna lahan. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, • Menjalin kerja sama dengan Kementerian Kehutanan khususnya dalam menyusun posisi delegasi Republik Indonesia mengenai REDD, dan mengoordinasi kesiapan REDD di Indonesia. • Memperkuat Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan melalui diskusi internal tentang kesiapan REDD Indonesia. • Melibatkan diri dalam berbagai kegiatan
percontohan REDD yang disponsori oleh berbagai sumber pendanaan. • Menyosialisasi pemahaman REDD kepada pihak-pihak terkait.
Sekretariat Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim mengakomodasi beberapa kegiatan, di antaranya memfasilitasi biaya diskusi mitigasi di Indonesia, revisi Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim, mengoordinasi strategi dan kebijakan nasional perubahan iklim. Untuk kegiatan fasilitasi biaya diskusi mitigasi, Sekretariat DNPI mengidentifikasi beragam sumber emisi Indonesia serta memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurangi emisi. Hasil yang diperoleh dari studi tersebut adalah jumlah emisi Indonesia per sektor serta kurva biaya potensi pelepasan emisi Indonesia (carbon abatement cost curve). Revisi Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim disusun untuk menanggapi ancaman perubahan ikim terhadap pembangunan berkelanjutan yang harus memasukkan secara gamblang soal strategi pembangunan berkelanjutan rendah emisi pada sektor prioritas dengan mengutamakan upaya mitigasi perubahan iklim. Koordinasi strategi nasional dan kebijakan perubahan iklim dilaksanakan secara kemitraan dengan pihak asing melalui salah satu kesepakatan yang dicapai, yaitu keharusan DNPI untuk mengusulkan serangkaian kegiatan yang bertujuan memberi gambaran utuh mengenai program koordinasi aspek-aspek terkait perubahan iklim di Indonesia bagi kebutuhan dasar negosiasi internasional serta adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon Fokus kegiatan divisi ini adalah memfasilitasi perdagangan karbon di Indonesia melalui berbagai sarana, termasuk menyebarluaskan pengetahuan mengenai pasar karbon dan mengoordinasikan strategi pasar karbon Indonesia dalam negosiasi internasional. Kegiatan yang dilakukan, antara lain,
• Berkonsultasi dengan beberapa calon atau pelaku perdagangan pasar karbon. • Menggelar sejumlah focus group discussion untuk pengembangan pasar karbon. • Berpartisipasi dalam proses evaluasi dan pemberian izin proyek Clean Development Mechanism (CDM) oleh Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB). • Mengoordinasi pengalihan Komnas MPB dari Kementerian Lingkungan Hidup ke Dewan Nasional Perubahan Iklim. • Bekerja sama dengan Pemerintah Korea Selatan, dan beberapa stakeholder domestik, dalam pembuatan faktor emisi di Kalimantan dan Sulawesi. • Mendiseminasi pengertian dan peluang pasar karbon pada perguruan tinggi, departemen teknis terkait, pemerintah daerah, dan kaum profesional. • Melibatkan diri dalam perumusan dan pengembangan bentuk baru CDM di Indonesia, yakni PoA atau Programmatic CDM. • Membantu kelompok kerja dan divisi lain dalam penyebaran informasi mengenai pasar karbon, baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Fokus kegiatan divisi ini adalah memberi penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai perubahan iklim melalui berbagai sarana komunikasi yang sesuai, serta merumuskan strategi komunikasi perubahan iklim Indonesia. Kegiatan yang dilakukan, antara lain, • Menjajaki persepsi masyarakat luas tentang perubahan iklim, antara lain, melalui survei pengunjung Pekan Lingkungan Indonesia dengan 600 orang responden. Kegiatan itu bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim dan untuk mendapatkan peta dasar mengenai persepsi masyarakat akan perubahan iklim. • Memfasilitasi pengiriman 54 orang peserta, terdiri dari berbagai unsur masyarakat, untuk dilatih Al Gore bersama The Climate Project.
•
•
•
•
Semua peserta terampil menggunakan slide show perubahan iklim yang dikembangkan Al Gore. Berbekal bahan tersebut, semua peserta diharapkan dapat menyebarluaskan pemahaman akan perubahan iklim ke seluruh lapisan masyarakat. Memfasilitasi Pelatihan Perubahan Iklim untuk Umum bersama The Climate Project Indonesia dengan peserta dari seluruh Indonesia yang saat ini telah mencapai jumlah 250 orang. Terlibat dalam produksi dan distribusi film perubahan iklim Indonesia “Lakukan Sekarang Juga”, dengan bantuan Kemitraan. Film dokumenter berdurasi 24 menit itu memberi informasi cukup lengkap mengenai perubahan iklim yang terjadi di Indonesia, dampak yang ditimbulkan, serta upaya adaptasi dan mitigasi yang dapat dilakukan masyarakat atau individu. Film dokumenter itu digunakan dalam kegiatan sosialisasi perubahan iklim. Menjalankan kegiatan Kepedulian Perubahan Iklim bagi para pengambil keputusan di provinsi-provinsi Riau, Kalimantan Tengah, dan DKI Jakarta, dengan bantuan Kemitraan. Mengoordinasi kampanye dan diskusi perubahan iklim untuk semua lapisan masyarakat; pentingnya peran aktif masyarakat dalam penanggulangan perubahan iklim.
Perubahan iklim yang sedang terjadi perlu disikapi dengan menggali lebih dalam pemahaman tentang proses kejadiannya secara ilmiah, baik penyebab maupun dampaknya terhadap umat manusia dan lingkungan hidup. Dengan bekal pemahaman tersebut dapat direncanakan upaya penyesuaian (adaptasi) dan pencegahan (mitigasi). Strategi yang terintegrasi dalam setiap sektor sangat diperlukan bukan hanya di tingkat pusat saja, tetapi juga, dan terutama, di tingkat daerah, mengingat berbagai dampak maupun upaya yang akan terjadi di tingkat daerah. Masalah perubahan iklim perlu ditanggulangi dan dikerjakan bersama oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, masyarakat madani, dunia pendidikan, individu, dan pemangku kepentingan lainnya.
Membangun Sistem Pertanian Pangan Tahan Perubahan Iklim Rizaldi Boer
Tanpa upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sektor pertanian Indonesia bakal mengalami kerugian sangat besar di masa depan. Ancaman penurunan produksi padi tidak hanya akibat pemanasan global dan perubahan iklim, tetapi juga kondisi infrastruktur dan irigasi yang kurang memadai serta besarnya laju konversi lahan pertanian (sawah) menjadi nonpertanian, khususnya di Jawa. Belum lagi menghitung gagal panen akibat iklim ekstrem dan serangan hama dan penyakit. Upaya mengurangi risiko gagal panen harus dilakukan, baik bersifat struktural maupun nonstruktural. Beberapa cara yang dapat digunakan, antara lain, memanfaatkan teknologi aplikasi informasi iklim dan program perlindungan dari bencana iklim berupa indeks asuransi iklim.
A
ncaman ketahanan pangan Indonesia di masa datang semakin nyata. Bila upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim gagal, akan terjadi penurunan produksi pangan. Menurut WR Cline, kerugian sektor pertanian Indonesia pada 2080 dapat mencapai angka US$ 1 6,33 miliar. Bank Pembangunan Asia menyatakan bahwa kerugian ini akan mulai terasa 2 setelah 2030. Pada awal tahun 2030, besar kerugian diperkirakan setara dengan US$ 0,05 miliar dan kemudian naik menjadi US$ 1 miliar
1
2
Lihat, WR Cline, Global Warming and Agriculture: Impact Estimates by Country (Washington, DC: Centre for Global Development, 2007). Lihat, Asian Development Bank, A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia (Manila: Asian Development Bank, 2009).
pada 2050 dan US$ 6,33 miliar pada 2080. Sebaliknya, apabila upaya penurunan emisi gas rumah kaca bisa dilakukan dan konsentrasinya di atmosfer mencapai kondisi stabil pada tingkat 450-550 ppm (parts per million volume CO2 ekuivalen), maka besar kerugian pada 2080 akan turun cukup signifikan sampai empat persepuluh. Kerugian ekonomi tersebut dapat dikurangi lagi jika kita melakukan upaya adaptasi. Namun, untuk itu diperlukan investasi awal yang cukup besar. Diagram 1 menunjukkan bahwa biaya adaptasi, seperti pembangunan bendung pengendali dampak kenaikan muka air laut dan pencarian varietas baru tahan cekaman panas dan kekeringan, akan meningkat hingga tahun 2020 setara 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional, dan berangsur-angsur menurun. Keuntungan upaya adaptasi yang
82
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Diagram 1. Estimasi Biaya dan Keuntungan Pelaksanaan Kegiatan Adaptasi di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam
Diagram 2. Perkiraan Penurunan Hasil Tanaman Jagung dan Padi Tanpa Adaptasi (kurva a) dan dengan Upaya Adaptasi (kurva b) di Daerah Tropis Akibat Pemanasan Global
Sumber: Asian Development Bank, A Regional Review of the Economics of Climate Change in Southeast Asia (Manila: Asian Development Bank, 2009).
dilakukan lebih awal akan dirasakan setelah tahun 2050. Setelah tahun itu, biaya adaptasi tidak terlalu besar dan keuntungan yang diperoleh jauh melebihi biaya yang telah dikeluarkan. Karena itu, upaya adaptasi dan mitigasi perlu dilakukan sedini mungkin untuk menghindari kerugian lebih besar di kemudian hari.
Pemanasan Global, Perubahan Iklim, dan Pertanian Pangan Indonesia Penelitian tentang dampak kenaikan suhu global terhadap produktivitas tanaman pangan sudah cukup banyak dilakukan. Pemanasan global akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan, khususnya di daerah tropis.3 Penurunan hasil tanaman akibat ke-
3
Lihat, IPCC, Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Summary for Policymakers (Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007); J Tschirley, “Climate Change Adaptation: Planning and Practices”, Power Point Keynote Presentation of FAO Environment, Climate Change, Bioenergy Division (Rome, 1012 September 2007).
Catatan: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan berbagai selang perubahan hujan dan konsentrasi CO2. Sumber : IPCC, Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Summary for Policymakers (Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2007); J Tschirley, “Climate Change Adaptation: Planning and Practices”, Power Point Keynote Presentation of FAO Environment, Climate Change, Bioenergy Division (Rome, 10-12 September 2007).
T O P I K
Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan
naikan suhu sampai 3o C dapat mencapai 20 persen pada tanaman jagung dan 10 persen pada tanaman padi (Diagram 2). Menurut kajian Intergovernmental Panel on Climate Change o (IPCC), kenaikan suhu tidak melebihi 3 C dapat dicapai bila konsentrasi CO2 di atmosfer dapat distabilkan pada tingkat konsentrasi antara 450 dan 550 ppm. Berdasarkan pengamatan di Maona Loa Observatory, konsentrasi CO2 saat ini sudah mencapai sekitar 390 ppm.4 Pada akhir tahun 1980-an, konsentrasi CO2 masih sebesar 350 ppm dan mencapai 390 ppm “hanya” dalam tempo dua puluh tahun. Jadi, peningkatan CO2 dalam periode itu rata-rata 2 ppm per tahun. Bila trend ini terus berlanjut, dalam tempo empat puluh tahun ke depan CO2 mencapai 470 ppm. Artinya, kenaikan suhu global pada 2050 dio perkirakan melebihi 2 C. Menurut IPCC 2007, kenaikan suhu global o melebihi 2 C akan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrem. Dampaknya terhadap sistem pertanian akan sangat besar. Kegagalan panen dan penurunan produksi akibat kejadian iklim ekstrem sering dialami sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, saat ini. Di Indonesia, kejadian iklim ekstrem kering kerap dihubungkan dengan fenomena El Niño, yaitu fenomena meningkatnya suhu muka laut di kawasan Pasifik melebihi nilai rata-rata. Saat fenomena itu berlangsung, awal musim hujan biasanya mundur bisa mencapai 2 bulan, lama musim hujan cenderung lebih pendek dan curah hujan musim kemarau turun di bawah normal. Sebagai akibatnya, kekeringan dan gagal panen tanaman kedua (musim tanam kedua setelah penanaman musim hujan) meningkat tajam. Gambar 1 menunjukkan jumlah kabupaten dengan luas tanaman padi terkena kekeringan pada musim tanam kedua (MT2) melebihi 2.000 hektar sudah meningkat tajam pada periode El Niño, khususnya di Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Hasil pengamatan dalam periode seratus tahun terakhir menunjukkan bahwa keragaman 4
Lihat, http://co2now.org/.
T O P I K
83
iklim antarmusim dan tahunan yang disebabkan fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation), Osilasi Antlantik Utara, dan antardekade yang disebabkan oleh Osilasi Pasifik, makin meningkat dan menguat. Menurut Timmerman et al. dari Max Planck Institute dan Hansen et al.,5 kondisi ini diperkirakan berkaitan erat dengan pemanasan global. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim akan memengaruhi sistem pertanian pangan secara langsung, yaitu terjadinya penurunan produktivitas tanaman dan meningkatnya frekuensi gagal panen akibat iklim ekstrem. Beberapa penelitian lain mengindikasikan bahwa dampak tidak langsung perubahan iklim terhadap pertanian juga sangat besar. Serangan hama dan penyakit baru diperkirakan meningkat akibat pemanasan global dan perubahan 6 iklim. Menurut Wiyono, berdasarkan hasil wawancara dengan petani di Desa Tinawun Malo, Bojonegoro, dan pengamatan di sembilan puluh titik di tiga kabupaten Jawa Barat (Karawang, Indramayu, dan Tasikmalaya), frekuensi kejadian banjir yang terus meningkat dapat menimbulkan masalah hama padi keong emas. Di samping itu, terdapat indikasi bahwa lahan sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpeluang lebih besar mengalami ledakan hama wereng coklat. Itu sejalan dengan hasil pengamatan Direktorat Perlindungan Tanaman yang menunjukkan bahwa serangan wereng coklat meningkat drastis pada tahun La Niña 1998.7
5
6
7
Lihat, A Timmerman et al., “Increased El Niño Frequency in a Climate Model Forced by Future Greenhouse Warming”, dalam Nature 398, 1999; J Hansen et al., “Global Temperature Change”, dalam PNAS 103, 2006, hal. 14288-14293. S Wiyono, “Perubahan Iklim, Pemicu Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman”, dalam Salam 26, 2009, hal. 22-23. Lihat, Ministry of Environment, Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate Change, and Their Implication (Jakarta: Ministry of Environment, Republic of Indonesia, 2007).
84
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Gambar 1. Rata-rata Luas Kekeringan (gambar atas) dan Tahun El Nino (gambar bawah) Periode 1989-2006, Menurut Kabupaten
Sumber: Rizaldi Boer, A Buono, Sumaryanto, E Surmaini, W Estiningtyas, MA Rataq, A Perdinan, A Pramudia, Rakhman, K Kartikasari, dan Fitriyani, “Pengembangan Sistem Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan. Laporan Penelitian Konsorsium Peneliti Keragaman dan Perubahan Iklim” (Bogor: Departemen Pertanian, 2009).
T O P I K
Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan
85
Kenaikan muka air laut akibat pemanasan global juga dapat meningkatkan salinitas (tingkat kandungan garam) wilayah pertanian di kawasan pesisir. Akibatnya, produktivitas tanaman akan turun drastis. Pengamatan di wilayah Indramayu — salah satu pusat produksi padi nasional — oleh Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian menunjukkan bahwa sekitar 30 persen dari 42 lokasi pengukuran sudah memiliki salinitas di atas 4,0 dS/m — ukuran daya hantar listrik dengan satuan deciSiemens per meter. Pada lokasi dengan tingkat salinitas seperti itu, hasil padi rata-rata hanya bisa mencapai 80 persen dibanding hasil rata-rata tanaman yang ditanam pada lokasi yang tidak memiliki masalah salinitas.8 Bahkan, di beberapa lokasi ada yang sudah mencapai 10 dS/m. Pada tingkat salinitas seperti itu, produktivitas tanaman padi hanya bisa mencapai 20 persen dari hasil rata-rata. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani di wilayah seperti itu sudah mengonversi lahan sawah masing-masing menjadi penambangan garam dan tambak udang, karena sulit mendapatkan hasil padi yang tinggi.
lama.10 Bahkan, di daerah aliran sungai (DAS) Brantas, jumlah bulan dengan curah hujan ekstrem cenderung meningkat dalam lima puluh tahun terakhir, terutama di daerah yang 11 dekat dengan pantai. Di daerah ini, lama bulan kering — bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm – naik menjadi empat bulan, bahkan delapan bulan pada tahun 2002. Ini merupakan tahun dengan bulan kering terpanjang selama 50 tahun terakhir. Sementara di sebagian wilayah Indonesia bagian utara khatulistiwa menunjukkan pola sebaliknya. Tren perubahan hujan diperkirakan akan terus berlanjut di masa depan. Hujan musim kemarau di wilayah Indonesia bagian selatan ekuator cenderung menurun, sebaliknya di wilayah Indonesia bagian utara ekuator (Gambar 4). Kajian lebih rinci di wilayah Jawa juga menunjukkan hal serupa.12 Perubahan hujan pada 2050 akan mengikuti pola yang terjadi saat ini. Awal musim hujan cenderung mundur. Hujan pada musim pancaroba akan naik dan kemudian turun dengan cepat. Pada skenario emisi gas rumah kaca rendah (SRESB1) atau tinggi (SRESA2),13 total hujan bulan April-Juni
Perubahan Iklim di Indonesia
10
Berdasarkan data beberapa puluh tahun terakhir, pola hujan di sebagian wilayah Indonesia sudah mengalami perubahan. Di beberapa wilayah, awal musim hujan ada yang 9 mundur dan ada pula yang maju. Secara umum, curah hujan musim hujan di wilayah Indonesia bagian selatan ekuator — Jawa dan kawasan Indonesia Bagian Timur— cenderung meningkat, sementara curah hujan musim kemarau cenderung menurun. Selanjutnya musim kemarau di wilayah itu juga cenderung lebih 8
9
Lihat, Stephen R Grattan, Linghe Zhen, Michael C Shannon, dan Stacy R Roberts, “Rice is More Sensitive to Salinity than Previously Thought”, November-December 2002, dalam http:// danr.ucop.edu/calag. Lihat, Ministry of Environment, Indonesia Country Report: Climate Variability….
T O P I K
Lihat, Ministry of Environment, Indonesia Country Report: Climate Variability…. 11 Edvin Aldrian dan SD Djamil, “Long Term Rainfall Trend of the Brantas Catchment Area, East Java”, dalam Indonesian Journal of Geography 38, 2006, hal. 26-40. 12 Lihat, misalnya, Rosamond L Naylor, David S Battisti, Daniel J Vimont, Walter P Falcon, dan Marshall B Burke, “Assessing Risks of Climate Variability and Climate Change for Indonesian Rice Agriculture”, dalam Proceeding of the National Academic of Sciences of the United States of America, Vol. 104, 2007, hal. 7752-7757. 13 SRESA2 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi lebih rendah dan pertumbuhan populasi tetap tinggi, sehingga laju emisi GRK akan meningkat. SRESB1 mengasumsikan upaya mitigasi dilakukan melalui peningkatan efisiensi penggunaan energi dan perbaikan teknologi, sehingga tingkat emisi lebih rendah. Konsentrasi CO2 tahun 2050 dan 2100 dengan skenario SRESB1 masing-masing akan mencapai 495 (1,4 kali tingkat konsentrasi tahun 1990) dan 560 ppmv
86
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
(musim pancaroba) diperkirakan naik 10 persen dari rata-rata hujan musim saat ini. Namun, hujan musiman bulan Juli-September (puncak musim kemarau) akan menurun antara 10-25 persen. Untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, penurunan lama hujan musim kemarau (JAS) bisa mencapai 50 persen dan 75 persen di Jawa Timur dan Bali. Awal musim hujan juga cenderung mundur dibanding kondisi saat ini. Frekuensi mundurnya awal musim hujan minimal satu bulan dari keadaan normal akan semakin sering terjadi. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, misalnya, frekuensi awal musim hujan saat ini mundur satu bulan daripada biasanya, yakni satu kali dalam 5-6 tahun (peluang sekitar 17 persen). Di masa depan, frekuensi itu akan naik menjadi satu kali dalam 4-5 tahun. Perubahan ini akan berimplikasi pada semakin panjangnya musim kemarau. Upaya meningkatkan intensitas penanaman tentu akan semakin sulit dilakukan. Penanaman padi dua kali setahun tanpa didukung sistem irigasi yang memadai dan baik tentu mustahil. Tanaman padi Gambar 4. Tren Perubahan Nilai Median Hujan JJA 1979-2099 Berdasarkan Sepuluh 14 Model GCM
(1,6 kali tingkat konsentrasi tahun 1990), dan untuk SRESA2 masing-masing mencapai 530 dan 880 ppmv. 14 General Circulation Model (GCM) adalah suatu model berbasis komputer yang dapat dipergunakan untuk membuat simulasi perubahan iklim akibat kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer.
musim tanam kedua pasti akan menghadapi risiko kekeringan sangat tinggi. Tanpa upaya sistematis dan terpadu dalam mengatasi dampak pemanasan global dan perubahan iklim serta kenaikan muka air laut, Indonesia akan sulit mencapai sistem pertanian pangan yang tahan terhadap perubahan iklim. Di sisi lain, kondisi sarana dan prasarana irigasi yang semakin menurun, disertai tingkat kerusakan lingkungan yang tinggi—khususnya pembukaan hutan tak terkendali di wilayah tangkapan hujan—akan memperbesar dampak negatif yang diakibatkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim. Konversi lahan pertanian produktif menjadi nonpertanian, terutama di Jawa, juga akan mengancam produksi pertanian. Penurunan produksi padi di Jawa akibat konversi sawah menjadi lahan nonpertanian diperkirakan akan jauh lebih besar dibanding penurunan produksi akibat kenaikan suhu.
Apa yang Perlu Dilakukan? Penulis dan kawan-kawan pernah mengerjakan sebuah penelitian. Penelitian dengan asumsi laju konversi lahan sawah 0,77 persen per tahun (30.000 hektar per tahun) dan indeks penanaman tidak berubah itu menemukan bahwa total penurunan produksi padi di Jawa — dibanding tingkat produksi akibat kenaikan suhu dan konversi lahan saat ini — akan mencapai 6 juta ton pada 2025 dan 12 juta ton pada 2050. Bila diasumsikan tidak terjadi konversi lahan sawah, pengaruh negatif dari kenaikan suhu terhadap produksi padi di Jawa pada 2025 dan 2050 dapat dihilangkan dengan meningkatkan indeks penanaman (IP) padi sekitar 10-20 persen dan 20-30 persen dibanding IP saat ini (Tabel 1). Bila konversi lahan sawah tetap berlangsung dengan laju 0,77 persen per tahun, maka peningkatan IP dalam mengurangi dampak negatif kenaikan suhu tidak terlalu efektif. Peningkatan IP hanya dapat mempertahankan atau meningkatkan level produksi tahun 2025 dari tingkat produksi saat ini di sebagian kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Timur. Akan T O P I K
Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan
Tabel 1. Peningkatan Indeks Penanaman Padi di Tiga Provinsi di Jawa Daerah
Saat ini
2025
2050
Jawa Barat
1.70
2.10
2.50
Jawa Tengah
1.79
2.00
2.30
Jawa Timur
1.62
2.00
2.20
87
Diagram 4. Peningkatan Persentase Sawah Irigasi dengan Sumber Air Waduk apabila IP Rata-rata akan Ditingkatkan Menjadi 2,5 untuk Jawa Barat, 2,3 untuk Jawa Tengah, dan 2,2 untuk Jawa Timur
Catatan: Indeks penanaman padi 2 berarti padi ditanam dua kali per tahun pada lahan yang sama. Sumber: Rizaldi Boer, A Buono, Sumaryanto, E Surmaini, W Estiningtyas, MA Rataq, A Perdinan, A Pramudia, Rakhman, K Kartikasari, dan Fitriyani, “Pengembangan Sistem Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan. Laporan Penelitian Konsorsium Peneliti Keragaman dan Perubahan Iklim” (Bogor: Departemen Pertanian, 2009).
tetapi, pada 2050, tingkat produksi padi hampir di semua kabupaten akan lebih rendah dibanding tingkat produksi saat ini. Peningkatan IP sampai pada tingkat maksimum seperti ditunjukkan Tabel 1 relatif sulit dicapai karena sebagian besar sumber irigasi sawah di Jawa berasal dari nonwaduk. Pada sistem nonwaduk aliran air dan hujan tidak bisa disimpan seperti pada sistem waduk, sehingga tetap berisiko kekurangan air pada setiap musim kemarau. Karena itu, pada sawah irigasi dengan sumber air dari waduk, IP rata-rata bisa dinaikkan sampai 2,75, sedangkan sawah irigasi bersumber air nonwaduk diperkirakan hanya bisa ditingkatkan 2,0 untuk Jawa Barat dan 1,8 untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bila tidak ada pembangunan waduk baru, IP di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih mungkin ditingkatkan sampai 2,2 dan 2,9, sedangkan di Jawa Timur sudah optimal. Kalau IP hendak ditingkatkan sama seperti angka dalam Tabel 1, jumlah waduk di Jawa harus ditambah sehingga persentase sawah irigasi dengan sumber air dari waduk minimal sekitar 65 persen di Jawa Barat, 50 persen di Jawa Tengah, dan 40 persen di Jawa Timur (Diagram 4). Saat ini Jawa memiliki 22 waduk, yaitu tiga di Jawa Barat (Cirata, Jatiluhur, dan Saguling), T O P I K
Sumber: Rizaldi Boer, A Buono, Sumaryanto, E Surmaini, W Estiningtyas, MA Rataq, A Perdinan, A Pramudia, Rakhman, K Kartikasari, dan Fitriyani, “Pengembangan Sistem Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan. Laporan Penelitian Konsorsium Peneliti Keragaman dan Perubahan Iklim” (Bogor: Departemen Pertanian, 2009).
sembilan di Jawa Tengah (Banyu Kuning, Ketro, Pondok, Kedungombo, Sermo-Daerah Istimewa Yogyakarta, Parang Loho, Sang Putri, Wonogiri, dan Nawangan), dan sepuluh di Jawa Timur (Bening, Wonorejo, Gondang, Selorejo, Klampis, Sengguruh, Karangkates, Lahor, Lodan, dan Wlingi). Pembangunan sejumlah waduk baru sudah direncanakan di beberapa tempat dengan target penyelesaian sekitar lima tahun, misalnya, Waduk Jati Gede (Jawa Barat), Jati Barang (Jawa Tengah), dan Kresek (Jawa Timur). Namun, pembangunan waduk baru tersebut masih jauh dari mencukupi, selain sulit dikerjakan karena masalah ketersediaan lahan dan dampak sosialnya. Upaya lain untuk mempertahankan tingkat produksi padi di Jawa pada 2025 dan 2050 minimal sama seperti tingkat produksi saat ini adalah dengan meningkatkan produktivitas tanaman dan memperbaiki sistem budi daya, seperti pemupukan, perbaikan varietas, dan lain-
88
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
lain. Produktivitas tanaman pada 2025 harus dapat ditingkatkan minimal 5 persen dari tingkat produktivitas sekarang supaya dampak pemanasan global dan konversi lahan bisa ditanggulangi, dengan catatan peningkatan IP seperti pada Tabel 1 berhasil dilakukan. Pada 2050, tingkat produktivitas harus bisa ditingkatkan sebesar 25 persen dari tingkat produksi saat ini. Bila IP tidak bisa, peningkatan produktivitas pada 2025 dan 2050 harus lebih tinggi masingmasing sebesar 25 persen dan 70 persen. Beberapa penelitian menemukan bahwa kenaikan CO2 di atmosfer berdampak positif pada produktivitas tanaman, karena laju fotosintesis akan lebih tinggi. John Sheehy menyatakan bahwa kenaikan hasil panen tanaman akibat peningkatan konsentrasi CO2 adalah 0,5 ton per hektar untuk setiap kenaikan 75 ppm, sementara penurunan hasil akibat kenaikan suhu adalah sebesar 0,6 ton setiap hektar per 0 15 peningkatan suhu 1 C. Dengan asumsi ini, Yuji Masutomi et al., menyatakan bahwa pengaruh positif peningkatan CO2 dapat menghilangkan pengaruh negatif pemanasan global dan perubahan iklim. 16 Untuk wilayah Indonesia, apabila pengaruh kenaikan CO2 diperhitungkan, pengaruh negatif pemanasan global dan perubahan iklim hanya terjadi di beberapa wilayah saja, yaitu sebagian Sumatera dan Jawa. Berdasarkan hasil penelitian lapangan Stephen Long et al., asumsi ini tidak 17 sepenuhnya benar. Penelitian lapangan me-
reka dengan menggunakan teknologi Free-Air Concentration Enrichment (FACE) menemukan pada sebagian besar tanaman serealia, peningkatan hasil akibat kenaikan konsentrasi CO2 pada percobaan lapangan hanya setengah dari peningkatan hasil penelitian yang dilakukan di ruang terkontrol (rumah kaca). Mereka meragukan kenaikan CO2 dapat sepenuhnya menghilangkan pengaruh pemanasan global. Rizaldi Boer et al.,18 berdasarkan temuantemuan di atas, memasukkan pengaruh positif peningkatan konsentrasi CO2 dengan menggunakan formula Goudriaan dan Unsworth,19 yaitu Y[CO2] = [1+bLn(C/C0)]*YR . C0 dan C adalah konsentrasi CO2 saat ini dan masa akan datang. Nilai b untuk padi adalah sekitar 0,7. YR adalah hasil rata-rata sesuai dengan kondisi suhu saat konsentrasi CO2 berada pada tingkat C. Hasil penelitian lapangan Stephen Long et al., menunjukkan pengaruh kenaikan akibat peningkatan CO2 kurang dari 50 persen dari kenaikan hasil penelitian dengan sistem tertutup, sedangkan Rizaldi Boer et al., memakai nilai b=0,35. Dengan memasukkan pengaruh positif CO2, peningkatan produktivitas tidak lagi diperlukan untuk mempertahankan tingkat produksi di Jawa tahun 2025 sama dengan tingkat produksi saat ini — asumsi IP bisa ditingkatkan seperti pada Tabel 1 dan konversi lahan dengan laju 0,77 persen per tahun. Sementara untuk tahun 2050, peningkatan produktivitas masih tetap diperlukan, yaitu antara 10 sampai 15
15
International Rice Research Institute (IRRI), “Coping with Climate Change: Climate Change Threatens to Affect Rice Production Across the Globe. What is Known About the Likely Impact, and What Can be done About It?”, dalam Rice Today, July-September 2007, hal. 12. 16 Yuji Masutomi et al., “Impact Assessment of Climate Change on Rice Production in Asia in Comprehensive Consideration of Process/Parameter Uncertainty in General Circulation Models”, dalam Agriculture, Ecosystems & Environment, Vol. 131, Issues 3-4, June 2009, hal. 281291. 17 Stephen P Long, Elizabeth A Ainsworth, Andrew DB Leakey, Josef Nosberger, dan Donald R Ort,
“Food for Thought: Lower-Than-Expected Crop Yield Stimulation with Rising CO 2 Concentrations”, dalam Science, Vol. 312, No. 5782, 30 June 2006, hal. 1918-1921. 18 Lihat, Boer et al., “Pengembangan Sistem Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan…”. 19 J Goudriaan dan MH Unsworth, “Implications of Increasing Carbon Dioxide and Climate Change for Agricultural Productivity and Water Resources”, dalam Impact of Carbon Dioxide, Trace Gases, and Climate Change on Global Agriculture, ASA Spec. Pub No. 53, 1990, hal. 111-130. T O P I K
89
Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan
Tabel 2 Produktivitas yang Harus Dicapai pada 2025 dan 2050 agar Tingkat Produksi Sama dengan Tingkat Produksi Saat ini dengan Asumsi IP Dapat Ditingkatkan dan Tetap Terjadi Konversi Lahan Produktivitas Padi
Musim/ Provinsi
Hasil saat ini (ton/hektar)
Pengaruh CO2 diabaikan
CO2 diperhitungkan (SRESA2)
CO2 diperhitungkan (SRESB1)
2025
2050
2025
2050
2025
2050
Musim Hujan (MH) Jawa Barat
4,70
4,94
5,97
4,70
5,17
4,70
5,31
Jawa Tengah
5,14
5,40
6,53
5,14
5,66
5,14
5,81
Jawa Timur
5,15
5,41
6,54
5,15
5,66
5,15
5,82
Jawa Barat
4,86
5,11
6,18
4,86
5,35
4,86
5,50
Jawa Tengah
5,11
5,36
6,48
5,11
5,63
5,11
5,77
Jawa Timur
4,88
5,13
6,20
4,88
5,37
4,88
5,52
Rata-Rata
4,97
5,22
6,32
4,97
5,47
4,97
5,62
Musim Kemarau (MK)
Tabel 3. Produktivitas yang Harus Dicapai pada 2025 dan 2050 agar Tingkat Produksi Sama dengan Tingkat Produksi Saat ini dengan Asumsi IP Tidak Dapat Ditingkatkan dan Terjadi Konversi Lahan Produktivitas Padi
Musim/ Provinsi
Hasil saat ini (ton/hektar)
Pengaruh CO2 diabaikan
CO2 diperhitungkan (SRESA2)
CO2 diperhitungkan (SRESB1)
2025
2050
2025
2050
2025
2050
Musim hujan (MH) Jawa Barat
4,70
5,74
7,99
5,55
6,96
5,55
7,24
Jawa Tengah
5,14
6,27
8,74
6,07
7,61
6,07
7,92
Jawa Timur
5,15
6,28
8,75
6,07
7,62
6,07
7,93
Jawa Barat
4,86
5,93
8,27
5,74
7,20
5,74
7,49
Jawa Tengah
5,11
6,23
8,68
6,02
7,56
6,02
7,86
Jawa Timur
4,88
5,96
8,30
5,76
7,23
5,76
7,52
Rata-Rata
4,97
6,07
8,46
5,87
7,36
5,87
7,66
Musim Kemarau (MK)
T O P I K
90
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Tabel 4. Luas Lahan Sawah Jawa dan Luar Jawa Tahun 1981-1999 dan 1999-2002 (dalam hektar) Periode 1981-1999
1999-2002
Wilayah Jawa
Konversi
Penambahan
Keseimbangan
1.002.005
518.224
-483.831
Luar Jawa
625.459
2.2702.939
+2.077.480
Indonesia
1.627.514
3.221.163
+1.593.649
Jawa
167.150
18.024
-107.482
Luar Jawa
396.009
121.278
-274.732
Indonesia
563.159
139.302
-423.857
Sumber: “Arah, Masa Depan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Indonesia”, dalam Dokumen Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) 2005–2025.
persen. Bila asumsi peningkatan IP tidak bisa dilakukan dan berlangsung konversi lahan, produktivitas tahun 2025 dan 2050 harus bisa ditingkatkan masing-masing sekitar 10 persen dan 50 persen untuk menjaga tingkat produksi tahun 2025 dan 2050 sama dengan tingkat produksi saat ini (lihat, Tabel 2 dan Tabel 3). Upaya meningkatkan produktivitas padi di Jawa relatif sulit dan penemuan varietas baru membutuhkan waktu cukup lama. Di sisi lain, peningkatan IP juga tidak mudah. Upaya relatif mudah untuk mengatasi penurunan produksi akibat pemanasan global adalah dengan menekan laju konversi lahan sawah di Jawa. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan harus dilaksanakan secara efektif. Menurut Menteri Pertanian, rata-rata laju konversi sawah menjadi lahan nonpertanian sejak 2000 mencapai 110 ribu hektar per tahun. Sementara laju pencetakan sawah baru di luar Jawa hanya sekitar 30-52.000 hektar per tahun. Dalam dokumen Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) 2005-2025 disebutkan bahwa konversi lahan sawah di Jawa dan luar Jawa masing-masing sudah berlangsung sejak 1981 dan 1999. Bahkan, setelah tahun 1999, laju penambahan lahan sawah jauh lebih
lambat dibanding laju konversi, baik di Jawa maupun luar Jawa, sehingga secara nasional (periode 1999-2002) terjadi penyusutan luas lahan sawah sekitar 424.000 hektar atau sekitar 140.000 hektar per tahun (lihat, Tabel 4). Bila diasumsikan konversi lahan di Jawa tidak dapat dicegah dan tetap berlangsung dengan laju 0,77 persen per tahun, sementara IP bergeming, luas lahan sawah baru yang harus dibangun di luar Jawa untuk mengompensasi kehilangan produksi di Jawa mencapai 1,3 sampai 1,8 juta hektar pada tahun 2025 dan 3,0 sampai 3,8 juta hektar pada 2050 (lihat, Diagram 5). Perhitungan ini belum memasukkan peningkatan kebutuhan padi di masa depan. Bila itu diperhitungkan, maka dibutuhkan luas lahan jauh lebih besar. Uraian di atas menunjukkan bahwa faktor noniklim, seperti kondisi infrastruktur pertanian dan laju konversi lahan sawah menjadi nonpertanian, serta dampak pemanasan global dan perubahan iklim akan mengancam ketahanan pangan nasional di masa depan. Diperlukan berbagai upaya, baik bersifat struktural maupun nonstruktural, untuk mencapai sistem pertanian pangan tahan terhadap perubahan iklim. Upaya bersifat struktural mencakup adaptasi melalui perbaikan dan T O P I K
Rizaldi Boer, Membangun Sistem Pertanian Pangan
Diagram 6. Lahan Sawah Baru yang Dibutuhkan untuk Mengompensasi Hilangnya Produksi Padi di Jawa Akibat Perubahan Iklim dan Konversi Lahan dengan Asumsi IP di Jawa Tidak Bisa Ditingkatkan
pembangunan sarana dan prasarana, seperti pembuatan bangunan pengendali banjir, saluran drainase, waduk dan sarana irigasi, pengembangan teknologi pemanenan air hujan, rehabilitasi wilayah tutupan hujan, perluasan lahan pertanian baru/pencegahan konversi lahan pertanian, dan lain-lain. Upaya bersifat nonstruktural mencakup peningkatan indeks penanaman pada wilayah tertentu, perbaikan atau introduksi varietas yang lebih tahan cekaman iklim, pengembangan teknologi hemat air, penguatan lembaga penyuluhan pertanian dan sumber daya penyuluh yang memahami soal iklim, serta meningkatkan kapasitas petani dalam memanfaatkan informasi iklim untuk mengelola risiko iklim yang kian meningkat di masa mendatang. Teknologi aplikasi informasi iklim, yaitu pemilihan teknologi budi daya yang disesuaikan dengan informasi prakiraan iklim, harus dikembangkan untuk menekan risiko kejadian iklim ekstrem. Untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan teknologi aplikasi informasi iklim diperlukan pelembagaan proses pemanfaatan informasi iklim dan tersedianya sistem informasi iklim yang efektif. Sistem ini diharapT O P I K
91
kan mampu menyediakan informasi iklim yang tepat waktu, mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan pengguna, sehingga dapat digunakan dalam menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan. Untuk itu mekanisme penyaluran/diseminasi dan pemanfaatan informasi prakiraan iklim harus terlembaga seperti siapa yang bertanggung jawab memproses dan menerjemahkan informasi iklim yang dikeluarkan oleh lembaga penyedia jasa informasi iklim, siapa yang akan meneruskan informasi tersebut ke petani sehingga dapat digunakan untuk menentukan langkah-langkah adaptasi, apa sumber daya yang diperlukan sehingga memungkinkan petani melakukan langkah adaptasi, dan bagaimana sumber daya tersebut dapat diakses. Sering kali teknologi budi daya yang tahan terhadap cekaman iklim sudah tersedia, namun tingkat adopsinya masih rendah. Penyebab utama adalah tidak adanya jaminan bahwa teknologi baru itu bisa mengatasi cekaman iklim atau kejadian iklim ekstrem. Memang, untuk memperkenalkan teknologi baru diperlukan proses panjang yang kadang kala memerlukan biaya besar dan waktu lama melalui pelaksanaan petak percontohan. Untuk mempercepat adopsi teknologi baru tahan cekaman iklim perlu dikembangkan “indeks asuransi iklim” yang dapat melindungi petani bila teknologi gagal mengatasi kondisi iklim ekstrem. Dalam sistem itu, petani yang membeli polis asuransi iklim akan mendapatkan pembayaran bila kondisi iklim telah memenuhi indeks iklim tertentu. Salah satu contoh indeks iklim adalah jumlah curah hujan yang diterima tanaman selama musim pembungaan. Bila jumlah curah hujan yang diterima selama periode itu kurang dari nilai indeks yang ditetapkan, misalnya 200 mm, petani berhak mendapatkan pembayaran, terlepas dari apakah tanaman yang ditanam mati atau tidak. Dengan sistem indeks asuransi iklim, petani akan terpacu untuk mencoba suatu teknologi baru yang dapat mengatasi iklim ekstrem. Umpamanya, introduksi varietas baru yang
92
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
mampu memberi hasil panen tinggi, kendati kondisi hujan selama periode pembungaan kurang dari 200 mm. Dengan adanya asuransi, petani berani mencoba teknologi tersebut tanpa perlu khawatir bila terjadi kerugian; petani tentu
akan mendapatkan pembayaran dari pihak asuransi. Sebaliknya, bila berhasil, petani justru akan mendapat keuntungan ganda: selain tanaman tetap menghasilkan, dia juga berhak mendapat bayaran dari pihak asuransi.•
T O P I K
Pasar Karbon dan Potensinya di Indonesia Agus Sari Tidak ada cara lain untuk mencegah atau memperlambat perubahan iklim kecuali dengan menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat yang aman. Ini bisa dicapai dengan menurunkan emisi tersebut secara global. Hampir semua negara sepakat penurunan emisi dilakukan lebih dahulu oleh negara-negara maju. Negara berkembang — yang emisinya belum dibatasi — dapat secara sukarela mengembangkan proyek-proyek yang menurunkan emisi, dan akan mendapatkan sertifikasi. Sertifikat ini yang membentuk “pasar karbon.” Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto, Indonesia dapat mengkapitalisasi potensi pasar karbon ini.
P
engelolaan pencemaran melalui peraturan (command and control) semakin lama semakin tertinggal dan mulai digantikan oleh pengelolaan melalui cara yang lebih inovatif. Mekanisme pasar (market mechanism) adalah salah satu cara pengendalian pencemaran yang inovatif. Mekanisme pasar untuk mengendalikan pencemaran diperkenalkan oleh Ronald H Coase yang berteori bahwa keadaan pareto-optimum antara pencemar dan yang dicemari akan tercapai melalui satu dari dua cara: pencemar membayar si tercemar supaya boleh mencemari, atau tercemar membayar si pencemar supaya tidak mencemari. Keduanya akan memberikan nilai (atau “harga”) pelayanan lingkungan (payment for environmental services) yang sama, tergantung pada rezim hak miliknya, apakah pencemar dengan hak mencemari, atau tercemar 1 dengan hak lingkungan bersihnya. Dari sini, green economics berkembang di ranah kebijakan dalam bentuk, umpamanya, pajak sumber 1
Lihat, Ronald H Coase, “The Problem of Social Cost”, dalam Journal of Law and Economics (Oktober, 1960).
daya alam dan pajak polusi. Perdagangan izin alokasi pencemaran merupakan bentuk termodern dari mekanisme pasar semacam ini. Sebagai instrumen kebijakan, teorema Coase itu baru diaplikasikan pada pengendalian pencemaran udara di Amerika Serikat dalam Undang-Undang Kebersihan Udara (Clean Air Act) 1990, menyempurnakan UU Kebersihan Udara 1970. Dalam undang-undang tersebut, sumber pencemar udara sulfur besar, terutama pembangkit listrik, diberi izin untuk mengeluarkan emisi sulfur sampai batas tertentu. Mereka yang dapat mengurangi emisi hingga di bawah izin yang diberikan bisa menjual alokasi izin mencemari yang tak terpakai. Sebaliknya bagi mereka yang masih mencemari di atas izin alokasi pencemaran, mereka harus membeli alokasi izin tersebut. Sebuah bursa izin pencemaran kemudian didirikan. Mereka yang berhasil menurunkan emisi sulfur melebihi izin yang dipegang dapat mengambil keuntungan dengan menjual izin alokasi emisi sulfur, sedangkan mereka yang gagal menurunkan emisi sampai pada aras izin alokasi emisi yang dipegang, harus membeli dari bursa. Harga izin alokasi tergantung pada jumlah izin yang ber-
94
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
edar di bursa — tergantung hukum permintaan dan penawaran. Hal yang menarik, sebelum UU tersebut diberlakukan industrialis khawatir dengan biaya kepatuhan pada UU ini yang dinilai mahal, berkisar di atas US$ 500 per ton sulfur. Setelah dilaksanakan, biayanya “hanya” di bawah US$ 50. Terlihat bahwa mekanisme pasar ternyata lebih efisien dan dapat meminimalisasi biaya kepatuhan. Pada gilirannya, mekanisme pasar lebih mudah direngkuh oleh para korporat di 2 Amerika Serikat. Setelah memperoleh pengalaman berharga dari UU Kebersihan Udara, para negosiator Amerika (dan beberapa negara yang juga telah “merasakan” manfaat mekanisme pasar) memperjuangkannya di ajang negosiasi iklim untuk diterapkan dalam perjanjian iklim internasional, dan mereka berhasil.
Perubahan Iklim Isu lingkungan hidup terbesar sepanjang sejarah mungkin perubahan iklim. Perubahan iklim diakibatkan oleh memanasnya permukaan bumi akibat menebalnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Meinshausen memperkirakan sekitar 26–78 persen kemungkinan peningkatan suhu bumi lebih dari dua derajat Celcius pada aras konsentrasi gas rumah kaca 450 ppm 3 (parts per million). Panel antarnegara mengenai perubahan iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) menyebutkan bahwa level 450 ppm hanya bisa dicapai jika negaranegara maju menurunkan emisi sebesar 25-40 persen dan negara berkembang mengubah 2
3
Lihat, F Krupp dan M Horn, Earth: The Sequel – The Race to Reinvent Energy and Stop Global Warming ( New York , London: W.W. Norton, 2008). Lihat, M Meinshausen, “What does a 20C Target Mean for Greenhouse Gas Concentrations? – A brief analysis based on multi-gas emission pathways and several climate sensitivity uncertainty estimates,” dalam J S Schellnhuber, W Cramer, N Nakicenovic, T M L Wigley dan G. Yohe, Avoiding Dangerous Climate Change (Cambridge: Cambridge University Press, 2006).
tren emisi mereka di masa depan secara sub4 stansial. Hoehne dan kawan-kawan menguantifikasi perubahan tren emisi negara-negara berkembang sebesar 15–30 persen dari emisi 5 business as usual mereka. Saat ini, dari sekitar 275 ppm menurut volume, konsentrasi karbon dioksida (gas rumah kaca terbanyak di atmosfer) meningkat menjadi sekitar 380 ppm. Kerusakan akibat perubahan iklim sangat mengerikan dan sebagian besar tak dapat dikembalikan pada keadaan semula (irreversible). Kesadaran akan gentingnya situasi iklim itulah yang mengantar sebagian besar pemimpin dunia untuk menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 1992, mengadopsi Protokol Kyoto pada 1997 dan meratifikasinya pada 2004. Kelompok negara maju (Annex I)) dalam Protokol Kyoto membuat komitmen secara berkelompok menurunkan emisi sebesar 5 persen pada 2008– 2012 di bawah kondisi emisi mereka pada 1990. Target kelompok ini dibagi lagi menjadi penurunan 8 persen untuk semua negara anggota Uni Eropa (UE), 7 persen untuk Amerika Serikat, 6 persen untuk Jepang, 0 persen (stabilisasi) untuk Rusia dan sebagian besar negara bekas Uni Soviet, serta kenaikan 1, 8, dan 10 persen berturut-turut untuk Norwegia, Australia, dan Eslandia. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, belum diminta untuk berkomitmen, karena kebutuhan mereka untuk membangun dan bertumbuh. Komitmen penurunan emisi tersebut dapat dilakukan sendiri-sendiri dengan sumber daya masing-masing atau bersama-sama melalui “mekanisme fleksibilitas” (flexibility mechan4
5
Lihat, Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (United Kingdom dan New York: Cambridge University Press, 2007). Lihat, Niklas Höhne, Christian Ellermann, dan Rolf de Vos, Emission Pathways Towards 2o Celsius (Utrecht: Ecofys, 2009). T O P I K
Agus Sari, Pasar Karbon dan Potensinya
isms). Mekanisme fleksibilitas ini adalah ruang untuk menerapkan mekanisme pasar dalam Protokol Kyoto. Mekanisme pasar memberikan ruang untuk mengimbangi (offset) komitmen penurunan emisi sebuah negara melalui pembelian izin alokasi dari negara lain atau melalui pembelian kredit karbon dari proyek-proyek yang dapat menurunkan emisi. Mekanisme pasar tidak menambah jumlah emisi yang diturunkan, tetapi mengurangi biaya yang dibutuhkan dalam upaya penurunan emisi.
Pasar Karbon dalam Protokol Kyoto Mekanisme pasar setidaknya tercantum dalam empat pasal Protokol Kyoto. Pasal 17 mengatur perdagangan emisi (emissions trading) antarnegara maju. Target persentase penurunan emisi negara-negara maju dalam Annex B dapat diterjemahkan dalam assigned amount unit (AAU) — setara satu ton karbon. Beberapa AAU dapat diperdagangkan antarnegara maju. Negeri Belanda, misalnya, bisa membeli AAU dari Jepang. Negeri sakura ini harus menurunkan emisi beberapa ton lagi sesuai dengan yang dibeli Belanda, sementara Belanda bisa menurunkan emisi kurang dari targetnya sesuai dengan jumlah AAU yang dibelinya. Pasal 4 membolehkan suatu wilayah politik memiliki target pembatasan dan pengurangan emisi secara berkelompok. Target itu kemudian didistribusikan kepada masing-masing negara anggota. Setiap negara bisa memiliki target yang berbeda sesuai dengan alokasi masing-masing setelah disetujui oleh seluruh anggota kelompok. Itu bisa berlaku di mana-mana, tetapi saat ini hanya berlaku di negara anggota Uni Eropa (UE). Pasal 6 mengatur implementasi bersama (joint implementation/JI) antarnegara maju. Maksudnya, salah satu negara (industri maju) berinisiatif membuat sebuah proyek dengan emisi lebih rendah dari satu tingkat referensi (disebut baseline atau business-as-usual) — T O P I K
95
tingkat emisi hipotetis jika implementasi proyek penurunan emisi bersama itu tidak dilakukan. Penurunan emisi ini dihitung dalam satuan emission reduction unit (ERU, setara satu ton penurunan emisi ekuivalen karbon dioksida), yang jika diperdagangkan tidak dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi negara bersangkutan. Negara maju lain dapat membeli ERU dan memperhitungkannya seolah-olah merupakan penurunan emisinya sendiri. Pasal 12 mengatur mekanisme pembangunan yang bersih (clean development mechanism/CDM). Pelaksanaan CDM ini mirip dengan JI. Perbedaannya, CDM hanya bisa dilakukan di antara negara maju (Annex I atau Annex B) dengan negara berkembang. Dalam Protokol Kyoto, CDM adalah satu-satunya mekanisme pasar yang bisa melibatkan negaraberkembang.
Clean Development Mechanism Clean Development Mechanism (CDM) memberi ruang lebih luas kepada sebuah entitas di negara berkembang untuk mengembangkan proyek yang berdampak pada penurunan emisi. Pasal 12 Protokol Kyoto mendefinisikan tujuan CDM sebagai ,… to assist Parties not included in Annex I in achieving sustainable development and in contributing to the ultimate objective of the Convention, and to assist Parties included in Annex I in achieving compliance with their quantified emission limitation and reduction commitments under Article 3. Interpretasi terhadap dua sisi tujuan CDM tersebut adalah, untuk negara berkembang (negara yang tidak masuk dalam Annex I), mencapai pembangunan berkelanjutan dan memberi kontribusi dalam pencapaian tujuan akhir Konvensi Perubahan Iklim. Untuk negara industri (negara Annex I), mekanisme pembangunan yang bersih bertujuan untuk pemenuhan (compliance) syarat dengan komitmen jumlah pembatasan dan penurunan emisi sesuai Pasal 3 Protokol Kyoto. Proyek-proyek CDM harus benar-benar menghasilkan pengurangan
96
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Tabel 1. Emisi dan Resapan Gas Rumah Kaca (dalam ribu ton) Sektor
Emisi CO2
Resapan CO2
CH4
N2O
PFC
CO2e
Energi
247.522
1.437
10
Industri
40.342
104
0,43
2.178
2.419
72
75.420
3
0,08
649.254
Pertanian Tataguna Lahan dan Kehutanan
1.060.766
Gambut
172.000
Sampah
1.662
Total
1.524.472
411.593
280.938 0.02
42.814
172.000
411.593
7.294
8
157.328
236.388
28.341
1.377.754
Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Second National Communication (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2009).
emisi yang bermanfaat, terukur, dan berjangka panjang. Selain itu, juga harus dibuktikan bahwa penurunan emisi tidak akan terjadi tanpa adanya proyek CDM. Ini disebut additionality, sebuah konsep mutlak yang harus dibuktikan oleh semua proyek CDM. Proyek-proyek CDM juga harus mendapat persetujuan dari Designated National Authority (DNA). Di Indonesia, DNA yang dimaksud adalah Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) yang bernaung di bawah Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Sebuah proyek CDM harus didaftarkan pada Executive Board — lembaga pengatur di bawah UNFCCC — untuk diakui sebagai proyek CDM. Setelah proyek ini terdaftar, maka penghitungan penurunan emisi dapat dimulai. Pada tahap ini, peran pemantauan sangatlah penting. Semua harus diukur dengan alat ukur yang presisi dan terkalibrasi dengan teratur. Hasilnya pun harus didokumentasikan dengan baik. Hasil pemantauan penurunan emisi itu akan diverifikasi, dan berdasarkan laporan verifikasi ini sertifikasi penurunan emisi (Certified Emission Reduction/CER) dapat diterbitkan oleh Executive Board.
Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Pada tahun 2000, emisi Indonesia didominasi oleh perubahan tata guna lahan, kehutanan, dan lahan gambut. Emisi total yang dihasilkan sektor-sektor tersebut sebesar 0,82 Gton (gigaton/miliar ton) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) — sekitar 60 persen dari emisi total di Indonesia. Sektor lain menyumbang 0,55 Gton, sehingga totalnya adalah 1,37 Gton. Acuan resmi angka emisi di Indonesia dapat dilihat dalam Second National Communication (SNC) yang diterbitkan oleh Ke6 menterian Lingkungan Hidup pada 2009. Dalam periode 2000–2006, emisi sektor energi tumbuh 5,7 persen per tahun, disusul sektor industri sebesar 2,6 persen, sampah 1,2 persen, dan pertanian 1,1 persen. Jumlah emisi dari perubahan tata guna lahan berfluktuasi sangat besar dan sangat tidak pasti. Beberapa studi menunjukkan angka yang berbeda, dan besar kemungkinan angka resmi yang ada lebih rendah dari kenyataannya. 6
Lihat, Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Second National Communication (Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). T O P I K
97
Agus Sari, Pasar Karbon dan Potensinya
Tabel 2. Pangsa Pasar Karbon Indonesia Indonesia Pasar Karbon
Jumlah Proyek CDM
% thd Dunia
Telah diterbitkan
6
Dunia
CERs (000)
% thd Dunia
Jumlah
CERs (000)
1,03
328
0,10
585
340.545
Terdaftar
33
1,76
19.313
1,14
1.873
1.695.909
Proses pendaftaran
12
4,29
1.408
1,09
280
129.077
Validasi
50
1,94
6.608
2,30
2.581
287.736
Total
95
2,01
43.164
1,54
4.734
2.797.292
Sumber: “UNEP Risoe CDM/JI Pipeline Analysis and Database”, dalam http://www.cdmpipeline.org/ (diakses akhir 2009).
Pasar CDM di Dunia dan di Indonesia Jumlah proyek yang diusulkan, baik kepada Komisi Nasional CDM maupun Executive Board, menunjukkan bahwa Indonesia melihat potensi dari pasar karbon. Indonesia juga terbuka bagi modalitas dan tipe proyek apa pun yang dapat mengkapitalisasi pasar karbon, dan secara selektif mendukung reformasi CDM menjadi lebih sederhana dan lebih efisien. Namun, pasar karbon di Indonesia berkembang sangat lambat. Diagram 1 memperlihatkan perkiraan besarnya pasar karbon di Indonesia di luar sektor kehutanan dan penurunan pembakaran gas (gas flaring) di sektor minyak dan gas.7 Sementara Diagram 2 memperlihatkan bahwa melalui analisis komputer model (partial equilibrium), Indonesia mungkin mendapatkan sekitar 2 persen dari pasar karbon global. China sendiri diperkirakan bakal meraih pangsa pasar terbesar, lebih dari setengahnya. Seperti tampak pada Tabel 2, memperlihatkan bahwa pangsa pasar yang diraih tidak terlalu jauh berbeda dari perkiraan sebelumnya, hanya sekitar 328 ribu CER (dari 33 proyek yang telah terdaftar sebagai proyek CDM), 7
Disusun oleh Bank Pembangunan Asia pada 2003; lihat, Pelangi, National CDM Strategy Study in Indonesia (Manila: Asian Development Bank, 2003).
T O P I K
Diagram 1. Perkiraan Besarnya Pasar Karbon di Indonesia di Luar Kehutanan
Diagram 2. Perkiraan Pangsa Pasar Karbon Global
yang telah diterbitkan untuk 6 proyek CDM di Indonesia. Potensi dari semua proyek yang telah terdaftar adalah 19,3 juta CER. Jumlah CER Indonesia yang diterbitkan itu hanya satu persen dari jumlah proyek CDM dunia, dan hanya mewakili 0,1 persen dari jumlah CER yang telah diterbitkan di seluruh dunia. Tiga puluh tiga proyek yang telah terdaftar sebagai
98
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Tabel 3. Proyek di Indonesia yang Telah Menghasilkan CER No. 1
2
Nama Proyek Indocement Alternative Fuels Project Tambun LPG Associated Gas Recovery an Utilization Project
3
Darajat Unit III Geothermal Project
4
CDM SOLAR COOKER PROJECT Aceh 1
5
MEN-Tangerang 13.6MW Natural Gas Co-generation Project
6
Methane Capture and Combustion from Swine Manure Treatment Project at PT Indotirta Suaka Bulan Farm in Indonesia
Jumlah CER 17.635
Validasi
Registration Date
Issuance Status
23-Jun-06
29-Sep-06
Issued (on 14 Mar 08)
63.332
Issued (on 27 Mar 08)
113.446
13-Dec-07
1-Feb-08
Issued (on 30 Jul 08)
90.804
9-Oct-06
11-Dec-06
Issued (on 11 June 09)
1.077
23-Dec-05
6-Feb-06
Issued (on 06 Jan 09)
17.154
18-Oct-07
26-Feb-08
Issued (on 24 Mar 09)
22.352
5-Jun-06
31-Aug-06
Issued (on 03 Jun 09)
Sumber : “UNEP Risoe CDM/JI Pipeline Analysis and Database”, dalam http://www.cdmpipeline.org/ (diakses akhir 2009).
proyek CDM mewakili 1,8 persen dari seluruh jumlah proyek yang terdaftar di seluruh dunia, dan 1,1 persen dari potensi CER seluruh dunia. Dua belas proyek lagi berada dalam proses pendaftaran, mewakili 4,2 persen jumlah proyek seluruh dunia dan 1,1 persen dari potensi CER global. Lima puluh proyek berada dalam proses validasi, mewakili 1,9 persen dari jumlah proyek yang berada dalam proses validasi, dan 2,3 persen dari potensi CER proyek-proyek tersebut. Jumlah total proyek CDM dalam pipeline di Indonesia sebanyak 95 proyek (2 persen dari 4.734 proyek seluruh dunia),8 berpotensi menghasilkan 43 juta CER hingga tahun 2012 8
Lihat, “UNEP Risoe CDM/JI Pipeline Analysis and Database”, dalam http://www.cdmpipeline. org/ (diakses akhir 2009).
(1,5 persen dari potensi seluruh proyek di seluruh dunia). Enam proyek CDM di Indonesia yang telah menghasilkan CER, lihat Tabel 3. Tabel 3 memberi banyak pelajaran. Indocement, misalnya, diperkirakan dapat mengeluarkan 800.000 CER per tahun, tetapi hanya memproduksi yang jauh lebih sedikit dari perkiraan. Tambun LPG menghasilkan jumlah CER melebihi perkiraan pada verifikasi pertama, tetapi gagal memproduksi CER dari verifikasi kedua dari jadwal verifikasi setiap kuartal.
Pasar Sesudah 2012 Protokol Kyoto hanya memberikan kepastian pasar hingga tahun 2012, yaitu saat periode komitmen pertama selesai. Komitmen penurunan emisi setelah 2012 diharapkan disepakati di T O P I K
Agus Sari, Pasar Karbon dan Potensinya
Kopenhagen pada Konverensi Para Pihak (COP) ke-15 akhir tahun 2009. Akan tetapi, komitmen itu ternyata tidak bisa disepakati, sehingga kepastian pasar karbon sesudah tahun 2012 masih belum kuat. Walaupun demikian, ada beberapa diversifikasi pasar di luar pasar CDM yang ada. Salah satunya adalah CDM yang direformasi. Protokol Kyoto atau perjanjian serupa akan tetap ada sesudah 2012. Mekanisme pembangunan yang bersih atau mekanisme serupa akan tetap ada, bahkan mungkin lebih baik karena panggilan untuk reformasi. Salah satu reformasi penting adalah beberapa proyek CDM boleh diperlakukan seperti satu proyek. Cara programmatic CDM itu secara resmi disebut program of activities (POA). Selain itu, besar kemungkinan pelaksanaan beberapa proyek CDM di dalam satu sektor bisa diberlakukan seperti menerapkan satu proyek saja. Selain pasar yang dibentuk oleh kesepakatan internasional dan bersifat mengikat, ada pula pasar karbon “sukarela”; dibentuk bukan oleh kesepakatan yang mengikat, tetapi oleh upaya sukarela di kalangan korporasi negaranegara maju untuk menurunkan emisi karbon yang dihasilkan saat berproduksi. Pasar sukarela yang diatur melalui asosiasi industri itu biasanya lebih mudah dan efisien. Harganya juga lebih murah ketimbang pasar mengikat. Untuk beberapa proyek, jumlahnya tampak meningkat. Pasar sukarela justru bisa menjadi sumber alternatif paling layak. Pasar mengikat juga bisa dibentuk dari aturan domestik atau subdomestik di antara beberapa negara industri maju. Beberapa negara maju Eropa, misalnya, telah mengatur industrinya untuk menurunkan emisi. Walaupun demikian, mereka dapat memenuhi kewajiban domestik ini melalui pembelian kredit karbon dari negara lain, termasuk negara berkembang. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat pun mengatur hal serupa. Potensi pasar karbon terbesar di Indonesia sesudah 2012 mungkin dari upaya Reducing of Emissions from Deforestation and Forests Degradation (REDD). T O P I K
99
Perubahan tata guna lahan, kerusakan hutan dan lahan gambut menyumbang seperlima dari emisi dunia per tahun. Seperempat hingga sepertiga dari jumlah emisi itu dihasilkan Indonesia, dan membuat negeri ini menjadi penyumbang terbesar emisi tata guna lahan dunia (sekitar 4,5-5,5 miliar ton per tahun). Jika setengah dari emisi ini bisa dihindari, maka ada sekitar 2 sampai 2,5 miliar ton penurunan emisi per tahun. Bila penurunan emisi itu dihargai US$ 1-2, maka ada US$ 2–5 miliar potensi pendapatan tambahan untuk Indonesia. Terakhir, komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan emisi 2641 persen dari aras business as usual juga akan membuka kemungkinan pengembangan pasar karbon baru, yang secara umum bernama creditable nationally-appropriate mitigation actions (creditable NAMAs; aksi mitigasi tepat guna nasional yang dapat dikreditkan). Presiden SBY sudah berkomitmen bahwa untuk mencapai 26 persen penurunan emisi, Indonesia akan menggunakan sumber daya sendiri, baik dari sektor publik maupun swasta. Untuk mencapai 41 persen (15 persen tambahan lagi), Indonesia membutuhkan bantuan keuangan dari negara lain. Sebagian atau seluruh dari 15 persen tambahan itu dapat dianggap sebagai creditable NAMAs. Penurunan emisi Indonesia itu dapat digunakan negara-negara maju untuk mengompensasi penurunan emisi mereka.
Kesimpulan Pasar karbon tidak akan pernah hilang sebagai cara inovatif untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca global. Walaupun belum ada kepastian, tetapi potensi pasar karbon sesudah tahun 2012 cukup besar. Untuk merengkuh kesempatan amat besar itu, Indonesia harus belajar dari penerapan pasar karbon sebelum 2012 melalui CDM. Ada beberapa hal yang memang harus diperbaiki agar potensi pasar karbon bisa secara maksimal direalisasikan di Indonesia•
100 Prisma Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010 BUKU
Perubahan Paradigma Lingkungan Hidup Judul: Hot, Flat, and Crowded: Why We Need a Green Revolution—and How It Can Renew America Penulis: Thomas L Friedman Penerbit: Farrar, Straus and Giroux, New York, USA, 2008 Tebal: 448 halaman ISBN-13: 978-0-374-16685-4 ISBN-10: 0-374-16685-4
A
merika memasuki Code Green, dan cukup sudah pengaruh Code Red yang dipakai George Walker Bush untuk menetapkan status keamanan Amerika pascaserangan teroris 11 September 2001. Amerika Serikat, begitu tulis Thomas L Friedman, harus memimpin kembali inovasi-inovasi dunia yang ramah lingkungan, efisiensi energi, dan etika konservasi yang mampu memberi inspirasi kepada umat manusia (hal.7), dan beranjak
keluar dari konsentrasinya pada perang melawan terorisme. Buku ini bercerita banyak tentang Amerika dan terutama untuk dibaca orang Amerika, tetapi keberpengaruhan ekonomi dan politik Amerika terhadap dunia tetap menjadikannya layak dicermati, terutama pengaruh perubahan paradigma lingkungan hidup yang akan dibawanya untuk dunia. Alasan lain, Amerika adalah rumah bagi gerakan lingkungan hidup global dan inovator dalam gerakan konservasi dunia. Perubahan yang cukup radikal, bila nanti memang ada seperti didorong Friedman, akan banyak mengubah cara kita 1 memandang gaia—ibu bumi ini. Apa yang membuat buku ini akan mendapatkan perhatian dari para pengambil keputusan adalah karena Friedman dikenal luas sebagai penulis brilian, khususnya untuk la1
Sejarah ringkas gerakan lingkungan hidup di Amerika dan peran pemerintah serta NonGovernmental Organization (ornop), lihat, misalnya, Kirkpatrick Sale, The Green Revolution: The American Environmental Movement, 1962-1992 (A Critical Issue) (Hill and Wang, 1993). B U K U
Aris Santoso, Generasi yang (Nyaris) Hilang
poran luar negeri, globalisasi dan perdagangan 2 bebas. Bukunya tentang globalisasi dibaca oleh para eksekutif puncak perusahaanperusahaan besar, mungkin kali ini juga akan membawa pengaruh cukup besar untuk melihat lingkungan hidup dalam perspektif yang diperbarui. Friedman, pemenang tiga Pulitzer dan beberapa penghargaan buku terbaik, dikenal sebagai pendukung utama globalisasi dan per3 dagangan bebas. Karakteristik pembaca bukunya terdahulu adalah kelompok yang tak terlalu ambil pusing terhadap dampak aktivitas bisnis mereka terhadap kerusakan lingkungan hidup. Buku ini mengungkapkan citranya yang lain sebagai pemerhati lingkungan global. Friedman mulai dengan perspektif perpolitikan dalam negeri Amerika, dengan pendekatan kebijakan administratif dari berbagai era rezim pemerintah di Amerika Serikat ketika isu lingkungan mulai mengambil posisi di arusutama, yaitu sekitar dekade 1960-an. Isu lingkungan perlahan menjadi isu arusutama dan tiba-tiba dunia berada dalam krisis multidimensi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi (crowded), yang menyebabkan kebutuhan energi dan meningkatnya emisi karbon ke atmosfer (hot). Kedua isu utama itu tidak mampu diperbaiki segera karena sistem ekonomi yang ada (flat) gagal bekerja secara cepat dan efektif. Friedman menguraikan asal muasal persoalan dengan mengutip dari bukunya terdahulu, World that is Flat. Hidup digerakkan oleh kekuatan serupa: kekuatan ekonomi. Faktor penggerak seragam inilah yang menyebabkan dunia dapat dilihat dalam perspektif
2
3
Untuk memahami pandangan Thomas L Friedman tentang globalisasi, ekonomi, dan pengaruh teknologi informasi; lihat, Thomas L Friedman, The World is Flat (New York: Farrar, Strauss and Giroux, 2005). Salah satu sumber internet untuk biografi Thomas L Friedman, lihat, http:// www.nytimes. com/ref/opinion/FRIEDMAN-BIO.html.
B U K U
101
satu dimensi. Penetrasi ekonomi hampir menembus semua bentuk kehidupan. Akan tetapi, pada saat bersamaan, dunia menjadi riuh karena pertumbuhan penduduk yang sebagian besar berusaha mencapai tingkat konsumerisme ala Amerika, dan kota-kota tumbuh sebagai kosmopolitan tanpa karakter. Ada sekitar dua sampai tiga miliar orang seperti ini, yang hidup dengan kendaraan mobil, penyejuk ruangan, kulkas, sehingga meningkatkan konsumsi energi secara tajam. Permintaan energi yang tak berkesudahan itu tidak hanya menambah karbon dioksida ke atmosfer tetapi terus mendorong suhu naik ke tingkat yang membahayakan. Permintaan energi juga telah membahayakan keanekaragaman hayati, menghancurkan dan melenyapkan satu spesies setiap 20 menit. Energi telah memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin yang tak punya akses pada listrik, apalagi komputer jinjing. Pengarang menyatakan bahwa dunia berada pada era Energy-Climate yang ditandai oleh lima ciri, yaitu peningkatan kebutuhan tidak diikuti persediaan, pengalihan kekayaan besarbesaran kepada kelompok petro-diktator, perubahan iklim, masyarakat miskin semakin tertinggal jauh, dan peningkatan punahnya keanekaragaman hayati. Menjadi ramah lingkungan tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena membutuhkan infrastruktur yang bahkan sebagian besar belum ada saat ini. Argumen-argumen penulis dalam tingkat makro tidak diikuti penjelasan yang memadai. Penulis alpa menguraikan apa yang sesungguhnya terjadi pada isu kelebihan populasi. Apakah program pembatasan kelahiran dapat memperlambat pertambahan penduduk ataukah ada program lain. Masalah lebih besar muncul dari asumsinya bahwa stimulus pemerintah dan kecerdasan manusia begitu saja akan memproduksi inovasi teknologi dan ujungnya akan menemukan sumber energi tiada batas. Sampai hari ini tidak ada bukti bahwa semua itu akan terjadi dalam waktu dekat. Bahkan, bila dikombinasikan dengan energi
102
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
nuklir, semua jenis energi nonfosil yang ramah lingkungan terbukti tidak dapat menjamin lonjakan permintaan energi global. Friedman dengan gundah mengungkapkan “ketertinggalan” Amerika dari negara-negara Eropa, Jepang atau bahkan China yang dulu ditinggalkannya pasca-Perang Dunia II. Dia sedih melihat stasiun-stasiun kereta Eropa yang berteknologi tinggi dibanding Amerika yang “sederhana”. Dia cuma melihat beberapa kota kecil Amerika yang lebih kompetitif dibanding kota-kota di China. Dia juga tak lupa menceritakan keberhasilan “kecil” beberapa unit angkatan bersenjata Amerika yang bertugas di Afganistan yang memakai tenaga matahari dan angin untuk menyejukkan markas mereka, juga tentang 7,5 persen kendaraan taksi di New York yang telah berganti wujud menjadi mobil hibrid. Dalam konteks Friedman, hampir semua yang ada di Amerika Serikat hari ini kurang ramah lingkungan.
Amerika Memimpin Friedman bergelora ingin membawa Amerika kembali memimpin dunia dalam program Clean Energy System, yang akan mengembalikan “elektron bersih” ke “sarangnya”, yang digerakkan oleh tenaga surya, angin, gelombang air, dan nuklir. Dia mengatakan bahwa perusahaan penyedia listrik terus-menerus mendorong kita untuk meningkatkan dan bukan menurunkan pemakaian listrik. Karena alasan keuangan, mereka harus menjaga permintaan listrik tetap tinggi. Menurut Friedman, cara untuk mengurangi konsumsi energi adalah dengan membenahi pasar. Pembenahan pasar tidak hanya dengan mengurangi pemakaian listrik, tetapi juga bagaimana membuat perusahaan listrik membeli energi dari sumber yang ramah lingkungan. Kebijakan ini membutuhkan perubahan radikal pada rezim perpajakan, insentif, dan harga yang dapat dilakukan pemerintah. Menurutnya, pasar sengaja didesain membuat harga bahan bakar fosil seperti minyak bumi tetap murah, se-
mentara harga energi terbarukan mahal dan 4 sulit didapat.
Ramah Lingkungan=Mengganti Rezim? Bahasan paling menarik, barangkali, adalah ketika perspektif geopolitik Friedman bertemu dengan perspektif lingkungan hidup. Dalam buku ini, Friedman mengambil posisi sebagai patriot. Oleh sebab itu, Amerika Serikat harus memimpin dan membawa perubahan fundamental dalam berbagai pendekatan lingkungan hidup. Salah satu argumen menarik dari Friedman adalah pencapaian Amerika untuk menjadi lebih ramah lingkungan akan mendorong perubahan di negara-negara lain. Berbeda dengan Philips Shabecoff yang menganggap isu lingkungan dapat menjadi isu perdamaian dunia, bagi Friedman isu lingkungan dapat menjadi akselerator kebebasan dan 5 demokratisasi. Teknologi energi tidak hanya akan mereformasi negara-negara muslim di jazirah Arab, tetapi juga gelombang reformasi bagi “pesaing” terberat Amerika Serikat dalam perdagangan internasional, yaitu China. Amerikanisasi dalam model perekonomian China sebaiknya dimanfaatkan untuk menekan negeri ini menjadi lebih hijau (hal. 366). Bila Amerika menjadi lebih hijau, maka China akan mengikutinya, dan hanya di dalam alam demokrasi suara para aktivis lingkungan hidup akan mendapatkan wadah, sehingga pada akhirnya 4
5
Tentang ide dan gagasan kebijakan lingkungan berbasis inovasi pasar dan praktik di beberapa negara; lihat, misalnya, David Roodman, The Natural Wealth of Nations: Harnessing the Market for the Environment (London: Earthscan Publications Ltd., 1999). Philips Shabecoff dalam A New Name for Peace: International Environmentalism, Sustainable Development, and Democracy (UPNE, 1996) menilai isu lingkungan hidup dalam perspektif kolaborasi global, bukan kompetisi global sebagaimana diformulasikan Friedman. B U K U
Aris Santoso, Generasi yang (Nyaris) Hilang
partisipasi masyarakat ini akan mempromosikan kebebasan (hal. 96). Amerika juga sudah seharusnya mengurangi permintaan minyak bumi karena adanya kebutuhan mendorong reformasi di negara-negara Arab-muslim (hal. 108). Apakah Friedman kemudian menganggap semua yang terjadi di negeri non-Arab seperti Iran tidak memerlukan “sentuhan reformasi” serupa? Bila Amerika Serikat berhasil mendesakkan agenda lingkungan hidup kepada China, maka pemerintah akan memberi ruang lebih luas kepada aktivis-aktivis lingkungan dan masyarakat sipil untuk menyuarakan kondisi lingkungan hidup. Kesempatan ini akan membuka lebar partisipasi publik dalam pembangunan dan, karena tidak ingin dikategorikan sebagai negeri tidak ramah lingkungan (outgreen), mendorong demokratisasi negeri tirai bambu (hal. 367). Perspektif demikian tentu saja menganggap negeri-negeri lain adalah kompetitor Amerika, bukan kompatriot. Bahkan dengan lantang dia menulis, setelah Amerika berhasil memperluas pengaruh hijaunya, terciptalah kemenangan, “America wins! America wins! America wins!” (hal. 242). Bila dikaitkan dengan efektivitas kebijakan publik, Friedman tak sungkan mengagumi sebagian dari sistem politik komunis China. Kekagumannya dapat dipahami mengingat mesin Partai Komunis China tampak sangat efektif dalam mendesakkan kebijakan dari atas ke bawah. “Andaikata kita bisa jadi China untuk satu hari saja,” tulisnya, “tapi tidak untuk dua hari.” Menurut Friedman, bila Partai Komunis China menginginkan China menjadi lebih hijau, mereka akan berhasil menerapkan kebijakan ramah lingkungan apa saja, dan akan melaju meninggalkan negara lain termasuk Amerika. Ironi terbesar yang dikategorikan Friedman sebagai hambatan utama perubahan pola pikir energi di Amerika Serikat adalah kegagalan kepemimpinan politik dan pengaruh kuat kelompok lobi perusahaan-perusahaan minyak. Pendapat demikian kurang lebih serupa dengan Al Gore, dalam cara lebih “lembut”, yang B U K U
103
menilai adanya hambatan sistem politik dan ekonomi antilingkungan di dalam negeri Ame6 rika Serikat. Itu sebabnya perusahaan panel surya Amerika Serikat, First Solar, bisa mendapatkan pasar potensial di Jerman, Spanyol, Perancis, Yunani, dan Portugal dibanding di dalam negeri.
Kritik Bab pertama buku ini hendak menunjukkan bagaimana menjadi ramah lingkungan akan menuntun pada pembangunan bangsa Amerika (hal. 9). Namun, Friedman tidak menerangkan hal itu secara detail. Semua dampak yang dikemukakannya dalam buku ini melulu ekonomi. Dia juga membahas panjang lebar tentang bagaimana Amerika akan mendapat lebih banyak pekerjaan di sektor padat teknologi yang lebih sulit disubkontrakkan kepada orang atau pekerja asing. Apa yang dia maksud dengan pekerjaan padat teknologi? Pekerjaan di bidang konstruksi pemasangan panel surya dan renovasi bangunan (hal. 338)! Tekanan Friedman pada masalah energi tidak lantas membuat dia setuju dengan perubahan gaya hidup secara radikal (hal. 194). Dia yakin bahwa banyak pihak relatif mudah untuk menjadi lebih ramah lingkungan, tetapi lupa bertanya sampai di mana batas gaya hidup ala Amerika bisa ditoleransi. Argumentasi Friedman justru menjadi bumerang ketika dia mengkritik eksternalitas dalam kasus pencemaran lingkungan. Menurutnya, akunting hanya membodohi kita bila tak memperhitungkan eksternalitas yang timbul dalam perekonomian. “Kenaikan keuntungan dan PDB kita setiap tahun hanya di atas kertas karena kita tidak menghitung biaya yang sebenarnya. Ibu Pertiwi telah dibodohi” (hal. 260). Jika demikian halnya, siapakah yang mengatakan dengan lantang 6
Lihat, Al Gore, Earth in Balance: Ecology and the Human Spirit, diterjemahkan oleh Hira Jhamtani (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), Bagian II, hal. 199-299
104
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
ekonomi Amerika benar-benar tumbuh? Apakah sistem perekonomian kapitalistik alaAmerika yang dibela mati-matian oleh Friedman layak dipertahankan? Menariknya, atau mungkin cukup mengherankan, Friedman tidak mengajukan beberapa pertanyaan yang telah lama didiskusikan di kalangan cendekiawan di Eropa. Pemikir sosial seperti Andre Gorz, misalnya, telah lama menganalisis secara mendalam hakikat dan arti spiritual setiap pekerjaan, termasuk hubungannya dengan ekologi dan energi. Sementara pendekatan Friedman melulu materialistik dan 7 teknokratis. Pengarang menyederhanakan manusia menjadi sekumpulan inovator dan konsumen, padahal kita memiliki sejumlah nilai kemanusiaan. Pendekatan kompetisi di antara Amerika Serikat dengan negara lain memosisikan Amerika selalu mengejar pertumbuhan ekonomi tiada henti, padahal isu perubahan iklim dan lingkungan hidup membutuhkan kerja sama global, seperti pendapat Shabecoff, sebagaimana pernah diejawantahkan di Bali dan Kopenhagen. Dalam buku ini, Friedman menutup sebelah mata terhadap kemiskinan di negara lain. Impiannya tentang teknologi ramah lingkngan di negara berkembang tetap mimpi ala Amerika yang serba luas, serba besar, dan serba boros energi. Dia, misalnya, membayangkan seorang petani Brasil dengan 400 hektar lahan, traktor berteknologi tinggi, dan sistem penyemprotan otomatis — singkatnya sebuah mega-farm — sebagai sebuah contoh pertanian masa depan. Kenyataannya, rata-rata petani Brasil hanya memiliki 60 hektar tanah, bahkan sebagian
besar kurang dari luas itu. Sementara kaum tani di negara berkembang lain seperti Indonesia hanya memiliki garapan seluas setengah hektar saja, bahkan banyak yang menjadi buruh tani tanpa lahan. Setidaknya ada dua catatan kritis yang patut dialamatkan kepada Friedman. Pertama, kealpaan (kesengajaan?) untuk mengupas lebih jauh apakah pasar kapitalisme ala Amerika merupakan salah satu akar penyebab katastrofi lingkungan global, karena ketergantungan yang sangat tinggi pada sumbersumber energi karbon8 Kedua, keyakinannya terhadap pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi. Tanpa pertumbuhan ekonomi tidak akan ada pembangunan, sehingga kelompok miskin tidak akan pernah lepas dari jerat kemiskinan (hal. 186). Apa yang dimaksud Friedman dengan pertumbuhan ekonomi? Jawaban umum sampai hari ini hampir seragam, yaitu pertumbuhan ekonomi menurut GDP (Produk Domestik Bruto/PDB). Padahal, PDB terbukti tidak pernah mampu menunjukkan bagaimana kesejahteraan terdistribusikan. Bisa saja satu atau segelintir konglomerat bertambah kaya, dan PDB naik, tetapi pendapatan sebagian 9 besar masyarakat tidak beranjak. Selain itu, Friedman tidak menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi menurut PDB bisa disebabkan oleh kegiatan yang tidak berhubungan sama sekali dengan parameter kesejahteraan kuantitatif yang diukurnya, seperti penanggulangan penyakit atau pembersihan polusi• IGG Maha Adi
8
7
Lihat, Andre Gorz, Ecology as Politics (Montreal: Black Rose Books, 1980) dan diterjemahkan oleh Hendy Heynardhi et al menjadi Ekologi dan Krisis Kapitalisme (Yogyakarta: INSIST Press, 2002). Gorz adalah filsuf sosial Perancis sekaligus pengecam kapitalisme global perusak lingkungan hidup.
9
Tentang peran sistem ekonomi kapitalistik dalam mempercepat kerusakan lingkungan hidup global; lihat, misalnya, Raymond L Bryant dan Sinead Balley, Third World Political Ecology (London: Routledge, 1997), hal. 1-9 dan 103-129; Tim Forsyth, Critical Political Ecology: The Politics of Environmental Science (London: Routledge, 2008). Lihat, misalnya, laman http://www.wikipedia. com/median_household_income/ B U K U
Prisma
KRITIK & KOMENTAR
Koreksi Kecil pada Tanggapan Imam Yudotomo
Imam Yudotomo telah menanggapi sebuah catatan kaki dalam tulisan Antonius Made Tony Supriatma (lihat, “Menguatnya Kartel Politik Para 'Bos'”, Prisma, Vol. 28, No. 2, Oktober 2009). Dia menyanggah pandangan dalam tulisan tersebut bahwa pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI) “terbangun karena hubungan keluarga yang sangat dekat” (lihat, tanggapan Imam dalam tulisan berjudul “PSI Ada Karena Hubungan Keluarga?”, Prisma, Vol. 29, No. 1, Januari 2010). Sesuai anjuran Antonius Made dalam menjawab tanggapan Imam itu, saya menikmati tulisan Imam yang merupakan “esai sendiri”. Saya amat setuju dengan pandangannya, namun perlu dikemukakan beberapa catatan sebagai koreksi kecil dalam tulisan Imam: a. Siti Wahyunah Saleh (“Zus Pop”) selama tahun 1945-1947 tidak bekerja di Kementerian Luar Negeri, tetapi bertugas di Kantor Perdana Menteri, Jalan Cilacap 4, Jakarta, sebagai Sekretaris Eksekutif Sutan Sjahrir. b. Mereka menikah di Kairo pada 26 Mei 1951. c. Ketika dilantik Presiden Soekarno (berdasarkan resolusi Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai Perdana
Menteri RI pertama pada 14 November 1945, Sjahrir berumur 36 tahun, bukan 31 tahun (dia lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909). d. Sjahrir secara resmi bercerai dari istri pertamanya, warga negara Belanda, Nyonya Maria Duchateau, pada awal 1947 di New Delhi, India. Perdana Menteri Sjahrir berkunjung ke New Delhi akhir Maret 1947 atas undangan Perdana Menteri Jawaharlal Nehru untuk menghadiri Asian Inter-Relations Conference. Nyonya Maria Duchateau datang dari Negeri Belanda khusus untuk menjumpai Sjahrir. Mereka menikah di sebuah mesjid di Medan pada 10 April 1932, sekembalinya Sjahrir dari Negeri Belanda. Akan tetapi, para pejabat kolonial Hindia-Belanda tidak mengakui pernikahan itu dan mengusir Nyonya Maria Duchateau Sjahrir kembali ke Belanda. Saya ingin menyatakan kekaguman saya atas pengetahuan rinci yang dimiliki Imam tentang sejarah awal PSI, serta liku-liku perkembangan intern partai ini. Sabam Siagian Redaktur Senior The Jakarta Post
106 No.E2,NApril P A Vol. R A29, P U L2009 IS Prisma Prisma
Agus Sari ialah mantan Country Director dan Strategic Policy Director, Asia Tenggara, di EcoSecurities. Menyelesaikan disertasi mengenai perubahan iklim di Energy and Resources Group, University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Pernah mengajar Ilmu Lingkungan di Institut Teknologi Indonesia dan Politik Karbon di University of California, Santa Barbara, AS. Saat ini menjadi pemerhati, penasihat, dan pengembang mekanisme pendanaan perubahan iklim sebagai rekanan dan, kemudian, komisaris di PEACE (salah satu perusahaan advisory mengenai perubahan iklim) dan pendiri portal informasi perubahan iklim dan pasar karbon pertama di Indonesia. Sebelum bergabung dengan EcoSecurities, menjabat Direktur Eksekutif Pelangi, sebuah lembaga penelitian di bidang lingkungan; pernah bekerja di Lawrence Berkeley National Laboratory, Berkeley, California, AS; Environmental Defense Fund, Washington, DC, AS; dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta. Dia juga duduk dalam berbagai komite bisnis dan sains, termasuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Asclepias Rachmi Soerjono Indriyanto, lahir pada 1962. Meraih gelar Sarjana Matematik (1987) dari Institut Teknologi Bandung; MA (1992) dan PhD (2002) dari University of Hawaii at Manoa, AS dengan disertasi berjudul “Investment Under Uncertainty: Application of Binomial Option Analysis to Development of Geothermal Energy in Indonesia.” Banyak mengikuti kegiatan pelatihan di antaranya
“Leadership for Environment and Development (LEAD) - Associate Training Cohort XII” (2007) yang diselenggarakan Yayasan Pembangunan Berkelanjutan; “A Course on Policy Analysis Using System Dynamics Model” (1995), Institut Teknologi Bandung; “In House Training on Energy Resources: Petroleum” (1991, 1992, 1993), The East West Center, Honolulu, Hawaii, AS. Pernah bekerja di PT Redecon (Resource Development Consultant, 1994-1998) sebagai Energy Economist, Project Manager, Financial Associate dan Project Administrator. Sejak 1996, salah satu anggota International Association for Energy Economics (IAEE) ini, bekerja di Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi (IIEE). Daniel Murdiyarso ialah Peneliti Senior di Center for International Forestry Research (CIFOR). Kepala Laboratorium Hidrometeorologi ini memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dan Master Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB); gelar PhD (1985) bidang Meteorologi diperoleh dari Department of Meteorology, University of Reading, Inggris. Guru Besar Ilmu Atmosfer di Jurusaan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA-IPB, ini banyak mencurahkan perhatian, pengajaran, dan penelitian di bidang emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim dalam kaitannya dengan alih guna lahan, khususnya akibat deforestasi yang diikuti oleh pengembangan lahan pertanian. Pengalaman memimpin lembaga internasional yang bergerak di bidang pengembangan kapasitas tentang perubahan lingkungan global, memberinya P A R A
P E N U L I S
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
kesempatan untuk membuka dan menggiatkan dialog antara pakar dan pengambil kebijakan tentang isu yang sama. Penulis buku Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim (2003), CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih (2003), Protokol Kyoto: Implikasinya Bagi Negara Berkembang (2003), anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia ini pernah menjadi Penasihat Wetlands International dalam kajian lahan gambut dan perubahan iklim; penasihat Bank Dunia untuk pengembangan BioCarbon Fund dan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). I Gusti Gede Maha S Adi, lahir di Jakarta, 1 Juni 1972. Meraih gelar Sarjana (1996) dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor; Magister (2010) Ilmu Lingkungan dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Peraih Adam Malik Award (2004) dari Departemen Luar Negeri Indonesia untuk liputan mengenai Pulau-pulau Sipadan dan Ligitan ini, banyak menulis dan menyunting buku di antaranya, 30 Tahun Kementerian Lingkungan (Maret 2008-sekarang), Laporan Nasional tentang Konferensi UNFCC di Bali (Januari 2008-sekarang), Objektivitas Berita Lingkungan Jurnalistik Berkelanjutan (2006), dan The History of Indonesian Environmental Movement (2004). Penulis lepas dan wartawan majalah Tempo (sejak Februari 2007) ini menjabat Direktur Eksekutif Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) sejak April 2010. Ismid Hadad, lahir di Surabaya, April 1940. Menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia, Jakarta(1966); Parvin Fellow di Princeton University, AS (1980); meraih gelar MPA dari Kennedy School of Government, Harvard University, AS (1982). Mantan aktivis gerakan mahasiswa Angkatan 66 ini mengawali karier di bidang jurnalistik sebagai Redaktur Pelaksana Harian KAMI, kemudian mendirikan dan menjadi Pemimpin Redaksi pertama Jurnal Prisma (1971-1980); pendiri dan Direktur Eksekutif P A R A
P E N U L I S
107
LP3ES (1975-1980); Ketua Pengurus Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi (IIEE, 19922005); Sekretaris Pengurus Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI, 1998-2006); Ketua Pengurus Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (2002sekarang); Direktur Eksekutif Yayasan Kehati (1998-2007); dan Ketua Pengurus Yayasan Pelangi Indonesia (2005-sekarang). Pendiri dan Ketua Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia (2005-sekarang) ini juga pernah menjabat Managing Director PT Resource Development Consultant (Redecon, 1987-1998) dan Direktur Utama PT Indoconsult (19941998). Dia kini bertugas sebagai Ketua Kelompok Kerja Mekanisme Pendanaan di Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI); Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Penghargaan Lingkungan Hidup “Kalpataru” dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Sejak 2007 menjadi penasihat Menteri Negara Lingkungan Hidup selaku Presiden COP-13 dan aktif sebagai perunding dan Sekretaris Delegasi RI pada Konferensi ke13 Negara-Negara Pihak (COP-13) UNFCCC di Bali (2007); anggota delegasi RI dan tim negosiasi untuk isu pendanaan perubahan iklim pada COP-14 di Poznan (Polandia, 2008), pada sidang-sidang persiapan untuk COP-15 di Bonn, Bangkok, Barcelona, dan Kopenhagen (Denmark). Pernah menjadi konsultan senior UNDP dan World Bank Jakarta untuk urusan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Mubariq Ahmad, lahir di Padang, Sumatera Barat, Januari 1960. Menyelesaikan PhD di bidang Natural Resources & Environmental Economics dari Michigan State University (1997); MA bidang Economics dari Columbia University, New York (1990) dan Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1985). Sejak 1984 bekerja sebagai analis ekonomi makro/finansial, ekonomi sumber daya alam, dan lingkungan hidup di berbagai lembaga nasional dan internasional, di samping mengajar sebagai dosen tidak tetap di FEUI. Ikut mendirikan dan pernah menjadi
108
Prisma Vol. 29, No. 2, April 2009
Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia (1997-2000). Bergabung dengan Program USAID/Natural Resource Management pada 2000; Direktur Eksekutif WWF-Indonesia (2003-2009); aktif dalam Koalisi Pengelolaan Sumber Daya Alam; anggota International Editorial Board dari Elsevier’s Science Journal of Forestry Policy and Economics (sejak 1999), anggota Council on Ecosystem & Biodiversity of World Economic Forum (sejak 2008), dan Advisor Kebijakan Perubahan Iklim dan Ekonomi Rendah Karbon (sejak Oktober 2009). Nur Masripatin dilahirkan di Blitar, Jawa Timur, Januari 1958. Bekerja di Departemen Kehutanan sejak lulus Sarjana Kehutanan dari Universitas Gadjah Mada (1983). Meraih MSc bidang Perencanaan Kehutanan dan PhD bidang Biometrik Kehutanan dari Canterbury University, Selandia Baru. Pakar Analisis Kebijakan dan Perencanaan Kehutanan ini pernah menjabat Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (2002-2005) dan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan (2007-2009). Salah satu anggota delegasi Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim untuk isu kehutanan; Koordinator ASEAN Network on Climate Change (sejak 2008); Koordinator Preparation of National Road Map on Climate Change Mitigation and Adaptation untuk Komponen Sektor Kehutanan (sedang berjalan); Koordinator Indonesia Technology Need Assessment untuk mitigasi iklim dalam sektor kehutanan (2007); Koordinator Nasional untuk Asia Pacific Forest Genetic Resources Programme (2004-2006); Wakil Ketua Asia Pacific Association of Forestry Research Institutions (2007-2009); Kepala Gugus Tugas Nasional untuk Indonesia Forest Genetic Resources Conservation and Management (2008); Kelompok Kerja Nasional LULUCF untuk COP-13 dan bertugas menyusun substansi Indonesia REDD Readiness di
bawah Indonesia Forest Climate Alliance (2007); Ketua Kelompok Kerja tentang GHGs Inventory pada Komunikasi Nasional Ke-2 Indonesia untuk UNFCCC (2008-2009); dan Koordinator tim perancang strategi REDD Indonesia dan FCPF-REDD Readiness Preparation Proposal (2008-2009). Saat ini menjabat Direktur Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Rizaldi Boer lahir di Bandung, Jawa Barat, September 1960. Master of Agriculture (1990) dari Department of Crop Science, Fakultas Pertanian, University of Sydney, Australia, dan Master of Science (1989) dalam Agroklimatologi dari Institut Pertanian Bogor ini meraih gelar PhD Pertanian (1994) dari University of Sydney, Australia, dengan disertasi berjudul “Climatic Constraints on Anthesis of Wheat in a Major Wheat Growing Region of Australia”. Sebagian besar penelitiannya berkaitan dengan perubahan, variabilitas, dan analisis risiko iklim terhadap sektor pertanian dan kehutanan. Sejak 1999, menekuni proyek-proyek yang berkaitan dengan variabilitas dan perubahan iklim di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, baik sebagai peneliti maupun konsultan. Saat ini, bekerja sebagai dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (Geomet-IPB); Kepala Laboratorium Klimatologi jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB; Ketua Umum Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi) periode 2008-2011; Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik; CCROM-SEAP), IPB; dan Ketua Kelompok Kerja Asosiasi Regional V (Pasifik Barat Daya) untuk Meteorologi Pertanian WMO (Organisasi Meteorologi Dunia, 2004-sekarang).
P A R A
P E N U L I S
Petunjuk untuk Penulis 1.
Penulisan naskah. Naskah yang dikirim ke Prisma belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam proses pengajuan untuk diterbitkan di media lain. Naskah berisi tulisan ilmiah populer bisa berasal dari ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis, atau gagasan orisinal yang kritis, mencerahkan, dan membuka wawasan.
2.
Topik. Isi naskah disesuaikan dengan rubrik Topik Kita yang ditetapkan redaksi dan bisa juga berisi topik bebas di luar Topik Kita. Tulisan dalam rubrik Esai berisi pendalaman dan pergulatan pemikiran. Rubrik Survei berisi hasil penelitian tentang segala macam persoalan sosial ekonomi yang aktual. Rubrik Laporan Daerah berisi hasil pengamatan atau penelitian tentang satu daerah tertentu di Indonesia. Rubrik Buku berisi tinjauan buku-buku baru atau lama yang masih relevan dengan kondisi sekarang.
3.
Panjang. Panjang tulisan untuk rubrik Topik Kita, Survei dan Laporan Daerah, kecuali atas kesepakatan dengan redaksi, maksimal 29.000 karakter dengan spasi (sekitar 4.000 kata) dan sudah termasuk catatan kaki; tetapi belum terhitung di dalamnya jika ada gambar, ilustrasi, bagan dan tabel. Panjang Esai maksimal 11.600 karakter dengan spasi (tidak perlu disertai catatan kaki). Tinjauan Buku terdiri dari dua versi: tinjauan pendek sekitar 11.600 – 14.500 karakter dengan spasi dan tinjauan panjang sekitar 23.300 – 29.000 karakter dengan spasi.
4.
Abstrak. Setiap naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia. Panjang abstrak maksimal 800 karakter dengan spasi dan hanya terdiri dari satu paragraf yang menggambarkan esensi isi tulisan secara gamblang, utuh, dan lengkap.
5.
Catatan kaki. Semua rujukan pada tubuh tulisan, baik sumber yang merujuk langsung maupun tidak langsung, harus diletakkan dalam Catatan Kaki dengan urutan nama lengkap pengarang, judul lengkap sumber, tempat terbit, penerbit, tahun terbit, dan nomor halaman, kalau perlu. Rujukan dari internet harap mencantumkan halaman http secara lengkap serta tanggal pengaksesannya. Contoh-contoh: Buku dengan Satu Orang Penulis 1 Wendy Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999), hal. 65. Buku dengan Dua atau Tiga Orang Penulis 2 Guy Cowlishaw dan Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago Press, 2000). Buku dengan Empat Orang Penulis atau Lebih 3 Edward O Laumann et al., The Social Organization of Sexuality: Sexual Practices in the United States (Chicago: University of Chicago Press, 1994), hal. 225-262. Buku Terjemahan atau Suntingan 4 Srintil, The Iliad of Homer, diterjemahkan oleh Richmond Lattimore (Chicago: University of Chicago Press, 1951). 5 Yves Bonnefoy, New and Selected Poems, disunting oleh John Naughton and Anthony Rudolf (Chicago: University of Chicago Press, 1995). Bab atau Bagian dari Sebuah Buku 6 Andrew Wiese, “‘The House I Live In’: Race, Class, and African American Suburban Dreams in the Postwar United States,” dalam Kevin M Kruse dan Thomas J Sugrue (eds.), The New Suburban History (Chicago: University of Chicago Press, 2006), hal. 101–102.
Prakata, Kata Pengantar, atau Pendahuluan dari Sebuah Buku 7 James Rieger, “Kata Pengantar” untuk Mary Wollstonecraft Shelley, Frankenstein; or, The Modern Prometheus (Chicago: University of Chicago Press, 1982) hal. xx–xxi. Buku Elektronik 8 Philip B Kurland dan Ralph Lerner (eds.), The Founders’ Constitution (Chicago: University of Chicago Press, 1987), atau http://press-ubs.uchicago.edu/ founders/ (diakses tanggal 27 Juni 2006). Artikel Jurnal, Majalah, atau Surat Kabar Cetak 9 John Maynard Smith, “The Origin of Altruism”, dalam Nature 393 (1998), hal. 639. 10 William S Niederkorn, “A Scholar Recants on His ‘Shakespeare’ Discovery”, dalam New York Times, 20 Juni 2002 (Rubrik Seni Sastra). Tesis atau Disertasi 11 M Amundin, “Click Repetition Rate Patterns in Communicative Sounds from the Harbour Porpoise, Phocoena phocoena” (Disertasi PhD, Stockholm University, 1991), hal. 22–29, 35. Makalah 12 Brian Doyle, “Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (Makalah diajukan pada pertemuan internasional the Society of Biblical Literature, Berlin, Jerman, 19–22 Juni 2002). Laman 13 Evanston Public Library Board of Trustees, “Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A Decade of Outreach,” Evanston Public Library, dalam http://www.epl.org/library/strategic-plan00.html (diakses tanggal 1 Juni 2005). Jurnal, Majalah atau Surat Kabar Maya 14 Mark A Hlatky et al., “Quality-of-Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women after Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study (HERS) Trial”, dalam Journal of the American Medical Association 287, No. 5 (2002), atau http:// jama.ama-assn.org/issues/v287n5/ rfull/joc10108.html#aainfo (diakses tanggal 7 Januari 2004). Komentar Weblog 15 Komentar Peter Pearson tentang “The New American Dilemma: Illegal Immigration,” The BeckerPosner Blog, diposting 6 Maret 2006, dalam http://www.becker-posner-blog.com/archives/2006/03/ the_new_america.html#c080052 (diakses tanggal 28 Maret 2006). Surat Elektronik 16 Surat elektronik Ibu Pengetahuan kepada Penulis, 31 Oktober 2005. Item dalam Basis Data Maya 17 Pliny the Elder, The Natural History, John Bostock dan HT Riley (eds.), dalam the Perseus Digital Library, http://www.perseus.tufts.edu/cgi-bin/ptext?lookup= Plin.+Nat.+1.dedication (diakses tanggal 17 November 2005). Wawancara 18 Wawancara dengan Bapak Sukailmu, Jakarta, 1 Januari 2010. 6.
Tabel. Tabel, gambar, bagan dan ilustrasi harus mencantumkan dengan jelas nomor tabel/gambar/ bagan/ilustrasi secara berurutan, judul serta sumber data. Keterangan tabel/gambar/bagan/ ilustrasi diletakkan persis di bawah tabel/gambar/bagan/ilustrasi bersangkutan.
7.
Biodata. Penulis wajib menyertakan curriculum vitae dan foto diri.
8.
Pengiriman. Tulisan dikirim dalam dua bentuk, yaitu 1) file elektronik dan 2) naskah tercetak (2 kopi) ditujukan kepada: a. File elektronik :
[email protected];
[email protected] b. Naskah tercetak: Pemimpin Redaksi Prisma, Gedung LP3ES, Jl. Letjen S Parman 81, Jakarta 11420, Indonesia.
9.
Nomor bukti. Setiap penulis akan menerima nomor bukti penerbitan.
10. Hak cipta. Dengan publikasi lewat Prisma, maka penulis menyerahkan hak cipta (copyright) artikel secara utuh (termasuk abstrak, tabel, gambar, bagan, ilustrasi) kepada Prisma, termasuk hak menerbitkan ulang dalam semua bentuk media.
Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi
Setelah lebih dari 10 tahun tidak terbit, kini Prisma kembali hadir sebagai bacaan ilmiah populer setiap tiga bulan. Prisma diterbitkan oleh LP3ES, sebuah institusi pelopor gerakan LSM di Indonesia yang aktif di bidang penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial. Terbit pertama kali pada 1971 hingga 1998, Prisma selalu menjadi bacaan yang ditunggu komunitas intelektual, akademisi, penentu kebijakan, maupun dunia usaha. Prisma dulu, dan kini, bermaksud menjadi media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi, perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Prisma berisi pemikiranpemikiran alternatif, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinil yang kritis dan segar. 2010 ISSN 0301-6269
LP3ES
Terbit tiga bulanan Harga: Rp 30.000
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
FORM BERLANGGANAN Kepada Yth. Sekretaris Redaksi Prisma Jl. S. Parman 81, Slipi, Jakarta Barat 11420, Indonesia Tel: (6221) 567 4211; Fax: (6221) 568 3785 Email:
[email protected];
[email protected]
; Ya, saya ingin berlangganan Prisma sejumlah 6/12* penerbitan, mulai dari edisi No. ______ Tahun ______ s/d No. ______ Tahun ______ Harga Prisma untuk: 6 Nomor atau 12 Nomor *)
*
Rp 180.000 Rp 360.000*
Coret yang tidak perlu
Akan saya transfer ke rekening Prisma: Bank Mandiri KCP RSKD, Jakarta. Nomor rekening: 116-00-0526-169-9 a/n LP3ES Nama pelanggan: _________________________________________________________ Umur: _____________ Profesi:__________________________________________________ Alamat pengiriman: _________________________________________________________ _____________________________________________________________________________ Kota/Propinsi: __________________Kode pos: ________ Tel: ____________________ Fax: _____________________ E-mail: ___________________________________________
Prisma, sebuah bacaan ilmiah populer yang ditunggu kehadirannya oleh komunitas intelektual, akademisi, penentu kebijakan, maupun dunia usaha. Prisma berisi pemikiran-pemikiran alternatif, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar tentang masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Senjakala Kapitalisme dan Krisis Demokrasi Prisma Vol. 28, No. 1, Juni 2009: Vedi R Hadiz menuntut pengurangan atau pembatalan sebagian utang luar negeri. Sri Mulyani Indrawati berdialog sambil mencari keseimbangan peran negara dan pasar. Daniel Dhakidae menyoal partai politik di persimpangan jalan.
Menuju Indonesia Masa Depan Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober 2009: A Made Tony S memprediksi menguatnya politik kartel. Ariel Heryanto menelusuri budaya pop Indonesia. Dede Oetomo merefleksi manusia Indonesia.
Meninjau Kembali Pertahanan Indonesia Prisma Vol. 29, No. 1, Januari 2010: Andi Widjajanto mengevaluasi doktrin pertahanan Indonesia. Agus Widjojo membedah agenda reformasi pertahanan. Dwi Setyo Irawanto membangunkan raksasa tidur.
Prisma tersedia di toko-toko buku terdekat di kota anda atau hubungi kami di:
LP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Jl. Letjen. S. Parman 81, Slipi, Jakarta 11420. Telp. (6221) 5674211, Faks. (6221) 5683785 Email:
[email protected];
[email protected]; ISSN 0301-6269 Terbit tiap tiga bulan (Januari, April, Juli, Oktober)
Harga: Rp 30.000/eks.