3
EMISI GAS RUMAH KACA DARI PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DAN PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN: SINTESIS LIMA LOKASI PENELITIAN
GREENHOUSE GASES EMISSIONS FROM PEAT LAND USE AND AMELIORANT APPLICATION: SYNTHESIS OF FIVE RESEARCH SITES Prihasto Setyanto, Titi Sopiawati, Terry Ayu Adriani, Ali Pramono, Anggri Hervani, Sri Wahyuni, A. Wihardjaka Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jl. Jakenan-Jaken Km 5, Jakenan, Pati 59182
Abstrak Konversi lahan gambut menjadi areal pertanian dapat menurunkan kualitas gambut, produktivitas gambut, dan meningkatkan pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Ameliorasi gambut adalah salah satu cara untuk memperbaiki kualitas gambut dan mengendalikan emisi gas rumah kaca. Kegiatan percobaan lapang dilaksanakan di lima lokasi gambut, yaitu Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua pada tahun 2013 dan 2014. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui emisi gas rumah kaca dari pemberian bahan amelioran di lahan gambut. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4-5 ulangan dan perlakuan bahan amelioran. Fluks gas rumah kaca diukur menggunakan alat kromatografi gas. Amelioran tandan kosong sawit hanya efektif menurunkan emisi CO 2 dari lahan gambut Riau pada tanaman sela nenas. Amelioran tandan kosong kelapa sawit paling efektif menurunkan emisi CO2 di gambut Jambi yang digunakan untuk budidaya tumpangsari kelapa sawit dan nenas, yaitu sebesar 35% di piringan dan 13% di tanaman sela nenas. Bahan amelioran dolomit efektif menurunkan fluks CO2 pada tanaman nenas di lahan gambut Kalimantan Barat sebesar 1,03 t CO2 ha-1 musim-1. Bahan amelioran pupuk gambut efektif menurunkan fluk CO 2 sebesar 15% di tanaman sela nenas yang ditumpangsarikan dengan karet di lahan gambut Kalimantan Tengah. Emisi GRK dari gambut dengan pertanaman sagu di Papua terpantau berkisar 4,5-25,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e ha-1 tahun-1. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan amelioran tidak konsisten menurunkan emisi gas rumah kaca. Kata kunci: Emisi, gas rumah kaca, gambut, amelioran, piringan, tanaman sela Abstract Peat land conversion to agricultural areas could reduce peat quality and productivity, and increase atmospheric greenhouses gases (GHG) emissions. Peat amelioration is one of efforts to improve peat productivity and to mitigate greenhouse gases emissions. The field experiment was conducted in five peat land areas (Riau, Jambi, West Kalimantan, Central Kalimantan, Papua) during 2013-2014. The objective of research was to determine greenhouse gases emission from peat land use and ameliorant application. The experiment was arranged using
45
Prihasto Setyanto et al.
randomized block design with 4-5 replicates and some ameliorant treatments. Gas sampling was taken using closed chamber method and analysed with micro gas chromatography. The ameliorant of empty bunches palm oil only reduced CO2 effectively on intercropping of pinneaple from peat land in Riau. The ameliorant of oil palm bunches decreased effectively CO2 emission in peat land in Jambi on multiple cropping of oil palm and pinneaple as much as 35% in oil palm circular and 13% in pinneaple intercrop.. In peat land of West Kalimantan, dolomite ameliorant reduced effectively CO2 flux on pinneaple crop as much as 1 t CO2 ha-1 season-1. The peat fertilizer decreased effectively CO2 flux as much as 15% in multiple cropping of rubber plant and pinneaple in peat land of Central Kalimantan. Greenhouse gases emission from Papua peatland that be used for sago plantation ranged 4.5-25.5 g CO2-e m-2 day-1 or 16-93 t CO2-e ha-1 year-1. This research demonstrates that the use of ameliorants do not consistently reduce GHG emissions from peat decomposition. Keywords: emission, greenhouse gas, peat land, ameliorant, circular, intercrop
PENDAHULUAN Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem spesifik yang terbentuk akibat laju humifikasi lebih besar daripada laju dekomposisi bahan organik dari sisa-sisa tumbuhan /vegetasi. Pada kondisi anaerob, dekomposisi bahan organik berjalan lambat sehingga penumpukan bahan organik menjadi lebih tebal (Hikmatullah et al., 2013). Luas lahan gambut di Indonesia adalah 14.905.574 ha yang sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Balitbangtan, 2011). Dari luasan gambut tersebut sekitar 33,1% dipertimbangkan layak untuk budidaya tanaman pertanian (Agus dan Subiksa, 2008). Sebagian dari luasan gambut tersebut telah dimanfaatkan untuk budidaya pertanian khususnya karet dan tanaman hortikultura (Subiksa, 2013). Lahan gambut dapat menyimpan karbon sebesar 3.000 t ha -1. Keragaman simpanan karbon dalam gambut ditentukan oleh kedalaman gambut, kematangan gambut, bobot isi, kadar abu, dan vegetasi di atasnya (Dariah et al., 2013). Cadangan karbon dalam gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua masing-masing adalah 22,3 Gt; 11,3 Gt dan 3,6 Gt (Subiksa, 2013). Simpanan karbon bersifat labil, maka konversi gambut alami menjadi areal budidaya tanaman pertanian dapat menurunkan kualitas gambut permasalahan sifat fisik dan kimia gambut, penurunan cadangan karbon, dan pelepasan gas-gas rumah kaca ke atmosfer. Kehilangan karbon rata-rata dari oksidasi gambut secara hayati adalah 4,5 t C ha-1 tahun-1 dari kebakaran gambut dan 7,9 t C ha-1 tahun-1 dari pembukaan hutan (Hooijer et al., 2014). Laju konversi gambut meningkat cepat di beberapa provinsi dengan areal gambut luas seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Misal di
46
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Riau sekitar 1,83 juta ha atau 57% dari luas total gambut 3,2 juta ha telah terkonversi pada periode 1982-2007 (Agus dan Subiksa, 2008). Karena sifatnya yang rapuh, maka pengelolaan gambut sebagai lahan pertanian yang produktif dan berkelanjutan harus sesuai dengan karakteristik dan sifatnya mempertimbangkan kondisi hidrologinya. Keberadaan asam-asam fenolik dalam gambut mengakibatkan kemasaman gambut sangat tinggi (pH 3-4), produktivitas rendah, dan toksik bagi tanaman. Beberapa asam organik hasil degradasi lignin yang terkandung dalam gambut adalah asam vanilat, ρkumarat, ρ-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, dan asam siringat (Tsutsuki dan Kondo, 1995; Hartatik et al., 2004). Salah satu upaya memperbaiki kualitas dan produktivitas gambut adalah melalui ameliorasi. Ameliorasi gambut bertujuan untuk mengurangi dampak buruk asam-asam organik melalui pemberian bahan-bahan yang mengandung kation polivalen seperti Fe, Cu, Al, Zn yang berfungsi sebagai pengkelat asam-asam organik tersebut (Hartatik, 2013). Kelasi asam-asam organik dengan bahan amelioran diduga dapat menekan pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) dari gambut. Gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari lahan gambut adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Kontribusi gas CO2, CH4, N2O terhadap pemanasan global masing-masing adalah 55%, 15%, 6%. Karbon dioksida (CO2) terbentuk melalui proses respirasi tanaman dan respirasi akar oleh mikroorganisme. CO2 merupakan bahan utama dalam proses fotosintesis, yaitu konversi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Metana (CH4) terbentuk melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik dalam tanah dan reduksi CO2 dan H2 yang melibatkan mikroorganisme methanogen (Methanobacterium, Methanosarcina, Methanobrevibacter, Methanoculleus, Methanogenium, Methanosaeta dan Methanospirillum). Dinitrogen oksida (N2O) terbentuk melalui proses mikrobiologis nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam tanah. Bahan organik yang telah mati dirombak menjadi CO2 dan H2O, dan sebagian hasil perombakan bahan organik disimpan dalam bentuk C-organik dalam tanah dan direspirasikan dalam bentuk CO2. Proses penyerapan CO2 dari atmosfer ke dalam tanah secara biotik dan pelepasan CO2 dari tanah kembali ke atmosfer terjadi melalui proses difusi dan dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kadar air dalam tanah. Stabilitas gambut dapat ditingkatkan dengan ameliorasi yang dapat menekan laju dekomposisi gambut dan pembentukan gas rumah kaca. Menurut Subiksa (2013), bahan amelioran berperan menurunkan emisi GRK melalui kompleksasi asam-asam organik baik alifatik maupun aromatik. Emisi GRK sebagian besar berasal dari gugus C alifatik akibat hancurnya ikatan karbon oleh aktivitas mikroba. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui emisi gas rumah kaca dari penggunaan lahan gambut yang diberi berbagai bahan amelioran.
47
Prihasto Setyanto et al.
BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan gambut di lima provinsi (Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Papua) pada bulan April 2013-Juni 2014 (Tabel 1). Percobaan lapang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan perlakuan pemberian bahan amelioran, seperti terlihat dalam Tabel 2. Tabel 1. Lokasi percobaan di lahan gambut terdegradasi di lima provinsi di Indonesia
1
Kab. Pelalawan, Riau
Telok Ogong, Kec. Bandar Sei Kijang
0,691137 LU 102,34488oBT
Sifat/ketebalan Gambut Saprik-Hemik 4-6 m
2
Kab. Muaro Jambi, Jambi
Arang-arang, Kec. Kumpeh
01o40’40,79”LS 97o48’48,56”
Hemik- Saprik 1,5 – 4m
3
Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah
Jabiren, Kec. Jabiren
02o30’30”LS 114o09’30”
Hemik- Saprik 5-7 m
4
Kab. Kuburaya, Kalimantan Barat
Banjarsari,Rasau jaya II, Kec Rasau Jaya
00o14’27,0”LS 109o24’44,7” BT
Saprik/Hemik 3-4m
5
Kab. Mimika, Papua
Kampung Naena Muktipura Distrik Kuala Kencana
04o34,086’ LS 136o43,737’ BT
Hemik-Fibrik 3-4 m
No.
Kabupaten/ Provinsi
Desa/ Kecamatan
Koordinat o
Emisi GRK diukur secara langsung dari lahan gambut dengan metode close chamber technique yang diadopsi dari IAEA (1993). Pengambilan contoh GRK dilakukan secara manual di lapangan menggunakan sungkup yang terbuat dari kaca mika dengan kaki-kaki yang terbuat dari aluminium. Untuk menghindari kebocoran sungkup dilengkapi dengan penampang yang akan dipasang ditanah gambut. Sungkup juga dilengkapi dengan fan dan termometer. Fan berfungsi untuk meng-homogenkan konsentrasi gas dalam sungkup. Termometer dipasang pada lubang yang telah tersedia di bagian atas sungkup digunakan untuk mengukur perubahan suhu di dalam sungkup. Tabel 2. Perlakuan bahan amelioran di lokasi ICCTF Fase II Uraian Perlakuan bahan amelioran
Jumlah ulangan
Riau
Jambi
Kontrol Tandan kosong sawit Pupuk gambut Pupuk kandang dari kotoran sapi Cara petani 4
Pupuk gambut Pupuk kandang dari kotoran ayam Tandan kosong sawit Kontrol 4
Kalimantan Barat Pupuk gambut Pupuk kandang dari kotoran ayam Dolomit Kontrol Cara petani 5
Kalimantan Tengah Kontrol Pupuk gambut Pupuk kandang dari kotoran ayam Tanah mineral 4
Papua -
-
Posisi pengambilan contoh gas disesuaikan dengan agroekologi masing-masing lokasi ICCTF Fase II, yaitu di piringan tanaman utama, tanaman sela, dan di antara tanaman utama. Contoh gas diambil pada pagi dan siang hari dengan menggunakan
48
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
syringe berkatup volume 10 ml dan interval waktu pengambilan tiap 3 menit yaitu menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 setelah pemasangan septum pada sungkup bagian atas (Tabel 3). Syringe dibungkus dengan kertas perak untuk menghindari terjadinya penurunan konsentrasi gas karena pengaruh panas dan diberi label. Ujung syringe ditutup dengan rubber grip setelah penggambilan contoh gas dan sebaiknya dipindahkan ke vial yang vakum. Selama pengambilan contoh gas, perubahan suhu dalam sungkup dan head space selalu dicatat. Tabel 3. Pengambilan contoh gas di lima provinsi lokasi ICCTF Fase II Lokasi Riau
Waktu sampling Pagi (06.00-08.00
Interval waktu
Pagi (06.00-08.00
Piringan dan tanaman sela
Kelapa sawit (utama) dan nenas (sela)
3 menit
Piringan dan tanaman sela
Kelapa sawit (utama) dan nenas (sela)
3 menit
Di antara tanaman
3 menit
Piringan dan tanaman sela
3 menit
Piringan dan di antara tanaman
Siang (12.00-14.00) Kalimantan Barat
Pagi (06.00-08.00
Kalimantan Tengah
Pagi (06.00-08.00
Papua
Pagi (06.00-08.00
Siang (12.00-14.00)
Siang (12.00-14.00)
Siang (12.00-14.00)
Tanaman
3 menit
Siang (12.00-14.00) Jambi
Posisi sampling
Jagung dan nenas
Karet (utama) dan nenas (sela) Sagu
Sebelum analisis gas, instrumen kromatografi gas (GC) dikalibrasi menggunakan gas standar dengan konsentrasi mendekati konsentrasi GRK di atmosfer, yaitu 1,7 ppm untuk CH4, dan 380 ppm untuk CO2. Contoh gas dalam syringe diinjeksikan ke dalam Micro GC CP 4900 yang dilengkapi thermal conductivity detector (TCD). Portable micro GC dapat dioperasikan secara langsung di lapangan. Area gas dari contoh gas yang dianalisis akan keluar secara simultan. Gas pembawa (carrier gas) yang digunakan adalah helium dengan kategori UHP (ultra high purity) dengan kemurnian gas 99,99%. Hasil analisis berupa kromatograf yang menunjukkan konsentrasi gas (ppm). Laju perubahan konsentrasi gas per satuan waktu tersebut digunakan dalam perhitungan besarnya fluks GRK. Fluk CH4 dapat ditetapkan menggunakan alat kromatografi gas dengan flame ionization detector (FID). Perhitungan fluks CO2 dan CH4 mengikuti persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:
E
Bm Vm
x
Csp V 273........................................ 2 (1) x x t A T 273.2
49
Prihasto Setyanto et al.
Keterangan : E = emisi CO2 atau CH4 (mg m-2 hari-1) V = volume sungkup (m3) A = luas dasar sungkup (m2) T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC) Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CH4 dan CO2 (ppm menit-1) Bm = berat molekul gas CH4 dan CO2 Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41 liter Data dianalisis secara statistik menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan analisis beda nyata terkecil taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Riau Gambar 1 terlihat bahwa fluk CO2 sebelum pemberian amelioran tertinggi pada perlakuan praktis petani diikuti pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan), tandan kosong kelapa sawit (tankos). Umumnya fluk CO2 pada petakan yang akan diberi bahan amelioran adalah lebih tinggi daripada petakan tanpa bahan amelioran (kontrol). Fluk CO 2 di piringan tanaman kelapa sawit saat 2-3 minggu setelah pemberian bahan amelioran tertinggi pada perlakuan cara petani, namun saat 2 bulan setelah pemberian amelioran yang tertinggi adalah pada perlakuan pupuk gambut (pugam). Kurva fluk CO 2 setelah pemberian bahan amelioran pertama (awal Agustus 2013) menurun hingga pengukuran fluk tanggal 20 Januari 2014 dan meningkat pada pengukuran fluk tanggal 21 Februari 2014. PIRINGAN KELAPA SAWIT
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1 )
30000 Aplikasi Amelioran I
25000
Aplikasi Amelioran II
20000 15000 10000 5000 0 8-Jun
9-Jul
19-Agt 18-Sep 21-Okt 19-Nov 18-Des 20-Jan 21-Feb 20-Mar 17-Apr 20-Mei 19-Jun 2013
2014 Pengamatan
Pukan
Pugam
Tankos
Kontrol
Praktis petani
Gambar 1. Pola fluk CO2 pada piringan kelapa sawit di lahan gambut di Riau (pukan=pupuk kandang, pugam= pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit)
50
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Fluk CO2 di tanaman sela pada pertanaman kelapa sawit sebelum pemberian amelioran yang tertinggi adalah petakan tanpa bahan amelioran selama pengamatan tahun 2013 (Gambar 2), sedangkan selama pengamatan tahun 2014 pemberian amelioran cara petani relatif menghasilkan fluk CO2 lebih tinggi daripada amelioran lainnya. Pengamatan fluk GRK tahun 2014 menunjukkan bahwa pemberian bahan amelioran cenderung menghasilkan fluk CO2 lebih tinggi daripada tanpa pemberian amelioran (kontrol). Fluk CO2 pada gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit berkisar 6,7 – 26,2 g CO2 m-2 hari-1 atau 24 – 95 t CO2 ha-1 tahun-1 pada piringan kelapa sawit dan 4,5 – 14,4 g CO2 m-2 hari-1 atau 16 – 53 t CO2 ha-1 tahun-1 pada tanaman sela. Tingginya fluk CO2 sebelum pemberian amelioran di piringan tanaman menunjukkan bahwa pelepasan CO2 di piringan berasal dari hasil respirasi akar tanaman, respirasi mikroba dan dekomposisi bahan organik.
TANAMAN SELA
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1 )
30000 Aplikasi Amelioran I
25000
Aplikasi Amelioran II
20000 15000 10000 5000 0 8-Jun
9-Jul
19-Agt 18-Sep 21-Okt 19-Nov 18-Des 20-Jan 21-Feb 20-Mar 17-Apr 20-Mei 19-Jun 2013 2014 Pengamatan Pukan
Pugam
Tankos
Kontrol
Praktis petani
Gambar 2. Pola fluk CO2 pada tanaman sela dari kelapa sawit di lahan gambut di Riau (pukan=pupuk kandang, pugam= pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit) Pemberian bahan amelioran ke dalam gambut dapat menurunkan pelepasan gas rumah kaca terutama CO2. Fluk CO2 setelah pemberian amelioran berkisar 3,6 – 16,7 g CO2 m-2 hari-1 pada piringan kelapa sawit dan 3,3 – 13,5 g CO2 m-2 hari-1 pada tanaman sela nenas. Dibandingkan tanpa amelioran (kontrol), pemberian amelioran meningkatkan fluk CO2 terutama pada piringan kelapa sawit, sebaliknya pada tanaman sela nenas fluk CO2 turun dengan pemberian bahan amelioran terutama pupuk kandang dan tandan kosong sawit (Tabel 4). Bahan amelioran yang efektif menurunkan emisi CO2 di lahan gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit adalah pupuk kandang dari kotoran ayam dan tandan kosong kelapa sawit. Amelioran pupuk gambut justeru meningkatkan emisi CO 2
51
Prihasto Setyanto et al.
(Tabel 4). Demikian juga pemberian amelioran cara petani juga meningkatkan emisi CO 2. Dibandingkan kontrol, pemberian amelioran pupuk kandang dan tandan kosong kelapa sawit menurunkan emisi CO2 masing-masing sebesar 10,7 dan 39,3%. Tabel 4. Fluk CO2 dari lahan gambut di Riau yang diberi perlakuan bahan amelioran Perlakuan amelioran
bahan Piringan
Emisi CO2 (t CO2 ha-1 tahun-1) Tanaman sela Piringan+sela1)
Kontrol 28± 6 28±12 28±9 (n=88) Pupuk kandang 35±13 23± 8 25±9 (n=88) Pupuk gambut 41±12 28± 8 31±7 (n=88) Tandan kosong sawit 29± 4 27± 9 17±8 (n=88) Cara petani 32± 5 33±14 33±9 (n=88) 1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO 2 total = (0,2 x emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran
Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Jambi Sebelum pemberian amelioran, fluk CO2 dari lahan gambut yang digunakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit berkisar 0,4-3,5 g CO2 m-2 hari-1 di piringan kelapa sawit dan 0,6 – 3,6 g CO2 m-2 hari-1 di tanaman sela. Fluk CO2 di piringan meningkat setelah pemberian amelioran dan besarnya fluk CO2 relatif lebih tinggi dibandingkan sebelum pemberian amelioran (Gambar 3). Pada Gambar 3 terlihat bahwa fluk CO2 piringan pada petakan tanpa amelioran (kontrol) lebih tinggi daripada petakan yang diberi amelioran hingga pengukuran tanggal 2 Januari 2014. Pola fluk CO2 setelah pemberian amelioran ke-2 (Januari 2014) adalah lebih tinggi dengan pemberian bahan amelioran dibandingkan tanpa amelioran (kontrol). Amelioran pupuk gambut menyebabkan fluk CO2 lebih tinggi daripada amelioran pupuk kandang atau tandan kosong kelapa sawit setelah pemberian amelioran yang kedua. Pemberian bahan amelioran efektif menekan fluk CO2 selama ± 6 bulan, dan setelah 6 bulan fluk CO2 piringan yang diberi amelioran lebih rendah daripada kontrol. Gambar 4 terlihat bahwa fluk CO2 pada tanaman sela sebelum diberi amelioran adalah rendah yang berkisar 0,6-3,6 g CO2 m-2 hari-1. Fluk CO2 cenderung naik setelah diberi amelioran dan tampak turun saat pengukuran 2 Januari 2014. Bahan amelioran diberikan lagi setelah bulan Januari 2014 yang meningkatkan fluk CO 2 pada tanaman sela. Fluk CO2 pada tanaman sela nenas di petakan yang diberi amelioran kedua lebih tinggi daripada petakan kontrol.
52
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
PIRINGAN KELAPA SAWIT
Fluk CO 2 (mg m-2 hari-1)
20000 Aplikasi Amelioran I
Aplikasi Amelioran II
16000 12000 8000 4000 0 2-Jul
19-Jul
2-Sep
3-Okt
6-Nov
30-Nov
2-Jan
5-Feb
12-Mar 15-Apr
2013
20-Mei 25-Jun
2014 Pengamatan Kontrol
Pugam
Tankos
Pukan
Gambar 3. Pola fluk CO2 pada piringan kelapa sawit di lahan gambut di Jambi (pugam=pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit, pukan=pupuk kandang)
TANAMAN SELA
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
20000 16000
Aplikasi Amelioran I Aplikasi Amelioran II
12000 8000 4000 0 2-Jul
19-Jul
2-Sep
3-Okt 2013
6-Nov
30-Nov
2-Jan
5-Feb
12-Mar 15-Apr 2014
20-Mei 25-Jun
Pengamatan Kontrol
Pugam
Tankos
Pukan
Gambar 4. Pola fluk CO2 pada tanaman sel dari kelapa sawit di lahan gambut di Jambi (pugam=pupuk gambut, tankos=tandan kosong kelapa sawit, pukan=pupuk kandang) Tabel 5 memperlihatkan bahwa pemberian amelioran di piringan kelapa sawit nyata menurunkan emisi CO2 dari lahan gambut di Jambi (p<0,05), namun cenderung meningkatkan emisi di tanaman sela nenas. Di piringan tanaman kelapa sawit, pemberian bahan amelioran menurunkan emisi CO2. Amelioran tandan kosong kelapa sawit adalah paling efektif menurunkan emisi CO2 sebesar 35% diikuti pupuk kandang yang menurunkan emisi CO2 sebesar 29% (Tabel 5). Bahan amelioran dapat menurunkan fluk
53
Prihasto Setyanto et al.
CO2 melalui proses kompleksasi asam-asam organik, baik alifatik maupun aromatik. Sebagian besar emisi karbon berasal dari gugus C alifatik karena hancurnya ikatan karbon oleh aktivitas mikroba menghasilkan gas CO2 dan CH4. Bahan aktif pugam adalah kation polivalen yaitu Fe, Al, Cu dan Zn yang bisa membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik. Kation polivalen akan menjadi inti koordinasi dan mengikat beberapa asam organik monomer membentuk senyawa komplek (Subiksa, 2013). Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit paling efektif menurunkan emisi CO2 total di lahan gambut di Riau yaitu sebesar 25% dibandingkan tanpa amelioran (Tabel 5). Kandungan kation polivalen dalam pupuk gambut mampu meningkatkan stabilitas gambut yang memperkecil pelepasan CO2 ke atmosfer (Subiksa, 2013). Pemberian amelioran pupuk kandang dan tandan kosong sawit cenderung meningkatkan emisi CO2 di tanaman sela nenas. Tabel 5. Fluk CO2 dari lahan gambut di Jambi yang diberi perlakuan bahan amelioran Perlakuan bahan amelioran
Emisi CO2 (t CO2 ha-1 tahun-1) Piringan
Tanaman sela
Piringan+sela1)
Kontrol 27±9 13± 2 16±1 (n=80) Pupuk gambut 26±5 17± 6 19±4 (n=80) Tandan kosong sawit 18±3 11± 2 12±1 (n=80) Pupuk kandang 19±3 17±11 17±9 (n=80) 1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO 2 total = (0,2 x emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran
Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Kalimantan Barat Fluk CO2 dari lahan gambut di Kalimantan Barat pada akhir musim penghujan berkisar 2,6-12,7 g CO2 m-2 hari-1 terutama sebelum diberi bahan amelioran. Pemberian bahan amelioran menurunkan fluk CO2 selama pertumbuhan tanaman jagung dan fluk meningkat setelah panen jagung (Gambar 5). Ini menunjukkan bahwa pemberian bahan amelioran di gambut Kalimantan Barat perlu diberikan setiap musim tanam tanaman pangan atau hortikultura. Pada Gambar 5 terlihat bahwa fluk CO 2 cenderung lebih tinggi selama pertumbuhan nenas dibandingkan selama pertumbuhan tanaman jagung. Pemberian bahan amelioran pugam terlihat menghasilkan fluk CO 2 tinggi terutama saat bera dan selama pertumbuhan tanaman nenas.
54
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
20000 16000
JAGUNG Aplikasi Amelioran I
BERA
NANAS
Aplikasi Amelioran II
12000 8000 4000 0 21-Mar 9-Apr 10-Jun 7-Jul 12-Agt 10-Sep 13-Nov 20-Nov 10-Des 12-Jan 10-Feb 8-Mar 2013
5-Jun
2014 Pengamatan
Pugam
Pukan
Dolomit
Kontrol
Cara Petani
Gambar 5. Pola fluk CO2 pada tanaman jagung dan nenas di lahan gambut di Kalimantan Barat (pugam=pupuk gambut; pukan pupuk kandang) Tabel 6 memperlihatkan bahwa pemberian amelioran ke dalam gambut di Kalimantan Barat menurunkan emisi CO2. Pada tanaman jagung, fluk CO2 pada pemberian bahan amelioran umumnya lebih tinggi daripada tanpa bahan amelioran (kontrol). Emisi CO2 tertinggi pada tanaman jagung terjadi pada petakan yang diberi bahan amelioran pupuk gambut. Pada tanaman nenas, pemberian bahan amelioran berpengaruh positif maupun negatif terhadap emisi CO2. Emisi CO2 pada petakan dengan pupuk kandang kotoran ayam atau petakan dengan pupuk gambut lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan pemberian dolomit atau praktis petani mengemisi CO 2 lebih rendah daripada kontrol (Tabel 6). Bahan amelioran dolomit efektif menurunkan emisi CO2 pada tanaman nenas di gambut sebesar 1 t CO2 ha-1 musim-1 dibandingkan tanpa pemberian bahan amelioran.
Tabel 6. Fluk CO2 dari lahan gambut di Kubu Raya, Kalimantan Barat diberi perlakuan bahan amelioran Perlakuan bahan amelioran
Emisi CO2 (t CO2 ha-1 musim-1) Jagung* Nenas*
Kontrol 2,2±0,6 Pupuk kandang 2,4±0,8 Pupuk gambut 2,7±1,0 Dolomit 2,4±0,5 Cara petani 2,2±0,7 * Umur panen jagung 3 bulan dan umur nenas 8 bulan
11,9±5,0 15,2±4,4 15,3±6,4 10,8±1,9 11,3±1,9
55
Prihasto Setyanto et al.
Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Kalimantan Tengah Gambut di Kalimantan Tengah melepaskan gas rumah kaca CO 2 ke atmosfer ratarata berkisar 8,9-15,9 g CO2 m-2 hari-1 atau 33-58 t CO2 ha-1 tahun-1. Pemberian bahan amelioran menurunkan fluk CO2 hingga pengukuran fluk tanggal 23 November 2013, namun cenderung meningkat setelah pemberian amelioran yang kedua (akhir bulan November 2013) (Gambar 6 dan 7). Pada pengamatan Mei 2014, fluk CO 2 tertinggi di piringan karet terjadi pada perlakuan pugam dan yang terendah pada perlakuan praktis petani diikuti pupuk kandang. Sebaliknya pada pengamatan Mei 2014 di tanaman sela nenas, pemberian amelioran tampak menurunkan fluk CO2. PIRINGAN KARET
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
24000 Aplikasi Amelioran I
Aplikasi Amelioran II
20000 16000 12000 8000 4000 0 11-Jun
31-Jul
11-Sep
23-Nov
4-Mar
2-Apr
2013
15-Mei
2014
Pengamatan Kontrol
Pugam
Pukan
Mineral
Praktis petani
Gambar 6. Pola fluk CO2 pada piringan karet di lahan gambut di Kalimantan Tengah (pugam=pupuk gambut; pukan=pupuk kandang)
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
24000
TANAMAN SELA Aplikasi Amelioran I Aplikasi Amelioran II
20000 16000 12000 8000 4000 0 11-Jun
31-Jul
11-Sep
23-Nov
4-Mar
2-Apr
2013
15-Mei
2014
Pengamatan Kontrol
Pugam
Pukan
Mineral
Gambar 7. Pola fluk CO2 pada tanaman sela dari karet di lahan gambut di Kalimantan Tengah (pugam=pupuk gambut; pukan=pupuk kandang)
56
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Tabel 7 memperlihatkan keragaman pengaruh pemberian bahan amelioran pada gambut yang digunakan untuk budidaya tumpangsari karet dengan nenas. Pemberian pupuk kandang dan pupuk gambut meningkatkan emisi CO 2 di piringan karet. Bahan amelioran yang efektif menurunkan emisi CO2 pada tanaman sela nenas adalah pupuk gambut dan tanah mineral. Amelioran pupuk gambut dan tanah mineral menurunkan emisi CO2 masing-masing sebesar 15 dan 3%. Amelioran pupuk kandang meningkatkan emisi CO2 di tanaman sela. Dibandingkan tanpa pemberian amelioran, pupuk gambut dan tanah mineral efektif menurunkan emisi CO2 pada tumpangsari karet dan nenas di lahan gambut di Jabiren, Kab. Pulang Pisau.
Tabel 7. Fluk CO2 dari lahan gambut di Jabiren Kalimantan Tengah yang diberi perlakuan bahan amelioran Perlakuan bahan amelioran Kontrol Pupuk kandang Pupuk gambut Tanah mineral Cara petani
Emisi CO2 (t CO2 ha-1tahun-1) Piringan
Tanaman sela
Piringan+sela1)
17±5 21±3 21±9 17±8 14±3
21±4 22±5 18±4 20±7
20±4 (n=56) 22±5 (n=56) 19±5 (n=56) 19±7 (n=56)
1) Asumsi proporsi luasan piringan dan sela adalah 20 dan 80%, maka emisi CO2 total = (0,2 x emisi CO2 piringan) + (0,8 x emisi CO2 tanaman sela); n = jumlah pengukuran
Fluk CO2 dari Lahan Gambut di Papua Gambar 8 memperlihatkan fluktuasi fluk CO2 yang diukur di piringan dan di antara tanaman sagu di Gambut Mimika, Papua Barat. Pada Pengukuran April 2013, fluk CO 2 tinggi dan menurun pada tiga kali pengukuran berikutnya dengan interval 3 bulan. Fluk CO2 pada titik ke-2, ke-3, dan ke-4 relatif lebih tinggi daripada titik-titik lainnya. Ini menunjukkan bahwa lokasi gambut pada bagian pinggiran pertanaman sagu menghasilkan fluk CO2 lebih tinggi daripada bagian yang lebih dalam dari perkebunan sagu. Demikian juga fluk CH4, lokasi yang di daeah pinggiran perkebunan sagu menghasilkan fluk lebih tinggi daripada lokasi yang lebih dalam dalam perkebunan sagu (Gambar 9).
57
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
Prihasto Setyanto et al.
40000
Lok.I
35000
Lok.II Lok.III
30000
Lok.IV
25000
Lok.V
20000
Lok.VI
15000 10000 5000 0 11-Apr-13
17-Jul-13
22-Okt-13
7-Mar-14
Pengamatan
Gambar 8. Fluktuasi fluk CO2 pada tanaman sagu di lahan gambut di Mimika, Papua
Fluks CH4 (mg m-2 hari-1)
Fluk GRK baik CO2 dan CH4 yang diukur pada bulan April 2013 adalah tertinggi dibandingkan pengukuran bulan Juli 2013, Oktober 2013, dan Maret 2014 (Gambar 10). Awal pengukuran fluk GRK tentunya mengusik kondisi gambut, sehingga memacu pelepasan CO2 dan CH4 lebih tinggi dibandingkan saat pengukuran fluk GRK berikutnya.
1000 900 800
Lok.I Lok.II Lok.III
700 600 500 400 300 200 100 0 11-Apr-13
Lok.IV Lok.V Lok.VI
17-Jul-13
22-Okt-13
7-Mar-14
Pengamatan
Gambar 9. Fluktuasi fluk CH4 pada tanaman sagu di lahan gambut di Mimika, Papua
58
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Karbon Dioksida
Fluks CO 2 (mg m-2 hari-1)
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 11-Apr-13
17-Jul-13
22-Okt-13
7-Mar-14
Pengamatan
Metana
Fluks CH4 (mg m-2 hari-1 )
400 350 300 250 200 150 100 50 0 11-Apr-13
17-Jul-13
22-Okt-13
7-Mar-14
Pengamatan
Gambar 10. Fluk CO2 dan CH4 di lahan gambut dengan tanaman sagu di Mimika, Papua
Tabel 8 memperlihatkan bahwa CO2 dan CH4 yang dilepaskan ke atmosfer dari lahan gambut pada pertanaman sagu masing-masing berkisar 3,8-19,4 g CO2 m-2 hari-1 dan 35-287 g CH4 m-2 hari-1. Berdasarkan monitoring fluk GRK yang hanya dilakukan empat kali pengukuran, emisi GRK dari gambut di Mimika Papua dapat dihitung yang berkisar 4,5-25,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e ha-1 tahun-1. Tabel 8. Pemantauan fluk CO2 dan CH4 dari lahan gambut di Mimika, Papua Titik1)
1)
Fluk CO2 (g CO2 m-2 hari-1) Maksimum Minimum
Fluk CH4 (mg CH4 m-2 hari-1) Maksimum Minimum
I II III IV V VI
8,2 24,0 33,3 33,9 10,4 6,9
3,9 3,1 2,3 6,1 3,4 4,6
361 869 98 226 134 36
58 63 20 18 19 33
Rerata
19,4
3,8
287
35
Jarak antar titik adalah 50 m
59
Prihasto Setyanto et al.
KESIMPULAN 1.
Pemberian bahan amelioran di lahan gambut terhadap pelepasan gas rumah kaca terutama CO2 ke atmosfer beragam yang bergantung pada faktor-faktor penentu laju dekomposisi bahan organik, antara lain kemasaman tanah, substrat karbon mudah terdegradasi, kelengasan tanah, dan keberadaan mikroba dalam gambut.
2.
Ameliorasi gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit di Riau cenderung meningkatkan emisi CO2 di piringan tetapi menurunkan emisi CO2 di tanaman sela nenas terutama bahan amelioran tandan kosong kelapa sawit.
3.
Ameliorasi gambut pada tanaman kelapa sawit di Jambi nyata menurunkan emisi CO2 di piringan kelapa sawit. Amelioran tandan kosong kelapa sawit paling efektif menurunkan emisi CO2 di gambut yang digunakan untuk budidaya tumpangsari kelapa sawit nenas dengan laju penurunan sebesar 25%.
4.
Bahan amelioran dolomit efektif menurunkan fluk CO2 sebesar 1,03 t CO2/ha/musim pada tanaman nenas di gambut di Kalimantan Barat.
5.
Bahan amelioran pupuk gambut dan tanah mineral efektif menurunkan fluk CO 2 pada tumpangsari karet dan nenas di lahan gambut Kalimantan Tengah, yaitu masing-masing sebesar 9 dan 3%.
6.
Emisi GRK dari gambut dengan pertanaman sagu di Papua terpantau berkisar 4,525,5 g CO2-e m-2 hari-1 atau 16-93 t CO2-e ha-1 tahun-1.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bappenas yang bekerja sama dengan Kementerian Pertanian dalam International Climate Change on Trust Funds (ICCTF) yang telah menyediakan pendanaan. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada para peneliti dan teknisi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, dan Papua. DAFTAR PUSTAKA Agus, F., dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, H. Syahbuddin, I. Las, and M. van Noodwijk. 2009. Carbon dioxide emission in land use transitions to plantation. Jurnal Litbang Pertanian 28(4): 119-126.
60
Emisi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Lahan Gambut
Balitbangtan. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Kementerian Pertanian. Edisi Desember 2011. Dariah, A., E. Susanti, A. Mulyani, dan F. Agus. 2013. Faktor penduga simpanan karbon pada tanah gambut. Hal. 213-221 Dalam prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hartatik. W. 2013. Distribusi bentuk-bentuk Fe dan kelarutan ameliorant tanah mineral dalam gambut. Hal. 261-273 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J. Sri Adiningsih. 2004. Peningkatan ikatan P dalam kolom tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral dan beberapa jenis fosfat alam. Jurnal Tanah dan Lingkungan 6(1): 22-30. Herman, F. Agus, dan I. Las. 2009. Analisis finansial dan keuntungan yang hilang dari pengurangan emisi karbon dioksida pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Litbang Pertanian 28(4): 127-133. Hikmatullah, H. Hidayat, dan U. Suryana. 2013. Pemetaan detail tanah gambut di demplot Jabiren Kalimantan Tengah mendukung penelitian emisi karbon. Hal. 113-127 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Hooijer, A. S. Page, P. Navratil, R. Vernimmen, M. Van der Vat, K. Tansey, K. Konecny, F. Siegert, U. Ballhorn and N. Mawdsley. 2014. Carbon emissions from drained and degraded peatland in Indonesia and emission factors for measurement, reporting and verification (MRV) of peatland greenhouse gas emissions ‒ a summary of KFCP research results for practitioners. IAFCP, Jakarta, Indonesia. IAEA.1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agriculture. Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA). Subiksa, I.G.M. 2013. Peran pugam dalam penanggulangan kendala fisik lahan dan mitigasi gas rumah kaca dalam system usahatani lahan gambut. Hal. 333-344 Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Tsutsuki, K., and R. Kondo. 1995. Lignin-derived phenolic compounds in different types of peat profiles in Hokkaido. Japan Soil Sci. and Plant Nutr. 41(3): 515-527.
61