PREDIKSI BAHAYA LONGSOR DAN PENILAIAN FAKTOR UTAMA PENYEBAB LONGSOR DI WILAYAH DAS KALI BEKASI BAGIAN HULU
BOANERGES SILVANUS DEARARI DAMANIK A153110021
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Prediksi Bahaya Longsor dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor di Wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015
Boanerges Silvanus Dearari Damanik NRP. A153110021
RINGKASAN BOANERGES SILVANUS DEARARI DAMANIK. Prediksi Bahaya Longsor dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor di Wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu. Dibawah bimbingan BOEDI TJAHJONO dan KUKUH MURTILAKSONO. Tanah longsor merupakan contoh dari proses geomorfologi yang disebut dengan mass wasting atau mass movement, yaitu suatu perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah oleh pengaruh gaya gravitasi. Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh bahaya tanah longsor dapat melahirkan suatu bencana, maka penelitian tentang longsor sangat diperlukan. DAS Kali Bekasi merupakan salah satu DAS yang hanya memiliki tutupan hutan seluas 4 %, sedangkan penggunaan lahan tegalan cukup dominan. Dengan demikian masalah ekologi DAS perlu diperhatikan, terutama bahaya longsor untuk daerah hulu. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi titik-titik longsor di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu dengan pendekatan satuan lahan, (2) memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pendekatan AHP, dan (3) mengetahui faktor-faktor penyebab utama longsor dan memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pembobotan statistik. Metode yang digunakan untuk identifikasi titik longsor mengacu pada jenis satuan lahan yang ada, dimana setiap satu jenis satuan lahan terwakili untuk diobservasi. Adapun untuk memprediksi persebaran spasial bahaya longsor digunakan metode skor dan pembobotan dengan pendekatan AHP dan juga pembobotan secara statistik dengan regresi berganda (multiple regression). Parameter yang digunakan untuk menilai bahaya longsor adalah kemiringan lereng, gangguan (pemotongan) lereng, curah hujan, penutupan lahan, kedalaman pelapukan batuan, dan geologi/jenis batuan. Selanjutnya bahaya longsor dari hasil analisis dibagi ke dalam 3 kelas, yaitu kelas rendah, sedang, dan tinggi. Metode yang digunakan untuk mengetahui faktor utama penyebab longsor adalah dengan analisis statistika regresi logistik ordinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa titik longsor ditemukan di 42 titik, baik ukuran besar/kecil, dengan tipe utama earthflow dan sebagian slide. Hasil analisis untuk memprediksi bahaya longsor dengan pendekatan AHP menunjukkan bahwa daerah penelitian didominasi oleh satuan-satuan lahan yang mempunyai tingkat bahaya longsor ringan seluas 39,49%, tingkat bahaya tinggi seluas 32,21%, dan tingkat bahaya sedang seluas 27,54%, sedangkan dengan pembobotan statistik, luasan terbesar berada pada tingkat bahaya longsor tinggi seluas 43,13%, tingkat bahaya sedang seluas 38,21%, dan tingkat bahaya ringan sebesar 18,66%. Pola persebaran masing-masing kelas bahaya longsor agak berbeda dari kedua metode tersebut, namun secara kualitatif (yang didasarkan pada hasil obsevasi lapangan) hasil dari metode AHP tampak lebih mirip dengan kondisi lapangan. Berdasarkan hasil analisis statistik dari data titik-titik longsor di daerah penelitian, didapatkan bahwa faktor utama yang menyebabkan longsor adalah kemiringan lereng, gangguan (pemotongan) lereng, dan penutupan lahan (land cover). Kondisi pemotongan lereng di daerah penelitian pada umumnya tidak
disertai dengan pembuatan bronjong untuk menjaga kestabilan lereng, sehingga dapat disimpulkan bahwa bahaya longsor antropogenik merupakan bahaya utama di daerah penelitian. Untuk itu program sosialisasi tentang bencana alam dan peningkatan taraf sosial ekonomi masyarakat setempat sangat diperlukan dalam program mitigasi bencana. Kata kunci: bahaya longsor, DAS Kali Bekasi, mitigasi bencana, bentuklahan, satuan lahan
SUMMARY BOANERGES SILVANUS DEARARI DAMANIK. Landslide Prone Area Prediction and The Assessment of Its Main Causes, a Case Study for The Upstream Part of Kali Bekasi Watershed. Supervised by BOEDI TJAHJONO dan KUKUH MURTILAKSONO. Landslide is an example of geomorphological process called mass wasting or mass movement, i.e the displacement of the rock mass, regolith, and soil from a higher place to a lower place by the influence of gravity. Given the impact of the landslide can create a disaster, the research of the landslide is very necessary. The forest cover of Kali Bekasi watershed is only about 4%, while the moor is quite dominant. Thus watershed ecological problems need to be considered, especially for landslides on the upstream. The objectives of this study were (1) to identify the events of landslides on Kali Bekasi watershed using land units approach, (2) to predict the spatial distribution of landslide hazard areas in the upstream part of Kali Bekasi watershed using AHP approach, and (3) to know of its main causes and to predict the spatial distribution of landslide hazard by statistical weighting. The method used to identify the points of landslides refers to the type of land units, each of which represented one type of land units for observation. The method used to predict the spatial distribution of landslide hazards were scoring and weighting with an AHP approach and statistical weighting with multiple regression. For this purpose, six factors were recognized as elements of landslide causes, which is slope, slope disruption, rainfall, land cover, the depth of lithology -weathering, and geology. Furthermore, the danger of landslides from the analysis were divided into three classes, low, medium, and high. The method used to determine the main factors for the landslide is the ordinal logistic regression. Landslides found in the study area were 42 point, both the size of large / small, with main types were earthflow and some slides. Landslide hazards with AHP approach indicates that the study area is dominated by land units with a low landslide hazards level of with an area of 39,49%, high level hazard (32,21%), and the medium level witn an area of 27,54%, while with statistical approach indicated that the study area is dominated by high landslide hazards level with an area of 43,13%, the medium landslide hazard level (38,21%), and the rate of low hazard level is 18,66% . Distribution pattern of each classes of landslide hazards were a little different from both methods, but qualitatively (based on the results of field observation) the results of AHP method is more similar to the field conditions. Based on the results from statistical analysis of the data point on the occurrence of landslides in the research area, it was found that the main factor that caused the landslide were slope, slope disruption (cutting), and land cover. Slope disruption (cutting) conditions in the study area is generally not accompanied by the construction of gabion to maintain the stability of the slope, so that it can be concluded that the hazard of landslides by anthropogenic is the main hazard in the study area. Socialization program on natural disasters and the improvement of
socio-economic conditions of local communities was very necessary for disaster mitigation program. Keywords: landslide hazard, upstream Kali Bekasi watershed, disaster mitigation, landform, land unit
© Hak cipta IPB, tahun 2015 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PREDIKSI BAHAYA LONGSOR DAN PENILAIAN FAKTOR UTAMA PENYEBAB LONGSOR DI WILAYAH DAS KALI BEKASI BAGIAN HULU
BOANERGES SILVANUS DEARARI DAMANIK
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc
Judul Tesis : Prediksi Bahaya Longsor dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor di Wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu Nama : Banerges Silvanus Dearari Damanik NRP : A153110021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan
Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc
Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang sudah melimpahkan kasih dan anugerah-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian yang berjudul “Prediksi Bahaya Longsor dan Penilaian Faktor Utama Penyebab Longsor di Wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu” ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan Juni tahun 2015 di wilayah DAS Kali Bekasi Bagian Hulu, yang memiliki karakteristik fisik lahan yang berpotensi untuk terjadinya bancana longsor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi titik-titik longsor dan memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pendekatan satuan lahan, dan mengetahui faktor utama penyebab longsor di daerah penelitian. Banyak pihak yang telah berkontribusi dan/atau membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan yang mendalam dan ucapan terima kasih kepada para pihak tersebut, yang sebagian dapat kami sebutkan, yaitu: 1. Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc dan Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS selaku komisi pembimbing tesis. Tanpa bimbingan, arahan dan masukan dari beliau berdua maka penulisan tesis ini mungkin tidak dapat terwujud. 2. Dr. Ir. Baba Barus, MSc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan tesis ini. 3. Seluruh staf pengajar PS MBK IPB yang sedari awal memberikan curahan ilmu dan pengetahuan kepada penulis sebagai bekal untuk menjadi manusia yang lebih baik. 4. Teman-teman PS MBK IPB angkatan 2011: Siti Hadjar Kubangun dan Nina Widiana Darodjati. Semoga persahabatan dan persaudaraan ini akan terus berlanjut dimanapun kita berada. 5. Seluruh staf akademik dan administrasi PS MBK yang telah banyak membantu dalam kelancaran pelaksanaan studi dan penyelesaian tesis. 6. Semua teman-teman Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Rani, Mba Reni, Miranti, Alwan, Fatma, Diah, Nurul, yang sudah membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam penulisan tesis ini sampai selesai. Dan juga kepada Ria dan Ega yang sudah membantu memberikan data untuk menyelesaikan tesis ini. 7. Papa, mama, kak Ira, dan bang Indra yang selalu mendorong, memberikan nasehat dan mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan studi dan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima kasih. Bogor, September 2015
Boanerges Silvanus Dearari Damanik
iii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................................. 2 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 3 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3 2 TINJUAN PUSTAKA ....................................................................................... 3 Tanah Longsor ..................................................................................................... 3 Penyebab Tanah Longsor .................................................................................... 3 Lereng .............................................................................................................. 3 Tekstur dan Jenis Tanah .................................................................................. 4 Curah Hujan ..................................................................................................... 4 Penggunaan Lahan ........................................................................................... 4 Getaran ............................................................................................................. 4 Material Timbunan pada Tebing...................................................................... 5 Bekas Longsoran Lama ................................................................................... 5 Penggundulan Hutan ........................................................................................ 5 Daerah Pembuangan Sampah .......................................................................... 5 Bahaya Tanah Longsor ........................................................................................ 5 Mitigasi Bencana Tanah longsor ......................................................................... 6 Aplikasi SIG dalam Studi Pemetaan Tanah Longsor .......................................... 7 Penelitian-penelitian tentang Longsor Sebelumnya ............................................ 8 Daerah Aliran Sungai .......................................................................................... 8 3 METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 9 Lokasi dan Waktu ................................................................................................ 9 Peralatan Penelitian ............................................................................................. 9 Bahan Penelitian ................................................................................................ 10
iv
Data primer ..................................................................................................... 10 Data sekunder ................................................................................................. 11 Metode Analisis ................................................................................................. 11 Tahapan Penelitian ............................................................................................. 12 Tahap Persiapan ............................................................................................. 12 Tahap Pengolahan Data .................................................................................. 13 Tahap Kerja Lapangan ................................................................................... 15 Tahap Analisis Data Akhir ............................................................................. 15 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ................................................ 16 Letak Geografis dan Administratif .................................................................... 16 Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian .............................................................. 17 Kemiringan Lereng ........................................................................................ 17 Curah Hujan ................................................................................................... 18 Geologi ........................................................................................................... 19 Bentuklahan .................................................................................................... 20 Penutupan Lahan ............................................................................................ 22 Gangguan Lereng ........................................................................................... 23 5 HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... 24 Peta Satuan Lahan (Land Unit) Daerah Penelitian ............................................ 24 Identifikasi Titik-titik Kejadian Longsor di Lapangan ...................................... 25 Persebaran Titik Longsor Berdasarkan Wilayah Administrasi .......................... 27 Penilaian Bahaya Longsor dengan AHP ............................................................ 28 a. Kriteria dan Parameter Pembentuk Longsor ............................................ 28 b. Prediksi Bahaya Longsor dengan Pendekatan AHP ................................ 30 Persebaran Titik Longsor pada Daerah Bahaya Longsor dan Kecamatan ......... 34 Distribusi Kawasan Bahaya Longsor Berdasarkan Wilayah Administratif ....... 33 Hubungan Bahaya Longsor dan Bentuklahan (Landform) ................................ 37 Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor dengan Pendekatan Statistik ...... 37 Prediksi Longsor dengan Pembobotan Secara Statistik ..................................... 38 Mitigasi Bencana Longsor di DAS Kali Bekasi Bagian Hulu ........................... 40 6 SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 42 Simpulan ............................................................................................................ 42
v
Saran .................................................................................................................. 42 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 43 LAMPIRAN ......................................................................................................... 46
DAFTAR TABEL 1 Matriks hubungan antara tujuan dan data, metode ........................................... 12 2 Skor interval bahaya longsor ............................................................................ 14 3 Bobot dan skor dalam perhitungan bahaya longsor ......................................... 15 4 Luas kecamatan di wilayah penelitian .............................................................. 16 5 Sebaran luas kemiringan lereng di wilayah penelitian ..................................... 17 6 Sebaran luas geologi di wilayah penelitian ...................................................... 19 7 Sebaran luas bentuklahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu ............................ 20 8 Sebaran luas penutupan lahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu ...................... 22 9 Sebaran luas gangguan lereng di DAS Kali Bekasi bagian hulu ..................... 24 10 Jumlah kejadian titik longsor berdasarkan kecamatan ..................................... 27 11 Bobot masing-masing parameter pembentuk longsor ...................................... 28 12 Bobot dan skor parameter kemiringan lereng .................................................. 28 13 Bobot dan skor parameter gangguan lereng ..................................................... 29 14 Bobot dan skor parameter curah hujan ............................................................. 29 15 Bobot dan skor parameter penutupan lahan ..................................................... 29 16 Bobot dan skor parameter kedalaman pelapukan batuan ................................. 30 17 Bobot dan skor geologi..................................................................................... 30 18 Klasifikasi tingkat bahaya longsor ................................................................... 31 19 bahaya longsor berdasarkan kecamatan ........................................................... 33 20 Sebaran titik kejadian longsor di wilayah penelitian........................................ 34 21 Sebaran luas tingkat bahaya longsor dengan bentuklahan ............................... 37 22 Derajat hubungan antara variabel tingkat bencana longsor di lapangan .......... 38 23 Parameter dan bobot dengan pendekatan statistika .......................................... 39 24 Sebaran luasan tingkat bahaya longsor dengan pendekatan statistik ............... 39 25 Sebaran titik kejadian longsor dengan pendekatan statistika ........................... 39
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Lokasi penelitian .............................................................................................. 10 Lokasi administratif wilayah penelitian ........................................................... 17 Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian .................................................. 18 Peta sebaran curah hujan di wilayah penelitian ................................................ 19 Peta sebaran geologi di wilayah penelitian ...................................................... 20 Peta bentuklahan di wilayah penelitian ............................................................ 21
vi
7 Landform pegunungan di daerah penelitian...................................................... 22 8 Landform perbukitan di daerah penelitian ........................................................ 22 9 Peta sebaran penutupan lahan di wilayah penetlitian ....................................... 23 10 Peta gangguan lereng di wilayah penelitian ..................................................... 24 11 Peta satuan lahan dan rencana titik pekerjaan lapang ....................................... 25 12 Peta titik observasi di wilayah penelitian ......................................................... 26 13 Peta titik kejadian longsor di wilayah penelitian .............................................. 27 14 Peta sebaran prediksi bahaya longsor di wilayah penelitian ............................. 31 15 Peta titik kejadian longsor di lapangan ............................................................. 33 16 Terasering yang dijumpai di wilayah penelitian di Desa Tajur, Kecamatan Citeureup ........................................................................................................... 35 17 Bangunan bronjong untuk menahan lereng di Desa Hambalang ...................... 35 18 (a) Longsor tipe earth flow yang dijumpai di Desa Hambalang, (b) earth flow di Desa Karang Tengah..................................................................................... 36 19 Longsor tipe earth flow yang dijumpai di Desa Cijayanti ................................ 36 20 Longsor tipe slide yang dijumpai di Desa Cijayanti ......................................... 37 21 Prediksi bahaya longsor dengan pendekatan statistika ..................................... 40 22 Papan peringatan yang ditemui di daerah penelitian ........................................ 41
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner AHP ................................................................................................. 47 2 Bentuklahan daerah penelitian .......................................................................... 53 3 Dokumentasi daerah penelitian ......................................................................... 53
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terbentuk oleh pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Dinamika lempeng yang cukup intensif telah membentuk permukaan bumi yang bervariasi, mulai dari permukaan yang landai hingga pegunungan dengan lereng-lereng yang curam. Topografi yang bervariasi seperti itu ditambah dengan variasi kondisi geologis, geomorfologis dan klimatologis, maka Indonesia selalu berhadapan dengan bencana alam (Sadisun 2005). Pada tahun 2009 di Indonesia telah terjadi 644 kejadian bencana alam dimana sekitar 81,5% atau 517 kejadian merupakan bencana hidrometerologi (BNPB 2011). Jenis bencana ini meliputi banjir, kekeringan, tanah longsor, angin puting beliung, dan gelombang pasang. Bencana hidrometerologi ini terjadi ratarata hampir 70% dari total bencana di Indonesia. Perubahan iklim global, perubahan penggunaan lahan, dan meningkatnya jumlah penduduk merupakan faktor-faktor utama ancaman bencana di Indonesia dan telah menimbulkan korban jiwa serta kerugian yang besar (Utomo 2013). Bencana longsor terjadi di Indonesia terutama di musim hujan. Longsor berskala kecil memang tidak sehebat peristiwa gempa bumi, tsunami maupun letusan gunungapi, sehingga perhatian orang pada masalah longsor umumnya tidak terlalu besar dan bahayanya sering kurang diperhatikan dalam perencanaan pembangunan (Sugiharyanto et al. 2009). Di Indonesia lokasi-lokasi penting bencana longsor berjumlah setidaknya 918 lokasi dan setiap tahunnya bisa menimbulkan kerugian yang mencapai ratusan miliar serta mengancam sekitar satu juta jiwa manusia (Nandi, 2007). Seperti halnya banjir, peristiwa tanah longsor juga dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan dengan perubahan musim yang ditandai dengan tingginya curah hujan serta berlokasi di daerah-daerah yang berlereng terjal. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor karena sebagian besar topografi wilayahnya berupa perbukitan dan pegunungan. Faktor lainnya adalah kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang relatif masih rendah serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik (Utomo 2008). Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah Jawa Barat yang tergolong rawan bencana longsor dengan alasan topografi yang sama dan dikenal mempunyai curah hujan yang tinggi. Selain itu perubahan penggunaan lahan juga relatif dinamis di wilayah ini yang berada di beberapa daerah aliran sungai (DAS). Peta rawan bencana di Indonesia tergolong masih kurang terutama untuk skala semi-detil, padahal peta rawan bencana pada skala ini sangat diperlukan untuk keperluan praktis. Prediksi dan pemetaan bahaya longsor merupakan salah satu kajian penting dalam geosains, karena pekerjaan ini berbasis pada kejadian longsor di masa lalu, parameter wilayah, atribut geologi, dan kondisi lingkungan antropogenik (Brenning, 2005). Adapun tantangan utama dalam pemetaan wilayah rawan longsor melalui citra adalah masalah identifikasi titik-titik longsor,
2
karena titik-titik longsor yang sudah lama atau pun yang baru tidak dapat dengan mudah teridentifikasi bilamana tertutupi oleh vegetasi yang lebat (Ardizzone et.al, 2002). Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain mulai dari penyusunan database daerah potensi longsor hingga pembuatan peta zona bencana. Salah satu permasalahan dalam mitigasi bencana alam antara lain adalah kurangnya informasi kebencanaan kepada pembuat keputusan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, penyediaan peta yang akurat dan valid merupakan salah satu hal yang perlu dilaksanakan untuk dapat memberikan informasi kepada para pembuat keputusan yang dapat membantu dalam penentuan kebijakan. Perumusan Masalah Bencana alam tanah longsor ini sifatnya sulit dideteksi dan dipredikasi kapan akan terjadi dan sampai kapan kejadian akan berlangsung, maka usaha untuk menghindari bencana tersebut mengalami kesulitan untuk dilaksanakan (Suranto 2008). Bencana ini akan lebih diperparah apabila masyarakat tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana tanah longsor di daerahnya. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengurangi resiko bencana tanah longsor, antara lain dengan melakukan kegiatan migitasi untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut dengan melakukan analisis terhadap kerawanan tanah longsor. DAS Kali Bekasi merupakan salah satu DAS yang berada di Kabupaten Bogor, dekat dengan DKI Jakarta, dan mengalami banyak perubahan penutupan/penggunaan lahan. Luas DAS Kali Bekasi mencapai ± 47.054,50 Ha dengan topografi dominan berupa dataran disamping topografi perbukitan di bagian hulu (BPDAS Citarum-Ciliwung 2009). Kawasan DAS Kali Bekasi bagian hulu memiliki letak yang berdampingan dengan hulu DAS Ciliwung yang merupakan kawasan dengan tingkat alih fungsi lahan yang cukup tinggi yaitu sebesar 30,36% selama kurun waktu 33 tahun (DCK Kabupaten Bogor 2010). Perubahan pola tutupan lahan ini terutama diperuntukkan bagi pengembangan permukiman. Perubahan ini dapat memberikan dampak terhadap berbagai permasalahan lingkungan seperti kejadian banjir dan tanah longsor (Utami 2011). Masalah yang menonjol di DAS ini adalah luas penutupan hutan yang dimiliki DAS ini hanya sebesar 4% dari luas total DAS. Kondisi seperti ini banyak memberikan dampak ekologis DAS, terutama terkait dengan debit air sungai dan juga dampak yang lain seperti erosi atau longsor. Tutupan vegetasi adalah salah satu faktor penting terkait longsor karena minimnya tutupan vegetasi dapat meningkatkan bahaya longsor (BPDAS Citarum - Ciliwung, 2009). Mengingat tutupan vegetasi dan juga faktor-faktor lain seperti kemiringan lereng dan bentuk topografi dapat diidentifikasi dari data penginderaan jauh, maka data penginderaan jauh tersebut dalam penelitian ini akan digunakan untuk memprediksi bahaya longsor dan mengetahui persebaran spasialnya (pemetaan). Peta bahaya longsor akan sangat diperlukan untuk menunjang pembangunan, khususnya terkait dengan mitigasi bencana dan penataan ruang.
3
Tujuan Penelitian Terkait dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi titik-titik longsor dengan pendekatan satuan lahan, (2) memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu dengan pendekatan AHP, dan (3) mengetahui faktor-faktor utama penyebab longsor serta memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pendekatan statistik. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi daerah bahaya atau rawan longsor di hulu DAS Kali Bekasi sehingga dapat membantu pemerintah daerah atau stakeholder lain dalam rangka melaksanakan perencanaan pengembangan wilayah atau pengambilan keputusan dalam pembangunan sarana dan prasarana wilayah.
2 TINJUAN PUSTAKA Tanah Longsor Cruden (1991) mengemukakan bahwa longsor (landslide) adalah massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (percampuran tanah dan batuan) yang bergerak menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh pengaruh gravitasi terhadap batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable). Lapisan kedap air tersebut dalam hal ini berfungsi sebagai bidang luncur. Penyebab Tanah Longsor Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, longsor juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan (Alhasanah 2008). Kementrian ESDM (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya tanah longsor antara lain adalah lereng, tekstur dan jenis tanah, curah hujan, penggunaan lahan, getaran, material timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, penggundulan hutan, dan daerah pembuangan sampah. Lereng Menurut Thornbury (1969), satuan bentanglahan yang terkecil adalah lereng. Kelerengan merupakan perbandingan antara beda tinggi suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Van Zuidam (1970) mengklasifikasikan kemiringan
4
lereng menjadi 7 yaitu, 0° – 2° ( 0% - 2% ) kemiringan lereng datar, 2° – 4° ( 2% 7% ) kemiringan lereng landai, 4° – 8° ( 7% - 15%) kemiringan lereng miring, 8° – 16° ( 15% - 30%) kemiringan lereng agak curam, 16° – 35° (30% - 70%) kemiringan lereng curam, 35° – 55° ( 70% - 140%) kemiringan lereng sangat curam, > 55° ( >140%) kemiringan lereng terjal. Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam proses terjadinya longsor, hal ini disebabkan lereng yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0%-15% akan stabil terhadap kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15% potensi untuk terjadi longsor pada saat musim penghujan dan terjadinya gempa bumi akan semakin besar. Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong atau peluncur. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Tekstur dan Jenis Tanah Jenis tanah merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor, karena tanah memiliki sifat kelolosan air (permeabilitas). Sifat ini dapat menggambarkan kuat atau lemahnya daya ikat (kohesi) tanah, sehingga tanah yang gembur akan mudah dilalui air hingga masuk ke dalam penampang tanah. Hal tersebut menyebabkan tanah yang gembur akan lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive). Contoh tanah yang padat antara lain adalah tanah yang bertekstur liat (clay) (Sitorus 2006). Curah Hujan Pada beberapa kasus longsor yang terjadi di Jawa Barat, air hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih jauh akan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan kadar air tanah akan memperlemah sifat fisikmekanik tanah (mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan faktor keamanan lereng (Bowles 1989; Hirnawan 1994). Penggunaan Lahan Selain pengaruh fisik, tanah longsor juga dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Tanah longsor banyak terjadi di daerah dengan penggunaan tanah berupa persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada wilayah persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Adapun untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama. Getaran Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak. Pada beberapa
5
kasus longsor yang terjadi di Kabupaten Sukabumi, gempa bumi seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Material Timbunan pada Tebing Untuk mengembangkan dan memperluas lahan permukiman, umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan secara sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya, sehingga apabila hujan turun, maka akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti oleh retakan tanah. Bekas Longsoran Lama Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunungapi pada lereng yang relatif terjal atau pada saat maupun sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri-ciri antara lain, adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah, adanya tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, alur lembah dan pada tebingnya memiliki retakan dan longsoran kecil. Penggundulan Hutan Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana kurangnya tutupan vegetasi menyebabkan pengikatan air tanah sangat kurang. Daerah Pembuangan Sampah Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor dan diperburuk jika ditambah dengan guyuran hujan.
Bahaya Tanah Longsor Istilah bahaya atau hazard mempunyai pengertian yang berbeda dengan bencana berdasarkan Undang-undang BNPB No. 24 Tahun 2007. Bencana (disaster) adalah suatu rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, sedangkan bahaya (hazards) adalah fenomena alam yang luar biasa yang berpotensi merusak atau mengancam kehidupan manusia, kehilangan harta-benda, kehilangan mata pencaharian, kerusakan lingkungan. Contoh: tanah longsor, banjir, gempa-bumi, letusan gunungapi, kebakaran, dan lain-lain. Dengan demikian bahaya dapat berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan
6
korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta, dan kerusakan lingkungan (Sutikno 1994). Terjadinya bencana tanah longsor memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan, khususnya manusia. Bila tanah longsor itu terjadi pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, maka korban jiwa yang ditimbulkannya akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diawali oleh adanya tanda-tanda akan terjadi tanah longsor. Dampak yang ditimbulkan oleh tanah longsor terhadap lingkungan adalah sebagai berikut : Terjadinya kerusakan lahan. Hilangnya vegetasi penutup lahan. Terganggunya keseimbangan ekosistem. Lahan menjadi kritis sehingga cadangan air bawah tanah menipis. Dapat menutup lahan yang lain seperti sawah, kebun dan lahan produktif lainnya.
Mitigasi Bencana Tanah longsor Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) salah satu upaya untuk menghadapi tanah longsor adalah dengan manajemen bencana. Manajemen bencana adalah upaya mitigasi bencana untuk menekan korban jiwa seminimal mungkin, baik itu bencana gempa bumi, gunungapi maupun tanah longsor. Manajemen bencana meliputi tahapan-tahapan sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana. Sebelum terjadi bencana cara yang ditempuh antar lain adalah mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) pada suatu daerah secara optimal dan terus-menerus. Saat terjadi bencana, adalah saat bagaimana manusia dapat menyelamatkan diri dari ancaman dan ke arah mana harus berlari, dan kapan ini harus dilakukan. Semua ini harus diketahui masyarakat di daerah rawan bencana. Adapun saat sesudah terjadi bencana, dalam tahap recovery atau pemulihan, masyarakat harus tahu dan dilibatkan sebagai subyek untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan pemulihan. Pada tahap ini umumnya sulit dikoordinasikan dengan mudah. Sosialisasi dan penyuluhan harus dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus sampai dicapai tingkat pengetahuan masyarakat yang optimal tentang bahaya tanah longsor. Sosialisasi ini diharapkan dapat mengubah pola pikir dan budaya masyarakat di daerah rawan bencana supaya lebih waspada dan peduli. Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural. Menurut Naryanto (2001), dalam pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersama-sama dan saling memperkuat. Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno (2004) memberikan definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak. Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan- peraturan, pengelolaan tata ruang, dan pelatihan. Paimin et al. (2009) menjelaskan bahwa hal yang perlu diperhatikan pada daerah longsor yaitu: slope reshaping (pembentukan lereng terjal menjadi lebih landai) pada daerah yang potensial longsor, penguatan lereng terjal dengan
7
bronjong kawat pada kaki lereng, dan penutupan rekahan/retakan tanah dengan segera karena bila diisi oleh air hujan yang masuk ke dalam tanah dapat menjenuhi tanah di atas lapisan kedap. Menurut Dardak (2008), upaya-upaya mitigasi bencana tanah longsor secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni hard engineering dan soft engineering. a. Hard Engineering, adalah pembangunan struktur buatan seperti tembok penahan gerakan tanah (retaining wall), saluran drainase untuk mengurangi tingkat kejenuhan air dalam tanah, terasering lahan untuk mengurangi erosi tanah, dan penanaman pohon dengan perakaran kuat pada lereng curam. b. Soft Engineering adalah upaya untuk merekayasa pola pikir masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pemanfaatan ruang. Upaya ini antara lain dapat dilakukan melalui penyuluhan, penyebarluasan informasi, dan pelatihan.
Aplikasi SIG dalam Studi Pemetaan Tanah Longsor SIG (Sistem Informasi Geografis) dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor komputer yang kemudian dipresentasikan di atas kertas. Tetapi SIG memiliki kekuatan yang lebih dan fleksibilitas daripada lembaran peta kertas. Peta yang ditampilkan bisa berupa titik, garis dan poligon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk membantu mengidentifikasi unsur-unsur dan deskripsinya. Aplikasi SIG dan penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Di antaranya adalah berkaitan dengan lahan kritis baik itu tanah longsor maupun banjir, yaitu dengan cara identifikasi dan pemetaan kawasan rawan. Longsor dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Penggunaan SIG dalam rentang manajemen resiko bencana terdiri dari pembuatan basis data, inventori, overlay SIG yang paling sederhana hingga tingkat lanjut. SIG dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk penanggulangan bencana berikut penerapan standar bangunan yang sesuai, untuk mengidentifikasi struktur, dan lain lain. Daerah yang paling rentan terhadap bencana menjadi prioritas utama dalam melakukan tindakan mitigasi (Haifani, 2008). Menurut Paimin, et.al. (2009), salah satu prosedur yang dapat dilakukan untuk identifikasi kerawanan tanah longsor adalah sebagai berikut: 1. Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000, deliniasi kelas kelerengan lahan. Pembagian kelas lereng dapat digunakan sebagai unit peta. 2. Padukan peta Geologi pada peta kelas lereng 3. Dengan peta jenis tanah dapat diperkirakan kedalaman tanah (regolit) sampai lapisan kedap air. 4. Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000 identifikasi jenis penutupan lahan dan keberadaan infrastruktur. Untuk memperoleh data penutupan lahan terkini perlu dikoreksi dengan hasil analisis citra satelit (penginderaan jauh), terutama dengan resolusi yang cukup tinggi.
8
5. Dipadukan peta penutupan lahan dengan peta penggunaan lahan (land use) agar diperoleh kejelasan pemangku lahan terkait, dan ancaman tanah longsor terhadap permukiman. 6. Apabila data demografi desa tersedia maka kepadatan permukiman pada unit peta tersebut dapat dihitung yakni nilai nisbah/rasio jumlah penduduk dibagi dengan luas permukiman pada wilayah desa yang bersangkutan. 7. Analisis data hujan harian dari catatan data curah hujan harian sepuluh tahun terakhir untuk memperoleh data curah hujan tiga hari berurutan terbesar. Dari hasil identifikasi seperti tersebut di atas, selanjutnya dapat ditarik hasil sebagai berikut, (1) tingkat kerentanan/kerawanan lahan terhadap longsor, (2) tingkat ancaman tanah longsor terhadap penduduk atau permukiman, (3) penggunaan lahan di daerah rawan bencana tanah longsor – berkaitandengan tanggung jawab stakeholder, (4) usulan kegiatan pengendalian tanah longsor yang sesuai.
Penelitian-penelitian tentang Longsor Sebelumnya Rahmat (2010) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa parameterparameter penyebab tanah longsor serta berdasarkan model pembobotan yang digunakan, dan yang paling besar pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan longsor di lokasi penelitian (Majalengka) adalah parameter curah hujan dan kemiringan lahan, sementara jenis batuan dan tipe penutupan lahan memiliki bobot yang sama, kemudian jenis tanah merupakan parameter dengan pengaruh yang paling kecil. Sugiharyanto, et.al. (2009) dalam penelitiannya menunjukkan tingkat potensi kerentanan pada setiap satuan unit lahan yang didasarkan pada kemiringan lereng, tekstur tanah, permeabilitas, pelapukan, kedalaman efektif tanah, kerapatan vegetasi, curah hujan, penggunaan lahan, dan solum tanah. Hasil analisis pada setiap kriteria tersebut menunjukkan kategori tingkat potensi kerentanan longsor lahan di setiap unit lahan. Hasil observasi dan pengukuran di lapangan terhadap 9 variabel pendukung kerentanan longsor lahan di daerah penelitiannya (Samigaluh), yang diperoleh empat kelas tingkat kerentanan longsor lahan yaitu, tingkat kerentanan longsor lahan rendah (0,2%), sedang (2,67%), tinggi (88,27%), dan sangat tinggi (8,86%). Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana semua air hujan yang jatuh ke daerah ini akan mengalir melalui sungai dan anak sungai yang bersangkutan (Kodoatie dan Sjarief 2008). Menurut Deptan (2010), DAS adalah suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air ke anak sungai dan sungai utama yang bermuara ke sungai atau laut, termasuk dalam
9
hal ini di bawah cekungan air tanah. Sungai merupakan badan air berupa saluransaluran air yang mengalir di permukaan bumi menuju ke laut. DAS dibagi menjadi sub DAS bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan (Asdak 2007). Berbagai kegiatan yang dapat dijumpai dalam pengembangan suatu DAS antara lain adalah kegiatan konstruksi, seperti pembangunan jalan, perluasan kota/daerah permukiman, industri, pembangkit tenaga listrik, dam/waduk untuk irigasi, kegiatan pengerukan, pembangunan kanal, transportasi/navigasi, pertambangan, pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, maupun kegiatan lainnya. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan timbulnya masalah, benturan atau persaingan antar kegiatan dalam suatu DAS, maka diperlukan suatu rencana pengembangan yang komprehensif dan terpadu (Sinukaban 2007).
3 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian meliputi DAS Kali Bekasi bagian hulu. Koordinat DAS Kali Bekasi bagian hulu berada di antara 106°49’0” - 107°07’00” BT, dan 06°26’00” LS - 06°41’00” LS. DAS Kali Bekasi bagian hulu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagian DAS Kali Bekasi yang memiliki landform berbukit dan bergunung, sedangkan bagian DAS yang datar tidak dimasukkan sebagai daerah penelitian karena diasumsikan tidak mengalami kejadian longsor. Wilayah penelitian mencakup 6 kecamatan, yaitu Babakan Madang, Citeureup, Jonggol, Klapanunggal, Sukamakmur, dan Sukaraja. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari - Juni 2015 serta pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni - Juli 2015. Skala output hasil penelitian adalah pada skala 1:25.000 yang disesuaikan dengan sumber data yang tersedia.
Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain: seperangkat laptop beserta software pembantu ERDAS 9.3, ArcGIS 10, SPSS, dan Expert Choice 2000 untuk mengolah data AHP, GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui titik koordinat di lapangan, kamera digital, klinometer, meteran, alat tulis, dan kuesioner.
10
Gambar 1 Lokasi penelitian
Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah meliputi data primer dan data sekunder. Data primer Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari lapangan seperti wawancara dengan penduduk sekitar. Data yang dikumpulkan berupa titiktitik longsor yang terjadi di lapangan, pengecekan jenis batuan, kemiringan lereng, kedalaman pelapukan batuan, gangguan (pemotongan) lereng, penutupan lahan, serta pengambilan foto. Penentuan titik-titik untuk survei di lapangan ditentukan berdasarkan peta satuan lahan (land unit) yang sudah dibuat. Hasil dari pengecekan di lapangan dan informasi yang didapat dijadikan bahan untuk analisis penyebab utama terjadinya longsor yang ada di lapangan melalui analisis regresi logistik ordinal Penggunaan kuesioner digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai kejadian longsor di lapangan. Kuesioner untuk AHP disusun dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dan banyaknya responden yang diambil dalam penelitian ini hanya berjumlah 9 (sembilan) orang ahli.
11
Data sekunder Data sekunder yang digunakan adalah berupa peta-peta tematik yang berhubungan dengan parameter longsor yang akan dipakai pada penelitian ini. Peta tematik yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi peta-peta bentuklahan (landform), satuan lahan (land unit), kontur, lereng, curah hujan, dan penutupan lahan (land cover). Sebagian peta bentuklahan diambil dari Afwilla (2015) dan Lukman (2015) yang tercakup di daerah penelitian. Peta kelas lereng dihasilkan dari analisis data SRTM, sedangkan peta satuan lahan diperoleh dari hasil proses tumpang-tindih (overlay) antara peta bentuklahan dan peta kelas lereng. Peta penutupan lahan aktual diperoleh dari hasil interpretasi visual citra Google Earth tahun 2011 dan dibantu dengan peta RBI dari BIG (Badan Informasi Spasial) dengan teknik dijitasi on screen melalui software ArcGIS. Pengecekan lapang (ground check) untuk penutupan lahan tidak dilakukan menyeluruh, melainkan hanya pada beberapa tempat yang dianggap mewakili masing-masing penutupan lahan.
Metode Analisis Metode pengambilan keputusan yang dipakai untuk mendapatkan nilai bobot dan skor untuk penentuan bahaya longsor adalah menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Metode Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process – AHP) yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty digunakan untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (expert judgement) dalam memilih alternatif yang paling disukai. Metode ini mendasarkan pada penilaian dari para ahli, tokoh yang berkompeten, berpengalaman untuk memberikan pilihan keputusan yang terbaik dari berbagai kriteria dan alternatif. Pembuatan AHP ini dilakukan dengan membuat kuesioner dalam bentuk matrik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) terhadap parameter dan variabel yang akan ditentukan bobot dan skornya (Saaty 1983 dalam Marimin 2010). Responden yang terlibat dalam proses pembuatan AHP ini sejumlah 9 orang, yang mewakili keahlian di bidang longsor. Pengolahan data kuesioner AHP dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak program Expert Choice 2000. Bobot yang terpilih menunjukkan besaran atau derajat nilai masing-masing parameter dengan kisaran nilai 0-1, sedangkan skor menunjukkan nilai setiap variabel pada tiap parameter dengan kisaran nilai 0-100. Selain itu, metode statistika juga digunakan untuk analisis regresi berganda terhadap data titik-titik kejadian longsor yang memuat parameter penyebab longsor di daerah penelitian. Analisis ini diolah dengan menggunakan software SPSS.
12
Tahapan Penelitian Tahap Persiapan Pada tahap ini dilakukan studi kepustakaan yang ada kaitannya dengan topik penelitian, mencari dan mengumpulkan data sekunder, mengumpulkan bahan dan alat yang diperlukan, membuat kuesioner, dan menginterpretasi peta wilayah penelitian. a. Pengumpulan data sekunder Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi, antara lain berupa data spasial yang terdiri dari: Peta Rupa Bumi Indonesia (digital) tahun 2010 skala 1:25.000 yang diperoleh dari BIG (Badan Informasi Geospasial). Peta Geologi Lembar Bogor dengan skala 1:100.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung Data klimatologi tahunan dari BPDAS Citarum - Ciliwung (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai). Peta Bentuklahan dari penelitian sebelumnya (Afwilla (2015) dan Lukman (2015) b. Pengumpulan data primer Data primer yang dikumpulkan di lapangan meliputi lokasi titik-titik kejadian longsor dan pengukuran terhadap parameter yang diperlukan, seperti pemotongan lereng, jenis penutupan lahan, kedalaman pelapukan batuan, dan yang lainnya. Wawancara juga dilakukan kepada penduduk lokal untuk mencari informasi tentang longsor di daerah penelitian. Keterkaitan antara tujuan penelitian, data, metode analisis, dan hasil yang diharapkan secara ringkas disajikan pada Tabel 1. Tabel 1Matriks hubungan antara tujuan dan data, metode Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi titik-titik longsor dengan pendekatan satuan lahan di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu
Jenis Data Titik-titik Longsor
Sumber Data Wawancara
Peta bentuk lahan
SRTM 30m, peta geologi, peta kontur (12,5m), penelitian sebelumnya (Afwilla 2015, Lukman 2015) DEM – SRTM (30m) Peta bentuklahan dan kemiringan lereng Hasil dari tujuan no. 1
Peta lereng Peta satuan lahan
Memprediksi persebaran spasial daerah bahaya
Peta satuan lahan, dan data titik-titik longsor
Metode Analisis Identifikasi titik longsor Interpretasi citra visual
Analisis morfometri Overlay
13
Tujuan Penelitian longsor di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu dengan pendekatan AHP
Mengetahui faktor utama penyebab longsor dan memprediksi persebaran spasial daerah bahaya longsor dengan pendekatan statistik
Jenis Data Kuesioner Peta Tematik terkait parameter bahaya longsor Peta satuan lahan, dan data titik-titik longsor Peta Tematik terkait parameter bahaya longsor
Sumber Data Para pakar di bidang terkait longsor BIG, Pusat Geologi Bandung, BPDAS, SRTM 30m, Google Earth Hasil dari tujuan no. 1 BIG, Pusat Geologi Bandung, BPDAS, SRTM 30m
Metode Analisis AHP (Expert Choice 2000) On-screen Digitation, Scoring, dan Overlay Analisis Statistik Regresi Logistik Ordinal Analisis Statistik Regresi Berganda Overlay
Tahap Pengolahan Data Pada tahap ini diawali dengan pengolahan data, seperti penentuan batas wilayah, penyamaan proyeksi, koreksi geometrik, dan juga interpretasi dan analisis terhadap data sekunder. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam proses pengolahan data antara lain : a. Pembuatan Peta Bentuklahan (Landform) Peta bentuklahan dalam penelitian ini sebagian diambil dari penelitian Afwilla (2015) dan Lukman (2015) dan sebagian dilakukan dari interpretasi citra. Peta bentuklahan di interpretasi berdasarkan gabungan antara citra hillshade SRTM (30 meter), peta kontur dengan interval 12,5 meter, dan peta geologi wilayah penelitian. Sistem klasifikasi bentuklahan mengacu pada sistem ITC (Van Zuidam 1985) dengan modifikasi pada pemberian simbolnya. Sistem ini mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu: morfologi (relief), morfogenesis (litologi dan proses geomorfik), morfokronologi (tahap pembentukan dan perkembangan bentuklahan), dan morfoarrangement (hubungan susunan keruangan bentuklahan dan proses yang membentuknya). Morfologi dibedakan menjadi morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsikan nama benetuklahan (dataran, perbukitan, pegunungan, dan plateau), sedangkan morfometri berkaitan dengan aspek kuantitatif bentuklahan (kecuraman lereng, ketinggian, arah lereng, dan sebagainya). Morfogenesis mengkaji asal mula bentuklahan atau proses-proses pembentukan bentuklahan tersebut, dan morfokronologi mengkaji umur secara relatif dan absolute atau tahap perkembangan bentuklahan. b. Pembuatan Peta Satuan Lahan (Land Unit) Peta satuan lahan dibuat dari hasil gabungan antara peta bentuklahan (landform) dan peta kemiringan lereng. Peta satuan lahan selanjutnya dijadikan sebagai satuan pemetaan atau unit analisis dan acuan untuk kerja lapang
14
(fieldwork) serta untuk memprediksi tingkat bahaya longsor. Pengambilan titiktitik sampel dilakukan secara sistematis berdasarkan satuan lahan, bersifat acak namun merata sehingga setiap satuan lahan terwakili. c. Pembuatan Peta Bahaya Longsor Kriteria faktor-faktor penentu bahaya longsor pada penelitian ini mengacu pada kriteria Silviani (2013) yang dimodifikasi dengan menambahkan parameter gangguan (pemotongan) lereng. Selain itu mengganti parameter kedalaman tanah dengan kedalaman pelapukan batuan. Parameter pembentuk longsor ini selanjutnya dianalisis dengan metode AHP (Expert Choice 2000) sehingga menghasilkan nilai bobot dan skor dari masing-masing parameter. Tabel skor parameter bahaya longsor hasil AHP dapat dilihat pada Tabel 3. Untuk menentukan kelas bahaya longsor, nilai skor dan bobot dari masing-masing parameter dikalikan. Kemudian nilai tersebut dipakai dalam menentukan interval bahaya longsor pada jumlah kelas yang telah ditentukan (3 kelas). Metode penentuan tingkat bahaya menggunakan persamaan Dibyosaputro (1999) dalam Ikqra (2012), yaitu:
Dari hasil perhitungan di atas maka didapatkan total nilai tertinggi bahaya longsor, yaitu 43,93 dan terendah adalah 9,82, sedangkan nilai interval bahaya longsor sebesar 11,37 (Tabel 2). Tabel 2 Skor interval bahaya longsor Skor Interval 9,82 – 21,19 21,20 – 32,57 32,58 – 43,93
Tingkat Bahaya Rendah Sedang Tinggi
Kelas 1 2 3
d. Analisis Bahaya Longsor Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya longsor. Semua parameter tersebut diklasifikasi berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai kontribusinya masing-masing dan kemudian dinilai berdasarkan perkalian antara bobot dengan skor. Semua parameter tersebut kemudian ditumpangsusunkan (overlay). Proses ini dikerjakan dengan memakai software ArcGIS. Pada proses tumpang tindih ini, skor masing-masing parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir analisis diperoleh peta bahaya tanah longsor. Berikut rumus perhitungan skor total: LH = 0.272(KL)+0.089(KPB)+0.064(G)+0.172(CH)+0.145(LU)+0.258(GL) Keterangan: KL = Kemiringan Lereng (%), KPB = Kedalaman Pelapukan Batuan (m), G = Jenis Batuan, CH = Curah Hujan (mm/tahun), LU = Tutupan Lahan, GL = Gangguan (pemotongan) lereng (m)
15
Tahap Kerja Lapangan Peta acuan untuk pekerjaan di lapangan adalah menggunakan peta satuan lahan (land unit). Dari peta ini direncanakan ada sebanyak 135 titik yang akan dikunjungi dan sudah mewakili semua satuan lahan yang ada. Untuk menentukan posisi geografis lokasi pengamatan digunakan alat GPS (Global Positioning System). Pekerjaan lapangan juga digunakan untuk mengumpulkan data primer berupa wawancara dengan penduduk, tipe longsoran, pengecekan jenis batuan, kedalaman pelapukan batuan, gangguan (pemotongan) lereng, penutupan lahan, serta pengambilan dokumentasi berupa foto. Hasil dari pekerjaan di lapangan dan informasi yang didapat akan dijadikan bahan untuk analisis bahaya longsor berdasarkan kejadian longsor yang ada di lapangan. Tahap Analisis Data Akhir Analisis berikutnya adalah mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya longsor di daerah penelitian. Analisis ini dilakukan berdasarkan data yang didapat di lapangan dengan menggunakan analisis statistik regresi logistik ordinal pada SPSS. Pada tahap ini selanjutnya juga akan dilakukan analisis sebaran bahaya longsor berdasarkan bobot nilai statistik regresi berganda dari data kejadian longsor di lapangan. Setelahnya dibandingkan dengan pemetaaan bahaya longsor versi AHP untuk melihat hasil yang persamaan atau perbedaan di antara dua buah pendekatan tersebut. Arahan-arahan mitigasi yang terbaik untuk wilayah penelitian juga dibuat pada tahap ini. Tabel 3 Bobot dan skor dalam perhitungan bahaya longsor Parameter Bobot Skor Kemiringan Lereng (%) 0,272 >45 (Sangat Curam) 46 30-45 (Curam) 29,7 15-30 (Agak Curam) 12,8 8-15 (Landai) 7,2 <8 (Datar) 4,3 Kedalaman Pelapukan Batuan > 120cm 90 – 120 cm 60 – 90 cm 30 – 60 cm < 30 cm
0,089
Jenis Batuan Batu Liat/Claystone Batu Napal Batu Pasir/Sand Batuan piroklastik
0,064
Nilai 12,51 8,08 3,48 1,96 1,17
43 25,2 15,2 10 6,6
3,83 2,24 1,35 0,89 0,59
24,7 19,1 17,1 12
1,58 1,22 1,09 0,77
16
Parameter Batu Konglomerat Batu Kapur/Limestone Batuan Lava dan Breksi Vulkanik
Bobot
Curah Hujan >= 2300 mm/tahun 2201 – 2300 mm/tahun 2101 – 2200 mm/tahun 2001 – 2100 mm/tahun 1900 – 2000 mm/tahun
0,172
Tutupan Lahan Permukiman Tegalan, sawah Semak belukar Perairan Hutan, Perkebunan
0,145
Gangguan (pemotongan) lereng Berat Sedang Ringan
0,258
Skor 10,7 9 7,4
Nilai 0,68 0,58 0,47
46,8 25,2 14,9 8,2 4,8
8,05 4,33 2,56 1,41 0,83
31,3 25,6 22,7 13,4 7
4,53 3,71 3,29 1,94 1,01
54,9 26,1 19
14,16 6,73 4,90
4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administratif Secara geografis DAS Kali Bekasi bagian hulu berada di antara 106°49’0” BT sampai 107°07’00” BT dan 06°26’00” LS sampai 06°41’00” LS dan terletak pada kisaran ketinggian 50 sampai 1.662 mdpl. Luas DAS Kali Bekasi bagian hulu adalah 26.912,17 ha dengan batas-batas : di sebelah utara adalah DAS Kali Bekasi bagian tengah, di sebelah timur adalah DAS Citarum, dan di sebelah selatan dan barat adalah DAS Ciliwung. Wilayah yang termasuk ke dalam DAS Kali Bekasi bagian hulu secara administratif terdiri dari enam kecamatan yaitu Babakan Madang, Citeureup, Jonggol, Kelapa Nunggal, Sukamakmur, dan Sukaraja (Tabel 4 dan Gambar 2).
Tabel 4 Luas kecamatan di wilayah penelitian Kecamatan Babakan madang Citeureup Jonggol Klapanunggal
Luas (ha) 6.886,61 4.170,24 4.515,11 6.335,68
17
Kecamatan
Luas (ha) 3.711,38 934,97
Sukamakmur Sukaraja
Gambar 2 Lokasi administratif wilayah penelitian
Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian Kemiringan Lereng Peta kemiringan lereng dibuat dari peta kontur dengan interval 12,5 meter yang diperoleh dari data SRTM 30 meter. Kelas kemiringan lereng dibagi menjadi 5 kelas, yaitu lebih kecil dari 8% (datar), 8% - 15% (landai), 15% - 30% (agak curam), 30% - 45% (curam), dan lebih besar dari 45% (sangat curam). Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian disajikan pada Gambar 3, dan sebaran luas kemiringan lereng pada wilayah penelitian ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran luas kemiringan lereng di wilayah penelitian Luas Kemiringan Lereng Ha <8% (Datar) 12.192,03 8-15% (Landai) 2.212,88 15-30% (Agak Curam) 6.576,32 30-45% (Curam) 1.597,69 >45% (Sangat Curam) 4.333,26 Total 26.912,17
% 45,30 8,22 24,44 5,94 16,10 100,00
18
Berdasarkan pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kemiringan lereng < 8% memiliki luasan yang tertinggi yaitu sebesar 45,30% dari luas total wilayah penelitian, sedangkan kemiringan lereng 30-45% memiliki luasan yang terendah yaitu 5,94% dari luas total wilayah penelitian.
Gambar 3 Peta kemiringan lereng di wilayah penelitian Curah Hujan Data curah hujan yang dibuat diperoleh dari data curah hujan tahunan BPDAS Citarum-Ciliwung. Secara umum, keadaan iklim di wilayah penelitian relatif sama dengan keadaan iklim Kabupaten Bogor. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di DAS Kali Bekasi bagian hulu termasuk iklim tipe A (sangat basah) di bagian Selatan dan tipe B (basah) di bagian Utara. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.800 - 2.400 mm, dimana curah hujan tinggi terjadi pada wilayah yang memiliki bentuklahan pegunungan, yaitu di Kecamatan Citeureup, Babakan Madang, dan Sukamakmur. Peta sebaran curah hujan wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
19
Gambar 4 Peta sebaran curah hujan di wilayah penelitian Geologi Informasi geologi wilayah penelitian diambil dari Peta Geologi Lembar Bogor skala 1:100.000 yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Secara umum jenis batuan di DAS Kali Bekasi bagian hulu dibagi menjadi 6 (enam) kategori, yaitu Claystone, Konglomerat, Lava dan Breksi Vulkanik, Limestone, Piroklastik, dan Sandstone (Gambar 5 dan Tabel 6). Tabel 6 Sebaran luas geologi di wilayah penelitian Geologi Claystone Konglomerat Lava dan Breksi Vulkanik Limestone Piroklastik Sandstone Total
Luas Ha 10.950,39 394,09 5.378,82 9.938,96 85,34 164,61 26.912,17
% 40,69 1,46 19,99 36,93 0,32 0,61 100.00
20
Gambar 5 Peta sebaran geologi di wilayah penelitian Berdasarkan pengklasifikasian batuan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, terdapat 4 jenis batuan utama yaitu batuan vulkanik, batuan sedimen, batuan endapan, dan terobosan. Batuan vulkanik terdiri atas satuan batuan Qvk; batuan sedimen terdiri atas satuan batuan Mdm, Mk, Tmj, Tmk, Tmp, dan Tms; satuan batuan endapan terdiri dari Qa, Qav, dan Qoa; dan satuan batuan terobosan terdiri dari satuan batuan a. Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa luas satuan batuan yang paling dominan adalah batuan batu liat (claystone) dan batuan batu kapur (limestone) yaitu sebesar 10.950,39 hektar atau 40,69% dari luas total wilayah penelitian, sedangkan batuan yang paling sedikit adalah batuan Piroklastik dan Sandstone yaitu hanya 85,34 ha dan 165,61 ha atau 0,32% dan 0,61% dari luas total wilayah penelitian. Bentuklahan Dari hasil interpretasi dan pekerjaan lapang, bentuklahan daerah penelitian dapat dipilih menjadi 6 jenis asal proses geomorfik, yaitu denudasional, fluvial, karst, plutonik, vulkanik, dan vulkanik denudasional (Tabel 7 dan Gambar 6) Tabel 7 Sebaran luas bentuklahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu Luas Bentuklahan ha Denudasional 11.102,29 Fluvial 1.163,09
% 41,81 4,38
21
Bentuklahan Karst Plutonik Vulkanik Vulkanik denudasional Total
Luas ha 5.854,05 152,05 339,95 7.942,53 26.912,17
% 22,05 0,57 1,28 29,91 100,00
Proses pembentukan lahan yang terjadi di daerah penelitian dapat dijelaskan melalui proses awal dan proses lanjutan. Proses awal terjadi secara endogenetic (diastrophysme dan volcanisme) dan proses lanjutan terjadi secara exogenetic (degradation dan aggradation). Proses endogenetik yang terdapat di daerah penelitian adalah berupa proses tektonik lipatan dan gejala vulkanisme. Berdasarkan data pengamatan lapang, bentuklahan yang dihasilkan oleh proses exogenetic adalah jalur sungai, tebing sungai, lembah, dan teras-teras sungai. Tenaga yang berperan pada proses tersebut adalah air yang mengalir melalui proses erosi dan deposisi. Proses aggradasi terjadi pada daerah-daerah lembah yang dijumpai di daerah lipatan yakni berupa dataran deposisional (alluvial).
Gambar 6 Peta bentuklahan di wilayah penelitian
22
Gambar 7 Landform pegunungan di daerah penelitian
Gambar 8 Landform perbukitan di daerah penelitian Penutupan Lahan Berdasarkan hasil analisis citra satelit Google Earth tahun 2011 dan peta RBI dari BIG (Badan Informasi Geospasial) di wilayah penelitian, diperoleh 6 kelas penutupan lahan, yaitu hutan dan perkebunan, permukiman, pertambangan, tegalan dan sawah, semak, dan perairan. Peta penutupan lahan di wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu disajikan pada Gambar 9. Berdasarkan data penutupan lahan yang didapatkan, terlihat bahwa penutupan lahan terluas adalah tegalan dan sawah yaitu sebesar 47,36%, kemudian diikuti hutan dan perkebundan sebesar 27,92%, dan permukiman sebesar 11,12% dari luas total daerah penelitian. Sebaran luas penutupan lahan do wilayah penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran luas penutupan lahan di DAS Kali Bekasi bagian hulu Luas Land Cover Ha Hutan dan Perkebunan 7.514,86 Permukiman 2.991,98 Pertambangan 977,69
% 27,92 11,12 3,63
23
Tegalan dan Sawah Semak Perairan Grand Total
12.745,40 2.682,60 4,91 26.912,17
47,36 9,97 0,02 100,00
Gambar 9 Peta sebaran penutupan lahan di wilayah penetlitian Gangguan Lereng Parameter gangguan (pemotongan) lereng pada penelitian ini dilihat dari seberapa besar tingkat pemotongan lereng yang terjadi pada wilayah penelitian ini. Peta gangguan lereng ini didapatkan dengan membuat rata-rata pemotongan lereng di tiap satuan lahan (land unit) kemudian dikalikan dengan jumlah kejadian gangguan lereng yang terjadi di lapangan dalam satuan lahan yang sama. Apabila tingkat pemotongan lereng besar, maka semakin berpotensi menghasilkan bencana longsor di daerah tersebut. Peta gangguan lereng dibagi menjadi 3 kelas, yaitu ringan (pemotongan lereng 20 – 137m), sedang (138 – 255m), dan tinggi ( > 256m). Berdasarkan peta gangguan lereng dan data yang didapatkan, dapat dilihat bahwa gangguan lereng ringan tampak dominan di wilayah penelitian, yaitu sebesar 55,76% dari luas total daerah penelitian, sedangkan gangguan yang berat hanya sebesar 8,22%. Peta dan sebaran luasan gangguan lereng pada wilayah penelitian disajikan pada Gambar 10 dan Tabel 9.
24
Tabel 9 Sebaran luas gangguan lereng di DAS Kali Bekasi bagian hulu Luas Gangguan Lereng ha Ringan 15.006,70 Sedang 9.694,35 Berat 2.211,19 Grand Total 26.912,17
% 55,76 36,02 8,22 100
Gambar 10 Peta gangguan lereng di wilayah penelitian
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Peta Satuan Lahan (Land Unit) Daerah Penelitian Peta satuan lahan merupakan peta yang digunakan untuk acuan dalam identifikasi titik-titik longsor di lapangan dan digunakan sebagai satuan pemetaan (mapping unit). Peta satuan lahan pada penelitian ini didapatkan dari proses overlay antara peta landform dan peta kemiringan lereng wilayah penelitian. Satuan lahan yang didapatkan di daerah penelitian ada sebanyak 102 (Gambar 11).
25
Gambar 11 Peta satuan lahan dan rencana titik pekerjaan lapang
Identifikasi Titik-titik Kejadian Longsor di Lapangan Titik observasi yang direncanakan untuk pekerjaan lapang ada sebanyak 135 titik dimana tiap satu jenis satuan lahan dapat diambil lebih dari 1 sampel sesuai dengan proporsi luasannya. Peta satuan lahan dan peta titik rencana pekerjaan lapang dapat dilihat pada Gambar 11. Dari 135 titik yang sudah direncanakan, ada sebanyak 85 titik yang bisa didatangi di wilayah penelitian. Hal ini disebabkan akses ke titik-titik yang dituju tidak memungkinkan baik karena adanya hambatan topografis maupun hambatanhambatan lainnya. Peta titik sebaran daerah penelitian yang dapat didatangi dapat dilihat pada Gambar 12. Dalam hal ini dari 85 titik yang diobservasi, 42 titik diantaranya ditemukan kejadian longsor (Gambar 13). Secara spasial dari 42 titik longsor tersebut, 28 di antaranya ditemukan pada landform denudasional, 2 titik longsor pada landform fluvial, 4 titik longsor pada landform karst, dan 8 longsor titik pada landform vulkanik denudasional. Dari semua titik longsor tersebut, bila dilihat dari peta satuan lahan ada sebanyak 15 titik yang berada pada kemiringan lereng <8%, 7 titik berada pada kemiringan lereng 8-15%, 2 titik berada pada kemiringan lereng 15-30%, 15 titik pada kemiringan lereng 30-45%, dan 3 titik pada kemiringan lereng >45% . Dengan demikian titik-titik longsor yang banyak dijumpai berada pada kemiringan lereng < 8% dan kemiringan lereng 30-45%.
26
Dari hasil pengamatan pada 42 titik longsor di lapangan, karakteristik longsor yang umum ditemukan, yaitu longsor tipe slide dan aliran massa tanah dan batuan (earth flow). Fenomena longsor yang terjadi pada daerah penelitian ini banyak disebabkan oleh beban bangunan (rumah, jalanan, dan lain lain) yang begitu besar dan juga sebagian merupakan akibat dari aktifitas manusia seperti penambangan, pembangunan jalan, dan permukiman dengan memotong lereng. Pembangunan daerah permukiman di bagian lereng atas dapat membuat lereng tersebut kehilangan kestabilannya apabila bagian kaki lereng tidak didukung oleh bangungan penguat (konservasi) yang dapat mendukung lereng tersebut. Selain itu, curah hujan yang jatuh di lereng atas bila masuk ke dalam retakan tanah, maka bobot tanah akan bertambah. Jika air tersebut menembus sampai lapisan kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah tersebut akan menjadi licin dan massa tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng, sehingga massa batuan keluar lereng, maka terjadilah longsor.
Gambar 12 Peta titik observasi di wilayah penelitian
27
Gambar 13 Peta titik kejadian longsor di wilayah penelitian
Persebaran Titik Longsor Berdasarkan Wilayah Administrasi Jika dilihat dari jumlah titik longsor yang ditemukan di lapangan per kecamatan, maka kejadian longsor paling banyak berada di wilayah Kecamaatan Babakan Madang, yaitu sebanyak 16 dan diikuti oleh Kecamatan Sukamakmur sebanyak 10, sedangkan yang paling sedikit adalah di Kecamatan Sukaraja. Untuk kecamatan-kecamatan yang lain kejadian longsor yang ditemukan tidak sebanyak di Kecamatan Babakan Madang, karena medan kecamatan-kecamatan tersebut cukup sulit untuk dilewati, selain karena lahan berupa hutan juga karena milik suatu perusahaan tambang, dan tidak diijinkan untuk diakses. Tabel 10 Jumlah kejadian titik longsor berdasarkan kecamatan Kecamatan Longsor Babakan Madang 16 Citeureup 4 Jonggol 5 Kelapa nunggal 6 Sukamakmur 10 Sukaraja 1
28
Penilaian Bahaya Longsor dengan AHP a. Kriteria dan Parameter Pembentuk Longsor Kriteria faktor-faktor penentu bahaya longsor pada penelitian ini mengacu pada kriteria Silviani (2013) yang dimodifikasi dengan menambahkan parameter gangguan (pemotongan) lereng dan mengganti parameter kedalaman tanah dengan kedalaman pelapukan batuan. Parameter pembentuk longsor ini dianalisis dengan metode AHP (Expert Choice 2000) sehingga menghasilkan nilai bobot dan skor dari masing-masing parameter sesuai dengan pendapat para pakar. Hasil lengkap analisis AHP untuk pembobotan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Bobot masing-masing parameter pembentuk longsor No Parameter 1 Kemiringan Lereng 2 Gangguan lereng 3 Curah Hujan 4 Penutupan Lahan 5 Kedalaman Pelapukan Batuan 6 Jenis Batuan
Bobot 0,272 0,258 0,172 0,145 0,089 0,064
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa bobot parameter bahaya longsor secara berurutan dari yang paling besar adalah parameter kemiringan lereng, gangguan (pemotongan) lereng, curah hujan, penutupan lahan, kedalaman pelapukan batuan, dan paling kecil adalah jenis batuan (geologi). Nilai bobot parameter yang paling tinggi menunjukkan bahwa parameter tersebut lebih penting dalam menyebabkan longsor di wilayah penelitian. Dalam hal ini kemiringan lereng merupakan parameter yang paling penting dalam menentukan terjadinya longsor, sedangkan jenis batuan (geologi) merupakan parameter yang dianggap kurang penting. Kemiringan Lereng Berdasarkan hasil analisis AHP terhadap parameter kemiringan lereng dapat dilihat bahwa skor tertinggi untuk bahaya longsor adalah pada kemiringan lereng > 45% yaitu sebesar 46, dan 30-45% sebesar 29,7. Apabila nilai skor yang diperoleh tinggi, maka semakin tinggi pula potensi terjadinya longsor di wilayah penelitian. Hal ini berarti bahwa tingkat kemiringan lereng yang lebih besar dari 30% adalah daerah-daerah bahaya longsor di daerah penelitian. Hasil analisis AHP untuk parameter kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Bobot dan skor parameter kemiringan lereng Kemiringan Lereng (%) Bobot >45 (Sangat Curam) 30-45 (Curam) 15-30 (Agak Curam) 0,272 8-15 (Landai) <8 (Datar)
Skor 46 29,7 12,8 7,2 4,3
29
Gangguan (Pemotongan) Lereng Berdasarkan hasil analisis AHP dapat dilihat bahwa skor tertinggi terdapat pada pemotongan lereng yang berat yaitu sebesar 54,9, dan paling kecil pada pemotongan lereng yang ringan. Hasil analisis AHP terhadap parameter gangguan (pemotongan) lereng dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Bobot dan skor parameter gangguan lereng Gangguan (pemotongan) lereng Bobot Berat Sedang 0,258 Ringan
Skor 54,9 26,1 19
Curah Hujan Berdasarkan analisis AHP untuk curah hujan, skor tertinggi terdapat pada curah hujan yang lebih dari 2.300 mm/tahun yaitu mempunyai skor 46,8. Dari Tabel 14 hasil analisis AHP dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat curah hujan, maka tingkat potensi longsor yang terjadi juga akan semakin tinggi. Hasil analisis AHP terhadap parameter curah hujan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 14 Bobot dan skor parameter curah hujan Curah Hujan >= 2300 mm/tahun 2201 – 2300 mm/tahun 2101 – 2200 mm/tahun 2001 – 2100 mm/tahun 1900 – 2000 mm/tahun
Bobot
Skor 46,8 25,2 14,9 8,2 4,8
0,172
Penutupan Lahan Dari hasil analisis AHP untuk penutupan lahan, skor yang paling tinggi terdapat pada penutupan lahan tegalan dan sawah, yaitu sebesar 31,3, diikuti oleh permukiman yaitu 25,6, dan paling kecil adalah di penutupan lahan hutan dan perkebunan, yaitu 7 (Tabel 15). Tabel 15 Bobot dan skor parameter penutupan lahan Tutupan Lahan Bobot Permukiman Tegalan, sawah Semak belukar 0,145 Perairan Hutan, perkebunan
Skor 31,3 25,6 22,7 13,4 7
Kedalaman Pelapukan Batuan Hampir mirip dengan ketebalan solum tanah yang merupakan bagian dari profil tanah, maka untuk kedalaman pelapukan batuan, ketebalan solum tanah termasuk didalamnya. Dalam kaitannya dengan longsor, maka besar kemungkinan
30
batuan yang telah mengalami pelapukan sangat mendukung terjadi longsor daripada batuan yang masih segar atau kedalaman pelapukan yang tipis. Berdasarkan analisis AHP untuk kedalaman pelapukan batuan, skor yang paling tinggi terdapat pada kedalaman pelapukan batuan > 120 cm yang mempunyai skor 43. Hasil dari analisis AHP untuk parameter kedalaman pelapukan batuan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Bobot dan skor parameter kedalaman pelapukan batuan Kedalaman Pelapukan Batuan Bobot > 120cm 90 – 120 cm 60 – 90 cm 0,089 30 – 60 cm < 30 cm
Skor 43 25,2 15,2 10 6,6
Jenis Batuan Batuan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi karakter suatu wilayah. Batuan berbeda-beda sifatnya ada yang kompak dan ada yang tidak kompak. Sifat batuan tersebut berpengaruh terhadap bencana longsor di wilayah penelitian. Dari hasil analisis AHP didapatkan bahwa jenis batuan liat memiliki skor yang paling tinggi yaitu sebesar 24,7. Hal ini berarti bahwa jenis batu liat memiliki tingkat kerentanan tinggi dalam melahirkan longsor di daerah penelitian, sedangkan batuan lainnya tidak terlalu tinggi. Hasil analisis AHP untuk parameter jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Bobot dan skor geologi Jenis Batuan Batu Liat/Claystone Batu Napal Batu Pasir/Sand Batuan piroklastik Batu Konglomerat Batu Kapur/Limestone Batuan Lava dan Breksi Vulkanik
Bobot
0,064
Skor 24,7 19,1 17,1 12 10,7 9 7,4
b. Prediksi Bahaya Longsor dengan Pendekatan AHP Prediksi bahaya longsor dihasilkan dari penilaian data lapangan dengan data peta-peta tematik yang sudah diolah dengan pendekatan satuan lahan. Peta bahaya longsor hasil prediksi untuk daerah penelitian disajikan pada Gambar 14, dan luasan dari masing-masing kelas bahaya longsor disajikan pada Tabel 18. Hasil analisis pada Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat bahaya rendah memiliki luas yang terbesar, yaitu 39,49%, dan diikuti dengan tingkat bahaya tinggi seluas 32,21%, dan tingkat bahaya sedang seluas 27,54% dari total luas wilayah penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan di daerah penelitian sangat perlu memperhatikan bahaya longsor, karena sekitar 60% wilayah ini terancam bahaya yang sedang dan tinggi.
31
Gambar 14 Peta sebaran prediksi bahaya longsor di wilayah penelitian Tabel 18 Klasifikasi tingkat bahaya longsor Kelas
Tingkat Bahaya
Selang Nilai
1 2 3
Rendah Sedang Tinggi
9,82 – 21,19 21,20 – 32,57 32,58 – 43,93
Luasan ha 10.626,40 7.412,27 8.668,98
% 39.49 27,54 32,21
Peta persebaran titik-titik kejadian longsor dengan peta bahaya longsor dengan pendekatan AHP dapat dilihat pada Gambar 15. Adapun uraian untuk masing-masing tingkat bahaya longsor di lokasi penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas bahaya longsor rendah Kelas longsor ini memiliki luas area sebesar 10.626,40 ha atau 39,49% dari luas total lokasi penelitian. Persebaran kelas bahaya rendah berada di bagian utara dan selatan lokasi penelitian, yaitu di Kecamatan Kelapa Nunggal dengan luas 3,311.3 ha, Kecamatan Jonggol (2.977,3 ha), dan Kecamatan Babakan Madang (2,962.4 ha) (Tabel 20). Berdasarkan hasil overlay dengan peta penutupan lahan, daerah bahaya longsor rendah berada secara dominan pada areal permukiman dan hutan/perkebunan. Karakteristik tingkat bahaya longsor rendah: berada pada kemiringan lereng datar hingga landai (<8 – 15%), jenis batuan dominan berupa batuan kapur
32
(limestone), berada pada areal dengan curah hujan 1.900 – 2.100 mm/tahun, mempunyai kedalaman pelapukan batuan di antara 30 – 60 cm, secara dominan berada pada bentuklahan karst dan denudasional, dan memiliki gangguan pemotongan lereng di antara 20 sampai 140 cm. Longsor yang terjadi pada kemiringan lereng <8% (datar) ini lebih disebabkan oleh aktifitas manusia secara intensif dalam penggunaan lahan seperti permukiman atau pembangunan sarana jalan. Kejadian longsor yang terjadi memiliki karakteristik slide dalam skala yang kecil. Longsor berskala kecil ini banyak terjadi pada lereng-lereng daerah permukiman. Pemotongan lereng dapat menyebabkan massa tanah mudah merosot dan menyebabkan longsor. Kelas bahaya longsor sedang Kelas longsor ini memiliki luas area hanya sebesar 7.412,27 ha atau 27,54% dari luas total lokasi penelitian. Persebaran kelas bahaya sedang secara dominan berada di Kecamatan Babakan Madang dengan luas 1.949,3 ha dan di Kecamatan Citeureup seluas 2.172,9 ha (Tabel 20). Berdasarkan hasil overlay dengan peta penutupan lahan, daerah bahaya longsor sedang ini berada secara dominan pada areal-areal sawah, permukiman, dan hutan. Karakteristik tingkat bahaya longsor sedang: memiliki kelerengan landai sampai curam (8 – 45%), jenis batuan batuan liat (claystone), curah hujan berkisar antara 2.101 sampai lebih dari 2.300 mm/tahun, kondisi kedalaman pelapukan batuan berada di antara 60 – 90 cm, banyak terjadi pada bentuklahan denudasional dan vulkanik denudasional, sedangkan gangguan pemotongan lereng berada di antara 140 sampai 250 cm. Kelas bahaya longsor tinggi Kelas longsor ini memiliki luas area sebesar 8.668,98 ha atau 32,21% dari luas total lokasi penelitian. Penyebarannya sebagian besar berada di Kecamatan Citeureup dengan luas 2.011 ha, Kecamatan Babakan Madang (2.003,7 ha), dan Kelapa Nunggal (1.817,7 ha) (Tabel 20). Berdasarkan hasil overlay dengan peta penutupan lahan, daerah bahaya longsor tinggi ini secara dominan berada di areal hutan. Karakteristik tingkat bahaya longsor tinggi: memiliki kelerengan agak curam sampai curam (15 - 45%), memiliki jenis batuan secara dominan berupa batuan liat (claystone), berada pada areal dengan curah hujan 2.201 sampai lebih dari 2.300 mm/tahun, memiliki kedalaman pelapukan batuan di antara 60 – 120 cm, berada pada bentuklahan denudasional dan vulkanik denudasional, serta gangguan pemotongan lereng berada di antara 250 sampai 360 cm.
33
Gambar 15 Peta titik kejadian longsor di lapangan Distribusi Kawasan Bahaya Longsor Berdasarkan Wilayah Administratif Berdasarkan hasil prediksi bahaya longsor dengan pendekatan AHP yang di overlay dengan peta wilayah administrasi terlihat bahwa setiap kecamatan terdapat semua tingkat bahaya longsor. Adapun secara administratif persebaran luas daerah bahaya longsor disajikan pada Tabel 20. Tabel 19 bahaya longsor berdasarkan kecamatan Bahaya longsor Kecamatan Rendah Sedang Tinggi Total (ha) (ha) % (ha) % (ha) % Babakan madang 2.962,4 11,0 1.949,3 7,2 2.003,7 7,4 6.915,3 Citeureup 0,1 0,0 2.172,9 8,1 2.011,0 7,5 4.183,9 Jonggol 2.977,3 11,1 251,2 0,9 1.314,3 4,9 4.542,8 Kelapa Nunggal 3.311,3 12,3 1.226,6 4,6 1.817,7 6,8 6.355,6 Sukamakmur 1.173,6 4,4 1.136,8 4,2 1.407,3 5,2 3.717,7 Sukaraja 180,6 0,7 663,7 2,5 103,8 0,4 948,1 Total 10.626,3 39,5 7.412,5 27,5 8.668,98 32,2 29.912,4 Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa Kecamatan Babakan Madang dan Citeureup memiliki daerah bahaya longsor sedang dan tinggi yang dominan di dearah penelitian. Oleh karena itu apabila keenam parameter yang digunakan pada penelitian ini nilainya semakin meningkat, maka bahaya longsor di kecamatan ini
34
akan semakin perlu segera memperhatikan mengelola lingkungannya untuk menekan bahaya longsor. Untuk Kecamatan-kecamatan Jonggol, Kelapa Nunggal, Sukamakmur, dan Sukaraja harus segera memonitori daerahnya dan membuat usaha-usaha konservasi untuk musim penghujan. Persebaran Titik Longsor pada Daerah Bahaya Longsor dan Kecamatan Jika dilihat secara administratif, maka kejadian longsor yang terdapat di daerah bahaya rendah ada sebanyak 10 titik, yaitu 5 kejadian di Kecamatan Klapa Nunggal, 3 kejadian di Kecamatan Jongol, dan 2 kejadian di Kecamatan Babakan Madang, selain itu terdapat 13 titik kejadian longsor di daerah bahaya sedang, yaitu 4 kejadian di Kecamatan Sukamakmur, 4 kejadian di Kecamatan Babakan Madang, 1 kejadian di Kecamatan Sukaraja, dan 4 kejadian di Kecamatan Citeureup. Selanjutnya terdapat 19 titik kejadian di daerah bahaya tinggi, yaitu 6 di kejadian Kecamatan Sukamakur, 10 kejadian di Kecamatan Babakan Madang, 2 kejadian di Kecamatan Jonggol, dan 1 kejadian di Kecamatan Kelapa Nunggal. Tabel 20 Sebaran titik kejadian longsor di wilayah penelitian Tingkat Bahaya
Jumlah Kejadian Longsor
Rendah
10
Sedang
13
Tinggi
19
Kecamatan 2 di Babakan Madang 5 di Kelapa Nunggal 3 di Jonggol 4 di Sukamakmur 4 di Babakan Madang 1 di Sukaraja 4 di Citeureup 6 di Sukamakmur 10 di Babakan Madang 2 di Jonggol 1 di Kelapa Nunggal
Berdasarkan data dari lapangan, 10 kejadian longsor yang terdapat di daerah bahaya rendah memiliki kemiringan lereng datar hingga agak curam (6 – 22%), namun pada peta satuan lahan masuk ke dalam kelas kelerengan datar hingga landai (<8 – 15%). Pada daerah ini penggunaan lahan yang dominan adalah kebun campuran dan permukiman dengan relief bentuklahan yang datar hingga bergelombang. Vegetasi yang ditemui adalah tanaman keras yang dapat menguatkan tanah sehingga tidak mudah untuk terjadi longsor. Dari pengamatan di lapangan, longsor pada kelerengan ini tetap terjadi karena pada daerah ini banyak terdapat kegiatan atau aktivitas manusia yang memotong lereng seperti pembuatan jalan dan permukiman yang membuat lapisan tanah bagian atas tidak mampu untuk menahan beban di atasnya. Akibatnya massa tanah bergerak dan menyebabkan longsor-longsor kecil. Adapun kejadian longsor di daerah bahaya sedang (13 kejadian) banyak dipengaruhi oleh faktor kemiringan lereng yang berada di antara lereng landai sampai curam (13 - 42%) dengan bentuklahan berbukit hingga bergunung, dan pada peta satuan lahan kelas bahaya ini memiliki kelerengan landai sampai curam (8 – 45%). Kejadian longsor pada daerah ini memiliki tipe earth flow (Gambar 18 dan Gambar 19) dan sebagian berupa slide (Gambar 20). Vegetasi yang ada di
35
kelas bahaya ini didominasi oleh tanaman berakar serabut seperti tanaman sayuran dan semak belukar sehingga kurang dapat menahan longsor. Daerah ini juga sudah banyak dibangun oleh manusia, seperti permukiman dan jalan dengan cara memotong lereng, sehingga membuat lereng yang dipotong menjadi rawan longsor. Pada daerah ini juga didapati teras-teras sawah (terasering) tapi dikawatirkan di area ini akan terjadi rembesan air, sehingga dapat mempengaruhi stabilitas lereng (Gambar 16). Selain terasering, juga ditemui bangunan penahan lereng berupa bronjong (Gambar 17). Bangunan ini cukup baik untuk menahan lereng guna mengurangi bahaya longsor di daerah penelitian. Tanah longsor besar maupun kecil pada daerah ini terjadi terutama di daerah-daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, pinggir jalan yang memotong kontur, dan pada lereng-lereng yang mengalami gangguan.
Gambar 16 Terasering yang dijumpai di wilayah penelitian di Desa Tajur, Kecamatan Citeureup
Gambar 17 Bangunan bronjong untuk menahan lereng di Desa Hambalang Untuk kejadian longsor di daerah bahaya tinggi (19 kejadian) memiliki tipe longsor earth flow, adapun faktor utama penyebabnya adalah karakter kemiringan lereng yang curam hingga sangat curam (43 - 67%). Pada peta satuan lahan kelas bahaya ini mempunyai kelas lereng agak curam sampai curam (15 45%) dengan bentuklahan yang bergunung. Besarnya kemiringan lereng pada daerah kejadian longsor dipicu oleh adanya pembangunan jalan dan permukiman (rumah) dengan cara memotong lereng. Selain itu, hampir di setiap lokasi kejadian longsor tidak terdapat bangunan penguat lereng (konservasi) seperti bronjong untuk mencegah terjadinya longsor.
36
(a)
(b) Gambar 18 (a) Longsor tipe earth flow yang dijumpai di Desa Hambalang, (b) earth flow di Desa Karang Tengah
Gambar 19 Longsor tipe earth flow yang dijumpai di Desa Cijayanti
37
Gambar 20 Longsor tipe slide yang dijumpai di Desa Cijayanti Hubungan Bahaya Longsor dan Bentuklahan (Landform) Untuk mengetahui sebaran kelas-kelas bahaya longsor dalam hubungannya dengan bentuklahan, dapat dilihat pada Tabel 21. Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa tingkat bahaya longsor rendah berada pada landform karst dan vulkanik denudasional, yaitu berturut-turut sebesar 11,68% dan 17,71% dari luas total wilayah penelitian. Tingkat bahaya sedang dan tinggi berada pada landform denudasional, yaitu berturut-turut 18,18% dan 15,14% dari luas total wilayah penelitian. Hal ini dimungkinkan karena pada daerah ini sudah banyak intervensi manusia, baik itu berupa pembangunan permukiman pada daerah perbukitan maupun areal tegalan dan sawah yang diusahakan oleh para petani setempat. Tabel 21 Sebaran luas tingkat bahaya longsor dengan bentuklahan Rendah Sedang Tinggi Bentuklahan (Landform) ha % ha % ha % Denudasional 2.176,17 8,09 4.891,86 18,18 4.075,68 15,14 Fluvial 213,61 0,79 398,50 1,48 551,95 2,05 Karst 3.144,51 11,68 890,05 3,31 1.838,40 6,83 Plutonik 58,03 0,22 0,16 0,00 93,86 0,35 Vulkanik 245,85 0,91 54,45 0,20 40,42 0,15 Vulkanik denudasional 4.766,97 17,71 1.165,35 4,33 2.057,54 7,65 Faktor Utama Penyebab Terjadinya Longsor dengan Pendekatan Statistik Hasil analisis statistik terhadap parameter-parameter bahaya longsor didasarkan pada 42 titik kejadian longsor di lapangan dan di analisis dengan bantuan software SPSS. Derajat hubungan antara parameter bahaya longsor aktual dengan tingkat bencana longsor, dapat dilihat pada Tabel 22.
38
Tabel 22 Derajat hubungan antara variabel tingkat bencana longsor di lapangan Variabel Tujuan Titik kejadian longsor (Y)
Cox and Snell 59,8 %
Pseudo R-Square Nagelkerke 66,6 %
McFadden 39,9%
Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa untuk variabel titik kejadian longsor (Y) yang mempunyai nilai pendekatan R-Square tertinggi adalah Nagelkerke yaitu sebesar 66,6%, yang berarti 66,6% variasi yang terjadi pada Y dapat dijelaskan oleh variabel atau parameter dalam model, sedangkan sisanya (33,4%) dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Relatif agak rendahnya angka persentase tersebut (66,6%), bisa disebabkan oleh berbagai hal, antara lain adalah terbatasnya jumlah data titik-titik longsor di lapangan, sehingga peluang terjadinya kesalahan masih besar. Dengan menggunakan variabel penyebab longsor, maka selanjutnya dapat diperoleh model persamaan regresi logistik ordinal, sebagai berikut:
Keterangan: KL = Kemiringan Lereng, GL = Gangguan (pemotongan) lereng, LC = Tutupan Lahan
Berdasarkan ketiga persamaan di atas, dapat diketahui bahwa parameter yang secara simultan mempengaruhi terjadinya longsor di wilayah penelitian adalah kemiringan lereng, gangguan lereng, dan penutupan lahan (land cover). Prediksi Longsor dengan Pembobotan Secara Statistik Dalam penelitian ini dicoba pula mendapatkan bobot untuk tiap parameter longsor melalui analisis statistik regresi berganda (multiple regression). Analisis ini digunakan untuk membuat model prediksi bahaya longsor (variabel penjelas) berdasarkan kejadian longsor di lapangan. Dari 42 titik longsor yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk mengetahui pengaruh dari tiap parameter terhadap kejadian longsor. Variabel tujuan (Y) yaitu titik kejadian longsor, dan variabel bebasnya terdiri dari 6 parameter penyebab longsor, yaitu kemiringan lereng, gangguan lereng, penutupan lahan (land cover), geologi, curah hujan, dan kedalaman pelapukan batuan. Dari hasil analisis statistik regresi berganda (multiple regression) menunjukkan bahwa dari 6 variabel parameter yang digunakan, ada 6 buah parameter yang berpengaruh nyata (pada taraf kepercayaan 77%) terhadap kejadian bahaya longsor, yaitu kemiringan lereng, gangguan lereng, penutupan
39
lahan (land cover), curah hujan, dan kedalaman pelapukan batuan. Berikut ini adalah persamaan regresi yang diperoleh.
Keterangan: KL = Kemiringan Lereng, GL = Gangguan (pemotongan) lereng, CH = Curah Hujan KPB = Kedalaman Pelapukan Batuan, LC = Tutupan Lahan, G = Jenis Batuan
Bobot yang digunakan untuk prediksi bahaya longsor di wilayah penelitian berdasarkan persamaan di atas dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Parameter dan bobot dengan pendekatan statistika Parameter Tutupan Lahan Kedalaman Pelapukan Batuan Geologi Gangguan (pemotongan) lereng Kemiringan Lereng (%) Curah Hujan
Bobot 0,748 0,209 0,207 0,184 0,173 0,141
Berdasarkan bobot dari masing-masing parameter tersebut dan skor yang telah ditetapkan melalui AHP, maka peta prediksi bahaya longsor dengan pendekatan statistika disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan gambar tersebut, dapat dilihat bahwa bahaya longsor tinggi memiliki luasan yang terbesar, yaitu 43,13%, kemudian diikuti dengan bahaya sedang sebesar 38,21%, dan terakhir bahaya rendah sebesar 18,66% dari luas total daerah penelitian. Tabel sebaran luasan tingkat bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Sebaran luasan tingkat bahaya longsor dengan pendekatan statistik Luas Tingkat Bahaya ha % Rendah 4.993,82 18,66 Sedang 10.227,34 38,21 Tinggi 11.541,77 43,13 Tabel 25 Sebaran titik kejadian longsor dengan pendekatan statistika Tingkat bahaya Titik kejadian longsor Rendah 4 Sedang 15 Tinggi 23 Apabila dilihat dari jumlah titik-titik longsor di lapangan terhadap wilayah bahaya longsor (Tabel 25), maka terlihat bahwa kejadian longsor yang terdapat di daerah bahaya rendah ada sebanyak 4 titik, di area bahaya sedang 15 titik, dan di area bahaya tinggi 23 titik. Berdasarkan angka-angka persentasi luasan di setiap kelas bahaya longsor seperti tersebut di atas, tampak bahwa pola jumlah titik longsor dalam kelas bahaya hampir serupa dengan hasil prediksi dengan pendekatan AHP, yaitu kelas
40
rendah sebanyak 10 titik, kelas sedang sebanyak 13 titik, dan kelas tinggi sebanyak 19 titik kejadian. Namun demikian pola persebaran dari masing-masing kelas bahaya agak berbeda antara satu dengan yang lain, dimana kelas bahaya tinggi untuk metode statistik lebih menyebar merata. Menurut penilaian secara kualitatif subjektif berdasarkan pengamatan lapangan, tampak bahwa prediksi bahaya longsor dengan metode AHP lebih mendekati keadaan yang sebenarnya di lapangan. Hal ini mungkin disebabkan dalam penentuan bobot untuk pendekatan statistik yang digunakan tingkat kepercayaannya hanya 77%, sehingga prediksi bahaya longsor yang dihasilkan kurang mendekati keadaan yang sebenarnya.
Gambar 21 Prediksi bahaya longsor dengan pendekatan statistika Mitigasi Bencana Longsor di DAS Kali Bekasi Bagian Hulu Sebagian masyarakat di daerah penelitian menyadari bahwa kondisi daerah mereka merupakan daerah yang rawan terhadap tanah longsor, namun beberapa dari mereka masih tetap melakukan aktivitas yang dapat memicu kejadian tanah longsor, seperti melakukan pemotongan lereng dan penebangan pohon. Berdasarkan pengamatan di lapang, faktor-faktor yang menyebabkan masih bertahannya masyarakat untuk tinggal di daerah rawan longsor adalah karena kondisi sosial ekonomi rumah tangga mereka yang masih rendah, sehingga tidak mampu mencari lahan lain yang lebih layak huni. Kehidupan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar serta rasa aman sehingga mereka tetap bertahan tinggal di daerah tersebut, meskipun secara geomorfologis wilayah di sekitar tempat tinggal mereka tergolong rawan terhadap longsor. Dalam hal ini pemahaman masyarakat terhadap bahaya longsor diharapkan dapat membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam memanfaatkan lahan yang ada. Beberapa rekomendasi untuk mitigasi bahaya longsor di daerah ini antara lain adalah sosialisasi tentang bahaya pemotongan lereng dan dampaknya jika
41
tidak dibarengi dengan tindakan stabilisasi lereng. Beberapa tindakan mitigasi lain dapat mengacu pada Paimin et al. (2009) yang menjelaskan bahwa hal yang perlu diperhatikan untuk daerah rawan longsor adalah slope reshaping (membentuk lereng menjadi lebih landai), pemakaian penguatan lereng dengan bronjong (pada kaki lereng), dan penutupan rekahan/retakan tanah dengan segera (agar tidak terisi oleh air hujan dan memicu longsor). Meskipun demikian, berbagai usaha mitigasi sudah mulai tampak dilakukan oleh sebagian masyarakat, antara lain adalah membuat bronjong (struktur batuan penahan lereng), terrasering dengan sistem drainase yang baik, papan peringatan bahaya longsor (Gambar 22), dan upaya penanaman pepohonan berupa tanaman keras pada lahan-lahan kosong/lahan gundul.
Gambar 22 Papan peringatan yang ditemui di daerah penelitian Struktur bronjong yang ditemui di daerah penelitian terdapat di Desa Cijayanti Kecamatan Babakan Madang, Desa Karangtengah Kecamatan Babakan Madang, Desa Hambalang Kecamatan Citeureup, Desa Singasari Kecamatan Jonggol, dan Desa Gununggeulis Kecamatan Sukaraja. Teknik terasering dijumpai di Desa Karang Tengah Kecamatan Babakan Madang, dan Desa Babakan Ngantai Kecamatan Babakan Madang. Dalam melakukan upaya mitigasi di daerah penelitian ini, sebaiknya harus memperhatikan faktor-faktor utama yang menyebabkan bahaya tanah longsor, yaitu kelerengan, gangguan lereng, dan penutupan lahan. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan untuk faktor kelerengan, adalah dengan pekerjaan konstruksi lereng seperti penanaman vegetasi, terasering, penanaman rumput, saluran pembuang, dinding penahan, dan lain-lain. Untuk gangguan (pemotongan lereng), upaya mitigasi yang dapat dibuat adalah dengan membangun bangunan penahan lereng, seperti bronjong, dan turap agar kestabilan lereng dapat terjaga dan mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan. Upaya mitigasi yang dapat dilakukan terhadap faktor penutupan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan yang komprehensif dengan pertimbangan minimalisasi dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan, melaksanakan perlindungan hutan agar tidak terjadi lagi pengurangan lahan hutan dari kondisi saat ini, memprioritaskan kegiatan penghijauan dan penerapan pemanfaatan lahan serta praktek pertanian secara tepat yang meminimumkan terjadinya erosi, dan meningkatkan keanekaragaman hayati tanpa adanya degradasi lebih lanjut.
42
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil pengamatan longsor di daerah penelitian, titik-titik kejadian diperoleh longsor sebanyak 42 dengan tipe slide dan earth flow. Secara administratif titik-titik kejadian longsor paling banyak ditemukan di Kecamatan Babakan Madang Berdasarkan hasil prediksi bahaya longsor dengan pendekatan AHP didapatkan bahwa sebaran kelas bahaya rendah seluas 39,49%, tingkat bahaya tinggi seluas 32,21%, dan tingkat bahaya sedang seluas 27,54% dari luas total DAS Kali Bekasi Bagian Hulu. Hal ini menunjukkan bahwa jika pengelolaan lahan di daerah penelitian kurang baik (terutama perilaku pemotongan lereng tanpa dibarengi dengan konservasi stabilitas lereng), maka kelas bahaya sedang dapat meningkat menjadi kelas tinggi. Dari hasil analisis data titik-titik longsor di DAS Kali Bekasi Bagian Hulu, faktor yang banyak menyebabkan longsor adalah kemiringan lereng, gangguan lereng, dan penutupan lahan (land cover). Gangguan (pemotongan) lereng pada daerah ini pada umumnya tidak disertai dengan bangunan konservasi yang dapat menahan lereng tersebut. Dengan demikian bahaya antropogenik merupakan bahaya utama sehingga untuk mitigasi perlu diantisipasi dengan sosialisasi dan peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Pemetaan prediksi bahaya longsor di daerah penelitian dengan pendekatan AHP dan statistik memiliki pola yang hampir sama jika dilihat dari jumlah titiktitik kejadian longsor pada setiap kelas bahaya longsor, yaitu jumlah titik longsor semakin meningkat dengan meningkatnya kelas bahaya longsor. Namun demikian secara kualitatif prediksi bahaya longsor dengan pendekatan AHP tampak lebih baik daripada pendekatan statistik.
Saran Jumlah titik longsor perlu diperbanyak dan penelitian ini dapat dilanjutkan untuk menghitung elemen resiko dan kerentanan agar dapat menilai tingkat risiko longsor daerah penelitian. Dokumentasi pada setiap kejadian longsor sampai sekarang masih sangat terbatas, oleh karena itu diperlukan upaya dari pemerintah untuk mendokumentasikan kejadian longsor agar analisis dan prediksi bahaya longsor akan lebih baik di waktu mendatang.
43
DAFTAR PUSTAKA Afwilla SH. 2015. Pemetaan Kemiringan Lereng berbasis Data Elevasi dan Analisis Hubungan Antara Kemiringan Lereng dengan Bentuklahan. [Skripsi]. Program Studi MSL, Departemen ITSL, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Alhasanah F, dan Mubekti. 2008. Mitigasi Daerah Rawan Tanah Longsor Menggunakan Teknik Pemodelan Sistem Informasi Geografis; Studi Kasus: Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Jurnal Teknologi Lingkungan 9.(2): 118-126 Ardizzone F, Cardnali M, Carrara A, Guzzetti F, Reichenbach P. 2002. Impact of mapping errors on the reliability of landslide hazard maps. Natural Hazards and Earth System Sciences 2:3-14. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2011. Indeks Bencana Bencana Indonesia. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Bowles JE. 1989. Physical and Geo-Technical Properties of Soil. USA: Mc Graw-Hill Book Company. [BPDAS Citarum-Ciliwung] Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai Citarum Ciliwung. 2009. Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR. Bogor: BPDAS Citarum - Ciliwung. Brenning A. 2005. Spatial prediction models for landslide hazards: review, comparison and evaluation. Natural Hazards and Earth System Sciences 5:853-862. Cruden. 1991. A simple definition of landslide. Bulettin Int. Assoc. for Engineering Geology. 43:27 -29. Dardak AH. 2008. Kebijakan Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Kawasan Rawan Bencana Longsor. Jakarta: LSKPI Press. [Deptan] Direktorat Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2010. http://pla.deptan.go.id/sub_content.php?p=statistik&id=5 [18 Agustus 2010] Dibyosaputro S. 1999. Longsor Lahan di Kecamatan Samigaluh kabupaten Kulon Progo. Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia. 23.3– 34. [DCK]. Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor. 2010. Penyimpangan Tata Guna Lahan Puncak Mengkhawatirkan. http://dck.bogorkab.go.id. [20 Desember 2010]. Haifani AM. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Mendukung Penerapan Sistem Manajemen Resiko Bencana di Indonesia. Prosiding. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008. 17-18 November 2008. Lampung: Universitas Lampung. Hirnawan RF. 1994. Peran Faktor-faktor Penentu Zona Berpotensi Longsor di Dalam Mandala Geologi dan Lingkungan Fisiknya. Majalah Ilmiah Universitas Padjajaran, 12(2):32-34. Ikqra. 2012. Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
44
Karnawati D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan Rekomendasi). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Kodoatie RJ dan Sjarief R. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu (Edisi Revisi). Penerbit Andi. Yogyakarta. Lukman F. 2015. Hubungan Geomorfometri dengan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan (Studi Kasus: DAS Cileungsi - Citeureup, Kabupaten Bogor). [Skripsi]. Program Studi MSL, Departemen ITSL, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Marimin. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Stok. IPB Press. Juni 2010. Bogor Nandi. 2007. Longsor. Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Naryanto HS. 2001. Prinsip Dasar Bencana, Mitigasi dan Penanggulangan Bencana, Dalam Penanganan Bencana. Forum LPPS 43. LPPS-KWI Caritas Indonesia-CORDAID. Jakarta. Paimin, Sukresno, Pramono, Irfan B. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Tropenbos International Indonesia Programme. Balikpapan. Paripurno ET. 2004. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana Longsor, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. P3- TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta. [PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen Bencana Tanah Longsor. Rahmat AH. 2010. Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka). [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sadisun AI. 2005. Usaha Pemahaman Terhadap Stabilitas Lereng dan Longsoran Sebagai Langkah Awal Dalam Mitigasi Bencana Longsoran. Paper Workshop Penanganan Bencana Gerakan Tanah. Bandung. Silviani RV. 2013. Analisis Bahaya dan Risiko Longsor di DAS Ciliwung Hulu dan Keterkaitannya dengan Penataan Ruang. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sinukaban N. 2007. Konservasi Tanah dan Air - Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sitorus S. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap sebagai kontrol Terhadap Faktor Resiko dan Bencana Longsor. Jakarta: Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Sugiharyanto, Nursa’ban M, Khotimah N. 2009. Studi Kerentanan Longsor Lahan Di Kecamatan Samigaluh Dalam Upaya Mitigasi Bencana Alam. Yogyakarta: UNY. Suranto JP. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan Pada Daerah Rawan Bencana Tanah Longsor Di Gununglurah, Cilongok, Banyumas. [Tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. Sutikno. 1994. Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat Gerakan Massa Tanah/Batuan. Prosiding Seminar Mitigasi Bencana Alam 16-17 September 1994. Kerjasama Fakultas Geografi UGM - Bakornas Penanggulangan Bencana RI. Yogyakarta.
45
Thornbury WD. 1969. Principle of Geomorphology. New York: John Wiley and Sons. Utami NWF. 2011. Karakteristik Lanskap Tegakan Bambu Di Hulu Das Kali Bekasi. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Utomo BSS. 2008. Identifikasi Daerah Bencana Longsor Di Kabupaten Bogor Jawa Barat. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Utomo WY. 2013. Analisis Potensi Bencana (Hazard) Dan Resiko (Risk) Bencana Banjir Dan Longsor (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat). [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Van Zuidam RA. 1970. Terrain Analysis and Classification: A Geomorphological Approach. Netherlands: ITC Publications. Van Zuidam RA. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphological Mapping. Enschede: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), The Netherlands.
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1 Kuesioner AHP
KUISIONER PENELITIAN TESIS PROGRAM STUDI MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 Nama
: Boanerges Silvanus Dearari Damanik
NRP
: A153110021
Judul Penelitian
: PREDIKSI BAHAYA LONGSOR DAN PENILAIAN FAKTOR UTAMA PENYEBAB LONGSOR DI WILAYAH DAS KALI BEKASI BAGIAN HULU
Komisi Pembimbing
: 1. 2.
Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS
Nama Responden ......................................................................................... Alamat
……………………………………………………………… ……………………………………………………………… ………………………………………………………………
Keahlian/Profesi .........................................................................................
48
PENGANTAR Pemetaan daerah rawan longsor merupakan langkah awal yang sangat diperlukan dalam program mitigasi bencana longsor. Dalam pemetaan tersebut beberapa kriteria diperlukan, antara lain faktor-faktor geologi, curah hujan, bentuklahan (landform), dan tutupan lahan. Faktor-faktor tersebut dapat diberi bobot mulai dari yang terbesar hingga terkecil sesuai dengan sumbangannya dalam memicu terjadinya longsor. Salah satu metode yang dapat diterapkan untuk pengambilan keputusan terhadap besarnya bobot tersebut adalah melalui teknik Analytical Hierarchy Process (AHP). Longsor (landslide) menurut Cruden (1991) adalah pergerakan massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Adapun bahaya longsor merupakan suatu peluang terjadinya proses tersebut dalam waktu dekat. Terjadinya longsor sangat variatif penyebabnya, namun pada umumnya disebabkan oleh kondisi topografi dengan kemiringan lereng terjal dan sebagian besar material hasil pelapukan yang ada di permukaan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga batuan kedap tersebut berfungsi sebagai bidang luncur. Sehubungan dengan tugas akhir saya melakukan penilaian bahaya longsor, maka berikut saya telah menyusun kuesioner untuk analisis AHP yang bertujuan untuk mengetahui persepsi/pendapat para ahli (nara sumber) mengenai bobot dari masing-masing faktor penyebab longsor. Hasil dari kuesioner AHP ini akan diolah dengan perangkat lunak Expert Choice yang dikombinasikan dengan perangkat lunak ArcGIS sehingga dapat ditentukan tingkat bahaya longsor di daerah penelitian Untuk itu kami mohon bantuan dan kesediaan Bapak/Ibu untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner ini sesuai dengan pengetahuan Bapak/Ibu sehingga data tersebut dapat saya olah dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atas bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan meluangkan waktu untuk mengisi kuisioner ini diucapkan banyak terima kasih. METODOLOGI Kuisioner ini bertujuan untuk mengetahui bobot dari tiap-tiap kriteria sebagai penentu bahaya longsor. Caranya adalah dengan membandingkan besarnya peran antara dua kriteria yang ditanyakan dan diberi bobot dengan angka mulai dari 1 hingga 9. Makna dari setiap bobot diartikan sebagai berikut: Bobot 1
5 7
Tingkat Peran Sama Sedikit lebih penting Lebih penting Sangat penting
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya. Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya. Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya. Elemen yang satu jauh lebih penting daripada elemen yang lain
9 2,4,6,8
Mutlak penting Nilai menengah
Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain Nilai-nilai kompromi di antara dua nilai yang berdekatan
3
49
Cara penilaian bobot : Membandingkan antara dua kriteria, yaitu kriteria pada kolom kiri dengan kriteria pada kolom kanan, dan memberi tanda silang pada angka bobot yang disediakan. Bobot 9 s/d 2 pada bagian kiri adalah milik kriteria pada kolom kiri, sedangkan bobot 9 s/d 2 pada bagian kanan adalah milik kriteria pada kolom paling kanan. Berilah tanda silang pada bobot sesuai dengan Tingkat Peran seperti yang telah dijelaskan pada tabel di atas. Contoh: Permukiman mempunyai bobot “lebih penting” daripada Perairan 9
Permukiman
8
7
5
6
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perairan
PERTANYAAN 1.
Pada penelitian ini, untuk melakukan analisis bahaya longsor digunakan 6 parameter, yaitu kemiringan lereng, kedalaman pelapukan batuan, jenis material batuan, curah hujan, tutupan lahan, dan gangguan lereng (pemotongan). Menurut Bapak/Ibu, berdasarkan pengalaman selama ini, parameter manakah yang terpenting dalam menentukan bahaya longsor? .................................................................................................................
PENILAIAN BOBOT Pilih dan berilah tanda silang pada kolom yang sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu terkait dengan perbandingan bobot antara dua parameter yang terletak pada kolom paling kiri dan paling kanan dalam peranannya melahirkan longsor.
Kemiringan Lereng
Kedalaman Pelapukan Batuan Jenis
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kedalaman Pelapukan Batuan Jenis Batuan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Curah Hujan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Land Cover Gangguan Lereng Jenis Batuan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Curah Hujan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Land Cover Gangguan Lereng Curah Hujan
50
Batuan
Curah Hujan Land Cover
2.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Berdasarkan parameter Kemiringan Lereng, ada 5 indikator yang digunakan, yaitu >45% (Sangat Curam), 30-45% (Curam), 15-30% (Agak Curam), 8-15% (Landai), dan < 8% (Datar). Menurut Bapak/Ibu indikator mana yang lebih penting?
>45% (Sangat Curam)
30-45% (Curam) 15-30% (Agak Curam) 8-15% (Landai)
3.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
30-45%
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15-30%
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
8-15%
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
< 8% 15-30% 8-15%
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
< 8%
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
8-15%
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
< 8%
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
< 8%
Berdasarkan parameter Kedalaman Pelapukan Batuan, ada 5 indikator yang digunakan, yaitu > 120cm, 90 – 120 cm, 60 – 90 cm, 30 – 60 cm, dan < 30 cm. Menurut Bapak/Ibu indikator mana yang lebih penting?
> 120cm
90 – 120 cm
60 – 90 cm 30 – 60 cm
4.
Land Cover Gangguan Lereng Land Cover Gangguan Lereng Gangguan Lereng
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
90 – 120 cm
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
60 – 90 cm
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
30 – 60 cm
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
< 30 cm 60 – 90 cm 30 – 60 cm
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
< 30 cm
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
30 – 60 cm
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
< 30 cm
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
< 30 cm
Berdasarkan parameter Jenis Material Batuan, ada 7 indikator yang digunakan, yaitu batuan piroklastik, batuan lava dan breksi vulkanik (BV), batu kapur/limestone (L), batu liat/claystone (C), batu pasir/sandstone (S), batu napal/marl (N), dan batu konglomerat/conglomerat (K). Menurut Bapak/Ibu indikator mana yang lebih penting?
51
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
BV
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
L
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
C
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
S N K
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
L
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
C
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
S
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
N
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
K
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
C
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
S
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
N
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
K
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
S
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
N
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
K
Batu Pasir /Sand
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
N
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
K
Batu Napal
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
K
Batuan Piroklastik
Batuan Lava
Batu Kapur /Limestone
Batu Liat /Claystone
5.
Berdasarkan parameter Curah Hujan (mm/tahun), ada 5 indikator yang digunakan, yaitu >= 344, 283-343, 222-282, 161-221, dan 100-160. Menurut Bapak/Ibu indikator mana yang lebih penting?
>= 344
283-343
222-282 161-221
6.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
283-343
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
222-282
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
161-221
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
100-160
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
100-160
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
161-221
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
100-160
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
100-160
222-282 161-221
Berdasarkan parameter Penutupan Lahan (Land Cover), ada 5 indikator yang digunakan, yaitu tegalan dan sawah, semak belukar, hutan dan perkebunan, permukiman, dan perairan. Menurut Bapak/Ibu indikator mana yang lebih penting?
52
Tegalan dan Sawah
Semak
Hutan Permukiman
7.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Semak
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Hutan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Permukiman
9 9 9
8 8 8
7 7 7
6 6 6
5 5 5
4 4 4
3 3 3
2 2 2
1 1 1
2 2 2
3 3 3
4 4 4
5 5 5
6 6 6
7 7 7
8 8 8
9 9 9
Perairan Hutan Permukiman
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perairan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Permukiman
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perairan
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Perairan
Berdasarkan parameter Gangguan lereng (pemotongan), ada 3 indikator yang digunakan, yaitu pemotongan dengan ketinggian <1 meter, 1 – 3 meter, dan > 3 meter. Menurut Bapak/Ibu indikator mana yang lebih penting?
<1 meter 1 – 3 meter
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 – 3 meter
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
> 3 meter
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
> 3 meter
Demikian kuesioner saya, atas kesediaan Bapak/Ibu untuk meluangkan waktu mengisi kuesioner ini diucapkan banyak terima kasih. Salam Hormat,
Boanerges Silvanus Dearari Damanik
53
Lampiran 2 Bentuklahan daerah penelitian Kode Keterangan Landform D1 Perbukitan denudasional tertoreh sangat ringan D2 Perbukitan denudasional tertoreh ringan D2-1 Pegunungan denudasional tertoreh ringan D3 Perbukitan denudasional tertoreh sedang D3-1 Pegunungan denudasional tertoreh sedang D4 Perbukitan denudasional tertoreh kuat D4-1 Pegunungan denudasional tertoreh kuat DV1-1 Pegunungan denudasional vulkanik tertoreh sangat ringan DV2 Perbukitan denudasional vulkanik tertoreh ringan DV2-1 Pegunungan denudasionl vulkanik tertoreh ringan DV3-1 Pegunungan denudasionl vulkanik tertoreh sedang DV4-1 Pegunungan denudasionl vulkanik tertoreh kuat F1 Lembah sungai tertoreh sangat ringan F2 Lembah sungai tertoreh ringan K1 Perbukitan karst tertoreh sangat ringan KC2 Kerucut plutonik tertoreh ringan V2 Perbukitan vulkanik tertoreh ringan V2-1 Pegunungan vulkanik tertoreh ringan V3 Perbukitan vulkanik tertoreh sedang V4-1 Pegunungan vulkanik tertoreh kuat Lampiran 3 Dokumentasi daerah penelitian Contoh Penggunaan Lahan
Penambangan kapur di Desa Kelapa Nunggal
Penggunaan lahan sawah
54
Penggunaan lahan kebun campuran di Desa Leuwikaret
Perkebunan contoh kelapa sawit IPB di Desa Singasari, Kecamatan Jonggol
Semak belukar di wilayah penelitian
55
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di DKI Jakarta pada tanggal 13 Januari 1987. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan ayah Darmansyah Damanik dan ibu Rosminta Girsang. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1999 di SD St. Antonius I Medan, kemudian pada tahun 2002 menyelesaikan studi di SMP St. Thomas I Medan. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMU St. Thomas I Medan dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dan di terima di Program Studi Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.