PRAKTEK POLITIK YANG TERPOLA DAN BERULANG DITINGKAT DESA Oleh Bambang Kuncoro1 Abstrak Praktek politik yang terpola di tingkat desa diproduksi zaman Feodal dan zaman Kolonial yang direproduksi zaman Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi untuk kepentingan politik (kekuasaan) dan ekonomi (pendapatan) elite dan pemilik modal, kebijakan yang di buat rejim bersifat “bungkus baru isi lama” yang hanya untuk “pelipur lara”, praktek politik ini oleh Sutherland (1978) disebut “Pola Neotradisional”. Transformasi sosial dan politik di tingkat rejim yang meliputi sebagian atau seluruh wilayah Indonesia silih berganti, tetapi desa, sebagai kesatuan pemerintahan yang terendah, tetap bertahan dan hidup terus, bahkan selama itu pula susunan pemerintahan pada umumnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Untuk memberdayakan desa, negara harus memberikan desentralisasi dengan undang-undang desa sebagaimana yang dituntut “Parade Nusantara”. Pendahuluan Menurut perspektif historis, desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum Negara bangsa modern ini terbentuk. Struktur sosial sejenis desa walaupun sebagai unit paling bawah dalam sistem pemerintahan di Indonesia, namun peran, fungsi dan kontribusinya justru menempati posisi yang menentukan, karena desa secara kultural telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting dan dianggap miniatur Negara. Sedangkan politik dipahami sebagai cara untuk menggapai sesuatu yang membuat relasi kekuasaan antara manusia dengan sesama manusia maupun antara manusia dengan alam, sehingga kehidupan manusia disebut sebagai “zoon politicon” atau makhluk politik karena selalu ada relasi kuasa dalam hubungan antar-sesama manusia, baik sejak zaman kerajaan yang diwarnai perang antar wilayah, dominasi elite dalam kelompok, hingga terciptanya suatu komunitas yang lebih modern seperti era reformasi ini. Secara emperik peristiwa relasi kekuasan antar manusia dan antar wilayah kekuasaan disebut praktek politik. Adapun praktek politik yang terpola dan berulang di tingkat desa adalah peristiwa atau kejadian yang sistemik di desa dalam melaksanakan demokrasi “asli” yang dianggap tradisional, tetapi dapat dijadikan orientasi dalam pengembangan demokrasi modern di tingkat nasional, karena mempunyai indikator, seperti musyawarah, gotong royong, rembuk desa dan pemilihan kepala desa dari, oleh dan untuk rakyat desa sendiri. Kondisi dan situasi demikian inilah yang dijadikan arena perebutan kekuasaan dan ekonomi sejak zaman Kerajaan, Kolonial, Orde Lama, Orde Baru sampai Era Reformasi ini. Praktek Sosial dan Politik di tingkat Desa Pentingnya desa sebagai praktek sosial dan politik yang terpola dan berulang dapat digambarkan sebagai berikut, pertama, secara sosial, Parsudi Suparlan (1986:18) dan Meike 1
. Staf pengajar Fisip Unsoed. Purwokerto, sekarang peserta S3 Ilmu Sosial Unair. Surabaya
Schouten (1988:86) berpandangan bahwa desa merupakan penghasil produksi pertanian dan lain-lain, penyedia tenaga-tenaga manusia yang bisa dikerahkan dalam keadaan darurat perang atau pembangunan dan desa juga sebagai pembayar-pembayar pajak yang mengisi kas kerajaan dan Meike Schouten berpendapat desa sebagai penghubung yang begitu penting seperti dalam masalah pengumpulan pajak dan pengerahan tenaga kerja untuk penanaman kopi dan kerja paksa. Kedua, secara politik, Thaksin (2001:21) dan Budiman Sudjatmiko (2010:6) berpendapat bahwa di era globalisasi akan selalu menghadapi penentangan apabila tidak di imbangi dengan pemberdayaan pada tingkat desa, ruralization untuk membuat warga yang tinggal dipedesaan tidak ketinggalan dan hanya menjadi penonton, bahkan korban globalisasi dan Budiman Sudjatmiko berpendapat bahwa desa sebagai umpan balik terhadap pelayanan publik, baik atau buruk langsung bisa dirasakan oleh kepala desa dan perangkat desa secara real time dari masyarakat sebagai pihak yang dilayani. Pertanyaannya adalah mengapa praktek politik terpola dan berulang di tingkat desa ? dan bagaimana dampak praktek politik yang terpola dan berulang ditingkat desa ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis akan mengkaji dari perspektif historis dan perspektif ekonomi politik. Perspektif Historis Transformasi sosial dan politik supra desa ke dalam kehidupan desa, menjadikan desa mengalami pergeseran nilai kemandirian dan kemampuannya, sebagaimana dikemukakan oleh M. Dawam Rahardjo (2001 : 159) bahwa dalam perkembangan sejarah, desa-desa telah mengalami penetrasi, bahkan dominasi sistem dari luar desa, seperti: Pertama adalah penetrasi dan dominasi sistem feodal, yakni tanah adalah milik raja yang kemudian dibagi-bagikan kepada para bangsawan atau pejabat yang berjasa, sedangkan penduduk desa adalah tenaga kerja yang tunduk kepada penguasa feodal. Pada zaman kerajaan, desa secara politik sebagai obyek bagi terwujudnya tujuan pemerintahan kerajaan dan raja-raja, secara ekonomi desa lebih banyak memberi lewat upeti atau pajak daripada menerima dari kerajaan, artinya tanah merupakan sumber utama kepentingan tersebut. Kedua, penetrasi datang dari kapitalisme primitif yang melahirkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel), yakni petani dipaksa untuk mengalihkan kegiatan taninya, dari menanam tanaman pangan, ke pekerjaan menanam tanaman perkebunan oleh perusahaan dagang internasional VOC (Vereenigde Oos Indische Compagnie) yaitu Persatuan PerusahaanPerusahaan Hindia Timur Belanda. Pada zaman kolonial Belanda (1906-1942) secara politik desa dijadikan alat eksploitasi dengan memungut hasil bumi, serta kepentingan kolonial dengan mengerahkan tenaga kerja masyarakat desa untuk membangun jalan-jalan sebagai akses produksi dan menarik modal asing yang ingin berusaha dibidang pertanian, serta memaksa menanam rempah-rempah dengan kulturstelselnya. Masa militer Jepang (1942-1945) berlangsung singkat tetapi mampu meng-eksploitir kekayaan desa dengan cara kasar dan kejam, wajib setor bahan pangan, serta dengan paksa memeras tenaga kerja untuk membuat pertahanan Jepang (romusha) hal ini dapat mempercepat proses petani menjadi miskin, yang pada masa Belanda sudah miskin dan sekaligus merusak kemurnian kebudayaan Indonesia. Pada zaman kemerdekaan atau Orde Lama (1945-1965), pada awalnya desa dijadikan sebagai subyek secara bersama-sama dengan pemerintah pusat dan daerah dengan
mengerahkan partisipasi masyarakat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan mensejahterakan serta mencerdaskan bangsa, tetapi pada masa orde lama ini desa terlibat dalam organisasi politik yang bergerak di tingkat akar rumput pedesaan, hal ini secara ekonomi lemah dan secara sosial keharmonisan kehidupan desa menjadi berkurang, karena politiknya untuk kepentingan komunitas kultural, sehingga desa dijadikan obyek partai politik dengan isitilah desa mengepung kota. Pada masa orde baru (1966-1998) desa dijadikan obyek pendekatan birokrasi dari atas yang berorientasi target, melalui revousi hijau dengan swasembada beras, sistem pemerintahan yang seragam serta kebijakan politik massa mengambang. sebagaimana hasil penelitian Hans Antlov (2001 : 106 dan vi) menemukan bahwa rejim Orde Baru melakukan penetrasi pada urusan desa melalui penataran, agar rakyat bekerja dengan setia untuk pembangunan dan stabilitas nasional, menerima pembatasan-pembatasan kehidupan berpolitik, dengan tujuan Negara memastikan tidak ada pembangkang-pembangkang, yaitu memaksa rakyat agar selalu berhubungan baik dengan pimpinan desa. Dengan kata lain kehadiran Negara di desa dan juga siasat elite lokal telah menjadikan desa dibawah hegemoni yang sempurna. Kekuasaan pusat tidak lagi berbentuk fisik, melainkan sudah sangat ideologis. Negara tidak lagi datang dengan model primitif, melainkan sudah memainkan simbol-simbol yang di dalamnya menurut perintah harus, yang intinya tidak lain dari kendali tersamar. Elite lokal bukan lagi berakar ke bawah, melainkan berakar ke atas. Selanjutnya di era reformasi ini (1998-sekarang) desa dijadikan obyek pembangunan ekonomi melalui program “Desa Pusat Pertumbuhan” dan secara politik dijadikan partai politik untuk meraih suara dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung mengingat jumlah penduduk kurang lebih 65 persen berada di pedesaan dan sebagian besar masyarakatnya secara ekonomi miskin dan secara sosial berpendidikan rendah. Seperti program pembangunan di Jawa Tengah memfokuskan pada pembangunan pedesaan dengan semboyan “Bali ndeso mbangun ndeso” (kembali ke desa dan membangun desa). Contoh di kabupaten Pekalongan memperkuat peran desa dengan agropolitan yaitu strategi perencanaan terpadu pengembangan kawasan unggulan pertanian dengan konsep mengelola dan melancarkan distribusi berbagai komoditas pertanian secara lebih fokus (Suara Merdeka, 1/5/2011 : 16) dengan variasi program seperti yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah sampai bulan April 2011 telah memfasilitasi 48 desa wisata yang terdapat diwilayah kerjanya. Dalam pandangan Janianton Damanik, bahwa perkembangan desa wisata tidak lepas dari bergesernya kultur masyarakat dari pertanian ke jasa, karena dipengaruhi pertumbuhan infrastruktur desa yang cepat, hingga memunculkan kejenuhan disektor pertanian, dengan kata lain ada titik jenuh dalam ekonomi pertanian, warga desa mencari celah tanpa meninggalkan pertanian melalui jasa wisata, hal ini disatu pihak memunculkan kesadaran masyarakat terhadap potensi setempat, di pihak lain Negara menjadikan desa wisata sebagai ujung tombak pariwisata. Perspektif ekonomi politik Perspektif ekonomi politik adalah siapa yang di untungkan dan dirugikan dalam relasi kekuasaan antara rejim yang berkuasa dengan warga desa yang dikuasai, dari perspektif historis tersebut di atas dapat dilacak bahwa pada zaman kerajaan raja dan pangreh praja yang mendapatkan keuntungan karena mendapatkan upeti atau “asok glondong pangareng-areng”
(memberikan kayu besar sampai arangnya) sebagai simbul eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja warga desa, tetapi “bekel” atau lurah desa beserta punggawanya masih mendapat tanah “bengkok atau lungguh” yaitu tanah atau “sawah” pertanian sebagai imbalan atas jabatan yang diemban sebagai pangreh praja kerajaan, dengan demikian mereka mendapatkan gaji berupa upeti atau pajak berupa uang dan tanah bengkok, pola ini menurut Sutherland (1978) disebut neotradisional. Pola ini berlanjut hingga zaman kolonial, zaman orde lama, zaman orde baru dan orde reformasi dengan melibatkan pemilik modal yang “dibungkus dengan pola baru tetapi isinya pola lama”, sebagaimana diungkapkan oleh M. Dawam Rahardjo (2001:161) mencatat bahwa praktek politik yang terpola yang dilakukan kolonial Belanda pada abad ke 20 mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan yang memicu gerakan kemerdekaan dan menimbulkan pemberontakan petani dari waktu ke waktu, yang memuncak dengan pemberontakan PKI pada tahun 1926 di Prambanan, Jawa Tengah, dan pada tahun 1928 di Sumatera Barat. Walaupun pemberontakan itu dapat dipadamkan, namun kerusuhan-kerusuhan terus timbul yang memuncak hingga penangkapan Soekarno, Hatta dan Syahrir pada awal dasawarsa 1930-an. Kebijakan yang dilakukan kolonial Belanda untuk meredam dan mengontrol pemberontakan salah satunya adalah membentuk politik etis (Athische Politiek) berupa trilogi yaitu pertama, politik edukasi yang lebih banyak menguntungkan masyarakat lapis menengah ke atas, kedua, politik irigasi memberikan keuntungan pada perekonomian desa yakni mendorong pertumbuhan pertanian tanaman pangan, khususnya beras dan palawija. Ketiga politik transmigrasi yakni mendorong perkembangan perkebunan swasta di luar Jawa, khususnya Sumatra Utara, sedangkan keuntungan masyarakat di Jawa mengurangi tekanan kependudukan dan dalam batas-batas tertentu mengurangi pengangguran. Pada zaman kemerdekaan atau Orde Lama (1945-1965), pada awal kemerdekaan desa dijadikan ‘lumbung desa”, yang menguntungkan elite pamong praja dan pamong desa, dan elite politik dengan pola “Nasakom” (Nasional, Agama dan Komunis) yakni sebagai arena perebutan sumber ekonomi karena memiliki tanah perkebunan dan pertanian, dan sumber politik karena mempunyai jumlah suara yang besar kurang lebih 80 persen penduduk hidup di desa. Dengan demikian pada masa orde lama ini desa terlibat dalam organisasi politik yang bergerak di tingkat akar rumput pedesaan, hal ini secara ekonomi lemah dan secara sosial keharmonisan kehidupan desa menjadi berkurang akibatnya terjadi pemberontakan yang dikenal dengan “G 30 September 1965” dan warga desalah yang menanggung pederitaan dan kerugian. Pada masa orde baru (1966-1998) desa dijadikan obyek pendekatan birokrasi secara seragam dan politik massa mengambang (partai politik di larang di desa) dan hanya “Golkarlah” yang tidak dilarang, serta kebijakan ekonomi pertanian melalui “ Panca Usaha Tani” (bibit unggul, pemberantas hama dengan kimia, pupuk kimia, teknologi mekanik dan pengairan teknis), masa ini yang diuntungkan adalah elite politik dan elite birokrasi dan pemilik modal, warga desa yang tidak punya modal dan ketrampilan akan urbanisasi ke kota-kota dengan upah murah, kondisi dan situasi yang tertekan dari aspek politik dan ekonomi, menimbulkan protes yang dibidani para mahasiswa, yang berhasil merubah rejim orde baru menjadi era reformasi pada tanggal 20 Mei 1998. Pada era reformasi (1998-sekarang), yang diharapkan dapat memberikan perubahan dari aspek ekonomi dan politik untuk mensejahterakan warga desa, tetapi secara politik justru desa dijadikan eksperimen untuk menjadi minitur Negara, dengan kebijakan membentuk Badan
Perwakilan Desa (BPD) karena sering konflik dengan kepentingan kepala desa, maka diubah namanya menjadi Badan Musyawarah Desa (BPD) dan mengangkat sekretaris desa menjadi PNS.Yang mendapatkan keuntungan masih berada pada elite politik dan elite aparat desa yang mendapatkan tanah ‘bengkok” (tanah pertanian) dan uang insentif perbulan dari pemerintah daerah, tetapi kondisi ini masih belum adil, sebagaimana dikemukakan oleh Eshak Salim (2010:3), Era reformasi ini desa mendapatkan ancaman melalui Alokasi Dana Desa (ADD), yaitu beberapa kasus di daerah-daerah, intervensi pihak kabupaten dalam penggunaan ADD dengan berbagai modus juga mulai terjadi, sebagai contoh melalui surat keputusan bupati yang berisi “pemaksaan’ menjalankan program-program tertentu,’pemaksaan’ pembelian komputer, studi banding, dan lain-lain. Fenomena ini adalah sebuah gambaran bahwa ‘pemangsa’ desa bukan lagi oleh Negara di Jakarta sana, tetapi sudah ada disekitar orang-orang desa sendiri yang bernama daerah. Hal ini salah satu pemicu protes perangkat desa untuk segera mengesahkan undang-undang tentang desa, seperti dapat dilihat pada uraian di bawah ini. No 1
Tanggal 21/2/2010
2
11/6/2010
3
4/10/2010
4
12/11/2010
5
12/11/2010
Isu-Isu Yang Menjadi Tuntutan Parade Nusantara (Persatuan Rakyat Desa) mendorong 4 isu utama masuk dalam RUU Desa, 1. Penyesuaian masa jabatan dari 6 tahun menjadi 10 tahun, 2. Menghapus batasan periodesasi dalam pencalonan kepa la desa yang hanya dua periode menjadi batasan usia 60 tahun.3. beaya pilkades ditanggung 100 persen APBD, bukan ditanggung oleh desa masing-masing.4. meminta alokasi dana desa (ADD) sebesar 10 persen langsung dari APBN. Kepala desa seluruh Indonesia menuntut agar status kades menjadi PNS disamakan juga sekretaris desa yang telah diangkat menjadi PNS, selain itu, minta agar masa jabatan kades diperpanjang menjadi 10 tahun dari sebelumnya 6 tahun Asosiasi Kepala Desa (AKD) menuntut dipertegasnya kedudukan dan kewenangan kepala desa tidak ada larangan bagi kepala desa menjadi pengurus partai politik Parade Nusantara menuntut UndangUndang Desa disahkan dan diharapkan bulan desember sudah ketuk palu. Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) menuntut diangkat jadi PNS
Sumber informasi Jawa Pos
Kominfo Newsroom
Suara Pembaharuan
Kompas
Kompas
Kesimpulan: Praktek politik yang terpola di tingkat desa telah dilakukan sejak zaman Kerajaan, Kolonial, Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi yang selalu berulang yaitu menempatkan desa sebagai basis eksploitasi sistematis dan berkelanjutan demi kepentingan politik dan ekonomi rejim. Di zaman kerajaan dan kolonial, meskipun secara ekonomi politik, peranan desa sebagai organisasi kekuasaan yang berotonomi, namun raja dan penguasa kolonial memberlakukan desa sebagai alat untuk melakukan penetrasi dan eksploitasi terhadap sumberdaya alam maupun manusianya untuk kepentingan kerajaan dan rejim semata, hal ini berlanjut sampai Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi dengan “bungkus baru isi lama”, jika Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi meperbaharui Undang-Undang tentang desa, kebijakan tersebut hanya sebagai “pelipur lara”. Hal ini dimungkinkan karena tidak ada jarak sosiologis, kultural dan bahkan fisik antara elite formal desa dengan warga desa, mereka adalah “ujung tombak dan ujung tombok” (resiko pertama dan tempat ganti rugi jika terjadi kekurangan atau kesalahan) dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan. Perubahan sosial dan politik di tingkat rejim yang meliputi sebagian atau seluruh wilayah Indonesia silih berganti, tetapi desa, sebagai kesatuan pemerintahan yang terendah, tetap bertahan dan hidup terus, bahkan selama itu pula susunan pemerintahan pada umumnya tidak mengalami perubahan yang berarti.
DAFTAR PUSTAKA Antlov, Hans, 2001,“Negara dalam Desa Patronase Kepemimpinan Lokal”, LAPPERA Pustaka Utama, Jogyakarta. Rahardjo, M. Dawam,2001,”Ekonomi Desa dan Manajemen Pemerintahan Desa” dalam Proceeding workshop Desentralisasi dan Good Governance di Tingkat Desa, UGM dan Partnership For Governance Reform in Indonesia, Yogyakarta, 24-26 September 2001 Salim, Ishak, 2010, “Desa di bangun desa di rusak”, http://desaku.blogdetik.com/2008/11/06/desa- di-bangun-desa-di-rusak, 6/6/2010 Schouten, Mieke,1988, “Legitimasi Sementara Pemerintahan Desa di Minahasa, dalam Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program “, Gramedia, Jakarta. Suparlan, Parsudi, 1986,“Demokrasi dalam Tradisi Masyarakat Pedesaan Jawa, dalam Demokrasi dan Proses Politik”, Prisma, LP3ES, Jakarta, 1986 Sutherland, Heather, 1978, “Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi”, Sinar Harapan, Jakarta Surat Kabar : Thaksin,2008, “ Globalization Versus Ruralization” , Kompas, 29/5/2008 Jawa Pos, 2010,“Desak UU Desa, Aparat Desa Galang Demo dan Koin”, 21/2/2010 Sudjatmiko, Budiman,2010, “ Reformasi Birokrasi dari Desa”, kompas,14/8/2010 Kominfo Newsroom,2010 “Mendagri : Kades diangkat PNS Tunggu RUU Desa Selesai”, 4/28/2010 Kompas, 2010,“Parade Tuntut UU Desa Sah”, 12/11/2010 Kompas,2010,”Perangkat Desa Tuntut Diangkat Jadi PNS”, 14/12/2010 Suara Merdeka,2011,”Perkuat Peran Desa dengan Agropolitan dan Ramai-Ramai Bikin Desa Wisata”,1/5/2011