POTRET HARMONISASI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA INDONESIA-MALAYSIA SEBAGAI SAUDARA SERUMPUN Santa Lorita Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected] Abstract State Indoenesia relationship with Malaysia face many obstacles in other words common misunderstanding related boundaries, certain cultural claims that both parties have insisted feel the culture. Indonesia-Malaysia relations motivated by keserumpunan identity, your relationship like brother and sister, but as the evelopment of each country, understanding both sides began to change, especially the understanding of Malaysia as sister to Indonesia as a brother. Relations between Indonesia - Malaysia becomes harmonious because of changes in the understanding, harmony between the two countries disrupted. Identity with the identity does not turn out to be the same. Younger brother is no longer respect for elderly relatives. This affects the political relations between the two countries. Keyword: cross cultural communication Abstraksi Hubungan Negara Indoenesia dengan Malaysia mengalami banyak hambatan dengan kata lain sering terjadi salah paham terkait batas negara, klaim budaya tertentu yang kedua belah pihak bersikukuh merasa memiliki budaya tersebut. Hubungan Indonesia-Malaysia dilatarbelakangi oleh identitas keserumpunan, bagaikan hubungan saudara adik dan kakak, namun seiring perkembangan masing-masing negara, pemahaman kedua belah pihak mulai berubah, terutama pemahaman Malaysia sebagai adik terhadap Indonesia sebagai kakak. Hubungan Indonesia – Malaysia menjadi tidak harmonis karena perubahan pemahaman tersebut, harmonisasi antara kedua negara terganggu. Identitas bersama berubah menjadi identitas tidak sama. Saudara muda tidak lagi respek kepada saudara tua. Hal ini mempengaruhi hubungan politik kedua negara. Kata kunci: komunikasi antarbudaya
I. PENDAHULUAN Awalnya hubungan Indonesia-Malaysia, dalam kadar tertentu dapat dikatakan berangkat dari identitas keserumpunan, ibarat hubungan adik kakak ataupun hubungan sedarah. Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara yang tidak hanya berdekatan secara geografis tapi memiliki keturunan ras yang sama yaitu ras Malayan Mongoloid. Karena kesamaan inilah seharusnya kedua Negara hidup berdampingan secara rukun dan damai. Dalam sejarah juga tercatat bahwa Indonesia-Malaysia saling membantu, ada perasaan senasib sepenanggungan sebagai negeri yang terjajah. Kedua negara dikenal sebagai negara serumpun karena memiliki banyak kesamaan akar budaya, sejarah kerajaan-kerajaan, agama bahkan keturunan yang sama. Kondisi ini menyebabkan kedua negara pada awalnya memiliki identitas bersama atau collective identity. namun saat ini berubah menjadi distinct 1
identity (membedakan identitas alias tidak mau dianggap sama dengan Indonesia). Malaysia awalnya dipandang respek pada saudara tuanya dalam hubungan kedua negara. Namun dalam kurang lebih dua dekade belakangan ini, pemahaman Malaysia tentang Indonesia mengalami perubahan. Banyak hal yang menyebabkan pandangan Malaysia berubah pada Indonesia, atau sebaliknya pandangan Indonesia terhadap Malaysia, antara lain cedera politik, seperti kasus Sipadan-Ligitan, mewarnai hubungan diplomatik kedua negara. Masa pemerintahan Soekarno, hubungan kedua negara satu rumpun ini pernah terguncang, bahkan mencapai klimaks, ketika Presiden RI Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Indonesia saat itu melihat Malaysia sebagai antek kolonialisme, yang mendukung penjajahan di atas muka bumi. Politik luar negeri Indonesia saat itu
lebih cenderung pro-Timur, dalam artian pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno, membenci segala hal yang berbau Barat. Karena kolonialisme adalah produk Barat, maka Indonesia pun menunjukkan ketidaksukaannya ketika Malaysia memilih bergabung dengan Inggris. Hingga kini, Malaysia, Inggris, Singapura, dan sejumlah negara lainnya, merupakan anggota negara-negara persemakmuran Inggris. Parahnya, hubungan Indonesia-Malaysia tahun 1960-an bisa dilihat dari sejumlah slogan politik yang marak saat itu. “Ganyang Malaysia” menjadi suatu kalimat populer. Untunglah, perseteruan antara saudara serumpun itu pulih kembali setelah Soeharto menjadi Presiden RI kedua. Penyebab selanjutnya masalah Sipadan-Ligitan. yang diklaim sepihak pemerintah negeri jiran sebagai bagian dari Malaysia telah menyebabkan Indonesia kehilangan wilayah tersebut, Indonesia dan Malaysia membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional 2002 lalu, Indonesia kalah dalam persidangan penentuan kepemilikan pulau tersebut lalu sentimen negatif rakyat Indonesia akibat beberapa peristiwa seperti perlakuan terhadap pekerja Indonesia di Malaysia, kemudian klaim Malaysia terhadap produk budaya dan karya Indonesia, laporan-laporan media dan pernyataan para pemimpin Malaysia tentang pekerja Indonesia membentuk pemahaman bahwa Malaysia lebih maju, lebih berkembang, lebih stabil dan aman daripada Indonesia. Belumlah hilang kasus-kasus di atas ,muncul kasus Ambalat, yang akhirnya membuat rakyat Indonesia tambah berang terhadap perilaku Malaysia yang dinilai arogan. Indonesia juga sempat dibuat kalang kabut dengan klaim batik dan reog Ponorogo adalah asli budaya Malaysia. Atas klaim itu, Indonesia akhirnya melakukan berbagai upaya diplomatik internasional, sehingga hasil akhirnya pertengahan 2010 Unesco PBB memutuskan bahwa batik adalah budaya asli Indonesia. Pemerintah RI telah mengerahkan tujuh kapal perang ke perairan Karang Unarang. Ini dilakukan bukan untuk mengajak Malaysia berperang tetapi semata-mata untuk menjaga kedaulatan wilayah RI. Tindakan pemerintah Indonesia mempertahankan kedaulatan wilayah RI, itu harus, tetapi tentu saja harus mengutamakan prinsip-prinsip antikekerasan. Pasalnya, Indonesia belajar dari sejarah bahwa penyelesaian konflik dengan menggunakan kekerasan bukan tindakan yang baik. Apa pun alasannya, kekerasan dak bisa dibanalisasi karena ketika kekerasan itu menjadi suatu hal yang wajar, maka yang rugi kita semua. Pemerintah Indonesia melakukan upaya lain dengan melakukan diplomasi melalui Deplu dengan
para diplomatnya. Namun usaha tersebut tidak cukup, bukankah konflik bisa diselesaikan melalui komunikasi, apalagi bila komunikasi tersebut menggunakan hati nurani. Dalam kontek pembahasan ini komunikasi yang dimaksud penulis adalah komunikasi antar budaya antara warga Malaysia dan Indonesia. Spesifiknya komunikasi antar budaya secara intensif antara civitas akademika Indonesia dengan civitas akademika Malaysia, dengan harapan bila komunikasi antar budaya antara civitas akademika Indonesia dan Malaysia harmonis akhirnya masing-masing memiliki kesadaran untuk meminimalisir perbedaan pandangan di antara kedua pihak. Tulisan ini mencoba bermaksud mengkaji dalam perspektif ilmu komunikasi sosial budaya atau komunikasi antar budaya.
II. PEMBAHASAN 2.1. Komunikasi Antar Budaya Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era perang dunia kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. bagaimanapun, disadari pemerintah dan pebisnis bekerja melewati benua, dan berpindah-pindah dan akhirnya mereka sering menyadari perbedaan budaya yang terjadi. Kendala utama adalah bahasa, bagimana mereka ha-rus mempersiapkannya dan juga menjadi tantangan bagi komunikasi lintas budaya yang mereka lakukan. Sebagai respon, pemerintah Amerika pada tahun 1946 membangun sebuah Foreign Service Institute (FSI). Lembaga ini kemudian memilih Edward T. Hall dan beberpa ahli antropologi dan bahasa termasuk Ray Birdwhistell dan George Trager untuk mengurus keberangkatan dan kursus untuk para pekerja yang keluar negeri. Karena bahan pelatihan antar budaya masih jarang, maka mereka mengembangkan keahlian mereka sendiri. Alhasil, FSI memformulasikan cara baru untuk melihat budaya dan komunikasi, dan lahirlah studi komunikasi antarbudaya ( Martin, Thomas , 2007:44-45) Istilah antara budaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antroplog, Edward T.Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaban konsepkonsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya. Sebelum pembahasan lebih mendalam penulis ingin memaparkan terlebih dahulu beberapa istilah dan pengertian yang perlu dipahami dalam komunikasi antar budaya, antara lain sebagai berikut: 2
Pertama, komunikasi antar budaya KAB (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya. Jadi pada dasarnya KAB mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi tentang makna pesan verbal dan nonverbal menurut budayabudaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, bagaimana cara mengkomunikasikannya (verbal dan nonverbal). Kedua, komunikasi lintas budaya/ KLB (crosscultural communication) secara tradisional membandingkan fenomena komunikasi dalam budaya-budaya berbeda. Contoh bagaimana gaya komunikasi pria dalam budaya Amerika dan budaya Indonesia. Tetapi lambat laun KAB dan KLB sering dipertukarkan. Secara konvensional KAB lebih luas dan lebih komprehensif daripada KLB. Ketiga, komunikasi antar etnik (interethnic communication) adalah komunikasi yang terjadi antara kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal-usul yang sama. Oleh karena itu komunikasi antar etnik juga merupakan bagian dari KAB, sebagaimana juga komunikasi antar ras, komunikasi antar agama dan komunikasi antar gender. Dengan kata lain, komunikasi antar budaya lebih luas dari bidangbidang komunikasi yang lainnya. Keempat, komunikasi antar ras adalah komunikasi yang terjadi pada sekelompok orang yang ditandai dengan ciri-ciri biologis yang sama. Secara teoritis dua orang dari ras berbeda boleh jadi memiliki budaya (terutama ditandai dengan bahasa dan agama) yang sama. Secara implisit komunikasi antar ras juga mengandung dimensi komunikasi antarbudaya, karena biasanya ras berbeda memiliki bahasa dan asal-usul berbeda. Kalaupun kedua pihak yang berbeda ras sejak lahir diasuh dalam budaya yang sama, potensi konflik tetap ada dalam komunikasi mereka, mengingat pihak-pihak bersangkutan menganut stereotip-stereotip tertentu (biasanya negatif) mengenai mitra komunikasinya yang berbeda ras itu. Contoh, orang Amerika berkulit putih (nenek moyangnya berasal dari Eropa) dan orang Amerika berkulit hitam (nenek moyangnya berasal dari Afrika) telah hidup berdampingan di negara yang sama selama berabadabad, tidak dengan sendiri komunikasi diantara mereka harmonis. Hingga sekarang mereka mempunyai potensi konflik yang tetap besar, mengingat mereka memiliki prasangka antar ras. Selain pengertian yang berusaha mengaitkan antara komunikasi dan budaya, masih ada kajian lain 3
yang juga sama dalam usaha untuk mengaitkan komunikasi dan budaya yaitu Komunikasi Internasional. Pendekatan umum dan dasar kedua bidang ini memang sulit dibedakan. Akan tetapi, jika komunikasi antarbudaya berlangsung pada tingkat budaya, dan komunikasi internasional berlangsung pada tingkat negara, yang berarti melewati batas-batas negara. Jadi komunikasi antarbudaya identik dengan komunikasi antar bangsa, meskipun tidak selalu demikian. Masalahnya, sering sekelompok orang yang memiliki budaya yang sama (contoh, Indonesia dan Malaysia) dipisahkan oleh batas negara, sehingga bisa dikatakan komunikasi antara Indonesia dan Malaysia adalah komunikasi antarbangsa dalam suatu budaya yang sama. Sebaliknya, kelompok-kelompok orang dengan budaya yang berlainan boleh jadi terdapat di negara yang sama, seperti di Amerika Serikat dan Australia, sehingga komunikasi antarbudaya berlangsung di negara yang sama. Perbedaan lainnya adalah KAB lebih banyak menyoroti realitas sosiologis dan antropologis, sementara komunikasi antarbangsa le-bih banyak mengkaji realitas politis. 2.2. Komunikasi Antar Budaya Sebagai Fenomena Sosial Pemahaman mengenai komunikasi antar budaya bukan sesuatu yang baru, karena sebenarnya sejak dulu manusia sudah saling berinteraksi yang tentu saja manusia-manusia tersebut mempunyai latar belakang budaya yang berbeda, maka komunikasi antar budaya dapat dikatakan telah berlangsung. Dahulu komunikasi antarbudaya terjadi dalam lingkup sempit dan kecil, biasanya terjadi pada golongan minoritas. Misal, pejabat pemerintahan atau pedagang tertentu yang mempunyai kepentingan untuk berkunjung ke negeri-negeri lain. Namun kini perkembangan tekhnologi komunikasi termasuk di dalamnya teknologi media massa telah mengubah keadaan. Media massa turut berperan dalam meningkatkan proses komunikasi antar budaya. Perkembangan teknologi komunikasi telah membuat dunia ini menjadi desa semesta (global village) dimana manusia dari belahan mana pun di dunia bisa berinteraksi satu sama lain seolah tanpa batas jarak dan waktu. Mengutip pemikiran T.Hall (1973:145) mengenai faktor-faktor yang mendorong perkembangan komunikasi antarbudaya dapat dilihat dari tiga segi, yaitu: a. Segi internasional Kemajuan teknologi, khususnya di bidang komunikasi dan transportasi jelas membawa pengaruh positif
maupun negatif terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Teknologi komunikasi dan transportasi telah menyatukan dunia dengan penduduk yang berbeda pandangan politik, sistem sosial dan kepercayaan. Komunikasi dan transportasi membawa bangsa-bangsa ke dalam “Era Globalisasi”. Meningkatnya teknologi komunikasi dan transportasi menciptakan suatu jaringan komunikasi dunia. b. Satelit Satelit komunikasi ini memungkinkan jumlah manusia yang banyak dengan jarak berjauhan dapat dibujuk, diajarkan dan dihibur secara serentak dalam satu waktu yang sama. c. Kesadaran manusia Kesadaran manusia dan bangsa akan adanya kesempatan dan kebutuhan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan kejiwaan, termasuk kebutuhan akan informasi. Dengan informasi orang dapat mengetahui apa yang telah, sedang dan akan terjadi di suatu masyarakat atau negara, serta dapat mengetahui tindakan yang harus dilakukan untuk memperbaiki hidupnya. Dengan berkurangnya hambatan-hambatan komunikasi, maka dunia seakan terdesak pada kebutuhan untuk mencapai saling pengertian antara sesama umat manusia. Peperangan yang terjadi mungkin saja disebabkan oleh kurang atau tidak adanya pengertian di antara pihak-pihak yang bertikai karena adanya kepentingan nasional, falsafah hidup, keinginan ataupun harapan-harapan pihak lainnya. Sesuatu yang dianggap baik oleh suatu pihak belum tentu bernilai positif bagi pihak lain dan bahkan sebaliknya. d. Segi Domestik Perubahan-perubahan di dunia internasional tentu saja membawa dampak pada perubahan kebudayaan di dalam negeri. Termasuk munculnya berbagai macam kelompok sub-budaya yang menyimpang dari kebudayaan dominan masyarakat. Sub budaya adalah : suatu komunitas rasial, etnik, regional yang memperlihatkan pola-pola perilaku yang membedakannya dari sub-budaya lainnya dalam suatu budaya atau masyarakat yang melingkupinya. Pada umumnya sub budaya terjadi karena adanya minoritas di dalam budaya. Contoh sub budaya dan dampak adanya perubahan internasional ke domestik. Adanya persamaan hak untuk memperoleh pendidikan yang sama bagi masyarakat Indian di AS. Adanya kesempatan yang sama dalam menduduki jabatan pemerintahan untuk kulit hitam. Akan tetapi, kontak-kontak baru ini seringkali menemui kegagalan atau tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Masalah-masalah yang muncul tidak
saja disebabkan perbedaan bahasa, pengertian tentang penggunaan waktu, pakaian, warna kulit, tetapi lebih mendalam dan kompleks karena menyangkut perbedaan nilai dan cara memandang kehidupan. 2.3. Faktor Pendorong Perlunya Studi KAB Indonesia-Malaysia Beberapa hal yang menjadi pendorong diantaranya: a. Adanya kenyataan bahwa masyarakat IndonesiaMalaysia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari sejumlah suku bangsa dengan latar belakang kebudayaan, bahasa daerah, dialek, nilainilai dan falsafah pemikiran agama, kepercayaan dan sejarah yang berbeda meski dianggap memiliki beberapa kemiripan budaya. b. Adanya pergeseran nilai dalam masyarakat Indonesia-Malaysia sebagai akibat pembangunan di segala sektor kehidupan. c. Derasnya arus informasi dan komunikasi yang dibawa oleh media massa modern dan para wisatawan yang dari dan ke Negara Indonesia-Malaysia turut memperlancar kontak-kontak kebudayaan. d. Pertambahan penduduk di masing-masing negara yang menuntut peningkatan sarana dan prasarana umum baik dalam kualitas maupun kuantitas. e. Segi Pribadi, sebagai makhluk sosial manusia harus bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dalam melakukan sosialisasi tersebut tidak jarang berkenalan, berteman, bergaul atau bersahabat dengan orang lain yang berbeda suku bangsa, dialek, nilainilai dan falsafah pemikiran, latar belakang budaya. Untuk itu diperlukan suatu pengertian diantara mereka. Saling pengertian ini dapat diwujudkan apabila dari setiap individu secara pribadi mau belajar budaya orang lain. Individu yang gagal dalam mengadaptasi budaya lain dapat menderita gegar budaya (culture shock) yaitu kecemasan yang disebabkan oleh hilangnya tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Komunikasi antarbudaya Indonesia – Malaysia yang beda bangsa juga berbeda budaya, maka konseskuensinya akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Ada syarat-syarat pokok yang diperlukan orang Indonesia-Malaysia untuk berkomunikasi secara efektif dalam konteks komunikasi antarbudaya. Menurut Mulyana (2005:6-7) syarat-syarat itu adalah : a. Menghormati anggota budaya lain sebagai budaya. 4
b. Menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki, c. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Porter dan Samovar (2004: 85) juga mengatakan bahwa ada banyak variabel yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya, yang salah satunya adalah sikap. Sikap merupakan suatu keadaan psikologis yang menyebabkan setiap manusia membuat predisposisi tindakan yang tepat dalam menghadapi baragam peristiwa sosial atau objek dalam lingkungan sosialnya. Samovar dan Porter mengatakan bahwa suatu keinginan yang tulus untuk melakukan komunikasi yang efektif adalah penting, sebab komunikasi yang berhasil mungkin tidak hanya terhambat oleh perbedaan-perbedaan budaya, tetapi juga oleh sikap-sikap yang tidak bersahabat atau bermusuhan. Mari kita melihat bahwa hubungan antara Indonesia dengan Malaysia bukanlah takdir untuk tidak pernah rukun, bukankah telah banyak bukti dalam kehidupan ini segala sesuatu dapat diselesaikan melalui komunikasi yang persuasif juga intensif. Meski dikatakan dilihat dari aspek sejarah budaya Malaysia-Indonesia banyak kemiripannya, namun pada konteks kajian ini penulis memakai perspektif komunikasi antar budaya dengan alasan IndonesiaMalaysia adalah dua Negara yang berbeda, beda bangsa, beda budaya, maka besar kemungkinan beda persepsi dalam memandang banyak hal. Dalam wacana ilmu komunikasi dijelaskan, komunikasi adalah proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis, melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal-hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna. Sedangkan sosial budaya ialah budi (moral dan wawasan) serta daya (perilaku dan kemampuan) masyarakat yang setiap masyarakat (komunitas) memiliki budi dan daya masing-masing. Sosial budaya ini dikenal sebagai suatu kebudayaan dan kebudayaan tecermin pada adat, bahasa, kebiasaan, norma yang berlaku dalam masyarakat (bangsa) tertentu. Dengan demikian, komunikasi sosial budaya adalah komunikasi yang berlangsung di antara mereka yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Komunikasi ini melintasi batas-batas kebudayaan suatu masyarakat, suku, ataupun bangsa. Karena itu, setiap kita yang melakukan komunikasi sosial budaya, harus memahami terlebih dahulu kebudayaan komunikator atau sebaliknya kebudayaan komunikan. Salah satu unsur menonjol dari kebudayaan yang harus dipahami ialah bahasa dan juga etika. Sebuah bangunan komunikasi tak akan tercipta atau menjadi komunikasi yang efektif apabila 5
apabila terjadi hambatan (noise). Gangguan atau kendala yang acapkali terjadi dalam komunikasi sosial budaya kebanyakan berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik. Sebab, sebagaimana hipotesis yang ada, kian besar derajat perbedaan antarbudaya suatu komponen komunikasi, akan semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Hipotesis tersebut sesuai dengan pendapat De Vito (1997, dalam Alo Liliweri 2009) yang menggolongkan tiga macam gangguan komunikasi. Pertama, fisik berupa intervensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat. Kedua, psikologis, berupa intervensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan bias pada sumber penerima pikiran yang sempit. Ketiga, semantik, berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan, misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami pendengar. Namun, dalam perspektif komunikasi sosial budaya, gangguan psikologis dan juga semantik lebih menonjol. Oleh karena itu, bila kita melakukan komunikasi sosial budaya, maka kita harus memahami psikologi dan semantik mitra komunikasi kita. Dalam contoh kasus di atas, yaitu memanasnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia yang terus menegang dari tahun ke tahun, apabila diteliti lebih jauh, sebenarnya mulai menunjukkan betapa telah ada suatu gangguan komunikasi di antara kedua belah pihak. Perbedaan pemaknaan yang hingga pada akhirnya membuahkan gangguan atau bahkan konflik tersebut adalah berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik. Pada sisi perbedaan persepsi, terjadi ketidaksamaan pemahaman/anggapan di antara Indonesia dengan Malaysia, khususnya di dalam memahami identitas kesenian yang meskipun akarnya sama-sama dari Melayu. Dalam kasus konflik ini, sebagai contoh reog Ponorogo dan batik, bisa jadi, Malaysia melihat, kesenian reog Ponorogo dan batik asal muasalnya, yakni Melayu. Sehingga, Malaysia merasa benar kalau kemudian akhirnya mengklaim kesenian reog Ponorogo dan batik adalah juga miliknya, karena Malaysia satu ras dengan Indonesia dalam rumpun bangsa Melayu. Di sisi lain, persepsi rakyat Indonesia juga berbeda. Indonesia menganggap kesenian reog Ponorogo dan batik adalah kesenian asli Indonesia, bukan dalam konteks serumpun akar bangsa Melayu, karena dengan penyertaan nama Ponorogo dalam kesenian dan Batik Pekalongan, atau Batik Madura, Batik Cirebon sudah menunjukkan lokalitas asal muasalnya, yaitu Jawa Timur dan Jawa Tengah, Indonesia.
Sehingga Indonesia pun bersikukuh, klaim Malaysia tersebut justru menguburkan makna dan substansi dari Melayu itu sendiri. Perbedaan persepsi dalam memahami kesenian inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik diplomatik kedua negara. Bagaimana dengan perbedaan simbolik dan bahasa di antara kedua negara tersebut? Tampaknya tidak sampai menimbulkan gesekan. Sejauh ini, menurut penulis, yang dominan menimbulkan ketegangan lebih karena adanya perbedaan persepsi dalam memaknai akar kebudayaan atau kesenian. 2.4. Pendekatan Dialog Kultural Lantas, apa yang harus dilakukan kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, agar ketegangan serupa tidak terulang di kemudian hari? Khususnya kita yang berada dalam lingkungan akademis, individu-individu yang dianggap intelek dan bijak dalam berpikir. Dalam perspektif komunikasi sosial budaya, ada beragam pendekatan yang bisa dilakukan untuk membangun jembatan komunikasi antar budaya kedua negara. Alo Liliweri (2011) mencantumkan beberapa pendekatan komunikasi antarbudaya, yaitu, pendekatan psikologi sosial, pendekatan interpretatif, pendekatan kritis, pendekatan dialektikal, pendekatan dialog kultural, dan pendekatan kritik budaya. Dari enam pendekatan ini, merujuk kasus klaim kesenian Indonesia dan Malaysia, rupa-rupanya pendekatan dialog kultural adalah yang paling pas. Pendekatan ini lebih sering disebut juga sebagai mahzab yang menekankan pada isu-isu internasionalisme dan humanisme. Kedua belah pihak perlu melakukan diskusi dan dialog bersama dengan berangkat dari persamaan akar budaya, yaitu Melayu. Kedua belah pihak perlu sama-sama memahami dan menyadari bahwa reog dan batik juga berkembang dengan pesat di kedua negara. Karena itu, dalam konteks ini, penulis sepakat serimpi, serampang dua belas reog Ponorogo, dan batik menjadi milik kita yang pernah atau tetap disebut ”Melayu”, sehingga di kemudian hari tidak ada ketegangan lagi. Biarlah pula wayang kulit dan wayang orang yang sudah berkembang di Malaysia, terutama di Johor Baru tersebut, menjadi milik kita semua: rumpun bangsa Melayu. Sebab, klaim dan patenisasi bukan ranah kebudayaan, melainkan ranah politik, dan yang terpenting adalah, sebagaimana disebutkan dalam pendekatan dialog kultural, kedua negara harus sama-sama berkomitmen memberikan kontribusi keilmuannya, budayanya, keseniannya untuk meningkatkan pemahaman tentang dunia. Bila dialog dengan pendekatan kultural
kontinu dan frekuensi tinggi dilakukan antar civitas akademika dari sejumlah kampus yang terdapat di Indonesia dan Malaysia. Tentunya hal itu akan membuka peluang persamaan persepsi dan persamaan persepsi yang tercipta di antara civitas akademika nantinya dapat ditransfer kepada keluarga, saudara, kerabat, atau melalui forum diskusi di masing-masing Negara. Diluar pendekatan dialog kultural, untuk mengurangi ketegangan hubungan kedua negara, pendekatan teori negosiasi identitas yang dirumuskan Stella Ting-Toomey 2005: 211-234) , juga bisa dijadikan sebagai rujukan. Menurut teori ini, identitas suatu bangsa, dalam kasus ini Indonesia dan Melayu, dinegoisasi saat berinteraksi dengan negara-negara lain, terutama dalam berbagai budayanya. Sebab, identitas selalu dihasilkan dari interaksi sosial. Identitas atau gambaran diri, dibentuk melalui proses negoisasi ketika suatu bangsa menyatakan, memodifikasi, atau menantang identifikasi diri sendiri atau orang lain. Identitas etnik dan kebudayaan ditandai oleh nilai isi (value content) dan ciri khas (salience). Nilai isi ini dalam ranah praksisnya mempengaruhi anggotanya agar menilai komunitas atau kelompok, termasuk bangsa, lain. Karena itu, untuk membentuk masyarakat ”Melayu” yang harmonis dan rukun di kemudian hari, diperlukan suatu bangunan komunikasi yang mampu menjadi sarana hubungan yang setara di antara berbagai bangsa. Menurut Stella Ting-Toomey ( 2005: 211-234) , perlu dibangun sebuah komunikasi yang fokus pada identitas etnik dan kebudayaan, terutama negoisasi yang terjadi ketika berkomunikasi di dalam dan di antara kelompok-kelompok kebudayaan lainnya. Identitas-identitas yang dibentuk dalam komunikasi tersebut juga harus dari berbagai latar kebudayaan. Individu etnis maupun antarbangsa, yang hidup dalam tatanan dunia multikultural harus mampu melakukan bikulturalisme fungsional (berganti dari satu konteks budaya ke budaya yang lainnya dengan sadar dan mudah). Jika hal itu dilakukan, maka kita mencapai keadaan pengubah kebudayaan (cultural transformer). Untuk mencapai derajat tersebut, pemimpin kedua negara (Indonesia dan Malaysia) harus mempunyai jiwa lintas budaya (intercultural competence), lintas etnis, dan agama yang terdiri atas tiga komponen. Yaitu, pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan (skill). Pengetahuan mencakup tentang pemahaman pentingnya identitas etnik, kebudayaan, agama dan bangsa. Kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Sedangkan kesadaran secara sederhana berarti menyadari pentingnya menghormati identitas etnik dan bangsa lain. Menyadari adanya penggunaan 6
perspektif baru. Serta, kemampuan mengacu kepada kemampuan untuk menegoisasi identitas melalui observasi yang diteliti, menyimak, empati, kepekaan nonverbal, kesopanan, dan sebagainya. Mungkin ini disebabkan oleh adanya pertentangan antara Indonesia - Malaysia. Pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian. S e b a b pertentangan adalah : perbedaan antara individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, perubahan sosial. Pertentangan dapat pula menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Timbulnya pertentangan merupakan pertanda bahwa akomodasi yang sebelumnya telah tercapai. Pertentangan itu sendiri mempunyai beberapa bentuk khusus, yakni, pertentangan pribadi a. Pertentangan rasial : dalam hal ini para pihak akan menyadari betapa adanya perbedaan antara mereka yang menimbulkan pertentangan. b. Pertentangan antara kelas-kelas sosial : disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan. c. Pertentangan politik yang menyangkut baik antara golongan-golongan dalam satu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat. d. Pertentangan yang bersifat internasional: disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara. Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam satu kelompok tertentu, akibatnya adalah sebaliknya, yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut. a. Perubahan kepribadian para individu. b. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. c. Akomodasi, dominasi, dan takluknya salah satu pihak. Terkait dengan paparan di atas, penulis mempertanyakan bagaimana peran kita sebagai bagian dari civitas akademika untuk harmonisasi komunikasi antarbudaya Indonesia-Malaysia. Kodrat manusia ter manusia memiliki tingkatan kebutuhan, yaitu: individu melakukan tindak komunikasi dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan ekonomi, kebutuhan. Komunikasi lintas budaya sejatinya dilakukan manusia adalah untuk meminimalisir ketidakpastian dan kesalahpahaman antara individu yang melakukan komunikasi antarpribadi, dimana Individu-individu 7
manusia memiliki tingkatan kebutuhan, yaitu: individu melakukan tindak komunikasi dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan ekonomi, kebutuhan. Komunikasi lintas budaya sejatinya dilakukan manusia adalah untuk meminimalisir ketidakpastian dan kesalahpahaman antara individu yang melakukan komunikasi antarpribadi, dimana Individu-individu yang melakukannya memiliki perbedaan budaya. 2.5. Temuan Kajian Berbicara fenomena atau fakta saat ini mengenai hubungan Indonesia dan Malaysia adalah ibarat kapal yang berlayar di atas lautan yang tersapu ombak. Goncangan demi goncangan silih berganti menerpa dua negara yang sama tapi tak serupa. Kebencian dan kedengkian sering ditimbulkan lewat isu-isu yang dibangkitkan melalui media di kedua negara terkadang berisifat propaganda dan mengadu domba, lantas kebencian dan kedengkian itu makin tumbuh subur dan menyemat di aliaran darah di kedua belah masyarakat antar negara. Syarat yang diperlukan individu untuk melakukan KAB secara efektif, yakni : pertama, adanya sikap menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. Kedua, adanya sikap menghormati budaya lain sebagaimana adanya, dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Ketiga, adanya sikap menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Indonesia ingin sekali dihargai dan dianggap penting oleh Malaysia dengan alasan bahawa Indonesia adalah negara yang lebih tua dan berpengalaman dari Malaysia. Katanya. Malaysia juga merasa perlu dihormati dan disegani oleh Indonesia dengan alasan Negara Malaysia jauh lebih maju di bidang ekonomi dan aspek-aspek lainnya daripada Indonesia. Bila memang Indonesia hebat, berpegalaman dan perlu dihormati kenapa sampai saat ini banyak mengalami kemunduran dari segala aspek. Rakyatnya terpaksa hijarah untuk mencari penghidupan. Jika Malaysia benar-benar maju dan hebat kenapa hanya 30% dari total kekayaan yang berhasil dimiliki oleh bumi putera. Sehingga rakyat hidup banyak yang dibelenggu hutang. Cukup jelas, jadi jangan kita menipu diri kita sendiri dengan hayalan-hayalan kosong tanpa makna. Paradigma yang keliru adalah petanda kemunduran suatu peradaban. Orang jahiliah anggap mulia mengubur anak perempuan hidup-hidup. Setiap negara, setiap orang, setiap kelompok memiliki kelebihan dan kekurang masing-masing. Tujuannya bukan untuk saling merendahkan atau
atau membanggakan diri tapi untuk saling melengkapi (Jika saudara orang Islam lihat Al-Quran (AlGujarat: 11). Dengan merendah-rendahkan orang lain bukanlah cara yang terbaik untuk dihormati, yang demikian itu adalah sifat Iblis, sebab itulah ia tersusir dari surga. Juga sifat orang-orang Yahudi angkuh dan somong sebab itulah mereka dilaknati dengan lisannya Daud dan Isa putra Maryam. Juga pemuka kaum Munafik Abdullah bin Ubay yang mengatakan “orang yang mulia (Abdullah bin Ubay sendiri) akan mengusir orang yang hina (Nabi Muhammad S.A.W ) dari bumi Madina”. Lalu hatinya ditutup dari melihat kebenaran dan disesatkan untuk selama-lamanya. Jika ada orang Indonesia atau Malaysia yang berkelakuan seperti itu dipastikan ia tidak terlepas dari salah satu dari tiga golongan yang di atas. Oleh karna itu berhati-hatilah jangan ikuti jejak orang yang sesat dan menyesatkan yang memandang baik perkara yang hina. Mereka itulah orang-orang yang ditutup mata, telingga dan hatinya sehingga tak sempat memilih mana yang benar dan mana yang salah. Kesadaran inilah yang perlu kita didik dalam diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat kita saat ini. Lebih menyedihkan lagi bencana ini menimpa kaum intelek yang kaya dengan pengetahuan tapi kering dari kebijaksanaan. Ini terbukti dari banyaknya cerdik pandai ikut ambil bahagian dalam perkara yang tidak terhoramt ini dan bersifat seperti kanak-kanak. Sungguh memalukan. Hormat-menghoramti adalah wajib dan dituntut baik dari segi agama maupun dari segi kemanusiaan itu sendiri. Tapi yang jadi permasalahannya adalah ketika merasa perlu dihormati dan disegani, ini adalah sifat yang hina yang semestinya tidak ada dalam jiwa masyarakat yang memiliki kebijaksanaan dan pengentahuan yang tinggi. Isu-isu yang bersifat pribadi, seharusnya tidak dijadikan isu yang mengatasnamakan negara. Contoh ada orang Malaysia yang ditipu oleh orang Indonesia, sehingga mengatakan “orang Indonesia penipu”. Padahal masalah tipu-menipu itu adalah perkara yang ada di mana-mana. Begitu juga dengan Masyarakat Indonesia jangan mudah mengutuk atau merendahkan Malaysia. Contohnya ada pembantu rumah orang Indonesia yang didera di malaysia. Padahal yang mendera itu hanya satu orang sementara berapa ribu pembantu rumah di Malaysia yang mendapat pelayanan bagus dari majikannya. Sehingga keluarlah kata-kata dan demontrasi-demonstarsi yang mengutuk Malaysia padahal bukan semua orang Malaysia yang berkelakuan sehina itu. Menyinggung tentang isu konfrontasi Indonesia-Malaysia “Gayang Malaysia” hal ini sering kali
dijadikan pematik api kebencian Malaysia terhadap Indonesia. Dalam buku-buku sejarah Malaysia tidak ada yang mengulas secara jujur mengenai peristiwa ganyang Malaysia itu berlaku dan apa latar belakang penyebab Sukarno melakukan itu. Perlu dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia baikpun Malaysia yang korban sejerah dan termanipulasi oleh rekaan sejarah. Karena kesalahan dalam memahami sejarah akan menimbulkan salah paham terhadap penilaian sejarah itu sendiri. Menyentuh isu “gayang Malaysia” kita perlu membuka mata dan hati kita lebar-lebar, bukti sejarh yang sebenarnya baikpun yang ditulis oleh Sukarno sendiri ataupun kajian mengenai misi dan visi perjuangan beliau dalam membebaskan rantau Asia ini dari cengkeraman penjajah. Seperti perencanaa pembentukan Melayu Raya, pembentukan ASEAN dan lainnya demi terwujudnya kedamaian dan ketenteraman di rantau Asia ini dari penjajahan. Jadi sudah jelas kalau kita paham dengan sejarah bahwa tujuan dari misi Sukarno memerangi Malaysia ketika itu alasannya jelas, ialah karna ketidaksukaannya atas kemerdekaan Malaysia yang ada campur tangan negara barat, Sukarno menginginkan kemerdekaan Malaysia itu berdiri sendiri tidak ada keterikatan dengan negra Eropa. Sebab perkara ini diramalkan, dengan adanya campur tangan asing dalam suatu negara tersebut maka ia secara tidak langsung menjadi benih ke atas penjajahan baru yang akan bertapak dan mengembangkan akarnya sehingga yang dirugikan bukanlah Malaysia atau Indonesia saja melainkan kedua-duanya. Perakara inilah yang dijangkakan akan mengancam keselamatan kedua-dua Negara jiga agen-agen barat diberi peluang untuk mengukuhkan sayapnya diarantau Asia. Terbukti sekarang baik politik mahupun ekonimi Malaysia tidak terlepas dari percaturan negara barat terutama Inggris yang memegang kuasa penuh. Sehingga jumlah total kekayaan asset ingris mencapai 60 % dan 10 % milik lain-lain hanya 30 % kekayaan yang dimiliki oleh bumi putera dan ini diakui sendiri dalam buku catan dan buku-buku sejarah Malaysia. Kemudian Inggris dan Amerika menjadikan sigapura sebagai markaz untuk memata-matai gerakgerik rantau asia dan agen-agennya ditempatkan di sana. Siapa yang rugi?. Perjajian Inggris dengan kemerdekaan Malaysia bahua kaum Cina dan India di Malaysia mendapat hak politik. Pendekatan kultural adalah pendekatan yang menginginkan konkretisasi dalam mendekati 8
kebudayaan. Pendekatan kultural adalah sistem pandang terhadap sebuah objek bertolak dari kacamata kebudayaan. Ciri dari pendekatan kultural adalah menenun, merajut, dan merawat kehidupan yang bersifat sintetis dan dinamis. Pendekatan kultural langsung berakar pada kehidupan masyarakat setempat. Karena itu dalam memahami persoalan kemasyarakatn pemakaian pendekatan kultural sangat perlu dalam penyelesaian berbagai masalah. Urgensi pendekatan kultural terlihat ketika berbagai pendekatan seperti rasional dan struktural tidak bisa menjelaskan sebuah masalah yang terjadi dengan baik. Kelemahan pendekatan struktural dalam memandang sebuah masalah terlihat ketika masalah tersebut berakar dari permasalahan kultur atau kebudayaan bukan berasal dari struktur yang membangun masyarakat tersebut. Karena manusia hidup dalam kebudayaan (termasuk agama) yang diciptakannya sendiri yang merupakan sistem jaring makna yang membuat manusia mempunyai makna hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya, pendekatanan kultural juga mendapatkan beberapa kritik seperti pendekatan kultural sering dianggap terlalu berbelit-belit. Penggunaan pendekatan itu juga harus melibatkan tokoh masyarakat setempat. Padahal, dari sejumlah pengalaman, banyak tokoh masyarakat yang enggan terlibat secara langsung dalam penyelesaian konflik karena mereka menjadi bagian dari konflik. Namun meski demikian, tampaknya pendekatan kultural harus digunakan dalam memandang permasalahan-permasalahan masyarakat yang berakar dari permasalahan kebudayaan. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat muslim dalam pandangan Habibi terfokus pada masalah kemiskinan dan kebodohan (keterbelakangan informasi). Kedua masalah tersebut tidak bisa diselesaikan hanya dengan menggunakan pendekatan struktural di mana kita mencari akar dan penyebab masalah dari struktur yang membangun masyarakat apakah pemerintah atau sistem pendidikan atau sarananya dan lain sebagainya.
III. PENUTUP Masyarakat harus senantiasa berusaha menguak tabir yang menjadi pelapis konflik IndonesiaMalaysia. Kita harus bahu-membahu mencari simpul dari sudut pandang ideologi, politik, ekonomi, dan sbagainya agar mengetahui duduk perkaranya. Kita tidak boleh terus “dibodohi” oleh pembusukan 9
dari dalam maupun luar wilayah Indonesia yang bertujuan satu: menghancurkan bangsa dan negara Indonesia baik cepat maupun lambat. Pun ketika pemerintah tidak lagi dapat diandalkan, sebagai bagian dari bangsa yang besar pasti memiliki tekad yang besar pula untuk secara mandiri berusaha menjadi lebih baik dan mengasah kemampuan analitik dan penalaran yang tajam. Hubungan Indonesia-Malaysia, dalam perspektif sejarah, selalu mengalami pasang-surut. Hubungan dua negara-bangsa yang masih serumpun ini – baik dilihat dari segi budaya, agama, bahasa, dan adat-istiadat – acapkali digambarkan seperti hubugan adik-kakak: ada saatnya akur dan ada saatnya juga bertengkar. Anwar Ibrahim, mantan Perdana Menteri Malaysia dan sekarang sebagai pemimpin oposisi dalam dunia politik di Malaysia, menyatakan bahwa saatsaat kemerdekaan Indonesia dan Malaysia (19451957) dan saat dirinya menjadi Wakil Perdana Menteri Malaysia (1990-an), hubungan baik dan mesra antara Indonesia dengan Malaysia mengalami zaman keemasan. Tentu saja Anwar Ibrahim tidak menyatakan secara eksplisit peristiwa pertengkaran yang kerap melanda dua negara-bangsa penting di Asia Tenggara ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966), kasus Pulau Sipadan dan Ligitan (1996), masalah Te-naga kerja indonesia dan saling klaim orisinalitas budaya, sesungguhnya bisa menegok ke tempo dulu, yakni rivalitas antara Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit di Jawa yang ingin mendominasi Nusantara dengan resistensi Hang Tuah, wira sejati dari dunia Melayu. Tapi pernyataan Anwar Ibrahim dalam ceramahnya di acara “Sarasehan Nasional: Telaah Juang Pemikiran & Gerakan Dakwah Dr. Ir. M. Imaduddin Abdulrahim” di Aula Barat ITB (Instiut Teknologi Bandung) pada hari Senin, tanggal 30 Januari 2012, tentang hubungan mesra antara IndonesiaMalaysia di zaman kemerdekaan, barangkali, perlu dielaborasi dan ditambahkan. Sejak zaman The Kaum Muda Movement (gerakan kaum muda) pada akhir abad 19 dan awal abad 20, hubungan Indonesia-Malaysia dalam konteks modernisme Islam tidak bisa dipisahkan. Bahkan gagasan-gagasan nasionalisme dan kemerdekaan, baik dari Soekarno dan Mohamad Hatta maupun dari Mohammad Yamin dan Tan Malaka disambut dan diapresiasi dengan sangat baik oleh tokoh-tokoh nasionalis di Semenanjung Tanah Melayu. Generasi muda yang tidak belajar sejarah bangsanya, baik di Indonesia maupun di Malaysia, akan asing dengan nama tokoh nasionalis yang
gandrung dengan ideologi “Melayu Raya” dan “Indonesia Raya”, yakni Ibrahim Yaacob. Tokoh nasionalis Melayu yang setelah menjadi warganegara Indonesia diubah namanya oleh Presiden Soekarno menjadi Agastya Mustafa Kamel ini wafat pada tahun 1970-an dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta. Cita-cita untuk medekatkan dan menyatukan dua negara-bangsa yang dipisahkan oleh faktor kolonialisme Inggeris dan Belanda ini, dengan demikian, akan terus hidup dalam memori kolektif bangsa, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Karena itu diperlukan seorang pemimpin masa depan yang sadar akan sejarah bangsanya dan melihat masa lalu untuk kepentingan masa kini dan masa depan dalam konteks “berdamai dengan sejarah”. Hubungan baik Indonesia-Malaysia memang akan sangat tergantung pada niat dan kemauan mulia dari para pemimpinnya. Diperlukan pemimpinpemimpin yang mampu memahami sejarah dan hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia. Kalau tidak, maka akan terjadi fenomena “hantu komparasi” (meminjam istilah Benedict R.O’G. Anderson), yakni suatu sikap pro dan berorientasi Barat, manakala negara tetangga yang dekat dipandang sebagai ancaman dan citra yang menakutkan. Dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia, fenomena “hantu komparasi” ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Soekarno dan Tunku Abdurahman Putra (tahun 1960-an) dan juga pada masa pemerintahan Soeharto dan Mahathir Mohamad (tahun 1990-an). Anwar Ibrahim adalah sosok yang dikenal luas dan baik oleh masyarakat Indonesia karena memiliki hubungan yang mesra dengan elit-elit sosial dan politik Indonesia. Beliau bukanlah tokoh hantu yang menakutkan. Tapi justru tokoh politik Melayu dari Pulau Pinang ini sejak muda pada tahun 1970an sudah tinggal di Pekalongan untuk memahami budaya Jawa pesisiran yang egalitarian. Sementara itu, pergaulannya dengan tokoh-tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1980-an di Indonesia mendorong dirinya untuk mendirikan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM). Seperti yang dikatakannya, ketika beliau menjadi Wakil PM Malaysia maka hubungan baiknya dengan Wakil Presiden Indonesia, B.J. Habibie, pada tahun 1990-an menjadi tak terbantahkan. Masyarakat harus senantiasa berusaha menguak tabir yang menjadi pelapis konflik IndonesiaMalaysia. Kita harus bahu-membahu mencari simpul dari sudut pandang ideologi, politik, ekonomi, dan sbagainya agar mengetahui duduk perkaranya. Kita tidak boleh terus “dibodohi” oleh pembusukan dari
menghancurkan bangsa dan negara Indonesia baik cepat maupun lambat. Pun ketika pemerintah tidak lagi dapat diandalkan, sebagai bagian dari bangsa yang besar pasti memiliki tekad yang besar pula untuk secara mandiri berusaha menjadi lebih baik dan mengasah kemampuan analitik dan penalaran yang tajam. DAFTAR PUATAKA . Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation of Culture, Selected Essays, New York: Basic Book,. Hall, Edward T, 1973, The Silent Language, Garden City, NY, Anchor Books Ihromi, T.O, 1981, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta, Gramedia Liliweri MS, Alo, 2003, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, LKIS. ----------- 2005, Prasangka dan Konflik. LKIS, Yogyakarta ------------ 2011, Dasar-dasar Komunikasi antar budaya, Pustaka Pelajar. Martin, Judith N. dan Thomas K. Nakayama, 2004, Intercultural Communication in Context, Boston, McGraw-Hill. Mulyana, Deddy. 2008, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy, Dr. M.A, Rahmat Jalaluddin, Drs. M.Sc, 2006, Komunikasi Antar Budaya, Bandung, PT. Remaja. Samovar, Larry A., dan Richard E. Porter, 2004, Communication Between Cultures, Belmot:Wadswort Sarlito W. Sarwono, 2002, Berkenalan dengan Aliranaliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta, Bulan Bintang Stella Ting-Toomey, 2005, Identity Negotiation Theory; Crossing Cultural Boundaries, in Theorizing About Intercultural Communication, ed, William B. Gudykunst, Thousand Oaks, C.A,Sage. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, 2005, TeoriTeori kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius Wendt A. 1999, Social Theory of International Politics, Cambridge University Press. Sumber lain Internet : Habibie, B.J., Beberapa Pemikiran tentang Peran Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Masa Depan Bangsa” pidato tertulis Habibie pada www.thc.com. 10
Diakses 20 Mei 2008. Menolong Diri Sendiri Demi Terwujudnya Dunia Baru. Paper pada www.thc.com. Diakses 20 Mei 2008.
11