Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia
Potensi Vegetasi Tusam menjadi Payung Hijau di RTHKP Kota Banjarbaru Krisdianto(1), Soemarno(2), Udiansyah(3), Bagyo Januwiadi(4), Fauzi Rhamadani(5) (1)
Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia. Program Pasca Sarjana, Univesitas Brawijaya, Malang, Indonesia. Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia. (4) Program Pasca Sarjana, Univesitas Brawijaya, Malang, Indonesia. (5) Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia. (2) (3)
Abstrak Vegetasi Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) Pinus, di Kota Banjarbaru provinsi Kalimantan Selatan menjadi unggulan dalam perolehan penghargaan Adipura selama empat kali berturut-turut. Hutan Tusam (Pinus merkusii) di Kota Banjarbaru dikelilingi hunian padat penduduk, diyakini telah memberikan manfaat ekologis sejak tahun 1960. Namun penelitian tentang fungsi pohon dalam menurunkan suhu lokal baru dilakukan pada musim kemarau, JuliSeptember 2011. Beberapa faktor dendrologi dan bioklimatik telah diukur di sekitar 180 pohon Tusam untuk mengetahui kontribusinya terhadap penurunan suhu lokal. Penentuan posisi contoh dilakukan secara transek memanjang tiga baris terpisah dengan jarak masing-masing 30 meter di lahan berluasan kurang lebih 2,3 ha. Masing-masing transek dibuat plot dengan luas 400 m2 dan jumlah totalnya 18 plot. Diameter pohon (dbh), kerapatan kanopi, biovolume dan iklim mikro disekitar pepohonan tersebut telah dianalisis. Kesimpulannya menjelaskan bahwa faktor-faktor dendrologi dan iklim mikro berkorelasi signifikan dengan penurunan suhu lokal dan menyimpulkan bahwa selama ini vegetasi Tusam di RTHKP Pinus Dua Banjarbaru berkontribusi terhadap upaya mereduksi suhu lokal. Kata-kunci: dendrologi, iklim mikro, Pinus merkusii, pohon perkotaan
Pendahuluan Perubahan suhu lokal di Kota Banjarbaru pada musim kemarau tahun 2011 menunjukan peningkatan jumlah hari panas dengan suhu udara maksimal mencapai 35 °C. Pada saat demikian sangat nyata dirasakan perbedaan di lingkungan yang mempunyai banyak pohon dan terbuka. Pepohonan di kota ini tersebar di berbagai tipologi RTH, menciptakan suasana hijau dan keindahan, serta telah mengantarkan kota Banjarbaru sebanyak empat kali berturut-turut menjadi Kota Adipura. Pepohonan ini juga dapat berfungsi mengatur iklim mikro dan mereduksi suhu
udara di kala terik matahari, seperti payung peneduh (Krisdianto, et.al., 2012). Padahal sampai saat ini belum banyak evaluasi dilakukan terhadap fungsi pepohonan di perkotaan ini. Penelitian ini juga berupaya memastikan manfaat ekologis yang dapat diperoleh masyarakat dalam jangka panjang, dari pada mengkonversi lahan RTH ini untuk keuntungan sesaat (Wilhelmi and Hayden, 2010; Spangenberg et.al. 2008, Krisdianto, 2010b). Pepohonan perkotaan berperan penting menjaga kenyamanan lingkungan perkotaan, diantaranya sebagai penurun suhu perkotaan.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 19
Potensi vegetasi RTHK menjadi payung hijau Kota Banjarbaru
Pancaran cahaya matahari sebagian besar diserap oleh dedaunan pohon sebagai energi untuk fotosintesis. Pohon melalui daundaunnya merespons, diantaranya dengan melepaskan uap air melalui stomata. Dengan demikian di bagian bawah kanopi terlindungi dari terpaan langsung cahaya matahari dan menjadi sejuk dengan adanya penguapan atau evaporasi (Andrade and Vieira, 2007; Fahmy, Sharples, and Yahiya, 2010; Infante, et.al., 2001, Krisdianto et.al., 2010a). Sebanyak 180 dari 375 pohon Tusam di RTHKP Pinus Dua Kota Banjarbaru telah dievaluasi kemampuannya dalam mengontribusi penurunan suhu lokal di bawah kanopi pepohonan tersebut. Tinggi, biovolume dan kerapatan kanopi juga telah diukur dan dianalis untuk mendapatkan nilai biovolume, karena volume vegetasi turut berperan pula dalam penurunan suhu lokal. Kelembaban, kecepatan angin dan temperatur udara diukur. Analisis korelasi digunakan pula untuk menjelaskan hubungan antara masing-masing faktor terhadap perubahan suhu (Bruse, 2005; Claralampopoulos and Chronopoulou-cereli, 2005) Pengaruh pohon dari jenis vegetasi yang berbeda dan tumbuh di tempat yang berbeda dapat memberikan pengaruh penurunan suhu yang berbeda, karena laju pertumbuhan, karakter dendrologi dan aktivitas fisiologis yang berbeda. Maka penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan potensi pepohonan yang telah tumbuh baik dan beradaptasi dengan lingkungan lokal menjadi pepohon peneduh dan memberikan dampak penurunan suhu terhadap lingkungan lokal (Leuzinger, Vogt and Korner, 2009; McPherson, et.al., 2005; Huang, 2007). Metode Survei vegetasi di RTHKP Banjarbaru telah dilakukan oleh Krisdianto, dkk (2010b, 2011), terdapat 30 jenis pohon yang sering dijumpai di berbagai tipologi RTHKP karena berbagai alasan, seperti untuk penghijauan, manfaat ekonomi bagi masyarakat, nilai keindahannya, 20 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
nilai keragaman hayatinya (konservasi), harapan untuk mendapatkan buahnya dan lain-lain. Payung hijau dari kanopi vegetasi adalah padanan dari payung perkotaan yang dirancang untuk menangkap curahan air hujan di perkotaan. Pepohonan bahkan mempunyai fungsi ekologis yang lebih besar, seperti mengintersepsi air hujan, mengurangi air larian dan memperbesar serapan. Dalam penelitian ini payung hijau dibahas sebagai peneduh, jadi mengurangi terpaan cahaya matahari dan refleksinya (Freeborn, 2011). Letak lokasi penelitian ini adalah di Hutan Pinus Dua. Satu diantara beberapa RTHKP bervegetasi Tusam, pepohonan bersejarah di Banjarbaru dan kini menjadi penting karena letaknya di tengah pemukiman warga Kelurahan Mentaos, Kecamatan Banjarbaru Utara dengan populasi 8.034 jiwa, kepadatan penduduknya adalah 1496 jiwa dan 351 rumah tangga per km2. Pepohonan Tusam ini tumbuh dan beradaptasi di lanskap berluasan 2.3 ha pada ketinggian 18 m dpl. Pada tahun 2010 suhu udara rata-rata di Kota Banjarbaru berkisar antara 22,0°C sampai dengan 33,8°C. Suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Februari (35,6°C) dan suhu udara terendah terjadi pada bulan Maret (19,0°C). Rata-rata curah hujan tercatat 282,4 mm dengan jumlah yang terendah terjadi pada bulan Mei, yaitu 171,0 mm dan tertinggi terjadi pada bulan Juni yang mencapai 365,7 mm (BPS Banjarbaru, 2010). Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan secara langsung dari pengukuran dan penghitungan melalui survei terhadap plot-plot contoh dan ditetapkan pada tiga garis transek sejajar yang berjarak 30 m antara satu dengan lainnya. Sedangkan data sekunder digunakan sebagai data pendukung diperoleh dari hasil penelitian terdahulu dan literature yang tersedia. Sebanyak 18 plot dari tiga garis transek berisi 180 pohon Tusam diukur diameter batangnya (dbh: depth breast height), tinggi kanopi
Krisdianto
dengan menggunakan Klinometer. Lebar kanopi diukur dari proyeksi ke lantai hutan dan kerapatannya diambil secara visual dengan menggunakan kamera digital (Panasonic Lumix. DMC- TZ10GC-R, 12.1 Megafixel, NS:FN0JC001154).
statistik (Pearson correlation) dengan cara menentukan suhu udara di bawah kanopi dan heat index sebagai peubah terikat, sedangkan peubah bebasnya adalah kerapataan kanopi, kelembaban udara di bawah kanopi dan kecepatan angin.
Diameter batang dihitung dari keliling pohon yang diukur pada ketinggian 1.3 meter dari pangkal batang (basal) dengan menggunakan pita meter. Perhitungan dilakukan seperti yang digunakan Arzai and Alizu (2010), bahwa keliling (k) adalah 2∏r. Dimana ∏ = 3.143 dan r adalah radius (jejari), maka diameter adalah 2r. Tinggi pohon dan batang diukur menggunakan Klinometer dengan prinsip Teorema Phytagoras. Tinggi kanopi dihitung dari selisih tinggi pohon dan batang. Kerapatan kanopi dianalisis secara digital dari foto-foto yang diperoleh dengan menggunakan kamera Nikon dan dianalisis dengan program Image-J. Data analisis kerapatan kanopi diperoleh masing-masing dari pengulangan 10 gambar kanopi dari sudut tembak (shoot) yang berbeda dan dari tiap pohon yang berbeda dan persentasinya dihitung dari siluet foto kanopi yang dimaksudkan (Goodenough and Goodenough, 2012)
Untuk menduga kedekatan hubungan linear dan uji nilai penting pada tingkat populasi, analisis regresi. Koefisen korelasi dihitung dari formula:
Untuk menjelaskan kondisi komunitas Tusam dianalisis strata hutan dengan menampilkan diagram profil hutan Tusam (Baker and Wilson, 2000) Pengukuran data bioklimatik dilakukan di bawah kanopi masing-masing pohon yang mewakili setiap plot contoh, jadi jumlahnya terdapat 18 plot dari 3 stasiun (garis transek). Pengukuran dilakukan pada pagi hari (jam 07.00-10.00), siang hari (jam 12:00-15.00) dan sore hari (jam 16.00-19.00). Data tersebut meliputi suhu dan kelembaban udara, kecepatan dan arah angin, heat index, yang diukur menggunakan instrumen pengukur cuaca, Kestrel 4500 (Nilesen-Kllerman, NS:626643, USA)
…………………………(1) Derajat bebas (d.f)=N-2, pada P<0,05, r= 0,4438. Untuk setiap nilai yang signifikan, koefiesien regressi diduga dengan dengan formula berikut:
..........................(2) Perbandingan Heat Index dan penurunan temperatur dilakukan pula terhadap nilai yang sama dari tempat terbuka tanpa pepohonan pelindung. Analisis dan Interpretasi Hasil pengukuran parameter dendrologi vegetasi Tusam, tinggi pohon dan batang serta kanopi, keliling batang telah dianalisis untuk menentukan biovolume vegetasi. Selanjutnya persentasi kanopi digunakan untuk membangun model bioklimatik dalam menghitung heat index. Hasil pengukuran dianalisis dengan pendekatan statistik deskriptif untuk memperlihatkan distribusi hasil observasi disekitar nilai rerata sampel (sample mean) dan standar errornya (lihat Tabel 1).
Hubungan korelasi antara faktor-faktor dendrologi dan bioklimatik dilakukan secara
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 21
Potensi vegetasi RTHK menjadi payung hijau Kota Banjarbaru Tabel 1 Parameter dendrologi vegetasi RTHKP
Hasil analisis data parameter dendrologi vegetasi di RTHKP Banjarbaru menggambarkan profil vegetasi di landskap. Hasilnya menjelaskan bahwa 120 meter dari tepi RTHKP volume kanopi lebih kecil, seperti digambarkan pada Gambar 1. Baik plot 1 atau 18 mengisyaratkan tebal kanopi yang relatif lebih kecil dari bagian tengah RTHKP. Bagian tepi RTH di Plot 1 dan 18 adalah perbatasan antara ekosistem vegetasi dengan pemukiman warga kota. Aktivitas antropogenik yang dilakukan warga memang secara empiris terlihat merugikan keberlangsungan RTHKP ini.
Gambar 1 Diagram profil vegetasi RTHKP
Untuk melihat peran vegetasi RTHKP dalam menciptakan iklim mikro, data bioklimatik telah diukur di sekitar sebaran vegetasi tersebut. Sehingga analisis kuantitatif diperoleh dari data dendrology vegetasi yang diobservasi dari 180 pohon dan tersebar di 18 plot, berada di 3
22 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
stasiun pengamatan. Sedangkan analisis deskriptif untuk data bioklimatik diperoleh dari data iklim mikro di masing-masing stasiun, rerata, nilai maksimum, minimum dan standar deviasi sampel, temperatur dan kelembaban udara serta heat index, seperti yang ditampilkan pada Tabel 2 di bawah ini. Perbedaan parameter secara mencolok di ketiga stasiun memang tidak dapat terlihat jelas. Dapat dipahami ketika penelitian ini dilakukan, sedang berlangsung musim kemarau yang panjang di Banjarbaru. Nilai standard deviasi yang tinggi menunjukan adanya variasi indikator-indikator bioklimatik tersebut di dalam empat kali pengulangan observasi. Proporsi kerapatan kanopi di ketiga stasiun observasi juga memberikan informasi banyaknya daun Tusam yang luruh di musim kemarau, sehingga penetrasi radiasi matahari menjadi lebih besar (Endler and Matzarakis, 2011; Krisdianto, 2011) Tabel 2 Kondisi bioklimatik RTHKP
Analisis korelasi yang menghubungkan peubah-ubah bebas seperti kecepatan angin, kelembaban udara, kerapatan kanopi menjelaskan adanya hubungan dengan perubahan peubah-peubah tak bebas seperti suhu dan heat indeks. Analisis statistik ini menggunakan paket program statistik SPSS 13 menghasilkan koefisien korelasi seperti terlihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Krisdianto Tabel 3 Koefiesien korelasi antar peubah
Temperatur mempunyai korelasi 0.224 dengan Heat Index, dengan kecepatan angin hanya 0,093. Demikian pula dengan volum kanopi, hanya 0.079. Tetapi antara kelembaban udara relative (humidity) dengan Heat Index mempunyai koefisien korelasi 0.842. Ini tampaknya sama dengan pernyataan yang disampaikan oleh Honjo (2009) bahwa kelembaban udara menyebabkan perubahan Heat Index yang menaikan sensasi thermal yang dapat dirasakan oleh manusia. Namun model regresi linear yang dibangun oleh volume kanopi, kelembaban relatif, temperatur udara dan kecepatan angin menunjukan bahwa keempat faktor tersebut mempunyai koefisien korelasi yang besar terhadap perubahan peubah bebas, Heat Index (R: 0.856). Penghilangan variabel volume kanopi hanya mengurangi sedikit koefisien korelasi tersebut (R: 0.855). Ini dapat menjadi indikasi bahwa di musim kemarau peran vegetasi Tusam berkurang sebagai peneduh (lihat Tabel 4).
Selanjutnya hasil analisis regresi linear ini menunjukan bahwa perubahan nilai Heat Index dikontribusi oleh variasi volume kanopi, kecepatan angin, kelembaban dan suhu udara hanya sebesar 26,8% dan jika volume kanopi diabaikan, maka nilainya meningkat menjadi 26,9%, sisanya diakibatkan oleh variasi dari peubah-peubah eksternal yang tidak diuji di dalam penelitian ini. Walaupun demikian uji ini juga menegaskan bahwa keempat variabel bebas tersebut di atas berkorelasi signifikan, 85,6 % and 85,5% (keduanya mendekati nilai 1 atau 100%), sehingga dapat diterima sebagai variable yang berpengaruh terhadap perubahan Heat Index dengan standard error (e) 1,72. Kedua model, dengan dan tanpa kerapatan kanopi dapat digunakan untuk memprediksi Heat Index, karena hasil ANOVA menunjukan bahwa nilai hitung Fhitung adalah 152,532 dan 152,532 (>2,604) dan 202.719 (>2,371) dengan nilai p=0.000, tidak ada perbedaan yang nyata. Seperti yang disampaikan oleh Quinn and Keough (2002), hasil ini menegaskan bahwa penelitian Heat Index perlu dikembangkan dengan melibatkan variable-variabel eksternal yang lebih luas, untuk menurunkan pengaruh faktor eksternal (sebesar 73,2% dan 73,1%). Kerapatan kanopi RTHKP bagian tengah lebih besar dibandingkan dengan bagian tepi, seperti pada Gambar 3 dan 4 berikut ini:
Tabel 4 Ringkasan model korelasi antar peubah.
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 23
Potensi vegetasi RTHK menjadi payung hijau Kota Banjarbaru
Gambar 3 Kerapatan vegetasi di bagian tengah RTHKP Pinus Dua Kota Banjarbaru (a. 80%, b. 70%. c. 60% d.50%
24 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
Gambar 4 Kerapatan vegetasi di bagian tepi RTHKP Pinus Dua Kota Banjarbaru. a. 40%, b. 30%. c. 20% d.10%
Krisdianto
Kesimpulan RTHKP Pinus Dua memberikan layanan ekologis kepada masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar hutan yang berluasan kurang lebih 2,3 ha tersebut. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa vegetasi Tusam mampu berfungsi sebagai pohon teduhan yang menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi lingkungan sekitarnya. Namun di musim kemarau panjang tahun 2011 ini, perubahan Heat Index tidak signifikan berkorelasi dengan perubahan kerapatan kanopi Tusam. Informasi ini sangat penting untuk pengelolaan hutan Tusam sebagai RTHKP yang berfungsi menciptakan teduhan di lingkungan sekelilingnya. Sehingga dalam memilih vegetasi RTHKP di masa yang akan datang harus lebih hati-hati. Perlu pula pengupayaan keaneka ragaman hayati (biodiversity) vegetasi dalam penciptaan RTHKP guna pengoptimalan aspek ekologi RTHKP sebagai fasilitas penunjang perkotaan dengan bentukan biofilter yang relatif lebih aman, sehat, dan menyamankan. Di era perubahan iklim sekarang ini, keanekaragaman hayati menjadi sangat eksistensial karena hidup manusia tak bisa dipisahkan dari keragaman alam termasuk dalam bentukan RTHKP. Dengan demikian penelitian fungsi hutan Tusam sebagai teduhan dimasa yang akan datang seharusnya dilengkapi dengan pengukuran parameter fitohidrologi dan bioklimatologi yang lebih komprehensif. Daftar Pustaka Andrade, H and Vieira, R.(2007) A climatic study of and urban green space: the Gulbenkian park in Lisbon (Portugal), Finisterra, XLII,84, 27-46 Arzai, A.H. and Aliyu, B.S.(2010).The relationship between canopy width, height and trunk size in some tree species height growing in savanna zone of Nigeria. Bajopas, 3, 1, 260-263
Baker, J.P. and Wilson, J.S.(2000). A quantitative technique for the identification of canopy stratification in tropical and temperate forests. Forest Ecology and Management, 127, 77-86 BPS Kota Banjarbaru.2010. Banjarbaru dalam angka 2010. BPS Kota Banjarbaru Bruse, M. (2005) Assessing urban microclimate from the user’s perspective – Multi-Agent systems as a new tool in urban biometeorology. Ann. Meteorol. 41: 137-140 Claralampopoulos, I and Chronopoulou-cereli, A. (2005) Mapping the urban green area influence on local climate under windless and light wind condition, the case of wedstern part of Athens, Greece, Acta Climatologica Et Chorologica, Universitatis Szegediensis, Tom, 38-39, 25-31 Endler, C and Matzarakis, A. (2011) Climate and tourism in the Black Forest during the warm season. Int J Biometeorol, 55, 173– 186 Fahmy, M., Sharples, S., Yahiya, M. (2010) LAI based trees selection for midlatitude urban developments: A microclimatic study in Cairo, Egypt, Building and Environment, 45, 2), 345-357 Freeborn, J. (2011). Urban Water Quality Management Residential Stormwater: Put It in Its Place, Decreasing runoff and increasing stormwater infiltration. Virginia Cooperative Extention. Publication 426-046 Goodenough, A.E and Goodenough, A.S. (2012). Development of a rapid and precise method of digital image analysis to quantify canopy density and structural complexity. International Scholarly Research Network. ISRN Ecology. Volume 2012, Article ID 619842, 11 pages. doi:10.5402/2012/619842 Honjo, T. (2009). Thermal comfort in outdoor environment, Global Environmental Research, 43-47 Huang, J. (2007) Prediction of air temperature for thermal comfort of people in outdoor
Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012 | 25
Potensi vegetasi RTHK menjadi payung hijau Kota Banjarbaru
environments. Int J Biometeorol, 51, 375– 382 Infante, J.M. Mauchamp, A. Fernandez-Ales, R. Joffre, R. Rambal, S (2001) Within-tree variation in transpiration in isolated evergreen oak trees: evidence in support of the pipe model theory, Tree Physiology, 21, 409–414 Krisdianto, Soemarno, Udiansyah and Bagyo Januwiadi.(2012). Standing carbon in an urban green space and its contribution to the reducation of thermal discomfort index: a case study in the City of Banjarbaru, Indonesia. International Journal of Scientific and Research Publication, 2 (4), 184-189 Krisdianto, Haryanti, N.H. Ridwan, I. Nurlina, Kumala, H.E. Prasetya, H. Louisa, V.(2011). Konfigurasi hijau dan nilai ekologisnya pada ruang terbuka di kampus Lambung Mangkurat Banjarbaru, in The Proceeding Environmetal Talk: Toward a Better Living, 9-13 March 2011. Mercu Buana University, Jakarta, Indonesia, SL12-SL20 Krisdianto, Haryanti, N.H., Ridwan, I and Prasetya, H. (2010a). Banjarbaru green open space distribution and it’s ecological value in The 2nd. International Seminar on Tropical Eco Settlements, Green Infrastructure: A Strategy to Sustain Urban Settlements. 3-5 November 2010, Sanur Denpasar Indonesia, 435-440 Krisdianto, Haryanti, N.H., Ridwan, I, Hidayat, A.S. and Prasetia, H. (2010b). Development Banjarbaru administration city based on green space, in Proceedings of the Third International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS 2010), Science for Sustainable Development, ITB Bandung, Indonesia, 23-25 November 2010, 466-487 Leuzinger, S., Vogt, R., Korner, C.(2009). Tree surface temperature in an urban environment. Agricultural and Forest Meteorology xxx (2009) xxx–xxx (In Press) McPherson, G., Simpson, J.R. Peper, P.J. Maco, S.E.,and Xiao, Q.(2005). Municipal Forest Benefits and Costs in Five US Cities, Journal of Forestry, 411-416 26 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.1 No.1 Juli 2012
Quinn, G.O., and Keough M.J.(2002). Experimental design and data analysis for biologist.Cambridge University Press Spangenberg,J. Shinzato, P. Johansson, E and Duarte, D.(2008). Simulation the influence of vegetation on microclimate and thermal comfort in the city of Sao Paulo. Rev. SBAU, Piracicaba, 3, 2, 1-19 Terashima, I. Araya, T. Miyazawa, S-I. Sone, K. Yano. S. (2005) Construction and maintenance of the optimal photosynthetic systems of the leaf, herbaceous plant and tree: an Eco-developmental treatise. Annals of Botany, 95, 507–519 Wilhelmi. O.V. and Hayden, M.H. (2010). Connecting people and place: a new framework for reducing urban vulnerability to extreme heat, Environ. Res. Lett. 5 (2010) 014021 (7pp)