1
POTENSI SINEOL DALAM MINYAK ATSIRI KAYU PUTIH SEBAGAI PELANGSING AROMATERAPI
FIQA ANISSA RAKHMATIKA
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
2
POTENSI SINEOL DALAM MINYAK ATSIRI KAYU PUTIH SEBAGAI PELANGSING AROMATERAPI
FIQA ANISSA RAKHMATIKA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama NIM
Potensi Sineol Dalam Minyak Atsiri Kayu Putih Sebagai Pelangsing Aromaterapi Fiqa Anissa Rakhmatika
044090088
Disetujui oleh
/
Dr Irmanida Batubara, MSi Pembimbing I
Dr dr Irma Herawati Suparto, MS Pembimbing II
Diketahui oleh
ita MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
01
a
2013
3
Judul Skripsi : Potensi Sineol Dalam Minyak Atsiri Kayu Putih Sebagai Pelangsing Aromaterapi Nama : Fiqa Anissa Rakhmatika NIM : G44090088
Disetujui oleh
Dr Irmanida Batubara, MSi Pembimbing I
Dr dr Irma Herawati Suparto, MS Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Dra Purwatiningsih Sugita, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
4
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Sineol dalam Minyak Atsiri Kayu Putih sebagai Pelangsing Aromaterapi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Fiqa Anissa Rakhmatika NIM G44090088
i
ABSTRAK FIQA ANISSA RAKHMATIKA. Potensi Sineol dalam Minyak Atsiri Kayu Putih sebagai Pelangsing Aromaterapi. Dibimbing oleh IRMANIDA BATUBARA dan IRMA HERAWATI SUPARTO. Kayu putih merupakan salah satu tanaman yang mengandung minyak atsiri dengan sineol sebagai kandungan utamanya. Penelitian ini bertujuan memisahkan sineol dalam minyak atsiri kayu putih dan menganalisis potensinya sebagai pelangsing aromaterapi secara in vivo. Minyak atsiri kayu putih difraksionasi menggunakan kromatografi kolom dan diperoleh 23 fraksi (F1-F23). Minyak atsiri kayu putih, sineol, dan F9 dianalisis menggunakan kromatografi gasspektrometer massa dan potensinya sebagai pelangsing aromaterapi menggunakan hewan uji tikus putih jantan dewasa galur Sprague-Dawley. Hasil inhalasi sineol selama 5 minggu menunjukkan rerata bobot badan tikus setelah masa perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan tikus kelompok normal dan kontrol yang mengkonsumsi pakan kolesterol tinggi. Kesimpulan penelitian ini ialah sineol merupakan senyawa yang berpotensi sebagai pelangsing aromaterapi. Kata kunci: fraksionasi, minyak kayu putih, pelangsing aromaterapi, sineol
ABSTRACT FIQA ANISSA RAKHMATIKA. Potential of Cineole in Cajuput Oil as Slimming Aromatherapy. Supervised by IRMANIDA BATUBARA and IRMA HERAWATI SUPARTO. Cajuput in one of plants containing essential oil with cineole as a major component. This study aimed to separate cineole in cajuput oil and to analyze its potency as slimming aromatherapy through in vivo assay. The essential oil was fractionated by column chromatography resulting 23 fraction (F1-F23). Cajuput oil, cineole, and F9 were analyzed by gas chromatograph-mass spectrometer, and the slimming aromatherapy potency was studied on white adult male SpragueDawley rats. Inhalation result of cineole showed that the average body weight of rats after 5 weeks treatment period was lower than that of the normal and the control groups which consumed high cholesterol feed. In conclusion, cineole is a compound that is potential in slimming aromatherapy. Key words: cineole, cajuput oil, column fractionation, slimming aromatherapy
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Potensi Sineol dalam Minyak Atsiri Kayu Putih Sebagai Pelangsing Aromaterapi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Irmanida Batubara, MSi selaku pembimbing pertama dan Dr dr Irma Herawati Suparto, MS selaku pembimbing kedua atas bimbingan, arahan, dan saran selama pelaksaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih penulis berikan kepada ayah dan ibu serta kakaku Fiqi yang selalu memberikan semangat, doa, dan kasih sayang. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh staf laboratorium kimia analitik, Bapak Eman, drh Aidell, dan Bapak Mul atas fasilitas dan bantuan yang diberikan selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rahmi Nur Wahidah yang turut membantu selama penelitian berlangsung serta memberikan semangat dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2013 Fiqa Anissa Rakhmatika
iii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN METODE Alat dan Bahan Lingkup Kerja Penentuan Eluen Terbaik (Houghton & Raman 1998) Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom (Rouessac & Rouessac 1994) Identifikasi Senyawa dengan GC-MS Uji Aromaterapi pada Tikus Galur Sprague-Dawley Penentuan bobot deposit lemak dan persentase lemak pada hewan uji Uji Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Eluen Terbaik pada Kromatografi Lapis Tipis Fraksionasi Minyak Atsiri Kayu Putih Senyawa dalam Minyak Atsiri Kayu Putih, Fraksi 9, dan Fraksi 13 Hasil Uji Aromaterapi Secara In Vivo SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
iv iv iv 1 2 2 2 3 3 3 4 4 5 5 5 7 9 11 14 14 14 14 16 19
DAFTAR TABEL 1 Hasil fraksionasi minyak atsiri kayu putih dengan teknik elusi gradien kromatografi kolom 2 Konsentrasi senyawa dominan dalam minyak atsiri kasar, F9, dan F13 3 Rerata bobot badan tikus pada awal dan akhir perlakuan 4 Rerata bobot pakan tikus per minggu (g/ekor) selama masa perlakuan 5 Rerata bobot deposit lemak tikus
7 9 12 13 13
DAFTAR GAMBAR 1 Tanaman kayu putih 2 Minyak atsiri kayu putih 3 Kromatogram KLT dengan enam jenis pelarut tunggal 4 Kromatogram KLT dengan 3 komposisi pelarut 5 Kromatogram KLT dengan 11 komposisi pelarut 6 Kromatogram fraksi dari kromatografi kolom (F1-F23) dan minyak atsiri 7 Senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih 8 Kromatogram ion total hasil GC-MS minyak atsiri kasar 9 Perubahan rerata bobot badan tikus tiap kelompok selama masa perlakuan
2 5 6 6 7 8 9 10 12
DAFTAR LAMPIRAN 1 Diagram alir penelitian 2 Surat persetujuan komisi etik hewan IPB 3 Komposisi pakan yang diberikan pada hewan uji
16 17 18
1
PENDAHULUAN
Kelebihan berat badan adalah suatu kondisi perbandingan berat badan dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu keadaan kelebihan berat badan karena lemak lebih dari 20% pada pria dan 25% pada wanita (Ganong 2003). Faktor-faktor penyebab obesitas masih terus diteliti. Baik faktor lingkungan maupun genetik berperan dalam terjadinya obesitas (Zhang 2004). Meningkatnya obesitas tak lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti menurunnya aktivitas fisik dan kebiasaan menonton televisi berjam-jam. Faktor genetik menentukan mekanisme pengaturan berat badan normal melalui pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga menentukan banyak dan ukuran sel adiposa serta distribusi regional lemak jenuh. Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi bobot badan dan menjadikannya ideal kembali, yaitu secara alami dan secara buatan. Penanganan secara alami dapat dilakukan dengan mengatur kembali pola makan dan berolah raga. Mengingat penanganan ini membutuhkan waktu yang lama, maka hanya sebagian kecil penderita obesitas yang melakukan metode ini. Adapun cara yang kedua diantaranya dengan menggunakan obat pelangsing (Kumanyika dan Brownson 2007). Obat pelangsing yang banyak dikonsumsi masyarakat merupakan jenis obat pelangsing dari tanaman herbal. Jenis obat pelangsing yang saat ini sedang dikembangkan cara pembuatannya adalah obat pelangsing aromaterapi dari tanaman herbal yang diklasifikasikan sebagai tumbuhan aromatik. Kandungan tanaman herbal yang berpotensi sebagai pelangsing aromaterapinya adalah minyak atsiri. Pengujian secara ilmiah aromaterapi terhadap hewan percobaan dan analisis kemungkinan senyawa aktifnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Wulandari (2011) menyatakan bahwa terpinen-4-ol dalam minyak atsiri bangle berpotensi sebagai pelangsing aromaterapi. Hal serupa dilaporkan pula oleh Astuti (2012) yang menyatakan bahwa sitral yang terkandung dalam minyak atsiri serai dapur berpotensi sebagai pelangsing aromaterapi. Selain itu, Hermawan (2013) juga menyatakan bahwa senyawa kamfena dalam minyak atsiri jahe berpotensi sebagai pelangsing aromaterapi. Minyak kayu putih merupakan salah satu minyak atsiri yang diperoleh dari hasil penyulingan daun kayu putih. Minyak kayu putih ini memiliki manfaat yang cukup besar, baik bagi perekonomian masyarakat sekitar hutan maupun kegunaannya sebagai obat-obatan, bahan insektisida, dan bahan wangi-wangian (Perum Perhutani 2004). Minyak ini juga memiliki bau dan khasiat yang khas. Khasiat utama dari minyak kayu putih adalah untuk melancarkan peredaran darah dengan melebarkan pori-pori kulit sehingga badan menjadi lebih hangat dan tidak akan mengganggu pernafasan kulit karena adanya sifat dari minyak kayu putih yang mudah menguap (Agoes 2010). Menurut Angela dan Davis (2010), minyak atsiri kayu putih dapat meningkatkan monosit dalam darah tikus setelah 15 hari diberi asupan oral minyak atsiri.
2
Gambar 1 Tanaman kayu putih (Habibi 2012) Komponen utama dari minyak kayu putih merupakan golongan terpenoid. Komponen terbesarnya merupakan 1,8-sineol yang merupakan senyawa monoterpena. Senyawa 1,8-sineol berperan sebagai antimikrob, antioksidan, kekebalan tubuh, analgesik, dan spasmolitik (Angela dan Davis 2010). Selain itu, senyawa 1,8-sineol juga berpotensi sebagai antiinflamasi (Juergens et al. 2003). Kajian mengenai tanaman kayu putih khususnya senyawa 1,8-sineol sebagai pelangsing aromaterapi belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan memisahkan 1,8-sineol yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih dan menganalisis potensinya sebagai pelangsing aromaterapi secara in vivo. Kandungan sineol dalam minyak atsiri kayu putih diharapkan berkhasiat sebagai pelangsing aromaterapi.
METODE Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, neraca analitik, oven, pipa kapiler, bejana kromatografi, penguap putar, GC-MS (Shimadzu-QP-5050A), dan kandang hewan uji berukuran 20 x 20 x 30 cm3 yang dilengkapi tabung inhalator. Bahan-bahan yang digunakan adalah minyak atsiri kayu putih, pakan standar tikus, pakan kolesterol tinggi, propylthiouracil (PTU), akuades, aseton, n-heksana, metanol, dietil eter,etanol, etil asetat, kloroform, silika gel, dan pelat aluminium jenis silika gel G60F254 dari Merck. Hewan uji yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang diperoleh dari Balai Penelitian Ternak Bogor. Lingkup Kerja
Metode penelitian yang dilakukan mengikuti diagram alir pada Lampiran 1 yang meliputi penentuan eluen terbaik dengan KLT, pemisahan dengan kromatografi kolom, identifikasi senyawa dengan GC-MS. Kemudian, inhalasi minyak atsiri, sineol, dan hasil pemisahan kromatografi kolom selama 5 minggu terhadap hewan uji yang telah melewati masa adaptasi selama 2 minggu. Bobot pakan tiap kelompok hewan uji ditimbang setiap hari dan bobot badan setiap hewan uji ditimbang setiap minggu. Pada minggu ke-5 setelah masa perlakuan,
3
lemak hewan uji dikeluarkan dari tubuhnya untuk ditentukan bobot deposit lemaknya. Seluruh prosedur pada hewan uji sudah disetujui oleh Komisi Etik Hewan IPB dengan nomer 04-2013 IPB (Lampiran 2).
Penentuan Eluen Terbaik (Houghton & Raman 1998)
Pelat kromatografi lapis tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G60F254 dari Merck dengan ukuran lebar 1 cm dan panjang 10 cm. Minyak atsiri kasar kayu putih ditotolkan pada pelat KLT sebanyak 20 kali totolan. Setelah kering, langsung dielusi dalam bejana kromatografi yang telah dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Pada tahap pertama, proses elusi minyak atsiri kasar kayu putih pada pelat KLT dilakukan dengan menggunakan eluen tunggal dari masing-masing pelarut yang umum digunakan untuk pemisahan senyawa dalam minyak atsiri, yaitu n-heksana, aseton, dietil eter, kloroform, metanol, dan etil asetat. Spot yang dihasilkan dari proses elusi masing-masing eluen diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Eluen yang menghasilkan spot terpisah dipilih sebagai eluen terbaik. Jika lebih dari 1 eluen menghasilkan spot terbanyak dan terpisah, maka eluen-eluen tersebut dicampurkan dengan perbandingan 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, dst. sehingga diperoleh campuran eluen terbaik untuk menghasilkan spot terpisah pada pelat KLT. Fraksionasi dengan Kromatografi Kolom (Rouessac & Rouessac 1994)
Fraksionasi dilakukan dengan pengemasan kolom sebanyak 40 g untuk pemisahan 2,5 gram distilat dengan diameter 2 cm dan tinggi kolom 30 cm. Saat pengemasan kolom, jumlah silika gel adalah 15-20 kali jumlah distilat dan perbandingan tinggi adsorban dan diameter kolom adalah 8:1. Minyak atsiri kayu putih dipisahkan dengan kolom kromatografi menggunakan elusi gradien (peningkatan kepolaran), eluen yang digunakan adalah eluen terbaik hasil KLT. Eluat ditampung setiap 3 mL dalam tabung reaksi yang telah diberi nomor kemudian diuji dengan KLT menggunakan eluen terbaik. Spot pemisahan dideteksi di bawah lampu UV dengan λ 254 nm dan 366 nm. Eluat yang memiliki Rf dan pola KLT yang sama digabungkan sebagai satu fraksi. Identifikasi Senyawa dengan GC-MS
Minyak atsiri kasar, fraksi 9, dan fraksi 13 yang diperoleh diinjeksikan ke dalam injektor GC-MS (Shimadzu-QP-5050A) dengan menggunakan kolom DB5 MS (dimensi 0.25 mm x 30 m) dan gas pembawa Helium dengan laju alir 42 mL/menit. Suhu injektor dan detektor sama, yaitu 250 °C sedangkan suhu kolom yang digunakan adalah suhu terprogram, yaitu diawali dengan 80 °C ditahan selama 2 menit kemudian diubah perlahan-lahan dengan laju kenaikan suhu sebesar 5 °C/menit hingga suhunya mencapai 250 °C ditahan selama 5 menit. Kondisi spektrometer massanya adalah energi ionisasi 70 eV, mode ionisasinya adalah Electron Impact Ionisation (EI), split ratio: 25.0, dan area deteksinya adalah 40-500 m/z. Setiap puncak yang muncul dalam kromatogram ion total
4
diidentifikasi dengan menganalisis hasil spektum massa yang terdapat pada library index MS.
Uji Aromaterapi pada Tikus Galur Sprague-Dawley
Adaptasi tikus putih jantan galur Sprague-Dawley Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang sehat, berumur ±2.5 bulan dengan bobot kisaran 167 g, dan berjumlah 30 ekor. Setiap 2 ekor ditempatkan dalam satu kandang dengan ukuran 20×20×30 cm3. Proses adaptasi kondisi fisiologis, nutrisi, dan lingkungan tikus tersebut dilakukan selama 2 minggu. Semua kelompok tikus diberi pakan standar tikus (Lampiran 3) dengan dosis 20 g/ekor/hari dan diberi minum akuades secara ad libitum. Masa adaptasi dilakukan dengan tujuan untuk pengenalan lingkungan baru bagi tikus yang akan digunakan sebagai hewan uji.
Inhalasi aromaterapi terhadap hewan uji Uji inhalasi minyak atsiri kasar, sineol, dan fraksi lain yang mengandung sineol dalam jumlah sedikit dari minyak atsiri kayu putih secara in vivo dilakukan berdasarkan pada modifikasi metode Anggraeni (2010). Kelompok tikus yang dijadikan kontrol negatif (kelompok I) tetap diberi pakan standar tikus dengan dosis 20 g/ekor/hari dan diberi akuades secara ad libitum selama masa perlakuan, yaitu 5 minggu tanpa diinhalasi. Tikus-tikus yang diberi pakan kolesterol tinggi sebanyak 20 g/ekor/hari dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok II, III, IV, dan V serta air minum akuades yang ditambahkan PTU 0.1% secara ad libitum. Masing-masing kelompok tersebut terdiri atas 6 ekor tikus. Kelompok II tidak diberikan perlakuan aromaterapi, sedangkan kelompok III, IV, dan V diberi diberi perlakuan aromaterapi selama 5 minggu. Kelompok III diinhalasi minyak atsiri kasar kayu putih, kelompok IV diinhalasi sineol, dan kelompok V diinhalasi fraksi lain yang mengandung sineol dalam jumlah sedikit, masing-masing kelompok diinhalasi dengan dosis 0.1%. Komposisi pakan standar dan pakan kolesterol tinggi untuk tikus disajikan pada Lampiran 3. Bobot badan masingmasing tikus dari semua kelompok ditimbang seminggu sekali. Jumlah feses dan urin dari semua kelompok tikus ditimbang setiap tiga hari sekali. Penentuan bobot deposit lemak dan persentase lemak pada hewan uji Pada minggu ke-5 setelah masa perlakuan, masing-masing tikus dari setiap kelompok perlakuan, yaitu kelompok I, II, III, IV, dan V dipuasakan selama 12 jam. Tikus disedasi (pembiusan) dengan cara menyuntikkan ketamin (80 mg/kg bobot badan) dan xilazin (10 mg/kg bobot badan) secara intraperitoneal. Setelah tikus tidak sadarkan diri kemudian proses pembedahan dilakukan. Lemak pada bagian perut kanan dan kiri serta bagian testis kanan dan kiri dikeluarkan. Keadaan lemak tersebut diamati, ditimbang bobotnya, dan ditentukan persentasenya terhadap bobot badan tikus masing-masing
5
Uji Statistik
Data bobot pakan yang dikonsumsi, bobot feses dan urin yang dihasilkan, bobot badan serta bobot deposit lemak hewan uji yang diperoleh dianalisis dengan metode rancangan acak lengkap (RAL) dan Analysis of Variance (ANOVA) pada taraf kepercayaan 95% (α = 0.05) dilanjutkan dengan Duncan’s multiple range test menggunakan SPSS 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN Eluen Terbaik pada Kromatografi Lapis Tipis
Minyak atsiri kayu putih komersial yang digunakan berwarna kuning terang seperti terlihat pada Gambar 2. Kadar sineol dalam minyak atsiri kayu putih ini sebesar 67.74% dan memiliki wangi yang khas seperti minyak kayu putih. Hal ini sesuai dengan SNI (2006) yang menyatakan bahwa minyak atsiri kayu putih berwarna kekuningan, kadar sineol yang terkandung lebih besar dari 65% dan memiliki wangi yang khas seperti minyak kayu putih pada umumnya.
Gambar 2 Minyak atsiri kayu putih Penentuan eluen terbaik pada minyak atsiri kayu putih dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Fase diam yang digunakan berupa silika G60F254 dan 6 jenis pelarut sebagai fase gerak, yaitu n-heksana, dietileter, kloroform, etil asetat, aseton, dan metanol. Profil kromatografi yang terbentuk dideteksi di bawah lampu UV λ 254 nm dan 366 nm. Eluen terbaik adalah eluen yang dapat menghasilkan jumlah noda terbanyak dan terpisah (Skoog et al. 2004). Hasil penentuan eluen terbaik dengan menggunakan 6 pelarut tunggal terlihat pada Gambar 3.
6
Gambar 3 Kromatogram KLT dengan enam jenis pelarut tunggal (kiri ke kanan) n-heksana, dietileter, etilasetat, aseton, metanol, dan kloroform. Berdasarkan Gambar 3, noda terbanyak dihasilkan pada pelarut kloroform, namun pada kloroform noda yang dihasilkan masih belum terpisah dengan baik. Oleh karena itu, dilakukan pencampuran 2 pelarut antara kloroform:etil asetat, kloroform:n-heksana, dan n-heksana:etil asetat. Pada pencampuran kloroform:etil asetat dilakukan pada perbandingan 1:4, 3,5:1, dan 4:1. Hasil pemisahan terbaik adalah perbandingan 4:1, namun masih terbentuk ekor pada beberapa noda. Pencampuran antara kloroform:n-heksana hanya dilakukan pada perbandingan 1:4. Pada perbandingan tersebut noda yang dihasilkan tidak terpisah dengan baik dan terdapat beberapa noda yang tidak muncul. Pencampuran n-heksana:etil asetat dilakukan pada perbandingan 7:3, 8:2, dan 17:3 berdasarkan John et al. (1987). Dari ketiga perbandingan tersebut, noda yang dihasilkan pun tidak terpisah dengan baik. Berdasarkan hasil tersebut dilakukan pencampuran 3 pelarut dengan metode simplex centroid design (SCD) yang disajikan pada Gambar 5. Hasil terbaik yang didapatkan dengan pencampuran 3 pelarut didapatkan pada perbandingan 4:1:1 (kloroform:etilasetat:n-heksana) namun, keterpisahan yang dihasilkan masih belum baik. Oleh karena itu, dilakukan penurunan volume n-heksana dengan perbandingan 4:1:0.5 (kloroform:etilasetat:n-heksana). Berdasarkan hasil tersebut, noda yang dihasilkan banyak, terpisah dengan baik, dan tidak terbentuk ekor pada noda-noda yang dihasilkan.
Gambar 4 Kromatogram KLT dengan 3 komposisi pelarut (kiri ke kanan) kloroform:etil asetat (4:1), (3.5:1), (1:4), n-heksana:kloroform (4:1), n-heksana:etil asetat (17:3), (8:2), (7:3)
7
Gambar 5 Kromatogram KLT dengan 11 komposisi pelarut antara kloroform:etil asetat:n-heksana Fraksionasi Minyak Atsiri Kayu Putih
Minyak atsiri kayu putih dipisahkan dengan kromatografi kolom menggunakan eluen terbaik dengan sistem step gradient (peningkatan kepolaran). Eluen yang digunakan berupa n-heksana murni, campuran antara n-heksana dan kloroform dengan perbandingan 9:1-1:9, kloroform murni, campuran antara kloroform dan etil asetat dengan perbandingan 9:1-1:9 serta etil asetat murni. Total fraksi yang didapatkan sebanyak 23 fraksi seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil fraksionasi minyak atsiri kayu putih dengan teknik elusi gradien kromatografi kolom Fraksi ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jumlah noda 1 1 1 1 2 2 6 4 4 2 3 3 5 4 4 2 2 1
Bobot (g) 0.0129 0.0152 0.0138 0.0240 0.0414 0.0285 0.0442 0.0366 0.1035 0.0985 0.0981 0.0462 0.0610 0.0260 0.0200 0.0340 0.0104 0.0127
Rendemen (%) 0.56 0.66 0.59 1.04 1.79 1.23 1.91 1.58 4.46 4.25 4.23 1.99 2.63 1.12 0.86 1.47 0.45 0.55
8
Tabel 1 Hasil fraksionasi minyak atsiri kayu putih dengan teknik elusi gradien kromatografi kolom lanjutan Fraksi keJumlah noda Bobot (g) Rendemen (%) 19 2 0.0142 0.61 20 2 0.0225 0.97 21 1 0.0260 0.01 22 3 0.0223 0.96 23 3 0.0155 0.67 *Bobot minyak atsiri kasar kayu putih yang dielusi 2.3184 g
Sebanyak ± 2 g minyak atsiri kasar yang dielusi dengan kromatografi kolom, didapatkan fraksi 9, 10 , 11, dan 13 dengan rendemen terbanyak sebesar 4.46%, 4.25%, 4.23%, dan 2.63% dengan jumlah noda pada fraksi 9 sebanyak 4 noda, fraksi 10 sebanyak 2 noda, fraksi 11 sebanyak 3 noda, dan fraksi 13 sebanyak 5 noda. Pada keempat fraksi tersebut, sineol diduga berada pada fraksi 9. Hal ini berdasarkan rendemen fraksi 9 memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan fraksi lainnya. Selain itu, nilai Rf fraksi 9, yaitu 0.65 memiliki nilai yang sama dengan nilai Rf standar sineol yaitu 0.65. Oleh karena itu, fraksi 9 dianalisis lebih lanjut dengan GC-MS. Selain fraksi 9, fraksi 13 dan minyak atsiri kasar kayu putih pun dianalisis lebih lanjut menggunakan GC-MS. Pemilihan fraksi 13 ini berdasarkan pola yang dihasilkan pada KLT. Fraksi 13 memiliki pola yang berbeda dengan fraksi 9 sehingga diharapkan pada fraksi 13 ini tidak terdapat kandungan sineolnya. Fraksi-fraksi tersebut dianalisis lebih lanjut dengan GC-MS untuk diindentifikasi komponen kimianya dan diuji aktivitasnya secara in vivo.
MA F1 F2 F3 F4
F5 F6 F7
F8 F9 F10 F11 F12 F13 F14 F15 F16 F17 F18 F19 F20 F21 F22 F23
Gambar 6 Kromatogram fraksi dari kromatografi kolom (F1-F23) dan minyak atsiri
9
Senyawa dalam Minyak Atsiri Kayu Putih, Fraksi 9, dan Fraksi 13 Identifikasi kandungan senyawa yang terdapat dalam minyak atsiri kayu putih, fraksi 9, dan fraksi 13 dilakukan dengan menggunakan instrumen GC-MS. Hasil analisis berupa kromatogram ion total yang merupakan hubungan antara waktu retensi dengan intensitas. Puncak-puncak yang dihasilkan dalam kromatogram diidentifikasi dengan membandingkan spektrum massa yang diperoleh dengan spektrum massa yang terdapat pada library. Menurut Harborne (1987) senyawa dominan yang terkandung dalam minyak atsiri adalah golongan terpenoid. Secara kimia, terpena dalam minyak atsiri dapat terbagi menjadi dua golongan yaitu monoterpena dan seskuiterpena dengan jumlah C10 dan C15. Kedua jenis terpenoid tersebut berbeda dalam hal titik didihnya. Senyawa yang termasuk dalam golongan monoterpena memiliki titik didih antara 140°C-180°C sedangkan senyawa yang termasuk dalam golongan seskuiterpena memiliki titik didih di atas 200°C (Harborne 1987). Beberapa senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih berdasarkan hasil GC-MS diantaranya α-pinene (7.83%), β-pinene (4.18%), msimen (2.06%), limonena (2.40%), 1,8-sineol (67.74%), dan o-cimena (7.45%) (Gambar 7). Senyawa-senyawa tersebut termasuk ke dalam golongan monoterpena.
α-pinena
β-pinena
m-simen
O
Limonena
1.8-sineol
o-cimena
Gambar 7 Senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih Tabel 2 menunjukkan perbedaan komponen pada minyak atsiri kayu putih, fraksi 9, dan fraksi 13. Hasil GC-MS (Gambar 8) pada minyak atsiri kasar terdapat 12 senyawa, namun hanya 6 yang teridentifikasi. Senyawa terbesar yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih yaitu 1,8-sineol dengan persentase kadar sebesar 67.74%. Hal ini sesuai dengan Sefidkon et al. (2007) yang menyatakan bahwa komponen utama penyusun minyak kayu putih adalah sineol.
10
Tabel 2 Konsentrasi senyawa dominan dalam minyak atsiri kasar, F9, dan F13 Golongan
Senyawa
Monoterpena
Monoterpena alkohol Seskuiterpena Polimer
α-pinena β-pinena m-simen Limonena o-cimena Cis-1,3,3-trimetil-2-oxabisiklo [2.2.2] oktan-5-ol 1.8-sineol α-terpineol Viridiflorol 4,4,8-trimetiltrisiklo[6.3.1.0(1,5)] dodekana-2,9-diol Diisooktil adipat
Minyak kayu putih (%) 7.83 4.18 2.06 2.40 7.45 -
F9 (%)
F13 (%)
-
3.69
67.74 -
5.70 9.13 11.77 -
1.25 2.21
-
-
6.48
Prinsip pemisahan pada GC adalah komponen dalam campuran akan dipisahkan berdasarkan titik didihnya. Pada minyak atsiri kayu putih, α-pinena terdeteksi terlebih dahulu karena memiliki titik didih yang paling rendah dibandingkan dengan β-pinena, m-simena, limonena, 1,8-sineol, dan o-cimena. Selain titik didih, interaksi komponen dengan fase diam juga akan mempengaruhi lamanya waktu retensi. Dalam hal ini fase diam yang digunakan adalah kolom yang bersifat polar. Komponen yang memiliki sifat polar akan tertahan lebih lama pada fase diam sedangkan yang bersifat nonpolar akan terlebih dahulu keluar. Pada minyak atsiri kasar, o-cimena bersifat paling polar karena muncul pada waktu retensi tertinggi yaitu sebesar 9.295 menit. Intesitas ( x 10, 000, 000) TI C
e
6. 5 6. 0 5. 5 5. 0 4. 5 4. 0 3. 5 3. 0 2. 5
a
2. 0 1. 5 1. 0
d bc
f
0. 5
2. 5
5. 0
7. 5
10. 0
12. 5
15. 0
17. 5
20. 0
Waktu retensi (menit) Gambar 8 Kromatogram ion total hasil GC-MS minyak atsiri kasar a. αpinena; b. β-pinena; c. m-simena; d. limonena; e. 1.8-sineol; f. o-cimena Selain minyak atsiri kayu putih, fraksi 9 dan fraksi 13 juga dianalisis menggunakan GC-MS. Terdapat 3 komponen utama pada fraksi 9 dan 4
11
komponen utama pada fraksi 13 seperti yang terlihat pada Tabel 2. Hasil analisis pada fraksi 9 dan 13 kadar 1,8-sineol yang dihasilkan hanya sebesar 5.70% dan 1.25%. Terdapatnya sineol pada fraksi 9 dan fraksi 13 ini menunjukkan bahwa proses pemisahan sineol belum berhasil. Pada fraksi 9, komponen lain yang teridentifikasi pada minyak atsiri kayu putih tidak ditemukan kembali, namun terdapat komponen lain yaitu α-terpineol dan viridiflorol dengan kadar sebesar 9.13% dan 11.77%. Kadar viridiflorol pada fraksi 9 ini merupakan kadar terbesar dibandingkan dengan 2 komponen yang lainnya atau dengan kata lain pada fraksi 9, viridiflorol merupakan senyawa dominan. Hal ini sesuai dengan Pino et al. (2011) yang menyatakan bahwa komponen mayor pada minyak kayu putih selain sineol adalah senyawa viridiflorol. Hasil analisis GC-MS pada fraksi 13 menunjukkan terdapat 4 komponen utama yang teridentifikasi yaitu sineol (1,25%), diisooktil adipat (6.48%), Cis1,3,3-trimetil-2-oxabisiklo [2.2.2] oktan-5-ol (3.69%), dan 4,4,8-trimetiltrisiklo [6.3.1.0(1,5)] dodekana-2,9-diol (2.21%). Senyawa dominan pada fraksi 13 ini adalah diisooktil adipat. Senyawa diisooktil adipat, Cis-1,3,3-trimetil-2-oxabisiklo [2.2.2] oktan-5-ol, dan 4,4,8-trimetiltrisiklo [6.3.1.0(1,5)] dodekana-2,9-diol sebelumnya belum pernah teridentifikasi pada komponen minyak atsiri kayu putih. Terdapatnya ketiga komponen ini dapat disebabkan karena pelarut yang digunakan pada fraksi 13 ini cenderung bersifat semi polar sehingga ketiga komponen tersebut pada saat proses fraksionasi ketiga dapat terpisahkan. Berdasarkan Edwich et al. (2009) dan Santoso et al. (2002) komponen yang sering teridentifikasi pada minyak kayu putih yaitu α-pinene, β-pinene, m-simen, limonena, 1,8-sineol, o-cimena, α-terpineol, dan viridiflorol. Hal ini disebabkan pelarut yang sering digunakan lebih bersifat nonpolar yaitu n-heksana dan dietil eter. Pemisahan sineol pada fraksi 9 dan fraksi 13 belum memiliki keterpisahan yang baik. Oleh sebab itu, dilakukan uji lebih lanjut pada fraksi yang dihasilkan menggunakan kromatografi lapis tipis. Pemisahan ini dibandingkan dengan standar sineol yang telah ada. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa fraksi 7 memiliki pola spot dan nilai Rf yang hampir sama dengan standar. Sedangkan pada fraksi 9 dan 13 memiliki pola noda yang berbeda dengan standar akan tetapi terdapat satu spot yang memiliki nilai Rf yang hampir sama.
Hasil Uji Aromaterapi Secara In Vivo Uji in vivo dari minyak atsiri kasar, sineol, dan fraksi 9 dilakukan terhadap tikus putih jantan galur Sprague-Dawley selama 5 minggu dengan konsentrasi 0.1%. Bobot badan tikus diukur satu minggu sekali dan dipantau perubahannya akibat perlakuan. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 9.
12
Rerata bobot badan (g)
250 200 150 100 0
1
2
3
4
5
Perlakuan minggu keI
II
III
IV
V
Gambar 9 Perubahan rerata bobot badan tikus tiap kelompok selama masa perlakuan Peningkatan bobot badan per minggu selama masa perlakuan terlihat pada Gambar 9. Berdasarkan gambar tersebut, diketahui bahwa semua kelompok tikus memiliki peningkatan bobot badan di setiap minggunya, namun pada minggu ke-1 terjadi penurunan bobot badan yang dikarenakan tikus masih beradaptasi dengan pakan kolesterol tinggi yang diberikan. Pada akhir masa perlakuan terlihat bahwa kelompok IV memiliki rerata bobot badan dibandingkan dengan kelompok lainnya. Tabel 3 Rerata bobot badan tikus pada awal dan akhir perlakuan Kelompok
Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) (p>0.05) (p<0.05) (1) Pakan Standar 167.00±14.28a 206.67±15.41b (II) Tinggi Kolesterol (TK) 170.67±12.54a 222.50±13.56b a 219.00±12.66b (III)TK + Minyak Atsiri 161.40±14.22 a 199.60±15.53a (IV)TK + Sineol 155.80±8.52 a 226.83±19.80b (V) TK + F9 167.00±14.55 Angka yang diikuti oleh huruf superscripts yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji (P>0.05) (Duncan’s multiple range test)
Tabel 3 menjelaskan rerata bobot badan tikus pada awal dan akhir perlakuan. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa bobot badan awal tidak berbeda signifikan setelah uji statistika, namun pada masa perlakuan diketahui bahwa bobot badan tikus pada akhir perlakuan berbeda signifikan. Pada tabel terlihat bahwa kelompok IV memiliki rerata bobot badan yang berbeda signifikan dibandingkan kelompok lainnya dengan nilai p<0.05. Kelompok IV yang diberikan perlakuan inhalasi sineol memiliki bobot yang paling rendah (199.60 g). Berdasarkan hal tersebut, inhalasi sineol berpotensi menurunkan bobot badan hewan uji.
13
Tabel 4 Rerata bobot pakan tikus perminggu (g/ekor) selama masa perlakuan Jumlah pakan (g) (p<0.05) Pakan Standar 138.83±5.72b Tinggi Kolesterol (TK) 157.73±1.17a TK + Minyak Atsiri 163.54±0.95a TK + Sineol 160.79±1.27a TK + F9 162.31±1.10a Angka yang diikuti oleh huruf superscripts yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji (P>0.05) (Duncan’s multiple range test) Kelompok
(I) (II) (III) (IV) (V)
Tabel 4 menunjukkan konsumsi pakan tikus setiap minggu selama masa perlakuan. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa konsumi pakan tikus pada kelompok II, III, IV, dan V tidak berbeda signifikan, namun pada kelompok I menunjukkan hasil yang berbeda signifikan dengan p<0.05. Terlihat bahwa, kelompok I memiliki konsumsi pakan terendah dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu sebesar 138.83 g. Jika dilihat, kelompok IV tidak menunjukkan hasil yang berbeda signifikan pada konsumsi pakan namun pada hasil penentuan bobot badan justru menunjukkan hasil yang sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa inhalasi sineol tidak mempengaruhi konsumsi pakan namun dapat menurunkan bobot badan tikus. Tabel 5 Rerata bobot deposit lemak tikus Deposit lemak (g) (p<0.05) (I) Pakan Standar 2.51±0.55a (II) Tinggi Kolesterol (TK) 3.20±0.60a (III) TK + Minyak Atsiri 3.80±0.60a (IV) TK + Sineol 3.44±0.59a (V) TK + F9 4.01±0.60a Angka yang diikuti oleh huruf superscripts yang sama tidak berbeda signifikan pada taraf uji (P>0.05) (Duncan’s multiple range test) Kelompok
Penentuan bobot deposit lemak dianalisis pada minggu akhir perlakuan setelah tikus dipuasakan selama 12 jam. Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 5. Rerata bobot deposit lemak yang didapatkan pada setiap kelompok tidak menunjukkan hasil yang berbeda signifikan (P>0.05). Hasil yang tidak berbeda siginifikan pada kelompok pakan kolesterol pada Tabel 5, dapat disebabkan karena dengan konsumsi kolesterol dan lemak lebih tinggi, maka energi berlebih yang dihasilkan akan terdeposit dalam bentuk lemak. Hal ini terbukti dari kencenderungan pada pakan standar yang memiliki bobot deposit lemak terendah. Ganong (2003) menyatakan bahwa pemberian PTU dapat menyebabkan terhambatnya hormon tiroid yaitu dengan mengurangi pengeluaran kolesterol dari sirkulasi sehingga terjadi peningkatan kolesterol dalam darah yang tertimbun dalam bentuk lemak.
14
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Fraksionasi minyak atsiri kayu putih dengan fase gerak eluen terbaik kloroform:etil asetat:n-heksana (4:1:0.5) dan fase diam silika gel menghasilkan 23 fraksi, dimana 2 fraksi diantaranya yaitu F9 dan F13 diuji lebih lanjut dengan GCMS. Hasil GC-MS menunjukkan bahwa sineol masih terdapat pada kedua fraksi tersebut sehingga pemisahan sineol dalam penelitian ini tidak berhasil dilakukan. Minyak atsiri, sineol, dan F9 diuji aktivitasnya sebagai pelangsing aromaterapi secara in vivo. Hasil uji in vivo menunjukkan bahwa inhalasi sineol dapat berpotensi sebagai pelangsing aromaterapi tanpa mengurangi konsumsi pakan.
Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan senyawa sineol dengan kemurnian yang lebih tinggi. Selain itu, perlu dikaji lebih lanjut efisiensi konsentrasi yang terhirup pada saat masa perlakuan serta perlu adanya pembuktian lebih lanjut dengan variasi dosis untuk membuktikan khasiat pelangsing ataupun peningkatan bobot badan.
DAFTAR PUSTAKA Agoes A. 2010. Tanaman Obat Indonesia. Jakarat (ID): Salemba Medika. Angela ES, Davis WL. 2010. Immune-modifying and antimicrobial effects of eucalyptus oil and simple inhalation devices. Alternative Medicine Review 15 (1):33-47. Astuti EP. 2012. Pemisahan sitral dari minyak atsiri serai dapur (Cymbopogon citratus) sebagai pelangsing aromaterapi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Minyak Kayu Putih. SNI 06-39542006. Jakarta. Derwich E, Benziane Z, Boukir A. 2009. GC/MS analysis of volatile constituents and antibacterial activity of the essential oil of the leaves of eucalyptus globulus in Atlas Median from Morocco. Advances in Natural and Applied Sciences 3(3):305-313. Ganong W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong Ed. 22. Jakarta (ID): EGC. Habibi H. 2012. Manfaat kayu putih. [terhubung berkala]. ksrpmi.uinmalang.ac.id/berita-132-manfaat-kayu-putih.html. [29 Des 2012]. Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung (ID): ITB Bandung.
15
Hermawan II. 2013. Fraksionasi senyawa aktif minyak atsiri jahe sebagai pelangsing aromaterapi secara in vivo [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for The Fractionation of Natural Extract. London(LN): Chapman & Hall. Juergens UR, Dethlefsen U, Steinkamp G, Gillissen A, Repges R, and Vetter H. 2003. Anti-inflammatory activity of 1.8-cineol (eucalyptol) in bronchial asthma: a double-blind placebo-controlles trial. Respiratory Medicine(97): 250-256. Kumanyika S, Brownson RC. 2007. Handbook of Obesity Prevention: A resource for Health Professionals. Philadelphia (US): Springer Publishing. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta(ID): UI Pr. Pino J, Avillio B, Armando U, Juan A, Rolando M. 2011. Chemical composition of cajuput oil (Melaleuca leucadendra L.) from Cuba. Journal of Essential Oil Research (14):10-11. Perum Perhutani. 2004. Statistik Perum Perhutani 1999-2003. Jakarta (ID): Direksi Perum Perhutani. Rosazza JPN, Steffens JJ, Sariaslani FM, Animesh G, John MB, Scot R, Robert C. 1987. Microbial Hydroxylation of 1.4-cineole. Applied and Enviromental Microbiology 53(10):2482-2486. Rouessac F, Rouessac A. 1994. Chemical Analysis Modren Instrumentation Methods and Techniques 2nd. USA (UK): John Wiley & Sons, Ltd. Santoso M, Febriana AN, Joseph JB. 2002. Komposisi kimia minyak Eucalyptus globulus labillardiere. Sigma 5(1):77-81. Sefidkon F, Assareh MH, Zahra A, Barazandeh MM. 2007. Chemical composition of the essential oil of four cultivated eucalyptus species in Iran as medical plants (E. microtheca, E. spathulata, E. largiflorens, and E. torquata). Iranian Journal of Pharmaceutical Research 6(2):135-140. Skoog DA, Holler PJ, Nieman TA. 2004. Principles of Instrumental Analysis. Ed ke-5. Philadelphia(US): Hartcaurt Brace. Wulandari R. 2011. Fraksionasi senyawa aktif minyak atsiri bangle (Zingiber purpureum) sebagai pelangsing aromaterapi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Zhang. 2004. Trends in the association between obesity sosioeconomic status in US adults. Obesity Research 12:1622-1632.
16
LAMPIRAN Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Minyak atsiri kasar kayu putih
Penentuan eluen terbaik Fraksionasi kolom dengan eluen terbaik
F1
F2
F...
F23
Pemantauan dengan KLT menggunakan eluen campuran kloroform:etil asetat:n-heksana (4:1:0.5) Fraksi 9 dan sineol
Identifikasi senyawa (GC-MS
Uji In vivo (Lampiran 2)
17
Lampiran 2 Surat persetujuan komisi etik hewan IPB
18
Lampiran 3 Komposisi pakan yang diberikan pada hewan uji Kandungan proksimat pakan standar dan kolesterol Kadar (%) Komposisi Pakan standar Pakan kolesterol Protein 18 13.69 Lemak 4 15.25 Serat 4 6.16 Abu 11 8.41
19
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Maret 1991 dari ayah Dikdik Turdika dan ibu Yuke Yudiana. Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 6 Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) dan diterima di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan, antara lain organisasi serta kegiatan program kreativitas mahasiswa. Organisasi yang pernah diikuti selama kuliah, yaitu sebagai ketua departemen eksternal Ikatan Mahasiswa Kimia (Imasika). Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB pada tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum Kimia Analitik Layanan tahun ajaran 2012/2013. Penulis pernah mengikuti pekan ilmiah mahasiswa nasional (PIMNAS) XV di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2012. Pada bulan JuliAgustus 2012, penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT Pradja Pharin dengan judul Penentuan Disolusi Zat Aktif Paracetamol dan Guaifenesin Dalam Paratusin Dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.