PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP KOMPONEN SINEOL DALAM DAUN KAYU PUTIH Imelda Tirtajaya 1 ' Djohan Sofia 2 ' Lidia Ratnawati 1 ' Hioe Fei Lien 3 '
ABSTRACT Cajuputi is well known as Indonesian herbal plant from the Myrtaceae family. Usually cajuputi is used as a source of essential oils. The oil is extracted from Melaleuca leucadendron. As herbal tea, cajuputi can be used for therapeutic purposes, such as anti-neuralgic, antiseptic, decongestant, expectorant and insecticide. The most important component in cajuputi that gives a therapeutic effect is cineole. The objective of this research was to find out the effect of temperature to cineole in dry cajuputi leaf. Gas chromatography was used to analyze the concentration of cineole in dry cajuputi leaf. The result showed that the most appropriate temperature for drying is 65°C in two days, based on the fact that the concentration of cineole and other volatile components remain high after the drying process. Key words : cajuputi, cineole
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan rempah-rempah dan obat-obatan tradisional, seperti jahe, bawang putih, sirih, cengkeh, kayu manis dan sebagainya. Namun penelitian untuk menggali lebih jauh lagi tentang tumbuhan herbal di Indonesia masih sangat terbatas. Salah satu bahan herbal yang masih kurang diteliti dan dipasarkan di Indonesia adalah daun kayu putih (Melaleuca leucadendron). Menurut Mursito (2002), kayu putih dapat digunakan sebagai obat dalam, seperti sakit kepala, batuk dan sakit perut sehingga kayu putih dapat digunakan sebagai bahan herbal. Daun kayu putih di Indonesia lebih banyak dikenal dan dimanfaatkan minyak atsirinya sebagai aplikasi luar sehingga pengaplikasian untuk obat dalam masih kurang dikenal oleh masyarakat luas. Sifat kimia minyak kayu putih ditentukan oleh senyawa aromatik yang terdapat dalam minyak tersebut, yaitu sineol. Kandungan sineol dalam minyak kayu putih mencapai 50 hingga 60%. Pada proses pengolahan daun kayu putih untuk dijadikan ten herbal, daun kayu putih harus melewati tahap pengeringan dan penyeduhan. Penelitian ini akan meneliti seberapa banyak kandungan sineol dan komponen-komponen volatil lainnya dapat dipertahankan sampai " Dosen tetap jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan Dosen tidak tetap Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan 31 Alumni Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan
2|
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 2, No. 2, Oktober 2004
59
daun kayu putih menjadi kering serta kandungan sineol daun kayu putih pada air seduhan the. Tujuan penelitian adalah untuk menetapkan suhu pengeringan yang optimal terhadap daun kayu putih sehingga kadar sineol yang dikandung serta komponen-komponen lain yang mendukung terbentuknya aroma tidak hilang ketika daun kayu putih dikeringkan. METODOLOGI Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kayu putih yang diperoleh secara bebas di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) Jakarta, larutan Kalium Permanganat 0.1 N, gelatin, NaCI, asam, indigo carmine, serbuk kaolin, kertas Whatman, akuades, larutan standar sineol, standar linalool, metanol, heksana, asam sulfat pekat, air raksa oksida, kalium sulfat, larutan Natrium hidroksida-natrium tiosulfat, asam borat jenuh, asam klorida dan dietil eter. Alat yang digunakan meliputi sendok, plastic sealer, kompor, heater, gelas piala, gelas ukur, stopwatch, thermometer, oven, loyang, neraca analitik, cawan porselen, desikator, penjepit cawan, tanur, alat Kjeldahl, alat soxhlet, pipet volumetri, buret, Erlenmeyer, Kromatografi Gas merk Hitachi, chromameter merk Minolta CT-310, pH metermerk Metrohm dan peralatan gelas. Metode Penelitian Pada penelitian akan daun kayu putih akan dikeringkan pada berbagai suhu, yaitu 50°C, 65°C dan 80°C. Kecukupan waktu pengeringan ditentukan dengan mengukur kadar air daun kayu putih. Pengeringan dianggap cukup apabila kadar air bahan ada pada kisaran 3 hingga 10% (Buckle ef a/., 1987). Selanjutnya pengeringan akan dihentikan setelah kadar air ketiga jenis bahan menunjukkan kadar air yang hampir sama. Setelah kadar air masuk pada kisaran tersebut, dilakukan analisis kadar sineol daun kayu putih dengan menggunakan kromatografi gas. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian daun kayu putih akan dikeringkan dengan menggunakan oven. Pengeringan dilakukan pada tiga suhu, yaitu 50°C, 65°C dan 80°C.
60
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 2, No. 2, 0ktober2004
Pengeringan bertujuan untuk mempertahankan masa simpan daun karena pengeringan akan menurunkan kadar air sampai batas teraman dari pertumbuhan mikrorganisme. Pengeringan menggunakan metode oven memiliki kekurangan dan kelebihan. Keuntungannya adalah suhunya dapat ditentukan dan pengeringan dapat berjalan lebih cepat karena tidak tergantung cuaca, sedangkan pengeringan dengan oven juga mempunyai kelemahan, yaitu dapat mengubah sifat fisik bahan pangan akibat suhunya yang tinggi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada daun yang dikeringkan pada tiga suhu tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perubahan-perubahan yang terjadi pada daun kayu putih. Perubahan yang terjadi
Daun segar
Bentuk daun
Lurus dan runcing
Warna daun
Hijau segar
Aroma daun
Tidak beraroma
Daun kering 50°C Agak mengkerut Hijau sedikit kecoklatan Daun segar, bau minyak kayu putih
Daun kering 65°C
Daun kering 80°C
Mengkerut
Mengkerut
Hijau kecoklatan
Coklat
Masih segar, aroma kayu putih
Aroma agak menyimpang, ada bau terbakar
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan tiga macam suhu yang berbeda, yaotu 50°C, 65°C dan 80°C. Ada korelasi yang kuat antara tingginya suhu pengeringan dengan lamanya pengeringan. Semakin tinggi suhu, maka semakin cepat bahan yang dikeringkan untuk mencapai kesetimbangan kadar air bahan. Kecukupan pengeringan pada masing-masing suhu akan ditentukan dengan melihat kadar air bahan yang dikeringkan. Bahan dianggap sudah kering apabila kadar air sudah mencapai kisaran 3 hingga 10% (Buckle et. al., 1987)dan pengeringan akan dihentikan apabila bahan yang dikeringkan dengan suhu yang berbeda tersebut menunjukkan kadar air yang hampir sama. Berdasarkan hasil perhitungan kadar air diketahui bahwa pengeringan pada suhu 80°C membutuhkan waktu 1 hari untuk mencapai kadar air bahan 5%, sedangkan pengeringan pada suhu 65°C membutuhkan waktu 2 hari untuk mencapai kadar air yang sama. Pengeringan pada suhu 50°C berjalan sangat lambat, terbukti dari pengukuran kadar air yang masih memberikan nilai 7% setelah pengeringan berjalan selama 5 hari. Oleh karena keterbatasan waktu.
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 2, A/a 2, Oktober 2004
61
proses pengeringan pada suhu ii tidak dilanjutkan lagi. Perubahan bentuk daun terjadi karena perubahan tekstur daun. Tekstur daun dipengaruhi oleh tekanan turgor dari sel-sel daun yang hidup. Tekanan turgor adalah tekanan dari isi sel terhadap dinding sel yang memiliki sifat plastis. Isi sel membesar karena menyerap air dari lingkungan sekelilingnya. Pada waktu daun dikeringkan, maka air dalam isi sel bermigrasi ke dinding sel daun yang bersifat permeabel terhadap air. Jika air di dalam sel berkurang, maka sel akan menjadi lunak dan lemas sehingga daun mengkerut (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Semakin lama daun dikeringkan dan semakin tinggi suhu pengeringan, maka air pada dinding sel akan semakin cepat keluar dari sel daun sehingga semakin tinggi suhu dan semakin lama pengeringan maka kadar air daun semakin sedikit dan daun akan semakin mengkerut. Wama pada daun disebabkan oleh kandungan zat wama yang terdapat di dalamnya. Kandungan zat wama tersebut disebut pigmen. Daun yang berwarna hijau disebabkan oleh adanya pigmen klorofil. Ada dua jenis klorofil yang telah diketahui, yaitu klorofil a dan klorofil b. Pigmen klorofil bersifat peka terhadap panas dan tidak stabil. Klorofil dalam tanaman terdapat dalam bentuk ikatankompleks dengan molekul protein dan lemak. Bila daun dipanaskan, maka protein akan terdenaturasi dan klorofil dilepaskan. Pemanasan juga dapat merusak ikatan antara senyawa nitrogen dan magnesium yang terdapat pada klorofil. Ketika magnesium dibebaskan maka tempatnya akan digantikan oleh dua molekul hydrogen sehingga terbentuk formasi baru yaitu feofitin yang berwarna kecoklatan. Pada tingkat selanjutnya, pergantian gugus pada atom C nomor 10 dengan atom hydrogen menyebabkan feofitin berubah menjadi pyrofeofitin yang berwarna kecoklatan. Menurut Fennema (1996), setelah pemanasan 15 menit dengan suhu 121°C maka klorofil akan terdegradasi dengan cepat membentuk feofitin, tapi apabila pemanasan terus dilanjutkan, jumlah feofitin akan menurun dan membentuk pyrifeofitin. Jadi perubahan wama daun akibat pemanasan dikarenakan terbentuknya formasi baru dari klorofil menjadi feofitin dan pyrofeofitin. Pada pemanasan 50°C, sebagian besar daun masih berwarna hijau. Hal ini dikarenakan ikatan Mg masih dapat dipertahankan. Pada pemanasan 65°C hanya sebagian klorofil yang sudah berubah menjadi feofitin yang berwarna hijau kecoklatan, sedangkan pada pemanasan 80°C sebagian besar klorofil sudah berubah menjadi pyrofeofitin yang berwarna kecoklatan. Daun kayu putih dikenal sebagai daun yang dapat menghasilkan minyak atsiri karena daun kayu putih merupakan daun yang di dalamnya terdapat banyak kelenjar yang mangandung minyak volatil yang beraroma harum. Minyak volatil akan segera keluar apabila struktur daun dirusakkan atau
62
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 2, No 2, 0ktober2004
diremas. Daun kayu putih yang masih segar tidak akan berbau apa-apa karena kelenjar minyaknya masih tersimpan dalam jaringan daun. Pemanasan juga akan mengeluarkan aroma volatil tersebut karena zat volatil terlarut bersama dengan air. Selain itu pemanasan juga merusakkan struktur daun sehingga kelenjar minyak terlepas dan menghasilkan aroma yang harum. Pemanasan juga mempercepat interaksi komponen amino dan karbohidrat sederhana dalam reaksi Maillard yang juga berkontribusi terhadap pembentukan aroma (Belitz dan Grosch, 1999). Komponen kimia minyak atsiri sangat kompleks, tetapi biasanya tidak melebihi 300 senyawa dan yang menentukan aroma minyak atsiri adalah komponen yang persentasenya tinggi. Namun kehilangan satu komponen kecil saja dapat menyebabkan perubahan pada aromanya.Pada minyak kayu putih, komponen utama yang menentukan aroma tersebut adalah sineol. Pemanasan dengan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan komponen volatil menjadi hilang sehingga yang tertinggal adalah bau gosong. Timbulnya bau gosong tersebut adalah sebagai akibat dari reaksi oksidasi. Sineol selain sebagai penentu aroma volatil, juga berfungsi sebagai komponen utama dari minyak kayu putih sehingga kehilangan sineol akan menyebabkan berkurangnya efek farmakologis dan sifat keseluruhan minyak kayu putih tersebut. Aroma kayu putih yang dihasilkan pada suhu pengeringan 50°C masih segar karena belum terbentuk bau yang menyimpang akibat reaksi oksidasi. Pada suhu 65°C, aroma masih ada, tapi tidak sesegar aroma dari suhu 50°C karena komponen-komponen volatil sudah banyak yang menguap, tapi belum terbentuk aroma yang menyimpang. Suhu pengeringan 80°C sudah menghilangkan sebagian besar aroma volatil dan mnyebabkan bau daun agak gosong. Untuk menentukan suhu dan lama pengeringan yang terbaik untuk daun kayu putih maka diambil kadar sineol sebagai parameter utama yang menentukan kualitas daun kayu putih kering. Kadar sineol dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas. Data yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kadar sineol dengan berbagai macam suhu pengeringan Suhu dan waktu pengeringan
Kadar sineol (gram sineol /100 gram daun kering)
Kadar sineol (gram sineol /100 gram daun basah)
50°C, 3 hari
5.77%
1.44%
65°C, 2 hari
4.18%
1.05%
80°C, 1 hari
3.21%
0.80%
Jurnal llmu dan Teknologi Pangan, Vol. 2, No.2, Oktober 2004
63
Pada Tabel 2, terlihat bahwa kadar sineol yang tertinggal di dalam daun kayu putih yang dikeringkan dengan suhu 50°C cukuptinggi yaitu sekitar 5.77% dan semakin menurun seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan. Hal ini terjadi karena sineol merupakan komponen volatil yang mudah menguap sehingga ketika terjadi pemanasan sineol ikut menguap bersama dengan air. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak air dan sineol yang menguap. Suhu 50°C merupakan suhu yang paling baik untuk mempertahankan kadar sineol. Namun di sisi lain, suhu 50°C bukan suhu pengeringan yang tepat karena lamanya pengeringan (3 hari) dapat menghilangkan komponen volatil lainnya. Hal ini terlihat dari hasii kromatogram bahwa komponen volatil yang terdeteksi hanya 3 buah, termasuk sineol. Suhu 8Q°C juga bukan suhu pengeringan yang tepat karena tingginya suhu menyebabkan hilangnya sineol dengan komponen volatil lainnya, walaupun pengeringan hanya dilakukan selama 1 hari saja. Selain itu suhu 80°C telah mengubah keadaan fisik daun sehingga daun berwarna kecoklatan dan sudah timbul aroma gosong yang dikategorikan sebagai aroma yang menyimpang (Tabel 1). Oleh karena itu suhu yang paling tepat untuk pengeringan daun kayu putih adalah 65°C karena pada suhu ini kadar sineol masih cukup tinggi (4.18%) dan keberadaan komponen-komponen volatil lainnya juga masih dapat dipertahankan. KESIMPULAN Berbagai suhu pengeringan mempengaruhi penampilan fisik daun kayu putih dan komponen sineol di dalamnya. Semakin tinggi suhu pengeringan, semakin sedikit komponen sineol tertinggal. Lamanya pengeringan berhubungan dengan tingginya suhu pengeringan. Semakin lama pengeringan juga dapat mengakibatkan komponen-komponen volatil lainnya dalam daun kayu putih menjadi hilang. Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa suhu dan lama pengeringan yang paling optimal untuk mengeringkan daun kayu putih adalah 65°C selama 2 hari. DAFTAR PUSTAKA Agusta, A. 2000.MinyakAtsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB. Bandung. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, S. Budiyanto. 1988. Petunjuk Laboratohum Analisis Pangan. IPB. Bogor. Belitz, H.D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer-Verlag Berlin Herdelberg. Germany. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
64
Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan, Vol. 2, No.2, 0ktober2004
Universitas Indonesia. Jakarta. Fennema, O.R. (ed). 1996. Food Chemistry. 3rd edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Gritter, R.J., J.M. Bobbitt, A.E. Schwarting. 1991. Pengantar Kromatografi Edisi Kedua. ITB Bandung. Gruenwedel, D.W., J.R. Whitaker (ed). 1987. Food Analysis Principles and Techniques. Vol 4. Marcel Dekker, Inc. New York. Handayani, D.N. 1997. Isolasi Sineol dari Minyak Kayu Putih (Melaleuca leucadendronj dengan Cara Kimia. IPB. Bogor. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modem Menganalisis Tumbuhan. Terbitan Kedua. ITB. Bandung. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jumalllmu dan Teknologi Pangan, Vol. 2, No. 2, 0ktober2004
65