Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Potensi Migas pada Fore Arc Basin Sunda : Kesempatan dan Tantangan Fikri Abdulah1 1Universitas Padjadjaran, Jln Bandung Sumedang KM 21 Jatinangor, 45363, Jawabarat Email :
[email protected]
Abstrak Lapangan minyak baru harus terus dicari oleh Indonesia. Fore arc basin menjadi pilihan selanjutnya dalam menemukan cadangan minyak baru setelah sebelumnya beberapa perusahaan sukses dalam eksplorasi di daerah Sub-volkanik. Dalam paper ini akan mengungkap beberapa konsiderasi mengapa fore arc basin Sunda memiliki prospek dan tantangan dalam melakukan eksplorasinya. Paper ini merupakan hasil studi literatur pada penelitian para ahli sebelumnya serta melakukan analisis deduktif untuk memperoleh interpretasi baru yang lebih integratif. Berdasarkan korelasi stratigrafi pada sub-cekungan yang terdapat pada fore arc basin, Cekungan bengkulu bagian offshore memiliki kesamaan geological setting dengan Cekungan Sumatera Selatan yang ditunjukan dengan kesamaan tektonostratigrafi selama paleogen yang ditandai dengan adanya Formasi Lahat dan beberapa formasi lainnya pada kedua cekungan tersebut. Kemudian, di bagian fore arc lainnya ditemukan lamparan karbonat berumur Miocene dan adanya indikasi keterdapatan carbonate build-up pada Late-Miocene yang dapat berperan sebagai batuan reservoir hidrokarbon. Dengan konsiderasi tersebut maka daerah sub-cekungan di fore arc basin memiliki potensi migas seperti hal nya Cekungan Sumatera Selatan. Tantangannya adalah ketiadaan data pemboran yang menembus lapisan paleogen karena tebalnya material vulkanik serta survey seismik yang dilakukan oleh BGR-P3GL-LIPI murni tentang geo-risk potential pasca tsunami Aceh dan bukan untuk eksplorasi yang artinya data seismik yang ada belum memenuhi standard industri. Oleh karenanya diperlukan eksplorasi lebih lanjut di daerah ini. Kata Kunci : Cekungan Sumatera Selatan, Fore arc basin, Korelasi Stratigrafi, Migas
Pendahuluan Lapangan minyak baru harus terus dicari oleh Indonesia. Bukan karena porsi energi ini akan dikurangi maka menurunkan aktivitas eksplorasi, tetapi migas akan selalu dibutuhkan dan menjadi barang penentu dalam persaingan global maupun regional dan dalam hal ini adalah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Kini, beberapa perusahaan minyak dan lembaga penelitian mulai melirik bagian lain dari sundaland yakni bagian fore arc basin. Telah dilakukan survei seismik dan
pengeboran yang dilakukan pada fore arc basin bagian barat pulau sumatera. Selain itu, studi lapangan dan analisis geokimia pun telah dilakukan untuk melengkapi data dalam prospeksi cekungan yang masih minim eksplorasi ini. Sejauh ini, belum ada kesimpulan akhir mengenai prospeksi cekungan ini karena belum terintegrasi data yang diakusisi oleh suatu lembaga dengan lembaga lain. Berdasarkan hal tersebut penulis melihat kembali hasil para peneliti sebelumnya untuk didapatkan kesimpulan yang lebih integratif.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Gambar 2. Rekontruksi Struktur geologi regional pada Gambar 1. Fore arc basin sunda (modifikasi dari Susilohadi, 2005) dan Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif ( modifikasi dari Hamilton, 1979)
Metode Penulisan Paper ini ditulis dengan melakukan analisis deduktif pada hasil penelitian sebelumnya. Analisis deduktif adalah analisis dari kalimat yang sifatnya khusus menjadi yang sifatnya umum. Pada paper ini beberapa hasil penelitian yang sifatnya lokal akan dijadikan sebagai konsiderasi untuk menyimpulkan hal yang sifatnya lebih luas yakni dalam prospeksi migas di fore arc basin Sunda.
Analisis Geologi Regional Pada jaman Eosen Akhir hingga Oligosen Awal pemekaran (spreading) kerak samudera terjadi kembali di Lautan Hindia hingga memungkinkan adanya perubahan arah tumbukan lempeng Indo-Australia menjadi timur laut dan kecepatan penunjaman lempeng tersebut di sepanjang tepian Sumatera dan Jawa menjadi konstan 5-6 cm/tahun (Liu dkk., 1983; Karig dkk., 1979; Daly dkk. 1987, Hall, 1996, 1997).
akhir kapur dan miosen.tengah (Hall, 1998)
Hal tersebut pada akhirnya akan mengawali pembentukan cekungan busur muka pada jaman Neogen di sepanjang busur Sunda. Tumbukan India dengan Eurasia pada jaman Oligosen Akhir hingga Miosen Awal juga telah mengakibatkan sejumlah besar sedimen daratan (terrigenous) diendapkan di Lautan Hindia dan Palung Sunda. Sedimen tersebut terakumulasi dengan cepat hingga memungkinkan pembentukan prisma akresi (Matson dan Moore, 1992). Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia yang paling banyak dikerjakan operator perminyakan(satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh). Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-cekungan ini tidak mengandung migas komersial (Heryanto, 2007c). Cekungan Bengkulu merupakan harapan pertama untuk penemuan minyak di sistem fore arc basin. Sumur terdalam di cekungan ini yang dibor oleh operator Fina pada tahun 1992 (Arwana-1) menemukan oil shows dan menembus sedimen Oligo-Miosen yang berkualitas baik sebagai batuan induk minyak (Heryanto, 2007c).
Analisis Tektonostratigrafi Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
sebelah barat Sumatera pada Miosen Tengah. Hal tersebut berpengaruh terhadap pemisahan cekungan, bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan fore arc sekarang merupakan bagian dari cekungan back arc sekarang.
Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.
Bukti yang kuat bahwa cekungancekungan forearc di sebelah barat Sumatra pernah bersatu dengan back arc basin-nya hanya untuk Cekungan Bengkulu. Untuk cekungan Mentawai - Nias - Sibolga Meulaboh - Simeulue berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari stratigrafi antara fore arc dan back arc-nya yang akan dijelaskan kemudian. Cekungan Bengkulu merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur). Stratigrafi Paleogen kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-grabem Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Perbedaan terjadi setelah neogen saat Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat. Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara
Gambar 3. Kolom stratigrafi cekungan bengkulu (modifikasi dari Yulihanto dkk., 1995) dan sumatera selatan (modifikasi dari Pratama, dkk. 2013)
Secara tektonik, perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu adalah Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu diapit oleh Sesar Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore dan keduanya sesar ini bersifat dextral. Dengan cara itulah semua cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam (Yulihanto dkk., 1995) sehingga punya ruang untuk mengembangkan terumbu
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
karbonat Neogen yang masif asalkan tidak terlalu dalam
Petroleum Play dan Petroleum System Berdasarkan analisa seismik stratigrafi dan seismic facies, sedimen pengisi cekungan memperlihatkan telah terdeformasi rendah dicirikan oleh adanya bentuk-bentuk pelipatan yang lemah. Perkiraan ketebalan sedimen di bagian barat sekitar 6.000 meter, sedangkan di bagian timur hanya mencapai 3.000 meter.
Gambar 4. Sampel Seismik Stratigrafi di Fore Arc (modifikasi dari Lutz, dkk., 2010)
Selain itu, bagian fore arc lainnya ditemukan lamparan karbonat berumur Miocene dan adanya indikasi keterdapatan carbonate build-up pada Late-Miocene yang dapat berperan sebagai batuan reservoir hidrokarbon namun belum dapat dipastikan adanya batuan dasar cekungan sebagai batuan sumber. Selain itu, Sedimen pengisi subcekungan memiliki ketebalan yang relatif cukup tebal sehingga memang masih memungkinkan sebagai cekungan berpotensi hidrokarbon jika dieksplorasi lebih lanjut. Disisi lain, dari hasi penelitian yang dilakukan oleh Pusat Survei Geologi (dalam Heryanto, 2007a) menunjukan bahwa Hasil analisis petrografi batuan sedimen dan organik, Scanning Electron Microscope (SEM) dan geokimia (TOC, rock-eval pyrolysis, dan gas kromatografi) mengindikasikan bahwa hidrokarbon mungkin terdapat di Cekungan Bengkulu. Diduga hadir sebagai batuan sumber/induk adalah batuan sedimen klastika
halus karbonan Formasi Seblat dan Lemau. Sebagai batuan waduk adalah batupasir Formasi Seblat dan Formasi Lemau serta batugamping Formasi Seblat. Sementara itu sebagai batuan penutup adalah lapisan batulempung baik dalam Formasi Seblat maupun Formasi Lemau. Adapun tipe cebakan hidrokarbon yang mungkin terjadi adalah stratigrafi dan struktur (Heryanto, 2007b).
Gambar 5. Mikrofoto sayatan pipih batupasir litarenit, yang tersusun oleh kuarsa (Q), kepingan batuan vulkanik (V) dan felspar (F). Salah satu dari felspar (F Dis) telah mengalami pelarutan (dissolution) menghasilkan porositas sekunder. //nikol (Heryanto, 2007).
Tantangan Eksplorasi Dalam kepentingan eksplorasi masa depan, Berdasarkan penemuan-penemuan karakteristik cekungan busur muka di dunia maka beberapa hal yang menjadi catatan penting untuk eksplorasi adalah bahwa Sedimen yang berada pada prisma akresi umumnya berumur muda dan diragukan kematangannya walaupun tersusun oleh sedimen-sedimen yang over compacted sehingga mereduksi porositas sebagai batuan reservoir. Kemudian, Source rock di bagian barat cekungan kurang berperan sebagai batuan sumber sebab banyak diendapkan endapan turbidit dan trench fill deposit sehingga bukan merupakan batuan reservoir
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
yang baik. Lalu, dengan letaknya yang berada pada daerah struktur yang kompleks maka berpengaruh terhadap diskontinuitas reseroir sehingga pelamparannya terbatas (Dickinson dan Seely,1979 dalam Susilohadi, dkk 2005). Kemudian, Interval antar lintasan survey yaitu > 20 km tidak dapat serta-merta mewakili seluruh kondisi cekungan sehingga korelasi antar lintasan dianggap masih terlalu jauh. Interpretasi rekaman seismic 2D lazimnya hanya dapat menentukan ciri-ciri plays saja yaitu hanya mengidentifikasi kemungkinan batuan reservoir seperti carbonate build up. Berdasarkan sejarah pemboran di cekungan ini dimana target-target pemboran di wilayah ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target Paleogen dengan sistem graben-nya yang telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Ketebalan material vulkanik diperkirakan menjadi penyebab tebalnya dan sulitnya pemboran menembus target paleogen. Walaupun pada oligo-miosen terdapat oil show namun bukti tersebut dirasa tidak komersial. Selanjutnya, tujuan dan ijin yang diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang pada survey kemitraan dengan BGR (Jerman) ini adalah scientific survey murni tentang Geo-risk potential pasca tsunami Aceh, bukan ditujukan secara khusus untuk pencarian potensi migas (hydrocarbon hunting), sehingga metode dan kelengkapan peralatan seismik yang digunakan dalam survey ini belum memenuhi standar industri pada suatu eksplorasi hidrokarbon (Susilohadi, 2005). Untuk kedepannya, dalam rangka mengetahui angka cadangan migas, perlu dilakukan minimal 14 pengeboran sumur di 14 titik cekungan. Biaya pengeboran satu sumur sekitar USD 30 juta. Dengan demikian, minimal dibutuhkan dana USD 427 juta.
Kesimpulan Berdasarkan keterbatasan data yang didapat oleh beberapa peneliti terdahulu seperti data seismik, data pemboran, korelasi stratigrafi serta analisis geokimia, fore arc basin sunda memiliki potensi migas. Namun, keraguan muncul karena kompleksitas struktur daerah ini. Kelengkapan data dan keterbaruan pengaplikasian teknologi diperlukan untuk mengetahui lebih detil mengenai potensi didaerah ini. Pustaka Cruise Report SO200-2, (2009). Subduction Zone Segmentation and Controls on Earthquake Rupture: The 2004 and 2005 Sumatera Earthquakes. National Oceanography Centre, Southampton University, UK. Daly, M.C., Hooper, B.G.D., Smith, D.G., (1987). Tertiary plate tectonics and basin evolution in Indonesia. Proceedings of IPA 16th Ann. Conv., p. 399-428. Dickinson, W.R., Seely, D.R., (1979). Structure and Stratigraphy of Forearc Regions. Am. Assoc. Petrol. Geol. Bulletin, 63, 2-31. GINCO-1, (1999). Geoscientific Investigations on the Active Convergence Between the East Eurasian and IndoAustralian Plates Along Indonesia, Cruise Report, Sonne Cruise So-137 (Unpublished). Hall, R., 1998. The plate tectonics of Cenozoic SE Asia and the distribution of land and sea, In: R. Hall and J.D. Holloway (eds.), Biogeography and geological evolution of SE Asia, Backhuys Publishers, Leiden, 99-131. Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian region, US Geol.Surv. Prof. Pap. 1078, 345 pp. Huchon, P., Le Pichon, X., 1984. Sunda Strait and Central Sumatera Fault. Geology, 12, 668-672. Hamilton, W., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. US Government Printing Office, Washington DC
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
IPA, 2002. Indonesia Basins, April 23, 2002 – EK, IPA Publication. Heryanto, R., 2007a. Diagenesis Batupasir Formasi Lemau di Cekungan Bengkulu dan Potensinya sebagai Batuan Reservoar Hidrokarbon. Mineral dan Energi, 5, h. 5870. Heryanto, R., 2007b. Hubungan antara diagenesis, reflektan vitrinit, dan kematangan batuan pembawa hidrokarbon batuan Sedimen Miosen di Cekungan Bengkulu. Jurnal Geologi Indonesia, 2, h. 101-111. Heryanto, R., 2007c. Kemungkinan keterdapatan hidrokarbon di Cekungan Bengkulu Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 No. 3 September 2007: 119-131. Karig, D.E., Suparka, S., Moore, G.F., Hehanusa, P.E., 1979. Structure and Cenozoic evolution of the Sunda Arc in the central Sumatera region. In: Watkins, J. S., Montadert, L. & Dicerson, P. W. (Eds),Geological and Geophysical Investigations of Continental Margin. AAPG Memoir 29, 223-237. Liu, C.S., Curray, J.R., McDonald, J.M., 1983. New constraints on the tectonic evolution of the eastern Indian Ocean. Earth Planetary Sci. Letters, 65, 331-342. Lubis S, Hutagaol P.J., and Salahuddin M, (2007) Tectonic Setting in the Vicinity of Subduction Zone off West Sumatera and South Java. Proceeding APRU/AEARU Research Symposium 2007, Jakarta. Lutz, R., Berglar, K., Gaedicke, Chr., and Franke, D., (2007). Petroleum Systems Modelling in the Simeulue Forearc Basin off Sumatra. AAPG Hedberg Conference, The Hague, The Netherlands. Lutz, R., Berglar, K., Gaedicke, Chr., Franke, D., Djajadihardja, Y.S., (2009). Neogene subsidence and stratigraphy of the Simeulue forearc basin, Northwest Sumatra. Marine Geology, Volume 253, Issues 1-2, 1-13. Malod, J.A, Karta, K., Beslier, M.O., Zen Jr., M.T., 1995. From normal to oblique subduction: tectonic relationships between Java and Sumatera. Jour. SE Asian Earth Sci., 12, 85-93.
Matson, R., Moore, G.F., (1992). Structural controls on forearc basin subsidence in the central Sumatera forearc basin. In: Geology and Geophysics of Continental Margins, Am. Assoc. Petrol. Geol. Memoir, 53, 157-181. Moore, G.F., Curray, J.R., Moore, D.G., Karig, D.E., (1980). Variations in deformation along the Sunda forearc, northeast Indian Ocean. In: Hayes, D.E. (Ed.), Amer. Geophys. Union Geophys. Monograph 23, 145-160. Moore, G.F. and Karig, D.E., (1980). Structural Geology of Nias Islands, Indonesia: Implication for Subduction Zone Tectonic, Am. J.Sci. 280, p 193-223 Pratama, dkk. (2013) Sikuen stratigrafi, fasies pengendapan dan zonasi hidrokarbon pada lapangan VN pada cekungan sumatera selatan. blogunpad.ac.id Rangin, C., LePichon, X., Mazzotti, S., Pubellier, M., Chamot-Rooke, N., Aurelio, M., Walpersdorf, A., Quebral, R., 1999. Plate convergence measured by GPS across the Sundaland/Philippine Sea Plate deformed boundary: the Philippines and eastern Indonesia. Geophys. J. Int. 139(2), 296-316. Rose, R., 1983, Miocene carbonate rocks of Sibolga Basin, northwest Sumatra: 12th Indonesian Petroleum Association Annual Convention, p. 107-125. Simanjuntak, T.O., Barber, A.J., 1996. Contrasting tectonic styles in the Neogene orogenic belts of Indonesia. Geol. Soc. London Spec. Pub., 106, 185-201. Susilohadi, Gaedicke Christop., and Ehrhardt Axel. (2005). Neogene structure and sedimentation history along the Sunda forearc basins off southwest Sumatera and southwest Java. Marine Geology, Elsevier. Vol. 19. Yulihanto, B., Situmorang, B., Nurdjajadi, A., dan Sain, B., (1995). Structural Analysis of the onshore Bengkulu Forearc Basin and Its Implication for Future Hydrocarbon Exploration Activity. Proceedings 24th Annual Convention Indonesian Petroleum Association, October 1995
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”