POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja1 Abstrak: Klausula perjanjian dalam pembiayaan yang sudah ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh lembaga pembiayaan, di mana konsumen tinggal membubuhkan tanda tangan di atasnya tanpa harus mengerti terlebih dahulu apa isi dari perjanjian tersebut dan dampak hukumnya apabila ada sesuatu di kemudian hari. Petugas dari lembaga pembiayaan yang tidak menjelaskan hak dan kewajiban dari konsumen, karena konsumen sudah dianggap tahu. Konsumen juga terkadang tidak menanyakan apa isi perjanjian dan akibat-akibat hukumnya dari perjanjian tersebut. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya tindakan-tindakan kriminal yang disebut dengan Kejahatan Korporasi. Yang dibahas dalam tulisan ini adalah apakah perjanjian pembelian sepeda motor secara kredit yang dibuat secara sepihak oleh Lembaga Pembiayaan telah memenuhi persyaratan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan apakah penarikan sepeda motor secara paksa oleh lembaga pembiayaan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi? Perjanjian pembelian sepeda motor secara kredit yang dibuat secara sepihak oleh Lembaga Pembiayaan dengan mencantumkan klausula baku tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undangundang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena itu perjanjian tersebut “batal demi hukum”. Penarikan sepeda motor secara paksa yang dilakukan oleh seseorang mengatasnamakan lembaga pembiayaan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi. Kata kunci: Sahnya perjanjian, perlindungan konsumen, dan tindak pidana ekonomi
1
I Nyoman Gede Remaja adalah staf edukatif pada Fakultas Hukum Universitas Panji Sakti Singaraja.
100 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Pendahuluan Lembaga Pembiayaan merupakan salah satu pelaku usaha yang mengalami perkembangan sangat pesat pada 10 tahun belakangan ini. Hal ini didukung oleh perubahan pola kehidupan masyarakat yang makin berkembang, yang dulunya masyarakat merasa malu memiliki barang dari hasil cicilan (kredit) tetapi sekarang masyarakat malah merasa malu kalau tidak mempunyai barang berharga, khususnya sepeda motor. Perubahan pola inilah yang mendukung perkembangan Lembaga Pembiayaan di Indonesia, karena di satu sisi masyarakat tidak punya uang cash untuk membeli sepeda motor tetapi di sisi lain masyarakat sangat memerlukan sepeda motor, sehingga cara yang diambil adalah dengan melakukan kredit. Dengan makin banyaknya persaingan antar-lembaga pembiayaan, maka proses pengajuan kredit pun makin mudah. Orang bisa dengan bermodal Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan uang sebesar Rp 500.000,00 sudah bisa memiliki sepeda motor bahkan ada lembaga pembiayaan yang tidak menggunakan uang muka. Kalau kita lihat dan cermati dengan baik, ternyata kemudahan-kemudahan itu tidaklah selalu menguntungkan bagi konsumen. Di satu sisi konsumen mudah untuk mendapatkan sepeda motor dan di sisi yang lain Lembaga Pembiayaan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, namun keberlangsungan pembayaran cicilan dari konsumen belum diperhatikan dengan baik, sehingga kebanyakan dari konsumen tidak bisa menyelesaikan cicilannya (kreditnya) sampai lunas. Keadaan seperti tersebut di atas, menandakan bahwa ada proses yang keliru dalam usaha pembiayaan ini, pelaku usaha terlalu mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, demikian juga konsumen terpenuhi keinginannya untuk mendapatkan sepeda motor dengan mudah, sehingga kurang memperhatikan dan mempertimbangkan dampak kedepannya baik mengenai keberlanjutan pembayaran cicilan maupun akibat, apabila cicilannya menjadi macet. Hal utama yang biasanya terabaikan adalah mengenai substansi dalam klausula penjanjian antara Lembaga Pembiayaan dengan Konsumen, sehingga berdampak kepada konsumen ketika kredit tersebut macet. Klausula perjanjian dalam pembiayaan yang sudah ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh lembaga pembiayaan, di mana konsumen tinggal membubuhkan tanda tangan di atasnya tanpa harus mengerti terlebih dahulu apa isi dari perjanjian tersebut dan dampak hukumnya apabila ada sesuatu di kemudian hari. Petugas dari lembaga pembiayaan yang tidak menjelaskan hak dan kewajiban dari konsumen, karena konsumen sudah dianggap tahu. Konsumen juga terkadang tidak menanyakan apa isi perjanjian dan akibat-akibat hukumnya dari perjanjian tersebut, mereka cuma memikirkan kapan sepeda motornya bisa diambil. 101 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Masalah akan muncul manakala konsumen sudah tidak bisa lagi melanjutkan kewajibannya untuk membayar cicilan setiap bulan, sehingga dilakukan penarikan terhadap unit sepeda motor yang dikredit tersebut. Karena di mata hukum, konsumen belumlah menjadi pemilik kendaraan. Menurut perjanjian pembiayaan, kendaraan tersebut masih dimiliki perusahaan pembiayaan (kreditur), konsumen hanyalah sebagai peminjam dan pemakai saja. Kendaraan baru menjadi milik konsumen, bila semua angsurannya telah dilunasi (Kompas, 4 Juli 2008). Di sinilah konsumen baru merasa bingung dan merasa dipermainkan oleh lembaga pembiayaan, sehingga cenderung mereka mempertahankan sepeda motornya dari upaya penarikan pihak pembiayaan. Tarik-ulur pun terjadi antara petugas lembaga pembiayaan dengan konsumen, namun seringkali yang dikalahkan adalah pihak konsumen, dengan akibat sepeda motor tersebut ditarik secara paksa. Fenomena tersebut di atas, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah (Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999). Hal inilah yang mendorong lahirnya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Apakah perjanjian pembelian sepeda motor secara kredit yang dibuat secara sepihak oleh Lembaga Pembiayaan telah memenuhi persyaratan dalam Undangundang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? 2. Apakah penarikan sepeda motor secara paksa oleh lembaga pembiayaan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi? Pembahasan A. Status Hukum perjanjian pembelian sepeda motor secara kredit yang dibuat secara sepihak oleh Lembaga Pembiayaan. Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi (Pasal 1 Butir 3 Undangundang Nomor 8 tahun 1999). Dilihat dari pengertian tersebut, maka Lembaga 102 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Pembiayaan dapat dikatakan sebagai pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Orang yang membeli sepeda motor secara kredit disebut sebagai konsumen, hal ini sesuai dengan pengertian konsumen, yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 Butir 2 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999). Sedangkan yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 Butir 1 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999). Untuk mewujudkan kepastian hukum antara Lembaga Pembiayaan dengan Konsumen, terkait dengan pembelian sepeda motor secara kredit maka perjanjian yang dibuat harus berdasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Apabila di kemudian hari terjadi masalah dan salah satu pihak merasa dirugikan, maka perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai dasar atau pedoman untuk menyelesaikan masalah tersebut ataupun bisa digunakan sebagai bukti sah apabila dilakukan upaya hukum. Perjanjian yang dibuat antara Lembaga Pembiayaan dengan Konsumen disebut “Perjanjian Pembiayaan dengan Hak Milik secara Fiducia”. Perjanjian ini sering disebut sebagai Perjanjian Pembiayaan (Leasing), padahal kalau dilihat dari substansi perjanjian itu sendiri lebih tepat dikatakan Perjanjian Sewa-Beli (hirepurchase). Ada perbedaan prinsip antara Leasing dengan Sewa-Beli ; Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barangbarang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optio) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama, sedangkan sewa-beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual (Shofie, 2003: 220). Bentuk dan isi dari perjanjian tersebut hendaknya dibuat berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Lembaga Pembiayaan dan Konsumen). Karena dalam hal-hal tertentu Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 melarang dicantumkannya Klausula Baku dalam suatu perjanjian. Klausula Baku adalah setiap aturan 103 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen (Pasal 1 Butir 10 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999). Dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. Dari butir d, g, dan h Pasal 18 ayat (1) Undang-undang tersebut terlihat ada indikasi persamaan dengan substansi dalam perjanjian pembiayaan yang ditandatangani antara Lembaga Pembiayaan dengan Konsumen. Dalam perjanjian pembiayaan kadang terdapat Klausula yang isinya konsumen harus tunduk pada peraturan yang berlaku pada perusahaan pembiayaan tersebut, termasuk peraturan 104 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
yang datang kemudian. Karena bisa saja di tengah perjalanan ada aturan dan kebijakan baru yang berlaku di perusahaan dan itupun wajib ditaati oleh semua konsumen. Misalnya tentang aturan pembayaran cicilan dan lain-lain (hampir sama dengan butir g ayat (1)). Pada saat menandatangani perjanjian, konsumen kadang juga menandatangani “Surat Kuasa untuk Menjual” dan Kwitansi Kosong atau “Surat Kuasa untuk menarik/mengambil Kembali Kendaraan”. (sama dengan butir d ayat (1)). Di samping itu Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) kendaraan masih disimpan oleh Lembaga Pembiayaan sebagai jaminan dari pinjaman Konsumen (hampir sama dengan butir h ayat (1)). Dengan terpenuhinya salah satu atau beberapa kreteria dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999, maka sepatutnya dalam perjanjian pembiayaan antara Lembaga Pembiayaan dengan Konsumen tidak boleh dicantumkan klausula baku. Pelanggaran terhadap ketentuan ini maka perjanjian pembiayaan tersebut dapat dinyatakan “batal demi hukum”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-undang tersebut di atas. Status “batal demi hukum” ini menyebabkan perjanjian tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, maka perjanjian pembiayaan yang dibuat dengan melanggar Pasal 18 ayat (1) undang-undang Nomor 8 tahun 1999 dianggap cacat hukum dan para pihak tidak terikat lagi dengan isi perjanjian tersebut. Apabila salah satu pihak (Lembaga Pembiayaan) melakukan tindakan-tindakan yang merugikan pihak lain (Konsumen) maka konsumen dapat menempuh jalur hukum untuk membela hak-haknya. B. Penarikan Sepeda Motor secara paksa oleh Lembaga Pembiayaan merupakan wujud Tindak Pidana Ekonomi. Seperti halnya telah dijelaskan di atas, jika perjanjian dibuat bertentangan dengan perundang-undangan, maka perjanjian tersebut dinyatakan “batal demi hukum” karena tidak memenuhi syarat sahnya penjanjian (syarat objektif). Syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah: 1. sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; dan 4. suatu sebab yang halal (Subekti, 1978: 305). Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif dari mereka yang mengikatkan diri dan tidak terpenuhinya syarat subjektif ini, maka perjanjian “dapat dibatalkan”. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat 105 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
objektif dan tidak terpenuhinya syarat objektif ini, maka perjanjian tersebut “batal demi hukum”. Terkait dengan perjanjian yang dibuat antara Lembaga Pembiayaan dengan Konsumen dalam pembelian kendaraan bermotor secara kredit dengan mencantumkan klausula baku, sebagaimana diuraikan di atas, maka yang dianggap tidak terpenuhi dari empat syarat sahnya perjanjian tersebut adalah syarat yang ke-empat yaitu suatu sebab yang halal, karena perjanjian tersebut dibuat bertentangan dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penjanjian yang telah batal demi hukum tidak dapat digunakan oleh kedua belah pihak untuk melakukan suatu perbuatan apapun, termasuk sebagai dasar dalam penarikan sepeda motor yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan apabila kredit konsumen macet. Terjadinya penarikan sepeda motor secara paksa oleh Pegawai Lembaga Pembiayaan merupakan suatu perbuatan yang berdiri sendiri, artinya tidak bisa dikaitkan dengan ketidaklancaran atau tidak terbayarnya cicilan oleh konsumen. Karena itu, perbuatan tersebut wajib dipertanggungjawabkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dikaitkan dengan unsur-unsur “Business Crime” dari Conklin ( dalam Arief. 1990: 4), penarikan sepeda motor secara paksa dapat dikategorikan sebagai “Business Crime” karena telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut. 1. Perbuatan tersebut melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. 2. Perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang atau korporasi di dalam pekerjaannya yang sah atau di dalam usahanya di bidang perdagangan. 3. Untuk tujuan memperoleh keuntungan bisnis. Istilah “Business Crime” oleh Arief dapat disamakan dengan istilah “Economic Crime” dan juga “Crime as Business” yang merupakan ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas. Perbuatan tersebut juga tergolong sebagai Tindak Pidana Ekonomi, yang oleh Atmasasmita disebut sebagai “Kejahatan Bisnis” yang mengandung makna Filosofis, Yuridis dan Sosiologis (Atmasasmita, 2003: 33). Secara filosofis; perbuatan tersebut telah menimbulkan terjadinya perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat, yang sangat merugikan kepentingan masyarakat di mana pelaku usaha sudah tidak menghargai kejujuran dalam usahanya. Secara Yuridis, perbuatan tersebut dapat dipidana, karena telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Menurut Moelyatno (dalam Chazawi, 2001: 87) unsurunsur tindak pidana, yaitu: 1. perbuatan; 106 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
2. yang dilarang (oleh aturan hukum); dan 3. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Halim S. (1986: 33), bahwa tindak pidana sebagai delik, yaitu “suatu perbuatan atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang (pidana)”. Secara Sosiologis, perbuatan tersebut merupakan kenyataan yang telah terjadi dalam aktivitas bisnis, yang tidak ada lagi “keramahan” (Unfriendly Business Atmosphere) atau seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat dipercaya di antara para pelaku bisnis. Simpulan 1. Perjanjian pembelian sepeda motor secara kredit yang dibuat secara sepihak oleh Lembaga Pembiayaan dengan mencantumkan klausula baku tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena itu perjanjian tersebut “batal demi hukum”. 2. Penarikan sepeda motor secara paksa yang dilakukan oleh seseorang mengatasnamakan lembaga pembiayaan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ekonomi. Saran 1. Kepada Pelaku Usaha, hendaknya dalam melakukan usaha tetap memperhatikan dan mentaati peraturan perundang-undangngan yang berlaku, utamanya Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Kepada Masyarakat Konsumen, agar lebih berhati-hati dalam melakukan pembelian kendaraan secara kredit dengan cara membaca, memahami dan mengerti isi perjanjian yang akan ditandatangani. 3. Kepada Penegak Hukum, hendaknya dapat menegakkan hukum secara adil sehingga dapat melindungi hak-hak konsumen dari praktik-praktik yang tidak jujur dari pelaku-pelaku usaha. Daftar Pustaka Adami Chazawi. 2001. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1). Malang: Biro Konsultasi & Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. _________. 2002. KUHAP dan KUHP. Jakarta: Sinar Grafika. Ridwan Halim. 1986. Hukum Pidana dalam Tanggung Jawab”. Jakarta: Ghalia Indonesia. Romli Atmasasmita. 2003. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. Jakarta: Prenada Media. 107 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011
Subekti (Penerjemah). 1978. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. Yusuf Shofie. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Barda Nawawi Arief. 1990. Fungsionalisasi Hukum dalam Penanggulangan Kejahatan Ekonomi. (Makalah). Yusuf Shofie. 2008. “Seluk Beluk Kendaraan Leasing”. Kompas, 4 Juli 2008.
108 WIDYATEC Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011