Potensi Kecurangan Pelayanan Kesehatan (Fraud) di Bidang Nefrologi I Gde Raka Widiana Dewan Pertimbangan Medik -BPJS Provinsi Bali, NTB,NTT Health Technology Assessment/Indonesian Clinical Epidemiology-Evidence Based Medicine FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Staf Divisi Nefrologi-Hipertensi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Abstrak Potensi Fraud dalam bidang nefrologi harus diwaspadai. Besarnya biaya yang ditanggung BPJS pada biaya pelayanan dialisis oleh BPJS menyebabkan perhatian Kementerian Kesehatan pada bidang ini menjadi bertambah besar. Sebagian besar biaya klaim pada tindakan dialisis ditanggung oleh anggaran Negara dan iuran masyarakat, sehingga penyalahgunaanya dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum dan tergolong korupsi. Untuk itu sosialisasi Peraturan Menteri Kesehatan mengenai fraud perlu dilakukan. Peningkatan kompetensi dan pemahaman tugas fungsi personil hemodialisis, serta pengaturan organisasi serta sistem di unit HD perlu dilakukan semua pihak seperti Kemeterian Kesehatan, BPJS, Dinas Kesehatan, direktur rumah sakit, Pernefri (Wilayah). Pada akhirnya pelayanan hemodialisis dapat dilakukan dengan efektif dan efisien, berbasis bukti serta menjamin keselamatan pasien secara menyeluruh. Pendahuluan Seorang dokter ahli kanker mungkin harus meringkuk seumur hidup dalam penjara setelah hakim memutus hukuman penjara 45 tahun akibat kejahatan berkaitan dengan kecurangan pelayanan kesehatan (fraud) Medicare, suatu asuransi kesehatan nasional Amerika Serikat. Berdasarkan pengaduan kriminal dan penyidikan oleh FBI (badan penyidik federal Amerika Serikat), dokter ini secara rutin meresepkan obat kemoterapi dan obat keras lainnya pada pasien yang sebenarnya sehat atau sakit namun memerlukan pengobatan lainnya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk meningkatkan penghasilannya, bukan untuk keselamatan pasien. Dokter ini telah mendapat klaim asuransi sebesar 150 juta dolar dalam waktu antara agustus 2010 dan juli 2013, dimana juhlah ini sebagian sesuai dengan tindak kecurangan (fraud). Informasi kecurangan ini didasari pada wawancara beberapa perawat, asisten medic dan hli kanker yang bekerja dengan dokter ini. Fraud adalah istilah baru yang dikenal pada dunia kesehatan di Indonesia sejak diberlakukannya sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) dengan badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) kesehatan nasional. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sistem pembiayaan kesehatan dari fee for service (out of pocket) menjadi pembayaran oleh jaminan kesehatan, dengan mekanisme pembayaran klaim INA-CBG bagi rumah sakit. Klaim ini selalu berpotensi dimanipulasi dan digelapkan oleh berbagai pihak, baik oleh para dokter dan pelaksana kesehatan
lainnya, atau oleh pihak manajemen rumah sakit, badan penyelenggara (BPJS) maupun lembaga lainnya seperti dinas kesehatan, atau depertemen kesehatan. Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Kecurangan Pelayanan Kesehatan Kita ketahui bahwa klaim pembayaran BPJS berasal dari APBN atau APBD ke rumah sakit, melalui subsidi gaji, pajak, investasi, iuran peserta atau perusahaan dan sebagainya. Dengan demikian penyewengan dan penggelapan dana ini melalui mekanisme pembayaran BPJS dapat dikatagorikan sebagai fraud. Fraud atau kecurangan pelayanan kesehatan merupakan bentuk kriminal “kerah putih” yang canggih dan berefek terhadap sistem pembayaran kesehatan publik maupun swasta. Fraud ini dalam prakteknya menggunakan keahlian, kecanggihan dan kerumitan sistem informasi manajemen keuangan untuk pembayaran klaim yang sulit dipahami oleh orang awam atau masyarakat pengguna jasa pelayanan. Di Amerika Serikat, sebagai Negara yang telah lama menggunakan jaminan kesehatan nasional, fraud di bidang kesehatan adalah salah satu faktor penting yang menyebabkan meningkatnya biayapelayanan kesehatan 1. Bila kita bandingkan antara situasi di Amerika Serikat dan di Indonesia, maka keduanya menggunakan anggaran pemerintah dan sama-sama menggunakan model DRG untuk membayar klaim rumah sakit. Kerugian akibat Fraud di AmerikaSerikat diperkirakan 5 sampai dengan 10 persen dari total belanja kesehatan nasional. Dengan menggunakan perkiraan angka ini dan dengan prediksi premi BPJS 2014 sekitar 38,5 triliun rupiah dan dana klaim rumah sakit sekitar 25 triliun rupiah, maka estimasi kerugian akibat Fraud di Indonesia adalah berkisar antara 1,252,5 triliun rupiah. Dari pengamatan yang dilakukan oleh Pusat Studi Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 7 rumah sakit besar dengan cara diskusi mendalam dilaporkan adanya prosentase potensi fraud telah terjadi pada kategori fraud menurut NCAA, sebagai berikut: Upcoding, dengan cara memasukkan klaim penagihan atas dasar kode yang tidak akurat, yaitu diagnosa atau prosedur yang lebih kompleks atau lebih banyak menggunakan sumber dayanya, sehingga menghasilkan nilai klaim lebih tinggi dari yang seharusnya (100%); Keystroke Mistake, dengan cara kesalahan dalam mengetikkan kode diagnosa dan atau prosedur, yang dapat mengakibatkan klaim lebih besar atau lebih kecil (100%); Cancelled Services dengan cara melakukan penagihan terhadap obat, prosedur atau layanan yang sebelumnya sudah direncanakan namun kemudian dibatalkan (86%); No Medical Value, dengan cara melakukan penagihan untuk layanan yang tidak meningkatkan derajat kesembuhan pasien atau malah memperparah kondisi pasien. Khususnya yang tidak disertai bukti efikasi secara ilmiah (86%); Standard of Care, dengan cara penagihan layanan yang tidak sesuaistandar kualitas dan keselamatan pasien yang berlaku (86%); Service Unbundling atau fragmentation, dengan cara menagihkan beberapa prosedur secara terpisah yang seharusnya dapat ditagihkan bersama dalam bentuk paket pelayanan, untuk mendapatkan nilai klaim lebih besar pada satu episode perawatan pasien (71%); Unnecessary Treatment, dengan cara melakukan penagihan atas pemeriksaan atau terapi yang tidak terindikasi untuk pasien (71%); Phantom Billing, dengan cara melakukan tagihan untuk layanan yang tidak pernah diberikan (57%); Inflated Bills, dengan cara menaikkan tagihan global untuk prosedur dan perawatan yang digunakan pasien khususnya untuk alat
implant dan obat-obatan (57%); Self Referral, dengan cara dimana penyedia layanan kesehatan yang merujuk kepada dirinya sendiri atau rekan kerjanya untuk memberikan layanan, umumnya disertai insentif uang atau komisi (57%); Type of Room Charge, dengan cara menagihkan biaya perawatan untuk ruangan yang kelas perawatanya lebih tinggi daripada yang sebenarnya digunakan pasien (57%); Repeat Billing, dengan cara menagihkan lebih dari satu kali untuk prosedur, obat-obatan dan alkes yang sama padahal hanya diberikan satu kali (43%); Time In Operatung Room, dengan cara menagihkan prosedur menggunakan waktu rata-rata maksimal operasi, bukan durasi operasi yang sebenarnya. Khususnya jika durasi operasi tersebut lebih singkat daripada reratanya (43%); Cloning, dengan cara menggunakan sistem rekam medis elektronik dan membuat model spesifikasi profil pasien yang terbentuk secara otomatis dengan mengkopi profil pasien lain dengan gejala serupa untuk menampilkan kesan bahwa semua pasien dilakukan pemeriksaan lengkap (29%); Length of Stay, dengan cara menagihkan biaya perawatan pada saatpasien tidak berada di rumah sakit atau menaikkan jumlah hari rawat untukmeningkatkan nilai klaim (29%). Selain itu dari hasil penelitian, terdapat juga bentukbentuk fraud lain yang tidak ada dalam daftar NHCAA namun terjadi di Indonesia, yaitu waktu penggunaan ventilator; phantom visit, phantom procedure dengan rincian sebagai berikut: Waktu Penggunaan Ventilator, dengan cara menagihkan penggunakan ventilator >96 jam, padahal waktu penggunaannya lebih singkat (14%); Phantom Visit, dengan cara melakukan tagihan visit dokter yang tidak diberikan (14%); Phantom Procedures, dengan cara tagihan pekerjaan dokter yang tidak diberikan (14%) 2. Peraturan dan perundang-undangan yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku fraud ini adalah KUHP, menggunakan pasal penipuan secara umum. Pasal 378 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun". Fraud juga dapat pula dijerat dengan pasal penipuan asuransi, pasal 381 KUHP, yang berbunyi ”Barang siapa dengan jalan tipu muslihat menyesatkan penanggung asuransi mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan dengan pertanggungan sehingga disetujui perjanjian, hal mana tentu tidak akan disetujuinya atau setidaktidaknya tidak dengan syarat- syarat yang demikian, jika diketahuinya keadaan-keadaan sebenarnya diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. Selain itu, fraud dapat dijerat dengan UU Tipikor, karena klaim biaya rumah sakit menggunakan dana PBI berasal dari APBN, yang jumlahnya cukup besar, dan disalahgunakan. Beban Kesehatan Pada Pelayanan Pasien Gagal Ginjal Di bidang nefrologi, tindakan fraud dilaporkan pada suatu perusahaan yang bergerakpada layanan dialisis. Perusahan ini melakukan kerja sama dengan dokter-dokter nefrologi, bukan untuk kualitas pelayanan yang lebih baik untuk pasien, namun semata untuk mendapat keuntungan ekonomi dengan cara memberikan insentif kepada dokter yang melakukan rujukan
terapi dialisis. Fraud dilakukan dengan cara memberikan potongan harga saham saat membeli saham dan harga yang lebih tinggi saat menjual saham dari harga pasar. Akibatnya tindakan ini, perusahan ini didenda dengan denda yang cukup besar. Di Amerika Serikat, serupa dengan yang terjadi di Indonesia, dimana kasus gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisi menjadi perhatian pemerintah, karena hampir 20 juta penduduk dewasa mengalami penyakit ginjal kronik dan 0,9% sekitar 415.000 orang mengalami gagal ginjal menjadi tanggungan Medicare serta menghabiskan dana 30 miliar dolar atau lebih dari 7% dana yang dihabiskan oleh Medicare. Jumlah ini membebani 65.000 dolar Amerika per pasien dengan gagal ginjal terminal dibandingkan 11.000 dolar Amerika untuk semua pasien yang ditanggung. Selain itu, banyak komorbiditas seperti depresi, DM dan penyakit jantung kongestif yang dideita pasien ini, menambah biasa kesehatannya. Sebanyak 415.000 penyakit gagal ginjal terminal ini sangat tergantung hidupnya dengan dialysis kronik, yang menjalani perawatan rumah sakit 10-15 hari, dimana 1 dari 5pasien meninggal dalam se tahunnya. Enam puluh dua persen pasien dengan dialisis kronik berusia antara 20-64 tahun, suatu usia produktif 3. Masalah penyakit gagal ginjal di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut, jumlah pasien gagal ginjal terminal di Indonesia yang membutuhkan cuci darah atau dialisis mencapai 150.000 orang. Namun pasien yang sudah mendapatkan terapi dialisis baru sekitar 100.000 orang. Pernefri melaporkan, setiap tahunnya terdapat 200.000 kasus baru gagal ginjal stadium akhir. Tetapi tidak semua pasien terlayani kebutuhan cuci darahnya karena keterbatasan unit mesin dialisis. Pada tahun 2012 menurut data Askes, pelayanan dialisis menyerap 24 persen dari total biaya pelayanan kesehatan katostropik, yakni mencapai 428 miliar. Biaya tersebut naik 35 persen dari tahun sebelumnya dengan penambahan kasus sampai 14 persen 4. Sepengetahuan penulis BPJS belum menyampaikan data secara detail mengenai pembiayaan HD ini, namun beberapa pejabat kementrian kesehatan dan BPJS mengeluh dengan besarnya biaya yang dikeluarkan Di sisi lain, hemodialisis merupakan suatu tindakan yang berbiaya tinggi (high cost) dengan jumlah penderita yang semakin meningkat (high volume) dengan risiko morbiditas dan mortalitas tinggi (high risk). Regulasi dari tindakan dialysis ini perlu dimulai dengan membuat pedoman nasional praktek kedokteran (PNPK) suatu evidence based clinical guideline yang diimplementasikan sebagai PPK (prosedur praktek klinik) serta organisasi rapi dan sumber daya yang berkompeten.
Organisasi
Luaran
SDM Kompetensi Peralatan Teknologi
survival output
Mesin
KT/V
QOL
CV diseases
Nutrisi
Dialiser
Vas access
Biaya
Kendali mutu Kendali biaya
Monitoring Reassessment
Cost-effectiveness pelayanan HD Gambar 1. Hubungan sumber daya yang terlibat pada unit hemodialisis dan luaran pada keselamatan pasien Tindakan dialisis melibatkan sumber daya manusia dengan berbagai keahlian. Tindakan ini sebagai terapi pengganti ginjal bertujuan memperpanjang hidup, mengoptimalkan kialitas hidup dengan menekan morbiditas khususnya penyakit kardiovaskuler dan mempertahan status nutrisi pasien. Penggunaan produk berteknologi tinggi seperti mesin dialysis, dialiser system RO (reverse osmosis), jaminna akses vaskuler akan menentukan luaran terapi. Namun, di sisi lain biaya yang dihabiskan cukup besar. Antara 1 sampai 1, 5 juta rupiah dihabiskan dihabiskan oleh pasien hemodialisis kronik dan harus dibayarkan oleh BPJS untuk setiap tindakan HD. Biaya ini dihabiskan seumur hidup pasien dengan sedikitnya 2 kali tindakan seminggu, 4 minggu sebulan, 12 bulan dalam setahunnya. Biaya pasien penyakit ginjal yang telah manjalani HD menghabiskan 6 kali saat awal dilakukan HD dan 3 kali setelah HD stabil dibandingan biaya perawatan sebelum HD. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 812/MENKES/PER/VII/2010 tentang penyelenggaraan dialisis pada fasilitas pelayanan kesehatan dan Pedoman Pelayanan Hemodialisis Di Sarana Kesehatan (Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistis, Dirjen Bina Pelayanan Medik DeKes RI tahun, 2008), maka dokter dialysis yang terlibat adalah konsultan ginjal hiperytensi (KGH), yang bertindak sebagai konsultan dan pengawasan mutu HD, dokter internis bersertifikat peltihan HD, yang brtugas melakukan diagnosis dan menetapkan masalah pasien, melakukan inisiasi HD, dan menetapkan preskripsi HD, dan dokter umum bersertifikat pelatihan HD yang bertindak dalam pengawasan, tindakan darurat selama HD. Untuk menjamin
kompetensi dokter HD ini seyogyanya selalu mengikuti pendidikan berkelanjutan pada cara tahunan yang rutin dilaksanakan olef Pernefri seperti Jakarta Nephrology and Hypertension Course (JNHC), pertemuan ilmiah tahunan (PIT) Pernefri, dan CPD (continuing professional development), lainnya. Peraturan internal unit yang harus dilengkapi meliputi:1) Struktur Organisasi dan Tata kelola (yang ditetapkan oleh direktur rumah sakit); 2) pemahaman tentang Permenkes untuk pembentukan unit dialysis di rumah sakit dan di luar rumah sakit; 3) SK direktur tentang pembentukan unit dialisis dan tugas pokok dan fungsi pelaksana HD, dan 4) peraturan menteri no 36 tentang tentang anti Fraud 5, 6. Direksi
Farmasi klinik Psikolog
Ahli Gizi Perawat HD
Supervi sor
Ahli Bedah Tupoksi
Kardiolog
Penang gung jawab
Tupoksi
Pelaks ana
Tupoksi
Intensivist
Gambar 2. Diagram struktur dan kerjasama dengan profesi lainnya dalam rumah sakit pada unit hemodialisis Regulasi Antifraud Sistem jaminan kesehatan nasional telah menetapkan cakupan semesta (universal coverage) pada tahun 2019, dimana seluruh penduduk Indonesia dijamin kesehatannya oleh BPJS. Prinsip yang harus dipahami oleh seluruh penyelenggara termasuk pelaksana di unit HD adalah sebagian besar pembiayaan berasal dari APBN (PIB) dan kesertaan masyarakat berupa iuran peserta (perusahan), biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit ditetapkan dengan biaya paket dengan menggunakan Casemixed (Ina-CBG) –ICD X dan ICD IX berdasarkan clinical pathway beerdasarkan PNPK dan PPK rumah sakit. Prinsip yang harus dilaksanakan adalah ekonomi kesehatan berdasarkan kendali mutu-kendali biaya (cost-effectiveness), hati-hati Fraud dan pahami Peraturan Menteri Kesehatan 36 tahun 2015 mengenai fraud.
Baberapa poin yang perlu diketahui dalam PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN KECURANGAN (FRAUD) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN PADA SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL TINDAKAN KECURANGAN JKN adalah FKRTL (fasilitas kesehatan tingkat lanjutan), termasuk tindakan di bidang nefrologi 7. Tindakan Kecurangan JKN yang dilakukan pemberi pelayanan kesehatan di FKRTL meliputi: a. penulisan kode diagnosis yang berlebihan/upcoding; b. penjiplakan klaim dari pasien lain/cloning; c. klaim palsu/phantom billing; d. penggelembungan tagihan obat dan alkes/inflated bills; e. pemecahan episode pelayanan/services unbundling or fragmentation; f. rujukan semu/selfs-referals; g. tagihan berulang/repeat billing; h. memperpanjang lama perawatan/ prolonged length of stay; i. memanipulasi kelas perawatan/type of room charge; j. membatalkan tindakan yang wajib dilakukan/cancelled services; k. melakukan tindakan yang tidak perlu/no medical value; l. penyimpangan terhadap standar pelayanan/standard of care; m. melakukan tindakan pengobatan yang tidak perlu/unnecessary treatment; n. menambah panjang waktu penggunaan ventilator; o. tidak melakukan visitasi yang seharusnya/phantom visit; p. tidak melakukan prosedur yang seharusnya/phantom procedures; q. admisi yang berulang/readmisi; r. melakukan rujukan pasien yang tidak sesuai dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan tertentu; s. meminta cost sharing tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan t. tindakan Kecurangan JKN lainnya selain huruf a sampai dengan huruf s.
Pencegahan Kecurangan JKN di FKRTL FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus membangun sistem pencegahan Kecurangan JKN melalui: a.penyusunan kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan JKN; b.pengembangan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya; dan
c.pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian dari tata kelola organisasi dan tata kelola klinis yangberorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya. Sistem pencegahan Kecurangan JKN di FKRTL yang bekerjasama dengan BPJSKesehatan meliputi sistem pencegahan Kecurangan JKN di: a.rumah sakit; dan b.klinik utama atau yang setara. Kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan JKN merupakan bagian dari peraturan internal FKRTL, yang secara teknis diuraikan dalam bentuk tata kelola organisasi dan tata kelola klinik yang baik. Kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan JKN harus mampu mengatur dan mendorong seluruh sumber daya manusia FKRTL bekerja sesuai etika, standar profesi, dan standar pelayanan. Substansi kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan JKN terdiri atas pengaturan yang ingin diterapkan dan prosedur penerapannya termasuk standar perilaku dan disiplin, monitoring dan evaluasi yang memastikan kepatuhan pelaksanaan, serta penerapan sanksi pelanggarnya. Pengembangan pelayanan kesehatan yang berorientasi kendali mutu dan kendali biaya dilakukan melalui: a. penggunaan konsep manajemen yang efektif dan efisien; b. penggunaan teknologi informasi berbasis bukti; dan c. pembentukan tim pencegahan Kecurangan JKN di FKRTL. Teknologi informasi berbasis bukti harus mampu memonitor dan mengevaluasi semua kegiatan di FKRTL secara efisien dan terukur. Pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian dari tata kelola organisasi berdasarkan prinsip: a. transparansi; b. akuntabilitas; c. responsibilitas; d. independensi; dan e. kewajaran. Tim Pencegahan Kecurangan JKN di FKRTL bertugas: a. melakukan deteksi dini Kecurangan JKN berdasarkan data Klaim pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh FKRTL; b. menyosialisasikan kebijakan, regulasi, dan budaya baru yang berorientasi pada kendali mutu dan kendali biaya;
c. mendorong pelaksanaan tata kelola organisasi dan tata kelola klinik yang baik; d. meningkatkan kemampuan Koder, serta dokter dan petugas lain yang berkaitan dengan Klaim; e. melakukan upaya pencegahan, deteksi dan penindakan Kecurangan JKN; f. monitoring dan evaluasi; dan g. pelaporan. Peningkatan manajemen fasilitas kesehatan dalam upaya pecegahan Kecurangan JKN paling sedikit berupa: a. penguatan tugas Koder sebagai pendamping verifikator, investigator, dan auditor internal pada satuan pemeriksaan internal yang khusus untuk audit klaim; b. melakukan surveilans data atau audit data rutin; c. penggunaan perangkat lunak untuk pencegahan Kecurangan JKN; d. membuat panduan praktik klinik pada setiap jenis layanan dengan mengimplementasikan clinical pathway. e. membentuk tim edukasi kepada pasien dan tenaga kesehatan. f. membuat kebijakan prosedur dan pengendalian efektif untuk menghalangi, mencegah, mengetahui, melaporkan, dan memperbaiki potensi Kecurangan JKN.
Analisis data Klaim dalam upaya deteksi dini Kecurangan JKN dilakukan melalui teknik pendekatan: a. mencari anomali data; b. predictive modeling; dan c. penemuan kasus. Pelaporan hasil deteksi dan investigasi adanya dugaan Kecurangan JKN paling sedikit memuat: a. ada atau tidaknya kejadian Kecurangan JKN yang ditemukan; b. rekomendasi pencegahan berulangnya kejadian serupa di kemudian hari; dan c. rekomendasi sanksi administratif bagi pelaku Kecurangan JKN. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN (dilakukan di rumah sakit, dapat melibatkan badan pengawas rumah sakit, dewan pengawas rumah sakit, perhimpunan/asosiasi perumahsakitan, dan organisasi profesi. Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan melalui: a. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; b. pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia; dan
c. monitoring dan evaluasi. SANKSI ADMINISTRATIF berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. perintah pengembalian kerugian akibat Kecurangan JKN kepada pihak yang dirugikan. (3) Dalam hal tindakan Kecurangan JKN dilakukan oleh pemberi pelayanan atau penyedia obat dan alat kesehatan, sanksi administrasi dapat ditambah dengan denda paling banyak sebesar 50% dari jumlah pengembalian kerugian akibat tindakan Kecurangan JKN. (4) Dalam hal tindakan Kecurangan JKN dilakukan oleh tenaga kesehatan, sanksi administrasi dapat diikuti dengan pencabutan surat izin praktik. (5) Sanksi administrasi tidak menghapus sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penutup Hal yang penting diperhatikan dalam pelayanan di bidang ginjal yang berpotensi fraud adalah beberapa aspek terapi pasien gagal ginjal dan tindakan HD yang berimplikasi klaim biaya dan potensi fraud seperti: diagnosis dan etiologi CKD, diagnosis CKD stadium (V); inisiasi dialisis regular dan HD cito; terapi CRRT atau SLEDD, evaluasi dan reassessment pasien HD regular; terapi nutrisi, terapi EPO, obat anti hipertensi, pengikat fosfat, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya, konsultasi, kerjasama dengan bidang lain dan spesialis lainnya. Beberapa aspek yang harus dibenahi adalah: aspek legalitas dan pembinaan Unit HD di semua wilayah melalui koordinator wilayah; menetapkan struktur organisasi dan legalitas Unit HD; penetapan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) personil HD; menentukan sistem pelayanan (rekrut dan alur dan PPK); remunerasi personil HD; perjanjian kerjasama manajemen dengan pihak dokter luar (supervisor); pembinaan kompetensi dokter HD, dan sosialisasi permenkes tentang fraud.
Daftar Kepustakaan 1. Potensi Fraud pada Layanan Publik di Bidang Kesehatan,oleh : Iswan Elmi. Deputi Pencegahan KPK. Jakarta, 11 September 2014 2. Sistem Pencegahan dan Penindakan Fraud di kesehatan. Laksono Trisnantoro, Hanevi Jasri, Puti Aulia Rahman. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK Universitas Gadjah Mada. Jakarta, 11 September 2014 3. R. Provenzano, MD FACP VP Nephrology Practice Solutions. DaVita Healthcare Partner. 4. JAKARTA, KOMPAS.com, 2013.
5. Pedoman Pelayanan Hemodialisis Di Sarana Kesehatan (Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistis, Dirjen Bina Pelayanan Medik DeKes RI tahun, 2008) 6. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 812/MENKES/PER/VII/2010 tentang penyelenggaraan dialisis pada fasilitas pelayanan kesehatan. 7. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN KECURANGAN (FRAUD) DALAM PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN PADA SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL