POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Oleh: Githa Prima Putra C54061123
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
GITHA PRIMA PUTRA. Potensi Kawasan Budidaya Keramba Perikanan Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Wilayah Kepulauan Seribu, Dki Jakarta. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO DAN SYAMSUL BAHRI AGUS . Indonesia memiliki potensi lahan budidaya laut sekitar 12.14 juta ha dengan total panjang garis pantai 81.000 km, lahan yang telah termanfaatkan baru mencapai sekitar 42.676 km2 (Ditjen Perikanan Budidaya, 2009). Hal tersebut menggambarkan bahwa masih banyak lahan yang berpotensi untuk budidaya laut yang masih belum termanfaatkan. Jenis dan keanekaragaman hayati wilayah laut merupakan bekal dan tolak ukur usaha budidaya yang prosfektif, komoditas yang dikembangkan merupakan komoditas yang bernilai ekonomis penting seperti ikan bandeng, ikan kerapu, ikan kakap, rajungan dan masih banyak lagi komoditas budidaya laut yang memiliki nilai ekonomis penting lainnya. Penelitian dilakukan pada bulan November 2010 sampai dengan Februari 2011 di Labolarorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 11-12 November 2010, lokasi pengambilan data berada diwilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Secara geografis Lokasi dan objek penelitian terletak antara 5°37′47′′- 5°46′8′′ LS dan 106°31′20′′- 106°38′36′′ BT yang meliputi Pulau Air, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Karang Lebar, Karang Congkak, Pulau Semak Daun, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, hingga Pulau Panjang yang berada pada Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cell base modelling, baik yang dilakukan pada analisis spasial dari setiap parameter maupun untuk overlay dari keseluruhan parameter dalam bentuk spasial. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisis data spasial pada penelitian ini, tahapan tersebut terdiri dari pengumpulan data, pengolahan citra satelit, dan penyusunan basis data serta analisis data. Luas dari wilayah kajian dalam penelitian ini yaitu sekitar 14723.76 ha dimulai dari Pulau Air di Sebelah Selatan hingga Pulau Kelapa Dua di sebelah Utara. Dari kajian ini diperoleh daerah potensial untuk pengembangan lokasi budidaya keramba jaring apung dan jaring tancap yang luasnya mencapai sekitar 2305.46 ha. Luas keseluruhan kawasan potensial tersebut terdiri dari lokasi yang dikategorikan sangat sesuai memiliki luas sekitar 351.89 ha, serta wilayah yang termasuk kedalam kategori sesuai memiliki luas sekitar 1953.57 ha. Berdasarkan hasil penelitian hampir disetiap pulau diwilayah kajian dapat dilakukan kegiatan budidaya perikanan laut . Zona yang sangat sesuai berada pada goba atau sekitar gosong karang, hal ini memungkinkan bahwa pada wilayah tersebut faktor pendukung dalam melakukan kegiatan budidaya sangat besar. Pada wilayah sekitar goba banyak terdapat terumbu karang yang dapat menyokong kehidupan habitat di sekitarnya, selain itu pada wilayah ini pula sangat terlindung dari faktor alam seperti arus serta gelombang yang besar.
POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Oleh : GITHA PRIMA PUTRA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
GITHA PRIMA PUTRA NRP. C54061123
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Penelitian
:POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Nama Mahasiswa
: Githa Prima Putra
Nomor Pokok
: C54061123
Departemen
: Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Dosen Pembimbing Utama
Dosen Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Si NIP. 19580909 198303 1 003
Syamsul Bahri Agus S.Pi, M.Si NIP. 19720726 200501 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Si NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal lulus : 18 Juli 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta inayah yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul Potensi Kawasan Budidaya Keramba Perikanan Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Mama dan Papa , Siti Lailani dan Suparlin besarta seluruh keluarga besar atas dukungan dan motivasinya.
2.
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Si dan Syamsul Bahri Agus S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian tugas akhir.
3.
Syamsul Bahri Agus S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing sekaligus guru bagi penulis yang telah banyak memberikan ilmunya.
4.
Dr. Ir. Henry M Manik, M.T selaku Ketua Komisi Pendidikan Sarjana.
5.
Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas bantuannya selama penulis menjalankan studinya di IPB.
6.
Muhammad Iqbal dan Anggi Afif Muzaki atas bantuan ilmu yang diberikan kepada penulis.
7.
Henry Dayu, S.Pi, Arief Witjaksana, S.Pi, Asep Ma’mun, S.Pi, Jimmi R.P. Tampubolon, S.IK, Aldo Fansuri, Luki Agus, Henky Wibowo, Muchamad
i
Iskandarsyah, Achmad Rifai, Herbeth Taruli marpaung, Fajar Ahmad Gumilar dan La Ode Ahmad Mustari atas bantuan, semangat, dan masukan yang diberikan selama penelitian. 8.
Bapak Asmadin dan Cristiadi Triyatna teman satu perjuangan pada saat pengerjaan skripsi.
9.
Teman-teman seperjuangan ITK 43 dan seluruh warga ITK yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
10. Seluruh anggota Klub MIT (Marine Insrument and Telemetry) yang tidak henti-hentinya memberi dukungan. 11. Utet Hildaliyani atas bantuan, motivasi, serta nasehat serta kasih sayang yang diberikan selama penulis menjalani studi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi diri sendiri maupun orang lain.
Bogor, Agustus 2011
GITHA PRIMA PUTRA
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
v
DAFTAR TABEL ...................................................................................... vi 1
PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Tujuan .........................................................................................
1 1 2
2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1. Keadaan Wilayah Umum Kepulauan Seribu ............................ 2.1.1. Topografi .......................................................................... 2.1.2. Hidro-oseanografi ............................................................ 2.1.3. Iklim ................................................................................. 2.2. Budidaya Perikanan Laut .......................................................... 2.2.1. Definisi Perikanan Laut .................................................... 2.2.2. Pemilihan Lokasi Budidaya Perikanan Laut ................... 2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG) ........................................... 2.4. Pengideraan Jarak Jauh ............................................................ 2.5. ALOS (Advanced Land Observing Satellite) ..........................
3 3 3 4 5 6 6 7 11 15 17
3
METODOLOGI ................................................................................ 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................... 3.2. Alat dan Bahan ......................................................................... 3.2.1. Alat ................................................................................... 3.2.2. Bahan ................................................................................ 3.3. Metode Penelitian .................................................................... 3.4. Pengumpulan Data ................................................................... 3.5. Pengolahan Data Penginderaan Jauh ....................................... 3.5.1. Pemrosesan Data Citra Satelit untuk Karakteristik Dasar Perairan ................................................................... 3.5.2. Pemrosesan Data Citra Satelit untuk Keterlindungan Perairan .............................................................................. 3.6. Penentuan Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung dan Keramba Jaring Tancap ..............
20 20 21 21 21 22 22 25
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 4.1. Pendugaan Parameter Zona Potensial Budidaya dengan Satelit 4.1.1. Pengolahan Awal Citra Satelit .......................................... 4.1.2. Substrat Dasar Perairan Dangkal ...................................... 4.1.3. Keterlindungan Lokasi ..................................................... 4.2. Analisis Spasial Parameter Kualitas Air .................................. 4.2.1. Suhu Perairan ................................................................... 4.2.2. Salinitas ............................................................................
31 31 31 32 38 42 42 45
4
iii
25 26 27
4.2.3. Oksigen Terlarut ............................................................... 4.2.4. Potential of Hydrogen (pH) .............................................. 4.2.5. Total Dissolved Solid (TDS)............................................. 4.3. Kedalaman Perairan ................................................................. 4.4. Kecepatan Arus ........................................................................ 4.4. Analisis Lokasi Kesesuaian Budidaya Perikanan Laut ............
48 51 54 57 60 65
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 5.1 Kesimpulan .............................................................................. 5.1 Saran ........................................................................................
70 70 71
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
72
LAMPIRAN ................................................................................................
77
5
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Data Vektor ......................................................................................... 12 Data Raster ......................................................................................... 13 Ilustrasi Operasi Piksel pada Cell Based Modelling ............................ 14 Sistem Pengideraan Jarak Jauh ........................................................... 16 Skema Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) .............. 17 Lokasi Penelitian ................................................................................ 20 Diagram Alir Penelitian ...................................................................... 23 Peta Stasiun Sampel Kualitas Air ....................................................... 24 Titik Ground Control Point (GCP) ...................................................... 32 Komposit Citra ALOS RGB 321 ......................................................... 34 Klasifikasi Substrat Dasar Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ......................................................................................... 35 12. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Substrat Dasar Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta .......................................................... 36 13. Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu,DKI Jakarta ........ 40 14. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ............................................ 41 15. Sebaran Suhu Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ..................... 43 16. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Suhu Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta .......................................................... 44 17. Sebaran Salinitas Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ............... 46 18. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Salinitas Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta .......................................................... 47 19. Sebaran DO Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ....................... 49 20. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan DO Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ............................................................................ 50 21. Sebaran pH Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ........................ 52 22. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan pH Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ............................................................................ 53 23. Sebaran TDS Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ....... 55 24. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan TDS Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta .......................................................... 56 25. Kedalaman Perairan Kepulauan Seribu .............................................. 58 26. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Kedalaman Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ........................................................... 59 27. Grafik Pasang Surut Perairan Kepulauan Seribu ................................. 61 28. Sebaran Kecepatan Arus Permukaan Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ............................................................................. 63 29. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Kecepatan Arus Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ............................................ 64 30. Peta Kesesuaian Budidaya Perikanan Laut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta .............................................................................. 69 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Karakteristik Citra Alos ................................................................. 18 Tabel 2. Sistem Penilaian Kesesuaian Kawasan Budidaya Perikanan Laut 28 Tabel 3. Luas Penutupan Substrat Dasar Perairan ....................................... 37 Tabel 4. Luas Wilayah Potensial Perikanan Laut ......................................... 68
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Spesifikasi Alat ......................................................................................... 76 2. Data Ground control Point (GCP) dan RMS report ................................. 79 3. Kalkulasi Koefisien Attenuasi Perairan (ki/kj) ........................................ 82 4. Data Kualitas Air ...................................................................................... 83
vii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi lahan budidaya laut sekitar 12.14 juta ha dengan total panjang garis pantai 81.000 km, lahan yang telah termanfaatkan baru mencapai sekitar 42.676 km2 (Ditjen Perikanan Budidaya, 2009). Hal tersebut menggambarkan bahwa masih banyak lahan yang berpotensi untuk budidaya laut yang masih belum termanfaatkan. Selain itu permintaan pasar terhadap produk perikanan semakin meningkat, untuk itu dalam memenuhi permintaan tersebut tidak dapat hanya mengandalkan dari sektor penangkapan. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini yaitu melalui kegiatan budidaya ikan dengan menggunakan keramba jaring apung dan keramba jaring tancap. Pemilihan lokasi pengembangan usaha budidaya merupakan syarat utama yang secara teknis harus dipenuhi. Pemilihan dan penentuan lokasi lahan budidaya perikanan laut harus didasarkan pertimbangan ekologis, teknis, higienis, sosio-ekonomis, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemilihan lokasi seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan gabungan beberapa faktor yang dikaji secara menyeluruh. Usaha komoditas ini perlu disesuaikan dengan daya dukung lahan dan tata ruang potensi dari suatu hamparan atau kawasan, yang pada akhirnya dapat menjadikan kegiatan usaha yang berkesinambungan. Wilayah Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah yang berada pada Provinsi DKI Jakarta. Kawasan ini memiliki potensi sumber daya perikanan yang cukup melimpah yang didukung dengan ekosistem yang baik. Penentuan
1
2
kawasan budidaya memerlukan banyak parameter penyusunnya, hal tersebut memerlukan analisis yang kompleks dan tidak mudah dilakukan. Melalui penggunaan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) serta penerapan metode analisis spasial akan sangat membantu dalam menganalisa perencanaan kawasan budidaya perikanan laut. Penelitian terdahulu yang mengkaji mengenai kesesuaian kawasan budidaya dengan menggunakan sistem informasi geografis diantaranya dilakukan oleh Sulma et al (2005), Mainassy et al (2005) dan Nurdin et al (2008).
1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan kesesuaian lokasi perairan yang berpotensi dilakukan kegiatan budidaya perikanan laut keramba jaring apung dan keramba jaring tancap di Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Wilayah Umum Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu terletak pada 106o20′00′′ BT hingga 106o57′00′′ BT dan 5o10′00′′ LS hingga 5o57′00′′ LS yang terbentang dari Teluk Jakarta di Selatan hingga Pulau Sebira di Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara (Muzaki, 2008). Lokasi Kepulauan Seribu mempunyai batas-batas wilayah secara umum adalah sebagai berikut : sebelah Utara adalah Laut Jawa dan Selat Sunda, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan Selat Sunda, serta sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Jakarta dan Tanggerang Banten (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Luas wilayah Kepulauan Seribu ± 8,7 km2 terdiri dari perairan dan daratan pulau-pulau. Terdapat 103 buah pulau yang tersebar didalam beberapa gugus pulau, dengan jumlah penduduk ± 21.071 jiwa yang bermukim di 11 pulau yang penyebarannya lebih terkonsentrasi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara yaitu berjumlah ± 12.742 jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan berjumlah 8.329 jiwa (BPS, 2010). 2.1.1. Topografi Kepulauan Seribu merupakan suatu gugusan kepulauan yang sebagian besar terdiri dari pulau-pulau karang dan gosong karang. Topografi Kawasan Kepulauan Seribu rata-rata mendatar dan mempunyai tingkat ketinggian dari permukaan laut antara 1 sampai dengan 2 meter, keadaan tanah di kawasan tersebut merupakan tanah berpasir dengan tingkat kesuburan yang relatif rendah.
3
4
Kawasan ini terdiri dari gugus pulau-pulau yang sangat kecil, 86 gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektar (reef flat seluas 1.994 ha, laguna seluas 119 ha, selat seluas 18 ha dan teluk seluas 5 ha), terumbu karang dengan tipe karang fringing reef, mangrove dan lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/ lumpur, dan kedalaman dangkal sekitar 0-40 m (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007). 2.1.2. Hidro-oseanografi Kondisi perairan gugus Kepulauan Seribu pada umumnya memiliki karakteristik yang relatif beragam pada setiap pulaunya. Tipe pasang surut (pasut) tahunan di Kepulauan Seribu adalah pasang surut harian tunggal (diurnal), dimana dalam satu hari terdapat satu kali pasang dan satu kali surut dengan periode pasut selama 24 jam 50 menit (Ali et al, 1994). Kedudukan air tertinggi sebesar 6 dm diatas duduk tengah,dan kedudukan air terendah sebesar 5 dm di bawah duduk tengah. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani (masa pertengahan bulan) adalah 9 dm, dan rata-rata tunggang air pada pasang mati (masa seperempat bulan akhir) adalah 2 dm (Miharja dan Pranowo, 2001). Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara 28.5°C-30.0°C. Pada musim timur suhu permukaan berkisar antara 28.5°C-31.0°C, Salinitas permukaan berkisar antara 30%-34% pada musim barat maupun pada musim timur. Tinggi gelombang dan arus permukaan di perairan Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh musim. Gelombang pada musim barat ketinggiannya antara 0.5 – 1.5 m, dan saat angin kencang ketinggian bisa mencapai lebih besar dari 1.5 meter. Gelombang pada musim timur ketinggiannya antara 0.5 – 1.0 m, Sedangkan gelombang pada musim peralihan ketinggiannya dapat lebih rendah
5
dari 0.5 meter (Dishidros dalam Miharja dan Pranowo, 2001). Kecepatan arus permukaan pada musim timur berkisar antara 0.10-0.17 m/detik, kecepatan reletif lebih besar terjadi pada musim barat yaitu sekitar 0.43 m/detik. 2.1.3. Iklim Cuaca di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh musim hujan, musim kemarau, diantara kedua musim tersebut terdapat musim peralihan. Kondisi laut pada saat itu biasanya berubah-ubah, tetapi relatif tenang (LAPI-ITB, 2001). Musim hujan terjadi bulan November – April dengan banyaknya hari hujan antara 10 – 20 hari per bulan, dan curah hujan terbesar terjadi pada sekitar bulan Januari. Musim kemarau terjadi bulan Mei – Oktober dengan banyaknya hari hujan antara 4 – 10 hari per bulan, dan curah hujan terkecil terjadi pada sekitar bulan Agustus (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Sedangkan musim peralihan terjadi pada bulan April – Mei dan Oktober – November. Dalam hal ini cuaca buruk sering terjadi dalam bulan Desember – November, dan cuaca baik umumnya terjadi pada bulan Juni – Oktober (Dishidros dalam Miharja dan Pranowo, 2001). Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat (Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim peralihan terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot per jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim timur kecepatan
6
angin berkisar antara 7-15 knot per jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara.
2.2. Budidaya Perikanan Laut 2.2.1. Definisi Budidaya Perikanan Laut Budidaya perikanan laut merupakan budidaya yang dilakukan di perairan laut yang kadar garam berkisar antara 30-35 ppt (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2010). Budidaya laut dilakukan untuk meningkatkan produksi perikanan laut dengan memanipulasi laju pertumbuhan, mortalitas dan reproduksi. Kegiatan budidaya telah dilakukan sejak dulu yaitu pemeliharaan pada media air dengan pemberian makanan untuk biota yang dipelihara. Kegiatan budidaya ikan laut pada umumnya dilakukan menggunakan keramba jaring apung dan keramba jaring tancap. Budidaya ikan dengan menggunakan karamba merupakan alternatif wadah budidaya ikan yang sangat potensial untuk dikembangkan karena seperti yang telah diketahui bahwa wilayah Indonesia ini terdiri dari 70% perairan baik air tawar maupun air laut. Dengan menggunakan wadah budidaya karamba dapat diterapkan beberapa sistem budidaya ikan yaitu secara ekstensif, semi intensif maupun intensif disesuaikan dengan kemampuan para pembudidaya ikan. Teknologi yang digunakan dalam membudidayakan ikan dengan karamba ini relatif tidak mahal dan sederhana, tidak memerlukan lahan daratan menjadi badan air yang baru serta dapat meningkatkan produksi perikanan budidaya.
7
2.2.2. Pemilihan Lokasi Budidaya Perikanan Laut Pemilihan lokasi untuk budidaya memegang peranan yang sangat penting. Pemilihan lokasi yang tepat akan mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan kesesuaian perairan untuk budidaya ikan khususnya pada keramba dapat digolongkan menjadi dua bagian. Pertama adalah faktor kesesuaian fisik/teknis wilayah perairan dan kedua adalah faktor kesesuaian sosial ekonomi (sosek) masyarakat (LAPAN, 2004). Menurut Murdjani (2003), faktor teknis adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan budidaya yang meliputi diantaranya pemilihan lokasi budidaya, struktur kerangka keramba yang digunakan, ketersediaan atau kemudahan transportasi, serta hal-hal lainnya yang berkaitan secara langsung terhadap proses kegiatan budidaya. Beberapa parameter fisik yang perlu diperhatikan itu diantaranya yaitu keadaan angin, gelombang, kedalaman perairan, keterlindungan, substrat dasar, serta kualitas air. Beberapa parameter kualitas air yang menjadi perioritas, diantaranya yaitu: a. Kecerahan Perairan yang jernih secara visual menandakan adanya kualitas air yang baik, karena dalam air yang jernih umumnya kandungan partikel terlarut yang rendah. Pada air yang mempunyai tingkat kecerahan tinggi, beberapa parameter kualitas air yang terkait erat dengan bahan organik seperti NO 2, H2S, dan NH3 cenderung rendah. Kekeruhan suatu perairan pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu blooming plankton dan tersuspensinya partikel- partikel dasar perairan. Partikel penyebab kekeruhan menyebabkan gangguan penetrasi cahaya yang
8
masuk dalam media air, sehingga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fitoplankton. Disamping itu keadaan blooming plankton juga dapat menyebabkan kematian (Murdjani, 2003). b. Salinitas Pada umumnya perairan terumbu karang memiliki salinitas 30-35 ppt. Oleh karena itu lokasi hendaknya tidak dekat dengan muara sungai, karena pada wilayah muara sungai salinitas cenderung fluktuatif. Salinitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan budidaya dapat menyebabkan gangguan kesehatan, pertumbuhan, serta nafsu makan terhadap biota yang dibudidaya (Tiskiantoro, 2006). Hal ini disebabkan secara fisiologis salinitas akan mempengaruhi fungsi organ osmoregulator ikan. Perbedaan salinitas air media pada tubuh ikan akan menyebabkan gangguan keseimbangan. c. Derajat Keasaman (pH) Reaksi asam basa sangat penting bagi lingkungan, karena semua proses biologi terjadi dalam kisaran pH optimum. Derajat keasaman umumnya yaitu berkisar antara 7-9, hal ini disebabkan didalam massa air laut terdapat sistem penyangga (buffer). Menurut Boyd (1982) dekomposisi bahan organik dan respirasi akan menurunkan kandungan oksigen terlarut, sekaligus menaikkan kandungan CO2 yang berdampak menurunnya pH air laut. Dalam pemilihan lokasi budidaya yang tepat salah satunya dengan melihat keberadaan padang lamun, koral, maupun hutan mangrove yang pada umumnya memiliki pH yang optimum. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada kisaran 7,0 – 8,5. Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH.
9
d. Suhu Suhu secara langsung berpengaruh terhadap metabolisme ikan. Pada suhu tinggi metabolisme dipacu, sedangkan pada suhu rendah proses metabolisme diperlambat. Bila terjadi hal seperti ini dan berlangsung lama maka akan menggangu proses metabolisme dari ikan, sehingga untuk pemilihan lahan budidaya hendaknya memilih lokasi yang memiliki kisaran suhu yang stabil. Peningkatan 10 °C suhu perairan meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 - 3 kali lipat (LAPAN, 2004). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Suhu dapat berpengaruh terhadap perkembangan hama dan penyakit pada ikan. Suhu perairan pada umumnya tidak berubah antara lokasi satu dengan yang lainnya kecuali suatu daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang menyebabkan naik atau turunnya suhu di suatu perairan seperti, kawasan perindustrian yang membuang limbanya langsung ke perairan. Dalam menentukan lokasi budidaya hendaknya jauh dari kawasan industri yang menghasilkan banyak limbah. e. Amoniak Amoniak (NH3) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu hasil dari proses penguraian bahan organik. Amoniak terdapat dalam dua bentuk yaitu amoniak tak berion (NH3) dan amoniak berion (NH4). Amoniak berion sifatnya tidak beracun, sedangkan amoniak tak berion sifatnya beracun.
10
Menurut Boyd (1982) tingkat keracunan NH3 berbeda- beda untuk tiap spesies, tetapi pada kadar 0.5 mg/l dapat berbahaya bagi organisme. Kadar amoniak yang ideal untuk suatu perairan yaitu berkisar antara 0.25-0.45 mg/l. f. Oksigen Terlarut Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi ikan yang dibudidayakan. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Konsentrasi oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan, dan mengurangi daya dukung perairan. Selain itu Oksigen terlarut di perairan sangat dibutuhkan sumua organisme yang ada di dalamnya untuk proses respirasi dalam rangka melangsungkan metabolisme dalam tubuh. Ikan akan hidup dengan baik pada kandungan oksigen 5–8 ppm (BBL Lampung, 2001). g. Bahan Organik Bahan organik merupakan berbagai bentuk ikatan kimia karbon dan hidrogen dengan unsur-unsur lain yang terikat pada atom karbon. Bahan organik dalam perairan biasanya berasal dari sisa-sisa organisme yang telah mati maupun yang berasal dari daratan yang dibawa oleh sungai. Pengaruh bahan organik secara langsung terhadap organisme yang dipelihara yaitu dapat mengakibatkan gangguan sistem pernapasan. h. Sumber Polutan Sumber polutan pada lingkungan perairan secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sumber polutan tetap dan sumber polutan tersebar. Sumber polutan tetap berasal dari industri, sedangkan sumber polutan tersebar berasal dari rumah tangga, peternakan, tempat akhir pembuangan sampah, limpasan daerah
11
pertanian. Selain itu sumber polutan dapat berasal dari pakan ikan yang dibudidayakan itu sendiri, pakan ikan yang tidak termakan akan jatuh ke dasar perairan jika jumlahnya berlebih maka akan menimbulkan yang signifikan terhadap perubahan lingkungan perairan (Prihadi et al, 2008). Hendaknya untuk memilih lokasi yang akan digunakan dalam kegiatan budidaya jauh dari sumbersumber polutan.
2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menayangkan kembali data spasial dari dunia nyata (real world) untuk kepentingan-kepentingan tertentu (Prahasta, 2001). Sistem informasi geografis sering juga diartikan sebagai suatu integrasi dari perangkat keras dan lunak beserta manusianya yang dapat membantu dalam mempresentasikan dan menganalisis data berbasis geografi. Sistem ini mereferensi koordinat dunia nyata. SIG dapat juga menyimpan data atribut yang mengandung informasi yang menjelaskan fitur peta. Informasi ini biasanya diletakan terpisah dari data grafis, dalam suatu file database, tetapi tetap terkait dengan data grafis yang ada. Secara umum terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang ada di dunia nyata. Pertama yaitu data spasial, jenis data ini merepresentasikan aspek-aspek keruangan dan fenomena yang bersangkutan. Sedangkan yang kedua merupakan jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek deskriptif dari fenomena yang dimodelkan. Aspek deskriptif ini mencakup items atau properties dari fenomena
12
yang bersangkutan hingga dimensi waktu, data ini sering disebut juga data non spasial. Data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format yaitu data vektor dan data raster (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007). Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan dalam bentuk garis, area, titik dan nodes (titik perpotongan antar dua garis). Sementara data raster atau data grid yaitu data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan piksel. Resolusi tergantung pada ukuran piksel, dengan kata lain resolusi piksel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pikselnya. Contoh dari data vektor dan data raster seperti yang terdapat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Sumber: ESRI (2002) Gambar 1. Data Vektor
13
Sumber: ESRI (2002) Gambar 2. Data Raster
Analisis dalam SIG dikenal suatu metode yang disebut cell based modelling. Menurut ESRI (2002), cell based modelling merupakan analisis spasial pada data raster yang bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada cell based modelling dibagi menjadi lima kelompok (Gambar 3), yakni meliputi : 1) Local function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel dimana nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input. 2) Focal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat. 3) Zonal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama. 4) Global function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut. 5) Application function adalah gabungan dari keempat operasi diatas yang meliputi local function, focal function, zonal function, dan global function.
14
Local Function
Focal Function
Zonal Function
Global Function
Sumber: ESRI (2002) Gambar 3. Ilustrasi Operasi Piksel pada Cell Based Modelling
Keunggulan menggunakan metode cell based modelling dibandingkan analisis lainnya adalah struktur data raster yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dalam pemodelan dan analisis serta kompatibel dengan data citra satelit serta memiliki variabilitas spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi lapangan (Muzaki, 2008). Dasar cell based modeling dapat diperoleh melalui data penginderaan jarak jauh, setiap piksel dari citra satelit memiliki informasi cakupan area yang dapat diidentifikasi. Integrasi SIG dengan data penginderaan jarak jauh dapat membantu dalam suatu kegiatan perencanaan (Mainassy, 2005) , seperti informasi mengenai peluang pengembangan berbagai berbagai jenis budidaya yang didasarkan pada jenis dan kuantitas lahan serta dapat memperoleh keuntungan dalam hal perlakuan-perlakuan secara komprehensif dan
15
terintegrasi terhadap kriteria pengembangan budidaya perikanan laut dibandingkan dengan metode lain yang menggunakan teknik analitik dan pembuatan peta secara manual.
2.4. Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jarak jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Perolehan data penginderaan jarak jauh dapat dilakukan baik dengan sensor aktif maupun pasif. Sensor pasif merekam radiasi elektromagnetik alami yang dipantulkan atau dipancarkan oleh bumi. Sensor aktif seperti radar dan sonar dimana mencari permukaan bumi dengan radiasi elektromagnetik buatan dan kemudian merekam sejumlah fluks radian yang dikembalikan kepada sensor (Jensen, 1996 dalam Faisal, 2009). Proses penginderaan jarak jauh dengan energi elektromagnetik untuk sumber daya alam meliputi dua hal yaitu pengumpulan data dan analisis data. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) elemen pengumpulan data meliputi sumber energi, perjalanan energi menuju atmosfer, interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, sensor, dan hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial atau bentuk numerik. Sedangkan proses analisis data meliputi pengujian data menggunakan alat interpretasi, informasi yang didapat biasanya disajikan dalam bentuk peta dan tabel, selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan. Sistem penginderaan jarak jauh secara skematik ditampilkan pada Gambar 6.
16
Sumber : Canada Center for Remote Sensing (2003)
Gambar 4. Sistem Penginderaan Jarak Jauh
Keterangan: A = Sumber Energi; B = Radiasi Elektromagnetik dan Atmosfer; C = Interaksi dengan objek; D = Perekaman energi oleh sensor; E = Transmisi, penerimaan, serta pemrosesan; F = Analisis data penginderaan jarak jauh; G = Aplikasi data penginderaan jarak jauh
Aplikasi dalam penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkandung di permukaan bumi (daratan) dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi objek-objek di dasar perairan dengan menggunakan sistem akustik contohnya dalam pemetaan batimetri. Informasi dapat diperoleh melalui penginderaan jarak jauh antaranya mengetahui luas penutupan lahan (mangrove, terumbu karang, sawah, perkebunan), estimasi atau pengukuran suhu permukaan, klorofil, dan TSS. Selain itu penginderaan jarak jauh dapat pula diaplikasikan dalam pembuatan potensi wisata (Jakti, 2009). Pemanfatan sistem penginderaan jarak jauh sangat menguntungkan, karena wilayah cakupan area yang cukup luas serta wilayah yang sulit dijangkau dan berbahaya (wilayah kebakaran hutan) dapat diliput dengan menggunakan sistem ini. Keuntungan ini dapat dimanfaatkan dalam perekaman data-data di negara Indonesia yang areanya sangat luas. Perekaman data penginderaan jarak jauh
17
dapat dilakukan secara berulang-ulang dengan periode tertentu tergantung dari resolusi temporal satelit (Faisal, 2009).
2.5. Advanced Land Observing Satellite (ALOS) ALOS merupakan satelite milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA ) yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006, dari komplek peluncuran Yoshinobu, Tanegashima Space Center Jepang. Satelite ALOS merupakan generasi setelah satelit japanese Earth Resources Satellite (JERS-1) yang digunakan untuk melakukan observasi terhadap permukaan bumi. Instrumen Satelit ALOS disajikan pada Gambar 7.
Sumber: JAXA (2010) Gambar 5. Skema Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite)
Satelit ALOS membawa tiga sensor remote sensing (Faisal, 2009), yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrumen for Stereo Mapping (PRISM) yang digunakan untuk memetakan topografi permukaan bumi, Advance Visible and Near Infrared Radiometer 2 (AVNIR-2 ) untuk observasi permukaan bumi dengan akurasi tinggi dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar
18
(PALSAR ) untuk observasi permukaan bumi pada setiap waktu (malam-siang) dan pada kondisi cuaca apa pun. AVNIR-2 adalah radiometer cahaya tampak dan infra merah dekat untuk observasi daratan dan wilayah pesisir. AVNIR-2 merupakan pengembangan dari AVNIR yang dibawa oleh satelit ADEOS. Adapun karakteristik dari citra ALOS yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS International Designation Code Waktu Peluncuran Kendaraan Peluncur Lokasi Peluncuran
Perlengkapan
Berat Orbit Ketinggian Injklinasi periode Kontrol Ketinggian
Band AVNIR
2006-002A 24 Januari 2006 pukul 10:33 H-IIA Launch Vehicle No.8 Tanegashima Space Center Box shape with a solar array paddle, phased array type L-band synthetic aperture radar (PALSAR), and data relay satellite communication antenna Main body: about 6.2m x 3.5m x4 .0m Solar Array Paddle: Approx. 3.1m x 22.2m PALSAR Antenna: Approx. 8.9m x 3.1m 4.000 kg Sun-Synchronous Subrecurrent/ Recurrent Perid:Approx. 46day 700 km 98 degrees 99 menit Three-axis stabilization (High accuracy attitude control orbit determination function) Band 1 : 0.42 to 0.50 micrometers Band 2 : 0.52 to 0.60 micrometers Band 3 : 0.61 to 0.69 micrometers Band 4 : 0.76 to 0.89 micrometers
Sumber: JAXA, 2010
AVNIR-2 mempunyai 4 band (Jakti, 2009) : band 1 (0,42-0,50 µm) yang digunakan untuk melihat penetrasi tubuh air, band 2 (0,52-0,60 µm) yang
19
digunakan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penelitian kesuburan, band 3 (0,61-0,69 µm) digunakan untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, dan band 4 (0,76-0,89 µm) yang digunakan untuk membedakan tanah, tanaman, lahan, dan air. ALOS memiliki karakteristik citra diantaranya resolusi spasial sebesar 10 x 10 meter, dengan lebar sapuan 70 km.
20
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada diwilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kepulauan Seribu terdiri dari dua wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Pulau Seribu Selatan. Secara geografis Lokasi dan objek penelitian terletak antara 5°37′47′′- 5°46′8′′ LS dan 106°31′20′′106°38′36′′ BT yang meliputi Pulau Air, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Karang Lebar, Karang Congkak, Pulau Semak Daun, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, hingga Pulau Panjang yang berada pada Kecamatan Kepulauan Seribu Utara seperti yang terdapat pada Gambar 6.
Gambar 6. Lokasi Penelitian
21
Penelitian ini secara umum mencakup 3 tahapan pengerjaan yaitu survei lapang dan pengambilan data kualitas air pada tanggal 11-12 November 2010, pengolahan citra satelit ALOS, dan tahapan yang terakhir yaitu penyusunan basis data serta analisis data yang dilaksanakan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. GPS (Global Possitioning System) 2. Water Quality Checker 3. Perangkat Lunak Image Processing 4. Seperangkat Komputer 3.2.2. Bahan Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Citra satelit ALOS AVNIR-2 2. Peta Lingkungan Pantai Indonesia BAKOSURTANAL 3. Peta Administrasi Wilayah Kepulauan Seribu
22
3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cell base modelling, baik yang dilakukan pada analisis spasial dari setiap parameter maupun untuk overlay dari keseluruhan parameter dalam bentuk spasial. Analisis data spasial merupakan bagian dalam pengolahan data dengan menggunakan SIG. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisis data spasial pada penelitian ini, tahapan tersebut terdiri dari pengumpulan data, pengolahan citra satelit, dan penyusunan basis data serta analisis data. Tahapan-tahapan penentuan kesesuaian perairan budidaya perikanan laut dapat dilihat pada Gambar 7 .
3.4. Pengumpulan Data Penentuan kesesuaian lahan budidaya ikan pada keramba jaring apung dan keramba jaring tancap dilakukan melalui integrasi antara penginderaan jauh dengan sistem informasi geografis, untuk itu diperlukan data yang menunjang dalam pengolahan. Data yang diperlukan diperoleh melaui survei lapang serta pengumpulan data sekunder. Data yang diperoleh dari hasil survei lapang yaitu data kualitas air (salinitas, suhu, DO, pH, TDS) dan titik lokasi keramba. Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air terdapat pada Gambar 8. Data sekunder yang dipakai pada penelitian ini yaitu data pasang surut, angin, dan batimetri, sementara itu data substrat dasar perairan dan keterlindungan wilayah diperoleh melalui pengolahan citra satelit. Dalam pengolahan keterlindungan wilayah perlu diperhatikan pola musim sebab lokasi budidaya untuk keramba jaring apung dan jaring tancap memerlukan lokasi atau wilayah yang terlindung pada setiap musimnya.
Konsultasi pakar dan Literatur
Kriteria Kesesuaian
Citra Satelit
Data Sekunder
Koreksi Radiometrik
Pasang Surut Batimetri Angin
Koreksi Geometrik
Transformasi Citra
Komposit Citra
Substrat Dasar
Survei Lapang
DO Salinitas Suhu Permukaan TDS pH
Keterlindungan Wilayah
Peta Tematik
Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG)
Zona Kesesuaian Budidaya
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian 23
24
Gambar 8. Stasiun Sampel Kualitas Air
25
3.5. Pengolahan Data Penginderaan Jauh Pengolahan data penginderaan jauh dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik substrat dasar perairan dan keterlindungan perairan. Pengolahan citra dimulai dengan penajaman citra (image enhancement) dengan melakukan penajaman spektral, pemulihan citra (image restoration) yang terdiri atas koreksi radiometrik yang digunakan untuk mendapatkan nilai emisi yang bebas dari kesalahan sensor serta koreksi geometrik dengan menggunakan acuan peta rupa bumi serta pemotongan citra (image cropping). 3.5.1. Pemrosesan Data Citra Satelit untuk Karakteristik Dasar Perairan Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini yaitu citra satelit ALOS. Citra ALOS dipilih dalam penentuan zona budidaya perikanan laut, karena satelit ini merupakan satelit observasi bumi yang memiliki resolusi spasial cukup tinggi yaitu sebesar 10 x 10 m sehingga satuan piksel tersebut cukup merepresentasikan spot - spot zona kawasan budidaya keramba perikanan laut. Penggambaran karakteristik perairan dangkal menggunakan model algoritma dan teknik klasifikasi. Teknik pengklasifikasian yang digunakan untuk mendapatkan karakteristik dasar perairan dalam penelitian ini yaitu supervised classification. Model algoritma berasal dari penurunan persamaan Depht Invariant Index. Algoritma tersebut menggunakan band 1 dan band 2 dari citra ALOS. Dasar penggunaan band 1 dan band 2 yaitu karena kedua band ini memiliki penetrasi yang baik ke dalam kolom air (Green et al., 2000). Bentuk algoritma tersebut dijelaskan pada persamaan berikut:
26
Y
= ln (K1) - ki/kj*ln (K2)
ki/kj = a
=
............................................. (1) ..............................................(2)
va kanal 1 – va kanal x cova kanal 1 kanal
..............................................(3)
dimana: Y
= nilai digital baru/ nilai hasil ekstraksi
K1
= nilai digital band 1 citra satelit ALOS
K2
= nilai digital band 2 citra satelit ALOS
ki/kj = rasio koefisien band 1 dan band 2 a
= koefisien untuk menentukan nila ki/kj
3.5.2. Pemrosesan Data Citra Satelit untuk Keterlindungan Perairan Keterlindungan merupakan parameter yang cukup berpengaruh dalam penentuan kawasan budidaya khususnya budidaya keramba jaring apung dan keramba jaring tancap, karena pada kegiatan tersebut berlangsung hampir sepanjang tahun. Oleh karena itu kawasan budidaya perikanan laut harus berada pada daerah terlindung dari kondisi ekstrim yang dapat merusak seperti arus dan gelombang pada musim tertentu. Penentuan wilayah keterlindungan ini dilakukan melalui interpretasi secara visual dari citra satelit. Identifikasi lokasi terlindung mendeliniasi daerah perairan yang terlindung pada umumnya berada pada wilayah teluk atau celah sempit, daerah laguna (goba), dan daerah rataan karang (Sulma et al, 2005). Daerah keterlindungan dibagi kedalam tiga kategori, pertama sangat terlindung dimana daerah ini berada pada gosong karang dan goba, kedua terlidung yaitu daerah yang berada pada gosong dan berada diantara pulau, serta ketiga tidak terlindung yaitu daerah perairan yang berada atau berhadapan langsung dengan laut lepas tanpa ada penghalang di depannya.
27
3.6.
Penentuan Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Keramba Perikanan Laut Analisis untuk penentuan kawasan budidaya dilakukan dengan metode cell
based modelling. Parameter-parameter baik dari hasil survei, data sekunder maupun pengolahan citra yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya dikelompokan untuk membuat sebuah basis data serta dilakukan proses editing untuk menghilangkan data yang tidak sesuai (error). Dalam pembuatan peta tematik setiap parameternya dilakukan interpolasi dari data yang diperoleh, adapun metode interpolasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode inverse distance weighted (IDW). Sebelum dilakukan proses interpolasi terlebih dahulu dilakukan pengisian data pada wilayah terluar area kajian dengan memberikan nilai yang sama pada setiap parameternya, hal ini dimaksudkan agar pada saat dilakukan interpolasi pada wilayah terluar tersebut dapat memberikan nilai pada setiap parameternya Penentuan kawasan budidaya memerlukan kriteria kesesuaian yang berkorelasi dengan keadaan lingkungan daerah penelitian. Kriteria atau matriks yang disusun merupakan hasil kajian dan modifikasi dari berbagai sumber serta diskusi dengan pakar. Pembuatan kriteria atau matriks kesesuaian ini berdasarkan tingkat pengaruh dari setiap parameter terhadap daerah yang berpotensi dijadikan kawasan budidaya perikanan laut. Matriks atau kriteria yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 9 parameter seperti dijelaskan pada Tabel 2.
28
Tabel 2. Sistem penilaian kesesuaian kawasan Budidaya Perikanan Laut Keramba Jaring Apung dan Keramba Jaring Tancap. No
Parameter
Bobot (%)
Sangat Sesuai
Skor
Sesuai
Skor
1
Salinitas
7.5
32
4
32-35
3
2
Suhu
7.5
28-30
4
31-32
3
3
DO
7.5
>5
4
3
4
pH
7.5
7.5-8
4
5
TDS
7.5
< 25
4
3-5 7-7.5 dan 88.5 25 - 80
6
Kedalaman
15
10-30
4
4-10
3
7
Substrat Perairan
17.5
Berkarang
4
Karang Berpasir
3
8
Arus
12.5
0.2-0.4
4
0.05-0.2
3
9
Keterlindungan
17.5
Sangat Terlindung
4
Terlindung
3
3 3
Tidak Sesuai < 27 dan > 32 < 22 dan > 32 <3 < 7 dan > 8.5 > 80 < 4 dan >30 Lumpur <0.05 dan >0.5 Tidak Terlindung
Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian, DKI Jakarta (2010)
Pembobotan setiap parameter berdasarkan pada dominasi pengaruh parameter tersebut dalam zona budidaya. Pembobotan parameter dalam kajian ini diberikan kisaran antara 1-4. Pemberian scoring dimaksudkan untuk menilai faktor pembatas pada setiap parameter. Proses overlay dilakukan setelah semua parameter diberikan bobot serta scoring, proses tersebut dilakukan melalui software yang digunakan dan akan dihasilkan klasifikasi kawasan budidaya perikanan laut berdasarkan dari parameter yang dianggap paling penting dalam penentuan kesesuaian perairan. Nilai tiap kelas didasarkan pada perhitungan dengan rumus sebagai berikut: N =ΣBi x Si Keterangan : N = Total bobot nilai Bi = Bobot pada tiap criteria Si = Skor pada tiap kriteria
..............................................(4)
Skor 1 1 1 1 1 1 1 1 1
29
Selang kelas diperlukan untuk membagi kelas kedalam jumlah kategori yang ditentukan. Interval kesesuaian budidaya dilakukan dengan metode equal interval. Selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum tiap bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya yang dapat di tuliskan pada persamaan berikut:
Selang tiap kelas =
ΣB
–ΣB
........................................(5)
Nilai selang kelas dari proses perhitungan diperoleh sebesar 0.51667, dari nilai ini dapat diperoleh nilai kelas tidak sesuai (S3) didapat dari skor total kelas S3 (2.25) ditambah dengan 0.51667. Nilai kelas sesuai (S2) didapat dari selang maksimum S2 (2.7666) ditambah dengan 0.51667. Nilai kelas sangat sesuai (S1) didapat dari hasil penambahan anatara selang kelas maksimum S1 (3.2833) dengan 0.51667. Oleh karena itu masing-masing kelas tersebut adalah:
Sangat sesuai (S1) dengan selang 3. 833 < S1 ≤ 3.799
Sesuai (S ) dengan selang .7666 < S ≤ 3. 83
Tidak Sesuai dengan selang . 5 < S1 ≤ .7665
Berdasarkan perhitungan selang kelas klasifikasi kesesuaian budidaya keramba dibagi kedalam 3 kelas yaitu sangat sesuai, sesuai, dan tidak sesuai. Masingmasing kelas tersebut didefinisikan sebagai berikut (Bakosurtanal dalam Muzaki, 2008): Kelas sangat sesuai (S1), wilayah ini sangat sesuai untuk kawasan budidaya. Pada wilayah atau zona ini tidak terdapat faktor pembatas yang berpengaruh dan tidak mengurangi produktivitasnya. Pada wilayah ini kegiatan budidaya dapat berlangsung secara optimal. Kelas sesuai (S2), wilayah ini
30
mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Faktor pembatas tersebut dapat meningkatkan biaya yang diperlukan untuk melakukan kegiatan budidaya. Kelas tidak sesuai (S3), pada wilayah perairan ini mempunyai faktor pembatas yang besar. Kegiatan budidaya tidak dapat dilakukan meskipun diberikan perlakuan khusus terhadap wilayah ini.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pendugaan Parameter Zona Potensial Budidaya dengan Citra Satelit 4.1.1. Pengolahan Awal Citra Satelit Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit ALOS akusisi 21 November 2008. Citra satelit ALOS dipilih untuk memodelkan lokasi budidaya karena memiliki resolusi yang cukup tinggi yaitu 10 x 10 m. Satuan piksel tersebut cukup merepresentasikan lokasi-lokasi zona potensial budidaya sebagai dasar dari Cell Based Modelling. Citra satelit ALOS yang digunakan dalam penelitian ini telah terkoreksi radiometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas dari citra satelit yang disebabkan oleh kondisi atmosfer dimana terjadi penyerapan atau hamburan dari radiasi sinar matahari, untuk itu nilai-nilai digital setiap piksel band akan direkonstruksi dan mendapatkan masukan [raw] data perekaman sensor yang terkalibrasi secara fisik (Prahasta, 2008). Metode koreksi radiometrik yang digunakan yaitu penyesuaian histogram (histogram adjustment), dimana nilai digital dari citra satelit terendah pada setiap kanalnya adalah nol. Oleh karena itu dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua kanal sehingga nilai minimumnya nol. Koreksi geometrik dilakukan untuk memberikan informasi geografis pada citra satelit. Koreksi geometrik yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode image to map registration berdasarkan titik-titik kontrol bumi (Ground Control Point) yang mudah diidentifikasi pada peta maupun citra yang akan dikoreksi, seperti : percabangan sungai, perpotongan jalan, atau perpotongan sungai dengan jalan. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan 31
32
perangkat lunak image processing dengan acuan dari Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) BAKOSURTANAL yang telah terkoreksi geometrik dimana diambil sebanyak 30 titik yang tempatnya berbeda menyebar pada citra satelit Gambar 9. Kualitas koreksi geometrik ditentukan berdasarkan nilai RMSerror nilai idealnya, yaitu lebih kecil dari 1 karena pergeseran tidak akan melebihi satu piksel (Lampiran 1). Tahapan selanjutnya setelah melakukan koreksi geometrik yaitu pemotongan citra (cropping) yang dilakukan untuk membatasi citra satelit sesuai dengan daerah kajian penelitian.
Gambar 9. Titik Ground Control Point (GCP)
4.1.2. Substrat Dasar Perairan Dangkal Substrat dasar perairan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan keberhasilan atau kelancaran dari proses budidaya. Budidaya keramba jaring apung dan jaring tancap sangat efektif dilakukan diperairan yang
33
memiiki tipe substrat dasar berkarang dan pasir, sebab pada wilayah berkarang kondisi kualitas air pada wilayah tersebut terjaga, disamping itu pada wilayah atau kawasan berkarang pada umumnya terlindung dari faktor oseanografi seperti gelombang dan arus. Substrat berlumpur sangat tidak cocok dijadikan kawasan budidaya, hal ini disebabkan karena tingkat turbulensi pada wilayah ini sangat tinggi. Substrat lumpur yang naik ke permukaan tidak baik bagi pertumbuhan ikan yang dibudidaya serta dapat mengganggu proses metabolisme dari biota yang dibudidayakan. Informasi substrat dasar perairan Kepulauan Seribu diperoleh dari hasil transformasi citra satelit. Pendugaan awal substrat dasar perairan dangkal dapat dilihat dengan menggunakan komposit RGB 321. Hasil dari komposit citra tersebut setelah dilakukan penajaman histogram (histogram enhancement) maka akan terlihat dengan jelas penyebaran terumbu karang pada wilayah Kepulauan Seribu. Gambaran umum terumbu karang dari hasil komposit citra akan terlihat berwarna biru muda (cyan). Komposit citra RGB 321 dapat dilihat pada Gambar 10. Algo itma penu unan “Depht Invariant Index” digunakan dalam pemrosesan citra satelit untuk mendapatkan penampakan substrat dasar perairan dangkal yang maksimal. Pada algoritma ini mengkombinasikan kanal 1 dan kanal 2 dari citra satelit ALOS yang selanjutnya didapat nilai koefisien attenuasi perairan (ki/kj) sebesar 0.686955277 (hasil perhitungan terdapat pada Lampiran 2). Dengan demikian, persamaan algoritma yang digunakan dalam mengekstrak substrat dasar perairan menjadi Y = ln (K1) - 0,59289 *ln (K2).
34
Gambar10. Komposit Citra ALOS RGB 321
Sesuai dengan sebaran nilai digital hasil iterasi, maka terdapat beberapa komponen domain pada citra hasil algoritma. Rentang perbedaan warna pada citra hasil transformasi menunjukkan banyaknya kelas yang ada pada substrat dasar perairan. Kelas – kelas tersebut terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan yaitu dengan sebaran nilai antara 7. 462137 sampai 9.290035. Hasil penajaman citra satelit menghasilkan gambaran substrat dasar perairan dimana warna kuning menggambarkan objek pasir, objek karang mati digambarkan dengan warna merah, terumbu karang atau karang hidup digambarkan dengan warna cyan, sedangkan lamun digambarkan dengan warna orange. Dari hasil tersebut kemudian dilakukan pengklasifkasian dengan menggunakan teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification). Hasil klasifikasi substrat dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 11, sedangkan peta klasifikasi kesesuaian budidaya perikanan laut berdasarkan substrat dasar perairan ditunjukan pada Gambar 12.
35
Gambar 11. Klasifikasi Substrat Dasar Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
36
Gambar 12. Klasifikasi Kesesuaian berdasarkan Substrat Dasar PerairanKepulauan Seribu, DKI Jakarta
37
Berdasarkan peta hasil klasifikasi dapat dilihat bahwa substrat perairan Kepulauan Seribu dibagi menjadi empat kelas yaitu karang hidup yang digambarkan dengan warna hijau, karang mati yang digambarkan dengan warna merah, lamun berwarna orange, serta pasir digambarkan dengan warna kuning. Pada perairan ini substrat karang mati dan pasir mendominasi seluruh pulau- pulau yang menjadi wilayah kajian, sebaran karang hidup banyak berada pada wilayah goba serta tubir. Sedangkan pasir dan lamun tersebar di seluruh pulau yang menjadi wilayah kajian pada umumnya terdapat pada wilayah goba yang terlidung. Luasan substrat dasar perairan masing-masing pulau dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Penutupan Substrat Dasar Perairan. No
Nama Pulau
Luas (Ha) Karang Hidup 42.16
Karang Mati Lamun 42.76 58.49
Pasir 70.64
1
Pulau Air
2
Pulau Bongkok
30.28
28.71
122.36
78.25
3
Pulau Harapan dan Kelapa
35.06
12.14
105.78
104.02
4
Pulau Kaliage Besar
7.19
3.08
12.85
17.11
5
Pulau Kaliage Kecil
2.59
0.16
0.73
3.23
6
Pulau Karang Congkak
50.38
16.73
155.33
151.21
7
Pulau Karya dan Panggang
40.15
31.38
81.87
75.55
8
Pulau Kelapa Dua
18.56
9.24
37.37
28.24
9
Pulau Kotok Besar
9.78
0.66
7.28
15.15
10
Pulau Kotok Kecil
4.88
2.26
6.23
7.01
11
Pulau Opak Besar
10.02
0.31
7.47
22.09
12
Pulau Opak Kecil
3.87
0.09
1.45
4.73
13
Pulau Pemagaran
40.71
9.71
63.94
82.66
14
Pulau Pramuka
10.48
9.53
33.57
34.72
15
Pulau Sekati
2.87
0.03
0.53
4.78
16
Pulau Semak Daun
88.75
91.72
198.37
177.08
17
Pulau Semut
3.26
0.27
0.76
2.82
419.94
260.69
914.8
908.1
Total
38
Berdasarkan tabel hasil perhitungan penutupan substrat dasar (Tabel 3), kategori penutupan substrat dasar yang mendominasi perairan ini yaitu lamun dan pasir dengan luasan berturut-turut yaitu 914.8 ha dan 908.1 ha. Sedangkan karang hidup pada perairan ini memiliki luasan sebesar 419.94 ha, karang hidup tersebar pada hampir setiap pulau. Terumbu karang paling banyak ditemukan pada sekitar Pulau Semak Daun dan Gosong Karang Lebar yang memiliki luasan sebesar 419.94 ha. Luasan karang mati yang diperoleh dari hasil transformasi citra yaitu sebesar 260.69 ha yang tersebar diseluruh pulau yang menjadi daerah kajian. Substrat dasar karang hidup dan karang mati merupakan substrat dasar yang paling sesuai untuk lokasi budidaya keramba perikanan laut. Karang hidup merupakan salah satu daya dukung kehidupan sehingga digolongkan ke dalam kelas sangat sesuai, sedangkan pasir dan lamun merupakan substrat dasar yang sesuai dan substrat lumpur merupakan kelas yang paling tidak sesuai. Wilayah atau zona budidaya yang sangat sesuai berdasarkan substrat dasar perairan berada pada goba serta perairan sekitar tubir 4.1.3. Keterlindungan Lokasi Keterlindungan lokasi budidaya merupakan salah satu parameter yang cukup penting, sebab kegiatan budidaya perikanan laut dilakukan pada umumnya dialkukan pada media keramba jaring apung maupun keramba jaring tancap yang berlangsung sepanjang tahun. Pemilihan lokasi pada daerah yang terlindung akan mengurangi dampak resiko kerusakan keramba akibat dari faktor oseanografi seperti arus dan gelombang. Kecepatan arus dan gelombang pada musim tertentu sangat tinggi khususnya pada kondisi cuaca yang ekstrim, hal ini dapat
39
menyebabkan kerusakan pada konstruksi keramba serta kondisi biota yang dibudidayakan akan mengalami gangguan. Kecepatan arus yang disarankan dalam penentuan lokasi budidaya yaitu berkisar antara 0.15 sampai 0.3 m/detik (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2010), sedangkan tinggi gelombang yang disarankan yaitu berkisar 0.11 sampai 0.18 m (Tiskiantoro, 2006). Pada wilayah Kepulauan Seribu tinggi gelombang saat musim Barat yaitu antara 0.15 – 1.5 m, bahkan saat angin kencang ketinggian bisa mencapai lebih besar dari 1.5 m sedangkan kecepatan arus pada musim barat yaitu sekitar 0.43 m/detik. Jika dilihat kondisi angin dan gelombang yang tinggi pada musim barat pada lokasi penelitian maka diperlukan lokasi yang terlindung pada musim timur maupun musim barat. Penentuan keterlindungan lokasi dilakukan melalui interpretasi secara visual dari citra satelit kemudian dilakukan klasifikasi. Keterlindungan lokasi dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu wilayah sangat terlindung, terlindung, serta tidak terlindung. Hasil klasifikasi keterlindungan lokasi dapat dilihat pada Gambar 13. Wilayah sangat terlindung digambarkan pada peta dengan warna hijau, dimana lokasi ini berada pada goba yang sekitarnya dikelilingi oleh gugusan terumbu karang. Berdasarkan Gambar 14 wilayah sangat terlindung masuk kedalam kategori sangat sesuai untuk budidaya keramba perikanan laut. Pada kelas terlindung digambarkan dengan warna kuning pada peta, lokasi ini berada pada sekitar gugusan terumbu karang dan celah sempit yang berada diantara pulau-pulau. Pada kelas terlindung termasuk kedalam kategori sesuai. Sedangkan
40
kelas tidak terlindung tidak cocok untuk dijadikan kawasan budidaya karena letaknya berada pada laut lepas tanpa penghalang apapun.
Gambar 13. Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
41
Gambar 14. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
42
4.2. Analisis Spasial Parameter Kualitas Air 4.2.1. Suhu Perairan Suhu merupakan salah satu parameter yang memegang peranan penting dalam penentuan lokasi budidaya. Suhu perairan yang tidak sesuai akan mengakibatkan terganggunya biota yang dibudidaya seperti gangguan metabolisme, pertumbuhan biota menjadi terhambat, serta meningkatkan jumlah karbondioksida diperairan. Toleransi suhu untuk budidaya yaitu berkisar antara 28 sampai 30 oC. Sebaran nilai suhu perairan di wilayah Kepulauan Seribu diperoleh melalui hasil interpolasi dari data hasil pengukuran lapang. Hasil interpolasi suhu perairan dapat dilihat pada Gambar 15. Sebaran suhu perairan di Kepulauan seribu pada wilayah penelitian berkisar antara 28 sampai 31 oC. Jika dilihat dari suhu perairan pada wilayah ini sebagian besar dapat dikategorikan sangat sesuai untuk dijadikan kawasan budidaya keramba perikanan laut. Suhu pada kisaran 31 sampai 32 oC dikategorikan sesuai, sedangkan kisaran suhu pada < 28 dan > 32 oC tidak cocok untuk kegiatan budidaya. Wilayah Kepulauan Seribu jika dilihat dari sebaran suhu perairan pada umumnya sesuai untuk kegiatan budidaya keramba perikanan laut. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16 wilayah sangat sesuai digambarkan dengan warna hijau sedangkan wilayah yang sesuai ditunjukkan dengan warna kuning. Jika dilihat dari persebarannya wilayah yang sangat sesuai berada pada sekitar gugusan Karang Congkak dan Karang Lebar.
43
Gambar 15. Sebaran Suhu Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
44
Gambar 16. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Suhu Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
45
4.2.2. Salinitas Salinitas perairan merupakan kadar garam yang terkandung dalam satu kilogram air laut. Toleransi kisaran salinitas untuk budidaya yaitu antara 30 -35 ppt, salinitas yang tidak sesuai akan mengakibatkan tidak maksimalnya tingkat produksi dari kegiatan budidaya tersebut. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ikan akan terganggu serta menyebabkan gangguan keseimbangan dari biota yang dibudidayakan, maka dari itu dalam penentuan kawasan budidaya keramba perikanan laut tidak disarankan pada wilayah yang dekat dengan daratan sebab pada wilayah tersebut banyak terdapat masukan air tawar yang dapat menyebabkan salinitas pada wilayah tersebut tidak sesuai Kisaran salinitas diperairan Kepulauan Seribu yaitu antara 32 – 34 ppt (Gambar 17). Nilai salinitas semakin tinggi ke arah laut lepas, hal ini ini disebabkan pada perairan dekat dengan daratan adanya masukan air tawar dari darat. Kisaran nilai salinitas perairan yang cocok dalam kegiatan budidaya keramba perikanan laut yaitu 32 ppt yang dikategorikan wilayah sangat sesuai. Nilai salinitas antara 32 – 35 termasuk kedalam kategori sesuai, sedangkan pada kisaran salinitas < 27 dan > 35 ppt wilayah perairan tersebut dikategorikan tidak sesuai untuk kegiatan budidaya. Dilihat dari kisaran nilai salinitas tersebut perairan Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang sesuai dijadikan kawasan budidaya. Berdasarkan hasil pembobotan salinitas perairan, wilayah yang sangat sesuai berada pada sekitar Karang Bongkok serta Goba Karang Lebar. Peta Kesesuaian budidaya keramba perikanan laut berdasarkan salinitas perairan ditunjukkan pada Gambar 18.
46
Gambar 17. Sebaran Salinitas Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
47
Gambar 18. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Salinitas Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
48
4.2.3. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen yang terlarut dalam air, yang diukur dalam unit satuan miligram per liter (mg/l). Kadar oksigen dapat menggambarkan tingkat produktivitas primer dari suatu perairan, semakin tinggi kadar oksigen terlarut disuatu perairan maka semakin tinggi juga tingkat produktivitas primer perairan tersebut. Jumlah kadar oksigen diperairan menjadi faktor pembatas bagi kehidupan organisme atau biota yang dibudidayakan, jika jumlah oksigen terlarut kadarnya berlebihan juga akan menyebabkan kematian pada biota yang dibudidayakan. Kadar oksigen terlarut yang disarankan dalam kegiatan budidaya yaitu antara 5 – 8 mg/l, karena pada nilai kisaran tersebut ikan atau biota dapat hidup dengan baik. Nilai kisaran kadar oksigen terlarut pada lokasi penelitian diperoleh melalui hasil interpolasi data pengukuran lapang. Nilai kadar oksigen pada lokasi penelitian berkisar antara 5 – 8.6 mg/liter (Gambar 19), dari nilai kisaran tersebut perairan Kepulauan Seribu dikategorikan sangat sesuai untuk kegiatan budidaya. Kelas kesesuaian zona budidaya dari nilai kadar oksigen terlarut dibagi kedalam tiga kelas yaitu pada nilai > 5 mg/liter perairan dikategorikan sangat sesuai, nilai oksigen terlarut pada kisaran 3 – 5 mg/liter dimasukan kedalam kategori sesuai, sedangkan perairan yang memiliki nilai kadar oksigen < 3 mg/liter tidak cocok untuk dilakukan kegiatan budidaya pada wilayah tersebut, sehingga wilayah tersebut dikategorikan tidak sesuai. Pada wilayah kajian Kepulauan Seribu nilai sebaran DO termasuk kedalam zona sangat sesuai yaitu pada nilai > 5 mg/l. Sebaran spasial oksigen terlarut dapat dilihat pada.Gambar 20.
49
Gambar 19. Sebaran DO Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
50
Gambar 20. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan DO Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
51
4.2.4. Potential of Hydrogen (pH) Potential of Hydrogen (pH) merupakan konsentrasi ion hidrogen di dalam air, Kadar pH perairan merujuk kepada aktivitas ion hydrogen didalamnya. Pada saat pH bernilai 0 sampai 7, hal ini merupakan suatu larutan pada kisaran asam, sedangkan pada kisaran 7 sampai 14 menunjukan kisaran basa. Nilai pH perairan pada umumnya berkisar antara 6.5 sampai 9. Kondisi perairan dengan pH netral sampai sedikit basa sangat ideal untuk kehidupan ikan air laut. pH optimum perairan bagi pertumbuhan biota yaitu antara 7 – 8.5. Secara umum nilai pH pada perairan Kepulauan Seribu yaitu berkisar antara 7 – 8.9, pola persebaran nilai pH pada lokasi penenlitian didapat dari hasil interpolasi titik-titik oengukuran, adapun sebaran spasial hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar 21. Nilai pH 7.5 – 8 dikategorikan wilayah sangat sesuai, nilai pH pada kisaran 7 – 7.5 dan 8 – 8.5 termasuk kedalam kategori sesuai, sedangkan perairan yang memiliki nilai pH < 7 dan > 8.5 tidak sesuai untuk dijadikan kawasan budidaya sehingga perairan ini dimasukkan kedalam kategori tidak sesuai, dari hasil pengukuran pada perairan kepulauan seribu tidak ada yang termasuk kategori yang tidak sesuai. Wilayah Kepulauan Seribu berdasarkan pembobotan parameter pH sebagian besar wilayahnya termasuk kedalam kelas sangat sesuai, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22. Warna Hijau menunjukkan wilayah sangat sesuai untuk kegiatan budidaya keramba perikanan laut, sedangkan warna kuning pada peta menunjukkan wilayah yang sesuai.
52
Gambar 21. Sebaran pH Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
53
Gambar 22. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan pH Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
54
4.2.5. Total Dissolved Solid (TDS) TDS adalah ukuran dari gabungan dari semua bahan organik dan anorganik yang terkandung dalam cairan. Konsetrasi TDS mengambarkan kualitas perairan yang ada. Sumber primer TDS di perairan Kepulauan Seribu banyak didapat dari limbah rumah tangga. Konsentrasi TDS sangat mempengaruhi tingkat kecerahan dari suatu perairan, perairan yang tingkat kecerahannya tinggi mengindikasikan perairan tersebut cukup jernih dan layak untuk lokasi budidaya. Sebaliknya perairan dengan tingkat kecerahan yang rendah mengindikasikan tingginya bahan organik terlarut, selain itu nilai TDS berbanding lurus dengan nilai konduktivitas serta salinitas perairan. Semakin tinggi nilai TDS maka semakin tinggi pula nila dari konduktivitas serta salinitas perairan. Nilai kandungan TDS pada lokasi penelitian berkisar antara 32 – 33 g/liter (Gambar 23), menandakan bahwa perairan di lokasi penelitian cukup sesuai untuk kegiatan budidaya. Umumnya nilai TDS cenderung tinggi di dekat daratan berkurang seiring menjauhi daratan. Nilai TDS yang paling sesuai untuk kegiatan budidaya yaitu < 25 yang dikategorikan wilayah sangat sesuai, sedangkan kisaran antara 25 – 80 g/liter dikategorikan kelas sesuai. Suatu wilayah perairain dikatakan tidak layak untuk kegiatan budidaya jika mempunyai nilai TDS > 80 g/liter. Nilai TDS di Wilayah Kepulauan Seribu jika diklasifikasikan berada pada kelas sangat sesuai yang ditandai dengan warna hijau pada peta. Peta kesesuaian budidaya keramba perikanan laut berdasarkan TDS dapat dilihat pada Gambar 24.
55
Gambar 23. Sebaran TDS Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
56
Gambar 24. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan TDS Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
57
4.3. Kedalaman Perairan Kedalaman merupakan merupakan faktor yang turut serta berperan dalam penentuan budidaya laut karena dengan adanya stratifikasi kedalaman berpengaruh terhadap jumlah nutrient. Selain itu kedalaman perairan berperan dalam penentuan desain konstruksi keramba baik jaring apung maupun keramba jarring tancap. Dalam penentuan lokasi budidaya keramba perikanan laut kedalaman perairan sebaiknya tidak terlalu dalam dan tidak terlalu dangkal, sebab jika perairan terlalu dangkal maka akan menyebabkan kegiatan budidaya tidak akan optimal. Pada perairan yang dangkal proses pengadukan akan menyebabkan material sedimen akan terangkat ke permukaan dan menyebabkan gangguan pada biota yang dibudidayakan, selain itu pada kegiatan budidaya di laut berbeda dengan budidaya yang dilakukan pada air tawar. Pada perairan laut dipengaruhi oleh pasang surut maka untuk itu perlu dipertimbangkan pasang surut pada lokasi. Pada perairan yang dalam proses perencanaan budidaya akan tidak optimal, sebab konstruksi yang dibuat akan lebih banyak mengeluarkan biaya dalam pembuatannya. Selain itu pula pada perairan yang dalam akan sulit menentukan serta penempatan jangkar keramba. Kepulauan Seribu memiliki kedalaman yang relatif dangkal yaitu berkisar antara 1 - 50 m yang semakin bertambah dalam seiring menjauhi daratan. Pulau-pulau di Kepulauan Seribu pada umumnya terdapat gosong karang disekitarnya yang memiliki kedalaman 1-5 m. Sedangkan pada goba kedalamannya dapat mencapai 10 m, pada wilayah ini dikelilingi oleh gosong karang dan terdapat banyak terumbu karang sehingga pada wilayah ini sesuai untuk dijadikan lokasi budidaya. Peta kedalaman perairan Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Gambar 25.
58
Gambar 25. Kedalaman Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
59
Gambar 26. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Kedalaman Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
60
Berdasarkan kedalaman perairan wilayah yang sesuai untuk dijadikan lokasi budidaya keramba perikanan laut yaitu pada sekitar gosong karang dan goba yang memiliki kedalaman 1 - 20 m, selain itu pada wilayah tersebut terlindung dari arus serta gelombang yang besar. Kedalaman perairan yang dikategorikan sangat sesuai dalam kegiatan budidaya keramba jaring apung dan jaring tancap yaitu berkisar antara 10 - 30 m. sedangkan pada wilayah yang memiliki kedalaman antara 4 - 10 m dikategorikan sesuai. Perairan yang memiliki kedalaman < 4 m dan > 30 m tidak cocok dijadikan wilayah budidaya, sehingga dikategorikan tidak sesuai Pada Gambar 26 merupakan peta kesesuaian lokasi budidaya keramba perikanan laut, dapat dilihat bahwa warna hijau menandakan wilayah tersebut termasuk kedalam kelas sangat sesuai, warna kuning menandakan kelas sesuai, sedangkan warna biru merupakan wilayah yang tidak sesuai untuk kegiatan budidaya. Zona atau wilayah yang sangat sesuai tersebar diseluruh pulau pada wilayah kajian, wilayah ini berada di sekitar gosong karang dan goba yang kedalamannya tidak terlalu dalam yaitu sekitar 10-30 m. Wilayah sesuai berada di dalam gosong karang sebelum tubir. Pada wilayah ini kedalamannya relatif lebih dangkal dari kelas sangat sesuai. Sedangkan wilayah yang termasuk tidak sesuai berada di laut lepas yang mempunyai kedalaman lebih dari 30 m.
4.4. Kecepatan Arus Kecepatan arus perairan sangat penting dalam media budidaya untuk menjaga kondisi berada pada kondisi yang optimum. Pada umumnya biota yang dibudiadayakan menyukai kondisi perairan yang bersih dan kondisi perairan yang
61
stabil (Aslianti, 2010). Oleh karena itu arus berfungsi dalam transfortasi masa air sekaligus membersihkan kotoran, mengurangi organisme menempel pada keramba yang digunakan, mengurangi dekomposisi pakan-pakan yang tidak termakan dari biota yang dibudidayakan serta menjaga kestabilan distribusi kandungan oksigen terlarut dalam air. Pada umumnya kecepatan arus dipengaruhi oleh pasang surut dan angin. Pada penelitian ini kecepatan arus diperoleh dari hasil pengolahan data pasang surut, angin, serta kedalaman perairan. Tipe pasang surut di Perairan Kepulauan Seribu adalah harian tunggal (diurnal) dimana terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. grafik pasang surut dapat dilihat pada Gambar 27.
1,2
Elevas (m)
1 0,8 0,6 0,4 0,2
31-Okt-10
30-Okt-10
29-Okt-10
28-Okt-10
27-Okt-10
26-Okt-10
25-Okt-10
24-Okt-10
23-Okt-10
22-Okt-10
21-Okt-10
20-Okt-10
19-Okt-10
18-Okt-10
17-Okt-10
16-Okt-10
15-Okt-10
14-Okt-10
0
Waktu
Sumber: Data Ramalan Pasang Surut DISHIDROS Tahun 2010 Gambar 27. Grafik Pasang Surut Perairan Kepulauan Seribu
Data pasang surut tersebut digunakan dalam meramalkan atau memodelkan pola arah dan kecepatan arus pada lokasi penelitian. Dimana arah dan kecepatan arus tersebut dibangkitkan melalui data pasang surut serta data
62
angin. Wilayah Kepulauan Seribu memilki kecapatan arus perairan tinggi pada saat musim Barat yang dapat mencapai 0.43 m/s. Kecepatan Arus yang diperoleh dari hasil model yaitu berkisar antara 0.1-0.26 m/detik. Berdasarkan hasil simulasi niali kecepatan arus terbesar berada pada wilayah bagian timur daerah kajian, dimana pada wilayah ini langsung berhadapan dengan laut lepasatau dalam berada pada wilayah yang tidak terlindung sehingga pada perairan wilayah ini sebagian besar arus dipengaruhi oleh angin yang bertiup. Peta sebaran kecepatan arus seperti yang terdapat pada Gambar 28. Kecepatan arus yang disarankan untuk kawasan budidaya perikanan laut yaitu berkisar antara 0.2-0.4 m/s sehingga dikategorikan wilayah sangat sesuai. Sebagian besar wilayah Kepulauan Seribu berdasarkan pada Gambar 28 termasuk kedalam kategori sesuai, kategori ini memiliki kisaran arus sebesar 0.05-0.2 m/s. Sedangkan pada kisaran nilai <0.05 dan >0.4 m/s tidak layak dijadikan lokasi budidaya. Kecepatan arus yang terlalu besar tidak baik untuk lokasi budidaya sebab dapat merusak media yang digunakan pada kegiatan budidaya yang pada umumnya menggunakan keramba jaring apung maupun keramba jaring tancap. Arus dan gelombang besar biasanya terjadi pada musim Barat dimana angin bertiup sangat kencang sehingga dapat membangkitkan arus permukaan yang cukup besar. Peta kesesuaian budidaya keramba perikanan laut berdasarkan kecepatan arus ditunjukkan pada Gambar 29.
63
Gambar 28. Sebaran Kecepatan Arus Permukaan Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
64
Gambar 29. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Kecepatan Arus Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
65
4.5. Analisis Lokasi Kesesuaian Budidaya Keramba Perikanan Laut Pemodelan kawasan budidaya keramba perikanan laut (KJA dan KJT), dilakukan dengan menspasialkan data setiap parameter yang didapat baik dari hasil interpolasi maupun dari hasil penurunan citra setelah itu dilakukan klasifikasi ulang untuk memudahkan dalam pengkodean. Pengkodean dari setiap sel atau piksel dilakukan secara otomatis berdasarkan nilai setiap selang kelas. Overlay dilakukan untuk menggabungkan semua parameter baik kimia maupun fisika yang telah dikelaskan. Metode overlay yang digunakan dalam penelitian ini yaitu weight overlay. Berdasarkan hasil overlay zona kesesuaian budidaya keramba perikanan laut dibagi kedalam tiga kelas yaitu sangat sesuai (S1), dimana pada lokasi ini tidak terdapat faktor pembatas sehingga dapat memenuhi persyaratan minimal dalam melakukan kegiatan budidaya keramba secara optimal. Kelas yang kedua yaitu sesuai (S2), pada kawasan ini cukup berbermanfaat untuk dikembangkan untuk kegiatan budidaya, namun wilayah ini mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Faktor pembatas tersebut dapat meningkatkan biaya yang diperlukan untuk melakukan kegiatan budidaya. Kelas Tidak Sesuai (S3), dimana pada kawasan ini tidak dapat diusahakan untuk kegiatan budidaya meskipun dilakukan penambahan perlakuan sekalipun. Peta kawasan budidaya keramba perikanan laut wilayah Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Gambar 30. Pada gambar terlihat dengan metode berbasis sel dapat dibentuk spot-spot zona potensial yang direpresentasikan dengan warna hijau dan kuning, sedangkan untuk zona tidak potensial atau tidak sesuai direpresentasikan dengan warna biru. Pada gambar terdapat titik-titik berwarna
66
merah melambangkan kegiatan budidaya keramba perikanan laut yang sudah ada pada wilayah Kepulauan Seribu. Hasil survey lapang diambil titik lokasi budidaya keramba yang telah ada sebelumnya, ini berguna sebagai perbandingan lokasi budidaya yang sudah ada dengan wilayah yang akan dikembangkan berikutnya. Seperti yang terdapat pada Gambar 30 terdapat point atau titik berwarna merah yang melambangkan keramba yang sudah ada, jika dilihat pada umumnya lokasi keramba yang sudah ada berada pada wilayah potensial. Jumlah pembudidaya keramba baik jaring apung dan keramba jaring tancap pada wilayah kajian masih terpusat pada sekitar wilayah Pulau Panggang dan Gosong Karang Lebar. Hasil pemodelan kawasan budidaya perikanan diperoleh bahwa pada umumnya lokasi potensial untuk budidaya banyak terdapat pada wilayah sekitar gosong karang dan goba seperti yang terdapat pada goba karang lebar dan goba Pulau panggang. Sedangkan kawasan yang tidak sesuai terdapat pada perairan yang relatif dangkal dan wilayah laut lepas, karena pada wilayah laut lepas sangatlah tidak terlindung dari pengaruh faktor oseanografis seperti arus dan gelombang besar yang dapat merusak, serta mengganggu dalam kegiatan budidaya. Zona yang sangat sesuai berada pada goba atau sekitar gosong karang, hal ini memungkinkan bahwa pada wilayah tersebut faktor pendukung dalam melakukan kegiatan budidaya sangat besar. Pada wilayah sekitar goba banyak terdapat terumbu karang yang dapat menyokong kehidupan habitat di sekitarnya, selain itu pada wilayah ini pula sangat terlindung dari faktor alam seperti arus serta gelombang yang besar.
67
Gambar 30. Kesesuaian Budidaya Keramba Perikanan Laut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
68
Luas dari wilayah kajian dalam penelitian ini yaitu sekitar 14723.76 ha dimulai dari Pulau Air di Sebelah Selatan hingga Pulau Kelapa Dua di sebelah Utara. Dari kajian ini diperoleh daerah potensial untuk pengembangan lokasi budidaya perikanan laut yang luasnya mencapai sekitar 2305.46 ha. Luas keseluruhan kawasan potensial tersebut terdiri dari lokasi yang dikategorikan sangat sesuai memiliki luas sekitar 351.89 ha, serta wilayah yang termasuk kedalam kategori sesuai memiliki luas sekitar 1953.57 ha seperti yang tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4. Luas Wilayah Potensial Budidaya Keramba Perikanan Laut No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama Pulau Pulau Air Pulau Bongkok Pulau Harapan dan Kelapa Pulau Kaliage Besar Pulau Kaliage Kecil Pulau Karang Congkak Pulau Karya dan Panggang Pulau Kelapa Dua Pulau Kotok Besar Pulau Kotok Kecil Pulau Opak Besar Pulau Opak Kecil Pulau Pramuka Pulau Sekati Pulau Semak Daun Pulau Semut Total
Luas (Ha) Sangat Sesuai 30.42 11.28 9.47 42.14 1.31 72.63 44.87 8.24 3.46 0.42 9.72 4.52 3.23 0.26 109.71 0.216 351.89
Sesuai 113.18 263.99 180.92 30.73 18.93 224.19 223.11 107.88 77.73 31.14 71.47 30.58 83.62 22.01 462.84 11.25 1953.57
69
Tabel 4 menjelaskan mengenai luasan zona potensial dari setiap pulau pada wilayah kajian, berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat hampir disetiap pulau pada wilayah kajian dapat dilakukan kegiatan budidaya. Pulau yang memiliki area terluas dalam pengembangan kegiatan budidaya yaitu pada sekitar Pulau Semak Daun yang memiliki luasan potensial sekitar 109.71 ha untuk zona sangat sesuai serta 462.84 ha untuk zona sesuai. Luasan wilayah potensial budidaya perikanan laut yang didapat dari hasil pemodelan secara spasial ini belum merupakan luasan yang dapat dijadikan wilayah budidaya, dikarenakan pada penelitian ini belum dimasukan faktor-faktor pendukung lainnya seperti dari aspek sosial. Pengembangan budidaya keramba jaring apung dan keramba jaring tancap berpeluang cukup besar sebab area yang belum termanfaatkan masih cukup luas. Namun dalam proses pengembangan usaha budidaya perlu diperhatikan prinsip kelestarian dan berkelanjutan. Untuk itu, potensi yang ada sebaiknya tidak dimanfaatkan seluruhnya , tetapi disediakan untuk penyangga yang berguna dalam mengurangi efek penurunan kualitas lingkungan. Untuk itu diperlukan penataan dalam mendirikan keramba-keramba agar pada lokasi tersebut tidak terlalu padat.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Perairan Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang berpotensi untuk dijadikan kegiatan budidaya perikanan air laut (keramba jaring apung dan tancap), hal ini terlihat dari jumlah luasan wilayah potensial yang mencapai 15% dari luas wilayah kajian. Berdasarkan hasil penelitian ini didapat luasan zona potensial budidaya perikanan laut sebesar 351.89 ha untuk kategori sangat sesuai sedangkan kategori sesuai sebesar 1953.57 ha. Zona potensial berada pada sekitar goba dan gosong karang, pada wilayah ini faktor pendukung dalam melakukan kegiatan budidaya sangat besar seperti banyak didapati terumbu karanng pada wilayah tersebut serta terlindung dari pengaruh faktor oseanografis. Perairan sekitar Pulau Semak Daun dan Karang Congkak mempunyai luas wilayah yang paling besar untuk kegiatan budidaya perikanan laut baik keramba jaring apung maupun keramba jaring tancap, luas potensial untuk wilayah ini yaitu 109.71 ha untuk zona sangat sesuai serta 462.84 ha untuk zona sesuai. Sementara itu keramba yang telah ada pada kawasan jika diplotkan kedalam peta kesesuaian hamper keseluruhan berada pada wilayah potensial.
70
71
5.2. Saran Pada penelitian ini hanya dilakukan analisis data pada satu waktu saja yaitu pada bulan saat pengambilan data, maka untuk itu dalam penentuan kawasan potensial budidaya perikanan laut hendaknya dilakukan data pengamatan secara time series untuk mengetahui perubahan kualitas air pada musim yang berbeda yaitu musim barat dan musim timur. Selain itu perlu dipertimbangkan pula faktor lain seperti sosial ekonomi masyarakat sekitar, ketersediaan bibit, jalur transfortasi, daerah pemasaran, serta lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Ali, M., D. K. Miharja, dan S. Hadi. 1994. Kursus Intensif Oseanografi Bagi Para Perwira TNI-AL. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat dan Jurusan Geofisika dan Meteorologi Institut Teknologi Bandung. Bandung. Aslianti, T. 2010. Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) dengan Persentase Pergantian Air. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(2): 26-33. Balai Budidaya Laut Lampung (BBL). 2001. Petunjuk Teknis Pembesaran Kerapu Macandan Kerapu Tikus. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. BPS. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta Boyd, C.E. 1982. Water Qualitymanagement for Fond Fish Culture Development in Aquaculture and Fish Scine, vol 9. Elsevier Pub. Comp. Amsterdam. Canada Center for Remote Sensing (CCRS). 2003. Fundamental of Remote Sensing. Natural Resourses Canada. Ottawa. Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. 2010. Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dinas Perikanan DKI Jakarta. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2009. Luas Lahan Perikanan Budidaya 2009. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id/ ( 20 Januari 2011). ESRI. 2002. Using ArcGIS Spatial Analyst. Environmental System Research Institute, Inc. New York. Faisal, K. M. 2009. Pengaruh Relief Terhadap Akurasi Digital Elevation Model yang dibentuk dari Pasangan Stereo Citra Aster dengan Menggunakan Teknik Fotogrametri Digital. Skripsi. Fakultas Geografi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. GIS Konsorsium Aceh Nias. 2007. Modul pelatihan arcgis tingkat dasar. Pemerintah Kota Banda Aceh. Banda Aceh. Green, E.P., P.J. Mumby, dan A.J. Edwards. 2000. Mapping bathymetry In A.J. Edwards (Ed.), Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebook 3. UNESCO, Paris. Jakti, B. D. 2009. Analisis Potensi Wisata Snorkeling dan Diving Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kepulauan Togean, sulawesi tengah. 72
73
Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. JAXA. 2010. Advanced Land Observing Satellite "DAICHI". http://www.jaxa.jp/projects/sat/alos/index_e.html. (5 Juli 2010). Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Laporan Akhir Studi Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kawasan Lindung (Konservasi). Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. LAPAN. 2004. Implementasi dan Pembinaan Pemanfaatan Penginderaan Jarak Jauh Untuk Budidaya Laut (Studi Kasus Perairan Budidaya Ikan Kerapu dengan Menggunakan Keramba Jaring Apung di Kabupaten Situbondo). Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta. LAPI-ITB. 2001. Laporan Akhir Pengelolaan Laut Lestari : Pendataan dan Pemetaan Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk Jakarta. LAPI-ITB. Bandung Lillesand, M. T. dan W. R. Kiefer. 1990. Penginderaan jauh dan Interpretasi Citra. Fakultas Geografi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Mainassy, B., N. V. Huliselan., S. F. Tuhumury, dan J.J. Wattimury. 2005. Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Ichthyos. 4(2): 69-80. Miharja, D. K dan W. S. Pranowo. 2001. Kondisi Perairan Pulau Seribu. Laporan Pelengkap Dalam Rangka Penyusunan Laporan Akhir Penyusunan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kep. Seribu. Pusat Penelitian Kelautan (PPK) Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kepariwisataan (P2PAR). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Murdjani, M. 2003. Diktat Kuliah Pembenihan Ikan Kerapu. Akademi Perikanan. Sidoarjo. Sidoarjo Muzaki, A. A. 2008. Analisis Spasial kualitas Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut dengan Metode Cell Based Modelling di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurdin, N., Rochmansyah., R. Salinding. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Studi Kesesuaian Budidaya Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung di Perairan Pulau Komodo, Kepulauan Sembilan Kabupaten Sinjai. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. 18(3): 217-226.
74
Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika Bandung. Bandung. Prahasta, E. 2008. Remote Sensing. Penerbit Informatika Bandung. Bandung. Prihadi, T. H., Eriania, dan I. R. Astiti. 2008. Kajian Dampak Lingkungan dari Kegiatan Keramba Jaring Apung Melalui Life Cycle Assessment (LCA). Jurnal Riset Akuakultur. 3(2): 263-273. Sulma, S., B. Hasyim., A. Susanto, dan A. Budiono. 2005. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Penentuan Kesesuaian Lokasi Budidaya Laut di Kepulauan Seribu. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV, 14-15 September 2005, Surabaya, Indonesia. Intitut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
LAMPIRAN
75
76
Lampiran 1. Spesifikasi Alat 1. YSI Water Quality Checker Specifications Sensor Type Steady state polarographic Range 0 to 50 mg/L / 0 to 500% air saturation 0 to 20 mg/L, ± 2% of the reading or ±0.2 mg/L, whichever is greater; Dissolved Oxygen 20 to 50 mg/L, ± 6% of the reading (mg/L)/% Accuracy 0 to 200% air saturation, ± 2% of the reading or ±2% air saturation, whichever is greater; 200 to 500% air saturation, ± 6% of the reading Resolution 0.01 mg/L / 0.1% air saturation Sensor Type YSI Temperature P ecision™ the misto Range -5 to 45°C Temperature Accuracy ± 0.15°C Resolution 0.1°C Sensor Type 4-electrode cell with autoranging ± 0.5% of reading or ± 0.001 mS/cm; whichever is Accuracy greater (4-meter cable) Conductivity Range 0 to 200 mS/cm Resolution 0.001 mS/cm to 0.1 mS/cm (range-dependent) Sensor Type Calculated from conductivity and temperature Range 0 to 70 ppt Salinity Accuracy ± 1.0% of reading or ±0.1 ppt, whichever is greater Resolution 0.01 ppt Sensor Type Glass combination electrode Range 0 to 14 units pH Accuracy ±0.2 units Resolution 0.01 units Sensor Type Platinum button Range -999 to +999 mV ORP Accuracy ± 20 mV Resolution 0.1 mV Calculated from conductivity (variable constant, Sensor Type default 0.65) Total Dissolved Range 0 to 100 g/L Solids(TDS) Resolution 4 digits
77
Gambar YSI Water Quality Checker 2. Global Positioning System (GPS)
Garmin GPS 76TM
78
GPS 76TM Physical & Performance: Unit dimensions, WxHxD: 2.7" x 6.2" x 1.2" (6.9 x 15.7 x 3.0 cm) Display size, WxH: 1.6" x 2.2" (4.1 x 5.6 cm) Display resolution, WxH: 180 x 240 pixels Display type: 4 level gray LCD Weight: 7.7 oz (218 g) with batteries Battery: 2 AA batteries (not included) Battery life: 16 hours Waterproof: yes (IPX7) Floats: yes High-sensitivity receiver: no Interface: serial GPS 76TM Performance WAAS enabled, 12 parallel channel GPS receiver continuously tracks and Receiver: uses up to 12 satellites to compute and update your position Warm: Approximately 15 seconds Acquisition times: Cold: Approximately 45 seconds AutoLocate™: App oximately 5 minutes Update rate: 1/second, continuous Position: < 15 meters, 95% typical* GPS accuracy: Velocity: 0.05 meter/sec steady state Position: < 15 meters, 95% typical* DGPS (USCG) accuracy: Velocity: 0.05 meter/sec steady state Position: < 15 meters, 95% typical* DGPS (WAAS) accuracy: Velocity:0.05 meter/sec steady state
79
Lampiran 2. Data Ground control Point (GCP) dan RMS report 1. Ground control Point (GCP) GCPs for dataset : E:\skripsi\SkripsiNYaCepot\Data\ALos\AlosGabungBand\alosGabung.ers Total number of GCPs: 30 Number turned on : 30 Warp order :1 GCP CORRECTED map projection details: Map Projection : SUTM48 Datum : WGS84
Point 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
On Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes
Locked No No No No No No No No No No No No No No No No No No No No No No No No
Cell-X 5157.49 3267.42 4743.08 6301.34 4491.85 1515.52 7352.82 7416.77 5484.69 4958.97 6279.54 4652.02 4383 4408.5 4475.13 1236.11 4043.6 4694.17 4112.8 661.655 3989.77 3856.7 4192.17 4185.92
Cell-Y 5842.55 2179.65 1669.38 6150.46 3739.96 6403.83 6042.56 5861.32 4612.71 2859.59 5592.18 1532.14 830.672 631.838 923.125 2369.37 2476.34 1812.44 1938.09 4098.43 1147.87 1043.74 994.824 806.711
To-X 682594 663693 678443 694031 675935 646182 704542 705182 685864 680603 693813 677533 674843 675099 675764 643383 671453 677956 672143 637643 670912 669582 672935 672873
To-Y 9322790 9359402 9364511 9319720 9343811 9317172 9320802 9322613 9335087 9352612 9325300 9365880 9372892 9374879 9371967 9357502 9356441 9363079 9361821 9340214 9369720 9370760 9371251 9373131
To-Z 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
80
Point 25 26 27 28 29 30
2.
On Yes Yes Yes Yes Yes Yes
Locked No No No No No No
Cell-X 3890.44 3720.34 3836.4 5966.75 2519.96 4966.69
Cell-Y 4583.09 4023.74 2299.12 5406.97 4726.53 3866.2
To-X 669925 668223 669380 690684 656223 680684
To-Y 9335380 9340971 9358212 9327150 9333943 9342551
Cell-Y 5842.55 2179.65 1669.38 6150.46 3739.96 6403.83 6042.56 5861.32 4612.71 2859.59 5592.18 1532.14 830.672 631.838 923.125 2369.37 2476.34 1812.44 1938.09 4098.43 1147.87 1043.74 994.824 806.711 4583.09 4023.74 2299.12 5406.97
Cell-X 5157.48 3267.52 4742.91 6301.42 4491.76 1515.43 7352.76 7416.74 5484.72 4958.78 6279.68 4651.95 4383.03 4408.6 4475.11 1236.12 4043.63 4694.18 4112.81 661.664 3989.8 3856.73 4192.16 4185.91 3890.5 3720.34 3836.39 5966.73
Cell-Y 5842.88 2179.82 1669.16 6150.34 3739.83 6403.82 6042.48 5861.34 4612.86 2859.56 5592.2 1532.19 830.687 631.926 923.23 2369.31 2476.3 1812.4 1938.08 4098.47 1147.87 1043.77 994.837 806.72 4583.08 4023.72 2299.1 5406.99
RMS 0.334 0.197 0.2775 0.14 0.1678 0.0866 0.1001 0.0353 0.1473 0.1909 0.1335 0.0812 0.0295 0.14 0.1072 0.0674 0.0502 0.039 0.0159 0.0395 0.0319 0.0381 0.016 0.0145 0.0625 0.0261 0.0264 0.0293
RMS error report : Point 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Cell-X 5157.49 3267.42 4743.08 6301.34 4491.85 1515.52 7352.82 7416.77 5484.69 4958.97 6279.54 4652.02 4383 4408.5 4475.13 1236.11 4043.6 4694.17 4112.8 661.655 3989.77 3856.7 4192.17 4185.92 3890.44 3720.34 3836.4 5966.75
To-Z 0 0 0 0 0 0
81
Point 29 30
Cell-X Cell-Y Cell-X Cell-Y 2519.96 4726.53 2519.96 4726.44 4966.69 3866.2 4966.78 3866.06
Average RMS error : 0.096 Total RMS error : 2.887 End of GCP detail
RMS 0.0911 0.1712
82
Lampiran 3 . Kalkulasi Koefisien attenuasi perairan (ki/kj) Class/Region 1 10 11 12 13 14 16 17 18 19 2 20 21 22 23 24 25 26 28 29 3 30 4 5 6 7 8 9
Band1 204.667 190 199 206 196.5 223.6 211.125 214 202.667 217 212.2 219.5 220.5 214.5 200.8 218.5 221 200 204 219 209.667 199.667 201 199.667 217.368 234 200 220
Band2 212 187 209.333 221.5 202.5 236.8 218.5 217 208.667 225.5 220.4 244.5 240.5 226 203.2 229.25 238 208 212.5 223 200.667 202 211.5 209.333 229.789 236 202 230.5
Hasil Perhitungan nilai koefisien ki/kj Var = 99.54588 192.4949 Covar = 120.9103 a = -0.38437 ki/kj = 0.6869
Band3 146.667 124 166.333 167.333 129.5 181.2 147.75 145 145.111 157.5 149.4 185.5 182.5 178 156.6 177.75 176 150 155.5 148 113 142 165.5 161.667 165 138 130 166.5
Band4 14.667 15 19.667 17.5 13.5 19.2 12.75 13.25 13 13.5 13.6 22 27.5 18.75 18.6 21 18 14 16 12 13 13.333 19 18 16.579 13 13 17
Lampiran 4. Data Kualitas Air No waypoint Bujur Lintang Suhu (C) 1 29.32 1 106.57812 5.65728 2 29.63 5 106.58421 5.65224 3 29.33 10 106.57385 5.64902 4 29.68 11 106.5746 5.64558 5 29.56 17 106.56728 5.65223 6 29.68 18 106.56715 5.65042 7 29.12 20 106.60275 5.73685 8 29.14 22 106.59687 5.73667 9 29.14 26 106.59763 5.73771 10 29.08 32 106.59602 5.73797 11 28.72 42 106.5981 5.74061 12 28.8 70 106.60117 5.74247 13 29.37 72 106.61071 5.74382 14 29.14 73 106.59406 5.75594 15 28.75 75 106.58891 5.76069 16 29.27 76 106.5857 5.74257 17 29.24 77 106.58456 5.73099 18 29.26 84 106.59261 5.7286 19 29.45 90 106.59177 5.72049 20 30.37 103 106.60463 5.72043 21 29.39 104 106.60754 5.72985 22 29.59 105 106.60825 5.73695
TDS (g/l) 32.4 32.91 32.93 32.95 32.98 32.46 32.93 32.96 32.96 32.93 32.83 32.89 32.56 32.51 32.57 32.77 32.9 32.89 32.93 32.79 32.84 32.73
Salinitas (ppt) 33.07 33.06 33.1 33.11 33.15 33.12 33.11 33.14 33.14 33.11 33.01 33.07 32.69 32.63 33.74 32.92 33.07 33.07 33.1 32.91 32.99 32.87
DO (mg/l) 6.62 6.9 6.53 6.97 6.73 7.04 6.54 6.16 6.25 6.24 5.72 6.21 6.67 6.42 5.54 6.58 6.2 6.78 6.36 8.48 6.44 7.04
PH 5.83 5.93 5.78 6.09 6.17 6.16 5.93 6.07 6.05 5.93 5.91 6.1 8.33 6.41 6.17 6.31 6.04 6.16 6.19 6.21 6.42 5.93
Lokasi harapan Harapan Harapan Kelapa Kelapa Kelapa Panggang Karya Panggang (Boko) Panggang (Nupus) Panggang (fadil) Panggang (Hamdi) Panggang luar Panggang luar Air (ajum) Panggang Luar Barat Karang Lebar (Badrun) Karang Lebar (Basri) Sea Farming Karang Lebar Karang Lebar Gosong Pramuka
83
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 26 Maret 1988 dari pasangan Bapak Suparlin dan Ibu Siti Lailani, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis antara lain yaitu, pendidikan formal di SDN Rancamalang 4 bandung pada tahun 2000, tahun 20002003 penulis melanjutkan studi di SLTPN 6 Cimahi, dan SMA Negeri 13 Bandung pada tahun 2003-2006. Tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan diterima di program studi mayor Ilmu dan Teknologi Kelautan. Selama menjalani kuliah di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) tahun 2009/2010. Penulis juga aktif dalam organisasi Marine Instrumentation and Telemetry (MIT-IPB) pada tahun 2008-2011. Selain itu, penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum pada mata kuliah Dasar-dasar instrumentasi Kelautan (2008/2009), Oseanografi Fisika (2007/2008) Pemetaan Sumber Hayati Laut (2009-2010), Pemetaan Sumberdaya Hayati Kelautan (2009/2010 dan 2010/2011) Sistem Informasi Geografis (2009/2010), dan Dasar-Dasar Penginderaan Jarak Jauh Kelautan (2010/2011). Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi dengan judul “Potensi Kawasan Budidaya Pe ikanan Laut Menggunakan Sistem Info masi Geog afis (SIG) Di Wilayah Kepulauan Se ibu, Dki Jaka ta ”.