Potensi Dielectric Heating Sebagai Perlakuan Karantina Ummu Salamah Rustiani Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian Bekasi, Indonesia
ABSTRAK
Dielectric heat (DH) treatment menjadi pilihan alternatif untuk pengendalian serangga hama maupun cendawan perusak komoditas hasil pertanian yang bernilai strategis, termasuk jagung. Kajian DH diharapkan memberikan wacana bagi POPT Badan Karantina Pertanian dan stakeholders lainnya. Pemberian perlakuan DH memberikan pengaruh terhadap terjadinya peningkatan suhu bahan secara cepat dan memicu rusaknya dinding sel hingga kematian sel. Perlakuan DH pada benih mampu meningkatkan daya perkecambahan benih dan umur simpan benih saat pascapanen. DH dipilih sebagai alternatif pengganti fumigan karena DE tidak memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan maupun kesehatan tubuh. Kata kunci : Dielectric heat treatment, serangga, cendawan, perkecambahan, umur simpan ABSTRACT Dielectric heat treatment (DH) recognized potential treatment for the control of insect pest and pathogenic fungi which may cause the loss of agricultural commodity including corn grain. The existence study of DH treatment expected to provide scientific information for plant quarantine officers of Indonesia Agricultural Quarantine Agency and related stakeholders. DH treatment caused the increasing temperature against any substances and to enhance destruction of cell. DHfor seed treatment may increase seed germination and extend shelf life during post-harvest. DH can be used as alternative treatment to replace fumigant due to does not have any negative impact to the enviroment and human health. Keyword : Dielectric heating, insect, fungi, germination, shelf of life
PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang berperan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia. Komoditas dapat berfungsi multiguna, baik sebagai pangan maupun pakan. Posisi jagung juga semakin strategis dalam sistem perekonomian nasional dikarenakan kontribusinya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus meningkat setiap tahun. Upaya untuk meningkatkan produksi jagung nasional sejauh ini telah dilakukan. Namun jumlah produk jagung yang dihasilkan belum memenuhi kebutuhan nasional, sehingga masih diperlukan impor baik dalam bentuk biji – bijian konsumsi maupun benih jagung hibrida. Kebutuhan impor jagung dari beberapa negara produsen dilaporkan mengalami peningkatan 10,5% selama tiga tahun terakhir (Bahtiar dkk, 2007). Pencanangan program swasembada jagung tahun 2014 patut diduga memiliki keterkaitan langsung dengan meningkatnya kebutuhan impor jagung. Hasil survey yang dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian tahun 2011 menunjukkan Thailand merupakan pemasok kebutuhan benih jagung impor terbesar bagi Indonesia. Fakta tersebut berimplikasi terhadap risiko masuknya Organisme Pengganggu Tanaman Karantina (OPTK) berupa cendawan karier pada benih jagung yakni Peronosclerospora sorghi.
P. sorghi merupakan salah satu spesies yang termasuk dalam daftar cegah tangkal berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 38/Kpts/HK.060/1/2006. Spesies cendawan ini termasuk OPTK kategori A1 yakni OPTK yang dilaporkan belum pernah ada di Indonesia. Namun laporan terkini Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros Sulawesi Selatan menyebutkan P. Sorghitelah ditemukan pada lahan penanaman jagung di daerah Kediri, Jawa Timur dan Tanah Karo, Sumatera Utara (Burhanuddin, 2010). Peronosclerospora spp adalah penyakit utama dan paling berbahaya yang menyerang tanaman jagung di Indonesia (Semangun, 1993). Penyakit ini mengakibatkan gagal panen atau puso antara 90 – 100%, terutama pada varietas jagung yang rentan terkena penyakit bulai (Barbosa dkk, 2006). Kasus ledakan penyakit tersebut akibat serangan P. Sorghidilaporkan terjadi di Thailand pada tahun 1960-an (Frederiksen dan Renfro, 1977). Dengan demikian kewaspadaan terhadap berbagai macam kemungkinan munculnya kasus yang sama di Indonesia perlu ditingkatkan, salah satunya melalui Analisis Risiko OPT (AROPT). AROPT merupakan persaratan teknis yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian untuk mencegah
masuknya
OPT/OPT
Karantina
melalui
importasi
komoditas
pertanian
(Anonimous, 2008). Tahap analisis yang dilakukan meliputi : inisiasi, penilaian (risk assesment) dan pengelolaan risiko (risk management). Salah satu alternatif tindakan yang potensial untuk dikembangkan pada tahap pengelolaan risiko adalah perlakuan karantina terhadap benih jagung impor. Perlakuan karantina dinyatakan efektif apabila mampu mengeliminasi OPT/K tanpa merusak mutu benih jagung. Perlakuan ini dapat dilakukan secara fisik maupun kimiawi. Perlakuan fisik umumnya dipilih karena mampu mengendalikan OPT/K tanpa mencemari lingkungan serta tidak menimbulkan zat – zat residu yang dapat membahayakan kesehatan tubuh. Salah satu pilihan perlakuan fisik yang potensial untuk dikembangkan untuk rekomendasi tindakan karantina adalah perlakuan Dielectric Heating pada benih jagung impor. Tulisan ini memberikan informasi tentang definisi, implementasi serta manfaat penggunaan perlakuan dielectric heating sebagai alternatif perlakuan karantina terhadap benih jagung impor.
PERFORMA DIELECTRIC HEATING
Dielectric heating (DH) lazim digunakan dalam proses pengawetan pangan yang berasal dari komoditas hasil pertanian (Vearaslip dkk, 2011). Saat pra-tanam, perlakuan ini juga efektif untuk meningkatkan perkecambahan benih, mengendalikan penyakit pada benih serta meredam gangguan gulma. DH juga dilaporkan memberikan pengaruh yang positif dalam mengendalikan hama gudang saat pascapanen dan oleh karenanya telah diterapkan dengan baik di Amerika Serikat, Eropa dan Cina (Nelson, 2011). Hasil penelitian menyebutkan kondisi proses DH bersifat spesifik pada komoditas hasil pertanian yang diuji, namun frekuensi yang digunakan bersifat tetap yakni 2450 MHZ (Jittrepotch dkk, 2010; Tylkowska dkk, 2010; Warchalewski dkk, 2009). Berdasarkan kisaran frekuensinya, gelombang elektromagnetik dapat dibedakan menjadi dua, yakni : gelombang radio yang memiliki kisaran frekuensi antara 3 Hz hingga 300 GHz (Gambar 1) dan gelombang mikro yang terdiri atas ultra high frequency (UHF) berukuran antara 300 MHz hingga EHF (extreme high frequency) yang berukuran 3 GHz (Joan, 2009). Proses pengawetan pangan, frekuensi gelombang yang sering digunakan 12 – 2450 MHz, dengan pertimbangan ramah lingkungan, aman terhadap operator serta tidak memberikan efek samping yang merugikan kesehatan tubuh (Wang dan Tang, 2001).
Gambar 1.
Gambar 2.
Kisaran panjang gelombang radio dan gelombang mikro (Microwave)
Penggunaan dielectric heating skala industri (bawah) dan skala penelitian (atas) di Jerman dan USA
Mekanisme kerja Konsep dielectric heating didasarkan pada proses pembangkitan panas secara cepat dari molekul air dalam produk pangan yang terpapar gelombang elektromagnetik (Gambar 3). Energi panas yang dihasilkan selanjutnya akan meningkatkan suhu dalam produk pangan (Stalam, 2011; Anonimous 2011). Perubahan drastis molekul air ini mengakibatkan pencapaian suhu target berlangsung sepuluh kali lebih cepat dibanding perlakuan panas konvensional (Wang dan Tang, 2010). Dengan demikian, perlakuan DH memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan di masa mendatang karena mampu menginaktivasi organisme maupun mikroorganisme pembusuk pangan.
Gambar 3.
Pergerakan molekul air yang sangat cepat akibat paparan DH
Laju perpindahan panas pada proses pengeringan biji-bijian dengan DH berlangsung secara volumetrik berbeda dengan proses pengeringan secara konvensional. Gabriela (2011) melaporkan terjadinya aliran energi panas dari dalam bahan keluar akibat absorbsi energi elektromagnetik oleh molekul air yang terkandung dalam material. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan tingkat kelembaban bahan akibat adanya transfer panas dari bagian dalam benih ke luar. Dielectric Heatingmerupakan Perlakuan Fisik Perlakuan fisik menjadi pilihan alternatif dalam mengendalikan OPT pada komoditas pertanian karena kemampuannya dalam menekan pertumbuhan OPT tanpa meninggalkan residu kimia yang membahayakan kesehatan manusia (Wahyudi dkk, 2005). Penggunan teknologi pengawetan pangan dengan gelombang elektromagnetik relatif jarang digunakan pada proses pengawetan biji – bijian lokal. Namun, aplikasi tersebut telah diterapkan di negara – negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya telah berlangsung sejak lima puluh tahun yang lalu (Nelson, 2011).
Beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi gelombang mikro (microwave) sebagai bagian pengembangan prinsip aplikasidielectric heating untuk pengawetan pangan telah mengalami kemajuan yang nyata (Wang dan Tang, 2001). Hal ini tidak terlepas dari isu kesehatan yang menyebutkan perlakuan kimiawi tidak bisa lepas dari adanya kemungkinan terbawanya residu yang membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Pengaruh DH terhadap OPT Benih Beberapa peneliti melaporkan DH berpengaruh nyata terhadap eliminasi cendawan yang terbawa ke dalam benih. Perlakuan panas dengan DH mampu mengendalikan populasi Trichoconis padwickii pada padi, Aspergilus flavus, Alternaria sp, Penicillium sp dan Rhizopus sp pada barley, Fusarium semitectum dan Aspergillus flavus pada jagung serta Macrophomina phaseolina pada benih wijen (Janhang dkk, 2005; Akaranuchat dkk, 2007; Vassanacharoen, 2006; Vassanacharoen, 2005; Chalsathidvanich, 2010). Nelson (2011) memaparkan DH menyebabkan terjadinya peningkatan suhu secara drastis dalam waktu singkat. Hal ini mengakibatkan rusaknya dinding sel cendawan dan serangga, degradasi protein yang memicu terjadinya inaktivasi enzim, penurunan viabilitas konidia cendawan dan kematian sel – sel serangga maupun hifa cendawan. DH juga memberikan pengaruh yang positif terhadap penurunan persentase infeksi Aspergillus flavus pada jagung dan Trichoconis padwickiipada padi(Gambar 4) sehingga dapat meningkatkan daya perkecambahan benih.
(I)
(II)
Gambar 4.
Persen infeksi benih jagung oleh Aspergillus flavus (I) dan persen kecambah benih padi (II) setelah diberi perlakuan dielectric heating
Nelson dan Stetson (1973) melaporkan perlakuan DH pada 39 MHz selam 3 detik menyebabkan mortalitas serangga gudang sebesar 100%, sementara DH pada 2450 MHz selama 13 detik memberikan pengaruh daya mortalitas yang sama dengan suhu yang lebih tinggi (Gambar 5).
Gambar 5.
Pengaruh DH terhadap mortalitas beberapa serangga gudang
Janhang dkk (2005) menyatakan DH pada 27,12 MHz dan 70oC mampu mematikan 91% serangga Rhyzopertha dominica pada benih padi (inside dan outside) dengan kadar air akhir 9,7% tanpa mempengaruhi viabilitas dan perkecambahan benih (Gambar 6).
Gambar 6.
Pengaruh DH terhadap mortalitas serangga R. Dominica hingga 91% pada benih padi (inside dan outside)
Pengaruh DH Terhadap Vigor Benih Aplikasi gelombang mikro (microwave) atau yang dikenal dengan DH banyak diaplikasikan untuk penanganan pascapanen produk hasil pertanian. Alasan utama diterapkannya teknologi ini adalah energi panas yang dihasilkan dengan cepat mampu
mengendalikan populasi serangga maupun patogen target dengan efektif tanpa merusak sifat fisik maupun kimiawi bahan (Wang dan Tang, 2001). Peningkatan perkecambahan benih akibat pengaruh DH ditemukan pada beberapa benih Fabaceae yang berukuran kecil seperti alfalfa (Midicago sativa), red clover (Trifolium pratense) dan arrowleaf clover (T. Vesiculosum) yang memiliki seedcoat impermeabel. Benih
lainnya
sweetclover
(Meliotus
afficinalis)
tidak
mengalami
peningkatan
perkecambahan benih yang signifikan setelah diberi perlakuan DH. Benih alfalfa memiliki umur simpan hingga 21 tahun tanpa mengalami efek yang merugikan setelah diberikan perlakuan DH. Sedangkan benih tanaman hortikultura dan tanaman hias seperti okra, Pisum sativum, buncis dan bayam dilaporkan mengalami peningkatan pada vigor benih dan umur simpannya setelah diberi perlakuan DH (Nelson 1985). Pengaruh DH terhadap vigor benih tanaman serealia seperti jagung dan gandum juga telah diteliti. Hasil penelitian menunjukkan beberapa varietas mengalami peningkatan vigor benih, namun hasil yang berbeda juga ditemukan pada varietas lainnya. Nelson (1976) melaporkan perlakuan DH memberikan hasil yang lebih sesuai ketika diberikan benih dengan humiditas yang rendah. Hal ini terkait dengan peningkatan suhu akhir secara cepat yang berpengaruh terhadap respon benih pasca perlakuan (Nelson, 1985). Shivare dkk (1991) telah meneliti pengaruh frekuensi gelombang mikro pada 2250 MHz denganbeberapa varian waktu terhadap perkecambahan benih. Hasilnya menunjukkan daya perkecambahan benih ditentukan oleh durasi dan intensitas energi yang dihasilkan dengan DH. Perkecambahan benih 94% dan 80% tercapai saat energi DH yang terserap masing-masing sebesar 0,25 W/gr benih selama 5 jam dan 0,75 W/gr benih selama 30 menit yang dilanjutkan dengan 0,25 W/gr selama 4,5 jam (Gambar 7).
Gambar 7.
Pengaruh penyerapan energi gelombang mikro terhadap perkecambahan serta densitas curah benih jagung
Gabrielle (2011) melaporkan perlakuan DH dengan daya 0,1 W/gr selama 10 menit hanya menghasilkan daya perkecambahan sebesar 25%. Hal ini menunjukkan hanya 25% benih yang dapat berkembang dengan baik, sementara sisanya tidak berkembang. Hal ini disebabkan tingginya temperatur seed bed yang mencapai 93oC yang menyebabkan sebagian benih tidak tumbuh. Jika humiditas benih disesuaikan hingga kondisinya mendekati saat dipanen, maka benih akan memiliki humiditas yang sangat tinggi. Dengan demikian saat diberikan perlakuan DH, benih akan menyerap energi yang dihasilkan
sehingga terjadi peningkatan temperatur benih yang memicu pemecahan struktur benih dan terjadi perkecambahan benih. Penelitian mendatang disarankan untuk mempelajari pengaruh kombinasi antara kondisi proses DH dengan aliran udara guna memperoleh keseragaman temperatur di dalam maupun di luar benih. DH memberikan pengaruh yang sama terhadap benih jagung yang baru dipanen dengan benih benih jagung yang ditingkatkan kadar airnya. Dengan demikian penelitian mengenai aplikasi DH akan bermanafaat untuk mengendalikan mutu komoditas hasil pertanian lainnya saat pascapanen (Trabelsi dan Nelson, 2010). Penelitian terkini tentang DH mempelajari pengaruh penggunaan gelombang pendek pada kisaran frekuensi 22 – 24 Hz terhadap kandungan klorofil, lipida, protein dan karbohidrat pada jagung yang diberi perlakuan pra-tanam. Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan kandungan senyawa uji pada daun jagung setelah benih diberi perlakuan DH selama 10 menit (Imbrea dkk, 2011).
KESIMPULAN Perlakuan dielectric heatingmampu mengendalikan potensi gangguan serangga maupun cendawan perusak pada benih. Pemberian perlakuan Dielectric heating juga tidak merusak mutu fisik maupun kimiawi benih. Dengan demikian dielectric heating memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai alternatif pengganti insektisida maupun fungisida konvensional karena dampak penggunaannya yang aman terhadap lingkungan, benih serta kesehatan tubuh. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan penghargaan terimakasih atas koreksi dan penyempurnaan tulisan ini kepada Dr. Antarjo Dikin. DAFTAR PUSTAKA
Akaranunchat P. et al. 2007. Control seed-borne fungi by radio frequency heat treatment as alternative seed treatment in barley (Hordeum vulgare). Conference an International Agricultural Research for Development. University of Kasssel-Witzenhausen and university of Gottingen. Anonimous. 2008. Petunjuk Teknis Penyusunan Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT) Berdasarkan Media Pembawa. Jakarta: Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian, 26 hal. Anonimous. 2009. Technologies Microwave. Diunduh dari www.petretltd.com/index.php/microwave [tanggal 4 April 2012]. Bachtiar, Pakki S., dan Zubachtirodin. 2007. Sistem Perbenihan Jagung. Dalam Buku Jagung : Teknik Produksi dan Pengembangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 335 hal. Barbosa F.C.F., Pfenning L.H., dan Casela C.R. 2006. Peronosclerospora sorghi, the causal agent of sorghum downy mildew in Brazil. Fitopatologia Brasilia 31 (2) : 119132. Burhanuddin. 2011. Identifikasi Cendawan penyebab Penyakit Bulai pada Jagung Di Pulau Jawa dan Madura. Superman : Suara Perlindungan Tanaman, Vol.1.,No.1. Chaisanthidvanich K et al. 2010. Effect of radio frequency heat treatment on Aspergillus flavus in Maize (Zea mays). Agricultural Sci. J.41:1(Suppl.):341-344.
Frederiksen RA, Renfro BL, 1977. Global status of maize downy mildew. Annual Review of Phytopathology, 15:249-275. Gabriela V dan Simina V.C. 2-11. Germination Percentage of Corn Grains Processed in Microwave Field. Analele Universitatii din Oradea Fascicula Protectia Mediului Vol XVI : 176-183. Imbrea F et al. 2011. Presowing seed treatment by low frequency electromagnetic radiation: effect on lipid, crude protein, crude fibre, carbohydrate and photosynthetic pigments in maize leaves before blooming. Journal of Food Agriculture & Enviroment 9(2): 772-776. Janhang P et al. 2005. using radio frequency heat treatment to control seed borne Trichochonis padwickii in rice seed (oryza saiva l.). Conference on International ASgricultural Research Development. Stuttgart-Hohenheim. Joan B. 2009. Difference between RF and Microwace. Diunduh dari www.differencebetween.net [tanggal 18 April 2012]. McMullern M. dan Lamey H.A. 2000. Seed treatment for disease control. Diunduh dari www.ag.ndsu.edu {tanggal 12 April 2012]. Nelson S. 2011. A half century of research on agricultural applications for RF and Microwave dielectric heating. American society of agricultuyral and biological engineers. Shivhare U, Raghavan G, dan Bosisio R. 1991. Drying of corn using variable microwave power with a surface wave applicator. Journal of Microwave Power and Electromagnetic Energy 26(1):38-44. Stalam SA. 2011. How do the RF and MW technology work? Diunduh dari www.stalam.it [tanggal 18 April 2012]. Trabelsi S. dan Nelson S.O. 2010. Effects of natural water and added water on prediction of moisture content and bulk density of sheled corn from microwave dielectric properties. Journal of Microwave Power and Electromagnetic Energy 44(2):72-80. Vassanacharoen P et al. 2006. Radio frequency heat treatment to eradicate Fusarium semitectum in corn grain (Zea mays). Agricultural Sci.J.37 : 5 (supp.):180-182. Vassanacharoen P. 2005. Effect of radio frequency treatment on seed quality and efficacy seedborne pathogens in sesame seed. [thesis] Bangkok: Chaingmai University. 98p. Vearaslip S, et al. 2011. Influence of Milled Rice Packing Methods on Radio Frequency Heat Distribution in Controling Aspergillus flavus and Their cooking qualities. Conference on International Research on Food Security, Natural Resource Management and Rural development. University of Bonn. Wakman W. dkk. 2005. Pengaruh Penjemuran Biji Jagung yang Telah Diberi Saromil terhadap Efektifitas Pengendalian Penyakit Bulai. Prosiding Seminar Nasional Jagung. 493 hal. Wakman W. 2005. Penyebab Penyakit Bulai Pada Tanaman Jagung, Tanaman Inang Lain, Daerah Sebaran, dan Pengendaliannya. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel. hal. 36-47. Wahyudi et al. 2005. Pengaruh pemaparan sinar gamma isotop cobalt-60 dose 0,251 kGy terhadap daya antagonistic Trichoderma harzianum pada Fusarium oxysporum. Berk Penel Hayati. [internet]. [diunduh 2011 Mei 20]; 10: 143-151. Wang S dan Tang J. 2001. Radio frequency and microwave alternative treatment for insect and diseases control in nuts: A review. Agricultural Engineering Journal 10(3&4): 105-120. Warchalewski JR, Gralik J, dan Grundas S. 2009. Changes in microwave-treated wheat grain properties. Seria E, Vol 23 : 85-92.