Seminar Nasional Pengelolaan OPT Ramah Lingkungan Purwokerto 10-11 November 2010
Potensi Biopestisida Berbasis Pseudomonas fluorescens P60 Dalam Formula Pupuk Kandang Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Tomat Ruth Feti Rahayuniati, Endang Mugiastuti, dan Loekas Soesanto Jurusan Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto E-mail:
[email protected]
Abstract This research aimed at studying potency of Pseudomonas fluorescens P60 in manures formula for controlling seedling tomato bacterial wilt caused by R. solanacearum. The in planta research was carried out at the screen house, Faculty of Agriculture, Jenderal Soedirman University. Tolerant tomato seedling was grown at medium treated with biopesticide addition formulated in six kinds of manure, i.e., chicken, cow, goat, duck, bat, and buffalo, in the form of pellet after storage for a month. Result of the research showed that the cow manure biopesticide gave the best effect because of lengthened incubation period, suppressed disease intensity, and increased root length, crop high difference, crop wet and dry weight as 48.76, 80, 65.67, 16.73-73.38, 33.36-78.76, and 65-75.09%, respectively. Key words: Biopesticide, Pseudomonas fluorescens P60, bacterial wilt, manure. Pendahuluan Upaya untuk meningkatkan produksi tanaman tomat sering kali dihadapkan pada masalah gangguan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Salah satu OPT penting pada tanaman tomat adalah bakteri Ralstonia solanacearum, penyebab penyakit layu bakteri. Ralstonia solanacearum sulit dikendalikan, karena patogen ini bersifat tular-tanah dan polifag, mempunyai kisaran inang sangat luas, meliputi 140 spesies lebih tanaman dalam 40 famili (Machmud et al., 2002 ). Pseudomonas kelompok fluorescens merupakan bakteri antagonis yang banyak dimanfaatkan sebagai agensia hayati untuk beberapa jamur dan bakteri patogen tanaman. Menurut Soesanto (2008), bakteri Pseudomonas fluorescens P60 mempunyai sifat ”Plant Growth Promoting Rizhobacteria” (PGPR), yang nyata memacu pertumbuhan tanaman pada kondisi lahan yang baik. Pengetahuan yang memadai dalam penanggulangan patogen pada tanaman tomat akan menentukan cara pengendalian yang tepat dan aman terhadap lingkungan, salah satunya dengan memanfaatkan agensia hayati yang sudah terbukti mampu berperan sebagai agensia hayati, yaitu dengan pemanfaatan P. fluorescens P60. Pada umumnya, medium P. fluorescens P60 yang dipakai masih tergolong mahal, sehingga aplikasi di lapang masih mengalami kesulitan karena jumlahnya masih terbatas dan sulit untuk didapat terutama bagi para petani. Oleh sebab itu, perlu medium pembiakan masal yang mempunyai potensi sebagai pengganti fungisida sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat terutama petani. Pemanfaatan bahan organik yaitu seperti Pupuk kandang sapi, ayam, kerbau, itik, kelelawar dan kambing dapat menjadi salah satu alternatif yang baik sebagai medium pembiakan masal yang potensial dan mudah didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi Pseudomonas fluorescens P60 dalam formula pupuk kandang untuk mengendalikan penyakit layu bakteri R. Solanacearum pada bibit tomat
111
Seminar Nasional Pengelolaan OPT Ramah Lingkungan Purwokerto 10-11 November 2010
Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan in planta di rumah kasa Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Penelitian dilaksanakan dalam 4 bulan di mulai pada Juni 2010 sampai dengan September 2010. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Pengujian dilakukan pada medium tanaman mentimun yang diinfestasi Ralstonia solanacearum pada polibag. Perlakuan yang dicoba adalah kontrol 1 (inokulasi R. solanacearum dan tanpa perlakukan P. fluorescens P60), kontrol 2 (diinokulasi R. solanacearum sp. dan bakterisida), biopestisida dengan formula pupuk kandang ayam, sapi, kerbau, kambing, kelelawar, atau itik + kapur + P. fluorescens P60 dengan diinokulasi R. solanacearum. Variabel dan pengukuran yang diamati dalam penelitian ini adalah masa inkubasi, kejadian penyakit, bobot basah, bobot kering dan tinggi tanaman, kepadatan akhir R. solanacearum, kepadatan akhir P. fluorescens P60, suhu dan kelembapan. Menurut Sinaga (2006), kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus berikut.
KP
n x100% N
Keterangan: KP = Kejadian Penyakit (%), n = Jumlah tanaman yang terserang, dan N = Jumlah tanaman yang diamati. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan Terhadap Komponen Patosistem Hasil analisis statistika terhadap komponen patosistem tanaman menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan perbedaan nyata kecuali pada masa inkubasi (Tabel 1). Tabel 1. Masa inkubasi, intensitas penyakit, kepadatan akhir patogen, dan kepadatan akhir antagonis Kepadatan akhir Masa Intensitas Kepadatan R. Perlakuan inkubasi penyakit akhir Pf solanacearum (hsi)tn (%) P60 (1010) (108) kontrol, tanpa Pf 6,83 55,50a 80,5a 20,0e kontrol, bakterisida 14,00 11,10c 35,5cd 25,0e pupuk kotoran ayam 10,00 33,30abc 48,0c 77,0b pupuk kotoran sapi 13,33 11,10c 29,0d 97,5a pupuk kotoran kerbau 9,00 22,20bc 36,0cd 85,5ab pupuk kotoran kambing 8,75 33,30abc 44,0c 63,5c pupuk kelelawar 12,67 44,40ab 64,5b 43,5d pupuk kandang itik 13,00 44,40ab 62,0b 44,0d Keterangan: tn = Tidak Nyata.
Masa inkubasi dan gejala Masa inkubasi dihitung sejak inokulasi hingga munculnya gejala awal layu bakteri R. solanacearum. Berdasarkan hasil analisis antar-perlakuan dengan kontrol tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap masa inkubasi penyakit (Tabel 1). Hal ini diduga disebabkan keaktifan patogen yang ada di dalam tanah mampu berkembang dengan baik.
112
Seminar Nasional Pengelolaan OPT Ramah Lingkungan Purwokerto 10-11 November 2010
Semua akar bibit tanaman tomat sebelum ditanam dilukai dahulu, yang memungkinkan patogen lebih cepat menginfeksi perakaran tanaman tomat. Selain itu, adanya faktor lingkungan yang mendukung yaitu suhu dan pH tanah pada perlakuan masing-masing sebesar 27-330C dan 7,1. Kondisi ini sesuai untuk pertumbuhan R. solanacearum. Penyakit layu tidak akan terjadi di daerah dengan suhu di bawah 10 oC dan di atas 40 oC. Biasanya berkembang baik pada kisaran suhu antara 30-37 oC. Patogen ini dapat hidup pada semua jenis tanah dan kisaran pH yang luas, mulai dari tanah asam dengan pH 4,3-4,5 sampai tanah alkalis dengan pH 7,5-8,5. Biasanya patogen ini menginfeksi perakaran tanaman melalui lubang alami atau luka dan bergerak secara sistemik melalui pembuluh silem sehingga menyebabkan kelayuan (Goto, 1992; Denny dan Hayward, 2001). Hal ini diperkuat oleh pendapat Agrios (2005), yang menyatakan bahwa perkembangan penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain patogen virulen, inang rentan, dan lingkungan yang mendukung. Masa inkubasi terlama terlihat pada perlakuan formula pupuk kandang sapi, yaitu 13,33 hsi. Hal ini disebabkan antagonis mampu berkembang dengan baik pada lahan pembawa pupuk kandang sapi sehingga lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga masa inkubasi terlihat lebih lama. Penyebaran penyakit ke tanaman lain dapat terjadi melalui aliran air alat pertanian yang terkontaminasi atau pemindahan tanah yang terinfeksi (Semangun, 2001). Kejadian penyakit Hasil analisis data kejadian penyakit menunjukkan bahwa antara perlakuan dan kontrol berbeda nyata (Tabel 1). Tingginya kejadian penyakit pada perlakuan kontrol tanpa P. fluorescens P60 diduga disebabkan oleh keaktifan patogen yang lebih cepat beradaptasi dan menginfeksi tanaman. Semua itu juga karena tidak tersedianya mikroba antagonis sebagai pesaing patogen. Tingginya kejadian penyakit pada perlakuan tersebut, selain diduga karena tingkat keefektifan patogen yang tinggi dan tidak adanya mikroba antagonis, juga adanya faktor lingkungan dapat memacu pertumbuhan patogen. Agrios (2005) menyatakan bahwa terjadinya suatu penyakit mempunyai hubungan yang erat adanya patogen yang virulen, faktor inang yang rentan terhadap serangan patogen, dan kondisi suhu yang mendukung untuk perkembangan penyakit. Penyakit dapat berkembang, jika didukung oleh faktor lingkungan. Kepadatan akhir patogen dan antagonis Kepadatan populasi akhir antagonis tertinggi yaitu sebesar 97,5 x 109 upk/g tanah terdapat pada perlakuan formulasi pupuk kandang sapi. Tingginya populasi antagonis diduga karena beberapa sifat atau kemampuan antagonis yang mendukung kehidupannya. Hal tersebut diduga tersedianya nutrisi yang cukup, sehingga bakteri antagonis lebih mampu menguasai daerah perakaran dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di sekitar perakaran. Tingginya populasi antagonis tersebut diduga dikarenakan oleh beberapa kemampuan antagonis dalam mendukung kehidupannya. P. fluorescencs P60 mampu mempertahankan diri pada rhizosper, mampu meningkatkan populasinya, menghasilkan senyawa penghambat patogen, dan mampu mengoloni akar tanaman (Soesanto, 2008). Hal tersebut selaras dengan rendahnya intensitas penyakit pada perlakuan formulasi pupuk kandang sapi, yaitu sebesar 11,10%. Kepadatan antagonis terendah pada perlakuan kontrol tanpa Pf dan dengan bakteriasida, yaitu masing-masing sebesar 20,0 x1010 dan 25,0 x 1010 upk/g tanah. Adanya bakteri antagonis pada perlakuan kontrol tersebut diduga berasal dari tanah yang terpercik oleh air siraman atau hujan. Air dalam bentuk hujan, irigasi curah, pengaruh perakaran tanah dapat berfungsi sebagai agensia inokulasi dan penyebar jarak dekat atau jarak jauh mikroorganisme (Sastrosuwignyo, 1991). Keberadaan antagonis yang rendah diduga tanah
113
Seminar Nasional Pengelolaan OPT Ramah Lingkungan Purwokerto 10-11 November 2010
yang digunakan steril sehingga memengaruhi aktivitas mikroba antagonis. Menurut Baker dan Cook (1974), bahan organik dalam tanah sebagai sumber nutrisi bakteri antagonis, sehingga mampu meningkatkan aktifitasnya merangsang dormansi propagul patogen serta menghasilkan pengaruh fungistatis bagi patogen tular tanah. Kepadatan populasi akhir R. solanacearum terendah terdapat pada perlakuan formula pupuk kandang sapi sebesar 29 x 1010 upk/g tanah, yang diduga karena supernatan bakteri P. fluorescens P60 dapat berperan sebagai pesaing patogen. Hal ini sesuai dengan Soesanto (2000), bahwa strain P. fluorescens P60, menghasilkan antibiotika 2,4-diasetil floroglusinol (Phl), yang dapat menghambat patogen layu V. dahliae pada tanaman kentang dan terung. Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Parameter yang digunakan adalah bobot basah tanaman, bobot kering tanaman, selisih tinggi tanaman, dan panjang akar terpanjang. Data hasil penelitian terhadap komponen pertumbuhan tanaman menunjukan berbeda nyata untuk semua parameter pertumbuhan (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap komponen pertumbuhan Panjang Bobot Berat Perlakuan akar basah Kering tanaman tanaman tanaman tn kontrol, tanpa Pf 2,27 d 0,693 c 0,063 kontrol, bakterisida 4,587 bc 2,050 abc 0,203 pupuk kotoran ayam 4,110 bc 1,600 bc 0,190 pupuk kotoran sapi 6,613a 3,263 a 0,253 pupuk kotoran kerbau 4,957b 2,577 ab 0,230 pupuk kotoran kambing 4,310 bc 1,960 abc 0,203 pupuk kotoran kelelawar 2,830 cd 1,040 c 0,180 pupuk kandang itik 4,053 bc 1,743bc 1,137 Keterangan: tn = Tidak Nyata.
Selisih tinggi tanaman 4,577 c 11,387 abc 10,863 abc 17,133a 12,057 ab 8,567 bc 5,497 bc 8,310 bc
Panjang akar Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa untuk panjang akar tanaman terdapat perbedaan nyata dari masing-masing perlakuan. tertinggi pada formulasi pupuk kandang sapi, yaitu 6,613 cm terendah pada kontrol tanpa Pf, yaitu 2,27 cm atau mampu memanjangkan akar sebesar 65,67% (Tabel 2). Hal ini diduga adanya mekanisme P. fluorescens P60, di samping melalui penekanan patogen, dapat juga dihubungkan dengan pengaruh tidak langsung dari aktivitas P. fluorescens P60 dalam menghasilkan hormon tumbuh yang dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman dan dapat berperan sebagai PGPR. Santoso et al. (2007) melaporkan bahwa P. fluorescens P60 mampu menekan intensitas penyakit moler pada tanaman bawang merah sebesar 41,08%. Hal ini diduga P. fluorescens P60 mampu menguasai permukaan perakaran secara luas dan menghasilkan antibiotika sehingga patogen terganggu perkembangannya. Ketersediaan unsur P lebih banyak pada kompos kotoran sapi diduga menyebabkan pertumbuhan akar lebih cepat, serta memperkuat tanaman muda dan mempercepat menjadi tanaman dewasa pada umumnya. Menurut Agrios (2005), tanaman mungkin terhindar dari infeksi patogen karena fosfor meningkatkan ketahanan tanaman dengan meningkatkan keseimbangan hara pada tanaman dan mempercepat kematangan tanaman.
114
Seminar Nasional Pengelolaan OPT Ramah Lingkungan Purwokerto 10-11 November 2010
Bobot basah dan bobot kering tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa untuk bobot basah tanaman terdapat perbedaan yang nyata dari masing-masing perlakuan sedangkan untuk bobot kering tanaman belum menunjukan adanya perbedaan nyata (Tabel 2). Bobot basah tanaman tertinggi yaitu pada perlakuan formulasi pupuk kandang sapi, yaitu sebesar 3,263 g, sementara terendah pada perlakuan kontrol tanpa P. fluorescens P60, yaitu sebesar 0,693 g atau meningkatkan bobot basah sebesar 78,76%. Tingginya bobot basah akar tanaman pada perlakuan formulasi pupuk kandang sapi memiliki sifat PGPR yang nyata memacu pertumbuhan tanaman pada kondisi lahan yang baik. Mekanisme P. fluorescens P60 di samping melalui penekanan patogen, dapat juga dihubungkan dengan pengaruh tidak langsung yang dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman dan berperan sebagai PGPR, sehingga dapat menghasilkan hormon tumbuh, di antaranya auksin, giberallin, dan sitokinin (Landa et al., 2002). Hasil analisis sidik ragam terhadap bobot kering tanaman pada masing-masing perlakuan belum memberikan pengaruh nyata terhadap kontrol (Tabel 2). Namun demikian, pada perlakuan yang diberikan cenderung mempunyai bobot kering tanaman lebih besar jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2). Bobot kering tanaman tertinggi yaitu pada perlakuan kotoran sapi sebesar 0,253 g. sedangkan bobot kering tanaman terendah yaitu pada kontrol sebesar 0,063 g yang selaras dengan berat basah tanaman atau terjadi peningkatan sebesar 75,09%. Hal ini diduga selain menghasilkan antibiotika, bakteri P. fluorescens P60 juga mampu sebagai bakteri pemacu pertumbuhan atau disebut juga dengan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Hal ini sesuai dengan penelitian Khalimi et al. (2009) yang menunjukkan bahwa P. fluorescens P60 secara nyata mampu meningkatkan tinggi tanaman maksimum, jumlah cabang maksimum, jumlah daun maksimum, bobot basah dan kering akar, dan bobot kering biji tanaman kedelai. Selisih tinggi tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa untuk selisih tinggi tanaman terdapat perbedaan nyata dari masing-masing perlakuan (Tabel 2). Selisih tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan kotoran sapi sebesar 17,133 cm, dan terendah kontrol sebesar 4,57. Hal ini selaras dengan panjang akar atau terjadi peningkatan sebesar 73,38%. Kondisi ini diduga bahwa pemberian bakteri P. fluorescens P60 mampu menekan patogen sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang tanpa adanya serangan dari patogen dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan sifat bakteri P. fluorescens P60 sebagai agensia hayati maupun sebagai PGPR. Pendapat Soesanto (2008) yang menyatakan bahwa bakteri P. fluorescens P60 dapat memberikan pengaruh menguntungkan terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Simpulan 1. Bahan formula padat organik P. fluorescens P60 mampu menurunkan intensitas penyakit layu bakteri sebesar 20-80%, dengan tertinggi pada formula kotoran sapi. 2. Bahan formula padat organik P. fluorescens P60 mampu meningkatkan selisih tinggi tanaman sebesar 16,73-73,38%, meningkatkan berat kering tanaman sebesar 65-75,09%, meningkatkan berat basah tanaman sebesar 33,36-78,76%, dan mampu meningkatkan panjang akar sebesar 19,78- 65,67%. Ucapan terima kasih Kepada Dikti atas Pembiayaan Penelitian dalam Program Peneltian Hibah Kompetensi dan kepada mahasiswa yang turut membantu pelaksanaan penelitian.
115
Seminar Nasional Pengelolaan OPT Ramah Lingkungan Purwokerto 10-11 November 2010
Daftar Pustaka Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, 5th edition. Elsevier Academic Press, USA. 922 pp. Baker, K.F. and R.J. Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. W.H. Freeman, San Fransisco. 433pp. Denny, T.P. and A.C. Hayward. 2001. Gram negative bacteria Ralstonia. Pp. 151-174. In. N.W. Scaad, J.B. Jones, and W. Chun (Eds.), Laboratory Guide For Identification of Plant Pathogenic Bacteria. The American Phytopathological Society, USA. Goto, M. 1992. Fundamentals of Bacterial Plant Pathogen. Academic Inc., San Diego, California. 342 pp. Handayanto, E dan K. Hadiriah. 2009. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura, Yogyakarta. 193 hal. Khalimi, K., G.N Alit, dan S. Wirya. 2009. Pemanfaatan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Untuk Biostimulants dan Bioprotectants. (On-line). http://ejournal.unud.ac.id diakses tanggal 10 Oktober 2010. Machmud, M., Y. Suryadi, Jumanto, dan I. Manzila. 2002. Teknik Produksi Antibodi Monoklonal (McAb) untuk Deteksi dan Identifikasi Ralstonia solanacearum. (On-line). http://www. biogen. or. id/ terbatas/ prosiding /fulltext_pdf/ prosiding 2003_340349_Jumanto_produksi.pdf. Diakses tanggal 27 Juni 2010. Santoso, S.E,.L. Soesanto, dan T.A.D. Haryanto. 2007. Penekanan Hayati Penyakit Moler pada Bawang Merah dengan Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, dan Pseudomonas fluorescens P60. Jurnal HPT Tropika 7(1):53-61. Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 850 hal. Soesanto. L. 2000. Ecological and Biological Control of Verticillium dahlia. Ph.D. Thesis. Wageningen University, Wageninge ----------, 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 573 hal. Widyantoko, D. 2007. Kajian Persistensi Bacillus sp. B46, B211, dan Ralstonia solanacearum Pada Interaksinya di dalam Tanah. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 54 hal. (Tidak dipublikasikan). Yusuf, E.S., W. Nurani, I. Djanika, dan N. Rossiana. 2003. Pengaruh kerapatan konidia Gliocladium sp. dan Trichoderma sp. terhadap intensitas serangan Ralstonia solanacearum pada tanaman cabai merah di pesemaian. Prosiding Konggres Nasional XVII dan Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Bandung 6-8 Agustus 2003. Hal 91-95.
116