Posisi Imsak dalam Ibadah Puasa Oleh: Mochamad Faishal Riza Imsak dalam pengertian puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Imsak dalam puasa didasarkan atas firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187:
“…Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” Awal waktu imsak tidak ditentukan dengan ukuran jam, tetapi dengan terbitnya fajar. Dengan batas imsak yang dimulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, akan ada perbedaan waktu imsak antara Negara-negara yang berbeda panjang waktu siang dan malamnya. 1 Di Indonesia, masyarakat lebih memahami imsak sebagai batas waktu seseorang berhenti dari makan sahur. Hal inilah yang insyaAllah akan dijelaskan. Berikut ada beberapa pendapat: 1. Golongan pertama. Jika seseorang sedang makan sahur dan kemudian dia mendengar adzan Shubuh maka dia harus memuntahkannya. Jika makanan itu terus ditelannya maka puasanya batal. Hal ini didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
“Bilal akan adzan waktu malam. Maka makan dan minumlah kamu sampai terdengar adzan Ibnu Maktum.”2 Pendapat ini dianut oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnahnya. 3 2. Golongan kedua. Jika seseorang sedang makan sahur dan dia mendengar adzan Shubuh maka dia diperkenankan untuk menghabiskan sisa makanan yang terdapat di mulutnya. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih al-Bassam4 dan Syaikh bin Shalih Al-Utsaimin.Hal ini didasarkan pada hadits: Diriwayatkan dari beberapa jalan dari Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Jika salah seorang di antara kamu mendengar adzan sedangkan ia masih
memegang piring (makan) makan janganlah ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan
1
Ensiklopedi Hukum Islam jilid 3, hal.709
2
Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Tarjamah Shahih Bukhari jilid I, hadits no.600, hal.399.
Diriwayatkan juga dari shahabat Abdullah bin Umar (hadits no.598) dan Salim bin Abdullah (hadits no.595) 3
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnnah jilid 3, hal.271-272
4
Anggota Majelis Kibarul Ulama (MUI) Arab Saudi
1
hajatnya (makannya). (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dan di-shahih-kan olehnya dan oleh Adz-Dzahabi) Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud 1/549, Ibnu Jarir dalam At-Tafsir 3/526/3015, Abu Muhammad al-Jauhari dalam al-Fawaid al-Muntaqa
1 /2, Hakim 1/426, Baihaqi 4/218,
Ahmad 2/423 dan 510. Hakim berkata: “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim.” Pernyataan ini disepakati oleh Dzahabi. Padahal dalam hadits ini ada (sanad) yang perlu dikoreksi. Karena Muhammad bin ‘Amr hanya dipakai oleh imam Muslim jika ia bersamaan dengan yang lain (dengan hadits shahih yang lain yang semakna) maka yang benar hadits ini
. Ya, memang Ibnu ‘Amr tidak bersendirian karena Hammad bin Salamah juga berkata: “Diriwayatkan dari Amar bin Abi Amar dari Abu Hurairah dari Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam seperti itu, hanya ada tambahan:
“dan dulu muadzdzin mengumandangkan adzan jika telah terbit fajar.” (HR Imam Ahmad 2/510, Ibnu Jarir dan al-Baihaqi). Aku (Syaikh al-Albani) berkata: “Isnad hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim. Disamping itu hadits ini mempunyai syawahid (hadits-hadits lain yang memperkuat) yaitu: 1) Hadits mursal yang diriwayatkan oleh Hammad juga, tetapi dari jalan Yunus dari Hasan dari Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam , kemudian menyebutkan hadits tersebut diatas. (dikeluarkan oleh Ahmad 2/423, dengan disertai riwayat yang pertama). 2) Hadits maushul
yang diriwayatkan dari al-Husain bin Waqid dari Abu Umamah, ia
berkata: “Pada waktu iqamat dikumandangkan, Umar masih memegang gelas. Ia (Umar) bertanya: ‘Apakah saya masih boleh minum ya Rasululah?’ Beliau menjawab: ‘ Ya
(boleh)’ . Kemudian Umar minum.” (HR Ibnu Jarir 3/527/3017 dengan dua sanad darinya). Isnad hadits ini hasan. 3) Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah dari Abu Zubair, ia berkata: “Au bertanya kepada Jabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sedangkan ia masih memegang gelas untuk minum, kemudian mendengar adzan. Jabir menjawab: “Kami pernah mengatakan hal seperti itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam dan beliau bersabda: ‘Hendaklah ia minum.’ (Dikeluarkan oleh Ahmad 3/348, beliau berkata: Telah meriwayatkan pada kami Musa, ia berkata: ‘telah meriwayatkan pada kami Ibnu Lahi’ah) Aku (Syaikh Albani) berkata: ‘Isnad ini tidak mengapa (dapat dipakai), jika untuk penguat (menguatkan hadits-hadits yang lain). Al-Walid bin Muslim juga meriwayatkannya dari Ibnu Lahi’ah. (Dikeluarkan oleh Abu al-Husain al-Kilabi dalam Nuskhah Abu al-Abbas
Thahir bin Muhammad). Perawi-perawinya tsiqat (terpercaya), perawi-perawi Imam Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah, karena jelek hafalannya. Al-Haitsami berkata dalam al-
Majma (3/153): ‘Diriwayatkan oleh Ahmad dan isnadnya hasan.’
2
4) Hadits yang dikeluarkan oleh Ishaq dari Abdullah dari Mu’aqal dari Bilal, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam untuk adzan shalat Shubuh, padahal beliau akan berpuasa. Kemudian beliau meminta gelas untuk minum. Setelah itu beliau mengajakku untuk minum dan kami keluar untuk shalat.” (DIkeluarkan oleh Ibnu Jarir 3018 dan 3019, Ahmad 6/12, dan perawi-perawinya tsiqat , perawi-perawi BukhariMuslim. Seandainya tidak ada Ibnu Lahi’ah yaitu As-Syabi’I (dia tidak bercampur hafalannya serta suka melakukan tadlis) akan tetapi hadits ini menjadi kuat dengan adanya riwayat Ja’far bin Harqan dari Syadad budak ‘Ayadh bin ‘Amir dari Bilal, haditsnya sama dengan yang diatas. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 6/13). 5) Muthi’ bin Rasyid meriwayatkan: “Telah menceritakan pada kami Taubah al-‘Anbari bahwa dia mendengar Anas bin Malik berkata: ‘Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Lihatlah siapa yang berada di masjid, panggillah dia!’ Kemudian aku masuk masjid, disana aku dapati Abu Bakar dan Umar. Kemudian aku memanggil mereka, lalu aku bawakan suatu makanan dan aku letakkan di depan beliau. Kemudian beliau memakan bersama mereka, setelah itu mereka keluar. Kemudian Rasulullah shalallahu
‘alahi wa sallam shalat bersama mereka, shalat Shubuh. (Dikeluarkan oleh al-Bazzar no.993 dalam Kasyful Astar dan ia berkata: ‘Kami tidak mengetahui Taubah menyendarkan kepada Anas kecuali hadits ini dan satu hadits yang lain dan tidak meriwayatkan dua hadits itu darinya (Anas), kecuali Muthi’. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Az-Zawaid hal.106: ‘Isnad hadits ini hasan.” Aku (Syaikh Albani) berkata: Imam al-Haitsami berkata seperti itu juga seperti perkataan al-Hafidz Ibnu Hajar, (dalam al-Majma’ 3/152) 6) Qais bin Rabi’ meriwayatkan dari Zuhair bin Abi Tsabit al-A’ma dari Tamim bin ‘Ayyadl dari Ibnu Umar ia berkata: “Alqamah bin Alasah pernah bersama Rasulullah shalallahu
‘alahi wa sallam kemudian datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Tunggu sebentar wahai Bilal! Alqamah
sedang makan sahur.’ (Dikeluarkan oleh Ath-Thayalisi no.885 dan Ath-Thabrani dalam al-Kabir sebagaimana dalam al-Majma’ 3/153 dan ia berkata: ‘Qais bin Rabi’ dianggap tsiwah oleh Syu’bah dan Sufyan Ats-Tsauri padahal padanya (Qais) ada pembicaraan (masih diragukan tentang dia). Aku (Syaikh Albani) berkata: ‘Haditsnya (Qais) hasan jika ada syawahidnya, karena ia (Qais) sendiri shaduq (jujur), hanya yang dikhawatirkan adalah jeleknya hafalan dia, maka apabila dia meriwayatkan hadits yang sesuai dengan perawi-perawi tsiqat lainnya haditsnya dapat dipakai.” Adapun dalil-dalil dari atsar (perbuatan para shahabat) yang membahas tentang hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Syuhaib bin Gharqadah al-Bariqi dari Hibban bin Harits ia berkata: ‘Kami pernah makan sahur bersama Ali-bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, maka
3
tatkala kami telah selesai makan sahur, ia (Ali) menyuruh muadzin untuk iqamat.” (Dikeluarkan oleh at-Thahawi dalam Syarah al-Ma’ani 1/106 dan al-Muhlis dalam al-Fawaid
al-Munthaqah 8/11/1). Perawi-perawinya tsiqat kecuali Hibban, Ibnu Abi Hatim 1/2/269 membawakan riwayat ini dan ia tidak menyebutkan jarh dan ta’dilnya sedangkan ia menulisnya dalam ats-Tsiqat. 5 Syaikh Albani berkata: “Ini sebagai dalil, bahwa orang yang ditangannya ada tempat makanan dan minuman sedangkan fajar telah terbit, baginya boleh tidak meletakkan tempat itu sebelum memenuhi hajatnya. Dari pengertian hadits ini dapat diambil pelajaran, bahwa menetapkan imsak (tidak makan dan minum) sejak seperempat jam sebelum fajar tidak sah (batal), karena mereka melakukan hal ini karena takut didahului adzan fajar, padahal mereka sedang makan sahur.6 Ibnu Hajar menjadikan surat Al-Baqarah ayat 187 dan hadits yang diriwayatkan Abdurrazzaq melalui sanad dengan perawi yang tsiqah.7 Dijadikan dalil bahwa batas akhir makan dan minum adalah terbitnya fajar. Apabila fajar telah terbit dan seseorang sedang makan atau minum lalu menghentikannya, maka puasanya dianggap sah. 8 Bahkan Imam Bukhari membuat Bab “Sabda Nabi shalallahu ‘alahi wa sallam,
”Janganlah sekali-kali Adzan Bilal Mencegah Kalian dari Makan Sahur” . Beliau membawakan hadits dari Ubaidillah bin Ismail menceritakan kepada kami dari Abu Usamah, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dan Al-Qasim bin Muhammad (meriwayatkan) dari Aisyah ra. “Sesungguhnya Bilal biasa adzan di malam hari, maka Rasulullah shalallahu ‘alahi
wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena sesungguhnya dia tidak adzan (melainkan) hingga fajar terbit.” 9 Ibnu Hajar menjelaskan dengan menambahkan sebuah hadits dari Samurah, dari Nabi
shalallahu ‘alahi wa sallam, “Janganlah sekali-kali adzan Bilal menghalangi kalian dari makan sahur, dan tidak pula fajar yang memanjang, akan tetapi (yang mencegah kalian adalah) fajar yang memmanjang di ufuk.” Beliau berkata: “imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits
5
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits Ash-Shahihah, hadits no.1394 dikutip oleh Majalah
Salafy edisi XIII/Sya’ban-Ramadhan/1417/1997 6
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Terjemah Tamamul Minnah jilid 2, hal.195
7
Sesungguhnya Bilal ketika dia datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam dan beliau sedang makan sahur,
lalu ia berkata: “Shalat, wahai Rasulullah! Demi Allah, sungguh telah pagi!” beliau bersabda: ‘Semoga Allah merahati
Bilal. Jika bukan karena Bilal, maka kita berharap bila diberi keringanan hingga terbit matahari.” 8
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari Buku 11, hal.96-112
9
Fathul Baari Buku 11, hal.108
4
ini hasan.” Setelah beliau menjelaskan fajar yang membolehkan seseorang makan sahur 10, yakni fajar kadzib (dusta) lalu beliau menyebutkan fajar yang mengharamkan makan sahur dan menghalalkan shalat Shubuh11, kemudian beliau berkata: “Hal ini selaras dengan ayat yang telah disebutkan (Al-Baqarah ayat 187) pada bab sebelumnya.”12 Dari pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Imsak bukanlah sebagai batas seseorang berhenti untuk makan dan minum pada saat sahur 2. Batas makan dan minum pada saat sahur adalah adzan dimana dimulainya waktu (pelaksanaan) shalat Shubuh. 3. Ketika seseorang sedang makan sahur, kemudian dia mendengar adzan untuk dimulainya shalat Shubuh, hendaklah ia tetap tenang dan menghabiskan sisa hajatnya (makannya) dan puasanya tetap sah (tidak batal) 4. Imsak hendaklah hanya dijadikan sebagai peringatan bahwa waktu untuk shalat Shubuh sudah dekat bukan sebagai batas makan sahur. Demikian pembahasan tentang hukum imsak pada saat makan sahur, khususnya bulan Ramadhan. Semoga penjelasan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kaum muslimin umumnya dalam memperkenalkan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam, Dan semoga tulisan ini dapat menjadi tambahan amal bagi penulis di akhirat nanti. Amien. Perlu diketahui, bahwa tulisan diatas penulis kumpulkan dari beberapa tulisan para Ulama yang penulis punyai sebagai referensi pribadi, maka dari itu tulisan ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran sangatlah penulis harapkan. Alangkah lebih efisien jika kritik dan saran di alamatkan ke
[email protected] . Referensi: 1. Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Tarjamah Shahih Bukhari jilid 1. CV. Asy-Syifa’.1991 2. Ensiklopedi Hukum Islam 3. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. 2003 3. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari, Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari Buku 11. Pustaka Azzam. 2005 4. Majalah Salafy edisi XIII/Sya’ban-Ramadhan/Tahun ke-2/1417/1997
10
Beliau mengutip hadits dari at-Tirmidzi, “Makan dan minumlah kalian, dan janganlah cahaya yang menjulang ke atas
menghalangi makan (sahur) kalian. Makan dan minumlah kalian hingga cahaya kemerahan nampak membentang bagi kalian). Fathul Baari Buku 11, hal.110 11
Beliau membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Tasuban, “Fajar itu ada dua
macam; adapun fajar seperti ekor serigala (fajar kadzib), sesungguhnya ia tidak menghalalkan sesuatu dan tidak pula mengharamkan. Akan tetapi – yang mengharamkan dan menghalalkan - adalah fajar yang membentang (fajar shadiq). Fathul Baari Buku 11, hal.110 12
Fathul Baari Buku 11, hal.110
5
5. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Terjemah Tamamul Minnah jilid 2. Maktabah Salafy Press. 2002 6. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3. PT. Al-Ma’arif.
6