PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh: NOVIA HANDAYANI NIM: 111-12-057
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Segala sesuatu ada zakatnya (penyuciannya), sedangkan zakat jiwa adalah berpuasa. Dan berpuasa merupakan separuh kesabaran. (HR. IbnuMajjah)
صائِمُ ْو َن َوهُ َو َم ْو ُع ْو ٌد بِل ِ َقا ِء هللا ِ تَعَا َلى فِى َّ ب ي ُ َقالُ َله ُ ال َّريَّانُ ََليَد ُْخ ُله ُ ا ِ ََّل ال ٌ ل ِ ْل َج َّنةِ بَا َ َجزَا ِء ِص ْو ِمه Di surga ada pintu bernama Rayyan . Hanya orang-orang yang berpuasa saja yang dapat masuk pintu itu. Selain orang yang berpuasa tidak ada yang dapat memasukinya. (HR. Bukhari dan Muslim)
vi
PERSEMBAHAN Alhamdulillah dengan izin Allah SWT skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan untuk: 1.
Kedua orang tuaku Moh Batal Aidi dan Umi Hanik yang tidak pernah lelah memberikan dukungan dan doa kepada penulis sehingga saat ini penulis dapat merasakan kesempatan mengenyam pendidikan yang tidak bias dirasakan semua orang, penulis persembahkan skripsi ini sebagai bukti ketulusan dan bakti penulis.
2.
Kakek nenekku Damsuri Jamal dan Siti Romlah yang tak henti hentinya mengirimkan doa untuk penulis, serta adik-adikku Selma Aulia dan Muhammad Hildan R yang selalu memberikan doa, semangat, dan tawa kebahagiaan dalam mengarungi perjalanan hidup.
3.
Akhi Ikhsan Dany F yang senantiasa memberikan support, doa serta bantuan dalam bentuk apapun.
4.
Sahabat kampusku Eryn Febriana, Ika Tyas Andini, Fajri Rahmatul, Nur Latifah, Risky Septia, yang telah setia menemani dan menjalin persahabatan yang utuh.
5.
Teman-temanku pendidik di MINU Siti Hajar yang selalu memberikan semangat , motivasi dan doa, serta ustadh Zafir dan ustadhah Evi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mencari pengalaman dalam mengabdi di MINU Siti Hajar.
6.
Teman-temanku PAI B banyak kenangan yang kita lalui bersama dalam keadaan suka maupun duka.
vii
7.
Dan semua yang telah hadir dalam hidupku yang senantiasa mengajarkanku bagaimana menjadi pribadi yang lebih baik dan telah memberikan lukisan indah di setiap hari-hariku serta memberikan dukungan serta motivasinya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafaatnya di hari kiamat
kelak.
Puji
syukur penulis panjatkan,
sehingga
penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “PENGEMBANGAN NILAINILAI
KECERDASAN
SPIRITUAL
DALAM
IBADAH
PUASA
PERSPEKTIF TASAWUF.” Alhamdulillah proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini telah penulis lalui dengan baik. Tidak aka penggambaran lain yang dapat penulis utarakan selain ucapan syukur yang tiada tara kepada Allah SWT kerena hanya atas ridho dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan ikhlas kepada: 1.
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2.
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Bapak Suwardi, M.Pd.
3.
Ketua Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam Ibu Siti Rukhayati, M.Ag.
4.
Bapak Jaka Siswanta, M.Pd selaku dosen pembimbing akademik.
ix
5.
Dosen pembimbing Bapak Drs. Ahmad Sulthoni, M.Pd, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis skripsi ini.
6.
Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.
7.
Keluargaku yang telah mencurahkan pengorbanan dan doa restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis.
8.
Semua pihak yang ikut serta memberikan bantuan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini. Akhirnya penulishanya bias berdoa, semoga amal dan kebaikan semua
pihak dapat diterima oleh Allah sebagai amal sholeh dan mendapatkan balasan sebaik-baiknya. Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini melainkan Dia yang Maha Sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini mempunyai nilai guna dan manfaat bagi penulis khusunya dan bagi pembaca umumnya.
Salatiga, 26 September 2016 Penulis
NoviaHandayani NIM. 111-12-057
x
ABSTRAK Handayani, Novia. 2016. Pengembangan Nilai-Nilai Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif Tasawuf. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.Pembimbing: Drs. Ahmad Sulthoni, M.Pd. Kata kunci:Nilai, Kecerdasan Spiritual, Puasa, dan Tasawuf Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah konsep kecerdasan spiritual?, 2) Bagaimanakah konsep puasa perspektif tasawuf?, 3) Bagaimanakan pengembangan kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf? Penelitianinimenggunakanmetodelibrary research ya itu penelitian dimana objek penelitiannya digali dengan cara membaca, memahami serta menelaah buku-buku, kitab-kitab tafsir serta sumber-sumber yang berkenaan dengan permasalahan yang ada. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa buku, catatan, surat kabar, note tulen, agenda dan lain-lain. Sedangkan analisis datanya menggunakan metode deskriptif dan metode induktif. Penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkahlangkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan ruhani, maka takwa adalah efek dari kecerdasan ruhani itu. Untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dapat dilakukan dengan melaksanakan ibadah salah satunya adalah puasa. Akan tetapi puasa yang dapat menumbuhkan kecerdasan spiritual bukan hanya puasa yang sekedar dilakukan oleh fisik manusia hanya dengan menahan makan, minum dan hubungan sekdalam waktu yang ditentukan (makna Fiqih), namun lebih dari itu puasa yang dapat menumbuhkan kecerdasan spiritual adalah puasa yang melibatkan hati, dan menjaga segala nafsu yang mengajak kepada kemaksiatan dan dianggap batal puasanya apabila sedikit saja hati lalai kepada Allah (makna Tasawuf).
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………......
i
HALAMAN BERLOGO …………………………………………………...
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………..
iii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN………………………….....
iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN …………………..
v
MOTTO …………………………………………………………………......
vi
PERSEMBAHAN…………………………………………………………...
vii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………...
ix
ABSTRAK …………………………………………………………………..
xi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Rumusan Masalah
11
C. Tujuan Penelitian
12
D. Manfaat Penelitian
12
xii
E. Definisi Operasional
13
F. Metode Penelitian
15
G. Sistematika Penelitian
18
BAB II KECERDASAN SPIRITUAL A. Kecerdasan Spiritual
20
1. Pengertian Kecerdasan Spiritual
20
2. Indikator Kecerdasan Spiritual
22
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual
27
4. Langkah Mengembangkan Kecerdasan Spiritual
30
5. Manfaat Kecerdasan Spiritual
39
BAB III IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF A. Ibadah Puasa
40
1. Pengertian Ibadah
40
2. Macam-macam Ibadah
41
3. Tujuan Ibadah
43
4. Pengertian Puasa
44
a. Puasa dalam Aspek Fiqih
44
b. Puasa dalam Aspek Tasawuf
47
B. Perbedaan Puasa Fiqih dan Tasawuf
54
C. Dimensi Puasa
56
1. Dimensi Spiritual
56
xiii
2. Dimensi Moral
59
3. Dimensi Sosial
60
4. Dimensi Jasmani
61
D. Syarat, Rukun, Sunah, Dan Hal yang Membatalkan Puasa dalam Aspek Fiqih
63
1. Syarat Puasa
63
2. Rukun Puasa
64
3. Sunah Puasa
66
4. Hal yang Membatalkan
68
E. Macam-macam Puasa
69
F. Hikmah dan Rahasia Puasa
72
BAB IV PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF A. Nilai Kecerdasan Spiritual dalam Puasa
76
B. Indikator Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif Tasawuf
82
1. Memiliki Visi
83
2. Autentik
84
3. Memiliki Kesadaran yang Tinggi
85
4. Merasakan Kehadiran Allah
88
5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap manusia tanpa kebencian
90
6. Memiliki Kualitas Sabar
92
7. Berdzikir dan Berdoa
94 xiv
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
98
1. Konsep Kecerdasan Spiritual
98
2. Konsep Puasa Perspektif Tasawuf
99
3. Pengembangan Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif Tasawuf
99
B. Saran-saran
100
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1.
Daftar Riwayat Hidup
2.
Daftar SKK
3.
Nota Pembimbing Skripsi
4.
Lembar Konsultasi
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia yang diciptakan Allah dengan bekal berupa potensi. Potensi inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Allah memberikan potensi kepada manusia meliputi beberapa kategori, diantaranya adalah potensi yang berkaitan dengan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan emosional spiritual (ESQ). Potensi berupa kecerdasan intelektual inilah yang menjadikan manusia memahami akan suatu ilmu pengetahuan, atau singkatnya kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berkaitan dengan aspek kognitif. Adapun kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang berkaitan dengan emosi manusia seperti inisiatif, ketangguhan, optimisme dan kemampuan beradaptasi. Kecerdasan inilah yang menjadi bekal seseorang dalam menjalin hubungan dengan manusia yang lain seperti misalnya dalam hal pekerjaan. Kemudian makna kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berkaitan erat antara hubungan manusia dengan Tuhan, atau singkatnya kecerdasan yang berkaitan dengan perjalanan rohani manusia. Sedangkan kecerdasan emosional spiritual adalah penggabungan antara kecerdasan emosi dan kecerdasan rohani manusia. Toto Tasmara (2001:5) menyebut kecerdasan spiritual dengan kecerdasan ruhaniah. Beliau menjelaskan bahwasanya kunci dari kecerdasan ruhaniah berada
1
pada hati nurani. Kemudian mampu menanggapi bisikan nurani kita tersebut dengan memberdayakan dan mengarahkan seluruh potensi qalbu. Tentu saja tidak cukup hanya dengan mendengarkan hati nurani, tetapi adalah menyatakan bisikan tersebut dengan keyakinan. Karena, nurani tidak bisa kita bohongi, kecuali kita menyaksikan hati yang terasa pedih bertambah sakit karena sikap penghianatan yang kita lakukan. Seorang yang cerdas ruhaniah itu akan menunjukkan rasa tanggung jawabnya dengan terus-menerus berorientasi pada kebajikan. Kecerdasan ruhaniah sangat erat kaitannya dengan cara dirinya mempertahankan prinsip lalu bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya itu dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang berkesuaian. Mereka yang cenderung memiliki kecerdasan spiritual rendah akan cenderung mudah putus asa, tidak bersemangat, dan akhirnya akan mengahiri keputus asaan tersebut dengan cara yang instan, tanpa lebih jauh berfikir tentang akibat dari perbuatannya tersebut. Dari beberapa kecerdasan yang telah dijelaskan diatas sedikit akan diuraikan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi spiritualitas diantaranya dengan menjalankan prinsip rukun Islam kelima prinsip tersebut merupakan landasan atau jalan manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah. Rukun Islam ini mencakup 5 aspek ibadah yakni Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji. Adapun hadits yang berkaitan dengan kelima rukun Islam tersebut adalah sebagai berikut:
2
ََُّ ََثَ ْ ِْلص ََْل َ ًُ َثَ َُْ َصَ ْشَٖ ََذ َثَ ُْ ََْل َ ِثىََٔ َِهللاُ َ َٗث:َ ٌَ َّ ِٔ َ َٗ َصيْٞ َص َّو َهللاُ َ َػي َ َ هللا ِ َ قَج َ َه َ َسص ُْ٘ ُه ََّجُ َ َٗصَ ُحج َْ َٗصَص َ ع َ ٍَ ُ٘ ًَ َ َس َ ٍُ َح ََّذًث َ َ َثىَّ َز َمجَرٜ َ َ ٌََ َ ْثىص َََّلرْٞ َِسص ُْ٘ ُه َهللاِ َ َََٗصُق َ َِٗص ُ ْؤص َ ًَْلٞ َِٔ َص ِذْٞ َصضَطَؼْشَ َثِى َْ ْشَََثِ َُِثَْٞثىذ Artinya: Rosulullah bersabda “Islam adalah menyaksikan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah dan sesungguhnyaَ Muhammad adalah pesuruh Allah dan melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan melakukan puasa pada bulan Ramadhan serta berhaji ke Baitullah jika mampu menuju jalannya (HR Bukhari Muslim).” Berkaitan dengan hadits diatas jelas bahwa disebut sebagai orang Islam apabila sudah membaiat diri untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, serta mempercayai Rosul Muhammad sebagai utusanNya (syahadat). Kemudian menunaikan shalat, dalam hal ini shalat yang termasuk dalam hadits diatas adalah shalat 5 waktu atau shalat maktubah yakni (isya‟, subuh, dhuhur, asar dan maghrib) dan hukumnya adalah wajib bagi setiap hamba Allah yang telah bersyahadat dan baligh. Sedangkan
untuk
menyempurnakan
pahalanya
seseorang
dapat
melaksanakan shalat-shalat sunah seperti shalat tahajud, shalat duha, shalat witir, shalat hajat dll. Selanjutnya adalah zakat, zakat berarti memberikan sebagian harta yang kita miliki untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, dengan tujuan untuk mengajarkan diri kita peduli terhadap sesama karena pada dasarnya harta yang diberikan oleh Allah terdapat sedikit bagian untuk yang lain. Dan jika tidak dikeluarkan akan menjadi penyakit untuk diri seorang hamba.
3
Kemudian yang keempat adalah puasa, puasa pada hakekatnya adalah ibadah yang amat tinggi kedudukannya di sisi Allah, karena ibadah ini merupakan penerapan sifat ihsan seorang hamba. Kemudian rukun Islam yang terakhir adalah menunaikan haji, dan rukun Islam yang kelima ini diwajibkan bagi hamba yang mampu. Apabila kelima aspek ibadah tersebut telah dijalankan dengan sempurna dalam artian tidak lain hanya untuk mencari keridhoan Allah serta dijalankan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan, syarat dan rukun yang menjadi batasan maka akan tampak pada diri seorang hamba kedekatan dengan Tuhannya. Sejalan dengan eksistensi manusia yang diciptakan oleh Allah swt. tak lain adalah untuk mengabdikan diri atau beribadah kepada Allah Swt. sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Az-Zariyat ayat 56 :
ُ َٗ ٍَجَخَ يَ ۡق ََ)٘ٙ(َُٗ ََ ٱۡل ََّ شَ ۡٱى ِج ِ َ ۡؼذُ ُذِّٞشَإِ َّْلَى ِ ۡ ََٗ َِ Artinya: ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” Dari ayat diatas dijelaskan bahwasanya manusia hukumnya wajib untuk
mengabdi
kepada
Allah
dengan
menjalankan
apa
yang
diperintahkan Allah serta menjauhkan diri dari apa yang dilarangNya. Keterangan tersebut diperkuat dengan QS. Al-Imron ayat 104 yang berbunyi:
ََ ْۡ ََٖ ۡ٘ ََُ َػ َِِ ۡٱى َُْ َن َِشَٝٗ َُٗف َِ ُُٗ ََِد ۡٱى ََ ۡؼش َ َ ۡؤ ٍُشَٝٗ َ َِشٞۡ َ ۡٱى َخََُٚ٘ ِإى َ َ ۡذ ُػَٝزٞ ٍَّ ُ َٗ ۡىضَ ُنَِ ٍِّْ ُنٌۡ َأ َٰٓ ََ)ٔٓٗ(َُُ٘ ََ لَُٕ ٌَُ ۡٱى َُ ۡف ِيح َ َٗأُ ْٗىَ ِت
4
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yangmenyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Sedangkan jalan yang dapat dilakukan sebagai bukti pengabdian diri kepada Allah Swt. adalah dengan melaksanakan salah satu rukun Islam yang telah diuraikan diatas, diantaranya adalah ibadah puasa, sebagaimana dijelaskan diatas puasa merupakan ibadah yang sifatnya rahasia. Sebagaimana Husein Bahreisj (1992:206) menjelaskan bahwa puasa merupakan satu rahasia pribadi antara hamba dengan Tuhannya. Kembali mengacu pada pengertian sebelumnya bahwa kecerdasan spiritual berhubungan dengan perjalanan rohani manusia. Adapun pengembangan kecerdasan ini dapat dilakukan dengan media satu diantaranya adalah puasa. Karena puasa merupakan bagian dari ibadah yang dapat menghubungkan diri seorang hamba dengan Tuhannya. Apabila seseorang itu berpuasa dengan sebenar-benarnya maka ia akan mendapatkan petunjuk Allah akibat taat yang dialaksanakan. Dalam puasa itu tidak diperlukan seorang pengawas, sebab puasa kaitannya dengan sifat ihsan. Rosulullah bersabda yang artinya: ”ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-lah engkau melihat-Nya jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka rasakan bahawa Allah melihatmu”. Dalam tarjamah kitab Ihya‟ Ulumuddin karangan imam Al-Ghazali (1982:85) menerangkan bahwa ibadah puasa mendapat keistimewaan dengan kekhususan nisbat kepada Allah ta‟ala dari seluruh rukun-rukun
5
Islam karena Allah Ta‟ala telah berfirman dalam apa yang diceritakan oleh Nabi saw:
ََٙ َٗثََّجَثَجْ ِزْٚ َ ِجًَفَجََُِّّٔ ِىٞص ِّ ْفَ ِث َّْلَثى ٍ َظؼ َ ُُّمو ِ َ َص ْذ ِؼ َِآَةَ ٍزََٚح َضَْ ٍز َِد َؼ ْش ٍشَثَ ٍْغَج ِىَٖجَ ِثى َِٔ ِد Yang artinya: “Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan aku membalasnya” (H.R Al Bukhari Muslim). Allah menyempurnakan pahala orang yang berpuasa secara sempurna dan membalasnya dengan balasan yang tak terkira, maka tidak masuk dibawah dugaan dan perkiraan. Dan pantas dengan keadaan demikian itu karena puasa hanya untuk-Nya dan dimuliakan dengan penisbatan kepada-Nya meskipun seluruh ibadah itu baginya, sebagaimana dimuliakan Baitullah (Ka‟bah) dengan menisbatkan kepada diriNya. Sedangkan seluruh bumi ini milikNya karena dua makna yaitu (AlGozhali, 1982:89): 1. Bahwasanya puasa itu mencegah dan meninggalkan. Puasa itu sendiri rahasia yang padanya tidak ada amal yang dipersaksikan. Seluruh amal dan ketaatan itu disaksikan dan dilihat oleh makhluk sedangkan puasa hanya dilihat oleh Allah Swt, karena puasa itu amal didalam batin dengan semata-mata kesabaran. 2. Bahwasannya puasa itu memaksa musuh Allah Swt. karena perantaraan syaitan, semoga mendapat kutukan Allah adalah syahwat. Syahwat itu hanyalah makan dan minum sebagaimana sabda rosul
6
yang artinya : “Sesungguhnya syaitan itu berjalan pada anak Adam (manusia) seperti jalannya darah, maka persempitlah jalanya dengan lapar”. Dan akan datang keutamaan lapar didalam kitab “Rakus terhadap makanan dan pengobatannya” dari Rubu‟ muhlikat (hal-hal yang membinasakan amal) sebagaimana telah dikutip oleh Ismail dalam tarjamah Imam al-Ghozali (1982:90). Ketika puasa secara khusus itu mencegah Syaitan dan menutup jalan-jalan yang ditempuhnya dan menyempitkan tempat-tempat jalannya, maka puasa itu berhak mendapat kekhususan dengan dinisbatkan kepada Allah Swt. Syahwat merupakan tempat permainan syaitan, maka selama syahwat itu subur maka kerugian mereka tidak akan pernah terputus, dan selama mereka ragu-ragu maka tidak terbuka bagi hamba itu akan kekuasaan Allah Swt dan ia terhalang dari bertemu denganNya. Dari segi ini, puasa merupakan pintu ibadah dan perisai. Dijelaskan oleh Nasruddin Razak (1996:206) bahwa puasa yang dilakukan dengan sebenar-benarnya puasa adalah suatu latihan mental dan fisik mendidik manusia berakhlak mulia, menciptakan insan berwatak, dengan demikian menciptakan kesehatan rohani. Dari buku fiqih karangan Wahbah al-Zuhayly (1996:84-85) menjelaskan pengertian puasa secara syara‟, bahawasannya puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang-orang yang bersangkutan pada siang hari mulai terbit fajar sampai terbenamnya
7
matahari. Yang berarti secara fiqih puasa diartikan secara praktik saja dengan memperhatiakn rukun, syarat, sunah dan hal-hal yang perlu diperhatikan supaya puasa tidak batal. Sedangkan kaitannya dengan tasawuf imam Al-Gazhali (1982:98) membagi tingkatan puasa menjadi tiga yakni puasa umum, puasa khusus dan puasa khususul khusus. Adapun pengertian puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan kebutuhan sebagaimana hal ini berkaitan dengan fiqih. Adapun puasa khusus adalah menahan pandangan penglihatan, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan dari dosa-dosa. Adapun puasa khususul khusus adalah puasa hati dari citacita yang rendah dan fikiran-fikiran duniawi, dan mencegah hati dari apa yang selain Allah Swt. secara keseluruhan, puasa inilah tingkat para nabi, shiddiqqien dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Jika diringkas pengertian puasa secara tasawuf berarti puasa yang dapat mengarahkan hati seseorang menuju Allah, serta pensucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak ada lagi baginya dunia yang menarik selain untuk beribadah mencari ridho dari Allah Swt. Jadi secara fiqih puasa berorientasi kepada praktek fisik dan secara tasawuf puasa berorientasi pada pensucian batin dari segala sesuatu yang mengarah pada selain Allah. Allah pun berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 183 tentang ibadah puasa, yang bunyinya:
ْ ٍَُْ ِ َ َءثٝ َ ٌِۡ َ ٍَِِقَ ۡذيِ ُنٌۡ َىَ َؼي َّ ُنٝ ََ َٱىَّ ِزَٚخ َ َػي ََ َُّٖج َٱىَّ ِزَََٰٝٓؤٝ ِّ ُن ٌُ َٱىٞۡ َخ َ َػي َ َج ًَُ َ َم ََجَ ُم ِضٞص َ ٘ث َ ُمَِض ََ)ٔ٨ٖ(َُ٘ َ ُصَضَّق
8
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” Dari ayat diatas nampak jelas bahwa ibadah puasa merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan oleh Allah untuk hambaNya dengan tujuan bagi seorang hamba untuk dapat mencapai derajat ketaqwaan. Nasruddin Razak (1996:204) menjelaskan bahwa taqwa adalah suatu sikap mental yang tumbuh atas dasar jiwa tauhid dan berkembang dengan ibadah-ibadah yang dilakukan kepada Allah Swt. jadi taqwa adalah buah dari ibadah. Akan tetapi derajat ketaqwaan dapat diperoleh seorang hamba apabila seseorang yang menjalankan puasa dengan memperhatikan hal-hal yang menjadikan sempurna puasanya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang sifatnya makruh bahkan haram dilakukan ketika puasa. Sehingga dengan puasa yang sempurna, seseorang akan dapat mencapai derajat ketakwaan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:
ََُّ جسفُ َٰٓ٘ ْث َ ِإ َ َ َٗ َج َؼ ۡيَْ ُنٌۡ َ ُش ُؼ٘دٗ جَ َٗقَذَجَٰٓةِ َو َىِضَ َؼََُّٖٚج َٱىَّْجسَُ َإَِّّجَخَ يَ ۡقَْ ُنٌَ ٍَِِّ َر َم ٖش َ َٗأُّغَََٰٝٓؤٝ ٞ ِ ٌٌَ َخذٞٱّللََ َػ ِي ََ)ٖٔ(َشٞ ََّ ََُّ ٱّللَأَ ۡصقَى ُنٌۡ َ ِإ ََِّ ََػْ َذ ِ ٌۡأَ ۡم َش ٍَ ُن Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Ayat di atas merupakan ayat yang menjelaskan bahwa setiap manusia berkedudukan sama akan tetapi yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketaqwaannya. Membahas mengenai ketaqwaan
9
sesungguhnya tidak ada indikasi yang dapat membedakan ciri-ciri orang yang bertaqwa dan tidak, karena yang dapat menilai hanyalah Allah Swt. Karena nilai ketaqwaan letaknya adalah di dalam hati manusia, kemudian di tunjukkan melalui sikap ibadah yang dikerjakan. Melalui ketaqwaan inilah orang akan sadar terhadap kebutuhan manusia yang harus imbang antara kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Kebutuhan fisik dengan cara mengatur porsi makan, minum, juga terpenuhinya perihal sandang dan tempat tinggal. Sedangkan berkaitan dengan rohani yang bisa dilakukan adalah dengan menjalankan ibadah-ibadah yang sifatnya mahdoh maupun ghoiru mahdoh. Melalui firman Allah tentang puasa di atas maka ibadah puasa merupakan salah satu cara menumbuhkan ketaqwaan atau istilah dalam pendidikan umumnya adalah kecerdasan spiritual. Karena mengacu pada pengertian sebelumnya yang menyatakan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang berkaitan dengan perjalanan rohani seorang hamba menuju Tuhannya. Dalam hal ini ketaqwaan merupakan sifat rohani seorang hamba yang ditunjukkan dengan perilaku ibadah yang dikerjakan. Berkaitan dengan penjelasan diatas mengenai puasa, sebenarnya puasa merupakan ibadah yang amat mudah untuk dikerjakan, kemudian dengan puasa akan banyak diperoleh hikmah/manfaat. Bahkan ibadah puasa tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saja akan tetapi beberapa umat non muslim juga mengerjakan puasa meskipun orientasi mereka berbeda dengan umat muslim pada umumnya. Dengan berpuasa orang
10
tidak membutuhkan modal untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt. namun banyak juga orang muslim yang enggan melaksanakan puasa karena beberapa alasan. Mungkin hal itu terjadi karena mereka kurang mengetahui rahasia/hikmah/faedah dibalik ibadah puasa yang amat luar biasa. Berkaitan dengan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hikmah ibadah puasa yang kaitannya dengan kecerdasan spiritual dengan mengacu pada ilmu tasawuf, kemudian mengkaji kedua aspek tersebut yaitu kecerdasan spiritual dan puasa prespektif tasawuf secara kritis dan obyektif dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Untuk itu penulis membuat skripsi dengan judul : ” PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF.”
B. Rumusan Masalah Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan akan dikaji melalui penelitian ini. Beberapa masalah itu adalah: 1. Bagaimanakah konsep kecerdasan spiritual? 2. Bagaimana kosep puasa perspektif tasawuf? 3. Bagaimanakah pengembangan kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf?
11
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang dikaji, maka peneliti memiliki tujuan antara lain adalah: 1. Untuk mengetahui konsep kecerdasan spiritual. 2. Untuk mengetahui konsep puasa perspektif tasawuf. 3. Untuk mengetahui pengembangan kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf.
D. Manfaat Penelitian Setiap pengkajian suatu ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan informasi baru yang mengandung beberapa manfaat, manfaat bagi yang meneliti maupun khalayak umum. Dalam skripsi ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritik Secara teoritis dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat: a. Memberikan sumbangan berupa wawasan ilmu pengetahuan Islam khususnya dalam ilmu fiqih dan tasawuf. b. Dapat menjadi salah satu sumber informasi tentang kecerdasan spiritual secara mendalam. c. Untuk memberikan masukan terutama kepada setiap diri manusia tentang pentingnya puasa dalam meningkatkan kecerdasan spiritual.
12
2. Manfaat Praktik Secara praktik dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat: a. Menambah motivasi kepada setiap muslim untuk lebih giat dalam menjalankan puasa serta lebih berhati-hati dalam menjaga kesempurnaan puasa yang dijalankan. b. Agar setiap diri manusia menggunakan dan mengembangkan kecerdasannya dengan baik serta dapat menjadi pribadi yang bermakna dengan ibadah yang dijalankan. c. Memberi kontribusi positif dalam proses kehidupan dengan ibadah puasa yang memiliki fungsi dapat meningkatkan kecerdasan spiritual sebagai pencegahan terhadap gejala penyakit jiwa atau stres dengan memanfaatkan dan memfungsikan kecerdasan spiritual.
E. Definisi Operasional Untuk menghindari adanya kemungkinan kesalah pahaman pengertian dan penafsiran dalam istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis perlu menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara lain sebagai berikut: 1. Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual adalah pengetahuan akan kesadaran diri, makna hidup, tujuan hidup atau nilai-nilai tertinggi. Kecerdasan ini berupa kemampuan mengelola “suara hati” sehingga terekspresikan
13
secara tepat dan efektif, yang memungkinkan kita bekerja sama dengan lancar menuju sasaran yang lebih luas dan bermakna. Makna yang dituju dalam kecerdasan spiritual mengacu pada fitrah, kesadaran akan kefitrahan diri atau suara hati itu yang terus mendorong manusia ke arah perubahan yang lebih bermakna dan bernilai (Ahmad Taufiq Nasution, 2009:4). Dari pengertian di atas jelas bahwa kecerdasan spiritual bisa menjadikan manusia lebih kuat dalam memaknai kehidupan. 2. Ibadah puasa perspektif tasawuf Menurut bahasa, kata „ibadah berarti patuh (at-tha‟ah), tunduk (alkhudu‟). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri (al-tazallul). Menurut Ibn Taimiyah, ibadah berarti merendahkan diri (ad-dzull). Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan dalam agama itu bukan sekedar ketaatan atau perendahan diri kepada Allah. Ibadah mengandung pengertian apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apa pun dan memuliakanNya lebih dari segala yang lain-Nya. Bahkan ia harus meyakini tidak ada yang hak atas cinta dan kepatuhan yang sempurna kecuali Allah SWT, dikutip dari buku karangan Dr. Lahmuddin Nasution (1997: 2-3). Dalam buku karangan Dr. Yusuf Qardawi (2006:18) menjelaskan pengertian puasa menurut syara‟ adalah menahan dan mencegah diri secara sadar dari makan, minum, bersetubuh dengan perempuan dan hal-hal semisalnya, selama sehari penuh, yakni dari kemunculan fajar
14
hingga terbenamnya matahari dengan niat memenuhi perintah dan taqarrub kepada Allah SWT. Dalam buku karangan Sokhi Huda (2008:25) yang mengutip pendapat dari Abul Wafa al-Taftazani menjelaskan bahwa tasawuf merupakan usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhaniyah yang sekaligus menegakkannya pada saat menghadapi kehidupan materialis. Dari pengertian di atas ibadah puasa prespektif tasawuf berarti kepatuhan dan ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya atas dasar rasa cinta untuk dapat menahan diri dari nafsu serta penyucian batin sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian literatur, karena mendasarkan pengertian Iqbal Hasan (2006:5) yang menjelaskan bahwa penelitian kepustakaan/library research adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dan peneliti terdahulu. Dalam hal ini penulis mendasarkan tulisan skripsi ini dengan mengacu pada pendapat para ulama‟ dan ilmuwan. 2. Sumber Data
15
Berkaitan dengan jenis penelitian literatur, pengumpulan data pada penulisan ini, penulis menggunakan metode studi pustaka dengan mengacu beberapa sumber yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yakni dibagi dalam dua bentuk sumber diantaranya: a. Sumber Primer Menurut Winarno Surakhmad (1989:163) sumber primer yaitu data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data penyelidik untuk tujuan khusus itu. Dalam hal ini peneliti mengacu sumber primernya diantaranya adalahAl-Qur‟an dan Hadits, tarjamah kitab Ihya‟ Ulumuddin karya Al-Ghozali, fiqih puasa karya Yusuf Qardhawi, Hasbi Ash Shiddiqy dengan judul pedoman puasa dan juga buku karangan Ary Ginanjar, Toto Tasmara yang menjelaskan tentang SQ. b. Sumber Sekunder Mengandung arti yakni sumber yang mendukung dan melengkapi sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku karangan Danah Zohar dan Ian Marshall, serta buku-buku fiqih yang berhubungan dengan ibadah puasa seperti fiqih 1 karya Dr. Lahmuddin Nasution, serta pendukung lain yang berhubungan dengan tasawuf.
16
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini, digunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Suharsimi Arikunto, 2010:274). Karena obyek dalam penelitian ini tentang kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf maka penulis memfokuskan kajian untuk menelaah dan memahami pendapat para ulama‟ dan ilmuwan yang ditulis dalam buku untuk dijadikan sebagai bahan penelitian. 4. Analisis Data Dijelaskan oleh Lexy J. Moleong (2009:248) analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. Dalam menganalisis penelitian tentang nilai kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf penulis menggunakan beberapa metode, diantaranya metode diskriptif analisis dan metode induktif. Metode diskriptif yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun data, kemudian diusahakan pula dengan analisa dan interpretasi atau penafsiran terhadap data-data tersebut (Winarno Surakhmad, 1989:139). Sedangkan metode Induktif menurut Sutrisno Hadi (1993:42) adalah metode yang berangkat dari fakta-
17
fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang kongkret itu ditarik genralisasi-generalisasi
yang
mempunyai
sifat
umum.
Berdasarkan pengertian tersebut penulis melakukan telaah terhadap pengertian-pengertian yang ada atau berhubungan dengan permasalahan yang dibahas kemudian penulis menarik kesimpulan tentang permasalahan tersebut. Atau singkatnya adalah penarikan kesimpulan dari permasalahan yang bersifat khusus selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahsan dan memahami isi skripsi ini, maka peneliti menulis skripsi ini secara sistematis. Skripsi ini disusun dalam lima bab, secara sitematis akan dijabarkan sebagai berikut: BAB I , dibahas mengenai Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi. BAB II , dibahas mengenai beberapa hal yang berkaitan kecerdasan spiritual diantaranya meliputi pengertian kecerdasan sipritual, indikator kecerdasan spiritual, faktor yang mempengaruhi kecerdasan
spiritual,
langkah
meningkatkan
spiritual, serta manfaat kecerdasan sipritual.
18
kecerdasan
BAB III, dibahas mengenai ibadah puasa yang meliputi pengertian ibadah, macam-macam ibadah, tujuan ibadah, juga mengenai pengertian puasa, dimensi-dimensi puasa syarat dan rukun puasa, sunahsunah dalam puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, macammacam puasa, serta hikmah puasa. BAB IV, dibahas mengenai analisis tentang kecerdasan spritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf yang meliputi nilai kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa, serta indikator kecerdasan spiritual dalam puasa perspektif tasawuf. BAB V, Penutup, pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan akhir dari hasil penelitian dan saran. Bagian akhir, terdiri dari: Daftar Pustaka, Lampiran-lampiran, Daftar Riwayat Hidup Penulis.
19
BAB II KECERDASAN SPIRITUAL A. Pengertian Kecerdasan Spiritual Pada awal abad 20, IQ pernah menjadi isu besar karena pada masa itu muncul pendapat bahwa semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya. Pada pertengahan tahun 1990-an, Daniel Goleman mempopulerkan penelitian dari banyak neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional (EQ) sama pentingnya dengan IQ. Menurutnya EQ merupakan persayaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Saat ini akhir abad 20 menunjukkan adanya “Q” jenis ketiga. Gambaran utuh kecerdasan manusia dapat dilengkapi dengan perbincangan mengenai kecerdasan spiritual “SQ”. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Zohar dan Marshall, 2001:3-4). Dalam buku karangan Sudirman (2004:24) yang mengutip pendapat Marsha Sinetar menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah pemikiran yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan
20
efektivitas, keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Sedangkan dalam buku karangan Triantoro (2007:16) yang mengutip pendapat dari Michael Levin yang menjelaskan kecerdasan spiritual adalah sebuah prespektif “spirituality is a perspective” artinya mengarahkan cara berfikir kita menuju kepada hakekat terdalam kehidupan manusia, yaitu penghambaan diri pada sang Maha Suci dan Maha Meliputi. Menurut Levin kecerdasan spiritual tertinggi hanya bisa dilihat jika individu telah mampu mewujudkannya dan terefleksi dalam kehidupan sehari-harinya. Artinya sikap-sikap hidup individu
mencerminkan
penghayatannya
akan
kebajikan
dan
kebijaksanaan yang mendalam, sesuai dengan jalan suci menuju pada sang Pencipta. Menurut Akhmad Muhaimin (2010:31) bependapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik sebuah kenyataan atau kejadian tertentu. Adapun kecerdasan spiritual menurut Khalil Kavari yang dikutip oleh Danah Zohar dan Ian Marshall (2001:27) adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya
untuk
memperoleh
kebahagiaan
abadi.
Seperti
kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga
21
diturunkan. Akan tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas. Pendapat lain mengenai kecerdasan spiritual diuraikan oleh Ary Ginanjar (2005:47) sebagaimana berikut, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah. Dari beberapa pengertian di atas kecerdasan spiritual yang di paparkan oleh para ilmuan belum sampai pada nilai-nilai ketuhanan namun lebih kepada otak. Pengertian di atas menunjukkan bahwa spritual berkaitan dengan hati, seiring dengan temuan Got Spot ini baru sampai pada otak manusia dan belum sampai kepada intinya yakni (hati). Namun seiring dengan datangnya pengertian dari Ary Ginanjar diharapkan mampu membuat spiritual yang kering untuk bisa menjadi lebih hidup karena dia memberi makna spiritual dalam setiap pemikiran, perilaku dan tindakan.
B. Indikator Kecerdasan Spiritual Menurut Zohar dan Marshall (2001:14), kecerdasan spiritual itu adalah kemampuan seseorang dalam memaknai hidupnya. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual menurut mereka diantaranya adalah: 1.
Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2.
Tingkat kesadaran yang tinggi
22
3.
Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4.
Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
5.
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6.
Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7.
Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal
8.
Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “bidang mandiri” yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Pendapat di atas ditambah Frances Vaughan (1992) yang dikutip oleh Triantoro (2007:29-31) menyatakan bahwa ciri-ciri kecerdasan spiritual yang tinggi adalah: 1. Autentik, yang berarti bertanggung jawab dan jujur terhadap diri sendiri. 2. Mampu melepaskan masa lalu dan memusatkan perhatian pada masa kini dan masa depan. 3. Mampu menghadapi ketakutan sendiri dengan tanggung jawab. 4. Pemahaman untuk mengembangkan visi dan misi hidup serta mengembangkan sikap memaafkan sebagai wujud empati. 5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi kehidupan manusia tanpa kebencian dan ketakutan untuk dikuasai. 6. Memiliki sikap tanggung jawab sosial. Toto Tasmara (2001:6) mengungkapkan bahwa ada 8 indikator kecerdasan spiritual, yaitu: 1. Memiliki Visi
23
Visi adalah cara seseorang melihat gambar diri di hari esok. Visi tersebut didasari oleh pengalaman, pengetahuan dan harapan. Visi atau tujuan setiap muslim yang cerdas secara spiritual, akan menjadikan pertemuan Allah sebagai puncak dari visi pribadinya yang kemudian dijabarkan dalam bentuk perbuatan baik yang terukur dan terarah. Hal ini mendorong dirinya untuk menjadikan dunia hanya sebuah perantauan yang harus kembali pulang ke akhirat dengan membawa bekal serta memenuhi seluruh tanggung jawab kepada Allah SWT. 2. Merasakan Kehadiran Allah Orang yang memiliki kecerdasan spiritual selalu merasakan kehadiran Allah dimana saja. Mereka meyakini adanya kamera ilahiah yang terus menyoroti qalbunya, dan mereka merasakan serta menyadari bahwa seluruh detak hatinya diketahui dan dicatat Allah tanpa ada satupun yang tercecer. 3. Berdzikir dan Berdoa Dzikir bermakna penyebutan atau penghadiran. Penyebutan dengan lidah dan penghadiran dengan hati. Makna yang dimaksud ialah penghadiran Allah baik dzat, sifat dan af‟al-Nya. Dzikir bagaikan kompas dan seluruh peralatan mesin kapal bagi nahkoda kapal. Yaitu petunjuk agar misi dan pelayarannya selamat. Do‟a merupakan dzikir dan ibadah, karena do‟a memiliki keutamaan yang sama seperti dzikir dan ibadah. Dan di dalam do‟a terdapat
24
kelapangan bagi jiwa dan penyembuhan kesulitan, duka cita dan gelisah karena orang yang berdo‟a selalu mengharap do‟anya dikabulkan oleh Allah. 4. Memiliki Kualitas Sabar Sabar berasal dari bahasa arab sabr yang artinya menahan atau mengekang. Bersabar artinya menahan diri dari segala sesuatu yang disukai dan tidak di sukai dengan tujuan mengharap ridho dari Allah (Yudy Effendy, 2012:6). Sabar juga berarti kemampuan untuk mengendalikan diri yang mengajak ke hal-hal negatif. Sabar berarti terpatrinya sebuah harapan yang kuat untuk menggapai cita-cita sehingga membuat diri manusia menjadi makhluk yang kuat dan tidak putus asa dalam menghadapi cobaan atau ujian dari Allah. Sesungguhnya orang yang dapat menghadapi musibah dan situasi-situasi yang sulit dengan sabar dan teguh adalah orang yang berkepribadian kuat yang sehat jiwanya. Allah memerintahkan kita untuk bersabar seperti dalam firmanNya:
ْ ٍَُْ ِ َ َءثٝ ۡ َ ٘ث َِٝ ََ ص ِذ ِش َّ ٱّللََ ٍَ َغ َٱى ََّ َ َُّ ِصيَ٘ َِر َإ َّ ٘ث ََِدٱىص َّۡذ َِش َ ََٗٱى َْ ُْٞٱصض َِؼ ََ َُّٖج َٱىَّ ِزَََٰٝٓؤٝ ََ)ٖٔ٘( Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Di dalam nilai-nilai sabar, sikap yang palingَdominan yaitu, sikap percaya diri, optimis, mampuَ menahan beban ujian dan terus berusaha sekuat tenaga.
25
5. Cenderung Pada Kebaikan Orang-orang yang bertaqwa adalah tipeَ manusia yang selalu cenderung kepada kebaikan danَ kebenaran. Sabda Rasulullah SAW.: “Jadikanlahَhidup hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hariَesok lebih baik lagi dari hari ini”. Dan orang-orang tersebut merasakan kerugian apabila waktunya berlaluَ begitu saja tanpa ada satu pun kebaikan yangَdilakukan. 6. Memiliki Empati Empati adalah kemampuan seseorang untukَmemahami orang lain. Merasakan rintihan danَmendengar debaran jantungnya, sehingga mampuَberadaptasi dengan merasakan kondisi batiniah orangَlain. 7.
Berjiwa Besar Berjiwa besar adalah keberanian untukَmemaafkan dan sekaligus melupakan perbuatan yangَ pernah dilakukan oleh orang lain. Orang yang cerdasَsecara ruhaniah (spiritual) adalah mereka yangَ mampu memaafkan, betapapun pedihnya kesalahanَ yang dibuat orang pada dirinya. Karena menyadariَ bahwa sikap pemberian maaf sebagai bukti kesalehanَ dan salah satu bentuk tanggung jawab hidup. Karenaَhal itu diharapkan bisa mempengaruhi orang lain agarَberbuat yang sama.
8.
Bahagia Melayani Budaya melayani dan menolong merupakanَ bagian dari citra diri seorang muslim. Melayani atauَ menolong merupakan bentuk
26
kesadaran dan kepedulian terhadap nilai kemanusiaan. Orang tersebut akan melayani manusia dan alam lingkungannya dengan penuh rasa cinta dan kelembutan. Hal ini merupakan investasi yang kelak akan dipetik keuntungannya, tidak hanya di akhirat saja melainkan di dunia juga. Dari beberapa indikator kecerdasan spiritual yang telah diuraikan oleh ilmuwan maupun tokoh agama (ulama‟) diatas penulis menyimpulkan bahwsanya manusia yang memiliki kecerdasan spiritual hendaknya memiliki beberapa ciri-ciri diantaranya adalah: 1. Memiliki kualitas yang diilhami dengan visi dan nilai-nilai 2. Autentik (tanggung jawab dan jujur kepada diri sendiri) 3. Memiliki kesadaran hidup yang tinggi 4. Merasakan kehadiran Allah 5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap manusia tanpa kebencian 6. Memiliki kualitas sabar 7. Berdzikir dan berdoa
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual Pada dasarnya kecerdasan spiritual ini harus di tanamkan pada diri. Karena kesuksesan itu tak hanya dipengaruhi oleh IQ dan EQ saja. Tapi SQ juga berpengaruh besar dalam kesuksesan seorang individu. Kecerdasan spiritual juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
27
sebagai berikut, sebagaimana dipaparkan oleh Zohar dan Marshall faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual adalah: 1. Sel saraf otak Otak menjadi jembatan antara kehidupan batin dan lahiriah kita. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual. 2. Titik Tuhan Dalam penelitian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religious atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Tapi titik tuhan ini bukan syarat mutlak dari kecerdasan spiritual. Melainkan butuh integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan. Adapun
pendapat
lain
menyatakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kecerdasan spiritual berasal dari dalam diri individu juga dari luar individu sebagaimana berikut dikutip dari Triantoro, (2007:55): 1. Faktor internal Spiritual itu adalah jiwa atau ruh. Jadi pribadi sendiri akan mempengaruhi kecerdasan spiritual itu sendiri. Karena jika dalam diri kita tak ada sidikitpun ruh yang ingin memaknai sebenarnya
28
apa hidup itu, maka kecerdasan spiritual itu akan sulit untuk ada. Meskipun lingkungan mendukung. 2. Faktor eksternal a) Lingkungan keluarga Keluarga adalah madrasah pertama bagi pribadi seseorang. Untuk itu segala kecerdasan bermula dan dipengaruhi oleh keluarga. Begitu juga dengan kecerdasan spiritual seseorang. Keluarga berpengaruh besar dalam membentuk kecerdasan spiritual seseorang . b) Lingkungan sekolah Sekolah
adalah
sebuah
lembaga
formal
yang
juga
mempengaruhi kecerdasan spiritual. Karena disekolah ini seseorang banyak memperoleh pengetahuan. Tak hanya pengetahuan
tapi
juga
nilai.
Jika
guru
memberi
nilai kehidupan yang baik, maka itu akan membuat kecerdasan spiritual meningkat. Sehingga seseorang mampu memaknai hidupnya dengan baik. Disamping itu semua pihak sekolah bekerja sama dalam memberikan pengetahuan yang mampu meningkatkan kecerdasan.
29
c) Lingkungan masyarakat Lingkungan masyarakat akan mempengaruhi kecerdasan spiritual seseorang. Karena disamping tinggal dilingkungan keluarga, seseorang juga hidup dalam masyarakat. Jika masyarakat mempunyai budaya atau kebiasaan yang baik maka akan terbiasa juga untuk melakukan hal –hal yang baik. Sehingga secara tak langsung kecerdasan spiritual seseorang akan muncul dan berkembang. Contohnya masyarakat yang selalu melakanakan kewajiban agama, masyarakat yang selalu menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang berada disekitar mereka. d) Kelompok teman sebaya Faktor teman sebaya sangat berpengaruh pada perkembangan spiritual, karena yang terjadi saat ini banyak terjadi kriminalitas yang disebabkan oleh sekelompok orang yang bergabung dalam komunitas pelaku kejahatan. Disinlah peran kecerdasan spiritual untuk membentengi manusia dari pelbagai hal-hal negatif. Sehingga seseorang akan memilki keteguhan hati memegang prinsip atau nilai spiritual yang diyakininya.
D. Langkah Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Menurut Zohar dan Marshall (2001:231) tujuh langkah praktis mendapatkan kecerdasan spiritual lebih baik:
30
1. Menyadari di mana saya sekarang Dengan cara menyisihkan beberapa waktu untuk berdiam diri, bermeditasi setiap hari, atau sekedar mengevaluasi setiap hari sebelum tertidur di malam hari. 2. Merasakan dengan kuat bahwa ingin merubah diri, bertekad dan berjaji dalam hati untuk menjadi lebih baik. 3. Merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi yang paling dalam dalam perubahan hidup. 4. Menemukan dan mengatasi rintangan. 5. Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju. 6. Menetapkan hati saya pada sebuah jalan. 7. Tetap menyadari bahwa ada banyak jalan. Adapun Ary Ginanjar (2005: 64-354) juga merumuskan beberapa langkah yang dapat dilakukan seseorang untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dalam dirinya yang dijabarkan dari prinsip 1 ihsan, 6 rukun iman dan 5 rukun islam yakni sebagai berikut: 1. Zero Mind Process (proses penjernihan emosi) menerangkan bagaimana rumusan 1 ihsan. Dalam upaya untuk melakukan penjernihan emosi (ZMP), yaitu antara lain: a.
Hindari selalu berprasangka buruk, upayakan berprasangka baik terhadap orang.
b.
Berprinsiplah selalu kepada Allah yang Maha Abadi.
31
c.
Bebaskan diri dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, berpikirlah merdeka.
d.
Dengarlah suara hati, berpeganglah prinsip karena Allah, berpikirlah melingkar sebelum menentukan kepentingan dan prioritas.
e.
Lihatlah semua sudut pandang secara bijaksana berdasarkan suara hati yang bersumber dari asmaul husna.
f.
Periksa pikiran terlebih dahulu sebelum menilai segala sesuatu, jangan melihat sesuatu karena pikiran anda tetapi lihatlah sesuatu karena apa adanya.
g.
Ingatlah bahwa segala ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Allah. Hasil akhir dari zero mind proces atau penjernihan emosi adalah seseorang yang telah terbebas dari belenggu prasangka negatif, prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan, pengalaman yang mempengaruhi pikiran, egoisme kepentingan dan prioritas, pembanding-pembanding yang subjektif, dan terbebas dari pengaruh
belenggu
literatur-literatur
yang
menyesatkan.
Dibutuhkan kejernihan hati sebelum mencari dan menemukan kebenaran. Pemaknaan ihsan seperti ini jelas berbeda dengan seperti pemaknaan yang telah dikenal sebelumnya. Karena makna ihsan yang dikenal sebelumnya merupakan bentuk ibadah yang kita lakukan sepenuhnya diperhatikan oleh Allah dan Allah akan selalu
32
mengawasi kita di manapun kita berada. Rumusan Ary Ginanjar tentang ihsan ini merupakan rumusan prinsip dari makna ihsan dihubungkan dengan realita kehidupan masyarakat yang ada. 2. 6 Asas Pembangunan Mental, antara lain: a. Prinsip Bintang (Iman Kepada Allah), merupakan penjabaran dari makna iman kepada Allah dalam rukun iman. Prinsip seorang bintang adalah memiliki rasa aman, kepercayaan diri yang tinggi, integritas yang kuat, bersikap bijaksana, dan memiliki motivasi yang tinggi, semua dilandasi dan dibangun karena iman kepada Allah. b. Prinsip Malaikat (Iman Kepada Malaikat), orang yang berprinsip seperti malaikat akan menghasilkan orang yang sebagai berikut yakni seseorang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya. Dengan mempraktekkan kebaikan dan ciri-ciri yang malaikat punya di dalam kehidupan sehingga orang tersebut akan menjadi manusia yang paripurna. c. Prinsip Kepemimpinan (Iman Kepada Rasul Allah), Pemimpin sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mempelajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan
33
konsisten. Memimpin berdasarkan atas suara hati yang fitrah. Dengan meneladani sifat-sifat dari rasul, maka akan membuat kita memiliki prinsip kepemimpinan yang menentramkan masyarakat. d. Prinsip Pembelajaran (Iman Kepada Kitab Allah), hasil dari proses pembelajaran antara lain: (1) Memiliki kebiasaan membaca buku dan situasi dengan cermat, (2) Selalu berpikir kritis dan mendalam, (3) Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, (4) Bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan, (5) Memiliki pedoman yang kuat dalam belajar yaitu berpegang hanya kepada Allah. Hasil dari proses pembelajaran di atas merupakan sebuah pemikiran yang sesuai dengan konteks yang harus dilakukan oleh semua orang dalam mempraktekkan iman kepada kitab-kitab Allah, sehingga kitab-kitab Allah menjadi lebih membumi di dalam kehidupan manusia. e. Prinsip Visi ke Depan (Iman Kepada Hari Akhir), berorientasi kepada tujuan akhir dalam setiap langkah yang dibuat, melangkah secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial karena telah memiliki kesadaran akan adanya hari kemudian, memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batiniah yang tinggi yang tercipta oleh keyakinannya akan adanya hari pembalasan. Dengan kesadaran visi akan hari akhir tersebut, akan mendorong manusia terus berbuat dan berjuang dengan
34
sebaik-baiknya di muka bumi hingga akhir hayat tanpa perlu diri merasa berhenti. f.
Prinsip Keteraturan (Iman Kepada Qadha dan Qadar), hasil dari prinsip keteraturan akan memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha karena pengetahuan akan kepastian hukum alam dan hukum sosial, memahami akan arti penting sebuah proses yang harus dilalui, selalu berorientasi kepada pembentukan sistem dan selalu berupaya menjaga sistem yang telah dibentuk. Inilah yang akan didapat oleh orang yang menjalankan prinsip keteraturan, sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna karena sadar bahwa hidup ini sudah ada keteraturannya dari Allah.
3. 5 Prinsip Ketangguhan, 5 prinsip ketangguhan ini menjadi dua bagian yakni 3 prinsip ketangguhan pribadi dan 2 prinsip ketangguhan sosial. a. 3 Prinsip Ketangguhan Pribadi, seseorang yang telah memiliki prinsip 6 asas pembentukan mental. Kemudian untuk menjadi pribadi yang sukses, ditambah dengan 3 langkah sukses yaitu: 1) Prinsip Penetapan Misi (Syahadat), merupakan penjabaran makna dari syahadat dalam rukun Islam. Penetapan misi melalui syahadat akan menciptakan suatu dorongan kekuatan untuk mencapai keberhasilan. Syahadat akan membangun suatu keyakinan dalam berusaha, syahadat akan menciptakan suatu daya dorong dalam upaya mencapai suatu tujuan,
35
syahadat
akan membangkitkan suatu keberanian dan
optimisme sekaligus menciptakan ketenangan batiniah dalam menjalankan misi hidup. 2) Prinsip Pembangunan Karakter (Shalat), shalat sebagai tempat untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pikiran, dan pelaksanaan shalat juga suatu mekanisme yang bisa menambah energi baru yang terakumulasi sehingga menjadi suatu kumpulan dorongan dahsyat untuk segera berkarya dan mengaplikasikan pemikirannya ke dalam realita. Shalat adalah suatu metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berpikir fitrah, sebuah metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara terus menerus, shalat adalah suatu teknik pembentukan pengalaman yang membangun suatu paradigma positif, dan shalat merupakan suatu cara untuk terus mengasah dan mempertajam kecerdasan emosi dan spiritual yang diperoleh dari rukun iman. 3) Prinsip Pengendalian Diri (Puasa), merupakan penjabaran makna dari rukun Islam ketiga yakni puasa. Puasa adalah kemampuan menahan dan mengendalikan diri untuk tidak hanya berkeinginan menjadi seorang pemimpin dengan mengatasnamakan orang lain untuk tujuan pribadi serta keuntungan tertentu. Akan tetapi menyadari bahwa
36
pemimpin adalah salah satu tugas yang maha berat untuk membawa umat ke arah kebahagiaan dengan hati nurani. Hasil pengendalian diri: puasa adalah suatu metode pelatihan untuk pengendalian diri, puasa bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati dan pembebasan belenggu nafsu yang tidak terkendali, puasa yang baik akan memelihara aset kita yang paling berharga yakni fitrah diri, tujuan puasa lainnya untuk mengendalikan suasana hati, juga pelatihan untuk
menjaga
prinsip-prinsip
yang
telah
dianut
berdasarkan rukun iman. b. 2 Prinsip Ketangguhan Sosial, merupakan penjabaran dari prinsip zakat dan haji di dalam rukun Islam. 1) Prinsip Stategi Kolaborasi (Zakat), suatu upaya untuk memanggil dan mengangkat ke permukaan suara hati untuk menjadi dermawan dan untuk memberi rezeki kepada orang lain. Pada prinsipnya, zakat bukan hanya sebatas memberi 2,5% dari penghasilan bersih yang kita miliki. Akan tetapi, prinsip zakat dalam arti luas seperti memberi penghargaan dan perhatian kepada orang lain, menepati janji yang sudah anda berikan, bersikap toleran, mau mendengar orang lain, bersikap empati, menunjukkan integritas, menunjukkan sikap rahman dan rahim kepada orang lain.
37
2) Prinsip Aplikasi Total (Haji), suatu wujud kesalarasan antara idealisme dan praktek, keselarasan antara iman dan Islam. Haji adalah suatu transformasi prinsip dan langkah secara total (thawaf), konsistensi dan persistensi perjuangan (sa`i), evaluasi dari prinsip dan langkah yang telah dibuat dan visualisasi masa depan melalui prinsip berpikir dan cara melangkah yang fitrah (wukuf). Haji juga merupakan suatu pelatihan sinergi dalam skala tertinggi dan haji adalah persiapan fisik secara mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan (lontar jumrah). ESQ merupakan gabungan emotional, spriritual dan quontient, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Di dalam konsep ESQ, semua manusia punya intelektual dan punya emosional, tapi kedua hal tersebut tidak sempurna kalau tidak disatukan dengan kecerdasan spriritual. Dengan ESQ way 165 membentuk karakter yang mengetahui jati dirinya, mengetahui Tuhannya, mengetahui orang tuanya menurut agamanya masing-masing, Dengan ESQ juga akan terbentuk nilai dasar yang jujur, disiplin, tanggung jawab, kerjasama, adil, peduli, visioner, rasa saling menghormati, rasa saling menyayangi, tidak ada lagi saling menjatuhkan, saling membenci antara satu agama dengan agama lain, satu suku dengan suku lain.
38
E. Manfaat Kecerdasan Spiritual Winarno (2013:20) menjelaskan beberapa buah dari kesehatan spiritual diantaranya: 1. Memiliki kemampuan untuk memahami persoalan hidup 2. Mendapatkan solusi yang solutif dari segala persoalan kehidupan 3. Hidup tanpa kegelisahan dan kesedihan 4. Mampu membedakan yang baik dan yang buruk 5. Lebih siap dalam menghadapi kehidupan 6. Kecerdasan spiritual menjadikan seseorang lebih tahu akan hikmah kejadian yang ia alami dan dijadikan pelajaran dan renungan. 7. Mengembangkan fitrah (potensi) yang ada dalam diri manusia menjadi lebih kreatif. Orang yang cerdas secara spiritual dapat memandang hidup yang lebih besar sebagai suatu visi. Pandangan hidup ini mendorong manusia untuk berjuang keras, menjadikan dia kreatif dan bisa menjadi apa saja dengan dirinya sendiri sampai akhirnya ia sukses.
39
BAB III IBADAH PUASA A. Pengertian Ibadah Puasa 1. Pengertian Ibadah Zakiyah Darajat (1993:1) mengutip pendapat dari Hasbi Ashidieqi dalam kitab kuliah ibadah yang membagi arti ibadah dalam dua arti, yakni secara bahasa dan secara istilah. a. Ibadah secara bahasa berarti: taat, mengikut dan atau menurut. Sebagaimana pendapat ini dikuatkan dalam firman Allah dalam QS. Yaasiin ayat 60:
ْ َُْل َص َۡؼذُ ُذ َّ َ َ َءث َد ًَ َأَٰٜٓ ِْ ََذَٝ ٌۡ ُنٞۡ َػَٖ ۡذ َإِى ٞ ِ ّٗ َ ٍُّذٞ ِ َ ِإَّّ َٔۥ ُ َىَ ُنٌۡ َ َػ ُذ َِٞ ََ َطٞۡ ٗث َٱى َّش َۡ َأَىٌَۡ َأ ََ)ٙٓ( Artinya: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu." Di samping arti etimologis (secara bahasa), ibadah mempunyai arti berdasarkan istilah yang dipergunakan oleh ahli warisnya. b. Menurut istilah ahli Tauhid, ibadah itu meng-Esakan Allah, mentakzimkanNya dengan penuh takzhim serta menghinakan diri kita dn menundukkan jiwa kepadaNya. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam QS An Nisa ayat 36:
40
ۡ ََٗ َََٚ َ ۡٱىقُ ۡشدِٛ َ ِإ ۡح َض ْٗج َ َٗ ِد ِز َِ ٝۡ ََِٗد ۡٱى َ٘ىِ َذ ََّ َ ٗث َْ ٱػذُ ُذ َ َجٞۡٗ ٱّللَ َ َٗ َْل َصُ ۡش ِش ُم٘ثْ َِد َِٔۦ َ َش َخ َِ َّجح َِ ُْجس َ ۡٱى ُج َِ َ َ ََٗ ۡٱى َجَٚ َ ۡٱىقُ ۡشدٛجس َ ِر َِ ِ َ ََٗ ۡٱى َجٞ َِ َ َ ََٗ ۡٱى ََ َض ِنََٚ ََضََٞٗ ۡٱى ِ خ َ ََٗٱىص َُج ََّ َ َُّ ِ ََُْ َُنٌَۡ َإٝۡ َو َ َٗ ٍَج َ ٍَيَ َن ۡش َأٞ َِ ِ َٱىض َِّذ َِ خ َ ََٗ ۡٱد َِ ْۢ َِد ۡٱى َج َ ُِحخُّ َ ٍَِ َ َمَٝ ٱّللَ َ َْل ََ)ٖٙ(ٍَُ ۡخض َٗجْلَفَ ُخ٘سً ث Artinya:“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Dalam buku karanganَ Slamet Abidin danَ Moh. Suyono (1998:11) mengartikan ibadah dengan penyembahan seorang hamba terhadap Tuhannya yang dilakukan dengan merendahkan diri serendah-rendahnya, dengan hati yang ikhlas menurut caracara yang ditentukan oleh agama.
2. Macam-macam ibadah Macam-macam ibadah ditentukan oleh dasar pembagiannya Zakiyah Darajatَ)1993:3-4). a. Pembagian ibadah didasarkan umum dan khususnya dibedakan menjadi dua macam, yakni ibadah khasah dan ibadah „aamah. 1)
Ibadah khasah ialah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji.
41
2)
Ibadah „aamah ialah semua pernyataan baik
yang
dilakukan dengan niat baik dan semata-mata karena Allah, seperti makan dan minum dengan niat melaksanakan perbuatan itu untuk menjaga badan jasmaniyah dalam rangka agar dapat beribadah kepada Allah. b. Pembagian ibadah dari segi hal-hal yang bertalian dengan pelaksanaanya, dibagi menjadi tiga: 1)
Ibadah jasmaniyah ruhiyah, sepert shalat dan puasa.
2)
Ibadah ruhiyah dan amaliyah, seperti zakat.
3)
Ibadah
jasmaniyah
ruhiyah
dan
amaliyah,
seperti
mengerjakan haji. c. Pembagian ibadah dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat, maka dibagi dua: 1)
Ibadah fardhu, seperti shalat dan puasa.
2)
Ibadah ijtima‟i, seperti zakat dan haji.
d. Pembagian ibadah dari segi bentuk dan sifatnya: 1)
Ibadah yang berupa perkataan atau lidah seperti: membaca do‟a,
membaca
Al-Qur‟an,
mambaca
dzikir,
dan
mendoakan orang yang bersin. 2)
Ibadah yang berupa perbuatan tertentu bentuknya meliputi perbuatan dan perkataan, seperti: shalat, zakat, puasa, haji.
42
3)
Ibadah berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya seperti: menolong orang lain, berjihad, membela diri dari gangguan, takhizul jenazah.
4)
Ibadah yang pelaksanaanya menahan diri, seperti ihram, puasa, i‟tikaf.
5)
Ibadah
yang
sifatnya
menggugurkan
hak,
seperti
membebaskan hutang orang lain.
3. Tujuan Ibadah Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam keadaan paling sempurna baik secara jasmani ataupun rohani dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. sebagaimana firman Allah dalam QS Attiin ayat 4:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Karena itu oleh Allah diciptakan manusia bukan sekedar untuk hidup di dunia ini dan mati tanpa pertanggung jawaban, akan tetapi manusia diciptakan oleh Allah hidup di dunia ini untuk beribadah. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa firmanAllah dibawah ini: Surat Al-Mu‟minun ayat 115:
43
Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami”. Surat Adz Dzariyat ayat 56:
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. Surat Al-Bayyinah ayat 5:
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh krcuali supaya menyembah Alah dengan memurnikan keta‟atan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus”. Karena Allah Dzat Maha Mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, taqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diwajibkan beribadah, agar manusia itu mencapai taqwa (Zakiyah Darajat, 1993: 4-6).
4. Pengertian Puasa a. Puasa Dari Aspek Fiqih Dalam buku karangan Hassan Saleh )2008:174( dijelaskan bahwa secara bahasa puasa dikenal dengan istilah “shiyam” atau “shaum” (berasal dari bahasa arab) yang berarti berpantang atau
44
manahan diri dari sesuatu. Sebagaimana dalam QS Maryam ayat 26 dijelaskan:
ۡ ََٗ َ ٜفَ ُن ِي َِّّٜ َ ِإَٰٜٓ َِّ َ ٍِ َِ َ ۡٱىذَ َش َِش َأَ َح ٗذث َفَقُ٘ ِىِٝ ْٗج َفَئِ ٍَّج َص ََشٞۡ َ َػِّٛ َ َٗقَشٜٱش َش ِد ُ َّ َز ۡس ََ)ٕٙ(َّجٞٗ ّض َ َِِ ََ سَ ِىيش َّۡح ِ َِ ۡ٘ ًَََإٞص ۡ٘ ٍٗجَفَيَ َِۡأ ُ َميِّ ٌََ ۡٱى Artinya: “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.”
Dalam buku karangan Zakiyah Darajat (1993: 251( pengertian syar‟i, puasa berarti menahan diri dari makan minum dan hubungan seksual dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Pengertian ini diperjelas oleh berbagai hadits seperti: Hadits Abu Hurairah :
ُّ َ َذ ْع َقَ ْ٘ َهَٝ ٌْ َِ َى ََ َذ َعَٝ ُْ ََأَٚحج َجزٌ َ ِف َْ ٍَ َ َّلل َ ََٞثىز ْٗ ِس َٗثىْ َؼ ََ َو َ ِد ِٔ َ َٗ ْثى َجْٖ ُو َفَي ِ ِ ْش َ َُٗ ََُٔ َش َشثَد َ ٍَٔ َغَ َؼج Atinya: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan zur (dusta, umpat, fitnah, segenap perkataan yang mendatangkan kemarahan Allah, yang membuat sengketa dan onar) dan tidak meninggalkan pekerjaan-pekerjaan itu, maka tidak ada hajat bagi Allah (walaupun) ia meninggalkan makan dan minum (HR. Al Bukhari). Dalam hadits Abu Hurairah yang lain disebutkan:
ْ َِ ٍِ ًَُ َجٞ ِّْشَثىص َظ ََ َثْلَ ْم ِو ََ َٞى ِّ حَثَِّّ ََجَثى ِ ََج ًَُ ٍِ ََِثىيَّ ْغ ِ٘ َٗثى َّشفٞص ِ َْٗثى ُّشش Artinya: “Bukankah puasa itu hanya dari makan dan minum, tetapi juga puasa dari perkataan kotor dan caci maki”. (HR. Ibnu Huzaimah)
45
Sedangkan para ahli fiqih juga memberikan pengertian puasa secara syar‟i sebagaimana ditulis dalam kitab Subulus Salam berikut ini:
ْ ِ َثْلَ ْم ِوَ َٗثى َّش َش ْ ِِ كَ َػ ُ ْجَٗ َس َد َِد َِٔثى َّشش ُ َثَ ْ ِْل ٍْ َضج َِٚعَف َ ََّ ٍِ َ ِْشَٕجٞجعَ َٗ َغ ِ ََ حَ َٗثى ِج ْ ْ ُ َثْل ٍْ َضج َظ َ َضَّ ِذ ُغ َ َرث ِىَٝٗ َ ع ِ َك َ َػ ِِ َثىيَّ ْغ َِ٘ َ َٗثى َّشف ِْ ل ِ ََّْٖثى ِ ُْٗ َثى َ٘حْ ِذ َثى ََ ْششَٚجس َ َػي ْ ًِ ِْش ِٕ ََج َ ٍِ َِ َثىْ َن ََلَٞٗ َغ َص َِد ُشش ُْٗ ٍغ ٍ َ َٗ ْقَِٚثى َُ َحش ًَِّ َ َٗثَىْ ََ ْنش ُْٗ ِٓ َف ٍ ُْ٘ ش َ ٍَ ْخص َص ٍز َ ُْ٘ ٍَ ْخص Artinya: “Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri padanya sepanjang hari menurut cara yang telah disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan siasia, perkataan yang merangsang (porno), perkataanperkataan lain baik yang haram maupun yang makruh, pada waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah ditentukan.”
Dari pengertian secara syara tersebut dapat ditarik makna puasa secara fiqih berarti suatu ibadah kepada Allah swt. dengan syarat dan rukun tertentu melalui jalan menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain baik perbuatan yang dapat merugikan atau mengurangi makna atau nilai dari pada puasa, semenjak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Atau secara istilah puasa berarti menahan diri dari beberapa perbuatan tertentu, dengan niat dan menurut aturan tertentu (Lahmuddin Nasution, 1997:183)
46
b. Puasa Dari Aspek Tasawuf Manusia merupakan makhluk jasmaniah dan rohaniah, yang dalam dirinya terdapat potensi untuk berhubungan dengan dunia material juga dunia spiritual. Manusia merupakan makhluk yang memiliki potensi untuk menjadi baik ataupun buruk, karena oleh Allah manusia diberikan bekal berupa akal dan nafsu. Ketika manusia diperbudak oleh nafsu maka dirinya akan nampak lebih buruk dari seekor hewan. Sehingga barangsiapa mampu mengendalikan nafsunya dengan akal maka sinergi spiritual akan mudah masuk dalam hatinya. Dalam buku karangan Jalaluddin Rakhmat (1999:37) dijelaskan untuk memperoleh cahaya yang terang diperlukan upaya yakni dengan madrasah ruhaniah, madrasah ini untuk mendidik manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniah ini adalah dengan berpuasa. Pelajaran yang diberikan melalui madrasah ruhaniah diantaranya adalah ikhlas, pembersihan diri, ihsan dan ibadah. Ikhlas menunjukkan sucinya niat, bersihnya tujuan amal, dan lepasnya manusia dari perbudakan dunia. Karena memiliki pandangan bahwa keridhaan Allah lebih besar dari segala-galanya. Sedangkan melalui pembersihan diri dengan puasa akan menghasilkan manusia yang takwa karena cahaya ruhaniah tidak akan menembus hati yang dipenuhi dosa dan maksiat. Dalam kitab tarjamah Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali (1982:84) menjelaskan dari sebuah hadits bahwa puasa adalah sebagian dari sabar dan sabar adalah separoh iman. Maka ibadah
47
puasa merupakan seperempat iman. Allah memberikan kekhususan dan keistimewaan puasa sebagaimana yang terdapat dalam hadits dibawah:
ََِٚ ِجً َفَجََُِّّٔىٞص ِّ ْف َثِ َّْل َثى ٍ َظؼ َ ُُّمو ِ َ َص ْذ ِؼ َِؤةَ ٍزََٚح َضَْ ٍز َدِ َؼ ْش ِشثَثَ ٍْغَجَىَِٖجَثِى َ )َد َِٔ(ثىذخجسٙ ِ َٗثََّجَثَجْ ِز Artinya: ”Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku membalasnya.”(H.R Al-Bukhari) Nabi saw. juga bersabda dalam haditsnya yang berbunyi sebagaimana berikut:
ْ ْحَٝس ْ َفَفً ٌَِثىصَّجةِ ٌَِث ُ ْ٘ ُ َ ِذ َِٓىَ َخيَٞ ِدََّٚ ْف ِضََٙٗثىَّ ِز َل ِ َثى َِ ْض ِ َُخٞغ ِ ِ ِْ ٍِ ََِػ ْْ َذَهللا َ َفَجَُْٚلَجْ ِي ِ ََٔ َز َ ُس َ َش ْٖ َ٘صََُٔ َٗغَ َؼج ٍََُٔ َٗ َش َشثدَٝ َٗ َج َّو َ ِثَّّ ََج َ َقُ ْ٘ ُه َهللاُ َ َػ َّزٝ َِٔ َ ِدَٙ َٗثََّجَثَجْ ِزٚثىص َّْ٘ ًَُ ِى Artinya:َ ”Demi Dzat yang jiwaku ditanganNya, sesungguhnya bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi. Allah Azza wa Jalla berfirman ia meninggalkan syahwatnya, makanan dan minuman karena Aku. Maka puasa itu bagiKu dan Aku yang aka membalasnya” (H.R Al-Bukhari Muslim) Nabi saw. juga bersabda sebagaimana berikut:
ْ ُ ٍْبَدَجحٌ َ َٗدَجحٞىِ ُنوَِّ َش ًَُ َّْ٘ َثى ِؼذَج َد ِرَثىص Artinya: “Setiap sesuatu memiliki pintu dan pintu ibadah adalah puasa.” (HR Ibnu Mubarak) Dalam hadits lain Rosulullah menerangkan bahwasanya “puasa dan al-Qur‟an memberi syafaat kepada hamba Allah di hari
48
kiamat. Puasa berkata: “Wahai Tuhan aku telah mencegahnya makan
dan
menahan
syahwatnya
di
siang
hari
maka
perkenankanlah aku memberi syafaat kepadanya. Dan al-Qur‟an pun berkata: “Wahai Tuhanku aku telah menahannya tidur di malam hari maka perkenankanlah aku memberi syafaat kepadanya. Akhirnya syafaat keduanya diterima Allah.”(Hassan Shaleh, 2008:183) Pada dasarnya semua ibadah adalah baik, akan tetapi puasa menjadi istimewa bagi Allah karena di dalam prakteknya dapat mendidik sifat ihsan dalam diri manusia. Manusia harus meninggalkan segala nafsu yang berasal dari mata, telinga, perut serta kemaluan agar di terima puasanya oleh Allah. Padahal kesemua yang dilarang oleh Allah dalam ibadah puasa adalah hal yang amat dekat dengan manusia, bahkan menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Maka dari itu oleh Allah diberikan keistimewaan yang agung bagi manusia yang mampu menahan dan meninggalkan untuk beberapa saat dengan tujuan menaati perintah Allah. Letak ihsan dalam ibadah puasa adalah ketika seseorang puasa bisa saja dengan bersembunyi untuk makan, minum atau bahkan meluapkan syahwatnya. Akan tetapi dengan sifat ihsan yang dimilikinya, bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasi setiap ucapan dan perbuatan manusia yang dohir maupun yang batin, maka seseorang tidak akan terpengaruh dengan
49
apapun karena di balik itu ada pengawas yang melebihi dari segala pengawas yang ada di dunia ini, yaitu Allah. Ihsan letaknya adalah di dalam hati manusia, sehingga ketika manusia mampu mengendalikan hatinya, secara otomatis akan melahirkan akhlak yang baik dalam dirinya. Puasa merupakan salah satu cara yang dapat digunakan sebagai pengendali perilaku manusia. Puasa yang dilakukan dengan benar akan membuka hati dan mengosongkannya dari penyakit penyakit yang ada di dalamnya. Adapun Imam Al Ghozali (1982 :90) membagi puasa ke dalam tiga tingkatan yaitu umum, khusus dan khususul khusus. Pada tingkat pertama yakni puasa orang awam, yaitu puasa yang hanya semata-mata menahan kebutuhan fisik seperti lapar, dahaga, hubungan biologis saja, dari terbit matahari hingga terbenam. Namun belum terjaga dari pelanggaran-pelanggaran anggota tubuh juga
dosa-dosa
hati.
Pada
tingkatan
khusus
ini
beliau
mendefinisikan bahwa puasa yang dilakukan tidak hanya mencegah dari makan minum dan syahwat, akan tetapi manusia dituntut untuk mampu mengendalikan semua indera seperti mata, telinga, tangan, kaki dari pada kemaksiatan. Adapun tingkatan yang ketiga adalah puasa khususul khusus yaitu puasa mereka yang tidak lagi sekadar menahan lapar dan dahaga saja, juga bukan lagi sekadar menjaga diri dan hati dari dosa-dosa anggota tubuh dan batin, karena mereka telah terjaga dari itu, tapi puasa mereka adalah menjaga hati dan
50
perasaan daripada musyahadah kepada selain keagungan dan keindahan Ilahi, dan daripada cinta kepada Allah Azza wa jalla. Apabila seseorang yang berpuasa hatinya lalai sedikit saja maka puasanya akan menjadi batal, tingkatan ini merupakan tingkatan para nabi, rosul, dan para ulama‟. Sebagaimana istilah puasa dalam bahasa arab: shaumun, artinya menahan diri dari segala sesuatu, maka berdasarkan nilai aslinya Nabi meletakkan nilai yang sebenarnya tentang puasa. Beliau bersabda: “bukankan puasa itu sekedar menahan diri dari makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu adalah mencegah diri dari segala perpuatan yang sia-sia/ tidak bermanfaat dan menjauhi perkataan kotor dan keji.” Dalam definisi tasawuf puasa berarti menahan diri dari syahwat dan nafsu dengan niat untuk mencari ridho Allah melalui jalan pencegahan tersebut. Sebagaimana AlGhozali membagi tingkatan puasa, secara tasawuf puasa bukan lagi sekedar menahan diri dari makan minum dan berhubungan sex, akan tetapi tasawuf mengajarkan lebih kepada hati yang terjaga dari keadaan lalai kepada Allah. Tasawuf mengajarkan manusia untuk tidak terjerat pada materi dan mampu melibatkan jiwa dalam setiap akifitas dengan cara menghiasi hati dengan nilai-nilai ruhaniah.
Sebagaimana
puasa
yang
dijalankan
seseorang
merupakan salah satu cara yang dapat membentengi manusia dari
51
gemerlapnya
dunia.
Al-Ghozali
(1982:89)
menerangkan
bahwasanya Rosulullah Saw. Bersabda:
َع َِ َْ٘ ج َُ جَى َْ َََِِٔدَْٝجس َِ ج ََ ٍََ ََِّقُ َْ٘ثَٞع ََ ََثى ََّذَ ًَََِفََِٙثََ ََد ًَََ ٍََجَْ ََش َِ َِثَْد َِ ٍَِ ََٙجَْ َِشَٞجََُِى ََ َََْطٞش ََّ َُثى ََّ َِث Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu berjalan pada anak Adam (manusia) seperti jalannya darah, maka persempitlah jalannya itu dengan lapar.” (HR Mutafaqun Alaih) Ketika puasa secara khusus itu mencegah syaitan dan menutup jalan-jalan yang ditempuhnya dan menyempitkan tempat-tempat jalannya, maka puasa mendapatkan kekhususan dari Allah. Dikutip dari (http//.tasawufkemurnianislam.blogspot.co.id pada hari Jumat 1 juli 2016: 14.33) bahwasanya orang yang terus-menerus melakukan latihan ruhaninya dengan lapar, yang bertujuan mendapatkan ridha dari Allah SWT dan melepaskan diri dari ikatan duniawi derajatnya tidak sama dengan orang biasa. Kerusakan akhlak yang saat ini terjadi disebabkan karena manusia mengejar kesenangan-kesenangan duniawinya. Puasa menjadikan manusia rendah hati dan mawas diri, sebaliknya ketika kenyang, manusia akan merasa angkuh dan sombong. Sesungguhnya makhluk tidak mempunyai hak untuk itu karena hanya Allah lah yang memiliki kesempurnaan dalam segala aspek. Tak ada sesuatupun, kecuali lapar yang membuat jiwa rendah menyatakan penghambaannya. Puasa adalah sebaik-baik tameng untuk berperang, puasa adalah penjagaan terbaik dari serangan-serangan yang dahsyat. Ada sesuatu didalam diri manusia yang selalu meronta-ronta untuk
52
segera dilaksanakan, hal itu adalah syahwat. Syahwat adalah kendali
syaitan,
biang
keladi
robohnya
bangunan
iman.
Barangsiapa tidak dapat mengendalikan, maka dialah budaknya. Oleh sebab itu, bukan golongan orang biasa yang mampu mengalahkan syahwatnya, latihan untuk mengekang syahwat yang paling jitu adalah puasa, diawali dengan menahan syahwat ingin makan dan minum, lalu melawan syahwat mengantuk yang mengajak segera tidur, kemudian syahwat mata bila mamandang lawan
jenisnya,
syahwat
telinga
yang
ingin
mendengar
pergunjingan, syahwat hidung yang ingin segera melontarkan kekejian, dan syahwat mulut yang segera ingin berbicara bak orang yang terpandai. Lalu menahan syahwat dari cakap-cakap hati yang tidak berguna, dan hanya untuk Allah semata. Menahan syahwat bagi orang-orang yang bertasawuf dikenal dengan istilah mujahadah. Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin berkata: “Barang siapa seseorang melakukan mujahadah maka Allah akan membayarnya secara kontan.” Penasihat ruh adalah akal, dan panglima hawa nafsu adalah jiwa rendah, sifat akal adalah cahaya (nuur) dan sifat jiwa rendah adalah kegelapan (dhulumaat), bilamana seseorang tidak mampu menahan makan sebanyakbanyaknya maka akan bertambah kuatlah jiwa rendahnya, semakin kelamlah kegelapan jiwanya, dan semakin kokohlah ikatan
53
duniawinya, sedangkan bila seseorang berpantang dari makan (berpuasa) maka jiwa rendah menjadi lemah dan ikatan duniawai menjadi longgar, sehingga akal mendapatkan kekuatan (cahaya) dan rahasia-rahasia dan bukti Illahi menjadi tampak, dan setiap saat benaknya dipenuhi oleh perenungan tentang Tuhan.
B. Perbedaan Puasa Fiqih dan Tasawuf Sebagaimana dijelaskan pada poin sebelumnya oleh Zakiyah Darajat, (1993: 251) dari kitab Subulussalam, bahwasanya puasa secara fiqih berarti:
ْ ِ َثْلَ ْم ِوَ َٗثى َّش َش ْ ِِ كَ َػ ُ ْجَٗ َس َدَ ِد َِٔثى َّشش ُ َثَ ْ ِْل ٍْ َضج َٚعَ ِف َ ََّ ٍِ َ ِْشَٕجٞجعَ َٗ َغ ِ ََ حَ َٗثى ِج ْ ْ ُ َثْل ٍْ َضج َظ َ َِضَّذِ ُغ َ َرثىَٝٗ َ ع ِ َك َ َػ ِِ َثىيَّ ْغ ِ٘ َ َٗثى َّشف ِْ ل ِ ََّْٖثى ِ ُْٗ َثى َ٘حْ ِذ َثى ََ ْششَٚجس َ َػي ْ ًِ ِْش ِٕ ََج َ ٍِ َِ َثىْ َن ََلَٞٗ َغ َص َ ِد ُشش ُْٗ ٍغ ٍ َ َٗ ْقَِٚثى َُ َحش ًَِّ َ َٗثَىْ ََ ْن َُش ْٗ ِٓ َف ٍ ُْ٘ ش َ ٍَ ْخص َص ٍز َ ُْ٘ ٍَ ْخص Artinya: “Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri padanya sepanjang hari menurut cara yang telah disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan siasia, perkataan yang merangsang (porno), perkataanperkataan lain baik yang haram maupun yang makruh, pada waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah ditentukan.” Dari pengertian diatas berarti puasa secara fiqih adalah terletak pada praktiknya yang mencakup segala aspek yang dilakukan oleh fisik manusia dengan menjaga tujuh lubang yakni mata, telinga, mulut dan
54
kemaluan dari perbuatan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Seperti meninggalkan segala sesuatu yang dapat masuk ke dalam tubuh berupa makan, minum, serta hubungan seksual. Serta menjaga diri dari hal-hal yang dilarang seperti berkata kotor, menggunjing, memfitnah, mencuri dalam batas waktu yang telah ditentukan yakni sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Sedangkan secara tasawuf puasa berarti sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghozali (1982:90) dalam tingkatan-tingkatan orang yang berpuasa adalah puasa awam, puasa khas dan khawasulkhawas adapun yang termasuk dalam pengertian puasa secara tasawuf adalah puasa tingkat khas dan khawasul khawas. Karena dalam tingkatan tersebut puasa bukan lagi hanya mencegah seseorang dari makan, minum dan sek saja namun lebih dari itu bahawasanya puasa golongan ini adalah mencegah indera dari segala perbuatan yang menjerumuskan kepada kemaksiatan dan lebih dari itu bahwasanya puasa tasawuf berarti menjaga hati dari keadaan lalai kepada Allah. Karena jika lalai maka puasa tersebut hukumnya batal. Dalam hal ini Rosulullah bersabda: “Bukankan puasa itu sekedar menahan diri dari makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu adalah mencegah diri dari segala perpuatan yang sia-sia/ tidak bermanfaat dan menjauhi perkataan kotor dan keji”. Secara Tasawuf puasa juga berarti menahan diri dari syahwat dan nafsu dengan niat untuk mencari ridho Allah dengan meninggalkan kebutuhan fisik yang berkaitan dengan dunia.
55
C. Dimensi Puasa Dalam Al-Qur‟an ayat 183 dijelaskan:
ْ ٍَُْ ِ َ َءثٝ َ ٌِۡ َ ٍَِِقَ ۡذيِ ُنٌۡ َىَ َؼي َّ ُنٝ ََ َٱىَّ ِزَٚخ َ َػي ََ َُّٖج َٱىَّ ِزَََٰٝٓؤٝ ِّ ُن ٌُ َٱىٞۡ َخ َ َػي َ َج ًَُ َ َم ََجَ ُم ِضٞص َ ٘ث َ ُم ِض ََ)ٔ٨ٖ(َُ٘ َ ُصَضَّق Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Dari ayat diatas di jelaskan bahwa puasa ini diwajibkan kepada orangorang dahulu. Karena puasa telah disyariatkan kepada umat beragama khususnya agama samawi (Islam, Yahudi, Nasrani) walaupun motif pelaksanaan puasa berbeda pada setiap agama berbeda mengingat iklim, ras, kebudayaan dan keadaan-keadaan sekitar. Melihat pentingnya tujuan puasa
yakni
untuk menjadi
insan yang bertaqwa
maka Islam
mensyariatkan puasa salah satunya sebagai media untuk mencapai spiritualitas yang tinggi. Karena menurut Islam ibadah puasa berfungsi terutama sebagai disiplin spiritual. Selain itu, puasa juga akan menumbuhkan beberapa dimensi kehidupan. Adapun dimensi-dimensi dalam puasa diantaranya adalah:
1. Dimensi Spiritual Dalam QS At-Taubah:112 yang bunyinya sebagaimana berikut:
56
َٰٓ َٰٓ َُُٗ ََ َُٗ َ ۡٱْلَٰٓ ٍِش َ َُُ٘ َٱى َّض ِج ُذ َ َُُ٘ َٱى َّش ِمؼ َ َُٗ َٱى َّض ِتح َ َُٗ َ ۡٱى َح َِ ُذ َ َُُ٘ َ ۡٱى َؼ ِذ ُذ َ ٱىض َّ ِتذ َِٞ ََ ٍِِْ ٱّللَ َٗدَ ِّش ِشَ ۡٱى َُ ۡؤ َِ َّ ََُ٘ىِ ُح ُذٗ ِد ََ َُُ٘ َػ َِِ ۡٱى َُْ َن َِشَ ََٗ ۡٱى َحفِظ ََ ُُٕٗفَ ََٗٱىَّْج َِ دَِ ۡٱى ََ ۡؼش َ)ٕٔٔ( Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku´, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwasanya amal yang paling utama adalah shaum yaitu meninggalkan kelezatan- kelezatan makan, minum dan berjima‟. Itulah yang dikatakan siyahah dalam ayat ini, bahwa orang yang berpuasa dikatakan “sa‟ih”(berasal dari kata saha yang artinya orang yang sedang berjalan, atau orang yang berjalan menuju ke arah kesempurnaan ruhani). Sebenarnya tidak ada daya tarik yang lebih besar daripada daya tarik pemuasan dahaga dan lapar yang dirasakan orang apabila minuman dan makanan itu ia miliki. Orang-orang yang memiliki makanan dan ia memilih lapar, ia memiliki minum akan tetapi memilih haus tidak menyentuh makanan dan minuman hanya karena yaqin bahwa itu adalah perintah Allah yang harus ditaati. Keyakinan ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa akan sampai pada keyakinan hati yang menyatakan bahwa dirinya harus mampu melakasanakan perintah Allah serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah. Sebagaimana yang dikutip oleh Dahlan (2010:40) para fuqoha berpendapat bahwasanya taqwa adalah
57
melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan segala larangaNya. Sedangkan Al Ghozali membagi taqwa dalam dua bentuk yakni taqwa lahir dan taqwa batin, taqwa lahir adalah taqwa yang sebagaimana pendapat para fuqaha. Adapun taqwa batin adalah kemampuan selalu menjaga hati agar tetap bersih dan suci dari penyakit-penyakit hati seperti dengki, sombong dan riya. Keduanya saling mempengaruhi karena takwa lahir tidak akan sempurna tanpa taqwa batin dan takwa batin tidak akan nampak tanpa taqwa lahir. Introspeksi dan tanggung jawab akan selalu menjadi landasan dan bahan perhitungan untuk melakukan perbuatan yang diridhai Allah. Taqwa adalah salah satu syarat mutlak bagi manusia yang beriman dengan harapan mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah. Puasa merupakan perintah Allah dalam kewajiban agama, maka puasa dalam arti ketaatan kepada Allah merupakan salah satu aktivitas agama sebagai manifestasi dari iman. Dengan demikian puasa merupakan sarana pemeliharaan komunikasi dengan Allah sebagai pengabdian diri untuk mencapai derajat ketakwaan ( Imam Musbikin, 2004:108). Karena dirinya sadar bahwa Allah selalu bersamanya dan mengawasi setiap perbuatan yang dilakukannya. Kehadiran Allah yang mungkin bagi orang lain merupakan suatu kepercayaan namun bagi orang yang berpuasa hal itu adalah suatu realitas dan ini dimungkinkan karena disiplin spiritual yang mendasari puasa itu. Kesadaran baru tentang hidup yang lebih tinggi, suatu kehidupan yang lebih tinggi daripada
58
kehidupan yang diperoleh daripada kehidupan makan dan minum. Orang yang puasanya berhasil dan jiwanya stabil, maka kejiwaan seperti ini akan kondusif untuk melaksanakan norma agama. Sehingga orang yang berpuasa akan cenderung beragama dengan baik (Nurcholis, 2000: 8).
2. Dimensi Moral Moral
merupakan
aspek
yang
sangat
dibutuhkan
untuk
menentukan nilai baik dan buruk, benar dan salah dari setiap tindakan seseorang (Zainal Abidin, 1975:157). Dalam puasa, terdapat pula dimensi moral, karena puasa merupakan latihan yang kepada manusia diajarkan ajaran moral yang paling tinggi dalam kehidupannya, pelajaran bahwa ia harus siap untuk menderita kekurangan dan harus melintasi cobaan yang paling berat lebih daripada tenggelam dalam apa yang tidak diperbolehkan kepadaya. Dengan puasa orang dilatih untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diijinkan, dan hal itu dapat memperkokoh segi moral dalam kehidupan manusia. Sehingga ide bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan harus dijauhi dan perbuatan dosa harus ditinggalkan, hal itu berkembang dengan perantara puasa. Aspek lain dari perkembangan moral manusia dengan jalan puasa adalah orang itu diajarkan untuk melawan keinginan-keinginan fisik. Orang yang mampu melawan keinginanya maka dirinya tidak akan
59
diperbudak oleh nafsu, sehingga orang akan dapat mencapai kebesaran moral sebenarnya. Selain itu, moral yang dapat dikembangkan dengan puasa adalah sifat kejujuran. Dalam ibadah puasa, kejujuran yang dituntut adalah kejujuran terhadap dirinya sendiri di samping jujur kepada orang lain, orang yang tahu persis apakah seseorang itu berpuasa atau tidak, adalah dirinya sendiri, orang lain dapat dibohonginya (Zakiyah Darajat, 1996:32). Puasa juga melatih diri untuk bersifat amanah. Pada dasarnya puasa merupakan amanat Allah yang berat dan sukar memeliharanya. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah dengan sempurna, terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita (Hasby Ash Shiddiqi, 1973:324). 3. Dimensi Sosial Selain dari nilai spiritual, dan moral, berpuasa sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur‟an juga memiliki nilai-nilai sosial yang lebih efektif. Puasa melatih seseorang untuk merasakan pedihnya rasa lapar yang dirasakan kebanyakan orang miskin diluar sana. Mengingat dan merasakan penderitaan orang lain merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Rasa lapar ini memberikan gambaran bagi orang Islam yang kaya maupun yang miskin pada kondisi kesamaan (Imam Musbikin, 2001:110).
60
Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan. Masih begitu banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang tidak setiap hari bisa makan. Bahkan bukan tidak mungkin mereka hidup dalam lingkungan tetangga kita sendiri. Sehingga dengan puasa akan menumbuhkan rasa simpati kepada orang-orang miskin, bagi orang yang mampu untuk mendermakan sebagian hartanya untuk disedekahkan kepada mereka. Nurcholis, (2000:9) berpendapat, dalam konteks sosial yang lain, orang yang berpuasa akan lebih bisa mengendalikan diri. Terutama dalam melaksanakan norma sosial menurut agama, dia tidak akan menyakiti atau merusak harta benda orang lain. 4. Dimensi jasmani Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan pokok dari kehidupan manusia. Jika kebutuhan itu tidak dipenuhi akan terjadi kegoncangan, atau terasa sakit. Diantara kebutuhan yang pokok bagi manusia adalah makan, minum dan seks. Diantara hikmah puasa yang paling penting adalah memperkuat mental, sehingga dapat menguasai dorongan yang datang dari dalam diri, baik berupa dorongan biologis, maupun kegoncangan emosi, yang diakibatkan oleh tidak tersalurkannya dorongan biologis itu. Selain itu puasa juga dapat menghindarkan diri dari beberapa penyakit. Sebagaimana beberapa penelitian yang dilakukan oleh para pakar kesehatan dan kedokteran, bahwa riset yang
61
mereka lakukan terbukti bahwa puasa dapat menyembuhkan dan menghindarkan diri dari beberapa penyakit seperti (Syarifah Salwasalsabila, 2008:70): a. Membangun jaringan-jaringan sel yang telah rusak. b. Mencegah dari penyakit tumor. c. Menjaga kadar gula dalam darah. d. Mencegah dan menyembuhkan penyakit-penyakit kulit. e. Meminimalisir alergi kulit dan membatasi masalah kulit berlemak. f. Mencegah sakit persendian tulang.
Berkaitan dengan jasmani, puasa merupakan media yang dapat dimanfaatkan untuk melemahkan hawa nafsu. Puasa mengurangkan kesempatan untuk makan, yang biasanya tiga kali sehari, menjadi dua kali yakni pada saat sahur dan berbuka. Dengan berkurangnya makanan dan minuman yang masuk maka akan mempengaruhi saraf dan otot dalam tubuh manusia sehingga dorongan hawa nafsu akan menurun. Apabila manusia menghentikan larangan Allah pada waktu puasa, yaitu sejak terbit fajar hingga terbenam matahari berarti bahwa ia telah mampu menahan kebutuhan-kebutuhan jasmani yang mendesak, atau dengan perkataan lain, ia mampu menahan dirinya.
62
D. Syarat, rukun, Sunah dan Hal yang Membatalkan Puasa Dalam Aspek Fiqih 1. Syarat Puasa Para ulama‟ fiqih membedakan syarat-syarat puasa atas 2 hal: a. Syarat wajib 1) Berakal sehat (aqli) 2) Baligh (sampai umur) Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa‟i menyebutkan:
ْ ِِ َٗ َػ ْ ُس ِف َغ َََّٚحض ٍ َثىقَيَ ٌُ َ َػ ِْ َعَ ََل َ ُِ ْ٘ ُْ َْثى ََج َ ٌِ َ َػ ِِ َثىَّْج ِة:َ ط َ َقَعْٞ ََ ْضضَََّٝٚحض ْ ِِ َ َٗ َػ,ق )َذْيُغََ(سَٗٓثد٘دثٗدََٗثىْضجَاَََّٝٚ َحضِّٜ ِصذ َ ْٞ َِفٝ َ َثى Artinya: “Tiga orang yang terlepas dari pada hukum, yaitu orang-orang yang tidur hingga ia bangun, orang gila sampai ia smbuh dan kanak-kanak sampai mereka dewasa.”(HR. Abu Daud dan An- Nasa‟i) 3) Kuat
berpuasa
(Moh.
Rifa‟i
dan
Kyai
Baghawi
Mas‟udi,1986:144) Kewajiban ini berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 183:
ْ ٍَُْ ِ َ َءثٝ ٍَِِ َ ِٝ ََ َٱىَّ ِزَٚخ َ َػي ََ ِ٘ث َ ُمض ََ َُّٖج َٱىَّ ِزَََٰٝٓؤٝ ِّ ُن ٌُ َٱىٞۡ َخ َ َػي َ َِج ًَُ َ َم ََج َ ُمضٞص َ)ٔ٨ٖ(َُ٘ َ ُقَ ۡذيِ ُنٌۡ َىَ َؼي َّ ُنٌۡ َصَضَّق Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu, supaya kamu semua bertaqwa kepada Allah swt.”
63
b. Adapun syarat sah puasa diantaranya adalah: 1) Islam Orang yang bukan Islam(kafir) tidak sah puasanya, demikian pula orang yang murtad. 2) Mumayyiz (mengerti dan mampu membedakan yang baik dengan yang tidak baik). 3) Suci daripada haid, nifas dan wiladah. Wanita yang mengalami haid maka digugurkan tas dia kewajiban bepuasanya akan tetapi diwajibkan untuk mengqadha sebanyak puasa yang ditinggalkan setelah selesai bulan puasa. Nifas dan wiladah disamakan dengan haid. Bedanya bila sang ibu menyusui anaknya ia boleh membayar fidyah. Di sinilah letak perbedaan antara meninggalkan shalat dan meninggalkan puasa bagi orang yang sedang haid. 4) Dikerjakan dalam waktu/hari yang diperbolehkan puasa.
2. Rukun Puasa Rukun puasa meliputi: a. Niat Niat berarti bermaksud untuk mengerjakan puasa tanpa harus dilafalkan. Kedudukan niat dalam ajaran Islam penting sekali, karena ia menyangkut dengan kemauan. Hadits Nabi s.a.w yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan:
64
ْ ََ َِّّإ ََٙ٘ ّاَ ٍَج ِ َّجَُِّْٞدجَثى ٍ َ َٗ ِإّ َّ ََجَ ِى ُنوَِّث ٍْ ِش,س ِ جَثْلَ ْػ ََجَه Artinya: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap niat hanya memperoleh menurut apa yang diniatkannya.”(HR Bukhari) Dengan amalan hati, maka orang yang berniat puasa adalah orang yang mulai mengarahkan hatinya dengan tekad akan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam puasa baik yang bersifat anjuran maupun yang bersifat larangan untuk mendapat ridho-Nya. b. Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 187:
ٞ َجس َىَّ ُنٌۡ َ َٗأَّضٌُۡ َىِذ ٞ َ َِّ َضجَٰٓةِ ُنٌۡ َٕ ُ َِّ َىِذَٚظ َإِى َجس َُ َجً َٱى َّشف َِ َٞ ِّيَزَ َٱىصٞۡ َو َىَ ُنٌۡ َى ََّ أُ ِح َ ٌۡ ُنٌۡ َ َٗ َػفَج َ َػْ ُنٞۡ ََجح َ َػي ََّ َ ٌَ ِىَّٖ َُِّ َ َػي َ ُ ّٱّللُ َأَّ َّ ُنٌۡ َ ُمْضٌُۡ َص َۡخضَج َ ُ٘ َأَّفُ َض ُنٌۡ َفَض ۡ ََٗ َ ٘ث ْ ُٱّللَُىَ ُنٌۡ َ َٗ ُمي َََِّ ََٞضَذََُّٝٚ٘ث َ َحض َْ ٱش َشد ََّ َ خ ََ َ٘ثَ ٍَجَ ََمَض َْ ِ َدَ ِششُُٕٗ َِّ َ ََٗٱ ۡدضَ ُغ ََ ََفَ ۡٱىـ ْ َُّ ِػ َ ۡٱْلَ ۡص َ٘ َِد َ ٍِ َِ َ ۡٱىفَ ۡج َِش َعُ ٌَّ َأَص ۡ َطَُ َ ٍِ َِ َ ۡٱىٞػُ َ ۡٱْلَ ۡد ًَََ َجٞص َِ َٞخ َ ٞۡ َىَ ُن ٌُ َ ۡٱىخ ِّ ٘ث َٱى َّللَِفَ ََل ََّ لَ ُح ُذٗ ُدَٱ َِ ٞۡ َّ َٱىَِٚإى َ َ ۡٱى ََ َض ِج َِذَ ِص ۡيَُٜ٘ ِف َ َُٗأَّضٌُۡ َ َػ ِنف َ َِّ ُُٕٗوَ َٗ َْلَصُذَ ِشش ََ)ٔ٨١(َُ٘ ََّ َُِِّ َُٞذَٝل َ َُضَّقَٝ ٌَُّٖۡجسَىَ َؼي َ ِص َۡق َشدَُٕ٘جَ َم َزى ِ ََّْضِ َِٔۦَىِيٝٱّللَُ َءث Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
65
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi
maaf
kepadamu.
Maka
sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri´tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” Sabda Nabi s.a.w
َْش َ ََٞ ٍَ ِْ َ َر َ َس َػَُٔثىقبَفَي:َ ًَ .َصج َ هللا َ َ َْشرََقَُٕٝ َشَٚػ ِْ َأَ ِد ِ َ جه َ َسص ُْ٘ ُه ).......طَ(سٗثَٓثد٘دثسد َ َ َِٔقْٞ ََػي ِ َ ْقَْٞ ََٗ ٍَ َِْ ِث ْص ِضقَجءَ َػ ََذًثَفَي,عج ٌء Artinya: Dari Abu Hurairah telah bersabda Rosulullah “Barang siapa terpaksa muntah tidaklah mengqadla puasanya, dan barang siapa mengusahakan muntah dengan sengaja, hendaklah dia mengqadla puasanya.”
s.a.w: wajib yang maka
3. Sunah Puasa Kesempurnaan puasa lebih banyak ditentukan oleh kesempurnaan dalam menjalankan tata aturan puasa itu sendiri. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berpuasa diantaranya:
66
a.
Berniat akan berpuasa secara ikhlas dalam rangka pengabdian diri kepada Allah Swt.
b.
Makan sahur, hal ini sesuai sabda nabi yang artinya: Dari Anas, Rasulullah bersabda: “makan sahurlah kamu, sesungguhnya makan sahur itu berkah.”(HR. Al Bukhari dan Muslim)
c.
Menjauhkan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa ataupun sesuatu yang dapat mengurangi pahala puasa.
d.
Segera berbuka puasa apabila sudah tiba waktunya. Sesuai sabda nabi yang artinya: Manusia selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.(HR. Al Bukhari dan Muslim)
e.
Berbuka dengan kurma atau sesuatu yang manis atau dengan air lalu sembahyang. Sesuai sabda Rosul yang artinya: “Rasulullah s.a.w berbuka sebelum sembahyang dengan lutab (kurma tua), bila tidak ada, dengan „tamar‟(kurma biasa) dan bila tidak ada beliau minum beberapa teguk air.”(HR. At Tarmidzi)
f.
Berdoa sebelum berbuka puasa
g.
Memberi makan orang yang berpuasa (ta‟jilan)
h.
Memperbanyak sedekah
i.
Sembahyang tarawih dan witir (khusus pada bulan Ramadhan)
j.
Beriktikaf di masjid (khusus pada bulan Ramadhan)
67
4. Hal-hal yang membatalkan dan mengurangi pahala puasa a. Yang membatalkan Tiga hal yang jelas disebutkan dalam Al-Qur‟an diantara hal yang menyebabkan
batalnya
puasa
adalah
makan,
minum
dan
berhubungan seks. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 187:
ْ ٌُ ََِّ َىَ ُنََٞضَذَٝ ََّٚحض ْ ِْػٞ ََطُ َ ٍِ َِ َ ْثىخَٞثْلَ ْد ْ َْػَٞثى َخ ََثْلَ ْص َ٘ ِد َ َٗ ُمي ُ ْ٘ث َ َٗثى ْش َشد ُْ٘ث ْ َِ ٍِ .........ْو َِ ََّٞثىََٚج ًََثِىٞص ِّ عُ ٌََّثَصِ َُّ ْ٘ثَثى,َثىفَجْ ِش Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri kamu.... dan makan, minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar.......” Selain dari ketiga hal tersebut ada pula hal-hal yang membatalkan puasa diantaranya: 1) Muntah dengan sengaja 2) Keluar darah haid dan nifas 3) Bila datanganya waktu sedang menjalankan puasa seperti salah satunya adalah gila.
b. Hal-hal yang mengurangi pahala puasa Sedangkan selain batal puasa seseorang juga bisa terkurangi pahalanya diantara hal yang menyebabkan ialah: 1) Bila meninggalkan hal-hal yang sunat dan dianjurkan untuk dilaksanakan oleh seseorang yang sedang puasa.
68
2) Bila mata, mulut, telinga, tangan dan anggota tubuh yang lain melakukan hal yang kurang baik. 3) Bila hati tidak sepenuhnya tertuju kepada Allah Swt. Kita sebagai umat manusia tentunya memiliki keinginan untuk mendapatkan pahala secara sempurna karena jika dipertimbangkan, tentunya seseorang akan rugi dengan puasa yang dijalankan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan menahan nafsu akan tetapi hanya mendapat lapar dan dahaga saja tanpa mendapat pahala. Maka dari itu mari melaksanakan puasa dengan mempertimbangkan apa yang menjadi rukun, syarat, sunah dan hal-hal yang mengurangi pahala bahkan yang membatalkan puasa.
E. Macam-macam Puasa Puasa dari segi pelaksanaannya hukumnya dibagi atas: 1. Puasa wajib Yang meliputi puasa ramadhan, puasa kifarat, puasa nadzar dan puasa qodlo. a. Landasan hukum diwajibkannya puasa Ramadhan adalah firman Allah swt, dalam QS. Al-Baqarah ayat 183:
ْ ُ ٍَْ َِ َءثٝ َ ٌَِۡ ٍَِِقَ ۡذ ِي ُنٝ ََ َٱىَّ ِزَٚخَ َػي ََ َُّٖجَٱىَّ ِزَََٰٝٓؤٝ ِّ ُن ٌَُٱىٞۡ َخَ َػي َ َج ًََُ َم ََجَ ُم ِضٞص َ ٘ثَ ُم ِض ََ)ٔ٨ٖ(َُ٘ َ ُىَ َؼي َّ ُنٌۡ َصَضَّق
69
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” b. Sedangkan landasan hukum diwajibkannya puasa kifarat adalah firman Allah QS. Maryam ayat 26:
ۡ ََٗ َ ٜفَ ُن ِي َِّّٜ َ ِإَٰٜٓ َِّ َ ٍِ َِ َ ۡٱىذَ َش َِش َأَ َح ٗذث َفَقُ٘ ِىِٝ ْٗج َفَئِ ٍَّج َص ََشٞۡ َ َػِّٛ َ َٗقَشٜٱش َش ِد ُ َّ َز ۡس ََ)ٕٙ(َّجٞٗ ّض َۡ َص ۡ٘ ٍٗجَفَي َ َِِ ََ سَ ِىيش َّۡح ِ َِ ۡ٘ ًَََإَِٞأ ُ َميِّ ٌََ ۡٱى Artinya: Maka katakanlah:“Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah , maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” c. Puasa Qadla adalah puasa yang wajib dikerjakan karena meninggalkan puasa di bulan Ramadahan karena uzur, sakit atau berpergian sebanyak hari yang ditinggalkan. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 184:
ًَ ٍَّجَٝر َ ٍِّ ِۡ َأٞ َ َصفَ ٖش َفَ ِؼ ََّذَٚعًجَأَ ۡٗ َ َػيٝجُ َ ٍِْ ُنٌَ ٍَّ ِش َ س َفَ َََِ َم ٖ َّٗجٍج َ ٍَّ ۡؼ ُذٗ َدَٝأ ََ٘ ُ َٖ ٗشثَفٞۡ َِفَ َََِصَطَ َّ٘ َعَ َخٞ ََ َٱىَّ ِزََٚٗ َػي َ أُخَ َش ٖ زَغَ َؼج ًَُ ٍِ ۡض ِنٞ َٝقَُّ٘ َٔۥ َُفِ ۡذٞ ُِطَِٝٝ ْ ٍُ ُ٘شَىَّٔۥََُ َٗأََُصَصٞ ٞۡ َخ ََ)ٔ٨ٗ(َُ٘ َ َُ َشَى َّ ُنٌۡ َ ِإَُ ُمْضٌُۡ َص َۡؼيٞ ٞۡ َ٘ثَخ Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
70
2. Puasa sunat atau puasa tathawu’ Beberapa macam puasa sunat diantaranya adalah: a.
Puasa 6 hari bulan syawal Sebagaimana sabda Rosulullah s.a.w yang artinya: “Dari Abu Ayyub, Rasulullah s.a.w telah berkata: Barang siapa puasa pada bulan Ramadhan, kemudian ia puasa pula enam hari di bulan Syawal dalah seperti puasa sepanjang masa”.(HR. Muslim)
b.
Puasa hari Senin dan Kamis Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w yang artinya, Dari Aisyah: ”Nabi Muhammad s.a.w memilih waktu puasa pada hari Senin dan Kamis.”(HR. at. Tarmidzi)
c.
Puasa hariArafah (9 Zulhijjah), sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w yang artinya, Dari Abu Qatadah: Nabi besar s.a.w telah bersabda: “Puasa hari Arafah itu menghapuskan doa dua tahun, satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang kan datang.”(HR. Muslim)
d.
Puasa pada hari Asyura (1 Muharam)Sebagaimana sabda Rosulullah s.a.w yang artinya: Dari Abu Qatadah Nabi Muhammad
s.a.w
bersabda“Puasa
hari
Asyura
itu
menghapuskan dosa satu tahun yang telah lalu.” e.
Puasa pada bulan Sya’ban, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w yang artinya, Kata Aisyah: ”Saya telah melihat Rasulullah s.a.w menyempurnakan puasa satu bulan cukup selain dari bulan Ramadahan, dan saya tidak melihat beliau pada bulan-bulan lain
71
berpuasa lebih banyak pada bulan Sya‟ban.”(HR. Bukhari dan Muslim) f.
Puasa tengah bulan 13,14,15 bulan Qamariyah, sabda Rasulullah s.a.w yang artinya, Dari Abu Zar: “ Rasulullah s.a.w telah bersanda: “Hai Abu Zarr, apabila engkau hendak puasa hanyatiga hari dalam satu bulan, hendaklah engkau puasa pada tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas”.(HR. Ahmad dan An Nasa‟i)
3. Puasa makruh Yaitu puasa yang dilaksanakan terus menerus sepanjang masa kecuali pada bulan haram, di samping itu makruh puasa pada setiap hari Sabtu atau setiap Jua‟at saja. 4. Puasa haram yaitu haram berpuasa pada waktu-waktu: a. Hari raya Idul Fitri (1 Syawal) b. Hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) c. Hari-hari Tasyriq (11,12,13 zulhijjah) Hal itu telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah s.a.w yang artinya: “Dari Anas, bahwasanya Nabi s.a.w telah melarang berpuasa dalam lima hari setahun yaitu Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, Hari Tasyriq.”(HR. Ad Daruqthni)
F. Hikmah dan Rahasia Puasa Faedah puasa sangatlah banyak, baik bersifat spiritual maupun material. Puasa merupakan madrasah moralitas yang besar dan dapat dijadikan
72
sarana latihan untuk menempa berbagai macam sifat terpuji. Berikut adalah faedah puasa diantaranya Wahbah al-Zuhaily (1995:86): 1.
Puasa mendidik seseorang bersikap jujur dan merasa diawasi oleh Allah Swt.
2. Puasa dapat memperkuat kemauan, mempertajam kehendak, mendidik kesabaran, membantu kejernihan akal, menyelamatkan pikiran, dan mengilhami ide-ide yang cemerlang. 3. Puasa mengajarkan sikap disiplin dan ketepatan. 4. Puasa dapat menimbulkan rasa solidaritas di kalangan umat Islam. 5. Puasa dapat menumbuhkan naluri kasih sayang, ukhuwah dan persaudaraan sesama umat Islam. 6. Puasa
merupakan
perjuangan
menahan
nafsu
serta
membebaskannya dari cengkraman dan dosa dunia. Sedangkan Zakiyah Darajat (1996:258) mengelompokkan faedah puasa atas nilai rohani dan jasmani. 1. Nilai Rohani Dalam Islam puasa mengajarkan diri untuk melatih disiplin rohani, melatih diri terhadap batasan-batasan yang telah ditentukan. Diantaranya ajaran-ajran akhlaq puasa akan tampak nilai-nilai berikut: a.
Persamaan derajat selaku hamba Allah
b.
Peri kemanusiaan dan suka memberi
c.
Ketabahan menghadapi cobaan dan godaan
73
d.
Amanah (dapat dipercaya)
e.
Jujur dan disiplin
2. Nilai Jasmani Sedangkan secara jasmani puasa mengandung hikmah seperti saat berpuasa
ada
proses
pengistirahatan
perut
dan
organ
kelengkapannya, ibarat sebuah mesin yang dipakai setiap hari, bulan sampa bertahun-tahun makan akan rusak. Puasa merupakan norma Allah untuk mengatasi dan mengurangi proses “aus” alami tersebut. Adapun rahasia puasa menurut Imam Al-Gozali dalam tarjamah kitab Ihya „Ulumuddin (1982:89) diantaranya: Yang pertama, adalah karena puasa merupakan ibadah yang bersifat individual untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat. Puasa juga merupakan sebuah amal ibadah yang bersifat rahasia, tidak dapat diketahui kecuali hanya Allah dan orang yang melakukan puasa, tidak seperti shalat, zakat dan lain sebagainya. Yang kedua, adalah puasa sendiri merupakan cara mencegah dan melemahkan musuh Allah, dan seburuk-buruk musuh Allah adalah syaithan. Sesungguhnya syaithan tidak akan menjadi kuat kecuali hanya dengan perantara syahwat hawa nafsu yang mengalahkan manusia. Dalam hal ini rasa lapar dapat mengalahkan syahwat dan hawa nafsu. Nabi pernah bersabda:
َِ َْ٘ َُّ َََِِٔدجىجْٝ جج َِس ع ََ ٍََ ََِّقَ َْ٘ثَٞع ََ ََثى ََّذ ًَََِفَِٙآ ََد ًَََ ٍََجَْ ََش َِ َِثَْد َِ ٍَِ ََٛجَْ َِشََٞجََُى ََ َط َ َْٞش ََّ َُثى ََّ َِإ
74
Artinya: "Sesungguhnya syaithan mengalir dari dalam darah Bani Adam seperti mengalirnya darah, maka semptikakanlah jalannya dengan rasa lapar!" (H.R Mutafaqun „Alaih). Maka ruh dan rahasia puasa itu adalah melemahkan kekuatan yang menjadi perantaraan syaitan dalam kembali kepada keburukankeburukan, dan hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan menyedikitkan makanan yang biasa dimakan setiap malam seandainya tidak berpuasa.
75
BAB IV PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF A. Nilai Kecerdasan Spiritual Dalam Puasa Kecerdasan spiritual merupakan pelengkap dari kecerdasankecerdasan yang muncul sebelumnya yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Munculnya pendapat baru mengenai kecerdasan spiritual salah satunya dikarenakan banyak orang yang berilmu namun merasa dirinya banyak merasakan keresahan hati. Banyak orang pandai namun berperilaku ataupun bekerja melanggar norma-norma agama. Dari masalah tersebut beberapa ilmuwan mengungkapkan ada kecerdasan baru yang mampu mengatasi beberapa masalah diatas. Akhirnya ditemukannya kecerdasan baru yakni kecerdasan spiritual, kecerdasan inilah yang dianggap mampu mengatasi beberapa masalah di atas. Untuk memiliki kecerdasan spiritual diperlukan beberapa upaya, salah satunya dengan melakasanakan ibadah, baik ibadah yang kaitanya dengan Allah maupun kepada sesama manusia. Dengan jalan ibadah seseorang akan lebih dekat dengan tuhannya. Karena hakekat kecerdasan spiritual adalah ketika seseorang merasa hatinya damai, sedangkan kedamaian tersebut akan dirasakan ketika diri dekat dengan Allah. Hal itu didasarkan kepada sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwasanya Rosulullah Saw bersabda: “Allah Swt berfirman yang artinya :
76
“Aku berada pada prasangka hambaKu, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingatKu, jika ia mengingatKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriKu, dan jika ia mengingatKu dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepadaKu sejengkal maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri kepadaKu sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangiKu dengan keadaan berjalan, maka Aku mendekatinya dalam keadaan berlari.” Dari keterangan hadits diatas bahwasanya Allah berada dekat dengan hamabNya, ketika hamba mau mendekatkan diri kepadaNya. Melihat eksistensi manusia yang berkedudukan sebagai makhluk spiritual, kebahagiaan manusia tidak bisa lagi diukur dengan uang, kesuksesan, kepuasan seksual dan lain-lain, tetapi kebahagiaan yang diletakkan dalam wilayah
spiritual
(hati
nurani).
Kecerdasan
spiritual
mampu
mengoptimalkan kerja kecerdasan yang lain. Individu yang mempunyai kebermaknaan (SQ) yang tinggi, mampu menyandarkan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang ia peroleh, dari sana ketenangan hati akan didapatkan. Jika hati telah tenang (EQ) maka aliran darah menjadi teratur sehingga individu akan dapat berfikir secara optimal (IQ) (dikutip dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/04/opi03.htm. pada hari selasa 14 juni 2016, 09:35) Beberapa ilmuwan mengatakan begitu pentingnya kecerdasan spiritual bagi keberlangsungan hidup manusia. Beberapa pendapat juga mengatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang paling penting bagi manusia karena saat ini yang diperlukan bukan orang pandai dan berilmu saja akan tetapi saat ini dibutuhkan orang yang mampu
77
mengelola dirinya dari segala sesuatu yang mengarahkan kepada keburukan. Semua kecerdasan pada dasarmya dapat dikembangkan termasuk kecerdasan spiritual. Sebagaimana diterangkan diatas bahwa upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual diantaranya adalah dengan melakukan ibadah, salah satunya dengan mengerjakan rukun Islam (sholat, zakat, puasa dan haji). Dengan demikian kecerdasan spiritual seseorang akan terasah dan berkembang. Dalam rukun Islam salah aspekya adalah puasa, berkaitan dengan kecerdasan spiritual puasa menjadi salah satu metode untuk mengembangkan kecerdasan spiritual. Namun puasa yang dapat mengembangkan kecerdasan spiritual adalah puasa yang dilakukan dengan kebersihan jiwa dan kesucian hati, atau istilahnya puasa yang melibatkan nurani. Puasa dengan hati nuranilah yang menjadi cara penting untuk menyucikan hati. Dikutip dari buku karangan Dahlan, (2010: 112) Istilah puasa dengan hati nurani oleh imam Ghozali dikenal dengan puasa tingkat khususul khusus yakni puasa hati dari keprihatinan agama dan berpikir urusan duniawi serta menjaga hati dari berprasangka kepada selain Allah SWT. Karena hakekat puasa pada tingkat ini adalah menghadapkan dirinya secara total kepada Allah. Puasa seperti ini, selain menghindari nafsu berupa makan, minum, melakukan hubungan seksual, juga menghindarkan indera dari perbuatan dosa. Puasa ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan apa pun dari Allah, baik berupa pahala, kesehatan, balasan atau bahkan surga. Puasa tersebut dilakukan dengan ikhlas, semata-mata karena perintah Allah. Sebab jika
78
suatu ibadah dilaksanakan karena motivasi-motivasi lain, maka yang didapat hanyalah apa yang diharapkan, sedang yang lain tidak akan diperolehnya (Humaidi, 2001:15). Oleh karena itu, ikhlas adalah kata kunci pelaksanaan ibadah puasa (juga ibadah yang lain). Jika ibadah puasa dilaksakan dengan ikhlas (semata-mata melaksanakan perintah Allah), maka rentetan manfaatnya bukan hanya berupa pahala, surga, kesehatan atau apa pun yang diharapkan. Lebih dari itu, Allah akan memberikan keridhaan kepadanya. Siapa pun yang memperoleh ridha, maka apa pun yang dimiliki oleh Allah akan diberikan kepadanya, diminta atau tidak. Jika seorang muslim berpuasa dengan ikhlas, maka kelak ia akan mendapatkan hak-haknya berupa kebahagian dan ketenangan hidup.
Puasa hati nurani inilah yang akan memancarkan cahaya ketuhanan, yang terpancar dari dalam jiwa manusia. Jiwa manusia yang tenang, akan mudah menerima hidayah dan cahaya keagungan Tuhan dalam menjalani kehidupan. Hidayah inilah yang akan menuntun dan mempermudah manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup yang semakin kompleks. Apa yang ingin ditekan di sini adalah bahwa hati yang bersih lebih mudah menerima kecerdasan spiritual yang dipancarkan oleh Allah. Puasa yang dapat mengembangkan kecerdasan spiritual adalah puasa yang dilakukan oleh orang yang melihat segala sesuatu dengan mata hati. Mata hatilah yang dapat menyingkap hakikat kebenaran yang tak tampak oleh mata. Puasa yang dilakukan tanpa melibatkan mata hati adalah puasa yang hampa, kehilangan nilai ilahiahnya. Dengan demikian,
79
indikator keberhasilan puasa seseorang bukan pada bentuk lahiriah ibadahnya, tetapi pada kegiatan amaliah dan sikap hidupnya (Abu Rakhmad dan Umar Ma‟ruf dalam harian suara merdeka, 14 Juni 2016, 9:35).
Puasa juga dapat membantu memperjelas pandangan mata, karena pada saat puasa manusia dilatih untuk mencegah makan dan minum sehingga racun yang ada dalam tubuh sedikit demi sedikit akan berkurang, sehingga kecerdasan akan meningkat. Sebenarnya setiap ibadah yang dilakukan dengan melibatkan hati tentu dapat menjadi landasan dalam mengembangkan kecerdasan spiritual seperti misalnya ibadah sholat, zakat/ shodaqoh, haji yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah tentu akan menghasilkan pribadi yang bersih hatinya. Karena hakekat kecerdasan spiritual terletak pada sifat ihsan yakni adanya kemampuan menempatkan hati dan selalu merasakan kebersamaan dirinya dengan Allah dalam setiap aktifitas dan kegiatan yang dilakukan. Akan tetapi dalam hal ini Allah mengkhususkan ibadah puasa dari ibadah yang lain dikarenakan ibadah puasa kaitannya hanya antara Allah dan seorang yang menjalankan. Jika ibadah lain seperti sholat, zakat dan haji misalnya aktifitasnya masih bisa dilihat oleh manusia, sehingga diperkirakan manusia masih bisa melakukan kecurangan dalam melaksanakannya. Pada saat orang melaksanakan salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya, namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.
80
Pada saat puasa seseorang juga dilatih jiwa spiritualnya, karena puasa hanya berkaitan antara diri sendiri dan Allah, sehingga bisa saja seseorang berbohong kepada yang lainnya dengan mengatakan dirinya berpuasa padahal sebenarnya tidak. Dalam aktifitas puasa sifat ihsan amat dibutuhkan untuk mencegah hal sedemikian rupa. Dalam sebuah ayat Al-Qur‟an telah dijelaskan kurang lebih bahwasanya orang yang berpuasa akan sampai pada derajat takwa. Membahas mengenai takwa, pada dasarnya takwa merupakan aspek yang erat kaitannya dengan kecerdasan spiritual. Karena kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan ruhani manusia, maka takwa merupakan efek dari kecerdasan ruhani tersebut. Indikator takwa salah satunya adalah kemampuan untuk istiqomah dalam menjalankan ibadah, adanya semangat untuk selalu menambah kebaikan. Tepat sekali apabila puasa menjadi metode dalam meningkatkan ketakwaan seseorang. Dalam aktifitas puasa seseorang dituntut untuk berperang dengan hawa nafsu, dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Sehingga ketika nafsu melemah maka cahaya Allah akan masuk ke dalam hati manusia yang menjadikan seseorang sampai kepada derajat takwa. Dalam nilai spiritual puasa akan menepis sifat kebinatangan yang ada pada manusia, yaitu sifat yang hanya bergairah kepada makan dan minum serta semisalnya. Hal itu sebagai bentuk bagaimana Allah yang Maha Bijaksana mengajarkan bagaimana cara mengemban amanat, tidak meninggalkan dan tidak melampui batas.
81
Untuk itu Allah memerintahkan manusia khususnya yang beriman untuk mau melaksanakan puasa dalam
rangka menjaga manusia dari
segala perbuatan keji yang hanya berbau sifat binatang tadi. Sehingga nantinya akan menjadi suatu alat yang mudah untuk mengangkat derajat manusia untuk selalu di atas dibanding dengan makhluk-makhluk yang lain, disebabkan manusia tersebut telah memiliki jiwa yang baik. Kejiwaan yang baik akan berpengaruh pada pelaksanaan ibadah, di mana manusia tesebut akan lebih mudah ke arah kebaikan (sifat malaikat) daripada ke arah kejelekan (sifat kebinatangan), disebabkan kebiasaan latihan kejiwaan pada saat berpuasa. Nilai spiritual lain dalam ibadah puasa adalah ketika kehidupan zaman sekarang yang cenderung membuat silau dan banyak dikuasai oleh materialisme (keduniaan) dari pada yang bersifat keakhiratan. Maka dengan jalan berpuasa diharapkan orang akan lebih bisa menghadapi kesenangan-kesenangan yang hanya akan membawa menuju kemaksiatan. Dan akan lebih mudah memelihara, menjaga, lebih-lebih bisa memagari dirinya dari segala godaan keduniawian yang menyesatkan. B. Indikator Kecerdasan Spiritual dalam Puasa Perspektif Tasawuf Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwasanya penulis menyimpulkan indikator orang yang memiliki kecerdasan spiritual dari beberapa pendapat para ilmuwan maupun ulama‟, kemudian dalam bab ini indikator kecerdasan spiritual akan diuraikan melalui pandangan tasawuf yang dikaitkan dengan ibadah puasa sebagaimana berikut:
82
1. Memiliki kualitas yang diilhami dengan visi dan nilai-nilai Setiap orang dalam hidupnya tentu memiliki tujuan, meskipun tujuan masing-masing orang adalah berbeda-beda. Khususnya bagi orang yang beriman tujuan hidup yang harus dicapainya adalah tujuan hidup di dunia dan di akhirat. Tujuan hidup di dunia tak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang bersifat fisik sehingga untuk mendapatkannya seseorang terlebih daluhu harus berusaha dan bekerja. Sedangkan mengenai tujuan yang bersifat akhirat tak lain adalah untuk sampai kepada keridhaan Allah, sehingga usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan ibadah, baik ibadah yang sifatnya mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh. Adapun ibadah mahdhoh adalah dengan melaksanakan rukun Islam seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Diantara ibadah-ibadah mahdhoh diatas ibadah yang paling istimewa bagi Allah adalah puasa, hal demikian terjadi karena tujuan orang berpuasa hanyalah untuk mencari ridho Allah. Puasa bagi para sufi tidak lagi dimaknai sebagai proses menahan jiwa dari keinginan-keinginan untuk memuaskan hasrat perut dan birahi saja, karena mereka telah lepas dari itu. Bagi mereka, puasa adalah perjuangan jiwa dalam menjauhi segala dosa-dosa lahir dan dosa-dosa batin. Dosa lahir bersumber dari tujuh anggota tubuh, dua mata, dua telinga, mulut, perut, dan kemaluan. Dosa batin adalah segala hal yang dapat menyeret hati ke lembah menduakan Tuhan seperti, „ujub, takabbur, riya‟, sum‟ah, hasad, cinta dunia dan lain
83
sebagainya. Tapi bagi para sufi yang telah mencapai maqam (derajat) akhir dalam perjalanan spiritual, puasa itu bukan lagi berkisar dalam peperangan hati dari segala dosa-dosa batin, karena melalui perjalanan (Thariqah) yang panjang, melintasi beberapa tangga untuk dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya (ma‟rifatullah). Dalam buku karangan Amin Syukur, (2002:50) mengutip pendapat dari Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi yang merinci jalan menuju ma‟rifatullah diantaranya adalah: taubat, zuhud, sabar, wara‟, kerendahan hati, taqwa, tawakkal, kerelaan, cinta dan ma‟rifat. Setelah jalan tersebut dapat dilaksanakan secara bertahap maka hati mereka menjadi bening, bersih dari kotoran-kotoran batin. Sehingga puasa bagi golongan sufi tingkat tinggi ini, adalah menahan hati dari musyahadah kepada selain Allah, dan dari mencita-citakan sesuatu selain Allah. Bagi mereka tiada yang disembah, diinginkan, dicintai, dan dimaksud kecuali Allah. Sehingga jika terlintas dalam hati keinginan atau cita-cita selain Allah maka rusaklah puasa mereka. 2. Autentik (tanggung jawab dan jujur kepada diri sendiri) Indikator kecerdasan spiritual yang kedua ini jika dihubungkan dengan ibadah puasa sangat berkaitan. Karena pada dasarnya sifat orang yang berpuasa adalah adanya rasa tanggung jawab dan jujur kepada dirinya sendiri. Meyakinkan hati untuk berniat melaksanakan puasa hanya untuk Allah serta bertanggung jawab untuk menjaga mata, telinga, perut serta kemaluan (nafsu) dari perkara yang dilarang
84
Allah. Adapun orang yang berpuasa harus jujur kepada dirinya sendiri karena pelaksanaan puasa tidak diketahui kecuali dirinya sendiri dan Allah yang Maha Melihat. Karena puasa bukanlah ibadah yang dilakukan oleh gerakan badan. Maka dari itu Allah berfirman “Puasa adalah untukKu dan akulah yang akan membalasnya”. Hal demikian karena tiada orang yang tahu bagaimana ciri orang yang berpuasa, hanya Allah yang dapat menilai dan membalasnya. Dikutip
dari
(http://sufimedan.blogspot.co.id/2011/08/mengapa
pahala puasa tak ada malaikat_07.html pada hari Selasa 09 Agustus 2016, 10:30) Puasa adalah menyifati diri dengan sifat yang tidak kita miliki, yaitu menyifati diri dengan sifat yang berlawanan dengan sifat diri kita. Hakekat kita adalah zat dengan sifat yang membutuhkan (alfaqir). Dengan puasa, sebenarnya kita lagi menyifati diri dengan sifat yang tidak sesuai dengan zat diri kita, yaitu sifat tidak membutuhkan (al-ghaniy), karena al-ghaniy adalah sifat Allah SWT semata. Berbeda dengan sedekah, sholat, berbakti pada orang tua dan membaca AlQur‟an pahalanya adalah sepuluh hingga tujuh puluh kali lipat. Sementara ibadah puasa Allah tidak memberitahukan pahalanya. 3. Memiliki kesadaran hidup yang tinggi Di dunia ini Allah menciptakan manusia sebagai seorang hamba, yang memiliki kewajiban untuk mengabdi
dengan melaksanakan
kewajiban-kewajibanNya seperti melaksanakan ibadah, baik ibadah yang berkaitan dengan Allah maupun ibadah yang hubungannya
85
terhadap sesama makhluk. Allah berfirman dalam Q.S Al-A‟raf ayat 172:
ۡ َ ٌِٖۡ َأَّفُ ِضَٰٚٓ ََّضٌَُٖۡ َ َٗأَ ۡشَٖ َذٌُٕۡ َ َػيٝ ُِّ٘س ٌِٕۡ َ َُرس ِ َُٖ َءث َد ًََ ٍَِِظَٰٜٓ ِْ ََٗ ِإ َرَأَخَ َزَ َسد َُّلَ ٍِ َِۢد ْ ُش َِد َشدِّ ُنٌۡ َقَجى ُ أَىَ ۡض ََ ََ َِز َ ِإَّّج َ ُمَّْج َ َػ ِۡ ََٕ َزثَٞ ۡ٘ ًَ َ ۡٱى ِقَٝ ْ َ َش ِٖ ۡذَّجَٰٓ َأَُ َصَقُ٘ىُ٘ثَٚ٘ث َدَي ََ)ٔ١ٕ(َِٞ َ َِغفِي Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". Dari ayat diatas jelas bahwa jauh sebelum anak dilahirkan, Allah telah mempersaksikan kepada setiap calon manusia untuk bersaksi bahwa
hanya
Allah
Tuhan
yang
wajib
di
sembah
tanpa
mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Allah juga berfirman dalan Q.S Adz-Dzariat ayat 56:
ُ َٗ ٍَجَخَ يَ ۡق َ)٘ٙ(َُٗ ََ ٱۡل ََّ شَ ۡٱى ِج ِ َ ۡؼذُ ُذِّٞشَإِ َّْلَى ِ ۡ ََٗ َِ Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. Dari ayat kedua ini manusia harus sadar bahwa penciptaan dirinya di dunia ini adalah untuk melaksanakan ibadah kepada Allah. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan dunia hanya sebagai pemenuhan
kebutuhan
untuk
bertahan
hidup.
Dikutip
dari
(http://yuksholat5.blogspot.co.id/2011/12/berpuasayangberadab.html
86
pada hari Selasa 9 Agustus 2016 pukul 10:23) di kisahkan oleh seorang sufi “Abu Abdillah Ahmad bin Jabban - rahimahullah – beliau berpuasa selama lebih dari lima puluh tahun. Beliau tidak pernah membatalkan puasanya, baik ketika sedang bepergian maupun saat di rumah. Suatu hari teman-temannya memaksanya untuk tidak berpuasa, akhirnya la membatalkan puasanya. Setelah itu beliau sakit beberapa hari akibat dia membatalkan puasanya, dan hampir saja tidak bisa melakukan yang fardhu.” Dari kisah tersebut nampak bahwa kehidupannya benar-benar hanya untuk beribadah kepada Allah. Pada dasarnya ibadah yang dilakukan secara berkelanjutan akan terasa lebih mudah dan ringan, karena nafsu sudah dapat terkendalikan. Akan tetapi, ketika nafsu sudah terbiasa terpenuhi maka ibadah akan terasa berat untuk dikerjakan. Berkaitan dengan ibadah puasa Nabi Muhammad saw bersabda, “Sebaik-baik puasa adalah puasa saudaraku, Dawud a.s. la sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa” (HR. Bukhari Muslim dan Ashhabus-Sunan). Karena memang puasa Nabi Dawud adalah puasa yang paling berat. Mereka juga mengatakan, bahwa puasa ini lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada puasa setahun penuh. Sebab nafsu seseorang yang telah terbiasa dengan puasa terusmenerus akan berat bila la tidak berpuasa. Demikian juga sebaliknya, jika nafsu seseorang telah terbiasa tidak berpuasa, maka akan berat bila la berpuasa. Sedangkan puasa
87
Dawud, dimana sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa tidak akan memberikan kebiasaan nafsu untuk berpuasa atau tidak berpuasa. Oleh karenanya ada orang yang mengatakan, bahwa puasa Dawud adalah puasa yang paling berat. Pentingnya kesadaran diri dalam kehidupan ini sebagai upaya menempatkan kedudukan yang tepat dan sesuai dalam keadaan juga situasi apapun. 4. Merasakan kehadiran Allah
ََ َٗثَََّجَِٚ ِجً َفَجََُِّّٔىٞص ِّ ْف َثِ َّْل َثى ٍ َظؼ َ ُُّمو ِ َ َصذْ ِؼ َِؤةَ ٍزََٚح َضَْ ٍز َدِ َؼ ْش ِشثَثَ ٍْغَجَىَِٖجَثِى )َ ِد َِٔ(ثىذخجسٙثَجْ ِز Artinya: ”Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku membalasnya.”( H.R Al-Bukhari)
Maksudnya bahwa puasa seseorang karena kemuliaan yang diberikan oleh Allah SWT bukan untuk memenuhi ibadah. Abu Hasan al-Shadzili mengatakan tentang makna hadits itu bahawa semua amal ketaatan kepada al-Haqq pahalanya surga sedangkan puasa pahalanya bertemu dengan al-Haqq. Dia melihat orang yang berpuasa sedangkan orang yang berpuasa dapat melihat al-Haqq. Dia berbicara kepada al-Haqq dan al-Haqq berbicara langsung dengan orang yang berpuasa tanpa perantara atau penerjemah (Dahlan Tamrin, 2010: 109). Bagi para sufi puasa bukan lagi menjadi sebuah kewajiban akan tetapi adalah sebuah kebutuhan untuk sampai kepada
88
ma‟rifatullah. Dalam ibadah puasa penting sekali ditanamkan sifat ihsan dalam diri manusia. Ihsan itu adalah an ta'budallaha ka annaka tarahu, fa in lam takun tarahu fa innahu yaroka. Ihsan inilah yang diistilahkan dengan ma'rifat. Ma'rifat itu melihat Allah bukan dengan mata kepala tetapi dengan mata hati. Sebagaimana kenikmatan ukhrowi yang terbesar itu adalah melihat Allah, begitu pula kenikmatan duniawi yang terbesar adalah melihat Allah.
(http://sufimedan.blogspot.co.id/2011/08/mengapapahalapuasatakad amalaikat_07.html diakses pada hari Selasa, 09 Agustus 2016, 10:23). Dapat dipahami bahwa puasa merupakan sarana memohon pertolongan Allah. Dengan menjalankan puasa yang benar maka seseorang terlatih untuk selalu merasakan kehadiran Allah kapanpun dan dimanapun berada. Maka inilah yang dikandung dalam istilah Taqwa. Bila suci hati maka anggota tubuh menjadi suci. Hati yang bersih dari kebenaran rahasia antara manusia dan Tuhan. Orang yang memiliki hati yang bersih akan mempeoleh pengetahuan tentang rahasia ketuhanan. Untuk merasakan hubungan yang langsung kepada Tuhan dapat dirasakan dengan kesucuan hati. Artinya kesucian hati inilah yang dapat mengantar jiwa sampai menuju Allah (Septiawadi,2014:183).
89
5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap manusia tanpa kebencian Manusia diciptakan Allah dengan kemampuan dan kelemahan, dengan
adanya
kemampuan
diharapkan
seseorang
dapat
memanfaatkannya untuk menghadapi persaingan yang ada di lingkungan, dengan kemampuan seseorang diharapkan mampu bangkit dari setiap permasalahan dalam kehidupan. Akan tetapi dengan keadilan Allah di samping kemampuan Allah juga memberikan kelemahan dalam diri manusia. Hal itu dimaksudkan agar setiap manusia dapat beradaptasi antara satu dengan yang lain. Sehingga manusia disebut sebagai makhluk sosial yakni makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dari kesadaran diri bahwa manusia memiliki kelemahan maka manusia hendaknya memiliki empati. Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami orang lain, merasakan rintihan dan mendengarkan debar jantungnya, sehingga mereka mampu beradaptasi dengan merasakan kondisi batiniah dari orang lain (Toto Tasmara, 2001:34). Dalam sebuah hadits Rosulullah bersabda, ”Hak (kewajiban) seorang muslim atas orang muslim yang lain ada lima, yaitu: menjawab salam, mendoakan orang bersin, memenuhi undangan, mengunjungi orang sakit, dan mengiringi jenazah (HR. Bukhari).
90
Allah juga berfirman dalam QS. Al-Fath:29 yang intinya bahwa karakter orang muslim salah satunya adalah membagi kasih sayang terhadap sesama. Begitu pentingnya empati sehingga ketika menjalankan ibadah mahdah (yang telah diatur oleh Allah), Allah pasti memerintahkan agar tetap memperhatikan perasaan orang lain. Rosulullah Saw bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian menjadi imam salat, maka pendekkanlah bacaannya. Sebab diantara mereka ada orang-orang yang lemah, sedang sakit dan tua. Namun, apabila shalat sendirian maka perpanjanglah sesukanya (HR Jamaah). Betapa kemuliaan akhlaq Rosulullah Saw yang selalu memperhatikan umat disekelilingnya. Dari hadits diatas nampak bahwa Rosulullah memiliki sifat empati yang sangat tinggi kepada siapapun tanpa memandang derajat. Adapun kaitan antara sikap empati dan puasa adalah ketika seseorang berpuasa maka dirinya dilatih untuk merasakan lapar dan haus yang dirasakan oleh orangorang miskin yang hampir setiap hari bahkan diluar bulan puasa. Sehingga sikap empati seorang yang berpuasa pun akan muncul dengan memberikan sedikit harta yang dimilikinya kepada fakir miskin di sekitarnya. Dikutip
dari
(http://sufimedan.blogspot.co.id/2011/08/mengapa
pahala puasa tak ada malaikat_07.html pada hari Selasa 09 Agustus 2016, 10:30) bahwa kaum Sufi dan orang-orang fakir yang membersihkan diri dari selain Allah, dimana mereka telah memutus
91
hubungan dengan makhluk, meninggalkan hal-hal yang tidak baik, rela dengan rezeki yang dibagikan Allah kepadanya, tidak tahu kapan Allah akan mengirim rezekinya dengan penuh keghaiban dan lewat tangan siapa rezekinya diberikan, maka waktu mereka adalah lebih sempurna daripada waktu orang yang berpuasa yang makanannya untuk berbuka telah diketahui. Jika mereka berpuasa maka tidak ada yang sanggup menandingi keutamaan puasanya. 6. Memiliki kualitas sabar
ُ ْص ْذشَُِّص ُ ْثَىص َّْ٘ ًَُِّص َ ُج َِ ََ َْٝثْل َّ َثَى,صذ ِْش َّ فَثى ِْ ف Artinya: “Puasa itu separuh kesabaran, sabar adalah separuh iman.” (H.R Tirmidzi ,Abu Mas‟ud dan Al-Khatib) Berdasarkan penafsiran diatas yang menjadikan batin manusia terasa suci dan dekat dengan Allah yaitu puasa. Pengertian sabar sebagai puasa juga dikemukakan oleh Taustari dalam tafsirnya “Puasa yang benar, bertujuan untuk membentuk rohani yang bersih. Dengan berpuasa yang sesungguhnya mengharap ridha Allah maka kesucian hati semakin meningkat.” Dijelaskan oleh Sa‟id Hawa tentang makna sabar “Sabar yang sangat baik yaitu dalam artian tidak mengadukan persoalan sehingga Allah memberi kelapangan”. Dalam sabar ini mengandung tawakkal dan ridha (Septiawadi, 2014:183). Tawakkal adalah kesadaran bahwa baik buruknya sesuatu itu ditentukan oleh Allah (Abdullah,1999:207). Dikatakan oleh
92
Sayyid, bahwa Ridha adalah sikap lapangnya hati ketika menerima pahitnya ketetapan Allah (Abdul Qadir Isa, 2011:251). Sabar demikian mendorong seseorang untuk senantiasa merasa dekat dengan Tuhan. Allah swt. berfirman dalam Q.S Az-Zumar ayat 10 yang berbunyi:
ْ ُِْ َأَ ۡح َضٝ ْ ٍَُْ ِ َ َءثٝ َزٞ ََْج َ َح َضّٞۡ ََٕ ِز ِٓ َٱى ُّذِٜ٘ث َف َْ ُ ٘ث َٱصَّق ََ َ ِؼذَج ِد َٱىَّ ِزَٝ و َۡ ُق َ ٘ث َ َسد َّ ُنٌۡ َىِي َّ ِز َ)ٔٓ(َجح ََ ص ِذش َّ َٱىَُّٚ َ٘فَٝٱّللَ َٗ ِص َؼزٌَ ِإّ َّ ََج ََِّ َ َُٗأَ ۡسض ِ ِشَٞۡ ٌَدغ ٖ َح َض ِ َُُُٕٗأَ ۡج َش Artinya: "Katakanlah:َ Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas." Maka ibadah puasa dikecualikan dari ibadah-ibadah lain yang memiliki ganjaran terbatas dan tertentu. Karena puasa adalah kesabaran jiwa untuk tidak melakukan apa yang menjadi kebiasaannya,
mengekang
anggota
badan
dari
seluruh
kesenangannya. Sehingga orang-orang yang berpuasa adalah termasuk orang yang sabar. Jika seseorang telah terbiasa dengan sesuatu maka la akan melakukannya karena kesukaan, dan bukan karena memenuhi kewajiban. Maka adab dalam hal ini hendaknya tidak digabungkan antara kewajiban yang harus dipenuhi dengan kebiasaannya, meskipun itu ibadah atau ketaatan. Sebab nafsu akan selalu cenderung pada kesukaannya dan tidak mampu memenuhi kewajibannya, dimana la diciptakan secara kodratinya menghindar
93
dari ketaatan-ketaatan. Maka ketika la telah terbiasa dengan suatu bab atau bagian ibadah, ia mengiranya orang yang paling tahu tentang ibadah dan orang yang memiliki pengetahuan tentang ibadah dan tipu dayanya. 7. Berdzikir dan berdoa Dzikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan senantiasa menghadirkan qalbu bersama al-Haqq (Ibnu Athaillah al-Sakandari, 2013:29). Toto Tasmara (2001:18) mengibaratkan Dzikir bagaikan kompas dan seluruh peralatan mesin kapal bagi nahkoda tersebut. Mereka diingatkan bahwa mereka diberi petunjuk yang jelas agar misi pelayarannya dapat selamat. Nahkoda yang asyik dengan pelayarannya tanpa mempedulikan kompas dan peralatan, akan tersesat dan tidak mungkin dapat kembali dengan selamat, karena bisa saja dia diterpa badai yang menghancurkan, itulah sebabnya Allah berfirman dalam Q.S Al-Hasyr ayat 19:
َٰٓ ْ ََِّضٝ ْ ُّْ٘لَصَ ُن ََ)ٔ١(َُ٘ ََ ُلَُٕ ٌَُ ۡٱىفَ ِضق ََّ َُ٘ث ََ ٘ثَ ََمٱىَّ ِز َ َ َٗ َ ِٱّللََفَؤَّ َضىٌُٖۡ َأَّفُ َضٖ ٌُۡ َأُ ْٗىَت Artinya: “Janganalah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah,lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” Nahkoda yang profesional tentu saja akan selalu waspada dan mengikuti presedur dari kapal yang menjadi tanggung jawabnya. Dirinya menjadi tenteram karena segala sesuatu sesuai dengan prosedurnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Ar-Rad ayat 28:
94
ْ ٍَُْ َِ َءثٝ َ)ٕ٨(ََُٱّللَص َۡط ََ ِت َُِّ ۡٱىقُيُ٘ح ََِّ َٱّللَأَ َْلَدِ ِز ۡم ِش َِ َّ ٌََُد ِز ۡم ِش ََ ٱىَّ ِز ِ ُٖ٘ثَ َٗص َۡط ََ ِت َُِّقُيُ٘د Artinya: “ Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereke menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenang.” Manusia yang diberkahi pengetahuan batin memandang dzikir “senantiasa dan terus-menerus mengingat Allah”, sebagai metode paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai kehadiran Ilahi. Objek semua ibadah ialah mengingat Allah dan hanya terusmenerus mengingat Allah sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah serta mengkosongkan hati dari kecintaan dan ketertarikan pada dunia fana ini. Tujuan puasa adalah menghancurkan sensualitas, sebab jika hati dibersihkan dari kotoranya, maka ia akan dipenuhi dengan mengingat Allah (Mir Valiudin,1997:85). Adapun berdoa berarti memanggil diri sendiri, bagi mereka yang cerdas secara ruhani menyadari bahwa doa mempunyai makna yang sangat mendalam bagi dirinya. Dengan berdoa akan menumbuhkan sikap optimis dalam hati. Puasa merupakan ibadah yang istimewa bagi Allah, bagi manusia yang menyadari akan hal itu maka akan memanfaatkan puasanya dengan menambah hal-hal yang positif. Seperti memperbanyak dzikir serta doa, sebagaimana dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa :
ْ ُسَْلَصُ َش ُّدَ َد ْػ َ٘ر ُ َعََل ََٗ َد ْػ َ٘رَُثىْ َُ َضج ِف ِش ٍ طَ َد َػ َ٘ث َ ٌِ َِٗ َد ْػ َ٘رَُثىصَّجة َ َثى َ٘ثىِ ِذ Artinya: “Tiga doa yang tidak ditolak ; doa orang tua terhadap anaknya ; doa orang yang sedang berpuasa dan doa seorang musafir”. [Sunan Baihaqi, kitab Shalat Istisqa
95
bab Istihbab Siyam Lil Istisqa‟ 3/345. Dishahihkan oelh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah No. 1797]. Dikutip
dari
(https://almanhaj.or.id/97-orang-yang-dikabulkan-
doanya.html pada Senin, 15 Agustus 2016, 20:55) Dalam keadaan lapar menjadikan hati dan anggota badan bercahaya. Tidaklah seorang hamba Allah menyedikitkan makan dan minum kecuali hatinya menjadi halus dan kedua matanya bercahaya. Dengan lapar musuh Allah terdesak kalah, sebab perantara setan adalah syahwat, sedangkan kuatnya syahwat dikarenakan makan dan minum. Lapar memberikan kepada kita akhlaq Allah SWT yaitu asmadiyah (sesuatu yang tidak memiliki lubang, tidak makan dan tidak minum, Allah Maha Tinggi dengan ketinggian dan kemahabesaran) dan menyerupai malaikat. Dengan lapar, terbukalah alam malakut untuk kita, mendekatkan kita kepada Allah sehingga teranglah hati kita. Para ulama‟ sufi menyatakan: “Sesungguhnya lapar adalah setengah
jalan
menuju
Allah.
Apabila
seorang
muslim
menyempurnakan puasanya, insyaAllah dapat menyampaikannya kepada jalan Allah. Sebab, sesungguhnya puasa adalah ibadah yang berat untuk diri manusia. Setiap ibadah yang berat secara fisik maupun psikis, semakin mempercepat pelakunya untuk sampai kepada Allah” (Abu Bakar, 1996:24). Secara substansial apa yang dikuatkan oleh ahli makrifat itu adalah bahwa kenyang merupakan penyebab segala maksiat, dan penyebab jauhnya diri seseorang dari Allah. Dalam pandangan mereka, tidak ada sesuatu yang paling
96
dibenci oleh Allah kecuali perut yang penuh dengan makanan yang halal. Adapun yang dimaksud dengan menyedikitkan makan dan minum adalah memecahkan hawa nafsu dan syahwat, karena jiwa seseorang menjaga ketakwaannya.
97
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah peneliti melakukan penelitan melalui research library menemukan hasil dari penelitian yang berjudul “pengembangan nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf” diantaranya sebagai berikut: 1. Konsep Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah. Adapun ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual diantaranya adalah: Memiliki kualitas yang diilhami dengan visi dan nilai-nilai, autentik (tanggung jawab dan jujur kepada diri sendiri), memiliki kesadaran hidup yang tinggi, merasakan kehadiran Allah, cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap manusia tanpa kebencian, memiliki kualitas sabar, berrdzikir dan berdoa. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual berasal dari internal juga eksternal yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kelompok teman sebaya.
98
2. Konsep Puasa Perspektif Tasawuf Tasawuf adalah proses mendidik jiwa manusia untuk tidak lagi terikat dengan dunia dan lebih berorientasi kepada akhirat. Pendidikan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa tahap seperti taubat, zuhud, sabar, wara‟, kerendahan hati, takwa, tawakkal, kerelaan , cinta dan ma‟rifat. Beberapa tahap tersebut disebut tariqah yang berarti jalan. Puasa merupakan salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk mendidik manusia dalam menempuh perjalanan spiritual, puasa itu bukan lagi berkisar dalam peperangan hati dari dosa-dosa batin, karena melalui perjalanan yang panjang melintasi tangga-tangga untuk dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Dalam definisi tasawuf puasa berarti menahan diri dari nafsu yang berasal dari mata, telinga, mulut, perut dan kemaluan dengan berusaha menata hati dari lalai kepada Allah dengan harapan mendapatkan ridho Allah. Tasawuf juga mengajarkan manusia untuk tidak terjerat pada materi dan mampu melibatkan jiwa dalam setiap akifitas dengan cara menghiasi hati dengan nilai-nilai ruhaniah. Sebagaimana puasa yang dijalankan seseorang merupakan salah satu cara yang dapat membentengi manusia dari gemerlapnya dunia. 3. Pengembangan Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif Tasawuf Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk memaknai hidup dengan
melakukan
hal-hal
99
yang
bersifat
positif
yang
akan
mengembangkan rasa percaya diri dan selalu berpositif thingking dalam menghadapi setiap keadaan. Sedangkan oleh ilmuwan muslim kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan ruhani manusia, maka takwa merupakan efek dari kecerdasan ruhani tersebut. Indikator takwa salah satunya adalah kemampuan untuk istiqomah dalam menjalankan ibadah, adanya semangat untuk selalu menambah kebaikan. Tepat sekali apabila puasa menjadi metode dalam meningkatkan ketakwaan seseorang. Dalam aktifitas puasa seseorang dituntut untuk berperang dengan hawa nafsu, dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya serta menjaga hati dari keadaan lalai kepada Allah. Ketika nafsu melemah maka cahaya Allah akan masuk ke dalam hati manusia yang menjadikan seseorang sampai kepada derajat takwa. Dalam nilai spiritual puasa akan menepis sifat kebinatangan yang ada pada manusia, yaitu sifat yang hanya bergairah kepada makan dan minum serta semisalnya. Sehingga puasa termasuk media yang dapat dikembangkan untuk mendidik manusia untuk cerdas secara spiritual. B. Saran 1. Bagi Pendidikan Islam Melihat betapa banyak hikmah dan manfaat yang didapatkan melalui ibadah puasa, teruntuk bagi kecerdasan spiritual anak. Hendaknya bagi seorang pendidik Islam untuk menekankan kepada siswa akan pentingnya ibadah puasa serta mengajak siswa membiasakan melaksanakan ibadah puasa. Karena dengan kecerdasan spiritual yang
100
baik maka secara otomatis akhlaq anak akan lebih baik dibandingkan akhlaq anak yang memiliki kecerdasan spiritual yang rendah. Selain itu, dengan ibadah puasa di saat kondisi perut yang kosong akan menjadikan otak berfikir dengan jernih. Sehingga dengan puasa juga dapat meningkatkan kecerdasan kognitif juga emosinal. 2. Bagi pembaca Bagi pembaca, setelah membaca hasil penelitian ini diharapkan memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk melaksanakan ibadah puasa karena melihat eksistensi ibadah puasa yang sangat banyak ini. 3. Peneliti
Hasil dari kajian pengembangan nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf ini masih terbatas dalam kaitannya dengan pendidikan maupun bagi masyarakat umum. Terdapat aspek-aspek lain yang belum tersentuh oleh peneliti, maka dari itu diharapkan ada peneliti baru yang mengkaji lebih lanjut dari hasil penelitian ini.
101
DAFTAR PUSTAKA Abdullah bin Alawy Al-Haddad, Sentuhan-sentuhan Sufistik , Bandung: Pustaka Setia, 1999. Abidin, Ahmad Zainal, Konsepsi Negara Bermoral (Menurut Imam Al-Ghazali), Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Abidin, Slamet dan Moh Suyono, Fiqih Ibadah, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Aceh, Abubakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Kajian Historis Tentang Mistik), Solo: Ramadhani, 1996. Agustian, Ary Ginanjar, ESQ (Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual), Jakarta: Arga, 2005. Al- Ghozali, Ihya‟ Ulumuddin, Semarang: As-Syifa, 1982. Al-Sakandari Athaillah, Zikir Penentran Hati, Kemang Timur: Zaman, 2013. Al-Zuhayly, Wahbah, Puasa dan Iktikaf, Bandung: PT Rosdakarya, 1995. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik), Jakarta: Pt Rhineka Cipta, 2010. Ash Shiddiqy, Hasbi, Al-Islam 2, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1977. , Pedoman Puasa, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Bahreisj, Husein, Himpunan Fatwa, Surabaya: Usaha Offset Printing, 1992. Darajat, Zakiyah, Ilmu Fiqih 1, Yogyakarta: PT Bhakti Wakaf, 1993. , Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, Jakarta: CV Ruhama, 1996. Effendy, Yudy, Sabar Dan Sukur Rahasia Meraih Hidup Supersukses, Qultum Media, 2012. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset ,1993.
102
Hassan, Iqbal, Analisis Data Penelitian dengan statistik, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Huda, Sokhy, Tasawuf Kultural: Fenomena Sholawat Wahidiyah, Yogyakarta: Lkis, 2008. Jakub, Ismail, Tarjamah Ihya Ulumuddin jilid 2 (Karangan Imam Al-Ghozali), Jakarta Selatan: CV Faizan, 1982. Madjid, Nurcholis, Puasa Titian Menuju Rayyan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009. Muhaimin, Akhmad, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Bagi Anak, Yogyakarta: Kata Hati, 2010. Musbikin, Imam, Rahasia Puasa (Bagi Kesehatan Fisik dan Psikis), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Nasib, Muhammad, Kemudahan dari Allah (ringkasan Ibn Katsir jilid 2), Jakarta: Gema Insani,1999. Nasution, Lahmudin, FIQIH 1, Jakarta: Logos, 1997 Nasution, Taufiq Ahmad, Melejitkan SQ dengan Prinsip 99 Asmaul Husna, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2009. Qadir, Isa Abdul, Hakekat Tasawuf, Jakarta: Qisthi Press, 2011. Qardawi, Yusuf, Fiqih Puasa, Surakarta: Intermedia,2006. Rakhmat, Jalaluddin, Cinta Ilahi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001. , Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan, 1999. Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Bandung: PT Al-Maarif, 1996. Rifa‟i, Moh dan Baghawi Mas‟udi, Fiqih Menurut Mahdzab Syafi‟i, Semarang: Cahaya Indah, 1986. Safaria, Triantoro, Spiritual Intelligence, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Salwasalsabila, Syarifah, Mendidik Anak Puasa, Jakarta: Harmoni, 2008.
103
Shaleh, Hasan, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Jakarta:PT Graffindo Persada, 2008. Septiawadi, Tafsir Sufistik Said al-Hawwa dalam Al-Asa Fi Al-Tafsir, Jakarta: Lectura Press, 2013. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode dan Tekhnik), Bandung: Tarsito, 1989. Syukur Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,2001. , Tasawuf Bagi Orang Awam, Yogyakarta:LPK-2 Suara Merdeka, 2006. Tafsir, Ahmad, Zikrullah (Urgensinya Dalam Kehidupan), Bandung: Rosdakarya, 2013. Tamrin, Dahlan, Tasawuf Irfani (Tutup Nusut Buka Lahut), Malang:UIN Maliki Press, 2010. Tasmara, Toto, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intellegence), Jakarta: Gema Insan Press, 2001. Tata, Pangarsa Humaidi, Akhlaq Mulia, Jakarta:PT Bina Ilmu, 2000. Tebba, Sudirman, Kecerdasan Sufistik (Jembatan Menuju Makrifat), Jakarta: Prenada Media, 2004. Valiuddin, Mir, Zikir dan Kompilasi dalam Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Zohar Danah dan Ian Marshall, SQ: Memamfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integrilistik Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan, Bandung: Mizan, 2000. https://almanhaj.or.id/97-orang-orang-yang-dikabulkan-doanya.html https://dobelden.wordpress.com/2013/07/30/puasa-mengasah-berbagai-kecerdasan http://fajarkurnianto.blogspot.co.id/2015/06/puasa-sufi.html
104
http://sufimedan.blogspot.co.id/2011/08/mengapapahalapuasatakadamalaikat_07. html http//.tasawufkemurnianislam.blogspot.co.id http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/04/opi03.htm http://yuksholat5.blogspot.co.id/2011/12/berpuasa-yang-beradab.html
105
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap
: Novia Handayani
Tempat,tanggal lahir : Kab. Semarang, 14 November 1994 Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat Asal
: Jalan Masjid Besar Tengaran RT 14/RW 03, Krajan Tengaran, Kelurahan Tengaran, Desa Tengaran
Nama Ayah
: Moh Batal Aidi
Pekerjaan
: Buruh
Nama Ibu
: Umi Hanik
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Alamat Orang Tua
: Jalan Masjid Besar Tengaran RT 14/RW 03, Krajan Tengaran, Kelurahan Tengaran, Desa Tengaran
Jenjang Pendidikan
: a. SD Negeri Tengaran 01
2000 - 2006
b. SMP Negeri 1 Tengaran
2006 - 2009
c. MAN Tengaran
2009 - 2012
d. IAIN Salatiga
2012 - sekarang
106
107
108
109
110
111